perjanjian perkawinan terkait perlindungan harta bersama
TRANSCRIPT
1
Perjanjian Perkawinan terkait Perlindungan Harta Bersama milik Istri
Pertama dalam Perkawinan Poligami berdasarkan Undang-Undang Nomer 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Studi PutusanNomor : 1374/ Pdt.
G/2008/P.A. Kab. Mlg)
Cahyani
Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email : [email protected]
Burhanudin Harahap
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Yudho Taruno Muryanto
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Abstract
The purpose of this paper is to analyze the legal certainty of common property in a polygamous marriage
in Indonesia. The method used in the writing of this journal is a normative legal research methods, with
use the approach of legislation. Based on these results, there is a conflict of norms of Article 94 paragraph
2 of the Decree of the Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia Number 154 of 1991 on the
implementation of Presidential Instruction Number 1 of 1991 with the principle of Justice. That it concluded
that Article 94 paragraph 2 of the Decree of the Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia
Number 154 of 1991 on the implementation of Presidential Instruction Number 1 of 1991 on the compilation
of Islamic law does not provide legal certainty, because it is not logicalandcan not accommodate the
protection of property with his wife who was brought in by her husband's second marriage.
Keywords: marriage, polygamy, treasure together
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara hokum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi ” Indonesia adalah Negara hukum ”, oleh
karena itu Indonesia mengatur segala hal termasuk Perkawinan. 1 Dikarenakan kompleksnya masalah
1Dominikus Rato, 2010, Filsafa tHukum, Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya
2
perkawinan maka dibentuk peraturan mengenai perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1
tahun 1974. Undang-Undang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku
secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 adalah salah satu Undang-undang nasional yang telah “berhasil”
melakukan pembaruan hukum di bidang hukum perkawinan. Undang-undang tersebut adalah produk
nasional yang merupakan suatu usaha untuk mengakhiri pluralism dalam hukum perkawinan walaupun
usaha tersebut dalam banyak hal masih belum mencapai tujuannya.
Nilai-nilai islam yakni fiqh munakahat mendapat posisi penting diantaranya dalam Pasal 2 Undang-
Undang Perkawinan yang menentukan bahwa:
1. Perkawinan adalah sah ,apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu,
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Para ahli hukum memberi pengertian atau definisi perkawinan,. Menurut Subekti dalam sebuah
bukunya menyatakan, perkawinan sesungguhnya merupakan sebuah perjanjian.” Menurut Undang-undang
perkawinan No. 1 tahun 1974 dalam Pasal 1 mengartikan perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhan yang Maha Esa sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia –Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam mengartikan
perkawinan adalah pernikahan,yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliidhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah.2
Dalam perkawinan terhadap asas yang sangat penting dan menarik untuk dikaji, yakni asas monogami,
dimana laki-laki hanya boleh mempunyai satu istri dan sebaliknya.Asas monogamy bersifat terbuka atau
dalam artian tidak mutlak. Poligami dalam hukum Islam dibenarkan, dan diberikan tempat khusus yang
diatur dalam Peraturan Perundangan. Meskipun poligami diberikan tempat dalam Peraturan Perundangan
bukan berarti poligami dijadikan asas atau sesuatu yang mendasar dalam Undang-undang perkawinan,
yakni Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Poligami merupakan pengecualian saja, yang
diberikan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya diperbolehkan. Asas Monogami sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan , yang mengatakan bahwa pada asas dalam
suatu perkawinan seorang pria mempunyai seorang istri begitu sebaliknya. Sedangkan dalam Pasal 3 ayat
2 Undang-undang Perkawinan ,Poligami atau seorang suami beristri lebih dari seorang perempuan
diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan pengadilan telah memberi izin.
Adapun alasan-alasan yang dipedomani oleh pengadilan untuk dapat memberi izin poligami , ditegaskan
dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Perkawinan :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pengadilan Agama
dalam melakukan pemeriksaan harus memanggil dan mendengar keterangan istri yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
2A.AzharBasyir, 1996, HukumPerkawinan Islam, PerpustakaanFakultasHukum UII, Yogyakarta.hlm 9
3
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi
permohonan untuk beristri lebih dari seorang , maka Pengadilan Agama memberikan penetapan yang
berbentuk izin untuk beristri lebih dari seorang kepada Pemohon yang bersangkutan. Dalam perspektif
Metodologis ,pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang
bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama ,setelah dibuktikan izin istri atau istri-istri ,dimaksudkan
untuk merealisasikan kemaslahatan. Kendatipun demikian ,kebolehan poligami sebagai alternatif ,terbatas
sampai empat orang istri. Ini ditegaskan dalam Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam bab IX Beristri lebih dari
satu orang yang berisi:
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang ,suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi ,suami dilarang beristri
lebih dari seorang.
