ototoksisitas full water mark

41
dr. Yanuar Iman Santosa Sp. THT-KL REFERAT AUDIO-VESTIBULER OTOTOKSISITAS DISUSUN OLEH : DR. YANUAR IMAN SANTOSA PEMBIMBING : DR. YUSSY A. D Sp. THT-KL PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG 2010 http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Upload: ita-wahyuni

Post on 21-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

REFERAT AUDIO-VESTIBULER

OTOTOKSISITAS

DISUSUN OLEH :

DR. YANUAR IMAN SANTOSA

PEMBIMBING : DR. YUSSY A. D Sp. THT-KL

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN

BANDUNG

2010

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 2: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………i

DAFTAR TABEL …………………………………………………………………iv

BAB I PENDAHULUAN ……………….……..……………………………1

BAB II FAKTOR GENETIK DARI OTOTOKSISITAS ..…………….....5

BAB III OTOTOKSISITAS OBAT ANTIBIOTIK TOPIKAL TELINGA......7

BAB IV OTOTOKSISITAS DARI OBAT SISTEMIK ........……………...12

4.1 Aminoglikosid ..................…………………………………....13

4.1.1 Patofisiologi ……..……………….…………................13

4.1.2 Epidemiologi.............................………….….…………15

4.1.3 Faktor Risiko ..............………………………….……..15

4.1.4 Tanda dan Gejala..............….……………….…………15

4.1.5 Pencegahan ...............………………….………………16

4.1.6 Beberapa contoh aminoglikosid ........………………...17

4.1.6.1 Streptomisin .................................................17

4.1.6.2 Gentamisin ...................................................17

4.1.6.3 Neomisin ......................................................17

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 3: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

i

4.1.6.4 Kanamisin .....................................................17

4.1.6.5 Amikasin .......................................................18

4.1.6.6 Tobramisin ....................................................18

4.2 Antibiotik lain.....…………………………….….……………..18

4.2.1 Eritromisin .........……….…….………………………18

4.2.2 Azitromisin dan Clindamisin ..……..…….…………..19

4.2.3 Vankomisin..............................…….…………………19

4.3 Loop Diuretik ....................………………….………..…….….20

4.3.1 Patofisiologi ...............................................................20

4.3.2 Epidemiologi ..............................................................21

4.3.3 Tanda dan Gejala ........................................................21

4.3.4 Pencegahan ..................................................................21

4.4 Obat kemoterapi (antineoplastik) .....…………………….……....22

4.4.1 Patofisiologi .................................................................22

4.4.2 Epidemiologi ...............................................................23

4.4.3 Faktor risiko ................................................................23

4.4.4 Tanda dan Gejala ........................................................23

4.4.5 Pencegahan ................................................................24

4.5 Salisilat …………………………………………………...........24

4.5.1 Patofisiologi ................................................................25

4.5.2 Epidemiologi ..............................................................25

4.5.3 Faktor Risiko ..............................................................25

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 4: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

i

4.5.4 Tanda dan gejala ........................................................25

4.5.5 Terapi ........................................................................26

4.6 Kuinin ………….….…………………………………….…26

4.6.1 Tanda dan Gejala ......................................................26

4.6.2 Terapi .........................................................................26

BAB V HAL PENTING PADA OTOTOKSISITAS ……………………..27

5.1 Deteksi Dini Ototoksisitas ........................................................27

5.2 Terapi ........................................................................................29

5.3 Toksisitas Terapetik ..................................................................30

BAB VI KESIMPULAN .................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….36

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 5: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

i

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Ototoksisitas obat tetes telinga….............................................…………10

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 6: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

1

BAB I

PENDAHULUAN

Kerusakan pada telinga dalam yang disebabkan oleh penggunaan obat

tertentu seringkali ditemukan dalam praktek kedokteran sehari-hari. Di negara-

negara berkembang, dimana obat seperti aminoglikosid seringkali digunakan pada

penyakit seperti pneumonia, diare dan tuberkulosis paru, angka kejadian ototoksisitas

tinggi. Sebagai seorang klinisi, dokter harus mengetahui bahwa obat yang bersifat

ototoksis dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pendengaran dan keseimbangan

yang sering kali tidak diperhatikan. Sehingga seorang dokter harus mengenali jenis

obat-obatan yang bersifat ototoksik1.

Obat ototoksik dapat didefinisikan sebagai obat yang mempunyai potensi

dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti

kokhlea, vestibulum, kanalis semisirkularis dan otolith. Kerusakan pada struktur-

struktur ini yang disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa

gangguan pendengaran, tinitus dan gangguan keseimbangan. Ototoksisitas

didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur kokhlea dan atau vestibuler di telinga

akibat paparan zat kimia. 2

Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing

Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology

Criteria for Adverse Events (CTCAE) sebagai : 2

Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada

satu frekuensi

Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada pada dua frekuensi yang

berdekatan

Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3

kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 7: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

2

Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh CTCAE dan Brock sebagai berikut : 2

CTAE :

Derajat 1 : ambang dengar turun 15-25dB dari pemeriksaan

sebelumnya(1 tahun), dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang

berurutan.

Derajat 2 : ambang dengar turun 25-90dB dari pemeriksaan

sebelumnya(1 tahun), dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang

berurutan.

Derajat 3 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat

bantu dengar (>20dB bilateral pada frekuensi percakapan, > 30dB

unilateral pada frekuensi percakapan)

Derajat 4 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat

bantu dengar dan implan kokhlea.

Brock’s :

Derajat 0 : ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi

Derajat 1 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz

Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz

Derajat 3 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz

Derajat 4 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 1.000-8.000Hz

Ototoksisitas pertama kali mendapat perhatian oleh para klinisi sejak

penemuan streptomisin pada tahun 1944 sebagai pengobatan utama penyakit

tuberkulosis, dimana sebagian besar pasien yang mendapat terapi streptomisin

ternyata mengalami disfungsi kokhlea dan vestibuler yang ireversibel. Temuan ini

diikuti oleh temuan selanjutnya tentang ototoksisitas dari pemakaian obat-obatan

seperti antibiotik golongan aminoglokosid dan makrolid, obat kemoterapi, salisilat,

quinine dan loop diuretik. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 8: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

3

Pada awal diperkenalkannya streptomisin, aminoglikosid yang pertama, pada

tahun 1944 oleh Waxman, penerima hadial nobel untuk temuannya ini, mengawali

babak baru dalam pengobatan tuberkulosis. Namun demikian, Hinshaw dan Feldman

di Mayo Clinic menemukan sejumlah pasien yang mengalami toksisitas vestibuler

akibat penggunaan obat ini. Beberapa tahun kemudian, analog dari streptomisin,

dihidrostreptomisin digunakan dengan harapan efek ototoksiknya lebih rendah dari

streptomisin. Namun ternyata dihidrostreptomisin juga memiliki angka kejadian

toksisitas terhadap koklea yang tinggi sehingga ditarik dari peredaran. 1

Sebagaimana obat-obatan golongan aminoglikosid lainnya, kanamisin dan

neomisin juga memiliki efek toksisitas terhadap koklea bila digunakan secara

sistemik, sehingga sekarang jarang digunakan. Gentamisin, golongan aminoglikosid

yang lebih baru, menunjukkan angka kejadian toksisitas terhadap sistem vestibular

sebesar 3%. Golongan aminoglikosid berikutnya seperti netilmisin, tobramisin, dan

amikasin dikembangkan untuk mengurangi efek ototoksik. Bahkan netilmisin

disebutkan sebagai obat golongan amoinoglikosid yang paling rendah efek

ototoksiknya dari seluruh obat golongan aminoglikosid yang ada1.

Salisilat bila diberikan dalam dosis lebih dari 2.700mg/hari, dulu seringkali

digunakan sebagai terapi artritis, ternyata dapat menyebabkan tinitus dan tuli

sensorinural bilateral yang bersifat sementara,sebagian besar pasien mengalami

perbaikan spontan dalam 2-3 hari. Belum pernah dilaporkan ada kejadian ganguan

dengar permanen pada penggunaan salisilat selama masih dalam batas dosis

terapetik. Kemudian di tahun 1960-an thalidomide, obat yang populer pada masa itu,

sekarang telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan di telinga dalam berupa

aplasia selain dapat menyebabkan phocomelia dan amelia1.

