problematika penyelenggaraan financial technology …

162
PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER-TO-PEER LENDING (Analisa Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: NAUFAL ABDURRAHMAN SUPANGKAT NIM: 11140480000079 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS

PEER-TO-PEER LENDING

(Analisa Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

NAUFAL ABDURRAHMAN SUPANGKAT

NIM: 11140480000079

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

Page 2: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS

PEER-TO-PEER LENDING

(Analisa Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

NAUFAL ABDURRAHMAN SUPANGKAT

NIM: 11140480000079

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

i

Page 3: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS

PEER-TO-PEER LENDING

(Analisa Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

NAUFAL ABDURRAHMAN SUPANGKAT

NIM: 11140480000079

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag. Syafrudin Makmur, S.H., M.H.

NIP. 19680904 199401 1 001 NUPN. 9920112680

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

ii

Page 4: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

iii

Page 5: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Naufal Abdurrahman Supangkat

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 29 April 1995

NIM 11140480000079

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Mutiara Pejaten Townhouse Kavling H RT 3 RW 3,

Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510

(081217976356)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Strata (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika di kemudian hari, terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juli 2020

NAUFAL ABDURRAHMAN SUPANGKAT

NIM:11140480000079

iv

Page 6: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

ABSTRAK

Naufal Abdurrahman Supangkat. NIM 11140480000079. PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER-TO-PEER LENDING

(Analisa Yuridis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016). Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, Tahun 2020 M/1441 H, x + 151 Halaman.

Ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui

bentuk-bentuk problematika hukum, perlindungan hukum, konsep penegakan hukum terhadap

debitur dan kreditur dalam penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis Fintech

Peer To Peer Lending.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan

metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan kasus (case

approach). Pendekatan perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Sedangkan, pada pendekatan kasus

berdasarkan data audiensi dan wawancara bersama pihak OJK selaku regulator dan korban

layanan Fintech P2PL illegal.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi ditinjau dari aspek perlindungan hukum bagi debitur selaku konsumen dan kreditur

selaku investor dalam konsep negara hukum tidak sesuai dengan prinsip negara hukum karena

bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen dan asas kepastian hukum, sehingga

mendisrupsi penyelenggaraan layanan Fintech berbasis Peer To Peer Lending yang berimplikasi

pada minimnya perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur sebagai pengguna layanan

Fintech berbasis Peer To Peer Lending yang menuai banyak problematika pada kegiatan pinjam

meminjam uang berbasis teknologi informasi (Fintech P2PL) di masyarakat.

Kata Kunci : Problematika, Penyelenggaraan, Financial Technology,

Peer-To Peer Lending

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag.

2. Syafrudin Makmur, S.H.,

M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1956 sampai Tahun 2019

v

Page 7: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Puji dan rasa syukur mendalam, peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Sholawat dan salam semoga selalu senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah

Muhammad SAW.

Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada

semua pihak yang membantu kelancaran peneliti skripsi ini, baik berupa dorongan moril maupun

materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi peneliti

untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini. Oleh karena itu peneliti secara khusus ingin

menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.H.,M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs.

Abu Tamrin, S.H.,M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang senantiasa memberikan arahan dan masukannya atas penyusunan skripsi.

3. Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag. dan Syafrudin Makmur, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi yang

telah memberikan segenap waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan kritik

konstruktif dan motivasinya terhadap proses hingga penyelesaian dalam penyusunan skripsi.

4. Bapak Teguh Supangkat, Anggota Satgas Waspada Investasi dan Deputi Komisioner

Pengawasan Bank OJK, Bapak Sarjito, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan

Konsumen OJK, dan Bapak Munawar Kasan, Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan Dan

Pengawasan Fintech OJK, serta Ibu Tanti Tarry, Korban Layanan Fintech P2PL ilegal yang

vi

Page 8: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

telah berkontribusi besar dalam penelitian skripsi ini guna dimintai kesediaan waktu

luangnya untuk dilakukan audiensi dan wawancara terkait penelitian skripsi ini.

5. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Dr. Teguh

Supangkat dan Ibu Ane Djunita yang telah memberikan segala daya, serta upayanya demi

purnanya jenjang studi program S-1 peneliti. Dan kepada adik-adik tercinta, Algiffano Rizki

Supangkat dan Altaaj Kautsar Supangkat yang senantiasa mengingatkan, dan memotivasi

peneliti dalam proses penyusunan hingga penyelesaian skripsi ini.

6. Persembahan terima kasih peneliti kepada mendiang almarhum Bapak Arus Akbar Silondae,

S.H.,L.LM yang telah mencurahkan segenap perhatian dan motivasi, serta sebagai kawan

diskusi peneliti dalam penyelesaian penelitian ini semasa beliau masih hidup.

7. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum, khususnya kawan-kawan

DPR beserta kawan-kawan angkatan Ilmu Hukum 2014 lainnya yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu.

Demikian, peneliti haturkan terima kasih yang tak terhingga atas segala dukungan semua

pihak yang membantu dalam proses penelitian skripsi ini dan mohon maaf atas segala

kekurangan maupun kesalahan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak, terkhusus peneliti. Wassalammualaikum.

Jakarta, Juli 2020

Peneliti

Naufal Abdurrahman Supangkat

vii

Page 9: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 14

D. Metode Penelitian ..................................................................... 15

E. Sistematika Pembahasan ........................................................... 20

BAB II PENGERTIAN DAN PERATURAN LAYANAN PINJAM

MEMINJAM BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI

A. Kerangka Konseptual ................................................................ 22

1. Problematika ....................................................................... 22

2. Penyelenggaraan ................................................................. 24

3. Financial Technology (Fintech) ......................................... 24

4. Peer-To-Peer Lending ........................................................ 27

5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis

Teknologi Informasi…………………………………… 35

B. Kerangka Teori ......................................................................... 36

1. Teori Perlindungan Hukum ................................................. 36

2. Teori Perlindungan Konsumen ........................................... 39

3. Teori Kepastian Hukum ...................................................... 43

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................ 47

Page 10: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

BAB III FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER-TO-PEER LENDING

SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN A. Sumber-Sumber Pembiayaan .................................................... 49

viii

B. Perkembangan Penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer-To-Peer Lending di

Indonesia ................................................................................... 53

C. Pengaturan Penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer-To-Peer Lending di

Indonesia ................................................................................... 57

D. Implementasi Penyelenggaran Financial Technology Berbasis Peer To Peer

Lending di Indonesia… ............................................................. 67

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR DAN KREDITUR

FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER TO PEER LENDING

MENURUT PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR

77/POJK.01/2016

A. Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Fintech P2PL Menurut Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Berbasis Teknologi Informasi

……………………………..…………………….................. 77

B. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Layanan Financial Technology

Berbasis Peer-To-Peer Lending Ditinjau Berdasarkan Asas Kepastian

Hukum....................................................................................... 104

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 130

B. Rekomendasi ............................................................................. 131

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 133

LAMPIRAN....................................................................................................... 151

ix

Page 11: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan teknologi telah mengubah wajah perekonomian global,

maupun nasional, khususnya pada sektor ekonomi yang mencakup industri dan

perdagangan. Salah satu fase penting dalam perkembangan teknologi adalah

munculnya revolusi industri gelombang ke-4 atau lebih populer dengan istilah

Industrial Revolution 4.0 yang menjadi atensi publik global maupun nasional,

utamanya para pelaku usaha dalam memanfaatkan adanya Revolusi Industri 4.0,

serta bagaimana menghadapi tantangan ke depan dalam membangun

perekonomian suatu negara demi kelangsungan hidup generasi kini dan

mendatang.

Dampak Revolusi Industri 4.0, yakni adanya perubahan yang cepat pada

bidang ekonomi, seperti peralihan kegiatan ekonomi agraris ke ekonomi industri

yang menggunakan mesin dalam mengolah bahan mentah menjadi siap pakai,

sampai pada akhirnya tiba di era digitalisasi dewasa ini telah mengubah cara

kerja dan cara pandang manusia untuk mengikuti perkembangan zaman yang

bersifat dinamis.

Begitupun dengan Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0

yang dengan masifnya melakukan proses pembangunan infrastruktur, guna

menunjang kesiapan dan kematangan dalam menghadapi Revolusi Industri. Hal

ini ditandai dengan maraknya platform ekonomi digital yang berkembang pada

dunia usaha di Indonesia, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Perkembangan teknologi informasi, utamanya interconnection-

networking yang lazim disebut internet telah membawa pengaruh besar di

seluruh lini kehidupan manusia. Modern saat ini yang sangat bergantung pada

1

Page 12: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

2

kemajuan teknologi.

1 Dampak pesatnya perkembangan teknologi informasi telah

membawa perubahan terhadap pola kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan

pola kehidupan tersebut terjadi di semua bidang, baik sosial, budaya, ekonomi,

maupun bidang lainnya.2

Hasil studi polling Indonesia yang bekerjasama dengan Asosiasi

Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna

internet di Indonesia pada periode Maret hingga April 2019 mengalami

pertumbuhan 10,12%, Sekjen APJII, Henri Kasyfi menuturkan terdapat sebanyak

171,17 juta jiwa dari total populasi sebanyak 264 juta jiwa penduduk Indonesia

atau sekitar 64,8% penduduk Indonesia yang terhubung dengan koneksi

Internet.3 Tingginya pengguna jasa internet di Indonesia juga berdampak pada

tumbuh pesatnya perusahaan Financial Technology (Fintech). Kepala Sub Bagian

Perizinan Fintech Direktorat Pengaturan, Pengawasan, dan Perizinan Fintech

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Alvin Taulu mengatakan, bahwa hingga tahun

2018, total transaksi dari industri Fintech berbasis Peer To Peer Lending

mencapai Rp. 26 Triliun,4 data lain dapat dilihat dari jumlah perusahaan Fintech

berizin dan terdaftar di OJK per 30 Oktober 2019 yang mencapai 144

1 Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime dan Cyber Sex”, (Jakarta:

Jurnal Law Reform Edisi 11, 2005), h. 11.

2 Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-commerce: Studi Sistem Keamanan

dan hukum di Indonesia, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005), h. 1.

3 Website https://tekno.kompas.com/read/2019/05/16/03260037/apjii-jumlah-pengguna-

internet-di-indonesia-tembus-171-juta-jiwa diakses pada 30 Juli 2019, Pukul 21.30 BBWI.

4 Danang Sugianto, “Transaksi Fintech di Indonesia Tembus Rp. 26 Triliun”, (2019),

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4445880/transaksi-fintech-di-Indonesia-tembus-rp-

26-triliun, diakses pada 24 November 2019, Pukul 20.00 BBWI.

Page 13: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

3

perusahaan5, meningkat signifikan dibandingkan sebelumnya per Desember 2018

sebanyak 88 perusahaan.6

Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi tersebut, praktis

membuat peluang besar terhadap meningkatnya angka industri Fintech

(Financial Technology) di Indonesia menjadi semakin prospektif akibat dari

semakin banyak pula masyarakat menggunakan teknologi pada sektor finansial

yakni melalui transaksi pinjam meminjam online, dalam hal ini Fintech Peer To

Peer Lending. Masifnya pertumbuhan perusahaan Fintech juga dikarenakan

Fintech menawarkan beragam layanan keuangan yang sangat membantu

masyarakat dalam menjalankan roda perekonomian menjadi lebih efektif dan

efisien, khususnya sektor keuangan.7 Proses pemanfaatan teknologi finansial ini

hadir guna memenuhi kebutuhan masyarakat dimana ditandai dengan pelbagai

inovasi dan keterlibatan pihak baru dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi

pembayaran, seperti Penyelenggara Payment Gateway, Penyelenggara Dompet

Elektronik, dan Penyelenggara Penunjang lain, seperti perusahaan penyedia

teknologi pendukung transaksi nirkontak (contactless), termasuk dalam hal ini

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Finansial (Fintech Peer-

To-Peer Lending).

Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertugas mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran menetapkan dasar hukum penyelengaraan Fintech

dalam sistem pembayaran di Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor

18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.

5 Website https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-

Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-30-Oktober-2019.aspx diakses pada 25 November 2019,

Pukul 22.00 BBWI.

6 Website https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-

Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-Desember-2019.aspx diakses pada 26 November 2019,

Pukul 01.00 BBWI.

7 Farah Margaretha, “Dampak Elektronic Banking Terhadap Kinerja Perbankan Indonesia”,

(Jakarta: Jurnal Keuangan dan Perbankan Edisi 19, 2015), h. 514-516.

Page 14: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

4

Selain itu, Bank Indonesia juga menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor

19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Fintech (Financial Technology), sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1

Bab I Ketentuan Umum Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI Tahun

2017, didefinisikan sebagai “penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang

menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru, serta

dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau

efesiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran”.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memandang,8 bahwa Fintech merupakan

inovasi keuangan digital sebagai aktifitas pembaruan proses bisnis, model bisnis,

dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa

keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. Salah satu jenis jasa keuangan

berbasis teknologi informasi yang cukup populer saat ini yakni model layanan

pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi/ Fintech P2P Lending yang

cukup berpengaruh terhadap roda perekonomian di Indonesia memungkinkan

terjadinya peningkatan ke arah yang lebih baik. Sejatinya, Fintech memiliki

beberapa bentuk pelayanan yang ditawarkan, meliputi;9 Pembayaran (Digital

Wallets, P2P Payment), Investasi (Equity Crowdfunding, P2P Lending),

Pembiayaan (Crowdfunding, Microloans,Credit Facilities), Asuransi (Risk

Management), Lintas-Proses (Big Data Analysis, Predicitve Modelling), dan

Infrastruktur (Security).

Fintech Peer To Peer Lending (P2PL) adalah penyelenggaraan layanan

jasa keuangan untuk mempertemukan kreditur (lender) dengan debitur

8 Wawancara dengan Deputi Komisioner Pengawasan Bank Otoritas Jasa Keuangan, sekaligus

Dewan Pakar Fintech dari Unsur Otoritas Jasa Keuangan, Dr. Teguh Supangkat yang dilakukan pada 5

November 2019, Pukul 19.00 WIB. 9 Nofie Iman, Financial Technology dan Lembaga Keuangan Keuangan,(Yogyakarta:Gathering

Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri, 2016), h. 6-7.

Page 15: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

5

(borrower) dalam rangka melakukan kegiatan pinjam meminjam dalam mata

uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan

jaringan internet. Penyelenggaraan Fintech P2P Lending ini diharapkan dapat

memenuhi kebutuhan dana tunai secara cepat, mudah, dan efisien, serta

meningkatkan daya saing dan dapat menjadi salah satu solusi untuk membantu

pelaku usaha skala UMKM dalam memperoleh akses pendanaan. Karakteristik

utama Fintech P2P Lending adalah jenis bentuk Fintech P2P Lending tidak

melakukan penghimpunan dana masyarakat.

Dalam rangka mendukung pertumbuhan lembaga jasa keuangan berbasis

teknologi informasi, Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawas industri

jasa keuangan di Indonesia telah menetapkan peraturan secara rinci yang

mengatur profil penyelenggara maupun pengguna melalui Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 pada tanggal 28 Desember 2016 tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan

Digital di Sektor Jasa Keuangan pada tanggal 15 Agustus 2018.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membatasi penyelenggaraan Fintech P2P

Lending melalui badan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas

dan/atau koperasi dengan syarat pada saat pendaftaran penyelenggara yang

berbentuk Perseroan Terbatas dan/atau koperasi wajib memiliki modal sendiri

paling sedikit Rp. 1 Miliar. Penyelenggara yang telah berizin dan terdaftar resmi

di Otoritas Jasa Keuangan dan wajib mengajukan permohonan izin sebagai

penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal

terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dan wajib memiliki modal disetor atau modal

sendiri paling sedikit Rp. 2,5 Miliar.

Sejatinya, Otoritas Jasa Keuangan juga mengatur batas maksimum total

pemberian pinjaman dana sebesar Rp. 2 Miliar. Penyelenggara yang telah

terdaftar wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan

kepada Otoritas Jasa Keuangan dan penyelenggara yang telah memperoleh izin,

Page 16: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

6

wajib menyampaikan laporan berkala secara elektronik kepada Otoritas Jasa

Keuangan yaitu berupa laporan bulanan dan laporan tahunan.

Para pelaku usaha jasa keuangan (perusahaan) Fintech P2P Lending di

Indonesia tergabung dalam satu wadah organisasi Asosiasi Fintech Pendanaan

Bersama Indonesia (AFPI) yang ditunjuk Otoritas Jasa Keuangan sebagai

asosiasi resmi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi

informasi di Indonesia. Dalam Code of Conduct AFPI ditetapkan, bahwa bunga

maksimal 0,8% per hari yang terdiri dari bunga, biaya, verifikasi, denda dan

lainnya. Adapun akumulasi seluruh biaya termasuk denda adalah 100% dari nilai

pokok pinjaman.

Data dari portal website Otoritas Jasa Keuangan, menunjukkan bahwa

pada Desember 2018, penyaluran pinjaman Fintech P2P Lending menunjukkan

angka sebesar Rp. 22,62 Triliun dan per - Juni 2019 telah mencapai Rp. 44,80

Triliun. Jumlah pinjaman tersebut mengalir ke 9.743.679 rekening debitur

dengan komposisi 99,9% perorangan dan 0,11% badan usaha. Sementara itu,

akumulasi kreditur sebanyak 498.824 rekening. Mayoritas kreditur (pemberi

pinjaman) Fintech adalah perorangan 99,83% dan hanya 0,17% badan usaha.

Sampai dengan per 7 Agustus 2019, penyelenggara Fintech berizin dan terdaftar

di Otoritas Jasa Keuangan sebanyak 127 perusahaan.10

Keberadaan Fintech P2P Lending sebagai dampak positif kemajuan

teknologi informasi mendorong laju pembangunan yang sedang masif dilakukan

oleh era pemerintahan hari ini. Kehadiran Fintech P2P Lending dinilai membuat

transaksi menjadi semakin efektif dan efisien sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya. Namun, demikian dalam pelaksanaannya bisnis Fintech memiliki

potensi risiko, setidaknya ada dua potensi risiko bagi konsumen (debitur) Fintech

P2P Lending, yaitu risiko kemananan data konsumen (debitur) dan risiko

10 Website https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-

Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-7-Agustus-2019.aspx diakses pada 25 November 2019,

Pukul 12.00 BBWI.

Page 17: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

7

kesalahan transaksi.11

Kedua risiko tersebut akan membawa kerugian pada

masing-masing pihak dalam bisnis Fintech berbasis P2P Lending ini, dengan

timbulnya aksi kejahatan online, seperti penyadapan, pembobolan, dan

cybercrime dalam transaksi finansial perbankan, maupun transaksi teknologi

finansial (Fintech) berbasis P2P Lending, yang dapat mengakibatkan masyarakat

ragu untuk melakukan transaksi online ke depannya.12

Di sisi lain, kehadiran Fintech P2P Lending pada sektor hukum menuai

berbagai persoalan hukum serius terkait dengan perlindungan hak konsumen

sebagai debitur dan kreditur. Sebagaimana data yang dihimpun dari beberapa

media, peneliti menyajikan pelbagai polemik atau problematika dalam

penyelenggaraan Fintech berbasis P2P Lending yang terjadi pada para debitur

(borrower) dimana Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima banyak aduan yang telah

merugikan dan meresahkan masyarakat pengguna layanan pinjam-meminjam

online (Fintech Peer To Peer Lending). Salah satunya ialah mengenai maraknya

praktik rentenir online, maupun proses penagihan utang Fintech P2P Lending

terhadap debitur selaku konsumen secara intimidatif yang tidak sesuai dengan

prinsip kemanusiaan dimana di Indonesia jelas dijamin Hak Asasi Manusia

sesuai amanat ketentuan Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, yang dilakukan oleh Pelaku Layanan Jasa Keuangan

Fintech P2P Lending yang dalam hal ini Perusahaan platform Fintech P2P

Lending selaku kreditur, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar resmi di

Otoritas Jasa Keuangan.

11 Otoritas Jasa Keuangan, Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:

Perlindungan Konsumen pada Fintech, (Jakarta : Departemen Perlindungan Konsumen OJK, 2017), h.

28.

12 Immanuel Adithya M. Chrismastianto, Analisis SWOT Implementasi Teknologi Finansial

terhadap Kualitas Layanan Perbankan di Indonesia, (Jakarta : Jurnal Ekonomi dan Bisnis Edisi 137,

2017), h. 148.

Page 18: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

8

Hal ini ditegaskan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

melalui Ketua, Tulus Abadi yang menjelaskan bahwa “pengaduan pinjaman

online ini berkaitan dengan perusahaan Teknologi Finansial (Fintech) berbasis

pinjam meminjam uang (Peer To Peer Lending). Pengaduan tersebut tidak

hanya dilakukan oleh Perusahaan Fintech P2PL ilegal saja, melainkan juga

dilakukan oleh Perusahaan Fintech P2PL yang resmi dan tercatat di Otoritas

Jasa Keuangan.”13

Selanjutnya, keluhan yang disampaikan oleh mayoritas debitur selaku

konsumen pinjaman online, terkait dengan penetapan bunga pada pinjaman yang

tinggi dari perusahaan Fintech P2PL. Selain itu, pelaku Fintech P2P Lending

juga acapkali menyalahgunakan data pribadi konsumen, guna dijadikan amunisi

senjata untuk menagih utang debitur yang telat membayar utang pinjaman pada

Fintech P2P Lending. Sebagaimana dilansir dari pernyataan Ketua Pengurus

Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, menyatakan14

“Kami baru diundang OJK, di sana kami katakan, bahwa pinjaman online harus

jadi perhatian betul. Negara harus hadir memblokir pinjaman online ini,

khususnya yang tidak berizin. Masa negara tidak bisa, tidak boleh bilang

begitu.” Namun, ia mengaku belum menghitung secara pasti total pengaduan

yang diterima selama semester II 2019, sehingga, Tulus belum bisa menyebut

secara detail jumlah pengaduan terhadap pinjaman online dan e-commerce saat

ini. “Belum diakumulasi,” imbuh dia. “Untuk mengingatkan, Yayasan Layanan

Konsumen Indonesia sepanjang tahun lalu menerima sebanyak 564 aduan masuk

13

Masyarakat Masih Banyak Adukan Rentenir Online ke YLKI, dikutip dari situs

https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190719131351-78-413616/masyarakat-masih-banyak-adukan-

rentenir-online-ke-ylki, diakses pada 10 November 2019, Pukul 21.59 BBWI.

14 Masyarakat Masih Banyak Adukan Rentenir Online ke YLKI, dikutip dari situs

https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190719131351-78-413616/masyarakat-masih-banyak-adukan-

rentenir-online-ke-ylki, diakses pada 10 November 2019, Pukul 21.59 BBWI.

Page 19: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

9

pada tahun lalu sebenarnya lebih rendah dari dibanding 2017 lalu sebanyak 642

pengaduan”, pungkasnya.15

Kendati pengaturan mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi (Fintech P2P Lending) telah diatur dalam Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor

Jasa Keuangan, dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor

18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi

Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis Teknologi Informasi,

namun implementasi penyelenggaraannya tidak selaras dengan ketentuan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Ditambah, belum ada penegasan pengaturan terkait aturan Fintech,

khususnya pada layanan Fintech P2PL ini dalam suatu produk Undang-Undang

yang sejatinya telah menjadi atensi publik luas di Indonesia, dimana banyak

menimbulkan keresahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, khususnya

pengguna Fintech P2PL yang dirugikan oleh Perusahaan Fintech P2PL,

misalnya maraknya penyalahgunaan data pribadi mereka selaku

debitur/konsumen Fintech P2PL sehingga amat krusial dibutuhkan suatu

instrumen hukum guna memberi perlindungan data pribadi.

Adapun faktor yang mengakibatkan timbulnya persoalan hukum yaitu

penyelenggaraan Fintech P2P Lending yang belum terintegrasi dengan baik

antara debitur dan kreditur dan belum terakomodasi dengan baik oleh suatu

regulasi maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur

15 Masyarakat Masih Banyak Adukan Rentenir Online ke YLKI, dikutip dari situs

https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190719131351-78-413616/masyarakat-masih-banyak-adukan-

rentenir-online-ke-ylki, diakses pada 10 November 2019, Pukul 22.00 BBWI.

Page 20: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

10

tentang penyelenggaraan Fintech, khususnya pada Fintech berbasis Peer To Peer

Lending ini.

Di satu sisi, selain perlindungan hukum pada debitur Fintech P2P

Lending ini, peneliti juga memberikan contoh problematika yang timbul pada

penyelenggaraan Fintech P2P Lending yakni berkenaan dengan perlindungan

hukum terhadap kreditur Fintech P2P Lending yang terdaftar resmi di Otoritas

Jasa Keuangan yang luput dari atensi publik, mengingat debitur dan kreditur

dalam penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer Lending memiliki

kedudukan hukum yang sama. Adapun salah satu contoh problematika tersebut,

yaitu misalnya, pada transaksi Fintech P2P Lending antara kreditur (pemberi

pinjaman) dengan debitur (peminjam) yang tidak diketahui domisili tempat

tinggalnya atau tidak sesuai dengan alamat domisilinya, bahkan dengan

memalsukannya, dan tidak mengetahui antara satu sama lain diantara kreditur

dan debitur. Modus tersebut berpotensi terjadinya perbuatan yang bersinggungan

dengan hukum yang dapat merugikan kreditur sebagai pemberi pinjaman dalam

penyelenggaraan Fintech P2P Lending karena debitur tidak dapat memenuhi

kewajibannya atau wanprestasi untuk membayar pinjaman dengan memalsukan

identitas untuk menghindari penagihan terhadap utang yang dilakukan kepada

kreditur (pemberi pinjaman) Fintech P2P Lending.

Praktis, hal tersebut menjadi hal yang krusial terkait dengan bagaimana

pengaturan dalam regulasi/peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk

melindungi Pelaku Usaha Jasa Keuangan (Perusahaan) Fintech selaku kreditur

yang terdaftar Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka memberi perlindungan

hukum berdasarkan asas kepastian hukum sebagai kreditur Fintech, jika debitur

merugikan kreditur. Dan juga tidak kalah penting, yaitu pengaturan terkait

mekanisme penagihan pinjaman online pada Fintech P2PL ini.

Selain itu, potensi kerugian juga dihadapi oleh debitur sebagai peminjam

dalam kegiatan Fintech P2P Lending, karena tidak mendapatkan hak

perlindungan sebagai konsumen. Seperti, marak terjadinya praktik rentenir online

Page 21: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

11

(pengenaan bunga yang tinggi tanpa ada transparansi melalui portal data pada

platform Fintech P2PL), dan tidak adanya perlindungan data pribadi yang

seringkali disalahgunakan oleh pelaku usaha jasa keuangan Fintech P2P Lending

(kreditur) tersebut. Celakanya jika kreditur dan/atau perusahaan Fintech P2P

Lending tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Fintech

P2P Lending yang ter-legitimate, tentunya hal tersebut dapat merugikan debitur

(lender) yang mayoritas atau sebagian besar masyarakat masih awam terhadap

transaksi keuangan seperti ini dan hanya melihat sisi efisiensi dan mobilitas

dalam proses peminjaman uang, ditambah dapat dijangkau dengan mudah oleh

semua kalangan tanpa harus menggunakan agunan atau persyaratan lainnya yang

rumit, seperti pada peminjaman di perbankan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk

mengangkat judul penelitian mengenai, “Problematika Penyelenggaraan

Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending (Analisa Yuridis

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjabaran yang termaktub pada latar belakang,

maka identifikasi masalah pada studi penelitian ini diantaranya:

a. Adanya disintegrasi dalam implementasi Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dengan Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

b. Adanya Distorsi dalam praktik Penyelenggaran Fintech Berbasis Peer

To Peer Lending dari segi Konsep, Mekanisme, dan Implementasi

Fintech P2PL berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

Page 22: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

12

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi

c. Implikasi hukum terhadap ketentuan norma Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

d. Aspek Perlindungan Hukum terhadap debitur (borrower) Financial

Technology (Fintech) sebagai konsumen sektor jasa keuangan pada

layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (Financial

Technology Peer To Peer Lending) menurut Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen

Sektor Jasa Keuangan dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi.

e. Aspek Perlindungan Hukum terhadap Pelaku Usaha Jasa Keuangan

(Perusahaan) Fintech sebagai kreditur sektor jasa keuangan layanan

pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi ditinjau menurut

asas kepastian hukum.

f. Belum adanya regulasi atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, seperti Undang-Undang yang mengatur tentang delik (tindak

pidana) Financial Technology dan Undang-Undang Tentang

Perlindungan Data Pribadi yang menjadi krusial dalam penyelenggaraan

Fintech berbasis Peer To Peer Lending.

g. Belum adanya sistem hukum yang mapan dalam mekanisme

penyelesaian sengketa Financial Technology berbasis Peer to Peer

Lending ini, mengingat begitu banyaknya aduan dari masyarakat kepada

Lembaga Bantuan Hukum maupun Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia terkait perbuatan melawan hukum yang dilakukan Kreditur

Fintech P2P Lending, maupun debitur Fintech P2P Lending dimana

Page 23: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

13

Indonesia ialah negara berdasarkan hukum, sebagaimana amanat

ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 .

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas, maka

peneliti memberi pembatasan masalah yang hanya terfokus pada (1) aspek

perlindungan hukum terhadap debitur (borrower) Financial Technology

(Fintech) sebagai konsumen sektor jasa keuangan pada layanan pinjam

meminjam uang berbasis teknologi informasi (Financial Technology Peer

To Peer Lending) dan (2) aspek perlindungan hukum terhadap Pelaku Usaha

Jasa Keuangan (Perusahaan) Fintech sebagai kreditur sektor jasa keuangan

layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (Fintech

berbasis Peer To Peer Lending) ditinjau menurut asas kepastian hukum.

3. Perumusan Masalah

Implementasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi, menuai beragam polemik dan persoalan hukum yang

menjadi permasalahan serius di masyarakat Indonesia beberapa tahun

terakhir hingga saat ini. Oleh karena itu, peneliti merumuskan masalah

sebagai berikut:

a. Bagaimana aspek perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL

sebagai konsumen sektor jasa keuangan pada layanan pinjam

meminjam uang berbasis teknologi informasi (Financial Technology

Peer To Peer Lending) menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi?

b. Bagaimana aspek perlindungan hukum terhadap kreditur Fintech

P2PL sebagai kreditur sektor jasa keuangan layanan pinjam meminjam

uang berbasis teknologi informasi ditinjau menurut asas kepastian

hukum?

Page 24: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

14

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk:

a. Menganalisis aspek perlindungan hukum terhadap debitur Financial

Technology (Fintech) berbasis Peer To Peer Lending sebagai

konsumen sektor jasa keuangan pada layanan pinjam-meminjam uang

berbasis teknologi informasi (Financial Technology berbasis Peer To

Peer Lending) menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi.

b. Menganalisis aspek perlindungan Hukum terhadap kreditur Financial

Technology (Fintech) berbasis Peer To Peer Lending pada layanan

pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (Financial

Technology berbasis Peer To Peer Lending) ditinjau menurut asas

kepastian hukum.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan disiplin

ilmu hukum, khususnya hukum bisnis yang terkait dengan penerapan

teori-teori hukum berkenaan dengan “Problematika Penyelenggaraan

Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending : Analisa

Yuridis Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016”.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu

masukan bagi para pegiat hukum, ekonomi dan bisnis, baik itu

akademisi, praktisi, maupun pihak lain yang terkait,

Page 25: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

15

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian (research) merupakan salah satu cara untuk

menyelesaikan suatu masalah atau mencari jawaban dari persoalan yang

dihadapi secara ilmiah menggunakan cara berpikir reflektif, berpikir

keilmuan dengan prosedur yang sesuai dengan tujuan dan sifat

penyelidikan.16

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian

kualitatif, karena jenis penelitian ini menekankan pada aspek pemahaman

suatu norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan, serta norma-

norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Penelitian kualitatif

menggunakan riset lingkungan yang menjadi penelitiannya sebagai sumber

data.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang memiliki metode

yang berbeda dengan penelitian yang lainnya. Metode penelitian hukum

merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian.17

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum

sebagai sebuah bangunan sistem norma hukum.

Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,

kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanijian,

serta doktrin (ajaran).18

Penelitian hukum normatif mencakup penelitian

terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian

terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian

perbandingan hukum.

16 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,

(Jakarta: Kencana, 2014), h. 24.

17

Abdulkadir Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2004), h. 57

18

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31.

Page 26: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

16

Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian

doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis

hukum, baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the

book), maupun berupa putusan hakim melalui proses pengadilan (law it is

decided by the judge through judicial process).19

Penelitian hukum

normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data sekunder dan

menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis

normatif-kualitatif.20

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan masalah dalam skripsi ini, dengan jenis penelitian yang

digunakan adalah normatif yuridis. Pendekatan tersebut mengacu kepada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan

dan putusan-putusan pengadilan, serta norma-norma hukum yang ada dalam

masyarakat.21

Maka, dalam penelitian ini meliputi pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statutory approach)22

yang terdiri atas; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan

Sistem dan Transaksi Elektronik, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

19 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006),

h. 118.

20

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada,2003), h. 3.

21

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

22

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h.

136.

Page 27: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

17

Teknologi Informasi, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa

Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013

Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Surat Edaran

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Pelaksanaan

Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi, Peraturan Bank Indonesia

Nomor 11/12/PBI/2009 jo. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014

tentang Uang Elektronik (Electronic Money), dan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pendekatan perundang-undangan (statutory approach) ini, diterapkan guna

memahami bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi antara Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia dengan suatu produk

Undang-Undang pada penelitian ini dapat berkesinambungan dan koheren

dengan kaidah ilmu perundang-undangan.

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data

sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh

dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai

literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi

penelitian yang sering disebut bahan hukum.23

Bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini terdapat 3 (tiga) jenis, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup

ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan

23 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan

Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2010), h. 156.

