optimasi pembuatan mi sorgum … penulis penulis memiliki nama lengkap shafiyyah irmaharianty dan...

89
OPTIMASI PEMBUATAN MI SORGUM MENGGUNAKAN EKSTRUDER PEMASAK-PENCETAK ULIR TUNGGAL SKRIPSI SHAFIYYAH IRMAHARIANTY F24080040 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: lamtuong

Post on 02-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

OPTIMASI PEMBUATAN MI SORGUM MENGGUNAKAN

EKSTRUDER PEMASAK-PENCETAK ULIR TUNGGAL

SKRIPSI

SHAFIYYAH IRMAHARIANTY

F24080040

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

OPTIMIZATION OF SORGHUM NOODLE PROCESS USING

SINGLE SCREW COOKING-FORMING EXTRUDER

Shafiyyah Irmaharianty, Tjahja Muhandri

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 8787 3284 324, E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The objectives of this research were optimization of sorghum noodle process using single

screw cooking-forming extruder and analyze its consumer acceptance in hedonic test. Variable

process in this research were extruder temperature (80-95oC) and screw speed (50-125 rpm). The

design experiments and the optimum process determined using Response Surface Methodology

(RSM) in Design Expert 7.0. Cooking loss and elongation of cooked sorghum noodles were

evaluated. The optimum product was chosen based on minimal cooking loss. Optimum process

was gained at extruder temperature was 95oC and screw speed was 125 rpm, produced sorghum

noodles with cooking loss 8.95% and elongation 332.4%. Cooked sorghum noodles had a dull

colour. Improvement of color and appearance from sorghum noodle have done by adding corn

flour and mixed it with sorghum flour. Sorghum noodle and sorghum-corn noodle were evaluated

in hedonic test for their colour, turbidity of boiled water, hardness, elongation, dan taste. Sorghum

noodles which mixed by corn flour had a better hedonic scale in color and turbidity of boiled

water (p<0.05), but hardness, elongation, and taste were not significantly different.

Keyword : optimization, sorghum, noodles, cooking-forming extruder, response surface

methodology

Shafiyyah Irmaharianty. F24080040. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan

Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal. Di bawah bimbingan Dr. Tjahja Muhandri, STP,

MT. 2013

RINGKASAN

Penelitian mengenai mi sorgum telah dilakukan oleh Kunetz (1997), Suhendro et al.

(2000), dan Liu (2009). Kunetz (1997) dan Suhendro et al. (2000) menggunakan microwave untuk

menggelatinisasi adonan sebelum adonan dicetak menggunakan ekstruder. Mi yang dihasilkan

memiliki tekstur yang kompak dengan cooking loss 10% (Suhendro et al. 2000). Liu (2009)

menggunakan teknik kalendering untuk membuat mi sorgum. Bahan-bahan yang digunakan adalah

tepung sorgum, garam beryodium, xanthan gum, tepung putih telur, tepung telur, pati jagung, dan

air. Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.42-5.53%.

Mi yang dihasilkan dari penelitian Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009)

sudah cukup bagus, namun penggunaan ekstuder pencetak dan metode kalendering memiliki

kelemahan tersendiri. Kelemahan penggunaan ekstruder pencetak adalah kesulitan untuk

memasukkan adonan ke zona pengumpanan di dalam ekstuder. Hal ini disebabkan adonan telah

digelatinisasi terlebih dahulu sehingga bersifat panas dan lengket. Selain itu, kecepatan ulir yang

konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir dengan permukaan halus menyebabkan adonan selip

dan tidak terdorong secara maksimal. Kelemahan pada metode kalendering adalah sulitnya

mengkondisikan suhu dan kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung sorgum

yang telah digelatinisasi. Penggunaan suhu ruang menyebabkan suhu adonan turun dan uap air

keluar, retrogradasi terjadi sebelum proses sheeting selesai sehingga adonan menjadi kering dan

pecah (Muhandri 2012). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan ekstruder pemasak-pencetak

yang lebih mudah digunakan tanpa harus menggelatinisasi pati terlebih dahulu.

Tujuan dari penelitian ini adalah identifikasi karakteristik fisik dan kimia tepung sorgum

Numbu, optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir

tunggal, dan uji hedonik terhadap mi yang dihasilkan dari proses optimum. Analisis yang

dilakukan pada tepung sorgum Numbu adalah kadar air, protein, lemak, karbohidrat, pati, amilosa,

dan profil gelatinisasi pati. Dalam tahap optimasi, bahan baku yang digunakan adalah tepung

sorgum, garam 2%, dan air 55%. Selanjutnya, uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat

penerimaan panelis terhadap mi sorgum yang dihasilkan.

Penentuan rancangan percobaan dan optimasi proses dilakukan menggunakan Response

Surface Methodology D-Optimal pada software Design Expert 7.0. Variabel proses yang dianalisis

meliputi suhu dan kecepatan ulir ekstruder. Terdapat 16 buah running dengan suhu ekstruder 80-

95oC dan kecepatan ulir 50-125 rpm. Analisis fisik mi yang dilakukan meliputi cooking loss dan

elongasi, dua parameter mutu yang digunakan sebagai variabel respon dalam optimasi. Kondisi

optimum ditetapkan berdasarkan cooking loss minimum dan elongasi in range. Titik optimasi

diperoleh pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Pada kondisi tersebut, mi sorgum

memiliki cooking loss 8.95% dan elongasi 332.4%.

Kelemahan mi sorgum yang dihasilkan adalah warna mi sorgum yang kurang menarik.

Mi sorgum kering berwarna coklat, sedangkan mi sorgum yang telah dimasak berwarna putih

pucat. Untuk meningkatkan daya terima panelis, penelitian dikembangkan dengan mencampurkan

60 bagian tepung sorgum dengan 40 bagian tepung jagung sebagai adonan mi. Penambahan tepung

jagung ke dalam adonan mi membuat mi sorgum yang dihasilkan berwarna kuning dan lebih

menarik dibandingkan mi sorgum tanpa jagung.

Mi sorgum jagung memiliki nilai cooking loss sebesar 10.48%, lebih besar dibandingkan

mi sorgum, dan elongasi 275.74%, lebih kecil dibandingkan mi sorgum. Charutigon et al. (2007)

menyebutkan bahwa nilai cooking loss mi komersial yang dapat diterima < 12.5% basis basah atau

sekitar 14.2% basis kering. Oleh karena itu, cooking loss mi sorgum-jagung memiliki nilai yang

masih dapat diterima. Meskipun elongasinya lebih kecil dari mi sorgum, mi sorgum-jagung tidak

mudah hancur setelah dimasak dan memiliki tekstur yang cukup baik.

Uji hedonik dilakukan untuk mendapatkan penilaian dari atribut warna mi, kekeruhan air

rebusan mi, kekerasan mi, elongasi mi, dan rasa mi. Sampel yang digunakan adalah mi sorgum dan

mi sorgum-jagung yang telah dimasak sebelumnya. Mi sorgum memiliki tingkat kesukaan antara

biasa dan suka, kecuali pada atribut warna mi dan kekeruhan air rebusan mi. Penilaian panelis

menunjukkan bahwa tingkat kesukaan warna mi sorgum-jagung 32% lebih tinggi dan kekeruhan

air rebusan 15% lebih tinggi dibandingkan pada mi sorgum 100%. Penambahan tepung jagung

pada adonan mi terbukti dapat memperbaiki daya terima panelis terhadap warna dan kekeruhan air

rebusan mi (p<0.05) pada taraf kepercayaan 95%.

OPTIMASI PEMBUATAN MI SORGUM MENGGUNAKAN

EKSTRUDER PEMASAK-PENCETAK ULIR TUNGGAL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SHAFIYYAH IRMAHARIANTY

F24080040

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Judul Skripsi : Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak

Ulir Tunggal

Nama : Shafiyyah Irmaharianty

NIM : F24080040

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

(Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT)

NIP. 19720515 199702 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen ITP IPB

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.)

NIP. 19680526 199303 1 004

Tanggal ujian : 14 Februari 2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Optimasi

Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal adalah

hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk

apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Yang membuat pernyataan

Shafiyyah Irmaharianty

F24080040

© Hak cipta milik Shafiyyah Irmaharianty, tahun 2013

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

BIODATA PENULIS

Penulis memiliki nama lengkap Shafiyyah Irmaharianty dan biasa

dipanggil Fya. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Maret 1990 dan

merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Imam Suhadi SK

dan Enny Supriyanti. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis

dimulai di TK Ketilang pada tahun 1994 dan Madrasah Pembangunan UIN

Jakarta. Setelah lulus SD, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2

Cisauk (sekarang bernama SMP Negeri 8 Kota Tangerang Selatan), lalu

melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Cisauk (sekarang bernama SMA

Negeri 2 Kota Tangerang Selatan) dengan mengambil jurusan IPA dan lulus

pada tahun 2008. Pendidikan formal yang selanjutnya ditempuh oleh penulis adalah di Institut

Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai

mahasiswi S1 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Sejak berada di SD, penulis gemar menulis cerita fiksi dan mendapatkan kesempatan

untuk mewakili Kotamadya Jakarta Selatan dengan memperoleh juara 3 Lomba Mata Pelajaran

Bahasa Indonesia Sinopsis se-Jakarta. Selama menjalani pendidikan di SMP, penulis aktif di

kegiatan ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR) dan saat SMA, penulis bergabung dalam

ekskul Mading “Harmonia”. Prestasi penulis selama SMP-SMA adalah Juara 1 Lomba Mata

Pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP dan menjadi salah satu Finalis Olimpiade Kimia tingkat

SMA.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis ikut serta berorganisasi dengan LK IPB.

Penulis bergabung dalam UKM Gentra Kaheman Lingkung Seni Sunda dan tampil sebagai

pemeran utama wanita dalam pagelaran Mimitran 2009. Setelah itu, penulis bergabung dengan

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Periode 2009-2010 sebagai staf Divisi

Sosial dan Lingkungan. Kemudian, penulis melanjutkan berorganisasi aktif dalam Badan

Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB Periode 2010-2011 sebagai Bendahara Kementrian

Sosial, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat. Selama terlibat dalam organisasi, penulis

diberikan kepercayaan sebagai Ketua Pelaksana Program Kakak Asuh BEM Fateta, Sekretaris

SEREAL 2010, Sekretaris Umum Techno-F 2010, Sekretaris Rumah Harapan BEM KM IPB, serta

Bendahara I-Share 2011. Prestasi terakhir penulis selama menjadi mahasiswi adalah menjadi

Finalis KangNong Tangerang Selatan 2012.

Penulis mengakhiri jenjang pendidikan di IPB setelah menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir

Tunggal” di bawah bimbingan Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT sebagai pembimbing skripsi dan

Dr.Waysima, M.Sc sebagai pembimbing akademik.

x

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan

rahmat-Nya sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di IPB. Shalawat serta salam semoga tercurah

kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta kerabat dan sahabat terpilih. Skripsi yang berjudul

“Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal”

merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan penulis sejak bulan April 2012 sampai Oktober

2012 dan alhamdulillah dapat diselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang telah berperan

sepanjang masa hidup penulis dan selama penyelesaian tugas akhir. Pada kesempatan ini, penulis

ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orangtua penulis, Bapak Imam Suhadi SK dan Ibu Enny Supriyanti yang telah sabar

membesarkan dan merawat penulis dari penulis lahir sampai akhirnya penulis dapat

menyelesaikan pendidikan S1 di IPB. Terimakasih atas dukungan, perhatian, kasih sayang,

dan doa yang telah Bapak dan Ibu berikan kepada penulis sehingga penulis dapat menjadi

anak yang berkarakter. Semua prestasi yang telah penulis dapatkan didedikasikan kepada

orangtua tercinta. Terimakasih dan salam hangat penulis ucapkan kepada adik tercinta Aisyah

Khairunnisa, M. Faqih M, dan M. Alif M. Tak lupa juga terimakasih kepada seluruh keluarga

besar trah Yosomartono dan Katowisastro : mbah kakung, mbah putri, pakde, budhe, om,

tante, dan sepupu atas dukungan fisik dan moril hingga saat ini.

2. Bapak Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan arahan, masukan, motivasi, dan bimbingannya selama penulis menempuh masa

perkuliahan dan penelitian, hingga penyusunan tugas akhir.

3. Ibu Dr. Waysima, M.Sc selaku pembimbing akademik yang telah memberikan semangat,

motivasi, masukan, dan bimbingannya selama perkuliahan.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku dosen penguji 1 yang telah meluangkan waktu

dan pikiran dalam perbaikan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen penguji 2 atas saran dan masukannya dalam

perbaikan skripsi ini.

6. Briyan Resha atas saran, waktu, perhatian, pengertian, dan motivasi yang telah diberikan sejak

penulis kuliah di IPB. Terimakasih telah memberikan tantangan dan motivasi sehingga penulis

dapat aktif berorganisasi di kampus.

7. Guru-guru yang mengajari penulis selama masa studi sejak TK hingga SMA. Terimakasih

juga kepada dosen-dosen IPB dan guru-guru non formal lainnya yang telah memberikan ilmu

serta bimbingan kepada penulis.

8. Sahabat terdekat sejak TPB hingga tingkat 4 ITP, yaitu arum marya, aruma puspa, astrid dan

rara. Terimakasih untuk tawa dan diskusi mengenai banyak hal yang terjadi selama kuliah di

IPB.

9. Teman-teman Pondok Iswara Atas, baik yang sudah alumni maupun yang masih berjuang :

maia, wulan, jayanti, ratih, dinda, kak ulfa, kak ratih, kak wiwik, kak weini, kak lina, mbak

ratih, mbak julia, mbak meita, adis, kiki, sela, umil. Banyak kenangan, suka, dan duka selama

kita tinggal seatap bersama.

10. Partner penelitian, ivan. Terimakasih untuk diskusi dan suka duka selama berkutat dengan mi

sorgum dan tepungnya.

xi

11. Sahabat sagaju (A2 137) terbaik : maia, ulpe, mboyik. Terimakasih untuk kehidupan asik di

asrama dan cerita suka dan duka.

12. Teman-teman sejati satu kelompok praktikum : ubhe, stefani, tiur, taufiq. Terimakasih untuk

pengalaman praktikum dan eksplorasi ilmu pangan di lab bersama.

13. Teman-teman ITP 45 yang tak tergantikan : madun, hilda, hap-hap, rista, bangun, iin, andika,

yufi, mizu, virza, inah, mba nisa, dio, inah, mba yun, euis, filda, fitrina, ifah, priska, elva,

mutia, wahyu, opi, dan semua anggota ITP 45. Terimakasih atas “saat terbaik untuk mengukir

kisah dan menjadi bagian dari sejarah.”

14. Teman-teman satu angkatan BEM Fateta Merah Saga dan BEM KM IPB Bersahabat : eko,

nanda, mita, fahri, mega, kak suphe, kak hassan, alvi, andin, siska, aha, siro, yogi, dyah.

15. Teknisi laboratorium ITP, Pilot Plant, Seafast, dan LD ITP khususnya Mbak Vera, Bu Antin,

Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Sobirin, Pak Rozak, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Nurwanto, Bu

Sri, Pak Iyas, Pak Taufiq, Mas Edi, Mbak Yane, Mbak Ririn, Mbak Siti, Mbak Ida, Mbak

Yayuk. Terimakasih juga kepada staf UPT dan Departemen ITP Bu Novi, Mbak Ani, Mbak

May, Mbak Darsih, Pak Samsu atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan

sidang.

16. Setiap individu dan instansi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kesediaannya

membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan

penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.

Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dan berkontribusi terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan, khususnya di bidang ilmu dan teknologi pangan.

Bogor, Februari 2013

Shafiyyah Irmaharianty

xii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. xvi

I. PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1

1.1. LATAR BELAKANG............................................................................................................ 1

1.2. TUJUAN PENELITIAN ........................................................................................................ 2

1.3. MANFAAT PENELITIAN .................................................................................................... 3

2.1. SORGUM ............................................................................................................................... 4

2.1.1. Struktur dan Komposisi Gizi Sorgum ............................................................................. 4

2.1.2. Pengembangan Sorgum ................................................................................................... 6

2.2. PATI ....................................................................................................................................... 8

2.2.1. Amilosa ........................................................................................................................... 8

2.2.2. Amilopektin ..................................................................................................................... 9

2.2.3. Gelatinisasi ...................................................................................................................... 9

2.2.4. Retrogradasi .................................................................................................................. 10

2.3. TEKNOLOGI PEMBUATAN MI ....................................................................................... 10

2.3.1. Mi Terigu ...................................................................................................................... 10

2.3.2. Mi Non Terigu ............................................................................................................... 11

2.3.2.1.Mi Pati ......................................................................................................................... 11

2.3.2.2.Mi Jagung .................................................................................................................... 11

2.3.2.3.Mi Sorgum .................................................................................................................. 12

2.4. EKSTRUSI .......................................................................................................................... 13

2.5. EKSTRUDER ...................................................................................................................... 14

2.5.1. Ekstruder Ulir Tunggal .................................................................................................. 14

2.6. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY .......................................................................... 16

2.6.1. Perbedaan desain utama RSM ....................................................................................... 17

III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................................... 18

3.1. BAHAN DAN ALAT .......................................................................................................... 18

3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ............................................................................ 18

3.3. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... 18

xiii

3.3.1. Pembuatan Tepung Sorgum Numbu ............................................................................. 20

3.3.2. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum .................................................................................. 20

3.3.3. Pembuatan Mi Sorgum-Jagung ..................................................................................... 22

3.3.4. Uji Hedonik Mi Sorgum ................................................................................................ 22

3.4. ANALISIS DAN PENGUKURAN ...................................................................................... 23

3.4.1. Analisis Fisik ................................................................................................................. 23

3.4.1.1.Analisis profil gelatinisasi dengan RVA (Collado et al. 2001) ............................... 23

3.4.1.2.Analisis daya serap air metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson 1969

dalam Ganjyal 2006) ............................................................................................... 23

3.4.1.3.Analisis persen elongasi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i ...................... 24

3.4.1.4.Analisis cooking loss (Oh et al. 1985) ..................................................................... 24

3.4.2. Analisis Kimia ............................................................................................................... 24

3.4.2.1.Analisis kadar air metode oven (AOAC 1995)........................................................ 24

3.4.2.2.Analisis kadar abu (AOAC 1995) ........................................................................... 24

3.4.2.4.Analisis kadar lemak metode soxhlet (AOAC 1995) .............................................. 25

3.4.2.5.Analisis kadar karbohidrat by difference ................................................................. 26

3.4.2.6.Analisis kadar pati metode Luff Schoorl, modifikasi AOAC 1995 ......................... 26

3.4.2.7.Analisis kadar amilosa dan amilopektin (Apriyantono et al. 1989) ........................ 26

4.1.1. Komposisi kimia ........................................................................................................... 28

4.1.2. Profil Gelatinisasi .......................................................................................................... 29

4.2. FORMULA TERPILIH ADONAN MI SORGUM .............................................................. 30

4.3. KARAKTERISTIK MI SORGUM ...................................................................................... 32

4.3.1. Cooking loss .................................................................................................................. 33

4.3.2. Elongasi ......................................................................................................................... 35

4.4. KARAKTERISTIK MI PADA PROSES OPTIMUM ......................................................... 38

4.5. MI SORGUM-JAGUNG ...................................................................................................... 39

4.4. TINGKAT KESUKAAN PANELIS TERHADAP MI SORGUM ...................................... 40

4.4.1. Warna mi sorgum .......................................................................................................... 41

4.4.2. Kekeruhan air rebusan mi.............................................................................................. 42

4.4.3. Elongasi mi sorgum ....................................................................................................... 43

4.4.4. Kekerasan mi sorgum .................................................................................................... 43

4.4.5. Rasa mi sorgum ............................................................................................................. 44

5.1. SIMPULAN ......................................................................................................................... 45

5.2. SARAN ............................................................................................................................... 45

LAMPIRAN .................................................................................................................................... 50

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi gizi berbagai jenis serealia .............................................................................. 6

Tabel 2. Komposisi kimia biji dan tepung sorgum .......................................................................... 7

Tabel 3. Rancangan percobaan optimasi proses mi sorgum kering ............................................... 21

Tabel 4. Hasil analisis proksimat tepung sorgum varietas Numbu (%bk) ..................................... 28

Tabel 5. Profil gelatinisasi tepung sorgum Numbu ....................................................................... 29

Tabel 6. Hasil uji coba penambahan air ke dalam adonan mi ....................................................... 31

Tabel 7. Daya serap air tepung sorgum dan tepung jagung ........................................................... 31

Tabel 8. Hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum ............................................................ 32

Tabel 9. Hasil analisis cooking loss (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan ............... 34

Tabel 10. Hasil analisis elongasi (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan ...................... 36

Tabel 11. Solusi formula yang ditawarkan dalam optimasi proses ................................................. 38

Tabel 12. Hasil verifikasi beserta poin prediksi dari solusi yang terpilih ........................................ 39

Tabel 13. Hasil analisis cooking loss dan elongasi mi sorgum-jagung ........................................... 40

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman sorgum (a) dan biji sorgum (b) ...................................................................... 4

Gambar 2. Struktur biji sorgum ....................................................................................................... 5

Gambar 3. Proses pengolahan tepung sorgum (B2P4 2010) ........................................................... 8

Gambar 4. Struktur ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal ...................................................... 15

Gambar 5. Rangkaian metode penelitian optimasi proses ekstrusi mi sorgum ............................. 19

Gambar 6. Kurva RVA tepung sorgum varietas Numbu ............................................................... 30

Gambar 7. Penampang tiga dimensi respon cooking loss.............................................................. 35

Gambar 8. Penampang tiga dimensi respon elongasi .................................................................... 37

Gambar 9. Penampang tiga dimensi nilai desirability formula optimum ...................................... 38

Gambar 10. Foto (a) mi jagung 100%, (b) mi sorgum-jagung 60:40, dan (c) mi sorgum 100% ..... 40

Gambar 11. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap warna mi ............................................ 41

Gambar 12. Foto mi setelah dimasak, (a) mi sorgum 100% dan (b) mi sorgum-jagung ................. 42

Gambar 13. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi ................... 42

Gambar 14. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap elongasi mi ......................................... 43

Gambar 15. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekerasan mi ...................................... 44

Gambar 16. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap rasa ..................................................... 44

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil analisis kadar air tepung sorgum Numbu ........................................................ 51

Lampiran 2. Hasil analisis kadar abu tepung sorgumNumbu ........................................................ 51

Lampiran 3. Hasil analisis kadar protein tepung sorgum Numbu ................................................. 51

Lampiran 4. Hasil analisis kadar lemak tepung sorgum Numbu ................................................... 51

Lampiran 5. Hasil analisis kadar pati tepung sorgum Numbu....................................................... 51

Lampiran 6. Kadar karbohidrat tepung sorgum ............................................................................ 51

Lampiran 7. Hasil absorbansi kurva standar amilosa .................................................................... 52

Lampiran 8. Kurva standar amilosa .............................................................................................. 52

Lampiran 9. Hasil analisis kadar amilosa ...................................................................................... 52

Lampiran 10. Hasil analisis kadar air mi sorgum kering ................................................................. 53

Lampiran 11. Hasil analisis cooking loss mi sorgum ...................................................................... 54

Lampiran 12. Hasil analisis elongasi mi sorgum ............................................................................. 55

Lampiran 13. Foto mi sorgum sebelum dimasak ............................................................................ 56

Lampiran 14. Foto mi sorgum setelah dimasak ............................................................................... 57

Lampiran 15. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut warna mi.......................................................... 58

Lampiran 16. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekeruhan air rebusan mi ................................ 59

Lampiran 17. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekerasan......................................................... 60

Lampiran 18. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut elongasi ........................................................... 61

Lampiran 19. Hasiluji hedonik mi sorgum atribut rasa ................................................................... 62

Lampiran 20. Hasil analisis kadar air mi formula terpilih ............................................................... 63

Lampiran 21. Hasil analisis kadar abu mi formula terpilih ............................................................. 63

Lampiran 22. Hasil analisis kadar protein mi formula terpilih ........................................................ 63

Lampiran 23. Hasil analisis kadar lemak mi formula terpilih ......................................................... 64

Lampiran 24. Hasil analisis kadar karbohidrat mi formula terpilih ................................................. 64

Lampiran 25. Verifikasi cooking loss mi sorgum ........................................................................... 64

Lampiran 26. Verifikasi elongasi mi sorgum .................................................................................. 64

Lampiran 27. Analisis kandungan gizi mi sorgum (%bb) ............................................................... 64

Lampiran 28. Hasil uji optimasi proses mi sorgum ......................................................................... 65

Lampiran 29. Hasil uji ANOVA model polinomial cooking loss ................................................... 65

Lampiran 30. Hasil uji ANOVA model polinomial elongasi .......................................................... 67

Lampiran 31. Hasil analisis uji hedonik mi sorgum ........................................................................ 68

Lampiran 32. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam bahan pangan

dengan metode Luff Schoorl ..................................................................................... 70

Lampiran 33. Kurva elongasi mi sorgum terpilih............................................................................ 71

Lampiran 34. Sebaran kenormalan variabel respon cooking loss dan elongasi ............................... 72

Lampiran 35. Kuisioner uji hedonik mi sorgum ............................................................................. 73

I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pertumbuhan penduduk yang membentuk deret geometri (1,2,4,8..dst) selalu akan melampaui

pertumbuhan industri pangan dunia yang notabene berupa deret ukur (1,2,3,4,..dst). Statistik pada

tahun 2011 (BKKBN) menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 241 juta jiwa dan

akhir tahun 2012 mencapai sekitar 245 juta jiwa. Hal ini menjadi problematika yang cukup besar di

Indonesia selama puluhan tahun dengan ketahanan pangan yang rapuh. Pangan dalam arti luas

mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan yang memenuhi kebutuhan atas

karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta mineral yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia

setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh, aman dikonsumsi, dan harganya terjangkau (Deptan

2005).

