litbang news 1

61

Upload: ikatan-himpunan-mahasiswa-biologi-indonesia

Post on 08-Jun-2015

3.850 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Litbang News (January - March 2009)

TRANSCRIPT

Page 1: Litbang News 1
Page 2: Litbang News 1

POTENSI EKSTRAK ETANOLIK DAUN TAPAK DARA (Catharanthus roseus (L.) G. Don.) SEBAGAI ALTERNATIF

PENGGANTI KOLKHISIN DALAM POLIPLOIDISASI TANAMAN

Dwi Andi Listiawan1*, Estiyani Indraningsih1, Anggraeni Nur Septantri1

Anjar Tri Wibowo,

1, Umul Wahyuni J. Darojat1, Budi Setiadi Daryono

2

1) Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, *email : [email protected] 2) Laboratorium Genetika Fakultas Biologi UGM Yogyakarta, email : [email protected]

ABSTRAK

Tanaman hasil poliploidisasi memiliki banyak keunggulan bila dibandingkan dengan tanaman diploid

(normal). Selama ini poliploidisas dilakukan menggunakan kolkhisin. Kolkhisin diekstrak dari tumbuhan Colchicum autumnale Linn. yang hanya dapat tumbuh di daerah subtropik. Kebutuhan kolkhisin di Indonesia dipenuhi dengan mengimpor kolkhisin dari luar negeri sehingga harganya sangat mahal. Vinkristin dan vinblastin memiliki fungsi yang sama dengan kolkhisin. Zat tersebut banyak terdapat pada tapak dara (Catharanhtus roseus

(L.) G. Don.) yang banyak tumbuh liar di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan potensi ekstrak etanolik daun tapak dara dalam poliploidisasi bawang merah sebagai tanaman model. Manfaat penelitian ini adalah mengurangi ketergantungan luar negeri terhadap kolkhisin serta menekan biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani karena didapatkan tanaman poliploid yang merupakan bibit unggul dengan biaya produksi yang lebih rendah. Daun tapak dara diektraksi dengan pelarut etanol 96 %. Hasilnya digunakan sebagai bahan penelitian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah RCBD menggunakan 32 macam perlakuan dengan variasi konsentrasi dan waktu perendaman. Kontrol negatif dilakukan dengan perendaman pada aquades, sedangkan kontrol positif dilakukan dengan perendaman pada kolkhisin 0,01 % selama 24 jam. Parameter yang diambil meliputi jumlah kromosom, luas sel dan luas inti sel. Preparasi kromosom dilakukan dengan metode squashing. Pengkuran luas sel dan inti sel dilakukan dengan AutoCAD map. Hasil yang didapat menunjukkan perlakuan P16 (konsentrasi ekstrak 1%, perendaman 24 jam), P22 (0,1 %, 12 jam), P23 (0,1 %, 18 jam), dan P24 (0,1 %, 24 jam), dapat menginduksi sel bawang merah menjadi autotetraploid (2n=32). Hal ini didukung dengan adanya beda nyata parameter luas sel dan luas inti sel serta jumlah kromosom antara perlakuan tersebut dengan kontrol negatif (2n=16). Jumlah kromosom pada kontrol positif (2n=32). Hal tersebut membuktikan bahwa ekstrak daun tapak dara pada perlakuan P16, P22, P23, dan P24 dapat menginduksi poliploidisasi pada bawang merah.

Kata kunci : poliploidisasi, tapak dara, vinkristin, vinblastin, autotetraploid, kolkhisin PENDAHULUAN

Tanaman poliploid umumnya mempunyai ukuran bunga, buah, dan biji yang lebih besar, ukuran daun lebih lebar dan tebal, warna daun lebih hijau, dan masa vegetatifnya lebih panjang dibandingkan dengan tanaman diploid (normal). Petani umumnya lebih menyukai tanaman poliploid karena harga jualnya lebih tinggi.

Tanaman poliploid seringkali menunjukkan keunggulan sifat dibandingkan diploidnya. Pada tanaman ryegrass kultivar tetraploid menghasilkan bobot segar tanaman yang lebih tinggi apabila dibandingkan kultivar diploid, lebih tahan terhadap penyakit, lebih banyak karbohidrat yang terstruktur dan rendah kandungan serat kasar[8]

Selama ini teknik poliploidisasi pada tanaman dilakukan menggunakan kolkhisin. Kolkhisin diekstrak dari tumbuhan Colchicum autumnale Linn. yang hanya dapat tumbuh di daerah subtropik

.

[2]

Fungsi Kolkhisin pada proses poliploidisasi tanaman adalah untuk depolimerisasi mikrotubulus pada saat pembelahan mitosis sehingga tidak terbentuk gelendong spindel dan sel tidak membelah namun jumlah kromosomnya telah berlipat ganda. Oleh sebab itu, senyawa ini juga sering disebut senyawa antimitotik

. Tanaman ini tidak terdapat di Indonesia, oleh sebab itu kebutuhan kolkhisin di Indonesia dipenuhi dengan mengimpor dari luar negeri. Kolkhisin dalam bentuk murni yang sering dipakai dalam bidang pertanian memiliki harga

yang sangat mahal. Dengan mahalnya kolkhisin maka biaya produksi juga meningkat. Oleh karena itu, untuk mengurangi biaya produksi perlu adanya alternatif pengganti kolkhisin yang selama ini diisolasi dari Colchicum autumnale Linn.

[3]

Beberapa senyawa antimitotik dapat dilihat pada tabel 1.

.

Tabel 1. Senyawa-senyawa antimitotik

Jenis Senyawa

[7] Pengaruh terhadap

mikrotubulus Kolkhisin, Colcemid, Nocadazole, Vinkristin, Vinblastin

Meyebabkan depolimerisasi mikrotubulus

Taxol Memacu perakitan mikrotubulus, menstabilkan mikrotubulus

Page 3: Litbang News 1

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa terdapat senyawa-senyawa lain yang berfungsi sama dengan kolkhisin sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai alternatif pengganti kolkhisin dalam poliploidisasi tanaman, senyawa tersebut antara lain vinkristin dan vinblastin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vinkristin dan vinblastin banyak terkandung pada tanaman tapak dara (Catharanthus roseus [L.] G. Don.). Vinkristin dan vinblastin tersebut tersebar pada seluruh bagian tanaman tapak dara terutama pada daunnya[6]

Tapak dara merupakan tanaman yang hidup sepanjang tahun dan hidup di daerah tropis, oleh karena itu banyak sekali dijumpai tanaman tapak dara tumbuh subur di Indonesia. Tanaman tapak dara selama ini dimanfaatkan hanya sebatas sebagai tanaman obat tradisional, keberadaannya sering dianggap kurang bermanfaat bahkan tanaman ini banyak tumbuh liar di Indonesia.

.

Gambar 1. Tanaman tapak dara

Dengan melihat potensi tapak dara untuk poliploidisasi tanaman, kemelimpahan tapak dara di Indonesia, harga kolkhisin yang mahal, serta berbagai keuntungan dari tanaman poliploid, maka perlu dilakukan penelitian mengenai potensi ekstrak etanolik daun tapak dara yang mengandung vinkristin dan vinblastin dalam proses poliploidisasi tanaman. Ekstrak etanolik daun tapak dara akan dimanfaatkan sebagai pengganti kolkhisin dan diharapkan dapat menekan biaya produksi sehingga didapatkan tanaman poliploid yang merupakan bibit unggul namun dengan biaya produksi yang rendah.

Berdasarkan hal tersebut, timbul beberapa permasalahan untuk membuktikan potensi ekstrak etanolik daun tapak dara untuk poliploidisasi tanaman. Dalam penelitian ini digunakan model tanaman bawang merah (Allium cepa L.). Bawang merah memiliki jumlah kromosom 16 sehingga mudah dihitung, ukuran kromosom besar sehingga mudah diamati, telah diketahui rentang waktu mitosisnya sehingga dapat diketahui kapan waktu perlakuan ekstrak tapak dara untuk poliploidisasi, dan tanaman ini murah dan mudah didapat, serta bernilai ekonomis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ekstrak etanolik daun tapak dara sebagai alternatif pengganti kolkhisin dalam poliploidisasi tanaman dalam upaya menghasilkan bibit unggul. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi ekstrak etanolik daun tapak dara dan konsentrasi efektifnya

dalam menginduksi poliploidisasi bawang merah. Manfaat penelitian ini adalah mengurangi ketergantungan luar negeri terhadap kolkhisin, menekan biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani karena didapatkan tanaman poliploid yang merupakan bibit unggul dengan biaya produksi yang lebih rendah, meningkatkan nilai guna dari tapak dara yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal.

BAHAN DAN CARA KERJA

Bahan yang digunakan antara lain daun tapak dara, bawang merah, etanol 96 %, kolkhisin 0,01 %, HCl 1 N, asam asetat 45 %, aseto-orcein 1 %, gliserin, minyak imersi, dan cat kuku. Alat yang diperlukan meliputi mortar, inkubator (oven), gelas ukur, layer cheese cloth, erlenmeyer, gelas beker, tangkai pengaduk, ekstraktor Soxhlet, magnetic stirrer, timbangan analitik, jangka sorong, kamera, pensil, blender, pipet gondok, propipet, pipet tetes, gelas benda, gelas penutup, botol flakon, cawan petri, mikroskop cahaya, refrigerator, scanner, program komputer AutoCAD Map, fotomikrografi, skala mikrometer, silet, kuas, dan kertas label.

1. Ekstraksi daun tapak dara

Daun tapak dara dicuci bersih dan dipotong-potong. Selanjutnya diblender dengan pelarut etanol 96 % dengan perbandingan daun : etanol (1 : 2), kemudian larutan tersebut dibiarkan selama 24 jam. Larutan kemudian disaring dengan layer cheese cloth. Etanol diuapkan dengan ekstraktor soxhlet hingga didapatkan ekstrak etanolik daun tapak dara pekat. Ekstrak pekat tersebut kemudian dikeringkan pada suhu 55 ºC selama 96 jam hingga menjadi padat. Ekstrak etanolik padat dihaluskan dengan mortar kemudian diblender hingga menjadi serbuk. Dengan menambahkan aquades, dibuat konsentrasi ekstak 50 %, 10 %, 5%, 1 %, 0,5 %, 0,1 %, 0,05 % dan 0,01 %. Konsentrasi ekstrak tapak dara dibuat sesuai tabel 2 :

Tabel 2. Konsentrasi eksrak daun tapak dara

No. Konsentrasi (%)

Ekstrak tapak dara (gram)

Volume total (ml)

1 50 25 50 2 10 5 50 3 5 2,5 50 4 1 0,5 50 5 0,5 0,25 50 6 0,1 0,05 50 7 0,05 0,25 500 8 0,01 0,05 500

2. Perlakuan ekstrak daun tapak dara pada

bawang merah Rancangan penelitian yang digunakan adalah

RCBD (Randomize Completely Block Designed) dengan 2 variabel yaitu lama perendaman (T) dan konsentrasi (C). Macam perlakuan (P) dapat dilihat pada tabel 3 :

Page 4: Litbang News 1

Tabel 3. Macam perlakuan Perlakuan

(P) T1

(6 jam) T2

(12 jam) T3

(18 jam) T4

(24 jam) C1 (50 %) P 1 P 2 P 3 P 4 C2 (10 %) P 5 P 6 P 7 P 8 C3 (5 %) P 9 P 10 P 11 P 12 C4 (1 %) P 13 P 14 P 15 P 16 C5 (0,5 %) P 17 P 18 P 19 P 20 C6 (0,1 %) P 21 P 22 P 23 P 24 C7 (0,05 %) P 25 P 26 P 27 P 28 C8 (0,01 %) P 29 P 30 P 31 P 32

Bawang merah direndam dalam larutan ekstrak daun tapak dara dengan sesuai dengan perlakuan (tabel 3) pada cawan petri, kemudian dilakukan preparasi kromosom dengan metode squashing. Masing-masing perlakuan dibuat tiga kali ulangan.

3. Kontrol positif dan kontrol negatif

Kontrol positif dilakukan dengan merendam bawang merah dalam larutan kolkhisin 0,01 % selama 24 jam (konsentrasi dan lama perendaman optimum). Kontrol negatif (tanpa perlakuan) dilakukan dengan merendam bawang merah dalam aquades. Setelah direndam dilakukan preparasi kromosom dengan metode squashing. Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah kromosom dan pengukuran luas sel dan inti sel. Kontrol positif dan negatif dibuat tiga kali ulangan.

4. Pengujian Keberhasilan Poliploid

Keberhasilan poliploidisasi pada tanaman dapat dilihat melalui penambahan kelipatan jumlah kromosom dan penambahan ukuran sel dan inti sel[1]

• Preparasi kromosom dengan metode squashing

. Parameter tersebut didapatkan melalui preparasi kromosom dengan metode squashing.

Preparasi kromosom dengan metode Okada yang dimodifikasi[5]

• Pemotretan dan penghitungan jumlah kromosom

dengan teknik squashing. Tahapan preparasi kromosom yaitu ujung akar dipotong ± 3 mm dari ujung dan difiksasi dengan larutan asam asetat 45 % selama 15 menit pada suhu 4̊C. Kemudian dicuci dengan aquades sebanyak 3 kali. Selanjutnya ujung akar dimaserasi dengan larutan HCl 1N selama 5 menit pada suhu 55˚C, kemudian dicuci kembali dengan aquades sebanyak 3 kali. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan larutan aceto-orcein 1 % selama 24 jam pada suhu 25̊ C. Ujung akar diletakkan pada gelas benda, ditambahkan gliserin dan ditutup dengan gelas penutup, lalu dilakukan pemencetan (squashing), kemudian tepi gelas penutup disegel dengan kutek.

Preparat hasil squashing diamati dengan mikroskop cahaya, kemudian difoto dengan alat fotomikrograf. Dengan perbesaran yang sama, dilakukan pemotretan skala mikrometer. Penghitungan jumlah kromosom dilakukan secara langsung pada gambar hasil fotomikrograf.

• Pengukuran luas permukaan sel dan inti sel Gambar hasil fotomikrograf di scan kemudian hasilnya dimasukkan dalam program komputer Autocad Map sehingga dapat diketahui dan diukur panjang dan lebar dari sel dan inti sel. Luas permukaan sel dan inti sel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut[1]

:

5. Analisis Hasil

Data dianalisis menggunakan ANAVA pada taraf kepercayaan 95 %, kemudian dilanjutkan dengan Duncan’s Multple Range Test untuk mengetahui letak beda nyata antar perlakuan[4]

Perlakuan

. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan didapatkan data sebagai berikut :

Tabel 4. Rerata jumlah kromosom bawang merah hasil

perlakuan dan kontrol Rerata ∑

kromosom Perlakuan Rerata ∑

kromosom P1 16 P18 a 16a P2 16 P19 a 16a P3 16 P20 a 16a P4 16 P21 a 16a P5 16 P22 a 32b P6 16 P23 a 32b P7 16 P24 a 32b P8 16 P25 a 16a P9 16 P26 a 16a P10 16 P27 a 16a P11 16 P28 a 16a P12 16 P29 a 16a P13 16 P30 a 16a P14 16 P31 a 16a P15 16 P32 a 16a P16 32 Kontrol - b 16a P17 16 Kontrol + a 32b Keterangan : n = 3, huruf yang sama menunjukkan tidak adanya

beda nyata antar perlakuan

Gambar 2. Jumlah kromosom perlakuan P16 (4n = 32)

π S = x p x l 4

Keterangan :

S = Luas sel/ inti sel

p = Panjang sel/ inti sel

π = 3,14

l = Lebar sel/ inti sel

29

30

31

32

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

11 12

13 14 15 16

17 18 19

20

21

22 23 24 25 26 27 28

P16

Page 5: Litbang News 1

Gambar 3. Jumlah kromosom bawang merah pada kontrol negatif (2n=16), P23 (4n=32), P24 (4n=32), dan Kontrol positif (4n=32)

Parameter utama keberhasilan poliploidisasi adalah jumlah kromosom yang melipat ganda. Pada tabel 4, gambar 2 dan gambar 3 dapat dilihat bahwa jumlah kromosom bawang merah normal adalah (2n=16), sedangkan pada kontrol positif (4n=32). Perlakuan tapak dara pada P16, P22, P23, dan P24 dapat menginduksi sel-sel bawang merah menjadi bersifat autotetraploid (4n=32). P22, P23, dan P24 merupakan perlakuan perendaman konsentrasi ekstrak tapak dara 0,1 %. Kemungkinan besar konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi efektif untuk menginduksi poliploidisasi pada bawang merah. Berdasarkan hasil tersebut, terbukti bahwa ekstrak etanolik daun tapak dara dapat digunakan sebagai agen antimitotik dalam menginduksi poliploidisasi bawang merah.

Kandungan vinkristin dan vinblastin pada ekstrak tapak dara memacu pembentukan kelompokan parakristalin dari tubulin sel-sel bawang merah. Pada keadaan normal, tubulin akan berpolimerasisasi membentuk mikrotubulus. Mikrotubulus berfungsi dalam pembentukan benang spindel dalam proses mitosis. Benang spindel tersebut menarik kromosom pada saat anafase, sehingga masing-masing sel anakan bawang merah akan mempunyai jumlah kromosom 16. Dengan pembentukan kelompokan parakristalin dari tubulin, maka terjadi depolimerisasi mikrotubulus. Depolimerisasi mikrotubulus menyebabkan benang spindel tidak terbentuk sehingga kromosom tidak dapat memisah saat anafase. Dalam siklus sel bawang merah terdapat interfase dan mitosis. Dalam interfase terdapat fase

P23

K + K -

Kontrol negatif (2n=16)

P23 (4n=32)

P24 (4n=32)

Kontrol positif (4n=32)

P24 (4n=32)

P22 (4n=32)

P24

P24 P22

Page 6: Litbang News 1

S dimana terjadi replikasi DNA, kemudian saat profase dalam mitosis terjadi duplikasi kromosom. Kromosom yang telah melipat ganda tersebut tidak dapat memisah saat anafase akibat tidak terbentuknya benang spindel. Dengan kata lain dalam satu sel bawang merah mempunyai jumlah kromosom yang telah berlipat ganda (4n=32). Tabel 5. Rerata luas sel bawang merah hasil perlakuan

dan kontrol Perlakuan Luas sel

(μm2Perlakuan

) Luas sel

(μm2) P1 80,767 P18 abc 134,500abcde P2 94,933 P19 abcd 88,533abcd P3 81,567 P20 abc 100,133abcd P4 96,933 P21 abcd 102,333abcd P5 99,667 P22 abcd 171,567de P6 122,167 P23 abcde 141,333bcde P7 134,000 P24 abcde 166,667cde P8 122,667 P25 abcde 105,567abcd P9 123,333 P26 abcde 123,333abcde P10 92,500 P27 abcde 70,300ab P11 81,933 P28 abc 103,667abcd P12 52,433 P29 a 131,333abcde P13 89,600 P30 abcd 100,000abcd P14 103,433 P31 abcd 172,667de P15 71,167 P32 ab 86,300abcd P16 156,667 Kontrol - bcde 74,233ab P17 108,667 Kontrol + abcde 341,000f

Keterangan : n = 3, huruf yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata antar perlakuan

Pada tabel 5 dapat dilihat pengaruh ekstrak

etanolik daun tapak dara terhadap luas sel bawang merah. Pada kontrol negatif luas selnya adalah 74,233 μm2. Apabila sel tersebut mengalami pelipatan jumlah kromosom dari 2n = 16 menjadi 4n = 32 yang berarti melipat dua kali jumlah kromosom sel normal. Maka dapat diasumsikan bahwa sel autotetraploid (4n = 32) paling tidak juga memiliki luas sel dua kali luas sel normal (diploid). Sehingga pada penelitian ini luas sel minimal untuk sel autotetraploid terdapat pada P23 yaitu sebesar 141,333 μm2. Data tersebut juga didukung dengan jumlah kromosom sel bawang pada perlakuan P23 yaitu 4n = 32. Demikian juga untuk P22, dan P24 juga memiliki luas sel lebih dari dua kali luas sel normal yaitu sebesar 171,567 dan 166,667 μm2. Pada P16 juga memiliki luas sel lebih dari dua kali sel normal yaitu sebesar 156,667 μm2. Data tersebut juga didukung dengan jumlah kromosom bawang merah perlakuan P16 yaitu (4n=32). Sedangkan pada kontrol positif menunjukkan adanya peningkatan ukuran sel yang jauh lebih besar yaitu sebesar 341,000 μm2

. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa ekstrak etanolik daun tapak dara dapat menginduksi poliploidisasi pada bawang merah. Namun kolkhisin lebih efektif berpengaruh terhadap penambahan luas sel bawang merah. Hal tersebut mungkin disebabkan karena kolkhisin yang digunakan adalah kolkhisin murni (pure analytic) yang sudah di purifikasi. Sedangkan kandungan

vinkristin dan vinblastin pada tapak dara masih tercampur dengan senyawa lain dalam ekstrak etanolik tersebut. Namun demikian yang penting untuk dilakukan adalah meneliti pengaruh ekstrak etanolik daun tapak dara terhadap poliploidisasi tanaman lain seperti bunga potong, melon, dan lain sebagainya dengan pengamatan karakter morfologi.

