prinsip konstitusionalisme dalam piagam madinah dan
TRANSCRIPT
Journal of Islamic Law Studies Journal of Islamic Law Studies
Volume 2 Number 2 Article 3
May 2021
PRINSIP KONSTITUSIONALISME DALAM PIAGAM MADINAH DAN PRINSIP KONSTITUSIONALISME DALAM PIAGAM MADINAH DAN
RELEVANSINYA BAGI KONSTITUSI INDONESIA RELEVANSINYA BAGI KONSTITUSI INDONESIA
Himas M. I. El Hakim -
Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jils
Part of the Islamic Studies Commons, and the Religion Law Commons
Recommended Citation Recommended Citation El Hakim, Himas M. I. (2021) "PRINSIP KONSTITUSIONALISME DALAM PIAGAM MADINAH DAN RELEVANSINYA BAGI KONSTITUSI INDONESIA," Journal of Islamic Law Studies: Vol. 2 : No. 2 , Article 3. Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jils/vol2/iss2/3
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Journal of Islamic Law Studies by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
41 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
PRINSIP KONSTITUSIONALISME DALAM PIAGAM MADI-
NAH DAN RELEVANSINYA BAGI KONSTITUSI INDONESIA
Himas M. I. El Hakim, S.H.
Abstract
Constitutionalism is an idea that use a constitution as an instrumen for limiting state power and pro-
tect human rights. Limiting state power and protect human rights is a principles of constitution that
contained at every constitution. Medina’s Charter as a constitution is the first written constitution that
contain it. With unique and different implementation of constitutionalism, Medina’s Charter afford
good progress either state power limitation and human right protection. Syuro’ or high forum is one
of the unique implementation for limiting state power and human rights protection. The result of
constitutionalism of Medina’s Charter give many principle and relevance for another constitutional-
ism implementation. Indonesia as a constitutional state can learn something from Medina’s Charter
constitutionalism. There is formal and subsctance relevancies that was taken from Medina’s Charter
constitutionalism pinciples and it can be applied at indonesia constitution.
Keywords : Constitutionalism, Medina Charter, Indonesia Constitution
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
42 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap negara terlahir dengan memiliki cita-cita yang disusun oleh pendi-
rinya. Indonesia sebagai negara yang merdeka juga memiliki cita-cita tersebut.
Cita-cita terbentuknya Indonesia dapat dilihat dalam kostitusi sebagai dokumen
hukum tertinggi suatu negara. Supreme Goals suatu negara bisa ditemukan dalam
Pembukaan konstitusinya.1 Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi : ”...yang melindungi se-
genap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia...” menjadi cita terlahirnya Indonesia. Tujuan inilah yang menja-
di salah satu faktor penting dari eksistensi negara Indonesia dan pemerintahannya.
Tujuan yang tertera dalam konstitusi tersebut jelas memerlukan adanya
kerjasama baik antara pemegang kekuasaan dalam hal ini negara dengan rakyat
yang juga menjadi salah satu unsur eksistensi negara. Negara yang dijalank-
an oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudisial memerlukan peran serta dari
rakyat sebagai salah satu subyek sekaligus obyek dalam pembangunan nega-
ra. Posisi rakyat di mata penguasa di negara Indonesia juga tidak kalah penting
mengingat kedaulatan di tangan rakyat sebagaimana tertera dalam ketentuan Pas-
al 1 ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Akan tetapi relasi antara negara dan rakyat tidak selamanya berjalan dengan
baik. Sejarah Indonesia membuktikan bahwa gerakan yang pecah pada 1966 maupun
1998 merupakan bentuk kekecewaan rakyat kepada negara. Hal ini juga diperparah
dengan disintegrasi antar rakyat sendiri. Konflik yang disebabkan isu suku, agama,
ras dan adat (selanjutnya disebut SARA) juga mewarnai perjalanan Indonesia. Pem-
berontakan hingga tindakan terorisme merupakan buah dari benih-benih perpecahan.
Perpecahan ini sendiri yang menjadikan identitas Indonesia sebagai negara kesatuan
sebagaimana tertera di Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dipertanyakan. Benarkah Indonesia merupakan negara kesat-
uan jika perpecahan terus terjadi? Dan dalam kondisi seperti ini apakah cita - cita
didirikannya suatu negara bisa diwujudkan baik oleh pemerintah maupun rakyat?
Hal yang berbeda terjadi pada negara yang berdiri ribuan tahun si- 1 Liav Orgad, The Preambule in Constitutional Interpretation, Oxford University Press,
2010, h. 4.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
43 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
lam. Negara Madinah merupakan salah satu negara yang mampu menja-
di peradaban besar hingga berabad-abad. Salah satu peristiwa yang men-
jadi landas pacu dari kemajuan tersebut adalah lahirnya Piagam Madinah.
Negara Madinah mampu memperjuangkan cita-citanya hingga ke pelosok Eropa.
Komposisi rakyat Madinah yang diisi baik oleh kaum pen-
datang Muhajirin dan kaum aslinya Anshar serta heterogenitas ag-
ama yang membuahkan Piagam Madinah sebagai kesepakatan kenega-
raan sebagai salah satu faktor yang mendukung kemajuan negara tersebut.
Hal yang menarik adalah adanya persamaan antar Negara Indonesia den-
gan Negara Madinah. Kesamaan tesebut setidaknya adalah komposisi muslim se-
bagai mayoritas dan heterogenitas kesukuan yang ada didalamnya. Akan tetapi
Negara Madinah terbukti dalam sejarah mampu mengembangkan dan mengek-
spansi pengaruhnya, sedangkan Indonesia jika ditinjau dari Indeks Pembangu-
nan Manusia ada di peringkat ke-108 dari 187 negara pada 2013.2 Menjelang 70
tahun kemerdekaan, Indonesia masih berada di posisi yang belum cukup strat-
egis dibandingkan dengan tetangganya, Singapura dan Malaysia. Hal ini juga
lebih berat di kemudian hari mengingat beban persiapan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (ASEAN Community) yang juga diberlakukan akhir tahun 2015.
