pengembangan bali sebagai cultural village
DESCRIPTION
Bali Cultural Village, Tourism PlanningTRANSCRIPT
PENGEMBANGAN BALI SEBAGAI CULTURAL VILLAGEDAN DAMPAK EKONOMI YANG DITIMBULKAN
Oleh : Ni Made Eka Mahadewi
ABSTRACT
Definition of A Cultural Village is an area which is set aside to depict the life
styles, activities and artefacts of a particular culture, usually in the format of a living
museum (The Zulu Kingdom, 2004). There are some points how to establish Bali as a
cultural village. We can take into three points, firstly, we need some information in
‘Land and Planning Issues’, secondly, in ‘Legal Requirements’, and third, in ‘
Financial Issues’.
The impact of tourism from economic viewpoint is not only preponderant in
relation to other aspects such as sociological, cultural and psychological but also a
convenient common denominator. The reason behind it is that most countries tend to
asses to importance of a place and relate it to tourism with reference to its economic
return, the effect of its return to the nation’s balance of payment and relationship
between total tourist receipts and the national income. The main economic effect of
tourism at Bali as one of cultural village could be considered from two angles. Firstly,
from the direct effect that tourism usually has on the economy, which includes its
effect on the balance of payments; employment and the redistribution of income.
Secondly, the induced effects on the market for certain products, on the government
sector (taxes); as well as its ‘imitation’ effect on the community.
Keywords : Economic Impact, Cultural Village, Culture, Tourism
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA1
A. PENDAHULUAN
Bali adalah nama dari salah satu propinsi yang ada di Indonesia yang
mempunyai luas hanya 5.630,86 km², dan jumlah penduduk sebesar 4 juta jiwa. Bali
dengan suku bangsa Bali atau orang Bali merupakan satu kelompok manusia yang
terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, baik kebudayaan daerah Bali
maupun kebudayaan Nasional Indonesia (Geriya, 1995). Orang Bali, seperti
dikemukakan oleh C.Geertz, sangat terikat kepada sistem sosial dan kebudayaan
(Geertz, 1959). Guna lebih memaksimalkan nilai budaya Bali, ada berbagai upaya
untuk menawarkan Bali dari sisi produk wisata. Salah satu produk yang
memungkinkan untuk dapat direncanakan adalah menciptakan Bali sebagai Cultural
Village.
Bali sebagai Cultural village, dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk
produk wisata yang berorientasi pada Pariwisata Budaya. Bali sebagai Cultural
Village berarti bahwa Bali dibuat sebagai salah satu produk wisata, dengan
penekanan pada nilai budaya yang terkandung pada masing-masing produk yang
ditawarkan kepada wisatawan, dimana produk wisata yang ditawarkan tersebut
seolah-olah sama seperti museum yang hidup, (A Cultural Village is an area which is
set aside to depict the life styles, activities and artefacts of a particular culture,
usually in the format of a ‘living museum’, “The Zulu Authority, 2004”) . Model
pengembangan ini dapat dikatakan tidak menyimpang dari Peraturan Daerah No.3
tahun 1974, yang telah menetapkan bahwa jenis kepariwisataan yang dikembangkan
di daerah Bali adalah Pariwisata Budaya.
Bali sebagai cultural village , dengan mengacu pada klasifikasi Foster dan
Greenwood yang menggolongkan perkembangan daerah wisata atas tiga kategori
(discovery, local response, dan institutionalized), masuk dalam kategori kedua dan
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA2
ketiga. Respon masyarakat Bali terhadap perkembangan pariwisata, baik secara
individu maupun kolektif, menunjukkan adanya respon adaptif dan partisipasi yang
cukup tinggi. Beragam peluang dari produk wisata, souvenier, atraksi beragam jasa,
artshop, usaha transportasi sampai dengan akomodasi diantisipasi dan ditempati oleh
masyarkat Bali. Untuk merencanakan produk wisata yang berupa cultural village,
perlu untuk direncanakan, disamping mampu lebih banyak memberi dampak positif
secara ekonomi, juga sebagai alat untuk mempertahankan kebudayaan Bali.
