pengaruh penambahan rgd pada scaffold membran …
TRANSCRIPT
PENGARUH PENAMBAHAN RGD PADA SCAFFOLD MEMBRAN KITOSAN KULIT UDANG TERHADAP PROLIFERASI SEL PULPA
MANUSIA
Vania M Putri
Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya No.4, Jakarta Pusat, 10430, Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Latar belakang : Teknik rekayasa jaringan kini dikembangkan untuk perawatan kerusakan tulang yang besar. Pada kasus one wall defect dibutuhkan scaffold dalam bentuk membran yang dikombinasikan dengan RGD untuk memfasilitasi regenerasi jaringan. Tujuan : Mengetahui efek penambahan RGD kepada scaffold membran kitosan terhadap proliferasi sel pulpa manusia. Metode: Scaffold membran kitosan kulit udang RGD dipaparkan kepada sel pulpa manusia hasil primary culture dan diuji menggunakan MTT-assay. Hasil: Terdapat peningkatan proliferasi sel pulpa manusia yang bermakna pada kelompok scaffold membran kitosan kulit udang RGD dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kesimpulan: Scaffold membran kitosan kulit udang RGD mampu meningkatkan proliferasi sel pulpa manusia.
Effect of RGD Addition to Shrimp Shells Chitosan Scaffold Membrane on Human Dental Pulp Cell Proliferation
Abstract
Background: Tissue engineering is now being developed to treat large bone defect. A membrane scaffold with addition of RGD is needed to treat one wall defect as it is capable to fasilitate tissue regeneration Objective: To analyze the effect of RGD addition to shrimp shells chitosan scaffold membrane on human dental pulp cell proliferation. Methods: Human dental pulp cell was exposed by shrimp shells chitosan membrane scaffold with RGD addition and was tested using MTT-assay. Result: Proliferation of human dental pulp cell exposed by shrimp shells chitosan membrane scaffold RGD shows a significant increase compared to control. Conclusion: Shrimp shells chitosan scaffold membrane RGD can increase human dental pulp cell proliferation. Keywords : Shrimp shell chitosan; RGD; Proliferation; Human Dental Pulp Cell
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
Pendahuluan
Defek tulang adalah kelainan yang terjadi akibat proses patologis dimana komponen
vital tulang mengalami kerusakan. Pada defek tulang dengan ukuran yang besar seperti one
wall defect biasanya dibutuhkan intervensi bedah mayor. Bone graft menjadi pilihan
perawatan untuk menangani kasus one wall defect yang dapat mendukung regenerasi
tulang.(Dragica Smrke, Primož Rožman, 2013),(Saravanan, Leena, & Selvamurugan, 2016)
Autograft menjadi material graft yang biasa dipilih untuk perawatan kasus kehilangan
tulang.(Bauer & Muschler, 2000) Namun metode ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi
dan memiliki risiko yang besar karena material graft yang akan digunakan diambil langsung
dari tulang pasien itu sendiri. Oleh karena itu, dewasa ini, rekayasa jaringan dikembangkan
sebagai alternaitf perawatan untuk defek tulang dengan ukuran yang besar. Rekayasa jaringan
bertujuan untuk mengembalikan struktur jaringan beserta fungsinya menggunakan sel-sel
hidup dengan komponen yang meliputi stem cells, growth factor, dan scaffold.
Stem cell memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi bermacam-macam
jaringan.(Chen et al., 2013) Sel pulpa gigi memiliki potensi klinis yang baik sebagai sumber
dari stem cell mesenkimal yang dapat dengan mudah dipanen dan menjadi sumber stem cell
yang biasa digunakan untuk rekayasa jaringan pada rongga mulut. Pada aplikasinya, growth
factor seperti bone morphogenetic proteins (BMP) akan bekerja untuk menstimulasi sel
mesenkim menjadi sel turunan osteogenik.(Amir, Suniarti, Utami, & Abbas, 2014)
Selain stem cell dan growth factor, dibutuhkan suatu struktur penyangga yang berperan
sebagai matriks ekstraseluler temporer yang mampu memfasilitasi perlekatan, proliferasi, dan
diferensiasi sel untuk membentuk jaringan yang diinginkan.(Dragica Smrke, Primož Rožman,
2013),(Amir et al., 2014) Struktur tersebut adalah scaffold. Material yang dipilih sebagai
scaffold dalam rekayasa jaringan adalah material yang memiliki sifat osteogenik,
osteokonduktif, biokompatibel, dan biodegradable. Kitosan yang merupakan bentuk
deasetilasi dari polimer kitin dan berasal dari eksoskeleton hewan crustacean seperti udang
kini sedang diteliti sebagai biopolimer natural yang menjanjikan sebagai material
scaffold.(Amir et al., 2014),(Dash, Chiellini, Ottenbrite, & Chiellini, 2011) Kitosan memiliki
potensi yang luas dalam penggunaannya di bidang medis oleh karena sifat-sifat yang
dimilikinya seperti anti-bakterial, biokompatibilitas yang baik, non-toksik, bioaktif,
biodegradable, dan memiliki permukaan yang hidrofilik.(Bauer & Muschler, 2000) Selain itu
Indonesia merupakan Negara yang dikenal akan hasil lautnya yang melimpah. Namun,
pengelolahan limbah sisa hidangan laut seperti kulit udang masih belum dimanfaatkan secara
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
optimal. Sebanyak 10 giga ton kitin per tahunnya terbuang secara percuma di alam.(Irawan,
2005) Padahal, kitin dapat diolah menjadi kitosan yang telah terbukti memiliki potensi untuk
dimanfaatkan dalam bidang rekayasa jaringan.
