lelly-islam moderat indonesia 13092013

21
1 Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia Lelly Andriasanti Abstract In recent years, Indonesia's foreign policy seemed to be portraying moderate Islamic identity in international relations. This is in contrast to practices foreign policy of Indonesia, which has historically avoided the reflection factor of Islam while the majority of the population is Muslim. This condition encourages question, why Indonesia's foreign policy promoting moderate Islamic identity. The used methodology in this study is a qualitative in discourse analysis. The results of this study are moderate Islam Indonesia wants to identify its self to distinguish from other Muslim countries, especially the Middle East region; there are expectations of the international community, especially Western countries, to understand and get closer to the Muslim world; Indonesia government wants to accommodate the voice of domestic Muslim community that had been hoping for a better relations with the Muslim world; the motivation of Indonesia to take part in international relations in accordance with the consistency of its worldview. Keywords: identity, Moderate Islam, Indonesia’s Foreign Policy, and Role Pendahuluan Islam merupakan agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia. Pada tahun 2010, penduduk muslim di Indonesia berjumlah 205,1 juta jiwa atau 88,2 persen dari 232,5 juta jiwa total penduduknya. 1 Meski penduduk Muslim adalah mayoritas di Indonesia, negeri ini bukanlah negara teokrasi. Indonesia bukanlah negara yang dibangun oleh kesamaan agama, tapi oleh kemajemukan bangsa dan pluralisme agama yang terikat oleh ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Pengakuan pluralisme nyatanya turut mempengaruhi pola kebijakan luar negeri Indonesia. Pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebijakan luar negeri diawasi secara ketat agar tidak didikte oleh pertimbangan-pertimbangan ideologi Islam. 2 Hal ini ditujukan untuk menjaga perasaan komunal keagamaan agar tidak merusak persatuan bangsa. Sejak tahun 2004, Indonesia mulai mempromosikan identitas Islam moderat. Melalui berbagai forum dan konferensi internasional, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berusaha membuktikan bahwa Islam, modernitas, dan demokrasi dapat bergandengan satu sama lain. Ekspresi kemoderatan Islam Indonesia ini setidaknya dapat ditemukan pada beberapa kesempatan seperti Bali

Upload: lelly-andriasanti

Post on 20-Feb-2016

13 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Tulisan ini sudah diterbitkan di jurnal Jurnal Global Vol. 16 No. 1 Desember 2013-Mei 2014.

TRANSCRIPT

Page 1: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

1

Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Lelly Andriasanti

Abstract

In recent years, Indonesia's foreign policy seemed to be portraying moderate

Islamic identity in international relations. This is in contrast to practices foreign

policy of Indonesia, which has historically avoided the reflection factor of Islam

while the majority of the population is Muslim. This condition encourages

question, why Indonesia's foreign policy promoting moderate Islamic identity. The

used methodology in this study is a qualitative in discourse analysis. The results

of this study are moderate Islam Indonesia wants to identify its self to distinguish

from other Muslim countries, especially the Middle East region; there are

expectations of the international community, especially Western countries, to

understand and get closer to the Muslim world; Indonesia government wants to

accommodate the voice of domestic Muslim community that had been hoping for a

better relations with the Muslim world; the motivation of Indonesia to take part in

international relations in accordance with the consistency of its worldview.

Keywords: identity, Moderate Islam, Indonesia’s Foreign Policy, and Role

Pendahuluan

Islam merupakan agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia. Pada

tahun 2010, penduduk muslim di Indonesia berjumlah 205,1 juta jiwa atau 88,2

persen dari 232,5 juta jiwa total penduduknya.1 Meski penduduk Muslim adalah

mayoritas di Indonesia, negeri ini bukanlah negara teokrasi. Indonesia bukanlah

negara yang dibangun oleh kesamaan agama, tapi oleh kemajemukan bangsa dan

pluralisme agama yang terikat oleh ideologi Pancasila sebagai dasar negara.

Pengakuan pluralisme nyatanya turut mempengaruhi pola kebijakan luar negeri

Indonesia. Pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebijakan luar negeri

diawasi secara ketat agar tidak didikte oleh pertimbangan-pertimbangan ideologi

Islam.2 Hal ini ditujukan untuk menjaga perasaan komunal keagamaan agar tidak

merusak persatuan bangsa.

Sejak tahun 2004, Indonesia mulai mempromosikan identitas Islam

moderat. Melalui berbagai forum dan konferensi internasional, Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) berusaha membuktikan bahwa Islam, modernitas, dan

demokrasi dapat bergandengan satu sama lain. Ekspresi kemoderatan Islam

Indonesia ini setidaknya dapat ditemukan pada beberapa kesempatan seperti Bali

Page 2: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

2

Democracy Forum (BDF), World Movement for Democracy, Parliamentary

Union Of OIC Member States (PUIC), dan International Conference on Global

Movement of Moderates. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan luar negeri

Indonesia tidak lagi alergi terhadap unsur Islam dalam mencitrakan identitas

nasional Indonesia ke panggung internasional.3 Perbedaan pola tersebut

menimbulkan pertanyaan, mengapa kebijakan luar negeri Indonesia

mempromosikan identitas Islam moderat dalam beberapa tahun terakhir ini?

Identitas dalam Kebijakan Luar Negeri

Identitas merupakan bentuk dari eksistensi diri. Menurut Viotti dan Kaupi,

identitas muncul dari pertanyaan dasar akan eksistensi diri, seperti siapa saya;

siapa kamu; atau apa yang membedakan kita.4 Semua pertanyaan tersebut tidak

mungkin terjawab tanpa interaksi sosial yang nantinya membentuk pemahaman

akan diri dan pihak lain.

