jurnal penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

117
Jurnal Penelitian \s\ u ru Vol.2, No. 1, 2005 i Kritik atas Determinisme dalam Model Transisi Demokrasi • Comparison of The Political Perceptions Between Radical Islam and Moderate Islam in Indonesia in The Reform Era • Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia Politik Luar Negeri Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Eropa • Diplomasi Belanda dan Indonesia dalam Sengketa Irian Barat, 1949-1950: Sebuah Kajian Historis • Konflik Elite Politik di Pedesaan: Relasi antara Badan Perwakilan Desa dan Pemerintah Desa • Sikap Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: lllegal Logging di Kalbar dan Kaltim Dinamika Minoritas Muslim di Amerika Serikat REVIEW BUKU Membongkar Keterlibatan Pejabat-pejabat AS dalam Serangan 9/11

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Jurnal Penelitian

\ s \ uruV ol.2, No. 1, 2 0 0 5

i

• Kritik atas Determ inism e dalam Model Transisi Demokrasi• C om parison o f The Political Perceptions Between

Radical Islam and M oderate Islam in Indonesia in The Reform Era

• Pem erin tahan Susilo Bam bang Yudhoyono dan Politik Luar Negeri Indonesia

• Politik Lua r Negeri Pem erin tahan Susilo Bam bang Yudhoyono te rh a d a p Eropa

• D ip lom asi Belanda dan Indonesiada lam Sengketa Irian Barat, 1949-1950 : Sebuah Kajian Historis

• Konflik Elite Politik di Pedesaan:Relasi a n ta ra Badan Perwakilan Desa dan Pem erintah Desa

• Sikap Indonesia da lam M enghadap i Kejahatan Lintas Negara: llle g a l Lo g g ing di Ka lbar dan Kaltim

• D inam ika M inoritas M uslim di Am erika Serikat

REVIEW BUKUM em bongkar Keterlibatan Pe jabat-pejabat AS dalam Serangan 9/11

Page 2: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Jurnal Penelitian

Vol. 2 No. 1, 2005

DAFTAR ISI

Catatan Redaksi Artikel

• Kritik atas Determinisme dalam Model Transisi DemokrasiNanto Sriyanto

• Comparison of The Political Perceptions Between Radical Islam and Moderate Islam in Indonesia in The Reform Era

Firman Noor• Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Politik

Luar Negeri IndonesiaRatna Shofi Inayati

• Politik Luar Negeri Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Eropa

Agus R. Rahman• Diplomasi Belanda dan Indonesia dalam Sengketa Irian Barat,

1949-1950: Sebuah Kajian HistorisSiswanto

Penelitian• Konflik Elite Politik di Pedesaan: Relasi antara

Badan Perwakilan Desa dan Pemerintah DesaHeru Cahyono

• Sikap Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: Illegal Logging di Kalbar dan Kaltim

Awani Irewati• Dinamika Minoritas Muslim di Amerika Serikat

Indriana KartiniReview Buku

• Membongkar Keterlibatan Pejabat-Pejabat AS dalam Serangan 9/11

Rosita Dewi

1

3-11

13-33

35-49

51-64

65-72

73-84

85-96

97-107

109-116

Tentang Penulis 117

Page 3: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Catatan redaksiDalam sejarah kehidupan berbangsa, rakyat Indonesia untuk pertama kali memiliki seorang

pemimpin (baca: presiden) hasil pilihannya sendiri. Terlepas apapun kelemahan telah mengiringi prosesi pemilu presiden 2004 lalu, yang pasti dari kalkulasi berdemokrasi hal itu tetap merupakan peristiwa fenomenal yang patut dihargai. Pilpres berlangsung lancar dan aman. Gewaltpolitik (kekerasan politik) berhasil diminimalisir, kendati sulit “dinihilkan” . Setidaknya, prosesi pilpres berlangsung jauh dari karakter politik berdarah seperti biasa dialami India, yang selama ini disebut-sebut sebagai contoh negara paling demokratis di antara negara-negara berkembang.

Fakta positif tadi menandakan betapa massa akar rumput (grass root) kehidupan politik Indonesia sebenarnya telah mampu berdemokrasi. Justru, para elit politik yang tampaknya masih harus banyak belajar untuk bukan sekedar memahami, tetapi yang lebih penting adalah mengamalkan, ajaran-ajaran berdemokrasi.

Masyarakat kini tinggal menanti bukti implementasi janji-janji presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selam a kam panye seolah akan mampu mengurai benang kusut problematika bangsa. Setumpuk persoalan harus segera mendapat penanganan serius dari pemerintahan SBY, mulai dari korupsi yang sudah sangat membudaya, illegal logging yang sangat akut, sampai pada persoalan penegakan kembali harkat bangsa dalam konstelasi politik internasional yang sempat mengalami “keterpurukan” .

Memang, tidak fair untuk menilai profil politik pemerintahan SBY dalam waktu kurang dari 1 tahun apatah 100 hari kerja. Apalagi berbagai bencana alam silih berganti, “mengganggu” konsentrasi kerja pemerintahan baru ini. Namun, realitas ini tak lantas dapat dijadikan alasan pengabsah (raison d ’etre) untuk mentolerir pemerintahan SBY untuk tampil “sekedarnya”.

Masyarakat punya harapan besar pada pemerintahan SBY, karena : (1). SBY telah sedemikian mempesona dalam menebarkan janji selama kampanye seolah ia adalah satrio piningit yang sengaja hadir di gelanggang politik Indonesia yang carut marut, untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan akut yang dialami negara, (2). SBY telah diberi legitimasi kuat oleh rakyat untuk melakukan gebrakan politik dalam membangun negara. Dengan modal legitimasi tadi, maka tak ada alasan bagi SBY untuk ragu dalam menggelontorkan political will nya guna mengayunkan langkah-langkah reformasi di berbagai sektor negara, terutama pada sektor yang selama ini mengalami kemandegan atau bahkan mengalami pembusukan politik (political decay).

“Apa dan bagaimana” tampilan politik pemerintahan SBY menjadi sorotan utama Jurnal Penelitian Politik - LIPI edisi ini, terutama tentang perspektif kebijakan luar negeri pemerintahan SBY. Kendati thema luar negeri sengaja ditonjolkan, namun isu-isu strategis dalam negeri tetap pula diberi bobot signifikan. Eksistensi Badan Perwakilan Desa (BPD) yang justru sangat problematik bagi pengembangan kehidupan demokrasi pada level desa misalnya, dikupas dalam edisi ini. Isu illegal logging yang sangat akut di wilayah perbatasan, dan saat ini sedang ditangani secara serius oleh negara, juga dibahas. Kedua thema tulisan tersebut bahkan diangkat dari penelitian empiris di lapangan oleh para peneliti P2P LIPI. Politik Islam, sebagai isu yang senantiasa menarik untuk diwacanakan, dijadikan pula sebagai obyek diskursus kali ini. Isu Islam radikal dan Islam moderat dalam tataran nasional didiskusikan, bahkan merambah pula isu problematika Islam dalam konstelasi politik internasional, khususnya dengan Amerika Serikat.

Redaksi berharap hadirnya tema-tema menarik dalam edisi ini, memberi kontribusi signifikan bagi pengembangan wacana ilmiah dalam perpolitikan kita. Semoga. RED A K SI

1

Page 4: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

K ritik atas Determ inism e dalam M odel Transisi Dem okrasi

Oleh:Nanto Sriyanto

Abstract

Democratization has spilled over to many new transitional countries. Democratization is a model firstly stated by Rustow in 1970’s to distinguish it from democracy. The Model assumes that genesis andfunction of democracy is different. The model emphasizes dynamic role o f strategic actors or elite topromote democratization through bargaining process. Since then, the model has been modified with some ad hoc argument takenfrom new evidences. Since the model only give emphasize to dynamic role of strategic actors, it has produce deterministic conclusion. The determinism ofthe model is caused by disregard of structural and non-political factor. Ifthe model is deterministic, can the liberal democracy that taken as ideal purpose ofdemocratic transition unbounded from determinism ofthe model? Is there another model of democracy that contains local aspect ofmany transition States?

Perubahan rejim di Eropa Timur telah banyak disebut sebagai sebuah kemenangan bagi demokrasi dan kebebasan. Antusiasme akan “demokrasi dan kebebasan” sedemikian besar hingga Fukuyama menyebutnya akhir dari sebuah sejarah dengan demokrasi liberal sebagai model tanpa tanding bagi peijalanan demokrasi Namun fakta hanya sedikitnya negara yang “berhasil” dalam transisi hakikatnya memberi jawaban bahwa perubahan itu bukanlah bukti kemenangan. Sejumlah negara yang telah meninggalkan bentuk otoritarianisme ternyata masih jauh dari sebuah demokrasi, bahkan tanda-tanda surutnya demokrasi kembali ke bentuk otorititer masih terbuka.

Perkembangan tersebut menimbulkan kesangsian dari para pengamat akan muara dari kondisi yang masih jauh dari cerah ini. Jumlah negara yang memulai demokratisasi memang mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut masih dibarengi dengan kemandegan di beberapa kasus. Dasawarsa 90-an ditandai dengan gelombang perubahan rejim di Eropa

1 Francis Fukyama, “The End of History” , The National Interest no. 16 (1989), 3-18

Timur ditangkap secara positif sebagai bagian dari ge lom bang dem okrasi yang te lah b e rla n g su n g se jak d asaw arsa 70 -an . G elom bang tersebut kini berada pada titik susut ketika kemandegan, bahkan kemunduran, ke arah rejim otoriter kembali terjadi.

Fenomena transisi menuju demokrasi ini dianggap sebagai sebuah rangkaian panjang yang telah terjadi dengan diawali perubahan sistem otoritarianisme di Eropa Selatan (Spanyol dan Portugal), Amerika Selatan, Amerika Tengah, hingga AsiaTimur. Bila pada gelombang terdahulu fak to r dom estik begitu berperan , m aka perubahan yang terjadi di Eropa Timur dan kem udian ju g a berim bas ke Indo n esia merupakan sebuah bentuk baru dengan melihat besarnya pengaruh ekonomi politik internasional dalam perubahan rejim. Gelombang gerakan demokrasi yang mengubah rejim otoriter di berbagai belahan bumi berlangsung dalam rentang waktu yang panjang seiring dengan kemunculan sebuah model analisa transisi menuju demokrasi.

Perbedaan rentang waktu dengan segala kondisi aktual yang berbeda membuat sebuah kacamata analisa yang dikandung paradigma

3

Page 5: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

transisi demokrasi perlu untuk dikaji sesuai dengan perkembangan terkini. Kehancuran sistem ekonomi politik komunis yang membuat negara-negara Barat “mengekspor” demokrasi mendorong semakin meluasnya demokratisasi di berbagai belahan dunia. Upaya negara-negara Barat untuk menyebarluaskan demokratisasi tersebut diiringi dengan mengedepankan model demokrasi liberal sebagai model politik dan dibarengi dengan pengaitan bantuan ekonomi. Kapitalisme yang dikembangkan di negara- negara transisi diasumsikan akan menjadi faktor penekan bagi kembalinya sistem otoriterianisme dengan adanya tingkat kompetisi dan distribusi kemakmuran yang diatur oleh pasar. Pada kondisi demikian keterkaitan antara demokrasi dan ekonomi (kapitalisme) menjadi sebuah bagian dari rekayasa yang diterapkan di negara- negara yang tergolong dalam kelompok negara transisi. Faktor eksternal yang pada awal kemunculannya masih belum diperhatikan perlu ditempatkan lebih jelas sebagai faktor pendorong demokratisasi di era sekarang.

Selain faktor ekonomi, faktor kultural turut diperhatikan dalam pengembangan demokrasi pada era pergantian milenium. Kondisi kultural yang khas di masing-masing negara menjadi sebuah pertanyaan apakah kebudayaan dapat menjadi sebuah pendorong atau penghambat berkembangnya demokrasi. Meski relativisme budaya pernah menjadi sebuah sanggahan bagi u n iversa litas dem okrasi lib e ra l dengan mencuatnya model demokrasi dengan latar nilai A sia (Asian Values) seperti yang pernah dikemukakan oleh negara di Asia Timur (dan juga Indonesia), pertanyaan tentang sejauh mana perim bangan loka litas dem okrasi perlu dikembangkan menjadi sebuah titik penting bagi perkembangan demokrasi di berbagai negara yang sedang mengalami transisi. Lokalitas yang berlaku khas di suatu negara mendorong sebuah pertanyaan atas model demokrasi yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan negara yang sedang m engalam i transisi. Hal ini

merupakan kritik eksternal bagi determinisme model demokrasi liberal yang diajukan oleh negara Barat.

Di samping faktor-faktor di atas yang tergolong sebagai kondisi mutakhir dan model lain dari demokrasi yang layak dikembangkan di negara transisi yang berguna dalam m em pertanyakan m odel transisi m enuju demokrasi, perlu diajukan kritik internal atas model tersebut. Kompatibilitas konsep model transisi m enuju dem okrasi perlu dikritisi fungsionalitasnya dalam m em otret arah perubahan rejim. Apakah kecenderungan pola yang diajukan telah sedemikian tepat atau perlu dilihat kem ungkinan perubahan arah dan kecenderungan lain yang mungkin berlaku. Termasuk di dalamnya konsekwensi kesimpulan dari model transisi menuju demokrasi yang menekankan pada dinamika politik dengan mengabaikan faktor struktural dan non-politik.

Ketiga hal di atas - kondisi mutakhir, kritik eksternal dan kritik internal- akan menjadi kajian yang mendasari uraian dalam tulisan ini. Dengan menimbang ketiga hal tersebut dapat dilihat aktualitas model transisi demokrasi terhadap p erk em b an g an zam an , k e ta jam an dan kelemahan dari konsep utama model transisi demokrasi serta kecenderungan dari arah proses yang te rjad i dan m odel yang d ap a t dikembangkan.

Pembabakan tulisan ini diawali dengan menguraikan sejarah kemunculan model transisi menuju demokrasi; bagian ini akan menguraikan bagaimana latar waktu kemunculan model ini berhubungan dengan konsep yang diajukan. Berlanjut pada bagian tentang perkembangan kondisi dunia dan penerapan model transisi menuju demokrasi pada kisaran pergantian milenium serta kompatibilitas konsep yang d ikandung oleh m odel transisi m enuju demokrasi. Pada bagian akhir mencari bentuk demokrasi yang menjadi sandaran dengan melihat pada kemungkinan yang terpetakan dari kritik atas model transisi menuju demokrasi.

4

Page 6: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Transisi Menuju Demokrasi:Dari Rustow hingga O’Donnell

Wacana “Transisi menuju Demokrasi” dimulai pada awal dekade 1970-an dengan kemunculan artikel Dankwart A. Rustow yang beijudul, “Transitions to Democracy: Toward a Dynamic Model,” dalam jurnal Comparative Politics edisi A pril 1970. Perm asalahan demokrasi dan demokratisasi mencuat dengan adanya perkembangan marksisme di Afrika, ke terliba tan m ilite r dalam p o litik , dan kemunculan kelompok kepentingan di Uni Soviet. Artikel tersebut mencoba menjawab pemecahan permasalahan tersebut dengan pendekatan analitik dan teoritis sebagai alternatif kegamangan kebijakan dan literatur yang ada.2

Asumsi yang berkembang dalam literatur saat itu adalah kesamaan antara faktor pendorong demokrasi dengan faktor yang mendukung kelangsungan demokrasi. Koreksi Rustow adalah dengan mengajukan asumsi bahwa faktor yang menciptakan stabilitas demokrasi berbeda dengan faktor yang mendorong terciptanya demokrasi. Rustow m erasum si,: “the f actors that keep a democracy stable may not be the ones that brought it into existence; explanations o f democracy must distinguish between function and genesis. ” H al ini memberikan sebuah bidang kajian yang berbeda antara demokrasi dengan transisi demokrasi. Analisa transisi demokrasi yang diajukan Rustow menekankan pada tawar-menawar aktor strategis dalam dinamika proses perubahan bukan pada stabilitas dan pelaksanaan fungsi lembaga demokrasi. Dalam skema dem ikian pusat pengamatan adalah terbukanya ruang konflik kekerasan dan persaingan sekaligur perebutan kekuasaan, dan pilihan yang dimiliki oleh aktor politik yang mempunyai kekuatan menentukan arah demokratisasi di sebuah negara yang mengalami transisi.3

2 Lisa Anderson, “Introduction”, dalam Lisa Anderson (ed.), Transitions to Democracy, (Columbia University Press, 1999, http://www.ciaonet.org/book/anderson/ anderson01.html, 10 May 2004)

3 ibid

Kondisi yang berkembang di negara kajian pada tahun 1970-an masih jauh dari pra­kondisi bagi demokratisasi yang mencakup adanya sistem ekonom i dan sosial yang kondusif. Masih rendahnya taraf kemakmuran dengan indikasi pendapatan perkapita dan tingkat pendidikan sebagai bentuk kesadaran politik m endorong Rustow m engabaikan prakondisi dan lebih menekankan pada satu latar belakang yang dinilai olehnya terdapat di banyak negara pra-dem okrasi: kesatuan nasional (national unity). F ak to r te rseb u t yang merupakan dukungan warga negara pada satu bentuk komunitas politik, yang menurut Rustow, dapat menghasilkan perseteruan yang berujung kompromi atas lembaga politik. Perseteruan tersebut akan berbeda dengan perang saudara. Bentuk perseteruan tersebut yang diajukan sebagai model demokrasi di negara pra-modem, pra-nasionalisme dan tingkat ekonomi yang rendah.

Pada tahap pertama, yang disebut dengan tahap persiapan (prepatory phase) perseteruan akan mendahului terbentuknya kompromi dalam w adah lem baga dem okratis. K elom pok pendukung demokrasi harus menjadi pelindung bagi kekuatan sosial yang berseteru (battle) dalam medan yang luas dan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Perseteruan tersebut mencakup medan budaya, kelas sosial, etnis dan agama. Tahap persiapan dapat berlangsung meski dengan adanya keragaman kondisi struktur sosial di negara pra-dem okrasi. Keragaman kondisi sosial menurut Rustow tidak signifikan sebagai faktor terjadinya tahap persiapan.

Kelanjutan tahap persiapan adalah sebuah kondisi kebuntuan (stalemate) yang terjadi karena elit yang berkuasa kelelahan oleh perseteruan yang berlangsung. Pihak elit tidak memiliki pilihan lain bahwa kepentingan mereka sebaiknya dikompromikan melalui perwujudan lembaga demokrasi dibandingkan melanjutkan perseteruan. Kemunculan demokrasi tidak terjadi serta-merta dengan usainya tahap latar belakang dan persiapan, kemunculan baru teijadi

5

Page 7: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

pada tahap penentuan. Pada tahap penentuan yang menjadi faktor utama bukanlah faktor struktural dan kultural, Rustow lebih menlai faktor pilihan, persepsi, kecederungan, dan keterampilan tawar-menawar indvidual di antara elit politik sebagai faktor penting bagi lahirnya demokrasi. Penilaian Rustow tersebut diikuti oleh banyak pihak dari kalangan akademisi dan praktisi dengan menitikberatkan analisa pada pilihan, kecenderungan dan tawar-menawar dibandingkan hambatan, kepentingan, dan perjuangan kelas. Tahap selanjutnya adalah konsolidasi demokrasi yang disebut oleh Rustow dengan habituation phase. K onsolidasi berlangsung dengan adanya komitmen dan kepercayaan pada prosedur demokrasi namun juga berkat adanya dukungan luas dari warga negara yang telah menyatu dengan struktur demokrasi yang sedang terbentuk. Pada tahap ini pula berlaku fak tor struktural dalam mendukung proses integrasi seluruh komponen bangsa dalam demokrasi baru. Pada tahap ini konsolidasi tidak hanya melibatkan peranan elit namun mencakup seluruh komponen bangsa hingga lapisan massa.

M odel R ustow in i kem u d ian dikembangkan oleh Gulermo O ’Donnell dkk. dengan titik berat yang sam a pada pola perkembangan transisional.4 Perbedaan dari model yang dikembangkan oleh O ’Donnell adalah upaya menjadikan demokrasi bukan sebuah determinan dari sebuah perubahan dari rejim otoritarian. O ’Donnell melihat sebuah peluang surutnya demokratisasi ke bentuk otori teri ani sme baru dalam bentuk yang d iseb u tn y a sebagai democraduras dan dictablandas. P ad a b en tu k re jim democraduras terjadi sebuah pemerintahan yang buruk dengan masih m engandalkan pem ilihan um um sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi namun terdapat alienasi

“Guillermo O’Donnell, Philippe Schimiter, and Laurence Whitehead (eds.), Transition from Authoritarian Rule (Baltimore: John Hopkins University Press, 1986)

massa yang dibentuk oleh penguasa. Pada rejim democraduras O ’D o n n ell m asih m en g an g g ap n y a sebagai b en tu k re jim demokratis, sedangkan rejim dictablandas, dengan ciri sebuah legitimasi dari pemilihan umum yang cacat dan pembatasan kebebasan politik, O ’Donnel menyebutnya sebagai sebuah rejim yang tidak dem okratis. O ’D onnell dkk. menekankan pentingnya legimasi rejim melalui pemilihan umum.

P em ilihan um um yang m enjam in kebebasan politik meski dilakukan dalam sebuah rejim abu-abu akan dapat menjadi sebuah langkah lepas dari kungkungan rejim otoriter.5 Pemilihan umum yang tetap menjamin kebebasan politik merupakan sebuah langkah pragmatis dalam mencegah rejim otoriter untuk kembali b e rk u asa dan m en jag a k e lan g su n g an p erk em b an g an re jim ab u -ab u ke arah demokratisasi.

Model yang diajukan O ’Donnell masih m e lan ju tk an m odel R ustow dengan mengabaikan faktor struktural. Dengan alasan bahwa perkembangan literatur yang menjadi landasan modelnya tidak mencakup faktor non­politik sehingga modelnya terkesan hanya m enekankan aspek p o litik dari sebuah perubahan rejim. Sementara mengenai faktor ekonomi dalam perubahan rejim O ’Donnel mengutip penelitian Adam Przeworski yang menyatakan rendahnya korelasi antara faktor ekonomi dalam proses demokratisasi. Faktor ekonom i te rliha t sign ifikan pada upaya mempertahankan kelangsungan demokrasi.6

Meski O ’Donnell mengacu pada arah perubahan rejim pasca runtuhnya rejim otoriter yang dianggapnya berbeda dengan model transisi yang dikem ukakan oleh Rustow. Kesamaan yang jelas nampak pada upaya memetakan tahapan perubahan rejim dengan

5 Guillerm o O ’D onnell, “In Partial D efense o f an Evanescent ‘Paradigm’”, (Journal of Democracy, Vol. 12 No. 3, Juli 2002), hal. 9

6 Przeworski dalam O’Donnell, ibid, hal. 10

6

Page 8: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

sedikit perbedaan pada upaya O ’Donnell untuk lepas dari determinisme demokrasi. O ’Donnell dkk. yang melakukan penelitian pada waktu sesudah R ustow m enem ukan ad an y a kemungkinan tahapan rejim abu-abu yang bisa menjadi titik balik ke otoritarianime atau titik tolak menuju demokratisasi.

“Transisi Demokrasi” di Ambang Milenium Baru

Perkembangan wacana mengenai transisi demokrasi kembali diulas pada tahun 1999 dengan maksud mengenang jejak yang telah d ilew ati se jak R ustow p e rta m a kali mengeluarkan artikel di Journal o f Democracy. Dalam kompilasi yang dieditori oleh Lisa Anderson dalam buku yang beijudul ‘Transitions to Democracy” diulas kembali aktualitas dari teori tentang perubahan rejim.7

Ulasan yang diberikan masih mengacu pada d in am ik a p e ru b ah an re jim yang menekankan pada pilihan, kecenderungan dan tindakan elit dengan juga membuka hubungan elit dengan massa. Titik tolak yang menekankan dinamika seperti yang dilakukan oleh Rustow ini masih juga melanjutkan tradisi yang menafikan faktor struktural dalam proses perubahan rejim.

Analisa yang menekankan pada tawar- menawar antar elit dalam sebuah bingkai kelembagaan transisional menjadi salah satu faktor yang disoroti. Peran hubungan antara elit dengan massa dalam bentuk dukungan populis ju g a d ilih a t sebagai fak to r yang dapat menurunkan peluang pembentukan demokrasi. Meski di sisi lain, dukungan luas dari massa akan dapat meningkatkan posisi tawar bagi elit dalam menghadapi kelompok status quo.

Faktor struktural yang dimunculkan oleh R ustow pada tah ap k o n so lid a s i ju g a dikemukakan kembali sebagai faktor yang berperan * Faktor struktural dapat mejadi penghambat bagi perluasan demokrasi liberal

kepada bentuk pelembagan demokrasi sosial atau yang lebih bersifat partisipatoris. Faktor ekonomi kapitalis disimpulkan sebagai faktor yang mendukung demokratisasi dengan melihat pengaruh konfigurasi kekuatan internasional. Globalisasi dan kapitalisme internasional menjadi salah satu pendorong penyebarluasan demokrasi liberal dan menurunkan kecenderungan negara untuk mengadopsi model demokrasi sosial. B erhubungan dengan globalisasi, terkait peng aru h e lit yang b e rk u asa te rh ad ap keberhasilan demokratisasi. Kelompok elit yang berkuasa dapat menjadi faktor yang lebih determinan dibandingkan perubahan yang berlangsung dari bawah. Hal tersebut terkait dengan keberadaan faktor eksternal sebagai pengontrol dan pendorong elit yang berkuasa. Faktor eksternal tersebut antara lain dukungan in te rn a s io n a l dan e fek b e ran ta i dari perkembangan demokrasi di kawasan tertentu.

Pencetusan kembali model transisi di pergantian milenium ini juga menyoroti tahap abu- abu. Bentuk demokrasi virtual yang mengacu pada dem okratisasi di daerah sub-sahara merupakan temuan bagi kondisi abu-abu. Proses demokratisasi di wilayah tersebut terkait dengan perubahan konfigurasi kekuatan internasional dan perubahan sikap elit yang berkuasa di wilayah itu untuk mendapatkan patron baru. Guna mencapai tujuan tersebut elit yang berkuasa dengan serta m erta m elakukan perubahan yang terkesan sesuai dengan demokratisasi yang diharapkan negara donor. Pada kenyataan yang terjadi, sebuah proses penghisapan kemakmuran baik dari sumber domestik maupun internasional yang dilakukan oleh e lit yang berkuasa yang jau h dan akuntabilitas.

Faktor yang kemunculannya baru dalam tradisi model transisi adalah faktor negara. Peranan negara dalam transisi demokrasi teijalin dalam hubungan kompleks dalam sebuah penentuan bentuk peranan negara yang perlu direposisi dalam konteks perubahan rejim. Dalam kasus yang terjadi di Eropa Timur, peranan negara yang sedemikian besar pada era

7 Lisa Anderson (ed.), Transitions to Democracy, (Columbia University Press, 1999, http://www.ciaonet.org/book/ anderson/andersonOl.html, 10 May 2004)

7

Page 9: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

rejim komunis perlu direposisi sedemikian rupa sehingga menempati posisi yang jauh lebih minimal dalam mengantisipasi pembahan rejim ke arah yang lebih demokratis. Kondisi ini menimbulkan sebuah biaya pembahan yang tidak sedikit yang terkait dengan dukungan massa kepada elit. Pada titik ini reposisi peran negara juga m emunculkan kem ungkinan transisi demokrasi di antara varian negara lemah dan negara kuat.

Determinisme dalam Dinamika & Pengabaian Faktor Struktural:Kritik Internal

M odel tra n s is i d em o k rasi se jak dicetuskan oleh Rustow (1970), dengan kelanjutan pada O ’Donnell dkk. (eds.) (1986) hingga A nderson (eds.) (1999) m em iliki kecendemngan konsentrasi dinamika politik pada tarik-ulur kepentingan diantara elit dengan massa sebagai alat legitimasi. Tarik-ulur yang dalam istilah Rustow disebutkan dengan battle yang berujung bila telah dicapai kelelahan di antara elit yang pro status quo dengan elit yang mewakili dukungan massa. Upaya model untuk memetakan tahapan demokrasi berlangsung dari sebuah langkah deterministik pada model transisi Rustow dengan menegaskan demokrasi adalah sebuah solusi yang mungkin dari proses chaotic yang “wajar” terjadi dalam transisi rejim. Koreksi atas determinisme berlanjut pada upaya O’Donnell untuk membuka peluang bagi adanya kecenderungan proses demokratisasi untuk mengalami stagnansi atau berbalik arah ke bentuk o to rite r ia n ism e . A n d erso n kem ud ian menegaskan peran negara yang selama ini diabaikan dalam model transisi, yang bahkan O’Donnell luput memperhitungkan kemungkinan variasi negara kuat-lemah dalam proses transisi rejim. Pada model transisi rejim O ’Donnell, transisi rejim diasumsikan terjadi ditengah berfungsinya tugas negara, bukan pada negara yang gagal (failedStates).

Namun, dari beberapa kasus seperti yang terjadi di Indonesia, transisi diawali dengan

melemahnya fungsi negara (elit yang berkuasa) yang kemudian dilanjutkan dengan upaya oposisi untuk menggoyahkan posisi elit yang berkuasa ditengah semakin lemahnya fungsi negara. Bila di Indonesia penurunan peran negara kemudian di pilih untuk melakukan perubahan dari rejim otoriter, yang sebaliknya teijadi di negara Eropa Tengah dan Timur. Di negara-negara yang sebelumnya kekuasaan negara begitu besar hingga merambah hingga ke berbagai sendi kehidupan pribadi warga negara, upaya untuk mereposisi peran negara dengan menurunkan peran birokrat menjadi dilematis. Penurunan peran birokratis akan meningkatkan social cost yang ditanggung oleh massa. Pada kondisi seperti ini terdapat kesempatan elit konservatif untuk menuai perhatian massa dengan mengritik upaya penurunan peran birokrat.

Anderson dkk. juga melihat konstelasi kekuatan internasional sebagai sebuah faktor yang tidak bisa diabaikan. Tidak lepas dari perkem bangan dunia pasca bangkrutnya komunisme, negara Blok Barat mengedepankan demokrasi liberal sebagai model ideal dalam proses transisi rejim. Semangat mengekspor demokrasi liberal yang dilekatkan pada model transisi memberi peluang model yang seharusnya “ilm iah” kem bali te rjebak pada sebuah determinisme dengan menempatkan demokrasi liberal sebagai satu-satunya model.

Hal ini bisa dikaitkan dengan keberadaan “democratic peace thesis” dalam kajian hubungan internasional yang menjadi program penelitian banyak ilmuwan di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Asumsi dari “democratic peace thesis ” yakni peluang pecahnya perang di antara sesama negara demokratis lebih kecil dibandingkan peluang teijadinya perang diantara negara demokrasi dengan negara non-demokrasi a taupun negara non -dem okrasi dengan sesamanya. Thesis yang berakar dari pemikiran Imanuel Kant ini mendapat tempat luas sesudah bencana dua perang dunia dalam rentang waktu singkat di awal abad 20. Trauma atas perang mendorong sejumlah kelompok ilmuwan untuk

8

Page 10: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

mendorong penyebarluasan demokrasi dan pertambahan jumlah negara demokrasi demi mencegah perang dunia yang lebih parah akibatnya. Berdasarkan thesis tersebut kecil peluang bersandingnya negara demokrasi dengan negara non-demokrasi secara damai. Di sisi lain, model demokrasi yang dikembangkan masih terbatas pada pengalaman barat dalam berpolitik sehingga idealisasi demokrasi liberal menjadi kabur.

Sejum lah determ inasi yang terjadi sesungguhnya kontradiktif dengan penekanan pada dinamika elit sejak model Rustow yang berlanjut hingga Anderson. Sebuah analisa yang berpegang pada proses dinamika dan aktor seharusnya memberi peluang bagi terbukanya probabilitas yang jauh lebih variatif dibandingkan sebuah analisa strutural yang mengasumsikan berlakunya sebuah “aturan permainan” bagi aktor. Kontradiksi tersebut adalah sebuah determinisme yang terjadi pada sebuah analisa yang berpusat pada agen, sedangkan yang lazim dikritik dengan kecenderungan determinisme adalah analisa yang bersandar pada model struktural.

Pengabaian faktor struktural seperti yang disinggung di beberapa poin diatas jutsru m enim bulkan kelem ahan m odel dengan munculnya faktor-faktor ad-hoc yang cenderung terabaikan. Peranan faktor negara yang baru dikemukakan pada model Anderson merupakan salah satunya. Penekanan peranan elit dan pengabaian kem ungk inan te rb u k an n y a preferensi elit dengan mengandaikan adanya demokrasi sebagai tujuan- pada model rustow terutama- menjadi salah satu sebab terabaikan peluang terciptanya kondisi abu-abu.

Tak bisa diabaikan model transisi memiliki kegunaan praktis dengan melihat dinamika elit sebagai penentu arah perkembangan rejim dalam sebuah negara. Namun m enem patkannya sebagai sandaran saran kebijakan dengan hanya menekankan aspek perebutan kekuasan dalam wilayah yang luas dan waktu yang tidak terkirakan hanya akan menimbulkan sebuah

anarki dalam ranah politik domestik yang semestinya berlangsung untuk mengacu pada pembentukan legitimasi dan akuntabilitas.

M odel D em okrasi dengan B erbagai Kemungkinan Model Ideal:Sebuah Pertanyaan

Demokrasi memiliki banyak wajah seiring dengan berkem bangnya ide akan sebuah hubungan antara kebebasan dan ketertiban dalam sebuah komunitas bersama. Tarik ulur antara kebebasan invidu dengan kekuatan negara telah lama menjadi sorotan. Pada zaman Yunani Kuno ketika kekuatan massa begitu besar hingga menyebabkan negara tersudutkan dengan kewenangan yang semakin terbatas. Kondisi tersebut terjadi karena lemahnya moralitas dan kepemimpinan yang menggusarkan Plato untuk mengajukan model lain.8 Jika pada zaman yang menurut para sejarawan dianggap sebagai zaman tempat demokrasi pertama kali diidealisasikan sebagai model pemerintahan telah mendapat kritik maka di zaman ini pun perlu upaya kritis dalam m entukan titik temu kebebasan dan ketertiban dalam sebuah negara.

Kondisi Indonesia pada tahun 2004 m enurut penelitian yang dilakukan oleh lembaga Demos bisa menjadi sebuah potret dari belum dicapainya titik tem u antara kebebasan dan ketertiban dalam sebuah negara. Kondisi kebebasan sipil dan politik relatif lebih tinggi dan terjamin dibandingkan era terdahulu. Peningkatan pencapaian aspek esensial demokrasi tersebut tidak dibarengi dengan keberhasilan dalam pem bentukan aspek instrumental demokrasi. Masalah hak- hak sosial-ekonomi warga negara, kontrol p em erin ta h an s ip il te rh a d ap m ilite r, perlindungan hak anak, pemerintahan yang bersih, pem berantasan korupsi dan partai politik yang bersuara demi konstituen masih menjadi “hutang” dalam sebuah kerja besar demokrastisasi di Indonesia. Sehingga bila d em o k rasi d ik a itk an d engan m asalah

Georg Sorensen, Democracy and Democratization, (Colorado: Westview Press, 1993), hal. 2

9

Page 11: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

harmonisasi kebebasan dan ketertiban maka hal tersebut, menurut hasil penelitian Demos, m enegaskan bahw a d em o k rasi dan dem okratisasi bukan m erupakan sem ata persoalan liberalisasi politik.9

Demokrasi telah berkembang sedemikian mpa sehingga tidak lagi bisa berdiri tanpa sebuah ajektifa menemaninya untuk dapat menegaskan sosok dirinya. Namun, menyandangkan sebuah liberalisme sebagai satu-satunya ajektifa yang layak tentu sebuah penafian bagi keluasan demokrasi dan keragaman yang seharusnya dikandung dalam sebuah model demokrasi. T erm asuk da lam k e rag am an adalah kemungkinan pengembangan sebuah model dengan variasi antara kebebasan individu dan kewenangan negara dengan menekankan pada budaya setempat. Eksperimen instrumentalisasi nilai esensial dari demokrasi yang dikandung oleh budaya lokal dapat menjadi sebuah awal dari penemuan demokrasi dengan wajah lokal di berbagai belahan dunia.

Perkembangan demokrasi juga tidak bisa diabaikan dari faktor ekonomi dan budaya. K ondisi ketertinggalan ekonom i negara berkembang yang berujung pada lemahnya kotrol massa terhadap elit dikarenakan masih jauh dari mencukupi kebutuhan dasar. Kondisi ini membuat negara-negara berkembang lebih m em enting kan kebutuhan dasar di atas kepentingan perubahan rejim politik.10 Kritik atas model transisi yang disampaikan oleh Thomas Carothers dalam artikel “The End of the Transition Paradigm” antara lain adalah pengabaian model transisi terhadap kondisi khas yang terjadi di masing-masing negara transisi tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada pembentukan dan proses demokratisasi.

D em o k ra tisas i n eg a ra dengan ketertinggalan ekonomi telah menjadi perhatian

9 Majalah Tempo, Lembar Sisipan Demos, 10 Oktober 2004, hal. 60

10 ibid, hal. 11

dengan m u la in y a upay a p en g en tasan ketertinggalan ekonomi sebagai prasyaratbagi demokratisasi. Model Rustow dan O ’Donnell lahir dari sebuah sebuah terobosan dari asumsi prasyarat demokrasi yang terkait dengan faktor sosial dan ekonomi. Dengan mengabaikan untuk sementara, faktor sosial ekonomi tersebut, Rustow mengupayakan pencapaian model politik transisi rejim yang lebih sederhana (parsimony). Namun perkembangan globalisasi dan ekonomi dunia tak dapat lagi mengabaikan peran faktor sosial ekonom i. Sedangkan demokratisasi dengan beragam nilai dasar yang dikandung sehingga berbagai negara dengan beragam bentuk demokrasi dapat bersanding dalam sebuah masyarakat internasional.

Hal tersebut hanya sebuah pertanyaan, sesudah kilas balik betapa transisi yang diandaikan dalam model transisi Rustow dan O ’Donnell terantuk determinisme sempit.

Daftar Pustaka

Anderson (ed.)„ Lisa, 1999, Transitions to Democracy, Columbia University Press, http:// w w w.ci aonet. org/book/anderson/ anderson01.html, 10 May 2004

C aro th e rs , T hom as, 1996, “W hich Democracy?”, http://www.iranian.com/ S e p 9 6 /o p in io n /W h ic h D e m o c ra c y / WhichDemocracy.html, 21 Januari 2005

F ukyam a, F ran c is , 1989, “The E nd of History” , The National Interest no. 16 1989.

G uillerm o O ’D onnell, 2002, “In Partial Defense of an Evanescent ‘Paradigm’”, Journal o f Democracy, Vol. 12 No. 3, Juli 2002

Guillermo O ’Donnell, Philippe Schimiter, and Laurence Whitehead (e d s .) , 1986, Transition from Authoritarian Rule, Baltimore, John Hopkins University Press

10

Page 12: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Haris, Syamsuddin, “Potret Partai dan Masa Depan Demokrasi”, Kompas, Senin, 08 September 2003

Majalah Tempo, Lembar Sisipan Demos, 10 Oktober 2004.

Sorensen, Georg, 1993, Democracy and Democratization, Colorado, Westview Press

Wibowo, I, “MemaafkanDemokrasi? * Sebuah Tanggapan Balik” , Kompas, Kamis, 13 November 2003

11

Page 13: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Comparison of The Political Perceptions Between Radical Islam and Moderate Islam in Indonesia in

The Reform EraOleh:

Firman Noor

Abstrak

Era reformasi telah menjadi saksi bagi munculnya beragam bentuk pemikiran dan aksi politik yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Secara umum aksi dan pemikiran itu diwakili oleh dua model pandangan, yakni pandangan radikal dan moderat. Kalangan radikal, yang dalam tulisan ini diwakili oleh beberapa ormas Islam kontemporer berpandangan bahwa agama Islam memiliki sebuah alternatif yang kongkrit bagi bangsa Indonesia untuk menuju sebuah perubahan, sehingga sudah sepantasnya jika ajaran Islam diaplikasikan secara kaffah (menyeluruh). Sementara kalangan moderat, yang diwakili oleh partai politik Islam, meski secara umum menyetujui bahwa Islam memiliki konsep didalam kehidupan politik, berpandangan bahwa aplikasi yang hendaknya dilakukan harus bersifat kontekstual dengan melihat kenyataan sejarah dan keragaman sosial dan budaya bangsa. Tulisan ini berupaya untuk membedah pemikiran politik kedua kelompok ini dengan mengetengahkan persepsi keduanya seputar masalah peran Islam dalam politik, hubungan syari’ah dan negara, keberadaan Pancasila dan demokrasi.

The collapse o f the New O rder in Indonesia has provided extensive freedom for Muslims to express their political interests. The resurgence of Islam in the Reform era, at a philosophical level, has revived some old discussions about the relations between Islam and politics, including the issues related to Syari’ah Islam (Islamic Law) and an Islamic State.

Meanwhile, in the practical context, such resurgence has also highlighted some interesting facts, one of them being the phenomenon of the revival of the Islamic political parties and the presence of radical Islamic mass organizations which to some extent have some opposite aims.1

Thus, the reform era has been a witness of two models of Islamic political expression which to some extent dominate the political face of Islam in Indonesia. On the one hand, through their political parties, Islamic communities have *

demonstrated their capability to run a democracy by competing peacefully in the elections and parliament, within the framework of the Republic of Indonesia and the spirit of nationalism. On the other hand, some Islamic groups, represented in particular by some new Islamic organizations, conduct d em onstra tions and ac tiv ities , sometimes using violence, while encouraging the idea of the establishment of Syari’ah Islam (.Islamic Law) and an Islamic State. These expressions basically indicate two faces of Islam in the reform era, which not only demonstrates two different methods but also importantly reflects the existence of two kinds of Islamic perceptions.

With regard to such phenomena, this paper will compare political perceptions of political parties and some radical Islamic social organizations. These perceptions mainly are assumed as an important basis for their political statements and actions.

Khamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ortnas Islam Garis Keras di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002), pp.77-78.

13

Page 14: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

There are two main issues that will be discussed: the State and democracy. The reason for observing these issues is simply because these are elements which have become the basis for political thinking on the part of some people or groups. Moreover this paper will observe some Islamic political parties namely Partai Persatuan Pembangunan (United Development Party/ PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (National Awakening Party/PK B), Partai K eadilan Sejahtera, (Prosperous Justice Party/PKS) and Partai Amanat Nasional (National Mandate Party/PAN)2; and some Islamic organizations such as Front Pembela Islam (Islamic Defender Front/FPI), Forum Komunikasi Ahlusunah Wal Jamaah/Lasykar Jihad (Communication Forum ofthe Followers of the Sunnah and the Community of theProphet/FKAWJ and JihadilslamistMilitia/ U ) and Majelis Mujahidin Indonesia (Indonesian Mujahidin Council/MMI).

It is important to note that obviously each political party and Islamic society organization conducts and believes in various visions and specific objectives. However, while there are some differences perspectives and approaches and actually no sorts of media that formally bind all parties or organizations into the specific groups, each new Islamic organization in the national po litical realty to som e extent demonstrates similar actions and opinions, and

2 Some people might reject the existence of PAN and PKB as Islamic Parties but some observers still believe that PKB and PAN can be regarded as Islamic Parties. They use some label for those parties such as “Islamic Pluralist Parties”, “Islamic Spatial Parties”, “Islamic Moderate Parties” or “Islamic Inclusive Parties”. See for example in Greg Fealy, “Islamic Politics: A Rising or Declining Force”, in Damien Kingsbury and Arief Budiman, Indonesia the Uncertain Transition, (Adelaide: Crawford House Publishing). See also Kuntowijoyo, “Peta Politik bagi Umat”, in Deliar Noer, et.al, Mengapa Partai Islam Kalah?, (Jakarta: Alvabet, 1999). M. Arsekal Salim, “Fragmentasi Partai Islam”, Kompas, 26 Juni 1999. Zainal Abidin Amu,op.cit,. Kamarudin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi, (Jakarta: Visi Publishing, 2003), Lili Romli, dissertation, Partai Politik Islam Era Reformasi dan Piagam Jakarta Dalam Sidang Tahunan MPR 2000, (Faculty o f Social and Political Science, Universitas Indonesia, 2001).

this also occurs in the case of political parties. Thus it is possible to categorize them in to two different groups. It is also important to understand that these new Islamic organizations are actually not representing all Islamic organizations in Indonesia. Their existence actually merely represents some similar organizations and even though they are minority, the existence of these groups proves the presence of radical Islam in Indonesia. Moreover, before observing each group, I will first examine some defmitions about radical Islam and moderate Islam.

Radical Islam

In an academic context, the term “Radical Islam” sometimes is expressed in other ways. Some scholars use different terms, for example, “fundam en ta lism ” , “rev iv a lism ” , “neo- revivalism”, “neo-fundamentalism”, “Islamist”, “conservative Islam”3. Meanwhile in Indonesia this group sometime is labeled as “IslamMilitan” (Militant Islam), “Islam formalistik” (Islam Form alistic), “Islam Totalistik” (Islamic Totalistic), “ Islam kanan” (Right Islam ), “F u n d am en ta lism e Is la m ” (Is lam ic Fundam entalism ), “Islam Skriptualisme” , (Islamic Scriptualism), or “Islam Radikal” (Islamic Radical)4 * *. In general these terms are

3 See for example John L. Esposito, The Islamic Threath: Myth or Realityl, (New York: Oxfod University Press, 1992.), Lawrence Davidson, Islamic Fundamentalism, (Connecticut: Greenwood Press, 1998), Robert W Hefner, “Islam in an Era of Nation-States, Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia”, in Robert W. Hefner (ed.), Islam in an Era of Nation-States, (Hawaii: University of Hawaii Press, 1997), pp.3-40. Mansoor Moaddell and Kamran Talattof, eds., Moderate and Fundamentalist Debates in Islam, (New York: Palgrave 2002), see also Oliver Roy, The Failure of Islamic Politics, and Basam Tibbi, The Challenge of Fundamentalism, Jamhari and Jajang Jahroni, (eds.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), Anthony Bubalo and Greg Fealy, Joining the Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia, (Alexandria: Lowy Institute for International Politcy, 2005).

4 Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, in Ulumul Qur’an, No.2Vol. IV, 1993. M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi IslamIndonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), pp.143- 184. Bachtiar Effendy, Islam dan Negara Transformsi

14

Page 15: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

applied to designate new Islamic groups in the contemporary era, from 1960s up to now, which to some extent have different activities and thoughts from the previous Islamic mainstream groups.

The meaning of Islamic radical might show a discrepancy, but even though there is no single definition, principally the tendency to implement uncompromising, literal andextreme approach, in understanding Islam andconducting their ideal, sometimes committed to use violence ways are viewed as common attitudes for the radical. M oreover these groups have a typ ical characteristic and basically attempts to seek a new synthesis of thinking which is basedon Islamic sources and try to find similarity from Islamic history and offer it as an altemative paradigm (dilferent from the West) to be the basis for Islamic communities in creating Islamic institutions (such as govemment, education, social andeconomic institutions)5. In the political context, Fazlur Rahman indicates that radical groups, similar with the moderates, acknowledge the role of Islam in politics. Nevertheless, different to the moderates, these groups are essentially eager to revitalize the existence of the Islamic communities of the past. The radicals regard the historical experience of the Islamic community, mainly at the start of Islam, as the only authoritative condition for Muslims6.

Pemikiran Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1999). Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999). Martin Van Bruinessen, “G enealogies o f Islam ic Radicalism in Post-Soeharto Indonesia”, South EastAsia Research, 10,2, pp. 117-154. Greg Fealy, “Islamic Radicalims in Indonesia: The Faltering Revival?”, in Southeast AsianAffairs 2004, (Singapore: ISEAS, 2004). R William Liddle, “Skriptualisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, in Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan 1999), Barton, Greg, Indonesia ’s Struggle Jemaah Islamiyah and The Soul of Islam, (Sydney: UNSW, 2004).

5 John L. Esposito, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas? (Bandung: Mizan,1994), pp.134-135.

6 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Ganesha, 1984), p. 338.

Meanwhile According to some observers there are at least seven characteristics of this group7 * * *. (1) Believing Islam to be a totalistic, comprehensive and holistic doctrine. This means all dimensions of human life have been arranged in Islam. (2) Their tendency to believe in the integral relations between Islam and the State. (3) Im plem enting literal approaches to understanding Islam and believing in Islamic teachings literally. (4) Considering that the precedent of the era of the Prophet is the best and ideal reference for human kind for all time. (5) Having a strong tendency to promote Islam as an altemative ideology for Western Ideologies (which are regarded by them as destructive theories for the world). In the same context, they also refuse to use Western terms. (6) Regarding the concept of pluralism in a narrow perspective, by considering the Islamic faith as the only key factor that distinguishes Muslims groups from other groups. (7) Fighting for their interests by using Islamic symbols and radicalization.

Based on these characteristics, this group tends to have a pessimistic tendency conceming the political concepts from a Western viewpoint such as nation State and democracy. Meanwhile

7 See for example in Greg Fealy, “Islamic Radicalism inIndonesia: The Faltering Revival?”, in Southeast AsianAffairs 2004, (Singapore: ISEAS, 2004), pp. 4-5. RWilliam Liddle, “Skriptualisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, in Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan 1999). Johannes J.G Jansen, The Dual Nature of Islamic Fundamentalism, (New York: Cornell University Press, 1997). Muhammad Mumtaz Ali, “Nature and C haracteristics o f Modern Islam ic Movements”, in Muhammad Mumtaz Ali, (ed.), Modern Islamic Movements, Models, Problems and Prospects, (Kuala Lumpur: A.S Noordeen, 2000). Zada, op.cit, pp. 87-100. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, M odernisme hingga Post- Modernisme (Jakarta: Paramdina, 1996), pp. 109-110. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina,‘1999), pp.31-33. Jamhari and Jajang Jahroni, (eds.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), pp.30-31.

15

Page 16: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

due to their literal approach in understanding Islam and their tendency to emphasize Islamic symbols (in line with their ideal to make Islam as an altemative ideology), radicals tend use Islamic idioms in their ideas and actions, including the idea of creating an Islamic State.

Meanwhile in an Indonesian context the emergence of these groups actually are based on two reasons8. Firstly there is an internal reason (from inside the Muslim communities). The emergence of radicals is actually an expression of disappointment toward the current Muslim communities’ way of life, which in the radicals’ opinion, has deviated from Islamic teachings. Secondly is an extemal factor. The presence of the Islamic radical groups is also a response to the existence of the secular regime and “the Western occupation”, which in their opinion has created injustice for Muslims and harmed their interests. In the reform era some of the new Islamic organizations in Indonesia today can be categorized in this group, including FPI, Laskar Jihad, JI and MM39.

Moderate Islam

In general, Islamic moderate can be regarded as Muslims who conduct an attitude and a perspective that eagerly strive to implement every aspect of Islamic teachings in Al-Qur’an and Sunnah adjusting to new developments of human civilization10. In the political context, Rahman indicates that moderate Islam can be regarded as the way of thinking which basically supports the idea of Islam as a social neligion. This means the moderates believe that Islam is more than just a “private religion”

8 Fealy, op.cit.,p3. Zada, op.cit, p.95-97 .9 About the explanations for each organizations see S

Yunanto, Yunanto, S, et.al, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, (Jakarta: The Ridep Institute-Friedrich-Ebert-Stiftung, 2002). See also Fealy, op.cit. pp.8-13

10 Anwar Harjono, dkk, “M. Natsir, Sumbangan dan Pemikirannya untuk Indonesia”, dalam Media Dakwah, 1416H/1995, pp.110-111.

which has no relation with social problems. Accordingly, in the moderates’ point of view, Islam is a doctrine that provides political and social guidance for its followers.11

However, in implementing this idea, the moderates have at least two tendencies. Firstly, they tend to emphasize the spirit of Islam rather than symbols. Thus for them the essence of politics or the State is more important than its form or name. This is because in their opinion, in terms of politics, Islam actually guides its followers to establish the spirit of Islam and not Islamic institutions. Secondly, they tend to be tolerant with other perspecti ves outside Islam, in order to create a proper system for Muslims. This is because, for the moderate, every Muslim has a fundamental right that allows them to think without restraint in order to create political ideas and even political structure11 12. Based on this perspective the moderate, according to Esposito “willing to participate within the system and see change from below”13.