Kunci utama dalam merekonstruksi jaringan tulang pada kasus one wall defect adalah
dibutuhkannya suatu scaffold yang dapat melekat pada defek tulang dalam waktu yang cukup
bagi sel untuk meregenerasi jaringan tulang. Kini, scaffold telah difabrikasikan dalam bentuk
membran dan diharapkan oleh karena bentuknya yang berupa membran scaffold mampu
menyelimuti periodontal membran akar gigi yang terbuka akibat rusaknya jaringan tulang
sehingga dapat ditujukan untuk regenerasi jaringan pada kasus kerusakan dalam bentuk
horizontal atau one wall defect. Untuk meningkatkan perlekatan antara scaffold dengan sel
secara kimiawi, peptida RGD (Arginine-Glycine-Aspartate) dapat ditambahkan kedalam
scaffold. RGD (Arginine-Glycine-Aspartate) adalah tripeptida yang diidentifikasi sebagai
rangkaian dari fibronektin yang bertindak sebagai perantara dalam perlekatan sel melalui
interaksi dengan integrin yang dapat mengenali motif RGD sehingga RGD dapat menjadi
mediasi dalam interaksi antar sel.(Ruoslahti, 1996) Diharapkan dengan ditambahkannya RGD
kepada kitosan, perlekatan scaffold kitosan terhadap jaringan menjadi lebih baik namun tidak
menurunkan tingkat proliferasi sel pulpa manusia.
Pada penelitian sebelumnya kitosan kulit udang diketahui mampu berperan dalam
regenerasi jaringan tulang, namun efek penambahan RGD kepada scaffold membran kitosan
kulit udang dan pengaruhnya terhadap proliferasi sel pulpa manusia belum diketahui.(Amir et
al., 2014),(Rodríguez-vázquez, Vega-ruiz, Ramos-zúñiga, Saldaña-koppel, & Quiñones-
olvera, 2015) Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat proliferasi sel pulpa
manusia setelah dipaparkan dengan scaffold kitosan kulit udang dengan penambahan RGD
dalam bentuk membran yang diperoleh melalui kerjasama dengan Badan Tenaga Nuklir
Nasional (BATAN).
Tinjauan Teoritis
Strategi perawatan yang meliputi regenerasi atau perbaikan jaringan yang hilang
adalah dengan menginduksi proliferasi dan diferensiasi sel melalui metode rekayasa
jaringan.(Ikeda et al., 2014) Tujuan dari rekayasa jaringan adalah untuk merestorasi,
meregenerasi, mempertahankan atau meningkatkan fungsi dari jaringan yang cacat atau
hilang akibat kondisi tertentu, seperti tumor, kista, kelainan periodontal, fraktur non-union,
maupun kondisi patologis lainnya.(Rodríguez-vázquez et al., 2015) Tujuan ini dapat tercapai
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
dengan perkembangan subtitusi biologis atau dengan membuat scaffold yang mampu
menginduksi regenerasi jaringan.
Scaffold adalah biomaterial porus tiga dimensi yang didesain untuk mendukung
interaksi antar sel dengan biomaterial, berperan sebagai matriks ekstrasesluler sementara dan
adhesi sel dalam rekayasa jaringan. Syarat scaffold agar dapat digunakan untuk rekayasa
jaringan adalah harus dapat terdegradasi dalam waktu yang hampir sama dengan waktu
regenerasi jaringan serta tidak menimbulkan risiko inflamasi terhadap jaringan.(Rodríguez-
vázquez et al., 2015) Pada awalnya fabrikasi scaffold meliputi empat pendekatan mayor yaitu,
scaffold berpori, matriks ekstraseluler yang telah di deselularisasi, Cell sheets, dan
hydrogel.(Chan & Leong, 2008) Semakin berkembangnya ilmu penelitian dan meningkatnya
kebutuhan untuk memperbaiki jaringan tulang dengan kerusakan yang besar, scaffold kini
dikembangkan dalam bentuk membran. Pada aplikasinya, scaffold membran akan
menyelimuti area defek sehingga perbaikan jaringan akan terfokus pada daerah yang dituju
dan mengoptimalkan fungsi scaffold. Selain itu, oleh karena bentuknya yang berupa
membran, diharapkan scaffold dapat terimmobilisasi dengan baik pada jaringan yang ingin
diperbaiki.
Gambar 1. Scaffold Membran
Scaffold yang ideal untuk rekayasa jaringan harus memiliki karakteristik
biokompatibilitas yang baik, mikrostruktur atau porositas yang sesuai, kemampuan
biodegradabilitas yang dapat dikontrol, water retention, adsorpsi protein, dan sifat mekanis
yang baik.(Saravanan et al., 2016),(Ikeda et al., 2014) Karakteristik tersebut juga dipengaruhi
oleh material scaffold. Salah satu material yang sering digunakan dalam rekayasa jaringan
adalah polimer alami seperti kitosan.
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
Kitosan [2-amino-2-deoxy-D-glucon] adalah bentuk deasetilasi dari kitin yang
merupakan polimer alami dan biasa ditemukan pada eksoskeleton hewan krustasea (binatang
air berkulit keras) seperti udang, kepiting, dan lobster, maupun serangga dan
jamur.(Saravanan et al., 2016),(Irawan, 2005) Kitosan murni dapat digunakan dalam berbagai
macam bentuk seperti bubuk, hydrogel, fibers, membran, beads, dan scaffold tiga dimensi
dengan struktur pori yang beragam. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, kitosan dapat
berperan sebagai material scaffold atau sebagai matriks ekstraseluler yang bekerja sebagai
pendukung regenerasi dari jaringan yang rusak.(Rodríguez-vázquez et al., 2015) Ikatan kation
yang ditemukan pada kitosan memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks dengan
makromolekul anionik seperti glycosaminoglicans (GAGs) yang dapat memodulasi aktivitas
sitokin dan growth factors yang berperan dalam rekayasa jaringan.(Saravanan et al., 2016)
Sifat-sifat kitosan dipengaruhi oleh kondisi cara material diproses, karena kondisi
proses manufaktur akan berpengaruh terhadap jumlah deasetilasi. Derajat deasetilasi kitosan
adalah kunci utama yang akan mendeterminasi karakteristik fisik, kimia, dan biologisnya.