Pada sisi yang lain, Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ter-
tera dalam Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indone-
sia Tahun 1945 memiliki konstitusi sebagai dasar bernegara. Sementara Negara
Madinah juga memiliki dokumen yang disebut sebagai Piagam Madinah, piag-
am tersebut pada hakikatnya adalah konstitusi sebagaimana pendapat Ahmad
Sukardja yakni : “Piagam Madinah adalah Konstitusi Negara Madinah, yang
dibentuk pada awal masa klasik Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M”.3 Akan
tetapi apakah Piagam Madinah dapat diklasifikasikan sebagai konstitusi se-
bagaimana Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ?
Piagam Madinah menurut Jimly merupakan : “Piagam tertulis pertama dalam
2 “IPM Indonesia Stagnan di Peringkat 108”, www.republika.co.id, 24 Juli 2014, dikunjungi
pada tanggal 1 November 2014. 3 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang -Undang Dasar NRI 1945.Jakarta, Sinar
Grafika, 2012, h. 6.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
44 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam
arti modern...”.4 Perbedaan agama (diantaranya Islam, Yahudi, dan Nasrani di Yas-
trib) maupun Suku (Quraisy Muhajirin, Auz, Khazraj, dan sebagainya) tidak menjadi
penghalang tercapainya konsensus politis hingga terlahirnya Piagam Madinah. Tata
negara Madinah sendiri selain ditopang Piagam Madinah sebagai konstitusi tertulis,
juga ditopang oleh konstitusi lain seperti Al Qur’an dan sunnah sebagaimana diatur
dalam pasal 23 dalam Piagam Madinah yang jika diterjemahkan bebas : ”Dan sesung-
guhnya bila kalian berbeda (pendapat) mengenai suatu urusan, maka dasar menyele-
saiannya ada pada (ketentuan) Allah (Al Qur’an) dan pada Muhammad (Sunnah)”.
Maka berdasarkan ketentuan ini, Al Qur an dan Sunnah juga berkedudu-
kan sebagai konstitusi yang menjadi bagian yang memperjelas, menjabar-
kan, dan melengkapi Piagam Madinah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Jimly Asshiddiqie bahwa : ”...Suatu konstitusi disebut tertulis apabila ia dit-
ulis dalam suatu naskah atau beberapa (cetak tebal oleh penulis) naskah..”.5
Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dapat dikatakan bagian dari Piagam Ma-
dinah sebagaimana pendapat Jimly Asshiddiqie terkait peraturan dasar yang terdi-
ri dari naskah induk, naskah perubahan, dan naskah pelengkap.6 Adapun posisi Al
Qur’an dan Sunnah jika ditinjau dari stufentheorie Hans Kelsen, ada pada tataran
staatgrundnorm. Hal ini disebabkan dasar pembentukan dan semangat dari Piagam
Madinah sendiri dilandasi dari keduanya. Piagam Madinah yang kemudian menja-
di Grundgezets dan juga sebagai political legal documents antar rakyat Madinah.
Berdasarkan pemaparan tersebut Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai
konstitusi modern di zamannya. Piagam Madinah sebagaimana konstitusi pada
umumnya di dunia modern pasti mengandung prinsip konstitusionalisme. Prinsip
konstitusionalisme inilah yang akan dikaji dalam penelitian untuk ditemukan un-
sur-unsurnya dan diperbandingkan dengan prinsip konstitusionalisme di Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi modern.
4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpres, Jakarta, 2005,
(selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie I) h. 13. 5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, (Selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie II)
h. 148. 6 Jimly Asshiddiqie I, op. cit., h. 254.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
45 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
Piagam Madinah sendiri berlaku sejak kepemimpinan Rasulullah di Madi-
nah hingga berakhirnya kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Ali bin Abi Thalib. Hal
ini disebabkan setelah berdirinya monarki Abbasiyah yang dipelopori oleh Muaw-
iyah, Piagam Madinah diamandemen secara total dengan ketentuan yang berbeda.
Hal ini sama seperti konstitusi Indonesia ketika baru berdiri dan digan-
ti dengan Undang – Undang RIS maupun 1950. Meskipun Piagam Madinah ti-
dak lagi diberlakukan namun sebagai political legal documents yang memiliki
konten yang luar biasa dan implikasi besar pada penerapan kenegaraannya, Piag-
am Madinah tetap dianggap konstitusi idealis bagi kaum muslimin yang men-
jadi contoh dalam pembentukan khilafah islamiyah ‘ala minhajin nubuw-
wah,7 terutama penerapan kehidupan bernegara yang heterogen dan majemuk.
Hal yang menjadi pertanyaan dari latar belakang tersebut adalah apakah ter-
dapat prinsip – prinsip konstitusionalisme yang terkandung dalam konstitusi yang
lahir di abad ketujuh tersebut, seperti apa pula bentuk prinsip konstitusionalisme
dan implikasinya? Kemudian hal – hal apa yang memiliki relevansi bagi konstitusi
Indonesia, mengingat Indonesia sendiri secara komposisi demografis juga negara
yang heterogen?
Oleh sebab itu, hasil dari penelitian mengenai prinsip konstitusionalisme
antara Piagam Madinah dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indone-
sia Tahun 1945 tersebut diharapkan mampu menjadi alternatif solusi – solusi guna
mengurai permasalahan konstitusional sekaligus memperkaya khazanah keilmuan
konstitusional khususnya di Indonesia yang heterogen dan majemuk sebagaimana
Negara Madinah di era pemberlakuan Piagam Madinah.
