sains kimia vol_ 7 no_ 2 juli 2003

42
SAINS KIMIA Volume : 7, Nomor : 2, 2003 ISSN : 1410 – 5152 JURNAL (JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE) Daftar Isi 1. Peranan Pendisperi Minyak Sawit Mentah Terhadap Kompabilitas Pencampuran Plastik Bekas (Jenis Polipropilena) dengan Bahan Pengisi Magnesium Hidroksida Amir Hamzah Siregar ........................................................................................ 28-30 2. Manfaat Beberapa Jenis Bleaching Earth Terhadap Warna CPO (Crude Palm Oil) Emma Zaidar Nasution ...................................................................................... 31-35 3. Studi Perbandingan Penggunaan Kitosan dan Amberjet 1200 Terhadap Penurunan Kadar Logam Tembaga Cu(II) dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom Harry Agusnar .................................................................................................... 36-39 4. Pembuatan Biosensor Urea dengan Transduser Tembaga Khairi ................................................................................................................... 40-43 5. Ketergantungan Temperatur dan pH Terhadap Transpor Sefaleksin ke dalam Eritrosit Manusia Secara In Vitro Matheus T Simanjuntak..................................................................................... 44-50 6. Skrining Toksisitas Beberapa Fraksi Metanol dari Daun Lantana camara L. Rumondang Bulan Nasution ............................................................................. 51-54 7. Analisis Kadar Logam Besi (Fe) dari Minyak Nilam (Patchouly Oil) yang Diperoleh dari Penyulingan dengan Menggunakan Wadah Kaca, Stainless Steel dan Drum Bekas Secara Spektrofotometri Serapan Atom Zul Alfian............................................................................................................. 55-58 8. Analisis Hambatan Karbon dalam Lingkungan Asam – Basa Minto Supeno ...................................................................................................... 59-60 9. Saling Tembus Polimer Antara Karet Alam (SIR –20) dan Poliuretan Thermoplastik Thamrin ............................................................................................................... 61-63

Upload: pratiwi-purnama-sari

Post on 02-Aug-2015

83 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

SAINS KIMIA

Volume : 7, Nomor : 2, 2003 ISSN : 1410 – 5152

2

JURNAL

(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)

Daftar Isi

1. Peranan Pendisperi Minyak Sawit Mentah Terhadap Kompabilitas Pencampuran Plastik Bekas (Jenis Polipropilena) dengan Bahan Pengisi Magnesium Hidroksida

Amir Hamzah Siregar ........................................................................................ 28-30

2. Manfaat Beberapa Jenis Bleaching Earth Terhadap Warna CPO (Crude Palm Oil) Emma Zaidar Nasution...................................................................................... 31-35

3. Studi Perbandingan Penggunaan Kitosan dan Amberjet 1200 Terhadap Penurunan

Kadar Logam Tembaga Cu(II) dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom Harry Agusnar .................................................................................................... 36-39

4. Pembuatan Biosensor Urea dengan Transduser Tembaga

Khairi ................................................................................................................... 40-43

5. Ketergantungan Temperatur dan pH Terhadap Transpor Sefaleksin ke dalam Eritrosit Manusia Secara In Vitro Matheus T Simanjuntak..................................................................................... 44-50

6. Skrining Toksisitas Beberapa Fraksi Metanol dari Daun Lantana camara L.

Rumondang Bulan Nasution ............................................................................. 51-54

7. Analisis Kadar Logam Besi (Fe) dari Minyak Nilam (Patchouly Oil) yang Diperoleh dari Penyulingan dengan Menggunakan Wadah Kaca, Stainless Steel dan Drum Bekas Secara Spektrofotometri Serapan Atom

Zul Alfian............................................................................................................. 55-58 8. Analisis Hambatan Karbon dalam Lingkungan Asam – Basa

Minto Supeno ...................................................................................................... 59-60

9. Saling Tembus Polimer Antara Karet Alam (SIR –20) dan Poliuretan Thermoplastik Thamrin ............................................................................................................... 61-63

Page 2: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

SAINS KIMIA

Volume : 7, Nomor : 2, 2003 ISSN : 1410 – 5152

3

JURNAL

(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)

Ucapan Terima Kasih

Kepada para mitra bestari Jurnal Sains Kimia yang telah mengevaluasi artikel-artikel Jurnal Sains Kimia Volume 7 Nomor 2 Tahun 2003, kami mengucapkan banyak terima kasih: 1) Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D 2 artikel (Bidang Kimia Polimer, Universitas Sumatera Utara) 2) Prof. Dr. Harlinah SPW, M.Sc 2 artikel (Bidang Biokimia, Universitas Sumatera Utara) 3) Prof. Dr. Harlem Marpaung 2 artikel (Bidang Kimia Sensor, Universitas Sumatera Utara) 4) Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc 2 artikel (Bidang Kimia Anorganik, Universitas Sumatera Utara) 5) Dr. Bastian, M.Sc 1 artikel (Bidang kimia Fisika, Universitas Syiah Kuala)

Page 3: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 28-30

28

PERANAN PENDISPERSI MINYAK SAWIT MENTAH TERHADAP KOMPATIBILITAS PENCAMPURAN PLASTIK BEKAS

(JENIS POLIPROPILENA) DENGAN BAHAN PENGISI MAGNESIUM HIDROKSIDA

Amir Hamzah Siregar Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155

Abstrak Magnesium hidroksida tidak bercampur secara homogen dengan plastik bekas (jenis polipropilena) yang disebabkan sifat bahan polimer komponennya mempunyai kepolaran yang berbeda, sehingga menghasilkan campuran yang tidak kompatibel. Peningkatan kompatibilitas campuran dapat dilakukan dengan penambahan bahan pendispersi yang berfungsi sebagai pembasah pada matriks polimer atau bahan pengisi. Dalam penelitian ini digunakan minyak sawit mentah sebagai pembasah dalam campuran polimer. Hal ini diharapkan terbentuknya campuran plastik bekas yang mengandung pengisi magnesium hidroksida lebih kompatibel bila dibandingkan dengan tanpa minyak sawit mentah. Hasil foto Scannning Electron Microscopy (SEM) menunjukkan bahwa permukaan campuran akibat bahan pengisi merata secara baik. interaksi yang terjadi antara plastik bekas dengan magnesium hidroksida dan minyak sawit mentah merupakan interaksi secara fisik.

Kata kunci: Minyak sawit mentah, kompatibel dan Scanning Electron Microscopy. PENDAHULUAN

Poliolefin merupakan bahan termoplatik yang sangat luas pemakaiannya pada kehidupan sehari–hari, karena sifatnya yang mudah diolah, dicetak dan harganya yang relatif murah serta mudah diperoleh (Allen, N.S., 1983).

Maka timbul pemikiran bagaimana usaha yang harus dilakukan untuk memanfaatkan palstik bekas (jenis polipropilena) secara khusus dan poliolefin secara umum, yang tidak terpakai lagi, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena plastik bekas tersebut sulit terdegradasi.

Berdasarkan penelitian terdahulu Hornsby, P.R., (1995), yang menggunakan berbagai asam lemak dan turunannya sebagai pendispersi magnesium hidroksida dalam matriks polipropilena yang menunjukkan

bahwa asam lemak dan turunannya dapat digunakan sebagai penghubung di antara percampuran melalui gugus polar dan non polar dari campuran (Brydson, J.A., 1982).

Untuk menghilangkan sifat mekanis plastik bekas maka ke dalam matriks poliemer tersebut ditambahkan suatu bahan pengisi, yang keduanya di-blending. Blending kedua campuran tersebut tidak dapat bercampur secara homogen disebabkan sifat bahan polimer yang mempunyai komponen kepolaran yang berbeda, sehingga menghasilkan campuran yang tidak kompatibel. Apabila kedua komponen yang dicampurkan akan membentuk suatu sistem nonpolar yang tidak menimbulkan ikatan kimia antara kedua bahan polimer tersebut, oleh karena itu diperlukan bahan lain yang berfungsi untuk mengubah sistem campuran polimer yang dapat meningkatkan

Page 4: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Peranan pendispersi minyak sawit mentah (Amir Hamzah Siregar)

29

kompatibilitas campuran, sehingga terbentuk campuran yang kompatibel dan memiliki sifat mekanis yang tinggi (Feldman, dkk, 1986).

Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian agar plastik bekas tersebut dapat dimanfaatkan kembali dan dapat meningkatkan sifat mekanisnya dengan mencampurkan bahan pengisi magnesium hidroksida dan bahan pendispersi minyak sawit mentah secara ekstruksi pada suhu 180oC dengan variasi campuran yang berbeda-beda. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan spesimen-spesimen yang terbentuk digunakanm untuk pengujian kekuatan tarik, uji bentur, lentur dan analisis mikroskopik elektron payaran (SEM), analisis inframerah (IR) BAHAN DAN METODA Pembuatan campuran plastik bekas dengan Mg(OH)2

Ditimbang 70 g plastik bekas dengan 15 g

Mg(OH)2 kemudian dicampur secara ekstrusi pada suhu 1800C. Dengan cara yang sama dilakukan untuk variasai berat Mg(OH)2, 20,25, 30, dan 35 g. Pembuatan campuran plastik bekas dengan Mg(OH)2 dan minyak sawit

Ditimbang 70 g plastik bekas dengan 15 g

Mg(OH)2 dan 2 g minyak sawit mentah kemudian dicampur secara ekstrusi pada suhu 1800C. Cara yang sama dilakukan untuk variasai berat Mg(OH)2, 20- 35 g dan variasi berat minyak sawit mentah 4-10 gram. Hasil dari campuran tersebut dibuat film dengan alat hydraulic press pada tekanan 100 KN selama 3 menit dan suhu 1800C. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat mekanis campuran minyak sawit mentah, Mg(OH)2 dan polipropilena bekas

Kemuluran polipropilena bekas

menunjukkan sebesar 4,5% dan kekuatan tarik sebesar 0,0035 kgf/mm2. Hal ini memberikan bahwa pencampuran antara 70 g plastik bekas dengan 15 g Mg(OH)2 dan 6 g minyak sawit mentah kekuatan tarik maksimum sebesar 0,1117 kgf/mm2 dan kemuluran sebesar 8,79%.

Kekuatan tarik maksimum sebesar 0,0147 kgf/mm2 dan kemuluran sebesar 13,24%. Hal ini disebabkan karena plastik bekas mengalami regangan oleh pengaruh penambahan Mg(OH)2 dan minyak sawit mentah sehingga mudah putus.

Hasil variasi campuran dengan berat yang berbeda, maka dapat dilihat kompatibilitas yang paling baik pada pencampuran dengan variasi berat Mg(OH)2 20 g dan minyak sawit mentah 8 g. Hal ini disebabkan terdapatnya 3 jenis ikatan yang kompatibel yaitu interaksi Mg(OH)2 dan minyak sawit mentah, sesama PP bekas dan PP bekas dengan Mg(OH)2 dan minyak sawit mentah.

Kekuatan bentur campuran yang berbeda, kompatibilitas yang paling baik adalah pencampuran magnesium hidroksida 30 g dan minyak sawit mentah 8 g. Hal ini disebabkan oleh minyak sawit mentah dapat membasahi permukaan magnesium hidroksida melalui interaksi pada gugus COOH yang polar dan OH dari magnesium hidroksida karena waktu pencampuran terjadi PP bekas dengan mudah berinteraksi dengan minyak sawit mentah melalui gugus alkil dari minyak sawit mentah yang berfungsi sebagai penghubung PP bekas yang non polar.

Hasil dari foto SEM menunjukkan tidak

adanya retakan, rongga-rongga dan gumpalan yang kasar pada campuran. Hal ini diakibatkan oleh adanya pendispersi yang berfungsi untuk menyebarkan magnesium hidroksida pada matriks plastik bekas, sehingga terlihat homogen dan memberikan kompatibilitas yang tinggi.

Page 5: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 28-30

30

KESIMPULAN

Kekuatan tarik campuran dengan adanya

bahan pengisi Mg(OH)2 dan minyak sawit sebagai bahan pendispersi pada matriks PP bekas akan memberikan pengaruh yang besar. Kekuatan tarik maksimum pada pencampuran Mg(OH)2 20 g dan 8 g minyak sawit mentah. Hal ini didukung foto SEM yang menunjukkan permukaan campuran lebih homogen dan memberikan sifat mekanis dan kekuatan lentur yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA Allen, N.S., 1983, “Degradation and Stabilisation of

Polyolefin”, Applied Science Publishers. London.

Hornsby, P.R., 1995, “Interfacial Modification of Polypreopilene Compopsites Filled with Magnasium Hydroksida”, J.Material Sci., 30.

Brydson, J.A., 1982, “Plastic Material”, 4th ed. Butter Worth Sciencetific, London.

Feldman, D, Hartono, A.J., 1986, “Bahan Polimer Konstruksi Bangunan”, Gramedia Utama, Jakarta.

Ketaren, S., 1986, “Minyak dan Lemak Pangan”, Edisi Pertama, UI, Jakarta.

Lawes, G., 1987, “Scanning Electron Microscope and X-Ray Microanalysis”, Jhon Wiley & Sons, London.

Page 6: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Manfaat dari beberapa jenis bleaching earth (Emma Zaidar Nasution)

31

MANFAAT DARI BEBERAPA JENIS BLEACHING EARTH TERHADAP WARNA CPO (CRUDE PALM OIL)

Emma Zaidar Nasution Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan

Abstrak

Telah dilakukan manfaat dari beberapa jenis Bleaching Earth terhadap warna CPO (Crude Palm Oil). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya serap dari bleaching earth. Minyak sawit mentah (CPO) ditambahkan phospat 85 % sekitar 1 ml dari bleaching earth 0,8 %, dipanaskan pada temperatur 1100 C ± 1 jam. Selanjutnya disaring dengan alat Vakum, dan ditentukan warnanya dengan alat Lovibond-tintometer Model E. Hasil yang diperoleh, untuk Simnit minimum daya serapnya 22,27 %, maksimum 36,36 %. Untuk Carbon Aktif minimum 13,63 %, maksimum 19,54 %. Dan untuk Bentonite minimum 12,27 %, maksimum 22,27 %. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan Simnit mempunyai daya serap 36,36 % dengan warna PTPO (Pre Treated Palm Oil) sekitar 14 untuk merah dan 20 untuk kuning. Kata kunci: Bleaching Earth, CPO, phospat, Lovibond-tintometer dan PTPO

PENDAHULUAN

Kelapa sawit di Indonesia dewasa ini merupakan komoditas primadona, luasnya terus berkembang dan tidak hanya merupakan monopoli perkebunan besar negara atau perkebunan besar swasta. Perkebunan kelapa sawit yang semula hanya di Sumatera Utara dan Daerah Istimewa Aceh saat ini sudah mulai berkembang di beberapa propinsi antara lain, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Irian Jaya dan beberapa tempat lain. Permintaan minyak kelapa sawit disamping digunakan sebagai bahan mentah industri pangan juga digunakan sebagai bahan mentah industri non-pangan. Jika dilihat dari produksinya, komoditas kelapa sawit jauh lebih rendah dari pada minyak nabati lainnya.