Perhatian lain harus diberikan pada obat-obatan kemoterapi kanker seperti

cisplatin, yang dilaporkan memiliki efek ototoksis sedang yang dapat mengakibatkan

gangguan dengar bilateral yang permanen. Klinisi juga dihadapkan pada kejadian

ototoksis yang rendah dan sifatnya sporadis pada penggunaan vankomisin dan

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 9: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

4

makrolid. Sebagian besar literatur mengenai efek ototoksis akibat penggunaan

makrolid dilaporkan dapat sembuh kembali. Namun mekanisme ototoksisitas obat-

obatan ini masih belum diketahui. Dilaporkan juga penggunaan hydrocodone

kombinasi dengan asetaminofen dapat menyebabkan gangguan dengan sensorineural

yang progresif dengan mekanisme yang masih belum diketahui1.

Gangguan dengar atau keseimbangan yang permanen akibat penggunaan obat

ototoksik dapat menimbulkan akibat yang serius pada aspek komunikasi, pendidikan

dan sosial dari kehidupan pasien. Sehingga penggunaan obat ototoksik harus

dipertimbangkan dengan baik manfaat dan resikonya dan penggunaan obat alternatif

dapat dipertimbangkan. Penanganan ditekankan pada pencegahan karena sebagian

besar gangguan dengar bersifat ireversibel. Pada gangguan dengar yang berat,

amplifikasi adalah satu-satunya pilihan terapi. 2

Kriteria untuk vestibulotoksik belum dirumuskan dengan baik. Pemeriksaan

vestibuler standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna untuk menentukan

kelainan vestibuler. Namun pemeriksaan tersebut tidak praktis untuk dilakukan

secara rutin pada pasien dalam jumlah besar di praktek sehari-hari. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 10: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

5

BAB II

FAKTOR GENETIK DARI OTOTOKSISITAS

Sudah diketahui secara luas bahwa aminoglikosid adalah obat ototoksik yang

paling sering menyebabkan gangguan pendengaran. Hasil penelitian menunjukkan

banyak pasien yang mengalami gangguan dengar meskipun aminoglikosid diberikan

dalam dosis rendah. Diketahui juga bahwa dalam suatu keluarga ditemui banyak

anggota keluarganya yang mengalami ototoksisitas akibat penggunaan

aminoglikosid. Berdasarkan hasil pengamatan ini dan dari penelitian yang terus

berlangsung mengenai patofisiologi gangguan pendengaran, ada pendapat yang

menyebutkan bahwa seorang individu tertentu mungkin memiliki predisposisi

genetik atau lebih rentan terhadap efek ototoksisitas suatu obat khususnya

aminoglokosid. Temuan baru-baru ini telah berhasil mengidentifikasi adanya mutasi

tertentu pada DNA mitokondrial yang berhubungan dengan gangguan pendengaran,

termasuk ototoksiksitas. 1

Pada awal tahun 1990 pertama kali ditemukan mutasi pada posisi 1555 pada

nukleotida mitokondria 12S RNA ribosom yang bertanggung jawab atas ototoksisitas

akibat aminoglikosid pada beberapa keluarga keturunan Cina, dan juga disebutkan

sebagai penyebab dari sejumlah kasus ketulian nonsindromik pada pasien tanpa ada

terapi aminoglikosid. Sejak temuan itu, penelitian serupa telah dilakukan pada

sejumlah besar keluarga dan secara sporadik pada pasien dengan gangguan dengar

sensorineural dengan riwayat pemberian aminoglikosid intravena. 1

Penelitian lanjutan ini menegaskan bahwa pada pasien-pasien ini ternyata

ditemukan mutasi pada nukleotida dari DNA mitokondria yang identik. Dikatakan

bahwa akibat mutasi tersebut ada reseptor yang khusus berikatan dengan

aminoglikosid sehingga meningkatkan sensitifitas terhadap efek ototoksik dari

aminoglikosid. Sebagian besar dari penelitian ini dilakukan secara internasional

dimana infeksi berat seperti tuberkulosis seringkali masih membutuhkan penggunaan

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 11: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

6

aminoglikosid intravena. Penelitian serupa semakin banyak dilakukan. Dengan

semakin banyak informasi yang didapatkan mengenai genetik dari kelainan

gangguan dengar dan mutasi spesifik yang merupakan faktor predisposisi efek

ototoksik dari obat tertentu, sehingga diharapkan dapat dikembangkan suatu metode

pemeriksaan secara molekuler sebelum pemberian terapi antibiotik intravena.

Sehingga jumlah pasien yang menderita efek ototoksik akibat penggunaan antibiotik

bisa dikurangi. 1

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 12: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

7

BAB III

OTOTOKSISITAS OBAT ANTIBIOTIK TOPIKAL TELINGA

Sediaan obat topikal telinga dapat berupa serbuk, krim atau tetes. Sediaan

serbuk dapat menempel dipermukaan yang lembab, dapat bertahan lebih lama di

liang telinga luar, rongga telinga tengah atau rongga mastoid (dapat bertahan sampai

dengan 1 bulan). Sediaan serbuk untuk telinga luar dapat terdiri dari chloramfenikol,

sulfanamide, hidrokortisone. Sediaan serbuk untuk rongga mastoid dapat terdiri dari

ciprofloksasin, clotrimazole atau deksametasone. Penelitian pada tikus membuktikan

bahwa pemberian tetes telinga ciprofloksasin-dexametasone intratimpani selama 21

hari tidak menimbulkan efek ototoksik. 3,6

Sediaan krim biasanya digunakan untuk kelainan di liang telinga luar. Krim

antibiotik biasanya terdiri dari neosporin atau tobramisin. Sediaan anti jamur juga

biasanya dalam bentuk krim. Sediaan terbanyak obat topikal telinga adalah dalam

bentuk tetes telinga. Tetes telinga dapat berupa agen tunggal atau kombinasi. Sediaan

tetes telinga topikal sangat banyak dan dapat dikelompokkan berdasarkan ada

tidaknya antibiotik, jenis antibiotik yang dikandung, pH, kekentalan dan apakah agen

tunggal atau kombinasi. 3

Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga memiliki

kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain konsentrasi

antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik, dapat

memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih murah bila

dibandingkan pemberian obat secara sistemik. 3

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 13: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

8

Larutan antibiotik 0,3% mengandung 3000mcg/mL antibiotik. Sebagai

perbandingan berikut adalah konsentrasi antibiotik di telinga tengah setelah

pemberian antibiotik oral : 3

Amoksisilin dengan dosis 90 mg/kg (6-10 mcg/mL)

Cefuroxime dengan dosis 500 mg (2-4 mcg/mL)

Cefpodoxime dengan dosis 200 mg (1-2 mg/mL)

Clarithromycin dengan dosis 500 mg (2-5 mcg/mL)

Ceftriaksone intravena 35 mcg/mL

Konsentrasi yang tinggi di telinga tengah ini penting karena antibiotik

terutama golongan aminoglikosid dan quinolone adalah obat yang tergantung pada

konsentrasi. Sehingga kemampuan membunuh bakteri akan tergantung pada

konsentrasi obat di tempat infeksi yang harus lebih tinggi dari ambang Minimal

Inhibitory Concentration (MIC). 3

Sehingga hasil laporan laboratorium yang menyatakan resistensi suatu kuman

dapat menjadi suatu hal yang dapat diabaikan karena laboratorium melaporkan hasil

resistensi kuman berdasarkan konsentrasi yang dicapai pada pemberian secara

sistemik. Sebagai contoh pseudomonas dengan MIC 8mcg/mL untuk ciprofloxacin

sudah dianggap resisten, namun organisme yang sama bila lokasinya berada di

telinga akan dapat terbunuh dengan larutan antibiotik 0,3% yang mengandung 3000

mcg/mL. 3

Kelebihan obat tetes telinga antara lain tidak diabsorbsi secara sistemik,

sehingga efek samping sistemik sangat sangat jarang dilaporkan. Penggunaan tetes

telinga juga dapat memperbaiki kondisi di dalam rongga telinga. Di saluran telinga

luar, pH normanya sedikit asam, sehingga pemberian antibiotik tetes telinga dalam

larutan yang sedikit asam dapat mengembalikan dan memperkuat sistem pertahanan

alami dari saluran telinga luar.