7 Khilafah Islamiyah ‘ala Minhajin Nubuwwah : Kepemimpinan Islam di atas Jalan Kena-
bian (berdasarkan ajaran Nabi)
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
46 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan – rumusan masalah yang
akan diulas dalam penelitian ini antara lain :
a. Apakah terdapat Prinsip Konstitusionalisme di dalam Piagam Madinah?
b. Relevansi apa saja bagi Konstitusi Indonesia yang didapatkan dari adan-
ya Prinsip Konstitusionalisme di dalam Piagam Madinah?
METODE PENELITIAN
Socio-legal research merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini.
Kajian literatur tekstual yang dielaborasi dengan konsep dan prinsip teori ketataneg-
araan menjadi bahan yang memperkaya penelitian. Pendekatan yang digunakan
adalah statute approach, conceptual approach dan historical approach.
PRINSIP – PRINSIP KONSTITUSIONALISME
Konstitusionalisme sebagai prinsip dapat didefinisikan sebagai gagasan yang
berkaitan erat dengan kekuasaan penguasa dan perlindungan terhadap rakyat. Jika
dijabarkan lagi, terdapat kata “konstitusi” dalam konstitusionalisme. Konstitusi se-
bagai peraturan dasar sekaligus landasan dari peraturan perundang – undangan lain-
nya merupakan unsur utama dalam konstitusionalisme. Hal ini disebabkan konstitusi
jika didefinisikan merupakan Political Legal Document memiliki posisi yang tinggi,
fundamen dan strategis dalam suatu negara. Kontrak dan kesepakatan antara penguasa
sebagai pengelola negara dengan rakyat sebagai unsur utama negara menjadi konten
yang penting dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk hukum yang mengand-
ung makna – makna historis dan filosofis sebagai landasan legalitas suatu negara.8
Substansi dari perjanjian antar – manusia yang diwakili dengan pe-
megang kekuasaan melahirkan konstitusionalisme sebagai instrumen pem-
8 Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Masalah, ELSAM dan HUMA, Jakarta,
2002, h. 60.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
47 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
batas kekuasaan agar negara tetap pada jalan yang benar. Konstitusional-
isme merupakan bentuk konstitusionalisasi dari kehidupan bermasyarakat
dan bernegara didasarkan pada perjanjian antar – manusia dan ideologinya.9
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie ten-
tang mengatur kekuasaan negara bahwa konstitusionalisme adalah ga-
gasan untuk mengatur dan membatasi kekuasaan untuk tujuan to keep
government in order.10 Senada dengan Jimly, terkait pembatasan kekuasaan mer-
upakan salah satu poin yang penting dalam prinsip konstitusionalisme menurut
Daniel S. Lev adalah masalah pembagian kekuasaan dan wewenang.11
Urgensi dari pembatasan kekuasaan dari negara sendiri sebagaima-
na disebut diawal, ditujukan agar tidak ada kesewenang – wenangan da-
lam tindak penguasa. Tindakan negara yang sewenang – wenang itulah yang
pasti berimplikasi terhadap hak – hak warga negara. Inilah relasi riil antara
membatasi kekuasaan negara dengan terlindunginya hak warga negara.
Muhammad Alim berpendapat bahwa konstitusionalisme berkaitan erat den-
gan perlindungan rakyat sebagai obyek kebijakan negara : “ ... untuk melindun-
gi hak – hak yang diperintah dan membatasi kekuasaan yang memerintah.”12
Hal perlindungan hak warga negara melalui pembatasan kekuasaan nega-
ra senada dengan pendapat yang dilayangkan oleh Carl J. Friedrich yaitu : ... ga-
gasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diseleng-
garakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi dikenakan beberapa pembatasan yang
diharapkan akan menjamin, bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerin-
tahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang berhak untuk memerintah.13
Pendapat yang lebih komprehensif mengenai prinsip konstitusionalisme
dikemukakan oleh Muhammad Alim bahwa, “Gagasan konstitusionalisme adalah
9 Ibid, h. 60. 10 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi
RI, Jakarta, 2004, h. 20. 11 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES,
Jakarta, 1990, h. 514-515. 12 Muhammad Alim, Asas – Asas Negara Hukum Modern dalam Islam : Kajian Komprehen-
sif Islam dan Ketatanegaraan, LKiS, Yogyakarta, 2010, h. 9. 13 Ibid, h. 63.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
48 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
gagasan yang membuat konstitusi berfungsi membatasi kekuasaan pemerintah se-
demikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak sewenang – wenang dan
dengan demikian diharapkan hak – hak warga negara akan lebih terlindungi.14”
Berdasarkan definisi gramatikal serta pendapat ahli tata negara tersebut seti-
daknya terdapat dua prinsip utama yang ada dalam konstitusionalisme, yakni :
1. Pembatasan kekuasaan lembaga negara; guna
2. Melindungi dan menjamin hak – hak warga negara.
Kedua elemen inilah yang harus ada dalam konstitusi sebuah negara yang
menganut gagasan konstitusionalisme. Konstitusionalisme dalam prinsip – prin-
sipnya harus diatur dalam konstitusi negara. Konstitusi sebagai aturan hukum tert-
inggi sekaligus fundamental dalam suatu negara merupakan instrumen utama dalam
bukti nyata penerapan konstitusionalisme dalam suatu negara.
Konstitusionalisme merupakan konsep yang menjadi keniscayaan diberlaku-
kan di negara modern.15 Implikasi dari eksistensi konstitusionalisme pada suatu
negara jelas memberikan perbedaan dengan negara yang tidak menerapkan konsti-
tusionalisme di dalamnya. Konsep negara hukum atau rechtstaat yang salah satunya
menghendaki perlindungan hak asasi manusia warga negara jelas memerlukan kon-
stitusionalisme sebagai prinsip yang menjiwai negara tersebut. Hal ini jelas berbeda
dengan negara kekuasaan belaka atau machtstaat yang cenderung bersifat tirani dan
mengesampingkan rakyat dibanding urusan penguasa.
