respon fisiologis acalypha indica terhadap toksisitas krom...
TRANSCRIPT
1
Abstract
Environmental pollution with hexavalent chromium has become a world-wide
problem, and in recent there has been increasing concern because of their toxicity to
microorganisms, plants, and animals. Phytoremediation uses plants to remove pollutans
(such as heavy metals) from environment. The effectiveness of a phytoremediation is
dependent on the selection of the appropriate plants. Phytoremediation of chromium still
have problems because less plant species hyperaccumulator. In this study, physiological
responses investigations were carried out in Acalypha indica with different levels of
hexavalent chromium (as K2Cr2O7) in hydroponic culture. Different concentrations of K2Cr2O7
(0, 2.5, 5, 10, 25 and 50 ppm) applied in Hoagland medium. The experimet was conducted in
completely randomized block design with five replications. Plants growth (number of leaves
and plants height) were measured every 3 days from start of experiment up to 33 days.
Photosynthetic pigment, plants biomass, length of roots and heksavalent chromium
accumulation analysis were conducted at the end of experiment (33 days). The growth of
Acalypha indica plants inhibited significantly at all level of hexavalent chromium treatments,
as indicated by reduced number of leaves, plants height, plants biomass (shoot and root), and
length of roots. Photosynthetic pigment of A. indica declined significantly at higher level of
hexavalent chromium treatments (>10 ppm). Accumulation of hexavalent chromium in A.
indica was observed to be dependent on its concentration and was greater in root ( 54 – 608
µg Cr6+g-1DW) than in leaves (66-157 µg Cr6+g-1DW). The highest efficiency of hexavalent
chromium absorption by roots were showed at 50 ppm Cr6+ treatment (97. 07%).
Keyword : Acalypha indica, Hexavalent chromium, growth, chlorophyll, biomass.
Pendahuluan
Industrialisasi yang berkembang cepat tentunya mendorong peningkatan
perekonomian masyarakat, namun juga berdampak pada peningkatan jumlah limbah industri
yang menjadi salah satu permasalahan utama bagi lingkungan. Kini, kontaminasi logam berat
di lingkungan menjadi salah satu perhatian utama karena toksisitas dan ancamannya
terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Bahan pencemar yang telah banyak dikaji
diantaranya adalah logam krom. Sumber limbah krom diantaranya adalah industri
elektroplating, penyamakan kulit, dan tekstil. Krom biasanya digunakan antara lain sebagai
2
pewarna, bahan baku pelapis untuk menghasilkan baja antikarat, dan campuran besi cor.
Krom dengan simbol kimianya yaitu Cr, merupakan salah satu unsur yang secara alamiah
ditemukan dalam konsentrasi yang rendah pada batuan, hewan, tanaman, tanah, debu
vulkanik dan gas. Krom dapat masuk ke lingkungan melalui 2 cara, yaitu secara alamiah
disebabkan erosi batuan mineral, dan non alamiah yaitu melalui pembuangan limbah industri
maupun limbah rumah tangga (Palar, 1995).
Menurut Susilaningsih (1992) di dalam limbah industri, krom dapat berada dalam
2 bentuk ion yaitu Cr (III) atau krom trivalen dan Cr (IV) atau krom heksavalen. Krom
heksavalen dilaporkan lebih toksik dibandingkan dengan krom trivalen, dikarenakan sifatnya
yang mudah larut dalam air dan membentuk oksianion divalen yaitu kromat (CrO42-
) dan
dikromat (Cr2O72). Hasil penelitian Vymazal (1995) juga menyatakan bahwa krom heksavalen
mempunyai kekuatan lebih besar untuk mengoksidasi, lebih larut dalam air dan lebih mudah
melewati membran biologi dibanding dengan krom trivalen.
Kadar krom heksavalen yang tinggi pada tumbuhan dapat mengakibatkan terjadinya
hambatan pertumbuhan, menginduksi klorosis pada daun muda, mengurangi kandungan
pigmen, menghambat aktivitas enzim, merusak sel akar dan menyebabkan modifikasi
ultrastruktur pada kloroplas dan membran sel (Panda et al., 2005). Krom juga dapat
menyebabkan kerusakan saluran pernafasan dan paru-paru, gangguan perut, bisul, kejang,
ginjal, kerusakan hati, dan bahkan kematian pada hewan dan manusia (Sudarmaji et al.,
2006). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 507/MENKES/SK/VII/2002
tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum, dan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup RI Nomor 51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan
industri, menyatakan bahwa senyawa krom aman keberadaannya bagi lingkungan pada
konsentrasi 0,02-1,0 mg l-1, sedangkan ambang batas senyawa (turunan) krom dalam baku
mutu air minum adalah maksimal 0,05 mg l-1.
Hingga saat ini, sekalipun telah dikembangkan teknologi fitoremediasi, yaitu
pencucian polutan yang dimediasi oleh tumbuhan berfotosintesis, termasuk pohon, rumput-
rumputan dan tumbuhan air, namun proses fitoremediasi logam berat krom masih
menemukan kendala, diantaranya belum banyak ditemukannya jenis tanaman yang mampu
mengakumulasi krom. Selain itu penelitian serta publikasi tentang jenis-jenis tanaman
hiperakumulator krom masih sangat terbatas. Hal ini berdampak pada semakin meningkatnya
polusi krom di alam dan membahayakan makhluk hidup. Oleh karenanya penelitian yang
3
mengarah kepada pencarian jenis tanaman tersebut masih sangat diperlukan. Acalypha indica
merupakan salah satu tanaman yang dijumpai tumbuh liar pada habitat yang bervariasi
seperti di pinggir jalan, lapangan berumput, lereng gunung maupun daerah pembuangan
limbah. Acalypha indica sendiri adalah herba semusim yang berasal dari suku Euphorbiaceae,
yang ditemukan tersebar secara luas di daerah tropis di Eropa, Afrika dan Asia termasuk Asia
Tenggara (Schmelzer, et al., 2007). Secara tradisional, tanaman ini digunakan oleh masyarakat
dalam pengobatan, seperti antiradang, antibiotik, diuretik, pencahar dan hemostatis
(Dalimartha, 2003). Bahkan dari hasil penelitian Retno (2011) diketahui bahwa Acalypha
indica merupakan salah satu jenis gulma dari 11 jenis gulma yang tumbuh di tempat
pembuangan limbah penyamakan kulit di daerah Kalasan Yogyakarta yang tercemar logam
krom (personal communication). Hal ini menunjukkan bahwa Acalypha indica mempunyai
kemampuan adaptasi yang tinggi dan mampu tumbuh di lahan atau tanah dengan kondisi
yang tercemar. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini yaitu: (1) untuk
mengetahui respon fisiologis dari tanaman Acalypha indica yang ditumbuhkan pada kultur
hidroponik dengan perlakuan berbagai konsentrasi Krom heksavalen; (2) untuk mengetahui
kemampuan Acalypha indica dalam mengakumulasi Krom heksavalen.
