serat eksentrik pada kulit kayu ban

39
Eccentric Fiber in the Bark of Marobamban 39 (Agus Sulistyo Budi and Nani Husein) Serat Eksentrik pada Kulit Kayu Marobamban Eccentric Fiber in the Bark of Marobamban Agus Sulistyo Budi dan Nani Husien Abstract Type and dimension of cell, especially fiber and tracheid, generally is used as a standard of utilization and quality of product. Beside type and the presence of fiber, up to now unusual fiber dimension in the bark of Marobamban (Helicia spp.), is not yet discovered. Traditionally, this swamp species is planted merely for protecting land from erosion, but the other part of the trunk like bark and its fibers are not yet utilized. The aim of this research is to know the anatomical structure of Marobamban bark and the presence of unusual fiber dimension as well as the fiber class quality. This research was conducted in Wood Anatomy and Identification Laboratory Forestry Faculty, Mulawarman University for one month. IAWA (International Association of Wood Anatomist) is used as observation and analysis standard. The result shows that outer bark with grey white coloured has thorny fiber along the surface and hooks to each other. Fiber length is classified as short category with big diameter. Fiber lumina and wall thickness are classified to moderate and very thick walled respectively. Fiber quality is classified to the third class. Key words: fiber dimension, fiber quality, tracheid, swamp species, lumina. Pendahuluan Hutan yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang vital di Indonesia karena memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa. Oleh karena itu aspek-aspek penelitian dan pengembangan hutan senantiasa diupayakan demi terwujudnya pemanfaatan hutan yang berkesinambungan dengan tetap mewujudkan azas kelestarian hutan. Namun akibat teknologi yang berkembang pesat serta bertambahnya jumlah penduduk pengguna bahan baku kayu, ketersediaan kayu dalam hutan semakin berkurang disamping areal hutan yang semakin menyempit. Oleh karena itu melalui diversifikasi olahan dan pemanfaatan kayu seluruh bagian pohon diharapkan penggunaan kayu dapat menjadi lebih efisien, demikian pula dengan pemanfaatan jenis-jenis kulit kayu yang saat ini masih kurang dilakukan. Salah satu jenis kayu yang kurang dikenal, namun memiliki potensi kulit yang cukup besar untuk dimanfaatkan adalah jenis kayu Marobamban (Helicia spp) yang tergolong dalam famili Proteceae. Menurut Supraptono (1996), kulit kayu merupakan suatu jaringan yang berfungsi untuk melindungi bagian dalam kayu dari kerusakan biologis maupun mekanis dan berguna untuk menyalurkan makanan (hasil asimilasi) dari daun keseluruh bagian pohon. Kulit kayu terdiri dari sel- sel yang mempunyai berbagai fungsi bagi kehidupan tumbuhan berkayu dengan pola dan komposisi tertentu yang merupakan struktur penyusun kulit kayu. Struktur kulit lebih kompleks dibandingkan dengan kayu, disamping variasi yang terdapat di dalam species yang sama, juga tergantung umur dan kondisi pertumbuhan pohon. Setiap species memiliki ciri struktur kulit yang spesifik, seperti misalnya struktur serat yang terdapat pada jenis kayu Marobamban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi dan dimensi serat kulit kayu Marobamban. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Anatomi dan Identifikasi Kayu, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Bahan dan Alat Penelitian Contoh uji yang digunakan berupa lempengan kayu setebal 3 cm diambil dari pohon Marobamban yang berada di Kecamatan Kota Bangun. Bahan kimia yang digunakan adalah asam nitrat (HNO3), potasium klorat (KClO3), aquades dan alkohol. Peralatan yang digunakan antara lain mikroskop Olympus BH-2, Mikroskop Proyektor, kaca obyek, kaca penutup, pipet, pinset, alat pemotong, pisau cutter, tabung reaksi, kamera dan kalkulator. Prosedur Penelitian Pembuatan Contoh uji: Contoh uji yang digunakan berasal dari bagian batang bebas cabang yang diambil dari bagian tengah batang pohon dalam bentuk lempengan setebal ± 2 cm. Lempengan tersebut kemudian dibagi menjadi dua bagian pada arah radial dekat kambium, dari xylem sampai ke lapisan kulit terluar. Pengamatan Penelitian: Pengamatan penelitian kulit dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis dengan menggunakan Loupe

Upload: aldy-ashiong-yusra-rangkuti

Post on 23-Jun-2015

547 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Eccentric Fiber in the Bark of Marobamban 39 (Agus Sulistyo Budi and Nani Husein)

Serat Eksentrik pada Kulit Kayu Marobamban Eccentric Fiber in the Bark of Marobamban

Agus Sulistyo Budi dan Nani Husien

Abstract

Type and dimension of cell, especially fiber and tracheid, generally is used as a standard of utilization and quality of product. Beside type and the presence of fiber, up to now unusual fiber dimension in the bark of Marobamban (Helicia spp.), is not yet discovered. Traditionally, this swamp species is planted merely for protecting land from erosion, but the other part of the trunk like bark and its fibers are not yet utilized. The aim of this research is to know the anatomical structure of Marobamban bark and the presence of unusual fiber dimension as well as the fiber class quality. This research was conducted in Wood Anatomy and Identification Laboratory Forestry Faculty, Mulawarman University for one month. IAWA (International Association of Wood Anatomist) is used as observation and analysis standard. The result shows that outer bark with grey white coloured has thorny fiber along the surface and hooks to each other. Fiber length is classified as short category with big diameter. Fiber lumina and wall thickness are classified to moderate and very thick walled respectively. Fiber quality is classified to the third class. Key words: fiber dimension, fiber quality, tracheid, swamp species, lumina.

Pendahuluan

Hutan yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang vital di Indonesia karena memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa. Oleh karena itu aspek-aspek penelitian dan pengembangan hutan senantiasa diupayakan demi terwujudnya pemanfaatan hutan yang berkesinambungan dengan tetap mewujudkan azas kelestarian hutan. Namun akibat teknologi yang berkembang pesat serta bertambahnya jumlah penduduk pengguna bahan baku kayu, ketersediaan kayu dalam hutan semakin berkurang disamping areal hutan yang semakin menyempit. Oleh karena itu melalui diversifikasi olahan dan pemanfaatan kayu seluruh bagian pohon diharapkan penggunaan kayu dapat menjadi lebih efisien, demikian pula dengan pemanfaatan jenis-jenis kulit kayu yang saat ini masih kurang dilakukan. Salah satu jenis kayu yang kurang dikenal, namun memiliki potensi kulit yang cukup besar untuk dimanfaatkan adalah jenis kayu Marobamban (Helicia spp) yang tergolong dalam famili Proteceae.

Menurut Supraptono (1996), kulit kayu merupakan suatu jaringan yang berfungsi untuk melindungi bagian dalam kayu dari kerusakan biologis maupun mekanis dan berguna untuk menyalurkan makanan (hasil asimilasi) dari daun keseluruh bagian pohon. Kulit kayu terdiri dari sel-sel yang mempunyai berbagai fungsi bagi kehidupan tumbuhan berkayu dengan pola dan komposisi tertentu yang merupakan struktur penyusun kulit kayu. Struktur kulit lebih kompleks dibandingkan dengan kayu, disamping variasi yang terdapat di dalam species yang sama, juga tergantung umur dan kondisi pertumbuhan pohon. Setiap species memiliki ciri struktur kulit yang spesifik, seperti misalnya struktur serat yang terdapat

pada jenis kayu Marobamban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi dan dimensi serat kulit kayu Marobamban.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Anatomi dan Identifikasi Kayu, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.

Bahan dan Alat Penelitian

Contoh uji yang digunakan berupa lempengan kayu setebal 3 cm diambil dari pohon Marobamban yang berada di Kecamatan Kota Bangun. Bahan kimia yang digunakan adalah asam nitrat (HNO3), potasium klorat (KClO3), aquades dan alkohol. Peralatan yang digunakan antara lain mikroskop Olympus BH-2, Mikroskop Proyektor, kaca obyek, kaca penutup, pipet, pinset, alat pemotong, pisau cutter, tabung reaksi, kamera dan kalkulator. Prosedur Penelitian Pembuatan Contoh uji: Contoh uji yang digunakan berasal dari bagian batang bebas cabang yang diambil dari bagian tengah batang pohon dalam bentuk lempengan setebal ± 2 cm. Lempengan tersebut kemudian dibagi menjadi dua bagian pada arah radial dekat kambium, dari xylem sampai ke lapisan kulit terluar. Pengamatan Penelitian: Pengamatan penelitian kulit dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis dengan menggunakan Loupe

Page 2: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

40 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

perbesaran 8 kali, meliputi warna kulit kayu, tekstur, ketebalan dan penampakan bidang lintang sedangkan pengamatan secara mikroskopis hanya meliputi dimensi serat (panjang, diameter serat, lumen dan ketebalan dinding serat)

Proses Pemisahan Sel Serat (Maceration): Proses maserasi kulit menggunakan metode Schultze (Sass 1961) dengan cara sebagai berikut : • Dari setiap sub seksi dibuat contoh uji kulit

berbentuk batangan-batangan kecil (splinter) berukuran 1 x 1 x 20 mm sebanyak 4 ~ 5 batang lalu diberi kode sesuai dengan kode uji dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

• Asam nitrat (HNO3) dengan konsentrasi 65% dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi potongan kayu hingga kayu terendam.

• Selanjutnya Potassium klorat (KClO3) ditambahkan ke dalam tabung reaksi untuk mempercepat reaksi.

• Tabung beserta isinya dipanaskan di atas api hingga terjadi gelembung-gelembung udara berwarna putih kekuningan sebagai tanda maserasi sedang berlangsung dan serat mulai terpisah.

• Tabung segera didinginkan dan serat dicuci ulang dengan aquades, kemudian serat tersebut dimasukkan ke dalam tabung yang berisi alkohol 50%. Selanjutnya dilakukan pengukuran.

• Pengukuran serat dilakukan dengan mengambil sedikit serat yang diletakkan pada deckglass dan diberi zat pewarna safranin untuk memperjelas lalu ditutup dengan coverglass.

Pengukuran Dimensi Serat: Pengukuran diameter serat menggunakan mikroskop Proyektor dengan perbesaran 10 kali untuk pengukuran panjang serat dan pembesaran 40 kali untuk diameter serat dan diameter lumen. Sedangkan untuk tebal dinding serat diperoleh dari perhitungan diameter serat dikurangi diameter lumen lalu dibagi dua. Hasil pengukuran dari alat ini dikonversikan ke dalam satuan mikron (µm), yaitu diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding serat sebesar 8.116 µm, sedangkan untuk panjang serat sebesar 2.034 µm. Dalam pengukuran dimensi serat, yaitu panjang serat, diameter serat, diameter lumen dan tebal dinding serat, dipilih serat yang utuh atau tidak patah, rusak terlipat, pecah, terpotong dan kerusakan lainnya. Jumlah serat yang diukur diambil dari masing-masing bagian sebanyak 100 buah. Bagian-bagian serat yang diukur dapat dilihat pada gambar berikut.

Figure 1. Part of fiber dimension.

Note: L = fiber length d = fiber diameter w = wall thickness l = diameter of lumen

Untuk mengetahui nilai turunan serat kulit kayu

yang diteliti yang terdiri dari Runkel ratio, Felting power, Flexibility ratio, Coefficient of rigidity dan Muhlsteph ratio digunakan rumus berdasarkan Rachman dan Siagian (1976) sebagai berikut:

Runkel ratio =l

wx2

Coefficient of rigidity = dw

Felting power =dl

Muhlsteph ratio = [ ][ ]

%1001 2

2x

dl

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡−

Flexibility ratio = dl

dimana: w = tebal dinding serat l = diameter lumen d = diameter serat Pengolahan Data: Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini ditentukan nilai rataannya seperti rumus di bawah dan kemudian ditabulasikan serta difoto untuk memperjelas objek. Nilai rataan

nxi

X ∑=

dimana : X = nilai rataan ∑ xi = total nilai contoh uji n = jumlah contoh uji

Hasil dan Pembahasan Ciri Makroskopis

Hasil pengamatan dan pengukuran kulit kayu Marobamban secara makroskopis disajikan pada Tabel 1.

Gambaran kulit kayu Marobamban secara makroskopis dan mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 berikut:

Page 3: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Eccentric Fiber in the Bark of Marobamban 41 (Agus Sulistyo Budi and Nani Husein)

Figure. 2. Stem of Marobamban (see arrow).

Figure 3. Microscopic structure of bark (tranv. section) 1.active phloem; 2.non active phloem; 3.xylem; 4.rays; 5.fiber; 6.ritidome). Magn.40x

Warna kulit: Dari hasil pengamatan ditemukan bahwa kulit kayu Marobamban berwarna putih keabu-abuan dengan permukaan kulit yang beralur. Tjitrosoepomo (1997) menyatakan bahwa warna permukaan kulit kayu biasanya mengikuti warna dari bagian ritidoma juga dipengaruhi oleh keadaan atmosfir jaringan parenkimatis yang tidak dapat mengkerut karena kekeringan lalu pecah-pecah, selain itu karena mengalami pembusukan maka terjadi perubahan-perubahan warna yang

tergantung dari macam dan akibat dari proses pembusukan tersebut. Ketebalan Kulit: Hasil pengukuran ketebalan kulit didapatkan nilai rataan ketebalan kulit sebesar 12.74 mm. Pada permukaan bidang lintang memperlihatkan arah jari-jari yang lurus sampai berkelok. Jari-jari kulit ada yang sangat lebar dan ada yang sangat kecil. Pada daerah phloem aktif tampak lapisan yang tersusun secara teratur dan berbatas jelas dengan phloem yang tidak aktif. Kulit kayu Marobamban yang sudah kering apabila dipegang mudah hancur. Klasifikasi ketebalan kulit sebesar 12.74 mm menurut Bratawinata (1987) termasuk dalam klasifikasi kulit “tebal”. Tingkat ketebalan kulit kayu selain dikarenakan oleh faktor jenis, umur, letak ketinggian dalam batang, juga arah mata angin, tempat tumbuh, iklim, tanah dan sebagainya (Budi 2000). Penampakan Permukaan Kulit: Hasil pengamatan penampakan permukaan kulit kayu Marobamban yang diteliti, jika digolongkan menurut Bratawinata (1987) memiliki penampakan berupa kulit kasar dan berparit. Perbedaan penampakan dari permukaan kulit kayu kemungkinan dikarenakan oleh beberapa faktor seperti cara periderm tumbuh, struktur floem serta sifat dan jumlah jaringan yang dipisahkan dari batang periderm itu sendiri (Bratawinata 1987; Hidayat 1995). Lebih lanjut Haygreen dan Bowyer (1989) menjelaskan bahwa pembentukan periderm yang baru akan memutuskan hubungan jari-jari dengan periderm yang lebih tua sehingga pasokan energi putus dan menyebabkan semua jaringan diluar periderm akan mati. Loveless (1983) menambahkan bahwa kulit yang mencirikan berbagai jenis pohon dipengaruhi oleh kecepatan pembentukan dan kecepatan perusakan pada permukaan luar. Lapisan floem sekunder yang mengelupas berupa lembaran atau sisik. Bila belum rusak lapisan tersebut akan menumpuk, sedangkan keliling pohon bertambah terus maka akan terbentuk alur-alur yang merupakan ciri khas kulit pada sebagian besar pohon.

Table 1. Average value and macroscopic observation of Marobamban bark.

Macroscopical features Observation result Average value (mm)

Color of bark White grayish - Texture Groovy from top to the bottom - Bark Thickness - 12.74 Cross section features Rays pattern is straight until curve with very wide and very small form.

Border between active phloem and non active phloem is very clear. -

Bark condition Brittle bark. Bark is easy to be crushed -

Page 4: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

42 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Hal ini disebabkan karena sewaktu batang semakin menebal, periderm harus mengimbanginya dengan penambahan diameter melalui pembelahan membujur radial sel-sel felogen dan feloderm. Pecahnya sel-sel tersebut menyebabkan permukaan kulit kayu menjadi kasar dan membentuk alur-alur spesifik. Penampakan Bidang Melintang: Pengamatan bidang lintang kayu Marobamban menggunakan stereo mikroskop dengan perbesaran 8 kali. Terlihat pada bidang melintang kulit jari-jari yang terputus dan diikuti oleh sel-sel batu (skereid). Hal ini sesuai dengan pendapat Endert dalam Tjitrosoepomo (1977) yang menyatakan bahwa jari-jari jelas dan berkelok-kelok dan selanjutnya terputus, lalu diikuti oleh kumpulan sklereid. Ciri Mikroskopis

Pengamatan mikroskopis dilakukan untuk mengukur dimensi serat yang meliputi: panjang serat, diameter serat, diameter lumen dan tebal dinding serat serta menghitung nilai turunan serat untuk mengetahui nilai kualitas seratnya. Pengamatan mikroskopis terhadap sel-sel kulit lainnya tidak dapat dilakukan karena kulit mudah hancur. Hasil perhitungan rataan dimensi serat dapat dilihat ada Tabel 2.

Pada pengamatan serat kulit terlihat bahwa kulit kayu Marobamban memiliki serat yang berduri dengan ukuran serat yang relatif pendek, serat-serat tersebut sulit dipisahkan dan saling menyatu antara serat satu dan lainnya, sehingga harus menekan dengan menggunakan pinset atau sejenisnya untuk memisahkan serat-serat tersebut.

Rataan panjang serat kulit seperti tercantum pada Tabel 2 sebesar 857.23 µm berdasarkan klasifikasi IAWA (Wheeler et al. 1989) tergolong dalam klasifikasi pendek. Diameter serat dan lumen berdasarkan klasifikasi Wagenfuehr (1984) tergolong dalam klasifikasi besar dan sedang, sementara ketebalan dinding sel tergolong klasifikasi sangat tebal.

Gambaran dimensi serat kulit kayu Marobamban dengan bentuknya yang spesifik disajikan pada Gambar 4 dan 5.

Hasil perhitungan nilai turunan serat dapat dilihat pada Tabel 3. Penentuan kualitas serat kulit kayu Marobamban sebagai bahan baku pulp dan kertas menurut Rachman dan Siagian (1976), merupakan

kombinasi antara nilai panjang serat, nilai Runkel ratio, Felting power, Flexibility ratio, Coefficient of rigidity dan Muhlsteph ratio, maka berdasarkan hasil perhitungan nilai kualitas serat, maka kulit kayu Marobamban memiliki nilai 175 yang berarti termasuk dalam kelas kualitas serat III yang mempunyai ciri serat pendek, pipih dan ikatan antar serat cukup baik. Serat yang termasuk nilai kualitas III diduga dapat menghasilkan lembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik yang sedang. Pemanfaatan serat kulit kayu Marobamban sebagai bahan baku pulp masih memerlukan pengujian.

Figure 4. Fiber bark of Helicia spp. (1. fiber; 2.

parenchym) Magn.100x

Figure 5. Fiber dimension (1.diameter of fiber; 2.lumina;

3.wall thickness). Magn.400x

Table 2. Average value of fiber dimension and observation result.

Dimension of Fiber Observation result Average value (µm)

Length of fiber Toothed fiber and hooked to each other and classified to short category 857.23 Diameter of fiber Classified big 40.99 Diameter of lumina Classified moderate 13.63 Fiber wall thickness Classified very thick wall 13.71

Page 5: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Eccentric Fiber in the Bark of Marobamban 43 (Agus Sulistyo Budi and Nani Husein)

Table 3. Fiber class quality.

No Fiber Derivated Score Quality value Class of Quality

1. Runkel ratio 2.10 25 IV 2. Felting power 64.99 50 III 3. Flexibility ratio 1.05 25 IV 4. Coefficient of rigidity 0.33 25 IV 5. Muhlsteph ratio (%) 88.86 25 IV 6. Fiber length (µm) 857.23 25 IV

Total value 175 III

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan 1. Kulit kayu Marobamban memiliki kulit luar berwarna

putih dan beralur, permukaan kulit kasar dan berparit, tergolong kayu berkulit tebal (12.74 mm).

