makalah starbuck
DESCRIPTION
Case Study: Starbucks Corporation Building A Sustainable Supply ChainTRANSCRIPT
0
Logistic and Supply Chain Management
Case Study:
Starbucks Corporation
Building A Sustainable Supply Chain
Ali Yudhi Hartanto - 1206185053
Azhar Harris - 1206185356
Dame Reiny E. Manalu - 1206185570
Irawati Cipto - 1206186522
Magister Manajemen Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Jakarta, 2013
1
Sinopsis Kasus
Starbucks adalah perusahaan retailer ‘speciality coffee’ terbesar di dunia, memiliki
pendapatan tahunan $ 6,4 milyar untuk tahun fiskal yang berakhir tanggal 02
Oktober 2005. Starbucks terus memperluas jumlah toko pengecer di seluruh
belahan dunia, dan secara konsisten menunjukkan pertumbuhan yang kuat dalam
penjualan dan laba bersih perusahaan. sejak go public pada tahun 1992, sahamnya
telah dihargai lebih dari 4000 persen setelah terjadi stock splits.
Pada tahun 1987, starbuck telah memiliki 11 outletk, sembilan tahun kemudian, lebih
dari 900. Pada tahun 1996, perusahaan telah membuka 330 gerai, atau rata-rata
hampir satu outled setiap hari. Hal ini menggambarkan minat konsumen kopi
starbuck telah berkembang dan starbuck brand berkembang sangat baik. pada
pertengahan 1990 jutaan konsumen di Amerika Utara telah mengaitkan brand
starbuck dengan kopi gelap-panggang. espresso, atau layanan pelanggan yang
responsif.
Meskipun mendominasi industri ‘speciality coffe’, starbuck tidak menggunakannya
sebagai cara untuk menekan para pemasok kopi dalam rangka untuk meningkatkan
margin. Sebaliknya, perusahaan memutuskan untuk menggunakan kekuatan pasar
sebagai cara untuk menerapkan perubahan sosial dalam rantai supply chain melalui
implementasi CAFE. Praktek CAFE adalah cara yang dipilih starbucks untuk
menjamin pasokan biji kopi yang berkualitas yang berkelanjutan,
Hal ini merupakan komponen penting dari bisnis starbucks. Dimana mereka
berinisiatif untuk membangun hubungan saling menguntungkan dengan para petani
kopi dan komunitasnya. Hal ini juga membantu mitra dari kelebihan pasokan kopi
kelas rendah di pasar dunia, yang menagkibatkan harga tertekan sehingga sulit bagi
petani untuk menutupi biaya produksi.
Ketika starbucks menerapkan praktik CAFE, hal itu memiliki enam tujuan penting,
yaitu :
1. Meningkatkan ekonomi, sosial dan keberlangsungan lingkungan dalam industri
‘speciality coffee, termasuk konservasi keanekaragaman hayati;
2
2. Mendorong pemasok starbucks untuk menerapkan praktik CAFE melalui insentif
ekonomi dan status pembelian preferensial;
3. Membeli mayoritas kopi starbucks bawah bimbingan CAFE praktek tahun 2007;
4. Menegosiasikan kontrak saling menguntungkan dalam jangka panjang dengan
pemasok untuk mendukung pertumbuhan starbucks;
5. Membangun hubungan yang saling menguntungkan dan tanpa perantara dengan
pemasok;
6. Mempromosikan transparansi dan keadilan ekonomi setiap dalam rantai pasokan
kopi.
Identifikasi Masalah
1. Meskipun praktek C A F E (Coffee and Farmers Equity Practices) telah
terimplementasi dalam rantai supply chain starbucks, namun mereka masih
menemui dua kendala utama yang mungkin dapat diatasi dengan teknologi
informasi yang terintegrasi lebih baik, kendala tersebut yaitu:
PERTAMA, Factor INTERNAL, karena beberapa supplier, distributor dan petani
kopi dalam rantai pasok starbucks tidak memiliki atau belum melakukan
implementasi sistem informasi, hal tersebut dapat berakibat pada kesulitan untuk
mendapatkan transparansi dalam ekonomi, yang merupakan tujuan utama
praktek CAFE.