Metode Penelitian
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2012 bertempat di
Laboratorium Bioteknologi Pengolahan Limbah, Laboratorium Biomolekuler dan Biokimia, dan
Laboratorium Manajemen Perairan, Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga.
Rancangan Penelitian
Pengambilan Anakan Acalypha indica
Anakan tanaman Acalypha indica yang digunakan dalam penelitian ini diambil pada
bulan Maret 2012 dari sekitar tempat pembuangan sampah Laboratorium Bioteknologi
Pengolahan Limbah, Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana. Anakan Acalypha
indica diseleksi dan dipilih dengan kriteria berukuran tingi 2-3,5 cm, memiliki 3-5 helai daun,
dan memberi kenampakan sehat. Sesegera mungkin anakan dibawa ke Laboratorium
Manajemen Perairan, Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
4
Aklimatisasi
Sebanyak masing-masing 1 anakan Acalipha indica yang diambil dan telah diukur
tingginya serta dihitung jumlah daunnya segera diaklimatisasi selama 3 hari dalam Kultur
hidroponik yang telah disiapkan dan disiram dengan 10 ml medium hoagland setiap harinya.
Kultur hidroponik berupa gelas plastik yang telah berisi pasir malang steril sebanyak
±170 gr sebagai media tumbuh. Komposisi medium hoagland berdasarkan komposisi yang
digunakan oleh Zayed dkk. (1998) (mg/l): KNO3 606,6; Ca(NO3)2.5H2O 1270; NaCl 58,4; KH2PO4
272,2; MgSO4.7H2O 492,8; MnCl2 1,158; ZnSO4 0,123; H3BO3 2,86; CuSO4.5H2O 0,08, H2MoO4
0,017 dan Fe-EDTA 5,0. Sedangkan krom yang digunakan adalah Cr(VI) dalam bentuk K2Cr2O7.
Percobaan pertumbuhan
Percobaan terhadap anakan Acalipha indica yang telah diaklimatisasi dilakukan
dengan penyiraman medium hoagland yang diberi logam krom dengan beberapa konsentrasi
krom, yaitu 2,5 ppm (C1), 5 ppm (C2), 10 ppm (C3), 25 ppm (C4), dan 50 ppm (C5).
Penyiraman dilakukan setiap hari sebanyak 10 ml medium dan berlangsung selama 33 hari.
Setiap percobaan pada masing-masing konsentrasi diulang sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol
digunakan kultur hidroponik tanpa penambahan krom (C0).
Pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang akar.
Untuk mengetahui adanya respon morfologis tanaman terhadap logam berat krom,
setiap 3 hari sekali dilakukan pengukuran tinggi, dan pertambahan jumlah daun per tanaman.
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan terhadap setiap tanaman sampel yang diukur dari leher
akar sampai titik tumbuh atau daun yang termuda dalam satuan senti meter (cm). Sedangkan
jumlah daun per tanaman dilakukan terhadap daun yang telah membuka sempurna pada
setiap tanaman sampel. Khusus pengukuran panjang akar dilakukan pada akhir penelitian,
ditentukan dengan mengukur akar mulai dari pangkal batang hingga ujung akar keseluruhan
yang terpanjang dalam satuan senti meter (cm).
Pengukuran Kandungan Klorofil, Biomassa, Penentuan Akumulasi Krom heksavalen, dan Uji
Kemampuan Akumulasi Krom.
Pengukuran kandungan klorofil dilakukan pada akhir penelitian dengan
menggunakan metode Harborne (1987, dalam Setiari et al., 2009), yaitu sebanyak 0,1 mg
5
sampel daun yang dipilih secara acak (daun urutan 2, 3, atau 4) diekstrak dengan 10 mL
larutan aseton 80% dengan perbandingan berat sampel dan aseton adalah 1 : 100, simpan
pada tempat gelap pada suhu 4°C selama 1 malam, sentrifuge pada 3000 rpm selama 10
menit dan dianalisis menggunakan spektrofotometer (Shimadzu mini uv-vis 1240) pada
panjang gelombang 480 nm, 644 nm, dan 663 nm. Sedangkan produksi biomassa tunas dan
akar diukur berdasarkan metode SNI 13-6793-2002 yang juga dilakukan diakhir penelitian.
Pengukuran dilakukan setelah sampel kering dengan satuan gram.
Untuk penetapan kandungan Krom heksavalen pada tunas dan akar dilakukan
dengan Metode pengabuan basah mengacu pada metode Shanker et al. (2004), sedangkan
penentuan kandungan Krom heksavalen mengacu pada Mukarromah (2008) yang dilakukan
dengan teknik kurva kalibrasi mengacu pada Standard Methods (1989, dalam Adams 1990)
dengan menggunakan spektrofotometris Shimadzu mini uv-vis 1240 Spectrophotometer
(Japan).
Uji kemampuan akumulasi krom dilakukan dengan menghitung persen efisiensi
penyerapan dan efisiensi remediasi/pemulihan oleh tanaman yang mengacu pada Hardiani
(2008).
