museum pemasyarakatan indonesia
TRANSCRIPT
MUSEUM PEMASYARAKATAN INDONESIA
Oleh : Suko Prayitno, SH., MH
ABSTRAC
The museum is a permanent institution, non-profit, serving the
community and its development, open to the public, which collect, treat
and show off, for the purposes of research, education and entertainment,
the objects of human and material evidence (Ishaq 1999/2000 : 15).
Based on Government Regulation No.. 19 In 1995, the museum is an
institution, storage, maintenance, security and utilization of evidence
material objects as well as the results of human culture and the natural
environment to support the protection and preservation of the cultural
wealth of the nation. In general, the museum has the following functions:
1. Centre for Documentation and Scientific Research
2. Distribution center for the general science
3. Center enjoyment of works of art
4. Introduction center of culture between regions and between nations
5. Sights
6. Media arts and education coaching Sciences
7. Natural and Cultural Asylum Asylum
8. Mirror of human history, nature and culture
9. Means for devoted and thankful to God Almighty.
Indonesian prison known as Correctional Institution which is the
Technical Unit of the Directorate General of Correctional Ministry of
Justice and Human Rights (formerly the Ministry of Justice). Penitentiary
(abbreviated LP or prisons) is a place to conduct training for prison
inmates and students in Indonesia.
Historical development of correctional systems in Indonesia
expressed its treatment of offenders in Indonesia from time to time, in
accordance with the level of legal awareness and development of the
views of Indonesia on human values and humanity in relation to the
convicted man and aspirations of our nation and the meaning of our ideals
State and Nation,
Prisons, Detention (Rutan) or Correctional Institution (LP) is a long
traces nan full of twists. It is associated with the history of this beloved
country, which has a bitter times when the Dutch and Japanese sharp
claws stuck in the colonial period. Period by period elapsed, carve note by
note. Each period has its own history
Prisons also has a long history and unique, which is part of the
national history and a lot of people do not know about jail or prison, the
general public still looked like a prison where Dutch colonial era jail or
prison is a place of torture for the prisoners by the government in
retaliation or the evil he had done. The concept of coaching in Public
Agencies have not been widely known and understood by the public, it is
necessary to create a facility, premises, correctional container in informing
about the history and development in Indonesia as Penitentiary Museum
Penitentiary Museum is one of the efforts to preserve the historical and
archaeological heritage as a cultural heritage and national pride through
the security and protection of objects of cultural heritage of the prison or
the LP of the possibility of tampering, theft, smuggling, and trafficking of
the object, as well as education on the importance of heritage value and
archeology to raise awareness and sense of community
Penitentiary Museum can inform about the protection of the
community and play a role in reducing crime by providing, giving a sense
of security to people, as well as a decent and healthy environment for the
people who are being detained, provides an opportunity for rehabilitation,
and work with the community as well as the elements other
ABSTRAK
Museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari
keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk
umum, yang mengumpulkan, merawat dan memamerkan, untuk tujuan-
tujuan penelitian, pendidikan dan hiburan, benda-benda bukti material
manusia dan lingkungannya (Ishaq 1999/2000: 15).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 1995, museum
adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan
pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam
dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian
kekayaan budaya bangsa. Secara umum musem mempunyai fungsi
sebagai berikut:
1. Pusat Dokumentasi dan Penelitian llmiah
2. Pusat penyaluran ilmu untuk umum
3. Pusat penikmatan karya seni
4. Pusat perkenalan kebudayaan antar daerah dan antar bangsa
5. Obyek wisata
6. Media pembinaan pendidikan kesenian dan llmu Pengetahuan
7. Suaka Alam dan Suaka Budaya
8. Cermin sejarah manusia, alam dan kebudayaan
9. Sarana untuk bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan YME.
Penjara di Indonesia dikenal dengan sebutan Lembaga
Pemasyarakatan yang merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Lembaga Pemasyarakatan
(disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan
terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia.
Sejarah perkembangan pemasyarakatan di Indonesia
mengungkapkan sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di
Indonesia dari masa ke masa, sesuai dengan taraf kesadaran hukum dan
perkembangan pandangan bangsa Indonesia tentang nilai manusia dan
kemanusiaan dalam hubungannya dengan manusia terpidana dan
aspirasinya bangsa kita akan arti dan cita-cita kemerdekaan bangsa dan
Negara,
Penjara, Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan
(LP) adalah sebuah jejak-jejak panjang nan penuh liku. Hal ini terkait
dengan sejarah berdirinya negara tercinta ini, yang memiliki masa-masa
pahit tatkala Belanda dan Jepang menancapkan cakar tajamnya di masa
penjajahan. Masa demi masa terlewati, mengukir catatan demi catatan.
Masing-masing masa memiliki sejarahnya tersendiri
Lembaga Pemasyarakatan juga mempunyai sejarah yang cukup
panjang dan unik yang merupakan bagian dari sejarah nasional dan
masyarakat belum banyak mengetahui tentang penjara atau LP,
masyarakat secara umum masih memandang penjara seperti jaman
Kolonial Belanda dimana penjara atau LP merupakan tempat penyiksaan
bagi para terpidana oleh pemerintah sebagai pembalasan atau kejahatan
yang telah dilakukannya. Konsep pembinaan dalam Lembaga Masyarakat
belum banyak diketahui dan dimengerti oleh masyarakat, untuk itu dirasa
perlu membuat sebuah sarana, tempat, wadah dalam menginformasikan
tentang pemasyarakatan dalam sejarah dan perkembangannya di
Indonesia seperti Museum Lembaga Pemasyarakatan
Museum Lembaga Pemasyarakatan adalah salah satu upaya
melestarikan berbagai peninggalan sejarah dan kepurbakalaan sebagai
kekayaan budaya dan kebanggaan nasional melalui pengamanan dan
perlindungan benda cagar budaya tentang penjara atau LP dari
kemungkinan perusakan, pencurian, penyelundupan, dan perdagangan
benda tersebut, serta penyuluhan mengenai pentingnya nilai peninggalan
sejarah dan purbakala untuk meningkatkan kesadaran dan rasa memiliki
dari masyarakat
Museum Lembaga Pemasyarakatan dapat menginformasikan
tentang perlindungan terhadap masyarakat dan berperan dalam
mengurangi tindak pidana kejahatan dengan menyediakan, memberikan
rasa aman kepada manusia, serta lingkungan yang layak dan sehat bagi
orang-orang yang sedang ditahan, memberikan kesempatan untuk
rehabilitasi, dan bekerjasama dengan masyarakat maupun unsur lembaga
lainnya
A. PENDAHULUAN
Museum berasal dari bahasa Yunani: MUSEION. Museion
merupakan sebuah bangunan tempat suci untuk memuja Sembilan
Dewi Seni dan llmu Pengetahuan. Salah satu dari sembilan Dewi
tersebut ialah: MOUSE, yang lahir dari maha Dewa Zous dengan
isterinya Mnemosyne.