B. BALI CULTURAL VILLAGES
Membangun sebuah Cultural Village, bagi Bali bukan suatu yang tidak
mungkin. Bali sebagai The Most Wanted Destination versi survey Majalah TIMES
tahun 2003, dapat menjadi daerah yang lebih menarik untuk dikunjungi. Ada
beberapa Desa Wisata yang ada di Bali yang dapat dikembangkan, antara lain Desa
Penglipuran (Bangli), Desa Jatiluwih (Tabanan), Desa Pejeng (Gianyar). Seperti
halnya di Phalaborwa, South Africa, desa Wisata yang ditawarkan adalah Tsonga
Village and Pedi Village. Dalam perencanaan Cultural Village, ada beberapa hal yang
diperlukan, yaitu Visi dan Misi Bali Cultural Village, dan perencanaan sebuah
Cultural Village.
Dengan panduan dari Serawak Cultural Village dan Zulu National
Corporation in Tourism industry, penerapan yang dapat digunakan dalam
pengembangan Bali sebagai Cultural Village adalah sebagai berikut :
VISI (VISION ):
Bali Cultural Village adalah pusat kebudayaan yang unik dan menarik,
memiliki kebudayaan yang berlimpah, dan merupakan perpaduan antara
masyarakat dan kebudayaan Bali yang harmonis.
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA3
MISI (MISSION) :
Untuk mencapai visi, maka misi yang perlu dilakukan adalah :
1. Menambah keunikan dari kekayaan budaya Bali melalui kegiatan penelitian dan
program pengembangan atraksi wisata.
2. Menanamkan rasa kebanggaan akan kekayaan kebudayaan Bali kepada generasi
muda.
3. Memperkenalkan Bali dengan pariwisata desa budayanya sebagai sebuah model
yang merupakan perpaduan budaya dan kehidupan masyarakat Bali yang
harmonis
Mewujudkan Bali sebagai Cultural Village ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan
dalam membangunnya yaitu :
1. Perencanaan tempat/wilayah (Land and Planning Issues).
2. Keberadaan wilayah yang dikembangkan (Legal Requirements)
3. Faktor Keuangan ( Financial Issues).
a. PERENCANAAN TEMPAT/WILAYAH (LAND AND PLANNING ISSUES)
Bali memiliki banyak produk wisata yang berakar pada kebudayaan Bali
sendiri. Tidak semua produk wisata yang umumnya dijual oleh pihak Travel Agent
dapat diberikan kepada wisatawan sebagai Cultural Village. Hal-hal yang
diperhatikan dalam perencanaan tempat untuk menunjang Bali yang dapat
dipertimbangkan sebagai Cultural Village, antara lain :
1. Infrastruktur dan Tempat yang memadai (Space and Infrastructure)
Infrastruktur dan ruang yang dapat dipergunakan adalah wilayah yang mempunyai
fasilitas wisata. Bangunan yang ada hendaknya memiliki sumber air yang cukup,
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA4
kapasitas jalan raya yang memadai untuk lalulintas kendaraan wisata, dan
kemudahan pencapaian menuju atraksi yang ingin dilihat.
2. Sarana Parkir (Parking)
Pertanyaan yang dapat digunakan sebagai panduan dalam merencananakan sebuah
tempat yang layak untuk cultural village adalah :
“Jika wisatawan berkunjung ke suatu tempat dengan menggunakan kendaraan,
pribadi kemudian mereka ingin menyinggahi tempat tersebut, apakah ada tempat
parkir yang layak untuk kendaraan mereka? Apakah jumlah kendaraan yang
datang dapat ditampung di obyek yang dikunjungi?”
Pertanyaan lainnya adalah :
“Apakah ada sarana parkir untuk sarana transportasi umum, bis wisatawan
disekitar obyek yang dikunjungi?”
