lawangwangi creative space jl. dago giri 99, warung ... · lawangwangi creative space jl. dago giri...

28
Lawangwangi Creative Space Jl. Dago Giri 99, Warung Caringin, Mekarwangi, Bandung, Indonesia Ph +62 22 250 4065, Fax +62 22 250 4105 [email protected]

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Lawangwangi Creative SpaceJl. Dago Giri 99, Warung Caringin, Mekarwangi, Bandung, IndonesiaPh +62 22 250 4065, Fax +62 22 250 [email protected]

  • Main Rhetorics // 1

    P A T R I O T M U K M I N

  • 2 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 3

    Published by ArtSociates© 2015, ArtSociates, Bandung

    Published in conjunction with the exhibition:

    KuPMay 21 - June 28, 2015Lawangwangi Creative Space, Bandung

    All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted, in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without prior permission of the copyright holder. Copyright of artwork images belong to ArtSociates and their respective artists, and essays to the respective authors.

    Text byGumilar Ganjar

    TranslatorHenny Rolan

    Graphic DesignerArif Setiawan

    PhotographyAntonio Sebastian Sinaga

    ISBN ISBN 978-602-14347-3-4

    First Edition, May 2015500 copies

    Lawangwangi Creative Space:Jl. Dago Giri 99, Warung Caringin, Mekarwangi, Bandung, IndonesiaPh +62 22 250 4065, Fax +62 22 250 [email protected]

  • 4 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 5

    Kup dapat didefinisikan sebagai “sebuah tindakan yang dilakukan secara tiba-tiba, cenderung dengan kekerasan, dan illegal yang ditujukan sebagai upaya pengambil-alihan kuasa dari pemerintah” 1. Dalam catatan sejarah Indonesia, tercatat setidaknya telah dilakukan satu kali percobaan kup pada pertengahan dekade 1960an, periode dimana kondisi sosial, politik, dan ekonomi Indonesia cenderung berada dalam fase kritis. Pada masa-masa

    tersebut telah beredar rumor bahwa sejumlah petinggi militer akan melakukan kudeta pada pemerintahan Soekarno. Rumor ini kemudian direspon oleh Pasukan Pengawal Presiden, Resimen Tjakrabirawa dan menjadi latar belakang peristiwa penculikan terhadap beberapa petinggi militer tersebut untuk diminta pertanggungjawabannya, namun tindakan menggungat pertanggungjawaban ini berujung pada tewasnya para petinggi

    Titik Silang Kuasa ’66 - ’98

    “… sebagaimana akibat daripada suatu kup PKI yang gagal, pada tahun 65, memang ada daripada tahanan-tahanan daripada Partai Komunis Indonesia itu … kurang lebih adalah mereka yang salah akan tetapi mengenai bahan pembuktian untuk diajukan pada pengadilan, kurang, kami yakinkan, mereka tidak segera dilepaskan kepada masyarakat, karena masyarakat itu sekalipun diberitahu tidak ada pembuktian yang kuat untuk diadili, bagi rakyat yang melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka itu melakukan penculikan, melakukan pembunuhan, melakukan pembakaran di desanya, tidak mungkin dikatakan kalau mereka tidak salah” *

    *) Pernyataan diatas merupakan testimoni Presiden Soeharto mengenai peristiwa Gerakan 30 September. Potongan kutipan tersebut spesifik membahas mengenai kebijakan negara untuk tidak segera melepaskan tahanan-tahanan politik pasca-1965.

    P e N G A N TA R

    militer yang diculik. Peristiwa ini-lah yang kemudian dikenal dengan persitiwa Gerakan 30 September 1965. Tindaklanjut yang dilakukan oleh Resimen Tjakrabirawa alih-alih dianggap sebagai persitiwa yang ‘menyelamatkan’ negara dari ancaman kudeta, tindakan ini justru dianggap menodai Pancasila. Dalam redaksinya, pemerintahan Orde Baru menyatakan bahwa pihak yang bertanggungjawab atas percobaan kup yang dinilai mempengaruhi stabilitas sosial dan politik nasional ini adalah Partai Komunis Indonesia. Sebagai respon akan hal ini, pemerintah kemudian menyusun sejumlah kebijakan yang ditujukan untuk meredam gerakan-gerakan yang mengarah pada ideologi komunis melalui cara-cara yang dapat dinyatakan, cenderung koersif. Pada tataran tertentu, dampak dari pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut berkembang hingga menjadi trauma publik.

    Diadopsinya istilah kup sebagai judul pameran ini memang merefleksikan posisi penting dari isu percobaan kup pada pertengahan dekade 1960-an hingga dampak diskursif yang muncul karenanya. Patut dinyatakan bahwa pameran ini memang tidak berupaya untuk menguji fakta dan kebenaran-kebenaran baru seputar percobaan Kup 1965, melainkan digarap untuk menampilkan interpretasi seorang seniman muda Bandung, yakni Patriot Mukmin, terhadap ‘retakan-retakan’ sejarah Indonesia yang

    salah satunya tercermin dalam isu percobaan kup tersebut. Frasa Titik Silang Kuasa ’66 - ’98 yang digunakan sebagai sub judul pameran sendiri terinspirasi dari buku Rum Ali yang berjudul Titik Silang Jalan Kekuasaan 1966 2, buku yang menceritakan proses perpindahan kuasa dari Orde Lama ke Orde Baru beserta sejumlah lika-liku dan problematikanya. Patriot memahami frasa Titik Silang pada frasa tersebut juga merepresentasikan kemajemukan sejarah, sedangkan Kuasa 66 - 98 Ia adopsi merepresentasikan Orde Baru melalui frasa lain. Frasa ini pula yang dianggap Patriot mampu digunakan untuk memperlihatkan ciri visual karyanya. Dalam proses pengerjaan pameran, penelusuran terhadap narasi sejarah kemudian mendorong dan menuntun Patriot untuk melakukan eksplorasi gagasan serta eksplorasi estetik ke tahapan-tahapan yang lebih lanjut.

    Persinggungan: memori individu dan ‘memori kolektif ’

    Satu hal yang secara signifikan mendorong Patriot menyelami sejarah hingga mengangkatnya sebagai subject matter dalam eksplorasi artistiknya beberapa tahun terakhir adalah pengalaman personalnya ketika berhadapan dengan persitiwa Mei 1998, ketika usia Patriot kala itu beranjak 11 tahun. Patriot menyaksikan sendiri bagaimana situasi sosial di Ibukota terjadi pada saat tersebut. Dalam

    Kup

  • 6 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 7

    satu momen, ketika semua orang merayakan pengunduran diri presiden Soeharto, Patriot termenung dan bertanya-tanya. Sosok Soeharto dalam masa kecil Patriot adalah sosok yang Ia kagumi. Memang, kekagumannya pada masa tersebut cenderung polos dan tidak beralasan, lebih dibasiskan pada pengalaman pertama kali ’berhadapan’ dengan sosok kuasa yang kemudian memberikan kesan. Meskipun demikian, tindak kepolosan tersebut mengantarkannya pada proses penelusuran yang lebih dalam. Ia mulai membaca dan bertanya, meskipun pada akhirnya berhenti dan mengendap cukup lama.

    Kegelisahan ini kembali muncul ketika suksesi kuasa kemudian kembali terjadi di Indonesia satu tahun ke belakang. Prosesi pergantian jabatan presiden dari Soesilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo dianggap sebagai transisi kuasa yang ideal karena dalam pelaksanannya relatif berlangsung aman dan terhormat. Respon publik dan media pun banyak yang mengapresiasi pergeseran kuasa dan pemerintahan ini dengan baik. Persoalan di ataskemudian mengingatkan Patriot pada memori masa kecilnya pada pengunduran diri Soeharto yang terjadi sebaliknya. Proses penyadaran ini kemudian lebih jauh mendorong Patriot untuk meninjau apa yang terjadi pada suksesi kuasa pada periode-periode sebelumnya.

    Upaya penelusuran tersebut kemudian mulai memberikan titik penyadaran ketika Ia menelusuri tindakan percobaan kup pada pertengahan dekade 1960an. Pada momen ini Ia tersadar bahwa trauma dan kekecewaan publik pada pemerintahan Orde Baru erat berkaitan dengan ‘fondasi awal’ pemerintahan Soeharto yang, dalam penuturannya, dibangun dalam kontsruksi yang ‘berdarah’. Untuk kembali merujuk pada tahun-tahun tersebut, percobaan kudeta yang disebutkan diinisiasi oleh mereka yang mendukung ideologi komunis dianggap mengganggu stabilitas politik nasional dan dengan segera harus diredam. Dalam upayanya, pemerintah melakukan tindakan yang cenderung koersif dan menekan dan pada kasus-kasus tertentu bahkan dianggap berlebihan. Upaya ini pula yang kemudian memunculkan Isu-isu pelanggaran HAM yang terjadi dalam masa pemerintahan presiden Soeharto. “Pemberangusan PKI”, frasa ini sering muncul mewarnai diskusi-diskusi seputar proses artistiknya.

