november 1 legal and 2010 - dpr.go.id filerediscovery the spices islands, the legal and...

21
Rediscovery The Spices Islands, The Legal and Socio-Political in North Moluccas November 1 2010 In the second century BC, the spices from East Indies, what is today Indonesia, were brought by sea and land to China, and were among the cargoes carried by camel along the Silk Road to the West. Maluku Utara Dalam Perspektif Diversitas Multidimensi. Syaiful Bahri Ruray 1

Upload: voduong

Post on 17-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Rediscovery

The Spices

Islands, The

Legal and

Socio-Political

in North

Moluccas

November 1

2010

In the second century BC, the spices from East Indies, what is today

Indonesia, were brought by sea and land to China, and were among the

cargoes carried by camel along the Silk Road to the West.

Maluku Utara

Dalam

Perspektif

Diversitas

Multidimensi.

Syaiful Bahri Ruray

1

Rediscovery The Spices Islands,

The Legal and Socio-Political Life in North Moluccas.

(Syaiful Bahri Ruray)

Pendahuluan.

Maluku Utara, adalah sebuah kawasan titik temu dan perkenalan nusantara

dengan dunia luar bermula. Dapat dikatakan perkenalan Indonesia dengan manca

negara berawal dari pulau-pulau penghasil rempah-rempah ini. Perdagangan

rempah-rempah tercatat sejak abad ke 7 Periode Dinasti T’ang (618-907 M) di Cina

bahkan sebelum era Kristus. Perdagangan ini dengan sendirinya membuka jalur

perjalanan ke Maluku. Periode Dinasti T’ang adalah periode dimana Cina

membuka diri untuk perdagangan global dan mengembangkan doktrin Tiongkok

(Zhong-Guo) atau kekaisaran tengah, Cina adalah sentral peradaban dunia.

Sebagaimana diketahui, T’ang adalah salah satu dari 3 dinasti yang sangat

berpengaruh dalam sejarah Cina. Pada Era T’ang ini Maluku Utara pun menjadi

titik sentral perdagangan dan mulai didatangi oleh para pelaut Cina, Arab, Melayu

dan Jawa. Karena dari kepulauan inilah cengkih dan pala berasal. Kata cengkih

(eugenia caryphyllus) sendiri berasal dari bahasa Mandarin : xi’jia, artinya

tumbuhan paku, sedangkan dalam bahasa lokal disebut bualawa (belawa).

The Indonesian term for clove is cengkih, which is thought to originate from

Chinese tkeng-his, meaning ‘scented nails’. The spice’s resemblance to nails is

noted in other languages also: clove are clou in French and nagel in Dutch.

Rempah-rempah Maluku yang dibawa pelaut Cina diperdagangkan melalui laut

2

dan darat dengan menelusuri Gurun Gobi, Lembah Khayber Pass, Nepal hingga

memasuki daratan Eropa (Venice) dan Mesir (Alexandria). Venice adalah pusat

perdagangan Mediteranian untuk rempah-rempah selama berlangsungnya perang

Salib (1096-1291). Jalur ini dinamakan jalur sutera (the silk road), sebuah sebutan

yang dicetuskan oleh bangsawan Jerman, Baron Ferdinand von Richthoven. Silk

Road atau seiden strasse adalah makna metafora untuk menggambarkan jalinan

persahabatan bangsa-bangsa yang terjalin dengan halus sejak berabad-abad

lamanya. Bahkan ada yang menyebut dengan istilah caravan road, karena

perdagangan jalur darat tempo dulu itu menggunakan unta sebagai kendaraan.

In the second century BC, the spices from East Indies, what is today Indonesia, were

brought by sea and land to China, and were among the cargoes carried by camel

along the Silk Road to the West.

Tidak mengherankan jika dalam bahasa lokal Ternate : fang, yang merupakan mata

uang periode Dinasti T’ang, masih digunakan sebagai kata membayar hingga kini.

Tetapi ada pula yang menyebut jalur perdagangan ini sebagai the spices road atau

jalur rempah-rempah karena jalur itu dimulai dari Maluku Utara dimana rempah-

rempah itu berawal.

Cengkih sendiri telah digunakan jauh sebelum masa Kristus. Menurut laporan para

biarawan Fransiscan, yang dikutip dari Ch. van Frassen, menyebut bahwa cengkih

digunakan oleh raja-raja Mesir untuk mummi mereka.

In ancient Egypt, spices were employed in the embalming of bodies.

Namun jalur perdagangan rempah-rempah klasik melalui pedagang Cina ini

terputus ketika Pasukan Mongol menguasai Cina. Jalur ini terputus sekian abad.

Sekalipun demikian, Kubilai Khan (1215-1294), seorang cucu Jengiz Khan dan

pendiri Dinasti Yuan (1271-1368), pernah mencoba menyerang Jawa dalam dua kali

3

ekspedisi dengan 20.000 hingga 3o.000 tentara dengan 1.000 kapal, namun berhasil

diperdayai Raden Wijaya.

Dalam penggalian aerkologi di lembah Eufrat hingga Babylonia, ditemukan artefak

cengkih Maluku pada era Mesopotamia lama. Ini membuktikan bahwa cengkih

telah sampai di Mesopotamia pada 3000 SM. Cengkih telah diperdagangkan oleh

pedagang Arab, India di Pantai Malabar hingga Romawi dan Yunani kuno. Kota

Tyre di Yunani adalah pusat perdagangan Barat dan Timur hingga ditaklukan oleh

Alexander The Great pada 322 SM. Pada tahun yang sama Alexander The Great

menemukan pelabuhan Alexandria, Mesir dan merubahnya menjadi pusat

perdagangan rempah-rempah Timur dan kawasan Mediterania.

Sedangkan kegunaan lain cengkih adalah sebagai bahan baku obat-obatan

(farmasi), kosmetik, parfum dan bumbu masakan. Adapun di Cina, cengkih

digunakan sebagai pengharum mulut sebelum seseorang menghadap sang kaisar.

