penerapan model contextual teaching learning …
TRANSCRIPT
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING LEARNING
TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS
SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 MUARA RUPIT TAHUN
PELAJARAN 2016/2017
ARTIKEL ILMIAH
Oleh:
DIAN PERMATA SARI
NPM 4012014
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
(STKIP-PGRI) LUBUKLINGGAU
2016
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING LEARNING
TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS
SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 MUARA RUPIT TAHUN
PELAJARAN 2016/2017
Oleh
Dian Permata Sari 1
Dodik Mulyono 2 dan Novianti Mandasari
3
Email: [email protected]
Skripsi ini berjudul Penerapan Model Contextual Teaching and Learning terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelas XI SMA Negeri 1
Muara Rupit Tahun Pelajaran 2016/2017. Rumusan masalah penelitian Apakah
rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas XI SMA Negeri
1 Muara Rupit tahun pelajaran 2016/2017 setelah penerapan model CTL minimal
berkriteria baik?. Tujuan penelitian, untuk mengetahui kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa kelas XI SMA Negeri 1 Muara Rupit tahun pelajaran
2016/2017 setelah penerapan model CTL. Metode penelitian yang digunakan pada
penelitian adalah eksperimen semu tanpa kelas pembanding. Populasi yaitu
seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 1 Muara Rupit. Pengambilan sampel
penelitian dilakukan secara cluster random sampling karena setiap kelas
mempunyai kemampuan dan kesempatan yang relatif sama dan terpilih sebagai
sampel adalah kelas XI.IPA.3 sebagai kelas ekperimen. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik tes berbentuk essay yang terdiri dari 9 soal. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan diperoleh rata-rata nilai matematika tes akhir sebesar 82,49
dengan persentase jumlah siswa yang tuntas belajar sebesar 94,29%. Hal ini
didukung dengan hasil analisis pengujian hipotesis diperoleh thitung (4,535) > ttabel
(1,697) dengan demikian hipotesis yang terbukti bahwa rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa kelas XI SMA Negeri 1 Muara Rupit tahun
pelajaran 2016/2017 setelah penerapan model CTL berkriteria baik.
Kata kunci: Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Hasil Belajar,
Contextual Teaching and Learning
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
PENDAHULUAN
Pembelajaran yang menyenangkan di sekolah akan dapat membangkitkan
rasa kegembiraan yang menjadi modal utama dalam menciptakan pemahaman
siswa terhadap materi yang dipelajari. Seorang guru dengan
kemampuanprofesionalnya harus mampu menciptakan suasana belajar yang
menimbulkan minat belajar dan daya tarik terhadap materi yang diajarkan. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan guru adalah keterampilan dalam memilih model
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, kondisi siswa dan kondisi
tempat belajar. Menurut Wena (2010:2) “Penggunaan model pembelajaran dalam
kegiatan sangat perlu karena untuk mempermudah proses pembelajaran sehingga
mencapai hasil yang optimal”. Tanpa model yang jelas, proses pembelajaran tidak
akan terarah sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sulit tercapai
secara optimal, dengan kata lain pembelajaran tidak dapat berlangsung secara
efektif dan efisien. Model yang tidak sesuai dengan materi yang diajarkan akan
menimbulkan kesulitan bagi siswa memahami konsep materi matematika yang
akan diberikan.
Dalam pembelajaran matematika, guru memegang peranan yang sangat
penting untuk menentukan keberhasilan belajar siswa dalam belajar matematika.
Tentunya guru dituntut untuk dapat menentukan model pembelajaran yang
mampu meningkatkan keberhasilan siswa tersebut. Dalam pelaksanaan proses
pembelajaran yang menyenangkan. Matematika merupakan bidang studi yang
sangat penting dalam sistem pendidikan karena matematika merupakan ilmu yang
mendasari perkembangan sains dan teknologi, mempunyai peran penting dalam
berbagai disiplin ilmu dan dapat menumbuh kembangkan kemampuan siswa
untuk berpikir dan bersikap logis, kritis, cermat dan bertanggung jawab. Oleh
karena itu matematika diajarkan pada tiap-tiap jenjang pendidikan, mulai dari
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Selain itu, matematika merupakan media untuk memecahkan masalah.
Sebagaimana terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No. 22 BSNP (2006) yang menyebutkan bahwa tujuan mata pelajaran
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
matematika adalah agar siswa mempunyai kemampuan sebagai berikut: 1)
memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat
dalam pemecahan masalah, 2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,
atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3) memecahkan masalah
yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, 4)
mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah, 5) memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki keingintahuan, perhatian dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 5 Januari 2016 dengan
melakukan wawancara dengan guru matematika yang mengajar di SMA Negeri 1
Muara Rupit, yaitu Ibu Rosa Anggraini, S.Pd., diketahui bahwa siswa mengalami
kesulitan ketika diberikan pertanyaan yang tidak rutin seperti mengenai hal yang
berkaitan dengan materi. Ini terbukti bahwa hanya beberapa siswa yang mampu
menyelesaikan soal yang diberikan. Itu terjadi karena siswa belum terbiasa
menyelesaikan soal yang membutuhkan pemahaman, perencanaan, penyelesaian
dan menemukan hasil. Hal ini menyebabkan siswa kurang mampu dalam
mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah.
