respon tanaman tumpangsari (kelapa...
TRANSCRIPT
117
RESPON TANAMAN TUMPANGSARI (KELAPA SAWIT+NENAS) TERHADAP AMELIORASI DAN PEMUPUKAN DI LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI
THE RESPONSES OF INTERCROPPING PLANT (PALM + PINEAPPLE) TO AMELIORATION AND FERTILIZATION ON DEGRADED PEATLANDS
Masganti1, I G.M. Subiksa2, Nurhayati1, Winda Syafitri1
1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan,
Pekanbaru 10210.
2 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114.
Abstrak. Produktivitas kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut masih
tergolong rendah antaranya karena tingkat kesuburan tanah yang rendah,
sehingga perlu dilakukan ameliorasi dan pemupukan. Penelitian
dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Langgam Kabupaten
Pelalawan, Riau. Penelitian bertujuan untuk menentukan pengaruh jenis
amelioran terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tumpangsari kelapa
sawit + nenas di lahan gambut terdegradasi. Perlakuan yang diuji meliputi
(a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi dengan pupuk gambut,
(c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit, dan (d) ameliorasi dengan
pupuk kandang. Perlakuan ditata dalam rancangan acak kelompok dengan
empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan kelapa sawit
meliputi pertambahan jumlah pelepah daun dan panjang daun, pertumbuhan
nenas meliputi pertambahan daun dan panjang daun yang diukur setiap 2
(dua) minggu, dan produksi kelapa sawit dan nenas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ameliorasi berpengaruh terhadap pertambahan jumlah
pelepah daun dan lebar daun kelapa sawit, pertambahan jumlah daun dan
lebar daun nenas, dan produksi nenas, tetapi tidak berpengaruh terhadap
produksi sawit yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi. Produksi
kelapa sawit tertinggi dihasilkan oleh perlakuan amelioran Tankos (20.057
kg/ha/tahun), sedang produksi nenas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan
amelioran Pugam (11 buah/ha).
Kata kunci : Tumpangsari, sawit + nenas, ameliorasi, pemupukan, lahan
gambut
Abstract. The productivity of palm oil on peatlands are relatively low due
to low soil fertility, so it needs to be done amelioration and fertilization.
The experiment was conducted in Lubuk Ogong village, Langgam
Subdistric, Pelalawan District, Riau Province. The treatments included (a)
fertilization according to the farmers, (b) amelioration by Pugam, (c)
amelioration by empty fruit bunches of oil palm, and (d) amelioration by
manure. The treatments were arranged in a randomized block design with
four replications. The observations were made on the growth of oil palm
comprise number of leaves midrib and canopy width, and growth of
7
Masganti et al.
118
pineapple i.e : number of leaves, and leaf length which were measured
every two weeks, and production of oil palm and pineapple. The results
showed that amelioration affect the increasing of leaves midrib and leaf
canopy width of oil palm, the increase of the leaves number and leaf length
of pineapple, and pineapple production, but there was no effect on the
production of oil palms which are cultivated on the degraded peatlands.
The highest production of oil palm were produced by amelioration
treatment with empty fruit bunches of oil palm (20.057 kg /ha/year), while
the highest pineapple production were produced by amelioration treatment
with Pugam (11 units/ha).
Keywords: Intercropping, oil palm + pineapple, amelioration, fertilization,
peatland
PENDAHULUAN
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi dengan luas tanaman kelapa sawit
yang terluas di Indonesia. Dari sekitar 7,71 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia,
diperkirakan 24,55% atau 1,9 juta hektar terdapat di provinsi ini. Dari total luas
perkebunan kelapa sawit, sekitar 1,54 juta hektar atau 20% dibudidayakan di lahan
gambut (Indonesian Climate Change Trust Fund, 2012 dalam Wahyunto et al., 2013).
Sedangkan di Riau, tanaman sawit yang dibudidayakan di lahan gambut mencapai
788.491 ha atau sekitar 41,5% areal pertanaman.
Di Provinsi Riau, kelapa sawit merupakan komoditas unggulan. Menurut laporan
Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau (2013), perkebunan kelapa sawit yang telah
menghasilkan (TM) banyak diusahakan oleh perkebunan rakyat, yakni sekitar (53,35%),
diikuti perkebunan besar swasta (PBS), sekitar 42,55% dan sisanya dari perkebunan besar
negara (PBN). Lokasi terluas terdapat di Kabupaten Kampar (165.869 ha), Siak (163.380
ha), Rokan Hilir (145.769 ha), Rokan Hulu (140.135 ha), dan Pelalawan (111.568 ha).
Meskipun luas perkebunan sawit rakyat lebih dominan, akan tetapi rata-rata
produktivitas sawit yang diusahakan oleh rakyat lebih rendah 17,1% dari produktivitas
perkebunan besar negara, dan 21,4% dari perkebunan besar swasta. Hal ini antaralain
disebabkan terbatasnya modal petani dan belum optimalnya pemanfaatan teknologi
(Disbun Provinsi Riau, 2013).
Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut yang diusahakan rakyat tidak lagi
diarahkan pada perluasan areal, tetapi ditekankan pada usaha peningkatan produktivitas.
Peningkatan produktivitas harus mempertimbangkan kelestarian usahatani, dan kualitas
lingkungan agar tidak menambah "daftar luas" lahan-lahan suboptimal yang terlantar
(Masganti, 2013). Selain itu, peningkatan produktivitas lahan gambut yang ditanami
kelapa sawit juga dapat dilakukan melalui tumpangsari dengan tanaman lain seperti nenas.
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
119
Kelapa sawit, khususnya pelepahnya berpotensi besar dimanfaatkan sebagai pakan
ternak sapi karena mengandung protein kasar sekitar 15% (Parulian, 2009). Kelapa sawit
dalam satu tahun dapat menghasilkan 22 pelepah, dimana satu pelepah beratnya sekitar 7
kg, sehingga jika dalam satu hektar terdapat 138 pohon kelapa sawit, maka dalam satu
tahun pelepah daun dapat menyediakan 2.152 kg pelepah atau setara dengan 2,95 ekor
sapi dengan berat badan 200 kg.
Ameliorasi atau pemberian zat pembenah tanah merupakan salah satu tindakan
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lahan gambut
(Masganti, 2013). Akan tetapi pengaruh amelioran terhadap pertumbuhan kelapa sawit
berbeda menurut sumber amelioran yang digunakan (Jamil et al., 2012). Pengaruh
amelioran terhadap pertumbuhan tanaman di lahan gambut juga ditentukan oleh
komposisi amelioran (Masganti, 2004a). Oleh karena itu perlu diuji pengaruh berbagai
amelioran dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit +
nenas yang dibudidayakan di lahan gambut terdegradasi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang,
Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juni 2013 sampai Juni 2014 dengan posisi
geografis 00020'59,3"-00
021'05,8" Lintang Utara dan 101
041'15,6"-101
041'22,9" Bujur
Timur. Penelitian dilaksanakan di lahan petani seluas 5,0 ha. Tanaman utama sebagai
indikator adalah kelapa sawit berumur sekitar 6 (enam) tahun. Tanaman nenas ditanam
sebagai tanaman sela diantara kelapa sawit.
Perlakuan yang diuji meliputi (a) pemupukan menurut cara petani, (b) ameliorasi
dengan pupuk gambut (Pugam), (c) ameliorasi dengan tandan kosong sawit (Tankos), dan
(d) ameliorasi dengan pupuk kandang (Pukan). Perlakuan ditata dalam rancangan acak
kelompok (RAK) dengan 4 (empat) ulangan.
Pemupukan cara petani per pohon menggunakan pupuk 2,0 kg urea; 2,0 kg SP-36;
2,5 kg KCl; 1,2 kg Kiserite; 0,15 kg CuSO4; 0,15 kg ZnSO4; dan 0,3 kg Borax. Dosis
amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan disajikan dalam Tabel 1 dan layout
perlakuan disajikan pada Gambar 1.
Masganti et al.
120
Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman kelapa sawit
Perlakuan Dosis pupuk dan amelioran(kg/pohon)
Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl Kiserite CuSO4 ZnSO4 Borax
Pugam 5 - - 2 - 2.5 1.2 - - -
Pukan - 10 - 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3
Tankos - - 15 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3
Kontrol - - - 2 2 2.5 1.2 0.15 0.15 0.3
Saluran Drainase
I Pugam Kontrol Pukan Tankos
II Kontrol Tankos Pugam Pukan
III Tankos Pukan Kontrol Pugam
IV Pukan Pugam Tankos Kontrol
*Keterangan: I, II, III, IV adalah ulangan
Gambar 1. Layout aplikasi perlakuan amelioran pada demplot ICCTF Riau
Bibit nenas ditanam pada gawangan/jalan mati tanaman kelapa sawit (bukan jalan
produksi) dengan jarak tanam 1,75 m x 1,50 m. Setiap plot tanaman nenas terdiri dari 2
(dua) baris dan setiap baris terdapat 4 (empat) tanaman, sehingga terdapat 8 (delapan)
tanaman per plot. Penanaman tanaman nenas dilakukan pada tanggal 23 September 2013.
Pemupukan tanaman nenas dilakukan satu bulan setelah tanam, hal ini dilakukan
karena akar tanaman nenas sudah berkembang di dalam tanah. Pemupukan dengan cara
tugal pada tiga lubang di sekitar lubang tanam, dengan membuat sebanyak tiga lubang
menggunakan tugal, pupuk dimasukkan ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah.