Selain lemahnya ketahanan pangan nasional, kondisi pangan di Indonesia masih dibayangi

ketergantungan masyarakat akan komoditi pangan tertentu, seperti beras dan gandum. Terlebih lagi,

kedua komoditas tersebut banyak diimpor dari luar negeri. Berdasarkan data BPS (2012), impor beras

pada bulan Januari-April 2012 mencapai 834 ribu ton dengan nilai US$ 456 juta, sedangkan impor

gandum pada periode yang sama mencapai 396.5 ribu ton dengan nilai US$ 174 juta. Data tersebut

menunjukkan bahwa gandum menjadi sumber pangan kedua setelah beras dan membuat Indonesia

menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia.

Melihat hal tersebut, banyak penelitian dan program pemerintah yang difokuskan pada

diversifikasi pangan dan pencarian sumber pangan lokal. Salah satu sumber daya lokal yang memiliki

potensi besar untuk dikembangkan adalah sorgum. Menurut Nurmala (1997), keunggulan sorgum

terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produktivitas tinggi

serta lebih tahan penyakit dibandingkan dengan tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum.

Selain itu, sorgum dapat digunakan untuk memproduksi produk pangan bebas gluten yang

dapat dikonsumsi oleh penderita colieac disease yang tidak mampu mencerna gluten dari produk

gandum (Kunetz 1997). Sorgum pun memiliki nilai indeks glikemik yang tergolong rendah

dibandingkan nasi sehingga cocok dikonsumsi untuk penderita obesitas dan diabetes. Indeks glikemik

merupakan ranking pada produk berbasis karbohidrat yang menunjukkan seberapa cepat dan seberapa

banyak pangan tersebut dapat menaikkan kadar gula darah (Lemlioglu-Austin et al. 2012).

Untuk memaksimalkan pengembangan sorgum sebagai sumber pangan baru, mi dipilih

sebagai produk penelitian ini sebagai makanan yang populer di Asia, khususnya di Indonesia.

Penelitian mengenai mi sorgum sebagai salah satu mi non terigu sudah dilakukan oleh Kunetz (1997),

Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009). Penelitian Kunetz (1997) menghasilkan mi kering dengan

karakteristik yang halus, lurus, dan cukup kuat sehingga tidak patah saat pengepakan dan

pengangkutan. Setelah direhidrasi, mi memiliki cooking loss rendah, kompak, dan tidak hancur seperti

bubur. Suhendro et al. (2000) juga menghasilkan mi dengan cooking loss 10%. Baik Kunetz (1997)

maupun Suhendro et al. (2000) menggunakan ekstruder pencetak dalam penelitiannya. Berbeda

dengan dua peneliti tersebut, Liu (2009) membuat mi sorgum melalui metode pembentukan lembaran

(sheeting) dan pemotongan (sleeting). Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.42-

5.53%.

2

Mi yang dihasilkan dari penelitian Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009)

sudah cukup bagus, namun penggunaan ekstuder pencetak dan metode kalendering memiliki

kelemahan tersendiri. Kelemahan penggunaan ekstruder pencetak adalah kesulitan untuk memasukkan

adonan ke zona pengumpanan di dalam ekstuder. Hal ini disebabkan adonan telah digelatinisasi

terlebih dahulu sehingga bersifat panas dan lengket. Selain itu, kecepatan ulir yang konstan (tidak

dapat diatur) dan desain ulir dengan permukaan halus menyebabkan adonan selip dan tidak terdorong

secara maksimal. Kelemahan pada metode kalendering adalah sulitnya mengkondisikan suhu dan

kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung sorgum yang telah digelatinisasi.

Penggunaan suhu ruang menyebabkan suhu adonan turun dan uap air keluar, retrogradasi terjadi

sebelum proses sheeting selesai sehingga adonan menjadi kering dan pecah (Muhandri 2012).

Untuk mempermudah pelaksanaan proses ekstrusi dan pengkondisian adonan, penelitian ini

menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal model Scientific Laboratory Single Screw

Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Selain itu, penelitian mi jagung

yang dilakukan Muhandri (2012) dengan ekstruder yang sama dapat menghasilkan mi dengan

karakteristik yang baik, memiliki cooking loss yang rendah dan elongasi tinggi.

Tepung sorgum yang digunakan diproses dari biji sorgum varietas Numbu yang terlebih

dahulu diidentifikasi karakteristik kimia dan fisiknya melalui analisis proksimat dan profil gelatinisasi.

Menurut Elliason dan Gudmunson (1996), karakteristik tepung dan kecukupan proses mempengaruhi

produk mi yang dihasilkan, terutama kandungan amilosa pada tepung. Optimasi proses pengolahan mi

sorgum menggunakan suhu dan kecepatan ulir ekstruder sebagai variabel input, sementara cooking

loss dan elongasi digunakan sebagai variabel respon.

Suarni (2004) menyatakan bahwa produk olahan sorgum umumnya memiliki warna yang

kurang menarik bagi konsumen. Pada pembuatan mi sorgum, waran mi dapat dibuat lebih menarik

dengan menambahkan pewarna yang diperbolehkan oleh Departemen Kesehatan RI. Pada penelitian

ini, dilakukan penambahan tepung jagung pada adonan mi sorgum, membuat mi sorgum berwarna

kuning dan lebih menarik bagi konsumen. Proporsi penambahan tepung jagung dilakukan dengan trial

and error agar warna kuning pada mi mirip dengan warna kuning pada mi terigu pada umumnya.

Setelah mendapatkan proses optimal yang yang diinginkan, dilakukan uji hedonik di laboratorium.

Hasil dari uji sensori tersebut dapat memberikan gambaran awal mengenai penerimaan dan kesukaan

konsumen terhadap produk mi sorgum dan menjadi masukan dalam pengembangan mi sorgum secara

komersial ke depannya

1.2. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik kimia dan fisik dari tepung sorgum varietas Numbu

2. Menentukan optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan ekstruder pemasak-

pencetak ulir tunggal dengan variabel suhu dan kecepatan ulir ekstruder

3. Melakukan uji hedonik mi sorgum dan mi sorgum-jagung

3

1.3. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan produk mi sorgum melalui

teknologi ekstrusi dengan kualitas yang dapat diterima oleh konsumen dan dapat diaplikasikan di

industri mi skala kecil secara komersial. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan

bagi penelitian selanjutnya dalam rangka pengembangan dan pengayaan produk pangan di Indonesia.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SORGUM

Sorgum pertama kali ditanam lebih dari 5000 tahun yang lalu di daerah Ethiopia atau Chad,

lalu merambah ke India pada 4000 tahun yang lalu, kemudian di Cina dan Afrika Selatan pada 1500

tahun yang lalu. Sorgum adalah serealia terpenting di sub-Saharan Afrika karena tahan kekeringan dan

kondisi panas. Sorgum berkembang di Amerika sejak abad ke-18 dan banyak digunakan sebagai

pakan ternak.Afrika memiliki luas daerah penanaman sorgum terbesar di dunia. Diperkirakan

sebanyak 55% sorgum di Afrika diproduksi di Afrika Barat dan 30% di bagian timur dan utara. Tiga

penghasil sorgum di Afrika adalah Nigeria, Sudan, dan Ethiopia. Sebagian besar negara Afrika

menghasilkan produksi tahunan ≤1 ton/ha. Pada produksi dunia tahun 2002 mencapai 52 juta ton,

sekitar 6.3 juta ton diekspor dengan nilai dagang sekitar US$669 juta (Evers et al. 2006).

Sorgum dapat digolongkan menjadi dua macam berdasarkan kandungan amilosanya, yaitu

waxy sorghum (jenis ketan) dan non-waxy sorghum (jenis beras). Kadar amilosa jenis beras rata-rata

25%, sedangkan untuk jenis ketan sekitar 2%. Kadar amilosa menentukan kepulenan dan kekilapan

nasi setelah ditanak. Dengan sifat ini, jenis sorgum nonwaxydapat dimasak sebagai nasi, atau

campuran dengan nasi beras, bubur, dan bentuk-bentuk olahan lainnya. Sorgum jenis waxy yang

rasanya pulen seperti ketan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan makanan tradisional seperti tapai,

jadah, wajik, lemper, dan rengginang seperti yang dilakukan di daerah Demak (Mudjisihono dan

Suprapto 1987). Gambar 1 menunjukkan bentuk tanaman dan biji sorgum.

Sumber : komoditasindonesia.com Sumber : kimdump.blogspot.com

(a) (b)

Gambar 1. Tanaman sorgum (a) dan biji sorgum (b)

2.1.1. Struktur dan Komposisi Gizi Sorgum

Berdasarkan bentuk dan ukurannya, sorgum dibedakan menjadi tiga golongan yaitu sorgum

dengan biji berukuran kecil (8-10 mg), sedang (12-24 mg), dan besar (25-35 mg). Biji sorgum di

Pulau Jawa umumnya berukuran sedang dan besar (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Bobot biji

bervariasi berdasarkan penanaman dan sumber. Kebanyakan varietas sorgum berbentuk hampir bulat

(diameter 2-4 mm) dengan ukuran embrio yang relatif besar (Evers et al. 2006).

5

Biji sorgum terdiri dari 10% lembaga, 8% perikarp atau sekam, dan 80% endosperma.

Proporsi tersebut mungkin bervariasi tergantung dari varietas, kondisi lingkungan, dan derajat

kematangan. Kulit biji terdiri dari perikarp dan testa. Lapisan terluar adalah perikarp yang dikelilingi

oleh kutikula yang waxy. Embrio atau lembaga terdiri dari scutellum besar, plumule, dan akar primer.

Lembaga ini relatif kokoh menempel dan sulit untuk dipisahkan melalui penggilingan kering.

Endosperma memiliki proporsi yang paling besar dari kernel dan mengandung lapisan aleuron.

Lembaga kaya akan protein, lemak, mineral, dan vitamin B kompleks (Riahi dan Ramaswamy 2003).

Lapisan aleuron atau bekatul terdapat di atas permukaan endosperma biji. Sel-sel aleuron

tidak mengandung granula pati, tetapi mengandung protein, lemak dengan kadar yang relatif tinggi,

sejumlah mineral dan vitamin yang larut dalam air (Rooney dan Miller 1982). Lapisan aleuron sorgum

memiliki bentuk dan penampakan yang mirip dengan jagung (Evers et al. 2006).

Di beberapa varietas sorgum, terjadi pigmentasi yang mengakibatkan semua jaringan

menjadi berwarna dalam waktu yang tidak bersamaan. Enam kelas penampakan kernel adalah putih,

kuning, merah, coklat, dan kekuningan (Evers et al. 2006). Biji sorgum yang memiliki kadar tanin

tinggi dicirikan dengan warnanya yang coklat gelap atau coklat kemerahan (Mudjisihono dan

Suprapto 1987). Struktur biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber :www.cd3wd.com

Gambar 2. Struktur biji sorgum

Protein pada biji sorgum sebagian besar adalah prolamin (kafirin) dan glutelin. Seperti

serealia lainnya, sorgum kekurangan asam amino lisin, treonin, dan triptofan. Meskipun demikian,

saat ini sudah dapat diproduksi sorgum yang tinggi lisin (Wrigley dan Bekes 2004). Selain itu, protein

albumin dan globulin relatif tinggi dan menyusun sebanyak 17% dari total protein (Evers et al. 2006).

Penghilangan perikarp secara signifikan akan mengurangi serat kasar dari sorgum. Kadar

mineral dalam sorgum seperti kalsium, besi, fosfor, serta vitamin B juga berkurang dengan hilangnya

perikarp dan keberadaan asam fitat (Riahi dan Ramaswamy 2003). Sorgum memiliki kandungan

amilosa antara 20-30%, sisanya amilopektin (Wrigley dan Bekes 2004). Komposisi gizi dari sorgum

dan serealia lain dapat dilihat pada Tabel 1.

6

Tabel 1. Komposisi gizi berbagai jenis serealia

Komposisi Gandum Rye Jagung Barley Oat Beras Sorgum

Kadar air (%) 10 10.5 15 10.6 9.8 11.4 10.6

Protein (%) 14.3 13.4 10.2 13 12 9.2 12.5

Lemak (%) 1.9 1.8 4.3 2.1 5.1 1.3 3.4

Serat (%) 3.4 2.2 2.3 5.6 12.4 2.2 2.2

Abu (%) 1.8 1.9 1.2 2.7 3.6 1.6 2

Sumber : Riahi dan Ramaswamy (2003)

Tanin merupakan polimer polifenol yang berada pada lapisan perikarp dan testa dari kulit

biji. Tanin menyediakan perlindungan terhadap serangga dan burung, serta melawan kerusakan saat

hujan. Keberadaan tanin sebagai penangkal burung diasumsikan karena rasa tanin yang tidak enak

(Evers et al. 2006). Cara bercocok tanam yang berbeda mempengaruhi produksi tanin pada sorgum

(Wrigley dan Bekes 2004). Menurut Von Elbe dan Schwartz (1996), selain memiliki kemampuan

untuk berikatan dengan protein, tanin juga mampu berikatan dengan polimer lainnya seperti

polisakarida. Tanin larut dalam air dan memiliki kemampuan untuk mengendapkan alkaloid, gelatin,

dan protein lainnya.

Berdasarkan penelitian Rungkat-Zakaria et al. (2011), sorgum memiliki potensi ke arah

pangan dan kesehatan. Sorgum mengandung komponen bioaktif, misalnya komponen fenolik yang

memiliki peranan sebagai antioksidan (Rooney dan Awika 2004). Antioksidan berperan sebagai

penangkal radikal bebas yang dalam jumlah yang berlebihan dalam tubuh dapat memberikan efek

negatif pada kesehatan, misalnya menurunkan fungsi sistem imun.

Penelitian mengenai diet berbasis sorgum pada tikus Sprague dawley yang dilakukan oleh

Rungkat-Zakaria et al. (2011) menyebutkan bahwa penggunaan sorgum 50% dari sumber karbohidrat

dapat meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit limfa. Hal ini ditunjukkan dari adanya aktivitas

imunomodulator, menyebabkan peningkatan kapasitas antioksidan pada hati melalui peningkatan

aktivitas anitoksidan (DPPH), penurunan malondialdehida (MDA), dan peningkatan aktivitas enzim

antioksidan. Fungsi senyawa fenolik sebagai immunomodulator diduga berhubungan dengan

peranannya sebagai antioksidan dalam proses perlindungan membran limfosit dari oksidasi yang

disebabkan oleh radikal bebas (Yanuwar 2009). Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa sorgum

baik sebagai pangan dan kesehatan serta dapat dikembangkan menjadi pangan fungsional.

2.1.2. Pengembangan Sorgum

Sebagian besar sorgum digunakan di negara penghasilnya dengan tujuan yang berbeda. Di

Amerika Utara, Tengah, Selatan, dan Oseania, sorgum banyak digunakan sebagai pakan ternak,

sementara di negara berkembang seperti Afrika, sorgum banyak dikonsumsi oleh manusia. Biji

sorgum dapat disiapkan menjadi produk yang mirip dengan jagung manis atau popcorn. Sorgum dapat

diolah menjadi berbagai produk pangan tradisional, pancake non gandum, tortilla, kue, biskuit dan

roti, mi dan pasta, minuman fermentasi tradisional dengan atau tanpa alkohol, bir (dari malt sorgum),

dan di Cina diolah menjadi minuman hasil penyulingan. Embrio sorgum diproduksi sebagai minyak

untuk memasak atau salad (Evers et al. 2006).

Varietas sorgum juga digunakan sebagai makanan di beberapa bagian daerah di dunia. Di

Afrika Barat dan Selatan, varietas sorgum berkadar tanin sedang digunakan untuk bahan baku

7

makanan dan minuman beralkohol. Di beberapa budaya Afrika, sorgum tanin lebih disukai karena

bubur yang terbuat dari sorgum bertanin memiliki waktu tinggal di dalam perut lebih lama dan

membuat petani dapat bekerja lebih keras di sawah. Di negara barat, kegunaan sorgum berpigmen

sebagai makanan sangat sedikit (Awika dan Lloyd 2004). Hasil survei yang dilakukan oleh

Mudjisihono dan Suprapto (1987) di Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya Demak dan

Bojonegoro, menyatakan bahwa sorgum sudah dimanfaatkan sebagai pengganti sementara posisi

beras di musim paceklik.

Terdapat dua bentuk olahan biji sorgum, yaitu beras dan tepung sorgum. Beras sorgum

diperoleh dari hasil penggilingan atau penyosohan menggunakan abrasive mill. Endosperma yang

diperoleh berwarna putih dan bebas dari sekam dan bekatul. Apabila proses penyosohan dapat

dilakukan dengan sempurna, maka beras sorgum tidak akan membawa rasa sampingan yang tidak

enak ataupun bau yang kurang disukai. Dengan menggunakan mesin penyosoh beras dari silinder batu

gerinda, beras yang dihasilkan berwarna putih bersih dan apabila dimasak tidak terasa kasar di lidah

(Mudjisihono dan Suprapto 1987).

Tepung atau grits diproduksi melalui penggilingan batu di desa di India, atau hammer milling

dan roller milling di industri. Penggilingan basah lebih cenderung digunakan di banyak industri.

Penggilingan yang dilakukan mirip dengan penggilingan basah pada jagung, dan sering dilakukan

untuk menghasilkan pati atau glukosa (Wrigley dan Bekes 2004). Untuk membuat tepung sorgum, biji

sorgum utuh harus disosoh terlebih dahulu. Namun, penyosohan sorgum sangat sulit dilakukan karena

sorgum dikenal memiliki kulit biji yang keras dan sulit dihilangkan. Cara penyosohan melalui

penggilingan tradisional atau penghancuran terhadap bijinya tidak dapat memberikan hasil yang

diharapkan. Hal ini disebabkan masih banyaknya sisa kulit biji yang menempel pada endosperma

sehingga tepung yang dihasilkan memiliki tekstur kasar (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian telah mengembangkan tepung sorgum

yang dibuat dari biji sorgum dengan komposisi kimia dan proses pengolahan seperti pada Tabel 2 dan

Gambar 3.

Tahap perendaman biji pada produksi tepung B2P4 menggunakan 0.3% NaHCO3 selama 8

jam dilakukan untuk menghilangkan tanin pada biji sorgum. Kehilangan tanin tersebut diduga akibat

terkelupasnya kulit biji dan lapisan testa selama perendaman. Selain dengan cara tersebut,

penghilangan tanin juga dapat dilakukan dengan perendaman dalam air suling pada suhu 30oC selama

24 jam. Cara ini dapat menghilangkan kadar tanin dalam sorgum sampai sekitar 31%. Perendaman

dalam larutan NaOH dan KOH 0.05 M pada suhu 30oC selama 24 jam dapat menghilangkan kadar

tanin jauh lebih besar, yaitu sekitar 75-85%. Perendaman dalam larutan Na2CO3 pada kondisi yang

sama dapat menghilangkan kadar tanin sampai 77% (Mudjisihono dan Suprapto 1987).

Tabel 2. Komposisi kimia biji dan tepung sorgum

Komponen Biji sorgum Tepung sorgum

Air (%) 9-11 10-12

Protein (%) 10-12 7-9

Lemak (%) 2-2.5 0.4-0.7

Karbohidrat (%) 73-78 73-83

Abu (%) 1-1.5 0.2-0.4

Tanin (%) 2-4 0.6-1.0

Sumber : B2P4 (2010)

8

Gambar 3. Proses pengolahan tepung sorgum (B2P4 2010)

2.2. PATI

Pati dalam biji sorgum sekitar 83% terdapat dalam endosperma, 13.4% dalam lembaga, dan

3.6% dalam kulit biji. Kandungan pati dalam biji sorgum yang telah dihilangkan lemaknya dapat

ditentukan melaluihidrolisis enzim dan asam dan dinyatakan sebagai gula reduksi. Kandungan pati

dalam biji sorgum bervariasi antara 68-73%. Pati tersusun atas dua komponen utama yaitu amilosa

dan amilopektin (Mudjisihono dan Suprapto 1987).

2.2.1. Amilosa

Amilosa terdiri dari molekul D-glukosa yang terhubung dalam konformasi -14. Monomer

tersebut membentuk polimer rantai linier yang lurus. Kandungan amilosa sekitar 20-40% dalam biji-

bijian. Amilosa mengandung ikatan glikosidik -14 dan sedikit larut dalam air. Molekul amilosa

membentuk konformasi heliks sehingga dapat menyusun formasi kompleks dengan iodin, lemak, dan

Penirisan

Pengeringan k.a 16%

Penepungan ka = 12%

Tepung sorgum

Biji sorgum

Pembersihan

Pengkondisian k.a. 20%

Penyosohan DS 100%

Perendaman

(0.3% NAHCO3, 8 jam, 1:3 b/v)

Sorgum sosoh

9

substansi polar lainnya. Kompleks amilosa dengan iodin membentuk warna biru yang dapat dibaca

pada panjang gelombang 650 nm (Niba 2006).

Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik pembuatan gel pada campuran pati yang

dipanaskan dan didinginkan. Hal ini terkait dengan polisakarida dari glukosa yang terdapat dalam

amilosa. Amilosa dapat membentuk gel dari rantai linier yang dapat berorientasi paralel dan saling

berdekatan satu sama lain untuk berikatan. Hal ini memudahkan molekul amilosa untuk bersatu dalam

pasta yang dimasak, tetapi tidak berkontribusi secara signifikan terhadap viskositas (Rick 2003).

Amilosa adalah komponen kunci yang terlibat dalam penyerapan air, pengembangan granula,

dan gelatinisasi pati dalam pengolahan makanan. Pati beramilosa tinggi umumnya diaplikasikan pada

produk pangan yang membutuhkan pengaturan gel yang cepat seperti permen dan gula-gula. Amilosa

lebih rentan terhadap gelatinisasi dan retrogradasi dan umumnya terlibat dalam pembentukan pati

resisten (Niba 2006).

2.2.2. Amilopektin

Amilopektin terdiri dari D-glukosa yang terhubung dalam konformasi linier -14 dan

cabang pada -16. Jumlah ikatan -16 sekitar 5% dari struktur amilopektin yang membuat

ukuran molekulnya lebih besar dari amilosa. Ukuran molekul yang lebih besar dari amilosa membuat

dua polimer ini terpisah berdasarkan ukuran pada kromatografi. Amilopektin memiliki rantai cabang

yang pendek sehingga tidak dapat membentuk kompleks heliks dengan iodin (Niba 2006).

Sifat amilopektin dalam aplikasi pangan berbeda dengan amilosa. Gel amilopektin lebih

fleksibel dan resisten terhadap retrogradasi. Pati beramilopektin tinggi biasanya digunakan dalam

pengolahan mi dan beberapa produk roti untuk memperpanjang umur simpan. Amilopektin juga

digunakan untuk meningkatkan stabilitas selama thawing beku karena resistensinya terhadap

retrogradasi (Niba 2006). Amilopektin mempengaruhi kekentalan produk, namun biasanya tidak

berkontribusi terhadap pembentukan gel. Beberapa galur dari jagung, beras, sorgum, dan barley sama

sekali tidak mengandung amilosa, seluruhnya hanya amilopektin (Rick 2003).

2.2.3. Gelatinisasi

Gelatinisasi terjadi saat struktur dari granula pati terganggu dan diatur kembali dengan

adanya panas dan kelembaban yang cukup. Granula ini akan menyerap air, kehilangan struktur

molekul yang rapi, lalu mengembang. Granula pati murni tidak larut dalam air dingin dan

membutuhkan gelatinisasi untuk memfasilitasi penyerapan air dan meningkatkan reaktivitas kimia dan

fisik dari granula pati inert dalam pengolahan pangan (Niba 2006). Granula yang lebih besar akan

mengembang lebih dulu pada temperatur yang lebih tinggi daripada granula yang kecil. Meskipun

demikian, tidak ada suhu gelatinisasi yang mutlak. Campuran yang lebih pekat memiliki viskositas

yang lebih tinggi pada suhu rendah karena banyaknya granula yang mengembang (Rick 2003).

Hasil gelatinisasi adalah pengembangan pati dan pembentukan pasta kental yang buram atau

tembus cahaya, tergantung dari sifat dasar dari suatu pati. Gelatinisasi biasanya diikuti oleh gelasi,

proses dimana granula yang mengembang terganggu dan amilosa dilepaskan ke media pati-air.

