keindonesiaan dalam stiker “soekirman si tukang …

14
49 KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG PARKIR” Riky Azharyandi Siswanto, Lingga Agung *) Abstract Indonesian Culture in “Soekirman Si Tukang Parkir” Stickers. Stickers in messenger apps are designed in order to simplify and to shortend the word used during texting. It will be more efective if the stickers designed with cultural value that suitable with the user. In 2015, on of the well known messenger apps LINE Indonesia conducting a stickers competition with “Indonesian cuture” as the coumpulsary theme. Among the 10 finalists, “Soekirman Si Tukang Parkir” is the one took a lot of attentions because it shows the value of “Indonesian culture” in uncommon way. The research method is qualitative. The qualitative method placed human being as primary object in social cultural event. However, it is believe that “Soekirman Si Tukang Parkir” sticker is designed with very complex mixture of power and knowledge of Indonesian culture that is regarded unusual. In other word, “Soekirman Si Tukang Parkir” has been succesful shows the very honest and true Indonesian “face”. Keyword: design, Indonesian culture, sticker, LINE Abstrak Keindonesiaan dalam Stiker “Soekirman Si Tukang Parkir”. Stiker adalah salah satu peringkas pesan dalam messenger apps. Peringkasan pesan melalui stiker tersebut akan menjadi efektif jika stiker tersebut memiliki nilai kebudayaan yang sesuai dengan penggunanya. Oleh sebab itu, pada tahun 2015, LINE Indonesia mengadakan kompetisi desain karakter stiker yang bertema keindonesiaan. Dari 10 finalis yang terpilih, stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” adalah stiker yang paling menarik perhatian karena menampilkan keindonesiaan melalui karakter Tukang Parkir. Stiker tersebut secara tidak langsung menampilkan sesuatu yang beda dalam visi keindonesian yang umum. Metode penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif menempatkan manusia sebagai obyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Peneliti melihat adanya perkelidanan yang kompleks antara kuasa dan pengetahuan di dalamnya. Dengan kata lain, stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” merupakan sebuah kontruksi berdasarkan kuasa dan pengetahuan keindonesiaan yang dianggap berbeda tersebut. Sehingga keindonesiaan yang ditampilkan secara subtil ke dalam bentuk stiker LINE tersebut secara tidak langsung justru menampilkan keindonesiaan yang berbeda, bahkan yang ‘sesungguhnya’. Kata kunci: desain, keindonesiaan, stiker, LINE *) Desain Komunikasi Visual Telkom University, Bandung. e-mail: [email protected], e-mail: [email protected]

Upload: others

Post on 21-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

49

KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG PARKIR”

Riky Azharyandi Siswanto, Lingga Agung*)

Abstract Indonesian Culture in “Soekirman Si Tukang Parkir” Stickers. Stickers in messenger apps are designed in order to simplify and to shortend the word used during texting. It will be more efective if the stickers designed with cultural value that suitable with the user. In 2015, on of the well known messenger apps LINE Indonesia conducting a stickers competition with “Indonesian cuture” as the coumpulsary theme. Among the 10 finalists, “Soekirman Si Tukang Parkir” is the one took a lot of attentions because it shows the value of “Indonesian culture” in uncommon way. The research method is qualitative. The qualitative method placed human being as primary object in social cultural event. However, it is believe that “Soekirman Si Tukang Parkir” sticker is designed with very complex mixture of power and knowledge of Indonesian culture that is regarded unusual. In other word, “Soekirman Si Tukang Parkir” has been succesful shows the very honest and true Indonesian “face”.Keyword: design, Indonesian culture, sticker, LINE

Abstrak Keindonesiaan dalam Stiker “Soekirman Si Tukang Parkir”. Stiker adalah salah satu peringkas pesan dalam messenger apps. Peringkasan pesan melalui stiker tersebut akan menjadi efektif jika stiker tersebut memiliki nilai kebudayaan yang sesuai dengan penggunanya. Oleh sebab itu, pada tahun 2015, LINE Indonesia mengadakan kompetisi desain karakter stiker yang bertema keindonesiaan. Dari 10 finalis yang terpilih, stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” adalah stiker yang paling menarik perhatian karena menampilkan keindonesiaan melalui karakter Tukang Parkir. Stiker tersebut secara tidak langsung menampilkan sesuatu yang beda dalam visi keindonesian yang umum. Metode penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif menempatkan manusia sebagai obyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Peneliti melihat adanya perkelidanan yang kompleks antara kuasa dan pengetahuan di dalamnya. Dengan kata lain, stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” merupakan sebuah kontruksi berdasarkan kuasa dan pengetahuan keindonesiaan yang dianggap berbeda tersebut. Sehingga keindonesiaan yang ditampilkan secara subtil ke dalam bentuk stiker LINE tersebut secara tidak langsung justru menampilkan keindonesiaan yang berbeda, bahkan yang ‘sesungguhnya’. Kata kunci: desain, keindonesiaan, stiker, LINE

*) Desain Komunikasi Visual Telkom University, Bandung. e-mail: [email protected], e-mail: [email protected]

