pengaruh jumlah bibit per titik tanam dan umur bibit
TRANSCRIPT
Pengaruh Jumlah Bibit per Titik Tanam dan Umur Bibit Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah
Dalam Sistem Intensifikasi Padi (SRI)
(Influence of amount seedling per hill and age plantto growth and result rice in System Rice Intensification (SRI))
Zulhendi *)
ABSTRACT
Applying of SRI in the form amount of seed per hill, age move earlier field,
space plant and usage irrigate by sinergy can improve growth and result of rice per
hectare. There are relation between amount of seed per hill and seed age in SRI
method at Crop Grow Ratio and wide of leaf per clump. Amount 2 seed or 3 seed per
hill to give is same influence of goodness at Leaf area indek, shoot and root ratio and
indek harvest. That way old age seed 2 week also can give good influence at Leaf
area indek, amount of panicle per clump, indek harvest and grain yield per hectare
arange 4,2 t ha-1 - 9,05 t ha-1.
PENDAHULUAN
Teknologi budidaya “The System of Rice Intensification” (SRI), di beberapa
negara, seperti Bangladesh, Thailand, dan Cina, sudah diujicoba dan dikembangkan
dalam rangka mendapatkan hasil terbaik dengan pemakaian input yang relatif lebih
sedikit. Demikian pula di Indonesia sistem ini juga pernah diuji cobakan. Teknologi
tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan produksi padi melalui
*) Mahasiswa Pascasarjana UNAND
1
perbaikan jarak tanam, jumlah bibit per titik tanam, umur pindah lapang, dan input air
irigasi.
Budidaya padi menurut metode SRI, merupakan satu metode untuk
meningkatkan produktivitas padi beririgasi yang meliputi perubahan pengelolaan
penanaman, tanah, air, dan nutrisi bila dibandingkan dengan cara konvensional
(Uphoff, 2002). Menurut Kasim (2004), budidaya metode SRI dapat menghindari
stagnasi bibit, menghemat waktu, mengurangi kebutuhan benih, meningkatkan
jumlah anakan, menghemat pemakaian air, dan produksi lebih tinggi.
Pemakaian bibit per titik tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan karena
secara langsung berhadapan dengan kompetisi antar tanaman dalam satu rumpun.
Jumlah bibit per titik tanam yang lebih sedikit akan memberikan ruang pada tanaman
untuk menyebar dan memperdalam perakaran (Berkelaar, 2001).
Menurut Uphoff (2002), bahwa metode SRI bibit ditanam secara tunggal
sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat menghambat
pertumbuhan. Menurut Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar
tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga
tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau
nutrisi dalam tanah. Hasil uji coba sistem SRI di Indonesia dengan 1 bibit dapat
menghasilkan 6,9 – 9,7 t ha-1 dan pada tingkat petani 5,0 – 9,3 t ha-1 (Gani, Kadir,
Jatiharti, Wardhana dan Las, 2002), sedangkan menurut Stoop, Uphoff dan Kassam
(2003), di negara lain seperti Cina, Madagaskar, dan Filipina dengan menggunakan
1 bibit per titik tanam, dapat menghasilkan produksi padi 10,5 – 16,0 t ha-1
2
Umur bibit pindah lapang sangat berpengaruh terhadap produksi padi.
Semakin cepat bibit pindah lapang akan semakin memadai periode bibit beradaptasi
dengan lingkungan baru, sehingga semakin memadai periode untuk perkembangan
anakan dan akar. Pemindahan bibit lebih awal ini juga akan memberikan periode
lebih panjang kepada bibit untuk memaksimalkan pembentukan phyllochrons
sebelum inisiasi malai (Berkelaar, 2001; Defeng, Shihua, Yuping dan Xiaqing, 2002).
Di Cina, lebih disukai menanam bibit umur 15 hari atau yang lebih muda dari pada
itu, dan mampu menghasilkan jumlah anakan produktif maksimal 60 batang
(Qingquan, 2002; Hui dan Jun, 2003). Menurut Kasim (2004), jumlah anakan dapat
mencapai 40 - 80 batang. Sedangkan di Indonesia kebiasaan petani menanam bibit
berumur 3 minggu, dengan jumlah anakan produktif maksimal 25 batang (Utomo dan
Nazaruddin, 2000; Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2004; ).
