semnas sipendikum fh unikama · tahun 1989 serta united nation declaration on the rights of...

13
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 347 ARTIKULASI PRINSIP HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI (RIGHT TO SELF-DETERMINATION) DI INDONESIA: STUDI PADA MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN Luh Rina Apriani 1 Cindy Julianti 2 Email: [email protected] Abstract The right of self-determination has extension its meaning, so that it also applies to population in an independent country. The right of self- determination for indigenous peoples is one form of application of this extension. Indonesia articulates the concept of self-determination through article 18B paragraph 2 of the 1945 Constitution and is followed by other laws and regulations. This research will describe the principle of self- determination through international instruments and the application of this principle in Indonesia from the view of Local Regulation of Lebak Number 8 Year 2015. Through doctrinal research methods, can be concluded that the right of self-determination is a principle in international law. Various international instruments, especially those relating to indigenous peoples, include this right as a platform for the fulfillment on other rights of indigenous peoples. Indonesia The application of the right of self- determination for indigenous peoples in Indonesia, has been adjusted to Indonesia’s constitutional system. This adjusment is also made in the provisions in the Local Regulation of Lebak Number 8 Year 2015, which in general, have summarized the concept of self-determination despite several weaknesses. Keywords: indigenous peoples, Kasepuhan community,rights of self- determination, Pendahuluan Dalam paradigma tradisional, prinsip hak penentuan nasib sendiri diakui sebagai hak dari sebuah bangsa untuk mencapai kemerdekaan atas kolonialisme dan pendudukan asing (alien accupation). Setelah hak penentuan nasib sediri dituangkan dalam International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social ad Cultural Rights(ICESR), maka lahirlah intepretasi 1 Penulis adalah Dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.

Upload: vokiet

Post on 11-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

347

ARTIKULASI PRINSIP HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI (RIGHT TO

SELF-DETERMINATION) DI INDONESIA: STUDI PADA MASYARAKAT

ADAT KASEPUHAN

Luh Rina Apriani1

Cindy Julianti2

Email: [email protected]

Abstract

The right of self-determination has extension its meaning, so that it also

applies to population in an independent country. The right of self-

determination for indigenous peoples is one form of application of this

extension. Indonesia articulates the concept of self-determination through

article 18B paragraph 2 of the 1945 Constitution and is followed by other

laws and regulations. This research will describe the principle of self-

determination through international instruments and the application of this

principle in Indonesia from the view of Local Regulation of Lebak Number 8

Year 2015. Through doctrinal research methods, can be concluded that the

right of self-determination is a principle in international law. Various

international instruments, especially those relating to indigenous peoples,

include this right as a platform for the fulfillment on other rights of

indigenous peoples. Indonesia The application of the right of self-

determination for indigenous peoples in Indonesia, has been adjusted to

Indonesia’s constitutional system. This adjusment is also made in the

provisions in the Local Regulation of Lebak Number 8 Year 2015, which in

general, have summarized the concept of self-determination despite several

weaknesses.

Keywords: indigenous peoples, Kasepuhan community,rights of self-

determination,

Pendahuluan

Dalam paradigma tradisional, prinsip hak penentuan nasib sendiri diakui sebagai

hak dari sebuah bangsa untuk mencapai kemerdekaan atas kolonialisme dan

pendudukan asing (alien accupation). Setelah hak penentuan nasib sediri dituangkan

dalam International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR) dan International

Covenant on Economic, Social ad Cultural Rights(ICESR), maka lahirlah intepretasi

1Penulis adalah Dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.

2Mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

348

baru dari hak penentuan nasib sendiri. Pencatuman frasa “all peoples” bisa ditafsirkan

secara luas, yang artinya bahwa hak penentuan nasib sendiri tidak hanya berbicara pada

hak bagi sebuah negara (bangsa) untuk dapat menentukan nasibnya sendiri dengan cara

intergrasi atau disintegrasi pada sebuah negara baru, namun yang di maksudkan dengan

“all peoples” harus dimaknasi secara luas. Anaya menjelaskan bahwa,3

“the term of ”peoples” indicates the collective or grup character of the

principle. Self determination is concerned with human beings not simply as

individuals with outonomous will be more as social creatures engaged in the

constitution and fuctioning of communities”.