Dewa dan Dewi tersebut bersemayam di Pegunungan
Olympus. Museion selain tempat suci, pada waktu itu juga untuk
berkumpul para cendekiawan yang mempelajari serta menyelidiki
berbagai ilmu pengetahuan, juga sebagai tempat pemujaan Dewa
Dewi.
Museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari
keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka
untuk umum, yang mengumpulkan, merawat dan memamerkan,
untuk tujuan-tujuan penelitian, pendidikan dan hiburan, benda-benda
bukti material manusia dan lingkungannya (Ishaq 1999/2000: 15).
Pengertian museum menurut International Council of Museums yang
dirumuskan pada 1974 adalah:
“A museum is a non-profit making, permanent institution in the
service of society and of its development, and open to the public,
which acquires, conserves, researches, communicates, and exhibits,
for purpose of study, education and enjoyment, material evidence of
man and his environment”.
Museum adalah lembaga yang diperuntukkan bagi masyarakat
umum. Museum berfungsi mengumpulkan, merawat, dan menyajikan
serta melestarikan warisan budaya masyarakat untuk tujuan studi,
penelitian dan kesenangan atau hiburan (Ayo Kita Mengenal
Museum ; 2009). Museum merupakan suatu badan yang mempunyai
tugas dan kegiatan untuk memamerkan dan menerbitkan hasil-hasil
penelitian dan pengetahuan tentang benda-benda yang penting bagi
Kebudayaan dan llmu Pengetahuan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 1995,
museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan,
pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil
budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang
upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 :
dalam Pedoman Museum Indoneisa,2008. museum memiliki tugas
menyimpan, merawat, mengamankan dan memanfaatkan koleksi
museum berupa benda cagar budaya. Dengan demikian museum
memiliki dua fungsi besar yaitu :
a) Sebagai tempat pelestarian, museum harus melaksanakan
kegiatan sebagai berikut :
o Penyimpanan, yang meliputi pengumpulan benda untuk
menjadi koleksi, pencatatan koleksi, sistem penomoran
dan penataan koleksi.
o Perawatan, yang meliputi kegiatan mencegah dan
menanggulangi kerusakan koleksi.
o Pengamanan, yang meliputi kegiatan perlindungan untuk
menjaga koleksi dari gangguan atau kerusakan oleh faktor
alam dan ulah manusia.
b) Sebagai sumber informasi, museum melaksanakan kegiatan
pemanfaatan melalui penelitian dan penyajian.
o Penelitian dilakukan untuk mengembangkan kebudayaan
nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi.
o Penyajian harus tetap memperhatikan aspek pelestarian
dan pengamanannya.
Secara umum musem mempunyai fungsi sebagai berikut:
10. Pusat Dokumentasi dan Penelitian llmiah
11. Pusat penyaluran ilmu untuk umum
12. Pusat penikmatan karya seni
13. Pusat perkenalan kebudayaan antar daerah dan antar bangsa
14. Obyek wisata
15. Media pembinaan pendidikan kesenian dan llmu Pengetahuan
16. Suaka Alam dan Suaka Budaya
17. Cermin sejarah manusia, alam dan kebudayaan
18. Sarana untuk bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan YME.
Museum yang terdapat di Indonesia dapat dibedakan melaui
beberapa jenis klasifikasi ( Ayo Kita Mengenal Museum ;
2009 ), yakni sebagai berikut :
a. Jenis museum berdasarkan koleksi yang dimiliki, yaitu terdapat
dua jenis :
o Museum Umum, museum yang koleksinya terdiri dari
kumpulan bukti material manusia dan atau lingkungannya
yang berkaitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu
dan teknologi.
o Museum Khusus, museum yang koleksinya terdiri dari
kumpulan bukti material manusia atau lingkungannya
yang berkaitan dengan satu cabang seni, satu cabang
ilmu atau satu cabang teknologi.
b. Jenis museum berdasarkan kedudukannya, terdapat tiga jenis :
o Museum Nasional, museum yang koleksinya terdiri dari
kumpulan benda yang berasal, mewakili dan berkaitan
dengan bukti material manusia dan atau lingkungannya
dari seluruh wilayah Indonesia yang bernilai nasional.
o Museum Propinsi, museum yang koleksinya terdiri dari
kumpulan benda yang berasal, mewakili dan berkaitan
dengan bukti material manusia dan atau lingkungannya
dari wilayah propinsi dimana museum berada.
o Museum Lokal, museum yang koleksinya terdiri dari
kumpulan benda yang berasal, mewakili dan berkaitan
dengan bukti material manusia dan atau lingkungannya
dari wilayah kabupaten atau kotamadya dimana museum
tersebut berada.
B. PENGERTIAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di
sebut dengan istilah Penjara. Penjara adalah tempat di mana orang-
orang dikurung dan dibatasi berbagai macam kebebasan. Penjara
umumnya adalah institusi yang diatur pemerintah dan merupakan
bagian dari system pengadilan kriminal suatu negara, atau sebagai
fasilitas untuk menahan tahanan perang.
Penjara di Indonesia dikenal dengan sebutan Lembaga
Pemasyarakatan yang merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Lembaga
Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk
melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan di Indonesia.
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi)
atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang
statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada
dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak
oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan
narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan di sebut
dengan Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan
istilah Sipir Penjara. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas
oleh Menteri Kehakiman Saharjo pada tahun 1962, dimana
disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya
melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah
mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam
masyarakat.
Salah satu LP yang terkenal di Indonesia adalah Nusa
Kambangan. Sebenarnya ada kerancuan dalam pengertian Nusa
Kambangan selama ini. Karana pada dasarnya tidak ada satupun di
Wilayah Indonesia tercinta ini memiliki Penjara atau Lapas (Lembaga
Pemasyarakatan) yang bernama Lapas Nusa Kambangan. Nusa
Kambangan adalah nama sebuah Pulau di sebelah Selatan provinsi
Jawa Tengah. Di pulau tersebut terdapat beberapa buah Lapas
berkeamanan tinggi bagi narapidana kelas berat.
Pada tahun 2005, jumlah penghuni LP di Indonesia mencapai
97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk
68.141 orang. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah
satu penyebab terjadinya over kapasitas pada tingkat hunian LAPAS.
Lembaga Pemasyarakatan mendapat kritik atas perlakuan
terhadap para narapidana. Pada tahun [2006], hampir 10%
diantaranya meninggal dalam lapas. Sebagian besar napi yang
meninggal karena telah menderita sakit sebelum masuk penjara, dan
ketika dalam penjara kondisi kesehatan mereka semakin parah
karena kurangnya perawatan, rendahnya [gizi] makanan, serta
buruknya [sanitasi] dalam lingkungan penjara. Lapas juga disorot
menghadapi persoalan beredarnya obat-obatan terlarang di
kalangan napi dan tahanan, serta kelebihan penghuni.