Pertanyaan diatas mesti terjawab sebelum melangkah menuju Bali sebagai
Cultural Village.
3. Nilai Tambah Obyek ( Amenity Value)
Pertanyaan dasar yang perlu diperhatikan adalah :
“Apakah atraksi yang ditawarkan kepada wisatawan mempunyai nilai tambah?”
“Apakah lokasi/atraksi yang ditawarkan terbebas dari dari bau yang kurang
menyedapkan?”
4. Aksesibilitas/jalan (Accessibilities/Roads)
Pertanyaan yang dijadikan panduan adalah :
“Apakah atraksi yang ditawarkan mudah dicapai oleh wisatawan, baik dengan
kendaraan pribadi maupun transportasi umum?”
“Apakah akses menuju atraksi/obyek dekat dengan jalan utama, dimana
wisatawan menempatkan kendaraannya?”
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA5
Dalam hal ini kerjasama antara Dinas Pariwisata Daerah dan Departemen
Perhubungan perlu duduk bersama, untuk mencapai kesepakatan sarana
transportasi yang diharapkan, terutama akses baru menuju atraksi yang ingin
ditawarkan.
b. KEBERADAAN WILAYAH/TEMPAT YANG DIKEMBANGKAN (LEGAL
REQUIREMENTS)
1. Zona Penggunaan Lahan (Land Use Zoning)
Kerjasama Pihak Pengelola, Dinas Pariwisata atau Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata dengan departemen lain, diperlukan untuk mengetahui sejauh mana
penggunaan lahan yang akan ditawarkan, dapat mendukung kegiatan
kepariwisataan. Kerjasama yang perlu diperhatikan terutama dari segi obyek
wisata yang ramah lingkungan, serta perlunya meminimalkan konflik di
wilayah/zona yang ditawarkan.
2. Lisensi dan Registrasi (Licensing and Registration)
Siapa yang boleh menangani kegiatan Cultural Village?Yang boleh adalah
organisasi dari pihak swasta, pemerintah, LSM atau kombinasi dari beberapa
organisasi dengan penanggung jawab dari pihak Kepariwisataan ataupun pihak
Kebudayaan.
Ada banyak departemen yang akan terlibat, misalnya, jika daerah yang ditawarkan
sebagai salah satu produk Cultural Village mempunyai produksi/atraksi berupa
minuman keras, maka perlu dibuat kesepakatan antara Departemen Kesehatan
dengan pihak yang bergerak dibidang kepariwisataan. Mengapa?Karena otomatis
sebagai sebuah obyek wisata, teknik pembuatan minuman dapat menjadi sebuah
atraksi yang mampu mendatangkan wisatawan. Di Bali hal seperti ini dapat dilihat
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA6
pada pembuatan minuman arak salak di Karangasem. Sistem ini memberlakukan
lisensi untuk hasil produksinya, dan memerlukan registrasi saat peninjauan oleh
wisatawan ke atraksi wisata.
3. Aturan dan Peraturan (Regulations and By-Laws)
Perdekatan yang perlu diperhatikan adalah keberadaan regulasi tentang air, listrik,
saluran air, kenyamanan(tidak bising). Hal ini perlu dilakukan agar wisatawan
tetap merasa nyaman.
4. Kebijakan (Policy)
Segala kebijakan untuk perlu diperhatikan oleh pihak pengelola sebuah Cultural
Village.
5. Struktur Perusahaan (Structure of your Enterprise)
Proyek Cultural Village merupakan inisiatif dari masyarakat untuk
mempertahankan nilai-nilai budaya. Organisasi yang menggerakkan dapat dalam
bentuk Trust ataupun Section 21 Company, seperti dijelaskan pada sub Lisensi
dan Registrasi diatas.
