jurnal panorama hukum vol. 5 no. 1 juni 2020 issn : 2527-6654
TRANSCRIPT
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
63
PROBLEMATIKA PEMBENTUKAN RUU CIPTA KERJA DENGAN KONSEP
OMNIBUS LAW PADA KLASTER KETENAGAKERJAAN PASAL 89 ANGKA
45 TENTANG PEMBERIAN PESANGON KEPADA PEKERJA YANG DI PHK
Fajar Kurniawan1
Email: [email protected]
Wisnu Aryo Dewanto
Abstract
This research was conducted to find out the problem of formation a bill that regulate
employment with the concept of the Omnibus Law which was rejected by workers in the
labor cluster that regulates about severance pay given to dismissed workers. This study
uses a statue approach, conceptual approach, and case approach to make it easier to
understanding the problem in that field. The results of the study was found that the
amendment to the severance provisions in article 156 of Law with number 13 of years
2003 concerning the employment bill in Article 89, absolutely did not provide a solution
of the occured problems so far. With these changes narrowed the labor rights and widen
employers to exploit labor for his self profit . Therefore the Government and the
Parlement should give a better solution to give welfare and certainty to workers and
employers in the Employment Cluster Work Bill in Article 89 number 45 so that it can
provide a good impact on the country.
Keyword: Omnibus Law, Regulation, Severance
Pendahuluan
Di awal tahun 2020 pemerintah tengah mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang (yang selanjutnya disingkat dengan RUU) Cipta Kerja dengan menggunakan
konsep Omnibus Law. RUU ini sedang dipersiapkan oleh Pemerintah untuk dijadikan
sebuah skema dalam upaya membangun perekonomian Indonesia agar mampu menarik
investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah memandang perlu
adanya RUU Cipta Kerja ini karena tingginya angka pengangguran di Indonesia yang
1 Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Surabaya
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
64
mencapai 7 juta jiwa sehingga diharapkan RUU ini mampu membuka lapangan kerja
baru.2
Konsep Omnibus Law ini merupakan konsep yang baru digunakan dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia. Sistem ini biasanya disebut sebagai Undang-Undang
sapu jagat karena mampu mengganti beberapa norma undang-undang dalam satu
peraturan.3 Selain itu konsep ini juga dijadikan misi untuk memangkas beberapa norma
yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan merugikan kepentingan
negara.
Di dalam RUU Cipta Kerja memiliki 11 klaster yang salah satu diantaranya
mengatur tentang ketenagakerjaan. Klaster ini melingkupi 3 undang-undang yang dilebur
menjadi satu yakni Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial, dan Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial. Pada klaster
ketenagakerjaan ini Pemerintah berupaya untuk mengharmonisasikan 3 undang-undang
tersebut agar sejalan sehingga mampu memberikan sebuah ruang kepada investor untuk
melihat regulasi yang telah disempurnakan tanpa perlu khawatir adanya regulasi yang
tumpang tindih dan mengakibatkan kerugian kepada investor itu sendiri.
Di dalam proses perancangan RUU ini banyak sekali opini-opini masyarakat yang
tidak setuju dengan adanya RUU ini. Adanya opini-opini publik ini tidak lain disebabkan
karena pengerjaannya yang di deadline hanya selama 100 hari oleh Presiden Jokowi dan
juga tidak melibatkan banyak pihak dalam pembuatannya. Akan tetapi ada satu hal yang
sangat penting dan menjadi permasalahan utama didalam penyusunan RUU ini.
Permasalahan tersebut adalah adanya pemotongan pesangon kepada para buruh yang di
putus hubungan kerjanya oleh perusahaan.