    Sejarah dan Kuasa

    Narasi singkat mengenai memori Patriot serta kaitannya dengan sejarah sebagai memori kolektif akan bersinggungan dengan gagasan Michel Foucault mengenai sejarah. Foucault menengarai bahwa sejarah tidaklah bersifat linier melainkan merupakan sebuah

    diskontinuitas; bahwa sejarah bukanlah sebuah narasi yang kronologis; dan bahwa sejarah adalah berlapis-lapis, terbuka pada pemahaman lanjutan, serta masih patut dipertanyakan dan diuji 3. Dalam upaya penelusuran kedalam lapisan-lapisan sejarah, dapat saja ‘retakan’ atau ‘patahan’ (rupture) sejarah muncul. Foucault mensinyalir bahwa pun sejarah adalah sebuah konstruksi yang juga dipengaruhi oleh interaksi kuasa. Karenanya sejarah menjadi tidak bebas nilai, sejarah dapat mengabdi pada kepentingan, sejarah dapat menjadi instrumen kuasa.

    Perspektif sejarah mutakhir di atas pada gilirannya kemudian juga menguji konstruksi wacana yang dibangun kuasa dalam narasi sejarah Indonesia. Rezim pemerintahan Orde Baru dikenal dengan sifatnya yang memusat, otoriter, represif, dan koersif. Pada era ini arus informasi publik disaring, dan kebebasan berpendapat serta kritik politik cenderung diredam, ‘dipinggirkan’, dan ‘didiskriminasi’. Berakhirnya rezim ini kemudian mendorong terbentuknya keterbukaan serta memberikan ruang untuk kembali melihat ke belakang dan mengevaluasinya. Pada titik ini kemudian muncul interpretasi sejarah yang lebih mutakhir dan cenderung radikal, meruntuhkan pemahaman yang sebelumnya dibentuk. Penelusuran lapis-lapis sejarah yang berujung pada penemuan-penemuan fakta baru ini

    kemudian menguji konstruksi wacana yang dibentuk rezim pemerintahan Orde Baru. Dalam perayaan kebebasan berpendapat ini, Soeharto cenderung dikambinghitamkan sebagai figur yang membawa Indonesia pada keterpurukan. Korupsi, Kolusi, Nepotisme, ketiga istilah ini pula yang dilekatkan pada dirinya hingga Ia menutup dan mengundurkan diri sebagai “orang nomor satu” di Indonesia.

    Patriot berupaya untuk meninjau ulang wacana mengenai Soeharto dalam himpitan wacana publik yang cenderung negatif pada figur tersebut. Dalam penuturannya Patriot berupaya untuk tetap tidak berpihak dan melihat fenomena serta fakta-fakta sejarah tanpa terlarut dalam trauma publik. Meskipun terkesan menyiratkan keberpihakkannya pada sosok Soeharto, upaya Patriot dalam menggoyahkan wacana publik yang negatif pada sosok tersebut mencerminkan tujuan dan berfungsi sebagai sebuah ajakan persuasif untuk kembali mencermati sejarah secara terbuka, objektif, dan dilandaskan pada kebaikan. Tidak seluruh tindakan yang dilakukan sosok Soeharto cenderung negatif, sosok tersebut sangat berjasa pada negara terutama dalam pertumbuhan dan stabilitas dan perkembangan ekonomi dan politik serta pembangunan yang progresif. Sebagai penegasan, trauma publik yang berkepanjangan ini, menurut Patriot, tidak

  • 8 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 9

    dapat dilepaskan dari momentum ‘kup’ 1965 sebagai momentum yang meletakkan ‘fondasi’ pertama rezim pemerintahan Orde Baru.

    Estetika, sejarah, dan pengetahuan

    Narasi sejarah sebagai isu sentral pada karya-karya yang digarap dalam projek pameran tunggal ini dapat diarahkan pada pembahasan antara kaitan estetika, sejarah, dan pengetahuan. Dalam prosesnya, terutama pada tahap pengumpulan data, eskplorasi estetik Patriot mencerminkan dan mendemonstrasikan kerangka kerja historiografi meskipun tidak secara menyeluruh diterapkan, terutama dalam langkah heuristik4. Dalam proses ini, Ia mengumpulkan serangkaian informasi-informasi penting melalui narasi literatur, reproduksi digital artefak, dan representasi visual yang berkaitan dengan dinamika sosial dan politik bangsa pada momentum-momentum kritis kup 1965 dan perkembangannya. Narasi sejarah yang Ia temukan dari literatur kemudian Ia serapi, dan serangkaian data reproduksi digital artefak serta data representasi visual seperti potret figur dan suasana yang dinilai memadai dijadikan sebagai sumber daya visual. Secara berkelanjutan Patriot memahami, menyelami, merevisi, dan mengkonstruksi retorika estetiknya. Melalui karyanya Patriot memang tidak berintensi untuk mengkonstruksikan

    ulang narasi sejarah-sejarah yang dianggap dihapuskan, yang dianggap dibelokkan, seperti pada pengujian-pengujian sejarah Foucaultian. Karya-karyanya menawarkan sebuah bentuk pemahaman lain atas sejarah yang diperoleh melalui proses penciptaan estetik.

    Mensejajarakan karya Patriot dengan historiografi Indonesia, atau dalam cakupan yang lebih umum, mensejajarkan penciptaan karya seni dengan pengetahuan (yang juga mencakupi sejarah) sepertinya akan tetap menjadi problematis. Kedudukan pengetahuan yang diperoleh dari penciptaan seni, hingga saat ini, tetap saja masih diuji dan diragukan5. Karakter pengetahuan penciptaan seni dianggap sumber problematika kedudukan pengetahuan seni dalam jajaran pengetahuan empirik lainnya. Padahal, di sisi lain karakter tersebut yang justru menjadi potensi pengetahuan seni.

    Pengalaman melakukan eksplorasi estetik, dari perumusan gagasan hingga eksekusi, akan mendorong seniman pada diperolehnya pengetahuan-pengetahuan yang khas dan spesifik. Berbeda dengan karakter pengetahuan pada studi metodologis dan empiris keilmuan pada umumnya yang naratif, kaku, linear, dan cenderung dingin, pengetahuan yang diperoleh dari penciptaan seni, disamping mentransmisikan pengetahuan, akan

    bersinggungan dengan pencerapan visual-visual yang dapat menjadi spontan, sekaligus menantang pemahaman ke lapis-lapisnya yang terdalam. ‘Ketidakseimbangan’ transmisi pengetahuan ini lah yang dianggap sebagai kelemahan pengetahuan seni. Jika pada ilmu pada umumnya, pengetahuan yang diperoleh periset akan ‘dibekukan’ dan dinarasikan dalam bentuk laporan penelitian ilmiah beserta segala metode empiriknya, pengetahuan melalui penciptaan seni dianggap tidak memenuhi kriteria ini, terutama dalam metode transmisinya melalui ‘karya’ yang dianggap tidak secara merata membentuk pemahaman bagi apresiator. Dalam retorika ilmiah, serangkaian metodologi dan aturan dibentuk sehingga setiap bentuk pernyataan dapat dipertanggungjawabkan secara ‘ilmiah’ dan pengetahuan dapat diakses siapapun. Pada titik ini lah kemudian proses estetik seniman, pengetahuan, dan riset pada karya-karya Patriot bersinggungan. Memang, patut dinyatakan bahwa mensejajarakan fungsi karya seni seperti laporan penelitian ilmiah tetap problematis karena akan diperlukan sejumlah pengalaman dan pengetahuan di luar retorika keilmuan empirik. Sehingga ‘kemerataan’ pemahamannya masih harus diperiksa. Dalam pameran ini, asumsi akan ‘kelemahan’ transmisi pengetahuan seni kemudian dilerai dan disiasati melalui sejumlah upaya.

