otoritas al sunnah sebagai sumber ajaran islamjournal.unisla.ac.id/pdf/13812014/6. abu azam,...
TRANSCRIPT
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
OTORITAS AL SUNNAH
SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Abu Azam Al Hadi
(Fakultas Syariah dan Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya)
Abstract: The Basics apocalyptic and historical institutionalization al-Sunnah as there is a description of the authority of al-Sunnah as the source of Islamic teachings from time to time. Although the journey to experience a variety of situations, both denial and forgery, that al-Sunnah is believed to be the source of Islamic teachings. Because there are many facts, mainly by reason of rejection and background forgery, has precisely the opposite values of al-Sunnah. Namely the strengthening of the authority of al-Sunnah among the Muslim community and even to be clings constantly to actualize. Authenticity is still well maintained, more valuable again that the understanding of sharia in al-Sunnah growing rise. Even in the development of the Muslim community trying to actualize, in addition to contextually also more original that textually.
Kata Kunci: Otoritas, al-Sunnah dan Ajaran Islam.
Pendahuluan
Pemahaman tentang otoritas Sunnah (Hujjiyat al-Sunnah ) sebagai salah satu sumber
ajaran Islam dan menempati urutan kedua dalam anatomi hukum Islam, merupakan unsur
inheren dalam bidang agama (ma’lu@m min al-di@n bi al-d}aru@rah).
Memahami otoritas Sunnah merupakan perioritas utama sebelum mengkaji hadith dan
ilmunya secara lebih mendalam. Hal ini dalam rangka memformat kerangka berfikir yang
mapan bagi pengkaji sunnah tentang posisi Sunnah.
Problem yang cukup signifikan terkadang muncul ketika seorang pengkaji tidak memiliki
dasar pemahaman yang mapan tentang otoritas Sunnah ini. Dalam hal ini fenomena
Qur’a@niyyu@n dan ingka@r al-Sunnah bukan suatu hal yang asing.
Adapun ulama yang pertama kali mendapat kehormatan mengkaji secara khusus bidang
ini adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i rahimahullah dalam al-Risalahnya. Salah satu
bentuk upayanya, berupa kegigihannya dalam menerangkan kedudukan sumber sunnah
menurut al-Quran dan dalam membela sunnah dari para pengingkarnya. Oleh karena itu, ia
digelari “Na@s}ir al-Sunnah” atau pembela sunnah1. Kemudian di ikuti oleh karya para
ulama dan cendikiawan lain yang tidak sedikit jumlahnya.
Dalam tulisan ini akan berusaha memaparkan dan meneguhkan kembali mengenai
kedudukan serta otoritas sunnah dan menjelaskan beberapa aspek terkait di dalamnya.
Makna Hujjiyat al-Sunnah.
Kata “H}ujjiyah” secara terminologi, memiliki arti menampakkan, menyingkap, atau
petunjuk yang mewajibkan untuk diamalkan karena merupakan bagian dari hukum Allah2.
Sedangkan al-Sunnah menurut terminologi ulama Hadith adalah setiap sesuatu yang
disandarkan dari Nabi Muhammad, baik berbentuk perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat
fitrah penciptaan, budi pekerti ataupun riwayat hidup, baik sebelum diutus menjadi nabi
1 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut pembela, pengingkar dan pemalsunya, (Jakarta : Gema Insani Press,
1995), 38. 2 Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat al-Sunnah, (Mans}urah: Dar al-Wafa’, tt), 243.
44
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
maupun sesudahnya3. Berdasarkan definisi tentang al-Sunnah yang telah disajikan, ulama
hadith menyamakan pengertian hadith dengan sunnah. Namun terkadang istilah hadith
dimaksudkan untuk: perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sesudah bi’thah. Oleh karenanya,
istilah sunnah lebih umum daripada hadith.
Adapun menurut Ulama us}ul, yang melihat sunah sebagai landasan hukum di samping
al-Qur’an, mendefinisikannya dengan: perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi yang dapat
dijadikan sandaran hukum. Sedangkan menurut ahli fikih, sunnah adalah: setiap informasi
mengenai Nabi yang tidak menyangkut beban fardhu atau wajib, Ini berarti sunnah
cakupannya lebih luas dari hadits sebab sunnah mencakup perkataan, perbuatan, dan
penetapan (taqri>r) rasul yang bisa dijadikan dalil hukum shar’iy4.
