kedaulatan, teritorialitas, dan keamanan pasca …

17
Global: Jurnal Politik Internasional Global: Jurnal Politik Internasional Volume 6 Number 2 Article 1 September 2004 KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA WESTPHALIA WESTPHALIA Kusnanto Anggoro Centre for Strategic and International Studies, [email protected] Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/global Recommended Citation Recommended Citation Anggoro, Kusnanto (2004) "KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA WESTPHALIA," Global: Jurnal Politik Internasional: Vol. 6 : No. 2 , Article 1. DOI: 10.7454/global.v6i2.223 Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/global/vol6/iss2/1 This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Social and Political Sciences at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Global: Jurnal Politik Internasional by an authorized editor of UI Scholars Hub.

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

Global: Jurnal Politik Internasional Global: Jurnal Politik Internasional

Volume 6 Number 2 Article 1

September 2004

KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA

WESTPHALIA WESTPHALIA

Kusnanto Anggoro Centre for Strategic and International Studies, [email protected]

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/global

Recommended Citation Recommended Citation Anggoro, Kusnanto (2004) "KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA WESTPHALIA," Global: Jurnal Politik Internasional: Vol. 6 : No. 2 , Article 1. DOI: 10.7454/global.v6i2.223 Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/global/vol6/iss2/1

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Social and Political Sciences at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Global: Jurnal Politik Internasional by an authorized editor of UI Scholars Hub.

Page 2: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

ed u1atan, Teri tor ial i tas , dan m n a n Pasca -Wes tpha / i a

Kus A T O A N G G O R O

_b trn t������������������������������ Tlicr re I I I /111 I lea! and 11 rmaii e chm, siren ti, ned tile need lo re-

11 pt u liz tli« cone pts of tat I, , curil,y, and o r i thj. Tire ource of saver i nty, int rn I I ilim y, nd externni r co iition, ha b n in riou flux. Mor t11a11 euer be/or r

t r r 111/, ri�J h« 11 defin. d al 11 [uuct! na', n t territorini Tin . Th indi idua! ri h! to ccuriti if p r. ,r tntails n11 obli ation 011 fl1 part of the stale lo itnplem, nt this ri ht and that

iudi i uni ri lit I curihJ of Int ntnil nu obli ation on tit part of internaticnal community to imp! ·m �nt this ri l,t. N rm are itin . more imp rot! e in int rnntional relation . Recent

el pmen! II z _ that c erci po1 r is b in intr duce t i n 1/'ii phen m 11 n. 11,i article at u t/rnt er i 1h; is nonetu le s an empirical pit n menon l s than a I al and o inl ph n m n 11.

A 11 bu/ 11 [uiur at nit . In llr ab nc of t orld mm nt npnbl of a erlin its l itima! claim, 11 rm t i _ aull,ority t 011/d confront tJ,c fortr of po« er d mandin sort of non-compliance o r i rrhJ. 11, Im 1 • for /obnl norm ihrou J, c rci r i nhJ mny "nd up wit!, loba!

anarchy.

PE DAHULU N

K aulatan negar m rupakan kons p yan s rnakin lama m kin ul i t dipert hankan. Perkembang n teknolo · p rang, interdep ndensi d 1 m k hid upan antar­ negar , dan menguatny globali a i mern­

ba " berb gait implikasi yan rnenjadikan kedauJ tan eg ra semakin r wan. Ruang gerak untuk mernilih k bij kan menjacti emakin sempit hin kep ntingan na-

sional harus dikompromikan d ngan ba­ ny k p rtimbangan yang ber da auh di luar tapal batas. G gas n tentang "tang­

gung jawab negara" iresptm ibilihJ to pro­ f er) be] kangan ini m nj di ama p nting­

nya d n an, jika ti ak I bih penting dari, pengerli n h k untuk m ng ola dan men­

daya nakan umber daya, Namun semua itu sun hnya tidak I bih dari s k d r

1 J GLOBAL V I . 6 No. 2 i 2004

h ii p n I yang I bih dalarn, bukan temu n p ra i m ti .. 1ungkm benar bah-

a t t an hubun · an intema ional menja­ d i m kin kompl ks, dan oleh k renanya konsep k aulatan menghadapi tantangan yan s m kin eriu , namun s jak awal konseptualisasi kedaulatan memang sa­

ngat dit ntukan ol h kompl ksita sosial .

KEDAULAT N NEGARA: DEFINISI, KONSEP, D N KONTEKS

Dalam kancah politik intemasional, tidak ada konsep yang lebih banyak diperdebat­ kan dan disalahgunakan dari konsep ke­

d aulatan.' Secara tradisional konseptu­ alis si ked ulat n negara elalu dikaitkan

dengan teritorialitas padahal teritorialitas

rnerupakan suatu k.o p yang rumit dan,

Page 3: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

' dw/. I, n, T. rit ri 1/i1r1 dan K iman n P.1. c1-1 11. 1• tph, Ii Ku n nto Anggoro

, an.

S bah itu, s benamya k nsep k daulatan j uh lebih kompleks dari apa yang selama ini dikenal dan dipahami oleh, t rut ma, para pen kaji ilmu hubungan intemasio­ n l yang c nderung menyederhanakan masalah menjadi aspek teritorial dan otori­ tas negara di dal m t ritori itu. Padah l ja­ uh-jauh hari sesungguhnya kedaulatan ti­

dak pemah merupakan sesuatu yang ber­ dimensi tunggal. Kalaupun ada penekanan pada dimensi-dirnensi itu s benamya ti­

dak lebih dari sekadar reaksi sirkumstansi­ al dan bukan karena ketiadaan kompre­ hensi konsep kedaulatan itu sendiri. Ke­ daulatan juga tidak pemah merupakan se­ suatu yang absolut, tetapi merup kan re­ sultan dari apa yang diinginkan dan pa yang kemudian diperol h.

Boleh jadi, hubungan intemasional W st­ phalian memang terlalu menekan�an pada kedaulatan negara. Landasan politik di ba­ lik persetujuan yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun itu sendiri menyebab­ kan "kedaulatan negara-bangsa" menjadi sumbu utama dalam hubungan intemasio­ nal. Untuk ratusan tahun setelah West­ phalia, hubungan antarnegara dipahami sebagai benturan kepentingan antamega­ ra: dan usaha untuk rnencegah buruknya suasana dilakukan dengan menciptakan

2

r irnban an k kuatan (balance of power) de n/ tc. u en n memb ngun rejim yang

i epakati bersarn .

Pada k nyataanny , kedaulatan negara y ng rn mb ri p n kanan pada ekskJusivi­ ta kewi l yahan seperti itu hanya merupa­ kan a l h satu d imensi saja dari kedaulat­ an. P mulanya, konsep kedaulatan Ie­ bih b rkaitan engan tertib domestik . Jean Bodin (1530-1596 ), dalam Six Livres de la

Republiqu , dan Hobbes (1588-1679), dalam Leviathan, m rumuskan kedaulatan seba­

gai sesuatu yang bersifat instrumental, diperlukan untuk m lindungi masyarakat, untuk membangun tertib osial. Rumusan ini berbeda d ri Ros eau yang melihat ke­ d ulatan sebagai p ngejawantahan dari keinginan untuk membangun ketertiban um um.