Dari serangkaian ketentuan peraturan tentang syarat poligami sangat susah untuk dilakukan dan
dipenuhi terkait harta bersama dalam Perkawinan Poligami yang diatur dalam Pasal 35 ayat 1 UU Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan
menjadi harta benda milik bersama. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991
tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991selanjutnya disebut Keputusan Menteri
Agama Nomor 154 Tahun 1991 di dalam Pasal 94 ayat 1 menyatakan :
“dalam perkawinan poligami wujud harta bersama ,terpisah antara suami dengan masing-masing
istri”
Dan dipertegas kembali dalam Pasal 94 ayat 2 Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991
menyebutkan:
“pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari
seorang sebagaimana tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan
yang kedua ,ketiga atau keempat”
Pasal 94 ayat 2 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang
Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 diatas ,sebetulnya tidak memberikan keadilan
terhadap istri pertama yang menemani suaminya lebih lama mendapatkan bagian yang lebih sedikit darpada
istri kedua, ketiga atau keempat. Ketentuan ini dimaksudkan agar antara istri pertama, kedua, ketiga dan
atau keempattidak terjadi perselisihan ,termasuk mengantisipasi kemungkinan gugat waris diatara masing-
masing keluarga dari istri-istri tersebut. Akibat ketidakjelasan pemilikan harta bersama antara istri pertama
dan kedua ,sering menimbulkan sengketa waris yang diajukan ke Pengadilan Agama. Masalah harta
bersama suami- istri ,atau dengan istri-istrinya ,pengelolaannya dapat dilakukan melalui perjanjian tertulis.
Bagaimana dan berapa yang ditanggung suami untuk istri setiap harinya. Ini dimaksud untuk menjaga batas-
batas yang jelas, mana kekayaan bersama suami dengan istri yang pertama mana kekayaan bersama suami
dengan istri yang kedua dan seterusnya. Terkait dengan hal ini perlunya Kepastian Hukum , dalam artian
tidak terdapat kekaburan norma atau keraguan (multitafsir) dan logis dalam artian menjadi menjadi suatu
sistem norma dengan asas-asa hukum dan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik
4
norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan
konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Kasus kedudukan harta bersama dalam Perkawinan Poligami yang dialami oleh Ian (bukan nama
sebenarnya) , umur 44 tahun dan Nina (bukan nama sebenarnya), umur 38 tahun. Pasangan ini menikah
pada tanggal 16 Juni 1993 dengan Kutipan Akta Nikah Nomor :129/33/VI/1993. Pada bulan Januari tahun
2008 Ian berkenalan dengan seorang perempuan yang bernama Nikkita dan perkenalan itu semakin akrab
dan pada akhirnya timbul rasa sayang, saling mengasihi dan meminta izin berpoligami dengan alasan istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri secara maksimal dikarenakan istri tergolong tipe gila
kerja dan sering kecapekan bekerja. Dengan adanya hubungan tersebut Ian telah memberitahukan serta
bermusyawarah dengan Nina dan keluarganya dan pihak Nina dan keluarganya tidak keberatan , bahkan
saat ini calon istri kedua Ian juga sudah sering bertemu dengan Nina.Sehubungan dengan hal tersebut, Ian
mengajukan permohonan izin poligami atau menikah lagi dengan Nikkita, Umur 38 tahun. Ian menyatakan
sanggup danmampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istrinya dan anak-anaknya kelak setiap harinya
dimana Ian tersebut mempunyai penghasilan rata-rata setiap bulannya sebesar Rp. 30.000.000.- (tiga puluh
juta rupiah). Hal ini ,pernyatan terlampir dalam surat permohonan poligami , Nina dan Nikkita masing-
masing bersedia untuk dimadu Ian sebagaiamana surat kesediannya terlampirkan. Ian dan Nina selama
menikah sampai saat ini memperoleh harta sebagai berikut : (a) 5 unit toko; (b) sebidang tanah yang terletak
dikeurahan Madyopuro, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang (c) dan semua perabot rumah tangga
yang berada dirumah Ian dan Nina.bPerkara tersebut diputus oleh Hakim Pengadilan Agama Kab. Malang
dalam Putusan Nomor : 1374/ Pdt.G /2008/PA. Kab .Malang. Dalam Putusannya Hakim mengabulkan
permohonan Ian dan mengizinkan Ian menikah lagi dengan Nikkita serta menetapkan harta bersama Ian
dan Nina.
