the contribution of ritual performance to employment opportunities
TRANSCRIPT
i
DISERTASI
KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT:
STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL
KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG
NI NYOMAN SUNARIANI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
i
DISERTASI
KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP
KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL
KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG
NI NYOMAN SUNARIANI NIM 1090671012
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
ii
KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH
DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL
KABUPATEN BADUNG
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Ekonomi
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI NYOMAN SUNARIANI NIM 1090671012
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
iv
Disertasi ini telah Diuji pada Ujian Terbuka
Pada Tanggal 28 Mei 2014
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan
SK Rektor Universitas Udayana
Nomor: 1386/UN 14.4/HK/2014 Tanggal 14 Mei 2014
Penanggung Jawab : Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
Ketua : Prof. Dr. Made Budiarsa, MA
Promotor : Prof. Dr. Made Sukarsa, SE., MS
Ko Promotor I : Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP
Ko Promotor II : Dr. A.A.I.N Marhaeni, SE., MS
Anggota :
1. Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS
2. Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS
3. Prof. Dr. I Wayan Gede Supartha, SE., SU
4. Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi
5. Dr. I. G.W. Murjana Yasa, SE., M.Si
6. Dr. Drs. I Ketut Djayastra, SU
7. Dr. I. B. Putu Purbhadharmaja, SE., ME
8. Dr. I. A. Nyoman Saskara, SE., Msi
9. Dr. I Gede Sudjana Budiasa, SE., M.Si
10. Dr. I Putu Gde Sukaatmadja, SE., MP
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis, haturkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/karunia-Nya, sehingga disertasi dengan judul: Kontribusi Pelaksanaan ritual Terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Dalam proses penyelesaian studi doktoral ini tidak lepas dari bimbingan, arahan dan dukungan penuh semangat dari Promotor, Ko Promotor, Penguji, para dosen pengampu mata kuliah dan bersama pihak terkait lainnya. Karenanya pada kesempatan ini dengan rasa syukur yang mendalam dari penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada:
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD.KEMD beserta Pembantu-pembantu Rektor atas kesepakatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana.
Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa, MA., Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D, selaku Asisten Direktur II beserta seluruh staf di Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti kuliah hingga selesai.
Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS Guru Besar Fakultas Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar atas berkenannya sebagai Promotor. Pengalaman dan kearifan beliau sebagai ilmuan ekonomi senior serta telah membimbing, mengarahkan, mendorong dan tidak henti-hentinya selalu memberi semangat penulis. Kesan ketulusan beliau sangat dirasakan penulis selalu siap membimbing dan diskusi kapan dan dimana saja serta mengirimkan jurnal-jurnal untuk menambah referensi agar disertasi lebih bermakna bagi penulis, masyarakat umat Hindu, dan peneliti lainnya, untuk senantiasa dapat menyelesaikan disertasi ini sesuai tujuan studi.
Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP Guru Besar Fakultas Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar sebagai Ko Promotor I dengan kecerdasan, keluasan wawasan dan ketegasan beliau sebagai ilmuan senior, telah memberikan bimbingan, mengarahkan dan makna tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan studi dan disertai ini dengan penuh ketekunan.
vii
Dr. AAIN. Marhaeni, SE., MS Dosen Senior Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Denpasar sebagai Ko Promotor II, ditengah-tengah kesibukan dan aktivitas beliau yang padat selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Ekonomi (MIE) Universitas Udayana dengan kecerdasan, ketekunan dan kearifan beliau sebagai ilmuan tetap meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memberi motivasi serta makna tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan studi dan disertai ini dengan penuh semangat.
Ketua Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana Denpasar Prof . Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP dan Sekretaris Program Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS yang memberi kesempatan menempuh Program Doktor dan tidak segan-segannya selalu memberi semangat dan mengawasi secara kontinyu sebelum dan sesudah kuliah serta memacu penyelesaian disertasi dengan lancar dan baik.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, SE., MS., Pembantu Dekan I Dr. I G W. Murjana Yasa, SE., MSi, Pembantu Dekan II Prof. Dr. Made Wardana, SE., MSi, Pembantu Dekan III Dr. Gerianta Wirawan Yasa, SE., MSi, beserta Staf yang memberi kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti kuliah di Program Doktor hingga selesai.
Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS Sekretaris Jurusan Dr.I.B Purbadharmaja, SE., ME beserta staf yang telah memberi kesempatan kuliah di Jurusan Ekonomi Pembangunan pada Program Doktor Ilmu Ekonomi hingga selesai.
Kepada para penguji disertasi: Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS, Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP, Dr. AAIN. Marhaeni, SE., MS, Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS, Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi, Dr. I Wayan Bagia, MSi, Prof. Dr. I Wayan Gede Supartha, SE., SU telah bersedia menguji dengan memberikan masukan, sanggahan, koreksi dan saran hingga disertasi ini dapat terwujud.
Para dosen pengampu mata kuliah selama menempuh kuliah Prof. Ketut Nehen, M.Ec Ph.D, Prof. Dr. Ketut Sudibia, SE., SU, Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS, Prof. Dr. I Wayan Sudirman, SE., SU, Prof. Dr. Ketut Rahyuda, MSIE, Prof. I Wayan Tjatera, SE., MSc,Ph.D (almarhum), Prof. Dr. IKG Bendesa, MADE, Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D, Prof Dr. Dewa Ngurah Suprapta, MSc, Prof. Dr. Ketut Ardana, MA, Dr. Ketut Putra Erawan, Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP, Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS,
viii
Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi, Dr. I G W. Murjana Yasa, SE., MSi telah meletakkan dasar-dasar teori, memperkaya wawasan dan cara berpikir ilmiah yang kritis, dengan keahlian masing-masing untuk dapat menyelesaikan disertasi ini.
Dosen pengampu mata kuliah penunjang disertasi (MKPD) Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS dan Dr. I G W. Murjana Yasa, SE., MSi dengan kecerdasan dan keahlian sebagai ilmuan telah memberikan dasar-dasar teoritis menjadi bekal yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian disertasi ini.
Pada kesempatan ini terimakasih disampaikan penulis kepada Bupati Badung, Kepala Perpustakaan BPS Provinsi Bali, Kepala Perpustakaan BPS Kabupaten Badung, Kepala Perpustakaan Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Kepala Desa dan Bendesa Adat Desa Abiansemal, dengan kerendahan hati Ida Pedanda Geriya Agung (sebagai Yajamana karya/penanggungjawab karya) Desa Abiansemal, Ida Pedanda Geriya Kajeng dan Ida Pedanda Geriya Samping Desa Abiansemal serta Ida Pedanda Geriya Jumpayah Mengwi telah memberi wawasan, saran terkait dengan proses ritual. Bapak I Nyoman Geriya sebagai Pemangku Pura, masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal serta para pemasok bahan ritual sebagai responden, yang telah memberi ijin, kesempatan untuk mencari data selama penelitian dilaksanakan.
Dr. Putu Ngurah Suyatna Yasa,SE., MSi. dari Universitas Warmadewa telah memberi motivasi, semangat dan kesediaannya menjadi moderator, Dr. I.B Purbadharmaja, SE., ME, Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP., Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. telah bersedia menjadi tim pembahas dalam seminar kolokium, Dr. Ir. Made Sudarma, MS. dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Dr. I Wayan Kandi Wijaya, SE., MM. dari Universitas Ngurah Rai, Dr. I.B. Made Agung Dwijatenaya, M.Si., Dr. Paulus Kurniawan, MBA., Drs. I Nyoman Rasmen Adi, MSi dan I Wayan Suriana,ST., MT dari Universitas Pendidikan Nasional, membantu dan memotivasi dalam penyelesaian disertasi ini.
Tidak lupa pula penulis sampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. I Gusti Gorda, M.S, (almarhum) beserta keluarga telah memberi inspirasi dan semangat kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3.
Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Drs. Ketut Sambereg, MM beserta keluarga yang telah memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk menjadi seorang dosen dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Ketua Perkumpulan Pendidikan Nasional Dr. A.A.A. Tini Rusmini Gorda, SH, MH, Sekretaris Perkumpulan Pendidikan Nasional Denpasar Dr. A.A.A. Sri
ix
Rahayu Gorda, SH, MH telah memberi ijin, dukungan semangat, teladan dalam penyelesaian disertasi ini.
Rektor Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Prof. Dr. Gede Sri Dharma, D.B.A., Dr. A.A.N. Eddy Supriyadinata Gorda, S.Sos.,MM sebagai Direktur Sumber Daya Manusia, Prof. Dr. I.B. Raka Suardana, SE., MM sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Ni Ketut Elly Sutrisni, SH., MM sebagai Direktur Lembaga Penjamin Mutu, teman-teman dosen, karyawan dan karyawati di lingkungan Universitas Pendidikan Nasional dan Kopertis Wilayah VIII Denpasar telah memberikan ijin, kesempatan dan dukungan baik moral maupun material dalam menyelesaikan disertasi dan studi ini.
Penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada seluruh guru yang telah membimbing dan mendidik penulis sejak di Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.
Dengan rasa hormat dan bakti serta terimakasih disampaikan kepada Ayah kandung I Ketut Rauh dan Ayah mertua I Wayan Kebek (almarhum) dan untuk Ibu kandung Ni Ketut Dalem dan Ibu mertua Ni Made Lanus tercinta yang kini beliau berdua sedang sakit namun tetap memberikan semangat kerjanya, rasa kasih sayang telah mendoakan beserta seluruh keluarga besar di Singaraja dan di Ubud, dengan penuh memberikan semangat sehingga penulis dapat melampaui masa-masa sulit dalam penyelesaian disertasi ini.
Terimakasih penulis sampaikan secara khusus kepada suami tercinta Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS telah mendampingi selama 28 tahun atas pengertian, keikhlasan serta dukungannya dalam menyelesaikan studi ini baik moral maupun spiritual sehingga penulis merasa ringan dalam penyelesaian disertasi ini, anak-anak tersayang dr. Ni Putu Yuni Anggreni Pande, sekarang sedang menempuh Spesialis Penyakit Dalam, Ni Made Dewi Wijayanti Pande, SE.,MM dan Ni Nyoman Utami Wijayaswari Pande mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan saudara kandung satu-satunya Ni Luh Suci Anawati, kakak dan adik ipar, keponakan dan cucu semua yang telah memberikan dukungan, motivasi dan semangat pada penulis untuk menyelesaikan studi ini.