Agar lebih meningkatkan kegunaan serta manfaat dari kelapa sawit tersebut, maka perlu adanya pengembangan sektor industri yang mengolah minyak sawit mentah (CPO) menjadi bahan jadi.

Sehubungan dengan hal ini PT. PAMINA ADOLINA PERBAUNGAN ikut berperan dalam pengolahan minyak kelapa sawit mentah menjadi minyak jadi. Adapun tahapan pengolahan minyak sawit mentah (CPO) menjadi minyak goreng adalah: a. Tahap Refinasi

Degumming (penghilangan getah) Bleaching (pemucatan) Filtrasi (penyaringan) Dedorasi (penghilangan bau) Deaerasi (penghilangan uap air)

Page 7: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 31-35

32

b. Tahap Fraksionasi yaitu tahap pemisahan minyak menjadi minyak olein melalui proses penyaringan

CPO selain membawa zat tersuspensi

seperti lendir (getah) juga mengandung zat warna yang menyebabkan minyak berwarna merah dan kekuningan. Dimana umumnya warna ini akan mempengaruhi mutu dari minyak yang dihasilkan, sehingga diperlukan pemucatan.

Dengan cara pemucatan ini maka standar warna yang diinginkan dapat diupayakan sesuai dengan keinginan konsumen. Dalam proses pemucatan ini digunakan bahan pemucat (bleaching earth) yang sering juga disebut adsorben. Pemakaian bleaching earth ini harus optimum, sesuai dengan standar mutu warna BPO (bleaching palm oil atau minyak yang dihasilkan dari pemucatan). Dimana BPO yang dihasilkan akan memiliki mutu yang berbeda jika kita menggunakan jenis bleaching earth yang berbeda dan mutu BPO ini perlu untuk diperhatikan (Ritonga, Y, 1996). Pemurnian Minyak Sawit

Tujuan utama dari proses pemurnian adalah untuk menghilangkan rasa serta bau tidak enak, warna sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah dalam industri.

Proses pemurnian minyak sawit dapat

dilakukan dengan dua metode salah satunya yaitu pemurnian fisis. Pemurnian fisis untuk minyak nabati mendapatkan perhatian khusus dalam industri. Metode pemurnian fisis tidak hanya memberikan keuntungan tersendiri berupa rendahnya angka kehilangan minyak, juga menandakan efek polusi lingkungan akibat limbah dari soap stock dan membutuhkan

operasi yang lebih murah bila dibandingkan dengan pemurnian kimia. Proses Pemurnian Fisis Awal: Penghilangan getah

Proses penghilangan getah merupakan suatu proses pemisahan getah dan lendir-lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air, rsin, tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Pemucatan

Proses ini bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan dengan mencampur minyak dalam sejumlah pemucatan seperti bleaching earth, lempung aktif, dan arang aktif atau menggunakan bahan kimia lainnya.

Penghilangan bau

Merupakan proses tahap pemurnian yang bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa tidak enak dalam minyak. Prinsip penghilangan bau yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam tekanan atmosfer atau keadaan vakum. Proses Pemucatan (Bleaching)

Proses netralisasi diikuti dengan proses pemucatan (bleaching). Untuk proses ini dapat dipergunakan bahan-bahan yang berbeda seperti non-activated clay dan activated carbon, yang paling populer adalah activated bleaching earth karena dipergunakan untuk mengurangi atau menghilangkan pengotor (impurities) yang tidak diinginkan pada minyak nabati.

Page 8: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Manfaat dari beberapa jenis bleaching earth (Emma Zaidar Nasution)

33

Berikut ini diberikan sifat-sifat bleaching earth yang dapat berfungsi sebagai:

1. Bahan penyerap (adsorbtive material)

2. Asam berbentuk padat (solit acid) 3. Katalis (catalyst) 4. Penukar kation (Cation exchange)

Jenis-Jenis Bleaching Earth a. Simnit

Simnit merupakan nama dagang untuk sejenis tanah lempung yaitu kaolin. Kaolin adalah mineral lempung berwarna putih, bersusunan kimia Al2O32SiO22H2O (hidrous aluminium silikat) yang merupakan hasil ubahan atau pelapukan dari felspar atau mika. Kaolin memiliki nilai ekonomi cukup besar sebagai bahan keramik, pemutih dan pengisi kertas. b. Carbon Aktif

Carbon (arang) merupakan adsorben

yang paling banyak dipakai untuk menyerap zat-zat dalam larutan. Zat ini dipakai di pabrik untuk menghilangkan zat warna dalam larutan. Aktivasi carbon bertujuan untuk memperbesar luas permukaan arang dsengan membuka pori-pori yang tertutup, sehingga memperbesar kapasitas adsorbsi terhadap zat warna. c. Bentonite sebagai tanah pemucat

Bentonite merupakan nama

perdagangan untuk sejenis lempung yang mengandung mineral monmorilonite (pembangun struktur bentonite). Lempung ini merupakan batuan silica yang berasal dari kerangka organisme aquatik mikroskopik. Sisa kerangka ini pertama-tama membentuk lumpur yang kemudian

termampatkan. Rumus kimia bentonite adalah (MgCa)Oal2O3 5SiO28H2O. BAHAN DAN METODA Bahan

Minyak sawit mentah, bentonite, carbon aktif, asam phospat dan bleaching earth jenis sinnit. Metoda

Minyak sawit mentah (CPO) yang akan digunakan untuk analisis ditentukan warnanya dengan alat lovibond-tintometer model E. Kemudian ditimbang minyak sawit mentah (CPO) sebanyak 100 gr dan dimasukkan kedalam beaker glass 250 ml. Diberi stirer / batang pengaduk dan dipanaskan diatas heater hingga mencapai suhu 800 C. Setelah suhu 800 C, ditambahkan asam phospat 85 % sebanyak 1 ml dan bleaching earth jenis simnit sebanayk 0,8 % dari jumlah minyak sawit mentah (CPO) yang digunakan. Dipanaskan kembali sampai suhu 1100 C dan dipertahankan suhunya selama satu jam. Setelah satu jam disaring dengan alat vakum, filtratnya ditampung dengan beaker glass dan kemudian diukur warnanya dengan alat lovibond-tintometer model E.

Perlakuan yang sama dilakukan dengan

menggunakan bleaching earth dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 0,8 %, 1 % dan 1,2 % dan bleaching earth jenis yang lain yaitu Bentonite dan carbon aktif. Dan untuk setiap penambahan bleaching earth, perlakukan diulangi sebanyak tiga kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis yang diperoleh adalah:

Page 9: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 31-35

34

Tabel : Hasil pemakaian beberapa jenis bleaching earth di laboratorium

Warna CPO Warna BPO (Bleached Palm Oil)

Kuning Merah Kuning Merah

Jenis bleaching

earth

Persentase (%) belaching

earth I II I II III -x I II III -x

Power dari

bleaching earth

Simnit

Carbon aktif

Bentonite

0,8 % 1 %

1,2 %

0,8 % 1 %

1,2 %

0,8 % 1 %

1,2 %

20 20 20

20 20 20

20 20

22 22 22

22 22 22

22 22 22

20 20 20

20 20 20

20 20 20

20 20 20

20 20 20

20 20 20

20 20 20

20 20 20

20 20 20

20 20 20

20 20 20

20 20 20

16,8 14,9 14

18,7 18,1 17,7

19,2 17,6 17,1

17 15

13,9

18,9 18,1 17,5

19,3 17,7 17

17,2 15,1 14,1

18,9 18,2 17,8

19,3 17,6 17,1

17 15 14

19

18,2 17,7

19,3 17,6 17

22,72 % 31,81 % 36,36 %

13,63 % 17,27 % 19,54 %

12,27 %

20 % 22,72 %

Pembahasan

Dari hasil analisis diperoleh daya serap

simnit pada 0,8 % yaitu 22,72 % dengan warna 17, pada 1 % yaitu 31,81 % dengan warna 15, dan pada 1,2 % yaitu 36,36 % dengan warna 14. Kemudian Bentonite pada 0,8 % yaitu 12,27 % dengan warna 19,3, pasa 1 % yaitu 20 % dengan warna 17,6, dan pada 1,2 % yaitu 22,72 % dengan warna 17. Sedangkan carbon aktif pada 0,8 % yaitu 13,36 % dengan warna 19, pada 1 % yaitu 17,27 % dengan warna 18,2, dan pada 1,2 % yaitu 19,54 % dengan warna 17,7. Dari haisl diatas maka bleaching earth yang mempunyai daya serap yang paling baik adalah Simnit dengan persen penambahan bleaching earth 1-1,2 % yang menghasilkan warna PTPO (Pre Treated Palm Oil) sekitar 14-15. Dan warna ini telah memenuhi standar warna BPO (Bleaching Plam Oil) yang telah ditetapkan untuk industri minyak goreng.

Simnit mempunyai daya serap yang lebih

baik dibanding dengan bentonite clay dan karbon aktif dikarenakan simnit mempunyai luas permukaan yang lebih luas atau partikelnya sangat halus, dan dengan penambahan asam phospat sebagai pengaktif akan menyebabkan penyerapan terhadap warna (karoten) dan pengotor-pengotor yang terdapat pada minyak mentah (CPO) itu lebih optimum. Pemucatan dengan asam akan lebih

baik jika dibandingkan dengan hasil pemakaian tanah pemucat saja. Karena asam akan merombak struktur tanah dan mengeluarkan air dari partikel tanah pemucat sehingga luas permukaan tanah lebih besar. Selain itu komposisi mineral penyusun bleaching earth juga mempengaruhi kemampuan penyerapannya.

Bentonite mempunyai kemampuan untuk

menyerap lebih buruk bila dibandingkan dengan simnit, hal ini disebabkan oleh mudahnya partikel bentonite mengembang apabila terkena air. Akibatnya partikel tersebut akan lebih besar, partikel yang lebih besar akan memiliki luas permukaan penyerapan yang lebih kecil dan mengurangi aktifitas tanah pemucat. Demikian halnya dengan carbon aktif, karena efisiensi adsorbsi arang tergentung dari perbedaan muatan listrik arang dan zat atau ion yang diserap. Bahan yang mempunyai muatan listrik positip akan diserap lebih efektif oleh arang dalam larutan yang bersifat basa, dan sebaliknya.

Dari sifat-sifat tersebut, meskipun

diberikan perlakuan yang sama ternyata yang memiliki kemampuan penyerapan yang optimum adalah Simnit, dengan jumlah pemakaian yang tidak terlalu banyak sehingga biaya yang dikeluarkan juga tidak banyak.

Page 10: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Manfaat dari beberapa jenis bleaching earth (Emma Zaidar Nasution)

35

KESIMPULAN

Dari analisis diperoleh jenis bleaching earth yang terbaik adalah Simnit, dengan daya serap 36,36 % pada penambahan bleaching earth 1,2 % dengan warna PTPO (Pre Treated Palm Oil) sekitar 14 untuk merah dan 20 untuk kuning.

DAFTAR PUSTAKA

Ketaren, S., 1986, Minyak dan Lemak, Penerbit UI-

press, Jakarta. Reza, Suyatno, 1994, Kelapa Sawit, Penerbit Kanisius,

Yokyakarta. Ritonga, Yusuf, M., 1996, Tanah Pemucat, Fakultas

Teknik USU, Medan. Ritonga, Yusuf, M., 1999, Pengaruh Suhu Pemanasan

Minyak Kelapa Sawit, Fakultas Teknik USU, Medan.

Shadily, Hasan, 1982, ensiklopedia Indonesia, Jilid 3, Penerbit ICMTIAR Baru, Van Hoek, Jakarta.

Tampubolon, E., 1983, Pengembangan Kaolin di Sumatera Utara, Departemen Perindustrian, Medan.

Tim Penulis, PS., 1999, Usaha Budidaya, Pemanfaatn Hasil dan Aspek Pemasaran, Cetakan ke-2, PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Page 11: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 36-39

36

STUDI PERBANDINGAN PENGGUNAAN KITOSAN DAN AMBERJET 1200 TERHADAP PENURUNAN KADAR

LOGAM TEMBAGA Cu (II) DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

Harry Agusnar Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan

Abstrak Penggunaan kitosan selaku biopolimer alam dan resin komersial penukar kation Amberjet 1200 selaku polimer sintesis dapat dibandingkan dalan menurunkan kadar logam tembaga (Cu) dari larutan sampel standar CuSO4.5H2O dalam ukuran 100 mesh partikel yang sama. Proses penurunan kadar logam Cu ini dilakukan dengan memvariasikan waktu perendaman dan berat kotosan dan Amberjet 1200 yang digunakan dalam kolom kaca. Setelah pengukuran dianalisis dengan Spektrofotomer Serapan Atom. Kemampuan penyerapan kitosan lebih besar untuk menurunkan kadar logam Cu dibandingkan Amberjet 1200 dan kondisi optimum diperoleh 98,84% untuk kitosan dan 96,05% untuk Amberjet 1200.

Kata Kunci: Kitosan, Amberjet 1200, Resin.

