kppod brief mar apr 2013
TRANSCRIPT
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 1/24
Edisi maret-april 2013
KPPOD
Membangun Indonesia dari Daerah
www.kppod.org
Kesejahteraan Buruh danDaya Saing Perusahaan
Beberapa tahun belakangan ini, kinerja perekonomian Indonesia banyak mendapatkan
pujian. Dengan pertumbuhan 6,3%, tertinggi kedua setelah Cina, tahun 2012 produk domestik bruto Indonesia mencapai Rp 8.241,86 triliun. Pemerintah jugaboleh berbangga karena demi membantu perekonomian global, Indonesia mampumembeli obligasi IMF senilai 1 miliar dollar AS (Rp 9,4 triliun). Demi memacu
pertumbuhan ekonomi dan menarik investor asing, pemerintah senang mempromosikan upahmurah pekerja sebagai keunggulan komparatif di pasar global. Menarik investor memangkeharusan, mengingat penduduk miskin di Indonesia mencapai 28.594.600, atau 11,6% dari
penduduk, dan tingkat pengangguran mencapai 6,14% atau 7.244.956 orang (BPS: 2012). Namunapakah upah buruh murah masih patut untuk dadikan bahan promosi untuk menarik investor?
Nasib buruh kita masih memprihatinkan. Dari 112,8 juta orang yang bekerja (perFebruari 2012), baru 42,1 juta orang bekerja di sektor formal dan 70,7 juta orangmasih di sektor informal yang minim perlindungan sosial dengan upah rendah.Setiap tangal 1 Mei, buruh sedunia termasuk di Indonesia, memperingati hari buruhdisertai tuntutan kesejahteraan dan perubahan kebakan perburuhan melalui aksidemonstrasi. Ini menandakan pemerintah masih kurang memperhatikan nasib buruh. Isu aktual yang selalu didengungkan adalah upah buruh, karena upahadalah pangkal menuju kesejahteraan. Namun tampaknya upah minimum buruh
di Indonesia tidak memungkinkan untuk sejahtera. Dalam menetapkan UMP/K, belum semua daerah menyesuaikan dengan kebutuhan hidup layak (KHL). MeskiUMP/K telah ditetapkan, namun praktiknya belum semua perusahaan mematuhi.Upaya penegakan hukum adalah tugas pemerintah sebagai pihak yang memilikikekuasaan memaksa, sementara buruh hanya bisa menekan melalui aksi-aksinya.
Satu pertanyaan yang sulit dawab adalah, “Bisakah buruh menjadi sejahtera?” Hidup berkecukupan tanpa menghawatirkan masa depan tampaknya masih sebatas angan-angan bagi sebagian besar buruh di Indonesia. Bagi mereka yang bekerja selama 8 jamhanya mendapat upah sesuai UMP, dan jika ingin lebih harus bekerja lembur. Bagi pekerjakontrak, pemutusan kontrak kerja selalu menghantui. Bagi yang sudah berumahtangga,harus bergelut dengan kebutuhan anak istri, biaya sekolah, kesehatan, dan sebagainya.Faktanya belum semua perusahaan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan buruh.
Mensejahterakan buruh bukanlah perkara mudah ditengah persoalan yangmenghimpit perusahaan. Pengusaha harus bersiasat menekan biaya demi menjagadaya saing. Tidak kurang dari 55,5 juta pekerja kita hanya berpendidikan SD ataulebih rendah, hal yang mengakibatkan produktivitas buruh di Indonesia dinilairendah. Pemerintah harus serius mengatasi masalah ini agar kompetensi pekerjadapat memenuhi kebutuhan pasar kerja dan memperoleh upah layak. Disampingpersoalan produktivitas, lemahnya daya saing perusahaan di Indonesia juga disebabkanoleh insesiensi - biaya logistik, pungutan ilegal, birokrasi lambat, dan lainnya.
Pemerintah harus serius menuntaskan pekerjaan rumahnya, seperti penyediaaninfrastruktur, pungutan liar, birokrasi lamban, kepastian hukum, dan jaminan pasokanenergi, yang merupakan kendala utama peningkatan daya saing. Jika masalah ini
teratasi, tentu daya saing produk Indonesia meningkat sehingga pengusaha bisamembayar remunerasi buruh jauh lebih baik dari sekarang. Saat buruh hidup lebihsejahtera, konsumsi akan meningkat, dan perusahaan akan meningkatkan produksinya,dan penerimaan negara dari pajak akan meingkat untuk membiayai pembangunan.
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 2/24
2
EDITORIAL
Ketenagakerjaan dan Peran Pemda
DAFTAR ISI
Susunan Redaksi
KPPODBrief edisi ini hadir dengan topik yang selalu memancingpolemik sengit dalam kehidupan politik dan ekonomi kita:ketenagakerjaan. Sejak jaman kolonial hingga Indonesia menginjakusia merdekanya menjelang 70 tahun, polemik itu bertahan dan boleh
jadi akan senantiasa menjadi masalah permanen.
Tentu ada beragam dimensi dan perspektif dalam membaca isuketenagakerjaan. Pada dimensi politik, isu ketenagakerjaan bukanlahisu teknis tetapi bertransformasi dan menggumpal sebagai isugerakan, isu politik itu sendiri. Pada dimensi ekonomi, rasionalitasteknokratik dalam hitung-hitungan upah buruh selalu menyisakan
trade-o antara orientasi kesejahteraan buruh dengan sisi pertimbanganproduktivitas. Gampang untuk diujar, namun sulit sekali mencari titikakur antara segitiga hubungan upah, kesejahteraan dan produktivitas.
Edisi ini hendak hadir dengan angle isu, dari sisi aktor: peran Pemda.Di sana bergabung antara pembacaan menurut dimensi politik danekonomi. Semangat utama yang menyirati berbagai tulisan dalamedisi ini adalah seruan untuk Pemda menyadari tanggung jawabnyauntuk—meminjam nomenklatur desentralisasi--mengurus bidangketenagakerjaan. Selama ini Pemda terkesan hanya menjadi pihakyang mengatur dan bahkan menyalahkan pihak pekerja/buruh ataupun pelaku usaha, padahal tanggung jawabnya jelas mendasar.
Pemda, melalui instrumen regulasi (Perda), skal (APBD) dananeka program jelas memegang tanggung jawab konstitusionalatas kehidupan Warganya. Mandat itu membawa keterikatan bagiPemerintah/Pemda dalam menjamin hak hidup layak bagi warganya,
bahkan ketika keterbatasan kapasitas menghantui mereka untukmenuai kewajiban tersebut.
Berdasar mandat Konstitusi tersebut, sejumlah regulasi di era otonomimengatur jabaran kewajiban dan domain tugas level pemerintahandi tingkat lokal tersebut. UU No.32 tahun 2004 memasukan isuketenagakerjaan sebagai urusan wajib daerah. Sementara PP No.38Tahun 2007 merinci urusan wajib tersebut ke dalam sejumlah deskripsi
tugas: dari kebakan hingga pengendalian dalam hal pembinaanhubungan industrial, jaminan sosial tenaga kerja, penempatan tenagakerja dalam dan luar negeri hingga fasilitasi peningkatan produktivitastenaga kerja. Bahkan, lebih makro lagi adalah menjamin terciptanyaiklim berusaha yang kondusif agar mesin ekonomi berputar tenang danproduktif. Semua itu jelas jauh dari sekedar tugas rutin menetapkan(baca: menaikkan) upah minimum setiap tahunnya.
Namun, bagaimana realisasi dari mandat wajib tersebut? Berbagaitulisan dalam edisi KPPODBrief ini hendak mengangkat problem dantantangan yang ada, sekaligus apresiasi atas sejumlah pencapaianyang ada. Kepada semua realitas itu, mari kita berkaca, utamanya
pihak Pemda sendiri, untuk bisa terus memperbarui komitmen danmeningkatkan kapasitas guna menenuai mandat utamanya bagipeningkatan kesejahteraan rakyat di daerahnya.
Selamat membaca.
Pemimpin Redaksi:Robert Endi Jaweng
Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito
Sta Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza
Elizabeth Karlinda Illinia Ayudhia Riyadi
Distribusi:Regina Retno Budiastuti
Kurniawaty SeptianiAgus Salim
Tata Letak: Rizqiah D
Winantyo
Alamat Redaksi:Permata Kuningan Building 10th Fl.
Jl. Kuningan Mulia Kav. 9CGuntur Setiabudi
Jakarta Selatan 12980Phone : +62 21 8378 0642/53
Fax : +62 21 8378 0643www.kppod.org
http://perda.kppod.org
http://pustaka.kppod.org
Artikel ......................................... 3
Review Regulasi .......................... 7
Dari Daerah .............................. 10
Opini .......................................... 13
Laporan Diskusi Publik ........... 18
Agenda KPPOD ........................ 20
Seputar Otonomi ...................... 21
Sekilas KPPOD .........................22
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 3/24
3
Instrumen Non-Upah sebagai Jalan Lain Peningkatan Kesejahteraan Buruh:Potret Lemahnya Komitmen Kebakan Pemda
Oleh: Boedi Rheza Peneliti KPPOD
Sebagai salah satu Negara yang termasuk di dalam jajaran Negara-negara dengan tingkat
perekonomian yang cukup maju, Indonesia masih memiliki permasalahan yang cukupkrusial untuk diatasi yaitu kemiskinan. Di Tahun 2012 terdapat sekitar 12% penduduk
yang berada dibawah garis kemiskinan, dengan standar pendapatan kurang dari 1 dollarUS perhari (BPS, 2012). Sementara menurut Bank Dunia, dengan standar penduduk miskin adalah
penduduk dengan pendapatan kurang dari 2 dollar US perhari, jumlah penduduk miskin di Indonesialebih besar lagi yaitu mencapai 50% dari penduduk. Dengan permasalahan kemiskinan yang cukuptinggi, diperlukan suatu pemecahan yaitu penciptaan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerjamerupakan tanggung jawab Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Penciptaan lapangankerja dapat terwujud melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif. Dengan iklim investasi
yang kondusif, maka investor akan menanamkan modalnya dan tercipta lapangan pekerjaan
Namun penciptaan iklim investasi kondusif ini
masih dihadang oleh beberapa masalah, dari aspek
ketenagakerjaan, seperti tingkat produktivitas tenaga
kerja yang rendah dan masih terjadinya konik
ketenagakerjaan. Serial studi KPPOD sejak tahun 2001
menemukan kendala iklim investasi di daerah yang
hingga kini belum terselesaikan adalah persoalan
ketenagakerjaan. Studi KPPOD juga menemukan
bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja yang tersebar
di wilayah kabupaten, masih rendah, sementara biaya
tenaga kerja semakin meningkat (KPPOD: 2006). Patut
disadari, tingkat produktivitas tenaga kerja merupakan
salah satu factor bagi penciptaan iklim investasi di
daerah.
Di sisi lain, konik ketenagakerjaan yang masih
terjadi. Konik ketenagakerjaan kebanyakan berpangkal
pada tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh melalui
peningkatan KHL dan upah minimum. Yang menjadi
persoalan adalah dalam menyuarakan aspirasinya,
para buruh cenderung bertindak anarkis serta tidak
mematuhi prosedur yang berlaku. Unjuk rasa buruh
yang disertai tindakan yang anarkis juga disebabkanlemahnya penegakan hukum dari aparat. Inti persoalan
konik ketenagakerjaan selama ini adalah kesejahteraan
buruh yang masih rendah. Namun apakah kesejahteraan
buruh hanya menjadi tanggungjawab pelaku usaha saja?
Lantas dimana tanggung jawab negara (pemda) untuk
peningkatan kesejahteraan buruh? Negara (Daerah) juga
harus bertanggungjawab atas kesejahteraan buruh.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, dan
mengidentikasi peran Pemda dalam meningkatkan
kesejahteraan buruh, dilakukan penelitian terhadap
peran pemda dalam mensejahterakan buruh. Penelitian
ini dilakukan dengan studi kasus di dua lokasi dan
tinjauan regulasi ketenagakerjaan terhadap perda
ketenagakerjaan di 28 daerah. Dua daerah yang
dadikan studi kasus adalah Kota Batam dan Kota
Surabaya. Kota Batam terpilih karena sebagai salah satu
sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
di Indonesia yang memberlakukan kebakan insentif
pajak khusus untuk mendorong realisasi investasi sektor
riil, terutama industri export oriented. Sedangkan Kota
Surabaya terpilih karena kuatnya gerakan buruh dalam
menyuarakan tuntutan mereka lewat berbagai bentuk
unjuk rasa sehingga diharapkan melalui studi ini dapat
diidentikasi akar permasalahan ketenagakerjaan dari
perspektif serikat buruh.
Instrumen Perbaikan Kesejahteraan Hidup Buruh
Secara garis besar ada dua instrumen yang bisa
digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan buruh
yaitu, instrumen upah dan non upah. Instrumen
upah sudah sangat jelas menggambarkan mekanisme
reward yang diterima buruh setelah menyelesaikan
pekerjaannya. Salah satu bentuk dari instrumen upah
ini adalah Upah Minimum yang ditetapkan di setiap
daerah. Kebakan upah minimum pada hakekatnya
lebih dilandasi pokok pikiran guna memenuhi hak asasi
buruh untuk menerima upah dan untuk hidup layaksesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Sebenarnya,
pemahaman terhadap penetapan upah minimum yang
dikeluarkan oleh pemerintah mengenai keharusan
perusahaan adalah untuk membayar upah sekurang-
kurangnya sama dengan ketetapan upah minimum
kepada buruh yang paling rendah tingkatannya.