There are some factors which actually push a group to take moderate way in their statements and activities. Firstly, the political situation which is generally still dominated by other popular political ideals or interests. Study conducted by Steve Bruce shows that in the situation where religious movement or movement is still minority and have to struggle to be accepted by the majority, the rational choices tha t they shou ld take have to invo lve compartmentalisation, accommodation and conflicting expectations. This means principally they have to take moderate way14 * * *.

11 Rahman, op.cit, pp. 332-337.13 A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini,

(Jakarta: Rajawali, 1988).13 John L. Esposito, “Claiming the Center, Political Islam

in Transition”, in Harvard International Review; Spring 1997; 19. 2.

14 Steve Bruce, “The Moral Majority: the Politics ofFundamentalism in Secular Society, in Lionel Caplan,Studies in Religious Fundamentalism, (London: TheMacmillan Press Ltd, 1987)

16

Page 17: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Secondly is ideology factor. In terms of ideology, the moderates tend to apply some main characteristics15, that is, they believe that Islamic teachings for mu’ammalah (social matters), basically provide universal and broad outlines only and consider that Islamic traditions in politics which w ere applied by Prophet Muhammad and thabiin (his close friends who lived during the same period as the Prophet) - in particular in the era of the Khulafa-Rasyidin (the first four successors of the Prophet) era - bind Muslims in terms of principals. Moreover, the moderates regard as positive the existence of difference and honour pluralism, mainly as a part of God’s will. They tend to refuse the “black and white view” of people and society and believe in the right of Muslims to acquire wisdom from various sources, including from the West.

By having these characteristics, it can be seen that the moderates tend to be tolerant with westem ideas in politics, and this which is reflected by their agreement toward the concept of democracy and a nation State16. Moreover, still in the context of the State, moderates consider that the transformation of Islamic values to the govemmental system is more important rather than the establishment of an Islamic State17. In the reform era some Islamic Parties, even though they derive from m any political

15 Regardless the main core of their ideology, at the surface level or political activities most Islamic parties tends to becom e modernist - rather than traditionalist or fundamentalist - which adhere most o f modernist’s political attitude characteristics. About the discussion of the com parison traditionalism , m odernism and fundamentalism see for example. See such characteristic in Ahmed S. M ossa lli, in “Modern Islam ic Fundamentalism Discourse on Civil Society, Pluralism and Democracy”, in August Richard Norton, ed., Civil Society in TheMiddle East, Volume I, (Leiden: E.J. Brill, 1995), pp.99-119. See also Mahendra, op.cit, pp.28-31.

16 See this kind of conclusion for example in Anders Uhlin, Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1998), p. 74. Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), pp.53-54.

17 Mahendra, op .cit, p. 308.

mainstream, in the practical context, tend to practice a moderate point of view.

The characteristics of the moderates in general, according to Bahtiar Effendy, cause most of the Islamic political parties in Indonesia to use “substantial approach” political in their thinking and actions18. These Islamic parties include PPP19, PKB20, PKS21 and PAN22. It is also important to note that research conducted by Research Centre of the Institut Agama Islam Negeri, Syarief Hidayatulah, (Universitas Islam Negeri Jakarta), indicates that from the main aims and programs of the Islamic political parties in Indonesia today most of them have the quality of functional-substansialistic rather than formal legalistic. This means, theoretically the main purpose and program of the majority of Islamic parties are not dedicated to establishing an Islamic State, instead striving to include Islamic values and spirit into the national political system23.

18 Bachtiar Effendy, Islam dan Negara Transformsi Pemikiran Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta, Paramadina, 1999).

19 See for example, Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1991).

20 See for examples, Munib H Muhammad, (ed.), Pro Kontra Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Fatma Press, 1998). A. Effendy Choirie, PKB Politik Jalan Tengah Nahdhatul Ulama Pemikiran Islam dan Gerakan Kebangsaan Pasca Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002).

21 See for examples, Ali Satd Damanik, Fenomen Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002). Aay Muhammad Furkon, Partai Keadilan Sejahtera, Ideologi dan Praktis Politik Kaum Muda Kontemporer, (Bandung: Teraju, 2004). Nandang Burhanuddin, Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan, (Jakarta: Al-Jannah, 2004).

22 About PAN see for example, Maschab, Mashuri, Anda Bertanya PAN Menjawab, (Yogyakarta: DPW PAN DIY, 1998). Wirman Syafri and Imron Nasri, (eds.), Merangkai Sejarah Menatap Masa Depan Refleksi Kelahiran Partai Amanat Nasional, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah & Litbang PAN, 2003).

23 See in Kamarudin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi, (Jakarta: Visi Publishing, 2003), p.86. Please also see the similar conclusion in Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Proram, (Jakarta: Kompas, 1999).

17

Page 18: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

A. Islamic Radicals’ Political Perspectives

The relations between Islam and the State

For radicals, Islam is unique and such uniqueness actually is caused by its function in societal life and activities. According to the MMI, Islam teaches people from the matters of self purification (as individuals) and as a part of the ummah (community)24. Based on these basic perceptions and also the fait that Islam has a set of laws that in the practical context can be clearly used as a direction and groundwork in managing the State, in terms of the role of Islam in the State, the radical groups clearly believe that Islam has to be used as a formal foundation of the State.25

Irfan S. Awwas, the chairman of MMI States that: “Islam regulates all dimensions of humankind, including society, economics and politics. From this point, we as Muslim believe that Islam has a conception about the religion and State relations”. Moreover, consider to the radicals, the life of the Prophet Muhammad as a leader in Medina demonstrated to Muslims how Islamic teachings can be implemented totally in a State. Such Islamic teachings and the Prophet’s role have deeply inspired Muslims to believe that indeed Islam has close relations with the State and its problems.

Such principle is clearly represented by Abu Bakar Baasyir’s statement which says:

“.. .According to the example of the prophet Muhammad, Islam must be wedded to the government, to the nation, it must take in the law of the State - this was the example of the prophet. It must not be purely a personal matter. Don’t follow the police, don’t follow the nation, don’t separate Islam from nation, that is wrong.”26

24 Ika Rochjatun Sastrahidayat, “Syari’ah Islam Menuju Indonesia Sejahtera”, in Bulletin Risalah Mujahidin, 06/March 2001, p.5

25 Khamami Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002), p.102.

26 See such Baasyir’s statement in Batley, Breck, The ComplexitiesofDealing With Radical Islam in Southeast Asia, A Case Studyof Jemaah Islamiyah, (Canberra: Strategic and Defense StudiesCentre, 2003), p. 87.

As a consequence of this perception, for the radicals, the separation between State and religion is intolerable and absurd, in fact they believe that Islam for all intents and purposes is a religion and also a State (al-Islam din wa daulah). As stated by the U A SW J, “politics is a main part of Islamic teachings and Al-Qur ’ an and Sunnah have to be the Judge”27. Based on such opinions the radical groups really believe in the integral relation between Islam and State.

Syari’ah Islam and an Islamic State

For the radicals, because of the exact role of Islam in the State, it is natural for Muslims to demand Syari’ah Islam (as an inextricable element in Islam) as foundation of their State. In addition they consider only Syari’ ah Islam as a divine law which is decreed by God to be used in every aspect of life, and thus, has become a must for every Muslim to implement it and also reject any kind of “man-made laws”. In an Indonesian context the implementation of Syari’ ah Islam has become very likely, because by its nature Syari ’ ah Islam can be implemented universally especially for a country in which Muslims are in majority, like Indonesia.

Moreover, by their textual and literal characteristics in understanding Islam, the radicals refuse to comprehend and interpret Syari’ah Islam in a substantial way. In other words they reject any compromise in the context of Islamic teachings. This is because for them, every dimension of human kind has been clearly explainedin Al-Qur’an and Sunnah, while the words of God stated in Al-Qur’an and Sunnah are also obvious. What all Muslims need is just to ensure their willingness to follow every single word of God’s teachings. Laskar Jihad believes that the duty of every Muslim is just follow and implement God’s law28 *.

By establishing Syari’ah Islam as a foundation of the State automatically, according

27 Ibid, p. 103. 2S Ibid, p. 122.

18

Page 19: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

to Habib Rizieq the chairman of the FPI, society has established an Islamic State29. In line with this opinion MMI States that “Islamic State is a State that implements Islamic Law formally. On the other hand, a State that not using Islamic Law is not an Islamic State, even though its institutions use Islamic names”. For Islamic Radical groups, an Islamic State is an entity that every Muslim has an obligation to create. This is because it is merely an Islamic State that in line with the God’s will. For Muslims who reject this idea, essentially their commitment to Islam is questionable, or even for Baasyir they can be regarded as infidels30.

Moreover, in the context of what kind of system Muslims should conduct, radicals indicate the Khilafah system (kind of an Islam ic govemmental system) that were practiced since the era of the Prophet Muhammad and Khulafa Rasyidin (the prophet’s best friends) era up to Khilafah Usmaniyah (Ottoman Emperor) as the best examples for Muslims. Furthermore, in terms of govemmental system, they indicate that Islam, based on the experience of the Prophet and Khulafa Rasyidin clearly provides some arrangements, for instance the mechanism of Bai ’at (electing by oath) to choose the Amir (the leader of the State)31. Such m echanism s essentially demonstrate that Islam has a set of laws to manage a State in detail.

The Nation State and Pancasila

By believing such perspectives, Islamic Radical groups in essence wish for the existence of the State based on universal values (in Islam), which basically is freed from “the nation-states’ partition”. According to them, the existence of the nation State actually is not acceptable in Islam. This is because such a concept not only has inflicted a loss for Islam by dividing Muslims around the world into nations, but also is

M Ibid, p. 11430 Interview with Baasyir in S. Yunanto, op.cit, p.4631 Zada, op .cit, p. 113

Westem-made (secular) and importantly does not exist in the era of Glorious Islam32. By accepting these ideas, therefore, this can be understood if in general the radicals feel reluctant in responding the existence of the nation State33.

Moreover, their disinclination toward the nation State is also caused by their common obsession about the reestablishment of the Khilafah34 or supra-state institution, which happened in Islamic history. In such conception actually, they believe that Islamic community will have merely one authority that serves and protects all Muslims in the world. Such an institution is believed to be the as a best medium for Muslims and their communities, for not only ensuring the implementation of Islamic teachings and ideals, but also reestablishing the real Islamic communities which are based on the spirit of universal brotherhood.

In line with this stand, thus they believe that the existence of the nation State is not “final” or, according to Hegel, an “ultimate goal” for Muslims. According to Awwas all Muslims have to strive for establishing an Islamic State in their countries, which eventually will be a step stone to attain a specific and global aim that i s Khilafah Islamiyah35. Moreover Fealy indicates that even though these groups up to now still seem to acknowledge the existence of The Republic of Indonesia and tend to not bother about the existence of the nation State, at the bottom of their hearts they still keep the obsession of the supra-state institutions36.

32 Ibid, 132.33 Ahmad S. Moussalli, Radical Islamic Fundamentalism:

The Ideological and Political Discourse of Sayyid Qutb, (Lebanon: the American University of Beirut, 1992),p.218.

34 The last Khilafah is Ottoman Empire or Khilafah Usmaniyah, before was abolished by Kemal Attarturk, the Father of the modem Turkey in the beginning of 20"' century.

35 Irfan S. Awwas, “Megapa Harus Negara Islam?”, http:// members.tripod.com/darul_islam/mengapa.

36 Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?”, in Southeast Asian AJfairs 2004, (Singapore: ISEAS, 2004), p.5.

19

Page 20: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Another consequence of this logic, in an Indonesian context, is that they tend to avoid the existence of the Pancasila (Five Pillars), as the nation’s uniting ideology. For the radicals, Pancasila is meaningless, because in fact such ideology has never been an “inspiring guidance” for Indonesians and Muslims in particular. Compared to Islam, radicals believe that Pancasila is less inspiring than Islam. According to Rizieq, Islam is the real ideology that inspired many young Muslims to liberate and also unite Indonesia. He mentions that Indonesia in 1945 was actually liberated by nothing but the yells of “Allah Akbar” (God Almighty) ffom the Muslims freedom fighters37. Moreover, for the radicals, M uslim s in Indonesia should not accept Pancasila, by remembering that such ideology in essence was made by human. By accepting Pancasila Muslims will potentially become infidels because essentially they recognize teachings other than those of God. Ja’ far Umar Thalibsays:

" We don ’t like Pancasila because it means that Islam is the same as other religions. This is not so. We believe that Islam is the highest religion and the best”38.

Based on their opinions, the concept of a nation State (or anything related to nationalism) is not acceptable. However, the obsessions for establishing an Islamic State, as a step toward Khilafah Islamiyah, still exist. This actually also demonstrates that the radicals always have commitment toward M uslims everywhere (Indonesia, Southeast Asia, A fghanistan, Palestine, etc.) the global sense, rather than merely in the one particular State.

In order to establish Syari’ah Islam, at a society or local level, the radicals tend to use ex tra parliam en tary m ovem ents, w hich

37 See in Erros Jafar, “Indonesia Merdeka Diawali Pekik A llah Akbar Bukannya H aleluya”, in h ttp :// swaramuslim.net

38 Zachry Abuza, Militant Islam in Southeast Asia, CrucibleofTerror, (London: Lynne Rienner, 2003), p. 69.

sometimes disobey the formal rules and even use some violence, which in some cases is a response to the violence from some groups toward them. This can be seen, for example, from some “sweeping” actions conducted by the Islamic Radical groups in Jakarta. Hefner indicates this also includes raiding bars and hotels39.

While at a national level, with the purpose of proposing their idea about the implementation of Syari’ah Islam and the establishment of an Islamic State, the radicals not only conduct some demonstrations individually, but also together with some other Islamic society organizations and Islamic factions in the parliament propose the retum to the constitution ofthe seven words in the Piagam Jakarta (the Jakarta Charter), that is “ .. .kewajiban menjalankan Syari’ah Islam bagi para pem eluknya (the obligation for adherents of Islam to implement Islamic law)”40. Moreover, in relation to their literal perspective toward the verses of Al-Qur’ an and Sunnah and also as a part of maintaining Islamic Law, the radicals refuse to accept the existence of a woman as President41.

In addition, with regard to the idea of Khilafah (trans-national State), today some rad ic a l g roups have d ev e lo p ed som e intemational and regional networks; this includes Hizbut Tahrir (at an intemational level) and Jamaah Islamiyah (at a regional level). Some of this networking i s suspected by authorities as being related to some terrorist groups conducting their missions in the Southeast Asian region42.

Democracy and Islam

According to Islamic Radical groups’ perception, the main problem of democracy i s

39 Hefner, op. cit, p. 14640 Zada, op. cit, p. 123.4' Ibid, p. 14147 See for example, 1CG Indonesia, Al-Qaeda in Southeast

Asia: The Case of the “Ngruki NetWork" in Indonesia, (Jakarta: ICG Indonesia Briefing. 8 August 2002).

20

Page 21: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

its main principal that basically believes in the concept of people’s sovereignty43. By using this system, essentially the political system and activities will really depend on the voice of the people (which is represented by the phrase “Vox Populi Vox Dei” or according to Abraham Lincoln, govemment by, from and for the people). This concept is actually the fundamental idea of democracy, as distinguished from other types of govemment.

In Islamic teachings, one of the main principals is belief in God’s sovereignty. According to Islam, God is the beginning and the end and only on him can all human kind depend. In this conception actually there i s no room for other elements beside God that have the right to be sovereign. In other words, the concept of people’s sovereignty is contradictory to Islam. Moreover, the militant groups believe that Al-Qur’an and Sunnah are the ultimate source of law that has arranged every aspect of human kind. Thus, all Muslims do not have to be worried about looking for other sources as their guidance for life44. Rizieq indicates them only some minor aspects of life are not arranged in detail in Al-Qur’an and Sunnah, and Muslims are still permitted to conduct Musywarah (discussion) with regard to these details, accordingly, Muslims in general have to be subject to God’s law and His sovereignty45. In this standpoint, the concept of democracy which allows (the majority of) people to have their own opinions and run their activities based on their thoughts and interests (which to some extent demonstrates the people sovereignty) is not acceptable.

Based on their conception about God’s sovereignty and the role of Al-Qur’an and Sunnah as a comprehensi ve source of law, the radicals tend to reject the concept of democracy. According to Awwas, democracy is an infidel

43 This is the basic idea for all radicals to reject the idea of democracy. See for example in Fauzan Al-Anshari, “Demokrasi Syirik”, in www.majelis.mujahidin.or.id

44 Zada, op. cit, p. 13445 Ibid, p. 135

system, which is not only inspired by secular and Western teachings, but also in the context of Indonesia has caused the failure of Muslims to establish an Islamic State46. For them, what happened during the 1950s and at the beginning of the reform period has shown that the democratic system (which i s prominently represented by the existence of parliament) cannot be trusted for Muslims to reach their goals, especially in dealing with the establishment of an Islamic State.

Moreover, democracy is also recognized as a system that has the potential to threaten the implementation of Islamic teachings. Logically, by accepting the opinion of the majority as the foundation of its policy, the govemment has to implement any interests of the majority. This means, the govemment will potentially put into Service many opinions, including those which basically contradict God’s law. This situation, in the opinion of Islamic Radical groups’ will endanger all people and Muslims in particular. Because, for example, if the majority agree to legalize prostitution or alcoholic drinks (that are strongly prohibited by Islam) the govemment has to implement these laws and all society has to accept them without any exceptions.

Moreover for the radicals the majority is not everything in Islam. In fact for them the model of govemment which basically glorifies the majority is unidentified in Islamic history. For radicals, in Islam the most important thing is the truth and this is actually nothing to do with popularity. In fact, Islamic history demonstrates that the Prophets and their followers were al ways minorities, who fought against the infidel majorities47.

About Pluralism

As regards the dem ocracy , the acknow ledgem ent of pluralism becom es important. The radicals’ viewpoints on the

46 S Yunanto, op. cit, p.5347 Zada, op .cit, p 131

21

Page 22: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

existence of non-Muslims and other group and their opinions about what Muslims should do in treating these groups can be used as indicators for their thinking about pluralism. In responding to the existence of non-Muslim groups, the Islamic Radical groups base their opinion on Al-Qur ’ an and the experiences of the Prophet during his govemment in Medina and Khulafa Rasyidin.

Islamic Radical groups believe that an Islamic State will be tolerant with minorities and non-Muslim groups. This is because, Al-Qur’ an and Sunnah, teach the obligation to protect the rights of the non-Muslim groups. The Prophet, for example, during his rule prohibited Muslims fortroublingnon-Muslims who livedtogetherwith them or had no intention to bother Muslim. Moreover according to Awwas in an Islamic State in the era o f the P ro p h e t soc ie ty w as heterogeneous, including Jews and Christians. Thus for him the existence of non-Muslim groups is not a problem at all48.

However, it is important to note that principally these groups concede two main groups in society, that is the Muslim group and non-Muslim group. Radicals consider that for n o n -M u slim g roups th e re are tw o categorizations: firstly the group which has the intention to fight against Muslims and secondly the group willing to make peace and disposed to live together in harmony with Muslims. According to Baasyir, every Muslim has to be ready to fight against the first group and must protect the second group. For the second group, which is called as Dzimni (the non-Muslims who live in Muslim communities peacefully), every Muslims have to build a goodrelationship and be willing to work together in the spirit of affection, peace, tolerance and harmony. Even, Muslims have to provide and protect proper rights for them, including the right to conduct their faith and religions49.

48 Ibid, p. 11349 For more detail see for example in Sermon by Abu Bakar

Baasyir in Solo, Indonesia, 18 October 2002, in Batley,op. cit, pp.84-88.

However, it is interesting to note that in the political context, the rights of the non-Muslim in radicals’ sense are basically limited. In their logic and of course in relation to the Prophet’s history, it is difficult to accept a non-Muslim as their leader in any case. Thus in the radicals’ point of view it is hard to find an opinion that implicitly or explicitly agrees to provide rights for non-Muslims to attain position at a higher level, for example as their President or members ofparliament.

From their opinions about the non-Muslims groups, it can be concluded that in general their acceptance tow ard pluralism is not total. Moreover, this attitude is essentially in line with their rejection of democracy, because democracy requires not only an admission of minority or other groups but also a willingness to gi ve equal political opportunities and access to every single group. As materialization of their opinions about democracy which has a strong tendency to reject it, most Islamic Radical groups promote the idea of refusing democracy. Research conducted by Ridep indicates that “this promotion” uses some media both electronic or prints including websites (for example www.laskarjihad.or.id for Laskar Jihad ASWJ or www.maielismujahidin.or.id for MMI), publisher (Jihad Press), cassettes and CD (consist of the speech from some organization’s leader)50 *.

PostScript: RadicaVs situation post 2004 Election

In the era o f the govem m ent of the President Susilo Bambang Yudhoyono, the radicals still put their foremost attention to religious matters. However/Nevertheless, their political activities at the national level appear to be confined compared to the role that has been played by the political parties. This because not only related to the political theme of the subject raised, which is to some extent seem to be

50 S. Yunanto, op .cit, p. 125

22

Page 23: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

exclusive and particular, but also due to their political articulation mechanism, which tends to be run from outside the system, that in the end causes their sound and the effects of their demand were covered by other issues.

M eanw hile , the p o litic a l lobb ies established by the radicals and some Islamic political parties as well as social organization still will be mainly focused on attempts to the Islamic Law establishment and the Jakarta Charter issue. In the first topic, the radicals at heart still have an opportunity to create this ideal at the local govem m ental level, particularly in some provinces or districts which are the main characters of their population or society potentially support the establishment of the Is lam ic Law, such as N an g ro e A ceh Darussalam, South Sulawesi or some areas in West Java (Garut, Cianjur, Tasikmalaya). Their role will potentially cover some degrees, from supporting “the formal political contract” that will legitimize Islamic Law as a main foundation for any laws and regulations; to at the small scale continually fight against social wickedness by making alliance with other Islamic organizations ormovingalone.

In relation to the Jakarta Charter issue, although these groups will keep on playing as a part of its main supporters, it seems clear that their movements will find a serious impediment by the fact only a small number of the Islamic political parties that will still hold up this issue. This situation is by no means overlooked by the radicals. In fact given such situation the symptom of w hat O liv e r R oy sa id as “ neo fundamentalism”51, that is attempts to leave formal political practice activities and retum to join a cultural movement at the grass root level, in particular mending religion understanding for individual and society, will be a realistic pace for radicals in the next future. The symptoms of

51 R oy, O liver, The F ailure o f P o litica l Islam, (London: President and F ellow s o f Harvard College, 1994).

this become clearer for example, by the fact that the political activities of these groups at a national level tend to considerably decrease post 2004 president election compare to the previous years. Up to mid of 2005, at surface level radicals’ movements relatively focus on cultural issues as their participation in Kongres Umat Islam or cultural activities related to attempts in defending Islamic symbols in cultural field.52.

It seems clear that in the situation where stable political situation exist - which is indicated by the solidity of political party, the unity of the national elite and where the tension among society caused by economic and political disparity relatively decrease - the role of the radicals seem to reduce. In the next couple years, however, the future of these groups cannot be ignored. While these groups actually only represent minority, their existence is still appealing53 and will have a chance to keep on moving at the civil society ground.

The role of the govemment of course by no means obstructs the growth and movement of the group by implementing force endeavors, which academically proved in fact harden militancy attitude of these groups54. On the contrary, the govemment has to keep on giving a democratic chance and opening dialog with these groups, while constantly encourage the

52 It can be seen for example from the cases of Dewa (one of the famous musical groups today) which accused by FPI has despised Muslim by using sacred Symbol in Islam (one of the God’s names) in their show and in the label of their cassette. See this case in “Dewa Vs FPI Menyoal Logo Laskar Cinta” www.sctv.co.id

53 Research conducted by Freedom Institute about “The attitude and perception of society toward phenomenon of Islam Radical movements and actions” shows that “radicals’ point o f view ” has attracted some people, particularly the youth and indicates that the radical’s idea is popular enough at the grass root level, even though its just still minority compare to the moderate Muslim. See this conclusion in ”Pro-Demokrasi tak Sebesar Pro- Toleransi”, www.islamlib.com

54 See Arjomand, SaidAmir, “Unity and Diversity in Islamic Fundamentalism”, in Marty, E Martin and Scott Appleby, Fundamentalism Comprehended, (Chicago: The UCP, 1991).

23

Page 24: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Islamic mainstream groups to be in contact with any Muslim groups which have a potent to support these groups and establishing a productive relation with them.

B. Moderates Islam’s Political Perspectives

The relations between Islam and a State

In general, the moderates believe that Islam is relevant to the political life. This is basically related to one obligation for Muslims, in particular, to create a high-quality system for humanity in God’s favor. Attempts to make such a system in Islam are actually regarded as a part of the religious Service (ibadah), particularly in the “horizontal” context or in terms of social re la tio n s am ong hum an k inds (habluminannas)55. According to M. Amien Rais, the chairman of PAN, Islam cannot be separated from politics because this is a part of human activities that in essence has been clearly guided in Islam56. In line with this opinion, PKS believes that Islam is not a religion that merely arranges the relationships between God and His creations, but also provides guidance for its followers to manage their activities and every dimension of life57.

However, even though they believe in such inextricable relations between Islam and a State, they actually emphasize that this relations are actually not have to be always obligatory in the formal context. This is because basically Islam does not provide detail regulations for such

55 Fazlur Rahman, says that if the obligation to conduct fasting for every Muslims is explained merely in one verse in Al-Qur’an, while a third of the Al-Qur’an contains the explanation and obligation for Muslim with regard to create good Systems for human kind.

56 M. A m ien R ais, “W awasan Islam tentang Ketatanegaraan”, dalam Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1994), pp.51-52

57 Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan, Jati Diri PartaiKeadilan, (Jakarta : Pustaka Tarbiyatuna, 2002). See AbuRidha, Untung Wahono, Syamsul Balda, Politik DakwahPartai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 2000).

relations. According to them, what Islam provides for Muslim in politics principally an obligatory recommendation to create a system that is based on the spirits of Islam such as justice, equality and consensus58. Moreover, most of the moderates do not see any kind of fixed and formal shapes of political system that is mentionedin Al-Qur’an and also Sunnah. Due to this situation, the moderates then consider that Islam only offers some general rules in politics and provides freedoms for its followers to be Creative in their political life.

By using this point of view, the moderates believe that to bring about the spirit of Islam is the true obligation for Muslim. In other words, in the political context, for them if such a thing has existed, essentially Muslims have done their obligation. This kind of perspective, according to B ahtiar Effendy, today becomes the general characteristics of Indonesian Islamic political parties59 *.

There are at least two implications from these points of view. Firstly, because in essence they tend to strive for establishing the spirit of Islam in the State (rather than creating a formal Islam) they tend to take moderates attitude in dealing with the role of the Syari’ah Islam. Secondly, in connection with this attitude, even though they believe in M uslim’s obligation to create an ideal social entity in line with God’s favor, the idea of establishing an Islamic State and using Islam as an Ideology of the State, in their opinion, are not urgent.

58 Rais, op. cit, p. 5559 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan

Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), pp. 58-59. See also the similar conclusions in Kamarudin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi, (Jakarta: Visi Publishing, 2003), p.86. Please also see the similar conclusion in Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Proram, (Jakarta: Kompas, 1999).

24

Page 25: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Syari’ah Islam and an Islamic State

With regard to the role of Syari’ah Islam, the moderate groups believe that essentially Syari’ah Islam is nothing but a true guidance for every Muslims60. However, in relation to the connections between Syari’ah Islam and Muslims activities, it has generally understood that not all of human kind activities are arranged in details in Syari’ah Islam. Some of human’s activities are indeed arranged in details, but for others Islam guides them in the general context, this including political and state activities.

In relation to such a situation, particularly for the last matter, in Islam God actually provides Muslims a fteedom to develop a method of thought which has to be not only in proportion to Islamic teachings but also rational and objective. In this process, actually Muslims are permitted to use the common ideas in their time. In other words, essentially for most moderates it is actually possible for Muslims to implement ‘ ‘a synthesis system’ ’ from many political thinking mainstneams, including from the Western viewpoints. Thus in the political context, in essence, the meanings of Syari’ah Islam can be multi-interpretative and contextual.

By believing this essence of Syari ’ah Islam, the moderates actually want to demonstrate that in the political context the terminology of Syari ’ ah Islam is basically beyond the fixed Laws. It contains many opinions and perceptions, which ensure that Syari ’ah Islam is not a strict mechanism for all Muslims around the world. In fact, for the moderates, in terms of politics, Syari’ah Islam offers many universal values, rather than a set of arrangements in details. Because of these perceptions the moderates conclude that the maintenance of Syari ’ ah Islam is an obligation in the context of implementing Islamic universal values.

60 For the parties’ perceptions about Syari’ah Islam, see for exam ple, Abdul Asri Harahap, PPP: Sintesa Nasionalisme dan Religiusitas, (Jakarta: Integritas Dinamika Press: 2004), pp. 137-170. Nandang Burhanudin, Penegakan Syari 'ah Islam menurut Partai Keadilan, (Jakarta: Al Jannah, 2004), pp. 91-142

Based on their perspectives above, with regard to the idea of establishing an Islamic State, the moderates fundamentally believe that the attempts to establish such a State must be understood as an effort to create an institution filled with the spirit of Islam. In this standpoint the m oderates actually w ant to say that the fundamental of the State is more significant, for Islam, rather than name. In other words, for them no matter about the form of the state is, so far as such a state is conducting these spirits, this State can be regarded as an “Islamic State”. By this viewpoint the moderates actually seems to be consistent in emphasizing substance rather than symbol. Rais says:

“For me without Islamic label but in essence we can demonstrate that we are able to build a f air econotnics system, honest law system, a non-feudal education system, that’s what Islam want. So it is easy. I will not emphasize the label, but the vision. Because it is possible to create a state without Islamic label but in fa c t it is more Islamic”.61

Moreover, besides their tendency to the substance of Islam, their understanding about Islam reveals that the establishment of an Islamic state formally is actually not an obligation for Muslims. This is because such an order is not clearly m entioned in both A l-Q ur’an and Sunnah; in fact the words of “Islamic State” actually do not exist in these Islamic sources. While what was demonstrated and developed by the P rophet M uham m ad in M edina, according to the moderates, was merely an “Islamic society” which was guided by the Islamic universal values, which is in fact even not called as “an Islam ic S tate” by The Prophet62 * *. Due to such circumstances, for the moderates, an Islamic state is not urgent to follow

61 Lihat dalam Idy S. Ibrahim, Amien Rais Membangun Politik Adiluhung, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), p. 90

62 Anis Matta says that The Prophet Muhammad never usedthe term “Islamic State”. In fact he just calls his state as “Al-Madinah Al-Munawarrah” and not “Al-Madina Al-Islamiyah Al-Munawwarah". Furkon, op.cit., p.234.

25

Page 26: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

because in essence it just a Creative idea from some Muslim scholars which is based on their interpretation of Islam.

Furthermore, with the circumstance where the shape of state is not clearly mentioned, Islam actually facilitates easily its follower. This is so because if the permanent form of the state for Muslims had been decreed in the 7* century, it will cause a difficult situation for Muslim to implement in the modem era. In addition, in an Indonesian context, the establishment of an Islamic State will gain obstacles mainly from the realities of the plural Indonesia and “intemally” many interpretations toward this concept among Muslims. For these reasons, the implementation of an Islamic State today to some extent will potentially trigger unproductive and sensitive protracted debates among people in this developing country63.

In addition, according to them with or without the support of the state, Syari’ah Islam actually still can be compiehensively implemented by Muslims. Thus, in M. Hidayat Nurwahid’s (the President of PKS now the chairperson of the MPR) opinion, any perceptions which believe that Syari’ah Islam needs a kind o f national constitution’s back up to be implemented is not proportional. Because this indicates that without such a support Muslims can not implement Syari ’ ah Islam in their life64.

Accordingly, because Syari’ah Islam in substance allows Muslims to create States in various forms and names (so far as such States are along the lines of the spirit of Islam), and the creation of an Islamic state is not mentioned in A l-Q ur’an and Sunnah, it is clear for the moderates that establishing an Islamic state in Islam is a trivial jargon.

The Nation State and Pancasila

Based on their perception about the human history which is basically dynamic, the

63 Furqon, op.cit, pp. 234-23564 Republika, 18 February 2002

moderates believe that the existence of a nation state is a sunnatullah (historical reality based on God’s will) that is impossible to be avoided by Muslims today. Besides, for them, a nation State like Indonesia in reality is still conducive for Muslims to implement their religion. This includes conducting Islamic missionary endeavors and attaining many political interests. Because of that, Indonesia as a nation state cannot be regarded as futile oreven infidel entity for Muslims.

As a consequence for this attitude, the moderates then regard Pancasila as a national ideology in the positive view. By giving priority to the essence rather than using distinctive symbols of Islam, this group believes that Pancasila is acceptable for Muslims. This is so because for the moderates the relationship between Pancasila and Islam for all intents and purposes does not contradict each other. Even though the moderates acknowledge that both teachings are not at a same level (because Islam is teachings from God, while Pancasila is a man- made ideology)65, they believe that there is no a single article of the Pancasila that is contradictory to Islam, which makes necessarily urgent for Indonesian Muslim to replace it with Syari’ah Islam. Thus, for Amien, if all pillars of Pancasila were consistently implemented, it would be good for Muslim communities, because it means Islamic teachings were implemented66.

Furthermore Pancasila is also regarded conducive for Indonesia as a plural country. PKB States that by regarding Indonesia as a pluralistic country which consists of many ethnic groups, religions, races; the fundamental of this country must be enacted by the five values of Pancasila that is Belief in the one and only God, just and civilized humanity, the unity of Indonesia, democracy guided by the inner wisdom in the

65 M. Amien Rais, “Kata Pengantar” dalam M. Amien Rais, ed., Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), p. XIV.

66 Rais, “Tidak ada Negara Islam”, dalam op. cit, p. XXIII, see also his statement as the chairman of MPR in Media Indonesia, 23 February, 2002.

26

Page 27: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

unanimity arising out of deliberations amongst representatives and social justice for the whole of the people of Indonesia67.

As manifestations for these opinions toward the state, the moderates commit to keep maintaining Indonesia as a nation State which is based on Pancasila. This commitment can be seen from their official documents68, in fact some of them (PAN and PKB) use Pancasila as their basis69. Moreover, also none of them clearly mentions the idea of the establishment of the Sy ari ’ ah Islam and an Islamic state in their official documents. In fact most of them reject the idea of retuming seven words ofthe Piagam Jakarta (Jakarta Charter) to the constitution, which will potentially legalize State to conduct Syari’ah Islam formally70. Meanwhile, for some Islamic parties, PPP and PBB, that proposes the idea that the main aim of such an effort is to straighten the Indonesia history71 and actually nothing to do with and Islamic state72. In fact the MPR Annual Meeting, PPP, for example stated that:

67 Musa Kazhim and Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Timbangan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), p.246.

68 About the officia l documents such as platforms, ideologies and programs of these parties can be explored fro examples in Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program, (Jakarta: Kompas, 1999), Tim Litbang Kompas, Partai- Partai Politik Indonesia: Ideologi, dan Program, (Jakarta: Kompas, 2004) or Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Orde Baru, (Jakarta: LP3ES, 2003)

69 See in Dewan Pimpinan Pusat PAN, Partai Amanat Nasional, (Jakarta: DPP PAN, 1999) and Platform PKB in Amir, ibid.

70 See in Umar Basalim, Pro Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002), pp. 174-254.

71 This is in particular regarded to the Soekarno’s testimonial that stated UUD 1945 (the Indonesian Constitution) was actually imbued by the Jakarta Charter. To some extent these groups see the restoration of the Charter as correcting an historical betrayal of Indonesia’s Islamic struggle, Fealy, op. cit, p.4.

72 Romli, Lili, Partai Politik Islam Era Reformasi dan Piagam Jakarta dalam Sidang Tahunan MPR 2000,Thesis, (Depok: FISIP UI, 2001).

“...the proposal for the return of the seven words is not intended to create an Islamic state, instead for strengthening Indonesian nationality in the framework of united stated based on Pancasila”73 .

Democracy and Islam

The Moderate Islam groups believe that A l-Qur’an and Sunnah basically order every Muslims to build justice, affection and equality for human kind. In terms of power relation and govemmental problems, these values become “a divine guide” for Muslim to establish proper institutions. M eanw hile, the govem m ent conducted by The Prophet M uhammad in Medina actually taught Muslims about the spirit of performing tolerance, honouring difference and maintenance righteousness for all people. Accordingly, moderates believe that any kind of govemments establishedby Muslims should implement those values.

With regard to this perception, the moderates by using the ijtihad process then indicate that the type of govemmental system that is close to the Islamic spirits in the modem era is nothing but democracy. This is because, in their opinion, like Islam ic teachings, democracy also teaches the spirit of equality, justice and honor plurality, mainly in dealing with the election and decision making process.

Moreover, the acceptance of democracy is also based on the two other reasons. Firstly is the philosophical reason. In the philosophical context, the moderates are not bothered about the origin of democracy and do not see it as som ething that belongs to the W estern exclusively. According to Abdul Asri Harahap, member of Dewan Pakar (the expert council) of PPP, democracy in essence is a universal teaching that contains universal values. Thus it is possib le for every group to im plem ent democracy, including Indonesian society. In fact

73 See in Basalim, op. cit, p. 184.

27

Page 28: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

he points out the spirit of democracy mainly in line with the Islamic spirit74. Meanwhile, with regard to the concept of people’s sovereignty, according to PAN this actually is not a big problem for Islam. Because in moderates’ points of view the basic purpose of this concept actually is not dedicated to fight the sovereignty of God, in fact this idea occurred as a reflection of opposing the existence of the dictatorship govemment, which is also essentially rejected by Islam75.

Secondly is the practical reason. They argue that the backward of Indonesian society today is caused by uncontrolled, exclusive and oligarchy govemment as conducted by the New Order. Thus, by implementing democracy, the new govemment system will have the potential to improve people’s life in many aspects76. In addition, they basically also believe in the mass participation concept which is totally conducted in democratic system will provide the society empowerment77. Moreover, in line with this idea PKS believes that democracy, which is mainly dedicated to p ro tect freedom , w ill give advantages for Muslims in Indonesia. This is caused by the existence of govemment’s guaranty for freedom, Muslim communities will have sufficient freedom rights to develop their thinking and activities, particularly in order to improve people’s quality of life andprosperity. In other words, by accepting democracy, in the end Muslims have the opportunity to prove that their existence is the mercy for the uni verse (rahmatan lil alamin)78. Thus based on these kinds of perceptions, for the moderates, this is acceptable for Muslims to leam democracy from the Western and apply such a system79.

74 Anis Matta, Menikmati Demokrasi, Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, (Jakarta: Pustaka Saksi, 2002), pp.22. See also Harahap, op .cit, pp. 109-110.

75 Harahap, op.cit., pp. 114-11576 See for example in “Naskah Deklarasi Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB)”, in Kazhim & Hamzah, op. cit, p.243.77 Matta, op. cit, pp. 2178 Ibid, pp. 19-2379 Asri, op .cit, p. 113

About Pluralism

With regard to the existence of pluralism, the moderates respond it as an important matter. This is not only because Islamic teachings are concemed, but also in the practical context has become an interest for Indonesia as a plural nation. In the first reason, moderates indicate that pluralism is a part of God’s will80. In relation to this Islamic teachings encourage every Muslim to value the d ifferences am ong people. According to PKS, Al-Qur’an Sunnah teaches every Muslims, for example, to respect the rights of non-Muslim, to spread out tolerance and to do justice for all the people81. Furthermore, Muhammad SAW taught during his life that Muslim had to have a willingness to sacrifice for the community, in a patriotic sense82. Therefore, it is clear that honouring pluralism is a part of Islamic teachings.

Furthermore the moderates consider that honouring pluralism is a proper attitude that has to be developed in order to maintain the existence of Indonesia as a plural nation, which consists of more than one religion (five official religions that is Buddhism , Christianity, Catholicism, Hinduism and Islam) and hundred of ethnic groups. Thus, basically for the moderates, Muslims cannot avoid the historical situation. According to PKS, national unity is a fundamental principal for developing a nation that is naturally heterogonous. Toward such a principal various communities inside the nation can be united, in the spirit of fratemity and togethemess.83

80 In general all Moderates argue for this idea by quoting one of the verses of Al-Qur’an which says that if God wants to make all human races to be a one nation (Ummat) he could, but only because of His mercy, He then creates many nations diversity. (Al-Qur’an: Huud 118-119). Such an argument can be found in their official documents.

81 See Burhanudin, op. cit, pp. 69-7882 “Jawaban Soal Penegakan Syariah Islam”, Saksi, No. 5

Tahun VI, 200383 Justice Party Basic Principles, Jakarta: DPP PK 1999

28

Page 29: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

By acknowledging the plural condition of Indonesia, moderates then try to develop a responsive and moderate environment for all. As a reflection of this attitude they are not interested in dividing Indonesia society in only two groups between Islam and non-Muslim. In fact they tend to gi ve opportunity for non-Muslim to improve and exist, by providing access for them to join their parties, and even to attain some position at a top level in bureaucracy and govemment, such as ministers or members of parliament84. Accordingly in terms of pluralism, moderate groups are not only merely recognizing the equality between Muslim and non-Muslim groups but also providing the equal opportunity for non-Muslim groups. Abdurrahman Wahid, the founding father of PKB, for example during his presidential period discarded Instruksi Presiden (Presidential Instruction) No. 14/1967 which formally restricts Chinese to peiform their tradition.

As a reflection of their opinions about democracy, all of parties use and promote the words and idea of democracy in their official documents. Also in their documents the sentences that honouring pluralism is also easy to find85. Moreover, these groups dem onstrate their commitment to democracy by joining election properly, and show their eagemess to build good relations with nationalists and non-Muslim groups for examples in their parties, in parliament or in the president election86. In addition, these groups also have demonstrated their respects toward the democratic mechanism and any

84 See for example, Hajriyanto Y. Thohari, “Bangsa Pluralis, Partai Pluralis”, Republika 19 September 1998.

85 See in Dewan Pimpinan Pusat PPP. Ketetapan-Ketetapan Muktamar IV PPP, (Jakarta: DPP PPP, 1999). Dewan Pimpinan Pusat PAN, Partai Amanat Nasional, (Jakarta: DPP PAN, 1998), Dewan Pimpinan Pusat PK, Sekilas Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PAN, 1999), Platform PKB in these official documents can be traced in their website see in www.kebangkitanhangsa.org (for PKB), www.ppp.org.id (for PPP), or pk-seiahtera.org (for PKS).

86 See also “Visi Program Harmonisasi ada di PKB”,Muhammad, op.cit, pp.73-81.

policies produced, even some of the policies to some extent contradict with their ideals and interests87.

Conclusion

From the explanations above, it can be concluded that, in the political matters, both radical Islam and moderate groups in Indonesia to some extent have some similarities and also differences. The main similarities between them are related to the idea that Islam as a religion has social functions which essentially guide its follower in all dimensions of their life including politics. Moreover, in the political context both radicals and moderates believe in the inextricable relations between Islam and politics. Thus, for them the attempts to separate Islam and politics are absurd and to some extent also contradict to Islam.

Even so, some differences also appear between them, particularly in relation to the perceptions about how deep Islamic teachings should play in the real politics and how Islamic texts should be interpreted to be a basis for Muslim’s political activities.

The basic perceptions of the Islamic Radical groups such as emphasizing literal approaches for understanding Islam, conceming text more than context and giving a priority to the era of the Prophet in the 7® Century; has influenced their perceptions about Islam as a total and integrated religion and formal relations between Islam and politics. These opinions eventually become a basis for their other opinions such as the urgency of implementing Syari’ah Islam formally, the establishment of an Is lam ic State and the ten d en cy to be unenthusiastic to the existence of the nation state.

Moreover, in line with their exclusive characteristics such as tend to be literal and

87 For example, the positive attitudes to parliament after this institution toppled down Abdurrahman Wahid (the chairman of PKB).

29

Page 30: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

textual in understanding Islam, acknowledging pluralism in the narrow perspectives, regarding Western ideas in pessimist way and tend to glorify Islamic history; the radicals tend to have negative opinions of democracy. In general, even though they agree to the concept of Syura (the consensus), which was taught by the Prophet, the radicals generally believe that Islam principally is incompatible with democracy. This kind of perception is actually reflected in their narrow opinion about pluralism, which basically though they honor the existence of non-Muslim groups, the radicals have no intentions to give an equal political access for non-Muslim groups.

M eanw hile, for the m oderates, by im plem enting their perspectives such as regarding Islam as a “substantive guidance” in dealing with the state, believing that Islamic histories as a lesson that do not bind Muslims principally, implementing “contextualization approaches” for understanding Islam and having willingness to be tolerant; they tend to create a moderate perceptions, particularly with regarded to the relations between Islam and state, an Islamic State, Syari’ah Islam and the existence of Indonesia as a nation state with Pancasila as the basis.

In addition, with regard to their viewpoints that honoring pluralism, believing in substance than the name, giving priority to open-minded attitudes and think inclusively; the moderates tend to have a positive reaction to democracy, which is mainly regarded as the systems that in line with the spirits of Islam such as justice, equality and consensus. As a reflection to this attitude, the moderates tend to comprehensively accept and honor the existence of non-Muslim groups by not only acknowledging their existence but also providing trust and an equal access to them.

The phenomenon of the existence of the radical Islamic groups and the moderate Islamic groups (with all their similarities and differences) in the refo rm era in g enera l no t only demonstrates that politics i s an inseparable issue

for Muslims in Indonesia, but it also indicatesthat Islam will never be a monolithic group inthis country.

References

A li, M uham m ad M um taz, “N ature and C h arac te ris tic s o f M odern Islam ic M ovements” , in M uhammad Mumtaz Ali, (ed.), Modem Islamic Movements, Models, Problems and Prospects, (Kuala Lumpur: A.S Noordeen, 2000).

Ali, M ukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1988).

Al-Anshari, Fauzan, “Demokrasi Syirik” , www.majelis.mujahidin.or.id

Amir, Zainal A bidin, Peta Islam Politik Pasca Orde Baru, (Jakarta: LP3ES, 2003).

Anwar, Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995).

Arjomand, Said Amir, “Unity and Diversity in Islamic Fundamentalism”, in Marty, E M artin and S co tt A ppleby , Fundamentalism Comprehended, (Chicago: The UCP, 1991).

Awwas, Irfan S., “Mengapa Harus Negara Islam?”, www.tripod.com

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta : Paramdina, 1996).

Barton, Greg, Indonesia’s Struggle Jemaah Islamiyah and The Soul o f Islam, (Sydney: UNSW, 2004).

Basalim, Umar, Pro Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002).

Batley, Breck, The Complexities o f Dealing With Radical Islam in Southeast Asia, A Cas e Study o f Jemaah Islamiyah,

30

Page 31: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

(Canberra: Strategic andDefense Studies Centre, 2003).

Bruinessen, Martin Van, “Genealogis of Islamic Radicalism in Post-Soeharto Indonesia”, South East Asia Research, 10,2, pp. 117- 154.

Bruce, Steve, “The Moral Majority: the Politics of Fundamentalism in Secular Society, in L ionel C aplan, Studies in Religious Fundam entalism , (L ondon : T he Macmillan Press Ltd, 1987).

Burhanuddin, Nandang, Penegakan Syariat Islam M enurut Partai Keadilan, (Jakarta: Al-Jannah, 2004).

Bubalo, Anthony and Greg Fealy, Joining the Caravan? The Middle East, Islamism and Indonesia, (A lexandria: Low y Institute for Intemational Politcy, 2005).

Choirie, A. Effendy, PKB Politik Jalan Tengah Nahdhatul Ulama Pemikiran Islam dan Gerakan Kebangsaan Pasca Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002).

D am anik , A li S aid , Fenomen Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002).

Davidson, Lawrence, Islamic Fundamentalism, (Connecticut: Greenwood Press, 1998).

Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional, Partai Amanat Nasional, (Jakarta: DPP PAN, 1999).

Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan, Jati Diri Partai Keadilan, (Jakarta : Pustaka Tarbiyatuna, 2002).

Dewan Pim pinan Pusat Partai Persatuan Pem bangunan, Ketetapan-Ketetapan Muktamar IV PPP, (Jakarta: DPP PPP, 1999).

E ffendy , B ah tia r, Islam dan Negara Transformsi Pemikiran Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jak a rta , Paramadina, 1999).

------------------------------------ , Teologi BaruPolitik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001).

Erros Jafar, “Indonesia Merdeka Diawali Pekik Allah AkbarBukannyaHaleluya”, in http:/ /swaramuslim.net.

Esposito, John L., The Islamic Threath: Myth or R ea lity?, (N ew York: O xfod University Press, 1992).

---------------------------------------- ,“Claiming theCenter, Political Islam in Transition”, in Harvard International Review, Spring 1997; 19, 2.

Fealy, Greg, “Islamic Politics: A Rising or Declining Force?” in Damien Kingsbury and A rief B udim an , Indonesia the Uncertain Transition, (A dela ide : Crawford House Publishing).

------------------------ , “Islamic Radicalim s inIndonesia: The Faltering Revival?” , in Southeast Asian A ffairs 2004, (Singapore: ISEAS, 2004).

Furkon, Aay Muhammad, Partai Keadilan Sejahtera, Ideologi dan Praktis Politik Kaum Muda Kontemporer, (Bandung: Teraju, 2004).

H arah ap , A bdul A sri, PPP: Sintesa Nasionalisme dan Religiusitas, (Jakarta: Integritas Dinamika Press: 2004).

Haris, Syamsuddin, PPP dan Politik Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1991).

Harjono, Anwar dkk, “M. Natsir, Sumbangan dan Pem ikirannya untuk Indonesia” , dalam Media Dakwah, 1416H/1995.

Hefner, R obert W , “Islam in an Era of Nation-States, Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia”, in Robert W. Hefner (ed.), Islam in an Era o f Nation-States, (Hawaii: University of Hawaii Press, 1997).

31

Page 32: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Ibrahim , Idy S, Amien Rais Membangun Politik Adiluhung, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998).

ICG Indonesia, Al-Qaeda in Southeast Asia: The Case o f the “Ngruki NetWork” in Indonesia, (Jakarta: ICG Indonesia Briefing, 8 August 2002).

Jamhari and Jajang Jahroni, (eds.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004).

Jansen, Johannes J.G The Dual Nature o f Islamic Fundamentalism, (New York: Comell University Press, 1997).

Kamarudin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi, (Jakarta: Visi Publishing, 2003).

Kazhim, M usa and Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Timbangan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).

Kuntowijoyo, “Peta Politik bagi Umat”, in Deliar Noer, et.al, Mengapa Partai Islam Kalah?, (Jakarta: Alvabet, 1999).

Liddle, R William, “Skriptualisme M edia Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan 1999).

L itbang K om pas, Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi, Strategi dan Proram, (Jakarta: Kompas, 1999).

M ahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamaat-i-Islami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999).

M aschab, M ashuri, Anda Bertanya PAN Menjawab, (Yogyakarta: DPW PAN DIY, 1998).

Masdar, Umaruddin, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Y ogyakarta : P u s tak a Pelajar, 1999).

Matta, Anis, Menikmati Demokrasi, Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, (Jakarta: Pustaka Saksi, 2002).

Moaddell, M ansoor and Kamran Talattof, eds., Moderate and Fundamentalist Debates in Islam, (New York: Palgrave 2002),

M oussalli, A hm ad S., Radical Islamic Fundamentalism: The Ideological and Political Discourse o f Sayyid Qutb, (Lebanon: the American University of Beirut, 1992).

--------------------------------—------------ ,“M odernIslamic Fundamentalism Discourse on C iv il S ocie ty , P lu ra lism and Democracy”, in August Richard Norton, ed, Civil Society in The Middle East, Volume I, (Leiden: E.J. Brill, 1995).

M uham m ad, M unib H (ed.), Pro Kontra Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Fatma Press, 1998).