Dalam melihat karakter dari interaksi ini, Alexander Wendt

menjelaskannya dalam empat jenis identitas. Pertama, corporate identity

merupakan identitas yang dikonstitusikan oleh pengorganisasian diri, struktur

homeostatik yang membuat aktor sebagai entitas yang berbeda. Kedua, type

identity mengacu pada kategori sosial atau penggunaan label pada aktor yang

membagi sejumlah karakteristik dalam penampilan, tingkah laku, sifat, sikap,

nilai-nilai, keterampilan, pengetahuan, opini, pengalaman, kesamaan sejarah, dan

lainnya. Ketiga, collective identity mengambil hubungan antara diri dan pihak lain

ke dalam logika konklusi atau identifikasi. Keempat, role identity bergantung pada

diri dan respon lanjutan dari pihak lain. Aktor tidak dapat menetapkan sendiri

identitas perannya karena identitas ini hanya ada dalam hubungan yang

melibatkan pihak lain.5

Untuk memahami proyeksi identitas suatu negara di tingkat internasional,

pengkajian dilakukan dengan memanfaatkan teori peran dalam kebijakan luar

negeri. Peran sendiri merupakan salah satu karakter dari identitas yang menuntut

pembedaan dalam dinamika sistem sosial internasional. Karenanya, pengambilan

peran yang hendak dicapai oleh kebijakan luar negeri sangat dipengaruhi situasi

internasional yang diimbangi perhatian pada situasi dan kebutuhan nasional.

Page 3: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

3

Terkait hal ini, proses pembuatan peran umumnya konfliktual sehingga

pengkajian peran dalam kebijakan luar negeri perlu memperhitungkan berbagai

mode pembuatan peran yang mengacu pada sikap dan tindakan pihak-pihak dalam

mengambil dan menentukan peranan.

Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang mendefinisikan peran nasional.

Pada ranah domestik, pembuatan peranan dianalisa dari para pembuat keputusan

kunci, yakni pemerintah. Hal lain yang perlu diingat adalah pembentukan peran

bukanlah tanpa tujuan. Dengan menyediakan tujuan yang pasti dari bernegara di

tengah komunitas internasional, konsepsi peran nasional telah memberkahi negara

dengan kepribadian atau identitas.6

Dari beberapa metode penelitian identitas — survei (survey analysis),

analisis isi (content analysis), analisis wacana (discourse analysis), dan analisis

etnografi—, studi ini akan menggunakan analisis wacana. Analisis wacana

merupakan pembaruan dari metode kualitatif dan penafsiran makna atas bahasa

yang digunakan aktor untuk menggambarkan dan memahami fenomena sosial.7

Studi mengenai identitas dalam kebijakan luar negeri bukanlah hal baru. Tidak

sedikit akademisi yang mengkaji studi ini. Beberapa akademisi yang telah

melakukan studi tersebut antara lain Hüsamettin İnaç dan Ahmad Sadeghi.

Dalam Identity Problems of Turkey during the European Union

Integration Process, Hüsamettin İnaç menguraikan perubahan identitas Turki

dalam proses modernisasi berkepanjangan. Modernisasi yang dipahami sebagai

Westernisasi ini terjadi dalam tiga tahapan, yaitu Ottoman, Kemal, dan integrasi

Uni Eropa (UE). Pada tahapan terakhir, identitas Turki dihadapkan pada tantangan

dalam melawan culture shock dan culture gap. Sosio kultural Turki yang kental

dengan nilai-nilai Islam dan anti Barat pada masa Otoman tiba-tiba diharuskan

untuk menyerap rasa memiliki Eropa dalam kerangka integrasi UE. Akan tetapi,

identitas yang dibangun melalui proses modernisasi Turki berbuah pada

penolakan halus UE yang melihat bahwa Turki belum siap menerima nilai

kebijakan dan kultur Barat. Kondisi ini mengindikasikan kegagalan Turki dalam

menerjemahkan identitasnya dalam proses integrasi UE.8

Dalam Genealogy of Iranian Foreign Policy, Ahmad Sadeghi mengkaji

faktor-faktor pembentuk kebijakan luar negeri Iran yang diawali Revolusi Islam

Page 4: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

4

melalui pendekatan genealogi. Internalisasi Islam yang terjadi dalam tiap sendi

kehidupan negara menjadikan Islam sebagai identitas yang melekat pada Iran. Hal

ini kemudian dimanfaatkan Iran untuk mencapai konfigurasi kepentingan nasional

dan merubah peta geopolitik di Timur Tengah melalui revivalisme Islam.

Revivalisme yang cenderung konfrontatif ini tidak hanya ditujukan kepada

negara-negara di kawasan Timur Tengah dan negara-negara bekas US, tapi juga

dunia Barat. Identitas Islam Iran yang tercipta akhirnya bersifat konfliktual,

karena redefinisi diri yang dilakukan Iran telah mendikotomikan antara diri

dengan pihak oposisi yang harus diperangi, khususnya Amerika Serikat (AS).9

Beberapa studi tersebut memperlihatkan bagaimana identitas

menyebabkan problematika, baik di ranah domestik maupun internasional. Dalam

ruang domestik, problematika ini berkutat pada pencarian dan pengakuan jati diri

sehingga menimbulkan dilema dan krisis, seperti pada kasus Turki. Sedangkan

dalam dinamika sistem internasional identitas memperlihatkan bagaimana anarki

dapat terjadi. Seperti pada kasus Iran, identitas yang dimunculkannya cenderung

menyulut konflik dengan negara-negara Barat khususnya AS. Pada dasarnya,

identitas merupakan pemahaman kolektif yang mengkonstitusikan struktur

sehingga mengorganisasi tingkah laku negara untuk dapat menentukan antara

kawan atau lawan.10

Dalam sistem internasional yang anarki, persepsi identitas

yang membedakan lawan dan kawan ini penting untuk menjadi referensi aktor

dalam berinteraksi.

Berangkat dari asumsi bahwa wajah identitas tidak selalu problematis dan

konfliktual, studi ini akan menaruh perhatian pada kapasitas identitas dalam

memediasi konflik. Untuk itu, studi ini menyoroti identitas Islam moderat dalam

kebijakan luar negeri Indonesia yang dianggap mampu menjembatani konflik

antara dunia Barat dan Islam. Studi ini menjadi penting karena berkaitan dengan

wajah Islam yang mendapat stigma teroris sepanjang satu dekade terakhir.

Stigma demikian tentu tidak bisa digeneralisir. Untuk itu, studi ini hendak

menampilkan wajah Islam yang lain sehingga dapat memberikan perspektif baru

tentang Islam yang lebih toleran. Signifikansi lain dari studi ini berkaitan dengan

urgensitas posisi Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Menurut

IJESD 2010, jumlah penduduk muslim Indonesai merupakan terbesar di dunia,

Page 5: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

5

yakni 12,9 persen dari presentasi populasi muslim dunia. Besarnya kuantitas

tersebut diharapkan dapat mewakili dunia Islam.