KEDUA, Factor EKSTERNAL, sementara dilakukan pembaruan dan revisi dalam
menjalankan praktek CAFE, hal tersebut merupakan pekerjaan yang menyulitkan
untuk dapat secara efektif mengkomunikasikan persyaratan dan revisi praktek
kepada para petani, pemasok dan anggota lain dari industry.
2. Pada akhir 2005, Starbucks telah memiliki 10.000 gerai pada 35 negara di dunia
yang dioperasikan secara mandiri ataupun dengan lisensi dan roasted 2.3% dari
produksi kopi dunia. Setiap hari, starbuck membuka 4 (empat) gerai baru yang
melibatkan 200 karyawan. Untuk mendukung pertumbuhan yang demikian pesat,
maka starbucks harus memastikan bahwa supply chain ‘speciality coffe’ terjaga
dengan baik.
3
Teori Pendukung
Supply chain management adalah suatu proses yang mementingkan pencapaian
kepuasan dengan biaya yang lebih hemat dan berusaha memenuhi kebutuhan
konsumen (melalui pembelian), proses yang terintegrasi dari pemasok (Christopher,
1992). Integrasi ini biasanya dicapai melalui proses transparansi yang lebih besar
dari kebutuhan pelanggan melalui informasi yang dibagikan.
Organisasi juga telah menilai kembali value rantai mereka dan melakukan out-
sourcing atas kegiatan-kegiatan yang mereka anggap menjadi non-inti. Simultan
dengan pertumbuhan ini, out-sourcing telah bergerak menuju rasionalisasi basis
pemasok. Dengan kata lain organisasi telah aktif berusaha untuk mengurangi jumlah
pemasok. Motivasi untuk melakukan rasionalisasi pemasok didasarkan sebagian
pada aspek ekonomi, sebagian pada mencari perbaikan kualitas berkesinambungan
dan inovasi, tetapi juga pada realisasi bahwa terdapat batas sejauh mana beberapa
hubungan pemasok dapat dikelola secara efektif.
Banyak perusahaan berjuang untuk menerapkan program kemitraan karena mereka
tidak mampu memberikan perhatian yang cukup atas apa yang sering disebut
sebagai soft strategy, yaitu permasalahan sumber daya manusia (Dion et al., 1995).
Kemajuan suatu perusahaan dalam mengembangkan kemitraan dalam rantai
pasokan berhutang banyak pada bentuk hubungan antara partisipasi individu pada
semua tingkatan dalam kedua perusahaan, pemasok dan pelanggan, ditangani.
Membangun kemitraan yang kuatantara perusahaan memerlukan komitmen dari
semua orang yang terlibat. Mendapatkan komitmen karyawan bagaimanapun,
4
tampaknya merupakan pekerjaan yang mudah, namun sejatinya merupakan
pekerjaan kompleks. Dalam banyak kasus, perusahaan rasional menerima
pendekatan kemitraan namun budaya mereka tidak mudah kompatibel dan
implementasi berhadapan dengan kuatnya resistensi terhadap perubahan.
Penekankan pada hubungan internal dengan karyawan dan penguatan komitmen
mereka sebagai prasyarat strategis untuk memiliki hubungan dengan pelanggan
eksternal telah diusulkan dalam pengelolaan jasa (grok nroos, 1990). Bekerja secara
empiris (oleh Schneider pada khususnya), menunjukkan bahwa dampak iklim
organisasi mencakup perilaku karyawan dalam pelayanan pertemuan dan bahwa ini
pada gilirannya, akan mempengaruhi kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan
yang dirasakan (Schneider et al., 1980). Baru-baru ini, hubungan antara factor
internal dan eksternal juga telah diakui dalam konteks bisnis-ke-bisnis (Evans dan
Laskin, 1994; Beckett-Camarata et al, 1998). atau `kunci akun Managerâ (McDonald
dkk., 1996) dalam hubungan antar perusahaan, menimbulkan wawasan bahwa
mereka harus melihat bukti nyata dari hubungan yang saling mendukung, saling
percaya dan berkomitmen antara perusahaan mereka dan diri mereka sendiri.