Bodin dan Hobbes menulis karyanya pada m a ari tokrasi dan k tika orang rnasih p rcaya betu l pada keagungan divine rule.

S lain itu, mcreka b rdua m ncetuskan kegalauannya pad k kacauan sosial . Bo­ din ny ris terbunuh dalarn ketegangan an­ taragarna, pemberontakan Huguenot, di P rands (1572); dan Hobbes sangat risau dengan terbunuhnya Raja Charles I. Kece­ masan itu pula yang menyebabkan Bodin dan Hobbes sampai pada kesimpulan bah­ wa satu-satunya cara untuk menjamin ke­ teraturan dalarn masyarakat (social order)

adalah jika penguasa mempunyai kedau­ latan tak terbatas (absolute sovereignh;).

John Austin (1790-1859), yang menulis karyanya harnpir 200 tahun setelah West­ phalia, Tire Province of Jurisprudence Deter­

mined, melihat dari perspektif yang lebih luas, Tanpa mengabaikan dimensi internal, Austin melihat pada aspek ekstemal. Da-

GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004

Page 4: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

K y/c1ul.1 11, T. riton:1/,1,t d.111 Kr-.1111,111 n Pa 1-MI. tpl), /il Ku n nt A n g , ro

Namun demikian, dalam kenyataannya, supremasi dan/atau independensi itu pun bukan sesuatu yang turun dari langit. Se­ baliknya, mereka harus diperoleh melalui perjuangan dengan berbagai instrurnen,

mulai dari persuasi, negosiasi, sampai de­ ngan kekerasan. Lebih dari itu, tidak se­ mua negara yang berdaulat mampu me­ wujudkan independensinya. Begitu pula

baliknya, scbagian d ri ne ara-n yang mampu mewujudkan indepen inya

mun kin ga al mempcrjuan kan k au­ ) tannya. Monaco, Lichtenstein, dan Swis m rupak n conloh untuk yang disebut le­ bih dahulu: T iwan rnerupakan contoh un­ tuk yan di ebut belakangan .

Masalah paling rumit dalam konsepsi ke­ daulatan internal adalah bahwa ia memer­ lukan kedaulatan tak terbatas, sedang da­ lam kenyataannya pemerintahan negara bukannya tidak terbatas. Dalam pergaulan intemasional, sekalipun tidak ada otoritas tungga1 namun dalam kenyataannya oto­ ritas supranasionaJ juga menjadi semakin penting; clan suatu negara tidak mungkin begitu saja mengabaikan tuntutan-tuntut­ an global. Apa yang semula diharapkan menjadi "kedauJatan dalam" dan "kedau­ latan dari" memerlukan berbagai bentuk akomodasi dan kompromi, yang berarti melepaskan sebagian dari kedaulatan itu

sencliri.

Di mana pun juga kedaulatan selalu meru­ pakan sesuatu yang intersubyektif, kebe­ radaannya ditentukan bersama dengan yang lain. Dengan kata Iain, supremasi itu tidak taken for granted, tetapi ditentukan oleh penerimaan, yatu semacam kontrak sosial antara penguasa dan rakyat. Pe­ nguasa boleh saja merasa merniliki kedau­ latan legal (legal sovereignty) dan/atau ke­ dauJatan koersif (coercive sovereignty), na­ mun pada saat yang sama warga negara juga memiliki kedaulatan rakyat (popular sovereignhJ) dan/atau "kedaulatan untuk ti­

dak mematuhi" (non-compliance sovereign-

ty).

Relasi antara dua pijakan dan kepentingan yang berbeda itu pula yang pada akhimya

m m i l i k i ke­

pat m ng­ ya- un , n

I m , n

ul t, n

Bagaimana dua jenis kedaulatan itu dapat diwujudkan selalu m njadi tanda tanya besar. Kedaulatan, baik internal maupun ekstemal, tidak pemah dapat melepaskan diri dari kontestasi, dan oleh karenanya kekuatan relatif (relative power) vis-a-vis penantangnya. Bodin dan Hobbes boleh saja menganggap kedaulatan sebagai se­ suatu yang absolut. Austin bisa saja ke­ mudian merelativisasi derajat keabsolutan itu dengan kedauJatan dalam (sovereignty in) dan kedaulatan dari (sovereignhJ from). Negara berdaulat, bagi Austin, adalah ne­ gara yang mampu membuat keputusan tanpa dipengaruhi oleh pihak lain; negara merdeka ada]ah mereka yang mampu memperjuangkan haknya untuk menentu­ kan keputusan akhir.

n � n

t n haru I in. B i u tin, k d ulat n menj n kau uatu b ntuk hubun an t rtcntu i alum

itu uprerna i, an bent k hubun an an ij lin n ra itu engan ne r lain, aitu in ep nden i . Dua s­ pek ini, uprema i dan ind p n nsi, e­ rin i but s b i, b rturut-turut, ke­ d ul t n int rnal tint rnal sovereignhJ) dan k daulatan kst rnal (external souereignrf].

· 1

i GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004 3

Page 5: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

,\' I. • u tan, T. ritoric1/it. . dan Kt1am, nan P.1: r1-l11l.cJ_ tplu /i,1 Ku n nt An goro

rn n ntuk: n der: j t uprern i n u I; ta dikua , i, Ba i B nn dan P ter , u r me i ne r t rletak pad, k m rn­ U1. nn , untuk men unz kan otoritas hu­

kurn (lt:'\al s t er •i nty) atau in trumen ke­ kera an icoerci c .. o er i uly). Dalam tatan­ an d m kra i, upr ma i n gara itu bera­ d pad uatu truktur hierarkis (institusi pem rintahan, hukum dan perundangan,

p rat keamanan) yang digunakan untuk men lenggarakan otoritas negara. Mung­ kin aja, sebagai sesuatu yang memegang suprernasi, negara dapat dibenarkan untuk

menggunakan otoritas kedaulatan hukum­ n a maupun kekerasan. Pertanyaan utama daJam negara demokrasi adalah apakah supremasi itu dilakukan secara sah (legi­ timate) atau semata-mata berdasarkan prinsip legalitas.

Logika yang sama berlaku dalam konteks kedaulatan ekstemal. Pengakuan (recognit­ ion) kedaulatan suatu negara oleh negara lain tidak terlepas dari kemampuan nega­ ra itu untuk meyakinkan negara lain bah­ wa kedaulatan yang dimilikinya merupa­ kan sesuatu yang sah. Dalam hal ini, salah satu kontribusi penting dari Persetujuan Westphalia adalah bahwa suatu negara mempunyai hak otonomi untuk dapat me­ nyelenggarakan otoritasnya dalam wila­ yahnya yang sah tanpa interference pihak luar. Pendek kata, kedaulatan negara ber­ tumpu pada prinsip otonomi ekstemal berdasarkan eksklusivitas kewilayahan.4

KonseptuaJisasi kedaulatan dapat diring­ kas seperti tertera pada tabel di bawah ini.