(Kata “peoples” mengindikasikan karakter kelompok komunal dalam sebuah

prinsip. Hak penentuan nasib sendiri memberikan attensi pada kemanusiaan

bukan hanya pada konteks individu yang memiliki otonomi saja namun lebih

kepada kelompok sosial yang terikat pada konstitusi dan komunitas fungsional.

Artinya makna “peoples” tersebut juga berlaku pada seuatu kelompok komunal

(populasi) yang berada disuatu negara berdaulat yang terikat pada konstitusi-

terjemahan oleh Penulis).

Dengan melihat pada konsepsi ini, bisa dimaknai bahwa konteks pelaksanaan

hak penentuan nasib sendiri berkembang secara dinamis dan tidak hanya diasosiasikan

pada pembebasan nasional dari suatu negara, namun hak penentuan nasib sendiri juga

berlaku bagi sebuah populasi yang berada disuatu negara yang merdeka (berdaulat).

Kunci utama dari pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri secara internal oleh

masyarakat adat adalah dengan menilai masyarakat adat sebagai “a historical

continuity” atau sejarah keberlanjutan, sehingga memiliki aspirasi tertentu untuk

mencapai hak-haknya. Pengaturan hak masyarakat adat dalam hukum internasional

dalam dilihat dari Konvensi ILO No. 107 Tahun 1957 dan Konvensi ILO No. 169

Tahun 1989 serta United Nation Declaration on The Rights of Indigenous Peoples

(UNDRIP), 2007. UNDRIP menyatakan bahwa Masyarakat adat memiliki hak

penentuan nasib sendiri, melalui hak mereka untuk secara bebas untuk menentukan

status politik dan secara bebas menentukan kebijakan ekonomi, sosial dan

pengembangan budaya.4

3James S. Anaya,(1996), Indigenous Peoples in Internatinal Law, New York: OxfordUniversity Press,

hlm. 75. 4UNDRIP, (2007), Pasal 3.

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

349

Bagi masyarakat adat, hak penentuan nasib sendiriself determination adalah

“induk dari seluruh hak”.5Hak penentuan nasib sendiri memperlihatkan kebutuhan dasar

dari masyarakat untuk dapat menikmati semua hak-hak yang mereka

suarakan6.Penafsiran hak penentuan nasib sendiri (self determination) dalam konteks

masyarakat adat merefleksikan makna kebebasan, integritas dan penghormatan.Intinya,

banyak dari aspirasi dan harapan masyarakat adat diekspresikan di bawah payung

prinsip self-determination.7Oleh karena ituhak penentuan nasib sendiri dapat menjadi

platform bagi masyarakat adat untuk terbebas dari diskriminasi dan ketimpangan sosial

sebab dalam hal ini kebanyakan masyarakat adat memiliki permasalahanyang sama

yang timbul dari pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dengan status

masyarakat adat yang dekat dengan kemiskinan.8

Diperkirakan ada sekitar 370 juta masyarakat adat di dunia yang tersebar dari

kurang lebih 90 negara. Jumlah mereka terdiri dari kurang lebih 5% populasi dunia,

namun sekitar 15% diantaranya ada dibawah garis kemiskinan yang parah. Mayoritas

mereka di seluruh dunia diperkirakan memiliki 7.000 bahasa yang mewakili sekitar

5.000 tradisi dan budaya yang berbeda dan 2/3 dari mereka tinggal di Asia.9 Sedangkan

di Indonesia sendiri, AMAN memperkirakan bahwa jumlah masyarakat adat di

Indonesia berkisar antara 50-70 juta atau sekitar 20% dari penduduk Indonesia.10

KendatiUNDRIP diadopsi untuk memberikan pemberian aturan yang lebih

komprehensif tentang hak-hak masyarakat adat, namun instrumen hukum inipun masih

memiliki permasalahan mengingat UNDRIP adalah instrumen internasional yang

sifatnya deklaratif semata, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat

kuat bagi negara-negara.Maka pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bagi masyarakat

