parasitasi trichogramma chilonis ishii berkopulasi …digilib.unila.ac.id/22042/3/tesis tanpa bab...
TRANSCRIPT
PARASITASI Trichogramma chilonis ISHII BERKOPULASI DAN TIDAKBERKOPULASI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP
NISBAH KELAMIN Corcyra cephalonica
(TESIS)
Oleh
VIZA YELISANTI PUTRI
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AGRONOMIFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG
2015
ABSTRACT
PARASITISM OF COPULATED AND NON-COPULATED Trichogrammachilonis AND ITS EFFECT ON SEX RATIO OF Corcyra cephalonica
By
VIZA YELISANTI PUTRI
This study aimed to compare the ability of parasitoid Trichogramma chilonis Ishii
(Hymenoptera: Trichogrammatidae) that have and have not copulated to parasitize
smaller and bigger size Corcyra cephalonica Stainton eggs. The experiment also
compared the sex ratio of T. chilonis offsprings emerged from the Corcyra eggs
under laboratory condition. The hypotheses of this study were: (1) Copulated
females of T. chilonis produce male and female offsprings and size of C.
cephalonica eggs affects the sex ratio of Trichogramma offsprings; (2) Parasitoid
T. chilonis tends to produce female offsprings in larger eggs of C. cephalonica
and male offsprings in smaller eggs. The experiment was conducted at the
Research Laboratory of PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Gunung Batin,
Terusan Nunyai, Central Lampung in November 2013 - January 2014. For each
obseravtion unit, 15 large and 15 small eggs of Corcyra aged one day were used
as a substitute host for T. chilonis. Corcyra eggs were glued on 1 cm x 2 cm pias
and placed in a test tube with its parasitoids. Eggs of C. cephalonica were exposed
to be parasitized by T. chilonis for 30 minutes periods for the total of six
exposures. Every 30 minutes, Corcyra eggs were removed and replaced with new
ones (egg replacement was conducted six times or within 3 hours). Each
treatment was repeated 5 times in a completely randomized design. The data were
analyzed by LSD at 5% significance level using SPSS Software Version 16.0.
Results of the experiment showed that most large eggs of C. cephalonica
produced female Trichogramma adults. Avarages of the data indicated that within
180 minutes, larger eggs of Corcyra produces 12 female and 8 male parasitoids.
Meanwhile, small-sized eggs of Corcyra only produce 8 females and less than 6
males of Trichogramma. The largest percentage of parasitism by T. chilonis on
Corcyra eggs was found on the larger eggs.
Keywords: Trihogramma chilonis, Corcyra cephalonica, copulation, and
parasitism, egg size of Corcyra.
ABSTRAK
PARASITASI Trichogramma chilonis ISHII BERKOPULASI DAN TIDAKBERKOPULASI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP
NISBAH KELAMIN Corcyra cephalonica
Oleh
VIZA YELISANTI PUTRI
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan Trichogramma
chilonis Ishii (Hymenoptera: Trichogrammatidae) berkopulasi dan tidak
berkopulasi dalam memarasit telur inang Corcyra cephalonica Stainton berukuran
kecil dan besar. Penelitian ini juga membandingkan rasio jenis kelamin keturunan
Trhogramma chilonis yang berkembang di dalam telur Corcyra dalam kondisi
laboratorium. Hipotesis dari penelitian ini adalah: (1) betina Trichogramma
chilonis yang telah berkopulasi menghasilkan keturunan Trichogramma chilonis
berjenis kelamin jantan dan betina, sedangkan ukuran telur Corcyra cephalonica
sebagai inang mempengaruhi rasio jenis kelamin keturunan Trichogramma; (2)
Parasitoid T. chilonis cenderung menghasilkan keturunan betina dalam telur
Corcyra yang berukuran besar dan keturunan jantan dalam telur Corcyra yang
berukuran kecil. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian dan
Pengembangan PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), di Gunung Batin,
Terusan Nunyai, Lampung Tengah pada bulan November 2013 - Januari 2014.
Untuk setiap unit pengamatan, sebanyak 15 telur Corcyra berukuran besar dan 15
telur berukuran kecil berumur satu hari digunakan sebagai inang pengganti bagi T.
chilonis. Telur-telur Corcyra tersebut dilekatkan pada pias berukuran 1 cm x 2 cm
dan ditempatkan di dalam tabung reaksi bersama dengan parasitoidnya. Telur-
telur Corcyra ini diumpankan untuk diparasitasi oleh Trichogramma chilonis
selama 30 menit untuk pengumpanan sebanyak enam kali. Setiap 30 menit, telur
Corcyra diambil dan diganti dengan kelompok telur yang baru (penggantian telur
dilakukan sebanyak enam kali atau dalam waktu 3 jam). Percobaan ini diulang 5
kali dan dilaksanakan dalam rancangan acak lengkap. Data pengamatan dianalisis
dengan menggunakan perangkat statistika SPSS Versi 16.0. Hasil analisis data
penelitian menunjukkan bahwa dari sebagian besar telur Corcyra cephalonica
muncul Trichogramma betina. Rerata data menunjukkan bahwa dalam waktu 180
menit, telur Corcyra yang berukuran lebih besar menghasilkan 12 parasitoid
Trichogramma betina dan 8 parasitoid jantan. Sementara itu, dari telur Corcyra
berukuran kecil hanya muncul 8 Trichogramma betina dan kurang dari 6
Trichogramma jantan. Persentase parasitisme tertinggi telur Corcyra oleh
Trichogramma chilonis ditemukan pada kelompok telur Corcyra yang berukuran
lebih besar.
Kata kunci: Trihogramma chilonis, Corcyra cephalonica, kopulasi, dan
parasitisme, ukuran telur Corcyra.
PARASITASI Trichogramma chilonis ISHII BERKOPULASI DAN TIDAKBERKOPULASI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP
NISBAH KELAMIN Corcyra cephalonica
Oleh
VIZA YELISANTI PUTRI
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarMAGISTER AGRONOMI
pada
Program Pascasarjana Magister AgronomiFakultas Pertanian Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AGRONOMIFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG
2015
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Menggala, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung,
pada tanggal 09 Desember 1978. Penulis adalah anak kedua dari tujuh bersaudara
dari pasangan Bapak Hi. Abdulhadi Raden Bakri dan Ibu Hj. Dentiati Sabki. Pada
saat ini penulis memiliki dua buah hati Aurora Tsabita Sumedi dan Aura Vega
Sumedi dari buah pernikahan dengan Gentur Sumedi, S.P.
Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar di SDN 01 Ujung
Gunung Ilir Menggala Tulang Bawang pada tahun 1990, Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Negeri 01 Menggala Tulang Bawang pada tahun 1993, dan
Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun
1996. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Jurusan Proteksi Tanaman pada tahun
1996, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, melalui jalur Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan lulus serta diwisuda tahun 2001.
Pada tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada program
Pascasarjana Magister Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
“Aku akan berjalan bersama mereka yang berjalan karena aku tidak akanberdiri diam sebagai penonton yang menyaksikan perarakan berlalu.” –Khalil Gibran–
“ …. dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.”–Khalil Gibran-Terima kasih untuk Gentur Sumedi, suami yang menyayangiku tanpa pamrih, mendukungdi setiap langkahku, dan memompa semangatku dikala mulai lelah
“Anak adalah salah satu sumber kebahagiaan dikala kita merasa tidak bahagia.”Peluk hangat untuk kedua buah hatiku Aurora Tsabita dan Aura Vega,
Segenap ketulusan cinta & kasih sayang untuk kalian
“Tanpa keluarga, manusia, sendiri di dunia, gemetar dalam dingin.”Aku persembahkan tesis ini untuk ayah, bunda, kakak dan adikku yang selalumendoakanku, menyayangiku, menyemangatiku, membesarkan hatiku, dan menghapuslelahku
“Dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa kegirangan” -Khalil Gibran-Terima kasih kepada rekan-rekan Magister Agronomi angkatan 2012
Semoga keakraban kita tidak hanya sampai disini.
its not the end, but its just a new beginning
(Viza Yelisanti Putri, 2015)
MOTO DAN PERSEMBAHAN
SANWACANA
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah menganugerahkan rahmat dan hidayah -Nya serta menuntun penulis dalam
menelusuri perjalanan hidup mencari sumber-sumber pengetahuan yang tidak
akan pernah lepas dari suka dan duka. Seperti dua sisi mata uang yang satu sama
lain tidak dapat dipisahkan, maka begitu pula suka dan duka senantiasa ada dalam
proses pembelajaran sampai akhirnya selesai pembuatan tesis ini.
