perjanjian perkawinan terkait perlindungan harta bersama

15
1 Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama milik Istri Pertama dalam Perkawinan Poligami berdasarkan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Studi PutusanNomor : 1374/ Pdt. G/2008/P.A. Kab. Mlg) Cahyani Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email : [email protected] Burhanudin Harahap Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] Yudho Taruno Muryanto Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] Abstract The purpose of this paper is to analyze the legal certainty of common property in a polygamous marriage in Indonesia. The method used in the writing of this journal is a normative legal research methods, with use the approach of legislation. Based on these results, there is a conflict of norms of Article 94 paragraph 2 of the Decree of the Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia Number 154 of 1991 on the implementation of Presidential Instruction Number 1 of 1991 with the principle of Justice. That it concluded that Article 94 paragraph 2 of the Decree of the Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia Number 154 of 1991 on the implementation of Presidential Instruction Number 1 of 1991 on the compilation of Islamic law does not provide legal certainty, because it is not logicalandcan not accommodate the protection of property with his wife who was brought in by her husband's second marriage. Keywords: marriage, polygamy, treasure together A. Pendahuluan Indonesia merupakan Negara hokum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi ” Indonesia adalah Negara hukum ”, oleh karena itu Indonesia mengatur segala hal termasuk Perkawinan. 1 Dikarenakan kompleksnya masalah 1 Dominikus Rato, 2010, Filsafa tHukum, Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya

Upload: others

Post on 08-Jan-2022

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

1

Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama milik Istri

Pertama dalam Perkawinan Poligami berdasarkan Undang-Undang Nomer 1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Studi PutusanNomor : 1374/ Pdt.

G/2008/P.A. Kab. Mlg)

Cahyani

Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email : [email protected]

Burhanudin Harahap

Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email: [email protected]

Yudho Taruno Muryanto

Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email: [email protected]

Abstract

The purpose of this paper is to analyze the legal certainty of common property in a polygamous marriage

in Indonesia. The method used in the writing of this journal is a normative legal research methods, with

use the approach of legislation. Based on these results, there is a conflict of norms of Article 94 paragraph

2 of the Decree of the Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia Number 154 of 1991 on the

implementation of Presidential Instruction Number 1 of 1991 with the principle of Justice. That it concluded

that Article 94 paragraph 2 of the Decree of the Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia

Number 154 of 1991 on the implementation of Presidential Instruction Number 1 of 1991 on the compilation

of Islamic law does not provide legal certainty, because it is not logicalandcan not accommodate the

protection of property with his wife who was brought in by her husband's second marriage.

Keywords: marriage, polygamy, treasure together

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara hokum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi ” Indonesia adalah Negara hukum ”, oleh

karena itu Indonesia mengatur segala hal termasuk Perkawinan. 1 Dikarenakan kompleksnya masalah

1Dominikus Rato, 2010, Filsafa tHukum, Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya

Page 2: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

2

perkawinan maka dibentuk peraturan mengenai perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1

tahun 1974. Undang-Undang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku

secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 adalah salah satu Undang-undang nasional yang telah “berhasil”

melakukan pembaruan hukum di bidang hukum perkawinan. Undang-undang tersebut adalah produk

nasional yang merupakan suatu usaha untuk mengakhiri pluralism dalam hukum perkawinan walaupun

usaha tersebut dalam banyak hal masih belum mencapai tujuannya.

Nilai-nilai islam yakni fiqh munakahat mendapat posisi penting diantaranya dalam Pasal 2 Undang-

Undang Perkawinan yang menentukan bahwa:

1. Perkawinan adalah sah ,apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu,

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

Para ahli hukum memberi pengertian atau definisi perkawinan,. Menurut Subekti dalam sebuah

bukunya menyatakan, perkawinan sesungguhnya merupakan sebuah perjanjian.” Menurut Undang-undang

perkawinan No. 1 tahun 1974 dalam Pasal 1 mengartikan perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhan yang Maha Esa sedangkan dalam Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia –Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam mengartikan

perkawinan adalah pernikahan,yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliidhan untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah.2

Dalam perkawinan terhadap asas yang sangat penting dan menarik untuk dikaji, yakni asas monogami,

dimana laki-laki hanya boleh mempunyai satu istri dan sebaliknya.Asas monogamy bersifat terbuka atau

dalam artian tidak mutlak. Poligami dalam hukum Islam dibenarkan, dan diberikan tempat khusus yang

diatur dalam Peraturan Perundangan. Meskipun poligami diberikan tempat dalam Peraturan Perundangan

bukan berarti poligami dijadikan asas atau sesuatu yang mendasar dalam Undang-undang perkawinan,

yakni Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Poligami merupakan pengecualian saja, yang

diberikan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya diperbolehkan. Asas Monogami sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan , yang mengatakan bahwa pada asas dalam

suatu perkawinan seorang pria mempunyai seorang istri begitu sebaliknya. Sedangkan dalam Pasal 3 ayat

2 Undang-undang Perkawinan ,Poligami atau seorang suami beristri lebih dari seorang perempuan

diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan pengadilan telah memberi izin.