Menurut salah satu guru yang mengajar di SMA Negeri 1 Muara
Rupit permasalahan ini pada umumnya disebabkan karena siswa yang masih
belum memahami dan mengerti tentang materi yang diajarkan oleh guru.
Umumnya siswa memilih diam dan menerima apa adanya yang disampaikan oleh
guru, pada saat guru mempersilahkan siswa untuk bertanya, siswa memilih untuk
diam, diam disini tidak bisa diartikan bahwa siswa memahami dan mengerti akan
materi yang disampaikan. Tetapi diam di sini bisa diartikan bahwa siswa kurang
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
memahami terhadap materi yang disampaikan ataupun diam karena takut dan
malu untuk bertanya.
Oleh karena tidak tercapainya tingkat keberhasilan yang maksimal, maka
dalam hal ini peneliti berasumsi untuk menggunakan metode atau model
pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran yang nantinya dapat
mempengaruhi motivasi dan minat belajar siswa dalam mata pelajaran matematika
dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan nilai KKM yang maksimal.
Penggunaan model pembelajaran akan mempermudah guru dalam pelaksanaan
proses pembelajaran yang berlangsung secara efektif dan efisien. Sehingga
tercipta suasana belajar yang menimbulkan daya tarik siswa dalam materi yang
diajarkan dan melibatkan siswa lebih aktif.
Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas, peneliti ingin
melaksanakan pembelajaran dengan model CTL. Model CTL ini membekali siswa
berupa pengetahuan dan kemampuan (skill) yang lebih realistis karena inti
pembelajaran ini adalah mengaitkan materi yang diajarkan dengan dunia nyata
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan sebelumnya (pior
knowledge) dengan aplikasinya dalam kehidupan mereka dimasyarakat dalam
mempelajari mata pelajaran matematika sehingga mampu mempengaruhi hasil
belajar siswa menjadi lebih baik. Selain itu, model CTL ini, membuat siswa
termotivasi mengikuti proses belajar mengajar dengan aktif, karena siswa dapat
bekerjasama menemukan pengetahuan maupun melatih keterampilan yang
ditemukan sendiri (Taniredja, dkk., 2013:50).
Peneliti memilih model CTL ini karena peneliti menurut peneliti suasana
pembelajaran CTL ini akan membuat kegiatan pembelajaran menjadi lebih
menarik dan menyenangkan bagi siswa dalam mempelajari materi pelajaran
matematika sehingga mampu mempengaruhi hasil belajar siswa untuk menjadi
lebih baik, karena siswa secara langsung dapat memecahkan masalah dan
mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata sebagai hubungan
antara pengetahuan dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
Berdasarkan uraian di atas, peneliti perlu untuk mengadakan penelitian
dengan judul “Penerapan Model CTL terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Muara Rupit Tahun Pelajaran
2016/2017 ? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa kelas XI SMA Negeri 1 Muara Rupit tahun
pelajaran 2016/2017 setelah penerapan model CTL.
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Masalah dalam matematika adalah suatu pernyataan matematika yang
jawabannya tidak dapat langsung diketahui dan membutuhkan tahapan dalam
menyelesaikannya. Menurut Ruseffendi (2006:336) “Suatu persoalan merupakan
masalah bagi seseorang apabila persoalan itu tidak dikenalnya, siswa harus
mampu menyelesaikannya terlepas dari apakah sampai atau tidak kepada
jawabannya, dan sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila ada niat
untuk menyelesaikannya”. Sedangkan menurut Widjajanti (2009:403) “Soal atau
pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki
penjawab. Dapat terjadi bagi seseorang, pertanyaan itu dapat dijawab dengan
menggunakan prosedur rutin baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab
pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah
dimiliki secara tidak rutin”.
Sementara menurut Nuharini (2008:82) “Pemecahan masalah dalam
matematika dapat berupa menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang
tidak rutin, serta mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari”.
Maksudnya adalah di mana sebuah soal yang untuk sampai pada prosedur yang
benar atau sampai pada hasil akhir diperlukan pemikiran yang lebih mendalam.
Oleh sebab itu pemecahan masalah dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk
berpikir kritis, logis, kreatif dan sistematis.
Pemecahan masalah matematika merupakan proses yang digunakan untuk
memecahkan masalah matematika dengan metode pemecahan yang belum
diketahui sebelumnya. Indikator pemecahan masalah yang digunakan dalam
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
penelitian ini diadopsi dari indikator kemampuan pemecahan masalah menurut
Fauziah (2010:38) yaitu: 1) mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang
ditanyakan dan kecukupan unsur yang diperlukan, 2) merumuskan masalah
matematik atau menyusun model matematik, 3) menerapkan strategi untuk
menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar
matematika, 4) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan
asal, 5) menggunakan matematika secara bermakna.