Tesis dengan judul “PARASITASI Trichogramma chilonis ISHII
BERKOPULASI DAN TIDAK BERKOPULASI SERTA PENGARUHNYA
TERHADAP NISBAH KELAMIN Corcyra cephalonica“ adalah salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Pertanian di Universitas Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa begitu banyak pihak yang
membantu penyelesaian tesis ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Hamim Sudarsono, M.Sc. selaku Pembimbing Pertama yang telah
memberikan semangat dan bimbingan, serta pengarahan selama penulis
melaksanakan penelitian dan penulisan tesis.
2. Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S.selaku Pembimbing Kedua atas bimbingan dan
pengarahannya selama penulis melaksanakan penelitian dan menulis tesis.
3. Prof. Dr. Ir. F.X. Susilo, M.Sc. sebagai penguji utama atas saran dan
pengarahannya selama penulisan tesis ini.
4. Dr. Ir. Dwi Hapsoro, M.Sc. selaku Ketua Program Studi dan Ibu Dr. Tumiar K.
Manik, M.Sc. selaku Sekretaris Program Studi Pascasarjana Agronomi atas
fasilitas yang telah diberikan.
5. Suamiku tercinta Gentur Sumedi, S.P, anakku tersayang Aurora Tsabita dan
Aura Vega atas pengertian, kesabaran, cinta kasih, dan dukungan yang tak
kenal lelah untuk menyelesaikan studi ini.
6. Ayah dan bunda, kakak serta adik-adikku atas kasih sayang, teladan, semangat,
motivasi, dan dukungan secara moril dan materil dalam penyelesaian tesis ini.
7. Bapak Saefudin, S.P selaku selaku kepala riset hama, pimpinan dan karyawan
PT. Gunung Madu Plantation (GMP) yang telah membantu dan menyediakan
tempat percobaan.
8. Kawan-kawan “Angkatan Humoris 2012” Pak Badri, Pak Maman, Pak Saiful,
Pak Yanto, Pak Mulyanto, Linggar dan Fresty atas kerjasamanya selama ini,
sangat menyenangkan dapat bersama-sama dengan kalian.
9. Semua pihak yang telah membantu hingga selesainya tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Kiranya ini
merupakan cerminan bahwa penulis harus lebih banyak dan giat lagi belajar.
Untuk itu segala sumbang saran dan kritik yang ditujukan demi perbaikan tesis ini
akan penulis terima dengan tangan terbuka dan rasa terima kasih yang tulus.
Semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi yang membaca dan
penulis berharap semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat
balasan dari Allah SWT dan dicatat sebagai amal kebaikan. Akhirnya penulis
berharap semoga tulisan ini bermanfaat, aamiin.
Bandar Lampung, 15 Maret 2015
Viza Yelisanti Putri
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ v
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang dan Masalah ..................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.3 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 4
1.4 Hipotesis .................................................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 8
2.1 Tanaman Tebu ( Saccharum officinarum L) ............................................. 8
2.2 Penggerek Pucuk Tebu (Scirpophaga nivella intacta Snell) ................... 10
2.3 Pengerek Batang Tebu berkilat (Chilo auricilius Dugdeon) .................... 10
2.4 Trichogramma chilonis Ishii .................................................................... 12
2.5 Corcyra cephalonica Stantion ................................................................. 13
2.6 Pengendalian Hayati dengan Parasitoid Telur Trichogrammatidae ........ 14
III. BAHAN DAN METODE ........................................................................... 19
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 19
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................ 19
3.3 Pelaksanaan Penelitian ............................................................................ 19
3.3.1 Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid .............................................. 19
3.3.2 Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica ........................ 20
3.3.3 Pengukuran Ukuran Telur Corcyra cephalonica ............................. 21
3.3.4 Penyiapan Pias Pengamatan ........................................................... 22
ii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 25
4.1 Persentase Parasitasi T. chilonis terhadap telur C. cephalonicA ............. 25
4.2 Persentase Kemunculan Imago T. chilonis .............................................. 29
4.3 Lama Hidup Imago T. chilonis yang Muncul .......................................... 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 37
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Lama hidup imago yang muncul pada berbagai waktu pengamatan (jam) ... 32
2. Jumlah telur C. cephalonica yang terparasit oleh imago T. chilonis ............ 43
3. Imago T. chilonis yang muncul dari telur C. cephalonica teraparasit ......... 44
4. Umur imago T. chilonis ................................................................................ 45
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Gejala serangan penggerek pucuk tebu ........................................................... 9
2. T. chilonis memarasit telur C. cephalonica ................................................... 13
3. Telur C. cephalonica ukuran besar (A), Telur C. cephalonica ukuran kecil 22
4. Telur C. cephalonica normal/tidak terparasit T. chilonis (A), telur C.cephalonica terparasit T. chilonis (B) .......................................................... 26
5. Persentase telur Corcyra yang terparasit oleh Trichogramma dalam periode30–180 menit. Pada setiap periode, sebanyak 15 ekor telur Corcyraberukuran besar atau 15 telur berukuran kecil diumpankan untukdiparasit oleh satu ekor Trichogramma yang sudah berkopulasi atau tidakberkopulasi ................................................................................................... 28
6. Jumlah telur Corcyra yang terparasit oleh Trichogramma dalam periode30180 menit. Pada setiap periode, sebanyak 15 ekor telur Corcyraberukuran besar atau 15 telur berukuran kecil diumpankan untukdiparasit oleh satu ekor Trichogramma yang sudah berkopulasi atau tidakberkopulasi ................................................................................................... 29
7. T. chilonis jantan (A), T. chilonis betina(B) .................................................. 30
8. Jumlah telur Corcyra yang menghasilkan parasitoid Trichogramma betinadan jantan dalam periode 30 – 180 menit. Pada setiap periode pengamatan,sebanyak 15 ekor telur Corcyra berukuran besar atau 15 telur berukurankecil diumpankan untuk diparasit oleh satu ekor Trichogramma yangsudah berkopulasi ......................................................................................... 31
9. Kaca Pembesar (A) dan Lem povinal (B) ..................................................... 46
10. Alat yang dipakai tabung reaksi (A) dan kuas halus (B) ............................ 47
11. Alat yang dipakai kapas (A) dan nampan (B) ............................................. 48
v
12. Alat yang dipakai mikroskop (A) dan saringan (B) .................................... 49
13. Bahan yang dipakai telur Corcyra berukuran besar dan kecil .................... 50
14. Kertas padalarang yang ditempeli telur Corcyra ........................................ 51
15. Kotak telur Corcyra .................................................................................... 51
16. Telur C. cephalonica terparasit (hitam) dan tidak terparasit (putih) ........... 52
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Gula merupakan komoditas yang penting bagi masyarakat Indonesia, baik
sebagai kebutuhan pokok maupun sebagai bahan baku industri makanan atau
minuman. Kebutuhan gula pada saat ini semakin meningkat dengan
bertambahnya jumlah penduduk dan semakin beraneka ragamnya jenis makanan.
Menurut Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, pada tahun 2014
kebutuhan gula nasional diperkirakan mencapai 5.700 juta ton. Untuk memenuhi
kebutuhan ini, pada tahun 2014 pemerintah mencanangkan Program Swasembada
Gula Nasional dengan target produksi gula hablur (kristal) sebesar 3,571 juta ton
dari pabrik gula yang sudah ada dan 2,129 juta ton dari perluasan dan
pembangunan pabrik gula baru (Ditjenbun, 2013).
Sebagai salah satu daerah penghasil gula di Indonesia, Provinsi Lampung
berkontribusi dalam produksi gula nasional sekitar 35% atau sekitar 2,39 juta ton
pada tahun 2010. Salah satu perusahaan produsen gula di Lampung adalah PT
Gunung Madu Plantations (GMP) yang memberikan kontribusi 6,77 ton per ha
dengan rendemen 8,00 % (Anonim, 2011). Produksi ini harus ditingkatkan
apabila Lampung akan memberikan kontribusi yang nyata dalam program
swasembada gula nasional. Untuk itu, selain melaksanakan program perluasan
areal perkebunan atau ekstensifikasi perusahaan produsen gula di Lampung juga
harus memperbaiki berbagai faktor yang mempengaruhi produktivitasnya,
2
termasuk dalam bidang pengendalian hama utama yang berperan penting dalam
menurunkan produktivitas perkebunan tebu. Penurunan produksi gula karena
serangan hama dapat mencapai 20% per tahun (Sutejo, 2008).