Tabel 6. Rerata luas inti sel bawang merah hasil perlakuan dan kontrol

Perlakuan Luas inti (μm2

Perlakuan )

Luas inti (μm2)

P1 29,900 P18 abcde 37,367abcde P2 30,400 P19 abcde 32,200abcde P3 35,033 P20 abcde 21,900ab P4 22,967 P21 abc 49,133bcde P5 28,533 P22 abcde 46,533abcde P6 42,567 P23 abcde 46,100abcde P7 38,667 P24 abcde 54,533de P8 38,667 P25 abcde 37,167abcde P9 36,333 P26 abcde 36,700abcde P10 27,600 P27 abcde 19,900a P11 28,600 P28 abcde 33,767abcde P12 22,933 P29 abc 50,867cde P13 22,733 P30 abc 41,200abcde P14 34,667 P31 abcde 54,833de P15 30,333 P32 abcde 23,933abc P16 55,767 Kontrol - e 26,700abcd P17 50,200 Kontrol + bcde 34,367abcde Keterangan : n = 3, huruf yang sama menunjukkan tidak adanya

beda nyata antar perlakuan Pada tabel 6 dapat dilihat pengaruh ekstrak etanolik daun tapak dara terhadap luas inti sel bawang merah. Pada kontrol negatif (tanpa perlakuan) luas inti selnya adalah 26,700 μm2. Kromosom terdapat di inti, apabila kromosomnya mengalami poliploidisasi maka ukuran intinya akan bertambah. Pada kontrol positif (perendaman kolkhisin 0,01 %, selama 24 jam) ukuran selnya adalah 34,367 μm2

Perlakuan P16 memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pembesaran inti sel bawang merah. Dapat dilihat bahwa luas inti sel bawang merah yang diberi perlakuan P16 sebesar 55,767 μm

. Pemberian kolkhisin untuk poliploidisasi bawang tidak menunjukkan beda nyata dengan P2, P3, P5, P6, P7, P8, P9, P10, P11, P14, P15, P18, P19, P22, P23, P25, P26, P28, dan P30 untuk parameter luas inti sel. Apabila diasumsikan bahwa sel autotetraploid minimal memiliki luas inti sel dua kali dari sel normal (diploid) maka, dapat dikatakan pemberian kolkhisin dan tapak dara pada perlakuan yang telah disebutkan diatas tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertambahan luas inti sel bawang merah.

2 yaitu lebih dari dua kali luas inti sel bawang merah normal. Pada bahasan sebelumnya juga telah disebutkan bahwa P16 memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertambahan luas sel bawang merah. Selain P16, perlakuan P24 juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertambahan

Page 7: Litbang News 1

luas inti sel bawang merah dengan luas inti sel 54,533 μm2

Penelitian lebih lanjut untuk menguji pengaruh ekstrak etanolik daun tapak dara terhadap fenotip tanaman budidaya seperti tanaman hias (bunga potong), tanaman buah, sayur, dan tanaman lain perlu dilakukan dalam upaya menghasilkan bibit unggul. Dengan adanya penelitian ini diharapkan adanya pengembangan lebih lanjut untuk ekstraksi dan purifikasi vinkristin dan vinblastin dari tapak dara sehingga Indonesia tidak lagi tergantung dengan impor kolkhisin. Dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya alam yang selama ini dianggap kurang bermanfaat atau bahkan merugikan menjadi lebih bermanfaat, serta memiliki nilai guna dan nilai ekonomis yang tinggi. Keberhasilan penelitian ini mendukung petani untuk memproduksi tanaman poliploid yang memiliki kualitas unggul dengan biaya yang lebih murah.

.

SIMPULAN

Ekstrak etanolik daun tapak dara dapat menginduksi poliploidisasi pada bawang merah. Konsentrasi dan waktu perendaman efektif yang dapat menginduksi terjadinya poliploidisasi pada bawang merah adalah konsentrasi 1% selama 24 jam (P16), konsentrasi 0,1% 12 jam (P22), 18 jam (P23), dan selama 24 jam (P24). Pada perlakuan tersebut sel-sel bawang merah menjadi autotetraploid (4n = 32).

DAFTAR PUSTAKA [1]Daryono, B. S. 1998. Pengaruh Kolkhisin Terhadap Pembentukan Sel-sel Melon Tetraploid. Buletin Agro Industri Vol. 5. Intan Yogyakarta. Yogyakarta, hal. 2-11. [2]Eigsti, O.J. and P. Dustin. 1957. Colchicine in Agriculture, Medicine, Biology and Chemistry. The Iowa State College Press. Iowa, USA, pp. 226, 354-361, 383-386. [3]Gardner, E.J. and D.P. Snustad. 1984. Principles of Genetics, 7th ed. John Wiley and Sons, Inc. New York, pp.480-482. [4]Garperz, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan untuk Ilmu-ilmu Pertanian, teknik, biologi. Armico. Bandung. hal. 33-38 [5]Gunarso, W. 1989. Penuntun Praktikum Sitogenetika. Edisi Pertama. PAU- IPB bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Bogor, hal 12. [6]Iptek, 2007. Tapak Dara. http://www.iptek.net/wiki/Tapak+Dara. Akses tanggal 6 Juli 2007 [7]Reksoatmodjo, S. M. I. 1993. Buku Ajar Biologi Sel. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. hal. 65-68. [8]Sulistianingsih, R. 2004. Peningkatan Kualitas Anggrek Dendrobium hibrida dengan Pemberian Kolkhisin. Ilmu Pertanian Vol. 11 No.1, hal 13-21.

Page 8: Litbang News 1

Pengaruh Resiprocal Teaching Terhadap Kemampuan Berfikir Kritis Siswa Pada Konsep Pencemaran Lingkungan

Lidjin Aulia S.Pd, Atep Setya, Slamet

Jurusan Biologi FPMIPA UPI Bandung

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Reciprocal teaching terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Jenis penelitian yang digunakan adalah pre eksperimental dengan subjek penelitian sebanyak satu kelas. Instrumen penelitian berupa tes kemampuan berpikir kritis, angket, dan sebagai data penunjang digunakan lembar wawancara. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Reciprocal teaching berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis dengan rata-rata indeks gain sebesar 0,54 yang termasuk kategori cukup. Rata-rata pre test sebesar 36,98 % yang termasuk dalam kategori jelek menjadi 69,38 % pada saat post test yang termasuk dalam kategori cukup. Indikator kemampuan berpikir kritis yang memiliki nilai indeks gain terbesar adalah indikator inference dengan sub indikator membuat induktif dan mempertimbangkan hasil induktif sebesar 0,89 yang termasuk dalam kategori tinggi dan perolehan nilai indeks gain terkecil adalah indikator basic suport dengan sub indikator mengobservasi dan mempertimbangkan yaitu sebesar 0,3 yang termasuk dalam kategori rendah. Sebagian besar (92,6%) siswa memberikan respon positif dan 7,4 % memberikan respon negatif terhadap model pembelajaran Reciprocal teaching.

Key word : Reciprocal teaching, berpikir kritis

A. Latar Belakang Berbagai kerusakan di bumi telah

terlihat begitu jelas dan nyata. Beberapa bencana mulai muncul di berbagai daerah, baik kawasan metropolis yang fasilitasnya serba tercukupi bahkan berlebih hingga melanda daerah yang tergolong miskin, semuanya merasakan dahsyatnya bencana. Bencana muncul dimana-mana dan tidak terlepas kaitannya dengan kenakalan tangan-tangan manusia yang rakus akan kekuasaan atau bahkan karena ketidaktahuan mereka akan pentingnya menjaga lingkungan. Salah satu penyebab bencana yang muncul di atas bumi ini diantaranya berasal dari pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan merupakan masalah kita bersama, masalah yang semakin hari makin meningkat, yang semakin penting untuk diselesaikan, karena menyangkut keselamatan, kesehatan, dan kehidupan kita.

Siapapun bisa berperan serta dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, termasuk kita. Dimulai dari lingkungan yang terkecil, diri kita sendiri, sampai ke lingkungan yang lebih luas. Permasalahan pencemaran lingkungan yang harus segera kita atasi bersama diantaranya pencemaran air tanah dan sungai, pencemaran udara perkotaan, kontaminasi tanah oleh sampah, hujan asam, perubahan iklim global, penipisan lapisan ozon, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, tentunya kita harus mengetahui sumber pencemar, bagaimana proses pencemaran itu terjadi, dan bagaimana langkah penyelesaian pencemaran lingkungan itu sendiri.

Strategi belajar mengajar merupakan suatu rencana kegiatan pembelajaran yang dirancang secara seksama sesuai dengan tuntutan kurikulum sekolah untuk mencapai

Page 9: Litbang News 1

hasil belajar siswa yang optimal (Rustaman, 2005:4-5). Oleh karena itu dalam merancang persiapan mengajar perlu menyusun strategi pembelajaran. Seorang guru perlu memilih bentuk pengalaman belajar siswa yang berarti metode, media, situasi kelas, dan segala sesuatu yang mendukung keberhasilan proses pembelajaran harus ditetapkan.

Reciprocal teaching merupakan salah satu model pembelajaran yang memiliki empat strategi yaitu merangkum, menyusun pertanyaan dan menyelesaikannya, menjelaskan kembali pengetahuan yang telah diperoleh kemudian memprediksi pertanyaan apa selanjutnya dari persoalan yang disodorkan kepada siswa. Dari strategi tersebut dapat dilihat bahwa model pembelajaran ini banyak menuntut kemampuan berpikir siswa terutama berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi yaitu berpikir kritis. Dengan berpikir kritis memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah secara sistematis, menghadapi berjuta tantangan dengan cara yang terorganisasi, merumuskan pertanyaan inovatif, dan merancang solusi orisinal, (Johnson,2007:183) dan Reciprocal teaching merupakan sebuah model pembelajaran yang memenuhi indikator yang ada pada kemampuan berpikir kritis siswa.

Saat ini kemampuan berpikir kritis dirasakan perlu terus ditingkatkan dalam kegiatan pembelajaran karena segala informasi global masuk dengan mudah, hal tersebut menyebabkan selain informasi yang bersifat baik ataupun buruk akan terus mengalir tanpa henti dan dapat mempengaruhi sifat mental anak. Kemampuan berpikir dengan jelas dan imajinatif, menilai bukti, bermain logika, dan mencari alternatif untuk menemukan suatu solusi, memberi anak sebuah rute yang jelas di tengah kekacauan pemikiran pada jaman teknologi dan globalisasi saat ini

(Johnson, 2007:187). Mereka harus mampu membedakan antara alasan yang baik dan buruk dan membedakan kebenaran dari kebohongan. Mereka harus mengetahui bagaimana berpikir dengan kritis.

Penelitian mengenai pengaruh pengajaran Reciprocal teaching terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dapat dikatakan perlu dilakukan karena berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa SMA kelas X termasuk dalam kategori jelek. Model pembelajaran Reciprocal teaching dilakukan secara berkelompok, hal ini dilakukan agar siswa dapat bekerjasama dan saling bertukar pendapat dalam belajar. Materi yang sesuai untuk pembelajaran secara berkelompok ini harus memiliki sub meteri yang cukup menarik, seperti pencemaran lingkungan yang ada pada materi pelajaran biologi di SMA kelas X. Materi pencemaran lingkungan dipilih dalam penelitian ini, agar siswa lebih semangat dalam belajar dan berdiskusi karena umumnya siswa akan lebih tertarik pada materi yang berkaitan dengan lingkungan sekitar, selain itu kemampuan berpikir kritis siswa dapat dikembangkan melalui kajian yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari (Zohar,1994:1). Selain itu konsep pencemaran harus dapat difahami siswa karena hal ini berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari dan akan dengan mudah mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam mencari menyelesaikan permasalahan lingkungan bahkan menciptakan teknologi tepat guna berdasarkan pemahaman ilmu siswa.

Reciprocal teaching mengharuskan siswa untuk membaca dan merangkum kegiatan pembelajaran yang akan dan telah dilakukan, sehingga siswa tidak hanya belajar secara berkelompok saja tetapi juga mengasah kemampuan individunya menjadi lebih baik melalui dialog berdasarkan teks.

Page 10: Litbang News 1

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Reciprocal teaching terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada konsep pencemaran lingkungan dan respon siswa terhadap pembelajaran reciprocal teaching. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi guru untuk menggunakan reciprocal teaching sebagai model alternatif dalam pembelajaran, meningkatkan kepedulian siswa tentang bagaimana menjaga lingkungan, bagaimana menanggulangi pencemaran lingkungan di sekitar kita, dan bagaimana mengkaitkan ilmu yang dimiliki siswa dalam menyikapi fenomena lingkungan. Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh model pembelajaran resiprokal (Reciprocal teaching) terhadap kemampuan berpikir kritis siswa SMA kelas X pada materi pencemaran lingkungan.

B. Lokasi PenelitianPenelitian dilakukan di SMA Negeri 23

Bandung yang beralamat di Jalan Malangbong Raya Antapani Bandung.

Alasan pemilihan sekolah tersebut karena peneliti sudah mengenal keadaan dan karakteristik dari sekolah (cluster 3) serta siswa di sekolah tersebut. selain itu model pembelajaran yang akan diteliti belum pernah diberikan pada siswa di sekolah tersebut.

C. Populasi dan Sampela. Populasi Penelitian

Populasi yang dugunakan dalam penelitian ini yaitu, siswa kelas X SMA Negeri 23 Bandung tahun ajaran 2007-2008

b. Sampel PenelitianSampel yang digunakan diambil secara

acak kelas sederhana karena populasinya dianggap homogen yaitu tidak adanya kelas unggulan dan indeks prestasi siswa disebar merata disetiap kelas.

D. Instrumen PenelitianInstrumen yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu tes dan non-tes dengan kisi-kisi instrumen pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Hubungan antara sumber data, metode dan instrumen pengumpulan dataNo Variabel Sumber Data Metode Instrumen1 Kemampuan

berpikir kritis siswa

Siswa Tes kemampuan berpikir kritis siswa

Soal tes dalam bentuk essai

2 Respon siswa Siswa Angket Lembar isian angket diisi dengan ceklis

3 Respon guru Guru mata pelajaran

Wawancara Pedoman wawancara

Tes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Tes yang digunakan berupa uraian

untuk melihat kemampuan berpikir kritis siswa sebelum dan sesudah pembelajaran berdasarkan indikator kemampuan berpikir kritis yang telah ditentukan. Soal diujicoba dengan mengambil perwakilan kelas X

sebanyak 5 orang per kelas yang diambil secara acak. Uji coba soal dilakukan pada tanggal 14 April 2008 di SMAN 23 Bandung. Instrumen yang digunakan adalah soal essay berjumlah 12 soal dengan skor maksimal 36. Kisi-kisi instrument soal

Page 11: Litbang News 1

berdasarkan indikator kemampuan berpikir kritis dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel 4.2 Kisi-kisi Instrumen SoalNo Indikator Sub Indikator Keterangan No

SoalSkor Maks

Memfokuskan Pertanyaan

Mengidentifikasi kriteria-kriteria untuk menentukan jawaban yang mungkin

1b 3

Menganalisis Argumen

Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan

4 3

Menjawab pertanyaan, klarifikasi dari pertanyaan yang menantang

Menjelaskan apa yang menyebabkan suatu perbedaan

5 3

2. Basic Suport (membangun keterampilan dasar)

Menyesuaikan dengan sumber

Mampu memberi alasan

1a 3

Mengobservasi dan mempertimbangkan

Keterlibatan dalam menyimpulkan

3 3

3 Inference (menyimpulkan)

Membuat deduktif dan mempertimbangkan hasil deduktif

Pengelompokkan logis

6 3

Membuat induktif dan mempertimbangkan hasil induktif

Membuat generalisasi 1c 3

Membuat dan mempertimbangkan hasil keputusan

Mempertimbangkan alternatif

2 3

4 Advance Clarification (Membuat penjelasan lebih lanjut)

Mengidentifikasikan istilah,

Mempertimbangkan definisi

7 3

Mengidentifikasi asumsi

Rekonstruksi argumen

8 3

5 Strategies and Tactics (strategi dan taktik)

Memutuskan suatu tindakan

Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan

9 3

Berinteraksi dengan orang lain

Tulisan 10 3

Page 12: Litbang News 1

Penilaian soal kemampuan berpikir kritis memiliki tingkat kesulitan tersendiri, oleh karena itu diperlukan kriteria penilaian untuk mempermudah pemberian nilai yang ditentukan. Skor total untuk seluruh soal kemampuan berpikir kritis yang digunakan berjumlah 36.

AngketAngket adalah pengumpulan data

dengan menggunakan seperangkat daftar pertanyaan yang diajukan secara tertulis dan dijawab secara tertulis pula. Angket ini digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran yang berlangsung.

Tabel 4.3. Aspek-aspek Penilaian Angket dan Indikatornya.Kategori Kriteria Jumlah No. Pernyataan

a. Ketertarikan 2 1 dan 2b. Pemahaman terhadap konsep 3 3, 4 dan 5

II. Tanggapan (Responding)

a. Kemampuan berpikir kritis 3 6, 7 dan 8

b. Keaktifan 4 10, 12, 13 dan 15III. Penilaian (Valuing)

a. Penilaian siswa terhadap strategi pembelajaran

3 9, 11 dan 14

WawancaraWawancara adalah pengumpulan

informasi berdasarkan pernyataan atau jawaban langsung dari sumber informasi (dalam penelitian ini adalah guru mata pelajaran biologi yang bersangkutan). Data dari hasil wawancara merupakan data penunjang respon terhadap pembelajaran.

E. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikit :1.Sebelum pembelajaran dengan

menggunakan model Reciprocal teaching siswa diberi tes awal, kemudian hasil tes tersebut dikumpulkan dan diberi nilai

2.Setelah selesai pembelajaran dengan menggunakan model Reciprocal teaching siswa diberi tes akhir, kemudian hasil tes akhir tersebut dikumpulkan dan diberi nilai

3.Setelah dilakukan tes akhir, kemudian siswa diberi angket yang bertujuan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap model pembelajaran resiprok

4.Setelah dilakukan tes akhir, kemudian guru biologi di sekolah tersebut yang bertindak mengobservasi dan mengevaluasi diwawancara dengan menggunakan pedoman wawancara

F. Prosedur PenelitianSecara garis besar penelitian yang akan

dilakukan dibagi menjadi tiga tahapan pelaksanaan, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan pengambilan kesimpulan.Tahap Persiapan

Sebelum penelitian ini dilaksanakan, dilakukan beberapa persiapan diantaranya penyusunan proposal penelitian, menyiapkan perizinan penelitian, mengadakan observasi lapangan.

Tahap PelaksanaanDalam tahap pelaksanaan, Siswa

diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis dan kemampuan kognitif awal siswa, lalu langsung melakukan proses pembelajaran reciprocal teaching, dan melakukan pretest untuk melihat pengaruh media pembelajaran. Di

Page 13: Litbang News 1

bawah ini terdapat format pemagian tugas bagi siswa yang menjadi obyek penelitian.