PENDAHULUAN

Kitosan merupakan biopolimer alam

yang dihasilkan dari kitin yang terdapat pada penyusun cangkang kulit keras udang, kepiting, serangga atau jamur. Kitosan mempunyai sifat yang khas seperti biokatalistik, biodegradasi dan tidak beracun. (Muzzarelli, 1997)

Kitosan bersifat polielektrolit kationik kuat yang berpotensi tinggi untuk menyerap logam-logam yang berfungsi sebagai agen pengkelat dan selanjutnya membentuk komplek kitosan dengan logam. (Robert G.A., 1992)

Menurut Tokura (1987), penggunaan larutan kitosan untuk menyerap logam berat harus terlebih dahulu disesuaikan pH larutannya. Metode yang akan digunakan

dalam menanggulangi modul pencemaran air limbah pada logam berat dengan pengaturan pH larutan agar logam tersebut mengendap, penambahan suatu zat pengkomplek, penambahan zat penukar ion yang bersifat kationik, adsorbsi, koagulasi dan flukolasi. (Peter G., 1993)

Salah satu resin penukar ion komersial seperti Amberjet 1200 sangat efektif dalan pengumpulan sisa-sisa logam, karena merupakan penukar ion asam kuat yang bersifat kationik dengan suatu anion polimerik berupa stirena-divinilbenzen sulfonat dan kitosan aktif berupa Natrium (Na+) yang dapat bertukar secara reversibel dengan kation-kation lain dalam larutan yang mengelilinginnya tanpa disertai terjadinya perubahan fisika dan bersifat komplek. (Flick, E. W., 1992)

Page 12: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Studi perbandingan penggunaan kitosan (Harry Agusnar)

37

BAHAN DAN METODA Bahan

Kitosan, Amberjet 1200, CuSO4.5H2O, Asam Asetat, NaOH. Metoda 1. Penggunaan Kitosan pada Sampel

Standar Kitosan dengan ukuran 100 mesh ditimbang dengan variasi berat dan dimasukkan ke dalam kolom kaca lalu ditambahkan larutan sampel standar Cu2+ dengan konsentrasi 10 ppm volume 50 ml. Kemudian direndam dengan variasi waktu lalu disaring. Filtratnya diambil dan dibuat pH 3 lalu

dianalisis dengan Spektrofotometr Serapan Atom.

2. Penggunaan Amberjet 1200 pada

Sampel Standar Amberjet 1200 dengan ukuran 100 mesh ditimbang dengan variasi berat dan dimasukkan ke dalam kolom kaca lalu ditambahkan larutan sampel standar Cu2+ dengan konsentrasi 10 ppm dalam volume 50 ml. Kemudian direndam dengan variasi waktu lalu disaring. Filtratnya diambil dan dibuat pH 3 lalu dianalisis dengan Spektrofotometer Serapan Atom.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Tabel 1. Data perbandingan persentase (%) penurunan kadar logam Cu2+ 10 ppm dengan penggunaan kitosan

dan amberjet 1200 1g dengan variasi waktu dalam kolom kaca

Penggunaan Kitosan Penggunaan Amberjet 1200 Waktu (Menit) [ ] awal Cu2+

(ppm) [ ] akhir Cu2+

(ppm) Kadar Penurunan (%) [ ] awal Cu2+ (ppm)

[ ] akhir Cu2+ (ppm)

Kadar Penurunan (%)

5 10 0,8378 91,62 10 1,5097 84,90

10 10 0,6906 93,09 10 0,9473 90,53

15 10 0,1158 98,84 10 0,4263 95,84

20 10 0,2271 95,53 10 0,6906 93,09

30 10 0,5973 94,02 10 0,9793 90,02

Tabel 2. Data perbandingan persentase (%) penurunan kadar logam Cu2+ 10 ppm dengan variasi berat

penggunaan kitosan dan amberjet 1200 selama 15 menit dalam kolom kaca

Penggunaan Kitosan Penggunaan Amberjet 1200 Berat (gram) [ ] awal Cu2+

(ppm) [ ] akhir Cu2+

(ppm) Kadar Penurunan (%) [ ] awal Cu2+ (ppm)

[ ] akhir Cu2+ (ppm) Kadar Penurunan (%)

0,5 10 0,3281 96,72 10 0,8766 91,23

0,75 10 0,2184 97,81 10 0,5021 94,98

1 10 0,1158 98,84 10 0,4163 95,84

3 10 0,3112 96,88 10 0,2947 97,05

5 10 0,4364 95,64 10 0,4851 95,15

Page 13: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 36-39

38

PEMBAHASAN

Penggunaan kitosan dan resin komersil penukar kation Amberjet 1200 sebagai padatan penurunan kadar logam tembaga (Cu) telah dilakukan dari larutan standar CuSO4.5H2O. Pengamatan penurunan kadar logam Cu oleh kitosan yang diperoleh dengan metode Alimuniar dan Zainuddin, R., dan resin komersil Amberjet 1200 ini didasarkan pada variasi selang waktu perendaman dalam kolom kaca dan variasi berat kitosan dan Amberjet 1200 yang digunakan dalan kolom tersebut.

Kondisi optimum Amberjet 1200 dalam menurunkan kadar logam Cu pada penelitian ini adalan penggunaan Amberjet 1200 3g dalan waktu perendaman 15 menit dimana pada kondisi tersebut persentase (%) penurunan kadar logam Cu mencapai 97,05% seperti ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2. Hasil penurunan kadar logam Cu yang diperoleh pada kondisi tersebut dikarenakan sejumlah/kapasitas logam Cu telah secara tepat dan lengkap difiksasi (dilekatkan tetap) pada badan/struktur resin Amberjet 1200, dimana kation-kation bebas yang terdapat pada Amberjet 1200, yakni kation-kation Natrium (Na+) telah saling bertukar secara sempurna dengan kation-kation lain dalam larutan yang berkontak dengannya, yakni kation logam tembaga (Cu2+) hingga telah tercapai kondisi kejenuhan pertukar yang maksimal.

Pada penelitian ini didapat hasil penurunan kadar logam Cu kitosan lebih besar dibanding resin komersil Amberjet 1200, hal ini disebabkan penurunan kadar logam Cu dengan cara pengkelatan/pengikatan logam oleh kitosan yang didukung oleh sifat hidrofilitas yang tinggi dari sejumlah besar gugusan hidroksil. Sejumlah besar gugusan amino primer beraktifitas tinggi, dan struktur yang fleksibel dari rantai polimer kitosan, terbukti lebih baik dan lebih besar kapasitasnya dibanding dengan penurunan kadar logam Cu oleh resin

penukar kationik Amberjet 1200 yang sekedar mempertukarkan kation-kation aktifnya dengan kation-kation dalam larutan yang berkontak dengannya.

Penggunaan kitosan yang merupakan biopolimer alam adalah sangat ramah lingkungan dibanding resin komersil Amberjet 1200 yang merupakan polimer sintetis. Sehingga, untuk masa yang akan datang diharapkan bahwa kemampuan kitosan efektif ini dapat dimanfaatkan untuk menurunkan kadar logam-logam berat pada air limbah industri. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian diperoleh kondisi waktu penyerapan optimum kitosan dan Amberjet 1200 dalam kolom 15 menit, sedangkan berat optimum penggunaan kitosan 1g dan Amberjet 3g. Pada kondisi optimum tersebut, kitosan menurunkan kadar logam Cu sebesar 98,84% sedangkan Amberjet 1200 sebesar 97,04%.

DAFTAR PUSTAKA Muzzarelli, R. A. A., 2001, “The Chitin Handbook”.

Pergamon Press. Oxford. Robert, G. A. F., 1992, “Chitin Chemstry”. Mc

Millan. Houndmills. Hutahean, S. Ida, 2001, “Penggunaan Kitosan

Sebagai Penyerap Terhadap Logam Zinkum (Zn2+) dan Logam Kromium (Cr2+) dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom”. Skripsi Jurusan Kimia FMIPA – USU Medan.

Peter, G. Martin, 1993, “Application and Evironmental Aspects of Chitin and Chitosan”, Universität Postdam. Germany.

Palar, H. 1999, “Pencemaran dan Toksikologin Logam Berat”. PT. Rhineka Cipta. Jakarta.

Flick, W. Ernest. 1992, “Industrial Synthetic Resins Handbooks”. 2nd ed. Interscience Publisher A Division of Jhon Willey and Sons Inc., New York.

Simatupang Lisnawati, 1999, “Studi Perbandingan Penggunaan Kitosan Dan Kitin Sebagai Bahan Penyerap Dalam Analisis Logam Tembaga (Cu2+) Dengan Metode Pelarutan”. Skripsi Jurusan Kimia FMIPA – USU Medan.

Page 14: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Studi perbandingan penggunaan kitosan (Harry Agusnar)

39

Helfferich, G. Friedrich, 1995, “Ion Exchange”. Dover Science Book. Hardcover. London.

Slater, M. J. 1991, “Principles of Ion Exchange Technology”. Pergamon Press. Oxford.

Owen, L. Deans, 1995, “Practical Principles of Ion Exchange Water Treatment”. Elsevier. Amsterdam.

Hermawan, Dhanny, 2001, “Studi Perbandingan Analisis Logam Tembaga dan Logam Besi Dengan Menggunakan Arang Aktif Sekam Kayu dan Arang Aktif Komersial Dengan Metode Spektrofotometer Serapan Atom”. Skripsi Jurusan Kimia. FMIPA USU. Medan.

Kirk, and Othmer (Eds), 1991, “Adsorption Theoritical Encyclopedia of Chemical Technology”, 2nd ed. Vol. I. Interscience Publisher A Division of Jhon Willey and Sons Inc. New York.

Khopkar, S. M., 1993, “Konsep Dasar Kimia Analitik”. UI-Press. Jakarta.

Mulja Muhammad, 1995, “Analisis Instrument”. Airlangga Press. Surabaya.

Haswel, S. J., 1991, “Atomic Absorbtion Spectrometry, Theory, Design, and Applications”. Elsevier. New York.

Page 15: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 40-43

40

PEMBUATAN BIOSENSOR UREA DENGAN TRANSDUSER TEMBAGA

Khairi Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Syiah Kuala Jl. Darussalam Banda Aceh

Abstrak Pada penelitian ini dilaporkan pembuatan biosensor urea dengan metode potensiometri secara elektroda selektifion (ESI). Elektroda ini disebut elektroda urea tipe kawat terlapis. Elektroda urea diimobilisasi oleh enzimurease secara entrapmen pada kawat tembaga berdiameter 0,2 mm dengan komposisi membran PVC(polivinilklorida) : THF (tetrahidrofuran) : urease = 10 mg : 1,5 mL : 200 mg. Konsentrasi urea dalam sampelditentukan berdasarkan perubahan pH yang dihasilkan dari reaksi hidrolisis katalitik urea oleh urease. Biosensorurea dengan transduser tembaga memiliki sensitivitas 47,8 mV/dekade, waktu respon 135 detik dan stabilitasnyaadalah 14 hari. Kata Kunci: Biosensor, urease, Elektoda selektif ion (ESI).

PENDAHULUAN Urea adalah senyawa kimia yang dapat

terbentuk secara biologis dalam tubuh mahluk hidup, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Dalam tubuh manusia, pembentukan urea terjadi sebagai produk akhir dari siklus nitrogen dalam hati. Senyawa ini digunakan dalam pembentukan asam-asam amino sebagai unsur-unsur protein yang sangat berguna bagi tubuh (Mayes, 1985). Kadar urea yang berlebihan dapat mengganggu proses kerja ginjal, atau dalam istilah kedokteran dikenal dengan istilah “gagal ginjal”.

Metode penentuan urea biasanya menggunakan metode spektrofotometri, yaitu metode yang menggunakan reaksi antara urea dengan diasetilmonoksim menghasilkan warna kuning dan diukur nilai absorbansinya Cara lain untuk mrengetahui kadar urea adalah dengan metode potensiometri secara elektroda selektif ion (ESI). Metoda ESI yang dikembangkan untuk penentuan kadar urea adalah dengan menggunakan biosensor urea.

Dalam peralatan biosensor urea, enzim urease berfungsi sebagai substrat dengan cara diimobilisasi, dan sejumlah senyawa kimia sebagai matriks untuk mengikat enzim seperti, PVC, glutaraldehid dan sejumlah zat kimia lain sebagai komponennya, serta kawat logam sebagai transdusernya (konduktor).

Pengembangan biosensor urea saat ini sedang intens dengan tipe kawat terlapis disebabkan bentuknya kokoh, simpel pembuatannya, waktu respons cepat, ekonomis, sampel tanpa pemisahan dan miniatur tetapi waktu hidupnya (stabilitasnya) terbatas (Alexander, 1981). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan biosensor urea dengan melapiskan urease pada logam antimoni dengan matriks PVC diperoleh sensitivitas 44 mV/dekade dan stabil selama 7 hari (Alexander, 1981), menggunakan titanium yang dilapisi iridium oksida dalam matriks PVC diperoleh sensitivitas -51 mV/dekade dan stabil selama 12 hari (Ianniello, 1983), sedangkan menggunakan wolfram dengan pereaksi glutaraldehid diperoleh sensitivitas 57,1 mV/dekade dan

Page 16: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Pembuatan biosensor urea (Khairi)

41

stabil selama 29 hari (Przybyt, 1990). Selanjutnya Widihastono (1992) menggunakan wolfram dalam matriks PVC diperoleh sensitivitas 52 mV/dekade dan stabil selama 35 hari.

Lee (1986) melaporkan, elektroda tembaga dapat digunakan untuk penentuan ion nitrat, dan sensitivitasnya 59,4 ± 0,5 mV/dekade. Data tersebut menunjukkan, bahwa logam Cu responsif terhadap pH, dan dapat dijadikan sebagai elektroda. Dari hasil penelitian Lee di atas, logam tembaga sangat cocok untuk dijadikan konduktor dalam pembuatan biosensor urea. BAHAN DAN METODA

Pembuatan Elektroda Urea

Kawat tembaga berdiameter 0,2 mm dilapisi dengan larutan tetrahidrofuran (THF), urease, dan polivinilklorida (PVC) sebagai matriks. Elektroda yang dilapisi ketiga bahan tersebut dicelupkan dengan ketebalan dan kandungan urease yang bervariasi. Tabel 1. Komposisi bahan membran elektroda urea

Komposisi Bahan Membran Elektrod

a PVC

(mg)

THF (mL)

Urease (mg)

Pencelupan

A 10 1,5 200 5 kali B 10 1,5 200 3 kali C 10 1,5 100 5 kali

Penentuan Sensitivitas (Faktor Nernst) Larutan standar urea disiapkan yaitu 10-5,

10-4, 10-3, 10-2, dan 10-1 M. Masing-masing larutan standar diukur potensial elektrodanya. Potensial elektroda yang terukur (mV) diplotkan terhadap log urea, dan dihasilkan sensitivitas elektroda urea.

Penentuan waktu respons Larutan standar urea disiapkan yaitu 10-

4, 10-3 dan 10-2 M. Potensial elektroda dari

masing-masing larutan diukur setiap 30 detik sekali, sampai diperoleh harga potensial yang konstan. Apabila harga potensial sudah konstan, pengukuran waktu respon dihentikan.