Adapun alasan-alasan yang dipedomani oleh pengadilan untuk dapat memberi izin poligami , ditegaskan

dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Perkawinan :

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pengadilan Agama

dalam melakukan pemeriksaan harus memanggil dan mendengar keterangan istri yang bersangkutan

sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

2A.AzharBasyir, 1996, HukumPerkawinan Islam, PerpustakaanFakultasHukum UII, Yogyakarta.hlm 9

Page 3: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

3

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi

permohonan untuk beristri lebih dari seorang , maka Pengadilan Agama memberikan penetapan yang

berbentuk izin untuk beristri lebih dari seorang kepada Pemohon yang bersangkutan. Dalam perspektif

Metodologis ,pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang

bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama ,setelah dibuktikan izin istri atau istri-istri ,dimaksudkan

untuk merealisasikan kemaslahatan. Kendatipun demikian ,kebolehan poligami sebagai alternatif ,terbatas

sampai empat orang istri. Ini ditegaskan dalam Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam bab IX Beristri lebih dari

satu orang yang berisi:

1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari seorang ,suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi ,suami dilarang beristri

lebih dari seorang.

Dari serangkaian ketentuan peraturan tentang syarat poligami sangat susah untuk dilakukan dan

dipenuhi terkait harta bersama dalam Perkawinan Poligami yang diatur dalam Pasal 35 ayat 1 UU Nomor

1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan

menjadi harta benda milik bersama. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991

tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991selanjutnya disebut Keputusan Menteri

Agama Nomor 154 Tahun 1991 di dalam Pasal 94 ayat 1 menyatakan :

“dalam perkawinan poligami wujud harta bersama ,terpisah antara suami dengan masing-masing

istri”

Dan dipertegas kembali dalam Pasal 94 ayat 2 Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991

menyebutkan:

“pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari

seorang sebagaimana tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan

yang kedua ,ketiga atau keempat”

Pasal 94 ayat 2 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang

Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 diatas ,sebetulnya tidak memberikan keadilan

terhadap istri pertama yang menemani suaminya lebih lama mendapatkan bagian yang lebih sedikit darpada

istri kedua, ketiga atau keempat. Ketentuan ini dimaksudkan agar antara istri pertama, kedua, ketiga dan

atau keempattidak terjadi perselisihan ,termasuk mengantisipasi kemungkinan gugat waris diatara masing-

masing keluarga dari istri-istri tersebut. Akibat ketidakjelasan pemilikan harta bersama antara istri pertama

dan kedua ,sering menimbulkan sengketa waris yang diajukan ke Pengadilan Agama. Masalah harta

bersama suami- istri ,atau dengan istri-istrinya ,pengelolaannya dapat dilakukan melalui perjanjian tertulis.

Bagaimana dan berapa yang ditanggung suami untuk istri setiap harinya. Ini dimaksud untuk menjaga batas-

batas yang jelas, mana kekayaan bersama suami dengan istri yang pertama mana kekayaan bersama suami

dengan istri yang kedua dan seterusnya. Terkait dengan hal ini perlunya Kepastian Hukum , dalam artian

tidak terdapat kekaburan norma atau keraguan (multitafsir) dan logis dalam artian menjadi menjadi suatu

sistem norma dengan asas-asa hukum dan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik

Page 4: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

4

norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan

konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

Kasus kedudukan harta bersama dalam Perkawinan Poligami yang dialami oleh Ian (bukan nama

sebenarnya) , umur 44 tahun dan Nina (bukan nama sebenarnya), umur 38 tahun. Pasangan ini menikah

pada tanggal 16 Juni 1993 dengan Kutipan Akta Nikah Nomor :129/33/VI/1993. Pada bulan Januari tahun

2008 Ian berkenalan dengan seorang perempuan yang bernama Nikkita dan perkenalan itu semakin akrab

dan pada akhirnya timbul rasa sayang, saling mengasihi dan meminta izin berpoligami dengan alasan istri

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri secara maksimal dikarenakan istri tergolong tipe gila

kerja dan sering kecapekan bekerja. Dengan adanya hubungan tersebut Ian telah memberitahukan serta

bermusyawarah dengan Nina dan keluarganya dan pihak Nina dan keluarganya tidak keberatan , bahkan

saat ini calon istri kedua Ian juga sudah sering bertemu dengan Nina.Sehubungan dengan hal tersebut, Ian

mengajukan permohonan izin poligami atau menikah lagi dengan Nikkita, Umur 38 tahun. Ian menyatakan

sanggup danmampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istrinya dan anak-anaknya kelak setiap harinya

dimana Ian tersebut mempunyai penghasilan rata-rata setiap bulannya sebesar Rp. 30.000.000.- (tiga puluh