Derajat deasetilasi ditentukan dari jumlah grup amino bebas di rantai polimer kitosan. Derajat
deasetilasi mewakili nilai D-glucosamine terhadap jumlah total N-acetyl-D-glucosamine yang
membentuk molekul kitosan karena unit ini ditemukan pada grup amino yang terbentuk dari
eliminasi grup asetil. Kitin dengan deasetilasi lebih dari 60% atau 70% sudah dapat dianggap
sebagai kitosan.(Rodríguez-vázquez et al., 2015)
Aktivitas biologis kitosan juga berkaitan erat dengan kelarutan, derajat deasetilasi dan
berat molekul. Derajat deasetilasi yang berkisar antara 84% - 90% dapat memperlambat
proses degradasi. Kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi (lebih dari 85%) menunjukkan
indeks degradasi yang rendah di lingkungan encer dan akan terdegradasi setelah beberapa
bulan, namun kitosan dengan derajat deasetilasi yang lebih rendah (65%-82%) akan
mengalami degradasi lebih cepat. Derajat deasetilasi berperan pada adhesi dan proliferasi sel
namun tidak mempengaruhi sitokompatibilitas kitosan. Semakin rendah derajat deasetilasi
kitosan, maka semakin rendah adhesi sel pada film.(Rodríguez-vázquez et al., 2015)
Kitosan dengan berat molekul rendah adalah yang menjadi pilihan untuk aplikasi
biomedik maupun bioteknologi.(Ali, 2016) Asal dan preparasi kitosan akan mempengaruhi
berat molekulnya. Berat molekul dapat beragam dari 300kDa sampai lebih dari 1.000kDa,
dengan derajat deasetilasi antara 30%-95%. Semakin besar berat molekul kitosan maka
membran kitosan cenderung lebih baik sehingga memungkinkan untuk mengontrol cairan
yang mana merupakan hal penting dalam interaksi jaringan. Kitosan dengan derajat
deasetilasi rendah dapat menginduksi respon inflamasi akut sedangkan kitosan dengan derajat
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
deasetilasi tinggi mampu meminimalisir respon inflamasi karena laju degradasinya lebih
rendah.(Aranaz et al., 2009)
Kemampuan material untuk menyokong perlekatan sel bukan hanya penting untuk
menstimulasi perkembangan jaringan saja, namun juga penting untuk pengiriman sel-sel
reparatif menuju jaringan (carrier).(Saravanan et al., 2016) Perlekatan sel dengan biomaterial
scaffold adalah tahapan awal yang sangat penting dalam rekayasa jaringan in vitro. Oleh
karena itu, dibutuhkan penambahan material lain pada scaffold membran kitosan kulit udang
untuk mendukung perlekatan antara sel dengan scaffold. RGD adalah salah satu contoh
peptida adesif yang dapat digunakan pada interaksi molekular. RGD (arginine-glycine-
aspartate) adalah dasar dari domain integrin-binding yang ada pada protein matriks
ekstraseluler. Sekuens RGD berada pada protein adhesi matriks ekstraseluler yang bermacam-
macam seperti fibrinogen, fibronektin atau osteopontin, dan vitronektin. Sekuens ini
bertanggung jawab atas interaksi protein tersebut dengan kelompok reseptor pada permukaan
sel (integrin).(Vilaca, Ferreira, & Micaelo, 2014) Sekuens RGD dapat berikatan dengan
banyak spesies integrin, sehingga RGD peptida sintetik menyediakan bermacam-macan
keuntungan untuk aplikasi biomaterial.
Berdasarkan penelitian, peptida sintetik yang mengandung sekuens asam amino RGD
mampu bertindak sebagai perantara dalam perlekatan sel. Selain itu, penggunaan RGD dapat
meningkatkan kompatibilitas dari scaffold membran kitosan kulit udang dan meningkatkan
proliferasi sel.(Ho, Wang, Hou, & Hsieh, n.d.) Penambahan RGD pada proses fabrikasi
scaffold membran kitosan kulit udang dilakukan ketika kitosan masih dalam bentuk larutan
sebelum proses pengadukan dengan homogenizer.
Sebelum scaffold membran kitosan kulit udang dapat digunakan, tahap pertama yang
perlu dilakukan untuk mengetahui biokompatibilitas suatu material adalah dengan uji in vitro.
Uji ini dapat dilakukan dengan cara kultur sel. Kultur sel adalah salah satu sarana utama yang
digunakan dalam biologi selular dan molekular karena menyediakan model sistem yang baik
untuk mempelajari aspek fisiologis dan biokimiawi dari sel, melihat efek toksisitas suatu
material atau obat terhadap sel, dan melihat pertumbuhan sel kanker atau sel abnormal.
Definisi kultur sel adalah pemindahan sel dari makhluk hidup dan menumbuhkannya di
medium buatan yang sesuai.(Invitrogen, 2010)
Salah satu sel yang sering digunakan untuk kultur di bidang kedokteran gigi adalah sel
pulpa manusia. Pulpa gigi adalah bagian tengah dari gigi yang terdiri dari jaringan lunak
hidup dan sel yang disebut odontoblas. Region tengah dari pulpa bagian koronal dan radikular
mengandung banyak saraf, pembuluh darah. Pada kondisi tertentu, sel pulpa manusia dapat
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
berdiferensiasi menjadi odontoblas, adiposit, kondrosit, dan osteoblas.(Volponi, Pang, &
Sharpe, 2010) Sel pulpa manusia juga mengandung populasi stem cell dan memiliki kualitas
meliputi diferensiasi sel yang luas dan kemampuan memperbaharui diri.(Dannan,
2009),(Huang, Gronthos, & Shi, 2009)
Pertumbuhan dan perkembangan sel meliputi tiga tahap penting, yaitu tahap proliferasi,
diferensiasi, dan maturasi. Proliferasi sel adalah salah satu proses biologis yang fundamental,
sangat terorganisir dan kompleks. Jaringan tumbuh secara primer dengan meningkatkan
jumlah sel. Proses ini akan menghasilkan dua sel yang berasal dari satu sel. Contohnya pada
proliferasi stem cell, akan terbentuk dua sel dengan salah satu selnya berupa daughter cell
dimana sel tersebut akan tetap menjadi stem cell dan sel yang kedua akan berdiferensiasi.
