optimasi pembuatan mi sorgum … penulis penulis memiliki nama lengkap shafiyyah irmaharianty dan...
TRANSCRIPT
OPTIMASI PEMBUATAN MI SORGUM MENGGUNAKAN
EKSTRUDER PEMASAK-PENCETAK ULIR TUNGGAL
SKRIPSI
SHAFIYYAH IRMAHARIANTY
F24080040
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
OPTIMIZATION OF SORGHUM NOODLE PROCESS USING
SINGLE SCREW COOKING-FORMING EXTRUDER
Shafiyyah Irmaharianty, Tjahja Muhandri
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia
Phone: +62 8787 3284 324, E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The objectives of this research were optimization of sorghum noodle process using single
screw cooking-forming extruder and analyze its consumer acceptance in hedonic test. Variable
process in this research were extruder temperature (80-95oC) and screw speed (50-125 rpm). The
design experiments and the optimum process determined using Response Surface Methodology
(RSM) in Design Expert 7.0. Cooking loss and elongation of cooked sorghum noodles were
evaluated. The optimum product was chosen based on minimal cooking loss. Optimum process
was gained at extruder temperature was 95oC and screw speed was 125 rpm, produced sorghum
noodles with cooking loss 8.95% and elongation 332.4%. Cooked sorghum noodles had a dull
colour. Improvement of color and appearance from sorghum noodle have done by adding corn
flour and mixed it with sorghum flour. Sorghum noodle and sorghum-corn noodle were evaluated
in hedonic test for their colour, turbidity of boiled water, hardness, elongation, dan taste. Sorghum
noodles which mixed by corn flour had a better hedonic scale in color and turbidity of boiled
water (p<0.05), but hardness, elongation, and taste were not significantly different.
Keyword : optimization, sorghum, noodles, cooking-forming extruder, response surface
methodology
Shafiyyah Irmaharianty. F24080040. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan
Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal. Di bawah bimbingan Dr. Tjahja Muhandri, STP,
MT. 2013
RINGKASAN
Penelitian mengenai mi sorgum telah dilakukan oleh Kunetz (1997), Suhendro et al.
(2000), dan Liu (2009). Kunetz (1997) dan Suhendro et al. (2000) menggunakan microwave untuk
menggelatinisasi adonan sebelum adonan dicetak menggunakan ekstruder. Mi yang dihasilkan
memiliki tekstur yang kompak dengan cooking loss 10% (Suhendro et al. 2000). Liu (2009)
menggunakan teknik kalendering untuk membuat mi sorgum. Bahan-bahan yang digunakan adalah
tepung sorgum, garam beryodium, xanthan gum, tepung putih telur, tepung telur, pati jagung, dan
air. Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.42-5.53%.
Mi yang dihasilkan dari penelitian Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009)
sudah cukup bagus, namun penggunaan ekstuder pencetak dan metode kalendering memiliki
kelemahan tersendiri. Kelemahan penggunaan ekstruder pencetak adalah kesulitan untuk
memasukkan adonan ke zona pengumpanan di dalam ekstuder. Hal ini disebabkan adonan telah
digelatinisasi terlebih dahulu sehingga bersifat panas dan lengket. Selain itu, kecepatan ulir yang
konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir dengan permukaan halus menyebabkan adonan selip
dan tidak terdorong secara maksimal. Kelemahan pada metode kalendering adalah sulitnya
mengkondisikan suhu dan kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung sorgum
yang telah digelatinisasi. Penggunaan suhu ruang menyebabkan suhu adonan turun dan uap air
keluar, retrogradasi terjadi sebelum proses sheeting selesai sehingga adonan menjadi kering dan
pecah (Muhandri 2012). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan ekstruder pemasak-pencetak
yang lebih mudah digunakan tanpa harus menggelatinisasi pati terlebih dahulu.
Tujuan dari penelitian ini adalah identifikasi karakteristik fisik dan kimia tepung sorgum
Numbu, optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir
tunggal, dan uji hedonik terhadap mi yang dihasilkan dari proses optimum. Analisis yang
dilakukan pada tepung sorgum Numbu adalah kadar air, protein, lemak, karbohidrat, pati, amilosa,
dan profil gelatinisasi pati. Dalam tahap optimasi, bahan baku yang digunakan adalah tepung
sorgum, garam 2%, dan air 55%. Selanjutnya, uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat
penerimaan panelis terhadap mi sorgum yang dihasilkan.
Penentuan rancangan percobaan dan optimasi proses dilakukan menggunakan Response
Surface Methodology D-Optimal pada software Design Expert 7.0. Variabel proses yang dianalisis
meliputi suhu dan kecepatan ulir ekstruder. Terdapat 16 buah running dengan suhu ekstruder 80-
95oC dan kecepatan ulir 50-125 rpm. Analisis fisik mi yang dilakukan meliputi cooking loss dan
elongasi, dua parameter mutu yang digunakan sebagai variabel respon dalam optimasi. Kondisi
optimum ditetapkan berdasarkan cooking loss minimum dan elongasi in range. Titik optimasi
diperoleh pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Pada kondisi tersebut, mi sorgum
memiliki cooking loss 8.95% dan elongasi 332.4%.
Kelemahan mi sorgum yang dihasilkan adalah warna mi sorgum yang kurang menarik.
Mi sorgum kering berwarna coklat, sedangkan mi sorgum yang telah dimasak berwarna putih
pucat. Untuk meningkatkan daya terima panelis, penelitian dikembangkan dengan mencampurkan
60 bagian tepung sorgum dengan 40 bagian tepung jagung sebagai adonan mi. Penambahan tepung
jagung ke dalam adonan mi membuat mi sorgum yang dihasilkan berwarna kuning dan lebih
menarik dibandingkan mi sorgum tanpa jagung.
Mi sorgum jagung memiliki nilai cooking loss sebesar 10.48%, lebih besar dibandingkan
mi sorgum, dan elongasi 275.74%, lebih kecil dibandingkan mi sorgum. Charutigon et al. (2007)
menyebutkan bahwa nilai cooking loss mi komersial yang dapat diterima < 12.5% basis basah atau
sekitar 14.2% basis kering. Oleh karena itu, cooking loss mi sorgum-jagung memiliki nilai yang
masih dapat diterima. Meskipun elongasinya lebih kecil dari mi sorgum, mi sorgum-jagung tidak
mudah hancur setelah dimasak dan memiliki tekstur yang cukup baik.
Uji hedonik dilakukan untuk mendapatkan penilaian dari atribut warna mi, kekeruhan air
rebusan mi, kekerasan mi, elongasi mi, dan rasa mi. Sampel yang digunakan adalah mi sorgum dan
mi sorgum-jagung yang telah dimasak sebelumnya. Mi sorgum memiliki tingkat kesukaan antara
biasa dan suka, kecuali pada atribut warna mi dan kekeruhan air rebusan mi. Penilaian panelis
menunjukkan bahwa tingkat kesukaan warna mi sorgum-jagung 32% lebih tinggi dan kekeruhan
air rebusan 15% lebih tinggi dibandingkan pada mi sorgum 100%. Penambahan tepung jagung
pada adonan mi terbukti dapat memperbaiki daya terima panelis terhadap warna dan kekeruhan air
rebusan mi (p<0.05) pada taraf kepercayaan 95%.
OPTIMASI PEMBUATAN MI SORGUM MENGGUNAKAN
EKSTRUDER PEMASAK-PENCETAK ULIR TUNGGAL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
SHAFIYYAH IRMAHARIANTY
F24080040
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak
Ulir Tunggal
Nama : Shafiyyah Irmaharianty
NIM : F24080040
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
(Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT)
NIP. 19720515 199702 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen ITP IPB
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.)
NIP. 19680526 199303 1 004
Tanggal ujian : 14 Februari 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Optimasi
Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal adalah
hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk
apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Yang membuat pernyataan
Shafiyyah Irmaharianty
F24080040
© Hak cipta milik Shafiyyah Irmaharianty, tahun 2013
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Penulis memiliki nama lengkap Shafiyyah Irmaharianty dan biasa
dipanggil Fya. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Maret 1990 dan
merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Imam Suhadi SK
dan Enny Supriyanti. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis
dimulai di TK Ketilang pada tahun 1994 dan Madrasah Pembangunan UIN
Jakarta. Setelah lulus SD, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2
Cisauk (sekarang bernama SMP Negeri 8 Kota Tangerang Selatan), lalu
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Cisauk (sekarang bernama SMA
Negeri 2 Kota Tangerang Selatan) dengan mengambil jurusan IPA dan lulus
pada tahun 2008. Pendidikan formal yang selanjutnya ditempuh oleh penulis adalah di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai
mahasiswi S1 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Sejak berada di SD, penulis gemar menulis cerita fiksi dan mendapatkan kesempatan
untuk mewakili Kotamadya Jakarta Selatan dengan memperoleh juara 3 Lomba Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia Sinopsis se-Jakarta. Selama menjalani pendidikan di SMP, penulis aktif di
kegiatan ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR) dan saat SMA, penulis bergabung dalam
ekskul Mading “Harmonia”. Prestasi penulis selama SMP-SMA adalah Juara 1 Lomba Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP dan menjadi salah satu Finalis Olimpiade Kimia tingkat
SMA.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis ikut serta berorganisasi dengan LK IPB.
Penulis bergabung dalam UKM Gentra Kaheman Lingkung Seni Sunda dan tampil sebagai
pemeran utama wanita dalam pagelaran Mimitran 2009. Setelah itu, penulis bergabung dengan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Periode 2009-2010 sebagai staf Divisi
Sosial dan Lingkungan. Kemudian, penulis melanjutkan berorganisasi aktif dalam Badan
Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB Periode 2010-2011 sebagai Bendahara Kementrian
Sosial, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat. Selama terlibat dalam organisasi, penulis
diberikan kepercayaan sebagai Ketua Pelaksana Program Kakak Asuh BEM Fateta, Sekretaris
SEREAL 2010, Sekretaris Umum Techno-F 2010, Sekretaris Rumah Harapan BEM KM IPB, serta
Bendahara I-Share 2011. Prestasi terakhir penulis selama menjadi mahasiswi adalah menjadi
Finalis KangNong Tangerang Selatan 2012.
Penulis mengakhiri jenjang pendidikan di IPB setelah menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir
Tunggal” di bawah bimbingan Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT sebagai pembimbing skripsi dan
Dr.Waysima, M.Sc sebagai pembimbing akademik.
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di IPB. Shalawat serta salam semoga tercurah
kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta kerabat dan sahabat terpilih. Skripsi yang berjudul
“Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal”
merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan penulis sejak bulan April 2012 sampai Oktober
2012 dan alhamdulillah dapat diselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang telah berperan
sepanjang masa hidup penulis dan selama penyelesaian tugas akhir. Pada kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orangtua penulis, Bapak Imam Suhadi SK dan Ibu Enny Supriyanti yang telah sabar
membesarkan dan merawat penulis dari penulis lahir sampai akhirnya penulis dapat
menyelesaikan pendidikan S1 di IPB. Terimakasih atas dukungan, perhatian, kasih sayang,
dan doa yang telah Bapak dan Ibu berikan kepada penulis sehingga penulis dapat menjadi
anak yang berkarakter. Semua prestasi yang telah penulis dapatkan didedikasikan kepada
orangtua tercinta. Terimakasih dan salam hangat penulis ucapkan kepada adik tercinta Aisyah
Khairunnisa, M. Faqih M, dan M. Alif M. Tak lupa juga terimakasih kepada seluruh keluarga
besar trah Yosomartono dan Katowisastro : mbah kakung, mbah putri, pakde, budhe, om,
tante, dan sepupu atas dukungan fisik dan moril hingga saat ini.
2. Bapak Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, masukan, motivasi, dan bimbingannya selama penulis menempuh masa
perkuliahan dan penelitian, hingga penyusunan tugas akhir.
3. Ibu Dr. Waysima, M.Sc selaku pembimbing akademik yang telah memberikan semangat,
motivasi, masukan, dan bimbingannya selama perkuliahan.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku dosen penguji 1 yang telah meluangkan waktu
dan pikiran dalam perbaikan skripsi ini.
5. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen penguji 2 atas saran dan masukannya dalam
perbaikan skripsi ini.
6. Briyan Resha atas saran, waktu, perhatian, pengertian, dan motivasi yang telah diberikan sejak
penulis kuliah di IPB. Terimakasih telah memberikan tantangan dan motivasi sehingga penulis
dapat aktif berorganisasi di kampus.
7. Guru-guru yang mengajari penulis selama masa studi sejak TK hingga SMA. Terimakasih
juga kepada dosen-dosen IPB dan guru-guru non formal lainnya yang telah memberikan ilmu
serta bimbingan kepada penulis.
8. Sahabat terdekat sejak TPB hingga tingkat 4 ITP, yaitu arum marya, aruma puspa, astrid dan
rara. Terimakasih untuk tawa dan diskusi mengenai banyak hal yang terjadi selama kuliah di
IPB.
9. Teman-teman Pondok Iswara Atas, baik yang sudah alumni maupun yang masih berjuang :
maia, wulan, jayanti, ratih, dinda, kak ulfa, kak ratih, kak wiwik, kak weini, kak lina, mbak
ratih, mbak julia, mbak meita, adis, kiki, sela, umil. Banyak kenangan, suka, dan duka selama
kita tinggal seatap bersama.
10. Partner penelitian, ivan. Terimakasih untuk diskusi dan suka duka selama berkutat dengan mi
sorgum dan tepungnya.
xi
11. Sahabat sagaju (A2 137) terbaik : maia, ulpe, mboyik. Terimakasih untuk kehidupan asik di
asrama dan cerita suka dan duka.
12. Teman-teman sejati satu kelompok praktikum : ubhe, stefani, tiur, taufiq. Terimakasih untuk
pengalaman praktikum dan eksplorasi ilmu pangan di lab bersama.
13. Teman-teman ITP 45 yang tak tergantikan : madun, hilda, hap-hap, rista, bangun, iin, andika,
yufi, mizu, virza, inah, mba nisa, dio, inah, mba yun, euis, filda, fitrina, ifah, priska, elva,
mutia, wahyu, opi, dan semua anggota ITP 45. Terimakasih atas “saat terbaik untuk mengukir
kisah dan menjadi bagian dari sejarah.”
14. Teman-teman satu angkatan BEM Fateta Merah Saga dan BEM KM IPB Bersahabat : eko,
nanda, mita, fahri, mega, kak suphe, kak hassan, alvi, andin, siska, aha, siro, yogi, dyah.
15. Teknisi laboratorium ITP, Pilot Plant, Seafast, dan LD ITP khususnya Mbak Vera, Bu Antin,
Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Sobirin, Pak Rozak, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Nurwanto, Bu
Sri, Pak Iyas, Pak Taufiq, Mas Edi, Mbak Yane, Mbak Ririn, Mbak Siti, Mbak Ida, Mbak
Yayuk. Terimakasih juga kepada staf UPT dan Departemen ITP Bu Novi, Mbak Ani, Mbak
May, Mbak Darsih, Pak Samsu atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan
sidang.
16. Setiap individu dan instansi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kesediaannya
membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dan berkontribusi terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang ilmu dan teknologi pangan.
Bogor, Februari 2013
Shafiyyah Irmaharianty
xii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. xvi
I. PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
1.1. LATAR BELAKANG............................................................................................................ 1
1.2. TUJUAN PENELITIAN ........................................................................................................ 2
1.3. MANFAAT PENELITIAN .................................................................................................... 3
2.1. SORGUM ............................................................................................................................... 4
2.1.1. Struktur dan Komposisi Gizi Sorgum ............................................................................. 4
2.1.2. Pengembangan Sorgum ................................................................................................... 6
2.2. PATI ....................................................................................................................................... 8
2.2.1. Amilosa ........................................................................................................................... 8
2.2.2. Amilopektin ..................................................................................................................... 9
2.2.3. Gelatinisasi ...................................................................................................................... 9
2.2.4. Retrogradasi .................................................................................................................. 10
2.3. TEKNOLOGI PEMBUATAN MI ....................................................................................... 10
2.3.1. Mi Terigu ...................................................................................................................... 10
2.3.2. Mi Non Terigu ............................................................................................................... 11
2.3.2.1.Mi Pati ......................................................................................................................... 11
2.3.2.2.Mi Jagung .................................................................................................................... 11
2.3.2.3.Mi Sorgum .................................................................................................................. 12
2.4. EKSTRUSI .......................................................................................................................... 13
2.5. EKSTRUDER ...................................................................................................................... 14
2.5.1. Ekstruder Ulir Tunggal .................................................................................................. 14
2.6. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY .......................................................................... 16
2.6.1. Perbedaan desain utama RSM ....................................................................................... 17
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................................... 18
3.1. BAHAN DAN ALAT .......................................................................................................... 18
3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ............................................................................ 18
3.3. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... 18
xiii
3.3.1. Pembuatan Tepung Sorgum Numbu ............................................................................. 20
3.3.2. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum .................................................................................. 20
3.3.3. Pembuatan Mi Sorgum-Jagung ..................................................................................... 22
3.3.4. Uji Hedonik Mi Sorgum ................................................................................................ 22
3.4. ANALISIS DAN PENGUKURAN ...................................................................................... 23
3.4.1. Analisis Fisik ................................................................................................................. 23
3.4.1.1.Analisis profil gelatinisasi dengan RVA (Collado et al. 2001) ............................... 23
3.4.1.2.Analisis daya serap air metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson 1969
dalam Ganjyal 2006) ............................................................................................... 23
3.4.1.3.Analisis persen elongasi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i ...................... 24
3.4.1.4.Analisis cooking loss (Oh et al. 1985) ..................................................................... 24
3.4.2. Analisis Kimia ............................................................................................................... 24
3.4.2.1.Analisis kadar air metode oven (AOAC 1995)........................................................ 24
3.4.2.2.Analisis kadar abu (AOAC 1995) ........................................................................... 24
3.4.2.4.Analisis kadar lemak metode soxhlet (AOAC 1995) .............................................. 25
3.4.2.5.Analisis kadar karbohidrat by difference ................................................................. 26
3.4.2.6.Analisis kadar pati metode Luff Schoorl, modifikasi AOAC 1995 ......................... 26
3.4.2.7.Analisis kadar amilosa dan amilopektin (Apriyantono et al. 1989) ........................ 26
4.1.1. Komposisi kimia ........................................................................................................... 28
4.1.2. Profil Gelatinisasi .......................................................................................................... 29
4.2. FORMULA TERPILIH ADONAN MI SORGUM .............................................................. 30
4.3. KARAKTERISTIK MI SORGUM ...................................................................................... 32
4.3.1. Cooking loss .................................................................................................................. 33
4.3.2. Elongasi ......................................................................................................................... 35
4.4. KARAKTERISTIK MI PADA PROSES OPTIMUM ......................................................... 38
4.5. MI SORGUM-JAGUNG ...................................................................................................... 39
4.4. TINGKAT KESUKAAN PANELIS TERHADAP MI SORGUM ...................................... 40
4.4.1. Warna mi sorgum .......................................................................................................... 41
4.4.2. Kekeruhan air rebusan mi.............................................................................................. 42
4.4.3. Elongasi mi sorgum ....................................................................................................... 43
4.4.4. Kekerasan mi sorgum .................................................................................................... 43
4.4.5. Rasa mi sorgum ............................................................................................................. 44
5.1. SIMPULAN ......................................................................................................................... 45
5.2. SARAN ............................................................................................................................... 45
LAMPIRAN .................................................................................................................................... 50
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi gizi berbagai jenis serealia .............................................................................. 6
Tabel 2. Komposisi kimia biji dan tepung sorgum .......................................................................... 7
Tabel 3. Rancangan percobaan optimasi proses mi sorgum kering ............................................... 21
Tabel 4. Hasil analisis proksimat tepung sorgum varietas Numbu (%bk) ..................................... 28
Tabel 5. Profil gelatinisasi tepung sorgum Numbu ....................................................................... 29
Tabel 6. Hasil uji coba penambahan air ke dalam adonan mi ....................................................... 31
Tabel 7. Daya serap air tepung sorgum dan tepung jagung ........................................................... 31
Tabel 8. Hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum ............................................................ 32
Tabel 9. Hasil analisis cooking loss (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan ............... 34
Tabel 10. Hasil analisis elongasi (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan ...................... 36
Tabel 11. Solusi formula yang ditawarkan dalam optimasi proses ................................................. 38
Tabel 12. Hasil verifikasi beserta poin prediksi dari solusi yang terpilih ........................................ 39
Tabel 13. Hasil analisis cooking loss dan elongasi mi sorgum-jagung ........................................... 40
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman sorgum (a) dan biji sorgum (b) ...................................................................... 4
Gambar 2. Struktur biji sorgum ....................................................................................................... 5
Gambar 3. Proses pengolahan tepung sorgum (B2P4 2010) ........................................................... 8
Gambar 4. Struktur ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal ...................................................... 15
Gambar 5. Rangkaian metode penelitian optimasi proses ekstrusi mi sorgum ............................. 19
Gambar 6. Kurva RVA tepung sorgum varietas Numbu ............................................................... 30
Gambar 7. Penampang tiga dimensi respon cooking loss.............................................................. 35
Gambar 8. Penampang tiga dimensi respon elongasi .................................................................... 37
Gambar 9. Penampang tiga dimensi nilai desirability formula optimum ...................................... 38
Gambar 10. Foto (a) mi jagung 100%, (b) mi sorgum-jagung 60:40, dan (c) mi sorgum 100% ..... 40
Gambar 11. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap warna mi ............................................ 41
Gambar 12. Foto mi setelah dimasak, (a) mi sorgum 100% dan (b) mi sorgum-jagung ................. 42
Gambar 13. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi ................... 42
Gambar 14. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap elongasi mi ......................................... 43
Gambar 15. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekerasan mi ...................................... 44
Gambar 16. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap rasa ..................................................... 44
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil analisis kadar air tepung sorgum Numbu ........................................................ 51
Lampiran 2. Hasil analisis kadar abu tepung sorgumNumbu ........................................................ 51
Lampiran 3. Hasil analisis kadar protein tepung sorgum Numbu ................................................. 51
Lampiran 4. Hasil analisis kadar lemak tepung sorgum Numbu ................................................... 51
Lampiran 5. Hasil analisis kadar pati tepung sorgum Numbu....................................................... 51
Lampiran 6. Kadar karbohidrat tepung sorgum ............................................................................ 51
Lampiran 7. Hasil absorbansi kurva standar amilosa .................................................................... 52
Lampiran 8. Kurva standar amilosa .............................................................................................. 52
Lampiran 9. Hasil analisis kadar amilosa ...................................................................................... 52
Lampiran 10. Hasil analisis kadar air mi sorgum kering ................................................................. 53
Lampiran 11. Hasil analisis cooking loss mi sorgum ...................................................................... 54
Lampiran 12. Hasil analisis elongasi mi sorgum ............................................................................. 55
Lampiran 13. Foto mi sorgum sebelum dimasak ............................................................................ 56
Lampiran 14. Foto mi sorgum setelah dimasak ............................................................................... 57
Lampiran 15. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut warna mi.......................................................... 58
Lampiran 16. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekeruhan air rebusan mi ................................ 59
Lampiran 17. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekerasan......................................................... 60
Lampiran 18. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut elongasi ........................................................... 61
Lampiran 19. Hasiluji hedonik mi sorgum atribut rasa ................................................................... 62
Lampiran 20. Hasil analisis kadar air mi formula terpilih ............................................................... 63
Lampiran 21. Hasil analisis kadar abu mi formula terpilih ............................................................. 63
Lampiran 22. Hasil analisis kadar protein mi formula terpilih ........................................................ 63
Lampiran 23. Hasil analisis kadar lemak mi formula terpilih ......................................................... 64
Lampiran 24. Hasil analisis kadar karbohidrat mi formula terpilih ................................................. 64
Lampiran 25. Verifikasi cooking loss mi sorgum ........................................................................... 64
Lampiran 26. Verifikasi elongasi mi sorgum .................................................................................. 64
Lampiran 27. Analisis kandungan gizi mi sorgum (%bb) ............................................................... 64
Lampiran 28. Hasil uji optimasi proses mi sorgum ......................................................................... 65
Lampiran 29. Hasil uji ANOVA model polinomial cooking loss ................................................... 65
Lampiran 30. Hasil uji ANOVA model polinomial elongasi .......................................................... 67
Lampiran 31. Hasil analisis uji hedonik mi sorgum ........................................................................ 68
Lampiran 32. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam bahan pangan
dengan metode Luff Schoorl ..................................................................................... 70
Lampiran 33. Kurva elongasi mi sorgum terpilih............................................................................ 71
Lampiran 34. Sebaran kenormalan variabel respon cooking loss dan elongasi ............................... 72
Lampiran 35. Kuisioner uji hedonik mi sorgum ............................................................................. 73
I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk yang membentuk deret geometri (1,2,4,8..dst) selalu akan melampaui
pertumbuhan industri pangan dunia yang notabene berupa deret ukur (1,2,3,4,..dst). Statistik pada
tahun 2011 (BKKBN) menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 241 juta jiwa dan
akhir tahun 2012 mencapai sekitar 245 juta jiwa. Hal ini menjadi problematika yang cukup besar di
Indonesia selama puluhan tahun dengan ketahanan pangan yang rapuh. Pangan dalam arti luas
mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan yang memenuhi kebutuhan atas
karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta mineral yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia
setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh, aman dikonsumsi, dan harganya terjangkau (Deptan
2005).