juta rupiah). Hal ini ,pernyatan terlampir dalam surat permohonan poligami , Nina dan Nikkita masing-

masing bersedia untuk dimadu Ian sebagaiamana surat kesediannya terlampirkan. Ian dan Nina selama

menikah sampai saat ini memperoleh harta sebagai berikut : (a) 5 unit toko; (b) sebidang tanah yang terletak

dikeurahan Madyopuro, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang (c) dan semua perabot rumah tangga

yang berada dirumah Ian dan Nina.bPerkara tersebut diputus oleh Hakim Pengadilan Agama Kab. Malang

dalam Putusan Nomor : 1374/ Pdt.G /2008/PA. Kab .Malang. Dalam Putusannya Hakim mengabulkan

permohonan Ian dan mengizinkan Ian menikah lagi dengan Nikkita serta menetapkan harta bersama Ian

dan Nina.

Berkaca pada latar belakang diatas terdapat pertentangan Norma , Pasal 94 ayat 2 Keputusan Menteri

Agama Nomor 154 Tahun 1991 dengan teori keadilan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Pasal 94 ayat 2

Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tidak memberikan kepastian hukum , karena

dimungkinkan istri pertama yang menemani suaminya lebih lama mendapatkan bagian yang lebih sedikit

dari istri kedua ,ketiaga atau keempat. Sehingga berdasarkan uraian diatas Penulis akan melakukan kajian

mendalam pada paper ini mengenai ,Bagaimana kepastian hukum harta bersama dalam perkawinan

Poligami berdasarkan Undang-undang Perkawinan dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun

1991. Bagaimana perlindungan hukum bagi istri pertama dalam perkawinan poligami Putusan Pengadilan

Agama Kabupaten Malang Nomor : 1374/ Pdt. G/2008/P.A. Kab. Mlg.

A. Metode Penelitian

Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah dengan menggunakan

metode pendekatan undang-undang (state approach), dimana pendekatan ini dilakukan dengan menelaah

semua undang-undangdan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang ditangani. Pendekatan

koseptual (conceptual approach). Beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum dengan tujuan untuk menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-

Page 5: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

5

pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang

dibahas. Hasil dari telaah merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi.3

Metode yang akan dipakai dalam menganalisa permasalahan dalam paper ini adalah dengan

menggunakan analisis isi (content analisis) yaitu penulisan yang bersifat pembahasan mendalam terhadap

isi suatu informasi atau tercetak dalam media masa.

Dalam proses penyusunan paper ini penulis menggunakan 3 (tiga)jenis bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum Primer, menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad adalah bahan hukum yang

bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas , yaitu merupakan hasil dari tindakan atau

kegiatan yang dilakukan Lembaga yang berwenang. Untuk itu bahan hukum primer ini terdiri

dari perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan paper ini

yakni UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan , Kompilasi Hukum Islam, Putusan

Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor :1374/Pdt. G/P.A. Kab .Mlg.

b. Bahan hukum Sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang diperoleh dari buku/tekstual ,artikel

ilmiah internet,jurnal-jurnal, doktrin atau sumber-sumber lain baik cetak maupun online yang

berhubungan dengan perjanjian perkawinan, UU perkawinan, Poligami , pembagian/

perlindungan Harta bersama Suami isteri, dan kajian terhadap Peraturan-peraturan terkait yang

digunakan dalam penulisan paper ini.

c. Bahan hukum Tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan-penjelasan

terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier berupa

kamus dan ensiklopedia hukum dan lain-lain yang berkaitan dengan penulisan paper ini.

B. Pembahasan

1. Kepastian Hukum Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia, mengatur tentang

syarat-syarat seseorang dapat beristri lebih dari seorang (poligami), sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat

(1) dan Pasal 4 ayat (2). Seseorang yang mau berpoligami harus mengajukan izin ke pengadilan terlebih

dahulu dengan menyebutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Alasan

tersebut yaitu : 4

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3. Istritidakdapatmelahirkanketurunan

Meskipun Islam telah mengenal perkawinan poligami dan secara normatif memungkinkan adanya harta

bersama dalam pekawinan poligami, akan tetapi dalam beberapa kitab fiqh klasik tidak didapatkan

3Bambang Sunggono, 2005, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.

4Achmad Ichsan ,2010, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam,Pustaka Tekhnologi dan Informasi ,Jakarta ,hlm 137-138

Page 6: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

6

pembahasan harta bersama. Hal ini karena kuatnya struktur sosial masyarakat Timur Tengah yang bercorak

patriarkhi, sehingga tidak memberi peluang bagi perempuan in casu istri untuk menuntut pengakuan dalam

harta bersama. 5

Sedangkan dalam hukum positif, Undang-undang memberi pengakuan secara tegas bahwa suami-istri

masing-masing pihak memiliki kecakapan berbuat hukum. Ini artinya, suami-istri dipandang sebagai

subyek hukum yang sempurna, istri menjadi cakap hokum dengan terikatnya pada lembaga perkawinan.