C. Sejarah Perkembangan Kepenjaraan di Indonesia
Sejarah perkembangan pemasyarakatan di Indonesia
mengungkapkan sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum
di Indonesia dari masa ke masa, sesuai dengan taraf kesadaran
hukum dan perkembangan pandangan bangsa Indonesia tentang
nilai manusia dan kemanusiaan dalam hubungannya dengan
manusia terpidana dan aspirasinya bangsa kita akan arti dan cita-cita
kemerdekaan bangsa dan Negara. Dengan demikian sekaligus akan
lebih jelas terungkapkan apa yang telah melatarbelakangi lahirnya
sistem pemasyarakatan dan tujuan yang hendak dicapai dengan
sistem yang telah dikembangkan sekarang ini.
Sistem kepenjaraan sebagai pelaksana pidana hilang
kemerdekaan kiranya sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat
peradaban serta martabat bangsa Indonesia yang telah merdeka
yang berfalsafahkan Pancasila, karena kepenjaraan berasal dari
pandangan individualisme yang terdapat dalam kamus penjajah,
yang memandang dan memperlakukan orang terpidana tidak
sebagai anggota masyarakat tetapi merupakan suatu pembalasan
dendam masyarakat.
A. Asal Usul Kepenjaraan Di Dunia
Sejarah kepenjaraan dan pemasyarakatan di Indonesia
tidak terlepas dari sejarah kepenjaraan di dunia. Pada abad 15-
16 belum terdapat penjara, tetapi soal penempatan narapidana
sudah mendapat perhatian sejak belum ada penjara sebagai
tempat untuk melaksanakan pidana pencabutan kemerdekaan.
Penempatan narapidana asal mulanya berupa rumah khusus
yang digunakan sebagai tempat pendidikan bagi orang yang
dikenakan tahanan, hukuman ringan dan menanti pengadilan.
Pada tahun 1595 di kota Amsterdam, Belanda sudah mulai
diadakan rumah pendidikan paksa dan membagi tahanan serta
narapidana menurut jenis kelamin yaitu :
a. Rumah pendidikan paksa untuk pria yang dikenal dengan
nama Rasp House, karena para narapidana tersebut
disuruh bekerja meraut kayu untuk membuat warna cat.
b. Rumah pendidikan paksa untuk wanita yang dikenal
dengan nama Discipline House, para narapidana diberi
pekerjaan memintal bulu domba untuk dibuat pakaian.
Sistem ini kemudian diikuti hampir diseluruh dunia. Pada
tahun 1703 di Roma didirikan rumah pendidikan anak oleh
Santo Bapa Clements IX, anak-anak ini pada siang hari bekerja
bersama-sama dan pada malam hari dimasukkan kedalam sel
masing-masing dengan tidak diperkenankan berbicara satu
dengan yang lainnya. Rumah Pendidikan Anak di Roma
Kemudian pada tahun 1718 didirikan penjara di kota
Genk, Belgia oleh Burggraaf Vilain XVI, walikota Genk dengan
nama Maison de Force. Para narapidana diberi pekerjaan dan
pendidikan agama dan waktu bekerja tidak boleh berbicara satu
dengan yang lainnya. Prison Ghenk di kota Genk Belgia
Pada abad 16 di Inggris juga sudah mengenal 2 jenis
situasi yaitu :
a. Rumah tahanan House of Detention dibuat untuk tahanan
yang menunggu putusan perkara.
b. Gaol yang diperuntukkan bagi pelanggar hukuman ringan.
Pada waktu itu kedua institusi ini sangat menyedihkan
cara penempatannya, secara bersama-sama siang
malam.
Setelah ada perjuangan dari John Howard, di Inggris telah
mengalami proses pembaharuan dibidang kepenjaraan,
terutama dengan jalan penempatan narapidana terpisah pada
waktu siang dan malam hari. Pada abad 18 pidana mati dan
badan mulai diganti dengan pidana pencabutan kemerdekaan,
tapi cara penempatannya terpengaruh oleh cara penempatan
bersama-sama siang malam.
Pada tahun 1790 didirikan penjara Wallnutstreet, di kota
Philadelphia, Sistem ini disebut Western Penitentiary System,
para narapidana dalam sel masing-masing siang dan malam
tanpa diberi pekerjaan dan untuk memperbaikinya diberi
bacaan kitab suci. Pada tahun 1820 di kota Boston didirikan
penjara Auburn. Penjara ini didirikan sebagai tantangan
terhadap sistem yang diterapkan pada penjara Wallnutstreet,
Pennsylvania barat. Sistem yang diterapkan di Auburn ini lebih
baik daripada sistem penjara sebelumnya, dimana pada malam
hari para narapidana tidur di kamarnya masing-masing dan
pada siang hari bekerja bersama-sama tanpa berbicara satu
sama lain. Pada tahun 1825 didirikan penjara baru di
Pennsylvania timur, ini merupakan perbaikan dari Pennsylvania
barat. Di dalam penjara ini para narapidana berada di
kamarnya masing-masing dan diberi pekarjaan.
Pada tahun 1877 di Amerika didirikan penjara Elmira yang
khusus untuk pemuda-pemuda yang baru pertama kali masuk
penjara. Di penjara ini para narapidana diberi pekerjaan,
pendidikan, pengetahuan, olahraga, ketertiban, militer dan
sebagainya. Pada abad 19 di Amerika baru mengalami
perubahan undang-undang kepenjaraan dan mulai
mementingkan pendidikan dan pembinaan.
Pada tahun 1930 oleh seorang direktur penjara Amerika
yang bernama Stanford Bates mencoba sistem tersebut yang
dilaksanakan di Tuscon. Disini para narapidana dapat bekerja
bersama-sama dengan baik tanpa diawasi dengan ketat. Maka
disusul pula dibukanya penjara percobaan di Seagovolle pada
tahun 1946.Penjara tersebut dibuat untuk untuk para
narapidana yang mendapat hukuman ringan dan tidak lagi
memberikan kesan menyeramkan. Penjara jenis ini dikenal
dengan nama Pre Release atau Half Way yang berprinsip
kepada keadaan perbaikan hidup narapidana dengan memberi
pendidikan dan pembinaan supaya narapidana tersebut dapat
menuju masyarakat yang bebas. Dengan system kepenjaraan
tersebut diatas maka Amerika merupakan pelopor sistem
kepenjaraan yang modern kepada dunia.
Sejarah kepenjaraan di Indonesia
Perkembangan kepenjaraan di Indonesia terbagi menjadi
2 kurun waktu dimana tiap-tiap kurun waktu mempunyai ciri
tersendiri, diwarnai oleh aspekaspek sosio cultural, politis,
ekonomi yaitu:
a. Kurun waktu pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di
Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan RI ( 1872-
1945 ), terbagi dalam 4 periode yaitu :
1) Periode kerja paksa di Indonesia ( 1872-1905 ).
