tesisrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/endo tage (tesis... · 2020. 11. 5. · dengan ajaran...

176
MAKNA DI BALIK RITUS-RITUS KEMATIAN SUKU EMBU LEJA DI DUSUN TENDAWENA DESA TENDA DALAM PERBANDINGAN DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA PASTORAL GEREJA TESIS Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat guna Memperoleh Gelar Magister (S2) Teologi Program Studi Ilmu Teologi dengan Pendekatan Kontekstual Oleh: ARNOLDUS ALEXANDRO TAGE NIRM: 17.7.54.0467.R SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO MAUMERE 2020

Upload: others

Post on 05-Aug-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

MAKNA DI BALIK RITUS-RITUS KEMATIAN SUKU EMBU LEJA

DI DUSUN TENDAWENA – DESA TENDA DALAM PERBANDINGAN

DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP

SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA

TERHADAP KARYA PASTORAL GEREJA

TESIS

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat

guna Memperoleh Gelar Magister (S2) Teologi

Program Studi Ilmu Teologi dengan Pendekatan Kontekstual

Oleh:

ARNOLDUS ALEXANDRO TAGE

NIRM: 17.7.54.0467.R

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK

LEDALERO – MAUMERE

2020

Page 2: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

ii

Page 3: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

iii

ABSTRACT

The object of study in this thesis is Embu Leja tribe in the Tendawena,

Tenda Village, Wolojita District, Ende Regency. This tribe develops a unique

identity. The identity of this tribe can be expressed in many ways such as in the

cultural rites. There are quite number of rites in the Embu Leja tribal

community. In this study, the researcher focused on the meaning behind the rituals

of death in Embu Leja tribal community in comparison with Catholic’s

Church perpective about death and life after death.

In the Catholic Church, faith is basically lived in a particular cultural

context. Based on this assumption, problems can be found in comparing between

the two elements, namely, cultural rites and Church beliefs, for on the one side,

there are part of cultural rites that are not in accordance with the teachings of the

Church. And therefore, it must be eliminated or not accepted in the Church. On the

other side, there are cultural rites that can be accepted in to the Catholic Church

because they are suitable or in accordance with the teachings of the Church.

The effort to find out the comparison between the meaning behind the death

rites in the cultural contexts - such as the tribe of Embu Leja - and the Catholic

Church teaching about death and life after death is an integral part and as an

application of the Church vission. The Church would like to emphasize the

importance of culture’s role in the process of proclaiming the Gospel, as

underlined in and through the Second Vatican Council. These efforts are based on

the belief that on the one hand, cultural values can inspire and penetrate faith and

religious worship; and on the other hand, religious values can give new meaning to

various cultural concepts. The correlation of these inspirational values are

specifically found in the similarities and differences as a result of an effort to

compare the meaning behind the Embu Leja’s rituals of death with the Catholic

Church's teachings on death and life after death.

Page 4: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

iv

ABSTRAKSI

Objek kajian di dalam studi ini adalah suku Embu Leja dalam masyarakat

Tendawena. Suku Embu Leja adalah subkultur masyarakat etnis Lio-Ende yang

ada di Dusun Tendawena, Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende.

Dalam lingkup wilayah tersebut, masyarakat suku Embu Leja mengembangkan

satu identitas kultural yang khas. Salah satu ekspresi kultural yang khas dari

masyarakat suku Embu Leja adalah pelaksanaan ritus-ritus. Ada cukup banyak

ritus di dalam masyarakat suku Embu Leja. Namun dalam studi ini penulis

berpusat pada makna di balik ritus-ritus kematian dalam masyarakat suku Embu

Leja untuk kemudian diperbandingkan dengan pandangan Gereja Katolik tentang

kematian dan hidup sesudah kematian.

Di dalam Gereja Katolik, iman pada dasarnya selalu dihayati di dalam suatu

konteks kebudayaan tertentu. Bertolak dari asumsi ini, problem penting yang dapat

dihadapi di dalam usaha-usaha memperbandingkan kedua unsur tersebut adalah

menyelaraskan suatu kehidupan budaya dengan kehidupan menggereja secara tepat

sasar. Sebab, dalam proses pengaplikasiannya, usaha-usaha penyelarasan acapkali

berhadapan dengan pelbagai hambatan dan rintangan yang cukup pelik. Ada

bagian-bagian dari kebudayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja yang

berpotensi untuk dihilangkan, adapula bagian-bagian dari kebudayaan yang sesuai,

karena itu berpeluang untuk diterima, dimodifikasi, diinkulturasikan, atau

diintegrasikan ke dalam Gereja Katolik.

Usaha untuk menemukan perbandingan makna di balik ritus-ritus kematian

masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran Gerja Katolik tentang kematian dan

hidup sesudah kematian juga merupakan bagian integral dari pengaplikasian visi

Gereja yang berusaha mengedepankan peranan penting budaya dalam proses

pewartaan injil, sebagaimana yang telah digariskan di dalam dalam dan melalui

Konsili vatikan II. Usaha-usaha itu didasari oleh keyakinan bahwa nilai-nilai

budaya dapat menginsipirasi dan meresapi iman dan tata peribadatan agama.

Demikianpun sebaliknya nilai-nilai agama dapat memberi makna baru dalam aneka

produk kebudayaan. Korelasi nilai-nilai inspiratif tersebut secara spesifik

ditemukan di dalam kesamaan-kesamaan dan perbedaan sebagai hasil dari usaha

perbandingan makna di balik ritus-ritus kematian suku Embu Leja dengan ajaran

Gereja katolik tentang kematian dan hidup setelah kematian.

Page 5: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

v

Page 6: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

vi

KATA PENGANTAR

Keterbukaan Gereja terhadap kebudayaan-kebudayaan sebagaimana yang

digariskan oleh Konsili Vatikan II membawa implikasi tersendiri bagi karya

pewartaan Gereja. Gereja mengajak semua anggotanya untuk mengadakan dialog

dengan kebudayaan-kebudayaan sambil tidak melupakan identitas dan tugas

utamanya, yaitu mewartakan bahwa Yesus Kristus adalah penebus bagi umat

manusia. Yesus Kristus adalah Putera Allah yang menjadi manusia untuk

mengkomunikasikan keselamatan-Nya melalui pewartaan Kerajaan Allah dan

kematian serta kebangkitan-Nya. Keselamatan-Nya menjadi anugerah bagi semua

manusia.

Namun usaha memperkenalkan Injil kepada suatu masyarakat tanpa

mengetahui konteks budayanya merupakan kesulitan yang serius. Di satu pihak

adat atau budaya merupakan peluang dalam mewartakan Sabda Allah, namun di

pihak lain merupakan tantangan bagi jalan masuknya pewartaan Sabda Allah. Iman

dan budaya menjadi peluang bila seorang pelayan pastoral mau menerima,

memahami, dan sungguh masuk dalam budaya setempat. Sebaliknya, iman dan

budaya menjadi tantangan jika kebudayaan setempat merasa “diganggu” atau

“diusik” oleh pewartaan yang dijalankan oleh seorang pelayan pastoral. Karena itu,

seorang pelayan pastoral dituntut untuk mempelajari budaya di mana ia diutus.

Dengan kata lain, pengetahuan yang memadai akan budaya bangsa lain merupakan

prasyarat mutlak bagi seorang misionaris dalam usaha evangelisasi.

Karena itu, tema yang diangkat di dalam tesis ini, yakni perbandingan

makna di balik ritus-ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran

Katolik tentang kematian dan hidup sesudah kematian dapat dilihat sebagai salah

satu usaha untuk belajar bagaimana memiliki pengetahuan dan pemahaman yang

memadai tentang kebudayaan suatu masyarakat tertentu. Usaha ini mengandung

Page 7: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

vii

makna yang lebih dalam akan penemuan nilai-nilai Injil dalam ritus lokal

berdasarkan kesamaan dan perbedaan yang ditemukan dari hasil perbandingan itu.

Bagaimanapun juga, usaha untuk menemukan perbandingan makna di

balik ritus-ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran Katolik

tentang kematian dan hidup sesudah kematian tidak terlepas dari campur tangan

berbagai pihak. Karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada

sejumlah pihak yang dengan cara mereka masing-masing telah membantu penulis

dalam proses belajar dan perampungan tesis ini. Pihak-pihak tersebut adalah:

1. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero yang telah menyediakan

sarana dan prasana seperti buku-buku penunjang yang dapat

ditemukan di perpustakaan STFK Ledalero.

2. Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero yang memberikan

waktu dan kesempatan bagi penulis untuk mengadakan penelitian.

3. Pater Bernardus Raho, Drs. M. A., selaku dosen pembimbing I

yang dengan sabar, tekun, dan teliti membaca, memeriksa,

memperbaiki, dan memberikan saran-saran penting demi

perampungan tulisan ini.

4. Dr. John Mansford Prior selaku dosen pembimbing II yang

dengan penuh ketelitian membaca, memperbaiki, dan mengoreksi

seluruh isi tulisan ini di samping memberikan input-input yang

bermanfaat bagi penulis.

5. Dr. Alfons Gabriel Betan selaku dosen penguji yang dengan

penuh ketelitian membaca, memperbaiki, dan memberikan

pertanyaan-pertanyaan demi penyempurnaan tulisan ini.

6. Sefrianus Juhani, S. Fil., Lic. yang telah bersedia menjadi

moderator demi memperlancar jalannya ujian tesis ini.

7. Para narasumber: Bapak Darius Deki, Bapak Fabianus Kea,

Bapak Anselmus Moa, Ibu Anastasia Pawe, Bapak Piter Tage

Saka, Bapak Siprianus Sea, dan Bapak Fransiskus So’o, atas

segala informasi berharga yang diberikan untuk mendukung

penulisan tesis ini.

Page 8: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

viii

8. Bapak Kepala Dusun Tendawena dan Kepala Desa Tenda

bersama staf yang telah membantu memperlancar proses

wawancara dan memberikan data-data terkait Dusun Tendawena

dan Desa Tenda serta kondisi masyarakat suku Embu Leja.

9. Konfrater penghuni unit St. Fransiskus Xaverius Ledalero yang

telah mendukung penulis dengan menciptakan suasana kondusif

di sekitar unit dan mendorong penulis untuk tetap semangat dalam

usaha menyelesaikan tulisan ini.

10. Kedua orangtua tercinta, Bapak Philipus Ruba dan Mama

Anastasia Pawe, yang telah mendukung penulis dengan doa dan

perhatian, baik secara tersurat maupun tersirat.

11. Saudara-saudari kandungku yang penulis yakini selalu

mendukung penulis dengan doa-doa dan memberikan perhatian

dan dukungan dengan cara-cara yang unik.

12. Segenap keluarga besar yang bermukim di Tendawena.

13. Para donatur dan semua pihak yang telah mendukung saya di jalan

panggilan menuju imamat ini.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.

Karena itu, kritik dan saran yang konstrukitf dari pembaca sekalian sangat

diharapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi

Gereja dan masyarakat suku Embu Leja secara khusus.

Penulis

Ledalero, 23 Maret 2020

Page 9: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

ix

DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................... i

Halaman Pengesahan ............................................................................................ ii

Abstraksi Bahasa Inggris .................................................................................... iii

Abstraksi Bahasa Indonesia ................................................................................ iv

Surat Pernyataan Orisinalitas ............................................................................. v

Kata Pengantar .................................................................................................... vi

Daftar Isi ............................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2 Pokok Penelitian .............................................................................................. 8

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 8

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 9

1.4.1 Manfaat Umum ........................................................................................... 9

1.4.2 Manfaat Khusus .......................................................................................... 9

1.5 Desain Riset ................................................................................................... 10

1.5.1 Sumber Data ............................................................................................... 10

1.5.2 Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................... 10

1.5.3 Instrumen Pengumpulan Data ................................................................... 10

1.6 Sistematika Penulisan .................................................................................... 11

BAB II GAMBARAN UMUM MASYAKAT SUKU EMBU LEJA

DAN LINGKARAN KEBUDAYAANNYA ........................................ 12

2.1 Gambaran Umum Masyakat Suku Embu Leja .............................................. 12

2.1.1 Sejarah dan Asal-Usul Suku Embu Leja ................................................... 12

2.1.2 Kondisi Geografis: Letak, Luas, dan Batas Wilayah ................................ 14

2.1.3 Kondisi Demografis .................................................................................. 15

2.2 Kebudayaan Masyarakat Suku Embu Leja .................................................... 18

2.2.1 Sistem Kepercayaan .................................................................................. 19

2.2.1.1 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi dalam Konteks Etnis Lio-Ende ... 19

Page 10: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

x

2.2.1.2 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi di dalam Suku Embu Leja ......... 25

2.2.1.3 Kepercayaan kepada Roh-Roh Jahat ...................................................... 27

2.2.1.4 Kepercayaan kepada Roh Leluhur .......................................................... 29

2.2.2 Sistem Ekonomi ........................................................................................ 31

2.2.3 Sistem Kekerabatan ................................................................................... 32

2.2.3.1 Sistem Kekerabatan Berdasarkan Garis Keturunan ................................ 32

2.2.3.2 Sistem Kekerabatan Berdasarkan Relasi Perkawinan ............................. 32

2.2.3.3 Relasi Sosial Kemasyarakatan ................................................................ 34

2.2.4 Lapisan Sosial Kemasyarakatan ................................................................... 36

2.2.4.1 Mosalaki ................................................................................................. 36

2.2.4.2 Teke Ria Fai Ngga’e ............................................................................... 37

2.2.4.3 Prema Fai Walu ...................................................................................... 37

BAB III MAKNA DI BALIK RITUS-RITUS KEMATIAN

MASYARAKAT SUKU EMBU LEJA ............................................... 38

3.1 Ritus-Ritus Kematian di dalam Suku Embu Leja .......................................... 39

3.1.1 Ritus Kematian dalam Pemahaman Masyarakat Suku Embu Leja ........... 39

3.1.2 Maksud dan Tujuan Ritus ......................................................................... 40

3.1.3 Pemimpin Ritus ......................................................................................... 40

3.1.4 Peserta Ritus .............................................................................................. 41

3.1.5 Tahapan-Tahapan Ritus ............................................................................ 42

3.1.5.1 Ritus Sebelum Penguburan ..................................................................... 42

3.1.5.1.1 Bom Minya Tana ................................................................................... 42

3.1.5.1.2 Wurumana ............................................................................................ 44

3.1.5.1.3 Rio Ata Mata ........................................................................................ 45

3.1.5.1.4 Kole Ata Mata ...................................................................................... 47

3.1.5.1.5 Nosi Mbe’o Pu’u Kamu ........................................................................ 48

3.1.5.1.6 Dheta Ghomo ....................................................................................... 50

3.1.5.1.7 Ko’e Ghomo ......................................................................................... 51

3.1.5.2 Ritus Saat Penguburan ............................................................................ 52

3.1.5.2.1 Pati Ka Ata Mata No Embu Mamo ...................................................... 52

3.1.5.2.2 Joru ....................................................................................................... 55

Page 11: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

xi

3.1.5.2.3 Lo Ata Mata Ghole Ghomo .................................................................. 56

3.1.5.3 Ritus Sesudah Penguburan ..................................................................... 58

3.1.5.3.1 Rasi Raki Re’e Ata Mata ...................................................................... 58

3.1.5.3.2 Ka Nggua Ata Mata .............................................................................. 59

3.1.5.3.3 Poru Joka ............................................................................................. 60

3.1.5.3.4 Rheba Lengi .......................................................................................... 63

3.2 Makna di Balik Ritus-Ritus Kematian Suku Embu Leja ............................... 64

3.2.1 Ritus Kematian sebagai Pengakuan akan Adanya Wujud Tertinggi ........ 64

3.2.2 Ritus Kematian sebagai Pemisahan antara Jiwa dan Badan ..................... 65

3.2.3 Ritus Kematian sebagai Ungkapan Kepercayaan akan Adanya

Kehidupan setelah Kematian ..................................................................... 65

3.2.4 Ritus Kematian sebagai Sarana untuk Mendapatkan Keselamatan Jiwa .. 67

3.2.5 Ritus Kematian sebagai Sikap Penghormatan kepada Orang

yang Meninggal ......................................................................................... 68

3.2.6 Pengalaman Eksistensial yang Menakutkan .............................................. 68

BAB IV PANDANGAN KRISTEN TENTANG KEMATIAN ......................... 70

4.1 Pandangan Kitab Suci .................................................................................... 71

4.1.1 Pandangan tentang Kematian dalam Perjanjian Lama .............................. 71

4.1.2 Pandangan tentang Kematian dalam Perjanjian Baru ............................... 75

4.2 Pandangan Iman Kristen ................................................................................ 80

4.2.1 Kematian sebagai Akhir Pengembaraan Manusia ..................................... 80

4.2.2 Kematian sebagai Akibat Dosa ................................................................. 82

4.2.3 Mati Bersama Kristus ................................................................................ 85

4.3 Refleksi Teologis tentang Hidup Sesudah Kematian .................................... 87

4.3.1 Kebangkitan Badan ................................................................................... 87

4.3.2 Pengadilan Terakhir .................................................................................. 91

4.4 Kenyataan Hidup setelah Kematian ............................................................... 95

4.4.1 Api Penyucian ........................................................................................... 95

4.4.2 Surga ......................................................................................................... 99

4.4.3 Neraka ..................................................................................................... 101

4.5 Kesimpulan .................................................................................................. 104

Page 12: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

xii

BAB V PERBANDINGAN MAKNA DI BALIK RITUS KEMATIAN

MASYARAKAT SUKU EMBU LEJA DENGAN PANDANGAN

GEREJA KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH

KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA BAGI KARYA PASTORAL

GEREJA ............................................................................................... 106

5.1 Unsur-Unsur yang dapat Diselaraskan ........................................................ 107

5.1.1 Keyakinan Adanya Allah (Wujud Tertinggi) .......................................... 107

5.1.2 Keyakinan dan Harapan akan Hidup Setelah Kematian ......................... 110

5.1.3 Aspek Inisiasi .......................................................................................... 113

5.1.4 Pandangan tentang Penyucian Diri Manusia ........................................... 115

5.1.5 Relasi Kekerabatan antara Orang Hidup dan Orang Mati ...................... 119

5.2 Unsur-Unsur yang tidak dapat Diselaraskan ............................................... 121

5.2.1 Konsep tentang Kematian ....................................................................... 121

5.2.2 Konsep tentang Kebangkitan Jiwa dan Badan ......................................... 124

5.2.3 Mediasi dalam Doa: Embu Mamo dan Kristus ....................................... 125

5.2.4 Pengantara Keselamatan bagi Setiap Orang yang Meninggal ................ 128

5.2.5 Tempat Orang Meninggal di Dunia Akhirat ........................................... 129

5.3 Kesimpulan .................................................................................................. 130

5.4 Nilai-Niai Inspiratif dari Ritus Kematian Masyarakat Suku Embu Leja ..... 132

5.4.1 Nilai Keimanan dan Takut akan Allah .................................................... 132

5.4.2 Nilai Cinta Kasih dan Solidaritas ............................................................ 135

5.4.3 Nilai Persekutuan (Communio) dan Kerja Sama .................................... 137

5.5 Implikasi terhadap Karya Pastoral Gereja ................................................... 139

5.5.1 Katekese Bersama Umat ......................................................................... 139

5.5.1.1 Katekese Bersama Umat: Membimbing Umat Memahami

Misteri Kristus ....................................................................................... 140

5.5.1.2 Rencana Tindak Lanjut dari Katekese Bersama Umat: Umat Beriman

Perlu Bertindak Aktif dalam Kehidupan Menggereja ........................... 143

5.5.2 Bidang Pastoral Liturgi ........................................................................... 145

5.6 Kesimpulan .................................................................................................. 147

Page 13: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

xiii

BAB VI PENUTUP ............................................................................................ 150

6.1 Kesimpulan .................................................................................................. 150

6.2 Usul Saran .................................................................................................... 156

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 158

Lampiran Pertanyaan Wawancara ...................................................................... 162

Page 14: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Kebudayaan dan masyarakat adalah dua kenyataan yang saling

mengandaikan dan mempunyai hubungan yang erat ibarat dua sisi mata uang; tidak

ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, sebaliknya tidak ada

kebudayaan tanpa masyarakat. Keterandaian dan hubungan erat di antara

kebudayaan dan masyarakat dengan demikian turut mengindikasikan adanya

kompleksitas makna atas kebudayaan itu sendiri. Maka, kita sulit menemukan

suatu definisi yang definitif tentang kebudayaan. Beragam tilik tentang

kebudayaan menunjukkan bahwa heterogenitas masyarakat menjadi salah satu

faktor untuk menentukan atau menghidupi kebudayaan itu sendiri. Dalam telaahan

ini, penulis menggunakan definisi kebudayaan dari salah satu sosiolog, Bernard

Raho, yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai acuan untuk menemukan

unsur yang bisa mempersatukan beragam kebudayaan yang ada di dalam

masyarakat.

Menurut Bernard Raho, kebudayaan didefinisikan sebagai kepercayaan-

kepercayaan, nilai-nilai, tingkah laku, atau objek material yang dihasilkan oleh

sekelompok orang tertentu.1 Dari definisi ini, kita bisa menemukan bahwa setiap

kebudayaan memiliki nilai yang diterima bersama. Sistem nilai ini akan menjadi

referensi yang menentukan, apakah sebuah tindakan atau pikiran diterima baik atau

tidak dalam kehidupan bermasyarakat. Tindakan yang dilakukan mesti berdasarkan

aturan dan ketetapan yang ada dalam sebuah kebudayaan.2 Selanjutnya, dalam

masing-masing kebudayaan terdapat salah satu unsur penting dalam upacara atau

perayaan keagamaan yang disebut ritus. Melalui ritus-ritus, masyarakat mampu

menemukan simbol-simbol yang berfungsi sebagai sarana untuk mempersatukan

serentak meningkatkan kesatuan di dalam kelompok itu. Dengan melakukan

1 Bernard Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2008), hal. 58. 2 Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi (Maumere:

Ledalero, 2003), hal. 5.

Page 15: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

2

tindakan-tindakan ritual tertentu, kelompok secara bersama mengingat kembali

makna bersama yang mereka hayati dan memperkuat kesadaran akan kebersamaan

itu. Di sini sebuah tindakan disebut ritus keagamaan bukan karena isi dari tindakan

itu melainkan karena arti atau makna yang diberikan oleh kelompok agama

bersangkutan.3 Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diuraikan Cristologus

Dhogo dalam bukunya Su’i Uwi yang menjelaskan bahwa ritus adalah tindakan

menghubungkan manusia dengan yang melampaui dirinya terbuka dan bisa

dijembatani. Itu berarti ritus berusaha untuk menghadirkan dan menghubungkan

pengalaman mistik kepada orang-orang yang menjalaninya dalam mitos-mitos.

Karena memiliki hubungan dengan mitos, maka ritus berusaha untuk

mengungkapkan mitos-mitos melalui tindakan ritual. Fungsi dari ritus ini menjadi

sarana pengungkapan emosi terutama ritus-ritus yang berhubungan dengan saat-

saat krisis seperti kematian, penderitaan, dan bencana. Ritus menjadi sarana untuk

menenangkan hati mereka yang mengalaminya. Seringkali saat krisis manusia

mengungkapkan ketidakberdayaan manusiawinya di hadapan yang ilahi untuk

menghentikan dan menjauhkan krisis tersebut.4

Jadi, secara ringkas ritus merupakan salah satu bagian penting dalam

upacara atau perayaan keagamaan yang berusaha menghubungkan manusia dengan

sesuatu hal yang melampaui dirinya, melalui tindakan-tindakan ritual serta simbol-

simbol dalam suatu kebudayaan yang bertujuan untuk menguatkan rasa

kebersamaan anggota subklan. Di samping itu, ritus juga bisa dipahami sebagai

upacara keagamaan untuk mengungkapkan ketidakberdayaan manusia di hadapan

yang Ilahi yang bertujuan untuk menghentikan dan menjauhkan situasi krisis.

Salah satu ritus yang menjadi fokus perhatian di dalam penelitian ini adalah

ritus-ritus kematian dalam masyarakat suku Embu Leja di Desa Tendawena,

Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Ritus-ritus kematian ini mengungkapkan

religiositas masyarakat suku Embu Leja yang telah lama dihidupi dan sudah

berakar, sekaligus sebagai suatu upacara keagamaan untuk mengungkapkan

ketidakberdayaan masyarakat suku Embu Leja di hadapan yang Ilahi di tengah

kenyataan kematian yang dialami.

3 Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Obor, 2013), hal. 13. 4 Cristologus Dhogo, Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingannya dengan Ekaristi

(Maumere: Ledalero, 2009), hal. 48-49.

Page 16: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

3

Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa kematian bukanlah akhir dari

sebuah kehidupan, tetapi kematian adalah peralihan hidup dari dunia nyata menuju

alam baka karena manusia memiliki jiwa. Tubuh memang akan mengalami

kehancuran tetapi jiwa tetap hidup. Masyarakat suku Embu Leja menyadari bahwa

menjalankan ritual bagi anggota keluarga yang telah meninggal merupakan bagian

yang tak terpisahkan dari kenangan akan seseorang yang telah meninggal,

sekaligus sebagai peringatan bagi orang yang masih hidup. Jika ritus ini tidak

dijalankan maka akan membawa dampak buruk baik bagi orang yang telah

meninggal maupun anggota keluarga yang masih hidup, di mana orang yang

meninggal tidak mendapatkan keselamatan dan orang yang hidup mendapatkan

kutukan dari yang Ilahi. Maka untuk menghindari semua dampak buruk itu, orang

menjalankan ritus seperti memberi makan bagi orang yang telah meninggal.

Selain itu, ritus-ritus kematian dalam budaya masyarakat suku Embu Leja

merupakan suatu tanda penghormatan dan cinta kasih kepada orang yang telah

meninggal dunia. Sebagai bentuk ungkapan cinta ini dibuatlah ritus sebelum

jenazah dikuburkan, pada saat penguburan, dan setelah penguburan. Melalui ritus

ini masyarakat suku Embu Leja mengungkapkan rasa hormat kepada jiwa atau

kerabat yang telah meninggal.

Ritus-ritus kematian yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Embu Leja

mengungkapkan suatu kepercayaan akan adanya hidup setelah kematian.

Kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah kematian dibuktikan dengan

eksistensi jiwa yang tetap hidup dan mendapat tempat baru sesudah kematian.

Suku Embu Leja meyakini bahwa keselamatan dan kebahagiaan akhirat tidak

hanya bergantung pada yang ilahi, tetapi bergantung pula pada segala perbuatan

yang dilakukan seseorang selama masih hidup di dunia. Selain itu, ritus-ritus

bertujuan untuk menciptakan relasi yang baik dengan para leluhur dan dengan

yang ilahi demi kebahagiaan dan ketentraman arwah orang tersebut.

Searah dengan visi Gereja yang berusaha mengedepankan peran penting

budaya dalam proses pewartaan Injil maka usaha-usaha untuk menggali makna dan

nilai-nilai dari ritus-ritus di dalam kebudayaan tertentu merupakan salah satu unsur

konstitutif dari misi Gereja itu sendiri. Sejak Konsili Vatikan II muncul kesadaran

Gereja untuk membangun dialog yang konstruktif dengan kebudayaan. Gerakan

Page 17: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

4

evangelisasi yang dilakukan Gereja menuntut sikap terbuka untuk mulai mengakui

keberagaman, kekayaan, nilai-nilai kebudayaan itu untuk digunakan dalam

pewartaan demi menumbuhkembangkan iman umat. Di sini, Gereja perlu

menggali, mempelajari, menghidupkan, dan merefleksikan nilai-nilai religiositas

dari kebudayaan secara baru demi memperkaya khazanah kekristenan. Sehubungan

dengan hal ini, Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini,

Gaudium et Spes nomor 58, menulis:

Gereja, yang dalam sepanjang zaman hidup dalam pelbagai

situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka budaya,

untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan mengurai-

kan pewartaan Kristus kepada semua bangsa untuk menggali

dan menyelaminya serta untuk mengungkapkannya secara

lebih baik dalam perayaan liturgi dan kehidupan jemaat

beriman yang beranekaragam.5

Konsili Vatikan II secara implisit menunjukkan bahwa Gereja memiliki

sikap terbuka untuk berdialog dan berakar dalam konteks budaya lokal. Gereja

tidak lagi bersikap tertutup pada kebudayaan akan tetapi terbuka untuk melihat

dalam kebudayaan nilai-nilai spiritual dan kehidupan yang mampu membawa umat

kepada Allah. Keterbukaan Gereja semakin kelihatan dalam upaya pembumian

Gereja dalam budaya lokal melalui proses adaptasi, inkulturasi, kontekstualisasi

dan pembangunan teologi lokal.6

Gereja menyadari bahwa proses iman tidak hanya mengubah dan

memurnikan budaya, tetapi ada juga proses di dalamnya iman itu sendiri dapat

dipikirkan dan ditafsirkan kembali dengan batas-batas yang ditentukan secara jelas

di dalamnya dan di dalam kerangka terang tuntunan setiap kebudayaan.7 Hal ini

berarti Gereja mesti menyadari bahwa Ia adalah sakramen Kristus, tanda yang

memancarkan kesatuan dalam keanekaan. Gereja yakin bahwa kesatuan dalam

iman menuntut keanekaan dalam bentuk sesuai dengan situasi dan tuntutan

5 Konsili Vatikan II, “Konstitusi Patoral tentang Gereja dalam Dunia Dewasa Ini, Gaudium et Spes

Nomor 58”, penerj. R. Hardawiryana, cetakan ke-9, (Jakarta: Obor, 2008), hal. 600. 6 Leo Kleden, “Misi Ad Gentes: Suatu Cara Bermisi di Asia Dewasa Ini”, dalam Stephen B. Bevans

dan Roger (eds.), Misi untuk Abad 21, penerj. Yosef Maria Florisan, (Maumere: Puslit Candraditya,

2002), hal. 267. 7 A. M. Sustrisnaatmaka, Misi, Evangelisasi dan Inkulturasi (Yogyakarta: Yayasan Pustaka

Nusantara, 2012), hal. 55.

Page 18: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

5

kebudayaan. Kristus menghendaki warta keselamatan diterima dan dialami oleh

seluruh dunia. Karena itu, Gereja menyadari perutusannya sebagai sarana yang

membawa manusia pada keselamatan.8

Salah satu unsur dalam kebudayaan yang juga menjadi perhatian Gereja

ialah ritus kematian. Teologi Kristen mengatakan bahwa kematian adalah pintu

masuk ke dalam hidup yang susungguhnya, keselamatan dan kebahagiaan dari

Allah.9 Menurut George Kirchberger, kepercayaan Kristen akan kematian bukan

kata terakhir dalam dialog cinta antara manusia dan Allah melainkan hanya

merupakan satu pintu yang melaluinya manusia memasuki satu fase baru dari

kehidupannya: “Bagi orang beriman hidup hanyalah diubah bukan dilenyapkan”.10

Uraian teologi dari para teolog juga menggarisbawahi keyakinan adanya sebuah

kehidupan baru setelah manusia mengalami kematian. Akan tetapi, untuk mencapai

kehidupan baru itu, terlebih dahulu manusia masuk dalam pengadilan di mana

Allah berperan sebagai hakimnya. Pengadilan itu menentukan apakah manusia

diperbolehkan masuk surga, neraka, atau api penyucian. Hal ini bergantung pada

sikap dan perbuatan manusia serta tanggapan cinta Allah.11

Berdasarkan uraian-uraian di atas penulis menemukan adanya unsur-unsur

yang mempersatukan tentang ritus-ritus kematian dan hidup sesudah kematian

dalam masyarakat suku Embu Leja dan pemahaman Gereja tentang kematian dan

hidup sesudah kematian. Salah satu unsur yang mempersatukan keduanya ialah

baik Gereja maupun masyarakat suku Embu Leja meyakini adanya kehidupan baru

sesudah kematian. Akan tetapi, baik kebudayaan masyarakat Embu Leja maupun

ajaran Gereja Katolik masing-masing tetap memiliki integritas dan identitas

tersendiri. Namun, keduanya memiliki hubungan yang erat, bagaikan dua sisi mata

uang yang tidak dapat dipisahkan, di mana masyarakat budaya suku Embu Leja

loyal terhadap warisan Gereja dan juga loyal pada kebudayaan setempat.

Hubungan keduanya memberikan kesan bahwa adanya dualisme yang dihayati

oleh masyarakat suku Embu Leja yang juga merupakan anggota Kristen Katolik.

Dualisme ini dinyatakan dengan praktik “agama ganda” atau “iman dengan standar

8 Ibid., hal 119-120. 9 Iman Katolik, Buku Penjelasan dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 465. 10 George Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007),

hal. 291. 11 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 591.

Page 19: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

6

ganda”. Mereka menerima baik inisiasi Kristen maupun inisiasi-inisiasi asli seturut

kepercayaan agama tradisonal mereka. Mereka berdoa dan memohon berkat ilahi

dengan memakai tata cara iman Katolik dan melalui tata cara keagamaan asli

mereka. Dalam doa-doa itu mereka menyampaikan permohonan-permohonan

mereka kepada yang Mahatinggi dengan perantaraan para kudus dan para leluhur

mereka sendiri di dalam dua jalan yang terpisah tapi berjalan sejajar.12

Dualisme ini tentu mengaburkan pemahaman umat dan bahkan pelayan

pastoral jika tidak dikaji dan dipahami dengan baik. Oleh karena itu, perlu

“perjumpaan ganda” seperti yang ditekankan oleh John Prior. Pada tempat

pertama, orang-orang Kristen pribumi akan mengintensifkan ikhwal pelestarian,

pemurnian, dan kemajuan kebudayaan-kebudayaan mereka melalui perjumpaan

yang berkesinambungan dan penuh gairah dengan Injil Yesus Kristus. Kedua, baik

jemaat-jemaat Kristen pribumi maupun kita yang berada di dalam Gereja yang

lebih luas harus membuka diri menuju pertobatan melalui perjumpaan yang sama

ini.13 Hal ini perlu adanya dialog. Dialog yang dibangun antara Gereja dan budaya

tidak terbatas pada persoalan melihat pada upaya untuk menyandingkan antara

ritus kematian dalam Gereja dengan ritus kematian yang ada dalam budaya tetapi

lebih jauh dari itu upaya dialog yang dilakukan harus sampai pada taraf yang lebih

luas, yaitu perjuangan untuk melestarikan kehidupan dan melawan segala bentuk

kekerasan yang mengakibatkan kematian.

Di sisi lain ketakutan akan munculnya marahabahaya akibat pengabaian

terhadap ritus ritus kematian memungkinkan ritus kematian mendapatkan posisi

yang lebih tinggi dari ritus-ritus lainnya, termasuk ritus-ritus di dalam Gereja.

Indikator ini serentak menegaskan bahwa masyarakat suku Embu Leja agaknya

lebih takut terhadap adat, ketimbang aturan-aturan Gereja. Orang akan merasa

sangat bersalah dan takut jika tidak menjalankan ritus kematian ketika salah satu

anggota suku meninggal dunia, ketimbang tidak mengikuti perayaan Ekristi pada

hari Minggu misalnya. Pada titik inilah, pembaruan pola pikir demi mencapai

pemahaman yang memadai tetang makna-makna di balik ritus kematian

12 Alex Jebadu, Bukan Berhala! Penghormatan kepada Leluhur (Maumere: Penerbit Ledalero,

2009), hal. 4. 13 John Mansford Prior, Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya

(Maumere: Penerbit Ledalero, 2008), hal. 87.

Page 20: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

7

masyarakat suku Embu Leja dan ajaran Gereja Katolik tentang kematian dan hidup

sesudah kematian menjadi sangat penting.

Penulis berasumsi bahwa terdapat perbedaan dan persamaan antara ritus-

ritus kematian yang mendasar antara makna di balik ritus kematian dalam budaya

masyarakat suku Embu Leja dengan pandangan Gereja Katolik tentang kematian

dan hidup sesudah kematian. Inti dasar dari keduanya tertuju pada satu

pengharapan akan kehidupan baru setelah kematian manusia dalam persatuan

dengan penciptanya. Hal ini berarti perlu adanya sikap dialog. Meskipun demikian,

ajaran Katolik dan budaya suku Embu Leja keduanya memiliki perbedaan masing-

masing. Namun hubungan antara keduanya sulit dipisahkan dalam kehidupan

masyarakat suku Embu Leja yang juga adalah umat Katolik. Ketika ada peristiwa

kematian, ritus budaya tidak boleh diabaikan, demikianpun sebaliknya berlaku pula

pada upacara doa-doa secara Katolik untuk mendoakan orang yang meninggal dan

perayaan Ekaristi bagi orang yang meninggal serta ibadat penguburan di tempat

penguburan tidak boleh ditiadakan. Jika hanya dilakukan ritus budaya atau hanya

ritus secara Katolik maka hal ini dirasa belum lengkap dan tidak akan menjamin

kebahagiaan bagi yang meninggal ketika berada dalam dunia yang baru.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, penulis berasumsi bahwa perbedaan

dan persamaan yang ditemukan di dalam ritus-ritus kematian suku Embu Leja

maupun ajaran iman Katolik tentang kematian dapat digunakan sebagai landasan

guna merealisasikan praktik pastoral yang tepat sasar. Untuk mewujudkan hal ini,

peran pelayan pastoral sangat dibutuhkan dengan membantu umat agar mampu

menjernihkan pemikiran tentang praktik-praktik keagamaan masyarakat setempat

dengan nilai-nilai Gereja Katolik yang bersumber pada Kitab Suci, Tradisi, dan

Magisterium Gereja. Oleh karena itu, penulis memberi judul: “MAKNA DI

BALIK RITUS-RITUS KEMATIAN SUKU EMBU LEJA DI DUSUN

TENDAWENA – DESA TENDA DALAM PERBANDINGAN DENGAN

AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH

KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA PASTORAL

GEREJA”. Dengan mengambil tema ini, penulis berusaha menyelami inti dasar

dari tradisi pelaksanaan ritus kematian suku Embu Leja dalam hubungannya

Page 21: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

8

dengan iman Kristiani sekaligus mewujudkannya dalam kehidupan nyata

masyarakat kini, terutama bagi generasi penerus.

1.2 Pokok Penelitian

Pertanyaan pokok yang menjadi pergumulan karya ilmiah adalah apa

makna ritus-ritus kematian suku Embu Leja di desa Tendawena dan bagaimana

perbandingannya dengan ajaran Gereja Katolik tentang kematian dan hidup

sesudah kematian dan apa relevansinya bagi karya pastoral Gereja. Secara

terperinci, pokok persoalan dari penelitian adalah:

1. Siapa itu masyarakat suku Embu Leja?

2. Apa saja ritus-ritus kematian pada suku Embu Leja?

3. Apa makna di balik ritus-ritus kematian suku Embu Leja?

4. Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang kematian?

5. Apa kesamaan dan perbedaan makna ritus-ritus kematian suku Embu

Leja dengan ajaran Gereja Katolik tentang hidup sesudah kematian?

6. Apa implikasi perbandingan tersebut bagi karya pastoral Gereja?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menemukan makna di balik ritus-

ritus kematian suku Embu Leja dan membandingkannya dengan ajaran Gereja

Katolik tentang hidup sesudah kematian dan menunjukkan relevansinya bagi karya

pastoral Gereja.

Selain tujuan pokok tersebut di atas, tujuan-tujuan lain dari penelitian ini

adalah:

1. Mendeskripsikan keadaan umum masyarakat suku Embu Leja.

2. Menguraikan ritus-ritus kematian suku Embu Leja.

3. Menemukan makna di balik ritus-ritus kematian suku Embu Leja.

4. Menjelaskan pandangan Gereja Katolik tentang kematian dan hidup

sesudah kematian.

5. Menunjukkan kesamaan dan perbedaan antara makna ritus-ritus

kematian suku Embu Leja dan ajaran Gereja Katolik tentang kematian

dan hidup sesudah kematian.

6. Menunjukkan implikasinya bagi karya pastoral Gereja.

Page 22: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

9

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Umum

Manfaat umum dari penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu

syarat guna memperoleh gelar magister teologi pada sekolah Tinggi Filsafat

Katolik Ledalero.

1.4.2 Manfaat Khusus

Adapun manfaat khusus yang hendak penulis capai melalui penulisan tesis

ini yakni:

1. Agar masyarakat suku Embu Leja mengetahui dan memahami

kekayaan budaya dan wawasan terdalam dari ritus-ritus budayanya,

khususnya ritus kematian. Selain itu diharapkan agar mereka dapat

menggali, merefleksikan, dan menghayati makna ritus kematian

dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.

2. Agar umat Katolik semakin terbuka terhadap wawasan budaya yang

terkandung di dalam masing-masing kebudayaan dan terbuka kepada

dialog intensif dengan budaya, baik budaya tradisional maupun

modern. Lebih jauh, mereka dapat mengenal dan menghargai

keanekaragaman budaya dan menghayati ajaran iman dengan baik

dan benar.

3. Agar pelayan pastoral dapat mengenal dan membangun dialog yang

setara dengan budaya masyarakat suku Embu Leja. Seorang pelayan

pastoral dapat dibantu untuk mengenal “jiwa budaya” masyarakat

suku Embu Leja dan menjadikannya sebagai sarana pewartaan dan

penyelamatan manusia.

4. Agar pemerintah setempat dapat mempromosikan kekayaan budaya

masyarakat suku Embu Leja kepada masyarakat umum.

Page 23: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

10

1.5 Desain Riset

1.5.1 Sumber Data

Dalam proses menyelesaikan penulisan tesis ini sumber data yang dipakai

penulis adalah tokoh-tokoh adat, masyarakat setempat, dan tokoh agama sebagai

informan kunci. Selain itu, penulis juga menggunakan metode FGD (Focus Group

Discussion) bersama narasumber di luar informan kunci. Data dari hasil

wawancara yang diperoleh selanjutnya akan diperbandingkan dengan hasil-hasil

studi kepustakaan.

1.5.2 Prosedur Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data pertama-tama penulis membuat rencana

wawancara yang selanjutnya akan disampaikan kepada informan-informan yang

akan diwawancarai. Hal-hal tersebut juga mencakup pokok penelitian, tujuan

penelitian, dan manfaat penelitian yang akan dilakukan, selanjutnya penulis akan

menetapkan tanggal dan tempat wawancara. Dari hasil wawancara itu penulis

memperoleh bahan mentah dan berusaha untuk mengolah secara benar.

1.5.3 Instrumen Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data-data yang mendukung penulisan tesis ini, penulis

mewawancarai beberapa tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala desa, dan tokoh

agama. Dalam berbagai data yang diperoleh penulis dalam proses wawancara,

penulis berusaha sedapat mungkin menggunakan bahasa yang mudah ditangkap

dan dipahami. Sehubungan dengan itu, pertanyaaan wawancara yang dilontarkan

penulis didasarkan juga pada pertimbangan akan latar belakang pendidikan

masyarakat suku Embu Leja yang pada umumnya memiliki riwayat pendidikan

yang berbeda-beda di setiap jenjangnya. Oleh karena itu, penulis menyediakan

pertanyaan yang mudah dicerna dan bisa diberikan kapan saja sesuai situasi dan

kondisi di tempat penelitian. Tujuan dari wawancara tersebut adalah untuk

menggali informasi yang lebih mendalam dan akurat tentang tema tulisan yang

dibuat penulis.

Page 24: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

11

1.6 Sistematika Penulisan

Penulis membagi tulisan ini atas enam bab. Bab pertama berisi

pendahuluan yang di dalamya memuat latar belakang, asumsi dan hipotesis, pokok

persoalan, tujuan penulisan, proses pengumpulan data, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi gambaran tentang profil masyarakat suku Embu Leja yang

berada di Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Dalam bab ini

penulis mencoba menggambarkan secara umum masyarakat suku Embu Leja di

desa Tenda. Tujuannya adalah memperkenalkan masyarakat suku Embu Leja

kepada publik secara umum.

Bab ketiga berisi pemaparan tentang apa dan bagaimana ritus-ritus

kematian dalam kebudayaan masyarakat suku Embu Leja di desa Tenda. Dalam

bab ini penulis berusaha mendeskripsikan tentang ritus-ritus kematian suku Embu

Leja di desa Tendawena yang biasa dilakukan setiap tahun dan menemukan nilai-

nilai yang terkandung di dalamnya.

Bab keempat berisi pemamparan tentang ajaran teologi Katolik tentang

kematian dan hidup setelah kematian. Dalam bab ini penulis mencoba mencari

literatur-literatur yang berbicara secara khusus tentang kematian dan konsep

tentang hidup setelah kematian yang sekiranya dapat dipakai untuk memperkaya

tulisan ini.

Bab kelima berisi tentang analisis. Dalam bab ini penulis mencoba

menemukan aspek-aspek yang memiliki kesamaan dan perbedaan pada ritus-ritus

masyarakat suku Embu Leja dan membandingkannya dengan ajaran teologi

Katolik. Tujuan dari analisis ini adalah agar penulis sanggup menemukan relevansi

antara ritus-ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran kematian

dan konsep tentang hidup sesudah kematian pada Gereja Katolik.

Bab enam merupakan bagian penutup dari keseluruhan tulisan yang

memuat kesimpulan dan usul saran.

Page 25: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

12

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYAKAT SUKU EMBU LEJA

DAN LINGKARAN KEBUDAYAANNYA

2.1 Gambaran Umum Masyarakat Suku Embu Leja

2.1.1 Sejarah dan Asal-Usul Suku Embu Leja

Suku Embu Leja adalah subkultur masyarakat etnis Lio-Ende yang ada di

Dusun Tendawena, Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Sejarah

suku Embu Leja berasal dari hubungan perkawinan antara seorang laki-laki

bernama Leja yang berasal dari Wolojita dengan seorang perempuan bernama

Mora yang berasal dari suku Embu Leko di Tendawena. Leja merupakan anak dari

Rangga, seorang Mosalaki Pu’u14 di Wolojita. Sedangkan Mora merupakan anak

dari Leko, seorang Mosalaki Pu’u yang berada di Tendawena.15

Pada masa itu, Leja dan Mora sudah kawin dan memiliki anak serta cucu,

tetapi mereka tidak tinggal bersama. Leja menetap di Wolojita, sedangkan Mora

menetap di Tendawena. Setiap hari Leja selalu datang ke Tendawena untuk

berkunjung ke rumah Mora dan meminta persetujuan dari keluarga besar Embu

Leko agar dirinya dan Mora bisa tinggal bersama di Wolojita. Namun, Leko

bersama saudara-saudaranya, yakni Ngguwa, Raja, dan Wondo, tidak mengijinkan

Leja untuk tinggal bersama Mora di Wolojita, melainkan mereka lebih

menginginkan agar Leja tinggal bersama Mora di Tendawena. Karena itu, Leko

bersama saudara-saudaranya tersebut mengajukan syarat-syarat agar Leja dapat

hidup bersama Mora, yaitu Leja harus rela meninggalkan jabatan sebagai Mosalaki

Pu’u yang dijabatnya di Wolojita, sekaligus meminta Leja untuk keluar dari

Wolojita dan menetap bersama Mora di Tendawena. Permintaan Leko dan saudara-

saudaranya tersebut pada awalnya disangsikan oleh Leja, mengingat ia masih

14 Mosalaki Pu’u adalah adalah seorang laki-laki dewasa yang mendapatkan jabatan sebagai

pemegang kekuasaan secara adat dalam suatu wilayah adat tertentu. Pemilihan Mosalaki Pu’u

didasarkan pada garis keturunan ayah dan musyawarah bersama dengan menjalankan ritual adat Bui

Feo Sho Bhoka Au (membakar kemiri dan bambu). Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki

Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di

Tendawena. 15 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 26: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

13

memiliki tanggung jawab yang besar sebagai Mosalaki Pu’u di kampung asalnya

sendiri. Namun, Leko memberikan jaminan bahwa di Tendawena pun Leja akan

diberikan tanggung jawab yang sama sebagai Mosalaki di dalam rumah adat. Atas

dasar jaminan tersebut, Leja menjadi cukup yakin dan menyatakan kesediaannya

untuk tinggal bersama Mora di Tendawena.16

Sesudah pertemuan antara Leja dan Leko berserta saudara-saudaranya, Leja

kembali ke Wolojita guna menyatakan kepada adiknya, Nganda, mengenai

keputusan untuk tinggal bersama Mora di Tendawena. Dalam pembicaraannya

dengan Nganda, Leja turut menyatakan bahwa Luka, Lesu, Keda, Kanga, Sa’o Ria,

dan Tendabewa17 akan diserahkannya kepada Nganda. Dengan itu, Leja tidak lagi

memiliki hak di dalam rumah adat dan seluruh harta suku di Wolojita. Keputusan

Leja untuk meninggalkan keluarga besarnya di Wolojita diterima Nganda. Sebagai

bentuk dukungan terhadap Leja, Nganda bersama keluarga besar yang ada di

Wolojita melepaspergikan sekaligus mengantar Leja ke Tendawena dengan

membawa segala harta dan kekayaan yang diwariskan kepada Leja. Go’ (gong)

dan Lamba (gendang) dibunyikan untuk mengiringi perjalanan mereka sebagai

tanda bagi masyarakat bahwa seorang Mosalaki Pu’u sedang berarak menuju ke

kampung lain, yakni Tendawena.18

Setelah tiba di Tendawena, Leko bersama saudara-saudaranya menerima

keluarga Leja dengan baik. Dalam perjalanan waktu yang cukup lama di mana

ketika Leja sudah tinggal bersama Mora dan mempelajari adat-istiadat masyarakat

Tendawena, Leko yang adalah Mosalaki Pu’u tanah Tendawena kemudian

memberi jabatan kepada Leja sebagai Mosalaki Riabewa Tau Seso Masa Lewo

Lina (hakim adat). Tugas Leja sebagai hakim adat adalah menyelesaikan setiap

16 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 17 Luka adalah selendang adat yang dikenakan pada tubuh seorang Mosalaki Pu’u. Lesu adalah

selendang khusus yang diikatkan pada kepala seorang Mosalaki Pu’u sebagai tanda kebesaran.

Keda adalah tempat para Mosalaki berkumpul untuk menjalankan ritual adat. Keda merupakan

simbol yang menghubungkan masyarakat dengan nenek moyang pertama. Kanga adalah susunan

batu-batu ceper yang berada di halaman rumah adat (Sa’o Ria). Di sekelliling Kanga terdapat kubur

para leluhur yang terbuat dari batu kapur yang dipahat berbentuk segi empat. Sa’o Ria adalah

rumah adat. Tendabewa adalah tempat duduk yang ada berada dalam Sa’o Ria yang digunakan

sebagai tempat duduk bagi Mosalaki untuk menyelesaikan suatu persoalan dan menjalankan ritual

adat. 18 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 27: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

14

masalah yang terjadi di Ulu Beu Eko (seluruh wilayah) tanah Tendawena dan

melaksanakan seremoni adat seperti Joka Ju19. Selain itu, Leja juga harus

menjalankan kewajiban Pare Wati Manu Eko dari anak Prema Fai Walu (orang-

orang kampung) tanah Tendawena. Jabatan sebagai hakim adat yang diberikan

kepada Leja berlaku sampai dengan sekarang dan diwariskan secara turun-temurun

kepada keturunan-keturunannya.20

2.1.2 Kondisi Geografis: Letak, Luas, dan Batas Wilayah21

Suku Embu Leja berada dalam cakupan wilayah Dusun Tendawena, Desa

Tenda. Desa Tenda berada di bawah kaki gunung Kelibara, bagian barat dari pusat

ibu kota Kecamatan Wolojita, dengan kondisi alam yang terdiri dari lembah dan

perbukitan. Curah hujan rata-rata pertahun berkisar antara 4 s/d 5 bulan. Suhu

harian rata-rata 250 C s/d 300 C. Secara geografis, wilayah Desa Tenda sebelah

utara berbatasan dengan Desa Pemo, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan

Wolojita, sebelah timur berbatasan dengan Desa Jopu dan sebelah barat dengan

Dusun Mbuja (Kelurahan Wolojita). Dalam pembagian wilayah, Desa Tenda

terbagi atas 4 (empat) wilayah dusun antara lain: Dusun Tendawena, Dusun

Wolosoko, Dusun Tendawawo, dan Dusun Liakamba.

Luas pemukiman wilayah Desa Tenda adalah 4.876,5 ha, dan

pemanfaatannya dapat dilihat dalam table 1 berikut ini.

19 Kata Joka Ju merupakan kata majemuk yang berasal dari kata Joka (tolak) dan Ju (bala atau

semua roh jahat). Maka Joka Ju berarti ‘menolak roh jahat’. Ritual Joka Ju adalah upacara adat

yang dilaksanakan sebelum musim tanam. Ritus ini dilakukan selama kurang lebih empat hari dan

sesudah bulan sabit pertama. Tujuan dari ritus ini adalah untuk untuk menolak hama tanaman dan

meminta kesuburan bagi tanaman agar menghasilkan panenan yang baik dan melimpah. Hasil

wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 20 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 21 Data diperoleh dari arsip “Profil Desa Tenda Tahun 2018”, pada tanggal 12 Oktober 2019

(selanjutnya ditulis: Arsip Profil Desa Tenda Tahun 2018).