Umur pindah bibit lebih muda yakni 8-15 hari setelah semai, memberikan
kesempatan kepada bibit untuk beradaptasi dan dengan lebih awalnya bibit dipindahkan
akan memberikan waktu yang lebih panjang kepada bibit untuk membentuk anakan atau
phyllochrons lebih banyak, seperti terlihat pada Tabel 1 berikut ini (Berkelaar, 2001;
Defeng et al., 2002).
Tabel 1. Pertambahan jumlah batang yang dihasilkan tanaman padi dalam ukuran phyllochrons.
Komponen PhyllochronsI II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
Batang baru
1 0 0 1 1 2 3 5 8 12
20 31
Total batang
1 1 1 2 3 5 8 13 21 33
53 84
3
Menurut Uphoff (2002), bahwa metode SRI bibit ditanam secara tunggal
sehingga tidak terdapat kompetisi diantara akar tanaman yang dapat menghambat
pertumbuhan. Menurut Barkelaar (2001), bahwa bibit ditransplantasi satu-satu agar
tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran, sehingga
tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau
nutrisi dalam tanah.
Menurut Gani et al., (2002) metode SRI dengan prinsip tanam satu bibit per titik
tanam atau per rumpun masih dapat dikembangkan dengan menanam dua sampai tiga bibit
per titik tanam atau per rumpun sehingga dapat memberikan hasil terbaik.
Menurut Kasim (2004), berdasarkan hasil penelitian dengan penerapan SRI
dibandingkan dengan cara konvensional yang biasa dilakukan oleh masyarakat selama ini
didapatkan bahwa jumlah anakan 40 – 80 batang, jauh lebih banyak dari anakan dengan
cara konvensional yang hanya 15 – 30 batang dan produksi 7,8 t ha-1, sementara rata-rata
produksi padi Sumatera Barat hanya 4,5 t ha-1. Menurut Joelibarison (1998) dalam
Berkelaar (2001), tingginya hasil SRI dibandingkan dengan konvensional, didukung oleh
tingginya komponen hasil.
Metode SRI berikutnya adalah penggunaan jarak tanam yang lebih renggang
sangat dianjurkan. Untuk itu jarak tanam yang umum digunakan adalah (25 cm x 25 cm)
atau lebih renggang dari pada itu seperti, (33 cm x 33 cm), (40 cm x 40 cm) atau bahkan
(50 cm x 50 cm), dengan jarak tanam yang lebih renggang ini memberikan kesempatan
kepada akar untuk tumbuh dan menyebar lebih luas sehingga akan memberikan
pertumbuhan yang lebih baik.
4
Pengelolaan budidaya padi menggunakan metode SRI juga dapat menghemat
penggunaan air sampai 50% (Kasim, 2004). Air yang tergenang membuat sawah
menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan.
Untuk itu perlu adanya periode kering 3-4 hari (Bauman, et al., 2002), agar tanaman
memperoleh aerase yang baik. Pemberian air hendaklah diberikan sesuai dengan
kebutuhan tanaman saja dalam rentang kapasitas lapang (Hakim, Nyakpa, Lubis,
Nugroho, Saul, Diha, Hong, dan Bailley, 1986).
Pemberian air pada stadia vegetatif tidak tergenang, air hanya diberikan untuk
menjaga agar tanah lembab. Penggenangan yang terus menerus disamping pemborosan
dalam penggunaan air juga memberikan dampak kurang baik untuk pertumbuhan dan
perkembangan padi. Menurut Berkelaar (2001), air yang menggenang membuat sawah
menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Akar
padi akan mengalami penurunan bila sawah digenangi air, hingga mencapai ¾ total akar
saat tanaman mencapai masa berbunga. Saat itu akar akan mengalami die back (akar
hidup tapi bagian atas mati). Keadaan ini disebut juga senescence, yang merupakan proses
alami, tapi menunjukan tanaman sulit bernafas, sehingga menghambat fungsi dan
pertumbuhan tanaman. Disamping itu pada sawah tergenang air, di akar akan terbentuk
kantung udara (aerenchyma) yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen, namun kantung
udara ini dapat mengurangi penyaluran nutrisi dari akar ke bagian lain tanaman.