Presentasi Islam Moderat Sebagai Respon atas Jaringan Teroris di Kawasan

Serangan WTC pada 11 September 2001 merupakan salah satu katalisator

isu global di awal abad 21. Peristiwa ini merubah kesadaran Barat bahwa

Komunisme tidak lagi menjadi bahaya laten, melainkan Islam yang dianggap

mampu mengancam kedigdayaan Barat. Perubahan yang dimotori AS ini tidak

hanya dilatari posisinya sebagai objek serangan, tapi juga motivasi untuk

menaikan kembali perannya di ranah internasional yang mulai menurun pasca

Perang Dingin. Dalam menampilkan gaya kepemimpinan, AS mengampanyekan

perang terhadap terorisme (war on terrorism).

Pada perkembangannya, perang tersebut menjadikan Islam dan

pengikutnya sebagai ancaman sekaligus musuh bersama. Hal ini tidak lepas dari

beberapa stereotyping yang dilakukan AS,11

seperti Al Qaidah sebagai organisasi

teroris yang mempraktikan Islam garis keras dan Osama Bin Laden, Muslim yang

bersembunyi di Afghanistan, sebagai dalang dari aksi teror. Dengan alasan

tersebut AS dan Dunia Barat melegalkan operasi militer di Afghanistan dan Irak.

Akan tetapi, masifikasi kekhawatiran terhadap Islam (Islamophobia) cenderung

terjadi setelah Bush mengobarkan semangat Perang Salib dalam Perang terhadap

Terorisme. Tendensi ini kemudian dinterpretasikan publik dan media sebagai

perang terhadap Islam.

Bagi kawasan Asia Tenggara, perang global terhadap terorisme justru

lebih membawa pengaruh besar, dibandingkan operasi militer di Irak ataupun

Afghanistan. Dari sudut pandang kawasan, perubahan isu keamanan regional

bukan disebabkan serangan 11 September, tapi lebih dikarenakan kepemimpinan

AS dalam perang melawan terorisme yang kemudian direspon pemerintah, aktor-

aktor politik dan agama di kawasan sebagai urgensi.

Akibat dari persepsi tersebut, perang global terhadap terorisme membawa

dua konsekuensi umum di Asia Tenggara.12

Pertama, fokus perhatian dialamatkan

pada hubungan antara Al-Qaeda dan kelompok-kelompok radikal lokal. Hal ini

mendorong terciptanya peluang kerjasama yang belum pernah terjadi sebelumnya

Page 6: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

6

antara Barat dan negara-negara di Asia Tenggara, khususnya dalam bidalng

militer dan intelijen. Kedua, Asia Tenggara diperhitungkan sebagai daerah transit

bagi jaringan terorisme sehingga berpotensi sebagai front kedua dalam perang

melawan terorisme. Istilah front kedua mencerminkan tingginya tingkat ancaman

teroris di Asia Tenggara yang bersumber dari faksi Islam radikal dan milisi

bersenjata, serta kemudahan akses bagi operasi kelompok teroris di daerah

perbatasan yang kurang mendapat pengawasan dari pemerintah setempat.

Isu utama AS dalam perang global terhadap terorisme bukan hanya

memberantas kelompok teroris semata. Hal ini lebih pada bagaimana

menyesuaikan antara pemberantasan gerakan Islam militan, penguatan

pemerintahan yang bersehabat dan kelompok moderat di dunia Islam.13

Bagi

Barat, Muslim moderat merupakan aliansi potensial yang paling efektif karena

merangkul tradisi yang berbasis pada nilai-nilai masyarakat modern seperti

demokrasi dan pluralisme.14

Dalam melawan terorisme, strategi yang digunakan dunia Barat tidak lepas

dari promosi demokrasi seperti pengalamannya selama Perang Dingin. Komitmen

terhadap demokrasi dan legitimasi politik yang berasal dari kehendak rakyat

melalui pemilu demokratis merupakan isu kunci dalam mengidentifikasi Muslim

moderat. Rabasa kemudian merinci Muslim moderat ke dalam empat

karakteristik, yakni demokrasi; penerimaan sumber hukum yang non-sektarian;

penghormatan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas; serta beroposisi

terhadap terorisme dan aksi-aski kekerasan.15

Negara-negara Barat menyadari, jaringan Islam moderat kurang memiliki

sumber daya finansial dan organisasional dalam membangun jaringan mereka

sendiri. Kondisi ini bertolak belakang dengan kelompok Islam radikal yang

terbilang sedikit tapi memiliki sumber pendanaan yang kuat dan jaringan yang

luas. Kelompok radikal kebanyakan memperoleh dana dari Saudi selama tiga

dekade terakhir. Dana ini merupakan kepanjangan dari ekspor Wahabisme Islam

versi Saudi yang disengaja atau tidak berdampak pada pertumbuhan ekstremisme

agama di seluruh dunia Muslim.16

Yayasan Saudi Al-Haramain salah satunya,

telah ditutup karena terbukti mendanai sejumlah organisasi teroris dari Bosnia ke

Asia Tenggara.17

Page 7: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

7

Perhatian Barat di Asia Tenggara pada dasarnya terletak pada upaya

membangun jaringan Islam moderat untuk menangkal jaringan terorisme di

kawasan. Pada skala regional, perhatian AS dan Barat tertuju pada Indonesia yang

dianggap sebagai pilar keamanan di Asia Tenggara.18

Dalam pandangan Barat,

Indonesia memiliki peran yang signifikan baik di kawasan maupun di luar

kawasan. Hal ini didasarkan pada rekam jejak peranannya di dunia internasional

—sebagai pendiri Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), pelopor

Gerakan Non-Blok (GNB), dan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Mengingat ukuran, posisi, dan peran di kawasan, apa yang terjadi di Indonesia

otomatis akan berdampak di seluruh Asia Tenggara. Dengan demikian, Indonesia

yang stabil menjadi kunci stabilitas kawasan.