Karena sebagai subyek hukum yang sempurna, suami maupun istri dapat melakukan perbuatan hokum atas

harta yang menjadi kekuasaan masing-masing, seperti harta yang diperoleh dari kewarisan, hibah dan lain-

lain Sedangkan terhadap harta bersama suami atau istri dalam melakukan perbuatan hokum atas persetujuan

pihak lain (suami atau istri).6Jadi ,pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama

perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya harta yang didapat atas usaha mereka ,atau sendiri-

sendiri selama masa ikatan perkawinan. Dalam istilah fikih muamalat,dapat dikategorikan sebagai syirkah

atau join antara suami dan istri.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur harta kekayaan dalam Perkawinan pada

Bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan.

Pasal 35

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-

masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang

para pihak tidak menentukan lain.

Dalam kenyataannya Pola yang banyak dilakukan ditengah masyarakat adalah Suami yang melakukan

pekerjaan dan istri sebagai ibu rumah tangga. Oleh karena itu hendaknya , bekerja tidak selalu diartikan

bekerja di luar rumah. Demikianlah yang dimaksud Pasal 35 ayat (1) adapun ayat (2) menjelaskan bahwa

kekayaan yang diperoleh dengan cara warisan atau hadiah ,tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan

bersama.

Pengaturan harta bersama dalam perkawinan diatur sebagai berikut :

1. Dalam perkawinan monogami, pada dasarnya tidak terjadi pemisahan harta bersama, kecuali

apabila ditentuan dalam perjanjian perkawinan.

2. Dalam perkawinan poligami, harta bersama dari masing-masing istri berdiri secara terpisah7

Ketentuan hukum positif tersebut dipahami sebagai hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-

undangan (law in book).Sebagiamana yang menjadi pandangan mazhab sosiological yurisprudence,

positivasi hukum dalam bentuk kodifikasi membuat hukum kaku dan ketinggalan zaman sejak hukum

5Ahmad Rifiq, 2013, HukumPerdata Islam di Indonesia, Raja GrafindoPersada, Jakarta, hlm 121.123 6Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju,

Bandung

7H. Zahry Hamid, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Islam, Bina Cipta, Jakarta

Page 7: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

7

tersebut dinyatakan berlaku.Untuk itu, hukum membutuhkan pelenturan makna agar tidak tertinggal ketika

berhadapan dengan suatu kasus. Dalam konteks yang demikian, hukum membutuhkan sentuhan nilai agar

hukum dapat menjawab secara aktual dalam sebuah kasus (case law) bentuk law in action. Di sinilah arti

penting penemuan hukum oleh hakim, dalam putusan pengadilan (yurisprudensi). 8 Berdasarkan teori

kepastian hukum yang dikemukakan oleh Gustav Redburch hukum yang baik harus memenuhi tiga asas

yaitu asas kepastian :

a) Asas Kepastian Hukum (rechtmatigheid)

Hukum harus memiliki kepastian yang mengikat terhadap seluruh rakyat, hal ini bertujuan

agar seluruh rakyat mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, sehingga tidak terjadi

diskriminasi dalam penegakan hukum.

b) Asas Keadilan Hukum (gerectigheit)

Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua

orang didepan Pengadilan.

c). Asas Kemanfaatan Hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility)

Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau Penegakan hukum. Hukum

itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi

manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.9

Dari penjelasan ketiga asas tersebut Penulis gunakan sebagai kerangka teori untuk menilai

pengaturan harta bersama yang diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 bab VII Harta benda dalam

Perkawinan Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang secara garis besar menyatakan

bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari

masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,

adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Hal ini menurut penulis telah sesuai yang mengedepankan kepastian hukum.Asas kepastian hukum telah

memenuhi asas kepastian karena dijelaskan bahwa mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak

atas persetujuan kedua belah pihak. Berdasarkan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa kedudukan harta

bersama menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 35

sampai dengan Pasal 37 bab VII Harta benda dalam Perkawinan menjadi jelas , bahwa harta benda yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan dibawah penguasaan masing-masing yaitu suami

dan istri dan sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Kepastian Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami di Indonesia berdasarkan Kompilasi

Hukum Islam.

Dalam kaitannya dengan perkawinan Poligami, Kompilasi Hukum Islam mengaturnya dalam

Pasal 94:

1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang

,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

8Mardani, 2014, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta hlm 116-117

Page 8: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

8

2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari

seorang sebagaimana tersebut ayat (1) dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan

yang kedua, ketiga, atau yang keempat.10

Ketentuan ini dimaksudkan agar antara istri pertama, kedua, ketiga dan atau keempat tidak terjadi

perselisihan ,termasuk mengantisipasi kemungkinan gugat warisan diantara masing-masing keluarga dari

istri-istri tersebut. Akibat ketidakjelasan pemilikan harta bersama antara istri pertama dn kedua ,sering

menimbulkan sengketa waris , yang diajukan ke Pengadilan Agama. Lebih-lebih lagi apabila poligami

tersebut dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan tertib hukum dan administrasi, berupa pencatatan

nikah. Ini tentu saja menyulitkan keluarga mereka sendiri, tidak dapat dijangkau oleh hukum, karena secara

yuridis formal tidak ada bukti-bukti autentik, bahwa mereka telah melakukan perkawinan.

Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam membicarakan tentang tindakan-tindakan tertentu pada saat salah satu

pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama ,seperti judi, mabuk, boros

dan lain-lain.

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c 1974 tentang Perkawinan dan

Pasal 136 (2) tentang Sita Marital, suami atau istri Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat meminta Pengadilan Agama

untuk melakukan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai

,apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama

seperti :judi, mabuk, dan sebagainya.

2. Selama sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan

izin Pengadilan Agama.11

Uraian Pasal 95 tersebut dianalogikan kepada ketentuan yang terdapat dalam Hadist Hindun binti

Utbah istri Abu Sufyan. Perbedaannya dalam hadist tersebut, Abu Sufyan sebagai suami sangat pelit dan

tidak meperhatikan kebutuhan istri dan anak-anaknya, maka Rasulullah Saw memperbolehkan Hindun

mengambil harta suaminya itu dengan cara ma’ruf. Sementara Pasal 95 menekankan bahwa suami justru

melakukan tindakan pemborosan melakukan tindakan pemborosan , judi dan lain-lain yang akan

mengancam harta kekayaan bersama maka hakim dipandang memiliki otoritas untuk menangani dan

menjaga agar harta tersebut diamankan ,demi kepentingan keluarga , khususnya istri dan anak-anaknya

dengan cara meletakkan sita jaminan. Alasan hakim dalam menyelesaikan masalah tersebut untuk

melindungi kepemtingan yang lebih besar , yaitu kepentingan rumah tangga ,istri dan anak-anaknya.12

Masalah harta bersama suami istri ,atau dengan istri-istrinya ,pengelolaannya dapat dilakukan melalui

perjanjian tertulis. Bagaiman dan berapa yang ditanggung suami untuk setiap istrinya. Ini dimaksud untuk

menjaga batas-batas yang jelas mana kekayaan bersama antara suami dengan istri yang pertama, mana

kekayaan bersama suami dengan istri yang kedua dan seterusnya. Persoalan akan muncul apabila salah satu

meninggal ,karena itu meski tidak konkret, Kompilasi Hukum Islam encoba merumuskannya dalam Pasal-

Pasal berikut:13

Pasal 96

10

Abdul Wahab Khallaf, 2002, Kaidah-kaidah Hukum Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hlm 21-22 11

Abd. Shomad, 2007, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Semarang, hlm 154-155 12 H. Sulaiman Rasyid, 1954, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta. Hlm 32 13 Mohd.Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan Islam,Sinar Grafika, Jakarta hlm 71

Page 9: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

9

1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan hidup yang lebih

lama.

2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus

ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas

dasar Putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak

ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Meski Kompilasi Hukum Islam telah mencoba mengatasi persoalan yang kemungkinan timbul

namun Pasal 96 ayat (1) terasa kurang tegas. Sebab pengertian hidup lebih lama bersifat relatif. Karena itu

dalam penyelesaian pembagian harta bersama pihak keluarga yang dituakan atau hakim apabila perkaranya

diajukan ke Pengadilan ,perlu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan baik karena rentang waktu lamanya

suami hidup bersama dengan istri tua ,demikianjuga dengan istri-istrinya yang lain. Porsi pembagian harta

bersama sebelus dibagi waris penentuan separuh bagian dalam Pasal 96 tersebut merupakan langkah

pembaruan yang berani.Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 Tahun 1991 tentang

Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 , didalam Pasal 82 menyatakan : Hak Istri yang

dipoligami adalah mendapatkan tempat tinggal dan biaya hidup secara berimbang dengan istri-istri yang

lain. Tempat tinggal sebagaimana dimaksud diatas diperbolehkan suami menempatkan istri-istrinya dalam

satu tempat kediaman jika para istri rela dan ikhlas. Kaitannnya dengan pembagian harta bersama diatas

sebenarnya tidak memenuhi unsur keadilan. Bagaimana mungkin seorang istri yang masih menjalani

perkawinan dengan suaminya serta merelakan suaminya untuk berpoligami mengenai pembagian harta

bersama berhenti sampai saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Belum

lagi mengenai harta bersama istri yang dibawa ke pernikahan kedua oleh suami yang berpoligami, hal ini

sama saja mengambil harta istri. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam sebenarnya sudah diatur

terkait harta bersama istri yang dibawa ke pernikahan kedua oleh suami yang berpoligami, yakni dalam

Pasal 92 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomer 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan

Intruksi Presiden Nomer 1 Tahun 1991, sebagai berikut:

“Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan

harta bersama.”