Page 28: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

15

Tabel 1

Pemanfaatan Lahan Desa Tenda

NO. PEMANFAATAN LUAS

(ha)

PERSENTASE

(%)

1. Luas Pemukiman 12 0,25 %

2. Luas Persawahan 2 0,04 %

3. Luas Perkebunan 175 3,59 %

4. Luas Pekarangan 6 0,12 %

5. Luas Perkantoran 0,25 0,01 %

6. Luas Prasarana Pendidikan 1 0,02 %

7. Luas Prasarana Umum

Lainnya 10,25 0,21 %

8. Luas Hutan Adat 10 0,21 %

9. Luas Hutan Asli 10 0,21 %

10. Luas Lahan Tidur 200 4,10 %

11. Lain-Lain 4450 91,25 %

TOTAL 4.876,5 100 %

2.1.3 Kondisi Demografis22

Jumlah penduduk Desa Tenda secara keseluruhan berdasarkan hasil

pendataan kependudukan tahun 2017 adalah 896 jiwa, dengan rincian penduduk

laki-laki 385 jiwa dan perempuan 511 jiwa. Sedangkan secara khusus untuk Dusun

Tendawena, jumlah penduduk secara keseluruhan adalah 444 jiwa; dengan rincian

penduduk laki-laki 255 jiwa, penduduk perempuan 189 jiwa.23 Informasi mengenai

kependudukan Dusun Tendawena tersebut secara terperinci dapat diamati melalui

tabel-tabel berikut, yang dikategorikan berdasarkan tingkat pendidikan, mata

pencaharian pokok, dan cacat mental dan fisik.

22 Arsip Profil Desa Tenda Tahun 2018. 23 Penelitian ini secara khusus dilakukan di Dusun Tendawena, bukan Desa Tenda secara

keseluruhan. Karena itu, di sini penulis hanya sekadar menjelaskan keadaan demografi Dusun

Tendawena.

Page 29: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

16

Tabel 2

Pembagian Penduduk

Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin

NO. TINGKAT

PENDIDIKAN

LAKI-LAKI

(Jiwa / %)

PEREMPUAN

(Jiwa / % )

TOTAL

(Jiwa / %)

1. Yang tidak sekolah. 32 (11,55 %) 28 (10,12 %) 60 (9,03 %)

2. Yang tidak tamat

SD. 12 (4,33 %) 38 (13,72 %) 50 (18,05 %)

3. Tamat SD atau

sederajat. 49 (17,69 %) 57 (20,58 %) 106 (38,27 %)

4. Tamat SLTP atau

sederajat. 12 (4,33 %) 13 (4,69 %) 25 (9,03 %)

5. Tamat SLTA atau

sederajat. 14 (5,05 %) 18 (6,50 %) 32 (11,55 %)

6. Tamat D3 atau

sederajat. - 4 (1,44 %) 4 (1,44 %)

TOTAL 119 (42,95 %) 158 (57,04 %) 277 (100 %)

Tabel di atas menggambarkan bahwa penduduk yang berjenis kelamin

perempuan lebih banyak daripada penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dilihat

dari perbandingan jumlah penduduk yang berusia 7-8 tahun yang tidak pernah

sekolah. Penduduk yang berusia 19-56 yang tidak pernah sekolah yang berjenis

kelamin laki-laki lebih banyak daripada penduduk yang berjenis kelamin

perempuan. Penduduk usia 18-56 yang pernah SD tetapi tidak tamat yang berjenis

kelamin perempuan lebih banyak daripada penduduk yang berjenis kelamin laki-

laki. Selanjutnya, penduduk yang tamat SD dan sederajat yang berjenis kelamin

perempuan lebih banyak daripada yang berjenis kelamin laki-laki. Penduduk yang

tamat SLTP atau sederajat berjenis kelamin laki-laki lebih sedikit daripada yang

berjenis kelamin perempuan. Demikian pula dengan penduduk tamat SMA dan

sederajat. Sedangkan penduduk yang tamat D2 dan D3 hanya dimiliki oleh yang

berjenis kelamin perempuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

berdasarkan tingkat pendidikan jumlah penduduk Dusun Tendawena yang berjenis

kelamin perempuan lebih banyak (57,04 %) daripada penduduk yang berjenis

kelamin laki-laki (42,95 %).

Page 30: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

17

Tabel 3

Distribusi Penduduk

Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok dan Jenis Kelamin

NO. JENIS

PEKERJAAN

LAKI-LAKI

(Jiwa / %)

PEREMPUAN

(Jiwa / %)

TOTAL

(Jiwa / %)

1. Petani 108 (72 %) - 108 (72 %)

2. Pegawai Negeri

Sipil (PNS) 7 (4,67 %) 5 (3,33 %) 12 (8 %)

3. Pengusaha Kios 6 (4 %) 8 (5,33 %) 14 (9,33 %)

4. Dukun Kampung

Terlatih - 5 (3,33 %) 5 (3,33 %)

5. Pensiunan PNS 4 (2,67 %) 6 (4 %) 10 (6,67 %)

6. Bidan - 1 (0,67 %) 1 (0,67 %)

TOTAL 125 (83,34 %) 25 (16,66 %) 150 (100 %)

Berdasarkan data yang tertera dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa

masyarakat Dusun Tendawena pada umumnya berprofesi sebagai petani dengan

jumlah terbanyak adalah penduduk laki-laki. Selanjutnya, penduduk yang

pekerjaannya sebagai pengusaha kios dengan jumlah terbanyak adalah penduduk

perempuan. Urutan berikutnya adalah penduduk yang berprofesi sebagai Pegawai

Negeri Sipil (PNS) dan pensiunan PNS antara penduduk perempuan dan penduduk

laki-laki hampir sama. Kemudian disusul oleh penduduk yang berprofesi sebagai

dukun kampung terlatih didominasi oleh penduduk perempuan. Sedangkan yang

terakhir adalah penduduk yang berprofesi sebagai bidan. Dengan demikian,

mayoritas penduduk Dusun Tendawena berdasarkan mata pencaharian pokok

adalah penduduk yang berprofesi sebagai petani (72 %) yang didominasi oleh laki-

laki.

Page 31: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

18

Tabel 4

Distribusi Penduduk

Berdasarkan Cacat Mental dan Fisik

NO.

CACAT

MENTAL

DAN FISIK

LAKI-LAKI

(Jiwa / %)

PEREMPUAN

(Jiwa / %)

TOTAL

(Jiwa / %)

1. Tuna Rungu - 1 (5,88 %) 1 (5,88 %)

2. Tuna Wicara 2 (11,76 %) - 2 (11,76 %)

3. Tuna Netra 1 (5,88 %) 2 (11,76 %) 3 (17,65 %)

4. Lumpuh 2 (11,76 %) - -

5. Sumbing 1 (5,88 %) - -

6. Tunadeksa Kiya 2 (11,76 %) 1 (5,88 %) 3 (17,56 %)

7. Idiot - - -

8. Gila 3 (17,65 %) 2 (11,76 %) 5 (29,41 %)

TOTAL 11 (64,60 %) 6 (35,28 %) 17 (100 %)

Berdasarkan data di atas dapat diamati bahwa masyarakat Tendawena

memiliki jumlah penduduk perempuan dan laki-laki yang mengalami sakit gila

yang hampir sama. Urutan berikutnya adalah penduduk yang mengalami sakit tuna

wicara, lumpuh, dan tunadeksa kiya didominasi oleh penduduk laki-laki.

Selanjutnya, penduduk yang mengalami sakit tuna netra dan sumbing juga

didominasi oleh penduduk laki-laki. Sedangkan yang terakhir adalah penduduk

yang mengalami sakit tuna rungu hanya didominasi oleh kaum perempuan. Dengan

demikian, mayoritas penduduk Dusun Tendawena berdasarkan cacat mental dan

fisik adalah penduduk ODGI (Orang Dengan Ganguan Jiwa) yang didominasi oleh

penduduk laki-laki (64,60 %).

2.2 Kebudayaan Masyarakat Suku Embu Leja

Sebagai masyarakat yang berkebudayaan, suku Embu Leja memiliki

kepercayaan asli kepada Wujud Tertinggi, sistem ekonomi, dan sistem

kekerabatan. Berikut ini adalah penjelasan tentang kepercayaan asli suku Embu

Leja kepada Wujud Tertinggi, sistem ekonomi, sistem kekerabatan, dan lapisan

sosial kemasyarakatan.

Page 32: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

19

2.2.1 Sistem Kepercayaan

Secara umum, etnis Lio-Ende memiliki nama dan konsep tersendiri tentang

Wujud Tertinggi. Nama dan konsep yang digunakan etnis Lio-Ende secara umum

ini menjadi acuan bagi nama dan konsep tentang Wujud Tertinggi yang digunakan

di beberapa tempat di dalam kawasan etnis Lio-Ende, termasuk di Tendawena

sebagai tempat asal suku Embu Leja. Karena itu, di dalam bagian ini penulis

terlebih dahulu menguraikan nama dan konsep tentang Wujud Tertinggi yang

digunakan oleh etnis Lio-Ende secara umum, selanjutnya nama dan konsep Wujud

Tertinggi yang digunakan oleh suku Embu Leja.

2.2.1.1 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi dalam Konteks Etnis Lio-Ende

Pada umumnya, masyarakat etnis Lio-Ende mengenal dan mengakui

adanya satu Wujud Tertinggi yang disebut dengan nama tertentu, bahkan jauh

sebelum masuknya agama-agama samawi seperti Kristen Katolik, Kristen

Protestan, Islam, Hindu, dan Budha. Wujud Tertinggi yang diyakini keberadaannya

secara adikodrati itu dikonseptualisasikan dan disapa Du’a Bapu. Kata Du’a Bapu

terdiri atas tiga kata, yakni Du’a yang mengandung makna “tua”, sedangkan Ba

berarti “meminta”, dan Pu berarti “sesuatu yang sudah lama, kekal dan tetap”.24

Dengan demikian, Du’a Bapu berarti wujud yang diyakini telah ada lebih dulu

sebelum segala sesuatu dijadikan, yang bersifat kekal dan tetap, kepada-Nya

manusia menaruh harapan dan meminta pertolongan demi kesejahteraan dan

kemakmuran hidup.

Selanjutnya karena perkembangan dan pengaruh yang sangat kuat dari

agama-agama samawi, secara khusus Kristen Katolik, konsep Wujud Tertinggi

tersebut beralih nama menjadi Du’a Ngga’é. Peralihan nama dan konsep Wujud

Tertinggi ini disesuaikan dengan keyakinan yang terdapat di dalam kepercayaan

Kristen Katolik tentang Allah sebagai Pencipta. Du’a telah ada sebelum dunia

diciptakan dan diyakini sebagai wujud yang berada di langit yang tertinggi.

Sementara itu, Ngga’é adalah wujud yang berada di bawah bumi, yang dekat

dengan manusia, serta memiliki sifat agung, bijaksana, memiliki kekuatan dan

24 Aron M. Mbete, dkk., Khazanah Budaya Lio-Ende (Ende: Pustaka Larasan dan Dinas Pendidikan

dan Kebudayaan Kabupaten Ende, 2006), hal. 45.

Page 33: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

20

kekuasaan, dan memiliki keluarga atau keturunan. Baik Du’a maupun Ngga’é

dipercaya masyarakat etnis Lio-Ende sebagai yang sulung, yang paling awal hadir

sebelum yang lainnya, termasuk manusia.25 Meskipun demikian, nama Du’a

Ngga’é bukanlah nama monoteisme murni. Ungkapan Du’a Ngga’é dalam konteks

ini memberi kesan bahwa Wujud Tertinggi ini berbentuk ganda, yakni Du’a dan

Ngga’é. Akan tetapi, nama ganda ini kemudian dipakai untuk menggambarkan satu

wujud saja, hanya mereka memisahkan diri sesuai keberadaan masing-masing,

yakni Du’a yang dikenal sebagai laki-laki yang bertempat tinggal di langit, dan

Ngga’e sebagai perempuan yang ada di bumi.26 Pemahaman tentang Du’a Ngga’e

yang mengandung di dalamnya unsur-unsur maskulin dan feminim ini disesuaikan

juga dengan bahasa setempat yang memiliki dua unsur yang saling melengkapi,

yaitu maskulin dan feminim. Maka Wujud Tertinggi Du’a dengan sifat maskulin

yang berada di balik bulan dan langit itu mesti memiliki padanannya dengan

Ngga’e dengan sifat feminim yang berada di bumi.

Keyakinan etnis Lio-Ende kepada Du’a Ngga’é terungkap berdasarkan

pengalaman hidup mereka ketika melaksanakan upacara keagamaan. Dalam

melaksanakan ritus-ritus keagamaan, ungkapan kebesaran dan keagungan Du’a

Ngga’e tersurat dalam syair-syair adat seperti Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é

Nghalé Wena Tana. Ungkapan ini secara khusus dapat ditemukan di dalam upacara

adat masyarakat Waratana yang diwakili oleh Japa. Dalam upacara tersebut

terungkap kalimat ini: “Kami tau ada no’o ola kéko, no’o olatu; ngéré tu kamba,

jara, rongo, wawi, manu, telo, kami kéko” (Kami menghormati-Nya melalui doa

dan persembahan; korban persembahan berupa kerbau, kuda, kambing, babi, ayam

25 Ibid., hal. 46. 26 Sehubungan dengan nama dan konsep Du’a Ngga’é, ada polemik yang terjadi sebelumnya antara

agen pastoral dengan para misionaris yang berkarya di wilayah Lio. Dalam polemik tersebut,

awalnya tidak ada titik temu untuk menetukan sikap dan mengajukan konsep Du’a Nggae sebagai

nama moneteisme murni karena ada pihak yang menolak dengan alasan bahwa nama ini merupakan

nama dualistis yang tidak cukup relevan untuk mengungkapkan monoteisme Kristiani dalam cahaya

Wahyu. Meskipun demikian, sebagian besar etnis Lio-Ende tetap menganggap dan meyakini Du’a

Ngga’é sebagai yang Esa atau Tunggal. Polemik ini akhirnya mendapatkan kata sepakat dengan

melegitimasikan konsep Du’a Ngga’é sebagai nama dan konsep yang moneteis, yang selanjutnya

dapat digunakan dalam ibadah umat Kristiani. P. Sareng Orinbao, Tata Berladang Tradisional dan

Pertanian Rasional Suku-Bangsa Lio (Maumere: Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 1992), hal.

43.

Page 34: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

21

dan telur). Seruan-seruan lain yang mengungkapkan kebesaran dan keagungan Dua

Ngga’é tersebut dapat disimak dalam syair-syair adat sebagai berikut.27

O, Du’a ghéta mai lulu wula, O, Du’a yang ada di langit tertinggi,

miu fai lima rua. kamu tujuh orang perempuan,

Ngga’é ghalé mai wena tana, Ngga’é yang ada di bumi,

miu kaki mbulu telu, kamu tiga puluh orang laki-laki,

mai sai gharu mai! datanglah kemari!

Kami pati miu ka bo’o, Kami memberimu makanan

sampai kenyang,

ti’i miu minu benu, minuman (nira) sampai puas,

kami rina mo’o tebo keta, kami meminta agar tubuh kami

selalu sehat,

lo ngga. badan menjadi kuat,

kema bo’o, ladang menghasilkan panenan

yang melimpah,

tu ae, enau meneteskan banyak nira,

peni ngé, hewan piaraan bertambah,

wesi nuwa, banyak dan berkembang cepat,

mbana ati pati, orang diberikan tumpangan

dalam perjalanan,

lora ata ti’, bantuan dalam perantauan,

mera ata mai tu pertolongan ketika menetap.

O, Du’a Ngga’é, O, Du’a Ngga’é,

tipo lo, pama tebo, lindungilah dan jagalah kami,

tebo kami keta, agar kami selalu sehat,

ngéré keli ghélé, kuat seperti gunung yang tinggi,

lo kami ngga, badan kami,

ngéré ae lau. seperti dinginnya air sungai.

Kau tebo keta, tubuh-Mu kuat,

kami di tebo keta. semoga tubuh kami juga kuat.

Kau longga, Badan-Mu segar,

kami di lo ngga. semoga badan kami juga segar.

No’o lesu susa wo iwa, Pada saat kesusahan atau tidak,

di kami naratéi no Du’a Ngga’é, kami selalu ingat akan Du’a Ngga’é,

no’o nelu kami wéla saat kami mempersembahkan

tu jara pati Du’a ngga’é, seekor kuda kepada Du’a Ngga’é,

kami pai kita ata sai imu, kami akan mengundang seseorang,

27 Paul Arndt, Du’a Ngga’é. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio (Flores

Tengah), penerj. Yosef Smeest dan Kletus Pake, (Maumere: Puslit Candraditya, 2002), hal. 27-31.

Syair yang direkam oleh Paul Arndt kira-kira pada tahun 1930-an ini masih dipakai pada masa kini,

namun tidak sesempurna yang direkam Arndt. Banyak syair adat yang sudah mengalami perubahan,

disebabkan oleh daya ingat penutur syair tersebut yang cenderung lemah. Di sisi lain, syair-syair

adat sebagai warisan lisan memang tidak dapat bertahan secara tetap, karena memang diwariskan

secara lisan turun-temurun. Hasil wawancara dengan Siprianus Sea, tokoh adat masyarakat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 35: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

22

tau ndéo moré du’a Ngga’é untuk bersyair memuliakan

Du’a Ngga’é

kai kéko ngeré ina: sebagai berikut:

ju jara kuku kedo, kami mempersembahkan kaki kuda,

kala éko wonga kami mempersembahkan ekor kuda,

ju jara pati Du’a ghéta lulu wula, kami menghantarkan kuda untuk Du’a

yang ada di langit tertinggi,

tu pati Nggae’é ghalé wena tana. untuk memberikan kepada Ngga’é

yang ada di bawah bumi.

Du’a olaju kungu, Du’a yang menciptakan tangan,

Ngga’é olamoka kolo, Ngga’é yang menciptakan kepala,

tu miu pati No’o jara. kami mempersembahkan kuda bagimu.

Kami rina menga tebo keta, Kami memohon agar badan kami sehat,

kami rina menga lo ngga. kami meminta agar tubuh kami kuat.

Kema bo’o, Ladang menghasilkan

panenan melimpah,

tutu ae, enau menghasilkan nira yang banyak,

pengi ngé wesi nuwa, hewan piaraan berkembang banyak,

ka’o bhondo ngéré ké kolo, keturunan berkembang banyak

seperti burung pipit,

dadi kapa ngéré manu. berlapis-lapis seperti ayam.

Kami pati du’a mai, Kami memanggil Du’a,

uo’o wi mbana sai no’o untuk menyeret kuda

jara kau io riké ka leka leké. yang terikat di tiang rumah.

Kami pai ngga’é sé’a, Kami mengundang Ngga’é,

mo tegé to’o sai no kumba, untuk mengangkat kumbang

(berisi nira),

io séré ka gha masa na lé. yang diletakkan di batu persembahan.

Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Nghalé Wena Tana merupakan

ungkapan untuk Wujud Tertinggi dan yang kudus dari segala-galanya serta sumber

kekuatan hidup manusia. Du’a Ghéta Lulu Wula mengungkapkan relasi vertikal

antara Wujud Tertinggi dengan manusia, di mana Dua Gheta Lulu Wula berada di

tempat yang paling tinggi dan agung mengatasi segala yang ada di atas langit,

sedangkan di bumi terdapat manusia yang berada pada posisi terendah. Dengan

demikian, Du’a Ghéta Lulu Wula mempunyai arti sebagai “Tuhan di ujung bulan”.

Ungkapan ini menggambarkan kepercayaan bahwa Wujud Tertinggi itu berada di

atas segala makhluk hidup, alam semesta, dan segala isinya. Sedangkan, Ngga’é

Nghalé Wena Tana mengungkapkan relasi horizontal antara Wujud Tertinggi

Page 36: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

23

dengan manusia. Ngga’é Nghalé Wena Tana berada bersama-sama dengan

manusia di bumi dan menyatu dengan mereka, sesuatu yang hadir, tidak hanya

bersifat maya dan abstrak dengan segala kedahsyatan dan keagungannya, namun

sungguh-sungguh nyata hadir di dalam kehidupan manusia.28 Masyarakat Lio-Ende

percaya bahwa meskipun Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Nghalé Wena Tana

merupakan sesuatu yang tersembunyi dan tidak terselami, namun Du’a Ghéta Lulu

Wula dan Ngga’é Nghalé Wena Tana adalah pemberi anugerah kehidupan,

anugerah kesehatan, pemberi rahmat hujan dan kesuburan bagi tanaman sekaligus

pelindung bagi perjalanan hidup manusia.29

Meskipun demikian, ungkapan Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Nghalé

Wena Tana tidak serta-merta mengeneralisasikan bahwa semua suku yang ada

dalam etnis Lio-Ende memberi nama kepada Wujud Tertinggi dengan Du’a Gheta

Lulu Wula dan Ngg’aé Nghalé Wena Tana. Ada beberapa wilayah dalam etnis Lio-

Ende mempunyai pemahaman yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan.

Salah satu wilayah Lio, yakni dusun Tendawawo, menyebut Du’a Ngga’é dengan

istilah Raja. Hal ini tersirat di dalam syair-syair berikut:30

Raja kai mera lau pu’u liru. Raja (Du’a Ngga’é) tinggal

di ujung langit.

Raja atahaki; Ia adalah seorang laki-laki;

kai ata iwa nena. Ia tidak diciptakan.

Raja ina kai iwa mai Raja juga tidak berasal

leka emba-emba mai; dari mana-mana;

ta kai ina mera Ia tinggal

ké’é kai sakélé-kélé; di suatu tempat yang khusus;

ta kai mbeéo kita ata léisawé; Ia mengenal manusia;

ta kai ina éo mera molo Ia sudah ada

pau kai sai ulu olo. sejak permulaan zaman.

Raja latu no’o tebo; Raja itu mempunyai tubuh;

rupa kai mura Ngéré lélu; rupanya putih seperti kapas;

mata kai ja ngéré dala; matanya bersinar seperti bintang;

paké-pela kai no’o weta mesa, pakaiannya terbuat dari emas,

soli olaka kai di ngeni dan makanannya tidak lain

no’o hu’u wéa mesa. dari tepung emas.

Raja bupu du’a dowa. Raja itu sudah sangat tua.

28 Mbete, dkk., op. cit., hal. 46-47. 29 Paul Arndt, op. cit., hal. 119. 30 Ibid., hal. 119-121.

Page 37: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

24

Mbeja satana-tana Bumi ini

léisawé leka Raja pati. diberikan oleh Raja.

Raja latu no’o fai soli no’o ana. Raja itu memiliki istri dan anak-anak.

Ana kai latu imu rua: Ia mempunyai dua anak:

naja ana kai Ada no’o eva, nama mereka adalah Adam dan Eva,

Ada atakaki, Adam adalah laki-laki

Eva atafai. dan Eva adalah perempuan.

Olamera ebé latu lau pu’u liru. Tempat tinggal-Nya di dunia.

Deki kai wesa tu ana kai Kemudian ia membawa

leka tana ina. anak-anaknya ke daratan ini.

Raja, kai wua mesu n’o ana kai; Raja berbelaskasihan

kepada anak-anaknya;

kai até pawé raka no’o kita ata, Ia juga sangat baik kepada kita,

ta kai wora ngeni no’o kita ata, tetapi Ia juga memarahi kita,

demi ata iwa pati kai no’o apabila manusia

tidak mempersembahkan

ate wawi soli no’o aré éo tosa, baginya hati babi,

kai pati ana mbalé ro rango, beras yang ditumbuk sampai putih,

demi ata ina iwa pati kai dan hati kerbau,

olaka até wawi ta até Kamba maka Ia akan membiarkan kita

no’o aré bara. jatuh sakit.

Ebe tau ada no’o Raja, Orang menghormati Raja

ebé roré wawi, dengan cara menyembelih babi

sere are. dan memasak nasi.

Wawi ina ebé iwa pesa ka mulu, Babi itu tidak dimakan sebelum

terlebih dahulu

ta ebé langa até mereka mengambil hatinya,

memasaknya,

kai nasu mulu pati Raja. dan memberikannya kepada Raja.

Saré aré faso-faso, pati kai mulu Sesudah itu, mereka memasak nasi

yang juga

sawa ina, baru kita ngala ka diberikan terlebih dahulu

kepada Raja,

we’é Raja ma’e até ro, kemudian kita sendiri boleh makan,

ma’e wora no’o kita. supaya Raja tidak memarahi kita.

Tu sawé pati kai roa, Sesudah persembahan disajikan

bagi-Nya,

baru kita aka genu wena kita boleh menyantap makanan sisa

Raja soli tanawatu, yang ditinggalkan oleh Raja

dan Tanawatu (roh bumi),

wé’e kai simo olatu ina. supaya dengan demikian

Ia menerima sajian kita.

Ungkapan-ungkapan adat sebagaimana yang diuraikan di atas menunjukkan

bahwa Wujud Tertinggi bagi masyarakat Tendawawo bernama Raja. Kata Raja

Page 38: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

25

berasal dari kebudayaan Hindu. Raja berjenis kelamin laki-laki. Rupa Raja tampak

seperti bulan: gigi yang besar adalah bulan sabit, telinga yang besar adalah bulan

tengah. Ungkapan seperti ini merupakan pujian bagi Raja. Selain itu, bintang-

bintang diibaratkan sebagai biji mata Raja. Dengan demikian, Raja sesungguhnya

adalah langit itu sendiri. Sementara itu, Tanawatu berarti bumi, yang berjenis

kelamin perempuan. Tanawatu adalah pelindung bagi bumi dan manusia. Apabila

hujan tidak turun maka manusia harus membawa persembahan kepada Tanawatu.31

Berdasarkan uraian-uraian tentang realitas Wujud Tertinggi sebagaimana

yang dikemukakan di atas tampak adanya pemahaman yang berbeda-beda tentang

pemberian nama kepada Wujud Tertinggi, namun ada juga kesamaan yang cukup

signifikan dalam hal sifat-sifat dari Wujud Tertinggi itu. Sifat-sifat Wujud

Tertinggi selalu digambarkan sebagai sesuatu yang melebihi segala makhluk

duniawi, yang sungguh ilahi, yang tidak kelihatan, namun dapat dirasakan

kehadiran-Nya dan senantiasa berbaik hati kepada manusia, terutama ketika

manusia mengalami kesusahan. Wujud Tertinggi itu juga senantiasa berlaku adil;

Ia mengganjarai perbuatan baik manusia dengan berkat berlimpah dan perbuatan

jahat manusia dengan hukuman yang setimpal. Ia adalah pemberi anugerah

kehidupan, anugerah kesehatan, pemberi hujan dan rahmat kesuburan bagi

tanaman sekaligus pelindung bagi seluruh perjalanan hidup manusia.

2.2.1.2 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi di dalam Suku Embu Leja

Masyarakat suku Embu Leja juga mengenal adanya Wujud Tertinggi

dengan sebutan Ia. Ungkapan Ia dapat ditemukan dalam tarian Wae Wali, yakni

tarian untuk memohon rahmat kesuburan bagi tanaman. Tarian ini terdapat di

Kanga. Dalam tarian ini, Mosalaki Riabewa akan melantunkan syair adat sebagai

berikut:32

Kema ghéna dhawé sai, pai Ia Agar pekerjaan berhasil, panggil Ia

peni ngé wesi nuwa, pai Ia agar hewan piaraan dapat

berkembang dengan baik, panggil Ia

31 Ibid., hal. 123. 32 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 39: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

26

O we péni manu we ngé, pai Ia agar ayam berkembang dengan baik,

panggil Ia

O we wesi lako we nuwa, pai Ia agar anjing berkembang dengan baik,

panggil Ia

Mimi singi ria, pai Ia agar wilayah kekuasaan dijaga,

panggil Ia

O we teba moke tiwa, pai Ia agar enau meneteskan banyak nira,

panggil Ia

Gege timu pala wara, pai Ia agar hujan segera diturunkan,

panggil Ia

O we peba wolo pe ghalé, pai Ia agar hama dan penyakit tidak datang

dari timur dan barat, panggil Ia

O we peba wolo pe mena, pai Ia agar hama dan penyakit tidak datang

dari utara dan selatan, panggil Ia

O rina menga tebo keta, pai Ia agar tubuh kuat, pangil Ia

O rina menga lo ngga, pai Ia agar badan sehat, panggil Ia

O we ka walo gau, pai Ia saat memohon berkat untuk

makanan, panggil Ia

O we loka walo toja, pai Ia. untuk memohon berkat berlimpah

di hari-hari mendatang, panggil Ia.

Ia merupakan nama yang dipakai untuk menunjukkan realitas Wujud

Tertinggi. Nama Ia ini tidak dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Nama Ia hanya

khusus digunakan saat melaksanakan ritual adat tarian Wae Wali, sedangkan

Wujud Tertinggi secara umum tetap disapa sebagai Du’a Ngga’é. Ungkapan Ia

menunjukkan sesuatu yang sakral dan suci. Masyarakat suku Embu Leja percaya

bahwa Ia memiliki sikap yang baik dan berbelaskasih terhadap manusia. Segala

permohonan yang disampaikan kepada Ia selalu dikabulkan. Selain itu, masyarakat

suku Embu Leja percaya bahwa Ia tidak hanya mengganjari manusia dengan

kebaikan, tetapi Ia bisa menghukum manusia yang berlaku jahat. Hukumannya

berupa penyakit atau kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau gagal panen.

Karena itu, penghormatan kepada Ia bagi masyarakat suku Embu Leja merupakan

suatu keharusan. Bentuk penghormatan itu dilakukan dalam berbagai cara, bisa

melalui doa atau permohonan yang diungkapkan secara lisan di dalam situasi

tertentu atau di dalam ritus-ritus adat. Ia juga dihormati dalam nyanyian dan tarian

Page 40: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

27

2.2.1.3 Kepercayaan kepada Roh-Roh Jahat

Masyarakat suku Embu Leja mengenal kepercayaan kepada roh-roh dalam

kaitannya dengan kosmos. Mereka melihat hidup manusia tidak terpisahkan dari

kosmos. Hal ini tampak secara nyata dalam cara berpikir dan bersikap terhadap

tempat-tempat tertentu atau benda-benda yang diyakini memiliki penjaga atau

penguasa (Nitu).33 Ada dua wujud roh yang diyakini masyarakat suku Embu Leja

berdasarkan tempat mereka tinggal, yakni roh yang bertempat tinggal di laut dan

roh yang berdiam di gunung. Roh yang bertempat tinggal di laut disebut Nitu Ma’u

dan roh yang berdiam di gunung disebut Nitu Keli.34 Terhadap Nitu Mau dan Nitu

Keli, masyarakat cenderung merasa takut. Ketakutan masyarakat itu didasarkan

pada situasi ketika orang kehilangan relasi yang baik dengan kedua roh tersebut.

Relasi yang tidak harmonis di antara manusia dengan kedua roh itu dapat

mendatangkan malapetaka bagi manusia. Malapetaka itu dialami berupa hujan

yang berkepanjangan, angin taufan, kemarau yang panjang, dan gagal panen.

Karena itu, masyarakat perlu menjalin hubungan yang baik dengan Nitu Mau dan

Nitu Keli agar terhindar dari malapetaka-malapetaka dimaksud. Salah satu bentuk

hubungan yang baik dengan Nitu Mau dan Nitu Keli diaplikasikan di dalam ritus

adat yang disebut Joka Ju.35

Dalam ritus Joka Ju, Mosalaki Pu’u akan memberikan kurban kepada Nitu

Ma’u, yang dilaksanakan pada tengah hari di sebuah sungai. Di sini, Mosalaki

Pu’u dan Mosalaki Riabewa serta beberapa laki-laki dewasa akan pergi menuju

sungai dengan membawa beras putih dan seekor ayam. Di sungai itu, Mosalaki

Pu’u akan memasukkan beras putih ke dalam ruas-ruas Bheto (sejenis bambu),

kemudian Bheto dimasak dengan api yang telah disiapkan sebelumnya. Sementara

itu, Mosalaki Pu’u akan memotong ayam dan mengambil bagian-bagiannya, yakni

kepala, sayap, dada, dan buntut, lalu meletakkan dalam sebuah replika perahu yang

berukuran kecil. Setelah memastikan beras yang dimasak dalam Bheto telah

menjadi nasi, Mosalaki Pu’u akan meminta bantuan Mosalaki Riabewa untuk

33 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 34 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019

di Tendawena. 35 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, tokoh adat Tendawena, pada tanggal 12 Oktober 2019 di

Tendawena.

Page 41: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

28

mendinginkannya dengan cara mencelupkan ke dalam air sungai. Sesudah itu,

Mosalaki Pu’u membelah sedikit Bheto dan memberikan segenggam nasi kepada

Mosalaki Riabewa. Mosalaki Riabewa lalu mengambil segenggam nasi dan

beberapa potongan tubuh ayam dari Mosalaki Pu’u dan menaruhnya pada replika

perahu. Selanjutnya, Mosalaki Pu’u akan meletakkan replika perahu tersebut di

atas air sungai. Replika perahu tersebut diyakini sebagai sarana yang akan

membawa kurban persembahan kepada Nitu Ma’u yang bertempat tinggal di laut.

Saat petang hari, Mosalaki Pu’u dan Mosalaki lainnya akan mengajak

Prema Fai Walu (orang-orang kampung) untuk menuju sungai sambil membawa

serta nasi, sayur, dan daging yang sudah dimasak di kampung. Setibanya mereka di

sungai, mereka akan melakukan Sodha (tarian sadak) sambil memadahkan syair

adat berikut:

Gaga wé’e bo’o Hendaknya kebun menghasilkan

panenan melimpah

kewi we’ée ae enau menghasilkan banyak nira

kema we’é gena semoga setiap pekerjaan berhasil

ho …, hu …, hui …. ho…, hu … hui ….

Ketika hari mulai gelap, mereka akan kembali dengan suara riuh dan

gembira ke menuju kampung. Dalam perjalanan pulang ke kampung, api

dinyalakan pada ikatan daun kelapa yang telah kering sebagai penerang jalan.

Setibanya di kampung, Go’ dan Lamba dibunyikan, suara riuh dan gembira dari

masyarakat perlahan hilang dan suasana kampung menjadi hening. Lalu tiba

saatnya Mosalaki Pu’u mempersiapakan diri untuk memberi makan kepada Nitu

Keli sekaligus mengusir segala roh-roh jahat yang ada di sekitar kampung.

Mosalaki Pu’u berarak mengelilingi rumah-rumah di sekitar kampung dengan

diiringi Go’ dan Lamba sebagai tanda bagi masyarakat bahwa ritual pengusiran

roh-roh jahat sedang berlangsung. Bersamaan dengan pemukulan Go’ dan Lamba,

masyarakat di setiap rumah turut membunyikan segala benda yang ada di dalam

rumah dengan sebatang kayu. Benda-benda seperti kursi, tempat tidur, meja,

barang-barang di dapur dan sebagainya diyakini sebagai tempat tinggal roh-roh

jahat. Setelah mengelilingi kampung, Mosalaki Pu’u akan membawa bahan

persembahan berupa nasi, sebuah telur, buntut dan sayap ayam dalam keadaan

Page 42: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

29

diam atau tanpa berbicara kepada siapapun dan menuju ke suatu tempat keramat

yang dianggap sebagai tempat tinggal Nitu Keli. Masyarakat kampung pun diminta

agar tidak membuat keributan dan tetap menjaga ketenangan. Di tempat keramat

itu Mosalaki Pu’u akan berseru:

Leka Nua temu Nuka! Jangan memasuki kampung!

Joka Ji’é sumba pawé dowa Kami telah mengusirmu

leka Séka temu se’a pergi dan jangan kembali

ke kampung

Lo temu ro, temu baja! Semoga jiwa dan raga kami

tidak sakit, tetap sehat!

Sesudah Mosalaki Pu’u selesai memberi makan pada Nitu Keli, ia kembali

ke kampung dalam keadaan diam, seperti saat ia berarak menuju ke tempat

keramat. Sepanjang malam ini, Mosalaki Pu’u bersama seluruh masyarakat harus

menjalankan pantang, yakni dilarang memasang api dan menyalakan lampu.

Biasanya pada kesempatan ini seorang bapak keluarga atau seorang laki-laki

dewasa di setiap rumah akan memberikan peringatan kepada anak-anak mereka

bahwa selama empat hari, pepohonan, rerumputan dedaunan serta tumbuhan

lainnya tidak boleh disentuh dan dipetik dan juga tanah tidak boleh dicangkul atau

dibajak. Apabila Mosalaki Pu’u dan masyarakat tidak mengindahkan pantangan ini

maka akan terjadi wabah penyakit, kematian, dan bencana-bencana lainnya.

Selama empat hari, di siang hari masyarakat kampung akan menari, menyanyi, dan

melakukan berbagai macam permainan serta makan bersama-sama.36

2.2.1.4 Kepercayaan kepada Roh Leluhur37

Masyarakat Embu Leja menyebut leluhur yang telah meninggal dengan

sebutan Embu Mamo. Penghormatan terhadap Embo Mamo dilaksanakan melalui

ritus Pati Ka Embu Mamo. Ritus ini biasa dilakukan saat masyarakat suku Embu

Leja mengalami kesusahan dan ingin memohon pertolongan, berkat, dan

perlindungan dari leluhur. Pada kesempatan ini Mosalaki Riabewa akan

36 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 37 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 43: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

30

memberikan persembahan berupa nasi dan daging serta Moke di salah satu kubur

dari leluhur yang meninggal atau di kubur Mosalaki yang telah meninggal atau

orang tua yang telah meninggal atau di dalam Sa’o Ria (rumah adat suku Embu

Leja), tergantung dari situasi yang dialami oleh masyarakat. Pada saat memberi

makan para leluhur akan dilantunkan syair adat berikut:

Embu mamo lau Sa’o Ria Para leluhur (laki-laki dan

perempuan) di rumah adat.

Babo mamo lau Seso Para leluhur (laki-laki dan

perempuan) di kampung Seso

Babo mamo lau Kolorasi Para leluhur (laki-laki dan

perempuan) di kampung Kolorasi

Kami wi pesa manu kami sudah potong ayam

miu pati Ia, Du’a ghéta lulu wula kamu memberi kepada Du’a yang

di langit

tu pati Ia, Ngga’é ghalé wena tana dan juga Ngga’é yang di bumi

Mai ka bo pesa bela gha na mari dan makanlah semua ini yang

ada di sini.

Kami rina ma’e pati susa Kami mohon jangan memberi

kesusahan

Kami rina raki re’e e kami mohon bersihkan dari segala

yang kotor

taka du raka da lau ma’u segala yang jahat dibawa buang jauh

ke laut

Kami rina kema ghéna dhawé sai Kami mohon semoga selalu sukses

dalam setiap pekerjaan

Tau kami ile ma’e nggedhu Kepala kami tidak sakit

nggewe mae baja tidak putus asa

kipo pama sekami lindungilah kami selalu

we kami tua’ ngere su’a agar kami kuat seperti baja

maku ngere watu keras seperti batu

we kami ria tau gare nia tetap berdiri kokoh

bewa tau pase la’e untuk menjaga senantiasa warisan

leluhur.

Arwah para leluhur juga diyakini bisa hadir dalam wujud tertentu. Bunyi

suara belalang yang terdengar begitu memekakkan telinga pada malam hari di

dalam rumah dianggap sebagai kehadiran leluhur untuk menyapa dan menjumpai

keluarganya dan pertanda mereka meminta makan. Berhadapan dengan situasi ini,

masyarakat Embu Leja akan berkata: “Kami pati ka miu, ma’e tau susah kami”

(“Kami akan memberi kalian makan dan minum, jangan susahkan kami”), sembari

Page 44: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

31

membuang sedikit makanan ataupun minuman berupa segenggam nasi dan air

putih ke luar rumah. Hal ini mengandung arti bahwa meskipun para leluhur telah

meninggal, mereka tetap hidup di dunia ini, hanya hadir dalam wujud yang

berbeda. Selain itu untuk mengenangkan roh para leluhur, masyarakat suku Embu

Leja biasanya memberikan nama pada bayi yang baru lahir dengan nama para

leluhur agar nama mereka tetap dikenang.

2.2.2 Sistem Ekonomi

Pada umumnya, mata pencaharian masyarakat suku Embu Leja adalah

bercocok tanam. Setiap lahan umumnya ditanami tanaman umur panjang seperti

kakao, kemiri, kelapa, asam, mangga, pisang, kapas dan juga tanaman umur

pendek seperti padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, tomat, dan bawang. Hasil dari

tanaman-tanaman ini dimanfaatkan untuk makan sehari-hari dan sebagiannya lagi

dijual guna menyokong kehidupan ekonomi keluarga.

Pola pertanian yang dilakukan masyarakat suku Embu Leja masih terbilang

sangat sederhana. Alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam berupa parang,

tofa, dan cangkul. Lahan-lahan yang baru dibuka mengunakan sistem tebang bakar

dan pemanfaatan lahannya hanya digunakan sekali dalam setahun. Selepas masa

panen, lahan dibiarkan kurang lebih 4 (empat) bulan, sesudah itu 2 (dua) atau 3

(tiga) bulan sebelum hujan di tahun berikutnya lahan itu dibersihkan lagi untuk

kegiatan bercocok tanam.38

Untuk membuka lahan baru, biasanya satu keluarga dari suku Embu Leja

membutuhkan bantuan anggota keluarga yang lain. Dengan kata lain, pekerjaan

membuka lahan atau kebun baru dilakukan dalam semangat gotong-royong dengan

tujuan agar pekerjaan yang dilakukan terasa ringan dan cepat selesai. Pada waktu-

waktu sebelumnya, pembukaan lahan baru diawali dengan ritual adat. Namun pada

masa sekarang, ritual membuka lahan baru perlahan-lahan tidak dilaksanakan lagi

karena perubahan tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat yang semakin

maju.39

38 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019

di Tendawena. 39 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019

di Tendawena.

Page 45: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

32

Keadaan dunia yang semakin maju dan adanya berbagai tuntutan dalam

hidup membuat masyarakat berpikir bahwa hasil panenan tidak dapat menjadi

salah satu sumber utama untuk menunjang kehidupan ekonomi keluarga.

Masyarakat tidak ingin menggantungkan hidup semata-mata pada mata

pencaharian dengan bercocok tanam. Karena itu, mereka mulai mencari sumber

matapencaharian lain sebagai ojek, tukang kayu dan bangunan, pedagang, peternak

sapi, kambing, ayam, anjing dan babi. Bahkan, ada beberapa masyarakat memilih

merantau ke Kalimantan, Jakarta, dan Malaysia.

2.2.3 Sistem Kekerabatan40

2.2.3.1 Sistem Kekerabatan Berdasarkan Garis Keturunan

Sistem kekerabatan masyarakat Embu Leja bersifat patrilineal, yaitu sistem

kekerabatan berdasarkan garis keturunan ayah. Dalam hal ini ini, laki-laki

merupakan pemeran utama di dalam suku, berperan sebagai pemimpin, dan berhak

atas tanah warisan. Selain itu, laki-laki dipandang sebagai pihak yang memiliki

kemampuan yang lebih dalam segala bidang ketimbang perempuan. Seorang laki-

laki dianggap memiliki sosok pemberani dan ksatria serta bertanggung jawab

memelihara dan menjaga integritas suku agar tetap eksis. Sedangkan perempuan

dianggap kurang mampu bertanggung jawab dalam menangani seluruh kehidupan

suku. Perempuan dipandang sebagai “tamu” atau orang yang berasal dari luar suku,

sehingga tidak mungkin suku dapat bertumbuh dan berkembang di tangan orang

yang berasal dari luar suku atau adat-istiadat yang lain. Dengan demikian,

perempuan secara otomatis tidak memiliki hak dan kekuasaan mutlak di dalam

suatu suku.

2.2.3.2 Sistem Kekerabatan Berdasarkan Relasi Perkawinan

Dalam masyarakat suku Embu Leja, relasi kekerabatan juga terbentuk

karena hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

yang berasal dari hubungan darah yang sama. Masyarakat suku Embu Leja

menyebut hal ini dengan perkawinan Dhoko Tu Lengge Lima. Tujuan utama dari

40 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 46: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

33

perkawinan ini adalah untuk menjaga dan mempertahankan agar generasi dari suku

Embu Leja tetap ada. Perkawinan ini dilakukan antara anak laki-laki dari saudari

dan anak perempuan dari saudara (Ana Eda) yang sedarah (kandung).

Selanjutnya, masyarakat suku Embu Leja juga mengenal adanya

perkawinan Pa’a Tu’a, yaitu perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan yang berasal dari hubungan yang tidak sedarah, tetapi

masih di dalam kampung yang sama. Tujuan utama dari perkawinan ini adalah

untuk mempertahankan harta kekayaan dan menjaga wibawa serta kekuasaan.

Apabila perkawinan ini tidak dilaksanakan maka pihak yang bersalah, baik dari

pihak laki-laki maupun perempuan, harus mengembalikan harta benda kepada

pihak yang tidak bersalah dengan jumlah dua kali lipat dari apa yang diterimanya,

sehingga segala kerugian menjadi keuntungan bagi pihak yang tidak bersalah.

Apabila pihak wanita yang bersalah maka disebut Walo Ngawu, sebaliknya jika

pihak pria yang bersalah maka disebut Walo Regu Pata.

Masyarakat suku Embu Leja juga membina relasi perkawinan Tana Ale,

yaitu hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

yang berasal dari hubungan darah yang berbeda dan dari kampung, suku, atau adat-

istiadat yang berbeda pula. Tujuan utama dari perkawinan ini adalah untuk

memperluas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Dalam perkawinan jenis ini,

apabila peminangan sudah diterima tetapi urusan selanjutnya tidak dilaksanakan,

maka perkawinan ini tidak dapat dilangsungkan. Dengan itu, pihak laki-laki

dikenakan denda tertentu, yang disebut Seliwu Seeko, yaitu denda berupa dua

pasang emas dan satu ekor hewan. Emas ini bisanya dapat diuangkan atau diganti

dengan hewan seperti kuda atau sapi. Dalam hal ini, kambing dan anjing tidak

dapat dipakai untuk membayar denda karena dianggap sebagai hewan yang

diharamkan.

Seluruh relasi perkawinan yang dilakukan ini berdampak pada jalinan

kekerabatan selanjutnya, misalnya di antara dua keluarga tersebut akan saling

menolong atau bekerjasama dalam urusan adat atau pada saat acara kematian serta

kegiatan lainnya seperti membuka kebun, membangun rumah serta upacara

syukuran pesta lainnya.

Page 47: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

34

2.2.3.3 Relasi Sosial Kemasyarakatan41

Relasi sosial kemasyarakatan suku Embu Leja tampak dalam hal kerja

sama dan gotong-royong. Relasi ini tidak hanya berdasarkan hubungan darah

semata. Relasi yang dibangun didasarkan pada sikap solidaritas dan kepedulian

akan keadaan sesama yang mengalami kesulitan, misalnya gotong-royong dan

kepedulian dalam kegiatan membuka lahan baru yang dikenal dengan sebutan Lele

Uma. Dalam Lele Uma, masyarakat suku Embu Leja mengenal dua bentuk kerja,

yakni “kerja dengan cara memanggil” dan kerja kelompok. Dua bentuk kerja ini

memiliki perbedaan dalam kesepakatan bersama saat perolehan hasil panen. Kerja

dengan cara memanggil adalah kerja yang dilakukan atas rasa solidaritas. Hal ini

terjadi karena masing-masing orang dalam dirinya telah menganut kearifan lokal

dari nenek moyang yang cukup potensial, sebagaimana yang terdapat di dalam

ungkapan: Ma si kita kema, boka ngere ki, bere ngere ae (Mari kita bersama-sama

bersatu dalam kerja seperti ilalang dan searah seperti air yang mengalir); atau Mai

si kita ngondo ngere tewu owo Ghou Ngere uwi ondo (Mari kita bersatu dalam

bekerja seperti satu rumpun tebu dan saling bergandengan tangan seperti ubi jalar).

Ketika seseorang ingin membuka lahan baru, sebelumnya ia akan

menyampaikan kepada beberapa orang (biasanya orang-orang yang berasal dari

suku yang sama) dalam kampung untuk membantunya. Pada waktu tibanya utuk

membuka lahan baru, ia akan didatangi oleh beberapa orang yang telah

disampaikan sebelumnya. Setiap orang yang datang untuk membantu memiliki niat

yang sama untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kegiatan ini tidak hanya

menguntungkan salah satu pihak saja melainkan juga pihak lain. Jika suatu ketika

salah satu anggota dari beberapa orang yang pernah membantunya kerabatnya

hendak membuka lahan baru maka dengan sendirinya ia berhak hadir dan turut

serta ambil bagian di dalam kegiatan tersebut. Dampak dari kerja dengan cara

memanggil ini adalah hasil panen akan dibagi secukupnya kepada setiap orang

yang telah membantu dalam membuka kebun baru tersebut.

Kerja dengan cara memangil berbeda dengan kerja secara kelompok. Kerja

jenis ini tidak hanya melibatkan orang-orang dalam suku yang sama melainkan

41 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 48: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

35

melibatkan juga kelompok suku yang lain. Dalam kerja secara bersama ini pula

terdapat unsur solidaritas dan keuntungan-keuntungan tertentu sebagaimana yang

terdapat di dalam kerja dengan cara memanggil. Namun dampak dari kerja secara

bersama ini adalah pada saat musim panen tiba, hasil panen tidak dibagikan kepada

setiap orang yang membantu, melainkan hanya diperuntukkan bagi pemilik lahan.

Selain itu, relasi kekerabatan suku Embu Leja juga terwujud dalam sikap

empati saat mengalami peristiwa kematian. Semboyan nenek moyang: Mai si kita

ngondo ngere tewu owo Ghou Ngere uwi ondo (Mari kita bersatu seperti satu

rumpun tebu, dan saling bergandengan tangan seperti ubi jalar), menggerakkan hati

setiap anggota keluarga dan suku untuk turut berpartisipasi pada saat salah satu

anggota keluarga meninggal. Sikap spontanitas sebagai sesama yang berduka

ditunjukkan lewat cara mengunjungi rumah duka sembari membawa sumbangan

berupa kain, uang dan beras, dan hewan serta ikut mendoakan arwah yang telah

meninggal dan berjaga bersama keluarga duka selama masa perkabungan hingga

selesai masa perkabungan.

Relasi kekerabatan suku Embu Leja juga terlihat dalam semangat

kepedulian saat merayakan pesta nikah atau syukuran tertentu. Semboyan tua Boka

Ngere Ki, Bere Ngere Ae tidak hanya diterapkan dalam kegiatan kerja semata-

mata, juga diterapkan di dalam kegiatan pesta atau syukuran tertentu yang dikenal

dengan sebutan Minu Ae Petu (minum air panas). Dalam kegiatan Minu Ae Petu,

seluruh masyarakat suku Embu Leja saling menaruh kepedulian untuk mendukung

dan menyukseskan kegiatan pesta atau syukuran yang dibuat. Kegiatan ini tidak

hanya terbatas melibatkan anggota keluaraga yang memiliki hubungan darah,

melainkan terbuka bagi anggota suku lain dan bagi siapa saja (simpatisan) yang

ingin mengekspresikan rasa kepedulian mereka. Bentuk kepedulian dapat berupa

pemberian materi seperti uang, beras dan juga hewan. Pada saat ini, kegiatan Minu

Ae Petu masih kuat dipertahankan karena masyarakat suku Embu Leja

beranggapan bahwa kegiatan Minu Ae Petu ini memiliki dampak yang sangat

positif, yaitu sebagai kesempatan untuk menanamkan sikap kepedulian,

pastisipatif, dan sebagai kesempatan kumpul keluarga atau kenalan yang bertujuan

untuk mengumpulkan dana (uang) demi membiayai pendidikan seseorang anak

yang hendak melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi.

Page 49: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

36

2.2.4 Lapisan Sosial Kemasyarakatan42

Masyarakat suku Embu Leja mengenal adanya lapisan sosial

kemasyarakatan. Hal ini tampak dalam struktur adat masyarakat suku Embu Leja.

Struktur adat masyarakat Embu Leja terdiri atas tiga bagian, yakni Mosalaki, Teke

Rai Fai Ngga’e, dan Prema Fai Walu.

2.2.4.1 Mosalaki

Masyarakat suku Embu Leja melihat seorang Mosalaki sebagai pemegang

kekuasaan wilayah adat. Seorang Mosalaki dilihat dan dipilih berdasarkan garis

keturunan ayah. Proses pemilihan Mosalaki diawali dengan musyawarah bersama

di dalam keluarga dan ritual adat Bui Feo So Bhoka Au (membakar kemiri dan

bambu muda), di mana 3 (tiga) buah kemiri (Feo) dan 3 (tiga) bambu muda yang

sudah disiapkan akan didoakan sebelum akhirnya dibakar di dalam rumah adat.