2. Serat kulit memiliki duri (bergerigi) dan menyerupai gada yang saling mengait satu dan lainnya dan sulit dipisahkan.

3. Nilai rataan dimensi serat kulit sebagai berikut: panjang serat 857.03 µm (pendek), diameter serat 40.99 µm (besar), lumen 13.63 µm (sedang) dan rataan tebal dinding serat 13.71 µm (sangat tebal).

4. Hasil perhitungan nilai turunan serat menunjukkan bahwa serat kulit kayu Marobamban tergolong dalam kelas kualitas serat III.

Saran

Tipe serat ini sangat berbeda dengan tipe serat yang telah ada, maka tipe ini disarankan dapat dimasukkan dalam katagori bentuk-bentuk serat versi IAWA.

Daftar Pustaka

Bratawinata, A.A. 1987. Dasar-dasar Dendrologi. Bagian I. Laboratorium Dendrologi dan Ekologi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

Budi, A.S. 2000. Struktur Kulit dari Beberapa Jenis

Pohon Tahan dan Tidak Tahan Kebakaran. Samarinda.

Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Diterjemahkan oleh S.A. Hadi Kusumo.

Hidayat, E.B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berkayu. Penerbit ITB. Bandung.

Loveless, A.R. 1983. Principles of Plant Biology for the Tropics. Longman Inc. New York.

Rachman, A.N. dan R.M. Siagian. 1976. Dimensi Serat Jenis Kayu Indonesia, Bagian III. Laporan No. 75, Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor.

Sass, J.E. 1961. Botanical Microtechnique. The IOWA State University Press.

Supraptono, B. 1996. Kadar Air Kayu Segar dan Kerapatan Dasar Bahan Baku Kayu Pulp dari Empat Jenis Acacia dan Albazia. Rimba Kalimantan. Jurnal Ilmiah Kehutanan Volume I No. 1. September 1996. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

Tjiitrosoepomo, R.G.S. 1977. Morphologi Tumbuh-tumbuhan. Diktat Kuliah Fakultas Kehutanan Universitas Gajahmada. Yogyakarta.

Wagenfuehr. 1984. Anatomie des Holzes, Veb, Fachbich Verlag Leipzig.

Wheeler, E.A; P. Baas; P.E. Gasson. 1989. IAWA List of Microscopic Features Hardwood Identification. IAWA Buletins. Vol. 10 (3).

Diterima (accepted) tanggal 23 Mei 2006 Agus Sulistyo Budi dan Nani Husien Laboratorium Anatomi dan Identifikasi Kayu Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. (Anatomy and Identification Laboratory, Faculty of Forestry, Mulawarman University) Tel : 0541-200296 E-mail : [email protected]

Page 6: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

44 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Rasio Lendutan Geser terhadap Lendutan Lentur dan Pengaruhnya terhadap Kekakuan Lentur (EI) pada Balok Kayu

Ratio of Shear to Bending Deflection and Its Influence to Bending Stiffness (EI) of Timber Beam

Indah Sulistyawati

Abstract

Bending Stiffness values which is expressed in EI can be obtained by using bending test of beam in laboratory.

Base on value of deflection that was entered to one particular equation, the bending stiffness can be calculated. Usually bending test in laboratory was conducted with beam put down above two simple placements by giving one point loading in the middle span or two points loading in one-third span each. The deflection was measured in the middle of span. In the calculation of bending stiffness, usually used the deflection of the bending moment only. In fact, there was deflection caused by shear load, so total deflection in the middle span is bending deflection plus shear deflection. The shear deflection on beams with certain length and dimension was compared to bending deflection that has different value to each other. The test of Acacia mangium timber beam showed that comparison value has variety; it can reach more than 15%. This matter will influence the value of the bending stiffness of beam. By including shear deflection higher bending stiffness value will be obtained, so it will yield more economical design.

The objective of this research was to determine ratio of shear to bending deflection, and the influence of calculation of bending stiffness if shear deflection on the beam with certain dimension and length of span is calculated.

Key words: bending stiffness, deflection, bending moment, shear load, Acacia mangium

Pendahuluan

Didalam memperoleh nilai kekakuan lentur (EI) dari hasil uji lentur balok hampir atau selalu mengabaikan lendutan akibat gaya geser. Pada kondisi tertentu gaya geser yang dipikul oleh balok mempunyai pengaruh terhadap lendutan total sehingga memungkinkan untuk diperhitungkan. Lendutan total sebenarnya yang terjadi adalah jumlah lendutan akibat momen lentur dan gaya geser, sehingga dapat dituliskan sebagai persamaan

geserlenturmomentotal yyy +=

Apabila lendutan akibat gaya geser diabaikan dan

hanya memperhitungkan lendutan akibat momen lentur, dapat mempengaruhi nilai kekakuan lentur (EI) dari balok. Besar lendutan geser dari balok dapat diperoleh dari perhitungan dengan cara analitik, selanjutnya nilai tersebut digunakan untuk menghitung kekakuan lentur sebenarnya. Dengan memperhitungkan lendutan geser akan diperoleh nilai kekakuan lentur yang berbeda apabila tanpa memperhitungkan lendutan gesernya. Didalam desain balok, dengan memperhitungkan nilai EI yang lebih besar menunjukkan kemampuan balok menahan lendutan lebih besar pula atau dapat dikatakan bahwa balok lebih kaku. Hal ini menghasilkan desain yang lebih ekonomis dibandingkan kalau menggunakan nilai EI yang lebih kecil. Nilai EI yang sebenarnya dapat diperoleh apabila memperhitungkan lendutan yang terjadi akibat

momen lentur maupun gaya geser. Besaran dan perbedaan kedua lendutan tersebut perlu diketahui dan dikaji pengaruhnya sehubungan dengan sifat kekakuan lentur balok.

Berdasarkan teori energi yang telah dibahas didalam beberapa buku pustaka (Radeliffe 1953; Biblis 1965; Beer dan Johnston 1992; Gere dan Timoshenko 1997; Oden dan Ripperger 1981; Timoshenko 1976; Tauchert 1974) dan selanjutnya diselesaikan dengan teori Castigliano dapat diperoleh persamaan lendutan akibat momen lentur maupun gaya geser.

Persamaan untuk lendutan akibat momen lentur adalah:

dxXM

EIMy

X

L

b ∂∂

==∫ 0

0

………………..(1)

dimana 0=X

M adalah momen lentur akibat beban luar

dan dapat ditulis sebagai M, sedangkan XM∂∂

adalah

momen lentur m akibat beban satu satuan pada titik yang lendutannya akan dicari, dan lendutan akibat gaya geser adalah:

dxXV

GAVky

X

L

s ∂∂

==∫ 0

0

.....................(2)

Page 7: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Ratio of Shear to Bending Deflection and Its Influence to Bending Stiffness (EI) of Timber Beam 45 (Indah Sulistyawati

dimana 0=X

V adalah gaya geser akibat beban luar dan

dapat ditulis sebagai V, sedangkan XV∂∂

adalah gaya

geser v akibat beban satu satuan pada titik yang lendutannya akan dicari. E adalah modulus elastisitas, I adalah momen inersia penampang, G adalah modulus geser, A adalah luas penampang, dan k adalah faktor bentuk penampang balok.

Didalam mendapatkan nilai lendutan akibat gaya geser terlebih dahulu harus mengetahui besar nilai G material kayu, karena didalam menghitung besar lendutan geser diperlukan nilai tersebut yang dapat diperoleh dari pengujian laboratorium, yaitu dengan memanfaatkan perbandingan lendutan akibat pengujian balok ukuran sebenarnya dan bebas cacat (Sulistyawati 2005).

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah memperoleh rasio lendutan geser terhadap lendutan lentur dan pengaruh didalam perhitungan kekakuan lentur EI apabila juga memperhitungkan lendutan geser yang

terjadi pada balok dengan dimensi dan panjang bentang tertentu.

Material dan Metode

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu : 1. Pengujian Laboratorium: Pengujian laboratorium dilakukan untuk

mendapatkan nilai G material kayu. Kayu yang digunakan sebagai benda uji adalah Acacia mangium yang ditebang dari hutan di Parung Panjang dengan umur kayu 10 tahun 6 bulan. Pengeringan dilakukan secara alamiah dengan cara menyusun kayu, diberi antara dan diletakkan pada ruang terbuka dan beratap. Pada saat pengujian kayu dalam kondisi kering udara dengan kadar air sekitar 14 sampai dengan 16%.

Figure 1. Two loading conditions. (a) Bending Moment (M) diagram (b) Shear Load (V) diagram (c) Deflection P = Load L = Length of Span yb = Bending Deflection ys = Shear Deflection

y total yb ys

(c)

(a) M

P

½ L ½ L

L

1/3 L 1/3 L 1/3 L

½ P ½ P

P

L

(b) V

Page 8: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

46 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Table 1. Dimension of each category (in mm). Notes: b = width; h = height; L = span.

2. Perhitungan Analitik:

Perhitungan secara analitik dilakukan untuk mendapatkan persamaan lendutan akibat momen lentur dan gaya geser. Modulus geser hasil pengujian laboratorium digunakan didalam perhitungan lendutan geser. Selanjutnya dihitung besar perbandingan nilai lendutan geser terhadap lendutan lentur, kemudian digambarkan dalam bentuk grafik. Pengamatan dilakukan dengan dua macam

pembebanan yaitu (1) beban terpusat ditengah bentang, merupakan pembebanan untuk kategori 1 sampai dengan 4 dan (2) beban terpusat pada masing-masing satu pertiga bentang untuk kategori 5 sampai 8, seperti pada Gambar 1. Seluruh kategori dilakukan untuk balok yang terletak diatas perletakan sederhana. Masing-masing kategori terdiri dari 14 variasi dimensi balok kayu yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Lebar balok (b) merupakan sisi pada arah sumbu x dan tinggi balok (h) pada sumbu y. Kategori dengan nomor ganjil merupakan balok yang diletakkan secara vertikal dan nomor genap balok diletakkan secara horizontal.

Hasil dan Pembahasan

Telah diketahui bahwa persamaan untuk lendutan akibat lentur mempunyai faktor pembagi EI dan GA untuk lendutan akibat gaya geser. Nilai G diperoleh dari pengujian laboratorium dengan melakukan pengujian

balok lentur untuk mendapatkan modulus elastisitas benda uji dengan ukuran full scale (Efs) dan benda uji ukuran small clear (Esc). Dengan menggunakan grafik hubungan a = G/Efs pada sumbu x dan perbandingan Efs/Esc pada sumbu y maka akan diperoleh nilai G, seperti dapat dilihat pada Gambar 2 (Sulistyawati 2005).

1.00

1.05

1.10

1.15

1.20

1.25

1.30

1.35

1.40

1.45

1.50

1.55

1.60

1.65

1.70

1.75

1.80

0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10 0.11 0.12 0.13 0.14 0.15

a = G/E fs

E fs/E

sc

Figure 2. Shear modulus (G) of timber

Nilai G kayu Acacia mangium adalah 1/17.45 x E.

Berdasarkan perhitungan secara analitik menggunakan

Category 1 Category 2 Category 3 Category 4

No b h L = 14 h No b h

L = 14 b No b h L No b h L

1 50 100 1400 1 100 50 1400 1 50 100 3000 1 100 50 3000 2 60 120 1680 2 120 60 1680 2 60 120 3000 2 120 60 3000 3 80 150 2100 3 150 80 2100 3 80 150 3000 3 150 80 3000 4 80 200 2800 4 200 80 2800 4 80 200 3000 4 200 80 3000 5 100 200 2800 5 200 100 2800 5 100 200 3000 5 200 100 3000 6 120 200 2800 6 200 120 2800 6 120 200 3000 6 200 120 3000 7 150 200 2800 7 200 150 2800 7 150 200 3000 7 200 150 3000 8 100 250 3500 8 250 100 3500 8 100 250 3000 8 250 100 3000 9 120 250 3500 9 250 120 3500 9 120 250 3000 9 250 120 3000 10 150 250 3500 10 250 150 3500 10 150 250 3000 10 250 150 3000 11 200 250 3500 11 250 200 3500 11 200 250 3000 11 250 200 3000 12 100 300 4200 12 300 100 4200 12 100 300 3000 12 300 100 3000 13 120 300 4200 13 300 120 4200 13 120 300 3000 13 300 120 3000 14 150 300 4200 14 300 150 4200 14 150 300 3000 14 300 150 3000

Page 9: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Ratio of Shear to Bending Deflection and Its Influence to Bending Stiffness (EI) of Timber Beam 47 (Indah Sulistyawati

persamaan (1) dan (2), diperoleh perbandingan besar lendutan geser terhadap lendutan lentur dalam bentuk persamaan dan dapat dilihat seperti pada Tabel 2 dimana h = tinggi balok L = panjang bentang α = E/G material

Berdasarkan persamaan seperti pada Tabel 2, dihitung rasio lendutan geser terhadap lendutan lentur balok kayu Acacia mangium (G = 1/17.45 E) dengan

kondisi kategori 1 sampai dengan 8 yang selanjutnya dinyatakan dalam bentuk grafik (Gambar 3). Untuk balok yang mempunyai panjang bentang dengan faktor tetap terhadap h yaitu 14 seperti pada kategori 1 dan 5 mempunyai rasio ys/yb yang tetap yaitu masing-masing 10.6% dan 8.36%. Meskipun pada masing-masing kategori terdiri dari balok yang mempunyai lebar berbeda, rasio tidak berubah.

Table 2. Ratio of shear to bending deflection. One point loading in the middle span Two point loading in one-third span each

ys/yb 2.1=483.0

3PLEI

xGA

PLα2

2

2.1Lh

α2

2

9391.0Lh

Figure 3. Ratio of shear to bending deflection.

0

5

10

15

20

25

Differences of Deflection(%)

Category 5 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36 8,36

Category 6 2,09 2,09 2,38 1,34 2,09 3,01 4,7 1,34 1,93 3,01 5,35 0,93 1,34 2,09

Category 7 1,82 2,62 4,1 7,28 7,28 7,28 7,28 11,4 11,4 11,4 11,4 16,4 16,4 16,4

Category 8 0,46 0,66 1,17 1,17 1,82 2,62 4,1 1,82 2,62 4,1 7,28 1,82 2,62 4,1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

P

0

5

10

15

20

25

Differences of Deflection (%)

Category 1 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7 10,7

Category 2 2,67 2,67 3,04 1,71 2,67 3,85 6,01 1,71 2,46 3,85 6,84 1,19 1,71 2,67

Category 3 2,33 3,35 5,23 9,31 9,31 9,31 9,31 14,5 14,5 14,5 14,5 20,9 20,9 20,9

Category 4 0,58 0,84 1,49 1,49 2,33 3,35 5,23 2,33 3,35 5,23 9,31 2,33 3,35 5,23

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

P

Page 10: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

48 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Hal itu terjadi oleh karena persamaan rasio lendutan geser terhadap lendutan lentur merupakan fungsi kuadrat dari tinggi terhadap panjang bentang balok. Rasio modulus elastisitas terhadap modulus geser dikalikan dengan faktor 1.2 umtuk satu beban terpusat ditengah bentang dan 0.9391 untuk dua beban terpusat masing-masing pada 1/3 bentang merupakan nilai tetap. Untuk panjang balok yang bukan fungsi tetap dari tinggi balok mempunyai rasio ys/yb masing-masing berbeda.

Gambar 4 merupakan kurva hubungan h2/l2 terhadap ys/yb, dapat digunakan untuk menentukan besar perbedaan lendutan geser terhadap lendutan lentur maksimum yang diinginkan, sehingga dapat menentukan tinggi dan panjang bentang balok.

Dari nilai lendutan geser yang diperoleh dari perhitungan secara analitis kemudian dapat digunakan untuk menghitung besar EI sebenarnya, yaitu

)(48

3

slabuji yyPLEI

−= ……..(3)

untuk satu beban terpusat ditengah bentang, dan

)(129623 3

slabuji yyPLEI

−= …….(4)

untuk dua beban terpusat masing-masing pada 1/3 bentang

Dari persamaan (3) dan (4) terlihat bahwa faktor pembagi akan menjadi lebih kecil apabila memperhitungkan lendutan geser, sehingga nilai kekakuan lentur balok akan lebih besar.

Kesimpulan

Dari hasil analisis pada delapan kategori pengamatan untuk balok kayu Acacia mangium dapat disimpulkan bahwa: 1. Perbandingan kuadrat tinggi terhadap panjang

bentang merupakan nilai faktor yang mempengaruhi rasio lendutan geser dan lendutan lentur selain rasio modulus elastisitas terhadap modulus geser material.

2. Apabila perbandingan panjang bentang merupakan perkalian tinggi balok dengan nilai tetap, maka rasio lendutan geser terhadap lentur tidak berubah.

3. Dengan memperhitungkan lendutan geser akan memperbesar kekakuan lentur (EI).

4. Dengan nilai EI yang lebih besar berarti kapasitas balok menahan lendutan lebih besar, sehingga desain akan lebih ekonomis.

5. Bertambah besar nilai h2/L2, nilai ys/yb akan semakin besar pula.

0

5

10

15

20

25

0,000 0,002 0,004 0,006 0,008 0,010 0,012

(h/L)2

ys/y

b (%

)

Category 1 Category 3 Category 5 Category 7

Figure 4 The relation of square of height divided by length of span to rasio of shear divided by bending deflection of

Acacia mangium species.

Page 11: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Ratio of Shear to Bending Deflection and Its Influence to Bending Stiffness (EI) of Timber Beam 49 (Indah Sulistyawati

Daftar Pustaka ASTM D 198-99. Standard Test Methods of Static Test of

Lumber in Structural Sizes. Radeliffe B.M. 1953. Shear Deflection in Timber Beams

and A Method for the Determination of Shear Moduli, Purdue University Agricultural Experiment Station Lafayette, Indiana.

Biblis EJ. 1965. Shear Deflection of Wood Beams. Yale University, New Haven, Conn.

Beer F.P. and E.R. Johnston, Jr. 1992. Mechanics of Material, Second Edition. McGraw Hill Book Company England.

Gere J.M. and S.P. Timoshenko. 1997. Mechanics of Material, Fourth Edition. PWS Publishing Company, a Division of International Thomson Publising Inc.

Oden J.T. and E.A. Ripperger. 1981. Mechanics of Elastic Structures. Second Edition. Hemisphere Publising Corporation, Washington.

Timoshenko S. 1976. Strength of Materials. Robert E, Third Edition. Krieger Publishing Company Huntington, New York.

Sulistyawati I. 2005. Menduga Modulus Geser dengan Memanfaatkan Modulus Elastisitas Contoh Uji Ukuran Pemakaian dan Bebas Cacat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 3 (1): 15-21.

Tauchert T.R. 1974. Energy Principles in Structural Mechanics. McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.

Diterima (accepted) tanggal 25 April 2006 Indah Sulistyawati Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan (Lecturer of Civil Engineering and Planning Department) Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Trisakti (Faculty of Civil Engineering and Planning, Trisakti University) Gedung Hafidin Rohyan lt 5 (Gedung C) Kampus A Jl. Kyai Tapa no. 1, Grogol 11620 Jakarta Barat Tel : 021- 5663232 ext 219, 220 Hp : 08161316634 Email : [email protected], [email protected]

Page 12: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

50 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Penampilan Kayu Kelapa (Cocos nucifera Linn) Bagian Dalam yang Dimampatkan

Performance of Densified Inner-Part of Coconut Wood (Cocos nucifera Linn)

Isna Yuniar Wardhani, Surjono Surjokusumo, Yusuf Sudo Hadi dan Naresworo Nugroho

Abstract

The inner-part of coconut wood has low to medium density, which have not been utilized yet optimally as construction material. The purpose of this study was to improve the properties of inner-part of coconut wood by densification, such as it can be considered as a substitute of wood. Pre-treatments were steaming (a1) and boiling (a2) at 120°C for 15 minutes, and pressing temperature were 150°C (b1) and 175°C (b2). Deformation targets were 10% (c1), 20% (c2) and 30% (c3) from the initial thickness. The results indicated that the treatments did not affect to some of the densified wood properties. The appearance of panel surface was smooth and shine, but darker than that of solid. The increasing of density was 4.43 ~ 27.21% with strain recovery of 0.17 ~ 0.52 after soaking in water for 24 hours at room temperature. Key words: coconut wood, inner-part, densification, strain recovery.

