penetrasi bahasa bugis di tengah lingkungan penutur …
TRANSCRIPT
i
PENETRASI BAHASA BUGIS DI TENGAH LINGKUNGAN PENUTUR BAHASA MAKASSAR DI KABUPATEN BANTAENG
BUGIS LANGUAGE PENETRATION IN THE CENTRAL OF MAKASSAR LANGUAGE SPEAKERS IN BANTAENG
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan Oleh
HASRIANI Nomor Induk Mahasiswa: 105.04.09.039.14
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR 2016
ii
TESIS
PENETRASI BAHASA BUGIS DI TENGAH LINGKUNGAN PENUTUR BAHASA MAKASSAR KABUPATEN BANTAENG
Yang disusun dan diajukan oleh
HASRIANI NIM: 105.04.09.039.14
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis Pada tanggal 11 Juli 2016
Makassar, Juli 2016
Menyetujui KomisiPembimbing
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. H. M. Ide Said, DM., M. Pd. Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum.
Mengetahui,
Direktur Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Bahasa Indonesia
Prof. Dr. H. M. Ide Said, DM., M. Pd. Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum.
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Penetrasi Bahasa Bugis di Tengah Penutur Bahasa
Makassar di kabupaten Bantaeng
Nama : Hasriani
Nim : 105.04.09.039.14
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada Tanggal
11 Juli 2016 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima
sebagai salah satu untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Makassar, 11 Juli 2016
TIM PENGUJI
Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd ……………………… (Ketua/Pembimbing/Penguji)
Dr. A. Rahman Rahim, M. Hum. ……………………… (Sekretaris/Pembimbing/Penguji )
Dr. Bahrun Amin, M. Hum ……………………… ( Penguji 1 )
Dr. Syafruddin, M.Pd ……………………… (Penguji 2 )
iv
PERNYATAAN KEASLIAN PROPOSAL TESIS
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama :Hasriani
Nomor Pokok :105.04.09.039.14
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Proposal Tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan proposal
tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, Juli 2016
Yang Menyatakan
Hasriani Nim. 105.04.09.039.14
v
ABSTRAK Hasriani, 2016 Penetrasi Bahasa Bugis di Tengah Lingkungan Penutur Bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng ( dibimbing oleh M. Ide Said, DM dan A. Rahman Rahim )
Kebertahanan sebuah bahasa daerah merupakan simbol kebertahanan konsep nilai kebudayaan tradisional. Hilang atau punahnya bahasa daerah termasuk bahasa Bugis, maka hilang dan punah pula konsep nilai kebudayaan tradisional, karena kebudayaan tradisional hanya dapat dimengerti dengan baik melalui ungkapan bahasa daerah masyarakatnya. Dengan kata lain, apabila bahasa daerah punah, citra dan jati diri masyarakatnya pun menjadi tidak jelas. Dengan mengangkat kasus pemertahanan bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan , penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa (2) mengetahui faktor penunjang dan penghambat penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar, dan (3) mengetahui dampak penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar. Metode yang digunakan adalah pendekatan sosiolinguistik dengan teknik kuesioner, wawancara, pengamatan, kemudian dianalisis dengan pola analisis SWOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng masih mempertahankan bahasanya dalam ranah keluarga baik ditinjau dari kategori umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Faktor-faktor yang mendukung pemertahanan bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng adalah loyalitas, kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm), kebanggaan bahasa, umur, dan pekerjaan.
Kata Kunci: Penetrasi Bahasa Bugis dan dipengaruhi oleh keadaan responden
vi
ABSTRACT
Hasriani, 2016. Bugis Language Penetration in the Central of Makassar Language Speakers in Bantaeng. Supervised by M. Ide Said DM and A. Rahman Rahim. Viability of a regional language was a symbol of the survival of the concept of traditional cultural values
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Tesis ini berjudul “Penetrasi Bahasa Bugis di
Tengah Penutur Bahasa Makassar Kabupaten Bantaeng.
vii
Penyusunan tesis ini menemui banyak tantangan dan hambatan. Namun,
atas bantuan, bimbingan, saran dan dorongan dari berbagai pihak semuanya
dapat diatasi. Karena itu, pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan
kerendahan hati , penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada Prof. Dr. H. M. Ide Said DM., M.Pd sebagai pembimbing I, dan
Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum sebagai pembimbing II, dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan telah meluangkan waktunya untuk memberikan
bimbingan , saran serta motivasi, sejak penyusunan proposal hingga
penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar, Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar,
Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar,
dan para Dosen serta karyawan Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada M. Wahyuddin , S.Pd,
S.PdI yang setiap saat memberikan izin mengikuti perkuliahan. Ucapan
terima kasih ini pun penulis sampaikan kepada teman-teman di kelas C Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah menjadi kawan
seperjuangan yang hebat.
Buat kedua orang tua, ibu mertua dan bapak mertua tercinta sembah
sujud dan terima kasih atas kasih sayang, arahan, doa yang tak pernah putus
kalian berikan untuk penulis. Kepada suami tercinta Muhammad Amin, S.Pd.
Terima kasihku untuk semua waktu, kesabaran, kesetiaan, dan motivasimu
yang tidak henti kau berikan dari awal pendidikan hingga selesainya
viii
penulisan tesis ini. Kepada anakku yang tersayang Naela Ramadhani Amin
maafkan ibu yang selalu meninggalkanmu dalam menuntut ilmu semoga
sehat selalu. Untuk semua kakak-kakakku. Terima kasih telah memberikan
bantuan baik moril maupun material, dan semua pihak yang telah
memberikan bantuan yang tidak sempat penulis sebutkan namanya, hanya
kado doa penulis ucapkan semoga bernilai ibadah.
Akhirnya, penulis hanya berdoa semoga semua yang telah hadir
memotivasi dan membantu penulis dapat menjadi amalan dan Tuhanlah
membalas dengan kebaikan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti,
pembaca, dan guru bahasa Indonesia sebagai bahan memperkaya
pengetahuan tentang model pembelajaran. Amin!
Billahi Fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khaerat.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, Juni 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.......................................................... iii
ABSTRAK…………………………………………………………………….. v
ABSTRACK …………………………………………………………………….
ix
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................ vi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………… vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… viii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………… ix
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN…………………………………………….. x
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 8
BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ............................. 9
A. Kajian Pustaka ....................................................................... 9
1. Penelitian yang Relevan .................................................. 9
2. Pengertian Bahasa .......................................................... 11
3. Hakikat Bahasa ................................................................ 12
4. Hakikat Fonologi ............................................................... 17
5. Hakikat Morfologi .............................................................. 20
6. Hakikat Kedwibahasaan ................................................... 24
7. Pengertian Sosiolinguistik ................................................. 29
8. Bahasa Bugis ……………. ................................................. 34
9. Bahasa Makassar ............................................................. 37
10. Hakikat Pemertahanan Bahasa ........................................ 42
B. Kerangka Pikir ......................................................................... 54
x
BAB III. METODE PENELITIAN............................................................... 55
A. Rancangan Penelitian .......................................................... 55
B. Lokasi Penelitian ................................................................. 56
C. Jenis dan Sumber Data ........................................................ 57
D. Teknik Penentuan Informan .................................................. 57
E. Instrumen Penelitian ............................................................ 58
F. Metode Pengumpulan Data ................................................. 59
G. Teknik Analisis Data ............................................................ 61
H. Teknik Penyajian Hasil ....................................................... 63
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN… .................................................. 64
A. Hasil Penelitian.. ................................................................... 64
B. Pembahasan… ..................................................................... 75
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN……………… …………….................... 93
A. Simpulan… ........................................................................... 93
B. Saran… ................................................................................. 94
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 96
LAMPIRAN……………………………………………………………………. 98
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
3.1 Tabel Keadaan Responden Berdasarkan Kelompok Umur
Dan Jenis Kelamin 71
3.2 Tabel Keadaan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 72
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1 Contoh Angka dalam Bahasa Bugis 36
2.2 Contoh Kata dalam Bahasa Makassar 37
xii
3.1 Skema Kerangka Pikir 54
4.1 Contoh kata dalam Fonologi bahasa Bugis 65
4.1 Contoh kata dalam Morfologi bahasa Bugis 68
4.1 Contoh kata dalam Sintaksis bahasa Bugis 72
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Angket Kuisioner Instrumen Penelitian 93
2. Undangan Seminar Proposal 94
3. Izin Penelitian dari PPs Unismuh Makassar 95
xiii
4. Izin Penelitian dari Kepala Kantor Kesbang, Politik,
dan Linmas Kabupaten Bantaeng 96
5. Surat Keterangan Kuliah 97
6. Riwayat Hidup 98
DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL
Singkatan dan Simbol Makna/Arti
1. dll : dan lain-lain
2. Kel. : Kelurahan
3. Kec. : Kecamatan
4. Kab. : Kabupaten
xiv
5. DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat
6. KKB : Kerukunan Keluarga Bantaeng
7. Ha : Hekto Are
8. KM : Kilo Meter
9. No. : Nomor
10. NIP : Nomor Induk Pegawai
11. NIM : Nomor Induk Mahasiswa
12. % : Persen
13. m : meter
DAFTAR ISTILAH
Homogeny : Persamaan macam, jenis, sifat, watak dari anggota suatu kelompok
Heterogen : Beraneka ragam
Diglosia : Situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat.
xv
Mulktikultural : Aneka ragam budaya
Referent : Suatu rujukan
Metalanguage : Bunyi-bunyi yang digunakan untuk menganalisis bunyi itu sendiri
Homo Gramaticus : Sistem bunyi
Etimologis : Asal-usul kata
Morfologi : Pembentukan kata
Morfem : Satuan bentuk bahasa terkecil
Afiksasi : Pengimbuhan
Reduflikasi : Pengulangan
Bilingualism : Kedwibahasaan
Handphone : Alat komunikasi
Purposive sampling : Teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu
Strengths : Kekuatan
Opportunities : Peluang
Weaknesses : Kelemahan
Treaths : Ancaman
Linguistic pride : Kebanggaan berbahasa
Awareness of norm : Kesadaran akan norma
Language loyality : Loyalitas bahasa
xvi
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Manusia memiliki alat komunikasi dan interaksi yaitu sebuah
bahasa. Sebenarnya manusia juga dapat menggunakan alat
komunikasi lain selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa merupakan
alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna dibandingkan
dengan alat komunikasi lain, seperti alat komunikasi yang dipakai
hewan. Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan
informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan,
maupun emosi secara langsung agar terjadi interaksi yang baik antara
masyarakat.
Masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat
tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena
sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka
masyarakat tutur ini akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis
dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya,
masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang mempunyai hubungan
dengan masyarakat tutur lain tentu akan mengalami apa yang disebut
kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai
akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi
sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah apa yang di dalam
sosiolinguistik disebut bilingualisme dan diglosia.
2
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang
sangat banyak.Sehingga menyebabkan banyaknya suku-suku bangsa
di Indonesia yang memiliki bahasa yang berbeda-beda, inilah yang
memungkinkan masyarakat Indonesia memiliki dan menggunakan
lebih dari satu bahasa.Penggunaan lebih dari satu bahasa ini disebut
dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih dari satu bahasa
disebut bilingual.Meskipun demikian, Indonesia hanya memiliki satu
bahasa yang kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa
Indonesia.
Di Sulawesi Selatan, selain bahasa Indonesia, terdapat pula
bahasa daerah yang juga berfungsi sebagai alat komunikasi. Salah
satunya adalah bahasa daerah Makassar. Dengan demikian,
masyarakat Sulawesi Selatan juga merupakan masyarakat
Dwibahasawan.Dalam komunikasinya, masyarakat ini senantiasa
menggunakan kedua bahasa tersebut secara bergantian. Dalam
proses inilah, persentuhan atau kontak di antara keduanya dapat
terjadi.
Bahasa merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia.
Bahasa digunakan oleh bangsa Indonesia dalam berkomunikasi dan
berinteraksi sehari- hari. Semua orang menyadari bahwa interaksi dan
segala kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Chaer
dan Agustina (2006:1) mengatakan bahwa bahasa digunakan oleh
3
penuturnya untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri.
Bahasa sebagai alat komunikasi, digunakan oleh manusia untuk
berkomunikasi antar sesama dalam masyarakat karena manusia hidup
dalam masyarakat. Oleh karena itu, bahasa juga hidup dalam
masyarakat. Bahasa dan masyarakat sangat erat hubungannya.
Bahasa dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Sebagian besar penutur bahasaI ndonesia merupakan
penutur yang bilingual atau dwibahasa. Terjadinya kedwibahasaan
disebabkan oleh adanya kontak bahasa antarabahasa pertama dengan
bahasa kedua. Di Negara Indonesia bahasa pertamanya adalah
bahasa ibu penutur (bahasa daerah) dan bahasa keduanya adalah
bahasa Indonesia.Penutur bahasa Indonesia yang berlatar belakang
kebahasaan bahasa Bugis jumlahnya cukup besar.
Arus globalisasi melanda tata kehidupan social masyarakat
Sulawesi Selatan dewasa ini. Hampir semua lini dalam kehidupan
masyarakat Bantaeng dipengaruhi oleh perkembangan global yang
sulit untuk dikendalikan. Perkembangan global, pada satu sisi
mendorong perubahan,perkembangan masyarakat ke arah yang lebih
baik dan mapan. Misalnya, perkembangan teknologi komunikasi dapat
mempermudah relasi dalam masyarakat.Hal ini terlihat dalam produksi
alat-alat komunikasi yang canggih, seperti telepon genggam
(handphone), televise (TV) dan internet. Pada sisi lain, perkembangan
4
global membawa masyarakat ke arah yang negatif. Misalnya, egois,
apatis, dan menampilkan gaya hidup yang tidak sesuai dengan kaidah-
kaidah masyarakat suku Makassar. Masyarakat Bantaeng yang
dimaksud dalam konteks ini adalah masyarakat Bantaeng yang sudah
heterogen dalam artian sudah berbaur dengan etnis-etnis lainnya.
Gaya hidup seperti di atas sangat dominan dalam praktik hidup
masyarakat Bantaeng saat ini. Kabupaten Bantaeng sebagai salah
satu kabupaten di Indonesia bagian timur mengalami perubahan
dalam tata cara kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat Bantaeng
dikenal sebagai masyarakat homogeny dari segi adat-istiadat, bahasa
Makassar, budaya, dan agama. Dalam konteks ini masyarakat
Bantaeng secara umum dikenal sebagai masyarakat yang
melestarikan warisan budaya leluhurnya.
Citra masyarakat Bantaeng seperti di atas sudah tidak sesuai lagi
dengan gaya hidup masyarakat multicultural. Kabupaten Bantaeng
merupakan kabupaten yang mengalami perkembangan pesat
di berbagai sektor.Sektor pariwisata, ekonomi, dan pertaniaan
merupakan sektor andalan kabupaten ini. sehingga kabupaten ini mulai
didatangi oleh banyak orang mengadu nasib. Keberagaman
latarbelakang budaya tersebut menjadikan masyarakat Kabupaten
Bantaeng sebagai masyarakat multikultural.
Salah satu suku yang berada di tengah-tengah kaum mayoritas
masyarakat suku Makassar adalah berasal dari suku Bugis. Suku ini
5
menjadi urutan kedua di kabupaten ini setelah suku Makassar. Ini
diakibatkan karena Kabupaten Bantaeng sangat dekat dengan
kabupaten-kabupaten di Sulawesi Selatan yang bersuku Bugis, seperti
Kabupaten Bulukumba, Sinjai, dan Bone.
Suku pendatang akan bersosialisasi atau membaur dengan
masyarakat asli yang menggunakan bahasa Makassar. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya kontak bahasa diantara keduanya. Bahasa
Makassar sebagai bahasa mayoritas dan bahasa Bugis sebagai
bahasa minoritas atau bahasa masyarakat pendatang. Kontak bahasa
tersebut mempengaruhi kesadaran, sikap, dan tindakan sebagian
masyarakat pendatang (Bugis) terhadap bahasa asli (Makassar)
sebagai salah satu identitas budayanya.Hal ini sangat tampak dalam
fenomena kurangnya penggunaan bahasa Bugis dalam komunikasi
masyarakat suku Makassar di Kabupaten Bantaeng. Orang
pendatang cenderung mengikuti gaya hidup dan cara berkomunikasi
masyarakat asli di Kabupaten Bantaeng.
Hal ini tampak dalam lingkup pergaulanmasyarakat multicultural di
Kabupaten Bantaeng, baik di lingkungan kerja maupun keluarga,
dominan menggunakan bahasa Makassar, bahkan terkadang
menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan
bahasa Makassar. Dalam situasi seperti itu, kemungkinan besar
beberapa bahasa terlibat di dalamnya dan ada kemungkinan setiap
warga pendatang atau masyarakat Bugis menjadi dwibahasawan, baik
6
secara aktif maupun pasif. Karena dalam repertoarnya terdapat
beberapa bahasa, warga dapat melakukan pilihan bahasa. Dalam
situasi diglosia yang baik, tiap-tiap bahasa mempunyai ranah
pemakaiannya. Namun, jika bahasa yang satu merambah ke ranah
penggunaan bahasa lainnya, terjadi diglosia yang bocor. Akibatnya
bahasa tersebut terdesak atau tergeser, sehingga terjadi pergeseran
bahasa.