Selain lemahnya ketahanan pangan nasional, kondisi pangan di Indonesia masih dibayangi
ketergantungan masyarakat akan komoditi pangan tertentu, seperti beras dan gandum. Terlebih lagi,
kedua komoditas tersebut banyak diimpor dari luar negeri. Berdasarkan data BPS (2012), impor beras
pada bulan Januari-April 2012 mencapai 834 ribu ton dengan nilai US$ 456 juta, sedangkan impor
gandum pada periode yang sama mencapai 396.5 ribu ton dengan nilai US$ 174 juta. Data tersebut
menunjukkan bahwa gandum menjadi sumber pangan kedua setelah beras dan membuat Indonesia
menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia.
Melihat hal tersebut, banyak penelitian dan program pemerintah yang difokuskan pada
diversifikasi pangan dan pencarian sumber pangan lokal. Salah satu sumber daya lokal yang memiliki
potensi besar untuk dikembangkan adalah sorgum. Menurut Nurmala (1997), keunggulan sorgum
terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produktivitas tinggi
serta lebih tahan penyakit dibandingkan dengan tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum.
Selain itu, sorgum dapat digunakan untuk memproduksi produk pangan bebas gluten yang
dapat dikonsumsi oleh penderita colieac disease yang tidak mampu mencerna gluten dari produk
gandum (Kunetz 1997). Sorgum pun memiliki nilai indeks glikemik yang tergolong rendah
dibandingkan nasi sehingga cocok dikonsumsi untuk penderita obesitas dan diabetes. Indeks glikemik
merupakan ranking pada produk berbasis karbohidrat yang menunjukkan seberapa cepat dan seberapa
banyak pangan tersebut dapat menaikkan kadar gula darah (Lemlioglu-Austin et al. 2012).
Untuk memaksimalkan pengembangan sorgum sebagai sumber pangan baru, mi dipilih
sebagai produk penelitian ini sebagai makanan yang populer di Asia, khususnya di Indonesia.
Penelitian mengenai mi sorgum sebagai salah satu mi non terigu sudah dilakukan oleh Kunetz (1997),
Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009). Penelitian Kunetz (1997) menghasilkan mi kering dengan
karakteristik yang halus, lurus, dan cukup kuat sehingga tidak patah saat pengepakan dan
pengangkutan. Setelah direhidrasi, mi memiliki cooking loss rendah, kompak, dan tidak hancur seperti
bubur. Suhendro et al. (2000) juga menghasilkan mi dengan cooking loss 10%. Baik Kunetz (1997)
maupun Suhendro et al. (2000) menggunakan ekstruder pencetak dalam penelitiannya. Berbeda
dengan dua peneliti tersebut, Liu (2009) membuat mi sorgum melalui metode pembentukan lembaran
(sheeting) dan pemotongan (sleeting). Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.42-
5.53%.
2
Mi yang dihasilkan dari penelitian Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009)
sudah cukup bagus, namun penggunaan ekstuder pencetak dan metode kalendering memiliki
kelemahan tersendiri. Kelemahan penggunaan ekstruder pencetak adalah kesulitan untuk memasukkan
adonan ke zona pengumpanan di dalam ekstuder. Hal ini disebabkan adonan telah digelatinisasi
terlebih dahulu sehingga bersifat panas dan lengket. Selain itu, kecepatan ulir yang konstan (tidak
dapat diatur) dan desain ulir dengan permukaan halus menyebabkan adonan selip dan tidak terdorong
secara maksimal. Kelemahan pada metode kalendering adalah sulitnya mengkondisikan suhu dan
kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung sorgum yang telah digelatinisasi.
Penggunaan suhu ruang menyebabkan suhu adonan turun dan uap air keluar, retrogradasi terjadi
sebelum proses sheeting selesai sehingga adonan menjadi kering dan pecah (Muhandri 2012).
Untuk mempermudah pelaksanaan proses ekstrusi dan pengkondisian adonan, penelitian ini
menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal model Scientific Laboratory Single Screw
Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Selain itu, penelitian mi jagung
yang dilakukan Muhandri (2012) dengan ekstruder yang sama dapat menghasilkan mi dengan
karakteristik yang baik, memiliki cooking loss yang rendah dan elongasi tinggi.
Tepung sorgum yang digunakan diproses dari biji sorgum varietas Numbu yang terlebih
dahulu diidentifikasi karakteristik kimia dan fisiknya melalui analisis proksimat dan profil gelatinisasi.
Menurut Elliason dan Gudmunson (1996), karakteristik tepung dan kecukupan proses mempengaruhi
produk mi yang dihasilkan, terutama kandungan amilosa pada tepung. Optimasi proses pengolahan mi
sorgum menggunakan suhu dan kecepatan ulir ekstruder sebagai variabel input, sementara cooking
loss dan elongasi digunakan sebagai variabel respon.
Suarni (2004) menyatakan bahwa produk olahan sorgum umumnya memiliki warna yang
kurang menarik bagi konsumen. Pada pembuatan mi sorgum, waran mi dapat dibuat lebih menarik
dengan menambahkan pewarna yang diperbolehkan oleh Departemen Kesehatan RI. Pada penelitian
ini, dilakukan penambahan tepung jagung pada adonan mi sorgum, membuat mi sorgum berwarna
kuning dan lebih menarik bagi konsumen. Proporsi penambahan tepung jagung dilakukan dengan trial
and error agar warna kuning pada mi mirip dengan warna kuning pada mi terigu pada umumnya.
Setelah mendapatkan proses optimal yang yang diinginkan, dilakukan uji hedonik di laboratorium.
Hasil dari uji sensori tersebut dapat memberikan gambaran awal mengenai penerimaan dan kesukaan
konsumen terhadap produk mi sorgum dan menjadi masukan dalam pengembangan mi sorgum secara
komersial ke depannya
1.2. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi karakteristik kimia dan fisik dari tepung sorgum varietas Numbu
2. Menentukan optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan ekstruder pemasak-
pencetak ulir tunggal dengan variabel suhu dan kecepatan ulir ekstruder
3. Melakukan uji hedonik mi sorgum dan mi sorgum-jagung
3
1.3. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan produk mi sorgum melalui
teknologi ekstrusi dengan kualitas yang dapat diterima oleh konsumen dan dapat diaplikasikan di
industri mi skala kecil secara komersial. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
bagi penelitian selanjutnya dalam rangka pengembangan dan pengayaan produk pangan di Indonesia.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. SORGUM
Sorgum pertama kali ditanam lebih dari 5000 tahun yang lalu di daerah Ethiopia atau Chad,
lalu merambah ke India pada 4000 tahun yang lalu, kemudian di Cina dan Afrika Selatan pada 1500
tahun yang lalu. Sorgum adalah serealia terpenting di sub-Saharan Afrika karena tahan kekeringan dan
kondisi panas. Sorgum berkembang di Amerika sejak abad ke-18 dan banyak digunakan sebagai
pakan ternak.Afrika memiliki luas daerah penanaman sorgum terbesar di dunia. Diperkirakan
sebanyak 55% sorgum di Afrika diproduksi di Afrika Barat dan 30% di bagian timur dan utara. Tiga
penghasil sorgum di Afrika adalah Nigeria, Sudan, dan Ethiopia. Sebagian besar negara Afrika
menghasilkan produksi tahunan ≤1 ton/ha. Pada produksi dunia tahun 2002 mencapai 52 juta ton,
sekitar 6.3 juta ton diekspor dengan nilai dagang sekitar US$669 juta (Evers et al. 2006).
Sorgum dapat digolongkan menjadi dua macam berdasarkan kandungan amilosanya, yaitu
waxy sorghum (jenis ketan) dan non-waxy sorghum (jenis beras). Kadar amilosa jenis beras rata-rata
25%, sedangkan untuk jenis ketan sekitar 2%. Kadar amilosa menentukan kepulenan dan kekilapan
nasi setelah ditanak. Dengan sifat ini, jenis sorgum nonwaxydapat dimasak sebagai nasi, atau
campuran dengan nasi beras, bubur, dan bentuk-bentuk olahan lainnya. Sorgum jenis waxy yang
rasanya pulen seperti ketan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan makanan tradisional seperti tapai,
jadah, wajik, lemper, dan rengginang seperti yang dilakukan di daerah Demak (Mudjisihono dan
Suprapto 1987). Gambar 1 menunjukkan bentuk tanaman dan biji sorgum.
Sumber : komoditasindonesia.com Sumber : kimdump.blogspot.com
(a) (b)
Gambar 1. Tanaman sorgum (a) dan biji sorgum (b)
2.1.1. Struktur dan Komposisi Gizi Sorgum
Berdasarkan bentuk dan ukurannya, sorgum dibedakan menjadi tiga golongan yaitu sorgum
dengan biji berukuran kecil (8-10 mg), sedang (12-24 mg), dan besar (25-35 mg). Biji sorgum di
Pulau Jawa umumnya berukuran sedang dan besar (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Bobot biji
bervariasi berdasarkan penanaman dan sumber. Kebanyakan varietas sorgum berbentuk hampir bulat
(diameter 2-4 mm) dengan ukuran embrio yang relatif besar (Evers et al. 2006).
5
Biji sorgum terdiri dari 10% lembaga, 8% perikarp atau sekam, dan 80% endosperma.
Proporsi tersebut mungkin bervariasi tergantung dari varietas, kondisi lingkungan, dan derajat
kematangan. Kulit biji terdiri dari perikarp dan testa. Lapisan terluar adalah perikarp yang dikelilingi
oleh kutikula yang waxy. Embrio atau lembaga terdiri dari scutellum besar, plumule, dan akar primer.
Lembaga ini relatif kokoh menempel dan sulit untuk dipisahkan melalui penggilingan kering.
Endosperma memiliki proporsi yang paling besar dari kernel dan mengandung lapisan aleuron.
Lembaga kaya akan protein, lemak, mineral, dan vitamin B kompleks (Riahi dan Ramaswamy 2003).
Lapisan aleuron atau bekatul terdapat di atas permukaan endosperma biji. Sel-sel aleuron
tidak mengandung granula pati, tetapi mengandung protein, lemak dengan kadar yang relatif tinggi,
sejumlah mineral dan vitamin yang larut dalam air (Rooney dan Miller 1982). Lapisan aleuron sorgum
memiliki bentuk dan penampakan yang mirip dengan jagung (Evers et al. 2006).
Di beberapa varietas sorgum, terjadi pigmentasi yang mengakibatkan semua jaringan
menjadi berwarna dalam waktu yang tidak bersamaan. Enam kelas penampakan kernel adalah putih,
kuning, merah, coklat, dan kekuningan (Evers et al. 2006). Biji sorgum yang memiliki kadar tanin
tinggi dicirikan dengan warnanya yang coklat gelap atau coklat kemerahan (Mudjisihono dan
Suprapto 1987). Struktur biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber :www.cd3wd.com
Gambar 2. Struktur biji sorgum
Protein pada biji sorgum sebagian besar adalah prolamin (kafirin) dan glutelin. Seperti
serealia lainnya, sorgum kekurangan asam amino lisin, treonin, dan triptofan. Meskipun demikian,
saat ini sudah dapat diproduksi sorgum yang tinggi lisin (Wrigley dan Bekes 2004). Selain itu, protein
albumin dan globulin relatif tinggi dan menyusun sebanyak 17% dari total protein (Evers et al. 2006).
Penghilangan perikarp secara signifikan akan mengurangi serat kasar dari sorgum. Kadar
mineral dalam sorgum seperti kalsium, besi, fosfor, serta vitamin B juga berkurang dengan hilangnya
perikarp dan keberadaan asam fitat (Riahi dan Ramaswamy 2003). Sorgum memiliki kandungan
amilosa antara 20-30%, sisanya amilopektin (Wrigley dan Bekes 2004). Komposisi gizi dari sorgum
dan serealia lain dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1. Komposisi gizi berbagai jenis serealia
Komposisi Gandum Rye Jagung Barley Oat Beras Sorgum
Kadar air (%) 10 10.5 15 10.6 9.8 11.4 10.6
Protein (%) 14.3 13.4 10.2 13 12 9.2 12.5
Lemak (%) 1.9 1.8 4.3 2.1 5.1 1.3 3.4
Serat (%) 3.4 2.2 2.3 5.6 12.4 2.2 2.2
Abu (%) 1.8 1.9 1.2 2.7 3.6 1.6 2
Sumber : Riahi dan Ramaswamy (2003)
Tanin merupakan polimer polifenol yang berada pada lapisan perikarp dan testa dari kulit
biji. Tanin menyediakan perlindungan terhadap serangga dan burung, serta melawan kerusakan saat
hujan. Keberadaan tanin sebagai penangkal burung diasumsikan karena rasa tanin yang tidak enak
(Evers et al. 2006). Cara bercocok tanam yang berbeda mempengaruhi produksi tanin pada sorgum
(Wrigley dan Bekes 2004). Menurut Von Elbe dan Schwartz (1996), selain memiliki kemampuan
untuk berikatan dengan protein, tanin juga mampu berikatan dengan polimer lainnya seperti
polisakarida. Tanin larut dalam air dan memiliki kemampuan untuk mengendapkan alkaloid, gelatin,
dan protein lainnya.
Berdasarkan penelitian Rungkat-Zakaria et al. (2011), sorgum memiliki potensi ke arah
pangan dan kesehatan. Sorgum mengandung komponen bioaktif, misalnya komponen fenolik yang
memiliki peranan sebagai antioksidan (Rooney dan Awika 2004). Antioksidan berperan sebagai
penangkal radikal bebas yang dalam jumlah yang berlebihan dalam tubuh dapat memberikan efek
negatif pada kesehatan, misalnya menurunkan fungsi sistem imun.
Penelitian mengenai diet berbasis sorgum pada tikus Sprague dawley yang dilakukan oleh
Rungkat-Zakaria et al. (2011) menyebutkan bahwa penggunaan sorgum 50% dari sumber karbohidrat
dapat meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit limfa. Hal ini ditunjukkan dari adanya aktivitas
imunomodulator, menyebabkan peningkatan kapasitas antioksidan pada hati melalui peningkatan
aktivitas anitoksidan (DPPH), penurunan malondialdehida (MDA), dan peningkatan aktivitas enzim
antioksidan. Fungsi senyawa fenolik sebagai immunomodulator diduga berhubungan dengan
peranannya sebagai antioksidan dalam proses perlindungan membran limfosit dari oksidasi yang
disebabkan oleh radikal bebas (Yanuwar 2009). Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa sorgum
baik sebagai pangan dan kesehatan serta dapat dikembangkan menjadi pangan fungsional.
2.1.2. Pengembangan Sorgum
Sebagian besar sorgum digunakan di negara penghasilnya dengan tujuan yang berbeda. Di
Amerika Utara, Tengah, Selatan, dan Oseania, sorgum banyak digunakan sebagai pakan ternak,
sementara di negara berkembang seperti Afrika, sorgum banyak dikonsumsi oleh manusia. Biji
sorgum dapat disiapkan menjadi produk yang mirip dengan jagung manis atau popcorn. Sorgum dapat
diolah menjadi berbagai produk pangan tradisional, pancake non gandum, tortilla, kue, biskuit dan
roti, mi dan pasta, minuman fermentasi tradisional dengan atau tanpa alkohol, bir (dari malt sorgum),
dan di Cina diolah menjadi minuman hasil penyulingan. Embrio sorgum diproduksi sebagai minyak
untuk memasak atau salad (Evers et al. 2006).
Varietas sorgum juga digunakan sebagai makanan di beberapa bagian daerah di dunia. Di
Afrika Barat dan Selatan, varietas sorgum berkadar tanin sedang digunakan untuk bahan baku
7
makanan dan minuman beralkohol. Di beberapa budaya Afrika, sorgum tanin lebih disukai karena
bubur yang terbuat dari sorgum bertanin memiliki waktu tinggal di dalam perut lebih lama dan
membuat petani dapat bekerja lebih keras di sawah. Di negara barat, kegunaan sorgum berpigmen
sebagai makanan sangat sedikit (Awika dan Lloyd 2004). Hasil survei yang dilakukan oleh
Mudjisihono dan Suprapto (1987) di Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya Demak dan
Bojonegoro, menyatakan bahwa sorgum sudah dimanfaatkan sebagai pengganti sementara posisi
beras di musim paceklik.
Terdapat dua bentuk olahan biji sorgum, yaitu beras dan tepung sorgum. Beras sorgum
diperoleh dari hasil penggilingan atau penyosohan menggunakan abrasive mill. Endosperma yang
diperoleh berwarna putih dan bebas dari sekam dan bekatul. Apabila proses penyosohan dapat
dilakukan dengan sempurna, maka beras sorgum tidak akan membawa rasa sampingan yang tidak
enak ataupun bau yang kurang disukai. Dengan menggunakan mesin penyosoh beras dari silinder batu
gerinda, beras yang dihasilkan berwarna putih bersih dan apabila dimasak tidak terasa kasar di lidah
(Mudjisihono dan Suprapto 1987).
Tepung atau grits diproduksi melalui penggilingan batu di desa di India, atau hammer milling
dan roller milling di industri. Penggilingan basah lebih cenderung digunakan di banyak industri.
Penggilingan yang dilakukan mirip dengan penggilingan basah pada jagung, dan sering dilakukan
untuk menghasilkan pati atau glukosa (Wrigley dan Bekes 2004). Untuk membuat tepung sorgum, biji
sorgum utuh harus disosoh terlebih dahulu. Namun, penyosohan sorgum sangat sulit dilakukan karena
sorgum dikenal memiliki kulit biji yang keras dan sulit dihilangkan. Cara penyosohan melalui
penggilingan tradisional atau penghancuran terhadap bijinya tidak dapat memberikan hasil yang
diharapkan. Hal ini disebabkan masih banyaknya sisa kulit biji yang menempel pada endosperma
sehingga tepung yang dihasilkan memiliki tekstur kasar (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian telah mengembangkan tepung sorgum
yang dibuat dari biji sorgum dengan komposisi kimia dan proses pengolahan seperti pada Tabel 2 dan
Gambar 3.
Tahap perendaman biji pada produksi tepung B2P4 menggunakan 0.3% NaHCO3 selama 8
jam dilakukan untuk menghilangkan tanin pada biji sorgum. Kehilangan tanin tersebut diduga akibat
terkelupasnya kulit biji dan lapisan testa selama perendaman. Selain dengan cara tersebut,
penghilangan tanin juga dapat dilakukan dengan perendaman dalam air suling pada suhu 30oC selama
24 jam. Cara ini dapat menghilangkan kadar tanin dalam sorgum sampai sekitar 31%. Perendaman
dalam larutan NaOH dan KOH 0.05 M pada suhu 30oC selama 24 jam dapat menghilangkan kadar
tanin jauh lebih besar, yaitu sekitar 75-85%. Perendaman dalam larutan Na2CO3 pada kondisi yang
sama dapat menghilangkan kadar tanin sampai 77% (Mudjisihono dan Suprapto 1987).
Tabel 2. Komposisi kimia biji dan tepung sorgum
Komponen Biji sorgum Tepung sorgum
Air (%) 9-11 10-12
Protein (%) 10-12 7-9
Lemak (%) 2-2.5 0.4-0.7
Karbohidrat (%) 73-78 73-83
Abu (%) 1-1.5 0.2-0.4
Tanin (%) 2-4 0.6-1.0
Sumber : B2P4 (2010)
8
Gambar 3. Proses pengolahan tepung sorgum (B2P4 2010)
2.2. PATI
Pati dalam biji sorgum sekitar 83% terdapat dalam endosperma, 13.4% dalam lembaga, dan
3.6% dalam kulit biji. Kandungan pati dalam biji sorgum yang telah dihilangkan lemaknya dapat
ditentukan melaluihidrolisis enzim dan asam dan dinyatakan sebagai gula reduksi. Kandungan pati
dalam biji sorgum bervariasi antara 68-73%. Pati tersusun atas dua komponen utama yaitu amilosa
dan amilopektin (Mudjisihono dan Suprapto 1987).
2.2.1. Amilosa
Amilosa terdiri dari molekul D-glukosa yang terhubung dalam konformasi -14. Monomer
tersebut membentuk polimer rantai linier yang lurus. Kandungan amilosa sekitar 20-40% dalam biji-
bijian. Amilosa mengandung ikatan glikosidik -14 dan sedikit larut dalam air. Molekul amilosa
membentuk konformasi heliks sehingga dapat menyusun formasi kompleks dengan iodin, lemak, dan
Penirisan
Pengeringan k.a 16%
Penepungan ka = 12%
Tepung sorgum
Biji sorgum
Pembersihan
Pengkondisian k.a. 20%
Penyosohan DS 100%
Perendaman
(0.3% NAHCO3, 8 jam, 1:3 b/v)
Sorgum sosoh
9
substansi polar lainnya. Kompleks amilosa dengan iodin membentuk warna biru yang dapat dibaca
pada panjang gelombang 650 nm (Niba 2006).
Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik pembuatan gel pada campuran pati yang
dipanaskan dan didinginkan. Hal ini terkait dengan polisakarida dari glukosa yang terdapat dalam
amilosa. Amilosa dapat membentuk gel dari rantai linier yang dapat berorientasi paralel dan saling
berdekatan satu sama lain untuk berikatan. Hal ini memudahkan molekul amilosa untuk bersatu dalam
pasta yang dimasak, tetapi tidak berkontribusi secara signifikan terhadap viskositas (Rick 2003).
Amilosa adalah komponen kunci yang terlibat dalam penyerapan air, pengembangan granula,
dan gelatinisasi pati dalam pengolahan makanan. Pati beramilosa tinggi umumnya diaplikasikan pada
produk pangan yang membutuhkan pengaturan gel yang cepat seperti permen dan gula-gula. Amilosa
lebih rentan terhadap gelatinisasi dan retrogradasi dan umumnya terlibat dalam pembentukan pati
resisten (Niba 2006).
2.2.2. Amilopektin
Amilopektin terdiri dari D-glukosa yang terhubung dalam konformasi linier -14 dan
cabang pada -16. Jumlah ikatan -16 sekitar 5% dari struktur amilopektin yang membuat
ukuran molekulnya lebih besar dari amilosa. Ukuran molekul yang lebih besar dari amilosa membuat
dua polimer ini terpisah berdasarkan ukuran pada kromatografi. Amilopektin memiliki rantai cabang
yang pendek sehingga tidak dapat membentuk kompleks heliks dengan iodin (Niba 2006).
Sifat amilopektin dalam aplikasi pangan berbeda dengan amilosa. Gel amilopektin lebih
fleksibel dan resisten terhadap retrogradasi. Pati beramilopektin tinggi biasanya digunakan dalam
pengolahan mi dan beberapa produk roti untuk memperpanjang umur simpan. Amilopektin juga
digunakan untuk meningkatkan stabilitas selama thawing beku karena resistensinya terhadap
retrogradasi (Niba 2006). Amilopektin mempengaruhi kekentalan produk, namun biasanya tidak
berkontribusi terhadap pembentukan gel. Beberapa galur dari jagung, beras, sorgum, dan barley sama
sekali tidak mengandung amilosa, seluruhnya hanya amilopektin (Rick 2003).
2.2.3. Gelatinisasi
Gelatinisasi terjadi saat struktur dari granula pati terganggu dan diatur kembali dengan
adanya panas dan kelembaban yang cukup. Granula ini akan menyerap air, kehilangan struktur
molekul yang rapi, lalu mengembang. Granula pati murni tidak larut dalam air dingin dan
membutuhkan gelatinisasi untuk memfasilitasi penyerapan air dan meningkatkan reaktivitas kimia dan
fisik dari granula pati inert dalam pengolahan pangan (Niba 2006). Granula yang lebih besar akan
mengembang lebih dulu pada temperatur yang lebih tinggi daripada granula yang kecil. Meskipun
demikian, tidak ada suhu gelatinisasi yang mutlak. Campuran yang lebih pekat memiliki viskositas
yang lebih tinggi pada suhu rendah karena banyaknya granula yang mengembang (Rick 2003).
Hasil gelatinisasi adalah pengembangan pati dan pembentukan pasta kental yang buram atau
tembus cahaya, tergantung dari sifat dasar dari suatu pati. Gelatinisasi biasanya diikuti oleh gelasi,
proses dimana granula yang mengembang terganggu dan amilosa dilepaskan ke media pati-air.
Pelepasan amilosa dari granula yang tergelatinisasi berkontribusi terhadap karakteristik kental dari
pati dan pembentukan gel yang merupakan dispersi koloid pati dalam air. Amilosa tersebut akan
10
membentuk jaringan yang struktural untuk merangkap granula dan menghasilkan pembentukan gel
(Niba 2006).