5Sebagaimana dikutip oleh Anna Cowan, Undrip and The Intervention: Indigenous Self Determination,

Participation, and Racial Discrimination in The Northern Territory of Australia, Pacific Rim Law&

Policy Journal Vol. 22. dalam S James Anaya, (1999), Superpower Attitudes Towards Indigenuous

People and Group Rights, in Proceedings Of The Annual Meeting American Society Of International

Law , hlm. 251 dan 257. 6Ibid., hlm 256.

7Ibid.,hlm. 257.

8Ibid., hlm 248.

9United Nation, International Day of the World's Indigenous Peoples 9 August :

http://www.un.org/en/events/indigenousday/background.shtml, diakses pada tanggal 17 November 2016. 10

Lihat, https://www.aman.or.id/2016/10/14/7659/, diakses pada tanggal 17 November 2016.

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

350

adat masih dibenturkan dengan komitmen negara-negara untuk menaati UNDRIP itu

sendiri.11

Di Indonesia prinsip hak penentuan nasib sendiri atas masyarakat adat

diartikulasikan melalui Pasal 18 B ayat (2) yang mengakui dan menghormati kesatuan

masyrakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.Mandat konstitusi ini lantas

diikuti dengan pengaturan di peraturan perundang-undangan yang terkait baik langsung

maupun tidak langsung dengan masyarakat hukum adat di Indonesia.Menjadi menarik

untuk ditelaah apakah legitimasi normatif ini memiliki aura yang serupa dengan hak

penentuan nasib sendiri yang merupakan prinsip dalam hukum internasional dan telah

termaktub dalam beberapa instrumen internasional, khususnya yang menyoroti

masyarakat, seperti yang telah disebutkan di atas. Penerapan prinsip hak penentuan

nasib sendiri atas masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia tentunya tidak terlepas

dari pengaruh gerakan masyarakat adat namun di lain pihak juga harus menyesuaikan

dengan konsep ketatanegaraan yang ada di Indonesia. Masyarakat Kasepuhan di daerah

Gunung Halimun akan menjadi “alat” untuk meneropong bentuk pengakuan hukum dan

konsepsi hak penentuan nasib sendiri di Indonesia.

Metode Penelitian

Permasalahan dalam penelitian ini dijawab melalui metode penelitian doktrinal,

suatu metode penelitian yang menjadikan kaidah-kaidah hukum abstrak sebagai ukuran

kebenaran dalam studi hukum.Dalam metode penelitian ini, hukum dikonsepkan dan

dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau

pengembangnya.12

Penelitian ini akan melihat hukum dalam bentuknya sebagai kaidah

dalam peraturan perundang-undangan (in abstracto). Melihat prinsip penentuan hak

sendiri sesuai konsep Indonesia dan relevansinya dengan pengakuan hak masyarakat

adat kasepuhan.

Analisis dilakukan terhadap data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum

primer13

dan bahan hukum sekunder14

.Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam

11

Anna Cowan, Op.Cit., hlm. 249. 12

Soetandyo Wignjosoebroto, (2013), Hukum: Konsep dan Metode, Malang: Setara Press, hlm. 35-36. 13

Bahan hukum primer adalah semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau dibaut secara resmi oleh

suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan pemerintahan, yang demi tegaknya akan diupayakan

berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara. Termasuk bahan hukum

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

351

penelitian ini terdiri dari UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Menteri

Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tata Cara Penetapan Hak

Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada di

Kawasan Tertentu, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 8 Tahun

2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat

Kasepuhan, United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (2007),

Convention (No.107) Concerning the Protection and Integration of Indigenous and

Tribal and Semi-Tribal Population in Independent Countries (1957), serta Convention

(No. 169) Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries

(1989).Bahan hukum sekunder yang dipergunakan berfungsi untuk memberikan

penjelasan lebih lanjut mengenai bahan hukum primer, antara lain buku teks, laporan

penelitian, dan jurnal hukum.

