resume-ocean color variability in the indonesian seas during the seawifs era

12
RESUME JURNAL PENGINDERAAN JAUH Ocean Color Variability in The Indonesian Seas during The SeaWiFS Era “Variabilitas Ocean color di Indonesia Selama era SeaWiFS” disusun oleh: Rizanty Avianisa 230210120020 Kautsar Arviandri 230210120025 Bisma Agung 230210120043 Bintang Bimaputra 230210120045 Hilda Heryati 230210120052 Liqa Layalia 230210120055 M. Soffa Firdaus 230210120056 Faeza Amella 230210120057 Maulida Ranintyari 230210120062 Kelompok 6 1. Pendahuluan Mayoritas produktivitas laut ini terjadi di dalam daerah tropis, yang merupakan zona 10 0 N ke 10 0 S [Longhurst, 1993], dan Indonesia, karena sejauh longitudinal (90 0 -141 0 E bujur), akan menjadi fraksi yang signifikan dari tropis produktivitas laut. Laut Indonesia memainkan bagian yang tidak terpisahkan dalam sirkulasi termohalin global dan iklim global, serta menjadi pusat keanekaragaman hayati [Veron, 1995] dan situs perikanan penting. Laut Indonesia, dengan lokasi geografis yang unik dan geometri pantai kompleks adalah satu-satunya lintang rendah antar-samudera komunikasi antara Pasifik dan Samudra Hindia. Komunikasi ini antara lautan dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia (ITF). Karena pengaruh geografi pesisir, dan laut variasi topografi bawah, variabilitas dalam ITF dapat diharapkan untuk dihubungkan dengan variabilitas dalam ocean

Upload: retno-kusuma-ningrum

Post on 16-Jan-2016

12 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

RESUME-ocean color variability in the Indonesian seas during the SeaWiFS er

TRANSCRIPT

Page 1: RESUME-ocean Color Variability in the Indonesian Seas During the SeaWiFS Era

RESUME JURNAL PENGINDERAAN JAUH

Ocean Color Variability in The Indonesian Seas during The SeaWiFS Era“Variabilitas Ocean color di Indonesia Selama era SeaWiFS”

disusun oleh:

Rizanty Avianisa 230210120020Kautsar Arviandri 230210120025Bisma Agung 230210120043Bintang Bimaputra 230210120045Hilda Heryati 230210120052

Liqa Layalia 230210120055M. Soffa Firdaus 230210120056Faeza Amella 230210120057Maulida Ranintyari 230210120062

Kelompok 6

1. Pendahuluan

Mayoritas produktivitas laut ini terjadi di dalam daerah tropis, yang merupakan zona

100N ke 100S [Longhurst, 1993], dan Indonesia, karena sejauh longitudinal (900-1410E bujur),

akan menjadi fraksi yang signifikan dari tropis produktivitas laut. Laut Indonesia memainkan

bagian yang tidak terpisahkan dalam sirkulasi termohalin global dan iklim global, serta

menjadi pusat keanekaragaman hayati [Veron, 1995] dan situs perikanan penting.

Laut Indonesia, dengan lokasi geografis yang unik dan geometri pantai kompleks

adalah satu-satunya lintang rendah antar-samudera komunikasi antara Pasifik dan Samudra

Hindia. Komunikasi ini antara lautan dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia (ITF). Karena

pengaruh geografi pesisir, dan laut variasi topografi bawah, variabilitas dalam ITF dapat

diharapkan untuk dihubungkan dengan variabilitas dalam ocean color. Selain ITF, ocean

color di Laut Indonesia sangat dipengaruhi oleh Asia-Australia (AA) sistem monsun:

tenggara dan barat laut monsun. Karena Indonesia dipengaruhi oleh El Nino-Southern

Oscillation (ENSO), pada skala waktu antar, variabilitas ocean color di Laut Indonesia juga

akan sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Tenaga lain yang mungkin berpengaruh

terhadap ocean color Indonesia adalah Indian Ocean Dipole (IOD) [Saji et al., 1999; Webster

et al., 1999; Feng dan Meyers, 2003], yang Madden-Julian Oscillation (MJO) [Madden dan

Julian, 1994], dan Kelvin dan Rossby gelombang, dan pasang [Field dan Gordon, 1996;

Sprintall et al., 2000; Susanto et al., 2000].

