reformasi sistem bagi hasil melalui kontrak bagi produksi guna

23
PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta Reformulasi Sistem Bagi Hasil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna Mewujudkan Kedaulatan Migas By: Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih ** Abstract Indonesia is one country with a wealth of natural resources in the world. One source Indonesia's natural resources are oil and gas (oil and gas). Oil and Gas is currently the mainstay of the Indonesian economy as both a producer and supplier of foreign exchange in the country's energy needs. So far, the pattern of oil and gas management applied in Indonesia is a model of the Production Sharing Contract (Production Sharing Contract), meaning that production is divided by a certain percentage agreed. But in the implementation, production sharing contracts cause various problems, the rise and fall of oil prices determine the profit sharing . It is not affected by cost recovery policies, fees and taxes that affect state revenue sharing system outcomes resulting revenues do not get a percentage of the initial 85% of the profits from oil and gas production. Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia. Salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia adalah minyak dan gas (Migas). Migas saat ini menjadi andalan utama perekonomian Indonesia baik sebagai penghasil devisa maupun pemasok kebutuhan energi dalam negeri. Selama ini pola pengelolaan migas yang diterapkan di Indonesia adalah model Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), artinya produksi dibagi berdasarkan prosentase tertentu yang disepakati. Akan tetapi didalam implementasinya, kontrak bagi hasil menimbulkan berbagai macam permasalahan, naik turunnya harga minyak menentukan pembagian keuntungan tersebut. Hal ini belum dipengaruhi dengan kebijakan Cost Recovery, fee dan pajak yang mempengaruhi penerimaan negara dengan sistem bagi hasil yang mengakibatkan penerimaan negara tidak mendapatkan prosentase awal 85% keuntungan dari hasil produksi migas. Kata Kunci: Reformasi, Migas dan Sharing Contract . ** Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Angkatan 2012 . Email: [email protected] dan [email protected].

Upload: vuonglien

Post on 21-Jan-2017

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Reformulasi Sistem Bagi Hasil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna Mewujudkan Kedaulatan Migas

By: Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih**

Abstract Indonesia is one country with a wealth of natural resources in the world. One

source Indonesia's natural resources are oil and gas (oil and gas). Oil and Gas is currently the mainstay of the Indonesian economy as both a producer and supplier of foreign exchange in the country's energy needs. So far, the pattern of oil and gas management applied in Indonesia is a model of the Production Sharing Contract (Production Sharing Contract), meaning that production is divided by a certain percentage agreed. But in the implementation, production sharing contracts cause various problems, the rise and fall of oil prices determine the profit sharing . It is not affected by cost recovery policies, fees and taxes that affect state revenue sharing system outcomes resulting revenues do not get a percentage of the initial 85% of the profits from oil and gas production.

Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam

terbesar di dunia. Salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia adalah minyak dan gas (Migas). Migas saat ini menjadi andalan utama perekonomian Indonesia baik sebagai penghasil devisa maupun pemasok kebutuhan energi dalam negeri. Selama ini pola pengelolaan migas yang diterapkan di Indonesia adalah model Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), artinya produksi dibagi berdasarkan prosentase tertentu yang disepakati. Akan tetapi didalam implementasinya, kontrak bagi hasil menimbulkan berbagai macam permasalahan, naik turunnya harga minyak menentukan pembagian keuntungan tersebut. Hal ini belum dipengaruhi dengan kebijakan Cost Recovery, fee dan pajak yang mempengaruhi penerimaan negara dengan sistem bagi hasil yang mengakibatkan penerimaan negara tidak mendapatkan prosentase awal 85% keuntungan dari hasil produksi migas.

Kata Kunci: Reformasi, Migas dan Sharing Contract .

**Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang

Angkatan 2012 . Email: [email protected] dan [email protected].

Page 2: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

79

A. Pendahuluan

Sejak di proklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para pendiri negara (founding fathers) telah mencapai kesepakatan untuk memakai konsep negara kesejahteraan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Konsep ini dituangkan dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Kemudian hal ini ditegaskan kembali dalam pasal 33 yang memiliki dimensi pengaturan demokrasi ekonomi dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, konstitusi telah mengamanatkan negara untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia. Potensi kekayaan alam yang dimiliki meliputi sumber daya hayati maupun non hayati. Hal ini disebabkan bentuk fisik Indonesia yang berupa kepulauan, letak geografis yang strategis serta sejarah geologis Indonesia. Dalam hal ini, negara menjadi pihak yang diamanahi oleh rakyat untuk dapat menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam Indonesia untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai yang diamanahkan dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD NRI 1945.2 Sehingga segala pemanfaatkan potensi kekayaan sumber daya alam yang ada harus ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Konsep atas hak untuk menguasai oleh negara dinyatakan dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa “pada dasarnya sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pilihan kata menguasai juga tidak dipilih secara serta-merta, melainkan dengan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Sehingga, kata dikuasai oleh Negara juga harus ditafsirkan terlebih dahulu. MK sebagai the guardian of constitution, pernah membuat suatu putusan tentang penafsiran pasal ini yang tertuang dalam Putusan MK No. 01-021-022/PUU-I/2003, yang berbunyi:3

“... pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan

1Konsep negara kesejahteraan yang tertuang dalam Alinea IV Pembukaan UUD

NRI 1945 berbunyi “...dan untuk memajukan kesejahteraan umum...” 2Pasal 33 Ayat 3 UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan suntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

3Putusan MK No. 01-021-022/PUU-I/2003

Page 3: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

80

diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) oleh Negara...”

Sehingga, pemahaman tentang konsep penguasaan oleh negara ini

harus diartikan secara komprehensif. Karena dengan adanya hak atas penguasaan ini, negara memiliki kedaulatan atas sumber daya alam yang merupakan hak mutlak rakyat yang dipercayakan kepada negara untuk mengelolanya agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kata lain, rakyat tidak berhak untuk menguasai dan mengelolanya sendiri karena akan terjadi perebutan kekuasaan yang dapat mengakibatkan pertumpahan darah. Selain itu, negara juga dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang kekuasaan atas sumber daya alam yang pada dasarnya diberikan oleh rakyat.

Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia adalah minyak dan gas (Migas). Migas merupakan salah satu sumber daya alam strategis dan dapat berperan dalam proses pembangunan nasional. Hal ini dibuktikan dengan sektor migas berperan sangat dominan dalam mendukung pembangunan selama hampir 30 tahun di masa orde baru. Terutama ketika masa kejayaan migas pada dasawarsa 1973-1983. Peran migas yang begitu dominan juga terlihat dari sumbangan yang telah diberikan dari hasil migas pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yang rata-rata sebesar 60-80%. Selain itu, sektor migas telah meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Hampir seperlima pajak penghasilan dipungut dari migas.4

Di Indonesia, migas masih menjadi andalan utama perekonomian Indonesia baik sebagai penghasil devisa maupun pemasok kebutuhan energi dalam negeri. Pembangunan prasarana dan industri yang sedang giat-giatnya dilakukan di Indonesia, membuat pertumbuhan konsumsi

4Anonim. Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Minyak dan Gas Bumi di

Indonesia. Makalah disampaikan pada tanggal 11 Juni 2017 di Universitas Trisakti Jakarta.

Page 4: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

81

energi rata-rata mencapai 7% dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan yang sangat tinggi, melebihi rata-rata kebutuhan energi global, mengharuskan Indonesia untuk segera menemukan cadangan migas baru, baik di Indonesia maupun ekspansi ke luar negeri. Cadangan terbukti minyak bumi dalam kondisi depleting, sebaliknya gas bumi cenderung meningkat. Perkembangan produksi minyak Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan, sehingga perlu upaya luar biasa untuk menemukan cadangan-cadangan baru dan peningkatan produksi.5

Potensi sumber daya minyak dan gas bumi Indonesia masih cukup besar untuk dikembangkan terutama di daerah-daerah terpencil, laut dalam, sumur-sumur tua dan kawasan Indonesia Timur yang relatif belum dieksplorasi secara intensif. Sumber-sumber minyak dan gas bumi dengan tingkat kesulitan eksplorasi terendah praktis kini telah habis dieksploitasi dan menyisakan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengelola ladang minyak sendiri menjanjikan keuntungan yang luar biasa signifikan. Akan tetapi untuk dapat mengetahui potensi tersebut diperlukan teknologi yang mahal, modal yang besar, faktor waktu yang memadai dan memerlukan efisiensi yang maksimal serta expertise dari sumberdaya manusia terbaik.

Hasil pengelolaan migas di Indonesia memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Jika dilihat dalam APBN, hasil penerimaan migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah. Dengan alasan inilah migas dapat dikatakan sebagai industri strategis yang memainkan peranan penting dalam pembangunan.

Selama ini pola pengelolaan migas yang saat ini diterapkan di Indonesia adalah model Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) yang mana berarti produksi dibagi berdasarkan prosentase tertentu yang disepakati. Dalam kontrak PSC, semua resiko ada di kontraktor. Negara tidak memiliki eksposure atas resiko kegagalan dalam proses eksplorasi. Jangka waktu kontrak adalah 30 tahun (termasuk 6-10 tahun untuk eksplorasi). Seluruh peralatan yang dibeli dalam rangka kontrak PSC menjadi milik negara dan serta adanya kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) untuk kontraktor migas. Dengan ketentuan seperti itu mengakibatkan investor berpikir dua kali untuk melakukan eksplorasi di Indonesia, yang pada kenyataannya di Indonesia saati ini minim penemuan lahan/wilayah tambang baru dan masih tergantung pada sumur-sumur lama.

5Biro Riset LM FEUI: analisis industri minyak dan gas di Indonesia

Page 5: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

82

Akan tetapi didalam implementasinya, Kontrak Bagi Hasil menimbulkan berbagai macam permasalahan, naik turunnya harga minyak menentukan pembagian keuntungan tersebut. Hal ini belum dipengaruhi dengan kebijakan Cost Recovery, fee dan pajak yang mempengaruhi penerimaan negara dengan sistem bagi hasil yang mengakibatkan penerimaan negara tidak mendapatkan prosentase awal 85% keuntungan dari hasil produksi migas. Cost Recovery yang harus dibayarkan 100% dinilai sangat merugikan negara, yang mana nantinya akan bergantung pada besar kecilnya biaya operasional yang dilakukan oleh kontraktor. Dan juga Cost Recovery yang dibayarkan tidak mesti seimbang dengan hasil produksi yang didapatkan.6

6Bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara mempunyai cita hukum (rechtsidee). Cita hukum bangsa Indonesia inilah yang merupakan pemandu arah kehidupan bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 adalah cita hukum bangsa Indonesia untuk membangun negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yakni (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UUD 1945 adalah konstitusi bagi bangsa Indonesia yang dijiwai oleh Pancasila norma fundamental bagi konstitusi itu sendiri. Pembentukan hukum dalam perspektif ke-Indonesiaan adalah penjabaran Pancasila kedalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, suatu Undang-Undang tidak boleh tidak dijiwai Pancasila, dengan tidak munculnya suatu Undang-Undang yang tidak menjiwai Pancasila maka Undang-Undang tersebut telah mengkhianati nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, kebhinekaan dalam ketunggal-ikaan hukum, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UU Migas sejak awal pembentukannya menuai kontroversi, dikarenakan tidak menjiwai Pancasila. Ketika reformasi bergulir, salah satu agenda reformasi yang dibangun yang juga mempengaruhi konfigurasi politik ketika pembentukan UU Migas adalah desakan internasional untuk mereformasi sektor energi khususnya Migas. Reformasi sektor energi antara lain menyangkut (1) reformasi harga energi dan (2) reformasi kelembagaannpengelola energi. Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia. Salah satu upaya desakan internasional melalui Memorandum of Economic and Finance Policies (letter of Intent IMF) tertanggal 20 Januari 2000 adalah mengenai monopoli penyelenggaraan Industri Migas yang pada saat itu dituding sebagai penyebab inefesiensi dan korupsi yang pada saat itu merajalela. Di ringkas dari Putusan MKRI Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. hlm. 18.

Page 6: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

83

Cost Recovery pada dasarnya diterapkan untuk mengembalikan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh investor dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas yang dihasilkan. Didalam mekanismenya, biaya-biaya tersebut dapat dikembalikan setelah mendapatkan persetujuan dari suatu lembaga/badan yang memiliki otoritas atas pengembalian biaya operasi.7 Adapun mengenai cost recovery, ternyata Pemerintahlah yang harus membayar cost recovery. Berbagai praktek manipulasi, markup cost recovery, penipuan keuangan negara, telah menyebabkan tingginya biaya yang harus ditanggung negara dalam melakukan eksploitasi migas. Tahun 2012 biaya cost recovery mencapai USD 15,13 miliar atau Rp. 147.668.800.000.000. Dari data yang beredar, untuk 2001-2005, besarnya cost recovery migas yang harus ditanggung negara (dalam miliar dolar AS) berturut-turut adalah 4,35; 5,06; 5,52; 5,60; dan 7,68. Atau jika dirata-ratakan dengan kurs Rp9.000/US$, adalah sekitar Rp50 triliun per tahun.8 Dengan demikian cost recovery sebenarnya banyak memiliki kekurangan dalam penerapannya. Dan apabila cost recovery ini tetap diberlakukan maka negara akan mengalami banyak kerugian dari tahun ke tahun.