Penentuan stabilitas

Disiapkan sederetan larutan standar urea. Masing-masing larutan analit diukur potensial elektrodanya setiap 3 hari sekali dan ditentukan sensitivitas elektroda urea. Pengukuran sensitivitas dihentikan apabila sensisitivitas (slope) yang dihasilkan mengalami penurunan sebesar ± 2 mV/dekade (Mitrakas, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN

Sensitivitas (Faktor Nernst)

Sensitivitas biosensor urea diperoleh dengan cara, memplotkan potensial elektroda urea dengan log urea pada berbagai konsentrasi. Sensitivitas yang didapat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai sensitivitas biosensor urea dengan

transduser tembaga

Dari Tabel 2 dapat diketahui, bahwa

biosensor urea transduser tembaga membran A, merupakan biosensor terbaik dari ketiga jenis membran di atas. Sensitivitas yang dihasilkan adalah 47,8 mV/dekade. Nilai sensitivitas yang diperoleh masih jauh dari harga ideal yaitu 59,1 mV/dekade dan lebih rendah bila dibandingkan menggunakan transduser wolfram yaitu 52,1 mV/dekade (Widihastono, 1992). Hal ini disebabkan, logam wolfram lebih inert dan konduktivitasnya lebih baik dibanding logam tembaga.

Waktu respons

No. Jenis Membran Sensitivitas 1 Membran A Y = 47,8 x + 310,3 2 Membran B Y = 38,9 x + 289,5 3 Membran C Y = 35,9 x + 229,2

Page 17: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 40-43

42

Waktu respons biosensor urea transduser tembaga dengan berbagai jenis membran, dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Waktu respon biosensor urea transudser

tembaga dengan berbagai jenis membran Waktu respon (detik) pada log urea

Perlakuan -4 -3 -2

Membran A 210 165 135 Membran B 225 195 150 Membran C 240 195 150

Biosensor urea transduser tembaga

membran A, waktu responnya lebih cepat dibandingkan dengan jenis membran lain. Waktu respon tercepat adalah pada konsentrasi log urea 10-2 M, yaitu 135 detik. Dari tabel 3 dapat diketahui, bahwa semakin rendah konsentrasi urea, waktu respon yang diperoleh semakin lama. Hal ini disebabkan, proses difusi antara urease dengan analit untuk mencapai kesetimbangan pada konsentrasi yang rendah membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pada konsentrasi yang lebih tinggi (Alexander, 1981). Stabilitas biosensor

Penentuan stabilitas dari biosensor urea didasarkan pada perbedaan nilai sensitivitas awal dengan sensitivitas pada waktu pengukuran terakhir. Bila selisih tersebut 2 mV/dekade maka pengukuran masih stabil (Mitrakas, 1991). Stabilitas ditentukan pada satuan hari. Nilai sensitivitas stabilitas dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Stabilitas biosensor urea transduser tembaga

No Hari Ke-

Sensitivitas Awal

(mV/dekade)

Perbedaan Sensitivitas Dengan

Hari Ke – 1 (mV/dekade)

1. 1 47,8 - 2. 4 47,6 0,2

3. 7 47,2 0,6 4. 10 46,7 1,1 5. 13 46,1 1,7 6. 14 45,1 2,1

Dari Tabel 4 dapat diketahui, bahwa

biosensor urea transduser tembaga membran A stabil sampai hari ke 14. Stabilitas biosensor urea tersebut stabil sampai hari ke 14, sebab perubahan sensitivitas yang didapat 2 mV/dekade. Apabila biosensor ini digunakan setelah hari ke 14, maka kecermatan dan ketepatan alat tersebut jauh menyimpang. Hal ini disebabkan, akibat adanya proses leaching out (pencucian) pada permukaan membran urease. Stabilitas suatu biosensor sangat tergantung pada jenis transudser, komposisi dan jenis membran yang digunakan. (Przybyt, 1990). KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini diperoleh: • Biosensor urea transduser tembaga

membran A dengan komposisi PVC:THF: urease = 10 mg : 1,5 mL : 200 mg dengan 5 kali pencelupan, sensitivitasnya 47,8 mV/dekade, waktu respon terbaik 135 detik, dan stabil selama 14 hari.

• Biosensor urea transduser tembaga membran A dapat dijadikan biosensor alternatip untuk penentuan kadar urea, walaupun sensitivitas yang dihasilkan masih di bawah harga idealnya yaitu 59,1 mV/dekade.

DAFTAR PUSTAKA Alexander, P.W. dan Joseph, J. P., 1981, “A Coated

Metal Enzyme Electrode for Urea Determinations. Analytica” Chimica Acta, Vol. 131. pp. 103-109.

Ianniello, R. M. dan Yaynych, A.M., 1983, “Urea Sensor Based On Iridium Dioxide Electrodes With Immobilized Urease”, Analytica Chimica Acta, Vol. 146. pp. 249-253.

Page 18: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Pembuatan biosensor urea (Khairi)

43

Lee, Y.K., Park, J.T., dan Kim, C.K., 1986, “Carbon Paste Coated Wire Selective Electrode for Nitrate Ion”, Anal. Chem, Vol. 58. pp. 2101-2103.

Mayes, P.A., Granner, D.K., Rodwell, V.W., Martin, D.W., Alih Bahasa Darmawan, I., 1985, “Biokimia”, Edisi 20, EGC Penerbit Buku Kedokteran, 324.

Mitrakas, M.G., dan Alexiadas, C., 1991, “Nitrate Ion Selective Electrodes based on Quartenery Phosphorium Salt in Plastisized Poly (Vinyl Chloride) and Influence of Membrane Homogenity on their performance”, Analyst, Vol. 116.

Przybyt, M dan Sugier, H., 1990, “Wolfram Electrode for Urea”, Analytica Chimica Acta, Vol. 239. pp. 269-276.

Widihastono, B., 1992, “Biosensor For Urea Based On Tungsten Wire Transducer With Immobilized Urease”,The University of New South Wales, thesis.

Page 19: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 44-50

44

KETERGANTUNGAN TEMPERATUR DAN pH TERHADAP TRANSPOR SEFALEKSIN

KE DALAM ERITROSIT MANUSIA SECARA IN VITRO

Matheus Timbul Simanjuntak Jurusan Farmasi FMIPA

Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan

Abstrak

Telah diteliti pengaruh pH dan temperatur terhadap sistem transpor sefeleksin pada membran sel darah manusia dengan menggunakan Silicone layer. Percobaan transpor dapat dilakukan pada temperatur 280C tetapi sulit dilakukan pada temperatur 250C, 300C dan 370C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan transporsefaleksin dipengaruhi oleh temperatur. Pada kondisi percobaan pHin = 7,0 dan pHout = 6,0 diperoleh energi aktivasi sebesar 13,724 kkal mol. Kecepatan transpor sefaleksin pada kondisi pHin = 7,0 meningkat dengan bertambahnya pHout (pHout = 4,0 ; 5,0 dan 6,0) Kata Kunci: transpor sefaleksin, Silicone layer, temperatur, energi aktivasi dan pH.

PENDAHULUAN

Didalam tubuh darah sangat berperan penting, selain mengangkut oksigen keseluruh tubuh, darah juga berperan dalam hal pendistribusian obat sampai ketempat – tempat yang diinginkan. Darah terdiri dari beberapa komponen yaitu, sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) protein plasma dan cairan plasma. Membran eritrosit mengandung kira – kira 49 % protein, 44 % lipid dan 7% karbohidrat, terdiri dari lipid bilayer, protein dan telah banyak digunakan untuk menentukan kemungkinan mekanisme berbagai cara transpor obat (Ansel, Howard. C., 1989).

Sefaleksin adalah golongan antibiotik betalaktam yang telah banyak digunakan peroral untuk pengobatan infeksi dengan cara menghambat sintesa dinding sel mikroba (Tanu, I., 1995). Beberapa penelitian mengenai transpor sefaleksin menyebutkan bahwa pada ileum kelinci transpor sefaleksin

terjadi pada konsentrasi rendah (0,1 – 5,0 mM) (Benkhelifa, S., dkk., 1996). Dan percobaan lainnya menunjukkan bahwa sefaleksin ditranspor maksimum pada pH 6,0 dan transpor sefaleksin lebih cepat dibandingkan dengan turunan sefalosporin lainnya. Transpor isomer sefaleksin telah diteliti pada hewan percobaan, bentuk isomer D – sefaleksin tidak mengalami peruraian dan dapat diabsorbsi pada jaringan intestin sedangkan isomer L – sefaleksin tidak diabsorbsi karena mengalami degradasi atau peruraian oleh enzim yang berada pada permukaan mukosa usus Simanjuntak, M.T., dkk., 1987).

Berdasarkan hal tersebut diatas peneliti mencoba untuk meneliti pengaruh temperatur pada pH terhadap transpor sefaleksin dari sediaan dan baku ke dalam sel darah merah manusia, sebagai model bio membran. BAHAN DAN METODA Bahan

Page 20: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Ketergantungan temperatur dan pH terhadap transpor sefaleksin (Matheus T Simanjuntak)

45

Sefaleksin (Sigma, St.Louis, M.O), kapsul

sefaleksin (Indofarma), hepes (Dosindo) isopropyl alcohol (E. Merck), dietil eter (E. Merck), kloroform (E.Merck), darah manusia (PMI), asam klorida (E. Merck), natrium hidroksida (E.Merck), natrium klorida (E.Merck), ammonium sulfat (E. Merck), kalium dihidrogen phospat (E.Merck), minyak silicon (E. Merck ) dan aguadest. Pembuatan Larutan Asam Klorida 0,1 N

Diencerkan sebanyak 8,5 ml asam klorida pekat dalam labu tentukur dengan aguadest hingga 1000 ml (Farmakope Indonesia, 1995). Pembuatan larutan Asam Klorida 0,2%

Diencerkan sebanyak 5,5 ml asam klorida p dalam labu tentukur dengan aquadest hingga 1000 ml (Farmakope Indonesia, 1995). Pembuatan Larutan Natrium Klorida 0,9%

Dilarutkan sebanyak 9,0 gram natrium klorida dalam labu tentukur dengan aguadest bebas CO2 hingga 1000 ml (Farmakope Indonesia, 1995). Pembuatan Buffer Isotonis

Ditimbang Hepes setara 20Mm dan natrium klorida setara 150 mM, dimasukkan kedalam labu tentukur 100 ml, dilarutkan dengan aquadest dan pH-nya dibuat seperti yang dibutuhkan dengan penambahan asam klorida 0,1 N atau natrium hidroksida 0,1 N dan dicukupkan hingga garis tanda Simanjuntak, M.T., 2000. Pembuatan Buffer fosfat pH 7,0

Sebanyak 50 ml kalium dihidrogen phospat 0,1 M dicampur dengan 29,1 ml natrium hidroksida 0,1 M kemudian diencerkan dengan agua bebas CO2 hingga 100 ml (Koethoff, M., Sandel. E.B. and Meehan, E.J., 1989). Pembuatan Buffer Fosfat pH 11

Sebanyak 50 ml 0,05 M natrium hydrogen phospat ditambah dengan 4,1 ml natrium hidroksida 0,1 M, diencerkan dengan aqua bebas CO hingga 100 ml (Koethoff, M., Sandel. E.B. and Meehan, E.J., 1989). Pembuatan Larutan Induk Baku

Ditimbang sebanyak 86,9 mg sefaleksin, dimasukkan dalam labu tentukur 250 ml, kemudian dilarutkan dengan buffer isotonis dan dicukupkan hingga batas tanda, untuk mendapatkan konsentrasi 1mM. Pembuatan kurva Absorbsi Sefaleksin dalam HCl 0,2 %

Ditimbang sebanyak 50 mg sefaleksin, dimasukkan kedalam labu tentukur 100 ml dan dilarutkan dengan asam klorida 0,2% dan dicukupkan hingga garis tanda. Kemudian larutan dipipet sebanyak 3,4 ml dan dimasukkan kedalam labu tentukur 100 ml dan dicukupkan hingga garis tanda dengan asam klorida 0,2% dan ditentukan kurva serapan maksimumnya pada panjang gelombang 220 – 230 nm. (Clarke EGC., 1986).

Page 21: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 44-50

46

Pembuatan Kurva Kalibrasi

Larutan induk baku dipipet sebanyak 0,5 ml; 2,5 ml;5,0 ml;7,5 ml;10,0 ml; 12,5 ml; 15,0 ml. Masing – masing dimasukkan dalam labu tentukur 50 ml, kemudian diencerkan dengan buffer isotonis hingga garis tanda untuk mendapatkan konsentrasi masing – masing 0,01mM ; 0,05mM ; 0,1 mM ; 0,15mM ; 0,2 mM ; 0,25mM ; 0,3 mM. Pencucian Sel Darah Merah

Dipipet 5 ml sel darah merah yang telah bercampur dengan anti koagulansia. Dicampur dengan 5 ml NaCl fisiologis dingin. Disentrifuge 3000 rpm menggunakan sentrifuge dengan temperatur dingin selama 5 menit. Supernatan dipisahkan dari endapan pada temperatur 40 C. Endapan (eritrosit) dicampur kembali dengan 5 ml larutan NaCl fisiologis dingin sampai homogen. Kemudian sentrifuge pada 3000 rpm selama 5 menit dan kembali dilakukan seperti pada gambar bagian d. Percobaan diulangi terhadap eritrosit (endapan) sampai diperoleh supernatan jernih. Eritrosit yang telah bersih disimpan dalam wadah yang berisi campuran es dan garam. (Simanjuntak, M.T., 2000). Penghitungan Eritrosit Diambil kamar hitung yang bersih dan kering. Kaca penutup diletakkan diatasnya secara mendatar. Darah yang akan diperiksa dihisap dengan pipet sahli, sampai tepat pada garis 20 μL. Kelebihan darah yang melekat pada bagian luar pipet dihapus dengan kertas saring atau tissue. Ujung pipet tersebut dimasukkan kedalam wadah yang berisi larutan natrium klorida 0,9% sebanyak 3,98 ml. Pipet dibilas dengan larutan natrium klorida 0,9% tersebut. Kemudian wadah ditutup dan dikocok dengan cara membolak – balik wadah minimum selama 2 menit. Larutan darah diteteskan 3 – 4 tetes larutan darah dengan cara menyentuh ujung pipet

pada pinggir kaca penutup. Kemudian dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 40 (Langley and Leroy Lester, 1980). Percobaan Transpor Kedalam 0,4 ml suspensi eritrosit ditambahkan 1,6 ml buffer isotonis. Campuran dipreinkubasi selam 3 menit pada temperatur yang diinginkan. Sefaleksin dilarutkan dalam larutan Buffer isotonis (konsentrasi 0,1 mM). Kedalam suspensi eritrosit ditambahkan larutan sefaleksin (konsentrasi 0,1 mM) Kemudian dicampur sampai homogen dengan alat pencampur sentuh (touch mixer). Dalam interval waktu tertentu sebanyak 0,3 ml suspensi eritrosit dipindahkan kedalam tube mikrosentrifuge yang telah berisi 0,05 – 0,1 ml minyak silicon. Disentrifuse pada 3000 rpm. Supernatan dipisahkan. Permukaan minyak silicon dicuci sebanyak 2 – 3 kali dengan aquadest. (total volume 0,15 ml). Eritrosit dihemolisa dengan 0,3 ml aquadest dan dicampur sampai homogen (Simanjuntak, M.T., 2000). Analisis Kuantitatif Sefaleksin dalam Eritrosit Kedalam 0,3 ml hasil hemolisa eritrosit, dimasukkan 0,5 ml buffer phospat pH 11 dan 3 ml dietil eter. Campuran diaduk dengan alat pengaduk (shaker) selama 5 menit. Kemudian didiamkan dan disentrifuge pada 3000 rpm selama 5 menit. Lapisan air dibuang dari campuran, dan kedalam lapisan pelarut dicampurkan 0,1 ml 0,3 N asam lkorida, 0,2 ml 0,2 M buffer phospat pH 7, 0,7 gr ammonium sulfat dan 5 ml campuran kloroform: isoprofil alcohol 1 : 1 v/v. Diaduk dengan alat pengaduk (shaker) selama 30 menit. Disentrifuse pada 3000 rpm selama 5 menit. Lapisan pelarut organic dipisahkan dan diuapkan sampai kering dengan pengering hampa udara (freeze dryer). Sisa penguapan dilarutkan dalam 5 – 7 ml asam klorida 0,2%.