Identitas Islam Moderat Sebagai Mediator antara Barat dan Islam

Terkait upaya pembangunan jaringan Islam moderat oleh Barat, Indonesia

nampaknya menanggapi ekspektasi tersebut secara positif. Dalam paparan

tahunan Departemen Luar Negeri (Deplu) pada Januari 2004, Menteri Luar

Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda mengungkapkan, sebagai negara dengan

penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memikul kewajiban untuk

memproyeksikan wajah Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang moderat.19

Melalui pencitraan Islam moderat inilah Indonesia sepertinya mencoba

untuk membedakan diri dari kesan radikal yang dilabelkan pada Islam pasca

serangan WTC 2001. Pencitraan ini juga merupakan upaya Indonesia untuk

mengklarifikasi kesalahpahaman pandangan Barat yang mengklaim bahwa

kegagalan konsolidasi demokrasi cenderung terjadi pada negara-negara

berpenduduk Muslim (Lewis, 1958; Kedourie, 1992; Huntington, 1993).

Meski berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia bukanlah negera

berlandaskan sistem Islam. Bahkan, tumbuh pesatnya partai politik yang

berlandaskan Islam pasca kemerdekaan dan pasca reformasi tidak menunjukkan

indikasi pembentukan Indonesia sebagai negara Islam.20

Implikasinya, kebijakan

luar negeri Indonesia tidak berkarakter Islam atau non-Islam. Menurut Rizal

Sukma, alasan pemerintah untuk terus menghindari ekspresi formal faktor Islam

dalam kebijakan luar negeri dikarenakan sifat identitas negara yang

Page 8: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

8

mempertahankan identitas non-teokratik sehingga menolak faktor keagamaan

eksklusif.21

Dengan demikian, kemoderatan Islam hanyalah komplemen dari identitas

formal Indonesia. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) I

2005-2009, salah satu sasarannya difokuskan untuk memperkuat dan memperluas

identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat

internasional. Hal ini ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam

Indonesian Council on World Affairs (ICWA) pada 19 Mei 2005. Ia menyatakan,

"We are fourth most populous nation in the world. We are home to the world's

largest Muslim polulation. We are the world's third largest democracy. We are

also a country where democracy, Islam and modernity go hand in hand."

Tendensi demokrasi dan Islam moderat sepertinya merupakan upaya

Indonesia dalam mendekatkan diri dengan negara demokrasi maju, khususnya

Barat. Dalam studi mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru

menggunakan kebijakan luar negerinya, Alison Stanger menemukan bahwa proses

demokrasi bisa dipertahankan arahnya ketika negara-negara demokrasi baru

membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara demokrasi yang lebih

mapan.22

Untuk menjelaskan fenomena ini, Philips J. Vermonte mengemukakan dua

alasan. Pertama, kebijakan luar negeri bisa digunakan sebagai alat untuk menjaga

jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikan. Kedua,

sebagai konsekuensi dari alasan yang pertama, prospek bagi kerjasama

internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan

semakin baik dan pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses

konsolidasi internal.23

Perlu diingat, perekonomian Indonesia menerima banyak tekanan pasca

rangkaian peristiwa bom teror di tanah air sejak Oktober 2002. Ekspor Indonesia

mengalami penurunan sekaligus peningkatan credit risk yang tidak menyisakan

sedikit pun kemungkinan bagi munculnya investasi, baik dari pihak asing maupun

domestik.24

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah travel warning yang

dikeluarkan sejumlah kedutaan besar seperti AS, Australia, dan beberapa negara

Page 9: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

9

Eropa Barat bagi warganya yang hendak berpergian ke Indonesia. Akibatnya,

pariwisata menjadi sektor yang mendapat imbas cukup besar dari isu teror bom.

Besarnya kerugian ekonomi politik akibat teror bom yang dimotori

gerakan-gerakan Islam radikal menjadi salah satu alasan Indonesia mencitrakan

kemoderatan Islamnya. Khususnya dengan negara-negara Barat, pencitraan ini

ditujukan untuk menjalin kerjasama berkesinambungan sehingga prosesnya

dilakukan secara dialogis melalui jalur diplomasi. Direktur Informasi dan Media

Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, P. L. E. Priatna mengungkapkan,

Islam moderat hanyalah bagian dari pencitraan dalam mempromosikan demokrasi

yang digerakan melalui diplomasi.25

Perlu diketahui sebelumnya bahwa kebijakan luar negeri memiliki

pengertian berbeda dengan diplomasi. Jika kebijakan luar negeri mempunyai

perhatian pada substansi dan kandungan dari hubungan luar negeri, diplomasi

lebih dipusatkan pada metodologi untuk melaksanakan kebijakan luar negeri.26

Jalur diplomasi yang dimanfaatkan Indonesia dalam mencitrakan Islam moderat

umumnya berupa dialog intensif seperti dialog antar kepercayaan (inter-faith),

antar budaya (inter-cultural), dan antar peradaban (inter-civilization). Hal ini

dimaksudkan untuk membangun saling pengertian dan pemahaman antar agama

dan kepercayaan, budaya, dan peradaban yang berbeda.

Eksplorasi dari proses ini berlangsung secara bilateral, regional, maupun

multilateral. Proses dialogis yang terwujud melalui hubungan bilateral dapat

dilihat dari diselenggarakannya konferensi unity in diversity: the culture of

coexistence in Indonesia antara Indonesia dan Italia.27

Sepanjang tahun 2008,

Indonesia telah melakukan interfaith dialog dengan Inggris, Austria, New

Zealand, Belanda, Kanada, Lebanon, dan Australia. Sedangkan dalam kerangka

regional dan multilateral, dialog-dialog serupa dapat ditemukan dalam ASEM

sejak tahun 2005. Khusus kawasan Asia Pasifik, konferensi Asia Pasific tentang

interfaith dialogue and cooperation juga telah dimulai pada 2004 dengan

mengambil tempat di Yogyakarta.

Inisiatif lain yang diambil Indonesia dalam merepresentasikan demokrasi

dan Islam moderat adalah dengan menyelenggarakan Bali Democracy Forum

(BDF). Forum yang berlangsung pada tataran inter-pemerintahan ini

Page 10: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

10

menempatkan Indonesia sebagai pihak yang mempelopori forum khusus yang

membahas tentang demokrasi di kawasan Asia. Sejak diselenggarakan kali

pertama pada 2008, antusiasme negara-negara di dunia yang berpartisipasi pada

acara BDF memperlihatkan pola yang meningkat, dari 40 peserta menjadi 82

peserta pada 2012.