Page 28: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

18

mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat.24

Bahan hukum yang

digunakan penulis merupakan bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

1). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2). Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);

3). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa;

Keuangan

4). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang nomor

19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; 5).

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas;

6). Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik;

7). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun

2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik;

8). Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 jo. Peraturan

Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Uang Elektronik

(Electronic Money);

9). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi;

10). Peraturan Otoritas Jasa Keuangaan Nomor 13/POJK.02/2018

tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan;

11). Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017

tentang Pelaksanaan Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi

Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi, dan;

24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 52.

Page 29: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

19

12). Untuk buku-buku yang dijadikan bahan hukum primer telah

terlampir dalam Daftar Pustaka.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh

dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel25

yang berkaitan

dengan penelitian ini guna memberikan penjelasan mendalam

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang

digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-buku, skripsi,

tesis dan disertasi, serta artikel ilmiah dan tulisan di internet untuk

memperkaya sumber data dalam penulisan penelitian ini.

Di samping itu, data sekunder mencakup audiensi dan

wawancara dengan Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator pada

penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To Peer

Lending (Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi) dan ditunjang oleh dokumen resmi dari instansi Otoritas

Jasa Keuangan dan instansi lainnya yang terkait.

c. Bahan Non-Hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan

bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,26

seperti

Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan

lain-lain.

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian

rupa sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih tersistematis untuk

25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 52.

26

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 52.

Page 30: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

20

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya, setelah bahan

hukum diolah, kemudian dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut,

yang pada akhirnya akan diketahui bagaimana problematika penyelenggaran

Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending (P2PL) menurut

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, dan bagaimana

aspek perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur pada sektor jasa

keuangan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi

menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi

ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi

dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berkorelasi menjadi

objek masalah untuk diteliti. Adapun sistematika penulisan skripsi ini ialah

sebagai berikut:

BAB-I: Bab ini memuat pendahuluan yang menguraikan latar

belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB-II: Bab ini menguraikan dua pokok pembahasan yang

mendukung penulisan skripsi ini, diantaranya meliputi

kerangka konseptual yang mengulas secara rinci

mengenai konsep yang menjadi acuan dalam penulisan

skripsi ini dan membahas kerangka teoritis terkait teori-

Page 31: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

21

teori yang relevan dengan pembahasan yang tertuang

dalam penelitian ini, serta mengulas tinjauan (review)

kajian terdahulu, guna menghindari kesamaan terhadap

materi muatan dalam pembahasan dalam penelitian

skripsi ini dengan apa yang ditulis oleh peneliti/pihak

lain.

BAB-III: Bab ini akan menguraikan mengenai penyelenggaraan

Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending

sebagai Sumber Pembiayaan, disertai pula mengenai

perkembangan penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer

To Peer Lending di Indonesia dan pengaturan regulasi

terkait Fintech Berbasis Peer To Peer Lending menurut

ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 dan peraturan-peraturan lainnya yang

terkait.

BAB-IV: Bab ini menguraikan tentang analisa yuridis terhadap

perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur

Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending

di Indonesia menurut ketentuan Peraturan Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 dan peraturan-

peraturan lainnya yang terkait.

BAB-V: Bab ini merupakan penutup yang memuat kesimpulan

dari penelitian ini untuk menjawab perumusan

masalah, serta memberikan rekomendasi yang dianggap

perlu.

Page 32: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

BAB II

PENGERTIAN DAN PERATURAN LAYANAN PINJAM

MEMINJAM BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI

A. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus

yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan

diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.1 Berkenaan dengan uraian diatas,

untuk memudahkan peneliti memahami pelbagai istilah yang tertuang dalam

pembahasan penelitian ini, maka peneliti menyusun beberapa kerangka

konseptual dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Problematika

Kata problematika adalah berasal dari akar kata dalam bahasa

serapan dari bahasa inggris, yaitu “problem”, artinya masalah, persoalan,

problem, soal, isu, keadaan sulit, dst.2 Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia,3 Problematika berasal dari suku kata problematik, yang berarti

masih menimbulkan masalah, hal yang masih belum dapat dipecahkan, dan

hal menimbulkan permasalahan.4

Problematika yang berasal dari suku kata “problem”, didefinisikan

sebagai suatu pernyataan tentang suatu keadaan yang belum sesuai dengan

yang diharapkan. Bisa jadi, kata yang digunakan untuk menggambarkan

1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 132.

2 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia : An English – Indonesian

Dictionary, (Jakarta : PT Gramedia, 2005).

3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia,

1989), h. 341.

4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan

Bintang, 2002), h. 276.

22

Page 33: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

23

suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih

yang menghasilkan situasi yang membingungkan (ambiguitas).5

Menurut hemat peneliti, problematika adalah suatu hal dimana terjadi

kesenjanga antara harapan dan kenyataan yang diharapkan dapat

menyelesaikan atau dapat diperlukan sehingga munculnya suatu persoalan

yang masih sukar dihadapi maupun untuk diselesaikan, baik yang berasal

dari faktor intern maupun ekstern.

Masalah biasanya dianggap sebagai suatu keadaan yang harus

diselesaikan atau dituntaskan. Umumnya, masalah disadari “ada” saat

seorang individu menyadari keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan

keadaan yang diharapkan. Dalam beberapa literatur riset, masalah seringkali

didefinisikan sebagai sesuatu yang membutuhkan alternatif jawaban, artinya

jawaban masalah atau pemecahan masalah bisa lebih dari satu variabel.

Selanjutnya, dengan kriteria tertentu akan dipilih salah satu jawaban yang

paling kecil risikonya. Biasanya, alternatif jawaban tersebut dapat

diidentifikasi jika seseorang telah memiliki sejumlah data dan informasi

yang berkaitan dengan masalah terkait.

Adapun contoh dari problematika, seperti kemiskinan, pencemaran,

korupsi, kolusi, nepotisme, eksploitasi lingkungan, dan lain-lain sebagainya

yang termasuk kategori permasalahan, baik yang tingkatnya ringan,

menengah maupun yang berat. Setiap kategori tingkatan problematika

memiliki solusi penyelesaian masing-masing tergantung dari seberapa ringan

atau berat problematika yang dihadapi. Dalam penelitian ini, peneliti

menyajikan penelitian terkait problematika atau permasalahan yang ada

dalam penyelenggaraan Fintech P2PL menurut ketentuan Peraturan Otoritas

Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang menimbulkan

5 Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar, (Jakarta : Indeks, 2008), h.

70.

Page 34: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

24

polemik/problematika di tengah masyarakat sebagai debitur maupun pada

perusahaan penyelenggara Fintech P2PL itu sendiri, dikarenakan Pemerintah

sebagai regulator dinilai belum mapan/matang menyiapkan instrumen

hukum yang jelas dalam aturan main untuk penyelenggaraan Fintech P2PL.

2. Penyelenggaraan

Penyelenggaraan berasal dari kata dasar “selenggara” yang artinya

adalah urus, rawat.6 Penyelenggaraan adalah sebuah homonim karena arti-

artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama, tetapi berbeda maknanya.

Penyelenggaraan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga

penyelenggaraan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua

benda dan segala yang dibendakan. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia7, Penyelenggaraan adalah proses, cara, perbuatan

menyelenggarakan dalam berbagai arti (seperti pelaksanaan, penunaian).

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan penyelenggaraan ialah

bagaimana proses menyelenggarakan Fintech P2PL di Indonesia sesuai

dengan peraturan hukum terkait.

3. Financial Technology (Fintech)

a. Pengertian Fintech

Fintech berasal dari istilah Financial Technology atau teknologi

finansial. The National Digital Research Centre (NDRC), di Dublin, Irlandia,

mendefinisikan Fintech sebagai “innovation in financial services” atau

“inovasi dalam layanan keuangan fintech” yang merupakan suatu inovasi

pada sektor finansial yang mendapat sentuhan teknologi modern.8

6 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2007).

7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bulan

Bintang, 2002).

8 Financial Technology, Layanan Financial Berbasis IT”, diakses dari

http://bapenda.jabarprov.go.id/2016/12/26/financial-technology-layanan-finansialberbasis-it/, diakses

pada tanggal 20 November 2019, Pukul 07.04 BBWI.

Page 35: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

25

Menurut hemat peneliti, Fintech merupakan hasil gabungan antara

layanan jasa keuangan dengan teknologi informasi yang pada akhirnya

mengubah model bisnis dari konvensional menjadi moderat dimana mulanya

dalam bertransaksi harus bertatap muka dan membawa sejumlah uang tunai,

kini dapat dilakukan secara jarak jauh (borderless) dan secara non tunai

dalam waktu yang relatif cepat dan singkat tanpa dibutuhkan

jaminan/agunan.

Menurut Muliaman Darmansyah Hadad, Financial Technology dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, diantaranya:9

a). Management Assets

Platform Expense Management System ini menstimulus berjalannya

usaha menjadi lebih praktis dan efisien. Semua rekapan penggantian biaya

yang semula dilakukan manual, hanya cukup dilakukan melalui aplikasi untuk

persetujuan penggantian biaya tersebut.

b). Crowdfunding

Crowdfunding adalah start-up Fintech yang menyelenggarakan

platform penggalangan dana untuk disalurkan kembali kepada orang-orang

yang membutuhkan, seperti korban bencana alam, korban perang, pendanaan

pembuatan karya, dan lain sebagainya.

c). Electronic Money (E-Money)

E-money atau uang elektronik adalah uang yang dikemas ke dalam

dunia digital sehingga dapat dikatakan sebagai dompet elektronik. Uang ini,

pada umumnya digunakan untuk berbelanja, membayar tagihan, dan lain

sebagainya melalui sebuah platform/aplikasi.

d). Insurance

Jenis start-up Fintech ini bergerak di bidang insurance dan cukup

menarik konsumen masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini dikarenakan

sebagaimana yang kita ketahui umumnya pada asuransi konvensional kita

menyisihkan sejumlah uang per bulan sebagai iuran wajib guna mendapat

manfaat dari asuransi tersebut di masa depan, sedangkan jenis start-up

9 Muliaman D. Hadad, Financial Technology (Fintech) di Indonesia, (Jakarta: Fintech-IBS

Otoritas Jasa Keuangan, 2017).

Page 36: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

26

Fintech insurance ini memberikan banyak tawaran yang lebih menarik

dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh asuransi konvensional.

e). Peer To Peer Lending

Platform Fintech jenis ini merupakan salah satu jenis Fintech yang

paling populer di kalangan konsumen Indonesia. Mengingat populernya

budaya berutang yang dimiliki masyarakat Indonesia dan budaya

konsumerisme. Platform Fintech menawarkan pinjaman uang dan/atau barang

secara daring (online). Seperti permodalan yang sering dianggap menjadi

bagian paling vital dalam langkah awal membuka usaha. Jenis Fintech ini

berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia karena

melalui platform Fintech ini, masyarakat yang taraf ekonominya masih rendah

dapat menikmati akses pembiayaan dengan mudah tanpa melalui proses rumit

pada lembaga bank konvensional.

f). Payment Gateway

Platform Fintech jenis payment gateway ini, memungkinkan

masyarakat memilih beragam metode pembayaran berbasis digital (digital

payment gateway) yang dikelola oleh sejumlah start-up Fintech. Kehadiran

platform Fintech jenis payment gateway ini berpotensi besar dalam

meningkatkan angka penjualan e-commerce.

g). Remittance

Platform Fintech jenis remittance ini adalah jenis start-up Fintech

yang khusus menyediakan layanan pengiriman uang antar negara. Start-up

remittance ini banyak didirikan dalam rangka membantu masyarakat yang

tidak memiliki akun atau akses perbankan. Adanya start-up Fintech jenis ini,

sangat membantu para tenaga kerja Indonesia atau salah seorang anggota

keluarganya yang berada di luar negeri, karena dengan menggunakan Fintech

jenis ini proses pengiriman uang menjadi lebih mudah dan dengan biaya yang

relatif terjangkau.

h). Securities

Saham, forex, reksadana dan lain sebagainya merupakan investasi

yang sudah tidak asing lagi didengar. Securities dapat dikatakan sebagai jenis

start-up Fintech yang menyediakan platform untuk berinvestasi saham secara

daring.

4. Peer To Peer Lending

Page 37: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

27

Pada dasarnya, praktik utang-piutang atau pinjam-meminjam uang

ini biasa dilakukan antara orang dengan seseorang atau antara seseorang

dengan suatu badan atau lembaga yang berbentuk badan hukum, misalnya

bank, koperasi simpan-pinjam, atau dapat juga dilakukan antara suatu

badan atau lembaga lainnya, misalnya antara suatu perseroan terbatas atau

yayasan dengan suatu bank.

Sejatinya, tidak ada definisi secara spesifik mengenai pengertian

tentang pinjam-meminjam uang dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, namun pada ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan

bahwa, “Pinjam-Meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang

satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-

barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak

yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari

macam dan keadaan yang sama pula.”10

Menurut Subekti, salah satu kriteria dalam membedakan antara

pinjam pakai dan pinjam-meminjam adalah apakah barang yang

dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian atau tidak. Jika barang yang

dipinjam itu menghabis karena pemakaian, itu adalah pinjam-meminjam.

Pinjam-meminjam ini dalam Bahasa Belanda disebut dengan

verbruiklening.11

a. Pengertian Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending

Platform Fintech P2PL merupakan salah satu instrumen investasi

baru dewasa ini yang ditawarkan dari layanan Fintech. Fintech jenis P2PL

ini merupakan jenis platform Fintech yang paling banyak digunakan di

10

Indonesia (Burgerlijk Wetboek), Ketentuan Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Staatsblaad, Nomor 23 Tahun 1847.

11

R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut

Hukum Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 3.

Page 38: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

28

Indonesia sebagai moda bisnis maupun ekonomi masyarakat Indonesia

yang terkoneksi oleh jaringan internet dengan menawarkan efisiensi dan

kemudahan dalam mendapatkannya tanpa melihat, waktu, tempat, maupun

pertemuan terlebih dahulu antara kreditur dengan debitur, melainkan

hanya bermodalkan smartphone yang terkoneksi internet sehingga

siapapun dapat mengakses layanan Fintech P2PL ini.

Adapun pengertian Peer-To-Peer Lending adalah “a method of

debt financing that enables individuals to borrow and lend money without

the use of an official financial institutions as an intermediary. Peer to peer

lending removes the middleman from the process, but also involves more

time, effort and risk than the general brick and mortar lending

scenarios.”12

Berdasarkan definisi mengenai Peer to Peer Lending di atas, dapat

diartikan bahwa Fintech P2PL adalah metode baru yang memungkinkan

debitur mengajukan pinjaman tanpa jaminan melalui platform. Secara

definitif, Fintech P2PL atau juga lazim dikenal sebagai social lending atau

person-to-person lending merupakan salah satu manifestasi crowdfunding

berbasis utang atau praktik pemberian pinjaman uang antar individu,

dimana debitur dan kreditur dipertemukan melalui platform yang

diselenggarakan oleh Perusahaan Fintech P2PL. Fintech P2PL ini

memberikan wadah bagi seseorang yang hendak meminjam uang dari

seseorang yang tidak pernah ditemui secara langsung sebelumnya. Begitu

juga, kreditur dapat memberikan pinjaman kepada seseorang yang tidak

dikenal sebelumnya dan informasi yang diketahui, melainkan hanya

berdasarkan rekam jejak kredit dari debitur.

Dalam konteks pengertian pinjam-meminjam menurut ketentuan

Pasal 1754 KUHPerdata disebutkan, bahwa “para pihak yang terlibat

12 Website https://www.investopedia.com/term/p/peer-to-peer-lending.asp, diakses pada 21

November 2019, pukul 12.00 BBWI.

Page 39: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

29

adalah pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dimana para pihak ini

memiliki hubungan hukum secara langsung melalui perjanjian pinjam

meminjam”, dimana hal ini berbeda dengan konsep pinjam-meminjam

pada Fintech P2PL. hal ini dikarenakan para pihak dalam

penyelenggaraan Fintech P2PL ini tidak memiliki hubungan hukum

secara langsung antar debitur. Bahkan, di antara para pihak tersebut tidak

mengenal secara langsung antara satu sama lain, ditambah dalam sistem

Fintech P2PL ini terdapat pihak lain, yakni platform penyelenggara

Perusahaan Fintech P2PL yang menghubungkan kepentingan antara para

pihak ini, yakni debitur dan kreditur.13

b. Para Pihak dalam Penyelenggaraan Fintech P2PL

Adapun para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Fintech

P2PL berbeda dengan para pihak yang terlibat dalam praktik perjanjian

pinjam-meminjam uang sebagaimana ketentuan yang diatur pada Pasal

1754 Bab III KUHPerdata dimana hanya melibatkan kreditur dan debitur,

namun dalam penyelenggaraan Fintech P2PL ini melibatkan lebih dari

dua pihak, yakni sebagai berikut:14

1). Pihak Penyelenggara (Perusahaan) Layanan Fintech P2PL

Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dikatakan, bahwa

“Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan,

mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang

13 Ratna H. Juliayani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer Lending,

(Yogyakarta: Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Universitas Islam Indonesia, 2018), h. 322.

14 Ratna H. Juliayani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer Lending,.. h.323.

Page 40: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

30

berbasis teknologi informasi.” Selanjutnya, pada ketentuan Pasal 2

angka 2, berbunyi “bentuk badan hukum penyelenggara dapat berupa

perseroan terbatas atau koperasi.” Kemudian, bagi pihak

penyelenggara Fintech berbasis Peer To Peer Lending yang terdaftar

dan berizin di OJK sebagaimana ketentuan Pasal 2 angka 2 Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada badan

hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas harus memenuhi segala

ketentuan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas.

2). Debitur (Penerima Pinjaman)

Ketentuan Pasal 1 Angka 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi menjelaskan bahwa “Penerima

Pinjaman atau Debitur adalah orang dan/atau badan hukum yang

mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang

berbasis teknologi informasi.”

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menjelaskan, bahwa

penerima pinjaman dalam sistem Fintech berbasis Peer To Peer

Lending ini harus berasal dan berdomisili di wilayah hukum Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Penerima pinjaman dapat berupa orang

perseorangan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia.

Berdasarkan ketentuan tersebut, artinya debitur atau penerima

pinjaman dalam penyelenggaraan Fintech P2PL, bukanlah perorangan

Warga Negara Asing ataupun badan hukum asing.

3). Kreditur (Pemberi Pinjaman)

Page 41: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

31

Ketentuan Pasal 1 angka 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi menjelaskan, bahwa “Kreditur atau

Pemberi Pinjaman adalah orang, badan hukum, dan/atau usaha yang

mempunyai piutang, karena perjanjian layanan pinjam meminjam

uang berbasis teknologi informasi.”

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 16 Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dinyatakan, bahwa

“Kreditur atau Pemberi Pinjaman adalah orang perseorangan warga

negara Indonesia, perseorangan warga negara asing, badan hukum

Indonesia dan/atau asing, dan/atau lembaga internasional.”

4). Bank

Ketentuan Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi menjelaskan, bahwa “Penyelenggara wajib

menggunakan escrow account dan virtual account dalam rangka

layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi.”

Di samping itu, penyelenggara juga wajib menyediakan virtual

account bagi setiap pemberi pinjaman dan dalam rangka pelunasan

pinjaman, maka penerima pinjaman melakukan pembayaran melalui

escrow account penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account

pemberi pinjaman. Escrow account adalah15

rekening yang dibuka

secara khusus untuk tujuan tertentu guna menampung dana yang

dipercayakan kepada Bank Indonesia berdasarkan persyaratan tertentu

15

Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 Tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank

Indonesia dengan Pihak Ekstern.

Page 42: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

32

sesuai dengan perjanjian tertulis. Sementara virtual account adalah16

nomor identifikasi pelanggan perusahaan (end user) yang dibuat oleh

Bank untuk selanjutnya diberikan oleh perusahaan kepada

pelanggannya (perseorangan maupun badan hukum) sebagai

identifikasi penerimaan (collection).

5). Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan, menjelaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan, selanjutnya

disingkat OJK merupakan lembaga yang independen, yang

mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,

pemeriksaan, dan penyidikan. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 5

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan, menjelaskan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan

sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap

keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan.

OJK adalah instansi atau lembaga yang melakukan pengaturan

dan pengawasan terhadap tumbuh kembangnya Fintech, termasuk juga

dalam penelitian ini yaitu Fintech P2PL ini yang merupakan bagian

dari Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) yang diawasi oleh Otoritas

Jasa Keuangan.17

Dalam sistem penyelenggaraan Fintech P2PL, OJK

bertindak sebagai pemberi persetujuan pengajuan pendaftaran dan

perizinan penyelenggaraan Fintech P2PL dan selaku pihak yang harus

mendapatkan laporan secara berkala atas penyelenggaraan pinjam

meminjam uang berbasis teknologi informasi (Fintech P2PL).

16

Mandiri Virtual Account, Website https://www.bankmandiri.co.id/virtual-account, diakses

pada 29 November 2019, Pukul 02.00 BBWI.

17

Ernasari, dkk. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology :

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, (Semarang: Diponegoro Law Journal

Vol. 6, 2017).

Page 43: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

33

c. Cara Kerja Fintech berbasis P2PL

Di Indonesia, Fintech P2PL memiliki payung hukum tersendiri

sebagaimana diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi. Dalam peraturan tersebut juga telah dijelaskan

definisi Peer To Peer Lending (Layanan Pinjam Meminjam Uang), yakni

sebagai berikut; dalam Pasal 1 ayat (3) Bab 1 Ketentuan Umum yang

berbunyi, “Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk

mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam

rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah

secara langsung melalui sistem elektronik yang menggunakan jaringan

internet.”

Platform Fintech P2PL ada di dalam konteks intermediasi

keuangan, dikarenakan peran mereka sebagai perantara antara dua

individu yang memakai situs maupun aplikasi sebagai kreditur dan

debitur, sederhananya situs maupun platform layanan Fintech P2PL

memfasilitasi hubungan keuangan di antara kedua belah pihak pengguna

platform Fintech P2PL.18

Sebagaimana ditunjukkan pada ilustrasi gambar

di bawah ini :

18 Ugochi Christine Amajuoyi, Thesis: Online Peer To Peer Lending Regulation:

Justification, Classification and Remit in UK Law, (UK: University of Exeter, August 2016), h.

148.

Page 44: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

34

Informasi Peminjam Pokok

Investasi dan Bunga

Investor

Kriteria Peminjam

Investasi

P2P

Website

Menganalisis Data:

- Menilai Risiko

- Menyusun aturan sesuai dengan regulasi Pemerintah

- Operasional dan administrasi

- Teknologi dan edukasi

- Menyeimbangkan antara permintaan pinjaman suplai dana dari investor

Bagan di atas, menunjukkan bagaimana garis besar cara kerja

platform Fintech P2PL di Indonesia. Adapun penyelenggara Fintech

P2PL sebagai pengelola suatu marketplace (tempat bertemunya kreditur

dan debitur) dimana kreditur mendapatkan akses lewat platform Fintech

P2PL untuk melihat profil calon debitur.

Kegiatan usaha Fintech P2PL di Indonesia diatur dalam Pasal 5

Bagian Kedua tentang kegiatan usaha pada ketentuan Peraturan Otoritas

Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang berbunyi,

“Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan

Kebutuhan Pinjaman

Pengembalian Pokok dan

Bunga

Peminjam

(Debitur)

Administrasi Uang

Pinjaman

Page 45: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

35

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak

Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman yang sumber

dananya berasal dari pihak Penerima Pinjaman.” Terkait bagan skema

gambar di atas, berikut pemaparan singkat mengenai cara kerja Fintech

berbasis Peer To Peer Lending:19

1). Proses Bagi Peminjam (Debitur)

Debitur sebagai calon debitur melakukan registrasi pada

platform Fintech P2PL. Setelah melakukan registrasi, debitur akan

mengajukan proposal peminjaman. Penyelenggara Fintech P2PL

kemudian akan menganalisis nilai kredit, sejarah peminjaman, jumlah

pendapatan debitur guna menentukan besaran bunga pinjaman dan

skor debitur.

2). Proses Bagi Pemberi Pinjaman (Kreditur)

Kreditur akan memberikan informasi data diri pribadi kepada

penyelenggara Fintech P2PL, seperti nama lengkap, nomor identitas

KTP, nomor rekening, nomor telepon, dan seterusnya. Setelah proses

registrasi kreditur dapat melihat profil debitur dan kemudian

memutuskan kepada siapa pinjaman akan diberikan.

3). Proses Bagi Penyelenggara Fintech P2PL (Platform/Perusahaan)

Platform Penyelenggara Fintech P2PL sebagai badan usaha di Indonesia

akan mengelola data diri pribadi dari kreditur dan sekaligus mengelola dana

dari kreditur merangkap data diri dari kreditur. Penyelenggara juga melakukan

analisis kredit kepada debitur.

5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

19 Website https://modalku.co.id/faq, https://www.investree.id/how-it-works,

https://koinworks.com/id/education-center/bagaimana-peer-lending-bekerja, diakses pada 29

November 2019 Pukul 20.33 BBWI.

Page 46: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

36

Penyelenggaraan Fintech P2PL sejatinya telah diatur dalam

ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01.2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Melalui instrumen hukum inilah aturan main penyelenggaraan Fintech

P2PL di Indonesia ini dapat beroperasi dan tidak mengacu pada ketentuan

perundang-undangan lainnya yang terkait seperti Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

B. Kerangka Teori

Secara terminologi, teori diartikan sebagai suatu skema gagasan yang

dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari kelompok fakta maupun

fenomena yang tersusun secara sistematis dan ilmiah untuk dapat memetakan

suatu pengetahuan mengenai sebuah objek kajian. Guna memudahkan pembaca

dalam menelaah atau mengkaji judul penelitian ini, maka peneliti mencoba

menyajikan beberapa kerangka teori yang relevan dengan judul penelitian yang

diangkat oleh peneliti, yakni antara lain:

1. Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan berasal dari dasar kata lindung, yang artinya

menempatkan dirinya di bawah (di balik, di belakang) sesuatu supaya tidak

terlihat atau tidak kena angin, panas, dan sebagainya; bersembunyi; minta

pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya selamat atau

terhindar dari godaan, bencana, dosa. Namun, arti dari perlidungan itu

sendiri adalah tempat berlindung; hal (perbuatan dan sebagainya)

memperlindungi.20

Dalam perlindungan hukum harus melihat tahapan, yakni

perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan

20 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Gramedia, 1989), h. 841.

Page 47: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

37

hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan

kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah

yang dianggap mewakili kepentingan rakyat.21

Bentuk perlindungan terhadap masyarakat memiliki banyak

dimensi, salah satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan

kepentingan di dalam masyarakat harus dapat diselesaikan dengan

kehadiran hukum dalam masyarakat. Perlindungan hukum bagi seluruh

rakyat Indonesia telah diamanatkan oleh Konstitusi Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap produk legislasi

yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia bersama

Pemerintah wajib memberikan perlindungan hukum bagi seluruh rakyat

Indonesia tanpa terkecuali.

Satjipto Rahardjo mendefinisikan “Perlindungan Hukum sebagai

suatu upaya melindungi kepentingan dari seseorang dan masyarakat

dengan cara memberikan suatu kekuasaan kepada seseorang tersebut

untuk melakukan suatu tindakan yang dapat memenuhi kepentingan

mereka.”22

Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan

yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan predektif dan

antipatif.23

Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum

menjadi dua macam yaitu;

1). Perlindungan Hukum Preventif

21 Satjipto Rahardjo, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya, 2000), h. 53.

22

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), h. 121.

23

Lili Rasjidi dan I.B. Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung, Remaja Rusdakarya,

1993), h. 118.

Page 48: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

38

Perlindungan hukum preventif merupakan kesempatan kepada

masyarakat untuk mengajukan suatu keberatan (inspraak) atas

pendapat mereka sendiri secara berkelompok sebelum ada suatu

keputusan pemerintah yang mendapat bentuk definitif, sehingga

perlindungan hukum memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya

sengketa yang sangat besar. Dengan adanya suatu tindakan

perlindungan hukum secara preventif, diharapkan perlindungan ini

dapat mendorong agar Pemerintah lebih berhati-hati dalam mengambil

suatu keputusan yang terkait dengan asas freies ermessen guna

masyarakat dapat mengajukan keberatan atau dapat juga dimintai

pendapat mereka mengenai rencana keputusan tersebut.

2). Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan suatu jalan

keluar, apabila telah terjadi sengketa. Di Indonesia, dikenal terdapat

berbagai badan hukum yang secara partial menangani suatu

perlindungan hukum untuk masyarakat.24

Badan hukum ini dapat

dikelompokkan menjadi tiga badan hukum, antara lain;

a. Pengadilan Dalam Lingkup Peradilan Umum

Pada prakteknya, hal ini adalah cara yang ditempuh untuk

menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai

suatu perbuatan melawan hukum oleh Penguasa.

b. Instansi Pemerintah sebagai Lembaga Banding Administrasi

Penangananuntuk perlindungan hukum bagi masyarakat pun dapat

juga melalui instansi Pemerintah yang bertindak sebagai Lembaga

Banding Administrasi. Lembaga Banding Administrasi berguna untuk

24 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia : Sebuah Studi

Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum

dan Pemberontakan Peradilan Administrasi, (Surabaya: Peradaban, 1987), h. 3.

Page 49: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

39

suatu permintaaan banding terhadap suatu perbuatan hukum atau

tindak pemerintah oleh pihak-pihak atau masyarakat yang merasa telah

dirugikan oleh perbuatan hukum Pemerintah terhadap dirinya.

Lembaga Banding Administrasi merupakan Instansi Pemerintah yang

memiliki kewenangan untuk mengubah dan bahkan dapat juga

membatalkan tindakan Pemerintah tersebut.

c. Badan-Badan Khusus

Badan-Badan Khusus yang dimaksud ini adalah suatu badan yang

berkaitan dan memiliki wewenang untuk menyelesaikan adanya

sengketa yang terjadi. Badan-Badan Khusus tersebut, meliputi Panitia

Urusan Piutang Negara, Peradilan Administrasi Negara, Pengadilan

Kepegawaian, dan lain sebagainya.25

2. Teori Perlindungan Konsumen

Salah satu fungsi hukum adalah untuk memberikan perlindungan

kepada warga/masyarakat, terutama yang berada pada posisi yang lemah

akibat hubungan hukum yang tidak seimbang, demikian hanya hukum

perlindungan konsumen untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha

yang tidak jujur.26

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi

hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum yakni keadilan,

kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu

perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan

hukum, baik itu yang bersifat preventif, maupun dalam bentuk yang

bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam

25 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia : Sebuah Studi

Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum

dan Pemberontakan Peradilan Administrasi, (Surabaya: Peradaban, 1987), h. 2.

26

Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen, (Malang: Tim UB Press, 2011), h. 42.

Page 50: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

40

rangka menegakkan peraturan hukum. Perlindungan konsumen itu sendiri

identik dengan perlindungan yang diberikan hukum kepada konsumen dan

haknya.27

Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan

masalah konsumen itu terdapat dalam berbagai sub-bidang hukum, yang

meliputi hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan

hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan

kepentingan-kepentingan konsumen. Dalam hubungan ini, orang menyebut

tentang penggunaan instrumen hukum perdata, hukum pidana, hukum

administrasi dan hukum internasional dalam membahas masalah dan atau

hubungan konsumen.

Hukum perlindungan konsumen menurut Az Nasution adalah

“hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang

bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi

kepentingan konsumen”. Adapun hukum konsumen dapat diartikan sebagai

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan

dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang

dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hukum.28

Hukum perlindungan konsumen dapat pula mengandung unsur

penting dalam kesejahteraan dan kenyamanan konsumen. Dari rumusan ini,

Hondius mengemukakan, bahwa ada konsumen akhir dan konsumen bukan

pemakai terakhir. Artinya, ada konsumen yang membeli barang dan atau

jasa itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beserta

27 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. II, (Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia, 2004), h. 19.

28

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,…h. 9.

.

Page 51: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

41

keluarganya melainkan untuk diperdagangkan untuk menambah

penghasilan.

Berbicara mengenai hukum perlindungan konsumen, maka hal

paling fundamental untuk diketahui yaitu mengenai definisi dari konsumen

itu sendiri. Definisi luas dari konsumen adalah, “any individual or

company who is the ultimate buyer or user of personal or real property,

products, service or activities, regardless of whether the seller, supplier, or

producer is a public or private entity, acting alone or collectively.”29

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dikatakan, bahwa “Konsumen adalah

setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup

lain dan tidak diperdagangkan.”30

Berdasarkan definisi di atas, konsumen tidak hanya berorientasi

pada barang, namun juga dapat pada jasa untuk memenuhi kebutuhan

hidup seseorang dan keluarganya dengan tujuan melangsungkan

kehidupan. Untuk itu, batasan pengertian konsumen perlu dibedakan,

yaitu:31

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan atau

jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang

dan jasa yang digunakan dengan tujuan membuat barang dan atau

jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

29 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 3.

30

Ketentuan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen (selanjutnya, disebut dengan UUPK).

31

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,

2006), h. 13.

Page 52: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

42

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan

menggunakan barang dan atau jasa untuk tujuan memenuhi

kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan

tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan

bidang hukum yang sulit dipisahkan, namun pada intinya, hukum

perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang

saling mengikat antara satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan. Baik

hukum konsumen, maupun hukum perlindungan konsumen, ternyata belum

disepakati menjadi satu pengertian yang baku/resmi, baik dalam aturan

perundang-undangan maupun kurikulum akademis.

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia,

oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat

mewujudkannya demi keberlangsungan kehidupan simbiosis mutualisme

yang seimbang. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan

hubungan berbagai dimensi antara satu sama lain yang memiliki

keterkaitan dan ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan

Pemerintah.32

Pengertian perlindungan konsumen yang tertuang dalam ketentuan

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut cukup

memadai, dimana kalimat yang menyatakan, “segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan

tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi

untuk kepentingan perlindungan konsumen.”33

32

Erman Rajagukguk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), h.