KedauJatan eksternal (diharapkan) tercer­ min dalam pola hubungan yang setara, ber­ dasarkan saling pengakuan, clan bertolak pada eksklusivitas wilayah. Pola itu pula yang kemudian dilembagakan da lam hu-

4

kum intern ionaJ dalam b ntuk 11011-inter-

fer nee dalam mas, Iah-m salah domestik. Dal, m konteks internal, kedaulatan yang

secara alarni d i l mbagakan melalui pola hubungan hierarkis sebenamya dilandasi dengan perirnbangan hak dan kewajiban, balk untuk pemegang kedaulatan maupun warga negara. Dari tabel di bawah ini akan

terlihat bahwa dalam masalah-ma alah yang memiliki dimensi transnasionalitas, kedaulatan akan menimbulkan kompleksi­ tas melebihi kedaulatan internal dan eks­ ternal, antara lain karena keharusan untuk mempertimbangkan aspek legi timasi, otori­ tas dan sekaligus penguasaan.

Tabel1

Clrl-clrl Kmaulatan Eklternal dan Kedaulatan

lnterml

Ciri-clri Ekstemal I temal

Pola • Persamaan • Hierarkis Hubungan • Ekskluslvitas • Keabsahan Antarsubyek Wilayah Wilayah

• Mutual • Hak dan Reco_Qm�ion Kewajiban

Prinsip • lndependensi • Supremasi (non- • Kedaulatan interference) Legaldan

• Hukum Koersif lntemaslonal versus

Kedaulatan Popular dan Non- compliance

Tujuan • Kedaulatan • Kedaulatan dari dalam (sovereignly ( sovereignty from) in)

• Keamanan • Keamanan I nte maslonal Dalam Negeri

(khususnya lsw and order serta keselamatan dan ketertlban um um

lsu Utama • Otoritas • Otoritas • Legltlmasl • Pengendalian

(contro� .

Masalah·masalah lntemasional -

GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 200-t

Page 6: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

", I. u!.11.11, 7 rltori1/it,1•, l.m K .1111a11.111 P.1 a - I t !. • tphr1/J:1 Kusn nto Ang ro

L t i -

d rninan

ngan n aku n nlar: nc ara-negara

an mcrniliki k m rdekaan yuridis. K -

ul: t n \ tphalia merujuk pada organi­ i p l itik b rda rkan pada eksklusi pi­

hak lu r d ri truktur otoritas di wilayah t rt ntu. Ked ulatan hukum intemasional dan kedaulatan Westphalia meliputi isu­ isu otoritas dan legitimasi, bukan pengen­ dalian (penguasaan). Hukum intemasional mengakui kedaulatan suatu entitas kewi1a­ yahan yang memiliki otoritas formal. Atur­

an main daJam Westphalia adalah eksklusi pihak luar, de facto maupun de jure, dari wilayah suatu negara.

Sementara itu, kedaulatan domestik meru­ juk pada adanya organisasi-organisasi for­ mal yang memiliki otoritas politik untuk melaksanakan pengendalian efektif dalam wilayahnya sendiri. Kedaulatan interde­ penden merujuk pada kemampuan otori­ tas umum untuk mengatur arus informasi, gagasan, barang, manusia, benda polutan, ataupun modal yang terjadi di dalam wi­ Iayahnya. Kedaulatan domestik meliputi kewenangan dan pengaturan (control). Ke­ dua-duanya merupakan spesifikasi legiti­ masi otoritas dalam suatu masyarakat dan sejauh mana otoritas itu dapat diseleng­ garakan secara efektif. Kedaulatan interde­ penden melulu berkaitan dengan masalah pengaturan, bukan otoritas, dengan ke­ mampuan suatu negara untuk mengatur perpindahan segala sesuatu yang berada

GLOBAL Vol. 6 No. 2 M i 2004

d lam wilayahnya.

TERITORIALITAS: KONSEP, PRINSIP, DAN PENGELOLAAN

Kewilayahan mernil iki konotasi yang sa­ n at kuat dengan geografi sehing a sepin­ ta la lu t rdapat kesan bahwa pewacanaan t ntang rnasalah tersebut tidak serumit pe­ wacanaan tentang kedau Jatan. Namun, se­

sungguhnya kewilayahan tidak sesederha­ na itu karena ia mengandung beberapa dimensi, misalnya wiJayah dan tapal batas, yang merupakan persoalan politik, Dalarn

kenyatannya, hamp ir seluruh perbatasan antamegara di dunia ini mempunyai seja­ rah panjang. Sebagian di antaranya meru­ pakan sebuah pemyataan sepihak, sebagi­ an yang lain merupakan bentuk penyelesai­ an (settlement). Seperti terlihat dari jejak-je­ jak sejarah, baik pemyataan sepihak mau­ pun penyelesaian merupakan konsekuensi dari tindak kekerasan, pertempuran, pe­ naklukan, dan/atau segala sesuatu yang berkaitan dengan interaksi kekuatan saja (power exchanger» Lebih dari itu, dalam in­ teraksi itu selalu melibatkan bukan kekuat­ an (power) tetapi juga pengaruh (influence). Padahal, unsur-unsur kekuatan sangat kompleks dan tidak semuanya mampu me­ nampilkan dirinya sebagai sumber penga­ ruh.

Padahal, teritorialitas itu sendiri merupa­ kan sesuatu yang selalu berubah. Kalau ke­ daulatan mempunyai berbagai dimensi, se­ perti dikemukakan sebelumnya, teritoriali­ tas selalu tidak terlepas dari ambiguitas. Secara teoritis, memang ada kemungkinan untuk mengatakan bahwa teritorialitas di­ tentukan oleh dinamika kekuasaan-penga­ ruh (power-influence) baik yang bersumber

5

Page 7: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

/Jul.1t.11 ou 1 :J/i1., .. d.m ,•.1n1.111.111 P. 1 . 1 - I V 11 h.11!:1 Kusn nt Anggoro

r . I., t r i t , s , d m i n i tr ti , n , ruh kul­ lu , 1, . lau ahk: u nd i n i i n d i r i ( .. /f­

u l t , k ,, i i ah­

n-

yan I ·I.: iti, z tc di n inc eari batas yang lain.

lain itu, pal bat memang di dalam di­ rin a ndiri problematik. Dalam bahasa In · s diken l berbagai konsep yang ku­ ran lebih merujuk dinding pemisah, mi­ saln a perhinggaan (frontier), sempadan ( otmdanJ), batas (border), dan tapal batas ( orderlandi? Konsep yang pertama, front­ ier, merupakan konsep longgar yang me­ rujuk pada tapal batas imajiner yang nyaris tanpa batas, kecuali ambisi dan penge­ tahuan, Pada masa kejayaannya, Kekaisar­ an Roma mendefinisikan batas kekuasan Roma adalah tempat di mana peradaban berakhir, sebuah garis batas ketika rasa tenteram musnah dan bahaya tak tertahan­

kan bermula. Pada abad ke-18, orang Ame­ rika mendefinsikan frontier sebagai daerah kaum Indian yang telah ditaklukkan dan

yang belum ditaklukkan. Frontier tidak

menggunakan tumpuan pada kewenangan administratif. Sebab itu dia dapat rnenjadi sumber petaka, khususnya ketika orang memperebutkan the indeterminated border­ land, baik karena sengketa historis maupun

karena merupakan tanah tak bertuan, se­

perti tapal batas Finlandia-Rusia sampai abad ke-17 . Pernyataan Zhirinovsky yang

6

ru n h ndr ki rd .. du Rusia dapat memba­ uh kt. kiny di Sarnudera Hindia merupa­

k n b n tu k l a in ari pernyataan seperti itu.