5
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini berbentuk percobaan lapangan di lokasi Kebun Percobaan Fakultas
Pertanian Universitas Andalas, Limau Manis Padang, Sumatera Barat. Penelitian
berlangsung selama empat bulan yang dimulai bulan Juni 2005.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi benih padi varitas Cisokan,
pupuk Urea, SP-36, dan KCl, insektisida Ripcord, dan fungisida Dithene M-45, sebagai
pembasmi hama dan penyakit.
Alat yang dibutuhkan pada penelitian ini meliputi meteran timbangan, timbangan
mikro, cangkul, insektisida, pestisida, alat semprot, oven, leaf area meter, multitester, dan
termometer..
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK), disusun secara faktorial yang terdiri dari dua faktor. Adapun kombinasi
perlakuannya sebagai berikut :
1. Faktor A adalah jumlah bibit per titik tanam terdiri dari :
A1 = 1 bibit per titik tanam
A2 = 2 bibit per titik tanam
A3 = 3 bibit per titik tanam
2. Faktor B adalah umur bibit terdiri dari :
B0 = benih langsung tanam (0 minggu).
B1 = bibit umur 1 minggu.
B2 = bibit umur 2 minggu.
Setiap satuan percobaan ditempatkan di atas petakan sawah berukuran (2 m x
1,5 m), dengan jarak tanam (25 cm x 25 cm), sehingga didapat 48 satuan titik tanam
untuk setiap petakan. Dilakukan ulangan sebanyak 3 kali.
6
Pengamatan dilakukan terhadap variabel, a) karakteristik pertumbuhan
berupa luas total helaian daun per rumpun, Indek luas daun rata-rata (ILD), Laju asimilasi
bersih rata-rata (LAB), Laju tumbuh tanaman Rata-rata ( LTT ), jumlah anakan, Rasio
akar dan brangkasan atas, dan b) komponen hasil berupa jumlah malai per rumpun,
panjang malai, jumlah gabah per malai, berat 1000 butir gabah, hasil per hektar, dan
Indek panen. Data dianalisa secara statistik menggunakan sidik ragam (uji F).
Apabila hasil sidik ragam berpengaruh maka pengujian dilanjutkan dengan analisa
nilai tengah perlakuan menggunakan DNMRT 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju pertumbuhan tanaman dengan metode SRI menunjukkan adanya
peningkatan dibandingkan dengan penanaman secara konvensional. Pada budidaya
padi secara konvensional jumlah anakan yang terbentuk berkisar 15 – 30 batang per
rumpun (Kasim, 2004). Dibandingkan dengan hasil penelitian ini dengan
menerapkan metode SRI pada umur tanaman 6 minggu setelah pindah lapangan
(MSPL) jumlah anakan berkisar 36 - 62 batang per rumpun. Peningkatan jumlah
anakan per rumpun, tentu juga akan meningkatkan total luas daun dimana Total luas
daun per rumpun ditentukan secara interaktif oleh jumlah bibit dan umur bibit. Total
luas daun terbesar pada perlakuan 2 bibit dengan umur 2 minggu. Perlakuan ini
mempunyai kemampuan tumbuh lebih kuat. Sewaktu pemindahan ke lapangan daya
adaptasi pada lingkungan baru tumbuhnya sangat baik. Bibit sudah mempunyai
perakaran dan daun yang dapat digunakan untuk menunjang kelanjutan
pertumbuhannya.
7
Indek luas daun yang berkorelasi dengan jumlah anakan dan total luas daun
sejalan dengan peningkatan kedua komponen tersebut juga mengalami perubahan.