P u rnom o, A lip , FPI Disalahpahami, (Jakarta: M ediatama Indonesia, 2003)

Rahman, Fazlur, Islam, (Bandung: Ganesha, 1984).

Rais, M. Amien, “Kata Pengantar” dalam M. Amien Rais, ed., Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989).

---------------------------------- , “Wawasan Islamte n tan g K e ta ta n e g a ra a n ” , dalam Cakrawala Islam, (Bandung: M izan, 1994).

Ridha, Abu, Untung Wahono, Syamsul Balda, Politik Dakwah Partai Keadilan, (Jakarta: DPP PK, 2000).

Republika, 18 Februari 2002.

R om li, L ili, Partai Politik Islam Era Reformasi dan Piagam Jakarta dalam Sidang Tahunan MPR 2000, Thesis, (Depok: FISIP UI, 2001).

32

Page 33: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Roy, Oliver, The Failure o f Political Islam, (London: President andFellows of Harvard College, 1994).

Saksi, No. 5 Tahun VI, 2003.

Salim, M. Arsekal, “Fragmentasi Partai Islam”, Kompas, 26 Juni 1999.

Sastrahidayat, Ika Rochjatun, “Syari’ah Islam Menuju Indonesia Sejahtera”, in Bulletin Risalah Mujahidin, 06/March 2001.

S yafri, W irm an & Im ron N asri, ed s., Merangkai Sejarah Menatap Masa Depan Refleksi Kelahiran Partai Amanat Nasional, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah & Litbang PAN, 2003).

Syamsudin, Din, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, in Ulumul Qur’an, No.2 Vol. IV, 1993.

Thohari, Hajriyanto Y.,“Bangsa Pluralis, Partai Pluralis”, Republika 19 September 1998.

T ibb i, B assam , The Challenge o f Fundamentalism Political Islam and the New World Disorder, (California: The Regent of University of California, 1998).

Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program, (Jakarta: Kompas, 1999).

------------------------------------------------ , Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, dan Program, (Jakarta: Kompas, 2004)

Uhlin, Anders, Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1998).

Yusuf, Buchori and Imam Santoso, (eds.), Penerapan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Global Media, 2004).

Yunanto, S, et.al, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, (Jakarta: The Ridep Institute-Friedrich-Ebert- Stiftung, 2002).

Zachry Abuza, Militant Islam in Southeast Asia, Crucible ofTerror, (London: Lynne Rienner, 2003).

Zada, Khamami, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Bandung: Teraju, 2002).

pk-sejahtera.org

www.islamlib.com

www.kebangkitanbangsa.org

www.majelismujahidin.or.id

www.ppp.or.id

www.sctv.co.id

33

Page 34: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Pem erintahan Susilo Bam bang Yudhoyonodan

Politik Luar Negeri Indonesia

Oleh:Ratna Shofi lnayati

Abstract

In his early presidential time President SBY took a series of visits to Australia, New Zealand and East Timor following his visit to Malaysia and Singapore a month before as his first step to start the Indonesian Diplomacy. In the next step, he also prepare to visit US and EU during May 2005. It indicates that President SBY still continues the basic strategy in the implementation of Indonesian Foreign Policy by President Megawati. Since the New Order govemment, Indonesia has adopt the Concentric Circle Formula as the base theory in the implementation of Indonesian Foreign Policy, putting emphasis on relation with countries within a series of concentric circles. The first concentric circle is ASEAN which is regarded as the comer stone of Indonesian foreign policy.The second circle, Indonesia puts a special emphasis on promoting relations with it’s Eastern and Southern neighbour, bringing Indonesian engagement with the Pacific Islands Forum, The South West Pacific Dialogue and the Tripartite Consultation between Indonesia, Australia and East Timor. Within the second concentric circle also includes Japan, China and South Korea in the ASEAN +3 forum.Beyond that, Indonesia puts in important attention to the relation with its major economic partners as US and EC, as regarded as the third concentric circle.

Politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk m elindungi kepentingan nasional, khususnya rencana pembangunan nasional. Ditengah perkembangan dunia yang ditandai oleh saratnya kepentingan nasional masing- masing negara dalam proses negosiasi di tingkat bilateral, regional maupun multilateral maka sem akin pen ting bagi In d o n esia untuk menentukan sikap dan menempatkan posisi yang tepat dan jelas. Jika tidak, kita akan terombang- ambing di antara pergumulan kepentingan yang saling bertolak belakang. Target jangka pendek dan jangka panjang yang hendak dicapai perlu ditetapkan terlebih dahulu secara jelas sehingga biaya dan manfaatnya bisa lebih terukur dan transparan. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengkaitkan startegi dan kebijakan pem bangunan ekonom i nasional dengan langkah-langkah yang ditempuh di tingkat internasional.

Sejak pemerintahan Orde Baru, politik luar negeri Indonesia menganut teori lingkaran

konsentris (Concentric Circles Formula). Lingkaran Konsentris pertama adalah ASEAN yang dianggap sebagai “comer stone" dari politik luar negeri Indonesia.

Di luar lingkaran tersebut, Indonesia perlu memperkuat keija sama dengan negara-negara yang tergabung dalam Pacific Island Forum, the South West Pacific Dialouge dan K onsultasi Tripartite diantara Indonesia, Australia dan Timor Timur yang mencakup wilayah dalam Lingkaran K onsentris II. Termasuk di dalam lingkaran konsentris II adalah negara-negara yang tercakup dalam kerja sama ASEAN+3 (Jepang, China dan Korea Selatan). D ilu a r lin g k a ran te rseb u t, In d o n es ia mengkonsentrasikan keija sama dengan negara- negara yang ekonominya maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.1 1

1 Dewi Fortuna Anwar,"Indonesian Foreign Policy and Domestic Politics”, ISEAS, Singapore, 2003,h.7

35

Page 35: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Dukungan sepenuhnya akan peran sentral PBB dan prinsip-prinsip multilateralisme di dalam upaya mengatasi perdamaian dan keamanan dunia merupakan aspek penting lainnya dari politik luar negeri Indonesia. Hal ini sangat jelas ditunjukkan dengan penolakan langkah-langkah unilateral AS dan Inggris di dalam mengatasi krisis di Irak.

Seperti halnya Suharto, Megawati dalam menata pelaksanaan politik luar negeri tidak berusaha mencitrakan dirinya tetapi memberikan peran utama kepada Menteri Luar Negeri Hal ini berbeda dengan ketiga presiden sebelumnya yaitu Soekarno, B J Habibie dan Gus Dur dimana pelaksanaan politik LN lebih menonjolkan peran presiden.

Langkah yang diambil mantan Presiden Megawati masih dipertahankan oleh Presiden SBY, tetapi sebagaim ana kem unculannya sebagai kandidat Presiden yang sukses, SBY berusaha menggunakan karisma pribadinya dengan mengambil sebagian peran Menlu di dalam melakukan pendekatan dengan setiap mitra dialog guna memperoleh kepercayaan m ereka akan keseriusan SBY di dalam memenuhi setiap komitmennya.

P o litik lu a r n eg e ri p ad a m asa pemerintahan SBY 2004-2009 menghadapi beberapa kondisi, antara la in :

1) Terbatasnya kemampuan nasional dalam mengatasi krisis ekonom i, yang telah m enyulu t dan m em perta jam konflik sosial dan politik di berbagai wilayah di tanah air, sehingga mobilitas dukungan ekonom i internasional merupakan hal yang mutlak perlu diupayakan/dilakukan pem erin tahan SBY. Indonesia harus secepatnya mengupayakan iklim yang kondusif guna menarik kembali investasi asing yang enggan m asuk a.l. karena ketidakpastian hukum di Indonesia.

2) Indonesia harus mencegah mispersepsi internasional tentang gerakan terorisme internasional yang belakangan marak di negeri ini dan te rus m engupayakan

dukungan dari dunia luar demi keutuhan negara dan bangsa dari berbagai ancaman separatisme dan masalah otonomi daerah. Politik luar negeri memainkan peran penting guna mencegah internasionalisasi isu-isu separatisme dan menegaskan dukungan internasional terhadap integritas wilayah Indonesia serta memelihara kepercayaan kepada aktor utama politik dan keamanan di kawasan.

3) Posisi kuat Indonesia di kawasan dalamm e m a in k a n p e ra n di A SE A N dipertahankan demi tetap mempertahankan posisi taw ar dan m eningkatkan kerja sam a serta dukungan in ternasional. Indonesia harus berperan mendukung pembentukan suatu komunitas regional un tu k kaw asan A sia P as if ik yang diperkuat ASEAN melalui pengakuan mereka terhadap suatu tertib kawasan (sebagaimana yang tertuang dalam TAC). D i bidang po litik keam anan dengan ASEAN Regional Forum (ARF) dan dari seg i ekonom i m e la lu i A PEC yang merupakan mekanisme institusi-institusi pem ben tukan kom unitas. K eduanya didukung second track masing-masing, yaitu CSCAP dan PECC.

4) K epiaw aian berd ip lom asi dalam era g lo b a lisa s i tid ak akan m am pu meningkatkancitra suatu negara apabila kondisi dalam negeri tidak kondusif. Karena itu, penyusunan skala prioritas untuk mengoptimalkan sumber daya yang te rba tas , te ru tam a upaya pem ulihan ekonomi dan pemeliharaan lingkungan nasional dan regional yang aman dan s tab il san g a t d ip e rlu k an pada pemerintahan ini.

Kondisi Dalam Negeri

Krisis ekonomi 1997 yang ditandai oleh pelarian arus modal asing dari Indonesia telah membawa negeri ini ke arah keterpurukan dan kita akan sulit untuk bangkit kembali apabila tidak tanggap terhadap perkembangan yang

36

Page 36: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

teijadi baik di luar maupun di dalam negeri. Kita harus m em aksim alkan pe luang dengan memanfaatkan hal-hal yang positif, sekaligus mengatasi kendala baik yang berasal dari luar a taupun da lam n eg eri. U n tu k d ap a t memanfaatkan peluang yang ada diperlukan penanganan yang serius dengan strategi yang tepat serta koordinasi yang efektif dengan melibatkan berbagai komponen pemerintah, swasta, LSM dan akademisi.

Pasca krisis ekonomi 1997, arus modal masuk diharapkan akan terjadi kembali setelah restrukturisasi utang baik di sektor pemerintah maupun swasta, dan kepercayaan kreditor kepada debitornya pulih kembali. Meskipun sampai sekarang current account masih positif yang berarti masih ada net Capital inflow akan tetapi hal ini sulit untuk diketahui secara pasti karena bisa tersem bunyi pada kesalahan pencatatan di neraca pem bayaran yang angkanya besar.

Meskipun surplus modal di dunia masih cukup besar namun yang bisa tertarik ke Asia Tenggara hanya sebagian kecil saja. Korea Selatan sudah mulai menarik pemasukan modal dan modal portfolionya kembali ke Thailand, akan tetapi modal investasi langsung (direct foreign investments) nya masih lebih tertarik ke China ketimbang Asia Tenggara.

Laju pertumbuhan ekonomi nasional juga sangat tergantung dari integrasinya terhadap ekonomi global dan regional. Faktor dinamis yang mendorong ekonomi tersebut adalah teknologi informasi dan arus globalisasi (integrasi ekonomi dunia yang mengikuti tata tertib WTO). Indonesia sudah menjadi bagian dari proses globalisasi ekonomi dunia tersebut walaupun di dalam negeri masih cukup banyak sektor dan golongan usaha yang merasa cemas dan minta proteksi. Secara internal target reformasi dalam negeri dalam bentuk deregulasi dan good govemance terus diupayakan perwujudannya. Dalam prakteknya, faktor eksternal dan internal tersebut akan berinteraksi dalam suatu dinamika yang saling mempengaruhi sehingga perlu dilihat

dalam konteks yang terintegrasi. Satu hal yang perlu dicermati bahwa saling ketergantungan dan interaksi ini akan semakin meningkat pada tahun- tahun m endatang, dan m asa depan kita tergantung kepada bagaim ana kita dapat bersikap positif namun waspada terhadap perkembangan di luar.

Dalam alam demokrasi dan desentralisasi pada masa pemerintahan presiden SBY saat ini akan timbul lebih banyak sentra kekuasaan, yang walaupun lebih kecil namun dapat menjadi sumber KKN baru. Visi dan misi pemerintahan presiden SBY adalah pemberantasan korupsi secara tun tas yang m em belit di sem ua departemen. Hal ini harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh pihak aparat hukum baik di pusat maupun di daerah. Saat ini pemerintah sedang mengusut tuntas dugaan korupsi di KPU dan beberapa Bank BUMN. Mantan gubernur Aceh A bdulah Puteh ju g a sedang dalam peradilan sebagai tersangka korupsi.

K eb ijakan o tonom i daerah secara nominal harus dapat ikut menaikkan laju pertumbuhan ekonomi nasional, karena pusat pertumbuhan ekonomi demikian tidak akan berkonsentrasi di Jakarta lagi. Ada empat provinsi yang mempunyai potensi antara lain Riau, Kalimantan Timur, Aceh dan Papua serta daerah-daerah yang infrastruktur dan SDM nya relatif baik seperti Jawa Barat, Jakarta; Jawa Timur; Sumatra Utara; Sulawesi Selatan dll. N am un m asalah illeg a l lo g g in g dan penyelundupan TKI di daerah perbatasan Indonesia - Malaysia sampai saat ini sulit untuk diberantas. Aparat di daerah perbatasan dan Pemda harus membenahi masalah ini sampai tuntas meskipun sulit karena sebagian dari mereka sendiri diduga ikut terlibat. Pemerintah harus terus mengupayakan penyelesaian masalah yang rumit ini.

Kunjungan kerja Presiden ke Malaysia dan Singapura pada bulan Februari yang lalu merupakan perwujudan komitmen pemerintah tentang langkah konkret yang harus diambil, jadi bukan sekedar janji belaka. Dengan pemerintah

37

Page 37: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Malaysia dibicarakan masalah perjanjian tentang TKI, yakni perlunya pemerintah Indonesia dan Malaysia mempunyai komitmen bersama untuk m em perbaik i s is tem k e ten ag ak erjaan .2 Sementara mengenai perjanjian ekstradisi dengan Singapura, Presiden SBY menjelaskan bahwa pemerintah Singapura mempunyai kepentingan untuk m em bersihkan nam a negaranya agar tidak lagi disebut sebagai safe heaven bagi pelaku tindak pidana korupsi. Presiden mengharapkan tidak ada lagi koruptor yang sembunyi dan enjoy life di Singapura. PM Singapura menyampaikan komitmennya untuk m em percapat proses penyusunan M O U ekstradisi dengan Indonesia yang tertunda selama 31 tahun.3 Selanjutnya kunjungan Presiden SBY ditindak lanjuti oleh kunjungan Wapres Yusuf Kalla ke Malaysia dan Singapura beberapa waktu lalu. Kunjungan tersebut diharapkan akan membawa angin segar bagi hubungan kedua negara serta penyelesaian secara tuntas masalah-masalah tersebut.

Kebijakan apapun yang bakal diambil Indonesia, nampaknya masalah inti yang dihadapi adalah bagaimana memperkuat home front sehingga seluruh potensi yang dimiliki bisa dieksploitasi secara optim al. Kunci dari penguatan home front ini adalah bagaimana membentuk dunia usaha yang tangguh sehingga mampu menghadapi berbagai gejolak dan pembahan di lingkungan internasional. Kondisi demikian dapat terbentuk jika tercipta iklim dan lingkungan yang kondusif bagi industri nasional, dan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkannya. Pengusaha yang tangguh akan muncul jika lingkungan industrinya mampu mengeliminasikan praktek- praktek yang antikompetisi, diskriminatif dan tidak transparan. Sangat sulit membayangkan

2 Indonesia diharapkan dapat memperbaiki system rekrutmen dan pengiriman tenaga kerjanya ke Malaysia, sementara Malaysia berkepentingan untuk menegakkan hokum agar tidak ada perusahaan M alaysia yang memperkejakan tenaga kerja illegal, karena merugikan pemerintah Malaysia dan pelanggaran hukum.

3 Detikcom, 9 April 2005

m unculnya produk-produk industri yang berdaya saing tinggi kalau bentuk pasarnya penuh monopoli dan oligopoli tanpa didukung oleh lingkungan yang kondusif di bidang keamanan, kepastian hukum, hubungan yang adil diantara produsen dan pekerja serta birokrasi yang bebas KKN.

Di tengah keadaan seperti saat ini, maka wajar apabila para pengusaha menghadapi situasi yang riskan untuk menerapkan visi jangka panjang di dalam melakukan investasinya, di samping karena kondisi perekonomian yang masih sangat rentan terhadap berbagai gejolak internal dan eksternal. Pada akhirnya kita tidak tahu bagaimana bersikap dan menentukan posisi di tengah arus globalisasi. Dalam kondisi seperi itu m aka k iranya sangat pen ting untuk merumuskan kembali peranan pemerintah agar meningkatnya peran swasta tidak menjadikan posisi pemerintah menjadi semakin tenggelam, melainkan justru semakin strategis dengan kebijakan yang tepat bagi semua pihak.

Lingkungan Internasional

S ebagai neg ara A SE A N terbesar, Indonesia mempunyai peranan kunci di dalam upaya pengembangan ASEAN. Suatu negara Indonesia yang stabil dan m akm ur akan memberikan manfaat bagi negara tetangganya. Demikian pula sebaliknya Indonesia yang miskin dan tidak aman akan mempengaruhi stabilitas kawasan.

Keija sama regional ASEAN yang kuat m em erlukan peran ak tif kepem im pinan Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir ini, Indonesia telah tersandera secara internal oleh permasalahan domestiknya. Sebelum tahun 1997, se lam a tig a dekade In d o n es ia m em fokuskan diri dalam pem bangunan ekonomi, mempererat hubungan persahabatan dengan n e g a ra -n e g a ra te tan g g a se rta membangun iklim saling percaya dan keija sama di lingkungan ASEAN.

Akan tetapi sejak tahun 1997, Indonesia mengalami suatu pembahan yang drastis dimana perekonomian yang kolaps secara mendadak

38

Page 38: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

telah memicu suatu pergolakan sosial dan ketidakpastian politik. Namun demikian, sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia berhasil memulihkan stabilitas politik dan kembali ke jalur pemulihan perekonomiannya.

Dengan keberhasilannya menyeleng­garakan Pemilihan langsung Presiden pada akhir Oktober 2004 yang lalu, Indonesia telah berhasil mencapai tonggak utama (major milestone) dalam proses transisi di bidang politik.

Pemerintahan Indonesia yang baru, di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Yusuf Kalla memiliki mandat untuk melakukan perubahan yang sulit guna mengembalikan pemerintahan ke jalur yang benar. Indonesia telah melakukan langkah perubahan yang signifikan di bidang finansial. Indikator makroekonomi yang menunjukkan kestabilan beberapa tahun terakhir ini akhirnya dapat melepaskan ketergantungan kita terhadap IM F pada bulan D esem ber 2003. Badan pemeringkat utang internasional telah menaikkan rating utang internasional Indonesia sehingga pemerintahan yang baru dapat memfokuskan diri pada upaya guna menarik investasi asing (LN) dan menggerakkan roda perekonomian Indonesia.

Dalam upaya memulihkan perekonomian nasional di tengah gelombang globalisasi ini, politik luar negeri Indonesia perlu difokuskan pada keija sama bilateral dengan negara-negara Asia Timur, ASEAN+3 (Jepang, Korea Selatan, dan China), East Asia Community dan APEC pada tingkat reg ional, serta kelom pok- kelompok tertentu pada tingkat global.

Hubungan b ilateral dengan Jepang semakin meningkat dan momentum itu diperkuat dengan kunjungan Presiden SBY ke Jepang. Investasi, perdagangan dan keija sama ekonomi bilateral maupun regional semakin diperluas dan d ipe rda lam . Sudah saa tn y a In d o n es ia m enandatangan K esepakatan K em itraan E konom i (Economic PartnershipsAgreement) dengan Jepang di saat negara-

negara lain seperti Malaysia, Singapura dan Thailand sudah lebih dulu melakukannya.

Sementara hubungan bilateral dengan Korea Selatan penting bagi penataan ulang industri nasional yang setengah hancur melalui kerja sama teknologi madya dan tinggi yang dimiliki negara ini.4

Sebagai negara yang sedang bangkit, China merupakan mitra dagang dan pasar utama produk Indonesia melalui penyediaan berbagai bidang bahan baku yang diperlukan ,serta menjadi sum ber penting bagi penyediaan teknologi kecil dan menengah yang dimilikinya. M antan Presiden W ahid pada w aktu itu menegaskan pentingnya hubungan Rl-China di masa mendatang, seperti tercermin dalam gagasannya tentang aliansi Indonesia, China, India, Singapura dan Jepang. Akan tetapi gagasan tersebut tidak ditunjukkan secara konkret akan pentingnya China dalam politik luar negeri yang ingin diciptakannya5. Dengan hanya menetapkan seorang Konsul Kehormatan RI di Shanghai sebagai resiprokal Konsul Jenderal RRC penuh di Surabaya merupakan keputusan yang kurang bernilai strategis dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada m asa globalisasi sekarang ini.

Pimpinan baru China berhasil membagi China dalam “dua ekonomi”. Di daerah pantai dan terutam a di special economic zones, berlaku kapitalisme pasar yang sangat bebas. A kan te tap i sek to r BU M N dan daerah pedalaman masih dikuasai dan dikendalikan kuat oleh negara. Di lain pihak, petani pada umumnya sudah diberi kebebasan bertanam. Dengan kom binasi dua ideologi yang sebetulnya bertentangan, China dew asa ini menjadi superpower yang ekspor impornya sangat mempengaruhi ekonomi dunia, dan selama tiga dasawarsa ini PDB-nya sempat tumbuh sekitar

4 “Reinventing ASEAN”ibid.h. 134; http:// www.vnagency.com.vn/Public/Readnews.asp7file

5 Anthony L. Sm ith ,”Gus Dur and the Indonesian Economy,”ISEAS, Singapore, 2001,h.59

39

Page 39: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

9 persen setahun. Sikap pemerintah China ini terus diamati oleh seluruh dunia karena China m erupakan ancam an (threat) sekaligus kesem patan (opportunity) bagi m ereka. Pemerintah China sadar akan tanggung jawab internasionalnya dan tidak akan m erusak ekonomi negara-negara berkembang dengan ekspor tekstil, elektronik dan produk industri lainnya yang sangat murah.6

Terhadap AS, C hina berjanji akan mengurangi ekspor barang yang sama. Tekstil dari China memang sudah menguasai pasar Amerika. AS menuduh China sengaja menekan n ila i m ata uan g n y a dengan m em atok (undervalued) nilai tukarnya dengan US-dollar untuk mendorong ekspornya. China sampai sekarang menolak untuk mengapresiasi yuannya, tetapi berjanji untuk menerapkan pajak ekspor terhadap ekspor tektilnya.7

Pada pemerintahan Presiden SBY ini, keija sama kita dengan China diharapkan akan meningkat secara riil dengan dihasilkannya Deklarasi Kemitraan Strategis antara Indonesia dan China. Indonesia mengharapkan China sebagai pasar yang potensial bagi berbagai produk kita sekaligus sumber penting bagi kebutuhan kita akan produk teknologi kecil dan m enengah, te rm asuk p roduk tekno log i persenjataan yang kita perlukan.

Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia

Politik luar negeri merupakan kebijakan negara untuk memperjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar. Sasaran politik luar negeri sifatnya fleksibel, bukan memaksakan kem auan sen d iri u n tu k m engam ankan kepentingan nasional dengan merugikan pihak lain. M etoda p o litik luar negeri bukan menghindari kendala-kendala yang terdapat di dalamnya, melainkan mencari solusi dari

6M.Sadli, “Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia”, Kompas, 25 Mei 2005

7 ibid.

kendala-kendala itu melalui persuasi dan negosiasi.

Menghadapi konstelasi internasional yang berubah serta transformasi sosial politik di dalam negeri, perumusan dari pelaksanaan politik luar negeri In d o n esia m au tidak m au perlu diperbaharui. Dalam era reformasi dan krisis m ulti-dim ensional ini, politik luar negeri Indonesia d iharapkan dapat m em ainkan setidaknya lima fungsi, yaitu membantu pemulihan ekonom i, m em bantu m enjaga keutuhan temtorial, memelihara lingkungan regional yang am an dan s ta b il, m enum buhkan rasa kebersamaan dalam masyarakat yang ter-pecah- pecah serta membangkitkan rasa kebanggaan pada m asyarakat yang m ulai kehilangan kepercayaan diri.8

Secara tidak langsung kerja sama luar neg eri d ap a t d im an faa tk an un tuk mengidentifikasi siapa pesaing-pesaing, dan menganalisa persepsi berbagai pihak luar negeri (pemasok, pelanggan) mengenai produk dalam negeri dan berbagai keadaan dalam negeri yang segala sesuatunya dibutuhkan bagi penyusunan taktik-taktik persaingan dengan pihak luar. Tujuan menyiasati ini adalah memaksimalkan s itu a si sa lin g m en g u n tu n g k an se rta menghindarkan situasi untung rugi dalam hubungan ekonomi. Identifikasi mengenai hal ini bertambah penting dengan semakin banyaknya kegiatan intra-regional yang bersifat jangka panjang seperti keija sama antar bangsa dalam pembangunan kawasan bersama. Sebagaimana ekonomi, maka sebagian besar keuntungan keija sama akan jatuh ke negara-negara industri. Secara alamiah ini memang tidak terhindarkan oleh karena keadaan negara industri yang sudah lebih maju. Namun apabila hal ini tidak dikoreksi maka akan ada kecenderungan jurang ekonomi antara negara industri dan negara berkembang

8 Ali Alatas,"Tatanan Politik Dunia Abad XXI” Kompas Juni 2000.

40

Page 40: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

semakin lebar. Oleh karena itu dibutuhkan aturan permainan bukan hanya menyangkut hubungan ekonomi tetapi juga hubungan sosial, politik, kebudayaan dsb.nya.

Berdasarkan penjelasan di atas, di dalam pelaksanaan politik luar negerinya pemerintahan Presiden SBY mempunyai sasaran utama yang difokuskan pada Lingkaran Konsentris II yaitu kemitraan strategis dengan negara-negara tetangga di Selatan (Australia, Timor Timur dan Selandia Baru) dan negara-negara dunia ketiga lainnya melalui pertemuannya dengan kepala- kepala negara A sia-A frika dalam forum Peringatan 50 tahun KAA, serta memperbaiki hubungan lebih erat dengan AS dan UE.

Kunjungan kenegaraan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia pada awal April 2005, menandai kian pudarnya kekhawatiran historis Australia tentang ancaman dari Utara. Dari bantuan Australia di Nias, dan sebelumnya di Aceh, kita semakin yakin bahwa Australia telah memperlihatkan niat yang tulus terhadap Indonesia.9

Dalam perspektif hubungan RI-Australia sejak 1980-an terjadi hubungan pasang-surut antar kedua negara. Sekarang setelah hubungan ini dalam kondisi baik, bagaimanakah kita mengisinya secara produktif demi kemajuan dan kemanfaatan kedua pihak?

Presiden SBYke Australia membicarakan peningkatan kerja sama dalam menangani terorisme dan kejahatan transnasional, serta ditandatanganinya latihan militer gabungan antar ke dua negara. K esepakatan perjan jian pertahanan keamanan yang akan dicapai kedua negara berada dalam frame work perang internasional melawan terorisme.

K ek h aw atiran A u stra lia te rh ad ap kelompok radikal terutama yang berada di Indonesia beralasan dengan meningkatnya profil negara itu dalam pentas internasional sebagai salah satu sekutu AS yang terlibat langsung dalam

9 Kompas, 9 April 2005

perang Irak. Dalam isu ini, Australia berada dalam posisi the coalition o f willing yang menginvasi Irak di luar persetujuan PBB. Sebaliknya Indonesia menolak tindakan seperti itu terutam a karena adanya kesan perang m elaw an terorism e m erupakan serangan terhadap umat Islam.

Peningkatan profil Australia ini berdampak pada meningkatnya ancaman keamanan dari kelompok radikal, termasuk kelompok jemaah Islam iyah yang dipercayai beroperasi di Indonesia.10 Oleh karena itu, diperolehnya jaminan dalam bentuk kerja sama keamanan dengan Indonesia merupakan prestasi tersendiri yang mampu diraih PM Howard.

B agi In d o n es ia , k u n ju n g an ini dimanfaatkan untuk menjelaskan keberatan- keberatan, seperti halnya travel waming yang dikeluarkan Deplu Australia sering didasarkan informasi yang sumir dan tidak menguntungkan citra Indonesia sehingga memukul industri pariwisata kita.

A pabila saling percaya an tara RI- Australia dapat ditingkatkan, maka banyak bidang yang b isa dikem bangkan seperti keamanan penerbangan sipil dan program perlindungan sosial. Bahkan kalau tahap yang ada sekarang ini masih dianggap sebagai bagian dari konsolidasi, maka ada program lainnya yang pasti bermanfaat tanpa menimbulkan kerumitan politik seperti program pertukaran ilmiah dan pengembangan teknologi. Pengalaman kita dalam menghadapi serentetan bencana alam bisa didiskusikan secara ekstensif dengan Australia. Sebagai negara yang sains dan teknologinya lebih maju, Australia punya banyak kapasitas untuk bekeijasama dengan Indonesia dalam penanggulangannya.

Selain upaya peningkatan hubungan b ila te ra l, law atan P res id en SBY ju g a mengangkat isu regional, khususnya yang berkaitan dengan m asalah keikutsertaan

10 Kompas, 12 April 2005

41

Page 41: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Australia dalam Komunitas Asia Timur (.East Asia Community/EAC ) yang akan menyelenggarakan KTT pertamanya pada akhir tahun ini di Kuala Lumpur.

Indonesia mendukung diikutsertakannya Australia dan negara-negara sekawasan lainnya dalam KTT Asia Timur yang merupakan kelanjutan KTT ASEAN +3 (Jepang, Korea Selatan dan China). Keikutsertaan Australia dalam KTT tersebut dinilai positif bagi perkembangan kawasan Asia Timur sekaligus memperkuat keberadaan ASEAN, meskipun ada kendala dari sikap M alaysia yang berpandangan bahwa Australia, Selandia Baru dan India tidak perlu diikutsertakan dalam KTT Asia Timur.11 Hal inilah yang melatarbelakangi penolakan Deplu RI pada saat pertama kali ide pembentukan East Asia Community diusulkan oleh PM M ahathir. Indonesia khaw atir kepentingan ASEAN akan terdesak oleh kepentingan negara-negara mitra yang lebih maju industrinya.

Pernyataan Presiden RI ini dapat memicu wacana segar menyangkut upaya menggerakkan kaw asan ini dalam kerangka d inam ika perkembangan global yang antara lain ditandai dengan terbentuknya blok-blok komunitas, seperti blok perdagangan bebas di Amerika U tara dan Eropa. U ntuk kaw asan A sia , pembentukan blok semacam itu masih banyak kendalanya karena begitu banyak perbedaan di wilayah Asia seperti bahasa, ras, kultur dsb.12

Kehadiran anggota baru seperti Australia dan Selandia Baru akan bisa meningkatkan greget dan tid ak m em buat p ertem u an merupakan pengulangan pertemuan sebelumnya. Keikutsertaan mereka merupakan langkah

11 Pertemuan Puncak ini ingin difokuskan untuk membangun hubungan kerjasama A SEA N+3 dan merupakan bagian dari upaya pembentukan Komunitas Asia Timur yang menjadi impian mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad.

12 Sifat keanggotaan forum kerjasama perdagangan dan ekonomi tidak hanya berdasarkan ras, tetapi juga dari segi geografis.

strategis untuk menegaskan posisi Indonesia yang ingin memperkuat ASEAN dan kerja sama ASEAN +3.13

Hubungan Indonesia dan Timor Leste dipererat dengan kunjungan Presiden SBY ke Timor Timur selama dua hari yang pada intinya adalah penegasan kembali penghormatan Indonesia atas kemerdekaan Timor Leste serta mengekspresikan sikap persahabatan untuk membangun kerja sama. Presiden SBY secara khusus m engatakan keinginannya untuk membuka jalur darat diantara kedua negara, khususnya di daratan Pulau Tim or guna m eningkatkan kerja sam a ekonom i dan m em pererat ikatan kebudayaan. D alam pertemuannya dengan Presiden Xanana Gusmao telah diadakan penandatanganan kerja sama dalam upaya penyelesaian garis perbatasan kedua negara yang bertetangga dan beberapa masalah-masalah lain. Seperti kita ketahui negara baru berpenduduk 800.000jiwa itu kini mengalami berbagai kesulitan, terutama di bidang ekonom i. B iay a o p e ras io n a l b iro k rasi pemerintahan masih bergantung pada bantuan asing. Disinilah Indonesia harus menangkap peluang yang ada untuk membantu Timor Leste.14

H ubungan In d o n es ia - AS pada pemerintahan presiden SBY ini mengalami peningkatan dengan kunjungan beliau ke Amerika Serikat pada akhir Mei 2005 ini. Presiden mempersiapkan secara serius guna mewujudkan apa yang merupakan rencana dan program pem erin tahannya. D iantaranya kesungguhan bebenah dalam penegakan hukum yang menjamin kepastian dan keadilan, termasuk penegakan martabat dan hak asasi manusia. Demikian pula penegasan tindakan beliau terhadap pelaku tindak pidana korupsi di

13 Kompas, 9 April 200514 Indonesia tidak dapat begitu saja melupakan Timtim

karena bagaimanapun sempat berada dalam pangkuan NKRI selama 24 tahun. Kepedulian sangat diperlukan saat ini.

42

Page 42: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

berbagai instansi dan lingkungan. Presiden SBY pernah dipandang sebelah mata oleh Presiden Bush mengenai kemampuannya memberantas korupsi ketika bertemu di pertemuan APEC. Kini dengan langkah mantap dan kredibilitas cukup tinggi akan mendukung keberhasilan Presiden dalam kunjungannya ke AS guna meningkatkan hubungan bilateral berdasarkan saling menghormati dan saling percaya. Salah satu program konkret di bidang keamanan melalui peningkatan program tukar menukar pendidikan, pelatihan yang sifatnya militer ke m iliter. Program pelatihan m iliter akan direvitalisasi meskipun AS belum mencabut em bargo pem belian persen ja taan yang diterapkan ke Indonesia. Secara substansial m emang tidak ada perubahan signifikan terhadap usaha pencabutan embargo. Embargo senjata memang masuk dalam legislasi AS sejak senat AS mengesahkan peraturan apropriasi bulan Nopember 2004, yang mengatur juga bantuan luar negeri untuk tahun fiskal 2005. Dalam legislasi tersebut ada lima kondisionalitas yang berkaitan dengan Foreign Military Financing Program atas bantuan yang bisa diberikan kepada Indonesia dan lisensi ekspor peralatan pertahanan (lethal defense articles) untuk TNI.15 * *

S ejauh ini P res id en B ush te lah mengeluarkan satu sertifikasi atas kondisionalitas bahwa pemerintah Indonesia dinilai telah kooperatif terhadap kasus penembakan dua warga AS yang semula diduga dilakukan oknum TNI, tetapi dari hasil penyelidikan TNI dan lembaga penyidik FBI ternyata dilakukan oleh anggota Organisasi Papua Merdeka bernama A n thon ius W am ang. M esk ipun B ush mendukung upaya normalisasi hubungan militer,

15 Dalam legislasi AS secara tegas, meminta MenteriPertahanan melakukan tindakan terhadap anggota TNIpelaku pelanggaran HAM berat dan ada proses peradilan terhadap mereka, serta TNI bekerjasama dengan kejaksaan dan peradilan serta UnitedNations East Timor Serious Crime Unit. Menteri Pertahanan juga diminta melakukan transparansi public atas audit penerimaan dan pembelanjaan TNI.

sebagian ganjalan masih ada di Kongres AS yang punya penilaian berbeda tentang Indonesia. Oleh karena itu pemerintahan Bush dan SBY sepakat membentuk Indonesian-US Security Dialogue serta Bilateral Defense Dialogue sebagai sarana normalisasi hubungan militer kedua negara.

Pembicaraan tingkat tinggi antara SBY dan Bush tersebut masih menyisakan tanda tanya besar apakah akan menghasilkan terobosan ny a ta atau tid ak ? F a k to r-fa k to r yang menentukan apakah embargo militer akan jalan terus atau tidak antara lain seperti sudah dijelaskan diatas adalah penyelesaian mengenai pelanggaran HAM di Timor Leste.

F ak to r kedua adalah kepen tingan strategis-keamanan AS pasca 11 September. Hal ini bisa menjadi pendukung bagi Indonesia guna dibukanya kembali bantuan militer AS, dengan adanya penilaian bahwa embargo militer secara startegis tidak akan menguntungkan AS dalam menghadapi terorisme internasional. Dengan adanya embargo militer itu berakibat lemahnya postur TNI dan akan menciptakan instabilitas baru di Asia Tenggara. Gagasan ini salah satunya didukung oleh mantan Menteri Pertahan AS dan Dubes AS di Jakarta Paul Wolfowitz yang meyakini bahwa embargo tidak akan menghasilkan peningkatan situasi HAM secara langsung di Indonesia. Yang perlu d ilak u k an adalah m e lan ju tk an p roses demokratisasi yang terus berjalan berdasarkan inspirasi yang dapat diperoleh dari sistem politik di AS.

Faktor ketiga adalah penghentian bantuan persenjataan oleh AS tidak hanya merugikan Indonesia tetapi juga merugikan perusahaan- perusahaan AS. Para pemasok persenjataan AS ke Indonesia sangat dirugikan dengan adanya embargo ini karena harus kehilangan milyaran rupiah, dan menguntungkan pemasok dari luar AS.

Oleh karena itu supaya kita tidak terlalu tergantung dengan AS perlu dirancang industri pertahanan kita sehingga menjadi bagian integral

43

Page 43: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

kebijakan pertahanan Indonesia. Paling tidak industri pertahanan menjadi pendukung utama bagi terpenuhinya persyaratan minimal dari suatu pertahanan.16

Makna 50 Tahun Konferensi Asia Afrika Bagi Indonesia

Keputusan Konperensi Asia Afrika di Bandung 50 tahun lalu dirumuskan dalam Dasasila Bandung. Dari 10 butir keputusan Dasasila Bandung17 kalau kita kaji, tujuan pokok konperensi itu telah berhasil. Hanya bangsa Palestina-lah yang belum m erdeka dan berdaulat.

Maka pada KAA kali ini negeri Palestina m enjad i fokus perh a tian p o litik un tuk membangkitan momentum yang berdaya efektif bagi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Palestina.

Peringatan 50 tahun KAA yang diadakan di Bandung dan didahului KAA Summit pada tanggal 22-23 April 2005 di Jakarta telah menguak perspektif baru. Kita memperingati peristiwa heroik bangsa-bangsa Asia A frika, kita menangkap makna sejarah dan apinya, hal ini berarti dengan bekal KAA 50 tahun lalu, kita menatap masa kini dan masa depan.

Ketertinggalan dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, pengem bangan sosial eko n o m i, b u d ay a se rta p em b an g u n an masyarakat madani merupakan sasaran yang tid ak b isa d itu n d a . I tu lah ta n tan g an sejarah,bidang-bidang inilah arena pergulatan dan perjuangan setiap negara, terutama negara- negara A sia A frika. K ita optim is, sebab

16 Kompas, 28 Mei 200517 Butir-butir dalam Dasasila Bandung diantaranya adalah:

Kemerdekaan, kedaulatan, keutuhan teritorial bagi setiap bangsa dan negara; Pemecahan konflik secara damai sesuai dengan Piagam PBB; Hak asasi serta asas perlindungan hukum yang tidak kenal perbedaan warna kulit; Penghindaran dan pengecaman terhadap kerjasama blok-blok negara atas dasar ideologi dalam persaingan dan konflik perang dingin; Pem bangunan dan penyelenggaraan kesejahteraan warga bangsa dan bangsa yang merdeka; Masalah keadilan social harus merupakan jembatan bagi jurang perbedaan negara kaya dan miskin.

kenyatannya di antara negara Asia Afrika semakin bertambah jumlah negara yang mau dan mampu membuat langkah maju. Langkah itu bahkan mulai menjadi pusat perhatian dunia seperti kemajuan yang dicapai China dan India.

Bagi kita Indonesia, peringatan 50 tahun KAA harus kita sikapi sebagai tonggak penting bagi bangsa ini untuk maju melangkah. Harus kita akui, sebelum nya ada keraguan dan pesimisme untuk mampu menyelenggarakan dengan aman dan sukses. Hal ini karena kita sedang menghadapi berbagai persoalan ruwet di dalam negeri, di samping kita sepertinya selalu salah langkah dalam setiap upaya mencari jalan ke luar.

Peringatan yang diikuti lebih dari 100 pemimpin negara Asia-Afrika itu tidak saja berlangsung aman, tetapi telah berhasil pula merajut kemitraan baru diantara bangsa-bangsa di kedua benua. Kemitraan baru itu akan benar- benar terwujud atau sebaliknya, seperti kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejarah jualah yang akan membuktikannya.

Agenda utama KAA membahas dan meluncurkan Deklarasi Kemitraan Strategis Baru di Asia Afrika (NAASP)18,yang antara lain berisi tentang reformasi sistem PBB dan lembaga multilateral lainnya untuk memberi kesempatan n eg ara b e rk em b an g m em p erju an g k an kepentingan mereka dengan cara yang lebih adil dan partisipatif. Misalnya, dalam pertemuan- pertemuan G-7 seyogyanya negara berkembang terwakili sebab dalam dunia yang saling tergantung keputusan-keputusan G-7 akan selalu memberi pengaruh bagi negara-negara b erkem bang .19 Tetapi yang pasti, KAA merupakan jawaban yang tidak saja mengubur

18 Program-progran konkret dalam unsur NAASP antara lain peningkatan sumber daya manusia dan kapasitasnya, memperkuat sistem perdagangan m ultilateral, meningkatkan kerjasama perdagangan, industri, investasi dan keuangan. Kemitraan baru Asia-Afrika akan terdiri dari tiga pilar, yaitu antarpemerintah, antar subregional dan antarmasyarakat.

19 Media Indonesia, 25 April 2005

44

Page 44: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

keraguan terhadap diri sendiri, tetapi juga membangkitan kembali spirit untuk meraih kembali sesuatu yang telah hilang.

KAA juga menjadi amat penting dan akan selalu dikenang karena bertemunya berbagai pemimpin dari negara-negara yang tengah dilanda ketegangan, seperti antara Jepang dan China, India dan Nepal, Korea Utara dan Korea Selatan dan antara Malaysia dan Indonesia dengan berbagai permasalahan antara kedua negara.

Hal ini berarti ditengah berbagai persoalan dalam negeri yang sangat banyak, bangsa kita masih mempunyai manfaat bagi bangsa-bangsa lain. Dari sini kita harus teguh berkeyakinan bahwa kita pasti akan bisa melangkah ke depan dengan mantap. KAA membuktikan bahwa rakyat Indonesia mampu membuktikan pada dunia bahwa kita bisa bersama dan bersatu menciptakan keamanan dan kesuksesan melalui perhelatan ini.

Usai KAA, Indonesia memanfaatkan momentum ini dengan menjalin kemitraan strategis dengan China. Pertemuan Presiden RI dengan Presiden China Hu Jintao menghasilkan suatu Deklarasi Kemitraan Strategis yang ditandatangani pada tanggal 25 April 2005.20 Kemitraan Strategis ini akan berupa hubungan yang tidak memihak dan tidak tertutup yang ditujukan untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas dan kemakmuran kedua negara beserta rakyatnya. Kemitraan Strategis ini akan menjadi sendi penting dalam memperkuat kemitraan s tra teg is A S E A N -C hina se rta m enjad i komponen penting dalam memperkuat kerja sama Selatan-Selatan antar negara berkembang.

20 Sembilan kerjasama itu antara lain, bidang industri strategis yang berhubungan dengan sistem persenjataan darat, laut dan udara; penegakan hukum dalam menghadapi kejahatan transnasional dan terorisme. Juga disepakati kerjasama pembebasan visa untuk paspor dinas dan diplomatic; infrastruktur dan sumber dan sumber daya alam; hibah yang berhubungan dengan ekonomi dan teknologi ; pengaturan badan geofisika, gempa bumi dan tsunami serta palang merah kedua negara.

Kemitraan ini difokuskan untuk memperkuat keija sama politik dan keamanan, memperdalam kerja sam a ekonom i dan pem bangunan, meningkatkan kerja sama social budaya dan memperluas hubungan non-pemerintah.

Penandatanganan deklarasi tersebut m erupakan perkem bangan lanjutan atas kesepakatan yang dicapai kedua negara di sela- sela pertemuan puncak APEC di Santiago, Cile pada November 2004.21

Kita harus menangkap peluang ini dengan sebaik-baiknya dan dapat merealisasikannya. China yang pernah terseok-seok dengan sistem ideologi komunisme, kini bangkit percaya diri membangun perekonomian negerinya. Hal ini harus kita contoh sebagai negara yang punya konsep pembangunan yang sudah on the right track.

Bukan hanya ide dan proses pembentukan kemitraan strategis itu menarik, tetapi situasi yang melingkupinya juga tepat. Secara regional, kesepakatan kemitraan strategis Indonesia muncul pada momentum tepat, lebih-lebih setelah India-China membentuk persahabatan dan kerja sama ekonom i.22

Momentum KAA juga digunakan oleh Jepang-China untuk bertemu menjalin kembali hubungan kedua negara yang m enegang beberapa waktu ini yang dipicu oleh pengesahan buku pelajaran yang isinya dianggap menutupi kekejaman Jepang selama masa pendudukan di wilayah Asia khususnya China dan Korea.

Masa Depan Diplomasi Indonesia

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memenangkan pemilihan umum secara langsung dan pertama di Indonesia tahun 2004 berupaya menghilangkan citra Indonesia yang kurang baik di luar negeri akibat berbagai

21 Kompas, 28 April 200522 Kedua negara China dan India bertekad menyelesaikan

persengketaan perbatasan sejauh 3.500 kilometer untuk melapangkan jalan bagi peningkatan kerjasama bidang ekonomi dan diplomatik.

45

Page 45: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

fak to r in te rn a l sep e rti s ta b ilita s keamanan,transparansi, konsistensi kebijakan (termasuk penegakan hubum dan peraturan perundang-undangan yang kondusif).

Diperlukan suatu upaya diplomasi yang kom prehensif dan terpadu dengan lebih menonjolkan transformasi politik yang telah dialami Indonesia sebagai identitas baru yang membedakannya dengan era sebelumnya yang otoriter dan militeristik. Pada masa Orde Baru perimbangan kekuatan politik dan kekuasaan adalah masa “executive heavy”, akan tetapi pada masa pemerintahan saat ini keseimbangan lebih kepada “partikroasi”, di mana legislatif lebih dominan dari pada eksekutif, sehingga perencanaan pembangunan nasional disesuaikan dengan perkembangan baru ini.23

Identitas Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan terbesar di kalangan dunia Islam, dengan masyarakat plural dan Islam moderat serta sistem ekonomi terbuka perlu dipromosikan secara lebih luas untuk menetralisir citra buruk yang cenderung mendominasi pemberitaan tentang Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan pelaksanaan Pemilu legislatif dan Presiden langsung yang paling dem okratis selam a Indonesia m erdeka. Disamping itu, dalam hubungan internasional yang diw arnai complex interdependence diperlukan pula kemitraan yang lebih luas antara pemerintah dan unsur-unsur di luar pemerintah dengan melibatkan banyak aktor di luar negara.

Faktor lain yang m enyangkut citra Indo n esia d im ata in te rn as io n a l adalah penghargaan terhadap HAM yang mencatat rekor terburuk selama pemerintahan Orde Baru. Untuk itu diperlukan suatu tekad dan langkah nyata dari pemerintah saat ini untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap HAM. Terkait dengan ini adalah upaya penegakan hukum dan penyelesaian yang adil terhadap

23 Ali Alatas, “Tatanan Politik Luar Negeri Indonesia Abad XXI”, Kompas, Juni, 2000

pelanggaran HAM dimasa lalu yang merupakan tantangan berat bagi kredibilitas pemerintah saat ini.

Pelaksanaan diplomasi memerlukan pengetahuan yang mantap tentang masalah yang dihadapi dan kem am puan berkomunikasi dengan p enguasaan bahasa yang baik . Berdasarkan penguasaan tersebut akan terbuka kemungkinan-kemungkinan dengan spektrum yang lebih luas bagi politik luar negeri kita di masa depan untuk mempeijuangkan kepentingan kita dalam era globalisasi saat ini.

Multilateralisasi hubungan antar negara menuntut suatu organisasi Departemen Luar Negeri yang menyesuaikan diri secara struktural dengan kemajemukan hubungan yang semakin meningkat dan terintegrasi. Proses politik, ekonomi, sosial dan keamanan berubah dengan cepat, demikian pula dengan teknologi sebagai instrumen sehingga mempengaruhi manusia dan sikapnya yang berubah dengan cepat pula. Perubahan itu terasa di dunia bisnis dan diplomasi internasional. Tantangan yang kita hadapi adalah memahami perubahan-perubahan tersebut sehingga kita dapat memanfaatkannya bagi keuntungan k ita sendiri dan yang akan mempengaruhi masa depan kita.

K ita hidup dalam suatu dunia yang berlandaskan teknologi dan bisnis. Di samping itu kita juga hidup dalam suatu lingkungan yang berlandaskan demokrasi, civil society, hak asasi manusia dan good govemance dalam suatu proses pembangunan yang berkelanjutan. Ilmu pengetahuan , tekno log i dan dem okrasi merupakan kunci masa depan.

Dengan asumsi diatas, politik luar negeri kita tidak dapat lagi dihadapi dengan pendekatan politik, ekonomi, sosial-budaya, keamanan secara terpisah-pisah. Ia harus didekati secara terintegrasi dan hal ini memerlukan suatu sikap yang baru pu la , yakni dengan m elihat perkem bangan-perkem bangan nasional, regional dan internasional sebagai suatu rangkaian kejadian dan perkembangan yang terintegrasi. Diplomasi yang baru ini perlu

46

Page 46: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

ditunjang secara organisatoris berdasarkan pembagian yang lebih fungsional sebagaimana struktur Deplu saat ini. Diharapkan implementasi penerapannya leb ih dapat m enam pung pendekatan permasalahan multilateral atas dasar pendekatan lintas bidang sebagai pedoman bagi pengembangan langkah-langkah diplomasi antara Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah terintegrasi secara regional dan multilateral maupun yang belum.

Di samping itu, Deplu juga menerapkan k eb ijak an n y a m e la lu i fo ru m “total diplomacy, ”24<\\ m ana fo rum te rseb u t m eliba tkan berb ag a i lap isan , m elipu ti d ep a rtem en -d ep artem en te rk a it, D PR , m asyarakat, kelom pok NGO dll, dengan harapan masukan-masukan dari forum ini dapat melengkapi kebijakan yang diambil Deplu/ pemerintah sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Sebagai contoh, dalam rangka pemulihan perekonomian kita maka Deplu dengan Menko Perekonomian, Departeman Perdagangan dan departemen terkait lainnya duduk bersama-sama untuk mencapai kebijakan yang semaksimal mungkin di bidang penanaman modal asing. Dalam hal ini, peningkatan kemampuan public relation secara keseluruhan serta profesionalisme kalangan diplomat sangat diperlukan.

A gar p o litik lu a r n eg e ri d ap a t mencerminkan identitas dan prioritas nasional, maka nilai-nilai demokrasi dan HAM yang sekarang menjadi tema utama politik dalam negeri sebaiknya ikut dijadikan sebagai nilai-nilai yang mendasari politik luar negeri Indonesia di masa datang.

Penutup

Di dalam menghadapi dinamika politik yang berkembang, Indonesia sudah cukup tanggap terhadap kendala-kendala baik yang

berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Secara umum pemerintah Indonesia memahami trend yang teijadi serta kemungkinannya di masa depan. Hal ini dapat dibuktikan melalui telaahan yang bers ifa t stra teg is, in trospeksi dan reaktualisasi terhadap kegiatan politik serta langkah-langkah yang telah diambil dalam m enghadapi setiap perm asalahan politik berskala nasional maupun internasional.