Pemecahan masalah dapat berupa menciptakan ide baru, menemukan
teknik atau produk baru. Bahkan di dalam pembelajaran matematika, selain
pemecahan masalah mempunyai arti khusus, istilah tersebut juga mempunyai
interpretasi yang berbeda. Misalnya menyelesaikan soal cerita atau soal yang tidak
rutin dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun pemberian skor dalam pemecahan masalah memperlihatkan
bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah. Pemberian skor pemecahan
masalah dalam penelitian ini diadopsi dari penskoran pemecahan masalah yang
dikemukakan oleh Schoen dan Ochmke (dalam Fauziah, 2010:40), seperti pada
tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1
Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah
Skor Memahami
Masalah
Membuat Rencana
Pemecahan
Melakukan
Perhitungan
Memeriksa
Kembali Hasil
0 Salah
menginter-
prestasikan/ salah sama
sekali
Tidak ada rencana,
membuat rencana
yang tidak relevan
Tidak melakukan
perhitungan
Tidak ada
pemeriksaan atau
tidak ada keterangan lain
1 Salah
menginter-
prestasikan sebagai soal,
mengabaikan
Membuat rencana
pemecahan yang
tidak dapat dilaksanakan
sehingga tidak
dapat dilaksanakan
Melaksanakan
prosedur yang
benar dan mungkin menghasilkan
jawaban yang benar
tapi salah
perhitungan
Ada pemeriksaan
tetapi tidak tuntas
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
2 Memahami
masalah soal
selengkapnya
Membuat rencana yang benar tetapi
salah dalam
hasil/tidak ada
hasil
Melakukan proses yang benar dan
Mendapatkan hasil
yang benar
Pemeriksaan dilaksanakan
untuk melihat
kebenaran proses
3 - Membuat rencana yang
benar, tetapi tidak
lengkap
- -
4 - Membuat rencana
sesuai dengan
prosedur dan mengarah pada
solusi yang benar
- -
Skor
Maksimal 2 Skor
Maksimal 4
Skor
Maksimal 2
Skor
Maksimal 2
Kriteria kemampuan pemecahan masalah dalam penelitian ini dimodifikasi
dari Redhana (2013:79). Skor tertinggi untuk tiap soal pemecahan masalah sesuai
dengan pedoman penskoran pemecahan masalah matematis di atas adalah 10 dan
skor terendah untuk tiap soal adalah 0. Adapun kriteria kemampuan pemecahan
masalah matematika yang diperoleh siswa dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2
Kriteria Penggolongan Kemampuan Pemecahan Masalah
Rentang Skor Kriteria
0,00 – 2,00 Sangat Kurang
2,01 – 4,00 Kurang
4,01 – 6,00 Cukup
6,01 – 8,00 Baik
8,01 – 10,00 Sangat Baik
Model Pembelajaran
Model pembelajaran didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang
menggambarkan prosedur sistematis mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijono
(2009:46) “Model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman
dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial”. Sedangkan Sumiati
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
dan Asra (2009:88) “Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
pengajar merencanakan aktivitas belajar mengajar”.
Sementara menurut Suhana (2009:41) “Model pembelajaran ialah suatu
pendekatan dalam rangka mensiasati perubahan prilaku siswa secara adaptif
maupun generatif”. Model pembelajaran sangat erat kaitannya gaya belajar siswa
(learning style) dan gaya mengajar guru (teacher style), yang keduanya disingkat
menjadi SOLAT (Style of Leaning and Teaching).
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran adalah suatu desain yang menggambarkan proses rincian dan
penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga
terjadi perubahan dan perkembangan pada diri siswa.
Pembelajaran Contextual Teaching Learning
Menurut Aqib (2013:1) “Model CTL merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa”. Hal ini dimaksudkan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Sedangkan Taniredja (2013:49)
menyatakan bahwa:
Model CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama
dalam pembelajaran efektif, yakni konstruktivisme (Constructivism), menemukan
(Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community),
pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic
Assessment).
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
Adapun menurut Karweit (dalam Yamin, 2011:194) model CTL adalah
pembelajaran yang dirancang agar siswa melaksanakan kegiatan dan memecahkan
masalah dengan mencerminkan sifat tugas seperti di dunia nyata.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model
CTL merupakan konsep belajar dengan mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni konstruktivisme
(Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat
belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan
penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).
langkah model CTL yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu, 1)
Guru mengarahkan siswa untuk menkonstruksikan sendiri pengetahuan barunya
(Constructivism) dan mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan sehari-
hari, 2) Siswa melaksanakan kegiatan inkuiri (Inquiry) dengan cara menemukan
sendiri konsep yang dimilikinya dan dapat memahami konsep tersebut, 3) Guru
mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya (Questioning) dengan
cara siswa diberikan soal-soal yang berkaitan dengan materi pembelajaran, 4)
Guru membentuk kelompok (Learning Community) dengan melakukan diskusi
antar siswa dalam menyelesaikan soal-soal, 5) Guru memberikan contoh
(Modeling) mengerjakan suatu soal yang berkaitan dengan materi, 6) Siswa
melakukan refleksi di akhir pertemuan (Reflection) dengan cara menugaskan
siswa untuk menjelaskan apa yang telah mereka pelajari berkaitan dengan materi
pembelajaran, 7) Guru melakukan penilaian yang sebenarnya (Authentic
Assessment) dan memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa.