Pada awal-awal pertumbuhan pertambahan ILD berjalan sangat lambat akan tetapi
setelah tanaman berumur 4 MSPL ILD terus meningkat tajam. Pengukuran pertama
pada periode umur 2-3 MSPL indek luas daun rata-rata 0,09 dan pengukuran yang
terakhir pada umur 5-6 MSPL rata-ratanya naik menjadi 2,97 dengan kisaran 1,46 -
4,12. Bibit yang berumur 2 minggu memiliki ILD cukup besar diikuti oleh 1 minggu
dan 0 minggu. Besarnya ILD pada 2 minggu didukung oleh pertambahan jumlah
anakan dimana hal ini akan menjadi faktor utama meningkatkan total luas daun dan
dengan demikian juga akan meningkatkan ILD daun (Ismunadji dan Manurung,
1988). Kemampuan bibit pindah lapang umur 2 minggu lebih kuat dengan telah
keluarnya akar dan daun untuk menunjang pertumbuhan selanjutnya.
Pada umur tanaman 5-6 MSPL, saat ini nilai ILD makin bertambah besar.
Indek luas daun terus meningkat mengakibatkan daun sudah saling menutup. Laju
fotosintesis dan respirasi mulai seimbang sehingga hasil asimilat dari masing masing
perlakuan yang diberikan sudah tidak nyata lagi. Nilai LAB-pun semakin turun
dibandingkan dengan periode awal pengamatan. Sesuai dengan pendapat Gardner,
(1991), LAB rendah apabila terdapat naungan dan penuaan daun hal tersebut akan
mengakibatkan berkurangnya laju fotosintesis, akan tetapi respirasi tetap
berlangsung. LAB paling tinggi nilainya pada saat tanaman sebagian besar daunnya
terkena cahaya matahari langsung. Sejalan dengan perkembangan tanaman dan
dengan semakin meningkatnya ILD, makin banyaknya daun yang terlindung
8
menyebabkan menurunnya LAB selama masa pertumbuhan selanjutnya. Nilai-nilai
tersebut akan berpengaruh terhadap Laju tumbuh tanaman (LTT).
Pada periode 5-6 MSPL nilai LTT tertinggi adalah 1 bibit per titik tanam
dengan umur 2 minggu. Hal ini menunjukan bahwa pemakaian 1 bibit per titik tanam
diikuti dengan penggunaan umur bibit 2 minggu memiliki nilai LTT yang lebih besar
dari yang lainnya. Peningkatan ini didukung pula oleh peningkatan LAB dan total
luas daun.
Penggunaan 1 bibit per titik tanam pada awalnya memang menunjukan
pertumbuhan yang lamban akan tetapi pada minggu-minggu selanjutnya mulai
berkembang dengan pesat dan bahkan dapat melampaui 2 dan 3 bibit per titik tanam.
Pemakaian bibit 2 atau 3 per titik tanam sudah mulai terjadi persaingan antar
tanaman, sedangkan dengan 1 bibit per titik tanam persaingan ini dapat dikurangi,
sehingga perkembangan anakan tetap berjalan dengan baik. Peningkatan
pertumbuhan dengan jumlah 1 bibit per titik tanam berkembang cepat dengan
semakin pesatnya pertambahan jumlah anakan per rumpun. Pada umur 6 MSPL
jumlah anakan secara statistik sudah menunjukan perbedaan yang tidak nyata lagi.
Hal ini juga satu pertanda bahwa 1 bibit per titik tanam memberikan anakan yang
sama banyak dengan 2 atau 3 bibit per titik tanam.
Penggunaan umur bibit 2 minggu memiliki nilai LTT yang lebih besar dari
yang lainnya. Peningkatan ini didukung pula oleh peningkatan LAB dan total luas
daun, dengan demikian tentunya akan berpengaruuh terhadap hasil tanaman. Hasil
tanaman akan ditentukan oleh laju petumbuhan yang baik yang kemudian didukung
oleh komponen-komponen hasil.