Pemupukan dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2013 dengan dosis seperti dalam tabel di
bawah ini :
J
A
L
A
N u
l
a
n
g
a
n
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
121
Tabel 2. Dosis amelioran dan pupuk anorganik untuk setiap perlakuan tanaman nenas
Perlakuan Dosis pupuk dan amelioran (g/tanaman)
Pugam Pukan Tankos Urea SP-36 KCl
Pugam 30 - - 10 - 10
Pukan - 120 - 10 10 10
Tankos - - 120 10 10 10
Kontrol - - - 10 10 10
Pengamatan yang dilakukan sebelum ameliorasi dan pemupukan adalah : sifat
kimia tanah sebelum pemupukan, sifat bahan amelioran yang digunakan, parameter
pertumbuhan kelapa sawit meliputi pertambahan jumlah pelepah, lebar tajuk,
pertumbuhan nenas meliputi jumlah daun dan panjang daun. Parameter produksi kelapa
sawit meliputi jumlah tandan, dan produktivitas. Sedangkan produksi nenas dihitung
melalui penjumlahan jumlah buah nenas yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan 1 (satu)
bulan setelah pemupukan dan ameliorasi. Setiap petak pengamatan terdiri dari 4 (empat)
tanaman kelapa sawit dan 8 (delapan) tanaman nenas (Gambar 2).
Gambar 2. Plot pengamatan tanaman kelapa sawit dan nenas
Jumlah pelepah kelapa sawit dihitung berdasarkan jumlah pelepah yang sudah
sempurna, diukur setiap satu bulan sampai pengamatan terakhir. Selisih antara jumlah
pelepah pada pengukuran terakhir dan pertama disebut pertambahan jumlah pelepah.
Lebar tajuk diukur setiap satu bulan, diwakili oleh tiga pelepah daun yakni pelepah daun
dengan panjang paling pendek, menengah dan paling panjang (Gambar 3)
Masganti et al.
122
Gambar 3. Pengukuran lebar tajuk kelapa sawit
Selama satu tahun, setiap dua minggu pada setiap plot pengamatan dilakukan
panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, TBS dihitung dan ditimbang untuk
selanjutnya dikonversi menjadi rata-rata produktivitas (kg/ha/bln) dan total produksi
(kg/ha/thn) yang merupakan penjumlahan produktivitas selama satu tahun.
Pengamatan pertumbuhan nenas sebagai tanaman sela meliputi jumlah daun dan
panjang daun dilakukan setiap 2 (dua) minggu. Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah
daun (helai) setiap tanaman nenas. Daun yang telah dihitung dicat sebagai tanda untuk
pengamatan berikutnya.
Panjang daun (cm) diukur dengan cara mengukur daun tanaman nenas mulai dari
pangkal sampai ujung daun. Daun yang diukur kemudian ditandai dengan cat untuk
pengamatan berikutnya.
Pengamatan produksi nenas dilakukan melalui penghitungan jumlah buah nenas
yang dihasilkan per petak hingga Juli 2014.
Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam menurut rancangan
acak kelompok. Jika hasil analisis memperlihatkan beda nyata, dilanjutkan dengan uji
beda nyata terkecil (LSD) menurut Gomez dan Gomez (1993).
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
123
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Kimia Tanah
Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum aplikasi amelioran dan pemupukan
disajikan dalam Tabel 3. Nilai pH tanah gambut menunjukkan tingkat kemasaman yang
tinggi. Media tumbuh dengan tingkat kemasaman demikian menjadi kendala dalam
pengembangan tanaman karena terbatasnya daya penyediaan hara. Angka tersebut sesuai
dengan hasil yang dilaporkan oleh Masganti (2003), Hartatik et al., (2011), dan Sabiham
dan Sukarman (2012).
Tingginya kemasaman tanah gambut antaralain disebabkan oleh kondisi drainase
yang jelek dan hidrolisis asam-asam organik. Asam-asam organik yang dihasilkan
biasanya didominasi oleh asam pulvat dan asam humat (Stevenson, 1994; Spark, 1995).
Hasil analisis kadar C-organik dalam tanah gambut berkisar antara 34,79% sampai
38,50%. Angka-angka tersebut sejalan dengan hasil yang dilaporkan Masganti (2003),
Hartatik et al. (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Berdasarkan kadar bahan
organik dan ketebalan lapisan bahan organiknya, maka tanah gambut Lubuk Ogong
tergolong ordo histosol (Soil Survey Staff, 2010).
Kadar N-total dalam tanah gambut Lubuk Ogong dengan tingkat dekomposisi
hemik lebih rendah dari nilai yang diperoleh Masganti (2003) dalam tanah gambut saprik,
tetapi lebih tinggi dari tanah gambut fibrik. Hal ini dapat dimengerti karena kadar N-total
dalam tanah gambut berkorelasi dengan tingkat dekomposisi (Sabiham, 2001). Semakin
tinggi tingkat dekomposisi tanah gambut, semakin tinggi kadar N dalam tanah gambut.
Tanah gambut dilaporkan mempunyai kemampuan yang rendah dalam menyimpan
P (Masganti, 2004a). Rendahnya daya simpan P tanah gambut diyakini sebagai penyebab
rendahnya daya penyediaan hara, khususnya P tanah gambut (Masganti, 2003; Wiratmoko
et al., 2008; Maftuah, 2012).