Hasil dan Pembahasan

Originalitas hak masyarakat adat merupakan dasar bagi pembicaraan hak

masyarakat adat sebagai hak yang asasi. Sebagai hak asasi, maka hak masyarakat adat

adalah hak yang mendahului hukum negara. sifat originalitas ini juga dikenal dengan

istilah otohton, asli atau asal. Karakteristik originalitas ini juga dikenal dalam istilah

hukum sebagai prima facie yaitu yang mengatur terlebih dahulu yang eksistensinya

melekat pada keberadaan masyarakat adat selaku pemilik hak. Oleh karena itu, hak-hak

masyarakat adat atas wilayah kehidupannya bersifat asasi (basic rights).15

Sifat yang asasi inilah yang membedakan antara hak masyarakat adat dengan

hak-hak lainnnya yang diciptakan melalui hukum negara yang disebut dengan hak

hukum (legal rights). Hak hukum merupakan hak yang hadir berdasarkan peraturan

primer yaitu peraturan perundang-undangan, putusan hakim, dan produk hukum dari badan internasional.

Lihat Ibid., hlm. 67-68. 14

Bahan hukum sekunder adalahselurih informasi yang relevan dengan permasalahan hukum, namun yang

tidak dapat dibilangkan sebagai aturan-aturan hukum yang pernah diundangkan atau diumumkan sebagai

produk badan legislatif, yudisial, eksekutif, dan/atau administrasi negara.Termasuk bahan hukum

sekunder antara lain buku-buku teks, laporan penelitian, jurnal huku, notulen seminar, monograp, dan

lain-lain. Lihat Ibid., hlm. 68-69. 15

Yance Arizona (Ed.), (2010), Antara Teks dan Konteks : Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat

Atas Sumber Daya Alam di Indonesia,Jakarta: Huma, hlm 6.

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

352

perundang-undangan yang diciptakan oleh pemerintah disuatu negara. Sehingga Hak

Hukum berbeda dengan hak asasi. Hak asasi melekat pada diri manusia sejak dia lahir,

kalau bagi komunitas maka hak asasi itu melekat sejak komunitas itu ada, sedangkan

hak hukum memiliki keterbatasan-keterbatasan.16

Maka, hak masyarakat adat dapat

dikatakan sebagai hak asasi dalam konteks keberlangsungan hidup dan identitasnya dan

hak hukum dalam konteks hak-hak berian yang diberikan oleh negara. Dalam Hukum

Internasional hak-hak masyarakat adat dapat dilihat dalam ICCPR, ICESCR, Konvensi

ILO dan UNDRIP yang secara garis besar memuat hak masyarakat adat, antara lain:17

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri internal (rights of internal self-

determination);

2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (rights of participation);

3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat, sosial dan keamanan ekonomi (rights to

food, health, habitat, social and economic security);

4. Hak atas pendidikan (rights to education);

5. Hak atas pekerjaan (rights to work);

6. Hak anak (rights of children);

7. Hak pekerja (rights of workers);

8. Hak minoritas dan masyakarat hukum adat (rights of minorities and

indigenous peoples);

9. Hak atas tanah (rights of land);

10. Hak atas persamaan (rights of equality);

11. Hak atas perlindungan lingkungan (rights to environmental protection);

12. Hak atas pelayanan administrasi pemerintahan yang baik (right to

administrative due process);

13. Hak atas penengakan hukum yang adil (rights to the rule of law).

Pengakuan hukum bagi masyarakat adat Kasepuhan telah dilakukan sejak tahun

2010. Bupati Lebak mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Lebak yang memberikan

legalitas keberadaan seluruh Kasepuhan di Lebak adalah SK Bupati

No.430/Kep.318/Disporabudpar/2010 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat

16

Ibid., hlm. 7. 17

Ibid., hlm. 8.