7.

33

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), h. 1.

Page 53: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

43

Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, beserta

perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang

berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut apabila ternyata

terdapat hak-haknya yang semestinya tidak diperoleh, bahkan

mengakibatkan kerugian padanya karena dilanggar haknya oleh pelaku

usaha.

Pada hakikatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang

menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:

a. Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sebagai groundnorm, sumber dari segala sumber

hukum di Indonesia yang mengamanatkan, bahwa pembangunan

nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan

makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui

sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu

menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi

barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.

b. Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Lahirnya Undang-Undang ini,

memberikan harapan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk

memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas

transaksi suatu barang dan jasa. Undang-Undang Perlindungan

Konsumen ini juga menjamin adanya kepastian hukum bagi

konsumen.

3. Teori Kepastian Hukum

Menurut Hans Kelsen, “hukum adalah sebuah sistem norma”.

Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau

dikenal dengan istilah “das sollen” dengan menyertakan beberapa

peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk

Page 54: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

44

dari aksi manusia yang deliberative. Undang-Undang yang berisi aturan-

aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu yang

bertingkahlaku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama

individu, maupun dalam hubungan dengan kelompok dalam masyarakat.

Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau

melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan akibat

pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.34

Menurut Guistav Radruch, “hukum harus mengandung tiga nilai

identitas”, yaitu:

1. Asas Kepastian Hukum (Reghmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut

yuridis.

2. Asas Keadilan Hukum (Gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut

filosofis dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di

depan hukum.

3. Asas Kemanfaatan Hukum (Zwechmatigheid/Doelmatigheid/Utility)

Tujuan hukum yang paling mendekati realistis ialah kepastian

hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum positivisme lebih menekankan pada

kepastian hukum, sedangkan kaum fungsionalis lebih cenderung

mengutamakan kemanfaatan hukum dan sekiranya dapat dikemukakan

dalam sebuah adagium hukum, summon ius, summa injuria, summa lex,

summa crux, yang artinya “hukum yang keras dapat melukai, kecuali

keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian, kendatipun keadilan

bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya, akan tetapi tujuan hukum

yang substantif adalah keadilan.35

34

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 58.

35

Dosminikus Rato, Filsafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: PT Presindo,

2010), h. 59.

Page 55: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

45

Menurut Utrecht, “kepastian hukum mengandung dua pengertian,

yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum dimana membuat

individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau perbuatan apa yang

tidak boleh untuk dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah, karena dengan adanya aturan

yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.”

Kepastian hukum ini sejatinya berasal dari ajaran yuridis-dogmatik

yang didasarkan pada aliran pemikiran positivisme di dunia hukum yang

cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri,

karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin

terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-

aturan hukum membuktikan, bahwa hukum tidak bertujuan untuk

mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk

kepastian.36

Dalam menegakkan hukum terdapat tiga unsur yang harus

diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan

hukum. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan unsur yang harus

ada kompromi, serta harus mendapat perhatian serius secara proporsional

dan berimbang. Tetapi, dalam implementasinya, tidaklah selalu mudah

untuk mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga

unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum, orang tidak tahu apa yang harus

diperbuatnya dan pada akhirnya timbul keresahan yang praktis

menimbulkan ketidakadilan.

Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi para pencari

keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum

yang terkadang mengedepankan arogansi dalam menjalankan tugasnya

36 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1999), h. 23.

Page 56: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

46

sebagai penegak hukum yang semestinya menjadi pengayom bagi

masyarakat. Dengan adanya kepastian hukum, maka masyarakat akan

mengetahui kejelasan akan hak dan kewajibannya menurut hukum. Tanpa

ada kepastian hukum, maka orang akan tidak tahu apa yang harus

diperbuat, artinya tidak mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya

salah atau benar, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Adapun

kepastian hukum ini, dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan

jelas dalam suatu produk Undang-Undang dan akan jelas pula

penerapannya.

Dengan kata lain, kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya,

subjeknya, objeknya, serta ancaman hukumannya. Akan tetapi, kepastian

hukum, mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak

ada setiap saat, asalkan sarana penempatan yang digunakan sesuai dengan

situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi, serta

utamanya tidak berkontradiksi dengan norma-norma yang berlaku di

masyarakat, baik yang tertuang maupun yang tidak tertuang dalam hukum

positif (konstitusi).

Jika dikaitkan dalam hal kepastian hukum dalam bidang hukum

bisnis, penyelenggaraan Fintech P2PL menurut Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam

Uang Berbasis Teknologi Informasi, maupun pada peraturan lainnya yang

mengatur terkait hal tersebut.

Dalam hal ini diharapkan kepastian hukum bagi kreditur sebagai

pemberi pinjaman dan debitur sebagai penerima pinjaman dalam kegiatan

Fintech P2PL ini memperoleh kepastian haknya dengan jelas dan tentunya

menjadi perhatian lebih bagi pemerintah sebagai regulator dengan

mewujudkan penyelenggaraan Fintech P2PL yang bersifat recht-kadaster,

sehingga dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Page 57: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

47

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam menjaga keaslian judul, maka dalam bentuk skripsi ini perlu

kiranya peneliti melampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan

pertimbangan, antara lain:

1. Skripsi Luthpiyah Fatin, Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar

Lampung 2019 yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peran OJK

Dalam Penanggulangan Perusahaan Financial Technology Ilegal (Studi

Pada Kantor OJK Provinsi Lampung)”, menyimpulkan bahwa

Kewenangan OJK Provinsi Lampung dalam mengatur penyelenggaraan

perusahaan Fintech di Provinsi Lampung, Penanggulangan peran OJK

dalam penanggulangan perusahaan Fintech ilegal di Provinsi Lampung,

dan mengulas kendala-kendala yang dihadapi OJK Provinsi Lampung

dalam menangani perusahaan Fintech ilegal. Adapun perbedaan

penelitian peneliti dengan tinjauan (review) kajian terdahulu pada

skripsi Luthpiyah Fatin, yaitu terletak pada objek penelitian peneliti

yang berbeda secara substantif, karena batu uji atau analisa yuridis

normatif penulis yang mengacu pada ketentuan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Berbasis Teknologi Informasi, serta ditinjau mengenai

perlindungan hukum terhadap debitur selaku pengguna/konsumen

Fintech Berbasis Peer To Peer Lending dan mengulas asas kepastian

hukum terhadap perlindungan hukum kreditur selaku pemberi pinjaman

dalam penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer To Peer Lending yang

dilanggar haknya oleh debitur karena wanprestasi atau mengalami

kredit macet dimana cakupan atau domainnya yang bersifat nasional

berbeda dengan skripsi Luthpiyah Fatin yang bersifat regional yaitu

hanya pada domain Provinsi Lampung saja.

2. Buku berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia” yang

ditulis oleh Janus Sidabalok, S.H., M.Hum. Buku ini membahas

Page 58: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

48

sekelumit hal terkait dengan perlindungan konsumen, berupa

pemikiran-pemikiran tentang hak-hak konsumen, tempat hukum

perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum lainnya,

hubungan konsumen dengan produsen, pertanggungjawaban

produsen/pelaku usaha dan penyelesaian sengketa konsumen. Buku ini

lebih komprehensif dalam memahami perlindungan konsumen teraktual

dengan diulas pula mengenai e-commerce dan praktik bisnis transaksi

online yang menunjang penulis dalam meneliti penelitian skripsi ini.

3. Jurnal hukum berjudul, “Hubungan Hukum Para Pihak dalam Peer

To Peer Lending”, ditulis oleh Ratna Hartanto dan Juliani Purnama

Ramli dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dalam jurnal ini

membahas mengenai keabsahan hubungan hukum para pihak dalam

penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer Lending menurut

regulasi peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam

perspektif hukum perdata. Adapun perbedaan dengan penelitian yang

disusun peneliti, yakni membahas mengenai perlindungan hukum bagi

debitur dan kreditur dalam penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer To

Peer Lending yang banyak menimbulkan problematika dalam proses

penyelenggaraannya dan belum terakomodasi dengan baik oleh

ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi.

Page 59: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

BAB III

FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER TO PEER LENDING

SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN

A. Sumber - Sumber Pembiayaan

Jenis lembaga keuangan diklasifikasikan menjadi tiga jenis

didasarkan pada kemampuan dan sistemnya masing-masing, yaitu meliputi

lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga

pembiayaan. Berikut merupakan penjelasan dari tiga jenis lembaga

keuangan tersebut.

1. Lembaga Keuangan Bank

Lembaga ini adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di

bidang keuangan dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan

taraf hidup rakyat/masyarakat banyak.1 Menurut Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, lembaga keuangan bank

diklasifikasikan menjadi:

a. Bank Umum;

Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha

secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam

kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa

yang diberikan adalah umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa

perbankan yang ada. Begitu pula, dengan wilayah operasinya dapat

dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia. Bank umum, lazim disebut

sebagai bank komersil.2

1 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika. h. 9.

2 Indonesia (Perbankan), Ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Tentang Perbankan,

Undang-Undang Nomor 72 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Lembaran

Negara Tahun 1992 Nomor 31, TLN Nomor 2472.

49

Page 60: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

50

b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR);

3

Bank Perkreditan Rakyat atau yang disingkat BPR adalah bank

yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau

berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan

jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya, kegiatan Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) jauh lebih sempit cakupannya dibandingkan dengan

kegiatan pada bank umum.

2. Lembaga Keuangan Bukan Bank

Lembaga keuangan bukan bank adalah badan usaha yang

melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan yang secara langsung

atau tidak langsung, menghimpun dana dengan jalan/cara

mengeluarkan surat berharga dan menyalurkan kembali, guna

membantu membiayai kebutuhan masyarakat itu sendiri.4

Berdasarkan

definisi tersebut, lembaga keuangan bukan bank juga dapat

diklasifikasikan lagi menjadi beberapa jenis, yakni sebagai berikut 5

a. Asuransi (Insurance);

Menurut Ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor

2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, “Asuransi atau

pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih,

dengan mana Penanggung mengikatkan diri kepada Tertanggung

dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian

kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan

keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada

3 Indonesia (Perbankan), Undang-Undang Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor

72 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor

31, TLN Nomor 2472.

4

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan

Pembiayaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 18.

5 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan

Pembiayaan, … h. 19.

Page 61: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

51

pihak ketiga yang mungkin akan diderita Tertanggung yang timbul

dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu

pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya

seseorang yang dipertanggungkan”.6

b. Pegadaian (Pawnshop);

Lembaga pegadaian dibentuk oleh Pemerintah berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang menggunakan sistem gadai, yaitu

penyerahan barang bergerak sebagai jaminan kepada pegadaian, yang

senilai dengan atau lebih tinggi dari jumlah pinjaman. Namun, apabila

pada waktu yang telah ditetapkan (jatuh tempo) pinjaman tidak

dikembalikan, maka barang jaminan dapat dijual secara lelang, guna

menutup pengembalian pinjaman tersebut, dan jika masih ada nilai

sisanya maka akan dikembalikan kepada peminjam.7

Menurut Kasmir, “pegadaian atau usaha gadai adalah

kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak

tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan/atau barang yang

dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara

nasabah dengan lembaga gadai.”8

c. Dana Pensiun (Pension Fund);

Perusahaan dana pension merupakan perusahaan yang

menghimpun atau memungut dana dari karyawan suatu perusahaan

dan kemudian memberikan pendapatan kepada peserta pensiun sesuai

perjanjian. Artinya, dana pensiun dikelola oleh suatu lembaga dan

memungut dana dari pendapatan para karyawan pada suatu

perusahaan, lalu membayarkan kembali dana tersebut dalam bentuk

6 Indonesia (Perasuransian), Ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Tentang

Perasuransian atau Pertanggungan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, Lembaran Negara

Nomor 13, TLN Nomor 3467.

7 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan

Pembiayaan, … h. 105.

8 Dr. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi 2014, (Jakarta:

Rajagrafindo Persada, 2014), h. 231.

Page 62: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

52

dana pensiun setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian

antara kedua belah pihak.9

d. Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan pembiayaan adalah suatu badan usaha yang

berbentuk perseroan terbatas atau koperasi yang melakukan

kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan

kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau

berkala oleh konsumen. Perusahaan tersebut menyediakan jasa

kepada konsumen dalam bentuk pembayaran harga barang secara

tunai kepada pemasok.10

e. Perusahaan Modal Ventura;

Perusahaan modal ventura merupakan investasi jangka

panjang dalam bentuk pemberian modal yang mengandung risiko

dimana perusahaan atau penyedia dana (venture capitalis) itu

sendiri mengharapkan capital gain, bukan pendapatan bunga atau

dividen.11

Perusahaan modal ventura pula dikatakan sebagai suatu

badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk

penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan pasangan usaha

untuk jangka waktu tertentu.12

f. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur;

Pembiayaan infrastruktur merupakan suatu pembiayaan

dari berbagai macam sumber keuangan yang diperlukan untuk

menilai, mendirikan dan memulai bekerjanya suatu proyek

bermodal besar dimana pinjaman untuk proyek tersebut, biasanya

9 Dr. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,… h. 287.

10

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan

Pembiayaan,… h. 247.

11

Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), h. 127.

12

Budi Rachmat, Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha Kecil dan

Menengah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 12.

Page 63: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

53

diberikan oleh suatu sindikasi bank dan jaminan keuangan atas

pengembalian pinjaman tersebut sering hanya digantungkan pada

arus uang tunai (pemasukan) di masa yang akan datang, serta tidak

bergantung pada jaminan pihak ketiga.13

B. Perkembangan Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer

To Peer Lending di Indonesia

Berdasarkan jenis Fintech yang berkembang di Indonesia,

beberapa lembaga jasa keuangan yang sudah melakukan perkembangan

dan inovasi Fintech terbagi ke dalam beberapa sektor, yaitu Layanan

Perbankan Digital (Digital Banking, Pembiayaan dan Investasi, serta

Asuransi. Berikut pemaparannya:

a. Industri Perbankan

Dalam pengembangan inovasi kegiatan perbankan,sektor

perbankan Indonesia telah mengembangkan beberapa hal yang

dapat mempermudah dan mempercepat transaksi keuangan.

Digital Banking atau biasa disebut dengan istilah Layanan

Perbankan Digital, diartikan sebagai layanan kegiatan perbankan

dengan menggunakan sarana elektronik/digital. Layanan melalui

sarana ini, dapat dilakukan secara mandiri oleh nasabah untuk

memperoleh informasi, melakukan komunikasi, registrasi,

pembukaan rekening, transaksi perbankan dan penutupan

rekening, termasuk memperoleh informasi lain di luar produk

perbankan, antara lain saran dan pendapat keuangan, investasi,

transaksi e-commerce, dan kebutuhan lainnya.

b Industri Pembiayaan Dan Investasi

Dalam sektor pasar modal, beberapa lembaga jasa

keuangan sudah melakukan digitalisasi terhadap produk-

produknya. Digitalisasi ini, meliputi proses pencarian informasi,

pendaftaran, dan pembukaan rekening, hingga pelaporan kegiatan

investasi. Pada tahap pendaftaran dan pembukaan rekening efek

secara online, konsumen diberikan kemudahan pengisian formulir

dengan cepat dan dapat dilakukan dimanapun. Kemudian

13

O.P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, (Jakarta: Penerbit Aksara Persada

Indonesia, 1989), h. 18.

Page 64: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

54

dilanjutkan dengan pengunggahan dokumen yang diperlukan dan

pemenuhan prinsip Know Your Customer (KYC) yang dapat

dilakukan melalui media, seperti video call. Keseluruhan proses

digitalisasi sektor pasar modal ini akan berujung pada pembuatan

rekening efek yang keseluruhannya dilakukan adanya kunjungan

tatap muka antara pihak konsumen dengan perusahaan/lembaga

terkait.

c. Industri Asuransi

Dalam memperluas jangkauannya, perusahaan asuransi

melakukan pengembangan dan inovasi terkait penjualan

produknya dengan menyertakan platform digital sebagai salah satu

fokus utamanya. Beberapa perusahaan asuransi menyediakan

layanan dari mulai pendaftaran hingga pembelian produk asuransi

yang dilakukan secara online dan tidak perlu mendatangi

perusahaan atau agen asuransi. Fitur lainnya yang disediakan

adalah pengajuan klaim secara online. Konsumen hanya

membutuhkan dokumen-dokumen dan bukti-bukti yang

diperlukan dalam pengajuan klaim. Dokumen dan bukti untuk

pengajuan klaim dapat diunggah melalui platform biasanya

melalui website, yang disediakan perusahaan asuransi atau

lembaga penjual produk asuransi atau lembaga penjual produk

asuransi.

Jenis Fintech berbasis P2PL yang berkembang di Indonesia

yaitu jenis Fintech yang dikembangkan oleh perusahaan start-up

Fintech di Indonesia cukup beragam. Menurut data yang didapat

dari Asosiasi Fintech Indonesia, pada pertengahan tahun 2017

terdapat 90 perusahaan start-up Fintech yang tergabung ke dalam

asosiasi dan jumlahnya meningkat menjadi 103 perusahaan start-

up Fintech di triwulan ketiga tahun 2017.14

Masing-masing jenis Fintech memiliki potensi risiko yang

sesuai dengan proses bisnisnya. Secara umum, risiko yang

mungkin muncul dari perusahaan Fintech di Indonesia, yakni

Risiko Penipuan, Risiko Keamanan Data dan Risiko

ketidakpastian pasar. Fintech P2PL memiliki model dan proses

bisnis tersendiri. Perusahaan Fintech P2PL biasanya memfasilitasi

pihak yang membutuhkan dana pinjaman dengan para pihak yang

ingin berinvestasi dengan cara memberikan pinjaman. Adapun

14 Website https://Fintech.id/, diakses pada 12 November 2019, Pukul 19.09 BBWI.

Page 65: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

55

pinjaman yang diberikan oleh perusahaan Fintech P2PL di

Indonesia sangat bervariasi, mulai dari pinjaman modal usaha,

pinjaman kendaraan bermotor, Kredit Tanpa Agunan, Kredit

Perumahan Rakyat, hingga pinjaman biaya pernikahan, pinjaman

persalinan, pinjaman renovasi rumah, dan pinjaman perjalanan

umroh. Para peminjam diberikan kewenangan untuk memilih

jangka waktu, serta jumlah pinjaman yang disesuaikan dengan

kebutuhan peminjam. Nominal pinjaman bervariasi tergantung

dari kebijakan perusahaan.

Fintech P2PL di Indonesia juga mengakomodasi

masyarakat yang ingin menjadi investor atau menjadi pemberi

dana dengan tujuan untuk mendapatkan return di kemudian hari.

Fasilitas ini banyak digunakan oleh pengguna karena memberikan

kemudahan untuk berinvestasi. Pada umumnya, perusahaan akan

memberikan informasi secara jelas dan transparan akan

pergerakan uang pinjaman yang diberikan oleh pemberi dana. Hal

ini membuat para pemberi dana atau investor merasa lebih aman

dan nyaman untuk berinvestasi.

Dalam perkembangannya, perusahaan Fintech Financing &

Investment di Indonesia juga ada yang memiliki kombinasi bisnis

antara Crowdfunding dan Peer To Peer Lending. Berikut

merupakan skema proses Bisnis Fintech P2PL Crowdfunding

Based :

Page 66: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

56

Proses Bisnis Peer To Peer Lending Crowdfunding Based

Konsumen

menggunakan

platform

(Pemberi/Penerima

Pinjaman

Konsumen mengisi

formulir

Pemberi/Penerima

Pinjaman

Perusahaan akan

melakukan analisa

kredit/pengajuan

pinjaman bagi

Penerima Pinjaman

Pemberi

Pinjaman

bertemu dengan

Pencari Pinjaman

melalui Platform

Pencari Pinjaman

menerima Pinjaman

dari Pemberi

Pinjaman

Pencari Pinjaman

membayar

angsuran

pinjaman kepada

Pemberi

Pinjaman

Pemberi Pinjaman

mendapatkan return

dari hasil bunga

pembayaran angsuran

Keterangan :

- Konsumen menggunakan platform dan mendaftarkan diri sebagai

pemberi pinjaman atau pencari pinjaman;

- Pemberi dan pencari pinjaman mengisi formulir registrasi dan

pengumpulan dokumen yang diperlukan;

- Pemberi pinjaman akan diberikan akun dan dapat mencari

pinjaman yang ingin didanai melalui platform;

- Perusahaan akan menilai pengajuan kredit dan mempertemukan

pemberi dana dengan pencari pinjaman melalui platformnya

melalui proses crowdfunding;

- Apabila dana terkumpul, pencarian dana dilakukan dan peminjam

mulai memiliki kewajiban pembayaran cicilan; dan

- Apabila pembayaran dilakukan secara lancar, return akan

didapatkan oleh pemberi dana. Apabila, peminjam terlambat

membayar, akan dilakukan prosedur internal credit collection

dengan bantuan perusahaan penyedia layanan. Apabila terjadi

Page 67: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

57

default, perusahaan akan membantu proses pengembalian

pinjaman. Namun, apabila masih gagal, maka jalur hukum adalah

opsi terakhir dan risiko kerugian ditanggung oleh pemberi dana.

1. Potensi Kerawanan dalam Proses Bisnis

a). Dalam proses pembayaran, data konsumen (perbankan dan

pribadi) akan dimasukkan ke dalam database perusahaan penyedia

layanan. Terdapat kerawanan data loss yang dilakukan oleh pihak

yang tidak bertanggungjawab; b). Warga negara asing dapat

mendaftarkan diri sebagai investor, maka jika terjadi upaya

penyelesaian sengketa harus memperhatikan ketentuan hukum

antar negara dan perusahaan penyedia layanan dengan baik; c).

Informasi mengenai prosedur dan tata cara penilaian kredit oleh

perusahaan penyedia layanan sering kurang dijelaskan dengan

lengkap; dan d). Keseluruhan proses tidak dijamin oleh asuransi.

2. Manfaat

a). Menekan biaya dan memberikan proses yang cepat. Fintech

jenis P2PL dapat menekan tingginya biaya dan lamanya waktu

proses peminjaman yang seringkali dikeluhkan oleh konsumen jika

mereka mengajukan pinjaman kredit ke bank ataupun lembaga

pembiayaan lainnya; dan b). Kemudahan berinvestasi. Fintech

P2PL memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin

berinvestasi dengan cara yang lebih mudah, sekaligus menawarkan

imbal hasil yang biasanya lebih tinggi dibandingkan yang ada di

pasar.

3. Risiko

a). Risiko gagal bayar. Melalui platform yang diberikan oleh

perusahaan Fintech, siapa saja dengan mudah dapat menjadi

investor atau peminjam kredit. Syarat dan ketentuan bagi calon

konsumen yang ingin menggunakan layanan ini pun sangat mudah

dan tidak terlalu kompleks sebagaimana pada bank dan perusahaan

pemberi pinjaman tradisional. Hal ini dapat menyebabkan

kesalahan penilaian risiko pada peminjam kredit, kondisi gagal

bayar, dan akhirnya menyebabkan kerugian terhadap para investor;

b). Minimnya informasi. Perusahaan Fintech biasanya kurang

memperhatikan kecukupan informasi secara detail kepada para

pihak, seperti pihak yang akan memberi pinjaman (investor), pihak

yang akan meminjam dana (konsumen), dan pihak yang akan

ditawarkan produknya secara online. Salah satu isu yang berkaitan

dengan para investor adalah isu kejelasan profil investor dan isu

pencucian uang (anti-money laundering). Sebaliknya, isu yang

Page 68: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

58

berkaitan dengan peminjam adalah isu penerapan prinsip KYC

(Know Your Customer).

C. Pengaturan Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To

Peer Lending di Indonesia

Saat ini, Indonesia sedang mengalami booming pemanfaatan

teknologi di berbagai sektor kehidupan. Lahirnya penggunaan teknologi

informasi sebagai salah satu solusi kebutuhan sehari-hari masyarakat, telah

memicu perkembangan penggunaan teknologi informasi di sektor lain.

Didahului dengan lahirnya penggunaan teknologi informasi di sektor jasa

transportasi umum, seperti perusahaan ojek dan taksi online, maka sektor

jasa keuangan pun mengikuti trend perkembangan pula.

Perkembangan Fintech memerlukan kesiapan Pemerintah sebagai

regulator mengenai penyelenggaraannya, mekanisme aspek kelembagaan,

kegiatan usaha, dan mitigasi risikonya.15

Otoritas Jasa Keuangan, Bank

Indonesia, dan Kementerian terkait, seperti Kementerian Komunikasi dan

Informatika Republik Indonesia masih terus mempersiapkan dan

menyusun ketentuan mengenai penyelenggaraan Fintech di Indonesia,

agar lebih merata dan terintegrasi dengan baik di Indonesia.

1. Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan, yang disingkat OJK, didirikan

berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang

Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga ini didirikan, guna melakukan

pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu.16

Secara

normatif yuridis, bahwa ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, selanjutnya

disebut dengan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dijelaskan

pada ketentuan pasal a quo, “Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga

independen yang terbebas dari campur tangan pihak lain, yang

mempunyai fungsi, tugas, dan

15 Sarwin Kiko Napitupulu, dkk., Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

: Perlindungan Konsumen Pada Fintech, (Jakarta: Departemen Perlindungan Konsumen –

Otoritas Jasa Keuangan, 2017), h. 48.

16

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Prenadamedia Grup,

2005), h. 221.

Page 69: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

59

wewenang, pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan

penyidikan.”

Berikut beberapa regulasi atau pengaturan Otoritas Jasa Keuangan

terkait penyelenggaraan Financial Technology berbasis Peer To

Peer Lending di Indonesia ialah sebagai berikut:

1). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi.

Sebagai langkah awal, Otoritas Jasa Keuangan telah

mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi (POJK Fintech P2PL) yang

kemudian memiliki peraturan turunan berupa Surat Edaran Otoritas

Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 18/SEOJK.02/2017. POJK ini

mengatur Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending

yang berkembang di Indonesia saat ini. Hal tersebut dikarenakan,

OJK melihat urgensi hadirnya ketentuan yang mengatur Fintech

P2PLending dengan memperhatikan masih kuatnya budaya

pinjam-meminjam (utang) di masyarakat Indonesia.

Selain itu, perusahaan Fintech dengan skema Peer To Peer

Lending merupakan lingkup kewenangan Otoritas Jasa Keuangan,

dikarenakan perusahaan tersebut belum memiliki landasan hukum

kelembagaan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Berdasarkan

POJK Fintech P2PL, perusahaan Fintech atau yang disebut

penyelenggara Fintech P2PL dinyatakan sebagai Lembaga Jasa

Keuangan lainnya dengan perusahaan berupa badan hukum

Perseroan Terbatas dan koperasi (Pasal 2 Ayat 2 POJK Fintech

P2PL).

Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh penyelenggara

Fintech P2PL, yakni menyediakan, mengelola, dan

mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi dari pihak Kreditur kepada pihak Debitur

yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman

dan/atau penyelenggara dapat bekerjasama dengan penyelenggara

layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 POJK Fintech

P2PL).

Page 70: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

60

Adapun batasan pemberian pinjaman kepada debitur pada

Fintech P2PL ini diatur jumlah maksimum sebesar Rp.

2.000.000.000 (dua miliar rupiah) sebagaimana diatur pada Pasal 6

POJK Fintech P2PL. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016, berikut alur proses Pendaftaran dan Perizinan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Adapun beberapa persyaratan wajib usaha Fintech P2PL

sebagaimana ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 yaitu:17

a). Kejelasan bentuk badan hukum, kepemilikan, dan permodalan;

b). Mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada Otoritas Jasa

Keuangan;

c). Ketersediaan Sumber Daya Manusia yang memiliki keahlian

atau latar belakang IT;

d). Dokumen berbentuk elektronik;

e). Terdapat akses informasi untuk penyelenggara pinjaman,

pemberi pinjaman, dan penerima pinjaman;

f). Pusat data dan disaster recovery plan yang ditempatkan di

Indonesia dan memenuhi standar minimum, pengelolaan risiko,

dan pengamanan teknologi informasi, serta ketahanan terhadap

gangguan dan kegagalan sistem, serta alih kelola sistem teknologi

informasi;

g). Menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi,

data transaksi dan data keuangan sejak data diperoleh hingga data

dimusnahkan;

h). Sistem pengamanan yang mencakup prosedur, sistem

pencegahan, dan penanggulangan terhadap serangan yang

menimbulkan gangguan, kegagalan, dan kerugian;

i). Penyelenggara menerapkan prinsip dasar dari perlindungan

pengguna (konsumen) di sektor jasa keuangan, dan;

17 Sarwin Kiko Napitupulu, dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech, (Jakarta : Departemen Perlindungan

Konsumen - Otoritas Jasa Keuangan, 2017).

Page 71: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

61

j). Perjanjian dilaksanakan dengan menggunakan tanda tangan

digital.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Fintech P2PL ini

mengatur, bahwa sebelum melakukan kegiatan usaha,

penyelenggara wajib melakukan pendaftaran dan perizinan

sebagaimana ketentuan Pasal 7. Pendaftaran dilakukan sebelum

penyelenggara melakukan kegiatan usaha. Setelah terdaftar,

penyelenggara wajib memberikan laporan secara berkala setiap tiga

bulan kepada OJK. Setelah itu, paling lambat satu tahun setelah

melakukan perizinan. Dalam hal penyelenggara tidak mengajukan

izin kepada OJK selama jangka waktu yang telah ditentukan, maka

surat tanda pendaftaran penyelenggara dinyatakan batal dan tidak

dapat lagi menyampaikan permohonan pendaftaran kepada OJK

sebagaimana ketentuan Pasal 10 POJK Fintech P2PL.

Terkait subyek penerima dan pemberi pinjaman, bahwa

penerima pinjaman merupakan perorangan atau badan hukum yang

berasal dan berdomisili di wilayah hukum Indonesia (Pasal 15).

Sedangkan, pemberi pinjaman, berbasarkan POJK Fintech P2PL,

dapat berupa perorangan WNI/WNA, badan hukum

Indonesia/asing, dan/atau lembaga internasional. Pemberi pinjaman

(kreditur) Fintech P2PL dapat berasal dari dalam dan/atau luar

negeri (Pasal 16 POJK Fintech P2PL). Perjanjian penyelenggaraan

yang dimaksud dalam POJK Fintech P2PL ini dituangkan dalam

bentuk dokumen elektronik.

Sehubungan dengan sistem teknologi informasi,

penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada pemberi

dan penerima pinjaman terkait penggunaan dana dan posisi

pinjaman yang diterima. Penyelenggara juga wajib menggunakan

escrow account dan virtual account, serta menggunakan pusat data

dan pusat pemulihan bencana yang wajib ditempatkan di

Indonesia. Penyelenggara wajib memenuhi standar minimum

sistem teknologi informasi, pengelolaan risiko teknologi informasi,

pengamanan teknologi informasi, ketahanan terhadap gangguan

dan kegagalan sistem, serta alih kelola sistem teknologi informasi.

Sebagai salah satu upaya mitigasi risiko, penyelenggara

juga wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan

seluruh data yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data

tersebut dimusnahkan. Penyelenggara wajib pula menyediakan

rekam jejak audit terhadap seluruh kegiatannya dan melakukan

pengamanan terhadap komponen sistem teknologi informasi

Page 72: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

62

dengan memiliki dan menjalankan prosedur dan sarana untuk

pengamanan.

Di sisi lain, jika ada suatu bank umum yang ingin

menggunakan teknologi informasi sebagai media pemasaran dan

penjualan produknya, maka selain melihat kepada peraturan

mengenai kegiatan usaha bank umum dan RBB, maka bank umum

tersebut harus juga mengacu dan mengikuti ketentuan Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/POJK.03/2016 Tentang

Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh

Bank Umum.

2). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013

Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Khusus yang berkaitan dengan aspek perlindungan

konsumen di sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan telah

memiliki Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan. Ketentuan POJK ini, berlaku bagi Pelaku Usaha Jasa

Keuangan yang selama ini telah diawasi oleh Otoritas Jasa

Keuangan dan melaksanakan layanan Fintech. Kreditur Fintech

P2PL tersebut wajib memperhatikan seluruh aspek perlindungan

konsumen dengan menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana diatur

dalam ketentuan Pasal 2 POJK Fintech P2PL, yaitu prinsip

transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan, dan

keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan,

serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan

biaya terjangkau.

Aspek Perlindungan Konsumen yang diatur pada Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Fintech P2PL ini mengatur mengenai

prinsip dasar perlindungan terhadap debitur Fintech P2PL

sebagaimana pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan, yakni antara lain:

a). Penyelenggara wajib menyediakan dan/atau menyampaikan

informasi terkini yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan;

b). Penyelenggara juga wajib menggunakan istilah, frasa dan/atau

kalimat yang sederhana dalam bahasa Indonesia yang mudah

dibaca dan dimengerti oleh Pengguna dalam setiap Dokumen

Elektronik;

Page 73: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

63

c). Penyelenggara wajib memiliki standar prosedur operasional

dalam melayani pengguna yang dimuat dalam dokumen elektronik;

dan

d). Penyelenggara dilarang dengan cara apapun, memberikan data

dan/atau informasi mengenai Pengguna kepada pihak ketiga.

3). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018

Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan

Melihat pesatnya angka pertumbuhan dan penggunaan

Financial Technology di Indonesia yang diikuti dengan kemajuan

teknologi informasi, pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa

Keuangan dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 13/POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di

Sektor Jasa Keuangan.

Ketentuan POJK tersebut diterbitkan guna merangsang

inovasi dalam ekosistem layanan keuangan digital, seperti

crowdfunding equitas, pemukiman, manajemen investasi, asuransi

dan lain sebagainya. Inovasi Keuangan Digital diartikan sebagai

aktifitas pembaharuan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen

keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.