Pelepasan amilosa dari granula yang tergelatinisasi berkontribusi terhadap karakteristik kental dari

pati dan pembentukan gel yang merupakan dispersi koloid pati dalam air. Amilosa tersebut akan

10

membentuk jaringan yang struktural untuk merangkap granula dan menghasilkan pembentukan gel

(Niba 2006).

Peningkatan kadar amilosa juga membuat gelasi berlangsung lebih awal. Pati dengan

kandungan amilosa rendah, seperti waxy maize yang mengandung <1% amilosa, tidak dapat

membentuk gel secara efektif, hanya pasta jernih yang umumnya resisten terhadap sineresis (Niba

2006). Pati tergelatinisasi memainkan peranan penting dalam menentukan karakteristik struktural dan

tekstural dari banyak pangan. Proporsi dari pati tergelatinisasi dan pati mentah dalam produk makanan

siap saji dapat menjadi titik kritis dalam menentukan penerimaannya (Sablani 2009).

2.2.4. Retrogradasi

Retrogradasi juga dikenal dengan sebutan setback dan terjadi melalui pengkristalan kembali

molekul amilosa. Hal ini menyebabkan pelepasan air yang sudah terserap dan terikat selama

gelatinisasi dan mengarah pada fenomena yang disebut sineresis. Amilosa jauh lebih rentan terhadap

retrogradasi, sedangkan amilopektin hanya terlibat secara minimal walaupun diketahui mempengaruhi

retrogradasi dan sineresis dalam gel pati jagung. Retrogradasi pati dalam beberapa hal meningkatkan

kualitas pati yang resisten terhadap enzim hidrolisis dan lebih stabil (Niba 2006).

Dalam produksi mi pati, dibutuhkan pengkondisian suhu rendahyang diaplikasikan setelah

gelatinisasi untaian mi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan retrogradasi mi. Salah satu cara

pengkondisian tersebut adalah pencucian mi dengan air setelah mi dimasak. Tanpa proses gelatinisasi,

molekul amilosa tidak dapat dilepaskan untuk berpartisipasi dalam proses retrogradasi yang mengatur

struktur mi (Tam et al. 2004).

2.3. TEKNOLOGI PEMBUATAN MI

2.3.1. Mi Terigu

Pasta dan mi dari terigu memanfaatkan protein yang terkandung di dalamnya untuk

memperkuat dan menahan bentuk selama pengeringan, pemasakan produk, dan mengurangi

kehilangan padatan selama pemasakan (cooking loss). Menurut Wals dan Gille (1974), proses

pengolahan mi diawali dengan pencampuran bahan, proses pembentukan, dan pengeringan. Terigu

dicampur air, garam dan bahan lain sehingga membentuk adonan pasta yang homogen. Adonan pasta

mengalami proses lebih lanjut hingga membentuk adonan yang lebih homogen, plastis dan elastis.

Jumlah air yang ditambahkan adalah 28-38%. Pembentukan adonan dilakukan selama 15-25 menit

pada suhu 25-40oC. Adonan dipipihkan dengan alat roll-press dan dicetak menjadi mi dengan

ketebalan 1-2 mm.

Pencampuran bahan bertujuan menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung

dengan air dan membentuk adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran dilakukan

pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam pengadukan adalah

jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan haruslah

cukup. Jika jumlah air yang ditambahkan kurang, maka adonan menjadi keras, rapuh, dan adonan sulit

dibentuk menjadi lembaran. Jika jumlah air yang ditambahkan berlebih, maka adonan menjadi basah

dan lengket (Oh et al. 1985).

Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100oC selama 5 menit dan dibiarkan

dingin pada suhu ruang akan dihasilkan mi matang dan jika dilanjutkan dengan pengeringan (60oC

11

selama 7 jam) akan menjadi mi kering. Jika digoreng dengan suhu 140-150oC sampai kadar airnya 3-

5% dan ditiriskan akan menjadi mi instan (Sunaryo 1985).

Pembuatan spaghetti menggunakan ekstruder pasta (forming extruder). Penambahan air

tergantung pada suhu mixing. Pada suhu 35-45oC, air yang ditambahkan sebanyak 32-34%, sedangkan

pada suhu rendah yaitu antara 2-10 o

C air yang ditambahkan sebanyak 34-36%. Menurut Dalbon et al.

(1996) penyerapan air oleh tepung akan semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu. Proses

ekstrusi pada pembuatan spaghetti harus dipertahankan suhunya pada kisaran 38-40oC. Jika suhu

terlalu tinggi akan terjadi kerusakan pada protein sehingga dapat mengganggu proses terbentuknya

adonan yang plastis. Pada industri, ekstrusi dilengkapi dengan mantel pendingin untuk

mempertahankan suhu proses supaya tidak naik.

2.3.2. Mi Non Terigu

2.3.2.1. Mi Pati

Mi pati diproduksi dari pati murni dari berbagai macam sumber pangan sebagai kategori

mayor dari mi Asia. Pada umumnya, pembuatan mi pati meliputi beberapa tahap, yaitu pencampuran

bahan kering dan gelatinisasi pati untuk membuat pasta pati atau adonan, ekstrusi langsung ke air

mendidih untuk pemasakan, pendinginan untuk pembentukan mi, penyimpanan pada suhu dingin atau

beku, penghangatan pada air dingin, dan pengeringan (Galvez et al. 1995 dalam Tan et al. 2009).

Bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum

(Fuglie dan Hermann 2001). Di Cina, mi yang dibuat dari pati ubi jalar dilakukan dengan proses

sebagai berikut : sebagian pati ubi jalar ditambah air, dipanaskan sambil diaduk. Setelah adonan

mengalami gelatinisasi, pasta pati ditambah pati ubi jalar sambil terus diaduk. Adonan dicetak

menjadi mi yang langsung ditampung dengan air hangat, kemudian didinginkan dan dikeringanginkan

selama 1-2 jam dengan wadah bambu. Selanjutnya, mi dijemur selama kurang lebih 8 jam sampai

kering (Wiersema 1992).

Menurut Chen (2003), pembuatan mi pati dilakukan dengan gelatinisasi 5% pati dalam air

dengan perbandingan 1:9 (yang berfungsi seperti gluten pada mi terigu). Pati yang sudah digelatinisasi

dicampur dengan 95% pati yang belum digelatinisasi kemudian dicetak menggunakan ekstruder piston

(cylindrical extruder) dengan diameter die ekstruder 1.5 mm. Mi langsung masuk air panas (95-98°C)

dan pemanasan dipertahankan selama 50-70 detik. Mi diangkat, didinginkan pada suhu 4°C selama 6

jam, kemudian dibekukan pada suhu -5°C selama 8 jam, dan dikeringanginkan selama 4 jam.

2.3.2.2. Mi Jagung

Pembuatan mi jagung yang dilakukan oleh Waniska et al. (1999) menggunakan ekstruder

pasta. Bahan baku yang digunakan adalah tepung jagung (200 g), air (120 g), garam (2 g), dan natrium

metabisulfit (0.5 g). Bahan tersebut lalu dicampur dan dipanaskan pada suhu 95oC selama 2-3 menit.

Kemudian, adonan dicetak menggunakan ekstruder pasta dan dikeringkan. Kelemahan pada mi yang

dibuat oleh Waniska et al. (1999) adalah cooking loss mi yang masih terlalu tinggi (>40%).

Proses pembuatan mi yang optimum pada penelitian Muhandri (2012) diperoleh pada kondisi

proses kadar air tepung 70%, suhu ekstruder 90oC, dan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm. Pada kondisi

ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 3039,79 gf, kelengketan -116,26 gf, elongasi 318,68%,

dan cooking loss 4,56 %. Penggunaan garam (sodium karbonat dan sodium klorida) dapat

12

menghasilkan mi jagung yang lebih lunak (menurunkan kekerasan mi jagung). Pada penggunaan

sodium karbonat, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%, sodium

karbonat 0,11% atau 0,12% dan jumlah passing adalah 3 kali. Pada kondisi ini mi jagung memiliki

karakteristik kekerasan 2242,29gf, kelengketan 58,83gf, elongasi 418,81% dan cooking loss 3,66%.

Pada penggunaan sodium klorida, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%,

sodium klorida 2% dan jumlah passing adalah 3 kali. Pada kondisi ini mi jagung memiliki

karakteristik kekerasan 1855,23 gf, kelengketan 35,86 gf, persen elongasi 576,38% dan cooking loss

2,62%.

Muhandri (2012) menjelaskan bahwa pembuatan mi dari tepung (misalnya tepung jagung)

membutuhkan mekanisme gelatinisasi dan pemecahan granula tepung karena hal ini diperlukan untuk

membentuk ikatan hidrogen antar amilosa ketika retrogradasi (pendinginan). Ikatan hidrogen inilah

yang akan membentuk struktur mi yang kokoh. Kondisi ini memerlukan suhu yang cukup, kadar air

yang optimal dan tekanan shear yang cukup. Ikatan hidrogen antar amilosa ditentukan pula oleh

kandungan amilosa tepung non terigu.

2.3.2.3. Mi Sorgum

Kunetz (1997) melakukan penelitian mengenai pembuatan mi sorgum dengan bahan baku

tepung sorgum (100 g), garam 1% dan air (90 ml). Tepung sorgum yang digunakan memiliki

karakteristik endosperma sedang sampai keras dan indeks ukuran partikel yang sedang dengan sedikit

perikarp. Adonan mi yang telah dicampur lalu dipanaskan menggunakan microwave pada suhu 95oC.

Adonan kemudian dicetak menggunakan ekstruder pencetak dan menghasilkan mi kering yang halus

dan lurus serta terlihat cukup kuat untuk tidak patah selama pengepakan dan pengangkutan. Mi yang

telah dimasak dapat mempertahankan tekstur yang kompak, tidak hancur seperti bubur, dan memiliki

cooking loss rendah.

Mi sorgum dalam penelitian Suhendro et al. (2000) menggunakan bahan dan teknik ekstrusi

yang sama dengan penelitian Kunetz (1997). Adonan mi dilewatkan ke dalam ekstruder sebanyak 3

kali (3 kali passing). Tepung sorgum dengan ukuran partikel yang lebih kecil menghasilkan mi yang

lebih baik. Mi yang lebih kuat dan kompak dihasilkan melalui pengeringan dua tahap, yaitu 60oC

100% RH selama 2 jam diikuti dengan 60oC 30% RH selama 2 jam. Melalui pengolahan tersebut

menghasilkan mi dengan cooking loss 10%.

Penelitian Liu (2009) menggunakan teknik kalendering untuk membuat mi sorgum. Bahan-

bahan yang digunakan adalah tepung sorgum, garam beryodium, xanthan gum, tepung putih telur,

tepung telur, pati jagung, dan air. Bahan kering ditambahkan ke dalam mixer dan dicampur selama 1

menit dengan kecepatan rendah lalu kecepatan tinggi selama 1 menit. Air (57%) ditambahkan untuk

membentuk adonan yang seragam, halus, dan tidak lengket, lalu dicampur selama 2 menit dengan

kecepatan rendah dan 4 menit dengan kecepatan tinggi. Adonan lalu diuleni menggunakan tangan

selama 1 menit, diistirahatkan selama 15 menit, dan ditipiskan menggunakan mesin mi. Lapisan tipis

adonan lalu dicetak dengan lebar sekitar 1 cm. Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara

4.42-5.53%.

13

2.4. EKSTRUSI

Ekstrusi adalah suatu proses saat bahan dipaksa berada di bawah pengaruh kondisi operasi

pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi, dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang

untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelembung kering dalam waktu singkat. Pengolahan dengan

ekstrusi dapat memanfaatkan sumber pati yang beragam dan merupakan alternatif yang menarik.

Fungsi ekstrusi adalah gelatinisasi/pemasakan, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisisi,

pembentukan, dan penggembungan/pengeringan (puffing/drying). Kombinasi satu atau lebih fungsi

tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam teknologi ekstrusi (Muchtadi et al. 1988).

Menurut Estiasih dan Ahmadi (2011), fungsi ekstrusi juga dapat dilakukan untuk proses

pemisahan, pendinginan-pemanasan, penghilangan senyawa volatil, penurunan kadar air,

pembentukan citarasa dan bau, dan enkapsulasi. Ekstrusi dengan suhu tinggi dan waktu singkat

(HTST) dapat menghilangkan kontaminasi mikroba dan inaktivasi enzim. Proses dengan ekstrusi

dapat menurunkan senyawa antigizi dalam bahan pangan.

Ekstrusi dengan suhu tinggi biasanya digunakan untuk pasta, sedangkan suhu rendah

digunakan untuk makanan ringan atau snack. Tekanan yang digunakan dalam ekstrusi berkisar antara

15-200 atm. Fungsi tekanan itu sendiri adalah untuk mengendalikan bentuk, menjaga air dalam

kondisi cair yang sangat panas, serta meningkatkan peran pengadukan. Kadar air bahan normal adalah

10-40% basis basah dan suhu tinggi mencapai 100-180oC secara kontinyu (Estiasih dan Ahmadi

2011).

Dalam proses ekstrusi, umumnya terdapat dua input energi utama ke dalam sistem. Pertama,

energi yang ditransfer dari perputaran ulir dan yang kedua adalah energi yang ditransfer dari pemanas

melalui dinding barrel. Energi panas akan menghasilkan peningkatan suhu dari bahan yang diekstrusi.

Sebagai hasilnya, akan terjadi perubahan seperti pelelehan dari material padat dan atau penguapan air

(Ainsworth dan Ibanoglu 2006).

Penelitian terhadap efek dari beberapa variabel ekstrusi seperti kadar air, suhu barrel,

geometri ulir, dan kecepatan ulir pada gelatinisasi pati jagung mengindikasikan bahwa suhu barrel

dan kecepatan ulir memiliki efek yang paling besar terhadap gelatinisasi pati (Mercier dan Feillet

1975). Kecepatan ulir yang lebih tinggi menurunkan gelatinisasi dan terkait dengan rendahnya waktu

tinggal. Hal ini sesuai dengan pendapat Ainsworth dan Ibanoglu (2006) yang menyatakan bahwa

peningkatan kecepatan ulir akan menurunkan derajat gelatinisasi akibat pengadukan meningkat akibat

penurunan waktu tinggal sampel dalam ekstruder.

Efek dari kadar air bahan, suhu barrel, kecepatan ulir, dan ukuran die pada gelatinisasi

tepung terigu selama ekstrusi menunjukkan bahwa derajat gelatinisasi meningkat tajam dengan

peningkatan suhu, saat kadar air bahan 24-27%, tetapi meningkat lebih lambat saat kadar air bahan

18-21% (Chiang 1975). Pada suhu yang lebih rendah (65-80oC), peningkatan kadar air bahan

menyebabkan sedikit penurunan gelatinisasi, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi (95-110oC),

peningkatan kadar air secara signifikan meningkatkan derajat gelatinisasi. Peningkatan ukuran die

dapat mengurangi derajat gelatinisasi akibat penurunan waktu tinggal sampel, tekanan yang lebih

rendah, dan luas permukaan adonan yang lebih kecil (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).

14

2.5. EKSTRUDER

Secara umum, ekstruder dibagi menjadi dua jenis yaitu ekstruder ulir tunggal dan ekstruder

ulir ganda. Terdapat lima jenis ekstruder ulir tunggal yang umum dipakai di industri pangan, yaitu

(Muchtadi et al. 1988) : (1) ekstruder pasta, (2) high pressure forming extruder, (3) low shear cooking

extruder, (4) coolet extruder, (5) high shear cooking extruder.

Ekstruder pasta dipakai untuk membentuk makaroni dan produk serupa dari adonan.

Ekstruder ini dianggap yang paling ideal karena memiliki silinder yang licin dan tidak mempunyai

bagian yang dapat membawa padatan, serta biasanya mempunyai geometri ulir yang konstan. Alat ini

juga yang paling mendekati ekstruder isotermal karena hanya mengakibatkan kenaikan suhu yang

paling rendah.

High pressure forming extruder untuk membentuk dan memadatkan adonan yang telah

digelatinisasi, digunakan pada produk yang membutuhkan proses lanjutan seperti penggorengan

dalam lemak (snack) dan sereal. Cara kerja ekstruder ini seperti ekstruder pasta, namun silindernya

berupa ulir. Ulir tersebut membutuhkan tenaga tambahan yang menyebabkan naiknya suhu serta panas

yang dilepas ke makanan.

Low shear cooking extruder untuk adonan dengan kadar air tinggi, bersifat fleksibel dan hasil

yang dimasak harus diproses lebih lanjut dengan pembentukan dan pengeringan. Kekentalan adonan

yang rendah (kadar air tinggi) mengakibatkan hampir semua energi yang dibutuhkan untuk pemasakan

berasal dari luar (pemanas). Ekstruder ini biasanya menggunakan silinder beralur dan ulir pemadat.

Coolet extruder untuk membuat panganan butiran yang bergelembung kering, biasanya

memiliki waktu tinggal yang sangat singkat. Pelepasan energi yang sangat cepat terjadi karena

kemampuan potong yang tinggi, silinder beralur dalam, dan adonan sangat kental (kelembaban

rendah). Suhu tinggi yang terjadi menyebabkan kehilangan air yang demikian hebat sehingga

membentuk produk yang kering dan bergelembung. Mesin ini membutuhkan proses sebelum dan

setelah ekstrusi yang minimal, namun sifatnya tidak fleksibel dan menghasilkan produk terbatas

dengan bahan yang terbatas juga. Kenaikan suhu yang tinggi, perubahan reologi, dan adanya silinder

dan ulir yang bervariasi menyebabkan analisis pada ekstruder ini sulit dilakukan.

High shear cooking extruder yang serupa dengan coolet, hanya pemakaiannya lebih luas

untuk sereal bergelembung, makanan ringan, dan makanan hewan. Ekstruder ini memiliki waktu

tinggal yang lebih lama dibandingkan coolet ekstruder dan kelebihan panas akan dibuang dengan cara

pendinginan silinder. Pemotongan yang cepat dan waktu tinggal yang lebih lama menghasilkan

campuran yang teraduk dengan baik sehingga air dapat diinjeksikan ke dalamnya dari pengumpan

untuk memperoleh proses dengan kelembaban optimal. Produk yang dihasilkan memiliki kelembaban

yang masih tinggi sehingga memerlukan proses pengeringan. Mesin ini akan menghasilkan produk

yang warnanya lebih coklat, memiliki tekstur yang lebih kuat, serta aroma yang lebih baik.

2.5.1. Ekstruder Ulir Tunggal

Ekstruder ulir tunggal pertama kali digunakan pada tahun 1940-an untuk memproduksi

puffed snacks dari tepung serealia dan grits. Di dalam ekstruder, energi mekanik dari perputaran ulir

dikonversi menjadi panas sehingga menaikkan suhu campuran di atas 150oC. Campuran yang

dihasilkan bersifat plastis lalu dipaksa melalui die. Pengurangan tekanan yang tiba-tiba pada die

membuat air pada bahan menguap dengan cepat, dan produk menjadi mengembang. Mulai dari tahun

15

1950-an, proses ekstrusi dikembangkan untuk produk manufaktur seperti makanan hewan kering,

sereal sarapan siap santap, dan sayuran protein bertekstur (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).

Ekstruder ulir tunggal memiliki keterbatasan selama proses mixing sehingga bahan

sebelumnya dicampur dengan air secara manual (Estiasih dan Ahmadi 2011). Hal ini sesuai dengan

pendapat Ainsworth dan Ibanoglu (2006) yang menyatakan ekstruder ulir tunggal memiliki

kemampuan mixing yang buruk sehingga sering digunakan untuk bahan yang sudah melalui proses

prakondisi sebelumnya. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan waktu tinggal, mengurangi

konsumsi daya mekanik dan meningkatkan kapasitas. Prakondisi dilakukan menggunakan tekanan

atau atmosfer dengan komposisi bahan mentah dibasahi atau dipanaskan atau keduanya dengan uap

atau air sebelum masuk ke dalam ekstruder. Model ekstruder ulir tunggal dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal

Gaya friksi antara bahan dan dinding barrel adalah satu-satunya gaya yang dapat mencegah

adonan untuk berputar pada ulir. Banyak mesin ulir tunggal memiliki potongan alur pada barrel yang

berfungsi untuk menaikkan adhesi antara adonan dengan dinding barrel. Perputaran ulir pada barrel

akan menyebabkan aliran kedua, disebut aliran berlawanan arah. Aliran ini tidak berkontribusi

terhadap pergerakan adonan sepanjang barrel tetapi menyirkulasikan adonan kembali dalam screw

flights dan menyebabkan beberapa aksi pengadukan dalam ekstruder. Selain dua aliran tersebut,

terdapat aliran ketiga yang dikenal sebagai aliran tekanan. Aliran ini menyebabkan pergerakan

mundur dalam barrel ekstruder yang menyebabkan mixing lebih lanjut pada produk. Kombinasi dari

ketiga aliran tersebut memberikan aliran bersih adonan keluar dari die (Ainsworth dan Ibanoglu

2006).

2.5.2. Perbedaan Ekstruder Ulir Tunggal dan Ganda.

Ekstuder ulir ganda 1.5-2 kali lebih mahal dibandingkan ulir tunggal. Hal ini disebabkan

kompleksitas ulir, gerakan, dan jaket energi transfer. Prakondisi dari adonan pada ekstruder ulir

tunggal memberikan setengah kebutuhan panas untuk pemasakan atau pengolahan, sisanya baru

diperoleh dari energi input mekanik. Ekstruder ulir ganda dapat mengolah pada level kelembaban

yang lebih rendah, hal ini mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk pengeringan lanjut

16

tambahan. Meskipun lebih mahal, ekstruder ulir ganda dapat melakukan pembersihan otomatis dari

adonan yang tertinggal pada barrel setelah proses ekstrusi selesai (Harper 1991).

Ekstruder ulir tunggal dan ganda diaplikasikan secara berbeda dalam industri pangan.

Misalnya, ekstruder ulir tunggal yang ekonomis dan memiliki metode yang efektif untuk proses termal

dan pembentukan pakan hewan. Di lain pihak, ekstruder ulir ganda digunakan untuk produksi snack

yang membutuhkan kontrol dan fleksibilitas yang lebih baik (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).

2.6. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY

Response Surface Methodology terdiri dari grup teknik yang digunakan dalam pembelajaran

secara empiris mengenai hubungan antara satu atau lebih respon yang terukur dan beberapa variabel

input (Box et al. 1978). Metode ini juga merupakan alat untuk memahami hubungan kuantitatif antara

variabelinput dan respon output dan seringkali dengan penekanan dalam optimasi suatu respon.

Metode ini terdiri dari kumpulan prosedur matematik dan statistik yang meliputi rancangan

percobaan, pemilihan dan penyesuaian model, serta optimasi dari model yang disesuaikan (Chen dan

Chen 2009). Metode RSM dapat digunakan pada software Design Expert 7.0.

Model yang sesuai seharusnya dapat merepresentasikan hampir semua rancangan yang

memungkinkan dengan faktor percobaannya di dalam area yang telah ditentukan. Langkah terakhir

adalah melakukan percobaan verifikasi berbasis kondisi optimal percobaan. Batas atas dan bawah dari

variabel independent dihasilkan melalui percobaan preeliminasi dan pendekatan praktis. Metode RSM

dapat dilakukan dalam satu langkah tanpa menentukan batas atas dan batas bawah terlebih dahulu

(Chen dan Chen 2009).

Lack of fit test digunakan untuk mengecek integritas dari regresi model dan menentukan

urutan model tersebut sudah benar atau belum. Nilai R2 menunjukkan jumlah dari kemungkinan

perkiraan untuk suatu respon melalui respon model yang sesuai, nilai ini berkisar antara 0 dan 1 (Chen

dan Chen 2009). Semakin besar nilai R2

tidak selalu dibutuhkan untuk mengindikasikan kedekatan

dari perkiraan respon karena penambahan satu variabel akan selalu menaikkan nilai R2. Nilai Adj-R

2

tidak akan meningkat dengan penambahan variabel yang secara statistik tidak signifikan. Nilai Pred-

R2

mengukur kemampuan dari regresi model untuk memprediksi sebuah observasi baru.