Berdasarkan pemaparan yang penulis sampaikan diatas, maka penulis menggagas sebuah langkah progresif melalui karya tulis yang berjudul “Reformulasi Sistem Bagi Hasil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna Mewujudkan Kedaulatan Migas” Hal ini penting dilakukan sebagai langkah penguatan untuk memberikan kepastian hukum dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi di Indonesia.9

B. Sistem Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi dalam Konsep Negara Kesejahteraan (Walfare State)

Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum.10 Artinya, negara dalam segala akifitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Dalam

7Lihat Pri Agung Rakhmanto, Harian Bisnis Indonesia, Edisi 3 Agustus 2007. 8Ibid. 9Salah satu langkah yang digunakan adalah menguji Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), tahun 2004 dan Mahkamah Konstitusi memberikan putusan Mahkamah Nomor 002/PUUI/2003 dan Putusan Mahkamah Nomor 20/PUU-V/2005.

10Negara modern sebagai personifikasi dari tata hukum merupakan bentuk penyederhanaan atau generalisasi yang dilakukan Hans Kelsen berdasarkan perspektif teori hukum murni, dimana negara hanya dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum, yakni korporasi. Lihat dalam Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, (Bandung: Media Indonesia, 2010), hlm. 225.

Page 7: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

84

perkembangan pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum, yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum materiil ini dikenal juga dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan.

Dalam hakekatnya negara kesejahteraan dapat digambarkan keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan negara wajib mewujudkan keinginan tersebut. Dalam konteks ini, negara ada dalam tahapan sebaga negara kesejahteraan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham Negara Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa negara demokratis yang akan didirikan adalah “Negara Kesejahteraan” (walvaarstaat) bukan “Negara Penjaga Malam” (nachtwachterstaat). Dalam pilihan terkait konsepsi negara kesejahteraan Indonesia ini, Moh. Hatta menggunakan istilah “Negara Pengurus”.11 Prinsip Welfare State dalam UUD 1945 dapat ditemukan rinciannya dalam beberapa pasal, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi.

Dalam perspektif hukum, menurut Wilhelm Lunstedt berpendapat: “Law is nothing but the very life of mindkind in organized groups and the condition which make possible peaceful co-existence of masses of individuals and social groups and the coorporation for other ends than more existence and propagation”.12 Dalam pemahaman ini, Wilhelm Lunstedt nampak menggambarkan bahwa untuk mencapai Social Welfare, yang pertama harus diketahui adalah apa yang mendorong masyarakat yang hidup dalam satu tingkatan peradaban tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Pendapat Lunsteds mengenai social welfare ini hampir sama dengan pendapat Roscou Pound.13 Namun demikian ia ingin menegaskan bahwa secara faktual keinginan sebagian besar manusia yaitu ingin hidup dan mengembangkannya secara layak.

11M. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI, (Jakarta:

Sekretariat Negara RI, 1959), hlm. 299. 12Soetiksno, Filsafat Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hlm. 88. 13Ibid. , hlm. 9-10.

Page 8: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

85

Migas atau Minyak dan Gas Bumi merupakan dua komoditas yang tidak terpisahkan dan diperoleh dari suatu cekungan atau subcekungan dengan menggunakan analogi data geologi. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang dimaksud dengan Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.

Minyak bumi dan gas alam merupakan sumber utama energi dunia, yaitu mencapai 65,5%, selanjutnya batubara 23,5%, tenaga air 6%, serta sumber energi lainnya seperti panas bumi (geothermal), kayu bakar, cahaya matahari, dan energi nuklir (www.chem-is-try.org, 2008). Di Indonesia sendiri memiliki cadangan migas seluruh Indonesia sekitar 3 milyar barrel, namun yang aktif di produksi sekitar 2 milyar barrel. Jika memakai angka produksi saat ini, yaitu sekitar 2.000 barrel per hari, maka cadangan minyak Indonesia hanya bertahan sekitar lima tahun hingga enam tahun ke depan. Saat ini banyak lapangan-lapangan migas yang sudah dinyatakan habis karena diproduksi dengan metode primer dan diproduksi kembali dengan metode sekunder, kemudian tertier (disebut sebagai Enhance Oil Recovery) (Jatam, 2007).14

Hasil pengelolaan migas di Indonesia memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Jika dilihat dalam APBN, hasil penerimaan migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah. Dengan alasan inilah migas dapat dikatan sebagai industri strategis yang memainkan peranan penting dalam pembangunan. Berdasarkan hal

14berlakunya Pasal 1 angka 19 dan angka 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3),

Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah secara nyata mereduksi kepemilikan rakyat atas kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang berada dalam penguasaan negara, sehingga tujuan ”dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat” menjadi tidak terpenuhi, atau dengan kata lain hak para Pemohon untuk dapat menikmati dan memperoleh manfaat dari kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air yang berada dalam penguasaan negara tidak para Pemohon dapatkansebagaimana mestinya yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 .

Page 9: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

86

tersebut, mari kita menelaah dari sistem pengelolaan migas yang pernah berlaku di Indonesia sebagai berikut:

1. Sistem Konsesi: kontraktor memiliki kekuasaan penuh atas minyak dimana yang ditambang dan wajib membayar royalti kepada negara. Kontrak ini tidak ada lagi sejak 1961 atau berakhir sampai tahun 1960;

2. Sistem Kontrak Karya: merupakan kontrak atau profit sharing dimana manajemen ada di kontraktor. Kontrak ini tidak ada lagi sejak tahun 1983 atau berakhir sampai tahun 1982.

3. Sistem Kontrak Bagi Hasil ( Production Sharing Contract). 4. Technical Assistance Contract (produksi yang dibagi hanya diperoleh

dari pertambahan produksi setelah secondary recovery. Pembagian Migas dari total produksi.