Harga obat tetes telinga secara umum lebih murah

bila dibandingkan dengan obat sistemik. Dan obat sistemik ini biasanya memiliki

spektrum yang sempit terhadap patogen telinga. 3

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 14: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

9

Antibiotik tetes telinga juga memiliki beberapa kekurangan seperti efektifitas

pencapaian obat tetes ke daerah infeksi yang cukup sulit, dapat menimbulkan efek

toksik lokal di telinga tengah dan telinga dalam, dapat menimbulkan reaksi

sensitifitas lokal dan dapat merubah kondisi di telinga tengah. 3

Apabila antibiotik tetes telinga tidak berhasil mencapai daerah infeksi maka

hasilnya tidak akan efektif. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal seperti cara

pemberian atau penetesan yang tidak benar, liang telinga luar tertutup oleh serumen,

sekret yang purulen, atau jaringan granulasi yang menghalangi masuknya obat tetes

telinga kedalam ruang telinga tengah. Efektifitas tetes telinga dapat diperbaiki

dengan pembersihan liang telinga luar dengan baik dengan irigasi telinga dan

penggunaan hidrogen peroksida. 3

Sudah diketahui bahwa penggunaan aminoglikosid secara sistemik dapat

menyebabkan toksisitas koklea dan vestibuler. Pertanyaan yang muncul kemudian

adalah apakah obat-obatan ini, yang sering digunakan secara topikal pada telinga

tengah, juga dapat menyebabkan ototoksisitas. Data yang diambil dari percobaan

binatang menunjukkan hasil yang seragam bahwa hampir semua antibiotik golongan

aminoglikosid yang digunakan sebagai preparat topikal telinga tengah bersifat

ototoksik. Sehingga penggunaan antibiotik topikal golongan makrolid dibatasi pada

kelainan di telinga luar saja dengan membran timpani yang intak namun masih

dengan risiko ototoksik1.

Efek toksisitas dari obat tetes telinga dapat mengenai struktur telinga tengah

dan telinga dalam. Pada telinga tengah efek yang terjadi dapat berupa iritasi pada

mukosa telinga tengah diikuti edema mukosa. Propylene glycol dan hydrocortisone

seringkali dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah. 3

Efek toksisitas pada telinga dalam dapat berupa toksisitas kokhlea atau

vestibuler. Pada percobaan binatang neomisin, polimiksin dan cloramfenikol bersifat

sangat ototoksik bila mencapai telinga dalam. Namun pada manusia efek ototoksik

ini jarang dilaporkan pada penggunaan tetes telinga yang mengandung neomisin. Hal

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 15: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

10

ini dapat disebabkan karena perbedaan struktur anatomis dari telinga dalam pada

hewan coba dan pada manusia. Ototoksik pada tetes telinga diperkirakan terjadi

melalui round window. Pada hewan round window ini lebih tipis dan terbuka,

sedangkan pada manusia lebih tebal dan lebih terlindungi serta tertutupi oleh

membran mukosa sehingga mencegah kontak langsung antara obat tetes telinga dan

round window. 3

Pada penelitian tercatat ada 54 kasus penggunaan gentamisin topikal telinga,

digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka, yang

menyebabkan ototoksisitas vestibuler. Dan 24 orang dari pasien-pasien ini menderita

juga ototoksisitas auditori yang berkaitan. Penelitian tersebut juga menyebutkan 11

pasien yang mengalami ototoksisitas auditori akibat penggunaan neomisin-

polimiksin tetes telinga. 1

Tabel 3.1. Ototoksisitas obat tetes telinga1

Obat Jumlah

kasus

Efek ototoksisitas

Gentamisin 54 Semua dengan gangguan vestibuler dan

24 dengan gangguan koklea

Neomisin / polimiksin 11 11 kasus dengan gangguan koklea dan 2

kasus dengan gangguan vestibuler

Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat antibiotik

tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Obat tetes telinga yang

mengandung aminoglikosid tidak disetujui oleh FDA untuk digunakan pada telinga

tengah atau rongga mastoid yang terbuka. Bahkan pada label informasi obat terdapat

peringatan bahwa obat-obatan ini tidak boleh digunakan jika gendang telinga tidak

utuh. Meskipun bukti-bukti yang menunjukkan adanya kerusakan telinga dalam

akibat pemakaian aminoglikosid yang bersifat ototoksik masih jarang, namun juga

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 16: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

11

dilaporkan bahwa tidak ada kelebihan dari aminoglikosid yang ototoksik bila

dibandingkan dengan aminoglikosid yang non ototoksik. Sehingga apabila obat-

obatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan pada telinga tengah atau rongga

mastoid maka penggunaannya harus diatasi pada infeksi telinga akut dan harus

segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan pasien atau keluarga pasien harus

diberitahu tentang risikonya1.

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 17: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

12

BAB IV

OTOTOKSISITAS DARI OBAT SISTEMIK

Obat-obatan yang sering digunakan secara sistemik dalam bidang THT-KL

yang memiliki efek ototoksik antara lain antibiotik golongan aminoglikosid,

makrolid, loop diuretik, sisplatin dan salisilat. Sampai dengan saat ini belum ada

penelitian meta-analisis yang membandingkan efek ototoksisitas obat-obatan ini.

Obat lain yang juga memiliki efek ototoksisitas dengan angka kejadian yang rendah

adalah kloroquin. 1

Dengan penyebab yang belum diketahui angka kejadian ototoksisitas akibat

aminoglikosid pada anak lebih rendah dari dewasa. Pada anak, penting untuk

didapatkan hasil audiogram sebelum diberikan terapi aminoglikosid untuk

menyingkirkan adanya gangguan pendengaran yang ada sebelumnya, di Amerika

Serikat, obat yang sering digunakan adalah gentamisin. 1

Beberapa kasus masih memerlukan penggunaan obat-obatan yang bersifat

ototoksik untuk perawatan pasien yang lebih efektif. Sehingga dibutuhkan suatu

mekanisme untuk dapat melindungi telinga dalam dari efek ototoksik obat-obatan

seperti antibiotik intravena dan obat kemoterapi antara lain sisplatin. 1

Hasil penelitian terbaru berhasil membuktikan bahwa pemberian antibiotik

golongan aminoglikosid menimbulkan terbentuknya suatu komplek senyawa besi

yang terlibat dalam pembentukan radikal bebas yang mengakibatkan kematian sel

rambut koklea sehingga terjadi gangguan dengar. Dari hasil temuan ini beberapa

peneliti mencoba menggunakan deferoxamine (iron chelator) untuk mengurangi efek

ototoksisitasnya. Hasil penelitian dengan percobaan pada binatang memberikan hasil

yang cukup menjanjikan, namun harus dipertimbangkan untuk tidak merubah

konsentrasi obat dalam serum dan pemahaman yang lebih baik diperlukan tentang

efek samping dari pemberian iron chelator. 1

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 18: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

13

Berikut adalah contoh obat sistemik yang bersifat ototoksik. Antibiotik

aminoglikosid ; streptomisin, gentamisin, neomisin, kanamisin, amikasin dan

tobramisin. Antibiotik lain ; eritromisin, azitromisin, clindamisin, vankomisin. Obat

lainnya ; diuretik, antineoplastik, salisilat dan kuinin. 2,8

4.1 Aminoglikosid

Sejak awal penemuannya tahun 1944, berbagai aminoglikosid telah tersedia

seperti streptomisisn, dihidrostreptomisisn, kanamisin, gentamisin, neomisin,

tobramisin, netilmisin dan amikasin. Aminoglikosid adalah antibiotik yang bersifat

bakterisidal yang terikat pada ribosom 30S dan menghambat proses sintesis protein

bakteri. 2

Meskipun efek ototoksik obat antibiotik golongan aminoglikosid sudah

terbukti, obat golongan ini masih dipakai secara luas hingga hari ini pada kasus

seperti septisemia, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan, infeksi intra

abdominal dan osteomielitis yang disebabkan oleh kuman aerob batang gram negatif.