Analisis Data
Perhitungan kandungan klorofil (mg/L) ditentukan dengan menggunakan rumus
menurut Harborne (1987):
Klorofil a = 1,07(OD 663) – 0,094(OD 644)
Klorofil b = 1,77(OD 644) – 0,28 (OD 663)
Klorofil total = 0,79(OD 663) + 1,076(OD644)
Untuk jumlah karotenoid menurut Kirk dan Allen (1965 dalam Jaleel et al., 2009: 122) adalah:
Karotenoid = OD 480 + (0,114 x OD 663) – (0,638 x OD 645)
Sedangkan untuk mengetahui Produksi biomassa dihitung menggunakan rumus yang
mengacu pada metode SNI 13-6793-2002, sebagai berikut:
Ket. BM= Biomassa (%)
A = Berat sampel semula (gram)
B = Berat sampel kering setelah pengeringan (gram)
6
Setelah mengetahui konsentrasi krom heksavalen pada sampel dari pengukuran
absorbansi, maka kandungan Krom heksavalen yang sebenarnya dari dalam sampel kering
ditentukan dengan perhitungan menurut Siaka (2008) yang telah dimodifikasi (lampiran 2):
Ket. M = Konsentrasi logam krom heksavalen dalam sampel (µg/g)
C = Konsentrasi yang diperoleh dari kurva kalibrasi (µg/L)
fv = Faktor pembagi volume larutan sampel dari stok sampel
fb = Faktor perkalian bobot sampel
sv = Faktor pembagi dari 1 L volume ekstrak sampel
Untuk mengetahui persen efisiensi penyerapan oleh tanaman ditentukan dengan
persamaan menurut Hardiani (2008), sebagai berikut:
Sedangkan untuk mengetahui persen efisiensi remediasi/pemulihan oleh tanaman digunakan
persamaan yang masih mengacuh pada Hardiani (2008) yaitu:
Hasil pengukuran tinggi batang dan jumlah daun diolah menggunakan program excel,
sedangkan hasil pengamatan panjang akar, biomassa tunas dan akar, total klorofil, klorofil a,
klorofil b, karotenoid, akumulasi krom heksavalen pada tunas dan akar, efisiensi penyerapan
krom heksavalen pada tunas dan akar, serta efisiensi remediasi dianalisis menggunakan uji
statistik, yaitu uji parametrik Anova multivariat pada program SPSS 16. Hasil yang
menunjukkan tidak homogen atau tidak normal, maka dilakukan uji non-parametrik
menggunakan uji Kruskal-Wallis taraf 5%.
7
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa krom secara signifikan menghambat
pertambahan tinggi tanaman Acalypha indica. Dari hasil pengukuran tinggi tanaman,
ketinggian tanaman kontrol secara bertahap terus meningkat dari pengamatan hari pertama
hingga pengamatan hari terakhir. Sedangkan tinggi tanaman yang ditanam dalam media
dengan tambahan konsentrasi krom yang bervariasi jauh menurun seiring dengan
meningkatnya konsentrasi krom (Gambar 1).
0
3
6
9
12
15
18
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33
rata
-rat
a ti
ngg
i A
. in
dic
a (
cm)
Pengamatan hari ke -
Kontrol
2,5 ppm
5 ppm
10 ppm
25 ppm
50 ppm
Gambar 1. Grafik rata-rata tinggi batang Acalypha indica pada berbagai konsentrasi krom.
Rata-rata tinggi tanaman Acalypha indica untuk semua perlakuan pada awalnya
sama yaitu 3,71 cm, namun hingga pada hari terakhir pengamatan pertumbuhan tinggi
tanaman untuk konsentrasi 2,5 ppm hanya mencapai 6,29 cm; konsentrasi 5 ppm mencapai
5,69 cm; konsentrasi 10 ppm mencapai 5,11 cm, konsentrasi 25 ppm mencapai 4,85 cm, dan
konsentrasi 50 ppm mencapai 4,57cm. Hal ini berbanding terbalik dengan kontrol yang
mencapai tinggi batang hingga 16,06 cm. Dengan demikian besarnya pertambahan tinggi yang
terjadi untuk konsentrasi 2,5 ppm hingga 50 ppm secara berurutan adalah 2,58 cm, 1,98 cm,
1,4 cm, 1,14 cm, dan 0,86 cm. Efek toksik krom heksavalen terhadap tinggi tanaman Acalypha
indica dapat dilihat pada Gambar 3.
8
Pengaruh pemberian logam krom dalam media tumbuh ternyata juga mempengaruhi
pertambahan jumlah daun. Acalypha indica masih menunjukkan pertambahan jumlah daun
pada konsentrasi Krom sebesar 2,5 ppm. Sedangkan untuk konsentrasi 5 ppm dan 10 ppm
pertambahan jumlah daun hanya terjadi pada 3 hari pertama (pengamatan ke 2), selanjutnya
terjadi penurunan jumlah daun. Untuk konsentrasi 25 ppm, dan 50 ppm, pertambahan jumlah
daun tidak terjadi (Gambar 2), bahkan beberapa tanaman sampel menunjukkan gejala
keracunan seperti nekrosis, klorosis dan menekuk (Gambar 3).
0
6
12
18
24
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33
Rat
a-ra
ta J
um
lah
dau
n
Pengamatan hari ke-
Kontrol
2,5 ppm
5 ppm
10 ppm
25 ppm
50 ppm
Gambar 2. Grafik rata-rata jumlah daun Acalypha indica pada berbagai konsentrasi krom.
Gambar 3. Tanaman Acalypha indica dengan perlakuan: C0 (kontrol), C1 (2,5 ppm), C2 (5
ppm), C3 (10 ppm), C4 (25 ppm) dan C5 (50 ppm) pada akhir penelitian.
C0
C1
C2
C3
C4
C5
9
Selain menunjukkan adanya penghambatan tinggi tunas dan pertambahan jumlah
daun, respon Acalypha indica terhadap kehadiran krom juga nampak pada pertumbuhan
akar. Sekalipun dari hasil analisis rata-rata panjang akar antara tanaman kontrol dan tanaman
perlakuan tidak berbeda signifikan, namun dari hasil pengukuran rata-rata panjang akar
tanaman kontrol dapat mencapai panjang 12,29 cm, sedangkan tanaman perlakuan terlihat
pertumbuhannya lambat seiring dengan meningkatnya konsentrasi krom heksavalen dalam
media pertumbuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa krom heksavalen pada konsentrasi
rendah pun dapat menghambat pertumbuhan akar. Rata-rata panjang akar dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata panjang akar, biomassa tunas, biomassa akar, total klorofil, klorofil a,
klorofil b, karotenoid, akumulais Cr6+ pada tunas dan akar, efisiensi penyerapan
Cr6+ pada tunas dan akar, serta efisiensi remediasi Acalypha indica pada variasi
konsetrasi krom heksavalen.