5. Sistem Joint Operating Body. Kontrak ini sama persisi seperti sistem kontrak bagi hasil namun pemerintah/pertamina ikut serta dalam permodalan sehingga komposisi menjadi (50 : 50)

Namun sepanjang sejarah pengusahaan minyak di Indonesia, terdapat tiga model kontrak kerjasama antara Pemerintah dan kontraktor, yaitu: (a) sistem konsesi, (b) sistem kontrak karya, dan (c) sistem production sharing contract yang kita kenal sekarang ini sebagai PSC. Sistem pengelolaan Migas yang diterapkan dalam industri Migas akan berpengaruh terhadap besar-kecil jumlah pendapatan negara dari hasil Migas dalam anggaran negara (APBN). Sistem kontrak bagi hasil merupakan sistem pengelolaan Migas yang paling lama diterapkan dalam industri Migas di Indonesia.

C. Problematika Sistem Bagi Hasil Migas di Indonesia Pencetus ide Kontrak Bagi Hasil (KPS atau PSC) adalah Bung

Karno, yang mendapatkan ide tersebut berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa.15 Kebanyakan petani (Marhaen) adalah bukan pemilik sawah. Petani mendapatkan penghasilannya dari bagi hasil (paron). Pengelolaan ada ditangan pemiliknya.

Kemudian pada tahun 1970, Ibnu Sutowo menyatakan yang dibagi adalah minyak (hasilnya) dan bukan uangnya. Ibnu Sutowo menyatakan mengenai minyak ini: “Terserah pada kita sendiri, apakah kita mau barter, mau refining sendiri atau mau dijual sendiri. Atau kita minta tolong kepada patner untuk menjualkannya, untuk kita”. Intinya adalah kita harus menjadi tuan di rumah kita sendiri. Itulah sebabnya pengelolaan eksplorasi

15Widjajono Partowidagdo, Pengantar Produksi Investasi dan Kemampuan

Nasional Hukum Migas, (Jakarta: CIDES, 2008) , hlm. 1.

Page 10: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

87

dan produksi oleh Kontraktor KPS harus mendapat persetujuan dari pemerintah.16

Berbeda dengan Kontrak Karya (Konsesi) yang manajemen ada di tangan kontraktor. Yang penting adalah dia membayar pajak dan royalty kepada Pemerintah. Sistem audit disini adalah post audit saja, yaitu pemeriksaan keuangan dilakukan setelah kegiatan produksi selesai, biasanya sekali saja pada akhir tahun anggaran. Untuk Kontrak KPS, manajemen ada di tangan pemerintah. Setiap kali Kontraktor KPS akan mengembangkan lapangan, maka Kontraktor KPS harus mengajukan kepada SKK Migas (sebagai wakil Pemerintah) usulan anggaran-belanja untuk kegiatannya. SKK Migas kemudian menguji usulan tersebut untuk mengetahui apakah layak komersial (wajar dan menguntungkan bagi Negara). SKKMigas bisa menolak (jika tidak menguntungkan Negara), atau menyetujui jika layak komersial.

Kontrak KPS pertama kali berlaku tahun 1966 saat PERMINA menandatangani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO). Kontrak ini tercatat sebagai Kontrak PSC yang pertama dalam sejarah industri migas dunia.17 Semula tujuan diterapkannya sistem Kontrak KPS adalah untuk memproduksi minyak secara mandiri. Dengan sistem Kontrak KPS, berharap bangsa Indonesia dapat belajar cepat tentang bagaimana mengelola perusahaan minyak dan cepat belajar untuk menguasai teknologi di bidang perminyakan. Indonesia memang diakui sebagai pelopor Production Sharing di dunia. Sayangnya harapan ini belum berhasil di Indonesia dengan berbagai alasan. Tetapi sebaliknya, ide mandiri di industri migas justru lebih berhasil dilaksanakan oleh Petronas Malaysia, karena Petronas dahulu banyak belajar dari Indonesia. Walaupun demikian, kita masih tetap berharap Pertamina dengan statusnya yang baru segera bisa menjadi perusahaan migas yang mandiri, di kancah industri migas nasional maupun internasional.18

Harus dipahami bahwa mandiri dalam industri migas, tidak berarti kita anti Kontraktor Asing. Karena kita masih memerlukan perusahaan multinasional untuk melakukan eksplorasi di daerah “frontier” yang belum pernah ada produksi minyak sebelumnya, bahkan untuk lapangan migas di

16Ibnu Sutowo, Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara, (Jakarta: Pertamina,1972),

hlm. 4. 17Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),

hlm. 24. 18 Widjajano Partowidagdo, PSC di Indonesia versus Pengusahaan Migas Dunia,

dipresentasikan pada Seminar Persatuan Insinyur Indonesia (PII), 31 Juli 2008 di Jakarta.

Page 11: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

88

laut dalam yang memerlukan teknologi canggih dan modal sangat besar serta penuh resiko.

Dari segi pengembalian biaya, semua biaya/ongkos (ekplorasi, investasi dan produksi) yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor KPS, akan dikembalikan selama tidak melebihi persentase tertentu dari produksi tahunan pada daerah kontrak. Proporsi ini dikenal sebagai Cost Oil. Jika terdapat kekurangan dalam pengembalian biaya, maka akan di-carried forward (bawa ke tahun berikutnya) untuk recovery dengan prinsip yang sama. Cost Oil diberi nilai dengan menggunakan harga pasar dari minyak mentah sebelum dibandingkan dengan recoverable cost.19 Batas maksimum dari Cost Oil di kenal sebagai Cost Stop (Cost Recovery Ceiling), bervariasi tergantung kepada negara dan kontraknya, tapi biasanya berkisar antara 30 dan 60%, walaupun dapat 100%. Harga Cost Stop mempengaruhi ke-ekonomi-an, makin besar makin cepat return on investment (pengembalian investasi) nya. Ini menguntungkan Kontraktor PSC, karena cepat kembali modal. Tetapi merugikan Negara, karena akan terbebani jumlah yang besar untuk Cost Recovery-nya.

Formula pengembalian biaya menjadi semakin kompleks, karena aturan-aturan lain yang diterapkan pada kontrak sebagai berikut: Investment credit (17% di Indonesia, antara 33.3 dan 40% di Angola). Di Indonesia Kontraktor PSC menerima 117% dari biaya kapitalnya. Hal ini dirancang untuk mengkompensasi efek dari inflasi (recovery didasarkan pada harga nominal, tanpa indeksasi). Menyebarkan recovery dari biaya kapital terhadap waktu: depresiasi straight line (garis lurus) 4 sampai 5 tahun (Angola) atau double declining balance (Indonesia).20

Definisi yang lebih rinci dari biaya perminyakan yang dapat di-recovery :

a. Tidak termasuk untuk bunga dan biaya finansial yang diperlukan Kontraktor untuk melakukan investasi

b. Prioritas untuk recovery dari kategori biaya yang berbeda (eksplorasi, pengembangan, produksi dan lainnya).

c. Recovery dari biaya bersama (joint costs) yang dibagi antar anggota konsorsium dan biaya yang dikeluarkan dari tiap anggota.

d. Metoda bagaimana biaya dibagi antar daerah-daerah pengembang jika penemuan-penemuan beruntun dikembangkan.