Penentuan calon Mosalaki ini bergantung dari bunyi bambu yang ledakannya

bagus sebanyak tiga kali berturut-turut. Pecahan bambu muda yang sudah dibakar

akan dilihat ruasnya, sejalur dengan ruas ke ruas dari tiga potong bambu tersebut.

Apabila dari hasil pembakaran bambu tersebut menghasilkan bunyi yang bagus

maka calon Mosalaki dapat dinobatkan sebagai Mosalaki. Sebaliknya, apabila dari

hasil pembakaran tidak menghasilkan bunyi yang bagus maka calon Mosalaki

tidak dapat dinobatkan sebagai Mosalaki.

Mosalaki menjalankan tugas dan fungsinya menjadi beberapa bagian, yakni

Mosalaki Pu’u, Mosalaki Riabewa, Mosalaki Phidi Wiwi Lapi Ata Kae. Mosalaki

Pu’u bertugas sebagai Mosalaki pokok atau ketua adat. Mosalaki Riabewa bertugas

sebagai sebagai perpanjangan mulut dari semua Mosalaki untuk setiap tamu-tamu

yang datang mengunjung wilayah persekutuan adat masyarakat Tendawena atau

forum-forum tertentu, dengan kata lain sebagai juru bicara lembaga adat. Mosalaki

Phidi Wiwi Lapi Lema Ata Ka’e berfungsi sebagai peran pengganti dari Mosalaki

Pu’u dan juga Mosalaki Riabewa apabila Mosalaki Pu’u dan Mosalaki Riabewa

berhalangan.

42 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 50: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

37

Dalam struktur masyarakat adat, suku Embu Leja mendapat peranan

sebagai Mosalaki Riabewa Tau Seso Masa Lewo Lina (hakim adat) untuk

menyelesaikan setiap masalah yang terjadi di Ulu Beu Eko tanah Tendawena,

melaksanakan seremoni adat seperti Joka Ju, menjalankan kewajiban

mengumpulkan Pare Wati Manu Eko dari anak Prema Fai Walu tanah Tendawena,

dan sebagai perpanjangan mulut dari semua Mosalaki bagi setiap tamu-tamu yang

datang mengunjung wilayah persekutuan adat masyarakat Tendawena.

2.2.4.2 Teke Ria Fai Ngga’e

Dalam masyarakat Tendawena, Teke Ria Fai Ngga’e biasa disebut sebagai

seorang laki-laki besar dalam rumah adat. Peranan Teke Ria Fai Nggae’e adalah

melaksanakan ritual adat seperti Pati Ka Bapu Ata Mata dan menjaga rumah adat.

Proses pemilihan Teke Ria Fai Ngga’e sama seperti proses pemilihan Mosalaki.

2.2.4.3 Prema Fai Walu

Prema Fai Walu merupakan seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah

Tendawena atau masyarakat adat. Prema Fai Walu merupakan anak-anak dan

cucu-cucu dari Mosalaki. Prema Fai Walu memiliki tugas menjalankan seluruh

norma-norma adat dan ritus adat yang ada di Tendawena. Pengabaian terhadap

norma-noram dan ritus adat akan mendapatkan sanksi adat dan menimbulkan

risiko yang berat seperti mengalami penyakit atau gagal dalam setiap usaha yang

dilakukan.

Page 51: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

38

BAB III

MAKNA DI BALIK RITUS-RITUS KEMATIAN

MASYARAKAT SUKU EMBU LEJA

Fokus pembahasan dalam bagian ini adalah menemukan makna di balilk

ritus-ritus kematian dalam budaya masyarakat suku Embu Leja. Masyarakat suku

Embu Leja percaya akan adanya kehidupan baru setelah kematian. Kehidupan

setelah kematian ini sangat bergantung pada sikap dan perilaku masyarakat suku

Embu Leja selama mereka berkanjang di dunia ini. Masyarakat suku Embu Leja

percaya hal ikhwal sebagaimana kepercayaan etnis Lio-Ende pada umumnya

bahwa semua arwah manusia yang meninggal menempati suatu tempat, yakni di

danau Kelimutu. Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa danau Kelimutu

merupakan sebagai tujuan akhir dari ziarah hidup.43

Masyarakat suku Embu Leja melihat bahwa arwah setiap manusia yang

telah meninggal akan selalu menjaga, memelihara, dan mengawasi setiap sikap dan

perilaku manusia yang masih hidup; apakah selaras dengan gagasan-gagasan dasar

moralitas dan nasihat-nasihat serta larangan-larangan yang telah diamanatkan oleh

para leluhur atau sebaliknya. Berhadapan dengan hal ini, masyarakat suku Embu

Leja cenderung merasa takut akan keberadaan dan peranan dari leluhur atau arwah

orang yang meninggal, ketimbang keberadaan dan peranan dari orang-orang yang

43 Kelimutu mengandung makna sebagai tempat berkumpulnya arwah dari orang-orang yang telah

meninggal dunia. Danau Kelimutu memiliki tiga tempat sesuai warnanya, yakni Tiwu Ata

Bupu/Mbupu, Tiwu Ata Ko’o Fai Nua Muri, dan Tiwu Ata Polo. Masyarakat Lio- Ende meyakini

bahwa ketika seseorang meninggal, jiwanya akan menuju salah satu tempat di antara tiga tempat

tersebut. Keberadaan orang yang telah meninggal tersebut disesuaikan dengan amal baktinya

selama masih hidup di dunia. Tiwu Ata Mbupu merupakan tempat peristirahatan bagi orang-orang

yang berbudi baik, luhur, dan suci. Warna air di Tiwu Ata Mbupu sebelum bencana tahun 1992

adalah putih, namun kini berubah menjadi putih kebiru-biruan. Warna itu merupakan lambang

kesucian. Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri merupakan tempat peristirahatan bagi orang-orang yang

membutuhkan penyucian atau pembersihan dan yang masih mengalami pergolakan dan perjuangan

untuk mendapatkan kebahagiaan. Warna air dari danau ini sebelumnya berwarna hijau kehitam-

hitaman, yang mengandung arti sebagai perjuangan sebagaimana jiwa yang sedang bergejolak atau

berusaha untuk melepaskan diri dari tekanan dan penderitaan. Selanjutnya, Tiwu Ata Polo

merupakan tempat bagi orang-orang yang berdosa. Tempat ini dianggap sebagai tempat untuk

menjalankan siksaan dan hukuman sebagai upah dari dosa. Warna air danau dari Tiwu Ata Polo

adalah merah kehitam-hitaman, yang memberi arti sebagai kekelaman dan penyiksaan berat atas

kesalahan dan dosa. Namun, saat ini warna air dari danau dimaksud telah berubah menjadi biru

keputih-putihan. Perubahan warna dari ketiga danau ini tidak dapat diketahui secara pasti penyebab

utamanya. Mbete, dkk., op. cit., hal. 49-50.

Page 52: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

39

masih hidup. Karena itu, berbagai ritus yang dilakukan pada saat kematian

merupakan sebuah cara untuk menghindari rasa takut akan malapetaka yang bisa

saja diciptakan oleh arwah orang yang telah meninggal.

Pelaksanaan ritus-ritus kematian di dalam masyarakat suku Embu Leja

pada umumnya memiliki tujuan sebagai sarana keselamatan bagi orang yang telah

meninggal, sekaligus sebagai kenangan bagi orang yang masih hidup. Apabila

berbagai ritus tidak dijalankan maka orang yang telah meninggal maupun yang

masih hidup akan mengalami peristiwa buruk, di mana orang yang telah meninggal

tidak mendapatkan keselamatan dan orang yang hidup mendapat kutukan dari para

leluhur atau arwah orang yang meninggal. Untuk menghindari semua peristiwa

buruk tersebut, masyarakat suku Embu Leja wajib menjalankan ritus kematian. Di

dalam bagian ini, penulis akan menguraikan ritus-ritus yang dilakukan pada saat

kematian seseorang dan berusaha menemukan tujuan dan makna-makna di balik

pelaksanaan ritus-ritus kematian tersebut.

3.1 Ritus-Ritus Kematian di Dalam Suku Embu Leja

3.1.1 Ritus Kematian dalam Pemahaman Masyarakat Suku Embu Leja

Bagi masyarakat suku Embu Leja, ritus kematian tidak hanya dipandang

sebagai kegiatan kosmis-manusiawi semata, melainkan sebuah dinamika dalam

menjalin interrelasi antara manusia, dunia, dan Ia. Pemahaman ini

mengindikasikan secara jelas distingsi antara upacara kematian dengan ritus

kematian itu sendiri. Upacara kematian berhubungan dengan keseluruhan aktivitas

yang melibatkan berbagai aspek lahiriah dengan penekanan utamanya pada aspek

sosio-horizontal, karena berhubungan dengan manusia itu sendiri. Sedangkan ritus

kematian merupakan bagian-bagian spesifik yang mengedepankan aspek religius-

vertikal, karena berhubungan dengan keyakinan masyarakat suku Embu Leja akan

eksistensi para leluhur dan Wujud Tertinggi (Ia). Akan tetapi di dalam pelaksanaan

ritus kematian, keseluruhan upacara dalam suatu peristiwa kematian tetap memiliki

peranan penting dan merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dari ritus

kematian itu sendiri. Karena itu, di dalam budaya masyarakat suku Embu Leja,

pelaksanaan ritus kematian dan upacara kematian senantiasa berjalan beriringan.

Page 53: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

40

3.1.2 Maksud dan Tujuan Ritus

Maksud dan tujuan ritus kematian dalam budaya masyarakat suku Embu

Leja adalah sebagai tanda penghormatan dan cinta kasih kepada orang yang telah

meninggal, sambil mengharapkan perlindungan dan berkat dari para leluhur dan Ia.

Ritus-ritus kematian yang diadakan itu juga merupakan suatu bentuk

pemberitahuan resmi kepada nenek moyang atau leluhur bahwa salah seorang

anggota keluarga telah berangkat menuju dunia mereka. Selain itu, ritus-ritus

kematian yang diadakan juga menunjukkan prestise dan harga diri di dalam

masyarakat. Tinggi rendahnya harga diri tersebut bergantung pada besar kecilnya

ritus yang diadakan.44

Ritus-ritus dalam rangka kematian ini biasanya dapat juga mendatangkan

perdamaian bagi keluarga yang sudah lama berselisih paham. Lazimnya suatu

hubungan yang retak baru bisa didamaikan pada saat seorang anggota keluarga

meninggal, sebab ritus-ritus yang akan diadakan dapat berjalan dengan baik dan

sah secara hukum adat jika melibatkan semua anggota keluarga yang memiliki

relasi yang harmonis. Jika tidak maka ritus-ritus yang diadakan tersebut

kemungkinan besar akan ditolak oleh orang yang meninggal, para leluhur, dan Ia.

Efek lain yang timbul dari situasi ini adalah adanya malapetaka yang akan

menimpa anggota keluarga dari si mati. Dalam hal ini, ritus kematian memiliki

fungsi sosial untuk mempersatukan seluruh anggota keluarga atau suku.

Dengannya, perasaan solidaritas dan loyalitas terhadap kelompok suku turut

diafirmasi. Dengan terlaksananya ritus-ritus kematian itu berarti pula tugas dan

tanggung jawab, baik material maupun moral, dari individu atau kelompok

keluarga atau suku tertentu telah terbayar tuntas atau selesai.45

3.1.3 Pemimpin Ritus

Secara keseluruhan, yang menjadi pemimpin ritus kematian suku Embu

Leja adalah Pu’u Kamu. Pu’u Kamu adalah saudara tertua dari pihak ibu.

Pemilihan Pu’u Kamu sebagai pemimpin ritus kematian dalam budaya masyarakat

44 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 45 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 54: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

41

suku Embu Leja didasari oleh peran utama yang dimiliki oleh Pu’u Kamu. Pu’u

Kamu selain sebagai pihak yang menyerahkan perempuan juga dipandang sebagai

pihak yang memberikan dan memperbanyak keturunan di muka bumi ini,

karenanya ia berhak mengetahui segala urusan yang berkaitan dengan

keturunannya. Meskipun demikian, legalisasi peran Pu’u Kamu untuk menjalankan

ritus kematian tersebut terjadi atas ijinan Mosalaki Riabewa. Dengan kata lain,

sebelum menjalankan ritus-ritus seputar kematian masyarakat suku Embu Leja,

Pu’u Kamu harus terlebih dahulu mendapatkan semacam ijinan dari Mosalaki Ria

Bewa. Ijinan tersebut diperoleh dengan cara permohonan lisan yang disampaikan

Pu’u Kamu kepada Mosalaki Riabewa. 46

Di sisi lain, pemilihan Pu’u Kamu sebagai pemimpin ritus kematian yang

merupakan bagian dari keluarga yang berduka itu sendiri dimaksudkan agar

hubungan kekeluargaan yang telah dibangun sejak keturunan pertama dapat

kembali diafirmasi. Dari sini, para anggota keluarga batih pun dapat melihat dan

mengetahui siapa sesungguhnya yang merupakan Pu’u Kamu mereka. Dengan itu

pula segala harapan akan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup baik bagi keluarga

yang masih hidup di dunia maupun bagi orang mati itu sendiri dapat terpenuhi.47

3.1.4 Peserta Ritus

Orang-orang yang terlibat di dalam ritus atau peserta ritus kematian adalah

orang-orang yang masih memiliki hubungan darah dengan orang yang meninggal,

yakni keluarga inti dan keluarga besar, serta suku-suku yang tergabung di dalam

suku orang yang meninggal. Para sahabat kenalan, masyarakat adat, dan orang-

orang yang berasal dari luar kampung yang mengenal dengan baik si mati juga

turut mengambil bagian di dalam ritus kematian tersebut. Kehadiran orang-orang

sebagaimana telah disebutkan merupakan bentuk ungkapan cinta kepada orang

yang telah meninggal, di samping untuk menghibur anggota keluarga yang sedang

berduka. Meskipun ia telah meninggal, namun cinta mereka tidak akan berakhir

dengan peristiwa kematian itu. Demikianpun kematian tidak dapat memutuskan

46 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 47 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 55: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

42

begitu saja tali persaudaraan di antara mereka sebagai satu anggota keluarga.

Selain itu, alasan lain yang mendasari keterlibatan pihak-pihak yang telah

disebutkan itu di dalam pelaksanaan ritus kematian adalah keyakinan akan adanya

murka dari orang mati jika anggota keluarga dan para sahabat kenalannya secara

sengaja tidak turut hadir di dalam ritus tersebut. Mereka juga hadir untuk

menyaksikan perpisahan secara resmi hubungan antara orang yang meninggal

dengan yang masih hidup. Perpisahan tersebut diwujudnyatakan melalui

pelaksanaan ritus-ritus kematian.48

3.1.5 Tahapan-Tahapan Ritus

Masyarakat suku Embu Leja mengenal tiga tahap pelaksanaan ritus

kematian, yakni ritus sebelum penguburan, ritus saat penguburan, dan ritus sesudah

penguburan.

3.1.5.1 Ritus sebelum Penguburan

3.1.5.1.1 Bom Minya Tana

Secara harafiah, Bom Minya Tana berasal dari kata Bom yang berarti

‘bunyi atau suara yang terdengar seperti bunyi ledakan bom’; dan Minya Tana

yang berarti ‘minyak tanah’. Bom Minya Tana berarti bunyi yang dihasilkan oleh

meriam bambu dengan menggunakan bahan minyak tanah. Ritus ini dilakukan

sesaat sesudah seseorang dinyatakan telah meninggal dunia. Meriam bambu

tersebut dibuat oleh keluarga duka yang mengalami peristiwa kematian. Bom

Minya Tana merupakan cara keluarga duka mengumumkan atau menyampaikan

informasi kematian kepada seluruh masyarakat adat. Bunyi yang dihasilkan oleh

meriam bambu tersebut merupakan sarana yang digunakan untuk menyampaikan

informasi bahwa seseorang baru saja meninggal dunia.49

Ritus Bom Miya Tana dijalankan oleh salah seorang laki-laki dewasa dari

keluarga duka. Laki-laki dewasa tersebut akan membuat sebuah meriam bambu

berukuran sedang dengan panjang sekurang-kurangnya 1,5 meter. Meriam bambu

48 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 49 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 56: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

43

tersebut kemudian akan ditempatkan di suatu tempat yang cukup tinggi di sekitar

rumah duka. Penempatan meriam bambu dengan posisi demikian bertujuan agar

ketika meriam bambu itu dibunyikan, suara yang dihasilkan mampu menjangkau

seluruh kampung. Setelah meletakkan meriam bambu pada posisi yang cukup

strategis, meriam bambu itu akan dibunyikan berulang-ulang kali. Suara ledakan

yang berulang-ulang dan menggaung ke segala arah mata angin hingga mencapai

telinga para penghuni kampung akan menjadi tanda bahwa seseorang dari keluarga

tertentu di dalam kampung bersangkutan telah meninggal dunia. Sebagai bentuk

tanggapan atas bunyi meriam bambu tersebut, secara spontan setiap orang yang

mendengarnya akan berkata: Latu ata mata, kami wi ghena wurumana (“Ada

orang yang meninggal, kami turut berdukacita”). Di samping itu, Bom Minya Tana

turut memengaruhi suasana kampung di mana kampung seketika menjadi hening.

Bersamaan dengan itu, segenap masyarakat adat perlahan-lahan meninggalkan

segala aktivitas yang sedang dilakukan, terutama aktivitas-aktivitas yang bernuansa

gembira, dan menyiapkan diri untuk bergegas menuju rumah duka guna

mengambil bagian di dalam kedukaan yang sedang dialami oleh keluarga dari

pihak yang meninggal dunia.50

Pada zaman dahulu, ada mitos di dalam masyarakat suku Embu Leja yang

mengungkapkan bahwa Bom Minya Tana tidak hanya berguna sebagai sarana

untuk menyampaikan informasi duka atau kematian, melainkan juga diyakini

sebagai sarana untuk mengantar jiwa orang yang telah meninggal keluar untuk

sementara waktu dari raganya dan berkeliaran bebas sambil menanti pelaksanaan

ritus Poru Joka (ritus mengantar jiwa orang yang meninggal untuk bersatu dengan

para leluhur di danau Kelimutu). Selain itu, ritus Bom Minya Tana memiliki makna

sebagai sarana untuk menyadarkan masyarakat suku Embu Leja agar membangun

sikap toleransi, simpati, dan empati dengan keluarga yang berduka dan sebagai

bentuk penghormatan kepada orang yang meninggal dunia.51

50 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 51 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 57: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

44

3.1.5.1.2 Wurumana

Wurumana secara harafiah berarti ‘saling menghubungkan’. Wurumana,

dalam hubungannya dengan ritus kematian, memiliki makna sebagai tolong-

menolong di antara sesama manusia. Ritus ini dilaksanakan sesudah jenazah

dinyatakan telah meninggal dunia dan sebelum jenazah tersebut dikebumikan.

Ritus Wurumana ini lahir berdasarkan pesan leluhur yang dikenal dengan

Wuamesu52, yaitu sikap berbelaskasih atau empati dari seseorang terhadap orang

yang meninggal dan cara seseorang menunjukkan kepeduliannya kepada keluarga

yang mengalami kedukaan. Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa orang

yang meninggal akan melihat apa yang dilakukan masyarakat suku Embu Leja

terhadap dirinya dan terhadap sesama manusia yang mengalami peristiwa

kematian. Hal ini secara tersirat terungkap di dalam kalimat ini: Du’a kami nira

neni tolo tei miu, nira neni tolo tei (“Kami, para leluhur, akan melihat perjalanan

hidupmu, memantau tingkah lakumu dari tempat tinggal kami”). Berhadapan

dengan hal ini, masyarakat suku Embu Leja cenderung merasa takut apabila

mereka mengabaikan pesan para leluhur, sebab pengabaian terhadap wasiat leluhur

tersebut akan mendatangkan malapetaka. Oleh karena itu, mereka wajib

menjalankan ritus Wurumana bagi orang yang meninggal dan bagi keluarga duka

yang sedang mengalami peristiwa kematian. Dengan demikian, ritus Wurumana

tidak lain merupakan aksi nyata Wuamesu masyarakat suku Embu Leja saat

berhadapan dengan suatu peristiwa kematian.53

Ritus Wurumana dilaksanakan sesudah ritus Bom Minya Tana, di mana

masing-masing keluarga akan datang ke rumah duka sembari membawa

sumbangan-sumbangan tertentu berupa kopi, beras, gula pasir, atau ceritera-

ceritera yang menghibur. Bagi keluarga yang masih memiliki hubungan darah

dengan orang yang meninggal (hubungan “darah dekat”), yakni yang memiliki

status sebagai Nara (saudara), diwajibkan membawa sumbangan berupa kain (Ragi

52 Wuamesu merupakan prinsip moral yang mengandung makna belas kasih atau cinta kasih. Dalam

hidup sehari-hari, masyarakat selalu mengingat prinsip moral ini, yang secara lengkap tercermin di

dalam ungkapan: Wuamesu no’o ana embu, aji ka’e, tuka bela, atamai (Berbelaskasih terhadap

keturunan nenek moyang, kakak dan adik, keluarga besar, dan setiap orang yang membutuhkan

bantuan). Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 53 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 58: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

45

atau Lawo) dan beras. Sementara itu, anggota keluarga yang memiliki status

sebagai Weta (saudari) akan membawa sumbangan berupa uang dan seekor babi

(Doi Eko). Selain itu, masyarakat yang tidak termasuk di dalam rumpun keluarga

inti namun masih memiliki hubungan “darah jauh” dengan keluarga duka dapat

memberi sumbangan materi berupa kopi, gula pasir, atau beras, namun bisa juga

sumbangan non materi seperti membantu memasak, menggali kubur, ikut

mendoakan arwah yang telah meninggal, dan berjaga bersama keluarga duka

selama masa perkabungan.54

Dengan demikian, pelaksanaan ritus Wurumana merupakan bentuk

ungkapan solidaritas dari pihak keluarga yang masih memiliki hubungan “darah

dekat” maupun masyarakat adat secara keseluruhan terhadap orang yang

meninggal dan keluarga yang berduka. Solidaritas tersebut memungkinkan

manusia dapat terhindar dari marabahaya yang diciptakan oleh arwah orang yang

telah meninggal. Di samping itu keluarga yang berduka akan mendapatkan

peneguhan dan kekuatan dari segenap masyarakat adat.

3.1.5.1.3 Rio Ata Mata

Kata Rio berarti ‘mandi atau memandikan’, dan Ata Mata berarti ‘orang

mati, orang yang meninggal, atau jenazah’. Jadi, Rio Ata Mata adalah ritus

memandikan orang mati atau jenazah. Ritus ini dilakukan bersamaan dengan

pelaksanaan ritus Wurumana. Ketika orang-orang di sekitar, baik masyarakat

maupun keluarga besar yang berduka, datang ke rumah duka untuk membantu

menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan menjelang pemakaman (ritus

Wurumana), pihak keluarga yang bertugas untuk menjalankan ritus Rio Ata Mata

dapat memulai melaksanakan ritus ini. Yang bertugas untuk memandikan jenazah

adalah orang yang dipilih secara khusus dari kalangan anggota keluarga, yang

semasa hidupnya dinilai sangat dekat dengan orang yang meninggal. Biasanya,

orang tersebut adalah anak perempuan atau saudari perempuan dari orang yang

meninggal (Ata Tau Rio).55 Hal ini mengandaikan bahwa orang mati tersebut

54 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 55 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 59: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

46

meninggal di rumahnya sendiri. Apabila orang mati itu meninggal di Puskesamas

atau di Rumah Sakit, maka yang bertugas memandikan jenazah adalah petugas

rumah sakit dengan didampingi oleh beberapa orang yang dipilih dari kalangan

anggota keluarga.56

Proses memandikan jenazah yang terjadi di rumah membutuhkan

perlengkapan-perlengkapan berupa air secukupnya, sabun mandi, shampoo, pasta

gigi, dan sehelai kain untuk membersihkan tubuh jenazah. Setelah semua

perlengkapan yang dibutuhkan tersebut sudah disediakan, Ata Tau Rio yang

merawat jenazah selama masih hidupnya akan mengucapkan bahasa adat yang

mengungkapkan sikap hormat pada jenazah demikian: Mae wora kami, kami to

gati kota kau tau rio (Jangan marah kami, kami ingin membuka pakaianmu untuk

memandikanmu”).57 Selanjutnya, pakaian yang dipakai oleh jenazah akan

dilepaskan satu persatu. Sesudah itu, secarik kain direndam di dalam ember yang

telah berisi air sabun. Seluruh badan jenazah lalu dimandikan sebagaimana cara

memandikan orang yang masih hidup. Pada awalnya, Ata Tau Rio mulai

membasahi kepala jenazah. Rambut jenazah dicuci dengan shampoo, mukanya

diberi sabun dan giginya disikat hingga bersih. Setelah bagian kepala jenazah

selesai, dilanjutkan dengan bagian tubuh jenazah yang disabuni dari leher hingga

kaki. Kemudian, jenazah akan dibilas dengan air bersih dan dikeringkan dengan

kain yang sudah disediakan. Jenazah yang telah selesai dimandikan tersebut

didadani sedemikian rupa dengan memakaikan pakaian adat yang bagus untuk

selanjutnya dibaringkan di sebuah tempat tidur yang disebut Kole Ata Mata

(tempat tidur).58

Ritus Rio Ata Mata ini memiliki makna tersendiri. Menurut kepercayaan

masyarakat suku Embu Leja, ritus Rio Ata Mata pada dasarnya merupakan

sebentuk kenangan akan masa-masa hidup orang yang meninggal, seperti halnya

mengenangkan saat-saat di mana orangtua memandikan anak-anak. Selain itu, ritus

Rio Ata Mata juga berfungsi membersihkan atau membebaskan orang yang

56 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 57 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 58 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 60: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

47

meninggal dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap

sesamanya. Sebagai contoh, jika semasa hidup orang yang meninggal belum

berdamai dengan sesamanya maka ritus Rio Ata Mata dapat dijadikan sebagai

sarana untuk membuka pintu perdamaian tersebut. Bagaimanapun juga, orang yang

meninggal harus bersih dari hal-hal duniawi yang diyakini masih melekat erat pada

dirinya, sehingga ia dianggap layak untuk bersatu dengan para leluhur yang

bersemayam di Kelimutu.59 Dengan demikian, secara singkat dapat digarisbawahi

bahwa makna yang tersirat di balik pelaksanaan ritus Rio Ata Mata adalah sebagai

ungkapan kenangan akan hidup orang yang meninggal dan sarana pertobatan agar

jiwa orang yang meninggal dibersihkan sehingga dapat mencapai kehidupan yang

layak bersama para leluhur di Kelimutu.

3.1.5.1.4 Kole Ata Mata

Kata Kole berarti ‘tempat tidur’. Ritus Kole Ata Mata berarti ritus

membaringkan jenazah untuk sementara waktu pada tempat tidur sebelum akhirnya

jenazah dimasukkan ke dalam peti jenazah. Jenazah yang sudah dimandikan

melalui ritus Rio Ata Mata, selanjutnya akan dibaringkan pada sebuah tempat tidur

yang sudah disediakan pihak keluarga duka. Hal ini mengandaikan bahwa peti

jenazah belum disediakan di rumah duka, karena itu jenazah harus terlebih dahulu

dibaringkan untuk sementara waktu di atas tempat tidur yang telah disediakan

secara khusus. Namun, jika peti sudah dipersiapkan dengan baik maka jenazah bisa

langsung dimasukkan ke dalam peti tersebut dan diletakkan di atas Kole Ata Mata.

Pada zaman dahulu, jenazah biasanya hanya diletakkan di atas tikar. Kemudian

pada bagian kepala dan kaki jenazah diletakkan masing-masing sebuah batu. Batu-

batu yang diletakkan tersebut berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh

jenazah: tidak lebih tinggi atau lebih pendek dari keadaan tubuh yang sebenarnya.

Namun, pemanfaatan tikar dan batu sebagai media untuk membaringkan jenazah

tersebut pada masa kini sudah tidak lagi dilakukan.60

59 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 60 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 61: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

48

Pada saat melakukan ritus Kole Ata Mata, keluarga berduka perlu

memperhatikan posisi kepala dan kaki jenazah. Posisi kepala jenazah di dalam peti

mesti diletakkan di bagian timur dan kaki jenazah di bagian barat. Penempatan

posisi jenazah dengan menjurus pada arah mata angin tertentu ini dibarengi oleh

keyakinan masyarakat suku Embu Leja bahwa arah timur merupakan saat matahari

terbit yang diibaratkan dengan kelahiran seorang manusia, sedangkan arah barat

merupakan saat matahari terbenam yang diibaratkan dengan kematian seorang

manusia.61 Bersamaan dengan penempatan jenazah ke dalam peti jenazah, salah

satu anggota keluarga berduka akan berkata: Miu mulu kami ndu, miu dheko kami

jejo (“Kamu jalan lebih dahulu, kami akan ikut, kamu ikut, kami taat”).62 Kalimat

yang disabdakan ini merupakan ungkapan keyakinan bahwa setiap manusia pasti

akan meninggal dunia dan akan berkumpul bersama para leluhur.

Berdasarkan uraian-uraian ini dapat ditemukan bahwa rius Kole Ata Mata

sesungguhnya mengingatkan manusia akan dua realitas dari hidup, yakni kelahiran

dan kematian. Kelahiran merupakan suatu realitas terberi dari yang Ilahi yang

layak disyukuri dan dihidupi dengan melakukan sebanyak mungkin kebaikan bagi

sesama. Kebaikan-kebaikan itu berdayaguna sebagai penjamin bagi kebahagiaan

hidup di dunia akhirat. Sementara itu, kematian adalah realitas yang pasti, yang

akan dialami oleh setiap orang. Berhadapan dengan kematian, setiap manusia

dituntut untuk menerimanya dengan lapang dada tanpa mesti terlampau larut di

dalam kedukaan yang berkepanjangan.

3.1.5.1.5 Nosi Mbe’o Pu’u Kamu

Nosi berarti ‘menyampaikan’; Mbe’o berarti ‘tahu’, dan Pu’u Kamu berarti

‘laki-laki pertama atau tertua’. Jadi, Nosi Mbe’eo Pu’u kamu berarti penyampaian

berita kematian kepada laki-laki tertua atau saudara sulung. Ketika seseorang

meninggal dunia dan sesudah melewati tahapan ritus Kole Ata Mata, pihak

keluarga akan bergegas mencari Pu’u Kamu untuk menyampaikan berita duka.

Penyampaian berita kematian oleh pihak keluarga duka kepada Pu’u Kamu

61 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 62 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 62: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

49

merupakan sesuatu yang wajib dijalankan, sebab Pu’u Kamu memiliki peran yang

sangat penting untuk pelaksanaan seluruh ritus kematian. Informasi kematian kaum

keluarga yang sudah diterima oleh Pu’u Kamu selanjutnya akan diteruskan kepada

setiap anggota keluarga besar yang ada di Tendawena serta keluarga lainnya di

mana saja mereka berada. Keluarga besar yang dimaksudkan adalah keluarga yang

memiliki hubungan “darah dekat”, entah karena faktor keturunan maupun relasi

perkawinan. Pada masa kini, penyampaian informasi kematian bagi anggota

keluarga lain yang bertempat tinggal jauh dari Tendawena dikomunikasikan oleh

Pu’u Kamu melalui telepon selular (handphone).63

Isi berita duka yang disampaikan Pu’u Kamu mengandung ajakan agar

segenap anggota keluarga dapat terlibat aktif melakukan Wurumana, berjaga

bersama jenazah sembari menghibur keluarga yang berduka, dan berkumpul

membicarakan hal-hal yang diperlukan untuk proses pelaksanaan ritus-ritus

kematian. Informasi duka yang disampaikan oleh Pu’u Kamu sebagai berikut:64

Aku Ata Pu’u, Saya sebagai saudara sulung

nosi miu, menyampaikan kepada kalian

kita latu ata mata. bahwa salah seorang anggota

keluarga kita telah meninggal dunia.

Ia, Du’a Ngga’ȇ, pai kita ata, Ia, Du’a Ngga’ȇ, telah memanggil dia

kai so mbana mera embu mamo. untuk bersatu bersama-Nya

dan para leluhur.

Aku si pai miu, Saya datang menemui kalian,

kita wi ghéna Wuruwana, untuk menghadiri acara Wuruwana,

mai si kita mbana leka mari datanglah,

sa’o tu mera no kami. hadirlah bersama kami.

Ritus Nosi Mbe’o Pu’u Kamu memiliki makna bahwa kematian manusia

merupakan kehendak Ia atau Du’a Ngga’ȇ. Hal ini secara nyata tampak di dalam

isi informasi yang disampaikan oleh Pu’u Kamu kepada segenap anggota keluarga

dari orang yang meninggal.

63 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 64 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 63: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

50

3.1.5.1.6 Dheta Ghomo

Dheta berarti ‘melukai atau menandai tanah’ dan Ghomo berarti ‘lubang

atau kubur’. Dheta Ghomo adalah tindakan melukai atau menandai tanah untuk

dijadikan sebagai tempat jenazah dimakamkan. Dengan kata lain, sebelum tanah

digali oleh kaum kerabat yang lain untuk dijadikan sebagai kubur, tanah tersebut

terlebih dahulu ditandai. Orang yang berhak melakukan Dheta Ghomo adalah Pu’u

Kamu. Sebelum kehadiran Pu’u Kamu di rumah duka, ritus Dheta Ghomo belum

bisa dilaksanakan, sekalipun jenazah telah diletakkan pada Kole Ata Mata. Dari

situasi ini dapat dipahami bahwa Pu’u Kamu memiliki peran yang sangat penting,

tidak hanya dalam ritus Dheta Ghoma tetapi juga di dalam sebagian besar ritus

kematian yang dijalankan. Bahwasanya tanpa kehadiran Pu’u Kamu jenazah tidak

dapat dimakamkan dan ritus-ritus kematian tidak dapat dijalankan secara baik dan

selaras adat yang berlaku. Oleh karena itu, Pu’u Kamu sangat dihormati oleh pihak

keluarga duka karena Pu’u Kamu adalah tokoh sentral bagi pelaksanaan ritus-ritus

kematian.65

Pu’u Kamu juga memiliki kewajiban untuk mempersiapkan hal-hal yang

diperlukan untuk diberikan kepada orang yang meninggal dan keluarga duka. Hal-

hal dimaksud berupa sepasang baju yang masih baru, gula yang secukupnya, beras,

dan kain adat (Lawo atau Ragi). Saat berada di rumah duka, Pu’ u Kamu akan

memberikan kain adat yang terbaik berdasarkan jenis kelamin dari orang yang

meninggal. Apabila orang yang meninggal adalah seorang laki-laki maka Pu’u

Kamu akan memberikan Ragi, sebaliknya jika orang yang meninggal adalah

seorang perempuan maka Pu’u Kamu akan memberikan Lawo. Pemberian barang-

barang ini merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terakhir kepada

orang yang meninggal.66

Selanjunya, ketika Pu’u Kamu berada di depan jenazah, ia akan

menundukkan kepala sebagai sikap hormat, kemudian ia akan menyampaikan

bahasa adat demikian: Mbana mae salah jala, leta ma’e sala wolo mera ke’e no

Embu-Mamo pawe (“Pergilah melalui jalan yang benar dan pantas, tinggallah

65 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 66 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 64: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

51

bersama para leluhur dengan mulia”), sembari meletakkan sepasang baju dan kain

adat di samping peti jenazah. Pada saat itu, Pu’u Kamu juga akan menyerahkan

barang bawaan lain berupa beras dan gula kepada pihak yang berduka untuk

menambah kebutuhan konsumsi. Sesudah itu, Pu’u Kamu akan menanyakan

kepada pihak keluarga duka mengenai penentuan tempat penguburan jenazah.

Penentuan tempat tersebut sangat bergantung dari wasiat jenazah. Jika jenazah

menginginkan agar dirinya dikuburkan di halaman sekitar rumah maka proses

Dheta Ghomo akan terjadi di sekitar halaman rumah. Namun, apabila jenazah

menghendaki agar dirinya dikuburkan di pekuburan keluarga suku maka ritus

Dheta Ghomo akan dibuat di pekuburan keluarga suku.67

Berdasarkan wasiat jenazah, Pu’u Kamu kemudian beranjak menuju tempat

yang telah diwasiatkan dan menandai tanah yang akan dijadikan sebagai kubur.

Sebelum melukai tanah, Pu’u Kamu menyerukan ungkapan adat yang sama

sebagaimana ketika ia berada di hadapan jenazah. Kemudian, Pu’u Kamu akan

melukai tanah dengan tangannya sambil berkata: “Ko’e si ghomo!” (“Silakan

menggali!”). Kalimat terakhir ini merupakan perintah bagi orang-orang yang

bertugas menggali lubang kubur (Ata Ko’e Ghomo) sebagai tempat peristirahatan

terakhir bagi jenazah. Ritus Dheta Ghomo yang dilaksanakan berdasarkan wasiat

orang yang meninggal ini dimaksudkan untuk ketentraman dan kebahagiaan hidup

orang yang telah meninggal di tempat tinggalnya yang baru.68

3.1.5.1.7 Ko’e Ghomo

Ko’e berarti ‘menggali’ dan Ghomo berarti ‘lubang kubur’. Ko’e Ghomo

berarti menggali lubang kubur. Ritus Ko’e Ghomo ini dilakukan atas perintah Pu’u

Kamu. Selain memerintahkan pelaksanaan ritus Ko’e Ghomo, Pu’u Kamu juga

memerintahkan beberapa anggota keluarga untuk menyembelih hewan berupa babi

atau anjing yang selanjutnya akan dimasak untuk diberikan kepada para pelayat

yang hadir. Penyembelihan hewan ini dilakukan tanpa doa-doa khusus. Sementara

itu, hewan-hewan yang sudah dimasak akan dimakan bersama-sama anggota

67 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 68 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 65: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

52

keluarga duka dan para pelayat yang hadir sebelum jenazah dikuburkan. Simpul

kata, ritus Ko’e Ghomo dilakukan berbarengan dengan penyembelihan hewan

kurban tersebut. Jadi, ada anggota keluarga yang ditugaskan secara khusus untuk

menyembelih hewan kurban, sedangkan yang lainnya diminta untuk melaksanakan

ritus Ko’e Ghomo.69

Sebelum Ko’e Ghomo dijalankan, Ata Ko’e Ghomo (orang yang bertugas

menggali lubang kubur) harus terlebih dahulu masuk ke rumah duka guna

melaksanakan penghormatan terhadap jenazah. Masyarakat suku Embu Leja

meyakini bahwa penghormatan kepada jenazah ini perlu dilakukan oleh Ata Ko’e

Ghomo agar proses penggalian kubur dapat berjalan dengan baik; tidak mengalami

kecelakaan, hambatan, atau gangguan yang berasal dari arwah orang yang

meninggal seperti mendapat luka pada kaki saat menggali kubur, badan yang

merinding. Ata Ko’e Ghomo akan membentuk liang kubur sesuai dengan ukuran

tubuh jenazah. Pada zaman dahulu, penggalian kubur ini biasanya menggunakan

Su’a Au (potongan bambu yang ujungnya tajam). Akan tetapi saat sekarang

penggunan Su’a Au tidak dipakai lagi, di mana penggalian kubur sudah

mengunakan alat-alat yang lebih modern seperti pacul, linggis, dan sekop.70

Makna dari ritus ini adalah membuat tempat tinggal yang pantas dan layak

bagi orang yang meninggal demi menciptakan kenyamanan dan ketentraman di

tempat tinggalnya yang baru. Jadi, secara singkat makna dari dari ritus ini adalah

sebagai ungkapan kepercayaan bahwa setelah kematian manusia memiliki tempat

di dunia ini dan tempat di dunia yang baru. Tubuh akan hancur menjadi tanah,

sedangkan jiwa akan berziarah menuju suatu tempat tinggal yang baru yang sudah

terlebih dahulu dihuni oleh para leluhur.

3.1.5.2 Ritus saat Penguburan

3.1.5.2.1 Pati Ka Ata Mata No Embu Mamo

Pati berarti ‘memberi’, Ka berarti makan, No berarti ‘dengan atau dan’, Ata

Mata berarti “orang mati’, dan Embu Mamo berarti ‘leluhur’. Jadi, Pati Ka Ata

69 Hasil wawancara dengan Piter Tage Saka, tokoh masyarakat Tendawena, pada tanggal 27

Desember 2019 di Tendawena. 70 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 66: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

53

Mata No Embu Mamo berarti memberi makan (sesajian) kepada orang yang

meninggal dan leluhur oleh pihak keluarga. Ritus ini dilakukan pagi atau siang

hari, sebelum jenazah diarak ke pekuburan. Pati Ka Ata Mata No Embu Mamo ini

dilakukan oleh Pu’u Kamu didampingi oleh salah seorang dari angota keluarga

inti. Biasanya, pemberian makan kepada orang yang meninggal dan leluhur

memerlukan bahan-bahan yang disediakan keluarga duka berupa dua piring nasi di

mana masing-masing piring dilengkapi dengan lauk berupa daging ayam, Moke,

segelas air putih atau kopi. Pu’u Kamu akan meminta pendampingnya meletakkan

dua piring nasi yang sudah disediakan di samping peti jenazah. Piring pertama bagi

orang yang meninggal diletakkan di sebelah kiri, tepatnya di sisi kepala dari peti

jenazah. Sedangkan piring kedua diletakkan di sebelah kanan, tepatnya di sisi

kepala dari peti jenazah. Masyarakat suku Embu Leja percaya bahwa peletakan

piring yang berisi makanan di bagian kiri dan bagian kanan mengandung arti

tersendiri. Bagian kiri menunjukkan bahwa orang yang baru meninggal belum

bersatu secara utuh dengan para leluhur, sedangkan bagian kanan merupakan

simbol bagi tempat berdiamnya para leluhur yang aman dan damai di Kelimutu.

Setelah meletakkan kedua piring tersebut masing-masing pada tempatnya, Pu’u

Kamu akan mengundang arwah orang yang meninggal dan para leluhur untuk

datang menikmati sesajian melalui doa adat berikut:71

Embu mamo lau Sa’o Ria Para leluhur (laki-laki

dan perempuan) di rumah adat.

Babo mamo lau Seso Para leluhur (laki-laki dan

perempuan) di kampung Seso

Babo mamo lau Kolorasi Para leluhur (laki-laki dan

perempuan) di kampung Kolorasi

Kami wi pesa manu kami sudah memotong ayam

miu pati Ia: Du’a ghéta lulu wula kamu beri kepada Ia yang langit

tu pati Ia: Nggae’é ghalé dan juga kepada Ngga’é

wena tana yang berdiam di bumi

nosi Ia: du’a ghéta lulu wula sampaikan pada Ia yang di langit

simo ata mata kita terimalah keluarga kami

yang meninggal

ata tau sare pawe jadikanlah ia mulia

gare Nggae’é ghalé wena tana sampaikanlah kepada Ngga’é

71 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 67: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

54

tau ata mata bhe’ni sawe terimalah keluarga yang meninggal

jadikanlah ia layak

Kami ta’u miu ngere nipa ria kami takut pada kalian (para leluhur

atau arwah) yang tampak seperti ular

yang besar

Mio tipo kami ngere nio, kamu (para leluhur dan arwah)

menjaga kami seperti pohon kelapa

Pama kami ngere naka kamu menjaga kami

seperti menjaga buah nangka

Kami rina ma’e pati susa Kami mohon jangan datangkan

kesusahan

Kami rina raki re’e e kami mohon bersihkan dari segala

yang kotor

taka du raka da lau ma’u segala yang jahat dibuang jauh

ke dasar laut

Kami rina kema ghéna dhawé sai Kami mohon semoga selalu sukses

dalam setiap pekerjaan

Tau kami ile ma’e nggedhu Kepala kami tidak sakit

nggewe mae baja tidak putus asa

kipo pama sekami lindungilah kami selalu

we kami tua’ ngere su’a agar kami kuat seperti baja

maku ngere watu keras seperti batu

we kami ria tau gare nia tetap berdiri kokoh

bewa tau pase la’e. untuk senantiasa menjaga

warisan leluhur.

Pati Ka Ata Mata No Embu Mamo wajib dilakukan masyarakat suku Embu

Leja karena mereka meyakini bahwa kematian merupakan sebuah perjalanan yang

panjang bagi jiwa orang yang meninggal menuju dunia para leluhur. Karena itu,

orang yang baru meninggal membutuhkan bekal yang cukup agar tidak kelaparan

dan haus dalam ziarahnya menuju dunia para leluhur yang bersemayam di

Kelimutu. Di samping itu, masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa orang

yang baru meninggal belum seutuhnya bersih dari segala kesalahan dan dosa.

Maka doa adat yang diucapkan oleh Pu’u Kamu juga sekaligus bertujuan untuk

menyampaikan permohonan kepada Ia Du’a ghéta lulu wula, Ia: Nggae’é ghalé

Wena Tana agar orang yang meninggal dibersihkan dari kesalahan dan dosa

sehingga ia pun pantas hidup bersama para leluhur. Orang yang meninggal yang

telah mencapai Kelimutu diyakini sebagai perantara, yang berfungsi

menyampaikan permohonan dari orang-orang yang masih hidup kepada para

leluhur. Hal ini secara jelas tampak di dalam cara meletakkan sesajian, di mana

Page 68: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

55

Pu’u Kamu tidak meletakkan sesajian pada satu tempat saja melainkan masing-

masing sajian diletakkan secara terpisah.72

Mencermati tata cara ritus yang dijalankan maka ritus Pati Ka Ata Mata No

Embu Mamo adalah ritus yang dijalankan untuk menghantar persembahan dan

mengajukan permohonan kepada para leluhur agar jiwa orang yang meninggal

dapat dibebaskan dan dibersihkan dari kesalahan dan dosa. Dengan itu, ia

dilayakkan untuk masuk ke dalam persekutuan hidup dengan para leluhur dan

Wujud Tertinggi (Ia, Du’a Ghéta Lulu Wula, Ngga’é Ghalé Wena Tana). Selain

itu, melalui pelaksanaan ritus ini, masyarakat suku Embu Leja juga turut

disadarkan bahwa orang yang meninggal memiliki peran penting bagi orang-orang

yang masih hidup, terutama bagi kalangan keluarga, yaitu sebagai perantara bagi

segala bentuk permohonan yang diajukan kepada leluhur dan Wujud Tertinggi,

agar leluhur dan Wujud Tertinggi dapat menjaga dan melindungi manusia serta

memberi berkah bagi kelangsungan hidup manusia di bumi.

3.1.5.2.2 Joru

Joru berarti ‘tunduk terhadap suatu benda yang berada di atas kepala atau

di hadapan wajah’. Namun, Joru dalam dalam hubungannya dengan kematian

dimaknai sebagai tindakan manusia menundukkan kepala terhadap peti jenazah

yang sedang diusung. Joru dilakukan pada saat peti jenazah hendak diusung ke

luar rumah untuk proses penguburan (Lo Ata Mata Ghole Ghomo).73 Ritus ini

terjadi di dalam rumah duka di mana Pu’u Kamu akan memilih beberapa laki-laki

dewasa yang berasal dari kalangan keluarga besar untuk mengusung peti jenazah

menuju Ghomo (kuburan). Ketika para pengusung berada tepat di depan pintu

rumah duka, Pu’u Kamu akan meminta para pengusung tersebut berhenti sejenak.

Peti jenazah lalu diminta oleh Pu’u Kamu untuk diangkat sedikit lebih tinggi

sembari mempersilakan segenap anggota keluarga besar yang berduka, sahabat,

atau kenalan untuk menundukkan kepala. Bersamaan dengan itu Pu’u Kamu

berseru: Mai si ka’e, azi, joru (“Saudara-saudari, marilah kita menundukkan

72 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 73 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 69: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

56

kepala”). Pada saat Joru, masing-masing segenap anggota keluarga dan pelayat

yang hadir akan mengungkapkan kalimat-kalimat yang berasal dari kedalaman hati

seperti: Kami taku no’o miu ma’e ganggu kami, mbana si miu, mbana molo-molo.

Mae pati kami susa, pama kami (“Kami takut dengan kalian, jangan ganggu kami,

pergilah kalian, jalan baik-baik, jangan datangkan kesusahan pada kami”).74

Tujuan utama dari pelaksanaan Joru adalah untuk menghormati jenazah.

Masyarakat suku Embu Leja percaya bahwa dangan tindakan Joru segala

kesalahan antara manusia yang hidup dengan orang yang meninggal dapat

dibersihkan dan didamaikan. Dengan kata lain, ritus Joru merupakan bentuk

tindakan saling memaafkan di antara orang yang meninggal dengan orang-orang

yang masih hidup (rekonsiliasi horizontal). Dengan dan melalui Joru, keselamatan

orang yang meninggal yang akan segera berziarah menuju Kelimutu untuk tinggal

dalam damai bersama para leluhur dapat dijamin. Selain itu, Joru juga merupakan

kesempatan bagi keluarga untuk memohon agar jiwa orang yang meninggal tidak

mengganggu kehidupan keluarga yang berduka, sahabat, dan kenalan, melainkan

senantiasa melindungi dan menjaga keluarga, sahabat, dan kenalan.75 Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa makna dari pelaksanaan ritus Joru adalah

untuk menghormati jenazah, sebagai kesempatan untuk rekonsiliasi, untuk

memohonkan kehidupan yang damai baik bagi orang yang meninggal maupun

orang-orang yang masih hidup.

3.1.5.2.3 Lo Ata Mata Ghole Ghomo

Lo berarti ‘menurunkan’, Ghole berarti ‘di dalam’. Maka, Lo Ata Mata

Ghole Ghomo berarti menurunkan peti jenazah ke dalam Ghomo (kubur). Lo Ata

Mata Ghole Ghomo dijalankan dengan mengikuti arahan dari Pu’u Kamu. Pu’ u

Kamu kamu akan meminta para pengusung peti jenazah agar perlu berhati-hati

dalam menurunkan peti jenazah ke dalam Ghomo (kubur). Selanjutnya, Pu’u Kamu

akan meminta seluruh masyarakat yang hadir untuk menghamburkan tanah dan

kuntum-kuntum bunga ke dalam liang kubur. Biasanya, bersamaan dengan ini

74 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 75 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 70: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

57

keluarga duka akan meratapi orang yang meninggal (Nangi Ata Mata76) dengan

syair adat. Berikut ini adalah salah satu contoh Nangi Ata Mata saat orang tua

(Babo/Mamo) meninggal dunia.77

O babo/mamo kami longgo nggogo O, bapak/ibu kami anak-anak

belum sanggup

bhoko benge ngai ngura bertanggung jawab atas hidup kami

Ia, Du’a Ngga’é pai miu mbana Ia, Du’a Ngga’é telah

memanggil kalian

no embu mamo demikianpun dengan para leluhur

O babo/mamo kami no’o sai O bapak/ibu kini kami hidup sendiri

O babo/mamo mae pati susah O bapak/ibu jangan

memberi kesulitan

O babo/mamo pama kami O bapak/ibu jagalah kami selalu.

Sesudah itu, Pu’u Kamu akan menyampaikan kalimat perpisahan demikian:

Mbana ma’e salah jala leta ma’e salah wolo. Pama kami (“Pergilah, jangan

sampai salah jalan, jangan tersesat di dalam perjalanan. Lindungilah kami”). Liang

kubur akhirnya ditutup dengan dengan campuran semen.78

Masyarakat suku Embu Leja percaya bahwa Lo Ata Mata Ghole Ghomo

harus dilakukan dengan baik. Apabila Lo Ata Mata Ghole Ghomo tidak dilakukan

secara baik maka arwah orang yang meninggal akan menggangu seluruh

kehidupan anggota keluarga duka. Sebagai contoh saat tidur pada malam hari, jiwa

orang yang meninggal akan membuat tindakan yang menakutkan dengan

membunyikan perkakas rumah tangga atau langkah kaki di sekitar rumah tanpa

sosok yang kelihatan secara nyata. Sebaliknya, apabila Lo Ata Mata Ghole Ghomo

dilakukan dengan baik maka jiwa orang yang meninggal akan hidup dengan

76 Nangi Ata Mata merupakan wujud partisipasi, ungkapan dukacita, sekaligus memohon belas

kasihan dari Du’a Ngga’é dan para leluhur agar boleh menerima jiwa orang yang meninggal serta

memberi kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan. Nangi Ata Mata tidak hanya dilakukan pada

saat Lo Ata Mata Ghole Ghomo, tetapi juga saat seseorang diketahui meninggal dan selama masa

perkabungan. Dalam hal ini, jumlah orang yang menangis dan kapan waktunya untuk selesai

meratap tidak ada batasan. Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu

Leja dan tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 77 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 78 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 71: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

58

tentram dan tidak menciptakan gangguan-gangguan tertentu bagi anggota

keluarga.79

3.1.5.3 Ritus sesudah Penguburan

3.1.5.3.1 Rasi Raki Re’e Ata Mata

Rasi berarti ‘mencuci’, Raki Re’e berarti ‘kotor, tidak bersih, rusak’. Rasi

Raki Re’e Ata Mata mengandung arti mencuci atau membersihkan hal-hal yang

kotor atau jahat. Pengaruh-pengaruh jahat yang dimaksudkan adalah pengaruh-

pengaruh yang dapat diciptakan oleh orang yang telah meninggal. Pembersihan ini

terutama ditujukan kepada Ata Ko’e Ghomo (orang-orang yang bertugas untuk

menggali liang kubur), peralatan-peralatan yang digunakan untuk menggali liang

kubur, dan seluruh masyarakat yang terlibat di dalam proses penguburan orang

mati.80

Ritus Rasi Raki Re’e Ata Mata ini dilakukan di tempat pemakaman sesudah

ritus Lo Ata Mata Ghole Ghomo, dengan pemimpin ritus yang disebut Ata Bhisa

Mali (dukun). Hal ini dibarengi oleh keyakinan masyarakat suku Embu Leja bahwa

hanya seorang Ata Bhisa Mali yang dapat mengusir pengaruh-pengaruh jahat dari

orang yang telah meninggal. Pada mulanya, Ata Bisa Mali akan mengambil

segenggam beras dan ember yang berisi air. Kemudian, ia mengarahkan

pandangan pada beras yang berada dalam gengamannya sambil mengucapkan doa

demikian:81

Re’e dau kene, Yang tidak baik harus dikuburkan,

mata dau tane. yang meninggal pun

harus dimakamkan.