    “Mengayam Citra dan Sejarah”

    Persoalan citra (image) dan proses melihat (gaze) adalah dua kata kunci dalam proses eksplorasi artistik Patriot Mukmin. Merujuk pada rentang kekaryaannya terdahulu, kedua hal ini pun ditempatkan sebagai titik tolak perkembangan ide, konsep, serta gagasan besar karya-karyanya. Pencerapan visual melalui mata Ia pahami pada koridor-koridor substansinya. Citra, bagi Patriot, merupakan lapisan tipis dari realitas yang melaluinya realitas dapat direpresentasikan, pun dalam sejarah. Artefak-artefak sejarah, terutama dalam bentuknya yang visual, memenuhi fungsinya sebagai citra sebagai jembatan dalam memahami realitas, atau dalam kasus ini, narasi sejarah.

    Memahami dan menyadari proses mencitra akan menjadi penting karena di satu sisi ia bisa saja menjadi menipu dan mengecoh pemahaman, terutama karena citra sendiri selain menajdi jembatan realitas, dapat saja menjadi tabir yang menutupinya. Memahami ‘permukaan’ realitas agaknya tidak cukup karena realitas yang esensial justru berada jauh lebih dalam dari apa yang tampak. Memahami proses mencitra kemudian menjadi penting dalam kaitannya dengan memahami dan menelusuri realitas. Mengikuti ketertarikannya dalam mengubah dan menggeser proses

  • 10 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 11

    penctiraan ‘konvensional’ pada karya-karya sebelumnya, pada pameran ini Ia membawa lebih jauh lagi bagaimana kelokan dan tikungan dalam proses ‘mencitra’ tersebut dapat membuka kemungkinan estetik yang lebih jauh, sebuah pengalaman ‘mencitra’ yang berbeda; di satu sisi mengecoh, namun di sisi lain membuka peluang-peluang pemahaman lanjutan.

    Teknik menganyam adalah teknik yang Patriot pilih untuk ia tekuni dan tampilkan dalam pameran ini. Teknik dan proses menganyam ini Ia tinjau selain karena peluang pengalaman estetik yang khas, juga mereflikesikan nilai-nilai filosofis sekaligus ‘puitis’. Menganyam bagi Patriot bukan hanya sebagai sebuah teknik pengerjaan karya. Menurutnya, dalam menyusun retorika estetik dalam karya-karyanya ini, Ia melihat dirinya seperti sedang ‘menganyam’ sejarah. Karena karakternya yang tumpang tindih, anyaman-anyaman dokumentasi fotografis sejarah ini merefleksikan gagasan besarnya akan posisi narasi sejarah saat ini, terdiri dari ‘tumpang-tindih’ realitas yang masih dapat ditelusuri dengan mendalam pada lapisan-lapisannya.

    Mengenai Karya dan Narasinya

    Karya-karya yang Patriot garap dalam pameran ini terdiri dari konfigurasi anyaman

    dokumentasi fotografis dengan menyorot baik pada satu peristiwa, figur, atau lanskap-lanskap tertentu. Batasan-batasan yang ia tetapkan pada masing-masing karyanya ditujukan untuk menyusun konstruksi makna yang dengan sengaja akan Ia samarkan untuk menggambarkan bagaimana tumpang-tindih sejarah tersebut bisa terjadi. Selain menampilkan tumpang tindih, tindak ‘menganyam’ yang memperlihatkan jalinan kedua citraan ini Patriot memperlihatkan sikapnya dalam melihat sejarah, yakni tidak berpihak dan cenderung berkompromi pada dikotomi pihak-pihak yang ‘berselisih’ dalam narasi sejarah. Menurut Patriot, “Di masa sekarang, kita generasi muda yang lahir dan tumbuh jauh dari peristiwa tersebut mendapatkan beragam versi dan cerita yang tumpang tindih, dari versi resmi Pemerintah Orde Baru yang dipelajari di bangku sekolah dasar dulu, sampai ke informasi-informasi yang menyebar via budaya visual di zaman sekarang, seperti tulisan di internet, atau film Jagal dan Senyap karya Joshua Oppenheimer. “

    Pada karya Tiga Kudeta, karya yang terdiri dari konfigurasi 30 bingkai, menampilkan 30 anyaman sejumlah tokoh yang menurut Patriot menempati posisi yang signifikan dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tokoh-tokoh yang Ia tampilkan dalam karyanya ini Ia anggap merepresentasikan ‘tiga kudeta’.

    Kelompok pertama adalah sepuluh orang yang diberi gelar oleh negara sebagai Pahlawan Revolusi. Dari 10 tokoh ini, 6 diantaranya yakni: Jenderal Ahmad Yani, Jenderal Soeprapto, Jenderal Soetojo, Jenderal M. T. Haryono, Jenderal S. Parman, dan Jenderal D. I. Pandjaitan; yang juga disebut sebagai Dewan Jendral; diduga menginisasi rencana kudeta terhadap Presiden Soekarno. Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan ini, kemunculan rumor kudeta tersebut dijadikan landasan bagi para pelaku G30S untuk melakukan gerakan. Kelompok kedua adalah pihak yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September sebagai tindak lanjut atas kemunculan rumor kudeta, seperti: Letnan Kolonel Untung Samsoeri, Brigadir Jenderal Soepardjo, D. N. Aidit, Sjam Kamaruzzaman, dan Soebandrio. Kelompok terakhir adalah kelompok yang menentang Gerakan 30 September, antara lain: Mayor Jenderal Soeharto, Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima Angkatan Laut R. e. Martadinata, Jenderal Basoeki Rachmat, dan Sarwo edhi Wibowo. Kelompok ini adalah pihak yang lambat laun memperoleh legitimasi kekuasaan setelah peristiwa tersebut, yang kemudian oleh Dr. H. Subandrio 6, yang saat itu menjabat Wakil Perdana Menteri I, disebut melakukan creeping coup, atau ‘kudeta merangkak’, yakni tindak kudeta yang dilakukan secara perlahan-lahan menuju kekuasaan tertinggi. Ke-30 tokoh ini kemudian Patriot

    anyam di atas ‘latar besar’ foto dokumentasi Presiden Soekarno yang tengah berkabung di depan makam Jenderal Ahmad Yani.

    Karya berjudul Pancasila Sakti dan Teror Putih merupakan karya yang menampilkan tumpang tindih lanskap monumen Pancasila Sakti dan salah satu foto dokumentasi yang memperlihatkan tindakan ‘Teror Putih’. Monumen Pancasila Sakti merupakan monumen yang dibangun sebagai bentuk penghargaan pada Pahlawan Revolusi sekaligus menjadi tonggak pengingat bahwa sempat ada upaya untuk mengkhianati Pancasila yang berhasil digagalkan. Istilah Teror Putih adalah istilah yang disebutkan oleh D. N. Aidit dalam satu pidatonya di tahun 1965 untuk menyebut tindakan-tindakan dalam sejarah Indonesia yang memperlihatkan tindak diskriminasi pada ideologi komunis di negeri ini. Melalui karya ini Patriot berupaya untuk memperlihatkan sebuah paradoks. Di satu sisi, Ia menampilkan simbol pelanggaran HAM terhadap para Jenderal dan perwira yang diculik dan terbunuh, namun di sisi lain, Ia menampilkan pelanggaran HAM lain dalam bentuk foto dokumentasi simpatisan Partai Komunis Indonesia yang diciduk oleh tentara. “Sebenarnya banyak foto-foto lain yang beredar, yang lebih menunjukkan sadisnya peristiwa-peristiwa di atas, akan tetapi saya memilih untuk menampilkan yang lebih, ‘soft’, agar tidak terlalu mengumbar luka yang ada,” ujarnya.

  • 12 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 13

    Karya berikutnya berjudul Titik Silang Kuasa ’66 - ’98, karya yang terdiri dari anyaman reproduksi fotografis surat pengunduran diri Presiden Soeharto pada Mei 1998 yang pada bagian tanda-tangannya dianyam dengan tandatangan Soekarno pada Surat Perintah Sebelas Maret. Pada karya ini, Patriot menekankan signifikansi kedua surat tersebut dalam rentang pemerintahan Indonesia ’66 - ’98. Menurut Patriot, posisi kedua surat tersebut cukup monumental dalam rentang pemerintahan Orde Baru yang Ia sebutkan ‘diawali sekaligus diakhiri oleh sebuah surat’. Fokus pada tandatangan yang dianyam, kembali menurut Patriot, menandakan legitimasi otoritas yang tanpa dibubuhinya sebuah pernyataan tidak akan menjadi berarti.