K n p yang k dua adalah boundary (sem­ an), yang m rujuk pada tapal batas

y n pa ti, mi alnya pengha)ang fisik atau u tu yang kasatrnata. Kategori

em ntukan batas itu send iri dapat ber­ m u l dz ri kriter ia geografis, ikatan primor-

ial , atau bahkan ideologi. Kategori apa pun ang digunakan, seseorang tidak lagi d: pat berperilaku bebas seperti ketika ma­ sih berada di dalamnya. Dalam wilayah yang sama dapat ditemukan kesadaran ko­ lektif (collective identity). Beberapa bentukan geologis menegakkan ba tas ala mi. Sungai, danau, dan gunung-gunung sering diguna­ kan untuk menentukan batas administratif. Untuk waktu yang begitu lama, batas alami itu nyaris tidak dapat ditembus. Banyak

intervensi asing yang terpaksa gagal karena membentur dinding pembatas itu, tenna­ suk Iskandar Agung gagal menaklukkan Darius I dari Persia. Leonid Brezhnev di tahun 1964 menggunakan ideologi ketika memaklukan doktrin kedaulatan terbatas (limited sovereignty) bagi persemakmuran sosialis.

Konsep ketiga, border (tapal batas), bertum­ pu pada kewenangan administratif. Tidak terlalu penting apakah dalam wilayah ad­ ministratif itu masyarakatnya berbeda me­

nurut garis primordial, ideologi, ataupun pengalaman sejarah. Hindia Belanda, mi­

salnya, lebih merupakan konsep border da­ ripada boundarv ataupun frontier. Di Jawa

ada tempat-tempat yang sebenamya tidak pemah dikuasai oleh Belanda atau seku­ rang-kurangnya tidak berada pada pengua­

saan langsung (direct rule) pemerintah kolo­ nial. Dalam pengertian sebagai tapal batas,

GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 200-l

Page 8: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

, , 'sulat« t rn r .,Ii., l. u Kusn nt n oro

Kompleksitas tentang bagaimana menarik pembatas itu semakin mempersulit ap yang selama ini dikenal sebagai upaya un­ tuk menegakkan, mempertahankan, atau menjamin kedaulatan. Secara tradisional, konsep kedaulatan negara selalu dikaitkan dengan boundary. Di Eropa, kerancuan itu diselesaikan oleh Persetujuan Westphalia, yang mengakui negara nasional (nation­

states). Sejak perdamaian Westphalia (1648), yang memusatkan perhatiannya pa­ da legitimasi negara atas wila ahnya, nega­ ra teritorial telah menjadi sumbu utama da­ lam hubungan antamegara. Di Amerika Se­ rikat, kerancuan itu pada akhim a bermua­ ra pada pembentukan konservasi untuk orang-orang Indian dan negara-tanpa­ bangsa Amerika.

KEAMANAN NASIONAL, ANCAMAN,

DAN TRANSNASIONALITAS

Selama hampir empat ratus tahun, k aman­ an dikaitkan terutama dengan ne ar dan pada umumnya ditafsirkan seb ai 'p rlin-

L ih ru mi t I i, i b r pa n

ol nial, kewil y han dan keban a n m -

kan kons p-kon ep a in . Pe oal n ok alarn n g ra tradis ional di Asia

ra lebih berkaitan dengan "rnilik

iapa" , rip da "apa". Dalam kenyat an, ne ra-n ara meman bisa saja jatuh ba­ n n, tumbuh dan menyusut, namun e­ mu itu terjadi dalam konteks pengikut dan w r a, tidak dalarn arti geografi . De­ mak bi a saja m nuntut sebagai kelanjutan

Iajapahit, seperti halnya Medang dari Ia­ taram, tapi merek mempunyai wilayah yang berbeda. Pada waktu itu, apa yang penting bagi seorang penguasa adalah ba­ nyaknya orang, bukan luasnya ruang.

t -

u i in m n , nd I , n

rit t i t d: ri urnb r

n: n "an 1 itirn tif d ri

· itu m rumuskan pn eb g i Tirai Besi.

tumpah darah dibangun ber­ a k seimbangan emosional

............ _.. k _ lamatan dan ketakutan.

Ti ak lit untuk melihat bah, a konsep- ep itu cenderung menitikberatkan pa­

d alah satu dimensi pemisahan. Dalam ken) taann seJalu ada kemungkinan tum pang tindih. Di Indonesia, konsep "dari Barat sampai ke Timur'', yang kemudian be.rubah menjadi "dari Sabang sampai Me­

rauke" pada mulanya dimaksud untuk mentransformasi, jika tidak mengejav an­ tahkan, ide-ide frontier menjadi geografis. Konsep Hindia Belanda mungkin pada mu­ Ian a dimaksud untuk membangkitkan ke­ sadaran berbangsa, untuk menarik garis pemisah antara penakluk dan yang ditak­ lukkan, dan untuk mengobarkan perjuang­ an antikolonial pada waktu itu. Namun pa­ da saaat yang sama, konsep Hindia Belan­ da juga merujuk pada satuan administratif pemerintahan kolonial. Dengan menekan­ kan aspek ini, prinsip "penentuan nasib sendiri" (self-determination) akan menjadi penting dan memperoleh dukungan inter­ nasional.

. , i �

. .

1

GLOBAL Vol. 6 o. 2 Mei 2004 7

Page 9: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

' Lut], !,JI , TNJI ,,,:,lir.1, d.111 A', .1/11,)/ . in / ,1, . 1 - I Vil ,, !,.1/,:1 Ku n, n t o An oro

Pengertian yang bercorak military-external,

dengan negara sebagai subyek, sangat do­ minan dalam pendekatan Barat mengenai ke(tidak)amanan. DaJam konsepsi-konsepsi tersebut kekuatan militer selalu dianggap ebagai unsur yang paling penting. Karena

itu, seperti kemudian disimpulkan Arnold

Kerap kali situasi itu menimbulkan masa­ lah serius. Di satu sisi, diperlukan kecang­ gihan politik tertentu untuk bisa memper­ tahankan diri sebagai suatu entitas politik yang diterima dan diakui sebagai entitas yang rnemiliki otoritas atas rakyatnya. Di

lain pihak, sering kali hal ini juga rnenjadi­

kannya vulnerable terhadap tekanan pih k

luar (negara yang lebih besar, lembaga­ lembaga intemasional dan transnasional), kelompok separatis dan gerakan suprana­ sional . Sebagai negara yang selalu dilibat

I l f zrs, rnr s I'- h itarna yan dihadapi e­ lah m rnban un kekuat n

k 1 {lo deter) tau m ngal, h­ kr n ( / cl ifi nt) uatu r, n an. Kemun kin- l n ar, b ik k r kter pemb ntukan ne a- ra- d i Eropa rnz upun agenda nega-

rr b r e l a rn a Perang Dingin me- mt i n k : n peran n penling di balik penitik-

r: l n P'- d keam nan neg ra itu.