METODE
Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu yaitu kegiatan percobaan
(experiment) yang bertujuan untuk mengetahui suatu gejala atau pengaruh yang
timbul sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu. Desain eksperimen yang
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
digunakan berbentuk Pre-test and Post-test Group. Sebelum mengadakan
eksperimen sebenarnya, akan dilakukan pre-test untuk mencari nilai skor awal.
Dari hasil pre-test itu akan dibandingkan dengan hasil post-test, maka akan
mendapat skor akhir yang akan menentukan sejauh mana keberhasilan penerapan
model CTL yang dilakukan (Sugiyono, 2012:167).
Desain eksperimen yang digunakan berbentuk Pre-test and Post-test
Group menurut Arikunto (2010:124) dapat digambarkan:
O1 X O2
Keterangan:
O1 : Tes yang dilakukan sebelum menggunakan model CTL (pre-test)
X : Perlakuan dengan menerapkan model CTL
O2 : Test yang dilakukan sesudah menggunakan model CTL (post-test)
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI SMA Negeri 1
Muara Rupit tahun pelajaran 2016-2017 sebanyak 151 orang terdiri 4 kelas,
pengambilan sampel dalam penelitian ini diambil secara acak atau random,
Setelah dilakukan pengambilan secara random maka yang terpilih satu kelas yang
menjadi sampel yaitu kelas XI.IPA 3 dan diberi perlakuan model CTL.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik tes. Arikunto (2010:193) menyatakan bahwa “Tes adalah serentetan
pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur
keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh
individu atau kelompok” Tes ini berbentuk tes esai sebanyak 7 soal yang
diberikan sebanyak dua kali yaitu sebelum pembelajaran (pre-test) dan sesudah
pembelajaran (post-test). Tes awal diberikan untuk melihat kemampuan awal
siswa dan tes akhir diberikan untuk memperoleh data tentang kemampuan
pemecahan masalah dalam materi statistika.
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskriptif Data Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 20 Juli sampai dengan 9 Agustus
2016 di kelas XI.IPA.3 di SMA Negeri 1 Muara Rupit yang berjumlah 35 orang.
Pelaksanaannya dilakukan secara langsung oleh peneliti dan sesuai dengan jadwal
yang berlangsung di sekolah tersebut. Model pembelajaran yang digunakan adalah
penerapan model CTL pada materi pokok statistika. Sehari sebelum pertemuan
pertama dilaksanakan, peneliti mengadakan sosialisasi tentang pembelajaran
dengan model CTL. Sosialisasi ini perlu dilaksanakan mengingat pembelajaran
dengan model CTL ini belum pernah diterapkan sebelumnya. Peneliti juga
menginformasikan materi yang akan diajarkan dengan model CTL ini yaitu materi
pokok statistika.
Jumlah pertemuan tatap muka yang dilakukan adalah lima kali pertemuan
dengan rincian satu kali pemberian tes awal pada hari Kamis, 28 Juli 2016, tiga
kali proses pembelajaran dengan model CTL yaitu pertemuan pertama pada hari
Selasa, 2 Agustus 2016, pertemuan kedua pada hari hari Kamis, 4 Agustus 2016,
pertemuan ketiga pada hari Sabtu 6 Agustus 2016 dan satu kali pemberian tes
akhir pada hari Selasa 9 Agustus 2016. Selama tiga kali proses pelaksanaan
penelitian peneliti merekapitulasi nilai tes dalam setiap pertemuan. Hal ini
dilakukan untuk melihat perkembangan nilai hasil belajar anak selama penelitian.
1. Deskripsi Data Kemampuan Awal Siswa
Kemampuan awal siswa adalah kemampuan yang dimiliki siswa
Sebelum mengikuti pembelajaran yang diberikan. Kemampuan awal tersebut
menggambarkan kesiapan siswa dalam menerima pembelajaran yang akan
disampaikan oleh guru. Pemberian tes awal digunakan untuk mengetahui
kemampuan awal siswa pada materi pokok statistika. Pemberian pretest
dilaksanakan pada hari Kamis, 28 Juli 2016 yang diikuti 35 siswa.
Berdasarkan hasil perhitungan (lampiran C), rekapitulasi data pretest
dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
Tabel 4.1
Rekapitulasi Data Pretest
Nilai
Tertinggi Nilai Terendah Tuntas Tidak Tuntas
Rata-Rata
Nilai
76 47 1 siswa
(2.86%)
34 siswa
(97,14%) 62,43
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nilai rata-rata yang
diperoleh siswa sebesar 62,43 dengan nilai tertinggi yang diperoleh sebesar 76
dan nilai terendah sebesar 47. Sedangkan siswa yang tuntas sebanyal 1 siswa
(2.86%) dan sebanyak 34 siswa (97,14%) tidak tuntas. Sehingga dapat
dikatakan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
kelas XI SMA Negeri 1 Muara Rupit tahun pelajaran 2016/2017 setelah
penerapan model CTL berkriteria belum baik.