Revolusi Perancis pada abad pertengahan atau reinnessance merupakan salah
satu bukti bahwa machtstaat yang tidak mengakomodasi konstitusionalisme di da-
lam negaranya dapat menimbulkan kekecewaan dari rakyat. Kekecewaan itulah
yang menggerakkan rakyat baik kelas bawah maupun berkepentingan seperti kelas
pemodal mengupayakan perlindungan hak mereka dari kesewenang – wenangan
penguasa. Kejadian – kejadian semacam ini kemudian lahir di berbagai wilayah lain
di dunia dan di waktu yang terus bergulir hingga saat ini seperti Arab Spring. Kon-
stitusionalisme yang tidak diakomodasi oleh konstitusi dan tidak dijalankan pengua-
sa dengan serius akan melahirkan kekacauan di negara tersebut. 14 Ibid, h. 62. 15 Jimly Asshiddiqie I, op. cit., h. 20.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
49 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
PRINSIP KONSTITUSIONALISME PIAGAM MADINAH
Piagam Madinah merupakan Political Legal Document yang menjadi cikal
bakal kelahiran dari Negara Madinah pada abad ke – 7 masehi. Hal ini sejalan den-
gan konsep Hobbes mengenai kontrak sosial antar rakyat guna mencapai tujuan
bersama. Yastrib yang sebelumnya menjadi domisili kabilah multietnik dan agama
jelas memerlukan kesepakatan agar terjadi perlindungan baik bagi kaum pendatang
(Muhajirin), kaum penerima (Anshor), maupun penduduk Yastrib sendiri.
Konstitusionalisme dalam Piagam Madinah jelas memiliki perbedaan den-
gan konstitusi lain khususnya di dunia modern. Hal ini disebabkan Piagam Madinah
sendiri merupakan terobosan di masanya. Gentlements agreement yang berbuah po-
litical legal document antara Muhajirin, Anshor dan penduduk asli merupakan ben-
tuk kesamaan visi dan misi dalam membentuk masyarakat madani guna mencapai
tujuan bersama seperti keamanan, kesejahteraan dan keadilan.
Konsep kedaulatan yang diakomodasi di Negara Madinah memilik perbe-
daan jika dibandingkan dengan konsep negara sekuler. Kekuasaan menurut Negara
Madinah pada dasarnya milik Tuhan yang didelegasikan kepada pemimpin negara
(ulil amri) guna kepentingan rakyat (ummah).
Kedaulatan semacam inilah yang melahirkan sistem teodemokrasi maupun
nomokrasi dalam Negara Madinah yang didasarkan pada ajaran Islam sebagai sta-
atfundamentalnorm-nya dan Piagam Madinah sebagai Grundnorm yang berlaku
Prinsip konstitusionalisme secara kelembagaan prinsip konstitusionalisme
terhadap Piagam Madinah menghasilkan konsep musyawarah sebagai instrumen
dalam menguji kebijakan negara yang akan dilaksanakan. Musyawarah sebagai in-
strumen legislatif juga memiliki fungsi check and balances dalam memperkuat atau
mengubah kebijakan dari ulil amri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Ulil amri
meskipun sebagai pemegang kekuasaan tertinggi juga tidak lepas dari instrumen
musyawarah dan pengawasan dari rakyat. Hal ini disebabkan ulil amri mendapat-
kan kewenangan berkuasanya juga didasarkan dari kontrak sosial dari rakyat salah
satunya melalui bai’at.
Absolutisme yang dikhawatirkan semakin tereduksi ketika warga negara
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
50 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
mendapat implikasi dari prinsip konstitusionalisme dalam Piagam Madinah. Penga-
kuan hak asli suku, kabilah dan golongan menunjukkan bahwa pelaksanaan Piagam
Madinah jelas memerlukan seluruh pihak yang berkepentingan di dalamnya. Adan-
ya keberatan atas kebijakan kenegaraan bahkan oleh seorang individu, akan dibawa
ke ranah musyawarah dan memungkinkan adanya perubahan dari kebijakan yang
akan dilaksanakan oleh ulil amri.
Piagam Madinah sebagai konstitusi yang dibentuk oleh rakyat Madinah baik
pendatang maupun masyarakat aslinya, memiliki substansi dalam hal kekuasaan.
Kekuasaan dalam negara Madinah sangat dipengaruhi dengan kondisi perpolitikan
dan sosial yang ada di arab pada saat itu. Kuatnya peran kepala suku dan kabilah
menjadikan Madinah, yang sebelumnya bernama Yastrib, menjadi arena pertempu-
ran antar suku diantaranya Auz dan Khazraj. Madinah sebelum kehadiran Muhajirin
dapat dikatakan sangat tidak stabil dalam hal perpolitikan.
Rasulullah sebagai pemimpin Muhajirin menyadari hal tersebut, yakni labil-
itas perpolitikan di Madinah. Maka dalam rangka meminimalisir pergolakan poli-
tik dan perebutan kekuasaan di Madinah, beliau berinisiasi untuk membangun titik
temu pada seluruh pihak yang berkepentingan mengenai kekuasaan di Madinah.
Piagam Madinah mau tidak mau harus mengandung prinsip dalam aspek kekuasaan.