Pada konteks ini lah kenapa para buruh dan masyarakat banyak sekali yang
menolak adanya RUU Cipta Kerja ini. Inti permasalahan tersebut terletak di dalam pasal
2 RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Untuk Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi, Biro Humas
Hukum dan Kerjasama Kemenkum Ham. https://www.kemenkumham.go.id/berita/ruu-omnibus-law-cipta-
lapangan-kerja-untuk-tingkatkan-pertumbuhan-ekonomi diakses pada tanggal 30 Apil 2020 3 Adhi Setyo Prabowo, Politik Hukum Omnibus Law. Jurnal Pamator, Volume 13 No. 1, April 2020, hlm
4. https://journal.trunojoyo.ac.id/pamator/article/view/6991
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
65
89 ayat 45 RUU Cipta Kerja yang mengganti ketentuan pasal 156 Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan beberapa ketentuan
perhitungan uang pesangon yang mengalami perubahan pada ayat 1 pasal 156 Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2003 yang diganti dengan redaksi “Dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja”, kemudian pada ayat 3 pasal 156 perubahan yang dilakukan
pada huruf g dan h diganti dengan kententuan huruf g yang berbunyi “masa kerja 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih, 8 (delapan) bulan upah”. Perubahan tersebut merupakan
upaya menghapuskan perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana yang telah
diatur masa kerja 24 tahun atau lebih akan mendapatkan 10 bulan upah yang diterimanya.
Ini lah salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh Pemerintah, anggota
DPR, dan masyarakat sehingga pengesahan RUU Cipta Kerja ini memakan waktu yang
cukup lama. Problematika ini masih terus di suarakan oleh kaum buruh dan masyarakat
untuk menolak adanya RUU tersebut ketika DPR sedang membahas RUU Cipta Kerja ini
dalam rapatnya. Pemerintah dan DPR seharusnya sudah tahu bahwa adanya sebuah
hukum yang berlaku sudah semestinya memberikan rasa adil kepada masyarakat dan
mampu memberikan kebahagiaan kepada masyarakat. Namun disisi lain Pemerintah juga
tetap harus berupaya dan konsisten untuk menumbuhkan perekonomian rakyat sebagai
jalan untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Berdasarkan penjabaran tersebut maka penulis dapat menarik sebuah
permasalahan yakni bagaimana konsep omnibus law dalam pembuatan perundang-
undangan di Indonesia dan bagaimana tinjauan hukum dalam problematika RUU Cipta
Kerja dengan konsep Omnibus Law pada klaster ketenagakerjaan pasal 89 angka 45
tentang pemberian pesangon kepada pekerja yang di PHK.
Pembahasan
Konsep Omnibus Law Dalam Pembuatan Perundang-Undangan Di Indonesia
Omnibus Law diambil dari kata Omnibus dan Law. Omnibus itu sendiri berasal
dari kata “Omnis” dalam bahasa latin yang bermakna “semua” atau “banyak”.4
4 Apa itu Omnibus?, Yudo, https://pelitaku.sabda.org/node/872 diakses pada tanggal 14 Maret 2020
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
66
Sedangkan makna Law adalah “hukum”, sehingga dapat disimpulkan bahwa Omnibus
Law adalah hukum yang mengatur semua hal dalam satu bidang. Dalam konteks ini para
ahli hukum sering membuat istilah Omnibus Law sebagai undang-undang payung.
Pakar Hukum Tata Negara Fachri Bachmid berpendapat bahwa Omnibus Law
adalah sebuah konsep produk hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidir berbagai
tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda
untuk menjadi produk hukum besar dan holistik.5
Menurut Sofyan Djalil (Menteri Agraria dan Tata Ruang) konsep omnibus law
adalah langkah menerbitkan satu UU yang bisa memperbaiki sekian banyak UU yang
selama ini dianggap tumpang tindih dan menghambat proses kemudahan berusaha.