Pendahuluan

Kayu Kelapa bagian dalam (inner part) mempunyai kerapatan rendah hingga sedang yang kebanyakan dibuang atau dijadikan kayu bakar, karena kekuatannya yang rendah. Menurut Arancon (1997), kerapatan kayu Kelapa bagian dalam, tengah dan tepi masing-masing adalah 0.11 g/cm3, 0.42 g/cm3 dan 0.85 g/cm3. Pemampatan (densification) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan mutu kayu Kelapa bagian dalam. Dwianto et al. (1998) menyatakan bahwa cara efektif untuk meningkatkan kekuatan kayu daun jarum (softwood) seperti Sugi (Cryptomeria japonica D. Don) adalah dengan pemampatan.

Proses pemampatan dapat meningkatkan kerapatan dan kekuatan kayu yang umumnya dilakukan pada kayu jenis dikotil berkerapatan rendah seperti Sengon dan Agathis, dan belum ada informasi tentang pemampatan kayu Kelapa. Killmann dan Koh (1988) memampatkan kayu Sawit dan kerapatannya meningkat hingga 165%. Kayu Kelapa dan kayu Sawit mempunyai struktur anatomi yang sama, sehingga memungkinkan untuk memampatkan kayu Kelapa menjadi bahan yang mempunyai sifat lebih baik dari kayu Kelapa yang tidak dimampatkan dan dapat dijadikan alternatif pengganti kayu konvensional yang sudah semakin berkurang jumlahnya.

Kayu Kelapa hasil proses pemampatan sebagai alternatif pengganti kayu solid perlu diketahui sifat-sifatnya untuk menghindari terjadi kesalahan dalam pemanfaatannya. Hal-hal tersebut masih belum banyak diinformasikan sehingga dirasa perlu untuk menelitinya lebih lanjut.

Penelitian ini bertujuan memampatkan bagian dalam batang Kelapa sehingga didapat bahan yang mempunyai sifat yang lebih baik. Dari hasil penelitian ini diharapkan didapat bahan yang dapat digunakan untuk

bahan bangunan, khususnya bahan interior karena kayu Kelapa mempunyai dekoratif yang unik dan indah.

Bahan dan Metode

Bahan dan Alat Bahan utama penelitian ini adalah papan Kelapa

berukuran 10 x 2 x 36 cm (T x R x L) dengan kerapatan normal 0.40 ~ 0.57 g/cm3 sedangkan peralatan yang digunakan antara lain adalah gergaji bundar, ketam, mesin kempa panas, autoclave, tanur pengering, moisture meter, kaliper, neraca analitis, desikator dan penangas air.

Prosedur Papan kayu Kelapa yang telah mempunyai kadar

air kering udara yang seragam selanjutnya dikukus (a1) dengan uap air atau direbus (a2) dalam autoclave pada temperatur 120°C selama 15 menit, sehingga sel-sel kayu menjadi lunak karena pada penelitian pendahuluan yang tidak dilakukan pelunakan, pemampatan tidak terjadi dengan sempurna.

Papan yang telah dikukus atau direbus tersebut selanjutnya didinginkan selama 5 menit lalu ditutupi dengan aluminium foil untuk menghindari terjadinya gosong dan dimampatkan dengan kempa panas pada temperatur 150°C (b1) dan 175°C (b2). Pengempaan dilakukan hingga tercapai deformasi sebesar 10% (c1), 20% (c2) dan 30% (c3) dari tebal papan awal yaitu 2 cm. Waktu dan tekanan kempa yang diaplikasikan dicari berdasarkan target tebal yang diinginkan, yaitu berkisar antara 23 ~ 45 menit.

Setelah papan kering, plat pres diangkat.

Page 13: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Performance of Densified Inner-Part of Coconut Wood (Cocos nucifera Linn) 51 (Isna Yuniar Wardhani, Surjono Surjokusumo, Yusuf Sudo Hadi and Naresworo Nugroho)

Papan hasil pemampatan selanjutnya dikondisikan selama 14 hari dan diukur kerapatan papan setelah dipadatkan.

Papan dipotong untuk dibuat contoh kerapatan, uji penyerapan air dan pengembangan tebal (JIS A-5908, 1994), dan pemulihan tebal (strain recovery = SR) (Dwianto et al. 1998; Higashihara et al. 2002) yang dihitung berdasarkan kering oven.

SR dihitung dengan rumus : (Tr - Tc/To - Tc) (100) dimana: Tr = tebal setelah direndam 24 jam Tc = tebal setelah di pres To = tebal sebelum di pres

Analisis Data

Penampilan fisis kayu Kelapa bagian dalam yang dimampatkan ditampilkan dalam bentuk foto sedangkan data hasil pengamatan ditampilkan dalam bentuk grafik.

Hasil dan Pembahasan

Proses Pemampatan Kayu Kelapa Dalam proses pembentukan kayu seperti

pelengkungan dan pemampatan, dinding sel kayu harus bersifat lunak atau plastis sehingga lebih mudah dibentuk. Dinding sel kayu merupakan komposit yang terdiri dari beberapa lapisan yang heterogen, baik struktur maupun komposisi kandungan kimianya. Komponen utama penyusun dinding sel kayu adalah rantai selulosa yang bergabung membentuk mikrofibril. Tiap lapisan dinding sel mempunyai arah mikrofibril yang berbeda, yang diselubungi oleh matrik berupa lignin dan hemiselulosa (Kollmann dan Cöté 1984; Tsoumis 1991; Dwianto et al. 1998; Li dan Cown 2004). Pelunakan dinding sel dapat dilakukan dengan berbagai cara dan plastisasi dinding sel akan terjadi bila matrik melunak. Menurut Takahashi et al. (1998), pelunakan kayu terjadi pada dua tahap yaitu pelunakan lignin saat tercapai temperatur transisi gelas (Tg) lignin sebesar 83°C (Tabarsa 2002) dan dekomposisi hemiselulosa dinding sel menjadi monomer gula pada temperatur sekitar 180°C.

Waktu yang diperlukan untuk mencapai tebal target dari semua perlakuan berkisar antara 2.8 ~ 4.0 menit, dengan waktu rataan masing-masing adalah 3 menit, 3.5 menit dan 4 menit untuk perlakuan c1, c2 dan c3. Pengempaan dilakukan secara bertahap untuk menghindari kerusakan pada sel kayu karena bila tekanan diberikan secara mendadak maka dapat menyebabkan noktah atau dinding sel pecah.

Pemberian tekanan atau gaya pada arah tegak lurus serat kayu melampaui titik proporsional akan menyebabkan terjadi perubahan bentuk elastis dan bila gaya terus diberikan, maka akan mulai terjadi kerusakan tekan (compressive failure). Peningkatan pemberian gaya

secara bertahap menyebabkan sel mengempis karena memipihnya rongga sel. Tekanan kempa yang diperlukan untuk mencapai tebal target sebesar 8.8 ~ 17.6 kg/cm2 dan ada kecenderungan semakin besar penurunan tebal yang ingin dicapai maka diperlukan tekanan yang lebih besar.

Pemampatan kayu dalam waktu yang singkat akan berakibat panel yang dihasilkan tidak sempurna dan kayu dapat kembali ke bentuk semula bila beban dilepas pada saat belum tercapai kondisi deformasi tetap. Untuk itu diperlukan waktu kempa yang lebih lama sebagai pengeringan lanjutan yang disebut drying set.

Drying set untuk semua perlakuan berkisar antara 23 ~ 45 menit, yang berarti total waktu pengempaan berkisar 30 ~ 50 menit tergantung kerapatan kayu yang dimampatkan. Semakin tinggi kerapatannya, maka waktu yang diperlukan untuk mencapai target tebal dan drying set semakin lama. Proses ini merupakan usaha untuk mengeluarkan air terikat dari dinding sel kayu tetapi menahan kayu dalam deformasi permanen tanpa merusak struktur sel kayu. Tsoumis (1991) menyatakan bahwa usaha pelepasan molekul air di bawah titik jenuh serat akan berakibat menyusutnya dimensi sel yang bila dilakukan secara mendadak akan menyebabkan kerusakan pada dinding sel dan kayu.

Hasil Pemampatan Kayu Kelapa Bagian Dalam Perubahan Kerapatan: Papan yang dijadikan sampel mempunyai kerapatan 0.40 ~ 0.57 g/cm3 dengan kerapatan rata-rata 0.46 g/cm3, sedangkan kerapatan akhir papan terpadatkan berkisar antara 0.42 ~ 0.69 g/cm3 dengan rataan 0.53 g/cm3 atau terjadi kenaikan kerapatan berkisar 4.43 ~ 27.21% seperti pada Gambar 1.

Persentase kenaikan kerapatan tidak mencapai target sebesar 10%, 20% dan 30% seperti yang diharapkan sesuai dengan besar deformasi, karena pada saat dikondisikan, terjadi kenaikan kadar air yang menyebabkan kayu mengembang terutama dimensi tebalnya rata-rata sebesar 2.88%. Selain itu, menurut Blomberg (2004) kerapatan kayu termampatkan dapat menurun dari 1.50 g/cm3 menjadi 1.00 g/cm3 saat tekanan dilepas karena sifat elastis kayu. Penyebab lain adalah penurunan berat papan karena adanya zat ekstraktif yang terlarut atau menguap selama proses berlangsung terutama yang terdapat sel-sel di permukaan papan. Pemadatan dengan temperatur 150°C (b1) meningkatkan kerapatan sebesar 13.5% sedangkan 175°C (b2) sebesar 15.6%. Secara statistik nilai keduanya tidak berbeda, yang berarti temperatur kempa bukan faktor yang menentukan peningkatan kerapatan kayu Kelapa setelah dimampatkan, seperti halnya perlakuan perebusan dan pengukusan.

Page 14: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

52 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

0

5

10

15

20

25

30

Den

sity

enh

ance

men

t (%

)

a1b1

c1a1

b1c2

a1b1

c3a1

b2c1

a1b2

c2a1

b2c3

a2b1

c1a2

b1c2

a2b1

c3a2

b2c1

a2b2

c2a2

b2c3

Treatment

Figure 1. The enhancement of density after densification. Notes: a1 = steaming; a2 = boiling

b1 = 150°C; b2 = 175°C c1 = 10%; c2 = 20%; c3 = 30%

Kesulitan pemampatan kayu Kelapa disebabkan sebaran ikatan pembuluh yang tidak merata dalam satu papan sehingga kerapatannya menjadi heterogen. Hal ini menyebabkan terjadi perbedaan tingkat deformasi antar bagian papan pada saat pemampatan. Bagian papan yang berkerapatan lebih rendah lebih mudah dipadatkan. Peningkatan kerapatan yang tidak mencapai target juga terjadi pada pemampatan kayu Sawit yang hanya meningkat sebesar 18% dari target 50% penurunan tebal (Sumardi dan Rasyid 2002). Sementara itu Killmann dan Koh (1988) dapat meningkatkan kerapatan kayu Sawit hingga 165%, terutama kayu Sawit berkerapatan rendah dan semakin tinggi kerapatan awal kayu Sawit maka persen kenaikan kerapatan semakin kecil. Penampilan Papan Termampatkan: Pemampatan kayu Kelapa menghasilkan papan termampatkan yang mengalami perubahan warna jika dibandingkan dengan kayu asalnya. Penampakan visual permukaan papan asal pemampatan untuk semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa kayu Kelapa yang dipadatkan dengan temperatur 175°C mempunyai warna yang relatif lebih gelap dibandingkan dengan 150°C, karena terjadi perubahan warna akibat suhu yang tinggi. Pemanasan menyebabkan perubahan warna kayu dikatakan oleh Hayashi et al. (2002) dan ini terlihat dari warna kayu asal yang lebih cerah dibandingkan kayu Kelapa hasil pemampatan dengan kempa panas. Dari semua perlakuan penurunan tebal, tidak terdapat papan yang rusak atau cacat secara fisik seperti menggelembung pada bagian tengah, terpuntir atau meledak, seperti hasil penelitian Sulistiyono (2001). Cacat yang terjadi hanya berupa perubahan warna

menjadi gelap atau adanya noda pada permukaan papan seperti papan E pada Gambar 2.

Figure 2. Performance of coconut wood before and after

densification. Notes: A = solid wood;

B = steaming and hot pressing at 150°C C = steaming and hot pressing at 175°C D = boiling and hot pressing at 150°C E = boiling and hot pressing at 175°C

B

D

C

E

A

Black spot

Page 15: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Performance of Densified Inner-Part of Coconut Wood (Cocos nucifera Linn) 53 (Isna Yuniar Wardhani, Surjono Surjokusumo, Yusuf Sudo Hadi and Naresworo Nugroho)

Perubahan warna menjadi gelap atau adanya noda terjadi karena gula yang muncul di permukaan kayu menjadi gosong akibat pengempaan panas. Noda terutama terjadi pada papan yang berasal dari bagian tengah yang banyak mengandung zat ekstraktif pada parenkimnya.

Dari seluruh sampel yang berjumlah 36 papan, papan yang mengalami perubahan warna menjadi gelap atau ada noda di sebagian permukaannya hanya berjumlah 4 papan (11%), sedangkan yang lainnya mempunyai warna yang cerah dengan kesan raba yang halus. Kesan raba yang halus ini akan memudahkan dalam proses pengerjaan kayu selanjutnya. Misalnya bila akan digunakan untuk mebel, langit-langit atau dinding, maka papan terpadatkan tidak perlu diampelas lagi. Kesan raba yang lebih halus dari kayu asal terjadi karena adanya pemampatan pori atau rongga sel kayu, sehingga permukaannya menjadi halus dibandingkan dengan kayu dengan pori atau rongga yang besar-besar.

Kayu Kelapa mempunyai sifat dekoratif yang indah karena adanya ikatan pembuluh dan dekoratif itu tidak mengalami perubahan karena proses pemampatan. Selain itu, proses pemampatan menyebabkan permukaan kayu Kelapa terpadatkan menjadi lebih mengkilap dibandingkan kayu asalnya. Penyerapan Air dan Pengembangan Tebal dengan Perendaman 24 jam: Nilai rataan penyerapan air kayu Kelapa terpadatkan sebesar 54.1% dengan pengembangan tebal rata-rata 8.1%, seperti pada Gambar 3.

01020304050607080

a1b1c

1 a1

b1c2

a1b1c

3 a1

b2c1

a1b2c

2 a1

b2c3 a2

b1c1

a2b1c

2 a2

b1c3

a2b2c

1 a2

b2c2

a2b2c

3

Treatment

Wate

r abs

orptio

n (%

)

02

46

810

1214

Thick

ness

swell

ing (%

)

Water absorption (%) Thickness swelling (%) Figure 3. Water absorption and thickness swelling of

densified coconut wood after 24 hours water soaking.

Gambar 3 menunjukkan kecenderungan semakin besar penurunan tebal maka penyerapan air dan pengembangan tebal meningkat. Penyerapan air tertinggi pada a1b1c3 (74.8%) dan terendah pada a1b1c1 (35.9%). Perlakuan a1b1c3 juga menghasilkan pengembangan tebal

terbesar yaitu 12.45% dan terkecil pada perlakuan a2b2c1 sebesar 3.95%. Penyerapan air dan pengembangan tebal terutama disebabkan oleh faktor c (tingkat deformasi setelah pengempaan). Semakin besar tingkat deformasi, maka volume rongga sel semakin berkurang dan saat direndam dalam air, rongga sel kembali menyerap air. Hal ini menyebabkan terjadi peningkatan penyerapan air dan pengembangan tebal seiring dengan semakin besar tingkat deformasi yang diinginkan karena fiksasi belum tercapai secara sempurna. Waktu pengepresan yang kurang lama merupakan faktor yang menyebabkan fiksasi belum tercapai.

Pemulihan Peregangan (Strain recovery, SR): Peregangan kembali (SR) kayu Kelapa terpadatkan untuk setiap perlakuan berkisar 0.17 ~ 0.52 seperti disajikan pada Gambar 4. Dari hasil perhitungan untuk tiap faktor perlakuan, diketahui bahwa perlakuan b1 (150°C) mempunyai nilai rataan SR sebesar 0.42 dan lebih besar dari b2 (175°C) yaitu 0.34. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan b2 menghasilkan kayu Kelapa terpadatkan dengan dimensi yang lebih stabil dan berarti terjadi deformasi yang lebih baik. Dwianto et al. (1999); Dwianto et al. (2000); dan Higashihara et al. (2002) menyatakan bahwa semakin tinggi temperatur kempa maka SR kayu terpadatkan akan semakin kecil.

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

Stra

in re

cove

ry

a1b

1c1

a1b

1c2

a1b

1c3

a1b

2c1

a1b

2c2

a1b

2c3

a2b

1c1

a2b

1c2

a2b

1c3

a2b

2c1

a2b

2c2

a2b

2c3

Treatment

Figure 4. Strain recovery of densified coconut wood after immersion in room temperature water for 24 hours.

Kesimpulan dan Saran

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa waktu dan

tekanan untuk mencapai tebal target, serta waktu drying set tergantung dari kerapatan awal papan, dengan peningkatan kerapatan sebesar 4.43 ~ 27.21% dari kerapatan awal dan terjadi pemipihan pembuluh metaxilem dan sel parenkim.

Papan Kelapa yang dimampatkan dengan temperatur 175°C (b2) berwarna relatif lebih gelap

Page 16: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

54 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

dibandingkan hasil perlakuan b1 (150°C) dan pada sebagian papan yang direbus (a2) terdapat noda bercak di permukaannya.

Kesan raba permukaan kayu Kelapa yang dimampatkan lebih halus dan lebih mengkilap dari kayu asal. Kayu Kelapa mempunyai sifat dekoratif yang indah dan dekoratif itu tidak mengalami perubahan karena proses pemampatan.

Penyerapan air dan pengembangan tebal (24 jam) lebih dipengaruhi oleh faktor tingkat deformasi (c), semakin besar tingkat deformasi maka penyerapan air dan pengembangan tebal semakin besar pula, dengan pemulihan peregangan (SR) lebih kecil dari 0.60.

Dengan teknologi pemampatan yang sederhana, kayu Kelapa bagian dalam yang berkerapatan rendah-sedang dapat diolah untuk mengurangi limbah dan memberdayakan masyarakat di sekitar perkebunan Kelapa.

Kayu Kelapa yang dimampatkan mempunyai dekoratif yang indah, halus dan mengkilap sehingga dapat dimanfaatkan untuk dinding atau plafon.

Untuk mengetahui perubahan struktur kimia dari komponen kimia kayu Kelapa, maka perlu diteliti lebih lanjut perubahan yang terjadi akibat pengempaan panas.

Daftar Pustaka

Arancon, R.N. Jr. 1997. Asia Pacific Forestry Sector Outlook: Focus on Coconut Wood. Working Paper Series. Asian and Pacific Coconut Community. Bangkok.

Blomberg, J. 2004. Compression Mechanism and Strength Properties of Semi-isostatically Densified Wood.http://epubl.luth.se/1402-1757/2004/07/ index-en.html (4 Mei 2004)

Dwianto, W; M. Norimoto; T. Morooka; F. Tanaka; M. Inoue; Y. Liu. 1998. Radial Compression of Sugi Wood (Cryptomeria japonica D. Don). Holz als roh-und Werkstoff 56: 403-411. Springer-Verlag.

Dwianto, W; T. Morooka; M, Norimoto; T. Kitajima. 1999. Stress Relaxation of Sugi (Cryptomeria japonica D. Don) Wood in Radial Compression under High Temperature Steam. Holzforschung 53: 541-546. Walter de Gruyter. Berlin New York.

Dwianto, W; T. Morooka; M. Norimoto. 2000. Compressive Creep of Wood under High Temperature Steam. Holzforschung 54: 104-108. Walter de Gruyter. Berlin New York.