Pada periode ini terdapat 2 jenis hukum pidana,
khusus untuk orang Indonesia dan Eropa. Hukum
pidana bagi orang Indonesia (KUHP 1872) adalah
pidana kerja, pidana denda dan pidana mati.
Sedangkan hukum pidana bagi orang Eropa (KUHP
1866) telah mengenal dan dipergunakan pencabutan
kemerdekaan (pidana penjara dan pidana kurungan).
Perbedaan perlakuan hukuman pidana bagi orang
Eropa selalu dilakukan di dalam tembok (tidak
terlihat) sedangkan bagi orang Indonesia terlihat oleh
umum.
2) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia menjelang
berlakunya Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland
Indie (KUHP, 1918) periode penjara sentral wilayah
(1905-1921). Periode ini ditandai dengan adanya
usaha-usaha untuk memusatkan penempatan para
terpidana kerja paksa di dalam pusat-pusat
penampungan wilayah. Pidana kerja
lebih dari 1 tahun yang berupa kerja paksa dengan
dirantai/ tanpa dirantai dilaksanakan diluar daerah
tempat asal terpidana. Kemudian sejak tahun 1905
timbul kebijaksanaan baru dalam pidana kerja paksa
dilakukan di dalam lingkungan tempat asal terpidana.
3) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia setelah
berlakunya Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland
Indie (KUHP, 1918) periode kepenjaraan Hindia
Belanda (1921-1942). Pada periode ini terjadi
perubahan sistem yang dilakukan oleh Hijmans
sebagai kepala urusan kepenjaraan Hindia Belanda,
ia mengemukakan keinginannya untuk
menghapuskan sistem dari penjara-penjara pusat
dan menggantikannya dengan struktur dari sistem
penjara untuk pelaksanaan pidana, dimana usaha-
usaha klasifikasi secara intensif dapat dilaksanakan
Hijmans. Pengusulan adanya tempat-tempat
penampungan tersendiri bagi tahanan dan
memisahkan antara terpidana dewasa dan anak-
anak, terpidana wanita dan pria.
4) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia dalam
periode pendudukan balatentara Jepang (1942-
1945). Pada periode ini menurut teori perlakuan
narapidana harus berdasarkan reformasi/ rehabilitasi
namun dalam kenyataannya lebih merupakan
eksploitasi atas manusia. Para terpidana
dimanfaatkan tenaganya untuk kepentingan Jepang.
Dalam teori para ahli kepenjaraan Jepang perlu
adanya perbaikan menurut umur dan keadaan
terpidana. Namun pada kenyataannya perlakuan
terhadap narapidana bangsa Indonesia selama
periode pendudukan tentara Jepang merupakan
lembaran sejarah yang hitam dari sejarah
kepenjaraan di Indonesia, hal ini tidak jauh berbeda
dengan keadaan sebelumnya (penjajahan Belanda ).
b. Kurun waktu kepenjaraan RI, perjuangan kemerdekaan
dan karakteristik kepenjaraan nasional ( 1945-1963 ),
terbagi dalam 3 periode yaitu :
1) Periode kepenjaraan RI ke I ( 1945-1950 ). Meliputi 2
tahap yaitu tahap perebutan kekuasaan dari tangan
tentara Jepang, perlawanan terhadap uasaha
penguasaan kembali oleh Belanda dan tahap
mempertahankan eksistensi RI. Periode ini ditandai
dengan adanya penjara-penjara darurat yaitu
penjara yang berisi beberap orang terpidana yang
dibawa serta mengungsi oleh pimpinan penjaranya.
Pada umumnya didirikan pada tempat-tempat
pengungsian, sebagai tempat menahan orang yang
dianggap mata-mata musuh. Adanya penjara darurat
dan pengadilan darurat dimaksudkan sebagai bukti
kepada dunia luar bahwa pemerintah RI secara de
jure dan de facto tetap ada.
2) Periode kepenjaraan RI ke II ( 1950-1960 ). Periode
ini ditandai dengan adanya langkah-langkah untuk
merencanakan reglement Penjara yang baru sejak
terbentuknya NKRI. Pada periode ini telah lahir
adanya falsafah baru di bidang kepenjaraan yaitu
resosialisasi yang pada waktu itu dinyatakan
sebagai tujuan yang modern di dunia kepenjaraan
internasional.
3) Periode kepenjaraan RI ke III ( 1960-1963 ).Periode
ini merupakan periode pengantar dari periode
pemasyarakatan berikutnya. Periode ini ditandai
dengan adanya kebijaksanaan kepemimpinan
kepenjaraan yang berorientasi pada pola social
defense yang dicanangkan oleh PBB yaitu integrasi
karya terpidana dalam ekonomi nasional, bentuk
baru kenakalan remaja dan penanganan jenis-jenis
kejahatan yang diakibatkan oleh perubahan-
perubahan sosial dan yang menyertai
perkembangan ekonomi. Pembinaan menjelang
bebas dan perawatan susulan serta pemberian
bantuan kepada keluarga terpidana.
B. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
1. Sejarah pemasyarakatan di Indonesia terbagi menjadi 3
periode (Dirjen Pemasyarakatan), yaitu:
a. Periode pemasyarakatan I (1963-1966)
Periode ini ditandai dengan adanya konsep baru
yang diajukan oleh Dr. Saharjo, SH berupa konsep
hukum nasional yang digambarkan dengan sebuah
pohon beringin yang melambangkan pengayoman
dan pemikiran baru bahwa tujuan pidana penjara
adalah pemasyarakatan. Pada konfrensi Dinas
Derektoral Pemasyarakatan di Lembang Bandung
tahun 1964, terjadi perubahan istilah
pemasyarakatan dimana jika sebelumnya diartikan
sebagai anggota masyarakat yang berguna menjadi
pengembalian integritas hidup-kehidupan-
penghidupan.
b. Periode Pemayarakatan II (1966-1975)
Periode ini ditandai dengan pendirian kantor-kantor
BISPA (Bimbingan Pemasyarakatan dan
Pengentasan Anak) yang sampai tahun 1969
direncanakan 20 buah. Periode ini telah
menampakkan adanya trial and error dibidang
pemasyarakatan, suatu gejala yang lazim terjadi
pada permulaan beralihnya situasi lama ke situasi
baru. Ditandai dengan adanya perubahan nama
pemasyarakatan menjadi bina tuna warga.
c. Periode pemasyarakatan III ( 1975-sekarang )
Periode ini dimulai dengan adanya Lokakarya
Evaluasi Sistem Pemasyarakatan tahun 1975 yang
membahas tentang sarana peraturan perundang-
undangan dan peraturan pelaksanaan sebagai
landasan struktural yang dijadikan dasar
operasional pemasyarakatan, sarana personalia,
sarana keuangan dan sarana fisik. Pada struktur
organisasi terjadi pengembalian nama bina tuna
warga kepada namanya semula yaitu
pemasyarakatan.