Jika terjadi pergeseran bahasa oleh masyarakat Bugis secara terus
menerus akan menyebabkan pemertahanan bahasa Bugis di
Kabupaten Bantaeng akan tergerus oleh bahasa Makassar. Penutur
masyarakat Bugis di Kabupaten Bantaeng lambat laun akan beralih
menggunakan bahasa Makassar. Akan tetapi,apabila tiap-tiap bahasa
bertahan pada posisi ranah masing-masing, hal yang terjadi adalah
kebertahanan bahasa. Sehingga inilah yang mendorong peneliti ingin
meneliti tentang permertahanan bahasa Bugis di tengah penutur
bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng.
Bertolak dari uraian di atas walaupun bahasa Bugis merupakan ciri
penting untuk menentukan identitas keetnikan suatu kelompok
pendatang (Bugis), nampaknya bahasa Bugis tidaks elalu dapat
dipertahankan namun bukan berarti bahasa Bugis harus ditinggalkan
begitu saja. BahasaBugis di Kabupaten Bantaeng justru harus
didayagunakan agar budaya dan identitas suku bangsa tidak
tercerabut dari akarnya. Dalam menghadapi guncangan pengaruh
7
social yang begitu cepat dan kuat, pemertahanan bahasa Bugis dalam
masyarakat penutur bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng
merupakan upaya yang relevan untuk mempertahankan bahasa Bugis
sebagai salah satu warisan leluhur sejak dahulu kala.
B. RumusanMasalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, rumusan masalahpenelitian
ini adalah:
1. Bagaimanakah penetrasi pemakaian bahasa Bugis di tengah
penutur bahasa Makassar ditinjau dari aspek fonologi, morfologi
dan sintaksis ?
2. Apakah faktor-faktor penunjang dan penghambat penetrasi bahasa
Bugis di tengah penutur bahasa Makassar?
3. Apakah dampak penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa
Makassar?
C. TujuanPenelitian
Tujuanyangingin dicapai dalam penelitian iniadalah:
1. Untuk mengetahui penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur
bahasa Makassar ditinjau dari aspek fonologi, morfologi dan
sintaksis ?.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penunjang dan penghambat
penetrasi bahasa Bugis di tengah penutur bahasa Makassar.
3. Untuk mengetahui dampak penetrasi bahasa Bugis di tengah
penutur bahasa Makassar.
8
D. Manfaat HasilPenelitian
Hasil penelitian penetrasi bahasaBugis di tengah penutur bahasa
Makassar di Kabupaten Bantaeng ini diharapkan dapat bermanfaat,
baik secara teoretis maupun praktis seperti di bawah ini:
1. ManfaatTeoretis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan
bagi pengembangan khazanah keilmuan khususnya dalam bidang
bahasa daerah. Di samping itu, melalui penelitian ini diharapkan
mampu menumbuhkan minat kalangan akademisi untuk
melakukan penelitian lebih lanjut tentang bahasa daerah di
Sulawesi Selatan.
2. ManfaatPraktis
a. Secara praktis hasil penelitiani nidiharapkan sebagai bahan
pertimbangan bagi masyarakat, kelompok masyarakat yang
peduli akan bahasa daerah Bugis-Makassar agar lebih gigih
memperjuangkan bahasa tersebut yang saat ini
keberadaannya mengalami keguncangan oleh arus globalisasi.
b. Hasil penelitianini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada pemerintah, atau kepada penentu kebijakan
dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh bahasa daerah
seperti pada dewasa ini.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKADAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Bertahan atau bergesernya sebuah bahasa, baik pada
kelompok minoritas maupun pada kelompok imigran transmigran
dapat disebabkan oleh banyak faktor. Hasil-hasil penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa faktor industrialisasi dan urbanisasi/
transmigrasi merupakan faktor-faktor utama. Fishman (1972)
menyebutkan bahwa salah satu faktor penting pemertahanan
sebuah bahasa adalah adanya loyalitas masyarakat pendukungnya.
Dengan loyalitas itu, pendukung suatu bahasa akan tetap
mewariskan bahasanya dari generasi ke generasi. Selain itu, faktor
konsentrasi wilayah permukiman oleh Sumarsono (2002:27)
disebutkan pula sebagai salah satu faktor yang dapat mendukung
kelestarian sebuah bahasa.
Konsentrasi wilayah permukiman merupakan faktor penting
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar. Kelompok yang
kecil jumlahnya pun dapat lebih kuat mempertahankan bahasanya,
jika konsentrasi wilayah permukiman dapat dipertahankan, sehingga
terdapat keterpisahan secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya.
Faktor-faktor lain yang dapat mendukung pemertahanan bahasa
adalah digunakannya bahasa itu sebagai bahasa pengantar di
10
sekolah-sekolah, dalam penerbitan buku-buku agama, dan
dijadikannya sebagai bahasa pengantar dalam upacara-upacara
keagamaan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh LukmanGusnawaty
dariUniversitas Hasanuddin mengungkapkan laju pergeseran
bahasa daerah (Bugis) di Sulawesi Selatan. Hasil analisis data
sudah membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran bahasa pada
dua wilayah utama yang dijadikan fokus dalam peneltian ini, yaitu
wilayah desa dan kota. Pada keempat wilayah ini terbukti adanya
tingakat perbedaan yang sangat signifikan dengan angka
persentase secara umum pada wilayah kota 52% dan desa 19,15%.
Meskipun terdapat perbedaan yang bervariasi antara empat
wilayah, secara umum angka tersebut memberikan makna yang
sangat signifikan terhadap persoalan pergeseran bahasa pada
suatu tempat atau wilayah. Makna yang terkandung dalam data
tersebut adalah bahwa laju pergeseran bahasa (BB, Bm, BT, dan
BE) di Sulsel sudah waktunya untuk mendapat perhatian khusus.
Sebab kalau tidak keadaannya akan menjadi semakin parah dan
akan susah lagi mengatasinya.
Ririen Ekoyanantiasih, dari Universitas Indonesia Penelitian
yang dilakukan mengenai pemertahanan Bahasa Daerah Jawa telah
dilakukan di Kelurahan Depok Jaya. Tujuannya untuk mengetahui
seberapa jauh variabel-variabel di luar bahasa berpengaruh pada
11
proses pemertahanan Bahasa Daerah Jawa. Pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan daftar
pertanyaan sebagai pedoman wawancara, serta pengamatan
langsung terhadap lima puluh orang sampel. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan analitis
secara kuantitatif dengan memperhitungkan frekuensi distribusi
pemakaian bahasa.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bahasa
Daerah Jawa terutama sekali banyak digunakan di antara anggota
keluarga.Sehingga dapat dikatakan bahwa pemertahanan Bahasa
Daerah Jawa lebih dominan di dalam lingkungan keluarga. Hasil
akhir penelitian ini menunjukkan bahwa besar kecilnya derajat
pemertahanan Bahasa Daerah Jawa dipengaruhi oleh faktor usia,
pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, dan mobilitas penduduk.
2. Pengertian Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang
berupa bunyi suara atau tanda/isyarat atau lambang yang
dikeluarkan oleh manusia untuk menyampaikan isi hatinya kepada
manusia lain (Soekono, 1984:1).Menurut pendapat tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah bunyi suara berupa
lambang atau tanda yang dikeluarkan oleh manusia untuk
menyampaikan informasi.
Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat,
berupa lambang bunyi ujaran, yang dihasilkan oleh alat ucap
12
manusia (Keraf, 1991:1).Menurut pedapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia yang merupakan alat komunikasi antar anggota
masyarakat berupa bentuk dan makna.
Chaer dan Agustina (2004:1) berpendapat bahwa bahasa
adalah alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh
manusia.Menurut pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
bahasa merupakan suatu sistem yang berupa lambang dan bunyi
bersifat arbitrer sebagai alat komunikasi.
Berdasarkan pendapat tersebut pada dasarnya menyatakan
bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang hanya dimiliki makhluk
hidup yang disebut manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa makhluk hidup yang lain tidak memiliki bahasa sebagai alat
komunikasi.
3. Hakikat Bahasa
a. Bahasa Itu Sistematik,
Sistematik artinya beraturan atau berpola. Bahasa memiliki
sistem bunyi dan sistem makna yang beraturan. Dalam hal
bunyi, tidak sembarangan bunyi bisa dipakai sebagai suatu
simbol dari suatu rujukan (referent) dalam berbahasa. Bunyi
mesti diatur sedemikian rupa sehingga terucapkan.Kata pnglln
tidak mungkin muncul secara alamiah, karena tidak ada vokal di
dalamnya. Kalimat pagi ini Faris pergi ke kampus, bisa
13
dimengarti karena polanya sistematis, tetapi kalau diubah
menjadi Pagi pergi ini kampus ke Faris tidak bisa dimengerti
karena melanggar sistem. (Sudaryanto. 1989:51).
Bukti lain, dalam struktur morfologis bahasa Indonesia,
prefiks me- bisa berkombinasi dengan dengan sufiks –kan dan –i
seperti pada kata membetulkan dan menangisi.Akan tetapi, tidak
bisa berkombinasi dengan ter-.Tidak bisa dibentuk kata
mentertawa, yang ada adalah menertawakan atau tertawa.
Mengapa demikian ?Karena bahasa itu beraturan dan berpola.
b. Bahasa Itu Manasuka (Arbitrer)
Manasuka atau arbiter adalah acak, bisa muncul tanpa
alasan. Kata-kata (sebagai simbol) dalam bahasa bisa muncul
tanpa hubungan logis dengan yang disimbolkannya. Mengapa
makanan khas yang berasal dari Garut itu disebut dodol bukan
dedel atau dudul ? Mengapa binatang panjang kecil berlendir itu
kita sebut cacing ? Mengapa tumbuhan kecil itu disebut rumput,
tetapi mengapa dalam bahasa Sunda disebut jukut, lalu dalam
bahasa Bugis dinamai suket ? Tidak adanya alasan kuat untuk
menbugis pertanyaan-pertanyaan di atas atau yang sejenis
dengan pertanyaan tersebut. (Moeliono, 1989:27).
Bukti-bukti di atas menjadi bukti bahwa bahasa memiliki
sifat arbitrer, mana suka, atau acak semaunya.Pemilihan bunyi
dan kata dalam hal ini benar-benar sangat bergantung pada
14
konvensi atau kesepakatan pemakai bahasanya.Orang Sunda
menamai suatu jenis buah dengan sebutan cau, itu terserah
komunitas orang Sunda, biarlah orang Bugis menamakannya
gedang, atau orang Betawi menyebutnya pisang.
Ada memang kata-kata tertentu yang bisa dihubungkan
secara logis dengan benda yang dirujuknya seperti kata
berkokok untuk bunyi ayam, menggelegar untuk menamai bunyi
halilintar, atau mencicit untuk bunyi tikus. Akan tetapi, fenomena
seperti itu hanya sebagian kecil dari keselurahan kosakata
dalam suatu bahasa.
c. Bahasa Itu Vokal
Vokal dalam hal ini berarti bunyi.Bahasa wujud dalam bentuk
bunyi.Kemajuan teknologi dan perkembangan kecerdasan
manusia memang telah melahirkan bahasa dalam wujud tulis,
tetapi sistem tulis tidak bisa menggantikan ciri bunyi dalam
bahasa. Sistem penulisan hanyalah alat untuk menggambarkan
arti di atas kertas, atau media keras lain. Lebih jauh lagi, tulisan
berfungsi sebagai pelestari ujaran. Lebih jauh lagi dari itu,
tulisan menjadi pelestari kebudayaan manusia. Kebudayaan
manusia purba dan manusia terdahulu lainnya bisa kita prediksi
karena mereka meninggalkan sesuatu untuk dipelajari. Sesuatu
itu antara lain berbentuk tulisan. Realitas yang menunjukkan
bahwa bahasa itu vokal mengakibatkan telaah tentang bahasa
15
(linguistik) memiliki cabang kajian telaah bunyi yang disebut
dengan istilah fonetik dan fonologi. (Sudaryanto. 1989:52).
d. Bahasa Itu Simbol
Simbol adalah lambang sesuatu, bahasa juga adalah
lambang sesuatu.Titik-titik air yang jatuh dari langit diberi simbol
dengan bahasa dengan bunyi tertentu.Bunyi tersebut jika ditulis
adalah hujan. Hujan adalah simbol linguistik yang bisa disebut
kata untuk melambangkan titik-titik air yang jatuh dari langit itu.
Simbol bisa berupa bunyi, tetapi bisa berupa goresan tinta
berupa gambar di atas kertas. Gambar adalah bentuk lain dari
simbol. Potensi yang begitu tinggi yang dimiliki bahasa untuk
menyimbolkan sesuatu menjadikannya alat yang sangat
berharga bagi kehidupan manusia. Tidak terbayangkan
bagaimana jadinya jika manusia tidak memiliki bahasa, betapa
sulit mengingat dan mengomunikasikan sesuatu kepada orang
lain. (Sasangka. 2000:51).
e. Bahasa Itu Mengacu pada Dirinya
Sesuatu disebut bahasa jika ia mampu dipakai untuk
menganalisis bahasa itu sendiri. Binatang mempunyai bunyi-
bunyi sendiri ketika bersama dengan sesamanya, tetapi bunyi-
bunyi yang mereka gunakan tidak bisa digunakan untuk
mempelajari bunyi mereka sendiri.Berbeda dengan halnya bunyi-
bunyi yang digunakan oleh manusia ketika berkomunikasi.Bunyi-
16
bunyi yang digunakan manusia bisa digunakan untuk
menganalisis bunyi itu sendiri.Dalam istilah linguistik, kondisi
seperti itu disebut dengan metalanguage, yaitu bahasa dapat
dipakai untuk membicarakan bahasa itu sendiri.Linguistik
menggunakan bahasa untuk menelaah bahasa secara
ilmiah. (Sudaryanto. 1989:54).
f. Bahasa Itu Manusiawi
Bahasa itu manusiawi dalam arti bahwa bahwa itu adalah
kekayaan yang hanya dimiliki umat manusia. Manusialah yang
berbahasa sedangkan hewan dan tumbuhan tidak.Para ahli
biologi telah membuktikan bahwa berdasarkan sejarah evolusi,
sistem komunikasi binatang berbeda dengan sistem komunikasi
manusia, sistem komunikasi binatang tidak mengenal ciri bahaya
manusia sebagai sistem bunyi dan makna. Perbedaan itu
kemudian menjadi pembenaran menamai manusia sebagai
homo loquens atau binatang yang mempunyai kemampuan
berbahasa. Karena sistem bunyi yang digunakan dalam bahasa
manusia itu berpola manusia pun disebut homo grammaticus,
atau hewan yang bertata bahasa. (Sudaryanto. 1989:56).
g. Bahasa Itu Komunikasi
Fungsi terpenting dan paling terasa dari bahasa adalah
bahasa sebagai alat komunikasi dan interakasi. Bahasa
berfungsisebagai alat mempererat antarmanusia dalam
17
komunitasnya, dari komunitas kecil seperti keluarga, sampai
komunitas besar seperti negara. Tanpa bahasa tidak mungkin
terjadi interaksi harmonis antar manusia, tidak terbayangkan
bagaimana bentuk kegiatan sosial antarmanusia tanpa bahasa.
Komunikasi mencakup makna mengungkapkan dan
menerima pesan, caranya bisa dengan berbicara, mendengar,
menulis, atau membaca.Komunikasi itu bisa berlangsung dua
arah, bisa pula searah. Komunikasi tidak hanya berlangsung
antarmanusia yang hidup pada satu zaman, komunikasi itu dapat
dilakukan antarmanusia yang hidup pada zaman yang berbeda,
tentu saja meskipun hanya satu arah. Nabi Muhammad saw,
telah meninggal pada masa silam, tetapi ajaran-ajarannya telah
berhasil dikomunikasikan kepada umat manusia pada masa
sekarang. Melalui buku, para pemikir sekarang bisa
mengomunikasikan pikirannya kepada para penerusnya yang
akan lahir di masa datang. Itulah bukti bahwa bahasa menjadi
jembatan komunikasi antarmanusia.
4. Hakikat Fonologi
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan
membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi,
yang secara etimologis, terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan
logi yaitu ilmu. Menurut Jahmi (2006:16), satuan bunyi yang
menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan
18
fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang
studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa
memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi
sebagai pembeda makna atau tidak.Sedangkan fonemik adalah
cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan
memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
Untuk lebih jelasnya kalau diperhatikan baik-baik ternyata
bunyi yang terdapat pada kata-kata intan, angin, dan batik
adalah tidak sama. Ketidaksamaan bunyi[i] dan bunyi [p] pada
deretan kata-kata itulah sebagai salah satu contoh objek atau
sasaran studi fonetik. Dalam kajiannya fonetik, akan berusaha
mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan
sebab-sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi /p/dan /b/ yang
terdapat misalnya pada kata [paru] dan [baru] adalah menjadi
contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi lpl dan lbl
itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.
a. Fonetik
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari
bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi
tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
Kemudian menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu,
dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris,
fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
19
1) Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik
fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat
bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa
serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
2) Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai
peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik
auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan
bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik
ini yang paling berurusan dengan ilmu linguistik adalah
fonetik artikulatoris sebab fonetik inilah yang berkenaan
dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu
dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik
akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik
auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran.
b. Fonemik
Identitas fonem sebagai identitas pembeda. Dasar bukti
identitas fonem adalah apa yang dapat kita sebut “fungsi
pembeda” sebagai sifat khas fonem itu. Seperti contoh tentang
rupa dan lupa.Satu-satunya perbedaan diantara kedua kata itu
ialah menyangkut bunyi pertama, /r/ dan /i/. Oleh karena semua
yang lain dalam pasangan kedua kata ini adalah sama, maka
pasangan tersebut disebut “pasangan minimal”, perbedaan di
dalam pasangan itu adalah “minimal”. Dengan perkataan lain,
20
perbedaan antara /i/ dan /r/ adalah apa yang membedakan dari
sudut analisis bunyi rupa dan lupa. Maka dari itu, /i/ dan /r/
dalam bahasa Indonesia merupakan fonem-fonem yang
berbeda identitasnya.
