pertimbangan yuridis dan konsekuensi pengelompokan rpp … · rpp uu keantariksaan ke dalam satu...
TRANSCRIPT
86
PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN
RPP SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2013
TENTANG KEANTARIKSAAN
Runggu Prilia Ardes, Cholifah Damayanti, Nessia Marga Leta
Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The enacment of Act No 21 Year 2013 on Space become a stepping stone in the
establishment of space law system in Indonesia. This Act needs to be supported by
Government Regulation and other regulations underneath to strengthen its presence.
During its drafting, there is a policy to integrate nine Government Regulation mandates of
Space Act into one Government Regulation. However, many obstacles encountered during
integration, which then initiate the making of this study. The problem in this paper is what
are the juridical considerations and the consequences of grouping the Government
Regulations as mandated by the Act No 21 Year 2013 on Space Activities into one
regulation and its solutions. Through legal hierarchy and legal system theoritical
approaches, Space Act has wide coverage, multisectoral, and loaded with technical
matters, so it takes caution in its formulation and can not be combined into one
regulation, but can be divided into several government regulations, which are: (i)
Government Regulation on the Procedures for Controlling and Propagating as well as
Protecting Space Technology; (ii) Government Regulation on the Procedures for
Constructing and Operating Spaceport; and (iii) Government Regulation on the
Procedures for Commercial Space Activities.
Keywords: Act, Space, Government Regulation.
ABSTRAK
Pengesahan UU No 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan menjadi sebuah batu loncatan
dalam pembentukan sistem hukum keantariksaan di Indonesia. UU ini perlu ditopang oleh
Peraturan Pemerintah dan peraturan lain di bawahnya untuk memperkuat eksistensinya.
Dalam proses penyusunan, terdapat kebijakan untuk menggabungkan sembilan amanat
RPP UU Keantariksaan ke dalam satu PP. Namun, dalam pengintegrasiannya banyak
ditemui hambatan yang kemudian mendasari ide dilakukannya kajian ini. Permasalahan
dalam tulisan ini adalah apa saja pertimbangan yuridis dan konsekuensi pengelompokan
RPP sebagai amanat UU Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan ke dalam 1 RPP
dan solusinya. Melalui pendekatan teori hierarki norma dan teori sistem hukum, UU
Keantariksaan memiliki ruang lingkup luas, multisektoral, dan sarat dengan hal-hal teknis,
sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penyusunannya dan tidak dapat digabung ke
dalam satu wadah peraturan, melainkan dikelompokkan ke dalam beberapa peraturan
pemerintah, yaitu: (i) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Penguasaan dan Penjalaran
Serta Perlindungan Teknologi keantariksaan; (ii) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara
87
Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Antariksa; dan (iii) Peraturan Pemerintah
Tentang Tata Cara Kegiatan Komersial Keantariksaan.
Kata Kunci: Undang-Undang, Keantariksaan, Peraturan Pemerintah.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai negara hukum, Indonesia selalu diidentikkan dengan keberadaan peraturan
Perundang-undangan dalam sistem pemerintahannya. Keberadaan peraturan Perundang-
undangan diperlukan dalam rangka pembentukan sistem hukum nasional, sebab segala
kehidupan, baik kehidupan bernegara, kehidupan berbangsa, maupun kehidupan
bermasyarakat harus didasarkan pada hukum (Trijono, Rachmat, 2014).
Indonesia saat ini telah memiliki undang-undang keantariksaan sendiri yaitu
Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Undang-Undang ini
memberikan landasan hukum dan untuk melindungi kepentingan nasional dalam
penyelenggaraan keantariksaan nasional, serta menjadi landasan awal dalam pembentukan
sistem hukum keantariksaan di Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2013
tentang Keantariksaan mengamanatkan dibentuknya sepuluh PP yang diharapkan dapat
menopang kerangka sistem hukum keantariksaan nasional dengan lingkup pengaturan
yang terdapat pada pasal 6 Undang-Undang Keantariksaan dan lingkup kegiatan
keantariksaan dalam Penyelenggaraan Keantariksaan pada pasal 7 ayat (1). Kesepuluh
amanat itu meliputi: (i) Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh (Pasal
23); (ii) Tata Cara dan Mekanisme Penjaminan Keamanan Teknologi Sensitif
Keantariksaan (Pasal 27); (iii) Komersialisasi Keantariksaan (Pasal 37); (iv) Tata cara
Pembangunan dan Pengopersian Bandar Antariksa (Pasal 50); (v) Standar dan Prosedur
Keamanan dan Keselamatan (Pasal 57); (vi) Kriteria dan Persyaratan Penangguhan,
Pembekuan, Pencabutan dan Perubahan Peluncuran (Pasal 69); (vii) Tanggung Jawab dan
Ganti Rugi (Pasal 83); (viii) Asuransi (Pasal 84); (ix) Peran Serta Masyarakat (Pasal 92);
(x) Sanksi Administratif (Pasal 94).
Peraturan Pemerintah tentang Tata Cata Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan
Jauh telah mulai dirancang sejak dua tahun yang lalu dan telah mencapai tahap
Harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM, sehingga kini masih ada sembilan amanat
PP yang masih menjadi tugas LAPAN. Saat ini tengah dilakukan perumusan RPP
Penyelenggaraan Keantariksaan yang mencakup sembilan amanat tersebut. Namun,
mengingat PP merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang, serta nuansa dari
Undang-Undang Keantariksaan memiliki karakteristik yang luas dan kompleks,
diperlukan kehati-hatian dalam merumuskan pengaturannya. Banyak aspek perlu
diperhatikan, berbagai sudut pandang harus dipahami, serta batas ruang lingkup yang akan
diatur harus jelas agar tidak terjadi kekosongan hukum, dan agar PP ini dapat memberikan
kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan keantariksaan serta dapat
dilaksanakan dalam berbagai situasi atau dinamis.
Perlu disampaikan bahwa peraturan Perundang-undangan nasional beberapa negara
di bidang keantariksaan, seperti Argentina, Brazil, Amerika Serikat, Rusia, dan Spanyol
telah mengatur secara terpisah kegiatan keantariksaannya dalam beberapa peraturan
Perundang-undangan. Contohnya di Brazil, pengaturan dibedakan antara regulasi yang
88
terkait dengan lembaganya, peluncuran komersil, dan perizinan. Di Amerika Serikat,
kegiatan-kegiatan seperti komersialisasi, penginderaan jauh, perizinan, semua diatur
dalam peraturan terpisah. Sementara itu, Negara-negara yang mengaturnya dalam satu
wadah adalah Australia (Space Activities Act 1998 sebagaimana diubah ke dalam Space
Activities Act 2001), dan Jepang (Basic Space Law). Tetapi, satu hal yang menjadi catatan
adalah, regulasi-regulasi milik ketiga Negara tersebut adalah setingkat dengan Undang-
Undang dan bukan Peraturan Pemerintah. Ketiga peraturan tersebut hanya memuat hal-hal
yang bersifat umum dan tidak komprehensif (misalnya regulasi Swedia) (Hermida, Julian,
2004), dan pengaturan lebih lanjut diatur secara terpisah, tidak dalam satu wadah yang
sama. Contohnya di Jepang, meskipun telah memiliki Basic Space Law, tetapi kini Jepang
tengah menyusun sebuah peraturan tentang kegiatan penginderaan jauh satelit dan
menyusun kembali kegiatan keantariksaan dengan pendekatan komersial (Nagai,
Yuichiro, 2015). Dari penjabaran tersebut, terlihat bahwa Negara-negara yang mengatur
kegiatan keantariksaan secara terpisah memiliki regulasi yang lebih komprehensif
dibandingkan dengan yang digabung ke dalam satu wadah.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penyusunan RPP saat ini diusulkan untuk
digabung menjadi 1 RPP, namun selama proses 2 tahun yang dilakukan terdapat berbagai
kendala yang perlu dipertimbangkan kembali. Tulisan ini berupaya untuk memberikan
pertimbangan yuridis mengenai alasan pengelompokan ini.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan
yang akan dikaji adalah apa saja pertimbangan yuridis dan konsekuensi pengelompokan
RPP sebagai amanat UU Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan ke dalam 1 RPP
dan solusinya.