Karena bau mulut bisa membuat seseorang kena hukum pancung di Cina.

The Chinese, trading with the northern Moluccas during Han Dynasty (2006 BC-220

AD), had a court rule that cloves were to be sucked to sweeten the breath before

speaking to the Emperor.

Menurut catatan de’Clercq, pemukinan Cina, Arab, Jawa dan Melayu telah ada di

Ternate sejak abad 13. Bahkan jauh sebelum itu, Brierley menulis :

Queen of Sheba brought precious stones, gold and spices to Solomon in 992 BC, and

3000 pounds of pepper…….

Dari perkenalan dengan Cina, Arab, Jawa dan Melayu inilah peradaban Maluku

mulai berkembang menjadi kosmopolit abad pertengahan. Karena Maluku mulai

menjadi pusat perhatian dunia.

Kehidupan Sosial.

4

Tatanan sosial secara formal di Maluku Utara pada dasarnya telah dimulai sejak

Perjanjian Foramadiahi pada 1255 dimana empat soa/clan besar (Tomagola,

Tomaito, Marasaoli dan Limatahu) bertemu dan menyepakati membentuk

kekuasaan dengan menunjuk Cico Bunga (1257-1277) bergelar Baab Mashur

Malamo sebagai Kolano (raja) pertama. Empat soa ini kemudian disebut sebagai

fala raha (four house). Fala Raha berfungsi sebagai lembaga konstitutif dalam tata

pemerintahan di Ternate. Sedangkan badan eksekutif adalah Dewan 18 (Bobato

Nyagimoi se Tufkange) yang menjalankan pemerintahan dengan dipimpin oleh

Kolano (The Sultan) dan Jogugu (The Prime Minister) serta perangkatnya berupa

bobato dan sangaji. Masa keemasan Maluku Utara dapat disebut terjadi pada era

Sultan Babullah (1570-1583), dimana pengaruh kesultanan Ternate berkembang

hingga Mindanao dan Bima. D”Clercq menyebut Babullah sebagai penguasa 72

pulau. Mc. Ricklefs juga banyak mencatat pertempuran Babullah melawan

Portugis. Bahkan sejarawan Uka Tjandrasasmita mengungkapkan jatuhnya

pelabuhan Sunda Kelapa ke tangan Falatehan (Fatahillah), pasukan Ternate dan

Tidore telah terlibat dalam penaklukan Jayakarta tersebut.

The peak of Ternate's power came near the end of the sixteenth century, under

Sultan Baabullah (1570-1583), when it had influence over most of the eastern part of

Sulawesi, the Ambon and Seram area, Timor island, parts of southern Mindanao and

as well as parts of Papua. It frequently engaged in fierce competition for control of

its periphery with the nearby sultanate of Tidore. According to historian Leonard

Andaya, Ternate's "dualistic" rivalry with Tidore is a dominant theme in the early

history of the Maluku Islands.

Adapun struktur kerajaan di Maluku Utara sangat memengaruhi kehidupan sosial

di Maluku Utara. Istilah Kolano berubah menjadi Sultan sejak Zainal Abidin (1486-

15000) belajar ke Sunan Giri di Jawa. D”Clercq menyebut Zainal Abidin adalah

sultan pertama (de eerste sultan, the first sultan) dan mulai memberlakukan syariat

5

Islam di seluruh wilayah pengaruh kesultanan dengan memerintahkan para

kawula untuk berpakaian yang sopan dan menutup aurat, tidak memakai cawat

(cidaku/sabeba). Sedangkan kaum perempuan memakai penutup kepala.

The royal family of Ternate converted to Islam during the reign of King Marhum

(1465-1486), his son and successor, Zainal Abidin (1486-1500) enacted Islamic Law

and transformed the kingdom into Islamic base Sultanate, the title Kolano (king)

was then replaced with Sultan.

Sedangkan Tidore mencapai puncak keemasannya pasa era Sultan Nuku. Kaicili

Nuku terkenal dengan gerilya lautnya selama 22 tahun lebih melawan Belanda.

Sebuah pertempuran yang sangat hebat dan berlangsung lama melebihi perang

Napoleon di gelanggang Eropa. Nuku juga kemudian berupaya keras

merekonstruksi Kerajaan Jailolo dengan mengangkat Muhamad Arif Billa, Sangaji

Tahane, yang menjadi pengikut setianya dalam perang dan sempat mencapai

posisi sebagai Jogugu Tidore. Namun rekonstruksi itu terus gagal karena ditentang

oleh Belanda. Nuku bekerja sama dengan Inggris dan membuat pakta saling

menghormati kedaulatan masing-masing. Yang menarik secara sosial pada

periodisasi Nuku ini adalah terjadinya cross cultural movement yang demikian

hebat di Maluku Utara, dimana gerakan Nuku ini telah memobilisasi dan

menyatukan Gam-Range yang multi etnis, agama bahkan suku Alifuru di Seram

hingga Papua, sebagaimana yang disebut Muridan Satrio Wijoyo. Dengan

demikian heterogenitas sosial pada dasarnya telah terjalin demikian erat pada

periode Nuku ini.

Sebelumnya, ulama Tidore, Tuan Guru (Joguru) Imam Abdullah ibnu Qadi

Abdussalam, juga memberontak terhadap Belanda ketika Belanda merestui Patra

Alam (1780-1784) sebagai Sultan Tidore. Mereka menolak sultan menjadi kaki

tangan Belanda. Qadi ini kemudian bersama pengikutnya dibuang ke Srilanka

(Ceylon) lalu ke Afrika Selatan. Beliau dilahirkan di Tidore, dibesarkan di dalam

6

Istana Kerajaan Tidore sebagai seorang pangeran. Tiba di Afrika Selatan sebagai

tahanan politik pada tanggal 6 April 1780 dan dipenjarakan oleh Belanda di pulau

Robben selama 13 tahun hingga tahun 1792 barulah dibebaskan oleh Belanda.