2. Deskripsi Data Kemampuan Akhir Siswa
Setelah kemampuan awal siswa diketahui, dilanjutkan kegiatan
pembelajaran dengan model CTL. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan
sebanyak tiga kali pertemuan dengan menerapkan model CTL pada materi
statistika. Pada akhir penelitian dilakukan postest untuk mengetahui
kemampuan akhir siswa. Kemampuan akhir siswa adalah kemampuan siswa
dalam penguasaan materi pokok statistika pada kelas XI.IPA.3 di SMA Negeri
Rupit yang merupakan kemampuan memecahkan masalah siswa setelah
proses pembelajaran. Tes kemampuan akhir dilaksanakan tanggal 7 Agustus
2016 dikuti sebanyak 35 siswa.
Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran C), rekapitulasi data t postest
dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2
Rekapitulasi Data Postest
Nilai
Tertinggi Nilai Terendah Tuntas Tidak Tuntas
Rata-Rata
Nilai
99 71 33 siswa (94,29%) 2 siswa
(5,71%) 86,60
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa rata-rata ( x ) nilai secara
keseluruhan sebesar 86,60 dengan nilai tertinggi sebesar 99 dan nilai terendah
sebesar 71. Siswa yang tuntas untuk postest sebanyak 33 siswa (94,29%) dan
sisanya sebanyak 2 siswa (5,71%) tidak tuntas. Jadi secara deskriptif dapat
dikatakan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
kelas XI SMA Negeri 1 Muara Rupit tahun pelajaran 2016/2017 setelah
penerapan model CTL berkriteria baik
Dari hasil analisis diperoleh bahwa rata-rata nilai pretes adalah 62,43
dan untuk rata-rata nilai postest adalah 86,60. Ini dapat dilihat bahwa terjadi
peningkatan rata-rata nilai dari pretest ke postest sebesar 24,17. Sedangkan
persentase jumlah siswa yang tuntas pada pretest sebesar 2.86% dan pada
postest sebesar 94,29%. Untuk ketuntasan belajar inipun mengalami
peningkatan sebesar 91,43%. Secara rinci peningkatan nilai rata-rata dan
ketuntasan belajar tersebut dapat dilihat pada grafik 4.1 berikut:
Grafik 4.1
Peningkatan Nilai Rata-Rata Nilai dan Ketuntasan Belajar
3. Analisis Data Penelitian
Berdasarkan hasil postest diperoleh rata-rata ( x ) sebesar 86,60 dan
simpangan baku (s) sebesar 8,05. untuk mengetahui kenormalan data,
digunakan uji normalitas dengan uji kecocokan 2 (chi kuadrat). Dikarenakan
penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen semu maka data
0
20
40
60
80
100
Nilai Rata-Rata Ketuntasan Belajar
pretes
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
yang diuji kenormalannya hanya data postest sedangkan data pretest tidak
digunakan. Data pretest hanya digunakan untuk mengetahui kemampuan awal
siswa sebelum penerapan model CTL.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui data hasil tes siswa
berdistribusi normal atau tidak, untuk lebih jelas uji normalitas ini dapat
dilihat pada lampiran C. Kriteria pengujiannya adalah hitung2
dibandingkan dengan ,2abelt dengan taraf kepercayaan 5% dan dk = j – 1,
dimana j adalah banyaknya kelas interval. Jika 2hitung ≤ 2
tabel, maka dapat
dinyatakan bahwa data berdistribusi normal, dan jika 2hitung > 2
tabel,
maka dapat dinyatakan bahwa data tidak normal.
Rekapitulasi hasil uji normalitas data postest (lampiran C) dapat
dilihat pada Tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3
Hasil Uji Normalitas Skor Postest
hitung2 dk tabel
2 Kesimpulan
10,477 5 11.070 Normal
Berdasarkan table 4.3 hasil uji normalitas (Lampiran C) diperoleh
nilai 2 hitung = 10,477. Selanjutnya 2 hitung dibandingkan 2 tabel dengan
derajat kebebasan (dk) = n–1, dimana n adalah banyaknya kelas interval.
Jika 2 hitung<2 tabel, maka dapat dinyatakan bahwa data berdistribusi
normal dan dalam hal lainnya data tidak berdistribusi normal. Nilai 2 tabel
dengan α = 5% dan dk = 5 adalah 11,070. Dengan demikian 2 hitung <2
tabel, maka dapat dinyatakan bahwa data tes akhir berdistribusi normal.
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
b. Uji hipotesis (uji-t)
Karena data berdistribusi normal dan simpangan baku populasi
tidak diketahui maka untuk menguji hipotesis digunakan rumus uji-t.
Hipotesis statistik yang diuji adalah:
Ho : Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas
XI SMA Negeri 1 Muara Rupit setelah penerapan model CTL
dalam kriteria tidak baik.
Ha : Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas
XI SMA Negeri 1 Muara Rupit setelah penerapan model CTL
belum dalam kriteria baik.
Rekapitulasi hasil uji-t postest (lampiran C) dapat dilihat pada Tabel
4.4 berikut.