Page 2: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

50

PendahuluanBudaya pop adalah budaya konstruksi dan hasil-hasil kebudayaannya pun adalah hasil konstruksi pula. Seperti konsep estetika Plato yang menyatakan bahwa kesenian merupakan tiruan dari tiruan. Dalam budaya pop peniruan tersebut dikonstruksi untuk mendatangkan nilai-nilai ekonomi. Tetapi selain hal tersebut, kontruksi yang dimaksudkan di atas dapat pula untuk memperlihatkan nilai-nilai kebudayaan. Stiker LINE misalnya, dalam beberapa hal selalu berupaya untuk menunjukan nilai-nilai kebudayaan dalam konteks yang sangat luas. Oleh sebab itu, stiker LINE telah menjadi salah satu budaya populer yang secara signifikan berpengaruh terhadap penggunannya. Selain itu, stiker LINE sebagai sebuah produk budaya popular telah melahirkan budaya berkomunikasi dengan menggunakan stiker LINE. Komunikasi tersebut diringkas dengan menggunakan stiker LINE sehingga membentuk gaya komunikasi yang simbolik. Simbol-simbol komunikasi tersebut secara fundamental dikonstruksi dari kontruksi kebudayaan yang ada.

Stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” adalah contoh dari konstruksi budaya tersebut. Stiker tersebut didesain oleh Prayoga Danuwirahadi untuk kompetisi stiker LINE dan menjadi salah satu finalisnya. Kompetisi stiker tersebut mengharuskan para pesertanya membuat stiker LINE yang menampilkan keindonesiaan dalam konteks budaya. Menariknya, jika dibandingkan dengan finalis lainnya, stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” bukanlah karakter yang umum untuk merepresentasikan keindonesiaan. Finalis lainnya memerlihatkan keindonesiaan yang umum, seperti Orang Utan, Hijaber, Pocong, dan lainnya. Tetapi stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” sesuai dengan judulnya justru memperlihatkan Tukang Parkir (Juru Parkir). Stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” dalam konteks postmodern dapat dilihat sebagai narasi kecil yang melawan narasi besar atau kebudayaan yang secara kognitif telah mapan di dalam benak orang Indonesia. Stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” adalah Tukang Parkir dalam pengertian etisnya, tukang parkir yang begitu dekat dengan keseharian orang Indonesia khususnya di perkotaan. Hal ini menjadi menarik, karena Tukang Parkir yang terlihat sangat sepele untuk merepresentasikan keindonesian oleh desainernya justru dijadikan representasi keindonesiaan. Penulis melihat stiker tersebut sebagai sebuah wacana yang dikonstruksi tidak hanya oleh realitas dalam konteks narasi besar atau kebudayaan yang mapan tetapi juga oleh narasi-narasi kecil yang secara subjektif tidak dapat terlepas dari konstruksi antar kuasa dan pengetahuan terlebih stiker adalah produk budaya populer.

MetodeMetode penelitian ini adalah kualitatif. Basrowi dan Suwandi mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang berangkat dari inkuiri naturalistik yang temuan-temuannya tidak diperoleh dari prosedur perhitungan secara statistik. Penjelajahan sumber-sumber informasi secara menyeluruh guna mendapatkan hasil penelitian yang faktual sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (2008: 22-23). Penelitian kualitatif pada dasarnya adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai obyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial.

Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017

Page 3: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

51

Secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya, dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas konteks. Di dalam penelitian kualitatif, data-data digolongkan menjadi (1) data auditif, (2) teks, (3) data audio visual, (4) visual, (5) artefak, dan (6) perilaku sosial (Hoed, 2011: 8). Teks digolongkan menjadi dua sub golongan, yang pertama adalah teks yang mewakili pengalaman, yang dapat dianalisis dengan mengidentifikasikan unsur-unsur teks yang merupakan bagian dari kebudayaan dan mengkaji hubungan di antara unsur-unsur itu atau analisis teks dengan bertolak dari analisis kata atau teks sebagai sistem tanda. Kemudian yang kedua adalah teks sebagai objek analisis dengan melakukan analisis percakapan, narasi, atau struktur gramatikal (Hoed, 2011: 8).

Dalam penelitian ini data visual dan data wawancara menjadi yang lebih mewakili fenomena dan bukan angka-angka yang penuh dengan prosentase yang kurang mewakili keseluruhan fenomena. Dari penelitian kualitatif tersebut, data yang diperoleh dari lapangan tidak terstruktur dan relatif banyak, sehingga memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritis, dan mengklasifikasikannya. Dalam penelitian kualitatif, proses penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan hasil yang diperoleh. Karena itu keterlibatan peneliti dalam proses pengumpulan data merupakan hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan. Basrowi dan Suwandi selanjutnya menjelaskan, bahwa dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti merupakan instrumen utama penelitian sehingga ia dapat melakukan penyesuaian sejalan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan (2008: 26).