Titik awal pemisahan LP terhadap tingakat kejahatan,
jenis kelamin, umur dimulai pada tahun 1921 yang
dicetuskan oleh Hijmans, missal : LP Cipinang untuk
narapidana pria dewasa, LP anak-anak di Tangerang, LP
Wanita Bulu Semarang. Hal tersebut dikonkritkan lagi
setelah tercetus konsep pemasyarakatan oleh Dr.
Sahardjo, SH pada konferensi Dinas Direktorat
Pemasyarakatan I di Lembang bandung tahun 1964.
Menurut Soema Dipradja ( 1983 ) dimana perlakuan
terhadap narapidana wanita diberi kebebasan yang lebih
dibandingkan narapidana pria.
Dalam perkembangannya sistem pidana melalui beberapa
tahap ( Dirjen pemasyarakatan, 1983 ) yaitu :
a. Tahap pidana hilang kemerdekaan (1872-1945) ;
Tujuan dari tahap ini membuat jera narapidana agar
bertobat sehingga tidak melanggar hukum lagi.
Sistem pidananya merupakan pidana hilang
kemerdekaan dengan ditempatkan disuatu tempat
yang terpisah dari masyarakat yang dikenal sebagai
penjara.
b. Tahap pembinaan (1945-1963) ; Tahap ini bertujuan
membina narapidana supaya menjadi lebih baik.
Sistem pidananya merupakan pidana pembinaan
dimana narapidana dikurangi kebebasannya agar
dapat dibina dengan menempatkan pada tempat
yang terpisah dari masyarakat.
c. Tahap Pembinaan Masyarakat (1963-sekarang) ;
Tahap ini bertujuan membina narapidana agar dapat
menjadi anggota masyarakat yang berguna. Sistem
pidananya merupakan pidana pemasyarakatan yang
mempunyai akibat tidak langsung yaitu
berkurangnya kebebasan supaya bisa
dimasyarakatkan kembali. Ditempatkan di suatu
tempat tertentu yang terpisah dari masyarakat tetapi
mengikutsertakan masyarakat dalam usaha
pemasyarakatan tersebut. Sedangkan untuk usaha
perlindungan terhadap masyarakat lebih ditekankan
pada segi keamanan LP sesuai dengan fungsi, jenis
dan kebutuhannya. Seseorang disebut narapidana
apabila telah melalui serangkaian proses
pemidanaan sehingga menerima vonis yang
dijatuhkan atas dirinya.
Proses pemidanaan adalah sebagai berikut :
a. Tahanan Polisi ; Seseorang melanggar hukum
kemudian ditangkap polisi, selama dalam proses
pemeriksaan ia menjadi tahanan polisi dengan batas
waktu 20 hari dan apabila dianggap pemerikasaan
oleh polisi belum cukup maka dapat diperpanjang
dengan ijin Kejaksaan.
b. Tahanan Kejaksaan ; Apabila telah selesai diperiksa
oleh polisi maka orang tersebut diserahkan kepada
Kejaksaan untuk diperiksa oleh Kejaksaan dan
menjadi tahanan Kejaksaan.
c. Tahanan Pengadilan ; Apabila perkaranya dianggap
cukup untuk diadili maka pihak kejaksaan akan
menyerahkan orang tesebut pada pengadilan untuk
diadili dan menjadi tahanan pengadilan sampai
selesai putusan perkaranya/ divonis.
d. Narapidana ; Setelah diputuskan perkaranya oleh
pengadilan maka orang tersebut harus dimasukkan
dalam Lembaga Pemasyarakatan. Diserahkan
kepada Kejaksaan kembali untuk diatur
pengirimannya kepada Lembaga Pemasyarakatan
yang cocok untuk pembinaannya.
2. Tujuan Pemasyarakatan
Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan pasal 2, tujuan pemasyarakatan adalah
sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka
membentuk warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi
manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki
diri dan tidak mengulangi tindakan pidana sehinga dapat
kembali diterima di masyarakat, sehingga dapat berperan
kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggunjawab.
3. Fungsi Pemasyarakatan
Menurut UU No. 12 Tahuun 1995 tentang
Pemasyarakatan pasal 3 disebutkan bahwa fungsi
Pemasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan
pemasyarakatan (narapidana, anak didik dan klien
pemasyarakatan ) agar dapat berintegrasi secara sehat
dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggungjawab.
4. Konsep Pemasyarakatan
Konsep pemasyarakatan merupakan pokok-pokok
pikiran Dr. Saharjo , SH Yang dicetuskan pada
penganugerahan gelar Doktor Honoris Cousa oleh
Universitas Indonesia. Pokok-pokok pikiran tersebut
kemudian dijadikan prinsip prinsip pokok dari konsep
pemasyarakatan pada konfrensi Dinas Derektorat
Pemasyarakatan di Lembang Bandung pada tanggal 27
April – 7 Mei 1974. Dalam konfrensi ini dihasilkan
keputusan bahwa pemasyarakatan tidak hanya semata-
mata sebagai tujuan dari pidana penjara, melainkan
merupakan sistem pembinaan narapidana dan tangaal 27
April 1964 ditetapkan sebagai hari lahirnya
pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai
arah dan batasan serta cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan (narapidana, anak didik dan klien
pemasyarakatan ) berdasarkan Pancasila. Menurut UU No. 12
tahun 1995 tentang pemasyarakatan pasal 5, disebutkan
bahwa sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas
a. Pengayoman
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan
c. Pendidikan
d. Pembimbingan
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
penderitaan
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan
keluarga dan orang tertentu
Jadi dengan lahirnya sistem pemasyarakatan, kita memasuki
era baru dalam proses pembinaan narapidana dan anak didik,
mereka dibina, dibimbing dan dituntut untuk menjadi warga
masyarakat yang berguna. Pembinaan napi dan anak didik
berdasarkan sistem pemasyarakatan berlaku pembinaan di
dalam LP dan pembimbingan di luar LP yang dilakukan oleh
Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
C. Prinsip-prinsip Pokok Pemasyarakatan
Dalam Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan yang
pertama di Lembang, Bandung pada tanggal 27 April 1964
dirumuskan prinsip-prinsip pokok dari konsepsi
pemasyarakatan yang kemudian dikenal sebagai Sepuluh
Prinsip Pemasyarakatan ( Keputusan Menteri Kehakiman RI No
M.02.PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
Narapidana/ Tahanan ) adalah sebagai berikut :
a. Ayomi dan berikan bekal hidup agar narapidana dapat
menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang
baik dan berguna.
b. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang
pembalasan.
c. Berikan bimbingan ( bukannya penyiksaan ) supaya
mereka bertobat.
d. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih
buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
e. Selama kehilangan ( dibatasi ) kemerdekaan bergeraknya
para narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan
dari masyarakat
f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak
didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu.
g. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada
narapidana dan anak didik adalah berdasarkan Pancasila.
h. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit perlu
diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum
yang pernah dilakukannya adalah merusak dirinya,
keluarganya, dan lingkungannya kemudian
dibina/dibimbing ke jalan yang benar.
i. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa
membatasi kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.
j. Untuk pembinaan dan bimbingan para narapidana dan
anak didik maka disediakan sarana yang diperlukan.
