tesisrepository.stfkledalero.ac.id/135/1/endo tage (tesis... · 2020. 11. 5. · dengan ajaran...
TRANSCRIPT
MAKNA DI BALIK RITUS-RITUS KEMATIAN SUKU EMBU LEJA
DI DUSUN TENDAWENA – DESA TENDA DALAM PERBANDINGAN
DENGAN AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP
SESUDAH KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP KARYA PASTORAL GEREJA
TESIS
Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat
guna Memperoleh Gelar Magister (S2) Teologi
Program Studi Ilmu Teologi dengan Pendekatan Kontekstual
Oleh:
ARNOLDUS ALEXANDRO TAGE
NIRM: 17.7.54.0467.R
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK
LEDALERO – MAUMERE
2020
ii
iii
ABSTRACT
The object of study in this thesis is Embu Leja tribe in the Tendawena,
Tenda Village, Wolojita District, Ende Regency. This tribe develops a unique
identity. The identity of this tribe can be expressed in many ways such as in the
cultural rites. There are quite number of rites in the Embu Leja tribal
community. In this study, the researcher focused on the meaning behind the rituals
of death in Embu Leja tribal community in comparison with Catholic’s
Church perpective about death and life after death.
In the Catholic Church, faith is basically lived in a particular cultural
context. Based on this assumption, problems can be found in comparing between
the two elements, namely, cultural rites and Church beliefs, for on the one side,
there are part of cultural rites that are not in accordance with the teachings of the
Church. And therefore, it must be eliminated or not accepted in the Church. On the
other side, there are cultural rites that can be accepted in to the Catholic Church
because they are suitable or in accordance with the teachings of the Church.
The effort to find out the comparison between the meaning behind the death
rites in the cultural contexts - such as the tribe of Embu Leja - and the Catholic
Church teaching about death and life after death is an integral part and as an
application of the Church vission. The Church would like to emphasize the
importance of culture’s role in the process of proclaiming the Gospel, as
underlined in and through the Second Vatican Council. These efforts are based on
the belief that on the one hand, cultural values can inspire and penetrate faith and
religious worship; and on the other hand, religious values can give new meaning to
various cultural concepts. The correlation of these inspirational values are
specifically found in the similarities and differences as a result of an effort to
compare the meaning behind the Embu Leja’s rituals of death with the Catholic
Church's teachings on death and life after death.
iv
ABSTRAKSI
Objek kajian di dalam studi ini adalah suku Embu Leja dalam masyarakat
Tendawena. Suku Embu Leja adalah subkultur masyarakat etnis Lio-Ende yang
ada di Dusun Tendawena, Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende.
Dalam lingkup wilayah tersebut, masyarakat suku Embu Leja mengembangkan
satu identitas kultural yang khas. Salah satu ekspresi kultural yang khas dari
masyarakat suku Embu Leja adalah pelaksanaan ritus-ritus. Ada cukup banyak
ritus di dalam masyarakat suku Embu Leja. Namun dalam studi ini penulis
berpusat pada makna di balik ritus-ritus kematian dalam masyarakat suku Embu
Leja untuk kemudian diperbandingkan dengan pandangan Gereja Katolik tentang
kematian dan hidup sesudah kematian.
Di dalam Gereja Katolik, iman pada dasarnya selalu dihayati di dalam suatu
konteks kebudayaan tertentu. Bertolak dari asumsi ini, problem penting yang dapat
dihadapi di dalam usaha-usaha memperbandingkan kedua unsur tersebut adalah
menyelaraskan suatu kehidupan budaya dengan kehidupan menggereja secara tepat
sasar. Sebab, dalam proses pengaplikasiannya, usaha-usaha penyelarasan acapkali
berhadapan dengan pelbagai hambatan dan rintangan yang cukup pelik. Ada
bagian-bagian dari kebudayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja yang
berpotensi untuk dihilangkan, adapula bagian-bagian dari kebudayaan yang sesuai,
karena itu berpeluang untuk diterima, dimodifikasi, diinkulturasikan, atau
diintegrasikan ke dalam Gereja Katolik.
Usaha untuk menemukan perbandingan makna di balik ritus-ritus kematian
masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran Gerja Katolik tentang kematian dan
hidup sesudah kematian juga merupakan bagian integral dari pengaplikasian visi
Gereja yang berusaha mengedepankan peranan penting budaya dalam proses
pewartaan injil, sebagaimana yang telah digariskan di dalam dalam dan melalui
Konsili vatikan II. Usaha-usaha itu didasari oleh keyakinan bahwa nilai-nilai
budaya dapat menginsipirasi dan meresapi iman dan tata peribadatan agama.
Demikianpun sebaliknya nilai-nilai agama dapat memberi makna baru dalam aneka
produk kebudayaan. Korelasi nilai-nilai inspiratif tersebut secara spesifik
ditemukan di dalam kesamaan-kesamaan dan perbedaan sebagai hasil dari usaha
perbandingan makna di balik ritus-ritus kematian suku Embu Leja dengan ajaran
Gereja katolik tentang kematian dan hidup setelah kematian.
v
vi
KATA PENGANTAR
Keterbukaan Gereja terhadap kebudayaan-kebudayaan sebagaimana yang
digariskan oleh Konsili Vatikan II membawa implikasi tersendiri bagi karya
pewartaan Gereja. Gereja mengajak semua anggotanya untuk mengadakan dialog
dengan kebudayaan-kebudayaan sambil tidak melupakan identitas dan tugas
utamanya, yaitu mewartakan bahwa Yesus Kristus adalah penebus bagi umat
manusia. Yesus Kristus adalah Putera Allah yang menjadi manusia untuk
mengkomunikasikan keselamatan-Nya melalui pewartaan Kerajaan Allah dan
kematian serta kebangkitan-Nya. Keselamatan-Nya menjadi anugerah bagi semua
manusia.
Namun usaha memperkenalkan Injil kepada suatu masyarakat tanpa
mengetahui konteks budayanya merupakan kesulitan yang serius. Di satu pihak
adat atau budaya merupakan peluang dalam mewartakan Sabda Allah, namun di
pihak lain merupakan tantangan bagi jalan masuknya pewartaan Sabda Allah. Iman
dan budaya menjadi peluang bila seorang pelayan pastoral mau menerima,
memahami, dan sungguh masuk dalam budaya setempat. Sebaliknya, iman dan
budaya menjadi tantangan jika kebudayaan setempat merasa “diganggu” atau
“diusik” oleh pewartaan yang dijalankan oleh seorang pelayan pastoral. Karena itu,
seorang pelayan pastoral dituntut untuk mempelajari budaya di mana ia diutus.
Dengan kata lain, pengetahuan yang memadai akan budaya bangsa lain merupakan
prasyarat mutlak bagi seorang misionaris dalam usaha evangelisasi.
Karena itu, tema yang diangkat di dalam tesis ini, yakni perbandingan
makna di balik ritus-ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran
Katolik tentang kematian dan hidup sesudah kematian dapat dilihat sebagai salah
satu usaha untuk belajar bagaimana memiliki pengetahuan dan pemahaman yang
memadai tentang kebudayaan suatu masyarakat tertentu. Usaha ini mengandung
vii
makna yang lebih dalam akan penemuan nilai-nilai Injil dalam ritus lokal
berdasarkan kesamaan dan perbedaan yang ditemukan dari hasil perbandingan itu.
Bagaimanapun juga, usaha untuk menemukan perbandingan makna di
balik ritus-ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran Katolik
tentang kematian dan hidup sesudah kematian tidak terlepas dari campur tangan
berbagai pihak. Karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
sejumlah pihak yang dengan cara mereka masing-masing telah membantu penulis
dalam proses belajar dan perampungan tesis ini. Pihak-pihak tersebut adalah:
1. Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero yang telah menyediakan
sarana dan prasana seperti buku-buku penunjang yang dapat
ditemukan di perpustakaan STFK Ledalero.
2. Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero yang memberikan
waktu dan kesempatan bagi penulis untuk mengadakan penelitian.
3. Pater Bernardus Raho, Drs. M. A., selaku dosen pembimbing I
yang dengan sabar, tekun, dan teliti membaca, memeriksa,
memperbaiki, dan memberikan saran-saran penting demi
perampungan tulisan ini.
4. Dr. John Mansford Prior selaku dosen pembimbing II yang
dengan penuh ketelitian membaca, memperbaiki, dan mengoreksi
seluruh isi tulisan ini di samping memberikan input-input yang
bermanfaat bagi penulis.
5. Dr. Alfons Gabriel Betan selaku dosen penguji yang dengan
penuh ketelitian membaca, memperbaiki, dan memberikan
pertanyaan-pertanyaan demi penyempurnaan tulisan ini.
6. Sefrianus Juhani, S. Fil., Lic. yang telah bersedia menjadi
moderator demi memperlancar jalannya ujian tesis ini.
7. Para narasumber: Bapak Darius Deki, Bapak Fabianus Kea,
Bapak Anselmus Moa, Ibu Anastasia Pawe, Bapak Piter Tage
Saka, Bapak Siprianus Sea, dan Bapak Fransiskus So’o, atas
segala informasi berharga yang diberikan untuk mendukung
penulisan tesis ini.
viii
8. Bapak Kepala Dusun Tendawena dan Kepala Desa Tenda
bersama staf yang telah membantu memperlancar proses
wawancara dan memberikan data-data terkait Dusun Tendawena
dan Desa Tenda serta kondisi masyarakat suku Embu Leja.
9. Konfrater penghuni unit St. Fransiskus Xaverius Ledalero yang
telah mendukung penulis dengan menciptakan suasana kondusif
di sekitar unit dan mendorong penulis untuk tetap semangat dalam
usaha menyelesaikan tulisan ini.
10. Kedua orangtua tercinta, Bapak Philipus Ruba dan Mama
Anastasia Pawe, yang telah mendukung penulis dengan doa dan
perhatian, baik secara tersurat maupun tersirat.
11. Saudara-saudari kandungku yang penulis yakini selalu
mendukung penulis dengan doa-doa dan memberikan perhatian
dan dukungan dengan cara-cara yang unik.
12. Segenap keluarga besar yang bermukim di Tendawena.
13. Para donatur dan semua pihak yang telah mendukung saya di jalan
panggilan menuju imamat ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Karena itu, kritik dan saran yang konstrukitf dari pembaca sekalian sangat
diharapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi
Gereja dan masyarakat suku Embu Leja secara khusus.
Penulis
Ledalero, 23 Maret 2020
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul ....................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ............................................................................................ ii
Abstraksi Bahasa Inggris .................................................................................... iii
Abstraksi Bahasa Indonesia ................................................................................ iv
Surat Pernyataan Orisinalitas ............................................................................. v
Kata Pengantar .................................................................................................... vi
Daftar Isi ............................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Pokok Penelitian .............................................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 8
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 9
1.4.1 Manfaat Umum ........................................................................................... 9
1.4.2 Manfaat Khusus .......................................................................................... 9
1.5 Desain Riset ................................................................................................... 10
1.5.1 Sumber Data ............................................................................................... 10
1.5.2 Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................... 10
1.5.3 Instrumen Pengumpulan Data ................................................................... 10
1.6 Sistematika Penulisan .................................................................................... 11
BAB II GAMBARAN UMUM MASYAKAT SUKU EMBU LEJA
DAN LINGKARAN KEBUDAYAANNYA ........................................ 12
2.1 Gambaran Umum Masyakat Suku Embu Leja .............................................. 12
2.1.1 Sejarah dan Asal-Usul Suku Embu Leja ................................................... 12
2.1.2 Kondisi Geografis: Letak, Luas, dan Batas Wilayah ................................ 14
2.1.3 Kondisi Demografis .................................................................................. 15
2.2 Kebudayaan Masyarakat Suku Embu Leja .................................................... 18
2.2.1 Sistem Kepercayaan .................................................................................. 19
2.2.1.1 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi dalam Konteks Etnis Lio-Ende ... 19
x
2.2.1.2 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi di dalam Suku Embu Leja ......... 25
2.2.1.3 Kepercayaan kepada Roh-Roh Jahat ...................................................... 27
2.2.1.4 Kepercayaan kepada Roh Leluhur .......................................................... 29
2.2.2 Sistem Ekonomi ........................................................................................ 31
2.2.3 Sistem Kekerabatan ................................................................................... 32
2.2.3.1 Sistem Kekerabatan Berdasarkan Garis Keturunan ................................ 32
2.2.3.2 Sistem Kekerabatan Berdasarkan Relasi Perkawinan ............................. 32
2.2.3.3 Relasi Sosial Kemasyarakatan ................................................................ 34
2.2.4 Lapisan Sosial Kemasyarakatan ................................................................... 36
2.2.4.1 Mosalaki ................................................................................................. 36
2.2.4.2 Teke Ria Fai Ngga’e ............................................................................... 37
2.2.4.3 Prema Fai Walu ...................................................................................... 37
BAB III MAKNA DI BALIK RITUS-RITUS KEMATIAN
MASYARAKAT SUKU EMBU LEJA ............................................... 38
3.1 Ritus-Ritus Kematian di dalam Suku Embu Leja .......................................... 39
3.1.1 Ritus Kematian dalam Pemahaman Masyarakat Suku Embu Leja ........... 39
3.1.2 Maksud dan Tujuan Ritus ......................................................................... 40
3.1.3 Pemimpin Ritus ......................................................................................... 40
3.1.4 Peserta Ritus .............................................................................................. 41
3.1.5 Tahapan-Tahapan Ritus ............................................................................ 42
3.1.5.1 Ritus Sebelum Penguburan ..................................................................... 42
3.1.5.1.1 Bom Minya Tana ................................................................................... 42
3.1.5.1.2 Wurumana ............................................................................................ 44
3.1.5.1.3 Rio Ata Mata ........................................................................................ 45
3.1.5.1.4 Kole Ata Mata ...................................................................................... 47
3.1.5.1.5 Nosi Mbe’o Pu’u Kamu ........................................................................ 48
3.1.5.1.6 Dheta Ghomo ....................................................................................... 50
3.1.5.1.7 Ko’e Ghomo ......................................................................................... 51
3.1.5.2 Ritus Saat Penguburan ............................................................................ 52
3.1.5.2.1 Pati Ka Ata Mata No Embu Mamo ...................................................... 52
3.1.5.2.2 Joru ....................................................................................................... 55
xi
3.1.5.2.3 Lo Ata Mata Ghole Ghomo .................................................................. 56
3.1.5.3 Ritus Sesudah Penguburan ..................................................................... 58
3.1.5.3.1 Rasi Raki Re’e Ata Mata ...................................................................... 58
3.1.5.3.2 Ka Nggua Ata Mata .............................................................................. 59
3.1.5.3.3 Poru Joka ............................................................................................. 60
3.1.5.3.4 Rheba Lengi .......................................................................................... 63
3.2 Makna di Balik Ritus-Ritus Kematian Suku Embu Leja ............................... 64
3.2.1 Ritus Kematian sebagai Pengakuan akan Adanya Wujud Tertinggi ........ 64
3.2.2 Ritus Kematian sebagai Pemisahan antara Jiwa dan Badan ..................... 65
3.2.3 Ritus Kematian sebagai Ungkapan Kepercayaan akan Adanya
Kehidupan setelah Kematian ..................................................................... 65
3.2.4 Ritus Kematian sebagai Sarana untuk Mendapatkan Keselamatan Jiwa .. 67
3.2.5 Ritus Kematian sebagai Sikap Penghormatan kepada Orang
yang Meninggal ......................................................................................... 68
3.2.6 Pengalaman Eksistensial yang Menakutkan .............................................. 68
BAB IV PANDANGAN KRISTEN TENTANG KEMATIAN ......................... 70
4.1 Pandangan Kitab Suci .................................................................................... 71
4.1.1 Pandangan tentang Kematian dalam Perjanjian Lama .............................. 71
4.1.2 Pandangan tentang Kematian dalam Perjanjian Baru ............................... 75
4.2 Pandangan Iman Kristen ................................................................................ 80
4.2.1 Kematian sebagai Akhir Pengembaraan Manusia ..................................... 80
4.2.2 Kematian sebagai Akibat Dosa ................................................................. 82
4.2.3 Mati Bersama Kristus ................................................................................ 85
4.3 Refleksi Teologis tentang Hidup Sesudah Kematian .................................... 87
4.3.1 Kebangkitan Badan ................................................................................... 87
4.3.2 Pengadilan Terakhir .................................................................................. 91
4.4 Kenyataan Hidup setelah Kematian ............................................................... 95
4.4.1 Api Penyucian ........................................................................................... 95
4.4.2 Surga ......................................................................................................... 99
4.4.3 Neraka ..................................................................................................... 101
4.5 Kesimpulan .................................................................................................. 104
xii
BAB V PERBANDINGAN MAKNA DI BALIK RITUS KEMATIAN
MASYARAKAT SUKU EMBU LEJA DENGAN PANDANGAN
GEREJA KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH
KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA BAGI KARYA PASTORAL
GEREJA ............................................................................................... 106
5.1 Unsur-Unsur yang dapat Diselaraskan ........................................................ 107
5.1.1 Keyakinan Adanya Allah (Wujud Tertinggi) .......................................... 107
5.1.2 Keyakinan dan Harapan akan Hidup Setelah Kematian ......................... 110
5.1.3 Aspek Inisiasi .......................................................................................... 113
5.1.4 Pandangan tentang Penyucian Diri Manusia ........................................... 115
5.1.5 Relasi Kekerabatan antara Orang Hidup dan Orang Mati ...................... 119
5.2 Unsur-Unsur yang tidak dapat Diselaraskan ............................................... 121
5.2.1 Konsep tentang Kematian ....................................................................... 121
5.2.2 Konsep tentang Kebangkitan Jiwa dan Badan ......................................... 124
5.2.3 Mediasi dalam Doa: Embu Mamo dan Kristus ....................................... 125
5.2.4 Pengantara Keselamatan bagi Setiap Orang yang Meninggal ................ 128
5.2.5 Tempat Orang Meninggal di Dunia Akhirat ........................................... 129
5.3 Kesimpulan .................................................................................................. 130
5.4 Nilai-Niai Inspiratif dari Ritus Kematian Masyarakat Suku Embu Leja ..... 132
5.4.1 Nilai Keimanan dan Takut akan Allah .................................................... 132
5.4.2 Nilai Cinta Kasih dan Solidaritas ............................................................ 135
5.4.3 Nilai Persekutuan (Communio) dan Kerja Sama .................................... 137
5.5 Implikasi terhadap Karya Pastoral Gereja ................................................... 139
5.5.1 Katekese Bersama Umat ......................................................................... 139
5.5.1.1 Katekese Bersama Umat: Membimbing Umat Memahami
Misteri Kristus ....................................................................................... 140
5.5.1.2 Rencana Tindak Lanjut dari Katekese Bersama Umat: Umat Beriman
Perlu Bertindak Aktif dalam Kehidupan Menggereja ........................... 143
5.5.2 Bidang Pastoral Liturgi ........................................................................... 145
5.6 Kesimpulan .................................................................................................. 147
xiii
BAB VI PENUTUP ............................................................................................ 150
6.1 Kesimpulan .................................................................................................. 150
6.2 Usul Saran .................................................................................................... 156
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 158
Lampiran Pertanyaan Wawancara ...................................................................... 162
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Kebudayaan dan masyarakat adalah dua kenyataan yang saling
mengandaikan dan mempunyai hubungan yang erat ibarat dua sisi mata uang; tidak
ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, sebaliknya tidak ada
kebudayaan tanpa masyarakat. Keterandaian dan hubungan erat di antara
kebudayaan dan masyarakat dengan demikian turut mengindikasikan adanya
kompleksitas makna atas kebudayaan itu sendiri. Maka, kita sulit menemukan
suatu definisi yang definitif tentang kebudayaan. Beragam tilik tentang
kebudayaan menunjukkan bahwa heterogenitas masyarakat menjadi salah satu
faktor untuk menentukan atau menghidupi kebudayaan itu sendiri. Dalam telaahan
ini, penulis menggunakan definisi kebudayaan dari salah satu sosiolog, Bernard
Raho, yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai acuan untuk menemukan
unsur yang bisa mempersatukan beragam kebudayaan yang ada di dalam
masyarakat.
Menurut Bernard Raho, kebudayaan didefinisikan sebagai kepercayaan-
kepercayaan, nilai-nilai, tingkah laku, atau objek material yang dihasilkan oleh
sekelompok orang tertentu.1 Dari definisi ini, kita bisa menemukan bahwa setiap
kebudayaan memiliki nilai yang diterima bersama. Sistem nilai ini akan menjadi
referensi yang menentukan, apakah sebuah tindakan atau pikiran diterima baik atau
tidak dalam kehidupan bermasyarakat. Tindakan yang dilakukan mesti berdasarkan
aturan dan ketetapan yang ada dalam sebuah kebudayaan.2 Selanjutnya, dalam
masing-masing kebudayaan terdapat salah satu unsur penting dalam upacara atau
perayaan keagamaan yang disebut ritus. Melalui ritus-ritus, masyarakat mampu
menemukan simbol-simbol yang berfungsi sebagai sarana untuk mempersatukan
serentak meningkatkan kesatuan di dalam kelompok itu. Dengan melakukan
1 Bernard Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2008), hal. 58. 2 Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi (Maumere:
Ledalero, 2003), hal. 5.
2
tindakan-tindakan ritual tertentu, kelompok secara bersama mengingat kembali
makna bersama yang mereka hayati dan memperkuat kesadaran akan kebersamaan
itu. Di sini sebuah tindakan disebut ritus keagamaan bukan karena isi dari tindakan
itu melainkan karena arti atau makna yang diberikan oleh kelompok agama
bersangkutan.3 Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diuraikan Cristologus
Dhogo dalam bukunya Su’i Uwi yang menjelaskan bahwa ritus adalah tindakan
menghubungkan manusia dengan yang melampaui dirinya terbuka dan bisa
dijembatani. Itu berarti ritus berusaha untuk menghadirkan dan menghubungkan
pengalaman mistik kepada orang-orang yang menjalaninya dalam mitos-mitos.
Karena memiliki hubungan dengan mitos, maka ritus berusaha untuk
mengungkapkan mitos-mitos melalui tindakan ritual. Fungsi dari ritus ini menjadi
sarana pengungkapan emosi terutama ritus-ritus yang berhubungan dengan saat-
saat krisis seperti kematian, penderitaan, dan bencana. Ritus menjadi sarana untuk
menenangkan hati mereka yang mengalaminya. Seringkali saat krisis manusia
mengungkapkan ketidakberdayaan manusiawinya di hadapan yang ilahi untuk
menghentikan dan menjauhkan krisis tersebut.4
Jadi, secara ringkas ritus merupakan salah satu bagian penting dalam
upacara atau perayaan keagamaan yang berusaha menghubungkan manusia dengan
sesuatu hal yang melampaui dirinya, melalui tindakan-tindakan ritual serta simbol-
simbol dalam suatu kebudayaan yang bertujuan untuk menguatkan rasa
kebersamaan anggota subklan. Di samping itu, ritus juga bisa dipahami sebagai
upacara keagamaan untuk mengungkapkan ketidakberdayaan manusia di hadapan
yang Ilahi yang bertujuan untuk menghentikan dan menjauhkan situasi krisis.
Salah satu ritus yang menjadi fokus perhatian di dalam penelitian ini adalah
ritus-ritus kematian dalam masyarakat suku Embu Leja di Desa Tendawena,
Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Ritus-ritus kematian ini mengungkapkan
religiositas masyarakat suku Embu Leja yang telah lama dihidupi dan sudah
berakar, sekaligus sebagai suatu upacara keagamaan untuk mengungkapkan
ketidakberdayaan masyarakat suku Embu Leja di hadapan yang Ilahi di tengah
kenyataan kematian yang dialami.
3 Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Obor, 2013), hal. 13. 4 Cristologus Dhogo, Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingannya dengan Ekaristi
(Maumere: Ledalero, 2009), hal. 48-49.
3
Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa kematian bukanlah akhir dari
sebuah kehidupan, tetapi kematian adalah peralihan hidup dari dunia nyata menuju
alam baka karena manusia memiliki jiwa. Tubuh memang akan mengalami
kehancuran tetapi jiwa tetap hidup. Masyarakat suku Embu Leja menyadari bahwa
menjalankan ritual bagi anggota keluarga yang telah meninggal merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari kenangan akan seseorang yang telah meninggal,
sekaligus sebagai peringatan bagi orang yang masih hidup. Jika ritus ini tidak
dijalankan maka akan membawa dampak buruk baik bagi orang yang telah
meninggal maupun anggota keluarga yang masih hidup, di mana orang yang
meninggal tidak mendapatkan keselamatan dan orang yang hidup mendapatkan
kutukan dari yang Ilahi. Maka untuk menghindari semua dampak buruk itu, orang
menjalankan ritus seperti memberi makan bagi orang yang telah meninggal.
Selain itu, ritus-ritus kematian dalam budaya masyarakat suku Embu Leja
merupakan suatu tanda penghormatan dan cinta kasih kepada orang yang telah
meninggal dunia. Sebagai bentuk ungkapan cinta ini dibuatlah ritus sebelum
jenazah dikuburkan, pada saat penguburan, dan setelah penguburan. Melalui ritus
ini masyarakat suku Embu Leja mengungkapkan rasa hormat kepada jiwa atau
kerabat yang telah meninggal.
Ritus-ritus kematian yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Embu Leja
mengungkapkan suatu kepercayaan akan adanya hidup setelah kematian.
Kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah kematian dibuktikan dengan
eksistensi jiwa yang tetap hidup dan mendapat tempat baru sesudah kematian.
Suku Embu Leja meyakini bahwa keselamatan dan kebahagiaan akhirat tidak
hanya bergantung pada yang ilahi, tetapi bergantung pula pada segala perbuatan
yang dilakukan seseorang selama masih hidup di dunia. Selain itu, ritus-ritus
bertujuan untuk menciptakan relasi yang baik dengan para leluhur dan dengan
yang ilahi demi kebahagiaan dan ketentraman arwah orang tersebut.
Searah dengan visi Gereja yang berusaha mengedepankan peran penting
budaya dalam proses pewartaan Injil maka usaha-usaha untuk menggali makna dan
nilai-nilai dari ritus-ritus di dalam kebudayaan tertentu merupakan salah satu unsur
konstitutif dari misi Gereja itu sendiri. Sejak Konsili Vatikan II muncul kesadaran
Gereja untuk membangun dialog yang konstruktif dengan kebudayaan. Gerakan
4
evangelisasi yang dilakukan Gereja menuntut sikap terbuka untuk mulai mengakui
keberagaman, kekayaan, nilai-nilai kebudayaan itu untuk digunakan dalam
pewartaan demi menumbuhkembangkan iman umat. Di sini, Gereja perlu
menggali, mempelajari, menghidupkan, dan merefleksikan nilai-nilai religiositas
dari kebudayaan secara baru demi memperkaya khazanah kekristenan. Sehubungan
dengan hal ini, Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini,
Gaudium et Spes nomor 58, menulis:
Gereja, yang dalam sepanjang zaman hidup dalam pelbagai
situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka budaya,
untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan mengurai-
kan pewartaan Kristus kepada semua bangsa untuk menggali
dan menyelaminya serta untuk mengungkapkannya secara
lebih baik dalam perayaan liturgi dan kehidupan jemaat
beriman yang beranekaragam.5
Konsili Vatikan II secara implisit menunjukkan bahwa Gereja memiliki
sikap terbuka untuk berdialog dan berakar dalam konteks budaya lokal. Gereja
tidak lagi bersikap tertutup pada kebudayaan akan tetapi terbuka untuk melihat
dalam kebudayaan nilai-nilai spiritual dan kehidupan yang mampu membawa umat
kepada Allah. Keterbukaan Gereja semakin kelihatan dalam upaya pembumian
Gereja dalam budaya lokal melalui proses adaptasi, inkulturasi, kontekstualisasi
dan pembangunan teologi lokal.6
Gereja menyadari bahwa proses iman tidak hanya mengubah dan
memurnikan budaya, tetapi ada juga proses di dalamnya iman itu sendiri dapat
dipikirkan dan ditafsirkan kembali dengan batas-batas yang ditentukan secara jelas
di dalamnya dan di dalam kerangka terang tuntunan setiap kebudayaan.7 Hal ini
berarti Gereja mesti menyadari bahwa Ia adalah sakramen Kristus, tanda yang
memancarkan kesatuan dalam keanekaan. Gereja yakin bahwa kesatuan dalam
iman menuntut keanekaan dalam bentuk sesuai dengan situasi dan tuntutan
5 Konsili Vatikan II, “Konstitusi Patoral tentang Gereja dalam Dunia Dewasa Ini, Gaudium et Spes
Nomor 58”, penerj. R. Hardawiryana, cetakan ke-9, (Jakarta: Obor, 2008), hal. 600. 6 Leo Kleden, “Misi Ad Gentes: Suatu Cara Bermisi di Asia Dewasa Ini”, dalam Stephen B. Bevans
dan Roger (eds.), Misi untuk Abad 21, penerj. Yosef Maria Florisan, (Maumere: Puslit Candraditya,
2002), hal. 267. 7 A. M. Sustrisnaatmaka, Misi, Evangelisasi dan Inkulturasi (Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusantara, 2012), hal. 55.
5
kebudayaan. Kristus menghendaki warta keselamatan diterima dan dialami oleh
seluruh dunia. Karena itu, Gereja menyadari perutusannya sebagai sarana yang
membawa manusia pada keselamatan.8
Salah satu unsur dalam kebudayaan yang juga menjadi perhatian Gereja
ialah ritus kematian. Teologi Kristen mengatakan bahwa kematian adalah pintu
masuk ke dalam hidup yang susungguhnya, keselamatan dan kebahagiaan dari
Allah.9 Menurut George Kirchberger, kepercayaan Kristen akan kematian bukan
kata terakhir dalam dialog cinta antara manusia dan Allah melainkan hanya
merupakan satu pintu yang melaluinya manusia memasuki satu fase baru dari
kehidupannya: “Bagi orang beriman hidup hanyalah diubah bukan dilenyapkan”.10
Uraian teologi dari para teolog juga menggarisbawahi keyakinan adanya sebuah
kehidupan baru setelah manusia mengalami kematian. Akan tetapi, untuk mencapai
kehidupan baru itu, terlebih dahulu manusia masuk dalam pengadilan di mana
Allah berperan sebagai hakimnya. Pengadilan itu menentukan apakah manusia
diperbolehkan masuk surga, neraka, atau api penyucian. Hal ini bergantung pada
sikap dan perbuatan manusia serta tanggapan cinta Allah.11
Berdasarkan uraian-uraian di atas penulis menemukan adanya unsur-unsur
yang mempersatukan tentang ritus-ritus kematian dan hidup sesudah kematian
dalam masyarakat suku Embu Leja dan pemahaman Gereja tentang kematian dan
hidup sesudah kematian. Salah satu unsur yang mempersatukan keduanya ialah
baik Gereja maupun masyarakat suku Embu Leja meyakini adanya kehidupan baru
sesudah kematian. Akan tetapi, baik kebudayaan masyarakat Embu Leja maupun
ajaran Gereja Katolik masing-masing tetap memiliki integritas dan identitas
tersendiri. Namun, keduanya memiliki hubungan yang erat, bagaikan dua sisi mata
uang yang tidak dapat dipisahkan, di mana masyarakat budaya suku Embu Leja
loyal terhadap warisan Gereja dan juga loyal pada kebudayaan setempat.
Hubungan keduanya memberikan kesan bahwa adanya dualisme yang dihayati
oleh masyarakat suku Embu Leja yang juga merupakan anggota Kristen Katolik.
Dualisme ini dinyatakan dengan praktik “agama ganda” atau “iman dengan standar
8 Ibid., hal 119-120. 9 Iman Katolik, Buku Penjelasan dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 465. 10 George Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007),
hal. 291. 11 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 591.
6
ganda”. Mereka menerima baik inisiasi Kristen maupun inisiasi-inisiasi asli seturut
kepercayaan agama tradisonal mereka. Mereka berdoa dan memohon berkat ilahi
dengan memakai tata cara iman Katolik dan melalui tata cara keagamaan asli
mereka. Dalam doa-doa itu mereka menyampaikan permohonan-permohonan
mereka kepada yang Mahatinggi dengan perantaraan para kudus dan para leluhur
mereka sendiri di dalam dua jalan yang terpisah tapi berjalan sejajar.12
Dualisme ini tentu mengaburkan pemahaman umat dan bahkan pelayan
pastoral jika tidak dikaji dan dipahami dengan baik. Oleh karena itu, perlu
“perjumpaan ganda” seperti yang ditekankan oleh John Prior. Pada tempat
pertama, orang-orang Kristen pribumi akan mengintensifkan ikhwal pelestarian,
pemurnian, dan kemajuan kebudayaan-kebudayaan mereka melalui perjumpaan
yang berkesinambungan dan penuh gairah dengan Injil Yesus Kristus. Kedua, baik
jemaat-jemaat Kristen pribumi maupun kita yang berada di dalam Gereja yang
lebih luas harus membuka diri menuju pertobatan melalui perjumpaan yang sama
ini.13 Hal ini perlu adanya dialog. Dialog yang dibangun antara Gereja dan budaya
tidak terbatas pada persoalan melihat pada upaya untuk menyandingkan antara
ritus kematian dalam Gereja dengan ritus kematian yang ada dalam budaya tetapi
lebih jauh dari itu upaya dialog yang dilakukan harus sampai pada taraf yang lebih
luas, yaitu perjuangan untuk melestarikan kehidupan dan melawan segala bentuk
kekerasan yang mengakibatkan kematian.
Di sisi lain ketakutan akan munculnya marahabahaya akibat pengabaian
terhadap ritus ritus kematian memungkinkan ritus kematian mendapatkan posisi
yang lebih tinggi dari ritus-ritus lainnya, termasuk ritus-ritus di dalam Gereja.
Indikator ini serentak menegaskan bahwa masyarakat suku Embu Leja agaknya
lebih takut terhadap adat, ketimbang aturan-aturan Gereja. Orang akan merasa
sangat bersalah dan takut jika tidak menjalankan ritus kematian ketika salah satu
anggota suku meninggal dunia, ketimbang tidak mengikuti perayaan Ekristi pada
hari Minggu misalnya. Pada titik inilah, pembaruan pola pikir demi mencapai
pemahaman yang memadai tetang makna-makna di balik ritus kematian
12 Alex Jebadu, Bukan Berhala! Penghormatan kepada Leluhur (Maumere: Penerbit Ledalero,
2009), hal. 4. 13 John Mansford Prior, Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2008), hal. 87.
7
masyarakat suku Embu Leja dan ajaran Gereja Katolik tentang kematian dan hidup
sesudah kematian menjadi sangat penting.
Penulis berasumsi bahwa terdapat perbedaan dan persamaan antara ritus-
ritus kematian yang mendasar antara makna di balik ritus kematian dalam budaya
masyarakat suku Embu Leja dengan pandangan Gereja Katolik tentang kematian
dan hidup sesudah kematian. Inti dasar dari keduanya tertuju pada satu
pengharapan akan kehidupan baru setelah kematian manusia dalam persatuan
dengan penciptanya. Hal ini berarti perlu adanya sikap dialog. Meskipun demikian,
ajaran Katolik dan budaya suku Embu Leja keduanya memiliki perbedaan masing-
masing. Namun hubungan antara keduanya sulit dipisahkan dalam kehidupan
masyarakat suku Embu Leja yang juga adalah umat Katolik. Ketika ada peristiwa
kematian, ritus budaya tidak boleh diabaikan, demikianpun sebaliknya berlaku pula
pada upacara doa-doa secara Katolik untuk mendoakan orang yang meninggal dan
perayaan Ekaristi bagi orang yang meninggal serta ibadat penguburan di tempat
penguburan tidak boleh ditiadakan. Jika hanya dilakukan ritus budaya atau hanya
ritus secara Katolik maka hal ini dirasa belum lengkap dan tidak akan menjamin
kebahagiaan bagi yang meninggal ketika berada dalam dunia yang baru.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, penulis berasumsi bahwa perbedaan
dan persamaan yang ditemukan di dalam ritus-ritus kematian suku Embu Leja
maupun ajaran iman Katolik tentang kematian dapat digunakan sebagai landasan
guna merealisasikan praktik pastoral yang tepat sasar. Untuk mewujudkan hal ini,
peran pelayan pastoral sangat dibutuhkan dengan membantu umat agar mampu
menjernihkan pemikiran tentang praktik-praktik keagamaan masyarakat setempat
dengan nilai-nilai Gereja Katolik yang bersumber pada Kitab Suci, Tradisi, dan
Magisterium Gereja. Oleh karena itu, penulis memberi judul: “MAKNA DI
BALIK RITUS-RITUS KEMATIAN SUKU EMBU LEJA DI DUSUN
TENDAWENA – DESA TENDA DALAM PERBANDINGAN DENGAN
AJARAN KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH
KEMATIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KARYA PASTORAL
GEREJA”. Dengan mengambil tema ini, penulis berusaha menyelami inti dasar
dari tradisi pelaksanaan ritus kematian suku Embu Leja dalam hubungannya
8
dengan iman Kristiani sekaligus mewujudkannya dalam kehidupan nyata
masyarakat kini, terutama bagi generasi penerus.
1.2 Pokok Penelitian
Pertanyaan pokok yang menjadi pergumulan karya ilmiah adalah apa
makna ritus-ritus kematian suku Embu Leja di desa Tendawena dan bagaimana
perbandingannya dengan ajaran Gereja Katolik tentang kematian dan hidup
sesudah kematian dan apa relevansinya bagi karya pastoral Gereja. Secara
terperinci, pokok persoalan dari penelitian adalah:
1. Siapa itu masyarakat suku Embu Leja?
2. Apa saja ritus-ritus kematian pada suku Embu Leja?
3. Apa makna di balik ritus-ritus kematian suku Embu Leja?
4. Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang kematian?
5. Apa kesamaan dan perbedaan makna ritus-ritus kematian suku Embu
Leja dengan ajaran Gereja Katolik tentang hidup sesudah kematian?
6. Apa implikasi perbandingan tersebut bagi karya pastoral Gereja?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menemukan makna di balik ritus-
ritus kematian suku Embu Leja dan membandingkannya dengan ajaran Gereja
Katolik tentang hidup sesudah kematian dan menunjukkan relevansinya bagi karya
pastoral Gereja.
Selain tujuan pokok tersebut di atas, tujuan-tujuan lain dari penelitian ini
adalah:
1. Mendeskripsikan keadaan umum masyarakat suku Embu Leja.
2. Menguraikan ritus-ritus kematian suku Embu Leja.
3. Menemukan makna di balik ritus-ritus kematian suku Embu Leja.
4. Menjelaskan pandangan Gereja Katolik tentang kematian dan hidup
sesudah kematian.
5. Menunjukkan kesamaan dan perbedaan antara makna ritus-ritus
kematian suku Embu Leja dan ajaran Gereja Katolik tentang kematian
dan hidup sesudah kematian.
6. Menunjukkan implikasinya bagi karya pastoral Gereja.
9
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Umum
Manfaat umum dari penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu
syarat guna memperoleh gelar magister teologi pada sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero.
1.4.2 Manfaat Khusus
Adapun manfaat khusus yang hendak penulis capai melalui penulisan tesis
ini yakni:
1. Agar masyarakat suku Embu Leja mengetahui dan memahami
kekayaan budaya dan wawasan terdalam dari ritus-ritus budayanya,
khususnya ritus kematian. Selain itu diharapkan agar mereka dapat
menggali, merefleksikan, dan menghayati makna ritus kematian
dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.
2. Agar umat Katolik semakin terbuka terhadap wawasan budaya yang
terkandung di dalam masing-masing kebudayaan dan terbuka kepada
dialog intensif dengan budaya, baik budaya tradisional maupun
modern. Lebih jauh, mereka dapat mengenal dan menghargai
keanekaragaman budaya dan menghayati ajaran iman dengan baik
dan benar.
3. Agar pelayan pastoral dapat mengenal dan membangun dialog yang
setara dengan budaya masyarakat suku Embu Leja. Seorang pelayan
pastoral dapat dibantu untuk mengenal “jiwa budaya” masyarakat
suku Embu Leja dan menjadikannya sebagai sarana pewartaan dan
penyelamatan manusia.
4. Agar pemerintah setempat dapat mempromosikan kekayaan budaya
masyarakat suku Embu Leja kepada masyarakat umum.
10
1.5 Desain Riset
1.5.1 Sumber Data
Dalam proses menyelesaikan penulisan tesis ini sumber data yang dipakai
penulis adalah tokoh-tokoh adat, masyarakat setempat, dan tokoh agama sebagai
informan kunci. Selain itu, penulis juga menggunakan metode FGD (Focus Group
Discussion) bersama narasumber di luar informan kunci. Data dari hasil
wawancara yang diperoleh selanjutnya akan diperbandingkan dengan hasil-hasil
studi kepustakaan.
1.5.2 Prosedur Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data pertama-tama penulis membuat rencana
wawancara yang selanjutnya akan disampaikan kepada informan-informan yang
akan diwawancarai. Hal-hal tersebut juga mencakup pokok penelitian, tujuan
penelitian, dan manfaat penelitian yang akan dilakukan, selanjutnya penulis akan
menetapkan tanggal dan tempat wawancara. Dari hasil wawancara itu penulis
memperoleh bahan mentah dan berusaha untuk mengolah secara benar.
1.5.3 Instrumen Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data-data yang mendukung penulisan tesis ini, penulis
mewawancarai beberapa tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala desa, dan tokoh
agama. Dalam berbagai data yang diperoleh penulis dalam proses wawancara,
penulis berusaha sedapat mungkin menggunakan bahasa yang mudah ditangkap
dan dipahami. Sehubungan dengan itu, pertanyaaan wawancara yang dilontarkan
penulis didasarkan juga pada pertimbangan akan latar belakang pendidikan
masyarakat suku Embu Leja yang pada umumnya memiliki riwayat pendidikan
yang berbeda-beda di setiap jenjangnya. Oleh karena itu, penulis menyediakan
pertanyaan yang mudah dicerna dan bisa diberikan kapan saja sesuai situasi dan
kondisi di tempat penelitian. Tujuan dari wawancara tersebut adalah untuk
menggali informasi yang lebih mendalam dan akurat tentang tema tulisan yang
dibuat penulis.
11
1.6 Sistematika Penulisan
Penulis membagi tulisan ini atas enam bab. Bab pertama berisi
pendahuluan yang di dalamya memuat latar belakang, asumsi dan hipotesis, pokok
persoalan, tujuan penulisan, proses pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi gambaran tentang profil masyarakat suku Embu Leja yang
berada di Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Dalam bab ini
penulis mencoba menggambarkan secara umum masyarakat suku Embu Leja di
desa Tenda. Tujuannya adalah memperkenalkan masyarakat suku Embu Leja
kepada publik secara umum.
Bab ketiga berisi pemaparan tentang apa dan bagaimana ritus-ritus
kematian dalam kebudayaan masyarakat suku Embu Leja di desa Tenda. Dalam
bab ini penulis berusaha mendeskripsikan tentang ritus-ritus kematian suku Embu
Leja di desa Tendawena yang biasa dilakukan setiap tahun dan menemukan nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya.
Bab keempat berisi pemamparan tentang ajaran teologi Katolik tentang
kematian dan hidup setelah kematian. Dalam bab ini penulis mencoba mencari
literatur-literatur yang berbicara secara khusus tentang kematian dan konsep
tentang hidup setelah kematian yang sekiranya dapat dipakai untuk memperkaya
tulisan ini.
Bab kelima berisi tentang analisis. Dalam bab ini penulis mencoba
menemukan aspek-aspek yang memiliki kesamaan dan perbedaan pada ritus-ritus
masyarakat suku Embu Leja dan membandingkannya dengan ajaran teologi
Katolik. Tujuan dari analisis ini adalah agar penulis sanggup menemukan relevansi
antara ritus-ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran kematian
dan konsep tentang hidup sesudah kematian pada Gereja Katolik.
Bab enam merupakan bagian penutup dari keseluruhan tulisan yang
memuat kesimpulan dan usul saran.
12
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYAKAT SUKU EMBU LEJA
DAN LINGKARAN KEBUDAYAANNYA
2.1 Gambaran Umum Masyarakat Suku Embu Leja
2.1.1 Sejarah dan Asal-Usul Suku Embu Leja
Suku Embu Leja adalah subkultur masyarakat etnis Lio-Ende yang ada di
Dusun Tendawena, Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Sejarah
suku Embu Leja berasal dari hubungan perkawinan antara seorang laki-laki
bernama Leja yang berasal dari Wolojita dengan seorang perempuan bernama
Mora yang berasal dari suku Embu Leko di Tendawena. Leja merupakan anak dari
Rangga, seorang Mosalaki Pu’u14 di Wolojita. Sedangkan Mora merupakan anak
dari Leko, seorang Mosalaki Pu’u yang berada di Tendawena.15
Pada masa itu, Leja dan Mora sudah kawin dan memiliki anak serta cucu,
tetapi mereka tidak tinggal bersama. Leja menetap di Wolojita, sedangkan Mora
menetap di Tendawena. Setiap hari Leja selalu datang ke Tendawena untuk
berkunjung ke rumah Mora dan meminta persetujuan dari keluarga besar Embu
Leko agar dirinya dan Mora bisa tinggal bersama di Wolojita. Namun, Leko
bersama saudara-saudaranya, yakni Ngguwa, Raja, dan Wondo, tidak mengijinkan
Leja untuk tinggal bersama Mora di Wolojita, melainkan mereka lebih
menginginkan agar Leja tinggal bersama Mora di Tendawena. Karena itu, Leko
bersama saudara-saudaranya tersebut mengajukan syarat-syarat agar Leja dapat
hidup bersama Mora, yaitu Leja harus rela meninggalkan jabatan sebagai Mosalaki
Pu’u yang dijabatnya di Wolojita, sekaligus meminta Leja untuk keluar dari
Wolojita dan menetap bersama Mora di Tendawena. Permintaan Leko dan saudara-
saudaranya tersebut pada awalnya disangsikan oleh Leja, mengingat ia masih
14 Mosalaki Pu’u adalah adalah seorang laki-laki dewasa yang mendapatkan jabatan sebagai
pemegang kekuasaan secara adat dalam suatu wilayah adat tertentu. Pemilihan Mosalaki Pu’u
didasarkan pada garis keturunan ayah dan musyawarah bersama dengan menjalankan ritual adat Bui
Feo Sho Bhoka Au (membakar kemiri dan bambu). Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki
Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di
Tendawena. 15 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
13
memiliki tanggung jawab yang besar sebagai Mosalaki Pu’u di kampung asalnya
sendiri. Namun, Leko memberikan jaminan bahwa di Tendawena pun Leja akan
diberikan tanggung jawab yang sama sebagai Mosalaki di dalam rumah adat. Atas
dasar jaminan tersebut, Leja menjadi cukup yakin dan menyatakan kesediaannya
untuk tinggal bersama Mora di Tendawena.16
Sesudah pertemuan antara Leja dan Leko berserta saudara-saudaranya, Leja
kembali ke Wolojita guna menyatakan kepada adiknya, Nganda, mengenai
keputusan untuk tinggal bersama Mora di Tendawena. Dalam pembicaraannya
dengan Nganda, Leja turut menyatakan bahwa Luka, Lesu, Keda, Kanga, Sa’o Ria,
dan Tendabewa17 akan diserahkannya kepada Nganda. Dengan itu, Leja tidak lagi
memiliki hak di dalam rumah adat dan seluruh harta suku di Wolojita. Keputusan
Leja untuk meninggalkan keluarga besarnya di Wolojita diterima Nganda. Sebagai
bentuk dukungan terhadap Leja, Nganda bersama keluarga besar yang ada di
Wolojita melepaspergikan sekaligus mengantar Leja ke Tendawena dengan
membawa segala harta dan kekayaan yang diwariskan kepada Leja. Go’ (gong)
dan Lamba (gendang) dibunyikan untuk mengiringi perjalanan mereka sebagai
tanda bagi masyarakat bahwa seorang Mosalaki Pu’u sedang berarak menuju ke
kampung lain, yakni Tendawena.18
Setelah tiba di Tendawena, Leko bersama saudara-saudaranya menerima
keluarga Leja dengan baik. Dalam perjalanan waktu yang cukup lama di mana
ketika Leja sudah tinggal bersama Mora dan mempelajari adat-istiadat masyarakat
Tendawena, Leko yang adalah Mosalaki Pu’u tanah Tendawena kemudian
memberi jabatan kepada Leja sebagai Mosalaki Riabewa Tau Seso Masa Lewo
Lina (hakim adat). Tugas Leja sebagai hakim adat adalah menyelesaikan setiap
16 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 17 Luka adalah selendang adat yang dikenakan pada tubuh seorang Mosalaki Pu’u. Lesu adalah
selendang khusus yang diikatkan pada kepala seorang Mosalaki Pu’u sebagai tanda kebesaran.
Keda adalah tempat para Mosalaki berkumpul untuk menjalankan ritual adat. Keda merupakan
simbol yang menghubungkan masyarakat dengan nenek moyang pertama. Kanga adalah susunan
batu-batu ceper yang berada di halaman rumah adat (Sa’o Ria). Di sekelliling Kanga terdapat kubur
para leluhur yang terbuat dari batu kapur yang dipahat berbentuk segi empat. Sa’o Ria adalah
rumah adat. Tendabewa adalah tempat duduk yang ada berada dalam Sa’o Ria yang digunakan
sebagai tempat duduk bagi Mosalaki untuk menyelesaikan suatu persoalan dan menjalankan ritual
adat. 18 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
14
masalah yang terjadi di Ulu Beu Eko (seluruh wilayah) tanah Tendawena dan
melaksanakan seremoni adat seperti Joka Ju19. Selain itu, Leja juga harus
menjalankan kewajiban Pare Wati Manu Eko dari anak Prema Fai Walu (orang-
orang kampung) tanah Tendawena. Jabatan sebagai hakim adat yang diberikan
kepada Leja berlaku sampai dengan sekarang dan diwariskan secara turun-temurun
kepada keturunan-keturunannya.20
2.1.2 Kondisi Geografis: Letak, Luas, dan Batas Wilayah21
Suku Embu Leja berada dalam cakupan wilayah Dusun Tendawena, Desa
Tenda. Desa Tenda berada di bawah kaki gunung Kelibara, bagian barat dari pusat
ibu kota Kecamatan Wolojita, dengan kondisi alam yang terdiri dari lembah dan
perbukitan. Curah hujan rata-rata pertahun berkisar antara 4 s/d 5 bulan. Suhu
harian rata-rata 250 C s/d 300 C. Secara geografis, wilayah Desa Tenda sebelah
utara berbatasan dengan Desa Pemo, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan
Wolojita, sebelah timur berbatasan dengan Desa Jopu dan sebelah barat dengan
Dusun Mbuja (Kelurahan Wolojita). Dalam pembagian wilayah, Desa Tenda
terbagi atas 4 (empat) wilayah dusun antara lain: Dusun Tendawena, Dusun
Wolosoko, Dusun Tendawawo, dan Dusun Liakamba.
Luas pemukiman wilayah Desa Tenda adalah 4.876,5 ha, dan
pemanfaatannya dapat dilihat dalam table 1 berikut ini.
19 Kata Joka Ju merupakan kata majemuk yang berasal dari kata Joka (tolak) dan Ju (bala atau
semua roh jahat). Maka Joka Ju berarti ‘menolak roh jahat’. Ritual Joka Ju adalah upacara adat
yang dilaksanakan sebelum musim tanam. Ritus ini dilakukan selama kurang lebih empat hari dan
sesudah bulan sabit pertama. Tujuan dari ritus ini adalah untuk untuk menolak hama tanaman dan
meminta kesuburan bagi tanaman agar menghasilkan panenan yang baik dan melimpah. Hasil
wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 20 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 21 Data diperoleh dari arsip “Profil Desa Tenda Tahun 2018”, pada tanggal 12 Oktober 2019
(selanjutnya ditulis: Arsip Profil Desa Tenda Tahun 2018).