Dari terminologi diatas jika dikorelasikan maka, maksud Hujjiyat al-Sunnah adalah
wajibnya untuk mengamalkan segala ajaran sunnah Nabi5.
Pentingnya Otoritas Sunnah Sebagai Kebutuhan Agama.
Otoritas sunnah sebagai sumber ajaran Islam dalam hal akidah keimanan maupun
hukum Islam (shari'at) merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan. Hal ini tidak terlepas
dari dua perkara : 1) Ketetapan umat bahwa sunnah -yang bersumber dari Nabi- adalah hujjah
dan dalil dalam pokok- pokok hukum Islam. 2) Ketetapan umat bahwa hadith Nabi
diriwayatkan melalui periwayatan yang otentik dan terpercaya6. Pentingnya otoritas sunnah
ini juga dapat dimaklumi karena ditinjau dari beberapa aspek berikut :
a. Kedudukan Sunnah dalam Islam.
Kedudukan Sunnah dalam anatomi hukum Islam adalah menempati urutan kedua setelah
al-Qur’an. Sedangkan dalam tataran otoritas, sunnah menempati tempat yang sejajar
bersama al-Qur’an. Artinya dalil hukum yang bersumber dari al-Sunnah sejajar derajatnya
dengan dalil syari'at yang bersumber dari al-Qur’an, maka keduanya dapat berfaedah
memberikan sebuah pemahaman dan mewajibkan untuk diamalkan dalam berbagai bentuk
hukum pengamalannya; wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram7.
Dalam praktiknya, sunnah merupakan tafsir ‘amali al-Qur’an dan suri tauladan bagi umat
Islam. Nabi Muhammad merupakan perwujudan dari al-Qur’an dan Islam berdasarkan apa
yang dilakukannya. Makna inilah yang dipahami oleh umm al-Mukminin Aisyah, dengan
pengetahuannya yang mendalam dan pengalaman hidupnya bersama Rasulullah, ia
mengungkapkan mengenai akhlak Nabi ;” Akhlaknya adalah al-Qur’an”. Oleh karena itu,
untuk mengetahui Islam secara menyeluruh, maka hendaknya mempelajari secara rinci
yang teraktualisasi dari sunnah Nabawiyyah, yakni ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi8.
Al-Suyuti mengatakan, al-Qur’an memerlukan al-Sunnah, sebab Sunnah menerangkan
maksud dan isi ayat-ayat al-Qur’an dan merinci (mufassil) terhadap yang umum (Mujmal).
Karena isi al-Qur’an merupakan perbendaharaan sempurna, maka diperlukan orang yang
mengetahui rahasianya sehingga dapat ditampakkan olehnya, yaitu Rasulullah. Sunnah
tidak menyamai derajat al-Qur’an dalam kemukjizatan dan maknanya luhur, karena al-
Sunnah memberikan penjelasan (Sharh}) terhadap al-Qur’an, maka sudah sepatutnya
penjelasannya lebih rinci dan luas dari apa yang dijelaskan9.
b. Mayoritas sunnah bersifat relatif (Z}anniy al-Wuru@d).
3 Mus}t}afa al-Siba’i, al-Sunnah wa Maka@natuha fi al-Tashri’ al-Isla@mi, (Kairo: Dar al-Warra@q, tt), 65.
4 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, ( Bandung: Angkasa, 1987), 14.
5 Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat al-Sunnah, 243.
6 Ibid, 245.
7 Ibid, 249.
8 Yusuf al-Qarad}awi, Kaifa Nata’a@mal ma’a al-Sunnah, (Mans}u@rah: Dar al-Wafa’,1993), 23.
9 Jalal al-Din al-Suyut}i, Mifta@h al-Jannah fi al-Ih}}tija@j bi al-Sunnah, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1987),36.