Hayashi, K; M. Sugimori; K. Yamashita. 2002. Color Change of Wood during High Temperature Drying. In: Dwianto, W. et al. Proceeding of 4th International Wood Science Symposium. September 2-5, 2002, Serpong. Indonesia. pp. 72-73

Higashihara, T; T. Morooka; M. Norimoto. 2002. Permanent Fixation of Transversely Compressed

Wood by Steaming and its Mechanism. Proceeding of 6th Pacific Rim Bio-Based Composites Symposium. New Oregon. pp. 567-572.

JIS A 5908-1994. Particleboards. Japanese Standard Association.

Killmann, W. and M.P. Koh. 1988. Oil Palm Stem Densification Using Ammonia Treatment: A Preliminary Study. Journal of Tropical Forest Science 1(1):1-10. Malaysia

Kollmann, F.F.P. and W.A. Côté, Jr. 1984. Principles of Wood Science and Technology, Vol. 1. Solid Wood. Springer-Verlag Berlin Hiedelberg New York.

Li, J. and D. Cown. 2004. Enhancement of Radiata Pine Mechanical Properties by Thermal Compression. http://www.cape.canterbury.ac.nz/ApccheProceeding/APCCH /data/896.REV.pdf. (28 Mei 2004)

Sumardi, I. dan E. Rasyid. 2002. Physical and Mechanical Properties of Densified Oil Palm Wood. In: Dwianto W et al. Proceedings of 4th International Wood Science Symposium. September 2 - 5, 2002, Serpong. Indonesia

Sulistiyono. 2001. Studi Rekayasa Teknis, Sifat Fisis, Mekanis dan Keandalan Konstruksi Kayu Agatis (Agathis lorantifolia Salisb) Terpadatkan. [Tesis] Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Tidak diterbitkan)

Tabarsa, T. 2002. Predicting Stress-strain Behaviour of White Spruce in Radial Compression at Different Temperatures. In: Majid AW MW, et al. Proceeding of 7th World Conference on Timber Engineering. August 12-15, 2002, Shah Alam, Malaysia. pp. 69-77.

Takahashi, K.; T. Morooka; M, Norimoto. 1998. Thermal Softening of Wet Wood in the Temperature Range of 0 to 200°C. Bulletin of the Wood Research Inst. Kyoto. Univ. Japan. pp. 78 – 80

Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood; Structure, Properties, Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.

Diterima (accepted) tanggal 7 April 2006 Isna Yuniar Wardhani : Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Faculty of Forestry, Mulawarman University) Jln. Ki Hadjar Dewantara, Kampus Gn. Kelua, Samarinda. E-mail: [email protected] Surjono Surjokusumo, Yusuf Sudo Hadi, dan Naresworo Nugroho : Fakultas Kehutanan, Intitut Pertanian Bogor (Faculty of Forestry, Bogor Agriculture University) Kampus Darmaga, Bogor.

Page 17: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Temperature and Steam Pressure Dependency on the Fixation of Compressed Wood by Close System Compression 55 (Yusup Amin dan Wahyu Dwianto)

Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression

Temperature and Steam Pressure Dependency on the Fixation of Compressed Wood by Close System Compression

Yusup Amin dan Wahyu Dwianto

Abstract

It is known that compression wood by heat treatment needs approximately 20 hours at 180ºC to attempt the

permanent fixation of compressive deformation. On the other hand, even the permanent fixation of compressive deformation by steam treatment is reached in 10 minutes at the same temperature, this method needs expensive apparatus and inapplicable for large wood dimensions. These problems can be solved by Close System Compression (CSC) method. CSC is a method to press the wood inside an airtight seal chamber, which is placed between the two hot press plates. Wood moisture contents, which evaporate due to heat from hot press, are trapped inside the CSC and produce steam.

The wood species used in this research was Randu (Bombax ceiba. L) with dimensions of 2 cm (L) x 2 cm (T) x 3 cm (R). The wood specimens were compressed into 2 cm in radial direction inside the CSC at 140ºC, 160ºC, and 180ºC for 10 min, 20 min and 30 min. They were compressed in air-dried, water saturated and steam saturated conditions, because it was predicted that moisture content of wood and steam pressure, which was produced inside the CSC has significantly effects on the fixation of wood, beside the temperature.

The result shows that moisture content of the wood has an effect on the decreasing of recovery of set. However, it was needed 180ºC temperature and 10 kg/cm2 steam pressure to attempt the permanent fixation. Therefore, it was necessary to add water to produce the steam pressure besides that was produced from the evaporation of wood moisture content. Key words: wood densification, fixation, Close System Compression, temperature, steam pressure.

Pendahuluan

Teknik densifikasi kayu adalah teknik pengempaan kayu utuh (solid) yang bertujuan untuk meningkatkan kekerasan permukaan dan kekuatan kayu. Teknik ini dapat diterapkan pada jenis-jenis kayu cepat tumbuh yang pada umumnya berkualitas rendah melalui peningkatan kerapatannya. Proses densifikasi kayu dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: (1) pelunakan (softening); (2) deformasi (deformation); dan (3) fiksasi (fixation). Kayu harus mengalami pelunakan sebelum dikempa. Selanjutnya pada tahap deformasi, kayu yang dikempa tersebut baru mengalami drying set. Kayu kompresi secara komersial telah dibuat di Jerman dengan nama Lignostone (Stamm 1964). Tetapi hasil pengempaannya belum bersifat permanen, karena masih kembali ke ketebalan semula bila mendapat pengaruh kelembaban atau perendaman (recovery). Hasil pengempaan yang permanen mutlak diperlukan untuk memanfaatkan kayu-kayu kompresi tersebut sebagai pengganti kayu-kayu komersial.

Densifikasi kayu yang bersifat permanen dapat dilakukan dengan mengunakan metode (1) perekatan

atau modifikasi kimia, (2) perlakuan suhu tinggi pada kondisi kayu kering dan (3) perlakuan uap air suhu tinggi pada kondisi kayu basah (steam).

Prinsip densifikasi kayu metode (1) adalah dengan memasukkan perekat (Stamm dan Seborg 1941) atau bahan kimia (Fujimoto 1992) ke dalam kayu dan proses curing atau polimerisasinya terjadi pada saat pengempaan dalam kondisi kayu terdeformasi. Pada metode ini dapat digunakan perekat fenol, melamin, urea, tanin atau perekat yang berasal dari lateks. Sedangkan modifikasi kimia dapat menggunakan metode formalisasi, esterifikasi atau asetilasi.

Densifikasi kayu metode (2) dapat diterapkan dengan menggunakan alat kempa panas atau oven pengering, tetapi membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai fiksasi kayu yang permanen, yaitu sekitar 20 jam pada suhu 180ºC (Dwianto et al. 1997), disamping itu cukup banyak menurunkan sifat mekanik kayu tersebut. Beberapa pendapat mengenai sifat permanen kayu dengan metode ini antara lain adalah akibat terdegradasinya lignin sehingga menyebabkan menurunnya internal stress (Seborg et al. 1945) dan menurunnya sifat higroskopis kayu (Inoue dan Norimoto 1991).

Metode (3) adalah memanaskan kayu dengan menggunakan uap air suhu tinggi (steam treatment). Metode ini dilakukan dengan memasukkan uap air panas dari boiler ke dalam autoclave yang dilengkapi

Page 18: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

56 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

dengan alat kempa tahan panas (Inoue et al. 1993). Kelebihan dari metode ini adalah fiksasi yang bersifat permanen dari kayu yang dikempa dapat dicapai lebih cepat jika dibandingkan dengan metode (2), dan tidak banyak mempengaruhi atau menurunkan sifat mekanik kayu. Fiksasi yang permanen pada suhu 180ºC dapat dicapai hanya dalam waktu sekitar 10 menit. Pendapat-pendapat mengenai sifat permanen dengan metode ini antara lain adalah akibat perubahan struktural selulosa (Ito et al. 1998) dan terjadinya hidrolisa hemiselulosa yang mengakibatkan menurunnya internal stress pada kayu (Hsu et al. 1988). Tetapi metode (3) tersebut sulit untuk diterapkan pada skala pemakaian karena membutuhkan perangkat yang sangat mahal, yaitu boiler, autoclave dan alat kempa tahan panas yang dimasukkan ke dalam autoclave; serta tidak dapat dilakukan terhadap kayu dengan ukuran besar.

Metode ini dapat dimodifikasi dengan prinsip Close System Compression (CSC). CSC merupakan alat cetakan kedap udara yang terbuat dari logam stainless dan diberi 2 lubang, yaitu untuk keluarnya uap air dan untuk mengukur tekanan yang terjadi pada saat pengempaan. Contoh uji yang akan dikempa, diletakkan di tengah cetakan, kemudian ditutup dengan lembaran logam stainless dan diletakkan di antara plat kempa panas. Kadar air yang menguap akibat pemanasan dari alat kempa tidak dapat keluar dari cetakan sehingga akan memproduksi uap air panas yang menggantikan uap air panas dari boiler pada metode (3).

Diperkirakan bahwa faktor tekanan uap air panas dari kadar air kayu yang menguap di dalam alat CSC tersebut sangat berpengaruh terhadap tercapainya fiksasi yang permanen dari metode ini, selain faktor suhu. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedua faktor yang saling terkait, yaitu suhu dan tekanan uap air terhadap fiksasi kayu.

Bahan dan Metode

Kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah

kayu Randu (Bombax ceiba L.) dengan diameter log 30 cm yang berasal dari hutan rakyat di kawasan Gunung Sindur Serpong, propinsi Banten. Pengambilan contoh uji dilakukan dengan cara memotong log sepanjang 1 m pada ketinggian diameter setinggi dada (+ 1.3 m dari pangkal batang pohon). Selanjutnya dari log tersebut dibuat contoh uji berukuran 20 mm (L) x 20 mm (T) x 30 mm (R); dengan kerapatan rata-rata 0.37 g/cm3.

Sebelum dilakukan pengempaan, seluruh contoh uji dikeringkan di dalam oven selama 3 hari pada suhu 60ºC dan diukur dimensi tebal (To) serta berat awalnya (Wo). Kemudian contoh uji tersebut dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok kering udara (KU); jenuh air (JA); dan penambahan air pada kayu jenuh air (PA). Kadar air rata-rata untuk kelompok KU adalah

10.83%, sedangkan untuk kelompok JA dan PA adalah 225.36%. Jumlah contoh uji untuk tiap perlakuan adalah 10 buah. Contoh uji dari masing-masing kelompok perlakuan tersebut kemudian diletakan di dalam alat CSC berukuran 255 mm x 245 mm x 20 mm yang dilengkapi dengan penutup cetakan dari bahan stainless, serta pressure-meter untuk mengukur tekanan uap di dalam cetakan (Gambar 1). Selanjutnya contoh uji dikempa pada arah radial (R) dengan target ketebalan 20 mm pada suhu 140ºC; 160ºC; 180ºC dan waktu pengempaan 10 menit; 20 menit; dan 30 menit. Untuk kelompok PA, dilakukan penambahan kadar air di dalam cetakan sebanyak 400 ml (+ 30% dari volume cetakan).

Figure 1. Close System Compression between the hot

press. Kayu yang telah dikempa selanjutnya dikeringkan

dalam oven dan diukur tebalnya (Tc). Kemudian dilakukan pengujian pemulihan tebal dengan cara merendam di dalam air pada suhu ruang selama 24 jam, dan dilanjutkan dengan perebusan di dalam air panas pada suhu 98ºC selama 30 menit. Kayu yang telah direbus dikeringkan lagi dalam oven, kemudian diukur kembali tebal (Tr) dan berat akhir kayu (Wr) setelah recovery.

Besarnya pemulihan tebal (recovery of set = RS) dan kehilangan berat (weight loss = WL) diukur dengan rumus:

RS = [(Tc – Tc) / (To – Tc)] x 100%

WL = [(Wo – Wr) / Wo] x 100%

Pressure-meter CSC

Page 19: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Temperature and Steam Pressure Dependency on the Fixation of Compressed Wood by Close System Compression 57 (Yusup Amin dan Wahyu Dwianto)

Hasil dan Pembahasan

Pada Tabel 1 dapat dilihat nilai rata-rata RS dan

WL dari masing-masing kelompok perlakuan pada pembuatan kayu kompresi dengan metode CSC. Table 1. Average values of recovery of set (RS) and

weight loss (WL).

Treatment Steam

pressure (kg/cm2)

RS (%) WL (%)

KU/140/10 1.1 88.67 1.67 KU/140/20 1.3 86.33 2.23 KU/140/30 1.3 85.63 2.33 KU/160/10 1.3 86.24 2.20 KU/160/20 1.4 83.17 2.25 KU/160/30 1.5 82.25 2.37 KU/180/10 1.4 83.22 2.18 KU/180/20 1.4 80.62 2.23 KU/180/30 1.5 76.21 2.39

JA/140/10 3.0 61.28 4.56 JA/140/20 3.0 58.82 4.69 JA/140/30 3.4 50.48 5.06 JA/160/10 5.0 56.05 3.18 JA/160/20 5.0 37.88 5.09 JA/160/30 5.0 32.74 5.15 JA/180/10 6.5 37.70 4.58 JA/180/20 7.5 10.82 5.19 JA/180/30 8.5 9.60 7.20

PA/140/10 3.4 58.33 5.56 PA/140/20 3.8 50.46 6.23 PA/140/30 4.1 39.70 6.47 PA/160/10 6.3 32.33 5.07 PA/160/20 6.5 16.74 5.77 PA/160/30 6.5 15.83 6.85 PA/180/10 8.7 9.72 8.00 PA/180/20 9.0 9.41 9.20 PA/180/30 9.5 8.92 12.79

Notes: KU: air dry JA: water saturation PA: water additional

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa faktor

suhu, waktu dan tekanan uap panas pada saat pengempaan memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat RS dan WL kayu kompresi. Sedangkan besarnya tekanan uap panas yang terjadi di dalam alat cetakan CSC sangat dipengaruhi oleh kombinasi antara faktor suhu, waktu dan kadar air kayu (Gambar 2).

Panas yang berasal dari alat kempa selama proses pengempaan menyebabkan naiknya suhu air di dalam

kayu, sehingga air dalam kayu tersebut menguap. Semakin tinggi kadar air yang terdapat di dalam kayu, maka semakin banyak uap air yang dikeluarkan pada tingkat suhu dan waktu pengempaan tertentu. Uap air yang diproduksi ini terperangkap dalam alat cetakan CSC yang kedap udara, sehingga manyebabkan terjadinya tekanan uap panas. Semakin tinggi kadar air kayu dan meningkatnya suhu, serta semakin lamanya waktu pengempaan maka tekanan uap semakin meningkat pula, karena jumlah uap air panas yang dihasilkan semakin banyak.

Pada kondisi kayu kering udara (KU), tekanan uap yang terjadi hanya mencapai kisaran 1.1 ~ 1.5 kg/cm2, sedangkan pada kondisi jenuh air (JA) terjadi peningkatan tekanan uap yang cukup tinggi dengan kisaran 3.0 ~ 8.5 kg/cm2. Tekanan uap ini mengalami peningkatan lagi setelah dilakukan penambahan air di dalam cetakan sebanyak 400 ml (+ 30% dari volume cetakan CSC), hingga dapat mencapai 9.5 kg/cm2 pada suhu 180ºC dengan waktu pengempaan 30 menit (Tabel 1).

Selama proses pengempaan, dinding sel kayu mengalami perubahan bentuk (deformasi) sampai mencapai target ketebalan yang ditentukan akibat adanya tekanan dari alat kempa. Stamm (1964) menjelaskan bahwa produk Staypak cenderung tidak mengembang lagi ketika pengempaan berlangsung pada suatu kondisi yang menyebabkan pelunakan lignin (flow) dan pelepasan tegangan dalam (internal stress). Dikatakan pula bahwa stabilitas dimensi yang optimum dapat dicapai dengan mengkombinasikan kadar air kayu, suhu, waktu pemanasan, serta besarnya tekanan kempa. Tetapi kombinasi perlakuan tersebut tidak dapat mencapai fikasi permanen dalam waktu yang singkat.

Metode CSC merupakan salah satu metode dalam pembuatan kayu kompresi dengan cara mengkombinasikan antara faktor kadar air kayu, suhu, waktu pengempaan, serta tekanan uap panas yang berasal dari kadar air kayu yang menguap selama proses pengempaan. Meningkatnya suhu dan tekanan uap panas pada kayu jenuh air akan melunakkan hemiselulosa dan lignin sebagai komponen utama kimia kayu sehingga bersifat plastis. Pelunakan hemiselulosa dan lignin pada kayu terjadi pada perlakuan suhu di atas 120ºC, sehingga dengan pemberian suhu 140ºC, 160ºC dan 180ºC dapat mempercepat terjadinya deformasi sel penyusun kayu dan fiksasi. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa semakin besar tekanan uap panas di dalam cetakan yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan kadar air kayu, suhu dan waktu pengempaan pada metode CSC ini menurunkan tingkat RS sampai di bawah 10%; dengan nilai koefisien korelasi 0.92.

Page 20: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

58 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Figure 2. Relationship between treatment conditions and steam pressure

Figure 3. Relationship between steam pressure and recovery of set (RS).

Kadar air kayu yang berubah menjadi uap panas

tersebut dapat terdifusi ke bagian dalam struktur kayu (Kawai 1996), sehingga akan menimbulkan tekanan uap (internal vapour pressure) di dalam rongga sel kayu (Krisdianto 2004). Tekanan uap panas ini akan mendesak uap air keluar dari dalam kayu. Keluarnya uap air dari dalam kayu karena terdesak oleh tekanan uap panas ini kemungkinan menyebabkan rusaknya sebagian struktur antomi kayu, sehingga mengakibatkan ikut menguapnya sebagian komponen kimia kayu, seperti zat-zat volatile dan zat-zat ekstraktif, bersamaan dengan keluarnya uap air dari dalam kayu tersebut. Menguapnya sebagian dari komponen penyusun kayu menyebabkan WL pada kayu kompresi.

Selama proses pengempaan, lignin yang merupakan polimer berikatan silang (cross-link) akan melunak/mengalir dan mengisi ruang matriks di dalam kayu karena pengaruh tekanan uap panas. Rusaknya molekul air akibat perlakuan suhu tinggi tersebut

menyebabkan terjadinya kerusakan pada ikatan H antar molekul-molekul di dalam matriks hemiselulosa-lignin. Sedangkan terdegradasinya hemiselulosa sebagai komponen utama yang berperan dalam pengikatan molekul air dapat mengurangi sifat higroskopis dinding sel pada kayu kompresi.

Menurut Stamm dan Seborg (1941), pengempaan kayu dengan suhu tinggi menyebabkan reaksi ikatan silang antara polimer-polimer di dalam dinding sel, walaupun hal ini dibantah oleh Seborg et al. (1945). Menurut Dwianto et al. (1998), pengempaan kayu pada suhu di atas 180ºC dapat menyebabkan terdegradasi-nya komponen hemiselulosa dan lignin di dalam dinding sel, sebagai akibatnya maka tegangan yang tersimpan dalam mikrofibril akan mengalami relaksasi. Pada kondisi ini deformasi yang terjadi tidak kembali ke bentuk semula atau mengalami fiksasi. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa semakin rendahnya tingkat RS menyebabkan meningkatnya WL.

y = 0.98e0.25x

R2 = 0.84

0.01.02.03.04.05.06.07.08.09.0

10.0

KU/140KU/160

KU/180JA/140

JA/160JA/180

PA/140PA/160

PA/180

Treatment

Stea

m p

ress

ure

(kg/

cm2 )

10 min20 min30 min

y = 131.13e-0.28x

R2 = 0.92

0

20

40

60

80

100

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Steam pressure (kg/cm 2)

RS

(%)

Page 21: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Temperature and Steam Pressure Dependency on the Fixation of Compressed Wood by Close System Compression 59 (Yusup Amin dan Wahyu Dwianto)

Figure 4. Relationship between weight loss (WL) and recovery of set (RS).