Tabel 6.1 Pembagian tugas reciprocal teaching tiap kelompokPembagian tugas (kode siswa)

Pencemaran air I

Pencemaran air II

Pencemaranudara

Pencemaran tanah

Merangkum Siswa A Siswa B Siswa C Siswa DKlarifikasi Siswa B Siswa C Siswa D Siswa APrediksi Siswa C Siswa D Siswa A Siswa BMembuat Pertanyaan

Siswa D Siswa A Siswa B Siswa C

3. Tahap pengambilan kesimpulanMenyimpulkan semua data yang telah diperoleh selama pelaksanaan penelitian

G. Analisis DataDari hasil pretest dan postest kemampuan berpikir kritis, data yang telah diperoleh

akan melalui tahapan berikut:a. Penskoran

Soal yang diberikan sebanyak 12 soal berupa essay dan setiap soal memiliki bobot nilai 3 sehingga skor totalnya adalah 36.

b. Menentukan kategori tingkat kemampuan berpikir kritis siswa. Kategori tingkat kemampuan berpikir kritis didapatkan dari perhitungan persentase dari tiap indikator dengan menggunakan aturan menurut Erman dalam Muyadiana (2000) sebagai berikut:

Tabel 7.1 Kategori tingkat kemampuan berpikir kritis siswaPersentase Klasifikasi

90% ≤ A < 100% sangat baik75% ≤ B < 90% baik55% ≤ C < 75% cukup40% ≤ D < 55% kurang0% ≤ E < 40% jelek

Rumus yang digunakan untuk kategori tingkat kemampuan berpikir kritis siswa adalah:

Skor yang diperolehKemampuan = X 100%

Skor maksimum

Pemberian angket bertujuan untuk memprediksikan respon siswa terhadap pembelajaran resiprokal. Penyekalaan data yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan metode skala Likert. Pernyataan-pernyataan yang dibuat bersifat favorable (serasi). Untuk setiap pernyataan diberi angka-angka, dengan arti sebagai berikut : Angka 4 mempunyai arti sangat setuju, angka 3 mempunyai arti setuju angka 2 mempunyai arti tidak setuju dan angka 1 mempunyai arti sangat

Page 14: Litbang News 1

tidak setuju. Rata-rata nilai angket untuk seluruh pembelajaran: diinterpretasikan (Anwar, 200643) berdasarkan kategori berikut:

Tabel 7.2. Interpretasi nilai angketKategori nilai angket Interpretasi

0,00-33,33 Rendah33,34-66,67 Sedang66,68-100 tinggi

H. Hasil PenelitianBerdasarkan pada tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh pembelajaran dengan model Reciprocal teaching terhadap kemampuan berpikir kritis siswa, maka pengambilan data dilakukan dengan cara pemberian pre test dan post test. Soal yang digunakan sebagai instrumen penelitian berjumlah 10 soal yang memuat 5 indikator dan 12 sub indikator kemampuan berpikir kritis. Skor total untuk seluruh soal kemampuan berpikir kritis yang digunakan

berjumlah 36. Hasil dari penelitian ini disajikan sebagai berikut :

1. Kemampuan Berpikir Kritis SiswaKemampuan Berpikir Kritis Sebelum PembelajaranModel pembelajaran Reciprocal teaching menghasilkan peningkatan kemampuan yang berbeda-beda pada tiap siswa. Pengolahan data pretest dapat dilihat pada lampiran 3 dan hasil akhirnya pada tabel berikut :

Tabel 8.1 Klasifikasi Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Sebelum Pembelajaran

Persentase Nilai Klasifikasi Kemampuan berpikir kritis

Jumlah Siswa

% Siswa

90% ≤ A<100% Sangat baik 0 075% ≤ B < 90% Baik 0 055% ≤ C < 75% Cukup 4 1040% ≤ D < 55% Kurang 8 200% ≤ E < 40% Jelek 28 70

∑ 40 100

Gambar 8.1. Diagram Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Siswa sebelum Pembelajaran Reciprocal

1.a. Kemampuan Berpikir Kritis Setelah Pembelajaran

Page 15: Litbang News 1

Soal post test yang diberikan sama dengan soal pre test. Jarak antara pre test ke post test adalah tiga minggu dan menghasilkan data post test sebagai berikut:

Tabel 8.2 Klasifikasi Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Setelah Pembelajaran

Persentase Nilai Klasifikasi Kemampuan berpikir kritis

Jumlah Siswa

% Siswa

90% ≤ A<100% Sangat baik 0 075% ≤ B < 90% Baik 21 52,555% ≤ C < 75% Cukup 12 3040% ≤ D < 55% Kurang 6 150% ≤ E < 40% Jelek 1 2,5

∑ 40 100

Gambar 8.2. Diagram Persentase Kemampuan Berpikir Kritis Siswa setelah Pembelajaran Reciprocal Teaching

Persentase rata-rata pre test dan post test untuk setiap indikator dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 8.3 Persentase pre test dan post test setiap indikator kemampuan berpikir kritis

Indikator Sub Indikator % Nilai KategoriPre test Post Test

Elementary Clarification

1. Memfokuskan pertanyaan 53,3 82,6 Cukup

2. Menganalisis argumen 28,3 75 Cukup3. Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang

13,3 61,6 Cukup

Basic Suport 4. Menyesuaikan dengan sumber

15 64,3 Cukup

5. Mengobservasi dan mempertimbangkan

30 51 Cukup

Inference 6. Membuat deduktif dan mempertimbangkan hasil

68,3 91 Tinggi

Page 16: Litbang News 1

deduktif7. Membuat induktif dan mempertimbangkan hasil induktif

71 96,6 Tinggi

8. Membuat dan mempertimbangkan hasil keputusan

56 76 Cukup

Advanced Clarification

9. Mengidentifikasikan istilah, mempertimbangkan definisi

14,3 64,3 Cukup

10. Mengidentifikasi asumsi 49,3 66 CukupStrategies and

Tactics11. Memutuskan tindakan 15 51,6 Cukup

12. Berinteraksi dengan orang lain

30 52,6 Cukup

443,8 832,636,98 69,38

SD 21,6 15,13

Gambar 8.3. Perbandingan persentase rata-rata sub indikator kemampuan berpikir kritis siswa

PEMBAHASANKemampuan Berpikir Kritis Siswa Sebelum Pembelajaran

Sebelum dimulai tahap pembelajaran, siswa diberikan pre test yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa terutama kategori berpikir kritis siswa. Rata-rata skor siswa sebesar 13,275 dan rata-rata nilainya sebesar 36,9. Sebanyak 70 % siswa termasuk kategori jelek, 20 % siswa termasuk kategori kurang dan 10 % siswa termasuk kategori cukup.

Pada umumnya siswa belum pernah mengerjakan soal-soal yang berhubungan dengan kemampuan berpikir kritis dan menganggap bahwa soal yang diberikan sulit. Siswa terbiasa dengan soal-soal yang mengarah langsung pada jawaban yang telah ditentukan atau lebih pada hafalan tanpa tahap berpikir lebih lanjut.Hal ini membuktikan bahwa soal yang bisasanya diberikan tidak mengukur kemampuan berpikir siswa.

Page 17: Litbang News 1

Menurut Ruggiero (1988) dalam Johnson (2007:187), mengartikan berpikir kritis sebagai segala aktivitas mental yang membantu merumuskan masalah, membuat keputusan atau memenuhi keinginan untuk memahami sesuatu. Dengan demikian jelas bahwa dalam proses berpikir seseorang harus mampu menghubungkan pengetahuan satu dengan pengetahuan lainnya dalam rangka memecahkan suatu masalah. Maka jika dilihat dari hasil pre test yang didapatkan tidak diragukan lagi bahwa pengalaman belajar siswa hanya lebih menekankan pada penguasaan konsep sehingga ketika siswa diberikan suatu permasalahan untuk dipecahkan siswa mengalami kesulitan. Hal ini didukung dari hasil wawancara dengan guru yang bersangkutan,yang menyatakan bahwa umumnya soal dan target pembelajaran hanya sebatas pada penguasaan konsep dan tidak mengarahkan bagaimana siswa untuk dapat berpikir pada tingkatan yang lebih tinggi selain itu model pembelajaran Reciprocal teaching merupakan hal yang baru bagi siswa dan belum pernah digunakan dalam proses pembelajaran

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Setelah Pembelajaran

Tahap pembelajaran yang dilakukan menggunakan model Reciprocal teaching menurut Dyer (Palincsar, 1986:14), hal ini disebabkan karena pada model ini siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga proses diskusi dapat berjalan lebih efektif sesuai dengan saran Gokhale (Sudaryanto, 2007:1) yang menyatakan bahwa pembelajaran melalui diskusi kelompok kecil direkomendasikan sebagai strategi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Pada model Reciprocal teaching menurut Dyer terdapat pembagian tugas antara anggota kelompok sehingga siswa dapat berlatih secara bergantian menjadi perangkum, penanya,

yang membuat klarifikasi dan yang membuat prediksi selain itu guru pada proses pembelajaran bukan bertindak sebagai model tetapi hanya bertindak sebagai fasilitator yang mengarahkan jalannya diskusi.

Setelah dilakukan pembelajaran dengan model Reciprocal teaching rata-rata skor post test siswa meningkat menjadi 25 dengan rata-rata nilai menjadi 69,4. Siswa yang masuk kategori tingkat kemampuan berpikir kritis yang baik yaitu sebanyak 52,5%, 30 % siswa berada pada kategori cukup, 15% siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang kurang, 2,5% siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang jelek, dan tidak ada satu pun siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang sangat baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model Reciprocal teaching dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Respons Siswa dan Guru Terhadap Model Pembelajaran Resiprocal Teaching

Telah dijelaskan oleh Skinner (Sagala,2003:14) bahwa seorang anak akan mendapat hasil dari pembelajaran berupa informasi dan perubahan tingkah laku dengan cara belajar, sehingga belajar juga dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku atau peluang terjadinya respon. Respon yang diberikan terhadap pembelajaran dapat mencerminkan atau menggambarkan ketertarikan siswa dalam belajar. Respon yang positif dapat menunjukkan bahwa siswa tertarik dengan pembelajaran yang kita lakukan, sedangkan respon negatif menunjukkan siswa tidak tertarik. Ketertarikan siswa terhadap suatu pembelajaran juga dapat mempengaruhi proses pamahaman siswa pada materi atau konsep pelajaran yang kita sampaikan.

Ketertarikan siswa yang tinggi pada pembelajaran terjadi karena model pembelajaran Reciprocal teaching adalah

Page 18: Litbang News 1

model pembelajaran yang baru atau belum pernah dilakukan sebelumnya pada mata pelajaran biologi atau mata pelajaran lainnya. Pemberian model pembelajaran yang baru ini membuat siswa tertarik sehingga memberikan respon yang positif sebesar 98,75% sedangkan respon negative hanya sebesar 1,25% yang dapat dilihat pada tabel 4.9. Berdasarkan tabel 4.8 dan tabel 4.9, kriteria pemahaman terhadap konsep memiliki rata-rata nilai sebesar 80% yang termasuk ke dalam kategori tinggi, dan pemahaman materi dengan menggunakan Reciprocal teaaching secara berkelompok menunjukkan respon positif 91,7% dan respon negatif sebesar 8,3%. Rata-rata nilai dan respon yang diperoleh pada criteria pemahaman menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran Reciprocal teaching, siswa memahami materi yang dibahas (pencemaran lingkungan).

Hasil yang diperoleh dari penelitian yang menunjukkan model pembelajaran Reciprocal teaching efektif untuk meningkatkan Kemampuan berpikir kritis dapat menunjang pendapat (Wawa,2004:16) bahwa reciprocal teaching sesuai digunakan untuk menghasilkan siswa yang mandiri, yaitu mampu memotivasi diri untuk meningkatkan pembelajaran serta mampu mengatasi masalah yang dihadapi. Peningkatan motifasi dalam mengatasi masalah tersebut dapat dilihat dari adanya peningkatan antara pre-test dengan post-test yang cukup besar sehingga Reciprocal teaching dikategorikan sebagai model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Tanggapan guru terhadap model pembelajaran reciprocal teaching selama penelitian berlangsung diperoleh dari hasil wawancara dengan guru setelah semua kegiatan penelitian selesai. Hasil wawancara dapat dilihat pada lampiran 3. Menurut guru mata pelajaran biologi yang mengajar di

kelas, pembelajaran reciprocal belum pernah dilakukan sebelumnya dan merupakan hal baru bagi siswa. Pembelajaran reciprocal juga dilihat dapat membuat siswa aktif karena masing-masing siswa memiliki tugas masingmasing, tetapi tugas tersebut membuat siswa hanya terfokus pada kelompoknya. Tanggapan guru tersebut merupakan data penunjang tentang respon terhadap kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan Reciprocal teaching dan dari hasil wawancara yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa komentar guru terhadap pembelajaran umumnya memberikan respon yang positif.

KesimpulanBerdasarkan data hasil penelitian,

dapat diketahui rata-rata skor pre test siswa sebesar 13,275 dan persentase sebesar 36,98% dengan kategori jelek. Setelah melakukan pembelajaran dengan model reciprocal teaching rata-rata skor post test siswa meningkat menjadi 25 dengan persentase sebesar 69,38 % dengan kategori cukup. Hal tersebut memperlihatkan bahwa model Reciprocal teaching berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dengan kategori cukup.Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan saran sebagai berikut:• Saran bagi guru (pendidik) hendaknya

siswa diberi pengetahuan mengenai keterampilan proses, melalui kegiatan belajar mengajar di kelas.

• Siswa hendaknya senantiasa dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran di kelas dan lebih sering melakukan kegiatan belajar yang bersifat konstruktivisme, sehingga kemampuan siswa akan lebih berkembang dengan cara dan metode yang siswa sukai.

• Jika guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar menggunakan model pembelajaran reciprocal teaching dengan cara mengelompokkan siswa,

Page 19: Litbang News 1

maka hendaknya semua siswa harus dipastikan turut serta dalam kegiatan kelompok tersebut. Pengelompokkan siswa juga perlu memperhatikan prestasi dari siswa, sebaiknya siswa dengan prestasi tinggi dikelompokkan dengan yang kurang agar terjadi pertukaran informasi dan terjadi proses belajar mengajar antar siswa.

• Bagi peneliti lain dapat mengkorelasikan dengan kemampuan lainnya. Jika ingin mengadakan penelitian dengan model pembelajaran yang baru, sebaiknya dilakukan pembiasaan terlebih dahulu agar siswa terbiasa. Cobalah untuk bertanya pada siswa, karena biasanya siswa malu bertanya sehingga hal yang kurang dimengerti oleh siswa tidak kita ketahui.

DAFTAR PUSTAKAAfgani, D. (2005). Hubungan antara Persepsi Siswa

terhadap Strategi Pembelajaran ‘Logbook’ dengan Hasil Belajar pada Sub Kkonsep Organ Tumbuhan. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan

Amalia, D.R. (2006). Pengaruh Pembelajaran Matematika Dengan MenggunakanModel Reciprocal Teaching Terhadap Kemampuan Berpikir kreatif siswaSMP. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Anwar, L. (2006). Penerapan Pendekatan Reciprocal Teaching Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Media Komputer Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Arikunto, S. (2002). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Cadre. (1995). Reciprocal Teaching: A Reading Strategy. Dalam languange Arts cadre 95 [Online]., 2 halaman. Tersedia: http://www. sdcoe.k12.ca.us/score/promising/tips/rec.html [12 Maret2008]

Davis, B.G. (1996). Collaborative Learning. Dalam Tools for Teaching Online], 5 halaman. Tersedia: http://teaching.berkeley.edu/bgd /collaborative.html [11 Maret 2008]

Dahar, Ratna W. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga Ennis, Robert H. (2000).

An Outline of Goals for a Critical Thinking Curriculum and Its Assessment. [OnLine]. 5 halaman Tersedia: http://www.Critical thinking.net/indeks.html (7 Februari 2008)

Gejor. (2006). Pencemaran Lingkungan. [Teknik Lingkungan ITB [Online] 7 halaman. Tersedia: http://astacala.org/lingkungan. html (26 Juni 2006)

Hadisusanto, Suwarno. (2006). Biologi. Klaten : Intan Pariwara Heni, F.S. (2003). Pengaruh Reciprocal Teaching Terhadap Peningkatan Kemampuan Berkomunikasi dan Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Alat Indera. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan

Johnson. (2007).Contextual teaching and learning. Bandung: MLL Meltzer. (2003). The Relationship Between Mathematic Preparation and Conceptual Gain In Physic a Possible Hidden Variable in Diagnostic Pretest Scores. [On Line]. Tersedia: http:// jps.alp.org/ajp. (3 Maret 2008)

Mulyadiana, T.S. (2000). Kemampuan Komunikasi Siswa Madrasah Aliyah Melalui Pembelajaran Kooperatif Pada Konsep Sistem Reproduksi Manusia. Tesis PPS: tidak diterbitkan

Palincsar. (1986). Reciprocal Teaching. Dalam North Central Regional Educational Laboratory [Online], 2 halaman. Tersedia: http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/atrisk/at6lk38 [12Maret2008]

Rustaman, N.Y. (2003).Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: IMSTEP JICA

__________.(2005).Strategi Belajar Mengajar Biologi.Bandung:UM Press

Ruseffendi. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung : IKIP Bandung Press

Rustini, J. (2005). Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share dalam Kegiatan Praktikum Materi Pencemaran Air. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan

Schafersman. (1991). An introduction to critical thinking. 16 halaman. Tersedia : http://www. freeinquiry.com/critical-thinking.html [12Maret2008]

Sagala, S. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: ALFABETA.

Sudjana. (2002). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudaryanto. (2007). Kajian Kritis tentang Permasalahan Sekitar Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis. [Online]. 7

Page 20: Litbang News 1

halaman tersedia: http://www.FKUI.ac.id /kritis.html [29 November 2007]

Wawa, U. (2004). Pengaruh Penerapan Model Reciprocal Teaching Melalui Pembelajaran Kooperatif Terhadap hasil Belajar Fisika. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Zohar. (1994). The Effect of the Biology Critical Thinking Project on the Development of Critical Thinking [Online]. 4 halaman. Tersedia: Journal of Research in Science Teaching

Page 21: Litbang News 1

STUDI ZONASI DAN KERAPATAN MANGROVE DI PANTAI BAMA TAMAN

NASIONAL BALURAN

Oleh : Elga Renjana1), Halimah Dwi Wahyuni1), Ario Mukti Wibowo1)

1)Jurusan Biologi, FSAINTEK Universitas Airlangga-Surabaya

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi fisika kimia, jenis tegakan mangrove, pola zonasi dan indeks kerapatan mangrove di pantai Bama, Taman Nasional Baluran. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data adalah metode transek plot (Transect line plot method) yang koordinatnya ditentukan dengan GPS. Pengambilan sampel yang dilakukan dengan menggunakan metode transek, dimana tali transek ditarik tegak lurus garis pantai, kemudian dibuat plot 10 x 10 m untuk pohon, sub plot 5 x5 m untuk sapling dan 1x1 m untuk seedling. Data yang telah didapat di lapangan meliputi jenis tegakan, kerapatan spesies, frekuensi spesies dan dominansi spesies diolah dengan menggunakan analisis statistik.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis mangrove yang mendominasi hutan mangrove pantai Bama TN. Baluran adalah R. apicullata dan R. stylosa. Pada lokasi transek A tercatat bahwa kerapatan serta frekuensi tertinggi dimiliki oleh R. stylosa, sedangkan jenis yang mendominasi adalah R. apicullata dan NP terbesar dimiliki oleh R. stylosa yaitu 168,68%. Pada lokasi transek B dimana ditemukan tiga jenis tumbuhan mangrove, jenis mangrove yang mendominasi adalah R. apicullata dengan nilai dominansi relatif sebesar 88.59% dan NP sebesar 260,68%. Struktur Zonasi hutan Mangrove di Pantai Bama TN. Baluran dari arah laut ke darat yaitu Rhizophora stylosa, Rhizophora apicullata, dan beberapa tanaman mangrove yang membutuhkan suplai air tawar seperti Excoecaria agallocha dan Thespesia populnea.

Kata kunci : Zonasi, Hutan mangrove, Pantai Bama TN. Baluran

PENDAHULUAN

Taman Nasional Baluran

mempunyai topografi yang sangat bervariasi

dari yang landai di daerah pantai sampai di

daerah kaki gunung yang berbukit-bukit,

bahkan berupa jurang terjal di puncak

Gunung Baluran. Dengan keadan topografi

yang bervariasi tersebut, vegetasi alami

daratan yang terdapat di daerah Taman

nasional Baluran memiliki berbagai tipe

hutan, salah satunya adalah hutan mangrove.

Mangrove merupakan jenis

tumbuhan pantai yang secara spesifik

tumbuh subur di sepanjang garis pantai

beriklim tropis dan subtropis yang

terlindung dengan membentuk formasi di

sepanjang pantai yang hidupnya dari hasil

perpaduan antara daratan dan lautan

(Nirarita dkk, 1996). Kitamura (1997)

mengartikan mangrove sebagai tumbuhan

tropis dan komunitas tumbuhnya pada

zona intertidal. Zona ini merupakan area

yang masih terpengaruh oleh pasang-surut

sepanjang garis pantai (seperti: tepi pantai,

muara, laguna, dan tepi sungai).

Page 22: Litbang News 1

Mangrove merupakan ekosistem

yang sangat produktif. Beberapa manfaat

penting hutan mangrove antara lain akar-

akarnya efektif untuk perangkap sedimen,

memeperlambat kecepatan arus, mencegah

erosi, tempat mencari makan, berlindung

bagi berbagai ikan dan hewan air lainnya

seperti kerang-kerangan, merupakan suatu

penyangga antar komunitas daratan dan

pesisir laut, bagian batang dapat diambil

kayunya dan digunakan sebagai kayu bakar,

serta kulit kayu merupakan sumber tanin

yang biasa digunakan untuk penyamak kulit

dan pengawetan. Ekosistem mangrove hidup

di daerah yang rawan (stressed ecosystem),

kerawanan ini disebabkan oleh beberapa hal,

antara lain salinitas tanah tinggi sehingga

memerlukan suplai air tawar yang banyak,

arus pasang-surut menyebabkan

terkumpulnya sampah organik padat dan

terlarut yang terangkut dari daratan (run-

off), badai pasang dan gelombang

menyebabkan siltasi atau erosi dan badai

menghancurkan sistem daerah mangrove.

Beberapa spesies mangrove yang

telah dikenal masyarakat luas terutama di

Indonesia antara lain dari suku

Rhizoporaceae (Rhizopora, Brugiuera,

Ceriops dan Kandelia), suku Sonneratiaceae

(Sonneratia), suku Avicenniaceae

(Avicennia), dan suku Meliaceae

(Xylocarpus). Menurut Dahuri (1996),

pertumbuhan komunitas mangrove secara

umum mengikuti suatu pola zonasi yang

berkaitan erat dengan faktor lingkungan

(salinitas dan substrat penyususnnya).

Perbedaan jenis substrat dan salinitas dapat

menyebabkan hutan mengrove memiliki

struktur yang khas dengan membentuk

zonasi (Nirarita dkk. 1996). Namun untuk

pantai yang tegak lurus atau lurus pantai

akan membentuk sabuk hijau (green belt)

dengan struktur vegetasi yang relatif

seragam atau homogen, sedangkan di

daerah muara atau delta vegetasinya

biasanya membentuk zonasi dalam

kawasan yang luas dan struktur yang

berbeda.

Data mengenai pola zonasi

tegakan mangrove di Pantai Bama TN.

Baluran telah dilaporkan memiliki zonasi

yang seragam oleh Sulistyowati (2000).

Namun informasi tersebut selain memiliki

kurun waktu yang lama, juga tidak

menjelaskan tipe substrat dari setiap

zonasi. Dengan demikian, perlu dilakukan

penelitian ulang mengenai kondisi terbaru

pola zonasi yang ada di pantai Bama TN.

Baluran beserta tipe substratnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada tanggal

20-22 Pebruari 2008. Penelitian dilakukan

di Pantai Bama TN. Baluran, Jawa Timur.

Metode yang digunakan adalah metode

transek plot (Transect line plot method).

Pengambilan data dilakukan dengan

membuat 2 buah garis transek pada daerah

yang diduga mewakili untuk

menggambarkan pola zonasi dan

Page 23: Litbang News 1

komposisi tegakan penyusun hutan

mangrove dengan bantuan gambar foto

satelit yang dipublikasikan oleh

Digitalglobe©.