    Karya selanjutnya berjudul Monoloyalitas. Monoloyalitas secara sederhana adalah kebijakan yang cenderung mengharuskan seluruh aparatur negara baik pemerintah sipil maupun militer untuk loyal kepada pemerintah Orde Baru. Karya ini terdiri dari 27 potret Pegawai Negri Sipil yang dikelompokkan per 9 bingkai anyaman yang kemudian dianyam diatas 3 ‘latar besar’ presiden Soeharto. Citraan yang diolah dalam karya ini cukup berbeda dengan karya-karya yang sebelumnya disebutkan. Jika pada karya selain ini Patriot mengolah reporduksi fotografis dokumentasi sejarah yang cukup berjarak dan cenderung

    bersifat ‘monumental’, karya ini mengolah citraan yang dapat dinyatakan langsung ‘bersentuhan’ dengan Patriot. Potret figur PNS yang Ia tampilkan dalam karya ini juga melibatkan kedua orang tua Patriot. Meskipun cenderung tampil sebagai fragmen minor dalam sejarah, potret PNS merupakan figur sentral dalam membentuk konstruksi makna monoloyalitas.

    Karya terakhir merupakan seri karya Titik SIlang. Pada seri karya ini terdapat proses pengolahan motif anyaman yang berbeda dari karya-karya sebelumnya. Perbedaan motif ini pun kemudian menurunkan tingkat keterbacaan gambar pada karyanya. Tingkat keterbacaan yang lebih rendah ini kemudian Ia jadikan sebagai titik jeda untuk tidak terlalu ketat dalam mengkonstruksikan makna karya. Citra dokumentasi fotografis yang diolah dalam seri karya ini secara umum masih berkaitan dengan problematika-problematika yang muncul pada periode pemerintahan Orde Baru.

    Penutup

    Rangkaian penjelasan di atas memperlihatkan upaya pameran ini untuk menjadi simpul dari sejumlah banyak hal seperti sejarah, seni, estetika, dan lain-lain. Ditengah kecenderungan seni yang dapat ‘mengabdi’ pada kepentingan apapun, Patriot, diantara seniman muda

    lainnya, masih mempercayai bahwa seni memiliki aura untuk menjangkau dimensi-dimensi kemanusian bahkan hingga tingkat terdalamnya, salah satunya adalah sejarah. Dalam menghadapi pameran ini, Patriot mengemban misi persuasi kepada publik untuk kembali mencermati konstruksi narasi sejarah Indonesia secara lebih terbuka. Terutama jika menimbang posisi konstruksi sejarah yang sampai saat ini masih mengundang debat dan kesimpang-siuran. Kesimpang-siuran ini, bagaimanapun, merefleksikan belum mapannya institusi dan ‘etalase-etalase’ sejarah berdiri di Indonesia. Dengan berdirinya sebuah pemahaman akan siapakah sebenarnya bangsa ini sebelumnya serta didukung dengan kemapanan institusi sejarah, Patriot berharap bahwa catatan-catatan masa lalu tersebut dapat mendorong generasi-generasi penerus bangsa ini untuk lebih yakin dalam menentukan ke arah mana negeri ini akan mereka bawa.

    Gumilar Ganjar
Kurator

    Catatan Kaki:

    1: Definisi diambil dari Oxford english Dictionary terbitan Oxford University Press terbitan tahun 1997

    2: Judul lengkap buku: Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966: Mitos dan Dilema: Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, penulis Rum Ali, diterbitkan tahun 2006 oleh Kata Hasta Pustaka

    3: Pembahasan ini merujuk pada konsep Genealogy yang

    dikemukakan oleh Michel Foucault, disadur dari buku Foucault and Literature, penulis Simon During, diterbitkan tahun 1992 oleh Routledge, New York.

    4: Dikutip dari bagian penjelasan metode penelitian sejarah dari Thesis Annisa Demsiati R. yang berjudul Kajian Sejarah Sosial Seni Rupa di Bandung Periode 1970 - 1998 Melalui Representasi Visual Karya-karya Srihadi Soedarsono, Nyoman Nuarta, dan Tisna Sanjaya (2012). Dalam penelitian ini disebutkan bahwa penelitian sejarah akan melewati 4 langkah, yakni tahap heuristik, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Tahap heuristik adalah tahap mencari dan mengumpulkan sumber yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas

    5: Mengenai kesejajaran antara proses riset dengan proses pencitpaan seni serta proses memperoleh pengetahuan baru melalui penciptaan seni, rujuk lebih lanjut buku Graeme Sullivan yang berjudul Art Practice as Research: Inquiry in the Visual Art (2005)

    6: Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S, dipublikasikan pada KOMeNTAR (18-9-2000)

  • 14 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 15

  • 16 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 17

    Tiga KudeTa

    200 cm x 180 cm30 frames @ 40 x 30 cmmanually woven photoprints on book paper2015

    Tiga KudeTa(detail)

  • 18 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 19

    Pancasila saKTi dan Teror PuTih196 cm x 528 cm // 87 frames @ 28 x 44 cm // manually woven photoprints on book paper // 2015

  • 20 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 21

    MonoloyaliTas #2

    120 cm x 90 cm9 frames @ 40 x 30 cmmanually woven photoprints on book paper2015

    MonoloyaliTas #1

    120 cm x 90 cm9 frames @ 40 x 30 cmmanually woven photoprints on book paper2015

  • 22 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 23

    MonoloyaliTas #3

    120 cm x 90 cm9 frames @ 40 x 30 cmmanually woven photoprints on book paper2015

    TiTiK silang Kuasa ’66 - ‘98

    25.5 cm x 57.5 cmmanually woven photoprints on book paper2015

  • 24 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 25

    insTruKsi - eKseKusi

    28 cm x 44 cmmanually woven photoprints on book paper2015

    raPaT - TindaK

    28 cm x 44 cmmanually woven photoprints on book paper2015

  • 26 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 27

    laTihan - TargeT

    28 cm x 44 cmmanually woven photoprints on book paper2015

    deMo - PeTisi

    28 cm x 44 cmmanually woven photoprints on book paper2015

  • 28 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 29

    MaKan - MencangKul

    28 cm x 44 cmmanually woven photoprints on book paper2015

    BaKar - ganyang

    28 cm x 44 cmmanually woven photoprints on book paper2015

  • 30 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 31

    BelaJar TiTiK silang

    variable dimensioncomposition of manually woven photoprints on book paper pinned on softboard2015

  • 32 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 33

    iBu

    176 cm x 144 cmmanually woven photoprints on luster paper2015

  • 34 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 35

    The Crossroads of power ’66 - ’98

    I N T R O D U C T I O N

    COup

    A kup (coup) can be defined as “a sudden, violent, and illegal seizure of power from a government” 1. Our history notes at least one attempt at a coup in mid 1960s, a period where the socio-political and economic condition in Indonesia was at a critical phase. During this period, rumors circulated that a number of high-ranking military officers would be attempting a coup d’etat against Soekarno’s government. This rumor was then addressed

    by the Presidential Guard, the Tjakrabirawa Regiment, and soon became a pretext for the kidnappings of several of those high-ranking officers—allegedly so that they could be made accountable for their deeds; however, this attempt to request, or demand, accountability ended with the deaths of those kidnapped officers. This incident became known as G30S-1965 (the 30 September 1965 Movement). Tjakrabirawa Regiment’s actions, rather than

    being seen as an act to ‘save’ the country from a coup d’etat, became regarded as a dishonorable act against Pancasila. In a statement, the New Order government declared that the group responsible for the coup—an act that would impact the nation’s socio-political stability—was none other than the Indonesian Communist Party. In response, the government then established a number of regulations designed to dampen communist-leaning movements, through actions that could be regarded as coercive. On certain levels, the impact of these regulations created widespread public trauma.

    The adoption of the term kup (coup) as the title of this exhibition reflects the important position of the issue surrounding the failed coup of the mid-1960s, as well as the discursive impacts that arose as a result. We must also state that this exhibition does not attempt to test new truths and facts surrounding the 1965 coup. Rather, the exhibition is intended to show an interpretation done by one young artist from Bandung, Patriot Mukmin, in response to the ‘ruptures’ found in Indonesia’s history as reflected, amongst others, in the issue of the attempted coup. The phrase Titik Silang Kuasa ‘66-’98 used as the sub-title of this exhibition is inspired by Rum Ali’s Titik Silang Jalan Kekuasaan 1966 2, a book that recounts the shift of power from the Old Order to the New Order regime, complete with its intricacies and

    problems. Patriot understands that ‘Titik Silang’ within this phrase is also a representation of history’s plurality, while ‘Kuasa 66-98’ has been adopted by Patriot to represent the New Order using a different phrase. Patriot also considers this phrase as something that can be used to highlight visual identity in his works. While working on this exhibition, an examination of historical narratives has both encouraged and guided Patriot to conduct further explorations of ideas and aesthetics to yet another level.