S b l ikny , d lam konteks negara-neg ra bcrk rnbang. definisi itu sukar seluruhnya dit rima. Tidak seperti negara-negara Barat yang lebih maju, pen inggalan kolonial (co­

Ionim le ncy) menyebabkan sebagian dari mer ka terlebih dahulu berhasil memben­ tuk negara sebelum berhasil membangun bangsa, s hingga dalam banyak kasus me­

reka menghadapi sekaligus tugas ganda "bina bangsa" (nation-building) dan bina negara (state-building). Loyalitas kepada ne­ gara bisa jadi merupakan prioritas yang le­ bih rendah dari loyalitas kepada masya­ rakat tradisionalnya; dan membalik priori­ tas itu bukan merupakan soal sederhana Tak jarang terjadi konflik kepentingan an­

tara loyalitas kepada masyarakat atau ke­ pada negara. Akibatnya, proyek keamanan lebih banyak berkaitan dengan dimensi

politik daripada militer.

, nis: id,

Ti :i .. ik mu :i h m irumu k n c n

sun uhnv J im: k u "k arnan- n" · · uri� ). B r

rita " " u h aria i , ri " cura", yang rarti ' tanpa raw at n"), ecara tradisio­

nal k man n m miliki du arti pok k, yai­

tu crt 111 , k bebasan dari risiko atau ba­ h , clan, kedua, kebebasan dari keraguan, kekhaw tiran, clan ketakutan . Kolom ke­ am n n nasional dalarn International En-

lo a dia of tile Social Science mendefinisi­ kan keamanan sebagai "kemampuan suatu

bang a untuk melindungi nilai-nilai inter­ naln a dari ancaman luar". Walter Lipp­ mann merangkum kecenderungan ini de­ ngan pernyataannya yang terkenal: "suatu bangsa berada dalam keadaan aman sela­ ma bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggap­ nya penting (vital) . . . dan jika dapat meng­ hindari perang atau, jika terpaksa melaku­ kannya, dapat keluar sebagai pemenang".

' .. n

8 GLOBAL Vol. 6 No. 2 1ei 2004

Page 10: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

� deulstsn, � ritori lit. dt111 K • man n Pa .1-W. tpha/ia Kusnanto Anggoro

Margareth Mead. Studi Kelompok Roma (1972), Tl, Limits of Grounh, memberi gam­ bnran yang menakutkan tentang keruntuh­ an ekonomi dunia karena pertumbuhan penduduk dan industri yang tak terken­ dal i , Presid n World Watch Institute, Lester Brown, dalam makalahnya "Redefining Na­ tional Security" (1977), memahami ancam­ an kearnanan dalam arti luas, termasuk perubahan iklim, erosi, kekurangan pa­ ngan, dan deforestasi. Sejak saat itu mun­ cul penulis-penulis muda yang menantang tokoh-tokoh tua seperti Zbigniew Brze­ zinski, Stanley Hoffmann, Henry Kissinger, James Schlesinger, dan Theodore Sorenson. Mereka adalah, antara lain, Peter Gleick, Michael Klare, Ronnie Lipshutz, dan Joseph Romm.

Meskipun demikian, yang sesungguhnya tetjadi tampaknya tidak lebih dari sekadar proliferasi konsep dan kekhawatiran. Pan­ dangan McNamara, misalnya, boleh jadi menjangkau aspek-aspek yang lebih luas dari apa yang dibicarakan sampai waktu itu. Namun, tujuan akhir paparannya tidak beranjak dari tujuan dan kepentingan ter­ hadap "perlindungan dari kekerasan teror­ ganisasi", dengan kata lain dimensi kemi­ literan. Begitu pula halnya dengan Thomas dan Mathews, yang berusaha membuka berbagai ruang bagi konseptualisasi ke­ amanan komprehensif, tetapi dalam kon­ teks pewacanaan pada n eksistensi negara". Para ilmuwan aktivis memang menggurat­ kan jejak untuk memahami bahaya masa depan, tetapi tidak mampu menembus ben­ teng ortodoksi para pembuat kebijakan yang tetap lebih peduli persoalan urgensi dan prioritas.

Tak heran jika hingga kini belum muncul suatu paradigma baru yang secara penuh

a , irnr nr rnemantapkan ke­

kr ligu m m inkan pe­

al m ma y rak t interna io- n: 1 .

K kh . w tir n itu bukannya tidak di l ng- JP leh ra ilmuv an, ktiv is, maupun

I n b a-1 mba int ma ional. Bagi Caro­ l in 111 ma an J ica Iathews, misal­ n , k � m nan bukan hanya berkai an de­ n an 11 ru militan • xternal tetapi juga me­ n n kut r alita .. global. Keamanan, menu­ rut Th m dan fathews, bukan hanya t rbata pada dimensi militer seperti sering dia um ikan dalam diskusi tentang konsep k amanan, tetapi juga " . . . ketersediaan pa­ ngan, fasilitas kesehatan, uang dan perda­ gangan" .10 Presiden Bank Dunia Robert

kNamara, mantan Menteri Pertahanan dan arsitek utama keterlibatan Amerika da­ lam Perang Vietnam, pada tahun 1968 me­ ngeluarkan apostasy mengenai hakikat ke­ amanan. Dalam bukunya, The Essence of Se­

curity, McNamara mengemukakan penger­ tian yang luas dari keamanan dengan me­ masukkan promosi pembangunan ekono­ mi, politik, dan sosial di negara-negara miskin sebagai instrumen untuk "mence­ gah konflik" dan mempertahankan "keter­ tiban dan stabilitas global".

Setelah itu semakin banyak ilmuwan dan aktivis terkemuka mulai menekankan pen­ tingnya ancaman nyata terhadap kelang­ sungan hidup manusia dan ekosistem bumi yang berasal dari degradasi lingkungan dan pertumbuhan penduduk. Mereka ada­ lah, antara Iain, Rachel Carson, Barry Com­ monor, Jacques Cousteau, Paul Erlich, Buckminster Fuller, Garrett Hardin, dan

J •

' i

J

l . j

I

.. '

: i

. ! I

GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004 9

Page 11: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

A, . 11!.1t. 111 h: it ri.sltt.: , M n , .111ww1 I . , . 1 - l 1't1 I/ h.1!J�1 Ku ·nt nto An oro

l i t · i t \ ' ,, b., , i pr ,l n k l lSl ' f t u , l . . I m- f , i "'°' 1 1 -an y,mr l rj, d i d, lah mun-

u l t y :'l I rb: ,,i p, 1-._ I i nn.i ,,t,iu k u n : i p,,-

' l i . nh, t nt n , m, n: u rmuk. an w, c -

unt.iu ny, d. l uh ,. n

m n k , · , n , d : • n . m: n-nn .nm: n u n­ tr, d is i c n.il ( 1 1 1 - t n dilit 1 101 11,rcnl: al, u , n-

Hin a batas tertentu, "keamanan manu- i " dapat dianggap sebagai sebuah para­

digma baru. Berbeda dari paradigma sebe­ lumn a yang lebih banyak berbicara dari sudut kepentingan negara, keamanan ma­ nusia memusatkan perhatiannya pada ke­ pentin.gan umat manusia. Dalam konteks ini, isu kedaulatan berdasarkan prinsip te­ ritorialitas digantikan dengan kedaulatan berdasarkan legitimasi demokratis. Wila­ yah nasional digantikan dengan transnasio­ nalitas; dan independensi negara berada dalam bayang-bayang interdependensi hak-hak asasi manusia. Meski tidak terlalu kuat, kewarganegaraan memperoleh tan­ tangan serius dari apa yang belakangan di­ sebut sebagai world citizenship, namun ha­ nya sebagian kecil dari rnereka yang berha­ sil menyita perhatian pengambil kebijakan. Bisa jadi sernua itu disebabkan oleh tum­ pang-tindih yang kerap terjadi antara para­ d igma keamanan manusia dengan kuasi

1 0

l nr.idi m l k , nu n, n nonkonv ... nsional l , u ol - h I 'j" I i , n k nt • m 1 rer, mi alnya

. . r : nr,l n t r ri terh: dap cd m W rid - n l r, 1 1 S pl mb r 2001.