2. Data 2.1 Ocean color (Klorofil)

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah perkiraan konsentrasi klorofil

fitoplankton yang berasal dari Sea-viewing Wide Field-ofview Sensor (SeaWiFS), file data

Page 2: RESUME-ocean Color Variability in the Indonesian Seas During the SeaWiFS Era

penginderaan jauh klorofil adalah 292 GAC komposit 8 hari dengan resolusi spasial 9km.

File-file ini mencakup kerangka waktu dari 2 September 1997-31 Desember 2003 dan

tersedia pada tape dari NASA GSFC (Goddard Space Flight Center) dalam fomat

HDF(Hierarchical Data Format) terkompresi.

Perkiraan klorofil yang telah diolah di bawah protokol '' daur ulang ke4 '' [Patt et al.,

2003] dan daur ulang SeaWiFS ke 4 (bersama dengan SeaDAS 4.3) memiliki error in situ

klorofil-a yang berkisar 23,77-31,35% (Sean Bailey, NASA / GSFC, private communcation,

2003). Koreksi atmosfer yang diterapkan oleh data ini menggunakan koreksi multiscattering

aerosol dengan model 765/865 dan koreksi NIR.

Rata-rata bulanan dihitung untuk setiap bulan yang ada untuk menghindari bias karena

kemiringan (Total jumlah bulan September-Desember lebih panjang dari sisa bulan) dan

karena Efek el Nino pada tahun 1997/98, klimatologi rata-rata bulanan dihitung dari Januari

1998 sampai Desember 2003. Hasilnya representasi 12 bulanan dari rata-rata klimatologis

dari variabilitas klorofil. Sisa data klorofil dihitung dengan mengurangkan yang rata-rata

klimatologi 6 tahun dari rata-rata data untuk September 2007 sampai Desember 2003

2.2 Suhu Permukaan LautKami menggunakan versi terbaru (Versi 5.0, atau V5) SST dari produk dT NOAA /

NASA AVHRR Oceans Pathfinder, yang berasal dari 5-channel AVHRR pada NOAA -9 -11 -

14 dan -16 kutub satelit yang mengorbit yang memiliki tinggi resolusi spasial 4 km. Kualitas

bendera bervariasi dari 0 (terendah) sampai 7 (tertinggi) [Kilpatrick et al., 2001]. Di sini,

menggunakan kualitas bendera yang lebih besar atau sama dengan 4. Data SST bulanan yang

tersedia dari Januari 1985 hingga Desember 2003. Agar konsisten dengan ketersediaan

sementara dari data SeaWiFS, iklim bulanan rata-rata dihitung atas dasar rata-rata bulanan

selama enam tahun (Januari 1998-Desember 2003) data SST. Data SST sisa dihitung dengan

mengurangi iklim bulanan rata-rata dari data bulanan untuk Januari 1997 sampai Desember

2003.

2.3 AnginProduk angin (kecepatan angin zonal dan meridional, tekanan, belokan, dan divergensi)

berasal dari ERS-1/2, NSCAT dan scatterometers QSCAT dan diperoleh dari CERSAT-

IFREMER, Prancis. Data NSCAT dan QSCAT angin memiliki resolusi spasial 0,25° dari

0,25° (bujur x lintang). Sementara itu,resolusi data angin spasial 1 ERS ½ adalah 0.5° dari

0,5° (bujur x lintang) Sebelum kita menggabungkan NSCAT dan QSCAT dengan data ERS,

kedua set data digabung menjadi 0,5° dari 0,5° (bujur x lintang). Angin bulanan tersedia dari

bulan Maret 1991 sampai Desember 2003. Untuk konsisten dengan ketersediaan data

Page 3: RESUME-ocean Color Variability in the Indonesian Seas During the SeaWiFS Era

temporal SeaWiFS, rata-rata iklim bulanan dihitung atas dasar rata-rata bulanan dari enam

tahun (Januari 1998-Desember 2003) data angin. Data angin sisa dihitung dengan

mengurangkan rata-rata iklim bulanan dari data bulanan untuk Januari 1997 sampaiDesember

2003.