Terbatasnya jumlah koloid anorganik dalam tanah gambut dilaporkan sebagai salah
satu penyebab rendahnya daya simpan P (Stevenson, 1994; Tan, 1994). Keadaan ini
menyebabkan jumlah P yang dapat diikat atau disimpan oleh tanah gambut menjadi
terbatas. Hasil analisis dalam Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar basa dalam tanah
gambut tergolong rendah yang dicirikan oleh rendahnya kejenuhan basa (KB), sehingga
kemampuan tanah gambut menjerap P menjadi rendah.
Kadar basa-basa dalam tanah gambut juga menentukan kemampuan tanah gambut
menjerap P. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar unsur-unsur basa dalam tanah gambut
tergolong rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Masganti (2003),
Masganti et al.
124
Hartatik et al., (2011), dan Sabiham dan Sukarman (2012). Gambut yang oligotrofik
biasanya miskin akan unsur-unsur hara, termasuk basa-basa.
Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut umumnya lebih tinggi dari tanah
mineral. Hal ini disebabkan pada tanah gambut bahannya disusun oleh komponen yang
berukuran koloid, sehingga mempunyai kemampuan mempertukarkan kation lebih tinggi.
Hasil pengukuran KTK dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang
dilaporkan oleh Masganti (2003), Hartatik et al. (2011), dan Sabiham dan Sukarman
(2012).
Tabel 3 menunjukkan bahwa kejenuhan Al tanah gambut yang digunakan tergolong
rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan Nuryani (2010) dan Masganti
(2012). Kejenuhan Al dalam tanah gambut umumnya relatif rendah, kecuali tanah-tanah
gambut dangkal yang pada lapisan bawahnya terdapat tanah sulfat masam.
Hasil analisis dalam Tabel 3 juga menunjukkan bahwa H+ merupakan sumber
kemasaman yang dominan dalam tanah gambut. Pada setiap perlakuan selalu
menunjukkan nilai H+ selalu lebih besar dari nilai Al3+. Hasil ini sejalan dengan hasil
yang dilaporkan oleh Nuryani (2010) dan Masganti (2012). Dalam tanah gambut, banyak
gugus fungsional seperti karboksilat dan fenolat yang berfungsi sebagai sumber H+
(Stevenson, 1994; Tan, 1994).
Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum perlakuan pada kedalaman 0-20 cm
No. Sifat kimia tanah dan satuan Hasil analisis setiap perlakuan
Pugam Tankos Pukan Kontrol
1. pH H2O 3,16 3,10 3,12 3,12
2. C-organik (%) 38,01 38,50 34,79 35,88
3. N-total (%) 1,37 1,80 1,31 1,42
4. C/N 27,7 21,4 26,6 25,3
5. P-tersedia (ppm) 174 185 133 234
6. Ca-tertukar [cmol(+).kg-1] 9,98 8,19 9,04 8,30
7. Mg-tertukar [cmol(+).kg-1] 2,52 2,86 2,52 2,64
8. K-tertukar [cmol(+).kg-1] 0,34 0,38 0,33 0,47
9. Na-tertukar [cmol(+).kg-1] 0,81 0,52 0,87 1,05
10. KTK [cmol(+).kg-1] 81,82 86,94 80,05 82,81
11. KB (%) 16,68 13,75 15,74 15,05
12. Al-tertukar [cmol(+).kg-1] 3,22 4,11 3,77 4,17
13. H-tertukar [cmol(+).kg-1] 4,70 5,10 4,76 4,91
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
125
Sifat Bahan Amelioran yang Digunakan
Tabel 4 menyajikan hasil analisis sifat kimia amelioran yang digunakan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa Pugam mempunyai beberapa keunggulan karena kadar
haranya paling tinggi yakni kadar P-total, Ca, Mg, S, dan unsur mikro seperti Zn, Cu, B,
Pb, dan Cd, kadar abu tinggi dan kadar airnya rendah, tetapi kadar Al paling tinggi.
Sedangkan Tankos dan Pukan mempunyai kelebihan kadar K yang tinggi dan Al yang
rendah atau bahkan tidak terdeteksi. Tingginya kadar Al dalam Pugam dapat dipahami
karena salah satu komponen penyusun amelioran ini adalah terak baja yang mengandung
alumunium. Pugam merupakan amelioran yang formulanya dikembangkan untuk
pertanian di lahan gambut dengan berbagai keunggulan (Subiksa et al., 2009).