Antusiasme tersebut pada gilirannya melahirkan interaksi yang lebih

intensif antara Indonesia dengan negara-negara yang menghadiri acara tersebut.

negara-negara demokrasi Barat umumnya memberikan pengakuan atas

kredibilitas Islam Indonesia yang mampu berdampingan dengan demokrasi.

Mereka juga mengharapkan Indonesia dapat memainkan peran sebagai suara

Islam dunia untuk memediasi antara dunia Barat dan Islam. Selain itu, sebagai

negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia dapat menjadi model alternatif bagi

peradaban Islam dalam transisi ke abad ke-21 karena menunjukkan kemitraan

yang layak dan kompatibel antara Islam dan demokrasi.28

Sejumlah harapan dunia internasional tersebut dibaca Indonesia sebagai

peluang untuk mengambil peranan yang lebih besar sehingga Indonesia memiliki

alasan yang lebih kuat dalam mencitrakan kemoderatan Islam yang ada pada

dirinya. Terkait hal ini, cara pandang Indonesia dalam melihat dunia juga

memiliki proporsi yang krusial dalam membangun pencitraan tersebut. Cara

pandang nasional terhadap dunia (worldview) merupakan persepsi dominan dari

watak sistem dunia dan sekaligus mengambil tempat dalam sistem itu sendiri.

Menurut Paige Johnson Tan, meskipun mengalami perubahan kepemimpinan

yang drastis, konsistensi cara pandang Indonesia melihat sistem global tampak

dari sejarah kontemporer negaranya.29

Mulai dari awal kemerdekaan Indonesia hingga kini, cara pandang tersebut

selalu dipenuhi oleh keinginan agar negaranya memiliki peranan di dunia

internasional. Cara pandang ini termuat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun

2007 mengenai Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 di mana

salah satu sasarannya adalah terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat

dalam pergaulan dunia internasional.

Page 11: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

11

Identitas Islam Moderat Sebagai Model Alternatif bagi Dunia Islam

Peranan yang hendak dicapai Indonesia melalui pencitraan identitas Islam

moderat agaknya mengalami metamorfosis ketika dihadapkan pada pergolakan

politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang notabene berpenduduk mayoritas

Muslim. Tuntutan akan perubahan politik di kawasan tersebut telah menginspirasi

Indonesia untuk memainkan peran model Islam moderat.

Perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara diawali dengan

keberhasilan para demonstran di Tunisia yang menjatuhkan rezim Zine El Abidin

Ben Ali. Hal ini disusul dengan mundurnya Housni Mubarak setelah 30 tahun

memimpin Mesir — yang memegang posisi kunci di jazirah Arab. Efek domino

dari aksi-aski di Tunisia dan Mesir segera menjangkiti warga Libyia, Aljazair,

Suriah, Yordania, Yaman, dan Libanon.30

Revolusi ini menjadikan internet sebagai kunci penggerak revolusi. Media

sosial khususnya, merupakan instrumen penggerak emosi massa untuk berkumpul

dan melakukan aksi protes yang menuntut kemunduran terhadap pemerintahan

otoriter dan penyelenggaran pemilu yang demokratis. Salah satu pemicu aksi-aksi

protes di negara-negara tersebut adalah besarnya kesenjangan ekonomi-sosial.

Berdasarkan laporan dari Arab Human Development Report 2009, peningkatan

jumlah populasi manusia yang tajam di negara-negara jazirah Arab berimplikasi

pada kesimbangan distribusi air dan makanan, serta keterbatasan ketersediaan

lapangan pekerjaan.31

Pada tahun 2020, negara-negara di kawasan ini diprediksi akan

membutuhkan pekerjaan bagi 51 juta warganya. Pihak yang paling rentan

terhadap ancaman ini adalah kalangan muda Arab, khususnya perempuan.

Keadaan ini diperburuk oleh struktur kebijakan dan ekonomi di negara-negara

jazirah Arab seperti Aljazair, Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman yang rata-rata

didominasi oleh rezim yang borjuis, represif, dan otoriter.

Dari diskripsi di atas, berbagai aspek yang terjadi di Timur Tengah dan

Afrika Utara memiliki banyak persamaan dengan Indonesia pada massa reformasi

1998. Dilihat dari aspek sosio kultural, Indonesia adalah rumah bagi Muslim

terbesar di dunia. Begitu pula Timur Tengah-Afrika Utara yang berpenduduk

mayoritas Muslim karena alasan historis yang menjadikannya sebagai tempat

Page 12: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

12

turunnya agama Islam. Sedangkan pada aspek sistem kebijakan, kedua kawasan

tersebut sama-sama pernah dinaungi pemimpin otoriter yang didukung kalangan

militer melalui jaringan politis yang luas dan patronase finansial. Sistem

kebijakan yang dijalankan selama pemerintahan otoriter adalah nasionalis sekuler

dengan memonopoli kekuasaan negara. Keduanya meminggirkan kekuatan Islam

dan sama-sama mengekang gerak media serta pihak oposisi.

Dilihat dari aspek fenomenologis, aksi demonstrasi di Indonesia dan

Timur Tengah-Afrika Utara juga tidak jauh berbeda. Pemicunya adalah faktor

eksogenus, yaitu krisis yang menimbulkan efek domino. Sedangkan pelaku protes

ialah pemuda yang merasa kecewa akan besarnya jurang pemisah antara

pembangunan kebijakan dengan pertumbuhan ekonomi. Instrumen persuasif

dalam melakukan aksi demonstrasi juga sama-sama mengandalkan jaringan

internet. Respon dari pemerintahan yang diprotes juga tidak jauh dari aksi

kekerasan hingga pembunuhan para demonstran.

Dari diskripsi di atas, terdapat pengalaman paralel antara kawasan Timur

Tengah-Afrika Utara dan Indonesia. Indonesia yang merasa pernah merasakan

pengalaman tersebut menunjukan keinginan untuk melakukan sharing experience

dalam rangka menjadi model bagi dunia Islam, khususnya jazirah Arab. Dalam

wawancara di CNN yang ditayangkan 15 Juni 2011, SBY menyatakan, Indonesia

dapat menjadi model di mana Islam dan demokrasi dapat bergandengan dan tidak

ada kontradiksi di antara keduanya. Lebih lanjut SBY menjelaskan, jika Indonesia

dapat memegang demokrasi sekaligus menghormati nilai-nilai Islam secara

bersamaan, maka negara-negara Timur Tengah juga dapat melakukan hal yang

sama.