Tabel 4.4
Hasil Uji-t Skor Postest
Berdasarkan tabel 4.4 analisis pengujian hipotesis (lampiran C)
diperoleh bahwa thitung = 8,125. Selanjutnya thitung dibandingkan dengan
nilai ttabel pada daftar distribusi t dengan derajat kebebasan dk = n-1 = 34,
α = 0,05 diperoleh ttabel = 1,697. Dengan demikian thitung (8,125) > ttabel
(1,697), hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima.
Dengan kata lain hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
dapat diterima kebenarannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas XI SMA Negeri 1
Muara Rupit setelah penerapan model CTL dalam kriteria baik.
thitung Dk ttabel Kesimpulan
8,125 34 1,697 Terbukti
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 20 Juli sampai dengan 9 Agustus
2016 dengan sampel kelas XI.IPA.2 yang berjumlah 35 orang. Sebelum
pelaksanaan pretest, peneliti mengadakan uji coba instrument untuk melihat
kualitas instrument yang di gunakan. Setelah diadakan uji coba dengan melihat
validitas, realibilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda dapat disimpulkan
bahwa dari 9 soal yang di ujicobakan hanya 7 soal yang digunakan sebagai alat
pengumpul data. Sedangkan 2 soal yang ada tidak digunakan karena tidak valid.
Pretest dilaksanakan pada hari Kamis, 28 Juli 2016 dengan nilai rata rata
nilai siswa yang diperoleh sebesar 62,43 dengan nilai tertinggi yang diperoleh
sebesar 76 dan nilai terrendah sebesar 47. Persentase siswa yang tuntas pada
pretest ini hanya sebesar 2.86% (1 siswa). Setelah pretest, peneliti mengadakan
treatman tiga kali proses pembelajaran dengan model CTL.
Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Selasa, 2 Agustus 2016 dengan
penerapan model CTL. Adapun langkah-langkah yang digunakan pada pertemuan
pertama ini adalah guru mengarahkan siswa untuk menkonstruksikan sendiri
pengetahuan barunya (Constructivism) dan mengaitkan materi statistika dengan
kehidupan sehari-hari. Setelah itu siswa melaksanakan kegiatan inkuiri (Inquiry)
dengan cara menemukan sendiri konsep mengenai statistika yang mereka ketahui.
Dari penemuan itu guru mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
(Questioning) dan memberikan soal yang berkaitan dengan statistika. Untuk
menunjang hasil diskusi yang baik guru membentuk kelompok (Learning
Community) sebanyak 7 kelompok dengan tiap kelompk terdiri dari 5 anggota.
Guru memberikan contoh (Modeling) mengerjakan suatu soal yang berkaitan
dengan materi statistika. Kendala yang tampak pada penerapan ini adalah
kewalahan guru dalam mengatus kelompok siswa untuk berdiskusi, dimana siswa
sibuk sendiri dan materi yang diberikan belum tersampaikan secara maksimal.
Selain itu saat guru melakukan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
dan memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa masih banyak
siswa yang ribut. Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk pertemuan pertama,
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan masih belum maksimal. Untuk itu
peneliti membuat catatan refleksi untuk pertemuan kedua.
Pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Kamis, 4 Agustus 2016. Untuk
mengatasi masalah pada pertemuan pertama, peneliti meminta guru pamong untuk
ikut serta dalam pelaksaan proses belajar mengajar. Keikutsertaan guru pamong
dalam kegiatan belajar mengajar memberi efek yang positif, setiap langkah yang
dilaksanakan guru dalam penerapan model CTL dapat terlaksana dengan baik.
Pembagian kelompok dan diskusi kelompok walaupun masih ada yang ribut
namun tidak berimplikasi ke kelompok lain. Sehingga penyampaian materi
dengan menggunakan model CTL dapat terlaksana dengan baik. Hal ini terlihat
dari antusiasnya siswa dalam menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Dari 7
kelompok yang di bagi peneliti, sebanyak 5 kelompok yang tampil ke depan untuk
presentasi dan menjawab pertanyaan teman-temannya dengan baik.
Pertemuan ketiga dilaksanakan pada hari Sabtu 6 Agustus 2016.
Pertemuan ketiga ini hampir dikatakan tidak ada masalah. Semua berjalan dengan
skenario yang ada, tiap langkah penerapan terlaksana dengan baik. Diskusi
kelompok terjadi dengan aktif, presentasi kelompok pun terlaksana dengan teratur.
Pertanyaan yang dilemparkan teman dalam kelompok dapat dijawab dengan baik.
Setelah dilakukan perbandingan hasil pretest dan postest maka dapat
diketahui bahwa terdapat peningkatan kemampuan memecahkan masalah. Pada
pretest nilai rata-rata siswa ( x ) sebesar 62,43 dan setelah penerapan model CTL
rata-rata kemampuan memecahkan masalah siswa ( x ) meningkat menjadi 86,60.
Peningkatan yang terjadi sebesar 24,17. Jika dibandingkan dengan data pretest,
terdapat pula peningkatan jumlah siswa yang tuntas. Jika pada pretest ketuntasan
siswa 2.86% setelah penerapan model CTL siswa yang tuntas mencapai 94,29%.
Jadi terdapat peningkatan persentase jumlah siswa yang tuntas belajar sebesar
91,43%.