Dengan diterbitkannya satu Undang-Undang untuk memperbaiki sekian banyak Undang-
Undang diharapkan menjadi jalan keluar permasalahan di sektor ekonomi, sebab dengan
banyaknya Undang-Undang tidak bisa dilakukan percepatan-percepatan karena
banyaknya Undang-Undang masih mengatur dan bisa saling bertentangan.6
Dari penjelasan pakar hukum diatas maka penulis menyimpulkan bahwa konsep
Omnibus Law ini merupakan sebuah aturan yang dibuat untuk memangkas beberapa
aturan yang dianggap tumpang tindih dan menghambat pertumbuhan negara yang juga
sekaligus untuk menyinkronkan beberapa aspek menjadi produk hukum yang besar.
Konsep Omnibus Law ini lebih akrab digunakan oleh negara-negara yang
menggunakan sistem hukum Anglo Saxon Common Law. Beberapa negara seperti
Amerika, Kanada, Irlandia, dan Suriname telah menggunakan pendekatan Omnibus Law
atau Omnibus Bill dalam perundang-undangannya.7 Di Asia Tenggara Omnibus Law
pertama kali di praktekan oleh negara Vietnam yang pada waktu itu hendak mengadopsi
hasil aksesi dengan WTO pada tahun 2006. Untuk mengimplementasikan hal tersebut
Perdana Menteri memerintahkan Kementerian Hukum setempat untuk melakukan
5 Bagir Manan, (1997), Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni, hlm. 144. 6Achmad Teguh Wahyudin, Konsep Implementasi Omnibus Law Pada Sistem Perundang-Undangan,
makalah ini dapat diakses di https://www.academia.edu/41537217/MAKALAH_OMNIBUS_LAW
diakses pada tanggal 31 Maret 2020 7Menelusuri asal-usul Konsep Omnibus law,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e2c1e4de971a/menelusuri-asal-usul-konsep-omnibus-law
diakses pada tanggal 02 April 2020
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
67
penelitian terkait kemungkinan penerapan pendekatan Omnibus di Vietnam. Hasil
penelitian menunjukan bahwa dimungkinkan untuk menerapkan pendekatan omnibus
mengingat tidak ada peraturan yang melarang. Selain itu, adanya tumpang tindih
peraturan dan panjangnya prosedur legislasi untuk mengubah sebuah pasal, menjadi
pertimbangan diadopsinya omnibus law di Vietnam.8 Dengan melihat penerapan
Omnibus Law di negara Viernam, maka pemerintah mempertimbangkan untuk
menggunakan konsep tersebut dalam rangka untuk menumbuhkan perekonomian di
Indonesia.
Menurut penulis di dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai
tata cara pembentukan perundang-undangan dengan konsep Omnibus Law. Ini
dikarenakan Omnibus Law dalam lingkup negara yang menggunakan sistem hukum Civil
Law masih sangat jarang sekali menggunakan konsep Omnibus Law dalam proses
pembentukan perundang-undangan, meskipun ada beberapa negara yang telah
menggunakannya. Pada dasarnya Omnibus Law merupakan sebuah konsep yang
sebenarnya tidak berkaitan dengan sistem hukum yang berlaku, namun substansi daripada
Omnibus Law yang menjadikan konsep ini sangat tepat untuk dijadikan sebuah solusi
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.