Untuk mengambil peran model alternatif di Timur Tengah-Afrika Utara,

kebijakan luar negeri Indonesia tampak diaplikasikan secara hati-hati sebagai

bentuk konsistensi Indonesia atas prinsip non intervensi. Indonesia berpandangan,

pencapain aspirasi masyarakat harus tumbuh secara internal (home grown),

memperhatikan faktor kekhasan kultural (indigenous uniqueness) dari kawasan

tersebut, dan tidak dipaksakan oleh aktor-aktor eksternal.32

Hal ini diharapkan

dapat berguna dalam menyelesaikan gejolak sosial politik yang terjadi di Timur

Tengah-Afrika Utara. Proses sharing experience yang dilakukan Indonesia dapat

Page 13: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

13

ditemukan dalam BDF IV yang dihadiri Yordania, Qatar, Saudi Arabia, Uni

Emirat Arab (UEA), Yaman; Institute for Peace and Democracy (IPD) melalui

program Workshop on Egypt-Indonesia Dialogue on Democratic Transition pada

Mei 2011.33

Bagi komunitas Muslim dalam negeri, perubahan politik di Timur Tengah

dan Afrika Utara dapat dianggap sebagai peluang bagi Indonesia untuk menjalin

hubungan yang lebih harmonis dengan dunia Islam. Komunitas Muslim

memandang, isu utama dalam kebijakan luar negeri Indonesia dalam

hubungannya dengan Islam bukanlah bagaimana memformulasikan dan

mengimplementasikan kebijakan luar negeri secara Islami. Akan tetapi, lebih

pada kebutuhan untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara Muslim dan

menaruh perhatian terhadap isu-isu di dunia Islam sekaligus melakukan inisiatif

yang berarti terhadap isu tersebut. Mereka umumnya berpandangan, adalah absurd

jika Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar hanya menduduki posisi

pinggiran dan memainkan peran marginal di dunia Islam.34

Seiring dengan ekspektasi akan keharmonisan hubungan Indonesia dan

Timur Tengah, bermunculan pula harapan agar hubungan tersebut dapat

memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Harapan ini disandarkan pada

kenyataan bahwa meski perdagangan kedua kawasan tidak mengindikasikan

penurunan, hubungan ekonomi Indonesia-Timur Tengah masih belum mencapai

tahap yang diharapkan. Nilai dagang Indonesia-Timur Tengah masih jauh di

bawah nilai perdagangan Indonesia-AS atau Indonesia-Eropa. Padahal, Timur

Tengah memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 11 persen per tahun.

Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, investasi Timur Tengah-

Afrika Utara relatif minim. Dibandingkan dengan investasi Jepang dan Korea,

Selatan, Indonesia masih belum menjadi salah satu tempat tujuan investasi utama

negara-negara Timur Tengah. Padahal, potensi investasi dari Timur Tengah

dianggap sangat signifikan, khususnya dari Qatar dan UEA yang masuk menjadi

bagian dari tiga besar negara dengan nilai PDB tertinggi di dunia versi World

Bank.35

Selain itu, Timur Tengah dan Afrika Utara juga telah menjadi tujuan

utama sektor jasa Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sektor ini merupakan

Page 14: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

14

penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Dari sektor ini,

Indonesia memperoleh devisa sebesar US$ 6,617 miliar pada tahun 2009.36

Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia (BPN2TKI), dari sekitar 3,8 juta TKI yang ditempatkan di luar negeri,

lebih dari 50% bekerja di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.37

Besarnya

jumlah tersebut sudah seharusnya diiringi dengan upaya pengawasan dan

perlindungan dari pemerintah agar kasus kekerasan terhadap TKI tidak terus

berulang. Sejumlah moratorium38

yang disepakati antara Indonesia secara

bilateral dengan Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, dan Syiria untuk melindungi

TKI tetap tidak mengurangi tindak kekerasan.

Faktor kesamaan agama ternyata tidak membuat bangsa-bangsa Arab

menaruh simpati dan hormat pada Indonesia. Dunia Arab kurang menunjukan

minat pada Asia secara umum, apalagi bentuk sosio-kultural Islam di Indonesia.39

Terkait hal ini, Nurcholish Madjid memberikan penjelasan secara komprehensif.

Secara geografis, Indonesia merupakan negeri Muslim yang paling jauh dari

pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Pada kondisi demikan, Islam di Indonesia pun

berkembang dalam tradisi berbeda. Indonesia merupakan negeri Muslim yang

paling sedikit mengalami Arabisasi. Sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia,

bangsa Indonesia tidak menggunakan huruf Arab untuk bahasa nasionalnya.

Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur budaya lokal

membuat Islam di Indonesia sering kali dianggap pinggiran oleh dunia Arab.

Karena keadaannya yang mengesankan sebagai bersifat pinggiran itu, Islam di

Indonesia sering dipandang tidak atau sekurangnya belum bersifat Islam secara

sebenarnya.40

Akibatnya, banyak negara-negara Arab cenderung memandang

rendah muatan Islam di Indonesia.

Kesimpulan

Sebagai hasil dari pengamatan diusungnya identitas Islam moderat dalam

praktik kebijakan luar negeri Indonesia, studi ini memperoleh beberapa temuan

sebagai berikut:

Pertama, adanya keinginan negara-negara Barat untuk mengembangkan

jaringan Islam moderat sebagai rekan potensial untuk mengimbangi jaringan

Page 15: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

15

terorisme di sejumlah negara Muslim. Pertimbangan tersebut juga tidak lepas dari

persamaan prinsip antara dunia Barat dan Muslim moderat yang memuat

demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Pada gilirannya, kehadiran Muslim

moderat tampak dibutuhkan dunia Barat untuk memediasi hubungan antara dunia

Barat dan dunia Islam yang selama ini terkesan konfliktual.