Hasil penelitian ini didukung oleh temuan peneliti di lapangan selama
proses pembelajaran menggunakan model CTL siswa terlihat lebih aktif, siswa
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
cenderung siap mengikuti kegiatan pembelajaran dengan mempelajari terlebih
dahulu materi yang akan dibahas di kelas. Dengan model CTL ini kecenderungan
guru menjelaskan materi hanya dengan ceramah dapat dikurangi, sehingga siswa
lebih bisa mengkontruksi pengetahuannya sendiri sedangkan guru lebih banyak
berfungsi sebagai fasilitator dari pada pengajar.
Berbeda dengan pengajaran matematika menggunakan metode
konvensional, selama proses belajar-mengajar siswa terlihat kurang begitu aktif.
Siswa hanya mendengarkan secara teliti serta mencatat poin-poin penting yang
dikemukakan oleh guru. Hal ini mengakibatkan siswa pasif, karena siswa hanya
menerima apa yang disampaikan guru sehingga siswa mudah jenuh, kurang
inisiatif dan bergantung kepada guru. Dalam pengajaran matematika
menggunakan model CTL memungkinkan siswa dapat bekerja sama dengan
temannya di mana siswa saling bekerjasama dalam mempelajari materi yang
dihadapi. Dalam pembelajaran ini siswa dilatih untuk mempresentasikan kepada
teman sekelas apa yang telah mereka kerjakan. Dari sini siswa memperoleh
informasi maupun pengetahuan serta pemahaman yang berasal dari sesama teman
dan guru. Perbedaan hasil kemampuan memecahkan masalah yang muncul juga
disebabkan karena siswa yang diberi pembelajaran menggunakan model CTL
mempunyai pengalaman dalam mempresentasikan pendapatnya dan hasil
pekerjaannya kepada teman.
Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa model CTL dapat
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah dengan baik. Model CTL dapat
dijadikan alternatif bagi guru dalam menyampaikan materi pelajaran, membantu
mengaktifkan kemampuan siswa untuk bersosialisasi dengan siswa lain. Siswa
terbiasa bekerja sama dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar,
sehingga hal ini dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah siswa.
Hal ini sejalan dengan pendapat Taniredja (2013:49) menyatakan bahwa
model CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama dalam
pembelajaran efektif, yakni konstruktivisme (Constructivism), menemukan
(Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community),
pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic
Assessment).
Dari 7 soal yang di gunakan sebagai alat pengumpul data pada saat pretest
diketahui bahwa pada soal nomor 5 siswa rata-rata mendapat nilai kecil pada soal
menghitung desil pada data yang telah dipersiapkan. Secara keseluruhan, siswa
mengalami masalah pada memahami masalah dan membuat rencana pemecahan
dari soal yang diberikan. Untuk soal 4, 5 dan 7, siswa masih bingung pada tahap
membuat rencana pemecahan dan kurang teliti dalam melakukan perhitungan.
Sedangkan untuk soal nomor 1, 2, 3 serta 6, rata-rata kesalahan siswa terletak
pada tahap perhitungan. Semua kesalahan siswa dalam mengerjakan soal peneliti
catat dan akan direfleksikan untuk perbaikan pada saat posttest. Selama penerapan
peneliti akan menekankan pada tahap membuat rencana pemecahan masalah dan
meminta siswa lebih hati-hati dalam menghitung serta memeriksa kembali
perhitungan yang ada.
Selama penerapan CTL ada 7 tahap yang di jalani yaitu yang pertama
konstruktivisme (Constructivism). Pada tahap ini kendala yang tampak adalah
sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan siswa dalam belajar. Siswa selama ini
telah terbiasa di ajar dengan menggunakan pendekatan tradisional, mengubah
kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah dan perlu waktu yang lebih
banyak dalam memberikan maksud penerapan CTL ini. Tahap selanjutnya yaitu
menemukan (Inquiry), siswa yang terbiasa menunggu informasi dari guru
membuat tahap ini belum terlaksana dengan baik. Siswa akan belajar jika ada
transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap “menunggu
informasi” menjadi “pencari dan pengkonstruksi informasi” merupakan kendala
itu sendiri. Tahap bertanya (Questioning), siswa terlihat guru kurang tertarik dan
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
mengalami kesulitan mengelola pertanyaan. Seorang siswa sebaiknya dituntut
untuk lebih kreatif dalam mengelola pertanyaan yang ingim di sampaikan.
Pada tahap masyarakat belajar (Learning Community), adanya budaya
negatif di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah. Pendapat
orang tua selalu dianggap paling benar, ank dilarang membantah pendapat orang
tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke sekolah. Siswa terkondisi untuk “mengiakan”
pendapat atau penjelasan guru. Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya
yang mungkin berbeda dengan gurunya. Pada tahap pemodelan (Modeling),
Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam
pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. peneliti khawatir
target pencapaian kurikulum materi tidak tercapai. Pada tahap refleksi
(Reflection), kendala terjadi pada saat peneliti banyaknya pelajaran yang harus
dipelajari siswa merupakan yang cukup serius dala menciptakan masyarakat yang
belajar dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment), peneliti masih belum
terlalu mahir dalam menciptakan penilaian siswa.