Seluruh teman-teman dan sahabat angkatan ke-2 periode September 2010 program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana yang telah memberi dukungan penuh kepada penulis dalam kehadirannya selama sidang-sidang berlangsung, kesediaannya dalam berdiskusi, kebersamaannya dalam suka dan duka selama menempuh studi dan penyelesaian disertasi ini, untuk itu penulis ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.
x
Kepada staf Program Doktor Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Universitas Udayana Ni Komang Sri Mariatini dan Eka Putrawan terimakasih dan atas jasa-jasa dalam menfasilitasi masa perkuliahan, sidang-sidang ujian hingga terselesaikannya disertasi ini.
Penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan mulia kepada semua pihak yang telah memberi bantuan yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala bantuan dan amal perbuatan Bapak, Ibu dan Saudara sekalian mendapatkan balasan dari Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pada akhirnya penulis bersyukur dapat menyelesaikan disertasi ini dengan kesadaran penuh bahwasannya disertasi ini belum sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Semoga karya ilmiah ini dapat memberi secercah manfaat dan harapan kepada para pembaca dalam perkembangan ilmu.
Denpasar, Mei 2014 Penulis
Ni Nyoman Sunariani
xi
ABSTRAK KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP
KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH
DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL
KABUPATEN BADUNG
Pembangunan daerah Bali adalah pembangunan yang berwawasan budaya dan adat istiadat dan bertumpu pada konsep Tri Hita Karana yang dijiwai oleh Agama Hindu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Esensi pelaksanaan ritual merupakan persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, Pitra Rna). Kehidupan masyarakat Bali merupakan masyarakat yang religius karena intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu. Intensitas pelaksanaan ritual mengkibatkan transaksional bahan-bahan ritual. Fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa pelaksanaan ritual di satu sisi cenderung menghabiskan biaya besar dan waktu yang tidak sedikit (komersialisasi). Melalui penelitian studi kasus pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung untuk mengkanter fenomena tersebut. Bagaimana manfaat pelaksanaan ritual Agama Hindu dari perspektif sosial, budaya dan ekonomi, berapa besar Multiplier effect pengeluaran ritual dan berapa besar tambahan pendapatan pemasok bahan ritual serta bagaimana pengaruh ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja. Tujuan penelitian untuk mengetahui manfaat ritual dari perspektif sosial, budaya dan ekonomi, besarnya Multiplier effect dan besarnya tambahan pendapatan pemasok serta pengaruh ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Metode penelitian kuantitatif, mempelajari hubungan antarvariabel, metode pengumpulan data primer berdasarkan cross saction, dengan kuesioner, In-depth Interview melalui informan kunci dan ahli dan triangulasi. Jumlah populasi 130 responden merupakan data jenuh atau sensus. Alat analisis Structural Equation Model diolah menggunakan Analysis of Moment Structural versi 20,0. Hasil penelitian, pelaksanaan ritual selain berfungsi religious juga berimplikasi positif terhadap sosial yaitu perubahaan sikap perilaku beragama, budaya yaitu mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal, dan ekonomi yaitu adanya perubahan sikap berusaha. Pelaksanaan ritual Agama Hindu memiliki multiplier effect sebesar 2,37 dapat meningkatkan pendapatan pemasok bahan ritual sebesar 72,06 persen. Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja sebesar 0,79. Hal ini mengindikasikan meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya. Kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja sebesar 35,4 persen, yang artinya variasi kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Kontribusi kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen, yang artinya variasi kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi kesempatan kerja.
Kata Kunci: Pelaksanaan ritual, multiplier effect, kesempatan kerja, kesejahteraan
masyarakat
xii
ABSTRACT
THE CONTRIBUTION OF RITUAL PERFORMANCE TO EMPLOYMENT OPPORTUNITIES AND COMMUNITY WELFARE: A CASE STUDY OF
MLASPAS AND NGENTEG LINGGIH AT THE PASEK PRETEKA TEMPLE ABIANSEMAL VILLAGE, ABIANSEMAL SUB-DISTRICT
BADUNG REGENCY
Development of Bali based on culture and custom activities and the concept of Tri Hita Karana which is inspired by the of Hinduism religion to enhance the welfare of society. Ritual performance is essentially a holy offering based on trust and a genuine and sincere belief which has been passed on from generation to generation which is likened to obligations or debts that need to be paid off and is framed within the concept of Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, and Pitra Rna). Balinese society is a religious society because of the intensity of the ritual performances. The intensity of the ritualistic performances brings about transactions of ritual materials. Growing phenomenon in the society is that ritual performances on the one hand tend to take substantial time and cost a lot of money (commercialization). Through the case study of the ritual performance of Mlaspas and Ngenteg Linggih in Abiansemal Village Badung Regency is phenomenon counter, the research questions are: What are the advantages of the ritual performance of Hinduism from the social, cultural and economic perspective, How big is the multiplier effects of ritual expenditure and what is the influence of the rituals on the welfare either directly or indirectly through employment opportunities. The purpose of the study is to know the benefits of rituals from the social, cultural, and economic perspective; the magnitude of multiplier effects; and the influence of rituals on the community welfare either directly or indirectly through employment opportunities. The methods employed in this study were quantitative research methods, the explanation of qualitative analysis, the method of collecting cross-sectional primary data through questioner, in-depth interviews with key and expert informants and triangulation, a population of 130 heads of households were saturated data/census. Structural Equation Model Analysis tool was processed using Analysis of Moment Structural vertion 20,0. The results of this study show that ritual performances, besides having religious functions, also have a positive impact on social behaviour, the change in attitude of religion, which is able to preserve the cultural values of local genius and the economy, that is, a change in the attitude of making businesses. Ritualistic Hinduism has a multiplier effect of 2.37, thus increasing the additional revenue of suppliers amounting to 72.06 percent. And Implementation of rituals had positive and significant impact on the welfare of the people, either directly or indirectly through employment opportunities of 0,79 around Abiansemal sub-district in particular, and Bali in general. Contribution of ritual performance to employment opportunities was 35.4 percent, which means that the variation of employment is determined by variations in the implementation of the ritual. The contribution of employment opportunities to the community welfare was 90.2 percent, which means that variations in the welfare of society were determined by variations in employment opportunities.
Keywords: Implementation of the ritual the multiplier effect, employment
opportunities, community welfare
xiii
RINGKASAN
KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT:
STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL
KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG
Ni Nyoman Sunariani
Pembangunan daerah Bali adalah pembangunan yang berwawasan budaya
dan adat istiadat dan bertumpu pada konsep Tri Hita Karana yang dijiwai oleh
Agama Hindu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Esensi pelaksanaan
ritual merupakan persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan
keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna,
Rsi Rna, dan Pitra Rna). Kehidupan masyarakat Bali mengalami perubahaan dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern dan postmodern. Perubahan
tersebut berpengaruh pada pola produksi, pola distribusi, dan pola konsumsi
rumah tangga antara lain pengeluaran upacara (ritual) Agama Hindu. Pola
konsumsi rumah tangga mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai
salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Kehidupan masyarakat Bali
merupakan masyarakat yang religius karena intensitas pelaksanaan ritual Agama
Hindu. Intensitas pelaksanaan ritual mengkibatkan transaksional bahan-bahan
ritual. Fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa pelaksanaan ritual
Agama Hindu di satu sisi cenderung menghabiskan biaya besar dan waktu yang
tidak sedikit (komersialisasi). Melalui penelitian studi kasus pelaksanaan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung layak
dilakukan untuk mengkanter fenomena tersebut. Makna pelaksanaan ritual Mlaspas
dan Ngenteg Linggih dalam Agama Hindu merupakan proses pembelajaran diri
dalam mewujudkan sikap, moral dan perilaku dalam menata kehidupan menuju
kualitas hidup yang lebih sempurna lahir bathin.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana manfaat
Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan
xiv
terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa
Abiansemal Kabupaten Badung? 2) Berapa besar Multiplier Effect pengeluaran
ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih? 3) Berapa besar tambahan pendapatan
pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih? 4) Bagaimana pengaruh
pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg
Linggih? 5) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan
masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada
Mlaspas dan Ngenteg Linggih? Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui
manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon
pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka
Desa Abiansemal Kabupaten Badung, (2) Mengetahui besarnya Multiplier Effect
pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, (3) Mengetahui tambahan
pendapatan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, (4) Menganalisis
pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada Mlaspas dan
Ngenteg Linggih, dan (5) Menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap
kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui
kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Hipotesis dalam penelitian
ini ada tiga, yaitu (1) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kesempatan kerja, (2) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, dan (3) Pelaksanaan ritual
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik
langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan
Ngenteg Linggih.
Landasan teori penelitian ini mengacu pada Teori Konsumsi
Keynes (1936) menggambarkan análisis pengeluaran konsumsi berbanding lurus
dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan
naik sebagai grand theory. Konsep Max Weber (1930) bukunya The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism, konsep Bourdieu (1977) Social Capital,
dimana aktivitas agama mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan
aktivitas sosial. Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) bahwa agama adalah
sebuah sistem budaya dengan segala macam makna dan simbolisme di dalamnya
xv
membangun motivasi yang kuat dan tahan lama hubungannya dengan struktur
masyarakat. Apabila pengeluaran konsumsi masyarakat semakin besar maka dapat
meningkatkan Multiplier Effect, konsep kesempatan kerja dan konsep
kesejahteraan mengacu pada kriteria BPS, 2011.
Penelitian ini mempelajari hubungan antarvariabel, metode pengumpulan
data primer berdasarkan cross saction dengan kuesioner In-depth Interview pada
informan kunci dan ahli dan triangulasi. Jumlah populasi 130 responden
merupakan data jenuh atau sensus. Alat analisis Structural Equation Model
(SEM) diolah menggunakan Analysis of Moment Structura (AMOS) versi 20,0.
Simpulan penelitian ini, pelaksanaan ritual selain berfungsi religious juga
berimplikasi positif terhadap manfaat sosial yaitu perubahaan sikap perilaku
beragama, manfaat budaya yaitu mampu melestarikan nilai-nilai kearifan
lokal/local genius, dan manfaat ekonomi adanya perubahan sikap berusaha.
Pelaksanaan ritual Agama Hindu memiliki multiplier effect sebesar 2,37 yang
artinya semakin besar pengeluaran ritual maka dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat sebanyak 2,37 kali jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat.
Tambahan pendapatan pemasok sebesar 72,06 persen dari total pengeluaran ritual.
Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja
sebesar 0,79 yang artinya meningkatnya perekonomian regional Badung
khususnya, dan Bali umumnya. Kontribusi pelaksanaan ritual terhadap
kesempatan kerja sebesar 35,4 persen, yang berarti variasi kesempatan kerja
ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual selanjutnya kontribusi kesempatan kerja
terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen, yang berarti variasi
kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi kesempatan kerja.
Temuan dalam penelitian ini adalah: (1) Kesadaran yang tinggi masyarakat
pengempon pura walaupun relatif terbatas secara ekonomi tetapi berdasarkan
srada bhakti dan lascarya kepada Sang Pencipta, (2) Kecenderungan angka
pengganda konsumsi dari tahap I ke tahap II dan III semakin kecil, sedangkan
angka pengganda untuk tahap III relatif kecil yang disebabkan marginal
propensity to saving lebih besar marginal propensity to consume (MPS > MPC).
xvi
Hal ini tidak sejalan dengan konsep Keynes bahwa kecenderungan negara-negara
kaya, pendapatannya lebih banyak ditabung daripada dikonsumsi (MPS > MPC).
Sebaliknya kecenderungan negara-negara miskin pendapatannya lebih banyak
untuk konsumsi daripada ditabung (MPC > MPS). (3) Sementara ini banyak opini
yang mengatakan bahwa pengeluaran ritual kurang di rasakan oleh masyarakat,
namun secara empiris dalam penelitian ini angka pengganda yang dihasilkan dari
pelaksanaan ritual relatif cukup besar, sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi
Bali pada umumnya, dan Badung pada khususnya. (4) Aktivitas ritual umat Hindu
di Bali, lebih banyak dikerjakan oleh tenaga perempuan, sehingga perempuan
Hindu memiliki peranan lebih penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan
ritual yang baik dan lancar (labda karya). (5) Pelaksanaan ritual Agama Hindu
mempunyai pengaruh terhadap pendapatan, aktivitas ekonomi, dan aktivitas
kehidupan sosial masyarakat umat Hindu di Bali. Pendapat ini sesuai dengan
Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep Bourdieu
(1977), dan Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973).
Saran yang disampaikan dalam penelitian ini berikut. (1) Mengingat
pelaksanaan ritual memiliki multiplier effect, masyarakat sekitarnya disarankan
perlu melestarikan bahan-bahan utama yang dibutuhkan dalam ritual secara
berkelanjutan/sustainable serta upaya mengurangi impor barang kebutuhan ritual
Agama Hindu di Bali. (2) Mengingat fenomena yang berkembang di masyarakat
bahwa Agama Hindu identik dengan biaya besar, disarankan meningkatkan
pemahaman agama dengan membaca buku-buku agama dan menanyakan makna-
makna ritual kepada yang berkompeten maka biaya ritual diharapkan berkurang.
(3) Mengingat intensitas tenaga kerja perempuan dalam ritual memiliki peran
sangat tinggi, disarankan perempuan Hindu mampu menerapkan manajemen
waktu. (4) Disarankan untuk penelitian berikutnya, agar menghitung multiplier
effect pelaksanaan ritual Agama Hindu sampai tahap terakhir dan variabel lain
yang mendukung pelaksanaan ritual, yaitu kesenian (wewalian) yang berbasis
budaya religius.
xvii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ........................................................................................................... i
PRASYARAT GELAR .................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii
PANITIA PENGUJI UJIAN TERBUKA ....................................................... iv
SURAT PERNYATAAN PLAGIAT ............................................................. v
UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... xi
ABSTARCT .................................................................................................. xii
RINGKASAN ................................................................................................ xiii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xvii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xxi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xxiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxvi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................. 21
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................. 22
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................... 23
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 24
2.1. Teori Konsumsi Keynes ......................................................... 24
2.1.1 Faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ................ 38
2.1.2 Investasi ....................................................................... 40
2.1.3 Multiplier Effect .......................................................... 44
2.1.4 Harapan dan Persepsi ................................................... 50
2.2.Perkembangan Agama Hindu di Bali ...................................... 53
2.2.1 Stratifikasi Sosial Masyarakat Hindu ............................ 57
2.2.2 Hubungan Agama dan Ekonomi .................................. 59
2.2.3 Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih ....... 63
xviii
2.2.4 Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi Pelaksanaan Ritual ........................................................................... 71
2.3.Kesempatan Kerja ................................................................... 73
2.3.1 Pengertian kesempatan kerja ........................................ 73
2.3.2 Penyerapan tenaga kerja ................................................ 76
2.4.Kesejahteraan ......................................................................... 82
2.4.1 Pengertian kesejahteraan ............................................... 82
2.4.2 Kriteria kesejahteraan .................................................... 87
2.4.3 Pengukuran kesejahteraan ............................................. 90
2.5.Originalitas Penelitian ............................................................ 92
2.6.Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu .................................... 95
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .............. 101
3.1 Kerangka Berpikir .................................................................. 101
3.2 Kerangka Konsep Penelitian .................................................... 107
3.2.1 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif ........................... 107
3.2.2 Kerangka Konsep Penelitian Asosiatif ............................ 110
3.3 Hipotesis ................................................................................ 113
BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................. 114
4.1. Rancangan Penelitian ............................................................ 114
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 116
4.3. Subyek dan Obyek Penelitian ................................................ 118
4.4. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ......... 119
4.4.1 Identifikasi ................................................................... 119
4.4.2 Definisi Operasional Variabel ....................................... 119
4.5. Jenis dan Sumber Data .......................................................... 125
4.5.1 Jenis Data .................................................................... 125
4.5.2 Sumber Data ................................................................ 125
4.6. Populasi, Sampel Penelitian dan Informan ............................ 126
4.6.1 Populasi Penelitian ....................................................... 126
4.6.2 Penentuan Informan Kunci dan Ahli .............................. 128
xix
4.6.3 Metode Pengumpulan Data .......................................... 129
4.7. Instrumen Penelitian .............................................................. 131
4.7.1 Pengujian Validitas Kuesioner ...................................... 131
4.7.2 Pengujian Reliabilitas Kuesioner................................... 132
4.7.3 Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ......................... 133
4.8.Teknik Analisa Data ............................................................... 138
4.8.1 Analisis Deskriptif ....................................................... 138
4.8.2 Analisis Kuantitatif ....................................................... 138
4.8.3 Analisis Interaksi Secara Interpretif untuk Desain
Kualitatif ..................................................................... 150
BAB V HASIL PENELITIAN .................................................................. 153
5.1 Deskripsi Karakteristik Desa Adat Abiansemal .................... 153
5.2 Deskripsi Tentang Profil Responden ..................................... 156
5.3 Deskripsi Informan Kunci dan Ahli ....................................... 162
5.4 Deskripsi Hasil Penelitian Kualitatif ..................................... 164
5.4.1 Deskripsi Manfaat Sosial, Budaya dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura ......................... 164
5.4.2 Besarnya Multiplier Effect pengeluaran ritual Mlaspas
dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal ................................................................... 184
5.4.3 Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan
ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal .............................................. 190
5.5 Hasil Penelitian Kuantitatif .................................................... 193
5.5.1 Evaluasi asumsi SEM ................................................... 194
5.5.2 Hasil pengujian analisis faktor konfirmatori (CFA) ....... 197
5.5.3 Analisis pengaruh dengan SEM .................................... 202
5.5.4 Modifikasi model .......................................................... 212
BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................... 220
6.1 Manfaat yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan
terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih ...................... 220
xx
6.2 Besarnya Multiplier effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal ..... 231
6.3 Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih ............................................... 235 6.4. Pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka ............ 238
6.4.1 Pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka ............................................................... 240
6.4.2 Pengaruh kesempatan kerja terhadap kesejahteraan
masyarakat ................................................................... 241
6.5 Pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja ................................................................... 243
6.6 Temuan penelitian .................................................................. 244
6.7 Keterbatasan penelitian .......................................................... 245
6.8 Implikasi hasil penelitian ....................................................... 246
BAB VII PENUTUP .................................................................................... 248
7.1 Simpulan ............................................................................... 248
7.2 Saran ..................................................................................... 249
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 251
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................. 289
DAFTAR ISTILAH ........................................................................... 325
PHOTO-PHOTO ................................................................................ 332
xxi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2000 Tahun 2006-2010 (juta rupiah) ................................................................ 6
Tabel 1.2 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Penggunaan Tahun 2006 – 2010 (juta rupiah) .................................................................................. 7
Tabel 2.1 Posisi Penelitian Terdahulu yang Berhubungan dengan Pengeluaran Konsumsi.................................................................. 97
Tabel 4.1 Definisi Operasional Indikator Variabel Pelaksanaan ritual (PR) ... 122
Tabel 4.2 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesempatan Kerja (KK) . 123 Tabel 4.3 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesejahteraan
Masyarakat (KM) ......................................................................... 124 Tabel 4.4. Jumlah Responden Rumah Tangga Pengempon Pura Yang
Melaksanakan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung Tahun 2012 ................................ 126
Tabel 4.5 Jumlah Responden Pemasok Bahan- Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Tahun 2012 ............................................................................................. 127
Tabel 4.6 Kriteria Responden Penelitian Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2012 ............................................................................................. 127
Tabel 4.7 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Pelaksanaan Ritual (PR) ................................................................................... 134
Tabel 4.8 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesempatan Kerja (KK) ................................................................................... 135
Tabel 4.9 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM) ......................................................................... 137
Tabel 4.10 Indeks Pengujian Kelayakan (Goodness of Fit Index) SEM ........... 149 Tabel 5.1 Alokasi Waktu dan Tenaga kerja Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Pura Pasek Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (Orang/Mandays) ..................................... 160
Tabel 5.2 Alokasi Waktu dan Tenaga Kerja Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (selama 63 hari/orang/mandays) .............. 161
xxii
Tabel 5.3 Identitas Informan Kunci dan Ahli Dalam Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal,Kabupaten Badung Tahun 2012 ................................. 163
Tabel 5.4 Ringkasan Manfaat Secara Sosial, Budaya dan Ekonomi Berkenaan dengan Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 ................................................................. 182
Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Multiplier effect Pemasok Tahap I Komponen Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, 2012 .................................................. 185
Tabel 5.6 Hasil Perhitungan Multiplier effect Penyalur Tahap II Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 ................................................................. 186
Tabel 5.7 Hasil Perhitungan Multiplier effect Produsen Tahap III Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 ................................................................. 187