Efek ototoksik aminoglikosid dapat berupa kokhleotoksik dan atau vestibulotoksik.

Kanamisin, amikasin, neomisin dan dihidrostreptomisin lebih cenderung

kokhleotoksik. Gentamisin mempengaruhi sistem kokhlea dan vestibuler.

Streptomisin, tobramisin dan netilmisin lebih cenderung vestibulotoksik. 2,5

4.1.1 Patofisiologi

Target utama efek toksisitas aminoglikosid adalah sistem renal dan

kokhleovestibuler. Namun tidak ada hubungan yang jelas antara derajat

nefrotoksiksitas dan ototoksisitas. Toksisitas kokhlea menyebabkan gangguan

pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan adalah efek sekunder

dari kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti, terutama di basal

kokhlea. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 19: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

14

Kadar aminoglikosid di cairan telinga dalam bertahan lebih lama dari kadar

di serum sehingga ada efek ototoksik aminoglikosid bersifat laten. Sehingga

gangguan pendengaran dapat dimulai atau bertambah parah setelah pemberian

aminoglikosid dihentikan. Untuk itu pemeriksaan pasien untuk efek ototoksik dan

vestibulotoksik sebaiknya tetap dilakukan sampai dengan 6 bulan setelah pemberian

aminoglikosid dihentikan. 2

Mekanisme ototoksisitas aminoglikosid terjadi melalui gangguan pada proses

sistesis protein di mitokodria dan terbentuknya radikal bebas. Pada level seluler,

gangguan dengar terjadi akibat kerusakan sel rambut kokhlea khususnya sel rambut

luar. Aminoglikosid dapat menghasilkan radikal bebeas di telinga dalam dengan

mengaktifkan nitric oxide synthetase sehingga meningkatkan konsentrasi nitric

oxide. Kemudian terjadi reaksi antara oksigen radikal dengan nitric oxide

membentuk peroxynitrite radical yang bersifat destruktif dan mampu menstimulasi

kematian sel secara langsung. Apoptosis adalah mekanisme kematian sel yang utama

dan terutama diperantarai oleh kaskade intrinsik yang diperantarai oleh mitokondria.

Tampaknya interaksi aminoglikosid dengan zat besi dan tembaga semakin

menambah pembentukan radikal bebas. Sebagai hasil akhir dari kaskade tersebut

terjadi kerusakan permanen sel rambut luar kokhlea yang berakibat gangguan dengar

permanen. 2

Ototoksisitas aminoglikosid bersifat multifaktorial dan penelitian lebih lanjut

masih diperlukan. Beberapa penelitian menyelidiki tentang pemberian iron chelators

dan antioksidan selama terapi aminoglikosid sebagai agen yang mungkin dapat

mencegah gangguan dengar. Sementara penelitian lain menyelidiki kemungkinan

terapi gen sebagai alternatif terapi. Namun sekarang ini belum ada pilihan terapi

yang ada selain amplifikasi dan implan kokhlea, maka dari itu pencegahan adalah hal

yang sangat penting. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 20: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

15

4.1.2 Epidemiologi

Pada negara dimana antibiotik diresepkan secara luas atau bahkan dapat

dibeli tanpa resep, aminoglikosid menyebabkan kasus gangguan dengar sampai

dengan 66%. Dan pada pasien dewasa yang menerima terapi aminoglikosid terjadi

perubahan audiogram sampai 33%. Toksisitas vestibuler tercatat terjadi pada 4%

pasien dewasa. Sedangkan pada pasien neonatus toksisitas kokhlea sekitar 2%.

4.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko ototoksik antara lain pemberian

terapi dengan dosis tinggi, konsentrasi serum tinggi, terapi dalam waktu lama, pasien

usia lanjut, pasien dengan insufisiensi renal, pasien dengan kondisi gangguan dengar

sebelumnya, riwayat keluarga yang mengalami ototoksisitas dan pasien yang sedang

menerima pengobatan loop diuretik. 2

4.1.4 Tanda dan Gejala

Secara klinis gejala yang muncul akibat kerusakan akut pada kokhlea adalah

tinitus. Pada tahap awal penurunan pendengaran mungkin tidak disadari oleh pasien

dan dapat berupa penurunan ambang dengar pada frekuensi tinggi (>4.000Hz) yang

dapat semakin memberat dan mempengaruhi frekuensi bicara dan pasien dapat

mengalami kurang dengar berat apabila terapi dilanjutkan. Apabila terapi dihentikan

pada tahap awal, kerusakan lebih lanjut dapat dicegah dan perbaikan sebagian dari

ambang dengar dapat terjadi meskipun sering kali kerusakan bersifat permanen. 2

Gejala toksisitas vestibuler biasanya berupa gangguan keseimbangan dan

gejala gangguan visual. Gejala memberat pada keadaan gelap atau pada keadaan

dimana pijakan kaki tidak stabil. Gejala gangguan visual berupa oscillopsia muncul

ketika kepala bergerak yang berdampak pandangar kabur untuk sementara waktu

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 21: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

16

yang dapat meyebabkan gangguan melihat rambu lalulintas atau mengenali wajah

orang ketika sedang berjalan. 2

4.1.5 Pencegahan

Penelitian pada binatang menunjukkan adanya manfaat dari pemberian

antioksidan, vitamin E, alpha lipoic acid, ebselen, ginkgo biloba untuk mencegah

efek ototoksik. Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan. 2

Pencegahan dilakukan dengan memonitor kadar obat dalam serum dan fungsi

ginjal serta pemeriksaan pendengaran sebelum, selama dan sesudah terapi.

Identifikasi pasien dengan faktor risiko dan gunakan obat alternatif pada pasien

tersebut. Aminoglikosid bertahan lama di kokhlea sehingga pasien harus diedukasi

untuk menghindari lingkungan yang bising sampai dengan 6 bulan sesudah terapi

dihentikan karena mereka lebih rentan terjadi kerusakan kokhlea akibat bising. 2

Pada penggunaan aminoglikosid pembersihannya sebagian besar oleh ginjal,

oleh karena itu gangguan fungsi ginjal akan memperlama pembersihan

aminoglikosid sehingga konsentrasi dalam jaringan akan lebih tinggi dan

meningkatkan risiko ototoksik. Maka fungi ginjal sebaiknya diawasi dengan jadwal

sebagai berikut : 8

1. Pasien dengan kadar kreatinin serum normal dan :

a. Terapi selama 14 hari atau kurang : periksa kadar kreatinin 2

kali seminggu.

b. Terapi selama lebih dari 14 hari : periksa kadar kreatinin 3 kali

seminggu

2. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang meningkat namun stabil :

periksa kadar kreatinin 2 hari sekali.

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 22: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

17

3. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang naik dan turun secara tidak

terduga : periksa kadar kreatinin setiap hari.

4.1.6 Beberapa contoh aminoglikosid : 2

4.1.6.1 Streptomisin : aminoglikosid yang pertama, efeknya terutama pada bakteri

gram negatif. Efek vestibulotoksik lebih dominan.kerusakan vestibuler lebih sering

dijumpai padapenggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal. Sekarang sudah jarang digunakan.