Kontrol 2,5 ppm 5 ppm 10 ppm 25 ppm 50 ppm
Panjang akar (cm) 12,29 ± 1,91a 8,03 ± 0,62a 7,59 ± 1,48a 7,39 ± 1,15a 7,12 ± 1,36a 6,74 ± 1,08a
Biomassa Tunas (%) 80,57 ± 1,53a 72,16 ± 4,75ab 52,97 ± 12,98ab 43,31 ± 8,43b 44,14 ± 21,05b 47,30 ± 15,83b
Biomassa Akar (%) 86,66 ± 1,53a 84,17 ± 4,38a 86,15 ± 1,17a 85,94 ± 2,43a 63,10 ± 33,91a 64,85 ± 35,05a
Total Klorofil (mg/L) 34,84 ± 2,62a 26,86 ± 0,97ab 23,98 ± 12,68ab 14,83 ± 5,06bc 4,70 ± 4,54c 1,45 ± 0,31c
Klorofil a (mg/L) 21,05 ± 0,95a 17,52 ± 0,35a 14,85 ± 7,09ab 8,82 ± 2,22bc 3,13 ± 2,28c 1,12 ± 0,45c
Klorofil b (mg/L) 13,80 ± 1,79a 9,35 ± 0,63ab 9,14 ± 5,79ab 6,02 ± 2,87bc 1,56 ± 2,37c 0,33 ± 0,68c
Karotenoid (mg/g) 0,94 ± 0,08a 0,74 ± 0,06a 0,72 ± 0,30a 0,38 ± 0,07b 0,17 ± 0,09b 0,09 ± 0,06b
Akumulasi Cr6+ pada
Tunas (µg/g)54,00 ± 26,45
a144,00 ± 72,11
a150,67 ± 66,58
a157,33 ± 72,34
a127,33 ± 64,29
a127,33 ± 66,58
a
Akumulasi Cr6+ pada Akar
(µg/g)66,67 ± 72,17a 504,33 ± 344,2a 608,67 ± 366,2a 504,67 ± 144,3a 567,00 ± 130,1a 483,67 ± 36,08a
Efisiensi Penyerapan Cr6+
Tunas (%)0a 82,54 ± 8,74b 90,87 ± 4,04 bc 95,23 ± 2,19c 98,46 ± 0,78c 99,23 ± 0,40c
Efisiensi penyerapan Cr6+
Akar (%)0
a38,89 ± 41,72
b63,13 ± 22,19
bc84,72 ± 4,37
c93,13 ± 1,58
c97,07 ± 0,22
c
Efisiensi Remediasi Cr6+
(%)0
b78,57 ± 48,85
a46,00 ± 24,76
ab20,05 ± 3,94
b8,41 ± 0,80
b3,70 ± 0,50
b
ParameterPerlakuan
Ket. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang
bermakna pada taraf kepercayaan 95%.
10
Pada Tabel 1 juga menunjukkan efek krom heksavalen terhadap produksi biomassa
tunas dan akar. Dimana dari hasil analisis untuk biomassa tunas nampak adanya beda nyata
antara tanaman kontrol dengan tanaman pada media yang terkontaminasi krom konsentrasi
tinggi (10 ppm – 50 ppm), kecuali untuk konsentrasi 2,5 ppm dan 5 ppm. Sedangkan hasil
yang diperoleh dari analisis biomassa akar menunjukkan bahwa produksi biomassa akar
terpengaruh oleh krom pada konsentrasi di atas 10 ppm (25-50 ppm), namun pengaruh yang
ditimbulkan tidak menurunkan produksi biomassa secara bermakna.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan kandungan total klorofil menurun secara
bermakna (signifikan) pada semua perlakuan konsentrasi krom. Rata-rata kandungan total
klorofil tertinggi pada konsentrasi 2,5 ppm yaitu 26,86 mg/L atau menurun 23% dibandingkan
kontrol dan kandungan terendah pada konsentrasi 50 ppm yaitu 1,45 mg/L atau mengalami
penurunan 95,8% dibandingkan kontrol yang dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar 4. Hal ini
mengindikasikan bahwa kandungan total klorofil berkorelasi negatif terhadap konsentrasi
krom heksavalen.
0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
0 2,5 5 10 25 50
Kan
du
nga
n p
igm
en (m
g l-1
)
Konsentrasi Cr6+ (ppm)
Klorofil a (mg/L)
Klorofil b (mg/l)
Total klorofil (mg/l)
Gambar 4. Efek krom heksavalen terhadap rata-rata kandungan pigmen klorofil a, klorofil b,
total klorofil.
Sensitifitas yang tinggi dari klorofil a sebagai salah satu pigmen penting dalam proses
fotosinesis terhadap kontaminasi krom heksavalen ditunjukkan pada Tabel 1 dan gambar 4.
Nampak kandungan klorofil a mengalami penurunan tertinggi pada konsentrasi krom
11
heksavalen 50 ppm yaitu sebesar 94,3% dibandingkan kontrol. Sedangkan penurunan
kandungan klorofil a terendah pada konsentrasi 2,5 ppm yang tidak menunjukkan beda secara
bermakna terhadap kontrol. Sedangkan klorofil b pada konsentrasi 2,5 ppm dan 5 ppm
nampak tidak menunjukkan signifikansi penurunan kandungan pigmen bila dibandingkan
dengan kontrol. Tetapi bagaimanapun juga, nampak bahwa semakin tinggi konsentrasi krom,
maka terjadi penurunan pada kandungan klorofil b. Penurunan tertinggi klorofil b terjadi pada
konsentrasi krom 50 ppm yaitu 97,6% dengan kandungan rata-rata adalah 0,33 mg/L.