1.3. Tujuan
Tujuan kajian ini adalah untuk mengkaji pertimbangan yuridis dan konsekuensi
penyusunan sembilan RPP yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2013 tentang Keantariksaan.
1.4. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini dilakukan melalui pendekatan teori
hierarki norma (stufenbau) dari Hans Kelsen dan legal system theory oleh Lawrence M.
Friedman dengan menggunakan data sekunder maupun primer:
a. Teori hierarki norma (stufenbau theory) dilakukan dengan menjabarkan
lapisan/tingkatan/jenjang norma hukum dari yang paling tinggi hingga yang paling
rendah serta ruang lingkupnya sesuai dengan hierarki yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dalam rangka memberikan gambaran awal mengenai Peraturan
Pemerintah dan materi muatannya (Indrati S, Maria Farida, 2010).
b. Teori sistem hukum (legal system theory) dilakukan dengan menjabarkan struktur
hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum
(legal culture) sehingga amanat-amanat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
89
2013 tentang Keantariksaan dapat dikelompokkan menjadi beberapa RPP (Trijono,
Rachmat, 2014).
2. HIERARKI, FUNGSI, ASAS, DAN MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN
2.1. Umum
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal suatu teori jenjang
hukum (stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans
Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dalam suatu
hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
yang tidak dapat ditelusuri (norma dasar atau grundnorm). Norma dasar itu ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan landasan bagi
norma-norma yang berada di bawahnya (Indrati S, Maria Farida, 2010).
Hans Nawiasky, salah seorang murid dari Hans Kelsen mengembangkan teori
gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky
mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-
kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat
kelompok besar yakni:
a. Kelompok I: Norma Dasar Negara-Pancasila dan Pembukaan UUD-1945
(Staatsfundamentalnorm);
b. Kelompok II: Aturan Dasar Negara - Batang Tubuh UUD-1945, Tap MPR
(Staatsgrundgesetz);
c. Kelompok III: Undang-Undang (Formal) (Formell Gesetz);
d. Kelompok IV: Peraturan Pelaksanaan-PP, Perpres dan Perda (Verordnung &
Autonome Satzung) (Indrati S, Maria Farida, 2010).
Agar suatu peraturan Perundang-undangan dapat berfungsi dengan sempurna, maka
peraturan tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada tiga macam
kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:
a. berlakunya secara filosofis bahwa kaidah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita
hukum sebagai nilai positif yang tertinggi misalnya, Pancasila.
b. belakunya secara sosiologi intinya adalah efektivitas kaidah hukum di dalam
kehidupan masyarakat; dan
c. berlakunya secara yuridis artinya apabila penentuannya berdasarkan kaidah yang
lebih tinggi tingkatnya atau terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan
(Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, 1993).
2.2. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Dalam sistem peraturan Perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan
Perundang-undangan. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan Perundang-
undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu: (i) Undang-Undang Dasar Negara
90
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD-1945); (ii) Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR); (iii) Undang-Undang (UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu); (iv) Peraturan Pemerintah (PP); (v) Peraturan Presiden (Perpres); (vi)
Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi); dan (vii) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
(Perda Kabupaten/Kota).
2.3. Fungsi Peraturan Perundang-undangan
Fungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2008 adalah “kegunaan
suatu hal”. Secara umum peraturan perundang-undangan fungsinya adalah “mengatur”
sesuatu substansi untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Artinya,
peraturan Perundang-undangan adalah sebagai instrumen kebijakan (beleids instrument)
baik berbentuk penetapan, pengesahan, pencabutan, maupun perubahan. (KBBI, 2008).
Secara khusus fungsi Peraturan Pemerintah adalah menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjut untuk melaksanakan perintah suatu UU. Landasan formal konstitusinya adalah
Pasal 5 ayat (2) UUD-1945.
Bagir Manan mengemukakan tentang Fungsi peraturan Perundang-undangan yaitu
fungsi internal dan fungsi eksternal (Manan, Bagir, 1994).
a. Fungsi Internal. Lebih berkaitan dengan keberadaan peraturan Perundang-undangan
dimaksud dalam sistem hukum. Secara internal peraturan Perundang-undangan
menjalankan fungsi sebagai berikut: (i) penciptaan hukum (rechts chepping); (ii)
pembaharuan hukum; (iii) integrasi; dan (iv) kepastian hukum.
b. Fungsi Eksternal, terdiri dari: (i) fungsi perubahan; (ii) fungsi stabilitasi; dan (iii)
fungsi kemudahan.
Fungsi peraturan Perundang-undangan sebagaimana dikemukakan oleh Bagir
Manan tersebut di atas, menggambarkan /berkaitan dengan organ yang berwenang
membuat peraturan Perundang-undangan, hukum itu sudah direncanakan, dibutuhkan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan, menegaskan lingkungan kuasa berlakunya suatu
aturan hukum Perundang-undangan, berfungsi sebagai instrumen, baik sebagai instrumen
pengawasan maupun sebagai instrumen perubahan (rekayasa) masyarakat.
Aan Seidmen, 2001, melihat fungsi undang-undang sebagai sistem hukum dan
pengaruhnya terhadap pola perilaku. Menurut Aan Seidmen, Fungsi Undang-undang
adalah (Aan Seidmenn et.all, 2001):
a. Sebagai pernyataan efektif dari kebijakan, pada aspek ini disebutkan bahwa
akhirnya Pemerintah hanya akan memiliki suatu pilihan yaitu melaksanakan
kebijakan-kebijakannya melalui undang-undang.
Ada dua alasan pemerintah menterjemahkan kebijakannya dalam undang-undang
yang diharapkan mampu menjawab berbagai perilaku masyarakat serta berbagai
kepentingan yang bukan saja berlaku bagi masyarakat tetapi juga terhadap
pemerintah terutama dalam hal legitimasi. Oleh karena itu undang-undang
dibutuhkan untuk memerintah dan tuntutan legitimasi.
b. Sebagai langkah penting bagi Negara dalam upaya perubahan perilaku. Peraturan-
peraturan dipersiapkan oleh para penyusun rancangan pola perilaku yang
seharusnya dilakukan. Dalam menciptakan suatu lingkungan yang mendukung
proses pembangunan maka tugas undang-undang yang paling penting adalah
memberi petunjuk atau pengarahan pada perilaku kearah yang baru atau tujuan yang
diharapkan.
91
Mengacu pada pendapat para ahli tentang fungsi peraturan Perundang-undangan,
maka pembentukan peraturan Perundang-undangan harus dibuat sesuai dengan asas-asas
pembentukan peraturan Perundang-undangan yang baik (patut) sehingga peraturan
Perundang-undangan dimaksud dapat memiliki atau mengandung aspek filosofi, aspek
sosial dan aspek yuridis.
2.4. Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, dalam pembentukan
peraturan perundangan-undangan harus memperhatikan asas-asas peraturan Perundang-
undangan antara lain: (i) UU tidak dapat berlaku surut, (ii) UU tidak dapat diganggu
gugat, (iii) UU yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi
pula, (iv) UU yang bersifat khusus akan mengesampingkan undang-undang yang bersifat
umum (Lex specialis derogat legi generalis), dan (v) UU yang baru mengalahkan undang-
undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori) (Chaidir, Ellydar dan Sudi Fahmi,
2010).
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
menyatakan bahwa asas-asas dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan meliputi:
a. Kejelasan tujuan artinya setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat artinya setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan yang berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.
d. Dapat dilaksanakan artinya setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
f. Kejelasan rumusan artinya setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan
kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya, dan
g. Keterbukaan.
2.5. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
Materi muatan adalah isi dari setiap jenis peraturan Perundang-undangan yang ada
di Indonesia. Materi muatan ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi tumpang
tindih pengaturan. Materi muatan undang-undang misalnya, jelas tidak boleh diatur dalam
suatu Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden karena undang-undang mempunyai
karakteristik tersendiri sebagai suatu peraturan Perundang-undangan tertinggi dibawah
konstitusi yang dibuat bersama antara eksekutif dan legislatif (Hasani, Ismail dan A. Gani
Abdullah, 2006).
Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 13, Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang- undangan
sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Peraturan
Pemerintah (disingkat PP) adalah peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang
92
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah
sebagai aturan "organik" dari pada Undang-Undang menurut hierarkinya tidak boleh
tumpang tindih atau bertolak belakang dengan peraturan Perundang-undangan yang setara
atau diatasnya.
Untuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR,
UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan
Pemerintah guna melaksanakan undang-undang tersebut sebagaimana mestinya.
Keberadaan Peraturan Pemerintah hanya untuk menjalankan Undang-Undang. Hal ini
berarti tidak mungkin bagi Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum terbentuk
undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak dapat berlaku efektif tanpa
adanya Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah memiliki beberapa karakteristik sehingga dapat disebut
sebagai sebuah Peraturan Pelaksana suatu ketentuan Undang-Undang. Menurut Prof. Dr.
A. Hamid Attamimi, SH sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Maria Farida Indriati
mengemukakan beberapa karakteristik dari Peraturan Pemerintah, yakni sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada Undang-
Undang yang menjadi “induknya”;
b. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila Undang-
Undang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana;
c. Ketentuan Peraturan Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan
Undang-Undang yang bersangkutan;
d. Untuk menjalankan, menjabarkan, atau merinci ketentuan Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan Undang-Undang tersebut
tidak memintanya secara tegas-tegas;
e. Ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah berisi peraturan atau gabungan
peraturan atau penetapan
f. Peraturan Pemerintah tidak berisi penetapan semata-mata.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 materi
muatan peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan (Pasal 1 angka 13), dan Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya (Pasal 12).
3. MATERI MUATAN SEMBILAN RPP AMANAT UNDANG-UNDANG
KEANTARIKSAAN DAN KONSEKUENSI HUKUM PEMBENTUKANNYA
DALAM SATU RPP
3.1. Cakupan Materi Muatan Sembilan RPP
a. Penginderaan Jauh
Pasal perintah mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan penginderaan jauh
terdapat di dalam Pasal 23 yang menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
93
penyelenggaraan kegiatan penginderaan jauh diatur dalam Peraturan Pemerintah.” RPP
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh telah disusun lebih
dahulu dan terpisah dari sembilan materi amanat pembentukan PP lainnya. Lingkup
pengaturan draft RPP tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh
setelah proses harmonisasi meliputi perolehan data, pengolahan data, penyimpanan dan
pendistribusian data, pemanfaatan data dan diseminasi informasi, pendanaan, dan sanksi.
b. Teknologi Sensitif
Amanat mengenai Teknologi Sensitif terdapat pada Pasal 27 ayat (3) yang
menyebutkan bahwa; “Tata cara dan mekanisme penjaminan keamanan teknologi sensitif
Keantariksaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.” Teknologi sensitif tersebut
terdiri dari teknologi roket, satelit, dan aeronautika. Di dalam PP ini akan mengatur
mengenai penjaminan keamanan teknologi sensitif Keantariksaan sesuai amanat undang-
undang antara lain tentang:
1) Pengertian dan batasan dengan penguasaan dan pengembangan teknologi;
2) Jaminan keamanan dan keselamatan dari resiko kecelakaan;
3) Ketentuan mekanisme dan standar biaya tertentu untuk subyek hukum lain dan
pedoman tata cara/prosedur keterlibatanya;
4) Susunan list/daftar kebutuhan teknologi sensitif yang akan di impor ke Indonesia;
5) Mekanisme dan tata cara pelaksanaan pengamanan untuk kepentingan
berlangsungnya impor teknologi sensitif.
c. Komersial
Komersial Keantariksaan diperintahkan di dalam Pasal 37 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa “Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara kegiatan komersial
Keantariksaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Aspek-aspek kegiatan komersial yang
perlu diatur di Indonesia antara lain peluncuran wahana antariksa, stasiun bumi (penerima
data misi dan telemetry, tracking and command (TT&C)), manufaktur satelit dan
komponennya, manufaktur perangkat stasiun bumi, dan Global Navigation Satellite
Systems (GNSS).
d. Bandar Antariksa
Pasal 50 menyebutkan mengenai perintah untuk membuat Peraturan Pemerintah
mengenai pembangunan dan pengoperasian Bandar Antariksa yang menyebutkan bahwa
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembangunan dan pengoperasian Bandar
Antariksa diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Dalam pembangunan bandar antariksa
perlu dibuat pengaturan antara lain : (i) penetapan lokasi bandar antariksa; (ii) standar
keamanan dan keselamatan; (iii) keserasian dan keseimbangan dengan budaya setempat
dan kegiatan lain terkait di lokasi bandar antariksa; (iv) kelayakan ekonomis, finansial,
sosial, dan pengembangan wilayah; (v) kelayakan lingkungan; (vi) rincian lengkap
fasilitas (design bandar antariksa); (vii) penetapan zona bahaya di kawasan bandar
antariksa; dan (viii) izin mendirikan bangunan bandar antariksa sesuai ketentuan standar
bangunan dan gedung.
94
Sedangkan peraturan-peraturan yang diperlukan dalam Pengoperasian Bandar
Antariksa antara lain: (i) ijin pengoperasian bandar antariksa; (ii) penetapan otoritas
bandar antariksa; (iii) jaminan keselamatan dan keamanan operasi bandar antariksa; (iv)
jaminan operasi bandar antariksa ramah lingkungan; (v) batasan tentang tanggung jawab
pemberian ganti rugi (liability) atas risiko kegagalan peluncuran dari bandar antariksa.
e. Keamanan dan Keselamatan
Perintah mengenai keamanan dan keselamatan terdapat di Pasal 57 yang
menyebutkan “Ketentuan mengenai standar dan prosedur Keamanan dan Keselamatan
Penyelenggaraan Keantariksaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Pengaturan terhadap
standar dan prosedur Keamanan dan Keselamatan Penyelenggaraan Keantariksaan
berdasarkan Undang-Undang Keantariksaan adalah suatu keadaan terpenuhinya
persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah indonesia, wahana antariksa,
kawasan bandar antariksa, transportasi antariksa, navigasi keantariksaan, masyarakat, serta
fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Aspek-aspek pengaturannya meliputi: (i)
pemenuhan ketentuan internasional dalam penyelenggaraan keantariksaan; (ii) standar dan
prosedur keamanan dan keselamatan; (iii) manajemen keselamatan dan keamanan; (iv)
kesiapsiagaan dan penanggulangan tanggap darurat; (v) pemeliharaan lingkungan.
f. Izin Peluncuran
Peluncuran berkaitan dengan izin yang diamanatkan di dalam Pasal 69 ayat (5)
yang menyebutkan bahwa “Ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan penangguhan,
pembekuan, pencabutan, dan perubahan izin peluncuran diatur dalam Peraturan
Pemerintah.” Pengaturan mengenai izin peluncuran antara lain:
1) Menetapkan ketentuan tentang tata cara peluncuran wahana antariksa;
2) Data dan informasi tentang wahana antariksa yang akan diluncurkan;
3) Tanggung jawab mutlak penyelenggara peluncuran atas masalah dan kerugian yang
timbul pada pihak ketiga;
4) Menetapkan batasan/ukuran, elemen dan kriteria kategori gangguan kesehatan
masyarakat yang disebabkan dari kegiatan penyelenggaraan peluncuran;
5) Mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap wahana antariksa.