N am un b ila d ih ad ap k an k ep ad a kepentingan nasional yang lebih luas yang berkaitan dengan berbagai kepentingan in ternasional, respon Indonesia kurang optimal dan masih perlu adanya perbaikan atau perubahan sikap politik. Indikator yang terlihat dalam implementasinya antara lain:

1) Indonesia lebih bersifat reaktif terhadap kasus yang teijadi dan cara-cara penanganan yang k u rang m em p erh a tik an trend internasional, yang mau tidak mau harus kita ikuti sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi.

2) Intervensi politik dari luar negeri yang mempunyai kepentingan tertentu terhadap Indonesia kurang bisa diantisipasi secara dini. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan menyerap dan menganalisa informasi serta lemahnya diplomasi luar negeri kita.

3) Indonesia harus menangkap peluang yang ada dalam kemitraan strategis yang merupakan kebijakan luar negeri saat ini. Bagaimana kesiapan kita merealisasikan kemitraan pada tingkat operasional secara optimal?

K ebijakan Pem erintah m enghadapi dinamika politik yang berkembang di dalam negeri dirasakan m asih kurang, dim ana pemerintah sering dianggap terlalu campur tangan dan melakukan rekayasa politik sehingga te rk esan m em bodoh i dan m engekang masyarakat. Demokratisasi akibat globalisasi juga perlu diwaspadai karena hal tersebut sangat rawan terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen, dan bila dipaksakan hal itu dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.

24 Marty Natalegawa,” Polugri dalam Pemulihan Ekonomi Nasional” Seminar P2P-LIPI, September 2002

47

Page 47: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Menghadapi dinamika politik dari luar negeri, yang dirasakan masih perlu dibenahi antara lain adalah kualitas aktor politik (diplomat) dan masih kurangnya aktor non pemerintah yang terlibat dalam hubungan luar negeri. Disamping itu, kegiatan diplomasi dirasakan masih kurang intensif dan kurang terpadu dengan kepentingan aspek lain (ideologi, politik, ekonomi, sosial- budaya dan keam anan) sehingga kurang maksimal mendukung keberhasilan politik luar negeri kita. Oleh karena itu kebijakan “total diplom acy” yang te lah d im u la i p ada pemerintahan terdahulu perlu ditingkatkan, antara lain melalui penggalangan terhadap organisasi-organisasi penting di dunia, termasuk N G O ’S tertentu yang selalu memojokkan Indonesia. Demikian juga keija sama di bidang sosial dan budaya dengan negara-negara yang tidak/kurang senang terhadap Indonesia dengan melibatkan kalangan swasta maupun masyarakat umum (people t o people diplomacy). Peran dan dukungan pemerintah dalam keija sama ini sangat diperlukan untuk menunjang kepentingan politik luar negeri.

Potensi masyarakat Indonesia di luar negeri baik bersifat perorangan m aupun organisasi walaupun kecil perlu dilibatkan secara terpadu dan optimal untuk mengantisipasi, mengakomodasikan, menangkal dan menangkis terhadap setiap kemungkinan intervensi politik serta mampu mendukung keberhasilan kebijakan politik luar negeri.

Di samping itu, dalam era globalisasi Indonesia perlu leb ih m eng in tensifkan keterlibatannya dalam forum-forum internasional seperti A SEAN, A SEA N +3, A PEC, dan organisasi keuangan internasional agarmemiliki bargaining power terhadap negara-negara besar terutama AS yang selama ini menguasai PBB dan IMF.

P res id en SBY seb ag a im an a k e ­munculannya sebagai kandidat presiden yang sukses, berusaha m enggunakan karism a

pribadinya dengan mengambil peran lebih menonjol di dalam melaksanakan politik luar negerinya. Dengan melakukan pendekatan kepada negara m itra dialog guna meraih kepercayaan luar negeri akan keseriusannya di dalam setiap komitmennya.

Serangkaian kunjungan Presiden Susilo B am bang Y udhoyono m engaw ali pem erintahannya m erupakan perwujudan upayanya memperkuat kerja sama dengan negara-negara yang berada dalam Lingkaran Konsentris II meliputi Australia, Selandia Baru dan Timor Timur. Sementara pendekatan dengan ASEAN yang merupakan Lingkaran Konsentris I telah dilakukan beberapa waktu yang lalu dengan kunjungannya ke S ingapura dan Malaysia yang ditindaklanjuti dengan kunjungan Wapres Yusuf Kalla, mengingat cukup seriusnya permasalahan yang ada diantara kedua negara seperti: illegal logging, TKI dan permasalahan perbatasan kasus Ambalat dengan Malaysia serta peningkatan perdagangan/investasi dan kelanjutan pembahasan mengenai perjanjian ekstradisi dengan pihak Singapura.

N am un kesuksesan dari kunjungan tersebut harus dibarengi dengan kerja keras untuk memanfaatkan secara optimal peluang dari setiap kerja sama karena secara regional dan global situasinya sangat kondusif untuk mendorong kemitraan strategis.

Tantangan terbesar bagi Indonesia adalah bagaimana kita bebenah diri agar mampu mengambil manfaat dari setiap bentuk kerja sama dan kemitraan dengan negara lain.

Penyelenggaraan peringatan 50 tahun KAA merupakan tonggak penting bagi Indonesia sebagai tuan rumah untuk memulihkan citra Indonesia ditengah masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Dengan menggelorakan kembali semangat KAA ditengah konstelasi politik dunia yang telah berubah ternyata masih relevan untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadap oleh negara-negara Asia dan Afrika saat ini.

48

Page 48: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Daftar Pustaka

A latas,A liTatanan Politik Dunia Abad XXI,” Kompas, Juni 2000

Anwar, Dewi Fortuna,"Indonesia: foreign Policy and Domestic Politics”, ISEAS, Singapore 2003

L.Smith,Anthony,”Gus Dur and the Indonesian Economy,"ISEAS,Singapore,2001.

Natalegawa, Marty,”Polugri dalam Pemulihan Ekonomi Nasional” , Workshop, P2P- LIPI,2002

“Reinventing ASEAN”, ISEAS, Singapore, 2001.

S ad li, M ,"M em b an g u n K em an d irian E konom i In d o n e s ia da lam E ra Globalisasi,"Seminar

Nasional, P2E-LIPI, Agustus 2002

Pangestu, Mari,"Indonesia in a Changing World E n v iro n m en t, M u ltila te r im vs Regionalism ” , Indonesian Quarterly, vol XXIII, no.2, CSIS, Jakarta, 1995.

h ttp ://business-tim es.asia .com .sg /v iew s/story/html

h t tp ; / /w w w .v n a g e n c y .c o m .v n /P u b lic /Readnews.asp?file

Detikcom, 9 Mei 2005

Kompas, 9, 12, 25 April, 2005

Kompas, Mei, 2005

Media Indonesia, 25 April, 2005

49

Page 49: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Politik Luar NegeriPem erintahan Susilo Bam bang Yudhoyono

terhadap EropaOleh:

Agus R. Rahman

Abstract

The airns ofthis paper is to explain the important ofEurope in President Susilo Bambang Yudhoyono foreign policy. The approach ofthis research is based on individual factor as determinant factor that effect Indonesian foreign policy which is conseptualized infour components. The result ofthis research is Europe is not the main priority in Indonesian foreign policy under President SBY because Europe does not have clear position due to their several domestic problems and because the main priority in Indonesian foreign policy is based on two pillars of regionalism, such as ASEAN and APEC.

Teka-teki tentang pemerintahan siapa yang berkuasa setelah pemilu presiden secara langsung tahun 2004 itu, terjawab sudah ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinyatakan sebagai pemenang dalam dua tahap proses pemilunya dengan menyisihkan empat pasangan kontestan yang lain.1 Pelantikannya pada tanggal 20 Oktober 2004 sebagai presiden Indonesia yang keenam dalam lima puluh sembilan tahun usia republik ini dilakukan oleh MPR hasil pemilu legeslatif 5 April 2004.

Selanjutnya, SBY menyusun kabinetnya sebagai perwujudan kekuasaan eksekutif untuk mengelola arah dan perilaku pemerintahannya selama lima tahun ke depan tanpa disertai gejolak atau kemelut politik yang signifikan. Susunan kabinet pem erintahan SBY ini

1 Pada tahap pertama, pemilu presiden Indonesia diikuti oleh lima pasangan kontestan yaitu pasangan nomor urut pertama adalah Wiranto-Salahuddin Wahid; pasangan nomor urut kedua adalah Megawati Soekarnoputri- Hasyim Muzadi; pasangan nomor urut ketiga adalah Amien Rais-Siswono Yudo Husodo; pasangan nomor urut keempat adalah SBY-M. Yusuf Kalla; dan pasangan nomor urut kelima adalah Hamzah Haz-Agum Gumelar. Pada tahap kedua, pemilu presiden Indonesia hanya diikuti oleh dua pasangan kontestan yaitu nomor urut kedua Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan nomor urut keempat SBY-M. Yusuf Kalla.

diumumkan setelah sempat tertunda kurang dari dua jam dengan sebutan Kabinet Indonesia Bersatu.2

Dalam format sistem politik apa pun, pemerintahan SBY sebagai pengelola kekuasan eksekutif akan berwenang merumuskan dan menjalankan kebijakan nasional baik dalam dalam negeri maupun luar negeri. Dalam perumusan kebijakan nasional itu, sejumlah faktor obyektif seperti baik faktor struktural dan institusional maupun faktor sosietal dan spasial serta faktor subyektif individu seperti karakter individual, akan sangat menentukan elemen kebijakan nasionalnya. Hal yang menarik pada setiap pemerintahan di Indonesia adalah posisi presiden sebagai individu yang selalu menempati posisi khusus dalam mesin perumusan kebijakan nasional. Sebagai individu, faktor karakter individual ini sebagai faktor ideosinkratik atau faktor kepribadian merupakan satu diantara serangkaian faktor yang menentukan politik luar negeri Indonesia.3

2Pemerintah SBY ini meliputi tiga menteri koordinator dan seorang menteri sekretaris negara, delapan belas menteri yang memimpin departemen, dua belas menteri negara non-departemen; serta dua pejabat setingkat menteri.

3Lihat dan baca Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri di Bawah Soeharto (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 3.

51

Page 50: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Oleh karena itu, faktor obyektif yang dihadapi oleh Presiden SBY dan faktor subyektif yang melekatnya secara inheren akan mewarnai pola-pola kebijakan nasional baik di bidang dalam negeri maupun luar negeri. Tulisan ini dengan sengaja memilih kebijakan luar negeri Presiden SBY, yang mencoba memfokuskannya secara khusus terhadap Eropa sebagai sebuah kawasan kawasan yang memang serba jauh dari lingkaran konsentrik trandisional Indonesia.

Pemerintahan SBY jelas mewarisi pola politik luar negeri Indonesia dari serangkaian pem erintahan sebelum nya, w alaupun ia sesungguhnya memiliki hak otonom untuk menentukan gaya dan polanya sendiri dalam politik luar negeri selama lima tahun masa pemerintahannya. Presiden SBY, pada satu sisi, dibebani oleh hiruk pikuk suasana, situasi dan kondisi reformasi dalam negeri yang dihadapinya dan sekaligus, pada sisi yang lain, ia dituntut untuk bersikap layak dan proporsional terhadap lingkungan ek ste rn a l In d o n es ia dalam memperjuangkan kepentingan nasional.

Dalam memperjuangkan kepentingan nasional pada tataran internasional, Presiden SBY memiliki serangkaian pilihan untuk menentukan perilaku Indonesia dalam konteks regional dan global baik yang berskala bilateral maupun multilateral. Secara fungsional, Presiden SBY memang meneruskan posisi Indonesia untuk berperang terhadap terorisme, serta sejumlah isu hubungan internasional yang kontemporer. Akan tetapi, secara struktural, penguatan ikatan regionalis di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik tetap menjadi dua titik tolak bagi percaturan politik luar negeri Indonesia. Hal ini diperlihatkan dengan penguatan ASEAN dan APEC sebagai dua pilarregionalis dalam politik luar negeri Indonesia. Tekanan pada kedua kawasan ini dianggap sebagai suatu kebutuhan yang mutlak, tetapi sayangnya, kedua kawasan itu tidak m em berikan kepada Indonesia kesetaraan dan saling ketergantungan. Selain itu, pengem bangan pola hubungan bila tera l kemudian menjadi mata rantai politik luar negeri

Indonesia baik secara khusus terhadap negara- negara yang berbatasan langsung dan negara- negara tertentu di kedua pilar regionalis tersebut, maupun terhadap negara-negara lainnya di luar ASEAN dan APEC seperti Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Selatan, atau kawasan Samudra Hinda.

Berdasarkan pendekatan regionalisme yang melingkungi Indonesia, ASEAN dan APEC sebagai dua pilar dalam politik luar negeri Indonesia dijadikan syarat perlu dan cukup bagi orientasi dan peranan nasional politik luar negeri Indonesia, karena kedua lingkungan eksternal ini mengikat Indonesia secara geografis yang terlahir seperti itu apa adanya. Akibatnya, kawasan Eropa adalah suatu kawasan yang samar-samar dalam politik luar negeri Indonesia.

Namun, instrumen ASEM (Asia Europe Meeting) sebagai suatu jembatan penghubung antara kawasan Asia dan Eropa4 * merupakan pola hubungan antar kawasan yang belum tertandingi oleh kawasan mana pun di dunia ini. Suatu hal yang m enarik tentunya adalah penentuan posisi kawasan Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY. Dimanakah posisi Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bwah Presiden SBY? Pentingkah atau prioritas apa posisi Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY? Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri jejak posisi kawasan Eropa dalam politik luar negeri Presiden SBY sehingga kedua pertanyaan itu dapat dijawab.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini mengandalkan pada kepustakaan tentang politik luar negeri Indonesia pada pemerintahan sebelumnya untuk kemudian diramu sedemikian rupa sehingga mampu menelusuri jejak posisi Eropa dalam politik luar n eg e ri P res id en SBY. K ep u stak aan -

4 Lihat dan baca Edison Muchlis M., ed., ASEM danRevitalisasi Hubungan Uni Eropa dan Asia (Jakarta: PPW LIPI, 2001).

52

Page 51: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

kepustakaan ini mungkin tersedia banyak sekali dan tersebar di mana-mana, tetapi tulisan ini hanya mengandalkan pada kepustakaan yang teijangkau. Selain itu, tulisan ini tidak didasarkan pada data-data yang terjaring melalui metode wawancara dengan orang-orang yang memiliki kaitan secara langsung baik dalam perumusan maupun pelaksanaan politik luar negeri di bawah Presiden SBY. Namun, bahan-bahan yang tersedia dari media cetak baik dalam bentuk berita maupun opini merupakan data yang utama.

Tulisan ini pun pada akhirnya belumlah menggambarkan politik luar negeri Indonesia yang sesungguhnya karena usia pemerintahan Presiden SBY belum mencapai satu tahun. Analisis datanya mengandalkan pada teknis analisis korelasionis maupun induksionis karena menggunakan karakter individual dan perilaku aktor negara dalam menjelaskan politik luar negeri Indonesia dan posisi Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY. Analisisnya pun masih bersifat sangat terbatas, karena data yang dapat dijaring pun memang terbatas. Oleh karena itu, studi ini merupakan studi awal bagi kajian politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY karena jangkauan waktunya yang sangat singkat yakni sekitar enam bulan periode pemerintah Presiden SBY, sejak pelantikannya menjadi presiden pada bulan Oktober 2004 hingga minggu keempat bulan Mei 2005, ketika tulisan ini dikoreksi. Selain itu, studi ini pun merupakan studi yang bersifat parsial, karena studi ini sangat mengandalkan pada penelusuran jejak aspek regional Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY.

Politik Luar Negeri: Koseptual

Politik luar negeri dikonsepsikan sebagai tindakan dan ak tiv itas negara terhadap lingkungan eksternalnya yang meliputi empat komponen yaitu orientasi, peranan, tujuan dan tindakan.5 Tampaknya, tindakan dan aktivitas

5 K.J. Hosti, Intemational Politics: FrameworkforAnalysis (New Delhi: Prentice-Hall, 1987), hlm. 108.

negara dalam konteks lingkungan eksternalnya yang terangkum sebagai politik luar negeri tidak hanya bersangkutan dengan hal-hal yang konkrit, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Tiga komponen politik luar negeri itu diasumsikan sebagai komponen abstrak dan komponen yang keempat adalah komponen yang bersifat konkrit.

Fenom ena politik luar negeri yang dikelompokkan ke dalam sifat konkrit dan abstrak itu tidak lain tidak bukan semata-mata ditujukan kepada pemilihan topik dalam studi po litik luar negeri sebagai obyek studi. Bahwasanya topik yang konkrit itu bersumber dari kategori orang, entitas, peristiwa dan kebijakan. Sedangkan topik yang abstrak bersumber pada nilai, masalah dan proses.6

Secara konseptual, orientasi politik luar negeri didefinisikan sebagai suatu sikap dan kom itm en yang bersifat um um terhadap lingkungan eksterna lnya , s trateg i yang fundamental bagi pencapaian tujuan domestik dan eksternal, serta aspirasi untuk mengatasi ancaman yang ada. Orientasi politik luar negeri suatu negara lalu diekspresikan oleh tingkat keterlibatan negara itu dalam berbagai isu internasional, yang selalu dinyatakan dalam serangkaian kepu tu san .7 P engertian ini memperlihatkan kompleksitas studi politik luar negeri karena m enginteraksikan struktur domestik dan eksternal, serta pemaknaannya oleh pembuat keputusan atau elit politik yang sedang berkuasa yang dirumuskan dalam suatu strategi.8 * * *

Konsep peranan diasosiasikan dengan keterlibatan aktor negara dalam pergaulan internasional baik dalam skala global maupun

6 Cari Kalvelage dan Morley Segal, Research Guide in Political Science (Dallas: Scott, Foresman and Co., 1976), hlm. 3-13.

7K.J. Holsti, op.cit., hlm. 109.8 Lihat dan baca Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan

M ochamad Yani, Pengantar Ilmu HubunganInternasional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),hlm. 47-50.

53

Page 52: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

skala regional. Keterlibatan negara dalam berbagai forum internasional itu dikonsepsikan sebagai pendefinisian aktor pembuat keputusan yang berbekaan dengan komitmen dan aturan yang cocok dengan negaranya serta yang akan dilaksanakannya dalam konteks geografis dan isunya. Konsep peranan nasional ini jelas berkaitan dengan orientasi dalam politik luar negeri.9

Sebagai suatu unit politik, negara memiliki kebutuhan dan tujuan yang dapat dicapai dengan mempengaruhi perilaku negara lain. Secara konseptual, konsep tujuan dalam politik luar neg eri d ipaham i sebagai se ran g k a ian kepentingan dan nilai-nilai kolektif yang berkaitan dengan perilaku negara lain. Seringkah, tujuan dalam politik luar negeri dirumuskan secara sederhana dengan konsep kepentingan nasional.10 Dengan kata lain, tujuan politik luar negeri itu merupakan fungsi dari proses-proses tujuan negara baik dalam jangka panjang, menengah, dan pendek yang dirumuskan secara konkrit dengan mempertimbangkan situasi internasional dan kababilitas yang dimilikinya.11

Bersama dengan konsep orientasi dan peranan nasional yang disebutkan sebelumnya, ketiga komponen ini berbeda dengan komponen tindakan dalam politik luar negeri. Orientasi, peranan nasional, dan tujuan tersusu dalam bentuk citra dalam pikiran para aktor pembuat keputusan politik luar negeri. Sedangkan tindakan dalam politik luar negeri adalah segala sesuatu yang dilakukan pem erintah yang berkuasa kepada aktor hubungan internasional lainnya untuk mempengaruhi orientasi tertentu, memenuhi peranan nasional, dan atau mencapai serta mempertahankan tujuan politik luar negerinya.Tindakan dalam politik luar negeri juga dapat berupa sinyal yang dikirim oleh suatu aktor

9K.J. Hostri, op.cit., hlm. 130.'°Ibid„ hlm. 138-139."Lihat dan baca Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan

Mochamad Yani, op.cit., hlm. 51-52.

pembuat keputusan politik luar negeri untuk mempengaruhi citra aktor penerima.12

Berdasarkan dua kasus yang terjadi di Eropa Timur melalui reformasi politik,13 aktor negara tidaklah bersifat mutlak dan langgeng. Kedua kasus itu adalah kasus terurainya Uni Soviet14 ke dalam entitas Rusia dan sejumlah negara pecahannya yang tergabung dalam CIS (Commonwealth of Independence States) yang lebih bersifat damai, dan kasus terpecahnya Yugoslavia ke dalam entitas Yugoslavia yang bersendikan Serbia, Croasia, Slovenia dan Bosnia-Herzegovina secara dramatik dan brutal.

Eksistensi aktor negara dalam hubungan internasional dapat saja hilang dari peredaran p e rg au lan an ta r n eg ara . S edangkan keberlanjutan aktor negara secara langsung tidaklah menjamin kemutlakan politik luar negerinya menjadi statis. Karena pemerintah yang berkuasa itu datang dan pergi pada setiap saat, tindakan dan aktivitas pemerintah yang berkuasa dalam hubungan internasional berbeda-beda antara satu pemerintah yang berkuasa kepada pemerintah yang berkuasa lainnya. Hal ini sungguh memberikan jejak bahw a perilaku negara dalam hubungan internasional itu mengalami perubahan, baik perubahan pasang maupun perubahan surut, sehingga politik luar negerinya mendorong dinamika politik luar negeri suatu negara.

Perilaku Indonesia sebagai satu aktor negara diantara beberapa jenis aktor hubungan internasional dapat dijelaskan melalui komponen politik luar negerinya yang menunjukkan segala tindakan dan serangkaian aktivitas Indonesia terhadap lingkungan eksternalnya. Kesemuanya itu dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang berkuasa atas nama negara. Meskipun Indonesia

l2K.J. Holsti, op.cit., hlm. 164.13Lihat dan baca Dwi Susanto dan Zainuddin Djafar, ed.,

Perubahan Politik di Negara-Negara Eropa Timur (Jakarta: Gramedia, 1990).

14Lihat dan baca Stephen White, Russia’s New Politics: the Management ofa Postcommunist Society (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hlm. 1-33.

54

Page 53: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

sebagai suatu aktor negara itu bersifat given dan tetap, pemerintah yang berkuasa di Indonesia itu selalu berganti dalam suatu kurun waktu dan berbeda satu sama lain. Akibatnya, politik luar negeri Indonesia dan pelaksanaannya menjadi tidak statis, melainkan demikian dinamis. Walaupun begitu, politik luar negeri Indonesia yang dinam is itu secara spesifik m asih mengandung sesuatu yang bersifat kontinum.

Selain itu, politik luar negeri Indonesia sepanjang suatu pemerintah yang dipimpin seorang presiden dikonsepsikan sebagai politik luar negeri sang presidennya, atau politik luar negeri di bawah sang presidennya. Hal ini dapat dipahami karena satu diantara sumber dari topik yang konkrit dalam studi politik luar negeri adalah orang sebagai individu, dalam arti bahwa orang itu memegang kekuasaan eksekutif atau presiden.

Dalam hal penamaan politik luar negeri yang disesuaikan dengan nama presidennya, konsep ini didasarkan pada dua tulisan. Pertama, dengan meminjam istilah yang dikemukan oleh J. Soedjati Djiwandono, politik luar negeri Indonesia merujuk kepada politik luar negeri Indonesia di bawah Soekarno, walaupun Indonesia sejak kem erdekaan tahun 1945 hampir memiliki selusin menteri luar negeri dan setengah lusin perdana menteri.15 Hingga tahun 1970, para menlu Indonesia itu berjumlah dua belas.16 Bahkan, sebagai rujukan yang kedua, politik luar negeri Indonesia memberikan versi yang lain dengan merujuk pada politik luar negeri di bawah Soeharto, yang ditulis oleh Leo S u ry a d in a ta .17 D ari s in i, k ita dapat mengonsepsikan lebih lanjut politik luar negeri

l5J. Soedjati D jiw andodo, Konfrontasi Revisited: Indonesia's Foreign Policy Under Soekarno (Jakarta: CSIS, 1996), hlm. viii.

16Kedua belas menlu Indonesia adalah Ahmad Soebardjo, Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, A.A. Maramis, Mohammad Hatta, Moh. Roem, Mukarto Notowidagdo, Sunarjo, Ide Anak Agung Gde Agung, Roeslan Abdulgani, Subandrio dan Adam Malik, lihat dan baca Panitia Penulisan Sejarah Deplu, Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri, 1945-1970 (Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Karyawan Deplu, 1971).

17Leo Suryadinata, op.cit., hlm. 2-3.

Indonesia di bawah Presiden B.J. Habibie, P residen A bdurrahm an W ahid, Presiden Megawati Soekamoputri, dan tentunya dengan presiden RI yang sekarang. Dengan demikian, tulisan ini berkenaan dengan politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY.

Politik Luar Negeri: Empirik Indonesia

Politik luar negeri Indonesia secara empirik dapat dipahami dalam serangkaian periode atau kepemimpinan politik di Indonesia. Setiap periode ini memperlihatkan variasi komponen politik luar negeri Indonesia yang dikendalikan oleh para presiden Indonesia. Sejak kemerdekaan tahun 1945 hingga tahun 1965, politik luar negeri Indonesia selama dua puluh tahun ini18 dapat dibedakan ke dalam tiga periode yaitu periode 1945-1949, periode 1950-1958, dan periode 1959-1966 di bawah Presiden Soekarno.19 Setelah tahun 1966, politik luar negeri Indonesia dapat dibedakan ke dalam tiga periode lanjutan yang pembagiannya lebih ditekankan pada periodesasi kepresidenannya. Ketiga periode itu adalah periode 1967-1998 di bawah Presiden Soeharto, periode 1998- 1999 di bawah B .J. Habibie, periode 1999- 2001 di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, p eriode 2001-2004 di baw ah P residen Megawati Soekamoputri, dan periode 2004- 2009 di bawah Presiden SBY. Sejak periode Presiden B.J. Habibie, politik luar negeri Indonesia dikonsepsikan sebagai politik luar negeri Indonesia pasca Soeharto.20

Pada periode pertam a adalah 1945- 1949, perhatian kepada Eropa adalah sangat dominan. Eropa dalam hal ini adalah Belanda,

'“Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty Years Indonesian Foreign Policy, 1945-1965 (The Hague: Mouton, Co., 1973).

‘5Leo Suryadinata, op.cit.. hlm. 28.“ Lihat dan baca Ratna Shofi Inayati, ed., Politik Luar

Negeri Indonesia Pasca Soeharto: Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional (Jakarta: P2P LIPI, 2002); dan Tim Peneliti HI DPR-RI, Analisis Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Abdurrahman Wahid: 1999-2000 (Jakarta: DPR-RI, 2001).

55

Page 54: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

kemudian Inggris. Belanda lebih ditekankan k aren a p ro ses p e rju a n g an pen g ak u an kemerdekaan dari Belanda tampaknya menjadi tujuan pokok politik luar negeri baik melalui tindakan diplomasi maupun perang-perang gerilya yang berlangsung. Namun, Inggris kemudian menjadi pusat perhatian karena peran Inggris dalam menamcapkan kembali kekuasaan kolonialisme Belanda di bumi Indonesia.

Karakter politik luar negeri pada periode pertama ini adalah diplomasi dan jalan perang g e rily a un tu k m encapai pen g ak u an kemerdekaan. Perjuangan ini pada akhirnya mencapai hasilnya yang gemilang dengan penandatanganan Perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) yang memberikan pengakuan kemerdekaan dalam bentuk negara federasi.21

Pada periode kedua adalah 1949-1958, politik luar negeri Indonesia menekankan pada kelanjutan dari hasil perjuangan diplomasi pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Sebagai kelanjutan perjuangan kemerdekaan ini, Indonesia berambisi untuk membantu negara-negara yang masih dalam cengkeraman kolonialisme negara-negara Eropa. Sasaran tembak politik luar negeri Indonesia pada periode kedua ini adalah Eropa Dalam hal ini, Eropa lebih ditujukan kepada perannya sebagai negara kolonialisme yang belum berniat memerdekaan daerah-daerah jajahannya KAA (Konperensi Asia- Afrika) adalah model politik luar negeri Indonesia selepas dari pengakuan kemerdekaan dari Belanda Hal ini dianggap sebagai perolehan politik luar negeri Indonesia yang terbesar kedua setelah pengakuan kemerdekaan dari Belanda, ketika bentuk pemerintah di Indonesia adalah pemerintahan parlementer.

Pada periode kedua ini, pemerintahan sesungguhnya tidaklah stabil. Partai politik yang terkemuka masing-masing menaruh kecurigaan yang mendalam terhadap blue-print politik luar negeri setiap kabinet yang berkuasa. Justru, pada periode kedua ini, separatisme muncul sebagai

2lLeo Suryadinata, op.cit., hlm. 28-34.

ancaman terhadap negara yang baru ini dengan diproklamasikannya RMS (Republik Maluku Selatan) pada tahun 1950. Berkat keberhasilan menumpas pemberontakan kelompok militer di Sumatera, sentimen anti-Barat dan anti-Amerika semakin tumbuh di dalam negeri, sejalan dengan orientasi politik di dalam negeri yang bergerak ke arah kiri.22

Periode ketiga adalah periode 1959-1965 yang dikendalikan secara penuh dan otoriter di bawah kekuasaan Presiden Soekarno. Pada periode ini, Indonesia semakin mempersempit ruang lingkup politik luar negerinya. Artinya, Indonesia berusaha bermain pada tingkat politik global, tetapi Presiden Soekarno tampaknya sulit untuk berdiri ke luar dari pola politik pembentukan blok kekuatan ideologis dan militer. Pada akhirnya, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Soekarno diformulasikan dengan pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Format politik luar negeri Indonesia ini, pada akhirnya, lebih cenderung dilihat sebagai upaya untuk memperkuat blok Timur atau menambah front penentangan terhadap dunia kapitalisme di AsiaTenggara.

Dengan kata lain, politik luar negeri Indonesia pada periode ketiga bercirikan anti- kolonial dan anti-Barat. Bahkan, secara tidak resmi, Indonesia di bawah Presiden Soekarno bersekutu dengan negara-negara komunis dan sosialis yang menjadikan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sangat agresif.23 Hal ini berarti bahwa politik luar negeri Indonesia dalam kurun waktu ketiga telah mencitrakan diri sebagai satu diantara orbit negara-negara blok kiri yang diusung oleh kom ponen dom estik yakni presiden dan kekuatan kiri.

Berdasarkan studi persepsi para elite politik di Indonesia, Franklin B. Weinstein memetakan bahwa politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Soekarno dihadapkan pada dilem a ketergan tungan .24 D alam situasi

v-lbid„ hlm. 34-38.*Ibid., hlm. 38-42.24Franklin B. Weinstein, Indonesian Foreign Policy and

the Dilemma ofDependence (London: Cornell University Press).

56

Page 55: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

ketergantungan ini, Indonesia di bawah Presiden Soekarno justru melancarkan politik konfrontasi te rh ad ap n e o -k o lo n ia lism e k h u su sn y a konfron tasi terhadap M alaysia. H al ini menyebabkan bagaimana hubungan bilataral Indonesia dengan Uni Soviet (US) mencapai titik puncak hubungan b ila te ra l kedua pemerintahan itu.25

Lepas dari k e te rlib a tan n y a dalam penguatan blok kiri tersebut, periode keempat adalah kurun waktu 1966-1998 yang dikenal sebagai periode Orde Baru. Politik luar negeri Indonesia selama Orde Baru dirancang secara s is tem atik o leh O rde B aru di baw ah kepemimpinan nasional yang bersifat tunggal atan nama Presiden Soeharto. Politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Soeharto ini lebih menekankan pada penguatan Indonesia kepada blok Barat. Pemilihan ini lebih disebabkan karena proses-proses politik dalam negeri yang menuntut peninjauan kembali politik luar negeri Indonesia sebelumnya.26

Pada masa ini, Presiden Soeharto pun ternyata tidak dapat ke luar dari pola politik persaingan blok dunia. Pada akhirnya, Presiden Soeharto mengulang kembali pola politik luar negeri Indonesia periode sebelumnya. Hanya saja, perbedaannya adalah perubahan sang master. Politik luar negeri di bawah Presiden Soeharto menentukan masternya yang lebih te rtu ju kepada kelom pok b lok B arat. Kelompok negara-negara Barat diyakini mampu memberikan bantuan ekonomi yang diperlukan bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Dari sini, Indonesia memasuki jajaran orbit dari negara- negara blok Barat.

Dari sisi ini, Franklin B. Weinstein pun mempersamakan politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto bahwa politik luar negeri Indonesia itu tidak terlepas dari dilema ketergantungannya.27

25J. Soedjati Djiwandono, op.cit., hlm. 63-121.26Lihat dan baca Michael Leifer, Politik Luar Negeri

Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 161-203. 27Lihat dan baca Franklin B. Weinstein, loc.cit,

Akan tetapi, penataan politik luar negeri Indonesia dianggap lebih sukses. Pertama, setelah berhasil membawa Indonesia menjadi satu diantara orbitnya negara-negara blok Barat, Presiden Soeharto kemudian membalik citra konfrontasi Indonesia dengan Malaysia dahulu kepada penataan politik regional yang kondusif bagi upaya pembangunan ekonomi melalui pembentukan ASEAN (Association of South East Asian Nations). Pembentukan ASEAN diyakini sebagai titik balik dari politik konfrontasi kepada politik kerjasama regional sesama bangsa-bangsa di Asia Tenggara.28 ASEAN kemudian menjadi pilar utama yang pertama dari aspek lingkungan eksternal Indonesia dalam perumusan politik luar negeri di bawah Presiden Soeharto.29

Kedua, di samping pengelolaan tatanan regional tingkat pertama yang dianggap sukses itu, Indonesia di bawah Presiden Soeharto pun cukup aktif berperan dalam kelanjutan pilar regional tingkat kedua dalam politik luar negeri Indonesia. Hal ini dilakukannya m elalui partisipasi Indonesia dalam kerangka APEC (Asia Pacific Cooperation (APEC).30 Pilar regional APEC diyakini menjadi pilar utama yang kedua dari aspek lingkungan eksternal dalam politik luar negeri semasa Presiden Soeharto. Baik ASEAN maupun APEC kedua-duanya merupakan tatanan regional yang paling penting untuk menentukan perilaku Indonesia dalam pergaulan internasional dewasa ini.31 *

Yang menarik dari periode keempat adalah konfrontasi Indonesia dengan Eropa. Dalam hal ini, Eropa yang dimaksud adalah Uni

28Lihat dan baca Dewi Fortuna Anwar, Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994).

29Lihat dan baca Mochtar Kusumaatmadja, Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 151-194.

30Lihat dan baca Ganewati Wuryandari, ed., Indonesia & APEC (Jakarta: PPW LIPI, 1996); dan Indonesia dan APEC: dalam Perkembangan Ekonomi Politik Internasional (Jakarta: PPW LIPI, 1997).

31Lihat dan baca Hasjim Djalal, Politik Luar NegeriIndonesia dalam Dasawarsa 1990 (Jakarta: CSIS, 1997).

57

Page 56: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Eropa (UE), khususnya dua negara anggotanya yaitu Belanda dan Portugal. Konfrontasi kali ini lebih ditekankan pada pola yang berbeda. Pola pertama adalah penghentian seluruh bantuan luar negeri dari Belanda dan penghentian status Belanda sebagai koordinator mekanisme bantuan luar negeri kepada Indonesia yang dikenal sebagai IG G I (Inter-govem m ental Group fo r Indonesia). Pola kedua adalah pola pemutusan hubungan diplomatik oleh Portugal sebagai akibat masalah Timur Timur. Selanjutnya, Indonesia dan Portugal terlibat pada mediasi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dalam mengangani masalah krusial Timor Timur.32

Satu hal lagi yang juga dominan, yang bersifat serupa dengan periode sebelumnya, Indonesia di bawah Presiden Soeharto beijuang untuk menjadi nomor satu dalam kelompok negara-negara berkembang. Bahkan, Indonesia telah lama beijuang untuk menjadi tuan rumah GNB (Gerakan Non-Blok), tetapi baru berhasil pada tahun 1992 ketika Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan terbesar KTT (Konperensi Tingkat Tinggi) GNB. Prestasi politik luar negeri di bawah Presiden Soeharto ini mungkin disamakan dengan prestasi Presiden Soekarno yang berhasil menyelenggarakan KAA di Bandung pada tahun 1955.

W alaupun b eg itu , o rien ta s i yang terkandung pada kedua konferensi itu sangatlah berbeda. Pada satu sisi, pada KAA, Indonesia dipersepsikan sebagai penggalang kekuatan b an g sa -b an g sa A sia dan A frik a un tuk mendapatkan kemerdekaan mereka dari negara- negara penjajah yang kebanyakan adalah negara-negara Eropa. Sedangkan, pada sisi yang lain, sebagai pemimpin GNB, Indonesia lebih cen d e ru n g m en ek an k an k ep ad a visi pem b an g u n an b ahw a n eg a ra -n e g a ra berkembang selayaknya mulai menggelorakan

32Lihat dan baca Japanlon S itohang, ed., Prospek Hubungan Indonesia-UE: Penyelesaian Masalah Timor- Timur (Jakarta: PPW LIPI, 2000).

upaya pembangunan ekonomi yang dananya hanya tersedia di negara-negara industri maju.

Periode keempat adalah kurun waktu 1998-1999 yang dikelola oleh Presiden B J Habibie. Pada masa ini, kondisi domestik baik politik, ekonomi dan hukum memperlihatkan kecenderungan konflik yang meluas.33 Dengan konflik yang cenderung meluas ini, ancaman disintegrasi rasialisme dan fanatisme keagamaan dirasakan semakin m enguat.34 Sedangkan kemampuan ekonomi nasional semakin melemah dalam arti produksi yang macet, tingkat suku bunga yang bergerak naik, dan cadangan devisa yang semakin menipis.35 Dalam hal lingkungan eksternal yang dihadapi Indonesia ketika itu, AS semakin hegemonik khususnya melalui instrumen pinjaman luar negeri baik yang dikelola oleh IMF maupun Bank Dunia.36 Akibatnya, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden B. J. Habibie diformulasikan sebagai politik luar negeri yang tetap m endekatkan Indonesia kepada AS (A m erika S erik a t) dan kelom poknya, melepaskan status Timtim sebagai propinsi, dan mulai memanaskan hubungan bilateral Indonesia dengan negara tetangga.37

Periode kelima adalah kurun waktu 1999- 2001. Periode ini merupakan masa kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan segala karakter domestik yang khusus dan faktor in d iv id u a l yang khas p u la , P resid en Abdurrahman Wahid dihadapkan kepada situasi yang berbeda sam a sekali dengan para pendahulunya. Profil politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Abdurrahman Wahid yang paling terkemuka adalah kunjungan resmi

33Ratna Shofi Inayati, ed., op.cit., hlm. 87.34Lihat dan baca juga Awani Irewati, “Faktor Internal yang

Mempengaruhi Kepercayaan Luar Negeri,” dalam Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 15-33.

35Lihat dan baca juga Asvi W. Adam, “Faktor Eksternal: Diplomasi Penyelesaian Utang Luar Negeri,” dalam Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 35-51.

36Lihat dan baca juga Zatni Arbi, “Faktor Eksternal: Pengaruh Amerika Serikat atas Kebijakan Luar Negeri Indonesia,” dalam Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 53-65.

37Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 87.

58

Page 57: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

kenegaraan dan pemerintahan yang lebih sering dilakukannya sepanjang masa kekuasaannya.38

Politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Abdurrahman Wahid dikonsepsikan sebagai politik luar negeri yang lebih assertif sifatnya. Pelaksanaan politik semacam ini dilakukan melalui pendekatan kepada negara- negara Asia dan Timur Tengah. Yang lebih menarik adalah proposal bagi pembentukan poros Jakarta-New Delhi-Beijing.39

Dalam hal ini, politik luar negeri Indonesia di baw ah Presiden A bdurrahm an W ahid dirasakan kurang memberikan perhatian yang proporsional terhadap ASEAN dibandingkan dengan para pendahulunya. Hal ini dianggap bahwa Indonesia seolah-olah meninggalkan pola keij asama regional ASEAN yang sej alan dengan semakin mengendurnya peran Indonesia.40 Persepsi bahwa Indonesia di bawah Presiden Abdurrahman Wahid telah m eninggalkan ASEAN, memerlukan suatu penjelasan teoritik dan praktik yang lebih rinci untuk mencegah mispersepsi tentang Indonesia. Pemahaman situasi domestik baik aspek politik dan ekonomi yang dihadapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid adalah hal yang utama, sehingga Presiden Abdurrahman Wahid melancarkan diplomasi ofensif ke luar negeri di luar kerangka ASEAN.

Diplomasi ofensif ini tampaknya memiliki relevansi dengan kepentingan nasional, terutama dalam menjawab tuntutan demokratisasi secara lebih meluas, pemulihan ekonomi nasional untuk ke laur dari krisis, dan ancaman separatisme yang semakin meluas dan nyata serta serius. Prosesnya lebih bersifat instan dan reaktif sehingga pengelolaan politik luar negeri Indonesia cenderung tidak didasarkan pada suatu cetak

38Humphrey Wangke, “Kunjungan Luar Negeri Presiden Abdurrahman Wahid dan Pem ulihan Ekonomi Indonesia,” dalam Tim Peneliti HI DPR-RI, op.cit., hlm. 97-163.

39Ratna Shohi Inayati, ed., loc.cit.40Ratna Shofi Inayati, “Arah Kebijakan Luar Negeri dan

Diplomasi Indonesia,” dalam Ratna Shofi Inayati, ed., ibid., hlm. 70.

biru atau grand design politik luar negeri selama pemerintahannya.41

Periode keenam adalah kurun waktu 2001-2004. Sepanjang kurun waktu ini, Indonesia dipimpin oleh Presiden Megawati Soekamoputri yang merupakan presiden wanita pertama. Politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Megawati Soekamoputri kali ini menampilkan politik luar negeri bersifat feminis. Karakter feminis ini ternyata belum mampu memberi format yang lain dalam politik luar negeri Indonesia, sebagaimana yang selalu diharapkan oleh para pemikir gender dalam hubungan internasional42

Dalam hal ini, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Megawati Soekamoputri mulai bergeser kembali ke negara-negara Barat serta memperkuat kembali hubungannya dengan ASEAN.43 Pola ini sesungguhnya merupakan pola politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Dengan demikian, Presiden Megawati Soekamoputri yang diharapkan memberikan sentuhan feminis dalam politik luar negeri ternyata gagal secara teoritik karena ia hanya mengikuti pola politik luar negeri yang diformat oleh Presiden Soeharto.

P en g u a tan k ep ad a A SE A N leb ih ditonjolkan dengan kunjungan resminya begitu ia diangkat sebagai presiden ke negara-negara anggota ASEAN, disamping tentunya keharusan hadirnya presiden dalam KTT ASEAN tahun 2001 dan 2002.44 * * Walaupun begitu, Presiden M egaw ati S oekam opu tri m am pu untuk m em buka celah dalam m engem bangkan

41Lihat dan baca Partogi P. Nainggolan, “Diplomasi Ofensif Pemerintah Wahid: Analisis dari Perspektif Politik,” dalam Tim Peneliti HI DPR-RI, op.cit., hlm. 1-95.

42Tokoh gender dalam hubungan internasional diantaranya meliputi Jean Bethke Elshtain, Cynthia Enloe dan J. Ann Tickner, Martin Griffiths, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 295-312.

43Ratna Shofi Inayati, ed., op.cit., hlm. 87.44Lihat dan baca Ratna Shofi Inayati, “Arah Kebijakan Luar

Negeri dan Diplomasi Indonesia,” dalam Ratna ShofiInayati, ed., ibid., hlm. 71.

59

Page 58: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

hubungan bilateral Indonesia dengan Rusia di tengah karakter hegemonik AS dalam hubungan internasional. Hal ini dilakukannya dengan kunjungan resmi ke sejumlah negara Eropa Timur termasuk Rusia. Dengan Rusia, Indonesia di bawah Presiden Megawati Soekamoputri berhasil menandatangani sejumlah kerjasama bilateral. Tindakan ini dianggap sebagai suatu tindakan terobosan yang berani dan sekaligus memberikan sedikit warna yang lain bagi politik luar negeri Indonesia.45

Politik Luar Negeri Presiden SBY

K etika m asa kam panye pem ilihan legeslatif m aupun presiden tahun 2004, perkembangan internasional jarang menjadi pusat perhatian baik pada kontestan peserta pemilu maupun para pemilih dibandingkan dengan perkembangan nasional. Partai politik di Indonesia selama masa Orde Baru hampir tidak memiliki blue-print tentang politik luar negeri. Hal ini dapat dipahami karena karekater sistem politik Indonesia diformat sedemikian ringkat dan sederhana di bawah kepemimpinan Orde Baru.46 Dalam hal ini, faktor individual presiden lebih menonjol dibandingkan dengan faktor lainnya seperti partai politik. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pemerintah di Indonesia tidaklah menonjolkan peran partai politik yang akan m enentukan pem erintahan. H al ini disebabkan bahwa pemerintah yang berkuasa itu dilahirkan oleh siapa yang dipilih dan dilantik sebagai presiden oleh MPR. Oleh karena itu, partai politik tidak terbiasa memiliki blue-print politik luar negeri jika ia menjadi partai yang dipercaya untuk membentuk pemerintah yang berkuasa.

Seperti telah dikemukan sebelumnya, komponen pertama adalah orientasi politik luar

45Agus R. Rahman, Kunjungan Presiden Megawati Soekamoputri ke Rusia dan Peningkatan Hubugnan Bilateral Indonesia-Rusia, Laporan Penelitian yang tidak diterbitkan (Jakarta: FISIP UPDM (B), 2004).

46Lihat dan baca Alfian, Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1980).

negeri Indonesia di bawah Presiden SBY yang memperlihatkan upaya serius untuk tetap mempertahankan keterikatan Indonesia dengan pihak AS pada skala global maupun skala regional. Dalam skala global, Indonesia tetap m en can te l k ep ad a p u saran sen trip e ta l kekuasaan hegemonik AS dan sekutunya seperti Jepang. Dalam skala regional, Indonesia tetap mempertahankan dua orientasi regionalisnya kepada ASEAN dan APEC. Memang karena kondisional, kunjungan ke luar negeri yang pertama Presiden SBY adalah KTT APEC di Santiago, Cile.47

Kedua macam orientasi politik luar negeri ini mampu membentuk kredibilitasnya yang tinggi. H al ini lebih d isebabkan bahw a pemerintah Presiden SBY adalah produk yang dem okratis karena ia dipilih berdasarkan pemilihan langsung. Pada gilirannya, kondisi ini mampu menciptakan kredibilitas Indonesia dalam hubungan internasional yang tidak perlu diragukan.

K om ponen kedua adalah peranan nasional. Peran nasional Indonesia dalam politik luar negerinya berkaitan dengan tingkat keterlibatan Indonesia dalam berbagai hubungan internasional. Tingkat keterlibatan Indonesia dalam hubungan internasional mulai melemah setelah tahun 1998 sejalan dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berubah wujudnya menjadi krisis yang bersifat multi-dimensional,48 sehingga Indonesia lebih mudah disingkirkan dari percaturan politik tingkat regional maupun global. Peran politik luar negeri Indonesia di baw ah P residen SBY m engarah kepada pem ulihan m artabat bangsa dan negara Indonesia sebagai satu diantara negara penentu

47Akbar Faizal, Partai Demokrat & SBY: Mencari Jawab Sebuah Masa Depan (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 267.

48Lihat dan baca Agus R. Rahman, “Krisis Ekonomi 1997 yang Berkepanjangan: Strategi Penyelesaiann Ekonomi dan Politik,” dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim, ed., Amandemen Konstitusi & Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia (Jakarta: AIPI-PGRI, 2002), hlm. 51-68.

60

Page 59: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

arah dan warna politik regional di Asia Tenggara. Hal ini dilakukan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan negara lain sekawasan.

Komponen ketiga adalah tujuan. Tujuan politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY m enekankan p ad a p e rju an g an pembenahan kondisi politik dan ekonomi di dalam negeri. Secara politik , Indonesia dihadapkan kepada persoalan separatisme yang digerakkan oleh individu yang tinggal di luar negeri. Pertama, pihak mana pun di dunia internasional tidak mendukung separatisme di Indonesia, khususnya adalah GAM dan OPM. Tak satu pun negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia menyatakan mendukung GAM dan OPM. Kedua, dari sisi tujuan ini, sejumlah negara ternyata menjadi tempat perjuangan GAM di luar negeri seperti GAM Malaysia, GAM Australia dan mungkin di Timor Leste dan tempat lainnya. Bahkan, para petinggi G AM yang berund ing dengan pemerintah Indonesia berkedudukan di Swedia, dan hal sama pula dengan RMS di Belanda. Secara ekonom i, Indonesia masih sangat memerlukan bantuan luar negeri dari negara- negara AS dan kelompoknya Bahkan, Indonesia semakin terperangkap ke dalam jerat bantuan luar negeri setelah bencana Tsunami meneijang Aceh, meskipun Indonesia mendapat simpati internasional karena berhasil menyelenggarakan konferensi internasional tentang bencana Tsunami. CGI pun pada tahun 2005 pun masih m em p erlih a tk an k o m itm en n y a un tuk m em berikan bantuan luar negeri kepada Indonesia.

Komponen keempat adalah tindakan. Dari sisi tindakan, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY cenderung mementingkan tindakan m ultilateral dan bilateral untuk menyuarakan jalan damai dalam menghadapi isu-isu politik luar negeri Indonesia. Selain itu, tindakan politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY tampak cenderung berhati-hati. Kehati-hatian dalam bertindak ini memang pada satu kasus sungguh diperlukan, tetapi, dalam

kasus lain, kecepatan bertindak memang lebih dituntut. Hal ini adalah karakter individual.49

Eropa Bukan Prioritas Utama

Berdasarkan keempat komponen politik luar negeri di bawah Presiden SBY, jejak Eropa dalam politik luar negeri Indonesia itu adalah sangat tersamar. Artinya, perhatian terhadap Eropa dalam politik luar negeri Indonesia sama sekali tidak memperlihatkan penampakan yang konkrit, sehingga Eropa bukanlah prioritas utama dalam politik luar negeri Indonesia. Ketidaktampakan perhatian terhadap Eropa ini disebabkan dua hal yang dominan.

Pertama adalah perhatian terhadap Eropa adalah tidak secara langsung. Artinya, perhatian Eropa disebabkan karena pemerintah SBY m em ilih E ro p a dan lem baga sw adaya masyarakat Eropa sebagai mediator dalam penyelesaian Aceh, setelah kegagalannya pada masa pemerintahan sebelumnya. Memang, hal ini menjadi lebih baik daripada Presiden SBY menentukan AS dan lembaga swadaya di AS sebagai mediatornya. Namun, pilihan Eropa pun menjadi pilihan yang disetujui oleh pihak GAM yang berkedudukan di Sw edia. D engan demikian, perundingan dan lembaga swadaya yang akan bertindak sebagai tem pat dan mediator selalu di Eropa karena memang lokasi petinggi GAM di luar negeri berpusat di Eropa, khususnya di kawasan Skandinavia.

Pada aw alnya adalah upaya untuk m enyelesaikan A ceh sebagai kelom pok pekeijaan pertama yang dihadapi oleh Presiden SBY. Dalam hal ini, Presiden SBY masih harus melanjutkan dan menuntaskan masalah yang belum diselesaikan oleh pemerintah sebelumnya. Memang, sebagian pekerjaan kelompok ini sudah tercapai, tetapi sebagian lagi masih perlu diintensifkan penyelesaiannya.

49Lihat dan baca HCB Dharmawan, Sang Kandidat: Analisis Psikologis Politik Lima Kandidat Presiden dan Wakil Presiden RI Pemilu 2004 (Jakarta: Kompas, 2004), hlm. 246.