4.1.6.2 Gentamisin : efek vestibulotoksik lebih dominan. Bila kadar dalam serum

masih dalam rentang terapi 10-12mcg/mL masih dianggap aman namun mungkin

masih bisa berefek toksik pada beberapa pasien. Dosis harus disesuaikan dengan

hati-hati bila digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal. 4

4.1.6.3 Neomisin : Neomisin adalah aminoglikosid yang paling kokhleotoksik jika

diberikan secara oral dan dalam dosis tinggi, sehingga penggunaan secara sistemik

tidak dianjurkan. Neomisin sangat lambat hilang dari perilimf sehingga toksisitas

lambat setelah 1-2 minggu penghentian terapi dapat terjadi. Neomisin sekarang

digunakan terutama sebagai obat antibiotik tetes telinga yang efektif. Meskipun

neomisin dianggap aman untuk digunakan secara topikal pada telinga, alternatif yang

sama efektifnya banyak tersedia.

4.1.6.4 Kanamisin : Meski efek toksiknya lebih rendah dibanding neomisin, efek

ototoksik kanamisin cukup tinggi. Kanamisin dapat menyebabkan kerusakan berat

sel rambut kokhlea dan penurunan pendengaran berat pada frekuensi tinggi.

Kanamisin sekarang sudah jarang digunakan, sebaiknya tidak diberikan secara

parenteral.

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 23: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

18

4.1.6.5 Amikasin: Amikasin adalah produk turunan kanamisin dan efek

vestibulotoksiknya sangat minimal dibandingkan gentamisin. Pada penanganan

infeksi berat amikasin diindikasikan apabila sesuai dengan hasil kultur dan resistensi

dan respon pasien.

4.1.6.6 Tobramisin: Efek ototoksik tobramisin mirip dengan amikasin, terjadi

kurang dengar frekuensi tinggi. Tobramisin sering digunakan sebagai preparat

ototopikal dan secara umum dianggap aman.

4.2 Antibiotik lain

4.2.1 Eritromisin

Eritromisin pertama kali dikenal dan digunakan secara luas sejak tahun 1952.

Secara umum eritromisin dianggap sebagai obat yang aman. Eritromisin sudah

digunakan sebagai pilihan utama pada kasus infeksi akibat streptokokus grup A dan

pneumokokus pada individu yang masih sensitif terhadap penisilin. Efek ototoksik

dari eritromisin pertama kali dilaporkan tahun 1973. Sejak itu hanya beberapa kasus

ototoksisitas eritromisin yang dilaporkan secara sporadis dan umumnya bersifat

reversibel. Pada kasus tersebut pasien umumnya memiliki faktor risiko lainnya

sepertipenyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, penggunaan dosis lebih dari 4

gram/hari dan pemberian intravena. Penurunan pendengaran yang cukup berat pada

frekuensi percakapan yang bersifat reversibel juga dilaporkan pada pasien penerima

operasi transplantasi ginjal yang menerima terapi eritromisin intravena. Onset

biasanya mulai sejak 3 hari setelah terapi dimulai. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 24: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

19

4.2.2 Azitromisin dan Clindamisin

Azitromisin dan clindamisin adalah antibiotik makrolid generasi yang lebih

baru. Antibiotik ini lebih luas dipakai secara klinis karena efek samping pada traktus

gastrointestinal yang lebih sedikit dan spektrum antibiotik yang lebih luas daripada

eritromisin. Namun demikian beberapa laporan yang menyebutkan tentang efek

ototoksiknya mulai muncul. Namun laporannya masih bersifat sporadis dan

penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan. 2

4.2.3 Vankomisin

Vankomisin adalah antibiotik glikopeptida yang pertama kali diperkenalkan

tahun 1950. Sering digunakan pada kasus infeksi stafilokokus yang resiten terhadap

methisilin. Beberapa kasus ototoksisitas yang biasanya muncul sebagai tinitus

dilaporkan pada pasien dengan penginkatan kadar dalam serum akibat gagal ginjal

atau pada pasien yang menerima obat antibiotik golongan aminoglikosid pada saat

bersamaan. Data yang ada tidak lengkap namun pada beberapa kasus efek

ototoksisitasnya bersifat sementara. Belum ada laporan yang memberikan bukti yang

kuat bahwa pemberian vankomisin saja pada dosis terapeutik dapat menyebabkan

efek ototoksik. Tidak ada rekomendasi yang diberikan untuk penggunaan

vankomisin, namun perhatian harus diberikan pada pemberian vankomisn bersama

obat ototoksik lainnya. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 25: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

20

4.3 Loop Diuretik

Loop diuretik bekerja pada loop henle. Yang termasuk didalam golongan ini

adalah sulfonamide, turunan asam fenoksiasetat, ethacrynic acid dan heterocyclic

compounds. Obat-obatan ini digunakan pada pengobatan gagal jantung kongestif,

gagal ginjal, sirosis dan hipertensi. Diuretik yang paling sering digunakan seperti

ethacrynic acid furosemide, bumetanide dapat menyebabkan ototoksisitas. Adapun

diuretik lain yang jarang digunakan seperti torsemide, azosemide, ozolinone,

indacrinone dan piretanide juga pernah dilaporkan dapat menimbulkan ototoksisitas.

2

Sekarang telah diketahui dengan baik bahwa antibiotik aminoglikosid

memiliki efek sinergistik dengan obat tertentu sehingga meningkatkan efek

ototoksitasnya. Sebagai contoh penggunaan aminoglikosid dengan loop diuretik

dapat mengakibatkan kejadian ototoksik yang tinggi. Dan telah diketahui juga bahwa

pemberian diuretik sebelum pemberian antibiotik aminoglikosid ternyata lebih tidak

berakibat ototoksik dibandingkan apabila sebaliknya. 1

4.3.1 Patofisiologi

Efek ototoksisitas diuretik nampaknya berhubungan dengan stria vaskularis

yang dipengaruhi oleh perubahan radien ion antara perilimfe dan endolimfe.

Perubahan ini menyebabkan edema pada epitel stria vaskularis sehingga terjadi

perubahan potensial pada endolimfe. Diuretik lain seperti ethacrynic acid, ternyata

meningkatkan permeabilitas stria vaskularis, memungkinakan terjadinya difusi

aminoglikosid ke endolimph. 1,2

Efek ototoksik yang disebabkan oleh ethacrynic acid terjadi secara bertahap

dan efeknya bertahan lebih lama dibandingkan dengan furosemide atau bumetanide.

Secara keseluruhan efek ototoksik akibat diuretik bersifat sementara. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 26: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

21

4.3.2 Epidemiologi

Ototoksisitas terjadi pada 6-7% pasien dengan diuretik. Beberapa faktor yang

mempengaruhi terjadinya ototoksisitas antara lain dosis, riwayat gagal ginjal,

pemberian obat ototoksik lainnya pada saat bersamaan. 2

4.3.3 Tanda dan Gejala

Pasien biasanya mengeluhkan gejala gangguan dengar segera setelah terapi

diberikan. Pasien kadang juga mengeluh tinitus dan gangguan keseimbangan.

Penurunan pendengaran yang sifatnya permanen dilaporkan terjadi pada pasien

dengan gagal ginjal, menerima terapi dalam dosis tinggi atau menerima antibiotik

aminoglikosid pada saat bersamaan. 2

4.3.4 Pencegahan

Pencegahan ototoksisitas akibat diuretik dapat dilakukan dengan penggunaa

dosis yang terendah yang masih bisa mencapai efek terapi dan menghindari

penggunaan intravena dengan tetesan cepat. Pasien dengan faktor risiko tinggi

seperti gagal ginjal, penggunaan aminoglikosid pada saat bersamaan harus

diperhatikan karena penggunaan obat aminoglikosid dan diuretik secara bersamaan

tidak dianjurkan. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 27: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

22

4.4 Obat kemoterapi (antineoplastik)

Sisplatin, obat kemoterapi yang sering digunakan pada keganasan di daerah

kepala dan leher, sudah diketahui memiliki efek gangguan dengar sensori neural

yang ireversibel. Hasil penelitian menunjukkan penurunan glutathione akibat

terbentuknya radikal bebas pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada sel

rambut kokhlea. 1

Selain sisplatin, carboplatin juga dilaporkan mempunyai efek ototoksik yang

lebih rendah dibandingkan sisplatin. Obat ini sering digunakan pada keganasan di

kebidanan, paru-paru, sistem saraf pusat, kepala dan leher dan keganasan testikuler.

