revisi_hasanah_1
DESCRIPTION
kTRANSCRIPT
Pengaruh Defatting, Frekuensi Pencucian, dan Jenis Cryoprotectant pada
Penyimpanan beku Terhadap Mutu Surimi Ikan Lele (Clarias) sp.
Effect of Defatting, Washing cycle , and Cryoprotectant on surimi Frozen storage to
Surimi Quality Fish (Clarias) sp
Hasanah
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu KelautanInstitut Pertanian Bogor
Jl.Rasamala No.1, Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680.Email : [email protected]
AbstractSuirmi is myofibril cosentrate maked by deboning from meat fish and guuting also
has leaching. Process of defatting, leaching frecuency, and kind of cryoprotectant are influence factor of surimi quality. Lele fish is economic fish and many consumed by our society. The aim in this practicum is to know effect of defatting, leaching frequency, and kind of cryoprotectant during frozen storage to surimi quality of lele fish. Tehe best material for defatting process use Na2HPO4 with cosentration 2% during10’. Leaching frequency has effect to teeth cutting test, folding test, gel strength, PLG, pH, and .....Using kind of cryoprotectant
AbstrakSurimi adalah kosentrat miofibril yang dibuat dari pemisahan daging ikan dengan
tulang, dan jeroan serta mengalami pencucian. Proses defatting, frekuensi pencucian, dan jenis cryoprotectant yang digunakan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas surimi. Ikan lele merupakan ikan ekonomis yang banyak dikonsumsi masyarakat. Tujuan praktikum ini untuk mengetahui pengaruh defatting, frekuensi pencucian, dan jenis cryoprotectant selama penyimpanan beku terhadap kualitas dari surimi ikan lele. Bahan terbaik untuk proses defatting menggunakan Na2HPO4 kosentrasi 2% selama 10 menit. Frekuensi pencucian berpengaruh terhadap uji gigit, uji lipat, kekuatan gel, PLG, pH, dan kadar air yang dihasilkan. Frekuensi pencucian terbaik adalah pencucian dua kali. Penggunaan jenis cryoprotectant berpengaruh terhadap kamaboko yang dihasilkan selama penyimpanan. Cryoprotectant terbaik untuk kekuatan gel, PLG, pH, dan kadar air selama penyimpanan adalah cryoprotectant trehalosa sedangkan jenis cryoprotectant terbaik untuk uji gigit dan lipat adalah tanpa cryoprotectant.
PENDAHULUAN
Surimi adalah kosentrat miofibril yang dibuat dari pemisahan daging ikan dengan
tulang, ikan, dan jeroan serta mengalami pencucian. Proses pencucian menggunakan air
dingin untuk menghilangkan lemak dan kandungan yang larut air sehingga didapatkan
protein miofibril. Protein miofibril yang didapatkan dicampur dengan cryoprotectant dan
disebut dengan surimi. Surimi merupakan bahan utama yang digunakan pada gelling food
seperti kamaboko dan fish ball. Surimi umumnya dibuat dalam bentuk block dan disimpan
(Santana et al. 2012).
Surimi pertama kali dibuat 100 tahun lalu di Jepang. Sekarang surimi tidak hanya
sebagai makanan yang populer di Jepang namun di negara lain karena memiliki tekstur yang
unik dan nilai nutrisi yang tinggi. Produk surimi yang diproduksi di Asia Tenggara pada
tahun 2005 sebesar 315.800 juta ton (Santana et al. 2012). Spesies yang umumnya digunakan
sebagai surimi antara lain threadfin bream, bigeye snapper (Thailand) (Lertwittayanon et al.
2013), Alaska pollock, Pacific whiting, Blue whiting, Mackerel, Menhadden (Tina et al.
2010).
Perikanan Indonesia mempunyai potensi untuk pengembangan surimi karena
memiliki keragaman spesies yang tinggi. Bahan baku surimi dapat dimanfaatkan dari ikan
ekonomis dan non ekonomis. Ikan lele merupakan salah satu ikan komoditi utama yang
banyak dibudidayakan di Indonesia. Ikan lele merupakan ikan yang memiliki nilai gizi yang
tinggi, dagingnya berwaqrna putih, pertumbuhannnya cepat, dan biaya pemeliharaanya
murah. Volume produksi ikan lele di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Ikan lele
pada tahun 2007 sebesar 12.395 ton, 2008 sebesar 14.323 ton, 2009 sebesar 12713 ton, 2010
sebesar 14.259 ton, 2011 sebesar 16..739 ton (KKP 2013). Ikan lele memiliki potensi untuk
digunakan sebagai bahan baku surimi.
Pengolahan surimi pada ikan yang berlemak umumnya menggunakan proses
perendaman. Proses perendaman menggunakan asam dan alkali berfungsi untuk
meminimalkan lemak. Pengurangan mioglobin dan lemak lebih mudah terjadi dalam proses
alkali atau asam, bila dibandingkan dengan proses konvensional. Bahan kimia yang sering
digunakan dalam proses perendaman surimi adalah NaHCO3 dan Na2HPO4. Penambahan
natrium bikarbonat (NaHCO3) dengan konsentrasi 0,5-1,0% berfungsi mengurangi
kandungan lemak pada daging dan mengubah warna menjadi lebih baik (Litaay dan Santoso
2013).
Proses pembuatan surimi antara lain deboning, mincing, washing dan dewatering,
refining, screw pressing, penambahan cryoprotectant, dan freezing. Tehnik pencucian
merupakan salah satu faktor yang penting untuk menentukan kualitas surimi (Santana et al.