Prosedur dari RSM sendiri terdiri dari lima langkah, yaitu (Chen dan Chen 2009) :

1. Melakukan screening percobaan dan rancangan percobaan

2. Menyusun kondisi yang fungsional berdasarkan rancangan percobaan

3. Membangun RSM

4. Melakukan proses optimasi

5. Melakukan verifikasi terhadap pembuatan kondisi optimal

17

2.6.1. Perbedaan desain utama RSM

Terdapat tiga desain utama pada RSM, yaitu Central Composite, Box-Behnken, dan D-

Optimal. Berikut adalah perbedaan dari ketiga desain yang sering digunakan dalam penelitian

(Anonim 2005):

Central Composite Design

1. Menyusun desain dari 2 level faktorial dan memperbanyak dengan poin tengah dan poin

aksial

2. Central composite design memiliki 5 level untuk setiap faktor, walaupun hal ini dapat

dimodifikasi dengan memilih alfa = 1.0, CCD yang berpusat di muka, dengan 3 level untuk

setiap faktor

3. Dibuat untuk memperkirakan model yang kuadratik

4. Lebih tidak sensitif terhadap data yang hilang

5. Mereplikasi titik tengah yang menunjang kemampuan prediksi yang tepat mendekati nilai

tengah dari ruang desain, letak dimana titik optimasi awal berada

Box Behnken

1. Memiliki posisi yang spesifik dari titik desain

2. Selalu memiliki 3 level untuk setiap faktor

3. Dibuat untuk memperkirakan model kuadratik

4. Menunjang estimasi koefisien yang kuat yang dekat dengan titik tengah ruang desain, letak

dimana titik optimasi awal berada, tetapi lemah pada sudut dari kubus, letak dimana tidak ada

titik desain

5. Apabila ada data yang hilang, keakuratan dari data yang tersisa menjadi kritis terhadap

ketergantungan model. Model ini tidak disarankan digunakan bila terdapat data yang hilang

D-Optimal

1. Posisi dari titik desain dipilih secara matematis berdasarkan jumlah faktor dan model yang

diinginkan sehingga poin tersebut tidak berada pada posisi yang spesifik, tetapi tersebar di

ruang desain untuk memenuhi kriteria D-optimal

2. Untuk model kuadratik, faktor dapat memiliki tiga atau empat level

3. Dapat digunakan untuk membuat desain yang baik agar sesuai dengan linier, kuadratik, atau

kubik.

4. Apabila terdapat masalah, model yang diinginkan dapat diedit dengan menghilangkan istilah

yang tidak signifikan atau tidak ada. Hal ini akan menurunkan jumlah running yang

dibutuhkan

5. Dapat menambahkan pembatas ke ruang desain untuk meniadakan sebagian area yang tidak

dapat diambil responnya

6. D-optimal secara matematis memiliki poin untuk meminimalkan integrasi variasi dari

koefisien model sehingga didapatkan koefisien yang paling berharga

7. Umumnya, desain D-optimal memiliki 1-2 run yang lebih banyak dibandingkan Box Behnken

sehingga menunjang proteksi sedikit lebih besar terhadap koefisien model apabila terjadi

kehilangan beberapa data

18

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah sorgum varietas Numbu, tepung

jagung varietas P21, garam, dan air. Alat yang digunakan adalah mesin sosoh (Satake Grain Mill),

wadah perendaman sorgum, penggiling (pin disc mill), vibrating screen dengan ukuran lubang 100

mesh, ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal model Scientific Laboratory Single Screw Extruder

type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand, texture analyzer TA-XT2i, dan peralatan

lain untuk analisis. Sorgum yang digunakan berasal dari SEAMEO BIOTROP yang berlokasi di

Tajur, Bogor, sedangkan tepung jagung yang digunakan diperoleh dari SUA mi jagung IPB.

3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan April-Oktober 2012. Pembuatan tepung sorgum

dilakukan di Laboratorium SEAFAST Center IPB dan pembuatan mi dilaksanakan di Laboratorium

lini proses mi skala pilot plant PAU IPB. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Biokimia

Pangan dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen ITP IPB. Analisis elongasi dan cooking loss

dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pangan Departemen ITP IPB, sementara analisis warna

dilakukan di Laboratorium Departemen ITP. Selain itu, uji hedonik dilakukan di Laboratorium

Evaluasi Sensori PAU IPB.

3.3. METODE PENELITIAN

Secara garis besar, penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu produksi dan identifikasi

tepung sorgum, optimasi proses pembuatan mi sorgum, verifikasi proses, dan uji hedonik. Identifikasi

tepung sorgum meliputi analisis proksimat, pati, amilosa, dan profil gelatinisasi pati. Optimasi proses

pembuatan mi sorgum menggunakan respon cooking loss dan elongasi mi sorgum yang dilanjutkan

dengan verifikasi proses. Terakhir, dilakukan pengembangan pembuatan mi sorgum yang dicampur

dengan tepung jagung dan dilakukan uji hedonik terhadap dua sampel mi dengan proses optimal.

Rangkaian metode secara detail yang dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 5.

19

Gambar 5. Rangkaian metode penelitian optimasi proses ekstrusi mi sorgum

Mi sorgum

kering

Penjemuran 1 jam

Penyosohan 25 detik

Biji sorgum

Perendaman biji 2 jam

Pengeringan tepung

2 jam menggunakan matahari

Penggilingan dengan

pin disc mill

Pengayakan 100 mesh

Tepung sorgum

100%

Pengujian elongasi

dan cooking loss

Pemilihan proses ekstrusi

terbaik menggunakan

RSM D-Optimal

Mi sorgum

Pembuatan mi

sorgum dengan

proses optimum

Pembuatan mi basah

(variabel suhu & kec

ekstruder)

Air 55%

Garam 2%

Pengeringan mi dengan

kipas angin semalam

Pembuatan mi

sorgum-jagung

(60:40) dengan

proses optimum

Mi sorgum-

jagung

Penentuan komposisi gizi dan

profil gelatinisasi tepung

Uji hedonik

20

3.3.1. Pembuatan Tepung Sorgum Numbu

Pembuatan tepung sorgum dilakukan menggunakan teknik penepungan kering berdasarkan

tahapan yang dilakukan Muhandri (2012). Teknik penepungan ini terdiri atas beberapa tahap proses,

yaitu penyosohan biji, perendaman biji (conditioning), penjemuran biji sampai kadar air ± 35%,

penggilingan halus (pin disc mill dengan saringan 48 mesh), pengeringan tepung menggunakan

matahari selama 2 jam, pengayakan tepung (100 mesh), dan pengemasan tepung sorgum siap pakai.

Sejumlah tepung sorgum kemudian diambil sebagai sampel dalam analisis proksimat (kadar air,

protein, lemak, abu, pati, amilosa) dan profil gelatinisasi.

Proses conditioning bertujuan untuk memperlunak jaringan biji yang masih keras sehingga

lebih mudah saat digiling menggunakan disc mill (Putra 2008). Proses ini menghasilkan biji sorgum

dengan tektur yang lebih lunak dan terdapat retakan-retakan pada biji sehingga biji lebih mudah

hancur saat digiling. Kemudian, sorgum dijemur menggunakan matahari selama ± 1 jam hingga kadar

airnya sekitar 35% atau sorgum masih dalam keadaan setengah kering dan digiling. Jika kadar air

terlalu tinggi, biji akan menempel pada pin disc mill saat ditepungkan sehingga dapat menimbulkan

kemacetan pada alat. Sebaliknya, jika kadar air biji terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi

keras dan sulit untuk digiling menjadi tepung (Merdiyanti 2008). Tepung lalu dikeringkan

menggunakan matahari selama 2 jam sehingga diperoleh tepung sorgum yang kering. Langkah

terakhir pada proses penepungan adalah pengayakan menggunakan vibrating screen dengan ukuran

lubang ayakan 100 mesh. Tepung sorgum lalu dikemas menggunakan plastik PP dan disimpan di

refrigerator.

3.3.2. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum

Sebelum mencampur adonan, ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dinyalakan terlebih

dahulu dan diatur sesuai dengan suhu dan kecepatan ulir yang diinginkan. Hal ini ditujukan agar saat

adonan sudah selesai dicampur, proses produksi dapat langsung dilakukan karena ekstruder sudah siap

digunakan dan suhu yang diinginkan sudah tercapai. Adonan yang telah selesai dicampur tidak boleh

dibiarkan terlalu lama karena akan mempengaruhi konsistensi dan kelembaban adonan.

Pembuatan mi dilakukan dengan mencampur tepung sorgum, garam 2%, dan air 55%.

Konsentrasi penambahan garam yang digunakan mengacu pada peneitian optimasi formula mi jagung

oleh Muhandri (2012). Garam terlebih dahulu dilarutkan ke dalam air, kemudian ditambahkan sedikit

demi sedikit ke dalam adonan sambil diaduk menggunakan sendok pengaduk. Untuk meratakan

penyebaran air dalam adonan, adonan lalu dicampur menggunakan mixer selama ± 5 menit. Penentuan

kadar air dilakukan melalui trial and error untuk mendapatkan konsistensi adonan yang sesuai.

Sebagai acuan, digunakan adonan mi jagung sebagai contoh konsistensi adonan yang diinginkan.

Berdasarkan penelitian Muhandri (2012), jumlah air yang ditambahkan pada adonan mi

jagung dengan menggunakan ekstruder yang sama adalah 80%. Percobaan pertama dilakukan dengan

menambah 80% air ke dalam adonan. Hasil yang didapatkan adalah adonan terlalu basah serta

memiliki warna yang gelap dan kusam. Selanjutnya, percobaan dilakukan dengan menambahkan 50%

air, hasilnya adonan masih terlalu kering. Sebaliknya, adonan dengan kadar air 60% memiliki

konsistensi yang lebih basah dari contoh yang diinginkan. Oleh karena itu, penambahan air dilakukan

dengan mengambil titik tengah antara 50% dan 60%, yaitu 55%.

Selanjutnya, adonan dimasukkan ke dalam ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dengan

aplikasi dorongan. Variabel proses yang diamati meliputi suhu ekstruder (80-95oC) dan kecepatan ulir

21

(50-125 rpm). Untaian mi yang keluar sepanjang 1.5 meter pertama dibuang dan tidak digunakan

dengan asumsi bahwa adonan tersebut belum cukup stabil kualitasnya atau kondisi proses belum

steady state. Untaian mi lalu dipisahkan antar helai dan dibentuk menjadi persegi panjang dan

dikeringkan menggunakan kipas angin selama semalam.

Penentuan rancangan percobaan dan penentuan proses optimal dari mi sorgum dibantu

dengan program Response Surface Method D-Optimal menggunakan Design Expert 7.0,

menghasilkan 16 buah running dalam pembuatan mi sorgum kering, seperti yang tampak pada Tabel

3. Pengolahan mi dengan ekstrusi menggunakan variasi suhu dan kecepatan ekstruder. Variabel

respon yang digunakan adalah cooking loss dan elongasi. Untuk mendapatkan kedua data tersebut, mi

harus terlebih dahulu dimasak hingga matang. Penentuan waktu masak atau cooking time dilakukan

dengan memasak mi dan mencicipinya tiap 1 menit hingga mi sudah matang sempurna. Percobaan

dilakukan mulai dari menit ke-7. Hal ini mengacu waktu masak mi jagung, yaitu 7 menit. Proses

optimum ditentukan berdasarkan nilai cooking loss mi yang minimum.

Tabel 3. Rancangan percobaan optimasi proses mi sorgum kering

Model respon ditentukan mulai dari kubik sebagai model tertinggi sampai mean sebagai

model terendah. Dalam pemilihan model, program akan menyarankan model yang dapat kita gunakan.

Model yang sesuai adalah model yang memenuhi minimal tiga kriteria sebagai berikut (Anonim

2006):

1. Memiliki model yang “signifikan” yang ditandai dengan nilai p-value (Prob>F) kurang

dari 0.0500 untuk nilai signifikansi yang kuat. Jika nilai Prob>F diantara 0.0500 dan 1,

maka nilainya marjinal signifikan

2. Memiliki Lack of Fit yang “tidak signifikan” yang ditandai dengan nilai p-value

(Prob>F) lebih dari 0.0500. Nilai Lack of Fit yang signifikan berarti model polinimial

tidak sesuai dengan semua desain secara baik

3. Memiliki Pred R-Squared atau R2 prediksi yang reasonable agreement atau pernyataan

yang beralasan dengan nilai Adj R-Squared

No Suhu Ekstruder (oC) Kecepatan Ulir (rpm)

1 80 52-a

2 80 52-b

3 80 74

4 80 125-a

5 80 125-b

6 84 50

7 84 106

8 88 93

9 89 125

10 90 54

11 95 50-a

12 95 50-b

13 95 88-a

14 95 88-b

15 95 125-a

16 95 125-b

22

Analisis Sidik Ragam (ANOVA) menghasilkan dua persamaan, yaitu persamaan faktor kode

dan faktor aktual. Persamaan faktor kode merupakan persamaan dengan memasukkan nilai suhu dan

kecepatan ulir dengan mengkonversinya terlebih dahulu menjadi nilai diantara -1 dan 1. Suhu dan

kecepatan ulir paling rendah memiliki nilai -1, sedangkan suhu dan kecepatan ulir paling tinggi

bernilai 1. Oleh karena itu, persamaan ini hanya terbatas untuk memprediksi nilai respon input yang

berada dalam kisaran pengukuran, yaitu suhu ekstruder 80-95oC dan kecepatan ulir 50-125 rpm.

Persamaan aktual merupakan persamaan dengan input berdasarkan nilai yang sebenarnya. Tahapan

selanjutnya adalah verifikasi nilai cooking loss dan elongasi terhadap prediksi pada RSM. Hasil

prediksi disesuaikan dengan nilai respon pada Confident Interval dan Prediction Interval. Hasil

verifikasi yang diinginkan memiliki nilai yang dekat dengan nilai prediksi dan berada di dalam kisaran

CI dan PI.

3.3.3. Pembuatan Mi Sorgum-Jagung

Mi sorgum-jagung diproduksi melalui proses yang sama dengan mi sorgum, perbedaannya

terletak pada bahan bakunya saja. Bahan baku yang digunakan pada pembuatan mi sorgum-jagung

adalah tepung sorgum dan tepung jagung dengan perbandingan 60:40, air (55%), dan garam (2%).

Proporsi penambahan tepung jagung dilakukan dengan trial and error agar warna kuning pada mi

mirip dengan warna kuning pada mi terigu komersial.

Mengingat daya serap air dari kedua tepung ini berbeda, maka terlebih dahulu dilakukan uji

coba mengenai persentase jumlah air yang harus ditambahkan. Uji coba yang pertama dilakukan

dengan mengambil titik tengah dari kedua persentase air, yaitu 57.5% dari jumlah air pada mi jagung

60% dan mi sorgum 55%. Adonan tepung yang dihasilkan lebih basah yang membuatnya sulit untuk

dimasukkan ke dalam ekstruder. Kemudian, kedua tepung lalu ditambahkan ke dalam adonan

sehingga kadar air yang ditambahkan menurun hingga 55%. Pada kondisi demikian, karakteristik

adonan sudah sesuai dan memiliki tingkat kebasahan yang cukup untuk produk ekstrusi. Adonan

sorgum-jagung kemudian dimasukkan ke dalam ekstruder dengan suhu 95oC dan kecepatan ulir 125

rpm

3.3.4. Uji Hedonik Mi Sorgum

Uji hedonik dilakukan menggunakan dua sampel, yaitu mi sorgum dan mi sorgum-jagung

yang telah direhidrasi. Pengujian dilakukan pada 33 orang panelis tak terlatih. Penggunaan panelis

lebih sedikit dari yang biasa dilakukan (<70) karena sampel mi memiliki waktu masak yang lama (16

menit) sehingga total waktu untuk 1 kali pengujian sekitar 35 menit. Selain itu, pengujian harus segera

dilakukan setelah mi diangkat agar sifat fisik mi tidak banyak berubah. Hasil uji hedonik memberikan

informasi mengenai karakteristik sensori serta deskripsi atribut produk yang meliputi warna mi,

kekeruhan air rebusan mi, elongasi, kekerasan, dan rasa. Pengujian akan dilakukan di laboratorium

dengan uji rating hedonik skala 1-5. Skala yang digunakan dalam pengujian ini adalah :

1 = sangat tidak suka

2 = tidak suka

3 = moderat

4 = suka

5 = sangat suka

23

Selain menilai menggunakan angka, panelis juga diminta untuk mengisi kolom komentar

pada tiap atribut. Hal ini bertujuan untuk mengetahui alasan penilaian panelis pada atribut tertentu.

Selain itu, data komentar menjadi data kualitatif sederhana sebagai informasi tambahan. Data yang

diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) pada SPSS 17. Metode

analisis yang digunakan adalah Paired Sample T-Test yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan yang nyata terhadap dua sampel mi.

3.4. ANALISIS DAN PENGUKURAN

3.4.1. Analisis Fisik

3.4.1.1.Analisis profil gelatinisasi dengan RVA (Collado et al. 2001)

Analisis dilakukan menggunakan rapid visco analyzer. Tepung sorgum yang telah diketahui

kadar air basis basahnya akan dilarutkan dengan sejumlah air untuk mendapatkan suspensi pati yang

diinginkan. Suspensi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat RVA untuk selanjutnya akan

mengalami proses pemanasan dan pendinginan secara bertahap. Pemanasan akan dilakukan hingga

mencapai suhu 95oC, kemudian akan ditahan pada suhu tersebut selama beberapa menit. Selanjutnya,

dilakukan tahap pendinginan hingga suhunya turun sampai 50oC. Suhu tersebut juga akan

dipertahankan selama beberapa menit. Profil gelatinisasi pati dapat diamati dari kurva yang terbentuk

selama proses analisis yang meliputi suhu gelatinisasi, waktu gelatinisasi, waktu granula pecah, suhu

granula pecah, viskositas pada suhu 95oC, viskositas breakdown, viskositas pada suhu 50

oC, serta

viskositas setback.

3.4.1.2.Analisis daya serap air metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson 1969

dalam Ganjyal 2006)

Prosedur analisis daya serap air yaitu pati ditimbang sebanyak 1g (basis basah) (P1)

kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse (S) dan ditambahkan air destilasi sebanyak 5 ml.

Larutan pati didispersi sepenuhnya selama 30 detik menggunakan vortex mixer hingga merata.

Larutan ini kemudian disentrifugasi selama 10 menit pada 3000 rpm. Tabung kemudian dimiringkan

dengan posisi 45o selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dituang, selanjutnya berat tabung

ditimbang dan berat yang diperoleh digunakan sebagai nilai P2 yang akan digunakan dalam

perhitungan persen daya serap air.

Daya serap air (%) (3.1)

Keterangan :

P1 = bobot sampel awal

P2 = bobot tabung+sampel akhir

S = bobot tabung kosong

24

3.4.1.3.Analisis persen elongasi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i

Mi sorgum yang telah direhidrasi dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan

kecepatan probe 0,3 cm/s dan strain 90%. Persen elongasi dihitung dengan rumus :

Elongasi (%) (3.2)

3.4.1.4.Analisis cooking loss (Oh et al. 1985)

Penentuan cooking loss dilakukan dengan merebus sekitar 5 gram mi (A) dalam 150 ml air.

Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan

kembali selama 5 menit. Mi dikeringkan pada suhu 105oC sampai beratnya tetap, lalu ditimbang

kembali(B). Secara bersamaan, diambil sampel sekitar 5 gram untuk diukur kadar airnya. Cooking

loss dihitung dengan rumus berikut :

Cooking loss (%bk) (3.3)

3.4.2. Analisis Kimia

3.4.2.1.Analisis kadar air metode oven (AOAC 1995)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam

desikator selama 10 menit, lalu ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan

yang telah diketahui bobotnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC

selama kurang lebih 6 jam atau sampai bobotnya tetap ( 0.0005 g). Selanjutnya, cawan beserta isinya

didinginkan di dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air

dilakukan dengan rumus :

Kadar air (%bb) (3.4)

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (gram)

b = berat cawan (gram)

c = berat sampel awal (gram)

3.4.2.2. Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Sampel dihancurkan dengan mortar atau blender kering sampai halus dan homogen. Cawan

porselen kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, kemudian dinginkan

cawan dalam desikator. Cawan yang telah dingin kemudian ditimbang dan dicatat bobotnya. Sampel

ditimbang sebanyak 2-3 gram ke dalam cawan tersebut kemudian diarangkan di atas hotplate sampai

sampel tidak lagi mengeluarkan asap. Cawan beserta sampel lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik

25

dan dipanaskan pada suhu 550oC sampai pengabuan sempurna (semalam). Setelah pengabuan selesai,

cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.

Kadar abu (3.5)

Kadar abu (3.6)

Keterangan

W = bobot contoh sebelum diabukan (g)

W1 = bobot contoh+cawan sesudah diabukan (g)

W2 = bobot cawan kosong (g)

3.4.2.3. Analisis kadar protein metode mikro-kjeldahl (AOAC 1995)

Sampel ditimbang sebanyak 100-250 mg ke dalam labu kjeldahl, kemudian ditambahkan

1.0±0.1 gram K2SO4, 40±10 mg HgO dan 2±0.1 ml H2SO4. Sampel lalu didihkan zampai cairan

menjadi jernih selama 1-1.5 jam, lalu didinginkan. Air destilata ditambahkan secara perlahan melalui

dinding labu dan digoyang pelan agar kristal yang terbentuk larut kembali.

Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml

air destilata, kemudian ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Erlenmeyer yang berisi

5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator metilen red-metilen blue diletakkan di bawah kondensor.

Ujung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Destilasi dilakukan hingga diperoleh sekitar

50 ml kondensat.

Kondensat lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandarisasi hingga terjadi

perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan metode yang sama

seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus :

%N (3.7)

Kadar protein (3.8)

Kadar protein (3.9)

3.4.2.4.Analisis kadar lemak metode soxhlet (AOAC 1995)

Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama sekitar 15 menit, kemudian

dinginkan dan ditimbang.Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam selongsong

kertas saring yang telah dialasi dengan kapas. Selongsong lalu dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang

telah dihubungkan ke labu lemak. Refluks dilakukan menggunakan heksana sebagai pelarut selama ±6

jam, kemudian heksana disuling dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu

26

105oC. Labu lemak yang telah kering didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang hingga

beratnya konstan.

Kadar lemak (3.10)

Kadar lemak (3.11)

Keterangan :

W = bobot sampel awal (g)

W1 = bobot contoh+cawan sesudah soxhlet (g)

W2 = bobot labu lemak kosong (g)

3.4.2.5.Analisis kadar karbohidrat by difference

Karbohidrat (%bb) = 100 - (%bbair + %bb abu + %bb protein + %bb lemak) (3.12)

3.4.2.6.Analisis kadar pati metode Luff Schoorl, modifikasi AOAC 1995

Sampel sebanyak 0.1 gram ditambahkan dengan 5 ml HCl 25% dan 25 ml air destilata.

Larutan kemudian dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 100oC selama 2.5 jam. Larutan lalu

dinetralkan dengan NaOH 50% hingga pH larutan 7, kemudian ditera sampai volumenya 100 ml dan

disaring menggunakan kertas saring.

Sebanyak 5 ml larutan sampel ditambahkan dengan 5 ml larutan Luff Schoorl. Analisis juga

dilakukan pada blanko yang menggunakan aquades untuk menggantikan sampel. Kemudian, didihkan

larutan di atas hotplate selama 10 menit sampai terbentuk endapan merah bata.Setelah selesai, cepat-

cepat dinginkan larutan, lalu tambahkan 3 ml KI 20% dan 5 ml H2SO4 26.5% dengan hati-hati.

Selanjutnya, titrasi menggunakan Na-thiosulfat 0.1 N dengan menggunakan indikator pati 2-3 tetes

yang ditambahkan saat titrasi hampir berakhir. Tabel konversi volume dapat dilihat pada Lampiran 22.

Kadar pati (%bb) (3.13)

3.4.2.7. Analisis kadar amilosa dan amilopektin (Apriyantono et al. 1989)

3.4.2.7.1. Pembuatan kurva standar

Sebanyak 40 mg amilosa murni ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu

tambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih

sekitar 10 menit sampai semua amilosa membentuk gel. Setelah didinginkan, larutan dipindahkan

secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera.

Larutan lalu dipipet masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml, kemudian

ditambahkan dengan asam asetat 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml serta 2 ml larutan iod.

Larutan kemudian ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera, selanjutnya didiamkan selama 20

menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Setelah

itu, dibentuk kurva standar sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi

(sumbu y) dan ditentukan persamaan kurva standar tersebut.

27

3.4.2.7.2. Analisis sampel

Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu

ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi kemudian dipanaskan

selama 10 menit untuk menggelatinisasi pati. Setelah didinginkan, pasta pati dimasukkan ke dalam

labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan air destilata. Sampel lalu dipipet sebanyak

5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, selanjutnya ditambahkan dengan 1 ml asam asetat 1

N, 2 ml larutan iod, dan air destilata hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan

diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Nilai absorbansi

sampel lalu dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk mendapatkan konsentrasi amilosa

(C). Selanjutnya, nilai C dimasukkan ke dalam persamaan (3.14) untuk menentukan kadar amilosa

sampel.