Kau kami we’e tu lau pu’u, kami ingin mengantar kamu

lau leka mewu mesu modha mora, ke tempat asalmu,

lau nggoka joga joma, di hutan-hutan dan batu-batu,

leka ndere mele mare kau tinggallah bersama mereka.

temu sai walo.

79 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 80 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 81 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 72: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

59

Setelah selesai mendaraskan doa, Ata Bhisa Mali akan menaruh beras

dalam ember yang berisi air dan meminta Ata Ko’e Ghomo membawa peralatan-

peralatan yang digunakan untuk menggali liang kubur menuju ember yang berisi

air. Ata Ko’e Ghomo lalu membasahi wajah dan tangan beserta peralatan-peralatan

tersebut. Selanjutnya, Ata Bhisa Mali mempersilakan masyarakat yang hadir untuk

membasuh wajah dan tangan mereka sebagaimana yang dilakukan Ata Ko’e

Ghomo.82

Dengan melaksanakan ritus Rasi Raki Re’e Ata Mata, masyarakat suku

Embu Leja percaya bahwa diri Ata Ko’e Ghomo beserta peralatan-peralatan yang

digunakan untuk menggali kubur bebas dari malapetaka dan pengaruh-pengaruh

jahat yang dapat ditimbulkan oleh arwah orang yang meninggal, demikianpun

dengan seluruh masyarakat yang hadir di dalam upacara itu. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa ritus Rasi Raki Re’e Ata Mata mengandung makna

sebagai pembersihan diri manusia yang terlibat di dalam ritus penguburan beserta

peralatan-peralatan yang digunakan untuk proses itu dari pengaruh-pengaruh jahat

yang bisa jadi ditimbulkan oleh arwah orang yang meninggal, sehingga dengan itu

segala sesuatu yang berkaitan dengan penguburan orang mati dapat berjalan

dengan baik dan tidak berdampak buruk bagi kehidupan segenap masyarakat suku

Embu Leja di kemudian hari.

3.1.5.3.2 Ka Nggua Ata Mata

Ka berarti ‘makan’ dan Nggua berarti ‘memberi’. Jadi, Ka Nggua Ata Mata

berarti memberi makan. Ritus ini terjadi pada malam hari, sesudah hari

penguburan, yang bertempat di Kole Ata Mata. Pu’u Kamu akan mengajak segenap

anggota keluarga inti untuk menjalankan ritus ini, sedangkan anggota keluarga

yang lain tidak diperkenankan mengambil bagian di dalam ritus ini. Di dalam ritus

ini, anggota keluarga inti akan duduk bersama-sama dan menghabiskan makanan

yang disajikan secara khusus berupa nasi, daging, dan sayur-sayuran. Setiap orang

dari keluarga inti tersebut diwajibkan menghabiskan makanan yang sudah

disediakan. Setelah selesai menyantap makanan tersebut, piring yang digunakan

82 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 73: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

60

pada waktu makan wajib ditutup dengan bagian permukaan piring mengarah ke

lantai rumah. Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa setelah jenazah

dikebumikan, arwahnya masih ada bersama dengan keluarga. Karena itu, ritus Ka

Nggua Ata Mata merupakan kesempatan makan terakhir antara anggota keluarga

inti dengan arwah yang diyakini masih hidup di antara mereka. Dengan kata lain,

di dalam perjamuan keluarga inti tersebut, arwah dari orang yang meninggal

diyakini turut hadir dan menikmati perjamuan itu bersama dengan mereka.83 Dari

sini dapat diketahui bahwa masyarakat suku Embu Leja percaya bahwa tubuh bisa

saja binasa dan hancur melebur bersama tanah, tetapi jiwa atau roh akan terus

hidup.

3.1.5.3.3 Poru Joka

Poru berarti ‘membersihkan’, dan Joka berarti ‘menolak’. Poru Joka

berarti membersihkan dan menolak hal-hal buruk yang dapat diciptakan oleh

arwah orang yang meninggal. Ritus Poru Joka ini dilakukan sehari sesudah

penguburan orang mati. Berdasarkan tempat dan waktu pelaksanaan, ritus Poru

Joka terdiri atas dua bagian, yakni ritus Poru Joka yang berlangsung di luar rumah

duka dan ritus Poru Joka yang dilaksanakan di dalam rumah duka. Ritus Poru

Joka yang berlangsung di luar rumah tepatnya dilaksanakan di sungai pada waktu

dini hari, sebelum matahari terbit, sekitar jam 4 (empat) dini hari. Sedangkan Poru

Joka yang terjadi di dalam rumah dilakukan pada waktu sore hari, sebelum

matahari terbenam, menjelang malam keempat sesudah penguburan orang mati.

Kedua jenis ritus Poru Joka ini dipimpin oleh Ata Bisa Mali.84 Berikut akan

dijabarkan secara terperinci mengenai proses kedua ritus dimaksud.

Pertama, ritus Poru Joka yang terjadi di luar rumah (di sungai). Pada

mulanya, Ata Bisa Mali dan anggota keluarga inti akan bangun pagi-pagi sekitar

jam 4-5 dan mempersipkan diri menuju ke sungai. Setibanya mereka di sungai, Ata

Bisa Mali akan melakukan ritual adat dengan mengeluarkan segenggam beras dan

daun Sule (daun berbentuk lebar yang tampak seperti daun pohon kemiri, di mana

83 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 84 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 74: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

61

aromanya diyakini dapat mengusir segala rupa roh jahat). Beras tersebut diletakkan

di atas daun Sule, lalu Ata Bisa Mali mengucapkan doa adat sebagai berikut:85

Raki re’e eo teka leka Yang tidak baik perlu dibersihkan

Tebo bere wa sai no ae Bersihkan tubuhmu dengan air

Eo taka du raka da lau ma’u. Yang tidak baik dibuang ke laut.

Setelah Ata Bisa Mali mengucapkan doa tersebut, daun Sule dan beras yang

telah didoakan diletakkan di atas aliran air sungai. Aliran air sungai itu diyakini

akan membawa daun Sule dan beras sebagai kurban kepada Nitu Ma’u yang berada

di laut. Sesudah itu, Ata Bisa Mali akan menyuruh seluruh anggota keluarga inti

untuk mandi di air sungai. Bersamaan dengan itu, salah seorang dari anggota

keluarga inti diminta untuk mandi menggunakan salah satu pakaian yang pernah

dikenakan oleh kerabatnya yang meninggal. Sesudah mandi, semua orang yang

datang ke tempat di mana ritus itu diadakan akan kembali ke rumah. Dalam

perjalanan pulang, setiap orang dilarang menoleh ke belakang hingga tiba di

rumah. Setibanya mereka di rumah, kaum keluarga yang sebelumnya mandi

dengan mengunakan pakaian milik orang mati akan menggantinya dengan pakaian

yang diberikan oleh Pu’u Kamu untuk orang yang meninggal. Proses ini

berlangsung di luar rumah duka. Pakaian yang masih basah kemudian dilemparkan

ke atas atap rumah dengan tujuan untuk mengusir pengaruh-pengaruh tidak baik

dari arwah orang yang meninggal.86

Kedua, ritus Poru Joka yang terjadi di dalam rumah duka. Ritus ini

berlangsung pada waktu sore hari, sebelum matahari terbenam, dan menjelang

malam keempat. Pada awalnya, Ata Bisa Mali akan masuk ke dalam rumah duka

dan duduk bersama dengan segenap anggota keluarga inti sembari meminta

keluarga mempersiapkan bahan-bahan demi pelaksanaan ritus ini. Bahan-bahan

yang disiapkan adalah minyak kelapa murni yang sudah dimasak, ayam berukuran

kecil, air, beras dan daun Loge Fe’a (daun gelaga). Sesudah semua bahan yang

diperlukan disediakan, Ata bisa Mali akan membunuh ayam dengan mematahkan

mulut ayam, sayap, dan kaki ayam, mengambil isi dalam perut dengan

85 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 86 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 75: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

62

menggunakan tangan. Proses ini berlangsung di Kole Ata Mata. Kemudian, Ata

Bisa Mali meletakkan bagian-bagian tubuh ayam tersebut pada Kaka, yaitu wadah

yang terbuat dari anyaman lontar sebagai tempat untuk meletakkan bagian-bagian

tubuh ayam. Kaka ini sebelumnya sudah diletakkan tepat di bawah kaki Ata Bisa

Mali. Selanjutnya, Ata Bisa Mali mengambil beras dan daun Loge Fe’a lalu

mencelupkannya ke dalam ember yang berisi air. Setelah itu, minyak kelapa murni,

Kaka, dan ember (yang berisi beras dan Loge Fe’a) dikumpulkan pada satu tempat,

dan Ata Bisa Mali mulai mendaraskan doa demikian:87

Re’e da gharu, Yang buruk engkau bawa,

ji’e da gha yang baik berikan pada kami

Nua temu sai muka jangan kembali ke kampung

Sao temu sai dhajo. jangan tinggal di dalam rumah.

Setelah Ata Bisa Mali berdoa, ia meletakkan Kaka tepat di bawah kakinya

dan mempersilakan anggota keluarga inti satu persatu datang ke hadapannya.

Ketika seseorang sudah berada di hadapan Ata Bisa Mali, ia akan mengangkat

Loge Fe’a yang sudah dicelupkan ke dalam air dan mereciki orang yang ada di

hadapannya, mulai dari kepala sampai kaki, sambil berseru: “Sasa masa lewo

lima”. Ketika Loge Fe’a yang digunakan untuk mereciki kaum keluarga duka

mencapai bagian kaki, Ata Bisa Mali akan meminta orang bersangkutan untuk

Bedu Wa’i (menghentakkan kaki) di lantai. Demikian selanjunya orang kedua

sampai semua anggota keluarga inti mendapat bagian untuk direciki. Sesudah ritus

ini selesai dilaksanakan, Ata Bisa mali meminta beberapa orang dari keluarga inti

membawa Kaka dan Loge Fe’a untuk dibawa ke Keli Mata (hutan keramat).88

Tujuan dari pelaksanaan ritus ini adalah untuk mengusir pengaruh-

pengaruh tidak baik dari arwah orang yang meninggal yang diyakini dapat

mengganggu seluruh aktivitas orang-orang yang masih hidup. Pengaruh-pengaruh

87 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 88 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 76: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

63

yang tidak baik itu perlu dihantar menuju tempat mereka masing-masing, yakni di

laut dan di hutan keramat.89

3.1.5.3.4 Rheba Lengi

Rheba berarti ‘mengoles’ dan Lengi berarti ‘minyak’. Jadi, Rheba Lengi

berarti mengoleskan minyak. Minyak yang dimaksudkan adalah minyak kelapa

murni. Ritus Rheba Rengi ini dilakukan pada hari keempat sesudah penguburan.

Pada hari keempat sesudah penguburan, tepatnya pada pagi hari, setelah anggota

keluarga duka pulang dari Keli Mata, Ata bisa Mali akan meminta mereka untuk

mengoleskan dahi, tangan, dan kepala mereka dengan minyak kelapa murni.

Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa minyak kelapa murni dapat

membersihkan diri manusia dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik yang

ditimbulkan oleh arwah orang yang meninggal, sehingga dengan itu kehidupan

mereka dapat berlangsung tanpa ada hambatan-hambatan tertentu.90

Minyak kelapa murni tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga inti saja,

melainkan juga dapat diberikan kepada setiap orang yang datang ke rumah duka

untuk mengikuti ibadah malam keempat. Pada kesempatan itu, Ata Bisa Mali akan

meminta keluarga untuk meletakkan minyak kelapa murni bersama dengan kapas

di depan rumah duka sehingga setiap orang yang datang dapat mempergunakannya

sebagaimana mestinya. Rheba Lengi yang diperuntukkan bagi masyarakat secara

umum ini mesti dijalankan sebelum ibadah malam keempat tersebut dimulai.91

Dengan demikian, ritus Rheba Lengi adalah ritus yang memungkinkan

manusia dibersihkan dari segala hal yang buruk, terutama hal-hal yang ditimbulkan

oleh arwah orang yang meninggal dunia. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan

anggota keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan dapat berjalan dengan

damai dan tentram.

89 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 90 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 91 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 77: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

64

3.2 Makna di Balik Ritus-Ritus Kematian Suku Embu Leja

Ritus-ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja

secara umum memiliki makna timbal-balik, baik bagi orang yang meninggal

maupun orang-orang yang masih hidup. Di balik makna itu tersirat juga relasi

antara manusia dengan Wujud Tertinggi. Berikut ini akan diuraikan secara garis

besar berbagai makna yang dapat ditemukan di balik pelaksanaan ritus-ritus

kematian oleh suku Embu Leja.

3.2.1 Ritus Kematian sebagai Pengakuan akan Adanya Wujud Tertinggi

Pada dasarnya ritus-ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku

Embu Leja turut dilandasi oleh sikap religius. Sikap religius tersebut mengarahkan

mereka kepada suatu kekuatan yang melampaui diri mereka sendiri, suatu Wujud

Tertinggi yang mereka sebut Ia, Du’a Gheta Lulu Wula, Ngga’è Ghale Wena

Tana. Sehubungan dengan hal ini, ritus kematian yang dijalankan mengarahkan

setiap masyarakat suku Embu Leja untuk merefleksikan hidup mereka sendiri.

Masyarakat suku Embu Leja menyadari bahwa mereka adalah manusia yang

memiliki keterbatasan dan kelemahan. Mereka berasal dari Ia, Du’a Gheta Lulu

Wula, Ngga’è Ghale Wena Tana, dan pada waktunya mereka akan kembali kepada

Wujud Tertinggi itu dan bersatu bersama para leluhur (Embu Mamo) yang sudah

terlebih dahulu bersemayam di Kelimutu. Dari sini juga tampak bahwa kehidupan

masyarakat suku Embu Leja sangat bergantung pada relasi dengan Wujud

Tertinggi dan para leluhur. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan yang disampaikan

oleh Pu’u Kamu saat pelaksanaan Nosi Mbe’o Pu’u Kamu dan Nangi Ata Mata

yang terdapat di dalam ritus Lo Ata Mata Ghole Ghomo.

Ritus-ritus kematian yang dilakukan tersebut mengindikasikan bahwa

arwah orang yang meninggal (Ata Mata) dan para leluhur telah ada bersama

dengan Wujud Tertinggi. Dalam hal ini juga terdapat jaminan bahwa setiap orang

yang meninggal pada akhirnya akan bersatu dengan para leluhur dan Wujud

Tertinggi. Demikianpun kehidupan manusia secara keseluruhan yang berlangsung

di muka bumi ini tidak terlepas dari campur tangan Wujud Tertinggi. Wujud

Tertinggi senantiasa hadir untuk menjaga dan melindungi perjalanan hidup mereka

sembari memberi berkat berlimpah kepada mereka. Namun, berkat itu hanya dapat

Page 78: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

65

diperoleh jika manusia senantiasa menjalin relasi yang harmonis dengan Wujud

Tertinggi. Relasi yang harmonis itu terutama dijalin dengan melaksanakan ritus-

ritus, di dalamnya terkandung korban persembahan, doa-doa yang bernuansa puji-

pujian dan permohonan demi mencapai keselamatan hidup sesudah kematian.

3.2.2 Ritus Kematian sebagai Pemisahan antara Jiwa dan Badan

Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa kematian merupakan momen

perpisahan jiwa dan badan. Hal ini terlihat jelas di dalam pelaksanaan ritus Dheta

Ghomo (melukai tanah), di dalamnya terdapat ungkapan yang menandaskan secara

tersirat mengenai perpisahan antara jiwa dan badan, yakni Mbana ma’e sala jala,

leta ma’e sala wolo. Ungkapan ini mengandung harapan agar jiwa yang telah

memisahkan diri dari tubuh guna mengadakan ziarah menuju Kelimutu dan

memulai hidup baru bersama para leluhur dan Wujud Tertinggi dapat tiba di

tempat tujuannya dengan selamat. Perjalanan bagi jiwa yang diharapkan tidak

sampai salah jalan (baca: selamat) menunjukkan adanya tempat yang layak bagi

jiwa pasca kematian manusia. Sementara itu, badan akan tinggal tetap dan hancur

melebur bersama tanah. Dengan itu, bagi masyarakat suku Embu Leja, badan

adalah sesuatu yang bersifat sementara, tidak kekal. Sebaliknya, jiwa bersifat

kekal, akan terus hidup sesudah kematian manusia.

3.2.3 Ritus Kematian sebagai Ungkapan Kepercayaan akan Adanya

Kehidupan setelah Kematian

Masyarakat suku Embu Leja meyakini adanya kepercayaan akan hidup

setelah kematian. Kepercayaan ini memiliki hubungan erat dengan keyakinan akan

eksistensi jiwa sesudah kematian. Kepercayaan akan kehidupan sesudah kematian

dapat dibuktikan dengan eksistensi jiwa yang tetap hidup dan akan menempati

suatu tempat yang baru. Jiwa yang bersifat kekal akan melakukan perjalanan

menuju suatu tempat baru untuk selanjutnya berdiam bersama dengan para leluhur

dan Wujud Tertinggi. Tempat yang dimaksudkan dalam konteks kepercayaan

masyarakat suku Embu Leja adalah danau Kelimutu. Kehidupan di Kelimutu

diyakini oleh masyarakat suku Embu Leja sebagai kehidupan yang lebih

Page 79: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

66

didominasi oleh kebahagiaan, di mana di tempat itu tarian Gawi senantiasa

dilakukan oleh para leluhur.92

Bagi masyarakat suku Embu Leja, ketika seseorang meninggal, jiwanya

akan menuju salah satu tempat di antara tiga tempat yang ada di danau Kelimutu

yang disesuaikan dengan amal baktinya di dunia. Tiga tempat tersebut adalah Tiwu

Ata Mbupu, Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri, dan Tiwu Ata Polo.93 Tiwu Ata Mbupu

merupakan tempat peristirahatan bagi jiwa orang-orang yang berbudi baik, luhur,

dan suci. Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri adalah tempat peristirahatan bagi jiwa

orang-orang yang membutuhkan penyucian atau pembersihan atau masih

mengalami pergolakan dan perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan.

Selanjutnya, Tiwu Ata Polo merupakan tempat bagi jiwa orang-orang yang berdosa

yang harus menjalani siksaan dan hukuman sebagai upah atas dosa-dosa mereka.

Kepercayaan masyarakat suku Embu Leja akan adanya kehidupan sesudah

kematian juga mengindikasikan bahwa kematian hanya merupakan suatu momen

peralihan, meskipun peralihan itu hanyalah peralihan jiwa dan bukannya badan dan

jiwa secara utuh. Bukti dari kepercayaan serupa ini ditandai dengan adanya

tempat-tempat khusus yang diperuntukkan bagi orang-orang yang telah meninggal

dunia, yaitu ketiga danau yang ada di Kelimutu. Hal ini serentak menegaskan

92 Bukti tentang adanya kehidupan sesudah kematian ini pernah diungkapkan oleh Babo Lo’a, salah

satu masyarakat suku Embu Leja. Babo Lo’a memberi kesaksian kepada Fabianus Kea bahwa

dirinya pernah meninggal selama kurun waktu 5 jam (mati suri). Saat mati suri, Babo Lo’a berjalan

menuju danau Kelimutu. Ketika tiba di danau Kelimutu, ia menjumpai banyak leluhur, termasuk

orangtuanya sendiri. Menurut Babo Lo’a, situasi kehidupan di danau Kelimutu adalah situasi yang

penuh dengan kegembiraan, di mana para Embu Mamo bergembira ria dalam tarian Gawi.

Meskipun demikian tidak ada satu orang pun dari antara para Embu Mamo, termasuk orangtuanya

sendiri, yang menyapa dirinya. Padahal, Babo Lo’a memiliki kerinduan yang mendalam untuk

bertemu dengan orangtuanya dan mengisahkan banyak hal yang berhubungan dengan situasi

keluarga di kampung Tendawena. Di tengah situasi tersebut, datanglah seseorang dengan rupa tua-

renta dan sangat berwibawa – yang pada akhirnya dikenal dengan Ia – menuju ke arah dirinya dan

menyampaikan bahwa sesungguhnya belum saatnya ia berada di tempat tersebut bersama

orangtuanya dan para leluhur yang lain. Babo Lo’a akhirnya diminta untuk pulang ke Tendawena

dan melanjutkan hidupnya hingga tahun 1997 ia dipanggil kembali oleh Ia (meninggal dunia).

Cerita ini dikisahkan hingga saat ini dan menjadi semacam mitos yang hidup di dalam masyarakat

Tendawena. Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 93 Ketiga danau dimaksud memiliki air dengan warna dasar masing-masing, yaitu merah, biru dan

putih. Tiwu Ata Mbupu memiliki warna dasar putih (lambang kesucian), Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai

berwarna biru (lambang perjuangan), dan Tiwu Ata Polo berwarna merah (lambang kejahatan dan

dosa manusia). Meskipun demikian, warna-warna dari masing-masing danau tersebut sering

berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu. Hasil wawancara dengan Siprianus Sea, tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 28 Desember 2019 di Tendawena.

Page 80: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

67

bahwa hidup tidak senantiasa berakhir dengan kematian, namun masih ada

kehidupan yang lain yang dapat dialami oleh setiap orang yang meninggal.

3.2.4 Ritus Kematian sebagai Sarana untuk Mendapatkan Keselamatan Jiwa

Ritus-ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja

bertujuan untuk mendapat keselamatan jiwa bagi orang yang meninggal agar dapat

mencapai kehidupan yang layak dan bahagia bersama para leluhur dan Wujud

Tertinggi di danau Kelimutu. Pencapaian keselamatan jiwa tersebut sangat

bergantung dari sikap hidup pribadi selama masih berziarah di bumi. Hal ini

tampak dalam syair adat: Ia, Du’a, kami nira neni tolo tei miu, nira neni tolo tei

(“Ia, Du’a, dan kami para leluhur akan melihat perjalanan hidupmu, memantau

dari atas, tempat tinggal kami”). Ungkapan ini mengandung arti bahwa apabila

selama masa hidupnya seseorang lebih mengutamakan perbuatan-perbuatan baik

sesuai dengan kehendak Wujud Tertinggi yang telah diamanatkan kepada para

leluhur dalam rupa prinsip-prinsip moral dan hkum-hukum adat tertentu, maka hal

tersebut dipandang sebagai modal dasar dan jaminan mutlak untuk dapat mencapai

keselamatan hidup bersama para leluhur dan Wujud Tertinggi di Kelimutu, secara

khusus di Tiwu Ata Bupu. Sebaliknya, apabila selama hidupnya seseorang lebih

cenderung mengabaikan berbuat jahat yang kemudian mendatangkan rupa-rupa

dosa maka ia akan mendapatkan ganjaran atas perbuatannya tersebut, yakni

menetap untuk sementara Tiwu Ata Ko’o Fai Nua Muri atau di Tiwu Ata Polo guna

mengalami penyucian diri dan hukuman atas dosa-dosanya.

Salah satu prinsip moral atau hukum adat yang diwariskan para leluhur dan

menjadi jaminan mutlak bagi keselamatan jiwa manusia pasca kematiannya

tercermin di dalam ungkapan adat: Ma si kita kema, boka ngere ki, bere ngere ae

(“Mari kita bersatu dalam kerja seperti ilalang dan searah seperti air yang

mengalir”), atau Mai si kita ngondo ngere tewu owo, ghou ngere uwi ondo (“Mari

kita bersatu dalam kerja seperti satu rumpun tebu dan saling bergandengan tangan

seperti ubi jalar”). Ungkapan-ungkapan ini tidak hanya dimaknai dalam konteks

kerja, tetapi juga memiliki makna yang lebih luas dalam hubungannya dengan

usaha untuk menciptakan persaudaraan dan cinta kasih di antara sesama manusia,

serta membangun sikap tolong-menolong dalam setiap situasi penderitaan demi

Page 81: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

68

terciptanya kehidupan yang aman dan damai. Dengan menjalankan konsep-konsep

tersebut dalam ketaatan, masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa pada

saatnya mereka akan memperoleh keselamatan pasca kematian dan dapat

menikmati hidup yang bahagia bersama para leluhur dan Wujud Tertinggi di Tiwu

Ata Bupu. Namun dalam kenyatannya, ideal hidup baik dengan berlandaskan pada

prinsip-prinsip moral dan hukum-hukum adat sebagai warisan leluhur tidak selalu

dijalankan secara sempurna. Manusia cenderung mengabaikan wasiat dari leluhur

yang pada akhirnya bermuara pada dosa. Dosa-dosa ini hanya dapat dibersihkan

melalui pelaksanaan ritus-ritus kematian sebagaimana yang telah diuraikan

terdahulu, dengan tujuan agar manusia dapat mencapai keselamatan hidup pasca

kematiannya.

3.2.5 Ritus Kematian sebagai Sikap Penghormatan kepada Orang yang

Meninggal

Bagi masyarakat suku Embu Leja, ritus-ritus kematian juga merupakan

bentuk penghormatan kepada orang yang meninggal. Penghormatan ini dilandasi

oleh keyakinan bahwa orang yang meninggal pada akhirnya akan menjadi

perantara yang dapat membawa segala rupa permohonan manusia kepada para

leluhur dan Wujud Tertinggi, terutama ketika orang yang meninggal tersebut telah

mencapai keselamatan di dunia akhirat. Permohonan-permohonan yang diajukan

manusia lebih bertujuan untuk kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Hal yang

menjadi indikasi terkabulnya permohonan itu dapat dialami melalui mimpi. Di

dalam dan melalui mimpi, manusia bertemu dengan arwah orang yang meninggal.

Di situ juga, arwah tersebut akan memberikan petunjuk atau solusi untuk

mengatasi persoalan hidup yang sedang dialami manusia. Selain itu, orang yang

meninggal juga dapat menjadi pemberi berkat. Sebagai pemberi berkat, ia akan

senantiasa menjaga segenap anggota keluarganya agar terhindar dari melapetaka

yang dapat mengancam kehidupan seperti kecelakaan atau kegagalan dalam usaha.

3.2.6 Pengalaman Eksistensial yang Menakutkan

Bagi masyarakat suku Embu Leja, kematian merupakan sebuah

pengalaman yang menakutkan. Berhadapan dengan realitas kematian, masyarakat

Page 82: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

69

suku Embu Leja kerap merasa takut. Kematian dipandang sebagai suatu kenyataan

yang akan menghapus segala keberadaan hidup manusia. Dalam hal ini, bayang-

bayang akan kematian terasa sangat kelam dan menakutkan.

Di sisi lain, ceritera-cerita tentang pengalaman kematian turut menambah

rasa takut masyarakat Embu Leja terhadap kematian itu sendiri. Dalam masyarakat

Embu Leja kerap dituturkan hal-hal seperti orang seringkali melihat dan merasakan

berbagai hal yang jauh di luar nalar, misalnya melihat sosok arwah yang masih

berada di tempat-tempat tertentu atau bertemu dengan sosok asing yang ganjil dan

menakutkan yang diyakini sebagai wujud dari kehadiran orang-orang mati. Kisah-

kisah tentang arwah orang mati yang masih bergentayangan dan merasuki

kehidupan manusia ini, bahkan tidak jarang menakut-nakuti manusia yang masih

hidup di dunia ini, kerap menimbulkan rasa takut bagi manusia yang masih hidup.

Berhadapan dengan pengalaman-pengalaman serupa itu, masyarakat Embu

Leja kemudian berusaha melakukan berbagai cara untuk mengatasi rasa takut

tersebut sembari meningkatkan kesadaran imannya. Hal itu diwujudnyatakan

dengan melaksanakan ritus-ritus seputar kematian. Di sini, kematian sebagai

pengalaman yang menakutkan dapat beralih menjadi pengalaman yang positif,

terutama pasca ritus-ritus kematian tersebut dijalankan.

Page 83: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

70

BAB IV

PANDANGAN KRISTEN TENTANG KEMATIAN

Kematian adalah realitas kehidupan yang pasti, tetapi sekaligus penuh

misteri. Kematian sebagai realitas kehidupan yang pasti mengindikasikan bahwa

tidak ada satu manusia pun yang akan luput dari kematian. Dengan kata lain,

semua manusia pasti akan mati. Sementara itu, kematian sebagai misteri

berhubungan dengan apa yang dapat dialami manusia pasca kematian. Banyak

telaahan dari berbagai perspektif mencoba mencari jawab atas misteri tersebut,

dengan berbasiskan pengetahuan dan analisis akal budi. Namun pada akhirnya,

keterbatasan pengetahuan manusia memungkinkan jawaban yang tuntas atas

misteri kematian selalu bermuara pada ketidakpastian pula.

Gereja Katolik mencoba menjembatani persoalan kematian sebagai sebuah

misteri dengan membuat kajian reflektif tersendiri atas kematian dan hidup setelah

kematian. Pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama, dengan berlandaskan pada

pandangan kuno bangsa Israel, melihat bahwa kematian merupakan salah satu

akibat dari relasi yang tidak harmonis antara manusia dan Allah, di mana manusia

begitu jauh dari Allah karena dosa. Ketiadaan relasi cinta antara manusia dan Allah

mengakibatkan manusia “dicampakkan” ke suatu tempat yang menakutkan. Dalam

perkembangan selanjutnya, Allah yang adalah sumber kasih ingin memperbaiki

kembali relasi cinta-Nya dengan manusia. Rekonsiliasi antara Allah dan manusia

itu dipenuhi melalui Perjanjian Baru, yang ditandai dengan kedatangan dan

kebangkitan putra-Nya Yesus Kristus. Kebangkitan Kristus merupakan dasar bagi

kebangkitan manusia. Dengan itu pulalah manusia dipertemukan kembali dalam

relasi cinta yang mesra dengan Allah.

Bagian ini akan menguraikan secara khusus tentang pandangan Gereja

mengenai kematian dan hidup sesudah kematian. Rujukan utama yang digunakan

di dalam bagian ini adalah ajaran Kitab Suci, baik dari Perjanjian Lama maupun

Perjanjian Baru, dan referensi-referensi lain yang berbicara seputar pandangan

Kristiani tentang kematian dan hidup sesudah kematian itu sendiri.

Page 84: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

71

4.1 Pandangan Kitab Suci

4.1.1 Pandangan tentang Kematian dalam Perjanjian Lama

Di dalam Perjanjian Lama, kematian pertama-tama dipandang sebagai

bagian dari kodrat manusia dalam korelasinya dengan dosa (bdk. Kej. 2 dan 3; Kel.

2:23). Allah sebagai asal kehidupan atau yang memberi kehidupan kepada

manusia, mengambil kembali kehidupan yang telah diberikan-Nya itu, sehingga

manusia mengalami kematian. Selain itu, tradisi kuno bangsa Israel juga

memandang kematian manusia sebagai peristiwa yang terjadi secara alamiah dan

dialami oleh setiap manusia. Kematian yang dialami oleh manusia adalah batas

yang mengakhiri keberadaannya di dunia.94

Perjanjian Lama juga melihat kematian dalam konteks relasi kasih yang

telah diikat oleh perjanjian antara Allah dan bangsa Israel. Di dalam perjanjian itu

diungkapkan juga tentang kepenuhan hidup yang dapat dialami manusia. Di situ,

orang Israel membayangkan bahwa kepenuhan hidup seorang manusia dapat

dialami melalui umur yang panjang, menikmati berbagai kekayaan hidup duniawi,

dan kehadiran anak cucu berlimpah yang menjadi masa depan bagi bangsa Israel.

Sedangkan apabila dalam perjalanan kehidupan orang Israel mengalami peristiwa

“mati muda” (mati di usia yang masih sangat muda) maka hal tersebut dianggap

sebagai kemalangan. Berhadapan dengan peristiwa “mati muda” tersebut orang

Israel merefleksikan kematian yang dialami sebagai hukuman atas dosa yang

dilakukan demi tegaknya keadilan dalam hidup. Dalam hal ini, ada hubungan erat

antara apa yang diperbuat manusia dalam hidupnya (action) dan nasib yang akan

diterimanya (destiny).95

Ketiadaan relasi kasih antara Allah dan manusia juga menyebabkan

manusia mengalami kematian. Dalam hal ini, orang-orang Israel membayangkan

bahwa orang yang telah meninggal mengalami kehidupan yang jauh dari Allah,

karena pelanggaran manusia atas perjanjian antara dirinya dengan Allah. Ketiadaan

relasi kasih itu kemudian memungkinkan manusia “dicampakkan” ke sebuah

tempat yang gelap dan menakutkan yang disebut Syeol (bdk. Maz 6:5, Yes 38:17-

94 Adolf Heuken, Ensklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1992), hal. 280. 95 Remigius Ceme, Hidup yang Sesungguhnya. Menjawab Rahasia di Balik Kematian (Maumere:

Penerbit Ledalero, 2017), hal 74.

Page 85: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

72

19). Di dalam Syeol tidak ada kehidupan lagi.96 Relasi orang-orang yang telah

meninggal dengan dunia orang yang hidup terputus. Mereka kehilangan

komunikasi dengan realitas kehidupan yang nyata. Di dalam Syeol itu juga, Yahwe

tidak dapat lagi dipuja.

Di samping itu, orang Israel juga menghubungkan kematian dengan

peristiwa sakit (penyakit) yang dialami oleh seseorang. Sakit menjadi bagian dari

kematian karena dalam sakit orang terbuang dari dunia orang hidup, merasa

teralienasi, ditinggalkan dan terisolir serta kehilangan relasi dan komunikasi yang

wajar dengan sesama dan komunitas yang melalukan kebaktian pada Allah. Orang

sakit seperti terlepas dari dunia orang hidup dan masuk dalam lingkungan

kematian. Dalam perspektif ini, kematian dilihat sebagai sebuah kutukan.97

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep kematian sebagaimana yang

diyakini bangsa Israel tersebut mengalami perubahan sebagaimana yang terdapat di

dalam literatur-literatur kebijaksanaan. Kitab Pengkhotbah, misalnya,

mengungkapkan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia (bdk. Pkh. 1:1-11): “Apa

yang pernah ada akan ada lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi: tak ada

sesuatu yang baru di bawah matahari, tetapi semua itu sudah ada lama sebelum kita

ada”. Ayat ini menyiratkan negasi atas adanya hubungan antara yang diperbuat

manusia dalam hidupnya dengan nasib yang diterimannya (kematian). Hidup

manusia dan kematian yang dialaminya tidak mempunyai hubungan yang logis.

Selain Pengkhotbah, kitab Ayub memperlihatkan secara jelas penolakkan atas

skema action-destiny dalam pengertian korelasi antara kemalangan dan kematian.

Demikianpun pengalaman akan penderitaan yang diungkapkan di tempat

pembuangan dalam nyanyian hamba dari kitab kedua Yesaya mengemukakan

aspek positif dari sakit, kematian, dan pengalaman ditinggalkan. Di situ kematian

dan perbudakan melalui penderitaan (kesakitan) tidak diartikan secara sederhana

sebagai hukuman atas dosa-dosa, melainkan dapat menjadi jalan bagi orang-orang

yang dikasihi Allah – sebagai hamba Allah – yang menuntun orang lain kepada

hidup yang disediakan Allah. Allah hadir dalam orang-orang yang menderita demi

kepentingan-Nya. Dalam hal ini, tampak bahwa penyakit dan kematian bukan tidak

96 Georg Kirchberger, Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia (Ende: Nusa Indah, 1986),

hal 8. 97 Ibid., hal. 75.

Page 86: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

73

mempunyai arti, bukan pula absurditas absolut (nothingness), melainkan

merupakan jalan kepada perwujudan keadilan Allah.98

Gagasan tentang kekuasaan Allah atas kematian diperlihatkan secara lebih

jelas dalam kitab Daniel melalui refleksi tentang kebangkitan. Misalnya dalam

Dan. 12:2 dituliskan bahwa, “Dan banyak dari antara orang-orang yang telah tidur

di dalam debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal,

sebagian untuk mengalami kengerian dan kehinaan yang kekal”. Hal ini adalah

rumusan yang paling jelas yang mengungkapkan iman akan kebangkitan orang

mati dan substansi kematian dalam Perjanjian Lama. Iman akan kebangkitan inilah

yang menjadi kekuatan dan keberanian orang-orang Israel untuk mempertahankan

iman mereka dalam penganiayaan sampai mengorbankan diri mereka sebagai

martir. Kemartiran, yang didasarkan pada iman akan kebangkitan, diperlihatkan

juga dalam kitab kedua Makabe. Dalam kitab ini dilukiskan keyakinan orang Israel

akan Allah yang memihak orang benar. Allah orang benar lebih besar dari hidup

jasmaniah. Karena itu, kematian orang benar tidak dapat diartikan sebagai

absurditas (nothingness), melainkan masuk ke dalam hidup yang sesungguhnya.

Keadilan Allah ditegakkan dalam diri orang-orang benar yang mati, kendati

gagasan ini sebenarnya turut dipengaruhi oleh gagasan Yunani mengenai nasib

yang akan dialami manusia setelah kematiannya. Jadi, baik kitab Daniel maupun

Makabe menekankan bahwa komunio dengan Allah (relasi komunikasi dengan

Allah) menjadi dasar dan titik tolak untuk memahami makna kematian.99 Dalam

hal ini juga, baik kitab Daniel maupun Makabe tidak menghubungkan kematian

dengan mitos-mitos atau legenda sebagaimana yang digagaskan di dalam awal

kitab Kejadian, melainkan lebih menekankan hubungan antara kematian dengan

kehendak dasariah Allah.

Meskipun tidak ada kultus untuk menghormati orang-orang yang

meninggal dalam masyarakat Yahudi, namun berkembang refleksi teologis tentang

nasib orang-orang yang meninggal. Refleksi tersebut bersumber dari pengalaman

religius yang mendalam, yang tampak dalam doa-doa (bdk. Mzm. 49:11-

12;28;16;36;37;20, Ams. 1;13;2:23-24, Ezr. 3:18-2;18-21;18:20, Ayb. 18:15-12;

98 Ibid. 99 Ibid., hal. 78.

Page 87: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

74

33:1-30, Dan. 12:1-2, Yes. 25:28; 26:19; 53:18-19). Dalam doa-doa yang

termaktub dalam Perjanjian Lama ini diuraikan secara garis besar bahwa seseorang

yang meninggal karena dosa pantas turun dan tinggal dalam Syeol, di mana mereka

tidak lagi memuji Allah. Namun, penekanan dari setiap doa tersebut bukan pada

persoalan seorang yang meninggal akan turun dan tinggal dalam Syeol, melainkan

lebih pada kesetiaan Allah yang tetap berpegang teguh pada janji-Nya untuk

mengasihi bangsa-Nya, seperti termuat dalam kitab Makabe berikut:

Kemudian dikumpukannya uang di tengah-tengah pasukan.

Lebih kurang dua ribu dirham perak dikirimkannya ke

Yerusalem untuk mempersembahkan korban penghapus dosa.

Ini sungguh suatu perbuatan yang baik dan tepat, oleh karena

Yudas memikirkan kebangkitan. Sebab jika tidak menaruh

harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit

niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati.

Lagipula Yudas ingat bahwa tersediahlah pahala yang amat

indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini

sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu

maka disuruhlah mengadakan korban penebus salah untuk

semua orang yang sudah mati, supaya dilepaskan dari dosa

mereka (2 Mak. 12:43-45).

Makabe memberikan gambaran tentang adanya penghakiman bagi yang

meninggal dan sekaligus memberikan gagasan baru bahwa orang yang sudah

meninggal dapat ditolong oleh mereka yang masih hidup dengan

mempersembahkan korban penghapusan dosa agar semua orang yang telah

meninggal memperoleh hidup yang kekal, yakni kehidupan surgawi.100 Melalui

pengalaman religius ini berkembang suatu kepercayaan bahwa persahabatan dan

persatuan dengan Allah tidak dapat dihalangi dan dibatalkan oleh kematian.

Karena itu, mereka percaya bahwa setelah kematian manusia akan ada

persahabatan dan persatuan kembali dengan Allah yang sudah terjalin dalam suatu

hidup yang baru. Allah menjadi tujuan hidup manusia dan tidak membiarkan

orang-orang yang dikasihinya berpisah darinya.101

Selanjutnya, pada akhir masa Perjanjian Lama, oleh pengaruh Yunani

muncullah kepercayaan akan kebangkitan orang mati. Tidak dapat dipungkiri

100 Niko Syukur Dister, op. cit., hal. 517. 101 Ibid., hal. 79-81.

Page 88: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

75

bahwa pandangan Yunani membawa pengaruh yang baik bagi pemahaman

mengenai kematian. Kepercayaan akan kebangkitan orang mati mengandaikan

adanya harapan akan datangnya seorang Mesias yang akan membebaskan bangsa

Israel dari perbudakan bangsa Mesir. Harapan tersebut tidak hanya diwarnai oleh

harapan politis-duniawi, tetapi harapan religius, di mana mereka mengharapkan

Allah sendiri datang pada akhir zaman untuk memulihkan dan membebaskan

bangsa Israel serta memberikan kekudusan dan keadilan kepada setiap orang,

terutama setelah kematian.102

Jadi secara singkat, kematian dalam konsep Perjanjian Lama pertama-tama

bertitik-tolak dari perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel. Dalam perjanjian

tersebut ditekankan kasih Allah dan tuntutan kesetiaan manusia. Kematian

merupakan hukuman atas ketidaktaatan manusia kepada Allah. Namun, kematian

sebagai dosa bukan terutama berupa berakhirnya kehidupan jasmani, melainkan

kemampuan orang untuk memuji dan memuliakan Allah.103 Dengan demikian,

jelaslah bahwa Perjanjian Lama memandang kematian tidak semata-mata sebagai

tindakan jasmani, yaitu berakhirnya hidup, melainkan sebagai hukuman atas dosa

akibat ketidaktaatan dan ketidaksetiaan manusia terhadap janji yang telah

ditetapkan antara Allah dan manusia. Action dan destiny tetap digalakkan, di mana

setiap orang akan mendapatkan ganjaran dan pahala setimpal dengan perbuatannya

selama masih hidup. Orang yang benar, yang setia pada hukum Taurat dan Allah,

akan menerima pahala dari Allah, yaitu hidup baru dan kekal bersama Allah.

Sebaliknya, orang-orang jahat, terutama para penindas, akan menerima hukuman

dari Allah (bdk. 2 Mak. 7:14;19:11;12:44).

4.1.2 Pandangan tentang Kematian dalam Perjanjian Baru

Perjanjian Baru memahami kematian sebagai pintu yang melaluinya

manusia memasuki suatu fase baru dari kehidupan, di mana “… bagi orang

beriman hidup hanyalah diubah, bukan dilenyapkan” (1 Tes. 4:13-14). Dengan itu,

kematian mengindikasikan adanya harapan akan kehidupan kekal. Indikator

102 R. Ceme., op. cit., hal. 82. 103 Petter. P. Chan, 101 Tanya Jawab tentang Kematian dan Kehidupan Kekal (Yogyakarta:

Kanisius, 2005), hal. 79-80.

Page 89: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

76

mengenai kehidupan kekal menurut Georg Kirchberger bisa dilihat dalam dua ciri,

yaitu ciri dialogal dan ciri menyeluruh.104

Dalam ciri dialogal, harapan akan hidup abadi bertolak dari gambaran akan

Allah dalam relasi dialogal. Kita yakin dan percaya bahwa Allah adalah Allah

orang hidup (Luk. 20:38) dan Allah itu memanggil manusia, ciptaan-Nya, dengan

namanya masing-masing. Dengan itu, Allah memulai suatu dialog cinta, di mana

manusia tidak dibiarkan-Nya binasa, melainkan akan dipanggil-Nya ke kehidupan

baru. Atas dasar ini, harapan akan kehidupan abadi tidak timbul dari refleksi

antropologis, di mana di dalam diri manusia ada suatu unsur yang menurut

dayanya sendiri tidak dapat binasa, melainkan harapan itu timbul dari refleksi

teologis, yakni dari keyakinan bahwa Allah menciptakan manusia dan mencintai

ciptaan-Nya dengan setia dan akan memanggil manusia ke dalam suatu kehidupan

yang baru untuk melanjutkan dialog cinta itu.105

Sehubungan dengan kematian, hal yang dikemukakan di atas memiliki arti

bahwa pada dasarnya Allah tidak menciptakan kematian, karena kematian

bertentangan dengan dengan esensi Allah dan beroposisi dengan rencana Allah

yang adalah kasih. Tindakan kasih Allah itu secara nyata tampak dalam kisah

penciptaan. Pada awal mula, Allah menciptakan segala sesuatu dalam keadaan

baik, tanpa cacat, tanpa dosa (bdk. Kej. 1:28). Keadaan tanpa dosa ini dilukiskan

dengan kehidupan yang harmonis antara Allah dan manusia dalam taman Eden.

Allah memberi kebebasan kepada manusia. Akan tetapi, manusia

menyalahgunakan kebebasan asasinya sendiri yang telah diberikan oleh Allah

untuk kebahagiannya. Penyalahgunaan kebebasan asasi ini akhirnya mendatangkan

hukuman bagi manusia. Manusia diusir keluar dari taman Eden.106 Keluarnya

manusia dari taman Eden memberi arti pada retaknya hubungan dialogal antara

manusia dan Allah, yang pada akhirnya menciptakan kondisi kematian bagi

manusia. Berhadapan dengan kondisi tersebut, Allah yang adalah kasih kemudian

mentolerir apa yang yang dilakukan makhluk ciptaan-Nya. Allah berinisiatif

melepaskan manusia dari kondisi kematian. Namun, manusia mesti

menanggapinya dengan bentuk rasa pertanggungjawaban kodrati di hadapan Allah

104 G. Kirchberger, Allah Menggugat, op. cit., hal. 291-293. 105 Ibid., hal. 291-292. 106 R. Ceme, op. cit., hal. 85.

Page 90: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

77

sebagai salah satu syarat untuk mengembalikan manusia kepada situasi tanpa dosa

setelah manusia mengalami kematian. Manusia lama yang dipenuhi oleh dosa

mesti mati dan dikuburkan untuk sanggup mengenakan manusia baru yang

dianugerahkan Allah sendiri.

Sementara itu, ciri menyeluruh mengandaikan adanya iman akan

penciptaan. Di dalamnya, harapan Kristen akan hidup abadi bersifat menyeluruh,

yaitu menyangkut manusia seutuhnya, bukan hanya sebagian dari manusia yang

diselamatkan sementara yang lain ditinggalkan. Seluruh manusia sebagai kesatuan

jiwa dan badan dibangkitkan dan diselamatkan oleh Allah. Secara materi memang

badan akan hancur dalam waktu yang singkat, namun identitas manusia tetap sama

berkat daya rohani yang membentuk badan manusia. Manusia tidak terikat dengan

materi tertentu, selalu berada dalam badaniah, dan dalam keadaan badaniah itu

pulalah manusia dibangkitkan.107 Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang

diuraikan Remigius Ceme, bahwa kematian adalah suatu proses natural di mana

dosa sudah menjalar dan merasuki tubuh manusia, maka semua orang tanpa

terkecuali sudah memiliki elemen rapuh yang dapat binasa, di samping elemen

mortal, yakni unsur spiritual. Gagasan badan (unsur badaniah) dan jiwa (unsur

rohaniah) dalam terminologi Kristen dipakai untuk menjelaskan manusia lemah,

rapuh, dan berdosa. Dalam antropologi Paulus, ia memakai term “tubuh

jasmaniah” (alamiah) untuk menegaskan hakikat manusia yang lemah dan rapuh,

berdosa dan dapat mati (tidak dibangkitkan). Sementara itu term “tubuh rohaniah”

digunakan untuk menegaskan manusia yang dianugerahi Roh yang menghidupkan

dan dikehendaki Allah untuk tidak binasa (yang dibangkitkan) karena telah ditebus

oleh Kristus yang mengalahkan dosa melalui kematian dan kebangkitan-Nya.108

Di samping itu, kematian dalam Perjanjian Baru juga dipandang sebagai

sebuah conditio sine quo non untuk memperoleh keselamatan dalam Kristus.

Kematian dalam Kristus adalah keselamatan dan hidup baru bersama Kristus

dalam keabadian. Kematian seperti ini adalah kematian terhadap dosa untuk hidup

kekal bersama Allah. Hal ini tampak jelas dalam peristiwa pembaptisan. Di dalam

pembaptisan, setiap orang dipermandikan dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh

107 G. Kircberger, Allah Menggugat, op. cit., hal. 292-293. 108 R. Ceme, op. cit., hal. 88.

Page 91: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

78

Kudus, karenanya ia juga “mati” dari dosa dan bangkit bersama Kristus (bdk. Rom.

6:4). Dalam pembaptisan, seseorang dimeteraikan dengan Tanda Salib, yang

merupakan simbol dari kematian dan kebangkitan Kristus, Sang Keselamatan.

Keselamatan itu sudah dialami sekarang, selama manusia hidup di dunia ini, dan

akan disempurnakan pada hari akhirat. Oleh rahmat pembaptisan itu juga,

seseorang menjadi Kristen dan Imitatio Christi serta dibimbing oleh Roh Kudus

menuju kehidupan kekal.109

Untuk memperjelas makna kematian sebagaimana yang diamanatkan di

dalam Perjanjian Baru, perlu ditelusuri juga ajaran Paulus dan Gereja Perdana.

Rasul Paulus dalam pewartaannya memberikan kesaksian bahwa semua orang

beriman setelah kematian akan mengalami kebangkitan. Kebangkitan yang

ditekankan dalam pengajaran Paulus tidak berorientasi pada hubungan antara jiwa

dan badan, melainkan pada hubungan manusia dan Kristus. Rasul Paulus

memberikan kesaksian kepada jemaat di Korintus bahwa Kristus dibangkitkan

pada hari yang ketiga sesuai dengan sabda Kitab Suci (1 Kor. 15:4). Dengan

kebangkitan Kristus itu, orang Kristiani pun dibangkitkan sebagaimana Kristus

dibangkitkan.110 Artinya, kebangkitan Kristus menjadi dasar bagi kebangkitan

manusia.