Penetapan upah minimum dipandang sebagai sarana
atau instrumen kebaksanaan sesuai untuk mencapai
kepantasan hubungan kerja.
Sementara instrumen non upah adalah instrumen
- instrumen yang tidak berbentuk upah namun lebih
kepada memberikan jaminan-jaminan sosial kepada
tenaga kerja. Salah satu contoh instrumen non upah
adalah penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Secara garis besar, SJSN ini meliputi dua program
Artikel
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 4/24
4
utama, yakni Program Jaminan Kesehatan Nasional dan
Program Jaminan Kesejahteraan Nasional. Program
jaminan kesehatan nasional digelar berdasarkan prinsip
ekuitas, yaitu kesamaan dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan yang lebih baik dan asuransi sosial. Program
ini dikelola oleh BPJS dan mulai diberlakukan sejak
2014. Untuk mendukung program ini diberlakukan
sistem iuran yang di kenakan pada perusahaan atautenaker sedangkan bagi yang tidak mampu, iuran
akan dibayarkan oleh pemerintah. Program jaminan
kesejahteraan nasional meliputi jaminan kecelakaan,
jaminan hari tua, jaminan pension, dan jaminan
kematian.
Kebakan Pemda terkait Ketenagakerjaan
Peningkatan kesejahteraan Buruh, tidak hanya
merupakan kewajiban pengusaha, namun juga
kewajiban Pemda. Dengan meningkatnya Salah satunya
melalui instrumen non-upah. Tujuan dari instrumennon upah ini adalah untuk redistribusi pendapatan dan
solidaritas sosial di masyarakat. Untuk mewujudkan
hal tersebut, dapat diterapkan melalui pembuatan
perda ketenagakerjaan yang memuat instrumen non
upah tersebut. Realisasi peran Pemda dalam upaya
pembangunan infrastuktur sosial untuk peningkatan
produktivitas serta penyelenggaraan instrument
non-upah bagi tenaga kerja membutuhkan panduan
pelaksanaan dan legitimasi yang tertuang dalam
Peraturan Daerah (Perda) ketenagakerjaan. Ironisnya,
belum semua daerah memiliki Perda yang khusus
mengatur tentang ketenagakerjaan. Bahkan, substansi
yang diatur dalam Perda ketenagakerjaan di daerah
juga belum memuat aturan tentang peran dan tanggung
jawab Pemda dalam penyelenggaraan instrument non-
upah untuk peningkatan kesejahteraan hidup tenaga
kerja.
Hanya sedikit Pemda yang mengatur instrument
pengupahan
Daerah umumnya tidak mengatur detail mekanisme
pemberian upah maupun komponen non upah yang
harus diberikan oleh perusahaan, karena hal tersebut
langsung mengacu pada ketentuan pusat. Peran Pemda
dalam instrumen pengupahan ini dapat diterapkan
melalui penetapan Perda mengenai pengupahan. Dalam
hal ini kewajiban penyusunan struktur dan skala upah
bagi perusahaan adalah hal yang bisa dilakukan oleh
Pemda sebagai upaya untuk memberikan kerangka legal
dalam penetapan upah di tingkat perusahaan. Review
terhadap Perda di 28 daerah memperlihatkan, hanya tiga
daerah, yakni Yogyakarta, Pasuruhan, dan Karawang,yang memiliki perda mengenai pengaturan upah tenaga
kerja. Perda Kota Yogyakarta No 13 tahun 2009 tentang
penyelenggaraan tenaga kerja sebagai contohnya,
mengatur mengenai perlindungan pengupahan dan
kewajiban penyusunan struktur dan skala upah bagi
perusahaan. Apabila perda ini diterapkan dengan
baik, dan diikuti daerah lain, tentunya problem terkait
pengupahan bisa diminimalisir.
Instrumen Non-Upah masih kurang digunakan untuk
Peningkatan Kesejahteraan PekerjaPeningkatan kesejahteraan hidup pekerja tidak
dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan instrumen
upah yang dibayarkan pelaku usaha kepada para pekerja
saja, tetapi juga perlu didukung oleh peran pemerintah
secara aktif melalui berbagai instrumen non upah.
Penyelenggaraan instrumen non upah ini seyogyanya
menjadi tanggung jawab dari Pemda disertai dengan
adanya dukungan dari pelaku usaha. Merujuk pada
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota, maka setidaknya terdapat
empat program dan fasilitas instrumen non-upah yang
menjadi tanggung jawab Pemda dalam penyelenggaraan
instrument non-upah sebagai upaya lain peningkatan
kesejahteraan hidup buruh, seperti program pelatihan
tenaga kerja, program penyelenggaraan usaha swasta.
Peran Pemda dalam penyelenggaraan instrumen
non-upah untuk peningkatan kesejahteraan tenaga
kerja masih minim. Ironisnya, sejauh ini keterlibatan
pemerintah dalam melaksanakan instrumen-instrumen
non upah masih sangat kurang. Dalam pelaksanaannya,
program-program tersebut tidak berjalan dengan efektifkarena ketiadaan regulasi berlandaskan hukum yang
secara jelas mengatur pelaksanaan instrumen-instrumen
non upah tersebut. Dengan kata lain, perbaikan
kesejahteraan pekerja selama ini hanya bertumpu pada
instrumen upah yang dibebankan kepada pihak pelaku
usaha. Kondisi ini terjadi pada dua kota yang menjadi
fokus penelitian dalam studi ini, yaitu Kota Batam dan
Surabaya.
Kebanyakan Perda mengatur tentang retribusi
pelayanan perizinan
Berdasarkan hasil identikasi terhadap perda
ketenagakerjaan di 28 daerah, diketahui bahwa umumnya
hanya mengatur pelayanan administrasi perizinan dan
masih bersifat pungutan, seperti seperti pelayanan
Artikel
Instrumen PerbaikanKesejahteraan Hidup Buruh
Instrumen Upah Instrumen Non Upah
Pemenuhan AspekJaminan Sosial
PanganLayanan
KesehatanSandang danPerumahan
PendidikanUsaha dan Kerja
Diagram I.
Instrumen perbaikan kesejahteraan hidup buruh
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 5/24
5
perizinan penempatan tenaga kerja, penyelenggaraan
bursa kerja, wajib lapor ketenagakerjaan, penyimpangan
waktu kerja, pengawasan pemakaian mesin, pesawat,
instalasi dan bahan.
Sebagian besar perda yang mengatur berbagai
pungutan atas pelayanan dan perinan tersebut memiliki
kebermasalahan dalam kejelasan standar prosedur, biaya
dan waktu pelayanan. Hal ini menyebabkan banyak bermunculan problem ketenagakerjaan dan pengaturan
perlindungan pengupahan dan kewajiban penyusunan
struktur dan skala upah bagi perusahaan. Tidak hanya
itu cukup banyak Perda tentang pelatihan tenaga kerja
seperti penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja yang
dapat dilakukan oleh Pemda maupun swasta namun
lebih mengatur pungutan-pungutan untuk pendirian
balai latihan kerja dan kewajiban perusahaan untuk
melakukan pelatihan.
Kebakan proteksionis ketenagakerjaan melanggarkesatuan wilayah ekonomi
Intervensi Pemda dalam hal ketenagakerjaan
tidak langsung pada mekanisme penentuan upah,
namun lebih pada penciptaan kesempatan kerja melalui
upaya proteksionisme tenaga kerja. Dalam upaya
mengurangi pengangguran di daerahnya, beberapa
Pemda menerapkan kebakan yang mewajibkan setiap
perusahaan yang menjalankan perusahaan di daerah
tersebut untuk menggunakan tenaga kerja lokal disekitar
perusahaan tersebut.
Contoh proteksi kepada tenaga kerja daerah adalah
yang dilakukan oleh Kota Cimahi, melalui Perda Kota
Cimahi No. 6 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan
ketenagakerjaan. Perda ini mengatur bahwa setiap
perusahaan memiliki kewajiban memberikan prioritas
bagi tenaga kerja lokal untuk bekerja dengan tetap
memperhatikan kemampuan yang dibutuhkan oleh
perusahaan tersebut. Sebenarnya, perda yang mewajibkan
perusahaan untuk memprioritaskan tenaga kerja lokal
untuk diperkerjakan merupakan bentuk pelanggaran
terhadap amanat yang terkandung di dalam pasal 4 UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam
pasal tersebut, dinyatakan bahwa seluruh warga NegaraIndonesia berhak mendapatkan kesempatan yang
sama untuk memperoleh pekerjaan di seluruh wilayah
Indonesia. Adanya Perda yang memprioritaskan
tenaga kerja lokal untuk diperkerjakan pada akhirnya
membatasi kesempatan bagi tenaga kerja dari luar
daerah untuk memperoleh suatu pekerjaan di daerah
tersebut.
Namun ada pula upaya pemda untuk perlindungan
kepada tenaga kerja yang memiliki kebutuhan khusus.
Sebagai contoh adalah kebakan Pemda Kota Cilegon
dalam Perda Kota Cilegon No. 6 Tahun 2005 tentang
retribusi pelayanan bidang ketenagakerjaan. Perda
tersebut mewajibkan kepada perusahaan untuk
menerima tenaga kerja yang memiliki keterbatasan
kemampuan (disabilities) minimal 1 orang diantara
100 orang yang memenuhi kualikasi. Dengan Perda
tersebut Pemda mengupayakan terciptanya keadilan
bagi semua masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan
termasuk bagi tenaga kerja yang memiliki keterbatasan
kemampuan
Peran Pemda dalam Hubungan Industrial
Peran Pemda melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker)sangat diperlukan dalam upaya mencapai kesepakatan
untuk mengatasi perselisihan hubungan industri antara
pihak pekerja dan pelaku usaha. Perselisihan atau
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat buruh terjadi karena
adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan
perselisihan antar serikat pekerja (SP)/buruh dalam satu
perusahaan. Keempat perselisihan yang telah disebutkan
sebelumnya, memiliki alur penyelesaian yang berbeda- beda karena dilihat dari jenis perselisahan dan akibat
yang ditimbulkan oleh masing-masing perselisihan.
Tetapi pada prinsipnya semua jenis perselisihan harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah/
secara bipartid.
Pemda diharapkan dapat menjadi mediator yang
adil dan netral untuk memimpin negosiasi antara
pihak pekerja dan pelaku usaha dalam menghadapi
perselisihan yang terjadi. Kemampuan Pemda sebagai
mediator untuk mengakomodasi dua kepentingan yang
bertolak belakang antara pihak pekerja dan pelaku usaha
sangat penting untuk menjamin timbulnya keadilan dan
kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Keberhasilan
Pemda dalam memimpin mediasi akan menciptakan
rasa aman sehingga akan berdampak pada penciptaan
iklim usaha yang kondusif. Hal ini penting sebagai salah
satu wujud upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
para pekerja dengan tetap memperhatikan daya saing
dan kemampuan ekonomi pelaku usaha.
Sayangnya, terkait dengan Perda hubungan
industrial, lebih banyak ditemukan pengaturan tentang
pengawasan norma kerja, keselamatan dan kesehatan
kerja, perlindungan terhadap tenaga kerja wanita.Namun kebanyakan perda tersebut justru memuat
pungutan yang membebani pelaku usaha. Salah satu
contoh baik kebakan Pemda dalam mengatur hubungan
industrial adalah Perda Kota Cimahi No.6 Tahun 2010
adanya aturan yang tegas dalam mengatur hubungan
lembaga kerjasama tripartite dan dewan pengupahan,
serta adanya survei yang dilakukan secara tripartite 4
kali dalam setahun untuk menetapkan nilai KHL. Upaya
untuk memaksimalkan lembaga tripartite tersebut dapat
dilakukan dengan adanya komunikasi yang terjalin
secara terus menerus dan pelibatan dari semua pihak
terkait untuk mendiskusikan berbagai permasalahan
terkait ketenagakerjaan termasuk didalamnya
mekanisme penetapan upah dan non upah yang sesuai
dengan kesepakatan bersama antara semua pihak terkait
Artikel
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 6/24
6
melalui mekanisme hubungan tripartite.
Peran pemda dalam meningkatkan produktivitas
Tenaker masih kecil
Dalam upaya peningkatan produktivitas
pekerja, diperlukan komitmen dan peran aktif Pemda
untuk menyelenggarakan berbagai jenis program
pelatihan yang dibutuhkan. Peningkatan produktivitas
pekerja sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya
perbaikan esiensi dan efektivitas kegiatan produksi.
Tingkat produktivitas pekerja dipengaruhi oleh
keterampilan sesuai dengan tingkat pendidikan yang
dimilikinya. Faktanya, bursa pasar tenaga kerja di
Indonesia saat ini masih didominasi oleh para pencari
kerja lulusan SLTA yang notabene masih minim dalam
hal keterampilan dan keahlian yang dimiliki.
Ironisnya, sejauh ini Pemda kurang memberikan
perhatian yang besar terhadap realisasi pembangunan
infrastruktur sosial melalui penyelengaraan pelatihan bagi para pencari kerja. Sebagai contoh, Pemkot Batam
melalui Disnaker masih belum memprioritaskan
anggaran yang memadai bagi penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan untuk para pencari kerja,
sebagaimana yang terlihat pada tabel berikut ini.