POJK ini mengklasifikasikan perusahaan-perusahaan

platform Fintech sebagai Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital

yang harus tunduk terhadap Regulatory Sandbox Otoritas Jasa

Keuangan. Agar dapat diklasifikasikan sebagai Penyelenggara

IKD, maka penyedia jasa IKD harus memenuhi kriteria tertentu,

seperti menyediakan produk dan layanan keuangan digital inovatif

yang mewakili proses atau model bisnis baru, berupa kegiatan,

peningkatan atau efisiensi yang memberikan nilai pada ekosistem

fintech terhadap pertumbuhan IKD, berorientasi masa depan

melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang

berguna untuk publik, dan dapat diintegrasikan dengan layanan

sektor jasa keuangan yang ada berbasis regulatory sandbox yang

telah ditetapkan oleh OJK.18

Namun, peneliti menilai ketentuan POJK tersebut, secara

substansi berbeda dengan POJK Fintech P2PL, karena dalam

ketentuan POJK tersebut mengatur seluruh jenis Fintech dimana

antara satu jenis Fintech dengan Fintech yang lain berbeda

kompleksitas masalahnya maupun ruang lingkup yang ada padanya

18 Data Audiensi dan Wawancara dengan Bapak Sarjito, S.E., S.H., M.B.A., selaku

Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan.

Page 74: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

64

sehingga peneliti menyimpulkan sifat dari peraturan POJK ini

hanyalah seremonial yang administratif semata dimana tidak

mampu memenuhi ekspektasi masyarakat sebagai debitur Fintech

P2PL, maupun platform Fintech P2PL sebagai kreditur Fintech

P2PL dimana masih banyak problematika hukum terhadap

implementasi penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer

Lending.

4). Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor

18/SEOJK.02/2017 Tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko

Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi

Setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam

Uang Berbasis Teknologi Informasi, Otoritas Jasa Keuangan

mengeluarkan ketentuan Tentang Pelaksanaan Tata Kelola dan

Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada layanan pinjam

meminjam uang berbasis teknologi informasi melalui Surat Edaran

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 yang mulai

berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu 18 April 2017. Adapun

ruang lingkup yang diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 ini, meliputi:

a). Penempatan pusat data dan pemulihan bencana, serta rencana

pemulihan bencana;

b). Tata kelola sistem elektronik dan teknologi informasi yang

meliputi Rencana Strategis Sistem Elektronik, Sumber Daya

Manusia dan Pengelolaan Perubahan Teknologi Informasi;

c). Alih Kelola Teknologi;

d). Pengelolaan Data dan Informasi;

e). Pengelolaan Risiko Teknologi Informasi;

f). Pengamanan Sistem Elektronik;

g). Penanganan Insiden dan Ketahanan Terhadap Gangguan;

h). Penggunaan Tanda Tangan Elektronik;

i). Ketersediaan Layanan dan Kegagalan Transaksi; dan

j). Keterbukaan Informasi Produk dan Layanan.

2. Bank Indonesia

Page 75: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

65

Bank Indonesia sebagai regulator sistem pembayaran telah

mengeluarkan peraturan terkait Fintech di Indonesia melalui PBI No.

11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (electronic money). PBI tersebut

telah diubah sebanyak dua kali, yaitu PBI No. 16/8/PBI/2014 dan PBI No.

18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik (PBI E-Money).

Berdasarkan PBI E-Money, Uang Elektronik (Electronic Money)

didefinisikan sebagai alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:

1). Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada

penerbit;

2). Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau

chip;

3). Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang bukan

merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan

4). Nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit, bukan merupakan

simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur

mengenai Perbankan.

Lembaga yang dapat mengeluarkan Uang Elektronik atau disebut

Penerbit berdasarkan PBI E-Money adalah Bank atau Lembaga selain

Bank. Untuk lembaga selain bank yang akan melakukan kegiatan usaha

uang elektronik yang beroperasi di Indonesia harus berbadan hukum

Indonesia dalam bentuk perseroan terbatas. Lembaga yang dimaksud

dalam PBI E-Money, meliputi Prinsipal, Penerbit, Acquirer,

Penyelenggara Kliring, dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.

Lembaga tersebut hanya dapat bekerjasama dengan pihak lain dalam

rangka penyelenggaraan kegiatan Uang Elektronik.

Uang Elektronik sendiri dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu

uang elektronik yang data identitas pemegangnya terdaftar dan tercatat

pada Penerbit (registered); dan uang elektronik yang data identitas

pemegangnya tidak terdaftar dan tidak tercatat pada penerbit

(unregistered). Kategori tersebut menentukan fasilitas yang dapat

diberikan oleh Penerbit (Pasal 1A). E-Money dikategorikan sebagai

Digital Payment dalam Fintech. Penerbit hanya melakukan permohonan

izin tanpa pendaftaran terlebih dahulu, seperti penyelenggara.

PBI E-Money juga mengatur mengenai Layanan Keuangan Digital.

Layanan Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat LKD adalah

kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang dilakukan

melalui kerjasama dengan pihak ketiga, serta menggunakan sarana dan

Page 76: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

66

perangkat teknologi berbasis mobile maupun berbasis website dalam

rangka menunjang keuangan inklusif. LKD hanya dapat dilakukan oleh

Penerbit berupa Bank.

a. Regulasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Terkait

Penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer To Peer Lending di

Indonesia

Berkenaan dengan penyelenggaraan kegiatan Fintech

P2PL, Kementerian Komunikasi dan Informatika merupakan salah

satu instansi Pemerintah terkait dalam proses penyelenggaraan

kegiatan tersebut mengingat Kominfo sebagai instrumen lembaga

pemerintah dalam segala kegiatan berbasis komunikasi dan

informatika termasuk teknologi informasi sebagaimana pada

kegiatan Fintech P2PL sebagai dampak digitalisasi global

termasuk di Indonesia. Tentu hal ini menjadi atensi Pemerintah

dalam mengawal kegiatan ini melalui Kominfo dengan pelbagai

regulasi yang dibuat terkait penyelenggaraan kegiatan ini, meliputi

diantaranya:

1). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik

Salah satu perlindungan konsumen yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, selanjutnya disebut dengan UU ITE ialah

mengenai perlindungan data pribadi. UU ITE mewajibkan

penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang

menyangkut data pribadi seseorang, harus dilakukan atas

persetujuan orang yang bersangkutan. UU ITE juga mewajibkan

setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan sistem elektronik

harus menyelenggarakan sistem secara handal dan aman, serta

bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik

sebagaimana mestinya.

2). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Sistem Manajemen

Pengamanan Informasi

Dalam Peraturan Menteri ini diatur tentang sistem

manajemen pengamanan informasi dengan menetapkan batasan

istilah yang digunakan dalam pengaturannya. Adapun materi

pokok memuat kategorisasi: Sistem Elektronik, Standar Sistem

Manajemen Pengamanan Informasi, Penyelenggaraan Sistem

Elektronik, Sertifikat Sistem Manajemen Pengamanan Informasi,

Page 77: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

67

Lembaga Sertifikasi, Penerbit Sertifikat, Pelaporan Hasil

Sertifikasi, dan Pencabutan Sertifikat, Penilaian Mandiri,

Pembinaan, Pengawasan, dan Ketentuan Sanksi.

3). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik

Indonesia No. 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi

Dalam Sistem Elektronik

Dalam Peraturan Menteri ini, diatur mengenai perlindungan

data pribadi dalam sistem elektronik dengan menetapkan batasan

istilah yang digunakan dalam pengaturannya. Perlindungan data

pribadi dalam sistem elektronik mencakup perlindungan terhadap

perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan,

penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman,

penyebarluasan, dan/atau pembukaan akses data pribadi, serta

pemusnahan data pribadi. Seluruh hal tersebut, diatur pada Bab II

Peraturan Menteri ini terkait Perlindungan Data Pribadi Dalam

Sistem Elektronik.

Selain itu, dalam Peraturan Menteri ini juga mengatur terkait

hak pemilik data pribadi; kewajiban pengguna; kewajiban

penyelenggara sistem elektronik; penyelesaian sengketa; peran

pemerintah dan masyarakat; pengawasan; dan sanksi

administratif.19

4). Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik

Indonesia No. 5 Tahun 2016 Tentang Uji Coba Teknologi

Telekomunikasi, Informatika, dan Penyiaran

Dalam peraturan menteri ini, uji coba diselenggarakan

dengan tujuan untuk melakukan penelitian aspek teknis dan non

teknis terkait penyelengaraan telekomunikasi, informatika, dan

penyiaran. Aspek teknis antara lain meliputi kinerja sistem, alat

dan perangkat, sementara aspek non teknis, meliputi model bisnis

penyelenggaraan. Uji coba diselenggarakan oleh Kementerian

Komunikasi dan Informatika dan dapat dibantu oleh pemangku

kepentingan. Penyelenggaraan uji coba diterapkan dengan

Keputusan Menteri. Uji coba bersifat tidak komersial dan berbatas

waktu.

19 Sarwin Kiko Napitupulu, dkk., Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech,…h. 62.

Page 78: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

68

D. Implementasi Penyelenggaraan Fintech Berbasis Peer To Peer

Lending di Indonesia

Perkembangan teknologi informasi banyak mengubah cara-cara

bertransaksi dan membuka peluang-peluang baru dalam transaksi bisnis.

Salah satu bentuk bisnis akibat dari perkembangan tersebut ialah

Financial Technology, yang dimaknai penggunaan teknologi untuk

memberikan solusi Financial.

Berkembangnya industri Fintech P2PL didukung oleh

meningkatnya jumlah pengguna internet dan smartphone di Indonesia.

Perangkat smartphone dapat mengunduh berbagai platform aplikasi

pinjaman uang yang disediakan oleh perusahaan Fintech P2PL dengan

mudah. Hal ini didukung oleh beberapa rilis data yang berhasil peneliti

himpun yaitu per Januari 2019, pertumbuhan digitalisasi di dunia

meningkat jauh lebih besar dari peningkatan total populasi yang hanya

meningkat 1,1%. Peningkatan mobile social media users, internet users,

active social media users, dan unique mobile users berturut-turut

menyentuh 10%, 9,1%, 9%, dan 2%.

Sementara, Indonesia sendiri memiliki jumlah mobile users

mencapai 133% dari total populasi. Jumlah internet users di Indonesia

yang mencapai 150 juta dengan pertumbuhan 13%. Jumlah tersebut

merupakan pasar yang besar dan terus bertumbuh untuk potensi

pengembangan Fintech, khususnya Fintech P2PL di Indonesia. Gambar

berikut menjelaskan dinamika pertumbuhan digital di dunia dan

Indonesia:20

20 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa

Keuangan.

Page 79: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

69

Gambar : Perkembangan Digital di Dunia dan Indonesia

Pada periode 2018, industri sektor jasa keuangan pada layanan

pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau dalam

penelitian ini disebut penyelenggaraan Fintech P2PL menunjukkan

perkembangan yang semakin pesat dari awal kehadirannya mewarnai

industri sektor jasa keuangan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan rilis

data OJK yang menunjukkan akumulasi kredit pinjaman pada layanan

Fintech P2PL per Triwulan IV Tahun 2018 telah mencapai Rp. 22,6

Triliun atau dapat dikatakan meningkat lebih dari 750% dari awal tahun

2018 yang tercatat Rp. 3 Triliun.21

Kemudian pada data terakhir publikasi OJK per Triwulan I 2019,

menunjukkan akumulasi kredit menembus Rp. 33,2 Triliun, dimana

mengalami peningkatan 46,48% dari Triwulan IV Tahun 2018. Selain itu,

jumlah perusahaan platform penyelenggara kegiatan Fintech P2PL yang

berizin atau terdaftar di OJK juga meningkat tajam, yakni pada portal data

21 Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer To Peer Lending) Otoritas Jasa Keuangan

Periode 2018-2019, diterima dari website https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-

statistik/fintech/Pages/Statistik-Fintech-Lending-Periode-Maret-2019.aspx, diakses pada 26

Desember 2019 Pukul 09.00 BBWI.

Page 80: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

70

publikasi OJK per Mei 2019 terdapat 113 Perusahaan Fintech P2PL yang

terdaftar.22

Berikut merupakan profil dan perkembangan Fintech P2PL,

beserta jumlah akumulasi transaksi borrower (debitur) dan lender

(kreditur) Fintech P2PL di Indonesia yang dirilis Direktorat Pengaturan,

Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa

Keuangan:23

Gambar : Profil dan Perkembangan Fintech P2PL di Indonesia

22 Data Penyelenggaraan Fintech (Peer To Peer Lending) Terdaftar di OJK per 1 Mei

2019, diterima dari website https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-

kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-di-OJK-per-15-Mei-

2019.aspx2019.aspx, diakses pada 26 Desember 2019, Pukul 11.00 BBWI.

23

Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa

Keuangan.

Page 81: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

71

Gambar : Jumlah Akumulasi Transaksi Debitur Fintech P2PL di

Indonesia per Februari 2019

Gambar : Jumlah Akumulasi Rekening Kreditur Fintech P2PL di

Indonesia per Februari 2019

Berikut merupakan jumlah akumulasi penyaluran pinjaman pada

layanan Fintech P2PL di Indonesia yang dilansir oleh Direktorat

Page 82: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

72

Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F)

Otoritas Jasa Keuangan:24

Gambar: Jumlah Akumulasi Penyaluran Pinjaman Fintech P2PL di

Indonesia per Februari 2019

Data-data di atas terkait perkembangan penyelenggaraan Fintech

P2PL yang meningkat tajam dari tahun ke tahun menuai beberapa asumsi

positif maupun negatif di masyarakat. Adapun beberapa dampak positif

keberadaan Fintech P2PL diantaranya:25

1). Menyerap tenaga kerja

sebesar 215.433 orang di Indonesia; 2). Meningkatkan penyaluran kredit,

khususnya pada sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah; 3). Selama

kurun waktu 2018-2019 meningkatkan GDP menjadi Rp. 25,97 Triliun;

4). Menstimulus pertumbuhan perbankan sebesar 0,8%, perusahaan

pembiayaan sebesar 0,6%, dan ICT sebesar 0,2%; dan meningkatkan

pendapatan pajak untuk negara sebesar Rp.4,56 Triliun.

24 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa

Keuangan.

25 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Teguh Supangkat selaku Dewan Pakar

Fintech Indonesia dan Deputi Pengawasan Bank Otoritas Jasa Keuangan.

Page 83: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

73

Besarnya budaya utang (pinjam-meminjam) di Indonesia yang

cukup besar apabila kita lihat berdasarkan data-data yang tersaji pada

gambar di atas menjadi suatu fakta yang menunjang eksistensi Fintech

P2PL di Indonesia. terdapat banyak faktor dan alasan orang meminjam

uang melalui layanan pinjaman Fintech P2PL di Indonesia seperti alasan

ekonomi, pendidikan, jaminan kesehatan yang beberapa penyakit yang

tidak dapat ditanggung oleh negara. Biasanya, kelompok orang yang tidak

mampu mengakses layanan perbankan dengan mudah (unbankable).

Sayangnya, hampir 70-73% dari mereka yang mengeluh kepada OJK

adalah perempuan atau ibu yang memiliki peran ganda, sebagai ibu rumah

tangga dan pekerja.26

Lalu, budaya gengsi akan kebutuhan konsumtif dan

kontra produktif bukan untuk hal-hal produktif berdasarkan kebutuhan

mendesak dan dasar bagi mereka menjadi faktor penting dalam

penggunaan layanan Fintech P2PL.

Selain itu, mereka juga menggunakan Fintech P2PL ilegal karena

mereka ingin menghindari kesulitan kondisi yang disyaratkan oleh

Fintech P2PL yang legal yang diberikan oleh OJK. itu dilakukan karena

kondisi yang ditentukan oleh Fintech P2PL ilegal umumnya lebih mudah

daripada kondisi yang ditetapkan oleh Fintech P2PL yang legal.

Berdasarkan fakta tersebut, kehadiran Fintech P2PL di satu sisi

menimbulkan banyak problematika hukum yang terjadi di masyarakat.

Fintech P2PL yang peneliti maksud di sini ialah Fintech P2PL ilegal. Hal

tersebut menjadi suatu permasalahan serius di tengah pesatnya

perkembangan Fintech P2PL yang menjadi ekspektasi masyarakat,

khususnya masyarakat yang unbankable menjadi solusi dalam pemenuhan

kebutuhan dana/finansial.

Beberapa problematika yang timbul dari penyelenggaraan Fintech

P2PL sendiri ditengarai oleh banyak faktor. Salah satu hal yang paling

mendasar yakni belum adanya regulasi penyelenggaraan Fintech P2PL

yang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat, memberikan

perlindungan hukum bagi debitur. Sejatinya, dalam hal ini OJK selaku

regulator dan pengawas dalam penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL

telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi, namun hal tersebut belumlah mengakomodir

seluruh penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL. POJK ini merupakan

aturan khusus yang mengatur dan mewajibkan perusahaan Fintech P2PL

26 Nurhasanah and Indra Rahmatullah, “The Legal Protection of Sharia Financial

Technology In Indonesia (Analysis of Regulation, Structure, and Law Enforcement”, International

Journal of Advanced Science and Technology Vol. 29 No. 3, 2020, pp. 3086-3097, h. 3094.

Page 84: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

74

untuk mendaftar kepada OJK agar memiliki izin beroperasi sesuai dengan

ketentuan Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi.

Di sisi lain, keberadaan perusahaan Fintech P2PL ini menimbulkan

berbagai permasalahan dalam menjalankan kegiatan usahanya di

masyarakat. Salah satunya disebabkan oleh keberadaan perusahaan

Fintech P2PL illegal yang tidak terdaftar dan berizin di OJK yang

berjumlah sangat banyak, bahkan meningkat signifikan dari tahun ke

tahun. Hingga periode Februari 2019, OJK mencatat terdapat 803

perusahaan Fintech P2PL illegal.27

Awalnya kehadiran Fintech P2PL diharapkan menjadi solusi atas

keterbatasan masyarakat maupun pelaku UMKM yang kesulitan dalam

mengakses pinjaman dana atau kredit di lembaga perbankan. Melalui

proses transaksi yang fleksibel, tidak rumit secara administratif, dan

mudah dalam pencairan dana dinilai banyak membantu masyarakat dalam

memenuhi kebutuhan finansialnya.

Namun demikian, dalam perkembangan penyelenggaraan Fintech

P2PL dari hari ke hari banyak menuai problematika hukum di

masyarakat. Banyak fakta/peristiwa hukum yang dirasakan dan dialami

oleh masyarakat, khususnya pengguna Fintech P2PL hari ini yang

menimbulkan keresahan di masyarakat dengan kehadiran Fintech P2PL

illegal. Mayoritas perusahaan penyelenggara maupun kreditur Fintech

P2PL tersebut seringkali melakukan penagihan utang secara intimidatif

dan melanggar hak privasi dari debitur selaku konsumen. Ketika utang

tersebut jatuh tempo, perusahaan tersebut melakukan penagihan dengan

cara mengintimidasi dan lebih jauh mengancam akan menyebarkan data

pribadi debitur di media sosial sehingga menimbulkan suatu ancaman

tersendiri bagi keselamatan dan tercederainya perlindungan hukum

debitur. Faktanya, tidak hanya debitur saja yang mengalami ancaman

maupun intimidasi oleh perusahaan Fintech P2PL tersebut, tetapi juga

kepada teman hingga kerabat, keluarga debitur yang bahkan acapkali

dianggap sebagai penanggung jawab pada pembayaran utang debitur.

Permasalahan ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan Fintech

P2PL illegal saja, tetapi juga termasuk yang telah terdaftar dan memiliki

izin beroperasi dari OJK. Salah satu platform Fintech P2PL yang

27 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan.

Page 85: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

75

bermasalah tersebut misalnya pada platform Fintech P2PL RupiahPlus

yang diluncurkan oleh PT Digital Synergy Technology. Seseorang

bernama Tanti Tarry terkejut ketika mendapat pesan dengan kata kasar,

menyiratkan intimidasi dan/atau ancaman pada aplikasi Whatsapp dan

meminta untuk menyampaikan pesan kepada temannya bernama Nugraha

agar melunasi utang yang dipinjam dari platform RupiahPlus.28

Padahal,

dalam ketentuan Pasal 39 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi menyebutkan, bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang

dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi mengenai

konsumennya kepada pihak ketiga.”

Sebagai respon atas kegelisahan dan keresahan masyarakat

khususnya korban Fintech P2PL terdapat pengaduan atau laporan secara

masif ke kepolisian, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), maupun Yayasan

Lembaga Konsumen atas kerugian yang mereka alami. LBH Jakarta pada

November 2018 lalu membuka laporan dan pengaduan dari masyarakat

yang dirugikan perusahaan Fintech P2PL dan menerima laporan sebanyak

1.330 korban Fintech P2PL, serta mendapatkan 14 kasus dugaan

pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia. Kemudian, LBH

Jakarta per 23 Maret 2019 telah menerima sekitar 3000 aduan korban

Fintech P2PL yang mereka terima sejak Mei 2018.29

Khusus bagi perusahaan Fintech P2PL illegal, OJK tidak tinggal

diam menghadapi permasalahan ini. Melalui Satgas Waspada Investasi

OJK yang bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika

telah melakukan pemblokiran terhadap layanan Fintech P2PL illegal yang

masih beredar di Indonesia. Sepanjang tahun 2018 lalu, Kementerian

Komunikasi dan Informatika telah memblokir 738 situs dan aplikasi

Fintech P2PL, diantaranya sebanyak 527 aplikasi Fintech P2PL illegal

yang beredar di Google Play Store, sementara website Fintech P2PL

illegal sebanyak 211 website.30

Sedangkan, bagi perusahaan Fintech P2PL yang terdaftar, OJK

memberikan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan Pasal 47

28 Data Wawancara Bersama Salah Satu Korban Fintech P2PL, Tanti Tarry.

29

Laporan LBH Jakarta Terkait Tindak Pidana Korban Pinjaman Online, diterima dari

website https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-pinjol/ , diakses pada

27 Desember 2019, Pukul 04.00 BBWI.

30 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa

Keuangan.

Page 86: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

76

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Tindakan pemblokiran tersebut dianggap tidak maksimal, karena

perusahaan Fintech P2PL illegal tetap menjamur secara sporadik,

ditambah perusahaan Fintech P2PL illegal tersebut memberikan

penawaran pinjaman uang kepada masyarakat,baik melalui aplikasi yang

terdapat pada Google Play Store, Website, maupun SMS. Artinya, setelah

pemblokiran, besok dapat muncul lagi dengan jumlah lebih banyak dan

seterus-seterusnya. Contohnya, kasus Vloan sebagai perusahaan Fintech

P2PL illegal memiliki banyak nama ketika aplikasi diblokir, yakni

Supermash, Rupiah Cash, Super Dana, Pinjaman Plus, dan lain-lain.31

Otoritas Jasa Keuangan mengatakan, bahwa pengawasan yang dilakukan

secara terbatas pada perusahaan Fintech P2PL yang terdaftar saja, tidak

yang illegal. Ketentuan sanksi dalam POJK tersebut juga dianggap belum

maksimal karena baru sebatas administrasi berupa pencabutan izin.

Berdasarkan aduan-aduan yang telah diterima, LBH Jakarta

mengidentifikasi banyaknya bentuk pelanggaran hukum dan hak asasi

manusia terhadap korban pengguna (debitur) Fintech P2PL yang

dilakukan oleh pihak penyelenggara Fintech P2PL illegal dan yang legal,

maupun kreditur Fintech P2PL, yang meliputi namun terbatas pada:32

1).

Penyebaran data pribadi melalui media elektronik (Pasal 32 jo. Pasal 49

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik); 2). Pengancaman (Pasal 368 KUHP); 3). Penipuan (Pasal 378

KUHP); Fitnah (Pasal 311 Ayat (1) KUHP); dan 5). Pelecehan seksual

melalui media elektronik (Pasal 27 ayat (1)) jo. Pasal 45 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik).

Adapun tindak lanjut OJK terhadap problematika hukum tersebut

selaku regulator dan pengawas pada layanan Fintech P2PL menghimbau

masyarakat agar berhati-hati dan cermat dalam menggunakan layanan

platform pinjaman online Fintech P2PL ini. Dari hasil investigasi OJK,

banyaknya aduan disebabkan oleh banyaknya Fintech P2PL illegal yang

tidak berizin dan terdaftar di OJK yang melakukan pelanggaran atau

31 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa

Keuangan.

32

Laporan LBH Jakarta Terkait Tindak Pidana Korban Pinjaman Online, diterima dari

website https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-pinjol/ , diakses pada

27 Desember 2019, Pukul 04.00 BBWI.

Page 87: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

77

tindak pidana yang merugikan korban. Lebih lanjut, pihak OJK

menambahkan apabila di kemudian hari masyarakat menemukan

tindakan pelanggaran terhadap kegiatan penyelenggaraan layanan Fintech

P2PL agar menyampaikan aduan/laporan kepada OJK. Adapun perihal

pengaduan debitur disampaikan kepada OJK melalui; 1). Sarana surat

tertulis, konsumen dapat menyampaikan aduan/laporan melalui surat

tertulis yang ditujukan kepada Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa

Keuangan Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Menara Radius

Prawiro, Lantai 2 Komplek Perkantoran Bank Indonesia Jalan M.H.

Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat 10350; 2). Sarana Telepon di Nomor 157

pada jam operasional kerja dari Senin sampai dengan Jumat, Pukul 08.00-

17.00 WIB; dan 3). Sarana formulir pengaduan online dalam formulir

elektronik yang tersedia pada website

http://konsumen.ojk.go.id/FormPengaduan.

Page 88: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR DAN

KREDITUR FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER TO

PEER LENDING MENURUT PERATURAN OTORITAS JASA

KEUANGAN NOMOR 77/POJK.01/2016

A. Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Fintech P2PL Menurut

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi di

Indonesia

Urgensi perlindungan hukum terhadap debitur sebagai konsumen

dalam penyelenggaraan layanan Fintech P2PL menjadi hal yang amat

krusial. Mengingat dari perkembangan hari ke hari banyak korban yang

timbul dari penyelenggaraan layanan Fintech P2PL ini. Pada dasarnya,

kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui media elektronik yang berbasis

teknologi informasi, penting untuk didukung dan ditunjang oleh

instrumen hukum yang mumpuni dalam rangka melindungi masyarakat.

Maka dari itu, debitur yang menggunakan layanan Fintech P2PL sudah

selayaknya dilindungi secara hukum dalam regulasi terhadap teknologi

informasi yang memadai. Selain itu, juga diperlukan kemampuan dari

aparat penegak hukum (legal structure), kesadaran hukum masyarakat

(legal culture), dan sarana-prasarana yang menunjang dalam proses

penegakan hukum di bidang teknologi informasi.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki layanan

Fintech P2PL, aspek perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL

selaku konsumen menjadi hal penting yang harus diberikan sejalan

dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi informasi, kebijakan

pemerintah yang menjadi motor penggerak, regulator dan pengawasnya,

demi menunjang produktifitas, fleksibilitas, dan efesiensi Fintech P2PL

dalam menyelenggarakan kegiatan pada sektor jasa keuangan

sebagaimana mestinya. Untuk mencapai upaya tersebut, telah jelas bahwa

dampak yang akan dirasakan, baik secara langsung maupun tidak

langsung ialah berdampak penuh kepada para debitur selaku konsumen

layanan Fintech P2PL.

Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

77

Page 89: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

78

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Dalam hal ini, debitur Fintech P2PL adalah konsumen yang dilindungi

hak-haknya oleh Undang-Undang sebagaimana yang diamanatkan pada

ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa “hak konsumen adalah

: a). hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b). hak untuk memilih barang

dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai

dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c). ha katas

informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa; d). hak untuk didengar pendapat dan keluhannya

atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e). hak untuk mendapatkan

advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen secara patut; f). hak untuk mendapat pembinaan dan

pendidikan konsumen; g). hak untuk diperlakukan atau dilayani secara

benar dan jujur, serta tidak diskriminatif; h). hak untuk mendapatkan

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau

jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya; dan i). hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan.”

Banyak masyarakat pengguna layanan Fintech P2PL yang menjadi

korban dalam layanan P2PL dimana haknya sebagai konsumen dilanggar

dan dicederai hak asasinya, karena minimnya pengetahuan akan risiko-

risiko yang timbul dalam menggunakan layanan Fintech P2PL. Hal

tersebut tidak terlepas dari rendahnya edukasi terhadap literasi keuangan

di kalangan masyarakat Indonesia umumnya. Terlebih, dengan tingginya

akses teknologi informasi yang memudahkan masyarakat terbuai oleh

penawaran-penawaran yang ditawarkan oleh layanan pada platform

Fintech P2PL dengan produk pinjaman yang mudah dijangkau

masyarakat baik yang unbankable maupun yang bankable dimana salah

satu yang membuat masyarakat menggunakan layanan Fintech P2PL

adalah mudahnya mengajukan dana pinjaman tanpa menyertai jaminan.

Namun demikian, di balik semua itu mereka tidak mengetahui risiko-

risiko yang timbul pada penggunaanya.

Keberadaan hukum sebagai aturan (rule of law) berbanding lurus

dengan pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat terhadap sistem

hukum yang berlaku. Tidak adanya ketentuan hukum yang efektif di

masyarakat, jika informasi hukum tersebut tidak pernah dikomunikasikan

dengan baik atau sampai pada masyarakat. Mengikuti pendapat mengenai

Page 90: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

79

sistem hukum nasional, maka keberadaan sistem informasi hukum dapat

ditempatkan sebagai komponen keempat dalam sistem hukum nasional

yang selama ini dikenal terdapat tiga komponen, yaitu substansi, struktur

dan budaya hukum. Secara teoritis, komponen ini akan mengurangi

ketimpangan antara rule of law dengan social behavior dalam masyarakat.

Semua debitur Fintech P2PL selaku konsumen berhak

mendapatkan perlindungan hukum dari setiap penyelenggara maupun

kreditur Fintech P2PL sebagai salah satu sumber pembiayaan berbasis

teknologi informasi. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Perlindungan

konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum

untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

Selanjutnya, dalam upaya perlindungan debitur Fintech P2PL

terdapat beberapa aspek yang perlu dikaji, meliputi hak dan kewajiban

konsumen, debitur yang harus dilindungi dari tindakan para

penyelenggara dan/atau kreditur dalam kegiatan Fintech P2PL yang

menimbulkan kerugian bagi debitur sebagai konsumen. Aspek penting

lain yang perlu dikaji ialah pengakuan dan kepastian hukum dalam proses

penyelenggaraan Fintech berbasis P2PL jika mengalami kerugian baik

formil maupun materil, bahkan cenderung ke arah perbuatan melawan

hukum atau mengandung unsur tindak pidana.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memaparkan dan

membahas terkait penerapan perlindungan hukum bagi debitur Fintech

P2PL, baik dari aspek hukum, perlindungan konsumen, kelaikan

instrumen teknologi informasi yang digunakan dalam kegiatan Fintech

P2PL, kaitannya dengan sejauh mana Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi mengatur perlindungan hukum terhadap

debitur dalam penyelenggaraan Fintech P2PL dan bagaimana

pertanggungjawaban kreditur dan/atau penyelenggara Fintech P2PL

dalam menyelesaikan sengketa konsumen dilihat dari perspektif Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi beserta regulasi

terkait penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer Lending.

Peran Fintech P2PL sebagai salah satu sumber pembiayaan di

samping memberikan banyak manfaat dan kemudahan bagi debitur

Fintech P2PL selaku konsumen juga memiliki berbagai risiko maupun

kerawanan. Potensi risiko yang dapat terjadi pada debitur Fintech P2PL

yang menjadi problematika dalam penyelenggaraan layanan Fintech

P2PL, diantaranya 1). Maraknya layanan Fintech P2PL illegal (tidak

Page 91: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

80

terdaftar dan tidak berizin di OJK); 2). Penerapan bunga pinjaman yang

tinggi dan tanpa batasan; 3). Mekanisme penagihan pinjaman oleh

kreditur dengan orang yang berbeda-beda kepada debitur Fintech P2PL,

dan acapkali melakukan penagihan pinjaman terhadap debitur dengan

unsur ancaman, intimidatif, fitnah, hingga kekerasan kepada debitur

Fintech P2PL yang termasuk dalam kategori unsur tindak pidana; 4).

Penyalahgunaan data pribadi debitur Fintech P2PL oleh kreditur; 5).

Minimnya transparansi pada portal data sistem yang disediakan oleh

platform layanan Fintech P2PL terkait perkembangan jumlah angka

bunga pada pinjaman, perkembangan platform/aplikasi yang sering error

yang mengakibatkan kesulitan bagi debitur Fintech P2PL dalam

membayar tagihan, maupun pembayaran tagihan pinjaman oleh debitur

Fintech P2PL yang tidak terdata pada sistem platform Fintech P2PL

padahal sudah dibayar; 6). Domain wilayah kantor pihak penyelenggara

dan/atau kreditur Fintech P2PL yang berada di luar kedaulatan hukum

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyulitkan debitur Fintech

P2PL untuk melakukan penyelesaian sengketa dalam kegiatan ini; dan

potensi risiko ataupun kerawanan lainnya yang terkait dalam

penyelenggaraan Fintech P2PL.

Menyoal berbagai problematika yang timbul dalam

penyelenggaraan layanan Fintech P2PL di atas, peneliti memaparkan

beberapa respon OJK melalui hasil audiensi dan wawancara kepada

Bapak Munawar Kasan selaku Deputi Direktur Bidang Pengaturan,

Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology mengakui banyak

masih banyak kekurangan dalam penyelenggaraan Fintech P2PL di

Indonesia. Namun, OJK sebagaimana tugas dan fungsinya sebagai

regulator dan pengawas terhadap penyelenggaraan kegiatan pinjam

meminjam uang berbasis teknologi informasi (Fintech P2PL) ini

senantiasa terus berkomitmen dan berupaya maksimal dalam menaungi

dan memberikan edukasi, serta perlindungan konsumen kepada

masyarakat.