Penelitian dengan pendekatan kualitatif sangat tergantung pada ketelitian dan kelengkapan catatan lapangan yang dibuat oleh peneliti. Catatan lapangan yang dibuat berisi hasil-hasil wawancara, observasi, maupun dokumentasi yang merupakan unsur intrumen penelitian disamping peneliti. Penelitian kualitatif, bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap fenomena sosial dalam penelitian ini adalah stiker “Soekirman Si Tukang Parkir”. Dalam sebuah fenomena sosial, interaksi dilangsungkan dengan cara berkomunikasi. Proses komunikasi yang terjadi akan melahirkan simbol-simbol yang saling dimengerti oleh pelakunya. Berdasarkan paradigma penelitian kualitatif yang telah dijelaskan di atas, maka data penelitian dibagi menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primer di dalam penelitian adalah stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir” sedangkan data sekunder adalah data-data seperti data audiovisual/rekaman wawancara dengan pembuat stiker tersebut dan berbagai buku.

Aplikasi LINELINE adalah aplikasi instant messenger seperti BBM (Blackberry Messenger), Whatsapp dan lain-lain. LINE dibuat oleh Naver yang berlokasikan di Jepang. LINE sudah ada sejak 2011 namun mulai terkenal sejak 2012 karena stikernya. LINE menyuguhkan serangkaian fitur

KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG PARKIR” Riky Azharyandi Siswanto, Lingga Agung

Page 4: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

52

mulai dari suara, panggilan video, hingga stiker. Kini aplikasi populer tersebut telah memiliki 300 juta pengguna di seluruh dunia (Najib, 2014: 2). Stiker LINE menjadi salah satu alasan megapa aplikasi ini banyak digunakan oleh anak muda. Sama seperti emoji, stiker memiliki fungsi sebagai peringkas pesan dalam berkomunikasi via LINE.

Berbeda dengan stiker pada messenger apps lainnya, stiker LINE memiliki beragam karakter yang menarik, seperti gayanya yang lebih ilustratif dan lebih kekinian (mengangkat karakter dari fenomena yang faktual, contohnya karakter AADC 2) atau karakter-karakter dalam film, animasi, maupun game. Oleh sebab itulah, stiker LINE tidak hanya menjadi sekedar peringkas pesan saja melainkan telah menjadi bagian dari perkembangan budaya populer. Pada awalnya, stiker LINE adalah perkembangan dari emoji yang diperkenalkan pada dekade 90-an oleh provider komunikasi asal Jepang, NTT-DoCoMo. Pada waktu itu, NTT-DoCoMo meluncurkan produk pager yang baru dengan simbol hati (heart) yang dapat dikirim hanya dengan menekan tombol keypad saja. Perkembangan ICT yang begitu cepat memungkinkan peralihan bentuk komunikasi sehingga tidak hanya berkirim pesan, tetapi, gambar, suara, dan video sudah dapat dikirim melalui satu app saja. Hal inilah yang merevolusi emoji menjadi stiker.

Stiker Conny dan Brown yang dirilis oleh LINE menjadi sesuatu hal yang fenomenal sehingga keduannya telah menjadi bagian dari budaya pop. Hal ini dimulai ketika komersialisasi atas stiker tersebut membuahkan hasil luar biasa secara ekonomis. Sebagai properti intektual, keduanya dijadikan souvenir yang ternyata laris di pasaran. Melihat peluang tersebut, LINE Indonesia pada awal tahun 2015 mengadakan kompetisi karakter stiker LINE. Kompetisi tersebut mewajibkan pesertanya untuk merancang satu set karakter stiker LINE yang merepresentasikan, mencirikan, dan memerlihatkan keindonesiaan. Kontes tersebut merupakan sebuah ajang kompetisi desain stiker yang dapat diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia, khususnya para desainer Indonesia muda berbakat (https://id.techinasia.com, 2016).

Stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir” tidak dilahirkan dari homogenitas kebudayaan tetapi dilahirkan melalui sebuah proses reproduksi dan reinterpretasi kebudayaan. Artinya, stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir” merupakan sesuatu yang diproduksi dan memproduksi sesuatu lainnya. Sebagai sebuah wacana, stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir” merupakan entitas yang terbentuk dari berbagai macam ide, konsep, dan pandangan hidup yang dibentuk dan membentuk kembali berbagai entitas yang telah disebutkan sebelumnya. Pertama adalah imaji Juru Parkir yang berasal dari masyarakat kelas bawah. Hal tersebut dapat dilihat dari pemberian nama “Soekirman”, yang dapat diartikan sebagai representasi masyarakat kelas bawah di perkotaan besar yang kebanyakan adalah para pendatang dengan umur yang terbilang masing muda sekitar 20 tahunan, putus sekolah, dan tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. Kedua, gestur Soekirman yang “sok asik” ketika melakukan pekerjaannya dapat diartikan sebagai masyarakat kelas bawah yang berusaha berperilaku baik walaupun himpitan ekonomi sangat mendesak demi mendapatkan rupiah. Ketiga, busana yang digunakan sangat merepresentasikan Juru Parkir semi-legal pada umumnya yang terdapat di kota-kota besar.

Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017

Page 5: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

53

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir” memiliki relasi-relasi yang membentuk stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir” tersebut sebagai wacana yang utuh tetapi penuh dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kontruksi kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan si perancang dan tema lomba yang diadakan oleh pihak LINE sangat mempengaruhi rancangannya tersebut serta kuasa lingkungan yang membentuk imaji Juru Parkir pada umumnya. Seperti yang dijelaskan oleh Foucault bahwa kuasa bukanlah kepemilikan tetapi sesuatu hal yang dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup tertentu di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain (Eriyanto, 2001: 65). Selanjutnya Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Sehingga baginya, kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling mempengaruh. Artinya tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya. (Foucault, 1979:27). Konstruksi tersebutlah yang membentuk imaji Juru Parkir di kota besar pada umumnya.

Kekuasaan teraktualisasikan melalui pengetahuan yang pada akhirnya mempunyai efek kuasa. Oleh karenanya, aktualisasi tersebut selalu menciptakan pengetahuan sebagai abstraksi dari kekuasaannya yang dapat dilihat dari imaji Juru Parkir yang melekat pada stiker Soekirman tersebut di atas. Dari penjelasan tersebut, Si Tukang Parkir sangat dikuasai oleh subjektivitas kultural si perancang sebagai institusi pengetahuan yang pada akhirnya memberikan efek kuasa di dalam Si Tukang Parkir. Efek kekuasaan tersebut hadir sebagai sebuah bentuk pengetahuan yang menelikung bentuk pengetahuan lainnya di dalam struktur Si Tukang Parkir. Hal ini menjelaskan lingkaran kekuasaan yang terus menerus dari satu kuasa ke kuasa lainnya, dari satu pengetahuan ke pengetahuan lainnya. Di dalam Arkeologi Pengetahun Michel Foucalt hal tersebut dijelaskan sebagai lingkaran referensial. Di mana pelbagai entitas kebudayaan tersublimasikan ke dalam sebuah bentuk yang ‘baru’ yakni stiker Soekirman tersebut.

Seperti yang dijelaskan oleh Foucault, segala sesuatu saat ini bersifat subjektif, oleh sebab itu pengetahuan tidak mungkin dipisahkan dari kekuasaan. Sistem yang memanifestasikan kuasa tersebut membentuk sebuah institusi pengetahuan yang mendukung sistem kekuasaan tersebut yang dalam hal ini adalah si perancang stiker dan tentu saja LINE sebagai pihak yang mengadakan kompetisi tersebut dengan tema besar ‘keindonesiaan’. Di dalam konteks ini, terjadi perkelidanan antar pengetahuan. Akan tetapi, si perancang sebagai bentuk pengetahuan mendominasi pengetahuan lainnya sehingga melahirkan sebuah institusi pengetahuan baru yang memanifestasikan subjektivitas dari subjek yang dominan. Sehingga, melahirkan stiker Juru Parkir yang memiliki diferensiasi dengan stiker serupa terlebih mendiferensisasikan keindonesiaannya ke dalam Juru Parkir yang secara kultural dan dalam konteks estetika tertentu tidak masuk ke dalam hitungan sebagai hal bernuansa keindinesiaan tetapi hal tersebut dapat dipatahkan di dalam karya ini. Untuk menganalisis stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir”, peneliti menggunakan teori hermeneutika. Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara

KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG PARKIR” Riky Azharyandi Siswanto, Lingga Agung

Page 6: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

54

harfiah dapat diartikan sebagai “penafsir” atau interpretasi (Sumaryono, 1999: 23). Dengan kata lain, hermeneutik adalah ilmu yang mengembangkan metode pemahaman makna melalui penafsiran. Bahkan, hermeneutik secara eksplisit mempunyai tujuan untuk verstehen sebagai pengertian filsafat melalui abduksi (Hoed, 2011: 92).

Secara prinsipil, hermeneutik menolak model pendekatan ilmiah yang linier baik induktif maupun deduktif. Hermeneutik ingin memahami suatu teks, misalnya, dengan memahami tidak hanya kata-kata di dalamnya, tetapi keseluruhan teks itu sebagai sebuah karya (Hoed, 2011: 92). Akan tetapi hal tersebut tidak sertamerta menuntaskan pekerjaan hermeneutik sebagai sebuah metode pemahaman terhadap makna. Lebih lanjut, hermeneutik harus memahami relasi antar teks dengan pemroduksi sebagai sebuah entitas yang berhubungan di dalam sebuah lingkaran diakronik, yakni jika deduksi adalah suatu proses pemahaman dari kaidah/konsep ke empirik, dan induksi adalah suatu proses pemahaman dari empiri ke kaidah/konsep atau generalisasi, maka abduksi merupakan suatu proses pemahaman yang bersifat dialogis antara objek yang dikaji dan pemerhati/peneliti/penafsir. Dari dialog ini akan terbangun suatu pemahaman. Dalam semiotika Pierce, abduksi hampir sama dengan guessing. Akan tetapi guessing di sini merupakan proses kognitif yang intensif (Hoed, 2011: 92).