Page 22: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Ketergantungan temperatur dan pH terhadap transpor sefaleksin (Matheus T Simanjuntak)

47

Larutan diukur pada spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum. (Simanjuntak, M.T., 2000). Penentuan Pengaruh Temperatur

Temperatur percobaan dilakukan pada 250, 280 , 300 , dan 370 C terhadap suspensi eritrosit yang terlebih dahulu diinkubasi selama 3 – 5 menit pada temperatur yang diinginkan, kemudian dilanjutkan dengan percobaan transpor dan analisis kuantitatif sefaleksin dalam eritrosit Penentuan Pengaruh pH

Variasi pH larutan obat dilakukan antara 3,0 – 8,0, di mana eritrosit diinkubasi dengan larutan buffer pH 7,0 selama 5 menit, pada temperatur dimana transpor (absorbsi) sefaleksin dalam eritrosit paling baik. Kemudian dilanjutkan dengan percobaan transpor dan analisis kuantitatif sefaleksin dalam eritrosit. Penentuan Absorbsi Sefaleksin dari Kapsul Indofarma

Penentuan absorbsi sefaleksin dari kapsul pada temperatur dan pH yang sesuai menurut percobaan diatas. HASIL DAN PEMBAHASAN Kurva Absorbsi Sefaleksin dalam HCl 0,2%

Panjang gelombang serapan maksimum ultraviolet larutan sefaleksin baku dengan konsentrasi 17 μg/ml yang diukur dengan spektrofotometer ultraviolet dalam HCl 0,2% adalah 256 nm. Kurva Kalibrasi Sefaleksin dalam HCl 0,2%

Kurva kalibrasi dari larutan sefaleksin dibuat dengan menyediakan suatu seri larutan

sefaleksin dalam HCl 0,2% dengan interval konsentrasi pengukuran yaitu 0,01mM, 0,05mM, 0,1mM, 0,15mM, 0,2mM, 0,25mM, 0,3mM. dan konsentrasi sefaleksin yang akan ditranspor adalah 0,1mm (interval konsentrasi sefaleksin yang baik antara 0,1 – 5,0mm). Dari hasil percobaan diperoleh harga persamaan regresi Y = 0,5792 X + 0,1227 dan nilai r = 0,9908.

Dengan adanya intersep terhadap sumbu

Y sebesar 0,5792 yang menunjukkan perpotongan garis tidak melalui titik nol, hal ini disebabkan adanya ikatan obat dengan (protein plasma protein binding). Ikatan obat dengan protein plasma mungkin terlalu besar disebabkan oleh penggunaan metoda sentrifugasi konvensional sehingga obat mengendap bersama-sama dengan membran atau sel yang mengandung gugus obat pada permukaan membran yang disebabkan adanya interaksi elektrostatik dan hidrofobik, sehingga akan terukur sebagai obat yang berpenetrasi atau terabsorbsi. (Ogiso, dkk, 1986). Jumlah Eritrosit Manusia yang Dihitung dari Sampel Darah

Penghitungan jumlah eritrosit dilakukan dengan menggunakan metode Sahli. Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah eritrosit yang mempunyai variasi dari 3.850.000 sampai 4.930.000 per millimeter kubik. Di mana Guyton (1993) memprediksi bahwa jumlah rata – rata eritrosit manusia sekitar 4 – 5 juta sel per millimeter kubik. Pengaruh Temperatur Terhadap Transpor Sefaleksin ke dalam Eritrosit Manusia.

Pengujian pengaruh temperatur terhadap serapan sefaleksin pada sel darah manusia manusia ditentukan dengan memakai larutan sefaleksin konsentrasi 0,1 mM dalam buffer isotonis pH 7,0 yang terlebih dahulu diinkubasi selama 5 menit kemudian

Page 23: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 44-50

48

dicampur kedalam sel eritrosit manusia dengan pH 7,0 pada temperatur yang berbeda yaitu pada temperatur 250 C , 280 C , 300 C dan 370C . a. Temperatur 250 C Gambar kurva pengaruh temperatur = 25o C

pada transpor sefaleksin b. Temperatur 28 0C Gambar kurva pengaruh temperatur = 28o C

pada transpor sefaleksin c. Temperatur 300C Gambar kurva pengaruh temperatur = 30o C

pada transpor sefaleksin

Pada temperatur 25 oC , waktu transpor sefaleksin kedalam eritrosit 45 dan 90 detik belum menunjukkan hasil yang dapat terdeteksi, hal ini disebabkan karena kondisi temperatur yang digunakan pada percobaan rendah, sehingga transpornya berjalan lambat. Lain halnya pada temperatur 30o C dan 37o C, untuk temperatur 30o C data yang terdeteksi hanya pada waktu transpor 45 detik, dan pada 37oC data tidak terdeteksi. Hal ini diakibatkan karena kontak langsung temperatur yang terlalu tinggi dengan membran eritrosit yang mengakibatkan eritrosit yang digunakan pada percobaan terhemolisa, dan reaksi yang terjadi sangat cepat. Kondisi seperti ini terjadi karena eritrosit yang digunakan pada percobaan telah dihilangkan dari pengaruh – pengaruh zat lain seperti plasma darah, protein dan lemak.

Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi sefaleksin yang ditranspor meningkat seiring dengan peningkatan temperatur dengan energi aktivasi sebesar 13,724 kkal/mol yang dihitung dari jumlah sefaleksin yang ditranspor pada temperatur 250C dan 280C dan temperatur yang paling baik adalah temperatur 280C, karena proses absorbsi yang paling konstan sampai pada 180 detik dan harga konstanta laju reaksi pada temperatur tersebut lebih baik dibandingkan dengan temperatur 250C, dan pada

temperatur 300C dan 37 0C reaksi yang terjadi sangat cepat. Pengaruh pH Terhadap Transpor Sefaleksin ke dalam Eritrosit Manusia

Pengujian pengaruh pH terhadap absorbsi sefaleksin ditentukan dengan cara larutan 0,1 mM sefaleksin dalam buffer isotonis dengan variasi pH ekstraselular 3,0 – 8,0 pada temperatur 280C ditranspor ke dalam suspensi eritrosit pH 7,0 dengan waktu yang sama (45 detik) a. Temperatur 280C

Gambar kurva transpor sefaleksin dengan pHin = 7,0 dan pHout = 6,0 ; t = 28oC

b. Temperatur 37 0C Gambar kurva transpor sefaleksin dengan pHin = 7,0 dan pHout = 6,0 ; t = 37oC Diperoleh hasil bahwa pH yang baik

untuk transpor sefaleksin dalam sel eritrosit pada temperatur 280C adalah menggunakan pHout = 6,0 dan pHin = 7,0.Hasil yang sama juga ditemukan untuk transpor sefaleksin pada membran buatan dan ileum kelinci, dengan absorbsi maksimum pada pH 6,0, dan tergantung pada pH dan energi, namun tidak tergantung pada konsentrasi ion natrium dan transpornya melalui rute transelluler peptida. (Benkhelifa ,S., dkk., 1997).

Bila diperhatikan absorbsi sefaleksin pada pH 4,0 temperatur 280C dan pH 4,0 pada temperatur 370C diperoleh harga konstanta laju reaksi yang berbeda dan terlihat juga adanya hubungan antara kenaikan temperatur dengan kenaikan nilai K dengan energi aktivasi yang diperoleh untuk menaikkan transpor sefaleksin dari 28oC sampai 37oC sebesar 17,097 kkal mol-1, hal ini memberi arti bahwa sefaleksin dalam sel darah manusia ditranspor dominan dengan cara difusi sesuai dengan yang dikemukakan oleh Barry, Brian (1968) bahwa harga energi aktivasi untuk membran homogen dalam proses difusi dari suatu larutan non elektrolit dengan berat molekul rendah , kira – kira 5 kkal mol -1

Page 24: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Ketergantungan temperatur dan pH terhadap transpor sefaleksin (Matheus T Simanjuntak)

49

berbeda untuk bahan yang berdifusi kedalam suatu polimer (membran) di mana harga energi aktivasinya akan meningkat menjadi 15-20 kkal mol 1. Transpor Sefaleksin dari Kapsul Sefaleksin Indofarma

Pada pengukuran transpor sefaleksin yang diambil dari kapsul sefaleksin yang terlebih dahulu ditimbang beratnya setara dengan sefaleksin konsentrasi 1mM, kemudian diencerkan dengan buffer isotonis hingga konsentrasinya 0,1 mM, kemudian ditranspor kedalam sel eritrosit manusia pada temperatur 280C dan pada pH 6,0.

Diperoleh hasil bahwa konsentrasi sefaleksin dalam bentuk sediaan lebih kecil dibandingkan dengan sefaleksin baku pada temperatur dan pH yang sama, hal ini terjadi disebabkan pengaruh pengaruh dari formulasi sediaan sefaleksin tersebut, seperti adanya pembawa yang menyebabkan adanya proses transpor zat lain yang masuk dan menembus membran atau faktor lain yang mempengaruhi konsentrasi dari sefaleksin yang terdapat di dalam eritrosit. KESIMPULAN 1. Percobaan transpor sefaleksin secara in

vitro dalam membran sel darah merah manusia, menunjukkan adanya kenaikan transpor dengan menaiknya temperatur dan energi aktivasi sebesar 13,724 kkal/mol.

2. Adanya pH gradien terhadap transpor sefaleksin pada sel darah merah manusia dengan pH in = 7,0 dan pHout = 6,0.

3. Proses transpor dari sefaleksin bentuk baku lebih cepat bila dibandingkan dengan kapsul sefaleksin indofarma dalam bentuk membran eritrosit manusia.

DAFTAR PUSTAKA Ansel, Howard. C., 1989, Pengantar Bentuk

Sediaan Farmasi, Penerjemah Farida Ibrahim, Cetakan pertama, UI Press, Jakarta.

Barry, Brian, 1968, Dermatological Formulation – Drug and The Pharmaceutical Science, Chapel – Hill, North California, Vol. 18.;58 – 59.

Benkhelifa, S., Decroix, M., Arnaud, P., and Tome, D., 1996, Transport of Cepalosporins Across Artificial Membranes and Rabbit Ileum, J. Pharmaceutics In t.159.

Benkhelifa, S., Decroix, M., Arnaud, P. and Tome, D., 1997, Characteristics of Cephalexin Transport Across Isolated Rabbit Ileum, J.Pharmaceutics Int. 145 : 115 – 127.

Clarke EGC., 1986, Isolation and Identification of Drug, Second edition, The Pharmaceutical Press, London

Koethoff, M., Sandel. E.B and Meehan, E.J., 1989, Quantitative Chemical Analysis, Fourth Edition, Macmillan publishing Co., Inc.New York.

Langley, Leroy Lester., 1980, Dynamic Anatomy and Physiology, Mc. Graw Hill. Inc., USA.

Ogiso, Taro., Iwaki, M, and Kimori, Misa, 1986, Erythrocyte Membrane Penetration of Basic Drugs and Relationship between Drug Penetration and Hemolysis, Chem., Pharm., Bull., 34. : 4301–4307.

Simanjuntak, M.T., 2000, Transport Derivat Asam

Pyridone Karboksilat pada Sel Darah Merah In Vitro, Media Farmasi An Indonesian Pharmaceutical Journal, Volume 8. (76 – 90)

Tanu, I., 1995, Farmakologi dan terapi, Edisi Keempat, Fakultas Kedokteran UI, Penerbit Buku Kedokteran, EGC., Jakarta.

Page 25: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003
Page 26: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Skrining toksisitas beberapa fraksi metanol (Rumondang Bulan Nasution)

51

SKIRINING TOKSISITAS BEBERAPA FRAKSI METANOL DARI DAUN Lantana camara L.

Rumondang Bulan Nasution Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155

Abstrak Telah dilakukan skirining toksisitas terhadap beberapa fraksi ekstrak etanol daun Lantana camara L. Fraksinasi terhadapekstrak etanol daun L. camara L. dilakukan dengan kromatografi kolom menggunakan adsorben silika gel G 60, eluen campuran benzen dan etanol. Setiap fraksi dikontrol dengan kromatografi lapis tipis, dan fraksi yang memiliki harga Rf yang sama dikelompokkan menjadi satu. Terhadap masing-masing fraksi dilakukan skirining toksisitas secara in vitro dengan menggunakan sel leukemia L1210. Toksisitas ditentukan dengan metode Fujimoto berdasarkan nilai IC50 Kata kunci: Ekstrak metanol, Lantana camara L., sel leukemia L1210, toksisitas. PENDAHULUAN

Sejak dahulu masyarakat Indonesia terutama penduduk di pedesaan mengenal dan memakai tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapinya jauh sebelum pelayanan formal dan obat-obatan modern menyentuh masyarakat. Pengetahuan mengenai tanaman berkhasiat ini merupakan pengalaman turun temurun yang diwarisi dari generasi dahulu ke generasi berikutnya (Wijayakusuma et al, 1995)

Salah satu tumbuhan yang sudah lama digunakan masyarakat sebagai ramuan obat tradisional untuk berbagai penyakit adalah tumbuhan Lantana camara L. Menurut informasi yang diperoleh (Soedigdo S., 1995) daun tumbuhan L. camara L. dapat digunakan sebagai obat penyakit kulit menahun dengan cara menempelkan daun segar yang dihaluskan ke tempat yang sakit.