Berkaca pada latar belakang diatas terdapat pertentangan Norma , Pasal 94 ayat 2 Keputusan Menteri
Agama Nomor 154 Tahun 1991 dengan teori keadilan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Pasal 94 ayat 2
Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tidak memberikan kepastian hukum , karena
dimungkinkan istri pertama yang menemani suaminya lebih lama mendapatkan bagian yang lebih sedikit
dari istri kedua ,ketiaga atau keempat. Sehingga berdasarkan uraian diatas Penulis akan melakukan kajian
mendalam pada paper ini mengenai ,Bagaimana kepastian hukum harta bersama dalam perkawinan
Poligami berdasarkan Undang-undang Perkawinan dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun
1991. Bagaimana perlindungan hukum bagi istri pertama dalam perkawinan poligami Putusan Pengadilan
Agama Kabupaten Malang Nomor : 1374/ Pdt. G/2008/P.A. Kab. Mlg.
A. Metode Penelitian
Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah dengan menggunakan
metode pendekatan undang-undang (state approach), dimana pendekatan ini dilakukan dengan menelaah
semua undang-undangdan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang ditangani. Pendekatan
koseptual (conceptual approach). Beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum dengan tujuan untuk menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
5
pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang
dibahas. Hasil dari telaah merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi.3
Metode yang akan dipakai dalam menganalisa permasalahan dalam paper ini adalah dengan
menggunakan analisis isi (content analisis) yaitu penulisan yang bersifat pembahasan mendalam terhadap
isi suatu informasi atau tercetak dalam media masa.
Dalam proses penyusunan paper ini penulis menggunakan 3 (tiga)jenis bahan hukum, yaitu:
a. Bahan hukum Primer, menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad adalah bahan hukum yang
bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas , yaitu merupakan hasil dari tindakan atau
kegiatan yang dilakukan Lembaga yang berwenang. Untuk itu bahan hukum primer ini terdiri
dari perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan paper ini
yakni UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan , Kompilasi Hukum Islam, Putusan
Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor :1374/Pdt. G/P.A. Kab .Mlg.
b. Bahan hukum Sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang diperoleh dari buku/tekstual ,artikel
ilmiah internet,jurnal-jurnal, doktrin atau sumber-sumber lain baik cetak maupun online yang
berhubungan dengan perjanjian perkawinan, UU perkawinan, Poligami , pembagian/
perlindungan Harta bersama Suami isteri, dan kajian terhadap Peraturan-peraturan terkait yang
digunakan dalam penulisan paper ini.
c. Bahan hukum Tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan-penjelasan
terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier berupa
kamus dan ensiklopedia hukum dan lain-lain yang berkaitan dengan penulisan paper ini.
B. Pembahasan
1. Kepastian Hukum Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia, mengatur tentang
syarat-syarat seseorang dapat beristri lebih dari seorang (poligami), sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat
(1) dan Pasal 4 ayat (2). Seseorang yang mau berpoligami harus mengajukan izin ke pengadilan terlebih
dahulu dengan menyebutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Alasan
tersebut yaitu : 4
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istritidakdapatmelahirkanketurunan
Meskipun Islam telah mengenal perkawinan poligami dan secara normatif memungkinkan adanya harta
bersama dalam pekawinan poligami, akan tetapi dalam beberapa kitab fiqh klasik tidak didapatkan
3Bambang Sunggono, 2005, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.
4Achmad Ichsan ,2010, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam,Pustaka Tekhnologi dan Informasi ,Jakarta ,hlm 137-138
6
pembahasan harta bersama. Hal ini karena kuatnya struktur sosial masyarakat Timur Tengah yang bercorak
patriarkhi, sehingga tidak memberi peluang bagi perempuan in casu istri untuk menuntut pengakuan dalam
harta bersama. 5
Sedangkan dalam hukum positif, Undang-undang memberi pengakuan secara tegas bahwa suami-istri
masing-masing pihak memiliki kecakapan berbuat hukum. Ini artinya, suami-istri dipandang sebagai
subyek hukum yang sempurna, istri menjadi cakap hokum dengan terikatnya pada lembaga perkawinan.
Karena sebagai subyek hukum yang sempurna, suami maupun istri dapat melakukan perbuatan hokum atas
harta yang menjadi kekuasaan masing-masing, seperti harta yang diperoleh dari kewarisan, hibah dan lain-
lain Sedangkan terhadap harta bersama suami atau istri dalam melakukan perbuatan hokum atas persetujuan
pihak lain (suami atau istri).6Jadi ,pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama
perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya harta yang didapat atas usaha mereka ,atau sendiri-
sendiri selama masa ikatan perkawinan. Dalam istilah fikih muamalat,dapat dikategorikan sebagai syirkah
atau join antara suami dan istri.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur harta kekayaan dalam Perkawinan pada
Bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan.