Sangat disayangkan dalam Pasal tersebut tidak diatur menegenai sanksinya.Sebagai upaya

optimalisasi peraturan seharusnya terdapat sanksi yang mengatur secara tegas. Berdasarkan diatas dapat

disimpulkan pembagian harta untuk istri-istri yang dipoligami. Dalam perkawinan poligami wujud harta

bersama ,tidak terpisah antara suami dengan masing-masing istri. Istri oertama tetap mendapatkan porsi

pembagian harta bersama meski suaminya telah menikah untuk yang kedua, ketiga tau keempat kalinya.

Jadi proporsi pembagiannya dalah kepemilikan harta bersama istri pertama adalah lebih besar dariistri

kedua, istri kedua lebih besar dari istri ketiga, dan istri ketiga lebih besar dari istri keempat. Jadi ,penerapan

pembagian harta bersama sebagaimana dimaksud diatas adalah jauh lebih adil dari pada pembagian harta

bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan Menteri Agama Republik

Indonesia No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.

Page 10: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

10

Oleh karena itu ,Mahkamah Agung RI dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor :

KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2016 telah memeberlakukan Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas dan Administrasi Pengadilan yang isinya antara lain mengenai masalah harta bersama dalam

perkawinan poligami

Dalam ketentuan tersebut diatur, antara lain sebagai berikut:

a. Pada saat mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah,

suami wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan istri sebelumnya

bersamaan dengan permohonan izin poligami. Apabila suami tidak mengajukannya, maka istri

terdahulu (yang belum dicerai) dapat mengajukan gugatan rekonvensi penetapan harta bersama.

Apabila istri terdahulu tidak mengajukan gugatan rekonvensi, maka permohonan izin poligami

tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima

b. Harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dengan istri pertama harus dipisahkan dengan

harta bersama perolehan dengan istri kedua dan sterusnya.

c. Apabila terjadi perceraian atau karena kematian, maka cara penghitungan harta bersama adalah,

untuk istri pertama ½ dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan,

ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami dengan istri pertama dan kedua, ditambah

¼ dari harta bersama yang diperoleh suami bersama istri ketiga , istri kedua dan istri pertama

,ditambah 1/5 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama istri keempat, ketiga, kedua dan

istri pertama.

Tujuan Mahkamah Agung mengatur harta bersama dalam perkawinan poligami seperti tersebut

diatas , adalah untuk menghindari terjadinya penyelundupan hak istri terdahulu oleh suami. Oleh sebab itu

,Mahkamah Agung menghendaki adanya pemisahan yang tegas anatara harta bersama dengan istri

terdahulu ketika suami akan melakukan poligami.

2. Perlindungan Hukum pada istri Pertama berdasarkan Putusan Pengadilan Agama

Kabupaten Malang Nomor : 1374/ Pdt. G/2008/P.A. Kab. Mlg

Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan dalam Posisi Kasus Kasus kedudukan harta

bersama dalam Perkawinan Poligami yang dialami oleh Ian (bukan nama sebenarnya) , umur 44

tahun dan Nina (bukan nama sebenarnya), umur 38 tahun. Pasangan ini menikah pada tanggal 16

Juni 1993 dengan Kutipan Akta Nikah Nomor :129/33/VI/1993. Pada bulan Januari tahun 2008 Ian

berkenalan dengan seorang perempuan yang bernama Nikkita dan perkenalan itu semakin akrab

dan pada akhirnya timbul rasa sayang, saling mengasihi dan meminta izin berpoligami dengan

alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri secara maksimal dikarenakan istri

tergolong tipe gila kerja dan sering kecapekan bekerja. Dengan adanya hubungan tersebut Ian telah

memberitahukan serta bermusyawarah dengan Nina dan keluarganya dan pihak Nina dan

keluarganya tidak keberatan , bahkan saat ini calon istri kedua Ian juga sudah sering bertemu

dengan Nina.Sehubungan dengan hal tersebut, Ian mengajukan permohonan izin poligami atau

menikah lagi dengan Nikkita, Umur 38 tahun. Ian menyatakan sanggup danmampu memenuhi

Page 11: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

11

kebutuhan hidup istri-istrinya dan anak-anaknya kelak setiap harinya dimana Ian tersebut

mempunyai penghasilan rata-rata setiap bulannya sebesar Rp. 30.000.000.- (tiga puluh juta rupiah).

Hal ini ,pernyatan terlampir dalam surat permohonan poligami , Nina dan Nikkita masing-masing

bersedia untuk dimadu Ian sebagaiamana surat kesediannya terlampirkan. Ian dan Nina selama

menikah sampai saat ini memperoleh harta sebagai berikut : (a) 5 unit toko; (b) sebidang tanah

yang terletak dikeurahan Madyopuro, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang (c) dan semua

perabot rumah tangga yang berada dirumah Ian dan Nina.bPerkara tersebut diputus oleh Hakim

Pengadilan Agama Kab. Malang dalam Putusan Nomor : 1374/ Pdt.G /2008/PA. Kab .Malang.