6. Penanganan Usaha Cultural Village (Managing your Enterprise)
Termasuk dalam hal ini adalah :
1. Para Pimpinan/Manager yang bertanggung jawab atas produk wisata yang
ditawarkan
2. Mempunyai staf dengan susunan kerja yang jelas (clear job description)
3. Penentuan jenis paket wisata yang ditawarkan serta jenis pelayanan yang dapat
diberikan
4. Memiliki bookeeping dan accounting
5. Penanganan record-keeping untuk wisatawan yang datang, yang dapat
dijadikan dasar untuk penyetoran pajak
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA7
6. Melayani booking wisatawan atas produk apa yang diinginkan
7. Penanganan asuransi, keamanan dan kenyamanan wisatawan selama
melakukan kegiatan menikmati produk cultural village
8. Pemberian training staff, untuk menuju pelayanan yang profesional sesuai
bidang masing-masing
Penjelasan diatas juga serupa dengan Studi Kasus di Phalaborwa, South Africa,
dalam Addressing Globalization Through Local Economic Tourism Development, :
…Financial Sub Committee (to monitor the budget, spending and allocation of
funds and tenders), Building Sub-Committee (to oversee the process of design,
building and decoration of the centre), Marketing Sub Committee (to inform the
local community about the centre and its progress and market the centre to
tourists and tour operators) and a Beneficiary Sub-Committee (to organise the
recruitment and election of beneficiaries).
7. Pemasaran (Marketing and Advertising)
Media yang dapat digunakan untuk kegiatan pemasaran antara melalui internet,
brosur, televisi, dan word of mouth. Pendekatan dengan assosiasi publik yang lain
perlu juga dilakukan.
8. Sumber Informasi
Sumber informasi dan pelayanan informasi yang tepat dan mudah, dapat dibuka
melalui media internet, misalnya www.baliculturalvillage.org
c. FAKTOR KEUANGAN (FINANCIAL ISSUES)
Dalam hal keuangan, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian (The Zulu
Tourism Authority, 2004) adalah :
1. Sumber Dana (Sources of Finance)
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA8
2. Rencana Bisnis (Business Plan)
3. Data Keuangan (Financial Record Keeping)
4. Anggaran Biaya (Budgeting)
5. Perencanaan Harga masing-masing produk (Tariff Structure)
Contoh dari kasus di Phalaborwa, South Africa, disebutkan bahwa banyak daerah
wisata yang dibangun didaerah tersebut dibantu oleh LED Program (Local economic
Development Program). Untuk Bali, beberapa wilayah potensial yang dikembangkan,
yang dapat bantuan dari asosiasi sejenis dengan LED, terbatas pada proyek
agrowisata. Proyek ini didanai oleh WWF dibawah koordinasi Yayasan Wisnu
dengan program JED-nya (Jaringan Ekowisata Desa). Pengembangan kearah Bali
sebagai Cultural Village memerlukan model yang serupa untuk tercapainya visi dan
misi yang diharapkan, dengan pendekatan langkah-langkah diatas.
C. DAMPAK KEGIATAN KEPARIWISATAAN
Kegiatan wisatawan untuk menikmati Bali sebagai Cultural Village dapat
memberikan dampak tidak hanya bagi aspek sosial budaya dan aspek fisik, akan tetapi
dari segi ekonomi juga berpengaruh. Dampak dari segi aspek sosial budaya meliputi
perubahan sistem nilai, tingkah laku perorangan, hubungan keluarga, gaya hidup,
moral upacara tradisional, dan organisasi masyarakat (Pizam Dan Milman, 1986:29).
Dampak tersebut timbul sebagai akibat kontak antara wisatawan dengan masyarakat
tuan rumah.