Selain kendala di atas, ada pula kendala lainnya yaitu hal yang tampak saat
pertama kali diterapkan model CTL di kelas pada pertemuan pertama siswa
merasa aneh kenapa mereka diminta untuk berpikir memecahkan masalah. Namun
setelah dijelaskan tentang model CTL, siswa terlihat tertarik namun masih belum
mengerti cara pelaksanaannya. Sehingga pada pertemuan pertama ini hanya 5
siswa dari 35 siswa yang menjawab. Pada pertemuan pertama ini penelitipun
kewalahan menghadapi ributnya siswa mencari pasangan diskusi mereka atau saat
melaksanakan pembelajaran kelompok. Hal inipun menjadi pelajaran dan akan
direfkleksi untuk pertemuan berikutnya.
Adapun kendala yang tampak dalam penelitian ini untuk pertemuan
pertama adalah siswa-siswa yang pasif. Tahap diskusi kelompok yang seharusnya
menyelesaikan soal dengan berpikir dan berdiskusi dengan pasangan satu bangku
tetapi siswa masih memanfaatkan kegiatan ini untuk berbicara di luar materi
pelajaran dan kurang berperan aktif dalam menemukan penyelesaian serta
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
menanyakan jawaban dari soal tersebut pada pasangan yang lain sehingga terjadi
keributan. Untuk mengatasi kendala dalam penerapan model CTL tersebut guru
akan berkeliling kelas dengan mengingatkan kembali tahap-tahap yang harus
siswa lalui. Hal ini dilakukan agar siswa tertib dalam melalui setiap tahapnya
dalam proses pembelajaran ini.
Dikarenakan siswa telah mengenal pola pelaksanaan model CTL maka
pada pertemuan kedua ini terlihat siswa telah mulai bisa mengikuti kegiatan.
Siswa terlihat aktif dan antusias dalam kelompok sehingga pada waktu sesi tanya
jawab banyak siswa yang bisa menjawab. Dari 35 siswa sebanyak 30 siswa
mampu merespon dengan cepat pertanyaan peneliti. Sehingga pada pertemuan
ketiga tidak ada kendala yang berarti pada saat penerapan.Fenomena dan kendala
yang tampak setiap pertemuan dapat diatasi oleh peneliti dengan bantuan guru
pamong. Setiap akhir pertemuan peneliti mengadakan refleksi dengan guru
pamong, sehingga tiap pertemuan mengalami perbaikan pembelajaran dan hasil
belajar siswapun meningkat seiring dengan aktifnya siswa dalam mengikuti
kegiatan belajar mengajar.
SIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian dan pembahasan dapat
disimpulkan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
kelas XI SMA Negeri 1 Muara Rupit tahun pelajaran 2016/2017 setelah
penerapan model CTL minimal berkriteria baik. Rata-rata nilai matematika
postest sebesar 82,49 dengan persentase jumlah siswa yang tuntas belajar sebesar
94,29%. Hal ini didukung dengan hasil analisis pengujian hipotesis diperoleh
thitung (4,535) > ttabel (1,697) dengan demikian hipotesis yang terbukti bahwa Rata-
rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas XI SMA Negeri 1
Muara Rupit setelah penerapan model CTL dalam kriteria baik.
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
DAFTAR PUSTAKA
Akmil. 2012. Implementasi CTL dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep
Matematika Siswa. Jurnal Didaktik Matematika. 2 (3), 32-40.
Aqib, Zainal. 2013. Model-model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual
(Inovatif). Bandung: Yrama Widya.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
BSNP. 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar): Jakarta: Badan Standar Nasional
Pendidikan.
Fauziah, Anna. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan
Masalah Matematika Siswa SMP melalui Strategi REACT (Relating,
Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring). Bandung: Tesis
UPI Tidak Diterbitkan.
Nuharini, Dewi. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Usaha
Makmur.
Redhana, I Wayan. 2013. Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Peningkatan Keterampilan Pemecahan Masalah dan Berfikir Kritis.
Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. 46 (1), 76-86.
Ruseffendi, E. T. 2006. Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung:
IKIP Bandung.
Sari. 2014. Implementasi Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
Bernuansa Pendidikan Karakter untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis Siswa MTsN. Jurnal Pendidikan
Matematika. 1 (2), 24-32.
Subana dan Sudrajat. 2005. Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia.
Sudjana. 2005. Metoda Statistik. Bandung: Tarsito.
Sugiyanto. 2010. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma
Pressindo.
Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suhana. 2009. Model Pembelajaran Aktif. Bandung: Yrama Widya.
Sumiati dan Asra. 2009. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau, 2 dan 3 Dosen Prodi Pendidikan Matematika
Suprijono. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taniredja, Tukiran, Faridli, Harmianto. 2013. Model Pembelajaran Inovatif dan
Efektif. Bandung: Alfabeta.
Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Wena, Made. 2010. Model Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi
Aksara.
Widjajanti, Dedeh. 2009. Perencanaan Pembelajaran Matematika. Bandung:
Rizqi Press.
Yamin, Martinis. 2011. Paradigma Baru Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.