Tabel 4. Hasil analisis karakteristik bahan amelioran yang digunakan
No. Karakteristik dan satuan Hasil analisis
Pugam Tankos Pukan
1. P-total (%) 13,15 4,75 0,56
2. K2O (%) 0,08 0,45 0,49
3. CaO (%) 26,52 1,29 0,72
4. MgO (%) 10,88 0,80 0,33
5. S (%) 0,56 0,20 0,10
6. Fe(%) 9,46 td 0,04
7. Al (%) 6,29 td td
8. Cu (ppm) 1.008 17 3
9. Zn (ppm) 1.633 47 46
10. B (ppm) 686 3 40
11. Pb (ppm) 54 td td
12. Cd (ppm) 14 td td
13. Hg (ppm) td 0,00 0,10
14. Kadar abu (%) 97,24 19,23 6,13
15. Kadar air (%) 3,07 55,89 70,08
Keterangan : td = tidak dideteksi
Dibandingkan dengan Pukan, Tankos mempunyai keunggulan diantaranya kadar
Ca, Mg, S dan kadar abu yang lebih tinggi, tetapi lebih rendah kandungan unsur B.
Perbedaan komponen penyusun amelioran akan menyebabkan perbedaan dalam
mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Subiksa, 2000; Hartatik dan Nugroho, 2001;
Masganti, 2003). Efektivitas amelioran dapat ditingkatkan melalui perbaikan formulasi
amelioran (Masganti et al., 2004a) dan mengatur waktu pemberian amelioran dan
pemupukan P (Masganti, 2004b). Perbedaan efektivitas penggunaan amelioran juga
dipengaruhi oleh daya netralisasi amelioran terhadap kemasaman (Masganti, 2003;
Maftuah, 2012).
Masganti et al.
126
Pertumbuhan dan Produksi Kelapa Sawit
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan amelioran dan pemupukan
berpengaruh nyata terhadap kemampuan kelapa sawit membentuk pelepah dan tajuk. Hal
ini dapat dimaklumi karena perbedaan kandungan dalam setiap amelioran seperti yang
diperlihatkan dalam Tabel 4 (Masganti, 2003; Subiksa et al., 2009; Jamil et al., 2012).
Perbedaan kandungan hara tersebut menyebabkan pertumbuhan yang berbeda,
diekspresikan dengan kemampuan membentuk pelepah dan lebar tajuk. Semakin baik
suplai hara terhadap perakaran tanaman, semakin tinggi kemampuan kelapa sawit
membentuk pelepah dan tajuk yang lebih lebar. Dalam penelitian ini terlihat bahwa kelapa
sawit yang diameliorasi dengan Pugam memperlihatkan kemampuan membentuk pelepah
lebih banyak dan tajuk yang lebih lebar (Tabel 5), meski secara statistik tidak berbeda
nyata dengan amelioran lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Pugam mempunyai
kelebihan dalam kandungan Ca, Mg, S, unsur-unsur mikro, dan kadar abu. Hasil ini
sejalan dengan hasil yang dilaporkan Subiksa (2000), Hartatik dan Nugroho (2001), dan
Subiksa et al., (2009).
Tabel 5. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap pertambahan jumlah pelepah, lebar tajuk,
produktivitas dan total produksi kelapa sawit yang ditumpangsari dengan nenas
No. Perlakuan
Parameter
Pertambahan Jumlah pelepah (helai)
Lebar tajuk (cm)
Produktivitas (kg/ha/bln)
Total produksi (kg/ha/thn)
1. Kontrol 22,4 a 95 a 1.543 a 18.513 a
2. Pugam 30,3 b 114 b 1.611 a 19.326 a
3. Pukan 27,7 b 110 b 1.634 a 19.613 a
4 Tankos 29,4 b 113 b 1.671 a 20.057 a
Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
LSD taraf 5%.
Kelapa sawit yang diameliorasi dengan amelioran Tankos memperlihatkan
performa agronomi lebih baik dari yang diameliorasi dengan Pukan (Tabel 5). Perbedaan
ini disebabkan kandungan unsur Ca, Mg, dan S dalam amelioran Tankos lebih tinggi.
Amelioran yang mengandung kadar hara lebih tinggi menyebabkan pertumbuhan tanaman
lebih baik (Subiksa, 2000; Hartatik dan Nugroho, 2001; Subiksa et al., 2009). Tabel 5
memperlihatkan bahwa kecepatan pembentukan pelepah kelapa sawit yang diameliorasi
lebih cepat sekitar 7 (tujuh) helai per tahun. Kelebihan ini merupakan hal yang sangat
penting untuk mendukung integrasi sawit-sapi di lahan gambut. Tambahan pelepah
tersebut dapat memenuhi kebutuhan bahan pakan satu ekor sapi (Parulian, 2009).
Tabel 5 menginformasikan bahwa rata-rata produktivitas kelapa sawit berkisar
1,54-1,67 t/ha/bln. Angka ini lebih tinggi dari angka yang dihasilkan oleh perkebunan
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
127
rakyat di Provinsi Riau (Disbun Provinsi Riau, 2013). Hal ini membuktikan bahwa
pemberian amelioran ampuh meningkatkan produktivitas kelapa sawit (Masganti, 2009).
Bila rata-rata produktivitas cara petani (kontrol) dibandingkan dengan rata-rata
produktivitas perkebunan sawit rakyat di Riau, angka ini lebih tinggi. Hal ini diduga
karena dalam penelitian ini juga dilakukan pengaturan air konservasi. Pengaturan air
menjadi faktor penentu dalam pertumbuhan dan produksi sawit di lahan gambut karena
menentukan efisiensi dan efektivitas pemupukan (Masganti, 2013).