Pelatihan tenaga kerja cukup penting untuk
meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Penyelenggara
pelatihan ini dapat dari pemda maupun swasta. Di banyak daerah, pelatihan tenaga kerja ini, sering
kali diadakan oleh perusahaan. Padahal penyediaan
pelatihan tenaker merupakan salah satu kewajiban
Pemda untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Ini
semakin menunjukkan adanya pengalihan tanggung
jawab dari Pemda kepada perusahaan.
Dari sisi regulasi, cukup banyak Perda
ketenagakerjaan yang mengatur tentang pelatihan bagi
tenaga kerja. Namun, kebanyakan pengaturan dalam
perda-perda tersebut lebih menitikberatkan pada
besarnya pungutan yang harus dibayarkan pengusahauntuk memperoleh izin penyelenggaraan pelatihan,
pengesahan sertikasi latihan keterampilan dan uji
keterampilan kejuruan. Tentunya hal ini kontraproduktif
terhadap upaya peningkatan produktivitas tenaga
kerja. Semestinya aturan yang ada harus memberikan
insentif kepada pelaku usaha yang mau melakukan
pelatihan ketenagakerjaan. Penyelenggaraan pelatihan
bagi tenaga kerja, khususnya yang belum bekerja,
semestinya menjadi tanggung jawab Pemda, yang dalam
pelaksanannya bisa saja bekerjasama dengan pelaku
usaha dalam Perda Kabupaten Mojokerto Nomor 4
Tahun 2009, dicantumkan bahwa pelatihan kerja akan
dilaksanakan oleh DLKD (Dewan Latihan Kerja Daerah)
yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan
pekerja. Namun, ternyata biaya penyelenggaraan latihan
oleh DLKD ini dibebankan kepada pihak perusahaan.
Hal ini mengindikasikan terjadinya pengalihan tanggung
jawab Pemda terhadap pihak pelaku usaha.
Catatan Penutup
Meskipun masih sedikit daerah yang membuat
kerangka regulasi untuk meningkatkan kesejahteraanpekerja, namun ada beberapa daerah sudah membuat
Perda ketenagakerjaan yang mengatur tentang
komponen upah dan non-upah dalam upaya menjamin
terciptanya kesejahteraan bagi para pekerja. Keberadaan
perda tersebut mereeksikan komitmen Pemda terhadap
upaya mewujudkan jaminan kesejahteraan
pekerja. Namun, aturan yang dibuat perlu
mempertimbangkan karakteristik dari masing-
masing perusahaan yang ada di daerah
tersebut, seperti kemampuan nansial, sektor
ekonomi dan skala usaha yang berbeda-bedaantara perusahaan yang satu dengan lainnya.
Aturan lanjutan juga diperlukan untuk
mengatur fasilitas-fasilitas kesejahteraan yang
disediakan perusahaan-perusahaan dengan
karakteristik khusus.
Studi ini juga menunjukkan bahwa sejauh
ini, perda ketenagakerjaan yang dibuat daerah
belum mengatur secara tegas pola kemitraan
antara pemda, perusahaan, dan tenaga
kerja/serikat pekerja. Sementara disisi lain komitmen
Pem da masih rendah dalam upaya peningkatan
produktivitas buruh. Terkait hal ini dirasakan perluadanya kebakan daerah yang mengatur secara tegas
besarnya alokasi anggaran untuk program-program
peningkatan produktivitas pekerja..
Yang terakhir, perlu adanya peraturan
ketenagakerjaan yang dapat memberikan kejelasan
mengenai pembagian porsi tanggung jawab Pemda dan
pelaku usaha dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga
kerja dalam bentuk instrument non-upah. Penyediaan
instrumen non-upah dalam bentuk bantuan sosial di
berbagai aspek merupakan sebuah bentuk investasi
sosial yang menguntungkan dalam jangka panjangyang dilandasi oleh dua pilar utama, yakni redistribusi
pendapatan dan solidaritas sosial.
---o0o---
Artikel
NO. NAMA KEGIATANREALISASI
(Rp)PERSEN
(%)
1.Peningkatan Pelayanan AdministrasiPerkantoran
364.221.428 45.38
2. Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur 131.165.000 16.34
3. Peningkatan Kualitas dan Disiplin Aparatur 48.937.750 6.1
4.Pelatihan dan peningkatan keterampilanTenaga Kerja
71.426.000 8.9
5.Operasional Dewan Pengupahan Kota danLKS Tripartut
79.951.000 9.96
6.Operasional penyelesaian HubunganIndustrial
36.814.000 4.58
7. Monitoring dan Evaluasi TK 70.037.000 8.72
JUMLAH 802.552.178 100%
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 7/24
7
Kondisi penduduk menurut mata pencaharian
terdiri dari: pertanian (33,98%), industri pengolahan(24,69%), listrik, gas dan air (0,41%) perdagangan,hotel dan restoran (17,79%) pertambangan dan galian(0,38%). Bangunan (5,21%), keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (0,33%), pengangkutan dan komunikasi(6,66%) serta jasa (10,55%). Berdasarkan data, pendudukKab. Pasuruan cukup banyak yang bergantung darisektor industri pengolahan (24,69%), hal tersebutmenunjukkan bahwa permasalahan perburuhanmenjadi salah satu isu penting yang harus diperhatikanoleh Pemda setempat dalam upayanya meningkatkanperekonomian daerah dan mensejahterakan masyarakat.
Melihat pentingnya isu perburuhan ini, Kab.Pasuruan memberikan kebakan khusus melaluipenetapan Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2012 tentangSistem Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di KabupatenPasuruan. Secara garis besar Perda ini mengatur segala
aspek terkait pelayanan ketenagakerjaan termasuk di
dalamnya hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pekerja/ buruh, pengusaha dan Pemerintah daerah (Pemda).
RINGKASAN ISI PERDA
Pembentukan Perda ini ditujukan sebagai upayapengaturan ketenagakerjaan yang menyeluruh dankomprehensif yang mencakup pembangunan sumberdaya manusia peningkatan produktivitas dan dayasaing tenaga kerja, upaya perluasan kesempatankerja, pelayanan penempatan tenaga kerja danpembinaan hubungan industrial serta perlindungantenaga kerja. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa sistem
penyelenggaraan ketenagakerjaan di Kab. Pasuruan bertujuan: a) terwujudnya perencanaan tenaga kerja; b) terwujudnya sistem pelatihan kerja nasional diDaerah; c) terwujudnya kebakan produktivitas kerja;d) terwujudnya penyediaan dan pendayagunaan
Review Regulasi: Perda Kab. Pasuruan No. 22 Tahun 2012 tentang SistemPenyelenggaraan Ketenagakerjaan di Kabupaten Pasuruan
Oleh: Sri MulyatiPeneliti KPPOD
Kabupaten Pasuruan dikenal sebagai salah satu kawasan perindustrian, daerah pertaniandan perikanan, serta tempat tujuan wisata yang memiliki aneka jenis potensi bisniscukup menjanjikan bagi para penduduknya. Dengan luas wilayah 147.401,50 (3,13%luas Propinsi Jawa Timur), penduduk Kab. Pasuruan tercatat 1.510.261 jiwa (laki-laki
747.376 jiwa dan perempuan 762.885 jiwa (2010 BPS)). Artinya kepadatan penduduk Pasuruhanmencapai 1.024,59 jiwa/km2.
Dokumentasi KPPOD
Review Regulasi
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 8/24
8
tenaga kerja; e) terwujudnya perlindungan dankesejahteraan tenaga kerja; dan terwujudnya
harmonisasi antara pekerja, pengusaha dan pemerintah.
ANALISIS ISI
Perda merespon kebutuhan pengusaha dan tenaga
kerja
Perda ini memberikan hal positif dan pembelajaranpenting bagi daerah lain dalam upaya meminimalisir
konik ketenagakerjaan. Materi yang diatur dalam Perda
ini telah mengacu pada ketentuan perundnag-undangan
yang berlaku. Sejumlah peraturan perundang-undangan
pusat yang menjadi konsideran pembentukan Perda ini
adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, UU no. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan Peraturan Pemerintah terkait perlindungan
tenaga kerja termasuk upah dan pelatihan tenaga kerja.
Selama ini penerapan perda terkaitpenyelenggaraan ketenagakerjaan di beberapa
daerah umumnya lebih didominasi oleh pengaturan
yang bersifat pungutan, namun perda ini telah
mengatur upaya-upaya perlindungan ketenagakerjaan
yang lebih komprehensif. Perda ini mengatur
perlindungan bagi tenaga kerja di Kab. Pasuruan
melalui tersedianya kesempatan bagi pekerja/buruh
untuk mendapatkan pekerjaan dan meningkatkan
kompetensi kerja dengan mengikuti berbagai pelatihan
kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan.
Prioritas kepada tenaga kerja lokal sebagai upayaminimalisasi angka pengangguran
Terkait dengan kesempatan kerja, perda ini
menjamin bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan,
atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan
yang layak di dalam atau di luar negeri dan mendapatkan
jabatan sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat,
minat dan kemampuan dengan memperhatikan harkat
dan martabat, hak asasi dan perlindungan hukum (Psl. 19).
Hal yang menarik dalam perlindungan ketenaga-
kerjaan lainnya adalah berupa kewajiban bagiperusahaan untuk memberikan kesempatan terhadap
tenaga kerja lokal dengan lebih mengutamakan
warga sekitar sesuai dengan kebutuhan perusahaan
tanpa mengesampingkan standar kompetensi tenaga
kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan . Untuk itu
maka dalam merekrut tenaga kerja, perusahaan tetap
berkoordinasi dengan SKPD terkait secara terbuka dan
transparan (Psl.26). Ketentuan untuk memprioritaskan
tenaga kerja yang berada di sekitar perusahaan sebagai
upaya untuk mengurangi angka pengangguran yang
mencapai 36.828 orang (Dinsosnakertrans, 2011).
Di satu sisi upaya proteksi terhadap tenaga kerja
lokal ini terkadang menuai protes dari pengusaha
karena dinilai menghambat hak perusahaan (asas free
internal trade) untuk mendapatkan tenaga kerja yang
sesuai dengan keinginan dan kualikasi perusahaan
namun di sisi lain, kebakan proteksi ini merupakan
salah satu upaya Pemda untuk melindungi tenaga kerja
lokalnya dan sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi
pengangguran sepanjang tetap mengacu pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku (tidak
menetapkan kuota tertentu) dan tetap menyesuaikan
dengan kualikasi tenaga kerja yang dibutuhkan olehperusahaan. Bagi perusahaan, salah satu keuntungan
yang didapat dari perusahaan dengan kebakan ini
adalah tersedianya kebutuhan tenaga kerja yang dekat
dengan tempat produksi memberikan kemudahan
dan biaya murah dibandingkan harus mencari di luar
daerah sehingga operasionalisasi menjadi lebih efektif
dan esien.
Kewajiban penetapan struktur skala upah oleh
perusahaan sebagai jaminan perlindungan upah yang
adil bagi tenaga kerja/buruh Jaminan untuk mendapatkan upah yang adil,
terlihat dari ketentuan dalam perda yang mengatur
bahwa setiap pekerja/buruh berhak mendapatkan
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan dan mewajibkan pengusaha untuk menyusun
struktur dan skala upah dengan memperhatikan
golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan
kompetensi (Psl.38). Dengan adanya ketentuan tersebut
bagi perusahaan mempunyai dasar hukum jelas ketika
menetapkan struktur skala upah. Sedangkan bagi
pekerja/buruh adanya struktur skala upah yang jelas dari
perusahaan, akan medatangkan rasa aman dalam bekerja
dan kepastian hukum yang pasti akan diberlakukannya
suatu kebakan. Bila ketentuan tersebut, dilaksanakan
oleh perusahaan secara konsisten, maka tentunya akan
dapat meminimalisir perselisihan yang bersumber
dari ketidakpuasan akan penetapan upah pekerja.
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa pasal
dalam Perda ini yang perlu diberikan perhatian khusus, salah
satunya adalah ketentuan yang tertuang dalam Pasal 32 ayat
1 butir d. Dalam pasal tersebut, tercantum kewajiban bagi
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja untuk menyetorkanuang kepada bank Pemerintah dalam bentuk deposito sebesar
Rp 250.000.000,00 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
izin operasional. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan
penyelewengan karena ketiadaan kejelasan keperluan dana
tersebut. Selain itu, kewajiban bagi perusahaan untuk
memberikan berbagai bentuk perlindungan (pasal 33 ayat 2
butir a) dan menyediakan fasilitas kesejahteraan bagi tenaga
kerja juga berpotensi menghambat pengembangan dunia
usaha, terutama sektor UMKM. Hal ini disebabkan karena tidak
adanya aturan mengenai kriteria skala usaha perusahaan yang
diwajibkan untuk menyediakan berbagai bentuk perlindungan
dan fasilitas kesejahteraan bagi tenaga kerja tersebut.