Dalam kaitan itu, de Kadt (1979:50) mengemukakan tiga kemungkinan utama
terjadinya kontak antara wisatawan dan masyarakat tuan rumah, yaitu (1) ketika
wisatawan membeli barang dan jasa dari tuan rumah, (2) ketika wisatawan berjumpa
dengan masyarakat tuan rumah, dan (3) ketika wisatawan saling bertukar informasi
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA9
dan gagasan dengan tuan rumah. Selanjutnya, de Kadt menambahkan bahwa bentuk
ketiga kontak tersebut diatas merupakan suatu mekanisme penting dalam
meningkatkan saling penegrtian antar bangsa.
Studi yang dilakukan Unesco (1976) dikutip dari Murphy (1985:117)
mengungkapkan, bahwa hubungan antara wisatawan dan masyarakat tuan rumah
didaerah tujuan wisata dapat terlihat dalam 4 karakteristik. Pertama, hubungan yang
bersifat transitory. Wisatawan hanya berada pada waktuyang sangat singkat, sehingga
interaksi wisatawan dan tuan rumah masih terbatas. Kedua, interaksi antara wisatawan
dan tuan rumah umumnya dihadapkan pada kendala waktu dan ruang. Ketiga, dengan
berkembangnya pariwisata massal, maka umumnya kontak antara wisatawan dan
tuang rumah diatur melalui paket tour, atraksi yang terencana, atau pertemuan yang
telah diatur terlebih dahulu. Keempat, bila wisatawan bertemu dengan masyarakat
tuan tuan rumah umumnya terjadi ketidakseimbangan pengalaman. Masyarakat
setempat biasanya rendah diri bila membandingkan diri mereka dengan kesejahteraan
wisatawan, dan ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang kontras. Selanjutnya,
wisatawan pada dasarnya sedang memanfaatkan waktu liburnya dan bersenang-
senang, dilain pihak bagi masyarakat tuan rumah, pertemuan seperti itu adalah
merupakan hal yang rutin dan merupakan pekerjaan mereka, jadi bukan untuk
kesenangan.
Dilihat dari segi ekonomi, dampak pariwisata terhadap perekonomian Bali
dimana pariwisata itu dikembangkan, merupakan harapan bagi masyarakat Bali.
Kegiatan Pariwisata bagi Bali, menduduki peringkat pertama untuk Pendapatan Asli
Daerah, meskipun dalam pencanangannya pariwisata dibawah Pertanian dan Industri
Kecil.Hal ini tentunya serupa dengan Pariwisata di Virginia, yang menempatkan
bisnis pariwisata menduduki peringkat ketiga setelah penjualan mobil dan Penjualan
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA10
Makanan. Sedangkan dari data WTO (UNEP,2004), pariwisata termasuk kategori 5
besar industri bagi 83% negara-negara didunia, dan 38% dari negara-negara didunia
mendapatkan pendapatan langsung dari kegiatan pariwisatanya.
Seperti yang dikatakan oleh Wahab ( Yoeti, 2003)bahwa hampir setiap negara
mengukur pengembangan pariwisata dari dampak ekonomi yang ditimbulkannya :
efek dari penerimaan terhadap neraca pembayaran yang berkaitan langsung dengan
total penerimaan sektor pariwisata dan peningkatan pendapatan nasional. Selanjutnya
dikatakan dampak pariwisata dilihat dari segi perekonomian nasional (macro
economic) dapat dilihat dari dua segi yaitu :
1. Dampak langsung yang ditimbulkan pariwisata dilihat dari segi ekonomi (the
direct effect that tourism usually has on the economy). Indikator untuk hal ini
diantaranya :
Neraca pembayaran (Its effect on Balance of Payment)
Kesempatan Kerja (Its effect on employment)
Pemerataan Pendapatan (Its effect on the redistribution of income)
2. Dampak secara tidak langsung (The Indirect Effect) yang ditimbulkan kegiatan
pariwisata sebagai suatu industri. Diantaranya berupa :
Hasil pelipatgandaan (Multiplier Effect) yang ditimbulkannnya
Pemasaran terhadap produk-produk tertentu yang berkaitan dengan pariwisata
Penerimaan pajak pemerintah
Dampak “peniruan” yang dapat mempengaruhi masyarakat banyak
D. DAMPAK TERHADAP NERACA PEMBAYARAN
Pariwisata disebut sebagai ekspor tidak nyata (invisible export) karena dapat
menghasilkan devisa dari penjualan jasa-jasa (services) . Untuk pengembangan Bali
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA11
dengan beberapa produk wisata yang dikemas dalam Cultural Villages, dapat
diberikan contoh adanya insurance, banking, tour and travel, transportation, dan
lainnya. Penerimaan dari balasan jasa semu bentuk pelayanan itu merupakan devisa
yang diperoleh dari invisible-export dimaksud (Yoeti, 2003).