Objek penelitian fonemik adalah fonem yakni bunyi
bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata.
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan,
harus dicari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang
mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan
satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang
pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda
maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem,
karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna kedua
satuan bahasa itu.
5. Hakikat Morfologi
Secara etimologis kata morfologi berasal dari kata “morf”
yang berarti bentuk dan kata “logi” yang berarti ilmu.Jadi,
secara harfiah kata morfologi berarti ilmu mengenai bentuk. Di
dalam kajian linguistik, morfologi berarti ilmu mengenai bentuk-
bentuk dan pembentukan kata; sedangkan di dalam kajian
biologi morfologiberarti ilmu mengenai bentuk-bentuk sel-sel
tumbuhan atau jasad-jasad hidup.
21
Kalau dikatakan morfologi membicarakan masalah
bentuk-bentuk dan pembentukan kata,maka semua satuan
bentuk sebelum menjadi kata, yakni morfem dengan segala
bentuk dan jenisnya, perlu dibicarakan. Lalu, pembicaraan
mengenai pembentukan kata akan melibatkan pembicaraan
mengenai komponen atau unsur pembentukan kata itu, yaitu
morfem, baik morfem dasar maupun morfem afik, dengan
berbagai alat proses pembenktukan kata itu, yaitu afiks dalam
proses pembentuklan kata melalui proses afiksasi,reduplikasi,
ataupun pengulangan dalam proses pembentukan kata melalui
proses reduplikasi, penggabungan dalam proses pembentukan
kata melalui proses komposisi dan sebagainya. Jadi, ujung dari
proses morfologi adalah terbentuknya kata dalam bentuk dan
makna sesuai dengan keperluan dalam satu tindak pertuturan.
Bila bentuk dan makna yang terbentuk dari satu proses
morfologi sesuai dengan yang diperlukan dalam pertuturan,
maka bentuknya dapat dikatakan berterima, tetapi jika tidak
sesuai dengan yang diperlukan, maka bentuk itu dikatakan
tidak berterima. Dalam kajian morfologi, alasan sosial itu
disingkirkan dulu.
Morfologi atau tata kata adalah cabang ilmu bahasa
yang mempelajari seluk-beluk pembentukan kata Morfologi
22
mengkaji seluk-beluk morfem, bagaimana mengenali sebuah
morfem, dan bagaimana morfem berproses membentuk kata.
Morfem adalah bentuk bahasa yang dapat dipotong-
potong menjadi bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat
dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi begitu
seterusnya sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi tidak
mempunyai makna. Morfem yang dapat berdiri sendiri
dinamakan morfem bebas, sedangkan morfem yang melekat
pada bentuk lain dinamakan morfem terikat.
Alomorf adalah bentuk-bentuk realisasi yang berlainan
dari morfem yang sama. Morf adalah sebuah bentuk yang
belum diketahui statusnya. Untuk menentukan sebuah bentuk
adalah morfem atau bukan, harus dibandingkan bentuk
tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain.
Morfem utuh yaitu morfem yang merupakan satu kesatuan yang
utuh. Morfem terbagi yaitu morfem yang merupakan dua bagian
yang terpisah atau terbagi karena disisipi oleh morfem lain.
Kata adalah satuan gramatikal bebas yang terkecil.Kata
dapat berwujud dasar yaitu terdiri atas satu morfem dan ada
kata yang berafiks. Kata secara umum dapat diklasifikasikan
menjadi lima kelompok yaitu verba, adjektiva, averbia, nomina,
dan kata tugas.
23
Dalam bahasa Indonesia kita kenal ada proses
morfologis; afiksasi, reduplikasi, komposisi, abreviasi,
metanalisis, dan derivasi balik. Afiksasi adalah proses yang
mengubah leksem menjadi kata kompleks. Di dalam bahasa
Indonesia dikenal jenis-jenis afiks yang dapat diklasifikasikan
menjadi prefiks, infiks, sufiks, simulfiks, konfiks, dan kombinasi
afiks.
Reduplikasi merupakan pengulangan bentuk.Ada 3
macam jenis reduplikasi, yaitu reduplikasi fonologis, reduplikasi
morfemis, dan reduplikasi sintaktis. Reduplikasi juga dapat
dibagi atas: dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara,
dwiwasana, dan trilingga.
Pemajemukan atau komposisi adalah proses
penghubungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata.
Secara empiris ciri-ciri pembeda kata majemuk dari frasa
adalah ketaktersisipan, ketakterluasan, dan
ketakterbalikan.Abreviasi adalah proses penggalangan satu
atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga
jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Istilah lain untuk
abreviasi ialah pemendekan, sedangkan hasil prosesnya
disebut kependekan. Bentuk kependekan itu dapat dibagi atas
singkatan, penggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf.
24
Derivasi balik adalah proses pembentukan kata berdasarkan
pola-pola yang ada tanpa mengenal unsur-unsurnya.
6. Hakikat Kedwibahasaan
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa
Indonesia disebutjuga kedwibahasaan.Dariistilahnya secara
harfiahsudahdapatdipahami apayang dimaksud dengan
bilingualism itu,yaituberkenaandenganpenggunaan dua bahasa
ataudua kode bahasa. Secara sosiolinguistik,bilingualisme
diartikan sebagaipenggunaanduabahasaolehseorang
penuturdalampergaulannyadengan
oranglainsecarabergantian(Mackey dalam
Aslinda,2007:24).Gunarwan (
2002:36)mengatakankedwibahasaanadalahpenggunaanduabah
asa ataulebiholeh seseorang atau olehsuatu masyarakat.Jadi,
dapat diambil kesimpulan bahwa
kedwibahasaanberhubunganeratdenganpemakaianduabahasaa
taulebih oleh seorangatau masyarakatdwibahasawan
secarabergantian.
Dalammembicarakan masalah kedwibahasaan,tidak
mungkin terpisahkan adanya peristiwa
kontakbahasa.Suwito(1985:40)mengatakanbahwa
kedwibahasaan sebagai wujud dalam peristiwa kontak
bahasa.Seorang
25
dwibahasawansangatmungkinsebagaiawalterjadinyainterferensi
dalambahasa, sehinggaantarakontak bahasadan
dwibahasawansangat erat hubungannya.
Masyarakat Indonesia mengenal bahasa daerah atau
bahasa ibu sebagai B1.Mereka menggunakan B1 sebagai
bahasa pengantar dalam berkomunikasi, sebelum mengenal
dan menguasai BI sebagai bahasa kedua.Keadaan seperti ini
oleh para sosiolinguis lazim disebut dengan masyarakat yang
bilingual atau masyarakat yang berdwibahasa.Istilah
kedwibahasaan mula-mula diperkenalkan oleh Bloomfield pada
permulaan abad ke-20.“Kedwibahasaan sebagai penguasaan
dua bahasa seperti penutur aslinya” (Bloomfield dalam
Mustakim, dkk 1994: 10).Selain itu, “kedwibahasaan diartikan
sebagai pengetahuan dua bahasa (knowledge of
twolanguages)” (Haugen dalam Suwito, 1985: 49).Dalam
kedwibahasaan seorang dwibahasawan tidak harus menguasai
secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah mengetahui secara
positif dua bahasa. Kedwibahasaan adalah penggunaan dua
bahasa oleh seseorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian. Hal ini mengisyaratkan bahwa
untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang
harus menguasai dua bahasa, yaitu BI dan B2.Nababan
(1987:7) berpendapat bahwa kedwibahasaan adalah
26
kemampuan memakai dua bahasa atau lebih dan pemakaian
bahasa itu secara bergantian.
Seorang dwibahasawan dapat berganti dari satu bahasa
ke bahasa lain. Misalnya, seseorang sedang menggunakan
bahasa A tetapi unsur yang dipakai ialah struktur atau unsur
bahasa B atau sebaliknya, Kejadian seperti ini disebut dengan
istilah interferensi. “Interferensi dapat dikatakan sebagai
pengacauan apabila kemampuan dan kebiasaan seseorang
dalam bahasa utama (bahasa sumber) berpengaruh atas
penggunaannya dari bahasa kedua (bahasa sasaran)”
(Nababan, 1993: 32).“Kedwibahasaan selalu berkembang
cenderung meluas karena istilah kedwibahasaan itu bersifat
nisbi (relatif)” (Suwito, 1988:48). Jarang sekali orang benar-
benar dapat menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya.
Selanjutnya batasan pengertian kedwibahasaan dikemukakan
oleh Nababan Et.al bahwa satu daerah atau masyarakat tempat
dua bahasa berada disebut daerah atau masyarakat yang
berdwibahasa.Orang yang menggunakan dua bahasa disebut
dwibahasawan.
Dari beberapa pendapat pakar bahasa di atas, dapat
disimpulkan bahwakedwibahasaan adalah pemakaian dua
bahasa secara bergantian, baik secara lisan maupun tertulis
oleh satu individu atau kelompok masyarakat.Kedwibahasaan
27
dapat terjadi apabila ada dua bahasa atau lebih dalam
masyarakat. Keadaan seperti ini terdapat pula di negara kita, di
samping bahasa Indonesia terdapat juga bahasa daerah. Istilah
penting yang berhubungan dengan kedwibahasaan antara lain
adalah dwibahasawan. Dwibahasawan adalah seseorang yang
yang mempunyai kemampuan menggunakan dua bahasa
secara berganti-ganti.
Wojowasito menjelaskan bahwa seorang dwibahasawan
tidak harus menguasai kedua bahasa yang dimilikinya sama
fasih, tetapi cukup apabila ia dapat menyatakan diri dalam dua
bahasa tersebut atau dapat memahami apa yang dikatakan
atau ditulis dalam bahasa itu (dalam Mustakim, 1994: 11).
Suwito (1985:52) menjelaskan bahwa hampir setiap warga
negara Indonesia dapat menguasai bahasaIndonesia secara
baik di samping bahasa daerahnya masing-masing. Walaupun
mereka menguasai kedua bahasa itu secara baik, mereka tidak
dapat menggunakan kedua bahasa itu secara
sembarangan.Maksudnya, mereka menggunakan bahasa
tersebut tidak pada sembarang tempat, sembarang situasi, dan
sembarang keperluan.Penggunaan bahasa harus disesuaikan
dengan fungsi dan peranan bahasa tersebut.Di Indonesia
disamping BI digunakan pula bahasa daerah dan bahasa
asing.Penggunaan bahasa-bahasa tersebut harus sesuai
28
dengan pola pemakaian bahasa yang sesuai dengan fungsi
kemasyarakatan, situasi serta konteksnya.
Setiap bahasa mempunyai fungsi dan peranan masing-
masing.(Poedjoesoedarmodalam Mustakim, 1994: 12)
menjelaskan bahwa bahasa daerah lazim digunakan dalam
situasi pembicaraan yang tidak resmi, kekeluargaan,
kedaerahan, dan tradisional, bahasa Indonesia atau bahasa
nasional digunakan dalam situasi pembicaraan yang bersifat
kenegaraan, kedinasan, keilmuan, kenasionalan, dan modern.
Situasi kebahasaan seperti ini memungkinkan terjadinya
penggunaan bahasa yang tumpang tindih karena adanya
kontak bahasa.Jadi, dapat disimpulkan bahwa dwibahasawan
adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam
menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian.
Akibat dari masyarakat yang bilingual ditambah dengan
adanya kontak bahasa, muncul berbagai peristiwa bahasa
antara lain berupa peminjamanunsur kebahasaan, peminjaman
dengan pengubahan, alih kode dan campur kode,serta
interferensi baik secara lisan maupun secara tertulis.Dari
beberapa pengertian tentang dwibahasawan, maka
penggunaan BIdalam bidang pendidikan formal dan bahasa
daerah dalam pergaulan merupakansalah satu bukti bahwa
29
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia
FKIP Unismuh Makassar adalah dwibahasawan.
7. Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik bersasal dari kata “sosio” dan “ linguistic”.
Sosio sama dengan kata sosial yaitu berhubungan dengan
masyarakat. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari dan
membicarakan bahasa khususnya unsur-unsur bahasa dan
antara unsur-unsur itu.Jadi, sosiolinguistik adalah kajian yang
menyusun teori-teori tentang hubungan masyarakat dengan
bahasa.Berdasarkan pengertian sebelumnya, sosiolinguistik
juga mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan
bahasa khususnya perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam
bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan
(Nababan et.al 1993:2).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa sosiolinguistik tidak hanya mempelajari
tentang bahasa, tetapi juga mempelajari tentang aspek-aspek
bahasa yang digunakan oleh masyarakat.Sosiolinguistik
merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dengan linguistik,
dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan erat. Sosiologi
merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia
di dalam masyarakat, lembaga-lembaga, dan proses sosial
30
yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui
bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada.
Dengan mempelajari lembaga-lembaga, proses sosial
dan segala masalah sosial di dalam masyarakat, akan diketahui
cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
bagaimana mereka bersosialisasi, dan menempatkan diri
dalam tempatnya masing-masing di dalam masyarakat
sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari
tentang bahasa, atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai
objek kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisipliner yang
mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa itu dalam masyarakat (Chaer dan Agustina 2006:
2).Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik
adalah antardisipliner yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan
tersebut.Selain sosiolinguistik ada juga digunakan istilah
sosiologi bahasa. Banyak yang menganggap kedua istilah itu
sama, tetapi ada pula yang menganggapnya berbeda. Ada
yang mengatakan digunakannya istilah sosiolinguistik karena
penelitiannya dimasuki dari bidang linguistik, sedangkan
sosiologi bahasa digunakan kalau penelitian itu dimasuki dari
bidang sosiologi.
31
Fishman (dalam Chaer 2006: 5) mengatakan kajian
sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif.Jadi sosiolinguistik
berhubungan dengan perincian- perincian penggunaan bahasa
yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian
bahasa atau dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, latar
pembicaraan.Sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama
sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta bagian dari
masyarakat dan kebudayaan tertentu.Sedangkan yang
dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi
sosial yang terjadi dalam situasi konkrit.Berdasarkan beberapa
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti
mempelajari tentang bahasa yang digunakan dalam daerah
tertentu atau dialek tertentu. Ditinjau dari nama, sosiolingustik
menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian
tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian
bahasa.Jadi kajian sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa
yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan.Berdasarkan
beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik
berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang dikaitkan
dengan kondisi masyarakat tertentu.
Sosiolinguistik cenderung memfokuskan diri pada
kelompok sosial serta variabel linguistik yang digunakan dalam
32
kelompok itu sambil berusaha mengorelasikan variabel tersebut
dengan unit-unit demografik tradisional pada ilmu-ilmu sosial,
yaitu umur, jenis kelamin, kelas sosio-ekonomi, pengelompokan
regional, status dan lain-lain. Bahkan pada akhir-akhir ini juga
diusahakan korelasi antara bentuk-bentuk linguistik dan fungsi-
fungsi sosial dalam interaksi intra-kelompok untuk tingkat
mikronya, serta korelasi antara pemilihan bahasa dan fungsi
sosialnya dalam skala besar untuk tingkat makronya (Ibrahim,
1995:4).Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa
yang memfokuskan diri pada kelompok sosial serta variabel
linguistik.
Alwasilah (1993:3-5) menjelaskan bahwa secara garis
besar yang diselidiki oleh sosiolingustik ada lima yaitu macam-
macam kebiasaan (convention) dalam mengorganisasi ujaran
dengan berorientasi pada tujuan-tujuan sosial studi bagaimana
norma-norma dan nilai-nilai sosial mempengaruhi perilaku
linguistik. Variasi dan aneka ragam dihubungkan dengan
kerangka sosial dari para penuturnya, pemanfaatan sumber-
sumber linguistik secara politis dan aspek- aspek sosial secara
bilingualisme.
Sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang
berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak
33
hanya mencakup perilaku bahasa saja, tetapi juga sikap-sikap
bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakaian
bahasa.Dalam sosiolingustik ada kemungkinan orang memulai
dari masalah kemasyarakatan kemudian mengaitkan dengan
bahasa, tetapi bisa juga berlaku sebaliknya mulai dari bahasa
kemudian mengaitkan dengan gejala-gejala kemasyarakatan.
Sosiolinguistik dapat mengacu pada pemakaian data
kebahasaan dan menganalisis kedalam ilmu-ilmu lain yang
menyangkut kehidupan sosial, dan sebaliknya mengacu
kepada data kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam
linguistik. Misalnya orang bisa melihat dulu adanya dua ragam
bahasa yang berbeda dalam satu bahasa kemudian
mengaitkan dengan gejala sosial seperti perbedaan jenis
kelamin sehingga bisa disimpulkan, misalnya ragam (A)
didukung oleh wanita ragam (B) didukung oleh pria dalam
masyarakat itu. Atau sebaliknya, orang bisa memulai dengan
memilah masyarakat berdasarkan jenis kelamin menjadi pria-
wanita, kemudian menganalisis bahasa atau tutur yang bisa
dipakai wanita atau tutur yang bisa dipakai pria.