Peningkatan kadar amilosa juga membuat gelasi berlangsung lebih awal. Pati dengan
kandungan amilosa rendah, seperti waxy maize yang mengandung <1% amilosa, tidak dapat
membentuk gel secara efektif, hanya pasta jernih yang umumnya resisten terhadap sineresis (Niba
2006). Pati tergelatinisasi memainkan peranan penting dalam menentukan karakteristik struktural dan
tekstural dari banyak pangan. Proporsi dari pati tergelatinisasi dan pati mentah dalam produk makanan
siap saji dapat menjadi titik kritis dalam menentukan penerimaannya (Sablani 2009).
2.2.4. Retrogradasi
Retrogradasi juga dikenal dengan sebutan setback dan terjadi melalui pengkristalan kembali
molekul amilosa. Hal ini menyebabkan pelepasan air yang sudah terserap dan terikat selama
gelatinisasi dan mengarah pada fenomena yang disebut sineresis. Amilosa jauh lebih rentan terhadap
retrogradasi, sedangkan amilopektin hanya terlibat secara minimal walaupun diketahui mempengaruhi
retrogradasi dan sineresis dalam gel pati jagung. Retrogradasi pati dalam beberapa hal meningkatkan
kualitas pati yang resisten terhadap enzim hidrolisis dan lebih stabil (Niba 2006).
Dalam produksi mi pati, dibutuhkan pengkondisian suhu rendahyang diaplikasikan setelah
gelatinisasi untaian mi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan retrogradasi mi. Salah satu cara
pengkondisian tersebut adalah pencucian mi dengan air setelah mi dimasak. Tanpa proses gelatinisasi,
molekul amilosa tidak dapat dilepaskan untuk berpartisipasi dalam proses retrogradasi yang mengatur
struktur mi (Tam et al. 2004).
2.3. TEKNOLOGI PEMBUATAN MI
2.3.1. Mi Terigu
Pasta dan mi dari terigu memanfaatkan protein yang terkandung di dalamnya untuk
memperkuat dan menahan bentuk selama pengeringan, pemasakan produk, dan mengurangi
kehilangan padatan selama pemasakan (cooking loss). Menurut Wals dan Gille (1974), proses
pengolahan mi diawali dengan pencampuran bahan, proses pembentukan, dan pengeringan. Terigu
dicampur air, garam dan bahan lain sehingga membentuk adonan pasta yang homogen. Adonan pasta
mengalami proses lebih lanjut hingga membentuk adonan yang lebih homogen, plastis dan elastis.
Jumlah air yang ditambahkan adalah 28-38%. Pembentukan adonan dilakukan selama 15-25 menit
pada suhu 25-40oC. Adonan dipipihkan dengan alat roll-press dan dicetak menjadi mi dengan
ketebalan 1-2 mm.
Pencampuran bahan bertujuan menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung
dengan air dan membentuk adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran dilakukan
pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam pengadukan adalah
jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan haruslah
cukup. Jika jumlah air yang ditambahkan kurang, maka adonan menjadi keras, rapuh, dan adonan sulit
dibentuk menjadi lembaran. Jika jumlah air yang ditambahkan berlebih, maka adonan menjadi basah
dan lengket (Oh et al. 1985).
Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100oC selama 5 menit dan dibiarkan
dingin pada suhu ruang akan dihasilkan mi matang dan jika dilanjutkan dengan pengeringan (60oC
11
selama 7 jam) akan menjadi mi kering. Jika digoreng dengan suhu 140-150oC sampai kadar airnya 3-
5% dan ditiriskan akan menjadi mi instan (Sunaryo 1985).
Pembuatan spaghetti menggunakan ekstruder pasta (forming extruder). Penambahan air
tergantung pada suhu mixing. Pada suhu 35-45oC, air yang ditambahkan sebanyak 32-34%, sedangkan
pada suhu rendah yaitu antara 2-10 o
C air yang ditambahkan sebanyak 34-36%. Menurut Dalbon et al.
(1996) penyerapan air oleh tepung akan semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu. Proses
ekstrusi pada pembuatan spaghetti harus dipertahankan suhunya pada kisaran 38-40oC. Jika suhu
terlalu tinggi akan terjadi kerusakan pada protein sehingga dapat mengganggu proses terbentuknya
adonan yang plastis. Pada industri, ekstrusi dilengkapi dengan mantel pendingin untuk
mempertahankan suhu proses supaya tidak naik.
2.3.2. Mi Non Terigu
2.3.2.1. Mi Pati
Mi pati diproduksi dari pati murni dari berbagai macam sumber pangan sebagai kategori
mayor dari mi Asia. Pada umumnya, pembuatan mi pati meliputi beberapa tahap, yaitu pencampuran
bahan kering dan gelatinisasi pati untuk membuat pasta pati atau adonan, ekstrusi langsung ke air
mendidih untuk pemasakan, pendinginan untuk pembentukan mi, penyimpanan pada suhu dingin atau
beku, penghangatan pada air dingin, dan pengeringan (Galvez et al. 1995 dalam Tan et al. 2009).
Bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum
(Fuglie dan Hermann 2001). Di Cina, mi yang dibuat dari pati ubi jalar dilakukan dengan proses
sebagai berikut : sebagian pati ubi jalar ditambah air, dipanaskan sambil diaduk. Setelah adonan
mengalami gelatinisasi, pasta pati ditambah pati ubi jalar sambil terus diaduk. Adonan dicetak
menjadi mi yang langsung ditampung dengan air hangat, kemudian didinginkan dan dikeringanginkan
selama 1-2 jam dengan wadah bambu. Selanjutnya, mi dijemur selama kurang lebih 8 jam sampai
kering (Wiersema 1992).
Menurut Chen (2003), pembuatan mi pati dilakukan dengan gelatinisasi 5% pati dalam air
dengan perbandingan 1:9 (yang berfungsi seperti gluten pada mi terigu). Pati yang sudah digelatinisasi
dicampur dengan 95% pati yang belum digelatinisasi kemudian dicetak menggunakan ekstruder piston
(cylindrical extruder) dengan diameter die ekstruder 1.5 mm. Mi langsung masuk air panas (95-98°C)
dan pemanasan dipertahankan selama 50-70 detik. Mi diangkat, didinginkan pada suhu 4°C selama 6
jam, kemudian dibekukan pada suhu -5°C selama 8 jam, dan dikeringanginkan selama 4 jam.
2.3.2.2. Mi Jagung
Pembuatan mi jagung yang dilakukan oleh Waniska et al. (1999) menggunakan ekstruder
pasta. Bahan baku yang digunakan adalah tepung jagung (200 g), air (120 g), garam (2 g), dan natrium
metabisulfit (0.5 g). Bahan tersebut lalu dicampur dan dipanaskan pada suhu 95oC selama 2-3 menit.
Kemudian, adonan dicetak menggunakan ekstruder pasta dan dikeringkan. Kelemahan pada mi yang
dibuat oleh Waniska et al. (1999) adalah cooking loss mi yang masih terlalu tinggi (>40%).
Proses pembuatan mi yang optimum pada penelitian Muhandri (2012) diperoleh pada kondisi
proses kadar air tepung 70%, suhu ekstruder 90oC, dan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm. Pada kondisi
ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 3039,79 gf, kelengketan -116,26 gf, elongasi 318,68%,
dan cooking loss 4,56 %. Penggunaan garam (sodium karbonat dan sodium klorida) dapat
12
menghasilkan mi jagung yang lebih lunak (menurunkan kekerasan mi jagung). Pada penggunaan
sodium karbonat, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%, sodium
karbonat 0,11% atau 0,12% dan jumlah passing adalah 3 kali. Pada kondisi ini mi jagung memiliki
karakteristik kekerasan 2242,29gf, kelengketan 58,83gf, elongasi 418,81% dan cooking loss 3,66%.
Pada penggunaan sodium klorida, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%,
sodium klorida 2% dan jumlah passing adalah 3 kali. Pada kondisi ini mi jagung memiliki
karakteristik kekerasan 1855,23 gf, kelengketan 35,86 gf, persen elongasi 576,38% dan cooking loss
2,62%.
Muhandri (2012) menjelaskan bahwa pembuatan mi dari tepung (misalnya tepung jagung)
membutuhkan mekanisme gelatinisasi dan pemecahan granula tepung karena hal ini diperlukan untuk
membentuk ikatan hidrogen antar amilosa ketika retrogradasi (pendinginan). Ikatan hidrogen inilah
yang akan membentuk struktur mi yang kokoh. Kondisi ini memerlukan suhu yang cukup, kadar air
yang optimal dan tekanan shear yang cukup. Ikatan hidrogen antar amilosa ditentukan pula oleh
kandungan amilosa tepung non terigu.
2.3.2.3. Mi Sorgum
Kunetz (1997) melakukan penelitian mengenai pembuatan mi sorgum dengan bahan baku
tepung sorgum (100 g), garam 1% dan air (90 ml). Tepung sorgum yang digunakan memiliki
karakteristik endosperma sedang sampai keras dan indeks ukuran partikel yang sedang dengan sedikit
perikarp. Adonan mi yang telah dicampur lalu dipanaskan menggunakan microwave pada suhu 95oC.
Adonan kemudian dicetak menggunakan ekstruder pencetak dan menghasilkan mi kering yang halus
dan lurus serta terlihat cukup kuat untuk tidak patah selama pengepakan dan pengangkutan. Mi yang
telah dimasak dapat mempertahankan tekstur yang kompak, tidak hancur seperti bubur, dan memiliki
cooking loss rendah.
Mi sorgum dalam penelitian Suhendro et al. (2000) menggunakan bahan dan teknik ekstrusi
yang sama dengan penelitian Kunetz (1997). Adonan mi dilewatkan ke dalam ekstruder sebanyak 3
kali (3 kali passing). Tepung sorgum dengan ukuran partikel yang lebih kecil menghasilkan mi yang
lebih baik. Mi yang lebih kuat dan kompak dihasilkan melalui pengeringan dua tahap, yaitu 60oC
100% RH selama 2 jam diikuti dengan 60oC 30% RH selama 2 jam. Melalui pengolahan tersebut
menghasilkan mi dengan cooking loss 10%.
Penelitian Liu (2009) menggunakan teknik kalendering untuk membuat mi sorgum. Bahan-
bahan yang digunakan adalah tepung sorgum, garam beryodium, xanthan gum, tepung putih telur,
tepung telur, pati jagung, dan air. Bahan kering ditambahkan ke dalam mixer dan dicampur selama 1
menit dengan kecepatan rendah lalu kecepatan tinggi selama 1 menit. Air (57%) ditambahkan untuk
membentuk adonan yang seragam, halus, dan tidak lengket, lalu dicampur selama 2 menit dengan
kecepatan rendah dan 4 menit dengan kecepatan tinggi. Adonan lalu diuleni menggunakan tangan
selama 1 menit, diistirahatkan selama 15 menit, dan ditipiskan menggunakan mesin mi. Lapisan tipis
adonan lalu dicetak dengan lebar sekitar 1 cm. Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara
4.42-5.53%.
13
2.4. EKSTRUSI
Ekstrusi adalah suatu proses saat bahan dipaksa berada di bawah pengaruh kondisi operasi
pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi, dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang
untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelembung kering dalam waktu singkat. Pengolahan dengan
ekstrusi dapat memanfaatkan sumber pati yang beragam dan merupakan alternatif yang menarik.
Fungsi ekstrusi adalah gelatinisasi/pemasakan, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisisi,
pembentukan, dan penggembungan/pengeringan (puffing/drying). Kombinasi satu atau lebih fungsi
tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam teknologi ekstrusi (Muchtadi et al. 1988).
Menurut Estiasih dan Ahmadi (2011), fungsi ekstrusi juga dapat dilakukan untuk proses
pemisahan, pendinginan-pemanasan, penghilangan senyawa volatil, penurunan kadar air,
pembentukan citarasa dan bau, dan enkapsulasi. Ekstrusi dengan suhu tinggi dan waktu singkat
(HTST) dapat menghilangkan kontaminasi mikroba dan inaktivasi enzim. Proses dengan ekstrusi
dapat menurunkan senyawa antigizi dalam bahan pangan.
Ekstrusi dengan suhu tinggi biasanya digunakan untuk pasta, sedangkan suhu rendah
digunakan untuk makanan ringan atau snack. Tekanan yang digunakan dalam ekstrusi berkisar antara
15-200 atm. Fungsi tekanan itu sendiri adalah untuk mengendalikan bentuk, menjaga air dalam
kondisi cair yang sangat panas, serta meningkatkan peran pengadukan. Kadar air bahan normal adalah
10-40% basis basah dan suhu tinggi mencapai 100-180oC secara kontinyu (Estiasih dan Ahmadi
2011).
Dalam proses ekstrusi, umumnya terdapat dua input energi utama ke dalam sistem. Pertama,
energi yang ditransfer dari perputaran ulir dan yang kedua adalah energi yang ditransfer dari pemanas
melalui dinding barrel. Energi panas akan menghasilkan peningkatan suhu dari bahan yang diekstrusi.
Sebagai hasilnya, akan terjadi perubahan seperti pelelehan dari material padat dan atau penguapan air
(Ainsworth dan Ibanoglu 2006).
Penelitian terhadap efek dari beberapa variabel ekstrusi seperti kadar air, suhu barrel,
geometri ulir, dan kecepatan ulir pada gelatinisasi pati jagung mengindikasikan bahwa suhu barrel
dan kecepatan ulir memiliki efek yang paling besar terhadap gelatinisasi pati (Mercier dan Feillet
1975). Kecepatan ulir yang lebih tinggi menurunkan gelatinisasi dan terkait dengan rendahnya waktu
tinggal. Hal ini sesuai dengan pendapat Ainsworth dan Ibanoglu (2006) yang menyatakan bahwa
peningkatan kecepatan ulir akan menurunkan derajat gelatinisasi akibat pengadukan meningkat akibat
penurunan waktu tinggal sampel dalam ekstruder.
Efek dari kadar air bahan, suhu barrel, kecepatan ulir, dan ukuran die pada gelatinisasi
tepung terigu selama ekstrusi menunjukkan bahwa derajat gelatinisasi meningkat tajam dengan
peningkatan suhu, saat kadar air bahan 24-27%, tetapi meningkat lebih lambat saat kadar air bahan
18-21% (Chiang 1975). Pada suhu yang lebih rendah (65-80oC), peningkatan kadar air bahan
menyebabkan sedikit penurunan gelatinisasi, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi (95-110oC),
peningkatan kadar air secara signifikan meningkatkan derajat gelatinisasi. Peningkatan ukuran die
dapat mengurangi derajat gelatinisasi akibat penurunan waktu tinggal sampel, tekanan yang lebih
rendah, dan luas permukaan adonan yang lebih kecil (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).
14
2.5. EKSTRUDER
Secara umum, ekstruder dibagi menjadi dua jenis yaitu ekstruder ulir tunggal dan ekstruder
ulir ganda. Terdapat lima jenis ekstruder ulir tunggal yang umum dipakai di industri pangan, yaitu
(Muchtadi et al. 1988) : (1) ekstruder pasta, (2) high pressure forming extruder, (3) low shear cooking
extruder, (4) coolet extruder, (5) high shear cooking extruder.
Ekstruder pasta dipakai untuk membentuk makaroni dan produk serupa dari adonan.
Ekstruder ini dianggap yang paling ideal karena memiliki silinder yang licin dan tidak mempunyai
bagian yang dapat membawa padatan, serta biasanya mempunyai geometri ulir yang konstan. Alat ini
juga yang paling mendekati ekstruder isotermal karena hanya mengakibatkan kenaikan suhu yang
paling rendah.
High pressure forming extruder untuk membentuk dan memadatkan adonan yang telah
digelatinisasi, digunakan pada produk yang membutuhkan proses lanjutan seperti penggorengan
dalam lemak (snack) dan sereal. Cara kerja ekstruder ini seperti ekstruder pasta, namun silindernya
berupa ulir. Ulir tersebut membutuhkan tenaga tambahan yang menyebabkan naiknya suhu serta panas
yang dilepas ke makanan.
Low shear cooking extruder untuk adonan dengan kadar air tinggi, bersifat fleksibel dan hasil
yang dimasak harus diproses lebih lanjut dengan pembentukan dan pengeringan. Kekentalan adonan
yang rendah (kadar air tinggi) mengakibatkan hampir semua energi yang dibutuhkan untuk pemasakan
berasal dari luar (pemanas). Ekstruder ini biasanya menggunakan silinder beralur dan ulir pemadat.
Coolet extruder untuk membuat panganan butiran yang bergelembung kering, biasanya
memiliki waktu tinggal yang sangat singkat. Pelepasan energi yang sangat cepat terjadi karena
kemampuan potong yang tinggi, silinder beralur dalam, dan adonan sangat kental (kelembaban
rendah). Suhu tinggi yang terjadi menyebabkan kehilangan air yang demikian hebat sehingga
membentuk produk yang kering dan bergelembung. Mesin ini membutuhkan proses sebelum dan
setelah ekstrusi yang minimal, namun sifatnya tidak fleksibel dan menghasilkan produk terbatas
dengan bahan yang terbatas juga. Kenaikan suhu yang tinggi, perubahan reologi, dan adanya silinder
dan ulir yang bervariasi menyebabkan analisis pada ekstruder ini sulit dilakukan.
High shear cooking extruder yang serupa dengan coolet, hanya pemakaiannya lebih luas
untuk sereal bergelembung, makanan ringan, dan makanan hewan. Ekstruder ini memiliki waktu
tinggal yang lebih lama dibandingkan coolet ekstruder dan kelebihan panas akan dibuang dengan cara
pendinginan silinder. Pemotongan yang cepat dan waktu tinggal yang lebih lama menghasilkan
campuran yang teraduk dengan baik sehingga air dapat diinjeksikan ke dalamnya dari pengumpan
untuk memperoleh proses dengan kelembaban optimal. Produk yang dihasilkan memiliki kelembaban
yang masih tinggi sehingga memerlukan proses pengeringan. Mesin ini akan menghasilkan produk
yang warnanya lebih coklat, memiliki tekstur yang lebih kuat, serta aroma yang lebih baik.
2.5.1. Ekstruder Ulir Tunggal
Ekstruder ulir tunggal pertama kali digunakan pada tahun 1940-an untuk memproduksi
puffed snacks dari tepung serealia dan grits. Di dalam ekstruder, energi mekanik dari perputaran ulir
dikonversi menjadi panas sehingga menaikkan suhu campuran di atas 150oC. Campuran yang
dihasilkan bersifat plastis lalu dipaksa melalui die. Pengurangan tekanan yang tiba-tiba pada die
membuat air pada bahan menguap dengan cepat, dan produk menjadi mengembang. Mulai dari tahun
15
1950-an, proses ekstrusi dikembangkan untuk produk manufaktur seperti makanan hewan kering,
sereal sarapan siap santap, dan sayuran protein bertekstur (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).
Ekstruder ulir tunggal memiliki keterbatasan selama proses mixing sehingga bahan
sebelumnya dicampur dengan air secara manual (Estiasih dan Ahmadi 2011). Hal ini sesuai dengan
pendapat Ainsworth dan Ibanoglu (2006) yang menyatakan ekstruder ulir tunggal memiliki
kemampuan mixing yang buruk sehingga sering digunakan untuk bahan yang sudah melalui proses
prakondisi sebelumnya. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan waktu tinggal, mengurangi
konsumsi daya mekanik dan meningkatkan kapasitas. Prakondisi dilakukan menggunakan tekanan
atau atmosfer dengan komposisi bahan mentah dibasahi atau dipanaskan atau keduanya dengan uap
atau air sebelum masuk ke dalam ekstruder. Model ekstruder ulir tunggal dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal
Gaya friksi antara bahan dan dinding barrel adalah satu-satunya gaya yang dapat mencegah
adonan untuk berputar pada ulir. Banyak mesin ulir tunggal memiliki potongan alur pada barrel yang
berfungsi untuk menaikkan adhesi antara adonan dengan dinding barrel. Perputaran ulir pada barrel
akan menyebabkan aliran kedua, disebut aliran berlawanan arah. Aliran ini tidak berkontribusi
terhadap pergerakan adonan sepanjang barrel tetapi menyirkulasikan adonan kembali dalam screw
flights dan menyebabkan beberapa aksi pengadukan dalam ekstruder. Selain dua aliran tersebut,
terdapat aliran ketiga yang dikenal sebagai aliran tekanan. Aliran ini menyebabkan pergerakan
mundur dalam barrel ekstruder yang menyebabkan mixing lebih lanjut pada produk. Kombinasi dari
ketiga aliran tersebut memberikan aliran bersih adonan keluar dari die (Ainsworth dan Ibanoglu
2006).
2.5.2. Perbedaan Ekstruder Ulir Tunggal dan Ganda.
Ekstuder ulir ganda 1.5-2 kali lebih mahal dibandingkan ulir tunggal. Hal ini disebabkan
kompleksitas ulir, gerakan, dan jaket energi transfer. Prakondisi dari adonan pada ekstruder ulir
tunggal memberikan setengah kebutuhan panas untuk pemasakan atau pengolahan, sisanya baru
diperoleh dari energi input mekanik. Ekstruder ulir ganda dapat mengolah pada level kelembaban
yang lebih rendah, hal ini mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk pengeringan lanjut
16
tambahan. Meskipun lebih mahal, ekstruder ulir ganda dapat melakukan pembersihan otomatis dari
adonan yang tertinggal pada barrel setelah proses ekstrusi selesai (Harper 1991).
Ekstruder ulir tunggal dan ganda diaplikasikan secara berbeda dalam industri pangan.
Misalnya, ekstruder ulir tunggal yang ekonomis dan memiliki metode yang efektif untuk proses termal
dan pembentukan pakan hewan. Di lain pihak, ekstruder ulir ganda digunakan untuk produksi snack
yang membutuhkan kontrol dan fleksibilitas yang lebih baik (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).
2.6. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY
Response Surface Methodology terdiri dari grup teknik yang digunakan dalam pembelajaran
secara empiris mengenai hubungan antara satu atau lebih respon yang terukur dan beberapa variabel
input (Box et al. 1978). Metode ini juga merupakan alat untuk memahami hubungan kuantitatif antara
variabelinput dan respon output dan seringkali dengan penekanan dalam optimasi suatu respon.
Metode ini terdiri dari kumpulan prosedur matematik dan statistik yang meliputi rancangan
percobaan, pemilihan dan penyesuaian model, serta optimasi dari model yang disesuaikan (Chen dan
Chen 2009). Metode RSM dapat digunakan pada software Design Expert 7.0.
Model yang sesuai seharusnya dapat merepresentasikan hampir semua rancangan yang
memungkinkan dengan faktor percobaannya di dalam area yang telah ditentukan. Langkah terakhir
adalah melakukan percobaan verifikasi berbasis kondisi optimal percobaan. Batas atas dan bawah dari
variabel independent dihasilkan melalui percobaan preeliminasi dan pendekatan praktis. Metode RSM
dapat dilakukan dalam satu langkah tanpa menentukan batas atas dan batas bawah terlebih dahulu
(Chen dan Chen 2009).
Lack of fit test digunakan untuk mengecek integritas dari regresi model dan menentukan
urutan model tersebut sudah benar atau belum. Nilai R2 menunjukkan jumlah dari kemungkinan
perkiraan untuk suatu respon melalui respon model yang sesuai, nilai ini berkisar antara 0 dan 1 (Chen
dan Chen 2009). Semakin besar nilai R2
tidak selalu dibutuhkan untuk mengindikasikan kedekatan
dari perkiraan respon karena penambahan satu variabel akan selalu menaikkan nilai R2. Nilai Adj-R
2
tidak akan meningkat dengan penambahan variabel yang secara statistik tidak signifikan. Nilai Pred-
R2
mengukur kemampuan dari regresi model untuk memprediksi sebuah observasi baru.
Prosedur dari RSM sendiri terdiri dari lima langkah, yaitu (Chen dan Chen 2009) :
1. Melakukan screening percobaan dan rancangan percobaan
2. Menyusun kondisi yang fungsional berdasarkan rancangan percobaan
3. Membangun RSM
4. Melakukan proses optimasi
5. Melakukan verifikasi terhadap pembuatan kondisi optimal
17
2.6.1. Perbedaan desain utama RSM
Terdapat tiga desain utama pada RSM, yaitu Central Composite, Box-Behnken, dan D-
Optimal. Berikut adalah perbedaan dari ketiga desain yang sering digunakan dalam penelitian
(Anonim 2005):
Central Composite Design
1. Menyusun desain dari 2 level faktorial dan memperbanyak dengan poin tengah dan poin
aksial
2. Central composite design memiliki 5 level untuk setiap faktor, walaupun hal ini dapat
dimodifikasi dengan memilih alfa = 1.0, CCD yang berpusat di muka, dengan 3 level untuk
setiap faktor
3. Dibuat untuk memperkirakan model yang kuadratik
4. Lebih tidak sensitif terhadap data yang hilang
5. Mereplikasi titik tengah yang menunjang kemampuan prediksi yang tepat mendekati nilai
tengah dari ruang desain, letak dimana titik optimasi awal berada
Box Behnken
1. Memiliki posisi yang spesifik dari titik desain
2. Selalu memiliki 3 level untuk setiap faktor
3. Dibuat untuk memperkirakan model kuadratik
4. Menunjang estimasi koefisien yang kuat yang dekat dengan titik tengah ruang desain, letak
dimana titik optimasi awal berada, tetapi lemah pada sudut dari kubus, letak dimana tidak ada
titik desain
5. Apabila ada data yang hilang, keakuratan dari data yang tersisa menjadi kritis terhadap
ketergantungan model. Model ini tidak disarankan digunakan bila terdapat data yang hilang
D-Optimal
1. Posisi dari titik desain dipilih secara matematis berdasarkan jumlah faktor dan model yang
diinginkan sehingga poin tersebut tidak berada pada posisi yang spesifik, tetapi tersebar di
ruang desain untuk memenuhi kriteria D-optimal
2. Untuk model kuadratik, faktor dapat memiliki tiga atau empat level
3. Dapat digunakan untuk membuat desain yang baik agar sesuai dengan linier, kuadratik, atau
kubik.