15
Tabel 1
Pemanfaatan Lahan Desa Tenda
NO. PEMANFAATAN LUAS
(ha)
PERSENTASE
(%)
1. Luas Pemukiman 12 0,25 %
2. Luas Persawahan 2 0,04 %
3. Luas Perkebunan 175 3,59 %
4. Luas Pekarangan 6 0,12 %
5. Luas Perkantoran 0,25 0,01 %
6. Luas Prasarana Pendidikan 1 0,02 %
7. Luas Prasarana Umum
Lainnya 10,25 0,21 %
8. Luas Hutan Adat 10 0,21 %
9. Luas Hutan Asli 10 0,21 %
10. Luas Lahan Tidur 200 4,10 %
11. Lain-Lain 4450 91,25 %
TOTAL 4.876,5 100 %
2.1.3 Kondisi Demografis22
Jumlah penduduk Desa Tenda secara keseluruhan berdasarkan hasil
pendataan kependudukan tahun 2017 adalah 896 jiwa, dengan rincian penduduk
laki-laki 385 jiwa dan perempuan 511 jiwa. Sedangkan secara khusus untuk Dusun
Tendawena, jumlah penduduk secara keseluruhan adalah 444 jiwa; dengan rincian
penduduk laki-laki 255 jiwa, penduduk perempuan 189 jiwa.23 Informasi mengenai
kependudukan Dusun Tendawena tersebut secara terperinci dapat diamati melalui
tabel-tabel berikut, yang dikategorikan berdasarkan tingkat pendidikan, mata
pencaharian pokok, dan cacat mental dan fisik.
22 Arsip Profil Desa Tenda Tahun 2018. 23 Penelitian ini secara khusus dilakukan di Dusun Tendawena, bukan Desa Tenda secara
keseluruhan. Karena itu, di sini penulis hanya sekadar menjelaskan keadaan demografi Dusun
Tendawena.
16
Tabel 2
Pembagian Penduduk
Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin
NO. TINGKAT
PENDIDIKAN
LAKI-LAKI
(Jiwa / %)
PEREMPUAN
(Jiwa / % )
TOTAL
(Jiwa / %)
1. Yang tidak sekolah. 32 (11,55 %) 28 (10,12 %) 60 (9,03 %)
2. Yang tidak tamat
SD. 12 (4,33 %) 38 (13,72 %) 50 (18,05 %)
3. Tamat SD atau
sederajat. 49 (17,69 %) 57 (20,58 %) 106 (38,27 %)
4. Tamat SLTP atau
sederajat. 12 (4,33 %) 13 (4,69 %) 25 (9,03 %)
5. Tamat SLTA atau
sederajat. 14 (5,05 %) 18 (6,50 %) 32 (11,55 %)
6. Tamat D3 atau
sederajat. - 4 (1,44 %) 4 (1,44 %)
TOTAL 119 (42,95 %) 158 (57,04 %) 277 (100 %)
Tabel di atas menggambarkan bahwa penduduk yang berjenis kelamin
perempuan lebih banyak daripada penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dilihat
dari perbandingan jumlah penduduk yang berusia 7-8 tahun yang tidak pernah
sekolah. Penduduk yang berusia 19-56 yang tidak pernah sekolah yang berjenis
kelamin laki-laki lebih banyak daripada penduduk yang berjenis kelamin
perempuan. Penduduk usia 18-56 yang pernah SD tetapi tidak tamat yang berjenis
kelamin perempuan lebih banyak daripada penduduk yang berjenis kelamin laki-
laki. Selanjutnya, penduduk yang tamat SD dan sederajat yang berjenis kelamin
perempuan lebih banyak daripada yang berjenis kelamin laki-laki. Penduduk yang
tamat SLTP atau sederajat berjenis kelamin laki-laki lebih sedikit daripada yang
berjenis kelamin perempuan. Demikian pula dengan penduduk tamat SMA dan
sederajat. Sedangkan penduduk yang tamat D2 dan D3 hanya dimiliki oleh yang
berjenis kelamin perempuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan tingkat pendidikan jumlah penduduk Dusun Tendawena yang berjenis
kelamin perempuan lebih banyak (57,04 %) daripada penduduk yang berjenis
kelamin laki-laki (42,95 %).
17
Tabel 3
Distribusi Penduduk
Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok dan Jenis Kelamin
NO. JENIS
PEKERJAAN
LAKI-LAKI
(Jiwa / %)
PEREMPUAN
(Jiwa / %)
TOTAL
(Jiwa / %)
1. Petani 108 (72 %) - 108 (72 %)
2. Pegawai Negeri
Sipil (PNS) 7 (4,67 %) 5 (3,33 %) 12 (8 %)
3. Pengusaha Kios 6 (4 %) 8 (5,33 %) 14 (9,33 %)
4. Dukun Kampung
Terlatih - 5 (3,33 %) 5 (3,33 %)
5. Pensiunan PNS 4 (2,67 %) 6 (4 %) 10 (6,67 %)
6. Bidan - 1 (0,67 %) 1 (0,67 %)
TOTAL 125 (83,34 %) 25 (16,66 %) 150 (100 %)
Berdasarkan data yang tertera dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa
masyarakat Dusun Tendawena pada umumnya berprofesi sebagai petani dengan
jumlah terbanyak adalah penduduk laki-laki. Selanjutnya, penduduk yang
pekerjaannya sebagai pengusaha kios dengan jumlah terbanyak adalah penduduk
perempuan. Urutan berikutnya adalah penduduk yang berprofesi sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dan pensiunan PNS antara penduduk perempuan dan penduduk
laki-laki hampir sama. Kemudian disusul oleh penduduk yang berprofesi sebagai
dukun kampung terlatih didominasi oleh penduduk perempuan. Sedangkan yang
terakhir adalah penduduk yang berprofesi sebagai bidan. Dengan demikian,
mayoritas penduduk Dusun Tendawena berdasarkan mata pencaharian pokok
adalah penduduk yang berprofesi sebagai petani (72 %) yang didominasi oleh laki-
laki.
18
Tabel 4
Distribusi Penduduk
Berdasarkan Cacat Mental dan Fisik
NO.
CACAT
MENTAL
DAN FISIK
LAKI-LAKI
(Jiwa / %)
PEREMPUAN
(Jiwa / %)
TOTAL
(Jiwa / %)
1. Tuna Rungu - 1 (5,88 %) 1 (5,88 %)
2. Tuna Wicara 2 (11,76 %) - 2 (11,76 %)
3. Tuna Netra 1 (5,88 %) 2 (11,76 %) 3 (17,65 %)
4. Lumpuh 2 (11,76 %) - -
5. Sumbing 1 (5,88 %) - -
6. Tunadeksa Kiya 2 (11,76 %) 1 (5,88 %) 3 (17,56 %)
7. Idiot - - -
8. Gila 3 (17,65 %) 2 (11,76 %) 5 (29,41 %)
TOTAL 11 (64,60 %) 6 (35,28 %) 17 (100 %)
Berdasarkan data di atas dapat diamati bahwa masyarakat Tendawena
memiliki jumlah penduduk perempuan dan laki-laki yang mengalami sakit gila
yang hampir sama. Urutan berikutnya adalah penduduk yang mengalami sakit tuna
wicara, lumpuh, dan tunadeksa kiya didominasi oleh penduduk laki-laki.
Selanjutnya, penduduk yang mengalami sakit tuna netra dan sumbing juga
didominasi oleh penduduk laki-laki. Sedangkan yang terakhir adalah penduduk
yang mengalami sakit tuna rungu hanya didominasi oleh kaum perempuan. Dengan
demikian, mayoritas penduduk Dusun Tendawena berdasarkan cacat mental dan
fisik adalah penduduk ODGI (Orang Dengan Ganguan Jiwa) yang didominasi oleh
penduduk laki-laki (64,60 %).
2.2 Kebudayaan Masyarakat Suku Embu Leja
Sebagai masyarakat yang berkebudayaan, suku Embu Leja memiliki
kepercayaan asli kepada Wujud Tertinggi, sistem ekonomi, dan sistem
kekerabatan. Berikut ini adalah penjelasan tentang kepercayaan asli suku Embu
Leja kepada Wujud Tertinggi, sistem ekonomi, sistem kekerabatan, dan lapisan
sosial kemasyarakatan.
19
2.2.1 Sistem Kepercayaan
Secara umum, etnis Lio-Ende memiliki nama dan konsep tersendiri tentang
Wujud Tertinggi. Nama dan konsep yang digunakan etnis Lio-Ende secara umum
ini menjadi acuan bagi nama dan konsep tentang Wujud Tertinggi yang digunakan
di beberapa tempat di dalam kawasan etnis Lio-Ende, termasuk di Tendawena
sebagai tempat asal suku Embu Leja. Karena itu, di dalam bagian ini penulis
terlebih dahulu menguraikan nama dan konsep tentang Wujud Tertinggi yang
digunakan oleh etnis Lio-Ende secara umum, selanjutnya nama dan konsep Wujud
Tertinggi yang digunakan oleh suku Embu Leja.
2.2.1.1 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi dalam Konteks Etnis Lio-Ende
Pada umumnya, masyarakat etnis Lio-Ende mengenal dan mengakui
adanya satu Wujud Tertinggi yang disebut dengan nama tertentu, bahkan jauh
sebelum masuknya agama-agama samawi seperti Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Islam, Hindu, dan Budha. Wujud Tertinggi yang diyakini keberadaannya
secara adikodrati itu dikonseptualisasikan dan disapa Du’a Bapu. Kata Du’a Bapu
terdiri atas tiga kata, yakni Du’a yang mengandung makna “tua”, sedangkan Ba
berarti “meminta”, dan Pu berarti “sesuatu yang sudah lama, kekal dan tetap”.24
Dengan demikian, Du’a Bapu berarti wujud yang diyakini telah ada lebih dulu
sebelum segala sesuatu dijadikan, yang bersifat kekal dan tetap, kepada-Nya
manusia menaruh harapan dan meminta pertolongan demi kesejahteraan dan
kemakmuran hidup.
Selanjutnya karena perkembangan dan pengaruh yang sangat kuat dari
agama-agama samawi, secara khusus Kristen Katolik, konsep Wujud Tertinggi
tersebut beralih nama menjadi Du’a Ngga’é. Peralihan nama dan konsep Wujud
Tertinggi ini disesuaikan dengan keyakinan yang terdapat di dalam kepercayaan
Kristen Katolik tentang Allah sebagai Pencipta. Du’a telah ada sebelum dunia
diciptakan dan diyakini sebagai wujud yang berada di langit yang tertinggi.
Sementara itu, Ngga’é adalah wujud yang berada di bawah bumi, yang dekat
dengan manusia, serta memiliki sifat agung, bijaksana, memiliki kekuatan dan
24 Aron M. Mbete, dkk., Khazanah Budaya Lio-Ende (Ende: Pustaka Larasan dan Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Ende, 2006), hal. 45.
20
kekuasaan, dan memiliki keluarga atau keturunan. Baik Du’a maupun Ngga’é
dipercaya masyarakat etnis Lio-Ende sebagai yang sulung, yang paling awal hadir
sebelum yang lainnya, termasuk manusia.25 Meskipun demikian, nama Du’a
Ngga’é bukanlah nama monoteisme murni. Ungkapan Du’a Ngga’é dalam konteks
ini memberi kesan bahwa Wujud Tertinggi ini berbentuk ganda, yakni Du’a dan
Ngga’é. Akan tetapi, nama ganda ini kemudian dipakai untuk menggambarkan satu
wujud saja, hanya mereka memisahkan diri sesuai keberadaan masing-masing,
yakni Du’a yang dikenal sebagai laki-laki yang bertempat tinggal di langit, dan
Ngga’e sebagai perempuan yang ada di bumi.26 Pemahaman tentang Du’a Ngga’e
yang mengandung di dalamnya unsur-unsur maskulin dan feminim ini disesuaikan
juga dengan bahasa setempat yang memiliki dua unsur yang saling melengkapi,
yaitu maskulin dan feminim. Maka Wujud Tertinggi Du’a dengan sifat maskulin
yang berada di balik bulan dan langit itu mesti memiliki padanannya dengan
Ngga’e dengan sifat feminim yang berada di bumi.
Keyakinan etnis Lio-Ende kepada Du’a Ngga’é terungkap berdasarkan
pengalaman hidup mereka ketika melaksanakan upacara keagamaan. Dalam
melaksanakan ritus-ritus keagamaan, ungkapan kebesaran dan keagungan Du’a
Ngga’e tersurat dalam syair-syair adat seperti Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é
Nghalé Wena Tana. Ungkapan ini secara khusus dapat ditemukan di dalam upacara
adat masyarakat Waratana yang diwakili oleh Japa. Dalam upacara tersebut
terungkap kalimat ini: “Kami tau ada no’o ola kéko, no’o olatu; ngéré tu kamba,
jara, rongo, wawi, manu, telo, kami kéko” (Kami menghormati-Nya melalui doa
dan persembahan; korban persembahan berupa kerbau, kuda, kambing, babi, ayam
25 Ibid., hal. 46. 26 Sehubungan dengan nama dan konsep Du’a Ngga’é, ada polemik yang terjadi sebelumnya antara
agen pastoral dengan para misionaris yang berkarya di wilayah Lio. Dalam polemik tersebut,
awalnya tidak ada titik temu untuk menetukan sikap dan mengajukan konsep Du’a Nggae sebagai
nama moneteisme murni karena ada pihak yang menolak dengan alasan bahwa nama ini merupakan
nama dualistis yang tidak cukup relevan untuk mengungkapkan monoteisme Kristiani dalam cahaya
Wahyu. Meskipun demikian, sebagian besar etnis Lio-Ende tetap menganggap dan meyakini Du’a
Ngga’é sebagai yang Esa atau Tunggal. Polemik ini akhirnya mendapatkan kata sepakat dengan
melegitimasikan konsep Du’a Ngga’é sebagai nama dan konsep yang moneteis, yang selanjutnya
dapat digunakan dalam ibadah umat Kristiani. P. Sareng Orinbao, Tata Berladang Tradisional dan
Pertanian Rasional Suku-Bangsa Lio (Maumere: Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 1992), hal.
43.
21
dan telur). Seruan-seruan lain yang mengungkapkan kebesaran dan keagungan Dua
Ngga’é tersebut dapat disimak dalam syair-syair adat sebagai berikut.27
O, Du’a ghéta mai lulu wula, O, Du’a yang ada di langit tertinggi,
miu fai lima rua. kamu tujuh orang perempuan,
Ngga’é ghalé mai wena tana, Ngga’é yang ada di bumi,
miu kaki mbulu telu, kamu tiga puluh orang laki-laki,
mai sai gharu mai! datanglah kemari!
Kami pati miu ka bo’o, Kami memberimu makanan
sampai kenyang,
ti’i miu minu benu, minuman (nira) sampai puas,
kami rina mo’o tebo keta, kami meminta agar tubuh kami
selalu sehat,
lo ngga. badan menjadi kuat,
kema bo’o, ladang menghasilkan panenan
yang melimpah,
tu ae, enau meneteskan banyak nira,
peni ngé, hewan piaraan bertambah,
wesi nuwa, banyak dan berkembang cepat,
mbana ati pati, orang diberikan tumpangan
dalam perjalanan,
lora ata ti’, bantuan dalam perantauan,
mera ata mai tu pertolongan ketika menetap.
O, Du’a Ngga’é, O, Du’a Ngga’é,
tipo lo, pama tebo, lindungilah dan jagalah kami,
tebo kami keta, agar kami selalu sehat,
ngéré keli ghélé, kuat seperti gunung yang tinggi,
lo kami ngga, badan kami,
ngéré ae lau. seperti dinginnya air sungai.
Kau tebo keta, tubuh-Mu kuat,
kami di tebo keta. semoga tubuh kami juga kuat.
Kau longga, Badan-Mu segar,
kami di lo ngga. semoga badan kami juga segar.
No’o lesu susa wo iwa, Pada saat kesusahan atau tidak,
di kami naratéi no Du’a Ngga’é, kami selalu ingat akan Du’a Ngga’é,
no’o nelu kami wéla saat kami mempersembahkan
tu jara pati Du’a ngga’é, seekor kuda kepada Du’a Ngga’é,
kami pai kita ata sai imu, kami akan mengundang seseorang,
27 Paul Arndt, Du’a Ngga’é. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio (Flores
Tengah), penerj. Yosef Smeest dan Kletus Pake, (Maumere: Puslit Candraditya, 2002), hal. 27-31.
Syair yang direkam oleh Paul Arndt kira-kira pada tahun 1930-an ini masih dipakai pada masa kini,
namun tidak sesempurna yang direkam Arndt. Banyak syair adat yang sudah mengalami perubahan,
disebabkan oleh daya ingat penutur syair tersebut yang cenderung lemah. Di sisi lain, syair-syair
adat sebagai warisan lisan memang tidak dapat bertahan secara tetap, karena memang diwariskan
secara lisan turun-temurun. Hasil wawancara dengan Siprianus Sea, tokoh adat masyarakat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
22
tau ndéo moré du’a Ngga’é untuk bersyair memuliakan
Du’a Ngga’é
kai kéko ngeré ina: sebagai berikut:
ju jara kuku kedo, kami mempersembahkan kaki kuda,
kala éko wonga kami mempersembahkan ekor kuda,
ju jara pati Du’a ghéta lulu wula, kami menghantarkan kuda untuk Du’a
yang ada di langit tertinggi,
tu pati Nggae’é ghalé wena tana. untuk memberikan kepada Ngga’é
yang ada di bawah bumi.
Du’a olaju kungu, Du’a yang menciptakan tangan,
Ngga’é olamoka kolo, Ngga’é yang menciptakan kepala,
tu miu pati No’o jara. kami mempersembahkan kuda bagimu.
Kami rina menga tebo keta, Kami memohon agar badan kami sehat,
kami rina menga lo ngga. kami meminta agar tubuh kami kuat.
Kema bo’o, Ladang menghasilkan
panenan melimpah,
tutu ae, enau menghasilkan nira yang banyak,
pengi ngé wesi nuwa, hewan piaraan berkembang banyak,
ka’o bhondo ngéré ké kolo, keturunan berkembang banyak
seperti burung pipit,
dadi kapa ngéré manu. berlapis-lapis seperti ayam.
Kami pati du’a mai, Kami memanggil Du’a,
uo’o wi mbana sai no’o untuk menyeret kuda
jara kau io riké ka leka leké. yang terikat di tiang rumah.
Kami pai ngga’é sé’a, Kami mengundang Ngga’é,
mo tegé to’o sai no kumba, untuk mengangkat kumbang
(berisi nira),
io séré ka gha masa na lé. yang diletakkan di batu persembahan.
Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Nghalé Wena Tana merupakan
ungkapan untuk Wujud Tertinggi dan yang kudus dari segala-galanya serta sumber
kekuatan hidup manusia. Du’a Ghéta Lulu Wula mengungkapkan relasi vertikal
antara Wujud Tertinggi dengan manusia, di mana Dua Gheta Lulu Wula berada di
tempat yang paling tinggi dan agung mengatasi segala yang ada di atas langit,
sedangkan di bumi terdapat manusia yang berada pada posisi terendah. Dengan
demikian, Du’a Ghéta Lulu Wula mempunyai arti sebagai “Tuhan di ujung bulan”.
Ungkapan ini menggambarkan kepercayaan bahwa Wujud Tertinggi itu berada di
atas segala makhluk hidup, alam semesta, dan segala isinya. Sedangkan, Ngga’é
Nghalé Wena Tana mengungkapkan relasi horizontal antara Wujud Tertinggi
23
dengan manusia. Ngga’é Nghalé Wena Tana berada bersama-sama dengan
manusia di bumi dan menyatu dengan mereka, sesuatu yang hadir, tidak hanya
bersifat maya dan abstrak dengan segala kedahsyatan dan keagungannya, namun
sungguh-sungguh nyata hadir di dalam kehidupan manusia.28 Masyarakat Lio-Ende
percaya bahwa meskipun Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Nghalé Wena Tana
merupakan sesuatu yang tersembunyi dan tidak terselami, namun Du’a Ghéta Lulu
Wula dan Ngga’é Nghalé Wena Tana adalah pemberi anugerah kehidupan,
anugerah kesehatan, pemberi rahmat hujan dan kesuburan bagi tanaman sekaligus
pelindung bagi perjalanan hidup manusia.29
Meskipun demikian, ungkapan Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Nghalé
Wena Tana tidak serta-merta mengeneralisasikan bahwa semua suku yang ada
dalam etnis Lio-Ende memberi nama kepada Wujud Tertinggi dengan Du’a Gheta
Lulu Wula dan Ngg’aé Nghalé Wena Tana. Ada beberapa wilayah dalam etnis Lio-
Ende mempunyai pemahaman yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan.
Salah satu wilayah Lio, yakni dusun Tendawawo, menyebut Du’a Ngga’é dengan
istilah Raja. Hal ini tersirat di dalam syair-syair berikut:30
Raja kai mera lau pu’u liru. Raja (Du’a Ngga’é) tinggal
di ujung langit.
Raja atahaki; Ia adalah seorang laki-laki;
kai ata iwa nena. Ia tidak diciptakan.
Raja ina kai iwa mai Raja juga tidak berasal
leka emba-emba mai; dari mana-mana;
ta kai ina mera Ia tinggal
ké’é kai sakélé-kélé; di suatu tempat yang khusus;
ta kai mbeéo kita ata léisawé; Ia mengenal manusia;
ta kai ina éo mera molo Ia sudah ada
pau kai sai ulu olo. sejak permulaan zaman.
Raja latu no’o tebo; Raja itu mempunyai tubuh;
rupa kai mura Ngéré lélu; rupanya putih seperti kapas;
mata kai ja ngéré dala; matanya bersinar seperti bintang;
paké-pela kai no’o weta mesa, pakaiannya terbuat dari emas,
soli olaka kai di ngeni dan makanannya tidak lain
no’o hu’u wéa mesa. dari tepung emas.
Raja bupu du’a dowa. Raja itu sudah sangat tua.
28 Mbete, dkk., op. cit., hal. 46-47. 29 Paul Arndt, op. cit., hal. 119. 30 Ibid., hal. 119-121.
24
Mbeja satana-tana Bumi ini
léisawé leka Raja pati. diberikan oleh Raja.
Raja latu no’o fai soli no’o ana. Raja itu memiliki istri dan anak-anak.
Ana kai latu imu rua: Ia mempunyai dua anak:
naja ana kai Ada no’o eva, nama mereka adalah Adam dan Eva,
Ada atakaki, Adam adalah laki-laki
Eva atafai. dan Eva adalah perempuan.
Olamera ebé latu lau pu’u liru. Tempat tinggal-Nya di dunia.
Deki kai wesa tu ana kai Kemudian ia membawa
leka tana ina. anak-anaknya ke daratan ini.
Raja, kai wua mesu n’o ana kai; Raja berbelaskasihan
kepada anak-anaknya;
kai até pawé raka no’o kita ata, Ia juga sangat baik kepada kita,
ta kai wora ngeni no’o kita ata, tetapi Ia juga memarahi kita,
demi ata iwa pati kai no’o apabila manusia
tidak mempersembahkan
ate wawi soli no’o aré éo tosa, baginya hati babi,
kai pati ana mbalé ro rango, beras yang ditumbuk sampai putih,
demi ata ina iwa pati kai dan hati kerbau,
olaka até wawi ta até Kamba maka Ia akan membiarkan kita
no’o aré bara. jatuh sakit.
Ebe tau ada no’o Raja, Orang menghormati Raja
ebé roré wawi, dengan cara menyembelih babi
sere are. dan memasak nasi.
Wawi ina ebé iwa pesa ka mulu, Babi itu tidak dimakan sebelum
terlebih dahulu
ta ebé langa até mereka mengambil hatinya,
memasaknya,
kai nasu mulu pati Raja. dan memberikannya kepada Raja.
Saré aré faso-faso, pati kai mulu Sesudah itu, mereka memasak nasi
yang juga
sawa ina, baru kita ngala ka diberikan terlebih dahulu
kepada Raja,
we’é Raja ma’e até ro, kemudian kita sendiri boleh makan,
ma’e wora no’o kita. supaya Raja tidak memarahi kita.
Tu sawé pati kai roa, Sesudah persembahan disajikan
bagi-Nya,
baru kita aka genu wena kita boleh menyantap makanan sisa
Raja soli tanawatu, yang ditinggalkan oleh Raja
dan Tanawatu (roh bumi),
wé’e kai simo olatu ina. supaya dengan demikian
Ia menerima sajian kita.
Ungkapan-ungkapan adat sebagaimana yang diuraikan di atas menunjukkan
bahwa Wujud Tertinggi bagi masyarakat Tendawawo bernama Raja. Kata Raja
25
berasal dari kebudayaan Hindu. Raja berjenis kelamin laki-laki. Rupa Raja tampak
seperti bulan: gigi yang besar adalah bulan sabit, telinga yang besar adalah bulan
tengah. Ungkapan seperti ini merupakan pujian bagi Raja. Selain itu, bintang-
bintang diibaratkan sebagai biji mata Raja. Dengan demikian, Raja sesungguhnya
adalah langit itu sendiri. Sementara itu, Tanawatu berarti bumi, yang berjenis
kelamin perempuan. Tanawatu adalah pelindung bagi bumi dan manusia. Apabila
hujan tidak turun maka manusia harus membawa persembahan kepada Tanawatu.31
Berdasarkan uraian-uraian tentang realitas Wujud Tertinggi sebagaimana
yang dikemukakan di atas tampak adanya pemahaman yang berbeda-beda tentang
pemberian nama kepada Wujud Tertinggi, namun ada juga kesamaan yang cukup
signifikan dalam hal sifat-sifat dari Wujud Tertinggi itu. Sifat-sifat Wujud
Tertinggi selalu digambarkan sebagai sesuatu yang melebihi segala makhluk
duniawi, yang sungguh ilahi, yang tidak kelihatan, namun dapat dirasakan
kehadiran-Nya dan senantiasa berbaik hati kepada manusia, terutama ketika
manusia mengalami kesusahan. Wujud Tertinggi itu juga senantiasa berlaku adil;
Ia mengganjarai perbuatan baik manusia dengan berkat berlimpah dan perbuatan
jahat manusia dengan hukuman yang setimpal. Ia adalah pemberi anugerah
kehidupan, anugerah kesehatan, pemberi hujan dan rahmat kesuburan bagi
tanaman sekaligus pelindung bagi seluruh perjalanan hidup manusia.
2.2.1.2 Kepercayaan kepada Wujud Tertinggi di dalam Suku Embu Leja
Masyarakat suku Embu Leja juga mengenal adanya Wujud Tertinggi
dengan sebutan Ia. Ungkapan Ia dapat ditemukan dalam tarian Wae Wali, yakni
tarian untuk memohon rahmat kesuburan bagi tanaman. Tarian ini terdapat di
Kanga. Dalam tarian ini, Mosalaki Riabewa akan melantunkan syair adat sebagai
berikut:32
Kema ghéna dhawé sai, pai Ia Agar pekerjaan berhasil, panggil Ia
peni ngé wesi nuwa, pai Ia agar hewan piaraan dapat
berkembang dengan baik, panggil Ia
31 Ibid., hal. 123. 32 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
26
O we péni manu we ngé, pai Ia agar ayam berkembang dengan baik,
panggil Ia
O we wesi lako we nuwa, pai Ia agar anjing berkembang dengan baik,
panggil Ia
Mimi singi ria, pai Ia agar wilayah kekuasaan dijaga,
panggil Ia
O we teba moke tiwa, pai Ia agar enau meneteskan banyak nira,
panggil Ia
Gege timu pala wara, pai Ia agar hujan segera diturunkan,
panggil Ia
O we peba wolo pe ghalé, pai Ia agar hama dan penyakit tidak datang
dari timur dan barat, panggil Ia
O we peba wolo pe mena, pai Ia agar hama dan penyakit tidak datang
dari utara dan selatan, panggil Ia
O rina menga tebo keta, pai Ia agar tubuh kuat, pangil Ia
O rina menga lo ngga, pai Ia agar badan sehat, panggil Ia
O we ka walo gau, pai Ia saat memohon berkat untuk
makanan, panggil Ia
O we loka walo toja, pai Ia. untuk memohon berkat berlimpah
di hari-hari mendatang, panggil Ia.
Ia merupakan nama yang dipakai untuk menunjukkan realitas Wujud
Tertinggi. Nama Ia ini tidak dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Nama Ia hanya
khusus digunakan saat melaksanakan ritual adat tarian Wae Wali, sedangkan
Wujud Tertinggi secara umum tetap disapa sebagai Du’a Ngga’é. Ungkapan Ia
menunjukkan sesuatu yang sakral dan suci. Masyarakat suku Embu Leja percaya
bahwa Ia memiliki sikap yang baik dan berbelaskasih terhadap manusia. Segala
permohonan yang disampaikan kepada Ia selalu dikabulkan. Selain itu, masyarakat
suku Embu Leja percaya bahwa Ia tidak hanya mengganjari manusia dengan
kebaikan, tetapi Ia bisa menghukum manusia yang berlaku jahat. Hukumannya
berupa penyakit atau kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau gagal panen.
Karena itu, penghormatan kepada Ia bagi masyarakat suku Embu Leja merupakan
suatu keharusan. Bentuk penghormatan itu dilakukan dalam berbagai cara, bisa
melalui doa atau permohonan yang diungkapkan secara lisan di dalam situasi
tertentu atau di dalam ritus-ritus adat. Ia juga dihormati dalam nyanyian dan tarian
27
2.2.1.3 Kepercayaan kepada Roh-Roh Jahat
Masyarakat suku Embu Leja mengenal kepercayaan kepada roh-roh dalam
kaitannya dengan kosmos. Mereka melihat hidup manusia tidak terpisahkan dari
kosmos. Hal ini tampak secara nyata dalam cara berpikir dan bersikap terhadap
tempat-tempat tertentu atau benda-benda yang diyakini memiliki penjaga atau
penguasa (Nitu).33 Ada dua wujud roh yang diyakini masyarakat suku Embu Leja
berdasarkan tempat mereka tinggal, yakni roh yang bertempat tinggal di laut dan
roh yang berdiam di gunung. Roh yang bertempat tinggal di laut disebut Nitu Ma’u
dan roh yang berdiam di gunung disebut Nitu Keli.34 Terhadap Nitu Mau dan Nitu
Keli, masyarakat cenderung merasa takut. Ketakutan masyarakat itu didasarkan
pada situasi ketika orang kehilangan relasi yang baik dengan kedua roh tersebut.
Relasi yang tidak harmonis di antara manusia dengan kedua roh itu dapat
mendatangkan malapetaka bagi manusia. Malapetaka itu dialami berupa hujan
yang berkepanjangan, angin taufan, kemarau yang panjang, dan gagal panen.
Karena itu, masyarakat perlu menjalin hubungan yang baik dengan Nitu Mau dan
Nitu Keli agar terhindar dari malapetaka-malapetaka dimaksud. Salah satu bentuk
hubungan yang baik dengan Nitu Mau dan Nitu Keli diaplikasikan di dalam ritus
adat yang disebut Joka Ju.35
Dalam ritus Joka Ju, Mosalaki Pu’u akan memberikan kurban kepada Nitu
Ma’u, yang dilaksanakan pada tengah hari di sebuah sungai. Di sini, Mosalaki
Pu’u dan Mosalaki Riabewa serta beberapa laki-laki dewasa akan pergi menuju
sungai dengan membawa beras putih dan seekor ayam. Di sungai itu, Mosalaki
Pu’u akan memasukkan beras putih ke dalam ruas-ruas Bheto (sejenis bambu),
kemudian Bheto dimasak dengan api yang telah disiapkan sebelumnya. Sementara
itu, Mosalaki Pu’u akan memotong ayam dan mengambil bagian-bagiannya, yakni
kepala, sayap, dada, dan buntut, lalu meletakkan dalam sebuah replika perahu yang
berukuran kecil. Setelah memastikan beras yang dimasak dalam Bheto telah
menjadi nasi, Mosalaki Pu’u akan meminta bantuan Mosalaki Riabewa untuk
33 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 34 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019
di Tendawena. 35 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, tokoh adat Tendawena, pada tanggal 12 Oktober 2019 di
Tendawena.
28
mendinginkannya dengan cara mencelupkan ke dalam air sungai. Sesudah itu,
Mosalaki Pu’u membelah sedikit Bheto dan memberikan segenggam nasi kepada
Mosalaki Riabewa. Mosalaki Riabewa lalu mengambil segenggam nasi dan
beberapa potongan tubuh ayam dari Mosalaki Pu’u dan menaruhnya pada replika
perahu. Selanjutnya, Mosalaki Pu’u akan meletakkan replika perahu tersebut di
atas air sungai. Replika perahu tersebut diyakini sebagai sarana yang akan
membawa kurban persembahan kepada Nitu Ma’u yang bertempat tinggal di laut.
Saat petang hari, Mosalaki Pu’u dan Mosalaki lainnya akan mengajak
Prema Fai Walu (orang-orang kampung) untuk menuju sungai sambil membawa
serta nasi, sayur, dan daging yang sudah dimasak di kampung. Setibanya mereka di
sungai, mereka akan melakukan Sodha (tarian sadak) sambil memadahkan syair
adat berikut:
Gaga wé’e bo’o Hendaknya kebun menghasilkan
panenan melimpah
kewi we’ée ae enau menghasilkan banyak nira
kema we’é gena semoga setiap pekerjaan berhasil
ho …, hu …, hui …. ho…, hu … hui ….
Ketika hari mulai gelap, mereka akan kembali dengan suara riuh dan
gembira ke menuju kampung. Dalam perjalanan pulang ke kampung, api
dinyalakan pada ikatan daun kelapa yang telah kering sebagai penerang jalan.
Setibanya di kampung, Go’ dan Lamba dibunyikan, suara riuh dan gembira dari
masyarakat perlahan hilang dan suasana kampung menjadi hening. Lalu tiba
saatnya Mosalaki Pu’u mempersiapakan diri untuk memberi makan kepada Nitu
Keli sekaligus mengusir segala roh-roh jahat yang ada di sekitar kampung.
Mosalaki Pu’u berarak mengelilingi rumah-rumah di sekitar kampung dengan
diiringi Go’ dan Lamba sebagai tanda bagi masyarakat bahwa ritual pengusiran
roh-roh jahat sedang berlangsung. Bersamaan dengan pemukulan Go’ dan Lamba,
masyarakat di setiap rumah turut membunyikan segala benda yang ada di dalam
rumah dengan sebatang kayu. Benda-benda seperti kursi, tempat tidur, meja,
barang-barang di dapur dan sebagainya diyakini sebagai tempat tinggal roh-roh
jahat. Setelah mengelilingi kampung, Mosalaki Pu’u akan membawa bahan
persembahan berupa nasi, sebuah telur, buntut dan sayap ayam dalam keadaan
29
diam atau tanpa berbicara kepada siapapun dan menuju ke suatu tempat keramat
yang dianggap sebagai tempat tinggal Nitu Keli. Masyarakat kampung pun diminta
agar tidak membuat keributan dan tetap menjaga ketenangan. Di tempat keramat
itu Mosalaki Pu’u akan berseru:
Leka Nua temu Nuka! Jangan memasuki kampung!
Joka Ji’é sumba pawé dowa Kami telah mengusirmu
leka Séka temu se’a pergi dan jangan kembali
ke kampung
Lo temu ro, temu baja! Semoga jiwa dan raga kami
tidak sakit, tetap sehat!
Sesudah Mosalaki Pu’u selesai memberi makan pada Nitu Keli, ia kembali
ke kampung dalam keadaan diam, seperti saat ia berarak menuju ke tempat
keramat. Sepanjang malam ini, Mosalaki Pu’u bersama seluruh masyarakat harus
menjalankan pantang, yakni dilarang memasang api dan menyalakan lampu.
Biasanya pada kesempatan ini seorang bapak keluarga atau seorang laki-laki
dewasa di setiap rumah akan memberikan peringatan kepada anak-anak mereka
bahwa selama empat hari, pepohonan, rerumputan dedaunan serta tumbuhan
lainnya tidak boleh disentuh dan dipetik dan juga tanah tidak boleh dicangkul atau
dibajak. Apabila Mosalaki Pu’u dan masyarakat tidak mengindahkan pantangan ini
maka akan terjadi wabah penyakit, kematian, dan bencana-bencana lainnya.
Selama empat hari, di siang hari masyarakat kampung akan menari, menyanyi, dan
melakukan berbagai macam permainan serta makan bersama-sama.36
2.2.1.4 Kepercayaan kepada Roh Leluhur37
Masyarakat Embu Leja menyebut leluhur yang telah meninggal dengan
sebutan Embu Mamo. Penghormatan terhadap Embo Mamo dilaksanakan melalui
ritus Pati Ka Embu Mamo. Ritus ini biasa dilakukan saat masyarakat suku Embu
Leja mengalami kesusahan dan ingin memohon pertolongan, berkat, dan
perlindungan dari leluhur. Pada kesempatan ini Mosalaki Riabewa akan
36 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 37 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
30
memberikan persembahan berupa nasi dan daging serta Moke di salah satu kubur
dari leluhur yang meninggal atau di kubur Mosalaki yang telah meninggal atau
orang tua yang telah meninggal atau di dalam Sa’o Ria (rumah adat suku Embu
Leja), tergantung dari situasi yang dialami oleh masyarakat. Pada saat memberi
makan para leluhur akan dilantunkan syair adat berikut:
Embu mamo lau Sa’o Ria Para leluhur (laki-laki dan
perempuan) di rumah adat.
Babo mamo lau Seso Para leluhur (laki-laki dan
perempuan) di kampung Seso
Babo mamo lau Kolorasi Para leluhur (laki-laki dan
perempuan) di kampung Kolorasi
Kami wi pesa manu kami sudah potong ayam
miu pati Ia, Du’a ghéta lulu wula kamu memberi kepada Du’a yang
di langit
tu pati Ia, Ngga’é ghalé wena tana dan juga Ngga’é yang di bumi
Mai ka bo pesa bela gha na mari dan makanlah semua ini yang
ada di sini.
Kami rina ma’e pati susa Kami mohon jangan memberi
kesusahan
Kami rina raki re’e e kami mohon bersihkan dari segala
yang kotor
taka du raka da lau ma’u segala yang jahat dibawa buang jauh
ke laut
Kami rina kema ghéna dhawé sai Kami mohon semoga selalu sukses
dalam setiap pekerjaan
Tau kami ile ma’e nggedhu Kepala kami tidak sakit
nggewe mae baja tidak putus asa
kipo pama sekami lindungilah kami selalu
we kami tua’ ngere su’a agar kami kuat seperti baja
maku ngere watu keras seperti batu
we kami ria tau gare nia tetap berdiri kokoh
bewa tau pase la’e untuk menjaga senantiasa warisan
leluhur.
Arwah para leluhur juga diyakini bisa hadir dalam wujud tertentu. Bunyi
suara belalang yang terdengar begitu memekakkan telinga pada malam hari di
dalam rumah dianggap sebagai kehadiran leluhur untuk menyapa dan menjumpai
keluarganya dan pertanda mereka meminta makan. Berhadapan dengan situasi ini,
masyarakat Embu Leja akan berkata: “Kami pati ka miu, ma’e tau susah kami”
(“Kami akan memberi kalian makan dan minum, jangan susahkan kami”), sembari
31
membuang sedikit makanan ataupun minuman berupa segenggam nasi dan air
putih ke luar rumah. Hal ini mengandung arti bahwa meskipun para leluhur telah
meninggal, mereka tetap hidup di dunia ini, hanya hadir dalam wujud yang
berbeda. Selain itu untuk mengenangkan roh para leluhur, masyarakat suku Embu
Leja biasanya memberikan nama pada bayi yang baru lahir dengan nama para
leluhur agar nama mereka tetap dikenang.
2.2.2 Sistem Ekonomi
Pada umumnya, mata pencaharian masyarakat suku Embu Leja adalah
bercocok tanam. Setiap lahan umumnya ditanami tanaman umur panjang seperti
kakao, kemiri, kelapa, asam, mangga, pisang, kapas dan juga tanaman umur
pendek seperti padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, tomat, dan bawang. Hasil dari
tanaman-tanaman ini dimanfaatkan untuk makan sehari-hari dan sebagiannya lagi
dijual guna menyokong kehidupan ekonomi keluarga.
Pola pertanian yang dilakukan masyarakat suku Embu Leja masih terbilang
sangat sederhana. Alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam berupa parang,
tofa, dan cangkul. Lahan-lahan yang baru dibuka mengunakan sistem tebang bakar
dan pemanfaatan lahannya hanya digunakan sekali dalam setahun. Selepas masa
panen, lahan dibiarkan kurang lebih 4 (empat) bulan, sesudah itu 2 (dua) atau 3
(tiga) bulan sebelum hujan di tahun berikutnya lahan itu dibersihkan lagi untuk
kegiatan bercocok tanam.38
Untuk membuka lahan baru, biasanya satu keluarga dari suku Embu Leja
membutuhkan bantuan anggota keluarga yang lain. Dengan kata lain, pekerjaan
membuka lahan atau kebun baru dilakukan dalam semangat gotong-royong dengan
tujuan agar pekerjaan yang dilakukan terasa ringan dan cepat selesai. Pada waktu-
waktu sebelumnya, pembukaan lahan baru diawali dengan ritual adat. Namun pada
masa sekarang, ritual membuka lahan baru perlahan-lahan tidak dilaksanakan lagi
karena perubahan tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat yang semakin
maju.39
38 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019
di Tendawena. 39 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019
di Tendawena.
32
Keadaan dunia yang semakin maju dan adanya berbagai tuntutan dalam
hidup membuat masyarakat berpikir bahwa hasil panenan tidak dapat menjadi
salah satu sumber utama untuk menunjang kehidupan ekonomi keluarga.
Masyarakat tidak ingin menggantungkan hidup semata-mata pada mata
pencaharian dengan bercocok tanam. Karena itu, mereka mulai mencari sumber
matapencaharian lain sebagai ojek, tukang kayu dan bangunan, pedagang, peternak
sapi, kambing, ayam, anjing dan babi. Bahkan, ada beberapa masyarakat memilih
merantau ke Kalimantan, Jakarta, dan Malaysia.
2.2.3 Sistem Kekerabatan40
2.2.3.1 Sistem Kekerabatan Berdasarkan Garis Keturunan
Sistem kekerabatan masyarakat Embu Leja bersifat patrilineal, yaitu sistem
kekerabatan berdasarkan garis keturunan ayah. Dalam hal ini ini, laki-laki
merupakan pemeran utama di dalam suku, berperan sebagai pemimpin, dan berhak
atas tanah warisan. Selain itu, laki-laki dipandang sebagai pihak yang memiliki
kemampuan yang lebih dalam segala bidang ketimbang perempuan. Seorang laki-
laki dianggap memiliki sosok pemberani dan ksatria serta bertanggung jawab
memelihara dan menjaga integritas suku agar tetap eksis. Sedangkan perempuan
dianggap kurang mampu bertanggung jawab dalam menangani seluruh kehidupan
suku. Perempuan dipandang sebagai “tamu” atau orang yang berasal dari luar suku,
sehingga tidak mungkin suku dapat bertumbuh dan berkembang di tangan orang
yang berasal dari luar suku atau adat-istiadat yang lain. Dengan demikian,
perempuan secara otomatis tidak memiliki hak dan kekuasaan mutlak di dalam
suatu suku.
2.2.3.2 Sistem Kekerabatan Berdasarkan Relasi Perkawinan
Dalam masyarakat suku Embu Leja, relasi kekerabatan juga terbentuk
karena hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang berasal dari hubungan darah yang sama. Masyarakat suku Embu Leja
menyebut hal ini dengan perkawinan Dhoko Tu Lengge Lima. Tujuan utama dari
40 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
33
perkawinan ini adalah untuk menjaga dan mempertahankan agar generasi dari suku
Embu Leja tetap ada. Perkawinan ini dilakukan antara anak laki-laki dari saudari
dan anak perempuan dari saudara (Ana Eda) yang sedarah (kandung).
Selanjutnya, masyarakat suku Embu Leja juga mengenal adanya
perkawinan Pa’a Tu’a, yaitu perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang berasal dari hubungan yang tidak sedarah, tetapi
masih di dalam kampung yang sama. Tujuan utama dari perkawinan ini adalah
untuk mempertahankan harta kekayaan dan menjaga wibawa serta kekuasaan.
Apabila perkawinan ini tidak dilaksanakan maka pihak yang bersalah, baik dari
pihak laki-laki maupun perempuan, harus mengembalikan harta benda kepada
pihak yang tidak bersalah dengan jumlah dua kali lipat dari apa yang diterimanya,
sehingga segala kerugian menjadi keuntungan bagi pihak yang tidak bersalah.
Apabila pihak wanita yang bersalah maka disebut Walo Ngawu, sebaliknya jika
pihak pria yang bersalah maka disebut Walo Regu Pata.
Masyarakat suku Embu Leja juga membina relasi perkawinan Tana Ale,
yaitu hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang berasal dari hubungan darah yang berbeda dan dari kampung, suku, atau adat-
istiadat yang berbeda pula. Tujuan utama dari perkawinan ini adalah untuk
memperluas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Dalam perkawinan jenis ini,
apabila peminangan sudah diterima tetapi urusan selanjutnya tidak dilaksanakan,
maka perkawinan ini tidak dapat dilangsungkan. Dengan itu, pihak laki-laki
dikenakan denda tertentu, yang disebut Seliwu Seeko, yaitu denda berupa dua
pasang emas dan satu ekor hewan. Emas ini bisanya dapat diuangkan atau diganti
dengan hewan seperti kuda atau sapi. Dalam hal ini, kambing dan anjing tidak
dapat dipakai untuk membayar denda karena dianggap sebagai hewan yang
diharamkan.
Seluruh relasi perkawinan yang dilakukan ini berdampak pada jalinan
kekerabatan selanjutnya, misalnya di antara dua keluarga tersebut akan saling
menolong atau bekerjasama dalam urusan adat atau pada saat acara kematian serta
kegiatan lainnya seperti membuka kebun, membangun rumah serta upacara
syukuran pesta lainnya.
34
2.2.3.3 Relasi Sosial Kemasyarakatan41
Relasi sosial kemasyarakatan suku Embu Leja tampak dalam hal kerja
sama dan gotong-royong. Relasi ini tidak hanya berdasarkan hubungan darah
semata. Relasi yang dibangun didasarkan pada sikap solidaritas dan kepedulian
akan keadaan sesama yang mengalami kesulitan, misalnya gotong-royong dan
kepedulian dalam kegiatan membuka lahan baru yang dikenal dengan sebutan Lele
Uma. Dalam Lele Uma, masyarakat suku Embu Leja mengenal dua bentuk kerja,
yakni “kerja dengan cara memanggil” dan kerja kelompok. Dua bentuk kerja ini
memiliki perbedaan dalam kesepakatan bersama saat perolehan hasil panen. Kerja
dengan cara memanggil adalah kerja yang dilakukan atas rasa solidaritas. Hal ini
terjadi karena masing-masing orang dalam dirinya telah menganut kearifan lokal
dari nenek moyang yang cukup potensial, sebagaimana yang terdapat di dalam
ungkapan: Ma si kita kema, boka ngere ki, bere ngere ae (Mari kita bersama-sama
bersatu dalam kerja seperti ilalang dan searah seperti air yang mengalir); atau Mai
si kita ngondo ngere tewu owo Ghou Ngere uwi ondo (Mari kita bersatu dalam
bekerja seperti satu rumpun tebu dan saling bergandengan tangan seperti ubi jalar).
Ketika seseorang ingin membuka lahan baru, sebelumnya ia akan
menyampaikan kepada beberapa orang (biasanya orang-orang yang berasal dari
suku yang sama) dalam kampung untuk membantunya. Pada waktu tibanya utuk
membuka lahan baru, ia akan didatangi oleh beberapa orang yang telah
disampaikan sebelumnya. Setiap orang yang datang untuk membantu memiliki niat
yang sama untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Kegiatan ini tidak hanya
menguntungkan salah satu pihak saja melainkan juga pihak lain. Jika suatu ketika
salah satu anggota dari beberapa orang yang pernah membantunya kerabatnya
hendak membuka lahan baru maka dengan sendirinya ia berhak hadir dan turut
serta ambil bagian di dalam kegiatan tersebut. Dampak dari kerja dengan cara
memanggil ini adalah hasil panen akan dibagi secukupnya kepada setiap orang
yang telah membantu dalam membuka kebun baru tersebut.
Kerja dengan cara memangil berbeda dengan kerja secara kelompok. Kerja
jenis ini tidak hanya melibatkan orang-orang dalam suku yang sama melainkan
41 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
35
melibatkan juga kelompok suku yang lain. Dalam kerja secara bersama ini pula
terdapat unsur solidaritas dan keuntungan-keuntungan tertentu sebagaimana yang
terdapat di dalam kerja dengan cara memanggil. Namun dampak dari kerja secara
bersama ini adalah pada saat musim panen tiba, hasil panen tidak dibagikan kepada
setiap orang yang membantu, melainkan hanya diperuntukkan bagi pemilik lahan.
Selain itu, relasi kekerabatan suku Embu Leja juga terwujud dalam sikap
empati saat mengalami peristiwa kematian. Semboyan nenek moyang: Mai si kita
ngondo ngere tewu owo Ghou Ngere uwi ondo (Mari kita bersatu seperti satu
rumpun tebu, dan saling bergandengan tangan seperti ubi jalar), menggerakkan hati
setiap anggota keluarga dan suku untuk turut berpartisipasi pada saat salah satu
anggota keluarga meninggal. Sikap spontanitas sebagai sesama yang berduka
ditunjukkan lewat cara mengunjungi rumah duka sembari membawa sumbangan
berupa kain, uang dan beras, dan hewan serta ikut mendoakan arwah yang telah
meninggal dan berjaga bersama keluarga duka selama masa perkabungan hingga
selesai masa perkabungan.
Relasi kekerabatan suku Embu Leja juga terlihat dalam semangat
kepedulian saat merayakan pesta nikah atau syukuran tertentu. Semboyan tua Boka
Ngere Ki, Bere Ngere Ae tidak hanya diterapkan dalam kegiatan kerja semata-
mata, juga diterapkan di dalam kegiatan pesta atau syukuran tertentu yang dikenal
dengan sebutan Minu Ae Petu (minum air panas). Dalam kegiatan Minu Ae Petu,
seluruh masyarakat suku Embu Leja saling menaruh kepedulian untuk mendukung
dan menyukseskan kegiatan pesta atau syukuran yang dibuat. Kegiatan ini tidak
hanya terbatas melibatkan anggota keluaraga yang memiliki hubungan darah,
melainkan terbuka bagi anggota suku lain dan bagi siapa saja (simpatisan) yang
ingin mengekspresikan rasa kepedulian mereka. Bentuk kepedulian dapat berupa
pemberian materi seperti uang, beras dan juga hewan. Pada saat ini, kegiatan Minu
Ae Petu masih kuat dipertahankan karena masyarakat suku Embu Leja
beranggapan bahwa kegiatan Minu Ae Petu ini memiliki dampak yang sangat
positif, yaitu sebagai kesempatan untuk menanamkan sikap kepedulian,
pastisipatif, dan sebagai kesempatan kumpul keluarga atau kenalan yang bertujuan
untuk mengumpulkan dana (uang) demi membiayai pendidikan seseorang anak
yang hendak melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi.
36
2.2.4 Lapisan Sosial Kemasyarakatan42
Masyarakat suku Embu Leja mengenal adanya lapisan sosial
kemasyarakatan. Hal ini tampak dalam struktur adat masyarakat suku Embu Leja.
Struktur adat masyarakat Embu Leja terdiri atas tiga bagian, yakni Mosalaki, Teke
Rai Fai Ngga’e, dan Prema Fai Walu.
2.2.4.1 Mosalaki
Masyarakat suku Embu Leja melihat seorang Mosalaki sebagai pemegang
kekuasaan wilayah adat. Seorang Mosalaki dilihat dan dipilih berdasarkan garis
keturunan ayah. Proses pemilihan Mosalaki diawali dengan musyawarah bersama
di dalam keluarga dan ritual adat Bui Feo So Bhoka Au (membakar kemiri dan
bambu muda), di mana 3 (tiga) buah kemiri (Feo) dan 3 (tiga) bambu muda yang
sudah disiapkan akan didoakan sebelum akhirnya dibakar di dalam rumah adat.
Penentuan calon Mosalaki ini bergantung dari bunyi bambu yang ledakannya
bagus sebanyak tiga kali berturut-turut. Pecahan bambu muda yang sudah dibakar
akan dilihat ruasnya, sejalur dengan ruas ke ruas dari tiga potong bambu tersebut.
Apabila dari hasil pembakaran bambu tersebut menghasilkan bunyi yang bagus
maka calon Mosalaki dapat dinobatkan sebagai Mosalaki. Sebaliknya, apabila dari
hasil pembakaran tidak menghasilkan bunyi yang bagus maka calon Mosalaki
tidak dapat dinobatkan sebagai Mosalaki.