Dalam Putusannya Hakim mengabulkan permohonan Ian dan mengizinkan Ian menikah lagi

dengan Nikkita serta menetapkan harta bersama Ian dan Nina maka Pemohon mengajukan

permohonan izin poligami serta menetapkan harta bersama dan mohon kepada Bapak Ketua

Pengadilan Kota Malang Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini

berkenan member putusan sebagai berikut :

1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya

2. Menetapkan harta sebagaimana terurai dalam posita 10 di atas adalah harta bersama

Pemohon dan Termohon

3. Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi ( poligami ) dengan

calon istri kedua Pemohon bernama Endryani

4. Menetapkan biaya perkara menurut ketentuan hukum

5. Dan apabila Pengadilan Agama berpendapat lain Pemohon mohon putusan yang seadil-

adilnya

Majelis hakim telah melakukan pemeriksaan setempat dan di lapangan harta-harta tersebut diatas termasuk

harta bersama antara Pemohon dan Termohon. Sehingga Majelis Hakim menetapkan harta bersama

Pemohon dan Termohon.Dengan adanya penetapan harta bersama ini membuat harta istri (termohon)

mempunyai kepastian dan kekuatan hukum, sehingga harta tersebut tidak boleh diganggu gugat oleh pihak

lain kecuali dengan persetujuan bersama antara suami (pemohon) dan istri terdahulu (termohon).

Kedudukan harta bersama dalam perkawinan poligami perkara Nomor 1374 Pdt/G/2008/PA.Kab. Mlg

yang berada pada kedua belah pihak (pemohon dan termohon) dan menjadi harta bersama mereka.

Sedangkan istri kedua tidak mempunyai hak atas harta tersebut. Sehingga harta tersebut hanya dimiliki

pemohon dan termohon dimana harta tersebut terjadi selama perkawinan berlangsung yang dialami oleh

Pemohon dan termohon. Apabila istri kedua berhak memiliki harta tersebut, maka termohon berhak dan

patut untu menuntut kembali. Putusan Majelis Hakim dalam perkara tersebut dengan memberi izin

berpoligami kepada Pemohon (suami) sekaligus menetapkan harta bersama berada pada pemohon (suami)

sekaligus menetapkan harta bersama pada pemohon dan Termohon. Hal ini menurt penyusun telah sesaui

dengan ketentuan kompilasi Hukum Islam, dan Majelis Hakim telah pula menerapkan tujuan hukum

tersebut diatas dengan prioritas mengedepankan kepastian hukum. Asas kepastian hukum yaitu sudah

dijelaskan bahwa harta istri pertama menjadi jelas dan pasti bagi semua pihak atau hak-haknya, sehingga

harta istri pertama tersebut sudah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No.

1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Page 12: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

12

Menurut ketentuan dan Undang-undang tentang kepemilikan harta bersama terkait secara langsung

terhadap pasangan suami dengan istri-istrinya yaitu ketentuan yang mengatur harta bersama dalam

perkawinan poligami , berbeda dengan perkawinan monogami yang diatur secara tegas dalam Undang-

undang No. 1 Tahun 1974, maka perkawinan poligami dengan keterkaitannya dengan harta bersama diatur

secara khusus didalam Pasal 94 tentang harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam

Aturan khusus tersebut berkenaan dengan 2 (dua ) pokok persoalan yaitu :

a. Harta bersama seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, dengan maksimal empat

orang kedudukannya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

b. Pemilikan harta bersaa sebagaiman tersebut terhitung pada saat berlangsungnya kad nikah

perkawinan kedua dan seterusnya sampai dengan keempat.

Bahwa yang dimaksud terpisah dan berdiri sendiri yaitu harta bersama dengan istri pertama harus

ditetapkan tersendiri dengan istri kedua, ketiga dan keempat tidak boelh diganggu harta istri pertama

tersebut, demikian pula jika suami menikah lagi (poligami) dengan istri ketiga , maka harta suami istri

pertama dan kedua harus pula ditetapkan. Begitu juga bila suami tersebut mau menikah lagi (poligami)

dengan istri keempat ,maka harta bersama istri pertama, kedua dan ketiga harus ditetapkan

juga.Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa kedudukan harta bersama dalam perkara izin poligami menjadi

jelas, bahwa harta istri pertama, kedua, ketiga dan keempat harus terpisah dan berdiri sendiri, sehingga

dikemudian hari tidak ada pihak (istri) yang dirugikan dalam masalah harta bersama ini.