4. Apabila terdapat masalah, model yang diinginkan dapat diedit dengan menghilangkan istilah
yang tidak signifikan atau tidak ada. Hal ini akan menurunkan jumlah running yang
dibutuhkan
5. Dapat menambahkan pembatas ke ruang desain untuk meniadakan sebagian area yang tidak
dapat diambil responnya
6. D-optimal secara matematis memiliki poin untuk meminimalkan integrasi variasi dari
koefisien model sehingga didapatkan koefisien yang paling berharga
7. Umumnya, desain D-optimal memiliki 1-2 run yang lebih banyak dibandingkan Box Behnken
sehingga menunjang proteksi sedikit lebih besar terhadap koefisien model apabila terjadi
kehilangan beberapa data
18
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah sorgum varietas Numbu, tepung
jagung varietas P21, garam, dan air. Alat yang digunakan adalah mesin sosoh (Satake Grain Mill),
wadah perendaman sorgum, penggiling (pin disc mill), vibrating screen dengan ukuran lubang 100
mesh, ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal model Scientific Laboratory Single Screw Extruder
type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand, texture analyzer TA-XT2i, dan peralatan
lain untuk analisis. Sorgum yang digunakan berasal dari SEAMEO BIOTROP yang berlokasi di
Tajur, Bogor, sedangkan tepung jagung yang digunakan diperoleh dari SUA mi jagung IPB.
3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan April-Oktober 2012. Pembuatan tepung sorgum
dilakukan di Laboratorium SEAFAST Center IPB dan pembuatan mi dilaksanakan di Laboratorium
lini proses mi skala pilot plant PAU IPB. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Biokimia
Pangan dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen ITP IPB. Analisis elongasi dan cooking loss
dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pangan Departemen ITP IPB, sementara analisis warna
dilakukan di Laboratorium Departemen ITP. Selain itu, uji hedonik dilakukan di Laboratorium
Evaluasi Sensori PAU IPB.
3.3. METODE PENELITIAN
Secara garis besar, penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu produksi dan identifikasi
tepung sorgum, optimasi proses pembuatan mi sorgum, verifikasi proses, dan uji hedonik. Identifikasi
tepung sorgum meliputi analisis proksimat, pati, amilosa, dan profil gelatinisasi pati. Optimasi proses
pembuatan mi sorgum menggunakan respon cooking loss dan elongasi mi sorgum yang dilanjutkan
dengan verifikasi proses. Terakhir, dilakukan pengembangan pembuatan mi sorgum yang dicampur
dengan tepung jagung dan dilakukan uji hedonik terhadap dua sampel mi dengan proses optimal.
Rangkaian metode secara detail yang dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 5.
19
Gambar 5. Rangkaian metode penelitian optimasi proses ekstrusi mi sorgum
Mi sorgum
kering
Penjemuran 1 jam
Penyosohan 25 detik
Biji sorgum
Perendaman biji 2 jam
Pengeringan tepung
2 jam menggunakan matahari
Penggilingan dengan
pin disc mill
Pengayakan 100 mesh
Tepung sorgum
100%
Pengujian elongasi
dan cooking loss
Pemilihan proses ekstrusi
terbaik menggunakan
RSM D-Optimal
Mi sorgum
Pembuatan mi
sorgum dengan
proses optimum
Pembuatan mi basah
(variabel suhu & kec
ekstruder)
Air 55%
Garam 2%
Pengeringan mi dengan
kipas angin semalam
Pembuatan mi
sorgum-jagung
(60:40) dengan
proses optimum
Mi sorgum-
jagung
Penentuan komposisi gizi dan
profil gelatinisasi tepung
Uji hedonik
20
3.3.1. Pembuatan Tepung Sorgum Numbu
Pembuatan tepung sorgum dilakukan menggunakan teknik penepungan kering berdasarkan
tahapan yang dilakukan Muhandri (2012). Teknik penepungan ini terdiri atas beberapa tahap proses,
yaitu penyosohan biji, perendaman biji (conditioning), penjemuran biji sampai kadar air ± 35%,
penggilingan halus (pin disc mill dengan saringan 48 mesh), pengeringan tepung menggunakan
matahari selama 2 jam, pengayakan tepung (100 mesh), dan pengemasan tepung sorgum siap pakai.
Sejumlah tepung sorgum kemudian diambil sebagai sampel dalam analisis proksimat (kadar air,
protein, lemak, abu, pati, amilosa) dan profil gelatinisasi.
Proses conditioning bertujuan untuk memperlunak jaringan biji yang masih keras sehingga
lebih mudah saat digiling menggunakan disc mill (Putra 2008). Proses ini menghasilkan biji sorgum
dengan tektur yang lebih lunak dan terdapat retakan-retakan pada biji sehingga biji lebih mudah
hancur saat digiling. Kemudian, sorgum dijemur menggunakan matahari selama ± 1 jam hingga kadar
airnya sekitar 35% atau sorgum masih dalam keadaan setengah kering dan digiling. Jika kadar air
terlalu tinggi, biji akan menempel pada pin disc mill saat ditepungkan sehingga dapat menimbulkan
kemacetan pada alat. Sebaliknya, jika kadar air biji terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi
keras dan sulit untuk digiling menjadi tepung (Merdiyanti 2008). Tepung lalu dikeringkan
menggunakan matahari selama 2 jam sehingga diperoleh tepung sorgum yang kering. Langkah
terakhir pada proses penepungan adalah pengayakan menggunakan vibrating screen dengan ukuran
lubang ayakan 100 mesh. Tepung sorgum lalu dikemas menggunakan plastik PP dan disimpan di
refrigerator.
3.3.2. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum
Sebelum mencampur adonan, ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dinyalakan terlebih
dahulu dan diatur sesuai dengan suhu dan kecepatan ulir yang diinginkan. Hal ini ditujukan agar saat
adonan sudah selesai dicampur, proses produksi dapat langsung dilakukan karena ekstruder sudah siap
digunakan dan suhu yang diinginkan sudah tercapai. Adonan yang telah selesai dicampur tidak boleh
dibiarkan terlalu lama karena akan mempengaruhi konsistensi dan kelembaban adonan.
Pembuatan mi dilakukan dengan mencampur tepung sorgum, garam 2%, dan air 55%.
Konsentrasi penambahan garam yang digunakan mengacu pada peneitian optimasi formula mi jagung
oleh Muhandri (2012). Garam terlebih dahulu dilarutkan ke dalam air, kemudian ditambahkan sedikit
demi sedikit ke dalam adonan sambil diaduk menggunakan sendok pengaduk. Untuk meratakan
penyebaran air dalam adonan, adonan lalu dicampur menggunakan mixer selama ± 5 menit. Penentuan
kadar air dilakukan melalui trial and error untuk mendapatkan konsistensi adonan yang sesuai.
Sebagai acuan, digunakan adonan mi jagung sebagai contoh konsistensi adonan yang diinginkan.
Berdasarkan penelitian Muhandri (2012), jumlah air yang ditambahkan pada adonan mi
jagung dengan menggunakan ekstruder yang sama adalah 80%. Percobaan pertama dilakukan dengan
menambah 80% air ke dalam adonan. Hasil yang didapatkan adalah adonan terlalu basah serta
memiliki warna yang gelap dan kusam. Selanjutnya, percobaan dilakukan dengan menambahkan 50%
air, hasilnya adonan masih terlalu kering. Sebaliknya, adonan dengan kadar air 60% memiliki
konsistensi yang lebih basah dari contoh yang diinginkan. Oleh karena itu, penambahan air dilakukan
dengan mengambil titik tengah antara 50% dan 60%, yaitu 55%.
Selanjutnya, adonan dimasukkan ke dalam ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dengan
aplikasi dorongan. Variabel proses yang diamati meliputi suhu ekstruder (80-95oC) dan kecepatan ulir
21
(50-125 rpm). Untaian mi yang keluar sepanjang 1.5 meter pertama dibuang dan tidak digunakan
dengan asumsi bahwa adonan tersebut belum cukup stabil kualitasnya atau kondisi proses belum
steady state. Untaian mi lalu dipisahkan antar helai dan dibentuk menjadi persegi panjang dan
dikeringkan menggunakan kipas angin selama semalam.
Penentuan rancangan percobaan dan penentuan proses optimal dari mi sorgum dibantu
dengan program Response Surface Method D-Optimal menggunakan Design Expert 7.0,
menghasilkan 16 buah running dalam pembuatan mi sorgum kering, seperti yang tampak pada Tabel
3. Pengolahan mi dengan ekstrusi menggunakan variasi suhu dan kecepatan ekstruder. Variabel
respon yang digunakan adalah cooking loss dan elongasi. Untuk mendapatkan kedua data tersebut, mi
harus terlebih dahulu dimasak hingga matang. Penentuan waktu masak atau cooking time dilakukan
dengan memasak mi dan mencicipinya tiap 1 menit hingga mi sudah matang sempurna. Percobaan
dilakukan mulai dari menit ke-7. Hal ini mengacu waktu masak mi jagung, yaitu 7 menit. Proses
optimum ditentukan berdasarkan nilai cooking loss mi yang minimum.
Tabel 3. Rancangan percobaan optimasi proses mi sorgum kering
Model respon ditentukan mulai dari kubik sebagai model tertinggi sampai mean sebagai
model terendah. Dalam pemilihan model, program akan menyarankan model yang dapat kita gunakan.
Model yang sesuai adalah model yang memenuhi minimal tiga kriteria sebagai berikut (Anonim
2006):
1. Memiliki model yang “signifikan” yang ditandai dengan nilai p-value (Prob>F) kurang
dari 0.0500 untuk nilai signifikansi yang kuat. Jika nilai Prob>F diantara 0.0500 dan 1,
maka nilainya marjinal signifikan
2. Memiliki Lack of Fit yang “tidak signifikan” yang ditandai dengan nilai p-value
(Prob>F) lebih dari 0.0500. Nilai Lack of Fit yang signifikan berarti model polinimial
tidak sesuai dengan semua desain secara baik
3. Memiliki Pred R-Squared atau R2 prediksi yang reasonable agreement atau pernyataan
yang beralasan dengan nilai Adj R-Squared
No Suhu Ekstruder (oC) Kecepatan Ulir (rpm)
1 80 52-a
2 80 52-b
3 80 74
4 80 125-a
5 80 125-b
6 84 50
7 84 106
8 88 93
9 89 125
10 90 54
11 95 50-a
12 95 50-b
13 95 88-a
14 95 88-b
15 95 125-a
16 95 125-b
22
Analisis Sidik Ragam (ANOVA) menghasilkan dua persamaan, yaitu persamaan faktor kode
dan faktor aktual. Persamaan faktor kode merupakan persamaan dengan memasukkan nilai suhu dan
kecepatan ulir dengan mengkonversinya terlebih dahulu menjadi nilai diantara -1 dan 1. Suhu dan
kecepatan ulir paling rendah memiliki nilai -1, sedangkan suhu dan kecepatan ulir paling tinggi
bernilai 1. Oleh karena itu, persamaan ini hanya terbatas untuk memprediksi nilai respon input yang
berada dalam kisaran pengukuran, yaitu suhu ekstruder 80-95oC dan kecepatan ulir 50-125 rpm.
Persamaan aktual merupakan persamaan dengan input berdasarkan nilai yang sebenarnya. Tahapan
selanjutnya adalah verifikasi nilai cooking loss dan elongasi terhadap prediksi pada RSM. Hasil
prediksi disesuaikan dengan nilai respon pada Confident Interval dan Prediction Interval. Hasil
verifikasi yang diinginkan memiliki nilai yang dekat dengan nilai prediksi dan berada di dalam kisaran
CI dan PI.
3.3.3. Pembuatan Mi Sorgum-Jagung
Mi sorgum-jagung diproduksi melalui proses yang sama dengan mi sorgum, perbedaannya
terletak pada bahan bakunya saja. Bahan baku yang digunakan pada pembuatan mi sorgum-jagung
adalah tepung sorgum dan tepung jagung dengan perbandingan 60:40, air (55%), dan garam (2%).
Proporsi penambahan tepung jagung dilakukan dengan trial and error agar warna kuning pada mi
mirip dengan warna kuning pada mi terigu komersial.
Mengingat daya serap air dari kedua tepung ini berbeda, maka terlebih dahulu dilakukan uji
coba mengenai persentase jumlah air yang harus ditambahkan. Uji coba yang pertama dilakukan
dengan mengambil titik tengah dari kedua persentase air, yaitu 57.5% dari jumlah air pada mi jagung
60% dan mi sorgum 55%. Adonan tepung yang dihasilkan lebih basah yang membuatnya sulit untuk
dimasukkan ke dalam ekstruder. Kemudian, kedua tepung lalu ditambahkan ke dalam adonan
sehingga kadar air yang ditambahkan menurun hingga 55%. Pada kondisi demikian, karakteristik
adonan sudah sesuai dan memiliki tingkat kebasahan yang cukup untuk produk ekstrusi. Adonan
sorgum-jagung kemudian dimasukkan ke dalam ekstruder dengan suhu 95oC dan kecepatan ulir 125
rpm
3.3.4. Uji Hedonik Mi Sorgum
Uji hedonik dilakukan menggunakan dua sampel, yaitu mi sorgum dan mi sorgum-jagung
yang telah direhidrasi. Pengujian dilakukan pada 33 orang panelis tak terlatih. Penggunaan panelis
lebih sedikit dari yang biasa dilakukan (<70) karena sampel mi memiliki waktu masak yang lama (16
menit) sehingga total waktu untuk 1 kali pengujian sekitar 35 menit. Selain itu, pengujian harus segera
dilakukan setelah mi diangkat agar sifat fisik mi tidak banyak berubah. Hasil uji hedonik memberikan
informasi mengenai karakteristik sensori serta deskripsi atribut produk yang meliputi warna mi,
kekeruhan air rebusan mi, elongasi, kekerasan, dan rasa. Pengujian akan dilakukan di laboratorium
dengan uji rating hedonik skala 1-5. Skala yang digunakan dalam pengujian ini adalah :
1 = sangat tidak suka
2 = tidak suka
3 = moderat
4 = suka
5 = sangat suka
23
Selain menilai menggunakan angka, panelis juga diminta untuk mengisi kolom komentar
pada tiap atribut. Hal ini bertujuan untuk mengetahui alasan penilaian panelis pada atribut tertentu.
Selain itu, data komentar menjadi data kualitatif sederhana sebagai informasi tambahan. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) pada SPSS 17. Metode
analisis yang digunakan adalah Paired Sample T-Test yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan yang nyata terhadap dua sampel mi.
3.4. ANALISIS DAN PENGUKURAN
3.4.1. Analisis Fisik
3.4.1.1.Analisis profil gelatinisasi dengan RVA (Collado et al. 2001)
Analisis dilakukan menggunakan rapid visco analyzer. Tepung sorgum yang telah diketahui
kadar air basis basahnya akan dilarutkan dengan sejumlah air untuk mendapatkan suspensi pati yang
diinginkan. Suspensi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat RVA untuk selanjutnya akan
mengalami proses pemanasan dan pendinginan secara bertahap. Pemanasan akan dilakukan hingga
mencapai suhu 95oC, kemudian akan ditahan pada suhu tersebut selama beberapa menit. Selanjutnya,
dilakukan tahap pendinginan hingga suhunya turun sampai 50oC. Suhu tersebut juga akan
dipertahankan selama beberapa menit. Profil gelatinisasi pati dapat diamati dari kurva yang terbentuk
selama proses analisis yang meliputi suhu gelatinisasi, waktu gelatinisasi, waktu granula pecah, suhu
granula pecah, viskositas pada suhu 95oC, viskositas breakdown, viskositas pada suhu 50
oC, serta
viskositas setback.
3.4.1.2.Analisis daya serap air metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson 1969
dalam Ganjyal 2006)
Prosedur analisis daya serap air yaitu pati ditimbang sebanyak 1g (basis basah) (P1)
kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse (S) dan ditambahkan air destilasi sebanyak 5 ml.
Larutan pati didispersi sepenuhnya selama 30 detik menggunakan vortex mixer hingga merata.
Larutan ini kemudian disentrifugasi selama 10 menit pada 3000 rpm. Tabung kemudian dimiringkan
dengan posisi 45o selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dituang, selanjutnya berat tabung
ditimbang dan berat yang diperoleh digunakan sebagai nilai P2 yang akan digunakan dalam
perhitungan persen daya serap air.
Daya serap air (%) (3.1)
Keterangan :
P1 = bobot sampel awal
P2 = bobot tabung+sampel akhir
S = bobot tabung kosong
24
3.4.1.3.Analisis persen elongasi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i
Mi sorgum yang telah direhidrasi dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan
kecepatan probe 0,3 cm/s dan strain 90%. Persen elongasi dihitung dengan rumus :
Elongasi (%) (3.2)
3.4.1.4.Analisis cooking loss (Oh et al. 1985)
Penentuan cooking loss dilakukan dengan merebus sekitar 5 gram mi (A) dalam 150 ml air.
Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan
kembali selama 5 menit. Mi dikeringkan pada suhu 105oC sampai beratnya tetap, lalu ditimbang
kembali(B). Secara bersamaan, diambil sampel sekitar 5 gram untuk diukur kadar airnya. Cooking
loss dihitung dengan rumus berikut :
Cooking loss (%bk) (3.3)
3.4.2. Analisis Kimia
3.4.2.1.Analisis kadar air metode oven (AOAC 1995)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam
desikator selama 10 menit, lalu ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan
yang telah diketahui bobotnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC
selama kurang lebih 6 jam atau sampai bobotnya tetap ( 0.0005 g). Selanjutnya, cawan beserta isinya
didinginkan di dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air
dilakukan dengan rumus :
Kadar air (%bb) (3.4)
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (gram)
b = berat cawan (gram)
c = berat sampel awal (gram)
3.4.2.2. Analisis kadar abu (AOAC 1995)
Sampel dihancurkan dengan mortar atau blender kering sampai halus dan homogen. Cawan
porselen kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, kemudian dinginkan
cawan dalam desikator. Cawan yang telah dingin kemudian ditimbang dan dicatat bobotnya. Sampel
ditimbang sebanyak 2-3 gram ke dalam cawan tersebut kemudian diarangkan di atas hotplate sampai
sampel tidak lagi mengeluarkan asap. Cawan beserta sampel lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik
25
dan dipanaskan pada suhu 550oC sampai pengabuan sempurna (semalam). Setelah pengabuan selesai,
cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.
Kadar abu (3.5)
Kadar abu (3.6)
Keterangan
W = bobot contoh sebelum diabukan (g)
W1 = bobot contoh+cawan sesudah diabukan (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)
3.4.2.3. Analisis kadar protein metode mikro-kjeldahl (AOAC 1995)
Sampel ditimbang sebanyak 100-250 mg ke dalam labu kjeldahl, kemudian ditambahkan
1.0±0.1 gram K2SO4, 40±10 mg HgO dan 2±0.1 ml H2SO4. Sampel lalu didihkan zampai cairan
menjadi jernih selama 1-1.5 jam, lalu didinginkan. Air destilata ditambahkan secara perlahan melalui
dinding labu dan digoyang pelan agar kristal yang terbentuk larut kembali.
Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml
air destilata, kemudian ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3. Erlenmeyer yang berisi
5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator metilen red-metilen blue diletakkan di bawah kondensor.
Ujung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Destilasi dilakukan hingga diperoleh sekitar
50 ml kondensat.
Kondensat lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandarisasi hingga terjadi
perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan metode yang sama
seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus :
%N (3.7)
Kadar protein (3.8)
Kadar protein (3.9)
3.4.2.4.Analisis kadar lemak metode soxhlet (AOAC 1995)
Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama sekitar 15 menit, kemudian
dinginkan dan ditimbang.Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam selongsong
kertas saring yang telah dialasi dengan kapas. Selongsong lalu dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang
telah dihubungkan ke labu lemak. Refluks dilakukan menggunakan heksana sebagai pelarut selama ±6
jam, kemudian heksana disuling dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu
26
105oC. Labu lemak yang telah kering didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang hingga
beratnya konstan.
Kadar lemak (3.10)
Kadar lemak (3.11)
Keterangan :
W = bobot sampel awal (g)
W1 = bobot contoh+cawan sesudah soxhlet (g)
W2 = bobot labu lemak kosong (g)
3.4.2.5.Analisis kadar karbohidrat by difference
Karbohidrat (%bb) = 100 - (%bbair + %bb abu + %bb protein + %bb lemak) (3.12)
3.4.2.6.Analisis kadar pati metode Luff Schoorl, modifikasi AOAC 1995
Sampel sebanyak 0.1 gram ditambahkan dengan 5 ml HCl 25% dan 25 ml air destilata.
Larutan kemudian dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 100oC selama 2.5 jam. Larutan lalu
dinetralkan dengan NaOH 50% hingga pH larutan 7, kemudian ditera sampai volumenya 100 ml dan
disaring menggunakan kertas saring.
Sebanyak 5 ml larutan sampel ditambahkan dengan 5 ml larutan Luff Schoorl. Analisis juga
dilakukan pada blanko yang menggunakan aquades untuk menggantikan sampel. Kemudian, didihkan
larutan di atas hotplate selama 10 menit sampai terbentuk endapan merah bata.Setelah selesai, cepat-
cepat dinginkan larutan, lalu tambahkan 3 ml KI 20% dan 5 ml H2SO4 26.5% dengan hati-hati.
Selanjutnya, titrasi menggunakan Na-thiosulfat 0.1 N dengan menggunakan indikator pati 2-3 tetes
yang ditambahkan saat titrasi hampir berakhir. Tabel konversi volume dapat dilihat pada Lampiran 22.
Kadar pati (%bb) (3.13)
3.4.2.7. Analisis kadar amilosa dan amilopektin (Apriyantono et al. 1989)
3.4.2.7.1. Pembuatan kurva standar
Sebanyak 40 mg amilosa murni ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu
tambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih
sekitar 10 menit sampai semua amilosa membentuk gel. Setelah didinginkan, larutan dipindahkan
secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera.
Larutan lalu dipipet masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml, kemudian
ditambahkan dengan asam asetat 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml serta 2 ml larutan iod.
Larutan kemudian ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera, selanjutnya didiamkan selama 20
menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Setelah
itu, dibentuk kurva standar sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi
(sumbu y) dan ditentukan persamaan kurva standar tersebut.
27
3.4.2.7.2. Analisis sampel
Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi kemudian dipanaskan
selama 10 menit untuk menggelatinisasi pati. Setelah didinginkan, pasta pati dimasukkan ke dalam
labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan air destilata. Sampel lalu dipipet sebanyak
5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, selanjutnya ditambahkan dengan 1 ml asam asetat 1
N, 2 ml larutan iod, dan air destilata hingga tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan
diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Nilai absorbansi
sampel lalu dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk mendapatkan konsentrasi amilosa
(C). Selanjutnya, nilai C dimasukkan ke dalam persamaan (3.14) untuk menentukan kadar amilosa
sampel.
Kadar amilosa (%bb) (3.14)
Keterangan :
C = konsentrasi amilosa sampel dari kurva standar (mg/ml)
V = volume akhir contoh (ml)
FP = Faktor pengenceran
W = berat contoh (mg)
Kadar amilopektin (%bb) = kadar pati (%bb) - kadar amilosa (%bb) (3.15)
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. KARAKTERISTIK TEPUNG SORGUM
4.1.1. Komposisi kimia
Analisis proksimat dilakukan sebagai langkah untuk mengidentifikasi komposisi gizi dari
tepung sorgum yang diproduksi. Kandungan air pada suatu bahan pangan dapat mempengaruhi
kualitas bahan itu sendiri. Penambahan atau pengurangan jumlah air dapat memicu adanya kerusakan
fisik, kimia, ataupun mikrobiologi. Pada bahan pangan berupa tepung, peningkatan kadar air dapat
memicu adanya fermentasi tepung oleh mikroorganisme sehingga kualitasnya menurun dan umur
simpannya berkurang. Kadar air pada tepung yang dihasilkan adalah 13.52% (bb). Hal ini masih
sesuai dengan SNI (2009) yang menyatakan bahwa kadar air tepung terigu maksimal 14.5%. Dalam
hal ini, tepung terigu digunakan sebagai acuan karena belum ada SNI mengenai tepung sorgum. Hasil
analisi proksimat tepung sorgum Numbu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis proksimat tepung sorgum varietas Numbu (% bk)
Air (%bb) Protein Lemak Abu Karbohidrat Pati Amilosa
13.52±0,09 8,50±0,27 2,42±0,11 0,84±0,06 88.23 82.18±0.00 22.46±1.23
Berdasarkan analisis proksimat pada tepung sorgum, diketahui bahwa kandungan protein
pada tepung sorgum adalah 8.50% (bk). Nilai protein tersebut masih berada dalam kisaran protein
pada tepung sorgum hasil produksi B2P4, yaitu 7-9%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan protein
pada tepung sorgum termasuk normal dibandingkan tepung sorgum komersial yang diproduksi oleh
B2P4.