19Ibid. 20Ibid.

Page 12: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

89

Penggantian biaya kontraktor migas (Cost Recovery) dimulai dalam tahap produksi. Semua biaya yang telah dikeluarkan sewaktu eksplorasi dan eksploitasi (pembangunan fasilitas produksi), akan diganti semua. Jika dilihat dari sisi bagi hasil dari produksi, bagian produksi minyak sesudah dipotong oleh Costs Oil disebut Profit Oil. Pada awalnya produksi dibagi atas dasar yang tetap. Di Indonesia 65 – 35 % split antara pemerintah dan Kontraktor PSC. Rumusan Bagi Hasil ini kemudian diubah menjadi 85% – 15 % untuk minyak dan 70% – 30 % untuk gas. Kemudian pada 1979 split tergantung pada produksi, 50-50% untuk produksi rendah dan 85% – 15 % untuk produksi tinggi.21

Beberapa negara memberlakukan mekanisme penyesuaian untuk harga minyak tertentu (Price Capping). Dengan bagian pemerintah untuk bagian harga diatas price cap dapat mencapai 100 % (sebagai contoh Angola, Malaysia, Peru dan Indonesia sebelum 1978).22 Terdapat variasi yang cukup besar pada the Profit Oil Split (bagi hasil keuntungan minyak) antar negara-negara dengan Kontraktor KPS. Hal ini memperlihatkan perbedaan pada potensi dan biaya perminyakan yang dikeluarkan dimana biaya tergantung pada karakteristik dan lokasi dari penemuan. Kesuksesan Kontrak KPS dibandingkan konsesi adalah karena lebih fleksibel untuk di negosiasikan.

Sampai tahun 1976, Kontrak Bagi Hasil di Indonesia adalah Bagi Hasil Keuntungan Minyak (Profit Oil Split) yang dihitung sesudah pajak; sehingga Kontraktor KPS tidak dikenakan pajak keuntungan secara eksplisit. Bagi hasilnya adalah bersih dari pajak dimana pajaknya sudah termasuk pada governmnet’s share. Walaupun demikan, kontraktor menerima bukti pembayaran pajak, sehingga dia memperhitungkan jumlahnya terhadap kewajiban pajak di negaranya, untuk menghindari pajak ganda.

Pada tahun 1976, the U.S. Internal Revenue Service (IRS) berhenti mengijinkan pajak national sebagai kredit pajak. Akibatnya atas permohonan perusahaan-perusahaan Amerika, terjadi perubahan formula pada Kontrak KPS. Hal ini mengakibatkan diperkenalkannya prosedur terpisah untuk menentukan pajak pendapatan dengan menggunakan peraturan umum perpajakan untuk perusahaan komersial dan industri di

21Partowidagdo W, Manajemen dan Ekonomi Migas, (Bandung: Program

Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, 2002), hlm. 12. 22 Ibid.

Page 13: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

90

negara tuan rumah. Prosedur ini tidak berlaku untuk perusahaan-perusahaan Eropa.23

Rumitnya prosedur persetujuan anggaran dan biaya pengelolaan kontrak KPS menjadikan lebih panjang proses yang ditempuh. Pengembalian Cost Recovery jadi salah satu faktor pengurang penerimaan Negara, sehingga perlu dikendalikan dan diawasi. Kontraktor KPS harus mengajukan terlebih dahulu POD, WP&B dan AFE, sebelum kegiatannya dimulai. Jika tidak mendapatkan persetujuan SKKMigas terlebih dahulu, maka kegiatan itu akan menjadi tanggung-jawab sepenuhnya pihak Kontraktor KPS; yang dikenal dengan istilah “Sole Account” atau menjadi beban sendiri. SKK Migas melakukan pengendalian dan pengawasan dalam tiga tahapan, yaitu saat awal akan terjadinya biaya (pre-audit); saat eksekusi biaya dan pelaksanaan pekerjaan (current-audit); dan terakhir, setelah biaya terjadi dan pekerjaan selesai dilakukan (post-audit). Pre-audit dilakukan melalui pengawasan terhadap perencanaan yang dilakukan Kontraktor KPS.

Pengawasan perencanaan antara lain dilakukan melalui persetujuan rencana pengembangan lapangan atau Plan of Development (POD) yang mencerminkan rencana jangka panjang Kontraktor KPS. Pengawasan juga dilakukan pada saat penyusunan program kerja dan anggaran tahunan, yaitu melalui persetujuan Work Program and Budget (WP&B), dan juga ketika anggaran tersebut dilaksanakan dalam setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa. Pengawasan pengadaan barang dan jasa, dilakukan saat Kontraktor KPS mengajukan rencana proyek yang dituangkan dalam Authorization for Expenditure (AFE) untuk mendapatkan persetujuan SKK Migas.24

Pemerintah melalui SKK Migas sesuai dengan UU no.22 tahun 2001; menerbitkan Pedoman Tata Kerja (PTK) yang mengatur prosedur persetujuan POD, WP&B, dan AFE. Ini sangat penting sekali untuk mengendalikan dan mengawasi pengembalian biaya Cost Recovery. Yang perlu diketahui pada industri hulu minyak dan gas bumi (migas) adalah bahwa Pemerintah mengembalikan Cost Recovery tidak dalam bentuk dana atau uang, Tetapi dalam bentuk bagian dari produksi migas. Artinya, tidak ada aliran dana yang dikeluarkan secara fisik, baik oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maupun oleh

23 Ibid. 24Hasil Wawancara Peneliti dengan Kepala Bagian Humas SKK Migas

Page 14: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

91

SKKMigas. Pengembalian itu langsung dipotong dari produksi migas saat perhitungan bagian Pemerintah versus bagian Kontraktor KPS.25

Post audit dilaksanakan dengan menggunakan prosedur auditing yang secara umum digunakan. Kontraktor KKS secara internal melakukan audit atas laporan keuangan mereka. Sedangkan audit terhadap Kontraktor KKS yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah dilakukan oleh SKK Migas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Direktorat Jenderal Pajak. Jika setelah post audit ditemukan pengembalian Cost Recovery yang tidak seharusnya, maka kelebihan pengembalian ini akan dikoreksi pada proses bagi hasil berikutnya yaitu dengan mengurangi bagian Kontraktor KKS sebesar kelebihan pengembalian biaya operasi tersebut. Hal yang sama berlaku apabila pengembalian justru lebih rendah dari seharusnya.