2012). Pencucian bertujuan untuk memisahkan daging dari bahan yang larut dalam air,
lemak, darah (pigmen-pigmen); untuk memperbaiki flavor dan warna serta meningkatkan
kekuatan gel. Pencucian ini selain dapat membersihkan lemak dan bahan-bahan yang tak
diinginkan seperti darah, pigmen dan substansi penyebab bau juga dapat meningkatkan
konsentrasi protein miofibrilar (aktomiosin) sehingga dapat memperbaiki gel dari protein
daging dan denaturasi protein selama penyimpanan beku (Suharyanto 2007)
Pencucian menyebabkan hilangnya substansi yang larut dalam air seperti protein
sarkoplasmik, enzim pencernaan protease, garam organik dan substansi organik berbobot
molekul rendah. Pencucian dapat menyebabkan hilangnya protein sebesar 15-30% dari total
protein daging giling. Total nitrogen sebanyak 19% didapat berasal dari protein sarkoplasma
yang terbuang bersama bekas air cucian. Protein sarkoplasma lebih banyak ditemukan
(hilang) pada pencucian pertama (Suharyanto 2007) .
Kondisi pencucian berpengaruh terhadap beberapa parameter kualitas surimi.
Pencucian dengan air dingin bersuhu 18°C memiliki kekuatan gel yang lebih baik dari pada
dengan air dingin yang suhunya di bawah 18°C tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap
hilangnya protein daging. Protein dan kadar air daging lumat dipengaruhi oleh rasio antara air
dengan daging lumat dan lamanya dalam satu kali pencucian. Semakin tinggi rasio air :
daging lumat maka otot daging semakin basah dan semakin basah lagi bila waktu pencucian
lebih lama (Suharyanto 2007). Pencucian alkali pada daging ikan sardin (Sardina pilchardus)
memiliki total padatan dan protein yang lebih tinggi pada pencucian dengan larutan dengan
keasaman rendah. Perlakuan pencucian dengan larutan alkali lebih efektif untuk
menghilangkan lemak dan abu. Pencucian dengan kondisi asam maupun alkali dapat
meningkatkan kecerahan dan derajat putih (Karayannakidis et al. 2007)
Frekuensi pencucian juga mempengaruhi beberapa parameter kualitas surimi.
Frekuensi pencucian semakin sering maka semakin banyak protein, lemak, abu dan rendemen
yag hilang tetapi meningkatkan nilai daya mengikat air daging dan kadar karbohidratnya.
Hilangnya protein dan substansi larut air lebih banyak hilang pada saat pencucian pertama
kali (Suharyanto 2007).
Proses pembuatan surimi umumnya menambahkan cryoprotectant. Cryoprotectant
berfungsi untuk meningkatkan kekuatan gel pada surimi. Kekuatan gel pada surimi umumnya
mengalami penurunan selama penyimpanan (Aminudin et al 2013). Cryoprotectant yang
umumnya digunakan dalam pengolahan surimi adalah cryoprotectant komersil dan trehalosa
namun belum diketahui cyroprotectant terbaik pada pembuatan surimi ikan lele sehingga
perlu dilakukan praktikum tentang pengaruh defatting, pencucian, dan pennggunaan
cryoprotectant terhadap penyimpanan surimi ikan lele.
METODOLOGI
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah ikan lele (Clarias gariepinus), natrium bikarbonat,
natrium phospat, garam, sorbitol, sukrosa, sodium triposphate, trehalosa, air, es, akuades, HCl
0,1 N, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH 40 % dan H3BO3.
Alat yang digunakan adalah pisau, talenan, baskom plastik, sendok, karet, tabung
stainless, timbangan digital, meat grinder, food processor, alat pengepres surimi, kain belacu,
panci perebusan, kompor, oven, desikator, kompor, tanur, tabung kjeldahl, erlenmeyer, soxhlet,
kondensor, labu lemak, waring blender, gelas kimia, termometer, pH meter, kertas saring, dan
texture analyzer (TA-XT21) dan sentrifuge.
Metode
Defatting
Ikan lele yang digunakan sebagai bahan baku dipreparasi terlebih dahulu. Bagian yang
diambil dari bahan baku hanya dagingnya. Daging digunakan untuk proses defatting dengan
cara merendam fillet daging ikan dengan air dingin suhu 10oC yang telah dilarutkan garam.
Garam yang digunakan adalah natrium bikarbonat dan natrium phospat. Perlakuan yang
digunakan selama defatting dibagi menjadi dua perlakuan antara lain konsentrasi garam (0, 0,5,
1, 1,5 dan 2%) dan lama perendaman (10, 20 dan 30 menit). Hasil perlakuan terbaik dari tahap
pertama akan digunakan sebagai acuan untuk tahap kedua.
Frekuensi Pencucian
Pencucian dilakukan dengan perlakuan 1,2, dan 3 kali ulangan dan dewatering. Surimi
yang dihasilkan selanjutya diolah menjadi kamaboko. Pengolahan kamaboko dengan cara
menambahkan 3% garam dan 10% air dingin dalam surimi, selanjutnya dicetak dalam
selongsong kamaboko dan direbus pada suhu 40°C dan 90oC selama 30 menit. Surimi dengan
perlakuan pencucian terbaik akan digunakan sebagai acuan pada tahap ketiga.
Penyimpanan Suhu Beku.