Sejauh ini hierarki didalam perundang-undangan di Indonesia yang terdapat didalam
Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 pasal 7 adalah sebagai berikut :9
1. UUD 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
8 Wahyudin, Op. Cit, 10 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pasal 7
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
68
Melihat adanya hierarki tersebut penulis menganggap seharusnya dalam tatanan
pembentukan perundang-undangan di Indonesia mulai dirubah dan dimasukkan konsep
Omnibus Law agar Pemerintah dan DPR memiliki opsi lain sehingga mampu
menciptakan harmonisasi perundang-undangan yang lebih baik. Jelas bahwa di dalam
hierarki dan tata urutan peraturan perundang-undangan tersbut belum ada konsep
Omnibus Law Sebagai salah satu asas dalam sumber hukum. Maka ketika pemerintah
memaksakan RUU Omnibus Law ini akan mengkualifir dan melabrak Teori
Pembentukan peraturan Perundang-undangan Kita yang sudah diatur lebih jelas dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan peraturan perundang-
undangan, hal demikian pasti akan menimbulkan konflik norma baru lagi padahal tujuan
dari omnibus Law ini sebagai Upaya Penyegaran atau harmonisasi peraturan perundang-
undangan.10
Meskipun sangat awam sekali di telinga masyarakat Indonesia, sebenarnya
konsep ini telah digunakan dalam 2 undang-undang di Indonesia namun kurang
diperhatikan secara serius oleh masyarakat. Undang-undang tersebut yakni sebagai
berikut :11
1. Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan jo UU Nomor 9 Tahun 2017, yang mencabut:
a. Pasal 35 ayat (2) & Pasal 35A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
b. Pasal 40 & Pasal 41 UU Perbankan
c. Pasal 47 UU Pasar Modal
d. Pasal 17, Pasal 27, & Pasal 55 UU Perdagangan Berjangka Komoditi
e. Pasal 41 dan Pasal 42 UU Perbankan Syariah
2. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut
a. UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
b. Pasal157, Pasal158 ayat (2) s.d. ayat (9), dan Pasal 159 UU Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah
10 Suwandi Arham, (2019), Omnibus Law Dalam Perspektif Hukum Indonesia, Petitum, Vol 7, No, 2,
Oktober 2019, https://uit.e-journal.id/JPetitum/article/view/652 diakses pada tanggal 27 April 2020 11 Wahyudin, Op. Cit, 12
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
69
c. Pasal 1 angka 4, Pasal 314 s.d. Pasal 412, Pasal 418 s.d. Pasal 421 UU
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD
Problematika Pembentukan RUU Cipta Kerja Dengan Konsep Omnibus Law Pada
Klaster Ketenagakerjaan Pasal 89 Tentang Pemberian Pesangon Kepada Pekerja
Yang Di PHK
Pada pembahasan ini pemaknaan pesangon menurut kamus besar bahasa
indonesia adalah uang yang diberikan sebagai bekal kepada karyawan (pekerja dan
sebagainya) yang diberhentikan dari pekerjaan dalam rangka pengurangan tenaga kerja.
Jelas bahwa pemberian uang pesangon tersebut akibat dari ada pemutusan hubungan kerja
yang dilakukan antara perusahaan dan pekerja. Didalam UU 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pemutusan
hubungan kerja karena satu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. Hubungan kerja antara perusahaan
atau pengusaha dengan pekerja, secara yuridis, penerima kerja atau pekerja memiliki
prinsip kebebasan karena negara kita tidak menghendaki adanya praktik perbudakan yang
dilakukan oleh siapapun.12 Pengertian tersebut memberikan sebuah gambaran bahwa
pekerja tidak bisa dipekerjakan dengan semena-mena oleh perusahaan, sehingga
perusahaan tetap memberikan tunjangan-tunjangan sebagai betuk kesejahteraan kepada
pekerja. Namun di dalam UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ini hanya mengatur
bagaimana penghitungan pemberian uang pesangon kepada pekerja yang di PHK Namun
secara umum maksud daripada pemberian uang pesangon tersebut tidak dijelaskan di
didalam UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.13
Konsep dasar pemberian pesangon ini didasarkan pada adanya sebuah pemutusan
hubungan kerja yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan sebuah apresiasi kepada
pekerja yang telah memberikan kontribusi terhadap perusahaan.. Sehingga kesan
daripada memperbudak pekerja oleh perusahaan dihilangkan agar tidak ada pihak yang
12 Zainal Asikin, (2006), Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 5. 13Ari Hernawan, Keberadaan uang pesangon dalam pemutusan hubungan kerja demi hukum di perusahaan
yang sudah menyelenggarakan program jaminan pensiun, Kerta Patrika, Vol 38, Nomor 1, Januari-April
2016. https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika/article/view/21530 diakses pada tanggal 1 Mei 2020.