Hermeneutik memandang teks sebagai polisemis, sehingga penafsiran menjadi masalah sentral. Jadi, hermeneutik bertujuan untuk verstehen (memahami) melalui metode abduksi, bukan hanya menafsirkan. Interpretasi (penafsiran) selalu merupakan rekonstruksi makna sebuah teks, atau menurut istilah Ricoeur, reproduksi (Hoed, 2011: 93). Hermeneutik Paul Ricoeur memandang sebuah kata adalah juga sebuah simbol, sebab keduanya sama-sama menghadirkan sesuatu yang lain. Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau pendengarnya (Sumaryono, 1999: 106).

Bagi Ricoeur, hermeneutik adalah pemahaman dalam menafsiran teks. Secara antologis, pemahaman tidak lagi dipandang sekedar cara mengetahui tapi hendaknya menjadi mengada (way of being) dan cara berhubungan dengan “segala yang ada” (the beigns) dan dengan “kemengada-an” (the being) (Ricoeur, 2006: 57-58). Ricoeur menggunakan definisi hermeneutika dilihat dari cara kerjanya sebagai pemahaman dalam menafsirkan teks. Gagasan intinya adalah realisasi diskursus sebagai teks. Dalam hermeneutika akan dibahas pula mengenai pertentangan antara penjelasan (explanation) dengan pemahaman (understanding), yang menurutnya menimbulkan banyak persoalan (1981: 145). Hermeneutika tidak dimaksudkan untuk mencari kesamaan antara maksud pembuat pesan dan penafsir. Melainkan menginterpretasi makna dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks yang dikaitan dengan konteks. Seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Suatu interpretasi harus selalu berpijak pada teks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir (Ricoeur, 1981: 197).

Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017

Page 7: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

55

Hermeneutik dan interpretasi tidak pernah lepas dari simbol-simbol. Salah satu simbol adalah bahasa. Batas pembahasannya terletak pada usaha menafsirkan bahasa tulisan yang tertuang dalam kata-kata. Kata-kata sebagai sebuah simbol memiliki makna dan intensi tertentu. Tujuan hermeneutik adalah menemukan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol (kata-kata) dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Adanya simbol, mengundang kita untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknanya yang asli. Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol. Jadi, kekayaan sebuah simbol justru ditemukan dalam maknanya yang sejati sehingga tidak menimbulkan multitafsir (Ricoeur, 1995: 35). Pengada dalam dunia filsafat adalah semua hal yang memiliki hubungan sebab-akibat, artinya sesuatu yang dapat mengadakan. Sedangkan mengada adalah sebuah kegiatan berada (exist), kegiatan mengada ini sifatnya sangat personal atau pribadi, jadi setiap individu memiliki interpretasinya sendiri mengenai sesuatu. Pada pola kedua, peneliti menganalisisnya dengan menggunakan realitas simbol yaitu pemahaman simbol, makna yang membentuk simbol, dan pemikiran.

Prosedur interpretasi terhadap gagasan simbol ada tiga langkah. Pertama, interpretasi dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna gagasan simbol. Ketiga, filosofisnya adalah berpikir dengan menggunakan simbol-simbol sebagai titik tolaknya (Ricoeur, 1985: 298 - 2002: 212). Otonomi teks ada tiga macam yaitu intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi ini, maka yang dimaksudkan dengan dekontekstualisasi adalah bahwa materi teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas, di mana pembacaannya selalu berbeda-beda. Inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi.

Prosedur interpretasi terhadap gagasan simbol ada tiga langkah. Pertama, interpretasi dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna gagasan simbol. Ketiga, filosofisnya, yakni berpikir dengan menggunakan simbol-simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut menurut Ricoeur berhubungan dengan langkah-langkah interpretasi. Pada tahap yang pertama yaitu pemahaman simbol hanya terbatas pada memahami simbol tersebut. Selanjutnya adalah makna yang membentuk simbol, ketika kita sudah memasuki atau membaca suatu karya maka ada makna-makna khusus yang kemudian membentuk simbol-simbol. Sedangkan pemikiran simbolis adalah sejauh mana suatu pemikiran itu menampilkan simbol-simbol, tidak hanya pemahaman dari diri sendiri tetapi juga dari data-data dan narasumber yang terkait. Ketiga langkah tersebut berhubungan dengan langkah-langkah interpretasi bahasa, yaitu semantik, reflektif, dan eksistensial atau ontologisme.

KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG PARKIR” Riky Azharyandi Siswanto, Lingga Agung

Page 8: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

56

Analisis Tahap Dekontekstualisasi Stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir”

Teks Stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir”

Gambar 1. “Soekirman Si Tukang Parkir” (Sumber: http://sticker-contest.LINE.me/indonesia/, 2015)

Nama dari stikernya sendiri adalah “Soekirman Si Tukang Parkir” dan secara visual adalah bentuk karikatur. Karikatur sendiri adalah penggambaran sesuatu objek yang dilebih-lebihkan sehingga menciptakan bentuk atau karakter yang diinginkan. Bentuk tersebut mengvisualisasikan tukang parkir pada umumnya bertopi, memiliki peluit, berkacamata, berseragam, menggunakan baju dalam lengan panjang, bercelana jeans panjang, dan memakai sepatu sport.