Kadar amilosa (%bb) (3.14)

Keterangan :

C = konsentrasi amilosa sampel dari kurva standar (mg/ml)

V = volume akhir contoh (ml)

FP = Faktor pengenceran

W = berat contoh (mg)

Kadar amilopektin (%bb) = kadar pati (%bb) - kadar amilosa (%bb) (3.15)

28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. KARAKTERISTIK TEPUNG SORGUM

4.1.1. Komposisi kimia

Analisis proksimat dilakukan sebagai langkah untuk mengidentifikasi komposisi gizi dari

tepung sorgum yang diproduksi. Kandungan air pada suatu bahan pangan dapat mempengaruhi

kualitas bahan itu sendiri. Penambahan atau pengurangan jumlah air dapat memicu adanya kerusakan

fisik, kimia, ataupun mikrobiologi. Pada bahan pangan berupa tepung, peningkatan kadar air dapat

memicu adanya fermentasi tepung oleh mikroorganisme sehingga kualitasnya menurun dan umur

simpannya berkurang. Kadar air pada tepung yang dihasilkan adalah 13.52% (bb). Hal ini masih

sesuai dengan SNI (2009) yang menyatakan bahwa kadar air tepung terigu maksimal 14.5%. Dalam

hal ini, tepung terigu digunakan sebagai acuan karena belum ada SNI mengenai tepung sorgum. Hasil

analisi proksimat tepung sorgum Numbu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis proksimat tepung sorgum varietas Numbu (% bk)

Air (%bb) Protein Lemak Abu Karbohidrat Pati Amilosa

13.52±0,09 8,50±0,27 2,42±0,11 0,84±0,06 88.23 82.18±0.00 22.46±1.23

Berdasarkan analisis proksimat pada tepung sorgum, diketahui bahwa kandungan protein

pada tepung sorgum adalah 8.50% (bk). Nilai protein tersebut masih berada dalam kisaran protein

pada tepung sorgum hasil produksi B2P4, yaitu 7-9%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan protein

pada tepung sorgum termasuk normal dibandingkan tepung sorgum komersial yang diproduksi oleh

B2P4.

Penentuan kadar lemak dihasilkan dengan menggunakan metode soxhlet. Metode ini akan

menentukan kandungan lemak kasar yang tidak hanya meliputi lemak atau minyak tetapi juga

komponen-komponen larut lemak atau pelarut organik seperti vitamin larut lemak, pigmen, ataupun

karotenoid. Kadar lemak pada tepung sorgum adalah 2.42% (bk). Kadar ini cukup tinggi karena

diduga masih adanya lembaga pada tepung sorgum yang sulit dipisahkan saat pengayakan tepung.

Abu dalam suatu bahan pangan menunjukkan besarnya residu anorganik dari proses

pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan

menunjukkan besarnya mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Analisis kadar abu

pada penelitian ini dilakukan melalui pengabuan kering di dalam tanur pengabuan. Nilai kadar abu

dari tepung sorgum adalah 0.84% (bk).

Kandungan karbohidrat ditentukan berdasarkan by difference. Perhitungan dengan cara ini

adalah penentuan kadar karbohidrat secara kasar. Kadar karbohidrat pada tepung sorgum adalah

88.23% (bk) yang menunjukkan karbohidrat sebagai kandungan yang paling dominan pada tepung

sorgum.

Kandungan pati yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan karakteristik dari tepung itu

sendiri. Hal ini disebabkan perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin pada pati yang berbeda

akan memiliki karakteristik yang berbeda pula. Penelitian Mercier (1977) dalam Ainsworth dan

Ibanoglu (2006) mengenai pati kentang menunjukkan bahwa ekstrusi cenderung memecah ikatan

14 dari amilosa dan bukan rantai terluar dari amilopektin.

29

Kadar amilosa pada tepung sorgum adalah 22.46% (bk). Menurut Tam et al. (2004), kadar

amilosa normal pada tepung yang baik untuk diolah menjadi mi berkisar antara 20-30%. Pada kisaran

tersebut, gelatinisasi dapat terjadi pada suhu <100oC. Analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar

amilosa tepung sorgum Numbu berada dalam kisaran 20-30% sehingga dapat digunakan sebagai

bahan baku mi non terigu.

Hasil analisis proksimat secara keseluruhan menunjukkan bahwa komposisi gizi tepung

sorgum varietas Numbu sesuai untuk dijadikan bahan baku mi, terutama dalam hal kandungan

amilosa. Selain itu, Numbu merupakan salah satu varietas sorgum yang unggul dengan tangkai yang

kompak dan besar, tahan terhadap rebah, penyakit karat, dan penyakit bercak daun (Suarni 2004). Hal

ini membuat Numbu sudah banyak dibudidayakan di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya

Banten dan Bogor sehingga mudah untuk memperoleh bahan baku mi.

4.1.2. Profil Gelatinisasi

Analisis profil gelatinisasi pati dari tepung sorgum diamati menggunakan alat Rapid Visco

Analyzer. Prinsip dari RVA sendiri hampir sama dengan Brabender Amylograph untuk mengetahui

proses gelatinisasi pati ketika suspensi pati dipanaskan dan didinginkan dengan suhu dan waktu yang

telah ditentukan. Umumnya, suspensi pati yang tergelatinisasi akan mengental selama proses

pemanasan dan membentuk gel setelah didinginkan. Perubahan sifat fisik dari suspensi pati akan

mempengaruhi viskositas atau kekentalan dari suspensi pati tersebut. Hasil analisis reologi tepung

sorgum Numbu dapat dilihat pada Tabel 5. Kurva RVA dari tepung sorgum Numbu dapat dilihat pada

Gambar 7.

Tabel 5. Profil gelatinisasi tepung sorgum Numbu

Parameter Nilai

Waktu gelatinisasi (menit) 5.30

Suhu gelatinisasi (oC) 77.53

Waktu granula pecah (menit) 8.24

Viskositas maksimum (cP) 3167.50

Suhu granula pecah (oC) 94.00

Viskositas setelah holding suhu 95oC (cP) 1743.50

Viskositas breakdown (cP) 1424.00

Viskositas setelah holding suhu 50oC (cP) 4101.00

Viskositas setback (cP) 2357.50

Waktu gelatinisasi menunjukkan saat granula pati mulai mengembang karena adanya

penyerapan air sehingga viskositas suspensi pati mulai naik. Waktu gelatinisasi dibaca pada tahap

pemanasan saat kurva RVA mulai naik yang menunjukkan peningkatan viskositas. Waktu gelatinisasi

tepung sorgum Numbu adalah 5.30 menit. Selain waktu gelatinisasi, suhu gelatinisasi juga merupakan

karakteristik yang dapat diamati saat kurva RVA mulai naik. Suhu gelatinisasi tepung sorgum Numbu

adalah 77.53oC yang berarti granula pati akan mulai kehilangan sifat birefringence-nya pada suhu

tersebut. Rancangan percobaan pada optimasi proses menetapkan suhu 80oC sebagai suhu minimal

untuk membuat pati sorgum tergelatinisasi melalui proses ekstrusi.

30

Gambar 6. Kurva RVA tepung sorgum varietas Numbu

Viskositas maksimum adalah viskositas tertinggi yang dapat dicapai pasta pati sebelum

granula pati pecah akibat tidak mampu lagi menahan air yang masuk ke dalam granula tersebut.

Viskositas maksimum dari sorgum Numbu adalah 3167.50 cP. Semakin tinggi viskositas maksimum

menunjukkan pasta pati dapat membentuk adonan yang semakin kental dan sulit untuk mengalir. Suhu

pada saat tercapainya viskositas maksimum disebut suhu granula pecah yang berada pada 94oC.

Setelah granula pecah, viskositas dari pasta pati akan menurun. Pemanasan tetap dilanjutkan

hingga suhu adonan mencapai 95oC yang merupakan suhu tertinggi pada alat RVA. Selanjutnya, suhu

akan dipertahankan tetap berada pada 95oC dan dibaca kembali viskositasnya. Selisih dari viskositas

maksimum dan setelah holding pada suhu 95oC disebut viskositas breakdown. Viskositas ini

menunjukkan tingkat kestabilan pasta pati selama proses pemanasan. Semakin stabil pasta pati, maka

nilai viskositas breakdown-nya akan semakin kecil. Secara berturut-turut, viskositas tepung Numbu

setelah holding suhu 95oC dan viskositas breakdown-nya adalah 1743.50 cP dan 1424 cP.

Setelah pemanasan, pasta pati akan didinginkan sampai suhu 50oC. Viskositas pada suhu

tersebut dibaca kembali dan varietas dengan viskositas Numbu memiliki nilai 4101.00 cP. Selisih

antara viskositas maksimum dengan viskositas setelah holding suhu 50oC disebut sebagai viskositas

setback. Viskositas setback menunjukkan tingkat kecenderungan proses retrogradasi pasta pati.

Viskositas setback dari Numbu tergolong cukup besar (2357.50 cP) yang menunjukkan bahwa

kecenderungan retrogradasi tepung sorgum Numbu juga besar. Retrogradasi dalam hal ini akan

menentukan struktur mi yang dihasilkan (Tam et al. 2004).

4.2. FORMULA TERPILIH ADONAN MI SORGUM

Pembuatan adonan mi sorgum dimulai dengan menimbang terlebih dahulu bahan-bahan yang

akan digunakan, yaitu tepung sorgum, garam, dan air. Kadar garam yang ditambahkan adalah 2% dari

berat tepung yang akan digunakan. Hal ini mengacu pada penelitian optimasi formula mi jagung

Muhandri (2012). Fungsi garam dapur (NaCl) adalah memperkuat adonan dan mengurangi

penyerapan air. Penggunaan kadar garam di atas 3% dapat merusak reologi mi menjadi kurang elastis,

sehingga disarankan penggunaan NaCl tidak lebih dari 2% (Wu et al. 2006). Di sisi lain, garam dapur

juga akan menurunkan kecepatan gelatinisasi pati (Mudjisihono dan Suprapto 1987) sehingga pati

akan tergelatinisasi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan suspensi pati tanpa garam.

31

Untuk tiap perlakuan, digunakan tepung sorgum sebanyak 160 gram. Banyaknya jumlah air

yang digunakan dipengaruhi kadar air dari tepung sorgum sendiri dan kemampuan tepung sorgum

untuk menyerap air atau biasa disebut daya serap air. Sebelumnya, dilakukan percobaan terlebih

dahulu untuk menentukan besarnya air yang ditambahkan pada tepung sorgum. Analisis dilakukan

secara visual dengan membandingkan konsistensi adonan mi sorgum dengan mi jagung pada

penelitian Muhandri (2012). Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil uji coba penambahan air ke dalam adonan mi

Persentase air yang

ditambahkan

Karakteristik adonan

50%

Adonan masih terlalu kering dan belum cukup basah, warna adonan cerah.

Kemungkinan jumlah air tidak cukup untuk menggelatinisasi pati di dalam

ekstruder

55% Adonan memiliki tingkat kebasahan yang cukup, warna adonan cukup cerah,

mirip dengan konsistensi adonan mi jagung

60%

Adonan terlalu basah dan memiliki warna yang terlalu gelap, kemungkinan

akan menghasilkan produk dengan warna yang lebih gelap dan sulit

dimasukkan ke dalam ekstruder

80% Adonan sangat basah dan menggumpal

Pengaturan kadar air bahan akan berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan.

Peran air dalam proses ekstrusi adalah mempengaruhi derajat gelatinisasi dan pengembangan produk

(Miler 1985 dalam Polina 1995). Ketersediaan air di dalam adonan akan mempengaruhi banyak

tidaknya pati yang akan tergelatinisasi. Untuk dapat tergelatinisasi, granula pati harus menyerap air

terlebih dahulu. Apabila kadar air terlalu sedikit, proses gelatinisasi pati tidak optimal karena hanya

sedikit pati yang dapat tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi tekstur mi, cooking loss, dan

elongasi mi.

Penambahan air dalam bahan baku dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya

penambahan air secara langsung, penambahan uap air, ataupun dengan mencampurkan bahan-bahan

sehingga berbentuk emulsi atau sirup (Muchtadi et al. 1988). Dalam penelitian ini, air ditambahkan

secara ke dalam adonan.

Menurut penelitian Muhandri (2012), jumlah air yang ditambahkan pada adonan mi jagung

adalah 80%. Penambahan sebanyak 55% air ke dalam adonan mi sorgum menunjukkan bahwa sorgum

membutuhkan lebih sedikit air untuk menghasilkan adonan yang memiliki konsistensi yang sama. Hal

ini dibuktikan dengan adanya analisis daya serap air terhadap tepung jagung dan tepung sorgum yang

dapat dilihat pada Tabel 7. Tepung sorgum memiliki daya serap air 20% lebih kecil dibandingkan

tepung jagung.

Daya serap air menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat air. Menurut Gomez dan

Aguilera (1983), nilai daya serap air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas

pembentukan gel dari makromolekul pati, yaitu pati tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Semakin banyak

pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan produk menyerap air. Elliason

(1981) menyatakan bahwa granula pati dapat basah dan secara spontan dapat terdispersi dalam air atau

minyak. Hal ini menunjukkan bahwa granula memiliki gugus hidrofilik atau hidrofobik. Jagung

memiliki grup hidrofilik yang lebih banyak dibandingkan tepung sorgum sehingga memiliki daya

serap air yang lebih besar.

32

Tabel 7. Daya serap air tepung sorgum dan tepung jagung

Sampel Daya serap air (%) Rata-rata Standar deviasi

Tepung sorgum 1 94.05

94.35 0.42 2 94.65

Tepung jagung 1 119.10

118.92 0.25 2 118.74

Pemasukan adonan ke dalam ekstruder dilakukan sedikit demi sedikit sambil mendorong

adonan menggunakan batang kayu kecil. Hal ini dilakukan dengan merujuk pada penelitian Muhandri

dan Subarna (2009) dalam Muhandri (2012) yang menyatakan bahwa pemberian dorongan pada

pembuatan mi jagung dapat menghasilkan adonan yang lebih baik dengan nilai cooking loss lebih

rendah dan elongasi yang lebih besar dibandingkan tanpa dorongan. Mi basah yang sudah dicetak

kemudian dikeringkan dengan kipas angin selama semalam. Pengeringan dengan kipas angin

bertujuan untuk memberikan kesempatan agar penguapan air dapat terjadi secara perlahan dan

menghindari kemungkinan terjadinya cracking atau produk patah-patah akibat langsung dikeringkan

dengan udara panas.

Analisis sampel mi sorgum terdiri dari analisis fisik yang meliputi analisis cooking loss dan

elongasi. Mi yang diproses dengan suhu ekstruder 80oC memiliki waktu masak 12 menit sedangkan

mi yang diproses dari suhu ekstruder 95oC memiliki waktu masak 16 menit pada air mendidih

(100oC). Perbedaan ini disebabkan mi yang diproses dengan suhu ekstruder lebih rendah memiliki

diameter yang lebih kecil dibandingkan mi dengan suhu ekstruder yang lebih tinggi. Secara

keseluruhan, mi sorgum kering memiliki waktu masak yang lebih cepat dibandingkan spagetti yang

dibuat dari hard wheat, yaitu 19.84 menit (Nasehi et al. 2009) dan jauh lebih lama dibandingkan mi

instan, yaitu 3-4 menit.

4.3. KARAKTERISTIK MI SORGUM

Hasil analisis cooking loss dan elongasi dari mi sorgum yang telah direhidrasi selanjutnya

dimasukkan ke dalam tabel Response Surface Method D-Optimal pada Design Expert 7.0. Masing-

masing parameter respon selanjutnya akan dibuat permodelan secara polinomial mulai dari level yang

paling tinggi yaitu kubik sampai mean yang merupakan level yang paling rendah. Tabel 8

menunjukkan hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum.

Tabel 8. Hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum

Respon Model p value (Prob>F)

R2 Adj R

2 Pred R

2

Adeq

Precision

Persamaan

aktual Model Lack of Fit

cooking

loss Linear

0.0066

(sig)

0.1550

(not sig) 0.5383 0.4672 0.2913

6.958

(>4.0)

y = 53.78577

-0.42183A

-0.041200B

Elongasi 2FI 0.0058

(sig)

0.5715

(not sig) 0.6339 0.5424 0.3558

7.540

(>4.0)

y = 461.35053

-2.05876A

-11.76695B

+0.13112AB

*Keterangan : A = suhu ekstruder (oC), B = kecepatan ulir ekstruder (rpm)

33

4.3.1. Cooking loss

Cooking loss dapat diartikan sebagai jumlah padatan mi yang terlarut ke dalam air rebusan

selama proses pemasakan. Pengukuran ini mengindikasikan kemampuan mi untuk mempertahankan

integritas strukturalnya selama proses pemasakan (Liu 2009). Analisis ini dilakukan dengan merebus

sebanyak 5 gram mi dengan panjang sekitar 10 cm dalam 150 ml air mendidih di dalam gelas piala.

Panjang untaian mi memiliki pengaruh terhadap besar kecilnya nilai cooking loss. Panjang mi yang

terlalu pendek akan menyebabkan luas permukaan mi yang terekspos oleh air saat dimasak menjadi

lebih besar sehingga semakin banyak partikel yang akan larut dan nilai cooking loss-nya akan semakin

besar. Waktu masak dihitung mulai dari saat memasukkan mi ke dalam air yang sudah mendidih

sampai meniriskan mi. Seiring dengan berjalannya waktu, air rebusan mi akan mulai berwarna kuning

keruh akibat adanya padatan terlarut yang terlepas dari struktur mi. Hasil analisis cooking loss dapat

dilihat pada Tabel 10.

Saat mi diangkat, mi akan terasa lengket dan saling menempel satu sama lain. Pencucian mi

dengan air akan membuat mi menjadi lebih licin dan saling terpisah antar helai. Berdasarkan data pada

Tabel 8, nilai cooking loss dari 16 sampel mi beragam dan umumnya sedang (>10%). Hal ini

menunjukkan jumlah padatan yang terlarut saat dimasak cukup banyak, terutama pada mi dengan

perlakuan suhu 80oC dan kecepatan ulir 74 rpm. Pada variasi tersebut, nilai cooking loss mencapai

24.09% yang menunjukkan bahwa sebanyak 24.09% dari total padatan yang berada di dalam mi larut

ke dalam air rebusan mi selama proses pemasakan. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah nilai

yang minimal untuk mendapatkan mi dengan tekstur matang yang tidak jauh berbeda dari saat

keringnya.

Hasil analisis ANOVA pada respon cooking loss menyatakan bahwa model yang mampu

memenuhi tiga kriteria yang telah disebutkan adalah Linear Manual. Model memiliki nilai p-value

(Prob>F) lebih kecil dari 0.05 (0.0066) sehingga model tersebut memiliki signifikansi yang kuat

sebagai model respon cooking loss. Nilai Lack of Fit yang lebih dari 0.10 (0.1550) menunjukkan

bahwa model polinimial sudah sesuai dengan semua desain secara baik. Apabila Lack of Fit masih

signifikan, maka model polinimial dapat dinaikkan atau dilakukan transformasi model (Anonim

2005).

Pengecekan kesesuaian model dapat dilihat dengan membandingkan nilai cooking loss dari

data penelitian dengan prediksi RSM. Misalnya, pada suhu ekstruder 80oC dan kecepatan ulir 52 rpm,

data penelitian menunjukkan nilai cooking loss mi sorgum sebesar 15.30%, sedangkan prediksi RSM

sebesar 17.90%. Pada titik lain, nilai cooking loss pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125

rpm dari data penelitian adalah 7.68%, sedangkan prediksi RSM sebesar 8.56%. Perbedaan nilai dari

dua data tersebut cukup kecil (sekitar 2%) sehingga masih dapat ditoleransi. Penggunaan RSM pada

penelitian ini digunakan untuk mengetahui model respon cooking loss pada pembuatan mi sorgum

berdasarkan data penelitian yang sudah ada dan menentukan prediksi respon dari penggunaan suhu

ekstruder dan kecepatan ulir yang berbeda. Dengan kata lain, pemilihan model akan disesuaikan

dengan kecenderungan dari data penelitian yang sudah ada untuk menggambarkan pengaruh suhu dan

kecepatan ulir terhadap cooking loss mi sorgum. Nilai prediksi mungkin akan berbeda jika model

yang digunakan juga berbeda, sehingga pemilihan model diusahakan dapat menggambarkan respon

yang mendekati nilai yang sebenarnya.

34

Tabel 9. Hasil analisis cooking loss (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan

Run Suhu (oC) Kecepatan Ulir (rpm) Cooking loss (%bk)

1 80 52-a 15.47

2 80 52-b 15.12

3 80 74 24.09

4 80 125-a 11.63

5 80 125-b 12.72

6 84 50 15.27

7 84 106 17.31

8 88 93 13.64

9 89 125 12.98

10 90 54 15.41

11 95 50-a 12.58

12 95 50-b 8.65

13 95 88-a 8.90

14 95 88-b 12.01

15 95 125-a 5.33

16 95 125-b 10.02

Nilai R2 dari model respon cooking loss adalah 0.5383 yang berarti 53.83% dari data yang

ada dapat dijelaskan oleh model yang dipilih, yaitu linear. Model tersebut dapat memenuhi tiga

kriteria yang harus dipenuhi serta memiliki nilai R2

yang paling tinggi dibandingkan model lainnya.

Nilai Adj R2dan Pred R

2 dari respon cooking loss tergolong rendah, yaitu 0.4672 dan 0.2913. Hal ini

menunjukkan bahwa model tersebut hanya mampu menggambarkan 46.72% dari nilai aktual dan

29.13% dari nilai prediksi. Kedua nilai R2

ini sebaiknya lebih dari 0.60, tetapi hal ini tidak menjadi

suatu keharusan. Apabila desain ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor proses yang signifikan,

maka nilai dari kedua R2

tersebut tidak terlalu berpengaruh. Faktor yang signifikan tetap merupakan

faktor yang benar-benar signifikan meskipun model polinimialnya tidak sempurna (Anonim 2005).

Hal yang paling utama adalah nilai Adj R2dan Pred R

2 memiliki reasonable agreement atau pernyataan

yang beralasan sehingga model linear yang dipilih sudah cukup baik untuk menggambarkan respon

cooking loss dari mi sorgum.

Berdasarkan persamaan aktual hubungan antara cooking loss, suhu, dan kecepatan ulir

ekstruder, baik suhu maupun kecepatan ulir merupakan dua faktor yang secara signifikan

mempengaruhi nilai cooking loss mi sorgum. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Charutigon et al. (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu barrel dari 70oC

ke 90oC dapat menurunkan cooking loss mi beras sebanyak 7% (dari 14.2% menjadi 7.2%). Wang et

al. (2012) juga menyatakan peningkatan suhu barrel mengurangi cooking loss. Oleh karena itu,

semakin tinggi suhu ekstruder, maka akan semakin rendah nilai cooking loss dari produk mi sorgum.

Hal ini disebabkan suhu yang lebih tinggi dapat menggelatinisasi adonan dengan lebih baik

dibandingkan suhu rendah.

Faktor yang paling mempengaruhi cooking loss adalah adanya pati tergelatinisasi yang

ikatannya lemah di permukaan mi sehingga saat mi dimasak, pati tersebut larut ke dalam air rebusan

(Charutigon et al. 2007). Penggunaan suhu yang tinggi akan meningkatkan derajat gelatinisasi

35

sehingga mengurangi jumlah padatan terlarut saat pemasakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Chiang

(1975) yang menyatakan derajat gelatinisasi meningkat tajam dengan peningkatan suhu, saat kadar air

bahan 24-27%, tetapi meningkat lebih lambat saat kadar air bahan 18-21%.

Berdasarkan penampang tiga dimensi pada Gambar 7, warna merah menunjukkan nilai

cooking loss yang tinggi sedangkan warna biru menunjukkan nilai cooking loss yang rendah.

Penampang tiga dimensi dari respon cooking loss menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan

kecepatan ulir ekstruder akan menghasilkan mi dengan nilai cooking loss yang semakin rendah. Di sisi

lain, suhu ekstruder yang rendah dan kecepatan ekstruder yang tinggi akan menghasilkan mi dengan

nilai cooking loss yang lebih besar.

Gambar 7. Penampang tiga dimensi respon cooking loss

Kecepatan ulir secara signifikan mempengaruhi gelatinisasi pati. Hasil penelitian ini sesuai

dengan pendapat Wang et al. (2012) yang menyatakan bahwa peningkatan kecepatan ulir dapat

meningkatkan nilai b (warna kuning), rasio ekspansi, persentase pati tergelatinisasi, pati resisten,

kekompakan dan kelengketan permukaan, waktu masak, dan menurunkan nilai a dan bobot masak.

Lampiran 24 menunjukkan sebaran data cooking loss mi sorgum.

4.3.2. Elongasi

Elongasi mi menunjukkan seberapa besar pertambahan panjang mi saat mi ditarik sampai

putus. Persen elongasi menunjukkan seberapa besar maksimal pertambahan mi yang dapat dicapai

sampai mi putus dibandingkan dengan panjang awal mi tersebut. Elongasi dipengaruhi oleh kekuatan

dan kekompakan pada struktur mi terhadap perentangan. Analisis elongasi dilakukan dengan

menggunakan instrumen Texture Analyzer dengan menggunakan strain 90% dan panjang mi yang

digunakan sekitar 25-30 cm.

Kedua ujung untaian mi dililitkan pada probe dan alat akan menarik salah satu ujung mi

tersebut. Mi yang dapat digunakan untuk analisis elongasi tidak boleh berada pada kondisi yang licin

sehingga setelah mi direbus, mi harus ditiriskan sampai permukaan mi sudah tidak licin lagi (±10

menit). Lilitan mi terhadap probe juga harus kuat agar mi tidak selip. Pemilihan untaian mi untuk

analisis ini dilakukan pada mi yang terbebas dari cracking atau memiliki struktur yang homogen

sehingga hasil pengukuran sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Hasil analisis elongasi dapat

dilihat pada Tabel 10.