D. Implementasi Konsep Kontrak Bagi Produksi dalam Pembagian Hasil Produksi Migas

Titik lemah dalam persetujuan dan pengawasan penggunaan AFE, mengakibatkan kerugian Negara. Banyak kegiatan migas yang dilakukan oleh Kontraktor KPS, tidak berubungan langsung dengan kegiatan eksplorasi-produksi migas di Indonesia. Penyalah-gunaan anggaran ini, menambah Cost Recovery, dan pada akhirnya akan mengurangi pendapatan dari Bagi Hasil Kotrak KPS. Ini harus dikurangi, atau bahkan harus dihindari.26 Kesalahan penggunaan anggaran AFE disebabkan oleh factor manusia (pegawai dan pimpinan SKKMigas) yang melakukan evaluasi, persetujuan, dan pengawasan dari penggunaan AFE Kontraktor KPS. Agar ini tidak terjadi, maka faktor manusia tersebut harus dikurangi keterlibatannya.

Usulan untuk merubah mekanisme “Bagi Hasil” menjadi mekanisme “Bagi Produksi” sebenarnya bukan hal baru. Tetapi harus dicoba untuk diusulkan lagi, untuk menyempurnakan usulan revisi dari RUU Migas yang akan datang. Didalam Kontrak KPS dengan mekanisme “Bagi Hasil” adalah membagi migas hasil produksi Kontraktor KPS, setelah dikurangi semua biaya “Cost Recovery” yang diperlukan untuk memproduksi migas tersebut. Seperti diamanatkan dalam UU no.22 tahun 2001, SKKMigas harus mengendalikan dan mengawasi penggunaan biaya “Cost Recovery”.

25Ibid. 26Benny Lubiantara, Ekonomi Migas, Tinjauan Aspek Komersial Migas. (Jakarta:

Grasindo Persada, 2008), hlm. 83.

Page 15: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

92

Ini agar Pemerintah mendapatkan pendapatan dari “Bagi Hasil” tersebut sebesar mungkin.

Usulan Kontrak KPS dengan mekanisme “Bagi Produksi” adalah membagi produksi migas yang keluar dari sumur migas, secara langsung tanpa menghitung berapa biaya yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor KPS untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan operasi-produksi dari lapangan migas tersebut. Misalkan besaran “Bagi Produksi” ditetapkan menjadi 60:40; dan Kontraktor KPS berhasil memproduksi 100,000 barrel minyak per hari. Maka Pemerintah akan mendapatkan bagian secara langsung 60,000 barrel per hari (60% dari produksi), dan Kontraktor KPS berhak mendapatkan 40,000 barrel per hari (40% dari produksi). Semua biaya ekplorasi, ekploitasi, operasi-produksi, dan biaya lainnya menjadi tanggung jawab Kontraktor Migas. Apapun teknologi yang digunakan dan berapapun biaya yang dibelanjakan, Kontraktor KPS hanya berhak akan 40% dari jumlah produksi migas yang dihasilkan.

Dengan mekanisme “Bagi Produksi”, Kontraktor KPS hanya memerlukan beberapa POD, WP&B,dan AFE untuk mendapatkan persetujuan dari SKKMigas. Karena semua biaya Cost Recovery akan menjadi tanggung jawab dari Kontraktor KPS. Sehingga Kontraktor KPS dipaksa untuk bekerja effisien, agar mendapatkan keuntungan sebesarnya. Sifat persetujuannya hanya karena SKKMigas perlu untuk menghitung jumlah asset Negara yang akan dioperasikan oleh Kontraktor KPS. Ini karena semua asset instalasi migas yang telah dipasang oleh Kontraktor KPS, menjadi milik Negara.27 Dengan mekanisme “Bagi Produksi” ini, tidak aka ada lagi biaya siluman yang akan dibebankan ke dalam AFE yang telah disetujui SKKMigas. Jika masih terjadi, maka akan membebani Cost Recovery, dan selanjutnya akan mengurangi keuntungan dari Kontraktor KPS tersebut, alias merugikan diri sendiri.

Yang menjadi tantangan dalam menetapkan besaran “Bagi Produksi” adalah berapa besaran yang realistis dan tetap menarik bagi Kontraktor KPS untuk melakukan investasi migas di Indonesia. Keuntungan bagi Negara harus sebesar mungkin. Dan keuntungan untuk Kontraktor KPS tetap menjadi pertimbangan, agar ekplorasi dan produksi migas tetap bisa dilaksanakan. Untuk ini perlu tenaga ahli yang mumpuni dan sangat berpengalaman serta bijak sikapnya, dalam menetapkan besaran “Bagi Hasil” agar saling menguntungkan. Mungkin besaran “Bagi Hasil” ini bisa berbeda dari satu wilayah ke wilayah kerja lainnya; bahkan

27Ibid. hlm 91.

Page 16: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

93

dari satu lapangan ke lapangan lainnya dalam wilayah kerja yang sama dari Kontraktor KPS. Ini dikarenakan perbedaan karakteristik geology dan geografis dari lapangan migas tersebut.

Secara garis besar, mungkin besaran “Bagi Produksi” ini berkisar di angka 65:35 (untuk minyak) dan 50:50 (untuk gas). Besaran ini mendekati angka besaran “Bagi Hasil” yang telah dipraktekkan selama ini. Jadi masih realistis. Dengan mekanisme ini, Pemerintah akan lebih mudah dalam menetapkan jumlah pendapatan migas dalam penyusunan RAPBN, karena variable ketidak-pastian dari Cost Recovery sudah di-minimalisir. Efek negative tidak langsung jika mekanisme “Bagi Produksi” ini diterapkan, adalah Pengurangan Pegawai SKK Migas. Karena jumlah persetujuan AFE sedikit jumlahnya, maka SKKMigas hanya perlu sedikit pegawai. Ini sebenarnya menguntungkan Negara, karena belanja pegawai SKKMigas bisa dikurangi; meskipun kurang baik untuk kesempatan kerja. Tetapi SKKMigas memerlukan lebih banyak tenaga ahli untuk mengukur dan mengawai jumlah produksi yang dihasilkan (dikapalkan, di-ekspor, disalurkan dengan pipa), agar tidak terjadi kecurangan yang akan mengurangi jumlah produksi. Dan selanjutnya akan merugikan Negara.