Transek dibuat tegak lurus garis

kontur memanjang dari daratan menuju arah

garis pantai secara tegak lurus. Pada transek

pertama, dibuat tiga plot dengan luas tiap

plot 20 x 20 meter dengan jarak tiap plot 15

meter. Transek kedua dibuat lima plot

dengan jarak tiap plot sebesar 10 meter. Plot

kesatu sampai plot keempat memiliki luas

10 x 10 meter sedangkan untuk plot kelima

memiliki luas 15 x 15 meter. Data yang

diperoleh meliputi jenis mangrove yang

telah diidentifikasi, jumlah tegakan,

diameter batang setinggi dada (DBH), jenis

substrat, dan kondisi kimia-fisika saat

pengambilan seperti pH, temperatur,

salinitas, dan intensitas cahaya.

Dengan bantuan gambar foto satelit

yang dipublikasikan oleh Digitalglobe©,

data jumlah tegakan, diameter batang dan

tinggi tegakan di setiap plot dapat disusun

untuk menggambarkan pola zonasi hutan

mangrove yang ada di pantai Bama TN.

Baluran. Selain itu data yang diperoleh

tersebut, dapat digunakan untuk

memperkirakan potensi hutan mangrove

secara kualitatif.

Persamaan-persamaan yang

digunakan untuk menganalisis data sehingga

didapat pola zonasi hutan mangrove pantai

Bama TN. Baluran adalah sebagai berikut.

1. Persamaan untuk mencari nilai basal

area

)(cm 4

DBH BA 22

BA = basal area

DBH = diameter batang

setinggi dada

2. Persamaan untuk mencari kepadatan

relatif, frekuensi relatif, dan

dominansi relatif

100% x spesies semuaindividu aljumlah totA spesiesindividu jumlah (KR) relatifKepadatan

100% x spesies semua frekuensi

A spesies frekuensi (FR) relatif Frekuensi

100% x spesies semua area basal

A spesies area basal total (DR) relatif Dominansi

Nilai penting (NP) merupakan

penjumlahan dari KR, FR, dan DR.

3. Persamaan untuk mencari indeks

diversitas

s

1i)( log )(- H

NNi

NNi

H = indek diversitas Shannon

Ni = nilai penting spesies i

N = jumlah nilai penting seluruh

spesies

s = jumlah total spesies pada

sampel

Page 24: Litbang News 1

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian

pada transek A dan transek B,

ditemukan tiga jenis tegakkan

mangrove, yakni Rhizophora stylosa,

Rhizophora apicullata, dan

Excoecaria agallocha. Tabel berikut

adalah tabel mengenai jenis-jenis

tegakkan mangrove di Pantai Bama

TN. Baluran.

Tabel jenis – jenis mangrove pada plot lokasi penelitian di Pantai Bama TN Baluran.

Spesies Plot A1

DBH Tree BA Sapling Seedling

Rhizophora apiculata 31 754.385 - 35 Rhizophora apiculata 34 907.46

Rhizophora stylosa 19 283.385 - Rhizophora stylosa 33 854.865

Spesies Plot A2 DBH Tree BA Sapling Seedling

Rhizophora apiculata 12 113.04 4 5 Rhizophora apiculata 11 94.985

Spesies Plot A3 DBH Tree BA Sapling Seedling

Rhizophora stylosa 17 226.865

7 - Rhizophora stylosa 13 132.665 Rhizophora stylosa 13 132.665 Rhizophora stylosa 14 153.86

Spesies Plot B1 DBH Tree BA Sapling Seedling

Excoecaria agallocha 14 153.86

2 34

Excoecaria agallocha 15 176.625 Excoecaria agallocha 13 132.665 Excoecaria agallocha 14 153.86 Excoecaria agallocha 19 283.385 Rhizophora apiculata 26 530.66 -

Spesies Plot B2 DBH Tree BA Sapling Seedling

Rhizophora apiculata 10 78.5

2 14

Rhizophora apiculata 20 314 Rhizophora apiculata 11 94.985 Rhizophora apiculata 17 226.865 Rhizophora apiculata 23 415.265 Rhizophora apiculata 30 706.5

Page 25: Litbang News 1

Spesies Plot B3 DBH Tree BA Sapling Seedling

Rhizophora apiculata 13 132.665

4 11

Rhizophora apiculata 11 94.985 Rhizophora apiculata 18 254.34 Rhizophora apiculata 17 226.865 Rhizophora apiculata 20 314 Rhizophora apiculata 14 153.86 Rhizophora apiculata 23 415.265 Rhizophora apiculata 17 226.865 Rhizophora apiculata 12 113.04 Rhizophora apiculata 25 490.625 Rhizophora apiculata 15 176.625 Rhizophora apiculata 17 226.865 Rhizophora apiculata 13 132.665 Rhizophora apiculata 19 283.385 Rhizophora apiculata 19 283.385 Rhizophora apiculata 20 314

Spesies Plot B4 DBH Tree BA Sapling Seedling

Rhizophora apiculata 17.5 240.4063

3 9

Rhizophora apiculata 11 94.985 Rhizophora apiculata 14 153.86 Rhizophora apiculata 20 314 Rhizophora apiculata 15 176.625 Rhizophora apiculata 17 226.865

Spesies Plot B5 DBH Tree BA Sapling Seedling

Rhizophora apiculata 15.5 188.5963

1 8

Rhizophora apiculata 29 660.185 Rhizophora apiculata 15 176.625 Rhizophora apiculata 29 660.185 Rhizophora apiculata 18 254.34 Rhizophora apiculata 24 452.16 Rhizophora apiculata 17 226.865 Rhizophora apiculata 25 490.625 Rhizophora stylosa 12.5 122.6563 -

Dari tabel di atas, terlihat bahwa

pola zonasi hutan mangrove pantai Bama

pada transek A dari laut ke darat adalah

tegakan R. stylosa kemudian R. apicullata.

Sedangkan pada transek B adalah tegakan R.

stylosa, R. apicullata, dan Excoecaria

agallocha. Terbentuknya pola zonasi

tersebut dipengaruhi kondisi lingkungan

kimia-fisika, yaitu intensitas cahaya,

kelembaban udara, salinitas, suhu, pH air

tanah, dan struktur penyusun substrat.

Pada data penelitian diketahui

bahwa intensitas cahaya lokasi penelitian

hutan mangrove pantai Bama berkisar

antara 5000-6000 lux. Tinggi rendahnya

intensitas cahaya dipengaruhi oleh tajuk-

tajuk pohon yang menaungi pada plot

tersebut. Kelembaban udara di hutan

Page 26: Litbang News 1

mangrove pantai Bama berkisar antara 90-

100 %RH dengan kelembaban tertinggi

berada di plot A3, dimana tajuk-tajuknya

sangat rapat. Semakin rapat tajuk-tajuk

pohon di suatu plot maka semakin tinggi

pula %RH kelembabannya. Untuk salinitas

di transek A, semakin ke arah darat nilai

salinitasnya semakin tinggi, sedangkan di

lokasi transek B semakin ke arah laut nilai

salinitas semakin tinggi. Hal ini

dikarenakan lokasi transek B yang dekat

dengan sumber air tawar Manting,

sebagaimana yang di tulis oleh Purnobasuki

(2005) bahwa salinitas dipengaruhi oleh

sejumlah faktor di antaranya adalah

masukan air tawar dari sungai.

Hasil pengukuran suhu pada masing-masing

plot di hutan mangrove pantai Bama berada

pada kisaran 26-29 C dan pH air tanah

berkisar antara 7-8. Sementara struktur

penyusun substrat di pantai Bama didapati

pada daerah yang paling dekat dengan laut,

yakni plot A3 dan B5 dengan penyusun

terbesarnya adalah pasir, dimana di daerah

ini tegakan yang mendominasi adalah

Rhizophora stylosa. Sedangkan pada plot-

plot yang berada di dalam hutan mangrove

dan daerah yang mengarah ke darat adalah

lumpur berpasir dengan tegakan mangrove

yang mendominasi adalah jenis Rhizophora

apiculata. Hal ini sesuai dengan Van Steenis

(1958 dalam Indiarto, 1986) yang

menuliskan bahwa pada umumnya jenis

Rhizophora stylosa tumbuh di sepanjang

pantai berpasir, sedangkan tegakan jenis

Rhizophora apiculata pada umumnya

tumbuh pada habitat bersubstrat lumpur.

Page 27: Litbang News 1

Tabel kondisi fisika-kimia lingkungan hutan mangrove pantai Bama TN. Baluran

Faktor Kimia-Fisika Plot

A1 A2 A3 B1 B2 B3 B4 B5 Intensitas Cahaya (lux) 5000 5800 5900 6000 6000 5900 5700 5200 Kelembaban (%RH) 94 86 100 98 97 97 94 90 Salinitas (‰) 36 30 29 25 35 40 35 36 Suhu (ºC) 29 29 26 26,5 27 26 27 27 pH 8,71 8,85 8,56 - 7,35 7,7 7,74 7,46 Substrat (%) a. Kerikil 15,95 22,01 37,19 15,29 35,62 24 24,32 17,78 b. Pasir 14,42 20,75 61,98 9,55 44,46 32 35,14 37,78 c. Lumpur 69,63 57,23 0,83 75,16 19,74 44 40,54 64,44

Mengenai tingkat kerapatan

tegakan mangrove di pantai Bama TN.

Baluran, pada transek A tercatat bahwa

kerapatan serta frekuensi tertinggi dimiliki

oleh R. stylosa dengan NP sebesar

168,68%, sedangkan pada transek B jenis

mangrove yang mendominasi adalah R.

apicullata dengan NP sebesar 260,68%.

Karena NP transek A lebih besar daripada

NP transek B, maka diketahui bahwa

transek B memiliki keanekaragaman spesies

lebih besar dibandingkan dengan transek A.

Dari data hasil perhitungan juga tercatat

bahwa indeks diversitas hutan mangrove

sangat rendah, hal ini dikarenakan

keanekaragaman mangrove yang tumbuh di

hutan pantai Bama sangat sedikit.

Tabel Indeks diversitas masing-masing spesies yang ditemukan di lokasi penelitian Pantai

Bama TN. Baluran

TRANSEK A

Spesies Kerapatan Frekuensi Dominansi NP H Absolut Relatif Absolut Relatif Absolut Relatif

Rhizophora apiculata 33.33 40.00% 0.40 40.00% 1.56 51.17% 131.17% 0.16

Rhizophora stylosa 50.00 60.00% 0.60 60.00% 1.49 48.83% 168.83% 0.14

83.33 100.00% 1.00 100.00% 3.05 100.00% 300.00% 0.30

TRANSEK B

Spesies Kerapatan Frekuensi Dominansi NP H Absolut Relatif Absolut Relatif Absolut Relatif Excoecaria agallocha 83.33 11.63% 0.12 11.63% 2.13 10.41% 33.67% 0.11

Rhizophora apiculata 616.67 86.04% 0.86 86.05% 18.11 88.59% 260.68% 0.05

Rhizophora stylosa 16.67 2.33% 0.02 2.32% 0.20 1.00% 5.65% 0.03

716.67 100.00% 1.00 100.00% 20.44 100.00% 300.00% 0.19

Page 28: Litbang News 1

KESIMPULAN

Pola zonasi mangrove pada transek

A dari pantai ke daratan berturut-turut

adalah Rhizopora stylosa, Rhizopora

apicullata. Sedangkan untuk transek B, pola

zonasi mangrove dari pantai ke daratan

beturut-turut adalah Rhizopora stylosa,

Rhizopora apicullata, Exoecaria agallocha.

Serta indeks diversitas mangrove di pantai

Bama TN. Baluran sangat rendah, hal ini

dikarenakan keanekaragaman spesies

mangrove di pantai ini sedikit.

DAFTAR PUSTAKA Ambarwati. 1999. Studi Perbandingan

Perilaku Harian Lutung Hitam (Trachypithecus auratus Geoffroy) di Kebun Binatang Surabaya dan Taman Nasional Baluran, Skripsi, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Airlangga.

Anonimus. 2008. Hutan Bakau. http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_Bakau (diakses tanggal 4 Februari 2008).

Anonimus. 2007. Taman Nasional Baluran. http://www.petra.ac.id/eastjava/ cities/ banyuw/tourobj/bakau.htm (diakses tanggal 31 januari 2008).

Anonimus. 1980. Taman Nasional Baluran. http://www.dephut.go.id/ INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH /tn_baluran.htm (di akses tangal 31 januari 2008)

Anonimus. 1986. Beberapa Aspek Penelahan Suaka Alam di Indonesia (Laporan Penelitian) LIPI. Lembaga Biologi Nasional. Bogor.

Bengen, G. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor.

Dahuri, R., Rais, R.J. Ginting, S.P. dan Sitepu, M.J., 1996, Pengelolaan

wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.

English, S., C. Wilkinson and V. Beaker. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. Australian International Development Assistance Bureau, Townsville.

Kitamura, S. 1997. Distribution and Mangrove species and Aviability of Seed Collecting forest on Island of Bali and Lombok. The development of suitainable Mangrove Management Project. Ministry of forestry and JICA.

Nirarita, C., Prianto, W., Shanty, S., Djupri, P., Kusmarini., Mohammad, S., Yeni, H., Kusmiansih dan Lidia, S., 1996. Ekosistem Lahan Basah Indonesia; buku panduan untuk guru dan praktisi pendidikan. Konsorsium Ditjen PHPA Wetlands International Canada Fund – Pusat Pengembangan Penataran Guru IPA-British Petroleum, Bogor.

Noor, Y.R., Khazali, M., Suryadiputra, I N.N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP, Bogor.

Nybakken, J.W. 1982. Biologi Laut : Suatu pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta.

Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S Davie. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. IUCN Commision on Ecology Papers No. 3.

Sukardjo, S. 1984. The Present Status of The Mangrove Forest Ecosystem of Segara Anakan. Cilacap, Java. Trop. Rain – Forest Symposium.

Sulistyowati, Hari. 2000. Diagram Profil Hutan Mangrove di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Biologi FMIPA Universitas Jember. Jember.

Page 29: Litbang News 1

LAMPIRAN

Gambar 1. Penentuan lokasi transek untuk analisis vegetasi di hutan mangrove Pantai Bama T.N.

Baluran (A,B = lokasi transek). Sumber gambar: Digitalglobe©

Transek A

Transek B

Gambar 2. Skema transek A dan B

A

B

Page 30: Litbang News 1

Gambar 3. Pengukuran diameter batang setinggi dada (DBH). Pohon A, semua batang diukurn

dihitung sebagai 2 batang yang terpisah; pohon B, pengukuran dilakukan pada batang di bawah percabangan; pohon C, pengukuran dilakukan pada bagian 20 cm di atas leher akar; pohon D dan E, pengukuran dilakukan pada bagian diatas atau dibawah batang yang tidak normal.

Gambar 4. Ketentuan penghitungan jumlah tegakan pohon. Untuk A dihitung 1 pohon,

sedangkan B dan C dihitung 2 pohon

A B C D E

A B C

Page 31: Litbang News 1

Mengungkap Keanekaragaman Herpetofauna di Kawasan Wisata Gua Kiskendo Sebagai Upaya Pelestarian Fauna Indonesia

Tony Febri Qurniawan 1), Trijoko 2) dan Rury Epilurahman 2)

1) Kelompok Studi Herpetologi, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta, email: [email protected]) Laboratorium Taksonomi Hewan, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta

ABSTRAK

Kawasan wisata Gua Kiskendo ini terletak di desa Jatimulyo, kabupaten Kulonprogo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi lingkungan di kawasan wisata Gua Kiskendo terlihat masih bagus, sehingga memungkinkan hidup beranekaragam herpetofauna. Namun data mengenai keanekaragaman herpetofauna yang hidup di kawasan wisata tersebut masih belum ada. Padahal sangat penting bagi suatu kawasan wisata untuk memiliki data–data fauna yang hidup di dalamnya. Karena masing–masing fauna, termasuk herpetofauna memiliki peran tertentu dalam suatu ekosistem yang terbentuk di kawasan wisata tersebut. Sehingga jangan sampai pembangunan kawasan wisata tersebut mengganggu ekosistem dan menyebabkan hilangnya jenis herpetofauna endemik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis herpetofauna yang ada dikawasan wisata Gua Kiskendo. Penelitian dilakukan dari bulan November-Desember 2007 dan bulan Januari-Februari 2008, secara nokturnal dan diurnal. Metode yang digunakan adalah metode aktif dengan sampling VES (Visual Encounter Survey) dengan modifikasi jelajah dan metode pasif berupa wawancara kepada penduduk sekitar. Hasil data dianalisa menggunakan indeks Shanon-Weiner unutk mengetahui keragaman jenisnya. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa keragaman jenis herpetofauna di kawasan wisata Gua Kiskendo tergolong tinggi. Telah berhasil diidentifikasi 31 spesies herpetofauna antara lain 12 jenis dari anggota Lacertilia, 13 jenis dari anggota anura dan 6 jenis dari anggota serpentes.

Kata kunci : Herpetofauna, Kawasan Wisata Gua Kiskendo

1. PENGANTARHerpetofauna yang terdiri dari reptil dan

amfibi merupakan salah satu jenis potensi keanekaragaman hayati hewani yang kurang dikenal dan jarang diketahui. Sebagian besar reptil dan amfibi dapat dijumpai di hutan-hutan tropis, rawa-rawa, dan sungai-sungai. Sebaran habitat yang sangat luas ini merupakan faktor utama penentu keanekaragaman jenis. Di Daerah Kulon Progo terdapat sebuah kawasan wisata Gua Kiskendo yang cocok sebagai habitat herpetofauna. Kondisi lingkungan di kawasan wisata Gua Kiskendo terlihat masih bagus, sehingga memungkinkan hidup beranekaragam herpetofauna.

Herpetofauna sendiri memiliki peranan penting dalam ekosistem, yaitu secara ekologi maupun ekonomi[13]. Beberapa jenis herpetofauna dapat dijadikan sebagai bioindikator lingkungan[22]. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam jangka waktu beberapa tahun terakhir ini menunjukkan terjadinya penurunan populasi herpetofauna secara global. Peristiwa tersebut juga terjadi di Indonesia. Penyebab utama turunnya populasi herpetofauna adalah akibat berkurangnya habitat-habitat asli[13] [14]. Maraknya pembalakan hutan dan kegiatan manusia lainnya merupakan bukti kurangnya perhatian manusia pada keberadaan herpetofauna. Eksploitasi berlebih

terhadap reptil dan amfibi baik untuk kepentingan konsumsi maupun hewan peliharaan juga menjadi faktor penyebab penurunan populasi reptil dan amfibi[1].

Penelitian herpetofauna di Indonesia belum banyak dilakukan. Kurangnya survei mengenai keanekaragaman herpetofauna di berbagai wilayah di Indonesia sangat mengkhawatirkan, karena banyak jenis herpetofauna yang hilang sebelum terdata dengan baik[15]. Karena itulah perlu diadakan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman jenis herpetofauna di kawasan wisata Gua Kiskendo

2. BAHAN DAN CARA KERJAAlat-alat yang digunakan dalam penelitian ini

antara lain: Senter untuk pengamatan di malam hari, GPS untuk mengukur koordinat lokasi dan ketinggian, termometer raksa untuk mengukur suhu air dan udara, sweepnet dan sarung tangan, sebagai alat bantu pengkoleksian, kamera dan perekam suara untuk dokumentasi dan identifikasi, kantong plastik, botol selai dan botol flakon untuk alat penyimpanan sampel yang dicuplik, alat tulis untuk mencatat data herpetofauna dan faktor lingkungan berupa tabel data. Sedangkan bahan yang digunakan antaralain bahan kimia (ethanol 70%,

Page 32: Litbang News 1

formaldehid 4% dan akuades) digunakan untuk pembuatan awetan basah.

Penelitian dilaksanakan pada bulan November-Desember 2007 dan Januari-Februari 2008. Pengambilan sampel di lokasi penelitian meliputi beberapa daerah di sekitar kawsan wisata Gua Kiskendo. Metode aktif dilakukan dengan cara menjelajahi area penelitian dan mencatat jenis-jenis anggota Subordo Lacertilia yang ditemui. Pengamatan dilakukan pada pagi hari dan malam hari untuk mendapatkan data jenis nokturnal dan diurnal.

Metode aktif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VES (Visual Encounter Survey) yang dimodifikasi dengan teknik penjelajahan, yaitu dengan cara menjelajahi suatu area dengan rute tertentu dan mencatat jenis-jenis herpetofauna yang ditemui. Rute tersebut dapat berupa jalur mengikuti aliran air maupun jalan setapak. Pengamatan dilakukan di sepanjang jalur penjelajahan dan area sekitarnya[8]. Pengamatan dilakukan pada siang hari dan malam hari untuk mendapatkan data jenis nokturnal dan diurnal. Aliran air digunakan sebagai jalur penjelajahan karena diasumsikan merupakan pusat distribusi dari amfibi maupun reptil. Sedangkan jalan setapak dipilih untuk membandingkan keanekaragaman antara habitat perairan dengan habitat daratan.

Dari masing–masing lokasi di lakukan pendataan meliputi: waktu penjumpaan, keterangan cacat atau tidak, jenis kelamin, substrat ketika sampel dijumpai dan aktivitas sampel ketika dijumpai.

Spesies yang dijumpai diidentifikasi langsung di lokasi dengan metode taksomorfologi, yaitu proses klasifikasi berdasarkan data morfologi dan deskripsi amfibi yang diperoleh. Identifikasi dan deskripsi jenis anuran menggunakan Berry (1975), Iskandar (1998), dan Inger (2003). Penamaan menggunakan Iskandar dan Coijin (2000).