Di antara hama penting tanaman yang sangat berpotensi menurunkan
produktivitas perkebunan tebu adalah penggerek pucuk Scirpophaga nivella
intacta Snell (Lepidoptera : Pyralidae), penggerek batang tebu Chilo auricilius
Dudgeon, dan C. sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae). Kelompok
hama penggerek tebu ini dilaporkan dapat menyebabkan kehilangan hasil antara
10-35% (Kumar et al., 2010). Di Jawa Barat, kerugian akibat serangan penggerek
ini pada tahun 2008 dilaporkan berkisar antara 30% hingga 45% (P3GI, 2008).
Sementara itu, laporan beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa serangan
penggerek pucuk tebu di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur mencapai 111. 982
ha dengan kerugian hasil diperkirakan mencapai Rp. 163.531.890 (Ditjenbun,
2013).
Mengingat kerugian yang ditimbulkan, maka pengendalian terhadap hama
penggerek pucuk dan penggerek batang tebu perlu mendapat perhatian serius
untuk menopang usaha peningkatan produksi gula di Indonesia. Karena perilaku
biologi hama penggerek lebih banyak berada di dalam jaringan tanaman tebu,
hama ini sulit dikendalikan secara kimiawi. Salah satu alternatif terbaik untuk
pengendalian penggerek batang tebu dalam skala luas adalah dengan
menggunakan musuh alami sebagai agensia hayati (Sudarsono dkk., 2011), antara
lain yaitu dengan menggunakan parasitoid telur Trichogramma chilonis Ishii
(Hymenoptera: Trichogrammatidae) (Hasriyanty, 2006). Teknik pengendalian ini
memerlukan program produksi massal untuk membiakkan serangga T. chilonis.
3
Pembiakan massal ini umumnya dilakukan dengan menggunakan Corcyra
cephalonica Stainton (Lepidoptera: Pyralidae) sebagai inang pengganti (Herlinda,
2005). Karena pelepasan massal T. chilonis memerlukan individu parasitoid
dalam jumlah besar, maka inang pengganti pun diperlukan dalam jumlah besar.
Agar pelepasan parasitoid T. chilonis pada pertanaman tebu lebih efektif
maka mayoritas populasi parasitoid yang dilepas diupayakan didominasi oleh
serangga betina karena serangga T. chilonis betina inilah yang memarasit telur
penggerek pucuk dan penggerek batang tebu di lapang. Jika populasi biakan
masal T. chilonis terlalu banyak yang berjenis kelamin jantan maka efektivitas
pengendalian hama penggerek tebu menjadi rendah. Oleh karena itu perlu
diupayakan suatu teknik pembiakan T. chilonis dengan inang pengganti C.
cephalonica yang menghasilkan mayoritas populasi parasitoid betina. Untuk
mencapai tujuan ini maka perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari apakah
ukuran telur C. cephalonica yang digunakan sebagai inang pengganti dapat
digunakan sebagai indikator jenis kelamin T.chilonis. Selain itu, diperlukan juga
konfirmasi apakah terdapat perbedaan pengaruh antara induk T. chilonis yang
sudah berkopulasi dan tidak berkopulasi dalam menentukan sex-ratio dari
keturunan yang dihasilkan. Konfirmasi ini akan bermanfaat dalam meningkatkan
keefektifan pembiakan massal T. chilonis di laboratorium agar diperoleh
mayoritas keturunan betina.
4
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan landasan pemikiran di atas, penelitian ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk:
1. Membandingkan pengaruh ukuran telur C. cephalonica (berukuran besar Vs
berukuran kecil) terhadap nisbah kelamin keturunan populasi biakan T. chilonis
di laboratorium.
2. Membandingkan kemampuan parasitoid T. chilonis yang sudah berkopulasi
dan belum berkopulasi dalam memarasit telur inang C. cephalonica.
1.3 Kerangka Pemikiran
Penggerek batang tebu berkilat C. auricilius dan penggerek pucuk
Scirpophaga nivella intacta merupakan hama penting tanaman tebu. Kedua jenis
hama ini sulit dikendalikan secara kimiawi disebabkan perilakunya yang
cenderung berada di dalam batang dan pucuk batang tebu. Oleh karena itu
pengendalian hayati dengan menggunakan parasitoid dinilai lebih efektif.
Salah satu jenis musuh alami serangga hama yang sering dimanfaatkan
untuk pengendalian hama serangga Ordo Lepidoptera adalah Trichogramma spp.
yang termasuk jenis parasitoid telur. Parasitoid telur ini terbukti berpotensi untuk
mengendalikan serangga hama di lapangan serta dapat mengurangi biaya
penggunaan insektisida sebesar 73,4% dan biaya tenaga kerja sebesar 27%
(Nurindah, 2002). Di Indonesia, penggunaan parasitoid telur ini telah banyak
digunakan dan berhasil mengendalikan hama penggerek tebu, penggerek padi, dan
penggerek kedelai (Kalshoven, 1981).
5
Dilaporkan bahwa sampai saat ini lebih dari 32 juta ha lahan pertanian di
seluruh dunia menggunakan parasitoid Trichogramma spp. untuk mengendalikan
hama-hama pada tanaman pangan, misalnya pada komoditas padi, jagung,
gandum dan sorgum; pada tanaman industri seperti tebu, kapas dan kedelai serta
sayuran dan buah-buahan (Li, 1994). Di Indonesia diketahui terdapat beberapa
spesies parasitoid Trichogramma yang dapat mengendalikan beberapa hama pada
tanaman pangan dan perkebunan seperti penggerek polong kedelai (Etiella
zirrkenella), perusak bunga dan buah kapas (Helicoverpa armigera), penggerek
batang dan pucuk tebu (Chillo auricilius dan Tryporyza nivella), dan perusak daun
jambu mete (Criculla trifenestrata) (Djuwarso dan Wikardi,1999). Pada lahan
perkebunan tebu yang dikelola oleh PT GMP, tingkat parasitasi T. chilonis
dilapangan dilaporkan mencapai 50% (Saefudin, komunikasi pribadi), dan
T.chilonis telah dibiakkan secara massal sebagai teknologi alternatif non
insektisida. PT GMP di Lampung memiliki unit khusus yang berfungsi untuk
mengoleksi T. chilonis dari lapang dan membiakkannya di laboratorium.
Untuk pembiakan T. chilonis dalam skala besar, parasitoid telur ini dapat
diproduksi menggunakan inang pengganti, yaitu telur dari hama beras Corcyra
cephalonica. Oleh karena itu, perlu diselidiki bagaimana pengaruh kondisi telur
C. cephalonica terhadap produksi biakan T. chilonis di laboratorium. Mengingat
parasitoid yang akan benar-benar berfungsi sebagai agen pengendalian hayati di
lapangan adalah T. chilonis betina maka perlu dipelajari agar produksi massal
parasitoid ini menghasilkan mayoritas turunan berkelamin betina.
Secara teoritis, sex ratio parasitoid sangat dipengaruhi oleh perkawinan
imagonya. Perkawinan akan memperbanyak keturunan berkelamin betina.
6
Keadaan ini sangat menguntungkan, karena semakin banyak parasit betina maka
akan semakin terjamin kelangsungan dari keturunan parasit berikutnya.
Jika serangga parasitoid Hymenoptera adalah haplodiploid maka jantan
haploid berkembang dari telur yang tidak dibuahi dan betina diploid berkembang
dari telur yang dibuahi. Betina yang tidak berkopulasi akan menghasilkan
keturunan berjenis kelamin jantan, sementara betina yang telah berkopulasi akan
menyimpan sperma dalam spermateka dan pada saat peletakan telur, betina dapat
mengatur alokasi kelamin keturunan sepanjang peletakan telur berdasarkan
kondisi lingkungan (Godfray, 1994)
Ukuran inang diduga juga mempengaruhi alokasi kelamin keturunan.
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Charnov yang menyatakan bahwa jika
sejumlah inang yang dipaparkan pada parasitoid betina mempunyai ukuran yang
tidak sama, umumnya parasitoid akan meletakkan keturunan betina pada inang
yang berukuran relatif lebih besar dan keturunan jantan pada inang yang
berukuran relatif lebih kecil (Godfray, 1994). Sementara itu, parasitoid juga
menunjukkan preferensi untuk meletakkan telur pada inang yang memberikan
peluang kelangsungan hidup keturunannya maksimal. Secara teoretis, telur
Corcyra berukuran besar memberikan peluang lebih besar bagi kelangsungan
hidup parasitoid yang berkembang di dalamnya.