    Intersection: Individual Memory and ‘Collective Memory’

    One thing that has significantly encouraged Patriot, these past few years, to delve deep into history and then to highlight it as a subject matter within his artistic exploration, is his personal experience of the May 1998 incident. He was 11 years old at that time. Patriot personally witnessed the social situation occurring in the Capital city during this period. In one of those moments, while everyone was celebrating Soeharto’s resignation, Patriot was deep in thought and full of questions. As a child, Patriot saw Soeharto as an awe-inspiring figure, someone to look up to. In hindsight, his childhood admiration was quite naive and without firm reason, only based on one child’s impression of his first ‘encounter’ with a powerful figure. Yet, this naiveté had led him

    "...as a result of a failed coup by the PKI, in the year 1965, it is true that there are Indonesian Communist Party members being detained... more or less are those who are guilty but without sufficient evidence to be submitted to the court, we assure that they will not be immediately/quickly released to society, because even though society has been informed of the insufficient proof for trial, those who have seen with their own eyes how these people have conducted kidnappings, conducted killings, conducted arson in their villages, cannot say that these people are not guilty.”*

    *) The above statement is part of a testimony by President Soeharto regarding the G30S (30 September Movement) incident. The above fragment specifically discusses the reason behind the government’s decision not to immediately release political prisoners post-1965.

  • 36 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 37

    to a deeper examination. He began to read and ask questions, although they were soon followed by a prolonged hiatus.

    His anxiety resurfaced following a succession of government in Indonesia this past year. The presidential succession from Soesilo Bambang Yudhoyono to Joko Widodo was considered by many as an ideal transition of power, because it was conducted in a relatively safe and honorable manner. In the whole, both mass media outlets and the public positively appreciated this transition/handover of power and government. The occasion above reminded Patriot of his childhood memory; he remembered how Soeharto’s resignation sparked the opposite sort of appreciation. This process of gaining understanding encouraged Patriot to reconsider what happened during the successions of previous periods.

    His efforts sparked some moments of understanding when he began to look into the attempted coup of 1965. Looking at this moment in time, he became conscious that the public’s disappointment and trauma of the New Order regime is strongly connected to the ‘early foundations’ of Soeharto’s government that, in his words, was built upon a ‘bloody’ construction. Once again referring to those years, the attempted coup, allegedly initiated by those who supported communist ideologies,

    was considered disruptive to national political stability and must be stopped immediately. In response, the government chose to act in ways that tended to be coercive and repressive, and in some cases, even overboard. These attempts by the government would later create issues, such as human rights violations, during the Soeharto regime. “Pemberangusan PKI” (Silencing PKI), is a phrase we will often hear being used in the discussions about Patriot’s artistic process.

    History and Power

    The short narration of Patriot’s memories and their connection to history as collective memory will intersect with Michel Foucault’s ideas on history. Foucault stated that history is non-linear, characterized by discontinuities; that history is not a chronological narration; and that history has layers, open to further understanding or interpretation, as well as open to further inquiries and examination. In the attempt to explore deep into the layers of history, ‘ruptures’ in history may become evident 3. Foucault pointed out that history is a construction that can also be influenced by interactions among powers. As such, history can never be value-free, history can side with various interests, and history can become an instrument of power.

    A modern historical perspective as indicated above will, in turn, test the construction of discourse that have been built by certain powers within the narrative of Indonesian history. The New Order regime is known for its centralistic, authoritarian, repressive, and coercive character. During that era, the flow of information to the public had to undergo several filters, while freedom of speech and political criticisms were usually silenced, ‘marginalized’, or ‘discriminated against’. The end of this regime allowed for openness and a space to reflect and evaluate past issues. At this point, modern and often-radical interpretations of history emerged, tearing down pre-existing understandings. The exploration or examination of these layers of history—resulting in the discovery of new facts—began to test the construction of discourses that had been formed by the New Order regime. In this celebration of free speech, Soeharto became the scapegoat, the person guilty of sending Indonesia into a crisis. Corruption, Colusion, Nepotism. These three words were pinned to Soeharto, driving him to retreat and resign from his position Indonesia’s “number one person”.

    Patriot tries to reexamine the discourse about Soeharto [that existed] within a generally-negative public discourse of this person. He admits that he tries to remain impartial toward historical facts and phenomena; he tries to not

    let himself be swept away, or overwhelmed, by public trauma. Although it might seem like he is siding with Soeharto, Patriot’s attempt to disrupt negative public discourses surrounding this figure reflects his aims; it also functions as a persuasive invitation to once again examine history in an open and objective manner based on positivity and goodness. Not all of Soeharto’s actions were negative; he had rendered a service to this nation, especially in terms of growth and stability, as well as economic and political development, and progress. To further explain, Patriot surmises that this prolonged public trauma could not be separated from the role of the 1965 ‘coup’ as a momentum that had placed the first ‘foundations’ of the New Order regime.

    Aesthetics, History, and Knowledge

    Historical narrative as the central issue of the works created for this solo exhibition can be directed to discussions about the relationship between aesthetics, history, and knowledge. Within such a process, especially during the data collection stage, Patriot’s aesthetic exploration reflects and demonstrates a historiographic framework, although perhaps not in its entirety, especially its heuristic steps4. At this stage, Patriot collected a series of important information through literature review, reproductions of digital artifacts,

  • 38 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 39

    visual representations connected to the nation’s socio-political dynamics across the critical moments of the 1965 coup, and their developments. The historical narrative found in literature were then absorbed, whereas adequate reproductions of digital artifacts and visual representations (such as portraits or images of persons and atmospheres) were used as visual resources. Patriot continuously tries to understand, explore, revise, and construct his aesthetic rhetoric. Through his works, Patriot does not intend to reconstruct historical narratives that have been erased or sidetracked, such as in the Foucaultian sense of historical evaluation. Instead, his works offer a different sort of understanding of a history that has been acquired through aesthetic creative process.

    The act of putting Patriot’s works alongside Indonesia’s historiography or, more generally, putting art creation alongside knowledge (which includes history), will perhaps continue to be problematic 5. The position of knowledge as derived from art creation remains something to be examined, tested, and doubted. The character of knowledge that comes from art creation is considered to be the source of the problems surrounding the position of art-derived knowledge amongst other kinds of empirical knowledge. This is despite the fact that it remains art knowledge’s enduring potential.

    The experience of making aesthetic explorations, from formulating ideas to executing said ideas, will encourage artists to find unique and specific forms of knowledge. Unlike the character of knowledge found in methodological studies or empirical knowledge that are often narrative, rigid, linear, and oftentimes cold, knowledge derived from art creation, in addition to its transmission, will also intersect with our visual senses in a way that can be spontaneous, further challenging understanding to its deepest layers. This ‘imbalance’ of knowledge transmission is what people think as the weakness of art-derived knowledge. With the sciences, knowledge gained by researchers will be ‘frozen’ and narrated in the form of scientific reports complete with their attendant empirical methods. Knowledge gained from art creation is considered to have fallen short of this criteria, especially in its method of transmission through ‘artworks’, considered to be an uneven method of creating understanding in art appreciators. Within a scientific rhetoric, a series of methodologies and rules have been set, so that every statement can be held ‘scientifically’ accountable, allowing knowledge to become universally ‘accessible’. It is at this point where the artist’s aesthetic process, knowledge, and research in Patriot’s works come to intersect. Certainly, we must acknowledge that putting the function

    of artworks equal to scientific reports will continue to be problematic, because to do so will require a number of experiences and knowledge that exist outside the rhetoric of empirical science. So, the ‘uniformity’ of their understanding must be checked thoroughly. In this exhibition, the assumption of the ‘weakness’ in art-derived knowledge transmission will be broken up and addressed in several ways.

    “Weaving Images and History”

    Image and gaze are two keywords in Patriot Mukmin’s process of artistic exploration. Referring to the span of his previous works, both of these things are placed as a point of departure from which he can develop ideas, concepts, and the overarching scheme of his works. Visual perception through the eyes, has been understood within the corridors of substance. Patriot considers an image as a thin layer of reality, through which reality can be represented, even in history. Historical artifacts, especially in their visual forms, fulfil their functions as images, as a bridge to understand reality—or in this case, historical narratives.