Pewartaan Paulus tentang kebangkitan berkaitan erat juga dengan

pandangan orang Yunani yang percaya akan keabadian jiwa, namun tidak percaya

pada kebangkitan tubuh. Menurut pandangan orang-orang Yunani, kebangkitan

tubuh adalah hal yang tidak mungkin terjadi karena tubuh merupakan sumber

kelemahan dan dosa manusia. Jiwa akan dibebaskan dari tubuh melalui kematian,

akan tetapi kebangkitan tidak diharapkan, sebab jiwa akan kembali turun ke kubur

bersama tubuh. Namun di pihak lain, Paulus menegaskan bahwa sebagai orang

beriman kepada Kristus, setiap orang pasti akan mengalami kebangkitan

sebagaimana dialami oleh Yesus sendiri. Hal tersebut dikatakan Paulus sebagai

berikut: “… kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak

109 R. Ceme, op. cit., hal. 90-91. 110 N. S. Dister, op. cit., hal. 519.

Page 92: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

79

dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah

pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1 Kor. 15:13-14).111

Menurut tafsiran Alkitab masa kini, persoalan yang berkembang di tengah-

tengah jemaat Kristen di Korintus pada waktu itu adalah jemaat di Korintus masih

terpengaruh dengan pandangan Yunani yang menyatakan tidak ada kebangkitan

tubuh. Pandangan Yunani tersebut memengaruhi juga pandangan orang Kristen

tentang kematian tubuh. Oleh karena itu, rasul Paulus menulis bagian tersebut

untuk menegaskan kelemahan pandangan Yunani. Sebab, jika pandangan Yunani

berhasil diterima banyak orang maka kepercayaan pada Kristus akan menjadi sia-

sia, sebab Kristus hidup untuk menyelamatkan manusia. Paulus juga dalam

suratnya kepada jemaat di Roma menyatakan bahwa kematian telah diubah

Kristus, sebab Kristus sendiri telah mengalami kematian. Ketaatan-Nya kepada

kehendak Bapa membawa pengaruh tersendiri, yakni mengubah kutukan kematian

menjadi berkat (bdk. Rm. 5:19-21). Dengan demikian, orang-orang yang percaya

kepada Kristus akan mengalami pembaharuan hidup oleh Kristus sendiri melalui

peristiwa kebangkitan. Dalam Kristus, kematian diubah menjadi kehidupan karena

Kristus telah mati “untuk kita” (Rm. 5:8, 15:3). Paulus menandaskan kematian

Kristus sebagai berkat sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, “satu

kali untuk selamanya” (Rm. 5:10). Demikian pula orang Kristen “telah mati bagi

dosa, tetapi hidup bagi Allah dalam Kristus” (Rm. 11). Jadi, kemenangan Kristus

atas dosa dan kematian merupakan kemenangan kita, karena “sama seperti Kristus

yang telah bangkit demi kemuliaan Bapa, demikian pula kita akan hidup dalam

sebuah kehidupan yang baru” (Rm. 6:4).112

Dengan demikian, Perjanjian Baru melihat kematian sebagai upah dosa dan

musuh terakhir yang dihancurkan Kristus. Konsekuensi praktis dari pandangan

demikian adalah dosa dianggap sebagai sebab dari kematian. Dalam hal ini, ada

hubungan kausal antara dosa dan kematian; karena manusia berdosa maka manusia

harus tunduk di bawah kuasa kematian.113 Hal ini berarti hubungan antara

kebangkitan Kristus dengan iman Kristen merupakan satu kesatuan yang

111 Michael Simpson, Harapan Hidup Abadi (Yogyakarta: Kanisius, 1974), hal. 35. 112 Yayasan Komunikasi Bina Kasih (penerj.), Tafsiran Alkitab Masa Kini. Matius dan Wahyu

(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), hal. 512. 113 Karl Rahner, On The Theology of Death (London: Burn & Oates, 1965), hal. 14.

Page 93: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

80

menyatakan adanya hubungan sebab akibat, bahwa Allah bermaksud mengantar

manusia kepada hubungan sebab akibat, yakni hubungan yang personal dengan-

Nya melalui kebangkitan, sama seperti Bapa mencintai anak-anak-Nya. Maksud

Allah tersebut ditanggapi oleh orang beriman bahwa mereka akan menerima suatu

kepenuhan hidup dalam kasih-Nya. Oleh karena itu, melalui kebangkitan tersebut

manusia diharapkan dan disadarkan untuk senantiasa membuka diri bagi Allah.

Demikianpun melalui kebangkitan Kristus “manusia lama” disalibkan, dikuburkan,

kemudian dibangkitkan bersama Kristus untuk menjadi “manusia baru”.114

4.2 Pandangan Iman Kristen

4.2.1 Kematian sebagai Akhir Pengembaraan Manusia

Iman Kristen meyakini bahwa hidup manusia di dunia ini bersifat

sementara belaka, sebab dibatasi oleh unsur usia. Meskipun demikian, hidup

manusia tetap memiliki arti tersendiri. Di dalam dunia, manusia berjuang untuk

menggapai kehidupan yang lebih baik dengan melakukan perbuatan-perbuatan

baik, sekaligus sebagai jaminan dasar bagi kebahagiaan yang akan diperolehnya

pasca kematiannya. Dalam konteks ini, hidup dipahami sebagai sebuah

“pengembaraan”. Dalam “pengembaraan” tersebut manusia perlu menyadari hidup

adalah sebuah rahmat dari Allah. Rahmat yang diperoleh membutuhkan sikap

pertanggungjawaban dari manusia untuk sedapat mungkin mempergunakan waktu

yang telah diberikan oleh Allah.115 Untuk mewujudkan hal itu, hidup manusia

hendaknya berpedoman pada berbagai larangan dan ajaran yang diberikan Allah

yang diwahyukan-Nya dalam diri para nabi dan Yesus Kristus. Hal tersebut

merupakan salah satu syarat untuk menghadapi peristiwa kematian, sesudah

manusia telah menyelesaikan “pengembaraan” di dunia ini.

Kematian sebagai akhir peziarahan manusia di dunia merupakan suatu

kenyataan yang pasti dalam hidup manusia. Hal tersebut dijelaskan oleh Georg

Kirchberger, bahwa sejak manusia dilahirkan ia bergerak maju ke suatu akhir

hidup, yakni kematian. Dengan kata lain perjalanan waktu hidup manusia telah

114 Ibid., hal. 16. 115 Ibid.

Page 94: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

81

diwarnai oleh kematian.116 Hal ini berarti kematian dipahami sebagai sarana

penghubung menuju kehidupan kekal bersama Allah. Hidup manusia di dunia ini

merupakan ziarah menuju ke rumah Bapa di surga. Keyakinan kita menyadarkan

bahwa setetah kehidupan kita berakhir, kita akan menemukan suatu keabadian. Hal

ini sejalan dengan apa yang digarisbawahi di dalam kitab Wahyu, bahwa kematian

hanyalah suatu peralihan dari dunia yang nyata kepada dunia yang baru.

Aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru sebab langit

yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu dan lautan

tidak ada lagi. Aku melihat kota Kudus Yerusalem surgawi

turun dari surga Allah, yang berhias bagai pengantin

perempuan berdandan untuk suaminya (Why. 21:1-2).

Menurut Katekismus Gereja Katolik, kematian juga merupakan akhir

sebuah dari peziarahan hidup di dunia ini yang berkaitan dengan waktu, di mana

jika usia seseorang telah mencapai batas waktu tertentu maka berakhirlah pula

kehidupannya di dunia ini. Kematian juga merupakan suatu yang terjadi secara

alami seperti yang dialami oleh semua makhluk hidup. Hal tersebut dapat dibaca

dalam Katekismus Gereja Katolik sebagai berikut:

Kematian adalah akhir kehidupan duniawi. Kehidupan kita

berlangsung selama waktu tertentu, dan di dalam peredarannya

kita menjadi tua. Kematian kita seperti pada semua makhluk

hidup di dunia ini, adalah berakhirnya kehidupan alami. Aspek

kematian ini memberi kepada kehidupan kita sesuatu yang

mendesak; keyakinan akan kefanaan dapat mengingatkan kita

bahwa untuk menjalankan kehidupan kita, hanya tersedia bagi

kita suatu jangka waktu terbatas.117

Kematian sebagai akhir penziarahan manusia di dunia dipertegas oleh Nico

Syukur Dister dengan menghubungkan realitas kematian dengan keadaan tubuh

biologis manusia yang pada akhirnya akan mengalami kehancuran. Kematian

manusia menyebabkan manusia tidak dapat melakukan sesuatu yang menunjukkan

keaktifannya sebagaimana layaknya orang yang masih hidup. Lebih lanjut, Niko

Syukur menjelaskan bahwa meskipun pengembaraan manusia di dunia ini akan

116 Katekismus Gereja Katolik, penerj. Herman Embuiru, (Ende: Regio Grejani Ende, 1998), hal.

260. 117 Ibid.

Page 95: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

82

berakhir, namun tindakan atau perbuatan selama hidup akan menentukan kematian

atau kekalan hidup. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam pertobatan

manusia selama hidup akan menjadi orientasi dasar dalam proses penyelesaian,

entah mengalami kebangkitan atau kehancuran total. Hal ini berkaitan dengan

rahmat dan dosa. Manusia akan memperoleh kebangkitan dan hidup bersama

dengan Allah atau mengalami penolakan untuk memperoleh hidup yang kekal

bersama Allah, semuanya bergantung pada keputusan bebas dari masing-masing

pribadi manusia selama hidup dan keputusan Allah pada saat berakhirnya hidup

seorang manusia.118

Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa kematian merupakan akhir

peziarahan manusia di dunia, di mana dengan dan melalui kematian tersebut

manusia bergerak maju menuju hidup kekal, yakni menuju rumah Bapa di surga.

Kematian sebagai akhir peziarahan manusia di dunia juga memiliki makna

eskatologis, di mana lewat peristiwa kematian manusia memiliki pengharapan akan

mengalami kehidupan baru yang akan datang, yakni kebangkitan bersama Kristus

dan hidup bersama dengan Allah. Manusia akan memperoleh kebangkitan dan

hidup bersama Allah atau mengalami penolakan oleh Allah. Hal itu bergantung

pada keputusan bebas dari masing-masing pribadi manusia selama hidupnya.

Dengan kata lain, ketika manusia masih hidup di dunia ini dia perlu memiliki sikap

definitif. Sikap definitif tidak berarti hidup yang hanya dilandasi oleh iman semata,

melainkan juga harapan bahwa dia akan menerima kebangkitan yang didasari oleh

pertobatannya. Memilih untuk bertobat berarti memilih hidup di tanah air surgawi

dalam kebahagiaan kekal, sedangkan memilih untuk tidak bertobat berati memilih

neraka yang artinya berpisah dari Allah dan hidup dalam penyiksaan api yang

kekal.

4.2.2 Kematian sebagai Akibat Dosa

Dalam iman Kristen, kematian manusia juga diyakini sebagai akibat dari

dosa. Hal ini dapat ditelusuri di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Rasul Paulus

dalam suratnya kepada jemaat di Roma menyatakan bahwa: “… sama seperti dosa

telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang manusia, dan dosa itu juga maut, dan

118 N. S. Dister., op. cit., hal. 585-586.

Page 96: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

83

maut itu juga menjalar kepada semua orang, karena semua orang berbuat dosa”

(Rm. 15:2). Dosa dalam konteks ini dihubungkan secara khusus dengan peristiwa

kejatuhan manusia pertama, yakni Adam dan Hawa. Adam dan Hawa tunduk pada

kematian jasmani ketika mereka memilih untuk makan buah terlarang. Sekalipun

mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang tunduk pada kematian jasmani pada

hari mereka memakan buah itu, namun secara tidak langsung sebagai konsekuensi

dari tindakan “memakan buah terlarang” tersebut menjadikan mereka juga tunduk

pada hukum kematian sebagai bagian dari kutukan Allah. Oleh karena itu, Adam

dan Hawa tidak hanya mati secara jasmani, namun juga secara rohani karena

ketidaktaatan mereka kepada Allah. Akibatnya, hubungan mereka dengan Allah

yang pada mulanya terjalin dengan baik kini menjadi rusak. Keterpisahan Adam

dan Hawa dari Allah ini akhirnya bermuara kepada kematian secara total, yakni

kematian jasmani dan rohani sekaligus. Dikisahkan bahwa sebelumnya Allah telah

mengingatkan Adam, bahwa ketika mereka makan buah terlarang itu maka mereka

akan digiring ke dalam kematian oleh karena sikap yang keliru saat berhadapan

dengan situasi yang dilematis. Sikap keliru yang ditunjukkan oleh Adam dan Hawa

itulah yang disebut dengan kematian moral. Karena itu, sejak peristiwa Adam dan

Hawa “melawan” Allah, semua manusia dilahirkan dengan tabiat berdosa, yaitu

suatu keinginan bawaan untuk mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan

Allah dan orang lain. Dengan demikian, kematian secara jasmani, rohani, dan

moral menjadi konsekuensi atas dosa manusia.

Konsep kematian sebagai akibat dari dosa juga dapat ditemukan di dalam

ajaran Katekismus Gereja Katolik. Katekismus Gereja Katolik nomor 1008

mengemukakan:

Kematian adalah akibat dari dosa. Sebagai penafsir otentik atas

pernyataan Kitab Suci dan tradisi, magisterium Gereja

mengajarkan bahwa kematian telah masuk ke dalam dunia,

karena manusia berdosa. Walaupun manusia mempunyai

kodrat yang dapat mati, namun Pencipta menentukan supaya ia

tidak dapat mati. Dengan demikian kematian bertentangan

dengan keputusan Allah Pencipta. Kematian masuk ke dunia

sebagai akibat dari dosa.119

119 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 260.

Page 97: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

84

Kematian sebagai akibat dari dosa dalam konsep Katekismus Gereja

Katolik merupakan semacam sebuah kutukan dari Allah, di mana manusia

mengalami kehidupan yang jauh dari Allah dan tinggal di sebuah tempat yang

gelap dan menakutkan. Hal ini terjadi karena ada hubungan erat antara apa yang

diperbuat manusia dalam hidupnya (action) dengan nasib yang akan diterimanya

(destiny). Meskipun manusia memiliki kodrat sebagai pendosa, Allah tidak ingin

mengingkari eksistensi-Nya sebagai sumber kasih yang dapat dipergunakan untuk

memperbaiki relasi-Nya dengan manusia. Dengan itu, musuh terakhir yakni dosa,

dapat dikalahkan lewat pengorbanan Putra-Nya, Yesus Kristus, sebagaimana yang

ditegaskan Paulus, bahwa kematian sebagai “musuh terakhir yang mesti

dikalahkan” oleh Kristus, karena bertentangan dengan kehendak Allah. Kehendak

Allah yang dimaksud adalah saat manusia mati, ia mengalami sebuah kondisi

pertemuan dan perjumpaan dalam nuansa kasih. Ungkapan “musuh terakhir yang

harus dikalahkan” yang diungkapkan Paulus (1 Kor. 15:26) mengandung arti

bahwa kematian akan dilenyapkan secara definitif oleh Yesus Kristus pada

kedatangan-Nya yang kedua dan pada saat orang-orang mati dibangkitkan untuk

kehidupan kekal pada akhir zaman. Hal ini merupakan harapan orang Kristen akan

kedatangan saat definitif itu, meskipun tidak diketahui kapan waktunya. Namun

demikian, orang Kristen tetap berharap karena iman akan Yesus Kristus yang

datang untuk menyelamatkan dunia dengan mengalahkan kematian sebagai musuh

terakhir.120 Dengan kata lain kematian sebagai akibat dosa yang menjadi sebuah

kutukan oleh karena Kristus diubah menjadi sebuah berkat.

Karl Rahner juga menegaskan kematian sebagai akibat dari dosa.

Menurutnya, manusia telah diciptakan dengan tanpa kemungkinan untuk mati.

Namun, manusia dalam kenyataan aktual mengalami kematian karena ia

kehilangan keadilan sejati dalam manusia pertama yang telah menolak Allah.

Keadilan sejati terdapat dalam kesatuan dengan Allah melalui rahmat yang

mengubah keberadaan spiritual manusia, bahkan kehidupan badannya turut

dipenetrasi oleh rahmat tersebut. Karena itu, kematian dipahami sebagai ekspresi

dari ketidakharmonisan antara Allah dan manusia.121 Hal ini berarti Rahner melihat

120 R. Ceme, op. cit., hal. 93. 121 K. Rahner, op. cit., hal. 33-34.

Page 98: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

85

kematian Adam sebagai akibat dosa, menarik semua manusia pada kematian yang

sama. Dosa yang sama juga telah menghadirkan maut bagi manusia. Maut

merupakan akibat dosa Adam yang menyebabkan murka Allah.122 Maka,

konsekuensi dari kedosaan Adam adalah dosa asali, yang menyebabkan manusia

memiliki kodrat kesadaran dalam diri, di mana situasi keberdosaan selalu

merupakan bagian dari hidup manusia yang terus disadari.

Jadi, kematian sebagai akibat dari dosa memberikan penegasan yang jelas

mengenai distingsi antara hal-hal rohani dan hal-hal jasmani. Kematian jasmani

merupakan batas hidup manusia yang yang tidak diakibatkan karena dosa.

Kematian jasmani merupakan kodrat sebagai manusia. Namun, dosa mengubah

cara manusia mengalami batas hidup itu. Dosa memutuskan hubungan manusia

dengan Allah, di mana manusia merasa bahwa ia adalah pemilik kehidupan ini.

Sikap seperti ini menjadi ancaman fundamental bagi manusia, di mana manusia

pada akhirnya menjadi tidak berdaya di hadapan kematian. Kematian menjadi

indikasi keterbatasan manusia di hadapan Allah, Sang Pencipta-nya. Karena dosa,

manusia tidak dapat lagi menghayati hidup sebagai anugerah Allah yang harus

dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab. Sikap mementingkan diri sendiri tanpa

mempedulikan Allah atau orang lain merupakan ancaman serius bagi adanya

kematian.

4.2.3 Mati Bersama Kristus

Kematian manusia tidak sekadar merupakan tanda keterbatasan dan

kerapuhan, tetapi juga merupakan tanda kebersatuan dengan Kristus. Yesus Kristus

masuk dalam keadaan manusia yang rapuh dan terbatas, namun Ia tak berbuat dosa

seperti manusia (bdk. Ibr. 4:15). Peter C. Phan menjelaskan bahwa manusia

mengalami ketakutan ketika menghadapi kematian karena dalam diri manusia

terdapat bayangan tentang kematian sebagai peristiwa yang mengakhiri segala-

galanya dalam dirinya dan sebuah penderitaan karena ketidakberdayaan untuk

menghindari kematian, berada dalam kesendirian dan merasa kehilangan. Sama

halnya dengan pengalaman Yesus, di mana Ia juga akan mengalami penderitaan

dan kematian, sehingga Ia memohon kepada Bapa-Nya untuk menyingkirkan piala

122 N. S. Dister, op. cit., hal. 582-583.

Page 99: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

86

penderitaan dengan bersabda: “Ya bapa-Ku, jikalau mungkin biaralah cawan ini

berlalu daripada-Ku, janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang

Engkau kehendaki”. Di atas salib Yesus mengalami kesendirian, ditinggalkan oleh

Allah, sehingga Ia berseru: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan

Aku?” (Mrk. 15:34). Kematian Kristus merupakan tanda ketaatan-Nya pada

kehendak Bapa-Nya dan Ia pun menyerahkan nyawa-Nya pada Bapa dan

mengatakan: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk.

23:46).123 Hal ini berarti kematian Kristus merupakan tindakan penyerahan diri

yang total pada kehendak Bapa-Nya dan kesetiaan pada misi-Nya untuk membawa

keselamatan bagi manusia. Pengalaman penderitaan, merasa ditinggalkan, dan

ketakberdayaan yang dialami oleh Yesus merupakan tanda ketabahan dan

kesetiaan serta penyerahan diri yang sempurna pada kehendak Bapa-Nya.

Kematian yang dialami Kristus menandakan bahwa Kristus juga masuk dalam

pengalaman manusia; penderitaan dan kematian. Oleh karena itu, kematian Kristus

merupakan tanda harapan bagi manusia bahwa penderitaan dan kematian

merupakan bagian dari solidaritas Allah terhadap manusia. Allah menghendaki

agar manusia berani untuk menghadapi kematian dan selalu berharap pada

keselamatan yang telah dijanjikan Allah melalui Kristus. Peristiwa kematian yang

dialami oleh Yesus memiliki tujuan, yakni Allah mengajak manusia untuk

mengerti dan memahami kematian Yesus, seperti yang dikatakan oleh Paulus

dalam suratnya di Roma: “Dalam Kristus kematian diubah menjadi kehidupan

karena Kristus telah mati untuk kita” (Rm. 5:8), “… sebab kematian-Nya adalah

kematian terhadap dosa, satu kali untuk selamanya” (Rm. 5:11).

Jadi dengan itu kita telah mati bersama Kristus, kita percaya bahwa kita

juga akan hidup dengan Dia, karena kita tahu bahwa Kristus sudah bangkit dari

antara orang mati, tidak mati lagi, dan maut tidak berkuasa lagi atas Dia. Sebab

kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya,

dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah. Apa yang dikatakan oleh Paulus

di atas memberi pengertian bahwa ketika manusia ikut dalam kematian Kristus

berarti dosa manusia telah ditinggalkan dan mati di salib Kristus untuk menuju

suatu yang baru dalam Dia, yaitu hidup kekal melalui kebangkitan-Nya. Kristus

123 P. C. Phan, op. cit., hal. 92-93.

Page 100: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

87

mati satu kali untuk “mematikan” dosa selama-lamanya sehingga Ia hidup selama-

lamanya juga bagi Allah. Berhadapan dengan kematian reaksi manusia dalam

menanggapi kematian bermacam-macam, menolak dan menerima kematian

tersebut. Namun kematian Yesus menjadi harapan bagi manusia, dan dengan itu

manusia dapat menyesuaikan diri dengan kematian tersebut. “Mematikan” diri dari

pengaruh dosa merupakan tanda bahwa manusia hidup dalam rahmat Allah dan

penyerahan diri pada kehendak Allah demi mencapai kepenuhan hidup dalam

iman, harap, dan kasih.

4.3 Refleksi Teologis tentang Hidup sesudah Kematian

4.3.1 Kebangkitan Badan

Iman Kristen meyakini bahwa orang-orang benar sesudah kematiannya

akan hidup untuk selama-lamanya bersama Kristus yang telah bangkit dan Kristus

sendiri akan membangkitkan orang-orang mati pada akhir zaman. Seperti

kebangkitan-Nya, demikian pula kebangkitan manusia adalah karya Tritunggal

Mahakudus.124 Di sini, kebangkitan Yesus merupakan tanda kepenuhan dalam

karya penyelamatan Allah bagi manusia yang turut membawa nilai absolut bagi

manusia, yakni manusia dibebaskan sepenuhnya dari dosa. Dosa menjadi ancaman

yang dapat merusak dan menghancurkan manusia, di mana manusia terpisah dari

Allah dan tidak mengalami perlindungan dari Allah. Sementara itu, kebangkitan

Yesus merupakan perwujudan dari apa yang yang dikatakan dalam karya

pewartaan-Nya, yaitu pembebasan dari kematian kekal. Peristiwa kebangkitan

Kristus memberi tanda istimewa bagi manusia sebagai umat pilihan Allah yang

dipanggil untuk masuk dalam kesatuan dengan-Nya. Hidup, kemenangan, dan

kemanusiaan Yesus diperuntukkan bagi manusia dan keselamatannya.125

Karena itu, term “kebangkitan badan” sesungguhnya mengungkapkan

keyakinan bahwa Kritus yang datang pada akhir zaman itu akan membangkitkan

secara utuh.126 Dalam pengertian ini, kebangkitan badan selalu dihubungkan

dengan proses penyelamatan yang diwujudkan Allah di mana kebangkitan badan

124 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 256. 125 N. S. Dister, op. cit., hal. 581. 126 R. Ceme, op. cit., hal. 134.

Page 101: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

88

dimengerti sebagai keadaan penyatuan dengan Allah, sehingga manusia

memperoleh kehidupan kekal dan tidak mengenal kematian. Lewat kematian

manusia dibawa pada pemahaman tentang suatu kehidupan baru yang lebih baik,

karena manusia memperoleh kepenuhan hidup dalam persatuan dengan Allah

secara langsung.

Kebangkitan badan sesungguhnya adalah anugerah hidup kekal yang

dihadiahkan Allah kepada semua orang yang Allah kehendaki dalam diri Yesus.

Ada banyak gambaran mengenai keadaan baru di dalam Kerajaan Allah. Gambaran

tersebut pada intinya menegaskan adanya hidup abadi yang merupakan anugerah

Allah dalam Kristus melalui kebangkitan badan, saat kepenuhan eksistensi

manusia seutuhnya terwujud. Yesus sendiri mengukuhkan kenyataan adanya

kebangkitan orang mati dalam diskusi-Nya dengan orang-orang Saduki (Mat.

22:23-33; Mrk. 12:18-27; Luk. 20:27-40). Terhadap pertanyaan orang Saduki

tentang misteri kematian, Yesus menjawab: “Karena pada waktu kebangkitan

orang mati, orang-orang yang tidak kawin dan dikawinkan lagi, melainkan hidup

seperti malaikat di surga”. Dari percakapan itu dapat dipahami bahwa kebangkitan

menuntut transformasi dari keadaan lama menuju keadaan yang baru yang

disediakan Allah bagi mereka yang layak. Kebangkitan tidak dipahami sebagai

peralihan hidup yang sekarang dengan segala aspek dan dimensinya kepada

kehidupan yang lain, yang disebut surga. Akan tetapi, kebangkitan merupakan

suatu keadaan baru sama sekali, di mana Allah membuat segala sesuatu menjadi

ciptaan yang baru di dalam Yesus Kristus.

Selanjutnya, menghadapi orang Saduki yang tidak percaya akan

kebangkitan orang mati, Yesus mengutip Perjanjian Lama yang mengatakan:

“Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (Mat. 22:32).

Maka semua orang yang percaya kepada-Nya akan mengambil bagian dalam

kehidupan-Nya. Nafas kehidupan yang telah dihembuskan Allah ke dalam diri

manusia sehingga manusia menjadi makhluk hidup yang tidak akan binasa dalam

kematian, melainkan akan hidup selamanya, karena nafas itu adalah hidup Allah

sendiri. Kenyataan ini sejalan dengan apa yang Yesus katakan pada Marta dalam

hubungan dengan kematian Lazarus: “Akulah kebangkitan dan hidup. Barangsiapa

percaya padaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang

Page 102: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

89

hidup dan percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh. 11:25-26).

Allah yang telah memberi hidup kepada manusia tidak membiarkan hidup itu

binasa begitu saja, melainkan mengangkatnya ke tingkat kesempurnaan yang akan

terwujud pada akhir zaman, dan penggenapan itu masih harus dinantikan dalam

pengharapan. Allah yang telah membangkitkan Yesus dari alam maut akan

membangkitkan juga orang-orang mati.127 Hal ini berarti, sebagaimana yang

diajarkan dalam Kitab Suci, kematian telah diubah oleh Yesus Kristus, karena Ia

sendiri telah mengalami kematian. Karena ketaatan-Nya sendiri kepada kehendak

Bapa, Yesus telah mengubah kutukan kematian menjadi berkat.

Kebangkitan Kristus menjadi dasar pengharapan orang Kristen. Orang

Kristen percaya bahwa kebangkitan Kristus merupakan peristiwa sejarah dan

pokok iman Kristen yang mutlak. Yesus menegaskan bahwa: “Akulah kebangkitan

dan hidup” (Yoh. 11:25). Melalui sabda ini, kebangkitan badan dapat dijelaskan

dengan cara menghubungkan kebangkitan manusia dengan orang-orang yang

percaya dengan kebangkitan Yesus Sendiri. Meskipun tidak ada penjelasan yang

cukup memadai tentang bentuk kebangkitan itu sendiri, dapat diketahui bahwa

orang-orang yang percaya kepada Yesus akan memperoleh kebangkitan badan.

Paham ini turut mengafirmasi konsep “Akulah kebangkitan” bahwa Yesus tidak

bermaksud mengarisbawahi kekelan jiwa yang terpisah dari badan, sebaliknya

Yesus mengungkapkan badan-Nya merupakan contoh kebangkitan badan orang-

orang percaya.128 Dengan kata lain, Gereja mengajarkan bahwa oleh kematian,

jiwa dipisahkan dari tubuh, tetapi dalam kebangkitan Allah memberi kehidupan

abadi kepada badan yang telah diubah, dengan mempersatukannnya kembali

dengan jiwa kita. Seperti Kristus telah bangkit dan hidup untuk selamanya,

demikian kita semua akan bangkit pada hari kiamat. Hal demikian seperti

diungkapkan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Korintus: ”… jika Kristus tidak

dibangkitkan sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosa“ (1

Kor. 15-17).

Hubungan antara kebangkitan Kristus dengan iman Kristen dapat dilihat

dalam beberapa hal mendasar yang menjadi bagian penting sejarah iman Kristen.

127 R. Ceme, op. cit., hal 135. 128 Donald Gutherie, Teologi Perjanjian Baru 3, penerj. Lisda Tirtapraja Gamadhi, et.el., (Jakarta:

Gunung Mulia, 2001), hal. 171-172.

Page 103: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

90

Pertama, kebangkitan Kristus mengubah segala hal yang berhubungan dengan

Yesus. Dalam peristiwa kebangkitan Yesus Kristus, Allah menegaskan kepada

umat beriman bahwa Yesus adalah benar-benar Putera Allah (Rm. 1:4). Hal ini

terjadi berdasarkan kesaksian iman Kristen perdana yang mewujudnyatakan iman

mereka bahwa Yesus Kristus sebagai yang Ilahi dahulu dan sekarang karena tidak

ada tokoh mesianis yang pernah mati dan bangkit kembali seperti Kristus. Kedua,

kebangkitan mengubah segala hal yang berhubungan dengan Yesus, bahwa kuasa

Allah Roh Kudus yang membangkitkan Kristus ternyata bekerja juga dalam diri

pengikut-Nya. Mereka mengakui dengan berani di hadapan orang Yahudi bahwa

Yesus yang telah disalibkan dan telah dibunuh kini telah dibangkitkan oleh Allah

dan dilepaskan-Nya dari sengsara maut (bdk. Kis. 2:22-34, 3:15, 4; 10, 5:30,

10:39-40). Oleh karena itu, dengan kekuatan Roh Kudus yang diperoleh dari

Yesus, dibangkitkan pula kepercayaan akan kebangkitan diri umat beriman seperti

yang dialami Yesus untuk memperoleh keabadian. Ketiga, kebangkitan

berhubungan dengan ciptaan Allah; melalui kebangkitan tubuh Kristus, kuasa

Allah merasuki seluruh ciptaan yang ada di bumi. Melalui peristiwa kebangkitan,

tampak sebuah gambaran tentang masa depan yang akan dialami umat beriman,

yakni peristiwa kebangkitan, karena dosa telah dikalahkan dengan kematian tubuh

dan jasmani. Hal ini merupakan tanda terciptanya dunia baru bagi manusia, bahwa

manusia lama telah digantikan oleh manusia baru.129

Paus Yohanes Paulus dalam Redemptoris Missionis (RM 10) menegaskan

bahwa:

… untuk orang-orang (non-Kristen), keselamatan di dalam

Kristus dapat diakses berdasarkan suatu rahmat yang,

walaupun memiliki hubungan misterius dengan Gereja, tidak

menjadikan mereka secara resmi bagian dari Gereja, tetapi

menerangi mereka dengan cara yang disesuaikan dengan

situasi spiritual dan material mereka. Rahmat ini datang dari

Kristus.

Ucapan Paus di atas dipandang sebagai penolakan yang jelas terhadap

ecclesio-sentrisme, harus dipahami bahwa akses ke Kerajaan hanya mungkin

melalui Gereja. Seseorang dapat mengambil bagian dalam Kerajaan Allah tanpa

129 Ibid., hal. 76.

Page 104: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

91

harus menjadi anggota Gereja dan tanpa melewati pengantaraan Gereja. Para

teolog yang mengambil pendirian ini sama sekali tidak menyangkal bahwa

keselamatan manusia mana pun didasarkan pada kematian dan kebangkitan

Kristus. Bagi mereka, semua rahmat adalah Kristosentris. Mereka berpendapat

bahwa rahmat keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus menjangkau orang non-

Kristen tidak secara langsung melalui Gereja, tetapi dengan mengelak dari Gereja

“dengan cara-cara yang hanya diketahui Allah”. Schnackenburg tampaknya

menunjukkan hal ini secara tidak langsung dengan mengatakan: “Kerajaan Kristus

adalah istilah yang lebih komprehensif daripada Gereja.130

4.3.2 Pengadilan Terakhir

Gereja Katolik mengajarkan adanya dua macam Pengadilan Terakhir131

setelah kematian manusia, yakni Pengadilan Khusus yang diadakan sesaat setelah

kematian, dan kedua adalah Pengadilan Umum yang diadakan pada akhir zaman

setelah kebangkitan badan. Pertama, Pengadilan Khusus. Di dalam Katekismus

Gereja Katolik, perihal pengadilan khusus dijelaskan sebagai berikut.

KGK 678. Seperti para nabi (bdk. Ul. 7:10.Yl. 3-4; Mal. 3:19)

dan Yohanes Pemandi (bdk. Mat. 3:7-12), … di sana akan

disingkirkan tingkah laku (bdk. Mrk. 12:38-40) dan isi hati

yang paling rahasia dari setiap orang (bdk. Luk. 12:1-3; Yoh.

3.20-21; Rom. 2:16; 1 Kor. 4:5). Lalu ketidakpercayaan orang

berdosa, yang telah menolak rahmat yang ditawarkan Allah,

akan diadili (bdk. Mat. 11:20-24; 12; 41-42). Sikap terhadap

sesame akan menunjukkan, apakah orang yang menerima atau

menolak rahmat dan cinta Allah (bdk. Mat. 5:22, 7:1-5)Yesus

akan mengatakan: “.. segala sesuatu yang kamu lakukan untuk

salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu

telah melakukan untuk Aku” (Mat. 25:40).

130 John Fuellenbach, Church: Comuniity for the Kingdom (Revised and Expanded Edition)

(Manila: Logos Publications, 2001), hal. 309-310. 131 Dalam ajaran Gereja Katolik, istilah yang digunakan adalah “pengadilan”. Hal ini berbanding

terbalik dengan ajaran Kitab Suci, yang menggunakan kata “penghakiman” (Mat. 15), di mana Sang

Hakim yakni Allah sendiri akan mengadili manusia tanpa pembelaan-pembelaan dari pihak lain.

Keputusan Allah adalah keputusan yang tidak dapat diganggu-gugat atau diintervensi pihak

manapun. Karena itu, dalam bahasan ini, “pengadilan” dipahami atau dibaca dalam konteks

“penghakiman” sebagaimana yang diajarkan di dalam Kitab Suci.

Page 105: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

92

KGK 679. Kristus adalah Tuhan kehidupan abadi. Sebagai

penebus dunia, Kristus mempunyai hak penuh untuk mengadili

pekerjaan dan hati manusia secara defenitif. Ia telah

“mendapatkan” hak ini oleh kematiannya di salib. Karena itu,

Bapa “menyerahkan seluruh pengadilan kepada putera-Nya”

(bdk.Yoh. 5:27; Mat. 25:31; Kis. 10; 41; 17:31; 2 Tim. 4:1).

Akan tetapi, Putera tidak datang untuk mengadili, tetapi untuk

menyelamatkan (bdk. Yoh. 3:17) untuk memberikan yang ada

pada-Nya (bdk. Yoh. 5:26). Barangsiapa yang menolak rahmat

dalam kehidupan ini, telah mengadili dirinya sendiri (bdk. Yoh.

3:18; 12:48). Setiap orang yang menerima ganjaran atau

menderita kerugian sesuai dengan pekerjaan-Nya (bdk. 1 Kor.

3:12-15) ia malahan dapat mengadili dirinya sendiri untuk

keabadian, kalau ia tidak mau tahu (bdk. Mat. 12:32; Ibr. 6:4-6;

10:26 -31) tentang cinta.132

Di samping itu, kisah Lazarus dan orang kaya (Luk. 16:16-31) serta

penyamun yang bertobat (Luk. 23:33-43) merujuk pada Pengadilan Khusus. Di

dalam Pengadilan Khusus, masing-masing orang akan diadili secara pribadi oleh

Yesus Kristus. Sesudah Pengadilan Khusus itu, masing-masing orang akan

ditentukan apakah layak untuk masuk surga, neraka, atau masih perlu dimurnikan

terlebih dahulu di dalam api penyucian. Penentuan dalam Pengadilan Khusus ini

dilakukan oleh Yesus dan tidak dapat diubah atau ditarik kembali.133

Kedua, Pengadilan Umum (General Judgement). Pengadilan ini diadakan

pada akhir zaman, sesudah kebangkitan badan, dan dengan Yesus Kristus sebagai

hakim utamanya. Pengadilan ini tidak bersifat pribadi, yakni antara manusia dan

Yesus Kritus, melainkan di hadapan semua orang. Pada saat inilah segala

perbuatan baik dan jahat dipermaklumkan di hadapan semua mahkluk (bdk. Luk.

8:17). Seluruh bangsa akan dikumpulkan di hadapan takhta Kristus dan Dia akan

mengadili semua orang, yang baik akan dipisahkan dari yang jahat seperti domba

dan kambing dipisahkan (bdk. Mat. 25:32-33). Pengadilan ini juga merupakan

pengumuman hasil dari Pengadilan Khusus tiap-tiap orang di hadapan segala

ciptaan lain. Hasil pengadilan itu memunculkan penghargaan ataupun

penghukuman. Manusia akan mengalami kepenuhan hidup bersama Allah di dalam

Surga jika ia layak menerima penghargaan tersebut. Inilah yang disebut sebagai

132 Katekismus Gereja Katolik, op., cit., hal. 180-181. 133 N. S. Dister, op. cit., hal. 592.

Page 106: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

93

kebahagiaan sempurna dan kekal dalam Tuhan. Sebaliknya, manusia akan

mengalami kehidupan yang mengerikan di neraka jika keadilan Tuhan menentukan

demikian, sesuai dengan perbuatan manusia itu sendiri. Ini yang disebut sebagai

siksa kekal.134

Secara khusus, Katekismus Gereja Katolik menulis tentang pengadilan

umum sebagai berikut:

Pengadilan Terakhir akan berlangsung pada kedatangan

kembali Kristus yang mulia. Hanya Bapa yang mengetahui hari

dan jam, Ia sendiri menentukan kapan itu akan terjadi. Lalu

melalui Putra-Nya Yesus Kristus, Ia akan menilai secara

definitif seluruh sejarah. Kita akan memahami arti yang

terdalam dari seluruh karya penciptaan dan seluruh tata

keselamatan dan akan mengerti jalan-jalan-Nya yang

mengagumkan, yang di atasnya penyelenggaran Ilahi telah

membawa segala sesuatu menuju tujuannya terakhir.

Pengadilan Terakhir akan membuktikan bahwa keadilan Allah

akan menang atas segala ketidakadilan yang dilakukan oleh

makhluk ciptaan-Nya, dan membawa cinta-Nya lebih besar

dari kematian (bdk. Kid. 8:6).135

Hal ini berarti Pengadilan Umum adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada

kedatangan Yesus Kristus, di mana umat manusia dari segala bangsa akan

dikumpulkan dan diadili. Keputusan yang ada dalam Pengadilan Umum tersebut

akan menjadi penentu nasib seseorang yang meninggal, yaitu diperkenankan untuk

masuk kehidupan kekal atau siksaan yang kekal. Pengadilan Umum ini terjadi

ketika semua orang mati, baik yang termasuk dalam golongan orang benar maupun

orang-orang jahat, akan dibangkitkan dan diadili menurut apa yang dilakukannya

selama masih berkanjang di dunia ini. Gambaran tentang Pengadilan Terakhir ini

dapat saja mengaburkan pandangan dan pemahaman manusia tentang Allah, di

mana Allah dilihat sebagai Penghukum, bukan lagi Kasih. Pengertian seperti ini

mempersempit hakikat Pengadilan Terakhir sebagaimana yang diajarkan Kitab

Suci dan berseberangan dengan misi Yesus Sendiri yang datang bukan untuk

menghukum dunia melainkan untuk menyelamatkannya.136

134 Ibid. 135 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 268-269. 136 R. Ceme, op. cit., hal. 14.

Page 107: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

94

Oleh karena itu, Allah dalam peristiwa Pengadilan Terakhir mesti dilihat

sebagai Allah yang penuh kasih. Di atas dasar kasih, seseorang akan diberikan

ganjaran kehidupan kekal atau hukuman. Kebenaran dan kesalahan objektif dari

setiap orang dan segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia akan dibeberkan dan

ditimbang dalam kasih.137 Dengan demikian, konsep tentang Pengadilan Terakhir

tidak mesti ditafsir sebagai momen balas dendam atau balas jasa dari Allah.

Pengadilan merupakan perjumpaan antara manusia dan Allah dalam diri Yesus

Kristus. Dalam perjumpaan tersebut, manusia akan menyadari situasi

keberdosaannya di hadapan Allah dan di dalam diri Yesus Kristus. Dalam

pertemuan tersebut, Allah dalam diri Yesus Kristus akan tampil selalu dalam cinta

dan kebenaran di hadapan semua manusia yang dibangkitkan, secara khusus bagi

mereka yang percaya kepada Allah dalam Yesus Kristus. Di sini, pengadilan

membutuhkan iman dan kepercayaan dari manusia. Pengadilan Terakhir

merupakan pemenuhan (keselamatan) bagi mereka yang percaya, tetapi bagi

mereka yang tidak percaya dan menolak Allah bentuk pengadilan yang diterima

berupa sebuah hukuman.138 Jadi dalam Pengadilan Terakhir, keadilan dan kasih

Allah akan ditegakkan dan direalisasikan secara sempurna untuk setiap orang tanpa

terkecuali.

Jika diperuntukkan untuk semua orang hal itu berarti soal keselamatan

tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang beriman saja akan tetapi orang yang

tidak mempunyai kepercayaan kepada Kristus, bahkan tidak pada Allah seperti

yang diutarakan oleh Frans Magnis Suseno, bahwa manusia dapat diselamatkan

apabila ia taat pada suara hatinya. Dengan kata lain siapa yang mengikuti suara

hatinya, ia taat pada tuntutan mutlak untuk memilih yang baik dan menolak yang

buruk. Jadi ia taat pada Yang Mutlak itu sekaligus disadari sebagai Yang Baik,

yang Mutlak-yang Baik itulah hakikat iman. Iman dalam arti yang paling inti

adalah pasrah kepada yang-Mutlak Yang- Baik yang terjadi pada setiap kali orang

memiliki sikap moral. Hal ini tidak berarti pengakuan eksplisit tidak penting lagi,

tetapi pengakuan ekplisit, misalnya sebagai orang Kristiani yang percaya pada

Allah dalam Yesus adalah kosong kecuali menjadi nyata dalam penyerahan dalam

137 Ibid., hal. 115. 138 Ibid.

Page 108: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

95

tuntutan mutlak kebaikan yang disadari dalam hati nurani. Tidak ada iman dengan

hati tertutup terhadap saudara.139

4.4 Kenyataan Hidup setelah Kematian

4.4.1 Api Penyucian

Dalam bahasa Latin, Api Penyucian sering disebut dengan nama

purgatorium (Inggris: purgatory). Dalam teologi Katolik, purgatorium adalah

suatu keadaan antara atau peralihan setelah kematian jasmani yang melaluinya

mereka yang ditentukan ke surga menjalani pemurnian sehingga mencapai

kekudusan yang diperlukan untuk memasuki kegembiraan surgawi. Dalam tradisi

Gereja Katolik, keyakinan akan adanya purgatorium ini ditinjau dari kebiasaan

orang-orang pada zaman dahulu, bahkan sebelum Yesus Kristus, dalam hal

mengurus orang-orang yang telah mati dan berdoa bagi mereka demi

pemurniaannya dalam kehidupan setelah kematian. Dengan kata lain, keyakinan

akan pemurniaan dalam hidup setelah kematian dari dunia ini didasarkan pada

praktik berdoa untuk arwah, sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Suci dan

diterapkan oleh umat Kristen sejak awal. Praktik ini mengandaikan bahwa arwah

yang didoakan ada dalam fase antara kematian jasamani dan rohani, sehingga doa-

doa tersebut bertujuan menyelamatkan mereka.140

Dengan demikian, keyakinan akan adanya Api Penyucian tersebut

berkaitan erat dengan kehidupan setelah kematian. Menurut Georg Kirchberger,

jika manusia mengalami kematian, jiwa yang berada dalam Api Penyucian adalah

jiwa yang dipenuhi dengan rahmat Allah dan cinta Allah. Cinta Allah tersebut

disimbolkan dengan “api”. “Api” yang dimaksudkan di sini adalah api cinta yang

senantiasa bernyala untuk membakar dan membersihkan noda yang melekat dalam

diri karena sikap ego manusia. Manusia harus melewati tahapan di Api Penyucian

karena dalam hidup manusia ada banyak kekurangan, yakni tidak membentuk diri

dalam cinta. Hal inilah yang mengakibatkan diri manusia menjadi cacat. Setelah

manusia dibersihkan dari keegoisan pribadi maka manusia mengambil bagian

139 Frans Magnis-Suseno, Iman dan Hati Nurani (Jakarta: Obor, 2014), hal. 7-9. 140 Wikipedia Bahasa Indonesia, “Purgatorium”, https://id.wikipedia.org/wiki/Purgatorium, diakses

pada 15 Januari 2020.

Page 109: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

96

dalam komunikasi cinta yang murni dan sempurna dan memperoleh kebahagiaan

di dalam-Nya. Hal ini berarti bahwa di dalam Api Penyucian, Allah kembali

memilihkan kodrat manusia yang telah rusak akibat dosa dan mengenakan kembali

hakikatnya sebagai ciptaan baru dan bersatu dengan-Nya.141

Sejalan dengan pandangan itu, Katekismus Gereja Katolik berbicara

tentang hukuman karena dosa, bahkan dalam kehidupan ini, sebagai salah satu dari

segala macam penderitaan dan cobaan. Katekismus Gereja Katolik nomor 1030

menjelaskan purgatorium sebagai pemurniaan yang diperlukan karena suatu

keterikatan yang tidak sehat terhadap makhluk-mahkluk, atau sebagai pemurnian

yang membebaskan seseorang dari apa yang dinamakan dengan “siksa dosa

sementara” dan hukuman yang “tidak boleh dipandang sebagai balas dendam yang

ditimpakan Allah dari luar, tetapi sebagai sesuatu yang timbul dari hakikat dosa itu

sendiri”.142 Hal ini berarti bahwa tujuan dari purgatorium adalah untuk

memurnikan manusia dari segala dosa dan melepaskan manusia dari segala

keterikatan duniawi agar ia dapat sepenuhnya mengalami kegembiraan surgawi

bersama Allah.

Magisterium Gereja mengajarkan juga tentang Api Penyucian yang

diwujudkan dalam konsili-konsili dan surat apostolik lainnya, misalnya dalam

Konsili Lyon I (1254). Di situ, purgatorium didefinisikan sebagai berikut:

Berdasarkan Kitab Suci dan karena orang-orang yang Yunani

percaya bahwa jiwa-jiwa mereka yang sudah meninggal

mengalami dosa tetapi belum menjalankannya, atau mereka

yang meninggal tanpa dosa berat, dapat disucikan sesudah

meninggal dengan pertolongan Gereja, karena mereka

mengatakan sesuatu tempat penyucian yang belum

diberitahukan kepada mereka nama yang tepat dan pasti oleh

guru-guru mereka, kami dengan ini menyebutnya purgatorium

sesuai dengan tradisi dan otoritas dari Bapa tersuci, dan

berharap agar di kemudian hari akan disebut demikian, di

dalam Api sementara untuk dosa-dosa yang kecil, yang bukan

dosa berat, yang belum dihapuskan oleh penebusan dosa,

dibersihkan dan ini berlaku terutama sesudah meninggal, jika

diampuni sewaktu hidup.143

141 G. Kirchberger, Allah Menggugat, op. cit., hal. 295. 142 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 266. 143 R. Jokopranoto, Misteri Api Penyucian (Jakarta: Obor, 2013), hal. 24.

Page 110: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

97

Selanjutnya, pandangan tentang Api Penyucian mendapat perhatian khusus

dalam teologi Katolik, sekalipun Kitab Suci sendiri baik Perjanjian Lama maupun

Perjanjian Baru tidak secara eksplisit menyebut adanya Api Penyucian, misalnya

yang termuat dalam 2 Mak. 12; Mat. 5:25-26; 12; 31-32; 1 Kor. 3:11-15. Namun,

teks-teks ini mendukung dikembangkannya ajaran tentang Api Penyucian.

Perkembangan ajaran ini dimulai oleh keyakinan akan keadilan Allah dan praktik

umum orang-orang Kristen yang berdoa sejak abad II dan merayakan Ekaristi sejak

abad ke-3 bagi keselamatan orang-orang yang meninggal. Praktik seperti ini dapat

ditemukan dalam semua liturgi pemakaman seperti yang termuat dalam tulisan

bapa-bapa Gereja di antaranya Tertulianus, Origenes, Siprianus, Ambrosius,

Agustinus, Basilius, Geregorius dari Nansian, Gregorius dari Nisa, Yohanes

Kristotomus, dan Paus Gregorius Agung.144 Hal ini sejalan juga dengan apa yang

ditulis Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus. Paulus berbicara

mengenai Api Penyucian dengan mengatakan demikian:

Sekali kelak pekerjaan masing-masing akan tampak. Karena

hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan tampak dengan

api dan bagaimana pekerjaan masing-masing akan diuji oleh

api. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, iaakan

mendapat upah. Jika pekerjaanya terbakar, ia akan mendapat

kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari

api (1 Kor. 3:13-15).

Di sini, Paulus tidak hanya menegaskan bahwa setiap orang yang beriman

akan diuji menurut kerajaan-Nya, tetapi juga ada keadaan di mana orang beriman

harus menanggung akibat dari perbuatannya. Berdasarkan pernyataan tersebut,

gambaran mengenai Api Penyucian lebih dipahami sebagai pemurniaan bagi

orang-orang yang sudah diterima Tuhan, orang-orang yang sudah diselamatkan

tetapi masih harus menanggung kerugian sebagai akibat dari perbuatan-

perbuatannya yang tidak tahan uji. Secara umum dikatakan bahwa, Api Penyucian

adalah tempat atau keadaan di mana terjadi proses pemurnian atau pembersihan

jiwa-jiwa agar mencapai suatu kemurnian sehingga seseorang layak masuk dalam

kemuliaan Allah.

144 R. Ceme, op. cit., hal. 114.

Page 111: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

98

Meskipun demikian, pandangan tentang Api Penyucian tersebut

mengindikasikan adanya “salah kaprah” di tengah kehidupan orang Kristen. Api

Penyucian dimengerti sebagai sebuah tempat tertentu, tempat hukuman, yang

disiapkan Allah untuk orang-orang yang belum layak masuk surga. Namun, Api

Penyucian bukan merupakan suatu tempat hukuman dalam kategori waktu,

melainkan sebagai keadaan yang tidak lagi dipengaruhi oleh yang duniawi atau

sebagai cara hidup setelah kematian yang mempunyai hubungan khusus dengan

Allah. Di dalam Api Penyucian, orang-orang yang telah meninggal mempunyai

relasi cinta yang lebih dekat dengan Allah, meskipun mereka belum memandang

wajah Allah secara langsung, dari muka ke muka. Dalam arti tertentu, penderitaan

mereka dalam proses pemurniaan itu diakibatkan karena kerinduan eksistensial

mereka untuk memandang wajah Allah atau berdialog langsung dengan Alah

belum terwujud.145

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa pandangan

tentang Api Penyucian atau purgatorium itu selalu dihubungkan dengan dosa-dosa

yang dilakukan manusia. Menurut doktrin Gereja Katolik, sebagian jiwa belum

bebas sepenuhnya dari efek temporal dosa dan konsekuensinya untuk dapat

langsung memasuki keadaan surga, sementara sebagian lainnya sedemikian

berdosa dan penuh kebencian kepada Kristus sehingga memasuki keadaan neraka.