Menyikapi problematika hukum yang berkembang di masyarakat,

khususnya pada debitur Fintech P2PL selaku konsumen, oleh karena

banyaknya bentuk pelanggaran yang cenderung berpotensi ke ranah

tindak pidana dalam proses penyelenggaraan Fintech P2PL, Otoritas Jasa

Keuangan membentuk tim Satgas Waspada Investasi (SWI) sebagai

langkah kongkrit guna mengatasi tingginya angka pelanggaran-

pelanggaran yang dilakukan oleh pihak penyelenggara dan/atau kreditur

Fintech P2PL.

Page 92: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

81

Berkenaan dengan pembentukan Satgas Waspada Investasi yang

dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator dan pengawasan

pada kegiatan sektor jasa keuangan non-bank pada penyelenggaraan

layanan Fintech P2PL ini sejatinya terbatas pada menyidak, menindak,

dan memberikan sanksi kepada pihak penyelenggara platform Fintech

P2PL yang legal saja. Artinya, Otoritas Jasa Keuangan dalam hal ini

sebagaimana amanat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi hanya memberikan edukasi dan perlindungan hukum

terhadap konsumen dirugikan oleh penyelenggara layanan Fintech P2PL

yang terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan.

Lebih lanjut, pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi Bab II Tentang Penyelenggara Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Bagian Kesatu Tentang

Badan Hukum, Kepemilikan, dan Permodalan Pasal 2 hingga Bagian

Ketujuh Kualifikasi Sumber Daya Manusia Pasal 14, secara garis besar

diatur mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dimiliki oleh pihak

penyelenggara layanan Fintech P2PL untuk dapat memenuhi unsur-unsur

sebagai pelaku usaha jasa keuangan sektor Fintech sebagai berikut.

BAB II

PENYELENGGARA LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG

BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI

Bagian Kesatu

Bentuk Badan Hukum, Kepemilikan, dan Permodalan

Pasal 2

(1) Penyelenggara dinyatakan sebagai Lembaga Jasa Keuangan

Lainnya.

(2) Badan Hukum penyelenggara berbentuk :

a. Perseroan terbatas; atau

b. Koperasi

Pasal 3

(1) Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf a, dapat

didirikan dan dimiliki oleh:

a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;

dan/atau

b. Warga negara asing dan/atau badan hukum asing.

Page 93: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

82

(2) Kepemilikan saham Penyelenggara oleh warga negara asing

dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b, baik secara langsung maupun tidak langsung paling

banyak 85% (delapan puluh lima persen).

Pasal 4

(1) Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas

wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat pendaftaran.

(2) Penyelenggara berbentuk badan hukum koperasi wajib

memiliki modal sendiri paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah) pada saat pendaftaran.

(3) Penyelenggara wajib memiliki modal disetor sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) atau modal sendiri sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) paling sedikit Rp. 2.500.000.000,00

(dua miliar lima ratus juta rupiah) pada saat mengajukan

permohonan perizinan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2-4 tersebut dinyatakan, bahwa

Penyelenggara layanan Fintech P2PL merupakan lembaga jasa keuangan

lainnya yang harus berbentuk badan hukum berupa perseroan terbatas

atau koperasi. Untuk kepemilikan badan usaha penyelenggara sendiri

merupakan Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia,

dan Warga Negara Asing dan/atau badan hukum asing yang maksimal

memiliki saham 85% pada badan usahanya. Kemudian, untuk dapat

menjadi penyelenggara Fintech P2PL, maka warga negara Indonesia

ataupun asing dan/atau badan hukum atau koperasi tersebut harus

memenuhi syarat permodalan yaitu modal yang disetor oleh badan usaha

penyelenggara berbentuk modal sendiri maupun perseroan terbatas atau

koperasi minimum Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) saat

mengajukan pendaftaran dan Rp. 2.500.000.000,00 saat mengajukan

perizinan kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Sedangkan tataran pelaksanaan kegiatan usaha oleh penyelenggara

pada layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi

(Fintech P2PL) tertuang sebagai sebagai berikut:

Bagian Kedua

Kegiatan Usaha

Pasal 5

Page 94: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

83

(1) Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi dari pihak Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima

Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi

Pinjaman.

(2) Penyelenggara dapat bekerjasama dengan penyelenggara

layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Batasan Pemberian Pinjaman Dana

Pasal 6

(1) Penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum

total pemberian dana kepada setiap Penerima Pinjaman.

(2) Batas maksimum total pemberian pinjaman dana sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar Rp.

2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(3) OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas

maksimum total pemberian pinjaman dana sebagaimana

dimaksud pada ayat (2).

Bagian Keempat

Pendaftaran dan Perizinan

Pasal 7

Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan

kepada OJK.

... dan seterusnya.

Menilik frasa “Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan

perizinan kepada OJK” yang tertuang dalam Bagian Keempat Tentang

Pendaftaran dan Perizinan Pasal 7 di atas, artinya bahwa setiap

penyelenggara yang melakukan kegiatan usaha layanan Fintech P2PL di

Indonesia diwajibkan untuk mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada

OJK selaku regulator dan pengawas dalam penyelenggaraan layanan

Fintech P2PL di Indonesia.

Lalu, pertanyaan yang timbul ialah bagaimana bentuk perlindungan

hukum yang diberikan oleh negara kepada debitur selaku konsumen dalam

Fintech P2PL pada platform penyelenggara Fintech P2PL yang illegal

atau yang tidak terdaftar dan berizin di OJK. Sedangkan problematika

utama yang dihadapi dalam perkembangan pelaksanaan Fintech P2PL hari

ini ialah masifnya penyebaran platform penyelenggara Fintech P2PL

Page 95: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

84

ilegal yang telah menjamur di masyarakat, khususnya pengguna layanan

Fintech P2PL ini.

OJK melalui Satgas Waspada Investasi yang berkoordinasi dengan

Kementerian Komunikasi dan Informatika pada November 2018 telah

berhasil memblokir 182 entitas plaform penyelenggara Fintech P2PL

illegal. Data terkini, per November 2019 menunjukkan OJK telah

memblokir 1898 entitas platform penyelenggara Fintech P2PL illegal.1

Fakta tersebut, tentunya harus menjadi perhatian yang serius bagi seluruh

aparatur pemerintah selaku pemangku kepentingan maupun seluruh

elemen yang terlibat dalam proses penyelenggaraan kegiatan usaha

Fintech P2PL, agar tidak menambah korban-korban Fintech P2PL di

kemudian hari.

Terlepas dari hal itu, peneliti menghimpun beberapa fakta

berdasarkan wawancara dengan salah satu korban pada salah satu platform

penyelenggara Fintech P2PL illegal beberapa waktu yang lalu. Korban

Fintech P2PL illegal tersebut bernama Tanti Tarry, kelahiran Sukaraja, 28

Mei 1991, bertempat tinggal di Desa Sedayu, Kecamatan Semaka,

Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Dalam kesehariannya beliau

berprofesi sebagai buruh pabrik tekstil di daerah Cikarang, Jawa Barat.

Berdasarkan penelusuran peneliti, beliau mengalami musibah naas

yang menimpa dirinya pada pertengahan 2017 lalu. Pada awalnya, beliau

pada sela istirahat aktifitasnya kala itu sedang membuka smartphone yang

ia miliki. Saat dirinya mengakses salah satu website resep membuat kue

pada browser di smartphone-nya, seketika muncul iklan pada website

tersebut yang menawarkan pinjaman online. Melihat tawaran pinjaman

online yang dilihatnya dari iklan platform Fintech P2PL illegal tersebut,

tanpa pikir panjang dan melihat dampak risiko yang timbul di kemudian

hari, beliau meng-klik layanan platform Fintech P2PL tersebut karena

tergiur dengan tawaran menarik dimana salah satunya tidak menyertakan

jaminan dan proses pencairan dana yang cepat hanya dengan melakukan

registrasi pendaftaran dan mengisi kolom-kolom ketentuan pada platform

layanan Fintech P2PL illegal, lalu mengklik ketentuan persetujuan online

pada platform layanan Fintech P2PL illegal tersebut, serta melampirkan

foto E-KTP saja. Terlebih, beliau juga sedang membutuhkan dana untuk

kebutuhannya kala itu yang terbilang mendesak sehingga membuatnya

yakin untuk mencoba menggunakan layanan pinjaman uang online yang

ditawarkan oleh platform layanan Fintech P2PL ilegal tersebut.

1 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Munawar Kasan selaku Deputi Direktur

Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan.

Page 96: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

85

Kemudian, korban yang mengaku terjerat pinjaman online ini

menceritakan mulanya besaran pinjaman dana yang diajukan pada layanan

Fintech P2PL illegal tersebut sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah)

sejak Februari 2017 hingga Juli 2017. Hingga di kemudian hari, hutang

dan bunga yang harus dibayar mencapai lebih dari Rp. 68.000.000,00

(enam puluh delapan juta rupiah). Platform layanan pinjaman online

illegal yang disebutnya “arisan online” dikelola oleh seorang

penyelenggara yang mengaku mewadahi para kreditur/investor dan

membantu memberikan pinjaman kepada peserta lainnya dengan syarat

mengembalikan dalam waktu tertentu dengan nilai tertentu. Tentu saja

dengan nilai pengembalian lebih tinggi dengan bunga yang terbilang

cukup besar dan penalti tambahan.

Seiring berjalannya waktu, Tanti Tarry selaku debitur pada saat itu

gagal membayarkan hutang dan bunga pinjaman online tersebut pada

waktu yang telah ditentukan, maka utang dan bunga tersebut akan secara

otomatis bertambah, ditambah penalti yang terus berjalan. Lebih lanjut,

teman, kerabat keluarga, dan saudara debitur ditagih secara terus-menerus

melalui telepon, chat, atau sms, maupun media sosial Facebook yang

dimiliki oleh teman-teman debitur. Jika tetap tidak membayarkan tagihan

pinjaman, maka pemberi pinjaman (kreditur) pada platform Fintech P2PL

illegal Arisan Online tersebut mengultimatum debitur melalui unit

penagihan yang dimiliki oleh pihak penyelenggara Fintech P2PL Arisan

Online dengan mengintimidasi dan mengancam akan menyerang nama

baik debitur di sosial media jika tidak memenuhi tagihan pinjaman pada

waktu yang telah ditentukan. Lebih jauh lagi, penyelenggara platform

Arisan Online tersebut memiliki kontak-kontak yang ada di ponsel

smartphone debitur dan menyebarkan informasi mengenai debitur yang

gagal bayar dengan menuduh debitur sebagai penipu karena menghindari

pembayaran tagihan pinjaman.

Karena terdesak akan besarnya angka tagihan yang harus

dibayarkan oleh debitur kepada kreditur, kemudian debitur mencari

pinjaman online lain untuk membayar utang, bunga dan penalti tersebut.

Hingga terulang lagi gagal membayar dan terancam kembali atas pinjaman

online kedua di platform Fintech illegal pula, hingga kemudian debitur

mencari pinjaman online ketiga. Begitu seterusnya hingga hutang, bunga,

dan penalti menumpuk dan terus berlipat ganda hingga akhirnya tidak

terbayarkan setelah nilai mencapai lebih dari 300% nilai utang awal.

Besarnya kerugian yang didapati oleh Tanti Tarry sebagai korban layanan

Fintech illegal tersebut membuatnya memutuskan menjual aset tanah

warisan yang dimiliki oleh mendiang kedua orang tuanya di Lampung

untuk memenuhi besaran angka tagihan pinjaman online pada layanan

Page 97: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

86

platform Fintech-Fintech P2PL illegal tersebut. Tidak hanya itu, ia juga

terisolir di lingkungan rumahnya di Lampung. Hingga pada akhirnya,

sejak akhir 2018 hingga kini beliau merantau di Tangerang untuk bekerja

sebagai buruh pabrik dan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.2

Berdasarkan keterangan-keterangan fakta pengakuan oleh korban

pada layanan Fintech illegal tersebut, peneliti berpendapat bahwa tidak

dapat dipungkiri bahwa problematika dalam penyelenggaraan Fintech

berbasis Peer To Peer Lending di Indonesia menjadi hal yang amat krusial

dan menjadi isu strategis yang harus segera diselesaikan agar tidak muncul

di kemudian hari korban-korban berikutnya dari penggunaan platform

layanan Fintech P2PL yang legal maupun juga yang illegal, meskipun

belum ada ketentuan regulasi yang mengaturnya.

Sehubungan dengan fakta hukum yang terjadi pada korban tersebut

di atas, sejatinya tidak hanya ditemui pada layanan Fintech P2PL yang

illegal saja, melainkan juga dilakukan oleh penyelenggara dan kreditur

Fintech P2PL yang berizin dan terdaftar di OJK juga. Hal ini diamini oleh

Bapak Munawar Kasan selaku Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan, dan

Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan yang

menyebutkan bahwa terdapat beberapa platform penyelenggara Fintech

P2PL yang legal mendapat sanksi administratif dari OJK setelah terbukti

melakukan pelanggaran sebagaimana ketentuan Bab X Tentang Larangan

Pasal 43 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan kegiatan usaha,

Penyelenggara dilarang: a. melakukan kegiatan usaha selain kegiatan

usaha Penyelenggara yang diatur dalam Peraturan OJK ini; b. bertindak

sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman; c. memberikan

jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; d.

menerbitkan surat utang; e. memberikan rekomendasi kepada Pengguna;

f. mempublikasikan informasi yang fiktif dan/atau menyesatkan; g.

melakukan penawaran layanan kepada Pengguna dan/atau masyarakat

melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Pengguna; dan h.

mengenakan biaya apapun kepada Pengguna atas pengajuan pengaduan.”

Ketentuan Bab X Tentang Larangan Pasal 43 tersebut belumlah

mampu menjadi koridor dalam rangka mencegah segala bentuk

pelanggaran yang dilakukan oleh Penyelenggara Fintech P2PL. Hal ini

dilandasi oleh beberapa faktor, salah satunya yakni kompleksitas dalam

problematika yang timbul dari penyelenggaraan layanan Fintech P2PL

mengingat kegiatan yang berbasiskan teknologi informasi bersifat dinamis,

2 Data wawancara peneliti dengan Korban Fintech P2PL illegal, Tanti Tarry.

Page 98: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

87

terlebih komponen perangkat hukum yang ada belum menjamin adanya

perlindungan dan kepastian hukum dalam memproteksi para pihak

kegiatan ini.

Problematika yang kerap kali timbul bagi debitur Fintech P2PL ini

diantaranya banyaknya jumlah platform layanan Fintech P2PL illegal

yang mewabah di masyarakat. Fenomena menjamurnya penyelenggara

Fintech P2PL ini bak mati satu tumbuh seribu. Ketika OJK dan

Kemenkominfo memblokir platform mereka, maka di kemudian hari

mereka menciptakan platform baru sejenis dengan nomenklatur nama lain

dan siklus tersebut selalu berulang. Sesungguhnya, hal ini berdampak

besar pada kelangsungan penyelenggaraan Fintech P2PL yang

menimbulkan risiko-risiko atau kerawanan-kerawanan pada debitur

Fintech P2PL yang praktis merugikan debitur Fintech P2PL selaku

konsumen.

Wujud kongkrit dari potensi risiko atau kerawanan yang

disebabkan oleh maraknya perusahaan penyelenggara Fintech P2PL

illegal ini diantaranya; Pertama, Regulator/pengawas, tidak ada regulator

khusus yang bertugas mengawasi kegiatan Penyelenggara Fintech P2PL

illegal, sedangkan Penyelenggara Fintech P2PL yang terdaftar/berizin di

OJK berada dalam pengawasan OJK berdasarkan ketentuan yang diatur

dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

sehingga sangat memperhatikan aspek perlindungan konsumen.

Kedua, identitas perusahaan penyelenggara Fintech P2PL illegal

yang fiktif. Pada umumnya perusahaan yang bergerak di bidang apapun

akan terbuka perihal identitas perusahaan yang mencakup pengurus, lokasi

domisili kantor, serta status perusahaan, namun pada perusahaan

penyelenggara Fintech P2PL illegal, data pengurus direksi dan komisaris

penyelenggara fiktif, kemudian alamat kantor domisili perusahaan Fintech

P2PL illegal tidak jelas keberadaannya yang seringkali menyulitkan

debitur selaku konsumen Fintech P2PL dalam melakukan pengaduan atau

pelaporan ke pihak kepolisian maupun OJK.

Selain itu, banyak temuan fakta bahwa perusahaan penyelenggara

layanan Fintech P2PL illegal ini mencatut nama OJK, dimana seolah-olah

platform pada perusahaan Fintech P2PL illegal ini dianggap sebagai

penyelenggara Fintech P2PL yang telah terdaftar dan berizin di OJK. Hal

ini membuat banyak Fintech P2PL illegal yang berhasil mengelabui

masyarakat untuk menggunakan layanan Fintech P2PL illegal tersebut.

Untuk itu, debitur Fintech P2PL yang hendak menggunakan jasa layanan

Fintech P2PL patut mencermati dengan baik dan mengkonfirmasi

Page 99: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

88

validitasnya pada portal resmi OJK mengenai legalitas perusahaan

penyelenggara Fintech P2PL tersebut.

Ketiga, bunga dan denda yang tinggi. Penyelenggara Fintech P2PL

illegal mengenakan besaran bunga dan denda yang sangat besar dan tidak

transparan. Sementara, pada layanan penyelenggara Fintech P2PL legal

yakni yang terdaftar dan berizin di OJK diwajibkan memberikan

keterbukaan informasi mengenai bunga, dan denda maksimum yang dapat

dikenakan kepada debitur. OJK memang tidak menetapkan bunga pada

kegiatan penyelenggaraan layanan Fintech P2PL dalam Peraturan Otoritas

Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, akan tetapi Asosiasi

Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatur bunga maksimum

0,8% per hari dan total seluruh biaya yang dikenakan termasuk besaran

denda adalah 100% dan tidak boleh melebihi 100% dari nilai pokok

pinjaman yang diajukan oleh debitur. Artinya, jumlah biaya pinjaman dan

pokok pinjaman tidak akan bertambah.

Keempat, mekanisme penagihan pinjaman pada layanan

penyelenggara Fintech P2PL illegal dilakukan secara intimidatif,

ancaman, serta mengarah kepada unsur tindak pidana, seperti kekerasan

fisik maupun seksual. Sisi lain yang membuat hal tersebut dapat terjadi,

tidak terlepas dari faktor banyaknya debitur yang mencoba menghindari

penagihan (collection) pinjaman atau debitur tidak mampu membayar

tagihan pinjaman (kredit macet) pada batas waktu yang telah ditentukan

hingga jatuh tempo, sehingga penyelenggara Fintech P2PL illegal melalui

Debt Collector atau unit penagihan dari penyelenggara maupun kreditur

Fintech P2PL melakukan upaya penagihan yang disertai tindakan

melawan hukum, seperti melakukan ancaman, meneror baik secara tidak

langsung melalui telepon berkali-kali, maupun langsung dengan intimidasi

maupun kekerasan, dan bahkan menyalahgunakan data pribadi debitur,

guna meretas kontak data pribadi debitur maupun menyebar konten asusila

milik debitur ke publik.

Berdasarkan investigasi dan penelusuran peneliti melalui kegiatan

audiensi dan wawancara dengan Bapak Sardjito. selaku anggota Satgas

Waspada Investasi diperoleh beberapa data kasus yang diperoleh Satgas

Waspada Investasi terkait Fintech P2PL illegal berdasarkan laporan dari

Badan Reserse Kriminal Polri kepada Otoritas Jasa Keuangan. Bareskrim

menangkap empat tersangka yang menjadi Debt Collector di balik meja

perusahaan penyelenggara platform Fintech P2PL asing asal Republik

Rakyat Tiongkok, PT Vcard Technology Indonesia (Vloan) sebagai

perusahaan Fintech P2PL illegal. Para Debt Collector ini menagih utang

Page 100: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

89

kepada debitur uang dengan cara menyebar konten asusila untuk menakut-

nakuti debitur.3

Permasalahan ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan Fintech

P2PL illegal saja, tetapi juga termasuk yang telah terdaftar dan memiliki

izin beroperasi dari OJK. Salah satu platform Fintech P2PL yang

bermasalah tersebut contohnya ialah RupiahPlus yang diluncurkan oleh PT

Digital Synergy Technology. Lebih lanjut, berkenaan dengan kasus

tersebut korban pada layanan platform Fintech P2PL legal RupiahPlus

sebagaimana yang disebutkan di atas kerap kali mendapat pesan dengan

kata kasar, menyiratkan intimidasi dan/atau ancaman pada aplikasi

Whatsapp dan meminta untuk menyampaikan pesan kepada keluarga,

kerabat hingga teman debitur agar melunasi utang yang dipinjam dari

platform pinjaman online RupiahPlus tersebut.

Padahal, ketentuan Pasal 39 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi menyebutkan, bahwa “(1) Penyelenggara

dilarang dengan cara apapun, memberikan data dan/atau informasi

mengenai Pengguna kepada pihak ketiga; (2) Larangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal: a. Pengguna memberikan

persetujuan secara elektronik; dan/atau b. diwajibkan oleh ketentuan

peraturan perundang-undangan; (3) Pembatalan atau perubahan

sebagian persetujuan atas pengungkapan data dan/atau informasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan secara elektronik

oleh Pengguna dalam bentuk Dokumen Elektronik.” Dengan ketentuan ini,

maka jelas pelaku usaha jasa keuangan pada layanan Fintech P2PL, baik

pihak penyelenggara maupun kreditur Fintech P2PL dilarang dengan cara

apapun untuk memberikan data dan/atau informasi mengenai

konsumen/debitur kepada pihak ketiga.

Secara nyata, mekanisme penagihan pinjaman pada layanan

Fintech P2PL yang banyak menimbulkan kerugian bagi debitur pengguna

layanan Fintech P2PL, khususnya yang illegal telah membuka tabir fakta

bahwa cara penagihan yang dilakukan oleh penyelenggara layanan Fintech

P2PL illegal melakukan penagihan dengan cara-cara yang kasar,

cenderung mengancam, tidak manusiawi, dan bertentangan dengan

ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

3 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Sardjito selaku anggota Dewan Pakar

Fintech Indonesia, dan Deputi Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen

Otoritas Jasa Keuangan.

Page 101: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

90

Maraknya fenomena perusahaan penyelenggara Fintech P2PL

illegal kerap melakukan penagihan utang kepada debitur secara intimidatif

dan melanggar hak privasi dari debitur selaku konsumen. Ketika utang

tersebut jatuh tempo, perusahaan tersebut melakukan penagihan dengan

cara mengintimidasi dan lebih jauh mengancam akan menyebarkan data

pribadi debitur di media sosial sehingga menimbulkan suatu ancaman

tersendiri bagi keselamatan dan tercederainya perlindungan hukum bagi

debitur Fintech P2PL. Faktanya, tidak hanya debitur saja yang mengalami

ancaman maupun intimidasi oleh perusahaan penyelenggara Fintech P2PL

illegal tersebut, tetapi juga kepada teman hingga keluarga debitur dan

bahkan acapkali dianggap sebagai penanggung jawab pada pembayaran

utang debitur Fintech P2PL.

Kelima, besarnya angka penyalahgunaan data pribadi debitur.

Platform penyelenggara Fintech P2PL illegal akan meminta akses dan

menyalin seluruh data kontak pribadi yang ada dalam handphone debitur

yang kemudian disalahgunakan untuk melakukan penagihan, sedangkan

pada layanan penyelenggara Fintech P2PL legal hanya diizinkan

mengakses Camera, Microphone, dan Location pada handphone debitur.

Pada praktiknya, layanan perusahaan penyelenggara Fintech P2PL legal

memiliki proses pengecekan secara detail terlebih dahulu mengenai

formulir yang diajukan debitur, baik dari identitas pribadi debitur beserta

kelengkapan persyaratan lainnya guna mengajukan pencairan dana.

Setelah tahapan proses data formulir pengajuan tersebut sudah

terkonfirmasi dengan validitas data yang dapat dipertanggungjawabkan,

baru kemudian dapat dicairkan dana pinjaman yang diajukan oleh

penyelenggara Fintech P2PL legal kepada debitur.

Sejatinya, OJK selaku regulator dan pengawas dalam

penyelenggaraan layanan kegiatan Fintech P2PL telah mengatur terkait

pencegahan terhadap penyalahgunaan data pribadi debitur melalui Tata

Kelola Sistem Informasi yang tertuang pada Pasal 25-28 Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi dimana Penyelenggara Fintech P2PL wajib:

1). Menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data

transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga

data tersebut dimusnahkan; 2). Memastikan tersedianya proses autentikasi,

verifikasi, dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam

mengakses, memproses, dan mengeksekusi data pribadi, data transaksi,

dan data keuangan yang dikelolanya; 3). Menjamin bahwa perolehan,

penggunaan, pemanfaatan, dan pengungkapan data pribadi, data transaksi,

dan data keuangan yang diperoleh oleh Penyelenggara berdasarkan

persetujuan pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan,

Page 102: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

91

kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; 4).

Menyediakan media komunikasi lain selain sistem layanan pinjam

meminjam uang berbasis teknologi informasi guna memastikan

kelangsungan layanan nasabah yang dapat berupa surat elektronik, call

center, atau media komunikasi lainnya; dan 5). Memberitahukan secara

tertulis kepada pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan

tersebut jika terjadi kegagalan dalam perlindungan kerahasiaan data

pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya.

Selain ketentuan POJK tersebut, penyalahgunaan data pribadi

debitur ini dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum menurut

beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum postif di

Indonesia yaitu pada ketentuan Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik dikatakan bahwa, “Penggunaan

informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi harus

atas persetujuan orang yang bersangkutan, kecuali ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan.” Lalu, pada ketentuan Pasal 26 Ayat (2)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik dan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata menyatakan bahwa, “Setiap orang yang dilanggar haknya tersebut

dapat mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).”

Dan ditegaskan pula pada Pasal 1 Peraturan Menteri Komunikasi

dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data

Pribadi Dalam Sistem Elektronik mengatur bahwa, “Data pribadi adalah

data perseorang tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran

serta dilindungi kerahasiannya, sedangkan data perseorangan tertentu

adalah setiap keterangan yang benar dan nyata yang melekat dan dapat

diidentifikasi, baik langsung maupun tidak langsung pada masing-masing

individu yang pemanfaatannya sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.” Sehingga dapat dikatakan bahwa identitas dalam melakukan

perjanjian pinjaman Fintech P2PL termasuk dalam kategori data pribadi

yang dimiliki oleh debitur pada penyelenggaraan Fintech berbasis Peer to

Peer Lending. Kemudian, pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan

Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang

Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik mengatur mengenai

perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik melingkupi

perlindungan pada saat: 1). Perolehan dan pengumpulan; 2). Pengolahan

dan penganalisisan; 3). Penyimpanan; 4). Penampilan, pengumuman,

pengiriman, penyebarluasan, dan/atau pembukaan akses; dan 5).

Pemusnahan.

Page 103: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

92

Selanjutnya, dalam Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Menteri Komunikasi

dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data

Pribadi Dalam Sistem Elektronik menegaskan bahwa penyelenggara

Fintech P2PL selaku pelaku usaha jasa keuangan yang menyelenggarakan

usaha berbasis teknologi informasi diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan

data konsumen dalam hal ini debitur Fintech P2PL sejak data diperoleh

hingga data tersebut dimusnahkan. Adapun kewajiban penyelenggara

Fintech P2PL dalam rangka melakukan perlindungan data pribadi

berdasarkan asas perlindungan terhadap data pribadi yang baik, meliputi:

1). Penghormatan terhadap data pribadi sebagai privasi; 2). Data pribadi

bersifat rahasia sesuai persetujuan dan/atau berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan; 3). Berdasarkan persetujuan; 4). Relevansi

dengan tujuan perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisa,

penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman,dan penyebarluasan;

5). Kelaikan sistem elektronik yang digunakan; 6). Itikad baik untuk

segera memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi atas

setiap kegagalan perlindungan data pribadi; 7). Ketersediaan aturan

internal pengelolaan perlindungan data pribadi; 8). Tanggung jawab atas

data pribadi yang berada dalam pengawasan pengguna; 9). Kemudahan

akses dan koreksi terhadap data pribadi oleh pemilik data pribadi; dan 10).

Keutuhan, akurasi, dan keabsahan, serta kemutakhiran data pribadi.

Dalam upaya perlindungan terhadap debitur, OJK telah melakukan

pelbagai upaya langkah kongkrit. Salah satunya ialah melakukan

penindakan terhadap oknum penyelenggara maupun kreditur Fintech

P2PL yang terindikasi dan terbukti melakukan ketentuan-ketentuan

larangan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi. Khusus bagi perusahaan Fintech P2PL illegal, OJK

tidak tinggal diam menghadapi permasalahan ini. Melalui Satgas Waspada

Investasi, OJK bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan

Informatika telah melakukan pemblokiran terhadap layanan Fintech P2PL

illegal yang masih beredar di Indonesia. Sepanjang tahun 2018 lalu,

Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir 738 situs dan

aplikasi Fintech P2PL, diantaranya sebanyak 527 aplikasi Fintech P2PL

illegal yang beredar di Google Play Store, dan 211 website Fintech P2PL

illegal.

Sedangkan bagi perusahaan Fintech P2PL yang terdaftar dan

berizin, OJK memberikan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 47

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yaitu

Page 104: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

93

berupa sanksi administratif berupa, peringatan tertulis, denda, pembatasan

kegiatan usaha, dan cabut izin usaha.

Dengan demikian, peneliti berpendapat bahwa tindakan penegakan

hukum berupa sanksi administratif tidak membuat efek jera terhadap

perusahaan penyelenggara dan kreditur pada layanan Fintech P2PL

sehingga belum menciptakan perlindungan, ketertiban, dan kepastian

hukum terhadap debitur sebagai konsumen layanan Fintech P2PL.

berdasarkan fakta-fakta yang beberapa di antaranya peneliti peroleh di

lapangan, problematika penyelenggaraan Financial Technology berbasis

Peer-To-Peer Lending amat kompleks, dimana dalam

penyelenggaraannya belum terintegrasi dengan baik, serta belum adanya

lex specialis (Undang-Undang) sebagai payung hukum bagi konsumen

agar tidak menimbulkan kerugian yang acapkali dialami oleh debitur yang

merenggut perlindungan haknya sebagai konsumen. Hal ini

bersinggungan dengan prinsip kemanusiaan dalam proses penagihan

utang oleh penyelenggara dan/atau kreditur Fintech P2PL yang dikatakan

oleh peneliti sebagai perbuatan yang berkontradiksi dengan prinsip Hak

Asasi Manusia yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28 konstitusi Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sejatinya, proses penegakan hukum berkaitan dengan tiga unsur,

yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang mesti dipadukan secara

seimbang. Penegakan hukum adalah upaya untuk mewujudkan

pencapaian tujuan hukum itu sendiri. Untuk mendukung keberhasilan

penegak hukum, maka hal-hal seperti ketersediaan perangkat hukum,

lembaga-lembaga hukum, dan aparat penegak hukum semuanya harus

memadai dan berkualitas baik. Adapun pelaksanaan penegakan hukum

dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1. Faktor hukum; 2.

Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun

yang menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung

penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana

hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni

sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada manusia di

dalam pergaulan hidup.

Penegakan hukum juga memegang peranan penting dalam bidang

ekonomi. Hal tersebut menjadi penting untuk melindungi kepentingan

ekonomis dari semua pihak yang terkait di dalamnya, bahkan berkaitan

dengan keberhasilan pembangunan ekonomi pada umumnya. Salah satu

upaya melindungi kepentingan ekonomis tersebut ialah memberikan

perlindungan bagi konsumen dalam mengakses layanan jasa keuangan

Page 105: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

94

yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara dan kreditur Fintech

P2PL.

Tindakan perusahaan-perusahaan penyelenggara dan/atau kreditur

pada kegiatan Fintech P2PL, baik yang legal maupun illegal dalam cara

penagihan pinjaman uang kepada konsumen yang mengintimidasi dan

melakukan pengancaman, menyebarkan data pribadi konsumen di media

sosial, serta perbuatan lainnya yang merugikan debitur selaku konsumen

dalam kegiatan Fintech P2PL menurut penulis tidak memperhatikan asas-

asas perlindungan konsumen, khususnya asas keamanan dan keselamatan

konsumen sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang

dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan

kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

Berbagai kemudahan dalam melakukan transaksi pinjaman uang

secara online dalam platform yang diselenggarakan oleh penyelenggara

Fintech P2PL, berupa platform yang dapat diunduh di smartphone

sesungguhnya akan menjadi persoalan hukum, khususnya pengamanan

dalam sistem informasi itu sendiri. Tanpa pengamanan yang ketat dan

canggih, perkembangan teknologi informasi tidak memberikan manfaat

yang maksimal kepada masyarakat. Teknologi digital memungkinkan

penyalahgunaan informasi terjadi dengan mudah, sehingga masalah

keamanan sistem informasi menjadi sangat penting.

Permasalahannya, hal tersebut belum diikuti dengan tindakan

penegakan hukum yang baik oleh lembaga-lembaga terkait, yakni Satgas

Waspada Investasi, selaku bagian dari OJK, Bareskrim Polri dan elemen

terkait lainnya. Efektifitas dari penegakan hukum yang dilakukan oleh

suatu lembaga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi

mengapa tindakan penegakan hukum dalam permasalahan ini belum

dijalankan dengan baik, yakni tidak terlepas dari faktor hukum, faktor

penegak hukum, dan faktor masyarakat.