NE ARA PASCAMODERN, GLO­ B I J\ I, DAN "KEDAULATAN KON­

INGENSI"

perti tel, h ikernukakan sebelumnya, rnunculnya kon p kedaul tan senantiasa t rk: it n an harapan mengenai sesuatu yang langsung m upun tidak berkaitan de­ ngan kcarnanan. Ketika kewilayahan men­ jadi salah satu parameter dala m kedauJatan itu, tujuan utamanya adalah juga untuk menjamin dan mempertahankan keamanan tersebut. Meskipun konsep Westphalian terlampau menitikberatkan pada dimensi kewilayahan, tidak berarti negara dapat mengabaikan salah satu komponen yang berada di dalamnya. Karena a1asan legiti­ masi, misalnya, negara Westphalian me­ ngand ung asumsi ten tang keharusan pe­

megang kedaulatan bertanggung jawab atas keamanan wilayah maupun segala se­ suatu yang berada di dalarnnya." Sejak

awal konsep kedaulatan, misalnya yang di­ kemukakan oleh Austin, men .gisyaratkan bahwa tanpa memenuhi persyaratan itu Iegitimasi negara akan goyah karena rakyat juga mempunyai kedaulatan untuk tidak mema tuhi otori tas negara.

Bersamaan dengan itu, globalisasi, yang di­ gambarkan dalam berbagai istilah mulai dari transnational scene hingga global ouku­ mene, tidak lagi dapat disangkal sebagai fe­ nomena yang telah membawa konsekuensi serius pada viabilitas tapal batas.'? Bebera­

pa penemuan di bidang teknologi militer dan kornunikasi telah secara berarti mengi-

GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004

Page 12: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

Ac ,w/.1t,m, r1rir n:1/it ,_,. rl.111 Kt .1111.m,m P.1s ,·,.1 r tptutt. Ku n: nto Anggor

an, demokra i, dan gov rnauce m mi l ik i Je­ git imasi ynng kuat. Sul i t menyangbl bah­ wa tujuan utarna keamanan nasional mau­ pun internasional adalah untuk memba­ n un kehidupan bersarna berdasarkan rnartabat (dignity), persamaan (equality), serta kebersarnaan (solidarity). Bahkan ne­ gara pada awalnya dibentuk sebagai kon­ trak sosial untuk tujuan seperti itu namun memberi tempat kepada nilai-nilai kema­ nusiaan sebagai kedaulatan yang absolut selalu mengandung risiko simplifikasi legi­ timasi menjadi justifikasi. Berbagai kasus dalam intervensi kemanusiaan (humani­ tarian intervention) seringkali tidak lebih da­ ri manifestasi dari messianism negara-nega­ ra besar yang mengatasnamakan legitimasi kemanusiaan.

kis dim "'n. i ru: n • de n v , k tu , Dim n i rnfis in n r: lam! k nlrr k i ; dan waktu

� , n diperl k u untuk mcngantisipnsi an­ , am: n ( rl: 1 min ) m nj di semak in

.n :l k. Ber a i ntuk an arnan, mil i ter m mpunyai dr yn

makin besar . 1 lune In ni ta- njata ertekn logi tinz i, khu u nya yon t rmasuk dalarn wilt · h k 1� u ,,. 'Y ar a ), nyaris mcngha­

an antara enjata defensif dan f n if. liniaturi asi hu lu ledak adalah nin katan d ya tab n karena dengan de­

mikian mernperrnudah upaya untuk me­ n mbun ikan diri tetapi sekaligus juga

nin ·kat n manuverability dan oleh sebab itu da a serangnya.

Tonggak penting lain dalam kemajuan tek­ nologi komunikasi adalah intemet.13 Seper­ ti halnya miniaturisasi hulu ledak, internet semakin mengumandangkan the death of distance. Lebih dari sekadar menimbulkan kontraksi geografis, jejaring elektronik mungkin di kemudian hari mampu men­ dptakan "bangsa maya" (virtual nations). Kalau terjadi, bisa dipastikan itu akan merupakan tantangan serius bagi kewi­ layahan sebagai salah satu landasan p n­ ting negara-bangsa. Seandainya bangsa da­ pat dibentuk tanpa wilayah, maka kedau­ Iatan menjadi semakin tidak relevan. Iden­ titas kolektif mungkin akan terbentuk, kali ini berupa nilai-nilai global yang tidak berada dalam jangkauan bingkai fisik ke­ wilayahan.

Masih dalam konteks globalisasi, muncul­ nya paradigma keamanan manusia dan ke­ khawatiran terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia membawa pertanyaan ten­ tang penguasaan. Tak diragukan bahwa ke­ khawatiran tentang nilai-nilai kemanusia-

Secara tradisional, hubungan internasional merupakan interaksi antamegara-negara berdaulat dalam dunia anarki. Dalam kon­ sepsi Westphalian, negara mempunyai mo­ nopoli penggunaan kekerasan dalam wila­ yahnya sendiri. Pada tataran intemasional, ketertiban dicapai melalui difusi kekuatan antamegara, khususnya terbentuknya pola hubungan perimbangan kekuatan (balance of power). Tidak mudah untuk menempat­ kan kontraksi kewilayahan dan relativisasi kedaulatan itu dalam konteks sistem nega­

ra-negara. Benang merah yang muncul adalah bahwa setiap usaha untuk mema­ hami masalah keamanan harus dilakukan dengan obyek dan ruang lingkup yang je­ Ias dan oleh karenanya otoritas apa yang kemudian harus bertanggung jawab untuk itu.

Meskipun gejala ini ditahbiskan sebagai sistem negara pascamodem akan terdapat sekurang-kurangnya tiga kategori. Pertama adalah negara-negara pramodem (misal-

GLOBAL Vol . 6 No. 2 Mei 2004 1 1

Page 13: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

" .w/Jtan, Tc ritorialit. . d. n Ke m nan Pr1. a - o rphali, Kusnanto Anggoro

nvr m: I i , Af hani t n, dan Liberia). l r k: n ' ri · k hilan an k mampuannya

untuk m n ihkan, baik independ nsi mt upun supremasi k daulatannya. K 'dua

a , l h n ra modem yang masih dapat rnern rtahankan s b gian b ar dari fung- i kla ikn eb: g i peny dia jasa keaman-

an. ti a dal h ncgara pascamodcrn yang en an ukar 1 ' b r edia melepaskan inde­

P n n si an upr masi kedaulatannya. I r -neg ra ang terg bung dalam Uni Eropa, misalnya, termasuk dalam kategori k ti ini. Hubung n di antara mereka di­ tandai oleh hubungan interdependen yang t rwujud, antara lain, dalam mutual inter-

[crcuce, komitmen untuk mematuhi rejim keamanan bersama yang telah dikodifikasi­ kan, dan transparansi dalam masalah-ma­ salah keamanan.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, re­ sultan antara kedaulatan negara dan ke­ wilayahan negara membawa serta berbagai isu dalam hubungan antarnegara. Dalam model Westphalian, hubungan antamegara berpusar pada isu utama otoritas dan le­ gitimasi. Penguasaan tidak menjadi isu uta­ ma karena kesepakatan tentang, misalnya, non-interference. Sementara itu, dinamika internal bertolak dari hierarki internal se­ hingga menjadikan legitimasi bukan men­ jadi isu u tam a, yang tetap masih berpusar pada soal otoritas dan penguasaan. Masa­ Iah-masalah keamanan transnasional bisa jadi menyebabkan legitimasi, otoritas, dan penguasaan akan menjadi tolok ukur pen­ ting dalam hubungan antarnegara.