61

Page 60: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Dalam penyelesaian Aceh, Presiden SBY pun menyiapkan strategi khusus melalui Wapres Yusuf Kalla (YK) untuk membuka celah bagi “jalur belakang” dalam segala tingkatan. Hasil dari strategi khusus ini adalah jalan perundingan antara pemerintah Presiden SBY dengan pihak GAM. Perundingan dilakukan oleh pihak mediator seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya.

Dalam perundingan antara kedua belah pihak itu, perhatian ditujukan kepada Eropa. Dalam hal ini, Eropa dimaksudkan adalah sebagai pilihan yang disepakati bersama baik oleh pemerintah Presiden SBY maupun pihak GAM untuk melakukan perundingan kembali.

Perundingan kali ini tidak lagi dilakukan di kota Jenewa, Swiss, tetapi diselenggarakan di kota Helsinki, Finlandia. Dengan berubahnya lokasi kota sebagai tem pat perundingan, m ed ia to r perun d in g an pun m engalam i pembahan. Posisi Henry Dunant Centre (HDC) yang dipercaya selama pemerintah Presiden Megawati Soekamoputri digantikan oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Maarti Ahtisaari yang bertindak sebagai juru penengah.

Penggantian HDC kepada CMI lebih disebabkan kegagalan mediasi yang dilakukan oleh HDC. Dengan kegagalan ini, pemerintah Presiden SBY mungkin melihat bahwa HDC tidaklah kredibel. Akan tetapi, CMI pun masih harus diuji kredibilitasnya dalam menengahi konflik kepentingan antara pemerintah Presiden SBY yang berusaha keras pada landasan tugas konstitusionalnya untuk m empertahankan wilayah Aceh sebagai bagian nari NKRI dan pihak GAM yang menuntut kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Pada akhirnya, perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pihak GAM yang dikelola oleh CMI pun mengalami kegagalan yang serupa. K egagalan ini m em buktikan bahw a kedua belah pihak sesungguhnya m ustahil untuk berdam ai. Separatisme yang diusung GAM akan selamanya

tetap memperjuangkan kemerdekaan bagi Aceh. Kelompok tua GAM yang tinggal di Swedia merasa yakin bahwa mereka akan mudah mendapatkan para penerusnya dari k e lom pok m uda A ceh yang akan memperjuangkan kemerdekaan Aceh.

Dengan berkaca pada kasus RMS di Belanda, kasus GAM akan menambah front penentang NKRI di Eropa dengan GAM yang bermukim di Swedia. Di Eropa sendiri, konflik separatisme sulit diselesaikan secara damai dan negara-negara Eropa seperti Inggris dan Spanyol masih menghadapi persoalan yang pelik dengan separatisme IRA dan Basque. Bahkan, Indonesia pun harus berhati-hati menghadi tekanan-tekanan baik domistik dan internasional untuk menciptakan pola yang sama bagi OPM. Tam paknya, strategi pem bentukan pusat gerakan kemerdekaan di Eropa akan dicontoh oleh OPM. Hal ini berarti Indonesia akan menghadapi tiga front penentang NKRI di Eropa.

Kedua, Presiden SBY hingga kini belum m elakukan kunjungan ke Eropa. D alam kunjungan pada bulan Mei 2005 ini, Presiden SBY hanya mengagendakan kunjungannya ke AS, Vietnam dan Jepang. Apakah kunjungannya ke Eropa ini menunggu ASEM tahun 2006 nanti? Jika memang demikian faktanya, hal ini membuktikan bahwa politik luar negeri Presiden SBY tidak memiliki jejak yang jelas bagi perhatiannya kepada Eropa.

Eropa sekarang sudah berubah. Eropa sekarang tid ak lagi te rpecah ke dalam pembagian blok seperti jamannya Perang Dingin. N am un, E ro p a sek a ran g ini ju s tru memperlihatkan kecenderungan kemandirian nya terhadap pusaran sentripetal hegemonik AS. Ya, memang Eropa belum berhasil bertindak sebagai penyeimbang AS dalam hubungan internasional. Akan tetapi, Eropa dalam beberapa hal telah mampu menentang AS, seperti dalam kasus uang dan nuklir Iran.

Namun, tiga hal yang perlu diingat dalam memberikan posisi kepada Eropa dalam politik

62

Page 61: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY yaitu, pertama, bahwa Indonesia sekarang selamanya menghadapi dua front penentang NKRI di Eropa yakni yakni kelompok separatis RMS dan GAM. Kedua adalah Indonesia berpartisapasi dalam ASEM yang merupakan mekanisme hubungan antar-kawasan Asia dan Eropa. Dalam hal ini pun, Indonesia dirasakan belum memanfaatkan secara maksimal segala kemungkinan manfaat politik dan ekonominya. Ketiga adalah pembelajaran yang dihasilkan dari hubungan bilateral dengan negara-negara Eropa. Sebagai contoh, untuk menyebutkan sejumlah negara Eropa yang ada, Indonesia mungkin dapat belajar tentang pengelolaan hutan dari Finlandia dan serta sistem kesejahteraan dari negara-negara di kaw asan Skandinavia, seandainya Indonesia mau belajar dari pola hubungan bilateralnya dengan Eropa. Dengan ketiadaan perhatian kepada ketiga hal ini, politik luar negeri Indonesia tidak memperlihat posisi Eropa yang dominan. Eropa dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY tidak termasuk dalam prioritas utama. Eropa masih jauh dari daratan politik luar negeri Indonesia. Eropa sepertinya berada di lingkungan bawah sadar politik luar negeri Indonesia.

Penutup

Politik luar negeri Indonesia tampaknya meletakkan harapan yang terlalu besar kepada Presiden SBY karena proses politik yang melahirkannya sebagai pemimpin bersifat demokratis. Akan tetapi, politik luar negeri Indonesia di baw ah P residen SBY pun tampaknya menghadapi warisan permasalahan yang kom pleksitasnya sangat luar biasa. Akibatnya, politik luar negeri Presiden SBY pun terkendala oleh karakterisitk domestiknya.

Berdasarkan kendala domestiknya itu, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY memperlihatkan orientasi, peran, tujuan dan tindakan yang serba terbatas. Pada akhirnya, jejak perhatiannya terhadap Eropa sebagai satu

d ia n ta ra kaw asan yang p o te n s ia l dan berpengaruh dalam hubungan internasional tidak optimal. Artinya, Eropa bukan menjadi prioritas utama dalam politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden SBY.

. D ua hal pokok tetap akan menjadi kendala untuk menjadikan Eropa sebagai prioritas dalam politik luar negeri Indonesia. Pertama, letak geografis Eropa yang sangat jauh dari kawasan Asia Tenggara menyebabkan kendala terbesar bagi pengembangan pola hubungan bilateral dengan negara-negara Eropa. Kedua, tingkat keija sama negara-negara Eropa memperlihatkan kemajuan ekonomi dan politik yang lebih maju dan lebih dalam dibandingkan dengan tingkat kerjasama negara-negara di kawasan Asi a Tenggara sehingga mempersulit pola hubungan antara Indonesia dan Eropa.

Akan tetapi, kendala geografis itu sesungguhnya tidaklah mutlak kalau ingin mengembangkan pola hubungan Indonesia dengan Eropa menjadi prioritas dalam politik luar negeri Indonesia. Pilihannya terletak pada pengembangan pola hubungan fungsional yang bersifat bilateral, multilateral dan antar-kawasan yang bersemangatkan pada dorongan ke arah integrasi daripada pola hubungan tradisional yang sangat mengandalkan pada kedaulatan nasional masing-masing negara.

Daftar Pustaka

Agung, Ide Anak Agung Gde. 1973. Twenty Years Indonesia ’s Foreign Policy, 1945- 1965. The Hague: Mouton, Co.

Alfian. 1980. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Anwar, Dewi Fortuna. 1994. Indonesia in ASEAN: Foreign Policy andRegionalism. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Dharmawan, HCB. 2004. Sang Kandidat: Analisis Psikologis Politik Lima Kandidat Presiden dan Wakil Presiden RI Pemilu 2004. Jakarta: Kompas.

63

Page 62: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Djalal, Hasjim. 1997. Politik Luar Negeri Indonesia dalam D asaw arsa 1990. Jakarta: CSIS.

Djiwandono, J. Soedjati. 1996. Konfrontasi Revisited: Indonesia’s Foreign Policy Under Soekarno. Jakarta: CSIS.

Faizal, Akbar. 2005. Partai Demokrat & SBY: Mencari Jawab Sebuah Masa Depan. Jakarta: Gramedia.

Griffiths, Martin. 2001. Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional. Jakarta. RajaGrafindo Persada.

Holsti, K.J. 1981. Intemational Politics: a Framework for Analysis. New Delhi: Prentice-Hall of India.

Inayati, Ratna Shofi. Ed. 2002. Politik Luar N egeri Indonesia P asca Soeharto : D ip lo m asi P em u lih an E konom i Nasional. Jakarta: P2P LIPI.

Kalvelage, Cari., dan Morley Segal. 1976. Research Guide in Political Science. Dallas: Scott, Foresman and Co.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1983. Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini. Bandung: Alumni.

Leifer, Michael. 1989. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Mochtar, Edison Muchlis. 2001. Ed. ASEM dan Revitalisasi Hubungan Uni Eropa dan Asia. Jakarta: PPW LIPI.

Panitia Penulisan Sejarah Deplu. 1971. Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri, 1945-1970. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Karyawan Deplu.

Perwita, Anak Agung Banyu., dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rahman, Agus R. 2002. “Krisis Ekonomi 1997 yang B erk ep a n jan g an : S tra teg iPenyelesaian Ekonomi dan Politiknya,” dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim. Ed. Amandemen Konstitusi & Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia. Jakarta: AIPI-PGRI.

Rahman, Agus R. 2004. Kunjungan Presiden M egawati Soekam oputri dan Peningkatan Hubungan Bilateral Indonesia-Rusia. Laporan Penelitian yang tidak diterbitkan. Jakarta: FISIP UPDM (B).

S itohang, Japanton Sitohang. 2000. Ed. Prospek Hubungan Indonesia-UE: Penyelesaian Masalah Timor-Timur. Jakarta: PPW LIPI.

Suryadinata, Leo. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES.

Susanto, Dwi., dan Zainuddin Djafar. 1990. Ed. Perubahan Politik di Negara- Negara Eropa Timur. Jakarta: AIPI.

Tim Peneliti HI D PR-RI. 2001. Analisis Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan Abdurrahman Wahid: 1999-2000. Jakarta: DPR-RI.

W einstein, B. Franklin. 1976. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma o f Dependence: from Soekarno to Soeharto. Ithaca: Cornell University Press.

White, Stephen. 2000. Russia’sNew Politics: the Management o f a Postcommunist Society. C am b rid g e . C am bridge University Press.

W uryandari, Ganewati Wuryandari. 1997. Ed. Indonesia & APEC (Jakarta: PPW LIPI, 1996); dan Indonesia dan APEC: dalam Perkembangan Ekonomi Politik Internasional. Jakarta: PPW LIPI.

64

Page 63: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Diplom asi Belanda dan Indonesia dalam Sengketa Irian Barat, 1949-1950:

Sebuah Kajian H istorisOleh:

Siswanto

Abstract

This article would like to understand the history of diplomacy ofDutch and Indonesia in West Papua dispute in 1949 to 1950. According to historical documents, West Papua dispute has begun since Round Table Conference in 1949. In that Conference, the delegation ofDutch and Indonesian agreed to renegotiate West Papua problem one year after the Conference. In April 1950, Dutch and Indonesia negotiated the problem in Jakarta, but both countries could not produce a significant commitment. In December 1950 Dutch and Indonesia held a Special Conference in Hague in order to solve the problem, but once again they are failed. The peace proposal which is introduced by both countries is so contradicted one another. At last, West Papua dispute could not be negotiated successfully because Dutch did not have serious intention to transfer West Papua to Indonesia.

Sengketa Irian Barat tidak terlepas dari Konperensi Meja Bundar tahun (KMB) 1949. Bahkan, KMB dipandang sebagai sumber munculnya sengketa Irian Barat. Delegasi Belanda tidak m enuntaskan pelim pahan kedaulatan kepada RIS, sebaliknya menunda persoalan eksistensi Irian Barat. Kesepakatan penundaan soal Irian Barat ini juga tidak berhasil m e n g an ta r B e lan d a dan In d o n es ia menyelesaikan persoalan tersebut. Setahun setelah KMB kedua belah pihak memang merundingkan masalah tersebut. Walaupun sudah merundingkannya, mereka tetap gagal mencapai kata sepakat. Dengan demikian, KMB te lah m ew ariskan “ bom w ak tu ” yang menyusahkan Indonesia dikemudian hari.

D alam sidang kom ite Perserikatan Bangsa-Bangsa 23 November 1954 Belanda dan Indonesia sama-sama ingin mengontrol Irian Barat. Oleh karena itu, sengketa Irian Barat adalah konflik kedaulatan antara Belanda dan Indonesia. Di satu sisi Belanda menyatakan peduli kepada penduduk Irian Barat dan akan memberikan hak menentukan nasib sendiri

dikemudian hari, sedangkan di sisi lain Indonesia memandang bahwa Irian Barat sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia.1 Belanda dan Indonesia sama-sama memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

Dengan demikian, sengketa Irian Barat yang berkepanjangan disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa di satu pihak Belanda ingin mempertahankan kekuasaanya di Irian Barat, sedangkan pada w aktu yang bersam aan Indonesia menghendaki Belanda meninggalkan wilayah tersebut.

KMB dan Irian Barat

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah diplom asi Indonesia adalah KMB yang diselenggarakan pada 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949 di Den Haag. Delegasi In d o n es ia dalam KM B d ip im p in oleh

1 Robert C. Bone, Jr. The Dynamic of the Western New Guinea (Irian Barat) Problem, Modern Indonesian Project, (New York: Department of Far Eastem Studies, Comell University, 1958), 128

65

Page 64: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Dr.Mohammad Hatta, delegasi Bijenkoomst Voor Federal Overleg (BFO) atau negara- negara “boneka” bikinan Belanda di Indonesia Tengah dan Timur dipimpin oleh Sultan Hamid, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Van M aarseveen. Anggota Komisi PBB untuk Indonesia yang juga turut serta dalam KMB adalah Herremans, Merle, Cohran, Crictchley, dan Ramos.2 Susunan lengkap delegasi Republik Indonesia pada KMB meliputi: Ketua Dr. Mohammad Hatta, Wakil Mohammad Roem, dan anggo ta te rd iri atas: Dr. Sukim an W irjosandjojo , Dr. J. Leim ena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Sujono Hadinoto, Kolonel T.B. Simatupang, Ir. Juanda, Prof. Dr. Mr. Supomo, dan R. Margono Djojohadikusumo.

KMB di sam ping m enetapkan soal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RIS juga mengatur soal Irian Barat. Sejarah menunjukan KMB tidak bisa menjadi rujukan yang baik bagi penyelesaian soal Irian Barat. Hal ini asumsinya disebabkan dokumen KMB tidak mengatur secara rinci status politik Irian Barat.

Landasan yuridis penundaan penyerahan Irian Barat oleh Belanda kepada Indonesia tertuang pada pasal 2, dokum en KM B. Dokumen ini menyatakan karena belum ada kesepakatan, keterbatasan waktu, dan demi hubungan baik, maka Irian Barat ditetapkan dalam keadaan status quo selama satu tahun.3 Ini artinya Belanda tetap berkuasa di wilayah tesebut setidaknya selama setahun sejak KMB, sedangkan Indonesia harus bersabar menunggu saat perundingan sesuai dengan kesepakatan KMB. Dokumen selengkapnya sebagai berikut:

a. d iseb ab k an k e n ja ta a n bahw a persesuaian antara pendirian masing2 pihak tentang Irian barat belum dapat d itjapai, sehingga soal itu m asih mendjadi pokok pertikaian;

2 Panitian 75 Tahun Kasman, Hidup Adalah Perjuangan : Kasaman Singodimedjo 75 tahun, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982). Hlm. 169

3 Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945-1970, (Jakarta: Deparlu, 1970) hlm. 87

b. disebabkan keharusan Konperensi M ed ja B u n d ar d ia ch ir i dengan berhasil pada tanggal 2 November 1949.

c. mengingat faktor2 pentingjang harus diperhatika pada pemetjahan masalah Irian itu;

d. m engingat singkatnja penjelidikan ja n g te lah d ap a t d iad ak an dan d ise le sa ik a n p e rih a l soa l2 ja n g bersangkutan dengan masalah Irian itu;

e. mengingat sukamja tugas kewadjiban jang akan dihadapi dengan segera oleh pesereta Uni, dan

f. m engingat kebulatan hati pihak2 jang bersangkutan hendak memper­ta h an k an azas su p a ja sem ua perselisihan jang mungkin tem jata ke lak akan tim bu l, d ise lesa ikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo keresidenan Irian (New G u in ea) te tap b e rlak u serta d item ukan , bahw a dalam w aktu setahun sesudah tanggal penjerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia S e rik a t m asalah kedu d u k an - kenegaraan Irian akan diselesaikan dengan djalan perundingan antara R epub lik In d o n esia S erika t dan Keradjaan N etherland.4

Kendala waktu menjadi alasan formal penundaan penyelesaian sengketa Irian Barat. KMB berlangsung selama 96 hari, tetapi tidak menuntas posisi Irian Barat. Hal ini sebagai indikasi bahwa KMB diwarnai oleh diskusi, perdebatan , dan upaya kom prom i yang memakan waktu. A rtinya kedua delegasi m em ilik i perb ed aan -p erb ed aan prinsip khususnya yang terkait dengan soal status Irian Barat. Kedua delegasi sama-sama membawa aspirasi negaranya sehingga setiap persoalan dibicarakan dengan seksama dan didasarkan perhitungan rinci dari segi kepentingan

4 Deparlu. Ibid.

66

Page 65: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

nasionalnya masing-masing. Oleh karenanya, perundingan berlangsung relatif lama. Sehingga pemikiran yang berkembang pada masa itu ialah pembahasan masalah Irian Barat memerlukan waktu yang khusus.

Namun demikian alasan politik dibalik penundaan soal Irian Barat ini juga perlu dipahami. Keputusan penundaan ini tidak terlepas dari strategi Belanda yang ingin bertahan di Irian Barat. Belanda mengharapkan Indonesia kacau dan berpeluang kembali (ke Indonesia) melalui Irian Barat.5 Ini terbukti Belanda kurang berminat merundingkan soal kedaulatan Irian Barat, tetapi Belanda bersedia berunding soal perburuhan dan transportasi antara Irian Barat dan Indonesia.6 Jadi, Belanda lebih bersedia mendiskusikan hal- hal yang bersifat teknis. Pelimpahan kedaulatan melalui KMB adalah sesuatu yang tidak sungguh- sungguh diinginkan oleh Belanda, tetapi lebih d isebabkan B elanda m endapat tekanan internasional. Misalnya saja resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949, yang menyatakan; 1). Penghentian operasi militer Belanda, 2). Pemimpin-pemimpin Republik Indonesia harus dikembalikan ke Yogyakarta, 3). Pengakuan kedaulatan atas Negara Indonesia Serikat.7 Butir terakhir ini menjadi faktor pendorong Belanda ke m eja perundingan (KMB).

Pada waktu yang bersamaan, Indonesia bersikap moderat dalam perundingan KMB. Sikap politik Indonesia dipengaruhi oleh haluan politik pimpinan delegasinya. Delegasi Indonesia pada KMB dipimpin oleh oleh Mohammad Hatta. Hatta berhaluan politik lebih moderat terhadap Belanda dibandingkan Mohamad Natsir atau Sukamo. Bahkan Hatta meyakini supaya penyelesaian sengketa Irian Barat berhasil, Indonesia sebaiknya memberi konsesi

5 Pewarta Djakarta, Arti Irian Barat djika perang petjah, 16 Mei 1954

6 Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965, (Yogyakarta: Dutawacana University Press, 1990)

7 Singodimedjo op.cit. hlm. 170

kepada Belanda. Di samping itu, delegasi Indonesia bersikap realistis terhadap posisi po litiknya pada w aktu itu. Posisi taw ar (bargaining position) Indonsia tidak cukup kuat menghadapi Belanda. Indonesia adalah negara yang belum lama lepas dari belengu penjajah dan Belanda adalah negara bekas penjajahnya. Sikap kompromi dipandang oleh delegasi Indonesia sebagai sikap terbaik saat masa itu. Di samping itu, sikap moderat juga d ipengaruhi oleh kegem biraan delegasi Indonesia karena mendapat pengakuan dari Belanda. Indonesia memang sudah merdeka sejak tahun 1945, tetapi pihak Belanda tidak mengakuinya. Jadi, de facto Indonesia memang sudah merdeka, namun de jure kemerdekaan Indonesia masih bermasalah.

Penundaan penyelesaian sengketa Irian Barat menguntungkan posisi politik Belanda. Seperti disebutkan di bagian terdahulu dokumen KMB memberi hak kepada Belanda untuk tetap mengontrol Irian Barat selama setahun. Artinya de facto Belanda masih berkuasa di Irian Barat. Belanda memiliki waktu satu tahun untuk mengatur strategi agar bertahan di Irian Barat. Belanda menunda persoalan Irian Barat. Dalam masyarakat Belanda ada keyakinan bahwa menunda berarti membatalkan. Dengan demikian, penundaan soal Irian Barat dalam perspektif Belanda bisa diartikan sebagai pembatalan tuntutan Indonesia atas Irian Barat atau peluang mempertahankan eksistensinya di Irian Barat.

Sebaliknya penundaan masalah Irian Barat dipandang merugikan posisi politik Indonesia. Penundaan ini berdampak kepada hilangnya momentum Indonesia untuk menuntaskan persoalan kolonialisme. Padahal situasi pada waktu itu merupakan momentum yang tepat melaksanakan dekolonialisasi di Indonesia sampai tuntas. Banyak negara yang mendukung perjuangan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari hasil Konperensi 19 negara Asia di New Delhi tanggal 23 Januari 1949. Konperensi ini antara lain memutuskan : 1). Pem im pin-pem im pin Republik Indonesia yang ditawan Belanda

67

Page 66: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

supaya dibebaskan, 2). Tentara Belanda harus ditarik mundur dari Yogyakarta.8 Opini politik negara-negara Asia berpihak kepada Indonesia.

Konsekuensi penundaan ini Indonesia masih harus memikul beban sisa-sisa kolonialisme begitu lama. Sengketa Irian Barat berlarut-larut dari tahun 1949 sampai dengan 1969 dan menyedot energi bangsa Indonesia. Energi tersebut seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan nasional karena Indonesia sebagai negara baru merdeka memerlukan pembenahan dan pengembangan diri. Namun kenyataannya setiap kabinet di era Demokrasi Parlementer tahun 1950-1957 sibuk mengatur strategi dan menempatkan sengketa Irian Barat sebagai masalah prioritas. Setelah bekeija keras dan mendapat dukungan internasional, Indonesia dimasa Demokrasi Terpimpin tahun 1962 berhasil menyepakati Perjaanjian New York. Perjanjian ini mengatur peralihan kekuasaan Belanda kepada Indonesia atas Irian Barat. Selanjutnya penyelesaian damai ini dituntaskan melalui Pepera di era Demokrasi Pancasila tahun 1969. Dengan demikian sengketa Irian Barat telah membebani tiga generasi politik di Indonesia yakni: Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila.

M aka berdasarkan fakta-fakta diatas dipahami, KMB menjadi sumber masalah Irian Barat. KMB tidak m engatur secara rinci sengketa Irian Barat. Hal tesebut menyebabkan masalah ini sulit diselesaikan. KMB mendorong sengketa ini jadi berlarut-larut. Situasi ini lebih menguntungkan posisi Belanda dibandingkan posisi Indonesia.

Melalui KMB Belanda-dan Indonesia mencoba bersikap kompromi. Delegasi Belanda mempertahankan status quo di Irian Barat, sedangkan delegasi Indonesia mencoba bersabar untuk menunggu setahun baru merundingkan soal Irian Barat. Ketika itu delegasi Indonesia dihadapkan situasi sulit, di satu sisi Indonesia

s Singodimedjo., ibid, hlm 170

ingin memperoleh hasil maksimal dalam KMB, namun di sisi lain Indonesia harus mengakhiri KMB dengan sukses karena menyangkut pelimpahan kedaulatan nasional.

Kegagalan Perundingan Belanda-Indonesia

Ayat e, pasal 2, Perjanjian KMB 1949 m enyatakan kedudukan Irian Barat akan dirundingkan antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat setahun setelah perundingan. Bagian Perjanjian KMB yang terkait dengan soal status Irian Barat dirancang oleh kedua delegasi bersifat umum agar tercapai kompromi. Jika pada waktu itu isi dokumen diatur dengan rinci, salah satu pihak yang merasa dirugikan dipastikan tidak mau menandatangani perundingan tersebut. Dokumen perjanjian yang bersifat umum ini bukannya menyelesaikan persoalan, tetapi ju s tru m enjadi sum ber ketegangan antara Belanda dan Indonesia. Isi dokumen yang bersifat umum ini mengundang perbedaan interpretasi.

D alam ran g k a m elak san ak an kesepakatan KMB, di Jakarta awal tahun 1950 dan di Hague akhir tahun 1950 Belanda dan Indonesia melakukan perundingan, tetapi tidak menghasil sesuatu yang sungguh-sungguh berarti (significan) bagi penyelesaian sengketa Irian Barat. M aka asumsi yang mungkin dapat m enjelaskannya, B elanda dan Indonesia memiliki perbedaan pandangan yang sangat mendasar dalam sengketa Irian Barat.

Pada bulan Maret tahun 1950 delegasi Belanda mengunjungi Indonesia. Ini sebagai realisasi perjanjian KMB. Isi perjanjian tersebut mengikat kedua negara untuk melaksanakan perundingan. Memang tujuan utama kehadiran d e leg as i B e lan d a ke In d o n es ia un tuk berpartisipasi dalam Konperensi Menteri- menteri Uni Indonesia-Belanda, tetapi masalah sengketa Irian Barat juga menjadi isu yang penting dalam konperensi ini.9 Bagi Indonesia

9 Anak Agung Gde Agung,. Op.cit hlm. 80

68

Page 67: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

justru isu status Irian Barat paling penting ketimbang isu lainnya.

Namun sikap Belanda dalam perundingan ini tidak mengarah kepada penyerahan Irian Barat. Belanda berpijak pada prinsip bahwa peralihan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada RIS melalui KMB tidak termasuk wilayah Irian Barat. Dengan kata lain Belanda masih menguasai Irian Barat. Belanda sebagai negara bekas penjajah tidak mudah begitu saja menyerahkan wilayah yang dikuasainya kepada pihak lain. Apalagi seperti dikatakan diatas jika mengacu pada isi dokumen KMB, Belanda memang tidak wajib menyerahkan Irian Barat, tetapi hanya wajib merundingkannya dengan Indonesia. Artinya secara yuridis posisi Belanda lebih kuat dibandingkan Indonesia. Isi dokumen KMB menyatakan Irian Barat dalam keadaan status quo dan akan dirundingkan antara Belanda dan Indonesia setahun kemudian. Dokumen KMB tidak menjanjikan bahwa Belanda akan mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia. Jadi status Irian Barat tergantung pada sikap Belanda dan Indonesia dalam m eja perundingan. D alam proses perundingan bisa terjadi beberapa skenario, pertama Irian Barat tetap dibawah kontrol Belanda, kedua Irian Barat dibagi dua antara Belanda dan Indonesia, ketiga Irian Barat bergabung dengan Indonesia.

Dengan demikian perundingan Belanda dan Indonesia di Jakarta pada Maret tahun 1950 tersebut disimpulkan tidak kondusif untuk penyelesaian sengketa Irian Barat. Belanda dalam perundingan ini bersikap konservatif, sedangkan Indonesia berisikap optim is. Indonesia bertiarap perundingan ini sebagai awal penyerahan Irian Barat oleh Belanda kepada Indonesia. Hasil perundingan ini ternyata m engecew akan delegasi dan m asyarakat Indonesia. Dalam rangka menyelamatkan situasi, kedua negara membentuk komisi bersama. Komisi ini terdiri para pakar yang mewakili pemerintahnya dan bertugas membuat laporan bersama atas masalah tersebut. Namun komisi

ini juga tidak berhasil merumuskan laporan bersama dan akhirnya membuat laporan masing- m asing kepada pem erinahnya. W alaupun demikian, Mohammad Hatta merasa optimis pada hasil perundingan bahwa Irian Barat akan diserahkan oleh Belanda kepada Indonesia pada akh ir tahun 1950. S ikap op tim is H atta d idasarkan pem bicaraanya dengan Van M aarseveen , seorang M enteri W ilayah Seberang Lautan Belanda.10

Dalam rangka melanjutkan perundingan di Jakarta, pada bulan Desember tahun 1950 Belanda dan Indonesia menyelenggarkan konperensi khusus di Hague, Belanda. Pada konperensi khusus ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mohammad Rum, sedangkan delegasi dipimpin oleh Van Maarseveen. Kedua negara tetap menampakan perbedaan yang mendasar, Delegasi Indonesia m eng a ju k an p ro p o sa l yang is in y a menggambarkan: pengakuan terhadap hak-hak ekonomi Belanda di Irian Barat, pemberian ijin kepada orang Belanda untuk menjadi pegawai adminstrasi, pemberian jaminan pensiun kepada pejabat Belanda, pemberian ijin imigrasi kepada orang Belanda ke Irian Barat, penggabungan sistem komunikasi di Irian Barat ke Indonesia dengan memperhatikan hak-hak kepemilikan pengusaha Belanda, pemberian jaminan kepada kebebasan beragama dan misionaris ke Irian Barat, pengupayaan tatanan demokrasi di Irian Barat. Dengan demikian, delegasi Indonesia mencoba menawarkan sejumlah konsesi kepada Belanda.

Gambaran isi proposal lengkapnya, sebagai berikut:

1) Recognition o f existing Dutch economic and financial rights and concessions plus special consideration in connection with new investments and concessions in the development and exploitation o f soil and forest

10 Ide Anak Agung Op.c'n hlm. 81.

69

Page 68: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

resources; preferential treatmentfor Dutch interests in such areas as trade, shipping, and industry;

2) Dutchmen to be eligible fo r administrative employment; Pensions for Dutch official to guaranteed by the Indonesian Govemment, as in the case o f Round Table Conference Agreement

3) Immigration o f Dutch nationals t o Irian to be perm itted and due attention paid to supplying the manpower needs ofWest Irian;

4) Incorporation o f West Irian into Indonesian communication system but with due attention to the concessions granted earlier to Dutch or mixed enterprises;

5) Guarantees for freedom o f religion and assistance to the humanitarian work o f religious mission by the Indonesian Government.;

6) Efforts to be made to operate afully democratic govemment in West Irian with a representative body to established as soon as possible with the population possessing fu ll autonomy and a voice in the govemment

Pihak B elanda m erespon proposal delegasi Indonesia dengan proposal tandingan. Isi proposal delegasi Belanda dipandang cukup sinis. Isi proposal tersebut tidak mencerminkan respon positif terhadap taw aran konsesi In d o n es ia . B ahkan te rk e sa n B elan d a memprovokasi sikap Indonesia. Isi ringkasan proposal delegasi B elanda an tara lain: kedaulatan Irian Barat dialihkan kepada RIS, tatapi de facto dan secara adminstrasi Irian Barat dibaw ah kontro l B elanda, perundingan dilanjutkan dengan dibantu PBB, sesuai dengan KMB Irian Barat sebelum ada keputusan melalui perundingan statusnya masih status quo.

Isi p ro p o sa l d e leg as i B e lan d a selengkapnya sebagai berikut: 11

1) the sovereignty o f West Irian should be transferred to the Netherlands- Indonesia Union, with the stipulation that the de facto control and administration over that territory would remain in Dutch hands;

2) the negotiations should be continued under the auspices ofthe still extant United N ations Commission fo r Indonesia or any other organ which could render any Service to make that negotiation possible

3) Since the future ofthe area had not been decided by negotiation within the year ’s period stipulated inArticle 2 of the Charter o f the Transfer o f Sovereignty, the N etherlands’ sovereignty and the status quo should be maintained. 11

K edua p ro p o sa l d ia ta s m em ilik i perbedaan yang mendasar. Proposal yang diajukan delegasi Indonesia sifatnya terlalu maju atau sangat progresif karena hanya bermuatan hal-hal yang bersifat teknis. Proposal ini tidak menyinggung sengketa kedaulatan atas Irian Barat, padahal masalah ini merupakan substansi dari perundingan Belanda dan Indonesia. Jadi, delegasi Indonesia memandang seolah-olah pelimpahan kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia atas wilayah Irian Barat sudah selesai d ilakukan . D engan dem ik ian , delegasi Indonesia juga terkesan tidak m engakui keberadaan Belanda di Irian Barat. Padahal kenyataannya Belanda secara de facto masih berkuasa di Irian Barat, sedangkan Indonesia baru pada tahap beijuang untuk mengambil alih Irian Barat. Jika orientasi muatan proposal tersebut merupakan strategi, strategi diplomasi yang dem ikian adalah jauh dari tujuan perundingan yang ingin membahas pelimpahan kekuasaan di Irian Barat. Jadi kesan yang diambil dari proposalnya bahwa delegasi

11 Anak Agung Gede Agung. Loc.cit hlm. 88

70

Page 69: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Indonsia tidak bersikap realistis dengan kenyataan politik di Irian Barat yang masih diduduki oleh Belanda.

Sebaliknya proposal delegasi Belanda mencerminkan sikap negaranya yang tidak serius dalam merundingkan status Irian Barat. Bahkan sikap Belanda dipandang melecehkan bangsa Indonesia karena menawarkan suatu formula yang tidak masuk akal. Belanda menawarkan suatu formula pelimpahan kedaulatan Irian Barat dari Belanda kepada RIS, tetapi Irian barat secara de facto dan secara administrasi masih dikuasai oleh Belanda. Pertanyaannya lalu dimana letak pelimpahan kedaulatannya? Delegasi Belanda memang langsung menyentuh substansi persoalan perundingan, namun negara ini menampakan sikap yang sangat konservatif. Indikasi penyerahan Irian B arat kepada Indonesia sama sekali tidak nampak dalam proposal delegasi Belanda.

Namun kedua proposal kontorversi ini tetap dihargai keberadaanya. Isi kedua proposal tidak menuju kepada titik yang sama, tetapi sebaliknya m engarah kepada titik yang berlawanan. Dengan demikian, keduanya tidak bisa diharapkan segera memberi solusi kepada persoalan Irian Barat. Upaya perundingan yang dilakukan menjadi sia-sia. Proposal delegasi Indonesia dihargai karena cukup percaya diri menyampaikan sesuatu yang tidak lazim. Proposal ini tidak menyentuh substasi masalah yang dirundingkan. Sedangkan proposal delegasi Belanda juga patut hormati keberadaannya karena isinya m asih m em buka peluang perundingan dengan Indonesia— dengan melibatkan PBB. Walaupun sebagaian orang berpandangan, tawaran Belanda tersebut hanya pernyataan form alitas atau dalam bahasa diplomasi sering disebut lipservice. Ini biasanya disampaikan untuk memperoleh simpati dari masyarakat.

Kegagalan Konperensi Khusus tersebut memiliki dampak kepada Belanda. Kegagalan ini membuat Belanda tetap mengontrol Irian Barat. Perundingan kedua Belanda -Indonesia

tidak membuahkan apa-apa atau perundingan ini tetap menempatkan Irian Barat dalam posisi status quo. S em en ta ra itu , keg ag a lan p e ru n d in g an in i m em p erteg u h sikap koservatisme di Belanda atas sengketa Irian Barat. Pemerintahan Belanda waktu itu adalah pemerintahan koalisi yang terdiri d a ri: Partai Katholik, Partai Koservatif, Partai Liberal, Partai Sosialis, dan Partai Buruh. Dalam peta politik ini, Partai Buruh dan Partai Katholik merupakan unsur terkuat. Partai Katholik menentang upaya pengembalian Irian Barat kepada Indonesia karena mengkhawatirkan keberadaan misi Katholik di wilayah ini,12 sedangkan Partai Buruh hanya sekedar mendukung kebijakan Partai Katholik tersebut.

K eg ag a lan p eru n d in g a n ini ju g a m enim bulkan pengaruh bagi Indonesia. Kegagalan ini memenangkan opini politik yang bersikap non-kooperatif terhadap Belanda dalam penyelesaian sengketa Irian Barat. Sejak perundingan Belanda dan Indonesia di awal tahun 1950 kekuatan politik yang berhaluan kiri (sosialis) bersikap pesimis terhadap kelanjutan perundingan. M ereka tidak percaya pada pandangan Mohmammad Hatta bahwa Belanda akan mengembalikan Irian Barat melalui suatu perundingan di akhir tahun 1950. Hal ini ternyata terbukti dalam kenyataan sejarah diplomasi Belanda dan Indonesia dalam sengketa Irian Barat. Presiden Sukamo dalam pidato hari kemerdekaan 17 Agusutus 1952 meyatakan bahw a B elanda sejak tahun 1950 telah menduduki wilayah Barat. Ini dipandang oleh Sukamo sebagai tantangan terhadap semangat proklamasi. Belanda hanya ditolerir menduduki Irian sampai tahun 1950 karena hal ini didasarkan kesepakatan KMB. Jika setelah sampai 1950 Belanda masih di sana, Indonesia berkewajiban memprotesnya. Kegagalan perundingan khusus soal Irian Barat telah menimbulkan kegelisahan di dalam negeri Indonesia.

12 Anak Agung Ibid. hlm. 93

71

Page 70: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Maka berdasarkan fakta-fakta diatas bisa dikatakan, kegagalan perundingan - perundingan soal Irian Barat tidak terlepas dari perbedaan yang sangat mendasar antara delegasi Belanda dan Indonesia dalam memandang keberadaan Irian Barat.

Penutup

Belanda berusaha melaksanakan politik status quo atas Irian Barat. Belanda memang memperoleh hak status quo atas Irian Barat selama setahun sejak KMB tahun 1949. Dalam hal ini, Belanda memanfaatkan sebaik mungkin waktu yang ada untuk kepentingannya dan setelah setahun Belanda masih mengulur-ngulur waktu pengembalian Irian Barat. Belanda merasa diuntungkan KMB karena Belanda memiliki waktu untuk mengatur strategi guna memperpanjang pendudukannya di Irian Barat. Belanda malah berusaha untuk tetap bertahan di Irian Barat dengan segala cara. Jadi, Belanda tidak terpanggil untuk melepaskan Irian Barat kepada Indoensia secara sukarela.

Indonesia berusaha mempeijuangkan Irian Barat melalui jalur perundingan. Perundingan pertama Belanda dan Indonesia soal Irian Barat dilakukan di Jakarta Maret 1950. Perundingan ini gagal merumuskan kesepakatan soal Irian Barat. Selanjutnya perundingan kedua dilakukan melalui Konferensi Khusus di Hague, Belanda, bulan Desember 1950. Perundingan kali ini juga gagal m encapai kesepakatan. D ua kasus perundingan ini menjadi bukti ketidakseriusan Belanda untuk mengembali-kan Irian Barat kepada Indonesia dan ketidakberdayaan In d o n esia m enghadap i B e lan d a dalam perjuangan mengembalikan Irian Barat.

Kekuasaan atau power bagi negara adalah sesuatu yang paling berharga. Kekuasaan politik yang sudah dicapai oleh suatu negara atas wilayah tertentu sulit dilepaskan begitu saja.

Apalagi negara tersebut sudah diuntungkan oleh kekuasaan tersebut. Jadi, pelepasan kekuasaan po litik berarti m elepaskan keuntungan- keuntungan yang selama ini dinikmati. Jika kekuasaan politik ini bersinggungan dengan negara lain, negara yang jyga merasa berhak atas kek u asaan ini akan b e ru sah a keras m em perjuangkannya. Perjuangannya ini biasanya dimulai melalui jalur diplomasi atau perundingan, namun tidak tertutup kemungkinan melalui cara militer jika cara-cara diplomasi gagal.

Dengan demikian, fenomena politik d ip an d an g sebagai p e rju an g an un tuk memperoleh kekuasaan baik di lingkup nasional maupun internasional. Dalam hal ini, konflik antara pihak yang ingin mempertahankan kekuasaannya melawan pihak yang ingin meraih kek u asaan te rseb u t. D alam upaya memenangkan konflik ini, faksi atau negara tersebut bisa bersikap curang atau menyimpang dari kaedah-kaedah yang ada.

Daftar Pustaka

Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945-1970, (Jakarta: Deparlu, 1970)

Ide Anak Agung Gde Agung, Twenty Years Indonesia Foreign Policy 1945-1965, (Yogyakarta, Dutawacana University Press), 1990

M odern Indonesian Project, (New York: D epartm ent of Far Eastern Studies, Comell University, 1958)

Panitian 75 Tahun Kasman, Hidup Adalah Perjuangan : Kasman Singodimedjo 75 tahun, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)

Pewarta D jakarta, “Arti Irian Barat djika perang petjah,” 16 Mei 1954

Robert C. Bone, Jr. The Dynamic o f the Western New Guinea (Irian Barat) Problem, (N ew York: C ornell University, 1962)

72

Page 71: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

K onflik Elite Politik di Pedesaan:Relasi antara Badan Perwakilan Desa dan Pemerintah Desa1

Oleh:Heru Cahyono

Abstract

R urai Representative Body (Badan Perwakilan Desa) claims their institutions bring the people aspirations, but in reality BPD shows themselves as an elitist and failed to express people’s voice. Large authority that is possessed by BPD, such as suggesting the regent to dismiss the head of the village from his job, has been endorsed the grow o f politicization ofBPD by its members.

This new uniformity policy has caused a dilemma, because not all village in Indonesia are ready to take representative democracy model. The rule o f law assumes village as an administrative units and extremely formal. It also simplificate the heterogenity or plurality of village s in Indonesia, such as ignoring the variety oflocal milieu and local condition, cultural differences, and social structure differences in society.

U ndang-undang N o.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberi warna baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yang dianggap dapat membawa kon tribusi p o s itif bagi pengem bangan dem okratisasi di desa, bahkan m ungkin mengarah pada suatu pembahan paradigma yang diharapkan berpengaruh tidak kecil bagi penyelenggaraan pemerintahan desa. Secara khusus ini terkait dengan kehadiran lembaga- lembaga lokal di tingkat desa, di mana salah satunya ialah Badan Perwakilan Desa (BPD) yang seyogyanya bisa menjadi wadah penyalur aspirasi masyarakat dan sebagai kekuatan pengimbang bagi pemerintah desa.

Lahirnya lembaga BPD sebagai parlemen desa sekaligus diharapkan merupakan wahana bagi rak y a t un tu k te r lib a t dalam penyelenggaraan urusan publik dan proses pengambilan kebijakan-kebijakan desa. Di sini sebenarnya terbuka peluang bagi w arga

1 Penelitian dengan tema diatas dilakukan oleh Tim Peneliti yang beranggotakan: Heru Cahyono, Dhurorudin Mashad, Irine Hiraswari Gayatri, Moch. Nurhasim, Syafuan Rozi, dan Tri Ratnawati

masyarakat untuk dapat menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara lebih otonom dan mandiri. Namun demikian dalam kenyataan gagasan ini belum sepenuhnya beijalan, karena terdapatnya sejumlah potensi konflik akibat kehadiran lembaga-lembaga baru di tingkat d esa , di m ana sebuah k o n flik yang berkepanjangan akan membuat pembangunan di desa terbengkalai.

Dalam konstelasi politik di pedesaan, adanya BPD sebagai lembaga yang mengawasi eksekutif sering dipandang sebagai gangguan atas kemapanan yang ada. Secara kultural kepala desa (kades) boleh jadi belum siap karena sekian lama semasa Orde Baru tidak pernah diawasi, mengingat Ketua LMD/LKMD dirangkap oleh kades. Dengan kelahiran BPD, maka struktur desa tidak lagi menempatkan kepala desa sebagai kekuasaan sentral tanpa adanya pengontrol. Dalam menyikapinya, kepala desa bisa memainkan beberapa strategi dengan maksud “menjinakkan” BPD, sehingga BPD tidak menjadi penghalang gerak bagi eksekutif, yang pada gilirannya menuju sebuah pola kolusi atau kolaborasi yang melahirkan konsentrasi kekuasaan politik. Ini merupakan pola pertama

Page 72: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

yang terbangun dalam relasi BPD dengan pem erin tah desa. H al in i sek a lig u s mengisyaratkan bahwa BPD akan efektif memainkan fungsinya bila didukung oleh kekuatan-kekuatan riil di masyarakat. Tanpa itu, bukan tidak mungkin BPD akan menjadi lembaga baru tanpa makna atau justru menjadi beban baru bagi rakyat. Dukungan rakyat ini akan terwujud bila segenap unsur yang ada di m asyarakat memahami mengenai sebuah kebutuhan akan demokratisasi desa. Penelitian ini mendapati terjalinnya pola kolusi pada kasus Desa Gelap, Lamongan. Sedari semula pemilihan anggota BPD dilaksanakan secara tidak transparan, sehingga memungkinkan kelompok tertentu menguasai komposisi keanggotaan BPD. Ketegangan mengemuka antara kades terpilih yang didukung oleh sebagian anggota BPD versus sekelompok masyarakat. Lantas muncul proyek penggusuran tanah untuk bangunan sudetan Bengawan Solo di mana Pelaksana Kepala Desa bersekongkol dengan pihak BPD untuk memanipulasi harta kekayaan desa. Proses ini m em icu lah irnya “Tim Reformasi” yang mempertanyakan masalah ganti rugi tanah desa. Setelah Kades melarikan diri maka kendali pemerintahan dan segala aspek keuangan dipegang dan dikendalikan oleh Ketua BPD, sehingga konflik akhirnya berlangsung antara “Tim Reformasi” berhadapan dengan pihak BPD karena BPD lebih condong ke penguasa, yakni pejabat sementara kepala desa.

Pada kutub yang lain, sebagai pola relasi kedua, kades dan BPD dapat berada pada posisi yang saling berhadapan secara antagonis dan nyaris tak terdamaikan, sebagai gejala dominan yang ditemui pada desa-desa yang diteliti yakni dijumpai di Desa Rejosari-Bantul, Desa Bero-Klaten, Desa Sitanggal-Brebes, dan Desa M ajasetra-Bandung. Di sini sumber kekuasaan politik terpola secara menyebar. Di antara dua kutub relasi tadi, masih dimungkinkan terwujudnya pola ketiga yakni kompromi di antara sumber-sumber kekuasaan, sehingga melahirkan perdamaian sebagaimana teijadi di

Sungai Puar-Agam dan DesaTulikup-Gianyar. Lambat-laun konflik bisa mencair, berkat kearifan anggota dan Ketua BPD untuk tidak melakukan kritik secara keras maupun tindakan frontal terhadap perbekel.

Kecuali terbentuknya tiga pola relasi di a tas, tem uan la in sehubungan dengan keberadaan BPD sebagai institusi baru yang diperkenalkan pasca UU No.22 Tahun 1999 dalam konteks ini ialah: telah berfungsinya BPD sebagai sebuah institusi yang sangat instrumental, yakni sebagai alat dari pertarungan politik antar- elite. Di sini telah teijadi rivalitas kekuasaan antar e lite p o litik lam a dengan m enem ukan, menggunakan, dan memanfaatkan arena-arena pertarungan dan institusi yang baru.

Konflik antara kelompok BPD-Kepala Desa versus “Kelompok Reformasi” yang terjadi di D esa Gelap (Lamongan) adalah kelanjutan konflik antara keluarga Abdullah dengan kubu Amin Tohari, merupakan buah dari pertentangan dan konflik kekuasaan yang berakar jauh sebelumnya, yang merupakan refleksi dari pertarungan afiliasi politik tahun 1950-an. Gelanggang konfliknya ialah pemilihan kepala desa (pilkades) 1990, pilkades 1999, serta akhirnya BPD berkolusi dengan Kades untuk berhadapan dengan para penentangnya. Di Desa Sitanggal, Brebes, lembaga BPD digunakan sebagai instrum en baru dalam meneruskan pertarungan politik melawan Kades terpilih. Tipisnya perbedaan hasil akhir perolehan suara pilkades 1998, banyaknya surat suara rusak, serta merebaknya isu politik uang oleh Kades terpilih telah melahirkan kekecewaan yang cukup membekas di antara calon kades yang gagal. Maka, tatkala beberapa di antara pesaing kuat dalam pilkades kemudian terpilih menjadi anggota BPD maka kekecewaan yang boleh jadi masih menggumpal memperoleh salurannya.

Di Majasetra, Bandung, kendati proses pilkades berjalan relatif demokratis, namun tiga anggota BPD yang merupakan calon kepala desa yang kalah dalam pemilihan rupanya

74

Page 73: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

bersikap tidak rela terhadap kekalahan saat pilkades, sehingga kemudian menggunakan lem baga B PD sebag a i a la t un tu k memperkarakan kepala desa ke pengadilan. Hal senada dijum pai di D esa B ero, K laten , ketidakpuasan salah satu calon kepala desa yang kalah telah m elahirkan pengkubuan dan perseteruan panjang di BPD. Lembaga BPD secara konspiratif dirancang oleh kubu calkades kalah sebagai w ahana a lte rn a tif un tuk “mengganjal” Kades terpilih di luar jalur hukum, dengan memasukkan “orang-orangnya” ke dalam konstelasi pemilihan BPD. Soeminto menggugat B upati ak ibat m elan tik K ades M asijo , Perseteruan juga dilangsungkan lewat jalur hukum, yang di mana kemudian PTUN Semarang memenangkan gugatan calkades kalah terhadap Bupati, sehingga atas Kades terpilih dinonaktifkan sementara. Namun, kemudian upaya hukum berlanjut hingga tingkat banding ke tingkat kasasi M ahkam ah A gung, di m ana keduanya dimenangkan oleh Bupati. Ketika putusan MA amarnya berisi kemenangan Bupati, BPD mulai nyata memperlihatkan sosoknya hanya sebagai kepanjangan konflik pilkades 1998.

Penyeragaman dan Masalah Penafsiran Perundangan

Negara pasca Soeharto telah membuat sebuah kebijakan yang pada intinya berupa penyeragaman baru, yakni adanya keharusan bagi setiap desa untuk membentuk BPD, sebagai suatu desen tra lisasi/o tonom i desa yang dipaksakan. Hal ini menimbulkan dilemma karena tidak semua desa telah siap dengan model demokrasi perwakilan yang diperkenalkan pemerintah itu, karena boleh jadi justru terdapat desa-desa lain yang sebenarnya lebih nyaman dengan sistem pengawasan langsung yang tidak melibatkan para wakil rakyat, atau boleh jadi lembaga-lembaga musyawarah adat lebih efektif dalam membangun partisipasi aktif masyarakat secara otonom.

Sejumlah kabupaten memaksakan diri untuk secepat mungkin membentuk BPD. Beberapa kabupaten bahkan mematok target waktu tertentu, agar seluruh desa di wilayah pemerintahan yang dibawahinya dapat terbentuk BPD. Ini semacam upaya secara sadar untuk menyenangkan hati atau mendapat “kredit poin” dari atasan (dalam hal ini gubernur), sebab bila sebaliknya yakni pembentukan BPD di suatu wilayah berlarut-larut atau tertunda-tunda maka ada semacam kekahawatiran dari pihak bupati bahwa ia bisa saja dinilai gagal oleh atasan.

Ketergesa-gesaan ini juga merembet pada level perundangan, yakni menyangkut penyiapan segala aturan yang mengatur mengenai lembaga baru yang bernam a BPD te rsebu t. Ini menjelaskan mengapa antara satu kabupaten dengan kabupaten lain kadang berlangsung saling adopsi (baca: mencontek/menjiplak) dalam hal materi perda, sekaligus berarti menafikan adanya perbedaan kondisi obyektif antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kecenderungan demikian pada gilirannya juga menyebabkan rendahnya tingkat pemahaman terhadap aturan-aturan perundangan yang telah dikeluarkan. Peneliti menjumpai bahwa para pelaksana di lapangan belum sepenuhnya memahami pasal-pasal BPD sebagaimana termaktub di dalam perda maupun keputusan bupati. Akibat gejala saling mencontek perda, tidak tertutup kemungkinan di antara para pembuat perda terjadi perbedaan penafsiran mengenai sesuatu klausul. Di tingkat desa sendiri, terdapat kadar pemahaman yang tidak setara antara satu aktor politik dengan aktor politik lain. Terdapat sejumlah kasus perbedaan penafsiran pemndangan, yang disebabkan oleh lemahnya pemahaman terhadap materi perundangan itu sendiri, maupun tidak lepas kemungkinan aktor politik melakukan penafsiran secara sepihak demi kepentingan kelompok atau kepentingan tertentu.