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

353

Cisitu, Banten Kidul di Kabupaten Lebak, yang kemudian dicabut dan diganti dengan

lahirnya SK Bupati Lebak No.430/Kep.298/Disdikbud/2013 tentang Pengakuan

Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul, di Kabupaten

Lebak, yang meliputi 17 Kasepuhan diantaranya: Cisungsang, Cisitu, Cicarucug,

Ciherang,Citorek, Bayah, Karang, Guradog, Pasir Eurih, Garung, Karang Combrong,

Jamrut, Cibedug, Sindangagung, Cibadak, Lebak Larang dan Babakan Rabig.18

Selanjutnya, pada tahun 2013-2015 perjuangan warga Kasepuhan untuk

mendapatkan pengakuan dalam bentuk Perda terus dilakukan. Proses menyusun Perda

Kasepuhan mendapatkan sambutan baik setelah tiga kali pergantian ketua DPR.

Pembentukan Perda didampingi oleh berbagai elemen baik dari Pemerintah Daerah

Lebak, warga Kasepuhan dan Organisasi Non Pemerintah yang membantu pembentukan

Perda. Proses pembahasan Raperda tentang Kasepuhan oleh tim Pansus, bersama

eksekutif daerah dilakukan pada tangga 13 November 2015. Dari proses tersebut

akhirnya berhasil dibentuk Raperda tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan

Masyararakat Hukum Adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak. Raperda terdiri dari 11

BAB dan 26 Pasal. Raperda tersebut berhasil diundangkan pada akhir 2015 dengan

Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Nomor 20158 dengan Judul Peraturan Daerah

Kabupaten Lebak Provinsi BantenNomor 8 Tahun 2015TentangPengakuan,

Perlindungan Dan PemberdayaanMasyarakat Hukum Adat Kasepuhan.

Melalui penjelasan umum, terlihat bahwa pada dasarnya pembentukan Perda ini

bertujuan untuk dapat melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat Kasepuhan

yang pernah terdiskriminasi dalam kepemilikan dan pelaksanaan hak-hak tradisionalnya

sekaligus tindak lanjut dari adanya Putusan MK No.35/ PUU-X/2012.Maka dengan

dibentuknya Perda Kasepuhan tersebut, diharapkan Masyarakat Adat Kasepuhan dapat

secara bebas melaksanaan haknya dalam konteks pengelolaan wilayah adat, hukum adat,

pembangunan, sistem nilai, pranta sosial, ekonomi, dan politik yang dapat disebut

sebagai penentuan nasib sendiri.

Pasal 1 butir 6 memberikan definisi, “Pengakuan adalah pernyataan penerimaan

dan pemberian status keabsahan oleh Pemerintah Daerah terhadap keberadaan dan hak-

hak kesatuan masyarakat hukum adat sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk

18

Ibid., hlm. 19.

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

354

menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga negara”.Hal ini

menyiratkan bahwa dibentuknya Perda pengakuan oleh Pemerintah Daerah

dimaksudkan untuk memberikan legalitas (keabsahan) bagi masyarakat adat

Selanjutnya, sesuai dengan amanat Konstitusi.

Perda ini memuat deskripsi masyarakat hukum adat dalam Pasal 1 butir ke 10

yaitu:

“Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang

secara turun-temurun bermukin di wilayah geofrafis tertentu karena

adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan

lingkunagn hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata

ekonom, politik, sosial, budaya dan hukum”

Sedangkan Pasal 1 butir ke 11 menjelaskan bahwa, “Kasepuhan adalah kesatuan

masyarakat hukum adat yang terdapat di Kabupaten Lebak”. Melalui Pasal 1 butir 11 ini

maka pengakuan hukum bagi masyarakat adat yang dimaksud pada Perda ini hanya

berlaku bagi masyarakat adat kasepuhan yang berada diwilayah Kabupaten Lebak yang

terdiri dari 6 induk Kasepuhan dan 522 Anak Kasepuhan19

. Batasan ini menjadi penting

karena masyarakat adat kasepuhan juga terdapat di daerah Sukabumi dan Bogor.