Tuan Guru (Joguru) adalah orang Indonesia kedua yang menyebarkan Islam di

Afrika Selatan setelah Syech Yusuf. Keduanya memiliki nasib yang sama, dibuang

Belanda di benua Afrika. Syech Yusuf dibuang ke Cape Town pada 1693 dan

meninggal di pengasingan pada 23 Mei 1699. Sementara itu, Tuan Guru, Pangeran

Tidore yang lahir pada 1712, ditangkap karena menentang Belanda dan diasingkan

ke Robben Island di Cape Town pada 6 April 1780 bersama dengan tiga orang

rekannya yaitu Abdul Rauf, Badroedin, dan Nur Al-Iman.

Selama dalam pengasingan selama 13 tahun, Tuan Guru menulis buku antara lain

Ma'rifatul Islami wal Imani yang diselesaikannya pada 1781. Buku tersebut

berbahasa Melayu tetapi berhuruf Arab. Tuan Guru juga menulis Al-Quran dengan

tangannya sekitar 600 halaman. Setelah era Al-Quran cetak, baru diketahui Al-

Quran tulisan tangan Tuan Guru memiliki sedikit kesalahan.

Setelah bebas dari pengasingan, Tuan Guru menikah dengan Kaija van de Kaap

dan tinggal di Dorp Street, Cape Town. Dari pernikahan tersebut, lahir Abdul

Rakief dan Abdul Rauf, yang juga sangat berperan dalam penyebaran Islam di

Afrika Selatan.

Di sebuah gudang di tempat tinggal yang baru inilah Tuan Guru mendirikan

madrasah, yang juga merupakan sekolah muslim pertama di Afrika Selatan.

Sekolah ini sangat popular di kalangan budak dan komunitas warga kulit hitam

nonbudak. Sekolah ini juga menjadi tempat lahirnya ulama-ulama Afrika Selatan

ketika itu seperti Abdul Bazier, Abdul Barrie, Achmad van Bengalen, dan Imam

Hadjie. Murid Tuan Guru ketika itu mencapai 375 orang. Pada 1793, Tuan Guru

mengajukan permintaan untuk membangun masjid pada 1794 kepada pemerintah

7

Afrika Selatan yang saat itu dikuasai Belanda. Permintaan Tuan Guru ditolak.

Belanda takut perkembangan Islam akan menganggu kekuasaannya. Bahkan,

penjajah Belanda di Afrika Selatan juga melarang penyelenggaraan ibadah Islam.

Namun, Tuan Guru menentang kebijakan Belanda tersebut. Walau pembangunan

masjid dilarang, Tuan Guru tetap menggelar Salat Jumat di tempat terbuka

tersebut, yang juga tercatat sebagai shalat Jumat pertama yang dilakukan secara

terbuka di Afrika Selatan.

Ketika Afrika Selatan dikuasai Inggris pada 1795, Jenderal Craig mempersilahkan

warga Muslim untuk membangun masjid. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan

Tuan Guru. Dia langsung membangun masjid di tempat yang semula menjadi

madrasah tersebut. Masjid inilah yang kemudian dinamai Masjid Auwal, mesjid

pertama di Afrika Selatan. Tuan Guru meninggal pada 1807 yang dikebumikan

pada 1807 di Tana Baru, yang juga merupakan tempat pemakaman Muslim

pertama yang dibangunnya di Afrika Selatan. Nelson Mandela, pemimpin besar

yang menyatukan dan mendamaikan konflik apartheid Afrika Selatan, dalam

pidatonya, berterima kasih pada Tuan Guru Tidore, sebagai orang yang pertama

memperkenalkan pendidikan secara formal bagi masyarakat hitam Afrika Selatan.

Mandela menganggap Tuan Guru Tidore dan Syekh Yusuf adalah pahlawan Afrika.

Karrna tanpa pendidikan bangsa Afrika ini tidak akan memperoleh arti

kemerdekaannya.

Dengan demikian kehidupan sosial di Maluku terbentuk karena interaksinya

dengan berbagai persentuhan global sejak awal bedirinya kerajaan Moloku Kieraha

di kawasan ini. Rempah-rempah adalah alasan utama bangsa Eropa datang ke

Maluku. Ketika Cina dikuasai Dinasti Mongol, jalur laut ke Maluku terputus

selama 200 tahun. Hal ini membuat pelaut Eropa mulai mencari jalan ke Maluku.

Christopher Colombus dengan El Pinto menemukan Amerika pada 1492,

sesungguhnya adalah ekspedisi gagal karena tidak menemukan the spices islands.

8

Colombus mengira penduduk asli Amerika yang ditemuinya adalah orang Ternate

dan Tidore, makanya mereka dinamakan Indian, karena Ternate dan Tidore, atau

Maluku pada umumnya, saat itu masih disebut dengan istilah Indien Insula atau

Ilhas das Moluccas. Ada juga pendapat lain, sejarah Amerika dari Legacy

International, menyebutkan Colombus mengira penduduk asli Amerika sebagai

orang India. Colombus membawa emas, budak Karibia dan burung kakatua, tanpa

rempah-rempah, salah musim, belum saat panen, demikian kilahnya. Sama halnya

dengan ekspedisi Hernan Cortez pada 25 September 1493, dengan tujuh belas kapal

tetapi malah menemukan pedalaman Kuba dan menaklukan suku Aztec. Cengkih

tidak ditemukan, mereka hanya menemukan daun tembakau, tomat, jagung,

kentang dan biji cokelat serta emas Montezuma yang dipersembahkan kepada raja

Spanyol pada 1526.