Jiwa-jiwa tersebut, yang ditentukan berakhir dalam persatuan dengan Allah dalam

surga, pertama-tama perlu dibersihkan terlebih dahulu melalui Api Penyucian. Di

situ jiwa-jiwa itu berjuang meraih kekudusan yang diperlukan untuk memasuki

kegembiraan surga.146 Dengan demikian perlu dibedakan juga mengenai dosa berat

dan dosa ringan. Hal ini penting untuk diketahui demi memahami lebih lanjut

pengajaran mengenai Api Penyucian. Dosa berat adalah dosa yang objeknya hal-

hal yang berat dan dilakukan dengan perbuatan penuh dan persetujuan yang telah

dipertimbangkan, sehingga jika tidak ditebus melalui penyesalan dan

pengampunan Allah akan mengakibatkan seseorang yang berdosa berat dianggap

sebagai pengecualian dari Kerajaan Kristus dan hanya layak mengalami kematian

abadi dalam neraka. Sebab, kebebasan manusia memiliki kuasa untuk membuat

145 Ibid., hal. 149. 146 Wikipedia Bahasa Indonesia, ibid.

Page 112: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

99

pilihan untuk selama-lamamnya tanpa dapat ditarik kembali. Sebaliknya, dosa

ringan tidak menjadikan manusia bertentangan secara langsung dengan kehendak

dan persahabatan dengan Allah, dan konsekuensi dari itu adalah kebahagiaan kekal

dalam surga. Namun, karena dosa ringan turut memperlemah kasih,

memanisfestasikan afeksi yang tidak semestinya pada barang-barang ciptaan dan

menghambat kemajuan jiwa dalam melakukan kebajikan-kebajikan serta kebaikan

moral, maka dosa ringan mengakibatkan hukuman sementara (temporal).147

4.4.2 Surga

Istilah “surga” adalah terjemahan dari bahasa Yunani Ourainos dan bahasa

Ibrani Syamayim. Term ini bisa dipahami sebagai tempat tinggal Allah, para

malaikat dan orang kudus yang mendapat keselamatan kekal. Dalam konteks

rencana keselamatan Allah dalam Yesus Kristus, surga dipandang sebagai keadaan

yang bertentangan dengan neraka. Neraka menggambarkan keadaan yang terkutuk

atau terhukum, yang di dalamnya tidak ada kebahagiaan sama sekali, karena setiap

orang teralienasi dari Allah, sesama dan dirinya sendiri. Di sana hanya ada

kematian abadi. Sedangkan surga menggambarkan keadaan dan kualitas rahmat

keselamatan, yang di dalamnya hanya ada kebahagiaan absolut dan kekal, karena

menjadikan Allah segala-galanya untuk setiap individu dan bagi komunitas

universal, dan pada saaat yang sama baik orang perorangan maupun komunitas

menjadi segala-galanya bagi Allah. Dengan kata lain, di dalam surga hanya ada

cinta yang membahagiakan, yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata

manusiawi. Inilah keselamatan dan kehidupan abadi (bdk. Mat. 25:34).148

Gereja mengajarkan bahwa setelah kehidupan berakhir di dunia ini,

manusia akan menemukan suatu kediaman abadi karena pada dasarnya hidup

manusia di dunia ini adalah peziarahan menuju rumah Bapa di surga. Surga adalah

suasana cinta dan persaudaraan yang membahagiakan. Dengan demikian, bagi

manusia, kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Hal tersebut diajarkan

dalam Katekismus Gereja Katolik nomor 1024, bahwa:

147 Ibid. 148 R. Ceme, op. cit., hal. 148.

Page 113: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

100

Kehidupan yang sempurna bersama Tritunggal Mahakudus ini,

persekutuan kehidupan dan cinta bersama Allah, bersama

perawan Maria, bersama para malaikat dan orang kudus,

dinamakan surga. Surga adalah tujuan terakhir pemenuhan

kerinduan terdalam manusia, keadaan bahagia tertinggi dan

definitif.149

Hal ini berarti, surga adalah tempat berkat, di mana orang-orang yang

diselamatkan hidup bersama Allah dalam kebahagiaan yang ada batasnya. Namun,

anggapan ini kelihatannya mempersempit pengertian surga sebagai suatu tempat,

dan dengan demikian agaknya menempatkan Allah dalam batas ruang dan waktu

tertentu, padahal Allah adalah “semua dalam semuanya”. Tradisi Kristen

menggunakan simbol tertentu untuk melukiskan surga. Surga selalu dibayangkan

sebagai “yang ada di atas segalanya” atau “yang tertinggi dari semuanya”, untuk

mengekspresikan kesempurnaan eksistensi manusia karena sudah diselamatkan

oleh Allah. Dalam pengertian ini, surga mesti dipahami sebagai pertemuan pribadi

dari “muka ke muka” dengan Allah, asal dan tujuan dari hidup dan eksistensi

manusia.150

Surga bukanlah suatu tempat, melainkan suatu keadaan dan kualitas rahmat

dan keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai komunitas

yang berkomunio dengan Allah dalam cinta yang tak terbagi. Di dalam komunio

ini, semua orang yang diselamatkan adalah orang-orang yang “satu dalam Kristus”

dan memandang wajah Allah secara langsung. Keselamatan individu baru

sempurna ketika manusia bahkan alam semesta dianugerahi kepenuhan oleh Allah

dalam Yesus Kristus dalam persatuan dengan Roh Kudus. Di dalam surga hanya

ada cinta timbal-balik yang sempurna antara Tuhan dan manusia, di mana manusia

dibebaskan dari “mencari diri sendiri”, dengan demikian memungkinkan manusia

untuk memberikan dirinya kepada Allah dalam cinta yang total dan Allah

memberikan diri-Nya kepada manusia. Dalam konteks ini, surga merupakan

sebuah dialog cinta, komunikasi mendalam antara manusia dan Allah dan orang

kudus. Surga ini diwarnai oleh persaudaraan yang sempurna, di mana semua orang

149 Herman Embuiru, Marga Bahagia (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1992), hal. 265. 150 R. Ceme, op. cit., hal. 150.

Page 114: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

101

diselamatkan bersama Kristus di dalam rumah cinta Allah dalam ikatan Roh

Kudus.

Sementara itu, teologi Perjanjian Baru mendeskripsikan surga dalam

hubungannnya dengan eksistensi Allah. Surga adalah kondisi atau tempat di mana

Allah meraja. Realitas surga mengungkapkan cinta yang relasional antara Allah

dan manusia, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup. Dengan itu, teologi

Perjanjian Baru mau mengungkapkan kebahagiaan manusia dalam kesatuan

dengan Allah. Kesatuan itu diperoleh sebagai sebuah rahmat yang mencapai

kesempurnaannya yang definitif. Maka, surga adalah dialog cinta, komunikasi

mendalam dengan Allah. Kesatuan itu diperoleh sebagai sebuah rahmat yang

mencapai kesempurnaannya yang definitif. Surga adalah persaudaraan sempurna

dengan semua orang kudus bersama Kristus di dalam rumah Bapa dalam ikatan

Roh Kudus.151

Selanjutnya, Mc Dannel dan Bernard Lang membagi dua gagasan pokok

tentang surga, seperti dikutip oleh Peter C. Phan. Dalam menjawabi pertanyaan

mengenai surga, Phan menjelaskan bahwa: gambaran tentang firdaus dan surga

dalam teologi Kristen mewujudkan dua gagasan pokok, yaitu surga sebagai

kesatuan mesra dengan Allah dan kontemplasi Allah, dan surga sebagai persatuan

dengan seluruh umat beriman. Dengan demikian, surga sesungguhnya adalah

terpenuhinya kerinduan-kerinduan terdalam dari hati manusia untuk memperoleh

kedekatan dengan Allah, kedamaian, perlindungan, istirahat kekal, keindahan, dan

kebahagiaan bersama dengan Allah dan sesame, juga dengan semua ciptaan

Allah.152

4.4.3 Neraka

Istilah neraka digunakan untuk mengungkapkan sebuah misteri gelap dan

menyeramkan yang bakal diterima oleh orang yang berdosa dan tidak bertobat.

Kita membayangkan bahwa ada sesuatu atau keadaan yang mengerikan dan

menakutkan serta penderitaan yang tak berujung yang akan menimpa semua orang

yang melakukan kejahatan tetapi tidak mau bertobat hingga akhirat. Namun,

151 Georg Kirchberger, Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia, op. cit., hal. 46. 152 P. C. Phan, op. cit., hal. 115-116.

Page 115: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

102

neraka bukan pertama-tama adalah tempat, melainkan sesuatu keadaan yang

dialami oleh orang-orang yang menolak Allah dan dengan penuh kebebasan

memilih untuk tidak bertobat. Deskripsi tentang neraka seperti ini membawa

problem teologis tersendiri bila dihubungkan dengan cinta Allah yang tak terbatas

dan tak bersayarat sebagai esensi Allah yang paling hakiki.153 Neraka adalah tidak

ada komunikasi. Manusia berada di dalam isolasi total, terkekang di dalam dirinya

sendiri, tanpa kontak positif dengan orang lain, serta membenci dan menolak orang

lain. Yesus sendiri berbicara dengan jelas mengenai neraka: “Siapa yang berkata:

Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat. 5:22). Hal ini

berarti Yesus tidak berbicara mengenai neraka sebagai suatu keadaan, tetapi untuk

mengundang orang bertobat dan menerima Kerajaan Allah.

Istilah neraka berasal dari bahasa Ibrani gehenna yang diterjemahkan

secara bebas sebagai neraka. Kata neraka ini berpautan dengan nama sebuah

lembah yang terletak di kota Yerusalem, yang biasa digunakan sebagai tempat

pembuangan dan pembakaran sampah-sampah. Lembah itu dalam bahasa Ibrani

disebut hinnom. Orang Israel membayangkan dan mempersandingkan dahsyatnya

nyala api di lembah hinnom tersebut dengan hukuman yang akan menimpa orang

berdosa dan kaum kafir. Dengan kata lain, lembah hinnom dijadikan sebagai kiasan

yang mendeskripsikan tempat siksaan bagi orang-orang jahat.154

Tidak hanya istilah hinnom saja yang dikenal dalam masyarakat Israel.

Masyarakat Yahudi juga memiliki istilah tersendiri untuk mengartikan gehenna.

Orang Yahudi meyakini bahwa semua orang mati, baik yang jahat atau yang baik,

semuanya akan masuk ke dalam neraka atau Syeol dalam bahasa Ibrani, atau hades

dalam bahasa Yunani. Syeol adalah dunia yang paling bawah, daerah kegelapan

(bdk. Ayb. 10:21) dan tempat yang penuh dengan debu di bawah bumi (Ayb.

17:16). Namun setelah adanya kepercayaan akan kebangkitan orang mati maka

dalam tulisan Perjanjian Lama mulai ada suatu perbedaan yang terlihat secara jelas

antara mereka yang baik akan dibangkitkan sesudah kematian untuk memperoleh

hidup baru dan kekal (bdk. Dan. 12:2, 2 Mak. 7:9, 11, 14, 23), dan disambut oleh

Allah (bdk. Mzm. 49:15). Sedangkan mereka yang jahat dihukum (Yes. 50:11,

153 G. Kirchberger, Allah Menggugat, op. cit., hal. 293. 154 Stanislaus Surip, Rahasia di Balik Paskah 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hal. 85-86.

Page 116: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

103

66:24, Ydt. 16:17, Keb. 4:19) dan bangkit untuk menemui kutuk dan aib (Dan.

12:2, 2 Mak. 7:14). Hukuman yang diperoleh adalah dibakar dengan api dan

dimakan ulat. Api melambangkan kehancuran dan ulat-ulat melambangkan

kebusukan (bdk. Yes. 50:11, 66:24).

Secara umum dalam Kitab Suci, term gehenna digunakan dalam arti

figuratif, sebagai tempat hukuman abadi yang diperuntukkan bukan saja bagi setan

dan penghulunya, tetapi bagi semua orang yang tidak beriman dan tidak bertobat

(bdk. Mat. 25:41, 5:29, 13;42, 22:13). Kitab Suci memakai gambaran-gambaran

untuk orang berdosa setelah pengadilan terakhir. Mat. 8:12 melukiskan neraka

sebagai kegelapan yang paling gelap. Neraka juga dilihat sebagai tempat

penghukuman bagi orang yang berdosa (Mat. 9:48). Sedangkan dalam Mrk. 3:28

ditulis kata-kata Yohanes Pembaptis dan Yesus bahwa orang yang tidak bertobat

akan dibuang ke dalam api yang menyala-nyala dan tidak akan pernah keluar dari

sana.155

Menegaskan arti gehenna seturut pendasaran Kitab Suci, Katekismus

Gereja Katolik nomor 1034 juga berbicara mengenai istilah gehenna yang

digunakan Yesus untuk mengidentifikasikan tempat penghukuman abadi dengan

siksa dan api yang tak terpadamkan bagi mereka yang jahat dan menolak untuk

percaya dan bertobat serta mengubah cara pandang dan pola tingkah laku, sehingga

hukuman neraka yang terutama adalah terpisahnya jiwa dari Tuhan untuk selama-

lamanya karena manusia terbelenggu di dalam keegoisannya sendiri. Di gehenna,

orang akan mengalami kehilangan kasih Allah, kehilangan hidup bersama Allah,

dan kehilangan kebahagiaan.156 Hal ini menegaskan paham neraka yang diutarakan

Michael Simpson, di mana neraka diartikan sebagai sebuah simbol yang

menyatakan kematian abadi. Kematian abadi merupakan sebuah eksistensi yang

terkucil dari Allah dan para kudus-Nya. Ini berarti manusia manusia mengalami

kegagalan untuk mendapatkan kepenuhan hidup, yakni berada dalam ketertutupan

diri sendiri, ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan bagi pribadi yang lain,

ketidakmampuan untuk mengalami keindahan dan juga ketidakmampuan untuk

berelasi dengan Tuhan melalui doa. Dengan kata lain, neraka merupakan gambaran

155 R. Ceme, op. cit., hal. 120. 156 Katekimus Gereja Katolik, op. cit., hal. 267.

Page 117: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

104

tentang keterasingan hidup dengan Allah dan sesama dan kegagalan untuk

memenuhi harapan untuk menikmati kebahagiaan karena manusia telah

membangun kehidupan di atas dasar yang palsu dan tidak berdasarkan misteri

Ilahi.157

Namun, pengertian neraka sebagai sebuah keadaan ketimbang tempat

ternyata melahirkan sebuah persoalan teologis tersendiri. Jika neraka dihubungkan

dengan cinta Allah yang tak terbatas dan tak bersayarat maka akan tampak adanya

ketegangan antara cinta Allah itu dengan pemberian hukuman kepada orang yang

berdosa. Bagaimanapun juga ajaran tentang hukuman abadi tersebut secara jelas

diajarkan dalam Kitab Suci.158

4.5 Kesimpulan

Ajaran Kristen mengenai kematian dan hidup kematian pada dasarnya

merupakan pengalaman iman. Gereja katolik mengajarkan pengalaman iman ini

mengacu pada Kitab suci, magisterium, trdisi Gereja dan beberapa pandangan

teologis lain dari bapa-bapa Gereja. Gereja mengarahkan manusia untuk

menanggapi peristiwa kehidupan dan kematian dengan sikap iman. Iman yang

dijalankan oleh manusia adalah melaksanakan kehendak Allah dan mengamalkan

dalam sikap hidup sehari-hari. Karena manusia adalah ciptaan Allah yang secitra

dengan-Nya diberi kuasa untuk menggunakan kebebasan serta memelihara

ciptaannya secara bertanggungjawab sebagai bukti cinta Allah kepada manusia.

Dengan kehendak bebas yang diberikan oleh Allah manusia jatuh dalam

dosa. Dosa membuat manusia terasing dari Allah dan sesama manusia, tidak ada

relasih kasih antara Allah dan manusia. Pada satu sisi Allah mencintai manusia

sebagai ciptaannya yang mulia, la memanggilnya agar lebih dekat dengan-Nya.

Karena pada dasar-nya Allah adalah kasih, ia ingin memperbaiki relasi dengan

manusia dalam diri Puter-Nya Yesus Kristus. Yesus kistus tanda kehadiran Allah

yang menyelamatkan manusia dari kematian akibat dosa dan mediator dengan

Allah. Wafat dan kebangkitan Kristus menjadi puncak dan penjamin kebangkitan

manusia yang mengalami kematian. Maka, berkat kematian Kristus, manusia pun

157 Michael Simpson, op. cit., hal. 67-69. 158 Milard J. Erikson, Christian Theology (Michigan: Bake Books, 1998), hal. 1242.

Page 118: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

105

mengalami kebangkitan kekal dalam keabadian. Manusia bangkit bersama Kristus

dan bangkit pula bersama Kristus. Persoalan kebangkitan ini hanya dapat dijawab

dengan gagasan iman. Dan keyakinan iman kita menegaskan ada kehidupan baru

setelah kematian sehingga mendorong manusia untuk memberi makna terhadap

hidupnya sendiri. Dan kenyataan hidup setelah kematian ada dalam keadaan Api

Penyucian, surga dan neraka.

Page 119: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

106

BAB V

PERBANDINGAN MAKNA DI BALIK RITUS KEMATIAN

MASYARAKAT SUKU EMBU LEJA DENGAN PANDANGAN GEREJA

KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN

SERTA IMPLIKASINYA BAGI KARYA PASTORAL GEREJA

Kematian pada dasarnya merupakan pengalaman iman. Gereja Katolik

mengajarkan pengalaman iman ini dengan mengacu pada ajaran Kitab Suci,

Magisterium, tradisi Gereja, dan pandangan teologis dari beberapa teolog. Melalui

ajaran-ajaran tersebut, Gereja berusaha mengarahkan umat-Nya untuk menanggapi

peristiwa kematian dengan sebuah sikap iman yang benar. Bagaimanapun juga,

problem tentang kematian hanya bisa dijawab dengan berpegang pada refleksi

iman kita. Dengan keyakinan iman ini, kita memiliki harapan akan kehidupan baru

yang dapat dicapai setelah kematian.

Teologi Kristen mengatakan bahwa kematian adalah pintu masuk menuju

ke dalam hidup yang sesungguhnya, yakni keselamatan dan kebahagiaan yang

diperoleh dari Allah. Kepercayaan Kristen akan kematian bukan kata terakhir

dalam dialog cinta antara manusia dengan Allah, melainkan hanya merupakan satu

pintu yang melaluinya manusia memasuki satu fase baru dari kehidupannya: “Bagi

orang beriman hidup hanyalah diubah, bukan dilenyapkan”. Hal ini menunjukkan

keyakinan adanya sebuah kehidupan baru setelah manusia mengalami kematian.

Akan tetapi, untuk mencapai kehidupan baru itu, terlebih dahulu manusia masuk

dalam pengadilan di mana Allah berperan sebagai hakimnya. Pengadilan itu

menentukan apakah manusia diperbolehkan masuk surga, neraka, atau api

penyucian. Hal ini bergantung pada sikap dan perbuatan manusia serta tanggapan

cinta Allah.

Berdasarkan paradigma tersebut maka usaha untuk mencari unsur yang

dapat diselaraskan dan unsur yang tidak dapat diselaraskan antara ritus-ritus

kematian masyarakat suku Embu Leja dengan pemahaman Gereja tentang

kematian dan hidup sesudah kematian adalah suatu usaha yang memiliki urgensitas

dan tujuan tersendiri. Gereja maupun masyarakat suku Embu Leja meyakini

Page 120: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

107

adanya kehidupan baru sesudah kematian. Baik kebudayaan masyarakat Embu

Leja maupun ajaran Gereja Katolik masing-masing tetap memiliki integritas dan

identitas tersendiri. Namun, keduanya memiliki hubungan yang erat, bagaikan dua

sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan di mana masyarakat budaya suku Embu

Leja loyal terhadap warisan Gereja dan juga loyal pada kebudayaan setempat.

Hubungan keduanya memberikan kesan bahwa adanya dualisme yang dihayati

oleh masyarakat suku Embu Leja yang juga merupakan anggota Kristen Katolik.

Dualisme ini dinyatakan dengan praktik “agama ganda” atau “iman dengan standar

ganda”. Mereka menerima baik inisiasi Kristen maupun inisiasi-inisiasi asli seturut

kepercayaan agama tradisonal mereka. Mereka berdoa dan memohon berkat ilahi

dengan memakai tata cara iman Katolik dan melalui tata cara keagamaan asli

mereka. Dalam doa-doa itu mereka menyampaikan permohonan-permohonan

mereka kepada Yang Mahatinggi dengan perantaraan para kudus Kristen dan para

leluhur mereka sendiri di dalam dua jalan yang terpisah tetapi berjalan sejajar.

Oleh karena itu, unsur yang dapat diselaraskan yang akan ditemukan dalam

pandangan kematian budaya masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran Katolik

tentang kematian akan dimanfaatkan sebagai modal untuk membangun dialog dan

kerja sama yang baik di antara kedua belah pihak. Sebaliknya, unsur yang tidak

dapat diselaraskan seharusnya tidak dipertentangkan, melainkan mesti menjadi

suatu hal yang dihargai dan dihormati oleh masing-masing pihak. Hal tersebut

pada akhirnya dapat membantu dalam melaksanakan karya pastoral praktis yang

sesuai dengan konteks masyarakat suku Embu Leja. Pada bab ini akan ditampilkan

unsur-unsur yang sama maupun unsur-unsur yang berbeda dari perbandingan

tersebut.

5.1 Unsur-Unsur yang Dapat Diselaraskan

5.1.1 Keyakinan Adanya Allah (Wujud Tertinggi)

Makna di balik ritus kematian suku Embu Leja pada akhirnya bermuara

pada pengakuan akan adanya Wujud Tertinggi. Wujud Tertinggi dipahami dan

dirasakan sebagai asal dan tujuan hidup manusia. Di samping itu, Wujud

Tertingggi dilihat sebagai pencipta manusia dan pemelihara alam semesta. Hal ini

berarti, yang Ilahi merupakan pengasal dan tujuan hidup manusia, sebab manusia

Page 121: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

108

diciptakan oleh-Nya dan akan kembali kepada-Nya melalui peristiwa kematian. Di

sini, hakikat Wujud Tertinggi adalah memiliki kekuatan penuh dan menjadi

sumber kehidupan. Untuk menyelami adanya Wujud Tertinggi itu, manusia

sebagai mahkluk religius memaknai ritus-ritus sebagai sarana pengantara.159

Karena itu, tindakan-tindakan ritual yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu

Leja dalam hubungannya dengan peristiwa kematian menunjukkan dengan pasti

bahwa Wujud Tertinggi itu benar-benar ada.

Masyarakat suku Embu Leja mengimani dan menyebut Wujud Tertinggi

dengan nama Ia160: Du’a Ghéta Lulu Wula, Ngga’é Ghalé Wena Tana. Du’a Ghéta

Lulu Wula. Ungkapan ini mengindikasikan relasi vertikal antara Wujud Tertinggi

dengan manusia. Du’a Gheta Lulu Wula berada di tempat yang paling tinggi dan

agung mengatasi segala yang ada di atas langit, sedangkan manusia berada di

bumi. Du’a Ghéta Lulu Wula mempunyai arti sebagai “Tuhan di ujung bulan”. Hal

ini menggambarkan kepercayaan bahwa Wujud Tertinggi itu berada di atas segala

makhluk hidup, alam semesta, dan segala isinya. Sedangkan, Ngga’é Ghalé Wena

Tana mengungkapkan relasi horizontal antara Wujud Tertinggi dengan manusia.

Ngga’é Ghalé Wena Tana berada bersama-sama dengan manusia di bumi dan

menyatu dengan mereka, sesuatu yang hadir, tidak hanya bersifat maya dan abstrak

dengan segala kedahsyatan dan keagungannya, namun sungguh-sungguh nyata

hadir di dalam kehidupan manusia. Meskipun Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é

Ghalé Wena Tana merupakan sesuatu yang tersembunyi dan tidak terselami,

namun Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Ghalé Wena Tana adalah pemberi

anugerah kehidupan, anugerah kesehatan, pemberi rahmat hujan dan kesuburan

bagi tanaman sekaligus pelindung bagi perjalanan hidup manusia.

Searah dengan peran yang dimiliki oleh Ia menurut masyarakat suku Embu

Leja, peran yang sama terdapat juga dalam ajaran Gereja yang mengungkapkan

bahwa Allah memiliki peran yang amat mendominasi seluruh perjalanan hidup

manusia, sejak kelahiran sampai dengan saat kematian. Allah diyakini sebagai

pencipta manusia, alam dan lingkungan, pemelihara hidup manusia, pelindung dan

159 Hans J. Daeng, Manusia dan Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2008), hal. 236. 160 Dalam pembahasan selanjutnya penggunaan nama Wujud Tertinggi ini menggunakan kata Ia

yang mengandung pengertian sama dengan Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Ghalé Wena Tana.

Page 122: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

109

penyelamat. Dengan kodratnya sebagai makhluk religius, manusia dipandang

datang dari Allah dan senantiasa berjalan menuju Allah. Karena-Nya hanya dalam

hubungan dengan Allah, manusia dapat menghayati kehidupan manusiawi yang

utuh. Gereja sungguh berkeyakinan dan menempatkan Allah sebagai asal dan

tujuan hidup manusia. Di samping itu, keimanan akan Allah menjadi hal yang amat

penting karena dengan itu manusia dapat menghayati hidupnya secara benar.

Dalam hubungan dengan ziarah hidup manusia, Allah ditempatkan sebagai tujuan

akhir, di mana setiap ciptaan dimungkinkan untuk bersatu bersama Allah di dalam

kerajaan-Nya.161 Hal ini berarti bahwa manusia, bumi dan dunia tidak mempunyai

keterangan dalam dirinya sendiri, pasti ada awal mulanya. Awal mula di mana

yang mahabebas dan mahakuasa memberikan ada dan gerakannya kepada segala

sesuatu. Awal mula yang sadar, yang berkuasa, dan yang memimpin semuanya,

yakni Tuhan. Tuhan itu adalah cinta kasih. Tuhan Allah yang adalah cinta kasih

tersebut mengasihi ciptaan-Nya dengan cinta yang kekal abadi. Allah yang kekal

telah menciptakan semesta alam dengan suatu keputusan yang sama sekali bebas

dan ajaib, yang keluar dari kebijaksanaan-Nya dan kebaikan-Nya. Ia telah

memutuskan untuk mengangkat manusia sampai mendapat bagian dalam

kehidupan Ilahi. Ia tidak membiarkan manusia bahkan ketika manusia dalam diri

Adam jatuh ke dalam dosa. Ia selalu memberikan pertolongan kepada manusia

demi keselamatannya, mengingat Kristus Penebus “yang citra dari Allah yang tak

kelihatan adanya, anak sulung lebih utama dari segala yang diciptakan” (Kol.

1:15).162

Berdasarkan uraian-urain di atas dapat diambil kesimpulan bahwa baik

dalam masyarakat suku Embu Leja maupun ajaran Gereja, kedua-duanya memiliki

konsep yang sama, yakni ada kepercayaan tentang yang transenden, menyembah

yang transenden atau Allah yang memiliki kemiripan dalam berbagai hakikat

kepribadian. Misalnya, Allah (Ia) yang dipandang sebagai asal adalah Allah yang

menciptakan dan membentuk manusia dan alam jagat raya. Demikianpun sebagai

Allah yang melindungi dan mengasihi manusia sebagai ciptaa-Nya, terutama di

161 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 24. 162 Josef Boumans, Umat Yesus: Tuntunan Khalwat Satu Minggu Berdasarkan Kitab Suci dan

Ajaran Gereja (Jakarta: Obor, 2000), hal. 13.

Page 123: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

110

dalam ziarah hidup manusia, sekaligus menyediakan tempat tinggal yang layak

sesudah kematian bagi setiap orang yang percaya.

5.1.2 Keyakinan dan Harapan akan Hidup Setelah Kematian

Harapan akan hidup kembali setelah kematian merupakan sebuah kekuatan

yang mendorong manusia untuk mencapai kerinduan akan tujuan hidup dan

keadaan hidup setelah kematian. Orang Lio menganut pandangan kosmis, di mana

pandangan ini dipahami sebagai unsur alamiah yang berasal dari jiwa alam dan

melalui roda eksistensi yang akhirnya kembali ke asalinya dan melebur ke

dalamnya.163 Dengan demikian, orang Lio pada umumnya dan masyarakat suku

Embu Leja meyakini bahwa sesudah kematian tubuh (tebo) memang akan hancur

menjadi tanah, namun jiwa (mae) akan tetap hidup selamanya, di mana jiwa

manusia akan kembali ke alam asalinya. Hal ini berarti, kematian manusia bukan

merupakan akhir dari segala-galanya, melainkan dimaknai sebagai peralihan hidup

dari dunia ini menuju ke alam lain, yakni Danau Kelimutu (tempat tinggal para

arwah). Di Danau Kelimutu, orang yang telah meninggal akan berjumpa dengan

sanak keluarga dan semua orang yang telah meninggal sesuai amal bakti di dunia.

Masyarakat suku Embu Leja melihat hidup setelah kematian memiliki ciri khas

tersendiri, yakni hidup dalam roh. Namun, situasi dan kondisi yang terjadi di

tempat tinggal arwah seperti manusia yang masih hidup di dunia, yakni orang yang

telah meninggal masih membutuhkan kebahagiaan dan kesejahteraan dan hidup

bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga atau kerabat yang meninggal. Hal

itu tersirat di dalam ungkapan: Demi kami mata, kami wi mera sama-sama no

embu mamo lau Kelimutu (“Jika kami mati nanti, kami akan tinggal berasama para

leluhur”).164 Inilah harapan yang hidup di tengah masyarakat suku Embu Leja saat

berhadapan dengan kematian.

Hal ini berarti bahwa kematian merupakan akhir kebersamaan yang konkret

di antara manusia, namun relasi yang telah dibangun bersama selama manusia itu

masih hidup sesungguhnya tidak akan terputus oleh kematian itu sendiri. Kematian

163 Rahmat Subagya, Agama dan Alam Kerohanian di Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1979), hal. 76. 164 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u dan tokoh adat Tendawena, pada

tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 124: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

111

menjadi sebuah peralihan atau peziarahan ke dalam suatu kehidupan yang baru. Di

dalam kehidupan baru tersebut, orang-orang yang meninggal masuk dan tinggal

bersama para leluhur (embu-mamo) dan Ia di Kelimutu. Oleh karena itu, ritus yang

dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja diyakini sebagai sarana penjamin

kesejahteraan nasib hidup bagi orang yang meninggal, sehingga setiap tahapan

ritus kematian mesti dilaksanakan dengan tepat dan teratur. Dengan kata lain,

berbagai ritus kematian dan tahapan-tahapan yang dilakukan masyarakat suku

Embu Leja merupakan usaha untuk mencapai harapan akan kepenuhan hidup yang

bahagia setelah kematian.

Apa yang diyakini masyarakat suku Embu Leja sehubungan dengan adanya

kehidupan baru sesudah kematian itu tidak jauh berbeda dengan ajaran Gerja

Katolik yang juga memiliki pandangan tentang adanya harapan hidup setelah

kematian. Harapan tersebut lahir dari kepercayaan akan janji Allah, yakni

menyatukan manusia sebagai ciptaan-Nya dalam kasih ke-Ilahian-Nya yang terjadi

pada sejarah kehidupan bangsa Israel yang senantiasa dalam perlindungan serta

penyertaan kasih Allah. Janji cinta dan kasih Allah terhadap manusia diwartakan

melalui para nabi dan pada akhirnya berpuncak pada peristiwa pengutusan Yesus

Kristus. Kehadirian Yesus di tengah umat manusia menyerukan janji keselamatan

yang telah dijanjikan Allah yang tampak dalam peristiwa salib, wafat, dan

kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus memberikan makna baru bagi kematian

manusia, yakni kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Sehubungan dengan

itu, dalam Katekismus Gereja Katolik nomor 944 dijelaskan:

“Akulah kebangkitan dan Hidup” (Yoh. 11:25). Pada hari

kiamat, Yesus sendiri akan membangkitkan mereka, yang

percaya kepada-Nya yang telah makan tubuh-Nya dan minum

darah-Nya. Dalam kehidupan-Nya di dunia ini, Yesus telah

memberikan tanda dan jaminan untuk itu, waktu Ia

membangkitkan beberapa orang mati dan dengan demikian

mengumumkan kebangkitan-Nya sendiri, tetapi yang termasuk

dalam tatanan lain. Kejadian yang sangat khusus ini Ia

bicarakan sebagai “tanda nabi Yunus” (Mat. 12:39), tanda

kenisah: Ia mewartakan bahwa Ia akan dibunuh, tetapi akan

bangkit lagi pada hari ketiga.165

165 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 257.

Page 125: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

112

Pernyataan ini menegaskan bahwa kebangkitan Yesus merupakan sebuah

tanda kepenuhan dalam karya penyelamatan Allah bagi manusia untuk masuk

dalam kesatuan dengan-Nya. Pada sisi yang sama, pandangan Gereja akan harapan

hidup setelah kematian juga digarisbawahi dalam Konstitusi Pastoral tentang

Gereja dalam Dunia Dewasa Ini, Gaudium et Spes nomor 39, sebagai berikut:

Kita tidak mengetahui, kapan dunia dan umat manusia akan

mencapai kesudahannya; tidak mengetahui pula, bagaimana

alam semesta akan diubah. Dunia yang seperti kita kenal

sekarang dan juga telah rusak akibat dosa, akan berlalu. Tetapi

kita diberi ajaran bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru

dan bumi yang baru, kediaman keadilan dan kebahagiaan yang

memenuhi bahkan melampui segala kerinduan akan kedamaian

yang pernah timbul di dalam hati manusia.166

Konsili melihat bahwa dunia sekarang dan segala ciptaan yang ada akan

lenyap, tetapi Allah akan menciptakan dunia yang baru yang akan memenuhi

segala harapan manusia: ”… apa yang tidak pernah dilihat oleh mata dan dan tidak

pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah timbul dalam hati manusia;

semuanya disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1 Kor. 2:9). Hal

ini berarti, pandangan Kristen mengenai kehidupan sesudah kematian sebenarnya

mau menegaskan kembali eksistensi Allah yang adalah kasih dan keimanan

manusia akan kasih Allah itu, bahwa di dalam Allah yang adalah kasih, manusia

boleh bermegah dalam pengharapan akan nasib hidupnya sesudah kematian.

Keyakinan akan ada harapan hidup setelah kematian (keselamatan) dalam

tradisi suku Embu Leja dan tradisi Gereja sama-sama memiliki padangan bahwa

keselamatan yang diharapkan sesudah kematian itu bukan terjadi secara otomatis

atau terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu dipersiapkan sejak manusia

berziarah di dunia, yang diaplikasikan lewat sikap yang bijaksana seperti yang

ditegaskan John Prior sebagai berikut:

Adalah sikap yang bijaksana untuk takut akan Allah, dan

menyangkut masa depan tidak bergantung pada kebijaksanaan

sendiri: artinya kepasrahan diri kepada Tuhan dan melaksanakan

perintah-perintahNya; mencari kebenaran dan pemahaman;

bersahabat dengan orang lain seraya mendidik anak-anak kita

166 Dokumen Konsili Vatikan II, op. cit., hal. 567.

Page 126: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

113

mengikuti jalan yang sama: siapa yang mengasihi dan

menikmati Allah akan menikmati kasih kedamaian dan usia

yang panjang, karena Allah melihat dan menghakimi sesuatu

maka kita mesti mengakui dan meninggalkan cara-cara penuh

dosa agar memperoleh belas kasih Allah.167

Hal ini berarti, keselamatan (baca: harapan akan hidup setelah kematian)

merupakan suatu kenyataan yang benar-benar ada dan darinya manusia dapat

berharap akan mengalaminya sesudah kematiannya. Keselamatan tersebut hanya

akan terwujud apabila manusia hidup selaras dengan apa yang diwariskan oleh

para leluhur dan iman kepada Allah yang tampak dalam ritus-ritus. Pengharapan

akan Allah menuntut usaha dan perjuangan dari manusia lewat tuntutan Roh Allah.

Roh Allah sendirilah yang akan menempatkan pengharapan itu di dalam hati

manusia, karena melalui Roh Allah manusia akan diarahkan pada keselamatan di

dalam Kerajaan Allah.

Jadi dapat dikatakan, kedua tradisi ini menempatkan yang Ilahi (Ia) sebagai

tujuan akhir ziarah hidup manusia sesudah kematiannya. Secara konkret dapat

dipahami yang menjadi objek harapan akan adanya hidup setelah kematian dari

kedua tradisi ini adalah keselamatan di dalam Allah (Ia) melalui sikap bijaksana

untuk takut akan Allah (Ia).

5.1.3 Aspek Inisiasi

Kata inisiasi berasal dari bahasa Latin inire atau initiare yang berarti

memasuki, bergabung dalam suatu kelompok, atau memasukkan atau menerima

seseorang ke dalam suatu kelompok. Pengertian ini merujuk pada dua aktivitas,

yaitu seseorang yang masuk ke dalam sebuah kelompok dan kelompok menerima

seseorang masuk ke dalam kelompoknya.168 Peristiwa inisiasi terdapat di dalam

ritus-ritus di berbagai tempat. Ritual inisiasi umumnya dilakukan sebagai ucapan

syukur atas kehadiran bayi yang ada di dalam kandungan, kelahiran, peralihan dari

masa pubertas (akil balik) ke masa dewasa, pernikahan, hingga peristiwa kematian.

Jadi, praktik inisiasi sebenarnya telah dilakukan oleh banyak kelompok, suku,

167 John Mansford Prior, Menjembol Jeruji Prasangka: Membaca Alkitab dengan Jiwa (Maumere:

Ledalero, 2010), hal. 226. 168 E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 207-208.

Page 127: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

114

kelompok keagamaan, sebagai tanda masuk atau diterimanya seseorang di dalam

sebuah kelompok, komunitas, suku atau masyarakat.169

Dalam pelaksanan ritus kematian masyarakat suku Embu Leja terdapat juga

aspek inisiasi. Setiap orang yang meninggal masuk ke dalam kelompok atau

persekutuan para arwah yang diyakini berdiam di danau Kelimutu. Hal ini

ditegaskan dalam syair adat saat pelaksanaan ritus kematian yang diungkapkan

oleh Pu’u Kamu, secara khusus saat Lo Ata Mata Ghole Ghomo (menurunkan peti

jenazah ke dalam liang kubur), yakni: “Mbana ma’e salah jala leta ma’e salah

wolo. Pama kami” (“Pergilah, jangan sampai salah jalan, jangan tersesat di dalam

perjalanan. Lindungilah kami”). Selain itu di dalam ritus Nangi Ata Mata terdapat

juga permohonan agar para leluhur (embu-mamo) bisa menerima arwah orang yang

meninggal.

Dengan itu, pelaksanaan ritus kematian dilihat sebagai satu kesatuan yamg

dilakukan demi mencapai kesatuan jiwa orang yang telah meninggal dengan embu-

mamo dan Ia. Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa kesatuan tersebut

dapat terjadi apabila orang yang meninggal dinyatakan benar-benar layak untuk

bersatu bersama para embu-mamo dan Ia. Kelayakan itu hanya dapat diketahui

berdasarkan sikap orang yang meninggal tersebut selama masih hidup di dunia.

Selain itu, untuk bergabung bersama para embu-mamo, seseorang harus memenuhi

syarat-syarat seperti meninggal secara wajar, bukan meninggal secara tragis seperti

kematian karena kecelakaan atau bunuh diri. Syarat lainnya adalah seseorang yang

meninggal merupakan anggota keluarga yang diikat melalui hubungan darah, juga

para sahabat yang selama hidupnya memiliki kualitas hidup yang baik.170 Oleh

karena itu, ritus-ritus kematian perlu diadakan oleh pihak keluarga yang masih

hidup agar dapat menjamin persatuan antara orang yang meninggal dengan embu-

mamo dan Ia.

Sehubungan dengan inisiasi yang terdapat dalam ritus kematian masyarakat

suku Embu Leja, ajaran Gereja pun mengenal inisiasi. Ajaran Gereja mengenai

inisiasi menunjukkan bahwa melalui kematian seorang dimasukkan ke dalam

169 Wikipedia Bahasa Indonesia, https://id.wikipedia.org/wiki/Inisiasi, diakses pada tanggal 1

Februari 2019. 170 Hasil wawancara dengan Anastasia Pawe, masyarakat desa Tendawena, pada tanggal 11 Oktober

2019 di Tendawena.

Page 128: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

115

golongan para arwah yang akan bersekutu dengan para kudus dan hidup bersama

dengan Allah dalam suatu dunia yang kekal abadi. Keabadian yang diperoleh

seseorang merupakan rahmat dari Allah karena melalui Yesus Kristus dosa

manusia telah ditebus dan disucikan oleh darah Kristus di kayu salib. Gereja

sebagai persekutuan yang senantiasa ingin menikmati karya keselamatan Allah dan

ingin bersama dan bersatu dengan Allah dan sesama dan kebersamaan tersebut

dianugerahkan oleh Allah kepada manusia melalui Yesus Kristus.171

Jadi, inisiasi dapat dipahami sebagai tanda seseorang dihantar masuk ke

dalam kehidupan baru bersama dengan Allah dan sesama dalam keabadian.

Rahmat pembaptisan menjadikan seseorang layak untuk masuk ke dalam

persekutuan dengan Allah dan sekaligus memperoleh keselamatan yang datang

dari Allah. Di dalamnya, seseorang diubah dan dihantar kepada kebahagiaan

bersama Allah dan para kudus (leluhur).

5.1.4 Pandangan tentang Penyucian Diri Manusia

Masyarakat suku Embu Leja memilliki kepercayaan bahwa setelah manusia

mengalami kematian, ia berpindah ke alam baka. Meskipun demikian, sesudah

seseorang meninggal, jiwanya tidak otomatis ke masuk dalam tempat

berkumpulnya para arwah, yakni danau Kelimutu. Ada mitos yang beredar di

tengah masyarakat suku Embu Leja bahwa ketika orang yang baru meninggal

hendak masuk ke Kelimutu, muncullah satu sosok yang bertugas untuk menilai

apakah orang mati tersebut sudah bersih atau belum. Masyarakat suku Embu Leja

menyebutnya Embu Wangga. Jika Embu Wangga mendapati orang yang

meninggal sudah dalam keadaan bersih, ia akan meminta sanak keluarganya

(embu-mamo) untuk segera menjemputnya masuk ke dalam persekutuan para

embu-mamo di danau Kelimutu, khususnya di Tiwu Ata Mbupu yang merupakan

tempat peristirahatan bagi orang-orang yang berbudi baik, luhur, dan suci.

Sebaliknya, jika orang yang telah meninggal didapati dalam keadaan yang tidak

bersih maka ia akan diperintahkan untuk masuk ke Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri

yang merupakan tempat peristirahatan bagi orang-orang yang masih membutuhkan

penyucian atau pembersihan diri, atau orang-orang yang masih mengalami

171 E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, op. cit., hal. 211.

Page 129: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

116

pergolakan dan perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat. Selain itu,

apabila orang meninggal yang semasa hidupnya diketahui telah banyak berbuat

dosa dan kejahatan maka ia akan diminta untuk masuk ke Tiwu Ata Polo yang

merupakan tempat bagi orang-orang yang berdosa. Tempat ini dianggap sebagai

tempat untuk menjalankan siksaan dan hukuman sebagai upah dari dosa.172

Sehubungan dengan konsep pencucian diri, masyarakat suku Embu Leja

memiliki pengharapan agar jiwa (mae) setiap orang yang meninggal disucikan dan

dibersihkan. Dengan itu, mereka dapat dinyatakan layak untuk menghuni Tiwu Ata

Mbupu. Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari, harapan untuk mendapat

tempat tinggal bersama para leluhur di Tiwu Ata Mbupu bukanlah hal yang mudah

diperoleh, mengingat pribadi manusia memiliki kemungkinan dan kecenderungan

untuk berbuat pelanggaran-pelanggaran dan dosa seperti mencuri, membunuh,

melakukan perselingkuhan dengan suami atau isteri orang lain, dan melanggar

tuntutan-tuntutan adat misalnya tidak menghormati pesan dari embu mamo.

Dengan kata lain, dosa adalah perbuatan manusia yang menyebabkan disharmoni

dalam kosmos. Kosmos dalam konteks ini berarti alam dunia. Di dalam kosmos

terjalin suatu hubungan yang baik dan tertib antara yang Ilahi, para arwah leluhur,

dan manusia. Apabila hubungan-hubungan itu putus maka keharmonisan kosmos

menjadi berantakkan. Disharmoni terutama ini disebabkan oleh dosa.173 Oleh

karena itu, demi memperoleh kelayakan untuk tinggal bersama embu-mamo di

172 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. Fransiskus menjelaskan bahwa menurut

legenda masyarakat setempat, diceriterakan bahwa masyarakat Lio pada umumnya percaya bahwa

jiwa atau arwah akan datang ke danau Kelimutu. Ketika seseorang meninggal dunia, jiwanya (mae)

akan meninggalkan kampung halamannya dan tinggal di danau Kelimutu untuk selama-lamanya

bersama para leluhur lainnya. Sebelum masuk ke dalam salah satu danau dari tiga danau yang ada

di Kelimutu, para arwah tersebut terlebih dahulu menghadap Konde Ratu selaku penjaga pintu

masuk di Perekonde (Pintu Gerbang). Di sini, setiap jiwa diperiksa status kelayakannya.

Selanjutnya, jika jiwa tersebut dinyatakan layak maka ia akan diantar masuk ke salah satu danau,

tergantung usia dan perbuatannya semasa hidup. Namun, di sisi lain dijelaskan juga bahwa

meskipun Ratu Konde adalah penguasa yang tinggal di Kelimutu, masing-masing wilayah di tanah

Lio memiliki penguasa tersendiri dalam dunia arwah di Kelimutu sesuai dengan wilayah

kekuasaannya. Untuk wilayah Tendawena, penguasa yang dikenal adalah Embu Wangga, yang

menjadi penjaga pintu gerbang. Masyarakat Tendawena percaya bahwa saat berhadapan dengan

Embu Wangga, setiap jiwa (tebo) diperiksa status kelayakannya, apakah ia pantas masuk ke

Kelimutu atau tidak. Jika dianggap belum layak maka jiwa tersebut akan dikembalikan, meskipun

dalam beberapa jam dinyatakan telah meninggal dunia (semacam peristiwa mati suri). 173 Bdk. Bernardus Boli Ujan, Mati dan Bangkit Lagi. Dosa dan Ritus-Ritus Pemulihan Menurut

Orang Lembata: Suatu Tinjauan Antropo-Religius untuk Memperdalam dan Menumbuhkan Hidup

Beriman Umat Melalui Ibadat Tobat Inkulturatif (Maumere: Ledalero, 2012), hal. 21.

Page 130: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

117

Tiwu Ata Mbupu maka orang yang meninggal perlu pemurnian diri terlebih dahulu

di Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri. Dengan kata lain, masa pemurnian atau

penyucian diri sangat diperlukan karena menjadi salah satu syarat bagi orang yang

meninggal agar bisa diterima sebagai warga di Tiwu Ata Mbupu.174

Menurut masyarakat suku Embu Leja, ketika arwah berada di Tiwu Ko’o

Fai Nua Muri, arwah tersebut diyakini masih bergentanyangan dalam rupa mae

atau jiwa yang belum tenteram. Mae diyakini masih berada di bumi dan akan

menunjukkan dirinya yang sedang menderita dan menjadi semacam penampakan

yang sungguh mengerikan bagi orang-orang yang masih hidup, misalnya melalui

peristiwa kesurupan yang dialami salah satu anggota keluarga yang masih hidup.

Mae juga bisa menunjukkan dirinya melalui mimpi yang mengandung makna

tertentu bagi keluarga. Berhadapan dengan situasi ini, orang akan memahami

bahwa mae yang telah meninggal membutuhkan bantuan agar bisa mengalami

keselamatan, yakni bersatu dengan para leluhur di Tiwu Ata Mbupu. Karena itu,

ritus Rasi Ata Mata perlu dilakukan dengan sepenuh hati dan tidak boleh

dilewatkan begitu saja sebagai sarana pertobatan agar jiwa orang yang meninggal

dibersihkan dan bisa mencapai kehidupan yang layak bersama embu-mamo di

Kelimutu. Selain itu dibutuhkan juga pelaksanaan ritus Pati Ka Embu-Mamo, ritus

Joru dan poru joka agar keberadaan dan masa pemurnian jiwa tersebut di Ko’o Fai

Nua Muri dapat segera berlalu dan ia dapat mengalami persekutuan dengan para

leluhur di Tiwu Ata Mbupu.175

Pandangan masyarat suku Embu Leja tentang penyucian diri manusia

memiliki kemiripan dengan pandangan Gereja Katolik tentang purgatorium atau

api penyucian bagi orang-orang yang meninggal. Api penyucian merupakan suatu

keadaan di mana seseorang yang telah meninggal diputuskan oleh Allah untuk

menjalani masa pemurnian sebelum masuk ke dalam keabadian hidup di surga. Api

penyucian adalah api yang memurnikan manusia dari segala noda dosa, silih segala

utang dosa sepanjang hidupnya, serta melepaskan manusia dari segala keterikatan

duniawi agar ia dapat sepenuhnya mengalami kepenuhan bersama Allah dan para

174 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 175 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja serta tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 131: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

118

kudus di surga. Sesudah segala dosa dibersihkan dan diri manusia dimurnikan,

maka ia segera masuk ke dalam kemuliaan dan persekutuan hidup paripurna dalam

komunikasi cinta bersama Allah di surga. Sehubungan dengan itu, Gereja

menganjurkan amal, idulgensi dan karya penitensi untuk orang meninggal seperti

yang tertulis di dalam Katekismus Gereja Katolik nomor 1032 bahwa:

“Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka.

Kalau anak-anak Ayub saja disucikan oleh kurban yang

dibawakan bapanya, bagaimana kita dapat meragukan

persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati?

Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan

mempersembahkan doa untuk mereka” (Yohanes Krisostomus,

hom in 1 Cor. 41, 5).176

Hal ini berarti, di dalam api penyucian orang-orang yang telah meninggal

dunia mempunyai relasi cinta yang lebih dekat dengan Allah, meskipun mereka

belum melihat wajah Allah secara langsung, berdialog secara langsung dengan

Allah dari muka ke muka. Semua jiwa yang ada di dalam api penyucian dipenuhi

dengan rahmat dan cinta Allah. Mereka tidak diabaikan Allah, melainkan

mengalami cinta Allah yang memurnikan mereka. Simbol api tidak berarti

hukuman, melainkan cinta Allah yang bernyala yang sedang membersihkan setiap

orang dari kecenderungan dasar untuk berdosa, memurnikan dari dosa,

menyembuhkan penderitaan, dan membebaskan manusia dari kematian kekal.

Allah kembali memulihkan kodrat manusia yang telah rusak akibat dosa dan

mengenakan hakikatnya yang asli dan murni seperti pada awal manusia diciptakan.

Namun, semua hal itu bisa terjadi apabila ada usaha dari manusia untuk

mendoakan setiap orang yang meninggal melalui perayaan Ekaristi sebagai

perayaan kurban penyilihan dan penebusan bagi setiap orang yang meninggal.

Jadi, pandangan masyarakat suku Embu Leja dan ajaran Gereja Katolik

tentang penyucian diri dapat dipandang sebagai suatu persiapan yang diperlukan

untuk memasuki hadirat Allah. Bagi masyarakat suku Embu Leja, proses

pemurnian yang berlangsung di Ko’o Fai Nua Muri dapat terjadi apabila ada usaha

dari manusia melaui ritus Rio Ata Mata Pati Ka Embu-Mamo, Nangi Ata Mata dan

Poru Joka. Sementara itu, Gereja Katolik meyakini situasi tersebut dapat dialami

176 Dokumen Konsili Vatikan II, op. cit., hal. 266.

Page 132: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

119

di dalam purgatorium (api penyucian). Usaha untuk memperoleh pemurnian itu

dpat didukung dengan doa dan keterlibatan aktif orang-orang yang masih hidup di

dalam perayaan Ekaristi sebagai perayaan penebusan bagi dosa orang yang telah

meninggal. Oleh karena itu, Ko’o Fai Nua Muri atau api penyucian dalam

keyakinan iman Katolik merupakan keadaan di mana orang-orang yang telah

meninggal melewati suatu proses pemurnian dalam keadaan rahmat, namun belum

menjalani hukuman sementara akibat dosa-dosa ringan, sehingga dengan itu

mereka dapat mengalami persatuan dengan Allah di Tiwu Ata Mbupu (surga).

5.1.5 Relasi Kekerabatan antara Orang Hidup dan Orang Mati

Relasi kekerabatan antara orang hidup dan orang mati diciptakan melalui

ritus, doa-doa, dan pemberian sesajian kepada orang mati. Masyarakat suku Embu

Leja menyadari pelaksanaan setiap ritus kematian bertujuan untuk kesejahteraan

dan keselamatan orang yang meninggal dan harus dilakukan dengan penuh

penghayatan, keseriusan, dan kesetiaan. Apabila ada kelalaian dan kekeliruan

dalam pelaksanaan ritus-ritus kematian maka hal-hal buruk akan menimpa orang-

orang yang masih hidup. Hal tersebut bertolak dari keyakinan bahwa orang yang

telah meninggal memiliki pengaruh atau kuasa yang dapat mendatangkan berkat

atau kutuk bagi sanak keluarga yang masih hidup di dunia. Dengan pengaruh dan

kuasa yang dimiliki itu, orang yang telah meninggal juga dipandang dapat berperan

sebagai mediator antara orang yang masih hidup dengan embu-mamo yang ada di

Kelimutu, sebagai pelindung dan sumber kehidupan. Namun di pihak lain, orang

yang telah meninggal juga dapat menjadi penghukum atau pemberi kutukan bagi

sanak keluarga yang masih hidup.177

Konsep tentang relasi kekerabatan antara orang hidup dan orang mati

berdampak pada sikap dan perilaku baik secara jasamani maupun rohani. Secara

jasamani, orang mati didandani selayaknya orang yang masih hidup, sedangkan

secara rohani perjalanan arwah orang mati menuju Kelimutu diiringi dengan ritus-

ritus kematian. Menegaskan praktik semacam ini, Herbet Spencer, sebagaimana

dikutip Alex Jebadu, menjelaskan bahwa setelah memperhatikan keseluruhan

177 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko serta tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 133: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

120

populasi umat manusia yang terdiri dari pelbagai macam suku, masyarakat, dan

bangsa, ditemukan bahwa hampir semua manusia mempunyai iman yang kuat dan

kebangkitan dari “aku yang lain” dari seorang manusia sesudah kematiannya. Di

dalam orang-orang mati juga ditemukan bahwa hampir semua masyarakat manusia

percaya akan “aku yang lain” dari seseorang yang telah mati dan meyakini “aku

yang lain” itu hidup terus untuk sebuah jangka waktu yang lama sesudah kematian.