Untuk variabel respon elongasi, model 2FI dengan proses seleksi manual merupakan model

yang paling sesuai. Model memiliki nilai p-value (Prob>F) lebih kecil dari 0.05 (0.0058) sehingga

80 83.75

87.5 91.25

95 50 69

88 106

125

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00 KPAP(%)

Suhu (oC)

Kec. ulir (rpm)

36

model tersebut memiliki signifikansi yang kuat untuk menggambarkan model polinimial untuk respon

elongasi. Nilai Lack of Fit yang lebih dari 0.10 (0.5715) menunjukkan bahwa model polinimial sudah

sesuai dengan semua desain secara baik. Apabila Lack of Fit masih signifikan, maka model polinimial

dapat dinaikkan atau dilakukan transformasi model. Sebuah model polinimal terkadang memang tidak

bisa mendeskripsikan sistem dengan lebih baik (Anonim 2005).

Tabel 10. Hasil analisis elongasi (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan

Run Suhu (oC) Kecepatan Ulir (rpm) Elongasi (%)

1 80 52-a 186.53

2 80 52-b 282.53

3 80 74 175.88

4 80 125-a 122.55

5 80 125-b 104.87

6 84 50 243.89

7 84 106 283.42

8 88 93 189.02

9 89 125 330.75

10 90 54 316.11

11 95 50-a 382.09

12 95 50-b 237.49

13 95 88-a 266.81

14 95 88-b 328.76

15 95 125-a 360.56

16 95 125-b 339.70

Nilai R2 dari model respon elongasi adalah 0.6339 yang berarti 63.39% dari data yang ada

dapat dijelaskan oleh model yang dipilih, yaitu 2FI. Model tersebut dapat memenuhi tiga kriteria yang

wajib dipenuhi serta memiliki nilai R2

yang paling tinggi dibandingkan model lainnya. Nilai Adj R2dan

Pred R2 dari respon elongasi tergolong masih rendah, yaitu 0.5424 dan 0.3558. Hal ini menunjukkan

bahwa model tersebut hanya mampu menggambarkan 54.24% dari nilai aktual dan 35.58% dari nilai

prediksi. Kedua nilai R2

ini sebaiknya lebih dari 0.60, tetapi hal ini tidak menjadi suatu keharusan.

Apabila desain ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor proses yang signifikan, maka nilai dari

kedua R2

tersebut tidak terlalu berpengaruh. Faktor yang signifikan tetap merupakan faktor yang

benar-benar signifikan meskipun model polinimialnya tidak sempurna (Anonim 2005). Hal yang

paling utama adalah nilai Adj R2dan Pred R

2 memiliki reasonable agreement atau pernyataan yang

beralasan sehingga model 2FI yang dipilih sudah cukup baik untuk menggambarkan respon elongasi

dari mi sorgum.

Pengecekan kesesuaian model dapat dilihat dengan membandingkan nilai elongasi dari data

penelitian dengan prediksi RSM. Misalnya, pada suhu ekstruder 80oC dan kecepatan ulir 125 rpm,

data penelitian menunjukkan nilai elongasi mi sorgum sebesar 113.71%, sedangkan prediksi RSM

sebesar 136.98%. Pada titik lain, nilai elongasi pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm

dari data penelitian adalah 350.13%, sedangkan prediksi RSM sebesar 351.99%. Perbedaan nilai dari

dua data tersebut terbilang kecil sehingga masih dapat ditoleransi. Dengan kata lain, pemilihan model

37

akan disesuaikan dengan kecenderungan dari data penelitian yang sudah ada untuk menggambarkan

pengaruh suhu dan kecepatan ulir terhadap elongasi mi sorgum. Nilai prediksi mungkin akan berbeda

jika model yang digunakan juga berbeda, sehingga pemilihan model diusahakan dapat

menggambarkan respon yang mendekati nilai yang sebenarnya.

Berdasarkan persamaan polinimal aktual tersebut, dapat dilihat bahwa baik suhu maupun

kecepatan ulir menjadi faktor yang signifikan dalam mempengaruhi nilai elongasi mi sorgum. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Mercier dan Feillet (1975) bahwa gelatinisasi pati dipengaruhi oleh

kecepatan dan suhu ekstruder. Derajat gelatinisasi secara tidak langsung memiliki peranan dalam

pembentukan tekstur dan elongasi mi. Model 2FI juga memperhitungkan interaksi antara suhu dan

kecepatan ulir ekstruder dengan konstanta (+0.13112).

Elliason dan Gudmunson (1996) menyatakan bahwa tingginya amilosa terlarut pada saat

tergelatinisasi dan tingginya pengembangan granula dapat meningkatkan elongasi mi. Di lain pihak,

tingginya amilopektin terlarut dapat menganggu pembentukan gel dan menurunkan elongasi itu

sendiri. Selain ditentukan oleh karakteristik tepung yang digunakan, kecukupan proses untuk

menggelatinisasi pati juga diperlukan agar terbentuk adonan yang kompak. Oleh karena itu, elongasi

mi menjadi salah satu indikator utama mengenai keberhasilan pembuatan mi, terutama dalam teknik

ekstrusi.

Menurut Muhandri (2012), suhu ekstruder yang semakin tinggi akan menyebabkan

gelatinisasi pati semakin tinggi. Selain itu, kecepatan ulir ekstruder yang semakin tinggi menyebabkan

struktur gel semakin tinggi dan mi semakin panjang elongasinya. Hal ini sesuai dengan elongasi mi

sorgum yang diproses menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal. Penampang tiga

dimensi respon elongasi mi sorgum dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 8. Penampang tiga dimensi respon elongasi

Gambar 8 menampilkan penampang tiga dimensi dari suhu dan kecepatan ulir ekstruder

terhadap nilai elongasi mi. Warna merah menunjukkan nilai elongasi yang semakin tinggi sedangkan

warna biru menunjukkan persen elongasi yang rendah. Penampang tiga dimensi menunjukkan bahwa

suhu dan kecepatan ulir ekstruder yang semakin tinggi menghasilkan mi dengan persen elongasi yang

tinggi, sedangkan suhu ekstruder yang rendah dan kecepatan ulir yang tinggi membuat produk mi

menjadi rendah elongasinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wang et al. (2012) yang menyatakan

bahwa peningkatan suhu barrel dan peningkatan kecepatan ulir akan meningkatkan persentase pati

tergelatinisasi dan kekompakan pada mi pati kacang polong.

Pada suhu 80oC, peningkatan kecepatan ulir akan menurunkan elongasi dari mi sorgum. Hal

ini disebabkan suhu 80oC termasuk suhu yang rendah dan hanya 3

oC lebih tinggi dibandingkan suhu

80 50 84

88 91

95

69 88

106 125

100.00

172.50

245.00

317.50

390.00

Elongasi (%)

Suhu (oC) Kec. ulir (rpm)

38

gelatinisasi tepung sorgum varietas Numbu. Chiang (1975) menyatakan bahwa peningkatan kecepatan

ulir akan mengurangi waktu retensi atau waktu tinggal bahan dalam ekstruder sehingga akan

menurunkan gelatinisasi pati. Dengan suhu rendah dan kecepatan ulir tinggi, pati dalam adonan mi

belum tergelatinisasi sempurna sehingga menghasilkan mi dengan struktur yang kurang kompak dan

memiliki elongasi yang lebih rendah. Lampiran 24 menunjukkan sebaran data elongasi mi sorgum.

4.4. KARAKTERISTIK MI PADA PROSES OPTIMUM

Pada bagian kriteria cooking loss, nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang minimal.

Hal ini didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan produk mi dengan nilai cooking loss yang

paling rendah agar tekstur mi setelah direhidrasi tidak akan berbeda jauh dari mi keringnya dengan

nilai importance ++++. Manthey dan Twombly (2006) menyatakan bahwa produk pasta seharusnya

tidak lengket saat dimasak, memiliki tekstur padat dengan cooking loss kecil, dan tahan overcooking.

Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang rendah karena menunjukkan mi tersebut memiliki

tekstur yang baik dan homogen. Untuk elongasi produk, tujuan penetapannya adalah in range karena

nilai elongasi dari produk mi sorgum secara umum sudah baik dan mi yang telah dimasak tidak hancur

atau patah-patah sehingga elongasi produk tidak ditetapkan spesifik.

Pada langkah kedua, yaitu penetapan solusi, terdapat tiga macam solusi dengan nilai

desirability yang berbeda-beda berdasarkan skala prioritas. Proses yang dipilih sebagai solusi paling

utama adalah proses pembuatan mi sorgum pada suhu 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Pada proses

tersebut, prediksi nilai cooking loss adalah 8.56% dan elongasi mi 351.99% dengan nilai desirability

0.828. Nilai desirability ini dirasa cukup baik sehingga solusi yang ditawarkan sudah sesuai dengan

tujuan dari optimasi proses. Gambar 9 menunjukkan penampang desirability dari mi sorgum. Tabel 11

juga menunjukkan solusi yang ditawarkan sebagai hasil optimasi proses ekstrusi.

Gambar 9. Penampang tiga dimensi nilai desirability formula optimum

Tabel 11. Solusi formula yang ditawarkan dalam optimasi proses

No. Suhu (oC) Kecepatan Ulir

(rpm)

cooking loss

(%)

Elongasi (%) Desirability

1 95 125 8.56 351.99 0.828*

2 95 123 8.63 350.89 0.824

3 95 113 9.06 343.60 0.801

*Formula optimum

Suhu (oC)

80

84 88

91

95

50

69 88

106

125

0.320

0.448

0.575

0.703

0.830

Desirability

Kec. ulir (rpm)

39

Verifikasi dilakukan dengan membandingkan nilai respon pada kondisi aktual dengan

prediksi dari optimasi. Program Design Expert 7.0 akan memberikan nilai CI (Confident Interval) dan

PI (Prediction Interval) untuk setiap nilai prediksi respon pada taraf signifikansi 5%. Navidi (2006)

menyatakan bahwa confident interval menunjukkan keyakinan bahwa 95% dari populasi akan berada

di antara mean dan stdev dengan 5% yang berada di luar itu.

Tabel 12. Hasil verifikasi beserta poin prediksi dari solusi yang terpilih

Respon Prediksi Verifikasi 95% CI

low

95% CI

high

95% PI

low

95% PI

high

cooking loss (%) 8.56 8.95 5.33 11.80 1.14 15.99

Elongasi (%) 351.99 332.40 277.54 426.44 207.15 496.82

Prediksi dari program untuk respon cooking loss adalah 8.56% dan elongasi 351.99% pada

mi sorgum dari proses suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Hasil verifikasi pada Tabel 12

dari respon cooking loss dan elongasi adalah 8.95% dan 332.4%. Hasil tersebut masih berada dalam

kisaran Confident Interval dan Prediction Interval sehingga prediksi dan hasil nyata dari solusi produk

yang ditawarkan sesuai. Produk mi sorgum dari proses suhu 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm ini akan

dilanjutkan ke tahapan analisis selanjutnya, yaitu hedonik.

4.5. MI SORGUM-JAGUNG

Warna dari mi sorgum kering yang coklat menjadikan mi sorgum kurang menarik walaupun

warna tersebut akan berubah menjadi putih pucat saat sudah direhidrasi. Lyons-Johnson (1997)

menyatakan bahwa penduduk asia menyukai produk berwarna cerah dengan variasi warna kuning dari

pucat sampai terang. Mi dengan warna abu-abu, coklat, ataupun kusam biasanya ditolak atau tidak

disukai. Suarni (2004) juga menyatakan bahwa warna olahan produk campuran tepung sorgum dan

terigu kurang disukai panelis atau konsumen, namun masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan

zat pewarna yang diperbolehkan Departemen Kesehatan. Dalam rangka meningkatkan penampilan

dari mi sorgum, penelitian dikembangkan untuk membuat mi sorgum yang menggunakan campuran

tepung jagung sebagai adonannya.

Di dalam proses ekstrusi, seringkali dilakukan pencampuran dari dua atau lebih bahan yang

berbeda dalam teknologi ekstrusi. Tujuan pencampuran tersebut adalah memperoleh produk akhir

dengan komposisi gizi yang lebih baik, memiliki karakteristik yang diinginkan, meminimalisasi biaya,

mempermudah proses pengolahan dan lain-lain. Selain itu, proses pencampuran juga memberikan

kemungkinan pemanfaatan sumber bahan pangan lain yang belum dimanfaatkan secara optimal

(Muchtadi et al. 1988). Gambar 10 menunjukkan perbedaan warna mi sorgum.

40

Gambar 10. Foto (a) mi jagung 100%, (b) mi sorgum-jagung 60:40, dan (c) mi sorgum 100%

Hasil analisis fisik mi sorgum-jagung yang meliputi cooking loss dan elongasi dapat dilihat

pada Tabel 13. Cooking loss mi sorgum-jagung sebesar 10.48%, lebih besar dari mi sorgum pada

proses yang sama, yaitu 8.95%. Sebaliknya, elongasi mi sorgum-jagung (275.74%) lebih kecil dari mi

sorgum (332.40%). Charutigon et al. (2007) menyebutkan bahwa nilai cooking loss mi komersial yang

dapat diterima < 12.5% basis basah atau sekitar 14.2% basis kering. Oleh karena itu, cooking loss mi

sorgum-jagung memiliki nilai yang masih dapat diterima. Meskipun elongasinya lebih kecil dari mi

sorgum, mi sorgum-jagung tidak mudah hancur setelah dimasak dan memiliki tekstur yang cukup

baik.

Tabel 13. Hasil analisis cooking loss dan elongasi mi sorgum-jagung

Parameter Nilai

Cooking loss (%) 10.48

Elongasi (%) 275.74

4.4. TINGKAT KESUKAAN PANELIS TERHADAP MI SORGUM

Mi yang dijadikan sebagai sampel dalam uji rating hedonik adalah mi sorgum dan mi

sorgum-jagung yang diolah menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dengan suhu 95oC

dan kecepatan ulir 125 rpm. Tujuan pengujian adalah untuk mengetahui mi yang lebih disukai panelis

dalam hal warna mi, kekeruhan air rebusan, kekerasan, elongasi, dan rasa. Mi sorgum-jagung

diikutsertakan untuk melihat adakah perbedaan persepsi dari panelis terhadap mi dengan warna

kuning dari jagung terhadap penilaian panelis untuk kelima atribut tersebut. Warna kuning pada mi

jagung berasal dari pigmen karotenoid yang berasal dari jagung itu sendiri dan diharapkan dapat

meningkatkan penerimaan panelis terhadap mi sorgum-jagung yang mirip dengan mi terigu biasa.

a b c

41

4.4.1. Warna mi sorgum

Warna merupakan salah satu atribut penting dari suatu bahan pangan. Bahan atau produk

pangan yang memiliki warna yang menarik biasanya lebih disukai dibandingkan dengan produk yang

memiliki warna gelap atau kusam. Warna biasa dijadikan indikator dalam penilaian pertama terhadap

suatu produk pangan. Persepsi masyarakat, khususnya di Indonesia, sudah terbiasa menggolongkan

warna sesuai dengan jenis produknya. Misalnya warna hijau untuk sayur, warna putih untuk susu,

warna merah untuk buah stroberi, dan sebagainya. Oleh karena itu, warna menjadi salah satu atribut

yang akan diuji oleh panelis secara sensori.

Gambar 11. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap warna mi

Gambar 11 menunjukkan rata-rata penilaian panelis terhadap kesukaan dari warna mi

sorgum. Mi sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan mi sorgum. Uji

ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap warna kedua mi menunjukkan perbedaan yang

signifikan pada taraf signifikansi 5%. Rata-rata nilai kesukaan terhadap warna mi sorgum adalah 2.67

yang berada antara “tidak suka” dan “biasa”. Hal ini disebabkan warna dari mi sorgum sendiri adalah

putih pucat dan agak kusam, berbeda dengan jagung yang identik dengan warna kuning oranye. Selain

itu, persepsi konsumen terhadap mi yang biasanya berwarna kuning juga memiliki pengaruh dalam

penilaian.

Mi sorgum-jagung yang berwarna kuning memiliki kesukaan yang paling baik karena berada

diantara “suka” dan “sangat suka”. Hal ini menunjukkan bahwa warna mi sorgum-jagung yang mirip

dengan warna mi terigu biasa dapat meningkatkan kesukaan mereka terhadap mi tersebut. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya persepsi warna mi pada umumnya memiliki pengaruh

terhadap kesukaan panelis terhadap warna mi sorgum. Selain itu, tujuan penambahan tepung jagung

dalam pembuatan mi sorgum-jagung berhasil meningkatkan kesukaan panelis terhadap mi sorgum

yang belum populer di masyarakat. Gambar 12 menunjukkan perbedaan warna dari mi sorgum 100%

dan mi sorgum-jagung setelah direhidrasi.

sorgumsorgum-jagung

warna mi 2.67 4.27

0

1

2

3

4

5

Rata-rata kesukaan warna mi

42

Gambar 12. Foto mi setelah dimasak, (a) mi sorgum 100% dan (b) mi sorgum-jagung

4.4.2. Kekeruhan air rebusan mi

Dalam mengonsumsi mi rebus, air rebusan dari mi akan ikut dikonsumsi bersama dengan mi

dan bumbu yang disukai. Pada dasarnya, air rebusan mi akan berwarna lebih keruh dibandingkan air

biasa. Hal ini dikarenakan selama pemasakan mi, partikel-partikel terlarut dari mi akan terlepas dan

ikut larut ke dalam air rebusan sehingga menimbukan kekeruhan dari air tersebut. Tingkat kekeruhan

air rebusan mi memiliki hubungan dengan kadar cooking loss dari mi itu sendiri. Menurut Charutigon

et al. (2007), cooking loss terutama disebabkan oleh adanya pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah

di permukaan mi sehingga ikut larut bersama dengan air rebusannya.

Gambar 13 menunjukkan penilaian rata-rata panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi

sorgum. Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap kekeruhan air rebusan kedua mi

menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Mi sorgum-jagung memiliki

tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mi sorgum, walaupun kedua mi kesukaannya

antara “tidak suka” dan “biasa”. Konsumen lebih menyukai kekeruhan dari air rebusan mi sorgum-

jagung yang memang berwarna kuning, sehingga lebih mirip dengan air rebusan mi terigu biasa.

Atribut kesukaan terhadap kekeruhan air rebusan mi ini dapat dipertimbangkan jika mi sorgum

ditujukan untuk dikonsumsi sebagai mi rebus, namun bila mi tersebut dikonsumsi sebagai mi goreng

atau spagetti, maka kekeruhan dari air rebusan mi tidak akan berpengaruh terhadap penilaian

konsumen.

Gambar 13. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi

sorgumsorgum-jagung

kekeruhan air rebusan 2.09 2.85

0

1

2

3

Rata-rata kesukaan

kekeruhan air rebusan

mi

a b

43

4.4.3. Elongasi mi sorgum

Elongasi menunjukkan seberapa jauh mi dapat mengalami pertambahan panjang ketika

ditarik sebelum akhirnya putus. Dalam produk mi, elongasi menjadi salah satu karakteristik penting

yang harus diperhatikan. Hal ini disebabkan produk mi sudah dikenal masyarakat berupa untaian

panjang yang bersifat kenyal saat ditarik ataupun dikunyah di dalam mulut. Produk mi yang patah-

patah, mudah putus, ataupun terlalu kenyal seperti karet umumnya tidak disukai oleh konsumen.

Gambar 14 menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap elongasi mi sorgum. Uji

ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap elongasi kedua mi tidak menunjukkan perbedaan

yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Meskipun demikian, secara umum terlihat bahwa mi

sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan elongasi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan mi sorgum.

Komentar dari panelis mengenai elongasi kedua mi adalah mi sudah memiliki elongasi yang cukup

baik dan tidak mudah putus. Dalam hal elongasi, penambahan jagung ke dalam adonan mi tidak

memberikan pengaruh yang signifikan.

Gambar 14. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap elongasi mi

4.4.4. Kekerasan mi sorgum

Kekerasan merupakan salah satu atribut fisik yang sering diamati dalam produk mi selain

kekenyalan, kelengketan, daya kunyah, dan lain-lain. Pengukuran karakteristik fisik secara objektif

dapat dilakukan dengan mengukur reologi mi menggunakan Texture Analyzer, sedangkan pengukuran

secara subjektif dilakukan melalui uji sensori. Panelis mengukur kekerasan mi sorgum dengan

menggigit satu helai mi dan memberikan nilai mengenai kesukaan mereka terhadap tingkat kekerasan

mi tersebut. Untuk mengetahui alasan kesukaannya, panelis juga diminta mengisi kolom komentar

terhadap nilai yang diberikan.

Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap kekerasan kedua mi tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Baik mi sorgum maupun mi sorgum-jagung

memiliki rata-rata kesukaan kekerasan mi antara “biasa” dan “suka”. Mi sorgum-jagung memiliki

nilai kesukaan yang sedikit lebih besar dibandingkan mi sorgum. Dari komentar yang diberikan, mi

sorgum dinilai memiliki tektur yang keras, sedangkan mi sorgum-jagung memiliki tekstur yang agak

keras. Komentar panelis sebagai penilaian subjektif tentunya tidak memiliki batasan tekstur seperti

apa yang disebut keras atau tidak melihat beberapa panelis menilai tekstur mi sudah empuk atau

lunak. Meskipun sebagian besar panelis menganggap kedua mi sorgum ini masih cukup keras, tetapi

sorgumsorgum-jagung

elongasi 3.42 3.73

3

3.5

4

Rata-rata kesukaan elongasi

mi

44

kesukaannya masih tergolong baik dan mi masih dapat diterima kekerasannya. Gambar 15

menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap kekerasan mi.

Gambar 15. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekerasan mi

4.4.5. Rasa mi sorgum

Makanan atau minuman yang sehat dan menarik seharusnya memiliki rasa yang enak. Rasa

merupakan atribut yang seringkali menjadi faktor utama dalam uji hedonik suatu produk. Meskipun

definisi “enak” dari tiap individu bisa berbeda-beda, namun diharapkan sebagian besar panelis dapat

menyukai produk yang diuji. Atribut rasa dari mi sorgum dinilai dengan mencicipi mi dan

memberikan skor serta komentar terhadap rasa mi tersebut.

Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap rasa kedua mi tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Baik mi sorgum maupun mi sorgum-jagung

memiliki skor diantara “biasa” dan “suka”. Seperti hasil analisis atribut lainnya, mi sorgum-jagung

memiliki rata-rata kesukaan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan mi sorgum 100%.

Komentar dari panelis rata-rata menyatakan bahwa rasa mi sorgum dan mi sorgum-jagung adalah

netral atau hambar. Mi sorgum 100% memiliki aroma sorgum yang khas dibandingkan dengan mi

sorgum-jagung. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan jagung dalam mi sorgum-jagung dapat

menutupi aroma khas sorgum yang tergolong asing dan kurang enak. Hal ini sesuai dengan pendapat

Liu (2009) yang menambahkan pati jagung dalam pembuatan mi sorgum kalendering untuk menutupi

rasa dan aroma yang asing khas sorgum. Gambar 16 menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap

rasa mi.

Gambar 16. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap rasa

sorgumsorgum-jagung

kekerasan 3.21 3.42

3

3.3

3.6

Rata-rata kesukaan kekerasan

mi

sorgumsorgum-jagung

rasa 3.39 3.61

3

3.3

3.6

3.9

Rata-rata kesukaan

rasa mi

45

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. SIMPULAN

Numbu sebagai varietas sorgum yang digunakan memiliki kadar air 13.52% (bb), protein

8.5% (bk), lemak 2.42% (bk), abu 0.84% (bk), karbohidrat 88.23% (bb), pati 82.18% (bk), dan

amilosa 22.46% (bk). Kadar amilosa tepung sorgum Numbu berada pada kisaran normal (22-24%)

sehingga dapat diaplikasikan pada pembuatan mi non terigu. Ketersediaan Numbu sebagai bahan baku

mudah ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Banten dan Bogor.

Profil gelatinisasi dari tepung sorgum Numbu menunjukkan bahwa suhu gelatinisasi tepung

adalah 77.53oC sehingga suhu minimal ekstruder adalah 80

oC. Viskositas setback tepung sorgum yang

tinggi menunjukkan kecenderungan proses retrogradasi yang besar sehingga cocok diolah menjadi mi

pati. Retrogradasi dalam hal ini akan menentukan struktur mi yang dihasilkan (Tam et al. 2004).

Optimasi proses mi sorgum menggunakan RSM D-Optimal menunjukkan bahwa proses yang

terpilih adalah suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm, dengan variasi suhu dan kecepatan ini

berada di batas maksimal dari limit yang ditetapkan. Pada variasi suhu dan kecepatan tersebut, mi

sorgum memiliki cooking loss sebesar 8.95% dan elongasi sebesar 332.44%. Pemilihan ini dilakukan

dengan mempertimbangkan proses yang dapat menghasilkan mi dengan cooking loss yang minimum.