Implikasi dari kondisi sosial politik ini melahirkan Piagam Madinah yang
disepakati oleh suku dan kabilah besar dan berpengaruh di Madinah. Yahudi sendiri
dianggap sebagai golongan yang besar dan memiliki massa yang banyak di Madi-
nah. Pergolakan politik antar kabilah dan suku juga menjadi poin penting yang harus
diatasi terlebih dahulu di dalam Piagam Madinah. Maka dapat dijumpai beberapa
pengaturan yang bersifat yudisial lebih dominan dari pengaturan eksekutif maupun
legislatif.
Hal inilah yang bisa jadi menjadi salah satu alasan mengapa urusan dalam
golongan dikembalikan ke masing – masing golongan. Instrumen penyelesaian
sengketa internal golongan pada dasarnya sesuai dengan adat masing – masing. Hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Sukardja :
Penyebutan nama – nama suku dalam Piagam Madinah dan disebutkannya
beberapa adat yang berlaku di lingkungan suku – suku itu menjadi bukti bahwa Mu-
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No. 2 (2019)
51 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
hammad saw. bersikap sangat realistis. Ia mengakui eksistensi dan pengaruh suku
– suku dan membolehkan adat yang dianggap baik berjalan terus.16
Adapun sengketa yang terjadi antar suku dan kabilah memiliki instrumen
berbeda dalam upaya penyelesaiannya. Hal ini dapat ditinjau dari klausul Pasal 23
dan 42 yang berbunyi :
Pasal 23 : Dan sesungguhnya bila kalian berbeda (pendapat) mengenai
suatu urusan, maka dasar menyelesaiannya ada pada (ketentuan) Allah dan
pada Muhammad.
Pasal 42 : Dan sesungguhnya jika di antara rakyat Piagam ini terdapat
peristiwa atau perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya atau
kerusakan, maka penyelesaiannya (didasarkan pada) ketentuan Allah dan
Muhammad Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi was salam dan sesungguhnya
Allah melindungi dan memandang kebaikan pada Piagam ini.
Rasulullah sebagai kepala negara (ulil amri) memiliki kewenangan dalam
memutuskan perkara antar suku dan kabilah yang bersengketa jika didasarkan kepa-
da ketentuan tersebut. Hal ini menunjukkan posisi ulil amri sebagai lembaga peme-
gang kekuasaan yudisial yang memiliki fungsi eksekusi yang tinggi pula. Adanya
fungsi eksekusi ini sangat logis mengingat suatu putusan akan memberi arti dan
dampak jika penegakkan hukumnya juga kuat.
Pembatasan kekuasaan dalam Piagam Madinah merupakan salah satu hal
yang sangat menarik. Hal ini disebabkan pengaturan yang sederhana mengenai
kekuasaan atau dapat dikatakan hanya prinsipnya saja yang diatur di dalamnya.
Kondisi sosial yang ada di Negara Madinah sedikit banyak membantu berjalannya
kenegaraan tanpa harus secara rinci diatur. Warga negara mendapat implikasi dari
penerapan prinsip konstitusionalisme melalui pencantuman klausul dalam Pasal 46
Piagam Madinah yang berbunyi :
Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan peran bernegara seperti
16 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h.99.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
52 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
check and balances terhadap kebijakan dari ulil amri, setiap orang memiliki hak
yang sama dalam mengajukan keberatan maupun masukan mengenai kebijakan
negara yang akan dilakukan. Musyawarah sebagai instrumen pengawasan juga
memberikan ruang lebih bagi setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasinya
dalam membentuk kebijakan yang terbaik, tentu juga didasari dari latar belakang
kemampuan dan keilmuan orang tersebut.17
Musyawarah sebagai instrumen pembatasan kekuasaan juga secara tersirat
ada dalam dua klausul Piagam Madinah yakni :18
Pasal 12 : Seorang yang beriman tidak boleh mengikat perjanjian den-
gan persekutuan orang beriman lainnya tanpa persetujuan terlebih dahulu
darinya.
Pasal 17 : Dan sesungguhnya perdamaian orang – orang beriman adalah
satu, tidak dibenarkan seorang beriman membuat perjanjian damai sendiri
tanpa persetujuan orang beriman lain dalam keadaan perang di jalan Allah,
kecuali atas dasar persamaan dan keadilan di antara mereka.
Kedua klausul di atas secara langsung menunjukkan pencegahan tindak ke-
sewenang – wenangan yang dikhawatirkan merugikan pihak lain. Persetujuan dari
pihak lain secara langsung juga menunjukkan kewajiban adanya persetujuan dan
kesepakatan bersama dalam mengambil kebijakan strategis. Hal inilah yang men-
jadikan musyawarah sebagai instrumen pembatasan yang kuat dan khas di dalam
Negara Madinah. Warga negara Madinah dapat turut serta secara langsung dalam
pengambilan keputusan bersama melalui musyawarah.
Hal ini disebabkan terdapat latar belakang yang masih kuat dari budaya
kekabilahan. Sistem kabilah menghendaki adanya pemimpin tertinggi sebagai pe-
megang kekuasaan. Selain itu penerapan prinsip pembatasan kekuasaan ini juga
dilatarbelakangi karena kondisi yang mendesak dibentuknya konstitusi agar ada ke-
pastian hukum di antara pengelolaan negara walau bersifat sederhana.
Pengaturan yang minimalis mengenai kekuasaan ini telah disepakati oleh
17 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, UIP, Jakarta, 2011, h. 16. 18 Muhammad Alim, op. cit., h. 165.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
53 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
rakyat Negara Madinah jika didasarkan pada pembukaan atau Mukadimah Piagam
Madinah. Sebagaimana konsep Hobbes mengenai kontrak sosial maka secara po-
litical legal Piagam Madinah tidak memerlukan pengaturan kekuasaan yang rigid
dan detail mengingat budaya yang ada sudah mendukung teknis penyelenggaraan
kekuasaan. Piagam Madinah mencukupkan pengaturan kekuasaan sebagaimana
yang dikehendaki dan dipahami oleh rakyat Madinah sendiri.
