kasyf el fikr volume 2, nomor 2, desember 2015 · teolog mengenal tuhan sebagai taskmaster,...

20
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 1 TUHAN MASA DEPAN Oleh Haqqul Yaqin 1 Abstract Human perception of God has started since 140 centuries with different ideas and definitions described by man, God became a kind blend of so many human ideas with so many sociological impact. Becomes unclear which one imagined god and god original, then here arises the idea of God Historically, humans began initiating the creation story of God-God himself. In teografis God then understood in the capacity of human knowledge: God of the philosophers, mystics God, the Lord of the reformers, the Lord of the clergy, the God of the scientists, and finally to the declaration: Lord died. At the end comes the theology of God's future: Anthropic-spiritualism, that's probably one of the right word to describe the era of the idea of God to come, namely the creed of religious philosophy that tries to position human subjectivity distribution center of the universe that transcended entirely on spiritual awareness Ilahia Keyword: God, Future A. Pengantar Lebih 14000 tahun lamanya manusia mencoba mengenali dan mendefinisikan Tuhan yang dituangkan melalui ide-ide theologis, filosofis, mistis, dan ilmu pengetahuan. Eksternalisasi dan ekspresi pengalaman tentang Tuhan seakan tidak pernah lapuk dan usang oleh perubahan zaman. Adanya perubahan dan perbedaan ruang dan waktu justru semakin menambah sempurna wajah Tuhan. Tuhan yang dikonstruk dalam lintasan panjang sejarah manusia telah memberi banyak celah 1 Dosen STAIN Madura

Upload: phungtuong

Post on 15-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

1

TUHAN MASA DEPAN

Oleh Haqqul Yaqin1

Abstract

Human perception of God has started since 140 centuries with

different ideas and definitions described by man, God became a kind blend

of so many human ideas with so many sociological impact. Becomes

unclear which one imagined god and god original, then here arises the

idea of God Historically, humans began initiating the creation story of

God-God himself. In teografis God then understood in the capacity of

human knowledge: God of the philosophers, mystics God, the Lord of the

reformers, the Lord of the clergy, the God of the scientists, and finally to

the declaration: Lord died. At the end comes the theology of God's future:

Anthropic-spiritualism, that's probably one of the right word to describe

the era of the idea of God to come, namely the creed of religious

philosophy that tries to position human subjectivity distribution center of

the universe that transcended entirely on spiritual awareness Ilahia

Keyword: God, Future

A. Pengantar

Lebih 14000 tahun lamanya manusia mencoba mengenali dan

mendefinisikan Tuhan yang dituangkan melalui ide-ide theologis,

filosofis, mistis, dan ilmu pengetahuan. Eksternalisasi dan ekspresi

pengalaman tentang Tuhan seakan tidak pernah lapuk dan usang oleh

perubahan zaman. Adanya perubahan dan perbedaan ruang dan waktu

justru semakin menambah sempurna wajah Tuhan. Tuhan yang dikonstruk

dalam lintasan panjang sejarah manusia telah memberi banyak celah

1 Dosen STAIN Madura

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

2

tentang sisi-sisi Tuhan yang mungkin dimasuki oleh nalar manusia. Tuhan

hadir dan menyapa manusia sesuai persepsi manusia tentang diriNya.

Para mistikus mengenal Tuhan sebagai Tuhan Sang Kekasih, para

filosof mengenal Tuhan sebagai Yang Maha Cerdas dan Kreatif, para

teolog mengenal Tuhan sebagai taskmaster, sedangkan para ilmuwan

mengenal Tuhan sebagai Sang Pembelenggu. Demikianlah seterusnya

manusia membangun ide dan keyakinan tentang Tuhan dan dipastikan

secara konstan sehingga ide tersebut masih dianggap relevan sampai saat

ini.2 Dalam konteks dialog agama, pluralitas ide dan keyakinan tersebut

pada urutannya akan melahirkan pluralitas agama, pluralitas teologi dan

pluralitas ideologi keagamaan.3

Namun yang perlu menjadi catatan dari uraian bahwa seluruh (ide)

Tuhan adalah output proyeksi personalitas manusia, bahkan Tuhan yang

dikenal melalui pewahyuanpun yang kemudian dimengerti sebagai

axiomatictruth- merupakan fenomena ide Tuhan yang keluar dari

personalitas itu. Jika demikian, yang harus diakui adalah kenyataan faktual

bahwa kebanyakan para pemeluk agama telah mengadopsi kedalam

dirinya (introject) suatu proyeksi keagamaan yang diambil dari

personalitas orang lain. Dari situlah tidak heran kalau agama kemudian

tampak sebagai suatu pengembaraan yang menakjubkan, atau bahkan

sangat mengerikan, penuh iri dan kecurigaan. Pemahaman terhadap kitab

suci, misalnya, secara eksplisit akan menghasilkan pikiran Tuhan yang

2 Karen Amstrong, History of God:4000-Year Quest of Judism,Chritianity,and

Islam,(New YORK: Ballantine Books, 1994), hal. 5. 3Komaruddin Hidayat & M.Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif

Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina,1995), hal. 116.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

3

penuh kebaikan. Tuhan disembah sebagai asal kebaikan, sumber keadilan,

sang bijaksana, penuh ketakjuban dan cinta.4

Dengan demikian Tuhan kemudian menjadi semacam racikan

sekian ide-ide manusia dengan sekian dampak sosiologinya. Menjadi tidak

jelas mana yang imagined god dan original god, yang terjadi bahwa setiap

kali ide tentang Tuhan dibangun maka di situ ada tuntutan pemenuhan

legitimasi. Tuhan seakan hanya boleh disuarakan oleh para nabi, pendeta,

biksu, filosuf dan kaum sufi. Merekalah yang dianggap memiliki otoritas

untuk mengurai pikiran Tuhan. Sehingga dalam konteks ini, penolakan

terhadap eksistensi Tuhan selalu bermula dari ketidakpuasan terhadap ide

tentang Tuhan. Yang ingin dimunculkan sebetulnya bukan persoalan

Tuhan Transenden, atau Tuhan yang disana, tapi Tuhan yang setiap hari

selalu dilahirkan dari pikiran-pikiran manusia, Tuhan yang disini atau

Tuhan yang historis.

B. Tuhan Historis

Pertama kali manusia mengenal Tuhan ketika dia sedang “murka”.

Jejak kaki Tuhan ditemukan dalam reruntuhan tebing-tebing curam yang

longsor, tumpahan letusan gunung berapi yang membawa lahar panas, atau

tiupan angin topan yang membawa kabur rumah-rumah mereka. Karena

itu lalu Tuhan dibayangkan sebagai sang penguasa langit dan bumi. Inilah

kekuatan numinous yang dialami manusia yang terejawantah dalam bentuk

ketakutan yang teramat dalam ketika melihat fenomena alam. Kekuatan

numinous yang dimiliki manusia- bisa berbentuk semangat yang tak

4 Jack Miles, God:A Biography, (New York: Vintage Books,1995), hal. 4-6.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

4

terkendali, kegirangan yang meluap, perasaan yang teramat tenang, rasa

ketakutan, keterpesonaan, dan rasa ta’dhim- diduga sebagai elemen

dasariah manusia yang membimbingnya untuk mengenal kekuatan

misterius diluar dirinya: yang kemudian disebut Tuhan.5

Sejarah Tuhan, dengan demikian, dimulai sejak manusia

menggagas kisah penciptaan Tuhan-Tuhan itu sendiri. Tuhan antropologis

dalam kenyataan sosial di ilustrasikan dengan simbol yang bermacam-

macam: Apsu, Tiamat, Mumum, Lahma, Lahman, Marduk, El-Elyon,

Yahweh, Allah, dan begitu seterusnya. Inilah yang oleh Hegel selanjutnya

diistilahkan sebagai fenomelogi spiritual (phenomenology of spirit), yaitu

adanya manifestasi keyakinan spiritual dalam bentuknya yang fana selama

bentangan sejarah yang teramat panjang.6

Agama lalu dipahami sebagai memiliki dua sisi: kondisi ketika

jiwa tak terbatas menghujam pada jiwa terbatas dan satu keinginan

simultan yang dimiliki jiwa terbatas untuk selalu menyapa yang tak

terbatas. Selanjutnya terjadi proses dialektis ketika kesadaran diri tentang

yang Absolut dan ketika yang Absolut mewujud dalam kesedaran

manusia. Kesadran ilahiah manusia yang menggambarkan kenyataan

historisnya merupakan replica pengalaman manusia yang muncul dari

keseluruhan beban nalar praktis dan teoritis – keagamaannya.Karena itu,

kesadaran dapat terbangun dengan mengenal dunia yang mengitarinya dan

pada saat yang sama dunia “menjadi ada” ketika kesadaran itu ada. Inilah

sejarah pengalaman manusia yang secar konsisten akan selalu menembus

5Rudolf Otto, The Idea of The Holy ,trans. John W. Harvey , (London & New

York: Oxford University Press, 1958), hal. 5-11. 6Hans Kung, Does God Exsist? An Answer for Today, (New York: The

Croosroad Publishing Company, 1994), hal. 146.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

5

batas ruang dan waktu yang dengan subjektivitasnya manusia mampu

mengenali satu persatu dunia disekitarnya, termasuk dunia Tuhan.7

Don Cupitt melihat bahwa kepercayaan pada hal-hal yang spiritual

merupakan bentuk tradisi nomadic lama sedangkan keyakinan dan

kepercayaan terhadap Tuhan sangat berhubungan dengan asal mula

munculnya masyarakat negara yang pertama (state-society). Karena

berhubungan dengan negara maka dibutuhkan stabilitas dan legitimasi

kekuatan: itulah Tuhan. Berkorban demi Tuhan dengan demikian

merupakan jaminan keberlangsungan kehidupan suatu negara. Berangkat

dari pemikiran ini, Cupitt selanjutnya membagi pengalaman dan kesadaran

keagamaan menjadi dua:Paleolithic dan Neolithic.