Pasal 35
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Dalam kenyataannya Pola yang banyak dilakukan ditengah masyarakat adalah Suami yang melakukan
pekerjaan dan istri sebagai ibu rumah tangga. Oleh karena itu hendaknya , bekerja tidak selalu diartikan
bekerja di luar rumah. Demikianlah yang dimaksud Pasal 35 ayat (1) adapun ayat (2) menjelaskan bahwa
kekayaan yang diperoleh dengan cara warisan atau hadiah ,tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan
bersama.
Pengaturan harta bersama dalam perkawinan diatur sebagai berikut :
1. Dalam perkawinan monogami, pada dasarnya tidak terjadi pemisahan harta bersama, kecuali
apabila ditentuan dalam perjanjian perkawinan.
2. Dalam perkawinan poligami, harta bersama dari masing-masing istri berdiri secara terpisah7
Ketentuan hukum positif tersebut dipahami sebagai hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan (law in book).Sebagiamana yang menjadi pandangan mazhab sosiological yurisprudence,
positivasi hukum dalam bentuk kodifikasi membuat hukum kaku dan ketinggalan zaman sejak hukum
5Ahmad Rifiq, 2013, HukumPerdata Islam di Indonesia, Raja GrafindoPersada, Jakarta, hlm 121.123 6Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju,
Bandung
7H. Zahry Hamid, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Islam, Bina Cipta, Jakarta
7
tersebut dinyatakan berlaku.Untuk itu, hukum membutuhkan pelenturan makna agar tidak tertinggal ketika
berhadapan dengan suatu kasus. Dalam konteks yang demikian, hukum membutuhkan sentuhan nilai agar
hukum dapat menjawab secara aktual dalam sebuah kasus (case law) bentuk law in action. Di sinilah arti
penting penemuan hukum oleh hakim, dalam putusan pengadilan (yurisprudensi). 8 Berdasarkan teori
kepastian hukum yang dikemukakan oleh Gustav Redburch hukum yang baik harus memenuhi tiga asas
yaitu asas kepastian :
a) Asas Kepastian Hukum (rechtmatigheid)
Hukum harus memiliki kepastian yang mengikat terhadap seluruh rakyat, hal ini bertujuan
agar seluruh rakyat mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, sehingga tidak terjadi
diskriminasi dalam penegakan hukum.
b) Asas Keadilan Hukum (gerectigheit)
Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua
orang didepan Pengadilan.
c). Asas Kemanfaatan Hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility)
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau Penegakan hukum. Hukum
itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.9
Dari penjelasan ketiga asas tersebut Penulis gunakan sebagai kerangka teori untuk menilai
pengaturan harta bersama yang diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 bab VII Harta benda dalam
Perkawinan Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang secara garis besar menyatakan
bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Hal ini menurut penulis telah sesuai yang mengedepankan kepastian hukum.Asas kepastian hukum telah
memenuhi asas kepastian karena dijelaskan bahwa mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak. Berdasarkan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa kedudukan harta
bersama menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 35
sampai dengan Pasal 37 bab VII Harta benda dalam Perkawinan menjadi jelas , bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan dibawah penguasaan masing-masing yaitu suami
dan istri dan sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Kepastian Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami di Indonesia berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam.
Dalam kaitannya dengan perkawinan Poligami, Kompilasi Hukum Islam mengaturnya dalam
Pasal 94:
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang
,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
8Mardani, 2014, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta hlm 116-117
8
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari
seorang sebagaimana tersebut ayat (1) dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan
yang kedua, ketiga, atau yang keempat.10
Ketentuan ini dimaksudkan agar antara istri pertama, kedua, ketiga dan atau keempat tidak terjadi
perselisihan ,termasuk mengantisipasi kemungkinan gugat warisan diantara masing-masing keluarga dari
istri-istri tersebut. Akibat ketidakjelasan pemilikan harta bersama antara istri pertama dn kedua ,sering
menimbulkan sengketa waris , yang diajukan ke Pengadilan Agama. Lebih-lebih lagi apabila poligami
tersebut dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan tertib hukum dan administrasi, berupa pencatatan
nikah. Ini tentu saja menyulitkan keluarga mereka sendiri, tidak dapat dijangkau oleh hukum, karena secara
yuridis formal tidak ada bukti-bukti autentik, bahwa mereka telah melakukan perkawinan.
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam membicarakan tentang tindakan-tindakan tertentu pada saat salah satu
pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama ,seperti judi, mabuk, boros
dan lain-lain.