Penentuan kadar lemak dihasilkan dengan menggunakan metode soxhlet. Metode ini akan
menentukan kandungan lemak kasar yang tidak hanya meliputi lemak atau minyak tetapi juga
komponen-komponen larut lemak atau pelarut organik seperti vitamin larut lemak, pigmen, ataupun
karotenoid. Kadar lemak pada tepung sorgum adalah 2.42% (bk). Kadar ini cukup tinggi karena
diduga masih adanya lembaga pada tepung sorgum yang sulit dipisahkan saat pengayakan tepung.
Abu dalam suatu bahan pangan menunjukkan besarnya residu anorganik dari proses
pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan
menunjukkan besarnya mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Analisis kadar abu
pada penelitian ini dilakukan melalui pengabuan kering di dalam tanur pengabuan. Nilai kadar abu
dari tepung sorgum adalah 0.84% (bk).
Kandungan karbohidrat ditentukan berdasarkan by difference. Perhitungan dengan cara ini
adalah penentuan kadar karbohidrat secara kasar. Kadar karbohidrat pada tepung sorgum adalah
88.23% (bk) yang menunjukkan karbohidrat sebagai kandungan yang paling dominan pada tepung
sorgum.
Kandungan pati yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan karakteristik dari tepung itu
sendiri. Hal ini disebabkan perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin pada pati yang berbeda
akan memiliki karakteristik yang berbeda pula. Penelitian Mercier (1977) dalam Ainsworth dan
Ibanoglu (2006) mengenai pati kentang menunjukkan bahwa ekstrusi cenderung memecah ikatan
14 dari amilosa dan bukan rantai terluar dari amilopektin.
29
Kadar amilosa pada tepung sorgum adalah 22.46% (bk). Menurut Tam et al. (2004), kadar
amilosa normal pada tepung yang baik untuk diolah menjadi mi berkisar antara 20-30%. Pada kisaran
tersebut, gelatinisasi dapat terjadi pada suhu <100oC. Analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar
amilosa tepung sorgum Numbu berada dalam kisaran 20-30% sehingga dapat digunakan sebagai
bahan baku mi non terigu.
Hasil analisis proksimat secara keseluruhan menunjukkan bahwa komposisi gizi tepung
sorgum varietas Numbu sesuai untuk dijadikan bahan baku mi, terutama dalam hal kandungan
amilosa. Selain itu, Numbu merupakan salah satu varietas sorgum yang unggul dengan tangkai yang
kompak dan besar, tahan terhadap rebah, penyakit karat, dan penyakit bercak daun (Suarni 2004). Hal
ini membuat Numbu sudah banyak dibudidayakan di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya
Banten dan Bogor sehingga mudah untuk memperoleh bahan baku mi.
4.1.2. Profil Gelatinisasi
Analisis profil gelatinisasi pati dari tepung sorgum diamati menggunakan alat Rapid Visco
Analyzer. Prinsip dari RVA sendiri hampir sama dengan Brabender Amylograph untuk mengetahui
proses gelatinisasi pati ketika suspensi pati dipanaskan dan didinginkan dengan suhu dan waktu yang
telah ditentukan. Umumnya, suspensi pati yang tergelatinisasi akan mengental selama proses
pemanasan dan membentuk gel setelah didinginkan. Perubahan sifat fisik dari suspensi pati akan
mempengaruhi viskositas atau kekentalan dari suspensi pati tersebut. Hasil analisis reologi tepung
sorgum Numbu dapat dilihat pada Tabel 5. Kurva RVA dari tepung sorgum Numbu dapat dilihat pada
Gambar 7.
Tabel 5. Profil gelatinisasi tepung sorgum Numbu
Parameter Nilai
Waktu gelatinisasi (menit) 5.30
Suhu gelatinisasi (oC) 77.53
Waktu granula pecah (menit) 8.24
Viskositas maksimum (cP) 3167.50
Suhu granula pecah (oC) 94.00
Viskositas setelah holding suhu 95oC (cP) 1743.50
Viskositas breakdown (cP) 1424.00
Viskositas setelah holding suhu 50oC (cP) 4101.00
Viskositas setback (cP) 2357.50
Waktu gelatinisasi menunjukkan saat granula pati mulai mengembang karena adanya
penyerapan air sehingga viskositas suspensi pati mulai naik. Waktu gelatinisasi dibaca pada tahap
pemanasan saat kurva RVA mulai naik yang menunjukkan peningkatan viskositas. Waktu gelatinisasi
tepung sorgum Numbu adalah 5.30 menit. Selain waktu gelatinisasi, suhu gelatinisasi juga merupakan
karakteristik yang dapat diamati saat kurva RVA mulai naik. Suhu gelatinisasi tepung sorgum Numbu
adalah 77.53oC yang berarti granula pati akan mulai kehilangan sifat birefringence-nya pada suhu
tersebut. Rancangan percobaan pada optimasi proses menetapkan suhu 80oC sebagai suhu minimal
untuk membuat pati sorgum tergelatinisasi melalui proses ekstrusi.
30
Gambar 6. Kurva RVA tepung sorgum varietas Numbu
Viskositas maksimum adalah viskositas tertinggi yang dapat dicapai pasta pati sebelum
granula pati pecah akibat tidak mampu lagi menahan air yang masuk ke dalam granula tersebut.
Viskositas maksimum dari sorgum Numbu adalah 3167.50 cP. Semakin tinggi viskositas maksimum
menunjukkan pasta pati dapat membentuk adonan yang semakin kental dan sulit untuk mengalir. Suhu
pada saat tercapainya viskositas maksimum disebut suhu granula pecah yang berada pada 94oC.
Setelah granula pecah, viskositas dari pasta pati akan menurun. Pemanasan tetap dilanjutkan
hingga suhu adonan mencapai 95oC yang merupakan suhu tertinggi pada alat RVA. Selanjutnya, suhu
akan dipertahankan tetap berada pada 95oC dan dibaca kembali viskositasnya. Selisih dari viskositas
maksimum dan setelah holding pada suhu 95oC disebut viskositas breakdown. Viskositas ini
menunjukkan tingkat kestabilan pasta pati selama proses pemanasan. Semakin stabil pasta pati, maka
nilai viskositas breakdown-nya akan semakin kecil. Secara berturut-turut, viskositas tepung Numbu
setelah holding suhu 95oC dan viskositas breakdown-nya adalah 1743.50 cP dan 1424 cP.
Setelah pemanasan, pasta pati akan didinginkan sampai suhu 50oC. Viskositas pada suhu
tersebut dibaca kembali dan varietas dengan viskositas Numbu memiliki nilai 4101.00 cP. Selisih
antara viskositas maksimum dengan viskositas setelah holding suhu 50oC disebut sebagai viskositas
setback. Viskositas setback menunjukkan tingkat kecenderungan proses retrogradasi pasta pati.
Viskositas setback dari Numbu tergolong cukup besar (2357.50 cP) yang menunjukkan bahwa
kecenderungan retrogradasi tepung sorgum Numbu juga besar. Retrogradasi dalam hal ini akan
menentukan struktur mi yang dihasilkan (Tam et al. 2004).
4.2. FORMULA TERPILIH ADONAN MI SORGUM
Pembuatan adonan mi sorgum dimulai dengan menimbang terlebih dahulu bahan-bahan yang
akan digunakan, yaitu tepung sorgum, garam, dan air. Kadar garam yang ditambahkan adalah 2% dari
berat tepung yang akan digunakan. Hal ini mengacu pada penelitian optimasi formula mi jagung
Muhandri (2012). Fungsi garam dapur (NaCl) adalah memperkuat adonan dan mengurangi
penyerapan air. Penggunaan kadar garam di atas 3% dapat merusak reologi mi menjadi kurang elastis,
sehingga disarankan penggunaan NaCl tidak lebih dari 2% (Wu et al. 2006). Di sisi lain, garam dapur
juga akan menurunkan kecepatan gelatinisasi pati (Mudjisihono dan Suprapto 1987) sehingga pati
akan tergelatinisasi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan suspensi pati tanpa garam.
31
Untuk tiap perlakuan, digunakan tepung sorgum sebanyak 160 gram. Banyaknya jumlah air
yang digunakan dipengaruhi kadar air dari tepung sorgum sendiri dan kemampuan tepung sorgum
untuk menyerap air atau biasa disebut daya serap air. Sebelumnya, dilakukan percobaan terlebih
dahulu untuk menentukan besarnya air yang ditambahkan pada tepung sorgum. Analisis dilakukan
secara visual dengan membandingkan konsistensi adonan mi sorgum dengan mi jagung pada
penelitian Muhandri (2012). Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil uji coba penambahan air ke dalam adonan mi
Persentase air yang
ditambahkan
Karakteristik adonan
50%
Adonan masih terlalu kering dan belum cukup basah, warna adonan cerah.
Kemungkinan jumlah air tidak cukup untuk menggelatinisasi pati di dalam
ekstruder
55% Adonan memiliki tingkat kebasahan yang cukup, warna adonan cukup cerah,
mirip dengan konsistensi adonan mi jagung
60%
Adonan terlalu basah dan memiliki warna yang terlalu gelap, kemungkinan
akan menghasilkan produk dengan warna yang lebih gelap dan sulit
dimasukkan ke dalam ekstruder
80% Adonan sangat basah dan menggumpal
Pengaturan kadar air bahan akan berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan.
Peran air dalam proses ekstrusi adalah mempengaruhi derajat gelatinisasi dan pengembangan produk
(Miler 1985 dalam Polina 1995). Ketersediaan air di dalam adonan akan mempengaruhi banyak
tidaknya pati yang akan tergelatinisasi. Untuk dapat tergelatinisasi, granula pati harus menyerap air
terlebih dahulu. Apabila kadar air terlalu sedikit, proses gelatinisasi pati tidak optimal karena hanya
sedikit pati yang dapat tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi tekstur mi, cooking loss, dan
elongasi mi.
Penambahan air dalam bahan baku dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
penambahan air secara langsung, penambahan uap air, ataupun dengan mencampurkan bahan-bahan
sehingga berbentuk emulsi atau sirup (Muchtadi et al. 1988). Dalam penelitian ini, air ditambahkan
secara ke dalam adonan.
Menurut penelitian Muhandri (2012), jumlah air yang ditambahkan pada adonan mi jagung
adalah 80%. Penambahan sebanyak 55% air ke dalam adonan mi sorgum menunjukkan bahwa sorgum
membutuhkan lebih sedikit air untuk menghasilkan adonan yang memiliki konsistensi yang sama. Hal
ini dibuktikan dengan adanya analisis daya serap air terhadap tepung jagung dan tepung sorgum yang
dapat dilihat pada Tabel 7. Tepung sorgum memiliki daya serap air 20% lebih kecil dibandingkan
tepung jagung.
Daya serap air menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat air. Menurut Gomez dan
Aguilera (1983), nilai daya serap air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas
pembentukan gel dari makromolekul pati, yaitu pati tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Semakin banyak
pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan produk menyerap air. Elliason
(1981) menyatakan bahwa granula pati dapat basah dan secara spontan dapat terdispersi dalam air atau
minyak. Hal ini menunjukkan bahwa granula memiliki gugus hidrofilik atau hidrofobik. Jagung
memiliki grup hidrofilik yang lebih banyak dibandingkan tepung sorgum sehingga memiliki daya
serap air yang lebih besar.
32
Tabel 7. Daya serap air tepung sorgum dan tepung jagung
Sampel Daya serap air (%) Rata-rata Standar deviasi
Tepung sorgum 1 94.05
94.35 0.42 2 94.65
Tepung jagung 1 119.10
118.92 0.25 2 118.74
Pemasukan adonan ke dalam ekstruder dilakukan sedikit demi sedikit sambil mendorong
adonan menggunakan batang kayu kecil. Hal ini dilakukan dengan merujuk pada penelitian Muhandri
dan Subarna (2009) dalam Muhandri (2012) yang menyatakan bahwa pemberian dorongan pada
pembuatan mi jagung dapat menghasilkan adonan yang lebih baik dengan nilai cooking loss lebih
rendah dan elongasi yang lebih besar dibandingkan tanpa dorongan. Mi basah yang sudah dicetak
kemudian dikeringkan dengan kipas angin selama semalam. Pengeringan dengan kipas angin
bertujuan untuk memberikan kesempatan agar penguapan air dapat terjadi secara perlahan dan
menghindari kemungkinan terjadinya cracking atau produk patah-patah akibat langsung dikeringkan
dengan udara panas.
Analisis sampel mi sorgum terdiri dari analisis fisik yang meliputi analisis cooking loss dan
elongasi. Mi yang diproses dengan suhu ekstruder 80oC memiliki waktu masak 12 menit sedangkan
mi yang diproses dari suhu ekstruder 95oC memiliki waktu masak 16 menit pada air mendidih
(100oC). Perbedaan ini disebabkan mi yang diproses dengan suhu ekstruder lebih rendah memiliki
diameter yang lebih kecil dibandingkan mi dengan suhu ekstruder yang lebih tinggi. Secara
keseluruhan, mi sorgum kering memiliki waktu masak yang lebih cepat dibandingkan spagetti yang
dibuat dari hard wheat, yaitu 19.84 menit (Nasehi et al. 2009) dan jauh lebih lama dibandingkan mi
instan, yaitu 3-4 menit.
4.3. KARAKTERISTIK MI SORGUM
Hasil analisis cooking loss dan elongasi dari mi sorgum yang telah direhidrasi selanjutnya
dimasukkan ke dalam tabel Response Surface Method D-Optimal pada Design Expert 7.0. Masing-
masing parameter respon selanjutnya akan dibuat permodelan secara polinomial mulai dari level yang
paling tinggi yaitu kubik sampai mean yang merupakan level yang paling rendah. Tabel 8
menunjukkan hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum.
Tabel 8. Hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum
Respon Model p value (Prob>F)
R2 Adj R
2 Pred R
2
Adeq
Precision
Persamaan
aktual Model Lack of Fit
cooking
loss Linear
0.0066
(sig)
0.1550
(not sig) 0.5383 0.4672 0.2913
6.958
(>4.0)
y = 53.78577
-0.42183A
-0.041200B
Elongasi 2FI 0.0058
(sig)
0.5715
(not sig) 0.6339 0.5424 0.3558
7.540
(>4.0)
y = 461.35053
-2.05876A
-11.76695B
+0.13112AB
*Keterangan : A = suhu ekstruder (oC), B = kecepatan ulir ekstruder (rpm)
33
4.3.1. Cooking loss
Cooking loss dapat diartikan sebagai jumlah padatan mi yang terlarut ke dalam air rebusan
selama proses pemasakan. Pengukuran ini mengindikasikan kemampuan mi untuk mempertahankan
integritas strukturalnya selama proses pemasakan (Liu 2009). Analisis ini dilakukan dengan merebus
sebanyak 5 gram mi dengan panjang sekitar 10 cm dalam 150 ml air mendidih di dalam gelas piala.
Panjang untaian mi memiliki pengaruh terhadap besar kecilnya nilai cooking loss. Panjang mi yang
terlalu pendek akan menyebabkan luas permukaan mi yang terekspos oleh air saat dimasak menjadi
lebih besar sehingga semakin banyak partikel yang akan larut dan nilai cooking loss-nya akan semakin
besar. Waktu masak dihitung mulai dari saat memasukkan mi ke dalam air yang sudah mendidih
sampai meniriskan mi. Seiring dengan berjalannya waktu, air rebusan mi akan mulai berwarna kuning
keruh akibat adanya padatan terlarut yang terlepas dari struktur mi. Hasil analisis cooking loss dapat
dilihat pada Tabel 10.
Saat mi diangkat, mi akan terasa lengket dan saling menempel satu sama lain. Pencucian mi
dengan air akan membuat mi menjadi lebih licin dan saling terpisah antar helai. Berdasarkan data pada
Tabel 8, nilai cooking loss dari 16 sampel mi beragam dan umumnya sedang (>10%). Hal ini
menunjukkan jumlah padatan yang terlarut saat dimasak cukup banyak, terutama pada mi dengan
perlakuan suhu 80oC dan kecepatan ulir 74 rpm. Pada variasi tersebut, nilai cooking loss mencapai
24.09% yang menunjukkan bahwa sebanyak 24.09% dari total padatan yang berada di dalam mi larut
ke dalam air rebusan mi selama proses pemasakan. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah nilai
yang minimal untuk mendapatkan mi dengan tekstur matang yang tidak jauh berbeda dari saat
keringnya.
Hasil analisis ANOVA pada respon cooking loss menyatakan bahwa model yang mampu
memenuhi tiga kriteria yang telah disebutkan adalah Linear Manual. Model memiliki nilai p-value
(Prob>F) lebih kecil dari 0.05 (0.0066) sehingga model tersebut memiliki signifikansi yang kuat
sebagai model respon cooking loss. Nilai Lack of Fit yang lebih dari 0.10 (0.1550) menunjukkan
bahwa model polinimial sudah sesuai dengan semua desain secara baik. Apabila Lack of Fit masih
signifikan, maka model polinimial dapat dinaikkan atau dilakukan transformasi model (Anonim
2005).
Pengecekan kesesuaian model dapat dilihat dengan membandingkan nilai cooking loss dari
data penelitian dengan prediksi RSM. Misalnya, pada suhu ekstruder 80oC dan kecepatan ulir 52 rpm,
data penelitian menunjukkan nilai cooking loss mi sorgum sebesar 15.30%, sedangkan prediksi RSM
sebesar 17.90%. Pada titik lain, nilai cooking loss pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125
rpm dari data penelitian adalah 7.68%, sedangkan prediksi RSM sebesar 8.56%. Perbedaan nilai dari
dua data tersebut cukup kecil (sekitar 2%) sehingga masih dapat ditoleransi. Penggunaan RSM pada
penelitian ini digunakan untuk mengetahui model respon cooking loss pada pembuatan mi sorgum
berdasarkan data penelitian yang sudah ada dan menentukan prediksi respon dari penggunaan suhu
ekstruder dan kecepatan ulir yang berbeda. Dengan kata lain, pemilihan model akan disesuaikan
dengan kecenderungan dari data penelitian yang sudah ada untuk menggambarkan pengaruh suhu dan
kecepatan ulir terhadap cooking loss mi sorgum. Nilai prediksi mungkin akan berbeda jika model
yang digunakan juga berbeda, sehingga pemilihan model diusahakan dapat menggambarkan respon
yang mendekati nilai yang sebenarnya.
34
Tabel 9. Hasil analisis cooking loss (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan
Run Suhu (oC) Kecepatan Ulir (rpm) Cooking loss (%bk)
1 80 52-a 15.47
2 80 52-b 15.12
3 80 74 24.09
4 80 125-a 11.63
5 80 125-b 12.72
6 84 50 15.27
7 84 106 17.31
8 88 93 13.64
9 89 125 12.98
10 90 54 15.41
11 95 50-a 12.58
12 95 50-b 8.65
13 95 88-a 8.90
14 95 88-b 12.01
15 95 125-a 5.33
16 95 125-b 10.02
Nilai R2 dari model respon cooking loss adalah 0.5383 yang berarti 53.83% dari data yang
ada dapat dijelaskan oleh model yang dipilih, yaitu linear. Model tersebut dapat memenuhi tiga
kriteria yang harus dipenuhi serta memiliki nilai R2
yang paling tinggi dibandingkan model lainnya.
Nilai Adj R2dan Pred R
2 dari respon cooking loss tergolong rendah, yaitu 0.4672 dan 0.2913. Hal ini
menunjukkan bahwa model tersebut hanya mampu menggambarkan 46.72% dari nilai aktual dan
29.13% dari nilai prediksi. Kedua nilai R2
ini sebaiknya lebih dari 0.60, tetapi hal ini tidak menjadi
suatu keharusan. Apabila desain ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor proses yang signifikan,
maka nilai dari kedua R2
tersebut tidak terlalu berpengaruh. Faktor yang signifikan tetap merupakan
faktor yang benar-benar signifikan meskipun model polinimialnya tidak sempurna (Anonim 2005).
Hal yang paling utama adalah nilai Adj R2dan Pred R
2 memiliki reasonable agreement atau pernyataan
yang beralasan sehingga model linear yang dipilih sudah cukup baik untuk menggambarkan respon
cooking loss dari mi sorgum.
Berdasarkan persamaan aktual hubungan antara cooking loss, suhu, dan kecepatan ulir
ekstruder, baik suhu maupun kecepatan ulir merupakan dua faktor yang secara signifikan
mempengaruhi nilai cooking loss mi sorgum. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Charutigon et al. (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu barrel dari 70oC
ke 90oC dapat menurunkan cooking loss mi beras sebanyak 7% (dari 14.2% menjadi 7.2%). Wang et
al. (2012) juga menyatakan peningkatan suhu barrel mengurangi cooking loss. Oleh karena itu,
semakin tinggi suhu ekstruder, maka akan semakin rendah nilai cooking loss dari produk mi sorgum.
Hal ini disebabkan suhu yang lebih tinggi dapat menggelatinisasi adonan dengan lebih baik
dibandingkan suhu rendah.
Faktor yang paling mempengaruhi cooking loss adalah adanya pati tergelatinisasi yang
ikatannya lemah di permukaan mi sehingga saat mi dimasak, pati tersebut larut ke dalam air rebusan
(Charutigon et al. 2007). Penggunaan suhu yang tinggi akan meningkatkan derajat gelatinisasi
35
sehingga mengurangi jumlah padatan terlarut saat pemasakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Chiang
(1975) yang menyatakan derajat gelatinisasi meningkat tajam dengan peningkatan suhu, saat kadar air
bahan 24-27%, tetapi meningkat lebih lambat saat kadar air bahan 18-21%.
Berdasarkan penampang tiga dimensi pada Gambar 7, warna merah menunjukkan nilai
cooking loss yang tinggi sedangkan warna biru menunjukkan nilai cooking loss yang rendah.
Penampang tiga dimensi dari respon cooking loss menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan
kecepatan ulir ekstruder akan menghasilkan mi dengan nilai cooking loss yang semakin rendah. Di sisi
lain, suhu ekstruder yang rendah dan kecepatan ekstruder yang tinggi akan menghasilkan mi dengan
nilai cooking loss yang lebih besar.
Gambar 7. Penampang tiga dimensi respon cooking loss
Kecepatan ulir secara signifikan mempengaruhi gelatinisasi pati. Hasil penelitian ini sesuai
dengan pendapat Wang et al. (2012) yang menyatakan bahwa peningkatan kecepatan ulir dapat
meningkatkan nilai b (warna kuning), rasio ekspansi, persentase pati tergelatinisasi, pati resisten,
kekompakan dan kelengketan permukaan, waktu masak, dan menurunkan nilai a dan bobot masak.
Lampiran 24 menunjukkan sebaran data cooking loss mi sorgum.
4.3.2. Elongasi
Elongasi mi menunjukkan seberapa besar pertambahan panjang mi saat mi ditarik sampai
putus. Persen elongasi menunjukkan seberapa besar maksimal pertambahan mi yang dapat dicapai
sampai mi putus dibandingkan dengan panjang awal mi tersebut. Elongasi dipengaruhi oleh kekuatan
dan kekompakan pada struktur mi terhadap perentangan. Analisis elongasi dilakukan dengan
menggunakan instrumen Texture Analyzer dengan menggunakan strain 90% dan panjang mi yang
digunakan sekitar 25-30 cm.
Kedua ujung untaian mi dililitkan pada probe dan alat akan menarik salah satu ujung mi
tersebut. Mi yang dapat digunakan untuk analisis elongasi tidak boleh berada pada kondisi yang licin
sehingga setelah mi direbus, mi harus ditiriskan sampai permukaan mi sudah tidak licin lagi (±10
menit). Lilitan mi terhadap probe juga harus kuat agar mi tidak selip. Pemilihan untaian mi untuk
analisis ini dilakukan pada mi yang terbebas dari cracking atau memiliki struktur yang homogen
sehingga hasil pengukuran sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Hasil analisis elongasi dapat
dilihat pada Tabel 10.