Tabel 5.8 Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan-Bahan Ritual dan Non Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung .................................................. 191
Tabel 5.9 Assessment of normality (Group number 1) variabel Pelaksanaan Ritual ............................................................................................ 195
Tabel 5.10 Assessment of normality (Group number 1) variabel Kesempatan Kerja............................................................................................. 196
Tabel 5.11 Assessment of normality (Group number 1) variabel Kesejahteraan Masyarakat ............................................................ 197
Tabel 5.12 Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual ........................................................ 199
Tabel 5.13 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual ............................................. 199
Tabel 5.14 Regression Weights:(Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja ........................................................................ 200
Tabel 5.15 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja ............................................ 200
Tabel 5.16 Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesejahteraan Masyarakat ............................................................ 202
Tabel 5.17 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesejahteraan Masyarakat ................................. 202
Tabel 5.18 Regression Weight (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ....................... 206
xxiii
Tabel 5.19 Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) ................................. 207
Tabel 5.20 Standarized Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) .... 207
Tabel 5.21 Evaluasi Goodness of Fit ............................................................. 210
Tabel 5.22 Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) .......................................................................................... 211
Tabel 5.23 Modification Indices (Group number 1 - Default model) Covariances: (Group number 1 - Default model) ........................... 212
Tabel 5.24 Standarized Regression Weight Direct Effects Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) ............................................................................................ 214
Tabel 5.25 Standardized Regression Weight Indirect Effects Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) .................................................. 214
Tabel 5.26 Evaluasi Kriteria Kesesuaian (Goodness of Fit Index) Full Model Perbandingan Model Sebelum Modifikasi dengan Setelah Modifikasi .................................................................................... 217
Tabel 5.27 Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) Sebelum dan Setelah adanya Modifikasi model ................. 218
Tabel 6.1 Rata-rata Multiplier effect Tahap I, II, III Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 ......................................................................... 232
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Kurve Teori Konsumsi Keynes ................................................ 28 Gambar 2.2 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif ............... 32
Gambar 2.3 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Daur Hidup .......................... 34 Gambar 2.4 Kurve Pengaruh Pendapatan Terhadap Konsumsi .................... 39
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir .................................................................... 106 Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif Analisis Multiplier
Effect ....................................................................................... 110 Gambar 3.3 Kerangka Konsep Penelitian Assosiatif (Hubungan) ................. 112
Gambar 4.1 Lokasi Penelitian, Peta Administrasi Wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung Provinsi Bali ............................................................................ 118
Gambar 4.2 Diagram Jalur Kontribusi Pelaksanaan Ritual terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat .................... 141
Gambar 4.3 Model Pengukuran Variabel Pelaksanaan Ritual ....................... 143
Gambar 4.4 Model Pengukuran Variabel Kesempatan Kerja ....................... 144 Gambar 4.5 Model Pengukuran Variabel Kesejahteraan Masyarakat ........... 145
Gambar 4.6 Hubungan Interaktif Alur Data Penelitian Kualitatif (Miles dan Huberman, 1984) ..................................................................... 151
Gambar 5.1 Persentase makna kepercayaan dan keyakinan dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ............................................................................. 166
Gambar 5.2 Persentase makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .............................................................................. 167
Gambar 5.3 Persentase makna Mecaru dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ............................... 168
Gambar 5.4 Persentase makna melasti dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................................ 169
Gambar 5.5 Persentase makna Nyegara Gunung dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................. 170
Gambar 5.6 Persentase makna Banten dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................................ 171
Gambar 5.7 Persentase makna labda karya dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................. 172
xxv
Gambar 5.8 Persentase makna kehidupan sosial dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 173
Gambar 5.9 Persentase makna gotong royong dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansema .................. 174
Gambar 5.10 Persentase makna iuran pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................................ 175
Gambar 5.11 Persentase makna bahan-bahan ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 176
Gambar 5.12 Persentase makna pengeluaran ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 177
Gambar 5.13 Persentase makna kesempatan berusaha dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ......... 178
Gambar 5.14 Persentase makna multiplier effect dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. ................. 179
Gambar 5.15 Persentase makna perubahan sikap dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 180
Gambar 5.16 Persentase Tambahan Pendapatan atau Pengeluaran Bahan-Bahan Ritual (Juta Rp dan %) Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung........ 192
Gambar 5.17 Confirmatory Factor Analysis Variabel Pelaksanaan Ritual ...... 198 Gambar 5.18 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesempatan Kerja ....... 200
Gambar 5.19 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesejahteraan Masyarakat ............................................................................... 201
Gambar 5.20 Model Hubungan Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ...................................... 203
Gambar 5.21 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat ................................................ 204
Gambar 5.22 Koefisien Regresi Model Variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) ........................................................................................ 205
Gambar 5.23 Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ...................................... 213
Gambar 5.24 Koefisien Regresi Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ........ 216
Gambar 6.1 Tambahan pendapatan Pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 2012 ......................................................... 236
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Questioner ........................................................................... 289
Lampiran 2 Dudonan Karya Mlaspas dan Ngentig Linggih Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung ............................................................... 299
Lampiran 3 Data Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pra Riset ........ 302 Lampiran 4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pelaksanaan
Ritual (X)............................................................................. 303 Lampiran 5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesempatan
Kerja (Y1) ........................................................................... 304 Lampiran 6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Kesejahteraan Masyarakat (Y2) ........................................... 305 Lampiran 7 Identitas Responden Pengemon Pura Pasek Preteka di Desa
Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian) ............................................................................ 306
Lampiran 8 Identitas Responden Pemasok Bahan-Bahan Ritual di Pura
Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian) ..................................... 308
Lampiran 9 Identitas Responden Pemasok Tahap I Bahan-Bahan Ritual
di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian) ............................................................................ 309
Lampiran 10 Identifikasi Tahap II Penyalur Bahan-Bahan Ritual di Pura
Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian) ............................................................................ 310
Lampiran 11 Persentase Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang
diperoleh Pengempon Pura dengan terlaksana Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (pada bulan penelitian). ........................................................................... 311
Lampiran 12 Tabulasi Skor Jawaban 130 Responden ............................... 312 Lampiran 13 CFA untuk Pelaksanaan Ritual ............................................ 316 Lampiran 14 CFA untuk Kesempatan Kerja ............................................. 317
xxvii
Lampiran 15 CFA untuk Kesejahteraan Masyarakat ............................... 318 Lampiran 16 Regression Weights (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual,
Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 319 Lampiran 17 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja
dan Kesejahteraan Masyarakat ............................................ 320 Lampiran 18 Analisis Model Pengukuran dengan Determinasi ................. 321 Lampiran 19 Regression Weights (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual,
Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 322 Lampiran 20 Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual,
Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 323 Lampiran 21 Regression Weights (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual,
Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 324
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dapat menimbulkan berbagai kesenjangan salah satunya adalah kesenjangan
pendapatan dan kesenjangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja.
Pembangunan dikatakan berhasil apabila mampu membangkitkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan. Perluasan pembangunan ekonomi Indonesia,
membutuhkan percepatan (acceleration) transformasi ekonomi agar kesejahteraan
bagi seluruh masyarakat dapat diwujudkan lebih dini melalui perubahan pola pikir
bahwa keberhasilan pembangunan membutuhkan kolaborasi bersama tiga pilar
yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta. Partisipasi tiga pilar tersebut melalui
model kerjasama pemerintah dan swasta. Pemerintah Pusat dan Daerah harus
membangun linkage semaksimal mungkin untuk mendorong pembangunan daerah
sekitar pusat pertumbuhan ekonomi dengan tiga strategi yaitu strategi peningkatan
potensi wilayah melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di dalam
koridor ekonomi, strategi memperkuat konektivitas nasional, serta strategi
meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MP3EI
2011-2025).
Pembangunan Provinsi Bali adalah pembangunan berwawasan budaya,
adat istiadat dan Agama Hindu, artinya pembangunan direncanakan,
2
dilaksanakan, dan dievaluasi dengan berorientasi pada kebudayaan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terwujudnya manusia dan masyarakat
Bali sebagai kesatuan sosial yang utuh, berkeadilan, damai, sehat, sejahtera lahir
bathin, humanis, ekologis dan bertumpu pada konsep Tri Hita Karana yang
dijiwai oleh Agama Hindu dan didukung oleh sumber daya manusia yang handal
untuk melaksanakan pembangunan. Landasan pembangunan Daerah Bali adalah
Kebudayaan Bali yang dijiwai Agama Hindu dan konsep Tri Hita Karana untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyeimbangkan tujuan
pembangunan ekonomi, pelestarian kebudayaan, dan lingkungan hidup (Sukardja,
2012).
Selama tiga dasawarsa belakangan ini masyarakat Bali mengalami
perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern dan postmodern
atau globalisasi. Globalisasi membawa perubahan ekonomi, sosial-budaya,
komunikasi, transportasi, dan politik global. Pandangan ini didukung oleh Teori
Ritzer (2003), globalisasi cenderung mengekspor bentuk-bentuk kosong (nothing)
ke seluruh dunia ketimbang mengekspor bentuk-bentuk yang penuh dengan isi
(something). Yang disebut belakangan ini lebih besar kemungkinannya untuk
ditolak oleh setidaknya beberapa kultur dan masyarakat karena isinya
bertentangan dengan budaya lokal.
Agama Hindu sebagai identitas religius manusia Bali, Abdullah (2008)
menegaskan bahwa globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam
kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan
memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan
3
mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan
sifat relatif suatu praktik sosial. Malahan cara-cara orang mempraktikkan agama
juga mengalami perubahan, bukan karena agama mengalami proses
kontekstualisasi sehingga agama melekat di dalam masyarakat, tetapi juga karena
budaya yang mengkontekstualisasikan agama itu merupakan budaya global
dengan tata nilai yang berbeda. Dalam konteks ini khususnya dalam fenomena
keberagaman ditandai dengan adanya transformasi sistem pengetahuan, sistem
nilai, sistem tindakan keagamaan.
Perubahan tersebut berpengaruh pada pola produksi, pola distribusi, dan
pola konsumsi masyarakat terutama pada unit rumah tangga antara lain
pengeluaran upacara (ritual) Agama Hindu. Variabel pengeluaran tersebut Geriya
(2000), dipengaruhi oleh dimensi ruang, waktu, dan tempat. Ketiga dimensi ini
dapat mempengaruhi perubahan ekonomi, sosial, dan kebudayaan Bali.
Komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga makanan dan non makanan,
konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor-impor.