Ode dan Heinz (2002) melaporkan bahwa keturunan betina pada parasitoid
Dyglyphus isaeae Walker (Hymenoptera : Eulophidae) akan muncul dari inang
yang berukuran relatif lebih besar dan keturunan jantan akan muncul dari inang
yang berukuran relatif lebih kecil. Hal yang sama juga dilaporkan pada parasitoid
7
Laelus pedatus Say (Hymenoptera: Bethylidae) yang dapat meletakkan satu
sampai lima telur pada satu inang. Apabila hanya meletakkan satu keturunan,
keturunan jantan akan diletakkan pada telur inang berukuran kecil, sementara
keturunan betina diletakkan pada inang berukuran besar. Sebaliknya, apabila
meletakkan lebih dari satu telur pada satu inang maka pada inang yang besar akan
diletakkan satu telur jantan dan satu atau lebih telur betina (Mayhew dan
Godfray,1997 dalam Hasriyanti, 2006). Berdasarkan dugaan ini maka dapat
diharapkan bahwa telur C. cephalonica yang berukuran besar kemungkinan akan
menghasilkan Trichogramma berjenis kelamin betina, sedangkan telur C.
cephalonica berukuran kecil kemungkinan akan menghasilkan jantan.
1.4 Hipotesis
1. Betina parasitoid T. chilonis yang berkopulasi akan menghasilkan keturunan
jantan dan betina.
2. Ukuran telur inang C. cephalonica mempengaruhi alokasi jenis kelamin
keturunan, umumnya parasitoid akan menghasilkan keturunan betina pada telur
inang yang berukuran relatif lebih besar dan sebaliknya akan menghasilkan
keturunan jantan pada telur inang yang berukuran relatif lebih kecil.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Tebu ( Saccharum officinarum L)
Tebu termasuk jenis tanaman perdu, yang dimasukkan ke dalam golongan
rumput-rumputan (Graminae) seperti halnya padi, jagung, bambu dan lainnya
(Muljana, 2003). Adapun klasifikasi botanis tanaman tebu adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Famili : Graminae
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum officinarum L
Tanaman tebu memiliki batang beruas yang tingginya 3 - 5 m, sedangkan
daunnya merupakan daun yang tidak sempurna karena hanya memiliki pelepah
daun yang menutup batang. Daun tebu berpangkal pada buku dan memiliki posisi
daun yang berseling kanan dan kiri. Bunga tebu merupakan malai berbentuk
piramida dengan panjang 30 – 90 cm yang mengandung ribuan bunga kecil, umur
tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih satu tahun
(Hendroko, 1987 dalam Kania, 1997). Tanaman tebu tumbuh baik pada daerah
yang beriklim panas dan mempunyai kelembaban lebih dari 70 %. Hujan yang
merata diperlukan setelah tanaman tebu berumur 8 bulan. Suhu udara yang
9
dibutuhkan berkisar antara 28 – 340 C, sedangkan media tanam yang cocok adalah
tanah subur dan cukup air tetapi tidak tergenang dan ketinggian tempat yang baik
adalah 5.500 dpl (Reginawati, 1999).
Dalam budidaya tanaman tebu hal yang tidak kalah penting adalah
mengatasi gangguan hama yang menyerang tanaman tebu. Hama-hama yang
menyerang tanaman tebu antara lain: penggerek batang bergaris (Chillo
saccharipaghus), penggerek batang berkilat (Chilo auricilius) dan penggerek
pucuk (Scirpophaga nivella). Chilo auricilius dapat menyebabkan kerusakan
berkisar antara 8-10% per ha (Pcilindia, 2006 dalam Meidalima, 2014). Penggerek
pucuk sendiri dapat menimbulkan kerugian sampai ± 9%, sedangkan apabila
berada bersama-sama dengan penggerek batang kerugian yang diakibatkannya
dapat sampai ± 12%. Hama-hama yang lain (disamping kedua hama ini) paling
banyak secara keseluruhan dapat menimbulkan kerugian sampai ± 5% saja.
Gambar 1. Gejala serangan penggerek pucuk tebu (Foto: Viza Yelisanti)
10
2.2. Penggerek Pucuk Tebu (Scirpophaga nivella intacta Snell)
Hama penggerek pucuk tebu menurut Kalshoven (1981) diklasifikasikan
ke dalam filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Lepidoptera, famili Pyralidea,
genus Scirpophaga, dan spesies Scirpophaga nivella Snell. Hama ini meletakkan
telurnya pada bagian bawah permukaan daun secara berkelompok dan tersusun
seperti sisik ikan yang tertutup selaput berwarna coklat kekuningan. Jumlah telur
S. n. intacta dapat mencapai 6-30 butir dan menetas dalam 8-9 hari. Serangan
penggerek pucuk S. n. intacta menyebabkan helai daun tebu memiliki gejala
lubang melintang dan pada ibu tulang daunnya terlihat bekas gerekan berwarna
coklat. Daun tebu yang terserang akan menggulung dan kering yang disebut mati
puser. Apabila batang tebu dibelah maka kelihatan lorong gerekan dari titik
tumbuh ke bawah kemudian mendekati permukaan batang dan sering menembus
batang. Oleh karena itu serangan penggerek pucuk dapat menyebabkan kematian.
Pada ruas batang yang muda yaitu di bawah titik tumbuh terdapat lubang keluar
ngengat.
2.3. Pengerek Batang Tebu Berkilat (Chilo auricilius Dugdeon)
Hama penggerek tebu dalam bahasa Inggris dinamakan stem borer, karena
larvanya menggerek batang. Ada dua jenis penggerek batang tebu yang penting,
yaitu penggerek batang bergaris (Chillo saccharipaghus) dan penggerek batang
berkilat (Chilo auricilius) (Kalshoven, 1981).
Chilo auricilius meletakkan telur secara berkelompok dan tersusun seperti
genting. Telur serangga ini berbentuk oval dan tertutup gelatin tipis berwarna
11
putih. Masa inkubasi telur berlangsung selama 4 – 10 hari. Larva penggerek
berkilat yang baru menetas berwarna putih kekuningan, berukuran panjang 1 mm
dengan kepala berwarna hitam dengan bagian dorsoventral agak datar.
Kepompong yang baru terbentuk berwarna coklat kekuningan yang selanjutnya
berubah menjadi coklat, coklat tua, dan akhirnya kehitaman. Kepompong
berukuran ± 12,7 mm dengan lama stadia 6 – 10 hari. Ulat dewasa berukuran
panjang 25 – 30 mm, lebar 4,5 mm dengan garis ungu membujur sepanjang
badan. Stadia larva berlangsung 16 – 51 hari (Kalshoven, 1981).
Telur C. sacchariphagus yang baru menetas hidup di dalam pucuk
tanaman tebu, diantara daun-daun muda yang masih menggulung. Larva C.
sacchariphagus memakan jaringan daun dan menyebabkan daun-daun muda yang
sudah terbuka mempunyai gejala luka-luka. Luka-luka itu dapat berlubang, tetapi
biasanya hanya daging daunnya yang hilang, hingga tinggal selaput tipis jaringan
luar sebelah bawah. Bentuk luka-luka itu memanjang dan tidak teratur. Lubang-
lubang dapat terjadi pula, karena larva penggerek memasuki pupus. Setelah
beberapa hari hidup dalam pupus daun, larva keluar dan turun melalui sebelah
luar pucuk tanaman. Selanjutnya larva menembus ke dalam tanaman melalui
ruas-ruas muda atau pucuk-pucuk tanaman. Titik tumbuh dan pucuk dari tanaman
muda sering rusak, sehingga daun-daun muda akan layu dan mati. Lorong gerek
yang disebabkan penggerek bergaris berbentuk tidak teratur (Kania, 1997).
Gejala serangan penggerek batang berkilat C. auricilius pada daun
tanaman tebu agak berbeda dengan gejala serangan penggerek batang bergaris C.
sacchariphagus. Luka akibat serangan penggerek batang berkilat C. auricilius
berbentuk tidak memanjang, tetapi lorongnya agak bulat. Luka-luka itu dibatasi
12
oleh warna yang coklat. Pada daun-daun muda terdapat pula lubang-lubang yang
terjadi sewaktu larva muda memasuki pupus. Setelah beberapa hari hidup dalam
pupus, larva merayap turun dan memasuki celah-celah yang terdapat antara batang
dan pelepah daun sebelah dalam. Pelepah daun yang digerek, dari luar dapat
dikenal karena warnanya yang merah ungu dan biasanya menyerang pelepah daun
nomor 4. Meskipun dapat hidup sampai dewasa dari pelepah daun, kebanyakan
larva akan menggerek masuk ruas-ruas yang masih diselubungi pelepah-pelepah
daun.