Obat kemoterapi bersifat nonspesifik pada siklus hidup sel, mempengaruhi DNA

mengganggu proses replikasi sel. 2

Sisplatin terdistribusi secara luas ke seluruh tubuh dan konsentrasi tertinggi

didapatkan di ginjal, hati dan prostat. Sisplatin membentuk ikatan yang reversibel

dengan protein plasma dan masih dapat dideteksi sampai dengan 6 bulan setelah

penghentian terapi. Carboplatin tidak berikatan dengan protein plasma dan dapat

bersihkan lebih cepat melalui ginjal. Dosis dan efektifitas sisplatin dan karboplatin

dibatasi oleh efek samping yang ditimbulkan. Efek samping yang paling utama dalah

nefrotoksik dan ototoksik yang tergantung pada dosis. 2

4.4.1 Patofisiologi

Mekanisme ototoksik obat kemoterapi diperantarai oleh terbentuknya radikal

bebas dan proses kematian sel. Kerusakan terjadi pada stria vaskularis di skala media

dan menyebabkan kematian sel rambut luar kokhlea yang berawal dari bagian basal

kokhlea. Radikal bebas diproduksi oleh NADPH oxidase di sel rambut dalam

kokhlea setelah terpapar oleh sisplatin. NADPH oxidase adalah enzim yang

mengkatalisasi pembentukan radikal superokside. Salah satu bentuk NADPH

oxidase, NOX3, secara selektif diproduksi di telinga dalam dan adalah sumber yang

penting dari pembentukan radikal bebas di kokhlea yang dapat menyebabkan

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 28: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

23

gangguan pendengaran. Radikal bebas ini nantinya akan memicu proses kematian sel

secara apoptosis yang diperantarai oleh mitokondria dan caspase yang pada akhirnya

mengakibatkan gangguan dengar yang permanen. 2

4.4.2 Epidemiologi

Angka kejadian dan derajat keparahan ototoksisitas tergantung pada dosis,

jumlah siklus terapi, keadaan ginjal dan pemberian obat ototoksik lainnya secara

bersamaan. Angka kejadian yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien pediatri

dan pasien dengan keganasan daerah kepala leher yang menjalani terapi radiasi.

Beberapa penelitian menyebutkan angka kejadian gangguan dengar sebesar 61%

pada anak yang menerima kemoterapi sisplatin. 2

4.4.3 Faktor risiko

Beberapa faktor risiko terjadinya ototoksisitas pada pemberian obat

kemoterapi telah berhasil dikenali, antara lain dosis dan jumlah siklus terapi yang

semakin tinggi, riwayat terapi radiasi pada daerah kepala sebelumnya, pasien dengan

usia yang ekstrim, dehidrasi, pemberian obat ototoksik lainnya pada waktu

bersamaan dan gagal ginjal. 2

4.4.4 Tanda dan Gejala

Keluhan dapat berupa tinitus dan gangguan dengar. Gangguan dengar

biasanya sensorineural, bilateral, progresif dan permanen. Frekuensi tinggi biasanya

yang pertama kali terpengaruh. Gejala dapat muncul setelah pemberian dosis yang

pertama atau bisa juga beberapa hari atau bahkan bulan setelah pemberian dosis

terakhir. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 29: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

24

4.4.5 Pencegahan

Pada pasien yang akan menerima obat kemoterapi usahakan untuk

mendapatkan hasil pemeriksaan sebelum, selama dan sesudah terapi bahkan sampai

6 bulan kemudian. Anjurkan pasien untuk menghindari suasana yang bising sampai 6

bulan sesudah terapi selesai. 2

Berbagai obat kemoprotektor menunjukkan penggunaan antioksidan untuk

mengurangi efek ototoksik dari sisplatin. Penelitian pada hewan dengan

menggunakan vitamin E, L-N-Acetyl cysteine dan sodium thiosulfate, D-methionine,

salisilat, iron chelators, caspase atau calpain inhibitors,dan bahkan terapi gen

menunjukkan hasil yang bermanfaat memastikan teori ini. Sebagian besar penelitian

dilakukan pada binatang, sehingga diperlukan penelitian lanjutan pada manusia

untuk membuktikan apakah temuan ini dapat berarti secara klinis dapat mengurangi

efek ototoksisitas sisplatin. 1,2

4.5 Salisilat

Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan aspirin digunakan secara

luas sebagai anti inflamasi, anti piretik dan analgetik. Aspirin adalah suatu

penghambat agregasi platelet dan digunakan pada pasien dengan riwayat stroke,

angina atau infark jantung. Asam asetil salisilat diserap dengan cepat setelah

pemebrian melalui oral dan mengalami hidrolisis di hati menjadi bentuk aktifnya

asam salisilat. Kadar terapetik dalam serum berkisar antara 25-50mcg/mL sebagai

analgesik dan antipiretik, 150-300 mcg/mL sebagai terapi demam rematik. Gejala

tinitus dilaporkan dapat muncul pada kadar serum 200mcg/mL. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 30: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

25

4.5.1 Patofisiologi

Asam salisilat dapat masuk dengan cepat ke kokhlea dan kadar di perilimfe

setara dengan kadar di serum. Kadar yang semakin meningkat dapat menyebabkan

tinitus dan biasanya gangguan dengar sensorineral yang sementara dengan gambaran

audiogram yang datar. Mekanismenya multifaktorial dan multilokasi. Kelainan

morfologi minimal pernah dilaporkan, hasil OAE juga menunjukkan adanya

abnormalitas sel rambut luar kokhlea, penurunan aliran darah kokhlea juga diduga

mempunyai peranan. Perubahan biokimia, dan permeabilitas sel rambut luar yang

tidak normal juga dapat berpengaruh. 2,5

4.5.2 Epidemiologi

Angka kejadiannya sekitar 1 % dan lebih umum terjadi pada pasien usia

lanjut meskipun pada dosis rendah. 2

4.5.3 Faktor risiko

Faktor risiko yang diketahui antara lain pemberian dosis tinggi, usia lanjut

dan dehidrasi.2

4.5.4 Tanda dan Gejala

Tinitus adalah gejala yang paling sering terjadi. Gejala lain seperti gangguan

dengar, mual, muntah, nyeri kepala, juga pernah dilaporkan. Gangguan dengar yang

terjadi biasanya derajat ringan sampai dengan sedang dan simetris bilateral.

Pemulihan biasanya terjadi dalam 24-72 jam setelah penghentian obat. 2

Tinitus dulu dianggap sebagai tanda awal kejadian ototoksisitas. Penelitian

lebih anjut menunjukkan bahwa kejadian tinitus sebaiknya tidak digunakan sebagai

penanda kadar salisilat dalam serum karena efek ototoksik dapat terjadi meskipun

pada kadar salisilat dalam serum yang rendah. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 31: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

26

4.5.5 Terapi

Toksisitas akibat salisilat ditangani dengan pengawasan kadar elektrolit,

pemberian cairan dan bila perlu pemberian diuresis. Pemberian oksigen dan ventilasi

mekanik mungkin dibutuhkan pada kasus yang berat. 2

4.6 Kuinin

Kuinin awalnya digunakan sebagai terapi pada kasus malaria.