Ahmed menyatakan ekstrak etanol daun L. camara L. antara lain adalah

menurunkan tekanan darah dan meningkatkan respirasi (Ahmed et al, 1972) Daun L. camara L. selain digunakan sebagai obat juga pernah digunakan untuk pengendalian hama penggerek umbi kentang di dalam gudang penyimpanan (Setiawati dan Sastrosiswoyo, 1986)

Selain efek positif yang telah diusebutkan di atas, tumbuhan L. camara L. dapat menimbulkan efek negatif yaitu dapat menyebabkan keracunan pada hewan memamah biak. Misalnya di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, tumbuhan L. camara L. dilaporkan dapat menyebabkan keracunan pada sapi. Keracunan biasanya terjadi 24 jam setelah ternak memakan L. camara L. dalam jumlah cukup banyak dengan gejala-gejala antara lain lesu dan gelisah, nafsu makan hilang, peradangan mata, kulit menjadi peka terhadap sinar matahari dan terjadinya luka pada kulit sapi, pada beberapa kasus setelah 2 atau 3 hari ternak tersebut akan mati (Anonimous, 1993; Anonimous, 2002)

Page 27: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 51-54

52

Menurut De vita (1982) dan juga Alberts et al., (1994), obat yang digunakan untuk membunuh sel-sel kanker biasanya toksik untuk sel-sel normal. Mengingat adanya efek farmakologi dan toksisitas dari tumbuhan L. camara L. maka ada kemungkinan komponen yang bersifat toksik dari daun L. camara L. apabila digunakan dalam dosis yang tepat dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit kanker. BAHAN DAN METODA

Bahan

Daun L. camara L. yang digunakan

dalam penelitian ini dikumpulkan dari daerah Soreang Bandung, metanol, benzen, etanol, kloroform, dimetil sulfoksida, larutan biru tripan, nitrogen cair, medium MEM eagle’ glutamine, larutan fortal calf serum, indikator universal, silika gel G 60, lapisan silika kiesel gel 60 F254 akuades dan sel leukemia L1210.

Metoda

Penyediaan Bahan

Daun Lantana camara L. setelah diambil, dibersihkan dan hanya daunnya saja yang digunakan untuk penelitian. Kemudian dikeringkan pada suhu kamar dengan cara diangin-anginkan. Setelah kering, dihaluskan dengan mesin penggiling hingga menjadi serbuk. Diayak dengan ayakan untuk mendapatkan serbuk berukuran –40+60 mesh. Serbuk yang diperoleh disimpan di tempat kering dalam botol coklat. Sel leukemia L1210 yang digunakan untuk uji toksisitas berasal dari Jepang.

1. Pembuatan dan pemisahan ekstrak metanol Ekstrak metanol diperoleh dengan cara

ekstraksi panas dengan pelarut metanol di dalam labu Soxhlet (direfluks), sampai tetes sari dari pipa samping labu kelihatan jernih. Untuk setiap 50 g serbuk digunakan 500 mL metanol. Selanjutnya sari metanol diuapkan pada tekanan yang direduksi dengan rotavapor (Vaccum evaporation) pada suhu 50 0C, sehingga diperoleh larutan jenuh metanol. Larutan jenuh metanol diuapkan di atas penangas air sampai diperoleh Zat padat yang disebut sebagai ekstrak kasar.

Fraksinasi ekstrak metanol (ekstrak kasar) dilakukan secara kromatografi kolom gravitasi dengan menggunakan adsorben silica gel G 60 (-70+230 mesh) dengan perbandingan berat sampel dan adsorben 1 : 60. Elusi dilakukan dengan eluen Campuran benzen dan etanol (4:1 v/v). Silika gel G 60 ditimbang 90 g, ditambahkan sedikit demi sedikit larutan campuran benzen dan etanol (4:1 v/v), campuran diaduk hingga rata kemudian dimasukkan ke dalam kolom. Sebanyak 1,5 g ekstrak kasar dilarutkan dalam pelarut campuran benzen dan etanol (4:1 v/v) dan dimasukkan ke dalam kolom dengan menggunakan pipet tetes dielusi dengan campuran benzen dan etanol (4:1 v/v). Setiap fraksi ditampung sebanyak 2,5 sampai 3,0 mL dengan laju elusi 0,40 mL/ menit. Tiap fraksi yang diperoleh dianalisis dengan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan adsorben silica kiesel gel 60 F254 dengan penampak noda uap iodium. Fraksi-fraksi dengan Rf yang sama dikumpulkan dan diuapkan dengan gas nitrogen. Diperoleh 5 fraksi yaitu fraksi F-I, F-II, F-III, F-IV, dan F-V.

Page 28: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Skrining toksisitas beberapa fraksi metanol (Rumondang Bulan Nasution)

53

2. Skrining Toksisitas dengan Sel Leukemia L1210

a. Pengujian sampel

Masing fraksi F-I, F-II, F-III, F-IV, dan F-V dilarutkan dalam metanol dengan kadar 1 mg /mL Uji toksisitas ekstrak methanol, fraksi F-I, F-II, F-III, F-IV, dan F-V terhadap sel leukemia L1210 dilakukan secara in vitro menurut prosedur yang digunakan oleh Fujimoto. Uji toksisitas dilakukan dalam multiwell plate tissue culture (1,00 mL sel setiap lubang dengan kapasitas 20 x 105 sel /mL). Ke dalam sel tersebut ditambahkan ekstrak metanol sebanyak 10 μl dengan variasi konsentrasi 10,00; 7,50; 5,00; dan 2,50 μg/mL. Sebagai kontrol digunakan 10μl methanol. Kemudian diinkubasi dalam incubator CO2 pada suhu 37 0C, selam 48 jam. Setelah diinkubasi, jumlah sel dihitung di bawah mikroskop dengan menggunakan Haemocytometer Fuch Rosenthal (0,200 mm; 0,0625 mm2). Percobaan dilakukan secara duplo. Hal yang sama dilakukan terhadap fraksi F-I, F-II, F-III, F-IV, dan F-V. b. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menghitung IC50. Harga IC50< 4 μg/mL dinytakan toksik dan berpotensi sebagai antikarsinogenik. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Ekstraksi dan Kromatografi

Kolom Dari 1 kg serbuk daun yang diektraksi

diperoleh 64,52 g (6,45 %) ekstrak kasar. Untuk pemisahan selanjutnya, setelah dilakukan berbagai percobaan KLT terhadap ekstrak tersebut ternyata

diperoleh system KLT yang paling sesuai yaitu dengan adsorben silika gel G60 dan eluen campuran benzen dan etanol (4:! v/v). Berdasarkan analisis dengan KLT, fraksi hasil kromatografi kolom dapat dikelompokkan ke dalam 5 bagian menurut harga Rf masing-masing fraksi. Kelima fraksi tersebut adalah F-I, F-II, F-III, F-IV, dan F-V. Hasil pemisahan kromatografi kolom terdapat pada Tabel I.

Fraksi 1 hingga 6 (F-I) merupakan zat padat berwarna hijau tua dengan harga Rf 0,66 dan 0,78; fraksi 7 hingga 16 (F-II) merupakan zat padat berwarna hijau coklat dengan harga Rf 0,55; 0,66 dan 0,78; fraksi 17 hingga 25 (F-III) merupakan zat padat hijau coklat dengan endapan putih kehijauan dengan harga Rf 0,32 dan 0,55; fraksi 26 hingga 50 (F-IV) merupakan zat padat warna coklat tua sedangkan fraksi methanol (F-V) merupakan zat padat warna coklat tua. F-III mengindikasikan senyawa triterpenoida yang ditunjukkan dengan munculnya warna ungu dengan pereaksi Salkowsky. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa di dalam tumbuhan L. camara L. terdapat senyawa triterpenoida. 2. Skirining Toksisitas dengan Sel

Leukemia L1210. Tingkat toksisitas dari ekstrak

tumbuhan tersebut ditentukan berdasarkan nilai IC50nya. Suatu senyawa disebut bersifat toksik bila aktivitasnya terhadap sel uji mempunyai nilai IC50<4 μg/mL (zat murni) dan IC50<20 μg/mL (ekstrak kasar). Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa ekstrak methanol memiliki nilai IC50= 5,59 μg/mL sehingga

Page 29: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 51-54

54

Tabel 1. Hasil kromatografi kolom dengan pengelusi campuran benzen dan etanol (4:1 v/v) No Fraksi Warna Berat (%) Rf 1 F-I Hijau tua 18,20 0,66; 0,78 2 F-II Hijau coklat 16,49 0,55;0,66;0,78 3 F-III Hijau coklat dengan endapan putih 23,25 0,32; 0,55 4 F-IV Coklat tua 5,35 0,0 5 F-V Coklat tua 7,68 0,0

Tabel 2. Nilai IC50 ekstrak metanol dan fraksinya terhadap Sel Leukemia L1210

No. Ekstrak/Fraksi IC50 (μg/mL) 1 Ekstrak metanol 5,59 2 F-I 6,55 3 F-II 6,00 4 F-III 3,82 5 F-IV 4,75 6 F-V 4,47

dapat dikatakan memiliki toksisitas yang tinggi karena harga tersebut relatif jauh lebih kecil dari 20 μg/mL . Oleh karena itu perlu dilakukan fraksinasi terhadap ekstrak tersebut untuk lebih mempersempit pencarian kandungan senyawa yang aktif sebagai antitumor.Hasil skirining toksisitas ekstrak dan fraksi metanol daun L. camara L. dapat dilihat pada Tabel II.

Fraksi F-III memiliki nilai IC50< 4 μg/mL

. Fraksi F-IV dan F-V memiliki nilai IC50

mendekati 4 μg/mL. Fraksi F-I dan F-II memiliki nilai IC50> 4 μg/mL. Hal ini dapat diartikan bahwa F-III, F-IV dan F-V memiliki toksisitas yang relatif tinggi, sedangkan F-I dan F-II memiliki toksisitas yang relatif rendah. KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ekstrak methanol daun tumbuhan Lantana camara L. memiliki IC50<20 μg/mL sehingga dapat dikatakan memiliki toksisitas yang relatif tinggi. F-III memiliki IC50< 4 μg/mL berpotensi sebagai antitumor. DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Z.F. et al. 1972, Planta Medika, 282-288. Alberts, B. et al. 1994.,Cancer dalam Molecular

Biology of the Cell, Gerland Publishing Inc., New York, 1255-1272.

Anonim, 1993, Keracunan Tanaman Lantana Camara pada ternak dalam Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, XV, 5, Bogor, 1-2.

Anonim, 2002, Production Animal Clinical Toxicology, http://www.library.usyd-edu.au/VEIN/links/pact/lantana.html

De Vita, V.T. 1982, Principles of Chemotherapy dalam Cancer, Principles and Practice of Oncology, Editor DeVita, V.T., S. Hellmann, S.A. Rosenberg, J.B. Lippin Cott Company, Toronto 133-145.

Fujimoto, Y., M. Satoh, 1986, Chem. Pharm. Bull., 34(11), 4540-4544.

Itokawa, H., K. Takeya, 1993, Heterocycles, 35, 2, Tokyo, 1467-1501.

Kloppenburg, Versteegh 1983, Petunjuk Lengkap Mengenai Tanam-tanaman di Indonesia dan Khasiatnya sebagai Obat-obatan Tradisionil, Terjemahan, Yayasan Dana Sejahtera dan CD., RS. Bethesda, Yogyakarta, 170.

Setiawati, W., S. Sastrosiswono, 1986, Bull. Penelitian Hortikultura, XIV, 1, Lembang, 6-11.

Page 30: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Analisis kadar logam besi (Fe) dari minyak nilam (Zul Alfian)

55

ANALISIS KADAR LOGAM BESI (Fe) DARI MINYAK NILAM (PATCHOULY OIL) YANG DIPEROLEH DARI PENYULINGAN

DENGAN MENGGUNAKAN WADAH KACA, STAINLESS STEEL DAN DRUM BEKAS SECARA SPEKTROFOTOMETRI

SERAPAN ATOM

Zul Alfian Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan

Abstrak Nilam (pogestemon cablin benth) adalah termasuk famili labiatea, yaitu kelompok tanaman yang mempunyaaroma yang mirip satu sama lain.Minyak nilam dapat diperoleh dari hasil sulingan daun nilam. Minyak nilamyang memmpunyai mutu baik adalah minyak yang berwarna kuning jernih.Minyak nilam yang dihasilkanbiasanya berwarna coklat tua ,hal ini disebabkan karena pengaruh logam besi yang terlarut di dalamnya yangmenyebabkan terjadinya oksidasi. Metode destruksi yang dipergunakan dalam analisis ini adalah destruksi kering. Analisis logam besi dari minyaknilam yang disuling dengan menggunakan wadah kaca, stainless steel dan drum bekas telah dilakukan denganmenggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Dari hasil analisis kadar logam besi dalam minyak nilamyang disuling dengan menggunakan wadah kaca: 0,4314+0,0094, stainless steel 0,7995+0,0105 ppm dandengan menggunakan drum bekas: 6,0200+0,0084 ppm. Dengan demikian kadar logam besi dari minyak nilamyang disuling dengan menggunakan wadah drum bekas lebih besar daripada dengan menggunakan wadahstainless stell dan kaca. Kata kunci: analisis, minyak nilam, SSA

PENDAHULUAN Minyak nilam (Patchouly oil) adalah

diperoleh dari hasil sulingan daun nilam. Indonesia sampai saat ini merupakan salah satu pengekspor minyak nilam. Ekspor tahunan ini tidak tetap, namun selalu berkisar antara 500-1000 ton. Pembeli utamanya ialah Amerika, Belanda. Secara tradisional minyak nilam merupakan produk industri kecil yang mengolah dengan peralatan sederhana. Pada umumnya para pengrajin menggunakan drum-drum bekas sebagai alat penyuling .Minyak yang dihasilkan secara ini biasanya coklat tua, hal ini disebabkan karena pengaruh ion besi yang terlarut di dalamnya. Hal ini sangat tidak disenangi para konsumen

di luar negeri dan di dalam negeri. Perubahan warna ini dianggap dapat menurunkan mutu, karena ion besi (Fe) ini dapat menjadi katalis terjadinya oksidasi selama penyimpanan yang lama kelamaan minyak ini menjadi teroksidasi.