3. Variabilitas Musim dan Analisis Harmonik MusimanIndonesia dipengaruhi oleh muson Asia dan Australia karena letaknya diantara

Australia dan Asia. Ocean color dan variabilitas SST akan mengikuti pembalikan angin

muson. Pergerakan tekanan pada daerah ekuator bergantung pada posisi matahari, melintasi

ekuator 2 kali dalam setahun. Pada bulan November-Maret merupakan angin muson barat

laut, sedangkan muson timur terjadi pada bulan Mei-September. Bulan April dan Oktober

merupakan bulan transisi.

Agar mengetahui pengaruh dari angin muson maka dilakukan analisis harmonik untuk

mendapatkan data angin, SST, dan warna samudra secara berkala. Metode yang digunakan

adalah dengan metode kuadrat terkecil untuk mendapatkan data time series. Setelah

menghitung rata-rata dari sinyal tahunan, kita hilangkan rata-rata dan menghadirkan

variabilitas harmonik tahunan.

3.1 Ocean colorDaerah di Indonesia yang mempunyai variabilitas ocean coloran adalah daerah perairan

: di barat Pasifik, Samudera Hindia, Laut Sulawesi, Laut Halmahera, dan Laut Flores (utara

Nusa Tenggara Pulau rantai). Sepanjang tahun, konsentrasi ocean color tertinggi yang

diamati di Selat Malaka, di sekitar pantai Kalimantan / Borneo, Laut Arafuru, Laut Aru dan

timur Laut Banda. Selama musim tenggara (Juli sampai Oktober), konsentrasi ocean color

tinggi diamati di daerah selatan pulau Jawa-Nusa Tenggara, Laut Jawa dan Selat Karimata.

Monsun, kedalaman perairan, aliran permukaan

sungai dapat mempengaruhi keragaman ocean color.

Peningkatan warna terjadi akibat upwelling yang

disebabkan oleh angin divergensi, sedangkan

konsentrasi kecil akibat pengaruh dari adveksi arlindo.

Gambar di samping menjelaskan konsentrasi klorofil

tahunan dan konsentrasi klorofil dengan fase

upwelling yang terjadi. Terjadi peningkatan

konsentrasi klorofil dalam lau Indonesia selama

monsun tenggara (musim panas pada BBU) kecuali

Page 4: RESUME-ocean Color Variability in the Indonesian Seas During the SeaWiFS Era

bagian utara Nusa Tenggara, Selat makasar, Laut Sulawesi, dan Selat Makasar

3.2 Angin

Kecepatan/tekanan angin, zona dan meridiona

kecepatan/tekanan angin, divergensi angin dan

lengkungan dapat dijadikan parameter sebagai

variabilitas angin. Gambar disamping menjelaskan

kecepatan angin berdasarkan warna pada setiap

zonanya dan kecepatan angin dengan fase yang terkait

dengan curah hujan. Dimana kecepatan maksimum

terjadi pada saat curah hujan tinggi yang dilihat dari

tegangan angin. Tegangan angin maksimum terjadi di

Laut Cina Selatan dan teluk Benggala selama musim

panas di BBU.

3.3. Suhu Permukaan Laut

Angin kencang dipengaruhi oleh curah hujan, dimana hal ini mempengaruhi persebaran

suhu permukaan. Angin kencang menyempurnakan pencampuran vertikal, tetapi mengurangi

suhu permukaan. Tidak jelas berapa banyak perubahan SST selama monsun tenggara

disebabkan oleh pendinginan evaporative [lihat Kinkade et al, 1997.]