Perlakuan pada tahap ini adalah surimi tanpa cryoprotectant, surimi dengan
cryoprotectant komersil (sorbitol 4%, sukrosa 4% dan sodium triposphate 0,5%) dan surimi
dengan cryoprotectant trehalosa 4%. Pengujian karakteristik fisik dalam praktikum ini
dilakukan pada tahap dua dan tiga yaitu kekuatan gel dengan menggunakan texture analyzer
(TA-XT21), pengujian pH dengan menggunakan pH meter, serta uji lipat dan uji gigit
mengacu metode Suzuki (1981). Pengujian karakteristik kimia meliputi kadar proksimat
mengacu pada AOAC (2005) sebelum tahap satu, pengujian kadar lemak (AOAC 2005) pada
tahap satu serta protein larut garam mengacu metode (Shuffle dan Galbraeth 1964) pada tahap
dua dan tiga.
Analisis Data
Data hasil uji lipat dan uji gigit dianalisis dengan menggunakan ANNOVA dan Uji
lanjut uji Dunn.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Komposisi Kimia Ikan Lele
Ikan lele merupakan salah satu ikan komoditi utama yang banyak dibudidayakan dan
dikonsumsi masyarakat. Ikan lele merupakan salah satu ikan yang dapat digunakan sebagai
bahan baku surimi. Hasil analisis proksimat pada ikan Lele dapat dilihat pada Tabel 1.
Sumber : *Rosa et al (2007)
Hasil analisis proksimat ikan lele pada praktikum ini memiliki kadar air dan kadar abu yang
tidak jauh berbeda dengan hasil analisis proksimat ikan lele pada penelitian Rosa et al.
(2007). Kadar lemak yang didapatkan pada praktikum ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kadar lemak lele pada penelitian Rosa et al. (2007) sedangkan kadar proteinnya jauh
lebih rendah. Hal ini disebabkan daging yang digunakan untuk analisis proksimat adalah
daging yang berada dekat dengan perut sehingga lebih banyak memiliki kadar lemak yang
tinggi.
2. Defatting
Proses perendaman pada pengolahan surimi berfungsi untuk mengurangi lemak yang
terdapat pada daging ikan. Proses perendaman pada praktikum ini menggunakan natrium
bikarbonat dan natrium fosfat. Grafik hubungan perendaman dengan kosentrasi Na2HCO3 dan
lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 1. Perendaman dengan natrium bikarbonat pada
Tabel 1 Hasil Analisis Proksimat Ikan Lele
Komposisi Jumlah (%) Jumlah (%)*Kadar protein 3,4 16,80Kadar lemak 8,58 5,70
Kadar abu 0,8 1,00Kadar air 77,2 75,68Kadar karbohidrat 10
kosentrasi 0 % memiliki kadar lemak tertinggi dengan waktu 10’ dan mengalami penurunan
seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman. Kosentrasi natrium bikarbonat yang
efektif untuk menurunkan kadar lemak sebesar 2 % dengan lama perendaman selama 10’.
Penambahan senyawa alkali (Na2HCO3) berfungsi untuk meminimalkan kandungan protein
sarkoplasma, lemak, dan menaikkan nilai pH (Santoso et al. 2010).
0% 0.5% 1% 1,5% 2%0
2
4
6
8
10
12 10.7
0.5
2.22.8
0.4
67.3
4.7
2.43.63.175
2.151.5 1.8 0.70000000000
0001
Grafik hubungan perendaman dengan konsentrasi Na2HCO3 dan lama perendaman
10'
20'
30'
Konsentrasi dan Waktu
Kada
r Lem
ak(%
)
Gambar 1 Grafik hubungan perendaman dengan kosentrasi Na2HCO3 dan lama perendaman
Perendaman dengan natrium fosfat secara umum mengurangi kadar lemak pada ikan.
Grafik hubungan perendaman dengan kosentrasi Na2HPO4 dan lama perendaman dapat
dilihat pada Gambar 2.
0% 0.5% 1% 1,5% 2%0
2
4
6
8
10
12
14
10.7
6.15
3.15 3.81
0.15
65.2
8.35000000000001
12.8
0.4
3.1752.1
3.86
9.65500000000001
4.66
Grafik hubungan perendaman dengan konsentrasi Na2HPO4 dan lama perendaman
10'
20'
30'
Konsentrasi dan Waktu
Kada
r Lem
ak(%
)
Gambar 2 Grafik hubungan perendaman dengan kosentrasi Na2HPO4 dan lama perendaman
Kosentrasi natrium fosfat terbaik untuk mengurangi kadar lemak sebesar 2 % dengan
lama perendaman selama 10’. Penggunaan Na2HCO3 lebih efektif daripada Na2HPO4 pada
kosentrasi 2 % dan lama perendaman 10’. Hal ini disebabakan Na2HPO4 mungkin lebih
bersifat alkali dibandingkan Na2HCO3 walaupun keduanya sama-sama bersifat alikali dan
meningkatkan pH. Penelitian Lestari (2012) yang menunjukkan bahwa pH surimi dengan
pencucian menggunakan Na2HCO3 berkisar 6,76-8,79 sedangkan pH surimi dengan Na2HPO4
berkisar 6,76-8,25. Perendaman dengan bahan yang mendekati titik isoelektrik protein daging
ikan lebih efisien menghilangkan lemak karena sebagian besar protein mengendap keluar
sehingga lemak lebih mudah dilepaskan ke permukaan karena adanya perbedaan densitas
(Karayannakidis et al. 2007). Titik isoelektrik protein ikan berkisar pada pH 5,5 sehingga pH
Na2HPO4 lebih mendekati ke titik isoelektrik protein ikan sehingga lebih efisien dalam
menghilangkan lemak ikan.