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
70
merasa dirugikan. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150 Tahun 2000
mendefinisikan pesangon merupakan sebuah pembayaran uang dari pemberi kerja
(Pengusaha) kepada pekerja sebagai akibat dari adanya pemutusan hubungan kerja.14
Dasar dari adanya pemberian pesangon tersebut tertera didalam kontrak kerja sebagai
dasar adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Prinsip seperti ini
diterapkan oleh semua instansi sebagai bentuk adanya sebuah kesepakatan terlebih dahulu
sebelum berjalannya sebuah perjanjian. Prinsip tersebut tertuang jelas didalam KUH
Perdata pasal 1320 yang menerangkan syarat sah nya perjanjian. Namun pada satu kasus
otoritas sebuah perusahaan terhadap para pekerjanya tidak bisa dipungkiri akan adanya
hal itu. Pada kasus pemutusan hubungan kerja PT. Pelindo II yang berstatus sebagai
perusahaan BUMN telah melapaui kewenangannya dengan melakukan PHK terhadap
beberapa karyawan dengan tindakan sepihak tanpa melakukan upaya bipatrit maupun
tripartid dengan mekanisme musyawarah menuju mufakat terlebih dahulu.15 Kasus ini
tentu menunjukkan bahwa masih adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
perusahaan terhadap karyawannya yang melanggar peraturan yang berlaku.
Kemudian pada kasus lain ada juga perusahaan yang melakukan PHK pada
karyawannya, namun tidak memberikan pesangon sebagaimana yang telah diatur oleh
UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Kasus ini terjadi pada karyawan PT. Bumi
Waras Tulang Bawang Barat yang di PHK namun tidak diberikan pesangon sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Perusahaan ini juga membuat sebuah kebijakan
secara sepihak bagi karyawan yang tidak mau di mutasi akan di PHK langsung dan uang
pesangon akan dipangkas sebesar 5% dari ketentuan yang seharusnya. Kasus semacam
ini yang membuat ketentuan yang telah diatur didalam UU 13 tahun 2003 perihal
pesangon seakan-akan tidak memiliki dampak baik terhadap kesejahteraan buruh.
Pada konteks RUU Cipta Kerja ini problematika yang ada didalamnya memang
begitu kompleks. Ini dikarenakan RUU Cipta Kerja berusaha untuk menghapus dan
14 Ramadhan, Skripsi, (2016), Pertentangan Terhadap Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terkait Dengan Pembayar Pesangon Dengan Menggunakan Uang
Pensiun Berdasarkan Kepastian Hukum, Bandung, UNPAS, hlm. 41. 15 Sherly Ayuna Putri, (2015), Pemutusan Hubungan Kerja pada Badan Usaha Milik Negara: Studi Kasus
Pemutusan Hubungan Kerja di PT. Pelindo II (Persero), ADHAPER, Vol. 1, No. 2, Juli –
Desember 2015, hlm 8.
https://jhaper.org/index.php/JHAPER/article/view/13 diakses pada tanggal 01 Mei 2020
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
71
mengubah beberapa regulasi seperti Undang-Undang nomo 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial
dan Undang-Undang nomor 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggaran jaminan sosial
menjadi satu bentuk peraturan yang selaras dengan visi penciptaan lapangan kerja yang
masif hingga beberapa tahun ke depan.