Pengaruh ameliorasi tidak menyebabkan perbedaan terhadap rata-rata produktivitas
dan total produksi, meski terdapat kecenderungan ameliorasi meningkat-kan kedua
parameter tersebut dibanding kontrol (Tabel 5). Hasil ini berbeda dengan hasil yang
dilaporkan Masganti (2009). Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal yakni (1) kontrol yang
digunakan pada kedua penelitian tersebut tidak sama, (2) pupuk dasar yang digunakan
dalam penelitian ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kelapa sawit,
dan (3) adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut Widyanto et
al., (2014) pada awal penelitian sekitar 30% areal pertanaman kelapa sawit mengalami
serangan hama kumbang tanduk. Hama ini dilaporkan berpotensi menurunkan
produktivitas kelapa sawit.
Diantara ketiga perlakuan amelioran, plot percobaan yang diberi Tankos
menghasilkan total produksi paling tinggi, diikuti Pukan, dan terendah Pugam, meski
secara statistik tidak berbeda nyata. Namun demikian, disarankan untuk menggunakan
amelioran Tankos dengan beberapa pertimbangan. Pertama, nilai emisi CO2 yang
dihasilkan paling rendah. Produksi emisi CO2 menjadi pertimbangan penting dalam
menentukan teknologi yang digunakan dalam budidaya kelapa sawit di lahan gambut
terdegradasi (Las et al., 2012; Agus et al., 2013; Masganti, 2013). Menurut Wahyuni et
al., (2014) Diantara ketiga jenis amelioran yang digunakan jika dibandingkan dengan cara
petani, Tankos paling ampuh menurunkan emisi CO2, diikuti Pukan. Sebaliknya Pugam
justru meningkatkan nilai emisi CO2.
Pertimbangan kedua adalah ketersediaan bahan di lapangan. Salah satu masalah
sosial yang dihadapi dalam menerapkan teknologi ameliorasi adalah kurang atau tidak
tersedianya bahan amelioran di lapangan. Pugam merupakan amelioran yang paling tidak
tersedia di lapangan, sehingga tidak disarankan untuk digunakan. Sementara Pukan meski
tersedia, tetapi secara kuantitas tidak mampu memenuhi kebutuhan dan adanya biaya
tambahan transportasi dari sentra peternakan ke lokasi perkebunan. Sedangkan Tankos,
ketersediaannya melimpah karena produksi kelapa sawit yang tinggi. Hal yang perlu
dilakukan adalah melatih petani untuk menghasilkan kompos Tankos. Tapi hal ini harus
didukung oleh kebijakan peralatan yang memadai. Pertimbangan lainnya adalah biaya
input bahan. Menurut Nurhayati et al., (2014) diantara ketiga perlakuan amelioran,
Masganti et al.
128
Tankos memerlukan biaya input bahan paling rendah, diikuti Pugam dan paling tinggi
adalah Pukan.
Pertumbuhan dan Produksi Nenas
Kemampuan tanaman nenas membentuk daun dan panjang daun dipengaruhi oleh
pemberian amelioran, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis amelioran yang diberikan (Tabel
6). Berbeda dengan pertumbuhan kelapa sawit, tanaman nenas tumbuh lebih baik dalam
petak kelapa sawit yang pertumbuhannya tertekan (kontrol). Hal ini dapat dimaklumi
karena pertumbuhan kelapa sawit yang tertekan memungkinkan adanya ruang yang lebih
luas bagi nenas untuk memperoleh sinar matahari, sehingga proses fotosintesisnya
berlangsung lebih intensif. Persaingan antar tanaman yang dibudidayakan di lahan
gambut mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Najiyati et al., 2008; Lestari et al., 2013).
Tabel 6. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap pertambahan jumlah daun,panjang daun,
dan produksi nenas yang ditumpangsari dengan kelapa sawit
No. Perlakuan
Parameter
Pertambahan Jumlah daun
(helai)
Panjang daun
(cm)
Produksi
(b)
1. Kontrol 34,0 b 49,1 b 6 ab
2. Pugam 25,0 a 42,4 a 11 c
3. Pukan 26,0 a 43,2 b 3 a
4 Tankos 25,0 a 42,1 a 8 bc
Keterangan : Angka-angka pada setiap parameter yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
LSD taraf 5%.
Umur tanaman nenas yang masih relatif muda menyebabkan produksi buah belum
maksimal. Akan tetapi dari hasil analisis ragam diketahui bahwa jumlah buah yang
dihasilkan dipengaruhi oleh perlakuan. Data dalam Tabel 6 memperlihatkan bahwa
produksi buah yang dihasilkan oleh nenas yang diberi amelioran Pugam paling banyak.