Paleolithic adalah kesadaran keagamaan kaum nomadic yang

memiliki perhatian keagamaan terbatas pada fenomena alam yang

terdeteksi di setiap pengembaraan yang mereka lakukan. Sedangkan

Neolithic adalah keberagamaan kaum yang memiliki peradaban berbeda

yang salah satunya ditandai dengan pola hidup dan tempat tinggal yang

permanen. Neolithic mentransformasikan keyakinan ekologisnya menjadi

ekspresi visi kosmologi idealnya. Dunia dilihat sebagai tatanan yang

teratur dan harmonis. Karena itu manusia Neolithic lebih memiliki mental

disiplin dari pada Paleolithic. Dari setiap wilayah yang mereka

bangun,didirikan satu bangunan prinsip tempat mereka mendedikasikan

ketaatannya pada patron god.8

Keyakinan Neolithic adalah keyakinan yang dinamis, keyakinan

yang selalu mengalami adaptasi-adaptasi dan nalar-nalar mandiri. Bagi

Cupitt, Tuhan sebelum-sebelumnya boleh jadi merupakan tetomisme

7 Ibid, hal. 144-145.

8 Don Cupitt, After God:The Future of Religion, (New York:Basic Books, 1997), hal. 19-

20.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

6

kesukuan atau penyucian klan-klan tertentu terhadap bentuk binatang atau

figur kesuburan seperti Inanna, Dumuzi, dan Dewi Sri. Secara perlahan

Tuhan lalu dinobatkan sebagai sang absolut yang monarkis: Tuhan telah

menyatu dan telah menata tidak hanya negara tapi juga ala mini (dalam

hubungan ini dia menekankan pentingnya memahami negara itu sendiri

sebagai satu model kosmologi yang dikaitkan dengan keyakinan dunia

yang ditata dan dikontrol secara total). Dan saat ini, Tuhan telah menjadi

pusat perhatian sehari-hari umat manusia sebagai yang mengadili, dan

disembah oleh jamaah-jamaah yang tersebar luas. Bahkan Tuhan semakin

akrab dengan pola hidup manusia: dijadikan inisial dan identitas person-

person umat manusia (nama) serta sebagai alat membangun kepercayaan

ketika bersumpah.9

Uraian Cupitt diatas sesuai dengan deskripsi yang diberikan Pierre

Teilhard de Chardin tentang evolusi teologisnya. Ia memendang ala mini

sebagai representasi kekuatan Tuhan yang bergerak secara evolutif dari

materi ke alam yang immateri dan akhirnya menuju Tuhan. Dunia

mengalami perkembangan alamiah menuju kesatuan, sekaligus

keserbaberagaman yang kompleks dan lebih besar. Dia menyebut

keserbaberagaman yang menggumpal dalam satu kesatuan tersebut sebagai

Omega Point, yaitu nilai agung dari alam semesta sebagai puncak proses

evolusioner penjelmaan Tuhan menjadi segala. Manusia hidup dalam

proses (antrophogenesis) dan belum mengalami kesempurnaan. Untuk

mencapai kesempurnaan ia berusaha menggapai Christogenesis dimana di

situ ada pleroma yang terdapat dalam Omega Point, tempat ketika

pengembara manusia individu dan kolektif mencapai akhir dan ketika

kesempurnaan dunia dan Tuhan menyatu. Pleromisasi adalah evolusi

9 Ibid.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

7

kosmos dan manusia yang mencapai kulminasi pada Tuhan kosmik

universal, yaitu suasana batin pada saat manusia menyatu dengan realitas

Tuhan dan alam. Inilah adalah suatu pandangan yang oleh Teilhard sendiri

tidak dianggap sebagai satu pure reason tapi sangat berbau keimanan.10

Tuhan telah menyebabkan timbulnya berbagai persepsi yang sangat

beragam yang pada gilirannya memunculkan keanekaragaman budaya.

Tuhan dicerap dalam realitas-realitas yang terselubung oleh dunia wujud

eksternal. Karena itu Dia tidak dapat dipersepsi melalui cara yang sama

ketika manusia merefleksi wujud-wujud lain yang tergantung padaNya dan

mengambil bagian di dalam eksistensi manusia. Secara teografis Tuhan

kemudian dipahami dalam diserfikasi pengetahuan manusia: Tuhan para

filosof, Tuhan mistikus, Tuhan para reformis, Tuhan para agamawan,

Tuhan para ilmuwan, dan akhirnya sampai pada deklarasi: Tuhan mati.