Namun ketiga-tiganya belum tentu dapat diterapkan secara legitimate dalam hubung­ an antamegara, khususnya ketika negara­ negara tidak berada dalam suatu sistem yang mampu melembagakan otoritas de-

1 2

mokratis. Sejak Sarajevo (1995) hingga Baghdad (2003), Washington memperke­ nalkan ''kedaulatan kontingensi" (conti­

ngent sovereignty) dan sekaligus hak untuk melakukan serangan kepada sesuatu yang diidentifikasikan sebagai musuh (anticipato­ ry self-defence). Kecenderungan ini sebenar­ nya tidak lebih dari sekadar pengukuhan model kedaulatan berdimensi tunggal. Ka­ lau kecenderungan ini berlanjut, besar ke­ mungkinan negara-negara tidak dapat mencegah erosi gradual dari derajat inde­ pendensi yang mereka miliki. Semakin ba­ nyak mereka kehilangan independensinya, semakin lemah dia untuk mencegah erosi Iebih lanjut, dan, lebih penting lagi, sema­ kin lemah posisinya untuk mempertahan­ kan independensinya yang tersisa.

.

Pertanyaannya adalah apakah semua itu

merupakan isu kedaulatan atau meluJu isu tentang penggunaan kekuatan dalam hubungan antamegara. Banyak kecende­ rungan yang menunjukkan untuk yang di­ sebut belakangan. Jauh-jauh hari gagasan tentang kedaulatan tidak seluruhnya di­ wujudkan secara konsisten dengan ke­ daulatan absolut. Menjelang akhir abad ke- 17, otoritas politik di Inggris telah terbagi, di tangan raja dan parlemen. Sementara itu, para pendiri republik di Amerika Serikat mengguratkan suatu mekanisme checks and

balances dan kedaulatan "serbaragam" (multiple sovereignty) yang didistribusikan kepada pemerintahan negara bagian. yang dengan sendirinya tidak konsisten dengan gagasan hierarki dan supremasi. Berbeda dari yang dibayangkan Bodin dan Hobbes, keadilan dan ketertiban sosial justru ber­ hasil ditawarkan oleh negara demokrasi modem yang dikelola dengan prinsip-prin­ si p yang antitesis kepada gagasan bahwa kedaulatan berarti kekuasaan domestik

GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004

Page 14: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

' f.wl.u. n, Nit r,:1/it.1. cl.111 K,,.m,.111111 P., ,, .. 1 Vi ... tp!,,1/,:1 Ku n nto An gor

i ' I

I

!

. i l

,1 in i tu, k t ik: b: n

l hw: k l a u l t, n n

1' t i d a

k, n ti , mun kin, " i n gnrn-negara

nd Ii , n l ir: n b ran t rtentu ( oft­

ilm, u u) t t" pi m ih untuk yang lain. b r pa hal, aliran kapital in- tern � i n I I b i h i ifikan pada waktu da­ rip da k rang. S lama abad ke-19, mi­ alnx a, n gara-negara Amerika Latin (dan

hin tingkat tertentu, Kanada, Amerika Serikat dan Eropa) terjerembab dalam kri-

i moneter. Masa Depresi Besar (the Great Dept -ion) yang m mpunyai dampak luar bia a pada politik domestik waktu itu juga dimulai oleh runtuhnya sistem pinjaman intemasional. Krisis moneter Asia 1990-an merupakan miniscule dibandingkan dengan Depresi Besar pada waktu itu.

Begitu pula halnya dengan apa yang sela­ ma ini dikenal sebagai efek CNN. Sulit di­ sangkal jika penemuan baru di bidang tele­ komunikasi modem mengingatkan kita pa­ da penemuan mesin cetak beberapa ratus tahun silam. Di jam an i tu, dalam waktu se­ puluh tahun setelah Marthin Luther King mengajukan 95 tesisnya ke gereja Witten­ berg, gagasannya menjangkau Eropa. Be­ berapa pemimpin segera menerima prinsip tersebut dan menggunakan reformasi Pro­ testan untuk mengukuhkan kekuasaannya. Tidak satu pun penguasa monarki yang da­ pat membendung kons p ini dan beberapa d i antaranya bahkan haru turun dari sing­ gasana . Kontroversi ektari n pada abad

GLOBAL Vol . 6 N . 2 M i 2004

k - J • n k - 1 7 mun ak in m m b w k n e­

k u en i pol itik lebih hebat dari , ru inf r­

mr i tr n nasi nal aat ini .

Dibukanya pengir iman barang dalam jum­ lah be ar pad abad ke-19 menimbulkan p rsoa! n yang lebih serius dar i l iberali a i

p rd gangan. Depresi dan meros tnya har­

ga gandum memak a Kanselir Jerman Otto von Bismarck rnernpunyai alasan untuk menyita tanah milik para aristokrat dan ke­ mud ian menjadikannya perusahaan negara yang m njalin aliansi dengan industrialis

kota. Koalisi baja-beras (iron and rye) men­ dominasi politik Jerman selama puluhan tahun. Persoalan tarif juga sudah membe­ lah politik domestik Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Namun, meskipun meningkatnya tingkat impor dan ekspor sejak 1950-an, politisasi perdagang­ an rnenjadi berkurang karena pemerintah mengembangkan pola pengamanan sosial (social safety net) yang memperlunak dam­ pak persaingan intemasional.

Semua itu menunjukkan bahwa negara na­ sional mempuyai kemampuan cukup un­ tuk melakukan berbagai penyesuaian. Jadi, mungkin agak terlalu tergesa-gesa untuk menarik kesimpulan bahwa negara nasio­ nal telah punah. James N. Rosenau pemah mengatakan bahwa "pemerintahan nasio­ nal masih tetap mempunyai kemampuan untuk mempartahankan keamanan dan ke­ tertiban, meski mungkin lebih cenderung mengandalkan kedaulatan koersif". Pe­ ngertian konvensional tentang negara teri­ torial memang perlu diperbarui karena ke­ bijakan dan peraturan nasional dibuat ber­ dasarkan premis penguasaan efektif dalam satu wilayah. Hal yang sama tidak dila­ kukan pada tingkat intemasional, baik k - rena persoalan legitimasi maupun keter-

1 3

Page 15: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

Ku n nt An goro

i l i rn : i itu m . n ,. AfTAR PUSTAKA

Buku

P r UTU

l r

n: aul. l n int m l kstern L I til h

uni , u ,

l h , n .. ml -

i '\ , F. 1999. E olulion of the Doctrine nnd

Pvactic if Humanitarian Intervention. The

H e: Kluw r.