Pada kondisi kayu jenuh air dengan penambahan air (PA), kombinasi antara perlakuan suhu 180ºC dan waktu pengempaan 30 menit, menyebabkan tekanan uap panas dalam cetakan CSC hampir mendekati 10 kg/cm2, hal berarti hampir seluruh ruang di dalam cetakan diisi oleh uap air panas. Ketentuan ini mengikuti hukum termodinamika mengenai hubungan antara tekanan absolut (P), volume spesifik (V), suhu absolut (T) dan konstanta gas (R) dimana PV = RT (Singh dan Heldman 1984). Dengan tekanan uap panas yang makin meningkat tersebut diperkirakan prosentase komponen hemiselulosa dan lignin yang terdegradasi makin banyak. Hal ini ditunjukkan oleh WL = 12.79%. WL dari metode CSC ini lebih besar dibandingkan WL dari metode pemanasan kayu pada kondisi kering (heat treatment) dengan menggunakan alat kempa panas atau oven pengering (Dwianto et al. 1997); karena memanaskan kayu dalam kondisi basah akan menyebabkan komponen kimia kayu lebih banyak terdegradasi. Terdegradasinya beberapa komponen kimia kayu ini dapat pula menyebabkan terjadinya pecah dan retak pada kayu yang dikempa, akibat perlakuan suhu tinggi dan waktu pengempaan yang terlalu lama.

Mekanisme fiksasi dari metode CSC ini diperkirakan merupakan kombinasi dari mekanisme fiksasi metode heat treatment dan steam treatment. Kemungkinan selain terdegradasinya komponen kimia kayu, terjadi pula kristalisasi bagian amorf pada mikrofibril akibat adanya perlakuan suhu dan tekanan uap panas yang tinggi.

Kesimpulan

Untuk mencapai fiksasi yang permanen, selain

faktor suhu dan waktu pemanasan, diperlukan pula sejumlah uap air yang berasal dari kadar air kayu yang dikempa maupun air yang ditambahkan di dalam alat CSC agar dapat mencapai tekanan uap yang diinginkan, yaitu 10 kg/cm2. Perbedaan metode ini dengan metode steam treatment adalah, pada metode steam treatment,

uap air panas yang berasal dari boiler dimasukkan ke dalam autoclave yang dilengkapi dengan alat kempa tahan panas, sehingga tekanan uap panasnya dapat segera mencapai 10 kg/cm2. Pada penelitian ini tekanan uap panas yang terdapat di dalam cetakan CSC masih dibawah 10 kg/cm2, yaitu 9.5 kg/cm2. Oleh karena itu masih terjadi RS sebesar 8.92%, walaupun telah ditambahkan air pada kelompok PA dengan suhu 180ºC dan waktu pengekempaan 30 menit. Untuk menghasilkan tekanan uap sebesar 10 kg/cm2 dan mencapai fiksasi yang permanent, maka diperlukan penambahan air ataupun zat cair tertentu serta menambah waktu pengempaan.

Daftar Pustaka

Dwianto, W.; M. Inoue; M. Norimoto. 1997. Fixation of

Compressive Deformation of Wood by Heat Treatment. Mokuzai Gakkaishi 43 (4), 303-309.

Dwianto, W.; T. Morooka; M. Norimoto. 1998. The Compressive Stress Relaxation of Wood during Heat Treatment. Mokuzai Gakkaishi 44 (6), 403-409.

Fujimoto, H. 1992. New Zealand FRI Bull.176: 87-96. Hsu, W.E.; W. Schwald; J. Schwald; J.A. Shield. 1988.

Wood Sci. Tech. 22, 281-289 Inoue, M. and M. Norimoto. 1991. Wood Research and

Technical Notes 27: 31-40. Inoue, M.; M. Norimoto; M. Tanahashi; R.M. Rowell.

1993. Wood and Fiber Science 25(3): 224-235. Ito, Y.; M. Tanahashi; M, Shigematsu; Y. Shinoda.

1998. Holzforchung 52(2): 217-221. Kawai, S and H. Sasaki. 1996. Steam Injection

Compressing Technology. Proc. of the First International Wood Science Seminar. Kyoto. Japan.

Krisdianto. 2004. Aplikasi Teknologi Microwave dalam Meningkatkan Kualitas Kayu. Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor

y = 138.77e-0.27x

R2 = 0.72

0

20

40

60

80

100

0 3 6 9 12 15WL (%)

RS

(%)

Page 22: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

60 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Seborg, R.M.; M.A. Millet; J.A. Stamm. 1945. Mech. Eng. 67(1): 25-31.

Singh, R.P. and R. Heldman. 1984. Introduction to Food Engineering. Academic Kempas, Inc.

Stamm. A.J. and R.M. Seborg. 1941. Trans. Am. Inst. Chem. Eng. 37, 385.

Stamm, A.J. 1964. Wood and Cellulose Science. The Ronald Kempas Company. 343-358.

Diterima (accepted) tanggal 19 Mei 2006 Yusup Amin dan Wahyu Dwianto UPT Balai Litbang Biomaterial (Research and Development Unit for Biomaterials) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesian Institute of Sciences) Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor Tel : 021-87914509 Fax : 021-87914510 E-mail : [email protected]

Page 23: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

The Influence of Steaming and Soaking in NaOH to Bending of Rasamala (Altingia excelsa Noronha), 61 Java Tamarind (Tamarindus indica L.) and Marasi (Hymeneae courbaril L.)Wood Jamaludin Malik, K. Yuniarti, Jasni dan O. Rachman

Pengaruh Pengukusan dan Perendaman dengan NaOH terhadap Pelengkungan Kayu Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Asam Jawa (Tamarindus indica L.)

dan Marasi (Hymeneae courbaril L.) The Influence of Steaming and Soaking in NaOH to Bending of Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Java Tamarind (Tamarindus indica L.) and Marasi (Hymeneae

courbaril L.)Wood

Jamaludin Malik, K. Yuniarti, Jasni dan O. Rachman

Abstract

Wood bent has been observed on three wood species from forest people plantation, i.e. Rasamala (Altingia excelsa

Noronha), Java Tamarind (Tamarindus indica L.) and Marasi (Hymenaea courbaril L.), through steaming and soaking in 3% NaOH pre-treatment.

The results showed that pre-treatment by soaking in 3% NaOH for 7 days continued by steaming for 30 minutes at temperature of 105 + 3ºC, could increase bent ability of each wood as follows: Rasamala 124%, Marasi 41% and Java Tamarind wood 13%, compared to bent ability of these woods with steaming treatment only. The Rasamala wood has bigger bent-radius or more difficult to be bent than the two others. Bending radius and increasing of wood bending of wood with high specific gravity is lower than wood with low specific gravity. Key words: bending, wood from people forest, steaming, soaking.

Pendahuluan

Pelengkungan kayu merupakan bagian dari proses pengerjaan kayu untuk produk yang menghendaki bentuk lengkung. Bentuk lengkung banyak digunakan terutama dalam komponen mebel dan bangunan. Sebenarnya pelengkungan merupakan teknik kuno yang masih dipergunakan sampai saat ini. Hanya saja, teknik pelengkungan yang secara tradisional dilakukan adalah dengan menggergaji kayu sehingga berbentuk lengkungan. Praktek tersebut sebenarnya menurunkan kekuatan kayu karena serat kayu terpotong; di samping juga merupakan pemborosan dan mengurangi keindahan orientasi serat kayu (Kollman dan Cote 1968). Dapat dipahami bahwa semakin kecil radius lengkung, maka semakin boros penggunaan kayunya.

Dalam upaya meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku kayu untuk pelengkungan, maka dikembangkan metode pelengkungan tanpa menggergaji melainkan menggunakan mal pelengkung sesuai radius yang dikehendaki. Namun cara tersebut sulit dilakukan karena sifat keteguhan kayu, terutama pada radius kecil, kecuali setelah diberikan perlakuan pendahuluan seperti pemanasan dengan api langsung, pengukusan dan perendaman dalam bahan kimia tertentu atau kombinasi antara perlakuan tersebut. Menurut Supriadi dan Rachman (2002), dalam keadaan terbatas masyarakat Indonesia melengkungkan komponen perahu rakyat dengan proses pemanasan dengan api langsung. Berbagai penelitian pemberian perlakuan pendahuluan telah dilakukan berupa pengukusan dan perebusan

antara lain oleh Stevens dan Turner (1970), dan Natividad (1998); serta penggunaan bahan kimia antara lain oleh Sharma et al. (1979) dalam Malik dan Krisdianto (2003) yang mencelupkan kayu dalam larutan NH4OH 30%. Supriadi dan Rachman (2002) memberikan perlakuan pendahuluan berupa perendaman dalam air dingin, perebusan dan perendaman dalam larutan urea 0.5%. Malik dan Krisdianto (2003) melakukan pelunakan kayu untuk dilengkungkan dengan menggunakan uap ammonia.

Tulisan ini menyajikan hasil uji coba pelengkungan kayu Rasamala (Altingia excelsa Noronha), Asam Jawa (Tamarindus indica L.) dan Marasi (Hymeneae courbaril L.) dari hutan rakyat di Jawa Barat dengan dua macam perlakuan yaitu pengukusan dan kombinasi antara perendaman awal dalam larutan NaOH 3% dengan pengukusan. Perlakuan tersebut diduga akan meningkatkan kemampuan pelengkungan ketiga jenis kayu yang diteliti.

Bahan dan Metode

Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah 3 jenis kayu,

yaitu: Rasamala (Altingia excelsa Noronha), berat jenis (BJ): 0.72 ~ 0.74; Asam Jawa (Tamarindus indica L.), BJ: 0.79 ~ 0.86; dan Marasi (Hymenaea courbaril L.) BJ : 0.74 ~ 0.84; dari hutan rakyat di Jawa Barat. Bahan-bahan yang digunakan untuk proses pelunakan kayu adalah serbuk NaOH dan air dingin.

Page 24: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

62 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Peralatan yang digunakan adalah bak perendam berukuran 40 x 50 x 15 cm, labu erlenmeyer, penjepit, oven, mistar, kaliper, timbangan, lup, plastik, panci kukus (diameter 35 cm dan tinggi 60 cm), dan peralatan untuk proses pelengkungan kayu yang terdiri atas mal-mal pelengkung kayu dan klamp-C. Mal-mal pelengkung yang digunakan untuk penelitian ini memiliki radius-radius 80 cm, 60 cm, 55 cm, 50 cm, 45 cm, 40 cm, 35 cm, 30 cm, 25 cm, 20 cm, 17 cm dan 14 cm. Prosedur Penelitian Persiapan Contoh Uji dan Perlakuan: Log dari setiap jenis kayu dibelah dengan digergaji dan dipotong untuk mendapatkan jenis papan tangensial (flat sawn). Papan-papan tersebut kemudian dikering-udarakan hingga mencapai kadar air 15%. Contoh uji bebas cacat berukuran (lebar x tebal x panjang) 2.5 x 1 x 32.5 cm dibuat dari papan-papan tersebut sebanyak 100 ~ 120 buah untuk masing-masing jenis kayu. Contoh-contoh uji tersebut kemudian dipotong menjadi 2 bagian. Bagian pertama berukuran (lebar x tebal x panjang) 2.5 x 1 x 30 cm digunakan untuk pengujian pelengkungan, sedangkan bagian kedua berukuran (lebar x tebal x panjang) 2.5 x 1 x 2.5 cm digunakan untuk pengukuran berat jenis (BJ).

Larutan NaOH yang digunakan memiliki konsentrasi 3% dan dibuat dengan cara melarutkan 30 gram NaOH dalam 1 liter air dingin. Konsentrasi tersebut diambil sebagai perlakuan dengan pertimbangan bahwa larutan basa pada konsentrasi lebih dari 5% dapat merusak kayu.

Proses pelarutan dilakukan dengan menggunakan labu Erlenmeyer.

Contoh uji yang telah disiapkan untuk pengujian pelengkungan dibagi rata dalam 2 kelompok perlakuan. Kelompok pertama (B) direndam dalam larutan NaOH 3% selama 7 hari dan diikuti dengan pengukusan pada suhu 105ºC + 3 selama 30 menit. Kelompok kedua (A) dikukus pada suhu dan periode pengukusan yang sama, dan digunakan sebagai kontrol. Pengujian Pelengkungan: Pengujian pelengkungan dilakukan dalam keadaan contoh uji masih panas dan basah dengan cara meletakkan contoh uji di atas meja serta menggunakan mal-mal pelengkung dan klamp-C yang telah disiapkan (Gambar 1). Untuk setiap kelompok perlakuan, contoh-contoh uji yang ada kemudian dibagi lagi menjadi 3 sub kelompok. Proses pengujian dilakukan dengan metode “trial and error”. Dalam metode ini, salah satu contoh uji dari setiap kelompok perlakuan dilengkungkan pada radius terbesar, yaitu 80 cm terlebih dahulu. Apabila contoh uji tersebut tidak patah, maka dicoba dilengkungkan pada radius setingkat lebih rendah dalam keadaan panas dan basah, demikian seterusnya sampai contoh uji tersebut mengalami kerusakan (patah, retak, atau pecah). Apabila terjadi kerusakan, contoh uji pertama tersebut diasumsikan mampu dilengkungkan pada kelas radius setingkat di atas kelas radius dimana contoh uji tersebut mengalami kerusakan.

Figure 1. Scheme of wood bending process with manual mould and clamp

Bending mould

Wood sample desk

Clamp

Bending result

Page 25: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

The Influence of Steaming and Soaking in NaOH to Bending of Rasamala (Altingia excelsa Noronha), 63 Java Tamarind (Tamarindus indica L.) and Marasi (Hymeneae courbaril L.)Wood Jamaludin Malik, K. Yuniarti, Jasni dan O. Rachman

Memperhatikan kemungkinan adanya faktor kelelahan pada contoh uji pertama tersebut akibat proses pelengkungan yang berulang, maka contoh uji berikutnya mulai dilengkungkan pada radius yang diasumsikan menjadi tingkat kelengkungan contoh uji pertama. Radius lengkung untuk setiap sub diperoleh apabila jumlah contoh uji yang rusak pada suatu kelas radius tertentu hanya sebesar 5% dari total jumlah contoh uji yang dicobakan, atau 1 buah dari 20 kali percobaan pelengkungan. Radius lengkung untuk setiap kelompok perlakuan kemudian merupakan rata-rata dari radius lengkung yang diperoleh dari sub-sub kelompok perlakuan tersebut.

Setelah dilakukan proses pelengkungan, kemampuan lengkung dari setiap kelompok perlakuan ditentukan berdasarkan radius lengkung yang dicapai dan diklasifikasikan sesuai dengan Tabel 1. Table 1. Wood bent ability classification without pre-

treatment.

Bent radius (cm) Bent ability classification < 15 Very good

16-24 Good 25-33 Fair 34-42 Poor >42 Severe poor

Source: Supriadi and Rachman (2002) Di samping klasifikasi tersebut di atas, hasil

pelengkungan juga dibandingkan dengan standar Forest Product Research and Development Institute (FPRDI) seperti pada Tabel 2. Table 2. FPRDI standard for wood bending classification

Bent radius where 5% of samples failured (cm)

Bending class

< 14 14 – 25 25 – 50 50 – 75

> 75

Very good Good Fair Poor

Severe poor Source: FPRDI in Natividad (1998). Analisa Data: Data yang dikumpulkan terdiri atas data mengenai kemampuan lengkung dan berat jenis kayu untuk setiap kelompok perlakuan. Data kemampuan lengkung kayu untuk setiap kelompok perlakuan dianalisa secara deskriptif. Untuk melengkapi analisa data yang sama, rancangan faktorial 2 faktor diterapkan untuk memeriksa pengaruh perendaman awal dalam NaOH terhadap kemampuan lengkung kayu dan jenis kayu. Dua faktor yang digunakan adalah perlakuan terdiri atas 2 tingkat (pengukusan serta kombinasi antara pengukusan dan perendaman awal dalam NaOH 3%) dan faktor jenis

kayu terdiri atas 3 tingkat (asam jawa, rasamala, marasi). Untuk mengetahui hubungan antara kemampuan lengkung kayu dengan berat jenis kayu yang bersangkutan, data yang ada dipetakan dalam bentuk grafik dan dilakukan analisa regresi.

Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan dan Jenis Kayu terhadap Kemampuan Lengkung

Tabulasi hasil pengukuran dan penurunan radius lengkung tercantum dalam Tabel 3. Table 3. Bent-radius of samples.

Bent-radius with

treatment (cm)

No Wood species Repetition

A B

Decreasing of bent-

radius (%) SG*

1 Rasamala 1 80 45.0 77.78 0.74 2 80 35.0 128.57 0.72 3 80 30.0 166.67 0.72

(Altingia excelsa Noronha) Average 80 36.7 124.34 0.73

2 Asam jawa 1 30 25.0 20.00 0.83 2 25 22.5 11.11 0.86 3 20 18.5 8.11 0.79

(Tamarindus indica L.)

Average 25 20.0 13.07 0.83 3 Marasi 1 40 30.0 33.33 0.81 2 35 25.0 40.00 0.74 3 30 20.0 50.00 0.84

(Hymenaea courbaril L.)

Average 35 25.0 41.11 0.80 * Specific gravity

A = steamed at 105°C for 30 mins B = soaked in 3% NaOH for 7 days and steamed at

105°C for 30 mins

Hasil pelengkungan seperti tercantum pada Tabel 3 di atas dibandingkan dengan teori yang dikemukakan oleh Kollman dan Cote (1968), bahwa sepotong kayu dengan tebal 1 cm dalam keadaan kering udara dapat dilengkungkan sampai kisaran radius 67 ~ 50 cm, atau teori dari Stevens dan Turner (1970), bahwa kayu dalam kondisi dingin dapat dilengkungkan tanpa cacat pada radius sebesar 50 kali tebalnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua perlakuan (A dan B) untuk semua jenis kayu dapat meningkatkan kemampuan lengkung kayu dengan nilai yang bervariasi kecuali pada kayu Rasamala dengan perlakuan pengukusan (A), yang hanya mampu dilengkungkan sampai radius 80 cm.

Berdasarkan klasifikasi kemampuan lengkung Supriadi dan Rachman (2002) seperti tercantum pada Tabel 1, kemampuan lengkung kayu Rasamala masih termasuk kelas lengkung jelek (34 ~ 42 cm) dan jelek sekali (> 42 cm) meskipun telah melalui kedua perlakuan. Kemampuan lengkung kayu Asam Jawa termasuk sedang sampai baik dan kayu Marasi termasuk sedang sampai jelek. Di sisi lain, menurut klasifikasi Standar FPRDI

Page 26: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

64 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

dalam Natividad (1998) (Tabel 2), kemampuan lengkung kayu Rasamala yang diberi perlakuan B termasuk kelas sedang (radius 25 ~ 50 cm) dan dengan perlakuan pengukusan (A) termasuk sangat jelek (> 75 cm). Menurut standar yang sama, kemampuan lengkung kayu Asam Jawa setelah dikukus termasuk bagus (14 ~ 25 cm) dan menjadi sangat bagus (< 14 cm) setelah melalui perendaman dalam NaOH sebelum dikukus. Berdasarkan standar tersebut pula, kemampuan lengkung kayu Marasi yang dikukus terlebih dahulu termasuk kelas sedang dan meningkat menjadi bagus apabila didahului dengan perendaman dalam larutan NaOH 3%.

Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, terlihat bahwa kayu Rasamala termasuk sulit dilengkungkan, karena hasilnya kurang memuaskan. Dari sisi produktifitas, perlakuan perendaman yang dilanjutkan dengan pengukusan cenderung kurang menunjang produktifitas mengingat lamanya waktu yang diperlukan. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif perlakuan yang lebih baik, misalkan dengan menggunakan gelombang mikro (microwave).

Tabel 3 juga menunjukkan bahwa perendaman dalam larutan NaOH 3% selama 7 hari diikuti dengan pengukusan pada suhu 105 + 3ºC selama 30 menit mampu meningkatkan kemampuan lengkung kayu. Meningkatnya kemampuan pelengkungan kayu berarti kayu tersebut semakin mudah dilengkungkan. Hal ini ditandai dengan semakin kecilnya radius lengkung yang dapat dicapai. Dari Tabel 3 terlihat bahwa perendaman kayu dalam NaOH 3% selama 7 hari sebelum dikukus menyebabkan terjadinya penurunan radius lengkung rata-rata secara berurutan sebesar 124.34% pada kayu Rasamala; 41.11% pada Marasi; dan 13.07% pada Asam Jawa. Dalam hal ini, besarnya penurunan radius pelengkungan kayu Rasamala dibandingkan dua jenis kayu lainnya, dapat diartikan pula sebagai menjadi lebih mudahnya kayu tersebut dilengkungkan dibandingkan kayu Asam Jawa maupun kayu Marasi.