Pariwisata termasuk dalam kelompok “invisible”. IMF (International
Monetary Fund) yang dikutip Salah Wahab (1976:60) dalam Yoeti (2003)
menyatakan bahwa untuk tujuan pembahasan pengaruh langsung pariwisata terhadap
perekonomian suatu wilayah, konsep pengertian tentang penerimaan sektor pariwisata
adalah semua penerimaan dan pengeluaran untuk barang-barang dan jasa yang
berkaitan dengan perjalanan orang-orang yang melakukan perjalanan wisata.
Penerimaan ini dapat dibagi dalam :
1. Seluruh devisa yang diperoleh dari pengeluaran wisatawan (Tourist
Expenditures) mancanegara yang datang berkunjung pada suatu negara (In
Bound Tourism) dan dineraca akan kelihatan pada sisi kredit (credit).
2. Seluruh bentuk pengeluaran wisatawan mancanegara sendiri untuk keperluan
goods and services diluar negeri yang merupakan kebocoran (leakage), akan
tercatat pada sisi debet (debit) pada neraca.
Untuk Bali yang dikembangkan sebagai Cultural Village dengan pengembangan
beberapa desa wisata seperti Desa Penglipuran yang mengedepankan arsitektur kori,
Desa Jatiluwih dengan budaya bertani, dan Desa Pejeng di Gianyar dengan budaya
seni dan sejarah; diupayakan dapat menerima kunjungan wisatawan dengan kwalitas
tinggi. Artinya wisatawan yang datang benar-benar mempunyai kemampuan spending
money yang besar, serta meraka memang wisawatan yang memperhatikan nilai
budaya. Besarnya penerimaan dan pengeluaran dari transaksi pariwisata itu dihitung
dengan memperkirakan sejumlah hal :
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA12
1. Jumlah wisatawan yang diharapkan datang (Numbers of Tourists)
Bagi Bali , 10 negara penyumbang wisatawan terbesar adalah ditunjukkan dalam
tabel berikut :
NEGARA JUMLAH WISMAN
Taiwan 165.416
Jepang 165.088
Australia 123.317
Jerman 49.284
Inggris 45.338
Korea Selatan 40.170
Singapura 35.288
Amerika Serikat 32.281
Malaysia 30.176
Belanda 30.029
Sumber : Bali Post, 27 Januari 2004 (Diparda Bali)
2. Rata-rata lamanya tinggal wisatawan (Average Length of Stay)
Secara umum, wisman yang datang ke Bali mempunyai LOS 10 – 12 hari
(Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003).
3. Rata-rata besarnya pengeluaran wisatawan tiap wisatawan perhari (Average of
Tourist Expenditures per day per tourist)
Laporan data survei terhadap ATE berkisar pada US$91,29 (Kementerian
Budpar, 2003), menurun dari tahun sebelumnya yang berjumlah
US$100,42/wisatawan/hari.