Para filosof mencoba berpandangan lebih proporsional dengan

meletakkan Tuhan pada sebuah kategori intelektual yang tidak terpecah

dan menggagas sistem keimanan yang tidak mengasingkan kebutuhan-

kebutuhan manusia. Para filosof ingin membuktikan secara logis bahwa

Tuhan dapat diselaraskan dengan landasan rasional mereka. Mereka tidak

bermaksud menegaskan peran agama dalam mencitrakan Tuhan, tapi

mereka hanya ingin melakukan purifikasi terhadap suatu pandangan yang

disisipi elemen-elemen primitif dan picik. Disini lalu muncul persoalan

bahwa Tuhan para filosof berbeda dengan Tuhan biblical. Tuhan para

filosuf dianggap banyak mengasikan keyakinan-keyakinan agama

(monoteis).11

10

Hans Kung, Does God.……hal. 171-176. 11

Karen Amstrong, A History……, hal. 171-173.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

8

Para filosuf menempatkan rasio pada posisi yang sangat tinggi

dalam mencari objektifitas dan realitas yang tidak mengenal batas waktu.

Mereka mengidealkan sebuah agama universal yang tidak terbatas pada

pewahyuan tertentu. Tuhan bukan hanya berlaku dalam kurun waktu serta

bangsa tertentu saja. Sekalipun Tuhan dipandang sebagai sebuah misteri,

mereka yakin bahwa mereka adalah Akal itu sendiri. Sabda alam tentang

Tuhan adalah dunia itu sendiri: sebagai sebuah kreasi Tuhan dan sebuah

bentuk ekspresi intelejensi Tuhan yang tak terlampaui menjadikan diriNya

dikenal melalui perbuatan-perbuatanNya yang konstan dalam setiap

kehadirannya di muka bumi.

Sementara Tuhan para mistikus adalah Tuhan yang selalu menyapa

dengan cinta. Para mistikus memilih jalan masuk kepada Tuhan melalui

pintu kasih,s ehingga Tuhan para mistikus adalah Tuhan Sang Kekasih.

Berbeda dengan filsafat, pengalaman mistikal akan Tuhan memiliki

karakteristik-karakteristik tertentu yang hampir sama dalam semua agama,

yaitu mengandalkan pengalaman subjektif dengan melakukan sebuah

kelana interior, perjalanan kedalam diri, dan bukan suatu persepsi

terhadap fakta objektif yang berjarak, berada di luar diri, yang diserap

melalui alam bayangan sebagai hasil kerja pikiran yang disebut imajinasi

,tidak melalui akal serebral, fakultas akal logis. Pengalaman tersebut hadir

dalam diri para mistikus setelah mereka melakukan dan melewati tahapan-

tahapan “perjuangan” yang berupa latihan-latihan fisik atau mental

tertentu yang akhirnya mengantarkan mereka pada pengalaman puncak

yang selalu mempresentasikan kehadiranNya.

Tujuan utama mistis adalah penyatuan dengan objek yang

dicintainya yaitu Tuhan. Ibn A’rabi selalu menganjurkan pentingnya fana

dan baqa sebagai dua tahapan yang dilalui dengan cara pemusnahan diri

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

9

untuk mencapai titik kulminasi dan penyerahan diri pada Tuhan.12

Selain

itu bahwa pengalaman yang kita peroleh ketika melakukan ritual

keagamaan tidak memiliki keterkaitan apapun dengan ide-ide, konsep-

konsep, dan gambaran-gambaran tentangNya. Ritual keagamaan, seperti

sembahyang, seharusnya mampu mengatasi seluruh hiruk-pikuk Tuhan.

Disini nyali di tuntut untuk menelanjangi jiwa dengan cara-cara yang

immateri juga. Ini adalah suatu pemahaman tentang Tuhan yang lebih

intuitif, sehingga hasilnya adalah sebuah rasa kesatuan dengan segala

sesutau dan terbebas dari kebingungan dan multi bentuk Tuhan.13

Anggapan diatas sekaligus sebagai ungkapan rasa tidak puas

terhadap Tuhan-Tuhan personal yang dilahirkan para agamawan (baca:

Abrahamic religions). Karena itu Eckhart kemudian menyatakan bahwa

Tuhan adalah Nothing ( Bukan Sesuatu Apapun). Semua ide yang

cenderung memperbudak dan membatasi Tuhan harus ditolak. Tuhan

adalah dasar wujud dari segala yang ada sehingga tidak perlu mencariNya

“di luar sana” atau berusaha payah melakukan pengembaraan menuju

“sesuatu” diseberang dunia yang kita kenal.14

Pendapat God is Nothing menafikan hampir seluruh atribusi dan

biografi Tuhan. Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha

Mendengar, dan seluruh atribusi yang akrab dikenal dalam kitab-kitab suci

justru sering menjadi legitimasi pengambil-alihan otoritas Tuhan. Kitab

suci seakan menjadi “surat mandat” kaum agamawan (rabhi, pendeta,

ulama, dan lainnya) untuk suatu proses transisi otoritatatif kuasa Tuhan di

tangan mereka. Kaum agamawan lalu mengklaim bahwa merekalah yang

12

Ian Richard Netton, Allah Transendent: Studies in the Structure and

Semiotics of Islamic Philosophy,Theology and Cosmology ,(New York: Routledge,

1989),hal. 284-285. 13

Karen Amstrong, A History…….,hal. 221. 14

Ibid, hal. 253.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

10

berhak dan paling mengerti keinginan Tuhan, di luar itu adalah bid’ah dan

pendurhakaan terhadap Tuhan.