6) Perubahan izin peluncuran aspek pengaturannya meliputi:
a) Kriteria penyebab dan dampak kecelakaan: tidak serius, cukup serius dan
sangat serius;
b) Kriteria dan persyaratan penangguhan dan pembekuan izin peluncuran:
kecelakaan tidak serius, kecelakaan cukup serius dan sangat serius;
c) Kriteria pemberian izin pasca peluncuran.
g. Tanggung Jawab dan Ganti Rugi
Pasal 83 yang mengamanatkan mengenai tanggung jawab dan ganti rugi
menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan ganti rugi
diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Pengaturan terhadap tanggung jawab dan ganti rugi
antara lain:
95
1) Menetapkan ketentuan persyaratan bagi pelaksanaan peluncuran dengan adanya
kewajiban dan jaminan asuransi dengan nilai yang proporsional dan rasional untuk
kepentingan wahana antariksa yang diluncurkan;
2) Menetapkan pengertian, batasan dan kriteria yang termasuk dalam kategori
kecelakaan yang menyebabkan gangguan kesehatan masyaakat serta batasan atau
ukuran yang dimaksud kerugian material;
3) Menetapkan aturan mekanisme dan kontrol untuk menjamin peluncuran wahana
antariksa yang dilaksanakan tidak membawa senjata pemusnah masal atau senjata
berbahaya lainnya;
4) Menetapkan ketentuan tentang tanggung jawab bagi pelaksana peluncuran yang
tidak mengindahkan ketentuan keselamatan penerbangan;
5) Menetapkan batasan dan kriteria yang termasuk dalam kategori kecelakaan yang
menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat.
h. Peran Serta Masyarakat
Perintah mengenai Peran Serta Masyarakat diamanatkan di dalam Pasal 92 yang
menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dalam
Peraturan Pemerintah.” Dalam hal peran serta masyarakat aspek pengaturannya lebih
lanjut adalah tentang tata cara masyarakat berperan serta dalam bentuk pemberian
masukan/informasi secara langsung dan tidak langsung; tata cara lembaga merespon
dalam bentuk standar operasional prosedur (SOP); peran serta masyarakat diarahkan
kepada yang berkaitan dengan peran serta publik untuk mendukung pengembangan
teknologi keantariksaan berupa opini, kebijakan, dan informasi.
i. Asuransi
Pasal 84 ayat (3) menyebutkan bahwa “Ketentuan mengenai asuransi dan ketentuan
penggantian Kerugian akibat kecelakaan Penyelenggaraan Keantariksaan oleh Instansi
Pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Dalam RPP ini hanya diwajibkan kepada
penyelenggara keantariksaan untuk membayar premi dalam jumlah maksimum yang
mampu untuk menutup kerugian yang timbul terhadap pihak ketiga dan kerusakan
lingkungan sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak. Sedangkan terhadap
pembayaran bentuk premi asuransi lainnya, diserahkan sepenuhnya kepada pelaksana
kegiatan apakah akan mengasuransikan atau tidak.
j. Sanksi Administratif
Pasal 94 ayat (3) menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif diatur dalam Peraturan
Pemerintah.” Penerapan sanksi administrasi dapat dilakukan apabila pelaku/penyelenggara
keantariksaan melanggar ketentuan dan atau persyaratan yang telah dikeluarkan pihak
yang berwenang.
96
3.2. Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Hambatan-
Hambatannya
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, secara garis besar telah mengatur
pembentukan peraturan perundang-undangan yang mencakup lima tahapan berupa: (i)
perencanaan, (ii) penyusunan, (iii) pembahasan, (iv) pengesahan atau penetapan, dan (v)
pengundangan. Kemudian Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, Maria Farida, juga
mempunyai versi lain dalam proses pembentukan peraturan Perundang-undangan yang
membagi kedalam 3 proses pembentukan, yaitu: (i) Proses Penyiapan (perancangan dan
penyusunan di lingkup Pemerintah dan DPR), (ii) Proses Mendapatkan Persetujuan
(pembahasan di DPR), dan (iii) Proses Pengesahan dan Pengundangan. Proses atau
tahapan tersebut diatas secara keseluruhan berlaku terhadap pembentukan Undang-
Undang. Sedangkan untuk proses pembentukan peraturan Pemerintah dan Peraturan
Presiden tidak memerlukan tahapan ‘pembahasan’ bersama DPR dan juga tidak
diwajibkan untuk membuat dokumen ‘Naskah Akademik’.
a. Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
Perencanaan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ataupun
Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) yang dilakukan dalam suatu program
Penyusunan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, memuat daftar judul dan
pokok materi muatan yang akan dituangkan kedalam RPP atau RPerpres. Perencanaan
penyusunan ini dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan sesuai dengan
bidang tugasnya.
Dalam proses penyusunan RPP atau RPerpres ini, Pemrakarsa perlu membentuk
Panitia Antar Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Kemudian
selanjutnya dilakukan Pengharmonisasian, Pembulatan, dan pemantapan Konsepsi
Rancangan Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Presiden yang dikoordinasikan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar non-
kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden di atur dalam Peraturan Presiden.
Setelah melakukan koordinasi dan konsultasi guna menyempurnakan RPP dan
RPerpres, selanjutnya akan dituangkan ke dalam kertas kepresidenan dan diajukan kepada
presiden untuk ditetapkan. Penetapan suatu PP ataupun Perpres ini dilakukan dengan
penandatanganan oleh Presiden dan seterusnya dilakukan pengundangan oleh Menteri
Negara Sekretaris Negara.
Berdasarkan penjelasan diatas terkait dengan pembentukan RPP dan RPerpres, Gambar
3-1 gambaran proses dalam Penyusunan, Penetapan dan Pengundangan RPP dan RPerpres
tersebut:
97
Gambar 3-1 Alur Penyusunan, Penetapan dan Pengundangan RPP dan Rperpres
Sumber: Kementerian Hukum dan HAM, 2014
b. Hambatan ataupun Kendala dalam Pembentukan Peraturan Perundangan-
undangan
Dalam melakukan pembentukan peraturan perundangan-undangan terkadang
Pemrakarsa akan menghadapi beragam hambatan dan kendala dalam pembentukannya.
Hambatan atau kendala yang sering timbul dalam proses pembentukan peraturan
Perundang-undangan tersebut sering terjadi pada proses tahap penyusunan dan
pembahasan. Berikut penjelasannya dari bebrapa tahapannya.
1) Tahapan Pembuatan Naskah Akademik (NA)
Hambatan dalam pembuatan naskah akademik adalah terkait dengan banyaknya
keperluan alokasi waktu dan daya upaya penyelesaiannya, karena pembuatan NA
tersebut memerlukan suatu proses penelitian hukum dan penelitian lainnya secara
cermat, komprehensif, dan sistematis. Hal ini bertujuan supaya produk hukum yang
dihasilkan sesuai dengan sistem hukum nasional dan kehidupan masyarakat.
2) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan
Hambatan dan Kendala dalam pembuatan Draft Rancangan Peraturan Perundang-
undangan adalah masih terbatas sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi
untuk menguasai bidang hukum Perancang Peraturan Perundang-undangan. Sangat
sedikit dari perancang yang memiliki pemahaman yang baik atas teori, metodologi,
dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang dapat secara jelas
menerjemahkan kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi peraturan perundang-
undangan, sehingga dapat dilaksanakan secara efektif.
3) Harmonisasi
Harmonisasi ini dilakukan adalah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
regulasi kewenangan antar Lembaga Pemerintah yang ada. Adapun beberapa
hambatan atau kendala yang dihadapi dalam proses harmonisasi ini adalah sebagai
berikut:
a) Masih adanya semangat egoisme sektoral dari masing-masing instansi terkait
yang hanya mengutamakan kepentingan masing-masing tanpa memahami
bahwasanya peraturan Perundang-undangan tersebut merupakan suatu sistem.
b) Wakil-wakil yang diutus oleh instansi terkait sering berganti-ganti dan tidak
berwenang untuk mengambil keputusan sehingga pendapat yang diajukan tidak
98
konsisten, tergantung kepada individu yang ditugasi mewakili, sehingga
menghambat pembahasan.
c) Rancangan peraturan Perundang-undangan yang akan diharmoniskan sering
baru dibagikan pada saat rapat atau baru dipelajari pada saat rapat sehingga
pendapat yang diajukan bersifat spontan dan belum tentu mewakili pendapat
instansi yang diwakili.
d) Pembentukannya dilakukan oleh Lembaga yang berbeda dan sering dalam
kurun waktu yang berbeda
e) Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan Perundang-
undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum
f) Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan
Perundang-undangan masih terbatas.
g) Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan Perundang-
undangan.