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c 1974 tentang Perkawinan dan
Pasal 136 (2) tentang Sita Marital, suami atau istri Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat meminta Pengadilan Agama
untuk melakukan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai
,apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti :judi, mabuk, dan sebagainya.
2. Selama sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan
izin Pengadilan Agama.11
Uraian Pasal 95 tersebut dianalogikan kepada ketentuan yang terdapat dalam Hadist Hindun binti
Utbah istri Abu Sufyan. Perbedaannya dalam hadist tersebut, Abu Sufyan sebagai suami sangat pelit dan
tidak meperhatikan kebutuhan istri dan anak-anaknya, maka Rasulullah Saw memperbolehkan Hindun
mengambil harta suaminya itu dengan cara ma’ruf. Sementara Pasal 95 menekankan bahwa suami justru
melakukan tindakan pemborosan melakukan tindakan pemborosan , judi dan lain-lain yang akan
mengancam harta kekayaan bersama maka hakim dipandang memiliki otoritas untuk menangani dan
menjaga agar harta tersebut diamankan ,demi kepentingan keluarga , khususnya istri dan anak-anaknya
dengan cara meletakkan sita jaminan. Alasan hakim dalam menyelesaikan masalah tersebut untuk
melindungi kepemtingan yang lebih besar , yaitu kepentingan rumah tangga ,istri dan anak-anaknya.12
Masalah harta bersama suami istri ,atau dengan istri-istrinya ,pengelolaannya dapat dilakukan melalui
perjanjian tertulis. Bagaiman dan berapa yang ditanggung suami untuk setiap istrinya. Ini dimaksud untuk
menjaga batas-batas yang jelas mana kekayaan bersama antara suami dengan istri yang pertama, mana
kekayaan bersama suami dengan istri yang kedua dan seterusnya. Persoalan akan muncul apabila salah satu
meninggal ,karena itu meski tidak konkret, Kompilasi Hukum Islam encoba merumuskannya dalam Pasal-
Pasal berikut:13
Pasal 96
10
Abdul Wahab Khallaf, 2002, Kaidah-kaidah Hukum Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hlm 21-22 11
Abd. Shomad, 2007, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Semarang, hlm 154-155 12 H. Sulaiman Rasyid, 1954, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta. Hlm 32 13 Mohd.Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan Islam,Sinar Grafika, Jakarta hlm 71
9
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan hidup yang lebih
lama.
2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar Putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Meski Kompilasi Hukum Islam telah mencoba mengatasi persoalan yang kemungkinan timbul
namun Pasal 96 ayat (1) terasa kurang tegas. Sebab pengertian hidup lebih lama bersifat relatif. Karena itu
dalam penyelesaian pembagian harta bersama pihak keluarga yang dituakan atau hakim apabila perkaranya
diajukan ke Pengadilan ,perlu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan baik karena rentang waktu lamanya
suami hidup bersama dengan istri tua ,demikianjuga dengan istri-istrinya yang lain. Porsi pembagian harta
bersama sebelus dibagi waris penentuan separuh bagian dalam Pasal 96 tersebut merupakan langkah
pembaruan yang berani.Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 Tahun 1991 tentang
Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 , didalam Pasal 82 menyatakan : Hak Istri yang
dipoligami adalah mendapatkan tempat tinggal dan biaya hidup secara berimbang dengan istri-istri yang
lain. Tempat tinggal sebagaimana dimaksud diatas diperbolehkan suami menempatkan istri-istrinya dalam
satu tempat kediaman jika para istri rela dan ikhlas. Kaitannnya dengan pembagian harta bersama diatas
sebenarnya tidak memenuhi unsur keadilan. Bagaimana mungkin seorang istri yang masih menjalani
perkawinan dengan suaminya serta merelakan suaminya untuk berpoligami mengenai pembagian harta
bersama berhenti sampai saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat. Belum
lagi mengenai harta bersama istri yang dibawa ke pernikahan kedua oleh suami yang berpoligami, hal ini
sama saja mengambil harta istri. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam sebenarnya sudah diatur
terkait harta bersama istri yang dibawa ke pernikahan kedua oleh suami yang berpoligami, yakni dalam
Pasal 92 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomer 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan
Intruksi Presiden Nomer 1 Tahun 1991, sebagai berikut:
“Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan
harta bersama.”
Sangat disayangkan dalam Pasal tersebut tidak diatur menegenai sanksinya.Sebagai upaya
optimalisasi peraturan seharusnya terdapat sanksi yang mengatur secara tegas. Berdasarkan diatas dapat
disimpulkan pembagian harta untuk istri-istri yang dipoligami. Dalam perkawinan poligami wujud harta
bersama ,tidak terpisah antara suami dengan masing-masing istri. Istri oertama tetap mendapatkan porsi
pembagian harta bersama meski suaminya telah menikah untuk yang kedua, ketiga tau keempat kalinya.