Dewasa ini ada permintaan minyak nilam yang berwarna muda karena dengan bahan pasarnya agak sukar dilakukan karena para pengrajin umumnya memproduksi minyak nilam dengan alat alat tradisional yang masih sederhana. Ketel penyulingan yang terbuat dari besi (drum bekas), umumnya mudah berkarat, sehingga warna coklat akibat dari besi yang terlarut dalam minyak tidak dapat dihindari. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengganti ketel

Page 31: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 55-58

56

besi tersebut dengan ketel-ketel yang tahan karat seperti menggunakan kaca dan stainless steel. Menggunakan kaca masih dibuat dalam skala laboratorium, hanya untuk penelitian.

Karena fungsi dan penggunaan minyak nilam ini sangat luas, maka harganya cukup mahal. Penggunaan minyak nilam digunakan untuk bahan fiksatif (pengikat) dalam industri parfum dan kosmetik karena dapat meningkatkan bau wangi kosmetik dan parfum. Dapat juga digunakan sebagai bahan untuk obat-obatan, misalnya untuk obat bakar. Daun nilam dapat juga berguna untuk bahan pelembab kulit, menghilangkan bau badan, dan gatal-gatal pada kulit. Serta dapat pula dimanfaatkan sebagai pewangi pada berbagai masakan atau kue-kue. Beberapa peneliti telah banyak mencoba untuk menghilangkan ion besi (Fe) ini dengan menggunakan zat pengkompleks seperti asam sitrat, asam tartrat, dan EDTA .Maka dalam penelitian ini ingin dilihat kadar besi (Fe) pada minyak nilam yang disuling dengan kaca, stainless steel dan drum bekas yang diambil dari pasaran dengan menggunakan metode Spektroskopi Serapan Atom.

METODELOGI PENELITIAN

a. Pembuatan larutan standar 4,8303 gram FeCl3.6H2O dilarutkan

dalam beaker glass ditambahkan aquaregia (HNO3(p) : HCl(p)) lalu dipanaskan hingga larut lalu dimasukkan dalam labu takar 1000 ml dan diencerkan dengan aquabides sampai garis tanda, sehingga diperoleh larutan standar Fe 1000 ppm.

b. Pembuatan kurva kalibrasi

• Dari larutan standar Fe 1000 ppm dipipet sebanyak 10 ml lalu

dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml sehingga diperoleh 100 ppm.

• Dan dari 100 ppm ini diambil 0,2,4,6,8,10 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml diencerkan hingga garis tanda dan digunakan sebagai larutan standar.

c. Perlakuan terhadap sampel

• Masing-masing sampel (minyak nilam) ditimbang sebanyak 15 g kemudian dimasukkan.

• Ke dalam cawan porselen dan dipnaskan sampai arang. Dimasukkan ke dalam tanur (furnace) yang dilengkapi dengan pengontrol suhu, suhu perlahan-lahan dinaikkan sampai suhu menjadi 5000 C dan

• Suhu dipertahankan sampai 5 jam, diperoleh berupa abu.

• Abu dilarutkan dengan aqua regia sebanyak 5 ml kemudian dipanaskan secara hati-hati sampai volume berkurang setengah dari volume awal. Disaring, kemudian filtratnya dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml dan diatur pada pH 3 dengan NH4OH. Lalu dianalisis dengan Spektrofotometer Serapan Atom.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 yang disuling dengan menggunakan wadah kaca, stainless steel, drum bekas pada panen I dan pada panen II perbedaannya tidak jauh ,jadi dapat dilihat bahwa logam besi pada minyak nilam tidak dipengaruhi oleh banyaknya logam besi yang kemungkinan terdapat tanaman nilam itu sendiri.

Page 32: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Analisis kadar logam besi (Fe) dari minyak nilam (Zul Alfian)

57

Tabel 4.2. Data hasil Pengukuran Absorbansi dan Kadar Usur Besi dari Minyak Nilam yang Disuling Dengan Menggunakan Wadah Kaca, Stanless Steel, dan Drum Bekas Dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Perkin Elmer M.3100

Absorbansi (A) No Jenis Sampel*)

A1 A2 A3 A rata –rata Kadar (ppm)

1 A 0,0200 0,0199 0,0193 0,0197 0,5611 ± 0,0079 2 B 0,0161 0,0156 0,0151 0,0156 0,4314 ± 0,0094 3 C 0,0278 0,0272 0,0268 0,0272 0,7995 ± 0,0105 4 D 0,1926 0,1923 0,1918 0,1922 6,0200 ± 0,0084

Tabel 1. Data hasil pengukuran absorbansi larutan standar unsur besi dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)

No Kadar (ppm) Absorbansi (A) 1 0,0000 0,0000 2 2,0000 0,0662 3 4,0000 0,1260 4 6,0000 0,1981 5 8,0000 0,2550 6 10,0000 0,3151

Keterangan:*) A = Sampel daun nilam. B = Minyak Nilam yang disuling dengan

menggunakan wadah kaca. C = Minyak nilam yang disuling dengan

menggunakan wadah Stainless steel. D = Minyak nilam yang disuling dengan

menggunakan wadah Drum bekas. PEMBAHASAN

Penetapan kadar logam besi (Fe) dalam

minyak nilam yang disuling dari daun nilam yang disuling demngan menggunakan wadah kaca, stainless steel dan drum bekas dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri serapan atom dengan cara destruksi kering. Kadar logam besi (Fe) pada minyak nilam yang disuling dari daun nilam pada panen I dengan menggunakan wadah kaca diperoleh sebesar 0,4250+0,0107 ppm dan dengan wadah stainless steel sebesar 0,7942+0,0111 ppm dan dengan menggunakan drum bekas sebesar 6,0200+0,0084. Sedangkan pada panen II

diperoleh kadar logam besi pada minyak nilam yang disuling dengan menngunakan wadah kaca diperoleh sebesar 0,4366+0,0052 ppm, dengan stainless steel sebesar 0,8058+0,0094 ppm dan dengan drum bekas diperoleh sebesar 6,0200+0,0084 ppm.

Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa kadar logam besi dari minyak nilam yang disuling dengan menggunakan wadah drum bekas lebih besar daripada menggunakan wadah kaca dan stainless steel yaitu sebesar 6,0200+0,0084 ppm, sedangkan wadah kaca sebesar 0,4314+0,0094 ppm dan dengan stainless steel sebesar 0,7995+0,0105 ppm ,hal ini disebabkan karena drum bekas yang digunakan untuk menyuling minyak nilam tersebut mengandung logam besi, yang sifat dari wadah ini mudah terdegradasi ,sehingga terjadi kontaminasi dari wadah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh banyaknya kadar logam besi dari daun nilam itu sendiri, yaitu hanya sebesar 0,5611+0,0079 ppm.

Tabel 2. Data hasil pengukuran absorbansi dan kadar unsur besi dari minyak nilam yang disuling dengan menggunakan wadah kaca, stainless steel dan drum bekas dengan spektrofotometer serapan atom (SSA) Perkin Elmer M.3100

Page 33: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 55-58

58

Sedangkan menurut standar mutu minyak nilam yang memenuhi standar adalah berwarna kuning muda sampai coklat, sedangkan minyak nilam yang disuling dengan menggunakan wadah drum bekas berwarna coklat tua, sehingga mutu dan kwalitas dari minyak nilam tersebut menurun, yang menyebabkan minyak tersebut tidak disukai oleh para konsumen.

Proses oksidasi pada minyak nilam ini terjadi karena salah satu komponen dari minyak nilam terdapat senyawa sesquiterpen yang mempunyai ikatan rangkap ,dan dengan adanya logam besi (Fe) ini dapat berfungsi sebagai katalis oksodasi yang menyebabkan ikatan rangkap pada senyawa tersebut terputus dan terbentuk suatu peroksida yang dapat menaikkan bilangan asam sehingga warna dari minyak nilam tersebut menjadi coklat tua dan hal ini dapat menurunkan mutu dan kwalitas dari minyak nilam, sehingga tidak disukai oleh para konsumen. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kadar logam besi (Fe) dari minyak nilam

yang disuling dengan menggunakan wdah kaca dan stainless steel masih memenuhi standar mutu.

2. Sedangkan logam besi pada minyak nilam

yang disuling dengan menggunakan wadah drum bekas sangat besar, hal inilah yang menyebabkan minyak nilam yang disuling dengan drum bekas menjadi coklat tua akibat terjadinya proses oksidasi.

Saran

Sebaiknya para peneliti dan petani

minyak nilam yang memproduksi minyak

nilam yang memproduksi minyak nilam menggunakan wadah kaca atau stainless steel dalam melakukan penyulingan minyak nilam agar diperoleh minyak nilam yang bermutu baik. DAFTAR PUSTAKA Balai Informasi Pertanian Daerah Istimewa Aceh.

1984, “Bercocok Tanam Nilam”, Aceh. Anonymous, “Penelitian Proses Deionisasi Logam

Besi pada Minyak Nilam Hasil Penyulingan Rakyat”, Komunikasi, No.53/1990.

Anonymous, 1995, “Penyulingan Minyak Nilam”, Komunikasi II. Balai Perindustrian Kimia. Medan.

Titik Sudaryani, 1998, “Budidaya dan Penyulingan Nilam”, Penebar Swadaya. Jakarta.

Barus Pina, 1994, “Pengaruh Penambahan Zat Pengkompleks terhadap Kandungan Patchouly Oil dalam Minyak Nilam”, Lembaga Penelitian USU. Medan.

Bangun A. Darwin, 1994, “Pengaruh Penambahan Zat Pengkompleks Logam Terhadap Sifat Fisika dan Kimia dari Minyak Nilam”, Lembaga Penelitian USU. Medan.

Zul Alfian, 2003, “Analisis Logam Cu2+”, Sains Kimia, No. 2, Vol. 2.

Page 34: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Analisis hambatan karbon dalam lingkungan asam-basa (Minto Supeno)

59

ANALISIS HAMBATAN KARBON DALAM LINGKUNGAN ASAM-BASA

Minto Supeno Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155

Abstrak Pengaruh suhu terhadap tiga jenis karbon dalam lingkungan asam , basa, air dengan karbon yang digunakan meliputi karbon tempurung kelapa, N-330 dan grafit. Ketiga jenis karbon di rendam pada lingkungan asam, basa, dan air selama 24 jam dan disaring selanjutnya dicetak dengan tekanan 10 ton lalu dipelajari sifat-sifat listriknya. Material diukur hambatan dari 30 – 150 0C, di mana hambatan bahan meningkat selanjutnya menurun didaerah titik didih bahan phenomena ini dinamakan NTC/PTC. Yang dibandingkan dengan data DSC menghasilkan korelasi yang sesuai pada penentuan titik didihnya. Kata kunci: PTC/NTC, titik didih, resistivitas

PENDAHULUAN

Karbon hitam dengan pencampuran bahan polimer telah luas digunakan misalnya dengan polietilena sebagai kabel, termoplastik, elastomer dan karet (Blythe, A.R., 1999). Pengukuran resistivitas polietilena/karbon telah dilakukan pada suhu 30-2000C di mana resistivitas bahan meningkat dan menurun di daerah titik leleh bahan yang dinamakan PTC/NTC (Supeno, M. dan Surdia, M., 1992).

Bahan pengisi karbon digunakan sebagai

bahan untuk meningkatkan sifat mekanik, listrik maupun tahan gesekan. Karena karbon mempunyai struktur heksagonal, luas permukaan yang rendah. Sifat listrik bahan pengisi akan berubah secara mendadak jika permukaan karbon mengadsorpsi air, asam atau basa. Berubahnya sifat listrik ini akibat panas, di mana bahan bergesekan dengan bahan lain. Gesekan ini menjadikan aliran listrik, sehingga perlu dipelajari sifat listrik bahan pengsi dalam suasana asam, basa dan air.

Air, asam, dan basa mempunyai titik didik maka akan memberikan perubahan yang mendadak di daerah titik didihnya, secara listrik dinamakan perubahan PTC/NTC (positive temperature coefficient/negative temperature coefficient). Gejala PTC/NTC ini kurang dikehendaki dalam sifat bahan yang berkualitas, sehingga perlunya penelitian mengenai sifat listrik bahan pengisi karbon dalam lingkungan asam, basa dan air. BAHAN DAN METODA Bahan-Bahan

Bahan penelitian meliputi karbon aktif tempurung kelapa, karbon hitam N-330 dan grafit, asam asetat, aquades, natrium hidroksida Prosedur

Lima gram karbon tempurung kelapa, N-330 dan grafit, masing-masing direndam pada asam asetat, NaOH, dan aquades selama dua puluh empat jam selanjutnya disaring. Residu dimasukkan cetakan 2 x 3 cm lalu dtekan dengan tekanan 10 ton. Sisi sebelah kiri dan

Page 35: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 59-60

60

kanan sampel diberikan pengkontak yang terbuat dari tembaga dan dibuat rangkaian menggunakan beda tegangan. Sampel ini dimasukkan kedalam oven digital dan dipanaskan dari suhu 30 – 150 0C dan dicatat arusnya tiap kenaikan suhu 50C, selanjutnya dihitung hambatannya R, dibuat hubungan antara suhu dan hambatan yang akan dihasilkan titik didih bahan selanjutnya metode ini dinamakan ETA. Dibuat hubungan antara suhu dengan hambatan Sampel carbon selanjutnya diuji dengan FTIR dan DSC. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian diketahui bahwa karbon tempurung kelapa menunjukkan keaktifan yang lebih rendah dibandingkan dengan grafit, karbon N-330 keaktifan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Daya adsorbsi karbon dan grafit

No Sampel Daya Adsorbsi (g I2/Kg)

1 Karbon T. Kelapa 99,49

2 N-330 100,94 3 Grafit 119,43

Dari data termogram DSC terlihat bahwa

ada perbedaan titik didih, hal ini disebabkan terjadinya adsorbsi kimia yang menyebabkan kenaikkan titik didih asam asetat atupun basa. Demikian juga pengukuran titik didih menggunakan metode beda tegangan ada kenaikkan titik didih sama pada alat DSC, artinya adsorbsi kimia pada karbon terjadi pada suhu tersebut. Hasil pengukuran dan perhitungan titik didih sampel dari DSC dan ETA Tabel 2. Data DSC dan ETA

Sampel Titik Didih DSC

Titik Didih ETA

Cal/g Luas Puncak

Berat Sampel

T K/H2O 100 100 165 21,780 0,0152 TK/Acetat 150 115 96 14,970 0,0179 TK/NaOH 105 120 14 1,640 0,0132 N-330/H2O 105 100 212 28,590 0,0155 N-330/Acetat 110 105 203 37,060 0,0210 N-330/NaOH 110 100 195 34,082 0,0201 Grafit/H2O 90 90 130 11,697 0,0103 Grafit/Acetat 110 90 63 8,052 0,0145

Berdasarkan hasil diatas maka ada

kenaikan titik didih pada sampel yang diadsorbsi karbon temperung kelapa, N-330 maupun grafit.