Tukang parkir yang dimaksud di sini adalah tukang parkir yang ‘semi-legal’ yang dapat ditemukan di pinggiran jalan, taman-taman kota, swalayan, dan tempat umum lainnya yang kerap kali dijadikan area parkir yang semi-legal. Ada 8 stiker dengan busana yang sama tetapi dengan gaya yang berbeda yang menampilkan ‘pekerjaan’ yang dilakukan oleh seorang Juru Parkir pada umumnya, yakni (1) “Teroos-teros”, (2) “Pagi bos”, (3) “Thanks” (4) “Stop!”, (5) “Ati-Ati bos!”, (6) “Seceng bos”, (7 ) “Sip bos!”, (8) “Hae Cantik”.

Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017

Page 9: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

57

Intensi Perancang LINE “Soekirman Si Tukang Parkir”Perancang merancang stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir” adalah untuk diikutsertakan dalam sebuah kompetisi yakni kompetisi yang diselenggarakan oleh LINE Indonesia pada awal tahun 2015. Kompetisi tersebut diperuntukan untuk masyarakat umum khususnya para desainer muda Indonesia dan mewajibkan pesertanya untuk merancang satu set stiker LINE yang merepresentasikan, mencirikan, dan memerlihatkan keindonesiaannya. Intensi perancang sudah jelas bahwa rancangan tersebut memang diperuntukan untuk kompetisi tesebut, “Jadi sebenernya waktu itu saya mengumpukan di saat-saat menjelang batas pengumpulan, seperti biasa kalo saya mumet ngga punya ide biasanya saya muter-muter kota sama istri saya” (Danuwirahadi, 2016).

Lingkungan Teks LINE “Soekirman Si Tukang Parkir”Stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir” dirancang berdasarkan lingkungan urban kota besar di Indonesia dari si perancang, hal tersebut diungkapkan sendiri oleh si perancang, “Suatu saat saya sedang membeli makanan di sebuah minimarket saya melihat seorang tukang parkir. Nah, disitu saya mulai terinspirasi karena sosok tukang parkir itu sangat khas dan sangat dekat dengan masyarakat Indonesia jadi kalo saya bikin karakter tukang parkir kayaknya lucu. Pada saat itu sih cuma itu yang saya pikirkan. Pertama-tama saya membanyangkan saya sebagai helikopter karena saya perlu memilah keadaan dari sudut pandang yang lebih luas, karena kita perlu lebih open minded dengan lingkungan kita. Dalam mencari suatu hal yang iconic kita harus menghindari hal-hal yang stereotype sehingga ikon yang kita akngan akan sangat mengena namun khas.” (Danuwirahadi, 2016).

Pembaca Teks LINE “Soekirman Si Tukang Parkir”Pembaca teks adalah para pengguna LINE yang ada di Indonesia. Khususnya anak-anak muda.

Analisis Tahap Rekontekstualisasi Stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir”

SemantikSoekirman adalah pemuda tanggung. Nama “Soekirman Si Tukang Parkir” digunakan, pertama untuk merujuk kepada Juru Parkir yang umumnya berasal dari kelas sosial dan ekonomi tertentu (menengah ke bawah) yang ada di kota besar semisal Jakarta dan Bandung. Kedua, merujuk pula kepada istilah ‘Kir-Man’ atau ‘Parkir Man’ alias Juru Parkir. Penambahan ‘Soe’ dibaca ‘Su’ untuk menambah kesan keindonesiaan secara signifikan dalam konteks budaya historis (Jawa). Ketiga, pemilihan nama “Soekirman Si Tukang Parkir” dipergunakan untuk kepentingan komersil mengingat stiker tersebut diperuntukan bagi lomba yang diadakan oleh LINE Indonesia yang setelah terpilih dapat diunduh oleh para pengguna LINE.

Busana yang dipergunakannya pun secara umum ‘meminjam’ busana Juru Parkir pada umumnya yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung walaupun kacamata

KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG PARKIR” Riky Azharyandi Siswanto, Lingga Agung

Page 10: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

58

sepertinya ditambahkan. Karena stiker ini dipergunakan untuk kepentingan berkomunikasi maka dapat dilihat ada 8 gestur yang masing-masing gesturnya dapat dipergunakan di dalam sebuah pesan singkat di antara pengguna LINE, (1) “Teroos-teros” tangan mengadah ke belakang menandakan untuk terus maju, (2) “Pagi bos” memberikan ucapan selamat pagi dengan cara memberikan hormat, (3) “Thanks” mengucapkan terima kasih dengan gestur yang kecewa menandakan tidak diberi uang parkir, (4) “Stop!” dengan tangan yang menghadang, (5) “Ati-Ati bos!” mempersilakan untuk jalan, (6) “Seceng bos” meminta uang parkir dengan muka yang ramah dan kacamata yang dibuka, (7) “Sip bos!” mengacungkan ibu jari tanda semuanya akan baik-baik saja, (8) “Hae Cantik” membuka kacamata berwajah genit sambil memajukan bibir.