Semula banyak yang meragukan mekanisme “Bagi Produksi” ini yang sangat mirip dengan Kontrak Konsesi di jaman Belanda, dimana pengawasan dan pengendalian oleh Negara akan sangat minim. Sepertinya Kontraktor KPS akan memiliki keleluasaan yang lebih dan berkurangnya kekuasaan Negara/Pemerintah dalam pengelolaan migas. Ini karena dahulu kita belum memiliki tenaga ahli yang berpengalaman dan modal yang cukup. Tetapi sekarang sangat berbeda. Banyak tenaga ahli kita sudah “go International” alias bekerja di perusahaan migas di luar negeri. Bahkan RASGAS di Qatar bisa berproduksi pertama-kali, karena keterlibatan tenaga professional mantan karyawan LNG Arun. Ini sangat membanggakan.28

Pengelolaan Migas sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS). Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah

28Ibid, hlm. 97. Pengelolaan Migas sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS). Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq. Menteri ESDM dan menjadi dasar pelaksanaan pengelolaan migas nasional sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 UU Migas.

Page 17: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

94

cq. Menteri ESDM dan menjadi dasar pelaksanaan pengelolaan migas nasional sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 UU Migas (1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 19 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (19), (2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan: (a). Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; (b). Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c). modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap”; Yang selanjutnya, diatur pendefinisiannya pada Pasal 1 angka 19 UU Migas. ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.“ Frasa ”atau bentuk kontrak kerja sama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak lainnya tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan frasa yang multitafsir tersebut, maka kontrak kerja sama akan dapat berisikan klausul-klausul yang tidak mencerminkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan didalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Selain itu frasa “atau dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” menunjukkan adanya penggunaan sistem kontrak yang multitafsir dalam pengendalian pengelolaan migas nasional. Keadaan yang demikian ini maka akan melekat asas-asas hukum kontrak yang bersifat umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan asas proporsionalitas kepada negara. Asas keseimbangan dinyatakan oleh Herlien Budiono sebagai (i) asas yang bersifat etikal, sehingga keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang, dan (ii) asas keseimbangan sebagai asas yuridikal dan justice, maka ketika suatu kontrak berkonstruksi tidak seimbang bagi para pihak, maka kontrak tersebut dapat dinilai tidak seimbang. Asas Proporsionalitas menurut Sogar Simamora didalam disertasinya mengemukakan bahwa adanya kewajiban yang setimpal sepenanggungan. Keadaan yang demikian ini jelas sangat merendahkan martabat negara, karena dalam kontrak kerja sama dalam UU Migas yang berkontrak adalah BP Migas atas nama negara berkontrak dengan korporasi. atau korporasi swasta sehingga apabila terjadi sengketa, yang kontrak pada umumnya selalu menunjuk arbitrase Internasional untuk

Page 18: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

95

memeriksa dan mengadili sengketa sehingga, akibat hukumnya apabila negara kalah berarti kekalahan seluruh rakyat Indonesia, disitulah inti merendahkan martabat negara. Oleh karena itu, sebaiknya pihak yang mewakili Indonesia adalah BUMN semacam pertamina tetapi tidak tunggal.

Konsepsi yang demikian ini cukup mencerminkan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana termaktub didalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, secara garis besar Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) tentang pengertian ”dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber kekayaan ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya menurut Mahkamah cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: “(i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak”. Hingga saat ini pengelolaan Migas berdasarkan UU a quo tidak memenuhi unsur kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Lima ketentuan tersebut merupakan satu kesatuan sehingga, hak untuk terpenuhi hajat hidup yang juga merupakan hajat hidup bangsa Indonesia menjadi terhambat dikarenakan sistem kontrak tidak memenuhi unsur-unsur kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).

Kekurangan modal bukan menjadi halangan lagi. Sekarang tinggal menawarkan program migas-nya ke bursa saham, Kontraktor KPS bisa mendapatkan modal kerja. Bahkan bisa mendapatkan pinjaman dari sindikasi beberapa bank dalam dan luar negeri. Yang menjadi niat utama usulan mekanisme “Bagi Produksi” ini adalah untuk mendapatkan

Page 19: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

96

keuntungan yang pasti dan sebesar mungkin dari manfaat Kontrak KPS migas. Keuntungan migas adalah untuk Negara. Kemungkinan penerapan pajak, masih bisa diterapkan secara proporsional, agar tetap menarik para investor migas. Pajak bisa diterapkan disemua ongkos “Cost Recovery” yang selama ini tidak diberlakukan dalam mekanisme “Bagi Hasil”. Atau bisa juga dikenakan pada hasil produksi saja, bisa harian-bulanan-atau kumulatif tahunan. Dirjen Pajak harus mempelajari bersama dengan SKK Migas, agar paket kebijakan pajak tetap menarik bagi investor migas (asing dan local).

Tabel 1. Konsep Sistem Bagi Produksi29

29Gagasan Penulis sebagai respon terhadap open system dalam pengelolaan Migas

di Indonesia.

Page 20: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

97

Gagasan yang diterapkan dalam sistem bagi hasil: 1. Menyederhanakan prosedur persetujuan investasi dari

KONTRAKTOR Migas, sehingga menjadi lebih efisien. 2. Memberikan kepastian kepada Pemerintah dalam menetapkan

“Lifting Migas” dalam RAPBN, tanpa terpengaruh lagi dengan variable Cost Recovery yang semakin bertambah setiap tahunnya.

3. Mengurangi beban berlebih Pemerintah dalam mengendalikan kegiatan dari KONTRAKTOR Migas.

4. Membebankan seluruh Cost Recovery sepenuhnya kepada KONTRAKTOR tanpa penggantian dari Pemerintah. Dan KONTRAKTOR dibebaskan dari persetujuan AFE.

5. KONTRAK BAGI PRODUKSI adalah membagi langsung jumlah Migas yang dikeluarkan dari Sumur (setelah diolah) dengan besaran bagian yang disepakati didalam Kontrak.

Selain gagasan penulis di atas, penulis juga mengusulkan perubahan

Peraturan Perundang Undangan untuk menunjang penerapan konsep kontrak bagi produksi. Di antaranya PP No 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi: Bab IV, Pasal 13 ayat 2: “Kontraktor menerima kembali biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diperhitungkan dari produksi komersial” Dirubah menjadi = “Biaya operasi menjadi tanggung jawab penuh dari Kontraktor dan tidak dapat dibayar-kembali” Untuk membandingkan konsep yang telah ada dengan konsep penulis maka berikut disajikan table analisis perbandingan antara sistem bagi hasil dengan sistem bagi produksi.