Bahwa penyeragaman berpotensi konflik manakala aturan perundangan yang cenderung melakukan simplifikasi terhadap kenyataan adanya heterogenitas/pluralitas desa-desa di Tanah Air, yakni dengan mengabaikan suasana dan kondisi lokal yang berbeda-beda antara satu

75

Page 74: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

desa dengan desa lainnya, perbedaan budaya, maupun perbedaan struktur sosial masyarakat. Dengan demikian di sini terjadi kesenjangan antara situasi pedesaan yang umumnya masih hidup suasana harmoni, hubungan yang bersifat informal dan personal, kekerabatan di satu sisi yang berhadapan dengan di sisi lain UU No.22 Tahun 1999 yang mengasumsikan desa semata-mata sebuah unit-unit administratif dan sangat formal sifatnya Kajian ini memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi di tingkat desa berpangkal dari kegagalan para aktor untuk bertindak sesuai dengan logika demokrasi perwakilan.

P em da m estin y a m em buat atu ran mengenai petunjuk pelaksanaan yang secara jelas dan serinci mungkin agar di lapangan tidak menimbulkan perbedaan-perbedaan penafsiran di kalangan aktor-aktor politik, term asuk mencegah agar BPD tidak melewati batas kewenangan yang dimilikinya. Akibat semangat legislative heavy yang menggebu-gebu yang dim otivasi oleh euforia reform asi, BPD mempertontonkan arogansinya dengan kerap kali bukan hanya cenderung mengintervensi kades nam un b ahkan b e rk e in g in an melaksanakan tugas-tugas yang semestinya merupakan kewenangan kepala desa (Desa Sitanggal, Desa Bero, dan Desa Rejosari).

Di D esa R ejosari, B antul, peneliti menemukan teijadinya kontroversi perundangan ini menyangkut terbitnya SK No. 01/Kep/BPD/ S M Y /V I/2004 . SK B PD in i d ian g g ap kontroversial karena penerbitannya dinilai tanpa melalui pertimbangan matang, justru SK tersebut semata-mata bertuj uan mencopot Kepala Desa (yang sedang sakit) dari jabatannya tanpa mengikuti prosedur yang berlaku. Kontroversi dan perlawanan bahkan meluas, baik dari kepala desa/lurah yang sedang sakit, maupun ditentang oleh 21 dari 22 kepala-kepala dukuh, sebagian pamong desa2, pemerintah kecamatan, maupun pemerintah kabupaten.

2 Sikap pamong desa terbelah antara pihak yang mendukung Lurah, dan yang menentang. Kelompok terakhir di antaranya meliputi .Kaur Pemerintahan dan Carik memihak BPD.

Penafsiran yang cenderung berlebihan juga memicu konflik BPD dengan Kepala Desa di Sitanggal, Brebes. Perda No. 13/2000 Pasal 9 Point c (yang dikuatkan oleh Pasal 4 Ayat e keputusan Bupati Brebes No.l44/24/Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan tata Tertib Badan Perwakilan Desa) menyatakan bahwa BPD memiliki tugas, wewenang dan kewajiban m elaksanakan pengaw asan terhadap: (1) pelaksanaan peraturan desa dan keputusan kepala desa, (2) terhadap pelaksanaan APB Desa, (3) kebijakan pemerintahan desa, serta (4) pelaksanaan kerja sama antar desa atau dengan pihak lain. Di sini secara umum berarti bahwa BPD berwenang mengawasi jalannya pemerintahan desa. Akan tetapi, dalam banyak hal penerapan wewenang ini telah melebar, dan bukan hanya mengawasi melainkan telah menjurus turut campur dalam jalannya roda pemerintahan desa.

Contoh paling mengemuka ialah pada kasus pengisian jabatan perangkat desa.3 Menurut aturan, Perda No. 13/2000 Pasal 9 Ayat lb menyatakan bahwa BPD memiliki tugas dan w ew enang un tu k “m engusu lkan pengangkatan, pemberhentian sementara, dan pemberhentian kepala desa, perangkat desa, s ta f ’. Berdasarkan ketentuan tersebut maka menyangkut pengangkatan perangkat desa, p ih ak BPD m em ilik i w ew enang untuk mengusulkan pengangkatan perangkat desa. Di sini terjadi perbedaan penafsiran. Kepala Desa berpen d ap a t bahw a soal pengangkatan p e ra n g k a t d esa yang low ong adalah wewenangnya, namun di lain pihak BPD berpendirian bahwa merekalah yang berhak melaksanakan pemilihan pamong desa. Di sam ping m asalah perbedaan tadi, Kades beralasan bahwa SK pemberhentian perangkat yang mundur belum ada, mengingat belum ada juklak dan j uknisnya dari pemda. Di lain pihak, BPD menganggap bahwa Desa tidak perlu

3 Perangkat desa adalah pembantu kepala desa yang terdiri atas sekretaris desa unsur staf, kepala-kepala urusan sebagai unsur pelaksana lapangan, dan kepala dusun dan pembantu kadus sebagai unsur wilayah.

76

Page 75: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

menunggu SK dari pemda, sebab yang penting harus segera mengisi kekosongan perangkat. Di tengah perdebatan yang belum menemukan titik temu, BPD langsung mengambil inisiatif dengan secara sepihak membentuk sebuah panitia yang anggotanya dikuasai oleh unsur BPD. Panitia inilah yang kemudian melakukan penjaringan calon, membuat soal ujian, melaksanakan ujian dan wawancara, dan akhirnya menentukan siapa-siapa saja yang berhak duduk sebagai pamong desa. Dalam hal ini, kepala desa disodori nama-nama yang tinggal ditandatangani untuk disahkan pengangkatannya.4

Dalam hal ini BPD jelas melanggar aturan karena m elaksanakan tugas yang bukan wewenangnya, karena di dalam Keputusan Bupati Brebes No. 14/243/Tahun 2001 Pasal 3 disebutkan bahwa, “Perangkat desa diangkat dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa atas persetujuan dan usul Badan Perwakilan Desa.” Ini dengan tegas menggariskan bahwa proses pemilihan dan penetapan perangkat desa merupakan kewenangan kepala desa, sementara wewenang BPD adalah sebatas mengusulkan dan memberi persetujuan atas personel-personel yang diangkat oleh Kades.5

Kebablasan Peran dan Elitis

Permasalahan yang tak kalah pentingnya ialah menyangkut upaya konsolidasi internal BPD agar lembaga itu dapat memaksimalisasi perannya. Pangkal persoalannya terletak pula pada begitu besarnya kekuasaan yang dimiliki BPD, yakni adanya wewenang lembaga ini untuk bisa mengusulkan kepada bupati tindakan

4 BPD beralasan bahwa jabatan perangkat desa banyak yang lowong, karena selama tiga tahun sejak 1998 banyak perangkat desa lengser.

5 Pasal 14 Ayat 1 Keputusan Bupati Brebes No. 14/243/ Tahun 2001 tentang Tata Cara Pencalonan atau Pengangkatan, Pem berhentian Sem entara dan Pemberhentian Perangkat Desa juga menyebutkan perangkat desa diberhentikan oleh kepala desa. Sedangkan mengenai peranan BPD, sebagaimana tertera di Ayat 2 bahwa pemberhentian perangkat desa tersebut adalah atas usul BPD. Di sini juga jelas bahwa wewenang BPD adalah sebatas memberikan usulan pemberhentian, dan bukan pihak yang berwenang memberhentikan.

pemberhentian kades. Pada beberapa desa yang diteliti hal tersebut telah mendorong tumbuhnya politisasi lembaga BPD oleh para anggotanya, di lain pihak itu secara psikologis serta-merta menimbulkan ketidaksenangan dan mungkin juga memancing penolakan dari kepala desa (kasus D esa Tulikup, G ianyar). K onflik kemudian menjadi berlarut-larut lantaran adanya perbedaan in terp re tasi m engenai peran “pengaw asan” yang d im ilik i oleh BPD (Sitanggal, Rejosari, dan Majasetra), di mana Perda menggariskan BPD berfungsi mengawasi kades dalam jalannya pemerintahan desa. Dalam prakteknya, BPD cenderung bukan hanya mengawasi, melainkan berkembang menjadi lembaga yang bekerja untuk memata-matai kades.

Konflik yang sempat teijadi antara BPD dengan perbekel di DesaTulikup, Gianyar, ialah akibat adanya resistensi (penolakan) dari pihak perbekel sehubungan perbekel khawatir ihwal wewenangnya akan berkurang dan ia merasa te ran cam /b erk eb era tan dengan adanya w ew enang BPD un tuk m en gusu lkan pem berhentian perbekel kepada bupati. Perbekel mempertanyakan keberadaan dan pemahaman anggota BPD soal Perda yang mengaturnya.

Di Desa Sitanggal, Brebes, sedari awal terbentuk, nuansa politisasi lembaga BPD telah kental, khususnya karena BPD merasa memiki kewenangan yang besar dapat mengusulkan pemberhentian kades. Posisi BPD yang mestinya menjadi mitra kades bergeser menjadi “mitra tanding”. Kesan over capacity (kebablasan peran, kelebihan wewenang) terlihat jelas pada kasus proses pengisian jabatan perangkat desa yang didominasi oleh BPD. Kecenderungan pengambilan peran yang berlebihan oleh Ketua BPD juga dijumpai di Desa Rejosari, Bantul. Seharusnya menyangkut masalah operasional sehari-hari, seperti kekurang disiplinan salah satu K abag P em erin tah D esa , m erupakan wewenang Lurah Desa atau Badan Pengawas Daerah untuk menindaknya; dalam hal ini, BPD

77

Page 76: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

cukup memberikan masukan atau mengusulkan tindakan yang diperlukan kepada kepala desa. Pengawasan yang boleh dilakukan BPD ialah menyangkut pengawasan kebijakan seperti mengenai pelaksanaan peraturan desa dan anggaran desa.

Penelitian ini membenarkan dua asumsi awal yang digunakan dalam desain awal penelitian. Pertama, proses pembentukan BPD yang tidak demokratis akan meningkatkan kecenderungan teijadinya konflik elite di tingkat desa. Sertakedua, politisasi elite politik BPD telah mengurangi efektivitas lembaga tersebut dalam melaksanakan kontrol obyektif terhadap kepala desa.

Dengan demikian, bertolak belakang dengan klaim yang senantiasa disuarakan oleh BPD bahwa mereka adalah lembaga yang membawa aspirasi rakyat, pada kenyataannya BPD memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang elitis dan gagal menyuarakan suara rakyat. Para elite yang duduk di BPD cenderung sewenang- wenang dalam mengartikan dirinya sebagai wakil rakyat desa, ketika sebenarnya hanya sebuah oligarki baru yang mewakili kepentingan dirinya sendiri dengan mengatasnam akan kepentingan rakyat. Bahwa fungsi kontrol yang disuarakan BPD cenderung bertendensi power struggle, dalam rangka menjatuhkan lawan- lawan politiknya. Kecondongan demikian semakin menguat, ketika konflik dilatarbelakangi oleh persoalan pribadi, kekerabatan dan harga diri (Rejosari, Bantul) atau “dendam lanjutan” akibat keanggotaan BPD diisi oleh kelompok pesaing kepala desa pada saat pemilihan kepala desa, yang mana telah membuat suasana rivalitas sem akin kental, berlarut-larut, dan tidak produktif bagi perkembangan desa. Kedua belah pihak saling bersaing guna memperkuat posisi masing-masing dengan mengabaikan kepentingan rakyat (kasus Desa Sitanggal dan Desa Majasetra).

UU No.22/Tahun 1999 dalam hal ini dapat dianggap telah m elanggar prinsip

keseimbangan, pelanggaran mana boleh jadi telah mengusik kepekaan masyarakat desa yang masih dikenal cukup kental dengan prinsip hidup yang menjunjung harmoni dan keselarasan. Di satu sisi, UU telah memberikan kekuasaan yang dem ik ian b esa r k ep ad a BPD seh ingga menimbulkan BPD/legislative heavy, namun ironisnya di bidang keuangan BPD diperlakukan secara kurang adil akibat honor anggota dan pendanaan kegiatan operasional terbilang amat kecil, walaupun pada beberapa desa lain soal dana ini tidak menjadi keluhan. BPD senantiasa membayangkan bahwa ia merupakan DPR dalam lingkup terkecil di tingkat desa, yang dilengkapi dengan “keistimewaan” di bidang politik. BPD biasa membuat semacam klaim bahwa mereka adalah pembawa aspirasi rakyat. Di samping itu, BPD mempunyai anggapan secara praktis bahw a, kekuasaan politik mestinya dibarengi dengan ketersediaan akses ekonomi yang luas pula sebagaimana halnya dicitrakan oleh lembaga DPRD dan DPR. BPD dalam permasalahan ini menghadapi kenyataan yang sangat bertolak belakang, dan boleh jadi m em buat p ara an g g o ta B PD kecew a menyaksikan sedikitnya nilai ekonomis dari jabatan mereka. Perda-perda yang ada di daerah-daerah yang diteliti tidak mengatur mengenai masalah keuangan ini secara memadai. Di dalam perda kabupaten-kabupaten yang diteliti umumnya dikatakan bahwa, “Anggotadan pimpinan BPD berhak menerima uang sidang dan atau tunjangan serta penghasilan lainnya, sesuai dengan kemampuan keuangan desa.” Hal inilah yang menyulut kekecewaan anggota BPD mengingat ketergantungan keuangan BPD terhadap “kemampuan keuangan desa”, di mana desa umumnya memiliki kemampuan keuangan yang amat terbatas.

Pola dan Intensitas Konflik

Konflik yang bersifat elitis menandai pola konflik secara umum pada desa-desa yang

78

Page 77: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

terlibat konflik. Konflik yang berciri elitis ini ditandai oleh tiga gejala. Pertama, konflik mengusung kepentingan-kepentingan para elite politik desa, khususnya kepentingan pihak-pihak elite yang bertikai. Kedua, persepsi mengenai siapa yang termasuk dalam pihak kawan dan sebaliknya mana pihak seteru secara intensif hanya muncul di seputar elite politik. Dalam konteks ini, masyarakat mengetahui bahwa telah terjadi pertikaian politik di desanya, namun sebagian besar masyarakat tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari kelompok berkonflik atau m enganggap kelom pok masyarakat lain sebagai pihak pesaing atau kubu lawan. Pengkubuan atau perasaan bermusuhan praktis hanya menghinggapi kalangan elite politik. Kalaupun ada elem en tertentu di masyarakat yang mendukung pihak-pihak berseteru, maka yang bersedia terlibat dalam konflik semacam ini hanyalah sekelompok kecil dan tidak signifikan jumlahnya. Ketiga, isu-isu yang bermunculan di seputar konflik dirumuskan atau digodok oleh kalangan elite politik dan tanpa menyertakan keterlibatan masyarakat. Hal ini menjelaskan mengapa kerap kali isu-isu yang diketengahkan rela tif kurang menyentuh persoalan-persoalan yang tengah hidup di masyarakat; kalaupun ada pengangkatan isu terkait m asyarakat m aka hal itu disadari sepenuhnya oleh masyarakat sebagai bagian isu yang dimanipulasi dan bukanlah isu politik yang secara jujur diperjuangkan secara alamiah.

Di Majasetra, Bandung, Kades justru membentuk sebuah forum bernama “Forum C in ta D am ai” yang b e rtu ju an un tu k membubarkan BPD. Hal ini sebagai respon atas pertemuan sebelumnya antara pihak BPD- Kades-Camat yang menghasilkan keputusan bahwa Kades Majasetra harus membuat surat pertnyaan tidak akan mengulangi kesalahan dalam hal pengelolaan dana bantuan JPS dan dana B PPD yang d in ila i tid ak dapat dipertanggungjawabkan oleh Kades. Sementara

di Desa Bero, Klaten, keluarnya SK Bupati yang mengangkat Kepala Desa Bero menuai protes bahkan gerakan sekelompok kecil massa dari kubu calkades kalah.

Terlihat bahwa pada beberapa kasus konflik di sejumlah desa yang diteliti, para elite yang berkonflik berupaya menggalang massa sebagai basis dukungan yang efektif bagi kepentingan elite atau kelompok tertentu, namun upaya-upaya semacam itu tidak sepenuhnya membuahkan hasil. Ini karena sebagian besar warga masyarakat menunjukkan keengganannya untuk bersikap fanatik terhadap elite tertentu, sehingga di tingkat akar rumput tidak terjadi benturan. Masyarakat dapat dikatakan pula kurang menanggapi secara serius atau tidak peduli dengan konflik yang berlangsung antara kedua belah pihak, kades dan BPD. Masyarakat lebih memilih sibuk dengan umsan sehari-hari. Masyarakat juga merasa cukup mampu untuk jalan sendiri saja tanpa lembaga desa yang efektif, yang penting roda perekonomian tetap berjalan dan masyarakat bisa mencari makan.

A gaknya se ja lan dengan belum melembaganya mekanisme penyelesaian konflik, beberapa kasus konflik menjadi berlarut-larut. Konflik yang umumnya mulai muncul semenjak aw al m asa re fo rm asi b ag a ik an tidak terselesaikan, sehingga perseteruan baik itu yang muncul secara terbuka m aupun sisa-sisa ketegangan tetap terasa hingga penelitian ini dilaksanakan, yakni sekitar 5 tahun semenjak konflik awal meletus.

Konflik yang terjadi dan berkepanjangan di sini telah mendatangkan perpecahan, yang selanjutnya dapat menganggu keutuhan sistem politik di pedesaan. Di sini masyarakat pedesaan -khususnya kalangan elite politik desa— agaknya perlu belajar bagaimana menjalankan sebuah transformasi konflik, yakni suatu upaya mengatasi sumber-sumber konflik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari konflik terbuka (konflik fisik) menjadi kekuatan

79

Page 78: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

sosial dan politik yang positif.6 K onflik sesungguhnya dapat dikelola secara efektif melalui kombinasi beberapa inisiatif dan tindakan, yang meliputi serangkaian usaha-usaha penyelesaian masalah bersama, negosiasi, mediasi, atau arbitrasi yang dilaksanakan secara seim bang , ad il, p ro ses yang ju ju r dan mengedepankan kepentingan pihak-pihak yang berkonflik; sebab proses sebaliknya biasanya akan gagal mengatasi perselisihan dan sebaliknya justru menghasilkan kecurigaan-kecurigaan dan prasangka-prasangka baru dari pihak-pihak yang berkonflik.

Kecuali kecenderungan elite politik di pedesaan untuk melanggengkan konflik, mereka tergoda pula untuk menggunakan metode- m etode violence (k ek e ra san ) dalam keberlangsungan konflik, baik itu melalui ancaman, intimidasi, bahkan teror dan tindakan kekerasan. Pada beberapa kasus konflik yang memakai cara violence, biasanya konfliknya cenderung m enjadi lebih m endalam dan meninggalkan benih-benih luka yang relatif lebih sukar untuk disembuhkan. Ini karena tindakan kekerasan fisik, intimidasi, teror terhadap golongan tertentu akan menimbukan dampak yang merusak dan berakibat jangka panjang. Luka-luka ini dapat terus berlanjut. Efek paling sederhana yang kita alami akibat cara-cara demikian ialah terhalangnya kreativitas untuk berfikir, untuk menjaling hubungan dan bertindak.

Mungkin belum merasa puas dengan membentuk sebuah forum yang bertujuan membubarkan BPD, kelompok pendukung Kades di D esa M ajasetra, Bandung, juga

6 Transformasi konflik meliputi berbagai macam tindakan, mulai dari pencegahan konflik, penyelesaian konflik (mengakhiri perilaku kekerasan/teror/ancaman melalui suatu persetujuan damai), pengelolaan konflik (bertujuan untuk membatasi dan menghindari ancaman atau kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak bertikai), serta resolusi konflik (yang mengarah pada segala bentuk upaya penanganan sebab-sebab konflik seraya berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di atara kelompok-kelompok yang bermusuhan). Simon Fisher, dkk, Mengelola Konflik, (Jakarta: The British Council, 2000), h.6-8.

mencoba melakukan intimidasi secara fisik, dengan menculik anggota BPD. Peristiwa penculikan membuat BPD menduga bahwa pihak Polsek berpihak pada Kades, sebab peris tiw a “pen jem p u tan ” anggota BPD dilakukan oleh aparat dari Binmas Polri atas perintah Kapolsek Majalaya. Alasan Kapolsek, penjemputan dilakukan setelah masuknya laporan dari masyarakat bahwa rumah enam orang anggota BPD mau dibakar oleh massa. Laporan kepada Kapolsek ini belakangan diketahui dibuat oleh kelompok pendukung Kades yang datang ke kantor Polsek dengan menggunakan ikat kepala hitam bertuliskan “Forum Cinta Damai”.

Begitu pula halnya, akibat tidak puas dengan pelantikan Kepala Desa Bero (Klaten) dan pelantikan istri Kades sebagai ketua penggerak PKK teijadi demonstrasi, termasuk pemblokiran beberapa mas jalan di Bero. Pihak- pihak yang merasa tidak puas lantaran kalah dalam p ilk ad es ak h irn y a m eneruskan kekecewaan dan perseteruan di sebuah lembaga baru bernama BPD. Calkades kalah segera “mem-PTUN-kan” Bupati. Demonstrasi para pendukungnya kem udian tak lagi hanya diarahkan pada Bupati, tetapi diarahkan pula pada Kades Bero (Klaten). Berbagai tuduhan mulai digelorakan khususnya seputar penentuan aparat desa era kepemimpinan Kades 1990- 1998. Penyerangan pada rumab (dan mobil) Kades dan juga terjadi. Pohon-pohon bahkan dijadikan sasaran kemarahan, ditebang lalu ditaruh untuk menghalangi jalan. Penyerangan secara fisik sempat teijadi, seperti dialami ta’mir m asjid , H. T h o y ib yang ja d i ko rban pengeroyokan.

Dilema Demokrasi Perwakilan di Tingkat Desa

Penelitian ini menemukan bahwa model demokrasi perwakilan yang hendak diterapkan di desa melalui pembentukan lembaga BPD masih mengandung sejumlah dilemma. Dilemma pertama ialah, kecenderungan BPD yang

80

Page 79: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

bukannya tampil sebagai wakil rakyat, melainkan justru sebagai oligarki baru. Di sini kehadiran BPD telah meleset dari harapan sebagai lembaga yang mampu menerjemahkan aspirasi dan kepentingan rakyat. BPD hanya merupakan representasi dari elite-elite desa yang memegang kekuasaan. Warga Desa Sitanggal, Brebes, menghendaki agar BPD memperjuangkan masalah semakin meningkatnya harga alat produksi dan obat-obatan pertanian, sementara di sisi lain harga bawang semakin merosot, namun BPD lebih tertarik untuk sibuk dengan isu-isu “strategis” yang bertendensi dapat menjatuhkan kepala desa. Di Desa Bero, Klaten, oligarki itu mengental sedemikian rupa dalam bentuk pengelompokan antara dua kubu yang saling bertentangan di internal BPD, yang m erupakan kelan ju tan dari pertarungan pilkades, sehingga BPD terbelah menjadi ke lom pok pen d u k u n g ca lk ad es kalah berhadapan dengan kelompok yang netral/anti. Hal demikian ditemui pula di Desa Majasetra, ketika kasus bantuan beras operasi pasar khusus (OPK) digunakan semata-mata sebagai “peluru” untuk “menembak” kades. Di sini otonomi desa telah berubah arti menjadi otonomi elite. Bahwa BPD secara sepihak merumuskan apa yang dimaksud dengan aspirasi rakyat, sementara yang sesungguhnya diperjuangkan ialah kepentingan dari segelintir elite desa. Di sini berarti pula bahwa BPD telah gagal menyerap aspirasi m asyarakat, di lain p ihak tidak terdapatnya partisipasi masyarakat dari berbagai e lem en m asy arak a t secara luas dalam penyelenggaraan urusan publik, telah membuat tujuan otonomisasi desa menjadi tidak tercapai.

Dilem a kedua terkait dengan usaha penerapan prinsip demokrasi perwakilan pada suatu wilayah yang luas dan jumlah penduduknya masih amat terbatas seperti pedesaan. Hal ini mungkin akan bermanfaat sejauh rakyat desa dalam suatu kondisi yang sama-sekali belum terperdayakan, pasif, berpendidikan rendah, serta kemampuan masyarakat secara umum amat lemah dalam mengartikulasikan aspirasinya.

Namun ketika itu diberlakukan pada sebuah desa di mana persentase warga berpendidikan semakin meningkat, berkarakter relatif dinamis dan kritis, maka hal itu akan menyulut munculnya pengkotak-kotakan dan kecenderungan anarki yang justru memperumit arena konflik di pedesaan. Penerapan sistem distrik (perwakilan suatu dusun) pada pemilihan anggota BPD telah membuat warga terkotak-kotak antara satu dusun dengan dusun lainnya. Di beberapa desa yang diteliti, seperti Desa Gelap (Lamongan) dan Desa Sitanggal (Brebes) terlihat bagaimana mekanisme pemilihan yang didasarkan pada sistem distrik, di mana calon anggota BPD adalah w akil dari dusun-dusun yang ada, pada gilirannya telah turut memperuncing ketika muncul konflik. Anggota BPD cenderung memanipulasi dukungan dari dusun di mana mereka berasal, sehingga membuat masyarakat desa semakin terkotak-kotak dalam konflik. Di sini logika demokrasi perwakilan tidak beijalan, dan justru melahirkan adegan-adegan yang kontra-produktif bagi pengembangan demokrasi di pedesaan.

Kegagalan penerapan prinsip demokrasi perwakilan di pedesaan memaksa kita untuk memikirkan mekanisme-mekanisme tambahan yang mungkin dapat digunakan sebagai wahana untuk lebih mengefektifkan peranan BPD. Hal ini dilatarbelakangi kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa BPD mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat, namun di lain pihak tidak tersedia mekanisme apapun yang memungkinkan BPD harus m em berikanpertanggung jaw abannya kepada rakyat pemilihnya (konstituen), serta di lain pihak menyediakan ruang bagi publik untuk dapat m em b erik an m asukan k ep ad a B PD . Akuntabilitas BPD penting dikemukakan guna meminimalisir kecenderungan lembaga ini justru m en jad i lem baga e litis dan tid ak lagi mempeijuangkan aspirasi rakyatnya. Terlebih lagi sukar mendeteksi sedari awal bahwa BPD bukan hanya dijadikan sebagai kendaraan politik para anggotanya.

81

Page 80: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Yang dibutuhkan oleh sebuah desa ialah suatu lembaga lain yang dapat mengontrol BPD. Lembaga mana memiliki wewenang untuk meminta pertangungjawaban atas kinerja BPD. M ekanisme tambahan itu juga membuat kesibukan BPD bukan hanya terpaku pada rapat-rapat yang diselenggarakan di Balai Desa, namun juga BPD aktif bertemu dan bertatap muka dengan rakyatnya. Perluasan mang publik ini dapat dilaksanakan dengan mengaktifkan berbagai kelompok sosial, forum dialog, atau jaringan warga, LSM, organisasi-organisasi lokal yang tumbuh dalam masyarakat baik yang berbasiskan budaya, pekerjaan, maupun agama seperti forum pertemuan masjid. Sebagai salah satu organisasi sosial korporatis yang ada di desa, BPD tetap harus diawasi oleh masyarakat guna mewujudkan otonomi masyarakat secara utuh yang menjamin keterlibatan warga secara aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Pada akhirnya, cita-cita demokratisasi pedesaan berpulang pada kemauan dan kemampuan warga desa sendiri dalam mengorganisasi diri menjadi kekuatan sipil yang otonom. Ini karena keberhasilan otonomi desa sangat ditentukan oleh sejauhm ana m asyarakat desa dapat m en g ek p res ik an k eb u tu h an n y a dan berpartisipasi dalam proses pembangunan yang berlangsung di desanya. Bahwa semestinya implikasi nyata dari otonomi desa nampak dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat desa.

Penutup dan Rekomendasi

Konflik yang melibatkan lembaga BPD dengan pemerintahan desa telah membuat gagasan ideal tentang pengembangan otonomi dan demokrasi di pedesaan menjadi tidak tercapai. Di satu sisi otonomi daerah mungkin bisa bergerak tak terarah, tanpa pelembagaan politik dan kepastian hukum atau membuat otonomi desa sebatas otonomi elite saja, di sisi lain BPD jusru menjadi institusi yang sulit dikontrol dan mengabaikan aspirasi masyarakat, sem entara pem erintahan desa juga tidak

beijalan optimal akibat sebagian perhatian para aparat desa tersita pada isu-isu konflik yang melelahkan. Di semua desa penelitian, konflik BPD dengan p em erin tah an d esa te lah mengakibatkan public Service (pelayanan masyarakat) menjadi terganggu, pembangunan te rb e n g k a la i dan bahkan m engalam i kemunduran. Sekalipun konflik yang cenderung elitis belum melibatkan massa secara masif, nam un konflik yang berlaru t-laru t telah menimbulkan bukan saja ketegangan antar-elite melainkan juga dikhawatirkan dapat menganggu hubungan sosial warga.

UU No.22 Tahun 1999 maupun perda- perda belum m em uat k lausul m engenai bagaimana mekanisme penyelesaian konflik tatkala muncul ketegangan atau perselisihan di antara lembaga-lembaga yang ada di pedesaan. Pada desa-desa di mana institusi adat masih berfungsi dan cukup dihormati seperti di Bali, m aka k o n flik d ap a t d itan g an i dan dimusyawarahkan melalui lembaga-lembaga adat. Namun, pada desa-desa di mana institusi lokal dan adat telah nyaris runtuh dan tidak lagi cukup berwibawa -bersamaan dengan itu para pemuka masyarakat, pemuka adat maupun pem uka agam a ju g a sem ak in kurang dihormati— maka konflik antar elite di desa akan cenderung menjadi berlarut-larut.

D alam p em b en tu k an BPD dan keberlangsungan perannya perlu diperhatikan beberapa hal m endasar. Pertama, m esti dihindari bentuk penyeragaman yang terlalu kaku dalam aturan perundangan sehingga mengabaikan heteronitas antara satu desa dengan desa lain. Kedua, perlu dirumuskan ketentuan yang lebih jelas mengenai fungsi dan wewenang yang dapat dijalankan oleh BPD supaya lem baga ini dalam praktek tidak cenderung menjadi over capacity (kelebihan w ew enang, kebab lasan peran). Ketiga, m enyediakan m ekanism e tambahan yang memungkinkan BPD dapat menyampaikan pertanggungjawabnnya kepada konstituennya, sekaligus sebagai bentuk upaya perluasan mang

82

Page 81: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

publik di mana rakyat pada umumnya dapat memberikan masukan kepada BPD.

Mengingat, salah satu penyebab over capacity BPD ialah akibat adanya aturan yang m em beri w ew enang BPD un tu k dapat mengusulkan (kepada bupati) pemberhentian kepala desa. Kami mengusulkan peninjauan kembali atas aturan tersebut, m engingat kew enangan dem ikian telah m em otivasi tumbuhnya: politisasi lembaga BPD maupun kecenderungan BPD untuk bersikap arogan; serta di lain pihak membuat sebagian kepala desa mempersepsikan BPD sebagai “lembaga yang mengancam”, sehingga secara psikologis kepala desa bersikap “pasang kuda-kuda” . Dengan dem ikian, perundangan telah sejak awal mengkondisikan sebuah hubungan yang tidak nyaman antara Kades-BPD.

B ahw a B PD acap kali b erubah karakternya dari lembaga perwakilan desa menjadi sebuah oligarki baru di desa, di samping pemerintah desa. BPD cenderung mewakili k ep en tin g an d ir in y a sen d iri dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Untuk itu, perlunya dilakukan revisi atas ketentuan mengenai BPD, sehingga lembaga ini bisa lebih dikontrol oleh publik. Revisi perlu dilakukan dari semua level peraturan perundangan baik di tingkat nasional, propinsi, hingga kabupaten.

Hal penting lainnya ialah, pemerintah perlu m em ikirkan dukungan dana, pem berian renumerasi yang lebih baik kepada anggota BPD, sarana maupun prasarana operasional bagi BPD agar lembaga ini dapat berfungsi secara baik. Persoalan amat minimnya dana operasional maupun honor anggota BPD merupakan salah satu sumber kekecewaan anggota-anggota BPD.

Daftar Pustaka

A ntlov , H ans. Exemplary Centre,Administrative Periphery. N ordicInstitute, Curzon Press, 1989.

_______________ “Village Govemance: Past,Present, and Future” . Makalah dalam seminar internasional Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Perubahan, Tantangan, dan Harapan, oleh Yayasan Percik S ala tiga , 3-7 Juli 2000, di Yogyakarta.

Bem ard Mayer. The Dinamics o f Conflict Resolution a Practitioner’s Guide. San F ran s ico , Jo sey -B ass A W illey Company.

Bidang Advokasi Forum Pemuda Piyungan. “Antara Democracy dan Democrazy”, dalam Beberapa Catatan Proses Pilurah (Pilkades) Desa Sitimulyo, Piyungan, Bantul.

C handra, Eka, dkk. Membangun Forum warga, Implementasi Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil. Bandung, Akatiga, 2003.

D w ip ay an a , A ri dan S u ro to E ko, Ed. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta, IRE Press, 2003.

Fealy, Greg andEdwardAspinall, eds. Local Power and Politics in Indonesia. Singapore, ISEAS, 2003.

Fischer, Simon, dkk. Mengelola Konflik. Jakarta, The British Council, 2000.

H o rto n , Paul B dan C h este r L. H unt. Sosiologi. Jakarta, Erlangga, 1992.

H S, A b d u llah . “ H ila n g n y a A kses dan Kontrol Masyarakat terhadap Sumber D aya E konom i P ed esaan : K ritik te rhadap UU N o .32 /2004 ten tang Pem erintah D aerah”, dalam Http:// www. ireyogya. org/

Keller, Suzane. Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modem. Jakarta, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1984.

L. K ana, N ico. Politik Pemberdayaan: Dinamika Politik Lokal di Indonesia. Salatiga, Percik, 2002.

83

Page 82: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Pitana, I Gde. “D esa A dat dalam A rus M o d e rn isa s i” , da lam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bal. Denpasar, Bali Post, 1994.

Renai, Tahun I No.3, Juli-September 2001 dan Tahun I No.4, Oktober 2001.

Rozaki, Abdur, et.al. Promosi Otonomi Desa. Yogyakarta, IRE Press, 2004.

Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2002.

Selly Tohan, “Pengalaman Yasmara dalam Pendampingan Penguatan Kapasitas B adan P e rw ak ilan D esa secara P artisipa tif di W ilayah K abupaten Kupang, NTT”.

Suwondo, Kutut. Civil Society di Aras Lokal. Salatiga, Pustaka Percik, 2003.

Swara Otonomi, Tahun I/No.9, Juli 2002.

Tata Pemerintahan menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan. Dokumen Kebijakan UNDP. Jakarta, Januari, 1997.

Warren, Carol. Adat and Dinas: Balinese Communities in the Indonesian State. K uala Lum pur, O xford U niversity Press, 1993.

Zakaria, R. Yando. Pemulihan kehidupan Desa dan UU No. 22/1999 dalam fppm. org/Makalah/PF-6.

Http://www.damar.or.id/library.makalah

Http://www.forumdesa.org/

Http://www.Republika. co. id. 25 April 2005.

84

Page 83: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Sikap Indonesia dalam M enghadapi Kejahatan Lintas Negara: I lle g a l L o g g in g di Kalbar dan Kaltim 1

Olelt:Awani Irewati

Abstract

In Indonesia, illegal logging is a massive problem that never ending. It is the problem that has resulted in demoralizing the rule of law and substantial revenues to the state. It is the cause of forest crimes, and has serious economic and social implications to the poor societies in the border. Therefore, the activites of illegal logging and illegal border trade in the Indonesia-Malaysia border have to be eradicated as soon as possible. In responding the problem, the two actors (govemment and non govemment) have to build cooperation in coping with this problem. Beside that, the govemment has to be able to take personal approach to the Malaysian govemment in dealing with this problem. This paper presents the mapping of illegal logging in the Kalbar, Kaltim - Sarawak, Sabah border lines, and answer the question of what responses the govemment and non govemment take in that problem.

Penelitian ini awalnya beijudul Kebijakan Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara: Kasus Illegal Logging di Kalbar dan Kaltim. Dalam diskusi intensif, tim kemudian memutuskan untuk merubah judul sebagaimana tertera pada judul di atas. Pembatasan pada lingkup ”kebijakan“ dirasakan sangat membatasi eksplorasi penulisan pada kebijakan pemerintah atas kasus perdagangan kayu gelap beserta kendala implementasinya saja. Ini tidak memberi kebebasan analisis bagaimana sikap ataupun response dari pihak-pihak pelaku ataupun pendukungnya yang non pemerintah. Dengan pencantuman judul “Sikap Indonesia11, hal itu b isa te rcakup . P en e litian in i berupaya mengungkap bagaimana sesungguhnya peta maupun mekanisme perdagangan lintas batas kayu-kayu ilegal; bagaimana merekam sikap pihak-pihak berwenang maupun non pemerintah atas masalah ini; serta sejauhmana implementasi

1 Penelitian Politik Luar Negeri Indonesia dengan tema diatas ditulis oleh tiga personal penelitian yang terdiri dari: Ratna Shofi Inayati, Tri Nuke Pudjiastuti, Awani Irewati.

program “perbatasan dan penyelundupan11 pada Sosek Malindo (Malaysia-Indonesia). Kasus di Kalimantan Barat dan Kalim antan Timur memiliki satu perbedaan operasional atas jalur- jalur perdagangan kayu ilegal lintas batas. Kalbar lebih banyak menggunakan perbatasan darat untuk lintas ilegalnya, sementara Kaltim lebih mengandalkan pada jalur-jalur lautnya.

Penelitian dengan melihat langsung lokasi perbatasan hingga ke w ilayah M alaysia (Sarawak dan Sabah) ini menangkap nuansa perdagangan lintas batas serta melihat bagaimana kayu-kayu ilegal itu masuk ke Malaysia secara bebas dan dalam frekuensi yang tinggi. Ada em pat bagian yang akan disajikan dalam penulisan ini. Pertama adalah definisi kejahatan Illegal logging dan perdagangan lintas batasnya yang diktegorikan sebagai TOC (transnational Organized Crime). Kedua, temuan kasus perdagangan lintas batas kayu-kayu ilegal di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Ketiga, menyajikan sikap dari pemerintah maupun non pemerintah terhadap masalah ini dan mencari refleksi di mana sebenarnya titik kesulitan

85

Page 84: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

pencegahannya. Yang terakhir menyangkut kesimpulan dan rekomendasi.

Illegal Logging dalam Kejahatan Lintas Batas

P erso a lan k e jah a ta n lin ta s b a tas (,transnational crime) sesungguhnya masih menyisakan satu tanda tanya, apakah itu bergerak dalam kapasitas pribadi atau jaringan kelompok yang lazim disebut dengan organisasi. Transnational Organized Crime (TOC) menjadi fenomena terkini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di tingkat regional maupun internasional. Berawal dari peristiwa 9/11 (11 September 2001) di WTC Amerika Serikat, TOC kemudian menjadi satu bentuk ancaman baru bagi keamanan manusia. Secara definitif, aksi TOC dipahami sebagai bentuk kejahatan lintas negara, yang dipicu adanya kemudahan mobilitas lewat akses internasional (yang menembus batas-batas satu negara) di mana law enforcement belum berfungsi secara memadai.

Kegiatan perdagangan barang maupun jasa semacam ini mendapat keuntungan besar dengan para pelakunya yang relatif tersamar. Kegiatan ilegal dalam cakupan TOC bisa menjadi sangat luas, antara lain termasuk penyelundupan dan perdagangan senjata, narkoba, manusia, kayu, minyak dan pencurian di dun ia m aya d ll. M en y itir p en d ap a t Bunbongkam (1994)2 kejahatan transnational adalah bentuk kejahatan yang m encakup beberapa unsur. Pertama, adanya unsur lintas batas negara yang dilakukan oleh orang, sekelompok orang, benda atau oleh niatan k rim in a l. Kedua, ad an y a pen g ak u an internasional terhadap sebuah bentuk kejahatan. Sehingga secara nasional dapat dikatakan bahwa segala sesuatu dapat disebut suatu kejahatan atau kriminal bila ada aturan hukum tertulis yang

2 Lihat dalam Philips jusario Vermonte,"Transnational Organized Crime: Isu dan Permasalahannya”, Analisis, CSIS, Tahun XXXI (1), 2002: 45.

m en g a tu rn y a . S ed an g k an , di tin g k a t internasional, persoalan tersebut harus ada pengakuan tentang kejahatan minimal oleh dua negara atau suatu konvensi atau deklarasi tingkat internasional atau regional.

Kayu merupakan salah satu barang penyelundupan atau perdagangan gelap yang tengah marak terjadi antara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Penyelundupan atau perdagangan gelap kayu asal Indonesia ke luar negeri m erupakan bagian dari rangkaian pembalakan ilegal kayu-kayu yang ada di hutan- hutan seperti di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Akibatnya, taraf kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan menjadi terkikis. Keseimbangan atas ekosistem dan keanekaragaman hayati yang menjadi penopang kehidupan mereka menjadi terancam.

M asih rendahnya law enforcement, ketidakpastian politik dan krisis ekonomi merupakan media subur bagi luasnya jaringan sindikat kriminal internasional dalam hal illegal logging ini. Jaringan tersebut tentu bekerja dengan motif uang dan kekuasaan, yang dengan mudah mampu merekrut para profesional seperti akun tan , p en g acara , hakim , penaseha t keuangan, bankir, politisi korup, pebisnis, bahkan polisi dan tentara guna melancarkan dan melindungi operasi ilegalnya.

Sejauh ini pemerintah Indonesia tidaklah tinggal diam. Berdasar penyelidikan selama dua tahun oleh agen internasional penyelidik lin g k u n g an h id u p ( the Environmental Investigation Agency - EIA) dan dibantu LSM Indonesia‘Telapak” mulai Agustus 1999, pada bulan April 2001 pemerintah Indonesia akhirnya menunjukan sikap politik terhadap persoalan ini dengan melakukan moratorium atas pembalakan kayu. Bentuk moratorium itu adalah dilarangnya pengiriman kayu-kayu balok ke luar negeri, sehingga hitungan kuotanya menjadi nol.

86

Page 85: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Yang d ilak u k an bukan sek ad ar penyetopan pengiriman kayu-kayu balok ke luarnegeri tetapi juga tengah disusun satu regulasi yang berisi pemberian sanksi bagi kegiatan dan pelaku illegal logging. Pemerintah Indonesia juga melakukan protes kepada negara yang dituju. Demikian pula seruan kepada pihak internasional, yang dalam hal ini pembeli atau pengguna kayu-kayu balok dari Indonesia. Meskipun hal itu belum cukup efektif, tetapi sudah mulai dirasakan dampaknya.

Namun demikian, kejahatan macam ini akan terasa sulit diatasi oleh sebuah negara yang sedang “lemah” dan penuh intrik politik. Di bawah kondisi begitu, Indonesia bisa menjadi sasaran empuk bagi pelaku TOC untuk money laundring atau bagian penting dari aktivitas ilegalnya, yang dalam hal ini pembalakan kayu ilegal.

Melihat ketentuan-ketentuan persyaratan TOC dan fenomena illegal logging semacam itu, sebenarnya persoalan penyelundupan kayu dari Indonesia ke Malaysia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari persoalan TOC. Ironisnya, illegal logging ternyata belum menjadi salah satu bagian dari TOC yang disepakati dan diperhatikan di tingkat ASEAN. Apalagi kejahatan perdagangan kayu-kayu ilegal antara Indonesia dengan Malaysia (dua n egara anggo ta A SE A N yang san g a t berpengaruh) terasa sulit diatasi sejak dulu. Untuk itu dengan memperhatikan persoalan yang berkembang secara kompleks dan lintas negara, maka ke depan penting kasus illegal logging masuk menjadi salah satu agenda krusial TOC di tingkat ASEAN. Apabila penanganan kasus ini telah menjadi kesepakatan ASEAN, akan ada sem acam faktor pendorong bagi negara anggotanya untuk menuntaskan di tingkat nasional ataupun bilateral. Oleh karena itu, dirasakan perlu memasukan persoalan illegal logging ke dalam cakupan-cakupan TOC yang disepakati di tingkat ASEAN.

Perdagangan Lintas Batas Kayu Ilegal di Kalbar dan Kaltim

W ilayah Kalimantan Barat (Kalbar) terbagi dalam 8 Kabupaten dan 2 Kota3 yang sebagian wilayahnya langsung berbatasan dengan Sarawak-Negara Bagian M alaysia Timur, dengan garis sempadan sepanjang 857 km dan lebar 3400 km2. Dari 8 Kabupaten tersebut, 5 diantaranya berbatasan langsung dengan Negeri Sarawak. Perbatasan ini diklasifikasikan dalam 2 tingkatan yaitu wilayah Lini I mencakup kecamatan yang berbatasan langsung dengan Sarawak, dan W ilayah Lini II mencakup kecamatan yang tidak berbatasan langsung namun relatif dekat perbatasan.

Perbatasan di Kalimantan Barat yang berada di lim a K abupaten dengan luas 2.035,164 km2 dengan penduduk 152.720 orang atau kepadatan penduduk 8 orang/km2. T erd ap a t 50 ja lu r ja la n se tap ak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kam pung di Saraw ak , sem en tara yang disepakati kedua negara hanya meliputi 16 desa di K albar dan 10 kam pung di Sarawak. Sedangkan yang ditetapkan sebagai Pos Pemeriksaan Lintas Batas, baru dua buah yaitu Entikong (Kalbar)-Tebedu (Sarawak) dan Nanga Badau (Kalbar)-Lubok Antu (Sarawak), sedang dalam tahap pembangunan.4 Namun dalam kenyataannya, proses pembangunan perbatasan B adau terkesan lam bat. Pun demikian dengan pembangunan sarana dan prasarana di Kabupaten Badau belum memadai.

G una m engatur lalu lin tas barang (p e rd ag an g an tra d is io n a l) m asy arak a t perbatasan, kedua pemerintah Indonesia dan M alaysia m em buat kesepakatan berupa

3 Kalimantan Barat ditata ke dalam 8 kabupaten dan 2 kota, masing-masing adalah: Kabupaten Ketapang (24,39%), Kapuas Hulu (20,33%), Sintang (21,99%), Sanggau (12,47%), Pontianak (5,63%), Sambas (4%), Bengkayang (4,38% ) dan Landak (6,75% ). Serta Kotamadya Pontianak (0.07%) dan Singkawang (15,0%).

4 http://www.liputan 6.com/fullnews/74017

87

Page 86: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

“Peijanjian Tentang Perdagangan Lintas Batas antara Pemerintah Republik Indonesia dengan K era jaan M a la y s ia ” . P e rja n jia n ini ditandatangani pada 24 Agustus 1970 di Jakarta. Salah satu kesepakatan yang ada berupa keijasama Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia atau disingkat Sosek Malindo.

Visi dari kerja sama Sosek Malindo ini adalah : “M eningkatkan kesejahteraan masyarakat kedua daerah melalui kerjasama Sosek Malindo menuju tahun 2020”. Agar Visi kerja sama ini dapat direalisasikan maka Misi yang dilaksanakan adalah: pertama, menciptakan kondisi sosial ekonomi dan budaya yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat masing-masing daerah; kedua, meningkatkan keija sama ekonomi yang berkeadilan dan saling menguntungkan serta berorientasi kelestarian lingkungan; ketiga, meningkatkan kerja sama sosial budaya lewat peningkatan kualitas dan p em b erd ay aan SD M di ked u a daerah perbatasan.5

K eg ia tan illegal logging p rak tis m encapai tingkat m em bahayakan sejak d ite rb itk an n y a U U PK N o .5 /1967 yang kemudian melahirkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Departemen Kehutanan. Di samping m enurunkan kualitas sum berdaya hutan, aktivitas ini menimbulkan masalah sosial ekonomi dan penurunan kualitas keanekaragam an lingkungan. Sistem penebangan liar dan gangguan lainnya mengakibatkan degradasi hutan dan hilangnya keanekaragaman jenis hayati.

Di sepanjang jalur perbatasan di mana kondisi pengawasan dan keamanan, prasarana/ sarana transportasi serta kondisi sosial masyarakat begitu minim telah mendorong teijadinya aktivitas ilegal ini. Eksploitasi sumber daya alam Kalbar maupun Kaltim serta upaya penyelundupan ke luar, karenanya, dilakukan untuk mengatasi segala keterbatasan yang dihadapi. Sehingga illegal logging begitu marak terjadi di sepanjang perbatasan Kalbar-Sarawak maupun Kaltim-

5 Ibid, hal.21-24

88

Sabah. Pada tahun 2001-2002 terungkap pengangkutan kayu olahan ilegal via laut ke pelabuhan Sematan di Sarawak rata-rata 150 kapal perbulan dengan variasi muatan rata-rata 60 truk/hari. Sementara kegiatan serupa di Entikong, Kabupaten Sanggau, menuju Tebedu Sarawak mencapai rata-rata 75 truk /hari. Pun demikian di perbatasan Badau-Lubok Antu mencapai rata-rata 120-150 truk/hari dengan ukuran truk rata-rata 8 Meter kubik (12 ban untuk ukuran Malaysia). Demikian pula pengangkutan kayu dari Lubok Antu ke kota-kota di wilayah Sarawak Malaysia, seperti Sarikei, Sibu, Miri, Kuching.

Kegiatan ilegal ini tidak terlepas dari permintaan M alaysia yang begitu gencar. Malaysia terkesan menghindar ketika dilakukan pembicaraan teknis atas pemberantasan kegiatan ilegal ini. Meski telah ada lampu hijau dari Duta Besar Malaysia di Indonesia, Datuk Hamidon Ali, yang mengijinkan aparat Indonesia untuk menangkap warganya yang mencuri kayu di wilayah Indonesia, secara teknis sangat sulit dilaksanakan.

Untuk mendapat legalisasi, truk-truk pengangkut kayu tersebut di Km 2 Lubok Antu melewati proses administrasi terlebih dulu di Hardwood TvmberSdn Bhd. Setelah membayar pajak sebelum masuk atau dijual ke berbagai daerah di Sarawak, dengan pungutan sekitar RM 16 perTA N (1 TAN =1,154 m3), kayu- kayu tersebut telah dianggap sah dan aman. Di Hardwood Timber Sdn.Bhd. semua kayu yang semula ilegal bisa menjadi legal. Penempatan perusahaannyapun memang sengaja diletakkan di dekat perbatasan kedua negara. Perusahaan ini mendapat kepercayaan pemerintah Sarawak dalam pengenaan cukai atas kayu-kayu asal Indonesia. Dengan begitu, kayu-kayu ini aman dan sah untuk di ekspor ke negara-negara lain dengan label produk M alaysia. U ntuk di perbatasan Malaysia ini saja terdapat sekitar 8 sawmill. Sem entara sawmill yang ada di perbatasan Indonesia (Badau) banyak yang menggunakan nama koperasi setempat (seolah

Page 87: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

demi kepentingan masyarakat setempat) meski sejatinya ini milik warga Malaysia.

Selain cukong Malaysia, kayu-kayu itu juga ditebang oleh pengusaha lokal dari Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sekadau dan Ketapang di Propinsi Kalbar. Di perbatasan Entikong, truk-truk berukuran besar dengan nomor polisi Malaysia mengangkut kayu-kayu ilegal dari beberapa tem pat penampungan kayu di luar Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong dan Kecamatan Balai Karangan. Kegiatan bongkar muat pun d ilakukan di perb a tasan resm i ini. Ini membuktikan segala aktivitas gelap di tempat resmi yang semestinya dilakukan pemeriksaan ketat nyatanya juga terlewati.