3.3. Konsekuensi Hukum yang dapat Timbul Pasca Pengundangan dan
Pemberlakuan suatu Perundang-undangan
Suatu peraturan Perundang-undangan pada dasarnya dibentuk untuk dapat
mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum terhadap suatu kepentingan tertentu yang
diatur. Oleh karenanya dalam proses pembentukannya tingkat upaya harmonisasi antar
instansi terkait atau stakeholders terkait harus dapat menghasilkan kesepakatan yang
optimum, sehingga rumusan norma yang dihasilkan pada akhirnya dapat menjadi aturan
dan pedoman yang baik, aspiratif dan dapat mendukung kelangsungan subyek maupun
obyek pengaturan dan mampu mendorong ketertiban dan kepastian hukum sebagaimana
yang diinginkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Atau dengan kata lain
adanya kejelasan hak dan kewajiban dari setiap subyek hukum dan konsekuensi hukum
yang jelas pula yang akan diberikan oleh aturan tersebut bila ada pelanggaran dan atau
pengingkaran/penyimpangan (Al Rasyid, Harun, 2001).
Pada dasarnya suatu peraturan perundang-undangan akan berfungsi sebagai kontrol
sosial dalam masyarakat itu sendiri, dan oleh karenanya oleh sistem hukum, subyek
hukum dalam hal ini siapapun yang merasa terugikan “kepentingannya”, dapat melakukan
upaya pengujian materiil maupun formil terhadap peraturan Perundang-undangan tersebut,
dalam hal ini oleh sistem dan mekanisme hukum ketatanegaraan Indonesia peraturan
Perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
(Muchsan, 2003).
Secara singkat pengertian Hak Menguji adalah Hak untuk menilai apakah suatu
peraturan perundangan itu telah sesuai dengan keabsahan proses pembentukannya dan
sesuai dengan dasar serta tujuan pembentukannya. Dari beberapa sumber dapat diketahui
pengertiannya sebagai berikut:
1) Hak Menguji Secara Formil (Formele Toetsingrecht)
Hak Menguji Secara Formil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-
Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya, cara pembentukan dan cara
pengundanganya sudah sebagaimana mestinya. Pengujian formal biasanya terkait
dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi
yang membuatnya. Contoh: Dalam pembentukan suatu Perda (Peraturan Daerah)
99
salah satu pihak, baik DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), Bupati atau
Gubernur tidak dilibatkan maka secara formil telah menyalahi aturan. Karena Perda
merupakan produk hukum bentukan DPRD+Bupati/Gubernur.
2) Hak Menguji Secara Materiil (Materiele Toetsingrecht)
Hak Menguji Secara Materiil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu Undang-
Undang atau Peraturan Perundang-undangan lainnya isinya bertentangan atau tidak
dengan Undang-Undang atau Peraturan Perundangan yang lebih tinggi
tingkatannya/dasar hukumnya. Penerapan Hak Menguji Secara Materiil ini ialah pada
Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
a) MA memiliki Hak Menguji secara Materiil berupa Judicial Review, yaitu menguji
peraturan dibawah Undang-Undang agar tidak bertentangan dengan Undang-
Undang.
b) MK memiliki Hak Menguji secara Materiil berupa Constitutional Review, yaitu
menguji setiap peraturan perundangan dibawah Undang-Undang Dasar agar tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hak Uji Materiil dapat
digolongkan menjadi dua macam:
i. Hak Uji Materiil atas Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar,
menjadi wewenang MK (vide Pasal 24-C ayat (1) Undang-undang Dasar 1945
Amandemen ke-3 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi);
ii. Hak Uji Materiil atas peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang
(seperti: PP, Keppres, Perda, dsb.) terhadap Undang-undang atau peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi, menjadi wewenang MA (vide Pasal
24-A ayat (1) juncto Pasal 31 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung juncto Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1993 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1999, dan terakhir dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2004).
Gambaran umum untuk pelaksanaan atau melakukan pengujian materiil adalah
sebagai berikut:
a) Kelompok masyarakat atau perorangan. Termohon hak uji materiil dalam hal ini
adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan peraturan perundang-
undangan yang dimohonkan hak uji Materiil. Sementara itu, objek hak uji materiil
adalah peraturan perundang-undangan yang mengikat umum (bukan ditujukan
atau bersifat individual)
b) Prosedur Permohonan Hak Uji Materiil
i. Untuk permohonan hak uji Materiil yang ditujukan kepada MK, diajukan
langsung ke MK.
ii. Untuk permohonan hak uji Materiil yang ditujukan kepada MA:
Dapat diajukan langsung kepada Mahkamah Agung;
Dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha
Negara diwilayah hukum kedudukan Pemohon, untuk selanjutnya akan
diteruskan kepada Mahkamah Agung;
iii. Jika terkait dengan kasus tata usaha negara, maka melalui gugatan tata usaha
negara biasa.
100
c) Alasan Permohonan Hak Uji Materiil diajukan apabila terdapat materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan
dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi, serta pembentukannya
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
d) Jika permohonan hak uji materil dikabulkan, maka peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat untuk umum, serta diperintahkan kepada instansi yang bersangkutan
untuk segera mencabutnya.Pemberitahuan isi putusan serta salinan putusan MA
dikirimkan dengan surat tercatat kepada para pihak, atau dalam hal permohonan
diajukan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara, maka
penyerahan atau pengiriman salinan putusan dilakukan melalui Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.Dalam jangka waktu 90
(sembilan puluh) hari setelah putusan MA dikirimkan kepada Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan Perundang-undangan tersebut
ternyata tidak dilaksanakan, maka peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Terhadap
putusan hak uji materiil tidak dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali
(PK).
4. PERTIMBANGAN YURIDIS DAN KONSEKUENSI PENGELOMPOKAN
SEMBILAN RPP MENJADI BEBERAPA RPP
4.1 Pertimbangan Pengelompokan Sembilan RPP menjadi Beberapa RPP
Berdasarkan teori hierarki norma (stufenbau theory) oleh Hans Kelsen yang
menyatakan norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dalam suatu hierarki (tata
susunan) sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri yang disebut sebagai
Norma Dasar (Grundnorm). Teori ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky dengan
berpendapat bahwa selain berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga
berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri
atas empat kelompok besar, yang dalam implementasinya di Indonesia adalah khususnya
kelompok IV yaitu Kelompok Peraturan Pelaksanaan yang terdiri dari PP, Perpres dan
Peraturan Daerah.
Dalam konteks hirarkhi, maka terdapat dua Undang-Undang yang menjadi acuan
dalam penyusunan RPP tentang keantariksaan yaitu UU Nomor 16 Tahun 2002 Tentang
pengesahan Traktat Antariksa 1967 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013. Karena
kedua Undang-undang ini adalah Undang-Undang yang berlaku saat ini yang mengatur
tentang keantariksaan dan memiliki derajat/level yang sama. Sedangkan dalam pengertian
kelompok aturan pelaksanaan, sesuai arahan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2013 terdapat 10 arahan peraturan pelaksanaan yang dibuat dalam bentuk RPP.
Sungguhpun dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, belum ada aturan yang menegaskan
bahwa semua peraturan pelaksanaan RPP harus dibuat dalam satu bentuk aturan masing-
masing sesuai mandat atau digabungkan dalam satu atau beberapa RPP. Dalam prakteknya
di Indonesia pada umumnya peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-undang dibuat
dalam berbagai bentuk dan tingkatan sesuai dengan mandat dalam masing-masing
pasalnya, sedangkan yang menggabungkan dalam satu PP dapat diberikan contoh sebagai
berikut:
101
a. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009
Tentang Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika yang disusun dari 11 PP amanat
UU tersebut dalam satu peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 46 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengamatan Dan
Pengelolaan Data Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika.
b. Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Informasi Geospasial yang disusun dalam satu peraturan pelaksanaan yaitu PP
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011.
Di samping itu, terkait dengan keantariksaan, mengingat sifat internasionalnya,
maka umumnya dilakukan peraturan perundang-undangan pelaksanaan dibuat dengan
melakukan analogi dalam rezim hukum laut atau hukum udara. Dilihat dari kedua rezim
ini terdapat beberapa bentuk peraturan pelaksanaan, bahkan juga terdapat peraturan
pelaksanaan yang bersifat setara yaitu undang-undang mengingat sifat dan materi dari
peraturan tersebut selaras dengan selaras dengan analogi Indonesia meratifikasi perjanjian
internasional dimana dalam Pasal 10 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 Tentang
Perjanjian Internasional dinyatakan bahwa Pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: (i) masalah politik, perdamaian,
pertahanan, dan keamanan negara; (ii) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
negara Republik Indonesia; (iii) kedaulatan atau hak berdaulat negara; (iv) hak asasi
manusia dan lingkungan hidup; (v) pembentukan kaidah hukum baru; (vi) pinjaman
dan/atau hibah luar negeri. Hal ini terbukti di bidang hukum laut yang diatur dalam
beberapa Undang-Undang terpisah dan peraturan pelaksanaannya juga beragam. Hal ini
dapat dilihat dari peraturan kedua rezim tersebut:
a. Di bidang hukum laut, diatur dalam beberapa Undang-Undang yang terpisah
diantaranya:
1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan
United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut).