Pendinginan selama musim tenggara tidak

seragam di atas area selatan. Laut Timor adalah

anomali hangat dibandingkan dengan daerah di

sebelah barat atau timur, suatu kondisi yang bertahan

sepanjang tahun. Kondisi terbalik selama monsun

barat laut dengan suhu dingin diamati di Laut Cina

Selatan. Gambar disamping menggambarkan keadaan

suhu permukaan yang dipengaruhi oleh monsun Asia-

Australia.

Tidak seperti ocean color dan angin di mana

kita tertarik '' seberapa besar '' dan '' di mana dan kapan '' nilai maksimum terjadi, untuk SST

kami tertarik minimal, karena mereka sering berhubungan dengan suntikan nutrisi ke zona

eufotik. Rentang tahunan untuk SST adalah tentang 3.5C dengan wilayah yang dekat dengan

Australia (Laut Arafuru, Samudera Hindia antara Jawa / Nusa Tenggara dan Australia) dan

Selatan.

4. Dampak Fenomena El Nino 1997 pada Ocean color

Page 5: RESUME-ocean Color Variability in the Indonesian Seas During the SeaWiFS Era

Indonesia merupakan wilayah yang mendapatkan pengaruh dari adanya fenomena

ENSO (El Nino Southern Oscillation). El Nino terkuat terjadi pada tahun 1997-1998 dan

kemudian diikuti dengan periode La Nina, kejadian tersebut membawa pengaruh yang sangat

buruk pada kondisi daratan di Indonesia. Dampak dari El Nino tahun 1997 pada atmosphere

dan lautan di Indonesia lebih kuat diandingkan dengan fenomena La Nina tahun 1998. Untuk

Indonesia, puncak dari fenomena ENSO ini terjadi pada paruh kedua tahun 0 (tahun ketika

ENSO dimulai). Perhitungan tahun El Nino dan La Nina ini didasari dari daftar yang

diberikan oleh National Center for Environmental Prediction.

Produktivitas di laut Indonesia meningkat selama fase El Nino. Dampak dari El Nino.

Dampak dari El Nino pada Ocean Color Climatology menonjiol pada daerah yang mengalami

upwelling sebagai respon terhadap perubahan musim. Upwelling membawa air yang kaya

nutrisi ke dekat permukaan, meningkatkan produktivitas dan ocean color. El nino tahun

1997/98 bertepatan dengan fenomena IOD (Indian Ocean Dipole), dimana anomaly tegangan

angin timur laut melalui bagian selatan laut Indonesia menghasilkan upwelling yang kuat di

sepanjang pantai Jawa dan Sumatera dan di Laut Banda.

Angin muson, suhu permukaan, dan ocean color tidak selalu mengikuti harmonik

tahunan, tetapi dapat mempengaruhi kekuatan dan waktu siklus tahunan. Pendinginan dari

proses sedimentasi merupakan penyebab adveksi zonal dan meridional dalam memberikan

kontribusi yang signifikan.

Gambar disamping menjelaskan SeaWiFS yang

berasal dari pengamatan klorofil a dengan

membandingkan antara (a) bulan November 1997

(selama puncak 1997-1998 El Nino) dan rata-rata

bulanan 6 tahun; (b) perbedaan antara bulan

November 1998 (selama puncak 1998 La Nina) dan

rata – rata bulanan sealam 6 tahun; dan (c) perbedaan

antara November 1997 dan November 1998.

Pada tahun 1997-1998 El Nino meningkatkan

estimasi dari satelit dalam melihat konsentrasi

klorofil-a yang dibandingkan selama 6 tahun,

sedangkan selama fase La Nina, klorofil-a di kawasan

yang sama sedikit lebih rendah. Dengan cara itu, efek dari setiap tahapan siklus ENSO

asimetris. Hasil ini sesuai dengan penilaian sebelumnya bahwa El Nino memiliki efek yang

jauh lebih besar pada ekosistem laut di Indonesia daripada La Nina.