Mosalaki menjalankan tugas dan fungsinya menjadi beberapa bagian, yakni
Mosalaki Pu’u, Mosalaki Riabewa, Mosalaki Phidi Wiwi Lapi Ata Kae. Mosalaki
Pu’u bertugas sebagai Mosalaki pokok atau ketua adat. Mosalaki Riabewa bertugas
sebagai sebagai perpanjangan mulut dari semua Mosalaki untuk setiap tamu-tamu
yang datang mengunjung wilayah persekutuan adat masyarakat Tendawena atau
forum-forum tertentu, dengan kata lain sebagai juru bicara lembaga adat. Mosalaki
Phidi Wiwi Lapi Lema Ata Ka’e berfungsi sebagai peran pengganti dari Mosalaki
Pu’u dan juga Mosalaki Riabewa apabila Mosalaki Pu’u dan Mosalaki Riabewa
berhalangan.
42 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
37
Dalam struktur masyarakat adat, suku Embu Leja mendapat peranan
sebagai Mosalaki Riabewa Tau Seso Masa Lewo Lina (hakim adat) untuk
menyelesaikan setiap masalah yang terjadi di Ulu Beu Eko tanah Tendawena,
melaksanakan seremoni adat seperti Joka Ju, menjalankan kewajiban
mengumpulkan Pare Wati Manu Eko dari anak Prema Fai Walu tanah Tendawena,
dan sebagai perpanjangan mulut dari semua Mosalaki bagi setiap tamu-tamu yang
datang mengunjung wilayah persekutuan adat masyarakat Tendawena.
2.2.4.2 Teke Ria Fai Ngga’e
Dalam masyarakat Tendawena, Teke Ria Fai Ngga’e biasa disebut sebagai
seorang laki-laki besar dalam rumah adat. Peranan Teke Ria Fai Nggae’e adalah
melaksanakan ritual adat seperti Pati Ka Bapu Ata Mata dan menjaga rumah adat.
Proses pemilihan Teke Ria Fai Ngga’e sama seperti proses pemilihan Mosalaki.
2.2.4.3 Prema Fai Walu
Prema Fai Walu merupakan seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah
Tendawena atau masyarakat adat. Prema Fai Walu merupakan anak-anak dan
cucu-cucu dari Mosalaki. Prema Fai Walu memiliki tugas menjalankan seluruh
norma-norma adat dan ritus adat yang ada di Tendawena. Pengabaian terhadap
norma-noram dan ritus adat akan mendapatkan sanksi adat dan menimbulkan
risiko yang berat seperti mengalami penyakit atau gagal dalam setiap usaha yang
dilakukan.
38
BAB III
MAKNA DI BALIK RITUS-RITUS KEMATIAN
MASYARAKAT SUKU EMBU LEJA
Fokus pembahasan dalam bagian ini adalah menemukan makna di balilk
ritus-ritus kematian dalam budaya masyarakat suku Embu Leja. Masyarakat suku
Embu Leja percaya akan adanya kehidupan baru setelah kematian. Kehidupan
setelah kematian ini sangat bergantung pada sikap dan perilaku masyarakat suku
Embu Leja selama mereka berkanjang di dunia ini. Masyarakat suku Embu Leja
percaya hal ikhwal sebagaimana kepercayaan etnis Lio-Ende pada umumnya
bahwa semua arwah manusia yang meninggal menempati suatu tempat, yakni di
danau Kelimutu. Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa danau Kelimutu
merupakan sebagai tujuan akhir dari ziarah hidup.43
Masyarakat suku Embu Leja melihat bahwa arwah setiap manusia yang
telah meninggal akan selalu menjaga, memelihara, dan mengawasi setiap sikap dan
perilaku manusia yang masih hidup; apakah selaras dengan gagasan-gagasan dasar
moralitas dan nasihat-nasihat serta larangan-larangan yang telah diamanatkan oleh
para leluhur atau sebaliknya. Berhadapan dengan hal ini, masyarakat suku Embu
Leja cenderung merasa takut akan keberadaan dan peranan dari leluhur atau arwah
orang yang meninggal, ketimbang keberadaan dan peranan dari orang-orang yang
43 Kelimutu mengandung makna sebagai tempat berkumpulnya arwah dari orang-orang yang telah
meninggal dunia. Danau Kelimutu memiliki tiga tempat sesuai warnanya, yakni Tiwu Ata
Bupu/Mbupu, Tiwu Ata Ko’o Fai Nua Muri, dan Tiwu Ata Polo. Masyarakat Lio- Ende meyakini
bahwa ketika seseorang meninggal, jiwanya akan menuju salah satu tempat di antara tiga tempat
tersebut. Keberadaan orang yang telah meninggal tersebut disesuaikan dengan amal baktinya
selama masih hidup di dunia. Tiwu Ata Mbupu merupakan tempat peristirahatan bagi orang-orang
yang berbudi baik, luhur, dan suci. Warna air di Tiwu Ata Mbupu sebelum bencana tahun 1992
adalah putih, namun kini berubah menjadi putih kebiru-biruan. Warna itu merupakan lambang
kesucian. Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri merupakan tempat peristirahatan bagi orang-orang yang
membutuhkan penyucian atau pembersihan dan yang masih mengalami pergolakan dan perjuangan
untuk mendapatkan kebahagiaan. Warna air dari danau ini sebelumnya berwarna hijau kehitam-
hitaman, yang mengandung arti sebagai perjuangan sebagaimana jiwa yang sedang bergejolak atau
berusaha untuk melepaskan diri dari tekanan dan penderitaan. Selanjutnya, Tiwu Ata Polo
merupakan tempat bagi orang-orang yang berdosa. Tempat ini dianggap sebagai tempat untuk
menjalankan siksaan dan hukuman sebagai upah dari dosa. Warna air danau dari Tiwu Ata Polo
adalah merah kehitam-hitaman, yang memberi arti sebagai kekelaman dan penyiksaan berat atas
kesalahan dan dosa. Namun, saat ini warna air dari danau dimaksud telah berubah menjadi biru
keputih-putihan. Perubahan warna dari ketiga danau ini tidak dapat diketahui secara pasti penyebab
utamanya. Mbete, dkk., op. cit., hal. 49-50.
39
masih hidup. Karena itu, berbagai ritus yang dilakukan pada saat kematian
merupakan sebuah cara untuk menghindari rasa takut akan malapetaka yang bisa
saja diciptakan oleh arwah orang yang telah meninggal.
Pelaksanaan ritus-ritus kematian di dalam masyarakat suku Embu Leja
pada umumnya memiliki tujuan sebagai sarana keselamatan bagi orang yang telah
meninggal, sekaligus sebagai kenangan bagi orang yang masih hidup. Apabila
berbagai ritus tidak dijalankan maka orang yang telah meninggal maupun yang
masih hidup akan mengalami peristiwa buruk, di mana orang yang telah meninggal
tidak mendapatkan keselamatan dan orang yang hidup mendapat kutukan dari para
leluhur atau arwah orang yang meninggal. Untuk menghindari semua peristiwa
buruk tersebut, masyarakat suku Embu Leja wajib menjalankan ritus kematian. Di
dalam bagian ini, penulis akan menguraikan ritus-ritus yang dilakukan pada saat
kematian seseorang dan berusaha menemukan tujuan dan makna-makna di balik
pelaksanaan ritus-ritus kematian tersebut.
3.1 Ritus-Ritus Kematian di Dalam Suku Embu Leja
3.1.1 Ritus Kematian dalam Pemahaman Masyarakat Suku Embu Leja
Bagi masyarakat suku Embu Leja, ritus kematian tidak hanya dipandang
sebagai kegiatan kosmis-manusiawi semata, melainkan sebuah dinamika dalam
menjalin interrelasi antara manusia, dunia, dan Ia. Pemahaman ini
mengindikasikan secara jelas distingsi antara upacara kematian dengan ritus
kematian itu sendiri. Upacara kematian berhubungan dengan keseluruhan aktivitas
yang melibatkan berbagai aspek lahiriah dengan penekanan utamanya pada aspek
sosio-horizontal, karena berhubungan dengan manusia itu sendiri. Sedangkan ritus
kematian merupakan bagian-bagian spesifik yang mengedepankan aspek religius-
vertikal, karena berhubungan dengan keyakinan masyarakat suku Embu Leja akan
eksistensi para leluhur dan Wujud Tertinggi (Ia). Akan tetapi di dalam pelaksanaan
ritus kematian, keseluruhan upacara dalam suatu peristiwa kematian tetap memiliki
peranan penting dan merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dari ritus
kematian itu sendiri. Karena itu, di dalam budaya masyarakat suku Embu Leja,
pelaksanaan ritus kematian dan upacara kematian senantiasa berjalan beriringan.
40
3.1.2 Maksud dan Tujuan Ritus
Maksud dan tujuan ritus kematian dalam budaya masyarakat suku Embu
Leja adalah sebagai tanda penghormatan dan cinta kasih kepada orang yang telah
meninggal, sambil mengharapkan perlindungan dan berkat dari para leluhur dan Ia.
Ritus-ritus kematian yang diadakan itu juga merupakan suatu bentuk
pemberitahuan resmi kepada nenek moyang atau leluhur bahwa salah seorang
anggota keluarga telah berangkat menuju dunia mereka. Selain itu, ritus-ritus
kematian yang diadakan juga menunjukkan prestise dan harga diri di dalam
masyarakat. Tinggi rendahnya harga diri tersebut bergantung pada besar kecilnya
ritus yang diadakan.44
Ritus-ritus dalam rangka kematian ini biasanya dapat juga mendatangkan
perdamaian bagi keluarga yang sudah lama berselisih paham. Lazimnya suatu
hubungan yang retak baru bisa didamaikan pada saat seorang anggota keluarga
meninggal, sebab ritus-ritus yang akan diadakan dapat berjalan dengan baik dan
sah secara hukum adat jika melibatkan semua anggota keluarga yang memiliki
relasi yang harmonis. Jika tidak maka ritus-ritus yang diadakan tersebut
kemungkinan besar akan ditolak oleh orang yang meninggal, para leluhur, dan Ia.
Efek lain yang timbul dari situasi ini adalah adanya malapetaka yang akan
menimpa anggota keluarga dari si mati. Dalam hal ini, ritus kematian memiliki
fungsi sosial untuk mempersatukan seluruh anggota keluarga atau suku.
Dengannya, perasaan solidaritas dan loyalitas terhadap kelompok suku turut
diafirmasi. Dengan terlaksananya ritus-ritus kematian itu berarti pula tugas dan
tanggung jawab, baik material maupun moral, dari individu atau kelompok
keluarga atau suku tertentu telah terbayar tuntas atau selesai.45
3.1.3 Pemimpin Ritus
Secara keseluruhan, yang menjadi pemimpin ritus kematian suku Embu
Leja adalah Pu’u Kamu. Pu’u Kamu adalah saudara tertua dari pihak ibu.
Pemilihan Pu’u Kamu sebagai pemimpin ritus kematian dalam budaya masyarakat
44 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 45 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
41
suku Embu Leja didasari oleh peran utama yang dimiliki oleh Pu’u Kamu. Pu’u
Kamu selain sebagai pihak yang menyerahkan perempuan juga dipandang sebagai
pihak yang memberikan dan memperbanyak keturunan di muka bumi ini,
karenanya ia berhak mengetahui segala urusan yang berkaitan dengan
keturunannya. Meskipun demikian, legalisasi peran Pu’u Kamu untuk menjalankan
ritus kematian tersebut terjadi atas ijinan Mosalaki Riabewa. Dengan kata lain,
sebelum menjalankan ritus-ritus seputar kematian masyarakat suku Embu Leja,
Pu’u Kamu harus terlebih dahulu mendapatkan semacam ijinan dari Mosalaki Ria
Bewa. Ijinan tersebut diperoleh dengan cara permohonan lisan yang disampaikan
Pu’u Kamu kepada Mosalaki Riabewa. 46
Di sisi lain, pemilihan Pu’u Kamu sebagai pemimpin ritus kematian yang
merupakan bagian dari keluarga yang berduka itu sendiri dimaksudkan agar
hubungan kekeluargaan yang telah dibangun sejak keturunan pertama dapat
kembali diafirmasi. Dari sini, para anggota keluarga batih pun dapat melihat dan
mengetahui siapa sesungguhnya yang merupakan Pu’u Kamu mereka. Dengan itu
pula segala harapan akan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup baik bagi keluarga
yang masih hidup di dunia maupun bagi orang mati itu sendiri dapat terpenuhi.47
3.1.4 Peserta Ritus
Orang-orang yang terlibat di dalam ritus atau peserta ritus kematian adalah
orang-orang yang masih memiliki hubungan darah dengan orang yang meninggal,
yakni keluarga inti dan keluarga besar, serta suku-suku yang tergabung di dalam
suku orang yang meninggal. Para sahabat kenalan, masyarakat adat, dan orang-
orang yang berasal dari luar kampung yang mengenal dengan baik si mati juga
turut mengambil bagian di dalam ritus kematian tersebut. Kehadiran orang-orang
sebagaimana telah disebutkan merupakan bentuk ungkapan cinta kepada orang
yang telah meninggal, di samping untuk menghibur anggota keluarga yang sedang
berduka. Meskipun ia telah meninggal, namun cinta mereka tidak akan berakhir
dengan peristiwa kematian itu. Demikianpun kematian tidak dapat memutuskan
46 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 47 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
42
begitu saja tali persaudaraan di antara mereka sebagai satu anggota keluarga.
Selain itu, alasan lain yang mendasari keterlibatan pihak-pihak yang telah
disebutkan itu di dalam pelaksanaan ritus kematian adalah keyakinan akan adanya
murka dari orang mati jika anggota keluarga dan para sahabat kenalannya secara
sengaja tidak turut hadir di dalam ritus tersebut. Mereka juga hadir untuk
menyaksikan perpisahan secara resmi hubungan antara orang yang meninggal
dengan yang masih hidup. Perpisahan tersebut diwujudnyatakan melalui
pelaksanaan ritus-ritus kematian.48
3.1.5 Tahapan-Tahapan Ritus
Masyarakat suku Embu Leja mengenal tiga tahap pelaksanaan ritus
kematian, yakni ritus sebelum penguburan, ritus saat penguburan, dan ritus sesudah
penguburan.
3.1.5.1 Ritus sebelum Penguburan
3.1.5.1.1 Bom Minya Tana
Secara harafiah, Bom Minya Tana berasal dari kata Bom yang berarti
‘bunyi atau suara yang terdengar seperti bunyi ledakan bom’; dan Minya Tana
yang berarti ‘minyak tanah’. Bom Minya Tana berarti bunyi yang dihasilkan oleh
meriam bambu dengan menggunakan bahan minyak tanah. Ritus ini dilakukan
sesaat sesudah seseorang dinyatakan telah meninggal dunia. Meriam bambu
tersebut dibuat oleh keluarga duka yang mengalami peristiwa kematian. Bom
Minya Tana merupakan cara keluarga duka mengumumkan atau menyampaikan
informasi kematian kepada seluruh masyarakat adat. Bunyi yang dihasilkan oleh
meriam bambu tersebut merupakan sarana yang digunakan untuk menyampaikan
informasi bahwa seseorang baru saja meninggal dunia.49
Ritus Bom Miya Tana dijalankan oleh salah seorang laki-laki dewasa dari
keluarga duka. Laki-laki dewasa tersebut akan membuat sebuah meriam bambu
berukuran sedang dengan panjang sekurang-kurangnya 1,5 meter. Meriam bambu
48 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 49 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
43
tersebut kemudian akan ditempatkan di suatu tempat yang cukup tinggi di sekitar
rumah duka. Penempatan meriam bambu dengan posisi demikian bertujuan agar
ketika meriam bambu itu dibunyikan, suara yang dihasilkan mampu menjangkau
seluruh kampung. Setelah meletakkan meriam bambu pada posisi yang cukup
strategis, meriam bambu itu akan dibunyikan berulang-ulang kali. Suara ledakan
yang berulang-ulang dan menggaung ke segala arah mata angin hingga mencapai
telinga para penghuni kampung akan menjadi tanda bahwa seseorang dari keluarga
tertentu di dalam kampung bersangkutan telah meninggal dunia. Sebagai bentuk
tanggapan atas bunyi meriam bambu tersebut, secara spontan setiap orang yang
mendengarnya akan berkata: Latu ata mata, kami wi ghena wurumana (“Ada
orang yang meninggal, kami turut berdukacita”). Di samping itu, Bom Minya Tana
turut memengaruhi suasana kampung di mana kampung seketika menjadi hening.
Bersamaan dengan itu, segenap masyarakat adat perlahan-lahan meninggalkan
segala aktivitas yang sedang dilakukan, terutama aktivitas-aktivitas yang bernuansa
gembira, dan menyiapkan diri untuk bergegas menuju rumah duka guna
mengambil bagian di dalam kedukaan yang sedang dialami oleh keluarga dari
pihak yang meninggal dunia.50
Pada zaman dahulu, ada mitos di dalam masyarakat suku Embu Leja yang
mengungkapkan bahwa Bom Minya Tana tidak hanya berguna sebagai sarana
untuk menyampaikan informasi duka atau kematian, melainkan juga diyakini
sebagai sarana untuk mengantar jiwa orang yang telah meninggal keluar untuk
sementara waktu dari raganya dan berkeliaran bebas sambil menanti pelaksanaan
ritus Poru Joka (ritus mengantar jiwa orang yang meninggal untuk bersatu dengan
para leluhur di danau Kelimutu). Selain itu, ritus Bom Minya Tana memiliki makna
sebagai sarana untuk menyadarkan masyarakat suku Embu Leja agar membangun
sikap toleransi, simpati, dan empati dengan keluarga yang berduka dan sebagai
bentuk penghormatan kepada orang yang meninggal dunia.51
50 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 51 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
44
3.1.5.1.2 Wurumana
Wurumana secara harafiah berarti ‘saling menghubungkan’. Wurumana,
dalam hubungannya dengan ritus kematian, memiliki makna sebagai tolong-
menolong di antara sesama manusia. Ritus ini dilaksanakan sesudah jenazah
dinyatakan telah meninggal dunia dan sebelum jenazah tersebut dikebumikan.
Ritus Wurumana ini lahir berdasarkan pesan leluhur yang dikenal dengan
Wuamesu52, yaitu sikap berbelaskasih atau empati dari seseorang terhadap orang
yang meninggal dan cara seseorang menunjukkan kepeduliannya kepada keluarga
yang mengalami kedukaan. Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa orang
yang meninggal akan melihat apa yang dilakukan masyarakat suku Embu Leja
terhadap dirinya dan terhadap sesama manusia yang mengalami peristiwa
kematian. Hal ini secara tersirat terungkap di dalam kalimat ini: Du’a kami nira
neni tolo tei miu, nira neni tolo tei (“Kami, para leluhur, akan melihat perjalanan
hidupmu, memantau tingkah lakumu dari tempat tinggal kami”). Berhadapan
dengan hal ini, masyarakat suku Embu Leja cenderung merasa takut apabila
mereka mengabaikan pesan para leluhur, sebab pengabaian terhadap wasiat leluhur
tersebut akan mendatangkan malapetaka. Oleh karena itu, mereka wajib
menjalankan ritus Wurumana bagi orang yang meninggal dan bagi keluarga duka
yang sedang mengalami peristiwa kematian. Dengan demikian, ritus Wurumana
tidak lain merupakan aksi nyata Wuamesu masyarakat suku Embu Leja saat
berhadapan dengan suatu peristiwa kematian.53
Ritus Wurumana dilaksanakan sesudah ritus Bom Minya Tana, di mana
masing-masing keluarga akan datang ke rumah duka sembari membawa
sumbangan-sumbangan tertentu berupa kopi, beras, gula pasir, atau ceritera-
ceritera yang menghibur. Bagi keluarga yang masih memiliki hubungan darah
dengan orang yang meninggal (hubungan “darah dekat”), yakni yang memiliki
status sebagai Nara (saudara), diwajibkan membawa sumbangan berupa kain (Ragi
52 Wuamesu merupakan prinsip moral yang mengandung makna belas kasih atau cinta kasih. Dalam
hidup sehari-hari, masyarakat selalu mengingat prinsip moral ini, yang secara lengkap tercermin di
dalam ungkapan: Wuamesu no’o ana embu, aji ka’e, tuka bela, atamai (Berbelaskasih terhadap
keturunan nenek moyang, kakak dan adik, keluarga besar, dan setiap orang yang membutuhkan
bantuan). Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 53 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
45
atau Lawo) dan beras. Sementara itu, anggota keluarga yang memiliki status
sebagai Weta (saudari) akan membawa sumbangan berupa uang dan seekor babi
(Doi Eko). Selain itu, masyarakat yang tidak termasuk di dalam rumpun keluarga
inti namun masih memiliki hubungan “darah jauh” dengan keluarga duka dapat
memberi sumbangan materi berupa kopi, gula pasir, atau beras, namun bisa juga
sumbangan non materi seperti membantu memasak, menggali kubur, ikut
mendoakan arwah yang telah meninggal, dan berjaga bersama keluarga duka
selama masa perkabungan.54
Dengan demikian, pelaksanaan ritus Wurumana merupakan bentuk
ungkapan solidaritas dari pihak keluarga yang masih memiliki hubungan “darah
dekat” maupun masyarakat adat secara keseluruhan terhadap orang yang
meninggal dan keluarga yang berduka. Solidaritas tersebut memungkinkan
manusia dapat terhindar dari marabahaya yang diciptakan oleh arwah orang yang
telah meninggal. Di samping itu keluarga yang berduka akan mendapatkan
peneguhan dan kekuatan dari segenap masyarakat adat.
3.1.5.1.3 Rio Ata Mata
Kata Rio berarti ‘mandi atau memandikan’, dan Ata Mata berarti ‘orang
mati, orang yang meninggal, atau jenazah’. Jadi, Rio Ata Mata adalah ritus
memandikan orang mati atau jenazah. Ritus ini dilakukan bersamaan dengan
pelaksanaan ritus Wurumana. Ketika orang-orang di sekitar, baik masyarakat
maupun keluarga besar yang berduka, datang ke rumah duka untuk membantu
menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan menjelang pemakaman (ritus
Wurumana), pihak keluarga yang bertugas untuk menjalankan ritus Rio Ata Mata
dapat memulai melaksanakan ritus ini. Yang bertugas untuk memandikan jenazah
adalah orang yang dipilih secara khusus dari kalangan anggota keluarga, yang
semasa hidupnya dinilai sangat dekat dengan orang yang meninggal. Biasanya,
orang tersebut adalah anak perempuan atau saudari perempuan dari orang yang
meninggal (Ata Tau Rio).55 Hal ini mengandaikan bahwa orang mati tersebut
54 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 55 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
46
meninggal di rumahnya sendiri. Apabila orang mati itu meninggal di Puskesamas
atau di Rumah Sakit, maka yang bertugas memandikan jenazah adalah petugas
rumah sakit dengan didampingi oleh beberapa orang yang dipilih dari kalangan
anggota keluarga.56
Proses memandikan jenazah yang terjadi di rumah membutuhkan
perlengkapan-perlengkapan berupa air secukupnya, sabun mandi, shampoo, pasta
gigi, dan sehelai kain untuk membersihkan tubuh jenazah. Setelah semua
perlengkapan yang dibutuhkan tersebut sudah disediakan, Ata Tau Rio yang
merawat jenazah selama masih hidupnya akan mengucapkan bahasa adat yang
mengungkapkan sikap hormat pada jenazah demikian: Mae wora kami, kami to
gati kota kau tau rio (Jangan marah kami, kami ingin membuka pakaianmu untuk
memandikanmu”).57 Selanjutnya, pakaian yang dipakai oleh jenazah akan
dilepaskan satu persatu. Sesudah itu, secarik kain direndam di dalam ember yang
telah berisi air sabun. Seluruh badan jenazah lalu dimandikan sebagaimana cara
memandikan orang yang masih hidup. Pada awalnya, Ata Tau Rio mulai
membasahi kepala jenazah. Rambut jenazah dicuci dengan shampoo, mukanya
diberi sabun dan giginya disikat hingga bersih. Setelah bagian kepala jenazah
selesai, dilanjutkan dengan bagian tubuh jenazah yang disabuni dari leher hingga
kaki. Kemudian, jenazah akan dibilas dengan air bersih dan dikeringkan dengan
kain yang sudah disediakan. Jenazah yang telah selesai dimandikan tersebut
didadani sedemikian rupa dengan memakaikan pakaian adat yang bagus untuk
selanjutnya dibaringkan di sebuah tempat tidur yang disebut Kole Ata Mata
(tempat tidur).58
Ritus Rio Ata Mata ini memiliki makna tersendiri. Menurut kepercayaan
masyarakat suku Embu Leja, ritus Rio Ata Mata pada dasarnya merupakan
sebentuk kenangan akan masa-masa hidup orang yang meninggal, seperti halnya
mengenangkan saat-saat di mana orangtua memandikan anak-anak. Selain itu, ritus
Rio Ata Mata juga berfungsi membersihkan atau membebaskan orang yang
56 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 57 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 58 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
47
meninggal dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap
sesamanya. Sebagai contoh, jika semasa hidup orang yang meninggal belum
berdamai dengan sesamanya maka ritus Rio Ata Mata dapat dijadikan sebagai
sarana untuk membuka pintu perdamaian tersebut. Bagaimanapun juga, orang yang
meninggal harus bersih dari hal-hal duniawi yang diyakini masih melekat erat pada
dirinya, sehingga ia dianggap layak untuk bersatu dengan para leluhur yang
bersemayam di Kelimutu.59 Dengan demikian, secara singkat dapat digarisbawahi
bahwa makna yang tersirat di balik pelaksanaan ritus Rio Ata Mata adalah sebagai
ungkapan kenangan akan hidup orang yang meninggal dan sarana pertobatan agar
jiwa orang yang meninggal dibersihkan sehingga dapat mencapai kehidupan yang
layak bersama para leluhur di Kelimutu.
3.1.5.1.4 Kole Ata Mata
Kata Kole berarti ‘tempat tidur’. Ritus Kole Ata Mata berarti ritus
membaringkan jenazah untuk sementara waktu pada tempat tidur sebelum akhirnya
jenazah dimasukkan ke dalam peti jenazah. Jenazah yang sudah dimandikan
melalui ritus Rio Ata Mata, selanjutnya akan dibaringkan pada sebuah tempat tidur
yang sudah disediakan pihak keluarga duka. Hal ini mengandaikan bahwa peti
jenazah belum disediakan di rumah duka, karena itu jenazah harus terlebih dahulu
dibaringkan untuk sementara waktu di atas tempat tidur yang telah disediakan
secara khusus. Namun, jika peti sudah dipersiapkan dengan baik maka jenazah bisa
langsung dimasukkan ke dalam peti tersebut dan diletakkan di atas Kole Ata Mata.
Pada zaman dahulu, jenazah biasanya hanya diletakkan di atas tikar. Kemudian
pada bagian kepala dan kaki jenazah diletakkan masing-masing sebuah batu. Batu-
batu yang diletakkan tersebut berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh
jenazah: tidak lebih tinggi atau lebih pendek dari keadaan tubuh yang sebenarnya.
Namun, pemanfaatan tikar dan batu sebagai media untuk membaringkan jenazah
tersebut pada masa kini sudah tidak lagi dilakukan.60
59 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 60 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
48
Pada saat melakukan ritus Kole Ata Mata, keluarga berduka perlu
memperhatikan posisi kepala dan kaki jenazah. Posisi kepala jenazah di dalam peti
mesti diletakkan di bagian timur dan kaki jenazah di bagian barat. Penempatan
posisi jenazah dengan menjurus pada arah mata angin tertentu ini dibarengi oleh
keyakinan masyarakat suku Embu Leja bahwa arah timur merupakan saat matahari
terbit yang diibaratkan dengan kelahiran seorang manusia, sedangkan arah barat
merupakan saat matahari terbenam yang diibaratkan dengan kematian seorang
manusia.61 Bersamaan dengan penempatan jenazah ke dalam peti jenazah, salah
satu anggota keluarga berduka akan berkata: Miu mulu kami ndu, miu dheko kami
jejo (“Kamu jalan lebih dahulu, kami akan ikut, kamu ikut, kami taat”).62 Kalimat
yang disabdakan ini merupakan ungkapan keyakinan bahwa setiap manusia pasti
akan meninggal dunia dan akan berkumpul bersama para leluhur.
Berdasarkan uraian-uraian ini dapat ditemukan bahwa rius Kole Ata Mata
sesungguhnya mengingatkan manusia akan dua realitas dari hidup, yakni kelahiran
dan kematian. Kelahiran merupakan suatu realitas terberi dari yang Ilahi yang
layak disyukuri dan dihidupi dengan melakukan sebanyak mungkin kebaikan bagi
sesama. Kebaikan-kebaikan itu berdayaguna sebagai penjamin bagi kebahagiaan
hidup di dunia akhirat. Sementara itu, kematian adalah realitas yang pasti, yang
akan dialami oleh setiap orang. Berhadapan dengan kematian, setiap manusia
dituntut untuk menerimanya dengan lapang dada tanpa mesti terlampau larut di
dalam kedukaan yang berkepanjangan.
3.1.5.1.5 Nosi Mbe’o Pu’u Kamu
Nosi berarti ‘menyampaikan’; Mbe’o berarti ‘tahu’, dan Pu’u Kamu berarti
‘laki-laki pertama atau tertua’. Jadi, Nosi Mbe’eo Pu’u kamu berarti penyampaian
berita kematian kepada laki-laki tertua atau saudara sulung. Ketika seseorang
meninggal dunia dan sesudah melewati tahapan ritus Kole Ata Mata, pihak
keluarga akan bergegas mencari Pu’u Kamu untuk menyampaikan berita duka.
Penyampaian berita kematian oleh pihak keluarga duka kepada Pu’u Kamu
61 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 62 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
49
merupakan sesuatu yang wajib dijalankan, sebab Pu’u Kamu memiliki peran yang
sangat penting untuk pelaksanaan seluruh ritus kematian. Informasi kematian kaum
keluarga yang sudah diterima oleh Pu’u Kamu selanjutnya akan diteruskan kepada
setiap anggota keluarga besar yang ada di Tendawena serta keluarga lainnya di
mana saja mereka berada. Keluarga besar yang dimaksudkan adalah keluarga yang
memiliki hubungan “darah dekat”, entah karena faktor keturunan maupun relasi
perkawinan. Pada masa kini, penyampaian informasi kematian bagi anggota
keluarga lain yang bertempat tinggal jauh dari Tendawena dikomunikasikan oleh
Pu’u Kamu melalui telepon selular (handphone).63
Isi berita duka yang disampaikan Pu’u Kamu mengandung ajakan agar
segenap anggota keluarga dapat terlibat aktif melakukan Wurumana, berjaga
bersama jenazah sembari menghibur keluarga yang berduka, dan berkumpul
membicarakan hal-hal yang diperlukan untuk proses pelaksanaan ritus-ritus
kematian. Informasi duka yang disampaikan oleh Pu’u Kamu sebagai berikut:64
Aku Ata Pu’u, Saya sebagai saudara sulung
nosi miu, menyampaikan kepada kalian
kita latu ata mata. bahwa salah seorang anggota
keluarga kita telah meninggal dunia.
Ia, Du’a Ngga’ȇ, pai kita ata, Ia, Du’a Ngga’ȇ, telah memanggil dia
kai so mbana mera embu mamo. untuk bersatu bersama-Nya
dan para leluhur.
Aku si pai miu, Saya datang menemui kalian,
kita wi ghéna Wuruwana, untuk menghadiri acara Wuruwana,
mai si kita mbana leka mari datanglah,
sa’o tu mera no kami. hadirlah bersama kami.
Ritus Nosi Mbe’o Pu’u Kamu memiliki makna bahwa kematian manusia
merupakan kehendak Ia atau Du’a Ngga’ȇ. Hal ini secara nyata tampak di dalam
isi informasi yang disampaikan oleh Pu’u Kamu kepada segenap anggota keluarga
dari orang yang meninggal.
63 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 64 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.
50
3.1.5.1.6 Dheta Ghomo
Dheta berarti ‘melukai atau menandai tanah’ dan Ghomo berarti ‘lubang
atau kubur’. Dheta Ghomo adalah tindakan melukai atau menandai tanah untuk
dijadikan sebagai tempat jenazah dimakamkan. Dengan kata lain, sebelum tanah
digali oleh kaum kerabat yang lain untuk dijadikan sebagai kubur, tanah tersebut
terlebih dahulu ditandai. Orang yang berhak melakukan Dheta Ghomo adalah Pu’u
Kamu. Sebelum kehadiran Pu’u Kamu di rumah duka, ritus Dheta Ghomo belum
bisa dilaksanakan, sekalipun jenazah telah diletakkan pada Kole Ata Mata. Dari
situasi ini dapat dipahami bahwa Pu’u Kamu memiliki peran yang sangat penting,
tidak hanya dalam ritus Dheta Ghoma tetapi juga di dalam sebagian besar ritus
kematian yang dijalankan. Bahwasanya tanpa kehadiran Pu’u Kamu jenazah tidak
dapat dimakamkan dan ritus-ritus kematian tidak dapat dijalankan secara baik dan
selaras adat yang berlaku. Oleh karena itu, Pu’u Kamu sangat dihormati oleh pihak
keluarga duka karena Pu’u Kamu adalah tokoh sentral bagi pelaksanaan ritus-ritus
kematian.65
Pu’u Kamu juga memiliki kewajiban untuk mempersiapkan hal-hal yang
diperlukan untuk diberikan kepada orang yang meninggal dan keluarga duka. Hal-
hal dimaksud berupa sepasang baju yang masih baru, gula yang secukupnya, beras,
dan kain adat (Lawo atau Ragi). Saat berada di rumah duka, Pu’ u Kamu akan
memberikan kain adat yang terbaik berdasarkan jenis kelamin dari orang yang
meninggal. Apabila orang yang meninggal adalah seorang laki-laki maka Pu’u
Kamu akan memberikan Ragi, sebaliknya jika orang yang meninggal adalah
seorang perempuan maka Pu’u Kamu akan memberikan Lawo. Pemberian barang-
barang ini merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terakhir kepada
orang yang meninggal.66
Selanjunya, ketika Pu’u Kamu berada di depan jenazah, ia akan
menundukkan kepala sebagai sikap hormat, kemudian ia akan menyampaikan
bahasa adat demikian: Mbana mae salah jala, leta ma’e sala wolo mera ke’e no
Embu-Mamo pawe (“Pergilah melalui jalan yang benar dan pantas, tinggallah
65 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 66 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.
51
bersama para leluhur dengan mulia”), sembari meletakkan sepasang baju dan kain
adat di samping peti jenazah. Pada saat itu, Pu’u Kamu juga akan menyerahkan
barang bawaan lain berupa beras dan gula kepada pihak yang berduka untuk
menambah kebutuhan konsumsi. Sesudah itu, Pu’u Kamu akan menanyakan
kepada pihak keluarga duka mengenai penentuan tempat penguburan jenazah.
Penentuan tempat tersebut sangat bergantung dari wasiat jenazah. Jika jenazah
menginginkan agar dirinya dikuburkan di halaman sekitar rumah maka proses
Dheta Ghomo akan terjadi di sekitar halaman rumah. Namun, apabila jenazah
menghendaki agar dirinya dikuburkan di pekuburan keluarga suku maka ritus
Dheta Ghomo akan dibuat di pekuburan keluarga suku.67
Berdasarkan wasiat jenazah, Pu’u Kamu kemudian beranjak menuju tempat
yang telah diwasiatkan dan menandai tanah yang akan dijadikan sebagai kubur.
Sebelum melukai tanah, Pu’u Kamu menyerukan ungkapan adat yang sama
sebagaimana ketika ia berada di hadapan jenazah. Kemudian, Pu’u Kamu akan
melukai tanah dengan tangannya sambil berkata: “Ko’e si ghomo!” (“Silakan
menggali!”). Kalimat terakhir ini merupakan perintah bagi orang-orang yang
bertugas menggali lubang kubur (Ata Ko’e Ghomo) sebagai tempat peristirahatan
terakhir bagi jenazah. Ritus Dheta Ghomo yang dilaksanakan berdasarkan wasiat
orang yang meninggal ini dimaksudkan untuk ketentraman dan kebahagiaan hidup
orang yang telah meninggal di tempat tinggalnya yang baru.68
3.1.5.1.7 Ko’e Ghomo
Ko’e berarti ‘menggali’ dan Ghomo berarti ‘lubang kubur’. Ko’e Ghomo
berarti menggali lubang kubur. Ritus Ko’e Ghomo ini dilakukan atas perintah Pu’u
Kamu. Selain memerintahkan pelaksanaan ritus Ko’e Ghomo, Pu’u Kamu juga
memerintahkan beberapa anggota keluarga untuk menyembelih hewan berupa babi
atau anjing yang selanjutnya akan dimasak untuk diberikan kepada para pelayat
yang hadir. Penyembelihan hewan ini dilakukan tanpa doa-doa khusus. Sementara
itu, hewan-hewan yang sudah dimasak akan dimakan bersama-sama anggota
67 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 68 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.
52
keluarga duka dan para pelayat yang hadir sebelum jenazah dikuburkan. Simpul
kata, ritus Ko’e Ghomo dilakukan berbarengan dengan penyembelihan hewan
kurban tersebut. Jadi, ada anggota keluarga yang ditugaskan secara khusus untuk
menyembelih hewan kurban, sedangkan yang lainnya diminta untuk melaksanakan
ritus Ko’e Ghomo.69
Sebelum Ko’e Ghomo dijalankan, Ata Ko’e Ghomo (orang yang bertugas
menggali lubang kubur) harus terlebih dahulu masuk ke rumah duka guna
melaksanakan penghormatan terhadap jenazah. Masyarakat suku Embu Leja
meyakini bahwa penghormatan kepada jenazah ini perlu dilakukan oleh Ata Ko’e
Ghomo agar proses penggalian kubur dapat berjalan dengan baik; tidak mengalami
kecelakaan, hambatan, atau gangguan yang berasal dari arwah orang yang
meninggal seperti mendapat luka pada kaki saat menggali kubur, badan yang
merinding. Ata Ko’e Ghomo akan membentuk liang kubur sesuai dengan ukuran
tubuh jenazah. Pada zaman dahulu, penggalian kubur ini biasanya menggunakan
Su’a Au (potongan bambu yang ujungnya tajam). Akan tetapi saat sekarang
penggunan Su’a Au tidak dipakai lagi, di mana penggalian kubur sudah
mengunakan alat-alat yang lebih modern seperti pacul, linggis, dan sekop.70
Makna dari ritus ini adalah membuat tempat tinggal yang pantas dan layak
bagi orang yang meninggal demi menciptakan kenyamanan dan ketentraman di
tempat tinggalnya yang baru. Jadi, secara singkat makna dari dari ritus ini adalah
sebagai ungkapan kepercayaan bahwa setelah kematian manusia memiliki tempat
di dunia ini dan tempat di dunia yang baru. Tubuh akan hancur menjadi tanah,
sedangkan jiwa akan berziarah menuju suatu tempat tinggal yang baru yang sudah
terlebih dahulu dihuni oleh para leluhur.
3.1.5.2 Ritus saat Penguburan
3.1.5.2.1 Pati Ka Ata Mata No Embu Mamo
Pati berarti ‘memberi’, Ka berarti makan, No berarti ‘dengan atau dan’, Ata
Mata berarti “orang mati’, dan Embu Mamo berarti ‘leluhur’. Jadi, Pati Ka Ata
69 Hasil wawancara dengan Piter Tage Saka, tokoh masyarakat Tendawena, pada tanggal 27
Desember 2019 di Tendawena. 70 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.
53
Mata No Embu Mamo berarti memberi makan (sesajian) kepada orang yang
meninggal dan leluhur oleh pihak keluarga. Ritus ini dilakukan pagi atau siang
hari, sebelum jenazah diarak ke pekuburan. Pati Ka Ata Mata No Embu Mamo ini
dilakukan oleh Pu’u Kamu didampingi oleh salah seorang dari angota keluarga
inti. Biasanya, pemberian makan kepada orang yang meninggal dan leluhur
memerlukan bahan-bahan yang disediakan keluarga duka berupa dua piring nasi di
mana masing-masing piring dilengkapi dengan lauk berupa daging ayam, Moke,
segelas air putih atau kopi. Pu’u Kamu akan meminta pendampingnya meletakkan
dua piring nasi yang sudah disediakan di samping peti jenazah. Piring pertama bagi
orang yang meninggal diletakkan di sebelah kiri, tepatnya di sisi kepala dari peti
jenazah. Sedangkan piring kedua diletakkan di sebelah kanan, tepatnya di sisi
kepala dari peti jenazah. Masyarakat suku Embu Leja percaya bahwa peletakan
piring yang berisi makanan di bagian kiri dan bagian kanan mengandung arti
tersendiri. Bagian kiri menunjukkan bahwa orang yang baru meninggal belum
bersatu secara utuh dengan para leluhur, sedangkan bagian kanan merupakan
simbol bagi tempat berdiamnya para leluhur yang aman dan damai di Kelimutu.
Setelah meletakkan kedua piring tersebut masing-masing pada tempatnya, Pu’u
Kamu akan mengundang arwah orang yang meninggal dan para leluhur untuk
datang menikmati sesajian melalui doa adat berikut:71
Embu mamo lau Sa’o Ria Para leluhur (laki-laki
dan perempuan) di rumah adat.
Babo mamo lau Seso Para leluhur (laki-laki dan
perempuan) di kampung Seso
Babo mamo lau Kolorasi Para leluhur (laki-laki dan
perempuan) di kampung Kolorasi
Kami wi pesa manu kami sudah memotong ayam
miu pati Ia: Du’a ghéta lulu wula kamu beri kepada Ia yang langit
tu pati Ia: Nggae’é ghalé dan juga kepada Ngga’é
wena tana yang berdiam di bumi
nosi Ia: du’a ghéta lulu wula sampaikan pada Ia yang di langit
simo ata mata kita terimalah keluarga kami
yang meninggal
ata tau sare pawe jadikanlah ia mulia
gare Nggae’é ghalé wena tana sampaikanlah kepada Ngga’é
71 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.
54
tau ata mata bhe’ni sawe terimalah keluarga yang meninggal
jadikanlah ia layak
Kami ta’u miu ngere nipa ria kami takut pada kalian (para leluhur
atau arwah) yang tampak seperti ular
yang besar
Mio tipo kami ngere nio, kamu (para leluhur dan arwah)
menjaga kami seperti pohon kelapa
Pama kami ngere naka kamu menjaga kami
seperti menjaga buah nangka
Kami rina ma’e pati susa Kami mohon jangan datangkan
kesusahan
Kami rina raki re’e e kami mohon bersihkan dari segala
yang kotor
taka du raka da lau ma’u segala yang jahat dibuang jauh
ke dasar laut
Kami rina kema ghéna dhawé sai Kami mohon semoga selalu sukses
dalam setiap pekerjaan
Tau kami ile ma’e nggedhu Kepala kami tidak sakit
nggewe mae baja tidak putus asa
kipo pama sekami lindungilah kami selalu
we kami tua’ ngere su’a agar kami kuat seperti baja
maku ngere watu keras seperti batu
we kami ria tau gare nia tetap berdiri kokoh
bewa tau pase la’e. untuk senantiasa menjaga
warisan leluhur.
Pati Ka Ata Mata No Embu Mamo wajib dilakukan masyarakat suku Embu
Leja karena mereka meyakini bahwa kematian merupakan sebuah perjalanan yang
panjang bagi jiwa orang yang meninggal menuju dunia para leluhur. Karena itu,
orang yang baru meninggal membutuhkan bekal yang cukup agar tidak kelaparan
dan haus dalam ziarahnya menuju dunia para leluhur yang bersemayam di
Kelimutu. Di samping itu, masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa orang
yang baru meninggal belum seutuhnya bersih dari segala kesalahan dan dosa.
Maka doa adat yang diucapkan oleh Pu’u Kamu juga sekaligus bertujuan untuk
menyampaikan permohonan kepada Ia Du’a ghéta lulu wula, Ia: Nggae’é ghalé
Wena Tana agar orang yang meninggal dibersihkan dari kesalahan dan dosa
sehingga ia pun pantas hidup bersama para leluhur. Orang yang meninggal yang
telah mencapai Kelimutu diyakini sebagai perantara, yang berfungsi
menyampaikan permohonan dari orang-orang yang masih hidup kepada para
leluhur. Hal ini secara jelas tampak di dalam cara meletakkan sesajian, di mana
55
Pu’u Kamu tidak meletakkan sesajian pada satu tempat saja melainkan masing-
masing sajian diletakkan secara terpisah.72
Mencermati tata cara ritus yang dijalankan maka ritus Pati Ka Ata Mata No
Embu Mamo adalah ritus yang dijalankan untuk menghantar persembahan dan
mengajukan permohonan kepada para leluhur agar jiwa orang yang meninggal
dapat dibebaskan dan dibersihkan dari kesalahan dan dosa. Dengan itu, ia
dilayakkan untuk masuk ke dalam persekutuan hidup dengan para leluhur dan
Wujud Tertinggi (Ia, Du’a Ghéta Lulu Wula, Ngga’é Ghalé Wena Tana). Selain
itu, melalui pelaksanaan ritus ini, masyarakat suku Embu Leja juga turut
disadarkan bahwa orang yang meninggal memiliki peran penting bagi orang-orang
yang masih hidup, terutama bagi kalangan keluarga, yaitu sebagai perantara bagi
segala bentuk permohonan yang diajukan kepada leluhur dan Wujud Tertinggi,
agar leluhur dan Wujud Tertinggi dapat menjaga dan melindungi manusia serta
memberi berkah bagi kelangsungan hidup manusia di bumi.
3.1.5.2.2 Joru
Joru berarti ‘tunduk terhadap suatu benda yang berada di atas kepala atau
di hadapan wajah’. Namun, Joru dalam dalam hubungannya dengan kematian
dimaknai sebagai tindakan manusia menundukkan kepala terhadap peti jenazah
yang sedang diusung. Joru dilakukan pada saat peti jenazah hendak diusung ke
luar rumah untuk proses penguburan (Lo Ata Mata Ghole Ghomo).73 Ritus ini
terjadi di dalam rumah duka di mana Pu’u Kamu akan memilih beberapa laki-laki
dewasa yang berasal dari kalangan keluarga besar untuk mengusung peti jenazah
menuju Ghomo (kuburan). Ketika para pengusung berada tepat di depan pintu
rumah duka, Pu’u Kamu akan meminta para pengusung tersebut berhenti sejenak.
Peti jenazah lalu diminta oleh Pu’u Kamu untuk diangkat sedikit lebih tinggi
sembari mempersilakan segenap anggota keluarga besar yang berduka, sahabat,
atau kenalan untuk menundukkan kepala. Bersamaan dengan itu Pu’u Kamu
berseru: Mai si ka’e, azi, joru (“Saudara-saudari, marilah kita menundukkan
72 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 73 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
56
kepala”). Pada saat Joru, masing-masing segenap anggota keluarga dan pelayat
yang hadir akan mengungkapkan kalimat-kalimat yang berasal dari kedalaman hati
seperti: Kami taku no’o miu ma’e ganggu kami, mbana si miu, mbana molo-molo.
Mae pati kami susa, pama kami (“Kami takut dengan kalian, jangan ganggu kami,
pergilah kalian, jalan baik-baik, jangan datangkan kesusahan pada kami”).74
Tujuan utama dari pelaksanaan Joru adalah untuk menghormati jenazah.
Masyarakat suku Embu Leja percaya bahwa dangan tindakan Joru segala
kesalahan antara manusia yang hidup dengan orang yang meninggal dapat
dibersihkan dan didamaikan. Dengan kata lain, ritus Joru merupakan bentuk
tindakan saling memaafkan di antara orang yang meninggal dengan orang-orang
yang masih hidup (rekonsiliasi horizontal). Dengan dan melalui Joru, keselamatan
orang yang meninggal yang akan segera berziarah menuju Kelimutu untuk tinggal
dalam damai bersama para leluhur dapat dijamin. Selain itu, Joru juga merupakan
kesempatan bagi keluarga untuk memohon agar jiwa orang yang meninggal tidak
mengganggu kehidupan keluarga yang berduka, sahabat, dan kenalan, melainkan
senantiasa melindungi dan menjaga keluarga, sahabat, dan kenalan.75 Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa makna dari pelaksanaan ritus Joru adalah
untuk menghormati jenazah, sebagai kesempatan untuk rekonsiliasi, untuk
memohonkan kehidupan yang damai baik bagi orang yang meninggal maupun
orang-orang yang masih hidup.
3.1.5.2.3 Lo Ata Mata Ghole Ghomo
Lo berarti ‘menurunkan’, Ghole berarti ‘di dalam’. Maka, Lo Ata Mata
Ghole Ghomo berarti menurunkan peti jenazah ke dalam Ghomo (kubur). Lo Ata
Mata Ghole Ghomo dijalankan dengan mengikuti arahan dari Pu’u Kamu. Pu’ u
Kamu kamu akan meminta para pengusung peti jenazah agar perlu berhati-hati
dalam menurunkan peti jenazah ke dalam Ghomo (kubur). Selanjutnya, Pu’u Kamu
akan meminta seluruh masyarakat yang hadir untuk menghamburkan tanah dan
kuntum-kuntum bunga ke dalam liang kubur. Biasanya, bersamaan dengan ini
74 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 75 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.
57
keluarga duka akan meratapi orang yang meninggal (Nangi Ata Mata76) dengan
syair adat. Berikut ini adalah salah satu contoh Nangi Ata Mata saat orang tua
(Babo/Mamo) meninggal dunia.77
O babo/mamo kami longgo nggogo O, bapak/ibu kami anak-anak
belum sanggup
bhoko benge ngai ngura bertanggung jawab atas hidup kami
Ia, Du’a Ngga’é pai miu mbana Ia, Du’a Ngga’é telah
memanggil kalian
no embu mamo demikianpun dengan para leluhur
O babo/mamo kami no’o sai O bapak/ibu kini kami hidup sendiri
O babo/mamo mae pati susah O bapak/ibu jangan
memberi kesulitan
O babo/mamo pama kami O bapak/ibu jagalah kami selalu.
Sesudah itu, Pu’u Kamu akan menyampaikan kalimat perpisahan demikian:
Mbana ma’e salah jala leta ma’e salah wolo. Pama kami (“Pergilah, jangan
sampai salah jalan, jangan tersesat di dalam perjalanan. Lindungilah kami”). Liang
kubur akhirnya ditutup dengan dengan campuran semen.78
Masyarakat suku Embu Leja percaya bahwa Lo Ata Mata Ghole Ghomo
harus dilakukan dengan baik. Apabila Lo Ata Mata Ghole Ghomo tidak dilakukan
secara baik maka arwah orang yang meninggal akan menggangu seluruh
kehidupan anggota keluarga duka. Sebagai contoh saat tidur pada malam hari, jiwa
orang yang meninggal akan membuat tindakan yang menakutkan dengan
membunyikan perkakas rumah tangga atau langkah kaki di sekitar rumah tanpa
sosok yang kelihatan secara nyata. Sebaliknya, apabila Lo Ata Mata Ghole Ghomo
dilakukan dengan baik maka jiwa orang yang meninggal akan hidup dengan
76 Nangi Ata Mata merupakan wujud partisipasi, ungkapan dukacita, sekaligus memohon belas
kasihan dari Du’a Ngga’é dan para leluhur agar boleh menerima jiwa orang yang meninggal serta
memberi kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan. Nangi Ata Mata tidak hanya dilakukan pada
saat Lo Ata Mata Ghole Ghomo, tetapi juga saat seseorang diketahui meninggal dan selama masa
perkabungan. Dalam hal ini, jumlah orang yang menangis dan kapan waktunya untuk selesai
meratap tidak ada batasan. Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu
Leja dan tokoh adat Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 77 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 78 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.
58
tentram dan tidak menciptakan gangguan-gangguan tertentu bagi anggota
keluarga.79
3.1.5.3 Ritus sesudah Penguburan
3.1.5.3.1 Rasi Raki Re’e Ata Mata
Rasi berarti ‘mencuci’, Raki Re’e berarti ‘kotor, tidak bersih, rusak’. Rasi
Raki Re’e Ata Mata mengandung arti mencuci atau membersihkan hal-hal yang
kotor atau jahat. Pengaruh-pengaruh jahat yang dimaksudkan adalah pengaruh-
pengaruh yang dapat diciptakan oleh orang yang telah meninggal. Pembersihan ini
terutama ditujukan kepada Ata Ko’e Ghomo (orang-orang yang bertugas untuk
menggali liang kubur), peralatan-peralatan yang digunakan untuk menggali liang
kubur, dan seluruh masyarakat yang terlibat di dalam proses penguburan orang
mati.80
Ritus Rasi Raki Re’e Ata Mata ini dilakukan di tempat pemakaman sesudah
ritus Lo Ata Mata Ghole Ghomo, dengan pemimpin ritus yang disebut Ata Bhisa
Mali (dukun). Hal ini dibarengi oleh keyakinan masyarakat suku Embu Leja bahwa
hanya seorang Ata Bhisa Mali yang dapat mengusir pengaruh-pengaruh jahat dari
orang yang telah meninggal. Pada mulanya, Ata Bisa Mali akan mengambil
segenggam beras dan ember yang berisi air. Kemudian, ia mengarahkan
pandangan pada beras yang berada dalam gengamannya sambil mengucapkan doa
demikian:81
Re’e dau kene, Yang tidak baik harus dikuburkan,
mata dau tane. yang meninggal pun
harus dimakamkan.