D. SEPENGGAL SEJARAH TENTANG LEMBAGA
PEMASYARAKATAN INDONESIA
Penjara, Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga
Pemasyarakatan (LP) adalah sebuah jejak-jejak panjang nan penuh
liku. Hal ini terkait dengan sejarah berdirinya negara tercinta ini, yang
memiliki masa-masa pahit tatkala Belanda dan Jepang
menancapkan cakar tajamnya di masa penjajahan. Masa demi masa
terlewati, mengukir catatan demi catatan. Masing-masing masa
memiliki sejarahnya tersendiri.
1. Periode Kerja Paksa
Periode pidana kerja
paksa di Indonesia
berlangsung sejak
pertengahan abad
ke-XIX atau tepatnya
mulai tahun 1872 hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis
hukum pidana; pertama, hukum pidana khusus untuk orang
Indonesia ;dan yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa.
Bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing berlaku
Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus, yakni “Wetboek
van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie”, artinya
Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang pribumi di
Hindia Belanda. Pada saat itu orang Indonesia disebut dengan
“Inlanders”.
Pada periode ini pidana kerja merupakan bentuk pemindanaan
yang seringkali dijatuhkan pada “ inlanders”. Lama pidana kerja
sangat bervariasi bisa seumur hidup, atau minimal satu hari.
Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi dua, yakni kerja paksa
(dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen). Kerja
paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan dengan
dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang di bawah lima
tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting).
Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan istilah
“dipekerjakan” (ter
arbeid stellen), dan
yang di bawah tiga
bulan disebut
“krakal”.
Pidana kerja
paksa baik dengan rantai maupun tidak, dilaksanakan diluar
daerah tempat diputuskannya perkara, juga di luar daerah asal
terpidana. Hukuman yang juga disebut dengan “pembuangan”
(verbanning), dimaksudkan untuk memberatkan terpidana,
dijauhkan dari sanak saudara serta kampung halaman. Bagi
orang Indonesia yang cenderung memiliki sifat kekerabatan
dan persaudaraan, tentu saja hal ini dirasa sangat
memberatkan. Terpidana menjalani kerja paksa diluar daerah,
dengan bekerja pada proyek-proyek besar, seperti; tambang
batu bara di Sawah Lunto (Umbilin), proyek pembuatan jalan di
Sumatera Tengah, Tapanuli, Aceh, Sulawesi, Bali/Kintamani,
Ambon, Timor, dan lain-lain.
Selain itu para terpidana juga bekerja sebagai pemikul
perbekalan dan peluru saat Perang Aceh, dan di tempat-tempat
lain di luar Jawa. Tujuan utama dari hukuman pada periode
tahun 1872-1905 ini adalah menciptakan rasa takut
(afschrikking) dan mengasingkan terpidana dari masyarakat.
Meskipun pada waktu itu berlaku “Reglement op de Orde en
Tucht” (Staatsblad 1871 no. 78) yang berisi tata tertib
terpidana, namun semuanya praktis tidak dijalankan. Para
terpidana tidak mendapatkan perlakuan yang layak
sebagaimana mestinya.
Akibatnya, kondisi kesehatan para terpidana sangat
menyedihkan bahkan hampir setiap hari terjadi usaha pelarian.
Penegakan hukum pada masa kekuasaan Hindia Belanda ini
bersifat menyeluruh hingga ke lapisan masyarakat paling
bawah.
2. Periode Kolonial Belanda
Sejak tahun 1905 mulai dibuat penjara sentral wilayah
(gewestelijke centralen) bagi terpidana kerja paksa, agar
terpidana kerja paksa dapat melakukan beserta jajarannya.
Tercatat sebagai Kepala Urusan Kepenjaraan yang pertama
adalah Gebels seorang sarjana hukum yang berjasa dalam
membuat gebrakan-gebrakan baru dalam hal kepenjaraan.
Pada masa ini sudah mulai diberlakukan sistem kamar
bersama, yang bagi ahli penologi (ilmu kepenjaraan) sistem ini
punya andil dalam menyuburkan terjadinya penularan
kejahatan sehingga muncul istilah “school of crime” (sekolah
kejahatan). Akibat lain adalah munculnya hukum rimba, siapa
yang paling kuat, dia yang berkuasa.
Dan bukan rahasia lagi bila si jagoan ini melakukan aktifitas
homoseksual terhadap mereka yang lebih lemah. Sepanjang
hari, di dalam tembok setinggi empat setengah meter, para
terpidana melakukan kerja paksa yang dikoordinasi layaknya
seorang pekerja dalam sebuah perusahaan. Pekerjaan
dilengkapi dengan seperangkat mesin, yang dikenal dengan
istilah “perusahaan besar” (groote bedrijven/groot
ambachtswerk). Sementara di tempat lain di luar penjara pusat,
terpidana dalam tempat hukumannya di dalam lingkungan
tembok di pusat penampungan.
Kebijakan baru ini terlaksana di bawah pimpinan Kepala
Urusan Kepenjaraan (Hoofd van het Gevangeniswezen) tempat
penampungan dipekerjakan dalam lingkup “perusahaan kecil”
(klein ambachtwerk).
Masa kolonial juga mencatat sebuah peristiwa yang
terbilang kejam, kejadiannya menimpa seorang pemberontak
Indonesia yang sudah menjadi incaran pemerintah kolonial.
Suatu hari pemberontak ini tertangkap dan sebagai “shock
therapy” bagi pemberontak lain, ia diberi hukuman yang tak
berperikemanusiaan. Keempat anggota badannya (tangan dan
kaki) masing-
masing
diikatkan pada
kuda lalu
ditarik oleh
kuda tersebut dengan arah berlawanan. Anggota tubuh si
pemberontak tercerai berai, peristiwa ini terkenal dengan
peristiwa pecah kulit. Saat ini tempat peristiwa tersebut
dijadikan nama jalan di Jakarta-Kota.
Periode ini ditandai dengan lahirnya cikal bakal Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dimulai pada masa ini,
yakni dengan lahirnya “ Wetboek van strafrecht voor
Nederlansch Indie ” (Kitab Undang-undang Hukum Pidana
untuk Hindia-Belanda). Ketentuan ini ditetapkan dengan
Koninklijk Besluit pada tanggal 15 Oktober 1915 no. 33, dan
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Salah satu isi dari
perundang- undangan ini adalah dihapuskannya istilah “pidana
kerja” menjadi “pidana hilang kemerdekaan”.