Trudgill (dalam Sumarsono 2002: 3) mengungkapkan
sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan
dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala
kebudayaan.Bahasa bukan hanya dianggap sebagai gejala
34
sosial melainkan juga gejala kebudayaan.Implikasinya adalah
bahasa dikaitkan dengankebudayaan masih menjadi cakupan
sosiolinguistik, dan ini dapat dimengertikarena setiap
masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu.Sebagai
anggota masyarakat sosiolinguistik terikat oleh nilai-nilai
budayamasyarakat, termasuk nilai-nilai ketika dia
menggunakan bahasa.Nilai selaluterkait dengan apa yang baik
dan apa yang tidak baik, dan ini diwujudkan dalam kaidah-
kaidah yang sebagian besar tidak tertulis tetapi dipatuhi oleh
wargamasyarakat. Apa pun warna batasan itu, sosiolinguistik
itu meliputi tiga hal, yaknibahasa, masyarakat, dan hubungan
antara bahasadan masyarakat.
Berdasarkan batasan-batasan tentang sosiolinguistik di
atas dapatdisimpulkan bahwa sosiolinguistik itu meliputi tiga
hal, yakni bahasa, masyarakat,dan hubungan antara bahasa
dengan masyarakat.Sosiolinguistik membahas ataumengkaji
bahasa sehubungan dengan penutur,bahasa sebagai anggota
asyarakat.Bagaimana bahasa itu digunakan untuk
berkomunikasi antara anggota masyarakatyang satu dengan
yang lainnya untuk saling bertukar pendapat dan
berinteraksiantara individu satu dengan lainnya.
8. Bahasa Bugis
35
Bahasa Bugis adalah salah satu dari rumpun bahasa
Austronesia yang digunakan oleh etnik Bugis di Sulawesi
Selatan, yang tersebar di sebagian Kabupaten Maros,
Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Parepare,
Kabupaten Pinrang, sebahagian Kabupaten Enrekang,
sebahagian Kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten
Sidenreng Rappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo,
Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, sebagian Kabupaten
Bulukumba, dan sebagian Kabupaten Bantaeng.
Bahasa Bugis terdiri atas beberapa dialek. Seperti dialek
Pinrang yang mirip dengan dialek Sidrap. Dialek Bone (yang
berbeda antara Bone Utara dan Selatan). Dialek Soppeng.
Dialek Wajo (juga berbeda antara Wajo bagian utara dan
selatan, serta timur dan barat). Dialek Barru, Dialek Sinjai dan
sebagainya.
Ada beberapa kosakata yang berbeda selain dialek.
Misalnya, dialek Pinrang dan Sidrap menyebut kata Lokal untuk
pisang. Sementara dialek Bugis yang lain menyebut Otti atau
Utti,adapun dialek yang agak berbeda yakni kabupaten sinjai
setiap bahasa Bugis yang mengunakan Huruf "W" diganti
dengan Huruf "H" contoh; diawa diganti menjadi diaha.
Karya sastra terbesar dunia yaitu I Lagaligo menggunakan
bahasa Bugis tinggi yang disebut bahasa Torilangi. Bahasa Bugis
36
umum menyebut kata Menre' atau Manai untuk kata yang berarti
"ke atas/naik". Sedang bahasa Torilangi menggunakan kata
"Manerru". Untuk kalangan istana, bahasa Bugis juga mempunyai
aturan khusus. Jika orang biasa yang meninggal digunakan kata
"Lele ri Pammasena" atau "mate". Sedangkan jika raja atau
kerabatnya yang meninggal digunakan kata "Mallinrung".
Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai
aksara Lontara. Contoh:
Contoh angka dalam bahasa Bugis:
Bahasa Indonesia Bahasa Bugis Nol Nolo' Satu Si'di Dua Duwa Tiga Tellu Empat Eppa' Lima Lima Enam Enneng Tujuh Pitu Delapan Aruwa' Sembilan Asera' Sepuluh Seppulo
37
9. Bahasa Makassar
Bahasa Makssar juga disebut sebagai Basa Mangkasara' adalah
bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar, penduduk Sulawesi
Selatan, Indonesia. Bahasa ini dimasukkan ke dalam suatu rumpun
bahasa Makassar yang sendirinya merupakan bagian dari rumpun
bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari
rumpun bahasa Austronesia.Bahasa ini mempunyai abjadnya
sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak juga ditulis
dengan menggunakan huruf Latin.Huruf Lontara berasal dari huruf
Brahmi kuno dari India. Seperti banyak turunan dari huruf ini,
masing-masing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak
ditandai. Huruf-huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di
bawah, atau di sebelah kiri atau kanan dari setiap
konsonan.Beberapa contoh kata atau ungkapan dalam bahasa
Makassar dalam huruf Latin:
Makassar Arti Balla' Rumah Bulu' Bulu/Rambut Bambang Hangat/Panas Cipuru' Lapar Doe' Uang Iyo' Iya Lompo Besar Sallo Lama (untuk waktu) Tabe' Permisi
38
Tena Tidak Ada Mata Allo Mata Hari Jappa-jappa Jalan-jalan Lompo Besar Ca’di Kecil Sallo Lama Tabe’ Permisi Tena Tidak Nia Ada Karaeng Raja Motere Pulang Nganre Makan
10. Gambaran Sejarah Kota Bantaeng
Dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya
beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah
Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole,
Gantarang Keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi.Masing-
masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut
dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh
orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang
akan memimpin mereka semua. Sebelum itu mereka sepakat untuk
melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada
Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi
pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah
Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu.
39
Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan
Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding, dan
bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke
Kare Bisampole (Pimpinan Daerah Bisampole) dan terdengar suara
:”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang
engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini).
Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya
untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar
tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali
terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya
Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesuatu tempat permandian
yang terbuat dari bambu). Keesokan harinya mereka mencari
tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka
menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang
disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin
salah seorang dari generasi Kerajaan Bantaeng.
Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari
pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin
mereka.
Tomanurung menyatakan kesediaannya, tetapi dengan
syarat.“Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau
leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya
mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tetapi saya ibarat angin
40
dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian
adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun
menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki
tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko
racung.”(Saya terima permintaanmu tetapi kau hanya kuangkat jadi
raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan,
juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya
racun).
Maka jadilah Tomanurung ri Ontoini sebagai raja bagi
mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka
daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini
sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto
(Gadis jelitanya Onto). Setelah itu mereka pun berangkat ke arah
yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka
bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa
ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang
kearah enam kare yang lain.Serentak kenam kare yang lain
menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat).
Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi
yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.
41
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan
perlindungan bagi keturunan raja Bantaeng bila mendapat masaalah
yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh
sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau
dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun, kini hal itu hanya
cerita.Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah
berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang
terhadap daerah ini.Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal
kenangan.Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di
Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto,
Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Katapang, dan
Lawi-Lawi.
Perlawanan Rakyat Bantaeng terhadap Penjajah
Belanda.Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli
1667 terjadi perang Makassar, di mana tentara Belanda mendarat
lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena
letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung
pasangan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal,
karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng
sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan
perlawanan besar-besaran. Bulan 12 (dua belas), menunjukkan
sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri atas
perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung)
42
sebagai anggotanya yang secara demokratis menetapkan
kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
11. Hakikat Pemertahanan Bahasa
a. Pemertahanan Bahasa
Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala
pemertahanan bahasa sangat menarik untuk dikaji. Konsep
pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu
bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana
dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 2006:193) bahwa
menurutnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa
Timur adalah karena pengaruh bahasa Melayu Manado yang
mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa
Indonesia yang jangakauan pemakaiannya bersifat nasional.
Namun ada kalanya bahasa pertama (B1) yang jumlah
penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh
penggunaan bahasa kedua (B2) yang lebih dominan.
Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman
(dalam Sumarsono 2006 : 11). Pemertahanan bahasa terkait
dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu
pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain
43
dalam masyarakat multibahasa. Salah satu isu yang cukup
menarik dalam kajian pergeseran dan pemertahanan bahasa
adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan
bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas
yang lebih dominan.
Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk bertahan
hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak
guyup minoritas dengan bahasa kedua (B2), sehingga mengenal
dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah
persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli
(B1) bergeser atau punah. Sebagai contoh kajian semacam itu
dilakukan oleh Gal di Australia dan Dorial (dalam Oktavianus
2006:65) di Inggris. Keduanya tidak berbicara tentang bahasa
imigran melainkan tentang bahasa pertama (B1) yang cenderung
bergeser dan digantikan oleh bahasa baru (B2) dalam wilayah
mereka sendiri.
Kajian lain dilakukan oleh Liberson (dalam Sumarsono
1993:2) yang berbicara tentang imigran Perancis di Kanada,
tetapi bahasa pertama (B1) mereka masih mampu bertahan
terhadap bahasa Inggris yang lebih dominan, setidak-tidaknya
hingga anak-anak mereka menjelang remaja. Masalah bergeser
dan bertahannya sebuah bahasa bukanlah hanya karena
44
masalah bahasa imigran, melainkan dipengaruhi oleh banyaknya
faktor lain yang dapat mempengaruhi pemertahanan bahasa.
Contoh kasus pemertahanan bahasa terjadi pada
masyarakat Wonomulyo, Kabupaten Polman yang berasal
dariJawa. Kasus pemertahanan bahasa Jawa ini disampaikan
oleh Syamsuddin, 2004:147). Menurut Syamsuddin, penduduk
Wonomulyo, Kabupaten Polman yang berjumlah sekitar tiga ribu
orang itu tidak menggunakan bahasa Mandar, tetapi
menggunakan sejenis bahasa Jawa, sejak transmigrasiketika
mereka yang berasal dari Pulau Jawa dan tiba di tempat itu. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap
mempertahankan bahasa Jawanya.Pertama, wilayah
pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang
secara geografis tidak terpisah. Kedua, adanya toleransi dari
masyarakat mayoritas Mandar untuk menggunakan bahasa
Mandar dalam berinteraksi dengan golongan minoritas
masyarakat migran meskipun dalam interaksi itu kadang-kadang
digunakan juga bahasa Mandar.Ketiga, anggota masyarakat
Mandar mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif
terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali. Pandangan
seperti ini dan ditambah dengan terkonsentrasinya masyarakat
Transmigran ini menyebabkan minimnya interaksi fisik antara
masyakat transmigran yang minoritas dan masyarakat Mandar
45
yang mayoritas. Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya
bahasa Mandar dalam berinteraksi intrakelompok dalam
masyarakat mingran. Keempat, adanya loyalitas yang tinggi dari
masyarakat. Bahasa jawa yang dia bawah sebagai
konsekuaensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi
lambang identitas diri masyarakat migran, sedangkan bahasa
Mandar dianggap sebagai lambang identitas masyarakat
Mandar.
Terjadi pemertahanan bahasa terjadi perpindahan
penduduk, ekonomi, sekolah. Akan tetapi, terdapat pula
masyarakat yang tetap mempertahankan bahasa pertamanya
dalam berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka
adalah masyarakat minoritas. Pemertahanan bahasa sendiri
adalah suatu upaya agar bahasa tertentu dapat dipertahankan
keberadaannya. Perubahan Bahasa adalah adanya perubahan
kaidah (direvisi, menghilang atau muncul kaidah-kaidah baru dan
semua itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik yaitu,
Fonologi, Morfologi, Sintaksis, Semantik, dan Leksikon.)
b. Faktor-faktor Strategis Pemertahanan Bahasa
Bertahan atau bergesernya sebuah bahasa, baik pada
kelompok minoritas maupun pada kelompok imigran transmigran
dapat disebabkan oleh banyak faktor. Hasil-hasil penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa faktor industrialisasi dan
46
urbanisasi/ transmigrasi merupakan faktor-faktor utama.
Fishman (1972:22) menyebutkan bahwa salah satu faktor
penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas
masyarakat pendukungnya. Dengan loyalitas itu, pendukung
suatu bahasa akan tetap mewariskan bahasanya dari generasi
ke generasi. Selain itu, faktor konsentrasi wilayah permukiman
oleh Sumarsono (2002:27) disebutkan pula sebagai salah satu
faktor yang dapat mendukung kelestarian sebuah bahasa.
Konsentrasi wilayah permukiman merupakan faktor penting
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar. Kelompok
yang kecil jumlahnya pun dapat lebih kuat mempertahankan
bahasanya, jika konsentrasi wilayah permukiman dapat
dipertahankan, sehingga terdapat keterpisahan secara fisik,
ekonomi, dan sosial budaya. Faktor-faktor lain yang dapat
mendukung pemertahanan bahasa adalah digunakannya bahasa
itu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, dalam
penerbitan buku-buku agama, dan dijadikannya sebagai bahasa
pengantar dalam upacara-upacara keagamaan.
Holmes dalam Language Maintenance and Shift in Three
New Zealand Speech Community (Wardnaugh 1998: 14)
menunjuk tiga faktor utama yang berhubungan dengan
keberhasilan pemertahanan bahasa. Pertama, jumlah orang
yang mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa ibu mereka.
47
Kedua, jumlah media yang mendukung bahasa tersebut dalam
masyarakat (sekolah, publikasi, radio, dan lain-lain.) Ketiga,
indeks yang berhubungan dengan jumlah orang yang mengakui
dengan perbandingan total dari media-media pendukung.
Hal senada juga dinyatakan oleh Miller (dalam Syamsuddin
2004:65) yang mengklasifikasikan situasi kebahasaan yang
hidup lestari, sakit-sakitan, atau bahkan mati dan punah
bergantung kepada apakah anak-anak mempelajari bahasa
ibunya, apakah penutur orang dewasanya berbicara dengan
sesamanya dalam setting yang beragam menggunakan bahasa
ibu tersebut, dan berapa jumlah penutur asli bahasa ibu yang
masih ada.
Pergeseran dan pemertahanan bahasa dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Masalah pergeseran dan pemertahanan bahasa
di Indonesia dipengaruhi oleh faktor yang dilatarbelakangi oleh
situasi kedwibahasaan atau kemultibahasaan. Industrialisasi dan
urbanisasi dipandang sebagai penyebab utama bergeser atau
punahnya sebuah bahasa yang dapat berkait dengan
keterpakaian praktis sebuah bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas
sosial, kemajuan ekonomi dan sebagainya. Faktor lain misalnya
adalah jumlah penutur, konsentrasi pemukiman, dan
kepentingan politik (Sumarsono 2002: 3).
48
Pada umumnya sekolah atau pendidikan sering juga menjadi
penyebab bergesernya bahasa, karena sekolah selalu
memperkenalkan bahasa kedua (B2) kepada anak didiknya yang
semula monolingual, menjadi dwibahasawan dan akhirnnya
meninggalkan atau menggeser bahasa pertama (B1) mereka.
Faktor lain yang banyak oleh para ahli sosiolinguistik adalah
faktor yang berhubungan dengan faktor usia, jenis kelamin, dan
kekerapan kontak dengan bahasa lain. Rokhman dalam
Syamsuddin 2004:32) dalam kajiannya mengidentifikasikan tiga
faktor yang mempengaruhi pergeseran dan pemertahanan
bahasa pada masyarakat tutur Jawa dialek Banyumas, yakni
faktor sosial, kultural, dan situasional.
Kajian tentang berbagai kasus tersebut di atas memberikan
bukti bahwa tidak ada satupun faktor yang mampu berdiri sendiri
sebagai satu-satunya faktor pendukung pergeseran dan
pemertahanan bahasa. Dengan demikian, tidak semua faktor
yang telah disebutkan di atas mesti terlibat dalam setiap
kasus.Dapat disimpulkan bahwa faktor pemertahaan bahasa
antara lain:
1) Faktor Prestise dan Loyalitas
Orang akan sangat bangga dengan budayanya termasuk
dengan bahasa yang mereka gunakan. Artinya, nilai prestise
dari language choice seseorang yang menggunakan bahasa
49
daerah mereka di tengah komunitas yang heterogen lebih
tinggi tingkatannya dengan bahasa daerah lain.Situasi yang
demikian menurut Dressler (dalam Aslinda 2007:45)
merupakan langkah awal dari penghilangan atau
pemusnahan sebuah bahasa. Dia juga menambahkan
bahwa pada saat sebuah bahasa daerah kehilangan
prestisenya dan kurang digunakan dalam fungsi-fungsi
sosial, maka ia menyebutkan keadaan ini sebagai sebuah
evaluasi sosiopsikologis negative (negative
sociopsychological evaluation) dari sebuah bahasa. Pada
kondisi inilah penutur asli sebuah bahasa daerah bisa
dengan rela(voluntarily) mengubah bahasanya ke satu
bahasa daerah lain yang lebih prestisius.
Kondisi yang paling dominan adalah di ranah
keagamaan. Untuk acara-acara keagamaan, ritual-ritual
pada acara kematian, kelahiran anak dan sebagainya,
bahasa pengantar yang digunakan dalam acara-acara
tersebut hampir tidak pernah menggunakan bahasa
Indonesia melainkan bahasa daerah.
Kekhawatiran ini diantisipasi oleh pemerintah daerah
dengan program kembali ke bahasa ibu. Program ini tidak
hanya bersifat seremonial belaka namun lebih
dimanifestasikan lagi pengembangannya di lembaga
50
pendidikan dasar. Dibeberapa daerah, semua sekolah dasar
wajib mengajarkan bahasa daerah kepada murid-muridnya.