Dalam kondisi fisiologis yang normal, proses proliferasi sel biasanya disertai dengan
meningkatnya biogenesis ribosom.(D & H, 2003),(Cooper, 2000)
Proliferasi sel dapat diketahui dengan cara membandingkan jumlah sel sebelum
dilakukan eksperimen dan sesudah dilakukan eksperimen. Terdapat beberapa metode yang
akurat untuk menghitung jumlah sel hidup antara lain adalah dengan menghitung sel pada
mikroskop dengan hemocytometer. Penghitungan sel dengan metode ini cukup akurat karena
dapat melihat sel dengan kasat mata sehingga dapat membedakan sel yang hidup dan sel yang
sudah mati. Namun metode tersebut memerlukan ketelitian yang tinggi serta membutuhkan
waktu yang tidak cepat sehingga sensitif terhadap kematian sel jika operator belum terbiasa
menghitung sel dengana hemocytometer.39
Selain dengan metode penghitungan sel, dapat juga dilakukan uji menggunakan
bromodeoxyuridine (BrdU). BrdU adalah nukleosida sintetik yang merupakan analog dari
thymidine yang biasa digunakan untuk mendeteksi proliferasi sel. Pada sel yang akan
berproliferasi, DNA harus bereplikasi terlebih dahulu sebelum sel dapat berdivisi. BrdU
bergabung ke dalam sel dengan cara mensubstitusi thymidine yang biasa ditemukan pada saat
sel sedang melewati proses replikasi DNA. Jumlah BrdU pada DNA sel dapat dideteksi
menggunakan antibodi BrdU spesifik yang dilanjutkan dengan flow cytometry. Namun
kelemahan dari BrdU adalah kemungkinan terjadinya mutasi akibat bergabungnya BrdU
dengan DNA yang dapat bermanifestasi sebagai perubahan dalam ekspresi gen. Selain itu,
untuk melakukan uji BrdU dibutuhkan keterampilan yang tinggi serta biaya yang cukup
besar.(Webster, Williams, Recio, & Yauk, 2014)
Metode lain yang dapat digunakan adalah dengan menguji viabilitas sel. Metode ini
sering digunakan karena mudah, cepat, dan cocok untuk menghitung sel dengan jumlah yang
banyak.(D & H, 2003) Viabilitas sel didefinisikan sebagai jumlah sel yang sehat dalam
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
sebuah sampel. Viabilitas sel dapat digunakan untuk menghubungkan antara jumlah sel
dengan tingkah laku sel, dan menunjukkan aktivitas anabolik sel. Viabilitas sel juga
menunjukkan respon yang bersifat segera seperti perubahan permeabilitas membran atau
gangguan pada jalur metabolisme tertentu.(Fallis, 2013) Uji viabilitas sering digunakan untuk
menentukan apakah molekul atau material yang dipaparkan memberikan efek terhadap
proliferasi sel atau menunjukkan efek sitotoksik yang akhirnya dapat menyebabkan
kematian.(Riss et al., 2013) Viabilitas sel dapat diketahui menggunakan MTT-assay dengan
melakukan analisis optical density sehingga dapat diketahui jumlah sel yang hidup.
MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) secara luas
digunakan untuk melakukan uji viabilitas dan proliferasi sel dalam studi biologi sel. Prinsip
dari metode MTT adalah terbentuknya larutan berwarna kekuningan yang merupakan hasil
dari reduksi aktivitas dehydrogenase pada mitokondria sel yang hidup. Succinate
dehydrogenase akan mereduksi MTT dan membentuk kristal formazan yang jumlahnya
sebanding dengan jumlah sel hidup.(Riss et al., 2013),(Stockert, Blazquez-Castro, Canete,
Horobin, & Villanueva, 2012)
Sel yang mati akan kehilangan kemampuan untuk mengubah MTT menjadi formazan,
sehingga formasi warna menjadi penanda yang berguna untuk mengetahui sel-sel hidup.
Kristal formazan bersifat impermeabel terhadap sel dan tidak larut dalam air. Oleh karena itu
kristal formazan harus dilarutkan terlebih dahulu menggunakan beberapa metode, seperti
acidified isopropanol, dimethyl sulfoxide (DMSO), dimethylformamide, sodium dodecyl
sulfate (SDS), dan kombinasi dari detergen dengan larutan organik. Konversi MTT menjadi
formazan oleh sel pada kultur bergantung pada waktu. Waktu inkubasi yang lama akan
menghasilkan akumulasi warna dan meningkatkan sensitivitas, namun waktu inkubasi juga
terbatas dikarenakan adanya sifat sitotoksis dari reagen deteksi yang memanfaatkan energi
dari sel. Waktu inkubasi yang ideal adalah 1-4 jam. Toksisitas dari MTT berhubungan
dengan konsentrasi yang ditambahkan ke sel. Konsentrasi yang optimal akan menurunkan
risiko toksisitas.(Riss et al., 2013)
Kuantitas formazan diukur dengan melihat nilai absorbansi atau optical density (OD)
dari kristal formazan yang dilarutkan pada panjang gelombang antara 500 - 600 nm
menggunakan enzyme linked immunosorbent assay reader atau ELISA reader. ELISA reader
adalah instrumen yang digunakan untuk mendeteksi benda biologis, kimia, atau fisik pada
microtiter plates. Instrumen ini mampu membaca banyak sampel dalam waktu yang singkat
(1,5 menit per 96 well). ELISA reader dapat digunakan untuk mendeteksi absorbansi. Di
dalam ELISA reader terdapat sumber cahaya yang akan menyinari sampel dengan panjang
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
gelombang spesifik dan detektor cahaya yang berada di sisi yang berseberangan sehingga
dapat diketahui jumlah cahaya yang diteruskan melewati sampel. Jumlah cahaya yang
diteruskan oleh sampel berhubungan dengan konsentrasi molekul.(Ashour, Gee, & Hammock,
1987),(Mosmann, 1983) Peningkatan atau penurunan nilai OD merepresentasikan
peningkatan atau penurunan jumlah sel yang hidup.