2.4. Trichogramma chilonis Ishii
Trichogramma chilonis Ishii merupakan serangga parasitoid telur yang
tergolong ke dalam kelas Insekta, ordo Hymenoptera dan famili
Trichogrammatidae (Borror et al., 1992). Serangga ini berukuran kecil dengan
panjang tubuh kurang lebih 0,5 mm, memiliki antena berukuran pendek berbentuk
silinder yang terdiri dari 3 – 8 ruas, termasuk satu ruas cincin. Antena serangga T.
chilonis jantan lebih panjang dibandingkan dengan antena serangga betina. Sayap
T. chilonis berumbai-rumbai, rumbai terpanjang terdapat pada tepi sayap.
Parasitoid T. Chilonis merupakan parasit telur yang imagonya mencari
telur inang dengan menggunakan indra penciuman. Pada umumnya inang yang
dicari akan mengeluarkan bau yang dapat memancing imago betina T. chilonis
untuk mendatangi inang tersebut. Setelah imago betina menemukan telur
inangnya, maka telur tersebut akan diperiksa dengan menggunakan ovipositor
atau antenanya untuk menentukan apakah telur inang yang akan dipilih adalah
telur inang yang segar, sehat, dan tidak terparasit oleh imago betina lainnya
13
(Murray, 2003 dalam Romli, 2006). Setelah menemukan telur inang yang cocok
maka T. chilonis akan memasukkan telurnya ke dalam telur inang yang kemudian
berkembang menjadi larva dan mengambil nutrisi yang berada di dalam telur
inang sehingga telur inang tersebut mati. Setelah tiga hari, telur inang berwarna
hitam yang menandakan bahwa telur tersebut telah terparasit.
Gambar 2. T. chilonis memarasit telur C. cephalonica ( Foto: Viza Yelisanti)
2.5. Corcyra cephalonica Stantion
Serangga C. cephalonica termasuk kedalam kelas Insekta, ordo
Lepidoptera dan famili Pyralidae. Serangga ini merupakan salah satu hama
gudang, yang menyerang biji-bijian pada saat penyimpanan. Lama hidup ngengat
C. cephalonica mencapai 10 hari dan dapat menghasilkan telur sebanyak 400 butir
(Kalshoven, 1981). Telur ngengat beras C. cephalonica memiliki warna putih
kekuning-kuningan dan berbentuk oval dengan ukuran 0,5 x 0,3 mm (Grist dan
14
Lever, 1896 dalam Supriyono,1993). Larva yang baru menetas dari telur akan
bergerak ke bagian bawah dan menembus masuk kedalam sela-sela butiran biji-
bijian yang disimpan, dan kemudian menghasilkan banyak tepung yang akan
memancing datangnya hama gudang lainnya seperti kumbang tepung. Larva C.
cephalonica berwarna putih disertai warna abu-abu dengan ukuran 12 – 17 mm.
Stadium larva ini berlangsung antara 28 hingga 41 hari. Pada stadium pupa, C.
cephalonica berwarna merah kecoklatan dengan ukuran 15 x 14 mm dan
diselubungi oleh kokon yang berwarna putih. Stadium pupa ini berlangsung
selama 8 hari dan membutuhkan temperatur yang cocok, yaitu 250C dan
kelembaban relatif 72 %.
Ngengat beras C. cephalonica jantan berukuran lebih kecil dan memiliki
abdomen lebih ramping daripada ngengat betina. Apabila hinggap pada tanaman
bagian mulutnya tidak menjulur ke muka sehingga bagian depan (anterior)
kepalanya nampak tumpul sedangkan ngengat betina menjulur ke muka sehingga
nampak ujung kepalanya meruncing (Ditjenbun, 1993). Sayap C. cephalonica
bersisik dengan warna abu-abu dan memiliki sayap berukuran 20 – 23 mm. Pada
sayap bagian belakang ngengat terdapat rumbai-rumbai halus. Ngengat ini
memiliki tipe antena filiform dengan tipe mulut menghisap (Ditjenbun, 1993).
2.6. Pengendalian Hayati dengan Parasitoid Telur Trichogrammatidae
Pengendalian hayati merupakan suatu strategi pengendalian hama yang
saat ini banyak dikembangkan sebagai alternatif dari pengendalian secara kimiawi
yang dapat menimbulkan resistensi dan resurgensi padahama sasaran, munculnya
hama sekunder, pencemaran lingkungan dan pengaruhnya pada kesehatan
15
manusia serta residu pada produk pertanian dan hewan. Istilah pengendalian
hayati pertama kali diartikan sebagai penggunaan musuh alami untuk
mengendalikan hama. Akan tetapi kemudian definisi pengendalian hayati
berkembang dan diartikan sebagai pengendalian hama tanpa menggunakan
senyawa kimia. Sedangkan menurut DeBach (1973 dalam Hasriyanty, 2006),
pengendalian hayati diartikan sebagai pemanfaatan parasitoid, predator dan
patogen untuk memelihara dan menjaga keseimbangan kepadatan polulasi suatu
organisme lain pada suatu tingkat populasi rata-rata tanpa pengendalian lain.
Salah satu kelompok musuh alami serangga hama yang banyak
dikembangkan adalah parasitoid. Parasitoid umumnya merupakan serangga dari
ordo Hymenoptera, tetapi beberapa spesies parasitoid juga dapat ditemukan pada
Ordo Diptera, Strepsiptera, Coleoptera dan Lepidoptera (Gord et al.,
1999). Salah satu famili dari ordo Hymenoptera yang anggotanya banyak
berperan sebagai parasitoid adalah famili Trichogrammatidae. Kelompok ini
merupakan parasitoid yang telah banyak dikembangkan dan dimanfaatkan untuk
mengendalikan berbagai jenis hama karena sifatnya yang generalis. Pemanfaatan
parasitoid ini juga sering menjadi pilihan karena merupakan parasitoid telur yang
mengendalikan hama pada fase paling awal sehingga kerusakan tanaman dapat
dicegah sedini mungkin. Parasitoid famili Trichogrammatidae mudah ditangani
dan penggunaannya di lapangan dapat digabungkan dan kompatibel dengan
metode pengendalian lain (Alba, 1988) sehingga dapat mendukung pelaksanaan
PHT di lapangan. Parasitoid Trichogrammatidae bersifat polifag, mampu
memarasit 10 ordo serangga, hama penting seperti ordo Lepidoptera. Beberapa
16
spesies Trichogramma juga dapat memarasit telur Coleoptera, Diptera,
Heteroptera, Hymenoptera dan Neuroptera (Smith 1996 dalam Hasriyanty, 2006).
Dalam Famili Trichogrammatidae terdapat 80 genera dan semuanya
diketahui merupakan parasitoid telur. Dua genera yang terkenal adalah
Trichogramma dan Trichogrammatoidea (Clausen 1940; Nagarkatti dan
Nagaraja, 1977 dalam Hasriyanty, 2006). Di Indonesia Trichogrammatidae telah
banyak dibiakkan secara massal dan dikomersialkan di berbagai balai penelitian
dan perkebunan tebu di wilayah Jawa Timur. Spesies parasitoid yang digunakan
adalah Trichogrammatoidea armigera, Trichogrammatoidea cojuangcoi,
Trichogrammachilonis dan Trichogramma chilotrae (Husni dkk., 2010).
Sejarah penggunaan Trichogramma untuk mengendalikan berbagai jenis
serangga hama telah berlangsung sejak lama. Namun demikian, baru pada tahun
1926 Trichogramma mulai dibiakkan secara massal ketika Flander untuk pertama
kalinya mengembangkan sistem pengembangbiakan massal parasitoid ini dengan
menggunakan telur inang pengganti Sitotroga cerealella Oliver (Lepidoptera:
Gelechiidae) (Li, 1994). Selama 20 tahun terakhir parasitoid Trichogramma telah
digunakan secara luas terutama untuk mengendalikan hama-hama pada tanaman
pangan, misalnya padi, jagung, gandum dan sorgum; pada tanaman industri
seperti tebu, kapas dan kedelai; serta pada tanaman sayuran dan buah-buahan (Li,
1994).
Di Indonesia, Trichogramma telah digunakan untuk mengendalikan hama
pada tanaman kapas, anggur, kubis, apel, tomat dan padi (Smith 1996 dalam
Hasriyanty, 2006). Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan keefektifan
17
penggunaan parasitoid Trichogramma dan Trichogrammatoidea untuk
mengendalikan berbagai jenis hama di lapangan. Penelitian Ramlan (2001),
menunjukkan bahwa tingkat parasitisasi oleh T. armigera populasi Cianjur
sebesar 37,77% dan berhasil menurunkan kerusakan polong kedelai sebesar
23,27% serta meningkatkan produksi sebesar 70 g biji kering/10 rumpun tanaman.