Hal ini sebenarnya merupakan penerapan apa yang
dinyatakan oleh Fishman (dalam Ekoyanantiasih 2013:116)
bahwafor language spread, schools have long been the
major formal (organized) mechanism involved.
2) Faktor Migrasi dan Konsentrasi Wilayah
Migrasi sebenarnya merupakan salah satu faktor yang
membawa kepada sebuah pergeseran bahasa. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan Fasold (1984), Lieberson,
S. (1982) bahwa bila sejumlah orang dari sebuah penutur
bahasa bermigrasi ke suatu daerah dan jumlahnya dari masa
ke masa bertambah sehingga melebihi jumlah populasi
penduduk asli daerah itu, maka di daerah itu akan tercipta
sebuah lingkungan yang cocok untuk pergeseran bahasa.
Pola konsentrasi wilayah inilah yang menurut Sumarsono
(1990:27) disebutkan sebagai salah satu faktor yang dapat
mendukung kelestarian sebuah bahasa.
3) Faktor Publikasi Media Massa
Media massa juga merupakan faktor lain yang turut
menyumbang pemertahanan bahasa daerah. Format yang
dipresentasikan pada media ini dikemas dalam bentuk iklan
51
(advertising). Untuk lebih akrab dengan pendengar dan
pemirsa TV, pihak stasiun radio dan televisi lebih banyak
mengiklankan produk-produk dalam bahasa daerah daripada
bahasa lain. Situasi kebahasaan seperti ini sejalan dengan
apa yang dinyatakan Holmes bahwa salah satu faktor utama
yang berhubungan dengan keberhasilan pemertahanan
bahasa adalah jumlah media yang mendukung bahasa
tersebut dalam masyarakat (publikasi, radio, TV, dan
sebagainya).
c. Dampak Positif dan Negatif Masyarakat Bilingual atau
Multilingual
Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual
atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi
pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang
semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak
negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis
dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal
tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik
dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena
banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak
terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru.
52
Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa
Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun
mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.
B. Kerangka Pikir
Interferensi adalah sebagai peristiwa pemakaian unsur bahasa
yang satu ke dalam bahasa lain yang terjadi pada segala tingkat unsur
kebahasaan, yaitu cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara
membentuk frasa dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan,
dan cara memberikan arti kata-kata tertentu Interferensi sebagai
transfer negatif yaitu penggunaan suatu aturan bahasa asli yang
mengarah ke suatu kesalahan yang tidak tepat pada bahasa target.
Interferensi sering terjadi pada seorang dwibahasawan yang
sedang belajar bahasa kedua. Interferensi sistemik akan terlihat dalam
bentuk perubahan satu bahasa dengan unsur-unsur atau struktur
bahasa yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
interferensi sistemik menunjukkan gejala perubahan sistem sebuah
bahasa akibat pengaruh bahasa lain.
Kontak bahasa yang terjadi dalam diri dwibahasawan
menimbulkan salin pengaruh antara B1 dan bahasa kedua. Kontak
bahasa ini terjadi pada diri individu yang menggunakan kedua bahasa
tersebut secara bergantian pada umumnya bahasa yang paling
dikuasai oleh seorang dwibahasaan akan berpengaruh besar
terhadap pemerolehan bahasa berikutnya.
53
Pengaruh bahasa Makassar terhadap bahasa Bugis atau
sebaliknya, dapat terjadi pada setiap sistem atau unsur bahasa karena
pembicara memakai sistem atau unsur bahasa Bugis dalam
menggunakan bahasa Makassar atau sebaliknya. Sistem bahasa
yang digunakan dapat berupa sistem fonologi, morfologi dan sintaksis
penggunaan sistem bahasa tertentu pada bahasa lain disebut transfer.
Transfer yang dimaksud dapat berupa transfer positif dan transfer
negatif. Transfer negatif inilah yang disebut interferensi. Transfer inilah
yang menyebabkan terjadinya kesalahan berbahasa.
Dalam proses interferensi terdapat tiga unsur yang memegang
peran penting yaitu (1) bahasa sumber ( bahasa donor ), (2) bahasa
penyerap (resipien), dan (3) unsur serapan/inportase. Dalam peristiwa
kontak bahasa mungkin pada suatu peristiwa suatu bahasa
merupakan bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain
bahasa merupakan bahasa resipien. Bahasa sumber adalah bahasa
yang menjadi sumber dari unsur sarapan.Jika unsur serapan itu
masuk kedalam suatu bahasa, maka bahasa yang dimaksudnya
disebut bahasa penyerap (resipien).Dalam peristiwa masuknya unsur-
unsur bahasa Bugis ke dalam penggunaan bahasa Makassar disebut
juga interferensi.
54
Bagan Kerangka Pikir
KEDWIBAHASAWAN
KONTAK BAHASA
INTERFERENSISINTAKSIS
( B 1 )
BAHASA BUGIS
( B 2 )
BAHASA MAKASSAR
FONOLOGI MORFOLOGI
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. RancanganPenelitian
Rancangan penelitian pada dasarnyamembuatrencana
suatukegiatan
sebelumpenelitiandilaksanakan.Penelitianinimenggunakanpendekata
n kualitatifmelaluilandasanteoretispada
pendekatanfenomenologis.Suparlan (dalam Achsin, 1993:180)
mengatakanbahwalandasanberfikirpendekatan
kualitatifmerujukpadapemikiranMaxWeberyangmenyatakanpokok
penelitian sosiologi bukanlahterletakpada gejala-gejala sosial
yangdibentukmaupunnilai-nilaiyangsubstantif,melainkanpada
maknayangterbentukdari gejala sosial tersebut. Pendekatan kualitatif
lebih mengedepankanadanyasuatu interpretasi terhadap
suatuperistiwaataugejala-gejalatertentumelaluisuatuargumentasi
PENETRASI BAHASA BUGIS DI TENGAH PENUTUR BAHASA MAKASSAR
56
yangobjektif.Dari uraiandi
ataspenulisberusahamemahamiperistiwadan
kaitannyaterhadaporang-orang dalamsituasitertentu.
Adapunpenelitianini dirancangsebagaiberikut.1)Penentuanlokasi
penelitiansebagai sumberdata yangdiperolehdengan
mendatangitempat-
tempatyangmenjadipusataktivitaspemertahananbahasaBugis
sehingga dapat
melakukanobservasidanmenyatudengankegiatannya;2)Memilihteoriy
ang akandigunakanuntuk mengkajidan
menganalisisdatayangdiperolehdalam penelitian;3)
Menganalisisdanmenginterpretasikandata yangtelahdiseleksi; 4)
Melakukanpenyusunanhasil(data)penelitiandan penulisantesis
B. LokasiPenelitian
Kajianpemertahananbahasa Bugisdi tengah penutur bahasa
Makassar dilakukan diKabupaten Bantaeng.Jumlah
informantidakdibatasi secaramutlak,tergantungpadatingkatkejenuhan
dan keabsahandatayangdidapat.TerpilihnyaKabupaten
BantaengsebagailokasipenelitiankarenaKabupaten Bantaeng sudah
menjadi salahsatudestinasi tujuan ekonomi karena kabupaten ini
sedang bergeliat dalam membangun diberbagai
sektor.PendudukKabupaten Bantaeng sebanyak 176.699 jiwa yang
menyebar di delapan kecamatan dengan kepadatan 446,4 jiwa/km.
57
Kabupaten ini di dominasi oleh penutur berbahasa Makassar, namun
populasi pertambahan penduduk dari daerah sekitarnya sudah mulai
banyak masuk ke kabupaten ini.
Uraianini menjadialasan penulisuntukmemilihKabupaten Bantaeng
sebagai tempatyangtepatbagi penelitianpemertahananbahasaBugis di
tengah penutur bahasa Makassar.Tempatpenelitianyangsesuai
denganmasalahyangdikaji
menunjangpenulismemperolehdatayangakuratuntuk
dianalisissecarailmiah
sehinggamendapatkantemuanyangberilmiahpula.
C. Jenisdan SumberData
Jenisdatayangdigunakandalampenelitianiniadalahdata
kualitatif,yaitu berupakata-kata, kalimat,danungkapan-
ungkapansertaditunjang dengandata kuantitatif
antaralainadalahdataberupatabelsepertijumlahpendudukKabupaten
Bantaeng, jumlahpemelukmasing-masingagama,dan
jumlahwisatawanyang berkunjung ke Kabupaten
Bantaeng.Sumberdatadibedakanatas(a)sumberdataprimeryakniinform
andanobjek
yangdiobservasidan(b)sumberdatasekunderyaknidatayangdiperolehda
ri dokumensepertilaporan-laporan,disertasi,buku-
buku,jurnal,teksyangrelevan sertadapatmenunjangpenelitianini.
58
D. TeknikPenentuanInforman
Penentuaninformandilakukandenganteknikpurposive
sampling,yaituteknikpenentuansampeldenganpertimbangantertentu
(Hadi, 1980:78).
Pertimbangantertentuyangdimaksudkanadalahdengan
mengambilorang-orang
yangtelahdiketahuimempunyaipengetahuan,pengalaman,dan
memahami permasalahanpemertahananbahasa
Bugis.Informanyangmempunyaipengetahuan
tentangpemertahananbahasaBugis,
penulisakanmendapatkanwawasan dan
uraiantentangperkembanganbahasa
Bugisdalameraglobalisasi;Informanyang berpengalaman
tentangpemertahananbahasa Bugis dapatmemberiinformasi
tentangkekuatan,hambatan,tantangan,serta peluangdalam
upayapemertahanan
bahasaBugis.Jadidalamhaltersebut,ditunjangolehinformanyangmemah
ami permasalahanbahasa Bugisuntukmenemukansolusi
dalamupayapemertahanan bahasaBugisdalammasyarakatmayoritas
penutur bahasa Makassardi Kabupaten Bantaeng.Informanyang
dipilihadalahinformanyangtinggaldiKabupaten
Bantaengsesuailokasipenelitianini.
59
Teknikpenentuaninformandiawali
denganmenunjuksejumlahinformanyaituinformanyangmengetahui,me
mahami,dan berpengalamansesuai dengan objek
penelitianini.Kemudianpenulismenentukaninforman-
informanyanglainsesuai
dengankeperluanpenelitianiniyakniorangyangterlibatdalaminteraksi
sosialyangditeliti, sebanyak 40 orang informan.
E. InstrumenPenelitian
MenurutNawawi (1992:69),dalampengumpulandatadiperlukanalat
(instrumen)yangtepatagar
datayangberhubungandenganmasalahdantujuan penelitiandapat
dikumpulkansecaratepat.Dalam penelitianini,instrumennya
adalahpenelitisendirisebagaialatpengumpuldata utama.Karena
penelitiyangmemahamisecaramendalamtentangobjekyangdikajinya.Se
lamadilokasi,dia dibantu dengan alat pedoman wawancara dan
didukung dengan sejumlah
instrumenlainnyasepertibukucatatanuntukmencatathal-hal
pentingyangmenunjangkelancaranpenelitian;taperecorderyangakandig
unakanuntukmerekaminformasidan
pendapatinformanyangberkaitandenganmasalah
penelitianpemertahananbahasa Bugis di tengah penutur bahasa
Makassardi Kabupaten Bantaeng;serta
60
cameragunakanuntukmendokumentasikankegiatan-kegiatan
pentingyangberkenaandenganmasalahpenelitian.
F. MetodePengumpulanData
Metode
pengumpulandatayangdipergunakandalampenelitianiniadalah(1)metod
eobservasi,(2)metodewawancara,dan(3)studidokumen.
1.Observasi
Nawawi(1995:94)mengatakanmetodeobservasiadalahcarapen
gumpulan
datayangdilakukanmelaluipengamatandanmencatatgejala-
gejalayangtampak
padaobjekpenelitianyangpelaksanaanyalangsungpadatempatsuat
uperistiwakeadaanatausituasi sedangterjadi.
Dalampenelitianinidigunakanmetode
observasilangsungmelaluipengamatandanpencatatanfenomena-
fenomenamengenaipemertahananbahasaBugis di tengah penutur
bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng.
Artinya
penulislangsungterjunkelokasipenelitianuntukmengamati
fenomenayangberkaitandengan upaya-upayaserta faktor
penunjang dan
pendukungpemertahananbahasaBugisyangdirekam
61
secaraaudiovisualdanjugamelakukanpencatatanatasfenomenaters
ebut.
2. Wawancara
Hadi(1980:193) dalambukuMetodologi
Researchmenerangkansebagaiberikut:
”Wawancaradapat dipandangsebagaimetodepengumpulandatadengan jalantanyajawabsepihakyangdikerjakansistematikdanberlandaskan kepadatujuanpenyelidik.Pada umumnyadua orang atau lebih hadir secarafisikdalam prosesTanyajawabitu,danmasing-masingpihakdapatmenggunakansaluran-saluran komunikasi secara wajardanlancar”
LebihlanjutKoentjaraningrat(dalam Surakhman
1984:162)mengatakanwawancaradalamsuatupenelitianbertujuan
untukmengumpulkanketerangantentangkehidupanmanusiasertap
endiriannyadalamsuatumasyarakatyangsekaligusmerupakan
pembantuutamametodeobservasi.Bertolakdariuraiandi
atas,wawancaraadalahsuatuprosestanyajawab antara
penelitidansubjek penelitiandengantujuan untukmendapatkandata
keterangan,pandangan,ataupendirian,secaralisandarisubjek.Dala
m penelitianinidigunakanwawancaraterbuka dan berfokus.
Artinyawawancarayangdilakukanterhadapinformandenganmengg
unakanbantuan
pedomanwawancarayaitumembuatcatatantentangpokok-
pokokyangakanditanyakansesuaidengantujuanpenelitiandanmeng
62
erucukpadamasalahpemertahananbahasa Bugis. Daftar
pertanyaanataupedomanwawancarayangsesuaitujuansertamasal
ah
penelitianakandapatmemperolehdatadanketerangandarisubjekpe
nelitianyangakurat.
3. StudiDokumen
Nawawi (1992:
133)mengemukakanstudidokumenadalahcaramengumpulkandata
yangdilakukandengankategorisasidan klasifikasibahan-
bahantertulisyang berhubungandenganmasalah penelitian
baikdarisumber dokumenmaupunbuku-buku,
koran,majalah,laporan,studipustaka,dan lain-lain.Studi
dokumenadalahmerupakanupayapengumpulandatamelalui
pengkajianterhadapsejumlahdokumenberupamonografiKabupate
n Bantaeng, bahan-bahantertulis,serta
kepustakaanlainnyayangberkaitandenganmasalah
penelitian.Caraini
dilakukandenganmencari,memahami,kemudianmencatat data-
datayangrelevan.
G. TeknikAnalisis Data
Penelitianinimenggunakanteknikanalisisdeskriptif-
kualitatifdaninterpretatif.Artinyapenulisakanmendeskripsikangejala-
gejala danfakta-fakta pemertahananbahasaBugisyangmenjadiobjek
63
penelitian.Untukmenunjang analisistersebut jugadiperhatikan
kekuatan,kelemahan,
peluang,ancaman(SWOT)yangolehBungin(2008:242)disebutKEKEPA
N.Pemunculan unsur SWOTsesuaikandengan
kontekspermasalahannya.Moleong(2001:103-104)
yangmenyatakanbahwaprosesanalisisdata dimulaidengan
menelaahseluruh datayangtersediadariberbagai sumber.Setiap
datayangdiperolehdari
pengumpulandata,hasilwawancara,observasi,dan
dokumentasidikategorikandalam
temapokokpemasalahanyangsesuai.Selanjutnya datadaninformasi
yang diperoleh darilapangan disajikan dalam bentukuraiandeskriptif
yangdidukung olehtabeldata.
Prosesanalisisdatadalampenelitianinidiawalidengan
menelaahseluruh
datayangtersediadariberbagaisumber,yaknipengamatan,wawancara,d
an studi dokumen.Analisisdatadilakukansejak observasiberlangsung
dengancara deskriptif-kualitatifdaninterpretatif.Datadan
informasiyangdiperolehdi lapanganyangsesuai
denganmasalahpenelitian,diseleksikemudian
dideskripsikansecarakualitatif.Data
berupakalimatdiinterpretasikanuntuk mengetahui maknayang
64
terkandung di dalamnya dan untuk memahami
keterkaitandenganpermasalahanyangsedang diteliti.
Berdasarkanuraiandi
atas,makadilakukanbeberapaprosesanalisisdata
dengantahapansebagaiberikut:
1. Identifikasidata.
Pada tahapinipenulismengidentifikasidata sesuaidengan
jenisnya.
2. Klasifikasidata.
Padatahapinipenulisakanmengklasifikasidatayang
diperolehdariinforman.
3. AnalisisData danMelakukanInterpretasi.
Pada tahapinipenulismenganalisis datayangsudah
diidentifikasidanyangsudah diklasifikasi sesuai dengan
jenisdata.Interpretasi pada tahapini, dilakukan guna
memahamikekuatan,kelemahan,peluang,dan
ancamandalampemertahanan bahasaBugisdi tengah penutur
bahasa Makassar.
H. TeknikPenyajianHasil
Tahapakhirdari seluruh
prosespenelitianiniadalahpenyajianhasilanalisis
data.PenyajianhasilpenelitiantentangpemertahananbahasaBugis di
tengah penutur bahasa Makassardi Kabupaten Bantaeng,
65
dilakukansecarainformal(naratif)yaituberupauraian,kata-
kata,kalimatdan secaraformalyaitupenjelasandalam
bentuktabel,peta,bagan, dangambaryangdituangkandalamlimabab.