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan
Indonesia.
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan;
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
Sedangkan beberapa contoh peraturan pelaksanaannya juga beragam yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, mencantumkan
dua aturan pelaksanaan berbentuk PP yaitu (i) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (ii)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air
Tanah.
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang
Kenavigasian, merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran.
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penelitian Dan Pengembangan Perikanan, peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
102
b. Di bidang hukum udara, dengan hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 1
tahun 2009 tentang penerbangan, maka dari 11 mandat yang ditindaklanjuti dengan
PP yang termuat dalam Pasal 9, Pasal 12, Pasal 69, pasal 94-95, Pasal 91, pasal 216,
Pasal 244 ayat (3) butir a, pasal 260, Pasal 365, Pasal 369, dan Pasal 374, dengan
amanat 2 tahun selesai semenjak disahkan maka sampai saat ini baru 2 PP yang
disahkan adalah:
1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2012 Tentang
Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi
Penerbangan Indonesia (digabung dari amanat Undang-Undang lainnya).
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang
Pembangunan Dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara, amanat Pasal
216 dan Pasal 260 ayat (4).
c. Di bidang Penataan Ruang, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang, maka dari 14 amanat yang ditindaklanjuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang adalah 10 Pasal Amanat yaitu Pasal 13 ayat (4), Pasal 16 ayat (4), Pasal 37
ayat (8), Pasal 38 ayat (6), Pasal 40, Pasal 41 ayat (3), Pasal 47 ayat (2), Pasal 48
ayat (5), Pasal 48 ayat (6), dan Pasal 64. Hingga saat ini, sudah terbentuk 4 (empat)
Peraturan Pemerintah.
d. Di bidang Informasi Geospasial, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, maka dari 7 amanat yang ditindak lanjuti
dengan Peraturan Pemerintah yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang
Informasi Geospasial adalah 7 Pasal yaitu Pasal 17 ayat (5), Pasal 28 ayat (3), Pasal
31 ayat (3), Pasal 39 ayat (3), Pasal 53 ayat (3), Pasal 57 ayat (5), dan Pasal 63 ayat
(3).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari perspektif hirarkhi perundang-
undangan dan tingkatan pengaturan tidak ada standar baku yang digunakan di Indonesia.
Semua penyusunan RPP lebih dititik beratkan kepada kebutuhan substansi pengaturan dan
materi yang akan diatur.
Selanjutnya berdasarkan teori sistem hukum (legal system theory) dilakukan dengan
menjabarkan struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan
budaya hukum (legal culture) yang menentukan efektif dan berhasil tidaknya penegakan
hukum. (Trijono, Rachmat, 2014). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum,
substansi hukum meliputi perangkat Perundang-undangan dan budaya hukum merupakan
hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.Tentang struktur
hukum Friedman menjelaskan:
“Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran
pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan tata
cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana
badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Presiden, prosedur
ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari
lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada”.
Sehubungan dengan struktur menurut Friedman, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr.
Maria Farida Indriati, maka dalam konteks penglompokan substansi pengaturan akan
terkait dengan 2 hal yaitu (i) bagaimana peraturan Perundang-undangan diselenggarakan
103
atau diorganisasikan dan (ii) bagaimana peraturan Perundang-undangan yang memuat
lintas sektor diselesaikan (Indrati S, Maria Farida, 2010).
Dalam konteks yang pertama, UU Nomor 21 Tahun 2013, harus dilaksanakan
dengan mengintegrasikan semua potensi nasional. Hal ini mengingat banyaknya institusi
yang sudah ada, akan ada baik di tingkat nasional maupun internasional yang harus
diberdayakan potensinya untuk mencapai tujuan undang-undangnya. Di samping itu
masing-masing dari 7 jenis kegiatan keantariksaan mempunyai berbagai jenis lembaga
yang terlibat dalam kegiatannya baik pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta
nasional dan internasional. Kondisi ini perlu ketelitian dan kecermatan dalam
pengorganisasian agar benar-benar terintegrasi dan terpadu untuk mencapai tujuan yang
sama.
Dalam konteks yang kedua bagaimana masalah lintas sektor diselesaikan, adalah
kelanjutan dari masalah yang pertama, yaitu upaya mengintegrasikan konsepsi pengaturan
dan kelembagaan yang beragam akan memerlukan waktu yang tidak sedikit dan usaha
yang keras, karena kelemahan dalam sistem nasional Indonesia adalah koordinasi,
sedangan terkait masalah yang harus dikoordinasikan dalam kegiatan keantariksaan adalah
materi muatan yang tidak sedikit, baik dalam jumlah maupun keterlibatan lembaganya.
Terkait dengan substansi hukum menurut Friedman, sebagaimana dikutip oleh Prof.
Dr. Maria Farida Indriati, adalah (Indrati S, Maria Farida, 2010):
“Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan
substansinya adalah cara-cara perilaku nyata manusia, aturan, norma, dan pola yang
berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan Perundang-
undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman
bagi aparat penegak hukum, serta pengetahuan perilaku yang ada dalam sebuah sistem
hukum”.
Sehubungan dengan substansi ini, sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2013
terdapat 7 jenis kegiatan yang harus diatur dalam mengimplementasikannya. Dari ketujuh
jenis kegiatan keantariksaan tersebut masih sedikit jumlah negara yang melakukan
kegiatan tersebut secara keseluruhan. Misalnya, peluncuran baru terdapat 11 negara,
pengoperasian persatelitan kurang lebih 40-an negara, sedangkan sains dan penginderaan
jauh terdapat banyak pihak baik organisasi internasional, lembaga pemerintah, institusi
swasta, perguruan tinggi dan perseorangan. Demikian juga dengan bandar antariksa masih
terbatas baik dalam jumlah negara maupun kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing
bandar antariksa yang dibangun.
Melihat posisi tersebut, di Indonesia sendiri, kegiatan peluncuran masih terbatas
untuk melakukan uji coba, sains masih dalam wujud memanfaatkan peralatan asing untuk
melakukan penelitian. Hal yang sudah dianggap mumpuni baru kegiatan penginderaan
jauh, yang sudah memiliki stasiun bumi yang cukup lengkap, sedangkan satelitnya masih
menggunakan satelit asing. Kondisi ini mencerminkan bahwa pemahaman menyeluruh
untuk kegiatan keantariksaan di Indonesia belum bisa dianggap memadai, sedangkan
pengetahuan yang memadai baik saat ini maupun mendatang serta praktek pelaksanaannya
sangat diperlukan dalam merumuskan suatu rancangan peraturan Perundang-undangan
yang dapat berlaku secara efektif.
Selanjutnya dalam seminar nasional Dua Tahun Undang-Undang Keantariksaan
yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada tanggal
12 November 2015 lalu, Bapak B. Hestu Cipto Handoyo, SH, M.Hum, dosen Hukum Tata
Negara dan staf ahli DPD RI, dalam presentasinya yang berjudul Peraturan Perundang-
104
undangan Implementasi UU Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan yang
Diprioritaskan untuk Disusun, menegaskan bahwa UU No. 21 Tahun 2013 Tentang
Keantariksaan merupakan UU yang sarat unsur-unsur ilmu pengetahuan dan teknologi
tinggi, maka tentunya berbagai hal yang bersifat teknis akademik dan khas ilmu
pengetahuan menjadi warna seluruh materi muatan UU tentang Keantariksaan ini.