Analisa keragaman sebagaimana tercantum pada Tabel 4 menegaskan bahwa faktor perlakuan yang diberikan memang memiliki pengaruh yang nyata terhadap kemampuan lengkung kayu. Selain itu, faktor jenis kayu maupun interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu juga memiliki pengaruh yang nyata. Table 4. Two way analysis of variance for observing the

influence of treatment and wood species to wood bentability.

Source df SS MS F-value Proba

bility Wood species Treatment Interaction Error

2 1 2 12

4228.8 1662.7 1332.1 299.3

2114.4 1662.7 666.1 24.9

84.76 66.66 26.70

0.000 0.000 0.000

Total 17 7522.9

Penurunan radius lengkung yang cukup besar tersebut secara struktur makro kimia kayu dapat difahami karena perendaman dalam NaOH 3% diduga merenggangkan kisi-kisi selulosa yang menjadikan kisi-kisi amorf menjadi lebih banyak dan sebaliknya kisi-kisi kristalin berkurang. Akibatnya, kayu menjadi lebih mudah dilengkungkan. Hubungan antara Kemampuan Lengkung dengan Berat Jenis

Apabila radius lengkung dihubungkan dengan berat jenis (BJ) dari ketiga jenis kayu yang diteliti, terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi berat jenis maka semakin kecil radius lengkung (Gambar 2). Berturut-turut nilai BJ ketiga jenis kayu dari yang terbesar adalah Asam Jawa (0.83), Marasi (0.80) dan Rasamala (0.73). Hal ini mengindikasikan bahwa kayu dengan BJ lebih tinggi, apabila dikukus ataupun direndam terlebih dahulu dengan NaOH 3% sebelum dikukus, menjadi lebih mudah dilengkungkan dibandingkan dengan kayu ber-BJ rendah. Akan tetapi, di sisi lain, penurunan radius lengkung kayu ber-BJ rendah dari yang diberi perlakuan pengukusan biasa ke perendaman terlebih dahulu dengan NaOH sebelum dikukus ternyata lebih besar dibandingkan kayu ber-BJ lebih tinggi (Gambar 3).

Figure 2. Trend of bent-radius to specific gravity of wood

Figure 3. Decreasing trend of Bent- radius to specific

gravity

Kesimpulan dan Saran 1. Perlakuan pendahuluan dengan perendaman dalam

NaOH 3% selama 7 hari yang dilanjutkan dengan pengukusan 30 menit pada suhu 105 + 3ºC

0102030405060708090

0.72 0.74 0.76 0.78 0.8 0.82 0.84Specific gravity

Ben

t rad

ius

(cm

)

0

20

40

60

80

100

120

140

0.72 0.74 0.76 0.78 0.8 0.82 0.84Specific gravity

Dec

reas

ing

of ra

dius

(%)

Y = - 566.46X + 490.30; r2 = 0.98

Y = - 1126.2X + 941.69; r2 = 0.99

Page 27: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

The Influence of Steaming and Soaking in NaOH to Bending of Rasamala (Altingia excelsa Noronha), 65 Java Tamarind (Tamarindus indica L.) and Marasi (Hymeneae courbaril L.)Wood Jamaludin Malik, K. Yuniarti, Jasni dan O. Rachman

meningkatkan kemampuan lengkung kayu Rasamala sebesar 124%, kayu Marasi sebesar 41% dan Asam Jawa sebesar 13% dari kemampuan lengkung kayu yang sama namun hanya dikukus.

2. Kayu Rasamala memiliki radius lengkung lebih besar atau lebih sulit dilengkungkan dibandingkan kayu Marasi dan Asam Jawa.

3. Radius pelengkungan dan peningkatan kemampuan lengkung kayu ber-BJ tinggi cenderung lebih rendah dari kayu ber-BJ lebih rendah.

Daftar Pustaka

Kollmann, F.F.P. and W.A. Cote-Jr.1968, Principles of

Wood Science and Technology I: Solid Wood, George Allen and Unwin, London.

Malik, J. dan Krisdianto, 2003. Pelunakan Kayu Mangium dengan Uap Ammonia untuk Pelengkungan Kayu. Info Hasil Hutan Vol. 10 No.2: 107-114.

Natividad, R.A.. 1998. Suitability of Acacia mangium for Making Bendwood for Furniture and Handicrafts Component. Paper presented in the Int’l Conference on Acacia Species: Wood Properties and Utilization. Penang, Malaysia.

Stevens, W.C. and N. Turner. 1970. Wood Bending Handbook. Her Majesty’s Stationery Office, London.

Supriadi, A. dan O. Rachman. 2002. Sifat Pelengkungan Kayu Tusam (Pinus merkusi Jungh et de Vries) dengan Dua Macam Perlakuan Awal. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(5): 367-378.

Diterima (accepted) tanggal 24 Februari 2006 Jamaludin Malik, K. Yuniarti, Jasni dan O. Rachman

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (Forest Product Research and Development Center) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16001 Tel : 0251-633378 Fax : 0251-633413

Page 28: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

66 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Keterawetan Kayu Tropis dengan Proses Pengawetan Menggunakan Karbon Dioksida sebagai Pelarut Pembawa

Treatability of Tropical Wood Species with Preservative Treatment Using Carbon Dioxide as a Carrier Solvent

Musrizal Muin dan Astuti Arif

Abstract

The feasibility of a preservative treatment using carbon dioxide (CO2) as a carrier solvent under various

conditions was determined based on the treatability of three different commercial tropical wood species (Agathis sp., Palaquium sp., and Heritiera sp.). Treatment was conducted at six combinations of temperature and pressure (15ºC and 40 kgf/cm2, 15ºC and 60 kgf/cm2, 15ºC and 80 kgf/cm2, 25ºC and 60 kgf/cm2, 25ºC and 80 kgf/cm2, dan 35ºC and 80 kgf/cm2) with five replicates using two specimens of each wood species for each treatment. Results showed that most of these treatment conditions, except treatment at 15ºC and 40 kgf/cm2, resulted in retention levels above the Silafluofen toxic thereshold value (< 0.25 kg/m3) without any physical damages to all treated materials. The treatability of wood with CO2 impregnation was affected by the wood properties and treatment conditions. Key words: treatability, preservative treatment, carbon dioxide, retention

Pendahuluan

Pengawetan kayu memegang peranan penting dalam menjamin penggunaan kayu dengan umur pakai yang lama. Dengan demikian, teknologi pengawetan kayu sangat penting artinya dalam mencegah penebangan pohon secara berlebihan dan kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang telah dikenal sebagai sumber potensial pemanasan global saat ini. Peranan teknologi pengawetan tersebut semakin nyata mengingat sebagian besar jenis-jenis kayu yang tersedia memiliki daya tahan alami yang tergolong rendah. Di Indonesia, dari 4000 jenis kayu yang dikenal, sekitar 85.7% termasuk kedalam kelas keawetan rendah sehingga untuk dapat dipergunakan dengan memuaskan harus diawetkan (Martawijaya 1996). Tanpa melalui proses pengawetan yang baik, kayu-kayu yang digunakan akan mudah diserang organisme perusak dan menyebabkan kerugian ekonomis yang sangat nyata. Kerugian akibat serangan rayap pada bangunan/rumah masyarakat di Indonesia diperkirakan telah mencapai Rp. 1.67 trilyun per tahunnya (Rakhmawati 1996). Disamping itu, data yang dikemukakan oleh Supriana (2002) menunjukkan bahwa kerugian dengan adanya serangan rayap pada bangunan gedung milik pemerintah mencapai Rp. 100 milyar/tahun.

Metode pengawetan yang ada saat ini telah mampu memperpanjang umur pakai kayu, tetapi memiliki beberapa kelemahan, antara lain bahwa kayu yang diawetkan harus dikeringkan ulang sehingga dapat menurunkan sifat fisik dan mekaniknya. Di samping itu, penerapan metode konvensional tersebut dapat menyebabkan masalah pencemaran lingkungan akibat buangan atau tetesan-tetesan bahan kimia pengawet.

Untuk mengatasi masalah tersebut, saat ini dikembangkan metode alternatif dengan menggunakan karbon dioksida (CO2) sebagai pelarut pembawa dalam pengawetan kayu. CO2 memiliki suhu dan tekanan kritis masing-masing pada 304ºK atau 30.84ºC dan 73 atm atau 75.43 kg/cm2 (Kitao et al. 1998). Pemanasan dan pemberian tekanan hingga mencapai daerah di atas titik kritis tersebut menyebabkan fase CO2 berada dalam daerah superkritisnya (supercritical region) dan memiliki sifat melarutkan mirip cairan maupun sifat penembusan seperti gas. Hal ini telah menjadi subyek penelitian yang menarik di berbagai negara maju dan pengembangan nya kearah komersialisasi menjadi suatu tantangan (Acda et al. 1996; 1997; Morrell et al. 1993; 1997; Anderson et al. 2000; Kim dan Morrell 2000; Muin et al. 2001; 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterawetan beberapa jenis kayu tropis dengan proses pengawetan menggunakan CO2 pada beberapa kondisi perlakuan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi titik awal alternatif pengembangan teknologi pengawetan yang mampu menghasilkan produk-produk kayu yang awet, bersih, dan dapat digunakan langsung segera setelah proses pengawetan tanpa harus melalui proses pengeringan ulang seperti yang diperlukan dalam teknologi konvensional.

Bahan dan Metode

Persiapan Sampel

Sampel uji dari tiga jenis kayu, yaitu Agathis (Agathis sp.), Nyatoh (Palaquium sp.), dan Palapi (Heritiera sp.) yang masing-masing memiliki kerapatan 0.49; 0.55; dan 0.65 g/cm3 dibuat dengan ukuran 1.5 cm

Page 29: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Treatability of Tropical Wood Species with Preservative Treatment Using Carbon Dioxide as a Carrier Solvent 67 Musrizal Muin dan Astuti Arif

(radial) x 1.5 cm (tangensial) x 15 cm (longitudinal). Bagian ujung dari setiap sampel uji tersebut diberi coating berupa epoxy-resin untuk menghindari masuknya bahan pengawet dari arah longitudinal kayu. Sampel uji tersebut dikering-udarakan kemudian dikondisikan pada suhu 60ºC selama 48 jam dan ditimbang beratnya sebelum diawetkan. Bahan Pengawet Bahan pengawet yang digunakan adalah Silafluofen (94.2%, Hoechst AG, Jerman), suatu termitisida non-ester pyrethroid yang telah digunakan secara luas dalam pengawetan kayu karena sifatnya yang stabil pada berbagai kondisi lingkungan pemakaian (Minamite et al. 1990). Bahan pengawet tersebut dipersiapkan dengan cara melarutkannya dalam co-solvent ethanol (p.a. 99.9%, Merc) konsentrasi 20%. Proses Pengawetan Dua sampel uji dari setiap jenis kayu ditempatkan dalam silinder (tangki) pengawetan yang memiliki diameter dan panjang rongga masing-masing 6 cm dan 19 cm dalam satu kali proses pengawetan. Suhu di bagian dalam tangki pengawetan diatur hingga mencapai target kondisi yang telah ditetapkan. CO2 (99.5%, PT. Aneka Gas, Makassar) kemudian dialirkan ke dalam tabung bahan pengawet untuk selanjutnya diteruskan secara perlahan-lahan ke tangki pengawetan yang telah berisi sampel uji hingga mencapai tekanan yang diinginkan. Suhu dan tekanan dalam tangki pengawetan masing-masing diukur menggunakan termometer dan pressure gauge yang dihubungkan langsung dengan tangki pengawetan. Dalam tahap penelitian ini, kondisi perlakuan pengawetan terdiri atas kombinasi-kombinasi suhu dan tekanan: 15ºC dan 40 kgf/cm2, 15ºC dan 60 kgf/cm2, 15ºC dan 80 kgf/cm2, 25ºC dan 60 kgf/cm2, 25ºC dan 80 kgf/cm2, dan 35ºC dan 80 kgf/cm2. Perlakuan pengawetan dilakukan baik dengan hanya memasukkan CO2 maupun dengan memasukkan campuran CO2 dan 5 ml larutan bahan pengawet yang telah dipersiapkan. Setiap kondisi perlakuan pengawetan dipertahankan selama 30 menit. Setelah setiap perlakuan pengawetan selesai, sampel uji kemudian langsung ditimbang kembali beratnya. Setiap perlakuan pengawetan dilakukan dengan lima kali ulangan. Retensi bahan pengawet didasarkan pada penambahan berat sampel uji setelah diawetkan dan dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Retensi (kg/m3) = Bw – Bo V dimana: Bw = Berat setelah diawetkan Bo = Berat sebelum diawetkan V = Volume sampel uji

Kemungkinan adanya pelarutan komponen ekstraktif kayu oleh CO2 yang dapat menyebabkan perhitungan retensi di atas menjadi bias diantisipasi dengan memperhitungkan hasil yang diperoleh dari proses pengawetan dengan hanya menggunakan CO2 tanpa bahan pengawet. Gradien retensi bahan pengawet dari bagian permukaan ke bagian tengah kayu ditentukan secara kimia. Untuk tujuan tersebut, bagian tengah panjang dari setiap sampel uji dipotong sepanjang 3 cm dan dibagi atas dua bagian (permukaan dan tengah). Masing-masing bagian dipisah dan dibuat menjadi serbuk dengan ukuran melewati 60 mesh. Satu gram dari setiap bagian dilarutkan dalam 100 ml toluen, dibiarkan selama 24 jam, kemudian dihomogenkan dengan gelombang sonik dalam air selama 5 menit pada suhu ruangan. Selanjutnya, larutan toluen dipisahkan dari bahan kayu. Bahan kayu tersebut ditambahkan lagi 100 ml toluen dengan 5 ml asam formic, dibiarkan semalam, kemudian dikocok pada 150 rpm selama 10 menit sebelum disaring dengan kertas filter. Filtrat yang dihasilkan termasuk larutan toluen yang dipisahkan pertama kali dikonsentrasikan dan dianalisa dengan Gas Chromatography, GC (Shimadzu GC-15 A, kolom kapile CBP1-W12-300 dengan panjang 30 m dan diameter lobang 0.53 mm, dan detektor FID). GC tersebut dijalankan pada suhu kolom 230ºC dan suhu detektor 280oC menggunakan gas pembawa berupa helium dengan laju 20 ml/menit. Analisa Data Nilai-nilai retensi yang diperoleh dari setiap kondisi perlakuan pengawetan yang dilakukan untuk setiap jenis kayu dibandingkan menggunakan uji Tukey pada α = 0.01. Analisa data ini dilakukan dengan bantuan program komputer inerSTAT-a v1.3 (Vargas 1999).

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan CO2 sebagai pelarut pembawa bahan kimia pengawet dalam pengawetan kayu memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa proses pengawetan menggunakan CO2 tersebut mampu memasukkan bahan kimia pengawet ke dalam sampel-sampel uji dari ketiga jenis kayu yang diteliti tanpa menunjukkan adanya kerusakan fisik terhadap kayu yang diawetkan pada semua kombinasi perlakuan.

Proses pengawetan menggunakan CO2 dalam penelitian ini menunjukkan kemampuannya melarutkan dan mengantarkan bahan kimia pengawet ke dalam struktur kayu. Penggunaan CO2 tanpa bahan pengawet terbukti menghilangkan komponen tertentu dari kayu yang ditunjukkan oleh kehilangan berat dari kayu yang diimpregnasi, meskipun persentasenya sangat kecil,

Page 30: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

68 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

yaitu berkisar 0.17 ~ 0.27% pada kayu Agathis; 0.35 ~ 0.85% pada kayu Nyatoh; dan 0.32 ~ 0.71% pada kayu Palapi. Proses pengawetan dengan memasukkan bahan pengawet menggunakan CO2 dalam keadaan di bawah titik kritis, yaitu pada fase cair, menghasilkan nilai-nilai retensi yang lebih rendah dibanding menggunakannya pada fase superkritisnya. Meskipun demikian, nilai-nilai rata-rata retensi yang dihasilkan dalam penggunaan CO2 di bawah titik kritisnya masih dapat mencapai nilai retensi di atas nilai toksik efektif dari bahan pengawet Silafluofen yang digunakan (< 0.025 kg/m3), kecuali pada kondisi perlakuan suhu 15ºC dan tekanan 40 kgf/cm2. Ketidakmampuan kondisi perlakuan yang satu tersebut dalam menghasilkan nilai retensi yang cukup dapat disebabkan oleh tidak mampunya kombinasi suhu dan tekanan tersebut untuk mencapai fase CO2 cair dalam tangki pengawetan atau fase yang dapat melarutkan bahan pengawet yang digunakan. Peningkatan tekanan menjadi 60 kgf/cm2 ke atas mampu memasukkan bahan kimia pengawet ke dalam kayu-kayu yang diteliti hingga jumlahnya beberapa kali lipat seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Hasil analisis statistik seperti dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai retensi yang diperoleh dengan penggunaan CO2 pada kondisi superkritis lebih tinggi dan berbeda sangat nyata dibanding dengan

penggunaannya pada kondisi cair. Penggunaan tekanan yang lebih tinggi dapat meningkatkan nilai retensi bahan pengawet pada kayu yang diawetkan. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya peningkatan nilai retensi yang sangat nyata pada penggunaan suhu 15ºC dengan peningkatan tekanan dari 60 kgf/cm2 menjadi 80 kgf/cm2 untuk semua jenis kayu yang diteliti. Pada sisi lain, peningkatan suhu perlakuan yang terjadi di bawah titik kritis menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dalam nilai retensi bahan pengawet yang dihasilkan. Namun demikian, peningkatan suhu dan tekanan perlakuan dari 15ºC dan 60 kgf/cm2 hingga di atas titik kritis, 35ºC dan 80 kgf/cm2, menghasilkan peningkatan nilai-nilai retensi yang mencapai 144% pada kayu Agathis; 63.33% pada kayu Nyatoh; dan 69.649% pada kayu Palapi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa distribusi bahan pengawet yang dimasukkan ke dalam kayu kurang merata. Hal ini ditunjukkan oleh nilai gradien retensi antara bagian permukaan dan bagian tengah dari kayu yang diawetkan pada seluruh kondisi perlakuan yang cukup tinggi (Tabel 2). Gradien retensi cenderung lebih kecil pada penggunaan CO2 pada fase superkritisnya. Hal ini mudah dimengerti karena pada fase kritisnya, CO2 memiliki kemampuan berdifusi yang tinggi menyerupai gas disamping kemampuan melarutkannya.

Table 1. Retentions of Silafluofen in several preservated wood species impregnated with CO2 as a carrier solvent

under various conditions.

Silafluofen retentions (kg/m3)* Treatment conditions Agathis Nyatoh Palapi

15ºC and 40 kgf/cm2 0.008 ± 0.001 a 0.016 ± 0.002 a 0.019 ± 0.004 a 15ºC and 60 kgf/cm2 0.025 ± 0.002 b 0.060 ± 0.002 b 0.056 ± 0.006 b 15ºC and 80 kgf/cm2 0.031 ± 0.009 b 0.060 ± 0.005 b 0.067 ± 0.008 bc 25ºC and 60 kgf/cm2 0.024 ± 0.004 b 0.059 ± 0.008 b 0.051 ± 0.007 b 25ºC and 80 kgf/cm2 0.027 ± 0.002 b 0.056 ± 0.013 b 0.070 ± 0.003 c 35ºC and 80 kgf/cm2 0.061 ± 0.011 c 0.098 ± 0.014 c 0.095 ± 0.012 d

* Mean and standard deviation of ten replications. Values in column with different letter are very significantly different by Tukey’s test at α = 0.01 Tabel 2. Retention gradients of Silafluofen in several wood species imregnated with CO2 as a carrier solvent under

various conditions.