64
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Penetrasi Bahasa
Ada tiga unsur sehingga bahasa mengalami penetrasi.Pertama,
penambahan dan penyesuaian fonem dalam suatu bahasa atau dialek
berdasarkan penuturan bahasa tersebut. Kedua, terjadi peminjaman
fonem atau morfem dan digunakan secara meluas oleh penutur bahasa
tetapi menggeser unsur lama.Ketiga, menetapnya suatu fonem atau
morfem pada posisi tertentu dalam suatu bahasa dengan menggantikan
posisi fonem atau morfem bahasa penerima. Sesuai dengan temuan di
lapangan, bahwa bahasa Bugis tidak mampu menangkal bahasa lain yang
hidup berdampingan dengan bahasa bugis. Bahasa bugis dominan
digunakan dalam lingkup keluarga.Pemakaian pada masing-masing
komunitas atau keluarga makin minim atau tersubtitusi dengan bahasa
daerah alain atau bahasa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa trnsformasi
bahasa Indonesia sangat dominan, simultan dan kontinyu, namun tidak
berbanding lurus dengan sosialisasi bahasa daerah pada setiap person.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, wajarlah bila
selalu dapat peristiwa pengubahan. Terutama pengubahan bentuk
kata.Pada umumnya, pengubahan bentuk kata itu disebabkan oleh
adanya pengubahan beberapa kata asli karena pertumbuhan dalam
65
bahasa itu sendiri, atau karena memang adanya pengubahan bentuk dari
kata-kata pinjaman.
2. Fonologi Bahasa Bugis
Identitas fonem sebagai pembeda dalam penyebutan antara kata
yang terdapat dalam bahasa daerah Bugis, bahasa daerah Makassar dan
bahasa Indonesia. Namun, perbedaan fonem dari ketiga bahasa tersebut,
yakni BB, BS dan BI menunjukkan makna yang sama. Beberapa contoh
kata yang mengalami proses fonemik antara bahasa Bugis, Bahasa
Bantaeng dan Bahasa Indonesia
Bahasa Bugis Bahasa Bantaeng Bahasa Indonesia
Janci Janji Janji
Akhera’ Akhira’ Akhirat
Emma’ Amma’ Mama
Wija Bija Keluarga
Bedda Tappung Bedak
Aga Apa Mengapa
Camming Carammeng Cermin
Genrang Ganrang Gendang
Yawa Rawa Bawah
Assikolang Passikolang Sekolah
Dari beberapa contoh kata yang mengalami proses morfofonemik,
dari bahasa Bugis mengalami perubahan fonem ketika beralih ke bahasa
66
Bantaeng dan begitu juga ketika beralih ke bahasa Indonesia. Dari contoh
pertama, kata janci dari bahasa Bugis mengalami perubahan fonem dalam
bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia, yakni ‘janji’.Dari fonem /c/
menjadi /j/. Kata ‘akhera’’ mengalami perubahan fonem ‘akhira’’ dan
bahasa Indonesia ‘akhirat’. Dari ketiga bahasa ini terjadi dua pergeseran
fonem yakni /e/, /i/, /’/,/’/,/t/.Kata ‘emma’’ mengalami peerubahan fonem /a/
amma, dan pergeseran fonem /m/ menjadi fonem awal pada kata dalam
bahasa Indonesia yakni ‘mama’. Kata ‘wija’ dari fonem /w/ menjadi /b/
dalam bahasa Bantaeng, dan mengalami perubahan bunyi kosakata
dalam bahasa Indonesia yakni ‘keluarga’. Kata ‘Bedda’ dalam bahasa
Bugis mengalami pergeseran kosakata dalam bahasa Bantaeng, yakni
‘tappung’ dan perubahan fonem dalam bahasa Indonesia yaitu fonem, /’/
menjadi fonem /k/ bedak. Kata ‘aga’ dalam bahasa Bugis mengalami
perubahan fonem pada fonem kedua dalam bahasa Bantaeng yaitu fonem
/p/apa. Dan ketika beralih dalam bahasa Indonesia mengalami banyak
penambahan fonem yaitu fonem /m/,/e/,/n/,/g/, menjadi kata ‘mengapa’.
Dalam bahasa Bugis kata ‘kata camming’ mengalami penambahan
fonem dalam bahasa Bantaeng yaitu fonem /r/,/a/ dan mengalami
perubahan pada fonem /e/ menjadi ‘carammeng’. Dalam bahasa Indonesia
mengalami perubahan pada fonem kedua yaitu /e/ dan peleburan pada
fonem akhir dari bahasa Bugis dan bahasa Bantaeng yaitu fonem /g/
menjadi kata ‘cermin’ dalam bahasa Indonesia. Kata ‘Genrang’ dalam
bahasa Bugis mengalami perubahan fonem dalam bahasa Bantaeng pada
67
fonem kedua, menjadi /a/, dalam bahasa Indonesia mengalami perubahan
pada fonem, dari fonem /r/ menjadi /d/ yakni ‘gendang’. Kata ‘yawa’ dalam
bahasa Bugis mengalami perubahan pada bahasa Bantaeng pada fonem
awal yaitu fonem /r/ menjadi kata ‘rawa’. Dalam bahasa Indonesia
mengalami perubahan yaitu fonem /b/ dan penambahan fonem pada pada
huruf akhir yaitu fonem /h/ menjadi ‘bawah’. Kata ‘assikolang’ dalam
bahasa Bugis mengalami penambahan fonem /p/ dalam bahasa Bantaeng
menjadi ‘passikolang’ sedangkan dalam bahasa Indonesia mengalami
peleburan dalam beberapa fonem, yaitu /p/,/a/,/s/,/n/,/g/, perubahan fonem
/i/ menjadi /e/ dan penambahan fonem /h/ pada huruf akhir, yaitu ‘sekolah’.
3. Morfologi Bahasa Bugis
Morfologi sebagai ilmu yang membicarakan masalah bentuk-bentuk
dan pembentukan kata, maka semua satuan bentuk menjadi kata , yakni
‘morfen’ dengan segala bentuk dan jenisnya. Diantaranya adalah morfem
dasar dan morfem afiks. Dalam penetrasi bahasa Bugis banyak
mengalami proses morfofonemik antara bahasa Bugis beralih ke bahasa
Banteang dan bahasa Indonesia. Beberapa kata yang mengalami
penetrasi bahasa dalam proses morfofonemik, baik ketika berada dalam
bahasa daerah Bugis, bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia.
68
Bahasa Bugis Bahasa Bantaeng Bahasa Indonesia
Anrikku Andikku Adikku
Pammulanna Pakaramulanna Berawal
Mawari Anu bari Sudah basi
Massumpajeng Assumbayang Bersembayang
Mabbusa Abbusa Berbusa
Makecce Dingin Dingin
Makkaritutu Sanna tutuna Hati-hati
Maccule-cule Akkare-karena Bermain-main
Annasuang Pappaluang Dapur
Massulara’i Assaloarai Pakai celana
Dari beberapa contoh kata yang disajikan, mengalami proses
morfofonemik. Terjadi morfem bebas dan morfem terikat.Kata ‘anrikku’
dalam bahasa bugis.Jika kata ini dipenggal menjadi an-rik-ku maka tidak
bermakna.Pemisahan morfen yang tepat adalah ‘anrik’ dan ‘-ku’.Anrik
yang merupakan morfem bebas dan –ku merupakan morfem terikat, nanti
akan bermakna jika dilekatkan dengan morfem bebas seperti pada kata
‘anrikku’. Begitu pula dengan kata ‘andikku’ dalam bahasa Bantaeng dan
‘adikku’ dalam bahasa Indonesia.Posisi morfem terikat dari masing-masing
kata berposisi sebagai sufiks dalam proses afiksasi.
Kata ‘pammulanna’ terdiri dari morfem bebas` dan morfem
terikat.‘pammula’ adalah morfem bebas dan ‘–nna’ adalah morfem terikat.
69
Begitu pula dengan kata dalam bahasa Bantaeng ‘pakaramulanna’,
pemenggalannya ‘pakaramula–nna’. Dalam bahasa Bugis dan bahasa
Bantaeng morfem terikat berada pada akhiran, sedangkan dalam bahasa
Indonesia ‘berawal’ pemenggalannya ‘ber-awal’. Ber- merupakan morfem
terikat dan ‘awal’ merupakan morfem bebas. Morfem terikatnya berposisi
sebagai prefiks dalam proses afiksasi.
Kata ‘mawari’ dalam dalam bahasa Bugis dibentuk dalam dua
morfem, yaitu morfem terikat dan morfem bebas yakni ‘ma-wari’.‘ma-‘
menunjukkan morfem terikat dan ‘wari’ merupakan morfem bebas. Dalam
bahasa Bantaeng terdiri dari dua kata yaitu ‘anu’ dan ‘bari’. Namun ketika
kata ‘anu’ berdiri sendiri tidak bermakna.Jadi terbentuk sebagai morfem
terikat dan ‘bari’ adalah morfem bebas. Dalam bahasa Indonesia,
terbentuk menjadi satu frasa, tetapi hanya dibentuk dalam satu morfem
yaitu morfem bebas, yaitu kata ‘sudah’ dan ‘basi’. Walaupun tidak
dilekatkan pada satu kata dasar tetap mempunyai makna.
Kata ‘massumpajeng’ dalam bahasa bugis dibentuk dalam dua
morfem, yaitu morfem terikat dan morfem bebas, ‘mas’ sebagai morfem
terikat dan ‘sumpajeng, sebagai morfem bebas. Dalam bahasa daerah
Bantaeng ‘assumbayang’ dibentuk dalam dua morfem yaitu morfem terikat
dan morfem bebas ‘as’ sebagai morfem terikat dan ‘sumbayang’ sebagai
morfem bebas. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘bersembahyang’ terdiri dari
dua morfem yaitu ‘ber-‘ dan ‘sembahyang’. Dari ketiga kata, antara bahasa
70
Bugis, bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia, posisi morfem terikat
masing-masing sebagai prefiks dalan proses afiksasi.
Dari masing-masing kata dari bahasa bugis, bahasa Bantaeng dan
bahasa Indonesia, yaitu ‘mabbusa’, ‘abbusa’, berbusa’. Dari ketiga kata ini
sama-sama dibentuk dalam dua morfem yaitu morfem terikat dan morfem
bebas. Posisi morfem terikat masing-masing sebagai prefiks dalam
bentuk afiksasi.
Kata ‘makecce’ dalam bahasa Bugis terdiri dari dua morfem yaitu
morfem terikat dan morfem bebas.Pemenggalannya yaitu ‘ma’ sebagai
morfem terikat dan ‘kecce’’ sebagai morfem bebas. Dalam bahasa
Bantaeng dan bahasa Indonesia yaitu kata ‘dingin’ hanya berdiri sebagai
morfem bebas.
Kata ‘makkarititu’ dalam bahasa Bugis terdiri dari dua morfem yaitu
morfem terikat dan morfem bebas, morfem terikat berposisi sebagai
prefiksdan infiksdalam afiksasi dengan pemenggalan ‘mak-kari-‘
sedangkan morfem bebas dengan kata dasar ‘tutu’. Dalam bahasa
Bantaeng dibahasakan ‘ sanna tutu’. Kata ini dibentuk dalam satu morfem
yaitu morfem bebas, karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai
makna, kata ‘sanna’ dan ‘tutu’. Dalam bahasa Indonesia yaitu kata ‘hati-
hati’. Kata ini dibentuk dalam morfem bebas dengan proses reduflikasi,
yaitu pengulangan kata secara dwilingga. Walaupun mempunyai dua kata
tetapi hanya mempunyai satu makna, dan ketika pemenggalannya
71
‘hatidan ‘hati’ maka hilang maknanya,.Jadi, harus dipadukan menjadi kata
‘hati-hati’.
Kata ‘maccule-cule’ dalam bahasa bugis dibentuk dalam dua
morfem, yaitu morfem terikat dan morfem bebas. Dengan pemenggalan
‘mac-‘ sebagai morfem terikat dan ‘cule-cule’ sebagai morfem bebas. Kata
‘maccule-cule juga dibentuk melalui proses reduflikasi dwipurwa yaitu
pengulangan secara sebahagian. Dalam bahasa Bantaeng kata ‘akkare-
karena’. Juga mengalami proses morfologi yang sama dengan kata
‘accule-cule’ dari bahasa bugis. Begitupun dalam bahasa Indonesia kata
‘bermain-main’ selain terdiri dari dua morfem yaitu morfem terikat dan
morfem bebas juga diproses melalui reduflikasi dwipurwa.
Kata ‘annasuang’ dalam bahasa Bugis dibentuk dalam dua morfem
yaitu morfem terikat dan morfem bebas, sekaligus juga mengalami proses
konfiks dalam afiksasi yaitu ‘an-ang’, sedangkan kata ‘nasu’ adalah
morfem bebas. Begitu pun dalam bahasa Bantaeng, kata ‘pappalluang’
dengan pemenggalan ‘pap-pallu-ang’.Konfiks ‘pap-ang’ sebagai morfem
terikat dan ‘pallu’ sebagai morfem bebas.Sedangkan dalam bahasa
Indonesia, kata ‘dapur’ berdiri sendiri yaitu dibentuk dalam morfem bebas
karena tidak ada morfem yang melekat pada kata dasar tersebut.
4. Sintaksis Bahasa Bugis
Manusia dalam bertutur sapa, berkisah, atau segala sesuatu
yang dapat dikatakan sebagai berbahasa, selalu memunculkan kalimat-
72
kalimat yang dirangkai, dijalin sedemikian rupa, sehingga berfungsi
optimal bagi si penutur dalam upaya mengembangkan akal budinya dan
memelihara kerjasamanya dengan orang lain. Dalam sintaksis bidang
yang menjadi lahannyaadalah unit bahasa yang berupa wacana,kalimat,
klausa, frase dan kata. Berikut contoh sintaksis dalam unit kalimat bahasa
daerah Bugis, bahasa daerah Bantaeng dan bahasa Indonesia.
1. Melo’ka mancaji persideng.
Ero’a anjari persideng.
Saya ingin menjadi presiden.
2. Cemmeka nappa manre
Anrioa nampa nganre
Saya mandi lalu makan
3. Tabe, ala’ka bajukku ki lamarie!
Tabe, Alleangnga bajungku ri lamaria!
Tolong ambilkan baju di lemariku!
4. Angkani tau pole, na de’pa nasiap angreangnge
Niami tau battua, na anreppa nasiap kanre-kanreannnga
Para tamu sudah datang, sedangkan makanan belum siap
saji
5. Iga maqbola akkoro ?
Inai a’bayu balla konjo ?
Siapa yang membuat rumah disitu ?
73
Pada contoh kalimat (1) menunjukkan kalimat berita , yaitu
memberitakan sesuatu kepada pendengar atau pembaca. Dalam bahasa
lisan, kalimat berita ditandai dengan nada menurun, sedangkan pada pada
bahasa tulis ditandai pada bagian akhir kalimatnya dengan tanda
titik.Kalimat berita mempunyai berbagai tujuan berdasarkan
penggunaannya, yaitu sebagai pemberitahuan, laporan, pengharapan,
permohonan, perkenalan, undangan dan sebagainya.Kalimat “Melo’ka
mancaji persideng” pada contoh sintaksis bahasa bugis, merupakan
kalimat berita yang tujuannya bersifat pemberitahuan, baik itu kepada
masyarakat penutur secara langsung ataupun dalam bentuk tertulis yang
disampaikan kepada pembaca.Jabatan kalimat yang mengikuti pada
contoh, yaitu S-P-O.Kata ‘melo’ka, ero’a dan saya’ berfungsi sebagai
subjek, kata ‘mancaji, anjari, dan ingin menjadi’ berfungsi sebagai
predikat, dan kata ‘presideng, presideng, dan presiden’ berfungsi sebagai
objek.
Pada contoh kalimat (2) menunjukkan kalimat majemuk
setara, yang ditandai dengan kata penghubung lalu, dan , kemudian. Dari
ketiga contoh kalimat, masing-masing dari bahasa bugis, bahasa
Bantaeng dan bahasa Indonesia. Kalimat setara dari bahasa Indonesia
menggunakan kata penghubung ‘lalu’ kalimat setara dari bahasa Bugis
dan Bantaeng yaitu kata penghubung ‘nappa, nampa’, maknanya sama
dengan kata penghubung ‘lalu’. Jabatan kalimat yang mengikuti adalah (S-
74
P).kata‘saya’ merupakan subjek dan ‘mandi lalu makan’ merupakan
predikat.
Pada contoh kalimat (3) menunjukkan kalimat berjenis
perintah, yaitu memberikan perintah untuk melakukan sesuatu.Dalam
bahasa lisan ditandai dengan naiknya nada pada akhir kalimat, sedangkan
dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda seru (!) pada akhir kalimat.
Jabatan kalimat yang mengikuti( Pel-P-O-Kt)
Pada contoh kalimat (4) menunjukkan kalimat yang berjenis
kalimat majemuk bertingkat, dimana salah satu unsurnya ada yang
menduduki induk kalimat, sedangkan unsur lainnya menduduki anak
kalimat.“Angkani tau pole, Niami tau battue, Para tamu sudah datang”
Ketiga kalimat tersebut menduduki sebagai induk kalimat. Sedangkan
yang menduduki anak kalimat adalah “na de’pa nasiap angreangnge, na
anreppa nasiap kanre-kanreannnga, sedangkan makanan belum
disiapkan”.Jabatan kalimat yang mengikuti pada kalimat bahasa Indonesia
adalah( S-P-O-Kw-Pel ). Sedangkan antara kalimat bahasa Bugis dan
bahasa Bantaeng jika ingin dilekatkan dengan jabatan kalimat, maka
terjadi pergeseran struktur jabatan kalimatnya “Angkani tau pole, na de’pa
nasiap angreangnge. Niami tau battua, na anreppa nasiap kanre-
kanreannga. Jabatan yang mengikutinya( P-S-P-O).