Metode Penelitian
Proliferasi sel pulpa manusia diteliti dengan uji viabilitas sel dengan menggunakan
MTT-assay. Penelitian ini akan dilakukan secara in vitro dan hasil MTT-assay akan dilihat
menggunakan ELISA reader dengan hasil berupa nilai optical density (OD). Scaffold kitosan
kulit udang RGD dan tanpa RGD difabrikasi oleh BATAN dengan derajat deasetilasi 95%,
berat molekul 75.000 DA dan terdapat 4mg RGD / 50ml kitosan 2%. Pada penelitian ini
digunakan scaffold kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD dengan konsentrasi 1mg dan
2mg. Sedangkan sel pulpa manusia didapatkan hasil primary culture berasal dari gigi manusia
yang diekstraksi untuk tujuan perawatan orthodonti dengan kondisi baik dan tanpa karies dan
telah mendapatkan surat lolos etik dari dari komisi etik penelitian FKG UI dengan No.
Protokol: 010550616.
Sterilisasi alat dan bahan
Safety cabinet dibersihkan dan disterilkan dengan alkohol 70%. Semua alat yang akan
digunakan disterilisasi terlebih dahulu menggunakan autoclave dan selanjutnya dimasukkan
ke dalam safety cabinet untuk disterilisasi dengan sinar UV selama 5-10 menit sebelum
digunakan.
Pembuatan Medium Lengkap
Untuk membuat 50ml medium lengkap dibutuhkan 500ml penicillin, streptomycin,
fungizone, serta 5ml FBS yang ditambahkan ke 44,5ml medium α-MEM dan kemudian
disaring dengan sterile syringe filter. Jika tidak langsung digunakan, medium lengkap
disimpan di dalam lemari pendingin (4°C). Medium dihangatkan dalam waterbath 37°C
terlebih dahulu sebelum digunakan.
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
Subkultur Sel Pulpa Manusia
Sel pulpa manusia (3x106) dikultur pada flask dalam medium lengkap. Sel disimpan di
inkubator pada suhu 37°C dibawah 5% CO2 dan medium diganti setiap dua hari sekali.
Selanjutnya sel dilakukan subkultur ketika konfluensi mencapai 80%. Tripsin EDTA
sebanyak 2ml ditambahkan kepada sel untuk melepaskan sel dari dasar flask dan dilakukan
inkubasi selama 5-7 menit. Kemudian, perlekatan sel pada flask di dilihat menggunakan
mikroskop inverted. Jika sel sudah terlepas dari dasar flask, medium lengkap ditambahkan ke
dalam flask dengan perbandingan tiga kali lipat jumlah tripsin EDTA yang dimasukkan.
Kemudian campuran sel, tripsin EDTA, dan medium komplit pada flask dipindahkan ke
dalam tube 15ml dan dilakukan sentrifugasi untuk memisahkan cairan supernatant dan pellet.
Cairan supernatant dibuang hingga hanya tersisa pellet pada tube. Medium lengkap
ditambahkan ke dalam tube berisi pellet dan dilakukan resuspensi dengan cara repipeting.
Selanjutnya, sel dan medium pada tube dipindahkan ke flask lain dan diinkubasi pada
temperature 37°C dalam 5% CO2.
Uji Proliferasi Sel dengan MTT-assay
Tingkat proliferasi sel dianalisis menggunakan bubuk 3-(4,5-dimethylthiazole-2-yl)-
2,5-diphenyltetrazolium Bromide (MTT) biomatik dan dinyatakan dalam viabilitas sel.
Pertama, sel sebanyak 2x104 ditambahkan pada masing-masing well (96 wellplate) dengan
medium lengkap sebanyak 100µL. Kemudian, scaffold membran kitosan kulit udang dengan
dan tanpa penambahan RGD ditambahkan ke dalam well yang telah berisi sel dengan
konsentrasi 1mg dan 2mg sebagai kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol, scaffold
membran kitosan kulit udang tidak ditambahkan pada well yang telah berisi medium dan sel.
Selanjutnya sel diinkubasi selama 5 hari dan dilakukan uji MTT pada hari ke lima. Pada tahap
uji MTT, 15µL larutan MTT (5mg/ml; dicampur dengan NaCl 0.9% lalu di vortex)
ditambahkan ke dalam masing-masing well. Setelah itu, inkubasi selama 3 jam pada
temperatur 37°C dalam 5% CO2 agar MTT dapat bekerja. Pada prinsipnya, MTT akan
direduksi oleh succinate dehydrogenase sehingga terbentuk endapan kristal formazan yang
sifatnya tidak larut dalam air. Agar hasil uji MTT dapat dibaca menggunakan ELISA reader,
MTT perlu dilarutkan terlebih dahulu dengan cara menambahkan acidified isopropanol
sebanyak 150µL pada masing-masing well dan dilakukan pencampuran menggunakan shaker
selama 15 menit. Hasil uji MTT dinyatakan dalam optical density (OD) yang didapatkan dari
hasil pembacaan menggunakan mesin ELISA reader pada panjang gelombang 490nm.
Sampel diteliti quadruplicate dan eksperimen diulang sebanyak dua kali.
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
Analisis Statistik
Data penelitian dikalkulasikan menggunakan SPSS statistic dan data dipresentasikan
sebagai nilai rata-rata OD dan standar deviasi. Nilai rata-rata telah melewati uji normalitas
Shapiro-Wilk dan kemudian untuk menguji hipotesis digunakkan uji one-way ANOVA.
Analisis data dilakukan menggunakan Post-hoc Games Howell untuk mengetahui variabel
mana yang memiliki perbedaan signifikan.
Hasil Penelitian
Hasil uji one-way ANOVA menyatakan adanya perbedaan bermakna antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan dengan nilai p≤0.05. Perbedaan antar masing-masing
kelompok perlakuan dengan kelompok control diketahui melalui uji post hoc games howell
dengan hasil berupa adanya perbedaan bermakna dengan nilai p ≤0.05. Tingkat proliferasi
tertinggi ditemukan pada kelompok scaffold membran kitosan kulit udang tanpa RGD 2mg.