(1) “Teroos-teros” tangan mengadah ke belakang menandakan untuk terus maju,

(2) “Pagi bos” memberikan ucapan selamat pagi dengan cara memberikan hormat

(3) “Thanks” mengucapkan terima kasih dengan gestur yang kecewa menandakan tidak diberi uang parkir,

(4) “Stop!” dengan tangan yang menghadang,

Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017

Page 11: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

59

(5) “Ati-Ati bos!” mempersilakan untuk jalan

(6) “Seceng bos” meminta uang parkir dengan muka yang ramah dan kacamata yang dibuka,

(7) “Sip bos!” mengacungkan ibu jari tanda semuanya akan baik-baik saja,

(8) “Hae Cantik” membuka kacamata berwajah genit sambil memajukan bibir.

Gambar 2. “Soekirman Si Tukang Parkir” by Prayoga Danuwirahadi(Sumber: http://sticker-contest.LINE.me/indonesia/, 2015)

Atribut yang dikenakan oleh Soekirman pun berkontribusi dalam menciptakan kesan yang khusus seperti:

1. Topi: topi yang digunakan merupakan topi jenis “trucker” yang bukan merupakan topi “resmi tukang parkir”.

2. Kacamata hitam: kacamata hitam tidaklah umum digunakan oleh tukang parkir di Indonesia kacamata ditambahkan pada karakter Soekirman dengan alasan agar terlihan (sok) keren dan dalam beberapa gestur stiker dapat memberikan kesan “genit”

KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG PARKIR” Riky Azharyandi Siswanto, Lingga Agung

Page 12: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

60

jenis kacamata yang dipilih merupakan jenis “wayferer” yang merupakan jenis yang populer digunakan oleh kaum remaja. Penambahan aksesoris kacamata ini juga justru menguatkan kesan “kampungan” pada karakter Soekirman.

3. Peluit: merupakan identitas yang menjadi ikon tukang parkir di Indonesia pengunaan peluit pada karakter Soekirman menguatkan kesan “tukang parkir” pada setiap audience yang melihatnya.

4. Rompi oranye: dapat dikatakan ini adalah identitas yang paling utama sebagai tukang parkir. Rompi oranye sudah menjadi identitas kunci guna mengidentifikasi sosok tukang parkir sehingga pengunaan rompi oranye dalam karakter Soekirman, sangatlah krusial.

5. Celana Jeans: celana jeans merupakan simbol yang menunjukan kesan “kebarat-baratan” pengunaan celana jeans menimbukan kesan “kampungan” karena terkesan seperti orang kampung.

6. Sepatu “Sneakers”: sepatu yang digunakan justru memperkuat kesan “kampungan” pada karakter Soekirman.

Gambar 3. Penjelasan Atribut dalam Karakter “Soekirman Si Tukang Parkir” by Prayoga Danuwirahadi(Sumber: http://sticker-contest.LINE.me/indonesia/, 2015)

ReflektifNama Soekirman merefleksikan masyarakat kalangan menengah ke bawah perkotaan dengan usia rata-rata 25-30 yang ‘terpaksa’ menjadi juru parkir akibat susah untuk mendapatkan pekerjaan formal dan hal ini dapat menjadi semacam realitas yang tidak terelakkan. Juru Parkir di perkotaan seperti Jakarta dan Bandung memang memiliki ciri-ciri yang diperlihatkan oleh stiker Soekirman tetapi tidak semuanya misalnya dalam kenyataannya beberapa Juru Parkir sudah lumayan berumur sekitar 50 tahunan ke atas. Permasalahan lainnya adalah para Juru Parkir ini umumnya semi-legal tidak jelas secara hukum.

Dalam komunikasi, komunikasi non-verbal lebih banyak digunakan ketimbang komunikasi verbal. Gestur tubuh dan tulisan dalam hal ini masuk ke dalam jenis komunikasi tersebut. Delapan gestur dengan tulisan pada stiker Soekirman dipergunakan dalam rangka mengefektifkan

Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017

Page 13: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

61

komunikasi via LINE. Kedelapan gestur terebut adalah, (1) “Teroos-teros” tangan mengadah ke belakang menandakan untuk terus maju, (2) “Pagi bos” memberikan ucapan selamat pagi dengan cara memberikan hormat, (3) “Thanks” mengucapkan terima kasih dengan gestur yang kecewa menandakan tidak diberi uang parkir, (4) “Stop!” dengan tangan yang menghadang, (5) “Ati-Ati bos!” mempersilakan untuk jalan, (6) “Seceng bos” meminta uang parkir dengan muka yang ramah dan kacamata yang dibuka, (7) “Sip bos!” mengacungkan ibu jari tanda semuanya akan baik-baik saja, (8) “Hae Cantik” membuka kacamata berwajah genit sambil memajukan bibir. Masing-masing gestur disertai tulisan dengan bahasa pergaulan (slang) yang dipergunakan oleh anak muda, dan Soekirman pun pada dasarnya adalah anak muda.