75
Pada contoh kalimat (5) menunjukkan kalimat tanya. Dalam
bentuk lisan kalimat tanya ditandai dengan nada naik pada akhir kalimat.
Sedangkan pada kalimat tanya dalam bentuk tertulis ditandai dengan
tanda tanya (?). Jabatan kalimat yang mengikuti ( S-P-O-K ). Kata “iga,
inai, siapa” merupakan subjek.Kata “maq, a’bayu, yang membuat”
merupakan predikat.Kata “bola, balla, rumah” merupakan objek. Kata
akkoro, konjo , di situ” menunjuk keterangan tempat.
B. Pembahasan
1. Keadaan Responden
Berdasarkan rencana penelitian bahwa jumlah responden yang
diambil dalam penelitian ini sebanyak 50 orang dari 400 orang penutur
Bahasa Bugis di tengah lingkungan penutur bahasa Makassar di
Kabupaten Bantaeng namun jumlah kuesioner yang dikembalikan dan
terisi dengan baik sebanyak 40 kuesioner, sehingga jumlah responden
dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 respondenyang terdiri atas 15
orang laki-laki dan 25 orang perempuan. Respondendalam penelitian ini
dikelompokkan menjadi empat kategori umur yangselanjutnya disebut
sebagai generasi, responden yang berumur diatas 50tahun sebagai
generasi pertama, umur 28-29 tahun sebagai generasikedua, umur 16-27
tahun sebagai generasi ketiga, dan umur 11-15 tahunsebagai generasi
76
keempat. Berikut tabel responden berdasar kategorijenis kelamin dan
umur.
Tabel 1
Tabel Keadaan Responden Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin
Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
11-15 4 6 10
16-27 5 5 10
28-49 2 8 10
> 50 4 6 10
Jumlah 40
Selain itu, keadaan responden juga dikategorikan berdasarkantingkat
pendidikannya yang terdiri atas, tingkat pendidikan TTSD/SD,SMP, dan
PT. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Tabel keadaan responden berdasarkan tingkat pendidikan
No Tingkat Pendidikan
Responden
1 TTSD/SD 6
2 SMP 15
3 SMA 15
4 PT 4
Jumlah 40
77
Selanjutnya, keadaan responden juga dikategorikan
berdasarkanjenis pekerjaannya yang terdiri atas petani, pedagang/ jual
beli, pelajar,PNS, URT, lain-lain, dan tidak bekerja.
2. Situasi Kebahasaan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa
umumnyamasyarakat Bantaeng berdwibahasa, adapun kedwibahasaan
padamasyarakat Bantaeng bersifat substraktif, atau dengan kata
lainfungsi-fungsi sosiolinguistik dari bahasa Bugis digantikan olehbahasa
Bantaeng Berdasarkan data dan informasi lain yang diperoleh olehpenulis,
umumnya masyarakat Bugis beralih dari pengguna ataupenutur bahasa
Bugis menjadi pengguna atau penutur bahasa Bantaeng. Berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan bersama seoranginforman bapak Kamal
(50 tahun), dia mengatakan bahwa,kebudayaan Bantaeng, termasuk
bahasa yang ada didalamnya mulaidipengaruhi oleh kebudayaan dari luar
sejak 1970-an, yaitu sejakmasyarakat Bantaeng melakukan kawin campur
dengan masyarakatyang berasal dari luar Bantaeng, selain itu
perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi juga diduga ikut
memengaruhi pergeseranbahasa Bugis di Bantaeng.
3.Kedwibahasaan
Berdasarkan situasi kedwibahasaan responden, ada tiga
polakedwibahasaan yang digunakan yakni BBB+BS (bahasa Bugis dan
bahasa Bantaeng), BS+BI (bahasa Bantaeng dan bahasa Indonesia), dan
78
BB+BS+BI (bahasa Bugis, bahasa Bantaeng, dan bahasaIndonesia).Ada
beberapa jeniskedwibahasaan yang biasanya terjadi pada suatu
masyarakat tutur(responden), yaitu kedwibahasaan berdasarkan bentuk
dan jenisnya.Berdasarkan bentuk dan jenisnya, kedwibahasaan ini dapat
dibedakanberdasarkan cara terjadinya, berdasarkan tingkatannya,
berdasarkankemampuannya, berdasarkan perkembangannya, dan
berdasarkanpengaruhnya terhadap bahasa pertama.
Berdasarkan cara terjadinya, kedwibahasaan digolongkan menjadi
dua yaitu kedwibahasaan primer dan kedwibahasaan
sekunder.Kedwibahasaan primer ialah pemerolehan bahasa kedua
melaluilingkungan masyarakat karena desakan atau keperluan terhadap
bahasa
kedua tersebut, sedangkan kedwibahasaan sekunder ialahkedwibahasaan
yang diperoleh melalui atau berdasarkan prosespendidikan.Dari hasil
penelitian yang dilakukan, responden yang memerolehbahasa Bantaeng
secara primer (lingkungan masyarakat) sebanyak 93,1%,dan responden
memeroleh bahasa Bantaeng secara sekunder (pendidikan)sebanyak
6,9%. Sementara itu, responden memeroleh bahasa Indonesiasecara
sekunder (pendidikan) sebanyak 77,8 % dan memeroleh BahasaIndonesia
primer (di lingkungan masyarakat) sebanyak 22,2 %.Berdasarkan data
tersebut, telahmenjadi bahasa sehari-hari di wilayahEreng-
Ereng.Kecamatan tompobulu Kabupatn Bantaeng.bahasaBantaeng
sangat berpotensimenggeser bahasa Bugis sebab pemerolehan bahasa
79
Bantaeng tersebut diperoleh melalui pergaulan sehari-hari dalam
lingkunganmasyarakat. Hal tersebut menandakan bahwa bahasa
BantaengBahasa Indonesiatidak terlalu memiliki pengaruh yang besar
dalam menggeser bahasa Bugis karena umumnya masyarakat
(responden) memerolehbahasa Indonesia hanya melalui lingkungan
pendidikan (sekolah) atau
dengan kata lain bahasa indonesia tidak digunakan sebagai bahasautama,
melainkan hanya sebagai bahasa pelengkap yang digunakan pada
saat dan situasi tertentu saja.
Kedwibahasaan berdasarkan kemampuannya dibedakan
ataskedwibahasaan aktif-produktif dan pasif-reseptif. Kedwibahasaan
aktifproduktifialah kedwibahasaan yang memiliki kemampuan berbicara
danmenulis dengan lancar, sedangkan kedwibahasaan pasif-reseptif
ialahkedwibahasaan yang hanya bisa mengerti dan kurang bisa berbicara
dengan menggunakan bahasa tersebut.Berdasarkan hasil penelitian,
sebanyak 95,8% responden memilikikemampuan kedwibahasaan aktif-
produktif terhadap bahasa Bantaeng dan4,2% responden yang memiliki
kedwibahasaan pasif-reseptif terhadapbahasa Bantaeng. Sementara itu,
responden yang memiliki kemampuankedwibahasaan aktif-produktif
terhadap bahasa Indonesia sebanyak65,3%, dan responden yang memiliki
kedwibahasaan pasif-reseptifterhadap bahasa Indonesia sebanyak
34,7%.Semua jenis kedwibahasaan di atas jika dihubungkan
denganpergeseran bahasa Bugis, maka terlihat jelas bahwa bahasa
80
Bantaeng mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
menggeserbahasa Bugis. Hal ini disebabkan oleh sebanyak
95,8%responden memiliki kemampuan bahasa Bantaeng secara aktif-
produktif.
Hal ini berarti bahwa masyarakat pengguna bahasa Bugis di
Kabupaten Bantaeng sudah sejak lamamenguasai dan menggunakan
bahasa Bantaeng sebagai bahasakomunikasi sehari-hari
mereka.Selanjutnya, kedwibahasaan berdasarkan tingkatannya
dibagimenjadi dua yaitu kedwibahasaan maksimalis dan
kedwibahasaanminimalis, namun jenis kedwibahasaan ini sebenarnya
sama saja dengankedwibahasaan aktif-produktif dan kedwibhasaan pasif-
reseptif.Kedwibahasaan berikutnya adalah kedwibahasaan
berdasarkantingkat perkembangannya, kedwibahasaan ini terdiri atas
kedwibahasaandini, kedwibahasaan menengah dan kedwibahasaan
lambat.Jeniskedwibahasaan ini dapat dibedakan berdasarkan
pemerolehan bahasakedua.Pemerolehan yang dimaksud adalah
pemerolehan bahasa padamasa pertumbuhan atau pada masa
perkembangan dan masa lanjut. Dari
data yang diperoleh kedwibahasaan dini responden terhadap bahasa
Bantaeng adalah sebanyak 69,4%, kedwibahasaan tengah (masa
sekolah)adalah 31,4%. Sementara itu kedwibahasaan dini responden
terhadapbahasa Indonesia adalah sebanyak 4,2%, kedwibahasaan tengah
84,7%,sedangkan kedwibahasaa lambat sebanyak 11,1%.Data tersebut
81
menunjukkan bahwa pada umumnya responden ataumasyarakat penutur
bahasa Bugis memeroleh bahasa Bantaeng sejak atau pada masa anak-
anak (dini), atau dengan kata lain bahasa Bantaeng sudah diajarkan oleh
orang tua mereka sejak mereka masih kecil. Sedangkan pemerolehan
bahasa Indonesia umumnya diperoleh padatahap tengah atau masa
sekolah (lingkungan pendidikan).Kedwibahasaan selanjutnya adalah
kedwibahasaan berdasarkan pengaruhnya terhadap bahasa Bugis (B1).
Berdasarkan data,hasil wawancara, dan observasi yang dilakukan
oleh penulis, diperolehinformasi bahwa penggunaan bahasa Bantaeng
bersifat substraktif terhadapbahasa Bugis atau dengan kata lain bahasa
Bantaeng tersebutbukan berfungsi sebagai bahasa komplementer pada
masyarakat pengguna bahasa bugis, namun lebih sebagai bahasa yang
mengganti fungsi-fungsidan peran bahasa Bugis. Hal tersebut dapat dilihat
padatingginya persentase penggunaan bahasa Bantaeng dibandingkan
denganpersentase penggunaan bahasa Bugis pada hampir semua
ranahpenggunaan bahasa.
Berdasarkan jenis dan tingkatan kedwibahasaan yang
telahdijelaskan di atas, maka bila dilihat dari cara terjadinya, masyarakat
pengguna bahasa Bugis (responden) pada umumnya memeroleh bahasa
Bantaeng dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat (non
formal),sedangkan untuk pemerolehan bahasa Indonesia umumnya
diperoleh dilingkungan sekolah (formal). Jika dihubungkan dengan
pergeseranbahasa, maka semua jenis kedwibahasaan memiliki pengaruh
82
yangsangat besar terhadap pergeseran bahasa Bugis. Hal
tersebutdisebabkan oleh pemerolehan bahasa Bantaeng yang sejak masa
anak-anakdi lingkungan keluarga atau lingkungan masyarakat, atau
dengankata lain bahwa bahasa Bantaeng ini sudah digunakan sebagai
bahasapergaulan sehari-hari baik dalam lingkungan rumah tangga
(keluarga),maupun dalam lingkungan masyarakat pengguna Bahasa
Bugis. Hal tersebut tentu saja menyebabkan penguasaan dan
penggunaan bahasa
Bugis pada masyarakat Kabupaten Bantaeng menjadi sangat kurang.
4. Gambaran Umum Penetrasi Bahasa Bugis di Kabupaten
Bantaeng
Bahasa Bugis adalah salah satu bahasa daerah yang dipelihara
dengan baik olehmasyarakat penuturnya, yakni masyarakat Bugis yang
bermukim di wilayah kabupaten Bantaeng dan sudah ada sejak dulu serta
dipakaisecara terbuka sebagai alat komunikasi dalam berbagai kehidupan
di wilayah penutur Bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng, seperti
dalamrumah tangga, tempat-tempat umum, masyarakat.
Kondisi real bahasa Bugis di wilayah kabupaten Bantaeng dalam
kenyataannyatidak bisa lepas dari kondisi masyarakat Bantaeng itu
sendiri.Artinya ragam dialek bahasaBugis menjadi sebuah cerminan etika
ke-Bugis-an manusia Bugis-Makassar dalam sosial
kemasyarakatannya.Sehingga bahasa Bugis bukan dominasi masyarakat
Bantaeng.Bahasa Bugis di wilayah Kabupaten Bantaeng dalam sepanjang
83
perjalanannya sejak zaman sejarah, kemudian mulaiabad ke delapan,
hingga memasuki abad ke-21 saat ini,telah bergaul dengan berbagai
bahasa seperti dari bahasa Indonesia.Bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan sangat dominan digunakan dalam masyarakat Bantaeng karena
bahasa Indonesialah yang mampu menyatukan antara yang tidak
memahami bahasa Bugis dengan yang tidak memahami bahasa daerah
Makassar. Begitu pun bahasa daerah Makassar sebagai sebagai ragam
tutur terbanyak di Kabupaten Bantaeng menjadi sebuah ancaman bagi
pewaris penutur bahasa Bugis yang menduduki beberapa daerah di
Kabupaten Bantaeng
5. Penunjang dan Penghambat Penetrasi Bahasa Bugis di Tengah
Penutur Bahasa Makassar di Kabupaten Bantaeng
Pemertahanan bahasa Bugis dalam konteks perubahan sosial di
tengah arus globalisasidewasa ini, dipetakan dengan mengacu pada
tinjauan kekuatan dan peluang sertakelemahan dan ancaman terhadap
perkembangan bahasa Bugis di wilayah Kabupaten Bantaeng ke depan.
Hal inimenunjukkan bahwa perubahan sosial sebagai fakta yang tidak
terlepas dari kehidupanbermasyarakat, berpengaruh terhadap kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancamanterhadap masyarakat yang mengalami
perubahan.Tinjauan berdasarkan beberapa aspek tersebut di atas dikenal
dengan sebutan analisisSWOT.Analisis SWOT umumnya sebuah strategi
yang diterapkan dalam perusahaan.Perusahaan menggunakan analisis
tersebut untuk memecahkan masalah dari dalam.
84
Diagram analisis SWOT
Berbagai Peluang:
-Media Tradisional-Media Cetak
-Media Elektronik
Kelemahan Internal: Kekuatan Internal:
-Tuntutan Ekonomi -Keluarga
- SDM -Agama
-Individualisme –Budayamaupun dari luar, serta menganalisis
kekuatan, kelemahan dan membacapeluang yang akan datang.Analisis
SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis
untukmerumuskan strategi.Analisis ini didasarkan pada logika yang
dapatmemaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities),
namun secarabersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses)
dan ancaman (Threats).Bertitik tolak pada pemahaman di depan, analisis
SWOT dalam penetrasi bahasa Bugis mengarah pada lingkungan internal
masyarakat Bantaeng yaitu kekuatan(Strengths) dan kelemahan
(Weaknesses), serta lingkungan eksternal yaitu peluang(Opportunities)
dan ancaman (Threats). Analisis SWOT membandingkan antara factor
eksternal yaitu peluang dan ancaman, dan faktor internal yaitu kekuatan
dan kelemahanpemertahanan bahasa Bugis dalam masyarakat
multikultural di Kota Bantaeng.
85
Proses analisis SWOT dalam penetrasi bahasa Bugis dalam
masyarakatmultikultural di KabupatenBantaeng dapat dilihat pada wacana
berikut.
Diagram analisis SWOT
Berbagai Peluang:
-Media Tradisional
-Media Cetak
-Media Elektronik
Kelemahan Internal: III I Kekuatan Internal:
-Tuntutan Ekonomi -Keluarga
- SDM -Agama
-Individualisme -Budaya
Berbagai ancaman:
-Globalisasi
-Pariwisata
-Teknologi komunikasi
Diagram analisis SWOT penetrasi bahasa Bugis dalam masyarakat
multicultural di Kabupaten Bantaeng, dapat dijelaskan seperti berikut.
Kuadran I, merupakan situasi yangsangat menunjang penetrasi bahasa
Bugis, karena memiliki peluang dan kekuataninternal masyarakat
multikultural di Kabupaten Bantaeng.Peluang tersebut adalah
86
mediatradisional, media cetak dan media elektronik.Kekuatan internal
seperti keluarga, agamadan budaya.Media tradisional merupakan
pemeliharaan kearifan lokal yang diwariskan pada penutur
sebelumnya.Seperti pada penggunaan kegiatan pelaksaan upacara adat
dan keagamaan. Media cetak dan media elektronik merupakan sarana
yang sangat penting dalam pengembangan bahasa, seperti munculnya
kata atau istilah baru yang digunakan oleh penutur akan muncul lebih awal
dari media cetak ataupun media elektronik.Pada kekuatan Internal, seperti
keluarga.Keluarga sangat berperan penting dalam pemertahanan bahasa
entah bahasa daerah bugis ataupun bahasa daerah lainnya.Keluarga
dapat mengajarkan sopan santun dalam berbicara, menuntun anak-anak
menggunakan kata-kata yang benar, menjadi penuntun dalam
menunjukkan contoh berbicara yang baik dan benar.Terlebih lagi dengan
aspek agama, ini menjadi penuntun utama dalam kehidupan
manusia.Dalam agama, mengajarkan seluruh adab-adab dalam kehidupan
sehari-hari manusia. Baik dalam hal bersikap begitupun dalam berbahasa,
baik dari cara bertuturnya maupun dalam tuturannya. Begitu pun aspek
budaya yang juga menjadi pemerhati dalam pemertahanan bahasa.Melalui
budaya, media tradisional dapat menciptakan kearifan lokaldalam
penggunaan bahasa daerah setempat.Kearifan lokal yang sering
dilakukan di tengah masyarakat dapat menciptakan terwujudnya kecintaan
masyarakat terhadap bahasa daerah yang digunakannya. Masyarakat
penutur akan lebih senang, santai dalam penggunaan bahasa daerahnya.