Klausul yang dijabarkan di dalam pengaturan hak – hak suku, kabilah dan
golongan di Piagam Madinah memang banyak yang sama dan diulang. Hal ini
menunjukkan adanya persamaan penghormatan atas masing – masing pihak. Salah
satu contoh klausul yang banyak diulang adalah :
... tetap mempunyai hak asli mereka; saling menanggung uang tebusan da-
rah (diyat) di antara mereka dan setiap keluarga dapat membayar tebusan
dengan baik dan adil di kalangan orang – orang beriman.
Klausul di atas diulang setidaknya di 9 (sembilan) tempat di dalam Piag-
am Madinah mulai dari Pasal 2 hingga 10 Piagam Madinah. Secara tersurat hal ini
menunjukkan adanya penegasan dari perlindungan hak warga negara di dalam Piag-
am Madinah sebagai Political Legal Document di Negara Madinah.
Klausul lain yang diulang – ulang berbicara mengenai perlakuan yang sama
antar pihak khususnya golongan Yahudi sebanyak 6 (enam) ketentuan mulai dari
Pasal 26 hingga 31 seperti :
Kaum Yahudi dari Bani Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Bani Auf.
Pengaturan ini secara tegas menunjukkan bahwa Yahudi sebagai entitas so-
sial – politik yang berkepentingan di Madinah juga dihormati hak – haknya se-
bagaimana suku lain. Pencantuman khusus dan berulang ini juga sebagai bentuk
perlindungan dari diskriminasi yang kuat di tengah budaya fanatisme suku yang
kuat pada saat itu. Piagam Madinah melalui klausul tersebut menghendaki adanya
perlindungan hak yang sama pada semua pihak dan golongan.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
54 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
Piagam Madinah secara terperinci menyebutkan kabilah dan suku yang ada
dalam Negara Madinah mengenai hak asli (former condition) masing – masing. Se-
lain itu juga terdapat penegasan dalam salah satu klausul mengenai hak kebebasan
beragama khususnya beribadah kaum Yahudi. Hal ini secara tersirat menunjukkan
adanya upaya perlindungan hak asasi manusia secara pasif dalam konstitusi. Kondi-
si budaya yang ada dalam Negara Madinah juga tidak menuntut perlindungan hak
warga negara yang rigid, namun justru lebih menekankan pengakuan dari suatu
golongan. Hal ini bisa jadi dengan adanya pengakuan maka hak – hak yang dimi-
likinya tetap terjamin. Lain halnya jika tidak diakomodasi pengakuan yang akan
menyebabkan tidak jelasnya status dan tidak adanya jaminan perlindungan hak mer-
eka. Hal inilah yang menjadi ciri khas perlindungan hak warga negara dalam Piag-
am Madinah.
Perlindungan hak warga negara khususnya hak golongan dalam Piagam Ma-
dinah menjadi poin utama di dalam konstitusi tersebut. Hal ini berbeda dengan pen-
gaturan perlindungan hak asasi manusia (human rights) yang pada dasarnya menja-
di staatgrundnorm melalui ajaran hukum Islam yang diterapkan di Negara Madinah
maupun sudah terakomodasi dalam hukum adat masing – masing golongan. Perlind-
ungan warga negara ditegaskan melalui pengakuan konstitusional (constitutional
recognition) dalam Piagam Madinah.
Prinsip konstitusionalisme baik mengenai pengaturan kekuasaan maupun
perlindungan hak warga negara dalam Piagam Madinah dapat dikatakan sangat
dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan kebutuhan yang ada pada saat itu. Pen-
gaturan kekuasaan secara prinsipil dan global sedangkan perlindungan hak warga
negara diatur rinci dan fokus pada pengakuan hak golongan, suku dan agama men-
jadi ciri khas konstitusionalisme dalam Piagam Madinah.
RELEVANSI BAGI KONSTITUSI INDONESIA
Konstitusionalisme yang ada di dalam konstitusi Indonesia pada dasarnya
dapat dikatakan sudah sesuai dengan konsep konstitusi negara hukum modern yang
menitik beratkan pada prinsip – prinsip penyelenggaraan kekuasaan dan perlindun-
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
55 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
gan hak rakyat yang detail. Hal ini wajar mengingat konstitusi Indonesia khususnya
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sendiri telah men-
galami fase – fase yang cukup dinamis dalam pelaksanaannya. Proses panjang itulah
yang hari ini membentuk konsitusionalisme di Indonesia dengan segala dinamika
pelaksanaannya.
Mengingat proses yang panjang dari pembentukan konstitusionalisme di da-
lam konstitusi Indonesia guna mendapatkan tujuan murni dari supreme goals yang
disusun oleh para the founding fathers Indonesia maka diperlukan penelaahan kem-
bali sejarah pembentukan dan peristiwa – peristiwa penting yang melahirkan kon-
stitusi Indonesia sekarang.
Piagam Madinah merupakan dokumen yang lahir jauh sebelum lahisnya kon-
stitusi Indonesia. Akan tetapi hal ini tidak serta merta menjadikan hal – hal yang
terkandung di dalam Piagam Madinah sama sekali tidak memiliki relevansi dengan
konstitusi Indonesia. Piagam Madinah sebagai salah satu konstitusi memiliki rele-
vansi secara prinsipil yang dapat diambil pelajaran bagi konsitusi lainnya, termasuk
konstitusi Indonesia.
Setidaknya terdapat beberapa relevansi konstitusionalisme Piagam Madinah
yang dapat dijadikan pelajaran dalam konstitusi Indonesia yakni :
1. Relevansi Formal
2. Relevansi Substansial
Relevansi formal konstitusionalisme Piagam Madinah adalah bentuknya yang
prinsipil, sederhana namun efektif sesuai dengan kebutuhan zaman. Hal ini sebe-
narnya sudah dicoba diterapkan di dalam konstitusi Indonesia pasca amandemen.