Pembahasan klaster ketenagakerjaan ini menyotoyi permasalahan yang terdapat
pada pasal 89 yang mengatur mengenai pemberian uang pesangon dan uang penghargaan
bagi pekerja yang di PHK. Pada pasal 89 ayat 1 ketentuan ini mengubah ketentuan pasal
156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berbunyi
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima”, kemudian redaksi ini diganti
menjadi “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib
membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja”.16
Menurut penulis dirubahnya ketentuan ini merupakan penurunan kesejahteraan
buruh yang menghilangkan ketentuan uang penggantian yang seharusnya diterima oleh
pekerja. Ketentuan uang penggantian yang seharusnya diterima tersebut seperti Pertama,
cuti tahunan yang belum dan belum gugur, Kedua, biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja dan keluarganya ke tempat dimana pekerja itu diterima, Ketiga, penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 % dari uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat, Keempat, hal-hal lain yang
ditetapkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian pada ayat 3 pasal 89 RUU Cipta Kerja juga merubah ketentuan di
dalam pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang
lebih spesifik perubahan tersebut ada pada huruf g dan yang ada pada Undang-Undang
Ketenagakerjaan dihapuskan pada RUU Cipta kerja. Perubahan yang terjadi ini dari segi
tujuan adanya hukum tidak lah memberikan sebuah kemanfaatan atau kebahagiaan bagi
para pekerja. Namun disisi lain adanya RUU ini memberikan sebuah keadilan antara
kaum pekerja dengan pelaku usaha. Ini dikarenakan penghapusan huruf g dan h ayat 3
pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 dan dihapusnya ketentuan uang
16 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 89 ayat 1
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
72
penggantian yang seharusnya diterima tidak serta merta merugikan kaum buruh secara
signifikan namun pemerintah mencoba memberikan sebuah stimulus agar investor mau
menanamkan modalnya dengan sedikit memberikan kelonggaran terhadap perusahaan
untuk meniadakan beberapa kewajiban yang telah tertulis didalam pasal 89 RUU Cipta
Kerja. Sebenarnya langkah tersebut menurut penulis merupakan bentuk upaya pemerintah
dalam membangun perekonomian di Indonesia sehingga mewujudkan kesejahteraan
sosial. Namun yang menjadi penghalang adalah sering kali buruh selalu menuntut hak-
haknya secara berlebih sehingga terkadang membuat beberapa investor atau pelaku usaha
enggan membuka peluang usaha di Indonesia.
Disatu sisi Pemerintah memberikan garansi lain untuk memberikan kesejahteraan
para pekerja ketika di PHK oleh perusahaan yakni dengan adanya jaminan kehilangan
pekerjaan pada pasal 90 RUU Cipta Kerja yang merubah ketentuan pasal 18 Undang-
Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional dan ketentuan pasal
6 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial.
Ini merupakan upaya tanggung jawab dengan menghilangkan hak-hak dari para pekerja
sehingga jelas bahwa seharusnya adanya RUU Cipta Kerja pada Klaster Ketenagakerjaan
ini mampu memberikan dampak positif kepada negara dengan tidak menghilangkan nilai
keadilan daripada adanya hukum tersebut yang diperuntukkan bagi masyarakat.
Melihat daripada realita kasus yang dialami buruh saat ini, seharusnya RUU Cipta
Kerja memperhatikan beberapa aspek yang menjadi jalan bagi para pengusaha untuk
tidak menunaikan kewajibannya baik sebelum atau setelah adanya pemutusan hubungan
kerja. Karena mengingat dengan dihapuskannya beberapa ketentuan pesangon pada RUU
Cipta Kerja, maka semakin mendeskriditkan posisi buruh yang saat ini banyak menerima
kenyataan yang tidak adil oleh para pengusaha.