Untuk variabel respon elongasi, model 2FI dengan proses seleksi manual merupakan model
yang paling sesuai. Model memiliki nilai p-value (Prob>F) lebih kecil dari 0.05 (0.0058) sehingga
80 83.75
87.5 91.25
95 50 69
88 106
125
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00 KPAP(%)
Suhu (oC)
Kec. ulir (rpm)
36
model tersebut memiliki signifikansi yang kuat untuk menggambarkan model polinimial untuk respon
elongasi. Nilai Lack of Fit yang lebih dari 0.10 (0.5715) menunjukkan bahwa model polinimial sudah
sesuai dengan semua desain secara baik. Apabila Lack of Fit masih signifikan, maka model polinimial
dapat dinaikkan atau dilakukan transformasi model. Sebuah model polinimal terkadang memang tidak
bisa mendeskripsikan sistem dengan lebih baik (Anonim 2005).
Tabel 10. Hasil analisis elongasi (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan
Run Suhu (oC) Kecepatan Ulir (rpm) Elongasi (%)
1 80 52-a 186.53
2 80 52-b 282.53
3 80 74 175.88
4 80 125-a 122.55
5 80 125-b 104.87
6 84 50 243.89
7 84 106 283.42
8 88 93 189.02
9 89 125 330.75
10 90 54 316.11
11 95 50-a 382.09
12 95 50-b 237.49
13 95 88-a 266.81
14 95 88-b 328.76
15 95 125-a 360.56
16 95 125-b 339.70
Nilai R2 dari model respon elongasi adalah 0.6339 yang berarti 63.39% dari data yang ada
dapat dijelaskan oleh model yang dipilih, yaitu 2FI. Model tersebut dapat memenuhi tiga kriteria yang
wajib dipenuhi serta memiliki nilai R2
yang paling tinggi dibandingkan model lainnya. Nilai Adj R2dan
Pred R2 dari respon elongasi tergolong masih rendah, yaitu 0.5424 dan 0.3558. Hal ini menunjukkan
bahwa model tersebut hanya mampu menggambarkan 54.24% dari nilai aktual dan 35.58% dari nilai
prediksi. Kedua nilai R2
ini sebaiknya lebih dari 0.60, tetapi hal ini tidak menjadi suatu keharusan.
Apabila desain ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor proses yang signifikan, maka nilai dari
kedua R2
tersebut tidak terlalu berpengaruh. Faktor yang signifikan tetap merupakan faktor yang
benar-benar signifikan meskipun model polinimialnya tidak sempurna (Anonim 2005). Hal yang
paling utama adalah nilai Adj R2dan Pred R
2 memiliki reasonable agreement atau pernyataan yang
beralasan sehingga model 2FI yang dipilih sudah cukup baik untuk menggambarkan respon elongasi
dari mi sorgum.
Pengecekan kesesuaian model dapat dilihat dengan membandingkan nilai elongasi dari data
penelitian dengan prediksi RSM. Misalnya, pada suhu ekstruder 80oC dan kecepatan ulir 125 rpm,
data penelitian menunjukkan nilai elongasi mi sorgum sebesar 113.71%, sedangkan prediksi RSM
sebesar 136.98%. Pada titik lain, nilai elongasi pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm
dari data penelitian adalah 350.13%, sedangkan prediksi RSM sebesar 351.99%. Perbedaan nilai dari
dua data tersebut terbilang kecil sehingga masih dapat ditoleransi. Dengan kata lain, pemilihan model
37
akan disesuaikan dengan kecenderungan dari data penelitian yang sudah ada untuk menggambarkan
pengaruh suhu dan kecepatan ulir terhadap elongasi mi sorgum. Nilai prediksi mungkin akan berbeda
jika model yang digunakan juga berbeda, sehingga pemilihan model diusahakan dapat
menggambarkan respon yang mendekati nilai yang sebenarnya.
Berdasarkan persamaan polinimal aktual tersebut, dapat dilihat bahwa baik suhu maupun
kecepatan ulir menjadi faktor yang signifikan dalam mempengaruhi nilai elongasi mi sorgum. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Mercier dan Feillet (1975) bahwa gelatinisasi pati dipengaruhi oleh
kecepatan dan suhu ekstruder. Derajat gelatinisasi secara tidak langsung memiliki peranan dalam
pembentukan tekstur dan elongasi mi. Model 2FI juga memperhitungkan interaksi antara suhu dan
kecepatan ulir ekstruder dengan konstanta (+0.13112).
Elliason dan Gudmunson (1996) menyatakan bahwa tingginya amilosa terlarut pada saat
tergelatinisasi dan tingginya pengembangan granula dapat meningkatkan elongasi mi. Di lain pihak,
tingginya amilopektin terlarut dapat menganggu pembentukan gel dan menurunkan elongasi itu
sendiri. Selain ditentukan oleh karakteristik tepung yang digunakan, kecukupan proses untuk
menggelatinisasi pati juga diperlukan agar terbentuk adonan yang kompak. Oleh karena itu, elongasi
mi menjadi salah satu indikator utama mengenai keberhasilan pembuatan mi, terutama dalam teknik
ekstrusi.
Menurut Muhandri (2012), suhu ekstruder yang semakin tinggi akan menyebabkan
gelatinisasi pati semakin tinggi. Selain itu, kecepatan ulir ekstruder yang semakin tinggi menyebabkan
struktur gel semakin tinggi dan mi semakin panjang elongasinya. Hal ini sesuai dengan elongasi mi
sorgum yang diproses menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal. Penampang tiga
dimensi respon elongasi mi sorgum dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 8. Penampang tiga dimensi respon elongasi
Gambar 8 menampilkan penampang tiga dimensi dari suhu dan kecepatan ulir ekstruder
terhadap nilai elongasi mi. Warna merah menunjukkan nilai elongasi yang semakin tinggi sedangkan
warna biru menunjukkan persen elongasi yang rendah. Penampang tiga dimensi menunjukkan bahwa
suhu dan kecepatan ulir ekstruder yang semakin tinggi menghasilkan mi dengan persen elongasi yang
tinggi, sedangkan suhu ekstruder yang rendah dan kecepatan ulir yang tinggi membuat produk mi
menjadi rendah elongasinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wang et al. (2012) yang menyatakan
bahwa peningkatan suhu barrel dan peningkatan kecepatan ulir akan meningkatkan persentase pati
tergelatinisasi dan kekompakan pada mi pati kacang polong.
Pada suhu 80oC, peningkatan kecepatan ulir akan menurunkan elongasi dari mi sorgum. Hal
ini disebabkan suhu 80oC termasuk suhu yang rendah dan hanya 3
oC lebih tinggi dibandingkan suhu
80 50 84
88 91
95
69 88
106 125
100.00
172.50
245.00
317.50
390.00
Elongasi (%)
Suhu (oC) Kec. ulir (rpm)
38
gelatinisasi tepung sorgum varietas Numbu. Chiang (1975) menyatakan bahwa peningkatan kecepatan
ulir akan mengurangi waktu retensi atau waktu tinggal bahan dalam ekstruder sehingga akan
menurunkan gelatinisasi pati. Dengan suhu rendah dan kecepatan ulir tinggi, pati dalam adonan mi
belum tergelatinisasi sempurna sehingga menghasilkan mi dengan struktur yang kurang kompak dan
memiliki elongasi yang lebih rendah. Lampiran 24 menunjukkan sebaran data elongasi mi sorgum.
4.4. KARAKTERISTIK MI PADA PROSES OPTIMUM
Pada bagian kriteria cooking loss, nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang minimal.
Hal ini didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan produk mi dengan nilai cooking loss yang
paling rendah agar tekstur mi setelah direhidrasi tidak akan berbeda jauh dari mi keringnya dengan
nilai importance ++++. Manthey dan Twombly (2006) menyatakan bahwa produk pasta seharusnya
tidak lengket saat dimasak, memiliki tekstur padat dengan cooking loss kecil, dan tahan overcooking.
Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang rendah karena menunjukkan mi tersebut memiliki
tekstur yang baik dan homogen. Untuk elongasi produk, tujuan penetapannya adalah in range karena
nilai elongasi dari produk mi sorgum secara umum sudah baik dan mi yang telah dimasak tidak hancur
atau patah-patah sehingga elongasi produk tidak ditetapkan spesifik.
Pada langkah kedua, yaitu penetapan solusi, terdapat tiga macam solusi dengan nilai
desirability yang berbeda-beda berdasarkan skala prioritas. Proses yang dipilih sebagai solusi paling
utama adalah proses pembuatan mi sorgum pada suhu 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Pada proses
tersebut, prediksi nilai cooking loss adalah 8.56% dan elongasi mi 351.99% dengan nilai desirability
0.828. Nilai desirability ini dirasa cukup baik sehingga solusi yang ditawarkan sudah sesuai dengan
tujuan dari optimasi proses. Gambar 9 menunjukkan penampang desirability dari mi sorgum. Tabel 11
juga menunjukkan solusi yang ditawarkan sebagai hasil optimasi proses ekstrusi.
Gambar 9. Penampang tiga dimensi nilai desirability formula optimum
Tabel 11. Solusi formula yang ditawarkan dalam optimasi proses
No. Suhu (oC) Kecepatan Ulir
(rpm)
cooking loss
(%)
Elongasi (%) Desirability
1 95 125 8.56 351.99 0.828*
2 95 123 8.63 350.89 0.824
3 95 113 9.06 343.60 0.801
*Formula optimum
Suhu (oC)
80
84 88
91
95
50
69 88
106
125
0.320
0.448
0.575
0.703
0.830
Desirability
Kec. ulir (rpm)
39
Verifikasi dilakukan dengan membandingkan nilai respon pada kondisi aktual dengan
prediksi dari optimasi. Program Design Expert 7.0 akan memberikan nilai CI (Confident Interval) dan
PI (Prediction Interval) untuk setiap nilai prediksi respon pada taraf signifikansi 5%. Navidi (2006)
menyatakan bahwa confident interval menunjukkan keyakinan bahwa 95% dari populasi akan berada
di antara mean dan stdev dengan 5% yang berada di luar itu.
Tabel 12. Hasil verifikasi beserta poin prediksi dari solusi yang terpilih
Respon Prediksi Verifikasi 95% CI
low
95% CI
high
95% PI
low
95% PI
high
cooking loss (%) 8.56 8.95 5.33 11.80 1.14 15.99
Elongasi (%) 351.99 332.40 277.54 426.44 207.15 496.82
Prediksi dari program untuk respon cooking loss adalah 8.56% dan elongasi 351.99% pada
mi sorgum dari proses suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Hasil verifikasi pada Tabel 12
dari respon cooking loss dan elongasi adalah 8.95% dan 332.4%. Hasil tersebut masih berada dalam
kisaran Confident Interval dan Prediction Interval sehingga prediksi dan hasil nyata dari solusi produk
yang ditawarkan sesuai. Produk mi sorgum dari proses suhu 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm ini akan
dilanjutkan ke tahapan analisis selanjutnya, yaitu hedonik.
4.5. MI SORGUM-JAGUNG
Warna dari mi sorgum kering yang coklat menjadikan mi sorgum kurang menarik walaupun
warna tersebut akan berubah menjadi putih pucat saat sudah direhidrasi. Lyons-Johnson (1997)
menyatakan bahwa penduduk asia menyukai produk berwarna cerah dengan variasi warna kuning dari
pucat sampai terang. Mi dengan warna abu-abu, coklat, ataupun kusam biasanya ditolak atau tidak
disukai. Suarni (2004) juga menyatakan bahwa warna olahan produk campuran tepung sorgum dan
terigu kurang disukai panelis atau konsumen, namun masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan
zat pewarna yang diperbolehkan Departemen Kesehatan. Dalam rangka meningkatkan penampilan
dari mi sorgum, penelitian dikembangkan untuk membuat mi sorgum yang menggunakan campuran
tepung jagung sebagai adonannya.
Di dalam proses ekstrusi, seringkali dilakukan pencampuran dari dua atau lebih bahan yang
berbeda dalam teknologi ekstrusi. Tujuan pencampuran tersebut adalah memperoleh produk akhir
dengan komposisi gizi yang lebih baik, memiliki karakteristik yang diinginkan, meminimalisasi biaya,
mempermudah proses pengolahan dan lain-lain. Selain itu, proses pencampuran juga memberikan
kemungkinan pemanfaatan sumber bahan pangan lain yang belum dimanfaatkan secara optimal
(Muchtadi et al. 1988). Gambar 10 menunjukkan perbedaan warna mi sorgum.
40
Gambar 10. Foto (a) mi jagung 100%, (b) mi sorgum-jagung 60:40, dan (c) mi sorgum 100%
Hasil analisis fisik mi sorgum-jagung yang meliputi cooking loss dan elongasi dapat dilihat
pada Tabel 13. Cooking loss mi sorgum-jagung sebesar 10.48%, lebih besar dari mi sorgum pada
proses yang sama, yaitu 8.95%. Sebaliknya, elongasi mi sorgum-jagung (275.74%) lebih kecil dari mi
sorgum (332.40%). Charutigon et al. (2007) menyebutkan bahwa nilai cooking loss mi komersial yang
dapat diterima < 12.5% basis basah atau sekitar 14.2% basis kering. Oleh karena itu, cooking loss mi
sorgum-jagung memiliki nilai yang masih dapat diterima. Meskipun elongasinya lebih kecil dari mi
sorgum, mi sorgum-jagung tidak mudah hancur setelah dimasak dan memiliki tekstur yang cukup
baik.
Tabel 13. Hasil analisis cooking loss dan elongasi mi sorgum-jagung
Parameter Nilai
Cooking loss (%) 10.48
Elongasi (%) 275.74
4.4. TINGKAT KESUKAAN PANELIS TERHADAP MI SORGUM
Mi yang dijadikan sebagai sampel dalam uji rating hedonik adalah mi sorgum dan mi
sorgum-jagung yang diolah menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dengan suhu 95oC
dan kecepatan ulir 125 rpm. Tujuan pengujian adalah untuk mengetahui mi yang lebih disukai panelis
dalam hal warna mi, kekeruhan air rebusan, kekerasan, elongasi, dan rasa. Mi sorgum-jagung
diikutsertakan untuk melihat adakah perbedaan persepsi dari panelis terhadap mi dengan warna
kuning dari jagung terhadap penilaian panelis untuk kelima atribut tersebut. Warna kuning pada mi
jagung berasal dari pigmen karotenoid yang berasal dari jagung itu sendiri dan diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan panelis terhadap mi sorgum-jagung yang mirip dengan mi terigu biasa.
a b c
41
4.4.1. Warna mi sorgum
Warna merupakan salah satu atribut penting dari suatu bahan pangan. Bahan atau produk
pangan yang memiliki warna yang menarik biasanya lebih disukai dibandingkan dengan produk yang
memiliki warna gelap atau kusam. Warna biasa dijadikan indikator dalam penilaian pertama terhadap
suatu produk pangan. Persepsi masyarakat, khususnya di Indonesia, sudah terbiasa menggolongkan
warna sesuai dengan jenis produknya. Misalnya warna hijau untuk sayur, warna putih untuk susu,
warna merah untuk buah stroberi, dan sebagainya. Oleh karena itu, warna menjadi salah satu atribut
yang akan diuji oleh panelis secara sensori.
Gambar 11. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap warna mi
Gambar 11 menunjukkan rata-rata penilaian panelis terhadap kesukaan dari warna mi
sorgum. Mi sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan mi sorgum. Uji
ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap warna kedua mi menunjukkan perbedaan yang
signifikan pada taraf signifikansi 5%. Rata-rata nilai kesukaan terhadap warna mi sorgum adalah 2.67
yang berada antara “tidak suka” dan “biasa”. Hal ini disebabkan warna dari mi sorgum sendiri adalah
putih pucat dan agak kusam, berbeda dengan jagung yang identik dengan warna kuning oranye. Selain
itu, persepsi konsumen terhadap mi yang biasanya berwarna kuning juga memiliki pengaruh dalam
penilaian.
Mi sorgum-jagung yang berwarna kuning memiliki kesukaan yang paling baik karena berada
diantara “suka” dan “sangat suka”. Hal ini menunjukkan bahwa warna mi sorgum-jagung yang mirip
dengan warna mi terigu biasa dapat meningkatkan kesukaan mereka terhadap mi tersebut. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa adanya persepsi warna mi pada umumnya memiliki pengaruh
terhadap kesukaan panelis terhadap warna mi sorgum. Selain itu, tujuan penambahan tepung jagung
dalam pembuatan mi sorgum-jagung berhasil meningkatkan kesukaan panelis terhadap mi sorgum
yang belum populer di masyarakat. Gambar 12 menunjukkan perbedaan warna dari mi sorgum 100%
dan mi sorgum-jagung setelah direhidrasi.
sorgumsorgum-jagung
warna mi 2.67 4.27
0
1
2
3
4
5
Rata-rata kesukaan warna mi
42
Gambar 12. Foto mi setelah dimasak, (a) mi sorgum 100% dan (b) mi sorgum-jagung
4.4.2. Kekeruhan air rebusan mi
Dalam mengonsumsi mi rebus, air rebusan dari mi akan ikut dikonsumsi bersama dengan mi
dan bumbu yang disukai. Pada dasarnya, air rebusan mi akan berwarna lebih keruh dibandingkan air
biasa. Hal ini dikarenakan selama pemasakan mi, partikel-partikel terlarut dari mi akan terlepas dan
ikut larut ke dalam air rebusan sehingga menimbukan kekeruhan dari air tersebut. Tingkat kekeruhan
air rebusan mi memiliki hubungan dengan kadar cooking loss dari mi itu sendiri. Menurut Charutigon
et al. (2007), cooking loss terutama disebabkan oleh adanya pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah
di permukaan mi sehingga ikut larut bersama dengan air rebusannya.
Gambar 13 menunjukkan penilaian rata-rata panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi
sorgum. Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap kekeruhan air rebusan kedua mi
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Mi sorgum-jagung memiliki
tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mi sorgum, walaupun kedua mi kesukaannya
antara “tidak suka” dan “biasa”. Konsumen lebih menyukai kekeruhan dari air rebusan mi sorgum-
jagung yang memang berwarna kuning, sehingga lebih mirip dengan air rebusan mi terigu biasa.
Atribut kesukaan terhadap kekeruhan air rebusan mi ini dapat dipertimbangkan jika mi sorgum
ditujukan untuk dikonsumsi sebagai mi rebus, namun bila mi tersebut dikonsumsi sebagai mi goreng
atau spagetti, maka kekeruhan dari air rebusan mi tidak akan berpengaruh terhadap penilaian
konsumen.
Gambar 13. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi
sorgumsorgum-jagung
kekeruhan air rebusan 2.09 2.85
0
1
2
3
Rata-rata kesukaan
kekeruhan air rebusan
mi
a b
43
4.4.3. Elongasi mi sorgum
Elongasi menunjukkan seberapa jauh mi dapat mengalami pertambahan panjang ketika
ditarik sebelum akhirnya putus. Dalam produk mi, elongasi menjadi salah satu karakteristik penting
yang harus diperhatikan. Hal ini disebabkan produk mi sudah dikenal masyarakat berupa untaian
panjang yang bersifat kenyal saat ditarik ataupun dikunyah di dalam mulut. Produk mi yang patah-
patah, mudah putus, ataupun terlalu kenyal seperti karet umumnya tidak disukai oleh konsumen.
Gambar 14 menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap elongasi mi sorgum. Uji
ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap elongasi kedua mi tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Meskipun demikian, secara umum terlihat bahwa mi
sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan elongasi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan mi sorgum.
Komentar dari panelis mengenai elongasi kedua mi adalah mi sudah memiliki elongasi yang cukup
baik dan tidak mudah putus. Dalam hal elongasi, penambahan jagung ke dalam adonan mi tidak
memberikan pengaruh yang signifikan.
Gambar 14. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap elongasi mi
4.4.4. Kekerasan mi sorgum
Kekerasan merupakan salah satu atribut fisik yang sering diamati dalam produk mi selain
kekenyalan, kelengketan, daya kunyah, dan lain-lain. Pengukuran karakteristik fisik secara objektif
dapat dilakukan dengan mengukur reologi mi menggunakan Texture Analyzer, sedangkan pengukuran
secara subjektif dilakukan melalui uji sensori. Panelis mengukur kekerasan mi sorgum dengan
menggigit satu helai mi dan memberikan nilai mengenai kesukaan mereka terhadap tingkat kekerasan
mi tersebut. Untuk mengetahui alasan kesukaannya, panelis juga diminta mengisi kolom komentar
terhadap nilai yang diberikan.
Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap kekerasan kedua mi tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Baik mi sorgum maupun mi sorgum-jagung
memiliki rata-rata kesukaan kekerasan mi antara “biasa” dan “suka”. Mi sorgum-jagung memiliki
nilai kesukaan yang sedikit lebih besar dibandingkan mi sorgum. Dari komentar yang diberikan, mi
sorgum dinilai memiliki tektur yang keras, sedangkan mi sorgum-jagung memiliki tekstur yang agak
keras. Komentar panelis sebagai penilaian subjektif tentunya tidak memiliki batasan tekstur seperti
apa yang disebut keras atau tidak melihat beberapa panelis menilai tekstur mi sudah empuk atau
lunak. Meskipun sebagian besar panelis menganggap kedua mi sorgum ini masih cukup keras, tetapi
sorgumsorgum-jagung
elongasi 3.42 3.73
3
3.5
4
Rata-rata kesukaan elongasi
mi
44
kesukaannya masih tergolong baik dan mi masih dapat diterima kekerasannya. Gambar 15
menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap kekerasan mi.
Gambar 15. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekerasan mi
4.4.5. Rasa mi sorgum
Makanan atau minuman yang sehat dan menarik seharusnya memiliki rasa yang enak. Rasa
merupakan atribut yang seringkali menjadi faktor utama dalam uji hedonik suatu produk. Meskipun
definisi “enak” dari tiap individu bisa berbeda-beda, namun diharapkan sebagian besar panelis dapat
menyukai produk yang diuji. Atribut rasa dari mi sorgum dinilai dengan mencicipi mi dan
memberikan skor serta komentar terhadap rasa mi tersebut.
Uji ANOVA menunjukkan bahwa kesukaan terhadap rasa kedua mi tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Baik mi sorgum maupun mi sorgum-jagung
memiliki skor diantara “biasa” dan “suka”. Seperti hasil analisis atribut lainnya, mi sorgum-jagung
memiliki rata-rata kesukaan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan mi sorgum 100%.
Komentar dari panelis rata-rata menyatakan bahwa rasa mi sorgum dan mi sorgum-jagung adalah
netral atau hambar. Mi sorgum 100% memiliki aroma sorgum yang khas dibandingkan dengan mi
sorgum-jagung. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan jagung dalam mi sorgum-jagung dapat
menutupi aroma khas sorgum yang tergolong asing dan kurang enak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Liu (2009) yang menambahkan pati jagung dalam pembuatan mi sorgum kalendering untuk menutupi
rasa dan aroma yang asing khas sorgum. Gambar 16 menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap
rasa mi.
Gambar 16. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap rasa
sorgumsorgum-jagung
kekerasan 3.21 3.42
3
3.3
3.6
Rata-rata kesukaan kekerasan
mi
sorgumsorgum-jagung
rasa 3.39 3.61
3
3.3
3.6
3.9
Rata-rata kesukaan
rasa mi
45
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN
Numbu sebagai varietas sorgum yang digunakan memiliki kadar air 13.52% (bb), protein
8.5% (bk), lemak 2.42% (bk), abu 0.84% (bk), karbohidrat 88.23% (bb), pati 82.18% (bk), dan
amilosa 22.46% (bk). Kadar amilosa tepung sorgum Numbu berada pada kisaran normal (22-24%)
sehingga dapat diaplikasikan pada pembuatan mi non terigu. Ketersediaan Numbu sebagai bahan baku
mudah ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Banten dan Bogor.
Profil gelatinisasi dari tepung sorgum Numbu menunjukkan bahwa suhu gelatinisasi tepung
adalah 77.53oC sehingga suhu minimal ekstruder adalah 80
oC. Viskositas setback tepung sorgum yang
tinggi menunjukkan kecenderungan proses retrogradasi yang besar sehingga cocok diolah menjadi mi
pati. Retrogradasi dalam hal ini akan menentukan struktur mi yang dihasilkan (Tam et al. 2004).
Optimasi proses mi sorgum menggunakan RSM D-Optimal menunjukkan bahwa proses yang
terpilih adalah suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm, dengan variasi suhu dan kecepatan ini
berada di batas maksimal dari limit yang ditetapkan. Pada variasi suhu dan kecepatan tersebut, mi
sorgum memiliki cooking loss sebesar 8.95% dan elongasi sebesar 332.44%. Pemilihan ini dilakukan
dengan mempertimbangkan proses yang dapat menghasilkan mi dengan cooking loss yang minimum.
Warna mi sorgum yang telah dimasak adalah putih pucat. Unutk meningkatkan daya terima
panelis terhadap mi sorgum, penambahan tepung jagung pada adonan mi dilakukan berdasarkan trial
and error untuk
Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan atribut warna mi, kekeruhan air rebusan mi,
kekerasan mi, elongasi mi, dan rasa mi. Uji hedonik mi sorgum menunjukkan bahwa tingkat kesukaan
panelis terhadap mi sorgum berada diantara “biasa” dan “suka”, kecuali pada atribut warna dan
kekeruhan air rebusan mi dengan nilai antara “tidak suka” dan “biasa”. Pengembangan produk
dilakukan dengan mencampurkan tepung jagung ke dalam adonan mi untuk memperbaiki daya terima
dari mi sorgum. Berdasarkan hasil uji, mi sorgum-jagung memiliki tingkat kesukaan yang lebih baik
daripada mi sorgum, terutama dalam hal warna mi dan kekeruhan air rebusan mi. Untuk ketiga atribut
lainnya, uji ANOVA tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kedua sampel mi pada taraf
kepercayaan 95%.