Akan tetapi terdapat beberapa hal yang masih belum terakomodasi salah satunya
adalah pengakuan hak adat.
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya
mencantumkan dalam satu klausul yakni Pasal 18B ayat (2). Hak adat dapat di-
analogikan dengan hak asli dalam Piagam Madinah. Hal ini penting untuk ditinjau
kembali secara formal mengingat secara historis Indonesia merupakan negara yang
plural dan heterogen terutama dalam aspek kesukuan. Perlindungan dan pengakuan
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
56 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
hak adat yang lebih di dalam konstitusi akan memberikan tanggung jawab bersama
pada masing – masing suku dalam upaya menjalankan hak dan kewajibannya se-
bagai rakyat.
Pelanggaran terhadap hak adat juga jelas terbatasi secara sempit jika penga-
turan mengenai hak adat dicantumkan di dalam konstitusi. Relevansi ini tidak hanya
dapat dilakukan melalui amandemen namun juga dapat melalui upaya konstitusion-
al lain seperti konvensi. Hal yang terpenting adalah jaminan secara yuridis menge-
nai hak warga negara khususnya hak adat dalam konstitusi Indonesia sebagaimana
Piagam Madinah memberikan “hak adat” masing – masing suku, golongan dan ag-
ama sesuai dengan asalnya. Hukum adat di dalam Konstitusi Indonesia memerlukan
penegasan untuk tidak di intervensi oleh pemegang kekuasaan.
Adapun relevansi substansial yang dapat dijadikan pelajaran dari konstitu-
sionalisme Piagam Madinah bagi konstitusi Indonesia adalah penjagaan stabilitas
politik dalam rangka menjalankan konstitusi secara bertanggungjawab. Selain itu
juga diperlukan adanya penjiwaan kembali konsitusi di dalam peraturan perundang
– undangan yang di bentuk oleh lembaga negara. Penyelarasan kepentingan pengua-
sa dan rakyat merupakan salah satu bentuk penerapan relevansi substansial Prinsip
Konstitusionalisme bagi Konstitusi Indonesia. Konsep musyawarah yang menjadi
ciri khas konstitusionalisme Piagam Madinah memberikan ruang bertemu yang le-
luasa bagi penguasa dan rakyat. Hal ini perlu dijadikan pelajaran bagi pelaksanaan
konstitusi Indonesia secara substansial yakni kebijakan – kebijakan yang didasarkan
pada kepentingan rakyat.
Optimalisasi lembaga perwakilan rakyat sebagai representasi warga negara
perlu diperkuat kembali sebagai bentuk pelaksanaan konstitusi secara konsekuen.
Pembagian yang jelas antar kewenangan lembaga negara serta pelaksanaan kompro-
mi sebelum bertikai di ranah litigasi jelas memberikan kewibawaan yang tinggi bagi
lembaga – lembaga negara. Hal ini jelas akan memberikan efek yang lebih stabil
antara penguasa dan rakyat mengingat kebijakan yang dihasilkan adalah hasil kedua
belah pihak secara nyata.
Selain lembaga legislatif, lembaga yuridis juga dapat mengambil relevan-
si konstitusionalisme Piagam Madinah. Keadilan dan kepastian hukum yang ada
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
57 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
didalam Piagam Madinah didasarkan pada kebutuhan dan dinamika masyarakatnya.
Salah satu hal yang patut dikaji ulang dalam sistem peradilan khususnya peradilan
konstitusi di Indonesia adalah sifat Putusan Mahkamah Konstitusi yang final and
binding. Hal ini disebabkan kondisi yang dinamis pada masyarakat dari waktu ke
waktu jelas menghendaki adanya penyesuaian hukum agar hukum memberikan
keadilan dan kepastian disaat yang sama. Artinya Putusan MK memang final and
binding untuk ketentuan Undang – Undang tersebut namun tidak menutup kemun-
gkinan jika terdapat permasalahan sama dengan latar belakang berbeda dapat dikaji
ulang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing – masing kasus.
Konstitusionalisme Piagam Madinah yang mengandung relevansi bagi konsti-
tusi Indonesia jelas merupakan tugas besar baik bagi penguasa maupun rakyat. Hal
ini logis mengingat penguasa dan rakyat adalah unsur utama dalam konstitusion-
alisme dan pelaksanaannya. Pemerintah yang tidak dipatuhi oleh warga negara di
sebabkan tindakan kenegaraan yang inkonstitusional jelas akan memberikan reaksi
dari warga negara yang berpengaruh terhadap stabilitas negara. Maka dibutuhkan
constitutional awareness baik dari warga negara terutama bagi lembaga negara se-
bagai pemegang kekuasaan yang di amanahkan secara konstitusional.
PENUTUP
Kajian mengenai perbandingan prinsip konstitusionalisme di dalam Piagam Madi-
nah dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
implikasinya memang memiliki kekayaan substansi dan diantara kesimpulan yang
dapat diambil adalah :