Kemitraan sejajar antara perusahaan dan pekerja
Pandangan bahwa perusahaan dan pekerja/
Review Regulasi
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 9/24
9
buruh sebagai mitra kerja yang sejajar merupakan
sesuatu yang harus terus diupayakan perwujudannya,
tercermin dalam muatan materi yang diatur
dalam perda ini. Sehingga, apabila terjadi konik
antar pihak, harus diselesaikan dalam kerangka
hubungan yang sejajar dan adil. Hubungan antar
keduanya tidak dapat dipisahkan karena memiliki
hubungan erat yang saling membutuhkan.Ketentuan mengenai hubungan industrial, yang
diatur dalam perda ini dapat meminimalisir konik
ketenagakerjaan. Kewajiban untuk membentuk dan
mengoptimalkan Lembaga Tripartit dan Dewan
Pengupahan yang diatur dalam perda ini memberi
kerangka aturan main dalam upaya-upaya penyelesaian
konik antar pihak. Selain Lembaga Kerjasama Tripartit
Kabupaten, Perda ini membentuk juga Lembaga
Kerjasama Tripartit sektoral (LKTS) yang dilaksanakan
oleh Bupati selaku ketuanya. Adapun jumlah anggota
LKTS tersebut diatur maksimal 8 orang, yang terdiridari Ketua, Sekretaris dan anggota yang mewakili unsur
Pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/
serikat buruh (Psl. 45). Adapun terkait perselisihan
hubungan industrial, pemogokan kerja, PHK,
dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dalam perda ini, Pemda juga mewajibkan
pengusaha untuk menyediakan fasilitas kesejahteraan
buruh/pekerja, seperti penyediaan fasilitas ibadah dan
menjamin setiap pekerja/buruh berhak mendapatkan
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
hygiene perusahaan, lingkungan kerja, kesusilaan,
pemeliharaan moril kerja, serta perlakuan yang sesuaidengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai
agama dan sebagaimana diatur dalam perundang-
undangan ketenagakerjaan (Psl.33).
Tinjauan terhadap perda ini juga perlu diberikan
terutama pada ketentuan yang mengatur tentang
besaran prosentase kenaikan upah minimum bagi
pekerja yang sudah menikah atau berkeluarga dan/
atau sudah memiliki masa kerja 1 tahun (pasal
37 ayat 4) dan prosentase besaran penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan dalam
perhitungan uang penggantian hak (pasal 54 ayat 4
butir c). Penetapan besaran prosentase yang diatur
dalam Perda berpotensi menimbulkan beban biaya
tinggi, terutama bagi perusahaan-perusahaan skala
UMKM dengan kemampuan nansial terbatas. Oleh
karena itu, sebaiknya besaran prosentase ditetapkan
dengan mempertimbangkan kemampuan nasialmasing-masing perusahaan berdasarkan kesepakatan
antara perusahaan dengan pekerja yang diatur dalam
perjanjian kerja bersama (PKB).
Penutup
Dengan berbagai ketentuan yang diatur dalam
perda ini diharapkan dapat memenuhi harapan
Pekerja/buruh akan adanya pemenuhan hak-hak
pekerja sesuai dengan ketentuan Perundang-
undangan. Dengan perda ini ada kepastian aturan
dalam bekerja tanpa harus dihantui adanya PHKsepihak, atau adanya ketentuan upah yang tidak jelas
dan merugikan pekerja/buruh. Begitu pula dengan
perusahaan yang mengharapkan adanya peningkatan
produktivitas seiring dengan adanya kenaikan skala upah.
Diantara sejumlah ketentuan penyelenggaraan
ketenagakerjaan di daerah yang selalu menuntut adanya
pungutan baik kepada pengusaha maupun tenaga
kerja, Perda Kab. Pasuruan No. 22 Tahun 2012 dapat
memberikan pembelajaran bersama kepada daerah lain
bahwa penciptaan kondisi yang sehat dalam bekerja
lebih diutamakan melalui adanya pengaturan yang jelas
dan tegas akan semua kebakan terkait ketenagakerjaan.Adanya sosialisasi kebakan secara terus menerus
kepada pekerja/buruh dan pengusaha dalam wadah
lembaga kerjasama tripartit sektoral dapat menjadi
salah satu upaya memberikan pemahaman bersama
kepada semua pihak atas kebakan yang diterapkan
oleh Pemda. Dengan begitu diharapkan masing-masing
pihak dapat mengetahui dan melaksanakan peran dan
tanggungjawabnya sesuai ketentuan yang berlaku.
--o0o--
Review Regulasi
Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar 20.000 Perda dalam versi elektronik
menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll).
Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses http://perda.kppod.org.
Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat
menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan
submenu pemesanan perda.
Terima kasih
Bagian Keperpustakaan
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 10/24
10
Serial studi KPPOD sejak tahun 2001 menemukankendala iklim investasi di daerah yang hingga kini
belum terselesaikan adalah persoalan ketenagakerjaan.Studi KPPOD juga menemukan bahwa tingkat
produktivitas tenaga kerja yang tersebar di wilayahkabupaten, masih rendah, sementara biaya tenaga kerjasemakin meningkat (KPPOD, 2006). Permasalahantersebut, ternyata juga dihadapi oleh Kota Batam,sebagai daerah yang perekonomian berbasis industrydengan jumlah tenaga kerja yang bersar. Penyebabutama berbagai konik ketenagakerjaan yang saat inimarak terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesiaadalah kesejahteraan buruh yang masih rendah. Namun,apakah kesejahteraan buruh hanya menjadi tangggung
jawab pelaku usaha? Lantas, dimana tanggung jawabpemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh?
Persoalan ketenagakerjaan meningkat sejalan denganpertumbuhan ekonomi dan investasiPertumbuhan ekonomi Kota Batam dari tahun
2007 hingga 2011 meningkat sebesar 30 persen denganpertumbuhan investasi sebesar 13 persen. Sektor yang
paling berkontribusi dalam pembentukan PDRB ditahun 2011 adalah industri pengolahan (58%) danperdagangan, hotel dan restoran (28%). Hal tersebutmenunjukkan bahwa perekonomian Kota Batam
didominasi oleh sektor sekunder dan tersier dannilainya pun terus meningkat. Dominasi ini juga terlihatdari jumlah perusahaan di wilayah tersebut. Sebesar 60persen perusahaan yang ada bergerak di sektor industri,perdagangan dan perhotelan dengan jumlah tenaga kerjasebanyak 208.571 (66% dari jumlah total tenaga kerja).
Dengan jumlah tenaga kerja mencapai 319.054orang, data Disnaker menunjukkan bahwa sepanjangtahun 2011 telah terjadi 170 kasus perselisihan hubunganindustrial (PHI) yang dilaporkan ke Disnaker KotaBatam. Jumlah tenaga kerja yang terlibat pada kasustersebut pun cukup banyak yakni 714 orang. Namun,
jumlah anggaran yang dialokasikan untuk penyelesaian
kasus tersebut hanya Rp 36 juta. Artinya, rata-ratasetiap kasus mendapatkan anggaran sebesar Rp 210.000.Hal ini sangat disayangkan mengingat sedikitanyaanggaran untuk penyelesaian kasus dapat mempersulitDisnaker untuk menyelesaikan kasus tersebut. Jika
Peran Pemda dalam Peningkatan ProduktivitasTenaga Kerja di Kota Batam
Oleh: Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD
Sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia, Kota Batam merupakandaerah yang ditujukan menjadi tempat penanaman investasi baik asing maupun domestik. Halini menjadi kesempatan besar bagi Pemkot Batam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatBatam mengingat penanaman modal tentunya akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun hal ini
tidaklah semudah membalik telapak tangan, mengingat ada sejumlah permasalahan yang dihadapi daerahdalam menarik investasi.
Sumber: Satu Negeri.Com
Dari Daerah
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 11/24
11
kasus PHI tersebut sulit diselesaikan, akibatnya iklim berusaha di Kota Batam menjadi kurang kondusif.
Upah belum dapat mensejahterakan pekerjamendorong penurunan produktivitas
Sesuai dengan pasal 89 ayat (2) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, nilai UMK yangditetapkan mengacu pada hasil survei kebutuhan hidup
layak (KHL) dimana nilai tersebut ditetapkan di atasatau paling tidak sama dengan nilai KHL. Namun, padapraktiknya dari tahun 2007 hingga 2011, UMK Batamditetapkan di bawah nilai KHL hasil survei. PenetapanUMK di atas nilai KHL baru terjadi pada tahun 2012 dan2013. Melalui perjuangan yang cukup panjang diiringidengan aksi-aksi unjuk rasa dari para buruh, maka UMKBatam tahun 2012 ditetapkan sebesar Rp 1.402.000,00di atas hasil surver KHL sebesar Rp 1.302.992. Begitupula di tahun 2013, UMK ditetapkan sebesar Rp2.040.000,00 lebih tinggi 7,37 persen dari KHL-nya.
Selama ini, besarnya upah sesuai UMK yangditerima buruh sulit untuk mencukupi kebutuhansehari-hari. Mereka pun sulit bekerja optimal danproduktif jika kebutuhan dasar hidup tidak tercukupisehingga mereka bekerja dalam keadaan tidak senang.Untuk menyiasatinya, mereka mengulur-ulur waktupekerjaan sehingga tugas tersebut dikerjakan diluar jamkantor (lembur) agar mendapat uang tambahan. Kondisiini memperlihatkan produktivitas buruh masih rendah.
Penetapan UMK Batam 2013 meningkat 43 persendari tahun sebelumnya. Namun, menurut para buruhdi daerah tersebut peningkatan upah yang cukup besartersebut tidak serta merta memperbaiki kesejahteraanhidup para buruh. Hal ini terjadi karena sebelumpemberlakuan kenaikan UMK, harga-harga barangkebutuhan pokok terus mengalami kenaikan, karena
tidak ada upaya pemerintah untuk mengendalikanharga-harga di pasar sehingga harga tersebut dibiarkanterus melambung tinggi. Dengan demikian, meskipunkenaikan UMK tinggi, daya beli buruh tidak meningkatsehingga kesejahteraan buruh pun belum meningkat.
Belum ada peraturan daerah yang mengaturmengenai pengupahan
UMK diberikan kepada para pekeja lajang yang baru bekerja kurang dari enam bulan di suatu perusahaan. Jika nominal UMK meningkat, maka pekerja lain yangtelah bekerja lebih dari enam bulan juga menginginkankenaikan upah. Inilah yang dikenal dengan istilah upahsundulan. Jika UMK meningkat tanpa diikuti dengankenaikan upah pekerja lain yang masa kerjanya lebihlama, maka hal ini akan menimbulkan kecemburuanantar pekerja dalam perusahaan tersebut. Akibatnya,produktivitas pekerja lain akan sulit ditingkatkan.
Kekisruhan terkait penentuan upah sundulanini tidak pelu terjadi jika setiap perusahaan telahmenetapkan struktur dan skala upah buruh, sebagaimanayang diamanatkan dalam Keputusan Menteri(Kepmen) No.49 Tahun 2004. Ironisnya, hampir seluruhperusahaan di Kota Batam belum mempunyai strukturdan skala upah yang mengatur besarnya kenaikan upah bagi para pekerja dengan karakteristik yang berbeda, baik dari posisi kerja ( job desk), tingkat pendidikan,
pengalaman maupun masa kerja. Tidak hanya itu, padapraktiknya sangat jarang perusahaan berunding denganserikat buruhnya mengenai kenaikan upah sundulan ini.
Penetapan struktur dan skala upah berbeda-bedaantar perusahaan tergantung pada sektor usaha dan
karakteristik produk yang dihasilkannya. Meskipundemikian, perlu adanya regulasi khusus dari pemdayang dapat dijadikan acuan dan panduan dalampenetapan struktur dan skala usaha tersebut. Sanksitegas berupa pemberian denda maupun pencabutan izinusaha juga pelu diterapkan bagi perusahaan yang belummemiliki struktur dan skala upah dengan demikian,diharapkan pihak pengusaha memiliki kesadaan
tinggi mengenai pentingnya hal tersebut sebagaiacuan penetapan besaran kenaikan upah sundulan.
Pembangunan rusunawa oleh Pemda sebagai upayapeningkatan kesejahteraan buruh
Dalam upaya peningkatan kesejahteraan buruh,pemkot Batam bekerja sama dengan KementerianPerumahan Rakyat (Kemenpera) dan JaminanSosial Tenaga Kerja (Jamsostek) membangun rumahsusun sederhana sewa (rusunawa). Pembangunanrusunawa ini sebagai upaya untuk menurunkan biaya transportasi buruh sehingga diharapkan buruhtidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuktransportasi dan biaya tersebut dapat digunakanuntuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya.
Berdasarkan hasil inventarisasi Kemenperayang dilaksanakan tahun 2005-2011, di Kota Batamterdapat empat twin block (TB) yang telah diserahkankepada penghuni yakni di Muka Kuning dan TanjungUcang Batam. Namun, pembangunan rusunawa inidinilai belum efektif oleh para buruh. Mereka kecewakarena bangunan tersebut bukan hak milik pribadi.Selama ini yang mereka butuhkan bukan rumah sewa,melainkan rumah susun sederhana milik (rusunami).Dengan bangunan yang bersertikat hak milik,kesejahteraan buruh di masa mendatang lebih terjamin.
Komitmen Pemda untuk meningkatkan produktivitaspekerja.