5.2. SARAN
Data penelitian menunjukkan bahwa nilai cooking loss dan elongasi mi sorgum pada kondisi
proses yang sama memiliki nilai yang bervariasi. Beberapa variasi nilai antar ulangan cukup besar,
terutama elongasi mi. Hal ini diduga disebabkan oleh tahap pemasukan adonan ke dalam ekstruder
dilakukan secara manual sehingga memungkinkan keragaman mutu akibat perbedaan kecepatan
pemasukan adonan (feeding rate). Penggunaan ekstruder dengan tahap pemasukan bahan yang
terkendali mungkin akan menghasilkan produk mi dengan variasi mutu mi yang lebih kecil.
46
VI. DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2005. Menu Help pada Design Experts 7.0, Start-Ease Inc
[Anonim]. 2006. Design-expert 7 user’s guide. [e-book] http://stat-ease.com/ (31 Oktober 2012)
Ainsworth P, Ibanoglu S. 2006. Extrusion. Dalam : Brennan JG (ed). Food Processing Handbook.
Germany: Wiley-vch verlag gmbH & Co.KGaA pp: 237-283
Anderson RA, Conway HF, Pfeifer VF, Griffin EL. 1969. Gelatinization of corn grits by roll and
extrusion cooking. J Cereal Sci 14: 4-12
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC : Association of Official Analytical
Chemist
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Budijanto S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan.
Bogor : IPB Press
Awika JM, Lloyd WR. 2004. Sorghum phytochemicals and their potential impact on human health. J
Sci Phytochem 65: 1199-1221
[B2P4] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2010. Teknologi Pengolahan
dan Pemanfaatan Tepung Sorgum. Bogor : Kampus Penelitian Pertanian
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Impor gandum dan beras. http://www.bps.go.id (4 Januari 2013)
[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. 2011, Jumlah penduduk
Indonesia capai 241 juta jiwa. http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr =44150 (9 Januari
2013)
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan (SNI 3751:
2009). Jakarta : Badan Standarisasi Nasional
Box GEP, Hunter WG, Hunter JS. 1978. Statistics for Experimenters : Wiley Series in Probability and
Mathematical Statistics. USA : John Wiley & Sons Inc
Charutigon C, Jintana J, Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects of processing conditions and the use of
modified starch and monoglyseride on some properties of extruded rice vermicelli. Swiss
Society of F Sci Tech 41: 642-651.
Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle
Products. [Tesis]. The Netherlands : Wageningen University
Chen K-N, Chen M-J. 2009. Statistical optimization : Response surface methodology. Dalam :
Erdoğdu F (ed). Optimization in Food Engineering. Boca Raton : CRC Press Inc
Chiang BY. 1975. Gelatinization of Starch in Extruded Products. [Disertasi]. Manhattan, Kansas :
Kansas State University
Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-types noodles from heat moisture treated
sweet potato starch. J Food Sci 66(4) pp: 604-609
47
Dalbon G, Grivon D, Pagani MA. 1996. Pasta Continous Manufacturing Process. Dalam : American
Association of Cereal Chemistry. Pasta and Noodles Technology. Minnesota, USA : St. Paul
[Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Program peningkatan ketahanan pangan. http://www.deptan.
go.id/daerah_new/ntt/distan_ntt/keg.apbn_files/PROGRAM%20PENINGKATAN%20KET
AHANAN%20PANGAN.HTM (9 Januari 2013)
Elliason AC. 1981. Effect of water content on the gelatinization of wheat starch. Starke 32: 270-272
Elliason AC, Gudmunson M. 1996. Starch : Physicochemical and functional aspects. Dalam : Elliason
AC (ed). Carbohydrates in Food. New York : Marcell Dekker Inc
Estiasih T, Ahmadi K. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta : Bumi Aksara
Evers A, Nesbitt M, Black M, Bewley JD, de Milliano WAJ. 2006. Sorghum. Dalam : Black M,
Bewley JD, Halmer P (eds). The Encyclopedia of Seeds: Science, Technology, and Uses.
United Kingdom : Cromwell Press, Trowbridge pp: 640-641
[Food Security Department]. 2013. Chapter VIII Sorghum : Post-harvest operations. http://cd3wd.
com/cd3wd_40/INPHO/COMPEND/TEXT/EN/CH07.HTM (5 Januari 2013)
Fuglie KO, Hermann M. 2001. Sweet Potato Post-harvest Research and Development In China.
Bogor : International Potato Center
Galvez FCF, Resurrection AVA, Ware GO. 1995. Formulation and process optimization of mungbean
noodles. J of Food Processing and Preservation 19 pp: 191-205
Ganjyal M, Hanna MA, Supprung P, Noomhorn, Jones D. 2006. Modeling selected properties of
extruded rice flour and rice starch by neural networks and statistics. J Cereal Chem 83(3):
223-227
Gomez MH, Aguilera JM. 1983. Changes in the starch fraction during extrusion cooking of corn. J
Food Sci 48(2): 378-381
Harper JM. 1991. A comparative analysis of single and twin screw extruders. Dalam : Kokini JL, Ho
C-T, Karwe MV (eds). Food Extrusion Science and Technology. New York : Marcel Dekker
Inc pp: 139-147
Kunetz CF. 1997. Processing Parameters Affecting Sorghum Noodle Qualities. [Abstrak]. Texas :
Texas A&M University
Kimdump. 2011. “Sorghum” si kaya manfaat. http://kimdump.blogspot.com/2011/01/sorghum-si-
kaya-manfaat.html?m=1 (5 Januari 2013)
Lemlioglu-Austin D, Turner ND, McDonough CM, Rooney LW. 2012. Effects of sorghum [Sorghum
bicolor (L.) Moench] crude extracts on starch digestibility, estimated glycemic index (EGI),
and resistant starch (RS) contents of porridges. J Molecules (17): 11124-11138
Liu L. 2009. Evaluation of Four Sorghum Hybrids in A Gluten-Free Noodle System. [Tesis].
Manhattan, Kansas : Kansas State University
Lyons-Johnson. 1997. New noodlemaking in the works. [Abstrak]. Dawn Agricultural Research
0002161X 45(3)
Manthey FA, Twombly W. 2006. Extruding and drying of pasta. Dalam : Hui YH (ed). Handbook of
Food Science, Technology, and Engineering, Vol 4. Boca Raton : Taylor and Francis Group,
CRC Press
48
Mercier C, Feillet P. 1975. Modification of carbohydrate components by extrusion-cooking of cereal
products. Cereal Chem 52: 283-297
Mercier C. 1977. Effect of extrusion-cooking potato starch using a twin screw French extruder.
Staerke 29: 48-52
Merdiyanti A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Memanfaatkan Bahan Baku
Tepung Jagung. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Miller RC. 1985. Low moisture extrussion : effect of cooking moisture in product characteristics. J
Food Sci 50(1) pp: 240-253
Muchtadi TR, Hariyadi P, Ahza AB. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Bogor : LSI Institut
Pertanian Bogor
Muhandri T, Subarna. 2009. Optimasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Instant Jagung. [Laporan
Hibah Bersaing]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan
Muhandri T. 2012. Karakteristik Reologi Mi Jagung Dengan Ekstrusi Pemasak-Pencetak. [Disertasi].
Bogor : Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Mudjisihono, Suprapto. 1987. Budidaya Pengolahan Sorgum. Jakarta : Penebar Swadaya
Nasehi B, Mortazavi SA, Razavi SMA, Mahallati MN, Karim R. 2009. Optimization of the extrusion
conditions and formulation of spaghetti enriched with full-fat soy flour based on the cooking
and color quality. Int J of Food Sci and Nutri 60(4): 205-214
Navidi W. 2006. Statistics for Engineers and Scientists. New York : The McGraw-Hill Companies Inc
Niba LL. 2006. Carbohydrates : Starch. Dalam : Hui YH (ed). Handbook of Food Science Technology
and Engineering vol 1. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press
Nurmala TSW. 1997. Tanaman Budidaya. Jakarta : Rineka Cipta
Oh NH, Seib PA, Chung DS. 1985. Noodles III, Effect of processing variables on the quality
characteristics of dry noodles. J Cereal Chem 62(6): 437-440
Polina. 1995. Studi Pembuatan Produk Ekstrusi dari Campuran Jagung, Sorghum, dan Kacang Hijau.
[Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Putra SN. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode
Kalendering. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Riahi E, Ramaswamy HS. 2003. Structure and composition of cereal grains and legumes. Dalam :
Chakraverty A, Mujumdar AS, Raghavan GSV, Ramaswamy HS (eds). Handbook of
Postharvest Technology. New York : Marcel Dekker Inc pp: 1-16
Rick P. 2003. Introduction to Food Science. New York : Delmar, Thomson Learning Inc
Rooney LW, Awika S. 2004. Handbook of Cereal Science and Technology. New York : Marcel
Dekker Inc
Rooney LW, Miller FR. 1982. Variation in the structure and kernel characteristics of sorghum. Dalam
: Proceeding of The Symposium on Sorghum, 28-31 Oktober 1981 Vol 1. ICRISAT
Patancheru PO, Andhra Pradesh
49
Rungkat-Zakaria F, Prangdimurti E, Puspawati GAKD, Thahir R, Suismono. 2011. Diet berbasis
sorgum (Sorghum bicolor L Moench) memperbaiki proliferasi limfosit limfa dan kapasitas
antioksidan hati tikus. J Tek & Ind Pangan 20 (3): 209-330
Sablani SS. 2009. Gelatinization of starch.Dalam : Rahman MS (ed). Food Properties Handbook, 2nd
edition. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press pp: 287-321
Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. J Litbang Pertanian 23 (4)
Suhendro EL, Kunetz CF, McDonough CM, Rooney LW, Waniska RD. 2000. Cooking characteristics
and quality of noodles from food sorghum. [Abstrak]. Cereal Chem 77(2): 90-100
Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. [Skripsi]. Bogor : Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi, Fateta IPB
Tan H-Z, Li Z-G, Tan B. 2009. Starch noodles : History, classification, materials, processing,
structure, nutrition, quality evaluating and improving. Food Research Int 42 (2009) pp: 551-
576
Tam LM, Corke H, Tan WT, Li J, Collado LS. 2004. Production of bihon-type noodles from maize
starch differing in amylose content. J Cereal Chem. 82(4): 475-480.
Von Elbe JH, Schwartz SJ. 1996. Colorants. Dalam : Fennema OR (ed). Food Chemistry 3rd
ed. New
York : Marcel Dekker Inc pp: 651-722
Wals DE, Gille RA. 1974. Macaroni Products Wheat : Production and Utilization. Connecticut :
AVI, Estport.
Wang N, Maximiuk L, Toews R. 2012. Pea starch noodles : Effect of processing variables on
characteristics and optimization of twin-screw extrusion process. [Abstrak]. J Food Chem
133(3): 742-753
Waniska RD, Yi T, Lu J, Xue PL, Xu W, Lin H. 1999. Effects of preheating temperature, moisture,
and sodium metabisulfite content on quality of noodles prepared from maize flour or meal. J
Food Sci Technol 5(4): 339-346
Wiersema SG. 1992. Sweet Potato Processing in The People’s Republic of China with Emphasis on
Starch and Noodle. Dalam : Scott GJ, Wiersema SG, Ferguson PI (eds). Proceeding Product
Development for Root and Tuber Crops. Lima, Peru : I-Asia, CIP
Wrigley CW, Bekes F. 2004. Processing quality requirements for wheat and other cereal grains.
Dalam : Benech-Arnold RL, Sanchez RA (eds). Handbook of Seed Physiology : Application
to Agriculture. New York : The Hawort Press Inc pp:349-388
Wu J, Beta T, Corke H. 2006. Effect of salt and alkaline reagents on dynamic reological properties of
raw oriental wheat noodles. J Cereal Chem 83(2): 211-217
Yanuwar W. 2009. Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Non-Beras. [Tesis]. Bogor :
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
51
Lampiran 1. Hasil analisis kadar air tepung sorgum Numbu
W sampel
awal (g)
W cawan
kosong (g)
W cawan+sampel
kering (g)
Kadar Air
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Kadar Air
(%bk)
Rata-
rata Stdev
1 2.0046 4.2640 5.9989 13.45 13.52 0.09
15.55 15.63 0.11
2 2.0097 4.2850 6.5037 13.58 15.70
Lampiran 2. Hasil analisis kadar abu tepung sorgumNumbu
W sampel
awal (g)
W cawan
kosong (g)
W cawan+sampel
kering (g)
Kadar Abu
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Kadar Abu
(%bk)
Rata-
rata Stdev
1 2.0837 21.0541 21.0748 0.76 0.73 0.05
0.88 0.84 0.06
2 2.1566 25.1805 25.1991 0.69 0.80
Lampiran 3. Hasil analisis kadar protein tepung sorgum Numbu
W sampel
(g)
V HCl
(ml)
V blanko
(ml)
Kadar Protein
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Kadar Protein
(%bk)
Rata-
rata Stdev
1 0.1055 4.15 0.10
7.19 7.36 0.23
8.31 8.50 0.27
2 0.1096 4.50 7.52 8.70
Lampiran 4. Hasil analisis kadar lemak tepung sorgum Numbu
W sampel
awal (g)
W labu
lemak (g)
W labu+sampel
kering (g)
Kadar Lemak
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Kadar Lemak
(%bk)
Rata-
rata Stdev
1 1.5206 96.5390 95.5718 2.16 2.10 0.09
2.50 2.42 0.11
2 1.5114 97.8738 97.9045 2.03 2.35
Lampiran 5. Hasil analisis kadar pati tepung sorgum Numbu
W sampel
(mg)
V Tiosulat
0.1 N (ml)
V blanko
(ml)
Kadar Pati
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Kadar Pati
(%bk)
Rata-
rata Stdev
1 100.3 22.00 30.00 71.07 71.07 0.00
82.18 82.18 0.00
2 100.3 21.75 29.75 71.07 82.18
Lampiran 6. Kadar karbohidrat tepung sorgum
Varietas Karbohidrat (%bb) Karbohidrat (%bk)
Numbu 76.30 88.23
52
Lampiran 7. Hasil absorbansi kurva standar amilosa
Konsentrasi (mg/ml) Absorbansi
1 0.000 0.001
2 0.004 0.067
3 0.008 0.135
4 0.012 0.207
5 0.016 0.277
6 0.020 0.345
Lampiran 8. Kurva standar amilosa
Lampiran 9. Hasil analisis kadar amilosa
W sampel
(mg) Absorbansi
Konsentrasi
(mg/ml)
Amilosa
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Amilosa
(%bk)
Rata-
rata Stdev
1 113 0.196 0.0114 20.18 19.43 1.06
23.33 22.46 1.23
2 117.8 0.189 0.0110 18.68 21.59
y = 17.3x - 0.001R² = 0.999
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.000 0.010 0.020 0.030
Absorbansi
Konsentrasi (mg/mL)
Kurva Standar Amilosa
Lampiran 10. Hasil analisis kadar air mi sorgum kering
Run Suhu (oC)
Kecepatan
Ulir (rpm)
W cawan
kosong (g)
W mi
awal (g)
W mi + cawan
kering (g)
Kadar air
(%bb)
Rata-
rata Stdev
1 80 52-a 1 3.2631 1.0522 4.1647 14.31
14.43 0.17 2 2.2408 1.1446 3.2189 14.55
2 80 52-b 1 3.1136 1.0026 3.9875 12.84
11.81 1.46 2 4.3980 1.0153 5.3039 10.78
3 80 74 1 2.8130 1.1267 3.7614 15.82
15.85 0.03 2 3.0515 1.0259 3.9146 15.87
4 80 125-a 1 3.1932 1.0894 4.1113 15.72
15.83 0.15 2 2.4510 0.9509 3.2504 15.93
5 80 125-b 1 3.1362 1.2428 4.1829 15.78
15.78 0.00 2 2.4964 1.0382 3.3708 15.78
6 84 50 1 5.9072 1.0134 6.8200 9.93
9.90 0.03 2 3.2082 1.0225 4.1297 9.88
7 84 106 1 3.3345 1.0074 4.2330 10.81
11.37 0.79 2 2.8224 1.0292 3.7288 11.93
8 88 93 1 4.3980 1.1002 5.3644 12.16
11.81 0.50 2 4.3183 1.0138 5.2160 11.45
9 89 125 1 3.1136 1.0327 4.0211 12.12
12.47 0.48 2 4.9308 1.0642 5.8587 12.81
10 90 54 1 4.3980 1.0269 5.3494 7.35
8.05 0.98 2 2.4228 1.0159 3.3499 8.74
11 95 50-a 1 2.5159 1.0734 3.4857 9.65
9.13 0.74 2 4.3183 1.0219 5.2523 8.60
12 95 50-b 1 2.4228 1.0566 3.3020 16.79
16.87 0.11 2 6.7264 1.0489 7.5976 16.94
13 95 88-a 1 3.3637 1.0967 4.2966 14.94
14.58 0.50 2 4.3733 1.0876 5.3061 14.23
14 95 88-b 1 2.8224 1.0134 3.6945 13.94
13.79 0.22 2 3.3637 1.0455 4.2667 13.63
15 95 125-a 1 5.8981 1.0851 6.8217 14.88
14.51 0.53 2 4.5395 1.0312 5.4249 14.14
16 95 125-b 1 4.3733 1.0419 5.3102 10.08
9.91 0.23 2 4.5395 1.0456 5.4832 9.75
54
Lampiran 11. Hasil analisis cooking loss mi sorgum
Run Suhu
(oC)
Kecepatan
ulir (rpm)
W sampel
awal (g)
W cawan+sampel
kering (g)
W cawan
kosong (g)
Kadar air
(%bb)
Cooking
loss (% bk)
Rata-
rata Stdev
1 80 52-a 1 2.0818 5.8165 4.3328 14.43 16.71
15.47 1.75 2 2.0780 4.3457 2.8207 14.43 14.24
2 80 52-b 1 1.1805 6.0195 5.1313 11.81 14.68
15.12 0.62 2 1.1727 5.5998 4.7265 11.81 15.56
3 80 74 1 2.0431 4.4811 3.1618 15.84 23.27
24.09 1.16 2 2.0490 5.9037 4.6088 15.84 24.91
4 80 125-a 1 2.0376 6.2912 4.7257 15.82 8.73
11.63 4.11 2 2.0323 4.5983 3.1362 15.82 14.54
5 80 125-b 1 2.0288 4.3046 2.8207 15.78 13.15
12.72 0.62 2 2.0344 6.0569 4.5539 15.78 12.28
6 84 50 1 1.1020 6.7518 5.9160 10.53 15.23
15.27 0.05 2 1.2010 5.3002 4.3901 10.53 15.30
7 84 106 1 2.0077 3.8284 2.3676 10.81 18.42
17.31 1.58 2 2.0561 4.5808 3.0439 10.81 16.19
8 88 93 1 1.9707 4.6443 3.1423 11.81 13.58
13.64 0.09 2 1.9743 4.3385 2.8359 11.81 13.70
9 89 125 1 1.9491 3.8395 2.3676 12.46 13.73
12.98 1.06 2 1.9441 4.7553 3.2616 12.46 12.23
10 90 54 1 1.9807 7.4655 5.9088 7.51 15.02
15.41 0.55 2 1.9362 4.8821 3.3743 7.51 15.80
11 95 50-a 1 0.9579 5.2992 4.5547 9.13 14.47
12.58 2.67 2 0.9397 4.9954 4.2328 9.13 10.69
12 95 50-b 1 2.0717 5.7986 4.2328 16.87 9.08
8.65 0.61 2 2.0814 5.9613 4.3733 16.87 8.22
13 95 88-a 3 1.9039 4.5312 3.0538 14.57 9.17
8.90 0.38 4 1.9048 4.3082 2.8214 14.57 8.63
14 95 88-b 1 2.0904 4.8364 3.2616 13.79 12.61
12.01 0.85 2 2.0728 6.1369 4.5539 13.79 11.41
15 95 125-a 1 1.9577 5.9062 4.3328 14.51 5.99
5.33 0.93 2 1.9472 7.4957 5.9088 14.51 4.67
16 95 125-b 1 1.9712 4.712 3.1423 12.00 9.51
10.02 0.73 2 1.9763 4.3918 2.8359 12.00 10.54
55
Lampiran 12. Hasil analisis elongasi mi sorgum
Run Suhu
(oC)
Kecepatan
Ulir (rpm)
Force
(gf)
Waktu
(s)
Elongasi
(%)
Rata-
rata Stdev
1 80 52-a 1 13.9 12.695 190.43
186.53 5.52 2 15.8 12.175 182.63
2 80 52-b 1 14.9 18.515 277.73
282.53 6.79 2 17.1 19.155 287.33
3 80 74 1 11.0 11.160 167.40
175.88 11.99 2 12.6 12.290 184.35
4 80 125-a 1 19.7 8.295 124.43
122.55 2.65 2 18.5 8.045 120.68
5 80 125-b 1 13.5 6.975 104.63
104.87 0.35 2 14.7 7.008 105.12
6 84 50 1 20.3 15.717 235.76
243.89 11.51 2 21.4 16.802 252.03
7 84 106 1 23.1 18.767 281.51
283.42 2.70 2 33.0 19.022 285.33
8 88 93 1 19.3 12.597 188.96
189.02 0.08 2 21.7 12.605 189.08
9 89 125 1 30.6 22.390 335.85
330.75 7.21 2 28.4 21.710 325.65
10 90 54 1 40.3 20.843 312.65
316.11 4.90 2 39.5 21.305 319.58
11 95 50-a 1 36.2 26.235 393.53
382.09 16.18 2 39.1 24.710 370.65
12 95 50-b 1 40.4 15.705 235.58
237.49 2.70 2 40.5 15.96 239.40
13 95 88-a 1 35.6 18.110 271.65
266.81 6.84 2 55.5 17.465 261.98
14 95 88-b 1 34.4 21.495 322.43
328.76 8.96 2 44.4 22.340 335.10
15 95 125-a 1 50.3 22.603 339.05
339.70 0.92 2 46.3 22.690 340.35
16 95 125-b 1 34.0 22.255 333.83
360.56 37.81 2 40.9 25.820 387.30
56
Lampiran 13. Foto mi sorgum sebelum dimasak
88 oC -93 rpm
80oC-52a rpm
80oC-52b rpm 80oC-74 rpm 80o -125a rpm
84o -50 rpm 84oC-106 rpm 89oC-125 rpm 90oC-54 rpm
88oC -93 rpm 95oC-50b rpm 95oC-88a rpm 95oC-125 rpm
90oC-88b rpm 95oC-50a rpm 80oC-125b rpm 90oC-125b rpm
57
Lampiran 14. Foto mi sorgum setelah dimasak
80oC -52a rpm 80oC -74 rpm 80oC -52b rpm 80oC -125a rpm
84oC -50 rpm 84oC -106 rpm 88oC -93 rpm 89oC -125 rpm
90oC -54 rpm 95oC -50a rpm
95oC-125b rpm
95oC -50b rpm 95oC -88a rpm
95oC-88b rpm 95oC-125a rpm 80oC -125a rpm
58
Lampiran 15. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut warna mi
No. Nama Warna Mi
Sorgum
Sorgum-Jagung
1 Ramlan Asbar 3 pucat 5 agak kekuningan, tidak pucat
2 Andi Early 2 agak pucat 4 kuning cerah
3 Putu Adi 4 bagus, tidak pucat 5 bagus, seperti mi biasa
4 Suba 3
cukup bagus, ada bintik
sedikit aneh 4 oke
5 Yuliyanti 4 bintik sedikit 5 lebih kuning
6 Annisa K 4 - 5 -
7 Bangun 2 pucat 4 mi biasa
8 Rista 2 terlalu pucat 4 kuning, lebih cerah