Selanjutnya data pada tabel 1 untuk parameter karotenoid menunjukkan bahwa
kandungan karotenoid secara bertahap menurun dalam menghadapi kontaminan krom,
kecuali pada konsentrasi rendah yaitu 2,5 ppm dan 5 ppm.
Demikian pula hasil analisis pada Tabel 1 dan yang ditunjukkan pada Gambar 5
nampak bahwa Acalypha indica lebih banyak mengakumulasi krom heksavalen pada organ
akar yaitu rata-rata sebesar 608,67 µg cr6+ g-1 pada konsentrasi 5 ppm, dan yang terendah
66,67 µg cr6+ g-1 pada tanaman kontrol. Sedangkan pada organ tunas rata-rata akumulasi krom
heksavalen tertinggi pada konsentrasi 10 ppm yaitu 157,3 µg cr6+ g-1 biomassa tunas. Namun
kemampuan akumulasi krom heksavalen baik pada akar maupun tunas tidak menunjukkan
beda nyata antar perlakuan.
Gambar 5. Grafik rata-rata akumulasi krom heksavalen pada tunas dan akar Acalypha indica
Adanya akumulasi krom dalam jaringan tanaman kontrol yang ditunjukkan pada
tabel 1 dan gambar 5 diduga karena anakan yang diambil telah menyerap krom dari tanah
12
tempat tumbuh sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan tanah tersebut
telah tercemar logam krom.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa pola penyerapan krom heksavalen dalam
tunas dan akar adalah sama. Perlakuan yang diberikan terbukti berpengaruh nyata terhadap
efisiensi penyerapan. Hasil analisis pada tabel 1 menunjukkan efisiensi penyerapan tertinggi
krom heksavalen pada tunas dan akar terjadi pada konsentrasi 50 ppm yaitu sebesar 99% dan
97%, dan terendah pada konsentrasi 2,5 ppm sebesar 82,54% dan 38,89%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada konsentrasi tinggi tanaman mengalami toksisitas. Sedangkan
potensi Acalypha indica sebagai tanaman remediasi nampak ditunjukkan pada tabel 1, bahwa
efisiensi remediasi logam krom tertinggi pada konsentrasi perlakuan 2,5 ppm yaitu sebesar
78,57 %. Pada konsentrasi >2,5 ppm terlihat adanya penurunan, hal ini diduga karena krom
yang diakumulasi sudah menunjukkan efek racunnya yang merusak jaringan tanaman.
Pembahasan
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan Krom heksavalen ke dalam
media pertumbuhan mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun.
Terjadinya penurunan tinggi tanaman Acalypha indica seperti yang ditunjukkan pada Gambar
1, mungkin disebabkan karena terjadi penghambatan pertumbuhan akar (Tabel 1), akibatnya
nutrisi dan transportasi air ke bagian atas tanaman turut mengalami penurunan. Selain itu,
transportasi krom ke bagian atas tanaman juga menyebabkan pertumbuhan sel tunas
terganggu. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Shanker et al. (2004) bahwa krom yang
ditransportasikan ke bagian tunas dapat berdampak langsung terhadap metabolisme sel
tunas tersebut yang berkontribusi terhadap tinggi tanaman. Dampak buruk dari keberadaan
krom terhadap tinggi tanaman juga telah dilaporkan oleh Sharma et al. (1993) bahwa dalam
penelitiannya setelah 32 dan 96 hari tinggi tanaman gandum berkurang secara signifikan pada
konsentrasi 0,5 µM sodium dikromat.
Nampak juga dari hasil penelitian ini terjadi penghambatan jumlah daun, dimana
jumlah daun Acalypha indica di semua perlakuan pada awal dan akhir penelitian tidak jauh
berbeda (Gambar 2) atau sangat berkurang dibandingkan kontrol. Hal ini diduga sebagai
respon daun terhadap kekurangan air, meminimalkan kehilangan air melalui proses
transpirasi dan sebagai respon untuk meminimumkan pengaruh toksik krom yang
terakumulasi di daun dengan cara mengugurkan daun tua yang telah mengakumulasi krom.
13
Kozlowski et al. (1991) menyatakan bahwa total daun dari suatu tanaman yang terkena
pencemaran akan mengalami penurunan, serta meningkatkan jumlah daun yang gugur baik
secara langsung maupun tidak langsung, dikarenakan terhambatnya laju pertumbuhan dan
ekskresi pasif melalui akumulasi pada daun-daun tua yang diikuti dengan pengguguran daun
(Fitter, 1982).
Selain penghambatan jumlah daun juga ditunjukkan adanya gejala keracunan pada
tanaman yang dikulturkan pada konsentrasi 25 dan 50 ppm yaitu berupa klorosis dan daun
epinasti yaitu pertumbuhan permukaan atas daun yang lebih cepat dari pada permukaan
bawah sehingga daun tersebut menekuk ke bawah. Gejala ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh NRC (1976) bahwa viasualisasi gejala toksik kromium pada tanaman
meliputi klorosis, pertumbuhan terhambat, perubahan warna daun dan melengkung.
Selanjutnya beberapa peneliti juga telah melaporkan gejala seperti reduksi pertumbuhan,
klorosis, nekrosis, daun epinasti, dan perubahan warna merah kecoklatan karena toksisitas
logam (Lepp, 1981; Woolhouse, 1983). Vazquez et al. (1987), juga mengemukakan bahwa
beberapa logam berat termasuk kromium dalam jumlah berlebih dapat mengakibatkan
terjadinya klorosis, yang merupakan gambaran jelas kekuarangan Fe pada tanaman.
Disamping itu efek ini juga dapat disebabkan oleh perubahan konsentrasi nutrisi mineral
esensial yang menyebabkan menurunnya proses fotosintesis akibat penutupan stomata,
berkurangnya ruang interseluler dan perubahan dalam kloroplas.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan pada semua konsentrasi perlakuan terjadi
penghambatan pertumbuhan akar berupa pemendekan akar, rapuh, penebalan pada ujung
akar dan perubahan warna akar menjadi kecoklatan. Hal ini sesuai dengan laporan Panda et
al. (2005) bahwa akumulasi krom pada tanaman dapat merusak sel akar dan menghambat
pembelahan sel akar atau perpanjangan siklus sel di akar (Barcelo et al., 1986). Lebih lanjut
ditambahkan oleh Zou et al. (2006), penghambatan pertumbuhan akar dan pembelahan sel
akar diakibatkan terjadinya penghambatan Mitosis. Penghambatan pembelahan sel akar juga
dipengaruhi oleh aberasi kromosom yang mungkin diinduksi oleh kandungan kimia krom yang
mencegah perbaikan kromosom yang rusak (Chidambaram et al., 2009).