Dengan adanya “Wetboek van strafrecht voor
Nederlansch-Indie” ini maka tiada lagi perbedaan perlakuan
antara orang Indonesia dan Timur Asing dengan orang-orang
Eropa. Selang tiga tahun sesudah 1 Januari 1918, terjadi
perubahan-perubahan mencolok dalam sistem kepenjaraan.
gbr26.jpgSalah satunya adalah dihapuskannya sistem
“Gewestelijke centralen”, dan diganti dengan sistem
“Strafgevangenissen” (penjara sebagai sarana pelaksanaan
pidana). Perubahan ini terjadi di bawah pimpinan Kepala
Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda, ijmans yang tercatat
sebagai pembawa angin segar dalam sejarah perkembangan
urusan kepenjaraan Hindia-Belanda.
Salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Hijmans adalah
catatannya yang panjang lebar tentang perbaikan urusan
kepenjaraan tertanggal 10 September 1921 kepada Direktur
Justisi. Pria enerjik ini mengutarakan pandangannya tentang
pandangan-pandangannya di bidang kepenjaraan, yang pada
pokoknya berupaya untuk melakukan reformasi bagi terpidana.
Perhatian terutama ditujukan kepada anak-anak terpidana dan
klasifikasi terpidana dewasa. Menurutnya, sedikit kesempatan
bagi terpidana untuk memperbaiki moral di dalam lingkungan
pusat penampungan wilayah, sebaliknya “school of crime” akan
memunculkan penjahat-panjahat baru, yang justru kian
menjerumuskan terpidana menuju jurang kehancuran.
Di bawah kepemimpinan Hijmans pula, Kepenjaraan
Hindia-Belanda untuk pertama kali mengirimkan wakilnya ke
Konggres Internasional Penitentiar kesembilan di London, pada
Agustus 1925. Selain itu tiap tahun memberi sumbangan
berupa uang sebanyak 500 Rupiah kepada sekretariat untuk
anggaran pengeluaran negara dan urusan kepenjaraan.
Baru saja dimulai suatu keteraturan, suasana sontak
berubah manakala terjadi pemberontakan besar-besaran dari
bangsa Indonesia terhadap pemerintah penjajahan Belanda,
pada bulan November 1926. Belanda menyebutnya sebagai
“pemberontakan komunis”. Blok bagian tahanan orang komunis
di Penjara Cipinang sesudah Tahun 1926Banyak putra
Indonesia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara,
sehingga urusan kepenjaraan dihadapkan pada kondisi
“overcrowding” (kepenuhan penjara). Hal ini menjadi
sandungan bagi Hijmans yang tengah mencoba
mengembangkan mutu kepenjaraan.
Suasana penjara menjadi tidak kondusif, sering terjadi
huru-hara, sebut saja di Cipinang pada bulan Juli 1926, di
mana para tahanan politik menyanyikan lagu kepahlawanan
diikuti gerakan mogok makan. Beberapa penjara pun berubah
fungsi menjadi tempat penampungan tahanan politik, misalnya
penjara Pamekasan dan Ambarawa yang semula
diperuntukkan bagi anak-anak, berubah fungsi untuk
menampung tahanan politik. Demikian pula penjara Cipinang,
Glodok, Boyolali, Solo, serta penjara kecil seperti di Banten,
Madiun, dan lain-lain. Bahkan, khusus bagi tahanan politik
didirikan penjara besi di Nusakambangan. Satu catatan lagi,
satu hal yang sering terjadi adalah penyerangan terhadap
pegawai-pegawai penjara.
Kejadian lain yang mewarnai sejarah kepenjaraan di tanah
air adalah penyerbuan terhadap rumah penjara Glodok pada 12
November 1926, sehingga mendorong didirikannya menara
penjagaan untuk mengantisipasi terjadinya penyerangan. Inilah
sejarah didirikannya menara penjagaan.
Rentetan kejadian ini menjadi kendala besar bagi sistem
kepenjaraan yang sesungguhnya tengah dirintis. Benang
merah dari segala kejadian ini adalah menyiratkan betapa
sulitnya posisi atau peran urusan kepenjaraan, yang
dihadapkan pada dua kepentingan, seolah kepenjaraan akan
selalu dihadapkan pada momentum yang sifatnya antagonistic
antara harus berperikemanusiaan atau sebaliknya.
Tentang kondisi ini, John Conrad seorang ahli penologi
akhir abad ke-20 menyebutnya sebagai “irrational equilibrium”,
suatu kondisi yang “uneasy compromise”.
Menjelang masuknya pendudukan Jepang ke Indonesia,
penjagaan di penjara-penjara, yang semula dipegang oleh
militer diganti oleh tenaga pegawai kepenjaraan sipil. Pada
periode ini tercatat beberapa peristiwa penting, antara lain;
1. Tahun 1921, penjara Madiun menyediakan tempat untuk
anak-anak di bawah usia 19 tahun.
2. Tahun 1925, didirikan penjara untuk anak-anak di bawah
umur 20 tahun di Tanah Tinggi, dekat Tangerang. Serta
didirikannya penjara untuk terpidana seumur hidup di
Muntok dan Sragen.
3. Tahun 1927, di Pamekasan dan Ambarawa didirikan
penjara anak-anak.
Pada masa ini penjara-penjara memiliki kedudukan
khusus:
Penjara Sukamiskin untuk orang Eropa dan
kalangan inetelktual
Penjara Cipinang untuk terpidana kelas Satu
Penjara Glodok untuk pidana psychopalen
Penjara Sragen untuk pidana kelas satu (pidana
seumur hidup)
Penjara anak-anak di Tangerang
Penjara anak-anak di Banyu Biru dan Ambarawa
Penjara khas wanita di Bulu Tangerang
Penjara Bantjeuj menjadi saksi salah satu sejarah besar,
penjara yang terletak di tengah kota Bandung ini pada akhir
tahun 1929 pernah dihuni oleh Presiden Pertama RI, Soekarno,
bersama tiga orang PNI (Partai Nasional Indonesia) yang lain.
Sel penjara yang ditempati Soekarno adalah sel nomor 5 di
blok F, berupa ruangan seluas 2,5 x 1,5 meter, yang di
dalamnya terdapat satu tempat tidur lipat dan sebuah toilet non-
permanen. Satu-satunya penghubung dengan dunia luar
adalah sebuah lubang kecil di pintu besi.
Pada Mei 1930, Pengadilan Negeri memutuskan untuk
memindahkan Soekarno, dkk ke penjara Sukamiskin, 15
kilometer dari Bandung. Kali ini Soekarno menempati sel nomor
233, berukuran 2 x 3 meter. Waktu masuk penghuninya dicukur
gundul dan diberi pakaian penjara yang terbuat dari kain katun
kasar. Hanya dua minggu sekali, sang istri, Inggit Ganarsih
diperbolehkan menjenguk.
E. MUSEUM PEMASYARAKATAN
Dengan membaca uraian diatas tentang fungsi museum dan
sejarah tentang penjara atau Lembaga Pemasyarakatan, dapat kita
lihat bahwa Lembaga Pemasyarakatan juga mempunyai sejarah
yang cukup panjang dan unik yang merupakan bagian dari sejarah
nasional.