Di samping itu juga, masyarakat dalam pelbagai suku dapat melakukan ritus-ritus

tertentu yang dibuat bukan hanya pada saat penguburan orang mati, tetapi juga

pada saat-saat tertentu sesudah penguburan.178

Masyarakat suku Embu Leja menjalankan sikap dan praktik penghormatan

kepada orang mati. Hal ini merupakan sebuah kenyataan yang searah dengan

kenyataan umum sebagaimana diungkapkan oleh Spencer di atas. Orang-orang

mati dihormati dan diperlakukan secara baik seperti dirinya masih hidup di dunia

ini karena dilandasi oleh ikatan cinta yang sudah terjalin akrab dan adanya

keyakinan akan adanya hidup setelah kematian. Di sini terbentuk relasi

kekerabatan yang bersifat timbal balik. Orang yang masih hidup sangat

mengharapkan dukungan dan restu dari orang mati agar berhasil dalam usaha,

diberkati dalam setiap aktivitas yang dilakukan, serta mengharapkan perlindungan

dari marabahaya atau dijauhi dari ganguan-ganguan roh-roh jahat. Demikianpun

sebaliknya, orang mati sangat membutuhkan campur tangan orang hidup untuk

melaksanakan ritus-ritus tertentu demi menjamin keselamatan dan kesejahteraan

hidup orang yang telah meninggal tersebut di Kelimutu. Selain itu, praktik yang

menunjukkan relasi kekerabatan antara orang mati dan orang hidup tampak juga

dalam kegiatan kunjungan keluarga ke kuburan. Dalam Gereja Katolik, kunjungan

ke kuburan bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal. Dalam

hal ini, pandangan Gereja Katolik ini memberi makna bahwa orang mati tidak

sanggup menolong diri mereka sendiri sekaligus orang mati adalah perantara doa

kepada Allah, sehingga doa juga menjadi sarana pendekatan dengan orang-orang

mati. Sejalan dengan itu, masyarakat suku Embu Leja menggunakana doa adat dan

sesajian sebagai sarana pendekatan kepada arwah orang yang meninggal dan para

leluhur. Di sini, doa adat yang diucapkan serta pemberian bekal atau sesajian

178 Alex Jebadu, Bukan Berhala, op. cit., hal. 260-261.

Page 134: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

121

merupakan simbol kepercayaan bahwa orang-orang mati dan orang-orang yang

hidup memiliki kebutuhan yang sama. Melalui doa adat dan sesajian yang

diberikan oleh orang yang masih hidup kepada embu-mamo dan Ia, orang yang

telah meninggal dapat memperoleh keselamatan. Sebaliknya, orang yang masih

hidup akan memohon bantuan, rahmat dan berkat dari Ia dan embu-mamo melalui

perantaraan orang yang meninggal.

Meskipun dalam hal ini terlihat ada sedikit perbedaan dalam cara

pendekatan melalui sarana yang digunakan beserta ungkapan yang menyertai

sarana tersebut, namun arahnya tampak sama, yakni menjelaskan bahwa orang-

orang mati memiliki peranan penting bagi orang yang masih hidup. Orang mati

menjadi perantara dan pendoa bagi orang-orang yang masih berziarah di dunia ini.

Sementara itu peranan orang yang masih hidup bagi orang mati adalah

melaksanakan ritus-ritus yang sangat berguna juga demi menjamin keselamatan

dan kesejahteraan hidupnya. Hal ini menegaskan bahwa relasi kekerabatan antara

orang mati dan orang hidup merupakan relasi yang tidak terputuskan oleh kematian

itu sendiri.

5.2 Unsur-Unsur yang tidak Dapat Diselaraskan

5.2.1 Konsep tentang Kematian

Masyarakat suku Embu Leja memiliki pemahaman tersendiri tentang

kematian. Mereka membuat distingsi mengenai kematian yang wajar dan kematian

tidak wajar. Kematian yang wajar dan kematian tidak wajar dapat diketahui

berdasarkan penyebabnya. Kematian wajar merupakan kematian yang terjadi jika

seseorang mengalami kematian pada usia lanjut (masa tua). Kematian jenis ini

diyakini sebagai konsekuensi dari perjanjian yang diadakan antara embu-mamo

dengan Ia. Manusia pada masa tertentu akan mencapai batas usianya, dan melalui

kematian manusia akan kembali kepada Ia yang merupakan sumber dan tujuan

hidupnya.179 Sebaliknya, kematian yang tidak wajar merupakan kematian yang

terjadi secara tiba-tiba, misalnya karena kecelakaan. Kematian seperti ini diyakini

179 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko serta tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 135: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

122

berasal dari kekuatan roh jahat atau sering dikenal dengan sebutan Ata Polo,180

atau sebagai akibat kutukan leluhur karena sanak keluarga yang masih hidup

cenderung tidak taat melaksanakan tradisi atau adat yang telah diwariskan embu-

mamo. Pandangan mengenai kematian yang tidak wajar ini terjadi jika sebelum

kematiannya seseorang terlebih dahulu mengalami sakit yang berkepanjangan dan

tidak dapat disembuhkan dengan cara apapun.181 Meskipun demikian, masyarakat

suku Embu Leja tetap menyakini bahwa semua orang yang meninggal, baik secara

wajar maupun tidak, akan tetap masuk ke dalam kelompok embu-mamo yang

berada di Kelimutu.

Berbeda dengan pandangan masyarakat suku Embu Leja, Gereja Katolik

melihat kematian tidak semata-mata dari sisi jasmani, yakni berhenti atau

berakhirnya hidup, melainkan sebagai hukuman atas dosa akibat ketidaktaatan dan

ketidaksetiaan manusia terhadap janji yang telah ditetapkan antara Allah dan

manusia. Setiap orang akan mendapatkan ganjaran dan pahala setimpal dengan

perbuatannya selama masih hidup. Orang yang benar, yang setia pada hukum

Taurat dan Allah, saat kematiannya akan menerima pahala dari Allah, yaitu hidup

baru dan kekal bersama Allah. Sebaliknya, orang-orang jahat, terutama para

penindas, akan menerima hukuman dari Allah (bdk. 2 Mak. 7:14; 19:11; 12:44).

Hal ini berarti bahwa Gereja Katolik melihat kematian merupakan titik akhir dari

perjalanan hidup manusia di dunia ini. Degan itu, manusia masuk dan bersatu

dengan Allah bersama Kristus dan para kudus Allah, sebagaimana yang

digarisbawahi rasul Paulus, di mana kematian digambarkan sebagai sebuah

peralihan hidup; tempat kematian kita di bumi dibongkar untuk menuju suatu

tempat kediaman di surga yang kekal (bdk. 2 Kor. 5:1). Selain itu, rasul Paulus

juga merefleksikan kematian dalam hubungannya dengan maut, di mana maut

diyakini sebagai upah dosa dan musuh yang harus ditaklukkan (Rm. 6:23). Maut

merupakan konsekuensi logis dari dosa manusia terhadap Allah, namun itu tidak

berarti bahwa jika manusia tidak berdosa maka hal itu akan mengubah kodrat

manusia sebagai manusia yang tidak dapat mati. Di sini perlu dipahami bahwa

180 Ata Polo merupakan sebutan untuk orang yang memiliki kekuatan magis dan dengan kekuatan

magis tersebut ia dapat mencelakai orang dan membunuh orang demi menambah kesaktian dirinya.

Ata polo digolongkan sebagai roh jahat yang ditakuti manusia karena kejahatan yang dilakukannya. 181 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko serta tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 136: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

123

kebebasan dari dosa bukan soal kodrat, melainkan rahmat. Jika dosa dilihat sebagai

ketidakmampuan asasi manusia untuk berhubungan secara pribadi dengan Tuhan,

tidaklah mengherankan bahwa ketidakmampuan manusia itu memiliki arti bagi

kematiannya sendiri. Hal itu berarti, kematian secara hakiki (demi kodrat manusia)

bersifat kegelapan, tetapi akibat dosalah yang membuat manusia tidak mampu

mengatasi kegelapan tersebut.182 Dengan kata lain, kematian manusia disebabkan

oleh terputusnya relasi dengan Allah, sehingga manusia tidak menikmati

perlindungan dari Allah. Namun sebetulnya kematian bukan rencana Allah, tetapi

“sebagai akibat dari dosa”.

Jadi, kematian dalam pandangan Gereja Katolik menggambarkan suatu

relasi yang erat antara Allah dan manusia. Relasi itu ditemukan dalam konsep

tentang kematian sebagai upah dosa. Kematian dalam hal ini membawa manusia

untuk memutuskan apakah ia menerima Allah atau menolak Allah berdasarkan

ziarah hidupnya. Keputusan yang dibuat adalah keputusan akhir dan tidak dapat

diubah. Meski kematian dipandang sebagai akibat dosa, namun manusia tetap

hidup dan mati dalam pengharapan dan iman. Allah sendiri berinisiatif mendatangi

manusia dalam Kristus dan hanya karena itulah “manusia mati dalam Tuhan”

(Why. 14:13).

Berdasarkan uraian-uraian di atas, tampak ada perbedaan yang mendasar

tentang konsep kematian masyarakat suku Embu Leja dengan konsep kematian

Gereja Katolik. Masyarakat suku Embu Leja memandang kematian sebagai

peristiwa yang tidak hanya merupakan konsekuensi dari perjanjian yang diadakan

embu mamo dengan Ia, sehinggga manusia mesti kembali kepadanya yang

merupakan sumber dan tujuan hidup manusia, melainkan kematian bisa

diakibatkan dari kekuatan roh jahat (Ata Polo), serta sebagai akibat kutukan dari

nenek moyang karena sanak keluarga yang masih hidup cenderung tidak taaat

melaksanakan tradisi atau adat yang telah diwariskan leluhur. Sebaliknya, Gereja

Katolik mengajarkan bahwa kematian manusia berhubungan dengan relasi dengan

Allah, baik sebagai akibat dosa maupun dari kenyataan kodratnya. Iman akan

Allah dan perbuatan baik yang dimiliki dan dilakukan manusia menjadikan diri

manusia tetap berada dalam intervensi Allah ketika mengalami kematian. Dengan

182 N. S. Dister, op. cit., hal. 583-584.

Page 137: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

124

kata lain, orang yang mati dalam iman akan Allah tetap berada dalam kehendak

Allah, bukan penafsiran atau pemikiran atas kehendak orang jahat atau kutukan

dari nenek moyang seperti yang terdapat dalam masyarakat suku Embu Leja.

Dengan demikian, iman akan Allah merupakan bagian penting yang dapat

memengaruhi pandangan manusia tentang kematiannya sebagai pengalaman

eksistensial, di mana melalui iman manusia berharap akan keselamatan yang

datang dari Allah sendiri. Di sinilah iman akan Allah dalam Kristus dapat

membuka pandangan tradisional masyarakat suku Embu Leja untuk senantiasa

percaya dan berharap akan rahmat keselamatan yang datang dari Allah.

5.2.2 Konsep tentang Kebangkitan Jiwa dan Badan

Masyarakat suku Embu Leja mempunyai pemahaman bahwa kebangkitan

bersifat dualistis. Sesudah kematian manusia, jiwa (mae) dari orang yang

meninggal akan tetap hidup, sedangkan badan (tebo) akan hancur menjadi tanah

dalam kubur (ghomo). Hal ini terlihat jelas di dalam pelaksanaan ritus Dheta

Ghomo (melukai tanah), di dalamnya terdapat ungkapan yang menandaskan secara

tersirat mengenai perpisahan antara jiwa dan badan, yakni Mbana ma’e sala jala,

leta ma’e sala wolo. Ungkapan ini mengandung harapan agar jiwa (mae) yang

telah memisahkan diri dari tubuh (tebo) dan mengadakan ziarah menuju Kelimutu

untuk memulai hidup baru bersama Embu-Mamo dan Ia, dapat tiba di tempat

tujuan dengan selamat. Perjalanan bagi jiwa yang diharapkan tidak sampai salah

jalan (baca: selamat) menunjukkan adanya tempat yang layak bagi jiwa pasca

kematian manusia. Sementara itu, badan akan tinggal tetap dan hancur melebur

bersama tanah. Dengan kata lain, badan adalah materi yang akan hancur, bersifat

tidak kekal sedangkan jiwa adalah unsur rohani yang tidak dapat mati, bersifat

kekal. Unsur rohani inilah yang akan tetap hidup dan melanjutkan perjalanan

menuju alam keabadian untuk bersatu dengan penciptanya dan para leluhurnya, di

Kelimutu. Di Kelimutu, jiwa orang yang meninggal tidak dapat binasa lagi,

demikiapun tempat dari jiwa tersebut tidak akan lenyap.

Pandangan dan keyakinan masyarakat suku Embu Leja tersebut tentu

betolak belakang dengan ajaran Gereja Katolik yang meyakini adanya kebangkitan

badan sesudah kematian. Ajaran Gereja Katolik mengajarkan bahwa kebangkitan

Page 138: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

125

badan adalah kebangkitan seutuhnya dalam hubungan dengan kematian dan

kebangkitan Yesus Kristus. Kebangkitan Kristus menjadi dasar pengharapan orang

Kristen. Orang Kristen percaya bahwa kebangkitan Kristus merupakan peristiwa

sejarah dan pokok iman Kristen yang mutlak. Yesus menegaskan bahwa: “Akulah

kebangkitan dan hidup” (Yoh. 11:25). Melalui sabda ini, kebangkitan badan dapat

dijelaskan dengan cara menghubungkan kebangkitan orang-orang yang percaya

dengan kebangkitan Yesus Sendiri. Meskipun, tidak ada penjelasan yang cukup

memadai tentang bentuk kebangkitan itu sendri, namun dapat diketahui bahwa

orang-orang yang percaya kepada Yesus akan memperoleh kebangkitan badan.

“Akulah kebangkitan” menandakan bahwa Yesus tidak bermaksud

mengarisbawahi kekekalan jiwa yang terpisah dari badan, sebaliknya Yesus

mengungkapkan badan-Nya merupakan contoh kebangkitan badan orang-orang

percaya. Dengan kata lain, Gereja mengajarkan bahwa oleh kematian, jiwa

dipisahkan dari tubuh, tetapi dalam kebangkitan Allah memberi kehidupan abadi

kepada badan yang telah diubah, dengan mempersatukannya kembali dengan jiwa

kita. Seperti Kristus telah bangkit dan hidup untuk selamnya, demikian kita semua

akan bangkit pada hari kiamat. Hal demikian seperti diungkapkan oleh rasul Paulus

kepada jemaat di Korintus: ”Jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah

kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosa“ (1 Kor. 15-17). Jadi,

kebangkitan badan merupakan efek kesempurnaan dari penebusan Kristus. Kristus

telah menebus dunia karena kematian-Nya. Ia telah menghancurkan kematian

sehingga ada kehidupan di dalam kristus. Karena Kristus sendiri sebagai kepala

Gereja telah bangkit, maka semua anggota Gereja-Nya juga akan mengalami

kebangkitan badan yang sama.

5.2.3 Mediasi dalam Doa: Embu Mamo dan Kristus

Relasi antara manusia dan Wujud Tertinggi dalam masyarakat suku Embu

Leja tidak terlepas dari peranan Embu-Mamo. Embu-Mamo memiliki peran yang

sangat penting dalam relasi antara manusia dan Wujud Tertinggi. Relasi tersebut

tampak dalam ritus kematian Pati Ka Embu Mamo sebagai penghormatan terhadap

Page 139: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

126

Embo Mamo dan permohonan kepada Ia dalam syair adat yang diucapakan Pu’u

Kamu183 sebagai berikut:

Kami wi pesa manu Kami sudah memotong

ayam

Miu pati Ia Du’a ghéta lulu wula Kamu beri kepada Ia

yang langit

tu pati Ia Nggae’é ghalé wena tana yang berdiam di bumi

nosi Ia: du’a ghéta lulu wula sampaikan pada Ia yang

di langit

Nggae ghale wena tana yang berada di Bumi

simo ata mata kita terimalah keluarga kami

yang meninggal

ata tau sare pawe jadikanlah ia mulia

gare Nggae’é ghalé wena tana sampaikanlah kepada

Ngga’é

tau ata mata bhe’ni sawe terimalah keluarga yang

meninggal,

jadikanlah ia layak

Ritus ini biasa dilakukan saat masyarakat suku Embu Leja ingin memohon

pertolongan agar para leluhur berkenan membawa permohonan mereka kepada Ia

untuk menerima arwah yang meninggal. Di sini, Embu-Mamo dilihat sebagai

pengantara manusia dengan Wujud Tertingggi. Embu-Mamo menjalankan tugas

untuk meneruskan harapan manusia yang masih hidup kepada Ia. Keyakinan ini

berdasar pada pandangan bahwa Embu-Mamo yang telah bersama dengan Ia,

memiliki kedekatan dengan Ia serta memiliki kekuatan dari Ia. Dari kekuatan yang

diperolehnya dari Ia, Embu-Mamo dapat menjadi penolong dalam setiap usaha

manusia. Oleh karena itu, peranan Pu’u Kamu sebagai pendaras doa juga

merupakan peran yang sangat sentral. Ritus kematian akan menjadi sempurna jika

Pu’u Kamu menjalankan tugasnya dengan baik, karena hanya Pu’u Kamu yang

berhak untuk berkomunikasi dengan para arwah atas nama seluruh anggota

keluarga yang masih hidup dengan arwah yang telah berada di danau Kelimutu.

Ritus yang dipimpin oleh Pu’u Kamu merupakan realitas etis yang dihadirkan dan

diwariskan oleh leluhur agar manusia dapat menjalin relasi yang baik dengan

leluhur dan Ia. Segala bentuk doa permohonan yang dilantunkan dan tindakan

183 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat

Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.

Page 140: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

127

simbolis yang dilakukan merupakan usaha manusia untuk menjalin relasi dan

komunikasi dengan para arwah agar segala harapan terpenuhi, yakni agar sanak

keluarga yang masih hidup memperoleh berkat dalam usaha atau terhidar dari

malapetaka.

Berbeda dengan keyakinan masyarakat suku Embu Leja, Gereja Katolik

mengakui bahwa Yesus Kristus adalah anak Allah dan pengantara (mediator)

tunggal manusia dengan Allah. Kristus adalah satu-satunya jalan bagi manusia

untuk menuju kepada Allah: “Akulah kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun

yang datang kepada Bapa tanpa melalui Aku” (Yoh. 14:6). Katekismus popular

menerangkan kebenaran tentang Yesus Kristus, Putera Allah, Tuhan satu-satunya

penyelamat, yang menjadikan inkarnasi-Nya, kematian dan kebangkitan-Nya

membawa keselamatan pada penggenapan janji Allah bagi manusia dan Yesus

membawa dunia kembali kepada Allah dengan kasih yang sempurna.184 Melalui

Kristus, Ia melaksanakan dan menyatakan misteri sebagai tujuan keputusan Allah,

“supaya mempersatukan lagi segala sesuatu dalam Kristus sebagai kepala” (Ef.

1:10).185 Dalam dialah manusia didamaikan dengan Allah (bdk. 2 Kor. 5:19) dan

dipanggil dalam persekutuan dengan-Nya (bdk. 1 Kor. 1:19). Oleh karena itu, dari

pihak manusia dituntut jawaban iman, yakni persetujuan atas panggilan

keselamatan dan persekutuan dengan Allah seperti yang ditawarkan oleh Kristus

Yesus sendiri. Persekutuan dengan Allah akan mencapai puncak yang definitif

pada kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya dengan segala kekuasaan dan

kemuliaan-Nya (bdk. Luk. 21:27). Kristus sebagai satu-satunya pengantara

keselamatan telah membentuk Gereja-Nya yang kudus, persekutuan dalam iman,

harapan dan cinta kasih sebagai himpunan yang kelihatan. Atas dasar ini maka

peranan para imam sebagai pemimpin terasa sangat penting untuk melambungkan

doa-doa atas nama Gereja dan jemaat yang berhimpun. Di sini berkat kuasa

pentahbisan yang diterima seorang imam melalui sakramen pentahbisan maka

seorang imam memiliki hubungan yang khas dengan Bapa, bersama Putera dan

Roh Kudus, sebagai penjamin hubungan kesatuan antara Allah dan manusia. Imam

184 Youcat, Katekismus Popular, penerj. Yohanes Dwi Harsanto, dkk., (Yogyakarta: Kanisius,

2015), hal. 68-69. 185 Dokumen Konsili Vatikan II, Pengakuan Iman artikel 9 pasal 1 nomor 772, op. cit., hal. 204.

Page 141: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

128

yang melaksanakan upacara ibadat atau ekaristi berperan sebagai wakil Kristus dan

di sanalah harapan manusia disampaikan kepada Allah.186

5.2.4 Pengantara Keselamatan bagi Setiap Orang yang Meninggal

Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa Embu-Mamo telah terlebih

dahulu mengalami suka dan duka dalam ziarah menuju Kelimutu. Oleh karena itu,

masyarakat suku Embu Leja melihat para Embu Mamo merupakan tokoh-tokoh

yang sangat dihormati, sehingga mereka perlu menunjukkan sikap dan tindakan

penghormatan kepada Embu-Mamo dalam hubungan dengan kematian.

Penghormatan tersebut sangat diperhatikan karena bertujuan agar orang yang

meninggal dapat mencapai kepenuhan hidup bersama Ia di Kelimutu.

Demikianpun orang-orang yang masih hidup dapat terhindar dari segala

marabahaya dan malapetaka. Selain sebagai mediasi atau pengantara doa kepada

yang Ilahi, peran Embu Mamo juga dikenal sebagai penghubung antara manusia

dengan Wujud Tertinggi. Akan tetapi, peran mereka tidak sampai pada tindakan

penyelamatan sebagaimana yang diperankan Yesus Kristus.

Pandangan masyarakat suku Embu Leja tentang peranan Embu-Mamo jelas

berbeda dengan pandangan Gereja Katolik. Gereja Katolik melihat Yesus Kristus

sebagai pengantara keselamatan bagi orang mati. Tindakan penyelamatan Yesus

Kristus nyata melalui kesaksian hidup dan karya-Nya sampai pada penderitaan,

wafat dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Di sini Yesus Kristus berperan

sebagai penunjuk keselamatan kepada Allah Bapa. Yesus juga menyatakan secara

konkret jalan tersebut melalui tindakan penyelamatan yang konkret pula. Dengan

demikian, setiap orang menjadi percaya, beriman kepada Allah oleh karena

perbuatan agung Yesus itu, sehingga pada akhirnya mereka diselamatkan. Dalam

diri Yesus, Allah mengungkapkan kasih-Nya yang tiada batas kepada manusia,

termasuk membangkitkan orang-orang mati dalam iman. Kebangkitan Yesus dapat

mengesahkan apa yang dikehendaki Allah. Kebangkitan-Nya memberi bukti

186 Direktorium tentang pelayanan dan hidup para imam dikeluarkan oleh kongregasi untuk Klerus

pada hari Kamis Putih 1994, disetujui dan disahkan oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II pada tanggal

13 Januari 1994. Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawirjana, nomor 20.

Page 142: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

129

terhadap otoritas Ilahi-Nya yang definitif dan telah Ia janjikan selama pewartaan di

dunia ini.187

Jadi dalam hal pengantara keselamatan, Embu- Mamo hanya dikenal

sebagai penghubung antara manusia dengan Wujud Tertinggi. Akan tetapi, peranan

Embu-Mamo tidak sampai pada tindakan penyelamatan sebagaimana yang

diperankan oleh Yesus Kristus. Yesus Kristus-lah yang menjadi perantara

keselamatan bagi setiap orang yang meninggal.

5.2.5 Tempat Orang Meninggal di Dunia Akhirat

Sesuai dengan pandangan kosmisnya, masyarakat suku Embu Leja percaya

bahwa setelah kematian jiwa-jiwa orang yang meninggal akan kembali ke asalnya.

Jiwa-jiwa itu akan berkumpul di tempat yang sakral, yaitu Kelimutu. Kehidupan di

Kelimutu adalah tujuan akhir dari seluruh perjalanan orang yang meninggal. Di

Kelimutu setiap orang yang meninggal dapat menjalin hubungan yang akrab

dengan Ia dan Embu-Mamo. Karena itu, kehidupan di Kelimutu, khususnya di

Tiwu Ata Mbupu, merupakan kehidupan yang dijalani oleh orang-orang yang sudah

mencapai kesucian jiwa dan raganya, terutama dari segala dosa dan kesalahan.

Namun, selain Tiwu Ata Mbupu, masyarakat suku Embu Leja juga mengenal

adanya suatu dunia yang berfungsi sebagai tempat pemurnian atau penyucian diri

bagi jiwa-jiwa orang yang dianggap belum layak masuk ke dalam Tiwu Ata

Mbupu, yakni Tiwu Ko’o Fai Nuamuri, serta dunia tempat bagi orang yang jahat

yakni Tiwu Ata polo.

Pandangan tentang tempat dunia akhirat juga ada dalam Gereja. Gereja

Katolik mengakui ada tempat-tempat tertentu yang akan dihuni oleh orang-orang

yang meninggal, yakni surga, neraka, dan api penyucian. Namun, tempat-tempat

tersebut diyakini sebagai sebuah kondisi atau keadaan, ketimbang sebagaimana

yang dipahami oleh masyarakat suku Embu Leja. Gereja Katolik lebih

menekankan hidup sesudah kematian bukanlah suatu tempat yang tampak secara

fisik, melainkan sebagai suatu kondisi atau situasi hidup baru, entah itu hidup

dekat dengan Allah atau manjauh dari Allah. Ajaran Gereja Katolik menegaskan,

setiap orang yang beriman kepada Kristus saat kematiannya akan menerima

187 Katekismus Gereja Katolik, Pengakuan Iman artikel 5 pasal 3 nomor 651, op. cit., hal. 173.

Page 143: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

130

ganjaran abadi yang terjadi dalam Pengadilan Khusus. Dalam Pengadilan Khusus

tersebut, Kristus memainkan peranan-Nya sebagai hakim untuk memutuskan

apakah seseorang yang meninggal akan masuk surga, api penyucian, atau neraka.

Masuk ke dalam surga berarti seorang yang meninggal akan mengalami kepenuhan

hidup dalam persatuan dengan Allah dan para kudus. Masuk ke api penyucian

(purgatorium) berarti seseorang yang meninggal akan mengalami situasi

penyucian diri atau pemurnian demi mencapai kekudusan, dan sebagai persiapan

menuju ke kediaman Allah, para malekat dan orang kudus. Sedangkan masuk ke

neraka atau gehenna berarti seorang yang meninggal dunia akan mengalami situasi

penghukuman abadi dengan siksa dan api yang tak terpadamkan bagi mereka yang

jahat dan menolak untuk percaya dan bertobat. Oleh karena itu, ada tiga situasi

yang menjadi kemungkinan bagi setiap manusia setelah mengalami kematian,

yakni api penyucian (purgatorium), surga, dan neraka (gehenna).

Jadi, secara singkat masyarakat suku Embu Leja mengenal bahwa setelah

manusia mengalami kematian, manusia akan dibawa ke tiga tempat yang berada di

Kelimutu, yakni Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Ko’o Fai Nua Muri, dan Tiwu Ata polo.

Sedangkan Gereja Katolik memadang setelah manusia mengalami kematian,

manusia tidak dibawa kepada suatu tempat melainkan kepada situasi atau kondisi,

yakni api penyucian (purgatorium), surga, dan neraka (gehenna).

5.3 Kesimpulan

Setelah membuat perbandingan antara kebudayan suku Embu Leja dengan

pandangan Gereja Katolik tentang kematian ditemukan ada beberapa unsur yang

dapat diselaraskan, namun juga ada unsur yang tidak dapat diselaraskan. Secara

garis besar, ritus kematian bagi masyarakat suku Embu Leja dilakukan karena ada

keyakinan akan kehidupan setelah kematian, demikiapun dalam pandangan Gerja

Katolik yang meyakini adanya hidup setelah kematian. Selain itu, kedua-duanya

sama-sama menekankan aspek keselamatan, sehingga ada titik temu bahwa

kehidupan baru setelah kematian manusia dapat dialami karena adanya yang Ilahi

sebagai pengasal dan tujuan hidup manusia, dan setelah kematian manusia akan

memperoleh keselamatan. Seluruh pembahasan tentang unsur-unsur yang dapat

diselaraskan bermuara pada dua hal, yakni adanya kepercayaan akan hidup sesudah

Page 144: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

131

kematian dan keselamatan. Kedua unsur ini sangat mewarnai makna di balik ritus-

ritus kemataian suku Embu Leja dan pandangan Gereja Katolik. Jadi, keyakinan

akan hidup setelah kematian dan keselamatan yang akan dialami di dalam suatu

dunia yang disebut Kelimutu bisa dikatakan sesuai dengan apa yang diajarkan

Gereja tentang keselamatan dan hidup yang kekal dalam persatuan dengan Allah di

surga.

Meskipun memiliki kesamaan di dalam banyak hal, namun ada beberapa

perbedaan yang tampak dari makna di balik ritus-ritus kematian masyarakat suku

Embu Leja dengan ajaran Gereja Katolik. Perbedaan tersebut bisa memengaruhi

cara pandang masyarakat suku Embu Leja terhadap aspek-aspek yang ditekankan

di dalam Gereja tentang kematian dan hidup setelah kematian. Ada beberapa hal

dalam ritus kematian masyarakat suku Embu leja yang mesti diberi terang teologis.

Pertama, bahwa kematian merupakan peristiwa alamiah yang akan dilami oleh

setiap manusia dan bukan karena kekuatan roh jahat atau Ata Polo yang dapat

membuat manusia mati. Manusia mati bersama Kristus dan masuk ke dalam

keabadian bersama Kristus karena Kristus telah mengalahkan kematian dengan

kebangkitan. Kedua, ketika manusia mengalami kematian fisik, pada saat itu pula

jiwa memasuki suatu keadaan atau situasi dan bukan memasuki suatu tempat,

karena yang mengalami hidup adalah roh yang tidak membutuhkan tempat secara

fisik. Ketiga, peranan Embu-Mamo bukanlah penjamin satu-satunya keselamtan

manusia dan penjamin kebahagiaan hidup bagi keluarga yang masih hidup,

melainkan Kristus sendiri yang menjadi pengantara sekaligus menjadi penjamin

hidup yang menawarkan hidup baru bagi Gereja melalui kesaksian hidup, wafat,

dan kebangkitan-Nya. Keempat, Embu-mamo bukanlah pihak yang memberi

melapetaka atau mendatangkan bahaya bagi manusia yang hidup, melainkan

peranan para Embu-Mamo adalah sebagai pendoa bagi sanak keluarga yang masih

hidup agar dapat memperoleh kebahagiaan hidup di dunia. Dengan demikian,

Embu-Mamo hanya sebagai pendoa dan bukan merupakan pihak yang menjadi

penjamin hidup manusia dan menjawabi seluruh harapan hidup manusia untuk

memperoleh keselamatan hidup kekal.

Page 145: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

132

5.4 Nilai-Nilai Inspiratif dari Ritus Kematian Masyarakat Suku Embu Leja

Ritus merupakan aktivitas kultis manusiawi yang turut memiliki matra

edukatif, di dalamnya kehadiran Ilahi yang diakui persekutuan ditata dan

diperbaharui, serta kehidupan pribadi dan individu diatur berdasarkan nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, ritus merupakan tindakan

simbolis yang menghadirkan serta mengejawantahkan makna dan nilai-nilai

tertentu bagi orang-orang yang melakukannya, entah sebagai pribadi maupun

kelompok.188 Hal ini berarti ritus kematian menjadi hal yang sangat esensial bagi

masyarakat suku Embu Leja. Ritus kematian yang dilakukan dalam suasana duka

karena kehilangan salah satu anggota keluarga merupakan suatu aktivitis kultis

yang sangat bermakna. Dalam konteks ini, ritus kematian suku Embu Leja dapat

dilihat sebagai suatu perayaan yang turut mengungkapkan nilai-nilai penting, entah

nilai sosial kemasyarakatan maupun nilai religius yang tampak dari pelaksannaan

ritus tersebut, antara lain nilai keimanan dan takut akan Tuhan, cinta kasih dan

solidaritas, serta nilai persekutuan dan kerja sama. Nilai- nilai tersebut tentu dapat

turut membantu masyarakat suku Embu Leja dalam proses penghayatan imannya

sebagai orang-orang Kristen.

5.4.1 Nilai Keimanan dan “Takut akan Allah”

Mengimani Tuhan dan takut akan Tuhan sesungguhnya merupakan

tanggapan dari manusia atas keberadaan yang Ilahi sebagai pengada segala sesuatu

bagi manusia dan seluruh alam ciptaan dan penentu nasib manusia di dunia dan di

akhirat. Rudolf Otto, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat, menyatakan

bahwa semua sistem religi dan kepercayaan di dunia berpusat pada suatu konsep

tentang hal-hal misterius yang dianggap dahsyat dan keramat oleh manusia.189

Pernyataan Koentrjaraningrat ini jika dihubungkan dengan ajaran Gereja dalam

perspektif Kitab Suci secara tidak langsung, juga menegaskan bahwa Allah yang

dianggap misteri bagi manusia, namun ada dorongan yang lahir dari sikap iman

yang menyebut Allah sebagai Bapa yang menciptakan manusia menurut gambar-

188 Susane Langer, Philosophy in a New Key. A Study in the symbolism of Reason, rite, and Art

(New York: Penguin Books, 1948), hal. 39. 189 Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 22.

Page 146: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

133

Nya (Kej. 1:27). Allah selalu dekat dengan manusia dan mencintai manusia

melalui rahamat kehidupan yang dianugerahkan bagi manusia dan manusia

dipercayakan Allah untuk beranak cucu dan menguasai seluruh ciptaan-Nya (Kej.

1:28). Namun di pihak lain, Allah juga dianggap sebagai hakim yang menghukum,

mendatangkan penderitaan, kesulitan dan maut jika manusia dalam hidup

melakukan dosa dengan menolak untuk hidup bersama Allah.190 Berhadapan

dengan realitas kehidupan yang dialami manusia dan juga alam lingkungan serta

peristiwa bencana alam, penderitaan dan kesusahan hidup, serta peristiwa yang

melampaui kekuatan manusia akhirnya mengarahkan manusia untuk

mengandalkan kepercayaan kepada Allah sebagai Bapa yang harus dihormati dan

disembah.

Sejarah iman Katolik menggarisbawahi dalam Perjanjian Lama bahwa

bangsa Israel adalah bangsa yang mengalami keterlibatan Allah dalam sejarah

hidup dan memanggil Allah sebagai Bapa (Ul. 32:6). Peranan Allah sebagai Bapa

ini berlanjut hingga pada Perjanjian Baru. Hal ini termuat dalam Konsili Vatikan II

Gaudium et Spes nomor 24:

Allah sebagai Bapa memelihara semua orang, menghendaki

agar mereka semua merupakan satu keluarga, dan saling

menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka

semua diciptakan menurut gambar Allah, yang

“menghendaki segenap manusia dari satu asal mendiami

seluruh muka bumi” (Kis. 17:26). Mereka semua dipanggil

untuk satu tujuan yang sama, yakni Allah sendiri.191

Demikian juga dalam masyarakat suku Embu Leja, kehadiran Allah yang

misterius dan dahsyat diterjemahkan dalam alam lingkungan serta realitas hidup

dan pengalaman-pengalaman hidup harian mereka. Yang Ilahi dipercaya sebagai

sember kekuatan segala-galanya yang melampaui kekuatan manusia. Masyarakat

suku Embu Leja menyebut yang Ilahi dengan Ia. Sifat-sifat Ia selalu digambarkan

sebagai sesuatu yang melebihi segala makhluk duniawi, yang sungguh ilahi, yang

tidak kelihatan, namun dapat dirasakan kehadiran-Nya dan senantiasa berbaik hati

kepada manusia, terutama ketika manusia mengalami kesusahan. Ia juga senantiasa

190 E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, op. cit., hal. 78. 191 Dokumen Konsili Vatikan II, op. cit., hal. 549-550.

Page 147: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

134

berlaku adil; Ia mengganjari perbuatan baik manusia dengan berkat berlimpah dan

perbuatan jahat manusia dengan hukuman yang setimpal. Ia adalah pemberi

anugerah kehidupan, anugerah kesehatan, pemberi hujan dan rahmat kesuburan

bagi tanaman sekaligus pelindung bagi seluruh perjalanan hidup manusia. Sifat-

sifat tersebut menggambarkan kesempurnan Allah yang mengatasi segalanya,

Allah sebagai yang pertama dan utama dalam hidup masyarakat yang berbudaya.192

Kepercayaan akan Allah dapat diperteguh dengan berbagai cara. Salah satu

cara untuk memperteguh iman manusia akan Allah melalui pelaksanaan ritus.

Pelaksanaan ritus merupakan bentuk ungkapan rasa religius serta pengalaman

rohani manusia akan sesuatu yang transenden, di mana melaluinya manusia

mengalami perasaan-perasaan tertentu yang membahasakan isi pengalaman rohani

tertentu yang masih sanggup mempertahankan kedalamnnya dengan ultim atau

tansendental.193 Hal ini berarti sehubungan dengan ritus kematian yang dilakukan

oleh masyarakat suku Embu Leja, orang kembali disadarkan bahwa Allah atau Ia

memiliki kemampuan yang melampaui manusia. Allah atau Ia sendirilah yang

menentukan batas hidup manusia di dunia. Dengan kata lain, ritus kematian ini

memiliki nuansa religius yang di dalamnya termuat hubungan antara manusia

dengan Allah atau Ia. Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu

Leja merupakan tindakan religius dan didasari oleh kesadaran akan intervensi dan

rasa takut pada Ia. Karena itu, dalam melaksanakan ritus kematian ditemukan

sikap dasar seperti penghormatan dalam suasana yang tenang. Dalam pelaksanaan

ritus ini semua orang yang terlibat di dalammya dapat mengambil bagian dalam

pujian kepada Sang Pencipta yang memiliki kuasa atas hidup manusia dan juga

kepada Embu-Mamo yang menjadi pengantara Sang Pencipta. Melalui ritus

kematian, orang yang meninggal diarahkan kepada Sang Pencipta, sekaligus

membangkitkan kesadaran dan perhatian orang-orang yang terlibat di dalamnya

agar selalau mengarahkan hidup mereka kepada Sang Pencipta tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritus kematian mampu mengantar

semua orang untuk semakin dekat dengan Ia. Ritus kematian yang dilaksanakan

oleh masyarakat suku Embu Leja mampu menemukan nilai keimanan dan “takut

192 C. A. van Peursen, Itu Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hal. 15. 193 Alfred N. Whitehead, Religion in The Making (New York: New American Library, 1974), hal.

34-35.

Page 148: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

135

akan Ia”. Nilai keimanan dan takut akan Ia tersebut dapat dikatakan sebagai

kebijakan dasar ajaran iman Kristiani seperti tercantum dalam Nabi Yesaya yang

telah menubuatkan seruan Tuhan kepada bangsa-bangsa supaya kembali kepada-

Nya, yakni bahwa semua orang dapat bertekuk lutut di hadapan-Nya karena

keadilan dan kekuatan hanya ada pada-Nya: “Berpalinglah kepada-Ku dan biarlah

dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi. Sebab Akulah Allah dan tidak ada

yang lain. Semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan akan bersumpah

setia dalam segala bahasa, sambil berkata: keadilan dan kekuatan hanya ada dalam

Tuhan” (Yes. 45:22-24). Di samping itu, iman dan ketakutan akan Tuhan juga

merupakan ketaatan kepada Tuhan, sebab kepada Tuhan manusia berharap.

Sehubungan dengan hal ini, rasul Paulus merefleksikan iman sebagai rahmat Allah

dan keputusan bebas manusia, yang menuntut ketaatan dari manusia dan

mengantar manusia kepada hidup yang penuh pengharapan akan Tuhan Yesus.

Karena iman, manusia dapat menaati semua pewartaan tentang Yesus Kristus,

terutama wafat dan kebangkitan-Nya, sekaligus mengantar seseorang dalam hidup

dan berpengharapan untuk memperoleh penyelesaiannya dan sempurna dalam

kerajaan Allah nanti.194

Jadi, berdasarkan uraian-uraian di atas tampak bahwa masyarakat suku

Embu Leja telah menanamkan dalam diri mereka nilai-nilai atau kebajikan-

kebajikan yang setara dengan kebajikan Kristiani, yang dapat menjadi dasar

pijakan dalam penghayatan imannya sebagai orang Kristen sejak sebelum

masuknya agama Kristen ke dalam budaya etnis Lio-Ende.

5.4.2 Nilai Cinta Kasih dan Solidaritas

Pelaksanaan ritus kematian yang dilakukan oleh masayarakat suku Embu

Leja mengungkapkan praktik cinta kasih dan solidaritas dalam hidup bersama.

Praktik cinta kasih dan solidaritas tersebut berlaku baik untuk sesama yang masih

hidup maupun untuk sesama yang meninggal. Hal ini bisa dilihat dalam pratik

ritual memberikan makanan dan minuman kepada arwah yang meninggal (Pati Ka

Ata Mata), dukungan moral dan material yang diberikan keluarga atau pelayat

seperti hiburan dan doa-doa (Wurumana), dan ritus Joru sebagai kesempatan untuk

194 G. Kirchberger, Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia, op. cit., hal. 38-39.

Page 149: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

136

rekonsiliasi dan memohonkan kehidupan yang damai baik bagi orang yang

meninggal maupun orang-orang yang masih hidup. Dengan demikian, ritus

kematian yang dilakukan masyarakat suku Embu Leja merupakan tanda atau

sarana untuk membangun rasa cinta dan solidaritas.

Penghayatan akan nilai cinta kasih dan solidaritas melalui pelaksanaan ritus

kematian tentu menjadi sumbangan berarti bagi penghayatan iman Kristen. Ajaran

iman Kristen sangat mengutamakan cinta kasih dan solidaritas sebagai wujud iman

di tengah umat manusia. Katekismus Gereja Katolik memberi penjelasan bahwa

kasih Allah adalah kabajikan Ilahi, yang dengannya manusia mengasihi Allah di

atas segala-galanya demi diri-Nya sendiri dan karena kasih kepada Allah manusia

dapat mengasihi sesama seperti dirinya sendiri. Selanjutnya, ditegaskan bahwa

Yesus membuat kasih menjadi satu perintah baru, sebab ia mengasihi orang-orang-

Nya sampai pada kesudahan-Nya (Yoh. 13:1).195 Pemahaman tentang cinta kasih

dan solidaritas ini dipertegas lagi oleh Yohanes Paulus II sebagaimana yang

dikutip oleh Yosef Boumans, dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, di mana di

situ diungkapkan bahwa solidaritas bukan sekadar perasaan keharuan yang samar-

samar atau rasa sedih yang dangkal. Solidaritas merupakan suatu ketepatan hati

yang kokoh dan berkanjang untuk membaktikan diri kepada yang lain, demi

kebaikan yang lain, karena setiap orang memang bertanggung jawab kepada yang

lain. Atas dasar pemahaman ini maka cinta kasih dan solidaritas merupakan suatu

bentuk tanggung jawab setiap pribadi kepada yang lain, yang diungkapkan dengan

perasaan emosional dan pemberian tertentu196

Jadi, praktik cinta kasih dan solidaritas yang tampak dalam ritus kematian

suku Embu Leja dan yang termuat dalam ajaran Gereja merupakan cerminan kasih

Allah bagi manusia dan manusia dengan sesamanya. Hal ini berarti baik sebagai

anggota Gereja maupun anggota masyarakat yang menganut suatu tradisi warisan

leluhur, hidup di dalam cinta kasih dan solidaritas merupakan bagian dalam tugas

pewartaan untuk hadir sebagai saksi Kristus yang dinyatakan kepada Tuhan dan

sesama. Dengan demikian, cinta kasih dan solidaritas merupakan alat untuk

mempersatukan manusia dengan manusia, terutama manusia dengan Tuhan.

195 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 454. 196 Yohanes Paulus II, dalam Yosef Boumans, Telaah Sosio-Pastoral Tentang Manusia (Jakarta:

Celesty Hieronika, 2001), hal. 164.

Page 150: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

137

5.4.3 Nilai Persekutuan (Communio) dan Kerja Sama

Sebagaimana diungkapkan Bernard Raho bahwa ritus-ritus yang dilakukan

oleh manusia memiliki nilai di baliknya, yakni untuk meningkatkan kesatuan di

dalam kelompok tertentu. Hal tersebut ditampakkan oleh kelompok tertentu, yakni

dengan bersama-sama mengingat kembali kebersamaan yang dihayati serta

memperkuat kebersamaan.197 Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku

Embu Leja merupakan tanda bahwa masyarakat suku Embu Leja memiliki relasi

persekutuan dengan Wujud Tertinggi, persekutuan dengan orang-orang yang

meninggal dan juga sesama yang masih hidup di dunia. Hal ini berarti tujuan

masyarakat suku Embu Leja melaksanakan ritus-ritus kematian adalah untuk

membangun nilai persekutuan dan kerja sama antara orang-orang yang masih

hidup dengan orang yang meninggal, agar saling menguntungkan dan saling

membahagiakan hidup. Nilai persekutuan juga dipahami sebagai adanya persatuan

dan persaudaraan yang erat di antara orang-orang yang mengambil bagian dalam

ritus-ritus kematian. Jika dalam kehidupan sehari-hari terdapat persoalan yang

menimbulkan perselisihan maka ritus merupakan saat yang tepat bagi masyarakat

untuk kembali memperbarui persatuan di antara mereka. Persekutuan ini hanya

mungkin terjadi apabila adanya kerja sama. Nilai kerja sama mencakup aktivitas

yang dikerjakan dalam semangat persekutuan demi mencapai kebaikan bersama.

Karena itu, persekutuan yang dibangun dalam ritus kematian menuntut adanya

kerja sama di antara semua pihak yang terlibat di dalamnya: masing-masing orang

dapat mengambil bagian atau turut berperan aktif dengan melaksanakan apa yang

menjadi tanggung jawab masing-masing.

Nilai persekutuan juga terdapat dalam Gereja yang dikenal dengan

communio, yaitu persekutuan antara umat manusia dengan Allah dan sesama.

Dengan Roh-Nya, Allah memanggil setiap umat beriman untuk membangun

communio dengan-Nya melalui putera-Nya Yesus Kristus, sehingga menghasilkan

suatu persekutuan yang baru di antara manusia dan sesamanya. Persekutuan ini

dapat dibangun melalui sabda dan sakramen sebagai tanda bahwa Allah

menguduskan umat-Nya. Setiap orang yang sudah masuk dalam persekutuan itu

mengambil peran untuk menampilkan Kristus sebagai imam, nabi, dan raja di

197 Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi, op. cit., hal. 13.

Page 151: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

138

tengah dunia. Maka, communio yang dibangun atas inisiatif Allah tersebut dapat

menjadi cahaya dan penyelamat dunia.198 Hal tersebut senanda dengan apa yang

digagaskan Eben Nuban Timo, bahwa persekutuan sebagai Gereja mesti hadir

untuk Allah di mana memberi kesaksian tentang kasih Allah; Gereja haruslah

menjadi Gereja yang ada untuk sesama, untuk orang lain, the church for others.

Dengan kata lain, Gereja ada untuk persekutuan, bukan untuk dirinya sendiri.199

Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja dalam

hubungan timbal balik antara orang-orang hidup dengan orang mati dan Wujud

Tertinggi merupakan suatu persekutuan yang menyelamatkan. Melalui ritus-ritus

yang dilakukan, orang-orang dapat bekerja sama antara orang-orang yang masih

hidup dengan orang yang meninggal agar saling menguntungkan dan saling

membahagiakan hidup. Orang yang masih hidup dianggap sebagai pemenuh

harapan bagi orang yang meninggal. Sedangkan orang yang telah meninggal

menjadi tumpuan harapan, sebagai pendukung usaha dan rencana manusia yang

masih hidup dan juga berperan sebagai pelindung terhadap penyakit serta

marabahaya lainnya. Di samping itu, orang-orang yang terlibat dalam ritus tersebut

dapat menimba berkat agar persekutuan mereka terus menyata di dalam dunia,

terutama menghayati persekutuan hidupnya sebagai orang-orang yang beriman

Katolik. Dengan kata lain, pelaksanan ritus-ritus kematian mengandung harapan

besar bahwa setiap orang yang terlibat di dalamnya juga memiliki sikap untuk

menjaga persekutuan dan kerja sama dalam berbagai aspek kehidupannya. Di sini,

ritus menjadi sebuah panggilan ke dalam suatu persekutuan hidup, yang di

dalamnya ada damai dan persatuan serta kerja sama dan partisipasi aktif setiap

anggota masyarakat. Ritus menjadi model yang membantu umat manusia

menghayati hidup communio yang sesungguhnya, sebagaimana yang terdapat

dalam ajaran Gereja Katolik. Ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa beriman

berarti dipanggil ke dalam persekutuan dangan Allah dalam diri Yesus Kristus dan

dalam kesatuan dengan seluruh umat mausia. “Gereja itu di dalam Kristus

bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan

kesatuan umat manusia”.

198 G. Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani, op. cit., hal. 420-425. 199 Eben Nuban Timo, Sidik jari Allah dan Budaya: Upaya Menjajaki Makna Allah dalam

Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur (Ledalero: Maumere, 2007), hal. 99.

Page 152: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

139

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikatakan bahwa kebudayaan

memiliki kebajikan-kebajikan lahiriah yang tidak jauh berbeda dengan yang

terdapat dalam ajaran Gereja. Kebajikan-kebajikan kebudayaan memiliki

kontribusi ketika umat diarahkan pada kesadaran dan perhatian untuk menghayati

persekutuan hidup yang sesungguhnya dengan Allah dan sesama dalam imannya

akan Yesus Kristus. Dengan kata lain, ketika umat diajak untuk mengungkapkan

imannnya sesuai dengan segala ajaran dan tuntutan hidup dalam imannya tersebut,

umat telah memiliki pedoman dan pegangan melalui kebajikan-kebajikan

tradisional yang melekat erat dalam hidup mereka.

5.5 Implikasi terhadap Karya Pastoral Gereja

Kegiatan pastoral merupakan salah satu wujud dari usaha evangelisasi demi

pertumbuhan iman umat. Dalam hal ini, kegiatan pastoral diharapkan mampu

menjernihkan kepercayaan masyarakat setempat dengan nilai-nilai injili. Dalam

usaha evangelisasi tersebut, para pelayan pastoral berusaha untuk mempribumikan

iman kristiani. Titik pijak yang digunakan adalah refleksi teologis yang bersumber

dari Kitab Suci dan tradisi Kristen. Dalam hubungan antara ritus kematian

masyarakat suku Embu Leja dengan pandangan Gereja Katolik tentang kosep

kematian maka yang menjadi titik pijak kegiatan pastoral adalah refleksi-refleksi

teologis atau ajaran Gereja, yang mencakup Kitab Suci dan tradisi yang berbicara

tentang kematian. Harapan dari pewartaan yang dilakukan oleh pelayan pastoral

dapat membawa perubahan di dalam diri umat agar semakin menghayati nilai-nilai

iman Kristiani dalam keseharian hidup. Berikut adalah bidang-bidang yang bisa

menjadi lokus kegiatan pastoral, yakni pastoral katekese bersama umat dan bidang

pastoral liturgi.

5.5.1 Katekese Bersama Umat

Katekese bersama umat merupakan salah satu usaha pastoral yang

mengarahkan umat pada pengahayatan iman yang konkret. Katekese umat dapat

ditinjau dari berbagai aspek, antara lain antropologis, sosiologis, dan teologis.

Aspek antropologis katekese umat dilihat sebagai musyawarah iman untuk

Page 153: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

140

memecahkan persoalan dan memenuhi kebutuhan tertentu. Aspek sosiologis

katekese umat dilihat sebagai analisis sosial dalam terang Injil, dan aspek teologis

katekese umat dilihat sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman

berdasarkan sabda Allah dan pengalaman konkret di antara kelompok atau

jemaat.200

Berhadapan dengan tugas pelayan pastoral maka pelayan pastoral tidak

hanya menyampaikan sabda Tuhan saja dan ajaran resmi Gereja kepada umat

setempat, tetapi berusaha membangun dialog iman yang intens. Dengan demikian,

pelayan pastoral dapat membuat penilaian yang tepat sasar mengenai ritus-ritus

yang dipratikkan. Hal yang menjadi acuan bagi dialog iman adalah Sabda Tuhan

dan ajaran Gereja. Di dalamnya, para pelayan pastoral berusaha menemukan

keselarasan antara apa yang termaktub di dalam ajaran Gereja Katolik dan

kepercayaan asli dengan segala kaitan fungsionalnya.

5.5.1.1 Katekese Bersama Umat: Membimbing Umat Memahami Misteri

Kristus

Masyarakat suku Embu Leja secara tidak langsung belum cukup memiliki

kemurnian pandangan terhadap misteri Kristus yang berperan sebagai pemersatu

antara Allah dan sesama, juga sebagai pengantara manusia dengan Allah melalui

karya penebusan, melainkan lebih memperhatikan pelaksanaan ritus kematian.