Herpetofauna yang sudah selesai diidentifikasi lalu difoto, sedangkan beberapa sampel lainnya diawetkan sebagai dokumentasi dan bukti penelitian. Untuk sampel yang tidak dapat diidentifikasi di lokasi atau masih diragukan akan dibawa ke Laboratorium Taksonomi Hewan Fakultas Biologi UGM untuk diidentifikasi bersama dan dikonsultasikan dengan pakar-pakar herpetofauna. Selain menggunakan metode sampling, dalam penelitian ini dilakukan juga metode wawancara terhadap penduduk setempat mengenai potensi keanekaragaman spesies herpetofauna yang ada di kawasan wisata Gua Kiskendo.

3. ANALISIS DATAHasil data yang didapat dianalisis

menggunakan indeks Shanon-Weiner yang memepunyai formula :

H’= -∑ Pi Ln Pi, dimana : H’= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, Pi = Proporsi jenis ke-i. Digunakannya indeks Shanon-Weiner dalam penelitian ini dikarenakan indeks ini dirasa lebih cocok dan memiliki beberapa kelebihan dari indeks lain. Kelebihan menggunakan indeks Shanon-Weiner antara lain :

1. merupakan salah satu yang paling sederhana dan banyak dipergunakan untuk mengukur indeks diversitas

2. Hs meningkat dengan meningkatnya jumlah spesies, demikian juga dengan meningkatnya kesamaan kelimpahan spesies (meningkatnya kemerataan)

3. dapat dipergunakan untuk membandingkan kestabilan lingkungan dari suatu ekosistem

Kenaekaragaman dan keragaman dikatakan rendah jika nilainya <1, jika nilainya berkisar antara 1-2 maka dikatakan sedang. Sedangkan dikatakan tinggi jika nilainya >3

4. HASIL DAN PEMBAHASANGoa Kiskendo merupakan salah satu

obyek wisata pegunungan, terletak di desa Jatimulyo, kecamatan Girimulyo, lebih kurang 38 km dari kota Jogja atau kira-kira 21 km dari kota Wates. Berdasarkan posisi astronomi Goa Kiskendo terletak pada “07o 44’51.7”LS dan “110o

07’52.1”BT dan memiliki ketinggian 710 dpl. Sehingga kawasan wisata Gua Kiskendo memilki suhu rata-rata pada pagi hari adalah 250C dan pada malam hari 210C. Suhu memiliki peranan penting bagi kehidupan anura. Suhu tubuhnya berfluktuasi mengikuti suhu lingkungan seperti hewan poikilotermik lainnya. Menurut Goin et al. (1978), anura masih dapat hidup pada kisaran suhu 30–41 oC. Pengukuran suhu udara yang dilakukan selama pengamatan di lokasi penelitian berkisar antara 22–23 oC, sedangkan suhu air berkisar antara 21–22 oC. Kawsan wisata ini kaya vegetasi dan sumber air sehingga memungkinkan hidup beranekaragam herpetofauna.

Tabel 1. Hasil pengukuran parameter lingkungan

Pada sampling bulan November-Desember 2007 berhasil didapatkan 25 spesies. Sedangkan pada sampling bulan Januari-Februari 2008 bertambah menjadi 6 spesies herpetofauna. Sehingga total berhasil ditemukan 31 spesies Herpetofauna. Dari 31 spesies tersebut, 12 jenis Lacertilia, 13 jenis anura dan 6 jenis serpentes (lihat

Page 33: Litbang News 1

tabel 1). Persentase jumlah individu spesies yang banyak ditemukan adalah Eutropis multifasciata sebesar 20,77 % lalu Hemidactylus frenatus sebesar 15, 58 % dan Hydrophylax chalconotus sebesar 12, 9 %. Perbedaan jumlah penjumpaan jenis herpetofauna pada lokasi penelitian dapat dipengaruhi oleh karakteristik dan kondisi habitat serta musim.

Gambar 1. Hubungan antara frekuensi pengamatan dengan jumlah spesies yang didapat (dari bawah ke atas adalah grafik untuk Amphibia, lasertilia, dan Serpentes)

Tabel 2. komposisi keanekaragaman herpetofauna di kawasan wisata Gua Kiskendo

Dari tabel 2. dapat diketahui bahwa jenis anggota reptil yang sulit di temukan adalah serpentes, sedangkan jenis yang sulit ditemukan dari anggota amphibia adalah megophrydae. Hal ini dimungkinkan karena serpentes dan megophridae merupakan fauna yang pemalu dan sebagian besar merupakan fauna cryptic sehingga sukar ditemukan.

Gambar 2. Persentase jumlah masing-masing individu herpetofauna yang tertangkap

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Prihantono (2007) di sungai Denggung dan Gadjah Wong Yogyakarta, dan hasil penelitian di

kawasan lereng selatan Gunung Merapi oleh Muharromi (2006) dan Eprilurahman (2007) keanekaragaman spesies herpetofauna yang ditemukan di kawasan wisata Gua Kiskendo lebih banyak ragam jenisnya. Bahkan ditemukan 4 spesies new note untuk Herpetofauna yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Gonochepalus chamaeleontinus, Ptycozoon kuhlii, Sphenomorphus sanctus dan Calamaria linneai. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan disekitar kawasan wisata Gua Kiskendo kondisinya masih bagus dan cocok untuk berkembangbiak herpetofauna serta kondisinya belum begitu terganggu aktivitas manusia. Berikut dibawah ini gambar dari empat spesies new note tersebut.

Gambar 3. Empat spesies new note {kiri atas) Gonochepalus chamaeleontinus, (kiri bawah) Ptycozoon kuhlii, (kanan atas) Sphenomorphus sanctus, dan (kanan bawah) Calamaria linneai}

Setelah hasil data dianalisa menggunakan indeks Shanon-Weiner, diketahui bahwa Keanekaragaman jenis herpetofauna di kawasan wisata Gua Kiskendo tergolong tinggi dengan nilai sebesar 7,297. Diharapkan dengan mengetahui kenyataan bahwa keragaman di kawasan wisata Gua Kiskendo tergolong tinggi, pemerintah dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta umumnya dan khususnya Kulonprogo supaya bersama-sama menjaga kelestarian hayati yang dimilikinya.

5. KESIMPULANDari hasil survey berhasil ditemukan 12 jenis

Lacertilia, 13 jenis anura dan 6 jenis serpentes. Sehingga total didapat 31 spesies, ataralain : Duttapphrynus melanostictus, Ingerophrynus biporcatus, Phryniodis aspera, Odorrana hosii, Hydrophylax calchonotus, Limnonectes kuhlii, Leptobrachium haseltii, Fejervarya limnocharis, Polypedates leucomystax, Rhacophorus reindwartii, Microhyla palmipes, Kaloula baleata, Occydozyga sumatranus, Eutropis multifasciata, Draco volans, Bronchocela jubata, Bronchocela cristatela, Gonochepalus chamaeleontinus, Cyrtodactylus fumosus, Ptycozoon kuhlii, Hemidactylus frenatus, Gekko gecko, Gehyra

sampling

jum

lah

Page 34: Litbang News 1

multilata, Cosymbotus platyurus, Sphenomorphus sanctus, Ptyas korros, Enhydris plumbea, Trimeresurus albolabris, Xenopeltis unicolor, Calamaria linneai, dan Ahaetulla prasina. Empat spesies diantaranya yaitu Gonochepalus chamaeleontinus, Ptycozoon kuhlii, Sphenomorphus sanctus dan Calamaria linneai merupakan spesies new note untuk Herpetofauna yang ada di D.I. Yogyakarta. Ternyata keragaman herpetofauna di kawasan wisata Gua Kiskendo tergolong tinggi

KEPUSTAKAAN[1]Anonim. 2001. Laporan Monitoring

Perdagangan dan Pemanfaatan Herpetofauna di D.I.Y dan Sekitarnya. KSDA D.I.Y.dan KSH Tidak dipublikasikan

[2]Berrry, P. Y. 1975. The Amphibian Fauna of Peninsular Malaya. Tropical Press. Kuala Lumpur

[3]de Rooij, N. 1915. The Reptiles of The Indo – Australian Archipelago, Lacertilia. Chelonia, Emydosauria. Volume I. E J Brill Ltd. Leiden

[4]Duellman, W.E and L. Trueb. 1976. Biology of Amphibians. McGraw-hill book Company. New York. P: 1, 197 – 225

[5]Eprilurahman,2006. Keanekaragaman Jenis Anggota Subordo Lasertilia di Kawasan Lereng Selatan Gunung Merapi. Seminar Nasinoal Herpetologi. Yogyakarta

[6]Eprilurahman, 2007. Frogs and Toads of Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. International Seminar Advances in Biological Science. Fakultas Bilogi UGM

[7]Goin, C.J., O.B Goin and G. R. Zug. 1978. Introduction to Herpetology. W.H. Freeman and Company. San Fransisco.

[8]Heyer, W.R., M.A. Donnelly, R.W. McDiarmid, L.C. Hayek and M.S. Foster 1994. Measuring And Monitoring Biological Diversity: Standard Methods For Amphibians. Smithsonian Institution Press, Washington. Pp 364.

[9]Iskandar, D.T. 1998. Amphibia Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor. hal.1-7, 19-21.

[10]Iskandar, D. T. and E. Colijn. 2000. Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna: Amphibians. Treubia 31 (3): 1-133.

[11]Iskandar, D. T.. 2006. Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna

[12]Kurniati, H. 2003. Amphibian & Reptiles of Gunung Halimun National Park West Java, Indonesia (Frog, Lizard and Snakes): An Illustrated Guide Book.Research Center for Biology (LIPI) and Nagao Natural Environment Foundation (NEF). Cibinong.

[13]Kusrini, D. M. 2007. Pedoman Penelitian dan Survey Amphibia Di lapangan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

[14]Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. The Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement. Indoneia. Pp16,27-97

[15]Muharromi, A.F.2006. Keanekaragaman Jenis Anggota Ordo Anura di Kawasan Lereng Selatan Gunung Merapi. Seminar. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan

[16]Pough, F.h., Heiser, J.B. and McFarland, W.N. 1996. Vertebrate Life (4th ed.) Prentice-Hall,Inc.New Jersey.

[17]Primack, Richard B., Jatna Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. hlmn 345

[18]Prihantono, S. 2007. Keanekaragaman Herpetofauna (Ordo Anura dan Squamata) Nocturnal di Sungai Denggung dan sungai Gadjah Wong, Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminar. Fakultas Biologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan

[19]Suhardjono, Y.R. 1999. Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. CV. Riza Graha Jaya. Bogor

[20]Webb, J.E. ; J.A. Wallwork; J.H. Elgood. 1981. Guide to Living Amphibians. MacMillan Press Ltd. Hongkong.

[21]van Kampen, P.N. 1923. The amphibia of the Indo-Australian Archipelago. E.J.Brill, Leiden

[22]Zug, G.R 1993. Herpetology, An Introduction Biology of Amphibians and Reptiles. Academic Press San Diego, London.

Page 35: Litbang News 1

1

Morfometri dan persebaran geografi tiga spesies Pila (Pila ampullacea, Pila scutata dan Pila polita) di Indonesia

Hisful Aziz1 dan R. Pramesa Narakusumo1

1) Mahasiswa Departemen Biologi UNAIR Surabya, email : [email protected]

ABSTRAK

Molluska merupakan hewan bertubuh lunak yang mudah dikenali dengan adanya cangkang yang melindungi tubuhnya. jumlah spesies di Indonesia yang dapat ditemukan diperkirakan lebih dari 20.000 jenis. Ampullariidae adalah salah satu anggota filum molluska, kelas gastropoda. Famili ini umum ditemukan di perairan tawar tropis di seluruh dunia. Famili ini secara umum dikenal dengan keong apel (apple snails) dan di Indonesia dikenal tiga spesies asli yaitu Pila ampullacea, Pila scutata dan Pila polita dan satu spesies diperkenalkan (Introduced species) Pomacea sp. Variasi spesies dari Pila sangat sulit dibedakan secara morfologi, karakteristik cangkangnya menunjukkan perbedaan yang sangat sedikit, tidak hanya menyebabkan kesalahan dalam identifikasi, tetapi juga membingungkan dalam hal apakah spesies yang valid dari genus ini dan juga karakter apa yang bisa digunakan dalam mengidentifikasi spesies ini (Keawjam, 1987). Selain itu informasi terbaru mengenai persebaran ketiga spesies asli ini sangat jarang ditemukan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan informasi terbaru mengenai ketiga spesies Pila asli Indonesia (native), baik informasi morfometri dan juga geografi. Penelitian dilakukan dengan mengukur morfometri lebar cangkang (LC), tinggi cangkang (TC), lebar aperture (LA) dan tinggi aperture (TA) kemudian dicari nilai regresi linear serta koefisien determinasinya, serta dibandingkan rasio morfometrinya antara LC dengan TC dan LA dengan TA. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa perbandingan LC dengan TC dan LA dengan TA tidak dapat menjadi pengenal spesies, namun nilai koefisien korelasi antara kedua perbandingan tersebut adalah tinggi. Kata kunci : Pila ampullacea, Pila polita, Pila scutata, morfometri, persebaran geografi PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km, dan kedalaman laut yang mengelilinginya memiliki variasi yang sangat luas. Panjang dan kompleksnya proses pembentukan dari pulau-pulau yang ada membuat Indonesia menjadi rumah yang ideal bagi berbagai jenis Molluska, baik yang hidup di laut maupun di darat (Dharma, 2005).

Molluska merupakan hewan bertubuh lunak yang mudah dikenali dengan adanya cangkang yang melindungi tubuhnya. Anggota filum Molluska merupakan kedua terbanyak setelah Arthropoda. Para ahli memperkirakan jumlah filum Moluska yang masih hidup sebanyak 100.000 jenis dan fosilnya ±20.000 jenis. Sedangkan jumlah di Indonesia yang dapat ditemukan diperkirakan lebih dari 20.000 jenis. Di antara kelas Molluska yang mudah kita temui adalah Gastropoda, atau Univalvia atau Molluska cangkang tunggal. Kelompok Gastropoda ini merupakan anggota terbanyak, yaitu kira-kira separuh dari kesekuruhan jenis Molluska (Dharma, 1998). Kelas ini terdiri dari siput, keong, bekicot, siput laut besar dan kecil. Hewan ini dapat ditemukan di daratan, perairan tawar, laut maupun daerah estuaria. Namun, lebih dari separuh dari jumlah spesies yang telah diketahui yang berjumlah lebih dari 70.000 spesies merupakan jenis yang hidup di laut, sedangkan sisanya hidup di darat dan air tawar (Abbott, 2002).

Gastropoda berasal dari kata gaster yang berarti peru dan pous yang berarti kaki. Jadi secara etimologi gastropoda merupakan hewan yang berjalan dengan perut atau hewan yang perutnya juga berfungsi sebagai alat gerak (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

Ampullariidae adalah salah satu famili dari kelas gastropoda. Famili ini umum ditemukan di perairan tawar tropis di seluruh dunia. Famili ini secara umum dikenal dengan keong apel (apple snails) karena besarnya ukuran dan bentuknya yang globose (Keawjam, 1987) serta menyerupai bentuk buah apel. Di Indonesia, contoh dari famili ini yang sering kita temui adalah dari genus Pomacea (keong emas) dan genus Pila (keong gondang). Pomacea merupakan siput asli Amerika Tengah dan Selatan, didatangkan ke Indonesia sekitar tahun 1980-an (Cowie, 2006; Jahn et al. 1998 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Ampullariidae), sedangkan Pila merupakan siput asli Asia dan Afrika (Cowie, 2006; http://id.wikipedia.org/wiki/Ampullariidae). Telah dilaporkan bahwa introduksi Pomacea ini mengakibatkan kemerosotan jumlah keong asli jenis Pila di Asia Tenggara (Acosta and Pullin, 1991; Halwart, 1994a dalam Cowie, 2006). Tidak menutup kemungkinan kasus ini terjadi di Indonesia melihat lebih sulitnya menemukan keong jenis Pila daripada menemukan keong jenis Pomacea di perairan tawar di Indonesia.

Baik Pomacea dan Pila berpotensi sebagai hama bagi tanaman padi. Tetapi, jika diperbandingkan, Pomacea lebih berbahaya, dan

Page 36: Litbang News 1

2

kerugian yang ditimbulkan olehnya lebih besar daripada Pila. Tetapi bagaimanapun juga potensi pila sebagai hama juga tetap perlu diwaspadai. Pila merupakan inang perantara bagi dua spesies cacing parasit penting yang menginfeksi manusia, Angiostrongylus cantonensis dan Echinostoma ilocanum. Angiostrongylus cantonensis merupakan nematoda parasit bagi hewan pengerat. Larva parasit ini harus berkembang dalam tubuh invertebrata, dan dapat menginfeksi Pila, dimana ketika dimakan oleh mamalia, terjadi perpindahan larva infective menjadi parasit bagi predator, dimana mereka melanjutkan perkembangannya. Pada manusia, A. cantonensis dapat menyebabkan angiostrongyliasis (eosinophilic meningoencephalitis) yang sering menyebabkan kematian. Sedangkan Echinostoma ilocanum adalah trematoda, cacing usus yang hidup menempel pada dinding usus halus manusia inangnya. Parasit ini menyebabkan inflamasi (peradangan), ulserasi (borok/nanah), diare dan anemia pada manusia inang (Keawjam, 1987). Variasi spesies dari Pila sangat sulit dibedakan secara morfologi, karakteristik cangkangnya menunjukkan perbedaan yang sangat sedikit, tidak hanya menyebabkan kesalahan dalam identifikasi, tetapi juga membingungkan dalam hal apakah spesies yang valid dari genus ini dan juga karakter apa yang bisa digunakan dalam mengidentifikasi spesies ini (Keawjam, 1987). Karena peran penting mereka sebagai mediator dari parasit penyakit pada manusia,dan potensinya sebagai hama tanaman penting untuk bisa mengidentifiksi spesies yang bervariasi dari Pila, khusunya dalam mempelajari secara langsung untuk memperoleh pemahaman biologi yang lebih baik dari keong ini (Keawjam, 1987). Tentunya akan sangat berguna jika ada informasi lengkap mengenai genus ini.

Selain itu juga masih sedikit data mengenai persebaran Pila di Indonesia. Menurut Jutting, 1956; Brandt, 1974 dalam Djajasasmita (1985) daerah penyebaran Pila ampullacea adalah Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Indonesia (Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi). Pila polita diketahui dari Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia dan Indonesia (ditemukan hanya di Jawa). Sedangkan Pila scutata, menurut Djajasasmita (1985), memiliki daerah penyebaran paling luas di Indonesia, terdapat di Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Kalimantan dan Sulawesi. Diluar Indonesia keong ini ditemukan juga di Burma, Thailand, Malaysia, dan Filipina.

Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai persebaran keong genus Pila di Indonesia dan bagaimana perbandingan karakter morfologi dari masing-masing spesies keong genus ini di berbagai pulau di Indonesia. Melalui penelitian ini

diharapkan dapat menambah informasi yang diharapkan serta berguna bagi upaya pengembangan lebih lanjut.

BAHAN DAN CARA KERJA Tempat dan Waktu

Tempat penelitian adalah di Laboratorium Malacology, Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi Gedung Widyasatwaloka, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jalan Raya Jakarta – Bogor KM 46, Cibinong, Bogor, Indonesia. Sedangkan waktu pelaksanaannya adalah 21 Juli s.d. 21 Agustus 2008.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian kali ini adalah alat tulis, jangka sorong perbesaran 0,05 merek Myoto Jepang, kaca pembesar atau lup, Lembar Kerja dan kamera digital.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel keong Famili Ampullariidae genus Pila yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia yang terdiri atas tiga spesies yaitu Pila ampullacea, Pila scutata, Pila polita. Sampel tersebut merupakan koleksi ilmiah Laboratorium Malacology, Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi Gedung Widyasatwaloka, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Cara Kerja Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksplorasi deskriptif, dimana objek yang diteliti tidak diberikan perlakuan. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh melalui pengamatan cangkang dan studi pustaka mengenai struktur cangkang Gastropoda beserta bagian-bagian yang menjadi ciri khas dari jenis tersebut. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dengan pengukuran pada morfologi cangkang atau morfometrik pada spesimen koleksi ilmiah Laboratorium Malacology, Museum Zoologicum Bogoriense, LIPI, Cibinong (Nurinsiyah, 2007).

Langkah pertama adalah mendata semua spesies dari genus Pila yang merupakan koleksi dari Museum Zoologicum Bogoriense, baik koleksi kering maupun koleksi basahnya, dan mencatat penyebarannya di Indonesia. Tiap spesies dikelompokkan berdasarkan pulau dimana keong ini ditemukan, sesuai dengan data yang tertera pada label koleksi.

Selanjutnya adalah mengamati morfologi cangkang tiap spesies dari genus Pila ini dengan melakukan pengukuran terhadap cangkang tersebut. Untuk pengukuran cangkang ini hanya menggunakan sampel dari koleksi kering Museum Zoologicum Bogoriense. Data diambil dari seluruh nomer koleksi dari masing-masing spesies yang ada, kecuali jenis yang memiliki jumlah lebih dari 10 nomer koleksi untuk masing-masing pulau.

Page 37: Litbang News 1

3

Untuk jenis tersebut, diambil 10 nomer indeks yang memiliki cangkang paling baik sebagai sampel. Setiap individu dari setiap nomer indeks yang terpilih diambil datanya, kecuali untuk nomer koleksi yang memiliki jumlah individu di atas lima. Untuk jenis ini hanya diambil lima individu yang memiliki cangkang yang paling baik. Pemilihan-pemilihan cangkang ini bertujuan untuk memudahkan pengamatan selain juga untuk keakuratan data.