Perbedaan kadar lemak selain itu juga dipengaruhi oleh adanya penggunaan metode
perendaman, dimana sifat asam yang dapat memecah lemak mengakibatkan terjadinya
penurunan kandungan lemak dibandingkan perendaman dengan air dan alkali (Litaay dan
Santoso 2013). Fosfat merupakan bahan tambahan yang potensial digunakan pada ikan dan
seafood untuk meningkatkan sifat fungsional produk. Fosfat menyebabkan peningkatan WHC
pada gel sehingga meningkatkan pH (Orawan et al. 2006).
3. Pencucian
Hasil terbaik perendaman kemudian digunakan untuk pembuatan surimi selanjutnya
dengan menggunakan perlakuan pencucian 1, 2, dan 3 kali selama 30 menit. Surimi yang
dihasilkan digunakan untuk pembuatan kamaboko. Kamaboko yang dihasilkan diuji lipat dan
gigit. Hasil analisis ANNOVA menunjukkan bahwa frekuensi pencucian berpengaruh
terhadap uji gigit dan uji lipat kamaboko yang dihasilkan (Fhit > 0,05). Hasil analisis
ANNOVA kemudian dilanjutkan dengan uji Dunn. Hasil uji Dunn untuk uji gigit dapat
dilihat pada Gambar 3.
TP P1 P2 P301234567
1,59a
3,77b
6,64c
5,05d
Uji Gigit
perlakuan
rata
-rat
a uj
i gig
it
Ket : TP = Tanpa pencucian P1 = Pencucian satu kali P2 = Pencucian dua kali P3 = Pencucian tiga kali
Gambar 3 Hasil uji gigit kamaboko
Kekuatan gel kamaboko dapat juga dinilai dengan uji gigit. Uji gigit adalah salah satu
uji sensori terhadap kekenyalan dari produk surimi. Analisis ANNOVA menunjukkan bahwa
frekuensi pencucian berpengaruh terhadap kamaboko yang dihasikan kemudian dilakukan uji
lanjut Dunn. Kamaboko yang dibuat dari surimi hasil pencucian satu kali dengan air dingin
memperoleh skor 3,77 yang berarti kamaboko dari surimi mendekati lunak, pencucian dua
kali memperoleh skor 6,64 berarti kamaboko dari surimi kekenyalannya dapat diterima,
pencucian tiga kali memperoleh skor 5,05 berarti kamaboko dari surimi agak lunak.
Kamaboko yang dibuat dari surimi tanpa perlakuan pencucian memperoleh skor 1,59 yang
berarti mendekati hancur. Frekuensi pencucian terbaik untuk uji gigit adalah pencucian dua
kali. Kamaboko yang dihasilkan pada praktikum ini memiliki kekuatan gel yang rendah
sehingga kamaboko yang dihasilkan lunak dan mudah hancur. Hal ini diduga karena
komposisi kimia dari ikan yang digunakan memiliki nilai protein yang kecil. Kekuatan gel
dari kamaboko meningkat pada pencucian pertama dan kedua serta mengalami penurunan
pada pencucian ketiga. Hal ini disebabkan pengaruh peningkatan fraksi protein miofibril
daging. Protein ini mempunyai kemampuan dalam pembentukan gel yang terbentuk dengan
adanya proses penggilingan, pemanasan dan pemberian garam. Pemberian garam
menyebabkan protein ini larut dan kemudian membentuk gel. Peningkatan kekuatan gel pada
pencucian satu kali juga disebabkan hilangnya beberapa komponen dalam daging ikan yang
dapat menghambat proses pembentukan gel antara lain protein sarkoplasma, lemak, dan
darah (Uju et al. 2004). Peningkatan kekuatan gel pada pencucian dua kali juga disebabkan
hilangnya beberapa komponen dalam daging ikan yang dapat menghambat proses
pembentukan gel. Penurunan kekuatan gel pada pencucian tiga kali disebabkan ikut larut dan
hilangnya protein miofibril.
Kemampuan membentuk gel surimi menentukan kekuatan gel kamaboko yang
dihasilkannya. Kekuatan gel secara sensori dapat dinilai dengan melakukan uji lipat
kamaboko. Hasil uji lipat kamaboko dapat dilihat pada Gambar 4.
TP P3 P1 P20
0.51
1.52
2.53
3.54
4.5
1,1364a
2,2727b
3,2273d
4,0455c
Uji Lipat
perlakuan
rata
-rat
a uj
i lip
at
Ket : TP = Tanpa pencucian P1 = Pencucian satu kali P2 = Pencucian dua kali P3 = Pencucian tiga kali
Gambar 4 Hasil uji lipat kamaboko
Hasil uji lipat pada praktikum ini, pencucian satu kali memperoleh skor uji lipat
3,2273 berarti retak tetapi bisa menyatu bila dilipat dua. Pencucian dua kali memperoleh skor
4,0455 berarti sedikit retak bila dilipat dua. Pencucian tiga kali memperoleh skor 2,2727
berarti retak mendekati patah. Tanpa perlakuan pencucian memperoleh skor 1,1364 berarti
patah seluruhnya bila dilipat dua. Frekuensi pencucian terbaik pada uji lipat adalah pencucian
dua kali. Hasil uji lipat ini sama dengan hasil terbaik dari uji gigit yaitu pencucian dua kali
karena terjadi penghilangan lemak dan komponen yang mempengaruhi pembentukan gel
sehingga kekuatan gel meningkat dan kamaboko yang dilipat retak tetapi bisa menyatu bila
dilipat dua dibandingkan dengan kamaboko tanpa pencucian, pencucian satu dan tiga kali.