Hal ini disebabkan keunggulan komparatif amelioran ini yang dapat dimanfaatkan
tanaman secara baik. Pertumbuhan vegetatif yang lebih baik pada petak kontrol mungkin
menyebabkan energi hasil fotosintesis tidak banyak dimanfaatkan untuk pembentukan
buah. Pembentukan buah juga dipengaruhi oleh ketersediaan hara (Rankine dan Fairhust,
2000).
Hasil pengamatan lapang juga memperlihatkan bahwa kecepatan munculnya buah
nenas lebih cepat pada petak yang diameliorasi dengan Pugam. Rata-rata tanaman nenas
yang diberi Pugam, buahnya 7-10 hari muncul lebih awal. Hasil ini juga menjadi bukti
bahwa tanaman nenas mampu memanfaatkan kelebihan amelioran Pugam.
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
129
Meskipun produksi nenas yang dihasilkan dari plot percobaan yang diameliorasi
dengan Pugam paling tinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan plot yang diameliorasi
dengan Tankos. Hasil ini memperkuat alasan penggunaan amelioran Tankos di lahan
gambut terdegradasi. Oleh karena itu pemilihan inovasi teknologi tumpangsari
sawit+nenas di lahan gambut harus mempertimbangkan (1) emisi CO2 yang dihasilkan
rendah, (2) bahannya mudah didapatkan atau diproduksi sendiri, (3) biaya input bahan
rendah, dan (4) produksi tanaman tumpangsari tinggi. Pertimbangan ini dapat
meningkatkan pendapatan petani dan menjaga kelestarian lingkungan hidup serta
menjamin keberlangsungan usahatani.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pertumbuhan tumpangsari kelapa sawit + nenas dan produksi nenas di lahan
gambut terdegradasi dipengaruhi oleh perlakuan amelioran, tetapi produktivitas dan total
produksi tidak dipengaruhi. Produksi kelapa sawit tertinggi (20.057 kg/ha/thn) dihasilkan
oleh perlakuan amelioran Tankos, diikuti amelioran Pukan (19.613 kg/ha/thn), amelioran
Pugam (19.326 kg/ha/thn), dan terendah perlakuan kontrol (18.513 kg/ha/thn). Sedangkan
produksi nenas tertinggi diperoleh dari perlakuan Pugam (11 biji), diikuti Tankos (8 biji),
kontrol (6 biji), dan terendah Pukan (3 biji).
Peningkatkan pendapatan petani dan upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup
serta menjamin keberlangsungan usahatani tumpangsari sawit+nenas di lahan gambut
terdegradasi, disarankan untuk menggunakan amelioran Tankos disertai pelatihan petani
tentang cara memproduksi amelioran Tankos.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., A. Dariah, dan A. Jamil. 2013. Kontroversi pengembangan perkebunan sawit
pada lahan gambut. Dalam Haryono et al., (Eds.). Politik Pengembangan
Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementrian Pertanian. IAARD, Jakarta. Halaman:454-473.
Disbun Provinsi Riau. 2013. Data Statistik Perkebunan Provinsi Riau. Dinas Perkebunan
Provinsi Riau. Pekanbaru. 172 halaman.
Gomez, K. A., dan A. A. Gomez. 1993. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2 nd
Ed. John Willey & Sons, New York. 680 halaman.
Hartatik,W., dan K. Nugroho. 2001. Effect of different ameliorant sources to maize
growth in peat soil from Air Sugihan Kiri, South Sumatera. Dalam Rieley, J. O.,
dan S. E. Page (Eds.). Jakarta Symposium Halaman:103-108. Dalam Proceeding
on Peatlands for People: Natural Resources Functions and Sustainable
Management.
Masganti et al.
130
Hartatik, W, I.G.M. Subiksa, dan Ai Dariah. 2011. Sifat kimia dan fisika lahan gambut.
Dalam Neneng et al., (Eds.). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai
Penelitian Tanah. Bogor. Halaman:45-56.
Jamil, A., Nurhayati, I.N. Istina, Yunizar, dan H. Widyanto. 2012. Penelitian dan
Pengembangan teknologi pengelolaan gambut berkelanjutan meningkatkan
sekuestrasi karbon dan mitigasi gas rumah kaca di Provinsi Riau. Balai
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Riau, Pekanbaru. 49
halaman.
Las, I., M. Sarwani, A. Mulyani, dan M.F. Saragih. 2012. Dilema dan rasionalisasi
kebijakan pemanfaatan lahan gambut untul areal pertanian. Dalam Husen et al.,
(Eds.). Halaman:17-29 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan
Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian..
Lestari, Y.,Y. Raihana, dan S. Saragih. 2013. Teknologi budidaya hortikultura di Lahan
Gambut. Dalam Noor et al., (Eds.). Lahan Gambut: Pemanfaatan dan
Pengembangannya untuk Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Halaman:117-148.
Maftuah, E. 2012. Ameliorasi Lahan Gambut Terdegradasi dan Pengaruhnya terhadap
Produksi Jagung Manis. Disertasi. Program Pascasarjana UGM. Yogjakarta. 251
halaman.