Data ditulis dalam tabel dan dikelompokkan menurut spesies dan dikelompokkan pula sesuai pulau dimana keong tersebut ditemukan. Bagian-bagian yang diukur yaitu: tinggi cangkang (TC), lebar cangkang (LC), tinggi aperture (TA), lebar aperture (LA), dan tinggi seluk akhir (Body Whorl/BW) (gambar 2.1). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan bantuan jangka sorong. Selain itu diamati juga keadaan Apeksnya, apakah masih utuh ataukah sudah rusak (eroded).

Analisis Hasil

Data dianalisis dengan cara mengambil secara random, 20 data Lebar cangkang dan tinggi cangkang (LC/TC) serta Lebar aperture dan tinggi aperture (LA/TA) dari masing-masing spesies. Kemudian pasangan data tersebut dianalisis regresi linear dengan menggunakan menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2003 untuk mengambarkan korelasi. Setelah itu pasangan data morfometri tersebut digunakan untuk perbandingan rasio morfometri. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil analisis regresi linear, menunjukkan hubungan antara LC (X) dan TC (Y) Pila scutata dapat dinyatakan dengan persamaan y = 1.5999x + 1.6033 (R² = 0.5493), LA dan TA dengan y = 1.0489x + 3.0391 (R² = 0.9729). Pada Pila polita hubungan antara LC dan TC dinyatakan dengan persamaan y = 1.6282x + 4.9101 (R² = 0.8192), LA (X) dan TA (Y) dengan y = 1.299x - 0.9051 (R² = 0.9505). Sedangkan pada Pila ampullacea hubungan LC dan TC dinyatakan dengan y = 1.6056x + 7.2285 (R² = 0.8875), LA dan TA dengan persamaan y = 1.0647x + 3.8182 (R² = 0.9807).

Lebih lanjut, dari hasil pengukuran didapatkan

data rasio morfometri dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Rasio morfometri Genus Pila

Spesies LC : TC LA : TA Pila scutata 1 : 1,15 1 : 1,75 Pila polita 1 : 1,26 1 : 1,86 Pila ampullacea 1 : 1,12 1 : 1,91

Pembahasan DISTRIBUSI 1. Pila ampullacea (Linné, 1758)

Menurut Jutting (1956) dan Brandt (1974) dalam Djajasasmita (1985),distribusi dari Pila ampullacea (Linné, 1758) di Indonesia meliputi pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.

Sedangkan berdasar data yang didapatkan, Pila ampullacea (Linné, 1758) selain tersebar di Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan, juga terdapat di Pulau Bintan, dan Maluku. Distribusi spesies ini di pulau Jawa meliputi Jawa Timur (Madura, Jember, Kediri, Tulung Agung), Jawa Tengah (Semarang, Magelang, Yogyakarta, Tegal), dan Jawa Barat (Banten, Tasikmalaya, Sukabumi, Bogor, Cisolok). Di Sumatra terdapat di Lampung, Jambi, Aceh Besar, Bengkulu, Palembang, Aceh Selatan. Di Sulawesi tersebar Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara. Di Kalimantan tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah. Tersebar juga di Pulau Bintan Selatan. Selain itu terdapat juga di Pulau Maluku, tepatnya di sungai Moluccas.

2. Pila polita (Deshayes, 1830)

Menurut Jutting (1956) dan Brandt (1974) dalam Djajasasmita (1985), distribusi dari Pila polita (Deshayes, 1830) di Indonesia hanya terdapat di pulau Jawa. Sedangkan menurut data yang kami dapatkan, spesies ini tersebar di pulau Jawa dan Sumatra. Di Pulau Jawa tersebar di Jawa Timur (Kediri, Tulung Agung dan Madura), Jawa Tengah (Cilacap, Salatiga, Semarang), dan Jawa Barat (Sukabumi, Jakarta). Sedangkan di Sumatra tersebar di Jambi dan Kerinci.

3. Pila scutata (Mousson, 1848)

Data distribusi dari Pila scutata (Mousson, 1848) di Indonesia berdasarkan Jutting (1956) dan Brandt (1974) dalam Djajasasmita (1985), tidak berbeda dengan data hasil penelitian yang kami dapatkan, yaitu meliputi Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Menurut data yang kami dapatkan, distrbusi spesies ini di Jawa tersebar di Jawa Timur (Malang, Jember, Madura, Banyuwangi), Jawa Tengah (Salatiga, Kudus, Kaliurang, Ambarawa), dan Jawa Barat (Bogor, Jakarta, Tasikmalaya, Indramayu, Karawang, Cikuray, Cisarua, Cidaon, Cirebon, Citepus, Tangerang, Banten, Cikelet). Di Bali tersebar di beberapa daerah, yaitu di Denpasar, Singaraja, Susut, dan Sangeh. Distribusi di Sumatra

Page 38: Litbang News 1

4

meliputi Langkat, Lahat, Lampung, Riau, Pagar alam. Di lombok tersebar di Lombok Barat dan Lombok Timur. Di Sulawesi tersebar di Bone-Bone, Sibalaya, Gumbasa, Lawu, Lambatorang, Mangkutana, Palolo, Soppeng, Kab. Pinrang, Bulukumba, Palu, Kendari, Salayar, Tana Toraja, Creekat Wungkodono. Di Kalimantan hanya terdapat di Sambas. Di Sumbawa tersebar di Empang, Taliwang, Lutuk Sepang, Sumbawa Besar, dan Sumbawa Kota. KORELASI ANTARA LC DAN TC SERTA LA DAN TA PADA GENUS PILA Hubungan LC dengan TC dan LA dengan TA pada ketiga spesies, berdasarkan nilai koefisien determinasi (R²) menunjukkan korelasi yang tinggi. Namun pada hubungan LC dan TC pada Pila scutata nilai koefisien determinasi bernilai 0,5493. Nilai ini memperlihatkan bahwa tinggi cangkang pada Pila scutata tidak dipengaruhi secara besar oleh tinggi cangkang, faktor-faktor lain masih menentukan tinggi cangkang. Kejadian ini tidak seperti Pila polta dan Pila ampullacea yang memiliki nilai koefisien determinasi yang tinggi ( 0,8192 dan 0,8875). RASIO MORFOMETRI SPESIES PILA Rasio morfometri antara LC dan TC pada Pila scutata, Pila polita, Pila ampullacea berturut-turut adalah 1:1,15 ; 1:1,26 ; 1:1,12. Kedekatan antar rasio LC dan TC ini mengakibatkan biasanya penggunaan rasio LC dan TC jika ingin digunakan sebagai pengenal spesies. Sedangkan rasio morfometri antara LA dan TA pada Pila scutata, Pila polita, Pila ampullacea berturut-turut adalah 1:1,75 ; 1:1,86 ; 1:1,91. Perbandingan ini menunjukkan kedekatan antar ketiga genus. Sehingga, sama dengan perbandingan LC dan TC, tidak cocok jika digunakan sebagai pembanding spesies. KISARAN MORFOMETRI SPESIES Pila Data yang diukur adalah data terbaru dan diambil dari seluruh Indonesia. Sehingga kisaran yang diberikan berikut adalah gambaran terbaru mengenai ketiga spesies. Kisaran morfometri Pila scutata adalah LC : 11,45 s.d. 64,85 ; TC : 12,85 s.d. 69,25 ; LA : 5,3 s.d. 27,3 ; TA : 9,20 s.d. 56,30 ; Body Whorl (BW) : 11,80 s.d. 66,4. Pada Pila polita adalah LC : 33,15 s.d. 58,6 ; TC : 4,20 s.d. 75,70 ; LA : 14,10 s.d. 24,05 ; TA : 26,6 s.d. 43,9 ; BW : 36,45 s.d. 65,2. Sedangkan pada Pila ampullacea adalah LC : 8,45 s.d. 95,5 ; TC 10,15 s.d. 118,15 ; LA 3,85 s.d. 40,80 ; TA : 7,2 s.d. 40,8 BW : 9,15 s.d. 100,75 Lebih lanjut perbandingan rasio rata-rata morfometri (data tidak ditunjukkan) diantara spesies Pila scutata : Pila polita : Pila ampullacea adalah 2 : 4 : 5. Rasio menunjukan bahwa Pila scutata adalah spesies yang terkecil dan Pila

ampullacea adalah spesies yang terbesar diantara ketiga spesies tersebut. KESIMPULAN Pila scutata merupakan spesies dengan ukuran morfometri terkecil dari ketiga spesies Pila asli Indonesia, namun tersebar paling luas diantara yang lainnya yaitu di pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Pila polita merupakan spesies yang paling sempit sebarannya dan hanya dapat ditemukan di pulau Jawa dan Sumatra Pila ampullacea merupakan spesies terbesar dari ketiga spesies asli Indonesia dan tersebar luas di Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan, juga terdapat di Pulau Bintan, dan Maluku. Dari ketiga jenis Pila ini menunjukkan hubungan yang tinggi antara lebar cangkang dan tinggi cangkang serta lebar aperture dengan tinggi aperture. Namun rasio antara kedua perbandingan ini (LC dengan TC dan LA dengan TA) tidak dapat dijadikan sebagai pembantu pengenal spesies. DAFTAR PUSTAKA [1]Anonimus. 2008. Ampullariidae. Wikipedia

(http://en.wikipedia.org/wiki/Ampullariidae diakses tanggal 3 Juli 2008)

[2]Burch, J.B., Chung, P.-R. & Jung, Y. 1987. A Guide to the Freshwater Snails of Korea. Walkerana: Michigan

[3]Cowie, Robert H. 2006. Apple Snails as Agricultural pests: Their Biology, Impact and Management. Bishop Museum: Hawaii

[4]Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells). Jakarta: PT. Sarana Graha

[5]Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells II). Jakarta: PT. Sarana Graha

[6]Dharma, B. 2005. Recent and Fossil Indonesian Shells. Germany: Conch Books

[2]Djajasasmita, Machfudz. 1985. The Medically Important Molluscs of The Families Ampullariidae, Bithyniidae and Lymnaeidae from Indonesia. Museum Zoologicum Bogoriense, National Biological Institute, Indonesian Institute for Science: Bogor

[7]Heryanto, dkk. 2003. Keong dari Taman Nasional Gunung Halimun, Sebuah Buku Panduan Lapangan. Cibinong: Biodiversity Conservation Project-LIPI-JICA-PHKA

[8]Jutting, van Benthem. 1956. Systematic Studies on the Non-Marine Mollusca of the Indo-Australian Archipelago, V. Critical Revision of the Javanese Freshwater Gastropods. Zoological Museum: Amsterdam

Page 39: Litbang News 1

5

[9]Keawjam, Rojana S. 1987. Guide for the Identification of Freshwater Snails of the Family Pilidae in Thailand. Walkerana: Michigan

[10]Matricia, Titik. 1985. Anatomi, Morfologi, dan Nisbah Kelamin beberapa Jenis Keong Gondang Di Rawa Pening Jawa Tengah. Fakultas Perikanan IPB: Bogor

[11]Nurinsiyah, Ayu S. 2007. Karakteristik Morfologi Cangkang Beberapa Jenis Gastropoda Darat Familia Cyclophoridae Dari Sulawesi. Laporan Penelitian. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran: Jatinangor

[12]Romimohtarto, K., dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan: Jakarta

Page 40: Litbang News 1

1

EKSPLORASI JENIS ORDO LEPIDOPTERA (KUPU-KUPU DAN NGENGAT) DI TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR

Indana Z, Hafid S, dan Nurhadi B Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK

Penelitian tentang eksplorasi jenis ordo Lepidoptera di Taman Nasional Baluran Jawa Timur dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat diversitas ordo Lepidoptera dan keefektifan beberapa metode ekplorasi ordo Lepidoptera. Sampel hewan Lepidoptera diambil pada dua habitat yang struktur vegetasinya berbeda, yaitu di savana dan di hutan dengan tiga metode sampling, yakni metode aktif, fermented banana trap, dan light trap. Metode aktif dilakukan dengan menangkap hewan sampel yang tampak menggunakan jaring kupu-kupu sepanjang jalur 3 km; metode fermented banana trap berupa pemasangan “kurungan” yang dinding bagian bawahnya bercelah dan pada alas kurungan diberi umpan pisang busuk; dan metode light trap berupa tenda kecil tembus cahaya yang di dalamnya dipasang lampu petromak, semua hewan yang menempel di tenda dikoleksi. Semua spesimen Lepidoptera yang didapat dari setiap metode dan lokasi sampling dikoleksi, untuk selanjutnya diidentifikasi dan didata jumlah individu masing-masing spesies. Tingkat keanekaragaman dianalisis menggunakan indeks diversitas, sedangkan efektifitas metode dianalisis secara deskriptif. Secara keseluruhan diperoleh 63 spesies dari 11 familia ordo Lepidoptera, dengan indeks diversitas sebesar 3,12. Famili dengan jumlah spesies tertinggi berasal Nymphalidae (21,54 %). Masing-masing metode mempunyai efektivitas berbeda untuk Lepidoptera dengan karakteristik tertentu, sehingga ketiga metode tersebut bersifat saling melengkapi.

Kata kunci : Taman Nasional Baluran, Lepidoptera , diversitas, banana trap, metode aktif, light trap

PENDAHULUAN

Serangga merupakan hewan yang menguasai permukaan bumi ini. Para entomolog percaya terdapat lebih dari 30 juta spesies serangga yang sedang merayap pada saat ini dan tersebar di seluruh panjuru dunia. Di Indonesia terdapat sekitar lebih 5 juta spesies serangga dan bahkan mungkin lebih, mengingat Indonesia sebagai negara “megabiodiversitas” yang mempunyai indeks keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 setelah Brazil (Anonimus 2003).

Lepidoptera (kupu-kupu dan ngengat) diperkirakan memiliki antara 16.000–165.000 spesies yang telah dikenal dan bahkan diperkirakan akan bertambah lagi jumlah yang akan dikenal di masa mendatang (Storer 1957, Richard 1960). Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati fauna sangat kaya, namun penelitian tentang fauna khususnya ordo Lepidoptera masih belum banyak dilakukan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang tertuju untuk menginventarisasi spesies (Anonimus 2000).

Lepidoptera merupakan salah satu kelompok takson (ordo) satwa liar dari kelas insect yang memiliki keindahan warna dan

bentuk sayap, serta mempunyai peranan penting. Kupu-kupu di alam memiliki nilai penting, yaitu sebagai actor penyerbuk pada proses pembuahan bunga. Hal ini secara ekologis turut memberi andil dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati. Secara ekonomi, kupu-kupu mempunyai nilai jual yang tinggi dan merupakan obyek rekreasi. Potensi ekonomi inilah yang menyebabkan kupu-kupu banyak diburu oleh wisatawan mancanegara, baik untuk dinikmati keindahannya di alam bebas maupun untuk dikoleksi sebagai kenang-kenangan, atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan (Tikupadang dan Gunawan 1977).

Ordo Lepidoptera, secara taksonomis terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok Rhopalocera (kupu-kupu) di antaranya dari famili Nymphalidae, Satyridae, Pieridae, Lycaenidae, Danaidae, dan Papilionidae; dan kelompok Heterocera (ngengat) di antaranya famili Saturnidae, Hesperidae, Totricidae, dan Yponomeutidae (Borror et al. 1992). Lepidoptera berasal dari bahasa Yunani, Lepis ‘sisik’ dan Ptera ‘sayap’. Kelompok hewan ini secara

Page 41: Litbang News 1

2

langsung dapat dikenali melalui pola sisik-sisik pada sayap-sayap, dan hal inilah yang menjadi dasar kunci identifikasi. Tubuh dan tungkai-tungkai pada sebagian besar anggota Lepidoptera juga tertutup dengan sisik-sisik. Ordo ini pada kelas insect merupakan ordo dengan jumlah anggota terbesar kedua setelah ordo Coleoptera ‘kumbang’ (Pyle 2007).

Taman Nasional (TN) Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi marga satwa untuk melindungi berbagai spesies satwa langka. Upaya penunjukan kawasan Baluran menjadi Suaka Margasatwa telah dirintis oleh Kebun Raya Bogor sejak tahun 1928, rintisan tersebut didasarkan pada usulan AH. LOEDEBOER yang menguasai daerah tersebut yang sebelumnya daerah ini sebagai lokasi perburuan. TN Baluran dengan luas 25.000 ha wilayah daratan dan 3.750 ha wilayah perairan terletak di antara 114° 18'-114° 27' BT dan 7° 45'-7° 57' LS. Daerah ini terletak di ujung Timur pulau Jawa (Anonimus 2001).

Kawasan Baluran mempunyai ekosistem yang lengkap, di antaranya adalah hutan mangrove, hutan pantai, hutan payau/rawa, hutan savana, dan hutan musim (dataran tinggi dan rendah). TN Baluran merupakan satu-satunya kawasan di pulau Jawa yang memiliki padang savana alamiah dengan luas ± 10.000 ha atau sekitar 40% dari seluruh luas kawasan Taman Nasional (Anonimus 2001). Hingga saat ini, penulis belum mendapati data hasil eksplorasi spesies kupu dan ngengat (ordo Lepidoptera) di kawasan TN Baluran.

Pemilihan metode merupakan syarat penting dalam melakukan penelitian ordo Lepidoptera untuk mendapatkan hasil yang representatif dan harus sesuai dengan target yang ingin dicapai, yaitu keterwakilan semua famili dari ordo Lepidoptera. Oleh karena itu, selain mengungkap tingkat diversitas Ordo Lepidoptera yang ada di TN Baluran, penulis juga ingin mengetahui efektivitas dan spesifitas masing-masing metode yang selama ini telah digunakan. Mengingat kelompok takson ordo Lepidoptera tersusun atas jumlah spesies yang banyak dengan spektrum perilaku yang beragam.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data dan informasi tentang tingkat diversitas atau kekayaan spesies ordo Lepidopetara yang terdapat di TN Baluran, serta pengujian keefektifan dan kesesuaian dari metode yang digunakan. Dengan

demikian penelitian ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan dan pengembangan penelitian tentang Lepidoptera, khususnya yang ada di Indonesia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian tentang eksplorasi spesies ordo Lepidoptera dilakukan di TN Baluran Jawa Timur dengan cara pengambilan hewan sampel ordo Lepidoptera pada dua lokasi atau habitat yang struktur vegetasinya berbeda, yaitu di savana yang berada disekitar Bekol dan di hutan musim yang berada lebih ke arah tengah dekat Gunung Baluran. Untuk lokasi savana, jalur sampling mengikuti rute Bekol-Bama sepanjang 3 Km dari hekto meter (HM) 0 hingga HM 30. Sedangkan pada hutan musim, jalur sampling mengikuti rute Bekol-Batangan sepanjang 3 Km, dari HM 121 hingga HM 91. Sampling hewan dilakukan pada bulan Februari 2008 selama 2 hari. Sampling hewan menggunakan tiga metode, yakni metode aktif, dua metode pasif (fermented banana trap/bait trap dan light trap). Semua hewan sampel atau spesimen ordo Lepidoptera yang didapat dari setiap metode dan lokasi sampling dikoleksi, untuk selanjutnya diidentifikasi menggunakan beberapa panduan identifikasi seperti Pengenalan Pelajaran Serangga Borror et al. (1992), Kunci Determinasi Serangga (1991), The Fascinating World Of Butterflies And Moths Gibbons (2006), The Butterfly Handbook Miller et al. (2004), dan The Complete Encyclopedia Of Butterflies Landman (2005). Tingkat keanekaragaman dianalisis menggunakan indeks diversitas, sedangkan efektifitas metode dianalisis secara deskriptif.

Metode aktif (metode jelajah) yang meliputi ‘Butterfly walks’ (Pollard dan Yates 1993, Wan dan Zhorowski 1996), yaitu menangkap kupu-kupu dan ngengat yang tampak dengan jaring serangga sepanjang jalur transek di tiap lokasi sampling sepanjang 3 km. Hasil tangkapan dimasukkan ke dalam papilot (lipatan kertas bentuk amplop untuk mencegah kerusakan sayap).

Light trap (Pollard dan Yates 1993) adalah metode pasif berupa tenda kecil tembus cahaya yang di dalamnya dipasang lampu penerang. Lampu penerang yang digunakan dalam penulisan ini adalah Petromaks. Tenda koleksi ini berjumlah satu buah yang dipasang pada tengah-tengah jalur lintasan sampling yakni pada meter ke-

Page 42: Litbang News 1

3

1500 (gambar 1). Semua hewan yang menempel di tenda dikoleksi dalam botol pembunuh yang berisi etil asetat dan kapas untuk membunuh. Light trap dipasang pada

jam 20.00 WIB dan ditunggu selama 1,5 jam (Pollard dan Yates 1993).

Gambar 1. Ilustrasi pemasangan light trap pada jalur pengamatan sepanjang

3 Km. Fermented banana trap (Pollard dan Yates 1993), adalah metode pasif berupa pemasangan “kurungan” yang dinding bagian bawahnya bercelah (pintu masuk hewan target) dan pada alas kurungan diberi umpan pisang busuk. Hewan yang tertarik pada pisang busuk akan masuk kurungan melalui celah dan hewan yang sudah masuk mengalami kesulitan untuk keluar dan terjebak di dalam kurungan. Fermented banana trap berjumlah 2 buah masing-masing dipasang pada meter ke-1.000 dan ke-2.000 pada setiap lokasi sampling. Target dari Fermented banana trap ini adalah kupu-kupu dan kumbang yang tertarik dengan buah-buahan yang busuk.

Analisis Data

Tingkat diversitas atau keanekaragaman Ordo Lepidoptera dari masing-masing faktor yang dianalisis menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Weaver (Brower et al. 1998), dengan formulasi sebagai berikut.