Jadi proporsi pembagiannya dalah kepemilikan harta bersama istri pertama adalah lebih besar dariistri
kedua, istri kedua lebih besar dari istri ketiga, dan istri ketiga lebih besar dari istri keempat. Jadi ,penerapan
pembagian harta bersama sebagaimana dimaksud diatas adalah jauh lebih adil dari pada pembagian harta
bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.
10
Oleh karena itu ,Mahkamah Agung RI dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor :
KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2016 telah memeberlakukan Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Pengadilan yang isinya antara lain mengenai masalah harta bersama dalam
perkawinan poligami
Dalam ketentuan tersebut diatur, antara lain sebagai berikut:
a. Pada saat mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah,
suami wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan istri sebelumnya
bersamaan dengan permohonan izin poligami. Apabila suami tidak mengajukannya, maka istri
terdahulu (yang belum dicerai) dapat mengajukan gugatan rekonvensi penetapan harta bersama.
Apabila istri terdahulu tidak mengajukan gugatan rekonvensi, maka permohonan izin poligami
tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima
b. Harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dengan istri pertama harus dipisahkan dengan
harta bersama perolehan dengan istri kedua dan sterusnya.
c. Apabila terjadi perceraian atau karena kematian, maka cara penghitungan harta bersama adalah,
untuk istri pertama ½ dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan,
ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami dengan istri pertama dan kedua, ditambah
¼ dari harta bersama yang diperoleh suami bersama istri ketiga , istri kedua dan istri pertama
,ditambah 1/5 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama istri keempat, ketiga, kedua dan
istri pertama.
Tujuan Mahkamah Agung mengatur harta bersama dalam perkawinan poligami seperti tersebut
diatas , adalah untuk menghindari terjadinya penyelundupan hak istri terdahulu oleh suami. Oleh sebab itu
,Mahkamah Agung menghendaki adanya pemisahan yang tegas anatara harta bersama dengan istri
terdahulu ketika suami akan melakukan poligami.
2. Perlindungan Hukum pada istri Pertama berdasarkan Putusan Pengadilan Agama
Kabupaten Malang Nomor : 1374/ Pdt. G/2008/P.A. Kab. Mlg
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan dalam Posisi Kasus Kasus kedudukan harta
bersama dalam Perkawinan Poligami yang dialami oleh Ian (bukan nama sebenarnya) , umur 44
tahun dan Nina (bukan nama sebenarnya), umur 38 tahun. Pasangan ini menikah pada tanggal 16
Juni 1993 dengan Kutipan Akta Nikah Nomor :129/33/VI/1993. Pada bulan Januari tahun 2008 Ian
berkenalan dengan seorang perempuan yang bernama Nikkita dan perkenalan itu semakin akrab
dan pada akhirnya timbul rasa sayang, saling mengasihi dan meminta izin berpoligami dengan
alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri secara maksimal dikarenakan istri
tergolong tipe gila kerja dan sering kecapekan bekerja. Dengan adanya hubungan tersebut Ian telah
memberitahukan serta bermusyawarah dengan Nina dan keluarganya dan pihak Nina dan
keluarganya tidak keberatan , bahkan saat ini calon istri kedua Ian juga sudah sering bertemu
dengan Nina.Sehubungan dengan hal tersebut, Ian mengajukan permohonan izin poligami atau
menikah lagi dengan Nikkita, Umur 38 tahun. Ian menyatakan sanggup danmampu memenuhi
11
kebutuhan hidup istri-istrinya dan anak-anaknya kelak setiap harinya dimana Ian tersebut
mempunyai penghasilan rata-rata setiap bulannya sebesar Rp. 30.000.000.- (tiga puluh juta rupiah).
Hal ini ,pernyatan terlampir dalam surat permohonan poligami , Nina dan Nikkita masing-masing
bersedia untuk dimadu Ian sebagaiamana surat kesediannya terlampirkan. Ian dan Nina selama
menikah sampai saat ini memperoleh harta sebagai berikut : (a) 5 unit toko; (b) sebidang tanah
yang terletak dikeurahan Madyopuro, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang (c) dan semua
perabot rumah tangga yang berada dirumah Ian dan Nina.bPerkara tersebut diputus oleh Hakim
Pengadilan Agama Kab. Malang dalam Putusan Nomor : 1374/ Pdt.G /2008/PA. Kab .Malang.