Kegiatan penyelundupan kayu ilegal dari Kalbar ke Sarawak banyak menggunakan akses daratan daripada perairan. Ini dikarenakan kondisi medan ataupun topografi Kalbar menuju utara perbatasan relatif lebih mudah dilalui daripada kondisi di Kaltim menuju perbatasan dengan Sabah.

Sementara Propinsi Kalimantan Timur (Kalimantan Timur) memiliki spesifikasi wilayah yang b erb ed a dari K a lim an tan B ara t. Karakteristik topografinya yang terdiri dari pegunungan dan bukit-bukit terutama di Kaltim sebelah Utara sangatlah berat. Berdasarkan karakteristik tersebut, konteks perwilayahan Kaltim terbagi dalam tiga wilayah/kawasan, yakni pantai, pedalaman dan perbatasan.

Untuk wilayah perbatasan, Kaltim sebelah utara berbatasan langsung dengan Negara Malaysia bagian Timur, yaitu Negeri Sabah. Kawasan perbatasan ini memiliki luas areal kurang lebih 57.731 km2 yang membentang antara timur ke barat sepanjang 1.038 km. Letak geografisnya yang terpencil dan relatif terisolir membuat daerah perbatasan ini sulit dijangkau.6

6 Di kawasan ini terdiri dari 10 (sepuluh) Kecamatan, di mana 4 (empat) Kecamatan yakni Kayan Hulu, Kayan Hilir, Pujungan dan Mentarang berada di Kabupaten Malinau, empat (empat) Kecamatan lain yaitu Kecamatan

Secara topografis, bagian utara kawasan perbatasan sarat dengan perbukitan dan pegunungan yang terjal. Demikian pula dengan kondisi medan yang cukup berat. Di sebelah barat (Kecamatan Kutai Barat) adalah daerah yang penuh dengan pegunungan yang bergelombang dan berbukit, dengan kondisi lipatan-lipatan dan patahan yang sulit ditembus. Jumlah penduduk Kawasan perbatasan tahun 2001 sebesar 101.266 jiw a . A ngka ini meningkat rata-rata 2,08 persen pertahun dari jumlah jiwa sebesar 85.578 pada tahun 1990.

Maraknya perdagangan kayu ilegal lintas batas tentu tak lepas dari mata rantai demand dan supply. Kedua faktor ini sangat menentukan kelangsungan perdagangan kayu ilegal secara lintas negara. Permintaan impor kayu dari Sabah cukup tinggi, terutama dari negara-negara seperti RRC, Jepang, Korea Selatan dan Hongkong.7 Sabah -yang luasnya 73.997 km2 dengan penduduknya 24.66 juta jiwa (tahun 2002)— meski penghasil kayu (balak dan gergaji), padi dan gas natural, nam un produk kayunya cenderung semakin menurun. Penurunan ini tidak hanya hasil produksinya, tetapi juga ekspornya. Produk dan perkilangan kayu menjadi salah satu andalan ekspor Sabah. Namun ekspor inipun cenderung menipis. Karena, penyediaan kayu dalam negeri menurun. Malaysia menutupinya lewat pembelian kayu-kayu ilegal dari Indonesia.

Untuk mengetahui jalur dan mekanisme perdagangan kayu ilegal sebenarnya tidaklah sulit (selain hanya faktor resiko yang tinggi). Karena ak tiv ita s (p en eb an g an , p en g an g k u tan , pengilangan, transaksi) perdagangan ilegal ini dilakukan secara terang-terangan. Di lapangan, sering kali kita sulit membedakan aktivitas legal

Lumbis, Krayan, Nunukan dan Sebatik berada di Kabupaten Nunukan, dan 2 (dua) Kecamatan lainnya, Long Pahangai, dan Long Apari berlokasi di Kabupaten Kutai Barat. Dari 8 Kecamatan itu, hanya 2 (dua) Kecamatan yang memiliki lokasi tidak terpencil yakni Kecamatan Sebatik dan Kecamatan Nunukan.

7 Diambil dari Buku Tahunan Perangkaan: Yearbook Statistics Sabah 2002, Jabatan Perangkaan Malaysia Negeri Sabah, Department of Statistic Malaysia, 2003, hlm. 165.

89

Page 88: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

dari yang ilegal. Karena kegiatan yang ilegal seringkali dilakukan secara terang-terangan.

Kayu-kayu tebangan liar di Kaltim utara (Kabupaten Nunukan) dialirkan melalui sungai- sungai, seperti sungai Sebakis, sungai Sebuku, dan akhirnya bermuara di Teluk Sebuku. Dari sini lalu masuk ke lautan lepas, untuk akhirnya ditarik ke perairan internasional hingga langsung masuk ke perairan Malaysia. Karenanya, pihak berwenang Indonesia seringkali menghadapi kesulitan ketika hendak menangkap mereka. Mereka ini sulit ditangkap karena bergerak cepat ke arah perairan internasional untuk kem udian m asuk ke perairan M alaysia. Kemudahan bergerak cepat di perairan, yang ditunjang dengan komunikasi dan transportasi yang modem dari Malaysia, menjadi salah satu “keuntungan" mereka mudah menghindar dari penangkapan. Karena itu, penyelundupan kayu ilegal Kalimantan Timur ke Sabah banyak menggunakan akses perairan daripada akses daratan. Di samping kondisi topografi darat menuju perbatasan yang masih sangat sulit dijangkau, Propinsi Kaltim relatif memiliki medan perairan yang cukup terbuka menuju daerah perbatasan Sabah, Malaysia.

Dari kedua kasus yang terjadi di Kalbar dan Kaltim (dan tem pat lainnya), proses pengam bilan kayu secara ilegal h ingga perdagangan lintas batasnya tak terlepas dari keterliba tan berbagai p ihak (yang b isa dikelompokkan sebagai mafia kayu ilegal), yaitu:

1) Masyarakat lokal,2) Pengangkut',3) Broker di tempat-tempat penampungan;4) Oknum aparat keam anan dan atau

aparat pembuat dokumen formal;5) Pengawas Pelabuhan di perbatasan;6) Perusahaan Kayu;7) Cukong pemodal.

Pengaw asan yang longgar sengaja diciptakan demi kelangsungan aktivitas transaksi penyelundupan kayu-kayu ilegal secara terang- terangan. Sangatlah tidak mungkin jika truk-truk

maupun kapal-kapal pengangkut kayu-kayu ilegal yang berhenti di pintu perbatasan (seperti Entikong di Kalbar dan Sebatik di Kaltim) ataupun berlabuh di pelabuhan maupun yang masih berada di lepas pantai tidak diketahui kehadirannya oleh aparat keamanan Malaysia.

Pada kenyataannya, mekanisme tersebut tidak diikuti sebagaimana seharusnya. Pihak Malaysia melakukan proses legalisasi pada masuknya kayu-kayu ilegal dari Indonesia lewat pihak-pihak sebagai berikut:

a. Customb. Kehutanan (Forestry)c. Polisi Laut (Marine Police)d. Imigrasi (Immigration) (Imigrasi)e. Polisi dan Kesatuan Khusus (Police,

special branch)f. LIPM (Lembaga Industri Perkayuan

Malaysia) atau MTIB (Malaysian Timber Industry Board) dan Hardwood Timber Sdn Bhd.8

Apakah “terkooptasinya" masyarakat lokal dalam jaringan mafia illegal logging ini demikian mudah terjadi? Tidakkah mereka m enyadari pentingnya upaya penjagaan harmonisasi diri dengan lingkungannya. Memang tidak semua masyarakat lokal ikut bermain dalam jaringan mafia illegal logging. Dan banyak pula masyarakat lokal yang melakukan perlaw anan te rhadap p ihak-p ihak yang mengeksploitasi hutan. Namun tidak sedikit pula perlawanan ini berakhir dengan kekalahan tanpa hasil.

Di bawah himpitan ekonomi yang semakin berat, tak jarang mereka menerima tawaran menjadi penebang liar dengan kompensasi sejumlah uang yang cukup menarik. Bahkan keterlibatan mereka sebagai pemain lapangan semakin memperkuat eksistensi mereka sebagai

8 Dikutip langsung dari Dokumen Laporan Illegal Logging dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Sekretariat NCB-INTERPOL, Liaison Officer Tawao.

90

Page 89: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

illegal loggers. Mereka menjadi terjerat dalam satu sistem ketergantungan ekonomi yang sengaja dicipta oleh para cukong atau mafia illegal logging. Para cukong tidak hanya menawarkan sejumlah uang kepada mereka, tapi juga mencukupi semua kebutuhan dasar sehari-hari. Untuk membayar semua itu, mereka tentu harus menuruti keinginan dan perintah dari para mafia untuk menebang hutan. Bentuk dari operasionalnya berm acam -m acam . A da masyarakat lokal yang menjual lahannya; ada pula yang hanya mencari dan masuk hutan lindung untuk ditebang; ada pu la yang menyewakan hutannya untuk “dimanfaatkan” kekayaannya. Sem ua itu d ikondisikan sedemikian rupa sehingga posisi masyarakat lokal terjepit lemah.

Realisasi Sosek Malindo, yang di ketuai B appeda (B adan P e ren ca n aan dan Pembangunan Daerah) di tingkat Propinsi Kalimantan Timur maupun Propinsi Kalimantan Barat begitu antusias membangun benteng pengam anan lintas batas. Pem bangunan perbatasan Kabupaten Nunukan (Kaltim) dengan Tawao (Sabah) yang rentan aksi-aksi penyelundupan , sedang dalam p ro ses .9 Demikian pula pembangunan perbatasan Badau (Kalbar) dengan Lubok Antu (Sarawak) sedang dalam p en g erjaan . S a lah sa tu tu juan pem bangunan adalah m enekan aktivitas p en y elundupan . N am un pem bangunan infrastruktur tersebut akan sia-sia jika tidak diikuti dengan ketegasan dan keserentakan seluruh segmen masyarakat dalam menekan keg ia tan ileg a l. A da b an y ak p ihak berkepentingan yang “bermain” dalam lingkar mafia illegal logging dan perdagangan lintas

9 Pembangunan Pos Lintas Batas antara Kabupaten Nunukan dengan Tawao telah disetujui oleh kedua belah pihak, Indonesia maupun M alaysia . Fokus pembangunannya ditempatkan pada Sg. Nyamuk di Nunukan dan Sg Imam Pasir Putih, Tawao. Diambil dari Dokumen Rahasia “Draft Kertas Kerja 1” untuk persiapan Sidang Sosek Malindo berikutnya.

batasnya. Begitu besar dan banyaknya pihak yang terlibat didalamnya. Oleh karena itu, niat menghentikan kegiatan ilegal membutuhkan pengorbanan besar dari semua pihak.

K ip rah LSM m aupun keberadaan organisasi profesi di Kaltim ini belum dapat menjadi pressure group bagi para pembuat kebijakan. Citra atas LSM baru bersuara ketika ada suatu masalah, tampaknya menipiskan kepercayaan masyarakat ataupun pemerintah pada peran mereka. Hal ini sangat disayangkan karena peran LSM sebenarnya sangat penting di dalam mendorong pemerintah menuntaskan satu masalah sosial.

Ketergantungan warga setempat terhadap para cukong Malaysia sangat besar. Mereka ini mampu berperan sebagai social Services provider dalam himpitan ekonomi yang dihadapi. Tak jarang mereka membangun sarana dan p ra sa ran a sep e rti ja la n ray a yang m enghubungkan ti tik - titik di kaw asan perbatasan. Masayarakat lokal dipenuhi segala kebutuhan transportasinya, seperti mampu memiliki mobil mewah dan bermerek dengan harga m urah dari M alaysia. M asyarakat perbatasan tidak sadar bahwa dibalik itu, para cukong telah meminta imbalan yang jauh lebih besar berupa eksploitasi sumber daya hutan yang secara perlahan b isa m engancam peradaban masyarakat perbatasan. Di balik pemenuhan materi, nyatanya masyarakat tetap saja miskin dan semakin terbelit dalam hutang yang semakin besar.

Posisi yang paling lemah dalam jaring perdagangan kayu ilegal lintas batas ini memang m asyarakat lokal/perbatasan itu sendiri. Masyarakat perbatasan di Kalbar dan Kaltim sejatinya tidak menikmati peningkatan taraf hidup sebagaimana mestinya. Mereka tidak juga menikmati secara langsung keuntungan/selisih harga dari perdagangan lintas batas, selain menjadi sasaran penyebab hilangnya hutan. M ereka m erasakan langsung kerusakan ekosistem, menghadapi hilangnya sumber kehidupan dan sebagainya. Karena itu untuk

91

Page 90: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

membangun dan memberdayakan masyarakat lokal tidak hanya sebatas penyadaran akan posisi mereka, tetapi yang penting membantu mengembangkan kemampuan manajemen mereka secara sederhana. Para akademisi di Kaltim mengambil sikap dan tindakan dengan mengajak masyarakat ini untuk menyadari posisi serta membantu mengatur lingkungan dan h ab ita tn y a (sesuai dengan k e le s ta r ia n lingkungannya dan adat di H ulu Sungai M ahakam ). Setelah siap, akan dicarikan pemodal untuk mengelola hasil hutan, sehingga yang berproduksi di lingkungan mereka adalah mereka sendiri, bukan para cukong atau pihak luar.

S ikap dari m asyarakat perbatasan terhadap kasus perdagangan ilegal ini sepertinya tidak berharap memperoleh keuntungan lebih. Sebagai contoh, salah satu narasumber kami yang tinggal di sekitar Sungai Nyamuk (Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan), yang dahulu bekerja dikilang Kayu di Tawao, Malaysia, merasa tidak mendapat jaminan keuntungan besar di samping rasa ketakutan tertangkap aparat. Yang bersangkutan hanya mampu bertahan selama 1 (satu) tahun. Kini diabekeija sebagai penyewa speedboat dari Sebatik ke Tawao yang ternyata mampu memberikan penghasilan yang cukup. Kenyamanan dan k ese lam atan d iri tam p ak n y a m en jad i pertimbangan dasar mengapa dia menetapkan p ek erjaan sebagai penyew a speedboat daripada sebagai pedagang ilegal.

Kebijakan Malaysia disusun sedemikian rupa sehingga amat kondusif bagi pengusaha penyelundup kayu. Pengusaha te rsebu t memanfaatkan aturan hukum Malaysia yang tidak membatasi pembelian kayu dengan standar apapun. Kebijakan umum tak tertulis seolah- olah menyatakan “setiap batang kayu yang masuk ke perbatasan Malaysia adalah sah”. Demikian mudah kayu-kayu yang memasuki perbatasan M alaysia m endapat cukai dan selanjutnya kayu-kayu tersebut menjadi “sah” menurut hukum Malaysia.

Di Indonesia penegakan hukum yang lumpuh, korupsi yang eksesif dan tidak jelasnya hak-hak penguasaan lahan hutan te lah mengakibatkan tingkat penebangan destruktif (legal maupun ilegal) tidak terkontrol. Sementara di M alaysia, kebijakan yang korup telah m em ungkinkan pengusaha m endapatkan keuntungan dari perdagangan kayu ilegal. Dengan kata lain, M alaysia dan Indonesia menghadapi masalah korupsi yang sama. Kecenderungan keduanya saling menuding dan menyalahkan. Kedua negara seharusnya melihat hal ini sebagai masalah yang harus disikapi secara bersama pula. Indonesia sebagai negara penjual seharusnya melakukan perbaikan internal sebelum menyalahkan pihak luar.

Sikap Pemerintah dan Non-Pemerintah

S ecara um um , dalam kon teks transnasional (lintas batas), masalah keamanan term asuk pertahanan wilayah perbatasan Kalbar-Sarawak dan Kaltim-Sabah menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Pembicaraan di tingkat bilateral menjadi tanggungjawab pihak Departemen luar Negeri RI sebagai ujung tombak dalam melakukan pendekatan dengan pihak Malaysia. Sejauhmana pendekatan tingkat bilateral atas masalah perdagangan lintas batas ini mencapai hasil, secara sederhana bisa dipantau dari masih maraknya praktek-praktek illegal logging dan perdagangannya di perbatasan. Meski telah ada peijanjian bilateral antara Indonesia-Malaysia tentang pengaturan perdagangan dan ekonomi lintas batas (sejak 1967), nyatanya kegiatan perdagangan gelap lintas batas ini kian marak dan sulit dikendalikan.

Sangat sulit mengendalikan pemain- pemainnya selama masih ada permintaan pasar gelap yang tinggi atas kayu. Dari segi pasar segalanya mengalir begitu saja, tidak melihat apakah kayu itu legal atau tidak legal. Faktor pendukungnya adalah keuntungan besar yang ditawarkan. Pemilik modal ataupun cukong berperan sangat menentukan dalam perputaran

92

Page 91: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

pasar gelap ini. Sementara, masyarakat lokal sebagai mata rantai terbawah dan terlemah memainkan peran sebagai penebang liar. Mereka terjerat dalam gurita ilegal lewat aksi-aksi cukong/pem odal sebagai social Service provider, yang tak dapat dipenuhi pemerintah lokal maupun pemerintah pusat sekalipun.

Pihak-pihak berwenang dan terkait di pusat seharusnya memperkuat sisi manajemen informasi dan data-data tentang pelaku ilegal yang telah banyak diberikan. Data yang dihimpun Departemen Kehutanan, misalnya, seringkali tidak ditindaklanjuti secara koordinatif dengan data-data dari instansi terkait lainnya bahkan dari LSM sekalipun. Belum ada satu gebrakan bersama di bawah kendali Pusat yang bergerak secara bilateral (dengan Malaysia), nasional, tingkat propinsi dan tingkat daerah dalam melibas kegiatan ilegal ini.

Sikap pusat yang cenderung menyalahkan daerah sebagai tid ak se riu s di dalam menuntaskan masalah ini sebenarnya tidak seluruhnya benar. Di daerahpun ada banyak kepentingan yang berm ain dalam upaya pencegahan ilegal diperbatasan. Apa yang seh a ru sn y a d iu p ay ak an p u sa t adalah pendekatan bilateral ke Malaysia secara terus- m enerus. P em erin tah P usat seharusnya memainkan perannya lewat keterlibatan secara langsung dalam program Sosek Malindo (Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia) khususnya dalam hal pencegahan penyelundupan dan pengamanan wilayah perbatasan. Meski ketua tim Indonesia di Kalbar dan Kaltim berada di bawah Ketua Bappeda masing-masing, perwakilan solid pusat seharusnya juga mengikuti perkembangan dan kemajuan Sosek Malindo dengan menghadiri pertemuan sidang setiap tahunnya.

Sikap pemerintah yang alergi terhadap peran penting LSM -LSM sekaliber WWF Indonesia ataupun Telapak seharusnya sudah tidak ada lagi. Artinya, memang benar telah ada proyek kerjasama antara LSM dengan pihak pemerintah, namun hasil dari kerjasama itu seringkali tidak direalisasikan atau dijadikan

guidance bagi pemerintah untuk menindak tegas ke jahatan ini. M ental project oriented seharusnya diakhiri dan hasil-hasil semacam pemetaan, identifikasi masalah seharusnya mulai dijadikan payung untuk memberantas mata rantai perdagangan ilegal ini.

LSM semacam WWF Indonesia sangat menyambut positif ketika lembaga penelitian pemerintah seperti LIPI melakukan diskusi masalah ini dengan harapan temuan-temuan mereka bisa terakomodir oleh LIPI. Lalu peran media massa seharusnya juga mendukung lewat disorotnya secara terus-menerus masalah illegal logging dan perdagangan lintas batasnya. Ini dimaksudkan sebagai tekanan terhadap pihak-pihak berwenang untuk segera menindak dan menuntaskan masalah ini secara serius.

Citra yang selalu menyalahkan pihak luar, apalagi negara lain seperti Malaysia hendaknya dihentikan. Karena negara Malaysia memiliki aturan dan kebijakan sendiri terhadap masuknya kayu-kayu dari m anapun ke wilayahnya. S em en tara In d o n esia tidak seharusnya “berte riak14 dan m enyalahkan M alaysia. Perusahaan bernama Hardwood Sdn Bhd di Lubok A ntu (Saraw ak) yang berbatasan langsung dengan Badau (Kalbar) dan Malaysian Timber Industry Board (MTIB) berlokasi di Tawao yang berbatasan dengan Sebatik- Kabupaten Nunukan (Kaltim) adalah dua perusahaan kayu yang memperoleh otoritas dari Kerajaan Negara Bagian Sarawak maupun Sabah untuk melegalisasi kayu-kayu yang masuk. Karena itu sudah menjadi aturan main di pihak Malaysia, maka Indonesia tidak bisa mencampuri aturan main Malaysia. Yang bisa dilakukan adalah pembenahan diri sebagai prasyarat mutlak dalam mengatasi semua masalah.

Penutup dan Rekomendasi

Perdagangan gelap kayu asal Indonesia ke M alaysia merupakan bagian dari suatu rangkaian illegal logging yang teijadi di hutan-

93

Page 92: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

hutan di Indonesia, khususnya di hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Hal ini menjadi bagian dari kejahatan yang berdampak berat atas kehidupan ekonomi dan so sia l m asy arak a t se k ita r hu tan dan m em perparah k em isk in an dan ketidakberdayaan mereka, serta atas perusakan lanjut ekosistem dan keanekaragaman hayati di pulau-pulau itu. Kesemuanya merupakan bagian dari persoalan jangka panjang kehidupan bangsa yang sudah sangat sulit diurai dan tidak mudah lagi diselesaikan. Rendahnya law enforcement, ketidakpastian politik dan krisis ekonomi yang berkepanjangan merupakan faktor-faktor utama yang memperparah efek dari illegal logging ini

Terbatasnya prasarana/sarana transportasi dan pengawasan hutan serta kondisi sosial- ekonom i m asyarakat perbatasan sangat mendorong kegiatan illegal logging yang menguras sumber daya alam Kalbar dan Kaltim. Penegakan hukum yang lumpuh, korupsi yang eksesif dan tidak jelasnya hak-hak penguasaan lahan hutan telah m engakibatkan tingkat penebangan destruktif yang tidak terkendalikan.

Banyaknya garis perbatasan Indonesia dengan M alaysia yang belum seluruhnya didem arkasi dengan je las dan perm anen merupakan permasalahan pertama yang kita hadapi. Banyak patok-patok perbatasan yang dibuat telah bergeser m asuk ke w ilayah Indonesia, atau bahkan hilang sama sekali. Perbatasan darat dengan Malaysia seringkali mengalami pergeseran atau bahkan patok-patok pembatas ini menghilang

Pemerintah Indonesia harus berupaya terus menyelesaikan penetapan lintas batas Indonesia-Malaysia ini. Sampai kini Indonesia belum memiliki undang-undang batas wilayah negara dan lem baga negara yang khusus mengatur masalah-masalah ini. Ini penting guna menekan semua aktivitas ilegal di perbatasan. Di tingkat global dan regional telah dibangun berbagai payung kebijakan untuk memungkinkan kedua negara melakukan perjanjian bilateral. Perjanjian yang bersifat sukarela ini biasanya

dilakukan antara negara penghasil dan pembeli kayu. Tapi sayangnya pihak Malaysia tampak masih enggan mengikuti arah ini. Bahkan M alaysia dan Singapura belum bersedia m en an d a tan g an i d ek la ras i A sia un tuk memberantas penebangan dan perdagangan liar di kawasan tersebut.

Kerjasama Sosek Malindo harus juga dim anfaatkan Indonesia untuk mendekati Malaysia, dan meminta bantuan negara tetangga itu untuk bersama-sama memberantas illegal logging. Tetapi kita harus sadar dan mengakui bahwa masalah perdagangan kayu ilegal lintas batas adalah masalah dalam negeri Indonesia, bukan masalah Malaysia; yang mencuri kayu adalah orang Indonesia sendiri, sementara pengusaha Malaysia hanya membeli kayu-kayu itu

Hal penting yang harus m endapat pen ek an an ia lah bahw a pem bangunan m enyeluruh di daerah perbatasan harus m endapat prioritas utam a. Ini bertujuan m engurangi in sen tif pada daerah untuk melakukan kejahatan lintas batas— termasuk p em b alak an k ay u — sek a lig u s un tuk menghilangkan anggapan bahwa Kalbar dan Kaltim merupakan Hinterland Malaysia.

1) Pelem bagaan perw akilan di daerah seberang perbatasan (Sarawak) harus disetarakan dengan perwakilan di Sabah. Selama ini status Konjen RI di Sarawak bersifat sebagai Kantor Penghubung. Dan ini seringkali menyulitkan dalam mengambil langkah-langkah strategis atas m asalah-m asalah yang dihadapi karena tak adanya otoritas. Hal ini berkaitan pula dengan alokasi anggaran yang seringkali tidak memadai bagi K on jen S araw ak . K on jen RI ini d ih a rap k an m em ilik i s ta tus penuh sebagai perwakilan Indonesia.

2) R um usan p em b alak an kayu harus diperlebar dan dimasukkan ke dalam Kejahatan Lintas Batas dan dibuatkan u n d an g -u n d an g n y a yang se tingkat

94

Page 93: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

dengan UU Pemutihan Uang, UU Anti- Narkoba, UU Cybercrime, sehingga dapat d itangani sebagaim ana kejahatan- kejahatan lintas batas lainnya.

3) Dalam sidang tahunan Sosek Malindo, pihakmasyarakat lokal maupun LSM yang credible harus dilibatkan sebagai peserta aktif sidang dan bukan hanya sekedar sebagai pemerhati.

4) P em erin tah D aerah b e rk ew ajib an m engurangi peran pem odal/cukong sebagai social Services provider yang se lam a ini m erek a sed iak an bag i masyarakat perbatasan. Jasa-jasa sosial adalah tanggung jaw ab pem erin tah daerah dan pusat, bukan tanggungjawab p asa r (cukong dan pem o d al). P em bangunan d aerah p e rb a tasan sebagaimana disepakati dalam Sosek Malindo harus dilaksanakan.

5) Di tingkat nasional, perlu dibentuk suatu badan nasional untuk pengem bangan daerah perbatasan yang berada langsung di baw ah p resid en dengan M enko POLKAM sebagai pelaksana harian (p en an g g u n g ja w a b ) dan D E PL U sebagai negosiator.

Daftar Pustaka

Arlaacchi, Pino, Nations Build Alliences to Stop Organized Crime, Global Issues, August 2001.

Buku Agreement on Information Axchange and Establishment o f Communication Procedures, K erjasam a Indonesia,

Malaysia, Filipina pada tanggal 7 Mei 2002, di Putrajaya, Malaysia.

Buku ASEAN Declaration on Transmational Crime, tanggal 20 Desember 1997 di Manila, Filipina.

Buku Program Pembangunan Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur 2003- 2008, yang disusun oleh Pemerintahan

Propinsi Kalimantan Timur dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2002.

Buku Strategi dan Konsepsi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara, Departemen Permukiman dan prasarana Wilayah, D irektorat Jenderal Penataan Ruang, Juli 2002.

Buku Tahunan Perangkaan: Yearbook Statistics Sabah 2002, Jabatan Perangkaan Malaysia Negeri Sabah, Department o f Statistic Malaysia, 2003.

Buzan, Barry, (1991), People, States and Fear: An Agenda fo r International Security Studies in the Post Cold War era, 2ndEditon, London: H arvester Wheatheaf.

Doherty, Faith, (2002) “Illegal Logging in Indonesia” dan Marc A. Hiller et.al, “ Illegal Logging: A Case Study from Gunung Palung National Park, Indonesia : http: //www.abc.net.au/ 4comers/content/2002/timber mafia/ viewpoints/viewpoints dohertv.htm/

Dokumen Laporan Illegal Logging dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Sekretariat NCB-INTERPOL, Liaison Officer Tawao.

Dokumen Laporan Illegal Logging dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Sekretariat NCB-1NTERPOL, Liaison Officer Tawao.

Lowenheim, Oded, Transnational Criminal Organizations and Security: The Case A g ain ts in f la tin g the T rea t, Intemational Journal, Vol. LVII, No.4/ Autumn 2002.

Philips jusario Vermonte, ”Transnational Organized Crime: Isu dan

95

Page 94: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Permasalahannya”, Analisis, CSIS, Tahun XXXI (1), 2002:45.

Vermonte, Philips Jusario. ”Transnational Organized Crime: Isu danPermasalahannya”, Analisis, CSIS, Tahun XXXI (1), 2002: 45.

h ttp ://w w w .ekon .go .id /berita /20030714/ 20030714_2.shtml

http://www.liputan 6.com/fullnews/74017

96

Page 95: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Dinamika Minoritas Muslim di Amerika Serikat1Oleh:

Indriana Kartini

Abstract

The September 11, 2001 attacks against the United States has become the tragedy for American society, including muslim minority in America. In the days following September 11, many people in America points afinger at a Muslim terror suspect. Muslims and people from various ethnic who appeared to be of Middle Eastern decent become the victims of discrimination and harrasment. The tragedy of September ll 'h, has become the turning point for Bush administration to conduct atough policy in order to fight terrorism. President George W. Bush has dramatically overreacted to the September 11 attacks. It is bitterly ironic that it was Bush ’s statements condemning “secret evidence ” policy and profiling that earned him the endorsement ofthe Muslim-American block vote in the last elections in the year 2000. However, today Bush administration expand these practices by conducting the USA PATRIOT Act with reckless abandon. The purpose ofthis research was to explore the problems faced by Muslim related to their position as minority in America and how they response to their problems.

Minoritas Muslim di Amerika Serikat merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji. M uslim di Am erika Serikat merupakan sebuah komunitas yang masih berproses menuju sebuah komunitas minoritas yang kohesif. Oleh karena itu penelitian ini berusaha menelusuri kehidupan minoritas Muslim di AS beserta problematika yang dihadapi berkaitan dengan status keminoritasannya. Sebelum membahas mengenai minoritas Muslim di AS, penting kiranya untuk memahami terlebih dahulu kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini.

Pada hakikatnya, minoritas merupakan sekumpulan individu yang diasingkan oleh kelompok mayoritas dalam masyarakat karena memiliki karakteristik fisik dan kultural yang berbeda. Mereka memperoleh perlakuan yang tidak sama atau sederajat yang pada akhirnya

1 Tulisan ini merupakan ringkasan laporan penelitian kelompok Dunia Islam 2004, berjudul Minoritas Muslim dan Isu Terorisme di Amerika Serikat. Tim peneliti Dunia Islam beranggotakan Afadlal, Dhurorudin Mashad, Hamdan Basyar, Indriana Kartini, Riza Sihbudi, dan Sri Nuryanti.

m em baw a m erek a p ad a p roses pengidentifikasian diri sebagai obyek dari diskriminasi kolektif. Salah satu sifat dari diskriminasi adalah kecenderungan untuk memperlakukan orang-orang yang berbeda secara sama rata (to treat unequally people equally) yakni memperlakukan setiap anggota dari kelompok minoritas seolah-olah mereka sama dengan menafikan sifat individu masing- masing.2

Minoritas juga dapat didefinisikan dalam istilah keterikatan ideologis. Oleh karena itu, minoritas adalah orang-orang yang sistem pemikiran atau sistem nilainya berbeda - pada tingkatan yang lebih tinggi atau lebih rendah - dengan mayoritas di sekeliling mereka.3 *

U ntuk dapat m em aham i hubungan mayoritas-minoritas maka penting kiranya untuk memahami tujuan jangka panjang (long-run goals) dari kelompok minoritas. Louis Wirth

2 J. Milton Yinger, A Minority Group in American Society, (New York: McGraw Hill, Inc., 1965), hlm. 22, 25.

3 John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the ModemIslamic World. (Terj.) (Jakarta: Mizan, 2000), hlm. 65.

97

Page 96: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

membedakannya dalam empat tujuan utama, yakni asimilasi, pluralisme, secessionis, dan dominasi. Berbagai kelompok minoritas memiliki kebijakan yang berbeda-beda, namun tema utamanya adalah : menghilangkan identitas kelompok, hanya individu yang dipertimbangkan - asim ilasi; m em pertahankan iden titas kelompok berdasarkan bahasa, agama, atau kultur dengan memegang teguh kesetiaan kepada masyarakat - pluralism; memperoleh kebebasan dengan membangun masyarakat tersendiri agar dapat mempraktekkan cara hidup sendiri tanpa adanya gangguan - secession; menghentikan dom inasi kelom pok lain dan m elakukan berbagai cara untuk merebut status tersebut dengan cara militan jika diperlukan - dominasi. Oleh karena itu berdasarkan klasifikasi tersebut, maka kelompok minoritas di Amerika bersifat asimilasionis atau pluralistis, namun hanya gerakan Muslim kulit hitam (Nations of Islam) yang memperlihatkan militansi dan dominasi.4

Dalam rangka mewujudkan integrasi nasional, para elit pemegang otoritas politik nasional acapkali menerapkan kebijakan untuk mengasimilasi berbagai minoritas etnis agama, a tas nam a kesam aaan dan k esa tu an . Konsekuensinya, minoritas etnis dan/atau agama yang melakukan praktek-praktek religius sosial yang dianggap tidak dapat menyesuaikan diri dengan kelompok mayoritas dipaksa untuk mengorbankan identitas etnis atau agama mereka. Jika tidak, mereka akan mengalami pengasingan dan diskriminasi. Sejalan dengan hal tersebut, sistem hukum dan moral/etika yang beragam dapat mengkompromikan kesamaan antar individual atau bisa saja mengarah pada penganiayaan yang dilakukan kelom pok mayoritas terhadap minoritas. Penolakan yang terjadi di negara-negara demokrasi liberal - termasuk Amerika Serikat - terhadap struktur hukum dan etika yang beragam, beranjak dari

4 Ibid., hlm. 31.

ketakutan akan hilangnya kekuatan monopolistik dan kontrol atas kelompok minoritas agama.5

Di sebuah n eg ara yang m em ilik i karakteristik multikultural, kebijakan asimilasi dilakukan untuk mewujudkan integrasi nasional, termasuk Amerika Serikat. Sistem asimilasi yang terjadi dalam m asyarakat A m erika dapat diklasifikasi dalam tiga teori utama, yaitu “Anglo- conformity”, “the melting pot”, dan “pluralisme kultural”. Teori “Anglo-conformity” pada intinya menuntut para imigran yang datang ke Amerika untuk membuang secara keseluruhan budaya leluhur mereka dan menerima perilaku dan nilai- nilai Anglo-saxon sebagai kelompok utama dalam mayarakat Amerika. Sementara itu “the melting pot” didasarkan pada penggabungan biologis antara orang-orang Anglo-Saxon dengan kelompok imigran disertai peleburan masing-masing kultur menjadi sebuah kultur A m erika yang baru. Sedangkan inti dari “pluralisme kultural” adalah pemeliharaan kehidupan komunal dan kultur yang signifikan dari ke lom pok im ig ran dalam konteks kew arganegaraan A m erika dan integrasi ekonomi dan politik ke dalam masyarakat Amerika.6

Pluralisme kultural sebagai salah satu s is tem as im ila s i b e rk em b an g m en jad i perdebatan dalam diskusi demokratik di tahun 1990-an dan 20 0 0 -an se irin g dengan meningkatnya arus imigrasi ke negara-negara Barat. Di Amerika Serikat sendiri, imigrasi merupakan fenomena utama semenjak “Imigrasi Besar” tahun 1890. Amerika Serikat (juga Kanada dan Australia) merupakan negara- negara yang membuka pintu bagi para imigran dengan syarat para pendatang tersebut memiliki keinginan dan kemampuan untuk berasimilasi

5Ahmad Yousif, “Minorities and Religious Freedom : A Challenge to Modern Theory o f Pluralism”, dalam Journal of Muslim Minority Ajfairs, Vol. 20 , No. 1,2000, hlm. 31.

6 Milton M. Gordon, Assimilation in American Life, the Role ofRace, Religion, and National Origin, (New York: Oxford University Press, 1964), hlm. 85.

98

Page 97: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

dengan m ainstream bahasa, kultural, dan prototipe rasial di negara tersebut. Akibatnya, skala imigrasi yang meningkat di tahun 1980-an dan 1990-an kemudian mengubah kontrak Anglo-Amerika yang disepakati masyarakat mainstream selama-lamanya. Dengan adanya arus imigrasi memudahkan bagi kaum minoritas (lama maupun baru) untuk melakukan resistensi terhadap asimilasi yang diinginkan masyarakat mainstream serta menunjukkan identitas mereka secara tegas.7

Penelitian ini didasarkan pada studi kebijakan dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Beranjak dari kedua pedoman tersebut dikaji prinsip dan kebijakan pemerintah AS beserta realitas politik yang ditemukan dalam konteks minoritas Muslim. Di samping itu, untuk memperoleh pemahaman utuh dikaji pula hubungan horisontal antarelemen masyarakat, dalam hal ini minoritas Muslim dengan mayoritas masyarakat mainstream Amerika yang juga menjadi faktor penting dalam proses pembuatan kebijakan pem erintah AS dalam konteks minoritas Muslim.

Untuk m em peroleh gam baran yang komprehensif, penelitian ini diawali dengan penelusuran data-data primer dan sekunder melalui studi literatur. Diantaranya melalui berbagai jurnal, media massa serta media internet yang memberikan informasi penting yang dapat membantu mengidentifikasi sekaligus memetakan permasalahan yang dikaji.

Minoritas Muslim di Amerika Serikat merupakan sebuah komunitas yang dinamis seiring dengan perkembangan agama Islam yang cukup pesat di negara tersebut. Hal ini terjadi karena adanya proses konversi, imigrasi, dan reproduksi dengan angka kelahiran 3,5% per tahun di atas rata-rata nasional, sehingga jumlah Muslim diperkirakan berkisar antara 5 hingga

7 Robert W. Hefner (Ed.), “The Politics o f Multiculturalism : Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia”, 2001, USA : University of Hawai’i Press, hlm. 2-3.

10 ju ta jiwa. Sementara itu, jumlah masjid di AS berjumlah sekitar 1.209 buah. Oleh karena itu, Islam menjadi agama terbesar kedua yang dianut oleh warga AS setelah Protestan. Peluang pengembangan Islam yang cukup besar di AS didukung oleh Declaration oflndependence dan K o n stitu s i A S, k h u su sn y a dalam Amandemen pertama dan ke empat belas, yang kondusif bagi pengembangan agama manapun, te rm asuk Islam . D alam Declaration o f Independence AS, bangsa Amerika bersepakat bahwa : ‘‘all people are equal in the eyes o f God and endowed by God with inalienable rights... ”

S em entara itu dalam A m andem en Pertama Konstitusi AS ditegaskan bahwa:

“Congress shall make no law respecting an establishm ent o f religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom ofspeech, or ofthe press; or the right ofthe people peaceably to assemble, and to petition the Govemment for a redress ofgrievances.”

Kemudian dalam Amandemen ke-14 Konstitusi AS menekankan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak warga negaranya, y ak n i: “forbids States to deprive any person of life, liberty, or property, without due process oflaw. ”

Seperti halnya komunitas Muslim global, komunitas Muslim di Amerika Serikat juga bersifat heterogen. Yakni, terdiri dari beragam komunitas etnis, antara lain Afrika Amerika, Asia Selatan, Arab, Afrika, Iran, Turki, AsiaTenggara, kulit putih Amerika, Eropa Timur, dan etnis lainnya. Dalam hal ini, Muslim Afrika Amerika merupakan mayoritas dengan jumlah populasi sebesar 2.100.000 jiw a atau sekitar 42 % dari total populasi Muslim di AS.8

Berbeda dengan minoritas Muslim di Eropa, khususnya Inggris, yang tinggal di area

8Fareed H. Numan, The Muslim Population in The United States, “A Brief Statement”, December 1992.

99

Page 98: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

ghetto (pemukiman khusus bagi im igran Muslim), minoritas Muslim di AS tinggal di berbagai area metropolitan seperti New York, Chicago, Los Angeles. Lebih luas lagi, populasi minoritas M uslim tersebar di empat wilayah utama, yakni dari New York hingga Washington; California, khususnya Los Angeles dan San Fransisco; wilayah segitiga dari Chicago ke Cleveland hingga Detroit; dan Texas khususnya Houston dan Dallas-Fort Worth. Daerah selatan dan utara AS hanya ditinggali oleh sedikit imigran Muslim, dengan pengecualian daerah selatan Florida dan Seattle. Kebanyakan wilayah utama ini memiliki konsentrasi Muslim dengan spesifikasi etnis tertentu. Di California dan Los Angeles terdapat banyak Muslim Iran. Sedangkan Texas didiami oleh banyak Muslim dari Asia Selatan. Sementara itu, wilayah segitiga didiami oleh Muslim Arab dan Afrika Amerika, kecuali Chicago yang banyak didiami Muslim dari Eropa Timur dari berbagai etnis, seperti Albania, Bosnia, dan Turki. KotaDetroitdidiami oleh Muslim Arab, khususnya Libanon, Iraq, Palestina, dan Yaman.

Eksistensi Muslim Amerika dimulai pada abad ke-16 (1530), tatkala jutaan orang kulit hitam dari Afrika Barat yang beragama Islam didatangkan ke AS sebagai budak. Meski pada akhirnya kebanyakan Muslim Afrika tersebut meninggalkan identitas keislamannya akibat tekanan politis. Kemudian imigran Muslim pertama datang ke AS pada kurun abad ke-19 (1875), khususnya dari Timur Tengah, yakni dari Suriah, Yordania, Lebanon, dan Palestina. Gelombang kedua, berlangsung pada abad ke- 20 dan berhenti karena pecahnya perang Dunia H. Gelombang ketiga, teijadi pada pertengahan 1940-an dan 1960-an. Sementara gelombang keempat dimulai sekitar 1967.9

9 Jumlah imigran terbesar pada gelombang ketiga ialah orang-orang Palestina yang terusir dari negerinya akibat terbentuknya negara Israel, orang M esir di masa pemerintahan Gamal Abdel Nasser, orang Irak dan Muslim dari Eropa Timur yang bermigrasi akibat tekanan penguasa komunis. Sedangkan imigran pada gelombang keempat mayoritas adalah orang terdidik dan banyak dipengaruhi oleh budaya Barat.

Sekitar abad ke-20 (1913), banyak waiga Afrika Amerika berpindah agama menjadi Muslim. Kebanyakan dari mereka berpindah agama karena terpesona oleh ajaran yang dibawa oleh Noble Drew Ali (Moorish Science Temple o f America), serta Elijah Muhammad {Nation of Islam) yang menggelorakan gerakan pembebasan bagi warga Afrika Amerika yang selama em pat abad mengalami perlakuan diskriminatif dari mayoritas masyarakat kulit putih dan pemerintah Amerika Serikat. Organisasi Muslim Afrika Amerika yang pertama kali berhasil menarik perhatian publik Amerika adalah Nation o f Islam (N O I). M esk ipun menggunakan istilah Islam, namun pada intinya gerakan ini bersifat nasionalisme kulit hitam yang militan dan separatis, yakni anti kulit putih dan menginginkan negara tersendiri, terpisah dari Amerika Serikat.

Organisasi NOI didirikan oleh Elijah Muhammad yang mengklaim bahwa ajarannya diperoleh dari seorang misterius Imam Mahdi Farad Muhammad dan kemudian mengangkat dirinya sebagai nabi. Ia memiliki 50.000 sampai 100.000 pengikut dan didampingi orang-orang karism atik seperti M alcolm X dan Louis Farrakhan. E lijah w afat pada 1975 dan d igan tikan oleh pu tran y a W arith D een Muhammad. Berbeda dengan ayahnya yang banyak m enyim pang dari ajaran Islam sesungguhnya, W arith Deen M uham m ad berusaha mentransformasikan NOI ke dalam mainstream Islam global (Sunni). Pada 1976, ia mendeklarasikan bahwa ayahnya bukanlah seorang nabi. Nama organisasi NOI kemudian diganti m enjadi “The American Bilalian Community", la lu m enjadi “The World Community o f Islam in the West” dan pada tahun 1980 diganti lagi menjadi “The American Muslim Mission”. Namun, pada tahun 1977 Louis Farrakhan menghidupkan kembali NOI yang te tap se tia k ep ad a a ja ran E lijah Muhammad.

100

Page 99: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Hubungan Minoritas-Mayoritas

Meskipun eksistensi Muslim di AS telah ada selama berabad-abad lamanya, bahkan disinyalir bahwa Islam hadir sebelum kedatangan Colombus, namun hingga kini masyarakat Muslim masih belum diakui sebagai sebuah entitas minoritas yang membentuk komponen bangsa Amerika. Prinsip melting pot yang dianut dalam tataran pemerintah sebagai wadah pembentukan bangsa Amerika pada akhirnya menghasilkan hegemoni Anglo-Saxon sebagai etinisitas asli yang memonopoli ikatan primordial dalam pembentukan negara Amerika Serikat.

M eskipun dalam perkem bangannya muncul pula wacana pluralisme kultural atau salad bowl dalam tataran masyarakat yang memberi ruang bagi eksistensi etnisitas non Anglo-Saxon (m in o rita s), nam un pada kenyataannya kaum m inoritas itu harus mengorbankan etnisitas aslinya dan melebur ke dalam k u ltu r hegem on Anglo-Saxon. Amerikanisasi menjadi sebuah pilihan yang wajib diikuti bagi kaum minoritas jika ingin tetap eksis. Hal tersebut tentu berlaku pula terhadap masyarakat Muslim sebagai salah satu entitas m inoritas di A m erika. M eskipun dalam kenyataannya, pemerintah Amerika nampak enggan memberikan label m inoritas bagi masyarakat Muslim (juga minoritas lain), karena hal ini akan berakibat pada pengakuan atas hak-hak kaum minoritas yang dikhawatirkan akan m eredusir hak-hak istim ew a kaum mayoritas Anglo-Scvcon. Dengan ungkapan lain, pemerintah AS memberikan kesempatan bagi Muslim untuk eksis dan berkembang dengan pengakuan hak-hak minoritas yang dibatasi.

Sementaraitu, MuslimAfrika Amerika di AS m erupakan elem en sign ifikan bagi pembentukan komunitas Muslim di Amerika. Berbeda dengan komunitas muslim lainnya, eksistensi muslim Afrika Amerika tidak bisa dilepaskan dari sejarah perbudakan di Amerika. Oleh karena itu munculnya gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi M uslim Afrika

Amerika dipahami sebagai reaksi atas inferioritas yang dipaksakan oleh masyarakat kulit putih Anglo-Saxon. Ide separasi pada akhirnya muncul dan menjadi impian bagi sebagian Muslim Afrika Amerika untuk dapat hidup independen terpisah dari masyarakat hegemon kulit putih yang rasis. Namun, dalam kenyataannya ide separasi kulit hitam hanyalah sebuah utopia. Meski demikian, pemerintah dan masyarakat Amerika tidak memandang masyarakat Muslim kulit hitam sebagai sebuah entitas tersendiri, melainkan tetap menjadi bagian dari kaum m inoritas kulit hitam . B ahkan, terdapat kecenderungan bahwa mereka tidak dipandang sebagai bagian dari entitas minoritas Muslim.

Problematika Minoritas Muslim

Peluang pengembangan Islam di AS memang cukup besar, namun, tantangan yang dihadapi umat Islam di AS jauh lebih besar. Tantangan yang datang dari luar ialah falsafah negara AS itu sendiri yang menganut paham sekuler yang memisahkan antara agama dengan urusan negara. Agama kemudian diredusir ke dalam lingkup ‘privat’ atau hanya merupakan urusan pribadi. Filosofi individualistis ini bertentangan dengan filosofi yang dianut oleh masyarakat Muslim Amerika, dan juga Muslim di seluruh dunia yang lebih berorientasi kolektif, bahwa agama bukan hanya menyangkut urusan pribadi tapi juga publik secara keseluruhan.

Inilah realita yang menghimpit umat Muslim di Amerika. Mereka harus menanggung beban sebagai kelompok masyarakat yang terus ditatap dengan penuh kecurigaan. Sehingga begitu ada pemicu, langsung berubah menjadi aksi teror yang nyata. Hal ini tentu saja teijadi karena ketidakpahaman mayoritas masyarakat non Muslim AS mengenai Islam. Dan itu teijadi karena mereka amat minim menerima informasi tentang Islam. Kalaupun ada, informasi yang diterima banyak tidak benarnya. Misalnya saja, siswa-siswa SMA di Am erika diharuskan membaca buku wajib yang di dalamnya terdapat

101

Page 100: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

penjelasan tentang Islam yang ngawur dan berbahaya, seperti di bawah ini:

“Islam didirikan oleh seorang pedagang kaya berkebangsaan Arab bernama Muhammad. Dia mengaku dirinya seorang nabi, dan diikuti oleh orang-orang Arab lainnya. Kepada para pengikutnya, Muhammad menjelaskan bahwa mereka telah dipilih (oleh Tuhan) untuk memimpin dunia.”10 * 11

Selain itu, mereka cenderung memandang Islam secara m onolitik dan mengabaikan perbedaan aliran yang ada dalam Islam. Bagi mereka, Islam yang dianut oleh raja-raja di negar Arab dan Ayatollah di Iran itu tidak ada bedanya, karena sama-sama menghadap Mekah ketika shalat dan keduanya menganut paham teokrasi dan negara-negara kaya minyak. Dan bagi mereka, Islam merupakan ancaman global yang potensial, sama halnya dengan komunis di era Perang Dingin.

Bagi warga Muslim Amerika yang telah berulang kali mengalami pengalaman pahit, peristiwa 11 September 2001 kemudian menjadi media klarifikasi diri bahwa Amerika adalah rumah mereka dan tempat bernaung kepentingan mereka. Peristiwa tersebut juga menyadarkan kembali rasa tanggung jawab kaum Muslim moderat untuk melawan secara aktif para ekstrimis walau hanya dalam bentuk retorika. U paya lain yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman yang lebih baik kepada warganon Muslim AS mengenai Islam yang tidak mereka pahami. Selain itu, beberapa pemimpin M uslim ju g a b erupaya un tuk m em beri pemahaman kepada komunitas Muslim yang selama ini terisolasi, mengenai hak dan kewajiban masyarakat sipil di AS dan untuk bersentuhan dengan kehidupan sosial di AS.

S ebenarnya , upaya un tuk dapat bersentuhan dengan kehidupan bernegara di AS, terutama dalam kehidupan politik telah dilakukan oleh beberapa organisasi Islam diantaranya the Coordinating Council o f the four Muslirn-

10 Steven Barboza, Jihad Gaya Amerika, Bandung: Mizan,1996, hlm. 39.

American political organizations: CAIR, the American Muslim Alliance (AMA), the American Muslim Council (AMC), dan the Muslim Political Action Committee (MPAC). Pada Februari 1996 - atas upaya lobi organisasi Islam - untuk pertama kalinya dalam sejarah AS, Ibu N egara Amerika Hillary Rodham Clinton mengadakan jam uan makan malam untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri di White House. Bagi masyarakat Muslim AS, peristiwa tersebut merupakan sebuah kemenangan publik yang signifikan.

Masyarakat Muslim AS juga berupaya memberikan kontribusi dalam pemilihan umum di AS. Misalnya saja, ketika warga Muslim/Arab Amerika memberikan bantuan dana kampanye bagi kandidat-kandidat politik seperti Wilson Grade (pemilihan walikota, 1983), Robert Neall (pemilihan anggota Kongres, 1986), Joseph Kennedy (pemilihan anggota Kongres, 1986), Walter Mondale (pemilihan presiden, 1984), dan Hillary Clinton (pemilihan anggota Kongres, 1998).

Pada pemilihan presiden tahun 2000, sekitar 70% hingga 90% masyarakat Muslim memberikan hak votingnya kepada George W. Bush. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu AS, masyarakat Muslim menggunakan hak votingnya dalam jumlah besar, yakni sekitar 34% dari total voting di AS. Masyarakat Muslim berhasil menciptakan blok suara bagi kemenangan Bush. Walaupun terdapat pengakuan simbolik dari Presiden Bush dan pejabat pemerintahan lainnya kepada komunitas Muslim, tetapi bukan berarti masyarakat Muslim AS telah diakui secara utuh. Tantangan terbesar yang masih dan akan terus dihadapi masyarakat Muslim AS adalah menjadi bagian dari institusi mainstream Amerika. Mayoritas masyarakat Muslim Amerika masih berada di luarmainstreampolitikAS. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh Muslim AS, Salam Al- M arayati: “We’re not at the table yet. We still have to eam our right to sit at the table.