Tuhan agamawan adalah Tuhan kekuasaan: suatu simpul yang

dalam sejarah panjang ide tentamg Tuhan mencoba digugat dan dilawan

oleh para filosuf, mistikus, bahkan para ilmuwan. Mereka mengkonstruk

Tuhan dalam satu konsepsi yang restriktif (restrictive conception) yang

selanjutnya mengurung agama dalam satu sistem kepercayaan politik

tertentu. Agama ideologis muncul dari kenyataan Tuhan tersebut dimana

saah satu karakter utamanya penuh dengan penjelasan-penjelasan moral

perspektif. Dalam implementasi aktualnya, agama ideologis akan

mempengaruhi struktur formal sitem kepercayaan,bahkan cenderung

memperalat Tuhan dalam menjustifikasi dan mengartikulasikan

kepentingannya.15

Dalam konteks ini Marx lalu berpendapat bahwa

gagasan tentang Tuhan merupakan suatu proyeksi mistis dari pengasingan

fundamental. Gagasan tersebut, selain mewujudkan kesengsaraan kelas

yang tertindas juga merupakan alat kelas yang berkuasa untuk

melangsungkan dominasinya.16

Karen menyebutkan bahwa dalam

sejarahnya Tuhan pernah menjadi Tuan Feodal dari para anggota Pasukan

Salib. ”Tentara-tentara suci” itu menggambarkan Tuhan tidak jauh berbeda

dengan dewa-dewa pangan, sambil mengelu-elukan Tuhan mereka

membantai komunitas Yahudi di sepanjang lembah Rhine.17

Manusia

terlanjur memahami Tuhan sebagai”Yang Yaha Haus” (darah) sehingga

15

Untuk lebih jelasnya bagaimana uraian rinci tentang ideologi yang menjadi

sistem kepercayaan, lihat John B.Thompson, Studies in the Theory of Ideology, (Berkeley

& Los Angeles: University of California Press, 1984), hal. 76-79. 16

Karl Marx,”Religions as Alienation”, dalam Daniel L. Pals, “Seven Theories

of Religion”, (New York & Oxford: Oxford University Press, 1996), hal. 138-143. 17

Karen Amstrong, A History….., hal. 221.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

11

harus muncul penggolongan ras manusia kepada kelompok kafir dan

bid’ah.

Tuhan Biblical yang berhenti pada simbol realitas transenden yang

begitu kejam dan tiranik, Tuhan yang demikian menyusahkan, tanpa

kebahagiaan dan kasih sayang, telah membuat daratan Eropa telah menjadi

dua kelompok agama: Katholik dan Protestan. Keduanya senantiasa

terjebak dalam rasa kebencian dan saling curiga sama lain. Sementara pada

saat yang sama, Islam tiba-tiba menawarkan Tuhan Qur’anik yang sangat

eksklusif dengan diserukannya “pintu ijtihad telah tertutup”. Sejak itu

umat Islam dikebiri untuk menciptakan kreasi Tuhan yang inovatif,

sebaliknya mereka hanya diperkenankan memotret lukisan-lukisan Tuhan

yang dihasilkan para ulama.

Pada perkembangannya manusia merindukan Tuhan yang lebih

efektif dalam memberikan semangat untuk dapat survive menghadapi

tragedi dan kesusahan dari pada konsepsi dan interpretasi Tuhan imajinatif

yang didasarkan pada mitologi dan mistisme. Keinginan ini didasarkan

pada kenyataan mengerikan yang ada dalam realitas agama ketika terjadi

aksi saling membunuh antar pemeluk agama. Agama tak ubahnya arena

gladiator yang mempertaruhkan para predator untuk berperang di bawah

bendera Tuhan masing-masing. Tak terhitung jumlah orang meninggal

sebagai “syahid” demi mempertahankan pandangan-pandangan golongan,

kelompok, dan person tertentu yang dari perspektif manapun tidak dapat

dibenarkan. Dan berapa orang yang telah dibunuh hanya untuk

mempertahankan dan membela keyakinan pengalaman tentang Tuhan.