Warna mi sorgum yang telah dimasak adalah putih pucat. Unutk meningkatkan daya terima

panelis terhadap mi sorgum, penambahan tepung jagung pada adonan mi dilakukan berdasarkan trial

and error untuk

Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan atribut warna mi, kekeruhan air rebusan mi,

kekerasan mi, elongasi mi, dan rasa mi. Uji hedonik mi sorgum menunjukkan bahwa tingkat kesukaan

panelis terhadap mi sorgum berada diantara “biasa” dan “suka”, kecuali pada atribut warna dan

kekeruhan air rebusan mi dengan nilai antara “tidak suka” dan “biasa”. Pengembangan produk

dilakukan dengan mencampurkan tepung jagung ke dalam adonan mi untuk memperbaiki daya terima

dari mi sorgum. Berdasarkan hasil uji, mi sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan yang lebih baik

daripada mi sorgum, terutama dalam hal warna mi dan kekeruhan air rebusan mi. Untuk ketiga atribut

lainnya, uji ANOVA tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kedua sampel mi pada taraf

kepercayaan 95%.

5.2. SARAN

Data penelitian menunjukkan bahwa nilai cooking loss dan elongasi mi sorgum pada kondisi

proses yang sama memiliki nilai yang bervariasi. Beberapa variasi nilai antar ulangan cukup besar,

terutama elongasi mi. Hal ini diduga disebabkan oleh tahap pemasukan adonan ke dalam ekstruder

dilakukan secara manual sehingga memungkinkan keragaman mutu akibat perbedaan kecepatan

pemasukan adonan (feeding rate). Penggunaan ekstruder dengan tahap pemasukan bahan yang

terkendali mungkin akan menghasilkan produk mi dengan variasi mutu mi yang lebih kecil.

46

VI. DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2005. Menu Help pada Design Experts 7.0, Start-Ease Inc

[Anonim]. 2006. Design-expert 7 user’s guide. [e-book] http://stat-ease.com/ (31 Oktober 2012)

Ainsworth P, Ibanoglu S. 2006. Extrusion. Dalam : Brennan JG (ed). Food Processing Handbook.

Germany: Wiley-vch verlag gmbH & Co.KGaA pp: 237-283

Anderson RA, Conway HF, Pfeifer VF, Griffin EL. 1969. Gelatinization of corn grits by roll and

extrusion cooking. J Cereal Sci 14: 4-12

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC : Association of Official Analytical

Chemist

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Budijanto S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan.

Bogor : IPB Press

Awika JM, Lloyd WR. 2004. Sorghum phytochemicals and their potential impact on human health. J

Sci Phytochem 65: 1199-1221

[B2P4] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2010. Teknologi Pengolahan

dan Pemanfaatan Tepung Sorgum. Bogor : Kampus Penelitian Pertanian

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Impor gandum dan beras. http://www.bps.go.id (4 Januari 2013)

[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. 2011, Jumlah penduduk

Indonesia capai 241 juta jiwa. http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr =44150 (9 Januari

2013)

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan (SNI 3751:

2009). Jakarta : Badan Standarisasi Nasional

Box GEP, Hunter WG, Hunter JS. 1978. Statistics for Experimenters : Wiley Series in Probability and

Mathematical Statistics. USA : John Wiley & Sons Inc

Charutigon C, Jintana J, Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects of processing conditions and the use of

modified starch and monoglyseride on some properties of extruded rice vermicelli. Swiss

Society of F Sci Tech 41: 642-651.

Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle

Products. [Tesis]. The Netherlands : Wageningen University

Chen K-N, Chen M-J. 2009. Statistical optimization : Response surface methodology. Dalam :

Erdoğdu F (ed). Optimization in Food Engineering. Boca Raton : CRC Press Inc

Chiang BY. 1975. Gelatinization of Starch in Extruded Products. [Disertasi]. Manhattan, Kansas :

Kansas State University

Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-types noodles from heat moisture treated

sweet potato starch. J Food Sci 66(4) pp: 604-609

47

Dalbon G, Grivon D, Pagani MA. 1996. Pasta Continous Manufacturing Process. Dalam : American

Association of Cereal Chemistry. Pasta and Noodles Technology. Minnesota, USA : St. Paul

[Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Program peningkatan ketahanan pangan. http://www.deptan.

go.id/daerah_new/ntt/distan_ntt/keg.apbn_files/PROGRAM%20PENINGKATAN%20KET

AHANAN%20PANGAN.HTM (9 Januari 2013)

Elliason AC. 1981. Effect of water content on the gelatinization of wheat starch. Starke 32: 270-272

Elliason AC, Gudmunson M. 1996. Starch : Physicochemical and functional aspects. Dalam : Elliason

AC (ed). Carbohydrates in Food. New York : Marcell Dekker Inc

Estiasih T, Ahmadi K. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta : Bumi Aksara

Evers A, Nesbitt M, Black M, Bewley JD, de Milliano WAJ. 2006. Sorghum. Dalam : Black M,

Bewley JD, Halmer P (eds). The Encyclopedia of Seeds: Science, Technology, and Uses.

United Kingdom : Cromwell Press, Trowbridge pp: 640-641

[Food Security Department]. 2013. Chapter VIII Sorghum : Post-harvest operations. http://cd3wd.

com/cd3wd_40/INPHO/COMPEND/TEXT/EN/CH07.HTM (5 Januari 2013)

Fuglie KO, Hermann M. 2001. Sweet Potato Post-harvest Research and Development In China.

Bogor : International Potato Center

Galvez FCF, Resurrection AVA, Ware GO. 1995. Formulation and process optimization of mungbean

noodles. J of Food Processing and Preservation 19 pp: 191-205

Ganjyal M, Hanna MA, Supprung P, Noomhorn, Jones D. 2006. Modeling selected properties of

extruded rice flour and rice starch by neural networks and statistics. J Cereal Chem 83(3):

223-227

Gomez MH, Aguilera JM. 1983. Changes in the starch fraction during extrusion cooking of corn. J

Food Sci 48(2): 378-381

Harper JM. 1991. A comparative analysis of single and twin screw extruders. Dalam : Kokini JL, Ho

C-T, Karwe MV (eds). Food Extrusion Science and Technology. New York : Marcel Dekker

Inc pp: 139-147

Kunetz CF. 1997. Processing Parameters Affecting Sorghum Noodle Qualities. [Abstrak]. Texas :

Texas A&M University

Kimdump. 2011. “Sorghum” si kaya manfaat. http://kimdump.blogspot.com/2011/01/sorghum-si-

kaya-manfaat.html?m=1 (5 Januari 2013)

Lemlioglu-Austin D, Turner ND, McDonough CM, Rooney LW. 2012. Effects of sorghum [Sorghum

bicolor (L.) Moench] crude extracts on starch digestibility, estimated glycemic index (EGI),

and resistant starch (RS) contents of porridges. J Molecules (17): 11124-11138

Liu L. 2009. Evaluation of Four Sorghum Hybrids in A Gluten-Free Noodle System. [Tesis].

Manhattan, Kansas : Kansas State University

Lyons-Johnson. 1997. New noodlemaking in the works. [Abstrak]. Dawn Agricultural Research

0002161X 45(3)

Manthey FA, Twombly W. 2006. Extruding and drying of pasta. Dalam : Hui YH (ed). Handbook of

Food Science, Technology, and Engineering, Vol 4. Boca Raton : Taylor and Francis Group,

CRC Press

48

Mercier C, Feillet P. 1975. Modification of carbohydrate components by extrusion-cooking of cereal

products. Cereal Chem 52: 283-297

Mercier C. 1977. Effect of extrusion-cooking potato starch using a twin screw French extruder.

Staerke 29: 48-52

Merdiyanti A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Memanfaatkan Bahan Baku

Tepung Jagung. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Miller RC. 1985. Low moisture extrussion : effect of cooking moisture in product characteristics. J

Food Sci 50(1) pp: 240-253

Muchtadi TR, Hariyadi P, Ahza AB. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Bogor : LSI Institut

Pertanian Bogor

Muhandri T, Subarna. 2009. Optimasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Instant Jagung. [Laporan

Hibah Bersaing]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan

Muhandri T. 2012. Karakteristik Reologi Mi Jagung Dengan Ekstrusi Pemasak-Pencetak. [Disertasi].

Bogor : Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Mudjisihono, Suprapto. 1987. Budidaya Pengolahan Sorgum. Jakarta : Penebar Swadaya

Nasehi B, Mortazavi SA, Razavi SMA, Mahallati MN, Karim R. 2009. Optimization of the extrusion

conditions and formulation of spaghetti enriched with full-fat soy flour based on the cooking

and color quality. Int J of Food Sci and Nutri 60(4): 205-214

Navidi W. 2006. Statistics for Engineers and Scientists. New York : The McGraw-Hill Companies Inc

Niba LL. 2006. Carbohydrates : Starch. Dalam : Hui YH (ed). Handbook of Food Science Technology

and Engineering vol 1. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press

Nurmala TSW. 1997. Tanaman Budidaya. Jakarta : Rineka Cipta

Oh NH, Seib PA, Chung DS. 1985. Noodles III, Effect of processing variables on the quality

characteristics of dry noodles. J Cereal Chem 62(6): 437-440

Polina. 1995. Studi Pembuatan Produk Ekstrusi dari Campuran Jagung, Sorghum, dan Kacang Hijau.

[Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Putra SN. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode

Kalendering. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Riahi E, Ramaswamy HS. 2003. Structure and composition of cereal grains and legumes. Dalam :

Chakraverty A, Mujumdar AS, Raghavan GSV, Ramaswamy HS (eds). Handbook of

Postharvest Technology. New York : Marcel Dekker Inc pp: 1-16

Rick P. 2003. Introduction to Food Science. New York : Delmar, Thomson Learning Inc

Rooney LW, Awika S. 2004. Handbook of Cereal Science and Technology. New York : Marcel

Dekker Inc

Rooney LW, Miller FR. 1982. Variation in the structure and kernel characteristics of sorghum. Dalam

: Proceeding of The Symposium on Sorghum, 28-31 Oktober 1981 Vol 1. ICRISAT

Patancheru PO, Andhra Pradesh

49

Rungkat-Zakaria F, Prangdimurti E, Puspawati GAKD, Thahir R, Suismono. 2011. Diet berbasis

sorgum (Sorghum bicolor L Moench) memperbaiki proliferasi limfosit limfa dan kapasitas

antioksidan hati tikus. J Tek & Ind Pangan 20 (3): 209-330

Sablani SS. 2009. Gelatinization of starch.Dalam : Rahman MS (ed). Food Properties Handbook, 2nd

edition. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press pp: 287-321

Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. J Litbang Pertanian 23 (4)

Suhendro EL, Kunetz CF, McDonough CM, Rooney LW, Waniska RD. 2000. Cooking characteristics

and quality of noodles from food sorghum. [Abstrak]. Cereal Chem 77(2): 90-100

Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. [Skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi

Pangan dan Gizi, Fateta IPB

Tan H-Z, Li Z-G, Tan B. 2009. Starch noodles : History, classification, materials, processing,

structure, nutrition, quality evaluating and improving. Food Research Int 42 (2009) pp: 551-

576

Tam LM, Corke H, Tan WT, Li J, Collado LS. 2004. Production of bihon-type noodles from maize

starch differing in amylose content. J Cereal Chem. 82(4): 475-480.

Von Elbe JH, Schwartz SJ. 1996. Colorants. Dalam : Fennema OR (ed). Food Chemistry 3rd

ed. New

York : Marcel Dekker Inc pp: 651-722

Wals DE, Gille RA. 1974. Macaroni Products Wheat : Production and Utilization. Connecticut :

AVI, Estport.

Wang N, Maximiuk L, Toews R. 2012. Pea starch noodles : Effect of processing variables on

characteristics and optimization of twin-screw extrusion process. [Abstrak]. J Food Chem

133(3): 742-753

Waniska RD, Yi T, Lu J, Xue PL, Xu W, Lin H. 1999. Effects of preheating temperature, moisture,

and sodium metabisulfite content on quality of noodles prepared from maize flour or meal. J

Food Sci Technol 5(4): 339-346

Wiersema SG. 1992. Sweet Potato Processing in The People’s Republic of China with Emphasis on

Starch and Noodle. Dalam : Scott GJ, Wiersema SG, Ferguson PI (eds). Proceeding Product

Development for Root and Tuber Crops. Lima, Peru : I-Asia, CIP

Wrigley CW, Bekes F. 2004. Processing quality requirements for wheat and other cereal grains.

Dalam : Benech-Arnold RL, Sanchez RA (eds). Handbook of Seed Physiology : Application

to Agriculture. New York : The Hawort Press Inc pp:349-388

Wu J, Beta T, Corke H. 2006. Effect of salt and alkaline reagents on dynamic reological properties of

raw oriental wheat noodles. J Cereal Chem 83(2): 211-217

Yanuwar W. 2009. Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Non-Beras. [Tesis]. Bogor :

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

50

LAMPIRAN

51

Lampiran 1. Hasil analisis kadar air tepung sorgum Numbu

W sampel

awal (g)

W cawan

kosong (g)

W cawan+sampel

kering (g)

Kadar Air

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Kadar Air

(%bk)

Rata-

rata Stdev

1 2.0046 4.2640 5.9989 13.45 13.52 0.09

15.55 15.63 0.11

2 2.0097 4.2850 6.5037 13.58 15.70

Lampiran 2. Hasil analisis kadar abu tepung sorgumNumbu

W sampel

awal (g)

W cawan

kosong (g)

W cawan+sampel

kering (g)

Kadar Abu

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Kadar Abu

(%bk)

Rata-

rata Stdev

1 2.0837 21.0541 21.0748 0.76 0.73 0.05

0.88 0.84 0.06

2 2.1566 25.1805 25.1991 0.69 0.80

Lampiran 3. Hasil analisis kadar protein tepung sorgum Numbu

W sampel

(g)

V HCl

(ml)

V blanko

(ml)

Kadar Protein

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Kadar Protein

(%bk)

Rata-

rata Stdev

1 0.1055 4.15 0.10

7.19 7.36 0.23

8.31 8.50 0.27

2 0.1096 4.50 7.52 8.70

Lampiran 4. Hasil analisis kadar lemak tepung sorgum Numbu

W sampel

awal (g)

W labu

lemak (g)

W labu+sampel

kering (g)

Kadar Lemak

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Kadar Lemak

(%bk)

Rata-

rata Stdev

1 1.5206 96.5390 95.5718 2.16 2.10 0.09

2.50 2.42 0.11

2 1.5114 97.8738 97.9045 2.03 2.35

Lampiran 5. Hasil analisis kadar pati tepung sorgum Numbu

W sampel

(mg)

V Tiosulat

0.1 N (ml)

V blanko

(ml)

Kadar Pati

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Kadar Pati

(%bk)

Rata-

rata Stdev

1 100.3 22.00 30.00 71.07 71.07 0.00

82.18 82.18 0.00

2 100.3 21.75 29.75 71.07 82.18

Lampiran 6. Kadar karbohidrat tepung sorgum

Varietas Karbohidrat (%bb) Karbohidrat (%bk)

Numbu 76.30 88.23

52

Lampiran 7. Hasil absorbansi kurva standar amilosa

Konsentrasi (mg/ml) Absorbansi

1 0.000 0.001

2 0.004 0.067

3 0.008 0.135

4 0.012 0.207

5 0.016 0.277

6 0.020 0.345

Lampiran 8. Kurva standar amilosa

Lampiran 9. Hasil analisis kadar amilosa

W sampel

(mg) Absorbansi

Konsentrasi

(mg/ml)

Amilosa

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Amilosa

(%bk)

Rata-

rata Stdev

1 113 0.196 0.0114 20.18 19.43 1.06

23.33 22.46 1.23

2 117.8 0.189 0.0110 18.68 21.59

y = 17.3x - 0.001R² = 0.999

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.000 0.010 0.020 0.030

Absorbansi

Konsentrasi (mg/mL)

Kurva Standar Amilosa

Lampiran 10. Hasil analisis kadar air mi sorgum kering

Run Suhu (oC)

Kecepatan

Ulir (rpm)

W cawan

kosong (g)

W mi

awal (g)

W mi + cawan

kering (g)

Kadar air

(%bb)

Rata-

rata Stdev

1 80 52-a 1 3.2631 1.0522 4.1647 14.31

14.43 0.17 2 2.2408 1.1446 3.2189 14.55

2 80 52-b 1 3.1136 1.0026 3.9875 12.84

11.81 1.46 2 4.3980 1.0153 5.3039 10.78

3 80 74 1 2.8130 1.1267 3.7614 15.82

15.85 0.03 2 3.0515 1.0259 3.9146 15.87

4 80 125-a 1 3.1932 1.0894 4.1113 15.72

15.83 0.15 2 2.4510 0.9509 3.2504 15.93

5 80 125-b 1 3.1362 1.2428 4.1829 15.78

15.78 0.00 2 2.4964 1.0382 3.3708 15.78

6 84 50 1 5.9072 1.0134 6.8200 9.93

9.90 0.03 2 3.2082 1.0225 4.1297 9.88

7 84 106 1 3.3345 1.0074 4.2330 10.81

11.37 0.79 2 2.8224 1.0292 3.7288 11.93

8 88 93 1 4.3980 1.1002 5.3644 12.16

11.81 0.50 2 4.3183 1.0138 5.2160 11.45

9 89 125 1 3.1136 1.0327 4.0211 12.12

12.47 0.48 2 4.9308 1.0642 5.8587 12.81

10 90 54 1 4.3980 1.0269 5.3494 7.35

8.05 0.98 2 2.4228 1.0159 3.3499 8.74

11 95 50-a 1 2.5159 1.0734 3.4857 9.65

9.13 0.74 2 4.3183 1.0219 5.2523 8.60

12 95 50-b 1 2.4228 1.0566 3.3020 16.79

16.87 0.11 2 6.7264 1.0489 7.5976 16.94

13 95 88-a 1 3.3637 1.0967 4.2966 14.94

14.58 0.50 2 4.3733 1.0876 5.3061 14.23

14 95 88-b 1 2.8224 1.0134 3.6945 13.94

13.79 0.22 2 3.3637 1.0455 4.2667 13.63

15 95 125-a 1 5.8981 1.0851 6.8217 14.88

14.51 0.53 2 4.5395 1.0312 5.4249 14.14

16 95 125-b 1 4.3733 1.0419 5.3102 10.08

9.91 0.23 2 4.5395 1.0456 5.4832 9.75

54

Lampiran 11. Hasil analisis cooking loss mi sorgum

Run Suhu

(oC)

Kecepatan

ulir (rpm)

W sampel

awal (g)

W cawan+sampel

kering (g)

W cawan

kosong (g)

Kadar air

(%bb)

Cooking

loss (% bk)

Rata-

rata Stdev

1 80 52-a 1 2.0818 5.8165 4.3328 14.43 16.71

15.47 1.75 2 2.0780 4.3457 2.8207 14.43 14.24

2 80 52-b 1 1.1805 6.0195 5.1313 11.81 14.68

15.12 0.62 2 1.1727 5.5998 4.7265 11.81 15.56

3 80 74 1 2.0431 4.4811 3.1618 15.84 23.27

24.09 1.16 2 2.0490 5.9037 4.6088 15.84 24.91

4 80 125-a 1 2.0376 6.2912 4.7257 15.82 8.73

11.63 4.11 2 2.0323 4.5983 3.1362 15.82 14.54

5 80 125-b 1 2.0288 4.3046 2.8207 15.78 13.15

12.72 0.62 2 2.0344 6.0569 4.5539 15.78 12.28

6 84 50 1 1.1020 6.7518 5.9160 10.53 15.23

15.27 0.05 2 1.2010 5.3002 4.3901 10.53 15.30

7 84 106 1 2.0077 3.8284 2.3676 10.81 18.42

17.31 1.58 2 2.0561 4.5808 3.0439 10.81 16.19

8 88 93 1 1.9707 4.6443 3.1423 11.81 13.58

13.64 0.09 2 1.9743 4.3385 2.8359 11.81 13.70

9 89 125 1 1.9491 3.8395 2.3676 12.46 13.73

12.98 1.06 2 1.9441 4.7553 3.2616 12.46 12.23

10 90 54 1 1.9807 7.4655 5.9088 7.51 15.02

15.41 0.55 2 1.9362 4.8821 3.3743 7.51 15.80

11 95 50-a 1 0.9579 5.2992 4.5547 9.13 14.47

12.58 2.67 2 0.9397 4.9954 4.2328 9.13 10.69

12 95 50-b 1 2.0717 5.7986 4.2328 16.87 9.08

8.65 0.61 2 2.0814 5.9613 4.3733 16.87 8.22

13 95 88-a 3 1.9039 4.5312 3.0538 14.57 9.17

8.90 0.38 4 1.9048 4.3082 2.8214 14.57 8.63

14 95 88-b 1 2.0904 4.8364 3.2616 13.79 12.61

12.01 0.85 2 2.0728 6.1369 4.5539 13.79 11.41

15 95 125-a 1 1.9577 5.9062 4.3328 14.51 5.99

5.33 0.93 2 1.9472 7.4957 5.9088 14.51 4.67

16 95 125-b 1 1.9712 4.712 3.1423 12.00 9.51

10.02 0.73 2 1.9763 4.3918 2.8359 12.00 10.54

55

Lampiran 12. Hasil analisis elongasi mi sorgum

Run Suhu

(oC)

Kecepatan

Ulir (rpm)

Force

(gf)

Waktu

(s)

Elongasi

(%)

Rata-

rata Stdev

1 80 52-a 1 13.9 12.695 190.43

186.53 5.52 2 15.8 12.175 182.63

2 80 52-b 1 14.9 18.515 277.73

282.53 6.79 2 17.1 19.155 287.33

3 80 74 1 11.0 11.160 167.40

175.88 11.99 2 12.6 12.290 184.35

4 80 125-a 1 19.7 8.295 124.43

122.55 2.65 2 18.5 8.045 120.68

5 80 125-b 1 13.5 6.975 104.63

104.87 0.35 2 14.7 7.008 105.12

6 84 50 1 20.3 15.717 235.76

243.89 11.51 2 21.4 16.802 252.03

7 84 106 1 23.1 18.767 281.51

283.42 2.70 2 33.0 19.022 285.33

8 88 93 1 19.3 12.597 188.96

189.02 0.08 2 21.7 12.605 189.08

9 89 125 1 30.6 22.390 335.85

330.75 7.21 2 28.4 21.710 325.65

10 90 54 1 40.3 20.843 312.65

316.11 4.90 2 39.5 21.305 319.58

11 95 50-a 1 36.2 26.235 393.53

382.09 16.18 2 39.1 24.710 370.65

12 95 50-b 1 40.4 15.705 235.58

237.49 2.70 2 40.5 15.96 239.40

13 95 88-a 1 35.6 18.110 271.65

266.81 6.84 2 55.5 17.465 261.98

14 95 88-b 1 34.4 21.495 322.43

328.76 8.96 2 44.4 22.340 335.10

15 95 125-a 1 50.3 22.603 339.05

339.70 0.92 2 46.3 22.690 340.35

16 95 125-b 1 34.0 22.255 333.83

360.56 37.81 2 40.9 25.820 387.30

56

Lampiran 13. Foto mi sorgum sebelum dimasak

88 oC -93 rpm

80oC-52a rpm

80oC-52b rpm 80oC-74 rpm 80o -125a rpm

84o -50 rpm 84oC-106 rpm 89oC-125 rpm 90oC-54 rpm

88oC -93 rpm 95oC-50b rpm 95oC-88a rpm 95oC-125 rpm

90oC-88b rpm 95oC-50a rpm 80oC-125b rpm 90oC-125b rpm

57

Lampiran 14. Foto mi sorgum setelah dimasak

80oC -52a rpm 80oC -74 rpm 80oC -52b rpm 80oC -125a rpm

84oC -50 rpm 84oC -106 rpm 88oC -93 rpm 89oC -125 rpm

90oC -54 rpm 95oC -50a rpm

95oC-125b rpm

95oC -50b rpm 95oC -88a rpm

95oC-88b rpm 95oC-125a rpm 80oC -125a rpm

58

Lampiran 15. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut warna mi

No. Nama Warna Mi

Sorgum

Sorgum-Jagung

1 Ramlan Asbar 3 pucat 5 agak kekuningan, tidak pucat

2 Andi Early 2 agak pucat 4 kuning cerah

3 Putu Adi 4 bagus, tidak pucat 5 bagus, seperti mi biasa

4 Suba 3

cukup bagus, ada bintik

sedikit aneh 4 oke

5 Yuliyanti 4 bintik sedikit 5 lebih kuning

6 Annisa K 4 - 5 -

7 Bangun 2 pucat 4 mi biasa

8 Rista 2 terlalu pucat 4 kuning, lebih cerah

9 Indra 2 kotor, banyak butiran 4 menarik

10 Arum Marya 2 pucat, tidak menarik 4 kuning terang

11 Annisa N 4 putih 3 masih ada titik hitam, seperti mi biasa

12 Hafiz F 2 terlalu putih pucat 4 mirip mi biasa

13 Randy Dio 2 kusam 5 sangat menarik

14 Iin Wahyuni 2 putih, pucat 3 agak pucat, kurang kuning

15 Rizqi F 2 putih, keruh 3 kurang cerah

16 Ahmadun 3 kurang mengkilat 4 menarik

17 Priska W 2 terlalu putih, kurang menarik 5 bagus, menarik, kelihatan enak

18 Mega 3 warna keruh, agak gelap 5 bagus, cerah

19 Opi 3 kusam 4 mirip mi biasa

20 Meutia 2 agak kusam 5 mirip mi biasa

21 M. Buyung 4 tampak pucat 5 kuning keemasan

22 Ardy 3 kurang menarik 5 mendekati mi terigu

23 Irfan A 3 biasa 4 lebih kuning

24 Andhi F 4 seperti mi ayam 5 kaya mi kuning

25 R. Dani B 3 keruh, kurang menarik 4 lebih cerah, menarik

26 Andika 2 terlalu pucat 5 seperti pada umumnya

27 M. Iqbal B 3 normal 5 lebih menarik (golden brown)

28 Efratia 2 putih, keruh 5 kuning cantik, terlihat alami

29 Tiur S 1 butek, kotor, kesan benyek 4 menarik, cerah

30 Sri 2 kusam 3 tanggung

31 Vera 2 agak kusam 3 kurang menarik

32 Fathin 3 terlalu pucat 5 sangat bagus, kekuningan

33 May 3 pucat 4 warna menarik

59

Lampiran 16. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekeruhan air rebusan mi