87
Tidak adanya faktor gensi dalam penggunaannya. Hal ini terbukti bahwa
faktor prestise dan loyalitas masyarakat penutur di tengah masyarakat
heterogen lebih didominankan
Kuadran II, menunjukkan bahwa penetrasi bahasa Bugis dalam
masyarakatmultikultural di Kabupaten Bantaeng menghadapi berbagai
ancaman, seperti globalisasi,pariwisata, dan teknologi komunikasi.Ketiga
faktor ini sangat menjadi ancaman pemertahanan bahasaBugis di
Bantaeng.Melihat perkembangan di berbagai sektor yang terjadi di
Kabupaten Bantaeng utamanya di sektor pariwisata, hal ini terjadi akibat
arus globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi.Namun masih
ada kekuatan internal untukmenghadapi ancaman tersebut.Dengan
demikian, eksistensi bahasa Bugis masih dapatdipertahankan dengan
menggunakan langkah strategis untuk menghadapi ancaman yangada.
Kuadran III, penetrasi bahasa Bugis dalam masyarakat multikultural
di Kabupaten Bantaeng memiliki peluang yang besar. Namun hal ini
berbenturan dengan kelemahaninternal masyarakat itu sendiri, seperti
tuntutan ekonomi yang sangat tinggi, sumber dayamanusia yang belum
memadai, dan individualisme yang mengental dalam cara pandangserta
sikap sosial masyarakat multikultural di Kabupaten Bantaeng.
Perkembangan alur pemerintahan di Kabupaten Bantaeng saat ini yang
sangat signifikan, yang dapat dijadikan aspek dalam pemertahanan
bahasa daerah, namun melihat ada beberapa aspek internal yang menjadi
kelemahan yang sangat berbenturan dalam pemertahanan bahasa yang
88
ssekali waktu dapat menggeser bahasa daerah yang digunakannya.
Tuntutan ekonomi yang sangat tinggi namun tingkat sumber daya manusia
yang belum memadai, mengharuskan sumber daya yang ada dalam
masyarakat Bantaeng mengharuskan untuk keluar daerah dalam
memenuhi mata pencaharian mereka. Hal ini sangat berpengaruh dapat
menggeser bahasa daerah yang digunakan beralih menggunakan bahasa
yang sering digunakan dalam komunitas penutur yang ditinggalinya.
Kuadran IV, penetrasi bahasa Bugis dalam masyarakat multikultural
di Kabupaten Bantaeng menghadapi ancaman dan kelemahan internal.
Situasi seperti ini sangat tidakmendukung upaya pemertahanan bahasa
Bugis dalam masyarakat multikultural di Kabupaten Bantaeng.Kekuatan
dan kelemahan serta peluang dan ancaman terhadap penetrasi
bahasaBugis dalam masyarakat multikultural di Kabupaten
Bantaeng.Dalam masyarakat multikultural, merupakan salah satu faktor
yang menjadi ancaman dalam pemertahan bahasa daerah. Banyaknya
kultur yang menempati dalam suatu daerah tempat tinggal penutur akan
saling pengaruh mempengaruhi, dimana masyarakat akan meniru dan
mengikuti pengguna bahasa yang lebih dominan dan dianggap lebih
komunikatif dan bergengsi.
Menggunakan kekuatanuntuk menghadapi ancamanMeminimalkan
kelemahanyang ada serta menghindariancaman.
Penyelesain Kuadran I, menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang. Hal ini berarti bahwapenetrasi bahasa Bugis dalam masyarakat
89
multikultural di Kabupaten Bantaeng dapatdijalankan dengan cara
menggunakan kekuatan yang ada dalam masyarakat sepertikeluarga,
agama dan budaya untuk memanfaatkan peluang yaitu media tradisional,
mediacetak dan media elektronik.
Penyelesain KuadranII,, memanfaatkan peluang untuk
meminimalkan kelemahan. Hal ini berartibahwa dalam penetrasi bahasa
Bugis dalam masyarakat multikultural di Kabupaten
Bantaengmemanfaatkan media tradisional, media cetakdan media
elektronik untuk meminimalkan kelemahan seperti tuntutan ekonomi,
SDMdan individualisme yang ada dalam masyarakat multikultural di
Kabupaten Bantaeng.
PenyelesainKuadranIII, menggunakan kekuatan untuk menghadapi
ancaman. Kekuatan yang adadalam masyarakat dapat digunakan untuk
menhadapi berbagai ancaman terhadappenetrasi bahasa Bugis dalam
masyarakat multikultural di Kabupaten Bantaeng, sepertiglobalisasi,
pariwisata dan teknologi komunikasi.
PenyelesainKuadran IV, meminimalkan kelemahan yang ada serta
menghindari ancaman. Hal inimerupakan salah satu strategi untuk
menghindari berbagai ancaman denganmeminimalkan kelemahan yang
ada dalam masyarakat multikultural di Kabupaten Bantaeng.
6. Dampak Penetrasi Bahasa Bugis di Tengah Penutur Bahasa
Makassar
90
Dampak penetrasi bahasaakan punah jika tidak mendapat dukungan
dari penuturnya. Oleh sebab itu kebanggaan atas bahasa yang dimiliki
yang merupakan identitas suatu masyarakat bahasa harus selalu
ditanamkan. Melalui contoh 40 responden tadi, memberikan gambaran
mengenai perlu adanya sejumlah “nasionalitas” kecil yang ingin
mempertahankan bahasa daerahnya, dan hal itu memang dijamin di
dalam UUD. Dengan kata lain, terdapat kebanggaan berbahasa (linguistic
pride) yang dilakukan oleh penduduk yang bermukim di wilayah yang
dominan menggunakan bahasa Makassar, di samping kesadaran akan
norma (awareness of norm) dan loyalitas bahasa (language loyality) dan
hal ini merupakan faktor yang amat penting bagi keberhasilan usaha
pemertahanan sebuah bahasa dalam menghadapi tekanan eksternal dari
pemilik bahasa yang lebih dominan, yaitu bahasa Makassar.
Pesatnya perkembangan zaman, semakin menuntut masyarakat
baik yang berada di kota maupun di desa untuk mengikuti trend hasil
adopsi dari kebudayaan luar daerah yang berkembang di masyarakat.
Trend-trend inilah salah satu yang menjadi dampak penetrasi
bahasa.Kebudayaan Barat utamanya, menjadi salah satu kebudayaan
yang trend diikuti oleh masyarakat. Penutur usia remaja terkadang tidak
mengenal lagi bahasa daerahnya. Bahasa Bugis yang menjadi yang
menjadi bahasa ibu perlahan–lahan sudah mulai dilupakan karena bahasa
ibu atau bahasa daerah dianggap gengsi. Berarti, loyalitas dan
kebanggaan dari bahasa daerahnya sudah mulai punah.
91
Generasi muda khususnya pelajar yang merupakan ujung tombak
suatu bangsa seakan-akan sangat muda terinfeksi oleh perkembangan
zaman. Pada usia mereka yang masih rentan, terlalu sulit untuk memilah
trend yang dapat dipedomani dan yang tidak dapat dipedomani. Sebagai
bangsa yang menganut budaya timur, tentu saja kita diikat oleh norma-
norma yang kental dan menjunjung tinggi adat istiadat kita khususnya
bagi masyarakat Bugis.
Bahasa Bugis akan menjadi identitas akhir orang Bugis karena
bahasa merupakan ciri terdepan suatu budaya. Meski orang Bugis
memiliki budaya yang kaya, namun warisan tersebut hanya dijadikan aksi
seremonial dan pelengkap identitas pelakunya, karena pada hakekatnya
mereka jauh dari keluhuran-keluhuran nilai-nilai lokal tersebut. Memang
selama orang Bugis masih ada dalam kehidupan ini, kemungkinan bahasa
Bugis akan tetap ada. Namun, tidak ada sebuah garansi, bahasa Bugis
akan tetap bertahan, terus dipakai, dan dipelihara masyarakatnya seiring
perubahan zaman yang begitu cepat dan sikap dari penuturnya sendiri.
Sewaktu, suku bangsa ini mulai membelakangi bahasa ini, maka hilanglah
identitas dan orang Bugis itu sendiri, tinggal kita menunggu waktu.Oleh
karena itu, kami tidak mau, kekhawatiran dan mimpi buruk di atas menjadi
kenyataan, bahasa Bugis akan menjadi bahasa klasik di negeri sendiri dan
generasi kita mendatang tidak tahu sama sekali prihal bahasa Bugis,
mereka hanya menemukan beberapa lembar kertas usang di museum.
92
Bahasa Bugis adalah bahasa kita bersama yakni kebudayaan yang
mempunyai makna bagi kita masyarakat Bugis. Kalau bukan kita lalu siapa
lagi yang akan menjaga dan melestarikannya. Seharusnya sebagai
masyarakat Bugis kita patut bangga dengan kekayaan budaya. Hal ini
sebenarnya akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk meleestarikan
bahasa dan kebudayaan tersebut. Kapan kebudayaan-kebudayaan darin
luar tidak tersaring lagi, yakin bahasa daerah Bugis yang selama ini
dibangga-banggakan akan punah.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan penjelasan yang telah
dikemukakanpada bab sebelumnya, disimpulkan bahwa:
1. Penetrasi pada situasi kebahasaan padamasyarakat pengguna
bahasa Bugis sebagian telah beralih menggunakan Bahasa
Makassar dialek Bantaeng atau dengan kata lain bahasa Makassar
dialek Bantaeng sudah menjadi bahasa utamamereka. Selain itu
kedwibahasaanpada responden atau masyarakat pengguna bahasa
Bugis di Kabupaten Bantaeng juga bersifat substraktifatau dengan
kata lain bahasa Bantaeng mendominasi pada setiap
ranahpenggunaan bahasa dan menggantikan peran-peran
sosiolinguistikbahasa Bugis.
93
2. Penunjangpenetrasi Bahasa Bugis di tengah penutur bahasa
Makassar tersebut adalah media tradisional, media cetak dan media
elektronik. Kekuatan internal seperti keluarga, agama dan budaya.
Penghambat dan ancaman terhadap perkembangan bahasa Bugis di
wilayah Kabupaten Bantaeng adalah perubahan sosial sebagai fakta
yang tidak terlepas dari kehidupan bermasyarakat, berpengaruh
terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman terhadap
masyarakat Tingkat pergeseran bahasa Bugis terjadi pada
semuaranah penggunaan bahasa atau dengan kata lain persentase
penggunaanbahasa Bantaeng menempati posisi yang paling tinggi
dibandingkan denganpenggunaan bahasa Bantaeng pada semua
ranah penggunaan.
3. Dampak penetrasi Bahasa bugis di tengah penutur Bahasa
Makassar, tentang tingkatan dalam kepunahan bahasa serta dengan
melihatfenomena kebahasaan yang ada di Bantaeng, disimpulkan
bahwastatus bahasa Bugis telah berada di ambang kepunahan
(nearlyextinct) yang penuturnya hanya menyisakan sebagian atau
beberapaorang tua saja. Tetapi melalui analisis SWOT dapat
ditemukan kelemahan dan penyelesaian terhadapa ancaman
kepunahan bahasa Bugis di wilayah Bantaeng.
B. Saran-Saran
1. Situasi kebahasaan di Bantaeng sangat tidak stabil, dengan katalain
tidak ada keseimbangan penggunaan bahasa Bugis dengan bahasa
94
Bantaeng, serta bahasa Indonesia. Agar bahasa Bugis tetap terjaga
dan tidak punah perlu diciptakan ataudilakukan penggunaan bahasa
yaang seimbang, sehingga fungsifungsibahasa pertama dan bahasa
kedua tidak saling menggesersatu-sama lain. Salah satu langkah
penting yang harus dilakukanadalah parakeluarga didorong agar tetap
menggunakan bahasa daerah (B1)mereka sebagai bahasa pertama
khususnya bagi anak-anak.
2. Kondisi bahasa Bugis di Kabupaten Bantaeng sudah mendekati
kepunahan (nearlyextinct), yang menyisakan beberapa penutur yang
berusia tua, olehkarena itu perlu dilakukan dokumentasi terhadap
bahasa Bugis tersebut. Selain itu, pemerintah daerah juga
perlumendukung dan menfasilitasi upaya pemeliharaan, pelestarian
danpengembangan bahasa daerah dengan beberapa cara, seperti
lomba
membaca pidato dengan menggunakan bahasa Bugis lombabercerita,
lomba menyanyi dan serta mendokumentasi bahasa daerahtersebut.
3. Melihat sikap bahasa masyarakat Bugis di kabupaten Bantaeng yang
positif terhadapbahasa daerah mereka, maka sudah seharusnya
pihak-pihak terkaitmelakukan upaya dan tindakan guna
menyeimbangkan sikap bahasadengan realitas pemakaian bahasa
mereka dalam kehidupan sehari-haritanpa harus meninggalkan salah
95
satu bahasa. Dengan demikian,selain memperkaya budaya, mereka
juga tetap dapat menjaga danmelestarikan budaya mereka sendiri.
4. Terdapat banyak bahasa daerah di Indonesia yang terancam
punah,maka disarankan agar penelitian serupa terus dilakukan
gunamenemukan upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk
menjagaeksistensi bahasa daeraht serta mencegahnya dari
kepunahan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.Chaedar. 1993.SosiologiBahasa. Bandung: Angkasa. Aslinda. 2007.Sosiolinguistik PerkenalanAwal.
Jakarta:PenerbitRinekaCipta. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina.2006. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka
Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: PengantarPemahaman
Bahasa Manusia.Jakarta: Yayasan Obor. Ekoyanantiasih, Ririen. 2013. Pemertahanan Bahasa Daerah Jawa di
Kelurahan Depok Jaya.Jurnal. Pascasarjana. Universitas Indonesia. Fasold,Ralph. 1984.TheSociolinguistics ofSociety.England: Fishman.J.A.1972. TheSociology ofLanguage. InGiglioli. Joss1972
96
Hadi, Sutrisno. 1980. Prosedur Penelitian Teori dan Praktik. Jakarta: Bina Aksara.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London and
NewYork: Longman Keraf, Gorys. 1991. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa.
Flores: Nusa Indah. Lukman, Gusnawaty.2006. Pergeseran Bahasa Daerah (Bugis) di
Sulawesi Selatan.(Jurnal).Universitas Hasanuddin. Moeliono, Anton M. 1989. Dinamika Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa
Indonesia Mutakhir. Yogyakarta: Mitra Gama Widya. Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung : Remaja
Rosdakarya. Mukti, V.S.& Maidar G, Arsyad. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara
Bahasa Indonesia.Jakarta : Erlangga. Mustakim, dkk.1994.Interferensi Bahasa Bugis dalam Surat Kabar
Berbahasa Indonesia. Jakarta. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapan). Jakarta: Depdikbud.
Nawawi. 1992. Model Analisis Data. Bandung. Tarsito Nawir, Abdul. 2001. Analisis Pemerolehan Bahasa pada Anak Usia 18
Bulan. Skripsi.FB Universitas Negeri Malang.
Oktavianus, 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Yogyakarta: Andalas University Press.Parawansa, Panutti, Sudjiman.2006, Serba-serbi
Semiotika, Jakarta: Gramedia Pustaka. Sasangka, 2000. Adjektiva dan Adverbia dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Simanjuntak, Julianto. 1982. Teori Bahasa. Semarang: Citra
Almamater. Slametmuljana. 1962. TataMakna(Semantik). Jakarta:Gramedia. Sudaryanto. 1989. MenguakFungsiHakiki Bahasa.Yogyakarta:Duta
WacanaUniversityPress.
97
Suekono.1984. Otonomi Bahasa: Tujuh Strategi Tulis Pragmatik bagi Praktisi Bisnis dan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumarsono.2002.Sosiolinguistik. Yogyakarta:PustakaPelajar. Surahmat Winarno. 1984. Metode Penelitian dan Pengantar Pendidikan.
Bandung. Tarsito. Suwito, 1985.Sosiolinguistik.Pengantar Awal.Surakarta : Henary Offset. Syamsuddin. 2004. Pemertahanan Bahasa Jawa di Masyarakat
Wonomulyo. (Skripsi) Ujungpandang: FPBS UNM. Taha, Zainuddin. 1985. Satu Wacana Dua Bahasa.(Disertasi) Pengantar
Awal.Surakarta : Henary Offset. Tarigan, HG & Jago Tarigan. 1988. Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa. Bandung : Angkasa. Tarigan, HG. 1992. Pengajaran Analisis Konstrastif Bahasa. Bandung
:Angkasa Wardhaugh, Ronald. 1998. An Introduction to Sociolinguistics. New
York: BasilBlackwell.
LAMPIRAN
98