1. Terdapat prinsip konstitusionalisme yang berlaku di dalam Piagam Madinah.
Prinsip konstitusionalisme tersebut terdiri dari adanya pembatasan kekuasaan
serta perlindungan hak rakyat. Prinsip Konstitusionalisme yang ada dalam
Piagam Madinah berbentuk sederhana dan prinsipil pada pelaksanaannya
mengenai pembatasan kekuasaan disebabkan latar belakang kondisi sosial
politik dan sistem budaya di Negara Madinah. Adapun prinsip konstitusional-
isme dalam perlindungan hak rakyat pada Piagam Madinah diatur rinci men-
genai hak asli suku, golongn dan agama yang ada dalam Negara Madinah
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
58 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
serta disebutkan secara tekstual masing – masing pihak;
2. Relevansi konstitusionalisme yang terdapat di dalam Piagam Madinah bagi
konstitusi Indonesia dapat ditinjau dari relevansi formal dan relevansi sub-
stansial. Relevansi formal dari eksistensi prinsip konstitusionalisme Piag-
am Madinah menghendaki adanya pengaturan mengenai kekuasaan dan hak
warga negara secara yuridis di dalam konstitusi yang didasarkan pada latar
belakang budaya dan kebutuhan rakyat suatu negara. Hal ini memiliki rele-
vansi bagi lembaga negara di Indonesia yang seharusnya lebih memperhati-
kan kepentingan masyarakat Salah satu relevansi yang dapat diangkat adalah
peninjauan kembali sifat final and binding dari Putusan Mahkamah Konstitusi
mengingat dinamika masyarakat yang terus berkembang. Adapun relevansi
substansial dari prinsip konstitusionalisme Piagam Madinah bagi konstitusi
Indonesia berfokus pada proses penerapan dan penegakan amanah konstitu-
si terhadap seluruh lembaga negara. Lembaga negara di Indonesia memiliki
tanggung jawab besar untuk bertindak sesuai dengan substansi konstitusi baik
yang terkandung secara filosofis di dalam Preambule maupun tertulis secara
jelas di dalam batang tubuh konstitusi Indonesia.
Adapun saran yang dapat dijadikan masukan untuk pelbagai pihak antara lain:
1. Penelitian dan kajian lebih dalam dan komprehensif mengenai konstitusi –
konstitusi negara di dunia dalam rangka pembangunan sistem hukum nasi-
onal khususnya dalam perspektif konstitusional baik secara formal maupun
substansial serta peninjauan kembali fungsi – fungsi kelembagaan yang tidak
mengakomodasi kebutuhan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
2. Realisasi dari upaya - upaya perbaikan terhadap pelaksanaan konstitusi di In-
donesia. Salah satu contoh dari implementasi konkretnya adalah peninjauan
kembali sifat Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat Final dan Mengikat.
Hal ini disebabkan Konstitusi Indonesia sendiri memiliki sifat yang fleksibel
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sifat Putusan MK tersebut lebih layak
disesuaikan dengan kasus yang bersangkutan, fleksibel dan tidak disamara-
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
59 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
takan meski didasarkan pada aturan yang sama disebabkan heterogenitas mas-
yarakat Indonesia. Hal ini jika ditinjau dari relevansi Piagam Madinah adalah
pelaksanaan konstitusi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan latar belakang
baik sosial, agama hingga budaya masyarakat Madinah.
3. Pelaksanaan sosialisasi dan edukasi konstitusi oleh seluruh komponen bangsa
baik institusi kekuasaan, akademik maupun masyarakat melalui program –
program seperti kajian ilmiah tentang konstitusi, diskusi antar – stakeholders
di dalam konstitusi Indonesia hingga penyuluhan konstitusi Indonesia pada
seluruh elemen rakyat guna semakin meningkatkan kesadaran konstitusional
masyarakat.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
60 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmad, Zainal Abidin, Piagam Madinah : Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia,
Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2014.
Alim, Muhammad, Asas – Asas Negara Hukum Modern dalam Islam : Kajian Kom-
prehensif Islam dan Ketatanegaraan, LKiS, Yogyakarta, 2010.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Politik Islam : Ta’liq Siyasah Syar’iyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Griya Ilmu, jakarta, 2009.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpres, Jakarta,
2005.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
Astuti, Ngudi, Pancasila dan Piagam Madinah : Konsep, Teori, dan Analisis Mewu-
judkan Masyarakat Madani di Indonesia, Media Bangsa, Jakarta, 2012.
Azhary, Tahir, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip – Prinsipnya dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implememtasinya pada Periode Negara Madi-
nah dan Masa Kini, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010.
Dicey, A.V., Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Nusamedia, Bandung, 2014.
Fuad, Ahmad Nur, Cekli Setya Pratiwi dan M. Syaiful Aris, Hak Asasi Manusia
dalam Perspektif Islam, LPSHAM Muhammadiyah Jatim – MADANI,
Malang, 2010.
Hamzah, Fahri, Negara, Pasar dan Rakyat, Faham Indonesia, Jakarta, 2010.
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tatanegara Indonesia, Gema Insani Pers, Jakarta,
1996.
Mas’udi, Masdar Farid, Syarah UUD 1945 Perspektif Islam, Media Alvabet, Jakar-
ta, 2013.
Mubarakfuri, Safiur Rahman, History of Madinah Munawwarah, Maktaba Darus
Salam, Riyadh, 2004.
Journal of Islamic Law Studies Volume 2 No.2 (2019)
61 Centre of Islam and Islamic Law Studies Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Faculty of Law, Universitas Indonesia
Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Stu-
di Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959), PT Grafiti Pers, Jakarta,
1995.
Imarah, Muhammad, Islam dan Keamanan Sosial, Gema Insani Pers, Jakarta, 1999.
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2007.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, UIP, Jakarta, 2011.
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998.
Strong, C.F., Konstitusi – Konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk, Nusamedia, Bandung, 2014,
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah & Undang – Undang Dasar NRI 1945 : Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang
Majemuk, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Wigjnosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Permasalahan, EL-
SAM dan HUMA, Jakarta, 2002.
Makalah
Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Negara Hukum Indonesia.
Emon, Anver, Reflections On The “Constitution of Medina” : An Essay On Meth-
odology And Ideology In Islamic Legal History, JINEL UCLA, Los An-
geles, 2002.
Orgad, Liav, The Preambule in Constitutional Interpretation, Oxford University
Press, 2010.