9 Indra 2 kotor, banyak butiran 4 menarik
10 Arum Marya 2 pucat, tidak menarik 4 kuning terang
11 Annisa N 4 putih 3 masih ada titik hitam, seperti mi biasa
12 Hafiz F 2 terlalu putih pucat 4 mirip mi biasa
13 Randy Dio 2 kusam 5 sangat menarik
14 Iin Wahyuni 2 putih, pucat 3 agak pucat, kurang kuning
15 Rizqi F 2 putih, keruh 3 kurang cerah
16 Ahmadun 3 kurang mengkilat 4 menarik
17 Priska W 2 terlalu putih, kurang menarik 5 bagus, menarik, kelihatan enak
18 Mega 3 warna keruh, agak gelap 5 bagus, cerah
19 Opi 3 kusam 4 mirip mi biasa
20 Meutia 2 agak kusam 5 mirip mi biasa
21 M. Buyung 4 tampak pucat 5 kuning keemasan
22 Ardy 3 kurang menarik 5 mendekati mi terigu
23 Irfan A 3 biasa 4 lebih kuning
24 Andhi F 4 seperti mi ayam 5 kaya mi kuning
25 R. Dani B 3 keruh, kurang menarik 4 lebih cerah, menarik
26 Andika 2 terlalu pucat 5 seperti pada umumnya
27 M. Iqbal B 3 normal 5 lebih menarik (golden brown)
28 Efratia 2 putih, keruh 5 kuning cantik, terlihat alami
29 Tiur S 1 butek, kotor, kesan benyek 4 menarik, cerah
30 Sri 2 kusam 3 tanggung
31 Vera 2 agak kusam 3 kurang menarik
32 Fathin 3 terlalu pucat 5 sangat bagus, kekuningan
33 May 3 pucat 4 warna menarik
59
Lampiran 16. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekeruhan air rebusan mi
No. Nama Kekeruhan Air Rebusan Mi
Sorgum
Sorgum-Jagung
1 Ramlan Asbar 2 terlalu kental 4 tidak terlalu kental
2 Andi Early 4 kuning 4 jernih
3 Putu Adi 1 kuning, tidak disukai 5 jernih
4 Suba 4 CL terlalu tinggi 4 oke, kuningnya pas
5 Yuliyanti 1 kental sekali 2 sedikit kental
6 Annisa K 1 - 2 -
7 Bangun 1 keruh sekali 2 keruh
8 Rista 2 keruh 3 biasa aja
9 Indra 3 terlihat kotor 3 keruh
10 Arum Marya 2 keruh, ada lapisan 3 cukup keruh
11 Annisa N 2 agak gelap 3 pucat
12 Hafiz F 2 terlalu putih 3 putih pucat, biasa
13 Randy Dio 2 keruh 2 keruh
14 Iin Wahyuni 3 keruh 3 keruh
15 Rizqi F 2 keruh 2 terlalu keruh
16 Ahmadun 3 terlalu keruh 3 cukup keruh
17 Priska W 3 tidak terlalu keruh 4 cerah, tidak keruh
18 Mega 2 keruh sekali 2 keruh, agak terang
19 Opi 2 lebih keruh 2 lebih keruh
20 Meutia 1 kelihatan lebih keruh 2 keruh sekali
21 M. Buyung S 2 berbusa 3 seperti air rebusan mi
22 Ardy 1 terlalu keruh 1 keruh sekali
23 Irfan A 2 lebih kental, pucat 3 biasa aja
24 Andhi F 3 keruh 3 keruh
25 R. Dani B 3 sedikit cerah 3 terlalu pucat, tidak menarik
26 Andika Bagus 4 cukup keruh 4 lebih keruh
27 M. Iqbal B 2 berbusa 4 keruh, tidak berbusa
28 Efratia 2 terlalu keruh, agak kental 3 masih wajar sebagai air rebusan
29 Tiur S 1 butek, kental 3 biasa aja
30 Sri 1 - 2 -
31 Vera 1 keruh 2 keruh seperti air tajin
32 Fathin 2 terlalu keruh 2 terlalu keruh
33 May 2 ada busa, keruh 3 agak keruh
60
Lampiran 17. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekerasan
No. Nama Kekerasan
Sorgum Sorgum-Jagung
1 Ramlan Asbar 2 terlalu keras seperti belum matang 3 seperti mi biasa
2 Andi Early 3 agak keras tetapi masih bisa
dikunyah 2 Agak a lot
3 Putu Adi 2 sangat keras 2 keras, tidak bagus
4 Suba 3 terlalu keras 3 agak keras
5 Yuliyanti 4 agak kenyal 4 agak keras
6 Annisa K 4 - 4 -
7 Bangun 2 kenyal, sulit dikunyah 2 susah digigit
8 Rista 3 agak sulit digigit 2 sulit digigit
9 Indra 4 kenyal 2 mudah putus
10 Arum Marya 4 mudah putus 2 tidak mudah putus
11 Annisa N 4 lunak 3 cukup keras
12 Hafiz F 2 agak kenyal 3 biasa
13 Randy Dio 2 susah digigit 4 mudah hancur
14 Iin Wahyuni 4 cukup mudah digigit 4 cukup mudah digigit
15 Rizqi F 4 mudah patah ketika digigit 4 mudah patah ketika digigit
16 Ahmadun 3 terlalu susah digigit 3 tekstur masih terlalu keras
17 Priska W 2 terlalu keras 4 tidak terlalu keras
18 Mega 4 keras tapi kenyal 4 keras tapi kenyal
19 Opi 4 biasa 4 biasa
20 Meutia 3 lebih keras 5 oke banget
21 M. Buyung S 2 terlalu keras 2 terlalu keras
22 Ardy 4 hampir mirip mi terigu 3 agak keras
23 Irfan A 4 sudah agak keras 4 suka
24 Andhi F 4 empuk 4 empuk
25 R. Dani B 4 kenyalnya cukup 3 kenyalnya seperti mi pada
umumnya
26 Andika Bagus 4 masih empuk 4 masih empuk
27 M. Iqbal B 4 cukup kenyal 5 lembut,pas
28 Efratia 4 sedikit lebih mudah dikunyah 3 agak terlalu kenyal
29 Tiur S 2 tidak kenyal 4 kenyal
30 Sri 3 agak keras, agak lengket 4 bagus
31 Vera 4 agak keras, lengket 4 oke
32 Fathin 3 bagian luar mi terlalu gembur tapi
bagian dalam terlalu keras 5 kekenyalan sangat baik
33 May 2 terlalu keras 4 kekerasan sedang
61
Lampiran 18. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut elongasi
No. Nama Elongasi
Sorgum Sorgum-Jagung
1 Ramlan Asbar 4 tidak mudah putus 4 tidak mudah putus
2 Andi Early 2 mudah putus 3 agak elastis, mudah putus
3 Putu Adi 5 kenyal, sangat tidak mudah putus 4 kekenyalan bagus, tidak mudah
putus
4 Suba 4 oke 4 bagus
5 Yuliyanti 4 lama putus 3 cepat putus
6 Annisa K 4 - 5 -
7 Bangun 2 mudah putus 4 -
8 Rista 2 tidak baik, saat mi diangkat,
hampir semua terangkat 4 baik
9 Indra 3 netral 3 biasa
10 Arum Marya 3 netral, mudah putus 2 cukup elastis, sulit putus
11 Annisa N 3 tidak terlalu mudah putus, lebih
elastis 3
tidak terlalu mudah putus, lebih
elastis
12 Hafiz F 2 terlalu tinggi 3 sama dengan mi biasa
13 Randy Dio 2 mudah patah 2 mudah patah
14 Iin Wahyuni 4 tidak terlalu mudah putus, lebih
elastis 5
tidak terlalu mudah putus, lebih
elastis
15 Rizqi F 5 bisa ditarik lebih panjang 4 tidak sulit untuk ditarik
16 Ahmadun 3 terlalu elastis, kurang bagus untuk
ready-to-eat food 4 elongasi oke
17 Priska W 5 mi elastis kaya pasta 4 tidak cepat putus
18 Mega 4 tidak terlalu mudah putus, lebih
elastis 4
tidak terlalu mudah putus, lebih
elastis
19 Opi 3 biasa 3 biasa
20 Meutia 3 oke, ga mudah putus 4 paling oke, mirip spagetti
21 M. Buyung S 2 terlalu cepat putus 3 tidak mudah putus
22 Ardy 3 cukup, tapi kurang panjang 4 cukup dan tidak mudah putus
23 Irfan A 4 tidak mudah putus 4 tidak mudah putus
24 Andhi F 5 mi tidak gampang putus 4 kenyal
25 R. Dani B 3 cukup, pas 3 cukup
26 Andika 5 lebih tidak mudah putus 5 tidak mudah putus
27 M. Iqbal B 4 lebih tahan ditarik 4 lebih tahan ditarik
28 Efratia 4 cukup elastis 4 elastis
29 Tiur S 2 keras tapi mudah putus 4 kesan kenyal
30 Sri 4 - 4 -
31 Vera 4 oke 4 oke
32 Fathin 4 cukup elastis 4 cukup elastis
33 May 2 agak susah putus 4 tidak mudah putus
62
Lampiran 19. Hasiluji hedonik mi sorgum atribut rasa
No. Nama Rasa
Sorgum Sorgum-Jagung
1 Ramlan Asbar 2 rasa mi belum matang 4 enak
2 Andi Early 3 masih bisa diterima 4 tidak terlalu hambar
3 Putu Adi 2 tidak enak 3 agak enak
4 Suba 4 Enak 4 enak
5 Yuliyanti 4 Enak 4 enak
6 Annisa K 3 - 4 -
7 Bangun 4 enak, rasanya terasa 4 hambar
8 Rista 4 agak gurih 3 hambar, sedikit pahit
9 Indra 4 Lumayan 3 lumayan
10 Arum Marya 3 Hambar 4 sedikit gurih
11 Annisa N 4 Kenyal 4 familiar
12 Hafiz F 3 Netral 2 masih terasa tepung
13 Randy Dio 3 Hambar 4 enak
14 Iin Wahyuni 3 Plain 3 plain, agak getir
15 Rizqi F 3 Plain 3 plain
16 Ahmadun 3 Netral 3 netral
17 Priska W 5 Enak 4 enak
18 Mega 4 enak, clear, ada after aroma 4 sedikit berat, kurang clear,
tidak ada aftertaste
19 Opi 3 Biasa 3 biasa
20 Meutia 2 masih terasa masir dan rasa
sorgum kuat 4 enak
21 M. Buyung S 3 seperti mi gandum 4 biasa
22 Ardy 5 enak banget 3 masih terasa tepung
23 Irfan A 4 Asin 4 biasa
24 Andhi F 4 sedikit hambar 4 hambar
25 R. Dani B 2 aftertaste seperti tepung 3 aftertaste tidak terasa
26 Andika Bagus 3 masih netral 5 lebih terasa
27 M. Iqbal B 3 tawar, biasa aja 3 tawar, biasa aja
28 Efratia 4 gurih, aroma lebih khas 3 netral
29 Tiur S 3 biasa aja 4 enak
30 Sri 4 rasa tepung masih ada,
ukuran diperkecil, lengket 4 agak terasa tepung, lengket
31 Vera 4 aftertaste ada rasa tepung,
lengket 4
agak terasa tepung sedikit,
lengket
32 Fathin 4 agak gurih 4 netral
33 May 3 kurang berasa 3 kurang berasa
63
Lampiran 20. Hasil analisis kadar air mi formula terpilih
Mi
W sampel
awal (g)
W cawan
kosong (g)
W cawan +sampel
kering (g)
Kadar Air
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Kadar Air
(%bk)
Rata-
rata Stdev
Sorgum
A
1 2.0173 4.3550 6.1412 11.49 11.50 0.01
11.49 12.24 1.06
2 2.0185 4.2385 6.0248 11.50 12.99
Sorgum
B
1 2.0074 4.9299 6.7011 11.77 11.80 0.04
11.77 12.59 1.15
2 2.0086 4.5546 6.3258 11.82 13.40
Sorgum-
Jagung
1 2.0161 4.7964 6.5639 12.33 12.58 0.35
12.33 13.50 1.65
2 2.0168 4.6717 6.4298 12.82 14.66
Lampiran 21. Hasil analisis kadar abu mi formula terpilih
Mi
W sampel
awal (g)
W cawan
kosong (g)
W cawan+sampel
kering (g)
Kadar Abu
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Kadar
Abu
(%bk)
Rata-
rata Stdev
Sorgum
A
1 2.1269 21.7705 21.8203 2.34 2.33 0.01
2.78 2.77 0.01
2 2.1818 20.4960 20.5467 2.32 2.76
Sorgum
B
1 2.1474 22.2635 22.3137 2.34 2.34 0.00
2.77 2.77 0.00
2 2.1479 22.6853 22.7355 2.34 2.77
Sorgum-
Jagung
1 2.1159 23.7393 23.7840 2.11 2.13 0.02
2.51 2.53 0.03
2 2.1113 17.5757 17.6210 2.15 2.54
Lampiran 22. Hasil analisis kadar protein mi formula terpilih
Mi
W sampel
(g)
V HCl
(ml)
Kadar Protein
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Kadar Protein
(%bk)
Rata-
rata Stdev
Sorgum
A
1 0.1099 3.40 5.49 5.52 0.04
6.51 6.55 0.05
2 0.1186 3.70 5.55 6.58
Sorgum
B
1 0.1048 3.15 5.32 5.34 0.03
6.31 6.33 0.03
2 0.1093 3.30 5.36 6.36
Sorgum-
Jagung
1 0.1012 3.40 5.97 5.94 0.05
7.08 7.04 0.06
2 0.1131 3.75 5.90 7.00
Keterangan : V blanko = 0.10 ml
64
Lampiran 23. Hasil analisis kadar lemak mi formula terpilih
Mi
W sampel
awal (g)
W labu
lemak (g)
W labu+sampel
kering (g)
Kadar Lemak
(%bb)
Rata-
rata Stdev
Kadar Lemak
(%bk)
Rata-
rata Stdev
Sorgum
A
1 2.1343 102.6932 102.6977 0.21 0.22 0.01
0.25 0.25 0.01
2 2.1210 108.4368 108.4415 0.22 0.26
Sorgum
B
1 2.1324 106.2063 106.2106 0.20 0.22 0.02
0.24 0.25 0.03
2 2.1311 107.5564 107.5612 0.23 0.27
Sorgum-
Jagung
1 2.1306 107.0713 107.0758 0.21 0.22 0.01
0.25 0.26 0.02
2 2.1250 97.8939 97.8988 0.23 0.27
Lampiran 24. Hasil analisis kadar karbohidrat mi formula terpilih
Mi Karbohidrat (%bb) Karbohidrat (%bk)
Sorgum A 80.44 90.88
Sorgum B 80.31 91.05
Sorgum-Jagung 79.14 90.52
Lampiran 25. Verifikasi cooking loss mi sorgum
Mi
W sampel
awal (g)
W cawan+sampel
kering (g)
W cawan
kosong (g)
W akhir
kering (g)
W awal
kering (g)
Kadar
air (%)
cooking
loss (%bk)
Rata-
rata Stdev
Sorgum 1 2.1378 4.9335 3.2578 1.6757 1.8276 14.51 8.31
8.95 0.90 2 2.0747 4.1855 2.5281 1.6574 1.8330 11.65 9.58
Sorgum-
Jagung
1 2.035 4.3998 2.8085 1.5913 1.7790 12.58 10.55 10.48 0.10
2 2.0851 4.7193 3.0862 1.6331 1.8228 12.58 10.41
Lampiran 26. Verifikasi elongasi mi sorgum
Mi
Force (gf) Waktu (s) Elongasi (%) Rata-rata Stdev
Sorgum 1 28.9 22.725 340.88
332.44 11.93 2 73.3 21.600 324.00
Sorgum-
Jagung
1 39.1 18.685 280.28 275.74 6.42
2 47.0 18.080 271.20
Lampiran 27. Analisis kandungan gizi mi sorgum (%bb)
Sampel Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Mi Sorgum 11.65 a 2.34
a 5.43
a 0.22
a 80.38
a
Mi Sorgum-Jagung 12.58 a 2.13
b 5.94
a 0.22
a 79.02
b
Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf
kepercayaan 95%.
65
Lampiran 28. Hasil uji optimasi proses mi sorgum
Constraints
Lower Upper Lower Upper
Name Goal Limit Limit Weight Weight Importance
suhu is in range 80 95 1 1 3
kec. ulir is in range 50 125 1 1 3
cooking loss minimize 5.33 24.09 1 1 4
elongasi is in range 104.87 382.09 1 1 3
Solutions
Number suhu kec. ulir cooking loss elongasi Desirability
1 95 125 8.56 351.99 0.828 Selected
2 95 123 8.63 350.89 0.824
3 95 113 9.06 343.60 0.801
3 Solutions found
Lampiran 29. Hasil uji ANOVA model polinomial cooking loss
Response1 cooking loss
ANOVA for Response Surface Linear Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F
Model 145.05 2 72.52 7.58 0.0066 significant
A-suhu115.29 1 115.29 12.05 0.0041
B-kec. ulir 26.11 1 26.11 2.73 0.1226
Residual 124.43 13 9.57
Lack of Fit 100.21 8 12.53 2.59 0.1550 not significant
Pure Error24.21 5 4.84
Cor Total 269.47 15
Std. Dev. 3.09 R-Squared 0.5383
Mean 13.20 Adj R-Squared 0.4672
C.V. % 23.45 Pred R-Squared 0.2913
PRESS 190.96 Adeq Precision 6.958
The "Pred R-Squared" of 0.2913 is in reasonable agreement with the "Adj R-Squared" of 0.4672.
66
Final Equation in Terms of Coded Factors:
cooking loss =
+13.27
-3.16 * A
-1.55 * B
Final Equation in Terms of Actual Factors:
cooking loss =
+53.78557
-0.42183 * suhu
-0.041200 * kec. ulir
67
Lampiran 30. Hasil uji ANOVA model polinomial elongasi
Response2 elongasi
ANOVA for Response Surface 2FI Model
Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]
Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F
Model 67569.05 3 22523.02 6.93 0.0058 significant
A-suhu 57347.38 1 57347.38 17.64 0.0012
B-kec. ulir 1326.34 1 1326.34 0.41 0.5350
AB 11158.80 1 11158.80 3.43 0.0887
Residual 39017.25 12 3251.44
Lack of Fit 21661.85 7 3094.55 0.89 0.5715 not significant
Pure Error 17355.39 5 3471.08
Cor Total 1.066E+005 15
Std. Dev. 57.02 R-Squared 0.6339
Mean 259.44 Adj R-Squared 0.5424
C.V. % 21.98 Pred R-Squared 0.3558
PRESS 68657.70 Adeq Precision 7.540
The "Pred R-Squared" of 0.3558 is in reasonable agreement with the "Adj R-Squared" of 0.5424.
Final Equation in Terms of Coded Factors:
elongasi =
+255.51
+70.61 * A
-11.01 * B
+36.88 * A * B
Final Equation in Terms of Actual Factors:
elongasi =
+461.35053
-2.05876 * suhu
-11.76695 * kec. ulir
+0.13112 * suhu * kec. ulir
68
Lampiran 31. Hasil analisis uji hedonik mi sorgum
T-Test
Paired Samples Statistics
Atribut Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Warna Mi Sorgum Pair 1 A1_mi 2.67 33 .816 .142
Sorgum-Jagung B1 4.06 33 .864 .150
Kekeruhan air
rebusan
Sorgum Pair 2 A2_air 2.09 33 .914 .159
Sorgum-Jagung B2 2.85 33 .870 .152
Kekerasan Mi Sorgum Pair 3 A3_ker 3.21 33 .857 .149
Sorgum-Jagung B3 3.42 33 .936 .163
Elongasi Mi Sorgum Pair 4 a4_elo 3.42 33 1.032 .180
Sorgum-Jagung b4 3.73 33 .719 .125
Rasa Mi Sorgum Pair 5 a5_ras 3.48 33 .795 .138
Sorgum-Jagung b5 3.61 33 .556 .097
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 A1_mi & B1 33 .340 .053
Pair 2 A2_air & B2 33 .529 .002
Pair 3 A3_ker & B3 33 .235 .188
Pair 4 a4_elo & b4 33 .498 .003
Pair 5 a5_ras & b5 33 .234 .191
69
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig.
(2-tailed) Atribut Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Warna Mi Pair 1 A1_mi - B1 -1.394 .966 .168 -1.737 -1.051 -8.287 32 .000
Kekeruhan
air rebusan Pair 2 A2_air - B2 -.758 .867 .151 -1.065 -.450 -5.019 32 .000
Kekerasan Pair 3 A3_ker - B3 -.212 1.111 .193 -.606 .182 -1.097 32 .281
Elongasi Pair 4 a4_elo - b4 -.303 .918 .160 -.629 .022 -1.896 32 .067
Rasa Pair 5 a5_ras - b5 -.121 .857 .149 -.425 .183 -.812 32 .423
Kesimpulan : Hasil analisis warna mi dan kekeruhan air rebusan mi menunjukkan ada perbedaan yang nyata pada
sampel mi sorgum dan mi sorgum-jagung pada taraf signifikansi 5%. Selain itu, tidak ada perbedaan yang nyata
pada atribut kekerasan, elongasi, dan rasa dari sampel mi sorgum dan mi sorgum-jagung pada taraf signifikansi 5%.
70
Lampiran 32. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam bahan pangan dengan metode Luff Schoorl
ml 0.1N
Na-thiosulfat
glukosa, fruktosa, gula invert
mg C6H12O6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
2.4
4.8
7.2
9.7
12.2
14.7
17.2
19.8
22.4
25.0
27.6
30.3
33.0
35.7
38.5
41.3
44.2
47.1
50.0
53.0
56.0
59.1
62.2
-
∆
2.4
2.4
2.5
2.5
2.5
2.5
2.6
2.6
2.6
2.6
2.7
2.7
2.7
2.8
2.8
2.9
2.9
2.9
3.0
3.0
3.1
3.1
-
-
71
Lampiran 33. Kurva elongasi mi sorgum terpilih
95oC 125a rpm (1) 95
oC 125a rpm (2)
95oC 125b rpm (1) 95
oC 125b rpm (2)
Verifikasi 95oC 125 rpm 1 Verifikasi 95
oC 125 rpm 2
72
Lampiran 34. Sebaran kenormalan variabel respon cooking loss dan elongasi
Sebaran kenormalan data respon cooking loss
Sebaran kenormalan data respon elongasi
Gambar di atas menunjukkan sebaran data cooking loss dan elongasi mi sorgum kering. Titik-titik data
yang mengikuti garis lurus menunjukkan bahwa sebaran data mengikuti distribusi normal. Distribusi normal,
disebut juga distribusi gaussian, sejauh ini paling banyak digunakan di dalam statistik. Distribusi ini menyediakan
model yang baik untuk banyak, walaupun tidak semua, populasi yang berkelanjutan (Navidi 2006).
Design-Expert® Sof twareKPAP
Color points by v alue ofKPAP:
24.09
5.33
Internally Studentized Residuals
Norm
al %
Pro
babili
ty
Normal Plot of Residuals
-1.22 -0.29 0.64 1.58 2.51
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
Design-Expert® Sof twareelongasi
Color points by v alue ofelongasi:
382.09
104.87
Internally Studentized Residuals
Norm
al %
Pro
babili
ty
Normal Plot of Residuals
-1.37 -0.58 0.21 1.00 1.79
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
Internally Studentized Residuals
Normal % Probability
Internally Studentized Residuals
Normal % Probability
73
Lampiran 35. Kuisioner uji hedonik mi sorgum
UJI KESUKAAN MI SORGHUM
Pengujian dilakukan terhadap tiga parameter yaitu warna, elongasi dan kekerasan.Skala yang digunakan adalah 1-5 (sangat
tidak suka – sangat suka).Perhatikan petunjuk sebelum melakukan penilaian.Komentar wajib diisi.
1. Warna Mi
Amati warna mi sorghum yang telah dimasak dan berikan penilaian Anda dengan memberikan tanda checklist (√) pada
kolom yang telah tersedia.
Skala Penilaian Kode Sampel
147 423 295
Sangat suka
Suka
Biasa
Tidak suka
Sangat tidak suka
Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..
2. Kekeruhan Air Rebusan Mi
Amati kekeruhan air rebusan mi sorghum yang telah dimasak dan berikan penilaian Anda dengan memberikan tanda
checklist (√) pada kolom yang telah tersedia.
Skala Penilaian Kode Sampel
147 423 295
Sangat suka
Suka
Biasa
Tidak suka
Sangat tidak suka
Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..
3. Elongasi
Elongasi menunjukkan daya tahan mi untuk putus ketika ditarik.Semakin mulur menunjukkan bahwa mi tersebut
memiliki elongasi yang semakin tinggi.
Angkat mi dari mangkok dengan menggunakan garpu (seperti ketika Anda mengkonsumsi mi rebus), amati daya tahan
mi untuk putus ketika ditarik menggunakan garpu. Berikan penilaian Anda.
Skala Penilaian Kode Sampel
147 423 295
Sangat suka
Suka
Biasa
Tidak suka
Sangat tidak suka
Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..
4. Kekerasan
Kekerasan menunjukkan besarnya upaya yang diperlukan untuk menggigit (bukan mengunyah) mi sampai putus
(hancur).Ambil kira-kira 5 cm untaian mi dan gigit sampai putus (hancur).Berikan penilaian Anda.
Skala Penilaian Kode Sampel
147 423 295
Sangat suka
Suka
Biasa
Tidak suka
Sangat tidak suka
Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..
5. Rasa
Rasa menunjukkan besarnya penerimaan panelis secara hedonik (sensori) terhadap mi secara hedonik.Ambil kira-kira 5
cm untaian mi dan cicipi rasanya sambil dikunyah.Berikan penilaian Anda.
Skala Penilaian Kode Sampel
147 423 295
Sangat suka
Suka
Biasa
Tidak suka
Sangat tidak suka
Komentar :………………………………………………………………………………………………………………………..