Namun, tidak hanya manajer kemitraan tetapi semua karyawan yang berhubungan
melintasi batas perusahaan, menentukan keberhasilan atau kegagalan hubungan
antar perusahaan. Oleh karena itu, respon perusahaan atas kebutuhan mereka,
serta jaminan dan empati tentang peran mereka akan membatasi atau
meningkatkan persepsi mereka atas program kemitraan. Sebagai akibatnya, strategi
kemitraan harus didekati seperti layaknya program manajemen perubahan. Terlepas
dari pemberian pelatihan dan dukungan, terutama perhatian tertentu harus diberikan
untuk waktu pengambilan keputusan serta tingkat yang diperlukan untuk
keterbukaan dan kejujuran.
Sebagai perusahaan yang membina hubungan jangka panjang dan kerjasama
dalam rantai pasokan, membeli dan memasok perusahaan, perlu untuk lebih
memahami bagaimana mengelola hubungan ini. Kebutuhan untuk mengetahui
hubungan manajemen ditempatkan sebagai prioritas strategis dalam the over-
arching business strategy. Strategi ini semakin diterima namun pendakatan
manajemen tradisional dan alat-alat yang tidak cocok untuk mengakomodasi
5
kebutuhan yang berubah seperti strategi. Pendekatan-pendekatan tradisional semua
muncul dari lingkungan industri yang sangat berbeda dari pasar saat ini. Dengan
demikian, para praktisi membuat keputusan pada pengaturan kemitraan sering
bertindak secara intuitif.
Types of Supply Relationships
Supply Relations Organizational structures Commitment
Vertical Integration Centralized organization Direcly owns multiple value add stages within the company
Autonomous division Moderately centralized Between vertically integrated corporation and joint venture
Joint venture No joint commitment and operations between the seller and buyer
Agreement to share risks in equity capital
Strategic partnership Moderately decentralized Long term relationships, sharing both risk and reward
Virtual integration Decentralized organization Coordinate much of the business through the marketplace
Analisa Permasalahan
1. Meskipun praktek C A F E (Coffee and Farmers Equity Practices) telah
terimplementasi dalam rantai supply chain starbucks, namun mereka masih
menemui dua kendala utama yang mungkin dapat diatasi dengan teknologi
informasi yang terintegrasi lebih baik, kendala tersebut yaitu:
Pertumbuhan gerai – gerai starbucks yang amat pesat diseluruh belahan dunia
dengan 10.000 gerai pada 35 negara dan membuka 4 (empat) gerai starbucks
setiap hari memerlukan supply bahan baku kopi yang berkualitas secara pasti
dan berkelanjutan.
Supply chain yang dijalankan starbucks amat bergantung dari supplier,
processors dan farms. Scema rantai suplay kopi starbucks dapat diamati pada
exhibit 6 dari case study. Ketergantungan tersebut membuat posisi starbucks
amat rentan dari sisi supply kopi dikarenakan : Dari sisi supplier dan processors,
starbuck menjadi amat bergantung pada kedua jenis pemasok ini dikarenakan
mereka langsung membeli produk dari para petani kopi.
6
Dari sisi petani kopi, starbuck memiliki kendala yaitu : fluktuasi harga kopi dunia
yang tidak menentu dan cenderung turun terus menerus pada periode 1970 sd
2002 menghasilkan harga jual kopi yang rendah, maka berakibat pada
kesejahteraan petani menjadi rendah pula. Lebih lanjut menbuat incentive untuk
menanam kopi dan menghasilkan kopi yang terbaik menjadi berkurang. Hal
tersebut masih dapat diperparah dengan resiko stabilitas kawasan dan gagal
panen.