Page 6: RESUME-ocean Color Variability in the Indonesian Seas During the SeaWiFS Era

5. Diskusi5.1 Variabilitas Ocean Color

Sebelum data SeaWiFS, ada data yang tersedia dari Coastal Zone Color Scanner

(CZCS) yang mengamati banyak sekali bagian - bagian laut dari tahun 1978 - 1986. Data

bulanan untuk Laut Indonesia, Asia Tenggara dan Australia tersedia di web

http://seawifs.gsfc.nasa.gov/SEAWIFS/ CZCS_DATA / australia.html. Gambar CZCS

konsisten dengan variabilitas SeaWiFS; Namun, cakupan CZCS sangat terbatas. Sebagai

contoh, gambar untuk Indonesia dari tahun 1982, tahunnya terjadi El Nino, hanya tersedia

satu atau dua bulan saja dan hanya lebih dibatasi wilayah tertentu.

Dari survei kapal yang berbasis untuk survei Chlorophylla dilakukan di laut Indonesia

sebagai bagian dari Program Arlindo tahun 1993-1994, Kinkade et al. [1997] menyimpulkan

bahwa semakin tinggi konsentrasi klorofil-a yang diamati selama monsun tenggara dan ada

gradien timur - barat di variabilitas klorofilnya. Selama monsun tenggara, angin tenggara

yang kuat menyebabkan upwelling di bagian timur Laut Banda dan di sepanjang deretan

pantai selatan Pulau Jawa - Nusa Tenggara yang meningkatkan ocean color di wilayah ini.

Monsun tenggara adalah monsun yang kuat dalam hal efeknya pada sifat laut yang diamati

dari luar angkasa. Efeknya terlihat pada suhu permukaan laut dan ocean color.

Namun demikian, kita dapat menghubungkan variabilitas dalam ocean color dan suhu

permukaan laut dengan variasi angin. Angin yang bergerak ke tenggara meningkat pada

bulan Mei dan Juni, permukaan laut menjadi lebih dingin, dimulai dari timur (Laut Arafuru

dan Laut Timor). Massa air yang dingin menyebar ke arah barat pada saat musim hujan

berlangsung, diikuti oleh peningkatan konsentrasi klorofil-a (seperti yang ditunjukkan oleh

ocean color).

Perubahan ocean color dengan onset monsun tenggara yang bergerak ke arah barat

menunjukkan perubahan musim. Pergeseran ke arah barat pada warna maksimum di wilayah

Arus Jawa mengikuti suhu minimum. Hubungan antara warna dan suhu permukaan laut

dipertahankan melebihi dari wilayah Laut Arafuru wilayah Arus Jawa, dan terutama, di

mana ocean color memiliki minimum di Laut Timor yang melewati zonal wilayah, suhu

permukaan laut lebih tinggi juga. Hubungan suhu permukaan laut ke ocean color yang jelas

untuk monsun tenggara di kawasan timur Indonesia dan di Samudera Hindia bagian timur

tidak terjadi untuk monsun barat laut. Laut Cina Selatan mendingin selama monsun barat

laut, tapi ini tidak disertai dengan peningkatan yang kuat pada ocean color.

5.2 AnomaliKita sekarang beralih ke kasus di mana variabilitas tidak mengikuti pola umum

monsun. Pertama, kita bisa mengajukan pertanyaan seperti mengapa konsentrasi klorofil-a

Page 7: RESUME-ocean Color Variability in the Indonesian Seas During the SeaWiFS Era

terlihat lebih tinggi di zona pesisir Pulau Kalimantan bukan di Pulau Sulawesi. Jawabannya

kemungkinan kombinasi dari limbah sungai, lingkungan pesisir, dan kedalaman perairan.