    An understanding and a consciousness of the image creation process is important, because on the one hand, an image can deceive or mislead understanding, especially because

    the image itself, in addition to being a bridge toward reality, can also act as a veil that covers reality. Understanding the ‘surface’ of reality, it seems, is not enough, because the essential reality actually exists deeper than what is visible. Understanding the image creation process, then, becomes important especially in connection to how we understand and examine/explore reality. Following his interest in changing and shifting ‘conventional’ imaging processes like in his previous works, for this exhibition, Patriot has extended the way in which each twist and turn of this ‘imaging’ process can open up further aesthetic possibilities; in other words, he provides a different ‘imaging’ experience: on the one hand misleading, while on the other hand opening possibilities for further understanding.

    Weaving is a technique that he has chosen to pursue and highlight in this exhibition. The weaving technique and process has been chosen not only for its unique aesthetic experience but also for its ability to reflect philosophical and ‘poetic’ values. For Patriot, weaving is not only a technique to create works. When putting together an aesthetic rhetoric for his works, he can see himself ‘weaving’ history. Because of weaving’s overlapping character, the documentary photographs of history are woven to reflect Patriot’s overarching concept regarding the

  • 40 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 41

    position of historical narratives today—that is, consisting of overlapping ‘realit(ies)’ that can be traced deeply into their many layers.

    About The Works and Their Narrations

    Patriot’s works in this exhibition are woven works created using documentary photographs that highlight important occasions, figures, or landscapes. The boundaries that he has set for each of his work are meant to help construct meaning, which he has deliberately obscured, in order to describe how overlaps in history can happen. In addition to showing overlaps, through his act of ‘weaving’ two images, Patriot wishes to demonstrate how he views history, that is, by trying to remain impartial, favoring compromise between the dichotomies of opposing parties within a historical narrative. According to Patriot, “Today, youths who were born and raised far from these events receive different versions and stories that overlap with one another—from the official version given by the New Order regime, which we learned in primary school, to all the information that available through today’s visual culture, such as texts found on the internet, to films like ‘Jagal’ and ‘Senyap’ by Joshua Oppenheimer. “

    Tiga Kudeta is a configuration of 30 frames showing 30 woven images of various figures who, according to Patriot, played significant

    roles in G30S 1965. For Patriot, the people shown in this work represent the ‘three coup d’états’. The first group comprises of the ten people honored by this nation as Heroes of the Revolution. Out of the 10 people, six—General Ahmad Yani, General Soeprapto, General Soetojo, General M. T. Haryono, General S. Parman, General D. I. Pandjaitan, collectively known as the Council of Generals—had been accused of being the initiators of the coup d’état attempted against President Soekarno. Whatever the truth behind this allegation, rumors of this coup d’état had been used as the reason behind the deployment of the G30S (the 30 September Movement). The second group of images consists of those who were considered part of the G30S, that is, the group who acted on the aforementioned rumor—they are: Lt. Col. Untung Samsoeri, Brigadier General Seopardjo, D. N. Aidit, Sjam Kamaruzzaman, and Soebandrio. The final group consists of those who confronted the G30S actors—including Major General Soeharto, General Umar Wirahadikusumah, Admiral R. e. Martadinata, General Basoeki Rachmat, and Sarwo edhi Wibowo. In the aftermath, this last group gradually gained legitimate power through what Dr. H. Subandrio 6, the then First Vice-Prime Minister, dubbed as the creeping coup—an act of coup d’état conducted slowly and gradually in order to seize the highest positions of power. All 30 figures are woven on top of a

    large ‘base image’ showing President Soekarno mourning in front of General Ahmad Yani’s grave.

    Pancasila Sakti dan Teror Putih shows a landscape view of Pancasila Sakti monument overlapping a documentary photograph that depicts Teror Putih, White Terror. Pancasila Sakti monument was built to honor the Heroes of the Revolution, and to serve as an aide-memoire of the time when an attempt to ‘betray’ Pancasila was successfully foiled. The term White Terror was used by D. N. Aidit in one of his speeches in 1965, to refer to various acts throughout Indonesian history that demonstrated discrimination against communist ideologies. Through this work, Patriot wishes to show a paradox. On the one hand, he is showing a symbol of human rights violation—the kidnapping and killing of Generals and officers. Yet, on the other hand, he is also presenting another kind of human rights violation in the form of a photograph that documents the plight of PKI sympathizers being rounded up by soldiers. “Actually, there are many other photographs in circulation that can better show the sadistic nature of the incidents mentioned, but I have chosen images that are ‘softer’, so as not to glorify violence [worsen existing hurts],” he said.

    Next, Titik Silang Kuasa ’66 - ’98, is a woven

    work showing a photographic reproduction of Soeharto’s resignation letter of May 1998, whose signature is interwoven with Soekarno’s signature as seen in Surat Perintah Sebelas Maret. Through this work, Patriot underlines the significance of both decrees/letters in the history of Indonesian governmental succession from 1966 to 1998. According to Patriot, both letters occupy a monumental position, especially in relations to the New Order Regime which, according to him, ‘began and ended with a letter’. By placing the focus on the interwoven signatures, Patriot wants to communicate the concept of legitimacy, where any statement would be meaningless (would have no true authority) without a signature.

    The next work is titled Monoloyalitas. Simply put, monoloyalty is a policy that demands every state apparatus, civil or military, to pledge loyalty to the New Order regime. This particular work comprises of 27 portraits of civil servants divided into groups of 9 woven frames that are then woven onto 3 larger base images depicting President Soeharto. The image created by this work is somewhat different from the works mentioned previously. Rather than using historical documents that are monumental in character and have certain distance, here, patriot has chosen to work with images that have ‘close connections’ with himself as an individual. Among the array of

  • 42 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 43

    civil servants are Patriot’s father and mother. Although they are minor fragments in the greater historical scheme, these portraits of civil servants are central figures within the construction of the aforementioned monoloyalty.

    Finally, there is the Titik Silang series. In this series of works, a different sort of woven motif is presented. This difference also reduces the image readability of this work. Patriot utilizes this reduced readability as a kind of pause that allows him to be less strict when constructing meaning in his work. Generally speaking, the documentary photographs used in this image are still connected to the problems that existed during the New Order regime.

    In Closing

    The series of exposition above demonstrates how this exhibition attempts to act as a knot that ties a number of things such as history, art, aesthetics, etc. Although art has a tendency (to be used) to serve various interests, Patriot—together with other young artists—still believe that art retains an aura that can reach out and touch the human dimensions even to their deepest layers, one of them being history. In preparing for this exhibition, Patriot has taken up a mission of persuasion, that is, to persuade the public to once again pay close

    attention to the construction of Indonesian historical narratives, and to do so with greater openness. especially if we consider the position of historical construction that is still rife with debates and confusion. This confusion is, nevertheless, a reflection of how we have yet to firmly establish historical institutions or displays in Indonesia. By establishing a form of understanding about the nation’s prior identities, supported by firmly established historical institutions, Patriot hopes that these records of the past can further encourage youths to become more confident as they shape this nation’s future.

    Gumilar GanjarCurator

    end Notes:

    1: As defined in Oxford english Dictionary, published by Oxford University Press in 1997

    2: The complete title of this book is Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966: Mitos dan Dilema: Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, written by Rum Ali and published by Kata Hasta Pustaka in 2006

    3: This explanation refers to Genealogy, a concept coined by Michel Foucault, as cited and adapted in the book Foucault and Literature, written by Simon During, published in 1992 by Routledge, New York

    4: Cited from a specific section elaborating historical research in a thesis by Annisa Desmiati R., Kajian Sejarah Sosial Seni Rupa di Bandung Periode 1970 - 1998 Melalui Representasi Visual Karya-karya Srihadi Soedarsono, Nyoman Nuarta, dan Tisna Sanjaya (2012). This thesis stated that historical research will go through four essential stages, i.e. the heuristic (locate and collect all materials needed), verification, interpretation, and historiographic stages.

    5: Regarding the analogous state of art and research practice, please refer to Graeme Sullivan’s book, Art Practice as Research: Inquiry in the Visual Art (2005)

    6: Dr. H Soebandrio, Kesaksianku tentang G30S, published in KOMENTAR (18-9-2000)

    I N F O G R A F I K

  • 44 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 45

    Peristiwa Mei 1998Pengunduran diri SoehartoTampuk kuasa beralih pada Wakil Presiden Indonesia, B. J. Habibie.