Pemda juga berkewajiban untuk terlibat dalamupaya peningkatan produktivitas tenaga kerja di daerah.Hal ini membutuhkan komitmen dan peran aktif Pemdauntuk menyelenggarakan berbagai program pelatihan.Sayangnya, sejauh ini belum ada perhatian yang besar dai pemda terkait program pelatihan tersebut.Dengan keterbatasan anggaran disnaker, dimana padatahun 2011 hanya 8,9 persen yang diberikan untukpelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja,program pelatihan tersebut belum sepenuhnya efektif.Selain hanya diselenggarakan selama satu minggu, bentuk pelatihan yang diselenggarakan pun hanyasebatas pelatihan umum, seperti pelatihan las dasar,montir, dan kewirausahaan. Keterbatasan waktupenyelenggaraan pelatihan tersebut menyebabkantransfer pengetahuan yang diberikan kurang optimal.
Keterbatasan anggaran, menyulitkan pemdauntuk penyelenggaraan program pelatihan untukmeningkatkan keahlian dan produktivitas para pekerja.Sebagai alternatif solusinya, pemda akan memungutretribusi IMTA (Izin Memperkerjakan Tenaga Asing)dimana hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan berbagai program peningkatan produktivitas. Tiapperusahaan yang memperkerjaan tenaga asing, wajibmembayar US$ 100 per tenaga kerja. Izin yang baru
mulai diberlakukan pada tahun 2013, ditargetkanhasil retribusi yang tekumpul pada tahun ini sebesarRp 20 Milyar. Menurut Kepala Disnaker Kota Batam,pemberlakuan IMTA ini, ditujukan untuk mengurangitenaga kerja asing sehingga investasi yang masuk lebih
Dari Daerah
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 12/24
12
banyak menyerap tenaga kerja lokal, bukan asing.Hasil IMTA pun digunakan untuk meningkatkanproduktivitas dan daya saing pekerja lokal.
Dalam upaya peningkatan produktivitas pekerjamelalui kebakan IMTA, Disnaker Batam sedang berupaya untuk mendorong sistem sertikasi keahliankerja. Meskipun di tingkat nasional sudah ada BadanNasional Sertikasi Profesi (BNSP), namun masih banyak
kegiatan yang belum dipublikasikan secara menyeluruhdan belum menyentuh hingga tingkat daerah. Olehkarena itu, dibutuhkan lembaga pelatihan bersertikasikhusus untuk melahirkan para pekerja bersertikasidimana keahliannya diakui dalam pasar tenaga kerjalokal maupun internasional. Dengan sertikat yangdimiliki setiap pekerja, pekerja diharapkan dibayarsesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Programpeningkatan produktivitas tenaga kerja tersebutmerupakan salah satu bentuk dorongan dari Disnaker.Disamping mendorong dari pihak pekerja, Disnaker jugamendorong pihak perusahaan agar untuk melakukanprogram peningkatan produktivitas tenaga kerja. Oleh
karena itu, kedepan para pengusaha pun didorong untukmerekrut para pekerja yang telah bersertikasi tersebut.
Program peningkatan kesejahteraan pekerja olehperusahaan
Beberapa program pernah diselenggarakan olehperusahaan. Misalnya, program beasiswa untuk anakpara buruh. Namun, beasiswa tersebut hanya diberikankepada para buruh yang memiliki upah di bawah Rp1.000.000. Padahal saat itu, UMK Batam sudah mencapai
Rp 1.500.000 sehingga tidak ada anak buruh yangmenerima beasiswa tersebut. Selain itu, pada tahun2011 juga pernah dibentuk koperasi buruh denganskala besar untuk menjual berbagai kebutuhan hiduppara buruh dengan harga yang murah. Namun dalampelaksanaannya, koperasi tersebut tidak bejalan dengan baik mengingat para pengurusnya adalah perwakilan buruh dan pengusaha, dimana mereka memiliki
pekerjaan utama. Akibatnya, mereka sulit membagi waktuantara pekerajaan utama dengan mengurus koperasiyang akhirnya pengelolaan koperasi tidak berjalandengan optimal dan koperasi tersebut harus ditutup.
Catatan AkhirHingga saat ini, program-program yang
diselenggarakan dalam rangka peningkatankesejahteraan buruh, baik yang diselenggarakan olehpemerintah maupun perusahaan, belum menyentuhsubstansi permasalahan yang dialami oleh buruh. Olehkarena itu, perlu adanya aturan baku yang mengaturhubungan antara pemerintah, perusahaan dan buruh
agar terjadi sinergisasi kebakan. Keberhasilan upayapeningkatan kesejahteraan buruh pun bergantungpada Pemda dalam membuat program yang efektifsehingga tercipta sinergi yang baik antara Pemda,pelaku usaha dan buruh. Sinergi yang baik antarpihak yang terkait dapat memberikan jaminanperlindungan serta kesejahteraan bagi para buruhsehingga produktivitas diharapkan dapat meningkat.
--o0o--
Dari Daerah
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 13/24
13
Perspektif hak asasi tersebut memiliki pendasaranlosis yang kuat. Menyitir konstatasi JeremmyBentham--sekedar menukil satu nama yang meletakanfondasi perspektif hak dasar ini-- Pemerintah memangkutanggung jawab untuk menjamin the welfare of their
citizens, yang dalam topik bahasan KPPODBrief ini berarti pekerjaan dilihat sebagai sebagai instrumenpenyejahteraan dan membuka akses keadilan inklusif bagi segenap warga negara.
Pemda, lewat instrumen regulasi (Perda), skal(APBD) dan aneka program (PPUS, dll.), tidak sajadituntut untuk berperan sebagai institusi alternatiftatkala warga negara belum mampu menyantunidirinya atau hanya menjadi substitusi ketika pasar(pelaku usaha) terbukti gagal bekerja (market failure)menyediakan lapangan kerja atau menyejahterakan buruh/tenaga kerjanya, tetapi memang dalam dirinya
Negara itu menjadi pihak yang sesejatinya bertanggung jawab guna menjamin terpenuhinya hak hidup layakwarga sebagai esensi makna keadilan.
Pertanyaan yang hendak diulas kemudianadalah: bagaimana Pemda melihat tanggung jawab
Ketenagakerjaan di Era Otonomi:Kritik atas Disfungsi Pemda dalam Melaksanakan Urusan Daerah
Oleh: Robert Endi Jaweng
Direktur Eksekutif KPPOD
Mandat UUD 1945 prihal tanggung jawab konstitusional Negara atas kehidupan Warganyamembawa keterikatan bagi Pemerintah/Pemda dalam menjamin hak hidup layak setiap orangdi negeri ini. Instrumen utama guna memastikan jaminan hidup layak tersebut, antaralain, berupa ketersediaan lapangan kerja dan akses terbuka bagi warga untuk bekerja atau
memasuki pasar kerja. Implikasi mandat wajib ini pada gilirannya menempatkan Negara sebagai subjekhukum yang bertanggung jawab atas masalah ketenagakerjaan, baik yang melibatkan pihak swasta sebagai
penyedia lapangan kerja maupun lapangan kerja yang disiapkan Negara sendiri.
konstitusional tersebut? Benarkan mereka menyadaridan berkomtimen untuk menenuai mandat wajibnya,atau justru menggeser mandat tersebut menjadi bebanpelaku usaha, seolah ikhtiar penyediaan lapangankerja memang sejatinya kewajiban sektor bisnis? Lebih
spesik lagi dalam konteks desentralisasi, sejauh manaPemda memenuhi uraian-tugas yang menjadi domainurusan daerah seperti digariskan UU No.32/2004 danPP No.38/2007? Guna menjawab sebagian pertanyaantersebut, bahasan tulisan ini akan mengangkat polakebermasalahan maupun capaian di daerah denganmerujuk berbagai hasil studi maupun pencermatanlapanagan penulis sendiri.
Urusan Wajib, Pengingkaran NegaraKerangka regulasi pokok yang mengatur
prihal otonomi daerah, yakni UU No.32 Tahun 2004,
menepatkan bidang ketenagakerjaan sebagai salah satuurusan wajib Pemda. Hal ini jelas logis jika mengingatarahan konstitusi di atas yang menempatkan soal kerja/lapangan kerja menjadi masalah sentral di mana Pemdasebagai bagian pranata pemerintahan bertanggung
Sumber : hp://www.memobee.com
Opini
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 14/24
14
Opini
No.PokokUrusan
Rincian tugas
1 Perencanaan/Kebakan
1. Penanggungjawab urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.2. Pelaksanaan kebakan pusat dan provinsi, penetapan kebakan daerah, pembinaan dan
pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala
kabupaten/kota.3. Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerjamikro pada instansi/ tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasiketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
2 PelatihanProduktivitasTenaga Kerja
1. Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota.2. Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota.3. Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota.4. Penyelenggaraan perizinan/ pendaaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjajian
magang dalam negeri.5. Koordinasi pelaksanaan sertikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala
kabupaten/kota
3 PenempatanTenaga Kerja
Dalam Negeri
1. Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaaran pencari kerja (pencaker) dan lowongankerja.
2. Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skalakabupaten/kota.3. Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna
tenaga kerja skala kabupaten/kota.4. Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala
kabupaten/kota.5. Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/
kota.
4 PenempatanTenaga KerjaLuar Negeri
1. Pelaksanaan penyuluhan, pendaaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota.2. Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota.3. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang
pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota.4. Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota.
5 HubunganIndustrial dan Jaminan SosialTenaga Kerja
1. Penerbitan dan pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh danpendaaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaanpenyedia jasa pekerja/buruh.
2. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupanperusahaan di wilayah kabupaten/kota.
3. Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/kota.
4. Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiterdi wilayah kabupaten/kota.
5. Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota.6. Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur.7. Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota.8. Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota.9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala
kabupaten/kota.10. Verikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Buruh skala kabupaten/kota.11. Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan
melaporkannya kepada provinsi.12. Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga-
lembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil verikasi.
6 PembinaanKetenagakerjaan
1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.2. Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala
kabupaten/kota.3. Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/
kota.4. Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap perusahaan dan pengusaha yang
melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.5. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi,
keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.6. Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan
kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.
(Cuplikan sejumlah Urusan Pemda Kab/Kota menurut PP No.38/2007)
Tabel 1: Perencanaan hingga Pembinaan Ketenagakerjaan
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 15/24
15
jawab mewujudkannya. Pada tingkat instrumentasikebakan, UU tersebut diterjemahkan lebih operasionallewat PP No.38 Tahun 2007 yang mengatur pembagianurusan Pusat dan Daerah, termasuk dalam hal ketenaga-kerjaan yang dibagi antarlevel pemerintahan (Pusat,Propinsi, dan Kabupaten/Kota).
Khusus yang menjadi domain Pemda Kabupaten/
Kota, irisan sebagian urusan yang dibagi oleh beleidpenting dalam tata desentralisasi tersebut dapatdiringkas dalam tabel berikut.
Melihat deskripsi tugas di atas, secara legal-formalsesungguhnya masalah tenaga kerja dan faktor pengaruhinti bagi penciptaan kesempatan kerja berada padatangan Pemda. Meskipun dalam praktiknya penyediaanlapangan kerja hampir mutlak dilakukan pihak swasta,Pemda memegang peran secara langsung maupun taklangsung bagi terbukanya pasar kerja, produktifnyatenaga kerja, meningkatnya kesejahteraan tenaga kerja,dst. Melalui instrumen kebakan (regulasi, skal) danprogram yang dimilikinya, Pemda berkesempatanmengkapitalisasi segala modal dan sumber dayatersebut bagi misi perbaikan kondisi hidup layakwarganya, termasuk efek-ganda yang berpengaruh atasangkatan kerja yang belum terserap dunia kerja ataupun yang tidak dalam usia produktif.
Namun, alih-alih bekerja dalam logika wajardemikian, tendensi umum di banyak daerah justrumemunculkan tipologi masalah yang menunjukangerak kontras dalam realitas faktualnya. Pada sebagiankasus, Pemda bahkan memerankan diri sebagai faktornegatif bagi pencapaian misi yang diamanat Konstitusidan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada.
Halaman-halaman selanjutnya dalam rubrik ini akan berisi daar masalah yang secara langsung maupun taklangsung mengarahkan hulu sebabnya ke pihak Pemda,di mana sebagian besarnya justru kontradiktif denganatau paling tidak mendistorsi tugas-tugas sebagaimanayang ditampilkan dalam Tabel 1 di atas.
Pertama, pada tataran makro, laju penciptaanlapangan kerja adalah fungsi dari bergerak dantumbuhnya suatu perekonomian. Tidak ada suatulapangan kerja, terutama di sektor formal, yang bisatercipta tanpa ada pertambahan nilai yang dihasilkandari suatu tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebagian ahlimencatat, dalam standar normal, suatu pertumbuhanyang berkualitas diperkirakan akan membawa dampak bagi terbukanya kesempatan kerja baru untuk 200hingga 300 ribu tenaga kerja. Suatu pertumbuhan berkualitas, atau sering juga disebut pertumbuhancum pemeraatan, selain terjadi karena pengaruh faktorkonsumsi masyarakat atau belanja pemerintah tapiterutama pula didorong investasi swasta yang jauhlebih banyak membawa input ke dalam mesin produksi.
Dalam konteks itu, tak banyak pilihan lain bagipemda kecuali mendorong ekonomi berputar, denganinvestasi sebagai titik tumpu. Bukan pemda yang bertugas berinvestasi, apalagi bagi daerah yang belanja
modalnya jauh lebih rendah dari belanja birokrasi,namun pelaku usaha swasta atau BUMN/D. Tugaspemda adalah menjamin iklim berusaha yang kondusif,membuka segala sumbatan, serta menghadirkan
lingkungan yang nyaman bagi semua orang untuk berproduksi secara optimal. Sejauh mana pemdamampu membenah sisi kebakan dan tata kelola bagilayanan dunia usaha akan menentukan daya saingdaerahnya dalam hal menarik investasi (realisasi)maupun mengembangkan usaha yang sudah ada(existing investment). Inilah peran kepemerintahan
yang kian terasa krusial di era perekonomian moderndewasa ini.
Jika bertolak dari cara pandang di atas,kecenderungan umum yang terjadi adalah Pemdatidak sepenuhnya menyadari dan berkomitmen untukmenata aspek kepemerintahannya bagi penciptaanlingkungan usaha yang kondusif. Studi TKED yangsudah dipublikasi secara luas oleh KPPOD (2011) ataustudi-studi terkait lainnya menunjukan kebermasalahanserius pada ketersediaan dan kualitas berbagaiprasyarat pembentuk lingkungan usaha: dari tatakelola infrastruktur sik hingga kapasitas birokrasi itusendiri dalam membuat regulasi usaha dan mendesainkelembagaan yang efektif bagi pelayanan investasi.Deregulasi dan debirokratisasi belum berjalan baik,sementara program nyata bagi pengembangan usaha belum mengalirkan dampak signikan bagi peningkatanproduktivitas. Tantangan utama berusaha di negeriini masih belum beranjak dari problem inesiensi dankorupsi yang tinggi, menggenapi masalah mendasarlainnya terkait dinamika ekternal regional/global.
Kedua, berkenan masalah ketenagakerjaan,lemahnya komitmen dan kapasitas Pemda dalammenjamin lingkungan berusaha ditandai kontribusiyang rendah dalam merealisaikan berbagai tugas yang
digariskan sebagai domain urusan daerah di atas. Boleh jadi, pemda bahkan tidak menyadari adanya tugas wajibtersebut, setidaknya jika melihat kecenderungan merekayang selalu melempar tangung jawab pemenuhannyakepada pihak swasta, mencari kambing hitam jikaterjadi persoalan, seolah Pemda berdiri sebagai pihak“luar” dalam konstruksi hubungan tenaga kerja danperusahaan atau berlagak sebagai pahlawan yangmencoba menengahi para pihak bertikai sembarimenangguk keuntungan politik dengan mamainkansentimen keberpihakan dan dinamika lapangan yangada.
Mari kita lihat, misalnya, tugas generik pemdasebagai “penanggungjawab urusan pemerin-tahan bidang ketenagakerjaan”. Tanggung jawab yangdiamanatkan PP No.38 Tahun 2007 tersebut membawapemda kepada keterikatan akan kewajiban untukmenjamin terbukanya lapangan kerja lewat kehadiraninvestasi, memadainya produktivitas tenaga kerja untuk bisa memenuhi standar tuntutan pekerjaan terkait, sertameningkatnya kesejahteraan para pekerja. Tentu sajatak realistis untuk membayangkan Pemda mengerjakandan memnuhi sendiri semua kewajiban tersebut, namuntetap saja tanggung jawab akhir berpulang kepadapemda. Di sinilah tantangannya: mengintrodusir
kebakan yang tepat untuk mendorong pelaku usaha bisa berusaha dengan tenang, tenaga kerja mampu bekerja secara produktif, menjamin kesejahteraantenaga kerja baik lewat instrumen upah (peran pelaku
Opini
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 16/24
16
usaha) maupun non-upah (peran pelaku usaha danpemda).
Dalam kenyataan, bagaimana perwujudan tugasgenerik tersebut? Peningkatan produktivitas nyarishanya menjadi urusan perusahaan dan pekerja itusendiri. Program pengembangan usaha yang disediakanPemda dalam bentuk pelatihan tenaga kerja tidak
berjalan optimal dan irrelevan dengan jenis kebutuhandunia kerja. Selain itu, sebagaimana temuan TKED2011, program yang sejatinya lebih dibutuhkan olehskala usaha mikro-kecil-menengah itu justru “salahsasaran” lantaran banyak dimanfaatkan skala usaha besar. Banyak pula pemda yang justru tidak memilikiprogram peningkatan produktivitas yang jelas, tidakmemiliki kelembagaan Balai Latihan Kerja (BLK), tidakmemiliki aloksi dana khusus bagi diklat persiapan bagimasyarakat agar siap memasuki pasar kerja.
Lebih celaka lagi, alih-alih memfasilitasi programpengembangan usaha bagi peningkatan produktivitaswarga agar siap memasuki pasar kerja atau memperkuatkapasitas dan daya saingnya, sebagian Pemda justrumenjadikan program yang dilakukan Swasata sebagailahan pungutan. Di Kota Pekan-baru, misalnya, lewatPerda No.4 Tahun 2002 mengenakan pungutan yangwajib dibayar pelaku usaha sebagai dana peningkatankualitas tenaga kerja sebesar Rp 500.000 per orangsetiap kali perusahaan melakukan kontrak pengadaantenaga kerja. Hal ini disinsentif bagi perusahaan,sekaligus potensial menimbulkan pungutan tambahan jika perusahaan tersebut sudah menyeleng-garakansendiri program terkait. Studi KPPOD 2013 jugamenemukan cukup banyak daerah yang memiliki Perda
yang mengatur tentang pelatihan bagi tenaga kerja.Namun, kebanyakan regulasi tersebut menitikberatkanpada besaran pungutan yang dibayarkan pengusahauntuk memperoleh izin penyelenggaraan pelatihan,pengesahan sertikasi latihan keterampilan, atauuji keterampilan kejuruan. Dalam Perda KabupatenMojokerto No. 4 Tahun 2009, misalnya, diatur bahwapelatihan kerja akan dilaksanakan Dewan Latihan KerjaDaerah (DLKD) yang terdiri dari unsur pemerintah,pengusaha dan pekerja. Namun, ternyata biayapenyelenggaraan latihan ini dibebankan kepada pihakperusahaan--suatu wujud pengalihan tanggung jawabPemda terhadap pihak pelaku usaha, bahkan tak sejalandengan semangat hubungan industrial yang baik.
Ketiga, kasus yang banyak memantik polemik dansering disertai unjuk rasa buruh adalah prihal upah,utamanya upah minimum. Di negeri ini, sebagiamanpula di sebagian negara lainnya, upah bukan hasilmekanisme pasar tetapi ditetapkan Pemerintah.Konsepnya, penetapan suatu tingkatan upah didasarkankepada sejumlah fungsi, antara lain, untuk menjaminkehidupan ayak bagi pekerja dan keluarganya,mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang,dan menjadi instrumen insentif untuk mendorongpeningkatan produktivitas pekerja. Di sini, jelas
telihat segitiga hubungan antara upah, produktivitas,kesejahteraan. Namun, dalam praktikya variabelproduktivitas “dimakan” oleh dominasi pertimbangankesejahteraan sebagaimana tercermin dalam indikator
kebutuhan hidup layak (KHL), termasuk gunamerespon pengaruh yang disebabkan kenaikan harga barang di pasar (Bappenas, 2010: 61).
Tentu saja tidak seorang pun pengusaha yangtidak bahagia jika upah minimum bisa menjadi faktormeningkatkan taraf hidup pekerja sesuai dengankebutuhannya. Buruh yang sejahtera niscaya menjadi
rahmat bagi semua anak bangsa, tak kecuali pelakuusaha. Namun, dari sudut peran Pemda, prosespenetapan upah itu tk mencerminkan keseimbanganperan Negara dalam meletakan secara tepat kebakanpenetapan dmaksud. Selain kritik atas substansi danpehitungan upah (diulas pada rubrik lain dalamKPPODBrief ini), masalah yang tidak kalah pentingadalah soal kerangka waktu penetapan upah yangharus dilakukan setiap tahun, cara yang ditempuhpekerja yang tak jarang anarkis dalam mendesakantuntutan mereka, serta sikap Kepala Daerah yang amatpolitis dalam menetapkan upah yang tak jarang berbedadari rekomendasi dari Dewan Pengupahan Daerah. Jika merujuk tugas yang digariskan PP No.38 Tahun207 di atas, jelas Pemda belum sepenuhnya menaatitugas melaksanakan isi kebakan pusat dalam prosespenetapan kebakan di daerahnya, termasuk kebakanpenetapan upah dengan merujuk Keppres No.107Tahun 2004.
Keempat, dalam hal peningkatan kesejahteraan,selain problem seputar penetapan upah tadi, soal yang takkalah seriusnya datang dari pemenuhan instrumen non-upah. Jika upah sepenuhnya berada dalam tanggunganpelaku usaha, pemda memiliki kewajiban hukum untukmeningkatkan kesejahteraan pekerja melalui instrumen
non-upah. Untuk menjalankan tanggung jawab tesebut,Pemda memliki instrumen regulasi dan skal, atau pundiskresi mengembangkan program kreatif melalui kerjasama dengan pihak ketiga lainnya. Kategori non-upahini menurut PP No.38 Tahun 2007 maupun UU No.13Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah berupakepesertaan jaminan sosial tenaga kerja, yang mestidibaca sebagai bentuk minimal yang wajib diperhatikanPemda.
Faktanya, jaminan sosial itu kembali dibebankankepada para pelaku usaha, sementara Pemda sudahmerasa sukses menenuai kewajibannya jika sudahmembuat Perda sebagai payung hukum. Bahkan,seperti diulas pada rubrik lain, studi KPPOD mengenaiinstrumen non-upah menunjukan hanya sedikit Pemdayang bisa disebut sebagai contoh baik dalam penyediaankerangka regulasi. Bahkan, alih-alih mengatur jaminansosial, keberadan regulasi tersebut hanya menjadiinstrumen pungutan. Melalui Perda No.13 Tahun 2003dan SK Bupati No.04-05 Tahun 2004, Pemda KabupatenSerang mengatur ausransi kecelakaan di luar jam kerja/hubungan kerja. Selain kritik atas defenisi jam kerjadan katgeori hubungan kerja (bandingkan dengan UUNo.13 Tahun 2013), paket regulasi tersebut mengatursebagian premi asuransi (sebesar 25%) sebagai sumber
pendapatan asli (PAD) bagi Pemda bersangkutan.Kelima, terkait penempatan tenaga kerja dalam
negeri yang berimplikasi diskriminasi terhadap para“pendatang”. Proteksionisme tenaga kerja lokal dan
Opini
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 17/24
17
Opini
penetapan kuota pemakaian tenaga kerja dari luardaerah yang boleh bekerja di perusahaan setempatsepintas mencerminkan rasa tanggung jawab Pemdadalam memberikan perlindungan atas tenaga kerja dan jaminan pekerjaan yang diutamakan bagi warganya.Kita bisa pula membaca arah kebakan demikian sebagaiwujud upaya menanggulangi eksternalitas negatif
dari permasalahan ketenagakerjaan yang bukan tidakmungkin rentan/beresiko secara sosial-politik lantarantidak digunakannya penduduk setempat dalam formasikaryawan di kantor atau pabrik—suatu fenomena yangsering pula terjadi di banyak lokasi.
Namun, sebagaimana terlihat dalam kasus yangdominan terjadi di kabupaten/kota di Propinsi Riaumaupun secara sporadis di belahan wilayah lainnya,proteksionisme tersebut justru mengarah kepadadiskriminasi lantaran porsi pelrindungan berlebihantersebut telah menghambat hak dasar rakyat untuk bergerak menacari sumber penghidupan di mana pundi seantero negeri ini. Asas terbuka dalam pasar kerja
dalam kerangka kesatuan wilayah ekonomi nasional,di mana ada jaminan kesamaan kesempatan danperlakuaan jelas dicederai jika sejak proses seleksi danpromosi sudah dikenakan batasan putera daerah dansegala kategori subyektif lainnya tanpa mengindahkansyarat komptensi yang tentu menjadi standar kerja(produktivitas, dll) pada sisi kepentingan pelaku usaha.
Kelima, terkait penempatan tenaga kerja luar negeriyang diamanatkan sebagai irisan tugas daerah, jelasterlihat rendahnya perhatian Pemda setempat. Boleh jadimereka menempatkan tugas tersebut sebagai urusannasional lantaran terkait dengan dimensi internasional.
Padahal PP No.38 Tahun 2007 menggariskan sebagiantugas terkait ke Kabupaten/Kota: (1) pelaksanaanpenyuluhan, pendaaran dan seleksi calon TKI diwilayah kabupaten/kota; pengawasan pelaksanaanrekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota; (3)fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateraldan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannyadi wilayah kabupaten/kota; serta (4) penerbitanrekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS diwilayah kabupaten/kota.
Kita mencatat, proses penempatan tenaga kerja itusendiri tidak semata soal ujungnya prihal penempatandi luar negeri atau ketika sesorang itu menjadi buruhmigran tetapi melwati rangkaian panjanag di dalamnegeri. Bahkan, sebagaimana ditulis dalam CatatanKebakan SMERU (2012), BNP2TKI menilai bahwasekitar 80% masalah yang dialami TKI itu terjadi di dalamnegeri. Masalah pendataan calon TKI hingga penipuanoleh perusahaan jasa penyalur jelas bermula dan banyakterjadi desa-desa. Demikian pula, masalah penyiapankapasitas jelas berada dalam tanggung jawab pembinaanPemda, setidaknya memantau proses persiapan yangdiselenggarakan pihak penyalur. Sebaliknya, pada sisilain, pemda jelas berkepentingan terhadap tanaga kerjaluar negeri ini lantaran devisa yang dikirim ke daerah
asal mereka jelas besar: di Kabupaten Blitar saat inirasio remitansinya terhadap PDRB adalah 6,3% bahkanmencapai 24,3% di Kabupaten Lombok Barat (Bachtiar,2001).