Struktur perekonomian Bali dengan melihat keunggulan kompetitif pada
sektor pariwisata (dengan keindahan alam, seni, budaya, dan adat istiadat) sebagai
leading sector memiliki karakteristik yang unik, mengakibatkan kelompok
perekonomian sektor tersier menjadi lebih dominan dibandingkan dengan sektor
primer dan sekunder.Terjadinya transformasi struktur ekonomi dari perekonomian
primer ke sektor tersier ini telah membawa dampak terhadap penyerapan tenaga
kerja. Sektor pertanian semakin ditinggalkan dan mengalir ke sektor industri dan
4
jasa. Bila dilihat dari peran sektor sekunder dan tersier dari segi pendapatan terus
mengalami peningkatan sebaliknya sektor primer terus mengalami penurunan.
Kontribusi per sektor terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Provinsi Bali tahun 2006-2010 atas dasar harga konstan 2000, rata-rata
perkembangan dari tahun 2006-2010 per sektor sebesar 2,22 persen. Rata-rata
perkembangan sektor tertinggi adalah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
(PHR) 6,35 persen sektor tertinggi kedua adalah sektor pertanian 4,06 persen.
Sedangkan rata-rata terendah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0,12
persen. Dilihat dari share per sektor tahun 2010 ternyata didominasi oleh sektor
PHR sebesar 32,51 persen meningkat jika dibandingkan tahun 2009 sebesar 32,33
persen disusul sektor pertanian sebesar 19,09 persen dan kemudian sektor jasa-
jasa sebesar 14,03 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB terus
mengalami penurunan pada pendapatan sebesar 59,3 persen tahun 1971 turun
menjadi 19,86 persen tahun 2009 turun lagi menjadi 19,09 persen tahun 2010
(BPS Provinsi Bali, 2011).
Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, mengakibatkan
kesempatan kerja pada sektor pertanian turun dari 67,5 persen tahun 1971 menjadi
34,2 persen tahun 2009, namun tingkat kesempatan kerja diluar sektor pertanian
cukup tinggi dari 96,87 persen tahun 2009 meningkat menjadi 96,94 persen tahun
2010 dengan begitu tingkat pengangguran terbuka turun dari 3,13 persen tahun
2009 menjadi 3,06 persen tahun 2010. Peningkatan kontribusi di sektor pariwisata
yaitu 31,8 persen tahun 1971 meningkat menjadi 65,6 persen tahun 2009,
kontribusi sektor ini terhadap kesempatan kerja tetap mendominasi dibandingkan
5
dengan sektor lainnya. Perkembangan penyerapan tenaga kerja pada sektor
pariwisata dari 22,2 persen tahun 1971 meningkat menjadi 43,8 persen tahun
2009. Demikian juga sektor manufaktur tahun 1971 sebesar 8,9 persen meningkat
menjadi 16,2 persen tahun 2009. Hal ini dapat memperluas kesempatan kerja
maka penyerapan tenaga kerja sebesar 10,3 persen tahun 1971 meningkat menjadi
21,9 persen tahun 2009. (BPS Provinsi Bali, 2010; Bendesa, 2012).
Membaiknya perekonomian Bali, ditandai dengan kenaikan pendapatan
per kapita masyarakat yang cukup tinggi dari Rp 35.791,00 tahun 1971 meningkat
menjadi Rp 6,14 juta tahun 2005 meningkat lagi sebesar Rp 16,21 juta tahun
2009, kenaikan pendapatan per kapita mempengaruhi pola konsumsi rumah
tangga. Pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2009 mencapai 5,33 persen lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,5 persen.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi Badung tahun 2008- 2010 mengalami fluktuasi,
tahun 2008 tumbuh sebesar 6,91 persen, tahun 2009 tumbuh 6,39 persen dan
tahun 2010 tumbuh sebesar 6,48 persen. Pertumbuhan tahun 2010 diukur dari
peningkatan nilai PDRB Badung atas dasar harga konstan 2000 yaitu dari Rp 5,20
triliyun tahun 2008 menjadi Rp 5,89 triliyun tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi akan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya akan
bermuara pada peningkatan pendapatan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan
ekonomi masyarakat meningkat jika dalam periode yang sama pertumbuhan
ekonomi lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduknya (BPS Provinsi
Bali, 2011; BPS Kabupaten Badung, 2011).
6
Perubahan struktur ekonomi wilayah Bali akan mempengaruhi kontribusi
per sektor PDRB Kabupaten Badung tahun 2006-2010 atas dasar harga konstan
2000 dapat dilihat Tabel 1.1
Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2000 Tahun 2006-2010 (juta rupiah)
Sektor
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata perkemban
gan (%)
Share 2010 (%)
1. Pertanian 430.924,17 437.752,93 441.420,28 454.730,00 487.777,86 3,19 7,32
2. Pertambangan & Penggalian 8.420,73 5.357,25 5.547,53 5.762,93 5.943,97 -6,45 0,12
3. Industri Pengolahan 131.865,12 138.748,48 145.449,18 154.496,64 169.686,79 -2,02 2,39
4. Listrik, gas &air
bersih 71.320,02 77.004,26 53.441,39 57.429,90 61.489,21 -3,43 2,10
5. Konstruksi 214.699,14 224.869,28 235.989,79 244.570,08 253.702,89 4,27 5,26
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) 2.062.508,63 2.196.234,96 2.339.908,62 2.507.451,41 2.689.069,79 6,86 36,63
7. Pengangkut dan Komunikasi 1.091.037,32 1.223.330,40 1.368.719,75 1.470.624,33 1.554.512,01 9,29 36,50
8. Keuangan,
perseroan dan jasa perusahaan
134.586,06 137.864,79 141.307,44 144.597,37 148.971,87 2,57 2,21
9. Jasa-jasa 403.194,44 418.969,34 434.764,02 457.587,49 482.259,01 4,58 7,49
PDRB 4.548.555,63 4.860.131,70 5.196.125,34 5.528.320,09 5.886.369,03 2,10
100,00
Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2011
Berdasarkan Tabel 1.1 rata-rata perkembangan tahun 2006-2010 per
sektor sebesar 2,10 persen. Rata-rata perkembangan sektor tertinggi adalah sektor
pengangkutan dan komunikasi sebesar 9,29 persen dan tertinggi kedua sektor
PHR 6,86 persen, sedangkan rata-rata terendah adalah perkembangan dari sektor
pertambangan dan penggalian negatif 6,45 persen. Dilihat dari share per sektor
tahun 2010 ternyata didominasi oleh sektor PHR sebesar 36,63 persen turun dari
tahun 2009 sebesar 38,05 persen. Disusul sektor pengangkutan dan komunikasi
turun 36,50 persen tahun 2010 menjadi 33,78 persen tahun 2009 dan juga sektor
pertanian turun dari 7,65 persen tahun 2009 menjadi 7,32 persen tahun 2010.
7
PDRB Kabupaten Badung per kapita atas dasar harga konstan meningkat
dari tahun 2008 sebesar Rp 10,41 juta menjadi Rp 10,59 juta tahun 2009 dan
meningkat lagi tahun 2010 menjadi Rp 10,83 juta. Kenaikan pendapatan per
kapita ini lebih mendekati kenaikan daya beli. Sebagai salah satu indikator
keberhasilan pembangunan dari satu sisi, bahwa pembangunan daerah Badung
telah mampu meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Kenaikan pendapatan per
kapita Kabupaten Badung mempengaruhi pola pengeluaran konsumsi rumah
tangga. Pengelompokan pengeluaran menjadi pengeluaran makanan dan
pengeluaran non makanan digunakan untuk melihat kecenderungan konsumsi
rumah tangga dari waktu ke waktu. Kecenderungan tersebut biasanya dipengaruhi
oleh tingkat pendapatan, selera dan lingkungan. Perkembangan PDRB Kabupaten
Badung atas dasar harga konstan menurut penggunaan tahun 2006-2010, seperti
ditunjukkan Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Penggunaan Tahun 2006 – 2010 (juta rupiah)
Komponen Penggunaan
2006
% 2007 % 2008 % 2009 %
2010
%
1. Konsum RT 2.910.858,10 45,99 2.296.339,04 47,25 2.374.631,72 45,70 2.510.810,16 45,42 2.733.153,03 46,43 2. Konsum Lembaga Nirlaba
17.792,38 0,39 19.678,77 0,40 20.997,37 0,40 23.688,88 0,43 25.239,80 0.43
3. Konsum Pemerintah 240.894,00 5,30 254.018,85 5,23 277.388,29 5,34 287.412,57 5,20 309.979,58 5,27
4. Pembentukan Modal Dom Bruto
696.279,09 15,31 1.078.620,19 22,19 1.308.633,58 25,18 1.460.369,85 26,42 1.642.728,51 27.91
5. Perubahan Stok 12.426,75 0,27 13.743,72 0,28 16.046,64 0,31 19.440,82 0,35 20.848,92 0.35
6. Ekspor 6.414.101,31 141,01 6.781.053,95 139,52 8.204.318,14 157,89 8.822.993,24
159,60
9.672.025,16 164,31
7. Impor 5.725.058,99 125,87 6.090.269,34 125,31 7.027.439,58 135,24 8.033.683,19
145,32
9.076.336,29 154,19
PDRB 4.548.555,63 100,00 4.860.131,70 100,00 5.196.125,34 100,00 5.528.320,09 100,00
5.886.369,03
100.00
Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2011.
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan per kapita
Kabupaten Badung tahun 2010 atas dasar harga konstan diikuti dengan
8
meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah tangga tahun 2006 sebesar 45,99
persen meningkat sebesar 46,43 persen tahun 2010. Peningkatan konsumsi rumah
tangga dalam lima tahun terakhir, perubahan perilaku konsumsi secara signifikan
dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan perkapita, kesempatan kerja meningkat
dari sebesar 95,42 persen tahun 2007 menjadi 98,75 persen tahun 2010.
Pertumbuhan ekonomi tumbuh dari sebesar 6,39 persen tahun 2009 menjadi
sebesar 6,48 persen tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan diikuti
oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya berpengaruh secara signifikan
terhadap pendapatan. Engel mengemukakan bahwa semakin tinggi pengeluaran
rumah tangga dapat mengindikasikan semakin sejahtera masyarakatnya.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010 Kabupaten
Badung, antara lain pola konsumsi makanan rata-rata sekitar 40,22 persen dari
total pengeluaran untuk makanan. Selama lima tahun terakhir pola konsumsi
makanan penduduk Kabupaten Badung relatif tidak banyak mengalami
perubahan. Pola konsumsi non makanan antara lain untuk keperluan upacara adat
dan agama tahun 2010 sebesar 5,41 persen turun dari tahun 2006 mencapai 10,61
persen (BPS Kabupaten Badung, 2011). Hasil Susenas 2010 Provinsi Bali,
pengeluaran upacara adat dan agama tahun 2010 sebesar 8,38 persen lebih kecil
jika dibandingkan tahun 2009 sebesar 9,78 persen karena tahun 2009
dilaksanakan Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih Kabupaten
Karangasem (BPS Provinsi Bali, 2010).