Silafloufen retentions (kg/m3)* Treatment conditions Agathis Nyatoh Palapi 15ºC and 40 kgf/cm2 -** -** -** 15ºC and 60 kgf/cm2 4.923 4.961 5.091 15ºC and 80 kgf/cm2 5.110 4.992 4.816 25ºC and 60 kgf/cm2 4.821 5.336 4.635 25ºC and 80 kgf/cm2 4.560 4.328 4.091 35ºC and 80 kgf/cm2 4.076 3.488 3.517

* Mean of ten replications ** The absence of a ratio reflects the inability to resolve silafloufen in the core section under the detection limit of 0.01

kg/m3

Page 31: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Treatability of Tropical Wood Species with Preservative Treatment Using Carbon Dioxide as a Carrier Solvent 69 Musrizal Muin dan Astuti Arif

Perbedaan nilai retensi pada jenis kayu yang berbeda dan perbedaan besarnya peningkatan nilai-nilai retensi pada penggunaan kondisi perlakuan yang berbeda seperti ditunjukkan pada Tabel 1 memberikan indikasi bahwa keterawetan kayu dengan penggunaan CO2 dipengaruhi oleh sifat dasar kayu yang diawetkan dan kondisi perlakuannya. Dalam beberapa kasus seperti yang dikemukakan oleh Hunt dan Garratt (1953), tidak ada korelasi umum antara kerapatan kayu dan penetrasi bahan pengawet, terutama pada jenis kayu yang berbeda. Dijelaskan bahwa kayu Douglas fir yang memiliki kerapatan yang tinggi lebih mudah dimasuki bahan pengawet dibanding kayu dengan kerapatan rendah seperti Western redcedar. Sebaliknya, dijelaskan pula bahwa kayu seperti Ponderosa pine yang berkerapatan rendah lebih mudah dimasuki bahan pengawet dibanding western larch yang berkerapatan lebih tinggi.

Menurut Hunt and Garratt (1953), impregnasi kayu dengan bahan pengawet dipengaruhi oleh banyak faktor yang secara umum dapat diklasifikasikan atas faktor-faktor anatomi kayu, persiapan kayu sebelum pengawetan, dan prosedure perlakuan pengawetan. Dalam penelitian ini, dapat dijelaskan pengaruh faktor jenis kayu dan kondisi perlakuan pengawetan terhadap nilai retensi bahan pengawet. Secara umum, tanpa memperhatikan kondisi perlakuan, nilai-nilai rata-rata retensi bahan pengawet Silafluofen yang dapat dicapai untuk jenis-jenis kayu yang diteliti adalah 0.029 kg/m3 pada kayu Agathis; 0.058 kg/m3 pada kayu Nyatoh; dan 0.060 kg/m3 pada kayu Palapi. Di samping itu, juga dapat dilihat bahwa nilai rata-rata gradien retensi antara bagian permukaan kayu dan bagian tengahnya masih tinggi (3.488~5.336). Dari data-data tersebut dapat dilihat bahwa proses pengawetan yang sama terhadap jenis kayu yang berbeda menghasilkan nilai retensi dan gradien distribusi bahan pengawet yang berbeda. Demikian pula halnya pada perlakuan pengawetan suatu jenis kayu, perbedaan kombinasi suhu dan tekanan pada tingkatan tertentu akan menyebabkan perbedaan nilai retensi yang dihasilkan. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa kondisi optimum perlakuan pengawetan berbeda untuk suatu kelompok jenis kayu seperti yang ditunjukkan oleh perbedaan nilai retensi pada kayu daun jarum (Agathis) dengan kayu daun lebar (Nyatoh dan Palapi) dalam penelitian ini.

Kesimpulan dan Saran

Kayu Agathis, Nyatoh, dan Palapi dapat diawetkan

dengan baik melalui proses pengawetan menggunakan bahan pengawet Silafluofen dan karbon dioksida sebagai pelarut pembawa pada suhu 15 ~ 35ºC dikombinasikan dengan tekanan 60 ~ 80 kgf/cm2. Dengan perlakuan pengawetan tersebut, nilai retensi bahan pengawet yang dihasilkan dapat melewati nilai

toksik efektif dari Silafluofen untuk mencegah serangan rayap tanah tanpa menyebabkan kerusakan fisik pada kayu yang diawetkan tersebut. Pengujian lebih lanjut menyangkut pengaruh kondisi perlakuan tersebut di atas terhadap sifat fisik dan mekanik kayu serta efektivitasnya dalam mencegah serangan serangga perusak perlu dilakukan. Penelitian untuk memodifikasi siklus proses perlakuan pengawetan juga perlu dilakukan karena nilai gradien retensi bahan pengawet yang dihasilkan dalam penelitian ini masih cukup besar (3.488 ~ 5.336).

Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dibiayai oleh Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Terima kasih kepada Muh. Asgaf dan Heru Arisandi atas bantuannya untuk persiapan bahan dan pengoperasian alat dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka Acda, M.N.; J.J. Morrell; K.L. Levien. 1996. Decay

Resistance of Composites Following Supercritical Fluid Impregnation with Tebuconazole. Material und Organismen 30(4):293-300.

Acda, M.N.; J.J. Morrell; K.L. Levien. 1997. Effects of Supercritical Fluid Treatments on Physical Properties of Wood-based Composites. Wood and Fiber Science 29(2):121-130.

Anderson, M.E.; R.J. Leichti; J.J. Morrell. 2000. The Effects of Supercritical CO2 on the Bending Properties of Four Refractory Wood Species. Forest Products Journal 50(11/12):85-93.

Hunt, G.M. and G.A. Garratt. 1953. Wood Preservation. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York.

Kitao, O.; K. Tanabe; S. Ono; S. Kumakura; K. Nakanishi. 1998. Theoretical Studies on the Cluster Structure in the Supercritical Area. Fluid Phase Equilibria 144(1-2), 279-286.

Kim, G.H. and J.J. Morrell. 2000. In-situ Measurement of Dimensional Changes during Supercritical Fluid Impregnation of White spruce Lumber. Wood and Fiber Science 32(1):29-36.

Martawijaya, A. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Minamite, Y.; T. Kanzaki; Y. Katsuda. 1990. Application of a Novel Silaneophane (Hoe-498) to Termiticides (dalam bahasa Jepang dengan ringkasan bahasa Inggris). Japan Journal of Environmental Entomology and Zoology 2:177-122.

Morrell, J.J.; K.L. Levien; E.S. Demessie; S. Kumar; S. Smith; H.M. Barnes. 1993. Treatment of Wood Using Supercritical Fluid Processes. Proceedings

Page 32: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

70 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

of Canadian Wood Preservers Association 14:6-25.

Morrell, J.J.; K.L. Levien; E.S. Demessie; M.N. Acda. 1997. Impregnating Wood with Biocides Using Supercritical Carbon Dioxide: Process Parameters, Performance and Effects on Wood Properties. Proceedings of American-Wood Preservers Association 93:367-384.

Muin, M.; A. Adachi; K. Tsunoda. 2001. Applicability of Supercritical Carbon Dioxide to the Preservative Treatment of Wood-based Composites. The International Research Group on Wood Preservation, Document No. IRG/WP 01-40199.

Muin M; A. Adachi; M. Inoue; T. Yoshimura; K. Tsunoda. 2003. Feasibility of Supercritical Carbon Dioxide

as Carrier Solvent for Preservative Treatment of Wood-based Composites. Journal of Wood Science 49:65-72.

Rakhmawati. 1996. Prakiraan Kerugian Ekonomis akibat Serangan Rayap pada Bangunan Perumahan di Indonesia. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor (Tidak diterbitkan).

Supriana, N. 2002. Kajian Peran Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam rangka Pengelolaan Hutan Lestari. Laporan Hasil Penelitian (Tidak diterbitkan).

Vargas, M.H. 1999. inerSTAT-a v1.3. Instituto Nacional de Enfermedade Respiratorias Mexico (program komputer).

Diterima (accepted) tanggal 18 Januari 2006 Musrizal Muin dan Astuti Arif Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin (Forest Products Laboratory, Forestry Department of Hasanuddin University) Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10, Tamalanrea Makassar 90245 Tel/Fax : 411-585917 E-mail :[email protected].

Page 33: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Variability of Wood Density Tropical Hardwoods to the Characteristic of Fibers, Chemicals and Pulp Sulfate 71 (Wawan Kartiwa Haroen)

Variabilitas Massa Jenis Kayu Daun Lebar Tropis terhadap Karakter Serat, Kimia dan Pulp Sulfat

Variability of Wood Specific Gravity of Tropical Hardwoods to the Characteristic of Fibers, Chemicals and Pulp Sulfate

Wawan Kartiwa Haroen

Abstract

The demand for hardwood pulp is rapidly increasing in the world, partly due to the limited availability of softwood and hardwood in developed country of the world and partly due to the technical advantages which short hardwood fibers process for various paper and paperboards. The study was confined to the establishment of appropriate criteria pulpwood from tropical forest. The evaluation and analysis on the effect of wood specific gravity on the fiber properties, wood chemical properties, and pulp characteristics were conducted using data source from Food and Agriculture Organization (FAO).

The data of wood specific gravity value for the species varied a wide range from 0.30 to 0.98, because of dense nature of wood, high specific gravity species are generally believed to require impregnation and cooking periods. While some among the denser species have high screening reject and high permanganate number (PN) or Kappa number (KN) values. The finding of liquor penetration of chips does not depend wholly on specific gravity but also on the anatomical structure and chemical constituents of wood. As to the other wood and fiber characteristics, strength and physical properties of pulp hand sheet, wood specific gravity a certain relationship to fiber morphology.

The results showed that variability of wood specific gravity affected the cell wall thickness, lignin content and pulp sulfate quality. This result of analysis can be used as a preliminary pulping indicator. Key words: chemical component, physical properties, wood density, tropical hardwoods.

Pendahuluan

Di Indonesia, penggunaan kayu sebagai bahan baku untuk pembuatan pulp baru berlangsung sekitar tahun 1970-an karena pada saat itu sumber daya alam hutan mulai dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang pemasukan devisa negara. Namun sekitar tahun 1960-an bahan baku untuk industri pulp dan kertas masih menggunakan bahan yang berasal dari limbah pertanian atau perkebunan. Situasi seperti ini sejalan dengan asal usul sejarah industri pulp kertas di Indonesia, karena pada jaman penjajahan Belanda, pendirian pabrik pulp kertas senantiasa dikaitkan dengan potensi daerah tersebut. Seperti halnya untuk daerah Jawa Barat Bandung/Krawang yang terkenal dengan areal pertanian padi yang sangat luas dan menghasilkan limbah dari persawahan berupa merang atau jerami, sehingga didirikanlah pabrilk kertas dengan bahan baku merang di Padalarang. Kemudian daerah Jawa Tengah banyak ditemukan areal perkebunan tanaman jagung dan menghasilkan limbah berupa batang jagung (tebon) dan didirikanlah pabrik kertas Blabak. Selanjutnya daerah Jawa Timur tumbuh perkebunan tebu dan limbah yang dihasilkan berupa ampas tebu (bagas) dan berdirilah pabrik kertas Leces. Sejalan dengan perkembangan teknologi di abad ke 20, dibangun pabrik pulp kraft yang berorientasi pada bahan baku kayu Pinus di Aceh dengan nama Kertas Kraft Aceh (PT.KKA). Kemudian di awal

abad ke 21, seluruh industri pulp di luar pulau Jawa menggunakan 100% bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam atau hutan tanaman. Dengan diterapkannya berbagai kebijakan dan aturan pemerintah tentang ijin pemanfaatan dan penggunaan kayu untuk pulp, akhirnya kayu dari areal hutan tropis monokultur atau campuran digunakan sebagai sumber serat selulosa pulp kertas. Akibatnya pemakaian jenis kayu dan umur kayu sangat bervariasi dan menyebabkan kualitas pulp yang dihasilkan beragam dan harga jual produk pulp menurun. Penggunaan kayu sebagai bahan baku pulp dapat diperhitungkan jumlahnya dan umumnya untuk memproduksi satu ton pulp kimia diperlukan kayu gelondongan antara 4.5 ~ 5.0 m3. Batasan ini dapat diartikan bahwa suatu pabrik pulp yang memproduksi 1.000 ton/hari memerlukan kayu gelondongan sekitar 4,500 ~ 5,000 m3 kayu/hari atau dapat disetarakan dengan luas hutan yang harus ditebang sekitar 20 ~ 22 ha/hari apabila menggunakan tanaman yang memiliki riap tumbuh 225 m3/ha (Kartiwa 1998). Akibat penggunaan kayu yang sangat tinggi akhirnya serat selulosa dari berbagai jenis kayu dimanfaatkan apa adanya sebagai bahan baku pulp, kondisi ini menyebabkan kualitas kertas menjadi tidak standar karena sifat dan karakteristik kayunya berbeda. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi mutu pulp diantaranya adalah massa jenis kayu (wood specific gravity). Menurut Brown et al. (1994), kayu untuk bahan

Page 34: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

72 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

baku pulp diusahakan memiliki massa jenis kurang dari 0.8. Namun sampai sejauh perbedaan massa jenis tersebut dapat mempengaruhi kualitas pulp dan effek lainnya yang akan terjadi pada pulp kertas.

Kajian dan analisa pengaruh masa jenis kayu terhadap karakteristik pulp, sifat serat dan kimia kayu telah dilakukan terhadap beberapa jenis kayu tropis yang memiliki massa jenis 0.3 ~ 0.9 dengan sumber data dari FAO (1976). Dari kajian ilmiah ini diharapkan dapat memprediksi arah kualitas pulp sulfat dengan massa jenis yang berbeda terhadap kualitas pulp yang dihasilkannya. Massa Jenis Kayu

Massa jenis kayu adalah perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air pada suhu 4oC. Biasanya massa jenis diperlukan untuk menghitung biaya transportasi, menentukan kekuatan kayu, sifat dan daya tahan kayu sebagai bahan kontruksi. Semakin tinggi massa jenis kayu maka kekuatan kayu lebih baik dan harganya pun lebih mahal. Namun hal tersebut tidak berlaku pada industri pulp karena massa jenis kayu yang digunakan untuk bahan baku pulp harus lebih ringan dengan kisaran antara 0.35 ~ 0.65 (Parhan 1983; P3HH 1989). Massa jenis pada tanaman atau kayu dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti umur tanaman , sifat genetis selnya (a) tebal dinding serat, (b) ukuran serat dan (c) jumlah serta tipe sel dari (a) dan (b). Tebal dinding dan sel pembuluh (vessels), merupakan faktor paling dominan yang dapat mempengaruhi massa jenis kayu, terutama pada kelompok Angisospermae jenis kayu daun lebar (hardwood).

Massa jenis hardwood sangat berpengaruh terhadap kualitas serpih yang dihasilkan dan kebutuhan enerji pada saat penyerpihan. Semakin tinggi massa jenisnya maka kualitas keseragaman serpih akan berkurang dan enerji yang digunakan lebih tinggi (Kellomaki 1998). Perbedaan massa jenis pada kayu atau serpih menyebabkan bahan kimia pemasak yang diperlukan lebih tinggi, kemudian memperlambat penetrasi zat kimia ke dalam serpih dan menambah waktu pemasakan. Sehingga ada beberapa cara dan strategi para industriawan dan praktisi untuk menanggulagi masalah masa jenis tersebut, yaitu dilakukan proses perlakuan awal (pre-treatment) secara mekanis terhadap serpih sebelum dilakukan pemasakan. Proses Sulfat

Pembuatan pulp sulfat pertama kali diperkenalkan secara komersial pada tahun 1865 di Swedia (Scott dan Abbolt 1995). Karena kertas yang terbuat dari pulp sulfat memiliki keunggulan pada kekuatan dan formasi seratnya, sehingga sampai abad ke 21 proses sulfat masih tetap menjadi andalan teknologi pembuatan pulp belum terkalahkan bahkan hampir 85% pulp dunia memakai proses sulfat. Reaksi kimia yang terjadi pada proses sulfat sangat komplek dan panjang. Lignin yang terdapat pada

kayu mengalami pelunakan menjadi fragmen-fragmen kecil oleh ion hidroksil (OH) dan hidrosulfida (HS) oleh larutan pemasak. Fragmen lignin tersebut akan terlarut menjadi ion fenolat atau karboksilat. Karbohidrat pada kayu, seperti hemiselulosa dan selulosa, juga sebagian ada yang terlarut. Selain itu akan terjadi juga reaksi kondensasi fragmen lignin yang mengakibatkan lignin yang terkondensasi menjadi lebih sulit untuk dihilangkan dari serat. Namun adanya ion OH dapat mengurangi reaksi kondensasi tersebut dengan merintangi gugus reaktifnya. Gaya penggerak yang sangat dominan pada proses sulfat adalah adanya alkali sebagai alkali aktif dan faktor suhu pemasakan. Bahkan dengan adanya ion HS dapat mempercepat proses pelarutan lignin tanpa banyak melarutkan selulosa, sehingga secara keseluruhan polimer lignin dapat dipecah menjadi molekul yang lebih kecil dan dapat larut dalam lindi hitam. Molekul kecil tersebut tidak berfungsi lagi sebagai bahan perekat antar serat, sehingga serat dengan mudah dapat terurai secara individu (Cassey 1980)

Pemilihan Hardwood untuk Pulp

Semua jenis kayu yang memiliki serat selulosa dapat digunakan sebagai bahan baku pulp kertas atau rayon. Namun dalam proses pelaksanaannya perlu dilakukan pembatasan terhadap faktor teknis dan ekonomis. Faktor teknis seperti jenis dan sifat kayu merupakan hal yang paling penting dalam pemilihan kayu untuk memperoleh kualitas pulp yang baik, biaya produksi lebih ekonomis dan kertas yang dihasilkan memiliki kekuatan dan nilai jual yang tinggi. Secara umum faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan kayu hardwood untuk pulp diantaranya adalah kulit kayu tipis sampai sedang, batang lurus tidak terpuntir, tidak banyak mata kayu, tidak mengeluarkan banyak getah dan relatif tahan dalam proses penyimpanan (Kartiwa 1998).

Kayu hardwood tropis banyak sekali ragam dan jenisnya bahkan bisa mencapai 400 jenis lebih. Kayu yang sudah baku dan terseleksi secara komersial untuk pulp sudah banyak digunakan secara rutin dan dibudidayakan. Namun saat ini ada beberapa kayu yang digunakan sebagai bahan baku alternatif untuk pembuatan pulp, walaupun belum diketahui jenis dan manfaatnya. Akhir-akhir ini dikenal kayu dengan sebutan Mixed Tropical Hardwood (MTH) yang terdiri dari dua jenis atau lebih kayu yang memiliki variasi berbeda. Kelompok ini sering digunakan sebagai bahan baku pulp untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga kelangsungan produksi pulp dan memenuhi kebutuhan kertas dunia saat ini. Salah satu karakter dari kayu MTH ini memiliki keragaman massa jenis yang besar dan sifat kimia yang berbeda, akibatnya kualitas pulp yang dihasilkan berfluktuasi dan tidak standar. Untuk mengendalikan kualitas tersebut perlu dirancang suatu model pemilihan bahan baku MTH yang memiliki perbedaan kisaran massa jenis yang tidak terlalu besar. Model ini dapat membantu

Page 35: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Variability of Wood Density Tropical Hardwoods to the Characteristic of Fibers, Chemicals and Pulp Sulfate 73 (Wawan Kartiwa Haroen)

para praktisi di lapangan untuk memperkirakan berbagai masalah yang akan terjadi dalam proses pulping dan kendala lainnya yang akan ditimbulkannya.