Penggunaannya sekarang sudah mulai jarang karena adanya obat pilihan lain yang

lebih tidak toksik. 2

4.6.1 Tanda dan Gejala

Toksisitas akibat kuinin dapat mengakibatkan tinitus, gangguan pendengaran

dan vertigo. Gangguan dengarnya biasanya sensorineural dan sementara. Temuan

khas audiogram berupa gangguan dengar sensorineural dengan penurunan di

frekuensi 4.000Hz . Gangguan dengar yang permanen sangat jarang dilaporkan pada

toksisitas akibat penggunaan kuinin. 2

4.6.2 Terapi

Terapi utama adalah penghentian terapi, amplifikasi mungkin diperlukan

pada kasus gangguan dengar yang permanen meskipun jarang dilaporkan. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 32: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

27

BAB V

HAL PENTING PADA OTOTOKSISITAS

5.1. Deteksi Dini Ototoksisitas

Deteksi dini dengan pemeriksaan pendengaran atau audiometri awal

sebaiknya dilakukan sebelum pemberian obat kemoterapi seperti sisplatin dan

karboplatin. Pada pasien yang menerima pengobatan amnoglikosid pemeriksaan

audiometri awal dapat dilakukan dalam 72 jam sejak terapi diberikan. Keputusan

untuk melakukan deteksi dini pada pasien dipengaruhi oleh pasien dengan faktor

risiko tinggi ototoksik, keadaan pasien yang dengan penyulit, tingkat kesadaran, usia

dan profesi khusus yang memerlukan fungsi pendengaran dan keseimbangan yang

baik seperti penyetel nada alat musik (piano, gitar, dll), penyanyi, pilot, penari balet

dan lainnya. 2

Pemeriksaan pendengaran awal yang dilakukan sebaiknya dilakukan

selengkap mungkin, minimal dengan audiometri nada murni dengan frekuensi 0,25 –

8kHz. Lengkapi juga dengan riwayat pasien, riwayat keluarga, pemeriksaan otoskopi

telinga dan audiometri tutur bila memungkinkan. 2

Pada pasien yang kurang kooperatif atau tidak dapat diperiksa dengan

pemeriksaan audiometri standar, dapat dilakukan pemeriksaan Otoacoustic emission

(OAE) dan atau Auditory Brainstem Response (ABR), pemeriksaan dilakukan untuk

dokumentasi dan monitoring pasien. OAE khususnya sensitif dan dapat

menggambarkan keadaan pada sel rambut luar kokhlea, dan dapat menilai kejadian

kokhleotoksik secara objektif. OAE juga dilaporkan lebih sensitif bila dibandingkan

dengan audiometri nada murni dalam mendeteksi gangguan kokhlea setelah

pemberian gentamisin. Pemeriksaan ABR lebih memakan waktu dan stimulinya

terbatas pada frekuensi 1- 4 kHz. 2,7

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 33: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

28

Monitoring harus dilakukan dengan interval waktu yang tetap. Apabila

didapatkan gejala ototoksisitas maka harus dilakukan upaya untuk mengurangi efek

ototoksik secepat mungkin. Pada penggunaan antibiotik aminoglikosid, pemeriksaan

sebaiknya dilakukan 1 atau 2 minggu sekali. Pada penggunaan obat kemoterapi,

pemeriksaan sebaiknya dilakukan 1 minggu sekali. Jarak waktu pemeriksaan dapat

menjadi lebih singkat apabila ditemukan gejala ototoksisitas. Pemeriksaan harus

dilanjutkan sampai dengan 3-6 bulan setelah terapi ototoksik diberikan. 2

Pemeriksaan vestibuler standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna

untuk menentukan kelainan vestibuler. Namun pemeriksaan tersebut tidak praktis

untuk dilakukan secara rutin pada pasien dalam jumlah besar di praktek sehari-hari.

“Head-Shake Test” adalah cara mudah untuk mendeteksi adanya gangguan sistem

vestibuler. Pasien dalam posisi duduk diperintahkan untuk menggelengkan

kepalanya dengan cepat ke kanan dan ke kiri dengan sudut 10-20°. Pasien dengan

gangguan vestibuler akan mengalami pandangan kabur atau rasa pening atau mual.

Pemeriksaan keseimbangan yang mudah dilakukan lainnya adalah tes

romberg dimana pasien diminta untuk berdiri tegak dengan kedua kaki tertutup rapat,

awalnya dengan kedua mata terbuka dan kedua tangan disamping badan atau terlipat

didepan dada lalu pasien diminta untuk menutup mata dan diperintahkan untuk tetap

berdiri tegak. Perhatikan apakah ada kecenderungan pasien untuk terjatuh atau

condong ke salah satu sisi. apabila psien condong jatuh ke satu sisi maka hasilnya

positif. Apabila hasilnya negatif dapat dilakukan pemeriksaan romberg dipertajam

dimana kedua kaki penderita berada dalam posisi tumit salah satu kaki berada

didepan ujung kaki lainnya dan dilakukan hal yang sama.

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 34: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

29

Apabila hasil tes positif pada Head-shake test dan atau romberg maka hal

tersebut menunjukkan gejala awal terjadinya gangguan sistem vestibuler, sehingga

terapi obat ototoksik harus dihentikan dan pemeriksaan sistem keseimbangan secara

lebih lengkap harus dilakukan.2,8

5.2 Terapi

Hal yang menjadi perhatian utama adalah mempertahankan kemampuan

komunikasi pasien dengan orang di sekitarnya. Pemeriksaan audiometri pada tahap

awal penyakit diperlukan untuk mendapatkan gambaran audiogram awal sebelum

terapi. Hal yang penting adalah memberikan informasi yang cukup pada pasien

tentang risiko dari pengobatan yang bersifat ototoksik dan menekankan agar pasien

secepat mungkin melaporkan adanya gejala seperti tinitus, gangguan pendengaran,

oskilopsia atau gangguan keseimbangan. 2

Suara dengan frekuensi tinggi memegang peranan penting dalam proses

percakapan dan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi dapat mempengaruhi

kemampuan berkomunikasi terutama dalam memahami percakapan. Apabila

gangguan dengar telah terjadi maka untuk mencegah penurunan komunikasi, sosial

dan edukasi, penggunaan alat bantu dengar sangat disarankan. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 35: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

30

5.3 Toksisitas Terapetik

Dalam 10 tahun terakhir, pemberian gentamisin intratimpani telah diterima

sebagai salah satu cara pengobatan penyekit Meniere yang sulit diobati. Pada masa

awal ablasi vestibuler digunakan streptomisin, namun sekarang lebih ddipilih

gentamisn karena efeknya yang lebih vetibulotoksik daripada kokhleotoksik

sehingga dapat menghilangkan fungsi vestibuler dengan tetap mempertahankan

fungsi pendengaran. Prinsipnya adalah bahwa gangguan vestibuler total unilateral

memungkinkan kompensasi dari sistem vestibuler kontralateral, sehingga secara

keseluruhan fungsi vestibuler masih berfungsi dengan baik. 2

Gentamisin diberikan 30-40 mg setiap minggu sampai didapatkan tanda dan

gejala gangguan vestibuler total unilateral. Biasanya dengan dosis ini efek

vestibulotoksik sudah didapatkan pada hari ke 12. Dari meta-analisis 15 penelitian

dan 627 pasien, didapatkan pada 74,7% pasien gejala vertigo dapat hilang total

dengan terapi gentamisin intratimpani. Gejala hilang total atau sebagian didapatkan

pada 92,7 % pasien. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 36: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

31

BAB VI

KESIMPULAN

Obat ototoksik adalah obat yang mempunyai potensi dapat menyebabkan

reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti kokhlea dan sistem

vestibuler. Ototoksisitas didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur kokhlea dan

atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia. Kerusakan pada struktur-struktur

ini yang disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa gangguan

pendengaran, tinitus dan gangguan keseimbangan. 2

Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing

Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology

Criteria for Adverse Events (CTCAE) sebagai : 2

Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada

satu frekuensi

Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada pada dua frekuensi yang

berdekatan

Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3

kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.

Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh Brock sebagai berikut : 2

Brock’s :

Derajat 0 : ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi

Derajat 1 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz

Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz

Derajat 3 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz

Derajat 4 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 1.000-8.000Hz

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 37: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

32

Kriteria untuk vestibulotoksik belum dirumuskan dengan baik. Pemeriksaan

vestibuler standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna untuk menentukan

kelainan vestibuler. Namun pemeriksaan tersebut tidak praktis untuk dilakukan

secara rutin pada pasien dalam jumlah besar di praktek sehari-hari. 2

“Head-Shake Test” adalah cara mudah untuk mendeteksi adanya gangguan

sistem vestibuler. Pasien dalam posisi duduk diperintahkan untuk menggelengkan

kepalanya dengan cepat ke kanan dan ke kiri dengan sudut 10-20°. Pasien dengan

gangguan vestibuler akan mengalami pandangan kabur atau rasa pening atau mual.