Pengeluaran upacara adat dan agama dari tahun 1993-2001 berkisar 4,99
persen sampai 6,18 persen pada waktu yang sama. Pengeluaran ritual termasuk
9
pengeluaran konsumsi masyarakat Hindu di Bali tahun 2002 dengan rasio 10,42
persen dari pendapatan rumah tangga. Jumlah pengeluaran untuk ritual sebanyak
Rp 437,150 ribu per rumah tangga per bulan atau Rp 5,246 juta per tahun, terdiri
atas pengeluaran untuk dewa yadnya dan butha yadnya, namun pengeluaran untuk
rsi yadnya, pitra yadnya, dan manusa yadnya dalam penelitian ini tidak diperoleh
sehingga kecilnya rasio pengeluaran ritual terhadap pendapatan di atas sangat
wajar (Sukarsa, 2005).
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kebahagian Rumah
Tangga Indonesia menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan
pembangunan dan kinerja pemerintah. Pengukuran keberhasilan IPM adalah dapat
mengakses hasil pembangunan dalam meningkatkan pendapatan atau daya beli,
kesehatan yaitu angka harapan hidup (AHH), dan pendidikan yaitu angka melek
huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah. Perkembangan IPM di Provinsi Bali
terus mengalami peningkatan mencapai peringkat 16 Nasional tahun 2010,
capaian IPM seiring dengan membaiknya perekonomian Bali. Peringkat IPM
Kabupaten Badung menurut Kabupaten/Kota di Bali periode tahun 2006-2010
terus mengalami peningkatan. IPM Kabupaten Badung tahun 2010 pencapaian
pembangunan manusia yaitu angka harapan hidup adalah 71,8 Tahun, angka
melek huruf sebesar 92,92 persen dan rata-rata lama sekolah adalah 9,38 tahun
serta kemampuan daya beli sebesar Rp 638,13 ribu (BPS Kabupaten Badung,
2011).
IPM Kabupaten Badung tahun 2010 mencapai 75,02 peringkat 2 setelah
Kota Denpasar peringkat 1 mencapai 77,94 untuk tingkat provinsi sedangkan di
10
tingkat nasional IPM Kabupaten Badung berada peringkat 84. Secara sederhana,
IPM dapat menggambarkan keberhasilan pembangunan pada suatu wilayah secara
spesifik sehingga digunakan sebagai alat ukur kinerja dari pemerintah suatu
wilayah. Kesejahteraan masyarakat penduduk Kabupaten Badung semakin
membaik karena meningkatnya PDRB perkapita dan distribusi pendapatan
semakin baik atau semakin merata dengan keberhasilan IPM Kabupaten Badung
(BPS Kabupaten Badung, 2011).
Upacara (ritual) yadnya adalah pengorbanan suci yang tulus iklas
berdasarkan kepercayaan dan keyakinan, dimana spirit yadnya melandasi setiap
pikiran, perkataan dan perbuatan masyarakat umat Hindu di Bali. Yadnya
merupakan aktivitas bersama, bukan aktivitas personal secara material, sehingga
yadnya menjadi sumber kehidupan sosial yang harmonis. Jadi pada tatanan sosial,
yadnya merupakan sebuah ritualisasi kehidupan masyarakat. Manusia beryadnya
sebagai upaya untuk membayar hutang kepada Hyang Widhi dan sekaligus untuk
mengungkapkan rasa syukur kepada Hyang Widhi. Kitab Bhagavadgita, IX: 22
bahwa Yadnya yaitu:
”Mereka yang memuja aku sendiri, merenungkan aku senantiasa, kepada mereka aku bawakan apa yang mereka perlukan dan aku lindungi apa yang mereka miliki”. Ketika melaksanakan sesuatu ritual kepada Hyang Widhi maka Hyang Widhi akan memberikan segala apa yang diinginkan oleh manusia dan sekaligus melindungi apa yang dimilikinya. Hubungan timbal balik dalam bentuk ”take and give” antara Hyang Widhi dengan
umat-Nya menyatunya lingga dan yoni (Wiyana, 2012).
Titib (2001) kepercayaan umat Hindu di Bali, melaksanakan ritual
menunjukkan rasa bhakti (syukur) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
11
(Tuhan yang Maha Esa). Sesuai perkembangan sosio-kultural yang terjadi pada
masyarakat sekitarnya, maka ritual dilakukan dengan membuat banten yang
terdiri atas buah-buahan, kue, janur, dan bunga. Bahan-bahan tersebut
ditempatkan pada sebuah tempat yang khusus, dan harus terjaga kesuciannya.
Kearifan lokal dalam organisasi adat istiadat merupakan keunikan lokal berbasis
konsepsi Tri Hita Karana dan mendapat apresiasi universal. Esensi kearifan lokal
adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa relegiusitas,
subyektivitas manusia dan konstruksi penalaran yang berempati pada
persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagadhita
berkelanjutan.
Sementara, Sukarsa (2005) menyatakan pendapatan untuk pemenuhan
dharma termasuk pengeluaran ritual sepertiga atau 33,3 persen, karena
pendapatan untuk tujuan hidup (moksha) melalui dharma, artha, dan kama.
Sisanya sepertiga kedua dikeluarkan untuk artha dan sepertiga yang terakhir
untuk kama seperti makan, pakaian atau kebutuhan lain. Selanjutnya, Kiriana
(2008) mengatakan yadnya merupakan kewajiban bagi umat Hindu untuk
melaksanakannya, didasari keyakinan alam semesta beserta isinya diciptakan
melalui yadnya.
Esensi pelaksanaan ritual adalah persembahan suci yang tulus iklas
berdasarkan kepercayaan dan keyakinan turun temurun kewajiban membayar
hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, Pitra Rna) (Wijayananda, 2004).
Persembahan suci yang tulus iklas yang dilakukan dalam kehidupan ini bukan saja
dilihat sebagai kewajiban membayar hutang Tri Rna, namun memiliki makna dari
12
hukum Karmaphala. Agama Hindu mengajarkan bahwa perbuatan yang baik akan
membuahkan hasil yang baik, sedang perbuatan yang buruk akan menghasilkan
keburukan. Suhardana (2010), Hukum Karmaphala terdiri atas Sancita
Karmaphala yaitu perbuatan masa lalu hasil dinikmati sekarang; Prarabda
Karmaphala yaitu perbuatan hidup sekarang hasil dinikmati sekarang; dan
Kryamana Karmaphala yaitu hasil perbuatan sekarang dinikmati setelah lahir
kembali. Sejalan dengan hasil studi Sumadi (2008), keyakinan merupakan wujud
pengamalan ajaran hukum karma phala bahwa setiap perbuatan akan
membuahkan hasil.
Nilai dasar yang dapat menuntun perjalanan hidup manusia di dunia ini
menurut Suhardana (2010) bahwa konsep Tri Kaya Parisuda meliputi manacika
yaitu berpikir yang baik dan suci; wacika yaitu berkata yang baik dan benar; dan
kayika yaitu berbuat yang baik dan jujur. Selanjutnya, konsep Tri Guna meliputi
satwam adalah kebaikan; rajas adalah keangkuhan atau rakus; dan tamas adalah
malas. Menurut Setiawina (2011) ketika konsep Tri Kaya Parisuda dan Tri Guna
dihubungkan menghasilkan sembilan pilar pedoman kehidupan manusia.
Manusia memiliki pemahaman yaitu berpikir yang baik dan suci, berkata yang
baik dan benar, dan berbuat yang baik dan jujur. Selanjutnya sadar atau tidak
sadar manusia cenderung berpikir rakus, berkata angkuh, berbuat angkuh dan
malas berpikir, malas berkata, dan malas berbuat.
Sembilan pilar pedoman kehidupan manusia, Setiawina mengkaitkan
dengan makna hukum Karmaphala yaitu Sancita Karmaphala artinya setiap
manusia menikmati hasil perbuatan masa lalu dengan penuh kesadaran; Prarabda
13
Karmaphala artinya tanpa disadari manusia menikmati hasil perbuatan hidup
sekarang; dan Kryamana Karmaphala artinya setiap manusia tidak akan tahu
kenikmatan yang akan dirasakannya nanti setelah lahir kembali, kecuali
mempunyai keyakinan. Dalam penelitian ini, pelaksanaan ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih yang dilakukan masyarakat Abiansemal ketika dihubungkan
dengan konsep Tri Kaya Parisuda, Tri Guna, dan Karmaphala berarti
pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih mempunyai hubungan terhadap
hukum Karmaphala dari perspektif mana melihatnya.
Ritual Ngenteg Linggih Titib (2012) merupakan ritual mensthanakan
Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada pelinggih bangunan suci
yang dibangun. Ngenteg Linggih mupuk padagingan adalah ritual ngenteg linggih
yang dilaksanakan setiap sepuluh atau tiga puluh tahun sekali, dengan melaksana
ritual menanam padagingan baru untuk merevitalisasi pura yang telah berdiri
puluhan tahun sebelumnya. Setiap bangunan yang baru selesai dibangun oleh
umat Hindu, bangunan pelinggih atau pura selalu dilaksanakan ritual Mlaspas,
bahkan untuk pelinggih atau pura tidak cukup hanya diplaspas saja, masih ada
ritual lanjutan disebut ritual Ngenteg Linggih.
Makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih dalam Agama Hindu
merupakan proses pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap, moral dan perilaku
dalam menata kehidupan menuju kualitas hidup yang lebih sempurna lahir bathin
(Wijayananda, 2005 dan Wikarma, 1999). Terlahirkan suatu kehidupan yang baru,
hidup penuh dengan kebajikan dan rasa cinta kasih diwujudkan dalam Tri-kaya-
parisudda yaitu Manasika, Wacika, dan Kayika merupakan perbuatan yang baik
14
dan suci, benar, dan jujur lebih lanjut menerima dan mensyukuri (Rwa-Bhineda)
dalam kehidupan ini (Ardhana, 2002).