Hal ini sejalan dengan pandangan pakar hukum ilmu peraturan Perundang-
undangan dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Bapak Dr. Sukardi,SH, MH, yang
menyarankan agar pihak teknis harus dilibatkan dalam proses penyusunan RPP ini karena
hanya mereka yang mengetahui aspek-aspek kegiatan ini secara rinci. Namun, selama ini
satuan kerja teknis juga sedikit kesulitan dalam memberikan masukan dikarenakan tingkat
teknologi dan kegiatan yang selama ini mereka lakukan masih dalam skala yang terbatas.
Oleh karena itu, diperlukan waktu yang cukup banyak untuk menetapkan sampai sejauh
mana kegiatan ini akan diatur karena RPP ini lebih banyak mengatur kegiatan yang belum
ada atau nyata hingga saat ini, dan dalam penentuannya diperlukan kehati-hatian.
Selanjutnya, mengenai budaya hukum, sebagaimana dikutip dari Prof. Dr. Maria
Farida Indrati S, Friedman berpendapat (Indrati S, Maria Farida, 2010):
“Komponen ketiga sistem hukum, budaya hukum yaitu cara
orang/pemerintah/masyarakat berperilaku terhadap hukum, sistem hukum yang
digunakan, iklim pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan”.
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia
(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.
Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan
dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum
oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum
tidak akan berjalan secara efektif.
Dalam konteks pembentukan peraturan Perundang-undangan, budaya hukum di
Indonesia masih mengedepankan ego-sektoral bukan mengedepankan tujuan pembentukan
hukum yaitu hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak
lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin
tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, maka
bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan
juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum,
atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang
baik. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi Perundang-undangannya
belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksananya.
Dengan kondisi yang disebutkan di atas, baik dari struktur, substansi maupun
budaya hukum, jika Indonesia harus menggabung sembilan PP menjadi satu PP akan
mengalami kendala yang tidak sedikit mulai dari perumusan, proses pembahasan,
negosiasi dengan pihak terkait, serta perumusan perannya termasuk konsepsi kelembagaan
dalam penyelenggaraan keantariksaan agar tercapai tujuan penyelenggaraan keantariksaan
sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 21 Tahun 2013.
4.2 Alternatif Penyusunan
Pada umumnya hukum keantariksaan yang dimiliki oleh Negara-negara yang ada
sampai saat ini dapat dikelompokkan kedalam 3 bagian besar yaitu Negara yang memiliki
105
hukum keantariksaan (i) berbentuk umum (a general space law), (ii) peraturan
perundangan yang lengkap dengan mendasarkan pada beberapa ketentuan aturan terpisah
(comprehensive legislation on a basis of several separate legislative acts) (iii) yang
memiliki ketentuan tertentu yang mengatur hal-hal yang khusus (selective provisions for
special areas) (Schmidt-Tedd, Benrhard, 2009).
Dengan mendasarkan pada yang praktik negara-negara tersebut, dan sesuai dengan
sistem ketatanegaraan Indonesia serta pembentukan peraturan Perundang-undangan di
Indonesia, maka Indonesia menganut kelompok yang kedua yaitu peraturan perundangan
yang lengkap dengan mendasarkan pada beberapa ketentuan aturan terpisah
(comprehensive legislation on a basis of several separate legislative acts). Hal ini terlihat
dari pengesahan UU No. 21 tahun 2013 yang dipandang sebagai pengaturan yang lengkap
dan bersifat umum, oleh karena itu masih perlu dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa
peraturan yang terpisah.
Berdasarkan uraian terdahulu, analisis penerapan teori yang digunakan untuk
implementasi UU nomor 21 Tahun 2013, serta kondisi negara dan sistem ketatanegaraan
Indonesia, maka terdapat dua alternatif cara yang ditempuh dalam penyusunan peraturan
implementasi UU No 21 Tahun 2013 yaitu (i) Pengelompokan berdasarkan Keterkaitan
Substansi Pengaturan (ii) Pengelompokan berdasarkan keterlibatan Indonesia dan
keperluan aturannya. Uraian berikut akan dijelaskan masing-masing kelompok tersebut.
a. Pengelompokan berdasarkan Keterkaitan Substansi Pengaturan
Materi muatan atau substansi merupakan inti dari suatu peraturan Perundang-
undangan, Demikian juga dengan peraturan implementasi UU No 21 Tahun 2013.
Sebagaimana amanat dari UU tersebut ada 10 PP yang harus dibentuk untuk mengatur 7
jenis kegiatan keantariksaan yang dinyatakan sebagai penyelenggaraan kegiatan
keantariksaan. Dengan mendasarkan kedua amanat ini, maka kemungkinan pertama
peraturan implementasi UU Nomor 21 Tahun 2013 adalah 7 PP dengan mendasarkan pada
jenis kegiatan yang diaturnya. Namun demikian 7 PP ini masih bisa disederhanakan sesuai
dengan pandangan pakar dengan mendasarkan pada keterkaitan substansi sebagaimana
termuat dalam Lampiran kajian ini. Dari lampiran tersebut terlihat perlunya diatur dalam
4 PP implementasi yaitu:
1) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Penyelenggaraan Keantariksaan,
merupakan implementasi dari: Pasal 27 ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 57, Pasal
92, Pasal 94 ayat (3).
2) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pembangunan dan Pengoperasian Bandar
Antariksa, merupakan implementasi dari: Pasal 50, Pasal 69 ayat (5).
3) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Tanggung Jawab, Ganti Rugi, dan
Asuransi Kegiatan Keantariksaan, merupakan implementasi dari: Pasal 80 jo Pasal
84 ayat (3), dan Pasal 84.
4) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Kegiatan Komersial Keantariksaan,
merupakan implementasi dari Pasal 37 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (1) huruf e.
b. Pengelompokan berdasarkan Keterlibatan Indonesia dan Keperluan
Aturannya
106
Sebagaimana diketahui teknologi keantariksaan adalah teknologi tinggi, risiko
tinggi dan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan dan penguasaan serta
penerapan teknologi tersebut selalu dicapai dalam jangka waktu yang lama. Hal ini
tercermin dari setiap proses tahapan kegiatan pengembangan dan penguasaan teknologi
keantariksaan. Misalnya untuk teknologi roket dicapai dalam 10-20 tahun, membangun
bandar antariksa 5-10 tahun, membangun teknologi satelit 1-5 tahun, termasuk proses
administrasi yang ditempuh, mulai dari pendaftaran, sertifikasi dan lisensi untuk jenis
teknologi dan hak kekayaan intelektualnya, dan koordinasi (Coordination), publikasi
lanjutan (Advance Publication) dan notifikasi (Notification), untuk spektrum frekuensi dan
orbit satelit, masing-masing upaya tersebut memerlukan proses yang cukup lama, bahkan
sekarang untuk orbit satelit dapat dimungkinkan sampai waktu 7 tahun.
Berdasarkan argumentasi tersebut, maka dalam pengelompokkan aturan
pelaksanaan UU Nomor 21 tahun 2013, disamping memfokuskan jenis kegiatan
sebagaimana alternatif pertama di atas, dan sekaligus mempertimbangkan jangka waktu
dalam pengembangan untuk masing-masing tujuan yang dicapai tersebut. Berdasarkan
pandangan maka peraturan pelaksanaan yang hendak disusun adalah sebagai berikut:
a) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Penguasaan dan Penjalaran Serta
Perlindungan Teknologi keantariksaan, merupakan implementasi dari Pasal 37
ayat (2).
b) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pembangunan dan Pengoperasian
Bandar Antariksa, merupakan implementasi dari: Pasal 50, Pasal 69 ayat (5).
c) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Kegiatan Komersial Keantariksaan,
merupakan implementasi dari Pasal 37 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (1) huruf e.
Dalam kaitan pilihan untuk alternatif satu dan alternatif dua, secara rasional dan
proporsional dari pengelompokan norma dapat dilakukan baik untuk alternatif satu
maupun alternatif dua.