Dari uraian di atas, munculnya nalar atheis dapat dipahami, bahwa

theologi atheis didasarkan sepenuhnya pada paham-paham theologi

liberasi dan usaha-usaha membebaskan manusia dari kuasa kuasa agama

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

12

yang menikam. Oposisi biner atheis-atheis tak lebih sebagai reaksi atas

penolakan kaum atheis terhadap pandangan Tuhan yang mereka (theis)

tawarkan dan sama sekali tidak didasarkan atas penolakan kaum atheis

terhadap eksistensi Tuhan. Serta sebagai upaya provokasi kaum “theis”

atas ketidakmampuannya memahami dan menandingi Tuhan-Tuhan

alternatif yang ditawarkan oleh suatu kaum yang terlanjur di klaim kafir

itu (atheis). Menurut Karen, sebutan atheis yang dicapkan kepada musuh-

musuhnya identik dengan sebutan yang diberikan orang-orang sebagai

anarkhis dan komunis pada akhir abad XIX dan awal abad XX

M.18

Sebagaimana hal yang sama juga pernah terjadi dalam stigma politik

Orde Baru di Indonesia yang mencoba mengganjal lawan-lawan politiknya

dengan stigma PKI. Term ini (atheis-atheis) merupakan wujud nyata

konspirasi kaum agamawan dalam melakukan pembiusan-pembiusan

intelektual Tuhan yang secara imanen bersemayam dalam nalar setiap

manusia. Teologi yang ditawarkan Nietzche misalnya, dengan demikian,

merupakan paradigma penolakan Tuhan atas Tuhan.

The Death of God Theology merupakan sikap yang menyiratkan

sesuatu dalam bentuk lain yang mendasari hidup manusia. Zaman

pencerahan yang menjadi background pemunculannya memberikan

optimisme untuk meneliti secara kritis sesuai dengan kaidah akal terhadap

segala sesuatu yang berhubungan langsung dengan hajat hidup manusia,

termasuk agama. Era Akal Budi (Age of Reason) adalah semangat

didesaknya tuntutan otonomi manusia atas dirinya dan bebas dari kekuatan

tuhan. Ide tentang Tuhan yang telah hidup dan berkembang berabad-abad

lamanya dalam dunia Barat didekonstruksi dan digeser oleh semangat

“Akal Budi”.

18

Ibid, hal. 287-288.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

13

Dengan demikian, penolakan terhadap eksistensi Tuhan harus

dilihat dalam pemahaman makna Tuhan kontekstuakisasinya dengan

otonomi manusia yang bebas. Sehingga “Tuhan mati”, pada gilirannya,

dapat dimengerti sebagai satu artikulasi keputusan teologis, dalam arti

bahwa penyangkalan itu lebih dialamatkan kepada Tuhan- Tuhan yang

diwarisi oleh iman dan kepercayaan ortodoks sebelumnya. Dalam jalur

pemikiran ini, yang di tolak adalah Tuhan yang merampas dan

melemahkan manusia, Tuhan yang mengalami mistifikasi oleh agama,19

Tuhan yang semakin jauh menggiring mereka keluar dari cita-cita dan

idealism kebermaknaan hidup yang pernah mereka kenal dalam ajaran

agama. Tuhan yang nantinya tidak akan menghantarkan mereka menjadi

pengungsi, menderita kelaparan, bahkan harus mati.

C. The Coming God

Memasuki Millennium ketiga, di tengah kemampuan dan

kecerdasan otak manusia yang semakin canggih mengelola kreasi dan daya

ciptanya, mereka justru dibenturkan pada realitas-realitas kontra-produktif

yang ditandai dengan munculnya kondisi multi-krisis yang mengancam

kelangsungan hidupnya. Bahaya dan bencana ekologis, lapisan ozon yang

kian menipis, hingga virus HIV/AIDS yang terus mengancam manusia

dengan membawa malapetaka dengan proporsi yang tak terkendali.

Populasi makhluk manusia yang semakin membengkak, planet bumi

dengan kekayaannya yang semakin tak tercukupi, sementara ribuan

lainnya mati kelaparan, karena tertembak, atau tertimbun di balik

reruntuhan gedung-gedung.

19

Rr.Siti Murtiningsih,”Teologi Tuhan Mati: Tinjauan tentang Eksistensi

Tuhan dan Otonomi Manusia dalam Perspektif Atheisme”’Jurnal Filsafat, Juni 1997, hal.

65.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

14

Manusia semakin kesulitan bagaimana merumuskan dan

memprediksikan masa depannya. Bahkan sebagian berkeyakinan bahwa

kiamat benar-benar tinggal sesaat. Pada suasana yang “chaos” ini, lalu

bagaimana masa depan Tuhan? Apakah ide tentang Tuhan sebagai gagasan

yang meaningless, sebagai warisan ide masa lalu yang tidak lagi relevan?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sebagai luapan pesimisme ditengah

kurungan realitas agama yang semakin jauh dari perasaan batin manusia.

Agama semakin kompleks menjadi bagian dari persoalan hidup manusia,

dan bukan menjadi pandangan yang memberikan solusi-solusi. Apa yang

tersisa dari agama saat ini? Cinta kasih, perdamaian, atau sekedar sistem

kepercayaan tentang Tuhan?