Pada awalnya ritual merupakan salah satu bentuk dari religiositas yang
diidentifikasi, Dhavamony (1995) ada empat macam yaitu: tindakan magis dalam
pelaksanaannya menggunakan bahan-bahan yang diyakini memiliki kekuatan
mistis; tindakan religius kultus para leluhur; ritual konstitutif yang
mengungkapkan hubungan sosial dengan melaksanakan upacara-upacara yang
berkaitan dengan siklus kehidupan; dan ritual faktitif yang bertujuan untuk
mendapatkan perlindungan dan kekuatan salah satunya adalah kesejahteraan
materi. Ritual yang dilaksanakan oleh umat Hindu tentu saja tidak dapat secara
tegas digolongkan ke dalam pembagian-pembagian yang tersebut di atas, karena
ritual Hindu merupakan salah satu dari tiga cara untuk mengekspresikan
kesujudan umat terhadap Tuhan-Nya.
Selama setahun ada 420 hari terdapat 108 hari untuk ritual dewa yadnya
secara rutin yaitu purnama-tilem, kajeng-klion, tumpek, galungan kuningan, nyepi
kalau ditambah dengan ritual tidak rutin seperti mlaspas dan ngenteg linggih,
peringatan hari lahir (piodalan), manusa yadnya, rsi yadnya, dan pitra yadnya
maka waktu dan biaya yang diperlukan akan bertambah banyak (Sudharta, 2003;
Purwita,1992; Rawi, 2010).
Pengeluaran pelaksanaan ritual bagi masyarakat merupakan salah satu
pencerminan pemahaman agama. Pemahaman Agama Hindu dapat dilakukan
melalui tiga pendekatan Triguna (1994) dengan memahami filosofi agama
(tattwa), cara melakukan upacara ritual dalam bentuk yadnya (upakara), dan
15
melalui pelaksanaan beretika dalam kehidupan masyarakat (susila).
Sesungguhnya pelaksanaan ritual hendaknya dilandasi dengan tulus iklas dan hati
yang suci atau sraddha bakthi, lascarya dan sastra agama. Kualitas yadnya dalam
pelaksanaan ritual bukanlah diukur dari besar, lama dan megahnya ritual itu
sendiri Wijayananda (2005) mengatakan Satwika Yadnya merupakan ritual yang
dilaksanakan berdasarkan kepercayaan, keyakinan, dan pemahaman tattwa, susila
dan upacara maka kewajiban membayar hutang Tri Rna dilandasi korban suci
tulusikhlas (lascaryaning manah) berpedoman pada sastra agama. Menurut Kitab
Suci Bhagavadgita, IX: 26, menyebutkan:
”Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmana”. Artinya siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima (Pradnya, 2010).
Tujuan agama adalah moksartham jagadhita ya ca hiti dharma. Triguna
(1994) yang artinya mencapai moksa dengan terwujudnya kesejahteraan lahir
bathin, kebahagian dan keharmonisan di dunia yang diperoleh melalui jalan
dharma, terakhir ritual yang dilaksanakan dapat menimbulkan ikatan emosional
religius. Smith (1759) The Theory of Moral Sentiments bahwa agama memberi
semangat spiritual yang tinggi pada ilmu ekonomi dan pesan yang terkandung
(moralitas, religious value, sosial walfare, public needs dan solidarity), budaya
religi yaitu pengejawantahan nilai-nilai ajaran agama dipedomani sebagai suluh
dan jalan duniawi (Skousen, 2006).
Setiap kali pelaksanaan ritual menimbulkan pengeluaran konsumsi ritual
baik secara kuantitas maupun kualitas. Diduga pengeluaran konsumsi ritual ini
16
telah bergeser menjadi konsumsi sekunder dan ada kecenderungan bergeser ke
arah primer untuk masyarakat Hindu di Bali sebagai dampak perubahan aspek-
aspek kehidupan masyarakat umat Hindu. Beberapa hasil studi telah terbukti
bahwa pengeluaran konsumsi mempunyai gerak yang searah (slope yang positif)
dengan pendapatan. Konsep Keynes, kecenderungan di negara-negara kaya
pendapatan lebih banyak di tabung daripada dikonsumsi sebaliknya
kecenderungan di negara-negara miskin pendapatan lebih banyak dikonsumsi
daripada ditabung maka semakin kaya suatu keluarga nilai dan arah tersebut
semakin kecil. Bedanya pola pengeluaran konsumsi dalam penelitian ini
mengikuti teori klasik dan neoklasik.
Teori Klasik Keynes (1936) mengatakan bahwa pengeluaran konsumsi
selalu dihubungkan dengan pendapatan artinya pengeluaran konsumsi meningkat
ketika pendapatan naik. Perilaku konsumsi masyarakat dapat dilihat dari pola
pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dari waktu ke
waktu, biasanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, selera, dan lingkungan.
(Mankiw, 2007). Pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik, telah
dibuktikan hasil penelitian (Yan Wang, 1995 di China; Engel, 1957 di Malaysia
Barat; Narayan et al., 1999 di Tanzania; Malucio et al.,1999 di Afrika Selatan;
Tridimas, 1988 di Yunani; Hermanto et al. ,1986 di Indonesia; Sigit, 1985 di
Indonesia; Sutomo, 1989 di Indonesia; Van de Walle ,1988 di Indonesia; Syukur,
2000 di Indonesia; Pemberton, 1997; Suriastini, 2010 di Bali; dan Sukarsa, 2005
di Bali).
17
Pemahaman agama seseorang, seperti misalnya penguasaan tentang
filsafat agama akan mempengaruhi besar kecilnya tingkatan ritual yang
diselenggarakan. Tingkatan ritual dalam Agama Hindu ada tiga tingkat Surayin
(2002), tingkat besar (utama), tingkat menengah (madya), dan tingkat kecil (nista
masing-masing tingkat dibagi tiga tingkat menjadi sembilan tingkat. Di samping
itu, besar kecil ritual yang dilaksanakan masyarakat berdasarkan prinsip Desa,
Kala, Patra. Desa bermakna tempat sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada
daerah tertentu. Kala berarti waktu, artinya kapan ritual itu dilaksanakan pada
waktu yang tepat atau hari baik secara sekala niskala. Patra berarti ritual yang
dilaksanakan tersebut layak/patut atau tidak layak bagi seseorang terutama dari
segi kedudukan sosialnya (Zoetmulder, 2000).
Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973), studi tentang agama
menganalisis makna dalam simbol-simbol agama dan hubungannya dengan
struktur masyarakat dan psikologi individu (Pals, 2001). Pelaksanaan ritual dan
kesempatan kerja mendukung konsep Max Weber (1930), bukunya The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Bourdieu (1977) konsep Social
Capital, aktivitas agama mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lain.
Fenomena tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Durkheim (2003)
dan Turner et al. (1966) bahwa dalam kehidupan beragama terjadi integritas
sosial. Kehidupan sosial beragama masyarakat pengempon pura di Desa
Abiansemal dalam melakukan aktivitas ritual dapat saling berinteraksi maka
menimbulkan integritas sosial.
18
Aktivitas agama dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas
lainnya yaitu kesempatan kerja mendukung hasil penelitian (Choi, 2004 di Los
Angeles Amerika; Ellison et al., 1994 di Amerika; Lochart, 2005; Wijaya, 2012
di Bali; Puspa, 2010 di Bali). Hubungan aktivitas agama dengan kesejahteraan
masyarakat hasil penelitian (Goody, 1961; Wijaya, 2012 di Bali; Grootaert, 1998;
Bronsteen et al., 2009; Qomariah, 2009 di Jawa Timur).
Kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan
ketersedianya pekerjaan atau lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari
kerja. Rahardja (2008) permintaan tenaga kerja dalam teori ekonomi mikro dapat
diartikan sebagai kesempatan kerja, hasil penelitian (Sulistyaningsih, 1997 di
Indonesia; Syaukani et al., 2002; Soepono, 1993, 2001 di Provinsi Yogyakarta
dan di Kabupaten Badung; Purwanti, 2009 di Kabupaten Bangli; Udjianto, 2007
di Yogyakarta; Zam, 2002 di Kota Pekanbaru Riau; Ferlini, 2011 di Sumatera
Barat). Terjadinya multiplier effect adalah apabila pengeluaran konsumsi semakin
besar mengakibatkan tambahan pendapatan masyarakat yang lebih besar dalam
kegiatan ekonomi, hasil penelitian (Horváth et al., 1999 di Washington DC;
Syahza, 2004 di Kota Pekanbaru Riau; Wijaya, 1991 di Indonesia).
Intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali mengakibatkan terjadi
transaksional bahan-bahan ritual dan mampu memperluas kesempatan kerja
sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi Bali yang berbasis ekonomi spiritual.
Perkembangan sektor industri pariwisata di Bali sangat dirasakan dampak positif
dengan pendapatan masyarakat yang meningkat, kecenderungan umat Hindu
melaksanakan ritual lebih semarak dan jor-joran.
19
Fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat umat Hindu
bahwa pelaksanaan ritual Agama Hindu di satu sisi cenderung menghabiskan
biaya besar dan waktu yang tidak sedikit (komersialisasi). Agama Hindu identik
dengan beban, rumit, susah dan memberatkan umat (Yupardhi, 2012). Secara
empiris umat Hindu banyak waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan dalam
melaksanakan upacara adat dan agama yang kadang-kadang tidak dimengerti
(Suardika, 2006). Kehidupan masyarakat umat Hindu di Bali sekarang, ini bukan
bentuk dari tradisi nak mula keto (gugon tuwon). Ini adalah mitos baru dalam
kehidupan Hindu Bali modern, di sisi lain kekawatiran umat Hindu akan
lunturnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pengaruh modernisasi di tengah-tengah
gerusan globalisasi.
Untuk memberikan jawaban yang mengkanter fenomena yang
berkembang di masyarakat saat ini, maka layak dilakukan penelitian studi kasus
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan
Abiansemal Kabupaten Badung, dengan pertimbangan kuatnya tradisi gotong
royong yaitu konsep ngayah, menyamabraya, ngoopin, metetulung dalam
aktivitas adat istiadat dan Agama Hindu. Dalam rangka pelaksanaan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, tanggal 20 April 2012.
berdasarkan hasil musyawarah seluruh pengempon pura bahwa tingkatan ritual
yang digunakan adalah Madyaning Utama artinya tingkatan ritual menengah
tetapi yang besar sesuai kerangka dasar Agama Hindu (tattwa, susila, upacara,
sebagai Yajamana karya Ida Pedanda Geriya Agung Desa Abiansemal dan
Prawartaka karya atau manggalaning karya.