Kedua, keinginan Indonesia untuk memperoleh peranan di ranah

internasional merupakan bentuk konsistensi dan kontinuitas cara pandangnya

terhadap dunia. Meski di bawah kepemimpinan yang berbeda, Indonesia selalu

menjaga eksistensinya di dunia internasional dengan mengambil sejumlah

peranan.

Ketiga, identitas Islam moderat bukanlah menjadi bagian dari identitas

resmi Indonesia. Berdasarkan RPJMN I 2005-2009, identitas nasional Indonesia

adalah negara demokrasi. Hal ini mengindikasikan, Islam moderat hanyalah

identitas komplementer dari demokrasi itu sendiri.

Berdasarkan temuan tersebut, alasan Indonesia untuk mempromosikan

identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negerinya dapat ditarik menjadi

empat argumen utama. Alasan pertama, Indonesia ingin mengidentifikasi dirinya

dengan membedakan dari negera-negara Muslim lain, khususnya kawasan Timur

Tengah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi stigma berkelanjutan tentang

Muslim yang dipersepsikan media dan akademisi Barat sebagai intoleran,

ekstrimis, dan anti-Barat. Identifikasi juga dimaksudkan untuk menjaga hubungan

antara Indonesia dengan negara-negara Barat.

Alasan kedua, adanya ekspektasi dunia internasional, khususnya negara-

negara Barat, untuk memahami dan mendekatkan diri dengan dunia Muslim.

Karena itu, negara-negara Barat membutuhkan negara-negara Muslim yang

memiliki kesamaan prinsip dengan Barat dalam rangka mediasi dengan dunia

Islam.

Alasan ketiga, pemerintah Indonesia ingin mengakomodasi suara

komunitas Muslim dalam negeri yang selama ini mengharapkan adanya perbaikan

hubungan dengan dunia Islam. Bagaimanapun juga, komunitas Muslim

merupakan konstituen terbesar di Indonesia yang aspirasinya tidak dapat

diabaikan dalam pertumbuhan demokrasi di tanah air.

Page 16: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

16

Alasan keempat, adanya motivasi Indonesia untuk mengambil peran dalam

hubungan internasional sesuai dengan konsistensi cara pandangnya terhadap dunia

(worldview). Indonesia mencoba mengambil peranan sebagai mediator antara

dunia Barat dan Islam melalui dialog-dialog antar peradaban, budaya, dan agama.

Indonesia kembali menemukan momentum untuk mengambil peran lain ketika

terjadi pergolakan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Daftar Pustaka

Buku

Abdelal, Rawi; Yoshiko M. Herrera; Alastair Iain Johnston; dan Rose Mcdermott.

(2009). Measuring Identity: a Guide for Social Scientist. UK: Cambridge

University Press.

Bruinessen, Martin van. "Indonesia Muslims and Their Place in the Larger World

of Islam". (2012). Indonesia Rising: The Repositioning Of Asia's Third

Giant. Singapore: ISEAS Publishing.

Leifer, Michael. (1989). Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Madjid, Nurcholish. (2008). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung:

Mizan.

Rabasa, Angel M., Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. al. (2004).

the Muslim World after 9/11.Santa Monica: Rand Corporation.

Rabasa, Angel; Cheril Benard; Lowell H. Schwartz; et.all. (2007).Building

Moderate Network. RAND Corporation: Santa Monica.

Sheikh, Naved S. (2003). the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in

a World of States. London & New York: RoutledgeCurzon.

Sjahrir. (2004). Transisi menuju Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Stanger, Alison. “Democratization and the International System: the Foreign

Policy: the Foreign Policies of Interim Governments”. Eds, Juan dan Linz

Yossi. (1955). Between States: Interim Governments and Democratic

Transitions. Cambridge: Cambridge University Press.

Sukma, Rizal. (2003). Islam in Indonesian Foreign Policy. London:

RoutledgeCurzon.

Page 17: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

17

Suryokusumo, Sumaryo. (2004). Praktik Diplomasi. Jakarta: STIH IBLAM.

Vermonte, Philips J. “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia:

Membangun Citra Diri”. Ed, Bantarto Bandoro. (2005). Mencari Desain

Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and

Internatonal Studies (CSIS).

Viotti, Paul R. dan Mark V. Kaupi. (2007). International Relations and World

Politics: Security, Economy, Identity. United States: Pearson Prentice Hall.

Wendt, Alexander. (1999). Social Theory of International Relations. New York:

Cambridge University Press.

Jurnal

Anwar, Dewi Fortuna. (2010). Foreign Policy, Islam, and Democracy in

Indonesia. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, Vol. 3,

hlm. 37-54.

İnaç, Hüsamettin. (2004)Identity Problems of Turkey during the European Union

Integration Process. Journal of Economic and Social Research,Vol. 6 No.

2, hlm. 33-62.

Kay, Lena. (2005). Indonesian Public Perceptions of the US and Their

Implications for US Foreign Policy. Issue & Insight, Vol. V No. 4 Agustus

2005, hlm. 1-43.

Sadeghi, Ahmad. (2008). Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture,

and History. the Iranian Journal of International Affairs, Vol. XX No. 4,

Fall 2008, hlm. 1-40.

Sukma, Rizal. (2010). Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi

Internasional Indonesia. Analisis CSIS, Vol. 39 No. 4, Desember 2010,

hlm. 432-445.

Tan, Paige Johnson. (2007). Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s

Worldview and Foreign Policy. Asian Perspective, Vol. 31 No. 3, hlm.

147-181.

Thaib, Fachry. (2011). Implikasi Gejolak Politik Timur Tengah Terhadap

Kepentingan Ekonomi Indonesia. Jurnal Diplomasi, Vol. 3 No. 2, hlm. 35-

42.

Page 18: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

18

Wendt, Alexander. Anarchy is What States Make of it: the Social Construction of

Power Politics. International Organization, Vol. 46 No. 2, Spring 1992,

hlm. 391-425.

Yuliantoro, Ronny Prasetyo. (2011). Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap

Gejolak di Kawasan Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai

Konsistensi Historis. Jurnal Diplomasi, Vol. 3 No. 2 (Juni 2011), hlm. 1-

16.

Dokumentasi Lainnya

Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua,

Bali, 8-9 December 2011.

"Diperpanjang Moratorium TKI ke Timur Tengah", diakses dari

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/05/lxbset-

diperpanjang-moratorium-tki-ke-timur-tengah pada tanggal 10 Desember

2012, pukul 16.50 wib.