9
Uumur bibit 2 minggu memberikan hasil yang tertinggi sebanyak 8,56 t ha-1,
diikuti oleh bibit berumur 1 minggu dan 0 minggu atau ditugal langsung di lapangan
masing-masing 7,26 t ha-1 dan 4,98 t ha-1 ( Tabel 2 ). Besarnya hasil ini sejalan
dengan laju pertumbuhan tanaman yang lebih baik pada umur 2 minggu dibandingkan
dengan umur lainnya. Pertumbuhan yang baik ini dapat dilihat dari total luas daun
per rumpun yang besar, ILD, LAB dan LTT pada perlakuan umur bibit 2 minggu ini
juga cukup besar. Demikian pula dengan komponen hasil seperti jumlah malai per
rumpun, jumlah gabah per malai dan indek panen semuanya menunjukan hasil
terbesar pada bibit umur 2 minggu.
Tabel 2. Haasil per hektar pada berbagai jumlah bibit per titik tanam dan umur bibit.
Jumlah bibitUmur bibit Pengaruh tunggal
jumlah bibit0 Minggu 1 Minggu 2 Minggu…………... ton ha-1 …….…...
1 Bibit 5,71 7,63 9,05 7,46
2 Bibit 4,22 7,07 7,94 6,41
3 Bibit 5,02 7,07 8,68 6,93 Pengaruh tunggal
umur bibit 4,98 a 7,26 b 8,56 c Keterangan : Berdasarkan Sidik Ragam hanya umur bibit yang teruji. Angka-angka pada baris yang diikuti
oleh huruf yang sama tidak berbeda menurut DNMRT 0,05
Tingginya hasil pada pemakaian bibit umur 2 minggu didukung oleh kondisi
bibit yang sudah cukup kuat untuk dapat dipindahkan ke lapangan. Bibit sudah
mempunyai 2 daun dan perakarannyapun sudah mulai keluar. Adaptasi bibit dengan
lingkungan sangat besar, sehingga bagian-bagian dari tanaman itu sendiri seperti
akar, daun dan batang berfungsi sebagaimana mestinya. Umur bibitpun relatif masih
10
muda sehingga pada saat dipindahkan ke lapangan, bibit tersebut tidak ketinggalan
fase anakan yang berlipat ganda (eksponensial). Dimana dari anakan inilah nantinya
akan menghasilkan jumlah malai dan gabah. Sejalan dengan pendapat Barkelaar
(2001), sebaiknya bibit ditransplantasi/pindah lapang lebih awal yaitu pada umur 1-2
minggu agar tanaman tidak ketinggalan fase berlipat (eksponensial), karena bila bibit
pindah lapang melewati fase ini maka akar bibit mengalami trauma saat terkena sinar
matahari dan mengering saat ditanam ditempat yang tidak ada kontak dengan udara
dan hasil bulu akar keluar dari akar pertama akan hilang atau rusak jika terlambat
ditransplantasi.
Jika dilihat dari pengaruh tunggal jumlah bibit per titik tanam walaupun
secara statistik tidak berpengaruh. Akan tetapi secara tabulasi tampak penggunaan
jumlah 1 bibit per titik tanam memberikan hasil sebesar 7,46 t ha-1, diikuti oleh 3 bibit
per titik tanam 6,93 t ha-1 dan 2 bibit 6,41 t ha-1. Hasil berkisar antara 4,12 – 9,05 t ha-
1. Hasil ini apabila dibandingkan dengan hasil yang dicapai di Madagaskar sebesar 1
—15 t ha-1, memang masih sangat rendah (Bakelaar, 2001). Hasil penelitian ini
hampir sama dengan yang didapatkan oleh Gani et al., (2002), pada musim hujan
hasil rata-rata 6,8 ton ha-1, dan musim kemarau mencapai 9,5 t ha-1.
Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil tertinggi (walaupun tidak terjadi interaktif
antara jumlah bibit per titik tanam dengan umur bibit) pada 1 bibit per titik tanam,
disebabkan oleh kurangnya kompetisi akar tanaman dalam satu rumpun dalam
mengambil unsur hara dan cahaya sehingga pertumbuhan tanaman padi lebih baik,
seperti yang telah dikemukakan diatas. Menurut Wang Shao-hua, Wexcing, Dong,
Tingho dan Yan (2002), hasil yang tinggi dalam metode SRI tidak lepas dari
11
perubahan proses fisiologis yang lebih baik yakni meningkatnya kemampuan akar,
kandungan gula terlarut, nitrogen non protein, prolin dan bahan kering pada organ
vegetatif, persentase partisi asimilat yang disimpan, persentase luas daun yang efektif,
jumlah malai per unit luas, dan bobot seludang serta persentase anakan produktif.
Penerapan budidaya dengan menggunakan SRI, yakni dengan menggunakan 1
bibit per titik tanam dengan umur 10-14 hari, bertujuan agar tidak terjadi persaingan
diantara akar tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Bibit yang
dipindahkan dan ditanam satu-satu memiliki ruang untuk menyebar dan meperdalam
perakaran sehingga tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh akar,
cahaya atau nutrisi dalam tanah. Sistem perakaran akan menjadi sangat berbeda jika
ditanam satu-satu, dimana akar tumbuh kuat menyebar (Barkelaar, 2001).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap
pengaruh jumlah bibit per titik tanam dan umur bibit dengan menerapkan sistem SRI
dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan antara jumlah bibit per titik tanam dan umur bibit dalam
metode SRI (The System of Rice Intensification) pada pertumbuhan, luas total
daun per rumpun dan LTT.
2. Pengaruh tunggal umur bibit menunjukan umur bibit 2 minggu memberikan
pengaruh terbaik pada pertumbuhan ILD, jumlah malai per rumpun, hasil per
hektar dan indek panen.
12
3. Pengaruh tunggal jumlah bibit per titik tanam menunjukan jumlah 2 bibit dan
3 bibit memberikan pengaruh yang sama baik pada pertumbuhan ILD, ratio
akar dan brangkasan atas dan Indek panen.
DAFTAR PUSTAKA
Berkelaar, D. 2001. Sistem intensifikasi padi (the system of rice intensification-SRI) : Sedikit dapat memberi lebih banyak. 7 hal terjemahan. ECHO, Inc. 17391 Durrance Rd. North Ft. Myers FL. 33917 USA.
Defeng, Z., Shihua, C., Yuping, Z., and Xiqing, L. 2002. Tillering patterns and the contribution of tillers to grain yield with hybrid rice and wide spacing. China National Rice Resseach Institute, Hangzau.
Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2004. Pedoman umum pengembangan padi varietas unggul tipe baru (VUTB). Jakarta 2004.
Gani, A., T.S. Kadir, A. Jatiharti, I.P. Wardhana, and I. Las. 2002. The system of rice intensification in Indonesia. Research Institute for Rice, Agency for Agricultural Reseach and Development. Bogor.
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, Go Ban Hong dan H.H. Baillley. 1986. Dasar dasar ilmu tanah. Universitas Lampung.
Kasim, M. 2004. Manajemen penggunaan air: meminimalkan penggunaan air untuk meningkatkan produksi padi sawah melalui sistem intensifikasi padi (The System of rice intensification-SRI). Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Unand. Padang 2004.
Qingquan, Y. 2002. The system of rice intensification and its use with hybrid rice varietas in China. Hunan Agricultural University Changsha, Hunan.
Stoop, W.A., N. Uphoff, and A. Kassam. 2001. A review ofagricultural research issues raised by the system of rice intensification (SRI) from Madagaskar: opportunities for improving farming systems for resource-poor farmers. Agricultural Systems. J. Volume 71, pp. 249-274.
13
Uphoff, N. 2002. Presentation for c on raising agricultural productivity in the tropics: Biophysical challenges for technology and policy: The system of rice intensification developed in Madagaskar.
Utomo, M., dan Nazaruddin. 2000. Bertanam padi sawah tanpa olah tanah. PT Penebar Swadaya. Jakarta..
Wang shao-hua, C. Wexcing, J. Dong, Tingho dan Z. Yan (2002), Physiological characteristics and high-yield tecniques with SRI rice. Naanjing Agricultural University. China.
14
15