45
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir baik
makna maupun lafalnya dari generasi ke generasi mulai jaman Rasulullah saw hingga
sekarang, sehingga menjadikannya Qath’iy al-Wuru@d. kemudian diantara ayat al-Qur’an,
ada yang memberikan petunjuk makna secara tegas dan pasti (Qat}’iy al-Dilalah) dan
sebagian yang lain secara relatif petunjuknya (Z}anniy al-Dilalah). Sedangkan al-Sunnah,
di antaranya ada yang mutawa>ttir yang memberikan pengertian Qath’i al-Wuru@d. Akan
tetapi, pada umumnya al-Sunnah disampaikan secara ahad, dan dalam penyampaian
maupun penerimaannya lebih banyak dalam bentuk lisan daripada tulisan. Atas dasar ini
kedudukan hadits dari segi otentisitasnya secara global menjadi Z}anniy al-Wuru>d10
. Hal
ini bukan berarti ada keraguan atas keabsahan hadith, akan tetapi karena adanya sekian
banyak faktor, baik dari diri Nabi, maupun para sahabat, di samping kondisi sosial
masyarakat saat itu yang saling topang-menopang.
c. Hadi>th sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri
Terdapat beberapa hukum dalam al-Qur’an yang tidak ditemukan sharah (penjelasan) yang
terkait dengan syarat-syarat, rukun-rukun, dan faktor-faktor dari suatu hukum. Hal itu
menyebabkan para sahabat perlu kembali kepada Rasul saw., untuk mengetahui penjelasan
yang diperlukan bagi ayat-ayat yang terkait dengan hukum. Hal yang sama—juga—
terdapat banyak hukum yang tidak ditemukan nas}-nya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini,
diperlukan ketetapan Nabi saw. yang telah diakui sebagai utusan Allah menyampaikan
shari’at dan undang-undang kepada umat11
.
Ulama’ telah sepakat atas kehujjahan h}adi>th, baik posisi hadi>th sebagai baya>n
terhadap al-Qur’an maupun posisinya sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. al-
Shawka>ny berpendapat, bahwa kehujjahan h}adi>th dan posisinya sebagai sumber hukum
shar’i yang berdiri sendiri merupakan hal yang fundamental dalam agama. Hal itu tidak
ada yang dapat menentang kecuali seseorang yang tidak memiliki kepedulian terhadap
Islam12
.
Maka dalam pengambilan suatu hukum, kita harus menengok al-Qur’an terlebih dahulu,
baru selanjutnya melihat hadith sebagaimana hadith Mu’adh bin Jabal ra. dan praktik para
Khulafa’ al-Rasyidin. Namun hal ini hanya dalam hukum-hukum yang jelas dalalah-nya
dalam al-Qur’an. Misalnya: hak waris suami-isteri (Qs. Al-Nisa’:12),
10
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi...,93. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2011), 23. 11
Ibid. 132-133 12
Muhammad bin Muhammad Abu> Shahbah, Difa>’un ‘An al-Sunnah (ttp, Maktabat al-Sunnah,tth), 13.
46
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
‘Iddah talak bagi perempuan yang tidak haidh lagi (monopause), yang belum haidh dan
yang haidh ( Qs. Al-Thalaq:4),
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.
‘Iddah isteri yang ditinggal wafat suaminya sedangkan ia tidak haidh (Qs. Al-
Baqarah:234) dan lain-lain.
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.
Adapun selain itu, sandaran utama hukum adalah sunnah yang merupakan penjelas dan
perinci hukum-hukum al-Qur’an, Seperti: hak waris nenek, dan lain sebagainya.
Dasar Kehujjahan Sunnah.
Sunnah merupakan sumber hukum Islam (syariat) selain Al-Qur’an yang wajib diikuti
dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Keotoritasan sunnah ini
telah dinyatakan ketetapannya dalam dalil-dalil naqli@ maupun aqli
47
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
Abdul Ghani Abdul Khalik dalam bukunya, Hujjiyat al-Sunnah mendasarkan dalil-
dalil tersebut atas tujuh hal, berikut dasar-dasar otoritatif hadith sebagai sumber ajaran Islam13
:
1. Kemaksuman Nabi.
Telah disepakati bahwasannya Nabi adalah seorang yang maksum (terpelihara) dari
maksiat dan dosa. Oleh karena setiap khabar yang bersumber darinya merupakan
penyampaian dari Allah –sesudah adanya penetapan-Nya - dan sesuai dengan apa yang
disisi-Nya. oleh karena itu sunnah merupakan hujjah yang harus dipegang teguh14
.