Oleh karena itu, agar masyarakat suku Embu Leja mampu memahami misteri

Kristus dengan baik dan benar sangat diperlukan bimbingan dan pembinaan

terlebih dahulu agar menyadarkan umat bahwa Yesus Kristus adalah pribadi yang

dalam diri-Nya berperan sebagai pemersatu dan pengantara antara Allah dan

manusia. Hal praktis yang bisa dibuat untuk memahami Misteri Kristus adalah

perayaan Ekaristi. Dalam perayaan Ekaristi, seluruh misteri kehidupan bersama

dengan Allah dan sesama terpenuhi dalam diri Kristus. Yesus memilih sebuah

praktik persekutuan perjamuan sebagai simbol potensial dan perwujudan jemaat

baru. Misteri Ekaristi adalah misteri Tuhan yang menjadi makanan bagi umat

200 Yosef Lalu, “Katekese Umat dalam Menerobos Batas, Merobohkan Prasangka”, dalam Paul

Budi Kleden dan Robert Mirsel (eds.), Dialog demi Keadilan Menyongsong HUT ke-65 Dr. John

Mansford Prior, Jilid ke-2, (Maumere: Ledalero, 2001), hal. 406-413.

Page 154: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

141

manusia agar manusia hidup dan bersekutu dengan-Nya dan dengan sesama

manusia. Dengan menjadi roti yang dimakan, Tuhan masuk ke dalam diri manusia

agar manusia bisa bersatu bersama dia dan pada akhirnya manusia mencapai

kepenuhan untuk bersatu dengan Allah.201 Hal senada sejalan dengan apa yang

ditulis St. Ignatius, Uskup Anthiokia, sekitar tahun 107, kepada jemaat di

Filadelfia, yang dijelaskan oleh Scoett Hann bahwa: “Peliharalah satu Ekaristi.

Karena hanya ada satu tubuh Tuhan kita Yesus Kristus dan satu cawan untuk

menyatakan persatuan akan darah-Nya, satu altar seperti halnya satu uskup, para

imam, dan diakon, hai kamu hamba-hamba Allah”.202

Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja adalah

sebuah kegiatan yang terjadi dalam lingkungan orang-orang yang berhimpun

dalam keyakinan bahwa adanya kehidupan setelah kematian. Ritus kematian

masyarakat suku Embu Leja mengungkapkan rasa hormat, cinta, dan persaudaraan

dalam semangat solidaritas, baik antara sesama manusia yang masih hidup maupun

dengan sesama yang telah meninggal dunia. Ritus kematian yang dilakukan oleh

masyarakat suku Embu Leja juga merupakan salah satu usaha untuk membantu

orang yang meninggal dan orang yang masih hidup sama-sama memperoleh

kebahagiaan. Dasar dari pelaksanan ritus kematian yang dilakukan oleh

masyarakat suku Embu Leja karena adanya hubungan kedekatan antara orang yang

masih hidup dengan orang yang telah meninggal dan juga dipengaruhi oleh

keyakinan adanya hidup sesudah kematian, di mana arwah juga diyakini memiliki

kedekatan dengan Wujud Tertinggi. Ini merupakan pandangan hidup yang

memengaruhi masyarakat suku Embu Leja, baik secara kolektif maupun

individual.

Antara pelaksanaan ritus kematian dan Ekaristi terdapat kesamaan makna di

dalamnya. Ekaristi merupakan perayaan keselamatan dalam bentuk tanda, dan di

balik tanda tersebut ada hal yang hendak dinyatakan dan ditunjukkan, ada hal yang

mewakili sesuatu yang lain, yakni membahasakan pertemuan antara Allah dan

manusia. Ritus kematian masyarakat suku Embu Leja merupakan ritus usang yang

dilakukan sejak zaman leluhur, yang di dalamnya ada banyak tanda untuk

201 Bdk. E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, op. cit., hal. 268. 202 Scott Hann, The Lamb’s Supper The Mass As Heaven On Earth: Perjamuan Anak Domba

Perayaan Ekaristi, Surga di Atas Bumi (Malang: Dioma, 2012), hal. 55-56.

Page 155: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

142

membahasakan komunikasi antara manusia dan manusia, manusia dengan Wujud

Tertinggi. Namun semua ini akan menjadi lebih bermakna dan bernilai jika

disatukan dalam Kristus yang merupakan satu-satunya pribadi yang ditetapkan

Allah sebagai pemersatu dan pengantara Allah dengan manusia demi memperoleh

keselamatan hidup, karena tidak semua orang dapat masuk dalam persekutuan

dengan Allah tanpa melalui Kristus. Kristus adalah penyelamat dan pengantara

manusia.

Dengan demikian, dalam perjumpaan antara makna di balik ritus-ritus

kematian masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran Gereja Katolik tentang

kematian dan kehidupan setelah kematian, salah satu titik tolak dari kegiatan

katekese umat adalah unsur-unsur sejarah keselamatan yang terdapat dalam adat

maupun ajaran Gereja, yaitu penyadaran tentang situasi hidup umat dengan

tuntutan adat dan tuntutan Kristus. Hal ini penting bagi umat karena di satu sisi

umat masih melekat erat dengan adat istiadat dan kepercayaan tradisionalnya, di

sisi lain umat juga merupakan orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus,

sehingga katekese umat dengan titik tolak nilai-nilai adat istiadat dan tuntutan

Kristus bagi umat dalam penghayatan imannya merupakan cara berpastoral yang

tepat. Hal ini dirasa penting karena realitas yang dijumpai di dalam masyarakat

suku Embu Leja bahwa ada semacam kecenderungan untuk lebih takut dan taat

pada hukum adat daripada aturan Gereja. Bahwasanya, ketaatan kepada adat

istiadat yang adalah warisan leluhur merupakan suatu kewajiban, sehingga tidak

mengherankan meskipun secara formal masyarakat suku Embu Leja telah

memeluk agama Katolik, namun ritus-ritus kematian tetap dijalankan sebagaimana

mestinya. Masyarakat suku Embu Leja melihat keharmonisan dan kedamaian

hanya dapat tercipta apabila ritus-ritus kematian dijalankan dengan baik dan benar.

Sebaliknya, pengabaian ritus-ritus yang ada dapat mendatangkan bencana atau

malapetaka bagi segenap anggota tertentu.

Jadi, katekese bersama umat tentang membimbing umat dalam memahami

Kristus memungkinkan masyarakat agar tidak hanya mementingkan adat istiadat,

tetapi juga mengutamakan imannnya akan Kristus sebagai satu-satunya jaminan

keselamatan bagi umat manusia. Dalam hal ini akan muncul kesadaran baru bahwa

adat istiadat dan segala unsurnya merupakan tantanan yang hanya mengandung

Page 156: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

143

nilai kehidupan tertentu, namun tidak menjamin keselamatan kekal. Dengan

demikian, masyarakat suku Embu Leja akan menyadari bahwa adat-istiadat hanya

membantu manusia untuk menghayati imannya secara penuh kepada Kristus

sebagai sumber keselamatan.

5.5.1.2 Rencana Tindak Lanjut dari Katekese Bersama Umat: Umat

Beriman Perlu Bertindak Aktif dalam Kehidupan Menggereja

Setelah dibimbing melalui katekese agar masyarakat Suku Embu Leja dapat

memahami Kristus sebagai satu-satunya jaminan keselamatan bagi umat manusia,

terdapat juga tujuan lain dari katekese, yakni mengarahkan masyarakat suku Embu

Leja kepada partisipasi dan lebih aktif dan sungguh-sungguh dalam hidup

menggereja. Partisipasi umat merupakan tindakan nyata setelah mengenal dan

memahami misteri Kristus. Nilai partisipasi yang hendak dicapai yakni

pengalaman batin, mampu mengambil manfaat iman sebesar-besarnya dengan

penuh pengertian dan kesadaran. Hal ini ditegaskan dalam Konstitusi Liturgi

nomor 14 sebagaimana yang dikutip oleh J. D. Chricton, yakni mengutamakan

peran, bukan hanya aktif secara lahiriah (fisik) melainkan secara sadar dan saleh.

Umat harus datang ke tempat ibadat dengan suasana hati yang tepat dan pikiran

mereka haruslah disenadakan dengan suara mereka.203 Hal ini berarti, umat harus

dibimbing ke pemahaman bahwa Ekaristi bukanlah perayan ritual, melainkan

perayaan iman yang mendalam, yakni kebersatuan dengan Kristus sebagai sumber

kehidupan manusia.

Sebagai anggota Gereja, keaktifan sudah didasari olah pembaptisan.

Melalui pembaptisan tersebut Gereja dipanggil untuk menjadi imam, nabi, dan

raja. Hal ini ditegaskan dalam kanon 204:

§ 1. Kaum beriman kristiani ialah mereka yang karena melalui

baptis diinkorporasi pada Kristus, dibentuk menjadi umat

Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil

bagian dalam tugas imani, kenabian dan rajawi Kristus, dan

sesuai dengan kedudukan masing-masing, dipanggil untuk

203 J. D. Chirchton, Perayaan Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 21.

Page 157: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

144

menjalankan perutusan yang dipercayakan Allah kepada

Gereja untuk dilaksanakan di dunia.204

Berdasarkan hukum kanonik maka tugas dan panggilan untuk berpatisipasi

dalam tugas sebagai imam, nabi, dan raja merupakan bagian dari karya misoner.

Masyarakat suku Embu Leja adalah anggota Gereja karena pembaptisannya. Oleh

karena itu, mereka mempunyai suatu panggilan istimewa yang dipolakan menurut

panggilan para rasul, yaitu suatu komitmen yang total kepada evangelisasi,

memberikan teladan, dan menunjukkan hakikat dari setiap orang Kristen,205

sehingga hal-hal praktis sebagai keaktifan dari anggota Gereja yang berpatisipasi

dalam tugas sebagai imam adalah selalu bersyukur dan berdoa dan menjalankan

perbuatan kasih kepada sesama. Sementara itu, hal-hal praktis dari tugas kenabian

adalah membawa pewartaan berdasarkan kesaksian hidup iman yang dialami

sendiri demi membangun iman umat dan anggota masyarakat suku Embu Leja.

Terakhir, partisipasi dalam tugas rajawi selalu dihubungkan dengan perjuangan

sebagai seorang raja yang mengalahkan kekuasaan kejahatan serta menyerahkan

diri untuk pengabdian dalam kasih dan keadilan, terutama dengan sesama yang

membutuhkan perhatian.

Dengan demikian, partisipasi aktif dalam kehidupan sebagai anggota Gereja

dalam konteks kehidupan masyarakat suku Embu Leja menjadi lebih terarah

kepada pelaksanaan tugas yang mulia di tengah kehidupan sebagai imam, nabi, dan

raja yang bersumber pada Kristus. Berhadapan dengan hal ini, Gereja hendaknya

menjadi lebih aktif dalam merayakan Ekaristi dan aktif pula mempratikkannya

dalam hidup harian bersama. Masyarakat suku Embu Leja melaksanakan ritus

kematian untuk menunjukkan adanya usaha membangun persekutuan dengan

sesama dalam semangat persaudaraan, baik dengan orang yang telah meninggal

maupun dengan orang yang masih hidup, serta hubungannya dengan Wujud

Tertinggi. Masyarakat suku Embu Leja dipanggil untuk merayakan dan meragakan

tindakan simbolis tersebut dalam hidup sebagai masyarakat berbudaya yang

memilki hubungan persekutuan dengan sesama yang masih hidup maupun dengan

204 Kitab Hukum Kanonik, (Jakarta: Konferensi Wali Gereja Indonesia, 2009). 205 Wilhem Djulei Conterius, Karya Misi Gereja: Sebelum dan Sesudah Konsili Vatikan II hingga

Dewasa Ini, Peluang dan Tantangan (Maumere: Ledalero, 2017), hal. 48.

Page 158: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

145

sesama yang telah meninggal, serta bersekutu dengan Wujud Tertinggi yang

berdasar pada panggilan sebagai imam, nabi, dan raja. Oleh karena itu, anggota

suku Embu Leja harus aktif dan sanggup memberi kesaksian tentang Kritus dalam

hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, masyarakat suku Embu Leja tampil

sebagai anggota suku dan sekaligus menjadi anggota Gereja yang semakin

sempurna dalam beriman, berharap, dan mengamalkan cinta kasih secara Kristiani,

di samping iman kepada Kristus di tengah kehidupan bersama dan dalam hubungan

dengan orang yang telah meninggal dunia.

5.5.2 Bidang Pastoral Liturgi

Kegiatan pastoral dalam bidang liturgi yang dimaksudkan adalah kegiatan

yang dikaitan dengan tata cara pemakaman. Gereja Katolik melaksanakan upacara

pemakaman orang beriman dan memanjatkan doa-doa bagi anggota Gereja yang

meninggal sebagai bentuk penghormatan. Upacara pemakaman dilakukan dengan

tujuan untuk menghibur keluarga yang berkabung, tetapi juga meneguhkan iman

umat. Dalam hal ini, upacara pemakaman dapat dimanfaatkan sebagai sarana

pastoral untuk pembinaan iman umat dan pewartaan injil.

Untuk maksud tersebut, Gereja secara khusus menerbitkan tata liturgi

kematian kristiani, yakni Ordo Exsequarium. Buku tersebut menjadi acuan bagi

pelaksanaan liturgi kematian di pelbagai tempat. Dalam buku tersebut, ada tiga

bentuk upacara pemakaman berdasarkan tempat pelaksanaan, yaitu rumah, Gereja,

dan tempat pemakaman. Namun, ada catatatan khusus bahwa ritus pemakaman ini

juga harus sesuai dengan bobot yang diberikan kepadanya oleh keluarga, kebiasaan

setempat, kebudayaan, dan kesalehan populer.206 Dalam buku ini juga termuat ritus

perpisahan dengan orang mati yang mengindikasikan tanggung jawab Gereja untuk

menyerahkan kembali anggotanya kepada Allah. Perpisahan tersebut dimaknai

sebagai salam terakhir dari jemaat Kristen kepada seorang anggotanya, sebelum

jenasah diusung ke pemakaman.207 Kehadiran Ordo Exequarium memberi

kemungkinan bagi terciptanya inkulturasi dalam tata cara pemakaman yang dapat

206 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 422. 207 Ibid., hal. 423.

Page 159: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

146

mengungkapkan iman Kristiani akan kebangkitan dan memberikan kesaksian

tentang nilai-nilai kebenaran injil.208

Hal ini berarti unsur-unsur tertentu dari ritus-ritus kematian masyarakat

suku Embu Leja dapat diinkulturasikan ke dalam liturgi Katolik sejauh ia dapat

mengungkapkan iman Kristiani akan kebangkitan dan memberikan kesaksian yang

benar tentang injil. Acuan untuk inkulturasi adalah hasil pertemuan antara apa

yang menjadi persamaan dan perbedaan dari ritus-ritus kematian masyarakat suku

Embu Leja dengan liturgi pemakaman Gereja Katolik. Perbandingan tersebut

dianalisis untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditempuh

untuk menyusun suatu teks liturgi, agar kemudian bisa dipakai dalam upacara

liturgi pemakaman yang mengintegrasikan antara ritual kematian budaya

masyarakat suku Embu Leja dengan liturgi pemakaman Gereja Katolik. Pada

akhirnya, pertimbangan keadaan teknis-pastoral dan aturan yang ada pada liturgi

pemakaman Gereja Katolik seturut acuan yang ada dalam Ordo Exequarium, serta

potensi kekayaan kultural dalam ritus kematian masyarakat suku Embu Leja

mengarah pada teks liturgi yang dapat dipakai dalam litugi pemakaman masyarakat

suku Embu Leja-Kristiani.

Dengan diakomodasikan unsur-unsur tertentu dari ritus kematian

masyarakat suku Embu Leja ke dalam liturgi Gereja Katolik sembari diberi nilai-

nilai Kristiani, baik nilai-nilai budaya maupun iman Kristiani akan lebih mudah

dihayati di dalam kehidupan masyarakat suku Embu Leja tanpa menimbulkan

pertentangan di antara keduanya. Hal ini berarti, dengan tetap menjaga apa yang

ada dalam tradisi masyarakat suku Embu Leja, namun sekaligus tidak menentang

apa yang sudah ada dalam liturgi, inkulturasi dapat dilihat sebagai usaha untuk

menjawabi kebutuhan Gereja setempat berkaitan dengan kebudayaan tertentu.

Selain itu, usaha inkulturasi ini dapat dipandang sebagai usaha membumikan

liturgi, sehingga liturgi bukan merupakan hal yang terpisah dengan kultur tertentu

melainkan memperkaya dalam kultur tertentu.

208 Bernardus Boli Ujan, Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi (Maumere: Ledalero, 2006), hal. 20.

Page 160: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

147

5.6 Kesimpulan

Usaha untuk memperbandingkan makna di balik ritus-ritus kematian

masyarakat suku Embu Leja dengan Gerja Katolik tentang kematian dan hidup

sesudah kematian pada akhirnya bermuara pada penemuan akan unsur-unsur yang

bisa diselaraskan dan unsur-unsur yang tidak dapat diselaraskan. Unsur-unsur yang

dapat diselaraskan yakni keyakinan akan adanya Allah-Wujud Tertinggi sebagai

asal dan tujuan hidup manusia, adanya harapan akan hidup setelah kematian, aspek

inisiasi, konsep penyucian diri, relasi kekerabatan antara orang yang hidup dan

orang mati. Sedangkan unsur-unsur yang tidak dapat diselaraskan adalah konsep

tentang kematian, kebangkitan jiwa-badan, pengantara keselamatan, tempat bagi

orang yang meninggal di dunia akhirat.

Pelaksanan ritus-ritus kematian mengandung harapan besar bahwa setiap

orang yang terlibat di dalamnya memiliki sikap untuk menjaga persekutuan dan

kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan. Di sini, ritus menjadi sebuah

panggilan ke dalam suatu persekutuan hidup, yang di dalamnya ada damai dan

persatuan serta kerja sama dan partisipasi aktif setiap anggota masyarakat. Karena

itu, ritus menjadi model yang membantu umat manusia menghayati hidup

communio yang sesungguhnya, sebagaimana yang diciptakan dalam ajaran Gereja

Katolik. Ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa beriman berati dipanggil ke

dalam persekutuan dangan Allah dalam diri Yesus Kristus dan dalam kesatuan

dengan seluruh umat mausia. Gereja itu di dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni

tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan umat manusia.

Dalam hubungan antara ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan

pandangan Gereja Katolik tentang kosep kematian maka yang menjadi titik pijak

kegiatan pastoral adalah refleksi-refleksi teologis atau ajaran Gereja: Kitab Suci

dan tradisi yang berbicara tentang kematian. Harapan dari pewartaan yang

dilakukan oleh pelayan pastoral dapat membawa perubahan di dalam diri umat

agar semakin menghayati nilai-nilai iman Kristiani dalam keseharian hidup. Sikap

dan nilai yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat suku Embu Leja merupakan

hal-hal yang dihidupi oleh Gereja dalam pewartaannya, namun sikap yang dimiliki

dalam budaya masyarakat perlu dimurnikan secara Kristiani agar umat memiliki

Page 161: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

148

pandangan iman yang terarah kepada Kristus sebagai pemersatu dan perantara

Allah dengan manusia juga manusia dengan sesamanya.

Kehadiran umat beriman untuk merayakan Ekaristi secara bersama-sama

dan mengikuti dengan lebih aktif merupakan bagian dari upaya untuk bersatu

dengan Kristus bersama Bapa dalam persekutuan dengan Roh Kudus, sebagaimana

masyarakat suku Embu Leja secara bersama-sama menghadiri dan mengikuti

upacara ritus kematian yang dilaksanakan dalam budaya tersebut. Keaktifan dalam

Ekaristi oleh masyarakat suku Embu Leja memberi arti bahwa mereka ikut ambil

bagian dalam karya keselamatan Kristus dan memperoleh keselamatan dari

Kristus. Namun masih terdapat kesulitan untuk meyakinkan sikap iman kepada

Kristus yang hadir dalam Ekaristi, karena masyarakat suku Embu Leja masih

menghidupi suatu kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur sebagai penjamin

keselamatan dan kebahagiaan setelah manusia mengalami kematian, sehingga

pemahaman Ekaristi sebagai upacara keselamatan masih belum dipahami secara

penuh. Karena itu, usaha selanjutnya adalah dialog di antara keduanya guna

mencapai pemahaman yang benar tanpa menimbulkan pertentangan dengan cara

katekese bersama umat dan pastoral liturgi.

Katekese bersama umat adalah cara untuk membimbing umat memahami

Kristus, sekaligus memungkinkan masyarakat untuk tidak hanya mementingkan

adat istiadat, tetapi juga mengutamakan imannya akan Kristus sebagai satu-satunya

jaminan keselamatan bagi umat manusia. Dalam hal ini akan muncul kesadaran

baru bahwa adat istiadat dan segala unsurnya merupakan tantanan yang hanya

mengandung nilai kehidupan tertentu namun tidak menjamin keselamatan kekal.

Dengan demikian, masyarakat suku Embu Leja akan menyadari bahwa adat-

istiadat hanya membantu manusia untuk menghayati imannya secara penuh kepada

Kristus sebagai sumber keselamatan.

Sementara itu, pastoral liturgi Gereja Katolik melaksanakan upacara

pemakaman orang beriman dan memanjatkan doa-doa bagi anggota Gereja yang

meninggal sebagai bentuk penghormatan. Upacara pemakaman dilakukan dengan

tujuan untuk menghibur keluarga yang berkabung, tetapi juga meneguhkan iman

umat. Dalam hal ini, upacara pemakaman dapat dimanfaatkan sebagai sarana

pastoral utnuk pembinaan iman umat dan pewartaan injil. Unsur-unsur dalam ritus-

Page 162: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

149

ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dapat diinkulturasikan ke dalam liturgi

Katolik sejauh ia dapat mengungkapkan iman Kristiani akan kebangkitan dan

memberikan kesaksian yang benar tentang Injil. Acuan untuk inkulturasi adalah

hasil pertemuan antara apa yang menjadi persamaan dan perbedaan dari ritus-ritus

kematian masyarakat suku Embu Leja dengan liturgi pemakaman Gereja Katolik.

Pertimbangan keadaan teknis-pastoral dan aturan yang ada pada liturgi pemakaman

Gereja Katolik seturut acuan yang ada dalam Ordo Exequarium, serta potensi

kekayaan kultural dalam ritus kematian masyarakat suku Embu Leja mengarah

pada usaha inkulturasi teks liturgi yang dapat dipakai dalam litugi pemakaman

masyarakat suku Embu Leja-Kristiani.

Page 163: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

150

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Kematian adalah sebuah fenomena kehidupan yang pasti dan misteri.

Setiap orang akan mengalami kematian atas cara dan pada waktu yang berbeda.

Tidak ada manusia yang akan luput dari kematian dan tidak ada manusia yang

sanggup mengetahui situasi hidup setelah kematian. Sebagai manusia yang serba

terbatas manusia tidak mampu menjawabi persoalan kematian ini secara tuntas

dengan memakai akal budi. Apakah ada kehidupan setelah kematian? Masyarakat

suku Embu Leja meyakini pelasanaan ritus kematian yang dilakukan bertujuan

untuk menghantar para arwah ke Kelimutu agar bisa mengalami kesejahteraan

bersama Ia dan Embu-Mamo dan juga untuk mensejahterakan keluarga dan kerabat

yang masih hidup. Selain itu, pelaksanan ritus yang dibuat mempererat relasi antar

sesama manusia maupun dengan para arwah dan Wujud Tertinggi, membangun

relasi cinta, solidaritas, comunio (persatuan) dan kerja sama sehinnga pada

akhirnya semua orang bersatu dalam mencapai kebahagiaan hidup. Di samping itu,

seluruh rangkain ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat Suku Embu leja

bermuara pada suatu keyakinan bahwa adanya kehidupan lanjutan setelah manusia

mengalami kematian. Sehubungan dengan hal itu, Pandangan masyarakat suku

Embu Leja mengungkapkan bahwa unsur yang menjadikan manusia tetap

mengalami kehidupan setelah kematian adalah jiwa (mae) yang ada dalam dirinya

sebagai suatu anugerah dari Wujud Tertinggi(Ia). Jiwa yang dimiliki oleh manusia

tersebut menjadi penggerak bagi manusia untuk selalu berusaha menemukan dan

mencari yang Ilahi sebagai sumber dan tujuan hidupnya. Hal tersebut tampak

dalam berbagai ritual adat yang dilakukan yang disertai dengan doa dan

persembahan baik kepada arwah leleluhur maupun kepada Wujud Tertinggi. di sini

ritus menjadi sarana untuk membantu manusia mencapai kepenuhan pencarian.

Dalam usaha mencari dan dan mendekati Wujud Tertinggi tak dapat dipungkiri

bahwa alam sekitar kehidupan manusia dan segala ciptaaan Hidup yang lain

dijadikan objek penghubung.

Page 164: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

151

Usaha untuk mencari dan menemukan kebersatuan dengan Yang Ilahi

secara defenitif terjadi dalam peristiwa kematian. Pemaknaan peristiwa kematian

yang dialami oleh masyarakat suku Embu Leja dimaknai sebagai akibat dari

sebuah perjanjian antara manusia dan Wujud Tertinggi, namun tidak dapat

disangkal pula ada interpretasi yang menyatakan bahwa kematian seseorang pula

disebabkan karena pengaruh dari kekuatan roh jahat (Ata Polo). Kematian sungguh

merupakan peristiwa perpisahan antara sanak keluarga dan kerabat yang

meninbulkan kesedihan namun, kematian bukanlah akhir dari segala-galanya.

Menurut masyarakat suku Embu Leja kematian juga merupakan peralihan dari

dunia ini menuju alam baka (Kelimutu), karena itu setiap ada moment perpisahan

dengan orang mati selalu diucapkan oleh Pu’u Kamu: “Mbana ma’e salah jala leta

ma’e salah wolo. Pama kami” (“Pergilah, jangan sampai salah jalan, jangan

tersesat di dalam perjalanan. Lindungilah kami”) Ritus kematian yang disertai

dengan doa dan persembahan dan perlu dilaksanakan demi menjamin

kesejahteraan bagi arwah. Unsur yang menjadikan manusia tetap mengalami hidup

adalah jiwa yang terkadandung dalam dirinya sebagai daya yang diberikan oleh

Wujud Tertinggi.

Makna ritus kematian dalam masyarakat suku Embu Leja di pihak lain

merupakan perayaan nilai, karena pelaksanaan ritus tersebut melahirkan nilai

keimanan, nilai persekekutan, dan kerja sama, nilai kekerabatan, cintakasih dan

solidaritas, dan nilai kebersamaan yang dapat dibangun dalam relasi sosial. Praktek

ritual adat kematian adat yang dilakukan masyarakat suku Embu Leja adalah salah

satu pendukung untuk tercapainya hidup bahagia. Melaksanakan ritus kematian

berarti membangun relasi cinta, persaudaraan dalam sebuah persaudaraan dalam

sebuah persekutuan sebagai anggota suku dan sebagai anggota keluaraga yang

selalu tolong menolong (wuruwana) demi mencapai kebahagiaan dan

kesejahteraan hidup baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.

Demi mencapai Yang Ilahi manusia membutuhkan pengantara sebagai

mediasi. Peranan sebagai mediasi melibatkan orang yang masih hidup maupun

orang yang telah meninggal. Orang yang masih hidup dipandang sebagai orang

yang masih memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat menolong

orang yang telah meninggal karena sesungguhnnya orang meninggal tidak dapat

Page 165: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

152

menolong dirinya sendiri, mengubah keadaan diri, namun di pihak lain orang yang

masih hidup mengaharapkan pertolongan dari arwah. Hal ini menjadi tanda bahwa

manusia selalu berelasi secara timbal balik dalam persekutuan sebagai satu

keluarga. Hal mendasar dari persekutuan ini adalah sikap saling mencintai dan

saling menolong dalam kebesamaan sebagai satu ikatan keluarga demi

kebahagiaan dan kesejahteraan dan hidup bersama serta adanya wujud Tertinggi

yang berperan sebagai penganugerah hidup manusia dan kekuatanNya yang

melampaui segala-galanya. Di sinilah menjadi bukti yang jelas masyarakat suku

Embu Leja memiliki pendasaran terhadap pandangan adanya hidup setelah

kematian manusia.

Demikian halnya dalam pandangan Gereja Katolik bahwa setelah manusia

mengalami perostiwa kematian ternyata ada kehidupan yang baru dalam

keabadian. Ajaran Kristen mengenai kematian dan hidup setelah kematian pada

dasarnya merupakan pengalaman iman. Gereja Katolik mengajarkan pengalaman

iman ini mengacu pada Kitab suci, magisterium, tradisi Gereja dan beberapa

pandangan teologis lain dari bapa-bapa Gereja. Gereja mengarahkan manusia

untuk menanggapi peristiwa kehidupan dan kematian dengan sikap iman. Iman

yang dijalankan oleh manusia adalah melaksanakan kehendak Allah dan

mengamalkan dalam sikap hidup sehari-hari. Karena manusia adalah ciptaan Allah

yang secitra dengan-Nya diberi kuasa untuk menggunakan kebebasan serta

memelihara ciptaannya secara bertanggungjawab sebagai bukti cinta Allah kepada

manusia.

Dengan kehendak bebas yang diberikan oleh Allah manusia jatuh dalam

dosa. Dosa membuat manusia terasing dari Allah dan sesama manusia, tidak ada

relasih kasih antara Allah dan manusia. Pada satu sisi Allah mencintai manusia

sebagai ciptaannya yang mulia, la memanggilnya agar lebih dekat dengan-Nya.

Karena pada dasar-nya Allah adalah kasih, ia ingin memperbaiki relasi dengan

manusia dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus. Yesus Kistus tanda kehadiran Allah

yang menyelamatkan manusia dari kematian akibat dosa dan mediator dengan

Allah. Wafat dan kebangkitan Kristus menjadi puncak dan penjamin kebangkitan

manusia yang mengalami kematian. Maka, berkat kematian Kristus, manusia pun

mengalami kebangkitan kekal dalam keabadian. Manusia bangkit bersama Kristus

Page 166: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

153

dan bangkit pula bersama Kristus. Persoalan kebangkitan ini hanya dapat dijawab

dengan gagasan iman. Dan keyakinan iman kita menegaskan ada kehidupan baru

setelah kematian sehingga mendorong manusia untuk memberi makna terhadap

hidupnya sendiri. Dan kenyataan hidup setelah kematian ada dalam keadaan Api

Penyucian, surga dan neraka.

Usaha untuk memperbandingkan makna di balik ritus-ritus kematian

masyarakat suku Embu Leja dengan Gerja Katolik tentang kematian dan hidup

sesudah kematian pada akhirnya bermuara pada penemuan akan unsur-unsur yang

bisa diselaraskan dan unsur-unsur yang tidak dapat diselaraskan. Unsur-unsur yang

dapat diselaraskan yakni keyakinan akan adanya Allah-Wujud Tertinggi sebagai

asal dan tujuan hidup manusia, adanya harapan akan hidup setelah kematian, aspek

inisiasi, konsep penyucian diri, relasi kekerabatan antara orang yang hidup dan

orang mati. Sedangkan unsur-unsur yang tidak dapat diselaraskan adalah konsep

tentang kematian, kebangkitan jiwa-badan, pengantara keselamatan, tempat bagi

orang yang meninggal di dunia akhirat.

Pelaksanan ritus-ritus kematian mengandung harapan besar bahwa setiap

orang yang terlibat di dalamnya memiliki sikap untuk menjaga persekutuan dan

kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan. Di sini, ritus menjadi sebuah

panggilan ke dalam suatu persekutuan hidup, yang di dalamnya ada damai dan

persatuan serta kerja sama dan partisipasi aktif setiap anggota masyarakat. Karena

itu, ritus menjadi model yang membantu umat manusia menghayati hidup

communio yang sesungguhnya, sebagaimana yang diciptakan dalam ajaran Gereja

Katolik. Ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa beriman berati dipanggil ke

dalam persekutuan dangan Allah dalam diri Yesus Kristus dan dalam kesatuan

dengan seluruh umat mausia. Gereja itu di dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni

tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan umat manusia.

Dalam hubungan antara ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan

pandangan Gereja Katolik tentang kosep kematian maka yang menjadi titik pijak

kegiatan pastoral adalah refleksi-refleksi teologis atau ajaran Gereja: Kitab Suci

dan tradisi yang berbicara tentang kematian. Harapan dari pewartaan yang

dilakukan oleh pelayan pastoral dapat membawa perubahan di dalam diri umat

agar semakin menghayati nilai-nilai iman Kristiani dalam keseharian hidup. Sikap

Page 167: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

154

dan nilai yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat suku Embu Leja merupakan

hal-hal yang dihidupi oleh Gereja dalam pewartaannya, namun sikap yang dimiliki

dalam budaya masyarakat perlu dimurnikan secara Kristiani agar umat memiliki

pandangan iman yang terarah kepada Kristus sebagai pemersatu dan perantara

Allah dengan manusia juga manusia dengan sesamanya.

Kehadiran umat beriman untuk merayakan Ekaristi secara bersama-sama

dan mengikuti dengan lebih aktif merupakan bagian dari upaya untuk bersatu

dengan Kristus bersama Bapa dalam persekutuan dengan Roh Kudus, sebagaimana

masyarakat suku Embu Leja secara bersama-sama menghadiri dan mengikuti

upacara ritus kematian yang dilaksanakan dalam budaya tersebut. Keaktifan dalam

Ekaristi oleh masyarakat suku Embu Leja memberi arti bahwa mereka ikut ambil

bagian dalam karya keselamatan Kristus dan memperoleh keselamatan dari

Kristus. Namun masih terdapat kesulitan untuk meyakinkan sikap iman kepada

Kristus yang hadir dalam Ekaristi, karena masyarakat suku Embu Leja masih

menghidupi suatu kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur sebagai penjamin

keselamatan dan kebahagiaan setelah manusia mengalami kematian, sehingga

pemahaman Ekaristi sebagai upacara keselamatan masih belum dipahami secara

penuh. Karena itu, usaha selanjutnya adalah dialog di antara keduanya guna

mencapai pemahaman yang benar tanpa menimbulkan pertentangan dengan cara

katekese bersama umat dan pastoral liturgi.

Katekese bersama umat adalah cara untuk membimbing umat memahami

Kristus, sekaligus memungkinkan masyarakat untuk tidak hanya mementingkan

adat istiadat, tetapi juga mengutamakan imannya akan Kristus sebagai satu-satunya

jaminan keselamatan bagi umat manusia. Dalam hal ini akan muncul kesadaran

baru bahwa adat istiadat dan segala unsurnya merupakan tatanan yang hanya

mengandung nilai kehidupan tertentu namun tidak menjamin keselamatan kekal.

Dengan demikian, masyarakat suku Embu Leja akan menyadari bahwa adat-

istiadat hanya membantu manusia untuk menghayati imannya secara penuh kepada

Kristus sebagai sumber keselamatan.

Sementara itu, pastoral liturgi Gereja Katolik melaksanakan upacara

pemakaman orang beriman dan memanjatkan doa-doa bagi anggota Gereja yang

meninggal sebagai bentuk penghormatan. Upacara pemakaman dilakukan dengan

Page 168: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

155

tujuan untuk menghibur keluarga yang berkabung, tetapi juga meneguhkan iman

umat. Dalam hal ini, upacara pemakaman dapat dimanfaatkan sebagai sarana

pastoral untuk pembinaan iman umat dan pewartaan injil. Unsur-unsur dalam ritus-

ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dapat diinkulturasikan ke dalam liturgi

Katolik sejauh ia dapat mengungkapkan iman Kristiani akan kebangkitan dan

memberikan kesaksian yang benar tentang Injil. Acuan untuk inkulturasi adalah

hasil pertemuan antara apa yang menjadi persamaan dan perbedaan dari ritus-ritus

kematian masyarakat suku Embu Leja dengan liturgi pemakaman Gereja Katolik.

Pertimbangan keadaan teknis-pastoral dan aturan yang ada pada liturgi pemakaman

Gereja Katolik seturut acuan yang ada dalam Ordo Exequarium, serta potensi

kekayaan kultural dalam ritus kematian masyarakat suku Embu Leja mengarah

pada usaha inkulturasi teks liturgi yang dapat dipakai dalam litugi pemakaman

masyarakat suku Embu Leja-Kristiani.

Setelah melakukan studi atas ritus-ritus kematian suku Embu leja dalam

perbandingan dengan Ajaran Gereja katolik tentang kematian maka peneliti

menemukan beberapa hal yang perlu diberi terang teologis.

Pertama, pandangan tentang penyebab kematian harus dijernihkan dalam

terang Katolik, sebab manusia tidak memiliki kuasa hidup dan mati manusia, akan

tetapi hanya dalam Allah manusia memperoleh jaminan baik selama hidup maupun

untuk hidup sesudah kematian. Oleh karena itu kematian manusia merupakan

peristiwa rahmat bagi manusia karena manusia bersatu dalam Kristus dalam

kebangkitan. Karena merupakan peristiwa rahmat maka peranan orang yang

meninggal adalah sesungguhnya peranan membawa kebaikan dan cita bagi

manusia yang masih hidup karena setiap orang yang meninggal telah berada

bersama dengan Allah Bapa, Kristus para kudus di Surga.

Kedua, tidak ada tempat tinggal secara fisik bagi setiap orang yang

meninggal. Hal ini perlu diberi terang teologis Gereja katolik, karena

sesungguhnya hidup setelah kematian manusia berada pada situasi dalam roh. Di

mana manusia akan berada pada suatu kondisi atau suasana antara pengalaman

penderitaan dan pengalaman sukacita. Hal ini bergantung pada sikap imannya

selama di dunia dan bergantung pada rahmat Allah. Sehingga, ada kemungkinan

setiap manusia untk masuk dalam suasana api penyucian, surga dan Neraka.

Page 169: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

156

Ketiga, peranan para arwah bagi manusia sesungguhnya sebagai penolong

bagi manusia bukan sumber penyelamat. Hal ini berarti peranan para arwah

bukanlah mendatangkan marabahaya atau mendatangkan penderitaan melainkan

peranan para arwah berperan sebagai penolong dan pendoa bagi manusia yang

masih hidup karena para arwah telah bersatu dengan Kristus sebagai penyelamat

satu-satunya bagi manusia dan para Kudus-Nya.

Keempat, ritus kematian yang dilakukan dan dihidupi masyarakat suku

embu Leja bukanlah suatu praktek penyembahan berhala, melainkan suatu praktek

cinta dan penghormatan yang dilakukan dalam membina relasi persaudaraan dan

kekeluargaan baik antara orang yang masih hidup maupun orang yang telah

meninggal ataupun membangun relasi dengan Wujud Teringgi.

5.2 Usul dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian akan makna di balik ritus-ritus kematian

masyarakat suku Embu Leja dalam perbandingan dengan ajaran Gereja Katolik,

penulis menawarkan beberapa usul dan saran demi perkembangan penelitian ini

dan perkembangan iman masyarakat suku Embu Leja.

Pertama, bagi kepala suku, tokoh adat dan tokoh masyarakat suku Embu

Leja. Ritus-ritus kematian yang terdapat dalam masyarakat suku Embu Leja perlu

dipertahankan karena dalam ritus-ritus tersebut terdapat nilaii-nilai yang bisa

diperoleh didalamnya seperti cinta kasih, solidaritas comunio, kerjasama dan saling

tolong menolong. Kepala suku, tokoh adat dan tokoh masyarakat perlu dimurnikan

pemahaman dalam pelaksanaan ritus bahwa pelaksannan ritus bukanlah jaminan

keselamatan satu-satunya bagi para arwah, namun pelaksanaan ritus kematian

adalah sebuah tindakan simbolis yang mengandung makna sebagai tindakan

penghormatan, terima kasih dan tanda cinta.

Kedua, bagi generasi muda. Penulis merasa generasi yang ada dalam

masyarakat suku Embu Leja kehilangan antuisiasme terhadap pelaksanaan ritus

kematian. Hal ini yang disebabkan oleh perkembangan teknologi dan munculnya

mental instan yang menjadi trend masyarakat dunia. Akibatnya pelaksannan ritus

kematian yang dilakukan terasa semacam formalitas belaka. Meskipun demikian

situasi ini bisa dipulihkan denga cara memfasilitasi kaum muda untuk bertemu

Page 170: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

157

dengan generasi tua guna mendapat penjelasan yang memadai tentang pelaksannan

yang memadai tentang maskud dan tata upacara dari ritus-ritus kematian.

Tujuannya agar setiap generasi muda bisa memahami dan menghayati nilai-nilai

yang ada dalam ritus-ritus dan tidak kehilangan martabat dan harga diri mereka,

sekaligus dapat mengetahui syair-syair adat atau doa-doa adat sebagai warisan

leluhur.

Ketiga, bagi pelayan pastoral. Para pelayan pastoral perlu memberikan

dukungan kepada masyarakat suku Embu Leja dalam pelaksannan ritus-ritus

karena di dalam pelaksanaan ritus-ritus kematian terdapat nilai-nilai yang bisa

mempersatukan umat manusia untuk menjadi satu keluarga Gereja (persekutuan

umat Allah). Para pelayan pastoral hendaknya memiliki pemahaman yang

memadai mengenai pelaksannan ritus kematian, di samping pengetahuannya akan

Gereja katolik. Oleh karena itu, perlu melakukan pendekatan partisipatif atas

praktik-praktik ritus kematian yang ada. Pengetahuan yang memadai tentang

kebudayaan setempat mampu membantu pelayan pastoral dalam usaha

mengkontekstualisasikan ajaran Gereja Katolik selaras denga konteks kebudayaan

setempat agar setiap karya perwataan yang dilakukan oleh pelayan pastoral dapat

menyentuh dan menjawabi kebutuhan umat tepat sasar. Dengan demikian para

pelayan pastoral dapat menjadi wadah dalah menumbuhkembangkan nilai-nilai

budaya dan nilai-nilai injili secara adekuat melalui inkulturasi secara teologis

maupun liturgis.

Keempat, bagi masyarakat suku Embu Leja, masyarakat suku Embu Leja

perlu menyadari bahwa ritus kematian perlu dijaga, dihormati dan dilestarikan. Hal

ini penting karena ritus kematian mengandung berbagai nilai positif untuk

membangun sikap solidaritas, kerja sama, comunio dan saling menolong. Namun

masyarakat suku Embu Leja perlu menyadari bahwa mereka juga adalah anggota

Gereja katolik dan sebagai anggota Gereja Katolik perlu juga mengambil bagian

secara aktif dalam perayaan Liturgi sebagai tanda kehadiran Kristus yang

dipersatukan dalam ekaristi, sebagi bentuk partisipasi dalam kehidupan sebagai

umat beriman dan sekaligus menghormati ritus kematian sebagai suatu sikap

tanggung jawab dalam kehidupan berbudaya.

Page 171: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

158

DAFTAR PUSTAKA

ENSIKLOPEDI DAN DOKUMEN

Heuken, Adolf. Ensklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1992.

Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik, Buku Penjelasan dan Referensi.

Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Katekismus Gereja Katolik. Penerj. Herman Embuiru. Ende: Regio Grejani Ende,

1998.

Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Konferensi Wali Gereja Indonesia, 2009.

Konsili Vatikan II. “Konstitusi Patoral tentang Gereja dalam Dunia Dewasa Ini,

Gaudium et Spes. Penerj. R. Hardawiryana. Cetakan IX. Jakarta: Obor,

2008.

Youcat. Katekismus Popular. Penerj. Yohanes Dwi Harsanto, dkk. Yogyakarta:

Kanisius, 2015.

BUKU-BUKU

Arndt, Paul. Du’a Ngga’é. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah

Lio (Flores Tengah). Penerj. Yosef Smeest dan Kletus Pake. Maumere:

Puslit Candraditya, 2002.

Boumans, Josef. Umat Yesus: Tuntunan Khalwat Satu Minggu Berdasarkan Kitab

Suci dan Ajaran Gereja. Jakarta: Obor, 2000.

_____________. Telaah Sosio-Pastoral Tentang Manusia. Jakarta: Celesty

Hieronika, 2001.

Ceme, Remigius. Hidup yang Sesungguhnya. Menjawab Rahasia di Balik

Kematian. Maumere: Penerbit Ledalero, 2017.

Chan, Peter. P. 101 Tanya Jawab tentang Kematian dan Kehidupan Kekal.

Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Chirchton, J. D. Perayaan Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Conterius, Wilhem Djulei. Karya Misi Gereja: Sebelum dan Sesudah Konsili

Vatikan II hingga Dewasa Ini, Peluang dan Tantangan. Maumere:

Ledalero, 2017.

Daeng, Hans J. Manusia dan Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan

Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Dhogo, Cristologus. Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingannya

dengan Ekaristi. Maumere: Ledalero, 2009.

Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Embuiru, Herman. Marga Bahagia. Ende: Penerbit Nusa Indah, 1992.

Page 172: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

159

Erikson, Milard J. Christian Theology. Michigan: Bake Books, 1998.

Fuellenbach, Jhon. Church: Comuniity for the Kingdom (Revised and Expanded

Edition). Manila: Logos Publications, 2001.

Gutherie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 3. Penerj. Lisda Tirtapraja Gamadhi,

et.el. Jakarta: Gunung Mulia, 2001.

Hann, Scott. The Lamb’s Supper The Mass As Heaven On Earth: Perjamuan Anak

Domba Perayaan Ekaristi, Surga di Atas Bumi. Malang: Dioma, 2012.

Jebadu, Alex. Bukan Berhala! Penghormatan kepada Leluhur. Maumere: Penerbit

Ledalero, 2009.

Jokopranoto, R. Misteri Api Penyucian. Jakarta: Obor, 2013.

Kirchberger, Georg. Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia. Ende: Nusa

Indah, 1986.

________________. Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere:

Ledalero, 2007.

Kleden, Leo. “Misi Ad Gentes: Suatu Cara Bermisi di Asia Dewasa Ini”. Dalam:

Stephen B. Bevans dan Roger (eds.). Misi untuk Abad 21. Penerj. Yosef

Maria Florisan. Maumere: Puslit Candraditya, 2002.

Kleden, Paulus Budi. Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi.

Maumere: Ledalero, 2003.

Koentjaraningrat. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Lalu, Yosef. “Katekese Umat dalam Menerobos Batas, Merobohkan Prasangka”.

Dalam: Paul Budi Kleden dan Robert Mirsel (eds.). Dialog demi Keadilan

Menyongsong HUT ke-65 Dr. John Mansford Prior. Jilid ke-2. Maumere:

Ledalero, 2001.

Langer, Susane. Philosophy in a New Key. A Study in the symbolism of Reason,

rite, and Art. New York: Penguin Books, 1948.

Magnis-Suseno, Frans. Iman dan Hati Nurani. Jakarta: Obor, 2014.

Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Mbete, Aron M. dkk., Khazanah Budaya Lio-Ende. Ende: Pustaka Larasan dan

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende, 2006.

Orinbao, P. Sareng. Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku-

Bangsa Lio. Maumere: Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 1992.

Prior, John Mansford. Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan

Budaya. Maumere: Penerbit Ledalero, 2008.

__________________. Menjembol Jeruji Prasangka: Membaca Alkitab dengan

Jiwa. Maumere: Ledalero, 2010.

Rahner, Karl. On The Theology of Death. London: Burn & Oates, 1965.

Raho, Bernard. Sosiologi Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero, 2008.

____________. Agama dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Obor, 2013.

Page 173: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

160

Simpson, Michael. Harapan Hidup Abadi. Yogyakarta: Kanisius, 1974.

Subagya, Rahmat. Agama dan Alam Kerohanian di Indonesia. Ende: Nusa Indah,

1979.

Surip, Stanislaus. Rahasia di Balik Paskah 2. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Sustrisnaatmaka, A. M. Misi, Evangelisasi dan Inkulturasi. Yogyakarta: Yayasan

Pustaka Nusantara, 2012.

Timo, Eben Nuban. Sidik jari Allah dan Budaya: Upaya Menjajaki Makna Allah

dalam Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur. Ledalero:

Maumere, 2007.

Ujan, Bernardus Boli. Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi. Maumere: Ledalero,

2006.

__________________. Mati dan Bangkit Lagi. Dosa dan Ritus-Ritus Pemulihan

Menurut Orang Lembata: Suatu Tinjauan Antropo-Religius untuk

Memperdalam dan Menumbuhkan Hidup Beriman Umat Melalui Ibadat

Tobat Inkulturatif. Maumere: Ledalero, 2012.

van Peursen, C. A. Itu Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979.

Whitehead, Alfred N. Religion in The Making. New York: New American Library,

1974.

Yayasan Komunikasi Bina Kasih (penerj.). Tafsiran Alkitab Masa Kini. Matius

dan Wahyu. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008.

MANUSKRIP

Arsip “Profil Desa Tenda Tahun 2018”. Tenda, 12 Oktober 2019.

MEDIA ELEKTRONIK

Wikipedia Bahasa Indonesia. “Purgatorium”. Dalam: https://id.wikipedia.org/wiki/

Purgatorium. Diakses: 15 Januari 2020.

Wikipedia Bahasa Indonesia. “Inisiasi”. Dalam: https://id.wikipedia.org/wiki/

Inisiasi. Diakses: 1 Februari 2019.

WAWANCARA

Deki, Darius. Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan Tokoh Adat

Tendawena. Tendawena, 11 Oktober 2019.

Kea, Fabianus. Ata Bisa Mali Suku Embu Leja dan Tokoh Adat Tendawena.

Tendawena, 12 Oktober 2019.

Moa, Anselmus. Tokoh Adat Tendawena. Tendawena, 11 Oktober 2019.

Pawe, Anastasia. Masyarakat Desa Tendawena. Tendawena, 11 Oktober 2019.

Saka, Piter Tage. Tokoh Masyarakat Tendawena. Tendawena, 27 Desember 2019.

Page 174: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

161

Sea, Siprianus. Tokoh Adat Masyarakat Tendawena. Tendawena, 11 Oktober

2019.

So’o, Fransiskus. Mosalaki Pu’u dan Tokoh Adat Tendawena. Tendawena, 11

Oktober 2019.

Page 175: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

162

Lampiran Pertanyaan

I. Pertanyaan mengenai gambaran umum masyarakat suku Embu Leja:

1. Dari mana asal suku Embu Leja?

2. Adakah cerita mitos tentang nama suku Embu Leja?

II. Pertanyaan tentang Wujud Tertinggi:

1. Apakah masyarakat suku Embu Leja memiliki kepercayaan pada Wujud

Tertinggi?

2. Apakah ada ungkapan yang khas untuk Wujud Tertinggi tersebut?

3. Apakah ada mitos tentang Wujud Tertinggi?

4. Apakah ada doa adat atau nyanyian adat dari masyarakat suku Embu Leja

yang mengungkapkan relasi dengan Wujud Tertinggi? Bagaimana mereka

memaknainya?

5. Apa peran dari Wujud Tertinggi bagi masyarakat suku Embu Leja?

6. Bagaimana relasi Wujud Tertinggi dengan masyarakat suku Embu Leja?

7. Bagaimana masyarakat suku Embu Leja melihat Wujud Tertinggi dan

hubungannya dengan agama Kristen Katolik ?

III. Pertanyaan tentang pandangan mengenai kehidupan dan kematian:

1. Bagaimana pandangan masyarakat suku Embu Leja tentang kehidupan?

2. Bagaimana pandangan masyarakat suku Embu Leja tentang kematian?

3. Apakah ada kepercayaan tentang kehidupan setelah kematian?

IV. Pertanyaan tentang ritus kematian masyarakat suku Embu Leja:

1. Sebutkan ritus-ritus kematian menurut masyarakat suku Embu Leja mulai

dari awal sampai akhir?

2. Jelaskan masing-masing ritus adat kematian masyarakat suku Embu Leja?

a) Bagaimana urutan ritus adat kematian menurut masyarakat suku Embu

Leja?

b) Bahan-bahan apa saja yang digunakan untuk ritus tersebut?

c) Siapa-siapa saja yang terlibat dan harus hadir dalam ritus tersebut?

Page 176: TESISrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/ENDO TAGE (TESIS... · 2020. 11. 5. · DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA

163

d) Bagaimana doa-doa adat untuk masing-masing ritus tersebut?

3. Apa tujuan dari pelaksanaan ritus kematian atau mengapa ritus tersebut

dilakukan?

4. Apa makna di balik ritus-ritus tersebut?

5. Mengapa perlu dibuat ritus-ritus adat?

6. Bagaimana kepercayaan masyarakat suku Embu Leja tentang hidup setelah

kematian?

a) Di mana tempat tinggal orang mati menurut masyarakat suku Embu

Leja?

b) Bagaiamana nasib mereka setelah meninggal? Apakah nasib mereka

ditentukan oleh kehidupan mereka di bumi atau bagaimana?

c) Adakah cerita atau mitos tentang ritus tersebut?

7. Siapakah yang berhak menjadi pemimpin ritus dan siapa-siapa saja yang

terlibat dalam pelaksanaan ritus tersebut?

8. Apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemimpin ritus?

9. Kapan dilaksanakan ritus kematian?

10. Di manakah tempat pelaksanaan ritus kematian?