Kau kami we’e tu lau pu’u, kami ingin mengantar kamu
lau leka mewu mesu modha mora, ke tempat asalmu,
lau nggoka joga joma, di hutan-hutan dan batu-batu,
leka ndere mele mare kau tinggallah bersama mereka.
temu sai walo.
79 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 80 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 81 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
59
Setelah selesai mendaraskan doa, Ata Bhisa Mali akan menaruh beras
dalam ember yang berisi air dan meminta Ata Ko’e Ghomo membawa peralatan-
peralatan yang digunakan untuk menggali liang kubur menuju ember yang berisi
air. Ata Ko’e Ghomo lalu membasahi wajah dan tangan beserta peralatan-peralatan
tersebut. Selanjutnya, Ata Bhisa Mali mempersilakan masyarakat yang hadir untuk
membasuh wajah dan tangan mereka sebagaimana yang dilakukan Ata Ko’e
Ghomo.82
Dengan melaksanakan ritus Rasi Raki Re’e Ata Mata, masyarakat suku
Embu Leja percaya bahwa diri Ata Ko’e Ghomo beserta peralatan-peralatan yang
digunakan untuk menggali kubur bebas dari malapetaka dan pengaruh-pengaruh
jahat yang dapat ditimbulkan oleh arwah orang yang meninggal, demikianpun
dengan seluruh masyarakat yang hadir di dalam upacara itu. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa ritus Rasi Raki Re’e Ata Mata mengandung makna
sebagai pembersihan diri manusia yang terlibat di dalam ritus penguburan beserta
peralatan-peralatan yang digunakan untuk proses itu dari pengaruh-pengaruh jahat
yang bisa jadi ditimbulkan oleh arwah orang yang meninggal, sehingga dengan itu
segala sesuatu yang berkaitan dengan penguburan orang mati dapat berjalan
dengan baik dan tidak berdampak buruk bagi kehidupan segenap masyarakat suku
Embu Leja di kemudian hari.
3.1.5.3.2 Ka Nggua Ata Mata
Ka berarti ‘makan’ dan Nggua berarti ‘memberi’. Jadi, Ka Nggua Ata Mata
berarti memberi makan. Ritus ini terjadi pada malam hari, sesudah hari
penguburan, yang bertempat di Kole Ata Mata. Pu’u Kamu akan mengajak segenap
anggota keluarga inti untuk menjalankan ritus ini, sedangkan anggota keluarga
yang lain tidak diperkenankan mengambil bagian di dalam ritus ini. Di dalam ritus
ini, anggota keluarga inti akan duduk bersama-sama dan menghabiskan makanan
yang disajikan secara khusus berupa nasi, daging, dan sayur-sayuran. Setiap orang
dari keluarga inti tersebut diwajibkan menghabiskan makanan yang sudah
disediakan. Setelah selesai menyantap makanan tersebut, piring yang digunakan
82 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.
60
pada waktu makan wajib ditutup dengan bagian permukaan piring mengarah ke
lantai rumah. Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa setelah jenazah
dikebumikan, arwahnya masih ada bersama dengan keluarga. Karena itu, ritus Ka
Nggua Ata Mata merupakan kesempatan makan terakhir antara anggota keluarga
inti dengan arwah yang diyakini masih hidup di antara mereka. Dengan kata lain,
di dalam perjamuan keluarga inti tersebut, arwah dari orang yang meninggal
diyakini turut hadir dan menikmati perjamuan itu bersama dengan mereka.83 Dari
sini dapat diketahui bahwa masyarakat suku Embu Leja percaya bahwa tubuh bisa
saja binasa dan hancur melebur bersama tanah, tetapi jiwa atau roh akan terus
hidup.
3.1.5.3.3 Poru Joka
Poru berarti ‘membersihkan’, dan Joka berarti ‘menolak’. Poru Joka
berarti membersihkan dan menolak hal-hal buruk yang dapat diciptakan oleh
arwah orang yang meninggal. Ritus Poru Joka ini dilakukan sehari sesudah
penguburan orang mati. Berdasarkan tempat dan waktu pelaksanaan, ritus Poru
Joka terdiri atas dua bagian, yakni ritus Poru Joka yang berlangsung di luar rumah
duka dan ritus Poru Joka yang dilaksanakan di dalam rumah duka. Ritus Poru
Joka yang berlangsung di luar rumah tepatnya dilaksanakan di sungai pada waktu
dini hari, sebelum matahari terbit, sekitar jam 4 (empat) dini hari. Sedangkan Poru
Joka yang terjadi di dalam rumah dilakukan pada waktu sore hari, sebelum
matahari terbenam, menjelang malam keempat sesudah penguburan orang mati.
Kedua jenis ritus Poru Joka ini dipimpin oleh Ata Bisa Mali.84 Berikut akan
dijabarkan secara terperinci mengenai proses kedua ritus dimaksud.
Pertama, ritus Poru Joka yang terjadi di luar rumah (di sungai). Pada
mulanya, Ata Bisa Mali dan anggota keluarga inti akan bangun pagi-pagi sekitar
jam 4-5 dan mempersipkan diri menuju ke sungai. Setibanya mereka di sungai, Ata
Bisa Mali akan melakukan ritual adat dengan mengeluarkan segenggam beras dan
daun Sule (daun berbentuk lebar yang tampak seperti daun pohon kemiri, di mana
83 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena. 84 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
61
aromanya diyakini dapat mengusir segala rupa roh jahat). Beras tersebut diletakkan
di atas daun Sule, lalu Ata Bisa Mali mengucapkan doa adat sebagai berikut:85
Raki re’e eo teka leka Yang tidak baik perlu dibersihkan
Tebo bere wa sai no ae Bersihkan tubuhmu dengan air
Eo taka du raka da lau ma’u. Yang tidak baik dibuang ke laut.
Setelah Ata Bisa Mali mengucapkan doa tersebut, daun Sule dan beras yang
telah didoakan diletakkan di atas aliran air sungai. Aliran air sungai itu diyakini
akan membawa daun Sule dan beras sebagai kurban kepada Nitu Ma’u yang berada
di laut. Sesudah itu, Ata Bisa Mali akan menyuruh seluruh anggota keluarga inti
untuk mandi di air sungai. Bersamaan dengan itu, salah seorang dari anggota
keluarga inti diminta untuk mandi menggunakan salah satu pakaian yang pernah
dikenakan oleh kerabatnya yang meninggal. Sesudah mandi, semua orang yang
datang ke tempat di mana ritus itu diadakan akan kembali ke rumah. Dalam
perjalanan pulang, setiap orang dilarang menoleh ke belakang hingga tiba di
rumah. Setibanya mereka di rumah, kaum keluarga yang sebelumnya mandi
dengan mengunakan pakaian milik orang mati akan menggantinya dengan pakaian
yang diberikan oleh Pu’u Kamu untuk orang yang meninggal. Proses ini
berlangsung di luar rumah duka. Pakaian yang masih basah kemudian dilemparkan
ke atas atap rumah dengan tujuan untuk mengusir pengaruh-pengaruh tidak baik
dari arwah orang yang meninggal.86
Kedua, ritus Poru Joka yang terjadi di dalam rumah duka. Ritus ini
berlangsung pada waktu sore hari, sebelum matahari terbenam, dan menjelang
malam keempat. Pada awalnya, Ata Bisa Mali akan masuk ke dalam rumah duka
dan duduk bersama dengan segenap anggota keluarga inti sembari meminta
keluarga mempersiapkan bahan-bahan demi pelaksanaan ritus ini. Bahan-bahan
yang disiapkan adalah minyak kelapa murni yang sudah dimasak, ayam berukuran
kecil, air, beras dan daun Loge Fe’a (daun gelaga). Sesudah semua bahan yang
diperlukan disediakan, Ata bisa Mali akan membunuh ayam dengan mematahkan
mulut ayam, sayap, dan kaki ayam, mengambil isi dalam perut dengan
85 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 86 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
62
menggunakan tangan. Proses ini berlangsung di Kole Ata Mata. Kemudian, Ata
Bisa Mali meletakkan bagian-bagian tubuh ayam tersebut pada Kaka, yaitu wadah
yang terbuat dari anyaman lontar sebagai tempat untuk meletakkan bagian-bagian
tubuh ayam. Kaka ini sebelumnya sudah diletakkan tepat di bawah kaki Ata Bisa
Mali. Selanjutnya, Ata Bisa Mali mengambil beras dan daun Loge Fe’a lalu
mencelupkannya ke dalam ember yang berisi air. Setelah itu, minyak kelapa murni,
Kaka, dan ember (yang berisi beras dan Loge Fe’a) dikumpulkan pada satu tempat,
dan Ata Bisa Mali mulai mendaraskan doa demikian:87
Re’e da gharu, Yang buruk engkau bawa,
ji’e da gha yang baik berikan pada kami
Nua temu sai muka jangan kembali ke kampung
Sao temu sai dhajo. jangan tinggal di dalam rumah.
Setelah Ata Bisa Mali berdoa, ia meletakkan Kaka tepat di bawah kakinya
dan mempersilakan anggota keluarga inti satu persatu datang ke hadapannya.
Ketika seseorang sudah berada di hadapan Ata Bisa Mali, ia akan mengangkat
Loge Fe’a yang sudah dicelupkan ke dalam air dan mereciki orang yang ada di
hadapannya, mulai dari kepala sampai kaki, sambil berseru: “Sasa masa lewo
lima”. Ketika Loge Fe’a yang digunakan untuk mereciki kaum keluarga duka
mencapai bagian kaki, Ata Bisa Mali akan meminta orang bersangkutan untuk
Bedu Wa’i (menghentakkan kaki) di lantai. Demikian selanjunya orang kedua
sampai semua anggota keluarga inti mendapat bagian untuk direciki. Sesudah ritus
ini selesai dilaksanakan, Ata Bisa mali meminta beberapa orang dari keluarga inti
membawa Kaka dan Loge Fe’a untuk dibawa ke Keli Mata (hutan keramat).88
Tujuan dari pelaksanaan ritus ini adalah untuk mengusir pengaruh-
pengaruh tidak baik dari arwah orang yang meninggal yang diyakini dapat
mengganggu seluruh aktivitas orang-orang yang masih hidup. Pengaruh-pengaruh
87 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 88 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
63
yang tidak baik itu perlu dihantar menuju tempat mereka masing-masing, yakni di
laut dan di hutan keramat.89
3.1.5.3.4 Rheba Lengi
Rheba berarti ‘mengoles’ dan Lengi berarti ‘minyak’. Jadi, Rheba Lengi
berarti mengoleskan minyak. Minyak yang dimaksudkan adalah minyak kelapa
murni. Ritus Rheba Rengi ini dilakukan pada hari keempat sesudah penguburan.
Pada hari keempat sesudah penguburan, tepatnya pada pagi hari, setelah anggota
keluarga duka pulang dari Keli Mata, Ata bisa Mali akan meminta mereka untuk
mengoleskan dahi, tangan, dan kepala mereka dengan minyak kelapa murni.
Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa minyak kelapa murni dapat
membersihkan diri manusia dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik yang
ditimbulkan oleh arwah orang yang meninggal, sehingga dengan itu kehidupan
mereka dapat berlangsung tanpa ada hambatan-hambatan tertentu.90
Minyak kelapa murni tidak hanya diperuntukkan bagi keluarga inti saja,
melainkan juga dapat diberikan kepada setiap orang yang datang ke rumah duka
untuk mengikuti ibadah malam keempat. Pada kesempatan itu, Ata Bisa Mali akan
meminta keluarga untuk meletakkan minyak kelapa murni bersama dengan kapas
di depan rumah duka sehingga setiap orang yang datang dapat mempergunakannya
sebagaimana mestinya. Rheba Lengi yang diperuntukkan bagi masyarakat secara
umum ini mesti dijalankan sebelum ibadah malam keempat tersebut dimulai.91
Dengan demikian, ritus Rheba Lengi adalah ritus yang memungkinkan
manusia dibersihkan dari segala hal yang buruk, terutama hal-hal yang ditimbulkan
oleh arwah orang yang meninggal dunia. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan
anggota keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan dapat berjalan dengan
damai dan tentram.
89 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 90 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 91 Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
64
3.2 Makna di Balik Ritus-Ritus Kematian Suku Embu Leja
Ritus-ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja
secara umum memiliki makna timbal-balik, baik bagi orang yang meninggal
maupun orang-orang yang masih hidup. Di balik makna itu tersirat juga relasi
antara manusia dengan Wujud Tertinggi. Berikut ini akan diuraikan secara garis
besar berbagai makna yang dapat ditemukan di balik pelaksanaan ritus-ritus
kematian oleh suku Embu Leja.
3.2.1 Ritus Kematian sebagai Pengakuan akan Adanya Wujud Tertinggi
Pada dasarnya ritus-ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku
Embu Leja turut dilandasi oleh sikap religius. Sikap religius tersebut mengarahkan
mereka kepada suatu kekuatan yang melampaui diri mereka sendiri, suatu Wujud
Tertinggi yang mereka sebut Ia, Du’a Gheta Lulu Wula, Ngga’è Ghale Wena
Tana. Sehubungan dengan hal ini, ritus kematian yang dijalankan mengarahkan
setiap masyarakat suku Embu Leja untuk merefleksikan hidup mereka sendiri.
Masyarakat suku Embu Leja menyadari bahwa mereka adalah manusia yang
memiliki keterbatasan dan kelemahan. Mereka berasal dari Ia, Du’a Gheta Lulu
Wula, Ngga’è Ghale Wena Tana, dan pada waktunya mereka akan kembali kepada
Wujud Tertinggi itu dan bersatu bersama para leluhur (Embu Mamo) yang sudah
terlebih dahulu bersemayam di Kelimutu. Dari sini juga tampak bahwa kehidupan
masyarakat suku Embu Leja sangat bergantung pada relasi dengan Wujud
Tertinggi dan para leluhur. Hal ini tampak jelas dalam ungkapan yang disampaikan
oleh Pu’u Kamu saat pelaksanaan Nosi Mbe’o Pu’u Kamu dan Nangi Ata Mata
yang terdapat di dalam ritus Lo Ata Mata Ghole Ghomo.
Ritus-ritus kematian yang dilakukan tersebut mengindikasikan bahwa
arwah orang yang meninggal (Ata Mata) dan para leluhur telah ada bersama
dengan Wujud Tertinggi. Dalam hal ini juga terdapat jaminan bahwa setiap orang
yang meninggal pada akhirnya akan bersatu dengan para leluhur dan Wujud
Tertinggi. Demikianpun kehidupan manusia secara keseluruhan yang berlangsung
di muka bumi ini tidak terlepas dari campur tangan Wujud Tertinggi. Wujud
Tertinggi senantiasa hadir untuk menjaga dan melindungi perjalanan hidup mereka
sembari memberi berkat berlimpah kepada mereka. Namun, berkat itu hanya dapat
65
diperoleh jika manusia senantiasa menjalin relasi yang harmonis dengan Wujud
Tertinggi. Relasi yang harmonis itu terutama dijalin dengan melaksanakan ritus-
ritus, di dalamnya terkandung korban persembahan, doa-doa yang bernuansa puji-
pujian dan permohonan demi mencapai keselamatan hidup sesudah kematian.
3.2.2 Ritus Kematian sebagai Pemisahan antara Jiwa dan Badan
Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa kematian merupakan momen
perpisahan jiwa dan badan. Hal ini terlihat jelas di dalam pelaksanaan ritus Dheta
Ghomo (melukai tanah), di dalamnya terdapat ungkapan yang menandaskan secara
tersirat mengenai perpisahan antara jiwa dan badan, yakni Mbana ma’e sala jala,
leta ma’e sala wolo. Ungkapan ini mengandung harapan agar jiwa yang telah
memisahkan diri dari tubuh guna mengadakan ziarah menuju Kelimutu dan
memulai hidup baru bersama para leluhur dan Wujud Tertinggi dapat tiba di
tempat tujuannya dengan selamat. Perjalanan bagi jiwa yang diharapkan tidak
sampai salah jalan (baca: selamat) menunjukkan adanya tempat yang layak bagi
jiwa pasca kematian manusia. Sementara itu, badan akan tinggal tetap dan hancur
melebur bersama tanah. Dengan itu, bagi masyarakat suku Embu Leja, badan
adalah sesuatu yang bersifat sementara, tidak kekal. Sebaliknya, jiwa bersifat
kekal, akan terus hidup sesudah kematian manusia.
3.2.3 Ritus Kematian sebagai Ungkapan Kepercayaan akan Adanya
Kehidupan setelah Kematian
Masyarakat suku Embu Leja meyakini adanya kepercayaan akan hidup
setelah kematian. Kepercayaan ini memiliki hubungan erat dengan keyakinan akan
eksistensi jiwa sesudah kematian. Kepercayaan akan kehidupan sesudah kematian
dapat dibuktikan dengan eksistensi jiwa yang tetap hidup dan akan menempati
suatu tempat yang baru. Jiwa yang bersifat kekal akan melakukan perjalanan
menuju suatu tempat baru untuk selanjutnya berdiam bersama dengan para leluhur
dan Wujud Tertinggi. Tempat yang dimaksudkan dalam konteks kepercayaan
masyarakat suku Embu Leja adalah danau Kelimutu. Kehidupan di Kelimutu
diyakini oleh masyarakat suku Embu Leja sebagai kehidupan yang lebih
66
didominasi oleh kebahagiaan, di mana di tempat itu tarian Gawi senantiasa
dilakukan oleh para leluhur.92
Bagi masyarakat suku Embu Leja, ketika seseorang meninggal, jiwanya
akan menuju salah satu tempat di antara tiga tempat yang ada di danau Kelimutu
yang disesuaikan dengan amal baktinya di dunia. Tiga tempat tersebut adalah Tiwu
Ata Mbupu, Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri, dan Tiwu Ata Polo.93 Tiwu Ata Mbupu
merupakan tempat peristirahatan bagi jiwa orang-orang yang berbudi baik, luhur,
dan suci. Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri adalah tempat peristirahatan bagi jiwa
orang-orang yang membutuhkan penyucian atau pembersihan atau masih
mengalami pergolakan dan perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan.
Selanjutnya, Tiwu Ata Polo merupakan tempat bagi jiwa orang-orang yang berdosa
yang harus menjalani siksaan dan hukuman sebagai upah atas dosa-dosa mereka.
Kepercayaan masyarakat suku Embu Leja akan adanya kehidupan sesudah
kematian juga mengindikasikan bahwa kematian hanya merupakan suatu momen
peralihan, meskipun peralihan itu hanyalah peralihan jiwa dan bukannya badan dan
jiwa secara utuh. Bukti dari kepercayaan serupa ini ditandai dengan adanya
tempat-tempat khusus yang diperuntukkan bagi orang-orang yang telah meninggal
dunia, yaitu ketiga danau yang ada di Kelimutu. Hal ini serentak menegaskan
92 Bukti tentang adanya kehidupan sesudah kematian ini pernah diungkapkan oleh Babo Lo’a, salah
satu masyarakat suku Embu Leja. Babo Lo’a memberi kesaksian kepada Fabianus Kea bahwa
dirinya pernah meninggal selama kurun waktu 5 jam (mati suri). Saat mati suri, Babo Lo’a berjalan
menuju danau Kelimutu. Ketika tiba di danau Kelimutu, ia menjumpai banyak leluhur, termasuk
orangtuanya sendiri. Menurut Babo Lo’a, situasi kehidupan di danau Kelimutu adalah situasi yang
penuh dengan kegembiraan, di mana para Embu Mamo bergembira ria dalam tarian Gawi.
Meskipun demikian tidak ada satu orang pun dari antara para Embu Mamo, termasuk orangtuanya
sendiri, yang menyapa dirinya. Padahal, Babo Lo’a memiliki kerinduan yang mendalam untuk
bertemu dengan orangtuanya dan mengisahkan banyak hal yang berhubungan dengan situasi
keluarga di kampung Tendawena. Di tengah situasi tersebut, datanglah seseorang dengan rupa tua-
renta dan sangat berwibawa – yang pada akhirnya dikenal dengan Ia – menuju ke arah dirinya dan
menyampaikan bahwa sesungguhnya belum saatnya ia berada di tempat tersebut bersama
orangtuanya dan para leluhur yang lain. Babo Lo’a akhirnya diminta untuk pulang ke Tendawena
dan melanjutkan hidupnya hingga tahun 1997 ia dipanggil kembali oleh Ia (meninggal dunia).
Cerita ini dikisahkan hingga saat ini dan menjadi semacam mitos yang hidup di dalam masyarakat
Tendawena. Hasil wawancara dengan Fabianus Kea, Ata Bisa Mali suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 93 Ketiga danau dimaksud memiliki air dengan warna dasar masing-masing, yaitu merah, biru dan
putih. Tiwu Ata Mbupu memiliki warna dasar putih (lambang kesucian), Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai
berwarna biru (lambang perjuangan), dan Tiwu Ata Polo berwarna merah (lambang kejahatan dan
dosa manusia). Meskipun demikian, warna-warna dari masing-masing danau tersebut sering
berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu. Hasil wawancara dengan Siprianus Sea, tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 28 Desember 2019 di Tendawena.
67
bahwa hidup tidak senantiasa berakhir dengan kematian, namun masih ada
kehidupan yang lain yang dapat dialami oleh setiap orang yang meninggal.
3.2.4 Ritus Kematian sebagai Sarana untuk Mendapatkan Keselamatan Jiwa
Ritus-ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja
bertujuan untuk mendapat keselamatan jiwa bagi orang yang meninggal agar dapat
mencapai kehidupan yang layak dan bahagia bersama para leluhur dan Wujud
Tertinggi di danau Kelimutu. Pencapaian keselamatan jiwa tersebut sangat
bergantung dari sikap hidup pribadi selama masih berziarah di bumi. Hal ini
tampak dalam syair adat: Ia, Du’a, kami nira neni tolo tei miu, nira neni tolo tei
(“Ia, Du’a, dan kami para leluhur akan melihat perjalanan hidupmu, memantau
dari atas, tempat tinggal kami”). Ungkapan ini mengandung arti bahwa apabila
selama masa hidupnya seseorang lebih mengutamakan perbuatan-perbuatan baik
sesuai dengan kehendak Wujud Tertinggi yang telah diamanatkan kepada para
leluhur dalam rupa prinsip-prinsip moral dan hkum-hukum adat tertentu, maka hal
tersebut dipandang sebagai modal dasar dan jaminan mutlak untuk dapat mencapai
keselamatan hidup bersama para leluhur dan Wujud Tertinggi di Kelimutu, secara
khusus di Tiwu Ata Bupu. Sebaliknya, apabila selama hidupnya seseorang lebih
cenderung mengabaikan berbuat jahat yang kemudian mendatangkan rupa-rupa
dosa maka ia akan mendapatkan ganjaran atas perbuatannya tersebut, yakni
menetap untuk sementara Tiwu Ata Ko’o Fai Nua Muri atau di Tiwu Ata Polo guna
mengalami penyucian diri dan hukuman atas dosa-dosanya.
Salah satu prinsip moral atau hukum adat yang diwariskan para leluhur dan
menjadi jaminan mutlak bagi keselamatan jiwa manusia pasca kematiannya
tercermin di dalam ungkapan adat: Ma si kita kema, boka ngere ki, bere ngere ae
(“Mari kita bersatu dalam kerja seperti ilalang dan searah seperti air yang
mengalir”), atau Mai si kita ngondo ngere tewu owo, ghou ngere uwi ondo (“Mari
kita bersatu dalam kerja seperti satu rumpun tebu dan saling bergandengan tangan
seperti ubi jalar”). Ungkapan-ungkapan ini tidak hanya dimaknai dalam konteks
kerja, tetapi juga memiliki makna yang lebih luas dalam hubungannya dengan
usaha untuk menciptakan persaudaraan dan cinta kasih di antara sesama manusia,
serta membangun sikap tolong-menolong dalam setiap situasi penderitaan demi
68
terciptanya kehidupan yang aman dan damai. Dengan menjalankan konsep-konsep
tersebut dalam ketaatan, masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa pada
saatnya mereka akan memperoleh keselamatan pasca kematian dan dapat
menikmati hidup yang bahagia bersama para leluhur dan Wujud Tertinggi di Tiwu
Ata Bupu. Namun dalam kenyatannya, ideal hidup baik dengan berlandaskan pada
prinsip-prinsip moral dan hukum-hukum adat sebagai warisan leluhur tidak selalu
dijalankan secara sempurna. Manusia cenderung mengabaikan wasiat dari leluhur
yang pada akhirnya bermuara pada dosa. Dosa-dosa ini hanya dapat dibersihkan
melalui pelaksanaan ritus-ritus kematian sebagaimana yang telah diuraikan
terdahulu, dengan tujuan agar manusia dapat mencapai keselamatan hidup pasca
kematiannya.
3.2.5 Ritus Kematian sebagai Sikap Penghormatan kepada Orang yang
Meninggal
Bagi masyarakat suku Embu Leja, ritus-ritus kematian juga merupakan
bentuk penghormatan kepada orang yang meninggal. Penghormatan ini dilandasi
oleh keyakinan bahwa orang yang meninggal pada akhirnya akan menjadi
perantara yang dapat membawa segala rupa permohonan manusia kepada para
leluhur dan Wujud Tertinggi, terutama ketika orang yang meninggal tersebut telah
mencapai keselamatan di dunia akhirat. Permohonan-permohonan yang diajukan
manusia lebih bertujuan untuk kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Hal yang
menjadi indikasi terkabulnya permohonan itu dapat dialami melalui mimpi. Di
dalam dan melalui mimpi, manusia bertemu dengan arwah orang yang meninggal.
Di situ juga, arwah tersebut akan memberikan petunjuk atau solusi untuk
mengatasi persoalan hidup yang sedang dialami manusia. Selain itu, orang yang
meninggal juga dapat menjadi pemberi berkat. Sebagai pemberi berkat, ia akan
senantiasa menjaga segenap anggota keluarganya agar terhindar dari melapetaka
yang dapat mengancam kehidupan seperti kecelakaan atau kegagalan dalam usaha.
3.2.6 Pengalaman Eksistensial yang Menakutkan
Bagi masyarakat suku Embu Leja, kematian merupakan sebuah
pengalaman yang menakutkan. Berhadapan dengan realitas kematian, masyarakat
69
suku Embu Leja kerap merasa takut. Kematian dipandang sebagai suatu kenyataan
yang akan menghapus segala keberadaan hidup manusia. Dalam hal ini, bayang-
bayang akan kematian terasa sangat kelam dan menakutkan.
Di sisi lain, ceritera-cerita tentang pengalaman kematian turut menambah
rasa takut masyarakat Embu Leja terhadap kematian itu sendiri. Dalam masyarakat
Embu Leja kerap dituturkan hal-hal seperti orang seringkali melihat dan merasakan
berbagai hal yang jauh di luar nalar, misalnya melihat sosok arwah yang masih
berada di tempat-tempat tertentu atau bertemu dengan sosok asing yang ganjil dan
menakutkan yang diyakini sebagai wujud dari kehadiran orang-orang mati. Kisah-
kisah tentang arwah orang mati yang masih bergentayangan dan merasuki
kehidupan manusia ini, bahkan tidak jarang menakut-nakuti manusia yang masih
hidup di dunia ini, kerap menimbulkan rasa takut bagi manusia yang masih hidup.
Berhadapan dengan pengalaman-pengalaman serupa itu, masyarakat Embu
Leja kemudian berusaha melakukan berbagai cara untuk mengatasi rasa takut
tersebut sembari meningkatkan kesadaran imannya. Hal itu diwujudnyatakan
dengan melaksanakan ritus-ritus seputar kematian. Di sini, kematian sebagai
pengalaman yang menakutkan dapat beralih menjadi pengalaman yang positif,
terutama pasca ritus-ritus kematian tersebut dijalankan.
70
BAB IV
PANDANGAN KRISTEN TENTANG KEMATIAN
Kematian adalah realitas kehidupan yang pasti, tetapi sekaligus penuh
misteri. Kematian sebagai realitas kehidupan yang pasti mengindikasikan bahwa
tidak ada satu manusia pun yang akan luput dari kematian. Dengan kata lain,
semua manusia pasti akan mati. Sementara itu, kematian sebagai misteri
berhubungan dengan apa yang dapat dialami manusia pasca kematian. Banyak
telaahan dari berbagai perspektif mencoba mencari jawab atas misteri tersebut,
dengan berbasiskan pengetahuan dan analisis akal budi. Namun pada akhirnya,
keterbatasan pengetahuan manusia memungkinkan jawaban yang tuntas atas
misteri kematian selalu bermuara pada ketidakpastian pula.
Gereja Katolik mencoba menjembatani persoalan kematian sebagai sebuah
misteri dengan membuat kajian reflektif tersendiri atas kematian dan hidup setelah
kematian. Pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama, dengan berlandaskan pada
pandangan kuno bangsa Israel, melihat bahwa kematian merupakan salah satu
akibat dari relasi yang tidak harmonis antara manusia dan Allah, di mana manusia
begitu jauh dari Allah karena dosa. Ketiadaan relasi cinta antara manusia dan Allah
mengakibatkan manusia “dicampakkan” ke suatu tempat yang menakutkan. Dalam
perkembangan selanjutnya, Allah yang adalah sumber kasih ingin memperbaiki
kembali relasi cinta-Nya dengan manusia. Rekonsiliasi antara Allah dan manusia
itu dipenuhi melalui Perjanjian Baru, yang ditandai dengan kedatangan dan
kebangkitan putra-Nya Yesus Kristus. Kebangkitan Kristus merupakan dasar bagi
kebangkitan manusia. Dengan itu pulalah manusia dipertemukan kembali dalam
relasi cinta yang mesra dengan Allah.
Bagian ini akan menguraikan secara khusus tentang pandangan Gereja
mengenai kematian dan hidup sesudah kematian. Rujukan utama yang digunakan
di dalam bagian ini adalah ajaran Kitab Suci, baik dari Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru, dan referensi-referensi lain yang berbicara seputar pandangan
Kristiani tentang kematian dan hidup sesudah kematian itu sendiri.
71
4.1 Pandangan Kitab Suci
4.1.1 Pandangan tentang Kematian dalam Perjanjian Lama
Di dalam Perjanjian Lama, kematian pertama-tama dipandang sebagai
bagian dari kodrat manusia dalam korelasinya dengan dosa (bdk. Kej. 2 dan 3; Kel.
2:23). Allah sebagai asal kehidupan atau yang memberi kehidupan kepada
manusia, mengambil kembali kehidupan yang telah diberikan-Nya itu, sehingga
manusia mengalami kematian. Selain itu, tradisi kuno bangsa Israel juga
memandang kematian manusia sebagai peristiwa yang terjadi secara alamiah dan
dialami oleh setiap manusia. Kematian yang dialami oleh manusia adalah batas
yang mengakhiri keberadaannya di dunia.94
Perjanjian Lama juga melihat kematian dalam konteks relasi kasih yang
telah diikat oleh perjanjian antara Allah dan bangsa Israel. Di dalam perjanjian itu
diungkapkan juga tentang kepenuhan hidup yang dapat dialami manusia. Di situ,
orang Israel membayangkan bahwa kepenuhan hidup seorang manusia dapat
dialami melalui umur yang panjang, menikmati berbagai kekayaan hidup duniawi,
dan kehadiran anak cucu berlimpah yang menjadi masa depan bagi bangsa Israel.
Sedangkan apabila dalam perjalanan kehidupan orang Israel mengalami peristiwa
“mati muda” (mati di usia yang masih sangat muda) maka hal tersebut dianggap
sebagai kemalangan. Berhadapan dengan peristiwa “mati muda” tersebut orang
Israel merefleksikan kematian yang dialami sebagai hukuman atas dosa yang
dilakukan demi tegaknya keadilan dalam hidup. Dalam hal ini, ada hubungan erat
antara apa yang diperbuat manusia dalam hidupnya (action) dan nasib yang akan
diterimanya (destiny).95
Ketiadaan relasi kasih antara Allah dan manusia juga menyebabkan
manusia mengalami kematian. Dalam hal ini, orang-orang Israel membayangkan
bahwa orang yang telah meninggal mengalami kehidupan yang jauh dari Allah,
karena pelanggaran manusia atas perjanjian antara dirinya dengan Allah. Ketiadaan
relasi kasih itu kemudian memungkinkan manusia “dicampakkan” ke sebuah
tempat yang gelap dan menakutkan yang disebut Syeol (bdk. Maz 6:5, Yes 38:17-
94 Adolf Heuken, Ensklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1992), hal. 280. 95 Remigius Ceme, Hidup yang Sesungguhnya. Menjawab Rahasia di Balik Kematian (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2017), hal 74.
72
19). Di dalam Syeol tidak ada kehidupan lagi.96 Relasi orang-orang yang telah
meninggal dengan dunia orang yang hidup terputus. Mereka kehilangan
komunikasi dengan realitas kehidupan yang nyata. Di dalam Syeol itu juga, Yahwe
tidak dapat lagi dipuja.
Di samping itu, orang Israel juga menghubungkan kematian dengan
peristiwa sakit (penyakit) yang dialami oleh seseorang. Sakit menjadi bagian dari
kematian karena dalam sakit orang terbuang dari dunia orang hidup, merasa
teralienasi, ditinggalkan dan terisolir serta kehilangan relasi dan komunikasi yang
wajar dengan sesama dan komunitas yang melalukan kebaktian pada Allah. Orang
sakit seperti terlepas dari dunia orang hidup dan masuk dalam lingkungan
kematian. Dalam perspektif ini, kematian dilihat sebagai sebuah kutukan.97
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep kematian sebagaimana yang
diyakini bangsa Israel tersebut mengalami perubahan sebagaimana yang terdapat di
dalam literatur-literatur kebijaksanaan. Kitab Pengkhotbah, misalnya,
mengungkapkan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia (bdk. Pkh. 1:1-11): “Apa
yang pernah ada akan ada lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi: tak ada
sesuatu yang baru di bawah matahari, tetapi semua itu sudah ada lama sebelum kita
ada”. Ayat ini menyiratkan negasi atas adanya hubungan antara yang diperbuat
manusia dalam hidupnya dengan nasib yang diterimannya (kematian). Hidup
manusia dan kematian yang dialaminya tidak mempunyai hubungan yang logis.
Selain Pengkhotbah, kitab Ayub memperlihatkan secara jelas penolakkan atas
skema action-destiny dalam pengertian korelasi antara kemalangan dan kematian.
Demikianpun pengalaman akan penderitaan yang diungkapkan di tempat
pembuangan dalam nyanyian hamba dari kitab kedua Yesaya mengemukakan
aspek positif dari sakit, kematian, dan pengalaman ditinggalkan. Di situ kematian
dan perbudakan melalui penderitaan (kesakitan) tidak diartikan secara sederhana
sebagai hukuman atas dosa-dosa, melainkan dapat menjadi jalan bagi orang-orang
yang dikasihi Allah – sebagai hamba Allah – yang menuntun orang lain kepada
hidup yang disediakan Allah. Allah hadir dalam orang-orang yang menderita demi
kepentingan-Nya. Dalam hal ini, tampak bahwa penyakit dan kematian bukan tidak
96 Georg Kirchberger, Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia (Ende: Nusa Indah, 1986),
hal 8. 97 Ibid., hal. 75.
73
mempunyai arti, bukan pula absurditas absolut (nothingness), melainkan
merupakan jalan kepada perwujudan keadilan Allah.98
Gagasan tentang kekuasaan Allah atas kematian diperlihatkan secara lebih
jelas dalam kitab Daniel melalui refleksi tentang kebangkitan. Misalnya dalam
Dan. 12:2 dituliskan bahwa, “Dan banyak dari antara orang-orang yang telah tidur
di dalam debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal,
sebagian untuk mengalami kengerian dan kehinaan yang kekal”. Hal ini adalah
rumusan yang paling jelas yang mengungkapkan iman akan kebangkitan orang
mati dan substansi kematian dalam Perjanjian Lama. Iman akan kebangkitan inilah
yang menjadi kekuatan dan keberanian orang-orang Israel untuk mempertahankan
iman mereka dalam penganiayaan sampai mengorbankan diri mereka sebagai
martir. Kemartiran, yang didasarkan pada iman akan kebangkitan, diperlihatkan
juga dalam kitab kedua Makabe. Dalam kitab ini dilukiskan keyakinan orang Israel
akan Allah yang memihak orang benar. Allah orang benar lebih besar dari hidup
jasmaniah. Karena itu, kematian orang benar tidak dapat diartikan sebagai
absurditas (nothingness), melainkan masuk ke dalam hidup yang sesungguhnya.
Keadilan Allah ditegakkan dalam diri orang-orang benar yang mati, kendati
gagasan ini sebenarnya turut dipengaruhi oleh gagasan Yunani mengenai nasib
yang akan dialami manusia setelah kematiannya. Jadi, baik kitab Daniel maupun
Makabe menekankan bahwa komunio dengan Allah (relasi komunikasi dengan
Allah) menjadi dasar dan titik tolak untuk memahami makna kematian.99 Dalam
hal ini juga, baik kitab Daniel maupun Makabe tidak menghubungkan kematian
dengan mitos-mitos atau legenda sebagaimana yang digagaskan di dalam awal
kitab Kejadian, melainkan lebih menekankan hubungan antara kematian dengan
kehendak dasariah Allah.
Meskipun tidak ada kultus untuk menghormati orang-orang yang
meninggal dalam masyarakat Yahudi, namun berkembang refleksi teologis tentang
nasib orang-orang yang meninggal. Refleksi tersebut bersumber dari pengalaman
religius yang mendalam, yang tampak dalam doa-doa (bdk. Mzm. 49:11-
12;28;16;36;37;20, Ams. 1;13;2:23-24, Ezr. 3:18-2;18-21;18:20, Ayb. 18:15-12;
98 Ibid. 99 Ibid., hal. 78.
74
33:1-30, Dan. 12:1-2, Yes. 25:28; 26:19; 53:18-19). Dalam doa-doa yang
termaktub dalam Perjanjian Lama ini diuraikan secara garis besar bahwa seseorang
yang meninggal karena dosa pantas turun dan tinggal dalam Syeol, di mana mereka
tidak lagi memuji Allah. Namun, penekanan dari setiap doa tersebut bukan pada
persoalan seorang yang meninggal akan turun dan tinggal dalam Syeol, melainkan
lebih pada kesetiaan Allah yang tetap berpegang teguh pada janji-Nya untuk
mengasihi bangsa-Nya, seperti termuat dalam kitab Makabe berikut:
Kemudian dikumpukannya uang di tengah-tengah pasukan.
Lebih kurang dua ribu dirham perak dikirimkannya ke
Yerusalem untuk mempersembahkan korban penghapus dosa.
Ini sungguh suatu perbuatan yang baik dan tepat, oleh karena
Yudas memikirkan kebangkitan. Sebab jika tidak menaruh
harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit
niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati.
Lagipula Yudas ingat bahwa tersediahlah pahala yang amat
indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini
sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu
maka disuruhlah mengadakan korban penebus salah untuk
semua orang yang sudah mati, supaya dilepaskan dari dosa
mereka (2 Mak. 12:43-45).
Makabe memberikan gambaran tentang adanya penghakiman bagi yang
meninggal dan sekaligus memberikan gagasan baru bahwa orang yang sudah
meninggal dapat ditolong oleh mereka yang masih hidup dengan
mempersembahkan korban penghapusan dosa agar semua orang yang telah
meninggal memperoleh hidup yang kekal, yakni kehidupan surgawi.100 Melalui
pengalaman religius ini berkembang suatu kepercayaan bahwa persahabatan dan
persatuan dengan Allah tidak dapat dihalangi dan dibatalkan oleh kematian.
Karena itu, mereka percaya bahwa setelah kematian manusia akan ada
persahabatan dan persatuan kembali dengan Allah yang sudah terjalin dalam suatu
hidup yang baru. Allah menjadi tujuan hidup manusia dan tidak membiarkan
orang-orang yang dikasihinya berpisah darinya.101
Selanjutnya, pada akhir masa Perjanjian Lama, oleh pengaruh Yunani
muncullah kepercayaan akan kebangkitan orang mati. Tidak dapat dipungkiri
100 Niko Syukur Dister, op. cit., hal. 517. 101 Ibid., hal. 79-81.
75
bahwa pandangan Yunani membawa pengaruh yang baik bagi pemahaman
mengenai kematian. Kepercayaan akan kebangkitan orang mati mengandaikan
adanya harapan akan datangnya seorang Mesias yang akan membebaskan bangsa
Israel dari perbudakan bangsa Mesir. Harapan tersebut tidak hanya diwarnai oleh
harapan politis-duniawi, tetapi harapan religius, di mana mereka mengharapkan
Allah sendiri datang pada akhir zaman untuk memulihkan dan membebaskan
bangsa Israel serta memberikan kekudusan dan keadilan kepada setiap orang,
terutama setelah kematian.102
Jadi secara singkat, kematian dalam konsep Perjanjian Lama pertama-tama
bertitik-tolak dari perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel. Dalam perjanjian
tersebut ditekankan kasih Allah dan tuntutan kesetiaan manusia. Kematian
merupakan hukuman atas ketidaktaatan manusia kepada Allah. Namun, kematian
sebagai dosa bukan terutama berupa berakhirnya kehidupan jasmani, melainkan
kemampuan orang untuk memuji dan memuliakan Allah.103 Dengan demikian,
jelaslah bahwa Perjanjian Lama memandang kematian tidak semata-mata sebagai
tindakan jasmani, yaitu berakhirnya hidup, melainkan sebagai hukuman atas dosa
akibat ketidaktaatan dan ketidaksetiaan manusia terhadap janji yang telah
ditetapkan antara Allah dan manusia. Action dan destiny tetap digalakkan, di mana
setiap orang akan mendapatkan ganjaran dan pahala setimpal dengan perbuatannya
selama masih hidup. Orang yang benar, yang setia pada hukum Taurat dan Allah,
akan menerima pahala dari Allah, yaitu hidup baru dan kekal bersama Allah.
Sebaliknya, orang-orang jahat, terutama para penindas, akan menerima hukuman
dari Allah (bdk. 2 Mak. 7:14;19:11;12:44).
4.1.2 Pandangan tentang Kematian dalam Perjanjian Baru
Perjanjian Baru memahami kematian sebagai pintu yang melaluinya
manusia memasuki suatu fase baru dari kehidupan, di mana “… bagi orang
beriman hidup hanyalah diubah, bukan dilenyapkan” (1 Tes. 4:13-14). Dengan itu,
kematian mengindikasikan adanya harapan akan kehidupan kekal. Indikator
102 R. Ceme., op. cit., hal. 82. 103 Petter. P. Chan, 101 Tanya Jawab tentang Kematian dan Kehidupan Kekal (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), hal. 79-80.
76
mengenai kehidupan kekal menurut Georg Kirchberger bisa dilihat dalam dua ciri,
yaitu ciri dialogal dan ciri menyeluruh.104
Dalam ciri dialogal, harapan akan hidup abadi bertolak dari gambaran akan
Allah dalam relasi dialogal. Kita yakin dan percaya bahwa Allah adalah Allah
orang hidup (Luk. 20:38) dan Allah itu memanggil manusia, ciptaan-Nya, dengan
namanya masing-masing. Dengan itu, Allah memulai suatu dialog cinta, di mana
manusia tidak dibiarkan-Nya binasa, melainkan akan dipanggil-Nya ke kehidupan
baru. Atas dasar ini, harapan akan kehidupan abadi tidak timbul dari refleksi
antropologis, di mana di dalam diri manusia ada suatu unsur yang menurut
dayanya sendiri tidak dapat binasa, melainkan harapan itu timbul dari refleksi
teologis, yakni dari keyakinan bahwa Allah menciptakan manusia dan mencintai
ciptaan-Nya dengan setia dan akan memanggil manusia ke dalam suatu kehidupan
yang baru untuk melanjutkan dialog cinta itu.105
Sehubungan dengan kematian, hal yang dikemukakan di atas memiliki arti
bahwa pada dasarnya Allah tidak menciptakan kematian, karena kematian
bertentangan dengan dengan esensi Allah dan beroposisi dengan rencana Allah
yang adalah kasih. Tindakan kasih Allah itu secara nyata tampak dalam kisah
penciptaan. Pada awal mula, Allah menciptakan segala sesuatu dalam keadaan
baik, tanpa cacat, tanpa dosa (bdk. Kej. 1:28). Keadaan tanpa dosa ini dilukiskan
dengan kehidupan yang harmonis antara Allah dan manusia dalam taman Eden.
Allah memberi kebebasan kepada manusia. Akan tetapi, manusia
menyalahgunakan kebebasan asasinya sendiri yang telah diberikan oleh Allah
untuk kebahagiannya. Penyalahgunaan kebebasan asasi ini akhirnya mendatangkan
hukuman bagi manusia. Manusia diusir keluar dari taman Eden.106 Keluarnya
manusia dari taman Eden memberi arti pada retaknya hubungan dialogal antara
manusia dan Allah, yang pada akhirnya menciptakan kondisi kematian bagi
manusia. Berhadapan dengan kondisi tersebut, Allah yang adalah kasih kemudian
mentolerir apa yang yang dilakukan makhluk ciptaan-Nya. Allah berinisiatif
melepaskan manusia dari kondisi kematian. Namun, manusia mesti
menanggapinya dengan bentuk rasa pertanggungjawaban kodrati di hadapan Allah
104 G. Kirchberger, Allah Menggugat, op. cit., hal. 291-293. 105 Ibid., hal. 291-292. 106 R. Ceme, op. cit., hal. 85.
77
sebagai salah satu syarat untuk mengembalikan manusia kepada situasi tanpa dosa
setelah manusia mengalami kematian. Manusia lama yang dipenuhi oleh dosa
mesti mati dan dikuburkan untuk sanggup mengenakan manusia baru yang
dianugerahkan Allah sendiri.
Sementara itu, ciri menyeluruh mengandaikan adanya iman akan
penciptaan. Di dalamnya, harapan Kristen akan hidup abadi bersifat menyeluruh,
yaitu menyangkut manusia seutuhnya, bukan hanya sebagian dari manusia yang
diselamatkan sementara yang lain ditinggalkan. Seluruh manusia sebagai kesatuan
jiwa dan badan dibangkitkan dan diselamatkan oleh Allah. Secara materi memang
badan akan hancur dalam waktu yang singkat, namun identitas manusia tetap sama
berkat daya rohani yang membentuk badan manusia. Manusia tidak terikat dengan
materi tertentu, selalu berada dalam badaniah, dan dalam keadaan badaniah itu
pulalah manusia dibangkitkan.107 Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang
diuraikan Remigius Ceme, bahwa kematian adalah suatu proses natural di mana
dosa sudah menjalar dan merasuki tubuh manusia, maka semua orang tanpa
terkecuali sudah memiliki elemen rapuh yang dapat binasa, di samping elemen
mortal, yakni unsur spiritual. Gagasan badan (unsur badaniah) dan jiwa (unsur
rohaniah) dalam terminologi Kristen dipakai untuk menjelaskan manusia lemah,
rapuh, dan berdosa. Dalam antropologi Paulus, ia memakai term “tubuh
jasmaniah” (alamiah) untuk menegaskan hakikat manusia yang lemah dan rapuh,
berdosa dan dapat mati (tidak dibangkitkan). Sementara itu term “tubuh rohaniah”
digunakan untuk menegaskan manusia yang dianugerahi Roh yang menghidupkan
dan dikehendaki Allah untuk tidak binasa (yang dibangkitkan) karena telah ditebus
oleh Kristus yang mengalahkan dosa melalui kematian dan kebangkitan-Nya.108
Di samping itu, kematian dalam Perjanjian Baru juga dipandang sebagai
sebuah conditio sine quo non untuk memperoleh keselamatan dalam Kristus.
Kematian dalam Kristus adalah keselamatan dan hidup baru bersama Kristus
dalam keabadian. Kematian seperti ini adalah kematian terhadap dosa untuk hidup
kekal bersama Allah. Hal ini tampak jelas dalam peristiwa pembaptisan. Di dalam
pembaptisan, setiap orang dipermandikan dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh
107 G. Kircberger, Allah Menggugat, op. cit., hal. 292-293. 108 R. Ceme, op. cit., hal. 88.
78
Kudus, karenanya ia juga “mati” dari dosa dan bangkit bersama Kristus (bdk. Rom.
6:4). Dalam pembaptisan, seseorang dimeteraikan dengan Tanda Salib, yang
merupakan simbol dari kematian dan kebangkitan Kristus, Sang Keselamatan.
Keselamatan itu sudah dialami sekarang, selama manusia hidup di dunia ini, dan
akan disempurnakan pada hari akhirat. Oleh rahmat pembaptisan itu juga,
seseorang menjadi Kristen dan Imitatio Christi serta dibimbing oleh Roh Kudus
menuju kehidupan kekal.109
Untuk memperjelas makna kematian sebagaimana yang diamanatkan di
dalam Perjanjian Baru, perlu ditelusuri juga ajaran Paulus dan Gereja Perdana.
Rasul Paulus dalam pewartaannya memberikan kesaksian bahwa semua orang
beriman setelah kematian akan mengalami kebangkitan. Kebangkitan yang
ditekankan dalam pengajaran Paulus tidak berorientasi pada hubungan antara jiwa
dan badan, melainkan pada hubungan manusia dan Kristus. Rasul Paulus
memberikan kesaksian kepada jemaat di Korintus bahwa Kristus dibangkitkan
pada hari yang ketiga sesuai dengan sabda Kitab Suci (1 Kor. 15:4). Dengan
kebangkitan Kristus itu, orang Kristiani pun dibangkitkan sebagaimana Kristus
dibangkitkan.110 Artinya, kebangkitan Kristus menjadi dasar bagi kebangkitan
manusia.
Pewartaan Paulus tentang kebangkitan berkaitan erat juga dengan
pandangan orang Yunani yang percaya akan keabadian jiwa, namun tidak percaya
pada kebangkitan tubuh. Menurut pandangan orang-orang Yunani, kebangkitan
tubuh adalah hal yang tidak mungkin terjadi karena tubuh merupakan sumber
kelemahan dan dosa manusia. Jiwa akan dibebaskan dari tubuh melalui kematian,
akan tetapi kebangkitan tidak diharapkan, sebab jiwa akan kembali turun ke kubur
bersama tubuh. Namun di pihak lain, Paulus menegaskan bahwa sebagai orang
beriman kepada Kristus, setiap orang pasti akan mengalami kebangkitan
sebagaimana dialami oleh Yesus sendiri. Hal tersebut dikatakan Paulus sebagai
berikut: “… kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak
109 R. Ceme, op. cit., hal. 90-91. 110 N. S. Dister, op. cit., hal. 519.
79
dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah
pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1 Kor. 15:13-14).111
Menurut tafsiran Alkitab masa kini, persoalan yang berkembang di tengah-
tengah jemaat Kristen di Korintus pada waktu itu adalah jemaat di Korintus masih
terpengaruh dengan pandangan Yunani yang menyatakan tidak ada kebangkitan
tubuh. Pandangan Yunani tersebut memengaruhi juga pandangan orang Kristen
tentang kematian tubuh. Oleh karena itu, rasul Paulus menulis bagian tersebut
untuk menegaskan kelemahan pandangan Yunani. Sebab, jika pandangan Yunani
berhasil diterima banyak orang maka kepercayaan pada Kristus akan menjadi sia-
sia, sebab Kristus hidup untuk menyelamatkan manusia. Paulus juga dalam
suratnya kepada jemaat di Roma menyatakan bahwa kematian telah diubah
Kristus, sebab Kristus sendiri telah mengalami kematian. Ketaatan-Nya kepada
kehendak Bapa membawa pengaruh tersendiri, yakni mengubah kutukan kematian
menjadi berkat (bdk. Rm. 5:19-21). Dengan demikian, orang-orang yang percaya
kepada Kristus akan mengalami pembaharuan hidup oleh Kristus sendiri melalui
peristiwa kebangkitan. Dalam Kristus, kematian diubah menjadi kehidupan karena
Kristus telah mati “untuk kita” (Rm. 5:8, 15:3). Paulus menandaskan kematian
Kristus sebagai berkat sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, “satu
kali untuk selamanya” (Rm. 5:10). Demikian pula orang Kristen “telah mati bagi
dosa, tetapi hidup bagi Allah dalam Kristus” (Rm. 11). Jadi, kemenangan Kristus
atas dosa dan kematian merupakan kemenangan kita, karena “sama seperti Kristus
yang telah bangkit demi kemuliaan Bapa, demikian pula kita akan hidup dalam
sebuah kehidupan yang baru” (Rm. 6:4).112
Dengan demikian, Perjanjian Baru melihat kematian sebagai upah dosa dan
musuh terakhir yang dihancurkan Kristus. Konsekuensi praktis dari pandangan
demikian adalah dosa dianggap sebagai sebab dari kematian. Dalam hal ini, ada
hubungan kausal antara dosa dan kematian; karena manusia berdosa maka manusia
harus tunduk di bawah kuasa kematian.113 Hal ini berarti hubungan antara
kebangkitan Kristus dengan iman Kristen merupakan satu kesatuan yang
111 Michael Simpson, Harapan Hidup Abadi (Yogyakarta: Kanisius, 1974), hal. 35. 112 Yayasan Komunikasi Bina Kasih (penerj.), Tafsiran Alkitab Masa Kini. Matius dan Wahyu
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), hal. 512. 113 Karl Rahner, On The Theology of Death (London: Burn & Oates, 1965), hal. 14.