Nabi juga maksum dari setiap kebohongan dalam menyampaikan risalah-Nya. Seperti
yang disampaikan dalam hadith Nabi :
عليه وسلم إنما العمال بالنية وإنما عن عمر بن الخطاب قال صلى للا قال رسول للا
الحديث... لمرئ ما نوى“ Dari Umar bin Khattab dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya15
”
2. Para Sahabat berpegang teguh terhadap Sunnah pada jaman Nabi.
Pada jaman Nabi, Rasul mengarahkan umatnya untuk berpegang teguh kepada
sunnahnya dan memperingatkan bagi yang menyalahinya. Beliau bersabda :
فمن رغب عن سنتي فليس مني “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku
16."
Para sahabat selalu berpegang teguh kepada sunnah Rasul, menjadikannya hujjah dan
tidak memisahkan antara pemahaman al-Qur’an dari al-Sunnah dalam berijtihad. Para
sahabat mengamalkan dan mengikuti setiap perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi.
Maka oleh karena itu sunnah merupakan hujjah yang mengikat. Banyak kisah di antara
para sahabat yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits/ sunnah rasul
sebagai sumber hukum Islam, antara lain ;
Pertama, ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan atau dilaksanakan oleh Rasulullah,
sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.17
Kedua, pernah dinyatakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan salat safar
dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad
SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat
sebagaimana Rasulullah SAW berbuat”.18
Ketiga, ketika Mu’adh bin Jabal diutus ke sebagai wakil di Yaman; dari Mu'adh bin
Jabal. Bahwa Rasulullah ketika akan mengutus Mu'adh bin Jabal ke Yaman beliau
bersabda: "Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang
dihadapkan kepadamu?" Mu'adh menjawab, "Saya akan memutuskan menggunakan
Kitab Allah." Beliau bersabda: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab
Allah?" Mu'adh menjawab, "Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah." Beliau
bersabda lagi: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah serta
13
Ibid, 278. 14
Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat ..., 280. 15
al-Bukhari, S}ah}ih} al-Bukhari, (Riyad}: Bayt al-Afka@r wa al-Dawliyyah, 1998), 1277. Muslim, S}ah}ih}
Muslim (Riyad}: Dar T}aybah, 2006) Vol.2, 882. 16
al-Bukhari S}ah}ih} al-Bukhari, (Riyad}: Bayt al-Afka@r wa al-Dawliyyah, 1998) 1005 . Muslim, S}ah}ih}
Muslim (Riyad}: Dar T}aybah, 2006) Vol 2, 640. 17
. Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad Bin Hambal, (Beirut: al-Maktabah Al- Islami t.t),vol. 1,
164. 18
. Ibid. vol 7. 67.
48
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
dalam Kitab Allah?" Mu'adh menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat
saya, dan saya tidak akan mengurangi." Kemudian Rasulullah menepuk dadanya dan
berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan
Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah.19
"
3. Al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menunjukkan secara eksplisit
tentang otoritas sunnah. Ayat-ayat tersebut merupakan dalalah qat}’i@ atas kehujjahan
sunnah, diantaranya dapat diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu :
a. Kewajiban beriman kepada Nabi dibarengkan dengan perintah beriman kepada Allah.
Diantaranya, firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya”20
.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya
(beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah
orang-orang yang benar”21
.
Dalam al-Risalahnya, Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata : “Awal dari segala
sesuatu adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, walaupun seorang hamba beriman
kepada Allah akan tetapi tidak kepada Rasul-Nya belumlah dianggap iman yang
sempurna”. Iman kepada Rasulullah sebagai utusan Allah SWT merupakan satu
keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu.
b. Rasul sebagai penjelas dari al-Qur’an, Diantaranya, firman Allah :
19
Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Cairo: Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000) 611. Ibnu Majah, (Cairo:
Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000), 343. Ahmad bin Hanbal, hadith no. 242. 20
Al Qur’a@n, 4 ( al-Nisa@’) : 136. 21
Ibid, 49 (al-Hujura@t) : 15.
49
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
“Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”22
.
”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (al-Sunnah). dan Sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”23
.