Acalypha indica juga merespon kehadiran Krom heksavalen pada konsentrasi rendah
hingga tinggi dengan menunjukkan penurunan total kandungan klorofil. Hal ini sesuai dengan
laporan Panda et al. (2005) dan Scolcianty et al. (2006) bahwa penurunan kandungan klorofil
berkolerasi negatif dengan konsentrasi logam. Penurunan total klorofil, klorofil a, dan
14
klorofil b mengindikasikan adanya efek krom terhadap penghambatan biosintesis klorofil.
Zou et al. (2006) dalam Liu et al. (2008) menyatakan bahwa kromium dalam bentuk
heksavalen dapat mengganti ion Mg dari banyak lokasi enzim aktif dan mengganggu
biosintesis klorofil. Sebelumnya Vajpayee et al. (2000) melaporkan bahwa kromium memiliki
kemampuan menurunkan asam δ-aminolevulinik dehidratase (ALA), yaitu enzim penting yang
terlibat dalam biosintesis klorofil, sehingga mempengaruhi pemanfaatan enzim ini, akibatnya
terjadi penumpukan ALA dan penurunan konsentrasi klorofil.
Tak jauh berbeda dengan total klorofil, klorofil a, dan klorofil b, kadar karotenoid
yang merupakan pigmen tambahan yang juga dibutuhkan dalam proses fotosintesis turut
mengalami penurunan konsentrasi pada perlakuan >5 ppm. Penelitian sebelumnya
membuktikan bahwa penurunan kadar karotenoid merupakan respon terhadap toksisitas
logam (Rout et al., 2001). Selanjutnya Boonyapookana et al. (2002) mengemukakan bahwa
krom dapat menginduksi kemungkinan 3 jenis modifikasi metabolisme pada tanaman, salah
satunya adalah perubahan dalam produksi pigmen yang terlibat dalam kelangsungan hidup
tanaman seperti klorofil, karotenoid, antosianin dan lain sebagainya. sedangkan peningkatan
kadar karotenoid pada konsentrasi krom yang rendah yaitu 2,5 ppm dan 5 ppm diduga juga
merupakan respon untuk melindungi sel terhadap krom. Hal tersebut ditunjang oleh
penelitian Tewari et al. (2002); Hou et al. (2007) dan Chandra et al. (2009) yang menemukan
bahwa karotenoid adalah pigmen antioxidan non-enzimatik yang melindungi klorofil,
membran dan komposisi genetik sel terhadap ROS di bawah tekanan logam berat.
Sebelumnya Kenneth et al. (2000) menyatakan bahwa peran pimen karotenoid sebagai
pelindung dalam sel tanaman apabila terjadi pemadaman triplet klorofil, penggantian
peroksidasi, dan penghancuran membran kloroplas.
Sementara itu produksi biomassa tunas dan akar tidak menampakkan adanya beda
nyata antar kelompok perlakuan dan kontrol. Hal ini berbeda dengan dugaan awal bahwa
terhambatnya pertambahan tinggi tanaman dan penurunan jumlah daun, juga penurunan
kandungan total klorofil, klorofil a, kloroifl b, dan karotenoid, yang merupakan pigmen
penting dalam proses fotosintesis tentu akan mengganggu proses fotosintesis yang pada
akhirnya akan berdampak langsung pada produksi biomassa, mengingat bahwa produksi
biomassa merupakan indikator pertumbuhan yang paling representatif untuk mendapatkan
penampilan keseluruhan pertumbuhan tanaman (Sitompul et al., 1995) dan dengan
menggunakan biomassa tanaman dapat diketahui hasil fotosintesis yang terdapat pada
15
tanaman (Gardner et al., 1991). Diduga tanaman Acalypha indica memiliki suatu mekanisme
penanggulangan materi toksik yang bertindak mengurangi pengaruh materi tersebut.
Menurut Fitter (1989), salah satu mekanisme utama yang mungkin dilakukan tanaman untuk
menghadapi lingkungan toksik yaitu ameliorasi (penanggulangan), dengan cara mengabsobsi
ion toksik tersebut, tetapi tetap bertindak sedemikian rupa untuk meminimalkan
pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukan khelat, pengenceran, dan lokalisasi bahan
ekskresi. Kemungkinan mekanisme yang dimiliki Acalypha indica adalah lokalisasi, yaitu
mengakumulasi materi toksik di bagian tertentu seperti akar, batang dan daun. Hasil yang
ditunjukkan pada tabel 2 dan gambar 5, akumulasi krom terbesar terjadi di akar dan
kemungkinan tingkat toksisitasnya di akar rendah (Shanker et al., 2004) sehingga
memungkinkan proses fotosintesis dan respirasi tetap terjaga dan memperkecil penurunan
produksi biomassa.
Pada penelitian ini juga diperoleh hasil akumulasi krom heksavalen tertinggi terjadi
di akar yaitu sekitar 66,67 µg cr6+ g-1 – 608 µg cr6+ g-1. hal ini sesuai dengan teori yang
disampaikan Huffman et al. (1973) dan Golovatyj et al. (1999) bahwa distribusi krom pada
tanaman memiliki kestabilan karakter yaitu tidak tergantung pada sifat-sifat tanah, dan
konsentrasi unsur ini. Jumlah maksimum kontaminan unsur selalu terkandung dalam akar dan
minimum pada organ vegetatif dan reproduksi. Tingginya akumulasi krom pada daerah akar
disebabkan penyerapan krom terjadi dalam vakuola sel-sel akar untuk membuatnya non-
toksik, juga sebagai respon alami tumbuhan terhadap toksisitas. Selain itu karena krom
bukanlah elemen penting bagi tanaman sehingga mungkin saja tanaman tidak memiliki
mekanisme tertentu untuk mentranslokasi krom (Shanker et al., 2004).