Keterangan : H = indeks diversitas Shannon-Weaver, ni = jumlah individu spesies ke-i, N = jumlah total individu semua spesies dalam komunitas.

Suatu plot dikatakan mempunyai tingkat diversitas tinggi jika indeks

diversitasnya lebih dari 2,0, tingkat diversitas sedang jika antara 1,5-2,0, rendah jika 1,0-1,5; dan sangat rendah jika kurang dari 1,0. Analisis deskriptif dilakukan dengan melihat dan membandingkan data hasil sampling dari ketiga metode pada kedua habitat sebagaimana yang terdapat pada Tabel 2.

HASIL PENELITIAN

Hasil identifikasi spesies Ordo Lepoidoptera di TN Baluran secara keseluruhan didapati 63 varian yang berbeda secara morfologi, dan dalam hal ini kami tetapkan sebagai spesies berbeda. Keenam puluh tiga spesies tersebut termasuk dalam 11 familia. Dari 63 spesies yang didapat, yang berhasil diidentifikasi hingga level spesies atau genus sebanyak 25 spesies, sisanya 38 spesies masih belum teridentifikasi. Spesies-spesies yang tidak teridentifikasi untuk sementara diberi identitas dengan kode-kode tertentu. Nama kode spesies tersebut menggunakan 3 konsonan pertama dari nama familia beserta nomor urut sesuai dengan jumlah spesies yang ada pada familia tersebut. Contoh Nym1 untuk spesies pertama familia Nymphalidae yang tidak teridentifikasi. Daftar keseluruhan familia dan spesies Ordo Lepidoptera beserta kemunculan pada habitat sampling tersaji dalam Lampiran 1. Pada Lampiran 1 tampak bahwa terdapat

2 meter

3.000 meter meter

1.500 meter emmeter

1.000 meter mmmeter

Jalur Transek

Light trap ttrap Fermented banana trap TRAPtrap

Keterangan :

Page 43: Litbang News 1

4

spesies yang muncul hanya pada salah satu tipe vegetasi saja yaitu sebanyak 46 sedangkan spesies yang muncul pada kedua vegetasi sebanyak 17.

Berdasarkan daftar spesies pada Lampiran 1 selanjutnya dibuat rangkuman yang tersaji dalam Tabel 1. Pada Tabel 1

terlihat secara keseluruhan familia yang mendominasi adalah famili Nymphalidae dengan persentasi 21,54 %, sedangkan untuk masing-masing tipe vegetasi yaitu pada savana terbanyak famili Pieredae dan pada hutan terbanyak famili Nymphalidae.

Tabel 1. Komposisi spesies Lepidoptera dari masing-masing familia dan habitat di TN Baluran

No. Famili

Jumlah spesies

Savana Hutan

Keseluruhan Tipe Vegetasi

Jumlah spesies

Persentase (%)

1. Nymphalidae 4 11 14 21,54 2. Pieridae 6 9 11 16,92 3. Satyridae 5 8 9 13,85 4. Saturnidae 1 7 7 10,77 5. Yponomeutidae 4 4 6 9,23 6. Lycaenidae 5 3 6 9,23 7. Danaidae 2 2 3 4,62 8. Amatidae 1 2 3 4,62 9. Papilionidae 0 2 2 3,08

10. Hesperidae 2 1 2 3,08 11. Totricidae 2 0 2 3,08

Total 32 44 65 100 Pada Tabel 2 tersaji data hasil tangkapan berdasarkan jumlah spesies tiap familia pada tiap metode. Pada Tabel 2 terlihat jumlah spesies yang tertangkap

terbanyak untuk metode aktif adalah famili Nymphalidae, metode pasif banana trap adalah famili Saturnidae, dan metode pasif light trap adalah famili Yponomeutidae.

Tabel 2. Komposisi jumlah spesies pada masing-masing metode sampling

No. Famili

Jumlah spesies

Aktif Pasif Banana Trap Light trap

Savana Hutan Savana Hutan Savana Hutan

1. Nymphalidae 4 11 0 0 0 0

2. Pieridae 6 9 0 0 0 0

3. Satyridae 4 8 2 2 0 0

4. Saturnidae 0 1 1 7 0 0

5. Yponomeutidae 0 0 0 0 4 4

6. Lycaenidae 5 3 0 0 0 0

7. Danaidae 2 2 0 0 0 0

8. Amatidae 1 2 0 0 0 0

9. Papilionidae 0 2 0 0 0 0

10. Hesperidae 2 1 0 0 0 0

11. Totricidae 0 0 2 0 0 0

Page 44: Litbang News 1

5

Total 24 39 5 9 4 4

Data hasil perhitungan indeks diversitas untuk tiap faktor yang dianalisis tersaji pada Tabel 3. Pada tabel 3 tampak

untuk keseluruhan TN Baluran memiliki tingkat diversitas tergolong tinggi.

Tabel 3. Hasil perhitungan indeks diversitas ordo Lepidoptera di TN Baluran Jawa Timur

No. Faktor yang dianalisis Indeks diversitas Tingkat diversitas

1. Seluruh TN Baluran 3,12 Tinggi

2. Formasi savana (menggunakan ketiga metode) 2,59 Tinggi

3. Formasi hutan musim (menggunakan ketiga metode) 3,12 Tinggi

4. Metode aktif (pada semua habitat) 3,19 Tinggi

5. Fermented banana trap (pada semua habitat) 1,62 Sedang

6. Light trap (pada semua habitat) 1,63 Sedang

PEMBAHASAN

Secara keseluruhan pada TN Baluran jumlah spesies tertinggi yang ditemukan dari famili Nymphalidae sebanyak 14 spesies (21,54 %) dari keseluruhan Lepidoptera di TN Baluran pada formasi savana dan hutan. Pieridae merupakan famili dengan persentase spesiesnya terbesar kedua mencapai 16,92 %. Bila dibandingkan dengan komposisi kupu-kupu di kawasan hutan TN Bromo Tengger Semeru Senduro Lumajang yang didominasi oleh famili Papilionidae sebesar 25,81 % dan famili Pieridae, Nymphalidae, dan Danaidae sebesar 16,13 % (Suharto dkk. 2003). Hasil ini tentu berbeda dengan famili Papilionidae yang ada pada TN Baluran hanya sebesar 3,08 %.

Bila dilihat dari masing-masing formasi di TN Baluran pada formasi savana jumlah spesies tertinggi dari famili Pieridae dan famili yang khas yaitu Totricidae. Sedangkan pada formasi hutan jumlah spesies terbanyak dari famili Nymphalidae dan famili khasnya yaitu Papilionidea.

Tingkat diversitas atau keanekaragaman spesies lepidoptera pada TN Baluran tergolong tinggi dengan indeks diversitasnya sebesar 3,12. Bila dilihat dari setiap formasi maka keduanya tergolong

tinggi dengan indeks diversitas terbesar dimiliki oleh formasi hutan musim. Hal ini menunjukkan pada formasi hutan musim memiliki keanekaragaman ordo Lepidoptera lebih tinggi dibandingkan dengan formasi savana karena hutan musim memiliki spesies flora yang lebih beranekaragam bila dihubungkan dengan manfaat Lepidoptera sebagai hewan penyerbuk.

Pada hasil penangkapan dari tiga metode yang ada, yaitu metode aktif, diperoleh famili Nymphalidae, Pieridae, Satyridae, Lycaenidae, Danaidae, Amatidae, Papilionidae, dan Hesperidae. Pada fermented banana trap, diperoleh famili Satyridae, Saturnidae, dan Totricidae. Famili Saturnidae dan Totricidae ini hanya didapatkan pada fermented banana trap. Sedangkan pada light trap hanya diperoleh famili Yponomeutidae dan famili ini tidak didapatkan menggunakan metode aktif dan fermented banana trap. Pada metode aktif, Lepidoptera yang tertangkap rata-rata berwarna cerah dan berasal dari kelompok kupu-kupu yang diasumsikan memiliki sifat aktif mencari makan dengan mengandalkan indera penglihatan. Pada fermented banana trap, Lepidoptera yang tertangkap rata-rata berwarna gelap (coklat) dan berasal dari kelompok ngengat yang diasumsikan lebih mengandalkan indera penciuman untuk mencari makan. Sedangkan pada light trap, Lepidoptera yang tertangkap adalah yang

Page 45: Litbang News 1

6

aktif pada malam hari dan diasumsikan cenderung tertarik pada cahaya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh khusus dari masing-masing metode yang dapat menarik Lepidoptera dengan perilaku tertentu. Oleh karena itu, penggunaan untuk masing-masing metode dalam pengsamplingan Lepidoptera wajib digunakan..

KESIMPULAN

Secara keseluruhan pada TN Baluran diperoleh 63 spesies dari 11 familia ordo Lepidoptera dengan Indeks diversitas sebesar 3,12 yang tergolong tinggi, sedangkan efektifitas dari ketiga metode menunjukkan hasil penangkapan yang berbeda dan saling melengkapi. Metode aktif efektif untuk spesies yang aktif siang hari, mobilitas tinggi dan berwarna cerah; metode banana trap untuk spesies berwarna gelap baik yang aktif pada siang maupun malam hari sedangkan light trap spesies yang hidup dimalam hari.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. (2000). Mentari Pagi Bromo Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Malang.

Anonimus. (2001). Taman Nasional Baluran. Departemen. Kehutanan Indonesia http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20IND-OENGLISH/tn_baluran.htm. diakses 2 Februari 2008.

Anonimus. (2003). Ministry of environtment. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup.

Borror, Triplehorn, dan Johnson. (1992). Pengenalan Pelajaran Serangga, Yogyakarta, UGM Press, 727-823.

Brower, J. E., Zar, J. H., and Ende, V. (1998). Field and Laboratory Method for General Ecology, Mc Graw-Hill, Boston.

Karangan E. (1996). Studi kelangsungan hidup kupu-kupu Troides Hypolitus cellularis Rothschild di Gua Pattunuang Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan. Skripsi Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

Polard dan Yates. (1993). Method On Measuring Biodiversity in Tropical Forest.

Pyle, Robert Michael. (2006). Butterflies and Moths. Microsoft® Student 2007. [DVD].Redmond, WA: Microsoft Corporation.

Richard, O.W. dan R.G. Davies. (1960). A General Textbook Of Entomology. Methuen & Co LTD : London.

Storer, Tracy I. dan Robert L. Usinger. (1957). General Zoology. McGraw – Hill Publication : New York.

Suharto, Wagiyana, dan Rizal Zulkarnain. (2003). Survei Kupu-Kupu (Rhopalocera: Lepidoptera) di Hutan Ireng-Ireng Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Jember. http://www.unej.ac.id/fakultas/mipa/jid/vol6no1/suharto.pdf. diakses 1 Februari 2008.

Tikupadang, H. dan H. Gunawan. (1997). Teknik penangkaran kupu-kupu sayap burung (Troides hypolitus cellularis Rothschild) di Bantimurung . Prosiding Ekspose Hasil-Hasil LITBANG KSDA, Balai Penelitian kehutanan, Ujung Pandang.

LAMPIRAN 1 Daftar kemunculun tiap spesies pada masing-masing vegetasi

Familia Spesies Habitat Hutan Savana

1. Nymphalidae 1. Precis schenk V - 2. Hypolimnas sp. V V 3. Precis atlitis V - 4. Hypolimnas misippis V - 5. Euploea tulublus koxinga V - 6. Parantica sp. V - 7. Erebia sp. V -

Page 46: Litbang News 1

7

8. Nepthis mahendra V - 9. Euploca muciber V - 10. Melitaea sp. V - 11. Biblis hyperia - V 12. Precis orythia - V 13. Precis lavinita - V 14. Nym1 V -

2. Satyridae 1. Melanitis ieda V V 2. Lethe sp. - V 3. Sty1 V - 4. Sty2 V V 5. Sty3 V V 6. Sty4 V - 7. Sty5 V V 8. Sty6 V - 9. Sty7 V -

3. Pieridae 1. Eurema sp. V V 2. Ixias sp. V - 3. Appias sp. V - 4. Catopsilia sp. V V 5. Cepora sp. V - 6. Pieris brassicae - V 7. Prd1 V V 8. Prd2 - V 9. Prd3 V V 10. Prd4 V -

4. Lycaenidae 1. Caleta sp. V V 2. Polyommatus sp. - V 3. Lyc1 V V

Tabel Lanjutan Familia Spesies Habitat

Hutan Savana 4. Lyc2 V -

5. Lyc3 - V 6. Lyc4 - V

5. Danaidae 1. Plexipus sp. - V 2. Dnd1 V V 3. Dnd2 V -

6. Saturnidae 1. Str1 V - 2. Str2 V - 3. Str3 V - 4. Str4 V V 5. Str5 V - 6. Str6 V -

7. Papilionidae 1. Ppl1 V - 2. Ppl2 V -

8. Amatidae 1. Euchromia polymena V V 2. Amt1 V - 3. Amt2 V -

9. Yponomeutidae 1. Ypn1 V V 2. Ypn2 V - 3. Ypn3 V - 4. Ypn4 V V 5. Ypn5 - V 6. Ypn6 - V

10. Hesperiidae 1. Hsp1 V V 2. Hsp2 - V

11. Tortricidae 1. Ttr1 - V

Page 47: Litbang News 1

8

2. Ttr2 - V

Keterangan: V : Ditemukan - : Tidak ditemukan

LAMPIRAN 2

Gambar: Proses preparasi dan identifikasi sampel Lepidoptera

A B Gambar: Alat dan pengoperasian metode aktif dalam sampling ordo Lepidoptera di TN Baluran (a) Jaring kupu, (b) Sampling ordo Lepidotera.

Page 48: Litbang News 1

9

A B Gambar: Pengoperasian fermented banana trap dalam sampling ordo Lepidoptera di TN Baluran (a) fermented banana trap, (b) Sampel yang terjebak dalam trap

Page 49: Litbang News 1

Perilaku Harian Infant Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus, Linnaeus 1760) Di Pusat Primata Schmutzer -

Taman Margsatwa Ragunan Jakarta

Daily Behavior on Infant Borneon Orangutan (Pongo pygmaeus Linnaeus 1760) at Schmutzer Primate Center, Ragunan Zoo, Jakarta.

Musyrofaini Febriyanti1), Muhammad Aprizal Triwarhamdi2)

1) Peneliti Utama Perilaku Harian Infant Orangutan

2) Mahasiswa Biologi Universitas Negeri Jakarta, Badan Pengurus Pusat Ikatan Mahasiswa Biologi Indonesia (Ikahimbi) Departemen Penelitian dan

Pengembangan Kepala Divisi Zoologi

Abstract

The aim of this research is to find out the daily behavior of infant Borneon orangutan (Pongo pygmaeus) at Schmutzer Primate Center, Ragunan Zoo, Jakarta. Using method Focal Animal Sampling, following infant orangutan in the captive area. As individuals target are two infant orangutan, Mio and Chelin. Based on Mann-Whitney U test, infant orangutan have difference daily behavior in feeding (U=96; n1=11, n2=11; p>0,05), locomotion (U=96; n1=11, n2=11; p>0,05), and social (U=95; n1=11, n2=11; p>0,05). Therefore research that find baby daily behavior depend on mother behavior and physical morphology of the baby. Keyword: Infant (baby) orangutan, daily behavior.

PENDAHULUAN

Orangutan merupakan satu-satunya golongan kera besar yang hanya terdapat di dua pulau yaitu Sumatra dan Kalimantan. Orangutan termasuk dalam golongan kera besar, bersama dengan simpanse, gorila dan bonobo. Orangutan memiliki kekerabatan yang cukup dekat dengan manusia. Perkembangan dan perilaku yang dimiiliki tidak jauh berbeda dengan manusia. Termasuk di dalamnya kecerdasan yang dimiliki orangutan (Harrison, 1986). Perkembangan perilaku bayi primata seperti bayi orangutan akan menjadi hal yang menarik untuk mengetahui

perkembang perilaku sampai dengan dewasa.

Bayi memiliki kemampuan yang masih terbatas untuk melakukan aktifitas. Berdasarkan Chalmers 1982, bayi primata dapat mempunyai sensor yang akan berkembang dengan cepat untuk mengenal lingkungan pada usia 3 sampai 4 bulan. Bayi primata membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bersama dengan induknya. Perkembangan menjadi individu yang lebih matang memerlukan pembelajaran serta waktu yang cukup lama.

Perilaku orangutan pada tahap bayi dan dewasa sangat menarik untuk dimanfaatkan sebagai penelitian. Dalam

Page 50: Litbang News 1

tahap ini dapat dipelajari perkembangan perilaku yang terjadi pada setiap usianya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku harian bayi orangutan berdasarkan perbedaan usia, di Pusat Primata Schmutzer Taman Margasatwa Ragunan.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di kandang sentral dan kandang terbuka (enclosure) orangutan sumatera Pusat Primata Schmutzer - Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan Maret - April 2007.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, dengan teknik focal animal sampling (Altmann, 1974). Perilaku bayi orangutan dicatat per detik, setiap hari. Pengamatan orangutan yang

dilakukan sejak orangutan tersebut dikeluarkan dari kandang tidur sampai kembali masuk ke dalam kandang tidur.

Alat dan bahan yang digunakan adalah alat tulis, tabel pengamatan, jam tangan digital/stopwatch, dan kamera foto digital Brica F810.

Obyek penelitian yang diamati adalah 2 ekor bayi orangutan yang lahir di Pusat Primata Schmutzer – TMR, yaitu Chelin dan Mio. Saat penelitian berlangsung Chelin berusia 13 bulan, sedangkan Mio berusia 5 bulan. Data yang diambil adalah perilaku istirahat, bergerak, makan, sosial, bermain dan perilaku lainnya dari bayi orangutan yang diamati.

Analisis data perilaku harian bayi orangutan dilakukan secara deskriptif dan analisis statistik non-parametrik (Siegel, 1992) menggunakan uji U Mann-Whitney.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bulan Maret-April 2007 telah dilakukan penelitian mengenai perilaku bayi orangutan yang berada di Pusat Primata Schmutzer - Taman

Margasatwa Ragunan. Jumlah total waktu pengamatan individu Mio sebanyak 174.093 detik, sedangkan individu Chelin 180.485 detik. Berikut ini merupakan tabel persentase perilaku harian individu Mio dan Chelin:

Tabel 1. Frekuensi perilaku harian individu Mio dan Chelin (dalam %)Individu Bergerak Makan Istirahat Sosial Bermain Lainnya

Mio 25,13 12 39,32 9,55 7,20 6,78Chelin 29,79 17,19 34,86 4,71 8,50 4,95

Perilaku yang banyak terlihat berturut-turut pada individu Mio yang berusia di bawah 6 bulan adalah istirahat, bergerak, makan, sosial, bermain dan perilaku lainnya.

Perilaku yang dilakukan individu Chelin berturut-turut adalah istirahat, bergerak, makan, bermain, sosial dan perilaku lainnya.

Berdasarkan uji statistik U Mann Whitney terdapat perbedaan antara bayi orangutan yang berusia berusia di bawah

6 bulan dengan berusia di atas 6 bulan pada perilaku makan, bergerak, sosial, istirahat, bermain dan perilaku lainnya

1. Perilaku BergerakBerdasarkan penelitian yang

dilakukan terlihat melalui uji U Mann-Whitney (U=96; n1=11; n2=11; p<0,05),

terdapat perbedaan frekuensi perilaku bergerak pada usia yang berbeda. Kemampuan tubuh yang semakin baik dan terkoordinasi dengan baik

Page 51: Litbang News 1

memungkinkan jumlah dan variasi perilaku yang terjadi berbeda untuk setiap individu. Tabel 2. Frekuensi perilaku bergerak

individu Mio dan Chelin (dalam %)

No. Jenis Perilaku Mio Chelin 1 Merayap 34,28 10,552 Memanjat 28,65 17,253 Bergantung tangan 14,1 21,17

4Bergantung kaki tangan

10,61 7,76

5 Berdiri quadropedal 0,59 1,256 Merangkak 4,28 7,697 Menyeret tubuh 0,8 0,168 Jalan bipedal 0,98 4,599 Berayun 2,26 5,7310 Spider walking 0,73 0,3211 Sky walking 0 1,0812 Berdiri bipedal 0,82 1,7313 Jalan quadropedal 0,05 12,8114 Lainnya 1,87 7,89

Perilaku bergerak banyak dilakukan oleh Chelin yang merupakan bayi yang berusia lebih tua dibandingkan Mio. Hal ini terjadi karena Chelin mempunyai tubuh yang sedikit lebih kuat karena berusia lebih tua. Sehingga kemampuan motoriknya semakin baik. Walaupun Chelin mempunyai frekuensi bergerak yang lebih banyak namun pergerakan yang dilakukan masih berada di sekitar induknya (Inah). Jarak terjauh yang dilakukan oleh Chelin dalam merangkak sejauh 2 meter. Perilaku berjalan quadropedal juga teramati pada individu Chelin, jarak terjauh untuk melakukan perilaku ini adalah 1,5 meter.

Berdiri bipedal yang dilakukan oleh Chelin ini ditopang oleh kedua tangannya yang bersandar pada tubuh induk betina ataupun benda lain (seperti dinding enclosure). Perilaku ini tidak dapat dilakukan oleh Chelin dalam jangka waktu yang cukup lama, Chelin dapat berdiri bipedal selama 14-21 detik.

Mio mempunyai frekuensi bergerak yang lebih sedikit karena usia

yang masih muda, sehingga kemampuan tubuh masih kurang kuat. Selain itu induk betina Mio (Amidah) masih melindungi anaknya. Pergerakan yang dilakukan oleh Mio hanya berada di sekitar induknya (Amidah). Mio sering merangkak di bagian ventral maupun dorsal Amidah.