(Gambar 2).
Gambar 2. Perbandingan Tingkat Proliferasi Sel Pulpa Manusia Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan
Scaffold Membran Kitosan Kulit Udang RGD dan tanpa RGD. ****p≤0.0001
Selanjutnya peneliti melakukan perbandingan tingkat proliferasi sel pulpa manusia pada
kelompok perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD (gambar 3).
Terlihat pada perbandingan tingkat proliferasi sel pulpa manusia pada kelompok perlakuan
scaffold membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD 1mg bahwa tingkat proliferasi
yang lebih tinggi ada pada kelompok scaffold membran kitosan kulit udang RGD. Berbeda
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
dengan perbandingan tingkat proliferasi sel pulpa manusia pada kelompok perlakuan scaffold
membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD 2mg, tingkat proliferasi yang lebih tinggi
ditemukan pada kelompok perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang tanpa RGD 2mg.
Kemudian peneliti juga membandingkan tingkat proliferasi sel pulpa manusia scaffold
membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD 1mg dan 2mg. Pada kelompok scaffold
membran kitosan kulit udang RGD didapatkan tingkat proliferasi yang lebih tinggi pada
konsentrasi 1mg (Gambar 3). Sedangkan pada kelompok scaffold membran kitosan kulit
udang tanpa RGD, tingkat proliferasi yang lebih tinggi terdapat pada konsentrasi 2mg
(Gambar 3). Namun menurut uji statistik perbedaan tingkat proliferasi tersebut tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0.05).
Gambar 3. Perbandingan Tingkat Proliferasi Sel Pulpa Manusia antar Kelompok Perlakuan Scaffold
Membran Kitosan Kulit Udang RGD dan Tanpa RGD. NS = Not Significant (p > 0.05)
Pembahasan
Pada kasus defek tulang yang besar khususnya one wall defect, dibutuhkan bentuk
scaffold yang tepat agar scaffold dapat beradaptasi dengan baik. Selain itu, karena perbaikan
jaringan untuk defek tulang bersifat terlokalisir, maka scaffold harus terimmobilisasi dengan
baik agar perbaikan jaringan dapat terfokus pada daerah jaringan yang rusak. Maka,
dibutuhkan scaffold yang difabrikasikan dalam bentuk membran agar dapat melapisi
kerusakan tulang tanpa terjadinya perpindahan dan pergerakan scaffold yang tidak diinginkan.
Meskipun kitosan telah banyak diteliti sebagai material scaffold, kitosan juga masih memiliki
beberapa kekurangan. Kitosan tidak memiliki sinyal bioaktif pada matriks ekstraselulernya
yang berperan dalam perlekatan sel serta kemampuan mekanik yang kurang mencukupi dalam
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
aplikasi rekayasa jaringan tertentu. Oleh karena itu kekurangan kitosan dapat diatasi dengan
fabrikasi scaffold dalam bentuk membran dengan penambahan peptida RGD.(Tsai, Chen, Liu,
& Lai, 2011)
Penambahan RGD pada scaffold membran kitosan kulit udang ditujukan untuk
meningkatkan perlekatan scaffold dengan jaringan melalui adhesi sel dimana RGD berperan
sebagai perekat antara scaffold dengan jaringan yang terkena defek. Hal ini didukung oleh
penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa sel osteoblas yang dipaparkan scaffold
kitosan RGD menunjukkan perlekatan sel yang lebih baik dibandingkan scaffold kitosan
tanpa RGD dan efek penambahan RGD terhadap proliferasi sel sudah dapat terlihat sejak hari
pertama kultur.(Tsai et al., 2011) Dengan ditambahkannya RGD, proliferasi sel pada hari
pertama meningkat hingga dua kali lipat dibandingkan dengan kitosan yang tidak
ditambahkan RGD.
Melalui penelitian ini didapatkan peningkatan nilai proliferasi sel pulpa manusia pada
semua scaffold membran kitosan kulit udang baik dengan penambahan RGD maupun tanpa
RGD dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 2). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa fabrikasi scaffold kitosan kulit udang dalam bentuk membran tidak menurunkan
proliferasi sel pulpa manusia dan mampu meningkatkan proliferasi sel pulpa manusia. Seperti
yang telah diteliti sebelumnya kitosan telah terbukti mampu meningkatkan proliferasi sel
meskipun digunakan dalam bentuk yang berbeda-beda. Hasil ini juga diperkuat oleh
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kitosan sebagai scaffold mampu
meningkatkan proliferasi DPSC makaka serta menginduksi diferensiasi osteogenik
awal.(Amir et al., 2014) Dalam penelitian tersebut digunakan scaffold kitosan dalam bentuk
bubuk yang di larutkan dengan asam asetat 1% dan diuji menggunakan uji yang sama dengan
penelitian ini yaitu MTT-assay.
Perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang RGD 1mg menunjukkan tingkat
proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang
tanpa RGD 1mg (Gambar 3). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa RGD tidak hanya dapat mendukung perlekatan antar sel namun juga mampu
meningkatkan fungsi sel lainnya seperti proliferasi.(Schaffner & Dard, 2003),(Ho et al., n.d.)
Tingkat proliferasi yang lebih tinggi dapat terjadi karena sel dapat melekat pada scaffold lebih
baik setelah ditambahkan RGD sehingga sel pada scaffold dapat berproliferasi lebih baik.
Pada perbandingan yang sama menggunakan konsentrasi yang berbeda yaitu 2mg (Gambar 3)
terlihat proliferasi sel yang lebih tinggi pada kelompok scaffold membran kitosan tanpa RGD
2mg. Secara statistik, perbedaan proliferasi sel pulpa manusia pada perbandingan scaffold
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
membran kitosan kulit udang pada kedua konsentrasi tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan RGD pada scaffold membran
kitosan kulit udang tidak mengganggu kemampuan scaffold kitosan membran dalam
meningkatkan proliferasi sel pulpa manusia.