80
menyatakan adanya hubungan sebab akibat, bahwa Allah bermaksud mengantar
manusia kepada hubungan sebab akibat, yakni hubungan yang personal dengan-
Nya melalui kebangkitan, sama seperti Bapa mencintai anak-anak-Nya. Maksud
Allah tersebut ditanggapi oleh orang beriman bahwa mereka akan menerima suatu
kepenuhan hidup dalam kasih-Nya. Oleh karena itu, melalui kebangkitan tersebut
manusia diharapkan dan disadarkan untuk senantiasa membuka diri bagi Allah.
Demikianpun melalui kebangkitan Kristus “manusia lama” disalibkan, dikuburkan,
kemudian dibangkitkan bersama Kristus untuk menjadi “manusia baru”.114
4.2 Pandangan Iman Kristen
4.2.1 Kematian sebagai Akhir Pengembaraan Manusia
Iman Kristen meyakini bahwa hidup manusia di dunia ini bersifat
sementara belaka, sebab dibatasi oleh unsur usia. Meskipun demikian, hidup
manusia tetap memiliki arti tersendiri. Di dalam dunia, manusia berjuang untuk
menggapai kehidupan yang lebih baik dengan melakukan perbuatan-perbuatan
baik, sekaligus sebagai jaminan dasar bagi kebahagiaan yang akan diperolehnya
pasca kematiannya. Dalam konteks ini, hidup dipahami sebagai sebuah
“pengembaraan”. Dalam “pengembaraan” tersebut manusia perlu menyadari hidup
adalah sebuah rahmat dari Allah. Rahmat yang diperoleh membutuhkan sikap
pertanggungjawaban dari manusia untuk sedapat mungkin mempergunakan waktu
yang telah diberikan oleh Allah.115 Untuk mewujudkan hal itu, hidup manusia
hendaknya berpedoman pada berbagai larangan dan ajaran yang diberikan Allah
yang diwahyukan-Nya dalam diri para nabi dan Yesus Kristus. Hal tersebut
merupakan salah satu syarat untuk menghadapi peristiwa kematian, sesudah
manusia telah menyelesaikan “pengembaraan” di dunia ini.
Kematian sebagai akhir peziarahan manusia di dunia merupakan suatu
kenyataan yang pasti dalam hidup manusia. Hal tersebut dijelaskan oleh Georg
Kirchberger, bahwa sejak manusia dilahirkan ia bergerak maju ke suatu akhir
hidup, yakni kematian. Dengan kata lain perjalanan waktu hidup manusia telah
114 Ibid., hal. 16. 115 Ibid.
81
diwarnai oleh kematian.116 Hal ini berarti kematian dipahami sebagai sarana
penghubung menuju kehidupan kekal bersama Allah. Hidup manusia di dunia ini
merupakan ziarah menuju ke rumah Bapa di surga. Keyakinan kita menyadarkan
bahwa setetah kehidupan kita berakhir, kita akan menemukan suatu keabadian. Hal
ini sejalan dengan apa yang digarisbawahi di dalam kitab Wahyu, bahwa kematian
hanyalah suatu peralihan dari dunia yang nyata kepada dunia yang baru.
Aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru sebab langit
yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu dan lautan
tidak ada lagi. Aku melihat kota Kudus Yerusalem surgawi
turun dari surga Allah, yang berhias bagai pengantin
perempuan berdandan untuk suaminya (Why. 21:1-2).
Menurut Katekismus Gereja Katolik, kematian juga merupakan akhir
sebuah dari peziarahan hidup di dunia ini yang berkaitan dengan waktu, di mana
jika usia seseorang telah mencapai batas waktu tertentu maka berakhirlah pula
kehidupannya di dunia ini. Kematian juga merupakan suatu yang terjadi secara
alami seperti yang dialami oleh semua makhluk hidup. Hal tersebut dapat dibaca
dalam Katekismus Gereja Katolik sebagai berikut:
Kematian adalah akhir kehidupan duniawi. Kehidupan kita
berlangsung selama waktu tertentu, dan di dalam peredarannya
kita menjadi tua. Kematian kita seperti pada semua makhluk
hidup di dunia ini, adalah berakhirnya kehidupan alami. Aspek
kematian ini memberi kepada kehidupan kita sesuatu yang
mendesak; keyakinan akan kefanaan dapat mengingatkan kita
bahwa untuk menjalankan kehidupan kita, hanya tersedia bagi
kita suatu jangka waktu terbatas.117
Kematian sebagai akhir penziarahan manusia di dunia dipertegas oleh Nico
Syukur Dister dengan menghubungkan realitas kematian dengan keadaan tubuh
biologis manusia yang pada akhirnya akan mengalami kehancuran. Kematian
manusia menyebabkan manusia tidak dapat melakukan sesuatu yang menunjukkan
keaktifannya sebagaimana layaknya orang yang masih hidup. Lebih lanjut, Niko
Syukur menjelaskan bahwa meskipun pengembaraan manusia di dunia ini akan
116 Katekismus Gereja Katolik, penerj. Herman Embuiru, (Ende: Regio Grejani Ende, 1998), hal.
260. 117 Ibid.
82
berakhir, namun tindakan atau perbuatan selama hidup akan menentukan kematian
atau kekalan hidup. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam pertobatan
manusia selama hidup akan menjadi orientasi dasar dalam proses penyelesaian,
entah mengalami kebangkitan atau kehancuran total. Hal ini berkaitan dengan
rahmat dan dosa. Manusia akan memperoleh kebangkitan dan hidup bersama
dengan Allah atau mengalami penolakan untuk memperoleh hidup yang kekal
bersama Allah, semuanya bergantung pada keputusan bebas dari masing-masing
pribadi manusia selama hidup dan keputusan Allah pada saat berakhirnya hidup
seorang manusia.118
Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa kematian merupakan akhir
peziarahan manusia di dunia, di mana dengan dan melalui kematian tersebut
manusia bergerak maju menuju hidup kekal, yakni menuju rumah Bapa di surga.
Kematian sebagai akhir peziarahan manusia di dunia juga memiliki makna
eskatologis, di mana lewat peristiwa kematian manusia memiliki pengharapan akan
mengalami kehidupan baru yang akan datang, yakni kebangkitan bersama Kristus
dan hidup bersama dengan Allah. Manusia akan memperoleh kebangkitan dan
hidup bersama Allah atau mengalami penolakan oleh Allah. Hal itu bergantung
pada keputusan bebas dari masing-masing pribadi manusia selama hidupnya.
Dengan kata lain, ketika manusia masih hidup di dunia ini dia perlu memiliki sikap
definitif. Sikap definitif tidak berarti hidup yang hanya dilandasi oleh iman semata,
melainkan juga harapan bahwa dia akan menerima kebangkitan yang didasari oleh
pertobatannya. Memilih untuk bertobat berarti memilih hidup di tanah air surgawi
dalam kebahagiaan kekal, sedangkan memilih untuk tidak bertobat berati memilih
neraka yang artinya berpisah dari Allah dan hidup dalam penyiksaan api yang
kekal.
4.2.2 Kematian sebagai Akibat Dosa
Dalam iman Kristen, kematian manusia juga diyakini sebagai akibat dari
dosa. Hal ini dapat ditelusuri di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Rasul Paulus
dalam suratnya kepada jemaat di Roma menyatakan bahwa: “… sama seperti dosa
telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang manusia, dan dosa itu juga maut, dan
118 N. S. Dister., op. cit., hal. 585-586.
83
maut itu juga menjalar kepada semua orang, karena semua orang berbuat dosa”
(Rm. 15:2). Dosa dalam konteks ini dihubungkan secara khusus dengan peristiwa
kejatuhan manusia pertama, yakni Adam dan Hawa. Adam dan Hawa tunduk pada
kematian jasmani ketika mereka memilih untuk makan buah terlarang. Sekalipun
mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang tunduk pada kematian jasmani pada
hari mereka memakan buah itu, namun secara tidak langsung sebagai konsekuensi
dari tindakan “memakan buah terlarang” tersebut menjadikan mereka juga tunduk
pada hukum kematian sebagai bagian dari kutukan Allah. Oleh karena itu, Adam
dan Hawa tidak hanya mati secara jasmani, namun juga secara rohani karena
ketidaktaatan mereka kepada Allah. Akibatnya, hubungan mereka dengan Allah
yang pada mulanya terjalin dengan baik kini menjadi rusak. Keterpisahan Adam
dan Hawa dari Allah ini akhirnya bermuara kepada kematian secara total, yakni
kematian jasmani dan rohani sekaligus. Dikisahkan bahwa sebelumnya Allah telah
mengingatkan Adam, bahwa ketika mereka makan buah terlarang itu maka mereka
akan digiring ke dalam kematian oleh karena sikap yang keliru saat berhadapan
dengan situasi yang dilematis. Sikap keliru yang ditunjukkan oleh Adam dan Hawa
itulah yang disebut dengan kematian moral. Karena itu, sejak peristiwa Adam dan
Hawa “melawan” Allah, semua manusia dilahirkan dengan tabiat berdosa, yaitu
suatu keinginan bawaan untuk mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan
Allah dan orang lain. Dengan demikian, kematian secara jasmani, rohani, dan
moral menjadi konsekuensi atas dosa manusia.
Konsep kematian sebagai akibat dari dosa juga dapat ditemukan di dalam
ajaran Katekismus Gereja Katolik. Katekismus Gereja Katolik nomor 1008
mengemukakan:
Kematian adalah akibat dari dosa. Sebagai penafsir otentik atas
pernyataan Kitab Suci dan tradisi, magisterium Gereja
mengajarkan bahwa kematian telah masuk ke dalam dunia,
karena manusia berdosa. Walaupun manusia mempunyai
kodrat yang dapat mati, namun Pencipta menentukan supaya ia
tidak dapat mati. Dengan demikian kematian bertentangan
dengan keputusan Allah Pencipta. Kematian masuk ke dunia
sebagai akibat dari dosa.119
119 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 260.
84
Kematian sebagai akibat dari dosa dalam konsep Katekismus Gereja
Katolik merupakan semacam sebuah kutukan dari Allah, di mana manusia
mengalami kehidupan yang jauh dari Allah dan tinggal di sebuah tempat yang
gelap dan menakutkan. Hal ini terjadi karena ada hubungan erat antara apa yang
diperbuat manusia dalam hidupnya (action) dengan nasib yang akan diterimanya
(destiny). Meskipun manusia memiliki kodrat sebagai pendosa, Allah tidak ingin
mengingkari eksistensi-Nya sebagai sumber kasih yang dapat dipergunakan untuk
memperbaiki relasi-Nya dengan manusia. Dengan itu, musuh terakhir yakni dosa,
dapat dikalahkan lewat pengorbanan Putra-Nya, Yesus Kristus, sebagaimana yang
ditegaskan Paulus, bahwa kematian sebagai “musuh terakhir yang mesti
dikalahkan” oleh Kristus, karena bertentangan dengan kehendak Allah. Kehendak
Allah yang dimaksud adalah saat manusia mati, ia mengalami sebuah kondisi
pertemuan dan perjumpaan dalam nuansa kasih. Ungkapan “musuh terakhir yang
harus dikalahkan” yang diungkapkan Paulus (1 Kor. 15:26) mengandung arti
bahwa kematian akan dilenyapkan secara definitif oleh Yesus Kristus pada
kedatangan-Nya yang kedua dan pada saat orang-orang mati dibangkitkan untuk
kehidupan kekal pada akhir zaman. Hal ini merupakan harapan orang Kristen akan
kedatangan saat definitif itu, meskipun tidak diketahui kapan waktunya. Namun
demikian, orang Kristen tetap berharap karena iman akan Yesus Kristus yang
datang untuk menyelamatkan dunia dengan mengalahkan kematian sebagai musuh
terakhir.120 Dengan kata lain kematian sebagai akibat dosa yang menjadi sebuah
kutukan oleh karena Kristus diubah menjadi sebuah berkat.
Karl Rahner juga menegaskan kematian sebagai akibat dari dosa.
Menurutnya, manusia telah diciptakan dengan tanpa kemungkinan untuk mati.
Namun, manusia dalam kenyataan aktual mengalami kematian karena ia
kehilangan keadilan sejati dalam manusia pertama yang telah menolak Allah.
Keadilan sejati terdapat dalam kesatuan dengan Allah melalui rahmat yang
mengubah keberadaan spiritual manusia, bahkan kehidupan badannya turut
dipenetrasi oleh rahmat tersebut. Karena itu, kematian dipahami sebagai ekspresi
dari ketidakharmonisan antara Allah dan manusia.121 Hal ini berarti Rahner melihat
120 R. Ceme, op. cit., hal. 93. 121 K. Rahner, op. cit., hal. 33-34.
85
kematian Adam sebagai akibat dosa, menarik semua manusia pada kematian yang
sama. Dosa yang sama juga telah menghadirkan maut bagi manusia. Maut
merupakan akibat dosa Adam yang menyebabkan murka Allah.122 Maka,
konsekuensi dari kedosaan Adam adalah dosa asali, yang menyebabkan manusia
memiliki kodrat kesadaran dalam diri, di mana situasi keberdosaan selalu
merupakan bagian dari hidup manusia yang terus disadari.
Jadi, kematian sebagai akibat dari dosa memberikan penegasan yang jelas
mengenai distingsi antara hal-hal rohani dan hal-hal jasmani. Kematian jasmani
merupakan batas hidup manusia yang yang tidak diakibatkan karena dosa.
Kematian jasmani merupakan kodrat sebagai manusia. Namun, dosa mengubah
cara manusia mengalami batas hidup itu. Dosa memutuskan hubungan manusia
dengan Allah, di mana manusia merasa bahwa ia adalah pemilik kehidupan ini.
Sikap seperti ini menjadi ancaman fundamental bagi manusia, di mana manusia
pada akhirnya menjadi tidak berdaya di hadapan kematian. Kematian menjadi
indikasi keterbatasan manusia di hadapan Allah, Sang Pencipta-nya. Karena dosa,
manusia tidak dapat lagi menghayati hidup sebagai anugerah Allah yang harus
dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab. Sikap mementingkan diri sendiri tanpa
mempedulikan Allah atau orang lain merupakan ancaman serius bagi adanya
kematian.
4.2.3 Mati Bersama Kristus
Kematian manusia tidak sekadar merupakan tanda keterbatasan dan
kerapuhan, tetapi juga merupakan tanda kebersatuan dengan Kristus. Yesus Kristus
masuk dalam keadaan manusia yang rapuh dan terbatas, namun Ia tak berbuat dosa
seperti manusia (bdk. Ibr. 4:15). Peter C. Phan menjelaskan bahwa manusia
mengalami ketakutan ketika menghadapi kematian karena dalam diri manusia
terdapat bayangan tentang kematian sebagai peristiwa yang mengakhiri segala-
galanya dalam dirinya dan sebuah penderitaan karena ketidakberdayaan untuk
menghindari kematian, berada dalam kesendirian dan merasa kehilangan. Sama
halnya dengan pengalaman Yesus, di mana Ia juga akan mengalami penderitaan
dan kematian, sehingga Ia memohon kepada Bapa-Nya untuk menyingkirkan piala
122 N. S. Dister, op. cit., hal. 582-583.
86
penderitaan dengan bersabda: “Ya bapa-Ku, jikalau mungkin biaralah cawan ini
berlalu daripada-Ku, janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang
Engkau kehendaki”. Di atas salib Yesus mengalami kesendirian, ditinggalkan oleh
Allah, sehingga Ia berseru: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan
Aku?” (Mrk. 15:34). Kematian Kristus merupakan tanda ketaatan-Nya pada
kehendak Bapa-Nya dan Ia pun menyerahkan nyawa-Nya pada Bapa dan
mengatakan: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk.
23:46).123 Hal ini berarti kematian Kristus merupakan tindakan penyerahan diri
yang total pada kehendak Bapa-Nya dan kesetiaan pada misi-Nya untuk membawa
keselamatan bagi manusia. Pengalaman penderitaan, merasa ditinggalkan, dan
ketakberdayaan yang dialami oleh Yesus merupakan tanda ketabahan dan
kesetiaan serta penyerahan diri yang sempurna pada kehendak Bapa-Nya.
Kematian yang dialami Kristus menandakan bahwa Kristus juga masuk dalam
pengalaman manusia; penderitaan dan kematian. Oleh karena itu, kematian Kristus
merupakan tanda harapan bagi manusia bahwa penderitaan dan kematian
merupakan bagian dari solidaritas Allah terhadap manusia. Allah menghendaki
agar manusia berani untuk menghadapi kematian dan selalu berharap pada
keselamatan yang telah dijanjikan Allah melalui Kristus. Peristiwa kematian yang
dialami oleh Yesus memiliki tujuan, yakni Allah mengajak manusia untuk
mengerti dan memahami kematian Yesus, seperti yang dikatakan oleh Paulus
dalam suratnya di Roma: “Dalam Kristus kematian diubah menjadi kehidupan
karena Kristus telah mati untuk kita” (Rm. 5:8), “… sebab kematian-Nya adalah
kematian terhadap dosa, satu kali untuk selamanya” (Rm. 5:11).
Jadi dengan itu kita telah mati bersama Kristus, kita percaya bahwa kita
juga akan hidup dengan Dia, karena kita tahu bahwa Kristus sudah bangkit dari
antara orang mati, tidak mati lagi, dan maut tidak berkuasa lagi atas Dia. Sebab
kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya,
dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah. Apa yang dikatakan oleh Paulus
di atas memberi pengertian bahwa ketika manusia ikut dalam kematian Kristus
berarti dosa manusia telah ditinggalkan dan mati di salib Kristus untuk menuju
suatu yang baru dalam Dia, yaitu hidup kekal melalui kebangkitan-Nya. Kristus
123 P. C. Phan, op. cit., hal. 92-93.
87
mati satu kali untuk “mematikan” dosa selama-lamanya sehingga Ia hidup selama-
lamanya juga bagi Allah. Berhadapan dengan kematian reaksi manusia dalam
menanggapi kematian bermacam-macam, menolak dan menerima kematian
tersebut. Namun kematian Yesus menjadi harapan bagi manusia, dan dengan itu
manusia dapat menyesuaikan diri dengan kematian tersebut. “Mematikan” diri dari
pengaruh dosa merupakan tanda bahwa manusia hidup dalam rahmat Allah dan
penyerahan diri pada kehendak Allah demi mencapai kepenuhan hidup dalam
iman, harap, dan kasih.
4.3 Refleksi Teologis tentang Hidup sesudah Kematian
4.3.1 Kebangkitan Badan
Iman Kristen meyakini bahwa orang-orang benar sesudah kematiannya
akan hidup untuk selama-lamanya bersama Kristus yang telah bangkit dan Kristus
sendiri akan membangkitkan orang-orang mati pada akhir zaman. Seperti
kebangkitan-Nya, demikian pula kebangkitan manusia adalah karya Tritunggal
Mahakudus.124 Di sini, kebangkitan Yesus merupakan tanda kepenuhan dalam
karya penyelamatan Allah bagi manusia yang turut membawa nilai absolut bagi
manusia, yakni manusia dibebaskan sepenuhnya dari dosa. Dosa menjadi ancaman
yang dapat merusak dan menghancurkan manusia, di mana manusia terpisah dari
Allah dan tidak mengalami perlindungan dari Allah. Sementara itu, kebangkitan
Yesus merupakan perwujudan dari apa yang yang dikatakan dalam karya
pewartaan-Nya, yaitu pembebasan dari kematian kekal. Peristiwa kebangkitan
Kristus memberi tanda istimewa bagi manusia sebagai umat pilihan Allah yang
dipanggil untuk masuk dalam kesatuan dengan-Nya. Hidup, kemenangan, dan
kemanusiaan Yesus diperuntukkan bagi manusia dan keselamatannya.125
Karena itu, term “kebangkitan badan” sesungguhnya mengungkapkan
keyakinan bahwa Kritus yang datang pada akhir zaman itu akan membangkitkan
secara utuh.126 Dalam pengertian ini, kebangkitan badan selalu dihubungkan
dengan proses penyelamatan yang diwujudkan Allah di mana kebangkitan badan
124 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 256. 125 N. S. Dister, op. cit., hal. 581. 126 R. Ceme, op. cit., hal. 134.
88
dimengerti sebagai keadaan penyatuan dengan Allah, sehingga manusia
memperoleh kehidupan kekal dan tidak mengenal kematian. Lewat kematian
manusia dibawa pada pemahaman tentang suatu kehidupan baru yang lebih baik,
karena manusia memperoleh kepenuhan hidup dalam persatuan dengan Allah
secara langsung.
Kebangkitan badan sesungguhnya adalah anugerah hidup kekal yang
dihadiahkan Allah kepada semua orang yang Allah kehendaki dalam diri Yesus.
Ada banyak gambaran mengenai keadaan baru di dalam Kerajaan Allah. Gambaran
tersebut pada intinya menegaskan adanya hidup abadi yang merupakan anugerah
Allah dalam Kristus melalui kebangkitan badan, saat kepenuhan eksistensi
manusia seutuhnya terwujud. Yesus sendiri mengukuhkan kenyataan adanya
kebangkitan orang mati dalam diskusi-Nya dengan orang-orang Saduki (Mat.
22:23-33; Mrk. 12:18-27; Luk. 20:27-40). Terhadap pertanyaan orang Saduki
tentang misteri kematian, Yesus menjawab: “Karena pada waktu kebangkitan
orang mati, orang-orang yang tidak kawin dan dikawinkan lagi, melainkan hidup
seperti malaikat di surga”. Dari percakapan itu dapat dipahami bahwa kebangkitan
menuntut transformasi dari keadaan lama menuju keadaan yang baru yang
disediakan Allah bagi mereka yang layak. Kebangkitan tidak dipahami sebagai
peralihan hidup yang sekarang dengan segala aspek dan dimensinya kepada
kehidupan yang lain, yang disebut surga. Akan tetapi, kebangkitan merupakan
suatu keadaan baru sama sekali, di mana Allah membuat segala sesuatu menjadi
ciptaan yang baru di dalam Yesus Kristus.
Selanjutnya, menghadapi orang Saduki yang tidak percaya akan
kebangkitan orang mati, Yesus mengutip Perjanjian Lama yang mengatakan:
“Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (Mat. 22:32).
Maka semua orang yang percaya kepada-Nya akan mengambil bagian dalam
kehidupan-Nya. Nafas kehidupan yang telah dihembuskan Allah ke dalam diri
manusia sehingga manusia menjadi makhluk hidup yang tidak akan binasa dalam
kematian, melainkan akan hidup selamanya, karena nafas itu adalah hidup Allah
sendiri. Kenyataan ini sejalan dengan apa yang Yesus katakan pada Marta dalam
hubungan dengan kematian Lazarus: “Akulah kebangkitan dan hidup. Barangsiapa
percaya padaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang
89
hidup dan percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh. 11:25-26).
Allah yang telah memberi hidup kepada manusia tidak membiarkan hidup itu
binasa begitu saja, melainkan mengangkatnya ke tingkat kesempurnaan yang akan
terwujud pada akhir zaman, dan penggenapan itu masih harus dinantikan dalam
pengharapan. Allah yang telah membangkitkan Yesus dari alam maut akan
membangkitkan juga orang-orang mati.127 Hal ini berarti, sebagaimana yang
diajarkan dalam Kitab Suci, kematian telah diubah oleh Yesus Kristus, karena Ia
sendiri telah mengalami kematian. Karena ketaatan-Nya sendiri kepada kehendak
Bapa, Yesus telah mengubah kutukan kematian menjadi berkat.
Kebangkitan Kristus menjadi dasar pengharapan orang Kristen. Orang
Kristen percaya bahwa kebangkitan Kristus merupakan peristiwa sejarah dan
pokok iman Kristen yang mutlak. Yesus menegaskan bahwa: “Akulah kebangkitan
dan hidup” (Yoh. 11:25). Melalui sabda ini, kebangkitan badan dapat dijelaskan
dengan cara menghubungkan kebangkitan manusia dengan orang-orang yang
percaya dengan kebangkitan Yesus Sendiri. Meskipun tidak ada penjelasan yang
cukup memadai tentang bentuk kebangkitan itu sendiri, dapat diketahui bahwa
orang-orang yang percaya kepada Yesus akan memperoleh kebangkitan badan.
Paham ini turut mengafirmasi konsep “Akulah kebangkitan” bahwa Yesus tidak
bermaksud mengarisbawahi kekelan jiwa yang terpisah dari badan, sebaliknya
Yesus mengungkapkan badan-Nya merupakan contoh kebangkitan badan orang-
orang percaya.128 Dengan kata lain, Gereja mengajarkan bahwa oleh kematian,
jiwa dipisahkan dari tubuh, tetapi dalam kebangkitan Allah memberi kehidupan
abadi kepada badan yang telah diubah, dengan mempersatukannnya kembali
dengan jiwa kita. Seperti Kristus telah bangkit dan hidup untuk selamanya,
demikian kita semua akan bangkit pada hari kiamat. Hal demikian seperti
diungkapkan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Korintus: ”… jika Kristus tidak
dibangkitkan sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosa“ (1
Kor. 15-17).
Hubungan antara kebangkitan Kristus dengan iman Kristen dapat dilihat
dalam beberapa hal mendasar yang menjadi bagian penting sejarah iman Kristen.
127 R. Ceme, op. cit., hal 135. 128 Donald Gutherie, Teologi Perjanjian Baru 3, penerj. Lisda Tirtapraja Gamadhi, et.el., (Jakarta:
Gunung Mulia, 2001), hal. 171-172.
90
Pertama, kebangkitan Kristus mengubah segala hal yang berhubungan dengan
Yesus. Dalam peristiwa kebangkitan Yesus Kristus, Allah menegaskan kepada
umat beriman bahwa Yesus adalah benar-benar Putera Allah (Rm. 1:4). Hal ini
terjadi berdasarkan kesaksian iman Kristen perdana yang mewujudnyatakan iman
mereka bahwa Yesus Kristus sebagai yang Ilahi dahulu dan sekarang karena tidak
ada tokoh mesianis yang pernah mati dan bangkit kembali seperti Kristus. Kedua,
kebangkitan mengubah segala hal yang berhubungan dengan Yesus, bahwa kuasa
Allah Roh Kudus yang membangkitkan Kristus ternyata bekerja juga dalam diri
pengikut-Nya. Mereka mengakui dengan berani di hadapan orang Yahudi bahwa
Yesus yang telah disalibkan dan telah dibunuh kini telah dibangkitkan oleh Allah
dan dilepaskan-Nya dari sengsara maut (bdk. Kis. 2:22-34, 3:15, 4; 10, 5:30,
10:39-40). Oleh karena itu, dengan kekuatan Roh Kudus yang diperoleh dari
Yesus, dibangkitkan pula kepercayaan akan kebangkitan diri umat beriman seperti
yang dialami Yesus untuk memperoleh keabadian. Ketiga, kebangkitan
berhubungan dengan ciptaan Allah; melalui kebangkitan tubuh Kristus, kuasa
Allah merasuki seluruh ciptaan yang ada di bumi. Melalui peristiwa kebangkitan,
tampak sebuah gambaran tentang masa depan yang akan dialami umat beriman,
yakni peristiwa kebangkitan, karena dosa telah dikalahkan dengan kematian tubuh
dan jasmani. Hal ini merupakan tanda terciptanya dunia baru bagi manusia, bahwa
manusia lama telah digantikan oleh manusia baru.129
Paus Yohanes Paulus dalam Redemptoris Missionis (RM 10) menegaskan
bahwa:
… untuk orang-orang (non-Kristen), keselamatan di dalam
Kristus dapat diakses berdasarkan suatu rahmat yang,
walaupun memiliki hubungan misterius dengan Gereja, tidak
menjadikan mereka secara resmi bagian dari Gereja, tetapi
menerangi mereka dengan cara yang disesuaikan dengan
situasi spiritual dan material mereka. Rahmat ini datang dari
Kristus.
Ucapan Paus di atas dipandang sebagai penolakan yang jelas terhadap
ecclesio-sentrisme, harus dipahami bahwa akses ke Kerajaan hanya mungkin
melalui Gereja. Seseorang dapat mengambil bagian dalam Kerajaan Allah tanpa
129 Ibid., hal. 76.
91
harus menjadi anggota Gereja dan tanpa melewati pengantaraan Gereja. Para
teolog yang mengambil pendirian ini sama sekali tidak menyangkal bahwa
keselamatan manusia mana pun didasarkan pada kematian dan kebangkitan
Kristus. Bagi mereka, semua rahmat adalah Kristosentris. Mereka berpendapat
bahwa rahmat keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus menjangkau orang non-
Kristen tidak secara langsung melalui Gereja, tetapi dengan mengelak dari Gereja
“dengan cara-cara yang hanya diketahui Allah”. Schnackenburg tampaknya
menunjukkan hal ini secara tidak langsung dengan mengatakan: “Kerajaan Kristus
adalah istilah yang lebih komprehensif daripada Gereja.130
4.3.2 Pengadilan Terakhir
Gereja Katolik mengajarkan adanya dua macam Pengadilan Terakhir131
setelah kematian manusia, yakni Pengadilan Khusus yang diadakan sesaat setelah
kematian, dan kedua adalah Pengadilan Umum yang diadakan pada akhir zaman
setelah kebangkitan badan. Pertama, Pengadilan Khusus. Di dalam Katekismus
Gereja Katolik, perihal pengadilan khusus dijelaskan sebagai berikut.
KGK 678. Seperti para nabi (bdk. Ul. 7:10.Yl. 3-4; Mal. 3:19)
dan Yohanes Pemandi (bdk. Mat. 3:7-12), … di sana akan
disingkirkan tingkah laku (bdk. Mrk. 12:38-40) dan isi hati
yang paling rahasia dari setiap orang (bdk. Luk. 12:1-3; Yoh.
3.20-21; Rom. 2:16; 1 Kor. 4:5). Lalu ketidakpercayaan orang
berdosa, yang telah menolak rahmat yang ditawarkan Allah,
akan diadili (bdk. Mat. 11:20-24; 12; 41-42). Sikap terhadap
sesame akan menunjukkan, apakah orang yang menerima atau
menolak rahmat dan cinta Allah (bdk. Mat. 5:22, 7:1-5)Yesus
akan mengatakan: “.. segala sesuatu yang kamu lakukan untuk
salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu
telah melakukan untuk Aku” (Mat. 25:40).
130 John Fuellenbach, Church: Comuniity for the Kingdom (Revised and Expanded Edition)
(Manila: Logos Publications, 2001), hal. 309-310. 131 Dalam ajaran Gereja Katolik, istilah yang digunakan adalah “pengadilan”. Hal ini berbanding
terbalik dengan ajaran Kitab Suci, yang menggunakan kata “penghakiman” (Mat. 15), di mana Sang
Hakim yakni Allah sendiri akan mengadili manusia tanpa pembelaan-pembelaan dari pihak lain.
Keputusan Allah adalah keputusan yang tidak dapat diganggu-gugat atau diintervensi pihak
manapun. Karena itu, dalam bahasan ini, “pengadilan” dipahami atau dibaca dalam konteks
“penghakiman” sebagaimana yang diajarkan di dalam Kitab Suci.
92
KGK 679. Kristus adalah Tuhan kehidupan abadi. Sebagai
penebus dunia, Kristus mempunyai hak penuh untuk mengadili
pekerjaan dan hati manusia secara defenitif. Ia telah
“mendapatkan” hak ini oleh kematiannya di salib. Karena itu,
Bapa “menyerahkan seluruh pengadilan kepada putera-Nya”
(bdk.Yoh. 5:27; Mat. 25:31; Kis. 10; 41; 17:31; 2 Tim. 4:1).
Akan tetapi, Putera tidak datang untuk mengadili, tetapi untuk
menyelamatkan (bdk. Yoh. 3:17) untuk memberikan yang ada
pada-Nya (bdk. Yoh. 5:26). Barangsiapa yang menolak rahmat
dalam kehidupan ini, telah mengadili dirinya sendiri (bdk. Yoh.
3:18; 12:48). Setiap orang yang menerima ganjaran atau
menderita kerugian sesuai dengan pekerjaan-Nya (bdk. 1 Kor.
3:12-15) ia malahan dapat mengadili dirinya sendiri untuk
keabadian, kalau ia tidak mau tahu (bdk. Mat. 12:32; Ibr. 6:4-6;
10:26 -31) tentang cinta.132
Di samping itu, kisah Lazarus dan orang kaya (Luk. 16:16-31) serta
penyamun yang bertobat (Luk. 23:33-43) merujuk pada Pengadilan Khusus. Di
dalam Pengadilan Khusus, masing-masing orang akan diadili secara pribadi oleh
Yesus Kristus. Sesudah Pengadilan Khusus itu, masing-masing orang akan
ditentukan apakah layak untuk masuk surga, neraka, atau masih perlu dimurnikan
terlebih dahulu di dalam api penyucian. Penentuan dalam Pengadilan Khusus ini
dilakukan oleh Yesus dan tidak dapat diubah atau ditarik kembali.133
Kedua, Pengadilan Umum (General Judgement). Pengadilan ini diadakan
pada akhir zaman, sesudah kebangkitan badan, dan dengan Yesus Kristus sebagai
hakim utamanya. Pengadilan ini tidak bersifat pribadi, yakni antara manusia dan
Yesus Kritus, melainkan di hadapan semua orang. Pada saat inilah segala
perbuatan baik dan jahat dipermaklumkan di hadapan semua mahkluk (bdk. Luk.
8:17). Seluruh bangsa akan dikumpulkan di hadapan takhta Kristus dan Dia akan
mengadili semua orang, yang baik akan dipisahkan dari yang jahat seperti domba
dan kambing dipisahkan (bdk. Mat. 25:32-33). Pengadilan ini juga merupakan
pengumuman hasil dari Pengadilan Khusus tiap-tiap orang di hadapan segala
ciptaan lain. Hasil pengadilan itu memunculkan penghargaan ataupun
penghukuman. Manusia akan mengalami kepenuhan hidup bersama Allah di dalam
Surga jika ia layak menerima penghargaan tersebut. Inilah yang disebut sebagai
132 Katekismus Gereja Katolik, op., cit., hal. 180-181. 133 N. S. Dister, op. cit., hal. 592.
93
kebahagiaan sempurna dan kekal dalam Tuhan. Sebaliknya, manusia akan
mengalami kehidupan yang mengerikan di neraka jika keadilan Tuhan menentukan
demikian, sesuai dengan perbuatan manusia itu sendiri. Ini yang disebut sebagai
siksa kekal.134
Secara khusus, Katekismus Gereja Katolik menulis tentang pengadilan
umum sebagai berikut:
Pengadilan Terakhir akan berlangsung pada kedatangan
kembali Kristus yang mulia. Hanya Bapa yang mengetahui hari
dan jam, Ia sendiri menentukan kapan itu akan terjadi. Lalu
melalui Putra-Nya Yesus Kristus, Ia akan menilai secara
definitif seluruh sejarah. Kita akan memahami arti yang
terdalam dari seluruh karya penciptaan dan seluruh tata
keselamatan dan akan mengerti jalan-jalan-Nya yang
mengagumkan, yang di atasnya penyelenggaran Ilahi telah
membawa segala sesuatu menuju tujuannya terakhir.
Pengadilan Terakhir akan membuktikan bahwa keadilan Allah
akan menang atas segala ketidakadilan yang dilakukan oleh
makhluk ciptaan-Nya, dan membawa cinta-Nya lebih besar
dari kematian (bdk. Kid. 8:6).135
Hal ini berarti Pengadilan Umum adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada
kedatangan Yesus Kristus, di mana umat manusia dari segala bangsa akan
dikumpulkan dan diadili. Keputusan yang ada dalam Pengadilan Umum tersebut
akan menjadi penentu nasib seseorang yang meninggal, yaitu diperkenankan untuk
masuk kehidupan kekal atau siksaan yang kekal. Pengadilan Umum ini terjadi
ketika semua orang mati, baik yang termasuk dalam golongan orang benar maupun
orang-orang jahat, akan dibangkitkan dan diadili menurut apa yang dilakukannya
selama masih berkanjang di dunia ini. Gambaran tentang Pengadilan Terakhir ini
dapat saja mengaburkan pandangan dan pemahaman manusia tentang Allah, di
mana Allah dilihat sebagai Penghukum, bukan lagi Kasih. Pengertian seperti ini
mempersempit hakikat Pengadilan Terakhir sebagaimana yang diajarkan Kitab
Suci dan berseberangan dengan misi Yesus Sendiri yang datang bukan untuk
menghukum dunia melainkan untuk menyelamatkannya.136
134 Ibid. 135 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 268-269. 136 R. Ceme, op. cit., hal. 14.
94
Oleh karena itu, Allah dalam peristiwa Pengadilan Terakhir mesti dilihat
sebagai Allah yang penuh kasih. Di atas dasar kasih, seseorang akan diberikan
ganjaran kehidupan kekal atau hukuman. Kebenaran dan kesalahan objektif dari
setiap orang dan segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia akan dibeberkan dan
ditimbang dalam kasih.137 Dengan demikian, konsep tentang Pengadilan Terakhir
tidak mesti ditafsir sebagai momen balas dendam atau balas jasa dari Allah.
Pengadilan merupakan perjumpaan antara manusia dan Allah dalam diri Yesus
Kristus. Dalam perjumpaan tersebut, manusia akan menyadari situasi
keberdosaannya di hadapan Allah dan di dalam diri Yesus Kristus. Dalam
pertemuan tersebut, Allah dalam diri Yesus Kristus akan tampil selalu dalam cinta
dan kebenaran di hadapan semua manusia yang dibangkitkan, secara khusus bagi
mereka yang percaya kepada Allah dalam Yesus Kristus. Di sini, pengadilan
membutuhkan iman dan kepercayaan dari manusia. Pengadilan Terakhir
merupakan pemenuhan (keselamatan) bagi mereka yang percaya, tetapi bagi
mereka yang tidak percaya dan menolak Allah bentuk pengadilan yang diterima
berupa sebuah hukuman.138 Jadi dalam Pengadilan Terakhir, keadilan dan kasih
Allah akan ditegakkan dan direalisasikan secara sempurna untuk setiap orang tanpa
terkecuali.
Jika diperuntukkan untuk semua orang hal itu berarti soal keselamatan
tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang beriman saja akan tetapi orang yang
tidak mempunyai kepercayaan kepada Kristus, bahkan tidak pada Allah seperti
yang diutarakan oleh Frans Magnis Suseno, bahwa manusia dapat diselamatkan
apabila ia taat pada suara hatinya. Dengan kata lain siapa yang mengikuti suara
hatinya, ia taat pada tuntutan mutlak untuk memilih yang baik dan menolak yang
buruk. Jadi ia taat pada Yang Mutlak itu sekaligus disadari sebagai Yang Baik,
yang Mutlak-yang Baik itulah hakikat iman. Iman dalam arti yang paling inti
adalah pasrah kepada yang-Mutlak Yang- Baik yang terjadi pada setiap kali orang
memiliki sikap moral. Hal ini tidak berarti pengakuan eksplisit tidak penting lagi,
tetapi pengakuan ekplisit, misalnya sebagai orang Kristiani yang percaya pada
Allah dalam Yesus adalah kosong kecuali menjadi nyata dalam penyerahan dalam
137 Ibid., hal. 115. 138 Ibid.
95
tuntutan mutlak kebaikan yang disadari dalam hati nurani. Tidak ada iman dengan
hati tertutup terhadap saudara.139
4.4 Kenyataan Hidup setelah Kematian
4.4.1 Api Penyucian
Dalam bahasa Latin, Api Penyucian sering disebut dengan nama
purgatorium (Inggris: purgatory). Dalam teologi Katolik, purgatorium adalah
suatu keadaan antara atau peralihan setelah kematian jasmani yang melaluinya
mereka yang ditentukan ke surga menjalani pemurnian sehingga mencapai
kekudusan yang diperlukan untuk memasuki kegembiraan surgawi. Dalam tradisi
Gereja Katolik, keyakinan akan adanya purgatorium ini ditinjau dari kebiasaan
orang-orang pada zaman dahulu, bahkan sebelum Yesus Kristus, dalam hal
mengurus orang-orang yang telah mati dan berdoa bagi mereka demi
pemurniaannya dalam kehidupan setelah kematian. Dengan kata lain, keyakinan
akan pemurniaan dalam hidup setelah kematian dari dunia ini didasarkan pada
praktik berdoa untuk arwah, sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Suci dan
diterapkan oleh umat Kristen sejak awal. Praktik ini mengandaikan bahwa arwah
yang didoakan ada dalam fase antara kematian jasamani dan rohani, sehingga doa-
doa tersebut bertujuan menyelamatkan mereka.140
Dengan demikian, keyakinan akan adanya Api Penyucian tersebut
berkaitan erat dengan kehidupan setelah kematian. Menurut Georg Kirchberger,
jika manusia mengalami kematian, jiwa yang berada dalam Api Penyucian adalah
jiwa yang dipenuhi dengan rahmat Allah dan cinta Allah. Cinta Allah tersebut
disimbolkan dengan “api”. “Api” yang dimaksudkan di sini adalah api cinta yang
senantiasa bernyala untuk membakar dan membersihkan noda yang melekat dalam
diri karena sikap ego manusia. Manusia harus melewati tahapan di Api Penyucian
karena dalam hidup manusia ada banyak kekurangan, yakni tidak membentuk diri
dalam cinta. Hal inilah yang mengakibatkan diri manusia menjadi cacat. Setelah
manusia dibersihkan dari keegoisan pribadi maka manusia mengambil bagian
139 Frans Magnis-Suseno, Iman dan Hati Nurani (Jakarta: Obor, 2014), hal. 7-9. 140 Wikipedia Bahasa Indonesia, “Purgatorium”, https://id.wikipedia.org/wiki/Purgatorium, diakses
pada 15 Januari 2020.
96
dalam komunikasi cinta yang murni dan sempurna dan memperoleh kebahagiaan
di dalam-Nya. Hal ini berarti bahwa di dalam Api Penyucian, Allah kembali
memilihkan kodrat manusia yang telah rusak akibat dosa dan mengenakan kembali
hakikatnya sebagai ciptaan baru dan bersatu dengan-Nya.141
Sejalan dengan pandangan itu, Katekismus Gereja Katolik berbicara
tentang hukuman karena dosa, bahkan dalam kehidupan ini, sebagai salah satu dari
segala macam penderitaan dan cobaan. Katekismus Gereja Katolik nomor 1030
menjelaskan purgatorium sebagai pemurniaan yang diperlukan karena suatu
keterikatan yang tidak sehat terhadap makhluk-mahkluk, atau sebagai pemurnian
yang membebaskan seseorang dari apa yang dinamakan dengan “siksa dosa
sementara” dan hukuman yang “tidak boleh dipandang sebagai balas dendam yang
ditimpakan Allah dari luar, tetapi sebagai sesuatu yang timbul dari hakikat dosa itu
sendiri”.142 Hal ini berarti bahwa tujuan dari purgatorium adalah untuk
memurnikan manusia dari segala dosa dan melepaskan manusia dari segala
keterikatan duniawi agar ia dapat sepenuhnya mengalami kegembiraan surgawi
bersama Allah.
Magisterium Gereja mengajarkan juga tentang Api Penyucian yang
diwujudkan dalam konsili-konsili dan surat apostolik lainnya, misalnya dalam
Konsili Lyon I (1254). Di situ, purgatorium didefinisikan sebagai berikut:
Berdasarkan Kitab Suci dan karena orang-orang yang Yunani
percaya bahwa jiwa-jiwa mereka yang sudah meninggal
mengalami dosa tetapi belum menjalankannya, atau mereka
yang meninggal tanpa dosa berat, dapat disucikan sesudah
meninggal dengan pertolongan Gereja, karena mereka
mengatakan sesuatu tempat penyucian yang belum
diberitahukan kepada mereka nama yang tepat dan pasti oleh
guru-guru mereka, kami dengan ini menyebutnya purgatorium
sesuai dengan tradisi dan otoritas dari Bapa tersuci, dan
berharap agar di kemudian hari akan disebut demikian, di
dalam Api sementara untuk dosa-dosa yang kecil, yang bukan
dosa berat, yang belum dihapuskan oleh penebusan dosa,
dibersihkan dan ini berlaku terutama sesudah meninggal, jika
diampuni sewaktu hidup.143
141 G. Kirchberger, Allah Menggugat, op. cit., hal. 295. 142 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 266. 143 R. Jokopranoto, Misteri Api Penyucian (Jakarta: Obor, 2013), hal. 24.
97
Selanjutnya, pandangan tentang Api Penyucian mendapat perhatian khusus
dalam teologi Katolik, sekalipun Kitab Suci sendiri baik Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru tidak secara eksplisit menyebut adanya Api Penyucian, misalnya
yang termuat dalam 2 Mak. 12; Mat. 5:25-26; 12; 31-32; 1 Kor. 3:11-15. Namun,
teks-teks ini mendukung dikembangkannya ajaran tentang Api Penyucian.
Perkembangan ajaran ini dimulai oleh keyakinan akan keadilan Allah dan praktik
umum orang-orang Kristen yang berdoa sejak abad II dan merayakan Ekaristi sejak
abad ke-3 bagi keselamatan orang-orang yang meninggal. Praktik seperti ini dapat
ditemukan dalam semua liturgi pemakaman seperti yang termuat dalam tulisan
bapa-bapa Gereja di antaranya Tertulianus, Origenes, Siprianus, Ambrosius,
Agustinus, Basilius, Geregorius dari Nansian, Gregorius dari Nisa, Yohanes
Kristotomus, dan Paus Gregorius Agung.144 Hal ini sejalan juga dengan apa yang
ditulis Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus. Paulus berbicara
mengenai Api Penyucian dengan mengatakan demikian:
Sekali kelak pekerjaan masing-masing akan tampak. Karena
hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan tampak dengan
api dan bagaimana pekerjaan masing-masing akan diuji oleh
api. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, iaakan
mendapat upah. Jika pekerjaanya terbakar, ia akan mendapat
kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari
api (1 Kor. 3:13-15).
Di sini, Paulus tidak hanya menegaskan bahwa setiap orang yang beriman
akan diuji menurut kerajaan-Nya, tetapi juga ada keadaan di mana orang beriman
harus menanggung akibat dari perbuatannya. Berdasarkan pernyataan tersebut,
gambaran mengenai Api Penyucian lebih dipahami sebagai pemurniaan bagi
orang-orang yang sudah diterima Tuhan, orang-orang yang sudah diselamatkan
tetapi masih harus menanggung kerugian sebagai akibat dari perbuatan-
perbuatannya yang tidak tahan uji. Secara umum dikatakan bahwa, Api Penyucian
adalah tempat atau keadaan di mana terjadi proses pemurnian atau pembersihan
jiwa-jiwa agar mencapai suatu kemurnian sehingga seseorang layak masuk dalam
kemuliaan Allah.
144 R. Ceme, op. cit., hal. 114.
98
Meskipun demikian, pandangan tentang Api Penyucian tersebut
mengindikasikan adanya “salah kaprah” di tengah kehidupan orang Kristen. Api
Penyucian dimengerti sebagai sebuah tempat tertentu, tempat hukuman, yang
disiapkan Allah untuk orang-orang yang belum layak masuk surga. Namun, Api
Penyucian bukan merupakan suatu tempat hukuman dalam kategori waktu,
melainkan sebagai keadaan yang tidak lagi dipengaruhi oleh yang duniawi atau
sebagai cara hidup setelah kematian yang mempunyai hubungan khusus dengan
Allah. Di dalam Api Penyucian, orang-orang yang telah meninggal mempunyai
relasi cinta yang lebih dekat dengan Allah, meskipun mereka belum memandang
wajah Allah secara langsung, dari muka ke muka. Dalam arti tertentu, penderitaan
mereka dalam proses pemurniaan itu diakibatkan karena kerinduan eksistensial
mereka untuk memandang wajah Allah atau berdialog langsung dengan Alah
belum terwujud.145
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa pandangan
tentang Api Penyucian atau purgatorium itu selalu dihubungkan dengan dosa-dosa
yang dilakukan manusia. Menurut doktrin Gereja Katolik, sebagian jiwa belum
bebas sepenuhnya dari efek temporal dosa dan konsekuensinya untuk dapat
langsung memasuki keadaan surga, sementara sebagian lainnya sedemikian
berdosa dan penuh kebencian kepada Kristus sehingga memasuki keadaan neraka.
Jiwa-jiwa tersebut, yang ditentukan berakhir dalam persatuan dengan Allah dalam
surga, pertama-tama perlu dibersihkan terlebih dahulu melalui Api Penyucian. Di
situ jiwa-jiwa itu berjuang meraih kekudusan yang diperlukan untuk memasuki
kegembiraan surga.146 Dengan demikian perlu dibedakan juga mengenai dosa berat
dan dosa ringan. Hal ini penting untuk diketahui demi memahami lebih lanjut
pengajaran mengenai Api Penyucian. Dosa berat adalah dosa yang objeknya hal-
hal yang berat dan dilakukan dengan perbuatan penuh dan persetujuan yang telah
dipertimbangkan, sehingga jika tidak ditebus melalui penyesalan dan
pengampunan Allah akan mengakibatkan seseorang yang berdosa berat dianggap
sebagai pengecualian dari Kerajaan Kristus dan hanya layak mengalami kematian
abadi dalam neraka. Sebab, kebebasan manusia memiliki kuasa untuk membuat
145 Ibid., hal. 149. 146 Wikipedia Bahasa Indonesia, ibid.
99
pilihan untuk selama-lamamnya tanpa dapat ditarik kembali. Sebaliknya, dosa
ringan tidak menjadikan manusia bertentangan secara langsung dengan kehendak
dan persahabatan dengan Allah, dan konsekuensi dari itu adalah kebahagiaan kekal
dalam surga. Namun, karena dosa ringan turut memperlemah kasih,
memanisfestasikan afeksi yang tidak semestinya pada barang-barang ciptaan dan
menghambat kemajuan jiwa dalam melakukan kebajikan-kebajikan serta kebaikan
moral, maka dosa ringan mengakibatkan hukuman sementara (temporal).147
4.4.2 Surga
Istilah “surga” adalah terjemahan dari bahasa Yunani Ourainos dan bahasa
Ibrani Syamayim. Term ini bisa dipahami sebagai tempat tinggal Allah, para
malaikat dan orang kudus yang mendapat keselamatan kekal. Dalam konteks
rencana keselamatan Allah dalam Yesus Kristus, surga dipandang sebagai keadaan
yang bertentangan dengan neraka. Neraka menggambarkan keadaan yang terkutuk
atau terhukum, yang di dalamnya tidak ada kebahagiaan sama sekali, karena setiap
orang teralienasi dari Allah, sesama dan dirinya sendiri. Di sana hanya ada
kematian abadi. Sedangkan surga menggambarkan keadaan dan kualitas rahmat
keselamatan, yang di dalamnya hanya ada kebahagiaan absolut dan kekal, karena
menjadikan Allah segala-galanya untuk setiap individu dan bagi komunitas
universal, dan pada saaat yang sama baik orang perorangan maupun komunitas
menjadi segala-galanya bagi Allah. Dengan kata lain, di dalam surga hanya ada
cinta yang membahagiakan, yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata
manusiawi. Inilah keselamatan dan kehidupan abadi (bdk. Mat. 25:34).148
Gereja mengajarkan bahwa setelah kehidupan berakhir di dunia ini,
manusia akan menemukan suatu kediaman abadi karena pada dasarnya hidup
manusia di dunia ini adalah peziarahan menuju rumah Bapa di surga. Surga adalah
suasana cinta dan persaudaraan yang membahagiakan. Dengan demikian, bagi
manusia, kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Hal tersebut diajarkan
dalam Katekismus Gereja Katolik nomor 1024, bahwa:
147 Ibid. 148 R. Ceme, op. cit., hal. 148.
100
Kehidupan yang sempurna bersama Tritunggal Mahakudus ini,
persekutuan kehidupan dan cinta bersama Allah, bersama
perawan Maria, bersama para malaikat dan orang kudus,
dinamakan surga. Surga adalah tujuan terakhir pemenuhan
kerinduan terdalam manusia, keadaan bahagia tertinggi dan
definitif.149
Hal ini berarti, surga adalah tempat berkat, di mana orang-orang yang
diselamatkan hidup bersama Allah dalam kebahagiaan yang ada batasnya. Namun,
anggapan ini kelihatannya mempersempit pengertian surga sebagai suatu tempat,
dan dengan demikian agaknya menempatkan Allah dalam batas ruang dan waktu
tertentu, padahal Allah adalah “semua dalam semuanya”. Tradisi Kristen
menggunakan simbol tertentu untuk melukiskan surga. Surga selalu dibayangkan
sebagai “yang ada di atas segalanya” atau “yang tertinggi dari semuanya”, untuk
mengekspresikan kesempurnaan eksistensi manusia karena sudah diselamatkan
oleh Allah. Dalam pengertian ini, surga mesti dipahami sebagai pertemuan pribadi
dari “muka ke muka” dengan Allah, asal dan tujuan dari hidup dan eksistensi
manusia.150
Surga bukanlah suatu tempat, melainkan suatu keadaan dan kualitas rahmat
dan keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai komunitas
yang berkomunio dengan Allah dalam cinta yang tak terbagi. Di dalam komunio
ini, semua orang yang diselamatkan adalah orang-orang yang “satu dalam Kristus”
dan memandang wajah Allah secara langsung. Keselamatan individu baru
sempurna ketika manusia bahkan alam semesta dianugerahi kepenuhan oleh Allah
dalam Yesus Kristus dalam persatuan dengan Roh Kudus. Di dalam surga hanya
ada cinta timbal-balik yang sempurna antara Tuhan dan manusia, di mana manusia
dibebaskan dari “mencari diri sendiri”, dengan demikian memungkinkan manusia
untuk memberikan dirinya kepada Allah dalam cinta yang total dan Allah
memberikan diri-Nya kepada manusia. Dalam konteks ini, surga merupakan
sebuah dialog cinta, komunikasi mendalam antara manusia dan Allah dan orang
kudus. Surga ini diwarnai oleh persaudaraan yang sempurna, di mana semua orang
149 Herman Embuiru, Marga Bahagia (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1992), hal. 265. 150 R. Ceme, op. cit., hal. 150.