Terakhir, Ketentuan Umum juga memberikan penjelasan mengenai beberapa

terminologi yang digunakan masyarakat adat Kasepuhan untuk menjelaskan unsur-

unsur yang ada didalamnya seperti Wewengkon, Leweung Kolot, Leweung Titipan,

Leweung Sampalan, Leweung Kolot, Tatali Paranti Karuhun, Sesepuh, Kokolot, Baris

Kolot, Palawari, Pangiwa, Juru Basa, Ronda Kokolot, Amil, Bengkong, Paraji dan Incu

Putu.

Pasal 5 tidak lupa memberikan kriteria siapakah Masyarakat Adat Kasepuhan,

yaitu terdiri dari masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu kelompok

karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;emiliki lembaga adat yang

tumbuh secara tradisional; memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

memiliki norma hukum adat yang masih berlaku; dan memiliki wilayah adat

tertentu.Pada dasarnya kriteria Masyarakat Adat Kasepuhan yang termaktub dalam

Perda Kasepuhan sudah memenuhi kriteria masyarakat adat didalam ketentuan

19

Lihat lampiran Perda Kasepuhan

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

355

Konvensi ILO No. 169. serta kriteria masyarakat (hukum) adat dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia antara lain adanya:20

a. Sejarah masyarakat hukum adat;

b. Wilayah adat;

c. Hukum adat;

d. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

e. Kelembagaan atau sistem pemerintahan adat;

f. Masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;

g. Masyarakat masih dalam bentuk peguyuban.

Selanjutnya, hak-hak masyarakat adat Kasepuhan termuat dalam Pasal16 Ayat 1

yang menyatakan,“Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, melindungi dan

memenuhi hak-hak Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan”. Hak-hak Masyarakat Hukum

Adat Kasepuhan terdiri dari:

a. Hak ulayat;

b. Hak perorangan warga Kasepuhan atas tanah dan sumberdaya alam;

c. Hak memperoleh pembagian manfaat dari sumber daya genetik dan

pengetahuan tradisional oleh pihak luar;

d. Hak atas pembangunan;

e. Hak atas spiritialitas dan kebudayaan;

f. Hak atas lingkungan hidup;

g. Hak untuk mendapatkan layanan pendidikan khusus;

h. Hak untuk mendapatkan layanan kesehatan;

i. Hak untuk mendapatkan layanan administrasi kependudukan;

j. Hak untuk mengurus diri sendiri;

k. Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat;

l. Hak untuk didengar aspirasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan desa

dan pemilihan kepala desa; dan

m. Hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

20

Kriteria tersebut diakumulasi berdasarkan ketentuan Permendagri No. 52 Tahun 2014, Permen ATR No.

10 Tahun 2016 dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

356

Dalam hal ini, hak-hak Masyarakat Adat Kasepuhan yang dimuat dalam Perda

secara garis besar memiliki muatan yang sama dengan apa yang dimuat dalam Konvensi

ILO maupun UNDRIP. Meski tidak secara tersurat mencantumkan hak penentuan nasib

sendiri namun apabila ditarik dari ketentuan Pasal 3 UNDRIP yang menjelaskan bahwa

masyarakat adat memiliki hak penentuan nasib sendiri dan atas hak tersebut mereka

dapat secara bebas menentukan status politik, ekonomi, sosial, dan penembangan

budaya serta Pasal 4 UNDRIP yang menjelaskan bahwa dalam menjalankan/

mengimplementasikan hak penentuan nasib sendiri masyarakat adat memiliki hak atas

otonomi atau hak mengurus diri sendiri (self-governance) dalam hak yang berkaitan

dengan kepentingan internalnya, maka ketentuan Pasal 16 Ayat (2) huruf e dan j cukup

merepresentasikan hak penentuan nasib sendiri dalam UNDRIP.