11 E lise Aymer, ”The A m erican M uslim P olitical Renaissance”, dalam http://www.yale.edu.com

102

Page 101: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Stereotip mengenai Islam yang radikal, ekstrim, dan teroris memang telah lama melekat dalam benak sebagian besar m asyarakat Amerika. Hal ini diperkuat oleh peran media massa di AS yang seringkali menampilkan citra Islam yang negatif. Dari berbagai peristiwa kekerasan nasional di AS, Muslim senantiasa menjadi tertuduh utama. M isalnya, dalam peris tiw a peledakan gedung federa l di Oklahoma City, pada tahun 1995, media-media di AS menggiring opini publik bahwa peledakan tersebut dilakukan oleh teroris Islam, meski akhirnya pelaku peristiwa tersebut adalah seorang kulit putih, Timothy McVeigh.

Tatkala tragedi 9/11 terjadi, M uslim kembali harus menelan pil pahit, yakni menjadi sasaran kem arahan warga AS, mengingat pelaku penyerangan gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2001 disinyalir dilakukan oleh kelompok Al Qaida pimpinan Osama bin Laden yang beragama Islam. Sebagai respon atas trag ed i te rse b u t, p em erin ta h AS m engeluarkan kebijakan dom estik yang dirasakan merugikan warga minoritas Muslim.

Pada 26 Oktober 2001, Presiden Bush mengeluarkan kebijakan “the USA PATRIOT Act” (the Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act) yang memberi wewenang kepada lembaga eksekutif untuk menahan imigran (yang dicurigai terlibat aksi teroris) dalam jangka waktu lama bahkan tak te rb a ta s . P ad a 4 D esem b er 2001, pemerintah AS juga menutup lembaga-lembaga amal Muslim seperti the Holy LandFoundation for Relief and Development (HLF), Global Relief Foundation (GRF) dan Benevolence International Foundation (BIF) dengan tuduhan menyalurkan dana kepada kelompok HAMAS Palestina.

Pemberlakuan PATRIOT Act dengan dalih demi keam anan dom estik AS pada akhirnya membawa ekses yang membahayakan

M u slim d an Isu T erorism e kem erdekaan dan kebebasan sipil rakyat Amerika. Sikap curiga yang ditunjukkan pemerintah AS juga berkorelasi dengan sikap sebagian masyarakat AS. Misalnya, seorang warga AS menelepon polisi untuk mengintai seorang warga berwajah Timur Tengah, yang tengah membaca artikel di surat kabar mengenai Osama bin Laden di perpustakaan umum di Florida. Laila al-Arian, staf majalah Washington Report on M iddle East Affairs, mengungkapkan dalam sebuah pertemuan tahunan organisasi American Muslim Alliance pada 25 September 2004, bahwa Muslim AS merupakan target utama kebijakan PATRIOT Act. Apalagi ayahnya Prof. Sami Al-Arian juga menjadi korban dari kebijakan tersebut, di mana ayahnya ditangkap di hadapan anak-anaknya di tengah malam. Dan pemandangan ini teijadi di seluruh AS, bahkan sudah menjadi trend. Apalagi, Jaksa Agung AS, John Ashcroft dalam sebuah konferensi pers juga menuding Muslim sebagai pelaku utama setiap teror.

K eb ijak an p em erin tah AS un tuk membatasi hak-hak sipil warga Muslim ternyata didukung pula oleh m ayoritas warga AS. Berdasarkan hasil polling di AS menunjukkan bahwa 44 persen responden menginginkan adanya pembatasan dalam sejumlah hak-hak sipil warga M uslim A m erika, 48 persen responden malah menginginkan pembatasan itu dilakukan dalam semua aspek. Selain itu, 27 persen responden menyatakan setuju apabila warga Muslim diharuskan melaporkan di mana ia tinggal pada pemerintah federal. Sekitar 22 persen mendukung adanya penyelidikan tentang asal-asul warga Muslim untuk mengindentifikasi potensi ancaman serangan teroris, dan 29 persen responden berpendapat perlu adanya agen-agen yang menyamar yang masuk ke dalam komunitas M uslim , serta pem bentukan organisasi- organisasi yang secara sukarela memantau aktivitas dan penggalangan dana oleh warga Muslim.12

12 Lihat, http://www.eramuslim.com, 30 Desember 2004.

103

Page 102: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Selain itu, pemerintah AS juga mencegah beberapa tokoh aktivis perdamaian, akademisi, bahkan penyanyi Muslim asing untuk memasuki w ilayah A m erika . P ad a 28 Ju li 2004, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, melarang intelektual Islam terkemuka, Tariq Ramadan untuk memberi kuliah di Universitas Notre Dame. Ramadan, seorang tokoh reformis Islam Eropa, dilarang masuk ke Amerika dengan dalih demi kem anan nasional tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Tokoh Muslim lainnya yang dilarang masuk ke AS adalah seorang aktivis perdamaian asal Inggris, Yusuf Islam, yang sebelumnya terkenal sebagai penyanyi dengan nama Cat Stevens di era 70-an. Yusuf Islam dan putrinya terbang dengan menggunakan pesawat United Airlines dari London menuju Washington, DC, pada 21 Septem ber 2004. N am un, sebelum pesawat mendarat, petugas keamanan transportasi AS mencegah pendaratan pesawat tersebut dan meminta pesawat tersebut untuk mengubah arah dari Washington menuju Bangor, Maine. Yusuf Islam kemudian ditahan dan dikembalikan ke London keesokan harinya.

T indakan pem erin tah AS te rsebu t mengundang kecaman keras dari organisasi- organisasi Muslim di AS. Mereka beranggapan bahwa perlakuan pemerintah AS terhadap tokoh Muslim moderat seperti Yusuf Islam layaknya seorang pelaku kriminal atau teroris, tanpa adanya surat perintah penangkapan, justru membawa pesan yang salah dan mengganggu dunia Islam. Karena hal ini dapat diartikan bahwa tokoh-tokoh Muslim yang membawa pesan damai sekalipun juga dianggap membahayakan keamanan domestik AS. Direktur Eksekutif the Council on American-lslamic Relations (CAIR) Nihad Awad, pada 22 September 2002, menegaskan : “It doesn ’t help our war on terror, It makes it harder. This is not the way to win the hearts and minds o f Muslims worldwide. ”13

13 Lihat, Delinda Curtiss Hanley, “Muslim Promises a Whirlwind of Activity to Get Out the Bloc Vote on

Sebagai sebuah komunitas, M uslim memiliki potensi besar untuk menjadi sebuah kekuatan sosial di AS. Aktivism e politik komunitas Muslim perlahan mulai bangkit. Berbagai organisasi Muslim yang bertujuan untuk m em ajukan posisi taw ar M uslim dalam keh id u p an p o litik di AS b e ru sah a membangkitkan kesadaran politik Muslim untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum di AS. Seperti yang dilakukan oleh The Political Action Committee ofthe American Moslem Political Coordination Council (AMPCC- PAC) yang menyerukan kepada komunitas Muslim Amerika untuk memilih George W. Bush dalam pemilu presiden tahun 2000. Dalam kesempatan tersebut Muslim AS memberikan blok suara yang memuluskan jalan bagi George W. Bush menaiki kursi presiden AS.

L angkah te rseb u t d iam bil setelah AMPCC bertemu dengan George W. Bush di Detroit. Dalam pertemuan tersebut Bush beijanji akan memperhatikan kepentingan Muslim berkaitan dengan isu domestik dan luar negeri. Sementara saingan Bush dari Partai Demokrat, Al Gore justru membatalkan pertemuannya dengan pemimpin AMPCC. Meski selama kampanye pemilu presiden, peran Muslim diabaikan oleh Al Gore dan hanya memperoleh sedikit atensi dari Bush, namun pada akhirnya Muslim AS menjatuhkan pilihannya kepada Bush. Hal ini terjadi karena pernyataan Bush dalam debat capres yang menentang kebijakan “secret evidence” di mana Muslim menjadi target utama dari kebijakan tersebut.14Hasilnya mengejutkan, sekitar 2,3 juta atau 72% dari total

M u slim dan P em ilih an P residen AS

Election Day”, the Washington Report on Middle East Affairs, November 2004, hlm. 32.

14Bagi Muslim AS, kebijakan secret evidence merupakan isu utama, sehingga pernyataan Bush tersebut dianggap sebagai janji untuk melakukan tindakan korektif jika Bush terpilih menjadi presiden AS. Dan, pernyataan Bush tersebut cukup memotivasi warga Muslim untuk datang ke tempat-tempat pemungutan suara dan memberikan suara mereka bagi Gubernur Texas tersebut.

104

Page 103: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

suara M uslim A m erika diberikan kepada George W. Bush. Oleh karena itu, dapat diungkapkan bahw a blok suara M uslim merupakan kunci bagi kemenangan Bush.

Namun, ironisnya, pasca peristiwa 11 September 2001, kebijakan secret evidence yang sebelumnya dikecam oleh Bush justru d ip rak tek k an seca ra in te n s if di m asa pemerintahan Bush. Bush kemudian memperluas p enggunaan secret evidence dengan mengeluarkan kebijakan PATRIOT Act, karena menurut Bush, kebijakan secret evidence kurang efektif dalam hal perang melawan terorisme.

Oleh karena itulah, pada saat menjelang pemilihan presiden AS tahun 2004, perdebatan di kalangan M uslim berkisar pada siapa kandidat presiden yang akan dipilih oleh Muslim Amerika. Dan, apakah akan ada blok suara Muslim seperti halnya teijadi dalam pemilihan presiden tahun 2000, di mana suara Muslim diberikan kepada George W. Bush. Pertanyaan- pertanyaan tersebut menjadi bahan diskusi dalam konvensi ke-41 Islamic Society ofNorth America (ISNA) yang diselenggarakan pada Hari Buruh di Chicago, Illinois. Permasalahan tersebut menjadi perdebatan hangat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh the American Muslim Taskforce on Civil Rights and Elections (AMT). AMT merupakan organisasi yang memayungi beberapa organisasi Muslim seperti the American Alliance (A M A ), Council on American-Islamic Relations (CAIR), Islamic Society o f North America (ISNA), Muslim Alliance ofNorth America (MANA), Muslim American Society (MAS), Muslim Public Affairs Council (MPAC), Muslim Student Association-National (MSA- N), Project Islamic Hope (PIH), dan United Muslims of America (UMA).

T ujuan dari A M T an ta ra la in : 1) mengupayakan hak-hak sipil dan hak asasi manusia menjadi agenda utama setiap presiden AS; 2) membangun koalisi hak-hak sipil nasional yang bertahan untuk jangka waktu yang lama;

3) memberi tekanan kepada kandidat presiden, khususnya dari parta i D em okrat untuk mendukung pengakuan hak-hak sipil bagi seluruh warga AS; 4) memobilisasi blok suara yang lebih luas, terdiri dari Muslim, Kristen Arab, serta para p en d u k u n g P arta i H ijau , L ib e rta r ia n , Independen , dan la innya dalam rangka memberikan dukungan kepada kandidat yang pro hak-hak sipil.15

J ik a dalam p em ilih an p res id en sebelumnya, partai Republik dan Demokrat hanya memberi sedikit atensi terhadap komunitas Muslim yang kuat di AS, maka dalam pemilihan presiden tahun 2004, kedua partai tersebut berupaya untuk merebut suara Muslim bagi kemenangan kandidat masing-masing. Apalagi, komunitas Muslim dan Arab banyak yang bermukim di wilayah-wilayah perebutan suara seperti di negara bagian Florida, Ohio, Michigan, dan Pennsylvania. Ditambah lagi dengan munculnya inisiatif dari AMT untuk membentuk koalisi hak-hak sipil nasional yang dapat menghasilkan blok suara pendukung hak-hak sipil dari sekitar 10 juta pemilih Muslim. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut, partai-partai besar di Amerika seperti Republik dan Demokrat berupaya menarik simpati para pemilih Muslim. Misalnya saja, dalam konvensi ke-41 ISNA, masing-masing partai membangun stand yang diberi nama “Muslims for Bush” dan “Muslims for Kerry” . Selain itu, ada pula sejumlah Muslim yang menjadi pendukung kandidat Independen, Ralph Nader.

Berdasarkan hasil polling dari Zogby Intemational, diperoleh angka sekitar 76 atau 77 persen M uslim A m erika m em berikan dukungannya kepada kandidat Demokrat, John Kerry.16 Namun demikian, di dalam komunitas

'5Lihat, Lisette Poole, "American Muslims Strategize Presidential Endorsement”, the Washington Report on Middle East Affairs, November 2004.

'6Lihat, Delinda Curtiss Hanley, “Muslim Promises the Washington Report on Middle East Affairs, November 2004, hlm. 32.

105

Page 104: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Muslim sendiri masih timbul perdebatan internal mengenai kandidat mana yang layak didukung oleh Muslim. Hal ini disebabkan kandidat Demokrat John Kerry kurang memiliki ketegasan sikap dalam hal pengakuan hak-hak sipil yang merupakan agenda perjuangan komunitas M uslim A m erika . M engenai keb ijakan PATRIOT Act yang ditentang oleh komunitas M uslim , John K erry te tap m endukung pem berlakuan kebijakan tersebut m eski menjanjikan akan melakukan modifikasi atas beberapa ketetapan. Hal ini menunjukkan bahwa alternatif yang diajukan Kerry tidakjauh berbeda dari kandidat partai Republik.

Namun demikian, tampaknya komunitas Muslim pada akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada kandidat Demokrat, John Kerry. Hasil survei lain yang dilakukan organisasi muslim Amerika yang besar, Council on American- Islamic Relations (CAIR), juga menunjukkan mayoritas komunitas Muslim mendukung John Kerry dalam pemilihan Presiden tahun 2004. Survei tersebut dilakukan dengan mengirim daftar pertanyaan kepada pelanggan e-mail mereka. Dari semua responden, 54 persen mengatakan mereka akan memilih Kerry dalam pem ilihan p residen . S ek ita r 26 persen mengatakan m ereka akan m em ilih calon independen Ralph Nader, seorang keturunan Libanon. Hanya 2 persen yang menyatakan akan memberi suara kepada Presiden Bush. Hampir separuh responden mengatakan bahwa mereka telah mengalami suatu bentuk diskriminasi sejak terjadinya tragedi 9/11.17

Penutup

Minoritas Muslim di Amerika merupakan sebuah komunitas yang dinamis. Sebagai sebuah komunitas, Muslim Amerika merupakan sebuah m osaik yang terdiri dari beragam etnis.

17 http://www.voanews.com /indonesian/Archive/a-2004- 07-01-3-1.cfm, IJuli 2004.

Perkembangan Islam yang pesat di Amerika menjadi menjadikan komunitas Muslim di Amerika sebagai sebuah kekuatan sosial yang potensial. N am un dem ikian, kurangnya pemahaman antar komunitas muslim, masih menjadi kendala internal yang menghambat kesatuan umat Islam di Amerika. Oleh karena itu, langkah menuju bersatunya komunitas Muslim tersebut sangat penting dilakukan demi memperkuat kohesivitas minoritas Muslim sebagai sebuah kekuatan sosial maupun kekuatan politik di Amerika.

Sementara itu, hubungan antara minoritas Muslim dengan mayoritas masih diwarnai oleh kurang paham nya m asyarakat A m erika mengenai Islam. Stereotip mengenai Islam yang seringkali dikaitkan dengan terorisme masih diyakini oleh sebagian masyarakat Amerika. Hal ini tercermin dengan dukungan sebagian besar m asyarakat A m erika terhadap kebijakan pemerintah AS yang membatasi hak-hak sipil minoritas Muslim. Oleh karena itu, agenda u tam a m in o rita s M uslim adalah memperjuangkan pengakuan hak-hak sipil dan hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat Amerika tanpa kecuali. Hal ini penting mengingat komunitas M uslim telah lama mengalami perlakuan diskrim inatif, khususnya pasca terjadinya tragedi 9/11.

B erdasarkan pertim bangan itu lah , mayoritas Muslim mendukung kandidat pesiden dari Partai D em okrat, John Kerry dalam pemilihan Presiden yang dilaksanakan pada 2 N o v em b er 2004. K eb ijak an dom estik pemerintahan Bush, khususnya pemberlakuan PATRIOT Act, dirasakan merugikan komunitas Muslim, sehingga dukungan Muslim bagi Bush dalam pemilihan presiden tahun 2000 kini dialihkan kepada Kerry. Namun, hasil pemilihan presiden A m erika Serikat m enunjukkan kemenangan di pihak Geroge W. Bush. Oleh karena itu, tampaknya peijuangan Muslim untuk m em pero leh k ese ta raan h ak -hak sip il, tampaknya masih panjang dan berliku.

106

Page 105: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Daftar Pustaka

Aymer, E lise , 'T h e A m erican M uslim Political Renaissance”, dalam http:// www.yale.edu.com.

B arboza, S teven. J ihad G aya A m erika. Bandung: Mizan, 1996.

Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia o f the Modem Islamic World, (terj.) Jakarta: Mizan, 2000.

Gordon, Milton M. Assimilation in American Life, the Role o f Race, Religion, and National Origin. New York : Oxford University Press, 1964.

Hefner, Robert W. (Ed.), The Politics of M u lticu ltu ra lism : P lu ra lism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, U S A : University of Hawai’i Press, 2001.

Hanley, Delinda Curtiss “Muslim Promises a Whirlwind of Activity to Get Out the Bloc

Vote on E lection D ay”, dalam the Washington Report on Middle East Affairs, November 2004.

Numan, Fareed H. The Muslim Population in The United States, A Brief Statement, December 1992.

Yinger, J. M ilton. A Minority Group in American Society. New York: McGraw Hill, Inc., 1965.

Yousif, Ahmad. “Minorities and Religious Freedom : A Challenge to M odern Theory of Pluralism”, dalam Journal o f Muslim Minority Affairs, Vol. 20, No. 1,2000.

http://ww w .eram uslim .com , 30 Desember 2004.

http://www.voanews.com /indonesian/ Archive/a-2004-07-01-3-1.cfm, 1 Juli 2004.

107

Page 106: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

M em bongkar K eterlibatan Pejabat-Pejabat ASdalam Serangan 9/11

Oleh :Rosita Dewi

Review Buku

Judul

Penulis Penerbit Tebal Buku

: The New Pearl Harbor : Disturbing Question about the Bush Administration and 9/11

: David Ray Griffin : Olive Branch Press, 2004 : XXV + 214 halaman

Abstract

The attacks of September ll'h, 2001 (9/11) have often compared with the attacks of Pearl Harbor because the American response to 9/11 attacks is similar with American response to Pearl Harbor. But actually these comparison is unjustified, because both events are in different conditions, and the attacks of 9/11 seems to be deliberated event. Because so many evidence pointed out to complicity ofthe US official in 9/11 attacks. There are at least eight possibilities ofthe US official complicity. These possibilities can be understood in many way s, several of them did not involved and several of them are involved in active planning.

Pasca tragedi 11 september ini muncul 3 pendekatan terhadap peristiw a tersebut. Pertama, orang atau negara yang percaya bahwa peristiwa di New York tersebut dilakukan oleh kelompok Islam radikal atau dalam bahasa Barat disebut dengan Islam fundamentalis. Kedua orang atau negara yang melihat peristiwa tersebut sebagai sebuah fakta yang lebih percaya pada teori konspirasi. Bagi kalangan ini peristiwa 9/11 dilakukan sendiri oleh antek-antek AS. Ketiga, orang atau negara yang mengambil posisi ambivalen, yaitu mengutuk peristiwa tersebut, tetapi kebijakan atau pendapat mereka tetap tidak jelas.1

Terdapat kem ungkinan bahwa teori konspirasi berlaku untuk mengkaji peristiwa 91 11. Hal ini terlihat dari beberapa fakta dan bukti

1 Lihat www.Islamlib.com/id/index.php?page=article&id=414

Banyak spekulasi bermunculan dengan adanya tragedi 11 september 2001 (9/11), di mana peristiwa tersebut mencengangkan dan m em buka m ata dunia. Banyak kalangan mengklaim bahwa peristiwa ini merupakan kejahatan mumi yang dilakukan oleh para teroris yang tidak menyukai keberadaan Amerika Serikat (AS) sebagai negara super power dan karena negara tersebut m engusung asas kebebasan. O sam a bin Laden bersam a kelom pok al-Q aeda sebagai satu-satunya tersangka utama, melakukan serangan tersebut karena kebenciannya terhadap AS seperti dalam pidato Bush yang menyatakan bahwa AS menjadi sasaran serangan bagi para teroris karena terlanjur menjadi lambang kebebasan dunia. Namun tidak kalah banyak juga, kalangan yang tidak sependapat bahwa tragedi 9/11 mutlak tindakan dari jaringan teroris yang dikaitkan dengan al-Qaeda.

109

Page 107: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

fisik yang ditem ukan di lapangan yang melemahkan kebenaran hasil investigasi yang telah dilakukan oleh investigator AS. Bahkan hasil tersebut menunjukkan adanya keterlibatan dari pejabat-pejabat tinggi AS baik itu pejabat Gedung Putih, Pentagon atau agen intelijen AS (FBI dan CIA) dalam serangan 9/11.

Untuk semakin memperjelas uraian diatas tentang bagaimana bentuk keterlibatan pejabat- pejabat AS, dapat kita lihat dengan mencermati kejanggalan-kejanggalan yang muncul pada peristiwa 9/11. Dari buku yang berjudul “The New Pearl Harbor” yang ditulis oleh Day Griffin terbitan Olive Branch Press tahun 2004 banyak m enguak ten tang ke janggalan - kejanggalan dalam serangan 9/11. Dan dari buku setebal 214 halaman itu dapat dicermati beberapa kemungkinan bentuk keterlibatan pejabat-pejabat tinggi AS.

The New Pearl Harbor

Perbandingan yang digunakan untuk mengkaji serangan 9/11 yang terjadi di AS adalah serangan Jepang terhadap Pearl Harbor, bahkan serangan 9/11 sering disebut dengan the new Pearl Harbor. Perbandingan kedua peristiwa ini menimbulkankan pertanyaan mengapa serangan 9/11 dianalogikan dengan Pearl Harbor? Bahkan muncul pernyataan di majalah Times (14 September 2001), “tidak ada hari tanpa kekejian. Mari kita memandang Pearl Harbor sebagai sebuah kejahatan yang utuh terhadap bangsa Amerika.”2 Analogi tersebut sebenarnya digunakan karena melihat respon dari orang-orang Amerika. Respon tersebut sama dengan respon ketika peristiwa Pearl Harbor terjadi. Hal ini juga dilihat dari respon pemerintah Amerika Serikat yang langsung mengerahkan kekuatan m iliternya hingga mengeluarkan doktrin “war against terrorism. ” Kebijakan tersebut tidak hanya menyangkut AS

2 Lihat Rahul Mahajan, Perang Salib Baru : Amerika Melawan Terorisme atau Islam? (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm.13-15.

saja namun seluruh negara dan AS sebagai pemimpin utamanya.

Dalam beberapa hal, analog ini tidaklah memadai karena kedua peristiwa tersebut teijadi dalam kondisi yang jelas berbeda, sehingga analogi ini terlalu berlebihan. Sementara itu, dilihat dari pelaku kedua peristiwa tersebut juga sangat berbeda, pelaku Pearl Harbor adalah negara besar dengan kemampuan ekonomi dan militer yang sangat kuat dan berambisi untuk menguasai Asia Tenggara. Hal ini jelas berbeda dengan pelaku 9/11 yang hanya 19 orang dari beberapa ribu anggota militan dengan dana terbatas.

Dari uraian diatas, dapat kita lihat bahwa analogi tersebut memang sengaja diciptakan un tu k m em b an g k itk an em osi dengan menekankan bahwa peristiwa 9/11 adalah suatu kejahatan sangat keji terhadap suatu negara yang tidak berdosa (AS) dan akan menjadi ancaman bagi negara lain jika dibiarkan. Pemerintah AS menganggap bahwa perlu adanya pembalasan terhadap pelaku kejahatan tersebut, meskipun sasaran serangan tidakjelas. Hal ini jugalah yang akhirnya menjadi tumingpoint bagi serangan AS terhadap Afganistan dan Irak sebagai bagian dari kebijakan war against terrorism.

Di Balik Serangan 9/11

Peristiwa 9/11, yang sering disebut-sebut sebagai New Pearl Harbor, m em ang merupakan peristiwa yang menggemparkan seluruh dunia dan tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Namun apakah benar tindakan tersebut mumi hasil tindakan dari teroris? Dalam sistem keamanan AS yang cukup kuat dan ketat, sepertinya hal tersebut tidak mungkin dapat sukses tanpa adanya campur tangan dari pejabat AS, baik itu pejabat Gedung Putih, Pentagon maupun agen rahasia AS. Keterlibatan tersebut tidak harus ikut serta dalam perencanaan serangan 9/11, namun dapat juga hanya dengan m em astik an se ran g an te rse b u t sukses dilaksanakan oleh kelompok lain - dalam kasus

110

Page 108: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

ini adalah al-Qaeda - tanpa adanya upaya pencegahan terhadap serangan tersebut.

D alam buku ini dapat k ita lihat 8 kem ungkinan bentuk-bentuk keterlibatan pejabat-pejabat tinggi AS dalam mensukseskan serangan 9/11. Pejabat tersebut kita bedakan menjadi 3 yaitu pejabat Gedung Putih, pejabat Pentagon dan pejabat dalam agen rahasia (CIA dan FBI). Kemungkinan pertama adalah bahwa pejabat AS memang tidak terlibat dan tidak mengetahui serangan tersebut. Kedua, serangan tersebut memang sesuatu yang diharapkan oleh agen rahasia AS. Mungkin agen ini tidak terlibat secara ak tif dalam perencanaan , nam un mengijinkan dan memastikan tidak akan ada pencegahan terhadap serangan tersebut. Ketiga, agen AS (bukan pejabat Gedung Putih) memang mengharapkan peristiwa tersebut terjadi dan mereka telah mengetahui dengan pasti waktu dan tem pat serangan akan d ilancarkan . Keempat, agen AS terlibat secara aktif dalam perencanaan serangan. Kelima, Pentagon terlibat dalam perencanaan serangan. Keenam, pejabat Gedung Putih yang menginginkan serangan 9/ 11 terjadi dan mengharapkan bahwa suatu kelompok akan memfasilitasinya, meskipun Gedung Putih tidak mengetahui dengan pasti waktu dan tempat dilancarkannya serangan tersebut. Ada kemungkinan bahwa mereka terkejut dengan banyaknya korban yang meninggal akibat serangan tersebut. Ketujuh, pejabat Gedung Putih telah mengetahui dengan pasti tentang serangan 9/11. Dan kedelapan, Gedung Putih terlibat secara aktif dalam perencanaan serangan 9/11.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut muncul karena melihat beberapa kejanggalan dalam peristiwa 11 September ini. Dengan menghubungkan beberapa fakta yang ditemukan, menunjukkan adanya kemungkinan bahwa terdapat keterlibatan pejabat AS dalam serangan tersebut. Adanya pernyataan dari beberapa agen rahasia negara lain, seperti Maroko, Mesir, Rusia dan Filipina, yang menyatakan bahwa mereka telah memberikan peringatan terhadap

agen rahasia AS tentang serangan 9/11. Namun peringatan ini diabaikan, bahkan pejabat agen rahasia AS membatasi proses investigasi yang d ilak u k an o leh F B I dan m ela ran g m em p u b lik as ik an p e rin g a tan te rseb u t. Seharusnya peristiwa 9/11 dapat dicegah, jika berita-berita tersebut di tindaklanjuti oleh agen rahasia AS. Dari sini dapat dilihat bahwa peristiwa 9/11 merupakan peristiwa yang diharapkan oleh agen rahasia AS.

Kemungkinan adanya keterlibatan pejabat AS, dapat juga dilihat dari hubungan antara agen rahasia AS (baca: CIA) dengan agen Pakistan (baca: ISI). CIA - ISI merupakan rekan kerja sejak tahun 1990 untuk membentuk Taliban. Dengan kata lain, tanpa adanya bantuan agen rahasia AS, maka Taliban tidak akan dapat m enduduk i p em erin tah an tahun 1996. K erjasam a tersebu t d im aksudkan untuk merekrut muslim radikal, termasuk Osama bin Laden yang dibawa ke Pakistan dengan tujuan untuk melawan Uni Soviet. Dan setelah Uni Soviet meninggalkan Afganistan, sehingga hubungan AS - ISI masih erat, karena ISI dengan dorongan CIA mulai memproduksi heroin. Dan keduanya merupakan penyokong dana utama bagi Taliban dan al-Qaeda, yang terbukti dari adanya transfer sejumlah uang dari rekening seorang agen ISI, yang mendapat dana dari CIA, ke rekening beberapa tokoh al-Qaeda. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa CIA terlibat secara aktif dalam perencanaan serangan 9/11.

In d ik a to r la in yang m enunjukkan keterlibatan pejabat AS, yakni dengan melihat perhitungan waktu ketika tabrakan terjadi. Tabrakan I terhadap gedung World Trade Centre (W TC) terjadi pada pukul 8 .46. Padahal, pada pukul 8.21 telah diketahui teijadi pembajakan selisih 25 menit dengan teijadinya tabrakan. Jika menggunakan prosedur normal, pesawat yang akan menabrak WTC seharusnya telah tertangkap oleh pesawat tempur AS pada pukul 8.24, tidak lebih dari 8.30.Padahal tabrakan teijadi pukul 8.46,16 menit selisihnya

111

Page 109: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

dari tabrakan. Seharusnya NORAD (North American Aerospace Defense Command) dan NMCC (National Military Command Center) segera mengirimkan pesawat tempurnya setelah mengetahui terjadinya pembajakan terhadap pesawat AS dan dengan prosedur normal pengiriman tersebut hanya membutuhkan waktu 2,5 menit.

K ecurigaan ini sem akin bertam bah dengan terjadinya tabrakan II pada pukul 9.03. Tabrakan ini, seharusnya dapat dicegah karena setelah gagal m engantisipasi tabrakan I seharusnya pesawat tempur AS masih disekitar lokasi tabrakan. Inilah yang kemudian menjadi indikator adanya cam pur tangan pejabat Pentagon dalam suksesnya serangan 11 Septem ber, karena jik a P en tagon tetap menggunakan standar baku maka tabrakan II tidak mungkin teijadi. Namun di lokasi tabrakan tidak telihat keberadaan pesawat tempur AS.

Apalagi untuk tabrakan III, sangat disanksikan yang menabrak gedung Pentagon adalah Boeing 757. Dari foto yang diambil oleh Tom H oran se te lah tab rak an te rja d i, menunjukkan tidak terdapat bekas pesawat terbakar. D an dalam foto te rsebu t ju g a memperlihatkan bahwa api yang berkobar berwarna merah yang diduga berasal dari sebuah misil tipe AGM. Hal ini diperkuat dengan penuturan seorang saksi mata yang mengatakan bahwa peasawat terlihat dan terdengar seperti sebuah misil. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Pentagon tidak ditabrak oleh pesawat Boeing 757, tetapi ditembak dengan misil tipe AGM. Peristiwa ini mengindikasikan bahwa Pentagon terlibat secara aktif suksesnya serangan 9/11.

Indikator campur tangan pejabat AS dalam serangan 9/11, dapat juga dilihat dari hubungan antara pemerintah AS, keluarga bin Laden dan keluarga kerajaan Arab Saudi. Terdapat beberapa dugaan yang menunjukkan bahw a sebenarnya hubungan ketiganya sangatlah dekat. Indikator ini mengarahkan kecurigaan akan keterlibatan pejabat Gedung Putih. Pertama, keluarga bin Laden merupakan

keluarga yang kaya dan sangat berpengaruh di Arab Saudi dan keluarga Bush telah mempunyai hubungan bisnis dengan keluarga tersebut selama 20 tahun. Kedua, Osama memutuskan untuk menerima bantuan rahasia dari sekutu dekat AS, Arab Saudi, terbukti dengan adanya beberapa transfer dari pemerintah Arab Saudi. Ketiga, laporan setelah 9/11 bahwa pemerintah AS bersama dengan Arab Saudi membantu anggota keluarga bin Laden berangkat dari AS dan mengijinkan pesawatnya untuk terbang sebelum dicabutnya larangan terbang nasional.

Kecurigaan adanya hubungan dekat antara ketiga keluarga ini, didukung oleh laporan dari orang-orang yang dapat dipercaya tentang kelanjutan hubungan antara pemerintah Arab Saudi dengan al-Qaeda. Bahkan sebelum Uni Soviet runtuh, Amerika Serikat mendanai semua kegiatan yang dilakukan oleh Osama bin Laden untuk menghadapi Soviet melalui latihan militer di Pakistan. Pada saat yang sama Times juga melaporkan pada tanggal 24 Agustus 1998 bahwa : “bin Laden etal were CIA employees, given the best training, arms, facilities and lots o f cash fo r many years. ” Jadi sangat wajar, jika Osama bin Laden tidak diketahui keberadaannya. Dan tidak mengherankan pula, jika tragedi 11 September telah diketahui oleh pemerintah AS.3

Dugaan lain tentang keterlibatan pejabat tinggi AS adalah dari serangan yang dilancarkan pemerintah AS terhadap Afganistan dan Irak. Dengan adanya serangan 9/11 memberikan justifikasi bagi pemerintah AS untuk melakukan serangan terhadap kedua negara dengan dalih bahwa kedua negara tersebut mempunyai hubungan dengan jaringan al-Qaeda. Padahal, serangan tersebut telah direncanakan jauh sebelum teijadi 9/11.

3 Lihat Kamaruzzaman Bustam am -Ahm ad, Satu Dasawarsa The Clash of Civilizations : Membongkar Politik Amerika di Pentas Dunia, (Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2003), hlm. 178-179.

112

Page 110: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Serangan terhadap Afganistan dan Irak

S eb en arn y a , se ran g an te rh ad ap Afganistan telah direncanakan jauh sebelum terjadinya tragedi WTC. Dengan adanya tragedi ini, mengakibatkan AS mempunyai alasan untuk melakukan penyerangan kepada Afganistan. Pasalnya, pemerintah Taliban telah memberikan suaka kepada tersangka utama pelaku serangan 11 September, Osama bin Laden. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan, yakni satu identitas teroris telah diketahui, haruskah AS melancarkan serangan militer negara teroris bersarang atau haruskah AS mencari jalan untuk mengirim teroris ke pengadilan?4 Sebenarnya opini dunia tetap memilih jalan diplomatik, namun karena AS ingin menjaga kepentingan vitalnya di Afganistan, maka serangan secara militer terhadap Afganistan tetap dilancarkan. Tujuan AS sebenarnya adalah proyek besar jaringan pipa minyak dan gas Asia Tengah.5 Konsorsium ini m elibatkan D elta Oil dan UNOCAL, perusahaan minyak besar di AS. Jaringan pipa m inyak dan gas ini, akan m endatangkan keuntungan miliaran dolar dari ekspor minyak dan gas melalui Afganistan dan Pakistan ini.6

Untuk itu, pemerintah AS menginginkan pemerintahan yang berkuasa di Afganistan

4 Lihat Noam Chomsky, Hegemony or Survival: America 's Quest for Global Dominance (New York : Metropolitan Book, 2003), hlm. 199.

’ Sebenarnya terdapat 3 alternatif untuk menyalurkan minyak dan gas Asia. Pertama, jaringan pipa melalui Iran, namun diharamkan bagi perusahaan minyak AS karena sanksi perdagangan dan investasi AS. Kedua, jaringan pipa ke China, namun terlalu panjang dan jelas akan menaikan harga minyak sehingga alternatif ketiga adalah afganistan dan Pakistan ke laut Arab dan untuk pembangunan jaringan tersebut pemerintah taliban meminta pengakuan politik dan ekonomi. Sebenarnya AS, UNOCAL dan Delta Oil, mau melakukan apapun agar proyek ini sukses, bahkan mau membantu terciptanya Pax-Ttaliban karena akan mendatangkan milyaran dolar dan diyakini akan dapat mengisolasi Iran, Lihat Rahul Mahajan, op.cit., hlm.46-49; Tim Redaksi Hot Copy, Di Balik Perseteruan AS VS Taliban : Perang Afganistan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 71-75.

6 sumber: energy informations fact sheets, yang diterbitkanoleh pemerintah AS.

adalah pemerintah yang dapat dipercaya dan mematuhi kebijakan-kebijakan pemerintah AS. Keinginan tersebut, akhirnya mendorong pemerintah AS untuk mengganti pemerintah Taliban -rezim yang berkuasa di Afganistan saat itu - dengan pem erintahan baru. Padahal sebelum Uni Soviet runtuh, hubungan keduanya - AS dan pemerintah Taliban - sangat dekat, namun saat ini AS m erasa Taliban mulai mengancam kepentingan AS di Afganistan karena tidak lagi tunduk pada kebijakan- kebijakan pemerintah AS. Dengan peristiwa 11 September, pem erintah AS menggunakan momen tersebut dengan sebaik-baiknya untuk menggeser Taliban, dengan alasan pemerintah Taliban telah melindungi teroris dan tidak mau menyerahkan kepada pemerintah AS. Padahal, be lum ten tu ada ja m in an j ik a T aliban menyerahkan Osama bin Laden, maka perang tidak akan m eletus. D engan suksesnya mengganti pemerintahan di Afganistan dan mengganti dengan pemerintahan yang baru di bawah perdana menteri Hamid Karzai, yang sangat terkenal sebagai duta AS di Afganistan, maka jaringan pipa minyak Asia Tengah siap untuk direalisasikan.

Ukuran kesuksesan yang digunakan pemerintah AS dalam war agaist terrorism- nya di Afganistan bukanlah berhasil tidaknya menangkap Osama bin Laden, namun dapat terealisasi tidaknya proyek jaringan pipa minyak dan gas sepanjang 5.500 km ini. Karena jika p royek in i gagal, m aka k erug ian bagi perusahaan-perusahaan minyak AS, berarti juga kerugian bagi Bush, Dick Cheney, Donalds Evan dan beberapa pejabat AS lainnya, yang mempunyai ikatan bisnis dengan perusahaan- perusahaan minyak, seperti Haliburton, Exxon Mobil, Enron dan lain-lain.7

Seperti halnya serangan ke Afganistan, serangan terhadap Irak juga telah direncanakan

7 Lihat Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, op.cit., hlm. 147-157.

113

Page 111: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

sejak tahun 1998. Pada waktu itu Rumsfeld, Paul W olfowitz dan R ichard Perle telah mendesak Bill Clinton untuk mengambil tindakan terhadap Irak termasuk tindakan militer untuk menjaga kepentingan vitalnya di teluk.8 Hal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Bush sangat menginginkan New Pearl Harbor, walaupun tidak secara aktif terlibat dalam terealisasinya 9/11, namun hanya memastikan 9/ 11 terjadi.

Strategi Keamanan Nasional AS

Pasca 11 September 2001 pemerintah AS mempublikasikan strategi keamanan baru yang sering disebut National Security Strategy. Sebenarnya proyek ini telah dikembangkan sejak tahun 1995 dimana proyek ini dikenal dengan nam a “The Changing Security Environment and Am erican National Security. ” Namun pasca runtuhnya Uni Soviet proyek ini sulit terwujud karena anggaran untuk Pentagon tidak akan sebesar ketika masih ada Uni Soviet. Untuk itu terpaksa mencari musuh lain untuk menjalankan proyek dalam bidang keamanan ini. Dengan adanya peristiwa 11 September maka Pentagon dapat menjalankan misinya dalam bidang keamanan. Dan tepat setahun, bulan September 2002, Presiden Bush membukukan 9 pidatonya yang dipublikasikan oleh gedung putih yang kemudian dikenal dengan The National Security Strategy ofthe United States o f America.9

8 Faktor minyak tetap menjadi kepentingan vital bagi pemerintah AS. Bahkan presiden Bush di depan kongres tanggal 17 Mei menyampaikan strategis pengadaan energi AS dengan slogan “tingkatkan mengalirnya minyak.” Tujuan strategis sudah jelas yaitu terjaminnya persediaan minyak sehingga pada tingkat tidak m engancam keamanan nasional dan ekonomi, karena pada saat ini AS m engim por 53% kebutuhan m inyaknya dan dikhawatirkan akan terus meningkat, lihat Mustafa Abd. Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, (Jakarta : Kompas, 2003), hlm. 57-64.

9 Lihat Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, op.cit, hlm. 74- 75

Sebenarnya, sebelum Rumsfeld menjabat sebagai m en te ri p e rta h an an AS te lah merencanakan revolusi militer di AS. Hal tersebut tertuang dalam dokumen yang bernama Vision of2020 yang diawali dengan statement \”US Space Command - dominating the space dimension o f military operations to protect US interest and investment. ” Dengan kata lain, revolusi m iliter tersebut tidak untuk melindungi Amerika, tetapi untuk melindungi kepentingan dan investasi elit AS di luar negeri. Dengan adanya rencana ini, maka sangatlah penting adanya peningkatan anggaran militer untuk mensukseskan proyek tersebut.

Berkaitan dengan peningkatan anggaran militer ini, sebuah poling dilakukan di AS pada bulan Juli 2001, untuk melihat berapa persen orang Amerika yang menyetujui peningkatan anggaran militer AS. Dan ternyata hasilnya hanya 53 % yang menyetujui adanya peningkatan anggaran. Setelah peristiw a 9/11, poling dilakukan kem bali untuk melihat apakah peristiwa ini mempengaruhi pendapat orang Amerika tentang kenaikan budget militer AS. Dan ternyata, hal ini sangat berpengaruh, karena hasil poling yang dilakukan Oktober 2001 menunjukkan peningkatan menjadi 70% orang Amerika yang menyetujui adanya kenaikan anggaran militer AS. Hal ini tentunya membawa angin baik bagi Pentagon dan ternyata memang terbukti bahwa dengan adanya tragedi WTC, K ongres kem ud ian m enyetu ju i te rjad i penambahan budget untuk Pentagon, yang diminta oleh pemerintah Bush tahun 2002 sebesar 48 miliar dolar AS, lebih besar dari anggaran militer negara lain.

Peningkatan anggaran militer ini sangat penting dalam m iliter AS untuk program p e rse n ja ta a n dengan m aksud un tuk mendominasi dunia. Tujuan utama adanya penambahan anggaran di bidang keamanan ini, untuk melindungi kepentingan dan investasi AS yang ada di luar negeri. Dan otomatis yang memiliki kepentingan tersebut adalah kalangan elit AS, termasuk di dalamnya adalah pejabat-

114

Page 112: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

pejabat tinggi AS yang mempunyai kepentingan dan investasi di luar negeri. Tujuan ini sangat jauh berbeda dengan apa yang diajukan oleh pemerintah Bush agar penambahan budget militer diterima oleh anggota Kongres. Ketika itu, Bush m enyebutkan bahw a program persen ja taan ini akan d igunakan untuk melindungi American Homeland, namun pada kenyataannya hanya untuk m elindungi kepentingan bisnis para elit AS yang ada di luar negeri.

Penutup

D engan m elihat tanda-tanda yang menunjukkan adanya keterlibatan dari pejabat- pejabat AS dalam serangan 11 September, maka serangan 9/11 ini merupakan tanggung jawab dari pejabat-pejabat tinggi AS baik itu pejabat Gedung Putih, Pentagon, maupun agen rahasia AS. Meskipun pejabat-pejabat tersebut tidak berperan secara aktif dalam merencanakan serangan tersebut, tetapi paling tidak pemerintah AS telah memastikan bahwa serangan tersebut sukses. Karena dengan suksesnya serangan tersebut, maka pemerintah AS mempunyai alasan untuk melakukan beberapa hal yang telah direncanakan jauh sebelum 9/11 dan tampaknya tidak akan terwujud tanpa adanya peristiwa 9/ 11 ini.

Kalau melihat dari uraian diatas, maka jelaslah pihak elit AS-lah yang diuntungkan dengan adanya peristiwa 9/11. Yang akan diuntungkan pertama, Pentagon dan industri senjata dengan ditingkatkannya anggaran militer hingga 48 miliar dolar AS untuk program persenjataan. Kedua, pejabat Gedung Putih, termasuk Bush dan Cheney, yang memiliki kepentingan untuk menyelamatkan bisnis mereka sehingga dengan adanya 9/11, memberi alasan bagi pemerintah AS untuk melakukan serangan terhadap negara-negara yang kaya minyak (Afganistan dan Irak). Ketiga, pejabat CIA dan FBI, seperti direktur CIA George Tenet. George

Tenet menginginkan otoritas dan pendanaan untuk rencana pengembangan operasi rahasia ke seluruh dunia (Worldwide Attack Matrix). Dan 4 hari setelah 9/11, Tenet langsung diberi otoritas untuk melakukan proyek tersebut.

Sebenarnya, buku ini merupakan buku yang tid ak b ia sa dan d ian g g ap cukup mengganggu karena menggambarkan suatu krisis legitimasi politik di suatu negara yang sangat kuat (baca : AS) dalam sejarah dunia. Suatu negara yang memulai perang tanpa m engindahkan hukum dan hanya karena mengejar kepentingan semata. Buku ini juga sangat kontroversial dan sensitif karena menggambarkan perilaku pejabat tinggi AS dalam k a itan n y a dengan p e ris tiw a 11 September.

Buku ini menunjukkan kemungkinan- kemungkinan keterlibatan tiap pejabat AS, baik itu pejabat Pentagon, Gedung Putih maupun agen rahasia AS, yang didukung dengan argumen dan fakta yang memperkuat kecurigaan akan adanya keterlibatan dari pejabat-pejabat AS tersebut. Buku ini juga disajikan dengan objektif, tanpa memihak salah satu aktor, baik itu pejabat AS maupun pelaku serangan 9/11, yang terkait dalam peristiwa 9/11 ini. Karena dari beberapa buku terdapat kecenderungan memihak salah satu aktor (baca: Osama bin Laden).

Namun buku ini juga memiliki beberapa kelemahan sehingga dibutuhkan buku-buku lain sebagai pendamping yang akan melengkapi informasi dalam buku ini. Di dalam buku ini tidak disimpulkan siapa yang sebenarnya memiliki peluang keterlibatan paling besar dari beberapa pejabat AS tersebut dalam peristiwa 9/11. Dan sebenarnya sampai sejauh mana keterlibatan pejabat tersebut, karena di dalam buku tersebut hanya memuat kesimpulan secara umum saja, dan akan lebih komprehensif lagi jika dilengkapi dengan tabel dari bentuk-bentuk keterlibatan pejabat AS, sehingga memudahkan untuk membaca sejauhmana keterlibatan pejabat AS dalam peristiwa 9/11.

115

Page 113: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Daftar Pustaka

Abd. Rahman, Mustafa, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, Jakarta : Kompas, Oktober 2003.

Bustam am-Ahmad, K am aruzzam an, Satu Dasawarsa The Clash o f Civilizations : Membongkar Politik Amerika di Pentas Dunia, Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, Mei 2003.

Chomsky, Noam, Hegemony or Survival: A m erica’s Quest fo r Global Dominance, New York : Metropolitan Books, 2003.

Mahajan, Rahul, Perang Salib Baru: Amerika Melawan Terorisme atau Islam?, Jak a rta : S eram bi Ilm u S em esta , November 2002.

Tim Redaksi Hot Copy, Di Balik Perseteruan AS VS Taliban : Perang Afganistan, Jakarta: G ram edia Pustaka U tam a, 2002.

h t t p : / / w w w . I s l a m l i b . c o m / i d /index.php?page=article&id=414.

116

Page 114: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

TENTANG PENULIS

Agus R. Rahman adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI. Penulis yang berhasil menyelesaikan dua program Master (Ekonomi Pembangunan dan Magister Manajemen) ini merupakan pemerhati serius dan konsisten tentang masalah-masalah sosial politik negara-negara Eropa. Selain aktif terlibat banyak penelitian, alumnus Universitas Gajah Mada (bidang Ilmu Hubungan Internasional) ini juga menjadi pengajar di beberapa Universitas di Jakarta.

Awani Irewati adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI. Alumnus Universitas Erlangga, Surabaya ini telah lama mengkaji masalah-masalah Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu-Isu sekitar ASEAN. Penulis yang menyelesaikan Program Master dari Australia ini selain aktif terlibat berbagai macam penelitian juga menjadi Kepala Subbag Kerjasama pada P2P-LIPI.

Firman Noor adalah Peneliti pada pusat penelitian politik LIPI dengan fokus penelitian pada masalah politik nasional terutama partai politik, pemilihan umum dan badan legislatif serta pemikiran politik Islam di Indonesia. Lulusan Jurusan Ilmu Politik FISIP UI ini juga aktif di Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI dan menjadi staf pengajar tidak tetap di almamaternya. Pernah bekerja sebagai peneliti di Center for Electoral Reform (CETRO). Saat ini tengah mengambil master pada Faculty of Asian Studies, Australian National University (ANU).

Heru Cahyono adalah peneliti pada Puslit Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1991-sekarang). Lulusan FISIP Universitas Indonesia ini (1990) pernah menjadi wartawan (1991-1999). Karya yang telah dipublikasikan antara lain, Peranan Ulama dalam Golkar: (1992), Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari’74 (1998). Kontributor pada buku Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (1998), Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru (1998), Menata Negara: Usulan LIPI Tentang RUU Politik (1998), Kecurangan dan Perlawanan Rakyat dalam Pemilu 1997(1999), Tentara Mendamba Mitra (1999), Tentara yang Gelisah (1999), Soemitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000), serta Kerusuhan Sosial di Indonesia (2001).

Indriana Kartini, (lahir di Jakarta, 21 April 1980) adalah sarjana Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2002. Sekarang ia bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) serta aktif di ISMES (the Indonesian Society for Middle East Studies). Selain itu, menjadi kontributor buku Saddam Melawan Amerika (2003).

Nanto Sriyanto adalah Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Bandung. Sejak tahun 2004 penulis bekerja pada Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta.

Ratna Shofi Inayati adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI. Peneliti asal Kudus yang menyelesaikan program MBA dari AS ini aktif mengkaji masalah-masalah Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu-Isu sekitar ASEAN.

Rosita Dewi adalah alumnus Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY). Penulis yang asli Yogyakarta ini merupakan kandidat Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI.

Siswanto adalah pemerhati masalah sosial politik Amerika Serikat. Penulis yang saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Program Doktoral di Universitas Indonesia ini sehari-hari bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI dengan program kajian Eropa dan AS.

117

Page 115: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

BEBERAPA KARYA PENELITI P2P-LIPI

Relasi TNI dan Polri

FflWttC i DSWf MHW a # « t t

I*W |a te a te rtu a » i« a r Negerito^ralla. Kabari». Indnmsfa.

Selain karya tersebut masih terdapat karya-karya lain. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Pusat Dokumentasi dan Informasi P2P-LIPI, Gd. Widya Graha Lt. III. Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta.

Page 116: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

Naskah Redaksi Jurnal Penelitian Politik menerima kiriman naskahdengan ketentuan berikut:1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu

dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan dalam bentukdan bahasa apapun.

3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinil.

4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan.

5. Persyaratan teknis:a. Panjang naskah untuk artikel, 20-25 halaman kuarto,

spasi ganda; book review, 10-15 halaman kuarto, spasi ganda.

b. Naskah dilengkapi dengan daftar pustaka dan abstraksi (100-200 kata).

c. Naskah ditulis dengan format tulisan ilmiah (dilengkapi dengan catatan kaki dan daftar pustaka).

d. Naskah dikirim dalam bentuk print out beserta file yang disimpan dalam floppy disk dengan menggunakan program Microsoft Word (Windows) ke alamat redaksi.

6. Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat.

7. Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya.

Bagi pembaca yang ingin berlangganan dapat menghubungi Langganan langsung bagian sirkulasi redaksi Jurnal Penelitian Politik.

Alamat P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai XI Jl. Jend. Gatot Subroto 10 Jakarta 12710Telp. (021) 5251542, ext. 757, 763 ; Fax. (021) 5207118

Page 117: Jurnal Penelitian ru - ejournal.politik.lipi.go.id

InformasiHasil Penelitian Terpilih