Pada penelitian ini konsentrasi yang digunakan adalah 1mg dan 2mg. Pada saat
melakukan eksperimen, penimbangan scaffold membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa
RGD untuk ukuran 0,5mg sangat sulit dilakukan karena bentuk potongannya terlalu kecil dan
tipis. Oleh karena itu digunakan konsentrasi 1mg dan 2mg. Secara statistika, tidak ditemukan
perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan scaffold membran kitosan kulit udang RGD
1mg dan 2mg (Gambar 3). Begitu pula pada kelompok perlakuan scaffold membran kitosan
kulit udang 1mg dan 2mg (Gambar 3) juga tidak ditemukan perbedaan yang bermakna. Hal
ini menunjukkan bahwa konsentrasi 1mg dan 2mg belum dapat menyatakan adanya dose
effect relationship antara tingkat proliferasi sel pulpa manusia dengan konsentrasi scaffold
membran kitosan kulit udang RGD dan tanpa RGD. Meskipun begitu, dapat disimpulkan
bahwa konsentrasi 1mg saja sudah dapat menimbulkan efek peningkatan proliferasi sel pulpa
manusia. Penelitian ini dilakukan pada 96 wellplate dimana setiap 1 well memiliki jumlah sel
maksimal adalah 105. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan dapat diketahui bahwa
konsentrasi terbaik untuk jumlah sel 105 adalah 1mg pada scaffold membran kitosan kulit
udang RGD dan 2mg pada scaffold membran kitosan kulit udang tanpa RGD. Meskipun
begitu dalam aplikasi secara klinis, scaffold membran kitosan kulit udang RGD lebih baik
dibandingkan dengan yang tidak ditambahkan RGD oleh karena keunggulannya dalam hal
perlekatan scaffold terhadap jaringan.
Pada aplikasi klinis, banyaknya scaffold membran yang akan digunakan untuk
perbaikan jaringan tulang bukan ditentukan berdasarkan konsentrasi dalam milligram
melainkan menyesuaikan dengan luasnya permukaan kerusakan tulang. Scaffold membran
harus melapisi seluruh permukaan tulang yang mengalami kerusakan agar sel-sel dan nutrisi
yang dibutuhkan untuk perbaikan dapat terfokus pada jaringan tersebut. Dengan
ditambahkannya RGD pada scaffold membran maka perlekatan scaffold dengan jaringan
tulang yang mengalami juga menjadi lebih baik dan berpengaruh terhadap peningkatan
proliferasi sel. Semakin baik perlekatan scaffold dengan jaringan maka akan semakin tinggi
pula tingkat proliferasi sel.
Selain MTT-assay, untuk melakukan uji proliferasi dapat digunakan metode
menghitung sel dengan hemocytometer dan BrdU. Kelemahan uji proliferasi menggunakan
metode hemocytometer adalah karena sifatnya yang sensitif terhadap kematian sel dan
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
kesulitan dalam membedakan antara sel yang mati dengan sel yang hidup.(D & H, 2003) Pada
uji proliferasi menggunakan BrdU, dapat diketahui secara spesifik sel-sel yang sedang
berproliferasi karena BrdU menggantikan posisi thymidine pada saat proses replikasi DNA
oleh sel. Selanjutnya jumlah sel yang mengandung BrdU dapat diketahui menggunakan
antibodi dan hanya sel yang mengalami proliferasi sajalah yang memiliki kandungan
BrdU.(Webster et al., 2014) Namun, keterbatasan pada metode ini adalah dibutuhkannya alat
dan bahan yang mahal serta keterampilan yang tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian ini
digunakan uji MTT-assay untuk mengetahui tingkat proliferasi sel yang dinyatakan dengan
viabilitas sel karena lebih ekonomis, mudah, dan efisien terhadap waktu.
Berdasarkan hasil penjabaran diatas secara umum sudah dapat disimpulkan bahwa
aplikasi kitosan kulit udang dalam bentuk scaffold membran tidak menurunkan proliferasi sel
pulpa manusia dan memenuhi syarat sebagai material scaffold. Selain itu, penambahan RGD
pada scaffold membran kitosan kulit udang juga terbukti dapat meningkatkan proliferasi sel
pulpa manusia sehingga hipotesis penelitian diterima.
Kesimpulan
Penambahan RGD kepada scaffold membran kitosan kulit udang mampu meningkatkan
proliferasi sel pulpa manusia.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan konsentrasi yang lebih
beragam untuk menemukan konsentrasi scaffold kitosan kulit udang RGD yang optimal.
2. Dapat dilakukan penelitian sejenis menggunakan metode pengujian proliferasi sel yang
berbeda untuk membandingkan hasil penelitian.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penelitian sejenis secara in vivo.
4. Hasil penelitian ini perlu disebarluaskan agar dapat digunakan sebagai sumber
informasi bagi peneliti lain agar penelitian mengenai penambahan RGD pada scaffold
membran kitosan kulit udang dapat dikembangkan.
Daftar Referensi
Ali, A. (2016). Bio-scaffolds produced from irradiated squid pen and crab chitosan with
hydroxyapatite/β-tricalcium phosphate for bone-tissue engineering. International
Journal of Biological Macromolecules. http://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2016.04.046
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
Amir, L. R., Suniarti, D. F., Utami, S., & Abbas, B. (2014). Chitosan as a potential osteogenic
factor compared with dexamethasone in cultured macaque dental pulp stromal cells. Cell
and Tissue Research, 358(2), 407–415. http://doi.org/10.1007/s00441-014-1938-1
Aranaz, I., Mengíbar, M., Harris, R., Paños, I., Miralles, B., Acosta, N., … Heras, A. (2009).
Functional characterization of chitin and chitosan. Current Chemical Biology, 3, 203–
230. http://doi.org/10.2174/187231309788166415
Ashour, M.-B. A., Gee, S. J., & Hammock, B. D. (1987). Use of a 96-well microplate reader
for measuring routine enzyme activities. Analytical Biochemistry, 166(2), 353–360.
http://doi.org/10.1016/0003-2697(87)90585-9
Bauer, T. W., & Muschler, G. F. (2000). Bone graft materials. An overview of the basic
science. Clinical Orthopaedics and Related Research, (371), 10–27.