Sejalan dengan pengakuan hak Masyarakat Adat Kasepuhan,Pasal 12 ayat (1)

dan (2) menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah mengakui, melindungi dan

memberdayakan lembaga adat Kasepuhan yang sudah ada secara turun temurun pada

masyarakat hukum adat menurut hukum adat setempat. Masyarakat Adat Kasepuhan

sebagai subjek pemegang hak dan kewajiban, dan pelaksanaan hak kewajiban sebagai

subjek hukum tersebut dilakukan melalui lembaga adat.Pasal 17 ayat (2) huruf a, b dan

c memberikan suatu kejelasan bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan melalui lembaga

adatnya memiliki hak untuk mengurus diri sendiri (self governance) dan hal ini

merupakan hak yang dimaksudkan dalam hak penentuan nasib sendiri.

Selanjutnya, sejalan dengan Pasal 10 ayat (1) huruf k bahwa Perda mengakui

hak atas hukum adat dan peradilan adat Kasepuhan, Pasal 18 menjelaskan bahwa

hukum adat tetap dihormati untuk dapat dijalankan dalam konteks pelaksanaan aturan

adat dan penyelesaian sengketa adat. Namun yang menarik dari ketentuan ini adalah

pada Ayat (4) dijelaskan bahwa pelaksanaan hukum adat harus memperhatikan prinsip

keadilan sosial, keadilan gender, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 22 ayat (1), (2) dan (3)menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah menghormati dan

mengakui peradilan adat, sehingga sengketa yang terjadi pada anggota masyarakat adat

Kasepuhan (incu putu) dapat dilakukan melaui peradian adat. Dalam hal terjadi

perselisihan antar Kasepuhan maka Pemerintah Daerah membantu penyelesaian

sengketa melalui mediasi, dan apabila penyelesaian sengeketa tidak berhasil ditempuh

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

357

melalui peradilan adat atau mediasi maka diselesaikan melalui Peradilan Umum.Yang

perlu digaris bawahi dalam ketentuan ini adalah bahwa negara mengakui peradilan adat

sebagai penegak hukum adat dan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa

adat.

Setelah melihat ketentuan-ketentuan yang temaktub dalam Perda Kasepuhan,

kita dapat melihat bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat Kasepuhan tidaklah

dilakukan secara keseluruhan sebab dalam Perda ini dinyatakan bahwa yang dimaksud

Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan dalam Perda ini adalah Kasepuhan yang berada di

wilayah Kabupaten Lebak, sementara pada bagian awal dijelaskan bahwa masyarakat

adat Kasepuhan tersebar dibeberapa bagian di Jawa Barat dan Banten seperti Sukabumi

dan Bogor. Selain itu, Perda ini juga tidak secara komprehensif memberikan seluruh hak

masyarakat adat, sebab pada Pasal 25 dijelaskan bahwa hak masyarakat adat Kasepuhan

atas hutan adat harus tetap dilaksanakan melalui mekanisme permohonan penetapan

hutan adat.Namun, Perda ini juga telah memperlihatkan pelaksanaan penghormatan dan

perlindungan terhadap Masyarakat Adat Kasepuhan, sebab Perda ini memuat beberapa

ketentuan yang menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan diberikan hak

kebebasan untuk dapat mengatur dan mengurus dirinya sendiri (self governance), dan

hal tersebut merupakan hak yang dimaksud di dalam prinsip hak penenentuan nasib

sendiri (internal) bagi masyarakat adat di dalam ketentuan UNDRIP.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dari penelitian ini dapat disimpulkan, Pertama, bahwa

hak penentuan nasib sendiri merupakan prinsip internasional yang telah diadopsi ke

dalam beberapa instrumen international, khususnya yang mengatur mengenai hak-hak

masyarakat adat yaitu United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples

(2007), Convention (No.107) Concerning the Protection and Integration of Indigenous

and Tribal and Semi-Tribal Population in Independent Countries (1957), serta

Convention (No. 169) Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent

Countries (1989). Hak penentuan nasib sendiri, di Indonesia, diartikulasikan dalam

Pasal 18 B ayat (2) yang berisi pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat

hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. Amanah konstitusi ini lantas diturunkan

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

358

melalui berbagai produk peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52

Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tata Cara

Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang

Berada di Kawasan Tertentu, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten

Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat

Adat Kasepuhan.

Kedua, melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 8

Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat

Kasepuhan, konsep hak penentuan nasib sendiri menemukan pijakan ke-Indonesiaanya,

karena pasal-pasal dalam Perda tersebut mengakui dan menghormati hak asal usul

Masyarakat Adat Kasepuhan. Terlepas dari cakupan perda yang hanya meliputi

Masyarakat Adat Kasepuhan di wilayah Lebak, serta bersifat limitatif (salah satunya

dalam proses penentuan hutan adat), namun secara garis besar Perda ini bisa

merangkum konsep hak penentuan nasib sendiri yang awalnya merupakan prinsip dalam

tatanan internasional.

Daftar Pustaka

Adimihardja, Kusnak, (1992),Kasepuhan yang Tumbuh Diatas Yang Luruh:

Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun

Jawa Barat. Bandung: Tarsito.

Anaya, James S.,(1996), Indigenous Peoples in Internatinal Law. New York: Oxford

University Press.

Anaya, James S.,(1999), Superpower Attitudes Towards Indigenuous People and

Group Rights. Proceedings Of The Annual Meeting American Society Of

International Law.

Arizona, Yance (Ed.), (2010),Antara Teks dan Konteks: Pengakuan Hukum Terhadap

Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam di Indonesia. Jakarta: Huma.

Riyadi, Ediie dan Emil Ola Kleden, (2006),Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks

Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta: Elsam dan AMAN.

Vitasari, Desi Martika dan Nia Ramdhaniaty, (2015), Jalan Panjang Pengakuan Hukum

15 Tahun Pendampingan Masyarakat Kasepuhan. Jakarta: Epistema Institutue

dan RMI. Wignjosoebroto, Soetandyo, (2013), Hukum: Konsep dan Metode, Malang: Setara Press.

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

359

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke- 4

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

PeraturanMenteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan

Masyarakat Yang Berada di Kawasan Tertentu

Peraturan Daerah Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan

Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan

Convention (No. 107) Concernung the Protection and Integration of Indigenous and

Tribal and Semi-Tibal Population in Independent Countries, June 26, 1957,

328 U.T.S. 2747

Convention (No. 169) Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent

Countries, June 27, 1989

International Covenant on Civil and Political Rights, Dec, 16, 1966, 999 U.N.T.S. 171.

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Dec, 16, 1966, 993

U.N.T.S.3.

United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (2007)

Artikel

Ahmad Syofyan, Hak Menentukan Nasib Sendiri Secara Internal (Internal Rights Self-

Determination) Dalam Perspektif Hukum Internasional dan Implementasinya

di Indonesia. Dimuat dalam Jurnal Monograf Volume 2 Tahun 2014.

Anna Cowan. Undrip and The Intervention: Indigenous Self-Determination,

Participation, and Racial Discrimination in The Northern Territory of

Australia. Pacific Rim Law& Policy Journal Vol. 22. (tanpa tahun)

Yance Arizona, dkk. 2007 Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat: Trend

Produk Hukum Daerah Dan Nasional Paska Putusan Mk 35/PUU-X/2012,

Outlook Epistema 2017

Website

https://yancearizona.net/2016/02/02/chief-deskaheh-pelopor-internasionalisasi-

permasalahan-indigenous-peoples/

https://yancearizona.net/2014/06/18/new-york-2014-mendefinisikan-indigenous-

peoples-di-indonesia

https://www.aman.or.id/2016/10/14/7659/