Dari segi teori, substansi pada pasal 89 angka 45 RUU Cipta Kerja ini kurang
memberikan sisi kemanfaatan kepada para buruh sehingga menyebabkan banyak para
buruh menolak adanya RUU tersebut. Sudah seharusnya adanya sebuah hukum harus
memberikan rasa manfaat kepada masyarakat pada umumnya. Ini dikarenakan tugas
hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Menurut Jeremy Bentham
menganggap hukum pertama-tama harus dapat memberikan kebahagiaan kepada
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
73
individu-individu.17 Masyarakat pada umumnya mengharapkan sebuah manfaat dalam
pelaksanaan hukum. Hukum hadir di masyarakat harus mampu memberikan sebuah
manfaat atau kegunaan. Jangan sampai ketika hukum dilaksanakan malah menimbulkan
sebuah keresahan di dalam masyarakat itu sendiri.18 Bentham juga berpendapat yang
dikutip oleh Mohammad Ainurrohim, bahwa hukum baru dapat diakui sebagai hukum
jika ia memberikan manfaat yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya
orang.19 Senada dengan hal itu, John Stuart Mill berpendapat bahwa sebuah tindakan atau
kebijakan dianggap benar ketika mengutamakan kebahagiaan, dan keliru jika cenderung
menghasilkan berkurangnya kebahagiaan.20
Ini lah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah dalam membuat
RUU Cipta Kerja pada klaster ketenagakerjaan. Karena jika semakin melemahkan posisi
buruh dimata perusahaan maka sudah pasti eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan
terhadap buruh akan semakin nyata adanya. Meskipun telah diatur UU 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, namun kenyatannya para buruh yang masih sering menderita
dengan adanya tindakan sewenang wenang yang dilakukan oleh perusahaan. Adanya
RUU Cipta Kerja ini seharusnya menjadi jalan penengah antara kepentingan para buruh
dan pengusaha. Ketika sudah terjadi relasi yang harmonis antara buruh dan pengusaha,
maka situasi dan kondisi disuatu perusahaan akan stabil dan secara otomatis akan
berdampak pada produktifnya sebuah perusahaan yang berimplikasi kepada naiknya
harga saham, kemudian menarik minat investor untuk menanmkan sahamnya di
Indonesia.
Oleh sebab itu agar RUU Cipta Kerja ini bisa berjalan dengan optimal maka
langkah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam perancangan RUU tersebut
agar lebih efektif yakni Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah
harus melibatkan publik dalam setiap tahapan penyusunannya, sebab omnibus law
memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan menuntut pihak yang membuat menjangkau
17 Darji Darmodiharjo, (2008), Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm.
118. 18 Sudikno Mertokususmo, (2005), Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, hlm. 160 19 Mohamad Aunurrohim, (2016), Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia, dikutip
dari http://www.academia.edu.com diakses 9 Desember 2016, hlm. 7 20 Karen Leback, (2015), Teori-Teori Keadilan, Bandung, Nusamedia, hlm 14.
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
74
dan melibatkan banyak pemangku kepetingan terkait. Kedua, DPR dan pemerintah harus
transparan dalam memberikan setiap informasi perkembangan proses perumusan UU
sapu jagat ini. Ketiga, Penyusun harus memetakan regulasi yang berkaitan secara rinci.
Keempat, Penyusun harus ketat melakukan harmonisasi baik secara vertikal dengan
peraturan yang lebih tinggi maupun horizontal dengan peraturan yang sederajat. Kelima,
Penyusun harus melakukan preview sebelum disahkan, terutama dalam melakukan
penilaian dampak yang akan timbul dari UU yang akan disahkan.21
Kesimpulan
Secara garis besar proses pembentukan perundang-undangan dengan konsep
Omnibus Law ini tidak diatur secara jelas didalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2011
tentang pembentukan perundang-undangan. Ini dikarenakan Omnibus Law adalah sebuah
konsep berpikir yang memiliki karakteristik mampu mengubah dan menghapus beberapa
regulasi menjadi satu peraturan yang mampu mencakup seluruh aspek. Meskipun konsep
seperti ini masih baru, seharusnya dalam regulasi pembentukan undang-undang sudah
diatur agar pesan baik yang terdapat pada konsep tersebut mampu dilaksanakan dengan
baik sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru di masyarakat.