Untuk mengatasi hal tersebut, Starbucks menjalankan strategy ‘strategic
partnership’ dengan mitra supplier, processors dan farmer dalam mengelola
kebutuhan biji kopi yang berkualitas (supply). Starbucks menjamin dan
mengelola langsung para mitra supplier, processors dan farmer yang terlibat.
Starbucks menjalankan program C A F E (Coffee and Farmers Equity Practices)
yang juga dikemas sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) Starbucks.
Program ini dijalankan dengan tujuan (1) menjamin keberlangsungan supply biji
kopi yang berkualitas dan dihasilkan oleh para petani yang tidak terjerat oleh
para pedagang/tengkulak biji kopi. (2) pengelolaan lahan pertanial kopi dengan
metode yang ramah lingkungan dam (3) kesejahteraan para petani terjamin.
Hasil dari keseluruhan program C A F E diharapkan dapat menjamin kebutuhan
kopi berkulitas untuk setiap gerai – gerai starbucks (supply side), marketing
ability dan visibility dalam rantai pasok. Benefit program ini diharapkan dapat
dirasakan mulai dari petani sampai dengan consumer.
Meskipun sudah sedemikian jauh yang dilakukan starbucks dengan program C A
F E practices, namun dirasakan terdapat kendala dalam pelaksanaannya yang
segera memerlukan penanganan seperti pada, Factor INTERNAL, karena
beberapa supplier, distributor dan petani kopi dalam rantai pasok
starbucks tidak memiliki atau belum melakukan implementasi sistem
informasi, hal tersebut dapat berakibat pada kesulitan untuk mendapatkan
transparansi dalam ekonomi, yang merupakan tujuan utama praktek CAFE.
7
Corporate competitive strategy yang coba dibangun starbucks selama ini lebih
mementingkan pada aspek qualitas produk. Implementasi system informasi
dalam supply chain menalami kendala karena beberapa factor antara lain :
a. Dari sisi supply, tersebarnya
rantai pasok kopi yang
dibutuhkan starbucks di 3
(tiga) belahan dunia. Belum
lagi ditambah kendala
geografis pada masing-masing
Negara penghasil biji kopi
tersebut.
b. Tersebarnya gerai starbucks di 35 negara di dunia.
Starbucks perlu membangun system informasi yang terintegrasi, terutama pada
sisi rantai pasok dari petani sampai kepada gerai. Starbucks dapat menerapkan
program Standard Material Requirement Planning (MRP) atau program yang
lebih sederhana pada level starbucks dan supplier utamanya. Rancangan
program tersebut terdiri dari :
Input dari Standard MPR dan Laporan yang dihasilkan oleh Program Sumber: page 638, Jacob, F.R.; R.B. Chase; & R.R. Lumnus (2011), Operation an Supply Chain Management, Edisi 13, McGraw-Hill
Input Utama dari program MRP
adalah: Bill of Material (BOM),
berisi deskripsi produk secara
detail; Inventory Record Files,
berisi informasi yang luas tentang
persediaan produk. Bagian ini dapat memberikan analisa dan kalkulasi terhadap
kebutuhan produk dan turunannya per level dan; Master Production Schedule,
dapat merencanakan dan membuat perintah kerja untuk proses produksi sesuai
analisa persediaan dengan membandingkan permintaan yang masuk dan
persediaan yang dimiliki dalam satu waktu tertentu, selanjutnya men-generate
perintah kerja untuk memenuhi kekurangannya
8
pada tingkat petani, starbucks dapat memanfaatkan jaringan telekomunikasi
yang tersedia untuk memantau rantai supplinya.
Data ini menjadi acuan dalam menyusun procurement system starbucks.