Menurut Huang (1997) bahwa ketersediaan logam bagi tanaman berbanding lurus
dengan yang diserap maupun diekstraksi. Hal ini sesuai dengan hasil analisis efisiensi
penyerapan yang ditunjukkan pada tabel 2, dimana semakin besar besar konsentrasi logam,
laju penyerapan tanaman terhadap logam krom heksavalen juga turut meningkat. Sedangkan
penurunan rata-rata efisiensi remediasi yang terjadi pada konsentrasi krom heksavalen yang
lebih besar dari 2,5 ppm menunjukkan bahwa konsentrasi krom dalam media sudah cukup
tinggi sehingga unsur-unsur organik yang terdapat dalam media turut terkontaminasi dan
membuatnya semakin pekat serta sulit diserap tanaman. Hal ini didukung oleh pernyataan
Hardiani (2008) bahwa logam berat mengkontaminasi senyawa organik dan mengikatnya
membentuk senyawa khelat yang tidak bisa diabsopsi oleh tanaman.
16
Dalam hubungannya dengan tanaman hiperakumulator, menurut Oliveira (2011)
tanaman hiperakumulator krom harus memiliki kemampuan mengakumulasi krom >1 mg Cr
Kg-1 pada daun. Sebelumnya Baker (1999) menyatakan bahwa tanaman dapat disebut
hiperakumulator bilamana mampu mengabsopsi logam tersebut dengan konsentrasi > 100
mg Kg-1. Secara keseluruhan hasil penelitian membuktikan Acalypha indica dapat
mengakumulasi > 1 mg Cr Kg-1 pada bagian tunas dan juga > 100 mg Cr Kg-1 di akar, sekalipun
tanaman mengalami kerdil dan fitotoksisitas. Tetapi hal tersebut cukup membuktikan bahwa
Acalypha indica dapat dikategorikan ke dalam tanaman hiperakumulator.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa respon fisiologi yang ditunjukkan
oleh tanaman Acalypha indica berupa penghambatan pertambahan tinggi tanaman,
penurunan jumlah daun, klorosis dan nekrosis daun pada konsentrasi > 10 ppm, serta
penurunan kadar klorofil. Namun hal tersebut tidak berdampak signifikan pada produksi
biomassa tunas dan akar. Selain itu Acalypha indica juga mampu mengakumulasi krom
heksavalen antara 54 µg cr6+ g-1 – 157 µg cr6+ g-1 pada organ tunas dan tertinggi antara 66 µg
cr6+ g-1 – 608 µg cr6+ g-1 pada organ akar, serta memiliki rata-rata efisiensi penyerapan logam
krom heksavalen hingga 99% dan rata-rata efisisensi remediasi tertinggi sebesar 78,57% pada
konsentrasi 2,5 ppm.
Ucapan terima kasih
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang terutama kepada Yesus Kristus
yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya, sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.
Ucapan terima kasih penulis haturkan juga kepada Ibu Sri Kasmiyati, S.Si., M.Si., selaku dosen
pembimbing dan Pak Joko S. Wartanto yang begitu teliti dan penuh kesabaran membimbing
dalam penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada papaku
Terhebat, mamaku yang Terbaik, bapak Sam Bire, suami tercinta Markus Bire, anakku Joy,
teman-teman, sanak saudara, Kakak Serly sek, Om Adi, Om Willy Sek, Angel, Erick dan Alvon,
dari dan oleh kalian keindahan hidup ditemukan dan bagi kalian pula segala keindahan
dipersembahkan, sungguh mengasihi kalian.
“With God all things are possible.”
(Matthew 19 : 26b)
17
Daftar Pustaka
Adams VD. 1990. Water and Wastewater Examination Manual. Lewis Publisher, Inc. America.
Anonim. 2002. SNI 13-6793-2002. Metode Pengujian Kadar air, Kadar Abu dan bahan Organik
dari Tanah Gambut dan Tanah Organik lainnya.
Anonim. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 507/MENKES/SK/VII/2002 tentang
Syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum.
Anonim. 1995. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 51/MENLH/10/1995 tentang
Syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum.
Baker AJM, Walker PL. 1990. Heavy Metal Tolerance in Plants: Evolutionary Aspects. (ed Shaw
AJ). Boca Raton: CRC Press.; pp 155–177.
Barcelo J, Poschenrieder C, Gunse B. 1986. Water relation of chromium VI Treated bush bean
plants (Phaseolus vulgaris L. cv Contender) under both normal and water stress
condition. J Exp Bot, 37: 78 – 87.
Bisht SS, Sharma CP, Kumar A. 1976. Plant response to excess concentration of heavy metals.
Geophytol 6 (2): 296-307.
Boonyapookana B, Upatham ES, Kruatrachue M, Pokethitiyook P, Singhakaew S. 2002.
Phytoaccumulation and phytotoxicity of cadmium and chromium in duckweed Wolffia
globosa. Int J Phytoremed 4: 87 – 100.
Chandra R, Bharagava RN, Yadav S, Mohan D. 2009. Accumulation and distribution of toxic
metals in wheat (Triticum aestivum L.) and Indian mustard (Brassica campestris L.)
irrigated with distillery and tannery effluents. Hazard Mater 162: 1514–1521.
Chidambaram Al A. Sundaramoorthy P, Murugan A, Sankar Ganesh K, Baskaram L. 2009.
Chromium induced cytotoxicity in black gram (Vigna radiata L). J Healt Sci. Eng. 6 (1):
7-22.
Dalimartha S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3. Cetakan I. Puspa Swara. Jakarta.
Fitter AA, Hay RK. l989. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Penerjemah: H.
Susilo). Universitas Indonesia. Jakarta.
Golovatij SE, Bogatyreva EN. 1999. Effect of Levels of Chromium Content in a Soil on its
Distribution in Organs of Corn Plants. Soil Res Fert. 197-204.
18
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan
(Penerjemah Kosasih P, Soediro I.). Penerbit ITB. Bandung.
Hardiani H. 2008. Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dari Proses Deinking Industri
Kertas secara Fitoremediasi. Jurnal Riset Industri 2: 64-75.