Pertama, faktor sistem hukum (legal substance) merupakan salah

satu faktor utama yang membuat penegakan hukum terhadap tindakan

penagihan pinjaman uang kepada konsumen/debitur yang dilakukan

perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech P2PL ini tidak berjalan

dengan baik dan belum mampu mengakomodir debitur dalam rangka

pemenuhan perlindungan hukum pada penggunaan layanan Fintech

P2PL. Peraturan-peraturan yang ada saat ini tidak cukup mumpuni untuk

melindungi kepentingan konsumen hari ini. Ketentuan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai payung

Page 106: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

95

hukum bagi debitur sebagai konsumen dalam melakukan transaksi dengan

pelaku usaha di berbagai sektor, salah satunya di sektor jasa keuangan

dalam hal ini pada kegiatan Fintech P2PL jauh dari kata memadai dalam

melindungi kepentingan konsumen saat ini, serta terbatas pada aktifitas

perdagangan yang sifatnya masih tradisional, belum yang menggunakan

teknologi informasi, berupa internet seperti yang terjadi saat ini.

Kasus-kasus dalam tindakan penagihan pinjaman uang seperti yang

dilakukan oleh perusahaan-perusahaan penyelenggara dan/atau kreditur

pada kegiatan Fintech P2PL, seperti disebutkan pada pemaparan peneliti

di atas tidak sesuai dengan asas keamanan dan keselamatan konsumen

yang tertuang dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Asas ini berkaitan dengan permasalahan jaminan kerahasiaan data-

data konsumen yang dilanggar oleh perusahaan-perusahaan Fintech P2PL

dalam tindakan penagihan pinjaman uang kepada konsumen. Tindakan-

tindakan penagihan pinjaman uang kepada konsumen dengan cara

menyebarkan data-data pribadi, seperti nomor telepon, foto, video, dan

lain-lain yang terdapat di smartphone miliki konsumen tanpa seizin dari

konsumen merupakan fakta, bahwa hak-hak yang dimiliki debitur harus

dilindungi oleh perusahaan-perusahaan penyelenggara layanan Fintech

P2PL tersebut sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, diantaranya hak atas kenyamanan,

keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,

hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan

yang dijanjikan, dan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar

dan jujur, serta tidak diskriminatif.

Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi yang diterbitkan oleh OJK, peneliti menilai

ketentuan tersebut memiliki banyak celah dan kelemahan, sehingga belum

mampu mengakomodir segala bentuk aktifitas atau kegiatan dalam

layanan Fintech P2PL. Terlebih, dalam ketentuan POJK tersebut hanya

mengatur pada penyelenggara layanan Fintech P2PL yang legal saja,

mengingat kompleksitas problematika yang timbul bukan hanya dari

penyelenggara yang legal saja, akan tetapi banyak berasal dari

penyelenggara yang illegal. Sehingga, dalam hal ini OJK selaku regulator

dan pengawas, beserta aparatur penegak hukum lain, seperti pihak

kepolisian mengalami kendala dan kesulitan dalam menindaklanjuti

Page 107: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

96

kasus-kasus yang berkembang di masyarakat yang menjadi salah satu isu

strategis yang menimbulkan banyak keresahan di masyarakat umum.

Ketentuan Pasal 9 huruf C Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011

Tentang Otoritas Jasa Keuangan memuat tentang kewenangan OJK untuk

melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

konsumen, dan tindakan lainnya terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku,

dan/atau penunjang pada kegiatan jasa keuangan. OJK melalui Satgas

Waspada Investasi seharusnya mampu melakukan tindakan penegakan

hukum secara tegas, bukan hanya kepada perusahaan-perusahaan Fintech

P2PL yang terdaftar dan berizin di OJK saja, melainkan juga kepada

penyelenggara Fintech P2PL yang illegal yang begitu banyak meresahkan

dan merugikan debitur harus ditangani secara serius melalui rekontruksi

perangkat hukum dengan melakukan pembaharuan regulasi yang lebih

holistik, komprehensif, dan tentunya mengakomodir seluruh elemen yang

terlibat dalam kegiatan usaha Fintech P2PL. Mengingat ketentuan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang

hanya selevel aturan POJK, maka dibutukan regulasi dalam peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi setara Undang-Undang yang

diharapkan menjadi solusi jangka panjang bagi penyelenggaraan kegiatan

ini yang lebih baik ke depannya. Maka, OJK seharusnya proaktif untuk

menyuarakannya dengan melakukan rekomendasi kepada pemerintah

pusat dan legislatif DPR RI untuk dirumuskan UU mengenai

penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi

informasi (Fintech P2PL) agar pelaku Fintech P2PL illegal dapat

dikenakan tindak pidana dan dapat diproses hukum oleh aparat penegak

hukum.

Bahwa sebagian besar problematika tersebut muncul, karena

ditengarai salah satunya yaitu minimnya perlindungan data pribadi bagi

pengguna aplikasi pinjaman online. Dengan ini, maka dibutuhkan dan

diperlukan pula ketentuan khusus dalam aturan perundang-undangan

selevel Undang-Undang yang mengatur tentang Perlindungan Data

Pribadi. Semua penyedia layanan jasa keuangan termasuk penyelenggara

Fintech P2PL menjadi tanggung jawab OJK. Adapun dasarnya ialah pada

ketentuan Pasal 6 Undang-Undang OJK yang menyebutkan bahwa “OJK

melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan di sektor perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar

modal, dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana

pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.”

Page 108: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

97

Kemudian, ketentuan sanksi bagi perusahaan penyelenggara

Fintech P2PL yang melanggar larangan yang diatur POJK Nomor

77/POJK.01/2016 tersebut menurut peneliti tidak menimbulkan efek jera.

Dalam ketentuan Pasal 47 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 menyebutkan

bahwa OJK berwenang memberikan sanksi administratif terhadap

penyelenggara kegiatan sektor jasa keuangan, berupa peringatan tertulis,

denda, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin.

Ketentuan sanksi pada POJK tersebut menurut peneliti terlampau

ringan bagi perusahaan-perusahaan penyelengggara Fintech P2PL

tersebut yang mendorong penyelenggara untuk membuat tindakan-

tindakan penagihan pinjaman uang yang merugikan debitur ini terus

dilakukan berulang-ulang, karena sanksi yang ditetapkan amat ringan.

Selain itu, peneliti menilai pemblokiran terhadap platform Fintech P2PL

ilegalyang disediakan oleh perusahaan penyelenggara Fintech P2PL

ilegal tersebut tidak efektif dalam mencegah penipuan (fraud) terhadap

debitur sehingga merugikan debitur dan mengancam perlindungan hukum

terhadap keamanan dan kenyamanan debitur Fintech P2PL.

Peneliti menyoroti, bahwa POJK yang dibentuk untuk melindungi

kepentingan konsumen di sektor jasa keuangan yang lain, seperti POJK

Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan dalam implementasinya juga tidak mampu melindungi

kepentingan konsumen di sektor jasa keuangan. Regulasi hukum yang

hanya setingkat POJK membuat penegakan hukum terhadap perusahaan-

perusahaan penyelenggara Fintech P2PL ini menjadi sangat terbatas dan

menjadi celah peluang, khususnya bagi perusahaan penyelenggara

Fintech P2PL yang illegal.

Menyoal hal itu, OJK pun mengamini bahwa penegakan hukum

terhadap perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech P2PL, khususnya

yang illegal disebabkan karena ketidaklaikan regulasi yang mana

peraturannya masih sebatas level POJK, sehingga sanksinya hanya

sebatas administratif saja, seperti paling berat berupa pencabutan izin.

Berbeda dengan sektor jasa keuangan/finansial lainnya, seperti

perbankan, asuransi, hingga pasar modal yang penegakan hukumnya lebih

mudah, karena memiliki payung hukum kuat yang selevel Undang-

Undang. Dengan belum adanya regulasi hukum yang mumpuni untuk

melindungi kepentingan konsumen/debitur di sektor jasa keuangan dalam

kegiatan Fintech P2PL, maka dapat dikatakan bahwa faktor hukum (legal

substance) menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi dan

menjadi kendala utama dalam proses penegakan hukum, sehingga belum

dapat berjalannya tindakan penegakan hukum yang baik dalam

Page 109: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

98

problematika yang timbul dalam penyelenggaran kegiatan Fintech P2PL,

khususnya terkait perlindungan hukum bagi debitur,

Kedua, ialah faktor aparatur penegak hukumnya sendiri.

Terhambatnya proses penegakan hukum, salah satunya karena posisi

server penyelenggara Fintech P2PL yang berada di luar jangkauan

domain hukum Indonesia menjadi hambatan utama dalam proses

penyidikan, dikarenakan belum adanya peraturan hukum setingkat

Undang-Undang yang sedemikian lengkapnya yang dapat mendorong dan

mengakomodir penegak hukum untuk melakukan proses penegakan

hukum sebagaimana mestinya. Peraturan-peraturan yang ada amat

terbatas, yang mana baru setingkat POJK-POJK yang diakui tidak cukup

kuat untuk menghadapi fenomena problematika hukum akibat tindakan

perusahaan-perusahaan penyelenggara dan/atau kreditur Fintech P2PL,

khususnya yang illegal. Apabila peraturan perundang-undangan sudah

baik, tetapi mentalitas penegak hukum yang kurang baik, maka akan

terjadi hambatan dan gangguan pada sistem penegakan hukum, begitu

juga sebaliknya.

Ketiga, faktor masyarakatnya sendiri. Dengan semakin banyaknya

menjamurnya perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech P2PL, baik

yang legal, terlebih yang illegal, seharusnya masyarakat mampu secara

cermat dan selektif dalam memilih platform /aplikasi pinjaman uang

online yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan penyelenggara

Fintech P2PL tersebut. Faktanya, masih banyak masyarakat yang belum

memahami risiko dari menggunakan layanan pinjaman uang online pada

Fintech P2PL ini, terutama yang disediakan oleh perusahaan Fintech

P2PL yang illegal yang acapkali sulit teridentifikasi oleh masyarakat

selaku konsumen karena seringkali melakukan fraud dengan mencatut

nama OJK, seolah-olah publik menganggapnya sebagai penyelenggara

layanan Fintech P2PL legal, padahal ilegal.

Seyogyanya, OJK perlu menyelenggarakan sosialisasi kepada

masyarakat, baik masyarakat pada umumnya, aparatur desa, mahasiswa,

dan elemen lain dalam masyarakat dalam beberapa bulan terakhir,

sebagaimana di beberapa siaran Radio dan Televisi lokal di beberapa

daerah di Indonesia menyajikan tajuk siaran yang membahas Fintech

P2PL. Upaya edukasi yang diberikan OJK kepada masyarakat tersebut,

seharusnya juga diikuti dengan adanya perhatian lebih pemerintah pusat

bersama DPR RI untuk merekontruksi peraturan hukum berupa aturan

selevel Undang-Undang terkait penyelenggaraan Fintech P2PL ini guna

mampu mengakomodir dan melindungi kepentingan masyarakat selaku

konsumen/debitur. Sementara hal tersebut belum sepenuhnya dapat

Page 110: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

99

diwujudkan. Masyarakat selaku debitur dituntut memiliki pengetahuan

yang pasti mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sekaligus mitigasi

risiko terhadap dampak yang timbul dari penggunaan layanan Fintech

P2PL. Di samping itu, diperlukan juga edukasi terkait upaya-upaya

hukum untuk memenuhi, mengembangkan, dan melindungi kebutuhan-

kebutuhan finansial mereka berdasarkan aturan yang ada sebagai langkah

preventif yang dapat dilakukan oleh masyarakat sebelum mengunakan

layanan Fintech P2PL tersebut.

Terhadap permasalahan penyebaran data pribadi yang menjadi

ancaman bagi keamanan debitur, karena seringkali disebarkan

perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech P2PL, pemerintah melalui

OJK dapat membentuk regulasi dengan menduplikasi kebijakan Otoritas

Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) sebagai

regulator dan pengawas di sektor jasa keuangan, seperti menerapkan The

Personal Data Protection Act (PDPA). PDPA tersebut ialah suatu regulasi

yang memuat ketentuan bahwa perusahaan penyelenggara layanan

Fintech P2PL wajib memiliki personal data privacy policy yang dapat

diakses oleh publik, persetujuan atas penggunaan data, dan membangun

sistem pengamanan fisik dan sistem untuk menghindari penyalahgunaan

data.

Hal-hal tersebut di atas, tentunya menurut peneliti belum dianggap

sebagai solusi kongkrit, karena belum adanya pengaturan-pengaturan

sanksi yang tegas dalam ketentuan POJK yang menjadi acuan dalam

penyelenggaraan layanan Fintech P2PL, dimana sementara hanya berupa

sanksi administrasi saja dan itupun hanya berlaku pada perusahaan

Fintech P2PL yang terdaftar dan berizin di OJK. Selain itu, yang tidak

kalah pentingnya di samping legal substance yang belum mumpuni,

penguatan pengawasan yang ketat oleh OJK maupun tim Satgas Waspada

Investasi yang berkoordinasi dengan aparat hukum terkait tindak pidana

siber juga perlu dilakukan dengan cepat.

Tentunya, hal itu dapat dilakukan setelah adanya instrumen hukum,

berupa Undang-Undang terkait penyelenggaraan layanan Fintech P2PL

yang telah dihasilkan di legislatif DPR RI dengan baik bersama

Pemerintah dengan melibatkan unsur-unsur terkait, utamanya OJK, BI,

Bareskrim Polri, Kemenkominfo, dan AFPI, Asosiasi Perusahaan Fintech

P2PL dan elemen stakeholders lain terkait kegiatan usaha Fintech P2PL

ini.

Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang

menganut sistem hukum European Continental atau Civil Law System

yang mengadopsi hukum kolonialisme Belanda dimana semua hal

Page 111: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

100

kegiatan yang kaitannya hubungan hukum dikatakan legal dan diakui

menurut hukum, apabila dinyatakan, tercatat, dan tertulis dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan. Artinya, jika suatu perbuatan atau

tindakan berkenaan dengan suatu hal yang belum ada aturan hukumnya,

kemudian terjadi suatu problematika hukum, maka tidak dapat

menyelesaikannya oleh karena belum adanya dasar ketentuan hukum

yang mengaturnya (asas legalitas).

Hukum memberikan jaminan dan keamanan dalam kehidupan

sosial, termasuk jaminan dan keamanan kepada debitur Fintech P2PL

terkait kegiatan layanan Fintech P2PL sesuai kaidah hukum yang berlaku.

Peneliti mengutip pernyataan Roger Catterell dalam bukunya, “Sociology

of Law” yang mengatakan bahwa, “Law secures social cohesion and

orderly social change by balancing conflicting interest-individual (the

privateinterest of individual citizens), social (a rising from the common

conditions of social life) and public (specifically the interest of the state).”

Sehubungan dengan hal itu, perlindungan hukum merupakan upaya

mempertahankan dan memelihara kepercayaan masyarakat atau

konsumen sebagai debitur Fintech P2PL yang sudah semestinya diberikan

perlindungan hukum. Dengan demikian, guna menjaga kepercayaan

masyarakat terhadap kegiatan Fintech P2PL, maka pemerintah harus

berkomitmen dan berupaya penuh secara maksimal dalam memberikan

perlindungan hukum kepada masyarakat, khususnya pada debitur layanan

Fintech P2PL.

Pengaturan dan struktur pengawasan dalam perlindungan

konsumen di sektor jasa keuangan adalah elemen yang sangat esensial

dari sistem keuangan modern. Kecukupan pemenuhan perlindungan

konsumen, perilaku bertanggung jawab para pelaku usaha dan

kemampuan debitur untuk melindungi kepentingannya di sektor jasa

keuangan berkontribusi penting bagi penguatan dan stabilitas ekonomi

masyarakat di sektor keuangan. Atas dasar itulah, peneliti berpendapat

bahwa perlu menyegerakan untuk dibentuknya regulasi hukum baru yang

secara spesifik selevel dengan Undang-Undang guna mampu berperan

sebagai pengaturan, pengawasan, dan penindakan terhadap perusahaan-

perusahaan penyelenggara dan/atau kreditur pada layanan Fintech P2PL

yang berprinsip dan beriorentasi pada perlindungan konsumen. Dikatakan

demikian, karena hukum seyogyanya mampu berfungsi sebagai alat

rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dan diproyeksikan

sebagai alat kontrol sosial yang efektif guna memenuhi kepentingan dan

kesejahteraan masyarakat umum.

Page 112: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

101

Salah satu langkah solutif sebagai langkah preventif di samping

rekontruksi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

menjadi produk peraturan perundang-undangan selevel Undang-Undang,

yaitu penyelesaian Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data

Pribadi oleh DPR RI bersama Pemerintah. Sesungguhnya, RUU ini akan

menstimulus OJK dalam melindungi data nasabah dari penyalahgunaan

data pribadi debitur dari penyalahgunaan oleh perusahaan Fintech P2PL

yang illegal maupun yang terdaftar di OJK.

Menurut hemat peneliti, urgensi dibentuk dan diberlakukannya

Undang-Undang Fintech dan Undang Perlindungan Data Pribadi sebagai

suatu kerangka kerja politik hukum untuk rekontruksi hukum yang

berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum) sangatlah penting,

utamanya guna memberikan perlindungan hukum terhadap perlindungan

konsumen ke depan pada penyelenggaraan Fintech berbasis Peer To Peer

Lending.

Data-data pribadi yang disebarkan secara luas melalui media sosial

tentunya melanggar hak-hak privasi yang dimiliki oleh konsumen dan

tidak sesuai dengan asas keamanan dan keselamatan debitur selaku

konsumen sebagai salah satu asas perlindungan konsumen. Amanat

konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

telah menjamin hak privasi dari warga negara, sebagaimana yang telah

diatur dalam ketentuan Pasal 28 G Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa

“setiap orang memiliki hak atas perlindungan diri pribadi atas tindakan

atau perbuatan yang dilakukan”.

Konsekuensi logis, menjadi suatu kewajiban Pemerintah dalam

rangka pelayanan penyelenggaraan negara agar warga negara

mendapatkan perlindungan, serta keamanan terkait dengan prinsip hak

asasi manusia yang diyakini dan diamalkan oleh tiap-tiap individu

masyarakat di dunia yang meratifikasi konvensi DUHAM, tidak

terkecuali Indonesia. Hal tersebut mencakup pula pada hak konsumen

dalam melakukan transaksi dengan perusahaan-perusahaan Fintech P2PL

di sektor jasa keuangan dan harus dijamin oleh perusahaan-perusahaan

Fintech P2PL tersebut untuk tidak menyebarkan data-data tersebut tanpa

seizin dari konsumen/debitur yang bersangkutan.

Di sisi lain, peneliti menilai pelbagai kesulitan yang dihadapi oleh

OJK melalui Satgas Waspada Investasi dan Bareskrim Polri dalam

penegakan hukum terhadap tindakan atau perbuatan melawan hukum

dalam penagihan pinjaman uang online yang merugikan debitur dengan

salah satunya menyebarluaskan data-data pribadi debitur ialah bersinergi,

Page 113: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

102

berkolaborasi, dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait yang

kompeten dalam bidang cyber security, selain Kemenkominfo, yakni

Badan Siber dan Sandi Negara yang telah dibentuk berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 Tentang Badan Siber dan Sandi

Negara. Badan ini berfungsi untuk salah satunya melakukan identifikasi,

deteksi, proteksi, dan penanggulangan kejahatan e-commerce, seperti

lolos standar perangkat keras, perangkat lunak, standar tenaga ahli,

keamanan data dan pengelola data.

Adanya BSSN ini, apabila dioptimalkan dengan baik dapat

memberikan rasa aman bagi warga negara yang menjadi

debitur/konsumen dalam transaksi bisnis elektronik, karena keberadaan

pelaku usaha, seperti perusahaan-perusahaan penyelenggara Fintech

P2PL telah disertifikasi oleh Pemerintah dan diawasi langsung oleh

BSSN. Jika perusahaan Fintech P2PL tersebut illegal, maka sebelum

mereka memasarkan produknya kepada debitur/konsumen, maka BSSN

dapat melakukan verifikasi dan mendeteksi server dan pusat keberadaan

perusahaan-perusahaan Fintech P2PL tersebut. Menurut peneliti, hal ini

dinilai sebagai upaya preventif dalam mencegah banyaknya perusahaan-

perusahaan Fintech P2PL, yang kemudian dilaporkan kepada OJK

melalui Satgas Waspada Investasi dan Bareskrim Polri guna dapat

dilakukan tindakan penegakan hukum lebih lanjut.

Upaya pemblokiran dan penindakan yang selama ini dinilai belum

efektif mencegah kemunculan wabah entitas platform Fintech P2PL

illegal dikarenakan perusahaan penyelenggara Fintech P2PL illegal untuk

membuat kembali layanan serupa, meskipun telah diblokir berkali-kali

menurut penulis akan dapat ditangani apabila BSSN turut serta dalam

melakukan deteksi dini terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan

penyelenggara Fintech P2PL illegal yang merugikan konsumen tersebut.

Konsep-konsep tindakan penegakan hukum dalam rangka

melindungi kepentingan debitur di atas terhadap data pribadi dan privasi

mereka sebagaimana yang telah disebutkan di atas juga selain

memperhatikan konsumen, juga harus memperhatikan perusahaan-

perusahaan Fintech P2PL sebagai pelaku usaha di sektor jasa keuangan.

OJK perlu berperan aktif dalam melakukan koordinasi dengan Asosiasi

Fintech Indonesia seperti AFPI dan juga dengan Bareskrim Polri selaku

penegak hukum karena pengaturan dan pengawasannya membutuhkan

upaya bersama, terutama berhadapan dengan perusahaan-perusahaan

Fintech P2PL illegal yang justru merugikan industri Fintech P2PL di

Indonesia.

Page 114: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

103

Konsepsi dalam suatu regulasi terkait upaya penegakan hukum dan

pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan Fintech P2PL dalam

kegiatan usahanya kepada konsumen juga harus mendorong adanya

inovasi-inovasi baru dan tidak menghambat perusahaan-perusahaan

tersebut selaku pelaku usaha Fintech P2PL. OJK selaku regulator dan

pengawas di sektor jasa keuangan dapat mencontoh Financial Conduct

Authority (FCA) selaku regulator di sektor jasa keuangan Inggris.

FCA meluncurkan Innovation Hub dan memfasilitasi masuknya

perusahaan dari luar negeri yang inovatif ke Inggris untuk dikembangkan.

Namun, ketika ada perusahaan penyelenggara Fintech P2PL yang tidak

mematuhi aturan sebagaimana yang ditetapkan, seperti perusahaan

mengincar jaminan yang biasanya, berupa rumah dengan harapan

peminjam gagal membayar utang, maka FCA dapat menindak tegas

perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan criminal action. Hal yang

sama dapat diterapkan oleh OJK bekerjasama dengan Bareskrim Polri

untuk dapat menindak tegas perusahaan-perusahaan penyelenggara

Fintech P2PL yang melanggar hak-hak debitur selaku konsumen dalam

penagihan pinjaman uang dengan cara menyebarkan data-data pribadi

debitur. Namun, tentunya diperlukan regulasi yang memadai agar OJK

dan Bareskrim Polri memiliki posisi yang kuat dalam melakukan tindakan

penegakan hukum.

Konsep tindakan penegakan hukum yang harus dilakukan

sebagaimana yang disebutkan di atas menurut peneliti akan efektif dan

menimbulkan efek jera agar tidak terjadi lagi tindakan penagihan

pinjaman uang online yang merugikan hak-hak dari debitur selaku

konsumen. Kemudian, berkenaan dengan mekanisme penyelesaian

sengketa kegiatan usaha Fintech P2PL ini sejatinya belum diatur secara

spesifik oleh OJK, sehingga menyulitkan debitur Fintech P2PL untuk

memperjuangkan haknya, meskipun telah ada ketentuan Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

OJK selaku regulator dan pengawas di sektor jasa keuangan juga

perlu segera menyusun standar mekanisme pelaksanaan Internal Dispute

Resolution (IDR) dan Alternative Dispute Resolution (ADR). Termasuk

di dalamnya adalah keberadaan lembaga alternatif penyelesaian sengketa,

jika upaya internal tidak menghasilkan kesepakatan. Adapun tujuannya

agar debitur selaku konsumen pengguna layanan Fintech P2PL

mendapatkan kejelasan atas penanganan pengaduan dan sengketanya

yakni salah satunya pada praktik penagihan pinjaman uang yang tidak

memperhatikan asas-asas perlindungan konsumen.

Page 115: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

104

Berdasarkan tinjauan pemetaan terhadap problematika hukum

dalam penyelenggaraan Fintech P2PL peneliti memformulasikan dan

merekomendasikan empat langkah strategis dalam rangka mengatasi

persoalan-persoalan yang timbul dalam problematika hukum menyangkut

perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL, meliputi pertama,

memperhatikan aspek kelengkapan informasi, keterbukaan informasi

publik, dan transparansi layanan yang ditawarkan oleh penyelenggara

Fintech P2PL yang dikontrol oleh BI, OJK, Kemenkominfo, Bareskrim,

BSSN dan AFPI melalui kanal data terpadu yang dapat

dipertanggungjawabkan secara akuntabel kepada publik. Kedua,

mekanisme penanganan, pengaduan, dan penyelesaian sengketa

berorientasi pada perlindungan konsumen yang ditopang oleh instrumen

dan perangkat hukum yang mapan sebagai wujud nyata dalam

perlindungan hukum bagi debitur Fintech P2PL. Ketiga, keandalan dalam

sistem layanan maupun sistem pengelola layanan, sehingga mampu

menjadi pencegah (preventif) dari bentuk fraud (penipuan) dan

perlindungan data pribadi (cybersecurity) karena sistem sudah terintegrasi

dengan baik. Dan keempat, sinkronisasi dan harmonisasi seluruh elemen

pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL agar

menciptakan iklim kegiatan usaha yang sehat dan mengedepankan

pelayanan prima kepada debitur selaku konsumen, serta berasaskan dan

berorientasi pada perlindungan konsumen.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Layanan Fintech Berbasis

Peer To Peer Lending Ditinjau Berdasarkan Asas Kepastian Hukum

Dalam pembahasan sub bab penelitian ini, peneliti memaparkan

mengenai perlindungan hukum terhadap kreditur selaku pemberi pinjaman

dalam penyelenggaraan layanan Financial Technology berbasis Peer To

Peer Lending. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan

Page 116: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

105

Pinjam Meminjam Uang berbasis Teknologi Informasi (Fintech P2PL),

dikatakan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk perjanjian/kesepakatan

perdata dalam bentuk dokumen elektronik antara kreditur dengan debitur

melalui wadah platform yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara

Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending.

Perjanjian pada umumnya dilakukan dengan membuat kesepakatan

yang dilakukan secara langsung antara para pihak yang akan saling

mengikatkan diri satu sama lain, akan tetapi bentuk perjanjian dalam

kegiatan Fintech P2PL dilakukan secara online melalui teknologi

informasi menggunakan koneksi internet, sehingga perjanjian tersebut

berbentuk perjanjian elektronik yang dituangkan dalam dokumen

elektronik. Pembuatan perjanjian elektronik dalam penyelenggaraan

Fintech P2PL ini dilakukan tanpa harus bertemunya para pihak atau

bertatap muka secara langsung. Hal demikian memberikan kemudahan,

terutama kemudahan akses bagi para pihak yang akan menggunakan

layanan Fintech P2PL.

Mekanisme dalam perjanjian elektronik dalam penyelenggaraan

layanaan Fintech P2PL memiliki kekuatan hukum yang mengikat para

pihak sebagaimana perjanjian pada umumnya. Hal tersebut tertuang dalam

ketentuan Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan bahwa “Transaksi

elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para

pihak”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perjanjian elektronik dalam

kegiatan Fintech P2PL tersebut sah dan berlaku menurut hukum sebagai

suatu Undang-Undang bagi para pihak yang saling mengikatkan diri, serta

mengakibatkan timbulnya suatu hubungan hukum dan konsekuensi hukum

bagi para pihak tersebut.

Pada dasarnya, perjanjian elektronik memiliki kesamaan dengan

perjanjian pada umumnya. Oleh karena itu, perjanjian elektronik dikatakan

sah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang

Page 117: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

106

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik dengan catatan memenuhi beberapa

ketentuan syarat-syarat sah dalam perjanjian sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek), yaitu sebagai berikut:

1. Kesepakatan

Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri agar kontrak

atau perjanjian dianggap sah, maka para pihak harus sepakat terlebih

dahulu terdapat pada segala hal yang ada pada perjanjian. Kesamaan

kehendak saja tidak akan menciptakan perjanjian. Kehendak tersebut

harus dinyatakan sehingga harus ada pernyataan kehendak. Pernyataan

kehendak tersebut harus merupakan yang bersangkutan menghendaki

timbulnya hubungan hukum.

Kehendak tersebut harus dimengerti oleh pihak lawan,

sehingga kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak

dapat dilakukan secara tegas, yaitu pernyataan kehendak diberikan

secara eksplisit dengan cara lisan, tertulis, atau dengan tanda tertentu.

Pernyataan kehendak secara tertulis dapat dilihat dari adanya tanda

tangan para pihak. Selain itu, pernyataan kehendak dapat pula

dinyatakan secara diam-diam. Hal tersebut tercermin pada sikap dan

perbuatan yang dilakukan oleh para pihak.

2. Kecakapan para pihak

Cakap merupakan syarat umum dalam melakukan perjanjian,

guna dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yakni harus sudah

dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan

perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Sebagaimana pada ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata (Burgerlijk

Wetboek) menyatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk

membuat perjanjian, kecuali menurut Undang-Undang dinyatakan

tidak cakap.” Selanjutnya, pada ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata

(Burgerlijk Wetboek) tidak menentukan siapa saja yang termasuk

kategori tidak cakap untuk mengadakan suatu perjanjian secara

spesifik, akan tetapi menentukan secara negatif terhadap siapa-siapa

yang tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Orang yang tidak

cakap tersebut adalah orang yang belum dewasa, mereka yang di

bawah pengampuan dan semua orang yang dilarang Undang-Undang

untuk membuat suatu perjanjian.

Page 118: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

107

Berdasarkan Buku I Pasal 330 KUHPerdata (Burgerlijk

Wetboek), dikatakan bahwa “seseorang dianggap dewasa, jika dia

telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.”

Kemudian pengaturan mengenai batas kedewasaan juga ditemukan

dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan bahwa “kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak

berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai berusia 18

(delapan belas) tahun.” Khusus pada perjanjian yang dibuat di

hadapan Notaris diatur pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menentukan bahwa “batas

kedewasaan adalah 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah dan

cakap untuk melakukan perbuatan hukum.”

Dengan demikian, kecakapan untuk melakukan suatu

perjanjian yang dibuat tidak hanya dikaitkan dengan batas umur

kedewasaan, akan tetapi juga dikaitkan dengan tolak ukur lainnya,

misalnya tidak berada di bawah pengampuan. Tidak hanya dewasa,

akan tetapi juga cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian ialah barang yang dijadikan

objek tertentu dalam suatu perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1333

KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek), bahwa “barang yang menjadi

objek suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus

ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan

asalkan dapat ditentukan atau diperhitungkan.” Selanjutnya, dalam

ketentuan Pasal 1334 Ayat 1 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)

ditentukan bahwa “barang-barang yang baru akan ada kemudian hari

juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.” Sementara, pada

ketentuan Pasal 1334 Ayat 2 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) bahwa

“barang yang akan masuk hak warisan seseorang karena yang lain

akan meninggal dunia dilarang dijadikan objek suatu perjanjian,

meskipun dengan kesepakatan orang yang akan meninggal dunia dan

akan meninggalkan barang-barang warisan tersebut.” Kemudian,

dalam ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)

ditentukan, bahwa “barang-barang yang dapat dijadikan objek

perjanjian hanyalah barang yang dapat diperdagangkan.”

4. Suatu sebab yang halal

Dalam suatu kontrak atau perjanjian, diharuskan adanya kausa,

dan kausa tersebut juga harus halal. Kausa suatu perikatan adalah

sebagai alasan penggerak yang menjadi dasar kesediaan debitur untuk

Page 119: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

108

menerima keterikatan guna memenuhi isi (prestasi) perikatan.

Menerima perikatan berarti menerima keterikatan kewajiban-

kewajiban yang timbul dari perikatan tersebut. Dengan kata lain,

menerima keterikatan untuk memberikan prestasi perikatan. Seseorang

yang terikat untuk melaksanakan isi perjanjian tidak hanya didasarkan

pada kata sepakat saja, tetapi juga harus didasarkan adanya kausa.

Kausa halal dimaksud adalah kausa hukum yang ada tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban

umum, dan kesusilaan. Jika objek dalam suatu perjanjian illegal atau

bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka

perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Dalam ketentuan Pasal

1335 jo. 1337 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) menyatakan bahwa

“suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan Undang-

Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.” Suatu kausa dinyatakan

bertentangan dengan Undang-Undang, apabila kausa dalam perjanjian

yang bersangkutan isinya bertentangan dengan ketentuan Undang-

Undang yang berlaku.

Adapun bentuk perjanjian dalam penyelenggaraan Financial

Technology berbasis Peer To Peer Lending diklasifikasikan menjadi dua

bentuk perjanjian menurut ketentuan Pasal 18 Bab IV Tentang Perjanjian

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis Teknologi Informasi terdiri

atas: a. perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman; dan b.

Perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman.

1. Perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman (Kreditur)

Fintech P2PL

Dalam pelaksanaan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi

informasi (Fintech P2PL), perjanjian elektronik tersebut menimbulkan

hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut lahir dari hubungan

kontraktual yang dilakukan oleh para pihak, yaitu debitur selaku

konsumen, penyelenggara Fintech P2PL dan kreditur selaku investor

dalam kegiatan layanan Fintech P2PL ini. Hubungan hukum tersebut

telah diatur sebagaimana ketentuan Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang mengatur adanya

perjanjian para pihak. Peraturan tersebut, pertama mengatur mengenai

Page 120: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

109

perjanjian antara penyelenggara dengan kreditur Fintech P2PL. Kedua,

peraturan tersebut mengatur mengenai perjanjian antara kreditur

dengan debitur Fintech P2PL.