Permasalahan kedua dalam implementasi C A F E adalah, Factor
EKSTERNAL, sementara dilakukan pembaruan dan revisi dalam
menjalankan praktek CAFE, hal tersebut merupakan pekerjaan yang
menyulitkan untuk dapat secara efektif mengkomunikasikan persyaratan
dan revisi praktek kepada para petani, pemasok dan anggota lain dari
industry.
Terdapat dua aspek utama disini,
yaitu pembaruan dan atau revisi
dari program C A F E dan
pendampingan dari tenaga ahli.
Pembaruan atau revisi program C
A F E diperlukan untuk melakukan
adaptasi dan fleksibility apabila mendapati pelaksanaan program terkendala.
Kendala geografis yang amat luas dari sisi supply dapat diatasi starbucks dengan
memberdayakan supplier untuk lebih terlibat dalam melaksanakan program-
program C A F E incentive-incentive baru dan kontrak jangka panjang diberikan
apabila supplier-supplier tersebut dapat membimbing procesors dan petani kopi
untuk memenuhi tuntutan (targeted KPI) sebagaimana yang tertera dalam
program C A F E.
Starbucks dapat mengembangkan starbucks coffee agronomy company (a
farmer support centre) ditempat-tempat lainnya, terutama pada 3 (tiga) regional
penghasil kopi, yaitu timur tengah, asia dan afrika.
9
Atau, starbucks dapat mengembangakn program CSRnya dengan bekerjasama
dengan lembaga-lembaga penelitian di beberapa Negara penghaisl kopi utama.
Skema perjanjian dan bantuan dana penelitian dapat diterapkan.
2. Pada akhir 2005, Starbucks telah memiliki 10.000 gerai pada 35 negara di
dunia yang dioperasikan secara mandiri ataupun dengan lisensi dan
roasted 2.3% dari produksi kopi dunia. Setiap hari, starbuck membuka 4
(empat) gerai baru yang melibatkan 200 karyawan. Untuk mendukung
pertumbuhan yang demikian pesat, maka starbucks harus memastikan
bahwa supply chain ‘speciality coffee’ terjaga dengan baik.
Starbucks perlu mempertimbangkan biaya-biaya yang meningkat antara lain :
production cost – roasting cost, inventory cost, transportation cost, labor cost for
shiping and receiving dan the bullwhip effect pada rantai supply chain ‘speciality
coffee-nya.
Starbucks perlu mempertim-
bangkan system distribusi yang
cukup fleksible untuk dapat
memenuhi kebutuhan setiap
gerainya.
System distribusi dengan cara
storage with last mile delivery
dirasakan mampu untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
Starbucks dapat meningkatkan peran supplier-nya untuk mengisi level
warehouse retailer dalam skema tersebut.
10
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. System informasi yang terintegrasi diperlukan dalam membangun relasi
dengan supplier dan strategic sourcing.
2. Kerjasama dengan supplier dibingkai dengan kontrak jangka panjang dan
terdapat KPI untuk melakukan evaluasi.
3. Dibangun system distribusi yang sesuai dengan kebutuhan.
4. Market competitiveness yang dibangun starbucks adalah quality, speed dan
dependability
Saran Starbucks perlu membangun :
1. System informasi yang terintegrasi dengan program Standard Material
Requirement Planning (MRP);
2. Mengembangkan starbucks coffee agronomy company (a farmer support
centre) di 3 (tiga) regional penghasil kopi;
3. Mengembangakn program CSRnya dengan bekerjasama dengan lembaga-
lembaga penelitian;
4. Memberdayakan supplier untuk :
a. membimbing procesors dan petani kopi untuk memenuhi tuntutan
(targeted KPI);
11
b. mengisi level warehouse retailer dalam skema tersebut storage with
last mile delivery.
Pembelajaran yang Dapat Ditarik
1. Tipe Supply Relationships sangat ditentukan oleh produk yang dihasilkan,
dan pilihan market competitiveness
2. Supply relationships memerlukan Long term contrack, dan sharing both risk
and reward.
3. Dalam supply chain management, maka managemen harus memperhatikan
pihak yang memasok suppliers perusahaan.