    PEMILU 1999PelantikanK. H. AbdurrahmanWahid

    2001Presiden K. H. Abdurrahman Wahid diberhentikan, digantikan olehMegawati Soekarno Putri

    Titik dimana Patriot mempertanyakan sorak sorai publik akan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden RI.Patriot masih berusia 11 tahun.

    Patriot Mukmin Lahir (Tangerang, 1987)

    PEMILU 2014Suksesi Joko WidodoDalam pidato yang mengiringi Serah Terima Jabatan Presiden periode 2014 - 2019, Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan pendapatnya mengenai suksesi tersebut yang dilaksanakan secara damai dan tanpai konflik, untuk pertama kalinya.

    Dimulai dari momentum ini, Patriot mulai mencari informasi mengenai hal-hal yang membentuk wacana publik mengenai pemerintahan Soeharto. Proses pencarian ini merupakan proses yang panjang, sempat mengendap dan Ia tinggalkan, namun masih tersimpan dalam memorinya.

    1967Jenderal Soeharto menggantikan Bung Karno sebagai Pejabat Presiden

    1966TerbitnyaSurat Perintah Sebelas Maret

    Titik dimana Patriot kembali diingatkan terhadap catatan sejarah Republik Indonesia, kemudian dikembangkan sebagai gagasan utama karya.

    PEMILU 2004PelantikanSoesilo Bambang Yudhoyono

    Peristiwa September 1965

  • 46 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 47

    2009 2010 2011 2012

    THREE-SIDED PAINTINGS

    Cakupan isu yang sebelumnya menyempit pada diri kemudian mulai meluas pada seri karya The Presence of Mind yang Patriot kerjakan pada tahun 2011-2012. Pada seri karya ini Patriot mulai mengeksplorasi pengalaman ilusi visual yang kemudian Ia sebut Three Sided Painting. Dalam konteks ‘citra’, karya ini ditujukan seniman untuk memperlihatkan bagaimana sebuah citra dapat memberikan impresi dan makna yang dapat benar-benar berbeda, tergantung dari ‘sudut’ dan ‘posisi’ individu dalam memproses citra tersebut. Sedangkan dalam konteks subject matter, tema yang digarap melalui teknik ini mulai meluas dari cakupan eksistensi diri dan individu kepada konteks sosial politik, kaitan antara mencitra dengan seni, dan spiritualitas.

    PHOTOREALIST PAINTINGKarya-karya awal Patriot setelah merampungkan studi sarjananya dari Seni Lukis ITB cenderung diselesaikan melalui langgam lukisan fotorealistik. Seri First Person View (2009-2010) dan Narcissus (2010) memperlihatkan pentingnya proses melihat dan mencitra. Pada dua seri karya ini, keseharian menjadi subject matter utama. Proses mencitra yang nampak dalam retorika visual karya merefleksikan upaya Patriot untuk memahami eksistensi dirinya sendiri melalui bagaimana Ia melihat dan ‘mencitra’ dirinya melalui perenungan terhadap tindakan-tindakan keseharian.

    PAINTING INSTALLATION

    Kembali berkembang pada tahun berikutnya, isu yang digarap oleh Patriot mulai mengerucut pada kedudukan lukisan dan seni rupa. Karya Seeing is Painting (2013), projek yang Ia kerjakan untuk menyelesaikan studi magisternya di Seni Rupa ITB, merupakan upaya Patriot untuk memperdalam pemahamannya mengenai seni lukis dengan mengkritisi lukisan itu sendiri serta meninjau posisinya dalam praktik seni kontemporer. Logika pengerjaan artisitik dalam karya ini sebenarnya mengacu pada logika seni modern, yang ditujukan sebagai upaya ‘pencarian esensi’ medium, namun dengan pendekatan yang lebih mutakhir dan revolusioner. Instalasi ini juga menandakan mulai berkembangnya cakupan pengolahan citra dalam karya Patriot, dari sebelumnya sekitar 2 dimensional menjadi 3 dimensional, ditandakan dengan digunakannya pendekatan instalasi dan objek temuan.

    SENSIBILITAS SOSIAL POLITIK

    Perkembangan tema karya yang merespon isu sosial dan politik mulai banyak dikerjakan Patriot di tahun 2014. Ditandai pada karya Jas Merah, melalui ’90 bilah kanvas’ Patriot memperlihatkan sensibilitasnya terhadap dinamika sosial dan politik nasional yang kala itu didorong oleh penyelenggaraan Pemilihan Umum dan mengaitkannya dengan memori masa kecilnya di tahun 1998 ketika pergeseran kekuasaan sedang terjadi di Indonesia. Berikutnya, Patriot mendapatkan undangan kehormatan untuk terlibat dalam salah satu projek seni nasional. Disini Ia mengolah citraan seluruh tokoh yang pernah menjabat sebagai presiden Indonesia yang kemudian menjadi koleksi tetap Balai Kirti, Museum Kepresidenan RI, Istana Bogor. Bagaimana Ia merespon kedua hal ini memperlihatkan bagaimana Ia mencerap fenomena yang terjadi dalam konteks massa melalui pandangan personalnya sebagai seniman. Memori atau sejarah, meskipuan bersifat massal dan kolektif, bagaimanapun, akan tetap dipengaruhi oleh perspektif-perspektif personal.

    MENGANYAM SEJARAH

    Teknik menganyam adalah teknik yang Patriot pilih untuk ia tekuni dan tampilkan dalam pameran ini. Teknik dan proses menganyam ini Ia tinjau selain karena peluang pengalaman estetik yang khas, juga mereflikesikan nilai-nilai filosofis sekaligus ‘puitis’. Menganyam bagi Patriot bukan hanya sebagai sebuah teknik pengerjaan karya. Menurutnya, dalam menyusun retorika estetik dalam karya-karyana ini, Ia melihat dirinya seperti sedang ‘menganyam’ sejarah. Karena karakternya yang tumpang tindih, anyaman-anyaman dokumentasi fotografis sejarah ini merefleksikan gagasan besarnya akan posisi narasi sejarah saat ini, terdiri dari ‘tumpang-tindih’ realitas yang masih dapat ditelusuri dengan mendalam pada lapisan-lapisannya.

    Jas Merah

    Seri karya Jas Merah merupakan salah satu karya yang menandakan mulai tumbuhnya sensibilitas sosial dan politik dalam rentang kekaryaan Patriot. Disamping itu, karya ini juga terinspirasi dari momentum suksesi pemerintahan SBY ke Jokowi yang kemudian mengingatkannya pada Reformasi 98.

    Mendapatkan gelar Sarjana dari Seni Rupa FSRD ITB, studio seni lukis. Setelahnya Patriot berpartisipasi dalam program residensi di North Art Space selama 6 bulan.

    Mulai menempuh studi magister di Magister Seni Rupa, Sekolah Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung,

    Menyelesaikan studi magister di Magister Seni Rupa, Sekolah Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung. Studi akademik ini diakhiri dengan pameran tunggal pertamanya yang berjudul Seeing is Painting.

    SITE SPECIFIC WORKS

    Sesampainya dalam sensibiiltas citra 3 dimensional, Patriot kembali mengembangkan proses olah citra dengan mulai mengaitkannya dengan karakter ruang yang spesifik. Karya Seeing is Photographing, sebuah projek yang dikerjakan untuk pameran Manifesto IV di Galeri Nasional, merupakan karya pertama yang menandakan sensibilitas site specific dalam rentang kekaryaannya.

    Kembali melanjutkan karya yang mengolah ‘ke-tokoh-an’ di Indonesia, Patriot kembali bereksplorasi dengan ‘menganyam’ cetakan grafis tokoh-tokoh pahlawan di Indonesia dalam seri karya Pahlawan Revolusi. Objek tersebut tentunya akrab dengan publik semenjak mengenyam pendidikan dasar. Melalui penggunaan benda temuan ini, tampak bahwa Patriot membutuhkan artefak-artefak yang bersinggungan tidak hanya dirinya secara personal, namun publik secara kolektif. Proses ini kemudian Patriot kembangkan

    20142013 2015

  • 48 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 49

    EducAtIONBandung, August 2011- September 2013, Master of Fine Arts, Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology (ITB), Indonesia.

    Bandung, August 2005-April 2010, Bachelor of Fine Arts (Painting Studio), Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology (ITB), Indonesia.