Dari Maluku pula, aksara latin pertama kali mulai dikenalkan secara resmi pada

1536, yakni melalui sekolah pertama di Indonesia yang didirikan di Ambon oleh

penguasa Portugis, Antonio Galvao. Orang-orang di Ambon mengenal bahasa

Melayu melalui karya misionaris Fransiscus Xaverius. Pastor ini meminta

seseorang di Malaka menerjemahkan ayat-ayat pegangan Nasrani, “Doa Bapa

Kami”, “Salam Maria”, dan “Syahadat Rasuli”, dan berkeliling membawa lonceng di

Ambon dan sekitarnya. Siapa yang bisa menghafal ayat-ayat pegangan itu lantas

dibabtis di bawah nama Bapa, Putra, dan Rohkudus. Tapi baru satu abad

kemudian kitab suci Nasrani dicetak dalam bahasa Melayu. Dan sejauh ini, kitab

itu lah yang boleh dikata sebagai cetakan tertua dalam sejarah pustaka Indonesia

bertuliskan latin, dikerjakan oleh Brouwerius, diterbitkan pada 1663.

Manakala Belanda berhasil mengalahkan Portugis, didapatnya orang-orang di

Ambon-sebagai pusat rempah-rempah yang menjadi tujuan utama penjajahan

bangsa-bangsa Barat telah mengenal bahasa Melayu. Melihat kenyataan ini,

kemudian Belanda memanfaatkan bahasa Melayu sebagai bahasa administratif.

9

Dalam perkembangannya di kemudian hari, orang Belanda juga mengajar orang-

orang di Ambon dan Maluku berbahasa Melayu. Salah seorang yang paling penting

adalah Josef Kam, Pendeta Protestan lembaga NZG (Nederlands Zendelingen

Genootschap). Di masa penjajahan Belanda inilah bahasa Melayu-tinggi sebagai

kosokbali Melayu-pasar, dilembagakan lewat satu-satunya kitab yang

dikeramatkan oleh Belanda, yaitu:

“El Khawlu’l Djadid, ija itu segala surat perdjanjian baharuw, atas titah segala

tuwan pemarentah kompanija, tersalin kepada bahasa Melajuw”

Pengaruh bahasa Arab merupakan ciri perdana bahasa Melayu-tinggi tersebut.

Tulisan-tulisan sastra lama Melayu yang ditulis dengan Arab gundul, di masa ini,

juga ditransliterasi oleh Belanda menjadi buku-buku penting dengan aksara Latin,

misalnya Hang Tuah dan Sejarah Melayu. Tidak mengherankan jika surat

berbahasa Melayu tertua di dunia berasal dari Surat Sultan Abu Hayat, tertanggal

27 April dan 8 Nopember 1521 yang tersimpan dalam arsip Torre do Tombo di

Lisabon.

Adapun naskah Melayu (non surat) tertua ditemukan di Jambi oleh Uli Kozok

(2002), seorang ahli filologi Jerman pada Kitab Undang Undang Tanjung Tanah.

Berdasar uji radio karbon di Wellington, naskah ini diperkirakan dibuat pada

zaman Kerajaan Adityawarman di Suruaso (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara

1345 hingga 1377. Naskah ini dibuat di Kerajaan Dharmasraya yang waktu itu

berada di bawah Kerajaan Malayu yang berpusat di Suruaso. Karena itu Kozok

mengumumkan naskah tersebut sebagai naskah Melayu tertua di dunia yang

pernah ditemukan.

Dari penjelasan singkat diatas dapat digambarkan bahwa kehidupan sosial Maluku

Utara demikian kaya akan persentuhan dengan dunia luar sejak awal sejarah

peradabannya. Untuk itulah, adalah aneh jika realitas kontemporer Maluku Utara

10

malah surut kebelakang menjadi masyarakat tertutup atau bahkan xenophobia.

Proses akulturasi peradaban telah berlangsung demikian intens, sehingga bahasa

Ternate dapat dikategorikan sebagai lingua franca karena juga ditemukan berbagai

kata Spanyol dan Portugis, selain Cina dan Belanda. Pombo (merpati), teturuga

(penyu), baronda, bandera, fang, ko, ci, cengkih, sinyora, horas, kadera, balanga,

telinga, sabon, pesta, testa, feneti dan kata- kata asing lainnya dikenal di nusantara

bermula dari Maluku.

Realitas Politik dan Hukum.

Secara politik, Maluku Utara sejak 1255 telah mengenal struktur kekuasaan politik

melalui Perjanjian Foramadiahi. Perjanjian tersebut dilakukan oleh empat soa

(clan) untuk membentuk dan membagi kekuasaan. Sekalipun format kekuasaan

politik ini sangat tradisional namun dapat menggambarkan secara jelas akan

distribusi kekuasaan saat itu, dimana pada saat yang sama diseantero Indonesia

masih terperangkap dengan pola kekuasaan yang ‘onehand ruller’. Tidaklah

berlebihan jika Cornelis Lay, cendikiawan UGM, Jogjakarta, mengatakan jika mau

belajar demokrasi haruslah dimulai dari Ternate. Karena pucuk kekuasaan politik

di Maluku Utara tidak mengenal lembaga ‘putera mahkota’. Sultan dipilih melalui

persidangan terbuka para bobato dan fala raha. Sultan pun diambil sumpah

dengan kalimat sakral yang berisi larangan dan pantangan untuk bertindak dzolim

terhadap para kawula dan bahkan seisi alam. Sultan pun dalam khazanah politik di

Maluku Utara dapat dikritik oleh kawula apabila kawula memandang Sultan

bertindak tidak sesuai dengan sumpahnya. Legu Kadaton adalah lembaga kritik

dimana selama legu kadaton berlangsung, sultan diharuskan mendengar kritik

tersebut hingga selesai. Ia dilarang meninggalkan tempatnya selama kritik

berlansung. Kritik disampaikan dalam bentuk sastra tinggi bahkan tarian yang

halus. Juga kesultanan ini tidak mengenal lembaga putra mahkota. Karena Sultan

dipilih secara demokratis dalam musyawarah bobato 18 (dewan 18). Dengan

11

demikian, Kesultanan Moloku Kieraha dapat dikategorikan sebagai negara

demokrasi dengan sistem monarki konstitusional.