Hasil penenlitian yang dilakukan Santoso et al. (2009a) terhadap ikan layang menunjukkan
bahwa pencucian 2 kali menghasilkan kekuatan surimi gel tertinggi. Park dan Lin (2005)
menyatakan bahwa pencucian merupakan tahapan yang penting khususnya untuk ikan-ikan
yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah. Semakin baik hasil uji lipat
(makin sukar retak) tersebut, maka dapat dinyatakan mutu gel ikan yang dihasilkan juga
semakin baik.
Kekuatan gel menentukan mutu kamaboko yang dihasilkan. Kekuatan gel kamaboko
pada pencucian 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 5.
kontrol
P1
P2
P3
574.65
510.35134.4
66.2
kekuatan gel
Gambar 5 Kekuatan gel kamaboko pada pencucian 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada
Kekuatan gel kamaboko pada praktikum ini semakin menurun dengan semakin
banyaknya pencucian. Kekuatan gel kamaboko terbaik ada pada kontrol (tanpa pencucian).
Chen et al. (1997) menyatakan bahwa penambahan siklus pencucian dengan waktu yang
lama akan meningkatkan hidrasi daging lumat dan degradasi protein miofibril, yang akhirnya
menghambat kemampuan membentuk gel.
PLG adalah kelompok protein miofibril yang tersusun oleh aktin dan miosin sebagai
penyusun utamanya. Sifat dari miofibril adalah mudah larut garam dengan kosentrasi 2-3%.
PLG bertanggung jawab terhadap kualitas surimi karena memiliki kemampuan untuk
memebentuk struktur tuga dumensi sel. Nilai PLG kamboko pada pencucian satu, dua, dan
tiga kali dapat dilihat pada Gambar 6.
kontrol
P1
P2
P3
1.74
00.15
0.15
PLG
Gambar 7. Nilai PLG kamboko pada pencucian satu, dua, dan tiga kali
Nilai PLG berbanding lurus dengan nilai kekuatan gel. Nilai PLG mengalami
penurunan dari kontrol, pencucian 1, pencucian 2 dan sama untuk pencucian 3. Hal ini
disebabkan karena adanya degradasi miofibril selama pencucian. Chen et al. (1997)
menyatakan bahwa penambahan siklus pencucian dengan waktu yang lama akan
meningkatkan hidrasi daging lumat dan degradasi protein miofibril, yang akhirnya
menghambat kemampuan membentuk gel.
Nilai pH merupakan parameter yang penting dalam analisis surimi. Hal ini terkait
dengan sifat fungsional dari surimi. Mutu daging ikan segar dapat diindikasikan dengan nilai
pH yang mendekati netral antara 6,8-7,2 Nilai Ph kamaboko pada pencucian satu, dua, dan
tiga kali dapat dilihat pada Gambar 8.
kontrol
P1
P2
P3
6.55
6.53
7
6.76
pH
Gambar 6. Nilai pH kamaboko pada pencucian satu, dua, dan tiga kali
Nilai pH kamaboko pada untuk semua perlakuan menunjukkan bahwa ikan yang
digunakan adalah ikan bermutu daging segar. pH tertinggi terdapat pada perlakuan pencucian
dua kali. Pada pH 7 dihasilkan pembentukan gel terbaik sehingga nilai uji lipat dan uji gigit
terbaik pada pencucian dua kali. Liu et al. (2010) melaporkan pembentukan gel pada daging
ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) terjadi pada pH 5,5-7,5, sedangkan pada pH
8-9 tidak terbentuk gelasi.
Kadar air merupakan faktor penting yang mempengaruhi mutu dari bahan dan produk
pangan. Nilai kadar air kamaboko dengan pencucian satu, dua, dan tiga kali dapat dilihat
pada Gambar 9.
kontrol
P1
P2
P3
77.2
76.6
76.19
79.88
kadar air
Gambar 10. Nilai kadar air kamaboko dengan pencucian satu, dua, dan tiga kali
Nilai kadar air mengalami penurunan pada pencucian satu dan dua kali dan
mengalami peningkatan pada pencucian tiga. Peningkatan kadar air pada pencucian 3 kali
disebabkan semakin banyak frekuensi pencucian semakin banyak air yang tertahan
sehingga kadar airnya tinggi
Jenis cryoprotectant
Pada proses pembuatan surimi, penambahan cryoprotectan berfungsi untuk mencegah
denaturasi protein selama penyimpanan. Proses pembuatan surimi pada praktikum ini
menggunakan tiga perlakuan yaitu surimi tanpa cryoprotectant, surimi dengan cryoprotectant
komersil (sorbitol 4%, sukrosa 4% dan sodium triposphate 0,5%) dan surimi dengan
cryoprotectant trehalosa 4%. Nilai kekuatan gel selama penyimpanan dengan surimi tanpa
cryoprotectant, surimi dengan cryoprotectant komersil (sorbitol 4%, sukrosa 4% dan sodium
triposphate 0,5%) dan surimi dengan cryoprotectant trehalosa 4% dapat dilihat pada Gambar
11.