Dalam mekanisme penyelenggaraan Fintech P2PL, kreditur

yang akan memberikan pinjaman dana kepada debitur harus

menyetujui beberapa syarat dan ketentuan khusus yang telah diatur

oleh penyelenggara selaku penyelenggara platform Fintech berbasis

Peer To Peer Lending. Adapun syarat dan ketentuan khusus tersebut

ialah mengenai kreditur selaku pihak yang akan mengajukan

pemberian dana (investor) melalui platform harus setuju dan sepakat

untuk menunjuk dan menentukan penyelenggara Fintech P2PL, guna

bertindak untuk dan atas nama kreditur yaitu untuk menyalurkan dana

kreditur kepada pihak debitur melalui platform yang dimiliki oleh

penyelenggara Fintech P2PL.

Berdasarkan mekanisme tersebut di atas, terdapat hubungan

hukum antara kreditur dengan penyelenggara Fintech P2PL. perjanjian

antara penyelenggara dengan kreditur ialah perjanjian terkait

pemberian kuasa yaitu berupa kuasa khusus. Perjanjian pemberian

kuasa sebagaimana ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata (Burgerlijk

Wetboek) ialah “suatu perjanjian dimana seseorang memberikan

kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya, untuk dan atas

namanya guna dapat menyelenggarakan suatu urusan.”

Menyelenggarakan suatu urusan dimaksud ialah melakukan

suatu perbuatan hukum yang memiliki suatu akibat hukum. Pihak yang

telah diberi kuasa, dapat dikatakan sebagai kuasa untuk melakukan

suatu perbuatan hukum atas nama orang yang telah memberikan kuasa

atau dapat dikatakan bahwa ia merupakan perwakilan dari pemberi

kuasa. Dengan demikian, segala perbuatan yang dilakukan oleh

penerima kuasa adalah tanggung jawab pemberi kuasa, sehingga

segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang

dilakukannya menjadi hak dan kewajiban pihak yang memberi kuasa.

Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, hal ini

sebagaimana ketentuan Pasal 1795 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)

yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara

umum yang meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Dalam surat

kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan mengenai tindakan-tindakan apa

saja yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa. Adanya tindakan-

tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa

tersebut menjadi surat kuasa khusus. Perbuatan penyelenggara Fintech

P2PL telah ditentukan dalam ketentuan khusus tersebut yaitu untuk

Page 121: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

110

menyalurkan dana kreditur kepada debitur Fintech P2PL. Dengan ini,

maka perbuatan yang dapat dilakukan oleh penyelenggara Fintech

P2PL selaku penerima kuasa adalah terbatas yaitu sebatas kuasa

khusus yang diberikan kepadanya untuk menyalurkan dana kreditur

kepada debitur Fintech P2PL.

Suatu kuasa dapat diberikan dan diterima dalam bentuk akta

resmi atau dengan suatu surat di bawah tangan ataupun dengan kuasa

lisan. Akta resmi yang dimaksud, seperti akta notaris, akta yang

dilegalisir di kepaniteraan pengadilan, akta yang dibuat oleh pejabat

pamong dan sebagainya. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi

secara diam-diam, ini berarti terjadi dengan sendirinya. Kuasa diam-

diam dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu sendiri yakni oleh

yang diberi kuasa berdasarkan tindakan yang dilakukannya.

Pada umumnya, pemberian kuasa terjadi karena adanya

persetujuan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Sifat

persetujuan kuasa adalah konsensual. Artinya, perjanjian dalam

pemberian kuasa lahir apabila ada kata sepakat atau ada persesuaian

kehendak di antara para pihak tersebut. Persesuaian kehendak saja

tidak akan dapat menciptakan atau melahirkan perjanjian, karena

kehendak tersebut itu sendiri dapat diungkapkan dengan berbagai cara,

baik secara tegas maupun secara diam-diam. Pernyataan kehendak

dapat pula dilakukan secara tertulis, lisan, maupun dengan tanda.

Perjanjian pemberian kuasa yang terdapat dalam mekanisme

penyelenggaraan Fintech P2PL dilakukan tidak secara diam-diam,

akan tetapi perjanjian tersebut dibuat melalui media elektronik yang

terdapat pada platform/aplikasi yang disediakan oleh penyelenggara

Fintech P2PL. Pada saat kreditur akan mengajukan pendanaan pada

platform penyelenggara, maka kreditur harus menyetujui mengenai

ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh platform

penyelenggara Fintech P2PL. Kreditur harus setuju dan sepakat untuk

memberikan kuasa kepada platform penyelenggara Fintech P2PL

untuk menyalurkan dananya tersebut kepada debitur Fintech P2PL.

Bentuk kesepakatan yang terjadi antara kreditur selaku pemberi

kuasa dengan penyelenggara selaku penerima kuasa ialah pada saat

kreditur sepakat atau menyetujui terhadap syarat maupun ketentuan

yang diberikan oleh platform penyelenggara Fintech P2PL yang

diikuti dengan pernyataan kehendak. Pernyataan kehendak tersebut

dilakukan dengan cara menekan tombol persetujuan, berupa meng-klik

tanda centang pada platform/aplikasi penyelenggara Fintech P2PL.

Persetujuan tersebut dilakukan guna dapat menyalurkan dana kreditur

Page 122: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

111

yang diberikan ke penyelenggara kepada debitur dalam kegiatan

layanan Fintech P2PL. Kemudian, dapat melanjutkan ke tahap

pendaftaran sebagai kreditur pada platform penyelenggara Fintech

P2PL yang terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan tentunya.

Pada praktik penyelenggaraan Fintech P2PL, dalam

melaksanakan operasional perusahaan penyelenggara Fintech P2PL

memperoleh fee atas jasa yang telah disediakan oleh perusahaan selaku

penyelenggara platform Fintech P2PL. Dalam mekanisme tersebut,

kreditur tidak dikenakan biaya dalam hal memakai jasa penyelenggara

Fintech P2PL. Kreditur akan dikenakan potongan pajak Pph sebesar

15% atas pendanaan yang dilakukannya.

Selain itu, akan ada biaya administrasi yang akan dikenakan,

apabila melakukan pencairan dana ke bank, selain Bank Danamon dan

Bank Cimb Niaga. Namun, bagi debitur Fintech P2PL untuk dapat

menggunakan jasa keuangan berupa pinjaman dana online pada

platform Fintech P2PL dikenakan biaya, berupa biaya marketplace

sebesar 5% yang dikenakan pada pinjaman yang akan dicairkan.

Dengan begitu, kegiatan Fintech P2PL dapat berjalan guna membantu

segala kesulitan finansial bagi masyarakat Indonesia umumnya,

terlebih yang tidak mampu dalam menjangkau pinjaman finansial pada

lembaga pembiayaan perbankan konvensional, maupun lembaga

pembiayaan lainnya yang sebagian besar memerlukan agunan dan/atau

jaminan fidusia dalam mengajukan pinjaman dana.

2. Perjanjian antara Pemberi Pinjaman (Kreditur) dengan Penerima

Pinjaman (Debitur) Fintech P2PL

Selain perjanjian antara kreditur dengan penyelenggara Fintech

P2PL, terdapat pula perjanjian antara kreditur dengan debitur dalam

penyelenggaraan layanan Fintech P2PL. Perjanjian yang terjadi antara

kreditur dengan debitur Fintech P2PL merupakan perjanjian pinjam-

meminjam atau utang-piutang pada umumnya, sebagaimana ketentuan

Pasal 1754 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Pada perjanjian pinjam-

meminjam atau utang-piutang tersebut, kedudukan pemberi pinjaman

selaku kreditur, sedangkan penerima pinjaman selaku debitur.

Perjanjian tersebut dibuat, karena adanya persesuaian kehendak oleh

para pihak yaitu untuk melakukan pendanaan dan melakukan

peminjaman dana kepada pihak lainnya. Para pihak kemudian

Page 123: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

112

bersepakat untuk saling mengikatkan diri guna dapat menghasilkan

suatu hubungan hukum.

Perjanjian tersebut dilakukan dengan bantuan media teknologi

informasi yang terjaring dalam koneksi internet untuk dapat

menggunakan platform penyedia jasa layanan Fintech P2PL yang

dibuat oleh penyelenggara Fintech P2PL. Adapun bentuk perjanjian

pinjam-meminjam tersebut adalah perjanjian elektronik yang memiliki

kekuatan hukum yang sama sebagaimana perjanjian pada umumnya.

Oleh sebab itu, perjanjian elektronik berlaku sebagai Undang-

Undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut atas dasar

kebebasan berkontrak yang mana para pihak bebas untuk membuat

para pihak sebagai bentuk itikad baik dalam pelaksanaan kontrak oleh

pihak yang membuat perjanjian. Dari perjanjian tersebut, kemudian

melahirkan suatu hubungan hukum sehingga melahirkan hak dan

kewajiban bagi para pihak untuk melaksanakannya.

Perjanjian elektronik tersebut dituangkan dalam sebuah

dokumen elektronik. Dokumen elektronik adalah setiap informasi

elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan

dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya

yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer

atau sistem elektronik termasuk, tetapi tidak terbatas pada bentuk

tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,

tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna

atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya,

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dokumen elektronik tersebut harus dipenuhi dan disetujui oleh

para pihak, baik kreditur maupun debitur Fintech P2PL. Dokumen

elektronik tersebut wajib paling sedikit memuat: a. Nomor perjanjian;

Page 124: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

113

b. Tanggal perjanjian; c. Identitas para pihak; d. Ketentuan mengenai

hak dan kewajiban para pihak; e. Jumlah pinjaman; f. Suku bunga

pinjaman; g. Besarnya komisi; h. Jangka waktu; i. Rincian biaya

terkait; j. Ketentuan mengenai denda (jika ada); k. Mekanisme

penyelesaian sengketa; dan l. Mekanisme dalam hal penyelenggara

tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.4

Pada mekanisme pembuatan perjanjian antara kreditur dengan

debitur Fintech P2PL tersebut, para pihak tidak perlu saling bertemu

dan saling berhadapan (face to face). Segala bentuk aktifitas

dihubungkan dengan bantuan marketplace yang disediakan oleh

penyelenggara layanan Fintech P2PL berbentuk platform atau aplikasi.

Penyelenggara Fintech P2PL dalam hal ini adalah sebagai perantara

(intermediasi) para pihak melalui platform Fintech P2PL.

Perjanjian elektronik tersebut melahirkan suatu hubungan dan

konsekuensi hukum bagi pihak kreditur dengan debitur dalam kegiatan

Fintech P2PL. Para pihak tersebut, lalu dihubungkan melalui

hubungan kontraktual yang dibuat dan disepakati oleh para pihak.

Kemudian, para pihak harus menaati atas apa yang telah mereka

perjanjikan sebagai Undang-Undang yang mengikat para pihak

tersebut yang membuatnya. Dari hubungan kontraktual tersebut, maka

lahirlah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh mereka.

Secara garis besar, kreditur Fintech P2PL wajib memberikan

dana sebesar yang diperjanjikan pada waktu yang telah ditentukan.

Dari kewajiban tersebut, maka timbul hak yaitu pengembalian dana

oleh debitur Fintech P2PL, beserta bunga yang diperjanjikan dengan

debitur Fintech P2PL. Bagi debitur, hak untuk mendapatkan pinjaman

dana sesuai kesepakatan yang dilakukan harus ia peroleh berdasarkan

4 Ketentuan Pasal 19 Ayat (1-5) Bagian Kesatu Tentang Perjanjian Penyelenggara

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dengan Pemberi Pinjaman, Bab

IV Tentang Perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi.

Page 125: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

114

dokumen elektronik yang telah diperjanjikan dalam platform layanan

Fintech P2PL. Dari hak tersebut, maka timbul kewajiban yang harus

dilakukan yaitu untuk membayar dana yang dipinjamkan oleh kreditur,

beserta bunga yang diperjanjikan. Selain itu, debitur Fintech P2PL

juga harus membayarkan fee atas jasa platform penyelenggara sebagai

media debitur untuk mengajukan dan pencairan dana pinjaman pada

platform layanan Fintech P2PL.

Secara substantif mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh

kreditur, debitur, maupun penyelenggara Fintech P2PL sebagaimana

ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

ialahh sebagai berikut:

1. Kreditur

Adapun kewajiban kreditur dalam praktik penyelenggaraan

Fintech P2PL, yaitu:

a. Diwajibkan untuk mengisi data mengenai identitas diri sebagai

kreditur (pemberi pinjaman dana) pada platform/aplikasi

Fintech P2PL, seperti nama, nomor identitas, alamat, nomor

telepon, dan besaran nominal pendanaan yang akan diberikan

kepada debitur;

b. Diwajibkan untuk mengisi perjanjian elektronik antara kreditur

dengan penyelenggara Fintech P2PL dan perjanjian antara

kreditur dengan debitur melalui bantuan penyelenggara Fintech

P2PL;

c. Diwajibkan untuk mengirim dana pinjaman sebagaimana

besaran nominal tagihan sistem tepat waktu.

Sedangkan hak yang dimiliki oleh kreditur dalam praktik

penyelenggaraan Fintech P2PL yaitu:

a. Mendapatkan bunga atas pendanaan yang dilakukan sebesar-

besarnya bunga yang telah diperjanjikan;

b. Mendapatkan laporan atas penggunaan dana oleh debitur, baik

melalui email maupun sms;

c. Memiliki virtual account dari penyelenggara Fintech P2PL

yang dipergunakan untuk menyalurkan dana yang akan

Page 126: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

115

dipinjamkan dan untuk mendapatkan pengembalian atas dana

yang telah disalurkan/dipinjamkan.

2. Debitur

Adapun kewajiban debitur dalam praktik penyelenggaraan

Fintech P2PL yaitu:

a. Wajib mengisi dokumen yang disediakan oleh platform

penyelenggara Fintech P2PL dan memasukkan data-data yang

dibutuhkan dengan jelas, jujur, dan rinci mengenai identitas,

dan penggunaan dana yang akan diajukan untuk melakukan

peminjaman dana;

b. Wajib untuk mengisi perjanjian dalam dokumen elektronik

dengan kreditur melalui bantuan platform penyelenggara

Fintech P2PL;

c. Memberikan laporan atas penggunaan dana pinjaman melalui

platform penyelenggara Fintech P2PL sebagai bentuk

pertanggungjawaban dalam penggunaan dana pinjaman oleh

debitur kepada kreditur Fintech P2PL;

d. Memberikan fee sebesar 5% kepada platform penyelenggara

Fintech P2PL berdasarkan nominal pinjaman dana yang

diajukan, yakni pinjaman personal atau pinjaman bisnis;

e. Wajib membayar angsuran pinjaman sesuai besaran nominal

tagihan pada debitur secara tepat waktu.

Sementara hak yang diperoleh debitur dalam praktik

penyelenggaraan Fintech P2PL, diantaranya:

a. Memperoleh data sebagai bentuk transparansi dalam

penerimaan pinjaman yang diberikan oleh penyelenggara

platform Fintech P2PL yang memuat data-data, seperti

identitas kreditur, verifikasi dalam pemberian pinjaman dana,

biaya administrasi yang digunakan pada platform Fintech

P2PL;

b. Memperoleh dana yang bersih dan terbebas dari money

laundering (tindak pidana pencucian uang);

c. Memiliki escrow account dari penyelenggara Fintech P2PL

yang dipergunakan guna pelunasan pinjaman.

3. Penyelenggara Fintech P2PL

Adapun kewajiban bagi penyelenggara Fintech P2PL

dalam praktik penyelenggaraan Fintech P2PL yaitu:

Page 127: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

116

a. Memberikan informasi mengenai layanan pinjam-meminjam

uang secara online dengan jujur dan tidak menyesatkan bagi

para debitur dalam menggunakan layanan Fintech P2PL

tersebut;

b. Memberikan fasilitas untuk debitur dalam hal sistem kalkulasi

pembiayaan yang akan dilakukan melalui platform

penyelenggara Fintech P2PL;

c. Menyalurkan dana dari kreditur kepada debitur melalui

platform Fintech P2PL yang telah disediakan oleh

penyelenggara Fintech P2PL;

d. Wajib menyediakan escrow account dan virtual account

kepada kreditur dan debitur Fintech P2PL;

e. Menyeleksi, menganalisis, dan menyetujui platform aplikasi

pinjaman online yang diajukan oleh debitur agar menghasilkan

pendanaan pinjaman yang berkualitas untuk ditawarkan kepada

kreditur pada layanan Fintech P2PL.

Sedangkan hak yang diperoleh penyelenggara Fintech

P2PL dalam praktik penyelenggaraan Fintech P2PL, yaitu:

a. Memperoleh laporan penggunaan dana pinjaman dari debitur

sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam penggunaan dana

pinjaman dari kreditur Fintech P2PL;

b. Mendapatkan fee sebesar 5% yang diperoleh dari debitur

sebagai bentuk pembayaran jasa bagi perusahaan

penyelenggara Fintech P2PL.

Berdasarkan uraian hak dan kewajiban para pihak dalam

penyelenggaraan Fintech P2PL tersebut di atas, maka pihak

penyelenggara layanan Fintech P2PL berkewajiban untuk menemukan

kreditur yang cocok dengan debitur dengan cara menyeleksi, menganalisis,

dan menyetujui aplikasi pinjaman dana online yang diajukan oleh debitur

agar menghasilkan pendanaan yang berkualitas untuk ditawarkan kepada

para kreditur, sehingga kreditur hanya dapat memilih debitur berdasarkan

portofolio analisis yang ditawarkan oleh pihak penyelenggara Fintech

P2PL. dari kewajiban tersebut, maka lahirlah hak bagi penyelenggara

Fintech P2PL selaku penerima kuasa dari kreditur untuk dapat mengelola

dana kreditur yang kemudian disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada

pihak debitur yang dianggap cukup berkualitas berdasarkan analisis dan

hasil seleksi penyelenggara Fintech P2PL dengan baik dan tepat.

Page 128: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

117

Sementara bagi kreditur berkewajiban untuk memberikan kuasa

kepada pihak penyelenggara Fintech P2PL agar dapat mengelola dana

pinjaman yang kemudian dana tersebut disalurkan kepada pihak debitur.

Selain itu, kreditur juga wajib membayar pajak penghasilan (Pph) atas

dana yang disalurkan/dipinjamkan. Selanjutnya, hak yang diperoleh

kreditur ialah menerima kembali dana yang telah disalurkan/dipinjamkan

kepada debitur dengan bunga yang telah disepakati pada waktu yang telah

ditentukan dengan tepat waktu melalui platform dari penyelenggara

Fintech P2PL.

Lalu, bagi kreditur berkewajiban untuk memberikan dana pinjaman

kepada debitur. Dan hak yang diperoleh kreditur dalam layanan Fintech

P2PL ialah menerima angsuran dari pembayaran pinjaman dana yang

dipinjam oleh debitur dengan tepat waktu yang telah disepakati bersama

dan juga menerima besaran bunga pinjaman dari debitur.

Bagi debitur berhak menerima dana pinjaman dari kreditur guna

dipergunakan sebagaimana mestinya. Sedangkan kewajiban yang harus

ditunaikan oleh debitur ialah membayar angsuran dana pinjaman kepada

kreditur beserta bunga yang telah disepakati pada waktu yang telah

ditentukan. Dan bagi debitur diwajibkan untuk membayar jasa kepada

pihak penyelenggara Fintech P2PL atas jasa pencairan dana dan

penyediaan platform/aplikasi pinjaman online.

Hal tersebut memperlihatkan, bahwa perjanjian hanya ada antara

pihak penyelenggara dengan kreditur dan perjanjian antara kreditur dengan

debitur pada praktik yang sesungguhnya. Dalam hal ini, tidak pernah ada

bentuk perjanjian antara pihak penyelenggara dengan debitur, akan tetapi

hanyalah berupa dokumen elektronik untuk memenuhi kelengkapan syarat

dan ketentuan dari pihak penyelenggara Fintech P2PL, selaku pihak

penyelenggara dalam layanan Fintech P2PL. Terlebih belum mapannya

regulasi dalam penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL ini, sehingga

berpotensi bagi para pihak untuk melakukan fraud, ataupun menimbulkan

kerugian terhadap para pihak antara satu dengan yang lainnya.

Terlepas dari hal tersebut, besarnya peranan yang dimiliki oleh

kreditur selaku pemberi pinjaman dan juga sebagai investor sumber

pendanaan dalam pelaksanaan kegiatan Fintech P2PL ini, maka

konsekuensi logisnya harus pula diikuti oleh perlindungan hukum

terhadapnya. Mengingat potensi besar risiko dan kerawanan yang terjadi

pada kreditur ini cukup besar. Kreditur pada penyelenggaraan layanan

Fintech P2PL memiliki pelbagai risiko, diantaranya: penyalahgunaan dana

atau fraud (penipuan) yang dilakukan oleh pihak perusahaan

penyelenggara Fintech P2PL, pengembalian pinjaman oleh debitur yang

Page 129: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

118

tidak sesuai, bahkan seringkali terjadi kredit macet maupun banyaknya

debitur yang enggan membayar tagihan pinjaman dengan menghindari

atau menggunakan akun fiktif dalam pengajuan pinjaman dana sehingga

kreditur tidak dapat menagih pinjaman tersebut. Kemudian, potensi besar

terjadinya shadow banking yang berimplikasi pada dugaan tindak pidana

money laundering oleh oknum tertentu yang merugikan kepentingan

nasional, tertipu oleh penyelenggara Fintech P2PL illegal dengan berbagai

tawaran yang menggiurkan kreditur, misalnya penawaran keuntungan

mendapatkan income dan laba keuntungan bisnis yang tinggi, serta

terjadinya penipuan (fraud) terhadap status platform oleh pihak

penyelenggara platform yang mencatut nama OJK, seolah-olah

penyelenggara tersebut terdaftar dan berizin di OJK yang tentu merugikan

kreditur selaku pemodal atau investor.

Implementasi dalam perlindungan hukum terhadap kreditur

belumlah mampu memenuhi unsur keadilan dan kepastian hukum. Peneliti

mendasari pada rasionalisasi, bahwa ketentuan-ketentuan atau regulasi

yang dimuat oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis

Teknologi Informasi secara garis besar hanya menitikberatkan pada

debitur dan penyelenggara Fintech P2PL saja, sehingga posisi kreditur

selaku investor atau pemberi pinjaman dalam kegiatan ini dalam posisi

yang amat lemah dan tidak proporsional yang berpotensi besar terhadap

perlindungan hukum bagi kreditur dalam kegiatan Fintech P2PL ini.

“Negara Indonesia adalah negara hukum” dengan jelas

ditegaskan oleh ketentuan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi tertinggi di

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam negara hukum yang

demokratis yang mensyaratkan adanya penerapan hukum yang berprinsip

persamaan di depam hukum (equality before the law), serta penghormatan

dan penegakan hukum sesuai dengan prinsip independent judiciary

(peradilan yang bersifat independen).

Dalam suatu negara hukum yang demokratis, seperti Indonesia,

konstitusi harus berfungsi menjadi leading constitution agar tidak hanya

dijadikan simbol ketatanegaraan yang tidak bergigi sama sekali akibat

Page 130: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

119

banyaknya Undang-Undang yang tidak sejalan dengan substansi konstitusi

atau ditafsirkan berdasarkan kepentingan sesaat untuk mempertahankan

kekuasaan. Untuk itu, setiap Undang-Undang atau regulasi dalam

peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam rangka memberikan

pengaturan hukum bagi masyarakat tidak boleh bertentangan dengan

konstitusi sebagai norma hukum tertinggi negara. Termasuk juga

penyelenggaraan negara yang didelegasikan kepada organ negara harus

berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ditentukan oleh konstitusi.

Hukum memberikan jaminan perlindungan hukum dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam

konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

Pasal 27 Ayat (1): “setiap warga negara bersamaan kedudukannya di

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

Pasal 28D Ayat (1): “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

di hadapan hukum”; dan

Pasal 28I Ayat (2): “setiap orang berhak dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan

terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Berkenaan dengan jaminan-jaminan yang diberikan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa dalam

ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi,

beserta regulasi lainnya terkait pengaturan dalam penyelenggaraan layanan

Financial Technology berbasis Peer To Peer Lending di Indonesia

belumlah memberikan jaminan-jaminan tersebut kepada kreditur selaku

investor dalam kegiatan layanan Financial Technology berbasis Peer To

Peer Lending.

Sejatinya, perlindungan hukum bagi kreditur luput dari atensi

publik. Hal ini dikarenakan publik hanya terfokus pada isu-isu

Page 131: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

120

perlindungan hukum yang berhubungan dengan debitur selaku konsumen.

Di sisi lain, kita tidak boleh melupakan peran sentral yang dimiliki oleh

kreditur ini sebagai jantung dalam operasional kegiatan ini. Sebab, aliran

perputaran dana pada proses kegiatan Fintech P2PL ini didanai oleh

kreditur selaku investor. Tanpa peran dan kontribusi dari kreditur, maka

tidak dapat terselenggaranya kegiatan usaha pinjaman finansial berbasis

teknologi informasi ini.

Seperti halnya debitur, pihak kreditur juga ada yang berasal dari

elemen masyarakat yang turut terlibat berpartisipasi dalam kegiatan usaha

Fintech berbasis Peer To Peer Lending dimana kreditur bertindak selaku

investor yang mendelegasikan perannya melalui kuasa kepada pihak

penyelenggara Fintech P2PL sebagai marketplace untuk melakukan

kegiatan usaha pinjaman uang berbasis online.

Berdasarkan beberapa keterangan dari hasil audiensi dan

wawancara Bapak Teguh Supangkat terhadap beberapa case yang

dilaporkan beberapa kreditur Fintech P2PL ke OJK ialah sebagai berikut.5

Contoh pertama, Finmas (PT Oriente Mas Sejahtera) selaku perusahaan

penyelenggara layanan Fintech P2PL, apabila terjadi gagal bayar dari

debitur, maka upaya penagihan yang akan Finmas jalankan ialah melalui

Unit Penagihan Pihak Ketiga dengan upaya-upaya yang sesuai dengan

koridor hukum yang berlaku. Dalam hal ini, kreditur jelas dapat

mengajukan gugatan kepada debitur, namun Finmas tidak dapat menjamin

kesuksesan dari pihak ketiga atau upaya-upaya hukum untuk menagihkan

sisa pinjaman, sehingga kreditur tetap dapat mengalami kerugian

sepenuhnya dari pendanaan yang diinvestasikan.

Penyelenggara Fintech P2PL yang kedua ialah Kredinesia (PT

Kreditku Teknologi Indonesia). Kredinesia dengan tegas tidak melakukan

penjaminan apapun kepada kreditur yang telah menyalurkan dananya

melalui Kredinesia, karena hal tersebut merupakan resiko yang mungkin

5 Data audiensi dan wawancara dengan Bapak Teguh Supangkat, selaku anggota Satgas

Waspada Investasi, sekaligus Deputi Komisioner Pengawasan Bank.

Page 132: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

121

terjadi apabila melakukan investasi atau memberikan pinjaman kepada

pihak debitur meskipun melalui Kredinesia. Kemudian, apabila terjadi

kondisi gagal bayar secara dua bulan berturut-turut terjadi keterlambatan

bayar oleh debitur kepada kreditur, maka Kredinesia akan melanjutkan

dengan likuidasi jaminan dan hasil dari likuidasi akan dipergunakan untuk

membayar pokok pinjaman kepada kreditur. Hal tersebut sebagai jaminan

dalam proses pinjam meminjam yang oleh debitur terhadap kondisi gagal

bayar atau terlambat bayar kepada kreditur selaku pemberi pinjaman.

Namun, dalam hal tersebut yang menjadi permasalahan adalah bagi

debitur yang tanpa jaminan atau tidak memiliki barang yang dapat

dijaminkan. Solusi dari Kredinesia, apabila terjadi gagal bayar tersebut

ialah Kredinesia akan membantu dengan melakukan mediasi kepada

debitur untuk potensi solusi pembayaran kembali dengan

menginformasikan proses yang sedang berjalan kepada debitur maupun

kreditur Fintech P2PL.

Contoh terakhir yaitu Avantee (PT Grha Dana Bersama), Avantee

tidak menjamin pinjaman yang ada bagi kreditur Fintech P2PL. Pada

dasarnya, pinjaman dibagi menjadi dua yaitu pinjaman dengan jaminan

agunan dan pinjaman tanpa jaminan agunan. Dalam hal ini yang menjadi

permasalahan adalah pinjaman dana yang dilakukan tanpa adanya jaminan

agunan sebagaimana permasalahan pada platform Kredinesia. Namun

demikian, Avantee hanya akan melakukan analisa kelayakan terhadap

pinjaman dan menggunakan upaya terbaiknya guna meminimalisir kredit

macet.

Berdasarkan case yang dialami kreditur pada platform di atas

tersebut, maka dapat diketahui bahwa penyelenggara baik Finmas,

Kredinesia, maupun Avantee hanyalah sebatas fasilitator yang

menyediakan marketplace (tempat) bagi kreditur dan debitur untuk dapat

melakukan kegiatan pinjam-meminjam uang secara online atau dalam

penelitian ini dikatakan sebagai penyelenggaraan Fintech P2PL pada

platform penyelenggara Fintech P2PL. Penyelenggara Fintech P2PL

Page 133: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

122

bukan bertindak sebagai pihak langsung yang terlibat dalam perjanjian

pinjam-meminjam yang dilakukan oleh kreditur dan debitur, melainkan

hanya sebagai pihak yang diberikan kuasa oleh kreditur untuk

menyalurkan dananya kepada debitur yang mengajukan pinjaman dana

melalui platformnya tersebut.

Dengan ini, maka penyelenggara Fintech P2PL tidak memiliki

tanggung jawab atau kewajiban dalam perjanjian pinjam-meminjam uang

secara online tersebut, karena pada dasarnya perjanjian pinjam-meminjam

tersebut hanya dilakukan oleh kreditur dan debitur. Ketidakjelasan

hubungan hukum dalam perjanjian pinjam-meminjam uang secara online

antara penyelenggara Fintech P2PL dengan penguna layanan pinjam

meminjam uang secara online sebagaimana yang diatur dalam ketentuan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tersebut

berdampak penuh pada konsekuensi hukum yang timbul.

Khusus bagi kreditur tidak dapat mengajukan tuntutan hukum

kepada penyelenggara Fintech P2PL, jika kreditur mengalami kerugian

sebagai akibat tindakan penyelenggara Fintech P2PL dalam

penyelenggaraan layanan Fintech P2PL, hal ini berlandaskan pada

ambiguitas pengaturan mengenai perlindungan hukum kreditur dalam

ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Adapun

kerugian yang dimaksud ialah apabila terjadi gagal bayar atau kredit macet

oleh debitur Fintech P2PL akibat kelalaian penyelenggara Fintech P2PL

dalam menyeleksi, menganalisis, dan menyetujui yang tertera pada

platform pinjaman online yang dianggap berkualitas, serta layak untuk

ditawarkan kepada kreditur Fintech P2PL.

Selanjutnya, jika terjadi gagal bayar oleh debitur Fintech P2PL,

maka penyelenggara Fintech P2PL hanya dapat mengusahakan melalui

unit penagihan, membantu melakukan mediasi dan mengusahakan agar

Page 134: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

123

tidak terjadi kredit macet atau bahkan gagal bayar, akan tetapi tidak

menjamin keberhasilannya.

Secara nyata, hal yang dilakukan penyelenggara tersebut jelas tidak

memberikan perlindungan hukum khususnya terhadap kreditur Fintech

P2PL yang menurut peneliti lepas akan tanggung jawab sebagai

penyelenggara kegiatan Fintech P2PL. Kondisi gagal bayar tersebut dapat

terjadi akibat ketidaktepatan, kelalaian, dan kecerobohan dari

penyelenggara Fintech P2PL dalam menyeleksi, menganalisis, dan

menyetujui melalui platform aplikasi pinjaman terhadap debitur yang

mengajukan pinjaman dana untuk ditawarkan kepada kreditur selaku

investor/penyalur dana. Berdasarkan hal tersebut bahwa jelas

penyelenggara Fintech P2PL tidak memberikan penawaran debitur yang

berkualitas, sehinggal hal tersebut dapat berpotensi besar menyebabkan

terjadinya gagal bayar dan praktis pihak yang dirugikan tentulah kreditur.

Terlepas dari hal tersebut, akibat tindakan penyelenggara Fintech

P2PL dalam menyeleksi, menganalisis, dan menyetujui pada aplikasi

pinjaman online (platform) yang diajukan oleh debitur Fintech P2PL

untuk ditawarkan kepada kreditur Fintech P2PL, penyelenggara Fintech

P2PL seharusnya dapat bertanggung jawab atas tindakannya kepada

kreditur, karena tidak memberikan penawaran debitur yang berkualitas,

padahal jelas kreditur hanya dapat memberikan dana pinjaman kepada

debitur yang diajukan oleh pihak penyelenggara Fintech P2PL berdasarkan

kualitas dan jaminan mutu. Pada pratiknya, terdapat keterbatasan tanggung

jawab yang dimiliki oleh penyelenggara Fintech P2PL, seperti Finmas,

Kredinesia, dan Avantee dalam menyelenggarakan layanan Fintech P2PL,

terlebih dengan perangkat/instrumen hukum yang belum memadai dalam

ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Sebagaimana dalam ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi tidak mengatur secara rinci, detail, dan

Page 135: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

124

imperatif untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kreditur,

apabila terjadinya kondisi gagal bayar oleh debitur, yang pada

kenyataannya membuat pihak penyelenggara Fintech P2PL tidak

bertanggung jawab atas hal itu karena tidak ada ketentuan yang

mengaturnya secara tegas.