Dalam Putusannya Hakim mengabulkan permohonan Ian dan mengizinkan Ian menikah lagi
dengan Nikkita serta menetapkan harta bersama Ian dan Nina maka Pemohon mengajukan
permohonan izin poligami serta menetapkan harta bersama dan mohon kepada Bapak Ketua
Pengadilan Kota Malang Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini
berkenan member putusan sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
2. Menetapkan harta sebagaimana terurai dalam posita 10 di atas adalah harta bersama
Pemohon dan Termohon
3. Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi ( poligami ) dengan
calon istri kedua Pemohon bernama Endryani
4. Menetapkan biaya perkara menurut ketentuan hukum
5. Dan apabila Pengadilan Agama berpendapat lain Pemohon mohon putusan yang seadil-
adilnya
Majelis hakim telah melakukan pemeriksaan setempat dan di lapangan harta-harta tersebut diatas termasuk
harta bersama antara Pemohon dan Termohon. Sehingga Majelis Hakim menetapkan harta bersama
Pemohon dan Termohon.Dengan adanya penetapan harta bersama ini membuat harta istri (termohon)
mempunyai kepastian dan kekuatan hukum, sehingga harta tersebut tidak boleh diganggu gugat oleh pihak
lain kecuali dengan persetujuan bersama antara suami (pemohon) dan istri terdahulu (termohon).
Kedudukan harta bersama dalam perkawinan poligami perkara Nomor 1374 Pdt/G/2008/PA.Kab. Mlg
yang berada pada kedua belah pihak (pemohon dan termohon) dan menjadi harta bersama mereka.
Sedangkan istri kedua tidak mempunyai hak atas harta tersebut. Sehingga harta tersebut hanya dimiliki
pemohon dan termohon dimana harta tersebut terjadi selama perkawinan berlangsung yang dialami oleh
Pemohon dan termohon. Apabila istri kedua berhak memiliki harta tersebut, maka termohon berhak dan
patut untu menuntut kembali. Putusan Majelis Hakim dalam perkara tersebut dengan memberi izin
berpoligami kepada Pemohon (suami) sekaligus menetapkan harta bersama berada pada pemohon (suami)
sekaligus menetapkan harta bersama pada pemohon dan Termohon. Hal ini menurt penyusun telah sesaui
dengan ketentuan kompilasi Hukum Islam, dan Majelis Hakim telah pula menerapkan tujuan hukum
tersebut diatas dengan prioritas mengedepankan kepastian hukum. Asas kepastian hukum yaitu sudah
dijelaskan bahwa harta istri pertama menjadi jelas dan pasti bagi semua pihak atau hak-haknya, sehingga
harta istri pertama tersebut sudah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No.
1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
12
Menurut ketentuan dan Undang-undang tentang kepemilikan harta bersama terkait secara langsung
terhadap pasangan suami dengan istri-istrinya yaitu ketentuan yang mengatur harta bersama dalam
perkawinan poligami , berbeda dengan perkawinan monogami yang diatur secara tegas dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1974, maka perkawinan poligami dengan keterkaitannya dengan harta bersama diatur
secara khusus didalam Pasal 94 tentang harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam
Aturan khusus tersebut berkenaan dengan 2 (dua ) pokok persoalan yaitu :
a. Harta bersama seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, dengan maksimal empat
orang kedudukannya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
b. Pemilikan harta bersaa sebagaiman tersebut terhitung pada saat berlangsungnya kad nikah
perkawinan kedua dan seterusnya sampai dengan keempat.
Bahwa yang dimaksud terpisah dan berdiri sendiri yaitu harta bersama dengan istri pertama harus
ditetapkan tersendiri dengan istri kedua, ketiga dan keempat tidak boelh diganggu harta istri pertama
tersebut, demikian pula jika suami menikah lagi (poligami) dengan istri ketiga , maka harta suami istri
pertama dan kedua harus pula ditetapkan. Begitu juga bila suami tersebut mau menikah lagi (poligami)
dengan istri keempat ,maka harta bersama istri pertama, kedua dan ketiga harus ditetapkan
juga.Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa kedudukan harta bersama dalam perkara izin poligami menjadi
jelas, bahwa harta istri pertama, kedua, ketiga dan keempat harus terpisah dan berdiri sendiri, sehingga
dikemudian hari tidak ada pihak (istri) yang dirugikan dalam masalah harta bersama ini.
13
C. Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas mengenai kepastian hukum harta bersama dalam perkawinan poligami
berdasarkan kompilasi hukum islam, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
(1) Kepastian hukum harta bersama berdasarkan UU Perkawinan, Keputusan Menteri Agama Nomor
154 Tahun 1991 dan Keputusan Pengadilan Agama No: 1374/ Pdt. G/2008/P.A. Kab. Mlg dalam
perkawinan poligami untuk istri pertama ditinjau dari 3 sumber hukum yaitu Undang-undang no.