Kedelapan gestur di atas tidak hanya dipergunakan dalam konteks memarkirkan kendaraan tapi dipergunakan dalam konteks komunikasi, inilah salah satu relevansi relasi dan kekuasaan yang terjadi di dalam stiker Soekirman. Misalnya, gestur no. (3) “Thanks” mengucapkan terima kasih dengan gestur yang kecewa menandakan tidak diberi uang parkir, dapat dipergunakan untuk menunjukan kekecewaan manakala sesuatu yang kita inginkan tidak dipenuhi atau tidak digubris tanpa terkesan terlalu kecewa karena menggunakan stiker tersebut. Dan hal tersebut berlaku untuk gestur lainnya dalam sebuah pesan singkat dapat dipergunakan untuk ‘memperhalus’ ketidaksukaan, kekecewaan, dan lain sebagainya. Selain itu dipergunakan pula untuk meringkas pesan jika dan untuk mengakhiri sebuah pesan (masuk ke dalam fungsi untuk memperhalus atau disebut sebagai euphuisme).

EksistensialStiker “Soekirman Si Tukang Parkir” secara eksistensial memang menunjukan keindonesiaannya tetapi bukan keindonesiaan yang sering dilihat di dalam poster promosi objek wisata melainkan keindonesiaan dalam arti yang sesungguhnya. Dalam konteks postmodernisme hal tersebut dapat dipahami sebagai narasi kecil yang seringkali dianggap tidak penting tetapi justru memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan arah kebudayaan. Perancang dalam hal ini telah berhasil menunjukan keindonesiaan yang lebih otentik dalam hal ini kebudayaan urban atau perkotaan. Dalam konteks estetika tertentu bentuk karkatur memiliki kesan yang cair dan ‘lucu’ sehingga orang akan lebih tertarik ditambah warna yang cerah dan karikatur dengan gestur yang lucu dan kalimat yang dapat digunakan dalam beragam konteks komunikasi. Unsur kedekatan dengan masyarakat (penguna aplikasi LINE) di Indonesia ini lah yang menjadi daya tarik orang untuk mengunduh stiker LINE ini.

SimpulanVisualisasi yang digunakan dalam merancang stiker Soekirman secara estetis mengimitasikan Juru Parkir di kota-kota besar yang semi-legal ke dalam bentuk karikatur. Melalui pelbagai analisis di atas stiker “Soekirman Si Tukang Parkir” telah menunjukan kepada kita bahwa keindonesiaan dapat ditampilkan dari hal-hal ‘remeh-temeh’, yang tidak penting, yang ‘marginal’, yang tersingkirkan tetapi justru hal-hal tersebut telah dan menjadi bagian yang imanen di dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia khususnya di kota-kota besar.

KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG PARKIR” Riky Azharyandi Siswanto, Lingga Agung

Page 14: KEINDONESIAAN DALAM STIKER “SOEKIRMAN SI TUKANG …

62

Penggunaan karikatur yang ‘lucu’ dengan kalimat-kalimat yang dapat digunakan dalam beragam konteks komunikasi keseharian anak-anak muda perkotaan adalah upaya komersial mengingat stiker tersebut dirancang untuk keperluan kontes yang dapat menarik perhatian pengguna LINE untuk menggunduh dan menggunakan stiker tersebut.

Analisis Foucault tentang relasi antara wacana, pengetahuan, dan kekuasaan dan juga analisis hermeneutik Ricoeur telah mengafirmasikan bahwa stiker LINE “Soekirman Si Tukang Parkir”dikonstruksi dan dipengaruhi oleh perancang, kompetisi LINE Indonesia, dan lingkungan. Analisis Foucault menghasilkan sebuah keniscayaan relasionalitas yang paradoksial karena di dalamnya terdapat pengetahuan dan kekuasaan yang saling berhadapan antara Soekirman yang terkesan ceria dan bahagia dengan kenyataan Juru Parkir pada umumnya yang berkerja siang dan malam, terik dan hujan demi recehan untuk menghidupi keluarganya atau menurut Foucault, semacam wacana yang mengafirmasikan kekuasaan dan juga menegasikannya. Artinya, realitas sesungguhnya perihal Juru Parkir amatlah kompleks. Di sinilah konstruksi tersebut dapat disimpulkan sebagai sebuah bentuk perkelidanan yang kompleks antara kuasa dan pengetahuan yang membentuk dan dibentuk. Begitu pula keindonesiaan yang terdapat di dalamnya.

ReferensiEriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.Foucault, Michel. 1979. DiscipLINE and Punish: The Birth of the Prison, terj. Alan Sheridan.

New York: Vintage.Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Bantul, Yogyakarta: Kreasi Wacana.Ricouer, Paul. 1985. Hermeneutics and the Human Sciences. Cambridges University Press.Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sumber lainMuhammad Najib. 2014. “Pemaknaan Stiker Emoticon LINE Messenger sebagai Media

Komunikasi Interpersonal Mahasiswa Fisipol Universitas Mulawarman”. E-Journal ilmu Komunikasi. 2 (3): 421-430 ISSN 0000-0000, ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id.

Soekirman Si Tukang Parkir. Sumber: http://stiker-contest.LINE.me/indonesia/, 2015.Wawancara dengan Danuwirahadi tahun 2016.https://id.techinasia.com, 2016.

Dimensi DKV, Vol.2-No.1 April 2017