Mayoritas ulama berpendapat, "al-H}ikmah" dalam ayat ini adalah hal yang selain dari
al-Qur’an, yaitu sesuatu yang dimunculkan oleh Allah melalui rahasia agama dan hukum-
hukum shari'at-Nya, hal ini disebut al-Sunnah. Imam Shafi'i mengemukakan, (al-Kitab)
adalah al-Qur’an sedangkan (al-Hikmah) adalah sunnah Rasulullah. Karena al-Qur’an
telah disebutkan, kemudian diikuti kata hikmah maka kata itu hanya dapat dipahami
hanya dengan sunnah Rasul-Nya karena kata tersebut disandingkan dengan kata al-
Kitab24
.
c. Perintah taat kepada Rasul secara mutlak. Taat kepada Nabi merupakan taat kepada
Allah. Diantara firman-Nya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat
keras hukumannya”25
.
22
Ibid, 2 (al-Baqarah) : 151. 23
Ibid, 62 (al-Jumu’ah) : 2. 24
Mus}t}afa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha, 68. 25
Ibid, 59 (al-H}asyr) : 7.
50
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya”26
.
Sebagian ulama memberikan pengertian, “Ulil amri” adalah para pemimpin, yakni
panglima yang memimpin pasukan Rasul . Sedangkan kata “fain tana@za’tum” ialah
jika terjadi perselisihan pendapat dengan para pemimpin yang harus ditaati. Dan arti
“farudduhu lil Allah wa al-Rasul” agar supaya mereka kembali kepada apa yang
difirmankan Allah dan telah disabdakan Rasul-Nya. Maka dari ayat diataas menunjukkan
bahwasannya taat kepada Rasul identik pula dengan taat kepada Allah.
d. Kewajiban mengikuti jejak Rasul.
Mengikuti jejak Nabi adalah sebuah keniscayaan guna mencapai kecintaan kepada
Allah. Diantara firman-Nya :
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”27
.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”28
.
e. Takli@f kepada Nabi untuk mengikuti wahyu dan menyampaikannya tanpa ada
perubahan sedikitpun. Diantaranya, firman Allah :
26
Ibid, 4 (al-Nisa@’) : 59. 27
Ibid, 3 (Ali ‘Imran) : 21. 28
Ibid, 33 (al-Ah}za@b): 21.
51
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan
selain dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”29
.
“Wahai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”30
.
Dari penjelasan ayat-ayat diatas beserta klasifikasinya, maka jelaslah bahwa Sunnah
Nabi merupakan sumber ajaran Islam disamping al-Qur’an. Orang yang menolak hadith
sebagai sumber ajaran Islam berarti menolak petunjuk al-Qur’an.
Dapat ditarik suatu pemahaman pula, bahwa ketaatan kepada Rasulullah adalah
mutlak sebagaimana ketaatan kepada Allah SWT. Begitupula dengan ancaman dan
peringatan bagi yang durhaka. Ancaman Allah sering disejajarkan dengan ancaman
karena durhakan kepada Rasul-Nya.
4. Al-Hadith.
Hadith yang menjadi dalil kehujjahan sunnah serta menunjukkan kewajiban
menjadikannya sebagai pedoman hidup -disamping Al-Qur’an sebagai pedoman
utamanya- juga banyak sekali, diantaranya dapat diklasifikasikannya menjadi tiga
macam, yaitu :
a. Kemaksuman Nabi dari sifat bohong.
عليه وسلم أنه قال أل إني مقدام بن معدي كرب عن ال صلى للا عن رسول للا
أوتيت الكتاب ومثله معه أل يوشك رجل شبعان على أريكته يقول عليكم بهذا القرآن
موه أل ل يحل لكم لحم فما وجدتم ف يه من حلل فأحلوه وما وجدتم فيه من حرام فحر
بع ول لقطة معاهد إل أن يستغني عنها الحمار الهلي ول كل ذي ناب من الس
.بقوم فعليهم أن يقروه فإن لم يقروه فله أن يعقبهم بمثل قراه صاحبها ومن نزل
“Dari al-Miqdam bin Ma'di Karib dari Rasulullah , beliau bersabda: "Ketahuilah,
sesungguhnya aku diberi al-Qur'an dan yang semisal bersamanya (Al-Sunnah). Lalu
ada seorang laki-laki yang dalam keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya
berkata, "Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Al-Qur’an! Apa yang kalian
dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara halal maka halalkanlah. Dan apa yang
kalian dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara haram maka haramkanlah.
Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging himar jinak, daging binatang buas
yang bertaring dan barang temuan milik orang kafir mu'ahid (kafir dalam janji
perlindungan penguasa Islam, dan barang temuan milik muslim lebih utama) kecuali
pemiliknya tidak membutuhkannya. Dan barangsiapa singgah pada suatu kaum
29
Ibid, 6 (al-An’a@m) : 106. 30
Ibid, 5 (al-Ma@idah) : 67.
52
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
hendaklah mereka menyediakan tempat, jika tidak memberikan tempat hendaklah
memberikan perlakukan sesuai dengan sikap jamuan mereka.31
"
Dalam hadith ini dijelaskan bahwasannya, kepada Nabi diturunkan wahyu
berupa al-Qur’an dan lainnya (sunnah). Adapun syari'at yang ditetapkan Nabi pada
hakikat penetapan syari'atnya tidak terlepas asalnya dari sisi Allah32
.
Kehujjahan sunnah merupakan kelanjutan dari kemaksuman Nabi dari sifat
bohong dalam segala apa yang dikatakan, diperbuat dan ditetapkan. Nabi merupakan
tafsir ‘amali al-Qur’an. Oleh karena itu, jika sunnah tidak dapat dijadikan hujjah, al-
Qur’an akan dipertanyakan kehujjahaannya karena sunnah merupakan produknya33
.
b. Perintah Nabi untuk berpegang teguh kepada sunnahnya.
عليه وسلم قال تركت فيكم أمرين لن صلى للا عن مالك أنه بلغه أن رسول للا
وسنة نبيه كتم بهما كتاب للا تضلوا ما تمس
“dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah bersabda: "Telah aku
tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian
berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.34
"
Hadith diatas menjelaskan bahwa seseorang tidak akan sesat (dunia dan
akhiratnya) selamanya apabila hidupnya di dunia berpegang teguh dan berpedoman
pada al-Qur’an dan Sunnah.
c. Perintah Nabi untuk mendengar dan menyampaikan sunnahnya.
ث عن أبيه بن مسعود يحد حمن بن عبد للا عن سماك بن حرب قال سمعت عبد الر
امرأ سمع منا شيئا فبلغه كما قال ر للا عليه وسلم يقول نض سمعت النبي صلى للا
.رب مبلغ أوعى من سامع سمع ف “Dari Simak bin Harb dia berkata; aku mendengar Abdurrahman bin Abdullah bin
Mas'ud bercerita dari bapaknya dia berkata; aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Allah akan memperindah seseorang yang mendengar sesuatu
dariku kemudian dia sampaikan sebagaimana dia mendengarnya, maka bisa jadi
orang yang menyampaikan lebih faqih dari yang mendengar"35
.
Imam al-Shafi’i mengatakan bahwa ketika Rasul menganjurkan untuk
mendengarkan sabda-sabda beliau kemudian dihafal dan disampaikan pula kepada
yang lainnya, maka jelas menunjukkan bahwa sabda itu sebagai dasar hukum. Karena
itu sabda beliau dapat digunakan untuk menetapkan yang halal dan haram untuk
dijauhi36
.
5. Kemustahilan hanya mengamalkan dari al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama mengandung pokok-pokok ajaran
secara global (mujmal), absolut (mutlaq), dan universal (’am). Dengan kapasitasnya dan
31
Abi Daud, Sunan Abi Daud...,669. 32
Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat al-Sunnah, 308. 33
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, 26. 34
Malik bin Anas, al-Muwat}t}a’, (Cairo: Dar al-Rayan li al-Turath, 1988) vol. 4,1039. 35
al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, (Cairo: Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000),614. Abu Isa berkata : Hadith
ini Hasan S}ahih. 36
Jalal al-Din al-Suyut}i, Mifta@h al-Jannah, 50.
53
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
secara logika, al-Qur’an membutuhkan sunnah untuk menjelaskan (tabyin),
menginterpretasikan (tafsir), merinci (tafs}il) dan melaksanakan (tanfidz)nya.
Sebagai contoh hubungan al-Qur’an dengan al-Sunnah sebagai tabyin, firman Allah
dalam al-Qur’an ;
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk37
”.
Para sahabat berkata : 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak
mendzalimi dirinya! ' Beliau menjawab: 'Hal itu tidaklah seperti yang kalian maksudkan.