101
diselamatkan bersama Kristus di dalam rumah cinta Allah dalam ikatan Roh
Kudus.
Sementara itu, teologi Perjanjian Baru mendeskripsikan surga dalam
hubungannnya dengan eksistensi Allah. Surga adalah kondisi atau tempat di mana
Allah meraja. Realitas surga mengungkapkan cinta yang relasional antara Allah
dan manusia, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup. Dengan itu, teologi
Perjanjian Baru mau mengungkapkan kebahagiaan manusia dalam kesatuan
dengan Allah. Kesatuan itu diperoleh sebagai sebuah rahmat yang mencapai
kesempurnaannya yang definitif. Maka, surga adalah dialog cinta, komunikasi
mendalam dengan Allah. Kesatuan itu diperoleh sebagai sebuah rahmat yang
mencapai kesempurnaannya yang definitif. Surga adalah persaudaraan sempurna
dengan semua orang kudus bersama Kristus di dalam rumah Bapa dalam ikatan
Roh Kudus.151
Selanjutnya, Mc Dannel dan Bernard Lang membagi dua gagasan pokok
tentang surga, seperti dikutip oleh Peter C. Phan. Dalam menjawabi pertanyaan
mengenai surga, Phan menjelaskan bahwa: gambaran tentang firdaus dan surga
dalam teologi Kristen mewujudkan dua gagasan pokok, yaitu surga sebagai
kesatuan mesra dengan Allah dan kontemplasi Allah, dan surga sebagai persatuan
dengan seluruh umat beriman. Dengan demikian, surga sesungguhnya adalah
terpenuhinya kerinduan-kerinduan terdalam dari hati manusia untuk memperoleh
kedekatan dengan Allah, kedamaian, perlindungan, istirahat kekal, keindahan, dan
kebahagiaan bersama dengan Allah dan sesame, juga dengan semua ciptaan
Allah.152
4.4.3 Neraka
Istilah neraka digunakan untuk mengungkapkan sebuah misteri gelap dan
menyeramkan yang bakal diterima oleh orang yang berdosa dan tidak bertobat.
Kita membayangkan bahwa ada sesuatu atau keadaan yang mengerikan dan
menakutkan serta penderitaan yang tak berujung yang akan menimpa semua orang
yang melakukan kejahatan tetapi tidak mau bertobat hingga akhirat. Namun,
151 Georg Kirchberger, Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia, op. cit., hal. 46. 152 P. C. Phan, op. cit., hal. 115-116.
102
neraka bukan pertama-tama adalah tempat, melainkan sesuatu keadaan yang
dialami oleh orang-orang yang menolak Allah dan dengan penuh kebebasan
memilih untuk tidak bertobat. Deskripsi tentang neraka seperti ini membawa
problem teologis tersendiri bila dihubungkan dengan cinta Allah yang tak terbatas
dan tak bersayarat sebagai esensi Allah yang paling hakiki.153 Neraka adalah tidak
ada komunikasi. Manusia berada di dalam isolasi total, terkekang di dalam dirinya
sendiri, tanpa kontak positif dengan orang lain, serta membenci dan menolak orang
lain. Yesus sendiri berbicara dengan jelas mengenai neraka: “Siapa yang berkata:
Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat. 5:22). Hal ini
berarti Yesus tidak berbicara mengenai neraka sebagai suatu keadaan, tetapi untuk
mengundang orang bertobat dan menerima Kerajaan Allah.
Istilah neraka berasal dari bahasa Ibrani gehenna yang diterjemahkan
secara bebas sebagai neraka. Kata neraka ini berpautan dengan nama sebuah
lembah yang terletak di kota Yerusalem, yang biasa digunakan sebagai tempat
pembuangan dan pembakaran sampah-sampah. Lembah itu dalam bahasa Ibrani
disebut hinnom. Orang Israel membayangkan dan mempersandingkan dahsyatnya
nyala api di lembah hinnom tersebut dengan hukuman yang akan menimpa orang
berdosa dan kaum kafir. Dengan kata lain, lembah hinnom dijadikan sebagai kiasan
yang mendeskripsikan tempat siksaan bagi orang-orang jahat.154
Tidak hanya istilah hinnom saja yang dikenal dalam masyarakat Israel.
Masyarakat Yahudi juga memiliki istilah tersendiri untuk mengartikan gehenna.
Orang Yahudi meyakini bahwa semua orang mati, baik yang jahat atau yang baik,
semuanya akan masuk ke dalam neraka atau Syeol dalam bahasa Ibrani, atau hades
dalam bahasa Yunani. Syeol adalah dunia yang paling bawah, daerah kegelapan
(bdk. Ayb. 10:21) dan tempat yang penuh dengan debu di bawah bumi (Ayb.
17:16). Namun setelah adanya kepercayaan akan kebangkitan orang mati maka
dalam tulisan Perjanjian Lama mulai ada suatu perbedaan yang terlihat secara jelas
antara mereka yang baik akan dibangkitkan sesudah kematian untuk memperoleh
hidup baru dan kekal (bdk. Dan. 12:2, 2 Mak. 7:9, 11, 14, 23), dan disambut oleh
Allah (bdk. Mzm. 49:15). Sedangkan mereka yang jahat dihukum (Yes. 50:11,
153 G. Kirchberger, Allah Menggugat, op. cit., hal. 293. 154 Stanislaus Surip, Rahasia di Balik Paskah 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hal. 85-86.
103
66:24, Ydt. 16:17, Keb. 4:19) dan bangkit untuk menemui kutuk dan aib (Dan.
12:2, 2 Mak. 7:14). Hukuman yang diperoleh adalah dibakar dengan api dan
dimakan ulat. Api melambangkan kehancuran dan ulat-ulat melambangkan
kebusukan (bdk. Yes. 50:11, 66:24).
Secara umum dalam Kitab Suci, term gehenna digunakan dalam arti
figuratif, sebagai tempat hukuman abadi yang diperuntukkan bukan saja bagi setan
dan penghulunya, tetapi bagi semua orang yang tidak beriman dan tidak bertobat
(bdk. Mat. 25:41, 5:29, 13;42, 22:13). Kitab Suci memakai gambaran-gambaran
untuk orang berdosa setelah pengadilan terakhir. Mat. 8:12 melukiskan neraka
sebagai kegelapan yang paling gelap. Neraka juga dilihat sebagai tempat
penghukuman bagi orang yang berdosa (Mat. 9:48). Sedangkan dalam Mrk. 3:28
ditulis kata-kata Yohanes Pembaptis dan Yesus bahwa orang yang tidak bertobat
akan dibuang ke dalam api yang menyala-nyala dan tidak akan pernah keluar dari
sana.155
Menegaskan arti gehenna seturut pendasaran Kitab Suci, Katekismus
Gereja Katolik nomor 1034 juga berbicara mengenai istilah gehenna yang
digunakan Yesus untuk mengidentifikasikan tempat penghukuman abadi dengan
siksa dan api yang tak terpadamkan bagi mereka yang jahat dan menolak untuk
percaya dan bertobat serta mengubah cara pandang dan pola tingkah laku, sehingga
hukuman neraka yang terutama adalah terpisahnya jiwa dari Tuhan untuk selama-
lamanya karena manusia terbelenggu di dalam keegoisannya sendiri. Di gehenna,
orang akan mengalami kehilangan kasih Allah, kehilangan hidup bersama Allah,
dan kehilangan kebahagiaan.156 Hal ini menegaskan paham neraka yang diutarakan
Michael Simpson, di mana neraka diartikan sebagai sebuah simbol yang
menyatakan kematian abadi. Kematian abadi merupakan sebuah eksistensi yang
terkucil dari Allah dan para kudus-Nya. Ini berarti manusia manusia mengalami
kegagalan untuk mendapatkan kepenuhan hidup, yakni berada dalam ketertutupan
diri sendiri, ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan bagi pribadi yang lain,
ketidakmampuan untuk mengalami keindahan dan juga ketidakmampuan untuk
berelasi dengan Tuhan melalui doa. Dengan kata lain, neraka merupakan gambaran
155 R. Ceme, op. cit., hal. 120. 156 Katekimus Gereja Katolik, op. cit., hal. 267.
104
tentang keterasingan hidup dengan Allah dan sesama dan kegagalan untuk
memenuhi harapan untuk menikmati kebahagiaan karena manusia telah
membangun kehidupan di atas dasar yang palsu dan tidak berdasarkan misteri
Ilahi.157
Namun, pengertian neraka sebagai sebuah keadaan ketimbang tempat
ternyata melahirkan sebuah persoalan teologis tersendiri. Jika neraka dihubungkan
dengan cinta Allah yang tak terbatas dan tak bersayarat maka akan tampak adanya
ketegangan antara cinta Allah itu dengan pemberian hukuman kepada orang yang
berdosa. Bagaimanapun juga ajaran tentang hukuman abadi tersebut secara jelas
diajarkan dalam Kitab Suci.158
4.5 Kesimpulan
Ajaran Kristen mengenai kematian dan hidup kematian pada dasarnya
merupakan pengalaman iman. Gereja katolik mengajarkan pengalaman iman ini
mengacu pada Kitab suci, magisterium, trdisi Gereja dan beberapa pandangan
teologis lain dari bapa-bapa Gereja. Gereja mengarahkan manusia untuk
menanggapi peristiwa kehidupan dan kematian dengan sikap iman. Iman yang
dijalankan oleh manusia adalah melaksanakan kehendak Allah dan mengamalkan
dalam sikap hidup sehari-hari. Karena manusia adalah ciptaan Allah yang secitra
dengan-Nya diberi kuasa untuk menggunakan kebebasan serta memelihara
ciptaannya secara bertanggungjawab sebagai bukti cinta Allah kepada manusia.
Dengan kehendak bebas yang diberikan oleh Allah manusia jatuh dalam
dosa. Dosa membuat manusia terasing dari Allah dan sesama manusia, tidak ada
relasih kasih antara Allah dan manusia. Pada satu sisi Allah mencintai manusia
sebagai ciptaannya yang mulia, la memanggilnya agar lebih dekat dengan-Nya.
Karena pada dasar-nya Allah adalah kasih, ia ingin memperbaiki relasi dengan
manusia dalam diri Puter-Nya Yesus Kristus. Yesus kistus tanda kehadiran Allah
yang menyelamatkan manusia dari kematian akibat dosa dan mediator dengan
Allah. Wafat dan kebangkitan Kristus menjadi puncak dan penjamin kebangkitan
manusia yang mengalami kematian. Maka, berkat kematian Kristus, manusia pun
157 Michael Simpson, op. cit., hal. 67-69. 158 Milard J. Erikson, Christian Theology (Michigan: Bake Books, 1998), hal. 1242.
105
mengalami kebangkitan kekal dalam keabadian. Manusia bangkit bersama Kristus
dan bangkit pula bersama Kristus. Persoalan kebangkitan ini hanya dapat dijawab
dengan gagasan iman. Dan keyakinan iman kita menegaskan ada kehidupan baru
setelah kematian sehingga mendorong manusia untuk memberi makna terhadap
hidupnya sendiri. Dan kenyataan hidup setelah kematian ada dalam keadaan Api
Penyucian, surga dan neraka.
106
BAB V
PERBANDINGAN MAKNA DI BALIK RITUS KEMATIAN
MASYARAKAT SUKU EMBU LEJA DENGAN PANDANGAN GEREJA
KATOLIK TENTANG KEMATIAN DAN HIDUP SESUDAH KEMATIAN
SERTA IMPLIKASINYA BAGI KARYA PASTORAL GEREJA
Kematian pada dasarnya merupakan pengalaman iman. Gereja Katolik
mengajarkan pengalaman iman ini dengan mengacu pada ajaran Kitab Suci,
Magisterium, tradisi Gereja, dan pandangan teologis dari beberapa teolog. Melalui
ajaran-ajaran tersebut, Gereja berusaha mengarahkan umat-Nya untuk menanggapi
peristiwa kematian dengan sebuah sikap iman yang benar. Bagaimanapun juga,
problem tentang kematian hanya bisa dijawab dengan berpegang pada refleksi
iman kita. Dengan keyakinan iman ini, kita memiliki harapan akan kehidupan baru
yang dapat dicapai setelah kematian.
Teologi Kristen mengatakan bahwa kematian adalah pintu masuk menuju
ke dalam hidup yang sesungguhnya, yakni keselamatan dan kebahagiaan yang
diperoleh dari Allah. Kepercayaan Kristen akan kematian bukan kata terakhir
dalam dialog cinta antara manusia dengan Allah, melainkan hanya merupakan satu
pintu yang melaluinya manusia memasuki satu fase baru dari kehidupannya: “Bagi
orang beriman hidup hanyalah diubah, bukan dilenyapkan”. Hal ini menunjukkan
keyakinan adanya sebuah kehidupan baru setelah manusia mengalami kematian.
Akan tetapi, untuk mencapai kehidupan baru itu, terlebih dahulu manusia masuk
dalam pengadilan di mana Allah berperan sebagai hakimnya. Pengadilan itu
menentukan apakah manusia diperbolehkan masuk surga, neraka, atau api
penyucian. Hal ini bergantung pada sikap dan perbuatan manusia serta tanggapan
cinta Allah.
Berdasarkan paradigma tersebut maka usaha untuk mencari unsur yang
dapat diselaraskan dan unsur yang tidak dapat diselaraskan antara ritus-ritus
kematian masyarakat suku Embu Leja dengan pemahaman Gereja tentang
kematian dan hidup sesudah kematian adalah suatu usaha yang memiliki urgensitas
dan tujuan tersendiri. Gereja maupun masyarakat suku Embu Leja meyakini
107
adanya kehidupan baru sesudah kematian. Baik kebudayaan masyarakat Embu
Leja maupun ajaran Gereja Katolik masing-masing tetap memiliki integritas dan
identitas tersendiri. Namun, keduanya memiliki hubungan yang erat, bagaikan dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan di mana masyarakat budaya suku Embu
Leja loyal terhadap warisan Gereja dan juga loyal pada kebudayaan setempat.
Hubungan keduanya memberikan kesan bahwa adanya dualisme yang dihayati
oleh masyarakat suku Embu Leja yang juga merupakan anggota Kristen Katolik.
Dualisme ini dinyatakan dengan praktik “agama ganda” atau “iman dengan standar
ganda”. Mereka menerima baik inisiasi Kristen maupun inisiasi-inisiasi asli seturut
kepercayaan agama tradisonal mereka. Mereka berdoa dan memohon berkat ilahi
dengan memakai tata cara iman Katolik dan melalui tata cara keagamaan asli
mereka. Dalam doa-doa itu mereka menyampaikan permohonan-permohonan
mereka kepada Yang Mahatinggi dengan perantaraan para kudus Kristen dan para
leluhur mereka sendiri di dalam dua jalan yang terpisah tetapi berjalan sejajar.
Oleh karena itu, unsur yang dapat diselaraskan yang akan ditemukan dalam
pandangan kematian budaya masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran Katolik
tentang kematian akan dimanfaatkan sebagai modal untuk membangun dialog dan
kerja sama yang baik di antara kedua belah pihak. Sebaliknya, unsur yang tidak
dapat diselaraskan seharusnya tidak dipertentangkan, melainkan mesti menjadi
suatu hal yang dihargai dan dihormati oleh masing-masing pihak. Hal tersebut
pada akhirnya dapat membantu dalam melaksanakan karya pastoral praktis yang
sesuai dengan konteks masyarakat suku Embu Leja. Pada bab ini akan ditampilkan
unsur-unsur yang sama maupun unsur-unsur yang berbeda dari perbandingan
tersebut.
5.1 Unsur-Unsur yang Dapat Diselaraskan
5.1.1 Keyakinan Adanya Allah (Wujud Tertinggi)
Makna di balik ritus kematian suku Embu Leja pada akhirnya bermuara
pada pengakuan akan adanya Wujud Tertinggi. Wujud Tertinggi dipahami dan
dirasakan sebagai asal dan tujuan hidup manusia. Di samping itu, Wujud
Tertingggi dilihat sebagai pencipta manusia dan pemelihara alam semesta. Hal ini
berarti, yang Ilahi merupakan pengasal dan tujuan hidup manusia, sebab manusia
108
diciptakan oleh-Nya dan akan kembali kepada-Nya melalui peristiwa kematian. Di
sini, hakikat Wujud Tertinggi adalah memiliki kekuatan penuh dan menjadi
sumber kehidupan. Untuk menyelami adanya Wujud Tertinggi itu, manusia
sebagai mahkluk religius memaknai ritus-ritus sebagai sarana pengantara.159
Karena itu, tindakan-tindakan ritual yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu
Leja dalam hubungannya dengan peristiwa kematian menunjukkan dengan pasti
bahwa Wujud Tertinggi itu benar-benar ada.
Masyarakat suku Embu Leja mengimani dan menyebut Wujud Tertinggi
dengan nama Ia160: Du’a Ghéta Lulu Wula, Ngga’é Ghalé Wena Tana. Du’a Ghéta
Lulu Wula. Ungkapan ini mengindikasikan relasi vertikal antara Wujud Tertinggi
dengan manusia. Du’a Gheta Lulu Wula berada di tempat yang paling tinggi dan
agung mengatasi segala yang ada di atas langit, sedangkan manusia berada di
bumi. Du’a Ghéta Lulu Wula mempunyai arti sebagai “Tuhan di ujung bulan”. Hal
ini menggambarkan kepercayaan bahwa Wujud Tertinggi itu berada di atas segala
makhluk hidup, alam semesta, dan segala isinya. Sedangkan, Ngga’é Ghalé Wena
Tana mengungkapkan relasi horizontal antara Wujud Tertinggi dengan manusia.
Ngga’é Ghalé Wena Tana berada bersama-sama dengan manusia di bumi dan
menyatu dengan mereka, sesuatu yang hadir, tidak hanya bersifat maya dan abstrak
dengan segala kedahsyatan dan keagungannya, namun sungguh-sungguh nyata
hadir di dalam kehidupan manusia. Meskipun Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é
Ghalé Wena Tana merupakan sesuatu yang tersembunyi dan tidak terselami,
namun Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Ghalé Wena Tana adalah pemberi
anugerah kehidupan, anugerah kesehatan, pemberi rahmat hujan dan kesuburan
bagi tanaman sekaligus pelindung bagi perjalanan hidup manusia.
Searah dengan peran yang dimiliki oleh Ia menurut masyarakat suku Embu
Leja, peran yang sama terdapat juga dalam ajaran Gereja yang mengungkapkan
bahwa Allah memiliki peran yang amat mendominasi seluruh perjalanan hidup
manusia, sejak kelahiran sampai dengan saat kematian. Allah diyakini sebagai
pencipta manusia, alam dan lingkungan, pemelihara hidup manusia, pelindung dan
159 Hans J. Daeng, Manusia dan Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hal. 236. 160 Dalam pembahasan selanjutnya penggunaan nama Wujud Tertinggi ini menggunakan kata Ia
yang mengandung pengertian sama dengan Du’a Ghéta Lulu Wula dan Ngga’é Ghalé Wena Tana.
109
penyelamat. Dengan kodratnya sebagai makhluk religius, manusia dipandang
datang dari Allah dan senantiasa berjalan menuju Allah. Karena-Nya hanya dalam
hubungan dengan Allah, manusia dapat menghayati kehidupan manusiawi yang
utuh. Gereja sungguh berkeyakinan dan menempatkan Allah sebagai asal dan
tujuan hidup manusia. Di samping itu, keimanan akan Allah menjadi hal yang amat
penting karena dengan itu manusia dapat menghayati hidupnya secara benar.
Dalam hubungan dengan ziarah hidup manusia, Allah ditempatkan sebagai tujuan
akhir, di mana setiap ciptaan dimungkinkan untuk bersatu bersama Allah di dalam
kerajaan-Nya.161 Hal ini berarti bahwa manusia, bumi dan dunia tidak mempunyai
keterangan dalam dirinya sendiri, pasti ada awal mulanya. Awal mula di mana
yang mahabebas dan mahakuasa memberikan ada dan gerakannya kepada segala
sesuatu. Awal mula yang sadar, yang berkuasa, dan yang memimpin semuanya,
yakni Tuhan. Tuhan itu adalah cinta kasih. Tuhan Allah yang adalah cinta kasih
tersebut mengasihi ciptaan-Nya dengan cinta yang kekal abadi. Allah yang kekal
telah menciptakan semesta alam dengan suatu keputusan yang sama sekali bebas
dan ajaib, yang keluar dari kebijaksanaan-Nya dan kebaikan-Nya. Ia telah
memutuskan untuk mengangkat manusia sampai mendapat bagian dalam
kehidupan Ilahi. Ia tidak membiarkan manusia bahkan ketika manusia dalam diri
Adam jatuh ke dalam dosa. Ia selalu memberikan pertolongan kepada manusia
demi keselamatannya, mengingat Kristus Penebus “yang citra dari Allah yang tak
kelihatan adanya, anak sulung lebih utama dari segala yang diciptakan” (Kol.
1:15).162
Berdasarkan uraian-urain di atas dapat diambil kesimpulan bahwa baik
dalam masyarakat suku Embu Leja maupun ajaran Gereja, kedua-duanya memiliki
konsep yang sama, yakni ada kepercayaan tentang yang transenden, menyembah
yang transenden atau Allah yang memiliki kemiripan dalam berbagai hakikat
kepribadian. Misalnya, Allah (Ia) yang dipandang sebagai asal adalah Allah yang
menciptakan dan membentuk manusia dan alam jagat raya. Demikianpun sebagai
Allah yang melindungi dan mengasihi manusia sebagai ciptaa-Nya, terutama di
161 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 24. 162 Josef Boumans, Umat Yesus: Tuntunan Khalwat Satu Minggu Berdasarkan Kitab Suci dan
Ajaran Gereja (Jakarta: Obor, 2000), hal. 13.
110
dalam ziarah hidup manusia, sekaligus menyediakan tempat tinggal yang layak
sesudah kematian bagi setiap orang yang percaya.
5.1.2 Keyakinan dan Harapan akan Hidup Setelah Kematian
Harapan akan hidup kembali setelah kematian merupakan sebuah kekuatan
yang mendorong manusia untuk mencapai kerinduan akan tujuan hidup dan
keadaan hidup setelah kematian. Orang Lio menganut pandangan kosmis, di mana
pandangan ini dipahami sebagai unsur alamiah yang berasal dari jiwa alam dan
melalui roda eksistensi yang akhirnya kembali ke asalinya dan melebur ke
dalamnya.163 Dengan demikian, orang Lio pada umumnya dan masyarakat suku
Embu Leja meyakini bahwa sesudah kematian tubuh (tebo) memang akan hancur
menjadi tanah, namun jiwa (mae) akan tetap hidup selamanya, di mana jiwa
manusia akan kembali ke alam asalinya. Hal ini berarti, kematian manusia bukan
merupakan akhir dari segala-galanya, melainkan dimaknai sebagai peralihan hidup
dari dunia ini menuju ke alam lain, yakni Danau Kelimutu (tempat tinggal para
arwah). Di Danau Kelimutu, orang yang telah meninggal akan berjumpa dengan
sanak keluarga dan semua orang yang telah meninggal sesuai amal bakti di dunia.
Masyarakat suku Embu Leja melihat hidup setelah kematian memiliki ciri khas
tersendiri, yakni hidup dalam roh. Namun, situasi dan kondisi yang terjadi di
tempat tinggal arwah seperti manusia yang masih hidup di dunia, yakni orang yang
telah meninggal masih membutuhkan kebahagiaan dan kesejahteraan dan hidup
bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga atau kerabat yang meninggal. Hal
itu tersirat di dalam ungkapan: Demi kami mata, kami wi mera sama-sama no
embu mamo lau Kelimutu (“Jika kami mati nanti, kami akan tinggal berasama para
leluhur”).164 Inilah harapan yang hidup di tengah masyarakat suku Embu Leja saat
berhadapan dengan kematian.
Hal ini berarti bahwa kematian merupakan akhir kebersamaan yang konkret
di antara manusia, namun relasi yang telah dibangun bersama selama manusia itu
masih hidup sesungguhnya tidak akan terputus oleh kematian itu sendiri. Kematian
163 Rahmat Subagya, Agama dan Alam Kerohanian di Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1979), hal. 76. 164 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u dan tokoh adat Tendawena, pada
tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
111
menjadi sebuah peralihan atau peziarahan ke dalam suatu kehidupan yang baru. Di
dalam kehidupan baru tersebut, orang-orang yang meninggal masuk dan tinggal
bersama para leluhur (embu-mamo) dan Ia di Kelimutu. Oleh karena itu, ritus yang
dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja diyakini sebagai sarana penjamin
kesejahteraan nasib hidup bagi orang yang meninggal, sehingga setiap tahapan
ritus kematian mesti dilaksanakan dengan tepat dan teratur. Dengan kata lain,
berbagai ritus kematian dan tahapan-tahapan yang dilakukan masyarakat suku
Embu Leja merupakan usaha untuk mencapai harapan akan kepenuhan hidup yang
bahagia setelah kematian.
Apa yang diyakini masyarakat suku Embu Leja sehubungan dengan adanya
kehidupan baru sesudah kematian itu tidak jauh berbeda dengan ajaran Gerja
Katolik yang juga memiliki pandangan tentang adanya harapan hidup setelah
kematian. Harapan tersebut lahir dari kepercayaan akan janji Allah, yakni
menyatukan manusia sebagai ciptaan-Nya dalam kasih ke-Ilahian-Nya yang terjadi
pada sejarah kehidupan bangsa Israel yang senantiasa dalam perlindungan serta
penyertaan kasih Allah. Janji cinta dan kasih Allah terhadap manusia diwartakan
melalui para nabi dan pada akhirnya berpuncak pada peristiwa pengutusan Yesus
Kristus. Kehadirian Yesus di tengah umat manusia menyerukan janji keselamatan
yang telah dijanjikan Allah yang tampak dalam peristiwa salib, wafat, dan
kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus memberikan makna baru bagi kematian
manusia, yakni kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Sehubungan dengan
itu, dalam Katekismus Gereja Katolik nomor 944 dijelaskan:
“Akulah kebangkitan dan Hidup” (Yoh. 11:25). Pada hari
kiamat, Yesus sendiri akan membangkitkan mereka, yang
percaya kepada-Nya yang telah makan tubuh-Nya dan minum
darah-Nya. Dalam kehidupan-Nya di dunia ini, Yesus telah
memberikan tanda dan jaminan untuk itu, waktu Ia
membangkitkan beberapa orang mati dan dengan demikian
mengumumkan kebangkitan-Nya sendiri, tetapi yang termasuk
dalam tatanan lain. Kejadian yang sangat khusus ini Ia
bicarakan sebagai “tanda nabi Yunus” (Mat. 12:39), tanda
kenisah: Ia mewartakan bahwa Ia akan dibunuh, tetapi akan
bangkit lagi pada hari ketiga.165
165 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 257.
112
Pernyataan ini menegaskan bahwa kebangkitan Yesus merupakan sebuah
tanda kepenuhan dalam karya penyelamatan Allah bagi manusia untuk masuk
dalam kesatuan dengan-Nya. Pada sisi yang sama, pandangan Gereja akan harapan
hidup setelah kematian juga digarisbawahi dalam Konstitusi Pastoral tentang
Gereja dalam Dunia Dewasa Ini, Gaudium et Spes nomor 39, sebagai berikut:
Kita tidak mengetahui, kapan dunia dan umat manusia akan
mencapai kesudahannya; tidak mengetahui pula, bagaimana
alam semesta akan diubah. Dunia yang seperti kita kenal
sekarang dan juga telah rusak akibat dosa, akan berlalu. Tetapi
kita diberi ajaran bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru
dan bumi yang baru, kediaman keadilan dan kebahagiaan yang
memenuhi bahkan melampui segala kerinduan akan kedamaian
yang pernah timbul di dalam hati manusia.166
Konsili melihat bahwa dunia sekarang dan segala ciptaan yang ada akan
lenyap, tetapi Allah akan menciptakan dunia yang baru yang akan memenuhi
segala harapan manusia: ”… apa yang tidak pernah dilihat oleh mata dan dan tidak
pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah timbul dalam hati manusia;
semuanya disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1 Kor. 2:9). Hal
ini berarti, pandangan Kristen mengenai kehidupan sesudah kematian sebenarnya
mau menegaskan kembali eksistensi Allah yang adalah kasih dan keimanan
manusia akan kasih Allah itu, bahwa di dalam Allah yang adalah kasih, manusia
boleh bermegah dalam pengharapan akan nasib hidupnya sesudah kematian.
Keyakinan akan ada harapan hidup setelah kematian (keselamatan) dalam
tradisi suku Embu Leja dan tradisi Gereja sama-sama memiliki padangan bahwa
keselamatan yang diharapkan sesudah kematian itu bukan terjadi secara otomatis
atau terjadi dengan sendirinya, melainkan perlu dipersiapkan sejak manusia
berziarah di dunia, yang diaplikasikan lewat sikap yang bijaksana seperti yang
ditegaskan John Prior sebagai berikut:
Adalah sikap yang bijaksana untuk takut akan Allah, dan
menyangkut masa depan tidak bergantung pada kebijaksanaan
sendiri: artinya kepasrahan diri kepada Tuhan dan melaksanakan
perintah-perintahNya; mencari kebenaran dan pemahaman;
bersahabat dengan orang lain seraya mendidik anak-anak kita
166 Dokumen Konsili Vatikan II, op. cit., hal. 567.
113
mengikuti jalan yang sama: siapa yang mengasihi dan
menikmati Allah akan menikmati kasih kedamaian dan usia
yang panjang, karena Allah melihat dan menghakimi sesuatu
maka kita mesti mengakui dan meninggalkan cara-cara penuh
dosa agar memperoleh belas kasih Allah.167
Hal ini berarti, keselamatan (baca: harapan akan hidup setelah kematian)
merupakan suatu kenyataan yang benar-benar ada dan darinya manusia dapat
berharap akan mengalaminya sesudah kematiannya. Keselamatan tersebut hanya
akan terwujud apabila manusia hidup selaras dengan apa yang diwariskan oleh
para leluhur dan iman kepada Allah yang tampak dalam ritus-ritus. Pengharapan
akan Allah menuntut usaha dan perjuangan dari manusia lewat tuntutan Roh Allah.
Roh Allah sendirilah yang akan menempatkan pengharapan itu di dalam hati
manusia, karena melalui Roh Allah manusia akan diarahkan pada keselamatan di
dalam Kerajaan Allah.
Jadi dapat dikatakan, kedua tradisi ini menempatkan yang Ilahi (Ia) sebagai
tujuan akhir ziarah hidup manusia sesudah kematiannya. Secara konkret dapat
dipahami yang menjadi objek harapan akan adanya hidup setelah kematian dari
kedua tradisi ini adalah keselamatan di dalam Allah (Ia) melalui sikap bijaksana
untuk takut akan Allah (Ia).
5.1.3 Aspek Inisiasi
Kata inisiasi berasal dari bahasa Latin inire atau initiare yang berarti
memasuki, bergabung dalam suatu kelompok, atau memasukkan atau menerima
seseorang ke dalam suatu kelompok. Pengertian ini merujuk pada dua aktivitas,
yaitu seseorang yang masuk ke dalam sebuah kelompok dan kelompok menerima
seseorang masuk ke dalam kelompoknya.168 Peristiwa inisiasi terdapat di dalam
ritus-ritus di berbagai tempat. Ritual inisiasi umumnya dilakukan sebagai ucapan
syukur atas kehadiran bayi yang ada di dalam kandungan, kelahiran, peralihan dari
masa pubertas (akil balik) ke masa dewasa, pernikahan, hingga peristiwa kematian.
Jadi, praktik inisiasi sebenarnya telah dilakukan oleh banyak kelompok, suku,
167 John Mansford Prior, Menjembol Jeruji Prasangka: Membaca Alkitab dengan Jiwa (Maumere:
Ledalero, 2010), hal. 226. 168 E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 207-208.
114
kelompok keagamaan, sebagai tanda masuk atau diterimanya seseorang di dalam
sebuah kelompok, komunitas, suku atau masyarakat.169
Dalam pelaksanan ritus kematian masyarakat suku Embu Leja terdapat juga
aspek inisiasi. Setiap orang yang meninggal masuk ke dalam kelompok atau
persekutuan para arwah yang diyakini berdiam di danau Kelimutu. Hal ini
ditegaskan dalam syair adat saat pelaksanaan ritus kematian yang diungkapkan
oleh Pu’u Kamu, secara khusus saat Lo Ata Mata Ghole Ghomo (menurunkan peti
jenazah ke dalam liang kubur), yakni: “Mbana ma’e salah jala leta ma’e salah
wolo. Pama kami” (“Pergilah, jangan sampai salah jalan, jangan tersesat di dalam
perjalanan. Lindungilah kami”). Selain itu di dalam ritus Nangi Ata Mata terdapat
juga permohonan agar para leluhur (embu-mamo) bisa menerima arwah orang yang
meninggal.
Dengan itu, pelaksanaan ritus kematian dilihat sebagai satu kesatuan yamg
dilakukan demi mencapai kesatuan jiwa orang yang telah meninggal dengan embu-
mamo dan Ia. Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa kesatuan tersebut
dapat terjadi apabila orang yang meninggal dinyatakan benar-benar layak untuk
bersatu bersama para embu-mamo dan Ia. Kelayakan itu hanya dapat diketahui
berdasarkan sikap orang yang meninggal tersebut selama masih hidup di dunia.
Selain itu, untuk bergabung bersama para embu-mamo, seseorang harus memenuhi
syarat-syarat seperti meninggal secara wajar, bukan meninggal secara tragis seperti
kematian karena kecelakaan atau bunuh diri. Syarat lainnya adalah seseorang yang
meninggal merupakan anggota keluarga yang diikat melalui hubungan darah, juga
para sahabat yang selama hidupnya memiliki kualitas hidup yang baik.170 Oleh
karena itu, ritus-ritus kematian perlu diadakan oleh pihak keluarga yang masih
hidup agar dapat menjamin persatuan antara orang yang meninggal dengan embu-
mamo dan Ia.
Sehubungan dengan inisiasi yang terdapat dalam ritus kematian masyarakat
suku Embu Leja, ajaran Gereja pun mengenal inisiasi. Ajaran Gereja mengenai
inisiasi menunjukkan bahwa melalui kematian seorang dimasukkan ke dalam
169 Wikipedia Bahasa Indonesia, https://id.wikipedia.org/wiki/Inisiasi, diakses pada tanggal 1
Februari 2019. 170 Hasil wawancara dengan Anastasia Pawe, masyarakat desa Tendawena, pada tanggal 11 Oktober
2019 di Tendawena.
115
golongan para arwah yang akan bersekutu dengan para kudus dan hidup bersama
dengan Allah dalam suatu dunia yang kekal abadi. Keabadian yang diperoleh
seseorang merupakan rahmat dari Allah karena melalui Yesus Kristus dosa
manusia telah ditebus dan disucikan oleh darah Kristus di kayu salib. Gereja
sebagai persekutuan yang senantiasa ingin menikmati karya keselamatan Allah dan
ingin bersama dan bersatu dengan Allah dan sesama dan kebersamaan tersebut
dianugerahkan oleh Allah kepada manusia melalui Yesus Kristus.171
Jadi, inisiasi dapat dipahami sebagai tanda seseorang dihantar masuk ke
dalam kehidupan baru bersama dengan Allah dan sesama dalam keabadian.
Rahmat pembaptisan menjadikan seseorang layak untuk masuk ke dalam
persekutuan dengan Allah dan sekaligus memperoleh keselamatan yang datang
dari Allah. Di dalamnya, seseorang diubah dan dihantar kepada kebahagiaan
bersama Allah dan para kudus (leluhur).
5.1.4 Pandangan tentang Penyucian Diri Manusia
Masyarakat suku Embu Leja memilliki kepercayaan bahwa setelah manusia
mengalami kematian, ia berpindah ke alam baka. Meskipun demikian, sesudah
seseorang meninggal, jiwanya tidak otomatis ke masuk dalam tempat
berkumpulnya para arwah, yakni danau Kelimutu. Ada mitos yang beredar di
tengah masyarakat suku Embu Leja bahwa ketika orang yang baru meninggal
hendak masuk ke Kelimutu, muncullah satu sosok yang bertugas untuk menilai
apakah orang mati tersebut sudah bersih atau belum. Masyarakat suku Embu Leja
menyebutnya Embu Wangga. Jika Embu Wangga mendapati orang yang
meninggal sudah dalam keadaan bersih, ia akan meminta sanak keluarganya
(embu-mamo) untuk segera menjemputnya masuk ke dalam persekutuan para
embu-mamo di danau Kelimutu, khususnya di Tiwu Ata Mbupu yang merupakan
tempat peristirahatan bagi orang-orang yang berbudi baik, luhur, dan suci.
Sebaliknya, jika orang yang telah meninggal didapati dalam keadaan yang tidak
bersih maka ia akan diperintahkan untuk masuk ke Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri
yang merupakan tempat peristirahatan bagi orang-orang yang masih membutuhkan
penyucian atau pembersihan diri, atau orang-orang yang masih mengalami
171 E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, op. cit., hal. 211.
116
pergolakan dan perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat. Selain itu,
apabila orang meninggal yang semasa hidupnya diketahui telah banyak berbuat
dosa dan kejahatan maka ia akan diminta untuk masuk ke Tiwu Ata Polo yang
merupakan tempat bagi orang-orang yang berdosa. Tempat ini dianggap sebagai
tempat untuk menjalankan siksaan dan hukuman sebagai upah dari dosa.172
Sehubungan dengan konsep pencucian diri, masyarakat suku Embu Leja
memiliki pengharapan agar jiwa (mae) setiap orang yang meninggal disucikan dan
dibersihkan. Dengan itu, mereka dapat dinyatakan layak untuk menghuni Tiwu Ata
Mbupu. Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari, harapan untuk mendapat
tempat tinggal bersama para leluhur di Tiwu Ata Mbupu bukanlah hal yang mudah
diperoleh, mengingat pribadi manusia memiliki kemungkinan dan kecenderungan
untuk berbuat pelanggaran-pelanggaran dan dosa seperti mencuri, membunuh,
melakukan perselingkuhan dengan suami atau isteri orang lain, dan melanggar
tuntutan-tuntutan adat misalnya tidak menghormati pesan dari embu mamo.
Dengan kata lain, dosa adalah perbuatan manusia yang menyebabkan disharmoni
dalam kosmos. Kosmos dalam konteks ini berarti alam dunia. Di dalam kosmos
terjalin suatu hubungan yang baik dan tertib antara yang Ilahi, para arwah leluhur,
dan manusia. Apabila hubungan-hubungan itu putus maka keharmonisan kosmos
menjadi berantakkan. Disharmoni terutama ini disebabkan oleh dosa.173 Oleh
karena itu, demi memperoleh kelayakan untuk tinggal bersama embu-mamo di
172 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. Fransiskus menjelaskan bahwa menurut
legenda masyarakat setempat, diceriterakan bahwa masyarakat Lio pada umumnya percaya bahwa
jiwa atau arwah akan datang ke danau Kelimutu. Ketika seseorang meninggal dunia, jiwanya (mae)
akan meninggalkan kampung halamannya dan tinggal di danau Kelimutu untuk selama-lamanya
bersama para leluhur lainnya. Sebelum masuk ke dalam salah satu danau dari tiga danau yang ada
di Kelimutu, para arwah tersebut terlebih dahulu menghadap Konde Ratu selaku penjaga pintu
masuk di Perekonde (Pintu Gerbang). Di sini, setiap jiwa diperiksa status kelayakannya.
Selanjutnya, jika jiwa tersebut dinyatakan layak maka ia akan diantar masuk ke salah satu danau,
tergantung usia dan perbuatannya semasa hidup. Namun, di sisi lain dijelaskan juga bahwa
meskipun Ratu Konde adalah penguasa yang tinggal di Kelimutu, masing-masing wilayah di tanah
Lio memiliki penguasa tersendiri dalam dunia arwah di Kelimutu sesuai dengan wilayah
kekuasaannya. Untuk wilayah Tendawena, penguasa yang dikenal adalah Embu Wangga, yang
menjadi penjaga pintu gerbang. Masyarakat Tendawena percaya bahwa saat berhadapan dengan
Embu Wangga, setiap jiwa (tebo) diperiksa status kelayakannya, apakah ia pantas masuk ke
Kelimutu atau tidak. Jika dianggap belum layak maka jiwa tersebut akan dikembalikan, meskipun
dalam beberapa jam dinyatakan telah meninggal dunia (semacam peristiwa mati suri). 173 Bdk. Bernardus Boli Ujan, Mati dan Bangkit Lagi. Dosa dan Ritus-Ritus Pemulihan Menurut
Orang Lembata: Suatu Tinjauan Antropo-Religius untuk Memperdalam dan Menumbuhkan Hidup
Beriman Umat Melalui Ibadat Tobat Inkulturatif (Maumere: Ledalero, 2012), hal. 21.
117
Tiwu Ata Mbupu maka orang yang meninggal perlu pemurnian diri terlebih dahulu
di Tiwu Ata Ko’o Fai Nuwa Muri. Dengan kata lain, masa pemurnian atau
penyucian diri sangat diperlukan karena menjadi salah satu syarat bagi orang yang
meninggal agar bisa diterima sebagai warga di Tiwu Ata Mbupu.174
Menurut masyarakat suku Embu Leja, ketika arwah berada di Tiwu Ko’o
Fai Nua Muri, arwah tersebut diyakini masih bergentanyangan dalam rupa mae
atau jiwa yang belum tenteram. Mae diyakini masih berada di bumi dan akan
menunjukkan dirinya yang sedang menderita dan menjadi semacam penampakan
yang sungguh mengerikan bagi orang-orang yang masih hidup, misalnya melalui
peristiwa kesurupan yang dialami salah satu anggota keluarga yang masih hidup.
Mae juga bisa menunjukkan dirinya melalui mimpi yang mengandung makna
tertentu bagi keluarga. Berhadapan dengan situasi ini, orang akan memahami
bahwa mae yang telah meninggal membutuhkan bantuan agar bisa mengalami
keselamatan, yakni bersatu dengan para leluhur di Tiwu Ata Mbupu. Karena itu,
ritus Rasi Ata Mata perlu dilakukan dengan sepenuh hati dan tidak boleh
dilewatkan begitu saja sebagai sarana pertobatan agar jiwa orang yang meninggal
dibersihkan dan bisa mencapai kehidupan yang layak bersama embu-mamo di
Kelimutu. Selain itu dibutuhkan juga pelaksanaan ritus Pati Ka Embu-Mamo, ritus
Joru dan poru joka agar keberadaan dan masa pemurnian jiwa tersebut di Ko’o Fai
Nua Muri dapat segera berlalu dan ia dapat mengalami persekutuan dengan para
leluhur di Tiwu Ata Mbupu.175
Pandangan masyarat suku Embu Leja tentang penyucian diri manusia
memiliki kemiripan dengan pandangan Gereja Katolik tentang purgatorium atau
api penyucian bagi orang-orang yang meninggal. Api penyucian merupakan suatu
keadaan di mana seseorang yang telah meninggal diputuskan oleh Allah untuk
menjalani masa pemurnian sebelum masuk ke dalam keabadian hidup di surga. Api
penyucian adalah api yang memurnikan manusia dari segala noda dosa, silih segala
utang dosa sepanjang hidupnya, serta melepaskan manusia dari segala keterikatan
duniawi agar ia dapat sepenuhnya mengalami kepenuhan bersama Allah dan para
174 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena. 175 Hasil wawancara dengan Darius Deki, Mosalaki Riabewa suku Embu Leja serta tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
118
kudus di surga. Sesudah segala dosa dibersihkan dan diri manusia dimurnikan,
maka ia segera masuk ke dalam kemuliaan dan persekutuan hidup paripurna dalam
komunikasi cinta bersama Allah di surga. Sehubungan dengan itu, Gereja
menganjurkan amal, idulgensi dan karya penitensi untuk orang meninggal seperti
yang tertulis di dalam Katekismus Gereja Katolik nomor 1032 bahwa:
“Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka.
Kalau anak-anak Ayub saja disucikan oleh kurban yang
dibawakan bapanya, bagaimana kita dapat meragukan
persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati?
Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan
mempersembahkan doa untuk mereka” (Yohanes Krisostomus,
hom in 1 Cor. 41, 5).176
Hal ini berarti, di dalam api penyucian orang-orang yang telah meninggal
dunia mempunyai relasi cinta yang lebih dekat dengan Allah, meskipun mereka
belum melihat wajah Allah secara langsung, berdialog secara langsung dengan
Allah dari muka ke muka. Semua jiwa yang ada di dalam api penyucian dipenuhi
dengan rahmat dan cinta Allah. Mereka tidak diabaikan Allah, melainkan
mengalami cinta Allah yang memurnikan mereka. Simbol api tidak berarti
hukuman, melainkan cinta Allah yang bernyala yang sedang membersihkan setiap
orang dari kecenderungan dasar untuk berdosa, memurnikan dari dosa,
menyembuhkan penderitaan, dan membebaskan manusia dari kematian kekal.
Allah kembali memulihkan kodrat manusia yang telah rusak akibat dosa dan
mengenakan hakikatnya yang asli dan murni seperti pada awal manusia diciptakan.
Namun, semua hal itu bisa terjadi apabila ada usaha dari manusia untuk
mendoakan setiap orang yang meninggal melalui perayaan Ekaristi sebagai
perayaan kurban penyilihan dan penebusan bagi setiap orang yang meninggal.
Jadi, pandangan masyarakat suku Embu Leja dan ajaran Gereja Katolik
tentang penyucian diri dapat dipandang sebagai suatu persiapan yang diperlukan
untuk memasuki hadirat Allah. Bagi masyarakat suku Embu Leja, proses
pemurnian yang berlangsung di Ko’o Fai Nua Muri dapat terjadi apabila ada usaha
dari manusia melaui ritus Rio Ata Mata Pati Ka Embu-Mamo, Nangi Ata Mata dan
Poru Joka. Sementara itu, Gereja Katolik meyakini situasi tersebut dapat dialami
176 Dokumen Konsili Vatikan II, op. cit., hal. 266.
119
di dalam purgatorium (api penyucian). Usaha untuk memperoleh pemurnian itu
dpat didukung dengan doa dan keterlibatan aktif orang-orang yang masih hidup di
dalam perayaan Ekaristi sebagai perayaan penebusan bagi dosa orang yang telah
meninggal. Oleh karena itu, Ko’o Fai Nua Muri atau api penyucian dalam
keyakinan iman Katolik merupakan keadaan di mana orang-orang yang telah
meninggal melewati suatu proses pemurnian dalam keadaan rahmat, namun belum
menjalani hukuman sementara akibat dosa-dosa ringan, sehingga dengan itu
mereka dapat mengalami persatuan dengan Allah di Tiwu Ata Mbupu (surga).
5.1.5 Relasi Kekerabatan antara Orang Hidup dan Orang Mati
Relasi kekerabatan antara orang hidup dan orang mati diciptakan melalui
ritus, doa-doa, dan pemberian sesajian kepada orang mati. Masyarakat suku Embu
Leja menyadari pelaksanaan setiap ritus kematian bertujuan untuk kesejahteraan
dan keselamatan orang yang meninggal dan harus dilakukan dengan penuh
penghayatan, keseriusan, dan kesetiaan. Apabila ada kelalaian dan kekeliruan
dalam pelaksanaan ritus-ritus kematian maka hal-hal buruk akan menimpa orang-
orang yang masih hidup. Hal tersebut bertolak dari keyakinan bahwa orang yang
telah meninggal memiliki pengaruh atau kuasa yang dapat mendatangkan berkat
atau kutuk bagi sanak keluarga yang masih hidup di dunia. Dengan pengaruh dan
kuasa yang dimiliki itu, orang yang telah meninggal juga dipandang dapat berperan
sebagai mediator antara orang yang masih hidup dengan embu-mamo yang ada di
Kelimutu, sebagai pelindung dan sumber kehidupan. Namun di pihak lain, orang
yang telah meninggal juga dapat menjadi penghukum atau pemberi kutukan bagi
sanak keluarga yang masih hidup.177
Konsep tentang relasi kekerabatan antara orang hidup dan orang mati
berdampak pada sikap dan perilaku baik secara jasamani maupun rohani. Secara
jasamani, orang mati didandani selayaknya orang yang masih hidup, sedangkan
secara rohani perjalanan arwah orang mati menuju Kelimutu diiringi dengan ritus-
ritus kematian. Menegaskan praktik semacam ini, Herbet Spencer, sebagaimana
dikutip Alex Jebadu, menjelaskan bahwa setelah memperhatikan keseluruhan
177 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko serta tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
120
populasi umat manusia yang terdiri dari pelbagai macam suku, masyarakat, dan
bangsa, ditemukan bahwa hampir semua manusia mempunyai iman yang kuat dan
kebangkitan dari “aku yang lain” dari seorang manusia sesudah kematiannya. Di
dalam orang-orang mati juga ditemukan bahwa hampir semua masyarakat manusia
percaya akan “aku yang lain” dari seseorang yang telah mati dan meyakini “aku
yang lain” itu hidup terus untuk sebuah jangka waktu yang lama sesudah kematian.