Hou W, Chen X, Song G, Wang Q, Chang CC. 2007. Effects of copper and cadmium on heavy
metal polluted waterbody restoration by duckweed (Lemna minor). Plant Physiol
Biochem 45: 62-69.
Huang JW, Chen J, Berti WB, Cunningham SD. 1997. Phytoremediation of lead-contaminated
soils: role of synthetic chelates in lead phytoextraction. Environ Sci Technol 31:800-
805.
Huffman Jr EW, Allaway WH. 1973. Chromium in plants: distribution in tissues, organelles
and extracts, and availability of bean leaf Cr to animals. J. Agric. Food Chem. 21, 982–
986.
Jaleel C, Jayakumar K, Chang-Xing Z, Azooz MM. 2009. Antioxidant potential protect Vigna
radiata (L). Wilczek plants from soil cobalt stress and improve growth and pigment
composition. Plant Omics Journal. 2 (3): 120-126.
Kenneth E, Pallett KE, Young AJ. 2000. Carotenoids. In Ruth GA, Hess JL (ed) Antioxidants in
higher plants. CRC Press, USA.
Kozlowski TT, Kramer PJ, Palardy SG. 1991. The Physicolodical Ecology of Wody Plants.
Academic Press Inc. London.
Lepp NW. 1981. Effect of heavy metal pollution on plants. Applied Science Publishers London.
Liu DH, Zou JH, Wang M, Jiang WS. 2008. Hexavalent chromium uptake and its effects on
mineral uptake, antioxidant defence system and photosynthesis in Amaranthus viridis
L. Bioresource Technology 99: 2628–2636.
Mukarromah L. 2008. Efektifitas Bioflokulan Biji Kelor (Moringa Oleifera Lamk) dengan
Mengurangi Kadar Cr(VI). Skripsi Jurusan Kimia Fakultas SAINTEK. Universitas Islam
Negeri Malang. Malang.
NRC (National Research Council). 1980. Committee on Biological effect of Atmospheric
Pollutans Chromium. Natl. Acad. Sci. Washington DC 155.
Oliveira H. 2011. Chromium as an Environmental Pollutant: Insights on Induced Plant toxicity.
Journal of Botany 2012: 1-8.
Palar H. 1995. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta. Rineka Cipta.
19
Panda SK, Choudhury S. 2005. Chromium stress in plants. Brazilian Journal of Plant Physiology
17: 95–102.
Rout GR, Samantaray S, Das P. 2001. Aluminum toxicity in plants: a review. Agronomie 21: 3–
21.
Schmelzer GH, Gurib AF. 2007. Plant Resources of Tropical Africa. Wageningen, Netherlands.
Prota Foundation.
Scoccianti V, Crinelli R, Tirillini B, Mancinelli V, and A. Speranza. 2006. Uptake and toxicity of
Cr(III) in celery seedlings. Chemosphere 64: 1695–1703.
Setiari N, Hendriyani IS. 2009. Kandungan Klorofil dan Pertumbuhan Kacang Panjang (Vigna
sinensis) pada Tingkat Penyediaan Air yang Berbeda. J sains Mat. 17: 145-150.
Shanker AK, Carlos C, Herminia LT, Avudainayagam S. 2004. Chromium toxicity in plants.
Review article. Environment International 31: 739–753.
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0160412005000231. dipubikasikan
24 Maret 2005. [28 Agustus 2012]
Sharma DC, Mehrotra SC. 1993. Chromium toxicity effects on wheat (Triticum aestivum L. cv.
HD 2204). Indian Journal of Environmental Health 35: 330-342.
Siaka M. 2008. Korelasi Antara Kedalaman Sedimen di Pelabuhan Benoa dan Konsentrasi
Logam Berat Pb dan Cu. Jurnal Kimia. 2:2.
Singh AK, Poonam M, Tandon PK. 2004. Phytotoxicity of chromium in paddy ( Oryza sativa L.)
plants. Journal of Environmental Biology, 27(2) 283-285. [on line]
http://www.jeb.co.in/journal_issues/200604_apr06/paper_21.pdf. Dipublikasikan 17
januari 2005. [30 agst 2012].
Sitompul SM, Bambang G. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University
Press, Yogjakarta.
Sinha S, Pandey K, Gupta AK, Bhatt K. 2005. Accumulation of metals in vegetables and crops
grown in the area irrigated with river water. Bull Environ Contam Toxicol. 74: 210-218.
Sudarmaji J, Mukono dan Corrie IP. 2006. Toksikologi Logam Berat Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3) dan Dampaknya. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 129-142.
Susilaningsih D. 1992. Pemanfaatan Tumbuhan Hydrilla verticillata dan Eichornia crassipes
sebagai Salah satu Usaha Pengendalian Pencemaran Logam Kromium (Cr) dari Limbah
Pelapisan Logam. Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.
20
Tewari RK, Kumar P, Sharma PN, Bisht SS. 2002. Modulation of oxidative stress responsive
enzymes byexcess cobalt. Plant Sci 162: 381–388.
Vajpayee P, Tripati RD, Rai Un, Ali MB, Singh SN. 2000. Chromium (VI) accumulation reduces
chlorophyll biosynthesis, nitrate reductase activity and protein content in Nymphaea
alba L. Chemosphere 41:1075–1082.
Vazquez MD, Poschenrieder C, Barcelo J. 1987. Chromium VI induced structural and
ultrastructural changes in Bush bean plants. Annals of Bot 59: 427-438.
Vymazal J. 1995. Algae and Element Cycling in Wetlands. Lewis Pub. Boca Raton p 689.
Woolhouse, H.W. 1983. Toxicity and tolerance in the responses of plant metals. In:
Encyclopedia of plant physiology. Vol.12 C. (Eds: Lange et al.). p 245-300.
Zayed A, Lytle CM, Qian JH, Terry N. 1998. Chromium accumulation, translocation and
chemical speciation in vegetable crops. planta 206: 293–299.
Zou J, Wang M, Jiang W, Liu D. 2006. Chromium Accumulation and Its Effect on Other Mineral
Elements in Amaranthus viridis. Acta Biologica Cracoviensia Series Botanica. 7-12.