No. Nama Kekeruhan Air Rebusan Mi

Sorgum

Sorgum-Jagung

1 Ramlan Asbar 2 terlalu kental 4 tidak terlalu kental

2 Andi Early 4 kuning 4 jernih

3 Putu Adi 1 kuning, tidak disukai 5 jernih

4 Suba 4 CL terlalu tinggi 4 oke, kuningnya pas

5 Yuliyanti 1 kental sekali 2 sedikit kental

6 Annisa K 1 - 2 -

7 Bangun 1 keruh sekali 2 keruh

8 Rista 2 keruh 3 biasa aja

9 Indra 3 terlihat kotor 3 keruh

10 Arum Marya 2 keruh, ada lapisan 3 cukup keruh

11 Annisa N 2 agak gelap 3 pucat

12 Hafiz F 2 terlalu putih 3 putih pucat, biasa

13 Randy Dio 2 keruh 2 keruh

14 Iin Wahyuni 3 keruh 3 keruh

15 Rizqi F 2 keruh 2 terlalu keruh

16 Ahmadun 3 terlalu keruh 3 cukup keruh

17 Priska W 3 tidak terlalu keruh 4 cerah, tidak keruh

18 Mega 2 keruh sekali 2 keruh, agak terang

19 Opi 2 lebih keruh 2 lebih keruh

20 Meutia 1 kelihatan lebih keruh 2 keruh sekali

21 M. Buyung S 2 berbusa 3 seperti air rebusan mi

22 Ardy 1 terlalu keruh 1 keruh sekali

23 Irfan A 2 lebih kental, pucat 3 biasa aja

24 Andhi F 3 keruh 3 keruh

25 R. Dani B 3 sedikit cerah 3 terlalu pucat, tidak menarik

26 Andika Bagus 4 cukup keruh 4 lebih keruh

27 M. Iqbal B 2 berbusa 4 keruh, tidak berbusa

28 Efratia 2 terlalu keruh, agak kental 3 masih wajar sebagai air rebusan

29 Tiur S 1 butek, kental 3 biasa aja

30 Sri 1 - 2 -

31 Vera 1 keruh 2 keruh seperti air tajin

32 Fathin 2 terlalu keruh 2 terlalu keruh

33 May 2 ada busa, keruh 3 agak keruh

60

Lampiran 17. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekerasan

No. Nama Kekerasan

Sorgum Sorgum-Jagung

1 Ramlan Asbar 2 terlalu keras seperti belum matang 3 seperti mi biasa

2 Andi Early 3 agak keras tetapi masih bisa

dikunyah 2 Agak a lot

3 Putu Adi 2 sangat keras 2 keras, tidak bagus

4 Suba 3 terlalu keras 3 agak keras

5 Yuliyanti 4 agak kenyal 4 agak keras

6 Annisa K 4 - 4 -

7 Bangun 2 kenyal, sulit dikunyah 2 susah digigit

8 Rista 3 agak sulit digigit 2 sulit digigit

9 Indra 4 kenyal 2 mudah putus

10 Arum Marya 4 mudah putus 2 tidak mudah putus

11 Annisa N 4 lunak 3 cukup keras

12 Hafiz F 2 agak kenyal 3 biasa

13 Randy Dio 2 susah digigit 4 mudah hancur

14 Iin Wahyuni 4 cukup mudah digigit 4 cukup mudah digigit

15 Rizqi F 4 mudah patah ketika digigit 4 mudah patah ketika digigit

16 Ahmadun 3 terlalu susah digigit 3 tekstur masih terlalu keras

17 Priska W 2 terlalu keras 4 tidak terlalu keras

18 Mega 4 keras tapi kenyal 4 keras tapi kenyal

19 Opi 4 biasa 4 biasa

20 Meutia 3 lebih keras 5 oke banget

21 M. Buyung S 2 terlalu keras 2 terlalu keras

22 Ardy 4 hampir mirip mi terigu 3 agak keras

23 Irfan A 4 sudah agak keras 4 suka

24 Andhi F 4 empuk 4 empuk

25 R. Dani B 4 kenyalnya cukup 3 kenyalnya seperti mi pada

umumnya

26 Andika Bagus 4 masih empuk 4 masih empuk

27 M. Iqbal B 4 cukup kenyal 5 lembut,pas

28 Efratia 4 sedikit lebih mudah dikunyah 3 agak terlalu kenyal

29 Tiur S 2 tidak kenyal 4 kenyal

30 Sri 3 agak keras, agak lengket 4 bagus

31 Vera 4 agak keras, lengket 4 oke

32 Fathin 3 bagian luar mi terlalu gembur tapi

bagian dalam terlalu keras 5 kekenyalan sangat baik

33 May 2 terlalu keras 4 kekerasan sedang

61

Lampiran 18. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut elongasi

No. Nama Elongasi

Sorgum Sorgum-Jagung

1 Ramlan Asbar 4 tidak mudah putus 4 tidak mudah putus

2 Andi Early 2 mudah putus 3 agak elastis, mudah putus

3 Putu Adi 5 kenyal, sangat tidak mudah putus 4 kekenyalan bagus, tidak mudah

putus

4 Suba 4 oke 4 bagus

5 Yuliyanti 4 lama putus 3 cepat putus

6 Annisa K 4 - 5 -

7 Bangun 2 mudah putus 4 -

8 Rista 2 tidak baik, saat mi diangkat,

hampir semua terangkat 4 baik

9 Indra 3 netral 3 biasa

10 Arum Marya 3 netral, mudah putus 2 cukup elastis, sulit putus

11 Annisa N 3 tidak terlalu mudah putus, lebih

elastis 3

tidak terlalu mudah putus, lebih

elastis

12 Hafiz F 2 terlalu tinggi 3 sama dengan mi biasa

13 Randy Dio 2 mudah patah 2 mudah patah

14 Iin Wahyuni 4 tidak terlalu mudah putus, lebih

elastis 5

tidak terlalu mudah putus, lebih

elastis

15 Rizqi F 5 bisa ditarik lebih panjang 4 tidak sulit untuk ditarik

16 Ahmadun 3 terlalu elastis, kurang bagus untuk

ready-to-eat food 4 elongasi oke

17 Priska W 5 mi elastis kaya pasta 4 tidak cepat putus

18 Mega 4 tidak terlalu mudah putus, lebih

elastis 4

tidak terlalu mudah putus, lebih

elastis

19 Opi 3 biasa 3 biasa

20 Meutia 3 oke, ga mudah putus 4 paling oke, mirip spagetti

21 M. Buyung S 2 terlalu cepat putus 3 tidak mudah putus

22 Ardy 3 cukup, tapi kurang panjang 4 cukup dan tidak mudah putus

23 Irfan A 4 tidak mudah putus 4 tidak mudah putus

24 Andhi F 5 mi tidak gampang putus 4 kenyal

25 R. Dani B 3 cukup, pas 3 cukup

26 Andika 5 lebih tidak mudah putus 5 tidak mudah putus

27 M. Iqbal B 4 lebih tahan ditarik 4 lebih tahan ditarik

28 Efratia 4 cukup elastis 4 elastis

29 Tiur S 2 keras tapi mudah putus 4 kesan kenyal

30 Sri 4 - 4 -

31 Vera 4 oke 4 oke

32 Fathin 4 cukup elastis 4 cukup elastis

33 May 2 agak susah putus 4 tidak mudah putus

62

Lampiran 19. Hasiluji hedonik mi sorgum atribut rasa

No. Nama Rasa

Sorgum Sorgum-Jagung

1 Ramlan Asbar 2 rasa mi belum matang 4 enak

2 Andi Early 3 masih bisa diterima 4 tidak terlalu hambar

3 Putu Adi 2 tidak enak 3 agak enak

4 Suba 4 Enak 4 enak

5 Yuliyanti 4 Enak 4 enak

6 Annisa K 3 - 4 -

7 Bangun 4 enak, rasanya terasa 4 hambar

8 Rista 4 agak gurih 3 hambar, sedikit pahit

9 Indra 4 Lumayan 3 lumayan

10 Arum Marya 3 Hambar 4 sedikit gurih

11 Annisa N 4 Kenyal 4 familiar

12 Hafiz F 3 Netral 2 masih terasa tepung

13 Randy Dio 3 Hambar 4 enak

14 Iin Wahyuni 3 Plain 3 plain, agak getir

15 Rizqi F 3 Plain 3 plain

16 Ahmadun 3 Netral 3 netral

17 Priska W 5 Enak 4 enak

18 Mega 4 enak, clear, ada after aroma 4 sedikit berat, kurang clear,

tidak ada aftertaste

19 Opi 3 Biasa 3 biasa

20 Meutia 2 masih terasa masir dan rasa

sorgum kuat 4 enak

21 M. Buyung S 3 seperti mi gandum 4 biasa

22 Ardy 5 enak banget 3 masih terasa tepung

23 Irfan A 4 Asin 4 biasa

24 Andhi F 4 sedikit hambar 4 hambar

25 R. Dani B 2 aftertaste seperti tepung 3 aftertaste tidak terasa

26 Andika Bagus 3 masih netral 5 lebih terasa

27 M. Iqbal B 3 tawar, biasa aja 3 tawar, biasa aja

28 Efratia 4 gurih, aroma lebih khas 3 netral

29 Tiur S 3 biasa aja 4 enak

30 Sri 4 rasa tepung masih ada,

ukuran diperkecil, lengket 4 agak terasa tepung, lengket

31 Vera 4 aftertaste ada rasa tepung,

lengket 4

agak terasa tepung sedikit,

lengket

32 Fathin 4 agak gurih 4 netral

33 May 3 kurang berasa 3 kurang berasa

63

Lampiran 20. Hasil analisis kadar air mi formula terpilih

Mi

W sampel

awal (g)

W cawan

kosong (g)

W cawan +sampel

kering (g)

Kadar Air

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Kadar Air

(%bk)

Rata-

rata Stdev

Sorgum

A

1 2.0173 4.3550 6.1412 11.49 11.50 0.01

11.49 12.24 1.06

2 2.0185 4.2385 6.0248 11.50 12.99

Sorgum

B

1 2.0074 4.9299 6.7011 11.77 11.80 0.04

11.77 12.59 1.15

2 2.0086 4.5546 6.3258 11.82 13.40

Sorgum-

Jagung

1 2.0161 4.7964 6.5639 12.33 12.58 0.35

12.33 13.50 1.65

2 2.0168 4.6717 6.4298 12.82 14.66

Lampiran 21. Hasil analisis kadar abu mi formula terpilih

Mi

W sampel

awal (g)

W cawan

kosong (g)

W cawan+sampel

kering (g)

Kadar Abu

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Kadar

Abu

(%bk)

Rata-

rata Stdev

Sorgum

A

1 2.1269 21.7705 21.8203 2.34 2.33 0.01

2.78 2.77 0.01

2 2.1818 20.4960 20.5467 2.32 2.76

Sorgum

B

1 2.1474 22.2635 22.3137 2.34 2.34 0.00

2.77 2.77 0.00

2 2.1479 22.6853 22.7355 2.34 2.77

Sorgum-

Jagung

1 2.1159 23.7393 23.7840 2.11 2.13 0.02

2.51 2.53 0.03

2 2.1113 17.5757 17.6210 2.15 2.54

Lampiran 22. Hasil analisis kadar protein mi formula terpilih

Mi

W sampel

(g)

V HCl

(ml)

Kadar Protein

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Kadar Protein

(%bk)

Rata-

rata Stdev

Sorgum

A

1 0.1099 3.40 5.49 5.52 0.04

6.51 6.55 0.05

2 0.1186 3.70 5.55 6.58

Sorgum

B

1 0.1048 3.15 5.32 5.34 0.03

6.31 6.33 0.03

2 0.1093 3.30 5.36 6.36

Sorgum-

Jagung

1 0.1012 3.40 5.97 5.94 0.05

7.08 7.04 0.06

2 0.1131 3.75 5.90 7.00

Keterangan : V blanko = 0.10 ml

64

Lampiran 23. Hasil analisis kadar lemak mi formula terpilih

Mi

W sampel

awal (g)

W labu

lemak (g)

W labu+sampel

kering (g)

Kadar Lemak

(%bb)

Rata-

rata Stdev

Kadar Lemak

(%bk)

Rata-

rata Stdev

Sorgum

A

1 2.1343 102.6932 102.6977 0.21 0.22 0.01

0.25 0.25 0.01

2 2.1210 108.4368 108.4415 0.22 0.26

Sorgum

B

1 2.1324 106.2063 106.2106 0.20 0.22 0.02

0.24 0.25 0.03

2 2.1311 107.5564 107.5612 0.23 0.27

Sorgum-

Jagung

1 2.1306 107.0713 107.0758 0.21 0.22 0.01

0.25 0.26 0.02

2 2.1250 97.8939 97.8988 0.23 0.27

Lampiran 24. Hasil analisis kadar karbohidrat mi formula terpilih

Mi Karbohidrat (%bb) Karbohidrat (%bk)

Sorgum A 80.44 90.88

Sorgum B 80.31 91.05

Sorgum-Jagung 79.14 90.52

Lampiran 25. Verifikasi cooking loss mi sorgum

Mi

W sampel

awal (g)

W cawan+sampel

kering (g)

W cawan

kosong (g)

W akhir

kering (g)

W awal

kering (g)

Kadar

air (%)

cooking

loss (%bk)

Rata-

rata Stdev

Sorgum 1 2.1378 4.9335 3.2578 1.6757 1.8276 14.51 8.31

8.95 0.90 2 2.0747 4.1855 2.5281 1.6574 1.8330 11.65 9.58

Sorgum-

Jagung

1 2.035 4.3998 2.8085 1.5913 1.7790 12.58 10.55 10.48 0.10

2 2.0851 4.7193 3.0862 1.6331 1.8228 12.58 10.41

Lampiran 26. Verifikasi elongasi mi sorgum

Mi

Force (gf) Waktu (s) Elongasi (%) Rata-rata Stdev

Sorgum 1 28.9 22.725 340.88

332.44 11.93 2 73.3 21.600 324.00

Sorgum-

Jagung

1 39.1 18.685 280.28 275.74 6.42

2 47.0 18.080 271.20

Lampiran 27. Analisis kandungan gizi mi sorgum (%bb)

Sampel Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

Mi Sorgum 11.65 a 2.34

a 5.43

a 0.22

a 80.38

a

Mi Sorgum-Jagung 12.58 a 2.13

b 5.94

a 0.22

a 79.02

b

Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf

kepercayaan 95%.

65

Lampiran 28. Hasil uji optimasi proses mi sorgum

Constraints

Lower Upper Lower Upper

Name Goal Limit Limit Weight Weight Importance

suhu is in range 80 95 1 1 3

kec. ulir is in range 50 125 1 1 3

cooking loss minimize 5.33 24.09 1 1 4

elongasi is in range 104.87 382.09 1 1 3

Solutions

Number suhu kec. ulir cooking loss elongasi Desirability

1 95 125 8.56 351.99 0.828 Selected

2 95 123 8.63 350.89 0.824

3 95 113 9.06 343.60 0.801

3 Solutions found

Lampiran 29. Hasil uji ANOVA model polinomial cooking loss

Response1 cooking loss

ANOVA for Response Surface Linear Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 145.05 2 72.52 7.58 0.0066 significant

A-suhu115.29 1 115.29 12.05 0.0041

B-kec. ulir 26.11 1 26.11 2.73 0.1226

Residual 124.43 13 9.57

Lack of Fit 100.21 8 12.53 2.59 0.1550 not significant

Pure Error24.21 5 4.84

Cor Total 269.47 15

Std. Dev. 3.09 R-Squared 0.5383

Mean 13.20 Adj R-Squared 0.4672

C.V. % 23.45 Pred R-Squared 0.2913

PRESS 190.96 Adeq Precision 6.958

The "Pred R-Squared" of 0.2913 is in reasonable agreement with the "Adj R-Squared" of 0.4672.

66

Final Equation in Terms of Coded Factors:

cooking loss =

+13.27

-3.16 * A

-1.55 * B

Final Equation in Terms of Actual Factors:

cooking loss =

+53.78557

-0.42183 * suhu

-0.041200 * kec. ulir

67

Lampiran 30. Hasil uji ANOVA model polinomial elongasi

Response2 elongasi

ANOVA for Response Surface 2FI Model

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]

Sum of Mean F p-value

Source Squares df Square Value Prob > F

Model 67569.05 3 22523.02 6.93 0.0058 significant

A-suhu 57347.38 1 57347.38 17.64 0.0012

B-kec. ulir 1326.34 1 1326.34 0.41 0.5350

AB 11158.80 1 11158.80 3.43 0.0887

Residual 39017.25 12 3251.44

Lack of Fit 21661.85 7 3094.55 0.89 0.5715 not significant

Pure Error 17355.39 5 3471.08

Cor Total 1.066E+005 15

Std. Dev. 57.02 R-Squared 0.6339

Mean 259.44 Adj R-Squared 0.5424

C.V. % 21.98 Pred R-Squared 0.3558

PRESS 68657.70 Adeq Precision 7.540

The "Pred R-Squared" of 0.3558 is in reasonable agreement with the "Adj R-Squared" of 0.5424.

Final Equation in Terms of Coded Factors:

elongasi =

+255.51

+70.61 * A

-11.01 * B

+36.88 * A * B

Final Equation in Terms of Actual Factors:

elongasi =

+461.35053

-2.05876 * suhu

-11.76695 * kec. ulir

+0.13112 * suhu * kec. ulir

68

Lampiran 31. Hasil analisis uji hedonik mi sorgum

T-Test

Paired Samples Statistics

Atribut Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Warna Mi Sorgum Pair 1 A1_mi 2.67 33 .816 .142

Sorgum-Jagung B1 4.06 33 .864 .150

Kekeruhan air

rebusan

Sorgum Pair 2 A2_air 2.09 33 .914 .159

Sorgum-Jagung B2 2.85 33 .870 .152

Kekerasan Mi Sorgum Pair 3 A3_ker 3.21 33 .857 .149

Sorgum-Jagung B3 3.42 33 .936 .163

Elongasi Mi Sorgum Pair 4 a4_elo 3.42 33 1.032 .180

Sorgum-Jagung b4 3.73 33 .719 .125

Rasa Mi Sorgum Pair 5 a5_ras 3.48 33 .795 .138

Sorgum-Jagung b5 3.61 33 .556 .097

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 A1_mi & B1 33 .340 .053

Pair 2 A2_air & B2 33 .529 .002

Pair 3 A3_ker & B3 33 .235 .188

Pair 4 a4_elo & b4 33 .498 .003

Pair 5 a5_ras & b5 33 .234 .191

69

Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig.

(2-tailed) Atribut Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

Warna Mi Pair 1 A1_mi - B1 -1.394 .966 .168 -1.737 -1.051 -8.287 32 .000

Kekeruhan

air rebusan Pair 2 A2_air - B2 -.758 .867 .151 -1.065 -.450 -5.019 32 .000

Kekerasan Pair 3 A3_ker - B3 -.212 1.111 .193 -.606 .182 -1.097 32 .281

Elongasi Pair 4 a4_elo - b4 -.303 .918 .160 -.629 .022 -1.896 32 .067

Rasa Pair 5 a5_ras - b5 -.121 .857 .149 -.425 .183 -.812 32 .423

Kesimpulan : Hasil analisis warna mi dan kekeruhan air rebusan mi menunjukkan ada perbedaan yang nyata pada

sampel mi sorgum dan mi sorgum-jagung pada taraf signifikansi 5%. Selain itu, tidak ada perbedaan yang nyata

pada atribut kekerasan, elongasi, dan rasa dari sampel mi sorgum dan mi sorgum-jagung pada taraf signifikansi 5%.

70

Lampiran 32. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam bahan pangan dengan metode Luff Schoorl

ml 0.1N

Na-thiosulfat

glukosa, fruktosa, gula invert

mg C6H12O6

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

2.4

4.8

7.2

9.7

12.2

14.7

17.2

19.8

22.4

25.0

27.6

30.3

33.0

35.7

38.5

41.3

44.2

47.1

50.0

53.0

56.0

59.1

62.2

-

2.4

2.4

2.5

2.5

2.5

2.5

2.6

2.6

2.6

2.6

2.7

2.7

2.7

2.8

2.8

2.9

2.9

2.9

3.0

3.0

3.1

3.1

-

-

71

Lampiran 33. Kurva elongasi mi sorgum terpilih

95oC 125a rpm (1) 95

oC 125a rpm (2)

95oC 125b rpm (1) 95

oC 125b rpm (2)

Verifikasi 95oC 125 rpm 1 Verifikasi 95

oC 125 rpm 2

72

Lampiran 34. Sebaran kenormalan variabel respon cooking loss dan elongasi

Sebaran kenormalan data respon cooking loss

Sebaran kenormalan data respon elongasi

Gambar di atas menunjukkan sebaran data cooking loss dan elongasi mi sorgum kering. Titik-titik data

yang mengikuti garis lurus menunjukkan bahwa sebaran data mengikuti distribusi normal. Distribusi normal,

disebut juga distribusi gaussian, sejauh ini paling banyak digunakan di dalam statistik. Distribusi ini menyediakan

model yang baik untuk banyak, walaupun tidak semua, populasi yang berkelanjutan (Navidi 2006).

Design-Expert® Sof twareKPAP

Color points by v alue ofKPAP:

24.09

5.33

Internally Studentized Residuals

Norm

al %

Pro

babili

ty

Normal Plot of Residuals

-1.22 -0.29 0.64 1.58 2.51

1

5

10

20

30

50

70

80

90

95

99

Design-Expert® Sof twareelongasi

Color points by v alue ofelongasi:

382.09

104.87

Internally Studentized Residuals

Norm

al %

Pro

babili

ty

Normal Plot of Residuals

-1.37 -0.58 0.21 1.00 1.79

1

5

10

20

30

50

70

80

90

95

99

Internally Studentized Residuals

Normal % Probability

Internally Studentized Residuals

Normal % Probability

73

Lampiran 35. Kuisioner uji hedonik mi sorgum

UJI KESUKAAN MI SORGHUM

Pengujian dilakukan terhadap tiga parameter yaitu warna, elongasi dan kekerasan.Skala yang digunakan adalah 1-5 (sangat

tidak suka – sangat suka).Perhatikan petunjuk sebelum melakukan penilaian.Komentar wajib diisi.

1. Warna Mi

Amati warna mi sorghum yang telah dimasak dan berikan penilaian Anda dengan memberikan tanda checklist (√) pada

kolom yang telah tersedia.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka

Suka

Biasa

Tidak suka

Sangat tidak suka

Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..

2. Kekeruhan Air Rebusan Mi

Amati kekeruhan air rebusan mi sorghum yang telah dimasak dan berikan penilaian Anda dengan memberikan tanda

checklist (√) pada kolom yang telah tersedia.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka

Suka

Biasa

Tidak suka

Sangat tidak suka

Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..

3. Elongasi

Elongasi menunjukkan daya tahan mi untuk putus ketika ditarik.Semakin mulur menunjukkan bahwa mi tersebut

memiliki elongasi yang semakin tinggi.

Angkat mi dari mangkok dengan menggunakan garpu (seperti ketika Anda mengkonsumsi mi rebus), amati daya tahan

mi untuk putus ketika ditarik menggunakan garpu. Berikan penilaian Anda.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka

Suka

Biasa

Tidak suka

Sangat tidak suka

Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..

4. Kekerasan

Kekerasan menunjukkan besarnya upaya yang diperlukan untuk menggigit (bukan mengunyah) mi sampai putus

(hancur).Ambil kira-kira 5 cm untaian mi dan gigit sampai putus (hancur).Berikan penilaian Anda.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka

Suka

Biasa

Tidak suka

Sangat tidak suka

Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..

5. Rasa

Rasa menunjukkan besarnya penerimaan panelis secara hedonik (sensori) terhadap mi secara hedonik.Ambil kira-kira 5

cm untaian mi dan cicipi rasanya sambil dikunyah.Berikan penilaian Anda.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka

Suka

Biasa

Tidak suka

Sangat tidak suka

Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..