Tradisi berdemokrasi yang halus dan berbudi pekerti ini seharusnya diajarkan oleh

dunia pendidikan kita sebagai kurikulum lokal untuk menjadi kearifan lokal.

Kesultanan Moloku Kieraha dengan demikian dapat dikategorikan sebagai negara

demokrasi dengan sistem monarki konstitusional. Halmana penting bagi Indonesia

di era reformasi sekarang yang masih mencari fromat yang tepat untuk

berdemokrasi secara lebih etis dan tidak terperangkap pada jebakan anarkisme

politik yang destruktif.

Konsensus politik tertinggi di Maluku Utara juga sudah dikenal dengan

berlangsungnya Moti Agreement (Moti Staten Verbond) pada 1322, dimana Sultan

Sidang Arif Malamo (1322-1331) memprakarsai terbentuknya Konfederasi Moti yang

menyatukan empat kesultanan (Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan) dalam sebuah

konfederasi yang dikenal dengan Moloku Kieraha. Konfederasi ini sempat

berlangsung hingga 25 tahun, kemudian mau di hidupkan kembali oleh Sultan

Khairun namun gagal karena intervensi politik imperialisme Barat mulai merasuki

kepulauan Maluku. Bahkan dalam beberapa catatan termasuk laporan Gubernur

Robert Padtbrugge (1682), di Maluku bukan saja empat kerajaan tetapi lima

termasuk Loloda. Dalam kosmologi politik Maluku dikenal ‘tales’ sebagai berikut :

Loloda, Ngara ma –beno - Loloda, Wall of the Gate.

Jailolo, Jiko Ma –Kolano - Jailolo, Ruler of the Bay.

Tidore, Kie Ma- Kolano - Tidore, Ruler of the Mountain.

Ternate, Kolano Ma-luku - Ternate Ruler of Maluku.

Bacan, Kolano Ma-dehe - Bacan, Ruler of the Far End.

12

Ternate sempat menjadi pusat kekuasaan Eropa di nusantara sebelum dipindahkan

ke Jakarta oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzen Coen. Empat Gubernur Jenderal

Belanda Pieter Booth (1610-1614), Gerard Reynst (1614-1615), Dr.Laurenz Reael (1616-

1619) dan Jan Pieterszoon Coen (1619-1623) yang kemudian memindahkan ibukota

dari Ternate ke Jakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas V.O.C

(Dutch East Indian Company), sebuah perusahaan multi nasional pertama yang

dikenal dunia, untuk Asia Tenggara berpusat di Ternate di benteng Oranye yang

dibangun Cornelis Metalief de Jonge pada 1606-1609. V.O.C tercatat menempatkan

gubernurnya di Ternate sebanyak 55 orang sejak 1607 hingga 1810. Sebelumnya

pusat kekuasaan Portugis (1502-1575) berpusat pada benteng Nuestra Senhora del

Rosario di desa Castella. Peristiwa politik besar di nusantara juga terjadi di benteng

ini ketika Dom Diego Lopez de Musquitta, penguasa Portugis di Maluku,

menyuruh ponakannya, Antonio Pimentel, menusuk Sultan Khairun pada 8

Februari 1570 dalam jamuan makan malam resmi sebagai bagian dari upacara

perdamaian. Pecahlah perang Ternate yang dipimpin Babullah melawan Portugis

selama lima tahun. Inilah perang pertama nusantara melawan imperialisme Eropa

dalam sejarah. Padahal sebelumnya masyarakat Ternate dan Tidore telah

menerima dengan baik Fransisco Serrao, yang tercatat sebagai orang Eropa

pertama yang menetap di Nusantara pada 1511. Kapal Serrao yang mengalami

kerusakan di Pantai Hitu, Ambon, didengar oleh Sultan ternate lalu dijemput ke

Ternate dan kemudian diangkat sebagai penasehat Sultan. Serrao menyurat ke

Lisabon bahwa dia dihormati dan diangkat sebagai Kapitan Jenderal (Kapita

Malamo) oleh Sultan Ternate, Bayan Sirullah. Serrao kemudian diberi ijin

membangun benteng Telucco pada 1512. Portugis tercatat menempatkan

Gubernur-nya sejak 1522 hingga 1575 sebanyak 20 orang. Tetapi dalam periode

penuh intrik Portugis dan Spanyol inilah, Maluku bergolak dengan hebatnya. Nyai

Cili Boki Raja atau juga dikenal sebagai Nyai Cili Nukila, puteri Sultan Tidore Al

Manshur yang menikah dengan Sultan Ternate Bayan Sirullah, salah satu tokoh

13

yang menjalani perjalanan sejarah yang sangat dramatis. Bahkan sejarawan

Paramita Abdurrahman melukiskan sebagai : a sad story of a Moluccan Queen.

Karena dari intrik internal dua rivalitas kesultanan Tidore dan Ternate, hingga

anak-anaknya yang tertawan Portugis, dan sempat memimpin perang jihad,

terakhir bersama anaknya Sultan Tabariji (nama baptisnya Dom Manuel),

memeluk Katolik karena dibaptis Xaverius lalu meninggal dalam keadaan papa.

Spanyol, terhitung sejak ekspedisi Magellan (1519) selama 25 bulan perjalanan

dengan 270 anak buah kapal, mulai mencari jalan ke Maluku. Namun Magellan

wafat dalam pertempuran lokal di Mactan, Filipina. Ekspedisi ini dilanjutkan oleh

nakhoda Juan Sebastian d’el Cano dengan dua kapal tersisa, Trinidad dan Victoria.