Chan, B. P., & Leong, K. W. (2008). Scaffolding in tissue engineering: General approaches
and tissue-specific considerations. European Spine Journal, 17(SUPPL. 4).
http://doi.org/10.1007/s00586-008-0745-3
Chen, W., Zhou, H., Weir, M. D., Tang, M., Bao, C., & Xu, H. H. K. (2013). Human
embryonic stem cell-derived mesenchymal stem cell seeding on calcium phosphate
cement-chitosan-RGD scaffold for bone repair. Tissue Engineering. Part A, 19(7-8),
915–27. http://doi.org/10.1089/ten.TEA.2012.0172
Cooper, G. M. (2000). Cell Proliferation in Development and Differentiation.
D, H., & H, M. (2003). Cell Proliferation & Apoptosis. Oxford: BIOS Scientific Publishers
Ltd.
Dannan, A. (2009). Dental-derived Stem Cells and whole Tooth Regeneration: an Overview.
Journal of Clinical Medicine Research, 1(2), 63–71.
http://doi.org/10.4021/jocmr2009.03.1230
Dash, M., Chiellini, F., Ottenbrite, R. M., & Chiellini, E. (2011). Chitosan - A versatile semi-
synthetic polymer in biomedical applications. Progress in Polymer Science (Oxford),
36(8), 981–1014. http://doi.org/10.1016/j.progpolymsci.2011.02.001
Dragica Smrke, Primož Rožman, M. V. and B. G. (2013). Regenerative Medicine and Tissue
Engineering. (J. A. Andrades, Ed.). InTech. http://doi.org/10.5772/46192
Fallis, A. . (2013). Mammalian Cell Viability - Methods and Protocols. (M. J. Stoddart, Ed.),
Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53). Switzerland: AO Research
Insitute Davos. http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Ho, M., Wang, D., Hou, L., & Hsieh, H. (n.d.). Immobilization of RGD to promote the
biocompatibility of porous chitosan membranes. Culture, 3–8.
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
Huang, G. T.-J., Gronthos, S., & Shi, S. (2009). Mesenchymal stem cells derived from dental
tissues vs. those from other sources: their biology and role in regenerative medicine.
Journal of Dental Research, 88(9), 792–806. http://doi.org/10.1177/0022034509340867
Ikeda, T., Ikeda, K., Yamamoto, K., Ishizaki, H., Yoshizawa, Y., Yanagiguchi, K., …
Hayashi, Y. (2014). Fabrication and characteristics of chitosan sponge as a tissue
engineering scaffold. BioMed Research International, 2014(Dd).
http://doi.org/10.1155/2014/786892
Invitrogen. (2010). Cell Culture Basics Handbook. ThermoFisher Scientific Inc., 1–61.
Irawan, B. (2005). Chitosan dan Aplikasi Klinisnya Sebagai Biomaterial, 12(3), 6.
Mosmann, T. (1983). Rapid colorimetric assay for cellular growth and survival: Application
to proliferation and cytotoxicity assays. Journal of Immunological Methods, 65(1-2), 55–
63. http://doi.org/10.1016/0022-1759(83)90303-4
Riss, T. L., Moravec, R. A., Niles, A. L., Benink, H. A., Worzella, T. J., & Minor, L. (2013).
Cell viability assays. Assay Guidance Manual.
Rodríguez-vázquez, M., Vega-ruiz, B., Ramos-zúñiga, R., Saldaña-koppel, D. A., &
Quiñones-olvera, L. F. (2015). Chitosan and Its Potential Use as a Scaffold for Tissue
Engineering in Regenerative Medicine, 2015.
Ruoslahti, E. (1996). RGD and other recognition sequences for integrins. Annual Review of
Cell and Developmental Biology, 12, 697–715.
http://doi.org/10.1146/annurev.cellbio.12.1.697
Saravanan, S., Leena, R. S., & Selvamurugan, N. (2016). Chitosan based biocomposite
scaffolds for bone tissue engineering. International Journal of Biological
Macromolecules, 1–12. http://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2016.01.112
Schaffner, P., & Dard, M. M. (2003). Structure and function of RGD peptides involved in
bone biology. Cellular and Molecular Life Sciences, 60(1), 119–132.
http://doi.org/10.1007/s000180300008
Stockert, J. C., Blazquez-Castro, A., Canete, M., Horobin, R. W., & Villanueva, A. (2012).
MTT assay for cell viability: Intracellular localization of the formazan product is in lipid
droplets. Acta Histochemica, 114(8), 785–796.
http://doi.org/10.1016/j.acthis.2012.01.006
Tsai, W. B., Chen, Y. R., Liu, H. L., & Lai, J. Y. (2011). Fabrication of UV-crosslinked
chitosan scaffolds with conjugation of RGD peptides for bone tissue engineering.
Carbohydrate Polymers, 85(1), 129–137. http://doi.org/10.1016/j.carbpol.2011.02.003
Vilaca, H., Ferreira, P. M. T., & Micaelo, N. M. (2014). New cyclic RGD peptides: Synthesis,
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016
characterization, and theoretical activity towards αvβ3 integrin. Tetrahedron, 70(35),
5420–5427. http://doi.org/10.1016/j.tet.2014.06.121
Volponi, A. A., Pang, Y., & Sharpe, P. T. (2010). Stem cell-based biological tooth repair and
regeneration. Trends in Cell Biology, 20(12), 715–722.
http://doi.org/10.1016/j.tcb.2010.09.012
Webster, A. F., Williams, A., Recio, L., & Yauk, C. L. (2014). Bromodeoxyuridine (BrdU)
treatment to measure hepatocellular proliferation does not mask furan-induced gene
expression changes in mouse liver. Toxicology, 323, 26–31.
http://doi.org/10.1016/j.tox.2014.06.002
Pengaruh Penambahan ..., Vania Mariska Putri, FKG UI, 2016