Maslaah maupun potensi di atas belumsepenuhnya menyadarkan Pemda untuk mengambillangkah kebakan yang signikan bagi penataanadministrasi, persiapan/pelatihan keahlian hinggaperlindungan atas berbagai praktik curang perusahaan jasa penyalur. SMERU mencatat, dari penilaian atas 127Perda di 155 Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan luar negeri, sebanyak 121 Perda (95%) justru menitikbertakan pengaturan pada sisi pungutan(retribusi): sejak pendaaran sebagai calon TKI danpengurusan rekomendasi bagi keprleuan pembatanpaspor. Semua ini bertentangan dengan Pasal 38 ayat(1) UU No.13 Tahun 2003 maupun wujud pengabaianatas mandat PP No.38 Tahun 207. Pada sisi lain--meskihanya ditemukan pada 6 Perda (5%)-- apresiasi jelaspatut diberikan kepada 3 kabupaten (Jember, LombokTimur dan Cianjur) yang tidak mengatur pungutantetapi berfokus kepada pengaturan perlindungan danprosedur penempatan.
Catatan Akhir
Tulisan ini memang hadir dalam semangatuntuk menyadarkan pemda dari politik pembiaranmereka atas pemenuhan tugas wajibnya dalam urusanketenagakerjaan. Negara mesti berimbang menjagadinamika pengurusan bidang strategis tersebut lantarantak kalah banyak pula urusan yang sesungguhnyamenjadi domain pemerintah/Pemda. Mengawasipelaku usaha dalam memenuhi kewajibannya adalahtugas wajib Pemda, seperti halnya wajib bagi merekauntuk memberi jaminan dan pelrindungan maksinal bagi buruh. Namun, kencang bersuara dan tegas
menjatuhkan sanksi kepada pihak lain harus diimbangidengan komitmen dan kemampuan mereka dalammemenuhi irisan urusan yang menjadi bagian tugasnya.
Kita menyadari bahwa negara memilikiketerbatasan, termasuk dalam soal kapasitas skal,untuk menjalankan segala amanat yang ada. Justrudalam situasi terbatas demikian mestinya muncultantangan untuk kreatif dalam mencari terobosankebakan, termasuk menggandeng pihak ketiga, bahkandalam konteks hubungan industrial menjalin kolaborasidengan pengusaha dan pekerja, melakukan upayasinerjis bersama. Selaksa upaya inovatif mesti dajakiketika Negara sendiri tidak mampu atau pun tak cukupahli menjalankan sendiri pemenuhan kewajibannya.
Semua itu hanya akan bisa dimulai jika pemdaterlebih dahulu menyadari kewajiban mereka,memahami mandat yang digariskan berbagai peraturanperundang-undangan, tidak mamainkan poilitikpembiaran sebagaimana yang ada selama ini. Semua itu juga bisa terwujud jika pemda membebaskan diri daricara kerja rejim pungutan yang alih-alih memberikanperlindungan kepada pekerja dan mendorong iklimusaha yang kondusif agar perusahaan bekerja produktif justru mengenakan pungutan atas segala sesuatu yang berhubungan dengan pemda, bahkan termasuk atas
tugas yang menjadi kewajiban Negara itu sendiri.Berbagai peta masalah di atas menjadi petunjuk jalan kemana arah pencarian solusi ke depan.
--o0o--
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 18/24
18
“Instrumen Non-Upah sebagai Jalan Lain Peningkatan Kesejahteraan Buruh:Potret Lemahnya Komitmen Kebakan Pemda”
Oleh: Rizqiah DarmawiasihPeneliti KPPOD
Temuan dari studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukanPemerintah daerah kurang peduli terhadap upaya peningkatan kesejahteraan buruh hal iniditunjukan dengan banyaknya Perda yang mengatur retribusi dan perizinan, mengatur mengenaiberbagai pungutan atas pelayanan dan perinan di bidang ketenagakerjaan daerah namun,
kebanyakan tidak ada kejelasan standar prosedur, biaya dan waktu pelayanan. Hal ini menarik untukdidiskusikan dalam suatu forum publik. Berangkat dari hasil temuan tersebut KPPOD Menyelenggarakandiskusi publik dengan tema “Instrumen Non-Upah sebagai jalan lain peningkatan Kesejahteraan Buruh:Potret Lemahnya Komitmen Kebakan Pemda”. Acara yang dilaksanakan pada Hari senin, 18 Maret 2013bertempat di ruang ATC Apindo ini dihadiri oleh 41 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, baikPemerintah pusat (BAPPENAS, Kemenakertrans, Kemenperindag), Pelaku Usaha (Apindo), Lembagadonor (SEADI-USAID), serta Media Massa.
Diskusi Publik yang berlangsung selama 2 jamini di awali dengan pemaparan hasil studi KPPODmengenai Instrumen Non-Upah sebagai jalan lainpeningkatan kesejahteraan buruh: Potret lemahnyakomitmen kebakan Perda. Hasil studi KPPOD dipresentasikan oleh Illinia Ayudhia Riyadi yang mewakilitim peneliti KPPOD. Kemudian, DR. H. HasanuddinRachman MIM menyampaikan presentasi berjudul“Sinkronisasi Kebakan Daerah Terkait Upah dan Non-Upah Instrumen Kesejahteraan Pekerja Improvement”.Kemudian dilanjutkan dengan presentasi oleh Ir.
Dinarsitus, MBA yang menjelaskan tentang topik yangsama namun berdasarkan titik pandang pemerintah.Setelah mendengar presentasi dari tiga pembicara,agenda dilanjutkan dengan diskusi terbuka yangmelibatkan penonton.
Berdasarkan hasil identikasi tim KPPODterhadap beberapa perda ketenagakerjaan, diketahui bahwa kebakan/regulasi terkait ketenagakerjaan yangada di daerah umumnya hanya mengatur pelayananadministrasi perizinan dan masih bersifat pungutan.Daerah umumnya tidak mengatur detail mekanismepemberian upah maupun komponen non upah yangharus diberikan oleh perusahaan, karena hal tersebutlangsung mengacu pada ketentuan pusat. Peraturanketenagakerjaan yang dibuat daerah lebih mengaturperizinan dan kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap
perusahaan.Hasil identikasi terhadap beberapa perda juga
menunjukkan bahwa sejauh ini, perda ketenagakerjaanyang dibuat daerah belum mengatur secara tegas polakemitraan antara pemda, perusahaan, dan tenaga
Laporan Diskusi Publik
Dokumentasi KPPOD
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 19/24
19
kerja/serikat pekerja. Masih maraknya aksi buruh di beberapa daerah menunjukkan pola kemitraan antaraPemda, perusahaan dan tenaga kerja yang diwadahidalam hubungan tripartite masih belum berjalan secaraoptimal dan belum mampu meminimalisir konikketenagakerjaan yang terjadi tersebut. Salah satu peranPemda sebagai regulator mampu membuat kebakandaerah yang dapat menjadi acuan dan landasan hukum
kuat untuk menghasilkan solusi tepat ketika ada konikyang terjadi antara pihak perusahaan dengan tenagakerja.
Hal ini didukung dengan pernyataan dari DR.H. Hasanuddin Rachman MIM yang merupakanperwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia, beliaumenyampaikan bahwa tercapainya fungsi kerjasamatripartit yang sehat dalam kaitannya dengan standar-standar perburuhan didasarkan pada keyakinan bahwahal tersebut didukung oleh dialog yang bersifat analogpada tingkat nasional dan memuat suatu ketentuandengan tujuan spesik, yaitu membentuk lembaga-lembaga guna memastikan dilakukannya konsultasi
antara wakil-wakil pemerintah, pengusaha dan pekerja.LKS Tripartit itu sendiri adalah lembaga konsultasi dankomunikasi antara wakil-wakil pemerintah, pengusahadan pekerja untuk memecahkan masalah-masalah bersama dalam bidang ketenagakerjaan, lembaga inididirikan di tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten atauKotamadya.
Bapak Yudi perwakilan dari Federasi Serikat PekerjaMetal Indonesia mempertanyakan apakah kenaikanupah buruh formal sangat berpengaruh dengan buruhinformal , hal ini dawab oleh Illinia sebagai perwakilan
dari tim peneliti KPPOD bahwa Pemerintah harusmenciptakan iklim agar pertumbuhan ekonomi dapatdinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutamaoleh penduduk miskin. Oleh karena itu, kebakan dan
program yang memihak orang miskin perlu difokuskankepada sektor ekonomi riil (misalnya; pertanian,perikanan, manufaktur, usaha kecil menengah),terutama di sektor informal yang menjadi tulangpunggung orang miskin. Penciptaan iklim investasiyang kondusif juga penting sebagai insentif untukmenarik aliran modal ke suatu daerah dalam rangkapenciptaan lapangan kerja yang diharapakan mampu
menyerap tenaga kerja baru dalam jumlah besar. Hal inimerupakan sebuah langkah penting untuk mengurangiangka pengangguran secara signikan di suatu daerah.
Menurut Illinia perlu adanya pemberlakuankebakan pengupahan berdasarkan mekanisme protsharing (bagi hasil) keuntungan antara pengusahadengan pekerja. Untuk merealisasikan hal tersebut,pemerintah daerah harus berperan aktif untukmendorong adanya transparansi keuangan dari pihakpelaku usaha. Adanya transparansi dalam hal pelaporankondisi nansial perusahaan akan memudahkan proses bagi hasil yang terjadi pihak pelaku usaha dan pekerja.Besarnya prosentase bagi hasil dapat ditentukan
berdasarkan hasil kesepakatan antara kedua belahpihak dengan melibatkan Pemda sebagai mediator.Hal ini juga diperjelas oleh Ditjen PHI dan Jamsos
yang sangat mengapresiasi hasil Penelitian Tim PenelitiKPPOD mengenai sinkronisasi Kebakan DaerahTerkait Instrumen Upah dan Non- Upah dalam rangkaPeningkatan Kesejahteraan Buruh. Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 telah diatur bahwa kebakanpengupahan yang melindungi pekerja/buruh meliputi:Upah Minimun, Upah kerja lembur, Upah tidak masukkerja Karena berhalangan, upah tidak masuk kerjaKarena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya,upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan
upah, hal-hal yang diperhitungkan dengan upah danlain sebagainya. Guna pelaksanaan penetapan upahminimum telah diatur melalui Peraturan Menteri TenagaKerja No. 01 Tahun 1999 Jo Keputusan Menteri No. 226Tahun 2000 tentang Upah Minimum dan PeraturanMenteri No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen danPelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan HidupLayak. Filoso penetapan Upah Minimum adalahsebagai jaring pengaman (Safety Net) agar upahtidak merosot sampai pada level terendah yang dapatmempengaruhi produktitas pekerja/buruh. Setelah berlakunya Otonomi Daerah penetapan Upah Minimummenjadi kewenangan Gubernur.
Berlakunya Kepres No. 107 Tahun 2004 tentangDewan Pengupahan sangat strategis untuk dimanfaatkandaerah-daerah sebagai salah satu instrumenpenyusunan kebakan pengupahan, mengingat bahwatugas dewan pengupahan yang diatur Kepres tersebutadalah dalam rangka memberikan saran pertimbangankepada Gubernur dalam rangka: penetapan UpahMinimum/Upah Minimum Sektoral, penerapan sistempengupahan Provinsi atau Kabupaten/Kota danPenyiapan bahan perumusan pengembangan systemPengupahan Nasional. Selain pemberlakuan KepresNo. 107 Tahun 2004 tersebut, bahwa insrumen lainyang dapat dimanfaatkan dalam rangka peningkatankesejahteraan perkerja/buruh adalah melalui Peraturan
Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama sebagai saranauntuk merundingkan dan menyepakati pengaturanpengupahan yang berlaku di perusahaan.
--o0o--
Laporan Diskusi Publik
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 20/24
20
Kegiatan KPPOD Terkini
Agenda KPPOD
1. Penguatan Kapasitas dan Ekspose Publik KPPODdalam Meningkatkan Advokasi Perbaikan TataKelola Ekonomi di Indonesia
Program ini merupkan kerjasama KPPOD denganSEADI (Support for Economic Analysis Development inIndonesia)-USAID. Kegiatan berlangsung dari bulan
Juni 2012 hingga Juni 2013 ini terdiri dari beberapakegiatan utama, yakni Penelitian Tematik dari untukmemperdalam temuan hasil penelitian TKED, penguatankapasitas pemerintah daerah melalui pelatihanpenyusunan perda, forum bisnis, serta publikasi.
Studi Tematik: Empat topik studi tematikmerupakan pendalaman dari studi Tata Kelola EkonomiDaerah yang telah dilakukan KPPOD sebelumnya.Hingga saat ini, ada tiga topik yang telah selesaidikerjakan oleh KPPOD. Topik pertama terkait denganhubungan antara korupsi, belanja pemerintah daerah disektor infrastruktur dan kualitas infrastruktur daerah.
Topik kedua terkait peraturan daerah khusunya disektor perikanan tangkap. Topik ketiga (dalam prosesnalisasi) terkait dengan isu buruh.