Di samping itu juga, masyarakat dalam pelbagai suku dapat melakukan ritus-ritus
tertentu yang dibuat bukan hanya pada saat penguburan orang mati, tetapi juga
pada saat-saat tertentu sesudah penguburan.178
Masyarakat suku Embu Leja menjalankan sikap dan praktik penghormatan
kepada orang mati. Hal ini merupakan sebuah kenyataan yang searah dengan
kenyataan umum sebagaimana diungkapkan oleh Spencer di atas. Orang-orang
mati dihormati dan diperlakukan secara baik seperti dirinya masih hidup di dunia
ini karena dilandasi oleh ikatan cinta yang sudah terjalin akrab dan adanya
keyakinan akan adanya hidup setelah kematian. Di sini terbentuk relasi
kekerabatan yang bersifat timbal balik. Orang yang masih hidup sangat
mengharapkan dukungan dan restu dari orang mati agar berhasil dalam usaha,
diberkati dalam setiap aktivitas yang dilakukan, serta mengharapkan perlindungan
dari marabahaya atau dijauhi dari ganguan-ganguan roh-roh jahat. Demikianpun
sebaliknya, orang mati sangat membutuhkan campur tangan orang hidup untuk
melaksanakan ritus-ritus tertentu demi menjamin keselamatan dan kesejahteraan
hidup orang yang telah meninggal tersebut di Kelimutu. Selain itu, praktik yang
menunjukkan relasi kekerabatan antara orang mati dan orang hidup tampak juga
dalam kegiatan kunjungan keluarga ke kuburan. Dalam Gereja Katolik, kunjungan
ke kuburan bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal. Dalam
hal ini, pandangan Gereja Katolik ini memberi makna bahwa orang mati tidak
sanggup menolong diri mereka sendiri sekaligus orang mati adalah perantara doa
kepada Allah, sehingga doa juga menjadi sarana pendekatan dengan orang-orang
mati. Sejalan dengan itu, masyarakat suku Embu Leja menggunakana doa adat dan
sesajian sebagai sarana pendekatan kepada arwah orang yang meninggal dan para
leluhur. Di sini, doa adat yang diucapkan serta pemberian bekal atau sesajian
178 Alex Jebadu, Bukan Berhala, op. cit., hal. 260-261.
121
merupakan simbol kepercayaan bahwa orang-orang mati dan orang-orang yang
hidup memiliki kebutuhan yang sama. Melalui doa adat dan sesajian yang
diberikan oleh orang yang masih hidup kepada embu-mamo dan Ia, orang yang
telah meninggal dapat memperoleh keselamatan. Sebaliknya, orang yang masih
hidup akan memohon bantuan, rahmat dan berkat dari Ia dan embu-mamo melalui
perantaraan orang yang meninggal.
Meskipun dalam hal ini terlihat ada sedikit perbedaan dalam cara
pendekatan melalui sarana yang digunakan beserta ungkapan yang menyertai
sarana tersebut, namun arahnya tampak sama, yakni menjelaskan bahwa orang-
orang mati memiliki peranan penting bagi orang yang masih hidup. Orang mati
menjadi perantara dan pendoa bagi orang-orang yang masih berziarah di dunia ini.
Sementara itu peranan orang yang masih hidup bagi orang mati adalah
melaksanakan ritus-ritus yang sangat berguna juga demi menjamin keselamatan
dan kesejahteraan hidupnya. Hal ini menegaskan bahwa relasi kekerabatan antara
orang mati dan orang hidup merupakan relasi yang tidak terputuskan oleh kematian
itu sendiri.
5.2 Unsur-Unsur yang tidak Dapat Diselaraskan
5.2.1 Konsep tentang Kematian
Masyarakat suku Embu Leja memiliki pemahaman tersendiri tentang
kematian. Mereka membuat distingsi mengenai kematian yang wajar dan kematian
tidak wajar. Kematian yang wajar dan kematian tidak wajar dapat diketahui
berdasarkan penyebabnya. Kematian wajar merupakan kematian yang terjadi jika
seseorang mengalami kematian pada usia lanjut (masa tua). Kematian jenis ini
diyakini sebagai konsekuensi dari perjanjian yang diadakan antara embu-mamo
dengan Ia. Manusia pada masa tertentu akan mencapai batas usianya, dan melalui
kematian manusia akan kembali kepada Ia yang merupakan sumber dan tujuan
hidupnya.179 Sebaliknya, kematian yang tidak wajar merupakan kematian yang
terjadi secara tiba-tiba, misalnya karena kecelakaan. Kematian seperti ini diyakini
179 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko serta tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
122
berasal dari kekuatan roh jahat atau sering dikenal dengan sebutan Ata Polo,180
atau sebagai akibat kutukan leluhur karena sanak keluarga yang masih hidup
cenderung tidak taat melaksanakan tradisi atau adat yang telah diwariskan embu-
mamo. Pandangan mengenai kematian yang tidak wajar ini terjadi jika sebelum
kematiannya seseorang terlebih dahulu mengalami sakit yang berkepanjangan dan
tidak dapat disembuhkan dengan cara apapun.181 Meskipun demikian, masyarakat
suku Embu Leja tetap menyakini bahwa semua orang yang meninggal, baik secara
wajar maupun tidak, akan tetap masuk ke dalam kelompok embu-mamo yang
berada di Kelimutu.
Berbeda dengan pandangan masyarakat suku Embu Leja, Gereja Katolik
melihat kematian tidak semata-mata dari sisi jasmani, yakni berhenti atau
berakhirnya hidup, melainkan sebagai hukuman atas dosa akibat ketidaktaatan dan
ketidaksetiaan manusia terhadap janji yang telah ditetapkan antara Allah dan
manusia. Setiap orang akan mendapatkan ganjaran dan pahala setimpal dengan
perbuatannya selama masih hidup. Orang yang benar, yang setia pada hukum
Taurat dan Allah, saat kematiannya akan menerima pahala dari Allah, yaitu hidup
baru dan kekal bersama Allah. Sebaliknya, orang-orang jahat, terutama para
penindas, akan menerima hukuman dari Allah (bdk. 2 Mak. 7:14; 19:11; 12:44).
Hal ini berarti bahwa Gereja Katolik melihat kematian merupakan titik akhir dari
perjalanan hidup manusia di dunia ini. Degan itu, manusia masuk dan bersatu
dengan Allah bersama Kristus dan para kudus Allah, sebagaimana yang
digarisbawahi rasul Paulus, di mana kematian digambarkan sebagai sebuah
peralihan hidup; tempat kematian kita di bumi dibongkar untuk menuju suatu
tempat kediaman di surga yang kekal (bdk. 2 Kor. 5:1). Selain itu, rasul Paulus
juga merefleksikan kematian dalam hubungannya dengan maut, di mana maut
diyakini sebagai upah dosa dan musuh yang harus ditaklukkan (Rm. 6:23). Maut
merupakan konsekuensi logis dari dosa manusia terhadap Allah, namun itu tidak
berarti bahwa jika manusia tidak berdosa maka hal itu akan mengubah kodrat
manusia sebagai manusia yang tidak dapat mati. Di sini perlu dipahami bahwa
180 Ata Polo merupakan sebutan untuk orang yang memiliki kekuatan magis dan dengan kekuatan
magis tersebut ia dapat mencelakai orang dan membunuh orang demi menambah kesaktian dirinya.
Ata polo digolongkan sebagai roh jahat yang ditakuti manusia karena kejahatan yang dilakukannya. 181 Hasil wawancara dengan Fransiskus So’o, Mosalaki Pu’u suku Embu Leko serta tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 11 Oktober 2019 di Tendawena.
123
kebebasan dari dosa bukan soal kodrat, melainkan rahmat. Jika dosa dilihat sebagai
ketidakmampuan asasi manusia untuk berhubungan secara pribadi dengan Tuhan,
tidaklah mengherankan bahwa ketidakmampuan manusia itu memiliki arti bagi
kematiannya sendiri. Hal itu berarti, kematian secara hakiki (demi kodrat manusia)
bersifat kegelapan, tetapi akibat dosalah yang membuat manusia tidak mampu
mengatasi kegelapan tersebut.182 Dengan kata lain, kematian manusia disebabkan
oleh terputusnya relasi dengan Allah, sehingga manusia tidak menikmati
perlindungan dari Allah. Namun sebetulnya kematian bukan rencana Allah, tetapi
“sebagai akibat dari dosa”.
Jadi, kematian dalam pandangan Gereja Katolik menggambarkan suatu
relasi yang erat antara Allah dan manusia. Relasi itu ditemukan dalam konsep
tentang kematian sebagai upah dosa. Kematian dalam hal ini membawa manusia
untuk memutuskan apakah ia menerima Allah atau menolak Allah berdasarkan
ziarah hidupnya. Keputusan yang dibuat adalah keputusan akhir dan tidak dapat
diubah. Meski kematian dipandang sebagai akibat dosa, namun manusia tetap
hidup dan mati dalam pengharapan dan iman. Allah sendiri berinisiatif mendatangi
manusia dalam Kristus dan hanya karena itulah “manusia mati dalam Tuhan”
(Why. 14:13).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, tampak ada perbedaan yang mendasar
tentang konsep kematian masyarakat suku Embu Leja dengan konsep kematian
Gereja Katolik. Masyarakat suku Embu Leja memandang kematian sebagai
peristiwa yang tidak hanya merupakan konsekuensi dari perjanjian yang diadakan
embu mamo dengan Ia, sehinggga manusia mesti kembali kepadanya yang
merupakan sumber dan tujuan hidup manusia, melainkan kematian bisa
diakibatkan dari kekuatan roh jahat (Ata Polo), serta sebagai akibat kutukan dari
nenek moyang karena sanak keluarga yang masih hidup cenderung tidak taaat
melaksanakan tradisi atau adat yang telah diwariskan leluhur. Sebaliknya, Gereja
Katolik mengajarkan bahwa kematian manusia berhubungan dengan relasi dengan
Allah, baik sebagai akibat dosa maupun dari kenyataan kodratnya. Iman akan
Allah dan perbuatan baik yang dimiliki dan dilakukan manusia menjadikan diri
manusia tetap berada dalam intervensi Allah ketika mengalami kematian. Dengan
182 N. S. Dister, op. cit., hal. 583-584.
124
kata lain, orang yang mati dalam iman akan Allah tetap berada dalam kehendak
Allah, bukan penafsiran atau pemikiran atas kehendak orang jahat atau kutukan
dari nenek moyang seperti yang terdapat dalam masyarakat suku Embu Leja.
Dengan demikian, iman akan Allah merupakan bagian penting yang dapat
memengaruhi pandangan manusia tentang kematiannya sebagai pengalaman
eksistensial, di mana melalui iman manusia berharap akan keselamatan yang
datang dari Allah sendiri. Di sinilah iman akan Allah dalam Kristus dapat
membuka pandangan tradisional masyarakat suku Embu Leja untuk senantiasa
percaya dan berharap akan rahmat keselamatan yang datang dari Allah.
5.2.2 Konsep tentang Kebangkitan Jiwa dan Badan
Masyarakat suku Embu Leja mempunyai pemahaman bahwa kebangkitan
bersifat dualistis. Sesudah kematian manusia, jiwa (mae) dari orang yang
meninggal akan tetap hidup, sedangkan badan (tebo) akan hancur menjadi tanah
dalam kubur (ghomo). Hal ini terlihat jelas di dalam pelaksanaan ritus Dheta
Ghomo (melukai tanah), di dalamnya terdapat ungkapan yang menandaskan secara
tersirat mengenai perpisahan antara jiwa dan badan, yakni Mbana ma’e sala jala,
leta ma’e sala wolo. Ungkapan ini mengandung harapan agar jiwa (mae) yang
telah memisahkan diri dari tubuh (tebo) dan mengadakan ziarah menuju Kelimutu
untuk memulai hidup baru bersama Embu-Mamo dan Ia, dapat tiba di tempat
tujuan dengan selamat. Perjalanan bagi jiwa yang diharapkan tidak sampai salah
jalan (baca: selamat) menunjukkan adanya tempat yang layak bagi jiwa pasca
kematian manusia. Sementara itu, badan akan tinggal tetap dan hancur melebur
bersama tanah. Dengan kata lain, badan adalah materi yang akan hancur, bersifat
tidak kekal sedangkan jiwa adalah unsur rohani yang tidak dapat mati, bersifat
kekal. Unsur rohani inilah yang akan tetap hidup dan melanjutkan perjalanan
menuju alam keabadian untuk bersatu dengan penciptanya dan para leluhurnya, di
Kelimutu. Di Kelimutu, jiwa orang yang meninggal tidak dapat binasa lagi,
demikiapun tempat dari jiwa tersebut tidak akan lenyap.
Pandangan dan keyakinan masyarakat suku Embu Leja tersebut tentu
betolak belakang dengan ajaran Gereja Katolik yang meyakini adanya kebangkitan
badan sesudah kematian. Ajaran Gereja Katolik mengajarkan bahwa kebangkitan
125
badan adalah kebangkitan seutuhnya dalam hubungan dengan kematian dan
kebangkitan Yesus Kristus. Kebangkitan Kristus menjadi dasar pengharapan orang
Kristen. Orang Kristen percaya bahwa kebangkitan Kristus merupakan peristiwa
sejarah dan pokok iman Kristen yang mutlak. Yesus menegaskan bahwa: “Akulah
kebangkitan dan hidup” (Yoh. 11:25). Melalui sabda ini, kebangkitan badan dapat
dijelaskan dengan cara menghubungkan kebangkitan orang-orang yang percaya
dengan kebangkitan Yesus Sendiri. Meskipun, tidak ada penjelasan yang cukup
memadai tentang bentuk kebangkitan itu sendri, namun dapat diketahui bahwa
orang-orang yang percaya kepada Yesus akan memperoleh kebangkitan badan.
“Akulah kebangkitan” menandakan bahwa Yesus tidak bermaksud
mengarisbawahi kekekalan jiwa yang terpisah dari badan, sebaliknya Yesus
mengungkapkan badan-Nya merupakan contoh kebangkitan badan orang-orang
percaya. Dengan kata lain, Gereja mengajarkan bahwa oleh kematian, jiwa
dipisahkan dari tubuh, tetapi dalam kebangkitan Allah memberi kehidupan abadi
kepada badan yang telah diubah, dengan mempersatukannya kembali dengan jiwa
kita. Seperti Kristus telah bangkit dan hidup untuk selamnya, demikian kita semua
akan bangkit pada hari kiamat. Hal demikian seperti diungkapkan oleh rasul Paulus
kepada jemaat di Korintus: ”Jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah
kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosa“ (1 Kor. 15-17). Jadi,
kebangkitan badan merupakan efek kesempurnaan dari penebusan Kristus. Kristus
telah menebus dunia karena kematian-Nya. Ia telah menghancurkan kematian
sehingga ada kehidupan di dalam kristus. Karena Kristus sendiri sebagai kepala
Gereja telah bangkit, maka semua anggota Gereja-Nya juga akan mengalami
kebangkitan badan yang sama.
5.2.3 Mediasi dalam Doa: Embu Mamo dan Kristus
Relasi antara manusia dan Wujud Tertinggi dalam masyarakat suku Embu
Leja tidak terlepas dari peranan Embu-Mamo. Embu-Mamo memiliki peran yang
sangat penting dalam relasi antara manusia dan Wujud Tertinggi. Relasi tersebut
tampak dalam ritus kematian Pati Ka Embu Mamo sebagai penghormatan terhadap
126
Embo Mamo dan permohonan kepada Ia dalam syair adat yang diucapakan Pu’u
Kamu183 sebagai berikut:
Kami wi pesa manu Kami sudah memotong
ayam
Miu pati Ia Du’a ghéta lulu wula Kamu beri kepada Ia
yang langit
tu pati Ia Nggae’é ghalé wena tana yang berdiam di bumi
nosi Ia: du’a ghéta lulu wula sampaikan pada Ia yang
di langit
Nggae ghale wena tana yang berada di Bumi
simo ata mata kita terimalah keluarga kami
yang meninggal
ata tau sare pawe jadikanlah ia mulia
gare Nggae’é ghalé wena tana sampaikanlah kepada
Ngga’é
tau ata mata bhe’ni sawe terimalah keluarga yang
meninggal,
jadikanlah ia layak
Ritus ini biasa dilakukan saat masyarakat suku Embu Leja ingin memohon
pertolongan agar para leluhur berkenan membawa permohonan mereka kepada Ia
untuk menerima arwah yang meninggal. Di sini, Embu-Mamo dilihat sebagai
pengantara manusia dengan Wujud Tertingggi. Embu-Mamo menjalankan tugas
untuk meneruskan harapan manusia yang masih hidup kepada Ia. Keyakinan ini
berdasar pada pandangan bahwa Embu-Mamo yang telah bersama dengan Ia,
memiliki kedekatan dengan Ia serta memiliki kekuatan dari Ia. Dari kekuatan yang
diperolehnya dari Ia, Embu-Mamo dapat menjadi penolong dalam setiap usaha
manusia. Oleh karena itu, peranan Pu’u Kamu sebagai pendaras doa juga
merupakan peran yang sangat sentral. Ritus kematian akan menjadi sempurna jika
Pu’u Kamu menjalankan tugasnya dengan baik, karena hanya Pu’u Kamu yang
berhak untuk berkomunikasi dengan para arwah atas nama seluruh anggota
keluarga yang masih hidup dengan arwah yang telah berada di danau Kelimutu.
Ritus yang dipimpin oleh Pu’u Kamu merupakan realitas etis yang dihadirkan dan
diwariskan oleh leluhur agar manusia dapat menjalin relasi yang baik dengan
leluhur dan Ia. Segala bentuk doa permohonan yang dilantunkan dan tindakan
183 Hasil wawancara dengan Anselmus Moa, Pu’u Kamu suku Embu Leja dan tokoh adat
Tendawena, pada tanggal 13 Oktober 2019 di Tendawena.
127
simbolis yang dilakukan merupakan usaha manusia untuk menjalin relasi dan
komunikasi dengan para arwah agar segala harapan terpenuhi, yakni agar sanak
keluarga yang masih hidup memperoleh berkat dalam usaha atau terhidar dari
malapetaka.
Berbeda dengan keyakinan masyarakat suku Embu Leja, Gereja Katolik
mengakui bahwa Yesus Kristus adalah anak Allah dan pengantara (mediator)
tunggal manusia dengan Allah. Kristus adalah satu-satunya jalan bagi manusia
untuk menuju kepada Allah: “Akulah kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun
yang datang kepada Bapa tanpa melalui Aku” (Yoh. 14:6). Katekismus popular
menerangkan kebenaran tentang Yesus Kristus, Putera Allah, Tuhan satu-satunya
penyelamat, yang menjadikan inkarnasi-Nya, kematian dan kebangkitan-Nya
membawa keselamatan pada penggenapan janji Allah bagi manusia dan Yesus
membawa dunia kembali kepada Allah dengan kasih yang sempurna.184 Melalui
Kristus, Ia melaksanakan dan menyatakan misteri sebagai tujuan keputusan Allah,
“supaya mempersatukan lagi segala sesuatu dalam Kristus sebagai kepala” (Ef.
1:10).185 Dalam dialah manusia didamaikan dengan Allah (bdk. 2 Kor. 5:19) dan
dipanggil dalam persekutuan dengan-Nya (bdk. 1 Kor. 1:19). Oleh karena itu, dari
pihak manusia dituntut jawaban iman, yakni persetujuan atas panggilan
keselamatan dan persekutuan dengan Allah seperti yang ditawarkan oleh Kristus
Yesus sendiri. Persekutuan dengan Allah akan mencapai puncak yang definitif
pada kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya dengan segala kekuasaan dan
kemuliaan-Nya (bdk. Luk. 21:27). Kristus sebagai satu-satunya pengantara
keselamatan telah membentuk Gereja-Nya yang kudus, persekutuan dalam iman,
harapan dan cinta kasih sebagai himpunan yang kelihatan. Atas dasar ini maka
peranan para imam sebagai pemimpin terasa sangat penting untuk melambungkan
doa-doa atas nama Gereja dan jemaat yang berhimpun. Di sini berkat kuasa
pentahbisan yang diterima seorang imam melalui sakramen pentahbisan maka
seorang imam memiliki hubungan yang khas dengan Bapa, bersama Putera dan
Roh Kudus, sebagai penjamin hubungan kesatuan antara Allah dan manusia. Imam
184 Youcat, Katekismus Popular, penerj. Yohanes Dwi Harsanto, dkk., (Yogyakarta: Kanisius,
2015), hal. 68-69. 185 Dokumen Konsili Vatikan II, Pengakuan Iman artikel 9 pasal 1 nomor 772, op. cit., hal. 204.
128
yang melaksanakan upacara ibadat atau ekaristi berperan sebagai wakil Kristus dan
di sanalah harapan manusia disampaikan kepada Allah.186
5.2.4 Pengantara Keselamatan bagi Setiap Orang yang Meninggal
Masyarakat suku Embu Leja meyakini bahwa Embu-Mamo telah terlebih
dahulu mengalami suka dan duka dalam ziarah menuju Kelimutu. Oleh karena itu,
masyarakat suku Embu Leja melihat para Embu Mamo merupakan tokoh-tokoh
yang sangat dihormati, sehingga mereka perlu menunjukkan sikap dan tindakan
penghormatan kepada Embu-Mamo dalam hubungan dengan kematian.
Penghormatan tersebut sangat diperhatikan karena bertujuan agar orang yang
meninggal dapat mencapai kepenuhan hidup bersama Ia di Kelimutu.
Demikianpun orang-orang yang masih hidup dapat terhindar dari segala
marabahaya dan malapetaka. Selain sebagai mediasi atau pengantara doa kepada
yang Ilahi, peran Embu Mamo juga dikenal sebagai penghubung antara manusia
dengan Wujud Tertinggi. Akan tetapi, peran mereka tidak sampai pada tindakan
penyelamatan sebagaimana yang diperankan Yesus Kristus.
Pandangan masyarakat suku Embu Leja tentang peranan Embu-Mamo jelas
berbeda dengan pandangan Gereja Katolik. Gereja Katolik melihat Yesus Kristus
sebagai pengantara keselamatan bagi orang mati. Tindakan penyelamatan Yesus
Kristus nyata melalui kesaksian hidup dan karya-Nya sampai pada penderitaan,
wafat dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Di sini Yesus Kristus berperan
sebagai penunjuk keselamatan kepada Allah Bapa. Yesus juga menyatakan secara
konkret jalan tersebut melalui tindakan penyelamatan yang konkret pula. Dengan
demikian, setiap orang menjadi percaya, beriman kepada Allah oleh karena
perbuatan agung Yesus itu, sehingga pada akhirnya mereka diselamatkan. Dalam
diri Yesus, Allah mengungkapkan kasih-Nya yang tiada batas kepada manusia,
termasuk membangkitkan orang-orang mati dalam iman. Kebangkitan Yesus dapat
mengesahkan apa yang dikehendaki Allah. Kebangkitan-Nya memberi bukti
186 Direktorium tentang pelayanan dan hidup para imam dikeluarkan oleh kongregasi untuk Klerus
pada hari Kamis Putih 1994, disetujui dan disahkan oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II pada tanggal
13 Januari 1994. Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawirjana, nomor 20.
129
terhadap otoritas Ilahi-Nya yang definitif dan telah Ia janjikan selama pewartaan di
dunia ini.187
Jadi dalam hal pengantara keselamatan, Embu- Mamo hanya dikenal
sebagai penghubung antara manusia dengan Wujud Tertinggi. Akan tetapi, peranan
Embu-Mamo tidak sampai pada tindakan penyelamatan sebagaimana yang
diperankan oleh Yesus Kristus. Yesus Kristus-lah yang menjadi perantara
keselamatan bagi setiap orang yang meninggal.
5.2.5 Tempat Orang Meninggal di Dunia Akhirat
Sesuai dengan pandangan kosmisnya, masyarakat suku Embu Leja percaya
bahwa setelah kematian jiwa-jiwa orang yang meninggal akan kembali ke asalnya.
Jiwa-jiwa itu akan berkumpul di tempat yang sakral, yaitu Kelimutu. Kehidupan di
Kelimutu adalah tujuan akhir dari seluruh perjalanan orang yang meninggal. Di
Kelimutu setiap orang yang meninggal dapat menjalin hubungan yang akrab
dengan Ia dan Embu-Mamo. Karena itu, kehidupan di Kelimutu, khususnya di
Tiwu Ata Mbupu, merupakan kehidupan yang dijalani oleh orang-orang yang sudah
mencapai kesucian jiwa dan raganya, terutama dari segala dosa dan kesalahan.
Namun, selain Tiwu Ata Mbupu, masyarakat suku Embu Leja juga mengenal
adanya suatu dunia yang berfungsi sebagai tempat pemurnian atau penyucian diri
bagi jiwa-jiwa orang yang dianggap belum layak masuk ke dalam Tiwu Ata
Mbupu, yakni Tiwu Ko’o Fai Nuamuri, serta dunia tempat bagi orang yang jahat
yakni Tiwu Ata polo.
Pandangan tentang tempat dunia akhirat juga ada dalam Gereja. Gereja
Katolik mengakui ada tempat-tempat tertentu yang akan dihuni oleh orang-orang
yang meninggal, yakni surga, neraka, dan api penyucian. Namun, tempat-tempat
tersebut diyakini sebagai sebuah kondisi atau keadaan, ketimbang sebagaimana
yang dipahami oleh masyarakat suku Embu Leja. Gereja Katolik lebih
menekankan hidup sesudah kematian bukanlah suatu tempat yang tampak secara
fisik, melainkan sebagai suatu kondisi atau situasi hidup baru, entah itu hidup
dekat dengan Allah atau manjauh dari Allah. Ajaran Gereja Katolik menegaskan,
setiap orang yang beriman kepada Kristus saat kematiannya akan menerima
187 Katekismus Gereja Katolik, Pengakuan Iman artikel 5 pasal 3 nomor 651, op. cit., hal. 173.
130
ganjaran abadi yang terjadi dalam Pengadilan Khusus. Dalam Pengadilan Khusus
tersebut, Kristus memainkan peranan-Nya sebagai hakim untuk memutuskan
apakah seseorang yang meninggal akan masuk surga, api penyucian, atau neraka.
Masuk ke dalam surga berarti seorang yang meninggal akan mengalami kepenuhan
hidup dalam persatuan dengan Allah dan para kudus. Masuk ke api penyucian
(purgatorium) berarti seseorang yang meninggal akan mengalami situasi
penyucian diri atau pemurnian demi mencapai kekudusan, dan sebagai persiapan
menuju ke kediaman Allah, para malekat dan orang kudus. Sedangkan masuk ke
neraka atau gehenna berarti seorang yang meninggal dunia akan mengalami situasi
penghukuman abadi dengan siksa dan api yang tak terpadamkan bagi mereka yang
jahat dan menolak untuk percaya dan bertobat. Oleh karena itu, ada tiga situasi
yang menjadi kemungkinan bagi setiap manusia setelah mengalami kematian,
yakni api penyucian (purgatorium), surga, dan neraka (gehenna).
Jadi, secara singkat masyarakat suku Embu Leja mengenal bahwa setelah
manusia mengalami kematian, manusia akan dibawa ke tiga tempat yang berada di
Kelimutu, yakni Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Ko’o Fai Nua Muri, dan Tiwu Ata polo.
Sedangkan Gereja Katolik memadang setelah manusia mengalami kematian,
manusia tidak dibawa kepada suatu tempat melainkan kepada situasi atau kondisi,
yakni api penyucian (purgatorium), surga, dan neraka (gehenna).
5.3 Kesimpulan
Setelah membuat perbandingan antara kebudayan suku Embu Leja dengan
pandangan Gereja Katolik tentang kematian ditemukan ada beberapa unsur yang
dapat diselaraskan, namun juga ada unsur yang tidak dapat diselaraskan. Secara
garis besar, ritus kematian bagi masyarakat suku Embu Leja dilakukan karena ada
keyakinan akan kehidupan setelah kematian, demikiapun dalam pandangan Gerja
Katolik yang meyakini adanya hidup setelah kematian. Selain itu, kedua-duanya
sama-sama menekankan aspek keselamatan, sehingga ada titik temu bahwa
kehidupan baru setelah kematian manusia dapat dialami karena adanya yang Ilahi
sebagai pengasal dan tujuan hidup manusia, dan setelah kematian manusia akan
memperoleh keselamatan. Seluruh pembahasan tentang unsur-unsur yang dapat
diselaraskan bermuara pada dua hal, yakni adanya kepercayaan akan hidup sesudah
131
kematian dan keselamatan. Kedua unsur ini sangat mewarnai makna di balik ritus-
ritus kemataian suku Embu Leja dan pandangan Gereja Katolik. Jadi, keyakinan
akan hidup setelah kematian dan keselamatan yang akan dialami di dalam suatu
dunia yang disebut Kelimutu bisa dikatakan sesuai dengan apa yang diajarkan
Gereja tentang keselamatan dan hidup yang kekal dalam persatuan dengan Allah di
surga.
Meskipun memiliki kesamaan di dalam banyak hal, namun ada beberapa
perbedaan yang tampak dari makna di balik ritus-ritus kematian masyarakat suku
Embu Leja dengan ajaran Gereja Katolik. Perbedaan tersebut bisa memengaruhi
cara pandang masyarakat suku Embu Leja terhadap aspek-aspek yang ditekankan
di dalam Gereja tentang kematian dan hidup setelah kematian. Ada beberapa hal
dalam ritus kematian masyarakat suku Embu leja yang mesti diberi terang teologis.
Pertama, bahwa kematian merupakan peristiwa alamiah yang akan dilami oleh
setiap manusia dan bukan karena kekuatan roh jahat atau Ata Polo yang dapat
membuat manusia mati. Manusia mati bersama Kristus dan masuk ke dalam
keabadian bersama Kristus karena Kristus telah mengalahkan kematian dengan
kebangkitan. Kedua, ketika manusia mengalami kematian fisik, pada saat itu pula
jiwa memasuki suatu keadaan atau situasi dan bukan memasuki suatu tempat,
karena yang mengalami hidup adalah roh yang tidak membutuhkan tempat secara
fisik. Ketiga, peranan Embu-Mamo bukanlah penjamin satu-satunya keselamtan
manusia dan penjamin kebahagiaan hidup bagi keluarga yang masih hidup,
melainkan Kristus sendiri yang menjadi pengantara sekaligus menjadi penjamin
hidup yang menawarkan hidup baru bagi Gereja melalui kesaksian hidup, wafat,
dan kebangkitan-Nya. Keempat, Embu-mamo bukanlah pihak yang memberi
melapetaka atau mendatangkan bahaya bagi manusia yang hidup, melainkan
peranan para Embu-Mamo adalah sebagai pendoa bagi sanak keluarga yang masih
hidup agar dapat memperoleh kebahagiaan hidup di dunia. Dengan demikian,
Embu-Mamo hanya sebagai pendoa dan bukan merupakan pihak yang menjadi
penjamin hidup manusia dan menjawabi seluruh harapan hidup manusia untuk
memperoleh keselamatan hidup kekal.
132
5.4 Nilai-Nilai Inspiratif dari Ritus Kematian Masyarakat Suku Embu Leja
Ritus merupakan aktivitas kultis manusiawi yang turut memiliki matra
edukatif, di dalamnya kehadiran Ilahi yang diakui persekutuan ditata dan
diperbaharui, serta kehidupan pribadi dan individu diatur berdasarkan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, ritus merupakan tindakan
simbolis yang menghadirkan serta mengejawantahkan makna dan nilai-nilai
tertentu bagi orang-orang yang melakukannya, entah sebagai pribadi maupun
kelompok.188 Hal ini berarti ritus kematian menjadi hal yang sangat esensial bagi
masyarakat suku Embu Leja. Ritus kematian yang dilakukan dalam suasana duka
karena kehilangan salah satu anggota keluarga merupakan suatu aktivitis kultis
yang sangat bermakna. Dalam konteks ini, ritus kematian suku Embu Leja dapat
dilihat sebagai suatu perayaan yang turut mengungkapkan nilai-nilai penting, entah
nilai sosial kemasyarakatan maupun nilai religius yang tampak dari pelaksannaan
ritus tersebut, antara lain nilai keimanan dan takut akan Tuhan, cinta kasih dan
solidaritas, serta nilai persekutuan dan kerja sama. Nilai- nilai tersebut tentu dapat
turut membantu masyarakat suku Embu Leja dalam proses penghayatan imannya
sebagai orang-orang Kristen.
5.4.1 Nilai Keimanan dan “Takut akan Allah”
Mengimani Tuhan dan takut akan Tuhan sesungguhnya merupakan
tanggapan dari manusia atas keberadaan yang Ilahi sebagai pengada segala sesuatu
bagi manusia dan seluruh alam ciptaan dan penentu nasib manusia di dunia dan di
akhirat. Rudolf Otto, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat, menyatakan
bahwa semua sistem religi dan kepercayaan di dunia berpusat pada suatu konsep
tentang hal-hal misterius yang dianggap dahsyat dan keramat oleh manusia.189
Pernyataan Koentrjaraningrat ini jika dihubungkan dengan ajaran Gereja dalam
perspektif Kitab Suci secara tidak langsung, juga menegaskan bahwa Allah yang
dianggap misteri bagi manusia, namun ada dorongan yang lahir dari sikap iman
yang menyebut Allah sebagai Bapa yang menciptakan manusia menurut gambar-
188 Susane Langer, Philosophy in a New Key. A Study in the symbolism of Reason, rite, and Art
(New York: Penguin Books, 1948), hal. 39. 189 Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 22.
133
Nya (Kej. 1:27). Allah selalu dekat dengan manusia dan mencintai manusia
melalui rahamat kehidupan yang dianugerahkan bagi manusia dan manusia
dipercayakan Allah untuk beranak cucu dan menguasai seluruh ciptaan-Nya (Kej.
1:28). Namun di pihak lain, Allah juga dianggap sebagai hakim yang menghukum,
mendatangkan penderitaan, kesulitan dan maut jika manusia dalam hidup
melakukan dosa dengan menolak untuk hidup bersama Allah.190 Berhadapan
dengan realitas kehidupan yang dialami manusia dan juga alam lingkungan serta
peristiwa bencana alam, penderitaan dan kesusahan hidup, serta peristiwa yang
melampaui kekuatan manusia akhirnya mengarahkan manusia untuk
mengandalkan kepercayaan kepada Allah sebagai Bapa yang harus dihormati dan
disembah.
Sejarah iman Katolik menggarisbawahi dalam Perjanjian Lama bahwa
bangsa Israel adalah bangsa yang mengalami keterlibatan Allah dalam sejarah
hidup dan memanggil Allah sebagai Bapa (Ul. 32:6). Peranan Allah sebagai Bapa
ini berlanjut hingga pada Perjanjian Baru. Hal ini termuat dalam Konsili Vatikan II
Gaudium et Spes nomor 24:
Allah sebagai Bapa memelihara semua orang, menghendaki
agar mereka semua merupakan satu keluarga, dan saling
menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka
semua diciptakan menurut gambar Allah, yang
“menghendaki segenap manusia dari satu asal mendiami
seluruh muka bumi” (Kis. 17:26). Mereka semua dipanggil
untuk satu tujuan yang sama, yakni Allah sendiri.191
Demikian juga dalam masyarakat suku Embu Leja, kehadiran Allah yang
misterius dan dahsyat diterjemahkan dalam alam lingkungan serta realitas hidup
dan pengalaman-pengalaman hidup harian mereka. Yang Ilahi dipercaya sebagai
sember kekuatan segala-galanya yang melampaui kekuatan manusia. Masyarakat
suku Embu Leja menyebut yang Ilahi dengan Ia. Sifat-sifat Ia selalu digambarkan
sebagai sesuatu yang melebihi segala makhluk duniawi, yang sungguh ilahi, yang
tidak kelihatan, namun dapat dirasakan kehadiran-Nya dan senantiasa berbaik hati
kepada manusia, terutama ketika manusia mengalami kesusahan. Ia juga senantiasa
190 E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, op. cit., hal. 78. 191 Dokumen Konsili Vatikan II, op. cit., hal. 549-550.
134
berlaku adil; Ia mengganjari perbuatan baik manusia dengan berkat berlimpah dan
perbuatan jahat manusia dengan hukuman yang setimpal. Ia adalah pemberi
anugerah kehidupan, anugerah kesehatan, pemberi hujan dan rahmat kesuburan
bagi tanaman sekaligus pelindung bagi seluruh perjalanan hidup manusia. Sifat-
sifat tersebut menggambarkan kesempurnan Allah yang mengatasi segalanya,
Allah sebagai yang pertama dan utama dalam hidup masyarakat yang berbudaya.192
Kepercayaan akan Allah dapat diperteguh dengan berbagai cara. Salah satu
cara untuk memperteguh iman manusia akan Allah melalui pelaksanaan ritus.
Pelaksanaan ritus merupakan bentuk ungkapan rasa religius serta pengalaman
rohani manusia akan sesuatu yang transenden, di mana melaluinya manusia
mengalami perasaan-perasaan tertentu yang membahasakan isi pengalaman rohani
tertentu yang masih sanggup mempertahankan kedalamnnya dengan ultim atau
tansendental.193 Hal ini berarti sehubungan dengan ritus kematian yang dilakukan
oleh masyarakat suku Embu Leja, orang kembali disadarkan bahwa Allah atau Ia
memiliki kemampuan yang melampaui manusia. Allah atau Ia sendirilah yang
menentukan batas hidup manusia di dunia. Dengan kata lain, ritus kematian ini
memiliki nuansa religius yang di dalamnya termuat hubungan antara manusia
dengan Allah atau Ia. Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu
Leja merupakan tindakan religius dan didasari oleh kesadaran akan intervensi dan
rasa takut pada Ia. Karena itu, dalam melaksanakan ritus kematian ditemukan
sikap dasar seperti penghormatan dalam suasana yang tenang. Dalam pelaksanaan
ritus ini semua orang yang terlibat di dalammya dapat mengambil bagian dalam
pujian kepada Sang Pencipta yang memiliki kuasa atas hidup manusia dan juga
kepada Embu-Mamo yang menjadi pengantara Sang Pencipta. Melalui ritus
kematian, orang yang meninggal diarahkan kepada Sang Pencipta, sekaligus
membangkitkan kesadaran dan perhatian orang-orang yang terlibat di dalamnya
agar selalau mengarahkan hidup mereka kepada Sang Pencipta tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritus kematian mampu mengantar
semua orang untuk semakin dekat dengan Ia. Ritus kematian yang dilaksanakan
oleh masyarakat suku Embu Leja mampu menemukan nilai keimanan dan “takut
192 C. A. van Peursen, Itu Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hal. 15. 193 Alfred N. Whitehead, Religion in The Making (New York: New American Library, 1974), hal.
34-35.
135
akan Ia”. Nilai keimanan dan takut akan Ia tersebut dapat dikatakan sebagai
kebijakan dasar ajaran iman Kristiani seperti tercantum dalam Nabi Yesaya yang
telah menubuatkan seruan Tuhan kepada bangsa-bangsa supaya kembali kepada-
Nya, yakni bahwa semua orang dapat bertekuk lutut di hadapan-Nya karena
keadilan dan kekuatan hanya ada pada-Nya: “Berpalinglah kepada-Ku dan biarlah
dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi. Sebab Akulah Allah dan tidak ada
yang lain. Semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan akan bersumpah
setia dalam segala bahasa, sambil berkata: keadilan dan kekuatan hanya ada dalam
Tuhan” (Yes. 45:22-24). Di samping itu, iman dan ketakutan akan Tuhan juga
merupakan ketaatan kepada Tuhan, sebab kepada Tuhan manusia berharap.
Sehubungan dengan hal ini, rasul Paulus merefleksikan iman sebagai rahmat Allah
dan keputusan bebas manusia, yang menuntut ketaatan dari manusia dan
mengantar manusia kepada hidup yang penuh pengharapan akan Tuhan Yesus.
Karena iman, manusia dapat menaati semua pewartaan tentang Yesus Kristus,
terutama wafat dan kebangkitan-Nya, sekaligus mengantar seseorang dalam hidup
dan berpengharapan untuk memperoleh penyelesaiannya dan sempurna dalam
kerajaan Allah nanti.194
Jadi, berdasarkan uraian-uraian di atas tampak bahwa masyarakat suku
Embu Leja telah menanamkan dalam diri mereka nilai-nilai atau kebajikan-
kebajikan yang setara dengan kebajikan Kristiani, yang dapat menjadi dasar
pijakan dalam penghayatan imannya sebagai orang Kristen sejak sebelum
masuknya agama Kristen ke dalam budaya etnis Lio-Ende.
5.4.2 Nilai Cinta Kasih dan Solidaritas
Pelaksanaan ritus kematian yang dilakukan oleh masayarakat suku Embu
Leja mengungkapkan praktik cinta kasih dan solidaritas dalam hidup bersama.
Praktik cinta kasih dan solidaritas tersebut berlaku baik untuk sesama yang masih
hidup maupun untuk sesama yang meninggal. Hal ini bisa dilihat dalam pratik
ritual memberikan makanan dan minuman kepada arwah yang meninggal (Pati Ka
Ata Mata), dukungan moral dan material yang diberikan keluarga atau pelayat
seperti hiburan dan doa-doa (Wurumana), dan ritus Joru sebagai kesempatan untuk
194 G. Kirchberger, Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia, op. cit., hal. 38-39.
136
rekonsiliasi dan memohonkan kehidupan yang damai baik bagi orang yang
meninggal maupun orang-orang yang masih hidup. Dengan demikian, ritus
kematian yang dilakukan masyarakat suku Embu Leja merupakan tanda atau
sarana untuk membangun rasa cinta dan solidaritas.
Penghayatan akan nilai cinta kasih dan solidaritas melalui pelaksanaan ritus
kematian tentu menjadi sumbangan berarti bagi penghayatan iman Kristen. Ajaran
iman Kristen sangat mengutamakan cinta kasih dan solidaritas sebagai wujud iman
di tengah umat manusia. Katekismus Gereja Katolik memberi penjelasan bahwa
kasih Allah adalah kabajikan Ilahi, yang dengannya manusia mengasihi Allah di
atas segala-galanya demi diri-Nya sendiri dan karena kasih kepada Allah manusia
dapat mengasihi sesama seperti dirinya sendiri. Selanjutnya, ditegaskan bahwa
Yesus membuat kasih menjadi satu perintah baru, sebab ia mengasihi orang-orang-
Nya sampai pada kesudahan-Nya (Yoh. 13:1).195 Pemahaman tentang cinta kasih
dan solidaritas ini dipertegas lagi oleh Yohanes Paulus II sebagaimana yang
dikutip oleh Yosef Boumans, dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, di mana di
situ diungkapkan bahwa solidaritas bukan sekadar perasaan keharuan yang samar-
samar atau rasa sedih yang dangkal. Solidaritas merupakan suatu ketepatan hati
yang kokoh dan berkanjang untuk membaktikan diri kepada yang lain, demi
kebaikan yang lain, karena setiap orang memang bertanggung jawab kepada yang
lain. Atas dasar pemahaman ini maka cinta kasih dan solidaritas merupakan suatu
bentuk tanggung jawab setiap pribadi kepada yang lain, yang diungkapkan dengan
perasaan emosional dan pemberian tertentu196
Jadi, praktik cinta kasih dan solidaritas yang tampak dalam ritus kematian
suku Embu Leja dan yang termuat dalam ajaran Gereja merupakan cerminan kasih
Allah bagi manusia dan manusia dengan sesamanya. Hal ini berarti baik sebagai
anggota Gereja maupun anggota masyarakat yang menganut suatu tradisi warisan
leluhur, hidup di dalam cinta kasih dan solidaritas merupakan bagian dalam tugas
pewartaan untuk hadir sebagai saksi Kristus yang dinyatakan kepada Tuhan dan
sesama. Dengan demikian, cinta kasih dan solidaritas merupakan alat untuk
mempersatukan manusia dengan manusia, terutama manusia dengan Tuhan.
195 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 454. 196 Yohanes Paulus II, dalam Yosef Boumans, Telaah Sosio-Pastoral Tentang Manusia (Jakarta:
Celesty Hieronika, 2001), hal. 164.
137
5.4.3 Nilai Persekutuan (Communio) dan Kerja Sama
Sebagaimana diungkapkan Bernard Raho bahwa ritus-ritus yang dilakukan
oleh manusia memiliki nilai di baliknya, yakni untuk meningkatkan kesatuan di
dalam kelompok tertentu. Hal tersebut ditampakkan oleh kelompok tertentu, yakni
dengan bersama-sama mengingat kembali kebersamaan yang dihayati serta
memperkuat kebersamaan.197 Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku
Embu Leja merupakan tanda bahwa masyarakat suku Embu Leja memiliki relasi
persekutuan dengan Wujud Tertinggi, persekutuan dengan orang-orang yang
meninggal dan juga sesama yang masih hidup di dunia. Hal ini berarti tujuan
masyarakat suku Embu Leja melaksanakan ritus-ritus kematian adalah untuk
membangun nilai persekutuan dan kerja sama antara orang-orang yang masih
hidup dengan orang yang meninggal, agar saling menguntungkan dan saling
membahagiakan hidup. Nilai persekutuan juga dipahami sebagai adanya persatuan
dan persaudaraan yang erat di antara orang-orang yang mengambil bagian dalam
ritus-ritus kematian. Jika dalam kehidupan sehari-hari terdapat persoalan yang
menimbulkan perselisihan maka ritus merupakan saat yang tepat bagi masyarakat
untuk kembali memperbarui persatuan di antara mereka. Persekutuan ini hanya
mungkin terjadi apabila adanya kerja sama. Nilai kerja sama mencakup aktivitas
yang dikerjakan dalam semangat persekutuan demi mencapai kebaikan bersama.
Karena itu, persekutuan yang dibangun dalam ritus kematian menuntut adanya
kerja sama di antara semua pihak yang terlibat di dalamnya: masing-masing orang
dapat mengambil bagian atau turut berperan aktif dengan melaksanakan apa yang
menjadi tanggung jawab masing-masing.
Nilai persekutuan juga terdapat dalam Gereja yang dikenal dengan
communio, yaitu persekutuan antara umat manusia dengan Allah dan sesama.
Dengan Roh-Nya, Allah memanggil setiap umat beriman untuk membangun
communio dengan-Nya melalui putera-Nya Yesus Kristus, sehingga menghasilkan
suatu persekutuan yang baru di antara manusia dan sesamanya. Persekutuan ini
dapat dibangun melalui sabda dan sakramen sebagai tanda bahwa Allah
menguduskan umat-Nya. Setiap orang yang sudah masuk dalam persekutuan itu
mengambil peran untuk menampilkan Kristus sebagai imam, nabi, dan raja di
197 Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi, op. cit., hal. 13.
138
tengah dunia. Maka, communio yang dibangun atas inisiatif Allah tersebut dapat
menjadi cahaya dan penyelamat dunia.198 Hal tersebut senanda dengan apa yang
digagaskan Eben Nuban Timo, bahwa persekutuan sebagai Gereja mesti hadir
untuk Allah di mana memberi kesaksian tentang kasih Allah; Gereja haruslah
menjadi Gereja yang ada untuk sesama, untuk orang lain, the church for others.
Dengan kata lain, Gereja ada untuk persekutuan, bukan untuk dirinya sendiri.199
Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja dalam
hubungan timbal balik antara orang-orang hidup dengan orang mati dan Wujud
Tertinggi merupakan suatu persekutuan yang menyelamatkan. Melalui ritus-ritus
yang dilakukan, orang-orang dapat bekerja sama antara orang-orang yang masih
hidup dengan orang yang meninggal agar saling menguntungkan dan saling
membahagiakan hidup. Orang yang masih hidup dianggap sebagai pemenuh
harapan bagi orang yang meninggal. Sedangkan orang yang telah meninggal
menjadi tumpuan harapan, sebagai pendukung usaha dan rencana manusia yang
masih hidup dan juga berperan sebagai pelindung terhadap penyakit serta
marabahaya lainnya. Di samping itu, orang-orang yang terlibat dalam ritus tersebut
dapat menimba berkat agar persekutuan mereka terus menyata di dalam dunia,
terutama menghayati persekutuan hidupnya sebagai orang-orang yang beriman
Katolik. Dengan kata lain, pelaksanan ritus-ritus kematian mengandung harapan
besar bahwa setiap orang yang terlibat di dalamnya juga memiliki sikap untuk
menjaga persekutuan dan kerja sama dalam berbagai aspek kehidupannya. Di sini,
ritus menjadi sebuah panggilan ke dalam suatu persekutuan hidup, yang di
dalamnya ada damai dan persatuan serta kerja sama dan partisipasi aktif setiap
anggota masyarakat. Ritus menjadi model yang membantu umat manusia
menghayati hidup communio yang sesungguhnya, sebagaimana yang terdapat
dalam ajaran Gereja Katolik. Ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa beriman
berarti dipanggil ke dalam persekutuan dangan Allah dalam diri Yesus Kristus dan
dalam kesatuan dengan seluruh umat mausia. “Gereja itu di dalam Kristus
bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan
kesatuan umat manusia”.
198 G. Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani, op. cit., hal. 420-425. 199 Eben Nuban Timo, Sidik jari Allah dan Budaya: Upaya Menjajaki Makna Allah dalam
Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur (Ledalero: Maumere, 2007), hal. 99.
139
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikatakan bahwa kebudayaan
memiliki kebajikan-kebajikan lahiriah yang tidak jauh berbeda dengan yang
terdapat dalam ajaran Gereja. Kebajikan-kebajikan kebudayaan memiliki
kontribusi ketika umat diarahkan pada kesadaran dan perhatian untuk menghayati
persekutuan hidup yang sesungguhnya dengan Allah dan sesama dalam imannya
akan Yesus Kristus. Dengan kata lain, ketika umat diajak untuk mengungkapkan
imannnya sesuai dengan segala ajaran dan tuntutan hidup dalam imannya tersebut,
umat telah memiliki pedoman dan pegangan melalui kebajikan-kebajikan
tradisional yang melekat erat dalam hidup mereka.
5.5 Implikasi terhadap Karya Pastoral Gereja
Kegiatan pastoral merupakan salah satu wujud dari usaha evangelisasi demi
pertumbuhan iman umat. Dalam hal ini, kegiatan pastoral diharapkan mampu
menjernihkan kepercayaan masyarakat setempat dengan nilai-nilai injili. Dalam
usaha evangelisasi tersebut, para pelayan pastoral berusaha untuk mempribumikan
iman kristiani. Titik pijak yang digunakan adalah refleksi teologis yang bersumber
dari Kitab Suci dan tradisi Kristen. Dalam hubungan antara ritus kematian
masyarakat suku Embu Leja dengan pandangan Gereja Katolik tentang kosep
kematian maka yang menjadi titik pijak kegiatan pastoral adalah refleksi-refleksi
teologis atau ajaran Gereja, yang mencakup Kitab Suci dan tradisi yang berbicara
tentang kematian. Harapan dari pewartaan yang dilakukan oleh pelayan pastoral
dapat membawa perubahan di dalam diri umat agar semakin menghayati nilai-nilai
iman Kristiani dalam keseharian hidup. Berikut adalah bidang-bidang yang bisa
menjadi lokus kegiatan pastoral, yakni pastoral katekese bersama umat dan bidang
pastoral liturgi.
5.5.1 Katekese Bersama Umat
Katekese bersama umat merupakan salah satu usaha pastoral yang
mengarahkan umat pada pengahayatan iman yang konkret. Katekese umat dapat
ditinjau dari berbagai aspek, antara lain antropologis, sosiologis, dan teologis.
Aspek antropologis katekese umat dilihat sebagai musyawarah iman untuk
140
memecahkan persoalan dan memenuhi kebutuhan tertentu. Aspek sosiologis
katekese umat dilihat sebagai analisis sosial dalam terang Injil, dan aspek teologis
katekese umat dilihat sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman
berdasarkan sabda Allah dan pengalaman konkret di antara kelompok atau
jemaat.200
Berhadapan dengan tugas pelayan pastoral maka pelayan pastoral tidak
hanya menyampaikan sabda Tuhan saja dan ajaran resmi Gereja kepada umat
setempat, tetapi berusaha membangun dialog iman yang intens. Dengan demikian,
pelayan pastoral dapat membuat penilaian yang tepat sasar mengenai ritus-ritus
yang dipratikkan. Hal yang menjadi acuan bagi dialog iman adalah Sabda Tuhan
dan ajaran Gereja. Di dalamnya, para pelayan pastoral berusaha menemukan
keselarasan antara apa yang termaktub di dalam ajaran Gereja Katolik dan
kepercayaan asli dengan segala kaitan fungsionalnya.
5.5.1.1 Katekese Bersama Umat: Membimbing Umat Memahami Misteri
Kristus
Masyarakat suku Embu Leja secara tidak langsung belum cukup memiliki
kemurnian pandangan terhadap misteri Kristus yang berperan sebagai pemersatu
antara Allah dan sesama, juga sebagai pengantara manusia dengan Allah melalui
karya penebusan, melainkan lebih memperhatikan pelaksanaan ritus kematian.