Ekspedisi ini kemudian berlabuh di Tidore pada 1521 yang disambut Sultan Tidore

Al-Mansyur, setelah 3 hari berlabuh di dermaga Talangame tetapi tidak dihiraukan

Sultan Ternate karena Portugis lebih dulu bercokol di Ternate sejak 1511.

Antonio Pigafetta, seorang bangsawan Italia, yang mengikuti ekspedisi ini dan

menjadi juru tulis dan mencatat perjalanan ini sebagai perjalanan keliling dunia

pertama kali ini dalam sejarah. Spanyol sempat membangun benteng di Tidore,

Fort Tsjobbe sebagai simbol hegemoni politiknya. Kehadiran Spanyol ini membuat

Traktat Tordesillas yang ditandatangani antara Spanyol dan Portugis pada 7 Juni

1494 atas prakarsa Paus Alexander VI pun menjadi konflik terbuka di Ternate dan

Tidore karena masing-masing mengklaim batas demarkasinya dan ingin

memonopoli rempah-rempah Maluku. Walaupun batas demarkasi ini telah

dikukuhkan juga melalui Traktat Zaragosa pada 22 April 1529 dimana Spanyol

harus melepaskan Maluku setelah memperoleh kompensasi sebesar 350.000 dukat

emas. Spanyol tercatat menempatkan sebanyak 19 Gubernur-nya di Maluku sejak

1606 hingga 1663. Sedangkan Pelaut Inggris, Sir Francis Drake, dengan kapal

Golden Hind, tiba Ternate pada 1579. Drake berhasil bersahabat baik dengan

Babullah dan membuat perjanjian bahwa selama 20 tahun cengkih hanya dijual

14

kepada Inggris. Inggris kemudian hari, sempat menempatkan the British Resident-

nya sebayak 5 orang sejak 1800 hingga 1816.

Dalam tatanan sosial dan hukum, Kesultanan di Maluku Utara menggunakan

intelektual Islam (Habaib) untuk menjadi qadi atau mufti pada setiap

kesultanannya untuk memberikan pijakan sesuai hukum syariat. Sultan Bacan

misalnya memiliki Qadi Bin Syech Abubakar, Alhadaar dan Assegaf, sedangkan

Sultan Ternate adalah Habib Hasyim Albaar salah satunya yang paling populer.

Jadi produk hukum berupa tatanan sosial adalah pengejawantahan dari syariat

agama yang di sosialisasikan dalam bentuk ‘dora-bololo’ yang berisi ‘dalil tifa’ dan

‘dalil moro’. Karena tingkat pendidikan para kawula yang tidak merata maka

penyebaran syariat melalui pranata kultural menjadi pilihan efektif untuk

menyampaikan aspek aturan agar ditaati oleh masyarakat. Tradisi ini awalnya

dicanangkan oleh Zainal Abidin setelah berguru pada Sunan Giri dan mengajak

Datuk Maulana Husain, seorang murid terbaik Sunan Giri untuk menetap di

Ternate. Datuk Maulana Husain adalah seorang pembaca Al Qur’an yang fasih.

Dalam aspek hukum pertanahan juga, Sultan memiliki hak adat berupa aha

cocato, aha kolano, aha soa, hak tolagumi, hak safa, hak ruba bangsa dan hak

jurami dan di laut sepertyi ngolo sahe, ngolo ngido dan ngolo lamo yang kemudian

dapat dinikmati oleh rakyat, terutama bagi mereka yang berjasa dalam ekspansi

kerajaan. Misalnya kawasan Face, Moya, Takome, Sulamadaha, Pulau Hiri (Faudu),

Wayoli Kasturian yang dihibahkan untuk orang-orang Sula, sebagai penghargaan

atas jasa-jasa mereka dalam penguasaan Buru, Ambalau, Buano, Hitu di Ambon

dan sekitarnya.

Namun saja Kota Ternate sendiri setelah dikuasai V.O.C ( 1602-1800), maka pada

periode Hindia Belanda (1800-1942) Kota Ternate dibagi menjadi dua bagian staats

gemente, dengan dua wilayah hukum. Pemisahan administratif hukum di Kota

Ternate pada wilayah adat ini dapat dikatakan sebagai “Volkgemeenschapen”,

15

istilah yang merujuk pada struktur pemerintahan adat, yang harus diakui dan

dihormati oleh negara, berdasarkan “hak asal-usul”.

Dengan demikian hukum adat berlaku pada bagian utara kota Ternate dengan

Kampung Makassar (Melayu-Cim) sebagai batasnya dan bagian selatan kota

berlaku Netherland Legal System yang berlaku di Indonesia berdasarkan asas

Concordansi yang juga meniru Code Napoleon (Code Penal, Code Civil dan Code du

Comerce) ketika Napoleon menduduki Belanda. Jadi tanah misalnya di bagian

selatan Kota Ternate banyak yang berstatus sesuai Agrarische Wet (Staatblad 1870-

55) seperti erfpacht, eigendom verponding, postal, gebruik (hak pakai) dan bruikleen

(hak pinjam pakai). Sedangkan bagian utara Kota Ternate berlaku hukum adat

seperti hak cocato dan lainnya dari kesultanan. Pemilahan status hukum kota

Ternate ini tentu tidak lepas dari politik hukum Belanda dengan motif divide et

impera. Kolonial Belanda memberlakukan Indische Staatregering (I.S) dan

Regering Reglement (R.R) dengan Pasal 131 dan 162 tentang “bevolking group”

atau penggolongan status hukum bagi warga Hindia Belanda atas 3 golongan :

Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Bumi Putera (Inlander).