minggu 0
minggu 1
minggu 2
minggu 3
510.35
428.15225.55167.9
510.35
319.25
340.25
236.45
510.35
355.5
237.7
354.15
Tanpa cryoprotec-tant
Sorbitol, gula dan STPP
Trehalosa
Gambar 11. Nilai kekuatan gel selama penyimpanan
Kekuatan gel kamaboko yang dihasilkan mengalami penurunan setiap minggunya
secara keseluruhan untuk semua perlakuan karena terjadi degradasi protein selama proses
penyimpanan. Pada minggu ke-3 penyimpanan, kekuatan gel kamaboko tertinggi terdapat
pada cryoprotectant dengan trehalosa diikuti dengan cryoprotectant (sorbitol, gula, dan
STPP), dan tanpa cryoprotectant. Trehalosa merupakan cryoprotectant yang dapat
melindungi dari suhu serta menginaktifkan enzim. Penambahan trehalosa kosentrasi 5-7,5%
akan meningkatkan air yang tidak beku dan mencegah denaturasi protein karena
penyimpanan. Trehalosa memiliki peran yang paling besar dalam menghambat denaturasi
protein yang ditunjukkan dengan efektivitas aktivitas Ca2+ ATPase dan kelatutan protein jika
dibandingkan dengan sukrosa dan sorbitol. Breaking force dan deformation paling tinggi
terjadi pada surimi dengan penambahan trehalosa 8 % dan dapat bertahan untuk penyimpanan
24 minggu (Rodiana et al. 2010).
Penurunan nilai kekuatan gel berbanding lurus dengan penurunan PLG. Nilai PLG
selama penyimpanan dengan jenis cryoprotectant yang berbeda dapat dilihat pada Gambar
12.
minggu 0
minggu 1
minggu 2
minggu 3
0
3.115
3.125
3.09 0 4.275
3.43
3.4550 3.22
3.305
3.97
Tanpa cryoprotec-tant
Sorbitol, gula dan STPP
Trehalosa
Gambar 12. PLG selama penyimpanan dengan jenis cryoprotectant yang berbeda
PLG secara keseluruhan mengalami penurunan setiap minggunya selama
penyimpanan. Hal ini disebabkan adanya degradasi protein yang menyebabkan perubahan
sifat fungsional miofibril serta adanya aktivitas enzim proteinase. Faktor yang mempengaruhi
perubahan sifat fungsional protein miofibril antara lain degradasi protein yang dapat
disebabkan oleh aktivitas bakteri dan enzim, denaturasi protein akibat penyimpanan dingin
(Choi et al 2005). Penurunan nilai PLG selama penyimpanan dingin diduga disebabkan juga
oleh aktivitas enzim proteinase seperti katepsin D, kalpain, dan alkali proteinase yang banyak
terdapat pada protein sarkoplasma (Benjakul et al. 1996). Penelitian Rawdkuen et al. (2009)
yang mengatakan bahwa penurunan kadar PLG berbanding lurus dengan kekuatan gel, kadar
PLG yang rendah akan berakibat pada rendahnya kekuatan gel yang dimiliki oleh surimi.
Menurunnya konsentrasi protein larut garam akan menyebabkan ketegangan menurun dan
kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun. Nilai PLG tertinggi pada minggu
ke-3 adalah trehalosa. Hal ini disebabkan trehalosa dapat menghambat denaturasi paling
besar jika dibandingkan dengan cryoprotectant jenis lainnya sehingga perubahan sifat
fungsional protein miofibrilnya paling kecil diantara tanpa cryoprotectant dan cryoprotectant
komersil (sorbitol 4%, sukrosa 4% dan sodium triposphate 0,5%).
Derajat keasaman (pH) mempengaruhi kelarutan protein. Kelarutan protein akan
menentukan kekuatan gel yang dihasilkan. Nilai pH kamaboko dengan jenis cryoprotectant
yang berbeda selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 13.
minggu 0
minggu 1
minggu 2
minggu 3
6.53
6.75
6.64
6.69
6.53
6.87
6.92
6.98
6.53
6.56
6.59
6.7
Tanpa cry-oprotectant
Sorbitol, gula dan STPP
Trehalosa
Gambar 13. Nilai pH kamaboko dengan jenis cryoprotectant yang berbeda selama
penyimpanan
Nilai pH secara keseluruhan mengalami peningkatan sampai pada minggu ke-3.
Kenaikan nilai pH disebabkan proses autolisis yang dapat menguraikan protein sehingga
tercipta kondisi optimum bagi tumbuhnya mikroflora pembusuk dengan menghasilkan
senyawa biogenik amin. Nilai pH tertinggi pada minggu ke-3 terdapat pada cryoprotectant
(sorbitol, gula, STPP) diikuti dengan trehalosa dan tanpa cryoprotectant. Perbedaan nilai pH
ini disebabkan perbedaan sifat bahan yang digunakan pada cryoprotectant. Trehalosa
memiliki peran yang paling besar dalam menghambat denaturasi protein yang ditunjukkan
dengan efektivitas aktivitas Ca2+ ATPase dan kelarutan protein jika dibandingkan dengan
sukrosa dan sorbitol (Rodiana et al. 2010) sehingga menyebabkan kenaikan pH trehalosa
lebih kecil jika dibandingkan dengan sorbitol, sukrosa, dan sodium tripolifosfat.
Kadar air merupakan faktor yang penting dalam penyimpanan suatu bahan atau
produk pangan. Kadar air dengan cryoprotectant berbeda dapat dilihat pada Gambar 14.