Hasil penelitian Herlinda (1995), menunjukkan bahwa Trichogrammatoidea
bactrae Nagaraja berhasil menurunkan kerusakan polong akibat serangan hama
Etiella zinkenella (Treitschke) (Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman kedelai.
Di luar negeri, penggunaan parasitoid T. armigera telah dilakukan secara
komersial pada lebih dari 32 juta hektar lahan per tahun di Cina, Eropa, Asia,
Amerika Selatan, Australia, dan Amerika Serikat (Li, 1994). Pada tahun 1972,
dilaporkan bahwa di India telah dikembangkan pelepasan T. armigera bersama-
sama T. australicum, Trichogramma achaeae Nagaraja & Nagarkatti dan
Telenomus sp, untuk mengatasi serangan Helicoverpa armigera Hubn.
(Lepidoptera: Noctuidae) pada berbagai tanaman yang bermanfaat secara ekonomi
(Hasriyanty, 2006).
Akhir-akhir ini, banyak dikaji penggunaan musuh alami parasitoid telur
dari famili Trichogrammatidae yang berpotensi sebagai agen pengendali hayati
yang efektif. Parasitoid telur mempunyai keuntungan dibanding dengan
parasitoidlarva, karena menyerang telur hama, sehingga dapat mengendalikan
hama pada fase paling awal sebelum hama merusak tanaman. Di Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa telah dilaporkan ada tiga spesies parasitoid
Trichogrammatidae yang diidentifikasi sebagai parasitoid telur P. Xylostella
18
,yakni T. flandersi, T.cojuangcoi, dan T. armigera (Meilin 1999 dalam
Hasriyanty, 2006). Miura (2003 dalam Hasriyanty, 2006) melaporkan bahwa
penggunaan T. chilonis mampu mengendalikan P. xylostella dalam rumah kaca
dengan tingkat parasitisasi mencapai 80%. Klem et al. (1992 dalam Hasriyanty,
2006) melaporkan terdapat 27 spesies Trichogramma dan Trichogrammatoidea
yang memarasit P. xylostella yang berasal dari USSR, Prancis, Cina, Amerika,
Taiwan dan Thailand, tetapi hanya ada 7 spesies yang memungkinkan untuk
dikembangkan lebih lanjut untuk tujuan pengendalian, yakni; T. bactrae,
Trichogramma principium Sug & Sor, T. pretiosum, Trichogramma
leptoparameron Dyurich, T. chilonis, T. confusum dan T. ostriniae.
19
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Research & Development (R
& D) PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Gunung Batin, Terusan Nunyai,
Lampung Tengah pada bulan November 2013 – Januari 2014.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: mikroskop stereo
binokuler, micrometer, cawan petri, kaca pembesar, kuas halus, penggaris, pinset,
tabung reaksi berdiameter 1,5 cm dan lampu pijar 100 Watt.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : telur ngengat
beras C. cephalonica (Lepidoptera : Pyralidae) berumur 1 hari, imago betina T.
chilonis (Hymenoptera : Trichogrammatidae), kertas padalarang 1 x 2 cm2 , lem
povinal, larutan madu dengan konsentrasi 10% sebagai pakan parasitoid, dan
kapas.
3.3 Pelaksanaan Penelitian
3.3.1 Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid
Parasitoid T. chilonis yang digunakan pada penelitian ini berasal dari areal
pertanaman PT GMP di Lampung Tengah. Pengembangan koloni parasitoid
dilakukan dengan cara mengumpulkan kelompok-kelompok telur Scirpophaga
nivella intacta pada daun tebu dengan menggunakan tangan (hand collection).
Telur yang terkumpul selanjutnya dibawa ke laboratorium dan diinkubasikan
20
sampai parasitoid muncul dari telur yang terparasit. Apabila telur tersebut
berubah warna menjadi hitam maka telur tersebut terparasit oleh T. chilonis. Telur
yang terparasit kemudian dipisahkan dan apabila parasitoid telah menetas dari
telur, dilakukan identifikasi terhadap spesies parasitoid yang muncul. Parasitoid
selanjutnya kemudian dikembangbiakkan pada telur inang pengganti, yaitu hama
bubuk beras Corcyra cephalonica.
Perbanyakan parasitoid dilakukan dengan cara menempelkan telur inang
pengganti C. cephalonica dengan menggunakan perekat gom arabik pada suatu
pias (potongan karton yang berukuran 1 x 4 cm). Telur inang pada pias kemudian
didinginkan di dalam freezer selama 2 jam dengan tujuan untuk membunuh
embrio yang berkembang didalam telur. Telur inang selanjutnya dimasukkan ke
dalam tabung reaksi untuk dipaparkan pada parasitoid hingga parasitoid T.
chilonis menetas. Imago T. chilonis yang keluar diidentifikasi jenis kelaminnnya
untuk menentukan apakah berkelamin jantan atau betina. Imago yang keluar
dipelihara dan dipisahkan untuk memastikan bahwa parasitoid tersebut tidak
berkopulasi.
3.3.2 Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica
Perbanyakan C. cephalonica dimaksudkan untuk mendapatkan telur yang
digunakan sebagai inang pengganti untuk perbanyakan parasitoid dan inang untuk
percobaan. Perbanyakan C. cephalonica dilaksanakan dengan mengikuti prosedur
yang digunakan oleh Herlinda (1995). Imago jantan dan betina C. cephalonica
yang diperoleh dari gudang pakan dimasukkan kedalam kotak peneluran yang
berbentuk silinder dan terbuat dari karton dengan diameter 8 cm dan tinggi 20 cm
dengan bagian atas dan bawah yang ditutup dengan kawat kasa 25 mesh sebagai
21
tempat bertelur C. cephalonica. Setelah satu hari, telur-telur yang menempel pada
kawat kasa dipanen dengan menggunakan kuas dan telur yang terkumpul
ditempatkan pada cawan petri. Sebagian telur digunakan untuk perbanyakan C.
cephalonica dengan cara menaburkan telur pada kotak perbanyakan yang berisi
media campuran pakan ayam dan dedak dengan ketebalan sekitar 3 cm dan
sebagian lainnya digunakan untuk inang perbanyakan parasitoid dan inang pada
pelaksanaan percobaan.
3.3.3 Pengukuran Ukuran Telur Corcyra cephalonica
Telur inang C. cephalonica yang digunakan pada penelitian ini terlebih
dahulu disaring menggunakan saringan kassa dengan ukuran 50 mesh. Telur-telur
yang tidak melewati saringan maka dikategorikan sebagai telur berukuran besar
dan yang melewati saringan dikelompokkan sebagai telur berukuran kecil.
Selanjutnya telur inang C. cephalonica berukuran besar dan kecil diukur kembali
dengan menggunakan mikroskop stereo binokuler untuk menentukan panjang,
lebar dan luasnya. Pengukuran telur inang C. cephalonica mengacu pada Romli
(2006), yaitu menggunakan micrometer yang telah dikalibrasi. Panjang (p)
didefinisikan sebagai jarak antara satu ujung telur dengan ujung yang lainnya
pada irisan yang terbesar. Lebar (l) didefinisikan sebagai jarak irisan terbesar
yang tegak lurus dengan panjang (p). Sedangkan luas yaitu perkalian antara
panjang (p) dan (l). Panjang dan lebar diukur dengan satuan mm sedangkan luas
(p x l) dengan satuan mm2. Pengukuran dilakukan pada akhir percobaan karena
ukuran dari telur C. cephalonica ini tidak berubah sampai dengan memunculkan
T. chilonis atau memunculkan C. cephalonica.
22
Telur inang yang digunakan untuk bahan percobaan diukur dan di
kelompokan menjadi telur berukuran besar apabila memiliki panjang > 0,51 mm,
lebar > 0,39 mm, dan luas > 0,19 mm2; telur berukuran kecil memiliki panjang <
0,44 mm, lebar < 0,32 mm, dan luas < 0,14 mm2. Telur berukuran besar memiliki
berat rata-rata 0,0035 g per 15 butir telur, sedangkan telur berukuran kecil
memiliki berat rata-rata 0,0030 g per 15 butir.
Gambar 3. Telur C. cephalonica ukuran besar (A), Telur C. cephalonica ukuran kecil (B)
(Foto: Viza Yelisanti).
3.3.4 Penyiapan Pias Pengamatan
Langkah awal percobaan ini dilakukan dengan membuat pias berukuran1 x
2 cm2 dan diolesi dengan lem povinal secara teratur dalam 2 baris (0,5 cm x 0,4
cm). Pias kemudian ditempeli dengan 15 butir telur C. cephalonica berukuran
besar dan 15 butir telur C. cephalonica berukuran kecil yang berumur satu hari.