Masganti. 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya Penyediaan Fosfat dalam Gambut
Oligotrofik. Disertasi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 355 halaman.
Masganti. 2004a. Pengaruh macam senyawa penjerap P dan sumber pupuk P terhadap
daya penyediaan hara bahan gambut. Dalam Ar-Riza et al., (Eds.). Halaman:347-
358. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Lahan Rawa dan Pencemaran Lingkungan. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Masganti. 2004b. Pengaruh waktu pemupukan P dan pemberian amelioran, formulasi dan
sumber pupuk P terhadap daya penyediaan P bahan gambut. J. AgriPeat 5(2):76-
85.
Masganti, T. Notohadikusumo, A. Maas, dan B. Radjagukguk. 2004. Pengaruh formulasi
amelioran terhadap daya penyimpanan dan penyediaan fosfat bahan gambut.
Dalam Kurnia et al., (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Sumberdaya Tanah dan Iklim. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Buku II. Halaman:179-186.
Masganti. 2009. Pemanfaatan limbah kelapa sawit dan produktivitas kelapa sawit di lahan
kering Kalimantan Tengah. Agripura 4(2):529-535.
Masganti. 2012. Sample preparation for peat material analysis. Dalam Husein et al.,
(Eds.). Halaman:179-184. Dalam Prosiding Workshop on Sustainable
Management Lowland for Rice Production.
Masganti. 2013. Teknologi inovatif pengelolaan lahan suboptimal gambut dan sulfat
masam untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Pengembangan Inovasi
Pertanian 6(4):187-197.
Respon Tanaman Tumpangsari (Sawit+Nenas) Terhadap Ameliorasi
131
Najiyati, S., L. Muslihat, dan I. N. N. Suryadiputra. 2008. Panduan Pengelolaan Lahan
Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest, and
Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programe dan Wildlife
Habitat Canada. Bogor, Indonesia.
Nurhayati, S. Saputra, A. D. Putra, I. N. Istiana, dan A. Jamil. 2014. Pengelolaan
Kesuburan Tanah, Produktivitas dan Keuntungan Sistem Tumpangsari (Kelapa
Sawit+Nenas di Lahan Gambut Provinsi Riau. 14 halaman (belum diterbitkan).
Nuryani, S. H. U. 2010. Pemulihan Gambut Hidrofobik dengan Surfaktan dan
Ameliorant, serta Pengaruhnya terhadap Serapan P oleh Jagung. Disertasi.
Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. 277 halaman.
Parulian, T. S, 2009. Efek Pelepah Daun Kelapa Sawit dan Limbah Industrinya Sebagai
Pakan terhadap Pertumbuhan Sapi Peranakan Ongole pada Fase Pertumbuhan.
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/7623). 3 April 2014.
Rankine, I. R., dan T. H. Fairhurst. 2000. Seri Tanaman Kelapa Sawit Volume 3. Pusat
Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Sabiham, S. 2001. Stability Condition and Processes of Destabilization of the Indonesian
Tropical Peats. Directorate Generale of Higher Education, Ministry of National
Education. 63 halaman.
Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa
sawit. Hlm 1-17. Dalam Husen et al., (Eds.). Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. Kementrian
Pertanian. Bogor, 4 Mei 2012.
Spark, D. L. 1995. Enviromental Sil Chemistry. Academic Press Inc. San Diego,
Caifornia. 267 halaman.
Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. Eleventh Edition. United States
Departement of Agriculture. Natural Resources Conservation Services. USDA.
Washington D. C. 869 halaman.
Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, composition and reaction. Second
Edition. John Willey & Sons Inc., New York. 496 halaman.
Subiksa, I. G. M. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang berkelanjutan.
Halaman:379-390 Dakam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbangtan, Balitbangtan. Bogor..
Subiksa, I. G. M., Husein Suganda dan Joko Purnomo. 2009. Pengembangan formula
pupuk untuk lahan gambut sebagai penyedia hara dan menekan emisi gas rumah
kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara Balai Penelitian Tanah
dengan Departemen Pendidikan Nasional, 2009.
Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc., New York. 304
halaman.
Wahyuni, S., Nurhayati, H. Widyanto, A. Wihardjaka, dan P. Setyanto. 2014. Emisi Gas
CO2 dari Tanah Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit (Elaeis guinensis) dan
Masganti et al.
132
nenas (Anenas cumocus) dengan beberapa Perlakuan Amelioran. 12 halaman
(belum diterbitkan).
Wahyunto, Ai Dariah, Pitono, D., dan M. Sarwani. 2013. Prospek pemanfaatan lahan
gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perspektif 12(1):11-22.
Widyanto, H., S. Saputra, dan Syuryati. 2014. Pengendalian Hama Kumbang Tanduk
pada Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Provinsi Riau. 12 halaman (belum
diterbitkan).
Wiratmoko, D. Winarna, S. Rahutomo dan H. Santoso. 2008. Karakteristik gambut
topogen dan ombrogen di Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara untuk
budidaya tanaman kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 16(3):119-126.