4.3 Konsekuensi Hukum
Konsekuensi hukum dalam penyusunan RPP implementasi UU Nomor 21 tahun
2013, dapat dilihat dari dua aspek negatif dan aspek positif yaitu (i) dalam proses
penyusunan dan (ii) proses setelah pengesahan. Beberapa konsekuensi hukum tersebut
adalah:
a. Aspek Negatif
1) Dalam Proses Penyusunan
Sebagaimana disebutkan dalam uraian bab terdahulu, proses penyusunan RPP
menempuh beberapa tahap mulai dari penyiapan draft awal, pembahasan,
harmonisasi, penandatangan atau pengesahan. Setiap tahap tersebut memiliki
konsekuensi masing-masing.
a) Proses penyusunan draft awal akan mengalami kesulitan karena harus
menyusun rancangan yang dalam kenyataan terdapat beberapa masalah teknis
yang belum dipahami secara rinci baik dari kalangan teknisnya, praktisi serta
perancangan.
b) Proses pembahasan, mengingat bahwa pada umumnya satu RPP lazimnya
terdiri dari antara 40-60 Pasal maka sekiranya digabung dari sembilan amanat
107
RPP, kemunginan akan menjadi 350-an Pasal, dan pembahasan dalam jumlah
pasal yang demikian akan memerlukan waktu yang tidak sedikit.
c) Proses harmonisasi dan pembulatan, pada umumnya akan memakan waktu
yang lebih banyak karena akan membahas jumlah pasal dan konsepsi yang
dibahas juga menjadi banyak. Adanya pertentangan yang signifikan terhadap
isu tertentu akan memperlambat proses ini.
d) Proses pengesahan, setiap proses pengesahan sesuai dengan sistem yang
sekarang berlaku harus mendapatkan paraf dari instansi terkait, dalam proses
ini juga akan menimbulkan hambatan yang tidak mudah.
2) Dalam Proses Setelah Pengesahan
Bahwa sesuai dengan sistem ketatanegaraan RI, setiap peraturan yang disahkan,
apabila terdapat pihak-pihak yang terkait, memandang bahwa materi tersebut
bertentangan dengan Undang-undang di atasnya dan yang setara, maka
dimungkinkan untuk dilakukannya yudisial reviu. Konsekuensi dari yudisial reviu
adalah apabila ada satu pasal yang dicabut karena pengujian tersebut, maka aturan
secara keseluruhan dinyatakan tidak berlaku. Hal ini menyebabkan semua aturan
yang disatukan tersebut menjadi tidak berlaku.
b. Aspek Positif
1) Aspek positif proses penyusunan, bahwa dengan digabung menjadi satu akan
mempermudah dalam membangun kepastian hukum penyelenggaraan keantariksaan
di Indonesia, serta menghemat biaya walaupun dari sisi waktu belum bisa dikatakan
hemat.
2) Aspek positif setelah pengesahan, mengupayakan dan mewujudkan sembilan
Peraturan Pemerintah menjadi satu aturan memerlukan usaha yang luar biasa, baik
dari sisi waktu maupun dari sisi penanganan prosesnya. Namun setelah selesai
tidak ada RPP lagi yang dibuat.
Di samping hal tersebut, perlu diketahui bahwa sesuai dengan pandangan Prof. Dr.
A. Hamid Attamimi, SH di Bab 2, dinyatakan bahwa “untuk menjalankan, menjabarkan,
atau merinci ketentuan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski
ketentuan Undang-Undang tersebut tidak memintanya secara tegas-tegas”. Berlandaskan
pada pandangan ini, sungguhpun dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Keantariksaan mengamanatkan hanya sepuluh RPP, namun apabila terdapat materi pasal
yang perlu ditindaklanjuti dengan aturan dibawahnya tetap dimungkinkan untuk membuat
aturan tersebut. Dengan demikian, arahan sembilan RPP tidak berarti mutlak.
5. PENUTUP
Dengan mendasarkan pada analisis tersebut di atas, pada akhirnya dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Secara ilmu peraturan perundang-undangan dan sistem ketatanegaraan yang berlaku
di Indonesia, tidak ada ketentuan yang mewajibkan bahwa amanat dalam satu
Undang-Undang ditindaklanjuti dalam satu PP.
108
b. Cakupan dan isi masing–masing materi muatan sembilan amanat PP UU
Keantariksaan, bersifat kompleks, beragam dan luas serta masing-masing kegiatan
keantariksaan tersebut memiliki kekhususan sendiri-sendiri. Oleh karenanya,
proses penggabungan sulit dilakukan.
c. Apabila kesembilan RPP tetap digabung, salah satu kendala yang dihadapi adalah
proses pengharmonisasian dengan Kementerian/Lembaga/stakeholders. Karena
semakin luas ruang lingkupnya, semakin banyak pula sektor yang terlibat di
dalamnya (ego-sektoral).
d. Peraturan perundang-undangan yang memiliki sifat dan karakteristik yang terlalu
luas tidak dapat memberikan kepastian hukum, sehingga akan rawan untuk digugat
oleh masyarakat ataupun pihak terkait lain (di uji materiil). Akibatnya tujuan
kepastian hukum tidak terpenuhi.
e. Dengan mengacu pada teori–teori hukum serta memperhatikan pandangan pakar
dan memperhatikan kelaziman yang berlangsung dalam proses pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan, sembilan Perintah Pembentukan Peraturan
Pemerintah (PP) yang diamanatkan Undang-Undang Keantariksaan, dapat saja
dilakukan penggabungan upaya pengaturannya, tetapi tidak dalam satu PP,
melainkan menjadi beberapa PP.
f. Alternatif penggabungan dapat dilakukan berdasarkan kedekatan substansi dan
berdasarkan kebutuhan Indonesia.
6. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ini kami sampaikan pada para peneliti Poklit 2, khususnya
kepada Bapak Anjar Supriadhie, SH, MH, Dr. Mardianis, SH, MH, dan Bapak Soegiyono,
SH, atas bimbingan dan masukannya, serta kepada Kepala Pusat Kajian Kebijakan
Penerbangan dan Antariksa yang telah memberi fasilitas dalam pelaksanaan kajian ini dan
mengijinkannya untuk dipublikasikan.
DAFTAR ACUAN
Al Rasyid, Harun, 2001, Negara Hukum Indonesia, Rajawali, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safaat, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan
Hukum Nasional, Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta.
Attamimi, A. Hamid S, 1992, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Kebijakan, Pidato Dies Natalis PTIK ke-46, 17 Juni 1992, Jakarta.
Attamimi, A. Hamid S, 1993, Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Kebijaksanaan, Pidato Purna Bakti, Fakultas Hukum UI, 20 September
1993, Jakarta.
Attamimi, A. Hamid S, 1997, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Majalah
Hukum dan Pembangunan, Jakarta.
Chaidir, Ellydar dan Sudi Fahmi, 2010, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media,
Yogyakarta.
109
Dahlan Thaib, Jaiz Hamidi dan N’imatul Huda, 2003, Teori dan Hukum Konstitusi,
Rajawali Pers, Jakarta.
Hasani, Ismail dan A. Gani Abdullah, 2006, Pengantar Ilmu Perundang-undangan,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Hermida, Julian, 2004, Legal Basis for a National Space Legislation, Kluwer Academic
Publishers, New York.
Indrati S, Maria Farida, 2010, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Departemen Diknas, Edisi Keempat, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Kementerian Hukum dan HAM, 2011, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 12 Agustus
2011, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Jakarta.
Kementerian Hukum dan HAM, 2014, Proses Pembentukan Undang-Undang,
http://peraturan.go.id/welcome/index/prolegnas_pengantar.html, 15 Februari 2016.
Manan, Bagir, 1994, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Rasional, Makalah, Jakarta.
Muchsan, 2003, Ketetapan Keputusan dan Kebijakan Pemerintah, Liberty Press,
Yogyakarta.
Nagai, Yuichiro, 2015, Space Policy in Japan, APRSAF-22 Side Events: The Future of
Space Activities in the Asia Pacific Region, 2 December 2015, Bali.
Schmidt-Tedd, Benrhard, 2009, 4th Session: Regulatory Aspect, 7th IAA Sysmposium on
Small Satellite for Earth Observation, 4-8 May 2009, Berlin.
Seidmenn, Aan et.all, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan
Masyarakat yang demokratis: Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan
Undang-Undang, ELIPS, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Trijono, Rachmat, 2014, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Penerbit
Papas Sinar Sinanti, Jakarta.