Selanjutnya kertas pias yang telah ditempeli telur tersebut dikeringanginkan
selama selama 5-10 menit. Langkah berikutnya yaitu menyiapkan imago betina
A
B
23
T.chilonis sebagai starter. Starter yang digunakan merupakan imago betina T.
chilonis yang diperoleh dari hasil penetasan telur inang yang telah terparasit oleh
T. chilonis sebelumnya. Untuk membedakan apakah T. chilonis jantan atau betina
dapat dilihat dari ciri-ciri antenanya: T. chilonis jantan memiliki rumbai-rumbai
yang panjang dan kasar sedangkan antena T. chilonis betina memiliki rumbai yang
pendek dan halus.
Setelah diperoleh imago T. chilonis betina yang sudah berkopulasi yang
berada didalam tabung reaksi, maka pias yang telah dibuat sebelumnya
dimasukkan ke dalam tabung tersebut agar T. chilonis betina tersebut melakukan
oviposisi. Kemudian tutup tabung reaksi ditutup dengan menggunakan kapas
bersih. Untuk memperpanjang umur T. chilonis, bagian dalam dinding tabung
diolesi larutan madu dengan konsentrasi 10%. Madu yang telah dioleskan
diratakan dengan kuas halus sampai membentuk lapisan tipis sehingga T. chilonis
tidak terjerat. Langkah selanjutnya tabung reaksi tersebut diletakkan pada wadah
tabung dan diberi penyinaran menggunakan lampu pijar 100 watt. Penyinaran ini
dimaksudkan untuk merangsang kegiatan oviposisi T. chilonis.
Setiap 30 menit, kelompok telur inang pada pias dikeluarkan dan diganti
dengan kelompok telur inang yang baru dan penggantian telur inang ini dilakukan
selama enam kali atau dalam kurun waktu 3 jam. Pengumpanan telur C.
cephalonica untuk parasitasi oleh T. chilonis dilakukan selama 30 menit pertama,
30 menit kedua, 30 menit ketiga, 30 menit keempat, 30 menit kelima, dan 30
menit keenam. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Pias yang
sudah terparasit dikeluarkan dari tabung reaksi dan dipisahkan berdasarkan
kelompok ukuran telur besar dan kelompok telur berukuran kecil. Selanjutnya
24
telur-telur C. cephalonica dimasukkan kedalam tabung reaksi lainnya dan ditutup
dengan kapas bersih dipelihara pada suhu ruang 270C sampai imago muncul.
Percobaan dilaksanakan dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), pada
ukuran telur besar dan ukuran telur kecil dengan enam kali waktu pergantian telur
inang yang dilaksanakan dalam 5 ulangan. Analisis deskriptif dilakukan untuk
menggambarkan kecenderungan persentasi telur yang terparasit. Selanjutnya data
dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji BNT pada
taraf nyata5 %. Pengaruh waktu pemaparan T. chilonisterhadap telur inang C.
cephalonica dianalisis menggunakan uji t. Pengolahan data pengamatan
dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16.0.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah (1) persentase parasitasi,
(2) jumlah imago T. chilonis betina yang muncul, (3) jumlah imago T. chilonis
jantan yang muncul, dan (4) lama inkubasi kemunculan imago yang dihitung pada
24 jam pertama, 24 jam kedua dan seterusnya sampai seluruh imago mati.
Penentuan persentase parasitasi telur inang Corcyra cephalonica oleh
Trichogramm chilonis dalam penyelidikan ini dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
PPs = ______x 100%
S
Keterangan : Ps = Persentase parasitasi T. ChilonisP = Jumlah telur inang C. cephalonica yang terparasit T. chilonisS = Total telur inang C. cephalonica
36
V. SIMPULAN
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka dapat disimpukan, bahwa:
1. Jumlah imago yang muncul menunjukkan bahwa telur C. cephalonica yang
berukuran besar paling banyak menghasilkan imago Trichogramma berjenis
kelamin betina. Dalam waktu 180 menit, telur Corcyra berukuran besar rata-
rata menghasilkan 12 ekor parasitoid betina dan 8 ekor parasitoid jantan.
Sementara itu, telur Corcyra berukuran kecil hanya menghasilkan 8 ekor
Trichogramma betina dan kurang dari 6 ekor Trichogramma jantan.
2. Persentase parasitasi terbesar telur Corcyra oleh T. chilonis terdapat pada
telur yang berukuran besar. Meskipun persentase parasitasi telur Corcyra oleh
Trichogramma semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur telur
namun akumulasi parasitasi telur Corcyra oleh Trichogramma terus
bertambah mulai dari 30 menit hingga 180 menit.
37
DAFTAR PUSTAKA
Agus, N. 1991. Biologi Parasitoid Telur Trichogramma sp. (Hymenoptera:Trichogrammatidae) dan Telenomus sp. (Hymenoptera: Scelionidae) padaPenggerek Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera:Pyralidae).Tesis. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Alba MC. 1988. Trichogrammatids in the Philippines. Philipp. Ent 7(3): 253-271.
Anonim. 2011. Inefisiensi Pabrik Gula Rp 4,2 Triliun. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/01/04112127/Inefisiensi.Pabrik.Gula.Rp.4.2.Triliun. Diakses 19 Januari 2013.
Borror DJ, Triplehorn, CA, & JohnsonNF. 1992. Pengenalan PelajaranSerangga. Edisi Ke-enam. Penerjemah & penyunting : S. Partosoedjono &M.D. Brotowidjojo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 1083 hlm.
Buchori D, Pudjianto, & Sari A. 1997. Pengaruh perbedaan inang pada bionomiTelenomus spodopterae Dodd. (Hymenoptera Scelionidae): dampakterhadap biologi dan kebugaran. Bul. HPT. 9:8-18.
Colazza S,& E. Wajnberg. 1998. Effect of host egg mass size on sex ratio andoviposition sequence of Trissolcus basalis (Hymenoptera: Scelionidae).Population Ecology 27: 329-336.
Dewi, Ita ART. 2007. Daya parasitasi T. chilonis Ishii terhadap penggerek batangdi pertanaman tebu bergantung pada waktu aplikasi parasitoid. Skripsi.Universitas Lampung. Bandarlampung.20 hlm.
Ditjenbun. 1993. Pedoman Pengembangan Musuh Alami Hama Penggerek Tebu.Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan. Jakarta. 35 hlm.
Ditjenbun. 2013. Kebutuhan Gula Nasional Mencapai 5700 Juta Ton Tahun 2014http://ditjenbun.deptan.go.id/setditjenbun/berita-172-dirjenbun--kebutuhan-gula-nasional-mencapai-5700-juta-ton-tahun-2014.html. Diakses 19 Januari2013.
38
Djuwarso, T & Ellyda. A. Wikardi. 1999. Teknik perbanyakan Trichogrammaspp. di laboratorium dan kemungkinan penggunaannya. Jurnal LitbangPertanian.18 (4) : 111 – 119.
Fatimah, N. 2010. Pemanfaatan Varietas Unggul Tebu dan Penataan VarietasTebu, Langkah Strategis Menyongsong Swasembada Gula 2014,Artikel.http://www.ditjenbun.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 15 Februari2013
Godfray, HCJ. 1994. Parasitoids: Behavioral and Evolutionary Ecology. NewJersey: Princenton University Press.
Gord G, Legner EF & Caltagirone. 1999. Biology of parasitic hymenoptera. Diedit Bellows TS dan Fisher TW.Handbook Biological Control, Principlesand Applications of Biological Control. London. Academic Press. 1046 hlm.
Handayani RS, Buchori D & Prijono D. 2004. Pengaruh Pakan dan InangTerhadap Lama Hidup dan Produksi Telur Trichogramma pretiosum Riley(Hymenoptera: Trichogrammatidae). Di dalam: Arifin M et al., editor.Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Prosiding SeminarNasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); Bogor, 5 Oktober2004. Bogor: PEI. hlm 45-60.
Harjaka T, Martono E, Witjaksono & Bambang HS. 2011. Potensi JamurMetarhizium anisopliae Untuk Pengendalian Uret Perusak Akar Tebu.Prosiding Seminar Nasional Pesnab IV, Jakarta 15 Oktober 2011.
Hasibuan, R. 2003. Pengendalian Hama Terpadu. Universitas Lampung.Bandarlampung. 103 hlm.