Bahan dan Metode

Bahan Data untuk menganalisa pengaruh massa jenis

terhadap karakteristik serat, kimia dan pulp diperoleh dari FAO (1979) yang diolah dan dikelompokan ke dalam 7 kelompok masa jenis yang dimulai dari 0.30 sampai 0.98. Contoh kayu diambil secara acak sebanyak 21 jenis yaitu Sterculia sp, Alba sp, Sclerolobium sp, Poeteria sp, Drypetes sp, Bombax sp, Peltogyne sp, Perebea sp, Pouteria sp, Drypetes sp, Caryocar sp, Bombax sp, Peltogyne sp, Pourouma sp, Diospyros sp, Hyeronima sp, Simarouba sp, Sapium sp, Duroira sp, Manilkara sp, Pterocarpus sp. Setiap kelompok massa jenis diambil 3 contoh kayu. Kayu tersebut dibuat pulp menggunakan proses sulfat dengan konsumsi alkali aktif 15% sebagai Na2O, Sulfiditas 25%, suhu pemasakan 170ºC, ratio 1 : 4 dan waktu pemasakan 3.5 jam. Metode

Data hardwood yang memiliki massa jenis 0.30 sampai 0.98 dibagi ke dalam 7 kelas interval yaitu: 0.30 ~ 0.39; 0.40 ~ 0.49; 0.50 ~ 0.59; 0.60 ~ 0.69; 0.70 ~ 0.79; 0.80 ~ 089 dan 0.90 ~ 0.99. Setiap kelas interval diambil 3 contoh kayu secara acak yang mewakili massa jenis kayu tersebut. Dari contoh terpilih dilakukan pengamatan dan analisa terhadap panjang serat, tebal dinding, kandungan ekstraktif, lignin, rendemen pulp, residu alkali sisa pemasakan, tingkat kematangan pulp (PN/KN), kekuatan fisik lembaran pulp seperti indeks sobek, indeks retak- retak, lipat dan panjang putus.

Data diolah dan dikelompokan kemudian dihubungkan dengan parameter massa jenis kayu. Setiap parameter dikaji berbagai kemungkinan yang banyak diakibatkan oleh masa jenis. Pengolahan data menggunakan analisa regresi dan menghitung hubungan tersebut dengan nilai koefisien regresi R2 dengan membuat model pendekatan melalui persamaan regresi y = ax + b. Pengamatan terbagi dalam 3 kelompok yaitu: Kelompok 1: massa jenis terhadap panjang serat, dinding serat , ekstraktif dan lignin. Kelompok 2: massa jenis terhadap rendemen pulp, KN/PN, sisa alkali pemasakan dan sisa ekstraktif dalam pulp. Kelompok 3: massa jenis kayu terhadap sifat fisik lembaran pulp sulfat belum putih.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data pada Lampiran 1 dan hasil pengamatan terhadap 21 jenis kayu yang telah dikelompokan ke dalam 7 kelas masa jenis menunjukkan hasil sebagai berikut. Panjang serat dari contoh tropical hardwood memiliki kisaran panjang serat antara 1.13 ~

1.83 mm. Berdasarkan klasifikasi serat menurut Klemm (Cassey 1980) serat tersebut termasuk ke dalam kelompok panjang serat sedang sampai panjang (> 1.6 mm) dengan rata-rata 1.44 mm. Sedangkan untuk klasifikasi tebal dindingnya antara 0.25 ~ 18.75µm tergolong ke dalam kelas tebal dinding tipis sampai tebal. Dari klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa contoh kayu tersebut memiliki mutu kayu kelas II dan III sebagai bahan baku pulp dengan sifat diantaranya massa jenis ringan sampai berat, dinding serat tipis sampai tebal, lumen sedang dan kecil, sehingga dapat menghasilkan lembaran pulp dengan kekuatan sobek dan retak yang baik sampai sedang (Vademecum Kehutanan 1976). Massa Jenis terhadap Morfologi Serat

Massa jenis kayu yang dihubungkan dengan panjang serat hasilnya tidak memperlihatkan saling mempengaruhi atau hubungannya tidak signifikan yang diperlihatkan oleh nilai R2 = 0.113 yang kecil. Artinya apabila massa jenis kayu semakin tinggi maka panjang serat yang terbentuk tidak sejalan dengan perbedaan panjang seratnya. Tetapi pada sifat tebal dinding serat, massa jenis ini sangat berpengaruh positif sejalan dengan meningkatnya massa jenis kayu dan diperlihatkan pula dengan nilai R2 = 0.728 yang besar. Hal ini berarti massa jenis akan saling mempengaruhi terhadap tebal dinding serat, dinding yang tebal dapat mengakibatkan massa jenis lebih tinggi. Pernyataan ini sesuai dengan pembuktian Cassey (1980) bahwa massa jenis kayu banyak dipengaruhi oleh tebal dinding serat seperti terlihat pada Gambar 1.

Dari gambar tersebut terlihat bahwa semakin tinggi nilai massa jenis kayu , maka dinding seratnya semakin tebal. Sedangkan panjang serat tidak berpengaruh terhadap massa jenis. Untuk memprediksi bagaimana arah perubahan massa jenis terhadap pembentukan tebal dinding dari serat dapat diformulasikan dengan model persamaan Y = 8.136 X + 0.428.

Figure 1. Wood specific gravity to fiber morphology.

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

1.8

2.0

0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

Fibe

r len

gth,

mm

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

7.0

8.0

9.0

10.0

Cell w

all thickness, µmFiber length, mm Cell wall thickness, µm

Wood specific gravity

Page 36: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

74 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

Dengan kajian tersebut dapat dikatakan bahwa massa jenis kayu banyak dipengaruhi oleh tebal tipisnya dinding serat, sehingga massa jenis yang ringan diharapkan memiliki dinding serat yang tipis dan seratnya akan lebih mudah terfibrilasi. Massa Jenis terhadap Kimia Kayu

Komponen kimia seperti ekstraktif dan lignin di dalam kayu diperkirakan akan menambah kenaikan massa jenis kayu (Cassey 1980; Kocurec 1987). Hal ini dapat dikaji dari data yang diperoleh bahwa kadar lignin yang tinggi akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan massa jenis kayu dan sangat berhubungan, dibuktikan dengan koefisien regresi yang tinggi, yaitu R2 = 0.768. Namun kadar ekstraktif pada kayu tidak memperlihatkan hubungan yang sangat nyata terhadap bertambahnya massa jenis kayu, sehingga ekstraktif pada penelitian ini tidak banyak pengaruhnya terhadap pertambahan massa jenis kayu seperti terlihat pada Gambar 2 dan Tabel 1.

Figure 2. Wood specific gravity to wood chemical.

Kadar lignin berkisar antara 22.10 ~ 39.40% (rata-

rata 27.04%). Kayu yang memiliki kadar lignin tersebut termasuk ke dalam kadar lignin sedang sampai tinggi (Vademecum 1976), sedangkan kadar ekstraktif kayu berkisar antara 1.09 ~ 11.41% (rata-rata 3.07%). Dari kisaran data tersebut, 21 jenis hardwood tersebut dapat memenuhi sebagai bahan baku pulp. Umumnya massa jenis kayu yang digunakan untuk pulp massa jenisnya lebih kecil dari 0.7, panjang serat lebih dari 0.9 mm, kadar lignin kurang dari 33% dan ekstraktf lebih kecil dari 5%. Kecuali pada massa jenis kayu di atas 0.7 ligninnya di atas 28% tetapi kadar ekstraktifnya di bawah 5%, hal ini masih bisa dipertimbangkan sebagai bahan baku pulp. Namun proses pulpingnya perlu memerlukan bahan kimia yang lebih (Lampiran 1).

Ekstraktif yang tinggi pada bahan baku kayu dapat menimbulkan masalah dalam proses pulping dan menimbulkan noda pada pulp yang dihasilkan. Kendala

yang sering terjadi pada jenis kayu campuran dengan massa jenis yang berbeda dapat menimbulkan noda, yang sampai saat ini masih menjadi perbicangan para ahli pulp.

Massa Jenis dan Kualitas Pulp

Pengaruh massa jenis terhadap proses pulping atau pembuatan pulp dilakukan terhadap parameter rendemen pulp, sisa alkali bahan kimia pemasak dan kematangan pulp. Hasil yang diperoleh ternyata menunjukkan bahwa rendemen pulpnya bervariasi antara 41.60 ~ 56.24% (rata-rata 48.67%). Rendemen pulp dari penggunaan kayu dengan massa jenis rendah, yaitu 0.3 menghasilkan pulp dengan rendemen yang tinggi, Kappa Number (KN) rendah dengan sisa alkali pada pemasakan yang kecil. Sisa alkali pemasakannya 1.6 ~ 9.2% (rata-rata 4.21%), KN 20.2 ~ 47.4 (rata-rata 32.61), Permanganat Number (PN) 14.6 ~ 31.8 (rata-rata 22.52) dan sisa ekstratif pada pulp belum putih 0.24 ~ 0.86 (rata-rata 0.43). Faktor massa jenis pada proses pulping sulfat dengan Sulfiditas 25% dan alkali alktif 15% telah menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap redemen pulp dan KN atau PN. Table 1. Wood specific gravity and pulp quality.

Wood specific gravity

Pulp yield (%)

Residual alkali (g/l) PN

KN

Extractive on pulp)

(%)

0.3 50.37 3.20 19.67 27.00 0.40 0.4 47.70 3.73 22.63 32.60 0.80 0.5 49.17 3.47 17.40 22.83 0.39 0.6 47.78 3.07 25.33 38.23 0.54 0.7 49.22 4.27 25.87 38.97 0.46 0.8 46.42 6.00 21.77 31.03 0.37 0.9 47.03 5.73 25.00 37.63 0.55

Massa jenis kayu dapat mempengaruhi rendemen

dan tingkat kematangan pulp. Walaupun koefisien regresinya (R2) = 0.481, tetapi hubungan ini dapat dijadikan acuan sebagai bahan prediksi awal.

Faktor massa jenis kayu tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap sisa ekstratif dalam pulp karena penurunan antara massa jenis rendah maupun tinggi tidak berbeda jauh (Tabel 1), hubungan yang tidak nyata tersebut ditunjukkan oleh nilai regresi yang sangat rendah, yaitu R2 = 0.030.

Massa Jenis terhadap Lembaran Fisik Pulp

Massa jenis kayu dengan indeks sobek pulp menunjukkan hubungan yang saling mempengaruhi, terutama pada massa jenis yang mendekati 0.7. Semakin tinggi massa jenis sampai batas 0.7, maka indeks sobek meningkat walaupun hubungan tersebut relatif kecil yang

0

5

10

15

20

25

30

35

0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

Wood specific gravity

Lignin, % Extractive, %

Page 37: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

Variability of Wood Density Tropical Hardwoods to the Characteristic of Fibers, Chemicals and Pulp Sulfate 75 (Wawan Kartiwa Haroen)

ditunjukkan dengan nilai R2 = 0.31, dengan persamaan Y = ― 0.314 x + 0.048.

Figure 3. Wood specific gravity to quality of pulp

Sedangkan untuk indeks retak, massa jenis kayu

tidak menunjukkan hubungan yang nyata, bahkan hampir tidak ada seperti ditunjukkan oleh nilai regresi yang kecil, yaitu R2 = 0.157. Dari kedua parameter kekuatan pulp yaitu indeks sobek dan indeks tarik, untuk massa jenis di atas 0.7 maka kekuatan pulpnya memiliki kecenderungan akan semakin menurun, seperti terlihat pada Gambar 3. Dari analisa ini diusahakan penggunaan kayu untuk pulp secara monokultur. Untuk kayu campuran diusahakan massa jenisnya kurang dari 0.7 atau dalam mencampur kayu/serpih, komposisi massa jenis kayunya tidak didominasi oleh kayu dengan massa jenis di atas 0.7. Berdasarkan kajian tersebut diharapkan kualitas pulp dan kertas akan mendekati standar mutu pulp kayu daun lebar.

Table 2. Wood specific gravity to properties pulp (Freeness 25ºSR)

Wood specific gravity

Folding indurance

(m)

Burst index

(mN/kg)

Tear index

(Nm2/kg)

Double folds

(times)

0.3 7800 0.81 1.69 46 0.4 7200 0.84 1.68 56 0.5 6733 0.78 1.98 54 0.6 8033 0.86 2.06 39 0.7 6766 0.79 2.10 39 0.8 4866 0.50 1.74 18 0.9 5666 0.74 1.62 13

Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa semakin

tinggi massa jenis kayu dapat berpengaruh terhadap sifat fisik lembaran pulp seperti panjang putus, indeks retak, indeks sobek dan ketahanan lipat. Semakin tinggi massa jenis kayu yang dipergunakan untuk bahan baku pulp akan terjadi gejala yang mengarah kekuatan fisiknya pada

keempat faktor tersebut akan menurun sejalan bertambahnya nilai massa jenis kayu.

Walaupun indeks sobek pada lembaran pulp tersebut memperlihatkan gejala yang hampir sama, namun terdapat perbedaan seperti yang ditunjukkan pada massa jenis 0.6 ~ 0.7 dan 0.8 ~ 09 terjadi penurunan kekuatan sesuai meningkatnya massa jenis kayu. Gejala pada indek retak, massa jenis kayu menunjukkan hubungan yang relatif kecil pengaruhnya seperti ditunjukkan pula dengan koefisien regresinya yang rendah, yaitu R2 = 0.157. Tebal dinding serat pada pulp dapat mempengaruhi kekuatan sobek karena dinding serat akan terkena gaya sobek ke arah samping dinding serat, sehingga lembaran kertas tersebut akan menjadi lebih kuat menahan gaya yang mengenai dinding seratnya. Dari pengamatan tersebut ternyata ada kesesuaian yang dikemukakan oleh Parham et al. (1983). bahwa massa jenis dari kayu kelompok hardwood untuk pulp dapat mempengaruhi kekuatan fisik lembaran pulpnya. Sifat tersebut dapat diperlihatkan pada Gambar 3 dan Tabel 2. Untuk melihat berbagai kecenderungan pengaruh massa jenis kayu tropis daun lebar terhadap berbagai karakter serat, kimia, proses pemasakan pulp dan kualitas lembaran pup yang dihasilkan dapat menggunakan pendekatan melalui persamaan regsesi seperti pada Tabel 3. Analisa pendahuluan ini diharapkan dapat menjadi penduga awal dalam menentukan pemilihan kayu tropis yang tepat untuk pulp.

Table 3. Correlations of wood specific gravity.

WSG

Cell wall thickness ** Y= 8.136 x + 0.428 R2 : 0.728

WSG Length Fiber Y= 0.357 x + 1.227 R2 : 0.113 WSG Yield * Y= - 4.475 X + 50.925 R2 : 0.481 WSG Residual Alkali ** Y= 4.618 x + 1.439 R2 : 0.693 WSG Lignin ** Y= 11.304 x + 19.66 R2 : 0.768 WSG Extractive on Wood Y= 0.064 x + 3.034 R2 : 0.002 WSG Permanganate

Number (PN) * Y= 8.121 x + 17.651 R2 : 0.307 WSG Kappa Number

(KN) * Y= 16.032 x + 22.994 R2 : 0.317 WSG Extractive on pulp Y= - 0.121 x + 0.574 R2 : 0.030 WSG Tears Index Y= - 0.939 x + 2.235 R2 : 0.157 WSG Burst Index * Y= - 0.314 x + 0.048 R2 : 0.313 WSG Double folds * Y= - 3941.8 x + 9088.5 R2 :0.567 WSG Folding endurance Y= - 67.857 x + 78.571 R2 :0.771

Notes: Wood specific gravity (WSG) 0.30 ~ 0.98 Kraft Pulping (AA 15 %, Sulfidity 25 %,

Temp. 170ºC)

Kesimpulan

Pengamatan terhadap 21 contoh hardwood tropis yang memiliki kisaran massa jenis kayu 0.30 ~ 0.98

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00

0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

Wood specific gravity

Bur

st In

dex,

MN

/kg

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

Tear index, Nm

2/kg

Burst index Tear index

Page 38: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban

76 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.4 • No. 2 • 2006

sebagai bahan baku pulp memperlihatkan hubungan sebagai berikut: 1. Dinding serat akan bertambah tebal sejalan dengan

meningkatnya massa jenis kayu, tetapi untuk morfologi panjang serat tidak banyak dipengaruhi oleh massa jenis kayu.

2. Kandungan kimia kayu tropis khususnya kadar lignin memiliki kecenderungan dipengaruhi oleh massa jenis kayu, semakin tinggi kadar lignin maka massa jenis kayunya juga tinggi.

3. Massa jenis kayu tropis dapat mempengaruhi proses pemasakan pulp sulfat, terutama terhadap rendemen pulpnya. Semakin banyak pemakaian kayu dengan massa jenis tinggi mengakibatkan kualitas pulp yang dihasilkan kurang matang dengan Kappa Number/ Permanganat Number tinggi dan rendemen rendah.

4. Massa jenis kayu tropis sampai batas kurang dari 0.70 menghasilkan indek sobek yang baik, tetapi penggunaan kayu dengan massa jenis yang lebih dari 0.7 dapat mempengaruhi indeks sobek dan kualitas lembaran pulp lainnya lebih rendah.

Diterima (accepted) tanggal 17 Mei 2006 Wawan Kartiwa Haroen Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK), Departemen Perindustrian (Center for Pulp and Paper, Department of Industry) Jl. Raya Dayeuhkolot 132 Bandung Tel : 022-5202980 Fax : 022-52028671 Email : [email protected]; [email protected]

Daftar Pustaka

Brown, H.P.; A.J. Panshin; C.C. Forsaith. 1994. Texbook

of Wood Technology. Vol.1. Mc.Graw-Hill Book Co. Inc. 4th.Ed.New York

Cassey, J.P. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Vol. 1, 3rd ed. Jhon Willey and son. New York

FAO. 1976. Evaluation of Mixed Tropical Hardwoods for Pulp and Paper Manufacture. Food Agriculture Organization of the United Nations. Rome.

Kellomaki, S. 1998. Forest Resources and Sustainable Management. Paper Making and Technology. TAPPI.

Kocurec, M.J. 1987. Properties of Fibrous Raw Materials and their Preparation for Pulping. Vol.1. TAPPI – CPPA. Atlanta USA.

Kartiwa, W. 1998. Penyediaan Bahan Baku Kayu untuk Pulp. PT. TEL dan Balai Besar Litbang Industri Selulosa Deperindag.

Parhan, R.A. 1983. Wood Physical Properties. Pulp and Paper Manufacture. TAPPI. Joint Text Book Comm. of the Paper Industry. p.46-53

P3HH dan PT.Sumalindo Lestari Jaya .1989. Alih Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Industri Pulp Kertas dan Papan Serat.

Scott, W.E.; J.C. Abbolt. 1995. Properties of Paper, 2nd ed.TAPPI Press. Atlanta USA.

Vademecum Kehutanan Indonesia 1976. Departemen Pertanian, Dirjen Kehutanan.

Appendix 1. Effect of wood specific gavity to Kraft pulp characteristic (Active Alkali 15%, Sufidity 25%, Ratio 1:4, Temp.170ºC, Cooking time 3.5 hours, 21 tropical hardwood species)

Basic specific gavity

Basic

specific gavity

interval

Length fiber (mm)

Cell wall thickness

(µm)

Total yield pulp (%)

Residu

of Alkali (g/l)

Lignin content

(%)

Extractive of wood

(%) (PN)

(KN)

Bright- ness

(% GE)

Extractive on pulp

(%)

Burst index

(mN//kg)

Tear index (Nm2/kg)

0.3

0.3-0.39 1.49 3.83 50.37 3.20 24.10 2.28 19.67 27.00 26.33 0.40 0.81 1.69

0.4

0.4-0.49 1.20 3.00 47.70 3.73 24.23 3.80 22.63 32.60 29.17 0.80 0.84 1.51

0.5

0.5-0.59 1.26 4.00 49.17 3.47 23.77 2.64 17.40 22.83 29.00 0.39 0.78 1.98

0.6

0.6-0.69 1.64 5.58 47.78 3.07 25.00 2.79 25.33 38.23 22.98 0.54 0.86 2.06

0.7

0.7-0.79 1.27 4.67 49.22 4.27 28.77 4.84 25.87 38.97 16.83 0.46 0.79 2.10

0.8

0.8-0.89 1.83 8.67 46.42 6.00 30.40 3.06 21.77 31.03 23.33 0.37 0.64 1.74

0.9

0.9-0.99 1.40 7.42 47.03 5.73 28.87 2.10 25.00 37.63 20.17

0.55 0.55 1.62 Source: FAO (1976)

Page 39: Serat Eksentrik Pada Kulit Kayu ban