Page 21: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

98

Tabel 2. Analisis perbandingan Sistem Bagi Hasil dengan Sistem Bagi Produksi30

Berdasarkan tabel diatas, apabila dilihat dari kelebihan dan kekurangan yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa Sistem Bagi Produksi lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia, yang dapat meningkatkan pendapatan negara sehingga tujuan untuk mewujudkan kedaulatan migas dapat terealisasi.

30Analisis Penulis dalam membandingkan Sistem Bagi Hasil dengan Sistem Bagi

Produksi.

KATEGORI SISTEM BAGI HASIL SISTEM BAGI PRODUKSI

Kelebihan Pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya awal untuk mengelolah blok migas yang ada serta tidak perlu mengganti biaya ganti rugi atas kegagalan eksplorasi yang dilakukan oleh kontraktor asing.

Tidak Memerlukan Cost Recovery berupa pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah kepada Kontraktor Asing.

Dengan adannya sistem bagi produksi lebih memudahkan pengawasan pemerintah terhadap investor Asing atas kegiatan hulu dan hilir yang dilakukannya.

Dengan adannya sistem bagi produksi memungkinkan pengoptimalisasi pendapatan bagi negara serta meminimalisir kecurangan yang dilakukan oleh kontraktor asing.

Kelemahan Dengan adannya sistem pembagian hasil mengakibatkan sulitnya kontrol pemerintah terhadap kegiatan kontraktor Asing baik di bidang hulu maupun hilir.

Dengan adannya kontrak bagi hasil juga memungkinkan terjadinnya permainan-permainan yang dilakukan oleh kontraktor Asing.dimana seharusnya di tanggung oleh kontraktor menjadi tanggungan pemerintah.

Kelemahan sistem bagi produksi yaitu masih berupa gagasan maupun konsep yang pelaksanaanya masih belum dilaksanakan di Indonesia.

Page 22: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

99

E. Penutup

Penerapan sistem bagi hasil yang diterapkan saat ini tidaklah menguntungkan bagi pendapatan negara, dengan berbagai pertimbangan yang ada seperti adannya pengenaan cost recovery dimana pemerintah pada akhirnya harus mengeluarkan biaya untuk pembiaayaan perawatan di daerah blok migas yang di kelola dengan kontraktor asing, tidak hanya itu dengan adannya penerapan sistem bagi hasil juga menimbulkan tingkat pengawasan yang sulit dari pemerintah terhadap kegiatan hulu baik hilir yang dilakukan oleh kontraktor asing. Alasan kurangnya tenaga professional, kurangnya modal, dan hilangnya kekuasaan Negara; bukan menjadi masalah lagi untuk menerapkan mekanisme “Bagi Produksi”. Karena manfaatnya (besar bagian produksi migas) akan lebih besar dan lebih pasti daripada mekanisme “Bagi Hasil”.

Mekanisme “Bagi Produksi” lebih sederhana, lebih mudah dipahami oleh umum, lebih hemat biaya; dibandingkan dengan mekanisme “Bagi Produksi”. Besaran “Bagi Produksi” sebaiknya mendekati angka gross dari besaran “Bagi Hasil”, agar para investor migas tidak terkejut dengan rumusan yang baru. Karena mereka sudah terbiasa dengan angka besaran tersebut, yang mereka jalani sekarang dan tetap saling menguntungkan. Kemungkinan penerapan pajak dalam mekanisme “Bagi Produksi”, bisa diterapkan diawal kegiatan (dikenakan kepada Cost Recovery), atau dikenakan kepada hasil produksi kotor yang keluar dari sumur migas. Rumusan besaran dan jenis pajak, perlu dipelajari bersama antara Dirjen Pajak, SKKMigas, dan badan perwakilan investor migas. Ini agar tetap menarik investor migas untuk melakukan eksplorasi dan produksi migas di Indonesia.

Niat tulus serta keberanian untuk berbuat kebaikan, akan tetap menjadi kunci keberhasilan untuk menyumbang pendapatan Negara yang lebih besar. Demikian pula, keberanian mengakui kekurangan dari praktek pelaksanaan mekanisme “Bagi Hasil”, disertai niat tulus untuk mengusulkan mekanisme “Bagi Produksi”; tentu akan menghasilkan kebaikan. Kebaikan bagi Negara dengan pendapatan yang lebih besar untuk kemakmuran masyarakat Indonesia, seperti yang diamanahkan dalam pasal 33 UUD 1945. Makna “dikuasai negara” tidak harus diartikan bahwa negara sendiri yang langsung mengusahakan sumber daya alam. Aksentuasi “dikuasai negara” atau kedaulatan negara atas Sumber Daya Alam terletak pada tindakan negara dalam hal pembuatan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap kegiatan usaha di bidang sumber daya alam.

Page 23: Reformasi Sistem Bagi HAsil Melalui Kontrak Bagi Produksi Guna

Gulam Dalula May Volta & Firdaus Kafabih: Reformasi Sistem Bagi Hasil...

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

100

DAFTAR PUSTAKA Anonim. Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Minyak dan Gas Bumi

di Indonesia. Makalah disampaikan pada tanggal 11 Juni 2017 di Universitas Trisakti Jakarta.

Biro riset LM FEUI: analisis industri minyak dan gas di Indonesia Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:

Bayumedia, 2007. Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum

Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Bandung: Bee Media Indonesia, 2010.

M. Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI, Sekretariat Negara RI, Jakarta

Nazir, Moh, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007. Pri Agung Rakhmanto, Bisnis Indonesia, 3 Agustus 2007 Sanusi, Bachrawi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,

2004. Soetiksno, Filsafat Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976. Sutowo, Ibnu, Peranan Minyak dalam Ketahanan Negara, Jakarta :

Pertamina,1972. Widjajono Partowidagdo, Pengantar Produksi Investasi dan Kemampuan

Nasional Hukum Migas, Jakarta : CIDES, 2008. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang

Minyak dan Gas Bumi; Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan

Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Hasil Minyak dan Gas Bumi;

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Putusan MK No. 01-021-022/PUU-I/2003 Iswahyudi Sondi, Memahami Cost Recovery,

(ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/05/24/memahami-cost-recovery-148530.html) diakses tanggal 9 April 2014.

Anonim, Statistik Penerimaan Negara Dari Sektor Hulu Migas, (www.skkmigas.go.id) diakses tanggal 10 April 2014