Terhadap penduduk asli Indonesia berlaku hukum adat. Indonesia dibagi menjadi

19 wilayah hukum adat menurut Cornelis van Vollenhoven (1874-1933). Jadi tidak

mengherankan jika tata kota Ternate versi Hindia Belanda terdapat pemisahan

termasuk kompleks pekuburan Cina, Eropa dan Muslim.

Ada 3 teori dalam perspektif ini; pertama adalah receptio in complexu yang

menyatakan hukum Islam telah diterima secara menyeluruh dan berlaku bagi

persoalan-persoalan hukum yang dihadapi umat Islam. Kedua; teori receptie,

yang diperkenalkan oleh Van Vollenhohen dan dikembangkan oleh Snouck

Hurgronje (1857-1936), seorang penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang

soal-soal Islam dan pribumi negeri jajahan. Menurut teori ini, hukum Islam

berlaku jika menyerap kedalam hukum adat, sehingga bagi pribumi Indonesia

16

berlaku hanya hukum adat saja. Sedangkan teori ketiga adalah receptio in

contrario, yang dikembangkan Sayuti Thalib, murid Prof.Hazairin, dimana

hukum Islam yang berlaku dengan mengacu pada undang-undang negara

Indonesia. Teori ini adalah bantahan terhadap teori van Vollenhoven dan Snouck

Hurgronje (receptie). Bahwa hukum adat tetap masih berlaku sepanjang tidak

bertentangan dengan hukum Islam dan hukum positif negara Indonesia.

Tentu saja, setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, ditetapkan UUD 1945 yang

menganut asas ‘equality before the law’ dimana semua orang memiliki hak yang

sama dimata hukum. Hal ini seiring dengan politik unifikasi maunpun kodifikasi

hukum nasional Indonesia. Apalagi terhitung berlakunya UU No.5 /1960 tentang

Undang-undang Pokok Agraria maka hak-hak adat maupun hak barat atas tanah

ini mulai dikonversi sesuai dengan hukum positif Indonesia. Undang-undang ini

dianggap berbasiskan hukum adat (pasal 5) dengan tujuan antara lain mengakhiri

dualisme hukum pertanahan yang dikembangkan oleh Pemerintah Hindia

Belanda. Namun saja, diperlukan waktu hampir tiga dasawarsa untuk menerbitkan

peraturan yang mengakui hak-hak adat.

Maluku Utara, Potret Masa Depan.

Maluku Utara kontemporer adalah sebuah potret yang harus direkonstruksi agar

tidak kehilangan jati dirinya, lost of existence. Dalam mengadapi globalisasi bagi

Maluku Utara sendiri pada dasarnya bukan hal baru, karena globalisasi

sesungguhnya telah berlangsung di nusantara dan berawal dari gugusan kepulauan

rempah-rempah ini. Dunia mengenal rempah-rempah hingga Madagascar

(Zanzibar) adalah karena Maluku. Pierre Poivre (1719-17860), seorang ahli

holtikultura Perancis dan misionaris yang bertugas sebagai administrator di Ile de

France (Mauritius) dan Ile Bourbon (Reunion) pada 1760-an, masuk Maluku diam-

diam dengan kapal Dauphin lewat pulau Mayau pada 1755, berhasil

menyelundupkan bibit cengkih dan pohon pala dari Maluku ke Mauritania namun

17

tanahnya ternyata tidak cocok untuk pohon cengkih, makanya bibit cengkih

tersebut dipindahkan kemudian hari hingga ke Madagascar oleh pihak Inggris

pada 1848 atas dukungan Sir Stamford Raffles. Upaya ini berhasil menerobos ‘hongi

tochten’ atau politik ekstirpasi (monopoli) Belanda atas perdagangan cengkih

Maluku. Sementara Belanda mempertahankan monopoli dan pada abad ke-17

adalah abad keemasan VOC karena memperoleh keuntungan 2000 kali. Masa

inilah Belanda membangun rumah-rumah indah ditepian kanal-kanal Amsterdam

dengan keuntungan cengkih Maluku tersebut.

Indonesia hari ini ada karena Traktat London 1824 sebagai bagian dari

imperialisme masa lalu, imperialisme itu berawal di nusantara karena the spices

factor. Ternate dan Tidore adalah titik awalnya. Tanpa gugusan kepulauan

Maluku, maka tidak ada Indonesia sebagai negara nusantara ketiga setelah

Sriwijaya dan Majapahit.

Dalam risalah sidang kedua BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia/Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang dipimpin Dr. Radjiman

Wedyodiningrat pada tanggal 10 sampai 16 Juli 1945, membahas tentang konstitusi

negara dan wilayah Indonesia, maka BPUPKI menetapkan wilayah Indonesia

adalah eks Hindia Belanda sesuai dengan Traktat London.

Ternate yang sebelumnya sempat ditempati oleh lima residen Inggris, melalui

Perjanjian Breda (24 januari 1667) antara Inggris dan Belanda, maka Belanda

menyerahkan Distrik Manhattan, New York (New Amsterdam) kepada Inggris dan

sebaliknya Inggris menyerahkan Ternate dan Banda kepada pihak Belanda.

Perjanjian ini sekaligus mengakhiri perang Inggris - Belanda 1665-1667.

Tentu saja berbagai peristiwa politik dunia, tanpa kita sadari sangat

mempengaruhi eksistensi Maluku. Dan itu berlangsung dalam kurun waktu yang

cukup lama. Adalah kekeliruan besar jika kita tidak dapat menarik kearifan dan

18

pelajaran dari kronologis berbagai peristiwa dunia tersebut.

Merupakan kewajiban kita untuk merekonstruksi Maluku Utara menjadi lebih baik

dan terbuka, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui

pendidikan dan kerja sama dengan berbagai belahan dunia. Hal ini penting untuk

kelanjutan masa depan negeri ini. Bahwa kemajuan sebuah bangsa dewasa ini

tidak lagi ditentukan dengan seberapa besar luas teritorialnya, namun dihitung

melalui kualitas human resources based-nya.