Diplomasi, No. 6 Thn II (15 Mar-14 April 2009), hal. 10.

Gatra, No, 14, Th. XVII,(10-16 Februari 2011)

Hassan Wirajuda, “Refleksi Tahun 2003 dan Proyeksi Tahun 2004” dalam

paparan lisan yang disampaikan di Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 6

Januari 2004.

Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari

http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban

pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 14.22 wib.

"Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari

http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-

penempatan-per-tahun-per-negara-2006-2012.html pada tanggal 11

Desember 2012, pukul 13.00 wib.

UNDP Regional Bereau for Arab States (RBAS), Challenges to Human Security

in the Arab Countries”, Arab Human Development Report 2009, New

York, hal. 10.

Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign

Policy Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International

Page 19: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

19

Studies Conference “World Crisis: Revolution or Evolution in the

International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20 Agustus

2011.

Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen

Luar Negeri Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012.

1 Houssain Kettani, “World Muslim Population: 1950-2020”, International Journal of

Environmental Science and Development (IJESD), Vol. 1/2 (June 2010), hal. 7.

2 Michael Leifer, Kebijakan Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hal xvi.

3 Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia”,

Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 439.

4 Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations and World Politics: Security,

Economy, Identity, (United States: Pearson Prentice Hall, 2007).

5 Alexander Wendt, Social Theory of International Relations, (New York: Cambridge University

Press, 1999), hal. 224-352.

6 Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign Policy

Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International Studies Conference “World Crisis: Revolution or Evolution in the International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20

Agustus 2011.

7 Rawi Abdelal, Yoshiko M. Herrera, Alastair Iain Johnston, dan Rose Mcdermott, Measuring

Identity: a Guide for Social Scientist, (UK: Cambridge University Press, 2009), hal. 4.

8 Hüsamettin İnaç, “Identity Problems of Turkey during the European Union Integration Process”,

Journal of Economic and Social Research, Vol. 6/2 (2004), hal. 33.

9 Ahmad Sadeghi, “Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and History”, the

Iranian Journal of International Affairs, Vol. XX/4 (Fall, 2008), hal. 22.

10 Alexander Wendt, Anarchy is What States Make of it: the Social Construction of Power

Politics,” International Organization Vol. 46/2 (Spring 1992), hal. 397.

11 Debra Merskin, “The Construction of Arabs as Enemies: Post-September 11 Discourse of

George W. Bush”, Mass Communication & Society, Vol. 7/2 (2004), hal. 158.

12 Angel M. Rabasa, Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. all, the Muslim World after

9/11, (Santa Monica: Rand Corporation, 2004), hal. 391-392.

13 Ibid., hal. 52.

14Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H. Schwartz, et.al., Building Moderate Network, (RAND

Corporation: Santa Monica, 2007), hal. 3.

15 Ibid., hal 67-68.

16 Naved S. Sheikh, the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in a World of States,

(London & New York: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 45.

17 Building Moderate Network, op. cit., hal. 3.

18 Lena Kay, “Indonesian Public Perceptions of the US and Their Implications for US Foreign

Policy”, Issue & Insight, Vol. V/4 (Agustus 2005), hal. 8.

Page 20: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

20

19 Hassan Wirajuda, “Refleksi tahun 2003 dan Proyeksi tahun 2004” dipaparkan di Jakarta, 6

Januari 2004.

20 Dewi Fortuna Anwar, “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia”, Journal of

Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 3,( 2010), hal. 43.

21 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy¸ (London: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 140.

22 Alison Stanger, “Democratization and the International System: the Foreign Policy: the Foreign

Policies of Interim Governments”, Yossi dan Juan Linz (eds), Between States: Interim

Governments and Democratic Transitions, (Cambridge: Cambridge University Press, 1955), hal.

274-276.

23 Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra

Diri”, Bantarto Bandoro ed., Mencari Desain Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Jakarta:

Centre for Strategic and Internatonal Studies (CSIS) , 2005, hal. 29.

24 Sjahrir, “Bali, Bangsa, dan Masa Depan” dalam Transisi menuju Indonesia Baru, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2004, h. 130.

25 Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri

Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012.

26 Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, (Jakarta: STIH IBLAM, 2004), hal. 8.

27“Italia Mengapresiasi Islam Moderat di Indonesia”, Diplomasi, No. 6 Thn II (15 Mar-14 April

2009), hal. 10.

28 Lena Kay, op. cit., hal. 3.

29 Paige Johnson Tan, “Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s Worldview and Foreign

Policy”, Asian Perspective, Vol. 31/3 (2007), hal. 148.

30 “Dampak Tunisia dan Mesir ke Seluruh Arab”, Gatra, No, 14, Th. XVII,(10-16 Februari 2011),

hal. 93.

31 UNDP Regional Bereau for Arab States (RBAS), Challenges to Human Security in the Arab

Countries”, Arab Human Development Report 2009, New York, hal. 10.

32 Ronny Prasetyo Yuliantoro, “Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Gejolak di Kawasan

Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai Konsistensi Historis”, Jurnal Diplomasi, Vol.

3/ 2, (Juni 2011), hal. 12.

33 Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua, Bali, 8-9

December 2011.

34 Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia” dalam

Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 437.

35 Fachry Thaib, “Implikasi Gejolak Politik Timur Tengah Terhadap Kepentingan Ekonomi

Indonesia”, Jurnal Diplomasi, Vol. 3/2 (2011), hal. 35-42.

36 Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari

http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban pada tanggal 10

Desember 2012, pukul 14.22 wib.

37 "Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari

http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-penempatan-per-tahun-per-negara-2006-2012.html pada tanggal 11 Desember 2012, pukul 13.00 wib.

38 "Diperpanjang Moratorium TKI ke Timur Tengah", diakses dari

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/05/lxbset-diperpanjang-moratorium-tki-

ke-timur-tengah pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 16.50 wib.

Page 21: Lelly-Islam Moderat Indonesia 13092013

21

39 Martin van Bruinessen, "Indonesia Muslims and Their Place in the Larger World of Islam",

Indonesia Rising: The Repositioning Of Asia's Third Giant, (Singapore: ISEAS Publishing, 2012),

hal. 121-122.

40 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 42-

44.