Kalimantan memiliki sungai besar yang mengalir ke zona pesisir, komunitas mangrove, dan

perairan pesisir dangkal dibandingkan dengan Sulawesi, yang memiliki proporsi yang lebih

tinggi pada terumbu karang [Liu et al., 2006]. Dengan demikian perairan sekitar Kalimantan

memiliki konstituen selain dari klorofil-a yang juga berkontribusi terhadap ocean color,

seperti CDOM, dan partikel yang terkait dengan masukan ke sungai atau komunitas

mangrove. Terumbu karang di Sulawesi ditemukan di perairan yang jernih. Kedalaman

perairan, karakteristik ekosistem pesisir, dan limbah sungai adalah bahan penting untuk

klimatologi ocean color di bagian barat dari Indonesia. Meskipun kita tidak dapat

menggambarkan variabilitas sekitar Kalimantan terhadap efek limbah, perbedaan dalam

struktur ekosistem pesisir tetap/tidak berubah, dan merupakan kemungkinan penyebab

perbedaan.

Kedua, mengapa daerah utara deretan Kepulauan Nusa Tenggara, di Laut Flores, selalu

menunjukkan nilai yang rendah dari ocean color ? Daerah ini menunjukkan nilai yang rendah

bahkan selama monsun tenggara. Suhu permukaan laut sedikit lebih hangat di sini, yang

dapat mengakibatkan terjadinya downwelling. Distribusi angin permukaan, tampaknya

ditemukan jawabannya. Selama inisiasi dari angin monsun tenggara, Laut Flores tampaknya

berada dalam bayangan angin, dan angin yang rendah dikombinasikan dengan downwelling

menghasilkan daerah rendah klorofil-a.

Ketiga, kita mempertanyakan mengapa Selat Karimata tampaknya anomali yang rendah

dibandingkan dengan Laut Jawa. Kedua laut merupakan bagian dari landas kontinen wilayah

yang luas, dan memiliki karakteristik topografi yang sama dan masukan sungai [Liu et al.,

2006]. Satu kemungkinan adalah sifat dari masukan sungai ke zona pesisir, atau alternatif

interaksi efek fisiografi, angin, dan arus di wilayah yang menghasilkan pencampuran vertikal

yang lebih besar dalam Laut Jawa dibandingkan dengan Selat Karimata.

5.3 Variabilitas InterannualEl Nino tahun 1997 adalah peristiwa yang sangat signifikan di Indonesia [e.g., Page et

al., 2002] serta Samudera Hindia [Murtugudde et al., 1999, 2000]. Itu merupakan gejala

klimatologi sampai batas tertentu karena peran kondisi El Nino dimainkan dalam

meningkatkan blooming fitoplankton yang terjadi di selatan Jawa, dengan konsentrasi

klorofil-a mencapai 2-3 mg m-3.

ENSO adalah pendorong utama dari variabilitas dalam suhu permukaan laut, angin, dan

ocean color untuk Wilayah Indonesia. Selama El Nino tahun 1997-1998, angin anomali yang

Page 8: RESUME-ocean Color Variability in the Indonesian Seas During the SeaWiFS Era

bergerak ke timur meningkatkan upwelling di sepanjang pantai Jawa-Sumatera mengurangi

suhu permukaan laut, dan meningkatkan gradien tekanan antara Jawa-Sumatera dan Samudra

Hindia Barat. Angin anomali timur terkait dengan El Nino / IOD yang menghasilkan anomali

upwelling [Susanto et al, 2001a.; Feng dan Meyers, 2003].

Kesimpulannya, variabilitas berasal dari konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut

pada laut Indonesia sangat dipengaruhi oleh monsun AA dan skala yang lebih besar ditambah

fenomena laut - atmosfer yang terkait dengan ENSO dan IOD. Secara umum, konsentrasi

klorofil-a lebih tinggi selama monsun tenggara dibandingkan dengan monsun barat laut. El

Nino tahun 1997/1998, yang bertepatan dengan IOD diintensifkan, upwelling dihubungkan

dengan monsun tenggara. Oleh karena itu setelah El Nino tahun 1997 terjadi peningkatkan

konsentrasi klorofil-a di sepanjang deretan pantai selatan Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara dan

di Laut Banda.