Hasriyanty. 2006. Perilaku, Pola Peletakan Telur dan Efisiensi PemarasitanParasitoid Trichogramma chilotraeae Nagaraja & Nagarkatti (Hymenoptera: Trichogrammatidae) pada Berbagai Jumlah Inang dan KepadatanParasitoid. Tesis. Institut Pertanian Bogor. 93 hlm.
Hassan, SA. 1993. The Mass Rearing and Utilization of Trichogramma to ControlLepidopterous Pests: Achievements and Outlook. Pestic Sci 37:387- 391.
Hatmosuwarno, S. 1966. Kemungkinan Penggunaan Tenaga Atom untukPemberantasan Hama Penggerek Pucuk Putih (S. nivella F.) pada TanamanTebu. Akademi Gula Negara Yogyakarta. 14 hlm.
39
Herlinda S. 1995. Kajian Trichogrammatoidea bactrae bactrae Nagaraja(Hymenoptera: Trichogrammatidae) parasitoid telur Etiella zinkenellaTreitschke (Lepidoptera: Pyralidae). Tesis. Bogor: Program Pasca SarjanaInstitut Pertanian Bogor.
Herlinda S. 2005. Variasi kebugaran jenis/strain Trichogramma pada telurPlutella xylostella (l.) (Lepidoptera: Plutellidae). Jurnal PerlindunganTanaman. 11(1):51-59.
Husni, Alfian Rusdy, Pudjianto & Zulfanazli. 2010. Pengaruh lama penyimpananinang pada suhu rendah terhadap preferensi serta kesesuaian inang bagiTrichogrammatoidea armigera nagaraja. Jurnal Floratek 5 : 132-139.
Jannah, M. 2010. Informasi Dasar Parasitoid Telur Trichogramma chilonis Ishii(Hymenoptera: Trichogrammatidae) dalam Kaitannya dengan PengendalianHayati. Tesis. Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops In Indonesia. Laan PA van der,penerjemah. Jakarta: CV. Ichtiar Baru Van-Hoeve. Terjemahan dari : DePlagen van de Cultuurgewessen in Indonesie. 701 hlm.
Kania, D. 1997. Agihan Keruangan Penggerek Batang Chilo spp pada PerkebunanTebu PT Gula Putih Mataram. Skripsi. Universitas Lampung.Bandarlampung. 41 hlm.
Kumar MAA, Hosamani V & Apparampure S. 2010. Biology of sugarcaneinternode borer Chilo sacchariphagus indicus (Kapur). Karnataka Journalof Agricultural Sciences 23(1):140-141.
Li, L.Y. 1994. Worldwide use of Trichogramma for biological control ondifferent crops: a survey. Di dalam: Wajnberg E, Hassan SA, editor.Biological Control with Egg Parasitoids. Wallingford: CAB International.
Madry, B. 1993. Pedoman Pengembangbiakan Musuh Alami Hama PenyakitTanaman Tebu. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan.Jakarta. 45 hlm.
Mardiyani, P. 2013. Tekan Serangan Penggerek Pucuk dan Batang TebuEfektifkan Arah dan Jarak Pemasangan Pias.http://ditjenbun.deptan.go.id.Diakses 19 Januari 2013.
40
Meidalima, D. 2014. Parasitoid Hama Penggerek Batang dan Pucuk Tebu di CintaManis, Ogan Ilir Sumatera Selatan. Journal of Biology & BiologyEducation. Biosaintifika 6 (1). 1-7 hlm.
Meilin A. 1999. Keragaman karakter morfologi dan genetik populasi parasitoidtelur Trichogramma spp. Dan Trichogrammatoidea spp.(Hymenoptera :Trichogrammatidae) dari daerah geografis yang berbeda di pulau Jawa.Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Muljana, W. 2003. Teori dan Praktek Cocok Tanam Tebu dengan SegalaMasalahnya. Aneka Ilmu. Semarang. 57 hlm.
Nonci, N. 2005. Pemanfaatan Parasitoid Telur Trichogramma evanescensWestwood Untuk Pengendalian Penggerek Batang Jagung Ostriniafurnacalis Guenee. Prosiding Seminar Nasional Jagung Tahun 2005. BalaiPenelitian Tanaman Serealia. 548-561 hlm.
Nurindah. 2002. Identifikasi parasitoid telur Trichogramma danTrichogrammatoidea. Di dalam: Diseminasi Penerapan PemanfaatanParasitoid T. bactrae-bactrae (Nagaraja) Sebagai Agens Hayati untukMengendalikan Hama Penggerek Polong Kedelai spp.. Malang: BalaiProteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Wilayah VI.
Ode, P.J and Heinz, K.M. 2002. Host-size-dependent sex ratio theory andimprovingmass-reared parasitoid sex ratios. Biological Control 24: 31-41.
Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 255 hlm.
Prabowo, H., N. Asbani, & Supriyadi. 2013. Penggerek Batang Bergaris (Chilosacchariphagus Bojer) Hama Penting Tanaman Tebu. Info Tek Perkebunan.5 (5) :19p.
Pramono, D. 2005. Seri Pengelolaan Hama Tebu Secara Terpadu-2. Dioma.Malang. 219 hlm.
P3GI. 2008. Konsep Peningkatan Rendemen untuk Mendukung ProgramAkselerasi Industri Gula Nasional. Pasuruan, Indonesia. 26 hlm.
Ramlan. 2001. Kajian pelepasan populasi parasitoid trichogrammatidae untukpengendalian Helicoverpa armigera (Hubner) dan dampaknya terhadapkomunitas Arthropoda pada pertanaman kedelai. Tesis. Institut PertanianBogor.
41
Reginawati. 1999.Tanaman Tebu (Saccharum officinarum).Penebar Swadaya.
Romli, Desta Sagita. 2006. Deteksi dini jenis kelamin Trichogramma chilonisIshii (Hymenoptera : Trichogrammatidae) menggunakan warna, ukuran, danbentuk telur Corcyra cephalonica (Lepidoptera : Pyralidae) di laboratorium.Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 27 hlm.
Samoedi D, Soehartawan & Mudjiono G. 1995. Distribution of top borer infestedcanes and sequential sampling for decision of borer control. Buletin PusatPenelitian Perkebunan Gula Indonesia No. 141: 1-20.
Schmidt, JM. 1994. Host recognition and acceptance by trichogramma. Dalam: Wajnberg E, Hassan SA, editor. Biological Control with Egg ParasitoidsWallingford : CAB International
Sudarsono H, Sunaryo & Saefudin. 2011. Intensitas kerusakan pada beberapavarietas tebu akibat serangan penggerek pucuk tebu (Scirpophaga nivella)setelah aplikasi zat pemacu kemasakan Isoprophylamine glyphosate. JurnalPenelitian Pertanian Terapan 11 (3): 73-81
Supriyono. 1993. Pengaruh Umur Telur Inang Corcyra cephalonica Stainton(Lepidoptera : Pyralidae) terhadap Parasitisme dan PerkembanganParasitoid Trichogramma australicum Girault (Hymenoptera :Trichogrammatidae). Skripsi. Universitas Lampung. Bandarlampung. 39hlm.
Susilo, F.X. 2007. Pengendalian Hayati dengan Memberdayakan Musuh Alamihama Tanaman. Graha Ilmu. Yogyakarta. 120 hlm.
Susilo F.X, Desta S. Romli, Sunaryo & M. Solikhin. 2007. Early detection ofTrichogramma chilonis sexes using the egg color and size of its factitioushost Corcyra cephalonica. Jurnal HPT Tropika 7 (1) : 30-38.
Susniahti, N & A Susanto. 2005. Effect of irradiated eggs ages of Corcyracephalonica Stt. on development of Trichrogramma japonicum Ash.parasitoids. Agrikultura 16:181-188.
Sutejo B. 2008. Antisipasi Perkembangan Hama Penggerek Pucuk dan PenggerekBatang di Perkebunan Tebu Akibat Perubahan Iklim di Unit Usaha CintaManis PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) Kab. Ogan Ilir SumateraSelatan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Organisme Pengganggu
42
Tumbuhan dan Sumber Daya Hayati yang Berwawasan Lingkungan dalamMenyikapi Dampak Pemanasan Global, Palembang 18 Oktober 2008.
Walter E. 2000. Diversity and Life Histories of Parasitoids. In, Workshop onDevelopment and Utilization of Parasitoids (Eksploration, Identification,Mass Production, and Field Spreading). Bogor, 21-25 Februari.
Wilson, F & Huffaker, CB. 1976. The philosophy, scope, and importance ofbiological control. T.W. Fisher, Thomas S., et al, editor.Principles andapplications of biological control. New York Academic Press. 1005 hlm.