O nn, S. I. n R. S. Peters. 1959. Tlte Prin­ cip!« if Politicn/ Thou iit, New York: Free

C h n, Avner dan Steven Lee. (eds.). 1986. Nuclear Weapons and the Future of Humanity. Totowa, NJ: Rowman and Allenheld.

Dicey, A. V. 1982. n« Law of the Con­ stitution. Indianapolis, IN: Liberty Classics.

Follesdal, Andreas dan Peter Koslowski. (eds.). 1998. Democracy and the European Union. Berlin: Springer Verlag.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, ba­ n ak bukti yang menunjukkan betapa ke­ daulatan seperti itu menghadapi tantangan yang semakin serius, baik karena perkem­ bangan teknologi maupun introduksi nilai­ nilai global seperti responsibility to proteci+'

amun semuanya sebenarnya lebih meru­ pakan persoalan power politics daripada persoalan kedaulatan negara. Pertama, ka­ rena kedaulatan negara memang sejak awal tidak pemah dikonsepsikan sebagai sesua­ tu yang bersifat monodimensional; kedua, negara nasional tampaknya mempunyai kemampuan untuk melakukan berbagai penyesuaian. Oleh karenanya, jika tertib dunia dirancang dengan tumpuan kedau­ latan koersif tanpa memberi hak kedau­ latan non-compliance kepada negara-negara nasiona), yang akan terjadi adalah anarki

global .

1 4

Henkin, L. 1995. International Law: Politics and Values. London: Martinus Nijhoff.

Joerges, Christian, et. al. (eds.). 2000. What Kind of Constitution for What Kind of Polihj? San Domenico di Fiesole, Italy: Robert Schuman Centre for Advanced Studies.

Katzenstein, P . J. dan Stephen D. Krasner. 1999. Exploration and Coniestation in the Study of World Politics. Cambridge, MA:

MIT Press.

Krasner, S. D. 1999. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Princeton: Princeton University Press.

Marshall, J. 1969. Swords and Symbols: 111e

Technique of Souereignrf, New York: Funk &

Wagnalls.

McNeill, W. H. 1963. The Rise of the West: A Histon; of the Human Community. New York: New American Library.

GLOBAL Vol . 6 No. 2 Mei 2004

Page 16: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

't-• I. ubt. n, Teri« ti 1/it.1 · rl.111 K,wn,111,111 /1,1 ,,-1,1 t' tph,1/ic1 Kusn nto An

Bahan Presentasi

1 p ndan an ini antara lain dikemukakan ol h Bri n

Iichc 1 Jenkin , "High Technology Terrorism nd

urrogate War: The Impact of New Technology n

Low-L vel Viol nc ", Proj cl Rand Report #P-5339 S n­

ta Monka, Th Rand Corporation, 1975).

6 KedauJatan selalu terkait dengan penaklukan

dan/atau perlindungan. Tak heran jika siapa yang

mempunyai kew nangan legitimate untuk memegang

kedaulatan juga bergeser dari waktu ke waktu. di­

mulai dengan perlindungan "benteng'', berubah men­

jadi bayangan raja, dan kemudian bayangan kedaulat­

an negara". Lihat Arthur Larson, C. Wilfred Jenks,

dan lain-lain, Sovereignty within the Law (Dobbs Ferry,

New York: Oceana Publications, 1965), hlm. 28.

� B rry Buzan, "Sovereignty," dalam 11,e Concise Ox­

ford Dictionary of Politics, Iain Mclean, (ed.), (0 ford

and New York: 0 ford University Press, 1996), hlm .

464 dan Evans dan Newnham, Dictionary, hlm. 504.

s Stephen D. Krasner, "Compromising WestphaJia,"

Int rnntional Security Vol. 20 {Winter 1995-1996), him.

115 .

ty: Or anized H 1 cri y (Prine ton: Prine t n Uni r i­

ty Pr , 1999), dan Dani I Philpott, Rev lution in S -

rel 1 1 / 1 : Hotu ldeas Shn; cd Modem Int rnati nal R -

Inti 11 (Princeton: Prine ton Univ r ity Pr , 2001).

Menurut G orge Evans dan John Newnham, kon p

kedaulatan pada mulanya dirnaksudkan hanya untuk

negara-negara Kristen Eropa, dan kemudian terma uk

negara-negara di Amerika Utara. Konsep iru tidak di­

maksudkan untuk negara-negara Afrika dan Asia, yang mungkin memang mempunyai pandangan la in . Bodin danHobbes hidup pada masa penuh ketegang­ an osial di, berturut-turut Perancis dan Inggris. Lihat,

George Evans dan John Newnham, Dictionary of lnter­

national Relations (London: Penguin Books, 1998), 572.

7 Ruggero Ranieri dan Vibecke Sorensen, 111e Frontier

of National Sooerei nty: History and 17,eory 1945-1992

(London: Routledge, 1992).

Nichola Tarling, Nations and States in Souutheas! Asia

(Cambridge: Cambridge University Press, 1998).

9 Latar belakang pembentukan negara bangsa di Eropa lihat Chari s Tilly, "Reflections on the History of

European State-Making," dalam Charle Tilly, (ed.),

r n n. 1 9 2. Th

11/y - Hi Ion 11d nd n. R ut l d

. T , muitii 11 of National 1 1r / • Prin t n Uni-

1 1 ', V 1. 2 N . 2, May-

. I , [anu ry-March 2001. ] . 7 ---,

Int rnational S curitv, 20, Winter 1995-1996.

Jenkins, B. M. "High Technology Terrorism and Surrogate War: The Impact of New Technology on Low-Level Violence", Project Rand Report #P-5339/1975 (Santa

onica, The Rand Corporation).

J urual of De111ocraC1J, July 2002.

Mill �11i11m: Journal of International Studies 26.

CATATANBELAKANG

thi s n 1 1 1 / 1 1 t , rnati nnl Affair , 6, 1992.

Jumal

La po ran

Schreuer, C. "The Waning of the Sovereign State: Towards a New Paradigm for Inter­ national Law?", Presentasi Paul H. Nitze School of Advanced International Studies (SAIS) di Washington D.C. pada 21 Februari 1992.

I Lihat, antara Jain, "Sa kia Sas en, Losing Control? Sovereignty in an Age of Globalization", Leonard Ha •

ting Schoff Memorial Lecture , (New York: Columbia Uni er ity Pr , 1996; Stephen D. Kra ner, So erei 11-

1

. j

l

GLOBAL Vol. 6 No. 2 Mei 2004 1 5

Page 17: KEDAULATAN, TERITORIALITAS, DAN KEAMANAN PASCA …

TI,

r

ul. tan, 7i ritorietit d. n Kt

, t i o I SI tr it1

lph lia Kus n n or

I I J arat Chopr

5.

Chi

I Ci mpi

), hlrn. l 2.

ni

hun

ociati n,

l

i nt •, In t nlion,

mp in

Principl ," Milltnni11m: loum I of J ilem tio J I S.ludit

2 (1 7). him. 77;

GLOB, Vol. 6 o. 2 M i 2004