Dapat disumpulkan ada korelasi adanya titik didiknya, sehingga kedua metode ini dapat digunakan untuk menentukan titik didih sampel cair. KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga karbon tersebut dalam campuran asam, basa, dan air mengalami perubahan NTC dan PTC, perubahan NTC/PTC ini merupakan fenomena titik didih sampel. DAFTAR PUSTAKA Blythe, A.R., 1999, Electrical Properties of Polimer,

London, Cambridge University Press. Klason, C. and Kubat, J., 1995, J. App (Polymer

Science), 19,831 E. Souhong Wu., 1992, Polymer Interface and Adhesion,

Marker Dekker, New York. Supeno, M. dan Surdia, M., 1992, Efek Benzoil

Perokesida dalam campuran Polietilena/karbon, Thesis S2. ITB Bandung.

Page 36: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Saling tembus polimer antara karet alam dan poliuretan (Thamrin)

61

SALING TEMBUS POLIMER ANTARA KARET ALAM (SIR – 20) DAN POLIURETAN THERMOPLASTIK

T h a m r i n Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155

Abstrak Poliuretan (PU) Thermoplastik telah disintesis menggunakan polietilenglikol 1000 dan toluena diisosianat (TDI) dengan perbandingan NCO : OH = 2 : 1 mol. Prapolimer dari PU thermoplastik telah dicampur dengan Karet alam (SIR-20) untuk menghasilkan polimer jaringan saling menembus (IPN). Sifat mekanik yang maksimum telah diperoleh pada penambahan poliuretan thermoplastik 20%.

Kata kunci: Karet alam (SIR-20), Poliuretan thermoplastik. PENDAHULUAN

IPN merupakan suatu cara untuk menggabungkan dua atau lebih polimer yang tidak serasi dan boleh bercampur membentuk jaringan yang berasingan. IPN mempunyai beberapa ciri yang menarik berbanding dengan poliadun biasa atau jaringan masing-masing homopolimer serta peningkatan sifat mekanik, ketahanan kimia, peningkatan ketegaran, ketahanan panas dan katahanan cuaca karena pengaruh sifat sinergitik akibat dari keserasian yang dipaksa kepada masing-masing komponen (Livatove Y.S., 1992).

Polimer jaringan saling menembus (PJM)

merupakan adunan jaringan polimer-polimer yang unik karena tidak ada ikatan kovalen atau saling ikat berlaku antara komponen-komponen (Sperling L.H., 1977). Rantai polimer dipegang oleh masing-masing jaringan rangkai silang. Pencampuran dua atau lebih polimer biasanya akan membentuk morfologi multifasa karena tidak keseimbangan termodinamika diantara polimer-polimer. Tetapi jika pencampuran diikuti dengan reaksi rangkai silang, maka kinetika dan kekusutan diantara rantai sehingga mempengaruhi sifat mekanika IPN.

IPN dapat dianggap sebagai satu

gabungan antara dua rangkaian polimer dalam bentuk jaringan, yang mana komponen pertama disintesis dalam kehadiran jaringan kedua (Sperling L.H., 1981). Kedua komponen tersebut tidak terikat secara kimia satu sama lain. IPN dapat disintesis dalam beberapa cara, diantaranya secara serentak dan secara berurutan.

Polimer I

Polimer II

Network BAHAN DAN METODA Bahan Karet alam (SIR-20), Polietilenglikol 6000, Toluendiisosianat (TDI), 1,4-diazobisiklo [2,2,2] oktan, asam stearat, ZnO, Trimetil tiuran disulfat (TMTD) dan sulfur.

Page 37: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 61-63

62

Metoda Sintesis Prapolimer Poliuretan Thermoplastik

Prapolimer poliuretan thermoplastik telah

disintesis dalam reaktor yang dilengkapkan dengan pengadukan, termometer, dan gas nitrogen. Semua reaksi dalam suasana nitrogen dengan perbandingan NCO : OH = 2 : 1 mol. Berat tertentu PEG dimasukkan kedalam reaktor dan ditambahkan TDI serta DABCO pada suhu 70oC. Reaksi dibiarkan selama 15 menit. Perbandingan Karet Alam Tabel 1. Nilai pebandingan karet alam (SIR-20) dengan

sulfur, Zn O, TMTD, dan asam stearat SMR 10(phr) TMTD ZnO Asam Stearat Sulfur

100 3 2 2 0,5 Sintesis IPN

Karet alam (SIR-20) yang telah

tervulkanisasi, poliuretan thermoplastik telah dimasukkan kedalam Brabender Plastikoder menggunakan Mixer N50. Campuran selanjutnya diblending pada kelajuan 80 rpm. Suhu 40oC. Campuran dilakukan sehinggadiperoleh keadaaan yang homogen. Perbandingan penambahan poliuretan thermoplastik dan Karet alam (SIR-20) seperti Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan penambahan karet uretan

thermoplastik dan karet alam (SIR-20)

Kode TMTD NRPU2 NRPU3 NRPU4 NRPU5

% PU 0 5 15 20 30

%NR 100 95 85 80 70

Sifat Mekanik

Sifat Mekanik, kekuatan regangan,

pemanjangan dari sampel diukur menggunakan Lloyd Tensiometer model

1000R dengan sel 1 kN. Dengan kecepatan “crosshead” 200 per menit. Sampel dipotong dalam bentuk Dum Bell menurut ASTM D 412 - 87. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat mekanik dari penambahan poliuretan thermoplastik yang berbeda di dalam sistem IPN digambarkan seperti tabel 3. Kekeuatan regangan meningkat pada 24% penambahan poliuretan thermoplastik dan penambahan yang berlebihan dari poliurtan menyebabkan sifat mekanik menurun kembali. Ini dikarenakan pada penambahan 24% poliuretan thermoplastik campuran kedua komponen mencapai keserasian dan meningkatkan sifat sinergitik dari IPN tersebut atau dengan kata lain saling menenbus diantara komponen-komponen mencapai keseimbangan. Sedangkan penambahan poliuretan thermoplastik berlebih menyebabkan keserasian kedua komponen tertanggu dan menghasilkan sifat fisik komponen dari liat kebentuk yang lebih lembut. Pencampuran poliuretan thermoplastik dengan kadar yang rendah sifat mekanik telah mengalami perubahan walaupun belum mencapai tingkat yang maksimum.

Polimer jaringan saling menembus (PJM) merupakan adunan jaringan polimer-polimer yang unik karena tidak ada ikatan kovalen atau saling ikat berlaku antara komponen-komponen. Pencampuran dua atau lebih polimer biasanya akan membentuk morfologi multifasa karena tidak keseimbangan termodinamika di antara polimer-polimer. Tabel 3. Karakterisasi perbandigan penambahan

poliuretan thermoplastik dengan sistem IPN

Kode % PU dalamIPN

Kekuatan regangan Mpa

Modulus Mpa % pemanjangan

NRPU1 0 8 0.12 1150 NRPU2 5 14 6.5 1340

Page 38: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

Saling tembus polimer antara karet alam dan poliuretan (Thamrin)

63

NRPU3 15 165 308 2022 NRPU4 24 168 388 2181 NRPU5 30 5 0.02 1464 KESIMPULAN

Sistem IPN antara Karet alam (SIR-20) dan poliuretan thermoplastik yang dikaji menunjukkan peningkatan sifat mekanik yang maksimum apabila penambahan poliuretan thermoplastik pada 24%. Ini diakibatkan peningkatan derajat rangkai silang dari kedua komponen sehingga menghasilkan fasa yang lebih homogen dan sifat sinergetik kedua campuran meningkat. Sifat mekanik ini sangat berkaitan terhadap sifat-sifat lainnya seperti sifat fisik, morfologi dan keserasian fasa. DAFTAR PUSTAKA Brown R.P., 1993, Physical Testing of Rubber, 2 Ed,

Elviser. London Das, S. Shina. Eur. 1993, Polym. J. 29. 57 Livatove Y.S., 1992, Russian Chemical Reviews. 61,

122 Sperling L.H., 1977, Polymer Alloy. Pelnium press,

New York Sperling L.H., 1981, Interpenetrating Polymer Network

and Related Material P. press. New York Thomas, D.A., 1978, Polymer Blends vol (edited by D.

R. Paul) Academic press, New York, Vol. 2. Xiao H.X., 1991, Advance in Interpenetrating Polymer

Networks. Vol.III. Tecknomic. USA. P. 233.

Page 39: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

SAINS KIMIA

Volume : 7, 2003 ISSN : 1410 – 5152

64

JURNAL

(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)

AUTHORS-CO AUTHOR INDEX Agusnar, Harry, 7, 36 Nasution, Darwin Yunus, 23 Alfian, Zul, 15, 55 Nasution, Emma Zaidar, 31 Khairi, 40 Nasution, Rumondang Bulan, 51 Khairuddin, 11 Simanjuntak, Matheus Timbul, 44 Lubis, Syamsul Bachri, 18 Siregar, Amir Hamzah, 28 Marpaung, Harlem, 26 Supeno, Minto, 59 Muis, Yugia, 4 Supri, 1 Nainggolan, Hamonangan, 21 Thamrin, 61

Page 40: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

SAINS KIMIA

Volume : 7, 2003 ISSN : 1410 – 5152

65

JURNAL

(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)

INDEX OF SUBJECT Amberjet 1200, 36 Logam berat, 7 Amoniak, 26 Lovi Bond, 31 Analisis, 59 Milk, 11 Asam Adipat, 1 Minyak Nilam, 59 Benzoil Peroksida, 1 Minyak Sawit, 28 Biosensor, 40 pH, 44 Bleaching Earth, 31 Phosphat, 31 CPO, 31 Polimer, 1 Cu, 15 Polimetil Metakrilat, 18 Dispersan, 18 Polistirena, 11 Distillation, 11 Poliuretan Thermoplastik, 61 Ekstrak Metanol, 51 Polivinil klorida, 23 Energi Aktivasi, 44 PTC/NTC, 59 ESI, 40 PTPO, 31 Extraction, 1 Resistivitas, 59 Fatty acid, 26 Sabun Natrium, 14 GC-MS, 26 Sel Leukimia, 51 Glukosa, 15 SEM, 28 Hexane, 11 Silicone Layer, 44 Inti Sawit, 4 SSA, 15, 55 Karet Alam, 61 Sweitenia Mahogany JACQ, 26 Kayu Kelapa Sawit, 24 Temperatur, 44 Kitosan, 15, 36 Sweitenia Mahogany JACQ, 26 Kompabilitas, 28 Tintometer, 28 Korosi, 19 Titik Didih, 59 Lateks, 4, Toksisitas, 51 Lateks pekat, 21 Transfer Elektron, 44 Logam, 15 Viskositas intrinsik, 23 Volumetric, 11

Page 41: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

SAINS KIMIA

Volume : 7 ISSN : 1410 – 5152

66

JURNAL

(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)

Daftar Isi

Volume 7 Nomor 1 Kopolimerisasi Cangkok Gugus Reaktif Asam Adipat dan Polistirena dengan Inisiator Benzoil Peroksida

Supri.....................................................................................................................1-3

Pengaruh Konsentrasi Sabun Natrium dari Minyak Inti Sawit dan Waktu Penyimpanan Terhadap Tegangan Permukaan Lateks Pekat

Yugia Muis ..........................................................................................................4-6

Analisis Keefektifan Penggunaan Kitosan untuk Menurunkan Kadar Logam Berat Harry Agusnar ....................................................................................................7-10

Steam Distillation Extraction of 2,4,6-Tribromo Amisole in Milk Sample and Analysis Using GC-MS in EI+ Mode

Chairuddin ..........................................................................................................11-14

Study Perbandingan Penggunaan Kitosan Sebagai Adsorben Dalam Analisis Logam Tembaga (Cu2+) Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom Zul Alfian.............................................................................................................15-17

Pengaruh Konsentrasi Dispersan Polimetil Metakrilat dan Waktu Perendaman Terhadap Logam Besi dalam Air Laut

Syamsul Bachri Lubis.........................................................................................18-20

Perolehan Kembali (Recovery) Amoniak dari Serum Pengolahan Lateks Pekat dengan Metode Stripping

Hamonangan Nainggolan...................................................................................21-22

Degradasi Polivivil Klorida (PVC) dalam Larutan Asam Sulfat Darwin Yunus Nasution .....................................................................................23-25

The Analysis of Fatty Acid Components in the Seeds of Swietenia Mahogany Jacq Harlem Marpaung ..............................................................................................26-27

Page 42: Sains Kimia Vol_ 7 No_ 2 Juli 2003

67

Volume 7 Nomor 2 Peranan Pendisperi Minyak Sawit Mentah Terhadap Kompabilitas Pencampuran Plastik Bekas (Jenis Polipropilena) dengan Bahan Pengisi Magnesium Hidroksida

Amir Hamzah Siregar ........................................................................................ 28-30

Manfaat Beberapa Jenis Bleaching Earth Terhadap Warna CPO (Crude Palm Oil) Emma Zaidar Nasution...................................................................................... 31-35

Studi Perbandingan Penggunaan Kitosan dan Amberjet 1200 Terhadap Penurunan Kadar Logam Tembaga Cu(II) dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

Harry Agusnar .................................................................................................... 36-39

Pembuatan Biosensor Urea dengan Transduser Tembaga Khairi ................................................................................................................... 40-43

Ketergantungan Temperatur dan pH Terhadap Transpor Sefaleksin ke dalam Eritrosit Manusia Secara In Vitro Matheus T Simanjuntak..................................................................................... 44-50

Skrining Toksisitas Beberapa Fraksi Metanol dari Daun Lantana camara L.

Rumondang Bulan Nasution ............................................................................. 51-54

Analisis Kadar Logam Besi (Fe) dari Minyak Nilam (Patchouly Oil) yang Diperoleh dari Penyulingan dengan Menggunakan Wadah Kaca, Stainless Steel dan Drum Bekas Secara Spektrofotometri Serapan Atom

Zul Alfian............................................................................................................. 55-58 Analisis Hambatan Karbon dalam Lingkungan Asam – Basa

Minto Supeno ...................................................................................................... 59-60

Saling Tembus Polimer Antara Karet Alam (SIR –20) dan Poliuretan Thermoplastik Thamrin ............................................................................................................... 61-63