Albert Camus tetap menyerukan bahwa manusia tetap harus

menolak keberadaan Tuhan, agar manusia lebih berkonsentrasi dengan

persoalan-persoalan kemanusiaan.20

Berita kematian Tuhan merupakan

kabar gembira pertanda dikembalikannya kebebasan manusia dari

belenggu perbudakan Tuhan tiran yang transenden, yang terasing dan

hampa. Segala konsepsi masa lalu tentang Tuhan harus mati dan manusia

sedang menunggu “suatu saat” yang memungkinkan Tuhan kembali dari

persembunyiannya: menyerang keutuhan yang gelap dan menjadikanNya

menyatakan diri.

Tuhan historis harus segera ditinggalkan dan berkat kemajuan

ilmu dan teknologi tidak mungkin menghadirkan Tuhan Biblical dengan

cara-cara lama. Manusia harus menemukan Tuhan di atas Tuhan yang

disebut Tuhan oleh kaum theis. Di tengah kehidupan krisis dunia modern,

Tuhan harus hadir sebagai teman sejati yang mulia, kawan orang yang

20

Karen Amstrong, A History……, hal. 378.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

15

menderita, dan penuh pengertian. Selain itu kehidupan modern adalah

ruang-waktu yang sarat dehumanisasi dan eksploitasi, bahkan Tuhan pun

dieliminir, dimanipulasi dan dipaksa untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan manusia, sehingga makna agamapun mengalami pendangkalan-

pendangkalan dan reduksi-reduksi. Pada sudut ini agama menjadi bagian

dari persoalan hidup manusia: agama adalah persoalan itu sendiri.

Ernst Bloch melihat bahwa, manusia akan tetap mengidolakan

Tuhan. Secara psikologis, manusia akan selalu menyimpan perasaan

sebagai makhluk “yang kurang sempurna” dimana dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya akan selalu melewati tahapan proses-proses. Dalam

proses yang dijalani manusia selanjutnya mengimpikan nilai lebih yang

diharapkan diperolehnya dari sang idola: Tuhan. Karena itu Marx

Horkheimer mamandang bahwa, bagaimanapun Tuhan penting bagi

eksistensi manusia, terlepas apakah Tuhan ada atau tidak, apakah kita

percaya atau tidak, adalah tidak penting. Baginya, tanpa adanya ide

tentang Tuhan, tidak aka nada yang absolut hubungannya dengan

kebenaran dan moralitas: etika tidak lebih hanya persoalan rasa, selera dan

tingkah laku.21

Agama mendasari kehadiran Tuhan di dalam kesadaran manusia

sebagai hasrat yang mengimpikan keadilan. Seandainya tidak ada ide-ide

tentang Tuhan maka tidak ada alasan untuk membenci permusuhan,dan

perang tidak lebih baik dari perdamaian. Agama dengan sosok Tuhan yang

dihadirkannya, mencoba merekam, menyimpan aspirasi dan berbagai

tuduhan manusia terhadapnya, tak lebih karena didasarkan pada

penderitaan dan kesusahan hidup yang mereka alami. Kenyataan ini

21

Ibid, hal. 389.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

16

membawa manusia kian sadar akan keterbatasan dirinya. Untuk itu,

kemudian mereka banyak berharap datangnya Tuhan yang berdiri

memihak nasib mereka: mengimpikan ketidakadilan sebagai kata penutup

nasib dan derita panjang umat manusia, untuk selanjutnya manusia dapat

betul-betul menikmati gaya-gaya hidup surgawi dimana sebelumnya

mereka hanya bisa nikmati melalui tayangan imajinasi Tuhan-Tuhan

Biblical: Tuhan yang tidak melanggar HAM tapi memberikan “apapun”

yang diminta manusia.

Logika-logika dan pembuktian-pembuktian tradisional tentang

eksistensi Tuhan mulai ditinggalkan. Dengan berbagai alasan, baik moral,

intelektual, ilmiah, dan spiritual, ide tentang Tuhan-Tuhan lama ditolak.

Misalnya ide Tuhan personal semakin sulit diterima saat ini. Kaum

feminis akan menolak Tuhan personal yang ditampilkan secara

maskulin.22

Teori matafisika kuno tentang Tuhan sebagai yang absolut

dirasa tidak lagi memuaskan. Sementara Tuhan kaum filosuf adalah

produk rasionalisme usang yang tidak membumi. Kini dicari Tuhan dalam

pengertian yang simplistic dan riil: kata Tuhan yang tidak semata simbol

realitas yang tak terkatakan,tapi suatu artikulasi spiritual yang terjelaskan.

Pemahaman Tuhan yang bukan secondhand, tapi pengertian yang dapat

membentuk manusia menghindarkan diri dan berkelit dari kompleksitas

persoalan yang didasarkan pada isu-isu dogmatis (postdogmatic

religiousity).