1 tahun 1974 tentang perkawinan, kompilasi hukum islam, dan putusan pengadilan agama. Hanya
kompilasi hukum islam saja yaitu Pasal 94 kompilasi hukum islam yang belum mencerminkan
kepastian pada istri pertama karena dimungkinkan dalam keadaan tertentu dapat merugikan istri
pertama yang menemani suaminya lebih lama mendapatkan bagian yang lebih sedikit dari pada
istri kedua, ketiga atau keempat dan dimungkinkan perkawinan poligami suami tersebut masih
terikat dengan perkawinan sebelumnya dengan istri pertama dan tidak berbanding lurus dengan
jumlah harta bersama.
(2) Perlindungan hukum pada istri pertama atas masalah harta bersama dalam perkawinan poligami
dapat ditempuh dengan cara upaya yang bersifat preventif yaitu dengan perjanjian perkawinan dan
upaya yang bersifat represif yaitu dengan sita jaminan atas harta bersama suami dengan istri.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya penyalahgunaan harta bersama oleh pihak suami yang dapat
merugikan istri pertama dalam perkawinan poligami. Sehingga pembuktian harta bersama dalam
perkawinan poligami suami dapat dilihat pada putusan pengadilan agama tentang penetapan harta
bersama bagi istri pertama yang berkepastian hukum
Saran
(1) Untuk itu diperlukan adanya perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif bagi istri
pertama terkait harta bersama. Yaitu dengan dilakukannya Perjanjian Perkawinan yang dibuat
sebelum atau pada saat perkawinan kedua, ketiga, keempat dari suami dilangsungkandengan
disahkan oleh Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan dapat
dilakukan dihadapan Notaris.
(2) Dengan dimungkinkan nya untuk dilakukan Sita Jaminan atas harta bersama pada dasarnya
merupakan upaya untuk melindungi harta yang diperoleh selama Perkawinan apabila terjadi
sengketa pembagian harta bersama ,namun yang banyak terjadi di lapangan adalah kesulitan
pelaksanaan keputusan karena berbagai kendala tekhnis. Dalam Hal ini Pihak dari Pengadilan
dalam Pelaksanaan Kejurusitaan harus lebih kooperatif , profesional dan Tegas.
14
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abd. Shomad, 2007, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Sinar Grafika,
Semarang
Achmad Ichsan ,2010, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam,Pustaka Tekhnologi dan
Informasi ,Jakarta
Ahmad Rifiq, 2013, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta
A.Azhar Basyir, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.
Abdul Rachmad Budiono, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.
Abdul Wahab Khallaf, 2002, Kaidah-kaidah Hukum Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Bambang Sunggono, 2005, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.
C.S.T Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, LaksBang
Yustisia, Surabaya.
H. Sulaiman Rasyid, 1954, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta.
H. Zahry Hamid, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Islam,
Bina Cipta, Jakarta
Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama, Mandar Maju, Bandung
Mohd.Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan Islam,Sinar Grafika, Jakarta
Mardani, 2014, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta
15
Jurnal
Arif Zunaidi , 2018, Kedudukan Harta Bersama Perkawinan Poligami, Jurnal Privat Law ,Volume II No. 2
Tahun 2018
Chandra Agung Laksono , Isrok, Siti Hamidah ,2017, Kepastian Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan
Poligami Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, Jurnal Mimbar Hukum ,Fakultas Hukum ,Universitas
Brawijaya
Gina Yunita , H Komari, Dadang Suprijatna, 2018, Consideration Of Panel Of Judges in the Case of Joint
Property Agreement Towards Polygamous Marriage Inreligious Court of Cibinong Class 1B, Juernal
Hukum De’rechtsstaat, Vol 4 No 1, Tahun 2018
Nur Shofa Ulfiyanti, 2016, Izin Istri sebagai syarat Poligami Perspektif Hak Asasi Manusia : Kajian
terhadap Undang-undang Perkawinan, Jurnal Hukum dan syariah, Vol 8 No 2 Tahun 2016
Yufi, Wiyos , Rini Musyarokah , 2014 , Eksekusi dalam Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama,
Jurnal Hukum dan syariah, Vol 7 No 1 Tahun 2014
Peraturan Perundang-Undangan
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomer 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden Nomer 1 Tahun 1991 ,
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Putusan Peradilan
Putusan Pengadilan Agama Kab. Malang Nomor 1374/ Pdt. G/2008//PA. Kab Mlg.