Kadar air mengalami peningkatan dari minggu ke-0 sampai minggu ke-3 untuk trehalosa dan
tanpa cyoprotectant serta menurun untuk cryoprotectant komersil. Hal ini disebabkan karena
cryoprotectant trehalosa lebih efektif dalam melindungi dan mengikat air kamaboko daripada
cryoprotectant komersil sehingga lebih efektif mempertahankan kadar air selama
penyimpanan. Penambahan trehalosa kosentrasi 5-7,5% akan meningkatkan air yang tidak
beku dan mencegah denaturasi protein karena penyimpanan. Trehalosa memiliki peran yang
paling besar dalam menghambat denaturasi protein yang ditunjukkan dengan efektivitas
aktivitas Ca2+ ATPase dan kelarutan protein jika dibandingkan dengan sukrosa dan sorbitol
(Rodiana et al. 2010)
minggu 0
minggu 1
minggu 2
minggu 3 76.60%80.29%
81.27%
78.12% 76.60%
75.49%76.13%
76.28%
76.60%
79.68%
77.00%
79.46%
Tanpa cryopro-tectant
Sorbitol, gula dan STPP
Trehalosa
Gambar 14. Kadar air dengan cryoprotectant berbeda selama penyimpanan
Sorbitol dengan kosentrasi 4 % berpengaruh melindungi surimi dari pengeringan
selama penyimpanan. Sorbitol berfungsi untuk mempertahankan sifat fungsional surimi
karena meningkatkan interaksi hidrofobik antara protein-sorbitol komplek sehingga
membantu menstabilkan struktur protein tiga dimensi. Disakarida seperti trehalosa juga
berpengaruh melindungi surimi dari pengeringan selama penyimpanan (Santana et al. 2012).
Uji gigit merupakan uji sensori yang dilakukan terhadap kekenyalan surimi. Nilai uji
gigit dengan jenis cryoprotectant berbeda selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar
15.
Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3.77a3.2a 3.3a
3.88a3.77a
7.1b
4.65b
7.06b
3.77a
7.5b 7.75c 7.63b
Uji Gigit
TCCKCT
Gambar 15. Nilai uji gigit dengan jenis cryoprotectant berbeda selama penyimpanan
Hasil uji gigit menunjukkan terjadi peningkatan selama penyimpanan untuk
kamaboko tanpa cryoprotectant. Uji gigit untuk cryoprotectant komersial mengalami
peningkatan pada minggu ke-1 dan mengalami penurunan pada minggu ke-2 dan ke-3. Uji
gigit untuk cryoprotectant trehalosa mengalami penurunan pada minggu ke-1 dan
peningkatan pada minggu ke-2 dan ke-3. Cryoprotectant terbaik pada uji gigit dengan
menggunakan cyrprotectant komersil. Pada minggu ke-0, uji gigit menunjukkan bahwa
kamaboko memiliki daya lenting lemah. Pada minggu ke-1, kamaboko dengan cryoprotectant
trehalosa memiliki daya lenting lemah sedangkan cryoprotectant komersil dan tanpa
cryoprotectant memiliki daya lenting agak kuat. Pada minggu ke-2, kamaboko dengan
cryoprotectant trehalosa memiliki daya lenting lemah, cryoprotectant komersil memiliki daya
lenting agak kuat, dan cryoprotectant memiliki daya lenting agak lemah. Pada minggu ke-3,
kamaboko dengan cryoprotectant trehalosa memiliki daya lenting lemah sedangkan
cryoprotectant komersil dan tanpa cryoprotectant memiliki daya lenting agak kuat. Hasil uji
gigit terbaik terdapat pada kamaboko tanpa cryoprotectant. Hasil uji gigit ini berbanding
terbalik dengan nilai kekuatan gel dan PLG yang mengalami penurunan seiring dengan
lamanya penyimpanan. Hal ini mungkin disebabkan karena tingkat pengamatan setiap orang
berbeda-beda dan ketidakstabilan protein selama penyimpana Cryoprotectant sorbitol dan
sukrosa berfungsi untuk meningkatkan nilai kekuatan gel karena bersifat mengikat air
(Aminudin et al. 2013).
Hasil uji gigit untuk cryoprotectant komersil (sorbitol, sukrosa, sodium tripolisposfat)
memiliki skor 7 dengan daya lenting agak kuat pada minggu ke-3. Skor ini mendekati dengan
penelitian Kamal et al. (2005) yang menggunakan kombinasi cryoprotectant (sorbitol 4%,
sukrosa 4%, dan polyposfat 0,3%) memiliki nilai uji gigit dengan skor 8 mulai dari minggu
ke-1 sampai minggu ke-3. Penambahan cryoprotectant (sorbitol 4%, sukrosa 4%, dan
polyposfat 0,3% atau sodium tripolyfosfat 0,3%) memiliki efek yang sinergis dalam
membentuk gel.
Uji lipat kamaboko berhubungan dengan nilai kekuatan gel surimi. Uji lipat
merupakan penilaian sensori terhadap kekuatan gel. Hasil uji lipat kamaboko dengan jenis
cryoprotectan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 16.
Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III0
1
2
3
4
5
6
3.22a
1.75a 1.6a1.88a
3.22a
4.6b
2.45b
4.88b
3.22a
4.6b4.85c 4.81b
Uji Lipat
TCCKCT
Gambar 16. Uji lipat kamaboko dengan jenis cryoprotectan selama penyimpanan
Uji lipat kamaboko mengalami peningkatan untuk tanpa cryoprotectant pada setiap
minggu, cryoprotectant trehalosa daya lentingnya mengalami penurunan pada minggu ke-1
dan ke-2 dan mengalami peningkatan pada minggu ke-3, dan cryoprotectant komersil
mengalami peningkatan pada minggu ke-1 dan penurunan pada minggu ke-2 serta
peningkatan pada minggu ke-3. Uji lipat terbaik adalah tanpa cryoprotectant. Hasil uji lipat
yang dihasilkan berbeda dengan hasil uji lipat pada umumnya yang akan mengalami
penurunan selama penyimpanan. Hasil uji lipat juga berbanding terbalik dengan nilai
kekuatan gel dan PLG. Hal ini mungkin disebabkan karena uji lipat merupakan uji sensori
berdasarkan pengamatan setiap panelis terhadap produk kamaboko. Hasil uji lipat untuk
cryoprotectant komersil (sorbitol, sukrosa, sodium tripolisposfat) memiliki skor 4,88 yang
berarti mendekati kualitas AA. Skor ini mendekati dengan penelitian Kamal et al. (2005)
yang menggunakan kombinasi cryoprotectant (sorbitol 4%, sukrosa 4%, dan polyposfat
0,3%) memiliki nilai uji lipat dengan kualitas AA mulai dari minggu ke-1 sampai minggu ke-
3. Penambahan cryoprotectant (sorbitol 4%, sukrosa 4%, dan polyposfat 0,3% atau sodium
tripolyfosfat 0,3%) memiliki efek yang sinergis dalam membentuk gel.
KESIMPULAN
Ikan lele pada praktikum ini memiliki kadar protein yang rendah. Penggunaan
Na2HPO4 dan Na2HCO3 berpengaruh terhadap proses defatting. Bahan terbaik untuk proses
defatting menggunakan Na2HPO4 kosentrasi 2% selama 10 menit. Frekuensi pencucian
berpengaruh terhadap uji gigit, uji lipat, kekuatan gel, PLG, pH, dan kadar air yang
dihasilkan. Frekuensi pencucian terbaik adalah pencucian dua kali. Penggunaan jenis
cryoprotectant berpengaruh terhadap kamaboko yang dihasilkan selama penyimpanan.
Cryoprotectant terbaik untuk kekuatan gel, PLG, pH, dan kadar air selama penyimpanan
adalah cryoprotectant trehalosa sedangkan jenis cryoprotectant terbaik untuk uji gigit dan
lipat adalah tanpa cryoprotectant.
Aminudin N, YS Darmanto, Apri Dwi Anggo. 2013. Pengaruh asam tanat, sukrosa, dan sorbitol terhadap kualitas surimi ikan Swangi (Priacanthus tayenus) selama penyimpanan suhu -5°C. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perairan. 2 (2) : 1-13.
Choi JY, Kang IK, Lanier TC. 2005. Proteolytic enzymes and control in surimi. Di dalam Park JW (ed). Surimi and Surimi Seafood 2nd edition. CRC Press, Boca Raton. P 227-277.
Kamal M, M. Ismail Hossain, M.N. Sakib, FH Shikha, M. Neazudin, M.A.J Bapary, M.N Islam. 2005. Effect salt cocentration and cryoprotectant on gel forming ability of surimi prepared from Queen Fish (Chorinemus lysan) during frozen storage. Pakistan Journal of Biological Sciences. 8 (6) : 793-797.
Karayannakidis PD, Zotos A, Petridis D, Taylor KDA. 2007. The effect of initial wash at acidic and alkaline pHs on the properties of protein concentrate (kamaboko) products from sardine (Sardina pilchardus) samples. Journal of Food Engineering 78: 775–783.
Lertwittayanon K, Soottawat Benjakul, Sajid Maqsood, Angel B Encamacion. 2013. Effect of different salts on dewatering properties of yellowtail barracuda surimi. International Aquatic Research. 5 (10) : 1-12.
Lestari Susi. Penggunaan bahan pencuci alkali dan perendaman fillet dalam pembuatan surimi pada formulasi pempek patin (Pangasius pangasius). [Tesis]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Litaay C, Joko Santoso. 2013. Pengaruh perbedaan metode perendaman dan lama perendaman terhadap karakteristik fisiko kimia tepung ikan Cakalang (Katsuwonus pelanis). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 5 (1) : 85-92.
Park JW, Lin TMJ. 2005. Surimi : Manufacturing and Evaluation. Dalam Park JW (ed.). Surimi and Surimi Seafood. 2nd edition. New York : CRC Press.2: 35-98.
Rosa R, Bandara NM, Nunes ML. 2007. Nutritional quality of African catfish Clarias gariepinus (Burchell 1822): a positive criterion for the future development of the European production of Silurodei. International Journal of Food Science and Technology 42 : 342-351.
Rodiana N, Nurul H, Noryati I. 2010. Loss of functional properties of proteins during frozen storage and improvement of gel forming properties of surimi. Asian journal of Food and Agro Industry. 3(06) : 535-547.
Santana P, Huda N, Yang TA. 2012. Technology for production of surimi powder and potential of application. International Food Research Journal. 19(4) : 1313-1323.
Santoso J, Fie Ling, Ratna Handayani. 2010. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan karakteristik surimi ikan Pari (Trygon sp) dan ikan Kembung (Rastreligger sp).
Suharyanto. 2007. Komposisi proksimat nikumi (surimi like) curing pada beberapa jenis daging yang dicuci (leached) dengan cara kominusi berbeda. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 2 (2) : 91-96.
Uju, Rudy Nitibaskara, Bustami Ibrahim. 2004. Pengaruh frekuensi pencucian surimi terhadap mutu produk bakso ikan jangilus (Istiophorus sp). Buletin Teknologi Hasil Perairan. 8 (2) : 1-10.