Saat ini, keputusan, keterasingan, anomi, dan kekerasan telah

menjadi sebagian besar kehidupan modern. Tiba-tiba manusia ingin hidup

serba praktis dan mulai enggan melakukan upaya-upaya imajinatif. Karena

22

Roger Trigg, Rationality and Religion: Does Faith Ned Reason, (Oxford:

Blackwell Publishers. Ltd, 1998), hal. 162-166.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

17

itu, de-ide agama yang kehilangan validitasnya dan “khutbah-khutbah”

agama yang membujuk akan dengan begitu saja dibuang: jika ide manusia

tentang Tuhan tak dapat memberi arti di dalam kehidupan yang serba

empiris, ia (agama) akan segera dicemooh dan ditinggalkan. Namun

begitu, manusia modern sebenarnya tidak dapat bertahan hidup dalam

kehampaan dan kegersangan, dan senantiasa berusaha memperoleh makna

dalam hidup. Namun ketika agama adalah kegersangan itu sendiri, mereka

lalu memburu Tuhan di alam maya (mayantara), heroin, sabu-sabu, dan

lekukan indah botol vodka dan mandson.

Dalam situasi yang sudah berubah, God is voluntary, demikian

Cupitt berpendapat. Bersama semangat postmodernism kita hijrah dari

kepercayaan-kepercayaan tradisional menuju keimanan after gods. Karena

itu kita harus membuat kamus dan istilah-istilah agama yang betul-betul

baru. Menurutnya, definisi agama yang benar adalah agama yang membuat

kita lebih pintar dari Tuhan kita. Percaya bahwa Tuhan ada bukanlah

keimanan yang menuntut pengorbanan dan keselamatan, tapi keyakinan

yang mensyaratkan kepedulian pada penderitaan.23

D. Penutup

Antropik-spiritualisme, itulah mungkin salah satu kata yang tepat

untuk menggambarkan era ide Tuhan yang akan datang, yaitu kredo

filsafat agama yang mencoba memposisikan manusia pada pusat edar

subjektifitas jagad raya yang ditransendensikan sepenuhnya pada

kesadaran spiritual Ilahia. Tuhan masa depan adalah ide yang menekankan

dan menghargai nilai-nilai luhur humanism-universal yang lebih konsen

23

Cupitt, After God….., hal. 84.

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

18

pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan

kemanusiaan, dengan mengandalkan pada ilmu pengetahuan empiris.

Selain itu Tuhan masa depan adalah Tuhan yang menghargai

persamaan keunikan masing-masing agama (deabsolutizing truth)

sehingga tercipta pluralism yang memiliki klaim dan keyakinan yang

relative (relatively absolute). Kenyataan ini akan diikuti penolakan

terhadap teologi tradisional yang sangat menekankan sabda Tuhan yang

diwakili oleh lembaga agama dengan para tokohnya yang dinilai doktriner.

Daftar Pustaka

Anthony Kenny, The God of Philosopher “, Oxford: Clarendon

Press, 1998

Don Cupitt,” After God: The Future of Religion”, New

York:Basic Books, 1997

Emmanuel Levinas,”Of God Who Comes to Mind”,trans Edward

Quinn, New York: The Croosroad Publishing Campany,1980

Hans Kung,” Does God Exsist? An Answer for Today”, New

York: The Croosroad Publishing Company, 1994

Ian Richard Netton,”Allah Transendent: Studies in the Structure

and Semiotics of Islamic Philosophy,Theology and Cosmology”, New

York:Routledge,1989

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

19

John Hick,”God has Many Names”, Philadelphia: The

Westminster Press,1982

Jack Miles, ”God:A Biography”, New York: Vintage Books,1995

John B. Thompson, Studies “in the Theory of Ideology”,

Berkeley & Los Angeles: University of California Press, 1984

Karen Amstrong,”A History of God, The 4000-Year Quest of

Judism,Chritianity,and Islam”,New York: Ballantine Books, 1994

Komaruddin Hidayat & M.Wahyuni Nafis,”Agama Masa

Depan,Perspektif Filsafat Perennial”, Jakarta:Paramadina,1995

Loszek Kolawski, ”God Owes Us Nothing: A Brief Remark on

Pascal’s Religion and on the Spirit of Jansenism”, Chicago &

London:The University of Chicago Press,1995

Paul Davies, The Mind of God :The scientific Basis for a

Rational World, New York: Touhstone, 1993

Richard Harries, The Real God: A Response to Anthony

Freeman’s God in Us, New York: Mowbary, 1994

Rudolf Otto,”The Idea of The Holy, trans. John W.Harvey,

Oxford: Oxford University Press,1958

Rr.Siti Murtiningsih,”Teologi Tuhan Mati: Tinjauan tentang

Eksistensi Tuhan dan Otonomi Manusia dalam Perspektif Atheisme”

Jurnal Filsafat, Juni 1997

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

20

Roger Trigg, Rationality and Religion: Does Faith Ned Reason,

Oxford: Blackwell Publishers. Ltd., 1998