Pergerakan yang dilakukan oleh anak makin lama mempunyai jarak yang semakin lama semakin jauh, tergantung dengan usia anak. Kondisi enclosure yang seperti habitat alami menyebabkan bayi orangutan yang terdapat di Pusat Primata Schmutzer dapat belajar seperti bayi orangutan yang terdapat di alam.

Berdasarkan penelitian terlihat pula terdapat perbedaan antara perilaku bergerak merayap antara kedua individu. Hal ini juga terlihat dalam pengamatan (tabel 2) Mio lebih banyak melakukan perilaku ini. Perilaku merayap sangat jarang terjadi pada Chelin. Terlihat semakin besar usia maka akan mempengaruhi keadaan dan kekuatan tubuh dan akan mengubah perilaku yang terjadi.

2. Perilaku MakanPemanfaatan waktu makan juga

memperlihatkan adanya perbedaan, hal ini ditunjukan dengan uji U Mann-Whitney (U=96; n1=11; n2=11; p<0,05). Kedua individu masih bergantung kepada induk betina, sehingga ini mempengaruhi perilaku makan. Perbedaan perilaku induk akan mempengaruhi perilaku makan masing-masing bayi.

Pada perilaku makan (menyusui) terlihat adanya perbedaan antara Chelin dengan Mio. Faktor perkembangan tubuh dapat mempengaruhi keadaan ini. Berikut tabel persentase perilaku makan individu Mio dengan individu Chelin:

Tabel 3. Frekuensi perilaku makan individu Mio dan Chelin (dalam %)

Page 52: Litbang News 1

No. Jenis Makanan Mio Chelin1 Buah 32,69 23,832 Rumput 1,42 1,853 Tanah 2,87 2,274 Susu ibu 23,59 5,455 Umbi 8,44 20,866 Daun 10,69 15,317 Kacang 10,08 16,288 Kotoran 0 0,399 Lainnya 10,21 13,74

Perilaku makan tidak banyak dilakukan oleh kedua individu dapat terjadi karena keterbatasan morfologi bayi yang belum sempurna. Makanan yang dimakan oleh bayi masih sangat terbatas, hal ini terjadi karena keadaan gigi yang belum sempurna. Selain itu karena bayi masih bergantung dengan induk betinanya, maka tidak banyak pilihan makanan yang dapat di konsumsi oleh bayi.

Perilaku makan yang dilakukan oleh Chelin lebih sedikit dibandingkan Mio. Selama penelitian dilakukan terlihat Chelin lebih banyak mengkonsumsi makanan lain seperti buah dan sayur, selain air susu induk betina.

Dari jenis makanan yang dimakan oleh Chelin, selain buah dan daun terlihat ia juga belajar mengkonsumsi tanah. Walaupun perilaku ini tidak banyak dan sering terlihat. Tanah dimakan ataupun dijilati Chelin jika melihat Inah ataupun Pingky melakukannya.

Chelin pernah sekali teramati menjilat tangannya yang basah karena urinenya. Perilaku ini mungkin terjadi karena Rasa ingin tahu dan mencoba mengkonsumsi berbagai jenis makanan merupakan hal yang memungkinkan bagi bayi orangutan untuk mencoba berbagai macam makanan ataupun benda yang dianggap dapat dijadikan makanan.

Karena usia Mio yang lebih muda maka ia lebih sering terlihat menyusui. Selain menyusui Mio juga terlihat mengkonsumsi jenis makanan

lain seperti buah dan daun. Mio memakan buah ataupun daun yang telah jatuh sisa dari sisa makanan yang dimakan oleh Amidah.

3. Perilaku IstirahatMelalui uji U Mann-Whitney

(U= 63; n1=11; n2= 11; p>0,05), menunjukan tidak adanya perbedaan usia dalam frekuensi perilaku istirahat. Bayi orangutan banyak mengikuti aktifitas induk betinanya termasuk di dalamnya perilaku berisitirahat.

Tabel 4. Frekuensi perilaku istirahat individu Mio dan Chelin (dalam%)

No. Jenis Perilaku Mio Chelin 1 Menempel 34,17 19,92 Telentang 27,79 29,973 Duduk 14,67 36,364 Tidur 18,29 11,055 Tengkurap 1,6 2,036 Lainnya 3,47 0,68

Kedua bayi tersebut banyak menghabiskan waktunya dengan berisitirahat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mio dan Chelin dapat menghabiskan waktu lebih lama dari 8 menit untuk berisitirahat. Hal ini dapat terjadi karena mereka berada di lingkungan eksitu dengan ruang yang terbatas dan pengaruh dari aktivitas yang dilakukan oleh induknya.

Perilaku istirahat yang dilakukan oleh Chelin lebih sedikit dibandingkan Mio. Bayi Orangutan akan mengikuti aktivitas induk betinanya, namun pada Chelin jika Inah berisitirahat maka Chelin belum tentu melakukannya. Chelin akan melakukan pergerakan disekitar Inah, hal ini sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Milania (2007).

4. Perilaku Sosial

Perilaku sosial antar Mio dan Chelin memiliki perbedaan perilaku, hal ini ditunjukan dengan uji U Mann-Whitney (U=95; n1=11; n2=11; p<0,05).

Page 53: Litbang News 1

Pengelompokan yang terjadi di habitat eksitu seperti penangkaran mengakibatkan tidak semua individu dapat berinteraksi dengan yang lainnya.

Tabel 5. Frekuensi perilaku sosial individu Mio dan Chelin (dalam%)

No. Jenis perilaku Mio Chelin 1 Ibu 70,29 23,82 Individu lain 16,39 71,563 Grooming 13,31 4,64

Berdasarkan frekuensi perilaku yang terlihat antara Mio dan Chelin terlihat Mio lebih banyak melakukan kontak sosial dibandingkan Chelin. Berdasarkan pengamatan kontak sosial yang banyak dilakukan oleh Mio terhadap induknya Amidah. Sedangkan dalam pengamatan yang dilakukan terhadap Chelin melakukan kontak dengan Inah maupun individu lainnya untuk bermain. Termasuk bersama Mio dan Pingky serta Rio. Bersosialisasi dengan Mio, Pingky, Rio dan Amidah tidak mempunyai frekuensi yang besar. Hal ini dapat terjadi karena individu-individu tersebut tidak selalu disatukan dalam satu kelompok. Selalu ada pergiliran individu yang dimasukan dalam satu kelompok, selama individu-individu tersebut tidak berkelahi.

Interaksi yang cukup banyak dengan individu lainnya juga dapat dipengaruhi oleh luas kandang. jika lebih banyak individu berada dalam kandang sentral yang luasnya lebih kecil daripada enclosure maka kemungkinan interaksi akan lebih besar. Sedangkan jika individu berada dalam enclosure kemungkinan interaksi yang terjadi lebih sedikit, kecuali saat pemberian makan.

5. Perilaku BermainBerdasarkan uji U Mann-

Whitney (U=77; n1=11; n2=11; p>0,05) juga tidak ditemukan adanya perbedaan perilaku bermain. Perilaku bermain tidak berbeda karena tidak banyaknya variasi

jenis alat yang digunakan untuk bermain. Di dalam kandang sentral dan enclosure mempunyai keadaan yang berbeda, namun jenis benda yang digunakan untuk bermain tidak bervariasi.

Tabel 6. Frekuensi jenis bahan bermain individu Mio dan Chelin (dalam %)

No. Jenis bahan Mio Chelin 1 Ranting 65,24 80,762 Daun 24,9 15,673 Tali 7,86 1,44 Tanah/pasir 1,99 2,17

Berdasarkan tabel frekuensi pengamatan yang dilakukan terlihat Chelin lebih banyak melakukan aktivitas bermain. Aktivitas bermain ini dilakukan sendiri oleh Chelin menggunakan berbagai alat seperti ranting kayu, tali tambang, tanah, pasir dan daun. Bermain dengan menggunakan alat pada anak orangutan penting untuk pengenalan lingkungan sekitar, individu mungkin dapat mengekspresikan sesuatu melalui permainan tersebut (Simanjuntak, 1998).

Kedua individu memiliki obyek bahan bermain yang terbatas ketika berada di dalam kandang sentral. Karena di dalam kandang tersebut hanya terdapat pasir dan tali tambang karet. Keduanya memiliki cara bermain yang sama saat menggunakan kedua obyek tersebut. Mereka akan melemparkan pasir dan menyiramkan pasir itu ke badan mereka. Tali tambang yang dimanfaatkan sebagai bahan mainan mereka akan mereka goyangkan ataupun dipukul ke pasir.

6. Perilaku Lainnya

Pemanfaatan waktu untuk perilaku lainnya dengan menggunakan uji U Mann-Whitney (U=82; n1=11; n2=11; p> 0, 05) menunjukan tidak adanya perbedaan. Tidak adanya perbedaan yang muncul dapat terjadi karena sangat sedikit dan jarangnya

Page 54: Litbang News 1

perilaku ini dilakukan oleh kedua individu.

Tabel 7. Frekuensi perilaku lainnya individu Mio dan Chelin

No. Jenis perilaku Mio Chelin 1 Menguap 24,16 19,072 Meregangkan badan 55,09 40,743 Membersihkan diri 20,74 16,28

4Memperhatikan lingkungan

0 15,5

5 Defekasi 0 8,4

Pada penelitian yang dilakukan kedua individu Mio dan Chelin tidak banyak melakukan perilaku ini. Mio dan Chelin terlihat melakukan aktivitas ini dengan meregangkan kedua tangannya. Aktifitas ini terjadi muncul sewaktu-waktu. Belum diketahui tujuan aktifitas ini.

Aktifitas lainnya adalah menguap. Untuk beberapa primata menguap terjadi pada situasi perkelahian atau kegembiraan (Rijksen, 1976). Aktifitas ini terjadi muncul sewaktu-waktu. Belum diketahui tujuan aktifitas ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat beberapa perilaku yang dilakukan bayi orangutan, yaitu perilaku makan, sosial, bergerak, istirahat, bermain dan perilaku lainnya. Pada bayi orangutan terdapat perbedaan perilaku berdasarkan tingkat usia yang berbeda. Adanya perbedaan perilaku terjadi karena adanya ketergantungan bayi terhadap induk betina. Selain itu perkembangan tubuh bayi mempengaruhi perilaku yang dilakukan oleh bayi orangutan kalimantan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diharapkan adanya penelitian lebih lanjut secara berkala terhadap perilaku harian pada bayi orangutan. Selain itu diperlukan adanya penelitian perilaku harian sejak kelahiran bayi

orangutan. Bagi pihak pengelola kebun binatang perlu mengadakan penambahan enrichment yang bervariasi sebagai sarana bermain untuk bayi agar dapat belajar lebih cepat untuk beradaptasi dengan lingkungannya

DAFTAR PUSTAKA

Chalmers, Neil. 1980. Social Behaviour in Primates. University Park Press. Baltimore.

Galdikas, Birute M.F, Nancy Briggs. 2000. Orangutan Odyssey. Harry N. Abrams, Inc. New York.

Galdikas, Birute M.F. 1984. Adaptasi Orangutan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Groves, Colin. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press. Washington.

Harrisson, Barbara. 1986. Orang-utan. Ofxord University Press. Oxford.

Handayani, D. P.. 2003. Adaptasi Perilaku Harian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus 1760) Reintroduksi di Hutan Lindung Gunung Meratus Kalimantan Timur. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.

Lubis, Abu Hanifah. 1995. Aktivitas Makan Anak Orangutan (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1827) di Pusat Penelitian Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta.

McFarland, David. 1993. Animal Behaviour. Longman Scientific & Technical. England.

Maple, Terry L. 1980. Orangutan Behavior. Van Nostrand Reinhold Company. New York.

Page 55: Litbang News 1

Maryati, Yeyet I. 2002. Perilaku Sosial Orangutan (Pongo pygmaeus) Anak Berdasarkan Perbedaan Tingkat Umur. Karya Ilmiah. Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta.

Morrogh-Bernard, Helen. Simon Husson. Claire Mclady. 2002. Orangutan Data Collecting Standaritation. Orangutan cultural Workshop. Paper. San Aselino USA.

Nowak, Ronald M. 1999. Primates of the World. The John Hopkins University Press. Baltimore.

Rijksen, H.D. 1978. A Field Study On Sumatran Orangutans (Pongo pygameus abelii Lesson 1827) Ecology, Behaviour and Conservation. H. Veenman and Zoonen B.V. Wageningen. Nederlands

Shofiana, Rahma. 2007. Adaptasi Perilaku Harian Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson 1827) Reintroduksi Pada Dua Tipe Hutan Berbeda di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Jambi. Skripsi. Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta. Jakarta

Siegel, Britney. 1992. Statistik Non-parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. PT Gramedia Utama. Jakarta.

Simanjuntak, C.H.. 1998. Perilaku Bermain Anak Orangutan (Pongo pygmaeus) di Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara. Jurnal Primatologi Indonesia. Vol.2, No.2. Desember 1998 p.30-33.

Smuts, Barbara B, Dorothy L. Cheney., Robert M. Seyfarth., Richard W. Wranghan., Thomas T. Struhsaker. 1987. Primate Societies. The University of Chicago Press. Chicago.

Supriatna, Jatna. Edy Hendras W. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Page 56: Litbang News 1

DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

IKATAN HIMPUNAN MAHASISWA BIOLOGI INDONESIA

GENETICS NEWS : KARYOTYPE ORGANISME INDONESIA

SALAM LESTARI,

Sesuai dengan sosialisasi program kerja Divisi Genetika pada RaKorNas di Universitas Airlangga

(UNAIR), maka dengan ini Divisi Genetika akan merealisasikan salah satu program kerja yaitu

KARYOTYPE ORGANISME INDONESIA.

Karyotype Organisme Indonesia merupakan data base hasil penelitian Karyotype Organisme

(Tumbuhan dan Hewan) dari seluruh Indonesia yang dikumpulkan dibawah tanggung jawab

Divisi Genetika IKAHIMBI. Agar karyotype yang dikumpulkan dapat menjadi data base yang

memiliki keseragaman tampilan, maka perlu dibuat format karyotype. Oleh karena itu, melalui

Litbang News edisi Januari-Maret 2009 ini Divisi Genetika akan mensosialisasikan format

karyotype yang telah ditetapkan.

Karyotype dibuat dalam bahasa Indonesia dan atau Inggris dengan ketentuan :

1. Margin : Atas dan kiri (1.18”), bawah dan kanan (0.79”)2. Ukuran Kertas : A43. Font Times New Roman

Halaman 1 (Wajib)

1. Header : Akan dibuat oleh Divisi Genetika berisi Nomor Invent.

2. Gambar Spesies, Judul, Author, Alamat Korespondensi (Lihat Contoh)

3. Judul : 14 Bold

4. Author : 11 Bold

5. Alamat korespondensi : 10

6. Tulisan ABSTRAK : 12 Bold

7. Isi Abstrak – kata kunci : 12

8. Garis Pemisah

9. Formula Karyotype : 12 Bold

10. Gambar Karyogram

11. (keterangan gambar, tabel, foot note) : 10

Page 57: Litbang News 1

Halaman 2 (Tidak Wajib – tapi Lebih Baik disertakan)

Informasi Tambahan :

1. Idiogram

2. Jam Prometafase : Jumlah Kromosom

3. Siklus Sel : Rentang waktu mitosis

Nomor Invent :

Contoh : GEN/KAR/II/001

GEN : Divisi Genetika

KAR : Program kerja Karyotype Organisme Indonesia

I : Kode untuk Karyotype Tumbuhan ----- II : Kode untuk Hewan

001 : nomor Invent untuk Tumbuhan (dan Hewan)

Berikut Kami Sertakan Contoh Langsung Karyotype dengan Nomor Invent. GEN/KAR/I/001

Karakterisasi kromosom bawang merah kultivar samas (Allium ascalonicum L. cv. Samas)

dan Nomor Invent. GEN/KAR/II/001 A Chromosome Study in The Blue Panchax

(Aplocheilus panchax) Hamilton (Pisces : Aplocheilidae)

Mohon Partisipasi Teman-teman dari SELURUH INDONESIA untuk mensukseskan program

data base keanekaragaman genetik Organisme Indonesia. Karyotype yang sudah disusun sesuai

dengan format tersebut dikirim dalam file .doc atau .docx ke :

[email protected]

Semoga sedikit sumbangan karya kita dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu

dan teknologi di bidang Biologi.

SALAM KONSERVASI,

BEST REGARDS,

DIVISI GENETIKA

Page 58: Litbang News 1

Karakterisasi Kromosom Bawang Merah Kultivar Samas (Allium ascalonicum L. cv. Samas)

Anak Agung Gde Raka Ardian Swastika1 dan Tuty Arisuryanti2

1Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, email : [email protected] 2Laboratorium Genetika Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta email : [email protected]

ABSTRAK

Bawang merah kultivar Samas adalah kultivar lokal yang umum ditanam di daerah Srandakan, Bantul, Yogyakarta. Bawang merah ini potensial untuk dikembangkan karena memiliki sifat ketahanan (resistensi) terhadap serangan virus. Berdasarkan hal tersebut maka kajian genetik kultivar bawang merah ini perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna dalam program pemuliaan. Pada penelitian ini rentang waktu mitosis dan karakter morfologi kromosom (jumlah kromosom, ukuran kromosom, bentuk kromosom, dan formula karyotype) dilakukan sebagai penelitian awal kajian genetik bawang merah kultivar Samas. Metode yang digunakan untuk preparasi kromosom adalah metode pencet (squash). Pengukuran panjang lengan kromosom dilakukan menggunakan program AutoCad Map.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rentang waktu mitosis bawang merah kultivar Samas berlangsung antara pukul 08.00-09.00 WIB dan tahap prometafase banyak ditemukan pukul 08.15 WIB. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kromosom diploid bawang merah kultivar Samas adalah 2n=16 yang terdiri dari 6 pasang kromosom metasentris, 1 pasang kromosom submetasentris dan 1 pasang kromosom subtelosentris. Salah satu pasangan kromosom subtelosentris memperlihatkan adanya satelit, sehingga formula karyotype bawang merah kultivar Samas adalah 2n = 2x = 16 = 12 m + 2 sm + 1 st + 1 stSAT. Analisis karakter kromosom menunjukkan bahwa panjang lengan pendek kromosom terpendek 2,024±0,354 μm, panjang lengan pendek kromosom terpanjang 4,794±1,273 μm, panjang lengan panjang kromosom terpendek 3,988±0,746 μm dan panjang lengan panjang kromosom terpanjang 6,665±1,379 μm, panjang absolut kromosom terpendek adalah 7,014±1,600 μm, dan panjang absolut kromosom terpanjang 10,206±2,374 μm. Berdasarkan nilai R yang diperoleh yaitu 1,526±0,045 menunjukkan bahwa ada variasi ukuran kromosom pada bawang merah kultivar Samas.

Kata kunci : mitosis – karakter kromosom – karyotype – Allium ascalonicum

Formula karyotype : 2n = 2x = 16 = 12 m + 2 sm + 1 st + 1 stSAT

Gambar 1. Karyogram bawang merah kultivar Samas

Karyotype Organisme IndonesiaNo. Invent. : GEN/KAR/I/001

Page 59: Litbang News 1

1. Idiogram 2. Jam Prometafase : 08.15 WIB Jumlah kromosom : 2n=16

Gambar 2. Idiogram bawang merah cv. Samas Gambar 3. Jumlah kromosom bawang merah cv. Samas

3. Jam Mitosis bawang merah kultivar Samas : 08.00-09.00 WIB

Gambar 4. Siklus sel bawang merah kultivar Samas

Karyotype Organisme IndonesiaNo. Invent. : GEN/KAR/I/001

Page 60: Litbang News 1

A Chromosome Study in The Blue Panchax, Aplocheilus panchax Hamilton (Pisces : Aplocheilidae)

Tuty Arisuryanti 1) and Ani Widarti 2)

1,2) Genetics Laboratory, Faculty of Biology, Gadjah Mada University, Jl. Teknika Selatan, Sekip Utara, Yogyakarta 55281, Indonesia

ABSTRACT

The blue panchax, Aplocheilus panchax, is one of Indonesian native freshwater fish species commonly used as biological control agent for mosquito larvae. A chromosome study of the fish species by a splash technique was carried out to yield valuable information related to genetic identity of the fish species collected from Progo River, Yogyakarta, Indonesia. Karyotype analyzed in this study was found to be composed of 38 chromosomes classified as 12 metacentric, 2 submetacentric, 2 subtelocentric, and 22 telocentric chromosomes displaying karyotype formula 2n = 38 = 12m + 2 sm + 2 st + 22 t. However, sex chromosomes of the fish species could not be identified in this study. The result also revealed that the chromosomes of the complement in the species indicated a gradual decrease in total length from the largest (3.541 ± 0.496 µm) to the smallest (0.882 ± 0.158 µm) chromosomes. On the basis of R value (4.36), the fish species had chromosome variation size.

Keywords : Aplocheilus panchax, chromosome characters, karyotype

Karyotype formula 2n = 38 = 12m + 2 sm + 2 st + 22 t

Figure 1. Karyogram of Blue Panchax

Karyotype Organisme IndonesiaNo. Invent. : GEN/KAR/II/001

Page 61: Litbang News 1

1. Idiogram

Figure 2. Idiogram of Blue Panchax

2. Prometafase : 09.45 – 09.55 a.m. (WIB)

Figure 3. Number of Chromosome in the Blue Panchax (2n=38)

Karyotype Organisme IndonesiaNo. Invent. : GEN/KAR/II/001