Ia adalah sebagaimana yang dikatakan Luqman kepada anaknya: '(Wahai anakku,
janganlah kamu mensyirikkan Allah. Sesungguhnya syirik adalah kezhaliman yang besar)
'. (Qs. Luqman: 13)38
.
6. Al-Sunnah terbagi menjadi dua : wahyu dan yang berkedudukan seperti wahyu.
Setiap sesuatu yang bersumber dari Rasul terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1) Wahyu.
Wahyu yang datang dari Allah swt. merupakan dasar dan pondasi agama yang
harus diikuti dan dipatuhi.39
Bagian ini jelas merupakan suatu hal yang maksum
(terpelihara) dari kesalahan dan lupa. Bagian ini terkadang diwahyukan beserta
lafalnya, maka terkandung didalamnya kemukjizatan, yaitu al-Qur’an. dan
terkadang diwahyukan tidak beserta lafalnya, yaitu hadith Nabi40
. Keduanya tidak
diragukan merupakan wahyu yang pada hakekatnya berasal dari sumber yang satu.
Dalil bahwa Hadith Nabi merupakan wahyu dikemukakan Allah dalam salah satu
firman-Nya :
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)41
”.
Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b berpendapat, bahwa sunnah yang termasuk
wahyu adalah setiap sesuatu yang datang dari Nabi saw.—selain al-Qur’an—
terkait dengan al-Ah}ka>m al-Shari>’ah, sebagai perinci dari hukum yang terdapat
dalam al-Qur’an, serta bersifat aplikatif dari ayat al-Qur’an. Perbedaan wahyu al-
Qur’an dengan Sunnah adalah jika al-Qur’an merupakan al-Wah}yu al-Matlu>,
membacanya dinilai sebagai ibadah, adapun sunnah termasuk al-Wah}yu ghairu
Matlu> serta membacanya tidak dinilai ibadah.42
37
Al-Qur’an, 6 (al-An’am) :82. 38
Bukhari, S}ah}ih} al-Bukhari, (Riyad}: Bayt al-Afka@r wa al-Dawliyyah, 1998),231. Muslim, S}ah}ih} al-
Muslim, (Riyad}: Bayt al-Afka@r wa al-Dawliyyah,1988),178. 39
Ayat-ayat yang terkait dengan hal ini adalah: Al-Qur’a>n, 59 (al-H}ashr): 57, 3 (a>li Imra>n): 31, 4 (al-
Nisa>’): 80 dan 65, 24 (al-Nu>r): 63, 33 (al-Ah}za>b): 36 40
Sebagian ulama berpendapat mengkategorikan hadith Qudsi dalam bagian ini, yaitu bagi mereka yang
berpendapat bahwa redaksinya dari Rasul. 41
Al-Qur’an, 53 (al-Najm) :3-4. 42
Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Usu>l al-H}adi>th; ‘Ulu>muhu> wa Mus}t}ala>h}uhu (Beirut: Da>r al-Fikr,
1975), 34.
54
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
2). Ijtihad Nabi.
Berasal dari pribadi Rasul yang tidak dimaksudkan sebagai penyampaian dari
Allah. pada bagian ini ada kalanya Allah mengukuhkannya dan terkadang pula
tidak demikian. Jika hal tersebut dikukuhkan-Nya maka ia menempati
kedudukannya seperti wahyu. karena suatu penetapan Allah berarti menunjukkan
akan kebenaran dan sesuai disisi-Nya. Termasuk di dalamnya hukum-hukum yang
bersumber dari ijtihad Rasul kemudian dikukuhkan oleh Allah. Pada bagian ini
adakalanya tidak dikukuhkan oleh Allah, yaitu berupa kebiasaan beliau seperti ;
keadaan bagaimana beliau makan, minum, duduk, memakai baju, tidur, dan setiap
sesuatu yang berhubungan dengan keduniawiaan43
.
7. Ijma’.
Jika ditelusuri peninggalan ulama salaf hingga khalaf, mulai dari masa Khulafa
al-Rasyidin hingga era sekarang, kita akan menemukan konsensus (ijma’) bahwa
sunnah sebagai hujjah dalam hukum Islam setelah al-Qur’an44
.