Dengan proses pembentukan yang cukup singkat RUU ini mampu lahir dengan
mengganti puluhan undang-undang menjadi satu regulasi yang sejalan. Namun
pencapaian itu tidak diimbangi dengan substansi regulasi yang kita diciptakan seharusnya
mampu mejadi sebuah solusi baru supaya menghindari konflik-konflik yang telah terjadi
selama ini. RUU Cipta Kerja ini masih memiliki banyak kelemahan yang berpotensi
membuat masalah baru di kalangan masyarakat. Masalah ini ada pada perubahan
ketentuan pemberian pesangon pada pasal 89 angka 45 yang merubah ketentuan didalam
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan. Sampai hari ini masih
banyak kasus perusahaan yang melanggar ketentuan pemberian pesangon kepada para
buruh. Secara yuridis perubahan tersebut semakin mempersempit ruang gerak para buruh
untuk memperjuangkan hak-hakya dan memberikan dominasi kaum pengusaha untuk
melakukan eksploitasi terhadap buruh.
21 Antoni Putra, (2020), Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi, Vol 17, No 1 2020,
http://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/602 diakses pada tanggal 28 April 2020
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
75
Pada intinya RUU Cipta Kerja ini merupakan regulasi yang digunakan sebagai
alat oleh pemerintah untuk membangun perekonomian Indonesia menjadi lebih lagi.
Namun seharusnya secara substansi Pemerintah dan DPR jangan sampai melupakan
kepentingan dari para buruh yang notabene adalah rakyat kita sendiri. Namun di sisi lain
juga harus ada cara lain agar mampu menarik minat investor untuk menanamkan modal
nya di Indonesia tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat.
Daftar Pustaka
Asikin, Zainal, (2006), Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Darmodiharjoo, Darji. (2008). Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama.
Leback, Karen, (2015), Teori-Teori Keadilan, Bandung, Nusamedia.
Manan, Bagir, (1997), Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung,
Alumni.
Mertokususmo, Sudikno, (2005), Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta,
Liberty.
Skripsi
Ramadhan, Skripsi, (2016), Pertentangan Terhadap Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terkait Dengan Pembayar
Pesangon Dengan Menggunakan Uang Pensiun Berdasarkan Kepastian
Hukum, Bandung, UNPAS.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Perundang-Undangan
Website
Apa itu Omnibus?, https://pelitaku.sabda.org/node/872
Arham, Suwandi, Omnibus Law Dalam Perspektif Hukum Indonesia, Petitum, Vol 7, No,
2, Oktobober 2019, https://uit.e-journal.id/JPetitum/article/view/652
Aunurrohim, Mohamad, Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia.
dikutip dari http://www.academia.edu.com
Hernawan, Ari, Keberadaan uang pesangon dalam pemutusan hubungan kerja demi
hukum di perusahaan yang sudah menyelenggarakan program jaminan
pensiun, Kerta Patrika, Vol 38, Nomor 1, Januari-April 2016.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/ kerthapatrika/article/view/21530
Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020 ISSN : 2527-6654
76
Menelusuri asal-usul Konsep Omnibus law, https://www.hukumonline.com/ berita/baca/
lt5e2c1e4de971a/ menelusuri-asal-usul- konsep-omnibus-law.
Prabowo, Adhi Setyo, 2020, Politik Hukum Omnibus Law. Jurnal Pamator, Volume 13
No. 1, April, https://journal.trunojoyo.ac.id/pamator/article/view/6991
Putra, Antoni, Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi, Vol 17, No
1 2020, http://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/602
Putri, Sherly Ayuna, Pemutusan Hubungan Kerja pada Badan Usaha Milik Negara:
Studi Kasus Pemutusan Hubungan Kerja di PT. Pelindo II (Persero),
ADHAPER, Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2015, hal 8.
https://jhaper.org/index.php/ JHAPER/article/view/13
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
http://peraturan.go.id/rancangan/uu.html?page=2
RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Untuk Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi,
Biro Humas Hukum dan Kerjasama Kemenkum Ham.
https://www.kemenkumham.go.id/ berita/ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-
kerja-untuk-tingkatkan-pertumbuhan-ekonomi
Wahyudin, Achmad Teguh, Konsep Implementasi Omnibus Law Pada Sistem
Perundang-Undangan, makalah ini dapat diakses di:
https://www.academia.edu/41537217/ Makalah_Omnibus_Law