Oleh karena itu, agar masyarakat suku Embu Leja mampu memahami misteri
Kristus dengan baik dan benar sangat diperlukan bimbingan dan pembinaan
terlebih dahulu agar menyadarkan umat bahwa Yesus Kristus adalah pribadi yang
dalam diri-Nya berperan sebagai pemersatu dan pengantara antara Allah dan
manusia. Hal praktis yang bisa dibuat untuk memahami Misteri Kristus adalah
perayaan Ekaristi. Dalam perayaan Ekaristi, seluruh misteri kehidupan bersama
dengan Allah dan sesama terpenuhi dalam diri Kristus. Yesus memilih sebuah
praktik persekutuan perjamuan sebagai simbol potensial dan perwujudan jemaat
baru. Misteri Ekaristi adalah misteri Tuhan yang menjadi makanan bagi umat
200 Yosef Lalu, “Katekese Umat dalam Menerobos Batas, Merobohkan Prasangka”, dalam Paul
Budi Kleden dan Robert Mirsel (eds.), Dialog demi Keadilan Menyongsong HUT ke-65 Dr. John
Mansford Prior, Jilid ke-2, (Maumere: Ledalero, 2001), hal. 406-413.
141
manusia agar manusia hidup dan bersekutu dengan-Nya dan dengan sesama
manusia. Dengan menjadi roti yang dimakan, Tuhan masuk ke dalam diri manusia
agar manusia bisa bersatu bersama dia dan pada akhirnya manusia mencapai
kepenuhan untuk bersatu dengan Allah.201 Hal senada sejalan dengan apa yang
ditulis St. Ignatius, Uskup Anthiokia, sekitar tahun 107, kepada jemaat di
Filadelfia, yang dijelaskan oleh Scoett Hann bahwa: “Peliharalah satu Ekaristi.
Karena hanya ada satu tubuh Tuhan kita Yesus Kristus dan satu cawan untuk
menyatakan persatuan akan darah-Nya, satu altar seperti halnya satu uskup, para
imam, dan diakon, hai kamu hamba-hamba Allah”.202
Ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat suku Embu Leja adalah
sebuah kegiatan yang terjadi dalam lingkungan orang-orang yang berhimpun
dalam keyakinan bahwa adanya kehidupan setelah kematian. Ritus kematian
masyarakat suku Embu Leja mengungkapkan rasa hormat, cinta, dan persaudaraan
dalam semangat solidaritas, baik antara sesama manusia yang masih hidup maupun
dengan sesama yang telah meninggal dunia. Ritus kematian yang dilakukan oleh
masyarakat suku Embu Leja juga merupakan salah satu usaha untuk membantu
orang yang meninggal dan orang yang masih hidup sama-sama memperoleh
kebahagiaan. Dasar dari pelaksanan ritus kematian yang dilakukan oleh
masyarakat suku Embu Leja karena adanya hubungan kedekatan antara orang yang
masih hidup dengan orang yang telah meninggal dan juga dipengaruhi oleh
keyakinan adanya hidup sesudah kematian, di mana arwah juga diyakini memiliki
kedekatan dengan Wujud Tertinggi. Ini merupakan pandangan hidup yang
memengaruhi masyarakat suku Embu Leja, baik secara kolektif maupun
individual.
Antara pelaksanaan ritus kematian dan Ekaristi terdapat kesamaan makna di
dalamnya. Ekaristi merupakan perayaan keselamatan dalam bentuk tanda, dan di
balik tanda tersebut ada hal yang hendak dinyatakan dan ditunjukkan, ada hal yang
mewakili sesuatu yang lain, yakni membahasakan pertemuan antara Allah dan
manusia. Ritus kematian masyarakat suku Embu Leja merupakan ritus usang yang
dilakukan sejak zaman leluhur, yang di dalamnya ada banyak tanda untuk
201 Bdk. E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, op. cit., hal. 268. 202 Scott Hann, The Lamb’s Supper The Mass As Heaven On Earth: Perjamuan Anak Domba
Perayaan Ekaristi, Surga di Atas Bumi (Malang: Dioma, 2012), hal. 55-56.
142
membahasakan komunikasi antara manusia dan manusia, manusia dengan Wujud
Tertinggi. Namun semua ini akan menjadi lebih bermakna dan bernilai jika
disatukan dalam Kristus yang merupakan satu-satunya pribadi yang ditetapkan
Allah sebagai pemersatu dan pengantara Allah dengan manusia demi memperoleh
keselamatan hidup, karena tidak semua orang dapat masuk dalam persekutuan
dengan Allah tanpa melalui Kristus. Kristus adalah penyelamat dan pengantara
manusia.
Dengan demikian, dalam perjumpaan antara makna di balik ritus-ritus
kematian masyarakat suku Embu Leja dengan ajaran Gereja Katolik tentang
kematian dan kehidupan setelah kematian, salah satu titik tolak dari kegiatan
katekese umat adalah unsur-unsur sejarah keselamatan yang terdapat dalam adat
maupun ajaran Gereja, yaitu penyadaran tentang situasi hidup umat dengan
tuntutan adat dan tuntutan Kristus. Hal ini penting bagi umat karena di satu sisi
umat masih melekat erat dengan adat istiadat dan kepercayaan tradisionalnya, di
sisi lain umat juga merupakan orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus,
sehingga katekese umat dengan titik tolak nilai-nilai adat istiadat dan tuntutan
Kristus bagi umat dalam penghayatan imannya merupakan cara berpastoral yang
tepat. Hal ini dirasa penting karena realitas yang dijumpai di dalam masyarakat
suku Embu Leja bahwa ada semacam kecenderungan untuk lebih takut dan taat
pada hukum adat daripada aturan Gereja. Bahwasanya, ketaatan kepada adat
istiadat yang adalah warisan leluhur merupakan suatu kewajiban, sehingga tidak
mengherankan meskipun secara formal masyarakat suku Embu Leja telah
memeluk agama Katolik, namun ritus-ritus kematian tetap dijalankan sebagaimana
mestinya. Masyarakat suku Embu Leja melihat keharmonisan dan kedamaian
hanya dapat tercipta apabila ritus-ritus kematian dijalankan dengan baik dan benar.
Sebaliknya, pengabaian ritus-ritus yang ada dapat mendatangkan bencana atau
malapetaka bagi segenap anggota tertentu.
Jadi, katekese bersama umat tentang membimbing umat dalam memahami
Kristus memungkinkan masyarakat agar tidak hanya mementingkan adat istiadat,
tetapi juga mengutamakan imannnya akan Kristus sebagai satu-satunya jaminan
keselamatan bagi umat manusia. Dalam hal ini akan muncul kesadaran baru bahwa
adat istiadat dan segala unsurnya merupakan tantanan yang hanya mengandung
143
nilai kehidupan tertentu, namun tidak menjamin keselamatan kekal. Dengan
demikian, masyarakat suku Embu Leja akan menyadari bahwa adat-istiadat hanya
membantu manusia untuk menghayati imannya secara penuh kepada Kristus
sebagai sumber keselamatan.
5.5.1.2 Rencana Tindak Lanjut dari Katekese Bersama Umat: Umat
Beriman Perlu Bertindak Aktif dalam Kehidupan Menggereja
Setelah dibimbing melalui katekese agar masyarakat Suku Embu Leja dapat
memahami Kristus sebagai satu-satunya jaminan keselamatan bagi umat manusia,
terdapat juga tujuan lain dari katekese, yakni mengarahkan masyarakat suku Embu
Leja kepada partisipasi dan lebih aktif dan sungguh-sungguh dalam hidup
menggereja. Partisipasi umat merupakan tindakan nyata setelah mengenal dan
memahami misteri Kristus. Nilai partisipasi yang hendak dicapai yakni
pengalaman batin, mampu mengambil manfaat iman sebesar-besarnya dengan
penuh pengertian dan kesadaran. Hal ini ditegaskan dalam Konstitusi Liturgi
nomor 14 sebagaimana yang dikutip oleh J. D. Chricton, yakni mengutamakan
peran, bukan hanya aktif secara lahiriah (fisik) melainkan secara sadar dan saleh.
Umat harus datang ke tempat ibadat dengan suasana hati yang tepat dan pikiran
mereka haruslah disenadakan dengan suara mereka.203 Hal ini berarti, umat harus
dibimbing ke pemahaman bahwa Ekaristi bukanlah perayan ritual, melainkan
perayaan iman yang mendalam, yakni kebersatuan dengan Kristus sebagai sumber
kehidupan manusia.
Sebagai anggota Gereja, keaktifan sudah didasari olah pembaptisan.
Melalui pembaptisan tersebut Gereja dipanggil untuk menjadi imam, nabi, dan
raja. Hal ini ditegaskan dalam kanon 204:
§ 1. Kaum beriman kristiani ialah mereka yang karena melalui
baptis diinkorporasi pada Kristus, dibentuk menjadi umat
Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil
bagian dalam tugas imani, kenabian dan rajawi Kristus, dan
sesuai dengan kedudukan masing-masing, dipanggil untuk
203 J. D. Chirchton, Perayaan Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 21.
144
menjalankan perutusan yang dipercayakan Allah kepada
Gereja untuk dilaksanakan di dunia.204
Berdasarkan hukum kanonik maka tugas dan panggilan untuk berpatisipasi
dalam tugas sebagai imam, nabi, dan raja merupakan bagian dari karya misoner.
Masyarakat suku Embu Leja adalah anggota Gereja karena pembaptisannya. Oleh
karena itu, mereka mempunyai suatu panggilan istimewa yang dipolakan menurut
panggilan para rasul, yaitu suatu komitmen yang total kepada evangelisasi,
memberikan teladan, dan menunjukkan hakikat dari setiap orang Kristen,205
sehingga hal-hal praktis sebagai keaktifan dari anggota Gereja yang berpatisipasi
dalam tugas sebagai imam adalah selalu bersyukur dan berdoa dan menjalankan
perbuatan kasih kepada sesama. Sementara itu, hal-hal praktis dari tugas kenabian
adalah membawa pewartaan berdasarkan kesaksian hidup iman yang dialami
sendiri demi membangun iman umat dan anggota masyarakat suku Embu Leja.
Terakhir, partisipasi dalam tugas rajawi selalu dihubungkan dengan perjuangan
sebagai seorang raja yang mengalahkan kekuasaan kejahatan serta menyerahkan
diri untuk pengabdian dalam kasih dan keadilan, terutama dengan sesama yang
membutuhkan perhatian.
Dengan demikian, partisipasi aktif dalam kehidupan sebagai anggota Gereja
dalam konteks kehidupan masyarakat suku Embu Leja menjadi lebih terarah
kepada pelaksanaan tugas yang mulia di tengah kehidupan sebagai imam, nabi, dan
raja yang bersumber pada Kristus. Berhadapan dengan hal ini, Gereja hendaknya
menjadi lebih aktif dalam merayakan Ekaristi dan aktif pula mempratikkannya
dalam hidup harian bersama. Masyarakat suku Embu Leja melaksanakan ritus
kematian untuk menunjukkan adanya usaha membangun persekutuan dengan
sesama dalam semangat persaudaraan, baik dengan orang yang telah meninggal
maupun dengan orang yang masih hidup, serta hubungannya dengan Wujud
Tertinggi. Masyarakat suku Embu Leja dipanggil untuk merayakan dan meragakan
tindakan simbolis tersebut dalam hidup sebagai masyarakat berbudaya yang
memilki hubungan persekutuan dengan sesama yang masih hidup maupun dengan
204 Kitab Hukum Kanonik, (Jakarta: Konferensi Wali Gereja Indonesia, 2009). 205 Wilhem Djulei Conterius, Karya Misi Gereja: Sebelum dan Sesudah Konsili Vatikan II hingga
Dewasa Ini, Peluang dan Tantangan (Maumere: Ledalero, 2017), hal. 48.
145
sesama yang telah meninggal, serta bersekutu dengan Wujud Tertinggi yang
berdasar pada panggilan sebagai imam, nabi, dan raja. Oleh karena itu, anggota
suku Embu Leja harus aktif dan sanggup memberi kesaksian tentang Kritus dalam
hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, masyarakat suku Embu Leja tampil
sebagai anggota suku dan sekaligus menjadi anggota Gereja yang semakin
sempurna dalam beriman, berharap, dan mengamalkan cinta kasih secara Kristiani,
di samping iman kepada Kristus di tengah kehidupan bersama dan dalam hubungan
dengan orang yang telah meninggal dunia.
5.5.2 Bidang Pastoral Liturgi
Kegiatan pastoral dalam bidang liturgi yang dimaksudkan adalah kegiatan
yang dikaitan dengan tata cara pemakaman. Gereja Katolik melaksanakan upacara
pemakaman orang beriman dan memanjatkan doa-doa bagi anggota Gereja yang
meninggal sebagai bentuk penghormatan. Upacara pemakaman dilakukan dengan
tujuan untuk menghibur keluarga yang berkabung, tetapi juga meneguhkan iman
umat. Dalam hal ini, upacara pemakaman dapat dimanfaatkan sebagai sarana
pastoral untuk pembinaan iman umat dan pewartaan injil.
Untuk maksud tersebut, Gereja secara khusus menerbitkan tata liturgi
kematian kristiani, yakni Ordo Exsequarium. Buku tersebut menjadi acuan bagi
pelaksanaan liturgi kematian di pelbagai tempat. Dalam buku tersebut, ada tiga
bentuk upacara pemakaman berdasarkan tempat pelaksanaan, yaitu rumah, Gereja,
dan tempat pemakaman. Namun, ada catatatan khusus bahwa ritus pemakaman ini
juga harus sesuai dengan bobot yang diberikan kepadanya oleh keluarga, kebiasaan
setempat, kebudayaan, dan kesalehan populer.206 Dalam buku ini juga termuat ritus
perpisahan dengan orang mati yang mengindikasikan tanggung jawab Gereja untuk
menyerahkan kembali anggotanya kepada Allah. Perpisahan tersebut dimaknai
sebagai salam terakhir dari jemaat Kristen kepada seorang anggotanya, sebelum
jenasah diusung ke pemakaman.207 Kehadiran Ordo Exequarium memberi
kemungkinan bagi terciptanya inkulturasi dalam tata cara pemakaman yang dapat
206 Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hal. 422. 207 Ibid., hal. 423.
146
mengungkapkan iman Kristiani akan kebangkitan dan memberikan kesaksian
tentang nilai-nilai kebenaran injil.208
Hal ini berarti unsur-unsur tertentu dari ritus-ritus kematian masyarakat
suku Embu Leja dapat diinkulturasikan ke dalam liturgi Katolik sejauh ia dapat
mengungkapkan iman Kristiani akan kebangkitan dan memberikan kesaksian yang
benar tentang injil. Acuan untuk inkulturasi adalah hasil pertemuan antara apa
yang menjadi persamaan dan perbedaan dari ritus-ritus kematian masyarakat suku
Embu Leja dengan liturgi pemakaman Gereja Katolik. Perbandingan tersebut
dianalisis untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditempuh
untuk menyusun suatu teks liturgi, agar kemudian bisa dipakai dalam upacara
liturgi pemakaman yang mengintegrasikan antara ritual kematian budaya
masyarakat suku Embu Leja dengan liturgi pemakaman Gereja Katolik. Pada
akhirnya, pertimbangan keadaan teknis-pastoral dan aturan yang ada pada liturgi
pemakaman Gereja Katolik seturut acuan yang ada dalam Ordo Exequarium, serta
potensi kekayaan kultural dalam ritus kematian masyarakat suku Embu Leja
mengarah pada teks liturgi yang dapat dipakai dalam litugi pemakaman masyarakat
suku Embu Leja-Kristiani.
Dengan diakomodasikan unsur-unsur tertentu dari ritus kematian
masyarakat suku Embu Leja ke dalam liturgi Gereja Katolik sembari diberi nilai-
nilai Kristiani, baik nilai-nilai budaya maupun iman Kristiani akan lebih mudah
dihayati di dalam kehidupan masyarakat suku Embu Leja tanpa menimbulkan
pertentangan di antara keduanya. Hal ini berarti, dengan tetap menjaga apa yang
ada dalam tradisi masyarakat suku Embu Leja, namun sekaligus tidak menentang
apa yang sudah ada dalam liturgi, inkulturasi dapat dilihat sebagai usaha untuk
menjawabi kebutuhan Gereja setempat berkaitan dengan kebudayaan tertentu.
Selain itu, usaha inkulturasi ini dapat dipandang sebagai usaha membumikan
liturgi, sehingga liturgi bukan merupakan hal yang terpisah dengan kultur tertentu
melainkan memperkaya dalam kultur tertentu.
208 Bernardus Boli Ujan, Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi (Maumere: Ledalero, 2006), hal. 20.
147
5.6 Kesimpulan
Usaha untuk memperbandingkan makna di balik ritus-ritus kematian
masyarakat suku Embu Leja dengan Gerja Katolik tentang kematian dan hidup
sesudah kematian pada akhirnya bermuara pada penemuan akan unsur-unsur yang
bisa diselaraskan dan unsur-unsur yang tidak dapat diselaraskan. Unsur-unsur yang
dapat diselaraskan yakni keyakinan akan adanya Allah-Wujud Tertinggi sebagai
asal dan tujuan hidup manusia, adanya harapan akan hidup setelah kematian, aspek
inisiasi, konsep penyucian diri, relasi kekerabatan antara orang yang hidup dan
orang mati. Sedangkan unsur-unsur yang tidak dapat diselaraskan adalah konsep
tentang kematian, kebangkitan jiwa-badan, pengantara keselamatan, tempat bagi
orang yang meninggal di dunia akhirat.
Pelaksanan ritus-ritus kematian mengandung harapan besar bahwa setiap
orang yang terlibat di dalamnya memiliki sikap untuk menjaga persekutuan dan
kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan. Di sini, ritus menjadi sebuah
panggilan ke dalam suatu persekutuan hidup, yang di dalamnya ada damai dan
persatuan serta kerja sama dan partisipasi aktif setiap anggota masyarakat. Karena
itu, ritus menjadi model yang membantu umat manusia menghayati hidup
communio yang sesungguhnya, sebagaimana yang diciptakan dalam ajaran Gereja
Katolik. Ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa beriman berati dipanggil ke
dalam persekutuan dangan Allah dalam diri Yesus Kristus dan dalam kesatuan
dengan seluruh umat mausia. Gereja itu di dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni
tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan umat manusia.
Dalam hubungan antara ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan
pandangan Gereja Katolik tentang kosep kematian maka yang menjadi titik pijak
kegiatan pastoral adalah refleksi-refleksi teologis atau ajaran Gereja: Kitab Suci
dan tradisi yang berbicara tentang kematian. Harapan dari pewartaan yang
dilakukan oleh pelayan pastoral dapat membawa perubahan di dalam diri umat
agar semakin menghayati nilai-nilai iman Kristiani dalam keseharian hidup. Sikap
dan nilai yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat suku Embu Leja merupakan
hal-hal yang dihidupi oleh Gereja dalam pewartaannya, namun sikap yang dimiliki
dalam budaya masyarakat perlu dimurnikan secara Kristiani agar umat memiliki
148
pandangan iman yang terarah kepada Kristus sebagai pemersatu dan perantara
Allah dengan manusia juga manusia dengan sesamanya.
Kehadiran umat beriman untuk merayakan Ekaristi secara bersama-sama
dan mengikuti dengan lebih aktif merupakan bagian dari upaya untuk bersatu
dengan Kristus bersama Bapa dalam persekutuan dengan Roh Kudus, sebagaimana
masyarakat suku Embu Leja secara bersama-sama menghadiri dan mengikuti
upacara ritus kematian yang dilaksanakan dalam budaya tersebut. Keaktifan dalam
Ekaristi oleh masyarakat suku Embu Leja memberi arti bahwa mereka ikut ambil
bagian dalam karya keselamatan Kristus dan memperoleh keselamatan dari
Kristus. Namun masih terdapat kesulitan untuk meyakinkan sikap iman kepada
Kristus yang hadir dalam Ekaristi, karena masyarakat suku Embu Leja masih
menghidupi suatu kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur sebagai penjamin
keselamatan dan kebahagiaan setelah manusia mengalami kematian, sehingga
pemahaman Ekaristi sebagai upacara keselamatan masih belum dipahami secara
penuh. Karena itu, usaha selanjutnya adalah dialog di antara keduanya guna
mencapai pemahaman yang benar tanpa menimbulkan pertentangan dengan cara
katekese bersama umat dan pastoral liturgi.
Katekese bersama umat adalah cara untuk membimbing umat memahami
Kristus, sekaligus memungkinkan masyarakat untuk tidak hanya mementingkan
adat istiadat, tetapi juga mengutamakan imannya akan Kristus sebagai satu-satunya
jaminan keselamatan bagi umat manusia. Dalam hal ini akan muncul kesadaran
baru bahwa adat istiadat dan segala unsurnya merupakan tantanan yang hanya
mengandung nilai kehidupan tertentu namun tidak menjamin keselamatan kekal.
Dengan demikian, masyarakat suku Embu Leja akan menyadari bahwa adat-
istiadat hanya membantu manusia untuk menghayati imannya secara penuh kepada
Kristus sebagai sumber keselamatan.
Sementara itu, pastoral liturgi Gereja Katolik melaksanakan upacara
pemakaman orang beriman dan memanjatkan doa-doa bagi anggota Gereja yang
meninggal sebagai bentuk penghormatan. Upacara pemakaman dilakukan dengan
tujuan untuk menghibur keluarga yang berkabung, tetapi juga meneguhkan iman
umat. Dalam hal ini, upacara pemakaman dapat dimanfaatkan sebagai sarana
pastoral utnuk pembinaan iman umat dan pewartaan injil. Unsur-unsur dalam ritus-
149
ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dapat diinkulturasikan ke dalam liturgi
Katolik sejauh ia dapat mengungkapkan iman Kristiani akan kebangkitan dan
memberikan kesaksian yang benar tentang Injil. Acuan untuk inkulturasi adalah
hasil pertemuan antara apa yang menjadi persamaan dan perbedaan dari ritus-ritus
kematian masyarakat suku Embu Leja dengan liturgi pemakaman Gereja Katolik.
Pertimbangan keadaan teknis-pastoral dan aturan yang ada pada liturgi pemakaman
Gereja Katolik seturut acuan yang ada dalam Ordo Exequarium, serta potensi
kekayaan kultural dalam ritus kematian masyarakat suku Embu Leja mengarah
pada usaha inkulturasi teks liturgi yang dapat dipakai dalam litugi pemakaman
masyarakat suku Embu Leja-Kristiani.
150
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kematian adalah sebuah fenomena kehidupan yang pasti dan misteri.
Setiap orang akan mengalami kematian atas cara dan pada waktu yang berbeda.
Tidak ada manusia yang akan luput dari kematian dan tidak ada manusia yang
sanggup mengetahui situasi hidup setelah kematian. Sebagai manusia yang serba
terbatas manusia tidak mampu menjawabi persoalan kematian ini secara tuntas
dengan memakai akal budi. Apakah ada kehidupan setelah kematian? Masyarakat
suku Embu Leja meyakini pelasanaan ritus kematian yang dilakukan bertujuan
untuk menghantar para arwah ke Kelimutu agar bisa mengalami kesejahteraan
bersama Ia dan Embu-Mamo dan juga untuk mensejahterakan keluarga dan kerabat
yang masih hidup. Selain itu, pelaksanan ritus yang dibuat mempererat relasi antar
sesama manusia maupun dengan para arwah dan Wujud Tertinggi, membangun
relasi cinta, solidaritas, comunio (persatuan) dan kerja sama sehinnga pada
akhirnya semua orang bersatu dalam mencapai kebahagiaan hidup. Di samping itu,
seluruh rangkain ritus kematian yang dilakukan oleh masyarakat Suku Embu leja
bermuara pada suatu keyakinan bahwa adanya kehidupan lanjutan setelah manusia
mengalami kematian. Sehubungan dengan hal itu, Pandangan masyarakat suku
Embu Leja mengungkapkan bahwa unsur yang menjadikan manusia tetap
mengalami kehidupan setelah kematian adalah jiwa (mae) yang ada dalam dirinya
sebagai suatu anugerah dari Wujud Tertinggi(Ia). Jiwa yang dimiliki oleh manusia
tersebut menjadi penggerak bagi manusia untuk selalu berusaha menemukan dan
mencari yang Ilahi sebagai sumber dan tujuan hidupnya. Hal tersebut tampak
dalam berbagai ritual adat yang dilakukan yang disertai dengan doa dan
persembahan baik kepada arwah leleluhur maupun kepada Wujud Tertinggi. di sini
ritus menjadi sarana untuk membantu manusia mencapai kepenuhan pencarian.
Dalam usaha mencari dan dan mendekati Wujud Tertinggi tak dapat dipungkiri
bahwa alam sekitar kehidupan manusia dan segala ciptaaan Hidup yang lain
dijadikan objek penghubung.
151
Usaha untuk mencari dan menemukan kebersatuan dengan Yang Ilahi
secara defenitif terjadi dalam peristiwa kematian. Pemaknaan peristiwa kematian
yang dialami oleh masyarakat suku Embu Leja dimaknai sebagai akibat dari
sebuah perjanjian antara manusia dan Wujud Tertinggi, namun tidak dapat
disangkal pula ada interpretasi yang menyatakan bahwa kematian seseorang pula
disebabkan karena pengaruh dari kekuatan roh jahat (Ata Polo). Kematian sungguh
merupakan peristiwa perpisahan antara sanak keluarga dan kerabat yang
meninbulkan kesedihan namun, kematian bukanlah akhir dari segala-galanya.
Menurut masyarakat suku Embu Leja kematian juga merupakan peralihan dari
dunia ini menuju alam baka (Kelimutu), karena itu setiap ada moment perpisahan
dengan orang mati selalu diucapkan oleh Pu’u Kamu: “Mbana ma’e salah jala leta
ma’e salah wolo. Pama kami” (“Pergilah, jangan sampai salah jalan, jangan
tersesat di dalam perjalanan. Lindungilah kami”) Ritus kematian yang disertai
dengan doa dan persembahan dan perlu dilaksanakan demi menjamin
kesejahteraan bagi arwah. Unsur yang menjadikan manusia tetap mengalami hidup
adalah jiwa yang terkadandung dalam dirinya sebagai daya yang diberikan oleh
Wujud Tertinggi.
Makna ritus kematian dalam masyarakat suku Embu Leja di pihak lain
merupakan perayaan nilai, karena pelaksanaan ritus tersebut melahirkan nilai
keimanan, nilai persekekutan, dan kerja sama, nilai kekerabatan, cintakasih dan
solidaritas, dan nilai kebersamaan yang dapat dibangun dalam relasi sosial. Praktek
ritual adat kematian adat yang dilakukan masyarakat suku Embu Leja adalah salah
satu pendukung untuk tercapainya hidup bahagia. Melaksanakan ritus kematian
berarti membangun relasi cinta, persaudaraan dalam sebuah persaudaraan dalam
sebuah persekutuan sebagai anggota suku dan sebagai anggota keluaraga yang
selalu tolong menolong (wuruwana) demi mencapai kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.
Demi mencapai Yang Ilahi manusia membutuhkan pengantara sebagai
mediasi. Peranan sebagai mediasi melibatkan orang yang masih hidup maupun
orang yang telah meninggal. Orang yang masih hidup dipandang sebagai orang
yang masih memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat menolong
orang yang telah meninggal karena sesungguhnnya orang meninggal tidak dapat
152
menolong dirinya sendiri, mengubah keadaan diri, namun di pihak lain orang yang
masih hidup mengaharapkan pertolongan dari arwah. Hal ini menjadi tanda bahwa
manusia selalu berelasi secara timbal balik dalam persekutuan sebagai satu
keluarga. Hal mendasar dari persekutuan ini adalah sikap saling mencintai dan
saling menolong dalam kebesamaan sebagai satu ikatan keluarga demi
kebahagiaan dan kesejahteraan dan hidup bersama serta adanya wujud Tertinggi
yang berperan sebagai penganugerah hidup manusia dan kekuatanNya yang
melampaui segala-galanya. Di sinilah menjadi bukti yang jelas masyarakat suku
Embu Leja memiliki pendasaran terhadap pandangan adanya hidup setelah
kematian manusia.
Demikian halnya dalam pandangan Gereja Katolik bahwa setelah manusia
mengalami perostiwa kematian ternyata ada kehidupan yang baru dalam
keabadian. Ajaran Kristen mengenai kematian dan hidup setelah kematian pada
dasarnya merupakan pengalaman iman. Gereja Katolik mengajarkan pengalaman
iman ini mengacu pada Kitab suci, magisterium, tradisi Gereja dan beberapa
pandangan teologis lain dari bapa-bapa Gereja. Gereja mengarahkan manusia
untuk menanggapi peristiwa kehidupan dan kematian dengan sikap iman. Iman
yang dijalankan oleh manusia adalah melaksanakan kehendak Allah dan
mengamalkan dalam sikap hidup sehari-hari. Karena manusia adalah ciptaan Allah
yang secitra dengan-Nya diberi kuasa untuk menggunakan kebebasan serta
memelihara ciptaannya secara bertanggungjawab sebagai bukti cinta Allah kepada
manusia.
Dengan kehendak bebas yang diberikan oleh Allah manusia jatuh dalam
dosa. Dosa membuat manusia terasing dari Allah dan sesama manusia, tidak ada
relasih kasih antara Allah dan manusia. Pada satu sisi Allah mencintai manusia
sebagai ciptaannya yang mulia, la memanggilnya agar lebih dekat dengan-Nya.
Karena pada dasar-nya Allah adalah kasih, ia ingin memperbaiki relasi dengan
manusia dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus. Yesus Kistus tanda kehadiran Allah
yang menyelamatkan manusia dari kematian akibat dosa dan mediator dengan
Allah. Wafat dan kebangkitan Kristus menjadi puncak dan penjamin kebangkitan
manusia yang mengalami kematian. Maka, berkat kematian Kristus, manusia pun
mengalami kebangkitan kekal dalam keabadian. Manusia bangkit bersama Kristus
153
dan bangkit pula bersama Kristus. Persoalan kebangkitan ini hanya dapat dijawab
dengan gagasan iman. Dan keyakinan iman kita menegaskan ada kehidupan baru
setelah kematian sehingga mendorong manusia untuk memberi makna terhadap
hidupnya sendiri. Dan kenyataan hidup setelah kematian ada dalam keadaan Api
Penyucian, surga dan neraka.
Usaha untuk memperbandingkan makna di balik ritus-ritus kematian
masyarakat suku Embu Leja dengan Gerja Katolik tentang kematian dan hidup
sesudah kematian pada akhirnya bermuara pada penemuan akan unsur-unsur yang
bisa diselaraskan dan unsur-unsur yang tidak dapat diselaraskan. Unsur-unsur yang
dapat diselaraskan yakni keyakinan akan adanya Allah-Wujud Tertinggi sebagai
asal dan tujuan hidup manusia, adanya harapan akan hidup setelah kematian, aspek
inisiasi, konsep penyucian diri, relasi kekerabatan antara orang yang hidup dan
orang mati. Sedangkan unsur-unsur yang tidak dapat diselaraskan adalah konsep
tentang kematian, kebangkitan jiwa-badan, pengantara keselamatan, tempat bagi
orang yang meninggal di dunia akhirat.
Pelaksanan ritus-ritus kematian mengandung harapan besar bahwa setiap
orang yang terlibat di dalamnya memiliki sikap untuk menjaga persekutuan dan
kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan. Di sini, ritus menjadi sebuah
panggilan ke dalam suatu persekutuan hidup, yang di dalamnya ada damai dan
persatuan serta kerja sama dan partisipasi aktif setiap anggota masyarakat. Karena
itu, ritus menjadi model yang membantu umat manusia menghayati hidup
communio yang sesungguhnya, sebagaimana yang diciptakan dalam ajaran Gereja
Katolik. Ajaran Gereja Katolik menegaskan bahwa beriman berati dipanggil ke
dalam persekutuan dangan Allah dalam diri Yesus Kristus dan dalam kesatuan
dengan seluruh umat mausia. Gereja itu di dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni
tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan umat manusia.
Dalam hubungan antara ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dengan
pandangan Gereja Katolik tentang kosep kematian maka yang menjadi titik pijak
kegiatan pastoral adalah refleksi-refleksi teologis atau ajaran Gereja: Kitab Suci
dan tradisi yang berbicara tentang kematian. Harapan dari pewartaan yang
dilakukan oleh pelayan pastoral dapat membawa perubahan di dalam diri umat
agar semakin menghayati nilai-nilai iman Kristiani dalam keseharian hidup. Sikap
154
dan nilai yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat suku Embu Leja merupakan
hal-hal yang dihidupi oleh Gereja dalam pewartaannya, namun sikap yang dimiliki
dalam budaya masyarakat perlu dimurnikan secara Kristiani agar umat memiliki
pandangan iman yang terarah kepada Kristus sebagai pemersatu dan perantara
Allah dengan manusia juga manusia dengan sesamanya.
Kehadiran umat beriman untuk merayakan Ekaristi secara bersama-sama
dan mengikuti dengan lebih aktif merupakan bagian dari upaya untuk bersatu
dengan Kristus bersama Bapa dalam persekutuan dengan Roh Kudus, sebagaimana
masyarakat suku Embu Leja secara bersama-sama menghadiri dan mengikuti
upacara ritus kematian yang dilaksanakan dalam budaya tersebut. Keaktifan dalam
Ekaristi oleh masyarakat suku Embu Leja memberi arti bahwa mereka ikut ambil
bagian dalam karya keselamatan Kristus dan memperoleh keselamatan dari
Kristus. Namun masih terdapat kesulitan untuk meyakinkan sikap iman kepada
Kristus yang hadir dalam Ekaristi, karena masyarakat suku Embu Leja masih
menghidupi suatu kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur sebagai penjamin
keselamatan dan kebahagiaan setelah manusia mengalami kematian, sehingga
pemahaman Ekaristi sebagai upacara keselamatan masih belum dipahami secara
penuh. Karena itu, usaha selanjutnya adalah dialog di antara keduanya guna
mencapai pemahaman yang benar tanpa menimbulkan pertentangan dengan cara
katekese bersama umat dan pastoral liturgi.
Katekese bersama umat adalah cara untuk membimbing umat memahami
Kristus, sekaligus memungkinkan masyarakat untuk tidak hanya mementingkan
adat istiadat, tetapi juga mengutamakan imannya akan Kristus sebagai satu-satunya
jaminan keselamatan bagi umat manusia. Dalam hal ini akan muncul kesadaran
baru bahwa adat istiadat dan segala unsurnya merupakan tatanan yang hanya
mengandung nilai kehidupan tertentu namun tidak menjamin keselamatan kekal.
Dengan demikian, masyarakat suku Embu Leja akan menyadari bahwa adat-
istiadat hanya membantu manusia untuk menghayati imannya secara penuh kepada
Kristus sebagai sumber keselamatan.
Sementara itu, pastoral liturgi Gereja Katolik melaksanakan upacara
pemakaman orang beriman dan memanjatkan doa-doa bagi anggota Gereja yang
meninggal sebagai bentuk penghormatan. Upacara pemakaman dilakukan dengan
155
tujuan untuk menghibur keluarga yang berkabung, tetapi juga meneguhkan iman
umat. Dalam hal ini, upacara pemakaman dapat dimanfaatkan sebagai sarana
pastoral untuk pembinaan iman umat dan pewartaan injil. Unsur-unsur dalam ritus-
ritus kematian masyarakat suku Embu Leja dapat diinkulturasikan ke dalam liturgi
Katolik sejauh ia dapat mengungkapkan iman Kristiani akan kebangkitan dan
memberikan kesaksian yang benar tentang Injil. Acuan untuk inkulturasi adalah
hasil pertemuan antara apa yang menjadi persamaan dan perbedaan dari ritus-ritus
kematian masyarakat suku Embu Leja dengan liturgi pemakaman Gereja Katolik.
Pertimbangan keadaan teknis-pastoral dan aturan yang ada pada liturgi pemakaman
Gereja Katolik seturut acuan yang ada dalam Ordo Exequarium, serta potensi
kekayaan kultural dalam ritus kematian masyarakat suku Embu Leja mengarah
pada usaha inkulturasi teks liturgi yang dapat dipakai dalam litugi pemakaman
masyarakat suku Embu Leja-Kristiani.
Setelah melakukan studi atas ritus-ritus kematian suku Embu leja dalam
perbandingan dengan Ajaran Gereja katolik tentang kematian maka peneliti
menemukan beberapa hal yang perlu diberi terang teologis.
Pertama, pandangan tentang penyebab kematian harus dijernihkan dalam
terang Katolik, sebab manusia tidak memiliki kuasa hidup dan mati manusia, akan
tetapi hanya dalam Allah manusia memperoleh jaminan baik selama hidup maupun
untuk hidup sesudah kematian. Oleh karena itu kematian manusia merupakan
peristiwa rahmat bagi manusia karena manusia bersatu dalam Kristus dalam
kebangkitan. Karena merupakan peristiwa rahmat maka peranan orang yang
meninggal adalah sesungguhnya peranan membawa kebaikan dan cita bagi
manusia yang masih hidup karena setiap orang yang meninggal telah berada
bersama dengan Allah Bapa, Kristus para kudus di Surga.
Kedua, tidak ada tempat tinggal secara fisik bagi setiap orang yang
meninggal. Hal ini perlu diberi terang teologis Gereja katolik, karena
sesungguhnya hidup setelah kematian manusia berada pada situasi dalam roh. Di
mana manusia akan berada pada suatu kondisi atau suasana antara pengalaman
penderitaan dan pengalaman sukacita. Hal ini bergantung pada sikap imannya
selama di dunia dan bergantung pada rahmat Allah. Sehingga, ada kemungkinan
setiap manusia untk masuk dalam suasana api penyucian, surga dan Neraka.
156
Ketiga, peranan para arwah bagi manusia sesungguhnya sebagai penolong
bagi manusia bukan sumber penyelamat. Hal ini berarti peranan para arwah
bukanlah mendatangkan marabahaya atau mendatangkan penderitaan melainkan
peranan para arwah berperan sebagai penolong dan pendoa bagi manusia yang
masih hidup karena para arwah telah bersatu dengan Kristus sebagai penyelamat
satu-satunya bagi manusia dan para Kudus-Nya.
Keempat, ritus kematian yang dilakukan dan dihidupi masyarakat suku
embu Leja bukanlah suatu praktek penyembahan berhala, melainkan suatu praktek
cinta dan penghormatan yang dilakukan dalam membina relasi persaudaraan dan
kekeluargaan baik antara orang yang masih hidup maupun orang yang telah
meninggal ataupun membangun relasi dengan Wujud Teringgi.
5.2 Usul dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian akan makna di balik ritus-ritus kematian
masyarakat suku Embu Leja dalam perbandingan dengan ajaran Gereja Katolik,
penulis menawarkan beberapa usul dan saran demi perkembangan penelitian ini
dan perkembangan iman masyarakat suku Embu Leja.
Pertama, bagi kepala suku, tokoh adat dan tokoh masyarakat suku Embu
Leja. Ritus-ritus kematian yang terdapat dalam masyarakat suku Embu Leja perlu
dipertahankan karena dalam ritus-ritus tersebut terdapat nilaii-nilai yang bisa
diperoleh didalamnya seperti cinta kasih, solidaritas comunio, kerjasama dan saling
tolong menolong. Kepala suku, tokoh adat dan tokoh masyarakat perlu dimurnikan
pemahaman dalam pelaksanaan ritus bahwa pelaksannan ritus bukanlah jaminan
keselamatan satu-satunya bagi para arwah, namun pelaksanaan ritus kematian
adalah sebuah tindakan simbolis yang mengandung makna sebagai tindakan
penghormatan, terima kasih dan tanda cinta.
Kedua, bagi generasi muda. Penulis merasa generasi yang ada dalam
masyarakat suku Embu Leja kehilangan antuisiasme terhadap pelaksanaan ritus
kematian. Hal ini yang disebabkan oleh perkembangan teknologi dan munculnya
mental instan yang menjadi trend masyarakat dunia. Akibatnya pelaksannan ritus
kematian yang dilakukan terasa semacam formalitas belaka. Meskipun demikian
situasi ini bisa dipulihkan denga cara memfasilitasi kaum muda untuk bertemu
157
dengan generasi tua guna mendapat penjelasan yang memadai tentang pelaksannan
yang memadai tentang maskud dan tata upacara dari ritus-ritus kematian.
Tujuannya agar setiap generasi muda bisa memahami dan menghayati nilai-nilai
yang ada dalam ritus-ritus dan tidak kehilangan martabat dan harga diri mereka,
sekaligus dapat mengetahui syair-syair adat atau doa-doa adat sebagai warisan
leluhur.
Ketiga, bagi pelayan pastoral. Para pelayan pastoral perlu memberikan
dukungan kepada masyarakat suku Embu Leja dalam pelaksannan ritus-ritus
karena di dalam pelaksanaan ritus-ritus kematian terdapat nilai-nilai yang bisa
mempersatukan umat manusia untuk menjadi satu keluarga Gereja (persekutuan
umat Allah). Para pelayan pastoral hendaknya memiliki pemahaman yang
memadai mengenai pelaksannan ritus kematian, di samping pengetahuannya akan
Gereja katolik. Oleh karena itu, perlu melakukan pendekatan partisipatif atas
praktik-praktik ritus kematian yang ada. Pengetahuan yang memadai tentang
kebudayaan setempat mampu membantu pelayan pastoral dalam usaha
mengkontekstualisasikan ajaran Gereja Katolik selaras denga konteks kebudayaan
setempat agar setiap karya perwataan yang dilakukan oleh pelayan pastoral dapat
menyentuh dan menjawabi kebutuhan umat tepat sasar. Dengan demikian para
pelayan pastoral dapat menjadi wadah dalah menumbuhkembangkan nilai-nilai
budaya dan nilai-nilai injili secara adekuat melalui inkulturasi secara teologis
maupun liturgis.
Keempat, bagi masyarakat suku Embu Leja, masyarakat suku Embu Leja
perlu menyadari bahwa ritus kematian perlu dijaga, dihormati dan dilestarikan. Hal
ini penting karena ritus kematian mengandung berbagai nilai positif untuk
membangun sikap solidaritas, kerja sama, comunio dan saling menolong. Namun
masyarakat suku Embu Leja perlu menyadari bahwa mereka juga adalah anggota
Gereja katolik dan sebagai anggota Gereja Katolik perlu juga mengambil bagian
secara aktif dalam perayaan Liturgi sebagai tanda kehadiran Kristus yang
dipersatukan dalam ekaristi, sebagi bentuk partisipasi dalam kehidupan sebagai
umat beriman dan sekaligus menghormati ritus kematian sebagai suatu sikap
tanggung jawab dalam kehidupan berbudaya.
158
DAFTAR PUSTAKA
ENSIKLOPEDI DAN DOKUMEN
Heuken, Adolf. Ensklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1992.
Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik, Buku Penjelasan dan Referensi.
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Katekismus Gereja Katolik. Penerj. Herman Embuiru. Ende: Regio Grejani Ende,
1998.
Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Konferensi Wali Gereja Indonesia, 2009.
Konsili Vatikan II. “Konstitusi Patoral tentang Gereja dalam Dunia Dewasa Ini,
Gaudium et Spes. Penerj. R. Hardawiryana. Cetakan IX. Jakarta: Obor,
2008.
Youcat. Katekismus Popular. Penerj. Yohanes Dwi Harsanto, dkk. Yogyakarta:
Kanisius, 2015.
BUKU-BUKU
Arndt, Paul. Du’a Ngga’é. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah
Lio (Flores Tengah). Penerj. Yosef Smeest dan Kletus Pake. Maumere:
Puslit Candraditya, 2002.
Boumans, Josef. Umat Yesus: Tuntunan Khalwat Satu Minggu Berdasarkan Kitab
Suci dan Ajaran Gereja. Jakarta: Obor, 2000.
_____________. Telaah Sosio-Pastoral Tentang Manusia. Jakarta: Celesty
Hieronika, 2001.
Ceme, Remigius. Hidup yang Sesungguhnya. Menjawab Rahasia di Balik
Kematian. Maumere: Penerbit Ledalero, 2017.
Chan, Peter. P. 101 Tanya Jawab tentang Kematian dan Kehidupan Kekal.
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Chirchton, J. D. Perayaan Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Conterius, Wilhem Djulei. Karya Misi Gereja: Sebelum dan Sesudah Konsili
Vatikan II hingga Dewasa Ini, Peluang dan Tantangan. Maumere:
Ledalero, 2017.
Daeng, Hans J. Manusia dan Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan
Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Dhogo, Cristologus. Su’i Uwi: Ritus Budaya Ngadha dalam Perbandingannya
dengan Ekaristi. Maumere: Ledalero, 2009.
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Embuiru, Herman. Marga Bahagia. Ende: Penerbit Nusa Indah, 1992.
159
Erikson, Milard J. Christian Theology. Michigan: Bake Books, 1998.
Fuellenbach, Jhon. Church: Comuniity for the Kingdom (Revised and Expanded
Edition). Manila: Logos Publications, 2001.
Gutherie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 3. Penerj. Lisda Tirtapraja Gamadhi,
et.el. Jakarta: Gunung Mulia, 2001.
Hann, Scott. The Lamb’s Supper The Mass As Heaven On Earth: Perjamuan Anak
Domba Perayaan Ekaristi, Surga di Atas Bumi. Malang: Dioma, 2012.
Jebadu, Alex. Bukan Berhala! Penghormatan kepada Leluhur. Maumere: Penerbit
Ledalero, 2009.
Jokopranoto, R. Misteri Api Penyucian. Jakarta: Obor, 2013.
Kirchberger, Georg. Pandangan Kristen tentang Dunia dan Manusia. Ende: Nusa
Indah, 1986.
________________. Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere:
Ledalero, 2007.
Kleden, Leo. “Misi Ad Gentes: Suatu Cara Bermisi di Asia Dewasa Ini”. Dalam:
Stephen B. Bevans dan Roger (eds.). Misi untuk Abad 21. Penerj. Yosef
Maria Florisan. Maumere: Puslit Candraditya, 2002.
Kleden, Paulus Budi. Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi.
Maumere: Ledalero, 2003.
Koentjaraningrat. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Lalu, Yosef. “Katekese Umat dalam Menerobos Batas, Merobohkan Prasangka”.
Dalam: Paul Budi Kleden dan Robert Mirsel (eds.). Dialog demi Keadilan
Menyongsong HUT ke-65 Dr. John Mansford Prior. Jilid ke-2. Maumere:
Ledalero, 2001.
Langer, Susane. Philosophy in a New Key. A Study in the symbolism of Reason,
rite, and Art. New York: Penguin Books, 1948.
Magnis-Suseno, Frans. Iman dan Hati Nurani. Jakarta: Obor, 2014.
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Mbete, Aron M. dkk., Khazanah Budaya Lio-Ende. Ende: Pustaka Larasan dan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende, 2006.
Orinbao, P. Sareng. Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku-
Bangsa Lio. Maumere: Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, 1992.
Prior, John Mansford. Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan
Budaya. Maumere: Penerbit Ledalero, 2008.
__________________. Menjembol Jeruji Prasangka: Membaca Alkitab dengan
Jiwa. Maumere: Ledalero, 2010.
Rahner, Karl. On The Theology of Death. London: Burn & Oates, 1965.
Raho, Bernard. Sosiologi Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero, 2008.
____________. Agama dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Obor, 2013.
160
Simpson, Michael. Harapan Hidup Abadi. Yogyakarta: Kanisius, 1974.
Subagya, Rahmat. Agama dan Alam Kerohanian di Indonesia. Ende: Nusa Indah,
1979.
Surip, Stanislaus. Rahasia di Balik Paskah 2. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Sustrisnaatmaka, A. M. Misi, Evangelisasi dan Inkulturasi. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusantara, 2012.
Timo, Eben Nuban. Sidik jari Allah dan Budaya: Upaya Menjajaki Makna Allah
dalam Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur. Ledalero:
Maumere, 2007.
Ujan, Bernardus Boli. Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi. Maumere: Ledalero,
2006.
__________________. Mati dan Bangkit Lagi. Dosa dan Ritus-Ritus Pemulihan
Menurut Orang Lembata: Suatu Tinjauan Antropo-Religius untuk
Memperdalam dan Menumbuhkan Hidup Beriman Umat Melalui Ibadat
Tobat Inkulturatif. Maumere: Ledalero, 2012.
van Peursen, C. A. Itu Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979.
Whitehead, Alfred N. Religion in The Making. New York: New American Library,
1974.
Yayasan Komunikasi Bina Kasih (penerj.). Tafsiran Alkitab Masa Kini. Matius
dan Wahyu. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008.
MANUSKRIP
Arsip “Profil Desa Tenda Tahun 2018”. Tenda, 12 Oktober 2019.
MEDIA ELEKTRONIK
Wikipedia Bahasa Indonesia. “Purgatorium”. Dalam: https://id.wikipedia.org/wiki/
Purgatorium. Diakses: 15 Januari 2020.
Wikipedia Bahasa Indonesia. “Inisiasi”. Dalam: https://id.wikipedia.org/wiki/
Inisiasi. Diakses: 1 Februari 2019.
WAWANCARA
Deki, Darius. Mosalaki Riabewa dari suku Embu Leja dan Tokoh Adat
Tendawena. Tendawena, 11 Oktober 2019.
Kea, Fabianus. Ata Bisa Mali Suku Embu Leja dan Tokoh Adat Tendawena.
Tendawena, 12 Oktober 2019.
Moa, Anselmus. Tokoh Adat Tendawena. Tendawena, 11 Oktober 2019.
Pawe, Anastasia. Masyarakat Desa Tendawena. Tendawena, 11 Oktober 2019.
Saka, Piter Tage. Tokoh Masyarakat Tendawena. Tendawena, 27 Desember 2019.
161
Sea, Siprianus. Tokoh Adat Masyarakat Tendawena. Tendawena, 11 Oktober
2019.
So’o, Fransiskus. Mosalaki Pu’u dan Tokoh Adat Tendawena. Tendawena, 11
Oktober 2019.
162
Lampiran Pertanyaan
I. Pertanyaan mengenai gambaran umum masyarakat suku Embu Leja:
1. Dari mana asal suku Embu Leja?
2. Adakah cerita mitos tentang nama suku Embu Leja?
II. Pertanyaan tentang Wujud Tertinggi:
1. Apakah masyarakat suku Embu Leja memiliki kepercayaan pada Wujud
Tertinggi?
2. Apakah ada ungkapan yang khas untuk Wujud Tertinggi tersebut?
3. Apakah ada mitos tentang Wujud Tertinggi?
4. Apakah ada doa adat atau nyanyian adat dari masyarakat suku Embu Leja
yang mengungkapkan relasi dengan Wujud Tertinggi? Bagaimana mereka
memaknainya?
5. Apa peran dari Wujud Tertinggi bagi masyarakat suku Embu Leja?
6. Bagaimana relasi Wujud Tertinggi dengan masyarakat suku Embu Leja?
7. Bagaimana masyarakat suku Embu Leja melihat Wujud Tertinggi dan
hubungannya dengan agama Kristen Katolik ?
III. Pertanyaan tentang pandangan mengenai kehidupan dan kematian:
1. Bagaimana pandangan masyarakat suku Embu Leja tentang kehidupan?
2. Bagaimana pandangan masyarakat suku Embu Leja tentang kematian?
3. Apakah ada kepercayaan tentang kehidupan setelah kematian?
IV. Pertanyaan tentang ritus kematian masyarakat suku Embu Leja:
1. Sebutkan ritus-ritus kematian menurut masyarakat suku Embu Leja mulai
dari awal sampai akhir?
2. Jelaskan masing-masing ritus adat kematian masyarakat suku Embu Leja?
a) Bagaimana urutan ritus adat kematian menurut masyarakat suku Embu
Leja?
b) Bahan-bahan apa saja yang digunakan untuk ritus tersebut?
c) Siapa-siapa saja yang terlibat dan harus hadir dalam ritus tersebut?
163
d) Bagaimana doa-doa adat untuk masing-masing ritus tersebut?
3. Apa tujuan dari pelaksanaan ritus kematian atau mengapa ritus tersebut
dilakukan?
4. Apa makna di balik ritus-ritus tersebut?
5. Mengapa perlu dibuat ritus-ritus adat?
6. Bagaimana kepercayaan masyarakat suku Embu Leja tentang hidup setelah
kematian?
a) Di mana tempat tinggal orang mati menurut masyarakat suku Embu
Leja?
b) Bagaiamana nasib mereka setelah meninggal? Apakah nasib mereka
ditentukan oleh kehidupan mereka di bumi atau bagaimana?
c) Adakah cerita atau mitos tentang ritus tersebut?
7. Siapakah yang berhak menjadi pemimpin ritus dan siapa-siapa saja yang
terlibat dalam pelaksanaan ritus tersebut?
8. Apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemimpin ritus?
9. Kapan dilaksanakan ritus kematian?
10. Di manakah tempat pelaksanaan ritus kematian?