Umat islam telah sepakat atas kehujjahan hadi>th nabi tersebut dan
mengamalkannya sebagai upaya dalam memenuhi perintah Allah untuk menaati rasul-
Nya serta menerima hadith nabi sebagaimana menerima al-Qur’an. Hal itu disebabkan
karena sunnah adalah sumber tashri’45
.
Al-Shafi’i mengatakan : aku tidak mendengar seseorang yang dinilai manusia
atau oleh dirinya sendiri sebagai orang alim yang menyalahi kewajiban Allah untuk
mengikuti Rasul dan berserah diri atas keputusannya. Allah tidak menjadikan orang
setelahnya kecuali agar mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi
kecuali berdasarkan Kitab Allah atau sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain dua dasar
tersebut harus mengikutinya. Sesungguhnya Allah telah memfardukan kita, orang-
orang sebelum dan sesudah kita dalam menerima khabar dari Rasul. Tidak ada
seorangpun yang berbeda bahwa yang fardu dan yang wajib adalah menerima khabar
dari Rasulullah46.
Kesimpulan
Al-Sunnah menempati posisi fundamental dalam Islam di samping al-Qur’an. Posisi
tersebut ditunjukkan oleh fungsinya sebagai penjelas al-Qur’an dan sumber hukum kedua.
Mengingat problematika keumumam makna ayat al-Qur’an, posisi hadith sebagai
penjelas dan sumber hukum perlu dijadikan pegangan dalam menjawab persoalan-persoalan
hukum, baik terkait dengan shari’at maupun persoalan kemanusiaan.
Otoritas (kehujjahan) sunnah didasarkan atas dalil-dalil yang pasti (qat}’i@), baik dari
ayat al-Qur’an ataupun Hadith Nabi atau menurut akal sehat. Sunnah yang dapat dijadikan
hujjah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan sahih, baik mutawattir maupun
ahad.
Daftar Rujukan
Abdul Khalik, Abdul Ghani. Hujjiyat al-Sunnah, Mans}urah: Dar al-Wafa’, tt.
Anas (bin), Malik, al-Muwat}t}a’, Cairo: Dar al-Rayan li al-Turath, 1988.
Bukhari (al). S}ah}i>h} al-Bukha>ri, Riyad}: Bayt al-Afkar wa al-Dawliyyah, 1998.
Daud (Abu). Sunan Abi Daud. (Cairo: Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000.
43
Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat al-Sunnah, 239. 44
Ibid, 341 45
Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Usu>l al-H}adi>th; Ulu>muhu> wa Mus}t}ala>h}uhu, 36-41. 46
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, 26.
55
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
Hambal (Abu), Abu Abdillah Ahmad. Musnad Ahmad Bin Hambal, Juz 1. Al-Maktabah Al-
Islami. Beriut t.t.
Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits, Bandung : Angkasa ,1987.
_____. Hadits Nabi Menurut pembela, pengingkar dan pemalsunya, Jakarta : Gema Insani
Press, 1995.
Mahmud, Abdul Halim. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri’ al-Islami, Beirut: Maktabah
al-As}riyah, 1977.
Majah (Ibnu). (Kairo: Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000
Syafi’i (al) Muhammad bin Idris, al-Risalah. Mans}urah: Dar al-Wafa’, tt.
Shahbah (Abu), Muhammad bin Muhammad. Difa>’un ‘An al-Sunnah, Maktabat al-
Sunnah,tth.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2011.
Khat}i>b (al), Muhammad ‘Ajja>j, Usu>l al-H}adi>th; Ulu>muhu> wa Mus}t}ala>h}uhu>,
Beirut: Da>r al-Fikr, 1975.
Muslim. S}ah}ih} Muslim, Riyad}: Dar Taybah, 2006.
Rayah (abu) Muhammad. Ad}wa@ ala al-Sunnah al-Muhammadiyah aw Difa@’ ‘an al-
Sunnah, Cairo: Dar al-Ma’arif, tt.
Suyut}i (al) Jalal al-Din. Mifta@h al-Jannah fi al-Ih}tija@j bi al-Sunnah, Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1987.
Siba’i (al), Mus}t}afa. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri’ al-Isla@mi, Cairo: Dar al-
Warraq, tt.
Qaradlawi (al), Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah, Mans}urah: Dar al-Wafa’, 1993.