Page 13: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

13

C. Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas mengenai kepastian hukum harta bersama dalam perkawinan poligami

berdasarkan kompilasi hukum islam, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

(1) Kepastian hukum harta bersama berdasarkan UU Perkawinan, Keputusan Menteri Agama Nomor

154 Tahun 1991 dan Keputusan Pengadilan Agama No: 1374/ Pdt. G/2008/P.A. Kab. Mlg dalam

perkawinan poligami untuk istri pertama ditinjau dari 3 sumber hukum yaitu Undang-undang no.

1 tahun 1974 tentang perkawinan, kompilasi hukum islam, dan putusan pengadilan agama. Hanya

kompilasi hukum islam saja yaitu Pasal 94 kompilasi hukum islam yang belum mencerminkan

kepastian pada istri pertama karena dimungkinkan dalam keadaan tertentu dapat merugikan istri

pertama yang menemani suaminya lebih lama mendapatkan bagian yang lebih sedikit dari pada

istri kedua, ketiga atau keempat dan dimungkinkan perkawinan poligami suami tersebut masih

terikat dengan perkawinan sebelumnya dengan istri pertama dan tidak berbanding lurus dengan

jumlah harta bersama.

(2) Perlindungan hukum pada istri pertama atas masalah harta bersama dalam perkawinan poligami

dapat ditempuh dengan cara upaya yang bersifat preventif yaitu dengan perjanjian perkawinan dan

upaya yang bersifat represif yaitu dengan sita jaminan atas harta bersama suami dengan istri.

Tujuannya adalah mencegah terjadinya penyalahgunaan harta bersama oleh pihak suami yang dapat

merugikan istri pertama dalam perkawinan poligami. Sehingga pembuktian harta bersama dalam

perkawinan poligami suami dapat dilihat pada putusan pengadilan agama tentang penetapan harta

bersama bagi istri pertama yang berkepastian hukum

Saran

(1) Untuk itu diperlukan adanya perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif bagi istri

pertama terkait harta bersama. Yaitu dengan dilakukannya Perjanjian Perkawinan yang dibuat

sebelum atau pada saat perkawinan kedua, ketiga, keempat dari suami dilangsungkandengan

disahkan oleh Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan dapat

dilakukan dihadapan Notaris.

(2) Dengan dimungkinkan nya untuk dilakukan Sita Jaminan atas harta bersama pada dasarnya

merupakan upaya untuk melindungi harta yang diperoleh selama Perkawinan apabila terjadi

sengketa pembagian harta bersama ,namun yang banyak terjadi di lapangan adalah kesulitan

pelaksanaan keputusan karena berbagai kendala tekhnis. Dalam Hal ini Pihak dari Pengadilan

dalam Pelaksanaan Kejurusitaan harus lebih kooperatif , profesional dan Tegas.

Page 14: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

14

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abd. Shomad, 2007, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Sinar Grafika,

Semarang

Achmad Ichsan ,2010, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam,Pustaka Tekhnologi dan

Informasi ,Jakarta

Ahmad Rifiq, 2013, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta

A.Azhar Basyir, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Abdul Rachmad Budiono, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.

Abdul Wahab Khallaf, 2002, Kaidah-kaidah Hukum Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Bambang Sunggono, 2005, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.

C.S.T Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, LaksBang

Yustisia, Surabaya.

H. Sulaiman Rasyid, 1954, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta.

H. Zahry Hamid, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Islam,

Bina Cipta, Jakarta

Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum

Agama, Mandar Maju, Bandung

Mohd.Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan Islam,Sinar Grafika, Jakarta

Mardani, 2014, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta

Page 15: Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama

15

Jurnal

Arif Zunaidi , 2018, Kedudukan Harta Bersama Perkawinan Poligami, Jurnal Privat Law ,Volume II No. 2

Tahun 2018

Chandra Agung Laksono , Isrok, Siti Hamidah ,2017, Kepastian Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan

Poligami Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, Jurnal Mimbar Hukum ,Fakultas Hukum ,Universitas

Brawijaya

Gina Yunita , H Komari, Dadang Suprijatna, 2018, Consideration Of Panel Of Judges in the Case of Joint

Property Agreement Towards Polygamous Marriage Inreligious Court of Cibinong Class 1B, Juernal

Hukum De’rechtsstaat, Vol 4 No 1, Tahun 2018

Nur Shofa Ulfiyanti, 2016, Izin Istri sebagai syarat Poligami Perspektif Hak Asasi Manusia : Kajian

terhadap Undang-undang Perkawinan, Jurnal Hukum dan syariah, Vol 8 No 2 Tahun 2016

Yufi, Wiyos , Rini Musyarokah , 2014 , Eksekusi dalam Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama,

Jurnal Hukum dan syariah, Vol 7 No 1 Tahun 2014

Peraturan Perundang-Undangan

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomer 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi

Presiden Nomer 1 Tahun 1991 ,

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Putusan Peradilan

Putusan Pengadilan Agama Kab. Malang Nomor 1374/ Pdt. G/2008//PA. Kab Mlg.