Pada 2012 nanti, Maluku Utara bertekad melaksanakan hajat besar yakni SAIL

MOROTAI 2012 yang sekaligus menjadi entry point untuk membangun Morotai

sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Presiden SBY dalam pidatonya di

depan rakyat Maluku Utara pada 4 Agustus 2010, langsung men-declare : Sail

Morotai 2012. Kawasan di bibir Pasifik ini bakal menjadi pintu Indonesia menuju

Pasifik dengan model Mega Minapolitan Indonesia. Kawasan ini memiliki 544

hardcoral species, terbanyak dikawasan Pasifik. Namun, sekali lagi, siapkah SDM

lokal untuk itu ? Jawabannya terpulang pada seberapa besar concerning kita pada

peningkatan kualitas dunia pendidikan dengan membuka akses pendidikan seluas-

luasnya bagi segenap rakyat Maluku Utara. Pertanyaan berikut adalah : siapkah

dunia pendidikan memasuki era globalisasi dengan ideologi ekonomi pasar yang

demikian kuatnya ?

Tanpa pendidikan semua pembangunan adalah nonsense ! Pusat pertumbuhan

ekonomi Maluku Utara harus seiring dengan strategi pembangunan pendidikan

secara komprehensif. Pengelolaan sumber daya alam yang hanya mengandalkan

investasi baik domestik maupun asing, dengan tanpa dibarengi oleh human capital

sebagai social capital, hanya akan meminggirkan anak negeri ke titik periferal

belaka.

Perlu juga digaris bawahi bahwa batas-batas teritorial negara dewasa ini tidak lagi

19

signifikan dalam pengertian politik ekonomi. Batas negara hanyalah berkonotasi

yuridis-adminstratif belaka. Karena globalisasi telah menyatukan dunia sebagai

sebuah ‘global village’. Lalu dimanakah manusia Maluku Utara berdiri dengan

eksistensinya ?

Maluku Utara memiliki catatan yang demikian panjang tentang hal tersebut.

Betapa jejak Maluku Utara dapat ditemui dari Zanzibar-Madagascar, Cape Town,

Alexandria, Lembah Eufrat-Babylonia, Venesia-Italy, Tyre di Yunani, Pantai

Malabar-India, Gurun Gobi-Cina, Lembah Khayber Pass, Lisabon, Madrid, London

dan Amsterdam hingga Manhattan District, New York. Bahwa pasang surut

hegemoni adikuasa dari abad ke abad telah melintasi the spices islands, Maluku

Utara. Inilah kawasan yang sungguh telah mendunia. Sayangnya, Indonesia adalah

bangsa pelupa (ahistoris), kata Rosihan Anwar. Padahal penyair Milan Kundera

berkata : the struggle of man against power is the struggle of memory against

forgetting.

Persoalan kita saat ini adalah ; mengutip statement Taufik Abdullah : how to design

the glory of the past to the present and how to arrange the future. Bahwa jalan

menuju masa depan masihlah panjang dan banyak pekerjaan rumah yang harus

diselesaikan anak negeri. Kata Mahatma Gandhi : The future is depend on what we

have to do in the present.

Sejarah adalah guru kehidupan, historia magistra vitae.

Semoga …..

(Syaiful Bahri Ruray,. Makalah pada Simposium : “Maluku Utara Dalam

Perspektif Diversitas Multidimensi”. Kerjasama Pemda Provinsi Maluku Utara,

University of Le Havre-Perancis, Yayasan Saloi dan UNKHAIR, UMMU, UNERA.

Ternate, 1 November 2010).

20

Referensi :

• Abdul Ghofur Anshori; Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media, Jogjakarta, 2006.

• Alif Danya Munsyi, Bahasa Menunjukkan Bangsa, Jakarta, Gramedia, 2005.

• Annabel Teh Gallop; The Legacy of the Malay Letters, Warisan Warkat Melayu, London, 1994.

• D’Clercq, FSA; De Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, E.J. d’Brill, Leiden. 1890. Transalated by Paul Michael Taylor: Ternate,The Residency and It’s Sulatanate, Smithsonian Institute, Washington.D.C, 1999.

• Joanna Hall Brierley; Spices, The Story of Indonesia’s Spice Trade. Oxford University Press, 1994.

• M. Adnan Amal; Portugis & Spanyol di Maluku, Komunitas Bambu, Jakarta,2010.

• M. Adnan Amal; Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Gramedia, Jakarta,2010.

• Muridan S.Widjoyo, Cross Cultural Alliance - Making and Local Resistance in Maluku during The Revolt of Prince Nuku, Leiden, 2007.

• Leonard Y. Andaya; Centers and Peripheries in Maluku, University of Hawaii, Cakalele-Vol 4, 1993.

• Leonard Y. Andaya; The World of Maluku, Eastern Indonesia in the Early Modern Period,University of Hawaii Press, Honolulu, 1993.

• Sandra Moniaga: Dari Bumiputera ke masyarakat adat:Sebuah perjalanan panjang yang membingungkan, di: Adat Dalam Politik Indonesia, Editor: Jamie S.Davidson, David Henley, Sandra Moniaga. KITLV-Jakarta,2010.

• Syaiful Bahri Ruray; Jejak-Jejak Kolonial dan Demokrasi. Wawancara Harian Fajar, Amsterdam, 15 November, 2008.

• Syaiful Bahri Ruray; Menjemput Perubahan, Sepotong Interupsi Untuk Maluku Utara, Pustaka FosHal, Kalamata Institute, Ternate, 2007.

• Toeti Heraty: Rainha Boki Raja, Ratu Ternate Abad Keenambelas, Sixteenth Century Queen of Ternate. Komunitas Bambu. Jakarta.2010.

• Uli Kozok; Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Naskah Melayu Tertua. Yayasan Naskah

Nusantara; Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006.

• Wikipedia, internet.

21