Di Indonesia masyarakat belum banyak mengetahui tentang
penjara atau LP, masyarakat secara umum masih memandang
penjara seperti jaman Kolonial Belanda dimana penjara atau LP
merupakan tempat penyiksaan bagi para terpidana oleh pemerintah
sebagai pembalasan atau kejahatan yang telah dilakukannya.
Konsep pembinaan dalam Lembaga Masyarakat belum banyak
diketahui dan dimengerti oleh masyarakat, untuk itu dirasa perlu
membuat sebuah sarana, tempat, wadah dalam menginformasikan
tentang pemasyarakatan dalam sejarah dan perkembangannya di
Indonesia seperti Museum Lembaga Pemasyarakatan.
Museum bukanlah semata-mata suatu alat untuk mencegah
bahaya kemiskinan kebudayaan suatu bangsa saja tetapi adalah
suatu lembaga untuk memajukan peradaban bangsa (Sutaarga,
1962: 15).
Museum Lembaga Pemasyarakatan adalah salah satu upaya
melestarikan berbagai peninggalan sejarah dan kepurbakalaan
sebagai kekayaan budaya dan kebanggaan nasional melalui
pengamanan dan perlindungan benda cagar budaya tentang penjara
atau LP dari kemungkinan perusakan, pencurian, penyelundupan,
dan perdagangan benda tersebut, serta penyuluhan mengenai
pentingnya nilai peninggalan sejarah dan purbakala untuk
meningkatkan kesadaran dan rasa memiliki dari masyarakat
Seperti halnya di beberapa negara yang telah membuat
Museum Lembaga
Pemasyarakatan,
seperti Hongkong
(Hongkong
Correctional
Services Museum)
di Stanley yang memberikan kilasan yang menarik berkaitan dengan
suasana kehidupan didalam penjara di Hongkong selama 160 tahun
terakhir. Di museum ini menampilkan evolusi atau metamorfosa
sistem pemasyarakatan Hongkong dari yang awalnya bertujuan
untuk memberikan hukuman kepada narapidana yang dipenjara
menjadi sistem tahanan untuk melakukan rehabilitasi kepada para
napinya.
Didalam
museum ini terdapat
tiang gantungan
tiruan, dua sel imitasi
dan menara penjaga
yang berada diatas
bangunan penjara untuk mengawasi para napi didalam penjara
tersebut. Selain itu, ada juga sekitar 600 artefak dan pemaeran yang
meliputi sejarah dan perkembangan sistem kepenjaraan, hukuman
dan penjara, seragam staf dan lencananya, manusia perahu
Vietnam, senjata rakitan dan masih banyak lagi. Disini juga ada
sebuah toko suvenir yang menjual berbagai benda khas penjara
semacam lencana, dsb.
Museum Lembaga Pemasyarakan di Indonesia diharapkan
dapat memberikan manfaat yang luas seperti :
1. Pusat Dokumentasi dan Penelitian llmiah tentang
pemasyarakatan
2. Pusat penyaluran ilmu untuk umum tentang pemasyarakatan
3. Pusat penikmatan karya seni
4. Obyek wisata tentang pemasyarakatan
5. Media pembinaan pendidikan dan llmu pengetahuan tentang
pemasyarakatan
6. Cermin sejarah manusia, alam dan kebudayaan
Di samping itu melalui Museum Lembaga Pemasyarakatan
dapat menginformasikan berbagai hal sehingga Lembaga
Pemasyarakatan Indonesia dapat diakui dunia dan ikut dalam
membantu Indonesia dalam mewujudkan keamanan nasional dari
berbagai tindak kejahatan.
Museum Lembaga Pemasyarakatan dapat menginformasikan
tentang perlindungan terhadap masyarakat dan berperan dalam
mengurangi tindak pidana kejahatan dengan menyediakan,
memberikan rasa aman kepada manusia, serta lingkungan yang
layak dan sehat bagi orang-orang yang sedang ditahan, memberikan
kesempatan untuk rehabilitasi, dan bekerjasama dengan masyarakat
maupun unsur lembaga lainnya.
F. KESIMPULAN
1. Museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari
keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya,
terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, merawat dan
memamerkan, untuk tujuan-tujuan penelitian, pendidikan dan
hiburan, benda-benda bukti material manusia dan
lingkungannya.
2. Museum memiliki tugas menyimpan, merawat, mengamankan
dan memanfaatkan koleksi museum berupa benda cagar
budaya. Dengan demikian museum memiliki dua fungsi besar
yaitu :
a) Sebagai tempat pelestarian, museum harus
melaksanakan kegiatan sebagai berikut :
o Penyimpanan, yang meliputi pengumpulan benda
untuk menjadi koleksi, pencatatan koleksi, sistem
penomoran dan penataan koleksi.
o Perawatan, yang meliputi kegiatan mencegah dan
menanggulangi kerusakan koleksi.
o Pengamanan, yang meliputi kegiatan perlindungan
untuk menjaga koleksi dari gangguan atau
kerusakan oleh faktor alam dan ulah manusia.
b) Sebagai sumber informasi, museum melaksanakan
kegiatan pemanfaatan melalui penelitian dan penyajian.
o Penelitian dilakukan untuk mengembangkan
kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan
teknologi.
o Penyajian harus tetap memperhatikan aspek
pelestarian dan pengamanannya.
3. Penjara, Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga
Pemasyarakatan (LP) adalah sebuah jejak-jejak panjang nan
penuh liku. Hal ini terkait dengan sejarah berdirinya negara
tercinta ini, yang memiliki masa-masa pahit tatkala Belanda dan
Jepang menancapkan cakar tajamnya di masa penjajahan.
Masa demi masa terlewati, mengukir catatan demi catatan.
Masing-masing masa memiliki sejarahnya tersendiri.
4. Di Indonesia masyarakat belum banyak mengetahui tentang
penjara atau LP, masyarakat secara umum masih memandang
penjara seperti jaman Kolonial Belanda dimana penjara atau LP
merupakan tempat penyiksaan bagi para terpidana oleh
pemerintah sebagai pembalasan atau kejahatan yang telah
dilakukannya.
5. Museum Lembaga Pemasyarakatan dapat menginformasikan
berbagai hal sehingga Lembaga Pemasyarakatan Indonesia
dapat diakui dunia dan ikut dalam membantu Indonesia dalam
mewujudkan keamanan nasional dari berbagai tindak
kejahatan.
6. Museum Lembaga Pemasyarakatan dapat menginformasikan
tentang perlindungan terhadap masyarakat dan berperan dalam
mengurangi tindak pidana kejahatan dengan menyediakan,
memberikan rasa aman kepada manusia, serta lingkungan
yang layak dan sehat bagi orang-orang yang sedang ditahan,
memberikan kesempatan untuk rehabilitasi, dan bekerjasama
dengan masyarakat maupun unsur lembaga lainnya.
PUSTAKA
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan Saturday,
June 08, 2013
2. http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/06/sepenggal-sejarah-
dari-tentang-penjara-masa-kolonial-belanda/