    WORKshOps ANd ARtIst REcIdENcIEs2011 Videosonic #2, video art workshop with Filmklasse HBK Brauncshweig, Germany and Intermedia Studio FSRD ITB, Bandung. 2010 Artists in Residence at North Art Space, Pasar Seni Ancol, Jakarta.2007 Paintings Studio workshop with R.E. Hartanto.

    publIshEd WRItINGs2012 “My Existence”, published at catalogue of Sutrisno’s solo exhibition, Bentara Budaya Yogyakarta. “Seni Rupa yang (tidak) Tak Berguna,” published at Bulletin Soemardja #1, October 2012. “Bandung yang terbuka,” published at Visual Arts magazine #52 January-February 20122011 “Seoul : Pengalaman Estetik dan Artistik,” published at Visual Arts magazine #51 November-Desember 2011. “Imaji yang meminta dikunjungi,” published at www.indonesiaartnews.or.id (July 11th 2011) “Isu Sosial dan Manifesto Medan Seni Rupa,” published at www.indonesiaartnews.or.id (March 9th 2011) AWARds ANd AchIEvEmENts2012 Finalists of Bandung Contemporary Art Award (BaCAA) #2, Bandung. 1 year Scholarship for Magister Program 2011 First Prize Harper’s Bazaar Art Award, Bazaar Art Jakarta, 2011.2010 Finalists of 2010 Harper’s Bazaar Art Award,

    Bazaar Art Jakarta, 2010. Finalist of 2010 Indonesia Art Award, “Contemporaneity,” National Gallery of Indonesia.2009 Finalist of Jakarta International Video Festival, OK Video! Comedy, National Gallery of Indonesia.

    sOlO ExhIbItIONs2013 Seeing is Painting, Galeri Gerilya, Bandung.

    GROup ExhIbItIONs2015 Connection, Roemah Seni Sarasvati, Bandung. Kumur-kumur, pameran hasil workshop bersama anak-anak binaan Laskar Seni, Galeri Soemardja, Bandung.2014 Garden Art Festival, Goethe Institute, Bandung. Organized by YIFI. Pasar Seni ITB, Stand Artmadilaga Art Management, Bandung. Comissioned to make site-specific artwork at Kompleks Karya Raya, Pasar Seni ITB, Bandung. InsyaAllah Kontemporer, Merak Gallery, Semarang. Curated by M. Rahman Athian. Comissioned to make site-specific artwork at Balai Kirti, Museum of Presidents of Indonesia, Bogor Palace, Bogor. Pameran 90-an. Balai Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Curated by Bob Edrian Triadi, Danuh Tyas, and Dwihandono Ahmad. Manifesto #4 : Keseharian, National Gallery of Indonesia, Jakarta. Curated by Rizky A. Zaelani-Asikin Hasan-Rikrik Kusmara. P.R.E.P.A.R.I.N.G, group visual art exhibition, Galeri Cemara6, Jakarta. Curated by Candra Johan.2013 Every day is like Sunday, Langgeng Gallery, Magelang. Curated by Rifky Effendi. Bandung Contemporary: Disposition, Lawangwangi Creative Space, Bandung.

    Pa T r i o T M u K M i nborn in Tangerang, June 4th, 1987

    Curated by Chabib Duto Hapsoro. Pameran Kerjasama Para Pengajar ISI Yogya dan FSRD ITB, Galeri ISI Yogyakarta. Subject Matter: A Locus Collectivism, Art1 Gallery, Jakarta. Curated by Asmudjo Jono Irianto. Korea-Indonesia Plastic Artists Exhibition, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Curated by Asikin Hasan. Pameran Nusantara 2013: Meta-Amuk, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Curated by Asikin Hasan and Kuss Indarto. Trans-Avantgarde, AJBS Gallery, Surabaya. Curated by Rusnoto Susanto. Kitaran, Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Curated by Rumy Sidhartha.2012 ARTJOG 12, Looking East: A Gaze of Indonesian Contemporary Art, TBY, Yogyakarta. Curated by Bambang Toko. Incomplete Project, Lawangwangi Art and Science Estate, Bandung. Curated by Rumy Sidhartha. On The Edge, a Presentation of 14 Indonesian Artists, 7Adam Gallery , Singapore. Bandung Contemporary Art Award #2, Lawangwangi Art and Science Estate Bandung. 2011 The Spectacle: Video Art Screening, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Rite of Now, AJBS Gallery, Surabaya. Curated by Rizky Ahmad Zaelani. Korea International Art Fair(KIAF) 2011, Seoul, South Korea. Harper’s Bazaar Art Award 2011, Ritz Carlton- Pacific Place, Jakarta. Bayang: Islamic Contemporary Art Exhibition, National Gallery of Indonesia, Jakarta. Curated by Rizky Ahmad Zaelani. Age of Restlessness, North Art Space, Pasar Seni Ancol, Jakarta. Curated by Rifky Effendi.2010 S. Sudjojono: Sang Ahli Gambar dan Kawan- kawan, Adira Gallery, Bandung. Curated by Aminuddin T.H. Siregar.

    Harper’s Bazaar Art Award 2010 , Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta. Indonesia Art Award 2010: Contemporaneity, National Gallery of Indonesia, Jakarta. 15x15x15: Recreate X Reality X Representation, mini art project, Soemardja Gallery, Bandung. Curated by Sally Texania. 2009 OK Video! IV: Comedy, Jakarta International Video Festival, National Gallery of Indonesia. Curated by Aminuddin T.H. Siregar. Artpropietor, a partial appropriation project of Eugene Delacroix’s and Yue Min Jun’s works, CMNK Gallery, Bandung. Curated by Danuh Tyas Pradipta. Social Urban Arts Festival: mural and visual arts exhibition, FISIP Buildings at university of Indonesia, Depok.

  • 50 // Main Rhetorics Main Rhetorics // 51

  • 52 // Main Rhetorics

    Allah SWTNabi Besar Muhammad SAW

    Ibu dan AyahIbu Andonowati

    Pak Tisna, Pak Asmujo, Pak Aminudin (Bang Ucok), Bu Irma, Pak Rikrik, Bu Ira, Bu Nuning

    Gumilar Ganjar

    Augi Jelita

    Bu Melanie, Mas Heru Hikayat, Danuh Tyas, Aliansyah Chaniago, Fransisca Retno, Haikal Azizi (Kajem)

    Keluarga tercinta, Yu Muti, Yu Rani, Puput, Mas Ian, Nabila, Indyra, Shera, dan keluarga besar Mursyid Ali - Siti Barkah

    Tim Lawangwangi Creative Space, Bagus, Mba Inon, Gracia, Nanda P.M. (Bodong), Mba Dian, Kemala, Mang Oha, dan segenap staff yang lain

    Tim anyam Hukum UNPAD, Puput, Firda, Ilham, Ria, Feby, Bagus, Alya, Gina, Fajar, Fadli, Dwinta, Widya, Celina, Liana, Savira, Novanisa, Nadia

    Tim anyam Desain Interior ITENAS 2014, Putri, Murdika, Fadilla, Nisa, Diba, Dendy, Reijan, Tartia, Detta, Niken, Citrana, Rifani, Hadisty, Tesa

    Tim anyam FSRD – ITB, Ama, Dea, Juki, Herawan, Qonita, Cale, ersi, Ira, Ruben, Sabiq, Ayda, Dinda, Sinta, Audya, Lala, Luki, Ulum

    Koxis, Zaldi, Dhanis, Zico, Wibi, Theo, Aul, Arief, Dimul, edu, Dafi, Japret, Sufty, Anita, Iwan, Doni, Maman, Madyn, Akang, Omen, Nomski, Panji, Nugie, Chabib, Neina, Ana, Akbar, Jabar, Vincent, Perang Sambel, dan seluruh teman-teman Keluarga besar Seni Rupa ITB

    Tim foto Nino dan Fatchi

    Tim video Ilal dan Melvan

    Tim display Rianto dan Pa Rudi

    Kang Amas dan tim – estha akrilik dan timMedia Partner, LOTF - Nia, Aul, Nana, TH!NGS Magazine - Fryza, Jurigmoto - ecce, Air Foto Network – Kang Galih, Bdgnewsphoto – Pa Yurri, Indoartnow – Mas Tom, Irfan, Darto

    Sponsor, Yamasurih – Yudi, Medialukis.co – Angga, Kuteken printshop.

    Bu Ina dan keluarga dan Teh Sari

    Mas Setiawan Arief dan tim

    Arsip Nasional RI, Kawasan Museum dan Monumen Pancasila Sakti, Buku-buku sejarah terkait dan para penulisnya, Google, Wikipedia, dan rimbaraya Internet

    Seluruh tamu yang datang ke acara pameran

    Para pemimpin Bangsa

    PATRIOT MuKMINMENGuCAPKAN TERIMA KASIHKEPADA: