serat dewa ruci - core.ac.uk · pdf filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from...

126

Click here to load reader

Upload: lekien

Post on 06-Feb-2018

280 views

Category:

Documents


31 download

TRANSCRIPT

Page 1: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

SERAT DEWA RUCI (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)

S K R I P S I

Oleh :

EDWIN K44O6019

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011

Page 2: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

SERAT DEWA RUCI (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)

Oleh :

EDWIN K 4406019

S K R I P S I

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011

Page 3: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRAK

Edwin. SERAT DEWA RUCI (Studi Pemikiran Tasawauf Yasadipura I). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Biografi Yasadipura I, (2) Serat Dewa Ruci dalam konteks religi masyarakat Jawa, (3) Pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder berupa buku-buku, jurnal, surat kabar. dan internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Tehnik analisis data dengan menggunakan analis historis dan kritik sastra. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang Hadi Wijaya. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang bupati/jaksa Pengging pada masa Paku Buwana II. Suasana kehidupan istana dan pesantren terlihat berpengaruh pada sosok kepribadian dan alam pikiran Yasadipura I. Semasa hidupnya mengabdi pada 3 raja (Paku Buwana II s/d Paku Buwana IV). Banyak karya sastra yang telah dihasilkan baik yang berupa gubahan, terjemahan, maupun karangannya sendiri. (2) Dalam konteks religi masyarakat Jawa, Serat Dewa Ruci merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelas. Bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan kesepuhan menganganggap isi Serat Dewa Ruci cukup berbobot untuk digunakan sebagai bahan renungan perihal hakikat kehidupan, yaitu kawruh sangkan paraning dumadi atau dari mana dan kemana tujuan hidup manusia itu.(3) Pemikiran Yasadipura I tidak terlepas dari pengaruh tradisi kejawen dan pesantren. Pemikiran sinkretik Yasadipura I salah satunya tercermin di dalam Serat Dewa Ruci. Sufisme yang dirumuskan Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci terbagi dalam empat tingkatan yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.

Page 6: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRACT

Edwin. Serat Dewa Ruci (A Study Tasawuf Thought of Yasadipura I). Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, Januari 2011.

The purpose of this research are to described: 1) The biography of Yasadipura I, 2) Relation of Serat Dewa Ruci and Javanesse religion, 3) Tasawuf thought of Yasadipura I in the Serat Dewa Ruci.

This research uses historical method. Source data uses primary written text source and secondary written text source such as journal, newspaper, and internet. Data collecting uses document study and book study. Data analysis technique uses historical analysis and literature criticism. Research procedure divided into 4 ways: heuristics, critics, interpretations, and historiography.

Based on the result of research, it can be concluded: 1) Yasadipura I is the 8th descendent from king of Pajang Hadi wijaya. He is a son of Tumenggung Padmanegara who is a mayor/district attorney under Paku Buwana II conqueror. Situation internal lives in the castle and Islamic boarders is affecting Yasadipura I personality and philosophy. He worked under 3 kings in his life (Paku Buwana II – Paku Buwana IV). He made a lot of works such as oeuvres, translations, or his own literature works. 2) In the context of Javanese religion, book of Serat Dewa Ruci is the best representation for Javanese mystical idea. It contained the philosophy of Javanese lives based on the form of spiritual or mystical well synchronized. For Javanese, especially for internal lives in the castle consider contains of Serat Dewa Ruci can be considered as the material for reflecting about nature of life, that is kawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen (the mysticism associated with the Javanese view of the world) and Islamic boarders scope. One of the Yasadipura I synch philosophy can be found in the Serat Dewa Ruci. Sufism maintained by Yasadipura I in Serat Dewa Ruci divided into 4 stage, that is: syariat ,tarekat, hakikat, and makrifat.

Page 7: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

M O T T O

Ngelmu iku kelakone kanthi laku (Serat Wedhatama Pupuh Pocung bait I)

Man’arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu

Barang siapa mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhannya (Ihya Ulumuddin-Al Ghazali)

Page 8: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang sangat berarti dan memberi

arti dalam kehidupan penulis.

Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah

SWT karya sederhana ini kupersembahkan

untuk:

1. Bapak dan Ibu tercinta,

2. Mas Yohannes

3. Almamaterku

Page 9: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk

memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas

dari bimbingan, bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Atas jasa yang telah

diberikan maka perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa hormat dan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui

permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin

atas penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd, selaku Pembimbing I yang telah mengukir

landasan pemikiran penulis serta tak henti-hentinya memberi dukungan, doa,

bimbingan dan sumbangan pemikiran sehingga tergugah untuk segera

menyelesaikan studi ini.

5. Drs. Tri Yunianto, M. Hum. selaku Pembimbing II sekaligus yang telah

memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini dapat

diselesaikan.

6. Drs. Herimanto M. Pd, M. Si, selaku Pembimbing Akademik, yang telah banyak

memberi bimbingan dan pengarahan selama penulis menuntut studi di Program

Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Bapak-Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

8. Drs. Supardjo, M. Hum, selaku Kepala Yayasan Sastra yang telah memberikan

izin penelitian di Yayasan Sastra, sehingga skripsi ini terselesaikan.

Page 10: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9. Bapak dan Ibu yang tak pernah sepi dan berhenti dalam doa.

10. Saint of My Life, yang selalu menuntunku disaat ku tak tau arah, yang memberi

semangat dan motivasi disetiap inci langkahku, yang selalu memberi inspirasi

disaat pemikiranku kering.

11. Mas Yohannes (Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2002) terima kasih atas

wacana, diskusi, serta rangsangan berpikirnya selama proses penulisan skripsi

ini.

12. Captain Jack, Seruan pesan yang termuat dalam lagu “PAHLAWAN”

menyadarkanku bahwa dalam hidup “Tak ada penolong, Tak ada penyelamat,

Kita adalah Pahlawan bagi diri kita”.

13. “Deary Depresiku” dan “Tembok Ratapanku”, yang sekian lama menjadi media

keluh kesahku saat aku menemukan monolog yang tak terjawab dalam proses

penulisan skripsi ini.

14. Bala Kurawa Pendidikan Sejarah Angkatan 2006, letupan semangat kalian adalah

limpahan energi positif yang merangsang dan menggugahku untuk segera

menyelesaikan studi ini.

15. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu. Semoga amal

kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati , mengharapkan sumbang

saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan pada

umumnya.

Surakarta, Januari 2011

Penulis

Page 11: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................ ii

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iii

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv

ABSTRAK ....................................................................................................... v

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii

KATA PENGANTAR .................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................ 8

C. Tujuan Penelitian ................................................................ 9

D. Manfaat Penelitian .............................................................. 9

BAB II. LANDASAN TEORI ................................................................ 7

A. Kajian Teori ........................................................................ 10

1. Akulturasi Islam-Jawa ................................................... 10

2. Tasawuf .......................................................................... 16

3. Manunggaling Kawula Gusti ........................................ 24

B. Kerangka Berpikir ............................................................... 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 31

A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 31

B. Metode Penelitian ............................................................... 32

C. Sumber Data ........................................................................ 34

D. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 37

E. Teknik Analisis Data ........................................................... 38

F. Prosedur Peneliitian ............................................................ 41

Page 12: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB IV. HASIL PENELITIAN ............................................................... 46

A. Riwayat Hidup dan Karya R.Ng. Yasadipura I ................... 46

1. ................................................................................. Riwayat

Hidup Yasadipura I ........................................................ 46

2. ................................................................................. Karya

Yasadipura I ................................................................... 52

B. Serat Dewa Ruci dalam konteks Religi Masyarakat Jawa .. 54

1. Esensei Serat Dewa Ruci ................................................. 54

2. Konversi Serat Dewa Ruci ............................................... 56

3. Historitas dan Latar Belakang Terciptanya

Serat Dewa Ruci............................................................... 63

4. Perbandingan Kitab Nawaruci dengan Serat Dewa Ruci 68

5. Serat Dewa Ruci dalam Konteks Penghayatan

Keagamaan Masyarakat Jawa ......................................... 71

C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I ........................................ 77

1. ................................................................................. Orang-

Orang yang berpengaruh dalam

pemikiran Yasadipura I .................................................. 77

2. ................................................................................. Pengaru

h Tasawuf Islam dan Tradisi Kejawen ........................... 80

3. ................................................................................. Sufisme

Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci ............................ 82

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ........................... 113

A. Kesimpulan .......................................................................... 113

B. Implikasi............................................................................... 115

C. Saran .................................................................................... 115

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 117

LAMPIRAN .................................................................................................... 121

Page 13: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1 Naskah Serat Dewa Ruci karya Yasadipura I .................... 121

LAMPIRAN 3 Silsilah Yasadipura I .......................................................... 164

LAMPIRAN 4 Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ......................... 165

LAMPIRAN 5 Surat Permohonan Ijin Research/ Try Out ......................... 166

LAMPIRAN 6 Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Tentang Ijin Menyusun Skripsi ...................... 167

LAMPIRAN 7 Surat Keterangan Pengumpulan Data ................................ 168

Page 14: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses masuknya Islam merupakan suatu proses yang sangat penting di dalam

sejarah bangsa Indonesia. Khususnya dalam proses Islamisasi di Pulau Jawa memiliki

sejarah yang cukup lama. Mengenai kapan, mengapa, dan bagaimana Islam masuk ke

Jawa belum dapat diketahui secara pasti. Minimnya peninggalan tertulis dan sumber

yang tidak informatiflah yang menyebababkan timbulnya perbedaan pendapat di

kalangan pakar (sejarawan). Menurut B.J.O Schrieke, proses Islamisasi di Pulau Jawa

diperkirakan mulai pada tahun 1416 M. Pendapatnya ini didasarkan pada berita Ma-

Huan (seorang muslim Cina) yang ditulis dalam buku berjudul Ying-yai Sheng-Lan

(peninjauan tentang pantai-pantai Samudra) ditulis pada tahun 1451M. Dalam

laporannya disebutkan tentang orang-orang Islam dari Barat (Arab, Persia, Gujarat)

atau Cina (sudah memeluk Islam). Hal ini dibuktikan dengan adanya daerah-daerah

pesisir, terutama di dekat pelabuhan, telah terjadi Islamisasi dan terbentuknya

masyatarakat muslim dari berbagai ras. Sedangkan menurut J.P.Moquette,

kedatangan Islam di Jawa lebih awal, ini dibuktikan dengan penemuan prasasti batu

nisan seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun di Leran Gresik, yang berangka

tahun 475 H, atau 1082 M. Dari keterangan itu diindikasikan bahwa proses Islamisasi

telah meluas di daerah Jawa Timur pada khususnya dan Pulau Jawa pada umumnya.

Pendapat J.P. Moquette didasarkan atas peninggalan paling kuno sejarah yang

menyebutkan telah ada bukti (orang) Islam di Jawa. Demikian pula sejak akhir abad

ke 11 hingga abad ke 13 banyak sekali dijumpai peninggalan kepurbakalaan yang

berbau Islam, disini dibuktikan dengan penemuan makam di Troloyo, Trowulan, dan

Gresik (Dhanu Priyo Prabowo, 2003: 10-11).

Menurut Ricklefs (1995 : 3) ada dua proses kemungkinan Islam masuk ke

Jawa. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan

kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina) yang

telah memeluk agama Islam secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan

Page 15: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka

sudah menjadi orang Jawa.

Koentjaraningrat (1983:48) lebih condong pada pendapat atau kemungkinan

yang ke dua bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui kerajaan yang baru muncul di

pantai barat jazirah Melayu yaitu kerajaan Malaka. Dalam abad ke-14, ketika

kekuasaan Majapahit menurun, maka rute perdagangan yang melalui kepulauan

Nusantara dikuasai Malaka. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-

pedagang dari Gujarat serta dari Persia. Sambil berdagang, para pedagang ini

memasukkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat.

Ada juga hipotesa lain yang tentang masuknya Islam ke Jawa. Menurut A.H.

John, dikatakan bahwa Islam masuk ke Jawa berkat usaha agen-agen sufi yang datang

ke Indonesia. Mereka adalah adalah para wali yang terhimpun dalam satu lembaga

dakwah yang terkenal dengan Wali Sanga. Mereka bukan saja pembuka babak baru

Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian

dikenal dengan zaman kewalen (zaman wali). (Abdurahman Mas’ud (2004 : 48).

Berbeda dengan penyebaran Islam di luar Jawa yang relatif cepat, di Jawa

Islam menghadapi suasana kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para

penguasa/raja. Oleh karena itu perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua

jenis lingkungan kebudayaan. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan

bagian terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme –dinamisme. Kedua, tradisi

Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindhu-Budha

yang diperhalus budaya lapisan atas (Zaini Muchtarom, 1997 : 20-21).

Pada tahap awal kedatangan Islam di Jawa, penyebaran Islam tidak mampu

menembus benteng kerajaan Hindhu yang kejawen. Penyebaran Islam harus

merangkak dari kalangan bawah, yaitu daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir

yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren.

Watak penetrasi dakwah Islam yang damai dan. mengajarkan nilai persamaan

(equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima oleh masyarakat kecil, dengan jalan

tersebut Islam mulai perlahan-lahan merembes wilayah-wilayah pesisir lainnya dan

pedalaman. Pada tahap ini para wali memegang peranan penting di dalam

penyebarannya tersebut.

Page 16: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Peran Wali Sanga semakin terlihat dominan sekali dalam proses pembentukan

negara Islam pasca Majapahit. Dengan bedirinya Kerajaan Demak para wali mencoba

membentuk struktur kekuasaan kerajaan agar lebih kuat dengan jalan membangun

sebuah masjid Agung. Dan tahap selanjutnya para wali membangun Masjid Agung

Demak, oleh para wali peran masjid disini sebagai pusat kekuasaan bagi Negara baru

(Demak) dan dalam proses Islamisasi dapat digunakan sebagai sosialisasi media

dakwah.

Media dakwah Wali Sanga pada waktu itu sangat intens dengan menggunakan

ajaran tasawuf. Hal ini dikarenakan mengingat latar belakang sosiologis masyarakat

Jawa yang masih lengket dengan agama dan kepercayaan sebelumnya. Lebih lanjut

lagi sikap toleran tanpa mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, menunjukkan

pendekatan yang dilakukan oleh Wali Sanga tergolong brilian. Oleh sebab itu ajaran

Islam masuk ke Jawa mudah diterima karena pendekatan-pedekatan yang dilakukan

Wali Sanga tidak njlimet dan menyatu dalam kehidupan masyarakat.

Upaya Islamisasi yang ditempuh oleh Wali Sanga sesungguhnya merupakan

ekpresi Islam kultural yang merupakan proses yang tak berujung yang membutuhkan

waktu yang demikian panjang, proses gradual, dan berhasil dalam wujud satu tatanan

kehidupan masyarakat yang saling damai berdampingan atau peaceful coexisten.

Istilah terakhir ini merupakan ciri utama dalam filsafat Jawa yang menekakan

kesatuan, stabilitas, keamanan, dan harmoni (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 58). Itu

terlihat dalam model dakwahnya, pengislaman itu terjadi secara damai karena metode

yang digunakan oleh para Wali dalam berdakwah sangat akomodatif dan lentur, yakni

menggunakan unsur-unsur budaya lama, tapi secara langsung memasukkan nilai-nilai

Islam ke dalam unsur-unsur lama..

Berkembangnya ajaran tasawuf di Jawa secara intens dimungkinkan karena

ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistik di kalangan

masyarakat Jawa sendiri yang berupaya mempertahankan kepercayaan Raja Titising

Dewa yang serba magis dan sarat dengan mistik. Mistik bagi kalangan masyarakat

Jawa merupakan inti terdalam yang menjiwai dan mewarnai seluruh apek kehidupan

kebudayaan Jawa sehingga dalam pandangan dunia Jawa budaya lahir dan batin

mendapat posisi yang strategis, terutama berkaitan dengan penghayatan dalam bentuk

Page 17: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

pengalahan unsur-unsur lahir untuk dapat memurnikan aspek batiniah dan bersatu

kembali pada tingkat yang tertinggi. Untuk mencapai hakikat itu berarti

mengusahakan keteraturan jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad cilik

(mikrokosmos), dalam arti yang lebih mendalam kesatuan antara manusia dengan

Tuhan (manunggaling kawula gusti)

Perkembangan Islam di Jawa dalam proses seiring diikuti mengalirnya

kesusastraan Islam dari Aceh terutama pada abad 16 dan 17. Adanya hubungan yang

sangat signifikan, Islamisasi pada saat itu mendorong berkembangannya sastra Islam

Melayu. Sastra Melayu Islam yang berkembang merupakan mercusuar pemikiran

intelektual. Proses Islamisasi Jawa sendiri semakin intens ketika mendapat pengaruh

sastra Melayu Islam, dan kemudian melahirkan kepustakaan Islam Jawa. Mengalirnya

kepustakaan Islam, ternyata dengan cepat mempengaruhi perkembangan tradisi dan

kepustakaan Jawa.

Kepustakaan Islam Jawa ini berkembang dengan pesat ketika runtuhnya

kerajaan Majapahit atau munculnya kerajaan Islam Demak yang pada waktu itu dari

pihak Wali Sanga dengan basis pesantrennya. Pengaruh kepustakaan Islam

menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa

dengan hal-hal keislaman. Jenis kepustakaan yang isinya mempertemukan ajaran

Islam dengan tradisi Jawa misalnya: serat, suluk dan wirid. Kepustakaan Jawa yang

memuat ajaran-ajaran Islam, Simuh namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh,

1988:9)

Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama kearifan sufistik

(tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan Jawa, untuk

mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman

Hindhu. Sebaliknya dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah

atau sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi

inti ajaran yang sangat dihargai (Simuh, 2004 : 37).

Dalam perkembangannya sastra Jawa pesantren tidak sesubur pertumbuhan

sastra Islam Kejawen. Hal ini dikarenakan yang berkembang di Jawa adalah paham

sufisme Al-Ghazali yang ortodoks, sehingga pengkajiannya hanya sebatas pada

Page 18: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

penerus ilmu-ilmu yang telah ada. Sastra Jawa Islam yamg tertua yaitu buku Bonang,

yang didalamnya unsur gaya pesantren sangat kental sekali.

Kepustakaan Islam Kejawen berkembang cukup intens ketika pusat-pusat

pemerintahan berpindah ke daerah pedalaman. Berdirinya kerajaan Mataram Islam

ternyata lebih menyuburkan perkembangan kepustakaann Islam Kejawen. Kalangan

istana sendiri berkepentingan mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur

ajaran Islam. Kepentingan itu adalah untuk mengesahkan (legitimasi) kekuasaan raja.

Terutama dalam bidang sastra yang bukan semata-mata sebagai penghibur, melainkan

menunjukan kebesaran para raja.

Sultan Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut

Ricklefs (1998 : 470), Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada

masanya kraton ditempatkan menjadi leading agents of Islamisation, sekaligus

menjadikan Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini berarti Istana

dijadikan pusat studi Islam dan Islam sebagai alat legitimasi politik. Sebagai seorang

raja besar, Sultan Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan

budaya, sehingga bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Beliau benar-benar

bertindak sebagai narendra binanthara, mbau dhendha nyakrawati, ambeg adil

paramarta, memayu hayuning bawana. Dalam rangka membangun koalisi permanen,

dengan arif bijaksana Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan Tradisi

Kejawen dalam hal penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun

Jawa disesuaikan dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka atau yang

lebih dikenal dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan

sendirinya makin menyuburkan kepustakaan mistik Islam Kejawen. Selain itu,

merupakan dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan

Jawa. Sultan Agung kecuali sebagai raja, juga mendapatkan julukan sebagai pujangga

besar. Karya-karya Sultan Agung misalnya Sastra Gendhing, Kitab Nitipraja, dan

Serat Pangracutan.

Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan pertumbuhan Islam

Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur agama Islam. Dari

Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu digubah menjadi

Serat Menak, dalam bahasa Jawa bersekar macapat. Selain itu juga ada penulisan

Page 19: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari dewa-dewa Hindhu dengan

riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24).

Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta, pertumbuhan kepustakaan

Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas dari krisis multi dimensi

yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan kerajaan ini terpecah menjadi

empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura

Pakualam. Para raja Jawa dan elite pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang

berarti, kedudukan raja hanya sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik

dan hal ini mereka atasi dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra, seni,

budaya yang bermutan etika dan mistisme (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan

dalam lapangan kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut

G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu

masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru) (Simuh, 1998 : 25).

Perkembangan ini didapat dengan jalan menggubah kitab-kitab Jawa Kuno ke

dalam bahasa Jawa Baru. Kemudian diikuti dengan penyusunan karya-karya baru,

memanfaatkan perbendaharaan yang terdapat dalam kepustakaan Islam, mengolah

unsur-unsur ajaran Islam yang terdapat dalam kepustakaan Melayu, atau mengambil

dari kepustakaan pesisir, di mana bahasa daerah tersebut masih kasar dan kemudian

diperhalus dalam gubahan pujangga-pujangga istana. Kepustakaan pesisir yang

timbul di sekitar daerah pesantren, dengan demikian ikut terpengaruh oleh unsur-

unsur ke-Islaman.

Suatu hal yang amat menarik ialah, pihak istana mempunyai perhatian yang

besar terhadap perkembangan bahasa, kesusastraan dan berbagai cabang kesenian.

Disini peran priyayi di kraton yang memilki wawasan yang sangat luas, terbuka,

dinamis dan cepat menerima dan mengolah unsur-unsur budaya dari manapun

datangnya, peran ini semakin nyata dalam birokrasi kraton terdapat pujangga yang

sangat intens memajukan kebudayaan Jawa.

Dalam dunia kepujanggaan Surakarta, tidak lepas dari jasa tiga orang

pujangga besar, yang ketiganya berasal dari satu keluarga yaitu: Yasadipura I,

Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Keberadaan Yasadipura I memberikan kesan

tersendiri bagi perkembangan sastra Jawa. Dalam kapasitasnya sebagai seorang

Page 20: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

pujangga istana, Yasadipura I adalah founding father (pioner) munculnya

kesusastraan Jawa baru, sehingga Yasadipura I menjadi tokoh fenomenal dalam dunia

kepujanggaan Surakarta (Dhanu Priyo Prabowo, 2003:24).

Menurut Arief Furchan dan Agus Maimun (2005: 12), seseorang bisa

dianggap tokoh, paling tidak mempunyai empat indikator, yaitu berhasil dalam

bidangnya, mempunyai karya-karya monumental, mempunyai pengaruh dalam

masyarakat, dan ketokohannya diakui secara mutawatir. Dalam posisi ini Yasadipura

I sudah memiliki keempat aspek tersebut. Yasadipura I berhasil dalam bidang

kebudayaan Jawa. Beliau berhasil mengembangkan kebudayaan Jawa melalui wahyu

kepujanggannya, mengenai karya monumentalnya disini banyak diwariskan kepada

generasi penerus selanjutnya berupa karya tulisnya. Ketokohan Yasadipura I juga

mempunyai pegaruh yang dominan terutama bagi masyarakat Jawa, segala

pemikirannya maupun aktifitasnya dijadikan rujukan dan panutan dalam masyarakat

sesuai dengan bidannya. Selain itu ketokohannya diakui secara mutawatir, artinya

dengan adanya kekurangan dan kelebihannya, sebagian masyarakat memberi

apresiasi yang positif terutama hasil karyanya.

Yasadipura tidak saja sosok yang punya ide-ide yang cerdas tetapi

pemikirannya atau gagasannya telah menjadi rujukan banyak orang. Dalam pola

pemikirannya, Yasadipura I tidak lepas dari budaya Jawa dan unsur Islam

(pesantren). Seperti halnya pujangga kraton Surakarta lainnya yang umumnya

berlatar belakang santri, Yasadipura I biasanya memasukkan kesusastraan suluk dari

pesantren yang kemudian dipadukan dengan unsur Javanisme yang berbau mistis, dan

hal itu terlihat dari berbagai hasil karyanya. Salah satu karya monumentalnya yang

bernafaskan ajaran tasawuf yang mempertemukan tradisi Jawa- Hindhu dengan

unsur Islam yaitu Serat Dewa Ruci.

Serat Dewa Ruci yang digubah Yasadipura I pada masa awal kraton

Surakarta, secara historis berkaitan dengan kitab Nawaruci karya Empu Siwamurti

pada jaman akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan karya sastra mistik

Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindhu, kemudian oleh Yasadipura I digubah

sedemikian rupa dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya (Purwadi, 2002:

160).

Page 21: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Sampai sekarang Serat Dewa Ruci masih sangat populer di kalangan

masyarakat Jawa. Popularitas Serat Dewa Ruci dalam masyarakat Jawa dapat

diketahui melalui variasi naskah tertulis yang banyak disalin. Banyaknya variasi

naskah tersebut menunjukkan bahwa masyarakat cukup responsif dan apresiatif.

Kecuali dalam bentuk naskah, lakon Dewa Ruci merupakan lakon favorit. Lakon

Dewa Ruci termasuk lakon utama yang terlintas dalam pikiran, ketika masalah

kebatinan dalam wayang disebut. Selain itu keistimewaan Serat Dewa Ruci terletak

pada ajarannya. Dalam Serat Dewa Ruci tersebut terdapat ajaran tertinggi dalam

hidup yaitu manunggaling kawula gusti yang merupakan konsepsi hubungan tertinggi

manusia dengan Tuhan yang menjadi pijakan menuju insan kamil (manusia

sempurna). Sufisme yang dirumuskasn Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

memperlihatkan intregitas ajaran syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat.

Berdasar latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan

meneliti secara mendalam tentang masalah tersebut dalam penulisan skripsi dengan

judul “Serat Dewa Ruci ( Studi pemikiran Tasawuf Yasadipura I)”.

B. Rumusan Masalah

Kupasan atau analisis tuntas terhadap suatu objek, diperlukan rumusan

permasalahan yang akan dibahas, agar pendekatan beserta pembahasannya lebih

fokus dan jelas arah pembicaraannya. Adapun permasalahan yang akan dibahas

dalam ini skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi R.Ng Yasadipura I?

2. Bagaimana isi Serat Dewa Ruci dalam konteks religi masyarakat Jawa?

3. Bagaimana pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas:

1. Mendiskripsikan biografi R.Ng Yasadipura I.

2. Mengetahui isi Serat Dewa Ruci dalam konteks kehidupan religi masyarakat

Jawa.

3. Mengetahui pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

Page 22: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Menambah khasanah pengetahuan ilmiah yakni memberikan sumbangan tentang

pengaruh Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I).

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis khusunya

dan pembaca umumnya tentang sufisme.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis atau aplikasi, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Pendidikan Program

Sejarah Fakultas Keguruan dan Pendidikan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret.

b. Dengan penelitian ini diharapkan, memberi isyarat persuasif kepada pembaca

agar selalu eling waspada dan bersahaja, mengendalikan diri mengurangi

kenikmatan badaniah duniawi, bersedia Lara Lapa Tapa Brata dan bersyukur

meskipun berkesempitan untuk mencapai tujuan kehidupan yang Khusnul

Khatimah .

Page 23: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

B. Kajian Teori

1. Akulturasi Islam-Jawa

a. Akulturasi

Kebudayaan akan mengalami suatu perubahan. Perubahan kebudayaan

tersebut merupakan gerak dari manusia yang hidup dalam masyarakat, sebagai wadah

kebudayaan yang bersangkutan. Gerak manusia terjadi oleh adanya hubungan antar

manusia dalam suatu masyarakat. Gerak dan perubahan berasal dari pengalaman

baru, pengetahuan baru, tehnologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup

dan kebiasaan dari situasi baru. Sikap mental dari nilai budaya turut dikembangkan

guna keseimbangan dan integrasi baru. “Perubahan kebudayaan yang intensif terjadi

karena akulturasi dan asimilasi’’ (Sidi Gazalba, 1969: 321).

Menurut Soerjono Soekanto (1982: 186) akulturasi merupakan proses dimana

suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu, dihadapkan unsur-unsur

dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur

kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan dihilangkannya kepribadian

kebudayaan itu sendiri. Menurut Sidi Gazalba (1969) akulturasi adalah proses yang

terjadi manakala sekelompok manusia pendukung kebudayaan, kontak dengan unsur-

unsur kebudayaan asing, kemudian dalam waktu lama diadaptasi oleh sekelompok itu

ke dalam kebudayaan”. Dengan demikian dalam akulturasi itu terdapat unsur pemberi

dan penerima. Menurut Koentjaraningrat (1996: 155) akulturasi adalah perpaduan

kebudayaan yang terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan

tertentu dihadapkan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sehingga

unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam

kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan sendiri. Sedangkan

menurut Sachari akulturasi budaya pada dasarnya merupakan pertemuan wahana atau

area dua kebudayaan, dan masing-masing menerima nilai-nilai bawaanya.

Didalam akulturasi selalu terjadi penggabungan (fusi budaya) yang

memunculkan kebudayaan baru tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya lama atau

Page 24: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

budaya asalnya. Akulturasi adalah proses jalan tengah antara konfrontasi dan fusi,

isolasi dan aborsi masa lampau dan masa depan. Ada empat syarat yang harus

dipenuhi supaya proses akulturasi dapat berjalan baik:

1. Penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut (syarat penyewaan/ affinity)

2. Adanya nilai baru yang tecera akibat keserupaan tingkat dan corak buayanya

(syarat keseragaman/ homogenity)

3. Adanya nilai baru yang diserap hanya sebagai kegunaan yang tidak penting atau

hanya tampilan (syarat fungsi).

4. Adanya pertimbangan yang matang dalam memilih kebuayaan asing yang datang

(syarat seleksi) (Sachari: 86-87).

Dalam proses akulturasi pada umumnya kebudayaan yang lebih tinggi

tingkatannya akan memimpin kebudayaan yang lebih rendah. Apabila proses tersebut

berjalan dengan baik akan menghasilkan integrasi dari unsur-unsur kebudayaan

sendiri dari masyarakat penerima. Unsur-unsur kebudayaan yang diterima terlebih

dahulu mengalami proses pengolahan sehingga bentuknya tidak asli lagi seperti

semula. Unsur-unsur kebudayaan asing yang diterimakan, pengambilannya secara

adopsi dan adaptasi (Sidi Gazalba, 1969: 330). Adopsi yaitu pengambilan mentah-

mentah tanpa diubah, seperti adanya keadaan yang memberi. Hal ini merupakan

akulturasi yang tidak berhasil. Sedangkan adaptasi merupakan penyesuaian unsur

asing ke dalam jiwa atau kebudayaan penerima. Pengambilan secara adaptasi

merupakan proses akulturasi yang berjalan baik, di mana masyarakat penerima aktif

dalam proses itu. Unsur-unsur asing itu diintegrasikannya dalam kebudayaannya

sendiri, sehingga kepribadiannya tetap bertambah. Adaptasi ini akan memperkaya

kebudayaan penerima.

Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan

kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu

menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat

kebudayaan aslinya.

b. Akulturasi Sastra Islam dan Sastra Jawa

Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat

Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan masih hadir menghidupi ruang

Page 25: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada, bahkan

nampak semakin bertambah. Di setiap penjuru nusantara ini, telah diisi dengan

berbagai rupa-rupa yang berbeda. Perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa yang

majemuk, membekaskan sebuah citraan pada diri tubuh multikultur ini. Indonesia

merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama.

Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerik praktis nuansa

kehidupan yang ada di dalam masyarakat Jawa.

Menurut Frans Magnis Suseno (1983: 1), kebudayaan Jawa memiliki ciri khas

tersendiri. Ciri khas tersebut terletak dalam kemampuannya untuk membiarkan diri

dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Sifat khas

seperti ini memungkinkan unsur-unsur luar (agama dan kebudayaan) tidak begitu

kesulitan untuk masuk kedalamnya melalui sikretisme atau akulturasi. Awal tarikh

masehi tradisi Jawa mulai mengadakan asimilasi dan akulturasi dengan kebudayaan

Hindhu-Budha, demikian juga pada saat Islam masuk ke Jawa juga terjadi interaksi

dengan budaya Jawa. Dalam hal ini ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni

Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya

Jawa. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya menampakkan atau melahirkan

ciri yang khas sebagai budaya yang sinkkretik, yakni Islam Kejawen (agama Islam

yang bercorak Jawa) .

Kedatangan Islam memberi warna tersendiri bagi masyarakat Jawa. Islam

dihadirkan dengan wajah yang sinkretik, bersikap toleran, kompromis (akomodatif)

tehadap budaya lokal, dalam artian Islam tidak mengeliminasi semua bentuk budaya

lama, budaya lama tetap dijaga dan dipelihara (keeping) tetapi hanya dibingkai

dengan nilai-nilai Islam. Dengan pola perkembangan seperti itu, menjadikan Islam di

Jawa memiliki ciri yang sangat khas. Dengan cara ini Islam merupakan wadah

rekonsiliasi budaya Jawa, sehingga Islam memiliki bentuk dan menjadi agama

mayoritas orang Jawa (Ricklefs, 1998 : 470).

Perkembangan Islam di Jawa dalam prosesnya diikuti mengalirnya

kesusastraan Islam baik yang tersurat dalam huruf dan bahasa Arab, ataupun yang

telah digubah ke dalam bahasa Melayu. Mengalirnya kepustakaan Islam dengan cepat

mempengaruhi perkembangan kepustakaan Jawa, lebih-lebih sesudah berdirinya

Page 26: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kerajaan Demak yang pada abad ke-16 M mendapatkan support (dukungan) dari

guru-guru pesanten yang terkenal dengan Wali Sanga. Keaadaan demikian

menjadikan Demak sebagai tempat pertemuan para cendikiawan Jawa dan para guru

pesantren dan lama-kelamaan menjadi pusat kekuasaan dan akhirnya menjadi pusat

kebudayaan Jawa Islam. Dari pertemuan tersebut maka muncullah kitab-kitab bahasa

Jawa yang berisi hal-hal keislaman (Simuh, 1988: 22).

Pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang

isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman. Jenis kepustakaan

yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa misalnya: serat suluk

dan wirid. Menurut Simuh, kepustakaan Jawa yang memuat ajaran-ajaran Islam

namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988: 3).

Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama kearifan sufistik

(tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan Jawa, untuk

mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman

Hindhu. Sebaliknya dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah

atau sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi

inti ajaran yang sangat dihargai. (Simuh, 2004 : 37).

Berdirinya kerajaan Mataram Islam lebih menyuburkan perkembangan

kepustakaann Islam Kejawen. Kalangan istana sendiri berkepentingan

mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Kepentingan itu

adalah untuk mengesahkan (legitimasi) kekuasaan raja. Terutama dalam bidang sastra

yang bukan semata-mata sebagai penghibur, melainkan menunjukan kebesaran para

raja (Simuh, 1988: 23).

Sultan Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut

Ricklefs (1998 : 470), Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada

masanya kraton ditempatkan menjadi leading agents of Islamisation (agen utama

Islamisasi) sekaligus menjadikan Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini

berarti istana dijadikan pusat studi Islam dan Islam sebagai alat legitimasi politik.

Sultan Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan budaya,

sehingga bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Dalam rangka menciptakan

stabilitas politik dan mengurangi ketegangan antara budaya Pesantren dan Kejawen,

Page 27: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dengan arif bijaksana Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan tradisi

Kejawen dalam hal penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun

Jawa disesuaikan dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka , atau yang

lebih dikenal dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan

sendirinya makin menyuburkan kepustakaan Islam Kejawen Selain itu, merupakan

dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa..

Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan pertumbuhan Islam

Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur agama Islam . Dari

Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu digubah menjadi

Serat Menak, dalam bahasa Jawa bersekar macapat. Selain itu juga ada penulisan

Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari dewa-dewa Hindhu dengan

riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24).

Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta, pertumbuhan kepustakaan

Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas dari krisis multi dimensi

yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan kerajaan ini terpecah menjadi

empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura

Pakualam. Para raja Jawa dan elite pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang

berarti, kedudukan raja hanya sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik

dan hal ini mereka atasi dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra , seni,

budaya yang bermutan etika dan mistisme. (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan

dalam lapangan kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut

G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu

masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru (Simuh, 1998 : 25).

Perkembangan ini didapat dengan jalan menggubah kitab-kitab Jawa Kuno

yang berbentuk kakawin ke dalam bahasa Jawa krama dengan menggunakan

metrum macapat (tembang macapat). Kemudian diikuti dengan penyusunan karya

sastra dalam bentuk serat, wirid, dan suluk yang bernuansa mistik-moralitas dengan

memanfaatkan perbendaharaan yang terdapat dalam kepustakaan Islam, mengolah

unsur-unsur ajaran Islam yang terdapat dalam kepustakaan Melayu, atau mengambil

dari kepustakaan pesisir, di mana bahasa daerah tersebut masih kasar dan kemudian

diperhalus dalam gubahan pujangga-pujangga istana. Kepustakaan pesisir yang

Page 28: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

timbul di sekitar daerah pesantren, dengan demikian ikut terpengaruh oleh unsur-

unsur ke-Islaman.

Suatu hal yang amat menarik ialah, pihak istana Surakarta pada tahun 1757-

1873 mempunyai perhatian yang besar terhadap perkembangan bahasa, kesusastraan

dan berbagai cabang kesenian. Di sini peran priyayi kraton (pujangga) yang memilki

wawasan yang sangat luas, terbuka, dinamis dan cepat menerima dan mengolah

unsur-unsur budaya dari manapun datangnya, peran ini semakin nyata dalam

birokrasi kraton terdapat pujangga yang sangat intens memajukan kebudayaan Jawa.

Para pujangga kraton Mataram biasanya memasukkan kesusastraan suluk dari

pesantren yang isinya bercorak tasawuf , kemudian di padukan dengan unsur Jawa

yang berbau mistik, sehingga menghasilkan berbagai jenis karya sastra (Ridin

Sofwan, 2004: 50). Itu didasari bahwa kebanyakan para pujangga kraton Surakarta

kebanyakan berlatar belakang santri, yang menuntut pendidikan jalur pesantren. Para

pujangga kraton antara lain Yasadipura yang belajar di Pondok Pesantren Bagelan

Kedu, serta Ranggawarsita yang belajar di Pondok Pesantren Gebang Tinatar

Ponorogo di bawah asuhan Kyai Iman Besari (Ridin Sofwan 2004: 122).

Bertolak dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam

Kepustakaan Islam Kejawen , terasa sangat menonjol pengaruh ajaran tasawuf dan

tututan budi luhurnya. Demikian pula istilah-istilah Arab yang berkaitan dengan

agama Islam dan ajaran-ajaran tasawuf, merupakan bagian dari kepustakaan Jawa.

Dalam masa kebangkitan kepustakaan Jawa pada zaman Surakarta, kitab-kitab lama

mengalami penggubahan kembali. Bentuk baru dari hasil penggubahan ini, sudah

dimasukkan istilah dan kata-kata Arab, karena bahasa Arab tidak bisa dipisahkan dari

penyebaran agama Islam. Islam telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat

Jawa. Oleh karena kepustakaan Jawa baru, hasil karya-karya masa Kartasura dan

Surakarta tidak dapat dipahami secara baik, tanpa pengenalan terhadap ajaran Islam

dan pengetahuan bahasa Arab.

2. Tasawuf

Proses perkembangan awal Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari

ajaran tasawuf. Tasawuf boleh dikatakan memegang peranan penting bagi

Page 29: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perkembangan Islam di Indonesia, terutama di Jawa. Dalam perkembangannya ajaran

tasawuf berkembang secara intens dan bahkan beraktualisasi dengan kebudayaan

lokal.

Istilah tasawuf berasal dari kata sufi. Istilah tersebut tentu sangat dikenal di

kalangan intelektual muslim, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini

selalu identik dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas

orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa

tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir

yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf,

berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir

yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan

orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah

mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala.

Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata tasawuf. Mengenai asal-usul

kata tasawuf, masih terjadi perdebatan para ahli. Terlepas dari perbedaan pendapat

para ahli mengenai asal-usul kata tasawuf, menurut Barmawi Umari (1987: 130),

tidak ada yang pantas dipertentangkan mengenai konotasinya yang tepat. Adapun

asal-usul kata tasawuf menurut pendapat para ahli antara lain sebagai berikut:

1. Tasawuf berasal dari kata saff yang artinya barisan dalam salat berjamaah.

Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu

memilih saf yang terdepan dalam salat berjamaah. Di samping alasan itu mereka

juga memandang bahwa seorang sufi akan berada di baris pertama di depan

Allah SWT.

2. Tasawuf berasal dari kata saufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang

banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat

orang-orang sufi memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan

fisik, tapi subur batinnya.

3. Tasawuf berasal dari kata suffah yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para

sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku

batu di samping masjid Nabawi di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa suffah

artinya suatu kamar di samping Masjid Nabawi yang disediakan untuk para

Page 30: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sahabat Nabi Muhammad SAW dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni

suffah ini disebut ahlus suffah, mereka mempunyai sifat-sifat teguh dalam

pendirian, takwa, warak (taat kepada Allah SWT), zuhud, dan tekun beribadah.

Adapun pegambilan kata suffah karena kemiripan tabiat para sufi dengan sifat-

sifat ahlus suffah.

4. Tasawuf (sufi) merujuk pada kata safwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau

terbaik. Dikatakan demikian karena seorang sufi biasa memandang diri mereka

sebagai orang pilihan atau orang terbaik.

5. Tasawuf merujuk pada kata safa atau safw yang artinya bersih atau suci.

Maksudnya kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin

untuk mendekatkan diri pada Allah SWT Tuhan Yang Maha Suci sebab Tuhan

tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci.

6. Tasawuf berasal dari bahasa Yunani yaitu theosophi (Theo-Tuhan, Sophos-

Hikmat) yang berarti hikmat Ketuhanan. Mereka merujuk pada bahasa Yunani

karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah Ketuhanan.

7. Tasawuf berasal dari kata suf yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut

demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian dari bulu

binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan

pakaian sutra yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. Abu Nasr As Sarraj At

Tusi, tokoh fundamentalis tasawuf, mengatakan bahwa kebiasaan memakai kain

wol kasar adalah kebiasaan para nabi dan orang-orang saleh, sekaligus sebagai

lambang kesederhanaan dan kemiskinan.

Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia: “Tasawuf adalah aspek esoteris atau kedalaman ajaran keagamaan. Tasawuf disebut juga sufism atau mistik Islam (Islamic Mysticism). Secara garis besar lingkup tasawuf mencakup usaha manusia utuk membersihkan diri dari perilaku atau akhlak tercela (takhalli) dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji (tahalli) agar tersingkap tirai yang menghalagi hubungan manusia dengan Tuhan (tajalli). Jadi laku tasawuf merupakan proses keberagamaan seseorang.”

Tasawuf dalam bahasa Inggris disebut Islamic mysticism (mistik yang tumbuh

dalam Islam). Adapun tujuan utama dari seseorang yang mengamalkan ajaran tasawuf

menurut Abdul Hakim Hasan dalam bukunya Al Tashawuf Fi-al Syi’ri al Arabi

Page 31: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

bahwa: “Sasaran atau tujuan tasawuf ialah sampai kepada Dzat Al Haqq atau Mutlak

(Tuhan) dan bersatu dengan Dia”.

Dari konsep di atas jelas bahwa tujuan utama dari tasawuf adalah untuk

sampai kepada Allah, agar dapat makrifat secara langsung kepada Dzat Allah atau

bahkan ada yang ingin bersatu dengan Tuhan. Makrifat di sini bukan melulu hanya

pengetahuan semata, namun berupa pengalaman (experience), yakni ingin bertemu

langsung dengan Tuhan melalui tanggapan kejiwaannya bukan melalui panca indra

serta akal. Tanggapan kejiwaan ini dapat dianalogikan seperti halnya mimpi atau

mabuk (ecstasy) jiwanya sampai ke alam lain. Sebagai jalan untuk sampai kepada

Allah disebut tarekat (Thariqah).

Menurut Hamka (2000: 169) tasawuf adalah kehendak memperbaiki budi dan

men-“shifa”-kan (membersihkan) batin. Hamka juga memperjelas rumusan tersebut

dengan meminjam kata Al-Junaid, seorang sufi besar abad ke-3: “tasawuf adalah

kelur dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.”

Menurut Mulkhan (2000 : 10) tasawuf adalah sistem berpikir dari ajaran yang

mengajarkan dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai tujuan akhir

dengan mengembangkan kehalusan rasa dan hati dalam suatu lingkup tindak baik.

Menurut Zakaria Al-Ansary (1976: 48), tasawuf adalah ilmu yang menerangkan hal-

hal tentang cara membersihkan jiwa, tentang cara memperbaiki akhlak dan tentang

cara pembinaan kesejahteraan lahir batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi .

Junaidi dalam Hamka (1990: 3), berpendapat bahwa tasawuf itu keluar dari

budi yang tercela dan masuk dalam budi yang terpuji. Ibnu Khaldun dalam Hamka

(1990: 2) mengatakan bahwa tasawuf adalah semacam ilmu syariat yang timbul

kemudian di dalam agama Islam. Kaum sufi pada mulanya bertekun ibadah dan

memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadapkan diri kepada

Allah semata. Selanjutnya mereka menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci

perkara-perkara yang selalu memeperdayakan manusia, kenikmatan harta, benda dan

kemegahan dan menyendiri menuju Tuhan dalam khalwat dan ibadah.

Mengenai dasar-dasar tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini

dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, itu terlihat ketika beliau

berkhalwat di Gua Hira’ untuk menjauhkan diri dari kebahagiaan duniawi (uzlah)

Page 32: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dan ingin menyucikan hati dari perbuatan dosa serta ingin dekat dengan Tuhannya,

cara kehidupan beliau kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat.

Abu Su’ud (2003: 183) mendefinisikan ajaran tasawuf memiliki ciri umum,

yaitu moral, pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak, pengetahuan, timbulnya

rasa kebahagiaan sebagai karunia dari Allah, dan penggunaan simbol-simbol

pengungkapan yang mengandung pengertian harfiah dan tersirat

Selanjutnya menurut Barmawi Umari (1993: 28-29), ada cara-cara seorang

sufi untuk memasuki lapangan tasawuf yaitu:

1) Tajarud, adalah melepaskan diri dari godaan dan ikatan dunia yang fana.

2) Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari pergaulan masyarakat ramai, menjauhkan diri

simpang siur pergaulan.

3) Faqr, artinya tidak mempunyai apa-apa dalam kategori hitungan dunia.

4) Dawaamus-sukuut secara negatif dan Dawaamudz secara positif, yaitu senantiasa

diam atau tidak berkata-kata yang tidak bermanfaat, yang tidak mempunyai hasil,

apalagi kata-kata yang merugikan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain.

5) Qillatul-akli secara negative dan Dawaamush–shaum , maksudnya sedikit makan

inklusif minum, sebab banyak makan menyebabkan penidur dan pemalas

sehingga menghabiskan waktu, secara positifnya senantiasa berpuasa.

6) Dawaamus-sahr secara positif. Qiyaamul-laili secara positif, maksudnya

senantiasa berjaga-jaga diwaktu malam dengan mengisi dengan do’a dan

sembayang di waktu malam.

Adapunt tujuan tasawuf menurut kaum sufi, agar manusia berada dekat

dengan Allah. Menurut Rivai Siregar (1999 : 57) ajaran tasawuf mempunyai beberapa

tujuan:

1) Tasawuf membina aspek moral, aspek disini mewujudkan kestabilan jiwa yang

berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu.

2) Tasawuf bertujuan untuk mencapai ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung

atau metode al-kasyf al-hijab.

3) Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan

pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis dan pengkajian garis

Page 33: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan

Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan

dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh

duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya

sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah

(bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu,

yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang

dalam bahasa Arab disebut maqamat tempat seorang calon sufi menunggu sambil

berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke

maqam berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan

melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang

calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah

mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.

Buku-buku tasawuf tidak memberikan angka yang sama tentang maqam

tersebut, pembagian dan susunan maqam-maqam menurut Abu Nasr Al-Sarraj al-Tusi

dalam bukunya kitab al- luma ki’t tasawuf, terdapat tujuh maqam secara urut.

Ketujuh maqam itu ialah:

1. Maqam taubat

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus

dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, maqam pertama

dalam tasawuf adalah taubat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-

dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari

dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan

syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat

orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat

dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang.

Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke maqam kedua, yaitu zuhud.

2. Maqam Zuhud

Di maqam ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia

mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-

Page 34: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan

membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk

mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat.

Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa

lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah

kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat,

membaca al-Qur'an dan berdzikir.Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak

bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya

semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan

berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'.

3. Maqam wara’

Di maqam ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat, yaitu

menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas halal dan haramnya

Menurut Ibrahim dalam Simuh (1996:55-56) mengatakan wara’ adalah

“meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu,

yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan’’. Jadi laku wara’ para sufi telah

mulai menghindari berbagai kenikmatan yang halal yang menurut pertimbangan

mereka tidak amat penting.

4. Maqam faqr

Di maqam ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya

sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-

kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak

meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia

sampai ke maqam sabar.

5. Maqam sabar

Di dalam maqam sabar ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-

perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh

godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang

ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan,

bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.

Page 35: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6. Maqam tawakkal.

Di dalam maqam ini ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak

Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok, baginya cukup apa yang ada untuk hari ini.

Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada

padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan

dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.

7. Maqam ridla.

Dari maqam ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima

dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam

hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika

malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta

kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke

ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan

Tuhan. (Barmawi Umari, 1987: 91-98).

Karena maqam-maqam tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri

bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi

baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke maqam

berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

Di atas maqam taubat, wara’, zuhud, fakr, sabar, tawakal dan ridha terdapat

stasiun/maqam: cinta, ma’rifat, fana, dan baqa’ persatuan (ijtihad). Persatuan dapat

mengambil bentuk hulul atau wahadatul wujud (Amin Syukur, 1999: 49).

Dalam maqam ridha , rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hati. Maka

seseorang yang telah mencapai maqam ridha meningkat ke maqam mahabbah (cinta

ilahi). Dalam maqam cinta yang terasa hanya cinta kepada Tuhan, dan cinta yang

mendalam kepada Tuhan mampu memalingkan seseorang yang telah mencapai

maqam mahabbah dari segala sesuatu selain Tuhan.

Maqam ma’rifat seseorang yang telah sampai ke maqam ma’rifat telah dapat

melihat Tuhan dengan mata hatinya. Menurut Dzunnun Al-Mishri dalam Amin

Syukur (1999 :55). Ma’rifat adalah anugrah Allah kepada kepada sufi yang telah

ikhlas dan bersungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta yang ikhlas dan suci,

akhirnya Tuhan menyikapkan tabir dari pandangan sufi. Dengan terbukanya tabir dari

Page 36: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

pandangan sufi, akhirnya seorang sufi dapat menerima cahaya yang dipancarkan

Tuhan, sehingga dapat melihat keindahan abadi.

Seorang sufi dapat menagkap cahaya ma’rifat dengan mata hatinya, maka

khabulnya akan dipenuhi rasa cinta yang mendalam kepada Allah. Seorang sufi tidak

akan puas hanya sampai kepada maqam ma’rifat. Seorang sufi ingin berada lebih

dekat lagi kepada Tuhan. Ingin mengadakan persatuan dengan Tuhan, dalam istilah

sufi dikenal dengan sebutan ittihad (Amin Syukur : 1999: 55).

Itiihad dapat mengambil bentuk al–hulul atau kesatuan wujud makhluk

dengan Tuhan yang dalam terminologi tasawuf disebut al-wahdatul wujud. Adalah

sebuah paham yang menekankan bahwa tidak ada wujud sejati, kecuali hanya Allah

yang maha mutlak. Kemutlakan wujud Allah akan menenggelamkan seluruh wujud

selain diri-Nya. (Amin Syukur, 1999: 58).

Maqam taubat, maqam wara’, maqam zuhud, makam fakir, makam sabar,

maqam tawakkal, maqam ridho, maqam cinta, maqam ma’rifat, maqam fana’ dan

baqa’ , maqam persatuan (ittihad). Merupakan tujuan sufi untuk berada sedekat

mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai melalui ittihad serta hulul yang

mengandung arti pengalaman adanya persatuan roh manusia dengan ruh Tuhan dan

akhirnya sampai mengalami wahdatul wujud, yang mengandung arti penampakan diri

(tajalli) Tuhan yang sempurna dalam insan kamil (manusia sempurna).

Dari beberapa pengertian tentang tasawuf maka dapat disimpulkan bahwa

tasawuf adalah keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti

terpuji, mencapai pengontrolan atas dirinya sendiri, kesetiaan realisasi dan kehadiran

Tuhan yang tetap di dalam semua perbuatan-perbuatan dan pikiran-pikiran seseorang

dan mencari kecintaan Tuhan serta berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai

tujuan akhir dan mengembangkan kehalusan rasa, hati dalam suatu lingkup tindak

yang baik.

3. Manunggaling Kawula Gusti

Istilah manunggaling kawula gusti berasal dari bahasa Arab yaitu wihdatul

wujud yang berarti baginya yang ada hanya satu, sedangkan dalam konteks budaya

Jawa paham wihdatul wujud lebih dikenal dengan manunggaling kawula gusti. Dalam

Page 37: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

khasanah Islam maupun tradisi lokal sejak zaman dahulu kala selalu rnenimbulkan

kontroversi, konsep manunggaling kawula gusti merupakan konsep yang amat rumit

dan sulit untuk dipahami, khusunya bagi kaum awam. Padahal konsep ini sangat

penting untuk bisa dipahami oleh siapapun, khususnya mereka yang ingin lebih

mendekatkan diri dan berserah diri kepada Allah.

Menurut Dhanu Priyo Prabowo (2003: 109) wihdatul wujud adalah upaya

manusia untuk dekat bahkan menyatu dengan Tuhan. Menurut Purwadi (2004: 9)

wihdatul wujud adalah penyatuan wujud tunggal tiada terpisah abdi dalem dengan

pencipta. Wihdatul wujud merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa

bersatu dengan Tuhan bagaikan bertindak, merasa, berpikir seperti apa yang

dikehendaki Allah ( Mulkhan, 2000: 27).

Wihdatul wujud adalah kepercayaan bahwa seluruh yang maujud atau ada itu

pada prinsipnya hanyalah satu dalam segala arti yang tidak dapat diduakan. Hal ini

satu maujud itulah Tuhan dimana segala bentuk keragaman yang tampak dan kasat

mata dianggap tidak ada. Mereka percaya bahwa seluruh hal lain di dunia tida ada

kecuali gambaran atau bayangan dari Yang Satu yaitu Tuhan itu sendiri (Mulkhan,

2000 : 34).

Menurut Simuh (2004: 47) konsep manunggaling kawula gusti diterangkan: “

Mingggah pamoring kawula lan Gusti iku, kaya dene paesan karo sing ngilo.

Wayangan kang ana sajroning pangilon, iya iku jenengekawula”. Yang berarti:

kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat cermin dengan orang bercermin. Bayang-

bayang yang bercermin itulah manusia. Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan

Islam Kejawen, yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya

mengandung rumusan yang saling tumpang tindih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-

sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan.

Paham semacam ini dalam falsafat dinamakan amtropamorfisme.

Manunggal dalam bahasa Jawa berasal dari kata tunggal, satu. Manungggal

berarti menyatu. Jadi manunggaling kawula gusti berarti manunggal atau menyatunya

seorang hamba dengan Penciptanya, dalam arti menyatunya kehendak dari seorang

hamba dengan kehendak Penciptanya.

Page 38: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Manunggaling kawula gusti berarti suasana batin seorang hamba yang merasa

sangat cinta dan dekat dengan Tuhan sehingga dia merasa lebur dan menyatu dengan

Tuhan. Ibarat leburnya gula dan air, menyatunya api dan besi, yang diantara

keduanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa lagi dipisahkan. Ketika besi telah menjadi

merah karena dibakar api, besi dan api telah menyatu. Siapa menyentuh api, akan

terkena besi dan siapa yang memegang besi akan tersentuh api (Komaruddin Hidayat,

2010: 1,7)

Menurut Hadiwijono dalam Dhanu Priyo Prabowo (2003: 131).

Manunggaling Kawula Gusti adalah keadaan yang tidak ada lagi perbedaan antara

yang menyembah dan yang di sembah. Menurut Jaladudin Rumi dalam Sri Muryanto

(2004 : 36), Manunggaling Kawula Gusti adalah lenyapnya kedirian, karena adanya

kesatuan (manunggal yang sempurna dengan sang kekasih, Tuhan adalah tumpuan

dan harapan hidup, tiada yang lainnya.

Pada saat tercapainya puncak kemabukan cinta, maka akan terjadi perkawinan

jiwa antara sang Khaliq dengan makhluknya, dimana terjadi sintesa antara pecinta

dan yang dicinta yang terwujud dalam kondisi bersatu atau fana’ (lebur dalam diri

Tuhan), menurut Rumi antara manusia dan Tuhan tidak terpisahkan lagi, karena

sudah manunggal, tapi tidak berarti manusia telah menjadi atau sama dengan Tuhan,

karena Tuhan adalah sang pencipta (Sri Muryanto, 2004 : 36-37).

Manunggaling Kawula Gusti dalam kalangan sufi disebut hulul menurut

pendapat Abu Bakar Al-Thusi dalam Sri Muryanto (2004 : 48) ialah paham dimana

Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya,

setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Dhanu Priyo Prabowo (2003:136): “Semua ungkapan kemanunggalan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa di dalam pertemuan manusia dengan Tuhan tersebut manusia menjadi Tuhan. Berbagai istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan pengalaman mistis, karena manusia diserbu oleh keagungan dan keindahan Tuhan serta sedemikian dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya (fana)”

Pengertian dan konsep manunggaling kawula gusti dapat dengan mudah

dipahami dan sekaligus sukar dimengerti. Karena manusia dikatakan Tuhan tetapi

bukan Tuhan, dikatakan bukan Tuhan tetapi kelihatnnya sama dengan Tuhan.

Page 39: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Ungkapan manunggaling kawula gusti, tidaklah dimaksudkan sebagai hamba sama

dengan Tuhan (Dhanu Priyo prabowo, 2003 : 137). Kesatuan manusia dengan Tuhan

dalam konsep manunggaling kawula gusti sulit dirumuskan dengan kata-kata yang

tepat, yang memiliki pengertian tunggal dan jelas.

Konsep manunggaling kawula gusti hanya dapat diterangkan dengan rumusan kata-

kata yang tegas mengarah kesuatu pengertian.

Dari beberapa pengertian tentang konsep wihdatul wujud dapat disimpulkan

bahwa wihdatul wujud adalah suatu keadaan di mana seseorang merasa bersatu

dengan Tuhan. Dalam pertemuan manusia dengan Tuhan dalam konsep

manunggaling kawula gusti tidak dimaksudkan hamba sama dengan Tuhan. Berbagai

istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan mistik, karena manusia terlena oleh

keagungan dan kebesaran Tuhan sehingga dilarutkan dalam kesatuan, seolah-olah

hapuslah dirinya (fana).

Menurut Simuh (1988 : 362), ada beberapa istilah yang menunjukkan

kesaman dengan ajaran di atas antara lain: ilmu ma’rifat, ilmu kasampurnaan, ilmu

kasunyatan, ilmu sangkan paraning dumadi. Di dalam ilmu ma’rifat terdapat

pengetahuan yaitu ilmu mengetahui seyakin-yakinnya, disini diartikan mengenala

kepada Allah baik sifat-Nya, dan asma-Nya pula. Dikenal pula ilmu kasempurnaan,

di dalam ilmu ini membuat manusia menjadi lebih sempurna, ini terpengaruh oleh

paham tasawuf bahwa penghayatan ma’rifat kepada Tuhan disebut insan kamil,

selanjutnya ilmu sangkan paran, yaitu apabila mengenal Tuhan maka mengenal asal

kejadian manusia yang merupakan tempat kembalinya dikemudian hari. Dengan kata

lain manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepada-Nya. Dengan ini

Tuhan merupakan sangkan paran dumadi atau asal dan tempat kembali semua

kejadian

Ajaran manunggaling kawula gusti berkembang pesat di pulau Jawa yang

pertama kali mengajarkan ini ialah Syekh Siti Jenar. Beliau adalah salah satu anggota

Wali Sanga. Beliau memperoleh ilmu manunggaling kawula gusti dari wejangan

ma’rifat dari Sunan Bonang. Dalam perkembangannya ajaran manunggaling kawula

gusti mendapat tentangan dari pihak Wali Sanga. Ini tidak terlepas dari konstalasi

Page 40: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

politik pasca rutuhnya kerajaan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru Islam

Demak Bintoro, pada waktu itu kedudukan Wali Sanga sangat dominan dalam

struktur pemerintahan kerajaan Demak yaitu sebagai penasehat raja. Dengan

suburnya ajaran manunggaling kawula gusti ternyata menimbulkan stabilitas

keamanan kerajan menjadi goyah, ini disebabkan banyak pengikut atau murid Syekh

Siti Jenar melakukan kekacauan. Atas dasar ini maka Wali Sanga mengadakan

musyawarah di Mesjid Agung Demak, untuk membahas ajaran Syekh Siti Jenar yang

terbukkti sangat menyimpang dari syariat agama, terutama yang paling utama shalat.

Oleh karena itu pihak Wali Sanga atas perintah Raja Demak Raden Patah, akhirnya

menghukum mati Syekh Siti Jenar pada dasarnya untuk menentang kekuasaan formal

kerajaan Demak, sehingga mengakibatkan pihak kerajaan mencap Syekh Siti Jenar

sebagai pemberontak. Gerakan Syekh Siti Jenar polanya mengembangkan geraka

mistis kultural untuk mengimbangi hegemoni atau dominasi struktural kerajaan

Demak yang didukung oleh majelis ulama Wali Sanga. Pada waktu itu konflik yang

berkembang menjurus ke arah konflik politik (intrik sosial-spiritual) dan pertentangan

kelas antara abangan dan santri. Karena dianggap membahayakan stabilitas dan

keamanan kerajaan, maka atas persetujuan Wali Sanga ajaran dari Syeh Siti Jenar

dianggap sesat (Purwadi, 2004 : 95).

Gerakan Syekh Siti Jenar dengan sosiol-spiritual kemudian dilanjutkan ketika

Sunan Panggung, Ki Bebeluk, dan Syekh Amonggrogo juga dihukum mati karena

juga mengajarkan ajaran manunggaling kawula gusti. Pola gerakan hampir sama

yaitu sebagai pihak oposisi untuk mengimbangi pemerintahan kekusaan kerajaan

yang berkuasa pada waktu itu. Adanya pertentangan, dengan mengatasnamakan

budaya tandingan terhadap hegemoni kekuasaan formal yamg mengusung isu

manunggaling kawula gusti, kebanyakan dilukiskan dengan bentuk karya sastra yang

indah. Kebanyakan ajaran manunggaling kawula gusti merupakan inti dalam karya

sastra Islam Kejawen yang ada waktu itu sangat berkembang pesat di kerajaan

Mataram Surakarta. Karya sastra biasanya ditulis dengan bahasa yang indah. Paham

manunggaling kawula gusti juga digunakan legitimasi oleh raja yang memerintah,

dengan simbol raja titising dewa dan agama ageming aji. Dari kata-kata ini dapat

disimpulkan bahwa raja sebagai pemimpin kerajaan dan pemimpin tertinggi agama,

Page 41: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

yang saat ini berbeda dalam konstalasi politik kerajaan sebelumnya (Demak dan

Pajang), yang dalam struktur kekuasasannya para Wali Sanga dan ulama

mendominasi setiap kebijaksanaan kerajaan. Ajaran manungaling kawula gusti juga

diadopsi oleh para pujangga istana, yang kebanyakan dijadikan inti karya sastranya

yang dijiwai dengan ajaran manunggaling kawula gusti. Disini Serat Dewa Ruci

sebagai salah satu karya kepustakaan Islam Kejawen, ajaran manungaling kawula

gusti dijadikan inti ma’rifat dari ajaran delapan awali tanah Jawa.

B. Kerangka berpikir

Keterangan:

Sebelum agama Islam masuk ke Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki

agama, yaitu : agama Jawa, agama Hindhu dan Budha. Ketiganya mengajarkan

kehidupan rohani yang berbau mistik. Pengaruh tersebut telah berlaku berabad-abad

Islamisasi Jawa

Wali songo

Tasawuf Agama Islam Tradisi Jawa

Yasadipura I Budaya Jawa

Unsur Islam (pesantren)

Ajaran serat yang berhubungan dengan

syariat

Ajaran serat yang berhubungan dengan

tarikat

Ajaran serat yang berhubungan dengan

hakikat

Ajaran serat yang berhubungan dengan

makrifat

Serat Dewa Ruci

Page 42: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

lamanya dan sulit lepas dari kehidupan masyarakat Jawa. Selanjutnya masuk agama

Islam ke tanah Jawa. Dengan melalui berbagai cara, agama ini merambah kehidupan

masyarakat (Islamisasi). Salah satunya cara itu adalah dengan menyebarkan ajaran

tasawuf. Ajaran ini sengaja diperkenalkan kepada masyarakat Jawa oleh para wali

karena dianggap dapat mengimbangi praktek kehidupan mistis sebelumnya.

Dalam perkembangannya ajaran tasawuf berkembang secara intens dan

bahkan mampu beralkuturasi dengan kebudayaan lokal di Jawa, hal ini dimungkinkan

karena ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistisme di

kalangan masyarakat Jawa.. Menurut masyarakat Jawa bila kedua konsep dipadukan

akan memberi kekuatan tersendiri dan memperkaya kehidupan rohani mereka. Salah

satu penganut ajaran tasawuf ialah Yasadipura I. Dalam pola pikirnya tidak lepas

dari budaya Jawa dan usur Islam (pesantren). Pemikiran dan gagasannya terlihat dari

hasil karya sastaranya.

Salah satu karyanya yang bernafaskan tasawuf adalah Serat Dewa Ruci, dalam

serat tersebut terlihat sekali perpaduan budaya Jawa , Hindu dan Islam. Sufisme yang

dirumuskan Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci memperlihatkan intregitas ajaran

syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat .

Page 43: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul “Serat Dewa Ruci (Studi Pemiran Tasawuf

Yasadipura I)”, mengambil permasalahan tentang sufisme dalam Serat Dewa Ruci.

Sesuai dengan tehnik pengumpulan data yaitu studi pustaka, maka lokasi penelitian di

perpustakaan-perpustakaan, khususnya yang berada di wilayah Surakata. Adapun

perpustakaan-perpustakaan yang digunakan atau dimanfaatkan dalam penelitian,

adalah :

a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

e. Perpustakaan Kodya Surakarta

f. Perpustakaan Reksa Pustaka di Pura Mangkunegaran

g. Perpustakaan Islam Katapuran Surakarta

h. Yayasan Sastra

i. Perpustakaan Pribadi

2. Waktu Penelitian

Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak mulai

disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan

Desember 2010. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut

diantaranya adalah mengumpulkan sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki

keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta

yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil penelitian.

Page 44: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tabel: Jadwal kegiatan penelitian tentang “Serat Dewa Ruci (Studi

Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)”.

No Kegiatan

Bulan 2009-2010

Okt Des Jan Feb Mar Apr Me Juni Juli Ag Sep Okt Nop Des

1 Pengajuan

Judul

V

2 Penyusunan

Proposal

V

3 Perizinan

V

4 Analisis

data

V

5 Penyusunan

Laporan

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

B. Metode penelitian

Menurut Koentjaraningrat (1977 : 16), kata metode berasal dari bahasa

Yunani “methodos” yang berarti jalan atau cara. Sehubungan dengan upaya ilmiah,

maka metode menyangkut masalah-masalah kerja untuk memahami obyek yang

menjadi sarana ilmu yang bersangkutan. Sedangkan menurut Helius Syamsudin

(1996 : 2), metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang

sistematis dalam penelitian suatu ilmu tertentu untuk mendapatkan suatu bahan yang

diteliti. Sementara itu Husnaini Usman (1996 : 42) menyebutkan bahwa metode

adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-

langkah sistematis.

Dalam suatu penelitian ilmiah, metode memegang peranan yang sangat

penting terhadap penelitian yang dilakukan. Penggunaan metode penelitian

menyangkut masalah kerja untuk memahami obyek menjadi sasaran ilmiah yang

bersangkutan, dengan demikian metode merupakan cara kerja yang utama untuk

Page 45: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

mencapai tujuan dengan menggunakan teknik dan alat bantu tertentu. Penggunaan

metode yang tepat sesuai dengan tujuan dan sifat penelitian sangat penting karena

keberhasilan dari tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang

tepat, sehingga metode harus disesuaikan dengan obyek yang diteliti. Berdasarkan

permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini, yaitu “Serat Dewa Ruci (Studi

Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)”, maka metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode historis atau metode sejarah. Hal ini didasarkan pada tema atau

obyek yang dikaji yaitu peristiwa sejarah yang tujuannya merekonstruksi peristiwa

masa lalu.

Menurut Louis Gotschalk (1985 : 32), metode historis adalah suatu cara yang

meliputi kegiatan untuk mengumpulkan, menguji serta menganalisa data yang

diperoleh dari peninggalan masa lalu untuk menemukan generalisasi yang berguna

dalam usaha untuk memahami kenyataan-kenyataan sejarah serta untuk memahami

situasi sekarang dan meramalkan masa yang akan datang.

Sartono Kartodirjo (1993: 4) menjelaskan metode historis adalah proses

pengkajian yang berhubungan dengan hubungan sebab-akibat, kondisi lingkungan,

konteks sosio-kausal, kondisional, kontekstual, serta unsur-unsur yang menempatkan

komponen dari sejarah yang dikaji.

Metode penelitian historis mempunyai beberapa langkah, seperti yang

dikemukakan oleh Louis Gottschalk (1986: 18), bahwa metode sejarah mempunyai

lima langkah, yaitu:

a. Mengumpulkan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-

bahan tertulis dan lisan yang relevan.

b. Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik.

c. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan-bahan otentik.

d. Menyusun kesaksian yang dapat dipercaya berdasar bahan-bahan otentik.

Langkah-langkah dalam penelitian sejarah tersebut secara berurutan biasa disebut

heuristik, kritik, interprestasi, dan historiografi (Dudung Abdurahman 1999: 44).

Metode historis digunakan berdasarkan data masa lampau yang merupakan

hasil karya sastrawan. Berdasarkan data temuan data direkontruksikan peristiwa-

Page 46: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

peristiwa masa lampau, keadaan sosial budaya dan juga biografi Yasadipura I yang

melatarbelakangi pemikirannya.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode

penelitian sejarah dalam penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data sesuai

dengan kajian yang dibahas yakni “Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf

Yasadipura I)’’, kemudian proses selanjutnya menguji dan menganalisis secara kritis

mengenai data-data rekaman dan peninggalan masa lampau serta melakukan sintesa

ke dalam bentuk historiografi.

C. Sumber Sejarah

Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai bahan

penulisan. Sumber data yang digunakan ialah data sejarah. Data sejarah adalah segala

sesuatu yang langsung menceritakan pada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan

manusia pada masa lalu (Helius Sjamsudin, 1996 : 73). Menurut Kartini Kartono

(1976 : 225) data historis atau data sejarah adalah bahan keterangan mengenai proses

perkembangan historis dari fenomena gejala sosial dalam perurutan temporal

(mengandung dimensi waktu) yang memberikan stempel pembentuk, hingga terwujud

keadaan sekarang. Jadi sumber data sejarah merupakan bahan mentah (raw materials)

sejarah yang mencakup segala macam evidensi atau bukti yang telah ditingglkan oleh

manusia yang menunjukkan segala aktifitasnya pada masa lalu.

Dudung Abdurahman (1999 : 30-31) menjelaskan bahwa, data sejarah itu

sendiri berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan

pengkatagorian. Sejumlah sumber yang tersedia pada dasarnya adalah data verbal.

Adapun klasifikasi sumber sejarah itu dapat dibedakan menurut bahannya, asal-usul,

dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi

sumber tertulis dan tidak tertulis, menurut penyampaiannya dapat dibagi sumber

primer dan sekunder. Menurut tujuannya dapat dibedakan menjadi sumber informal

dan formal.

Sumber data menurut Sidi Gazalba (1966 : 88) dapat diklasifikasikan menjadi

3 macam, yaitu:

1. Sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak dalam penelitian

Page 47: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Sumber lisan yaitu sumber tradisional sejarah dalam rangka pengertian luas.

3. Sumber visual atau benda, yakni semua warisan masa lalu yang berbentuk dan

berupa atau berwujud.

Hadari Nawawi (1995 : 79) menyebutkan sumber data dalam penelitian

historis dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Peninggalan materials, antara lain berupa candi, piramid, fosil, monumen-

monumen, senjata, perhiasan, bangunan tempat tinggal, peralatan, atau

perlengkapan kehidupan, benda-benda budaya, tempat-tempat keramat, dan lain-

lain.

b. Peninggalan tertulis, antara lain berupa prasasti, relief, kitab, naskah-naskah,

perjanjian atau arsip negara.

c. Peninggalan tak tertulis atau budaya antara lain cerita rakyat, atau dongeng,

bahasa adat atau hukum kepercayaan, dan lain-lain.

Nugroho Notosusanto (1978: 36) sumber tertulis dibagi menjadi sumber

tertulis primer yaitu sumber yang autentik atau sumber yang ditulis dari tangan

pertama tentang permasalahan yang diungkap, dan sumber tertulis sekunder yaitu

sumber yang ditulis oleh orang yang tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa

yang dikisahkan.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

penelitian historis menggunakan sumber-sumber tertulis dalam menghimpun dan

mengolah data, sehingga penelitian historis sangat tergantung pada data-data tersebut,

dan data tersebut dapat dibedakan menjadi sumber data primer dan sumber sekunder.

Diantara kedua sumber tersebut, sumber primer memiliki otoritas bukti pertama dan

diberi prioritas dalam pengumpulan data. Dalam penelitian ini, penulis pada

prinsipnya menggunakan sumber tertulis yaitu sumber primer dan sekunder.

1. Sumber Primer

Sumber primer adalah kesaksian diri seseorang saksi dengan mata kepala

sendiri atau dengan panca indra yang lain, atau dengan alat mekanis. Sumber primer

merupakan sumber yang memberikan dari tangan pertama. Menurut Hadarii Nawawi

(1999 : 80), sumber primer yakni data authentik atau data langsung dari tangan

tentang masalah yang diungkapkan, secara sederhana data ini juga disebut data asli.

Page 48: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Sumber primer dalam penelitian ini diambil dari transkip asli Serat Dewa Ruci

yang masih bertuliskan akasara Jawa karangan Yasadipura I tahun 1794 yang telah

ditulis ulang oleh Ng. Hawikrama tahun 1870 dan dilengkapi terjemahan bahasa Jawa

oleh Sana Pustaka Surakarta. Naskah asli Serat Dewa Ruci ini dilihat dari fisiknya

sangat tua, dan ada beberapa bagian yang telah robek, namun robekan ini tetap

tersimpan, dengan jumlah halaman 44. Sumber ini lebih kuat keberadaanya, karena

transkip aslinya masih ditulis dengan aksara Jawa dan tersimpan di Sana Pustaka

yang notabene merupakan perpustakaan Kasunanan Surakarta yang menyimpan

naskah-naskah kuno.

2. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan

merupakan saksi pandangan pertama (sumber primer). Hadari Nawawi (1991 : 80)

mengemukakan sumber sekunder adalah sumber yang mengutip dari sumber yang

lain sehingga tidak bersifat authentik karena sudah diperoleh dari tangan kedua,

ketiga, dan selanjutnya atau data tersebut tidak asli.

Sumber data sekunder dalam penelitian ini berupa buku literatur-literatur,

jurnal, majalah, dan lain sebagainya terutama yang ada relevansinya dengan

permasalahan. Sumber data sekunder yang berupa buku literatur , jurnal, dan majalah

antara lain:

a. Kitab Dewa Rutji oleh Prawira Atmadja (1960)

b. Tjeritera Dewa Rutji (dengan arti filsafatnya) oleh Seno Sastroamidjojo (1962)

c. Tafsir kitab Dewa Rutji oleh Siswoharsojo (1966)

d. “Dewa Ruci” Apresiasi pada Kesenian Wayang oleh Suwaji Bastomi (1992)

e. Ilmu kesempurnaan mengkaji Serat Dewa Ruci oleh Purwadi (2007)

f. Serat Dewa Ruci (misteri Air Kehidupan) oleh Imam Musbikin (2010)

D. Teknik Pengumpulan Data

Page 49: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pengumpulan data merupakan hal penting dalam penelitian. Pemilihan tehnik

pengumpulan data yang tepat sangat membantu keberhasilan dalam penelitian.

Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara:

1.Studi Dokumen

Dengan adanya studi dokumen ini akan diperoleh sumber dokumen tertulis

sejarah. Menurut Sartono Kartodirjo dalam Dudung Abdurrahman (1999 : 32) bahan

dokumen dapat dibagi menjadi lima yaitu: otobiografi, surat-surat pribadi (catatan

atau buku harian memories) surat kabar, dokumen-dokumen pemerintah, dan roman

serta cerita rakyat. Dalam penelitian ini diusahakan mencari dokumen yang sesuai

dengan permasalahan. Transip atau naskah Serat Dewa Ruci versi Tan Khoen Swie

dibutuhkan karena di dalamnya terdapat fakta-fakta sejarah serta memuat bahan-

bahan yang akan ditulis. Dengan studi dokumen akan diperoleh nilai authentik dan

keakuratan dalam memperoleh bahan dalam penelitian.

2.Studi Pustaka

Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data tertulis dengan membaca

literatur, majalah, surat kabar, dan bahan lainnya. Studi Pustaka ditempuh dengan

cara membaca dan menguji sumber-sumber yang terkumpul sehingga data sejarah

yang diperlukan untuk menyusun cerita sejarah (Koentjaraningrat,1986 : 64). Fungsi

studi pustaka disini untuk mempertajam analisa dan kritik terhadap data primer,

selain itu studi pustaka adalah sebagai pengumpulan data utama, karena untuk

membuktikan hipotesa, dan pembuktian itu dilakukan secara logis dan rasional,

melaui pendapat, teori-teori atau hukum yang diterima kebenarannya, baik yang

menolak maupun yang mendukung hipotesa tersebut. Menurut Koentjaraningrat

(1986 : 19) keuntungan menggunakan studi pustaka yaitu memperdalam pengetahuan

akan masalah yang diteliti, mempertajam konsep yang akan digunakan sehingga

mempermudah dalam perumusan dan menghindari terjadinya pengulangan penelitian.

Cara melakukan studi pustaka melalui tiga tahap, yaitu mengetahui jenis pustaka,

mengkaji dan mengumpulkan bahan pustaka serta menyajikan studi kepustakaan.

Data yang diperoleh perlu dianalisa, diuji, dan ditafsirkan sehingga ini mempunyai

makna dan diperoleh suatu cerita sejarah. Dalam studi pustaka ini nanti akan

diperoleh teori serta konsep dari obyek yang akan diteliti.

Page 50: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dalam penelitian ini, tehnik pengumpulan data melalui studi pustaka

dilakukan dengan menggunakan alat bantu yang disebut kartu bibliogarafi atau kartu

kutipan. Dalam sistem kartu dilakukan dengan cara mencatat beberapa uraian penting

mengenai masalah yang berkaitan dengan tema penulisan, yaitu Serat Dewa Ruci

(Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I), dengan mencantumkan pengarang, judul

buku, subyek yang dicatat, dan halaman buku. Oleh karena itu perlu diingat kata

kunci yang terdapat dalam subyek yang dibahas, dengan demikian mempermudah

dalam pencarian buku atau artikel dalam katalog yang telah dikelompokkan

berdasarkan kata kunci (Louis Gottschalk, 1986 : 47).

Dalam usaha mengumpulkan data penelitian atau penulisan tehnik studi

pustaka, dilakukan pencatatan dari buku, majalah, serat, ataupun babad yang terkait

dengan tema penulisan, sehingga data yang dibutuhkan terkumpul. Data-data tersebut

diperoleh di perpustakaan. Untuk mempermudah dan mencari data, digunakan media

katalog yang ada. Katalog dalam perpustakaan biasanya mengandung keterangan

mengenai subyek, judul buku, dan nama pengarang. Penulis dalam hal ini mengingat

kata kunci tersebut dapat ditemukan literatur buku-buku, majalah, serat, jurnal dan

surat kabar yang kemudian dijadikan sumber data.

Dalam penelitian ini, data-data yang penulis perlukan dalam penulisan karya

ilmiah adalah data-data pribadi Yasadipura I, yaitu sejarah kehidupan Yasadipura I

dan mengenai pemikiran tasawuf dalam karya-karya Yasadipura I , terutama yang

berkaitan dengan penelitian yaitu Serat Dewa Ruci.

E. Teknik Analisis Data

Tehnik analisis data dalam penelitian ini menggunakan tehnik analisis historis

dan hermeneutika sastra. Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara

sisitematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan

pemahaman peneliti dan menyajikan sebagai temuan bagi orang lain (Noeng

Muhadjir, 1996: 104

Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman, (1999 : 64),

interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga analisis sejarah.

Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis

Page 51: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode

utama dalam interpretasi. Nugroho Notosusanto (1978 : 38) teknik analisis data

historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode

untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.

Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999 : 64),

analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari

sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke

dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Analisis data dilakukan setelah

pengumpulan data yang kemudian dilanjutkan dengan proses perbandingan antara

data yang satu dengan yang lain. Langkah ini dilakukan secara berulang-ulang hingga

didapatkan fakta sejarah yang akurat. Fakta-fakta tersebut kemudian diseleksi,

diklasifikasikan, ditafsirkan dan dijadikan bahan dalam penulisan penelitian.

Fakta merupakan bahan yang dijadikan sejarawan sebagai bahan untuk

menyusun historiografi. Pengkajian fakta-fakta sejarah oleh sejarawan tidak terlepas

dari unsur subyektifitas. Suatu kenyataan bahwa sangat sulit menemukan fakta yang

benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Setiap fakta yang

terkonstruksi oleh sejarawan akan mengandung unsur-unsur subyektif dari

penyusunnya (Sartono Kartodirjo, 1993: 88), sehingga diperlukan konsep-konsep dan

teori-teori sebagai kriteria penyeleksi dengan pengklasifikasian. Dalam penelitian ini

kegiatan yang dilakukan peneliti dalam menganalisa data sejarah sebagai berikut:

1. Mengadakan kritik sumber, baik kritik ekstren maupun intern. Kritik

ekstren yaitu memberikan penilaian terhadap keaslian atau otensitas sumber dengan

melihat sisi luarnya, seperti: kertas yang dipakai, tinta yang digunakan, gaya

tulisannya, bahasanya, kalimatnya, ungkapannya, kata-katanya, dan lain-lain.

Sedangkan kritik intern yaitu memberikan penilaian terhadap isi sumber apakah

sumber tersebut dapat dipercaya atau tidak, seperti: identifikasi penulis sumber, cara

berfikir penulis apakah mengarah pada perhatian hanya satu jurusan tertentu atau

lebih luas dari itu, latar belakang dokumen tersebut dibuat (verifikasi pernyataan

pembuat karangan), dan unsur subyektifitas pengarang.

2. Menginterprestasikan data yang telah terkumpul dengan cara

membandingkan, mengkaitkan, atau menghubungkan antara data yang satu dengan

Page 52: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

data yang lain sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa

masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Dengan ketajaman interprestasi

diharapkan, fakta-fakta yang telah ditemukan benar-benar mencerminkan keadaan

yang sebenarnya, jauh dari subyektifitas.

Hermeneutika sastra adalah sistem penafsiran (system of interpretation)

terhadap suatu teks untuk memahami makna ataupun simbol-simbol yang terkandung

didalamnya. Dalam hermeneutika sastra, karya sastra dipandang sebagai wacana

simbolik karena unsuk fiksionaritas dan perumpamaan (metaphor) yang ada di

dalamnya sangat menonjol. Dalam hermeneutika teks dikaji sebagai bentuk

perlambang atau sesuatu yang lain (Corbin, 1981: 13-19). Sesuatu yang lain itu

memiliki ”cakarawala” yang luas dibandingkan dengan cakrawala harfiah teks.

Menurut Gadamer ada empat cakrawala tersembunyi dalam suatu teks filsafat

atau sastra. Empat cakrawala itu ialah (1) Bildung atau pandangan kerohanian yang

membentuk jalan pikiran seseorang, termasuk di dalamnya pandangan hidup (way of

life), sistem nilai Weltanschauung (2) Sensus communis, yaitu pertimbangan praktis,

yang dalam sastra bisa terwujud dalam pemilihan tema atau permasalahan denga

mempertimbangka perasaan komunitas di mana pengarang hidup (3) Judgment atau

pertimbangan, berhubungan dengan apa yang harus disampaikan dan diajarkan

kepada masyarakat dengan mempertimabangkan baik buruknya (4) taste atau selera,

cara-cara menyajikn sesuatu yang sesuai dengan selera masyarakat sezaman (Saleh

Yapar 2002: 70-80: Sumaryono, 1993: 78-79).

Untuk menemukan makna obyektif yang terkandung di dalam teks, ada 4

langkah yang dilakukan:

1) Penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks.

2) Penafsir harus mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan .

3) Penafsir harus menempatkan dirinya dalam posisi seorang pengarang melalui

kerja imajinasi dan wawasan.

4) Penafsir melakukan rekontruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi untuk

memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks (Josef Bleicher, 2003:32)

F. Prosedur Penelitian

Page 53: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi

Fakta Sejarah Jejak / Peristiwa Sejarah

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian dari awal yaitu

persiapan membuat proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena

penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus

dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan

historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan :

1. Heuristik

Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang artinya memperoleh.

Dalam pengertian yang lain, heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa

lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan sumber lain

yang relevan dengan penelitian.

Pada tahap ini diusahakan mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis

berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan penelitian.

Dalam penelitian ini digunakan sumber data tertulis, baik primer maupun sekunder.

Pada tahap ini, penulis berusaha mengumpulkan data yang dapat dibagi menjadi:

a. Sumber Primer

Sumber primer dalam penelitian ini diambil dari transkip asli Serat Dewa Ruci

yang masih bertuliskan akasara Jawa karangan Yasadipura I tahun 1794 yang

telah ditulis ulang oleh Ng. Hawikrama tahun 1870 dan dilengkapi terjemahan

bahasa Jawa oleh Sana Pustaka Surakarta. Naskah asli Serat Dewa Ruci ini dilihat

dari fisiknya sangat tua, dan ada beberapa bagian yang telah robek, namun

robekan ini tetap tersimpan, dengan jumlah halaman 44. Sumber ini lebih kuat

Page 54: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

keberadaanya, karena transkip aslinya masih ditulis dengan aksara Jawa dan

tersimpan di Sana Pustaka yang notabene merupakan perpustakaan Kasunanan

Surakarta yang menyimpan naskah-naskah kuno.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari buku,

jurnal, dan sumber-sumber lain lain yang ada hubungannya dengan permasalahan.

Sumber data sekunder yang berupa buku literatur, jurnal, dan majalah antara lain:

1) Kitab Dewa Rutji oleh Prawira Atmadja (1960)

2) Tjeritera Dewa Rutji (dengan arti filsafatnya) oleh Seno Sastroamidjojo (1962)

3) Tafsir kitab Dewa Rutji oleh Siswoharsojo (1966)

4) ”Dewa Ruci” Apresiasi pada Kesenian Wayang oleh Suwaji Bastomi (1992)

5) Ilmu kesempurnaan mengkaji Serat Dewa Ruci oleh Purwadi (2007)

6) Serat Dewa Ruci (misteri Air Kehidupan) oleh Imam Musbikin (2010)

Sumber-sumber tersebut diatas diperoleh dari beberapa perpustakaan di

antaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Jurusan

FKIP, Perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS, dan Perpustakaan Kodya

Surakarta, Pepustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, Perpustakaan Islam

Kartapuran, Perpustakaan Kasunanann dan Perpustakaan pribadi (koleksi pribadi).

2. Kritik

Kritik adalah kegiatan untuk menyelidiki apakah data yang diperoleh autentik

dan dapat dipercaya atau tidak. Setelah data yang terkumpul, diklasifikasikan data

yang tidak autentik dan tidak mendukung penelitian dengan data yang autentik serta

mendukung penelitian. Kritik dapat dilakukan dengan dua cara, yakni kritik ekstern

dan kritik intern.

a. Kritik ekstern

Kritik ekstern adalah kritik yang meliputi apakah data itu otentik, yaitu

kenyataan identitasnya, bukan tiruan, palsu, kesemuanya dilakukan dengan meneliti

bahan yang dipakai, ejaan, tahun terbit, jabatan penulis. Dalam penelitian ini langah

pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan kritik ekstern yaitu peneliti

melakukan penyelidikan pada bentuk sumber, yaitu dilakukan dengan melihat

Page 55: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

tanggal, bulan dan tahun sumber. Adapun sumber yang didapatkan sebagai sumber

penulisan berupa buku-buku literatur yang relevan dengan tema penelitian. Sumber

tersebut kebetulan diterbitkan tahun 1929 oleh penerbit Tan Khoen Swie dan

dilengkapi terjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Yayasan Sastra Surakarta,

sehingga mempermudah untuk memahami isinya. Naskah asli Serat Dewa Ruci ini

dilihat dari fisiknya sangat tua, dan ada beberapa bagian yang telah robek, namun

robekan ini tetap tersimpan, dengan jumlah halaman 56. Sumber ini lebih kuat

keberadaanya, karena transkip aslinya masih ditulis dengan huruf Jawa dan

diterbitkan oleh Tan Khoen Swie yang notabene menerbitkan kitab-kitab sastra yang

berhuruf Jawa..

b. Kritik intern

Krtitik intern adalah kritik yang berkaitan dengan isi pernyataan yang

disampaikan oleh sejarawan atau praktisi atau peneliti lain. Kritik intern juga

menyangkut apakah sumber tersebut dapat memberikan informasi yang dibutuhkan.

Setelah sumber dinilai keasliannya diakukuan kritik intern untuk dapat memastikan

kebenaran isi sumber yang dapat ditempuh dengan cara membandingakan sumber

sejarah yang satu dengan sumber sejarah yang lain. Kebenaran isi dari sumber

tersebut dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu

dengan sumber yang lain. Adapun kritik intern dari penulisan ini adalah melihat

tulisan yang dibuat oleh pengarang yang satu dengan pengarang yang lain, serta

melihat artikel-artikel majalah yang relevan dengan tema penelitian, sehingga

objektivitas dari isi pernyataan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hasil dari

kritik sumber ialah fakta yang merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau

rekontruksi sejarah. Setelah dilakukan kritik maka data sejarah tersebut adalah fakta,

maka langkah selanjutnya adalah melakukan interprestasi

3. Interpretasi

Menurut Nugroho Notosusanto (1978 : 40), interpretasi adalah suatu usaha

menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada,

kemudian dilakukan perbandingan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain,

Page 56: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sehingga terbentuk rangkaian yang selaras dan logis. Sedangkan interpretasi atau

analisis historis menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999 :

64) bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari

sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke

dalam suatu interpretasi yang menyeluruh, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu

bentuk analisa.

Interprestasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah membaca buku-buku

dan majalah yang sesuai dengan tema penelitian, membandingkan dengan sumber

yang lain sehingga penulis dapat memilih fakta-fakta yang relevan dan

menyingkirkan fakta-fakta yang tidak relevan. Kemudian penulis menghubungkan

fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga dapat diketahui hubungan sebab

akibat antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Dan yang terakhir penulis

melakukan penafsiran semua hasil data yang telah dibuat untuk dihubungkan antara

data yang satu dengan data yang lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan

menyeluruh kemudian menjadi suatu fakta sejarah. Untuk merekontruksi peristiwa

sejarah berdasar hasil interprestasi dari data-data sejarah yang ada, juga diperlukan

ekplanasi. Eksplanasi dalam sejarah adalah menjelaskan atau menerangkan data-data

sejarah yang ada sehingga didapat hubungan antara data yang satu dengan data yang

lain.

4. Historiografi

Langkah terakhir dalam metode sejarah yaitu historiografi. Historiografi yaitu

merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang

telah dilakukan (Dudung Abdurrahman, 1999 : 67).

Dalam hal ini imajinasi sangat diperlukan umtuk dari hasil penelitian,

dipaparkan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas menjelaskan apa yang

ditemukan, beserta argumentasinya secara sistematis. Dalam proses historiografi ini

diperlukan imajinasi dari penulis agar fakta-fakta yang diperoleh dapat dirangkai

menjadi sebuah kisah yang menarik untuk dibahas.

Dalam penelitian yang berjudul “Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran

Tasawuf Yasadipura I)” ini, penulis berusaha menggunakan bahasa yang baik

Page 57: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

didalam memaparkan hasil penelitian, diperkuat dengan bukti-bukti akurat yang

diperoleh dari sumber primer maupun sekunder. Agar diperoleh sebuah kisah yang

menarik maka penulis menggunakan imajinasi penulis dalam merangkai fakta-fakta

yang diperoleh.

Page 58: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.Riwayat Hidup dan Karya Raden Ngabehi Yasadipura I

1. Riwayat Hidup Yasadipura I

Sumber-sumber sejaman yang memberikan informasi tentang riwayat hidup

Raden Ngabehi Yasadipura I tidak banyak. Beberapa karyanya Babad Giyanti, Babad

Prayut dan Babad Pakepung yang menceritakan tentang kejadian-kejadian terjadi di

Surakarta pada masa hidupnya tidak terlalu banyak membantu mengungkap jati

dirinya secara jelas. Di dalamnya hanya disebutkan keterlibatan Yasadipura I dalam

beberapa peristiwa politik yang terjadi di Surakarta seperti pendirian kraton baru

Surakarta, pengepungan istana Surakarta oleh Belanda. Sumber lain yang

menceritakan kehidupan Yasadipura I baru dituliskan lebih dari seabad sesudah

meninggalnya pujangga itu, yaitu sebuah buku yang diterbitkan percetakan Budi

Utama, Surakarta pada tahun 1939. Buku yang diberi judul Tus Pajang (artinya darah

atau keturunan Pajang) itu ditulis tiga orang, yaitu R. Sasrasumarta, R. Sastra

Waluya dan R.Ng.Yasapuraya yang ketiganya adalah keturunan Yasadipura I

(Ricklefs,1997: 273-283).

Menurut Tus Pajang, Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja

Pajang Hadi Wijaya. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang

bupati/jaksa Pengging pada masa Paku Buwana II. Ia lahir di desa Pengging pada

hari Jum’at Pahing wulan Sapar, (bulan ke dua dari kalender Islam) Tahun Jimakir

(siklus delapan tahunan dalam kalender Jawa yang disebut Windu) 1654 (1729

Masehi) (Sasrasumarta, 1986: 133-134). Diceritakan dalam Tus Pajang, pada saat ia

masih dalam kandungan terjadi kejadian aneh. Penduduk desa Pengging berdatangan

ke rumah Tumenggung Padmanagara. Tumeggung Padmanagara yang keheranan

kedatangan mereka lalu menanyakan kepada penduduk itu mengapa mereka

berdatangan ke rumahnya. “Tetesing punika sami matur, menawi sami manoni wonte

daru cumlorot, warnanipun ijem sulak petak, agengipun watawis sacengkir.

Page 59: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pernahipun dhumawah ing dalemipun Raden Tumenggung Padmanagara”

(Sasrasumarta, 1986: 130-131).

Artinya:

Orang-orang Jawa itu, menjawab, bahwa mereka melihat “daru” jatuh warnanya

hijau keputih-putihan, besarnya sebesar buah kelapa muda. Jatuhnya persis di rumah

Raden Padmanagara.

Dari kejadian itu, menurut kepercayaan orang Jawa bahwa kelak bayi yang

masih di kandungan Raden Ayu Padmanagara (istri Tumenggung Padmanagara)

akan menjadi orang yang “linuwih” dan terkenal. Kepercayaan itu dalam Tus Pajang

diwakili oleh sosok Kyai Hanggamaya, seorang ulama dari Kedu yang kelak menjadi

gurunya, yang menyatakan bahwa anak Padmanagara kelak akan menjadi anak laki-

laki yang sangat pintar dan sakti.

Yasadipura I lahir pada pukul 5.30 pagi waktu subuh, oleh karena itu ia

dipanggil dengan nama Jaka Subuh, tetapi nama kecil yang diberikan ayahnya adalah

Bagus Banjar. Pada masa kecilnya, pendidikan yang diterima Bagus Banjar adalah

pendidikan yang bersifat tradisional dengan pusatnya di lingkungan keluarga. Sejak

kanak-kanak sudah mendapatkan pelajaran mengenai adat dan tata krama dari orang

tuanya. Misalnya, cara makan, cara bergaul dengan keluarga, tetangga, orang lain,

dan sebagainya. Selain itu, Bagus Banjar sejak berusia lima tahun sudah menerima

pelajaran dari orang tuanya dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan

menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab

dan baru kemudian membaca Al-Qur’an.

Untuk memperdalam ilmu agama maka pada usia 8 tahun, dia dikirim ke

pondok pesantren Bagelan Kedu di bawah asuhan Kyai Hanggamaya yang dulu

meramalkan kelahiran dan nasibnya kelak. Oleh Kyai Hanggamaya diberi pelajaran

membaca dan menulis huruf Jawa dan Arab, pelajaran agam Islam, paramasastra dan

kesusastraan Jawa, kesusilaan, ilmu pengetahuan, kesaktian (ilmu kedotan), tata cara

menyembah Allah, tata cara bersemedi serta ajaran kepribadian (Marwoto, 1985:6).

Pendidikan semacam itu diterima sepenuhnya oleh Bagus Banjar. Oleh karena itu

Bagus Bajar menguasai berbagai macam ilmu, terutama ilmu tentang agama dan

sastra. Dibanding santri-santri yang lain, dalam hal kepandaian Bagus Banjar paling

Page 60: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

menonojol. Bagus Banjar dengan cepat dan mudah menyerap semua ilmu yang

diberikan gurunya, sehingga Bagus Banjar selama berada di pondok menjadi anak

emas Kyai Hanggamaya. Bagus Banjar diasuh oleh Kyai Hanggamaya sampai umur

14 tahun, jadi kurang lebih 6 tahun. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

pendidikan Bagus Banjar semasa kecilnya berada ditangan Kyai Hanggamaya. Bagi

Bagus Banjar, Kyai Hanggamaya adalah seorang guru sejati, layaklah dia menjadi

panutan, sedangakan bagi Kyai Hanggamaya, Bagus Banjar sendiri sudah dianggap

sebagai anak sendiri.

Dalam uraian di atas diterangkan bahwa semenjak usia lima tahun hingga

empat belas tahun, Yasadipura I sudah dididik dalam suasana agama dan kebatinan.

Pada waktu itu pendidikan di pesantren pada umumnya memberikan pelajaran agama

dan juga mengamalkan pokok-pokok ajaran tasawuf (Simuh,1988: 37).

Semasa hidupnya Yasadipura I (1729-1802) mengabdi pada 3 raja, mulai dari

Paku Buwana II yang masih bertahta di Kartasura sampai Paku Buwana IV di kraton

Surakarta. Seiring dengan pergantian raja, dengan sendirinya Yasadipura I mengalami

berbagai berbagai macam pergulatan dan perubahan suasana-suasana politik antara

lain perpindahan kraton, paliyan nagari, dan peristiwa Pakepung.

Pada usia empat belas tahun ia menyelesaikan belajarnya di pesantren Kedu,

dan kemudian nyuwita (mengabdi) di Kraton Kartasura pada masa Pakubuwana II.

Karena kecerdasan dan pengetahuannya yang luas di bidang agama dan sastra, Bagus

Banjar disayangi oleh raja. Ketika pemberontakan Cina meletus pada tahun 1740, dan

kraton Kartasura diduduki oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), Bagus Banjar

ikut mengungsi ke Ponorogo bersama sang raja. Tampat ini sejak lama merupakan

pusat pendidikan Islam di Jawa Timur, dan selama di pengasingan itu Bagus Banjar

memanfaatkan waktunya untuk memperdalam agama Islam

(http://ahmadsamantho.wordpress.com/dewaruci-jasadipura-i-alegori-sufi tentang

pencarian-diri, diunduh pada tanggal 1 November 2010).

Kedekatan Bagus Banjar dengan raja semakin terjalin selama di pengasingan.

Inilah yang memberinya peluang untuk memainkan peranan penting kelak dalam

berbagai kegiatan kebudayaan. Selain itu dia mempunyai pengetahuan yang luas dan

Page 61: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

bakatnya sebagai pengarang sukar ditandingi oleh penuli sezamannya. (Soebardi

1975: 18 ; Ricklefs,1993: 225 )

Karena prestasinya yang baik dalam mengabdi di kerajaan ia kemudian

dipromosikan menjadi prajurit kraton dengan sebutan “Prajurit Nameng Jaya” yang

diberi tugas khusus membawa senjata kraton yang diberi nama Kyai Cakra. Setelah

menjadi prajurit namanya kemudian diganti menjadi Kudapangawe. Selama menjadi

prajurit ia tinggal di rumah Tumeggung Sindusena (Sasrasumarta,1986: 135-136).

Ketika pemberontakan bisa dipadamkan atas bantuan dari Kompeni,

Pakubuwana II kembali ke Kartasura. Hubungan Bagus Banjar semakin erat.

Pakubuwana II menaruh harapan agar kelak ia dapat menjadi pujangga kerajan. Oleh

karena itu Pakubuwahna II menitipkan Kudapangawe kepada Pangeran Wijil, seorang

pujangga yang bekerja di kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil,

bakatnya di bidang sastra semakin menonjol Dia dilantik untuk menjadi sekertaris

istana dalam usia 20 tahun. Bakatnya sebagai pengarang semakin bersinar-sinar

selama memegang jabatan itu. Karena pengetahuan agama dan sastra sangat luas dan

sukar disamai pengarang sezamannya, maka dia pun diangkat sebagai Pujangga Muda

istana (http://ahmadsamantho.wordpress.com/ dewaruci-jasadipura-i-alegori-sufi

tentang-pencarian-diri, diunduh pada tanggal 1 November 2010).

Pada tahun 1744 pusat pemerintahan dipindahkan ke Surakarta. Adapun yang

menentukan letak istana baru itu ialah Yasadipura I. Karena jasanya itu kemudian

pangkatnya dinaikkan menjadi Pujangga Istana. Yasadipura I ikut boyongan dan

bertempat tinggal di kawasan Kedhung Kol, yang terletak di distrik Pasar Kliwon

(sebelah timur benteng istana Surakarta). Daerah ini nantinya terkenal dengan sebutan

kampung Yasadipuran. Di sini Yasadipura I bermukin beserta istri, anak dan cucunya

(Soebardi, 1975: 18-20).

Lima tahun setelah berdirinya kraton, pada hari minggu tanggal 12 Sura Alip

1675, Paku Buwana II meninggal dan dimakamkan di Laweyan. Dicertakan dalam

Tus Pajang ketika hendak dikuburkan di ternyata peti jenazah tidak bisa masuk liang

lahat meskipun telah diperluas berkali-kali. Setelah didoakan oleh Yasadipura I dan

dijanjikan bahwa peguburannya di Laweyan hanya sementara dan kelak akan

Page 62: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dipindahkan maka peti jenazah bisa masuk liang lahat. Oleh karena itu Paku Buwana

II juga dikenal ”Sinuhun Kombul’’ (Sasrasumarta,1986: 41).

Pada masa pemerintahan Paku Buwana III (1749-1788) masih mewarisi

konflik intern yang terjadi antara keluarga istana. Bahkan, pada masa pemerintahan

Paku Buwana III ini perpecahan ini memuncak, sehingga terjadi Palihan Nagari

pembagian kerajaan menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755. Babad

Giyanti secara cermat melukiskan peristiwa historis itu (Ricklefs, 1995:84). Dalam

Babad Giyanti Yasadipura I menggambarkan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas

Said sebagai figur pahlawan. Sedangkan Paku Buwana II dan Paku Buwana III

digambarkan secara kurang simpatik. Pada perjanjian Giyanti tersebut, Yasadipura I

mempunyai peran yang besar dalam upaya perdamaian Sunan Paku Buwana III,

Sultan Hamengku Buwana I, dan pihak Belanda (Didiek Teha, 1989: 11).

Pada tahun 1788, Paku Buwana III diganti oleh Paku Buwana IV. Saat

memegang kendali pemerintahan usia Paku Buwana IV masih relatif sangat muda

yaitu 19 tahun. Karena usia Paku Buwana IV masih sangat muda, maka rentan sekali

menerima pengaruh dari pihak luar. Diceritakan dalam Babad Pakepung, Paku

Buwana IV berhasil dihasut oleh Panengah, Wiradigda, Brahman dan Nursaleh untuk

melepaskan diri dari kekuasaan Belanda. Dalam Babad Pakepung keempat orang tadi

disebut Yasadipura I sebagai setan. Sedangkan dalam Serat Wicara Keras pupuh IV

dan VII yang ditulis oleh Yasadipura II menggambarkan salah satu dari keempat

orang tadi yaitu Wiradigda sebagai orang bodoh dan congkak dan yang diincarnya

hanya uang melulu, dan jika berdagang selalu berbuat curang, mengijak-injak norma

sosial Jawa yang luhur. Karena sangat percaya kepada mereka, sehingga para

penasehat-penasehat seperti Yasadipura I dan Pangeran Purbaya dan pejabat-pejabat

lainya mulai kehilangan pengaruhnya. Hal ini menjadikan Paku Buwana IV lupa

terhadap pengasuhnya sejak kecil, yaitu Yasadipura I. Semua saran darinya tidak lagi

diterima, sehingga membuat hubungan antara keduanya agak kurang harmonis.

Dalam masa Pakepung, Belanda menuntut supaya keempat orang yang

mendalangi Sunan diserahkan sebagai tawanan. Apabila tidak penuhi, Surakarta akan

diserbu tentara gabungan yang terdiri atas tentara Yogyakarta, Mangkunegaran, dan

Kompeni. Ancaman tersebut membuwat posisi Paku Buwana IV semakin terdesak.

Page 63: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Atas nasehat dari Yasadipura I, Paku Buwana IV dengan berat hati menyerahkan

semua tawanan yang diminta pihak Belanda dan berjanji untuk tetap menjaga

keamanan di Surakarta. Nasehat yang diberikan Yasadipura I kepada Paku Buwana

IV bukan tanpa alasan, Yasadipura I menyadari betul resiko yang diambil apabila

melawan pasukan gabungan (Mangkunegaran, Yogyakarta, dan Kompeni). Di sisi

lain keadaan kraton sendiri sebenarnya lemah, sejak kehilangan daerah pesisir pulau

Jawa pada masa pemerintahan Paku Buwana II. Di situ terlihat betapa diploamtisnya

sang pujangga. Memang terlihat tidak nasionalis, tetapi semua itu demi keselamatan

kraton yang sejatinya lemah (Didiek Teha, 1989:11).

Karena besar pengabdiannya kepada negara, maka Paku Buwana IV

mempromosikan Yasadipura I menjadi patih dalem. Namun ketika itu, usia

Yasadipura I sudah tua, sehingga tidak bisa hadir dalam prosesi pengangkatannya

sebagai patih dalem. Untuk menghormati jasa-jasa Yasadipura I maka jabatan

pujagga diwariskan kepada putranya, Yasadipura II

Jasa Yasadipura I yang sangat mengagumkan adalah kemampuan menggubah

kitab-kitab berbahasa Jawa kuna ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga mempermudah

generasi kemudian untuk memberikan apresiasi. Selain menggubah, Yaadipura I juga

menerjemahkan karya sastra asing, di samping karya sastra karanggannya sendiri

(Purwadi, 2007: 66).

Sebagai pengarang agung dan luhur budinya, Yasadipura I tidak melupakan

kaderisasi. Putranya yaitu: Yasadipura II juga termasuk dalam deretan pujangga yang

tersohor. Bahkan cicitnya, Ranggawarsita, mendapat tempat yang sangat istimewa

dalam kancah kesusasraan Jawa. Bahkan masyarakat umum mengakui bahwa

Ranggawarsita adalah pujangga paling terkemuka pada abad- 19 (Purwadi, 2007: 84).

Yasadipura I tutup usia pada umur 74 tahun. Meninggal pada hari senin

Kliwon, 24 Dulkangidah, Wawu 1728 atau 26 April 1801 dan dimakamkan di

Pengging, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Mengenai riwayat kehidupan

Yasadipura I yang diceritakan dalam Tus Pajang ini Ricklefs mencatat adanya dua

kesalahan yang menyangkut tahun kelahiran dan kematian Yasadipura I. Seperti

ditulis dalam Tus Pajang bahwa Yasadipura I lahir pad hari jum’at Pahing, Bulan

Sapar, Tahun Jimakir tahun Jawa 1654 (1729 Masehi). Menurut Ricklefs, Jumat

Page 64: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pahing pada bulan Sapar tahun Jawa 1654 hanya jatuh pada tanggal 14 Sapar, atau 9

September 1729, dan tahun Jawa 1654 bukan tahun Jimakir tetapi tahun Je. Demikian

pula dengan tanggal kematiannya terjadi kesalahan. Tahun Jawa 1728 adalah tahun

Be dan pada tahun itu tanggal 20 Dulkangidah jatuh pada hari Kamis Legi bukan

Senin Kliwon. Tanggal yang benar seharusnya Senin Kliwon, 20 Dulkangidah, Wawu

1729, atau sama dengan 145 Maret 1803 (Ricklefs, 1997: 274-275).

2. Karya-Karya Yasadipura I

Dalam dunia kepujanggaan Surakarta, tidak lepas dari jasa tiga orang

pujangga besar, yang ketiganya berasal dari satu kelurga, yaitu Yasadipura I,

Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Dari deretan Pujangga Jawa tersebut, Yasadipura

I memberikan kesan tersendiri bagi perkembangan sastra Jawa. Dalam kapasitasnya

sebagai pujangga, nama Yasadipura I cukup harum, mendapat tempat terhormat dan

istimewa dalam sejarah intelektual kesusastraan dan kefilsafatan Jawa pada era awal

kraton Surakarta. Yasadipura I sangat produktif dalam berolah sastra dan telah

menerbitkan bermacam-macam buah pena dengan gaya bahasa yang bermutu dan

mengagumkan. Bila dilihat dari kreatifitas, produktifitas, kuantitas dan kualitas

karya-karyanya, Yasadipura I dapat disebut pujangga terbesar pada abad ke-18

(Purwadi,2007: 6).

Jasa yang sangat mengagumkan adalah kemampuannya menggubah kitab-

kitab berbahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga mempermudah

generasi kemudian untuk memberikan apresiasi. Selain menggubah, Yasadipura I

juga menerjemahkan karya sastra asing, di samping karya sastra aslinya sendiri

(Suryohudyodo,1980 : 563).

Ada tiga sumber utama yang dapat memberikan informasi penting tentang

karya-karya Yasadipura I, yaitu Zamenpraken karya C.F. Winter, Kapustakan Djawi

karya Poerbatjaraka dan Tus Pajang karya R.Sasrasumarta. Dari ketiga sumber

tersebut itu terdapat 17 naskah yang dianggap sebagai karya Yasadipura I, yaitu:

Tajusalatin (terjemahkan Taj al-Salatin karangan Bukhari al-Jauhari), Iskandar,

Panji Anggreni, Babad Giyanti (Babad Paliyan Nagari), Sewaka, Anbiya (saduran

dari surat Anbiya’ Melayu), Menak (saduran dari hikayat Amir Hamzah), Baratayuda

Page 65: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Pasindhen Badhaya, Arjunawiwaha (jarwa),

Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci

(jarwa), dan Babad Pakepung (Sasrasumarta,1986: 191: Ricklefs,1997: 276).

Berbeda dengan Hamzah Fansuri, yang karya-karyanya ditulis ketika fase

integratif kebudayaan Melayu dengan Islam mencapai puncaknya, Yasadipura I

menulis karyanya ketika di pulau Jawa sedang terjadi ketegangan yang berlarut-larut

antara ulama ortodoks dan kaum heterodoks. Berbagai ketegangan politik yang terjadi

di Jawa saat itu banyak terjadi disebabkan pembangkangan yang dilakukan kaum

heterodoks. Pergolakan politik semakin panas ketiga pecah tiga pembrontakan besar,

yaitu Perang Trunojoyo pada akhir abad ke-17 M, Pembrontakan Untung Surapati

pada awal abad ke-18 M, dan pemberontakan Cina tidak lama kemudian. Kerajaan

Mataram pecah belah akibat pemberontakan itu, apalagi dengan campur tangan VOC,

yang menyebabkan Mataram bertekuk lutut di bawah kekuasaan kolonial.

Untuk memulihkan stabilitas, rekonsiliasi kedua golongan ortodoks dan

heterodoks sangat diperlukan. Kisah Dewa Ruci adalah simbol dari rekonsilisasi itu,

sehingga sebagai sastra sufi ia memiliki peran yang unik dan juga corak yang unik

yang tidak ditemui dalam karya sejenis dalam kesusastraan Melayu dan Nusantara

yang lain

Ricklefs yang memberikan kritik terhadap kesalahan-kesalahan yang

ditemukan dalam Tus Pajang, juga meragukan enam naskah sebagai karangan

Yasadipura I, yakni Tajusalatin, Menak, Iskandar, Sewaka, Arjunawiwaha Jarwa,

dan Cebolek. Dari keseluruhan kritiknya, Ricklefs menyimpulkan bahwa keenam

naskah yang oleh beberapa sumber dianggap sebagai karya Yasadipura I itu adalah

naskah dari masa Karatasura. Oleh karena itu ia menduga bahwa kemungkian besar

naskah itu telah ditulis atau sebagian disalin seseorang pujangga masa Kartasura,

yaitu Carik Braja atau yang kemudian mejadi Tumenggung Tirtawiraguna

(Ricklefs,1997: 278-279).

Menurut Poerbatjaraka, kritik Ricklefs tidak seluruhnya menggoyakan

pernyataan sebelumnya karena seperti halnya Tajusalatin, sebenarnya Serat Menak

juga tidak disebut secara ekplisit dalam Tus Pajang, tetapi hanya disebut oleh

Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Djawi dan Winter dalam Zamenspraken. Naskah

Page 66: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ini juga pernah dibicarakan oleh Poerbatjaraka dalam salah satu studi lainnya

(Kemugkinan pernyataan Poerbatjaraka didasarkan pada keterangan Winter ini).

Dalam Tus Pajang hanya disebutkan “bok menawi taksih kathah malih

panunggalipun serat damelanipun Yasadipura, Namung dumugu sapriki, taksih

kasilep dereng konangan ing akathah” (mungkin masih banyak lainya yang juga

karangan Yasadipura, tetapi masih tersembunyi dan belum diketahui umum)

(Sasrasumarta,1986: 192).

Bagaimanapun juga harus dicatat bahwa dugaan-dugaan di atas harus diterima

secara ’’sementara’’, karena bukti otentik yang mendukungya belum ditemukan,

tetapi jika dugaan di atas benar, maka reputasi dalam menyalin naskah-naskah Jawa

Kuna kembali diragukan .

B. Serat Dewa Ruci Dalam Konteks Religi Masyarakat Jawa.

1. Esensi Serat Dewa Ruci

Serat Dewa Ruci adalah salah suluk yang populer di Jawa dan sering

dipergelarkan sebagai lakon wayang kulit. Keragaman versinya menunjukkan

luasnya penyebaran kisah ini, begitu pula dengan banyaknya naskah yang memuat

teks kisah ini di berbagai museum dalam dan luar negeri (Pigeaud 1967:83-7;

Behrend 1990:499-544). Sejak lama cukup banyak sarjana sastra Jawa telah

menelitinya, berdasar pertimbangan bahwa suluk ini merupakan representasi

terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang

didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik

tergambar dengan jelasnya.

Serat Dewa Ruci merupakan karya Yasadipura I yang mengandung unsur

etik dan mistik. Ramuan antara unsur Hindu, Jawa dan Islam yang penuh dengan

makna simbolik membuatnya menjadi bahan kontemplasi bagi kalangan

kebatinan dan kasepuhan yang berlaku relatif lestari. Bentuk penulisan Serat

Dewa Ruci sesuai dengan tradisi pada masa itu adalah dalam bentuk tembang

macapat. Sebelumnya sastra Jawa ditulis dengan mengikuti metrum kakawin dan

kidung. Konvensi metrum macapat di dalam termasuk Guru Wilangan, Guru

lagu, Guru Gatra. Masing-masing unsur itu mengandung makna simbolik.

Page 67: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dalam Serat Dewa Ruci versi Yasadipura I ini, isinya menceritakan tekad

perjalanan Bima dalam mencari tirta prawita yang diperintahkan gurunya,

Begawan Durna. Secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus

menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian

sangkan paraning dumadi “asal dan tujuan hidup manusia” atau manunggaling

kawula Gusti. Peursen (1976:68) menamakan proses ini sebagai “identifikasi

diri”, sedangkan Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses

“individuasi” (1984:128).

Proses pencarian untuk menemukan identitas diri ini sesuai dengan hadis

nabi yang berbunyi: Man ‘arafa nafsahu faqad rabbahu. Barang siapa mengenal

dirinya niscaya dia akan mengenal Tuhannya. Hal ini dalam cerita Dewaruci

terdapat pada Pupuh V Dhandhanggula di-bait ke-49 yang berbunyi Telas

wulangnya Sang Dewaruci, Wrekudara ing tyas datan kewran, wus wruh mring

gamane dhewe, … dan Habis wejangan dari Sang Dewaruci. Maka Wrekudara

dalam hatinya tidak ragu dan sudah tahu terhadap jalan dirinya (Marsono,

1976:107).

Pembinaan pribadi manusia paripurna seperti apa yang dialami Bima dalam

Serat Dewa Ruci disebutkan melalui 4 melalui empat tahap, yaitu: syariat,

tarekat, hakikat, dan makrifat. Dalam bahasa Jawa disebut: laku raga, laku budi,

laku manah, dan laku rasa (Mangoewidjaja, 1928:44; Ciptoprawiro, 1986:71).

Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama

(1979:19-23), empat tahap laku ini disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah

jiwa, dan sembah rasa

Jika dibandingkan dengan konsep ajaran tasawuf Mangkunegara IV seperti

yang disebutkan dalam Serat Wedhatama, konsep pemikiran tasawuf

Yassadipura dalam Serat Dewa Ruci akan kelihatan persamaannya, karena ajaran

tasawuf yang diajarkan keduanya merupakan satu paket perjalanan hidup utuh.

Keempatnya merupakan mata rantai yang sambung menyambung, saling berkait

satu dengan yang lain dan perlu dilakukan setahap demi setahap.

2. Konversi Serat Dewa Ruci

a. Bentuk Penulisan

Page 68: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Serat Dewa Ruci merupakan karya sastra yang mengandung nilai etis dan

estetis yang tinggi. Serat dewa Ruci ditulis dalam bentuk metrum seni tembang

macapat yang mempunyai konvensi khusus.

1. Guru gatra: jumlah larik setiap tembang

2. Guru wilangan : jumlah suku kata setiap larik

3. Guru lagu: suara suku kata akhir setiap larik (Haryana, 1984: 19).

Cara pembacaannya juga tidak sekedar dibaca, tetapi dengan dilagukan atau

ditembangkan. Pembacaan tembang macapat harus memperhatikan melodi atau

pedhotan. Pedhotan adalah perhentian suara, jeda dalam larik- larik tembang

macapat. Timbul aturan pedhotan ini dengan tujuan agar dalam melagukan tembang

macapat dapat lancar. Jika terdapat penggalan kata, maka pedotan kenceng atau keras.

Jika pemenggalannya diantara dua kata, maka disebut pedhotan kendho atau longgar

(Padmosukotjo, 1958:25-26). Achmadi (1998: 132-203) mengupas simbol yang

terdapat dalam tembang macapat. Masing-masing tembang mempunyai sifat dan

kegunaan sendiri-sendiri yaitu:

1) Mijil

Mijil berarti keluar atau lahir, bayi yan baru lahir dari gua garba, rahim ibu. Juga

berarti lahirnya gagasan, panemu atau uneg-uneg. Bayi yang baru saja mbabar

lahir itu keadaannya masih suci, tanpa dosa ibarat kertas masih putih bersih, hitam

putihnya tergantung pada penulisnya.

Sifat: gandrung-gandrung, prihatin, dan serius

Gunanya: mengungkapakan rasa prihatin, mengemukakan petuah yang cukup

berbobot nilainya.

2) Sinom

Sinom berarti muda, suatu masa untuk meniti cita-cita. Selagi masih muda, ilmu

pengetahuan harus dicari sebagai persiapan masa dewasa nanti.

Sifatnya: sederhana, susah, dan gigih.

Gunanya: untuk nasehat, mengungkapakan rasa susah, namun tetap optimis

terhadap masa depan.

3) Maskumambang

Page 69: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pemuda yang penuh perjuangan sehingga tampak tampan seperti mas mengapung.

Masa muda merupakan jembatan emas asal dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Pemuda yang rajin dan pandai akan menyenangkan orang tua, guru, dan

masyarakat.

Sifatnya: susah, merana, dan nelangsa.

Gunanya: mengungkapakan rasa susah karena baru kena musibah.

4) Asmaradana

Cinta yang disalurkan sesuai dengan moral agama dan sosial itu problem solving,

bahkan mewangi ke kanan ke kiri bagi lingkungannya. Asmara yang diatur

dengan baik akan membuahkan keselamatan, kehormatan, kemuliaan, dan

kebahagiaan.

Sifatnya: sengsem, susah, prihatin, cengeng.

Gunanya: mengungkapakan rasa susah karena cinta.

5) Dhandanggula

Rasa optimis terhadap masa depan yang lebih manis, cerah, dan gemilang, karena

agenda hidup yang jelas dan tertata rapi, lumampah anut wirama, berjalan sesuai

dengan aturan yang berlaku.

Sifatnya: luwes, manis, serba cocok untuk suasana apa saja.

Gunanya: untuk nasehat, mengungkapkan rasa sedih, buat permulaan gendhing.

6) Durma

Hidup harus begini menghadapi tantangan yang datangnya silih berganti.

Hambatan, gangguan, dan cobaan hidup adalah suatu yang biasa dalam

perjuanagan, sehingga tidak diperkenankan putus asa.

Sifatnya: tegang, marah, dan dendam.

Gunanya: untuk peringatan, peperangan, menantang

7) Pangkur

Page 70: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Kemewahan dunia fana yang penuh jebakan ini hendaknya dihindari, sehingga

mampu hidup sakmadya. Gaya hidup yang bermewah-mewahan akan membuwat

hati kurang peka dan cepat lupa diri.

Sifatnya: tegang dan serius.

Gunanya: untuk memberi peringatan agar tidak melupakan masa lalu.

8) Gambuh

Ilmu sangkan paraning dumadi harus diketahi. Sebagai orang yang beriman harus

mempelajari pengetahuan dan meyakini adanya kehidupan di alam akhir. Disini

peranan ilmu agama sangat penting.

Sifatnya: menerangkan, menjelaskan.

Gunanya: untuk mengajar dengan keterangan yang mudah

9) Pocung

Ilmu harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuahkan

kesejahteraan bagi diri sendiri dan lingkungannya.

Sifat: mempunyai makna seenaknya, bersenda gurau.

Gunanya: untuk berkelakar, teka-teki lucu, petuah agar senantiasa selalu ingat

hari akhir.

10) Megatruh

Tingkatan makrifat yang sudah ikhlas lahir batin, mati sajroning ngaurip,

mencapai akir hidup yang khusnul khotimah atau emate pati patitis.

Sifatnya: susah, menyesal sekali.

Gunanya: untuk mengungkapkan rasa susah karena jiwa dan raga akan berpisah.

11) Kinanthi

Diakhirat iman, ilmu, amal itulah bekalnya, sehingga seseorang akan memperoleh

pahala di akhirat kelak yang berupa surga.

Sifatnya: mengandung makna pengharapan gandrung.

Gunanya: Mengungkapkan rasa susah dan menuntun ke arah kebaikan.

b. Makna Nama Bima

Makna Bima mengacu pada salah satu tokoh Pandawa yaitu Puntadewa, Bima

Arjuna, Nakula dan Sadewa. Bima mempunyai banyak nama antara lain:

Page 71: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(1) Bima

Maknanya sangat setia pada budi satu luhur. Kalau sudah menjadi tekadnya, siapa

saja akan sulit mempengaruhinya, bahkan untuk mencapai cita-cita itu, meskipun

sampai mati akan ditempuh juga. Orang jawa mengibaratkan Bima kalau sedang

kaku bisa untuk teken atau tongkat, kalau sedang kendur bisa untung dhadung

atau tali.

(2) Raden Arya Sena

Maknanya ketika lahir masih berwujud bungkus, dan dipecahkan oleh Gajah

Sena di hutan Minangsraya.

(3) Bratasena

Maknanya pamungkas laku. Dia sering membereskan berbagai masalah, rawe-

rawe rantas malang-malag putung, dengan tetap berlandaskan kebenaran dan

keadilan.

(4) Bimasena

Maknaya panglima yang memimpin perang, jenderal atau senapati yang menjadi

andalan Pandawa ketika sedang bertemu dengan musuh-musuhnya.

(5) Jodipati

Maknanya raja prajurit yang bisa dihandalakan karena kesaktiannya dalam

menguasai ilmu perang. Bima tidak mau menaklukkan musuh dengan tipu

muslihat.

(6) Jayalaga

Maknanya unggul dalam setiap peperangan, kalau sudah berperang dia malu

dikalahkan, hanya saja kemenangan tidak semata-mata untuk kenikmatan sendiri.

(7) Kusumayuda

Makananya menjadi bunga, bintang, pemenang dalam setiap peperangan. Bima

berperang dengan segenap kelincahan dan keanggunannya.

(8) Kusumadilaga

Page 72: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Maknanya dia selalu menjadi bintang dan kembang dalam gelap apa saja,

termasuk pertempuran dan persidangan. Pendapat-pendapat yang dikemukakan

Bima selalu mendasar dan argumentatif.

(9) Wayuninda

Maknanya suka angin. Bima sedang mengeluarkan tenaga selalu disertai angin

topan merupakan salah satu senjata bawaan Bima.

(10) Bayuputra

Karena Bima juga menjadi salah satu murid dan putra Bathara Bayu. Saudara

seperguruan lain yang juga terkenal adalah Anoman yang menjadi panglima

perang Prabu Rama.

(11) Gandawastratmaja

Karena dia pernah diangkat menjadi putra Prabu Gandawastra yang paling

terkasih.

(12) Pandhusiwi

Karena putra Prabu Pandhu Dewanata raja di Astina.

(13) Kunthisunu

Karena putra Dewi Kunthi Talibrata, seorang ibu yang berhasil mendidik anak-

anaknya, tanpa kasih pilih kasih anatara anak kandung dengan anak tiri

(Sumasaputra, 1953: 119).

Kehebatan tokoh Bima sudah terlihat istimewa sejak dia dilahirkan. Pada

mulanya Bima lahir dari gua garba ibunya, Dewi Kunthi Talibrata, dalam keadaan

terbungkus. Setelah ditunggu dalam waktu yang relatif lama ternyata bungkus itu

tetap. Prabu Pandhu Dewanata melihat nasib anaknya demikian merasa bahwa dirinya

sedang mendapat cobaan dari Dewata Agung. Pada suatu ketika Prabu Pandhu

mendapat ilham bahwa nantinya anak itu akan menjadi satria gagah perkasa dan

berbudi luhur asal diasingkan dahulu di tengah hutan Minangsraya. Bungkus bayi itu

akhirnya diletakkan di hutan dengan dikawal oleh Harya Suman dan para Korawa.

Harya Suman dan para Kurawa tidak suka melihat perkembangan bungkus

yang dari hari ke hari semakin subur wujudnya. Mereka merasa kepentingannya

untuk menguasai negeri Astina akan terganggu kalau bungkus itu berubah wujud

Page 73: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

menjadi manusia sempurna. Oleh karena itu Harya Suman membuwat siasat licik.

Para korawa dihasut agar menghancurkan bungkus tersebut. Anehnya segala senjata

yang digunakan untuk membinasakan bungkus itu tidak mempan. Bahkan bungkus

itu mengamuk sehingga membikin para Korawa kalang kabut. Duryudana,

Dursasana, Durmagati, Citraksa, Citraksi dan lainnya terpaksa mendapat malu yang

sangat besar (kewirangan). Jadi meskipun belum sempurna wujudnya, Bima sudah

mampu menunjukkan kehebatannya yang luar biasa.

Masa pembuangan di hutan Minangsraya yang dilukiskan sebagai wana gung

liwang-liwung, jalma mara jalama mati (hutan lebat yang sunyi senyap, manusia

yang datang pasti akan mati) merupakan masa laku brata dan prihatin yang hebat.

Bima ditempa ibarat kerasnya baja. Kesengsaraan Bima dalam bungkus itu pada

akhirnya membuahkan hasil. Batara Bayu kemudian memberi anugerah dengan

bermacam-macam kawruh (pengetahuan) dan busana yang penuh dengan makna

simbolis.

c. Makna Busana Bima

Siswoharsojo (1953: 34-40) menguraikan makna simbolis busana adiluhung Bima itu

sebagai berikut:

1) Gelung Minangkara Cinandhi Rengga Endhek Ngarep Dhuwur Buri. Maknanya

Bima senantiasa waspada terhadap dirinya sebagai hamba yang harus pasrah dan

berbakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2) Pupuk Mas Rineka Jarot Asem. Maknana Bima mempunyai watak dan budi

pekerti luhur dengan selalu mengasah kebenaran dan pengetahuannya, karena

sudah diambil putra Sang Hyang Bayu.

3) Sumping Kastuba Jati Maknanya Bima selalu menguasai ilmu kesempurnaan

hidup, syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat, tetapi tidak pernah menyombongkan

diri. Dia sering pura-pura bodoh

4) Anting-anting Panunggal Sotya Manik Banyu. Maknanya Bima sudah waskhita

ngerti sakdurung winarah (bijaksana tahu sebelum diajari) serta tidak pernah

khawatir terhadap segala apa yang akan terjadi.

Page 74: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5) Kalung Nagabanda. Maknanya Bima adalah satria gagah perkasa dan parajurit

sejati, lebih baik mati dari pada berkhianat

6) Kelat Bahu Blebar Manggis kang Binelah Sakendhangane. Bima berhati emas

dan suci lahir batinnya. Dia tidak mau berjanji kalau tidak ada buktinya.

7) Gelang candra kirana. Maknanya Bima selalu mengarahkan agar ilmu

pegetahuannya terang benderang seperti bulan purnama bercahaya, purnama

sumorot.

8) Kampuh Pancawara Poleng Bang Bintulu Abang Ireng Kuning Putih Miwah

Wilis. Maknanya Bima dalam hidupnya mampu mengendalikan panca indranya

terhadap godaan nafsu, sehingga dia bisa ikut serta dalam memayu hayuning

bawana, menjaga keharmonisan alam.

9) Sabuk Cindhe Wilis Kembar Beranipun kang Bimelah Numpang Wentis Kanan

Kering Bima bisa berkosentrasi dalam bermeditasi (khusu’) sehingga hati dan

pikirannya menyatu.

10) Porong Nagaraja Mungwing Dhengkul. Maknanya Bima memegang serta

kebenaran dan memantapkan ilmu pengetahuan serta kebenaran dan

memantapakan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki dengan selalu membuka diri

terhadap kritik dan pendapat orang lain.

Bima duduk bersimpuh dan berbahasa Jawa krama inggil di hadapan

Dewaruci, sebagai lambang tata krama. Bima disebut Bratasena dengan mengubah

rambut ngore menjadi Gelung Minangkara. Dia mempunyai senjata kuku pancanaka

dan gada Lukitsari yang melambangkan urat syaraf. Menurut Supadjar (1993: 47)

ceritera Bima Suci menjadi kebanggaan para kasepuhan masyarakat Jawa, karena

Bima telah mencapai tingkatan sarira sajati, sari rasa jati, yang sudah manunggal

lahir batinnya. Bima mempunyai Wungkal Bener, yang mengandung makna hidup

itu merupakan batu pengasah kebenaran.

3. Historitas dan Latar Belakang Terciptanya Serat Dewa Ruci

a. Historitas Serat Dewa Ruci

Masyarakat Jawa, terutama bagi kalangan kasepuhan sangat menggemari

cerita Dewa Ruci. Pagelaran wayang kulit purwa kerap menampilkan lakon Dewa

Page 75: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Ruci, karena isinya cukup berbobot untuk digunakan sebagai bahan renungan perihal

hakikat kehidupan, yaitu kawruh sangkan paraning dumadi atau dari mana dan

kemana tujuan hidup manusia itu.

Para pujangga pun memberi apresiasi yang tinggi terhadap keberadaan Serat

Dewa Ruci. Penyalinan Serat Dewa Ruci dilakukan secara berulang-ulang. Tiap-tiap

pujangga dan penyalin mempunyai taste (selera) yang berbeda dalam menuangkan

buah pikirannya. Suatu kewajaran kalau terjadi penyimpangan baik yang bersifat

penambahan dan pengurangan terhadap naskah pertama Serat Dewa Ruci. Banyaknya

variasi naskah yang diteliti secara khusus oleh bidang kajian filologi. Suatu cabang

ilmu yang berusaha mempelajari seluk berluk kitab-kitab kuno.

Perpustakaan yang memuat koleksi naskah Serat Dewa Ruci jumlahnya cukup

banyak, diantaraanya: Perupustakaan Radya Pustaka, Sana Budaya Yogyakarta,

Perpustakaan Nasional Jakarta. Variasi naskah yang memuat cerita Dewaruci atau

Bima suci terdapat kurang lebih 29 naskah (Poerbatjaraka, 1940:4-5).

Menurut Purwadi Serat Dewa Ruci yang diciptakan Yasadipura I pada masa

awal kraton Surakarta. Secara historitas Serat Dewa Ruci berkaitan dengan kitab

Nawaruci karya Empu Siwamurti pada zaman kerajaan Majapahit yang ditulis antara

tahun 1500-1619 M. Dengan demikian Nawaruci adalah Sang Hyang Tattwajnana

yang dapat diterjemahkan sebagai kitab tentang hakikat hidup. Kitab Nawaruci ini

merupakan karya sastra religius yang terpengaruh mistik Hindhu.

Lahirnya kitab Nawaruci itu bersamaan dengan masa penyebaran dan

perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa. Mistik Islam yang dikenal

oleh masyarakat Jawa pada waktu telah memberikan inspirasi untuk digarap menjadi

lakon wayang. Memang dalam Mahabarata cerita Dewa Ruci tidak pernah dijumpai,

namun ada cerita dari India yang mirip dengan Dewa Ruci yaitu kisah Markandeya

yang mengarungi samudera dan menemukan cabangnya yang rindang dan dalam

seorang anak kecil dan meminta agar Markandeya masuk ke dalam tubuhnya untuk

melihat seluruh isi alam semesta. Dalam cerita Markandeya itu disebutkan bahwa

anak kecil itu adalah Narayana sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Dalam cerita

Markandeya itu nama Bima sama sekali tidak disebutkan (Singgih

Page 76: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Wibisono1996:33). Namun demikian kerangka plot ceritanya termasuk sumber

inspirasi bagi kreatifitas sastrawan lain

Kitab Nawaruci ini sudah dibahas dalam bentuk disertasi oleh Prijohoetomo

pada tahun 1934. Dalam disertasi itu dikemukakan perbandingan antara kitab

Nawaruci dengan kitab Dewaruci. Kesimpulannya adalah bahwa kitab Nawaruci

itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewaruci yang semakin populer dalam dunia

pewayangan (Wibisono,1996:33). Serat Nawaruci banyak mengandung unsur Hindhu

sedangkan Serat Dewaruci mulai ditambahkan dengan unsur Islam.

Menurut Donald (1983:26) cerita Dewa Ruci yang paling tua ditulis pada abad

ke-15. Cerita Dewa Ruci itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan

sebagaimana telah diteliti oleh Poerbatjaraka. Isi cerita Dewaruci yang tertua ini tidak

begitu panjang. Cerita ini diawali dengan kepergian Bima ke samudra kemudian

bertemu dengan Dewaruci. Akhir cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa

Ruci (Marsono, 1996:26). Wejangannya berupa usaha untuk mencapai kesempurnaan

hidup

Serat Dewa Ruci tembang gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum

diketahui penciptanya serta belum jelas kapan dikarang. Gaya bahasanya masih

menggunakan cara kuno menggunakan sekar ageng tanpa guru lagu (Poerbatjaraka

1957: 70-76).

Pada abad ke 18 yaitu sekitar tahun 1796, pujangga kraton Surakarta

Yasadipura I menggubah teks Dewaruci tembang gedhe yang bercorak Hindhu-

Budha ke dalam serat Dewa Ruci macapat dengan berbahasa jawa baru dan

mengandung nafas Islam (Haqq, 1959:38-39). Marsono (1996: 15) menyatakan

bahwa teks Serat Dewaruci macapat karya Yasadipura I itu diterbitkan oleh Mas

Ngabehi Kramaprawira dengan percetakan Van Drop di Semarang pada tahun

1870,1873, dan 1880 dengan huruf Jawa.

Teks Dewaruci macapat karya Yasadipura I yang ditulis pada tahun 1796,

yang bertemakan mistis itu ditranformasikan menjadi suluk Lokajaya, Seh Malaya,

atau Sunan Kalijaga. Sedang tokoh Pendeta Drona ditranformasikan menjadi Sunan

Bonang. Dewaruci ditranformaskan menjadi Nabi Khidir. Konsepsi Tuhan yang

direalisasikan dengan nama Allah, dan dimosaik dengan pahan tasawuf. Tranformasi

Page 77: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ini disesuaiakan dengan tradisi zaman yang sudah Islam tranformasi ini dikerjakan

pada abad ke-19, bersamaan dengan kebangkitan sastra Jawa klasik di Surakarta

(Marsono, 1996: 16). Pada abad ke-19 sastra Jawa tumbuh dengan subur seperti

cendawan di musim hujan, sebagaimana yang telah dipelopori oleh Pujangga

Ranggawarsita dan Mangkunegara IV.

Isi teks Dewa Ruci macapat dan Dewa Ruci tembang gedhe pada dasarnya

sama, yaitu mengisahkan perjalanan tekad perjalanan Bima dalam mencari tirta

prawita (air suci) yang diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Cerita ini

menggambarkan lika-liku perjuangan manusia dalam menuju kesempurnaan hidup

untuk menemukan identitasnya dirinya. Jati diri manusia diperoleh melalui rintangan

yang cukup berat.

Serat Dewa Ruci melambangkan empat perjalanan manusia yaitu: lampahing

raga atau laku badan, lampahing budi, atau laku akal, lampahing manah atau laku

hati, dan lampahing rasa atau laku rasa. Keempat laku itu sesuai dengan isi teks Serat

Wedhatama karya Mangkunegara IV yang mengutarakan empat sembah yaitu:

sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Dalam tadisi tasawuf

Islam dikenal dengan adanya tahap yaitu: syariat, tarikat, hakikat , dan makrifat.

b. Latar Belakang Terciptnya Serat Dewa Ruci

Tidak ada seorang pujangga yang menulis atau menciptakan di ruang hampa,

lepas dari budaya lingkungan dan jiwa jaman (Mulyoto, 1991). Di dalam menjawab

masalah kemasyarakatan yang dihadapinya, seorang pujangga selain menciptakan

karya sastra piwulang, juga mengaktualkan sastra piwulang yang telah mentradisi dan

tersebar di masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu kiranya memahami

budaya lingkungan dan jiwa jaman, serta masalah kemasyarakatan yang

melatarbelakanginya.

Pada masa awal pertumbuhan Kraton Surakarta Hadiningrat yang patut

dicermati adalah fase pergolakan politik yang terjadi. Sebelumnya telah diawali

perpindahan ibukota Mataram dari Kota Gede ke Plered, kemudian ke Kartasura, dan

pindah ke Surakarta. Perebutan kekuasaan antara pangeran, konflik antar bangsawan,

silang sengketa antara umara dan ulama, dan intervensi VOC pada keluarga kraton

Mataram telah menjerumuskan pada krisis politik, budaya, dan ekonomi yang cukup

Page 78: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

menyedihkan. Para raja, bangsawan, dan elit pribumi lainnya seolah-olah sudah

kehilangan kewibawaan. Kerajaan Mataram yang besar dan pada akhirnya pecah

berkeping-keping menjadi empat bagian yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta,

Pura Mangkunegaran, dan Pura Paku Alaman. Keempatnya secara politik telah

lemah, dan sangat tergantung pada kebijakan VOC. Suksesi kepemimpinan kraton

tidak dapat mandiri dan independen lagi.

Penderitaan politik dan ekonomi pada masa ini ternyata memberi hikmah dan

berkah pada bidang lain, terutama bidang kebudayaan, kesenian, kesusastraan. Hasil

karya sastra lama yang besar dan monumental seperti Kakawin Ramayana,

Mahabarata, dan Arjunawiwaha digali, diteliti, disadur dan diterjemahkan. Karya-

karya asing, terutama karya pujangga Islam Mesir, Timur Tengah, Gujarat dan Aceh

digarap, disebarkan dan dikembangkan dalam wajah baru yang disesuaikan dengan

alam kejawen. Para pujangga masa itu benar-benar bersemangat dalam

mengekspresikan bakatnya. Produksi estetika kesusastraan yang bersifat orisinal

berkembang pesat laksana jamur di musim penghujan. Kegairahan bidang budaya,

seni dan sastra yang bersifat etis religius seakan-akan mengobati luka istana akibat

krisisi politik. Masyarakat yang sudah lelah dan jenuh menyaksikan pertikain tersihir

dan terhibur oleh keanggunan dan keagungan sastra estetis. Kekacauan kekuasaan

kerajaan digelar oleh kualitas kebudayaan, kesenian dan kesusastraan.

Para raja, permaisuri, pangeran, bangsawan dan kerabat istana berlomba-

lomba terlibat secara aktif dan profesional dalam dunia karang mengarang. Aktifitas

ini ternyata membawa keunggulan tersediri. Kehidupan sastra budaya bersifat sufistik

religius itu membuahkan kewibawaan dan kepercayaan di mata rakyat. Radikalitas

dan anarki ditanah Jawa akibat krisis politik dan ekonomi dapat dicegah oleh

spiritualisme seni, yang cenderung pada alam pikiran asketis. Sufisme pelan-pelan

merambah dan merembes pada pola kebudayaan Jawa meluas dan mengakar.

Dari deretan pujangga Jawa dari abad ke abad, Yasadipura I mendapat tempat

yang terhormat dan istimewa dalam sejarah intelektual kesusastraan, dan kefilsafatan

Jawa. Yasadipura I sangat produktif dalam berolah sastra dan telah menerbitkan

bermacam-macam buah pena dengan gaya bahasa yang bermutu dan mengagumkan.

Sebagai keturunan bangsawan dan pujangga istana sekaligus, Yasadipura I mewarisi

Page 79: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

bakatnya luar biasa. Masyarakat Jawa berhutang budi padanya, karena Yasadipura I

pula yang membedah kitab-kitab kuno, sehingga dapat dinikmati oleh generasi

sesudahnya. Pandangan, pengetahuan dan keilmuwan Yasadipura I sungguh sangat

luas, meliputi soal-soal ketuhanan, kemasyarakatan, kemanusiaan, dan keadilan.

Pengaruh Hindhu, Islam dan Jawa diolah menjadi suatu karya yang harmonis. Sintesa

kebudayaan, Hindhu , Jawa dan Islam, yang diwakili tasawuf atau sufisme,

mendapatkan bentuknya yang definitif. Sintesa itu tercermin sepenuhnya dalam Serat

Dewa Ruci.

Mengenai motif penulisan Serat Dewa Ruci yang dijadikan sentral

pemahasan, Simuh (1988:33) mengatakan bahwa perkembangan sastra Jawa sejak

lama didukung terutama golongan istana. Mereka mengganggap politik mempunyai

nilai yang lebih tinggi dari agama. Karena itu semua kegiatan sastra dan keagamaan

selalu diarahkan untuk mendukung kepentingan politik penguasa. Penerapan masalah

agama diselaraskan dengan kepentingan agama. Tasawuf diutamakan karena lebih

mudah dicerna dan disesuaikan dengan tradisi mistik Jawa. Sedangkan penyelerasan

antara tasawuf dan mistisme Jawa dilakukan untuk meredakan dan mendamaikan

konflik antara pendukung syariah dan pemuka ajaran heterodoks, karena sumber-

sumber pembangkangan dan krisis politik di Jawa tidak jarang bersumber dari dua

kelompok ini.

4. Perbandingan Nawaruci dan Serat Dewa Ruci

Serat Dewa Ruci adalah sebuah alegori sufi Jawa yang begitu populer dalam

lingkungan kebudayaan Jawa. Kisah mistikal yang hadir dalam banyak versi dalam

kepustakaan Jawa ini juga sering diangkat jadi lakon pewayangan. Serat Dewa Ruci

dalam kesusastraan Jawa ditulis dalam beberapa sumber pustaka seperti "Nawaruci",

"Dewa Ruci" dan "Bimo Suci". Menurut Seno Sastroamidjojo (1967) babon cerita

Dewa Ruci itu berbahasa Jawa kuno atau Kawi, tertulis pada rontal. Tan Khoen Swie

(1923) menyebutan bahwa cerita Dewaruci yang asli itu digubah dalam bahasa Kawi

oleh Mpu Wijayaka di Mamenang, Kediri atau lebih terkenal dengan Ajisaka yang

pada waktu kecilnya bernama Jayasengkala, salah seorang putra Mpu Anggojali.

Sementara itu dalam disertasinya, Priyohutomo menyebutkan bahwa Serat Dewaruci

Page 80: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ini merupakan pengembangan dari Nawaruci yang ditulis oleh Mpu Siwamurti, salah

seorang pujangga pada masa Majapahit. Kemudian banyak gubahan baru diturunkan

dari aslinya. Turunan itu kemudian diturunkan pula. Pada umumnya dengan

tambahan atau pengurangan berdasarkan kehendak atau perasaan pribadi sang

penggubah.

Menurut Poerbatjaraka, berdasarkan sifat bahasanya (bahasa kawi)

kemungkinan bahwa lahirnya kitab Nawaruci itu bersamaan dengan masa penyebaran

dan perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa. Mistik Islam yang

dikenal oleh masyarakat Jawa pada waktu itu telah memberi inspirasi untuk digarap

menjadi lakon wayang. Hal senada juga dikemukakan oleh Stutterheim. Pendapat

Stutterheim tersebut didasarkan pada hasil penyelidikannya di candi Penaggungan.

Menurut Stutterheim kitab Nawaruci diciptakan pada abad ke XV (sekitar tahun 1450

M) (Seno Sastroamidjojo, 1962: 3).

Dalam epos Mahabarata cerita Dewa Ruci tidak pernah dijumpai, namun ada

cerita dari India yang mirip dengan Dewa Ruci yaitu kisah Markandeya yang

mengarungi samudera dan menemukan cabangnya yang rindang dan dalam seorang

anak kecil dan meminta agar Markandeya masuk ke dalam tubuhnya untuk melihat

seluruh isi alam semesta. Dalam cerita Markandeya itu disebutkan bahwa anak kecil

itu adalah Narayana sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Dalam cerita Markandeya itu

nama Bima sama sekali tidak disebutkan (Singgih Wibisono,1996:33). Namun

demikian kerangka plot ceritanya termasuk sumber inspirasi bagi kreatifitas

sastrawan lain.

Dalam teks Nawaruci dan Dewa Ruci Bima adalah sosok sentral yang

menjadi obyek pembahasan. Kendati tokoh Bima sebenarnya tokoh dari epos

Mahabharata yang masih menganut Hindhuistik, namun oleh para pujangga dan para

wali dijadikan pemeran utama dalam hal mencari kesempurnaan hidup ala sufisme.

Pemilihan tokoh Bima dan Dewa Ruci sebagai pelaku utama memperlihatkan

sensibilitas pengarang dalam membuat pertimbangan praktis, yaitu dengan bertolak

dari alasan-alasan kultural. Meskipun agama Islam diterima oleh orang Jawa, namun

pada saat yang sama pengarang mengingatkan agar jati diri dan budaya Jawa lama

jangan dibuang. Caranya dengan menghidupkannya seraya memberikan wadah

Page 81: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

terhadap ajaran agama yang baru dipeluk. Kecuali itu pengarang juga mengenal

dengan baik kegemaran orang Jawa pada lakon wayang, sebagai pembentuk

ketidaksadaran dan kesadaran kolektif mereka. Pertimbangan praktis lain ialah

penyampaian kisah Dewa Ruci dalam bingkai cerita sejarah, sedangkan kisah inti

tentang perjalanan Bima diambil dari wiracarita atau cerita kepahlawanan (epos).

Orang Jawa menyukai peristiwa-peristiwa sejarah yang terkait dengan timbul

tenggelamnya kerajaan-kerajaan feodal mereka, konflik-konflik internal yang terjadi.

Di samping itu mereka menyukai mistik, dan cerita kepahlawanan.

Kitab Nawaruci maupun Serat Dewa Ruci jika dilihat dari segi arah dan

tujuannya pada dasarnya sama, yaitu mengisahkan perjuangan tokoh Bima yang harus

mengahadapi siksaan fisik dan psikis untuk memperoleh 'sesuatu' yang sangat berarti

bagi kehidupan duniawiahnya. Ketabahan, ketulusan dan keuletannya akhirnya

memang mampu mengantar Bima untuk memiliki sesuatu yang dimaksud kendati

dalam dimensi yang lebih luhur. Keduanya melambangkan hubungan manusia

dengan Tuhannya, hubungan yang begitu erat atau bahkan sampai kepada kesatuan

wujud (wihdatul wujud), sebagai manunggaling kawula Gusti. Manusia yang telah

sampai tingkatan manunggaling kawula Gusti di dunia akan menjadi wakil Tuhan

(wakiling Gusti), ia sebagai khalifatullah fi al-ardi. Ia menyinari bumi, menjaga

keselamatan dunia (memayu hayuning bawana), memberikan kedamaian, dan

membuat dunia menjadi indah. Manusia semacam ini bersedia dan mampu melawan

segala godaan alam lahir. Ia tak tergoda oleh kehidupan dunia yang tidak baik dan

tidak tergoda oleh godaan setan. Ia di dunia telah mati bagi segala godaan alam lahir

dan mencapai hidup yang benar, yaitu mati sajroning ngaurip mati dalam hidup serta

urip sajroning mati hidup dalam kematian.

Kitab Nawaruci ini sudah dibahas dalam bentuk disertasi oleh Prijohoetomo

pada tahun 1934. Dalam disertasinya itu dikemukakan perbandingan antara kitab

Nawaruci dengan kitab Dewaruci. Kesimpulannya adalah bahwa kitab Nawaruci

itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewaruci yang semakin populer dalam dunia

pewayangan (Wibisono,1996:33). Serat Nawaruci banyak mengandung unsur Hindhu

sedangkan Serat Dewa Ruci mulai ditambahkan dengan unsur Islam. Tuhan yang

politeis sebagaimana dalam Hindhu diganti dengan Tuhan yang monoteis

Page 82: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sebagaimana yang diajarkan dalam Islam dan disitulah nilai keislaman tercermin,

yakni dalam isi ajarannya (Musbikin, 2010:50). Selain itu dalam gubahan Serat Dewa

Ruci karya Tan Koen Swie berbentuk sekar macapat misalnya, unsur-unsur Islam

terlihat, dengan ditambahkannya beberapa istilah Arab seperti : wujud, dzat, sifat,

ma’krifat , nikmat, dan manfaat (Simuh, 1988:31). Sedang nilai kejawen yang masuk

dalam Serat Dewa Ruci tampaknya hanya berada pada metode (cara pemaparan). Ini

terlihat pada penggunaan bahasa Jawa sebagai alat penyampain ajarannya. Ciri

tersebut sebagaimana dikatakan oleh Simuh merupakan salah satu corak karya sastra

suluk yang masuk pada kelompok kepustakaan Islam Kejawen. Yakni menggunakan

bahasa Jawa dan sangat sedikit mengungkapakan aspek syariat (aturan-aturan lahir

daripada agama Islam).

Walaupun Serat Dewa Ruci tersebut mengambil konteks Hinduistik. Hal

tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau

“wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh

saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam. Terlepas dari perbedaan dan persamaan

teks Dewa Ruci dan Nawaruci itu yang terpenting ialah inti sari cerita keduanya dapat

menggambarkan perkembangan cara berpikir bangsa Indonesia umumnya, Jawa

khususnya, terutama mengenai pandangan hidupnya. Baik dalam Nawaruci maupun

Dewa Ruci filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritual atau

mistisme yang sinkretik tergambar jelas didalamnya.

5. Serat Dewa Ruci dalam Konteks Penghayatan Keagamaan Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa merupakan sebuah specifiq community telah berabad-abad

membentuk dan membangun suatu peradaban yang khas unik (Muklis 2006: 21).

Dalam konteks budaya, masyarakat Jawa memiliki ciri khas tersendiri. Kekhasan

tersebut terletak dalam kemampuannya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh

gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Dalam konteks

keagamaan, masyarakat Jawa bersifat terbuka untuk menerima agama apapun agama

dengan pemahaman semua agama itu baik, maka sangatlah wajar bila masyarakat

Jawa bersifat sinkretik (bersifat momot atau serba memuat).

Page 83: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Penghayatan keagamaan orang Jawa dalam konteks sosio historis tercermin

dalam ungkapan agama, ageman aji, bahawa agama itu merupakan busana keprabon

yang sungguh berharga. Agama secara Jarwa dhasok, a = tidak, gama = rusak,

sehingga keberadaan agama selalu menuntut manusia agar memperoleh kebahagiaan

dan ketentaraman lahir batin. Istilah Jawa kang kajawi, menandakan dalam

masyarakat Jawa aspek spirituallah yang dikedepankan (Purwadi, 2002: V)

Pada kebudayaan Jawa, sistem keagamaan sejak dahulu mempunyai

variasi kultural. Menurut Mulder, sejak dulu mereka dibagi menjadi dua mereka

yang sholat yaitu, orang yang melakukannya disebut putihan dan mereka yang

tidak sholat mereka disebut abangan atau rakyat kebanyakan yang tidak religius

atau mereka yang tidak melaksanakan peradaban Islam (Mulder, 2003:1). Geertz

telah melakukan pengamatan di Mojokuto. Geertz membagi masyarakat Jawa

menjadi tiga varian yaitu abangan, santri dan priyayi. Abangan mewakili sikap

memiliki segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan

dengan unsur-unsur petani. Santri mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi

Islam, pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga petani)

dan priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindhu dan berhubungan

dengan unsur-unsur birokrasi (Geertz, 1989: X). Dari pembagian di atas maka kita

dapat melihat bahwa di Jawa terdapat kelompok-kelompok religius yang berbeda.

Kelompok santri atau putihan menjalankan doktrin agama Islam, dan kelompok

abangan bergelut pada kepercayaan ajaran kejawen.

Perbedaan-perbedaan dalam menilai praktik agama itu sudah menjadi

bagian kehidupan di Jawa sejak munculnya Islam. Pada awalnya masyarakat Jawa

kehidupan beragama terimbas oleh pemikiran animistis, dimana pemikiran ini telah

ada sebelum praktik Hindhu-Budha masuk di Indonesia yaitu diawali pada masa

prasejarah. Setelah pemikiran animistis tersebut, doktrin Hindhu-Budha masuk ke

Indonesia, gabungan keduanya membentuk mistisisme, pengagungan jiwa-jiwa sakti.

Pemujaan arwah dan penyembahan tempat-tempat keramat walaupun demikian

semua itu tidak bertentangan secara mencolok dengan watak mistis dan corak

berpadu dan membentuk peradapan baru yang disebut kejawen

(Mulder, 2003: 2).

Page 84: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Bentuk agama Islam orang Jawa disebut Kejawen atau Agama Jawi yaitu

suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah

mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam

(Koentjaraningrat, 1984: 312). Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi

lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindhu, Hindhu-Budha

dan Islam (heterodoks). Walaupun demikian, hal itu tidak berarti mereka hampir tidak

beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa

kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama.

Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan

kebenaran kitab Al-Qur’an dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi

di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu,

percaya akan makhluk gaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara

keagamaan yang sangat sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin Islam resmi

(Koentjaraningrat,1984: 311).

Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang

kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika satu

prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah. Proses dialektika

akan selalu menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kadang tak terduga atau tidak

direncanakan sebelumnya. Faktor yang paling menonjol dalam proses sinkretis antara

Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga

datang dari kedua belah pihak.

Bentuk Islam mistis yang berkembang di Indonesia adalah faktor paling nyata

sehingga memungkinkan proses tersebut. Sementara dari budaya Jawa, tradisi

kepercayaan ruh dan benda-benda gaib yaitu animisme dan dinamisme pada rakyat

kebanyakan, dan tradisi Hindu-Budha pada kaum aristokrat kerajaan menjadi faktor

kedua, yang seolah bertemu dalam satu titik kompromi paling landai ketika bertemu

dengan Islam mitis.

Islam mistis atau Islam tasawuf bisa didefinisikan sebagai Islam yang lebih

menekankan pada pemikiran dan praktik pencarian hubungan manusia dan Tuhan

dengan cara-cara berpaling pada hal-hal duniawi dan lebih mengutamakan

penghayatan dan kepasrahan pada Tuhan semata. Jalan untuk menuju pada sebuah

Page 85: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kesempurnaan hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam Islam mitis, didapatkan

dengan melalui beberapa tingkat yaitu: syariat, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Syariat

adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah. Tarikat adalah bentuk kepasrahan

pada Tuhan secara sepenuhnya. Hakikat adalah tingkat di mana manusia hanya

memperhatikan Allah semata-mata dan ma’rifat adalah tahap terakhir yaitu tahap

kesempurnaaan (Edi Sedyawati, 1993: 54).

Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada

umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang

Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi mistik

(Zaini Muchtarom, 1988: 18). Menurut Koentjaraningrat (1984:53), gagasan-gagasan

mistik tersebut mendapat sambutan baik dari masyarakat Jawa, karena sejak zaman

sebelum masuknya Islam, kepercayaan tradisional (animisme dan dinamisme) serta

tradisi kebudayaan Hindhu-Budha yang ada terlebih dahulu di Jawa telah didominasi

oleh unsur-unsur mistik.

Bentuk Islam mitis lebih menampakkan wajah yang relatif ramah atau lunak

ketika bertemu dengan agama lokal, yaitu tradisi agama asli (animisme dan

dinamisme) dan Hindhu-Budha. Dengan kata lain Islam mistis mampu

mengakomodir pandangaan dan sistem ritual di luar Islam baku, sehingga terjalinlah

sebuah anyaman berupa akulturasi antara ajaran Islam dengan paham-paham

sebelumnya. Sifat supel dan suka berasimilasi dengan aneka warna tradisi setempat

inilah yang menjadi kunci sukses penyebaran Islam di Jawa. Dalam bentuk tasawuf

itulah, agama Islam disesuaikan dengan struktur sosial dan filosofis masyarakat

setempat sehingga Islam mudah diterima tanpa gesekan dan pertentangan (peaceful

coexisten). Istilah terakhir ini merupakan ciri utama dalam filsafat Jawa yang

menekankan kesatuan, stabilitas, keamanan, dan harmoni (Abdurrahman Mas’ud,

2004: 58).

Berkembangnya Islam mistis (tasawuf) di Jawa secara intens dimungkinkan

karena ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistik di kalangan

masyarakat Jawa sendiri yang berupaya mempertahankan kepercayaan Raja Titising

Dewa yang serba magis dan sarat dengan mistik. Mistik bagi kalangan masyarakat

Jawa merupakan inti terdalam yang menjiwai dan mewarnai seluruh apek kehidupan

Page 86: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kebudayaan Jawa sehingga dalam pandangan dunia Jawa budaya lahir dan batin

mendapat posisi yang strategis, terutama berkaitan dengan penghayatan dalam bentuk

pengalahan unsur-unsur lahir untuk dapat memurnikan aspek batiniah dan bersatu

kembali pada tingkat yang tertinggi. Untuk mencapai hakikat itu berarti

mengusahakan keteraturan jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad cilik

(mikrokosmos), dalam arti yang lebih mendalam kesatuan antara manusia dengan

Tuhan (manunggaling kawula gusti). Oleh karena kesamaan dalam hal inilah, maka

Islam dapat diterima dan diintegritaskan dalam pola sosial, budaya dan religi

masyarakat Jawa

Perkembangan Islam tasawuf diikuti mengalirnya kepustakaan Islam, baik

yang tersurat dalam bahasa dan huruf Arab atau yang telah digubah dalam bahasa

Melayu. Mengalirnya kepustakaan Islam, dengan sendirinya menjadikan

perbendaharaan kesusastraan Jawa bertambah dinamis. Gaya sastra yang kebanyakan

dari jazirah Arab maupun dari Gujarat ini berasimilasi dengan sastra lokal yang

berkembang sehingga menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya

mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman (Simuh,1988: 9).

Dalam konteks sastra, pertemuan antara Islam mistik dan kepercayaan mistik

pada rakyat kebanyakan menghasilkan kitab-kitab suluk dan primbon. Kitab suluk

adalah suatu himpunan syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat gaya

mataram (Koentjaraningrat, 1984: 316). Kitab suluk adalah kitab yang di dalamnya

banyak mengandung ajaran tasawuf. Kitab suluk menunjukkan usaha pengarangnya

untuk menyatukan secara sinkretis ajaran-ajaran Islam, hukum Islam, dan tradisi

kesusasteraan Islam dengan konsep-konsep teologi Hindu-Budha mengenai

penciptaan alam, kematian, dan kehidupan setelah kematian, serta hubungan manusia

dengan Tuhan. Sedangkan Primbon adalah kitab yang bercorak kegaiban dan berisi

ramalan-ramalan. Sementara itu pertemuan Islam mitis dengan tradisi Hindhu-Budha

kerajaan Mataram menghasilkan serat. Serat adalah kitab yang berisi ajaran tasawuf

yang dipadukan dengan mistik kejawen. Serat-serat biasanya berisi ajaran mistik-

moral. Diantara serat yang terkenal adalah serat Wirid Hidayat Jati, serat Centhini,

dan serat Dewa Ruci.

Page 87: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Serat Dewa Ruci merupakan sumber representatif mengenai konsep Tuhan

dalam Agama Jawi. Dalam kitab ini konsep dan pandangan Agama Jawi tentang

Tuhan lebih bercorak panteistis dibanding monoteis. Tak dipungkiri konsep Tuhan

panteistik ini lebih dekat dengan konsep-konsep dalam pemikiran Islam mistis dan

Hindhu-Budha dibanding dengan Islam formal. Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan

dilambangkan sebagai makhluk yang sangat kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia

kecil maka Ia dapat melihat seluruh semesta dengan terang benderang dalam warna-

warninya. Karena Ia besar, maka Ia adalah muara dari segala sesuatu, seperti samudra

yang menjadi muara dari segala aliran sungai, seperti angkasa tempat bertabur segala

planet dan bintang (Koentjaraningrat, 1984: 324). Dalam pandangan ini Tuhan

dianggap sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta, dan

sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh seseorang.

Tuhan mitis dalam Agama Jawi memang lebih kental nuansanya dibanding

dengan Tuhan syariat yang banyak menyebut Tuhan dengan sifat-sifat maha Kuasa,

maha Perkasa, atau maha Tinggi. Tuhan mitis ini bisa dijumpai dalam Cerita Dewa

Ruci karangan Yasadipura I yang bercerita tentang perjalan Bima Sena mencari air

sejati kehidupan. Dalam salah satu bait dipaparkan: “Tanpa diketahui dari mana

datangnya, Bima sekonyong-konyong berhadapan dengan seorang Dewa katik, Dewa

Ruci namanya. Tampak hanya sebagai anak kecil berjalan-jalan dan bermain-main di

atas permukaan air” (Adhikara, 1984: 16).

Walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah

sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima Sena:

“Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk

gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila

masuk dalam gua-garbaku” (Adhikara, 1984: 18).

Pandangan panteistis ini tentu berseberangan dengan konsep Tuhan dalam

Islam baku yang monoteistis. Dalam pandangan monoteistis, Tuhan adalah maha

besar dan maha kuasa, manusia hanyalah makhluk yang tidak berarti dihadapan

kekuasaan Tuhan.

Serat Dewaruci di mata orang Jawa yang beragama Islam merupakan sebuah

kisah yang menjadi landasan yang kokoh untuk memandang dan menafsirkan

Page 88: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran

yang Islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal

tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau

“wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh

saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam (Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995: 13-14)

C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

1. Orang-orang yang berpengaruh dalam pemikiran Yasadipura I

Yasadipura I tumbuh dalam suasana masyarakat yang sedang giat

mengembangkan dunia sastra. Apalagi dia berada di sekitar para tokoh yang menjadi

tulang punggung tradisi yang sedang berjalan. Dapat dipastikan bahwa Yasadipura I

sudah diperkenalkan dengan dunia sastra semenjak usia dini. Oleh ayahnya saat

berusia lima tahun, Yasadipura I sudah diberikan pelajaran dengan menghafalkan

surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran

membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Untuk

memperdalam ilmu agamanya, ia dikirim ke sebuah pesantren di Bagelan, Kedu

asuhan Kyai Hanggamaya. Bakat dalam dunia sastra semakin terasah saat Yasadipura

I berada dalam lingkungan pesantren. Setelah menamatkan pendidikan di pesantren

Kedu, ia mengabdi di kraton Kartasura. Melihat potensi Yasadipura I dalam bidang

sastra sangat besar, Paku Buwana II menaruh harapan besar kepadanya untuk kelak

menjadi Pujangga istana. Oleh karena itu, Paku Buwana II menitipkan Yasadipura I

kepada Pangeran Wijil seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten. Setelah

mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol.

Pangeran Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar

dan berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III (1749-

1788) ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden

Ngabehi Yasadipura I.

Dari uraian singkat di atas dapat ditatarik kesimpulan bahwa orang-orang

yang mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I antara lain:

a.Raden Tumenggung Padmanagara

Page 89: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Salah satu tokoh yang amat penting dalam mempengaruhi pemikiran

Yasadipura I adalah Raden Tumenggung Padmanagara. Beliau adalah ayah dari

Yasadipura I sendiri yang pada waktu itu berkedudukan sebagai bupati atau jaksa

pada masa Mataram Kartasura (Pakubuwana II).

Sejak kanak-kanak sampai dengan umur 8 tahun Yasadipura kecil berada di

bawah asuhan Raden Padmanagara. Sebagai anak seorang bupati Pengging,

Yasadipura I didik sebagai anak kaum priyayi yang pada umumnya dekat dengan

paham kejawen. Sejak kanak-kanak sudah mendapatkan pelajaran mengenai adat dan

tata krama dari orang tuanya. Misalnya, cara makan, cara bergaul dengan keluarga,

tetangga, orang lain, dan sebagainya. Selain itu, Bagus Banjar sejak berusia lima

tahun sudah menerima pelajaran dari orang tuanya dengan menghafalkan surat-surat

pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca

dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Suasana kehudipan

istana yang syarat nuansa kejawen inilah nampak besar berpengaruh bagi

kepribadian dan alam pemikiran dari Yasadipura I sebagai seorang pujangga.

b.Pangeran Wijil

Pangeran Wijil adalah seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten.

Oleh Pangeran Wijil, Yasadipura I mulai diperkenalkan pada lingkungan baru, yaitu

kehidupan istana. dan mendapat warisan berbagai ilmu terutama dalam bidang

kesusastraan dan spirituaitas yang kala itu menjadi salah satu ukuran kehormatan dan

kedudukan seseorang.

Pangeran Wijil selain berkedudukan sebagai pujangga istana yang bekerja di

Kadipaten, juga termasuk orang yang mempunyai wawasan spiritual dan keilmuwan

tinggi, sehingga mampu menangkap potensi dan bakat dari Yasadipura I. Maka

sangat wajar jika Pangeran Wijil sangat sayang kepada Yasadipura I. Ia menyakini

dan juga dibenarkan oleh beberapa orang termasuk Pakubuwana II bahwa kelak akan

menjadi orang linuwih (orang yang memiliki kelebihan).

Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra

semakin menonjol. Semua tulisannya mulai mendapatkan perhatian dari para abdi

dalem yang lain. Tak mengherankan jika kemudian Pakubuwana II mengangkatnya

menjadi Pujangga Taruna (pujangga muda). Dengan segala kemampuan, Pangeran

Page 90: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar dan

berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III (1749-1788)

ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden

Ngabehi Yasadipura I.

c.Kyai Hanggamaya

Kyai Hanggamaya adalah salah satu tokoh yang berperan membentuk

kepribadian serta mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I. Beliau adalah seorang

guru besar pesantren di daerah Bagelan, Kedu. Kyai Hanggamaya dimata masyarakat

Kedu, disamping dikenal sebagai ulama, beliau juga diyakini sebagai seorang

Waliyullah yang memiliki kemampuan linuwih baik dalam bidang spirituil (keilmuan

tentang Islam) maupun supranatural (karomah). .

Sesuai tradisi yang ada di lingkungan kraton, setelah berusia 7-8 tahun anak

dikirim kepondok-pondok pesantren. Sistem pendidikan itu hanya diperoleh puta-

putri raja atau kawula dalem yang mampu, para keluarga sentana dalem dan abdi

dalem. Pondok-pondok pesantren yang terkenal pada waktu itu antara lain, Pondok

Tegalsari Ponorogo, Pondok Banjarsari Madiun, dan Pondok Pesantren Bagelan ,

Kedu (Mulyanto, dkk 1990).

Yasadipura I merupakan alumnus pondok pesantren asuhan Kyai

Hanggamaya dimana pada usia 8 tahun Yasadipura I menjadi murid di pondok

tersebut. Selama mengeyam pendidikan di Pesantren Kedu, banyak transfer ilmu

yang ia peroleh dari Kyai Hanggamaya. Oleh Kyai Hanggamaya diberi pelajaran

membaca dan menulis huruf Jawa dan Arab, pelajaran agam Islam, paramasastra dan

kesusastraan Jawa, kesusilaan, ilmu pengetahuan, kesaktian (ilmu kedotan), tata cara

menyembah Allah, tata cara bersemedi serta ajaran kepribadian.

Suasana kehidupan dalam pesantren Kedu yang syarat nilai-nilai luhur agama

Islam nampak berpengaruh besar bagi kepribadian dan alam pikiran Yasadipura I.

Karya-karya Yasadipura I seperti Serat Ambiya, Serat Menak, dan Serat Dewa Ruci

di sana dijumpai istilah-istilah dan ajaran-ajaran yang berasal dari konsep tasawuf

Islam.

Page 91: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2. Pengaruh Tasawuf Islam dan Tradisi Kejawen

Ajaran Islam menyentuh aneka macam atau semua aspek kehidupan manusia,

maka perwujudan sistem Islam itu juga mempunyai beberapa aspek atau dapat

dikelompokkan kedalam beberapa aspek. Dapat disebutkan bahwa diantara

perwujudan agama itu adalah kepercayaan, ritus, aatau upacara, mitos dan simbol.

Santri yang belajar Islam sejak kecil merasakan ada yang namanya, Fiqih, Akhlak

dan Tarikh. Itu semua adalah perwujudan apa yang dinamakan Islam. Diantara aspek

Islam itu atau diantara perwujudan Islam yang sekiranya dekat dengan aliran

kebatiinan adalah tasawuf (Romdon, 1993: 182-183).

Ada banyak defiisi tentang tasawuf, yang jelas istilah ini adalah istilah baru

dalam Islam, artinya tidak ada dalam Al-Qur’an atau Hadist. Tasawuf menunjukkan

keragaman keagamaan seseorang muslim, baik yang lahiriah maupun batiniah,

artinya yang berkaitan dengan keimanan atau perasaan yang berdasar pengalaman

keagamnaannya. Keadaan kegaamaanya dinamakan tasawuf dan orangnya dinamakan

sufi atau Mutashawuf. Ada yang menamankan tasawuf sebagai kebatinan Islam,

barang kali karena diantara sifat tasawuf adalah menekankan soal kebatinan

(Romdon, 1993: 7).

Orang-orang yang menganut ajaran tasawuf di Indonesia khususnya di Jawa,

biasanya menjadi anggota gerakan-gerakan mistik yang disebut tarekat, dibawah

pimpinan seorang guru (mursyid) yang disegani. Yang oleh penduduk sekitarnya

disebut Kyai. Tarekat merupakan gerakan-gerakan yang berorientasi kerohanian,

yang beranggotakan orang-orang santri. Gerakan-gerakan seperti itu biasanya

berpusat pada suatu pesantren tertentu, dan hampir serupa dengan gerakan-gerakan

kerohanian kejawen (Koentjaraningrat, 1984: 407).

Semenjak Islam masuk dan menjadi bagian kehidupan di Jawa, muncul

perbedaan-perbedaan praktek agama. Pada masa itu kehidupan agama terimbas oleh

pemikir animistis dari apa yang dinamakan doktrin dan praktek Hindhu-Budha yang

bergabung menjadi satu yang menawarkan lahan subur magis, mistisme,

pengagungan jiwa-jiwa sakti, pemujaan arwah, dan penyembahan tempat-tempat

keramat. Semua itu bertentangan secara mencolok dengan watak mistik dan corak

Page 92: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

peribadatan Islam yang merambah pulau itu. Hasilnya berupa egalitarisme Islam.

Bahwa agama nabi mampu mengokohkan diri dengan pesat di kawasan pantai Puau

Jawa. Bergerak lebih jauh kepedalaman bentuk masyarakat yang lebih lama ada.

Aritokratis dan hierakis mampu mempertahankan diri dan pada saat yang sama

menerima unsur-unsur Islam. Seiring perjalanan waktu, perpaduan ini melahirkan

peradaban Jawa Tengah, yang berpusat di istana raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.

Peradaban inilah yang secara umum memperoleh sebutan Kejawen (Niels Mulder,

2001: 2).

Jawanisasi atau kejawen, bukanlah suatu kategori religius. Namun ia lebih

menunjuk kepada etika dan sebuah gaya hidup yang dilihami oleh pemkiran Jawa.

Sehingga, ketika sebagian orang mengungkap kejawen mereka dalam prakek

beragama, misalnya seperti dalam mistisme, maka pada hakekatnya hal itu adalah

karakteristik yang secara kultural coondong pada kehidupan yang mengatasi

keaneragaman religius (Niels Mulder, 2001: 4). Sebagian dari sistem budaya agama,

kejawen merupakan suatu tradisi yang diturunkan secara lisan, tetapi ada sebagan

penting yang juga terdapat dalam kesusastraan yang dianggap sangat keramat dan

bersifat moralis. Orang Jawa kejawen juga menganggap Al-Qur’an sebagai sumber

utama dan segala pengetahuan yang ada. Namun seperti halnya semua penganut

agama di seluruh dunia, orang awam beragama Agama Jawi (agama orang Jawa)

dalam melakukan berbagai aktifias keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi

keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya dan norma yang

kebanyakan berada di dalam alam pikirannya (Koentjaraningrat, 1984: 319).

Akar tradisi Islam Kejawen ini sudah dapat ditemukan sejak zaman kerajaan

Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Sebagaiamana telah banyak diketahui

bahwa salah satu eksponen penting bagi kemunculan dan perkembangan Kerajaan

Demak adalah para tokoh yang dikenal dengan para wali. Mereka adalah para

penyebar Agama Islam, yang beberapa orang diantaraanya berasal dari Timur

Tengah. Dalam menyiarkan agama, para wali melakukan pendekatan struktural dan

kultural. Secara struktural mereka melakukan peng- Islaman terhadap raja dan

bangsawan istana, karena rakyat akan cenderung mengikuti agama raja yang

Page 93: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

berkuasa. Sedangkan secara kultural, mereka berdakwah dengan menggunakan

instrumet-instrumen kebudayaan Jawa

Sejak awal kehidupannya, Yasadipura I telah memilik sikap spiritual

tersendiri, Yasadipura I adalah seorang muslim, alumni Pondok Pesantren. Ia

membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan membawa angin perubahan

keyakianan dari Hindhu-Budha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah imam dan

agama ageing ajilah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena

beralihnya agama raja, di samping peran aktif para pujangga masa itu. Para penyebar

Islam-para wali, guru-guru tarekat memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf.

Pandangan hidup Yasadipura I sebelumnya yang bersifat mistik dapat sejalan,untuk

kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinannya.

Spiritual Yasadipura I dengan warna tasawuf, berkembang juga karena,

Yasadipura I sendiri beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf menekankan pada

latihan spiritual, seperti zikir dan puasa. Dalam masyarakat yang semangat religius

kuat inilah Yasadipura I dibesarkan. Sejak kecil, ia sudah diberi pelajaran agama

Islam, dan sesudah dewasa ia dikirim ke pondok Pesanten Kedu untuk memperdalam

ilmu pengetahuan agama Islam kepada Kyai Hanggamaya. Sejak kecil dia lebih

mengutamakan tarikat agama Islam daripada syariatnya. Hal ini diperjelas karena

Yasadipuara I masih gemar bertapa, bersemedi, berpuasa, seperti yang masih sering

dilakukan oleh penganut agama Hindhu.

Dari uraian di atas, sosok kepribadian Yasadipura I tidak bisa dilepaskan

tradisi Hindhu-Jawa (Kejawen) dan budaya pesantren (Islam). Hal ini tercermin

dalam karya-karya sastranya yang bernuansa Islam-Jawa, sehingga sinkretisme kedua

budaya itu menjadi harmoni yang menyatu dalam pemikirannya.

3. Sufisme Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

a. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berhubungan dengan Syariat

Syariat dalam bahasa Jawa disebut sarengat atau laku raga, sembah raga

merupakan pijakan awal bagi seseorang untuk mempuh laku perjalanan menuju

manusia sempurna, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah

dari segala hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia

Page 94: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan

lingkungan alam sekitarnya. Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan

hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya

kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya

dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-

mengasihi, dan beramal saleh. Adapun pemikiran tasawuf Yasadipura I yang

berkaitan dengan syariat sebagai berikut:

Ibarat menuju puncak gunung, perjalanan panjang seorang sufi menuju tingkat

makrifat harus melewati tangga demi tangga. Menurut Yasadipura I jalan menuju

Tuhan dalam Serat Dewa Ruci ada empat anak tangga (syariat, tarekat, hakikat,

makrifat) yang harus dilewati untuk sampai pada puncak pendakian. Bagi Yasadipura

I empat anak tangga itu merupakan mata rantai yang sambung menyambung, saling

terkait satu dengan yang lain dan perlu dilakukan setahap demi setahap. Dari keempat

anak tangga tersebut syariat adalah pos pertama tempat dimulaninya pendakian.

Dalam menyelami laku syariat, hampir dalam tradisi sufi para penempuh jalan ruhani

harus dibimbing oleh seorang guru spiritual yang akan membawa pada puncak

hakikat. Dalam Serat Dewa Ruci hal itu juga nampak pada usaha Bima untuk berguru

pada Resi Druna.

Dalam epos (cerita kepahlawanan) Mahabarata, Bima adalah salah seorang

dari lima satria Pandawa. Pada ceritera wayang purwa, para satria pandawa

digambarkan sebagai satria yang berbudi luhur cinta kebenaran dan setia pada

keutamaan. Di lingkungan keluarga dan negerinya, Bima merupakan merupakan

benteng pertahanan dan kesejahteraan negeri dan rakyatnya. Oleh karenanya

disamping kekuatan tenaga dan kecerdasan berpikir sang Senapun bermodal

bermacam ilmu kesaktian, yang semuanya cukuplah untuk membentengi keselamatan

hidupnya di dunia fana dengan tentram sejahtera (Siswoharsojo, 1966: 5).

Dengan tugas dan modal sedemikian, betapakah suka duka yang dimiliki oleh

Bima setiap saat sepanjang masa, hanya pribadi Bima yang menikmatinya. Namun

demikian, karena perkembangan budaya yang timbul karena kedewasaan jiwa, pada

suatu ketika datanglah rasa kecewa yang mengganggu Bima. Pangkal

kekecewaannya, ialah karena ia belum memiliki Tirta Prawita (air suci) yang

Page 95: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dianggap sebagai sarana kesucian diri atau ilmu kesempurnaan hidupnya. Karena

dorongan cita-citanya, maka ia berusahalah mencari guru yang dapat memberi

petunjuk (wejangan) dimana letak Tirta Prawita. Tindakan Bima ini melambangkan

para umat yang ingin melanjutkan ibadatnya ketingkat tarekat, disamping memenuhi

ibadah syariat, tindakan pertama harus mendapat petunjuk (wejangan) dari Guru

Tarekat. Istilah Guru Tarekat lazim pula disebut Guru Wasilah atau Guru Wasita

(Siswoharsojo, 1966: 7). Walaupun sang guru ini kadang-kadang ada juga yang

menyesatkan, tetapi Bima menganggap bahwa guru ini jujur, maka sangat

dipatuhinya sebab ia memegang kata ulama yang berbunyi: "Tangan (kekuasaan)

Allah itu mengendalikan mulut cendekiawan, tiadalah ia mengucap, kecuali

kebenaran dari Allah" (Al-Ghazali, 1982: 32).

Menurut Serat Wulangreh, keberadaan guru yang benar-benar arif dan

berpengalaman di dalam menempuh perjalanan kehidupan kerohanian sangatlah

penting. “Nanging ta sabarang kaya, kang kinira dadi becik, pantes den telatenana/

lawas-lawas pinanggih, lan mantep jroning ati, ngimanken tudhuhing guru, aja uga

bosenan, kalamun arsa utama, mapan ana dalile, kang wus kalakyan.” (Pupuh

Dhandanggula, pada 16)

Mematuhi perintah guru tidak boleh bosan. Amalan selalu dilaksanakan atas

perintah guru. Oleh sebab itu, keberadaan guru sangat penting. Masyrakat Jawa

memberi tempat yang terhormat kepada guru. Zaman dahulu guru disebut juga

pendeta, brahmana, ajar, resi, wiku dwija, begawan, dan Dhang Hyang. Guru

dianggap pemimpin informal yang mempunyai pengaruh besar (Karkono, 1998:20).

Menurut Yasadipura I seorang guru yang baik diamanatkan dalam Serat

Dewa Ruci dengan kriteria seorang pertapa yang berilmu sebagaimana kutipan

berikut: “Tepanira kongsi raga runting, wus mangkana dennya mrih kamuksan,

datanpa tutur sirnane, kamatengen tanpa wus de pratikel ingkang lestari tapa iku

minangka reragi pan amung, ilmu kang minangka ulam, tapa tanpa ilmu nora dadi,

yen ilmu tanpa tapa” (Pupuh Dhandanggula V, pada 66).

Artinya:

Page 96: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tapanya sampai kurus kering, sudah demikian olehnya dapat kamuksan, tak tanpa

tutur sirnanya, terlalu matang tanpa henti, oleh ajaran yang lestari, tapa itu sebagai,

bumbu yang hanya, ilmu yang sebagai ulam, tapa tanpa ilmu tidak jadi, jika ilmu

tanpa tapa.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa guru wajib dihormati, disembah karena

gurulah yang menunujukkan hidup sempurna hingga akhir hayat, yang memberi

petunjuk tentang kebaikan dan dialah yang dapat memberi nasehat sewaktu orang

bersusah hati. Orang durhaka kepada guru adalah dosa yang besar. Oleh karena itu

seseorang harus berbuat baik, mau mohon cinta kasih siang malam kepada guru

(Karkono, 1998:20).

Segmen pertama dalam Serat Dewa Ruci menggambarkan perjalanan Bima

untuk memasuki dunia akademi dalam satu “Universitas” yang Guru besarnya adalah

Hyang Resi Drona. Kuliah yang diberikan mengarah kepada pencapaian hidup. Sang

Bima Sena diwajibkan mencari tirta prarwita. Usaha Bima berguru kepada Druna

tersurat dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhanggula I, pada2: “Duk Werkudara

pruruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen angupaya , toya ingkang nucukake

,maring sariranipun, Werkudara manthuk wewarti, marang nagri Ngamarta, panggih

kadang sepuh, Sira Prabu Yudhistira, kang para ri sadaya samya marengi,

munggwing ngarsaning raka”

Artinya:

Ketika berguru pada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang mensucikan,

pada badannya, Werkudara pulang berkabar, kepada negeri Ngamarta, bertemu

saudara tua, dialah Prabu Yudhistira, bersama para dinda sama mengiringi, dihadapan

kakanda.

Dalam Serat Dewa Ruci Tirta Prawita berarti tan kena pejah (tidak dapat

mati) atau gesang langgeng (hidup abadi). Sementara oarang berpendapat bahwa tirta

pawirta bermakana air untuk mensucikan badan dan sukmanya. Baru setelah jiwa dan

raganya bersih atau suci orang dapat menyadari sejatining urip (hakekat hidup

sebenarnya) atau sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup).

Dibayangkan oleh Begawan Druna, bahwa barang siapa memilili tirta

prawita itu akan mencapai tingkat hidup yang serba sempurna, hidup yang suci.

Page 97: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Karenanya ilmu kebebasan jiwa akan jadi miliknya. Dalam hubungan ini dimaknakan

sebagai lambang angan-angan atau budi yang menguasai perasaan AKU, yang

dilambangkan dengan tokoh Bima (Seno Sastroamidjojo, 1962:8- 9).

Resi Drona memberi petunjuk, bahwa letak Tirta Prawita berada di Gunung

Reksamuka. Menurut Resi Drona, jika Bima benar-benar ingin mensucikan hidupnya

dengan Tirta Prawita, seyogyanya membongkar Gunung Reksamuka. Reksa berarti

memelihara atau mengurusi. muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan

Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi (perjuangan

batin). Hal ini melambangkan:

1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan

badan dan jiwanya dari segala tujuan pribadi (ngicali relenging manah),

mengeyahkan rasa keinginan akan segala sesuatu, yang sama artinya dengan sepi ing

pamrih .

2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan

kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung

Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.

Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang

mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui

cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dapat ditarik kesimpulan

bahwa orang yang ingin mendalami ilmu tarekat harus melakuan hal-hal yang berat,

seberta membongkar sebuah gunung.

Tokoh Bima dalam Serat Dewa Ruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia

demikian taat. Tanpa menghiraukan nasehat saudara-saudara, hanya teringat kepada

janji dan kesanggupan kepada gurunya (kode ksatriannya) untuk mendaptkan Tirta

Prawita, Bima segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya. “Saestu sumerep

purwa wekasing jagad royo (sungguh akan mengetahui mengetahui awal akhirnya

alam semesta seisinya, yaitu apa yang dinamakan Sangkan Paraning Dumadi).Yen

rering rangu bade mboten sumerep sarto dumugi telengingkawruh kasunyatan”

(apabiala bersikap ragu-ragu dan gundah, maka orang pasti tiidak akan dapat

mengetahui dan sampai pada inti ilmu kesempurnaan hidup). Demikian kata yang

Bima ketika minta diri dari keluarga Pendawa di Ngamarta. Kutipan di atas

Page 98: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

mengisyaratkan bahwa dalam mendalami ilmu agama, seseorang harus berbaik

sangka (khusnudz dzan), tidak boleh ada ragu-ragu, tidak takut terhadap kesulitan

serta mempunyai tekad yang bulat seperti apa yang dicontohkan Bima. Selain taat

Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Amanat tentang ajaran untuk hormat

kepada guru secara tersurat dan tersirat dalam Serat Dewa Ruci terdapat dalam setiap

ucapan Bima kepada Dewa Ruci yang selalu mengiyakan segala perintah, tanpa

pernah menolak atau membantahnya. Sebagai wujud rasa hormatnya kepada gurunya,

Bima selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua

gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, Bima selalu menggunakan ragam krama.

Padahal sebelumnya Bima tidak pernah menggunakan ragam krama dalam

berkomunikasi kepada siapapun, termasuk ibunya sendiri (Dewi Kuntitalibrata).

Diantara ucapan-ucapan Bima kepada Resi Drona yang menunjukkan penghormatan

dan ketaatannya adalah: “Arya Sena matur nembah inggih pundhi prenahe kang tirta

pawira“ (Bima menanyakan kepada Druna dimanakah letak Tirta Prawita)

Dalam ceritra Mahabarata, Adipati Karna juga mempunyai sifat dengan Bima,

keduanya sama-sama kurang ajar pada orang yang lebih tua. Bima tidak mau

berbahasa halus (krama) bahkan kepada ibunya sendiri (ceritra Dewa Ruci tidak

termasuk). Sedangakan Adipati Karna tidak mau tunduk pada para tetua Hastina

bahkan sering kali bersikap kasar pada mertuanya sendiri. Kedua sama-sama punya

alasan sendiri dan menyangkut prinsip mereka. Orang-orang Jawa punya istilah

“benar tapi tidak benar”, tetapi kedua tokoh tersebut tidak memperdulikan kritika-

krtikan seperti itu (http://csu02.net/arsip/?p=2290, diunduh pada tanggal, 1 November

2010).

Dalam Islam, bahwa ajaran untuk saling menghormati kepada sesama manusia

dan terlebih kepada orang yang lebih tua, ataupun juga kepada guru, telah diajarkan

oleh Nabi dengan sabdanya: “laisa minna man lam yuwaqqir kabiirana wa lam

yarkam shaghirana” (bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati

kepada yang lebih tua dan tidak mau menyayangi kepada yang lebih muda). Dalam

surat al-Hujarat ayat 12 Allah berfirman: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan

sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari

Page 99: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah

selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu”.

Laku Bima dalam tahap syariat tersebut adalah gambaran bagi manusia agar

mempunyai rasa bakti, patuh dan setia kepada semua guru. Seorang siswa yang tidak

berbakti, patuh dan setia kepada guru tidak akan bersinar di masyarakat. Gambaran

tentang bakti kepada guru tersebut juga disuratkan dalam Bhagawad Gita IV.33 : tat

widdhi pranipatena pariprasnena sewaya,upadeksyanti te jnanam jnaninas tattwa

darsinah (Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan

pelayanan orang bijak yang telah melihat kebenaran mengajarimu dalam ilmu

pengetahuan).

Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ini merupakan peringatan bahwa

dalam berbakti janganlah “membabi buta”. Siswa harus bisa berbakti secara cerdas

dengan kemauan yang keras namun tetap didasari oleh hati yang ikhlas. Lebih-lebih

dalam jaman seperti ini, banyak guru yang hanya mengaku-ngaku. Hal inilah yang

kemudian menjadikan sebuah plesetan untuk guru, yaitu "guru, yen digugu ngajak

turu” (guru kalau dituruti mengajak tidur).

b. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Tarekat

Tarekat dalam bahasa Jawa laku budi, sembah cipta adalah tahap perjalanan

menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat

tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam

dan ditingkatkan (Mulder, 1983: 24). Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih

banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan

manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan

ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa

yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada

gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang

lain. Dalam melakukan shalat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia

menambah lebih banyak shalat sunat, lebih banyak berdoa, berdzikir, dan menetapkan

ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib

yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam,

Page 100: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat. Ia

berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir. Adapun ajaran Serat

Dewa Ruci yang berkaitan dengan Tarekat sebagai berikut:

Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci digambarkan sebagai murid ia demikian

taat. Kepercayaannya dan keyakinannya pada sang guru sedemikian kuatnya.

Sehingga apa yang diperintahkan oleh sang guru itu yang akan dilakukan oleh Bima,

hal ini adalah mutlak bagi seorang murid untuk dapat meningkatkan evolusi batinya

Sebagai wujud ketaatan seorang murid kepada gurunya, Bima segera bergegas

menuju gunung Reksamuka untuk mencari Tirta Prawita seperti yang diamanatkan

Resi Drona. Perjalanan Bima menuju gunung Reksamuka tersurat dalam Serat Dewa

Ruci Pupuh Dhandanggula I, pada, 6-7:

“Tan winarna kang kari prihatin, kawuwusa lampihira Sena, tanpa wadya among dhewe, mung braja, sindhung lesus, ambeber murang ing mardi, prahara munggwing ngarsa, gora reh gumuruh, kagyat miris padedesan, ingkang kambah, kaparanggul ndodok ajrih, andhepes nembah-nembah”. “Kathah sesegah datan tinolih langkung prapteng adreng prapten Kurusetra, margi geng kambah lampahe, glising lampahireku, gapura geng munggul kaeksi, pucak mutyara muncar, saking doh ngenguwuh, lir gumebyaring baskara, kuneng wau kang maksih wonten ing margi, wuwusen ing Ngastina”.

Artinya:

Tak diceritakan yang tinggal sedih, dikatakan perjalanan Sena, tanpa kawan hanya

sendirian, hanya angin lesus besar, mencegah kelancaran di jalan, prahara di depan,

seru gemuruh, kaget cemas gemetaran, yang dilalui lewat duduk takut, merunduk

(Pupuh Dhandanggula I, pada, 6).

Banyak kalangan tak dipandang, lebih semangat ke Kurusetra, jalan besar terlampaui,

cepat perjalananya, gapura agung sudah tampak puncak mutiara memancar, dari jauh

berkilauan, ibarat sinar matahari, demikian yang ada di jalan, diceritakan di Ngastina

(Pupuh Dhandanggula I, pada, 7).

Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada,

lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada

di gua terkejut, marah dan mendatangi Bima. Namun walau telah dijelaskan niat

kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Bima, tetap

Page 101: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

saja mengamuk. Terjadi perkelahian, namun dalam perkelahian dua Raksaksa

tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur.

Raksasa itu sebenarnya sebuah kiasan simbolik. Rukmuka menggambarkan

bentuk nafsu pancaindera yang cenderung membawa kesesatan manusia, sedangkan

Rukmakala melambangkan alam pikirana manusia yang sering lepas kendali (out of

control) sampai membahayakan dirinya atau orang lain. Inilah gambaran

pembelajaran bahwa manusia untuk mencapai totalitasnya selalu menghadapi

ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, dengan berbagi dimensinya.

Sebagai lambang seseorang yang sedang melakukan samadi Bima tidak akan

mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian

apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan,

karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih. Terbunuhnya

dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus

halangan-halangan tersebut. Hal tersebut tersurat dalam Surat Az-Zumar ayat 61:

“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa berduka cita”.

Sesudah dibunuh oleh Bima, kedua raksasa itu menjelma sebagai Batara

Indra dan Batara Bayu. Karena keduanya telah ditolong dapat kembali berwujud

Dewa. Bima diberi anugrah Sabuk Cindhe Wilis dengan bara kembar dan dapat

dipakai dipaha kanan dan kiri. Artinya sudah menjadi kebiasaan bila seorang yang

hendak mensucikan diri itu harus mau menutup mata dan telinga terhadap ejekan

orang lain. Lama-kelamaan ejekan yang menjadi beban itu akan lenyap juga. Mereka

yang mengejek akhirnya mengakui kebenarannya. Sedang hadiah (sabuk bara dengan

cindhe kembar) melukiskan orang yang berpetualang mencari ilmu dengan tekad kuat

laksana ikat pinggang (cindhe). Bara di kanan menunjukkan perilaku yang harus

melepaskan diri dari sifat keduniaan. Bara di kiri melambangkan sikap yang

memegang teguh ajaran guru. Demikian pula gambaran kepribadian sang Bima,

bertekad bulat, berdisiplin tanpa ragu-ragu, tidak kenal menyerah dengan jujur

menuju langsung ke arah kebenaran, berdasarkan tugas dan kewajibannya dan

tanggung jawabnya yang timbul atas keyakinan (Pupuh Pangkur, pada, 21).

Supaya cita-cita Bima tercapai, dua dewa menyuruh Bima kembali kepada

Resi Drona untuk menanyakan tempat sesungguhnya Tirta Prawrta, sebab di gunung

Page 102: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Reksamuka tidak diketemukan. Bila menaati perintah guru, si murid akan semakin

banyak pengalaman yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya. Benar atau tidak,

perintah guru kalau dilaksanakan akan tetap bermanfaat bagi diri sendiri dan orang

lain.

Diamanatkan dalam teks Serat Dewa Ruci pada pupuh II Pangkur bait 29-30,

Bima kepada gurunya berserah diri sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka

dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada

Pendeta Durna dan air suci tidak didapat. Bima tidak komplen kepada sang guru, ia

meyakini sang guru memiliki maksud lain yang belum dapat dimengerti olehnya.

Bima tidak membiarkan kekecewaan membelenggu dirinya, dia meyakini ada

maksud tersembunyi dibalik perintah-perintah sang guru. Bima menceritakan apa

yang terjadi di gunung Reksamuka. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang

sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Sejatine tirta pawirta iku sari sarining

banyu, ananrtani kahananing urip kabeh. Enggone hing telenging samudro,

mrentandani banyune mowo alun). Artinya: Sebenarnya tirta pawirta inti sari

(essence) dari pada air yang memungkinkan adanyadi dunia ini. Letaknya di dalam

samudra yang sangat mengelombang itu. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus

asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau

di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang

Pendeta”.

Uraian di atas mengandung pengertian bahwa seseorang yang menjalani laku

tarekat, akan semakin kuat keimananya, semakin besar pula godanya. Adapun tempat

tirta prawita di dasar laut memberi makna bahwa untuk sampai pada tingkat

makrifatullah memang sukar, jauh dan dalam . Ini berarti dia harus terjun dan

menyelam dalam lautan. Ini berarti bahwa orang itu harus menyucikan sifat-sifat

Allah sebagaimana tersurat dalam Asmaul Husna atau nama-nama yang mulia disisi

Tuhan.

Mendengar niat Bima pergi ke lautan, ibunya dan para Pandawa menangis

dan berusaha mencegahnya, yang dijelaskan dalam Serat Dewa Ruci Pupuh Pangkur

pada 34: “Matur ing raka Ngamarta, kuneng Wrekudara lamapahire, wau ta ingkang

winuwus, nagri Ngamarta, duk angkate Werkudara kasahipun, dene tan kena

Page 103: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ingampah, kalakung samya prihatin” (Berkata pada kakanda Ngamarta, demikian

perjalanan Werkudara, begitulah diceritakan, di negeri Ngastina, saat Werkudhara

berangkat pergi, tak dapat ditahan, sama sangat prihatin).

Bagi seseorang yang sudah gandrung untuk ma'rifatullah dia sudah dapat

melepaskan dirinya dari hal yang paling dicintainya sekalipun (misal keluarganya).

Sebab hal itu juga merupakan godaan yang berwujud manusia disamping godaan

yang berwujud benda. Hal tersebut juga tersurat dalam Al-Qur’an yaitu Allah

berfirman: : “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu

melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka

mereka itulah orang-orang yang merugi” (QS Al Munafiquun 9).

Bagi orang yang rindu pada ma'rifatullah walaupun sudah mejauhkan diri dari

gebyarnya duniawi namun masih ada godaan yaitu dari nafsunya sendiri. Malah

kadang-kadang nafsu ini tetap terus menggodanya ketika berkhalwat. Nafsu-nafsu itu

ialah: Lauwamah, Sufiah, Amarah dan Mutmainah. Walaupun pada dasarnya nafsu

itu sendiri bukanlah sesuatu yang jelek yang harus diberantas, namun manusia harus

selalu berusaha mengendalikan nafsu-nafsu itu agar tidak membawa kepada

kesengsaraan. Jadi yang penting adalah kebiasaan. Bandingkan dengan Imam Al

Ghazali ada yang berbunyi: "Maka apabila nafsu itu biasanya merasa enak dan

cenderung pada kebatilan dan kejahatan, mengapakah ia tidak merasa enak apabila

pada suatu ketika ia kembalikan pada perbuatan yang benar dan tetap tinggal kepada

kebenaran tersebut. Bahkan cenderung kepada perkara yang keji yang keluar dari

tabiat yang aslinya "Yang demikian itu adalah serupa dengan kecenderungan bagi

sebagian orang. Adapun kecenderungan orang pada hikmah kebijaksanaan dan cinta

kepada Allah. Mengetahui dan beribadat kepadaNya itu adalah kecenderungan orang

untuk makan-minum.Karena hal itu cocok dengan tabiat hati. Maka sesungguhnya

yang demikian itu sifat rabbaniyah (Ketuhanan). Sedang kecenderungan kepada hal-

hal yang bersifat kesenangan (syahwat) itu adalah asing bagi dzat kejiwaan dan

bertentangan dengan tabiatnya. Adapun santapan jiwa (qalbu) adalah sifat

kebijaksanaan Allah YME tetapi hal demikian itu dapat berpaling dan terlepas dari

tabiat aslinya yang telah sesuai, disebabkan oleh sakit.

Page 104: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Menurut Ki Darmonosunarso, peristiwa nyebur ing telenging samudro itu

dimaknakan sebagai suatu perbuatan atau lambang perjuangan manusia melepaskan

diri dari cengkraman hawa nafsu atau sifat angkara murka, baik yang berbentuk

amarah maupun yang diliputi nafsu birahi. Kesemuanya itu pada dasarnya timbul

melalui mata dan telinga. Dalam hubungan ini kedua raksasa Rukmaka dan

Rukmakala tersebut melambangkan mata dan telinga. Setelah lepas dari cengkraman

tersebut dapatlah kiranya orang memawas diri pribadi atau dapat ngelem purbaning

Hyang Widhi (insyaf akan diri pribadinya). Dengan jalan demikian ia dapat

melepaskan, mengingkari (nyirep) hawa nafsu yang bersifat angkara murka. Dalam

artian dapat mengendalikan, menahan meluapnya panggoda (rintangan) yang melalui

panca indera kita. Dengan terkendalinya hawa nafsu birahinya yang berlebihan

(godaan seksual) khusunyaa hawa nafsu lainnya yang melalui panca indera kita

umumnya dengan jalan bersemadi, maka orang yang bersangkutan dapat mencapai

suatu tingkatan kehidupan luhur menuju kearah kesempurnaan (jumbuhing kawula

gusti).

Dalam ajaran Islam peristiwa menceburkan diri dalam samudra diibaratkan

dengan mengambil air wudhu sebelum sembayang (manembah marang Tuhan). Jika

sudah sampai taraf ini yang penting bukanlah tekad lagi, sebab hal itu sudah lewat,

tetapi harus ingat terhadap cita-cita semula. Walaupun pada taraf ini tak ada godaan

lagi, namun apabila ingatannya tidak teguh tidak akan berhasil dan segala-galanya

dicurahkan untuk ibadat dan pasrah kepada Allah maka Allah sendiri yang akan

menentukannya. Jika sudah sampai taraf ini maka orang itu sudah sampai pada tauhid

yang sebenarnya. Dengan kata lain : Ngelem ing samodra urip" atau "Mati dalam

Hidup" atau"Antal maotuu qoblal maotu". Walaupun demikian oleh karena sifat

kekuatan manusia tidak sama, maka bagi mereka yang pengabdiannya sederhana

dalam arti bahwa masih juga mementingkan keduaniaan di samping ibadatnya, maka

apabila ibadat itu dengan sungguh-sungguh akhirnya akan sampai juga tauhid. Hanya

dengan jalan demikian ia akhirnya dapat menyingkap selubung hidup yang penuh

rahasia (mijak warono), yaitu mencapai kesadaran, keinsafan yang sejati (jumbuhing

kawula- gusti).

Page 105: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pentingnya ibadat ini disebut dalam Al- Qur'an QS : Al Ahzab : 35

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang

mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta'atannya, laki-lakidan

perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan

yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan

yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki

dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka

ampunan dan pahala yang besar” .

Dalam Pupuh Durma IV, pada 2-3, diceritakan ketika Bima hanyut dalam

telenging samudra, bukannya tirta pawirta yang dijumpai, melainkan seekor ular

besar yang bernama Nemburnawa. Ular tesebut langsung menyerang sosok kecil

dihadapannya dan menggigit betis adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu,

diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga

manusia yang menjadi mangsanya. Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena

tekadnya tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat

mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya,

dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Kemudian Bima melesat

menuju leher sang naga untuk ditikam dengan kuku Pancanaka.

Naga secara hakikat menggambarkan utusan Tuhan berwujud Malaikat yang

akan menolong orang tersebut walaupun karena tidak tahunya dianggap sesuatu yang

akan merugikan. Akan menolong artinya agar supaya nasib kesengsaraannya itu tidak

terlalu lama. Bima membunuh ular menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk

mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan

kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya.

Untuk itu dia harus mempunyai sifat sifat sebagai berikut:

1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang

lain.

2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.

3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.

4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia

tidak akan membalas, tetap sabar.

Page 106: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada

kebaikan dan kebenaran.

6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat

yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari

perbuatann jahat.

7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau

napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-

kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.

8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.

9. Wilujengan: menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.

10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.

11. Samadi.

12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan

tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum

secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang

lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang

tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh

dilakukan dengan pasangannya yang sah.

Menurut Franz Magnis Suseno (1996) menjelaskan bahwa Bima dalam hal ini

telah melepaskan segala-galanya untuk memperoleh air hidup. Begitu bersatu

terhadap sehingga dia berani mati. Dalam hal ini Bima adalah lambang manusia yang

bertapa dan bersamadi untuk mengalahkan nafsu-nafsu rendah dan memurnikan tekad

batinnya. Ikut matinya Bima bersama Nemburnawa ini menandakan bahwa Bima

mengalami mati sajroning ngaurip demi harapan urip sajroning mati. Dalam hal ini,

yang mengalami kematian hanyalah raga. Sedang jiwa atau sukma yang menghidupi

raga, selama hayat dikandung badan tidak mengalami kematian, tetapi kembali

kepada asal, yaitu Yang Maha Pencipta semesta alam, Sang Akartaning Bawana.

Perjalanan ruh Bima inilah yang mensiratkan pembelajaran hidup. Menurut Purwadi,

perjalanan ini mirip dengan proses terjadinya Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad

SAW (Purwadi, 2002: 71). Hanya bedanya oleh karena beliau Rasul, maka ketika

akan ma'rifatullah tanpa lebih dahulu banyak riyadhoh, menjalankan adab dan laku

Page 107: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

khusus agar tercapai tujuannya seperti yang dilakukan oleh Arya Sena sebagai orang

biasa.Usai terjadi pertarungan antara Bima dan Nemburnawa. Werkudara begitu

lelah. Sudah hilang kesadarannya. Serasa jiwa melayang, tidak ingat apakah masih

hidup atau sudah tiada. Dalam hal ini Bima berpasrah diri akan mati dan hidupnya

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dari uraian dia atas diatas menjelaskan bahwa sikap sabar dan berpasrah diri

secara total merupakan ajaran penting yang harus dijalankan oleh seseorang yang

ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Dalam Islam, berlaku sabar merupakan

prasasat bagi seseorang untuk memperoleh kebahagiaan, kesenangan serta

keberuntungan. Sabar dalam wujudnya menjalankan perintah-perintah Allah dan

menjauhi larangan-larangannya,dan juga sabar dalam menerima cobaan yang

ditimpakan oleh-Nya serta sabar dalam menunggu pertolongan diri-Nya. Perintah

untuk bersabar ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Ashr ayat 1-3 dia atas. Pada

ayat yang lain Allah berfirman :“Hai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan

shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Sedangkan dasar-dasar berpasrah diri secara total dalam Islam , dapat diketahui dari

kehidupan Nabi Muhammad SAW, itu terlihat ketika beliau berkhalwat di Gua Hira’

untuk menjauhkan diri dari kehidupan duniawi (uzlah) dan ingin menyucikan hati

dari perbuatan dosa serta ingin dekat Tuhannya. Dalam Islam printah untuk berpasrah

diri secara total, beribadat serta menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tersurat

terdapat dalam firman Allah yang berbunyi : “Sesungguhnya sembayangku, ibadatku

hidupku dan mati ku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam Tidak sekutu

baginya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah yang

pertama-tama menyerahkan diri” (kepada Allah) (Q.S al-An’am ayat 162-163).

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, perjalanan yang ditempuh

seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah sugguh sangat panjang dan sulit

dilalui. Namun bila dilakukan dengan tabah, tekun, sabar serta tawakal, maka

perjalanan itu akan sampai pada tujuan bahkan akan sampai pada ”pamongnya”.

Yang pada ujung perjalanannya nanti seorang sufi akan dapat bertemu dengan yang

”merawat dirinya” .

c. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Hakikat.

Page 108: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah tahap perjalanan yang

sempurna (puputing laku). Berbeda dengan dua tahap sebelumnya, dalam hal bersuci

tidak seperti pada tahap syariat yakni dengan wudhu atau mandi, tidak juga seperti

pada tahap tarekat yang caranya dengan menundukkan hawa nafsu. Dalam Tahap

hakikat, cara bersucinya dengan awas emut (selalu waspada dan dengan shalat,

berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus (Zahri, 1984:88).

Ditinjau dari segi perjalanan suluk, hakikat ini merupakan tingkat akhir

perjalanan. Pada tahap ini amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata

menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan

melaksanakan hidupnya yang batin (Mulder, 1983:24). Dengan cara demikian maka

tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan

hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba

akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang

Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.

Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan.

Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani

mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk

kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga

maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan

wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan.

Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya

mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada

kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta

yang sejati (Aceh, 1987:67).

Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian.

Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng

gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan

seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi (Mulyono, 1978:126). Adapun bagian

Serat Dewa Ruci yang berkaitan dengan tahap hakikat sebagai berikut:

Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan

hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan

Page 109: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam Dewa

Ruci.

Menurut Frans Magnis Suseno bahwa puncak kisah Dewa Ruci ialah ketika

Bima bertemu dengan wujudnya sendiri, penjelmaan yang Maha Kuasa. Bima

menemukan apa yang di carinya sebagai air hidup, sangkan paran, asal usul dirinya

dijelaskannya suatu pengertian dari dunia wayang itu untuk memahami serbagai

realitas usaha, manusia dalam mencapai persekutuan dengan Yang Ilahi, sampai pada

masalah kekuasaan (Haryanto, 1992: 124).

Hal ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah tembang Maskumambang

sebagai berikut : “Dewa bajang peparap sang dewa Ruci, Sang Sena angus..wa,

Pawongan sakawit swawu, Sang Hyang Ruci….i..Baskara”. Dewa kerdil yang

bentuk dan rupanya sama dengan Bima (miniatur Bima) waktu muda itu adalah

Dewaruci, penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (Magnis-Suseno, 1984:115).

Bima tidak menyadari bahwa dirinya sudah berbentuk sukma. Bima duduk

bersimpuh ketika berhadapan dengan Dewa Ruci. Bima mengatakan bahwa dirinya

hendak mencari tirta prawirta sari. Kemudian Bima disuruh masuk ke dalam tubuh

Dewa Ruci. Semula Bima menganggap remeh Dewa Ruci, karena Dewa Ruci kecil

tubuhnya. Bima bingung untuk masuk. Lalu di beri petunjuk utuk masuk lewat

telinga kiri.

Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan dilambangkan sebagai makhluk yang sangat

kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia kecil maka Ia dapat melihat seluruh semesta

dengan terang benderang dalam warna-warninya. Karena Ia besar, maka Ia adalah

muara dari segala sesuatu, seperti samudra yang menjadi muara dari segala aliran

sungai, seperti angkasa tempat bertabur segala planet dan bintang

(Koentjaraningrat,1984: 324). Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang

terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta, dan sekaligus kecil sehingga

dapat dimiliki oleh seseorang.

Menurut Ysadipura I, walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar.

Dewaruci adalah sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya

pada Bima Sena: “gedhe endi sira lawan jagad kabeh iki saisine kalawan gunungipun

Page 110: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

samodrane alase sami tan sesak lumebua guwa garbaningsun”(Pupuh

Dhandanggula pada 2).

Artinya:

Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk

gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila

masuk dalam gua garbaku” (Adhikara, 1984: 18).

Bima masuk dalam badan Dewa Ruci melalu telinga kiri. Menurut hadist,

diantaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan ilahi, wahyu,

dan ilham pada umumnya diterima melalui telinga kanan. Dari telinga ini terus ke

hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa “kiri” berarti buruk, jelek,

jahat, tidak jujur dan “kanan” berarti baik (dalam arti luas). Masuk melalui telinga

kiri berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih

(Sastroamidjojo, 1967:45-46).

Peristiwa masuknya Bima ke dalam badan Dewa Ruci melambangkan bahwa

Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang

Tuhannya di dalam kehidupan kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan.

Pencitraan Dewa Ruci sebagai kembaran Bima memperlihatkan bahwa dalam

psikologi sufi dan mistik Jawa dikenal dua jenis diri (self) yaitu diri jasmani, yang

direpresentasikan oleh Bima dan diri ruhani (higher self) yang direpresentasikan oleh

Dewa Ruci (Happold, 1981: 58-610).