Kendati, dalam ketentuan Pasal 37 POJK No. 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

yang menyatakan bahwa, “Penyelenggara wajib bertanggung jawab atas

kerugian pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian,

direksi, dan/atau pegawai Penyelenggara.” Namun, secara nyata dan

terjadi pada pelaksanaannya di lapangan pihak penyelenggara tidak

menunaikan hal tersebut karena aturan yang diatur oleh ketentuan POJK

tersebut sifatnya administratif, yang seharusnya bersifat imperatif,

sebagaimana ketentuan Undang-Undang yang mengandung unsur sanksi

yang membuat pelaku usaha menaatinya, karena unsur regulasi yang

bersifat mengikat dan memaksa.”

Padahal, menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terkait prinsip tanggung

jawab berdasarkan wanprestasi merupakan tanggung jawab dari pelaku

usaha dalam hal ini penyelenggara Fintech P2PL yang bersifat mutlak

(strict obligation). Kewajiban tersebut didasarkan pada upaya yang telah

dilakukan pelaku usaha dalam rangka perlindungan pengguna produk atau

layanan jasa yang ditawarkan yang harus memenuhi asas manfaat, asas

keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan dan asas

kepastian hukum.

Berangkat dari dasar prinsip kepastian hukum yang tertuang pada

ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen tersebut, maka menjadi konsekuensi logis bagi

pihak penyelenggara untuk memberikan bentuk tanggung jawab hukum

kepada pihak kreditur dalam kegiatan Fintech P2PL. Kemudian,

mendukung dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Page 136: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

125

Tentang Perlindungan Konsumen tersebut Presiden Ir. Joko Widodo pada

2017 mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017 Tentang

Strategi Nasional Perlindungan Konsumen yang menjadi acuan sasaran,

arah kebijakan, strategi dan sektor prioritas dalam rangka menunjang

perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha.

Untuk itu, dibutuhkan rekontruksi perangkat hukum demi

pemenuhan perlindungan hukum bagi kreditur Fintech P2PL. Bahwa

menjadi suatu urgensi bagi penyelenggara Fintech P2PL wajib

bertanggung jawab akibat kesalahan atau kelalaiannya, mengingat potensi

risiko yang menimbulkan kerugian pada kreditur dapat terjadi, yaitu

mengajukan penawaran debitur yang tidak berkualitas yang kemudian

menyebabkan terjadinya gagal bayar sehingga kreditur dirugikan akibat

tindakan penyelenggara Fintech P2PL tersebut.

Adapun bentuk pertanggungjawaban tersebut ialah bahwa atas

penyelenggaraan karena tidak dapat mengelola dan mengoperasikan

layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dari pihak

kreditur kepada debitur sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 5

Ayat (3) POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dengan baik hingga

menimbulkan kerugian pada salah satu pihak menjadi tanggung jawab

pihak penyelenggara Fintech P2PL.

Atas dasar hal itu menandai, bahwa belum adanya perlindungan

hukum bagi kreditur selaku pemberi pinjaman pada penyelenggaraan

layanan pinjam meminjam uang secara online (Fintech P2PL) ini

menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi pengguna layanan

Fintech P2PL, khususnya bagi kreditur Fintech P2PL. Kegiatan

operasional penyelenggara Fintech P2PL dalam menyediakan, mengelola,

dan mengoperasikan layanan Fintech P2PL dilakukan oleh pegawai

penyelenggara Fintech P2PL ini. Pegawai penyelenggara sebagai sumber

daya manusia (maintenance) jugalah yang menyeleksi, menganalisis, dan

menyetujui pada platform pinjaman online Fintech P2PL yang dianggap

Page 137: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

126

berkualitas, serta layak untuk ditawarkan kepada kreditur selaku pemberi

pinjaman. Sehingga peran pegawai disini amatlah krusial dalam hal ini

yang bertindak atas nama penyelenggara harus diperhatikan betul

kompetensi dan kredibilitasnya.

Kondisi terjadinya gagal bayar adalah sebagai bentuk kesalahan

atau kelalaian dari penyelenggara secara umumnya dalam menentukan

pegawai penyelenggara yang kompeten dalam mengelola dan

mengoperasikan layanan Fintech P2PL yang berakibat pada rendahnya

standar kelayakan kualitas debitur untuk ditawarkan kepada kreditur

sehingga merugikan pihak kreditur Fintech P2PL.

Menurut peneliti, Penyelenggara Fintech P2PL tetap wajib

bertanggung jawab atas tindakan pegawainya tersebut, utamanya dalam

proses pemilihan dan penempatan pegawai dalam melakukan pengelolaan,

pengoperasian, dan penyeleksian tersebut agar menghindari hal-hal yang

merugikan para pihak baik debitur yang telah diatur dalam peraturan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Penyelenggara sebagai pelaku usaha dalam layanan Fintech P2PL

dapat dikenai sanksi, sebagaimana ketentuan Pasal 47 POJK Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi. Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada

penyelenggara Fintech P2PL yang telah melanggar ketentuan yang diatur

dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administrasi

sebagai berikut: a). peringatan tertulis; b). denda yaitu kewajiban untuk

membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; dan d).

pencabutan izin.

Perlindungan hukum bagi pengguna layanan Fintech P2PL, dalam

hal ini kreditur Fintech P2PL dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

perlindungan hukum secara preventif dan perlindungan hukum secara

represif. Perlindungan hukum secara preventif adalah perlindungan hukum

yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Dengan demikian,

perlindungan hukum ini dilakukan sebelum terjadinya suatu sengketa.

Page 138: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

127

Dalam hal ini, perlindungan hukum bagi kreditur Fintech P2PL

sebelum terjadinya sengketa dapat dilakukan dengan upaya-upaya dari

penyelenggaran dalam layanan Fintech P2PL. Upaya penyelenggara

sebelum terjadinya sengketa ialah dengan menerapkan prinsip dasar

perlindungan hukum bagi pengguna layanan Fintech P2PL. Prinsip-prinsip

tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 29 POJK Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi, diantaranya meliputi prinsip transparansi, perlakuan

adil, keandalan, kerahasiaan, dan keamanan data, serta penyelesaian

sengketa pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Kemudian, mengenai perlindungan hukum secara represif adalah

perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

Perlindungan hukum ini baru bisa dilakukan setelah timbulnya sengketa

terlebih dahulu. Sengketa dalam penyelenggaraan Fintech P2PL dapat

terjadi antara pengguna (debitur) dan kreditur, penyelenggara Fintech

P2PL. Apabila sengketa tersebut benar terjadi, maka ada mekanisme

tertentu untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak yang merasa

dirugikan dapat mengajukan pengaduan agar sengketa yang terjadi dapat

segera terselesaikan.

Dengan adanya pengaduan dari pengguna layanan Fintech P2PL

kepada penyelenggara platform Fintech P2PL, maka membuat

penyelenggara harus segera menindaklanjutinya. Setelah menerima aduan

dari pihak yang dirugikan dalam hal ini pengguna Fintech P2PL

sebagaimana ketentuan Pasal 38 POJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, bahwa pelaku jasa

keuangan dalam hal ini adalah penyelenggara layanan Fintech P2PL wajib

melakukan: a). pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten,

benar, dan objektif; b). melakukan analisis untuk memastikan kebenaran

pengaduan; c. menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi

(redress/remedy) atau perbaikan produk dan/atau layanan, jika pengaduan

konsumen benar.

Page 139: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

128

Berdasarkan ketentuan POJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan tersebut, diatur di

dalamnya apabila di kemudian hari terjadi tindakan gagal bayar oleh

debitur dan gagal bayar tersebut terbukti akibat kesalahan atau kelalaian

dari penyelenggara Fintech P2PL, maka penyelenggara Fintech P2PL

wajib memberikan ganti rugi atas perbuatannya tersebut.

Kreditur selaku pihak yang dirugikan berhak menerima ganti rugi

dari pihak penyelenggara Fintech P2PL. Namun, jika dalam hal

pengaduan tidak mencapai suatu kesepakatan, maka kreditur dapat

melakukan penyelesaian sengketa tersebut di luar maupun di dalam

pengadilan. Sebagaimana ketentuan Pasal 39 Ayat (1) POJK No.

1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan melalui

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) atau dapat

menyampaikan permohonannya kepada OJK untuk memfasilitasi

penyelesaian pengaduan konsumen (pengguna layanan Fintech P2PL)

yang dirugikan oleh pelaku jasa keuangan yaitu penyelenggara layanan

Fintech P2PL.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas

Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa OJK menyelenggarakan sistem

pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dengan keseluruhan

kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, memberikan perlindungan hukum

bagi kreditur Fintech P2PL (dimana layanan Fintech P2PL merupakan

bentuk sumber pendanaan terbaru yang termasuk dalam kategori lembaga

jasa keuangan lainnya) dan menjadi konsekuensi hukum yang harus

dijalankan oleh OJK atas amanat Undang-Undang OJK tersebut.

Dengan demikian, OJK harus mempersiapkan secara matang

perihal regulasi perangkat hukum untuk mengatur mekanisme

penyelesaian masalah sengketa yang akan timbul di kemudian hari jika

terjadi fraud oleh penyelenggara Fintech P2PL baik yang legal maupun

illegal, dan mengalami kondisi gagal bayar oleh debitur yang berimplikasi

Page 140: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

129

pada kerugian bagi kreditur Fintech P2PL dalam mekanisme proses

penyelenggaraan layanan Fintech P2PL yang lebih baik dan berorientasi

pada perlindungan hukum bagi kreditur Fintech P2PL guna terwujudnya

perlindungan hukum bagi kreditur selaku investor/pemberi pinjaman

dalam kegiatan usaha Fintech P2PL.

Di samping itu, perlu adanya peningkatan upaya secara maksimal

oleh OJK selaku regulator dan pengawas untuk mengoptimalkan seluruh

koordinasi dan kerjasama dengan stakeholders (pemangku kepentingan)

dalam penyelenggaraan Fintech P2PL, baik dari aspek regulasi dengan

pemerintah pusat dan DPR RI untuk mendorong lahirnya Undang-Undang

Tentang Fintech berbasis Peer To Peer Lending, serta melakukan

harmonisasi dan sinkronisasi dengan elemen-elemen pihak yang terlibat

dalam kegiatan Fintech P2PL dalam berbagai sektor, baik dari elemen

penegak hukum, asosiasi Fintech (AFPI), BSSN, elemen dari kreditur,

debitur, serta melakukan pengawasan terhadap kualitas kelaikan sistem

informasi data pada layanan Fintech P2PL maupun sumber daya

maintenance-nya. Hal ini dilakukan demi mendukung aktifitas/kegiatan

usaha Fintech P2PL ke depan lebih baik, terintegrasi dengan baik, dan

mampu mengatasi segala problematika hukum yang timbul bagi para

pihak terkait penyelenggaraan Fintech P2PL, sehingga dapat memberikan

perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi seluruh pihak dalam

kegiatan Fintech P2PL secara proporsional.

Page 141: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri

pembahasan dalam penelitian skripsi ini, peneliti memberikan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL dalam

penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi

informasi (Fintech Peer To Peer Lending) telah diatur dalam ketentuan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi,

bahwa di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan pengaturan, meliputi:

kelembagaan, pendaftaran, perizinan, batasan pemberian pinjaman dan

tata kelola teknologi informasi penyelenggara, batasan kegiatan,

manajemen risiko, laporan, serta edukasi perlindungan konsumen.

Jaminan perlindungan hukum terhadap debitur Fintech P2PL tertuang

pada ketentuan Pasal 29 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi menyatakan bahwa Penyelenggara wajib

menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yaitu: a.

Transparansi; b. Perlakuan yang adil; c. Keandalan ; d. Kerahasiaan

dan keamanan data, dan; e. Penyelesaian sengketa Pengguna secara

sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Selain itu, perlu

memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

terkait, seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017

Tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, Peraturan Otoritas

Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 18/POJK.07/2018 Tentang Layanan Pengaduan

Konsumen. Kendati, telah diatur mengenai hal apabila penyelenggara

layanan Fintech P2PL melakukan pelanggaran sebagaimana ketentuan

Pasal 47 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dikenai sanksi

administratif, berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan

usaha, dan pencabutan izin, namun peneliti menilai hal itu belum

mampu mengatasi problematika hukum bagi perlindungan debitur

130

Page 142: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

131

Fintech P2PL akibat pelanggaran dan/atau perbuatan melawan hukum

yang dilakukan oleh penyelenggara dan/atau kreditur Fintech P2PL

dikarenakan keterbatasan regulasi yang mengaturnya.

2. Perlindungan hukum terhadap kreditur Fintech P2PL belum memenuhi

prinsip kepastian hukum sebagaimana termanifestasi dalam ketentuan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

ketentuan lain terkait perlindungan hukum terhadap investor jasa

keuangan non-bank yang berbasis teknologi informasi. Hal ini didasari

oleh keterbatasan dalam ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi yang belum mengatur secara spesifik

mengenai perlindungan hukum terhadap kreditur selaku investor dalam

pendanaan kegiatan pinjam meminjam uang berbasis teknologi

informasi (Fintech P2PL) yang seringkali mengalami fraud, kondisi

gagal bayar oleh debitur, maupun tindakan lain yang dilakukan oleh

penyelenggara dan/atau debitur Fintech P2PL yang merugikan kreditur

selaku investor dalam penyelenggaraan kegiatan Fintech berbasis Peer

To Peer Lending.

3. Perlindungan hukum terhadap debitur dan kreditur Fintech P2PL,

berupa upaya penegakan hukum dan penyelesaian sengketa

sebagaimana ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi hanya diberikan kepada debitur pada layanan

Fintech P2PL yang terdaftar dan berizin di OJK, sementara pada

layanan Fintech P2PL illegal belum diatur pada ketentuan tersebut

sehingga menyulitkan OJK, AFPI, maupun aparat penegak hukum

untuk melakukan proses penegakan hukum sebagaimana mestinya

guna memberikan perlindungan hukum pada masyarakat selaku

debitur/konsumen layanan Fintech P2PL.

B. Rekomendasi

1. Peneliti memformulasikan dan merekomendasikan empat langkah

strategis dalam rangka mengatasi persoalan-persoalan yang timbul

dalam problematika hukum menyangkut perlindungan hukum terhadap

debitur Fintech P2PL, meliputi pertama, memperhatikan aspek

kelengkapan informasi, keterbukaan informasi publik, dan transparansi

layanan yang ditawarkan oleh penyelenggara Fintech P2PL yang

dikontrol oleh BI, OJK, Kemenkominfo, Bareskrim, BSSN dan AFPI

melalui kanal data terpadu yang dapat dipertanggungjawabkan secara

akuntabel kepada publik. Kedua, mekanisme penanganan, pengaduan,

Page 143: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

132

dan penyelesaian sengketa berorientasi pada perlindungan konsumen

yang ditopang oleh instrumen dan perangkat hukum yang mapan

sebagai wujud nyata dalam perlindungan hukum bagi debitur Fintech

P2PL. Ketiga, keandalan dalam sistem layanan maupun sistem

pengelola layanan, sehingga mampu menjadi pencegah (preventif) dari

bentuk fraud (penipuan) dan perlindungan data pribadi (cybersecurity)

karena sistem sudah terintegrasi dengan baik. Dan keempat,

sinkronisasi dan harmonisasi seluruh elemen pihak yang terlibat dalam

penyelenggaraan kegiatan Fintech P2PL agar menciptakan iklim

kegiatan usaha yang sehat dan mengedepankan pelayanan prima

kepada debitur selaku konsumen, serta berasaskan dan berorientasi

pada perlindungan konsumen.

2. OJK harus mempersiapkan secara matang perihal regulasi perangkat

hukum untuk mengatur mengani mekanisme penyelesaian masalah

sengketa yang akan timbul di kemudian hari jika terjadi fraud oleh

penyelenggara Fintech P2PL baik yang legal maupun illegal, dan

mengalami kondisi gagal bayar oleh debitur yang berimplikasi pada

kerugian bagi kreditur Fintech P2PL dalam mekanisme proses

penyelenggaraan layanan Fintech P2PL yang lebih baik dan

berorientasi pada perlindungan hukum bagi kreditur Fintech P2PL

guna terwujudnya perlindungan hukum bagi kreditur selaku

investor/pemberi pinjaman dalam kegiatan usaha Fintech P2PL.

3. Perlu adanya peningkatan upaya secara maksimal oleh OJK selaku

regulator dan pengawas untuk mengoptimalkan seluruh koordinasi dan

kerjasama dengan stakeholders (pemangku kepentingan) dalam

penyelenggaraan Fintech P2PL, baik dari aspek regulasi dengan

pemerintah pusat dan DPR RI untuk mendorong lahirnya Undang-

Undang Tentang Fintech berbasis Peer To Peer Lending, serta

melakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan elemen-elemen pihak

yang terlibat dalam kegiatan Fintech P2PL dalam berbagai sektor, baik

dari elemen penegak hukum, asosiasi Fintech (AFPI), BSSN, elemen

dari kreditur, debitur, serta melakukan pengawasan terhadap kualitas

kelaikan sistem informasi data pada layanan Fintech P2PL maupun

sumber daya maintenance-nya. Hal ini dilakukan demi mendukung

aktifitas/kegiatan usaha Fintech P2PL ke depan lebih baik, terintegrasi

dengan baik, dan mampu mengatasi segala problematika hukum yang

timbul bagi para pihak terkait penyelenggaraan Fintech P2PL,

sehingga dapat memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum

bagi seluruh pihak dalam kegiatan Fintech P2PL secara proporsional.

Page 144: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adler, Prof. Dr. Haymans Manurung, Kenapa Pasar Drop Tajam : Jakarta: PT

Adler Manurung Press, 2014.

Adler, Prof. Dr. Haymans Manurung, Otoritas Jasa Keuangan: Pelindung

Investor, Jakarta : PT Adler Manurung Press, 2013.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Alwi, Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:

Kencana, 2006.

Bank Indonesia, Financial Technology: Perkembangan dan Respons Kebijakan

Bank Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia-Fintech Office, 2018.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1998.

Christine, Ugochi Amajuoyi, Online Peer To Peer Lending Regulation:

Justification, Classification and Remit in UK Law, United Kingdom:

University of Exeter, August 2016.

D., Muliaman Hadad, Financial Technology (Fintech) di Indonesia, Jakarta:

Fintech-IBS Otoritas Jasa Keuangan, 2017.

Darmadji, Tjiptono dan Hendi M. Fakhrudin, Pasar Modal di Indonesia:

Pendekatan Tanya Jawab, Jakarta: Salemba Empat, 2006.

Darus, Mariam Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasan, Bandung: Alumni, 1996.

133

Page 145: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

134

Dawam, M. Rahardjo, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, Jakarta: LP3ES, 1995.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Bulan Bintang, 2002.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Gramedia, 1989.

Donald Albert Rumokoy, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 2014.

Erwin, Kusuma, dkk., Sejarah Perkembangan Kantor Bank Indonesia Medan,

Jakarta: Sarana Media, 2013.

Fajar, Mukti Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum

Normatif Dan Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar 2010.

Fuady, Munir, Hukum Tentang Pembiayaan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2006.

, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung:

PT Citra Aditya Bakti, 2007.

Gunawan, A. Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan

Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Halim, Abdul Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce: Studi Sistem

Keamanan dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Harahap, Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1982.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenadamedia

Grup, 2005.

Iman, Nofie, Financial Technology dan Lembaga Keuangan Keuangan,

Yogyakarta:Gathering Mitra Linkage Bank Syariah Mandiri, 2016.

Indroharto, Asas-Asas Hukum Pemerintahan Yang Baik, dalam Paulus Efendie

Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik,

Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994.

Kantaprawira, Rusadi, Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: Universitas Islam

Indonesia, 1998.

Kasmir, Dr., Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi 2014, Jakarta:

Page 146: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

135

Rajagrafindo Persada, 2014.

Kiko, Sarwin Napitupulu, dkk. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech, Jakarta:

Departemen Perlindungan Konsumen - Otoritas Jasa Keuangan,

2017.

Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Malang: Tim UB Press, 2011.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2009.

, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,

Bandung: Bina,1995.

M., John Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia : An English –

Indonesian Dictionary, Jakarta : PT Gramedia, 2005.

Mahadi, Sumber-Sumber Hukum I, Jakarta: N.V. Soerongan, 1956.

Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2005.

, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.

Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.

Miru, Ahmad, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja Grafindo

Jaya, 2014.

, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di

Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013.

Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:

Rajawali Pers, 2010.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004.

, Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1980.

Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan

dan Pembiayaan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.

Muhammad, Fahmi Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Page 147: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

136

Mulyosudarmo, Suwoto, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis

Pertanggungjawaban Kekuasaan, Surabaya: Universitas Airlangga, 1990.

Muri, A. Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian

Gabungan, Jakarta: Kencana, 2014.

M., Philipus Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2005.

M., Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia : Sebuah

Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan

Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pemberontakan Peradilan

Administrasi, Surabaya: Peradaban, 1987.

Nasution, Az., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit

Media, 2006.

Nasution, Darmin, Bank Sentral itu Harus Membumi, Yogyakarta: Galang

Pustaka, 2013 .

Otoritas Jasa Keuangan, Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:

Perlindungan Konsumen Pada Fintech, Jakarta : Departemen

Perlindungan Konsumen OJK, 2017.

Rachmat, Budi, Modal Ventura: Cara Mudah Meningkatkan Usaha Kecil dan

Menengah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.

Rahardjo, Satjipto, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya, 2000.

, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas,

2003.

Rajagukguk, Erman, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, 2000.

Rasjidi, Lili dan I.B. Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Remaja

Rusdakarya, 1993.

Rato, Dosminikus, Filsafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, Yogyakarta:

PT Presindo, 2010.

Salman, Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat,

Page 148: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

137

Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Bandung: Refika Aditama,

2004.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. II, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.

Simorangkir, O.P., Seluk Beluk Bank Komersial, Jakarta: Penerbit Aksara Persada

Indonesia, 1989.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984.

Soenandar, Taryana, S.H., M.H., dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2016.

Soeroso, R., Perjanjian Di Bawah Tangan: Pedoman Praktis Pembuatan dan

Aplikasi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Subekti, Prof. R., Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005.

, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 1996.

Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Supramono, Gatot, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2013.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2003.

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya, 1999.

Vardiansyah, Dani, Filsafat Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar, Jakarta : Indeks,

2008.

Wawan, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Wirjono, R. Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur, 1973.

JURNAL DAN MAKALAH HUKUM

Adithya, Immanuel M. Chrismastianto, Analisis SWOT Implementasi Teknologi Finansial Terhadap Kualitas Layanan Perbankan di Indonesia, Jakarta :

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Edisi 137, 2017.

Page 149: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

138

Dawam, M. Rahardjo, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, LP3ES, Jakarta, 1995, h. 85, dikutip dalam Maqdir Ismail, 2010, Bank Indonesia

dalam Tata Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Jurnal Hukum Vol. 17

Nomor 3, tanpa tahun.

Ernasari, dkk. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial

Technology : Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016, Semarang: Diponegoro Law Journal Vol. 6, 2017.

H., Ratna Juliayani PR, Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Peer To Peer

Lending, Yogyakarta: Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Universitas

Islam Indonesia, 2018.

Inggrid, Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Pendekatan

Kausalitas Dalam Multivariate Vector Error Correction Model, Surabaya:

Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Edisi No. 1 Vol. 8, Fakultas

Ekonomi Universitas Kristen Petra Surabaya, 2016.

International Organization of Securities Commissions. IOSCO Research Report

On Financial Technologies (Fintech), 2017.

M., Philipus Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Surabaya: Universitas

Airlangga, tanpa tahun.

Margaretha, Farah, “Dampak Elektronic Banking Terhadap Kinerja Perbankan

Indonesia”, Jakarta: Jurnal Keuangan dan Perbankan Edisi 19, 2015.

Nawawi, Barda Arief, “Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime dan Cyber

Sex”, Jakarta: Jurnal Law Reform Edisi 11, 2005.

Nurhasanah dan Indra Rahmatullah, “The Legal Protection of Sharia Financial

Technology In Indonesia (Analysis of Regulation, Structure, and Law

Enforcement”, International Journal of Advanced Science and Technology

Vol. 29 No. 3, 2020, pp. 3086-3097, h. 3094.

Prince, G.H.A, “Monetary Policy in Colonial Indonesia and the Position of the

Java Bank”, dalam Maqdir Ismail, 2010, Bank Indonesia dalam Tata

Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Jurnal Hukum Vol. 17 Nomor 3, tanpa

tahun.

Rahmayani, Nuzul, Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen Terkait

Pengawasan Perusahaan Berbasis Financial Technology di Indonesia,

Padang: Pagaruyuang Law Journal Edisi No. 1 Vol. 2, Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, 2018.

Page 150: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

139

Syafrudin, Ateng, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung,

Universitas Parahyangan, 2000.

T.M, Jan Van Laanen, Between the Java Bank and the Chinese Moneylender:

Banking and Credit in Colonial Indonesia, dikutip dalam Maqdir Ismail,

2010, Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Jurnal

Hukum Vol. 17 Nomor 3, tanpa tahun.

Wardhana, Ali, “The Indonesian Banking System”, The Central Bank, dalam

Bruce Glassburner (ed.), The Economy of Indonesia, Selected Readings,

Cornell University Press, Ithaca and London, 1971, h. 349. dikutip dalam

Maqdir Ismail, 2010, Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan

Indonesia, Jakarta: Jurnal Hukum Vol. 17 Nomor 3, tanpa tahun.

INTERNET

APJII: Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Tembus 171 Juta Jiwa, dilansir

dari https://tekno.kompas.com/read/2019/05/16/03260037/apjii-jumlah-

pengguna-internet-di-indonesia-tembus-171-juta-jiwa diakses pada 30 Juli

2019, Pukul 21.30 BBWI.

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilansir dari

https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Penyelidik_Usaha_Persiapan_Kemer

dekaan_Indonesia, diakses pada tanggal 6 Desember 2019, Pukul 01.00

BBWI.

Bagaimana Fintech Peer To Peer Lending Bekerja dilansir dari

https://modalku.co.id/faq, https://www.investree.id/how-it-works,

https://koinworks.com/id/education-center/bagaimana-peer-lending-

bekerja, diakses pada 29 November 2019, Pukul 20.33 BBWI.

Bapenda Provinsi Jawa Barat, Financial Technology, Layanan Financial Berbasis IT, dilansir dari http://bapenda.jabarprov.go.id/2016/12/26/financial-

technology-layanan-finansial-berbasis-it, diakses pada tanggal 12

November 2019, Pukul 09.00 BBWI.

Bursa Efek, dilansir dari

www.sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/270, diakses pada 28

November 2019, Pukul 21.00 BBWI.

Chandra, Ellen, Definisi Fintech, dilansir dari

https://finansialku.com/definisi-fintech-adalah/, diakses pada 24

November 2019, Pukul 01.00 BBWI.

Page 151: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

140

Data Penyelenggaraan Fintech (Peer To Peer Lending) Terdaftar di OJK per 1

Mei 2019, dilansir dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-

kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-di-OJK-per-15-

Mei-2019.aspx2019.aspx, diakses pada 26 Desember 2019, Pukul 11.00

BBWI.

Financial Technology, Layanan Financial Berbasis IT”, dilansir dari

http://bapenda.jabarprov.go.id/2016/12/26/financial-technology-layanan-

finansialberbasis-it/, diakses pada tanggal 20 November 2019, Pukul 07.04

BBWI.

Fintech https://Fintech.id/, diakses pada 12 November 2019, Pukul 19.09 BBWI.

Fintech Peer to Peer Lending dilansir dari

https://www.investopedia.com/term/p/peer-to-peer-lending.asp, diakses

pada 21 November 2019, Pukul 12.00 BBWI.

Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer To Peer Lending) Otoritas Jasa Keuangan

Periode 2018-2019, dilansir dari https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-

dan-statistik/fintech/Pages/Statistik-Fintech-Lending-Periode-Maret-

2019.aspx, diakses pada 26 Desember 2019 Pukul 09.00 BBWI.

Laporan LBH Jakarta Terkait Tindak Pidana Korban Pinjaman Online, dilansir dari https://www.bantuanhukum.or.id/web/laporan-tindak-pidana-korban-

pinjol/ , diakses pada 27 Desember 2019, Pukul 04.00 BBWI.

Mandiri Virtual Account, dilansir dari

https://www.bankmandiri.co.id/virtual-account, diakses pada 29

November 2019, Pukul 02.00 BBWI.

Masyarakat Masih Banyak Adukan Rentenir Online ke YLKI, dilansir dari

https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190719131351-78-

413616/masyarakat-masih-banyak-adukan-rentenir-online-ke-ylki, diakses

pada 10 November 2019, Pukul 21.59 BBWI.

Otoritas Jasa Keuangan, dilansir dari

https://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-Otoritas-Jasa-Keuangan.aspx,

diakses pada 29 November 2019, Pukul 09.10 BBWI.

Penyelenggara Fintech Terdaftar dan Berizin di OJK per 30 Oktober 2019,

dilansir dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-

kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-

OJK-per-30-Oktober-2019.aspx diakses pada 25 November 2019, Pukul

22.00 BBWI.

Page 152: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

141

Penyelenggara Fintech Terdaftar dan Berizin di OJK per Desember 2019, dilansir dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-

kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-

OJK-per-Desember-2019.aspx diakses pada 26 Desember 2019, Pukul

01.00 BBWI.

Penyelenggara Fintech Terdaftar dan Berizin di OJK per 7 Agustus 2019, dilansir

dari https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-

kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-

OJK-per-7-Agustus-2019.aspx diakses pada 25 November 2019, Pukul

12.00 BBWI.

Profil Kominfo, dilansir dari https://www.kominfo.go.id/profil diakses pada 25

Desember 2019, Pukul 16.40 BBWI.

Sugianto, Danang, “Transaksi Fintech di Indonesia Tembus Rp. 26 Triliun”,

(2019), dilansir dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-

4445880/transaksi-fintech-di-Indonesia-tembus-rp-26-triliun, diakses pada

24 November 2019, Pukul 20.00 BBWI.

Tugas dan Fungsi Kementerian Komunikasi dan Informatika, dilansir dari

https://kominfo.go.id/tugas-dan-fungsi diakses pada 25 Desember 2019,

Pukul 17.00 BBWI.

Unit Khusus Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia, dilansir dari

http://www.bi.go.id/id/tentangbi/museum/sejarahbi/bi/Documents/12c38fa

44da54699ade9e2c55e498733SejarahKelembagaanPeriode 19591966.pdf ,

diakses pada 5 Desember 2019, Pukul 19.00 BBWI.

Utami, Eka, Jenis-Jenis Usaha Fintech Yang Ada di Indonesia, dilansir dari

https://qerja.com/journal/view/12876-jenis-jenis-usaha-fintech-yang-ada-

di-indonesia-eu01/, diakses pada 23 November 2019, Pukul 04.28 BBWI.

V., Dhar, Stein, R.M. (2017), Fintech Platforms and Strategy, Communications of the ACM, November 2019 Pukul 09.00 BBWI.

W., Professor Douglas Arner, “Fintech: Evolution And Regulation”, 2017.

Presentation, dilansir dari

http://law.unimelb.edu.au/_data/assets/pdf_file/0011/1978256/D-Arner-

Fintech-Evolution-Melbourne-June-2016.pdf., diakses pada 20 November

2019, Pukul 19.00 BBWI.

Wijaya, Rheynold, Fintech dan Bank: Pesaing atau Masa Depan Keuangan,

dilansir dari

https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/fintech/17/12/21/plaftp408-

Page 153: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

142

fintech-dan-bank-pesaing-atau-masa-depan-keuangan, diakses pada 22 November 2019, Pukul 22.00 BBWI.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor

Indonesie)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 Tentang

Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Tentang

Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Undang-Undang Nomor 72 Tahun 1992 jo. Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian atau Pertanggungan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank

Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1995

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

AUDIENSI DAN WAWANCARA

Audiensi dan Wawancara Bersama Dengan :

Page 154: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

143

1. Bapak Dr. Teguh Supangkat, selaku Deputi Komisioner Pengawasan Bank Otoritas Jasa Keuangan, sekaligus Dewan Pakar Fintech dan Anggota

Satgas Waspada Investasi dari Unsur Otoritas Jasa Keuangan, yang

dilakukan pada 5 November 2019, Pukul 16.00 BBWI.

2. Bapak Sarjito, S.E., S.H., M.B.A., selaku Deputi Komisioner Edukasi dan

Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan, yang dilakukan pada 6

November 2019, Pukul 15.00 BBWI

3. Bapak Munawar Kasan, selaku Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan, dan

Pengawasan Financial Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan, yang

dilakukan pada 5 November 2019, Pukul 10.00 BBWI.

4. Ibu Tanti Tarry, selaku korban platform layanan Fintech Peer To Peer

Lending illegal.

Page 155: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

144

LAMPIRAN

Audiensi dan Wawancara Bersama Bapak Dr. Teguh Supangkat, selaku

Deputi Komisioner Pengawasan Bank Otoritas Jasa Keuangan, sekaligus

Dewan Pakar Fintech dan Anggota Satgas Waspada Investasi dari Unsur

Otoritas Jasa Keuangan bertempat di ruangan beliau, yang dilakukan pada

5 November 2019, Pukul 16.00 BBWI.

Page 156: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

145

Audiensi dan Wawancara Bersama dengan Bapak Munawar Kasan, selaku

Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial

Technology (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan bertempat di ruangan beliau,

yang dilakukan pada 5 November 2019, Pukul 10.00 BBWI.

Page 157: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

146

Wawancara dengan Ibu Tanti Tarry, selaku korban platform layanan Fintech Peer

To Peer Lending illegal.

Page 158: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

147

Page 159: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

148

Page 160: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

149

Page 161: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

150

Page 162: PROBLEMATIKA PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY …

151