Lokalatih untuk Peningkatan Kapasitas Pemdadalam Pembuatan Peraturan Daerah: Kegiatan ini telahdilaksanakan pada 29-31 Desember 2013 di Hotel GrandCemara, Jakarta Pusat. Lokalatih tersebut mengangkattema ‘Penguatan Kapasitas Pemda dan DPRD dalamPembuatan Perda’ dalam pelatihan tersebut dihadirioleh beberapa perwakilan Pemerintah daerah, yaitudari Bangka, Pontianak, Majene, Sukabumi, Kolaka,
Tanggerang selatan, Lampung Selatan, PadangPariaman, Batang, Banjar dan Jambi.
Bisnis Forum: Kegiatan ini direncanakandilaksanakan pada akhir bulan Juni 2013. Bisnis forummerupakan kegiatan yang mempertemukan antara
beberapa Pemda dengan investor potensial. Pemerintahdiberi kesempatan untuk mempresentasikan potensiinvestasi daerahnya dihadapan forum bisnis.
2. Penguatan Iklim Investasi bagi PeningkatanRantai Nilai Usaha Kakao
Program ini mencoba mengangkat komoditas kakaodengan alasan kakao sebagai komoditas utama eksporIndonesia sekaligus komoditas yang menjadi program
pemerintah pusat (Kementerian Pertanian) melaluiGernas Pro Kakao. Program dilaksanakan di dua daerah,Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur danKabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat.
Pada bulan November 2012, telah dilakukan kick o meeting dan penelitian awal (need assessment) di duadaerah tersebut. Selanjutnya, pada tanggal 5 Februari
2013 telah diadakan Focus Group Discussion (FGD) diSikka dan tanggal 14 februari 2013 di Majene, yangdihadiri oleh perwakilan petani, Dinas kehutanandan perkebunan, pengepul besar, Lembaga SwadayaMasyarakat (LSM), Akademisi, Perusahaan Agro food,dan Unit Pengolahan Hasil dan seluruh stakeholder terkait.
3. Survei Pembobotan Prosedur (Area, Bidang, danIndikator) pembentuk Indeks Good Governence Provinsi di Indonesia 2013.
Program ini merupakan kerjasama KPPOD denganKemitraan. Tujuan kegiatan ini adalah merumuskanpembobotan prosedur pembentuk Indeks Good
Governence Provinsi di Indonesia. Dalam programini KPPOD melakukan wawancara kepada pihakpemerintah pusat,, Ombudsman, Komisi PemberantasanKorupsi (KPK), Akademisi, juga Pemerintah daerah-yang diwakilkan oleh Badan Perencanaan PembangunanDaerah (Bappeda) Jawa Barat, Bappeda Banten,Lembaga Swadaya Masyarakat, juga media massa danpelaku usaha.
4. Penyusunan Instrumen needs assessment gunamendorong penerapan prinsip integritas dalampenyelenggaraan proses barang/jasa.
Kegiatan ini ditujukan untuk merumuskanprinsip-prinsip integritas yang sesuai dengan kondisidi Indonesia dan mengembangkan model insentifapa yang dapat mendorong pelaku usaha untukmenginternalisasi prinsip-prinsi integritas tersebutdalam penyelenggaraan, pengadaan barang/jasa.Pelaksanaan needs assessment ini dilakukan melaluiFGD di 5 Propinsi yaitu DIY, Jawa Barat, Jawa Timur,Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
***
Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi
publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelolaekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah. Saat ini, KPPODbekerjasama dengan lembaga beberapa donor sedang melaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 21/24
21
Ikhtisar Otonomi Maret-April 2013
Sanksi Penundaan DAU untuk Daerah
Pemerintah pusat menyampaikan keputusan untukmenunda pencairan dana alokasi umum (DAU) kepada 17kab/kota yang terlambat mengesahkan APBD 2013. Namun,menurut Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng,sanksi berupa penundaan DAU itu terlalu berat bagidaerah. Pasalnya, DAU merupakan instrumen yang sangatpenting bagi pembangunan. Artinya, yang merasakandampak sanksi adalah masyarakat. Padahal, elite birokrasidan DPRD adalah penyebab utamanya. Seharusnya sanksilebih spesik kepada pihak yang bertanggung jawab atasketerlambatan. Misalnya dengan penundaan gaji atau
bahkan sampai pemotongan gaji pejabat pemda dan DPRD.Mencermati daerah yang terkena sanksi baik tahun
ini maupun tahun sebelumnya adalah daerah tertinggal.Artinya, daerah tersebut membutuhkan fasilitas danpengawasan yang lebih intensif dari pemerintah provinsidan pemerintah pusat. Penyebab keterlambatan bisadisebabkan kombinasi rendahnya kompetensi birokrasidaerah, tarik-ulur kepentingan politik antara eksekutif danlegislatif, serta keterlibatan DPRD membahas APBD sampaisatuan tiga. Satuan tiga artinya, sampai jenis kegiatan,
besarnya anggaran, dan lokasi program. Padahal DPRDseharusnya cukup membahas soal pokok-pokok umumdan program saja. Rendahnya kompetensi birokrasi, antaralain tampak dari kenyataan bahwa biro hukum dan badan
keuangaan daerah tidak semuanya diisi oleh personil yangmemiliki kompetensi di bidang pengelolaan keuanganpublik secara utuh.
Pilkada secara serentakPanitia Kerja RUU Pemilihan Kepala Daerah Komisi II
DPR dan Pemerintah sepakat pilkada dilaksanakan serentak.Waktu pelaksanaan pilkada serentak, paling tidak terdapatdua usulan, yakni pertama dengan pola pengelompokandan kedua dengan penyelenggaraan bersamaan denganpemilu presiden.
Dengan pola pengelompokan, pilkada akan dibagi
menjadi dua waktu pelaksanaan, tahun 2015 dan 2018.Pilkada serentak 2015 diusulkan diikuti 279 daerah, yaknidaerah yang seharusnya melaksanakan pilkada pada 2013-2015. Adapun pilkada serentak 2018 diikuti 244 daerah yangseharusnya menyelenggarakan pilkada pada 2016-2018.Selanjutnya pilkada dilakukan setiap lima tahun setelah2015 dan lima tahun setelah 2018 dan seterusnya. Pilihankedua, pilkada serentak dimulai 2019. Penyelenggaraanpilkada dilakukan bersamaan dengan pemilu presidensehingga disebut pemilu eksekutif yang dilaksanakansetelah pemilu legislatif.
Dinasti politik/ kekerabatan politikSirkulasi elite dalam konteks pergantian
kepemimpinan politik adalah salah satu syarat bagiterwujudnya iklim demokrasi yang sehat. Fenomenadinasti politik dinilai berpotensi menghambat jalannya
sirkulasi politik terbuka dan partisipatif. Hal ini khususnya
terekam dalam pilkada langsung. Petahana kepala daerahcenderung berupaya mempertahankan kekuasaan denganmelimpahkan dukungan kepada kerabatnya dalam pilkada.Data hasil kontestasi politik di tingkat lokal mencatat, tidaksedikit kerabat petahana sukses memenanginya. Gejala inidinilai publik cukup mengkhawatirkan karena memicupraktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Untuk mencegah dinasti politik tersebut, pemerintahtelah mewacanakan dalam RUU Pemda yang menyebutkan,kerabat kepala daerah dilarang maju dalam pilkada sebelumada jeda satu periode jabatan (5 tahun) sejak kerabatnyayang menjadi kepala daerah lengser. Usulan pembatasanini disambut baik oleh masyarakat, bahkan sepakat jika
pembatasan diperluas dalam satu wilayah provinsi.Artinya, selain dilarang maju dalam pilkada di daerah yangdipimpin kerabatnya yang akan lengser, kerabat kepaladaerah sekaligus dilarang maju dalam pilkada daerah laindi provinsi yang sama.
Fenomena ini menunjukkan bahwa fungsi partaipolitik masih lemah, termasuk dalam hal rekrutmen politik.Demokrasi elektoral menjadikan partai politik hanya
berorientasi memenangkan calon dalam pilkada. Akibatnya,pilkada tak ubahnya ajang pertarungan popularitas semata,
bukan pertarungan integritas dan kapabilitas calon.
Kesejahteraan buruhPemerintah daerah (pemda) kurang peduli terhadappeningkatan kesejahteraan buruh melalui instrumennon-upah. Kebanyakan peraturan daerah (perda) masihterjebak pada rezim pungutan, baik yang mengaturretribusi maupun perizinan terkait ketenagakerjaan yang
justru membebani pengusaha. Perda tersebut cenderungmengalihkan tanggung jawab dalam peningkatan kualitasdan produktivitas buruh. Seperti halnya perda di beberapadaerah lebih banyak mengatur pungutan untuk pendirian
balai latihan kerja dan kewajiban perusahaan melakukanpelatihan tenaga kerja. Komitmen pemda dalampeningkatan produktivitas buruh juga sangat rendah.
Rendahnya alokasi anggaran pemda untuk kegiatanpelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerjamerupakan salah satu bukti. Peningkatan kesejahteraan
buruh tak semata menjadi tanggung jawab pengusaha.Negara dalam hal ini pemda, punya tanggung jawab ataskesejahteraan buruh.
Sebagai contoh, Prov. Yogyakarta dan Kab. Karawangyang memiliki perda pengaturan upah tenaga kerja,seperti di DIY yang mengatur perlindungan pengupahanserta kewajiban penyusunan struktur dan skala upah bagiperusahaan. Bila pemda lain mencontoh perda tersebut dan
juga perda yang mengatur hubungan industrial dengan
baik, maka dipastikan iklim investasi di daerah akan bertumbuh. Karena dengan meningkatnya kesejahteraan buruh maka rakyat miskin akan berkurang.
--- o0o ---
Seputar Otonomi
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 22/24
22
WILAYAH ISU KPPOD
SEKILAS KPPOD
Sebagai tindak lanjut hasil Seminar Nasional “Menyelamatkan Otonomi Daerah”
yang diselenggarakan KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), CSIS (Center for
Strategic and International Studies) dan LPEM-FEUI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi
dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada tanggal 7 Desember
2000, para penyelenggara secara intensif membahas dan menyepakati pembentukan
suatu lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang di
kemudian hari bernama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Dalam perkembangannya, sejumlah institusi lain ikut bergabung melalui
kesertaan para gur pimpinannya sebagai unsur pendiri: Sekolah Tinggi Manajemen
Prasetiya Mulya, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, dan Suara Pembaruan. Melihat
latar belakang institusi pendiri tersebut, dapat dikatakan kelahiran KPPOD
merupakan hasil eksperimentasi kerjasama dunia bisnis, akademik, dan media
massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia dewasa ini.
Sebagai dasar pemikiran yang menyemangati kerja-kerja profesionalnya,
KPPOD memaknai desentralisasi dan otonomi daerah sebagai kebakan yang
bertujuan mengubah struktur tata kelola pemerintahan dari sentralisme menjaditerdesentralisasi, sekaligus menggeser pola pembangunan yang didominasi negara
menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. Maka
pada setiap kebakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk
mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah.
Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus sentral pemantauannya
pada segala hal terkait kebakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi dan
kebakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan menggunakan
pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik),
KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata
kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah.
--o0o--
1. Reformasi Regulasi Usaha:
2. Reformasi Birokrasi Perijinan:
3. Desentralisasi dan Manajemen Fiskal:
4. Isu-isu Strategis Otda lainnya:
Mendorong deregulasi melalui upaya rasionalisasi jumlah dan atau jenis Perijinan usaha maupun pungutan
(pajak/retribusi) di daerah.
Mendorong debirokratisasi melalui upaya efisiensi business process (pengurusan) perijinan lewat kelembagaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah.
Studi dan advokasi kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kemandirian daerah dan perbaikankualitas tata kelola keuangan di daerah (APBD) yang pro-prtumbuhan ekonomi dan kesejahteraan publik.
Pemekaran daerah, kerja sama antar-daerah, rencana pembangunan daerah, pemilihan kepala daerah, dsb.
PEMBANGUNAN
EKONOMI
TATA KELOLA
EKONOMI DAERAH
TATA KELOLA
KEUANGAN DAERAH
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 23/24
Terbit 1 kali tiap 2 bulan, dengan jumlah 2000 eksemplar dan didistribusikan ke
Gebernur, Bupati, Walikota seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat, Asosiasi Bisnis,
Kedutaan Besar, NGO, Perguruan Tinggi dll
Biaya iklanl Full color cover depan dalam satu halaman Rp. 7.500.000,-
l Full color cover belakang luar satu halaman Rp. 5.500.000,-
l Full color cover belakang dalam satu halaman Rp. 4.000.000,-
l One color cover satu halaman isi Rp. 3.500.000,-
l One color cover setengah halaman isi Rp. 2.000.000,-
Tarif Pemasangan Iklan
di KPPODBrief
7/26/2019 KPPOD Brief Mar Apr 2013
http://slidepdf.com/reader/full/kppod-brief-mar-apr-2013 24/24
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Regional Autonomy Watch
Permata Kuningan Building 10th Fl.
Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C
Guntur Setiabudi, Jakarta Selatan 12980
Phone : +62 21 8378 0642/53, Fax : +62 21 8378 0643
http://www.kppod.org, http://perda.kppod.org, http://pustaka.kppod.org