Menurut Puersen (1976 : 68) , proses perjalanan batin untuk menemukan

identitas dirinya menamakan proses ini sebagai identifikasi diri, sedangakan menurut

Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses individuasi. Proses

pencarian jati diri ini sesuai dengan hadist nabi: man arafa qalbahu faqad, arafa

nafsahu, wa man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu (barang siapa mengenal dirinya,

dan barang siap telah mengenal dirinya sungguh ia telah mengenal Tuhannya.

Menurut Yasadipura I sebagaimana tersurat dalam Serat Dewa Ruci bahwa

Tuhan dapat dikenali melalui jati diri, hati atau aspek batiniah (weruh sangkan

paraning dumadi). Dengan kata lain bahwa kesempuranaan hidup dapat ditemukan

pada diri sendiri setelah mampu mengalahkan hawa nafsu dengan prihatin,

mengekang diri, pengenalan diri, keuletan dan keteguhan hati serta disiplin yang kuat.

Page 111: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(Haryanto, 1992: 126-127). Pengenalan diri lewat simbol yang demikian secara

filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa

dirinya tidak melihat apa-apa. Pada tahap ini Bima seolah-olah berada di alam baru,

bingung ibarat bayi yang baru lahir. Yang ia lihat hanyalah alam suwong

(kekosongan pandangan) yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia

lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang awang uwung (tidak

bertepi). Hal ini memperlambangkan hilangnya suatu keadaan yang dalam ajaran

Islam dinamakan makrifating makrifat. Didalam filsafat kejawen hening, hening

hawas dan heling ataupun secara singkat neng, ning, nong.

Istilah awang uwung dalam Serat Dewa Ruci adalah suatu tingkat dimana

perjalanan sukma menyaksikan (awang) kekosongan yang tak terbatas dan berarah

sebelum menyaksikan urutan cahaya dan akhirnya mencapai hadirat Tuhan. Kata

kekosongan secara khusus mengacu pada suatu tempat dalam tahapan penghayatan

batin untuk mencapai kesempurnaan manusia. Dalam tradisi tasawuf mengenal

keharusan untuk mengosongkan diri dari berbagai keinginan duniawi (nafsu amarah)

yang memungkinkan laku perjalanan ruhani terhambat Kekosongan pada saatnya

akan penuh cahaya ilahi (nafsu mutmainah)

Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang,

tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa

Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari

dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali

wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan

(Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya

telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188). Zat Tuhan telah berada

pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada tataran hakikat.

Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung,

tiba-tiba ia melihat dengan jelas. Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia

melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah,

serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa

ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar

Page 112: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan

sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara

filosofis telah sampai pada tataran hakikat.

Bima setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia

melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar

tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading

yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis

melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat.

Serat Dewa Ruci dalam pupuh Dhandhanggula V, padha 1-8 menyebutkan

Bima melihat pancamaya. Pancamaya dalam serat Dewa Ruci disebutkan

diinterprestasikan sebagai bayangan yang diperoleh lantaran panca indera dan

disimpan dalam ketidaksadaran hati. Pada saat panca indera menanggapi segala

sesutu dari alam sekelilingnya , ia didorong oleh nafsu. Makrokosmos adalah alam

semesta seisinya yang dapat ditanggapi oleh panca indera manusia, kemudian

disimpan dalam ketidaksadaran sebagai pancamaya. Dengan demikian isi alam

semesta terdapt pada diri manusia, sekalipun hanya sebagai bayangan maya

(Haryanto, 19992: 169). Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan

merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya. Hal-hal

yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu:

merah, hitam, dan kuning.

Dalam Serat Dewa Ruci pupuh dhandangula V, pada 10-13, diceritakan Bima

melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Menurut Serat

Dewa Ruci, isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang

pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya

dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa

manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap

masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.

Keempat warna tersebut digambarkan dalam Serat Dewa Ruci: “Sing ireng

luwih prakoso, pagaweane kasrengen sabarang runtik anandadra ngambara ambra,

kang abang iku iya tuduh nepsu tan becik sakehing peperingan metu saking iku, dene

Page 113: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sing arupa kuning pagaweanr nanggulang sabarang cipta kang becik dadine

panggawe amrih tulus .

Artinya:

Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, yang merah

menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini, yang kuning

pekerjaanya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan

keselamatan.

Empat nafsu yang disebutkan di atas adalah nafsu yang berasal dari mata,

hidung, telinga dan mulut. Nafsu lawwamah timbul dari mulut atau lidah, nafsu

ammarah timbul dari telinga, nafsu sufiah timbul dari mata, dan nafsu mutmainnah

timbul timbul dari hidung. Tiga hal yang harus dikendalikan adalah nafsu sufiah,

amarah, lawwamah. Nafsu mutmainah tempatnya di hati, oleh sebab itu manusia

apabila hatinya telah tergoyahkan, maka tidak biasa mengelak, pasti mendapat celaka.

Segala yang berangkat dari nafsu akan menghasilkan sesuatu yang dapat

mencelakakan dirinya, tetapi apabila berangkat dari hati nurani maka akan

terbimbinglah hidupnya. Seluruh uraian yang terkandung dii dalanya pada hakikatnya

menunjukkan cara menuju kemanunggalan diri sendiri dengan Tuhan

(http://www.jawapalace.org/residriya.htm, diunduh pada tanggal: 1 November 2010).

Keempat warna hitam, merah, kuning, atau hijau, dan putih itu

diperlambangkan dalam gambaran kain kampuh banbintulu yang dipakai oleh Bima,

warna kain kampuh banbintulu itu ialah lambang berkumpulnya sederek gangsal

manunggil baju, tegasnya lima orang saudara sekekuatan yaitu bernilai sama akan

kepribadiannya, kekuatannya, dan sebagainya. Lima saudara itu melambangkan

watak tiap orang masing-masing. Empat diantaranya melambangkan bagian watak

yang terkenal sebagai:

a. Lauwamah (sifat angkara murka)

b. Amarah (brangasan, lekas naik darah, lekas marah, dan sebagainya)

c. Supiyah (baik hati, baik budi)

d. Mutmainah (murni, jujur)

e. Mojang, yang memberi petunjuk kearah tujuan yang baik.

Page 114: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Melihat uraian diatas , bisa disimpulkan bahwa anasir dalam diri manusia

ibarat 3 lawan 1 (tiga anasir kejahatan vs satu anasir kebaikan), hanya yang putih

yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan

dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga

selalu kalah. Hanya orang-orang pilihan saja yang bisa memenangkan pertarungan

dahsyat itu (Wawan Susetya, 2007:10). Menurut Yasadipura I dalam Serat Dewa

Ruci pupuh Dandhanggula VIII: 8, jika bisa mengatasi yang tiga hal, yaitu yang

merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan

sendirinya tak perlu lagi pembimbing dan sempurna hidupnya. Dengan kata lain

apabila seseorang sanggung melepaskan diri dari ikatan hawa nafsu dan kebendaan

hijab atau dinding pemisah antara manusia dan Tuhan mulai tersingkap (Dhanu Priyo

Prabowo, 2003: 129).

Al-Qur’an juga merumuskan sifat-sifat buruk manusia dan mengingatkan agar

menghindari sifat-sifat tersebut, untuk menjadi manusia kamil yang memiliki

keseimbangan. Diantara sifat-sifat tersebut adalah: lemah dalam surat an- Nisa: 28,

berkeluh kesah dalam surat al-Ma’arij: 19, ingkar dan dhalim dalam surat Ibrahim:

18-19, khianat, bakhil, pemarah menguncilkan diri dari pergaulan, dengki, cinta pada

dunia secara berlebihan, dusta, sombong, meremehkan, orang laian, takabur, penakut

dan ingkar (Purwadi, 2002: 148).

Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu

kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Cahaya tunggal yang berwarna delapan

itu ialah lambang kesatuan yang wajar (essence of unity) Atas pertanyaan sang Bima,

diterangkan oleh Sang Dewa Ruci bahwa nyala tunggal itu berati jiwa yang hidup

atau menyala-nyala. Cahaya yang mengandung delapan warna cahaya itu

menggambarkan menyalanya darah yang diproyeksikan keluar (terlihat oleh orang

lain) sekilas dengan hubungan antara bunga dan baunya. Rupa itu bernilai nyala .

Nyala ialah mempunya nilai sama dengan hidup. Selanjutnya warna berarti air. Jika

dibalikkan, maka teranglah , bahwa air dalam hubungan ini berarti air hidup yang

dicari Bima itu. Sena: “Ingkang kadya peputran gadhing cahya mancur kumilat

tumeja ngengguwung punapa inggih punika warnaning dzat kang silih dipun ulati

kang sayektiing rupa” (Pupuh Dhandanggula, pada18).

Page 115: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Artinya:

Apa nama cahaya delapan warni ini, merupakan hakekat sejati ,tampak seolah

permata gemerlap, kadang seperti bayangan, mempesona, kadang pancaran sinarnya

bagaikan zamrud.

Dewa Ruci: “Dhudu iki kang siro sedia, kang mumpuni siro jagad kabeh tan keno

siro dhulu. tanpa rupa tanpa warni. ta gatra tan satmoto. dhumunung aneng kang

awas. mung sasmito kang angebaki jagad. dhinumuk dhatan keno”.

Artinya:

itulah bukan tujuanmu, tak boleh dijadikan tujuanmu, yang menguasai semesta alam

tak mungkin kamu lihat dengan mata kepala kamu sendiri. tanpa rupa tanpa warna,

tak berbentuk atau terlihat, berada pada barang siapa yang awas dan waspada (telah

insyaf). Alam semesta hanya dengan tanda-tanda atau lambangnya saja yang tak

dapat tersentuh.

Menurut Yasadipura I berkaitan dengan ungkapan tan keno kinoyo ngopo

dalam hal ini, wujud Tuhan tidak dapat digambarkan seperti apapun juga, hal ini

disebabkan oleh manusia terikat oleh badan jasmaninya sehingga manusia hanya

dapat mengerti Tuhan dalam simbol (Driyarkara, 1980:40). Oleh karena itu konsepsi

tentang Tuhan dituangkan dalam bentuk simbol yang khas.

Dalam serat Dewa Ruci tercermin konsep kesatuan wujud (Soebardi, 1975).

Kata wujud biasa diterjemahkan kedalam bahas inggris being atau existence (Waston,

1997:67). Istilah wujud memujukkan realitas yang merupakan puncak dari semua

yang ada (Supadjar, 1990). Wujud atau yang ada adalah suatu badan rohani yang

dihidupkan oleh kehidupan Illahi. Wujud dalam Serat Dewa Ruci adalah syuhud atau

menyaksikan. Wujud dan syuhud keduanya adalah tajjali, penampakan diri Tuhan

(Waston, 1997: 67).

Hakikat Tuhan dalam Serat Dewa Ruci disebut Hyang Suksma atau jiwa

semesta yang bersifat spiritual. Menurut Yasadipura I Hyang Suksma adalah wujud

ketuhanan yang tidak berbentuk, tak nampak, dan hanya ditemukan oleh orang yang

berhati suci dan waspada (Waston, 1997: 73). Hyang Suksma adalah wujud tertinggi

dari segala yang ada.

Page 116: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya, empat warna

cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka gading

yang bersinar. Adapun boneka gading itu melambangkan Pramana yang disebutkan

dalam Serat Dewa Ruci disebutkan dalam pupuh Dhandanggula V, pada 20 : “Dene

iku kang sira tingali, kang asawang peputran matyarai ingkang kumilat cahyane

angkara murub pan Pramana arane nenggih (sedang yang kamu lihat, yang

memandang anakan mutiara, yang berkilat cahaya, angkara murka menyala, sungguh

pramana itu namanya).

Pramana sebagai penampakan dari Hyang Suksma bertempat tinggal dalamt

tubuh manusia (Soebardi: 1975). Pramana dalam kenyataannya adalah pernyataan diri

dari hakikat Tuhan (Zoetmulder, 1985: 210). Pramana adalah manifestasi dari Hyang

Suksma yang ada karena Dzat sendiri dalam etentitas Wujudnya mustahil dari tiada.

Hyang Suksma mewujudkan segala sesuatu. Dia adalah wujud absolut atau al wujud

atau yang tertinggi (Waston, 1997: 75).

Konsep pramana dalam Serat Dewa Ruci, tidak tidur, tidak makan dan tidak

merasakan segala macam rasa. Kalau badan sakit, pramana tidak merasakan sakit,

tidak merasakan suka dan duka. Apabila badan berpisah dari pramana, akan menjadi

lesu tidak berdaya pengaruh sedih dan gembira. Soejonorejo menjelaskan konsep

pramana dalam Serat Jatimurti sebagai berikut:

“Ana dene ayang-ayangan mau katon ana ing sifat kang langgeng kang luwih dening bening lan trawaca, kang kena kanggep pangiloning kajaten, yaiku asale sakahe rasa anyar utawa wiwitan cipta lan rasa. Pangilon kajaten mau karan pramana. Dadi pramana iku angilon sejati, kang kanggo nonton ayang-ayange rasa jati. Pramono kanggo ing kahanan jati gunane nyataake rasa samining makhluk (maya) utawa rasa anyar kang molah-malih. Kahanan jati iku Dzat kang asipat pramana mau”

Artinya: Ada satu bayangan yang sifatnya abadi, yang lebih daripada bening dan terang, yang dapat disebut cermin “kejaten” yaitu berasal dari berbagai unsure rasa atau cabang cipta rasa. Cermin kejaten itu bernama pramana. Jadi pramana merupakan cermin sejati yang dipakai untuk melihat bayangan rasa jati. Pramana dipahami dalam kenyataan sejati untuk membuktikan perasaan makhluk atau perasaan yang tidak menentu. Kenyataan sejati tersebut yang bersifat Pramana (Budi Yuwono, 1993:53-54).

Page 117: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dalam falsafah India, kata-kata pramana digunakan secara intensif oleh para

filosof Nyaya dan Vaiseshika dan lazim diartikan sebagai metode, kaedah, pedoman

atau cara-cara mencapai ilmu pengetahuan, bukan seseorang atau sesuatu yang

memiliki metode atau ilmu. Istilah Sanskrit lain yang mirip dengan kata-kata

pramana, ialah prana, yang lazim digunakan oleh para filosof Yoga seperti Patanjali

untuk menyebut energi atau daya hidup dalam tubuh manusia yang memiliki sifat

ilahiyah.

Sangat mungkin istilah pramana yang digunakan filosof Nyaya dan

Vaishesika berubah arti di tangan para mistikus Jawa, atau sangat mungkin pula

bahwa kata-kata itu memiliki kaitan dengan istilah prana. Atau mungkin pula para

pengarang Jawa termasuk Yasadipura I sengaja menggabungkan pengertian dari dua

istilah ini dalam upayanya menarjemahkan gagasan Imam al-Ghazali tentang kalbu

sebagai substansi halus dalam tubuh yang bersifat ilahiyah dan memancarkan sinar

gemerlapan.

Simbol pramana juga dapat dikaitkan dengan konsep Nur Muhammad dalam

tasawuf, yang digambarkan sebagai cahaya berkilauan. Dalam Dewa Ruci substansi

halus ini juga dilukiskan sebagai cahaya gemerlapan. Yasadipura I kemudian

menghubungkan pula simbol cahaya ini dengan konsep mukasyifat, yaitu sang

pemberi kehidupan. Arti mukasyifat ialah dia yang memberikan kasyf (penglihatan

batin yang terang, illuminasi) yang tidak lain adalah Tuhan. Wakilnya dalam tubuh

manusia ialah pramana, yang juga diartikan sebagai substansi yang memberi

kehidupan pada tubuh.

Dewa Ruci adalah hakikat pribadi seseorang yang mampu menyatu dengan

iradat Tuhan. Kesatuan Bima dengan Dewa Ruci dapat diartikan sebagai dzat

manusia dengan iradat-Nya, setelah manusia mampu mengalahka nafsu-nafsunya

(Yuwono, 1993: 63). Pramana menunjukkan pengertian akan denyut jantung. Jadi

selama denyut jantung masih berdenyut, selam itu raga manusia masih hidup. Sedang

yang menghidup pramana adalah suksma sejati yang dapat merasakan adanya sifat-

sifat Ketuhanan Yang Maha Esa pada raga dan jiwa manusia. Bilamana raga manusia

mati, pramana pun ikut mati. Akan tetapi, suksma sejati hidup terus dalam alam yang

tidak terbatas waktunya (Haryono, 1990: 369). Martabat kelima termasuk alam

Page 118: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

uluhiah atau keilahian yang ada tawon guwana atau lebah yang sedang menggema,

yang berda dalam mega fana. Dalam Dewa Ruci tawon gumana disebut golek gading

sebagai perwujudan pramana (Simuh, 1988: 369).

d. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Makrifat

Makrifat dalam bahasa Jawa laku rasa, sembah rasa adalah perjalanan menuju

manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan

atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam

teminologi tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung

tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson,

1975:71), yang meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat

tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati

yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia

akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada.

Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia

telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat

diterangkan (Nicholson, 1975:148) (Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono,

1982:47), yang dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dan disinilah pada

masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti,

pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga

manjing warangka.

Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia

akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah.

Di dunia ia menjadi wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-

kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69;

Mulder, 1983:25). Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat

dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala

kesibukan dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata

menjadi laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).

Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah

mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan

Page 119: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud

olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan

purnama menyinari bumi.

Sebagai puncak dari pengalaman mistik yang diharapakan oleh para sufi adalah

dapat langsung berhubungan atau mengadakan persatuan dengan Tuhan (wihdatul

wujud), yang dalam istilah Kejawen disebut manunggaling kawula-Gusti. Yasadipura

I pun, menurut Kamadjaja (1963:124-125) berpaham demikian. Dan hampir semua

karya Yasadipura I yang bercorak mistik selalu menyatakan hal itu, seperti tampak

pada Serat Dewa Ruci.

Konsep manunggaling kawula Gusti dalam Serat Dewa Ruci disebutkan dalam

pupuh Dhandanggula , pada 36-37:

“Yen weruh pamoring Kawula Gusti, sarta Suksma kang sinendyan ana, de warna neng sira ngnggone, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing ringgil, mangka panggung kang jagad, lire badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahe kumendhep myarsa ninggali, tumindak lan pangucap”. “Kawisesa amisesa sami, datan antar pamoring karsa, jer tanpa rupa rupane, wus aneng ing sireku, umpamame paesan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma, wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa sajroning kaca”.

Artinya: Kalau tahu pamoring kawula Gusti serta Suksma yang dituju ada, oleh warna pada

kamu tempatnya seperti wayang pada kamu itu dari dalang gerak wayang, padahal

panggung itu jagat, seperti badan itu bergerak jika digerakka pergerakannya tertatap

mendengar melihat, bertindak dan berkata. Sama menguasai dikuasai tak antara

pamoring karsa memang tanpa rupa sudah ada pada dirimu umpama paesan jati, yang

berkaca Hyang Suksma, wayangan adalah yang ada dalam kaca, yaitu kamu nama

manusia, rupa dan kaca.

Uraian diatas menerangkan bahwa kehidupan manusia merupakan

pencerminan Tuhan, karena sangat dekatnya hubungan manusia dengan tuhan (jating

rasa) penglihatan dan pendengaran manusia menjadi penglihatan dan pendengaran-

Nya (Nicholson, 1975:100-101). Kedektan itu juga menggambarkan badan lahir

dan badan batin, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air

dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.

Page 120: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Karena dekatnya Tuhan, seolah-olah Tuhan berada di dalam manusia, bukan di

luar manusia. Dalam Al-Qur’an ajaran tentang imanensi atau kedekatan Tuhan

dengan manusia sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah: ... “Dan Dia bersama

kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”

(Al-Hadid, ayat 4). Pengertian serupa juga terdapat dalam surat Qaff ayat 16: “Dan

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah

dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”.

Dengan pengertian ini sebenarnya konsep manunggaling kawula Gusti dalam

Serat Dewa Ruci tetap menganggap bahwa zat Tuhan tetap dipahami sebagai zat

yang transenden, yaitu zat Tuhan adalah hakiki dan manusia hanya bersifat pantulan

atau nisbi saja. Dengan kata lain Dalam Serat Dewa Ruci, tetap berpandangan

hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang

mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia

memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94). Sebagaimana teori cermin bahawa

sesuatu yang memantul atau yang memberi bayangan adalah sesuatu yang hakiki dan

pantulan atau bayangan sesuatu yang hakiki tersebut hanya bersifat nisbi saja.

Sesuatu yang nisbi tidaklah sama kualitinya dengan sesuatu yang hakiki.

Sebagaimana juga dikatakan oleh salah seorang penganut paham manunggaling

kawula Gusti, Ki Amongraga yang menyadari bahawa dia hanya hasil ciptaan dan

antara kawula dan Gusti ada perbedaan, seperti antara debu (di tanah) dan awan, atau

seperti antara bumi dan ruang angkasa. Walaupun demikian memang sangat susah

untuk mendefinisikan konsep manunggaling kawula Gusti secara tepat. Oleh itulah

Simuh mengatakan bahawa memahami konsep manunggaling kawula Gusti memang

dikatakan mudah tetapi susah dan dikatakan susah tetapi mudah. Dalam Kepustakaan

Islam Kejawen, hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan

yang saling tumpang tindhih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan

manusia dan manusia diganbarkan sama dengan Tuhan. Paham semacam ini dalam

falsafah dinamkan antropomoirfisme (Simuh, 1998:229).

Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya,

bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam

kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa

Page 121: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat

dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan

berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama

dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).

Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir,

tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan

kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat

tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh

kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar

Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada

Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini

secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa

yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala

yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan

bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.Segala yang diniatkan oleh hamba yang

tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu

keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson,

1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali

disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut

mukjizat (Nicholson, 1975:129).

Dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhangguala V, pada 32-33 disebutkan

bahwa bagi Bima hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia

hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik

dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati

merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang

luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang

menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian

bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal

(Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara

filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.

Page 122: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna

dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinya terang

bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Bima kembali kepada alam dunia

semula. Keselarasan sosial dalam serat dewa ruci tampak pada personifikasi tokoh

Sena yang mau kembali ke tempat asalnya, setelah dia mengalami ekstase

kenikmatan spiritual. Tokoh Bima tidak hanya mementingkan olah kebatinan saja,

namun juga masih peduli dengan soal-soal lahiriah duniawi berupa problem sosial

dan kenegaraan yang perlu diselesaikan berhubung posisi dirinya sebagai

prajurit,abdi negara, dan satria agung. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan

kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah

mencapai tahap makrifat.

Page 123: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berpijak dari uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat di

ambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Biografi Yasadipura dapat ditelusuri dari silsilahnya. Menurut Tus Pajang,

Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang itu. Ia adalah anak

Tumenggung Padmanagara, seorang Bupati/Jaksa pada masa Mataram Kartasura.

Sebagai seorang anak bupati, Yasadipura I mendapatkan pendidikan selayaknya

kaum priyayi yang sangat kental dengan aroma kejawen. Untuk memperdalam

ilmunya maka pada usia delapan tahun, dia dikirim sebuah Pondok Pesantren di

Bagelan Kedu di bawah asuhan Kyai Hanggamaya untuk mendapatkan

pendidikan formal Islam. Pada usia empat belas tahun ia menyelesaikan

belajarnya di pesantren Kedu, dan kemudian mengabdi di kraton Kartasura pada

masa Pakubuwana II (1726-1743). Karena prestasinya yang baik dalam mengabdi

di kerajaan ia kemudia dipromosikan menjadi prajurit Nameng Jaya. Karena

bakatnya dalam bidang sastra diketahui Paku Buwana II, oleh karena itu

Pakubuwahna II menitipkan Kudapangawe kepada Pangeran Wijil, seorang

pujangga yang bekerja di kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil,

bakatnya di bidang sastra semakin menonjol sehingga ia disebut sebagai pujangga

taruna (Pujangga Muda). Setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana II

(1749-1788), ia telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I dan meningal

hari senin Kliwon, 20 Dulkangidah, Wawu 1728.

2. Serat Dewa Ruci digubah Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta. Secara

historis berkaitan dengan kitab Nawaruci, karya Empu Siwamurti pada zaman

akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan karya mistik Jawa yang

terpengaruh ajaran agama Hindhu. Serat Dewa Ruci merupakan perpaduan antara

sastra mistik yang mengandung paham asli Jawa-Hindhu, dan Islam.

Dalam lingkungan kebudayaan Jawa, Serat Dewa Ruci merupakan alegori mistik

Jawa yang begitu popular. Dalam konteks religi masyarakat Jawa Serat Dewa

Page 124: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Ruci merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya

filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau

mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelasnya. Bagi masyarakat Jawa,

khususnya kalangan kesepuhan menganganggap isi Serat Dewa Ruci cukup

berbobot untuk digunakan sebagai bahan renungan perihal hakikat kehidupan,

yaitu kawruh sangkan paraning dumadi atau dari mana dan kemana tujuan hidup

manusia itu.

3. Pemikiran Yasadipura I tidak terlepas dari pengaruh tradisi kejawen dan

pesantren (Islam). Di satu sisi Yasadipura I sebagai anak seorang bupati di

Pengging, dididik sebagai anak kaum priyayi yang pada umumnya dekat paham

kejawen. Pada sisi lain, oleh keluarganya dia dikirim ke sebuah pesantren di

Kedu, untuk mendapatkan pendidikan formal agama Islam. Mengalami dua

lingkungan pendidikan ini membuat Yasadipura I fasih berbicara tentang

bagaimana pandangan Jawa lama seperti yang terekam dalam karya-karya sastra

Jawa kuno. Kapasitas intelektual yang ia miliki ini diekspresikan dalam bentuk

penggubahan ulang karya-karya sastra Jawa kuno dan karya-karya sastra Melayu-

Islam ke dalam karya sastra baru, dengan bahasa Jawa baru. Pemikiran sinkretik

Yasadipura I salah satunya tercermin di dalam Serat Dewa Ruci. Secara filosofis

melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna

menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi “asal dan

tujuan hidup manusia“ atau manunggaling kawula Gusti. Sufisme yang

dirumuskasn Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci memperlihatkan intregitas

ajaran syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat. Keempatnya merupakan mata rantai

yang sambung menyambung, saling berkait satu dengan yang lain dan perlu

dilakukan setahap demi setahap.

B. Implikasi

1. Implikasi Teoritis

Page 125: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pemikiran yang dikembangkan oleh Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci ini

tidak lepas dari unsur pesantren (Islam) dengan budaya Jawa (kejawen). Budaya

sinkretis dalam serat tersebut mempengaruhi isi Serat Dewa Ruci, yang sisinya

merupakan perpaduan antara unsur Islam dengan unsur Jawa. Pola pikir dalam serat

ini mengetengahkan ajaran tasawuf yang cukup supel. Isinya berkaitan dengan paham

atau budaya sinkretis. Pemikiran yang dikembangkan dalam serat ini, adalah ajaran

tasawuf yang berhubungan dengan konsep etika manusia dengan manusia) dan

manusia dengan Tuhan, sehingga tercipta ajaran manunggaling kawula gusti. Ajaran

manunggaling kawula gusti yang terdapat dalam serat Dewa Ruci menunjukkan

kearah paham Union Mistik yang mempertemukan antara Tuhan dengan manusia.

Paham Union Mistik inilah yang merupakan ciri khas kepustakaan Islam Kejawen

2. Implikasi Praktis

Dengan memahami skripsi mengenai Serat Dewa Ruci, akan dapat diketahui

pola pikir Yasadipura I. Penelitian ini memunculkan suatu pengertian ajaran tasawuf

dalam serat tersebut menjadikan pedoman bagi orang Jawa dalam mengembangkan

pola kehidupan sehari-hari terutama soal penghayatan keagamaan, yang di dalam

ajaran tersebut sarat akan mistik. Oleh karena itu implikasi praktis dari penelitian ini

adalah bahwa untuk mengenal Tuhan seperti yang tertuang dalam ajaran tasawuf

diperlukan ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, yang berwujud keimanan

dalam menjalankan perintah maupun menjauhi laranagn-Nya.

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat diajukan saran sebagai

berikut:

1. Bagi Pengelola Kementrian Pendidikan Nasional dan Pemerintahan Kota

Surakarta mengingat kandungan isi Serat Dewa Ruci sangat bermanfaat bagi

perkembangan kebudayaan dan pengetahuan, maka hendaknya dapat lebih

memberikan perhatian pada sumber-sumber sejarah terutama sumber berupa

naskah-naskah kuno yang tersimpan di perpustakaan kraton Surakarta dan

museum. Perhatian ini terutama dalam hal keamanan, perawatan dan

penerjemahan. Pihak terkait (Keraton, Museum, dan Depdiknas) dapat

Page 126: SERAT DEWA RUCI - core.ac.uk · PDF filekawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

bekerjasama dengan para ahli penerjemah bahasa Jawa maupun Belanda untuk

menerjemahkan naskah kuno tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar lebih

menarik perhatian dan mudah dipahami isinya oleh khayalak umum.

2. Bagi Tim Kurikulum Program Pendidikan Sejarah, mengingat betapa pentingnya

kegunaan bahasa sumber, terutama bahasa Jawa, maka mata kuliah Bahasa

Sumber hendaknya dijadikan sebagai salah satu mata kuliah yang mendapatkan

perhatian lebih. Mata kuliah Bahasa Sumber ini dapat digunakan sebagai bekal

bagi mahasiswa Program Studi Sejarah dalam penelitian yang berhubungan

dengan naskah-naskah kuno tersebut belum diteliti. Diharapkan dari penelitian ini

akan semakin menambah kecintaan masyarakat terhadap hasil karya sastra anak

bangsa terutama naskah-nakah kuno yang berbahasa Jawa.

3. Bagi masyarakat umum, mengingat Serat Dewa Ruci merupakan karya

widyatama atau etis filosofis yang mengandung wulangan, wejangan , dan

wedharan, maka hendaknya Serat Dewa Ruci bisa dijadikan sebagai salah satu

sumber referensi bagi masyarakat untuk memahami hakikat kehidupan Dengan

memahami isi dari Serat Dewa Ruci diharapkan, memberi isyarat persuasif

kepada masyarakat agar selalu eling waspada dan bersahaja, mengendalikan diri

mengurangi kenikmatan badaniah duniawi, bersedia Lara Lapa Tapa Brata dan

bersyukur meskipun berkesempitan untuk mencapai tujuan kehidupan yang

Khusnul Khatimah