Pemeriksaan keseimbangan yang mudah dilakukan lainnya adalah tes

romberg dimana pasien diminta untuk berdiri tegak dengan kedua kaki tertutup rapat,

awalnya dengan kedua mata terbuka dan kedua tangan disamping badan atau terlipat

didepan dada lalu pasien diminta untuk menutup mata dan diperintahkan untuk tetap

berdiri tegak. Perhatikan apakah ada kecenderungan pasien untuk terjatuh atau

condong ke salah satu sisi. apabila psien condong jatuh ke satu sisi maka hasilnya

positif. Apabila hasilnya negatif dapat dilakukan pemeriksaan romberg dipertajam

dimana kedua kaki penderita berada dalam posisi tumit salah satu kaki berada

didepan ujung kaki lainnya dan dilakukan hal yang sama.

Apabila hasil tes positif pada Head-shake test dan atau romberg maka hal

tersebut menunjukkan gejala awal terjadinya gangguan sistem vestibuler, sehingga

terapi obat ototoksik harus dihentikan dan pemeriksaan sistem keseimbangan secara

lebih lengkap harus dilakukan.2,8

Pada awal tahun 1990 pertama kali ditemukan mutasi pada posisi 1555 pada

nukleotida mitokondria 12S RNA ribosom yang bertanggung jawab atas ototoksisitas

akibat aminoglikosid pada beberapa keluarga keturunan Cina, dan juga disebutkan

sebagai penyebab dari sejumlah kasus ketulian nonsindromik pada pasien tanpa ada

terapi aminoglikosid. Penelitian lanjutan ini menegaskan bahwa pada pasien-pasien

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 38: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

33

ini ternyata ditemukan mutasi pada nukleotida dari DNA mitokondria yang identik.

Dikatakan bahwa akibat mutasi tersebut ada reseptor yang khusus berikatan dengan

aminoglikosid sehingga meningkatkan sensitifitas terhadap efek ototoksik dari

aminoglikosid.

Dengan semakin banyak informasi yang didapatkan mengenai genetik dari

kelainan gangguan dengar dan mutasi spesifik yang merupakan faktor predisposisi

efek ototoksik dari obat tertentu, sehingga diharapkan dapat dikembangkan suatu

metode pemeriksaan secara molekuler sebelum pemberian terapi antibiotik intravena.

Sehingga jumlah pasien yang menderita efek ototoksik akibat penggunaan antibiotik

bisa dikurangi. 1

Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga memiliki

kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain konsentrasi

antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik, dapat

memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih murah bila

dibandingkan pemberian obat secara sistemik. 3

Efek toksisitas obat tetes telinga pada telinga dalam dapat berupa toksisitas

kokhlea atau vestibuler. Ototoksik pada tetes telinga diperkirakan terjadi melalui

round window. Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat

antibiotik tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Sehingga apabila

obat-obatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan pada telinga tengah atau rongga

mastoid maka penggunaannya harus diatasi pada infeksi telinga akut dan harus

segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan pasien atau keluarga pasien harus

diberitahu tentang risikonya1,3

Berikut adalah contoh obat sistemik yang bersifat ototoksik. Antibiotik

aminoglikosid ; streptomisin, gentamisin, neomisin, kanamisin, amikasin dan

tobramisin. Antibiotik lain ; eritromisin, azitromisin, clindamisin, vankomisin. Obat

lainnya ; diuretik, antineoplastik, salisilat dan kuinin. 2,8

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 39: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

34

Dua jenis obat yang bersifat ototoksik yang paling sering diberikan adalah

gentamisin dan sisplatin. Pada kasus pemberian gentamisin, pemantauan yang

dilakukan dengan mengawasi kadar obat serum. Apabila gentamisin harus diberikan

dalam waktu lama, misalnya pada osteomielitis, perlu dipertimbangkan pemeriksaan

genetik apakah pasien tersebut memiliki kerentanan terhadap ototksisitas akibat

pemberian gentamisin, dan dokter harus memberikan pemahaman kepada pasien

tentang risiko yang harus dihadapi. Penentuan dosis yang tepat pada pemberian obat

kemoterapi juga dapat mengurangi kejadian ototoksisitas. Penelitian lanjutan

diperlukan untuk mengetahui apakah obat kemopreventif sama efektifnya pada

percobaan binatang dan percobaan pada manusia sehingga dapat mengurangi

kejadian ototoksisitas akibat penggunaan obat-obatan ini. 1

Penggunaan audiometri frekuensi tinggi (8.000-12.000Hz) sebagai

prediktor ototoksisitas akibat penggunaan obat, namun seringkali sulit dilakukan

secara rutin pada praktek sehari-hari. Audiometri konvensional (250-8.000Hz) masih

sering digunakan untuk memantau pasien sebelum dan sesudah penggunaan obat

ototoksik seperti gentamisin dan sisplatin. Beberapa pusat penelitian melakukan satu

kali pemeriksaan audiometri sebelum terpi dan beberapa pemeriksaan audiometri

serial dan pemantauan kadar obat dalam serum. 1

Pada pasien yang kurang kooperatif atau tidak dapat diperiksa dengan

pemeriksaan audiometri standar, dapat dilakukan pemeriksaan Otoacoustic emission

(OAE) dan atau Auditory Brainstem Response (ABR), pemeriksaan dilakukan untuk

dokumentasi dan monitoring pasien. OAE khususnya sensitif dan dapat

menggambarkan keadaan pada sel rambut luar kokhlea, dan dapat menilai kejadian

kokhleotoksik secara objektif. OAE juga dilaporkan lebih sensitif bila dibandingkan

dengan audiometri nada murni dalam mendeteksi gangguan kokhlea setelah

pemberian gentamisin. Pemeriksaan ABR lebih memakan waktu dan stimulinya

terbatas pada frekuensi 1- 4 kHz. 2,7

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 40: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

35

Suara dengan frekuensi tinggi memegang peranan penting dalam proses

percakapan dan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi dapat mempengaruhi

kemampuan berkomunikasi terutama dalam memahami percakapan. Apabila

gangguan dengar telah terjadi maka untuk mencegah penurunan komunikasi, sosial

dan edukasi, penggunaan alat bantu dengar sangat disarankan. 2

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/

Page 41: Ototoksisitas Full Water Mark

dr. Y

anua

r Iman

San

tosa S

p. THT-K

L

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Schuman RM. Ototoxicity. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery -

Otolaryngology, 4th Edition. 2006 Lippincott Williams & Wilkins. Chapter

148. p645.

2. Mudd PA. Inner Ear, Ototoxicity. Article in emdicine. 2008. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/857679-overview

3. Billings KR. Antibiotics, Ototopical. Article in emedicine. 2009. Available

from : http://emedicine.medscape.com/article/873963-overview

4. Hain TC. Gentamicin Toxicity. Article in Dizziness-and-balance.com. 2009

available from :

http://www.dizzinessandbalance.com/disorders/bilat/gentamicin%20toxicity.ht

m

5. Roland PS. Ototoxicity. Canada. 2004. BC Decker.

6. Kavanagh KR et all. Auditory Function After a Prolonged Course of

Ciprofloxacin-Dexamethasone Otic Suspension in a Murine Model. 2009. Arch

Otolaryngology Head Neck Surgery.

7. Stavroulaki P et all. Otoacoustic Emissions for Monitoring Aminoglycoside-

Induced Ototoxicity in Children With Cystic Fibrosis. 2002. Arch

Otolaryngology Head Neck Surgery.

8. Faibanks DNF. Antimicrobial Therapy in Otolaryngology-Head and Neck

Surgery. 13th

edition. 2007. American Academy of Otolaryngology-Head and

Neck Surgery Foundation, Inc.ChV,p73.

http://yanuarthtsemarang.blogspot.com/