E. DAMPAK PARIWISATA TERHADAP KEBUTUHAN TENAGA KERJA
Pariwisata sebagai suatu industri dikatakan sebagai Labor Intensive karena
dalam kegiatannnya banyak memerlukan tenaga kerja, terutama untuk memberikan
pelayanan dalam industri pariwisata.Studi tentang dampak pariwisata terhadap
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA13
ekonomi (Hanato Sigit, United Nation, 1991) menyebutkan bahwa setiap Rp. 1 juta
uang yang dibelanjakan oleh wisman dapat membuka kesempatan kerja bagi 0,42
tenaga kerja. Dengan demikian setiap US$2.130,64 uang yang dibelanjakan oleh
wisman dapat menciptakan kesempatan kerja (langsung dan tidak langsung) bagi satu
tanaga kerja dibidang pariwisata (Visi Pariwisata Indonesia 2005). Jika hal ini
dibadingkan dengan keadaan Bali yang mengandalkan pariwisata sebagai salah satu
penyumbang devisa terbesar, dampak peningkatan pembelanjaan wisman terhadap
penciptaan penyerapan tenaga kerja dapat dikatakan akan terus meningkat.
Departemen Parpostel pernah memberikan pola perhitungan tenaga sektor
pariwisata dengan membagi mereka yang bekerja di sektor pariwisata secara langsung
yang antara lain mengatakan bahwa setiap peningkatan jumlah wisman sebnyak
25.000 orang, akan tercipta kesempatan kerja langsung sebanyak 390 orang dan
tenaga kerja tidak langsung sebanyak 243 orang. Dampak langsung industri
pariwisata jelas terlihat di Bali sebagai bagian dari wilayah dengan pariwisata yang
berkembang.
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA14
KESIMPULAN
Upaya pengembangan Bali sebagai Cultural Villages sebenarnya sudah ada,
hanya saja belum terdapat visi dan misi yang jelas, serta pengelolaan yang sistematis.
Perlu dikembangkan kembali menuju pelestarian budaya Bali yang diharapkan.
Bali sebagai museum hidup, melalui pengembangan Bali Cultural Villages,
dapat diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi :
1. Dalam kaitan dampak ekonomi pariwisata, kegiatan dalam pengembangan Bali
Cultural Villages diupayakan mendorong ekonomi terkait sehingga menimbulkan
output dan nilai tambah dan kesempatan kerja yang lebih besar dan lebih luas
teruatama bagi masyarakat local.
2. Dalam kaitan dengan lapangan kerja, wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata
Cultural Villages membutuhkan fasilitas pelayanan lebih baik dan system
pelayanan administrasi khusus, karena wisatawan yang diharapkan datang adalah
wisatawan berkualitas.
3. Dalam kaitan dengan penerimaan devisa, membangun Bali sebagai Cultural
Villages dengan pengembangan desa wisata yang ada, wisatawan yang berkualitas
dengan pelayanan berkualitas diharapkan mampu memberikan sumbangan devisa.
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA15
DAFTAR PUSTAKA
------------, Economic Impacts of Tourism, Jurnal,UNEP, 2004
----------, 2003-2003 Tourism in Virginia, An Economic Analysis, ---
----------, How to Establish A Cultural Tourism,The Zulu Authority, Jurnal
www.zulu.org.za/kzn, 2004
Bachri B,Thamrin, Dampak Sosial Budaya Kegiatan Pariwisata, Jurnal PWK, 1993
Departemen Parpostel, Visi Pariwisata Indonesia 2005, 1995
Elizabeth de Ridder, Adressing Gobalization Through Local Economic Tourism
Development: Case Study In Phalaborwa, South Africa, Jurnal, 2003
Kementeraian Budpar, Penelitian Wisatawan Manacanegara (PES), 2002
Nur Pribadi, Khrisna, Dampak Ekonomi Pengembangan Pariwisata Indonesia,
Jurnal PWK,1993
Yoeti,Oka.A, Dampak Pengeluaran Wisatawan Terhadap Perekonomian Makro
pada Negara Penerima Kinjungan Wisatawan Mancanegara, Jurnal Ilmiah
Pariwisata, STP Trisakti, Maret 2003
PERENCANAAN PENGEMBANGAN PARIWISATA16