20
Sarana prasaran upakara dibuat secara gotong royong oleh 108 kepala
keluarga (KK) sebagai pengempon pura, hal ini dianggap lebih efisien ketimbang
membeli karena bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih sebagian besar
tersedia di sekitar Abiansemal dan hanya sebagian kecil dipasok dari luar daerah
Bali. Tingginya permintaan bahan-bahan ritual dapat menciptakan kesempatan
kerja dan menghasilkan multiplier effect serta dapat meningkatkan tambahan
pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pemasok bahan ritual maka dapat
meningkatkan perekonomian regional Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya.
Proses pembuatan sarana ritual memerlukan curahan waktu kerja yang
tinggi dan tenaga kerja cukup banyak baik tenaga kerja laki-laki maupun
perempuan dengan tingkat mobilitas tenaga kerja cukup tinggi perlu
mensinergikan sistem manajemen tradisional dengan manajemen modern untuk
efektif dan efisiennya pekerjaan. Manajemen modern Terry (1986) yaitu
perencanaan (planning), organisasi (organizing), pelaksanaan (actuating), dan
pengawasan (controlling) (Saragih, 1982; Mannulang, 2001). Dalam penelitian
ini, masyarakat pengempon pura mensinergikan manajemen tradisional dengan
manajemen modern, dalam menyusun panitia (manggalaning karya atau
prawartaka karya) dan jadwal acara (dodunan karya) secara sekala niskala, mulai
persiapan, pelaksanaan, pengawasan dan melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan ritual. Seluruh rangkaian ritual ini mulai 25 Pebruari hingga 27 April
2012 (selama 63 hari). Total biaya pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal adalah sebesar Rp188,568 juta.
Sumber dana dari iuran pura (ayah-ayahan) masing-masing KK pengempon pura
21
sebesar Rp 2 juta rupiah dan sumbangan (punia) baik dalam bentuk uang maupun
material (Bendahara Karya, 2012).
Setelah dipahami uraian latar belakang masalah tersebut dan selama ini
belum ada penelitian tentang “Kontribusi Pelaksanaan Ritual Terhadap
Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal
Kabupaten Badung”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan judul penelitian, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut.
1) Bagaimana manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat
pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di
Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung?
2) Berapa besar Multiplier Effect pengeluaran pelaksanaan ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung?
3) Berapa besar tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung?
4) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal?
5) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat
baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal?
22
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini dapat dijelaskan dalam
uraian sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh
masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung.
2) Untuk mengetahui besarnya Multiplier Effect pengeluaran pelaksanaan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal
Kabupaten Badung.
3) Untuk mengetahui tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal
Kabupaten Badung.
4) Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja
pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal.
5) Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan
masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja
pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini meliputi manfaat secara
teoritis dan secara praktis sebagai berikut.
1) Secara Teoritis, yaitu untuk membuktikan Teori Konsumsi Keynes (1936),
konsep Max Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), Teori Religiusitas
Clifford Geertz (1973) dan konsep Multiplier Effect, dengan demikian dapat
23
memperkuat hasil penelitian terdahulu tentang hubungan pengeluaran
konsumsi dengan pendapatan, hubungan aktivitas agama dengan ekonomi,
dan besarnya pengeluaran konsumsi mempengaruhi Multiplier Effect.
2) Secara Praktis
a) Pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali memiliki Multiplier Effect dalam
ekonomi regional melalui peningkatan kesempatan kerja dan sebagai
stimulus pertumbuhan ekonomi Abiansemal khususnya, dan Bali
umumnya.
b) Masyarakat sekitar Abiansemal perlu mengembangkan bahan-bahan ritual
utama yang dibutuhkan secara berkelanjutan dalam upaya mengurangi
impor bahan ritual.
c) Masyarakat umat Hindu mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal di
tengah-tengah gempuran modernisasi dan aktivitas Agama Hindu bisa
dijadwalkan sesuai manajemen modern agar semua terakomodasi secara
baik atau menerapkan manajemen waktu.
d) Sebagai referensi dan pedoman bagi umat Hindu untuk mampu
memprediksi pengeluaran ritual dengan model yang sama.
24
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan acuan Teori Konsumsi The General Theory
dari John Maynard Keynes (1936) sebagai teori utama (Grand Theory) dan di
dukung oleh konsep Max Weber (1930) bukunya The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism, Pierre Bourdieu (1977) konsep Social Capital, dan Teori
Religiusitas Clifford Geertz (1973) sebagai Middle Range Theory serta beberapa
teori sebagai application theory, yaitu konsep Multiplier Effect Keynes, konsep
kesempatan kerja dan konsep kesejahteraan, teori tersebut selanjutnya diuraikan
sebagai berikut.
2.1 Teori Konsumsi Keynes
Teori Konsumsi Keynes (1936) sebagai teori utama (Grand Theory)
dalam The General Theory menggambarkan bahwa análisis pengeluaran konsumsi
selalu dihubungkan dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat
ketika pendapatan naik. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun
akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan pendapatan yang
dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan pendapatan yang dibelanjakan
untuk bukan makanan. Hubungan pengeluaran konsumsi dengan berbagai
pendapatan digambarkan dalam ekonomi makro adalah fungsi konsumsi. Fungsi
konsumsi menunjukkan hubungan antara tingkat pengeluaran konsumsi dengan
tingkat pendapatan pribadi yang siap dibelanjakan. Konsep Keynes ini didasarkan
hipotesis bahwa ada hubungan empiris yang stabil antara konsumsi dengan
25
pendapatan. Secara nasional konsumsi merupakan komponen dari pendapatan
nasional. Rumusan pendapatan nasional menurut Samuelson (2004):
GNP = C + I + G + NX.............................................................................. (2.1)
dimana, GNP (Gross National Product) adalah pendapatan, C adalah konsumsi, I
adalah investasi, G adalah pengeluaran pemerintah, dan NX menunjukkan ekspor
netto (Mankiw, 2007; Gordon, 2000; Sukirno, 2008).
Perhitungan pendapatan nasional menurut Lindauer (1971) terdapat
beberapa perkiraan yang tidak termasuk di dalamnya antara lain nilai pekerjaan
rumah tangga yang dikerjakan sendiri, pembayaran tunjangan bagi penganggur,
pensiunan, orang jompo, kegiatan ilegal atau perjudian, dan pembayaran retribusi
pada negara. Bagi masyarakat (Hindu) di Bali yang taat melaksanakan ajaran
agama mempunyai hubungan negatif terhadap kegiatan yang bersifat negatif
sesuai dengan pendapat Lindauer bahwa hasil kegiatan ilegal tidak dimasukkan ke
dalam pendapatan keluarga. Namun kecendrungan dewasa ini banyak negara yang
telah mengubahnya menjadi kegiatan yang legal menurut Suroso (1992)
sebagaimana dikutip oleh Karim (2002).
Dari aspek pendapatan nasional dapat dirumuskan (Gordon, 2000):
GNP = C + S + T + (X – M) .............................................................................(2.2)
dimana, GNP (Gross National Product) adalah pendapatan, C adalah konsumsi, S
adalah tabungan, T adalah pajak, dan X-M menunjukkan ekspor dikurangi impor.
Khusus pengeluaran konsumsi dibedakan menjadi pengeluaran konsumsi rumah
tangga (C) dan pengeluaran pemerintah (G). Keynes menggambarkan hubungan
26
pola pengeluaran konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan. Hal ini
dinyatakan dengan persamaan:
Fungsi konsumsi: C = Ca + b. Y....................................................................... (2.3)
dimana, C adalah konsumsi masyarakat riil, Ca adalah konsumsi rumah tangga
ketika pendapatan keluarga nol (Y = 0), b adalah hasrat konsumsi marginal, dan Y
adalah pendapatan nasional riil. Keseimbangan makroekonomi secara tidak
langsung memberikan gambaran mengenai kesempatan kerja dan pengangguran
yang terwujud dalam perekonomian. Teori klasik berkeyakinan perekonomian
selalu mencapai kesempatan kerja penuh (Lindauer, 1971; Mangkusubroto, 1998;
Sukirno, 2008).
Hipotesis yang mempengaruhi konsumsi dikemukakan oleh beberapa
peneliti seperti, James Duesenberry (1949), Milton Friedman (1957), Franco
Modligiani (1963) dalam (Denburg, 1976). Menurut Keynes, pengeluaran
konsumsi riil yang dilakukan oleh sektor rumah tangga ditentukan terutama oleh
besarnya pendapatan riil keluarga tersebut. Sisa pendapatan keluarga yang tidak
dikonsumsi merupakan tabungan. Selain faktor utama tadi, ada juga faktor
demografis, jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, kekayaan, status
sosial, dan faktor lainnya yang menentukan komposisi dan perilaku pengeluaran
konsumsi.
Keadaan ekonomi keluarga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor antara
lain pertama, jumlah kekayaan yang dimiliki, keluarga yang mempunyai
kekayaan lebih banyak cenderung melakukan konsumsi lebih banyak
dibandingkan dengan keluarga yang tidak mempunyai kekayaan walaupun
27
mempunyai pendapatan yang sama. Jumlah kekayaan ini termasuk juga jaminan
hari tua seperti asuransi, tabungan atau bunga deposito, dan pendapatan dari
saham. Kedua, seseorang akan mengeluarkan pendapatan untuk konsumsi dari
pendapatan rata-rata yang akan diperoleh pada masa datang dibandingkan dengan
pendapatan yang diterima saat ini (Denburg, 1976).
Berdasarkan konsep pendapatan yang berkembang saat ini untuk tujuan
pengeluaran konsumsi dengan berbagai hipotesis berikut.
1). Hipotesis pendapatan absolut (Absolut Income).
Konsep ini pertama kali diciptakan oleh John Maynard Keynes (1936)
mengatakan jumlah pengeluaran konsumsi perlu memperhatikan variabel
kemakmuran, tingkat bunga, dan distribusi pendapatannya (Denburg, 1976).
Pengeluaran konsumsi lebih banyak dikeluarkan oleh seseorang yang
mempunyai kekayaan bersih lebih banyak walaupun jumlah pendapatannya
sama. Kekayaan bersih adalah selisih antara semua kekayaan yang dimiliki
dikurangi utang atau kewajiban yang harus dibayar. Peranan suku bunga
terhadap pengeluaran konsumsi secara teori menunjukkan bahwa naiknya
suku bunga akan mendorong konsumen untuk menambah pengeluaran
konsumsi yang ada sekarang sampai pada tingkat pendapatan yang lebih baik
untuk menambah tabungannya. Hal ini bertujuan untuk persiapan setelah
pensiun atau membiayai orang tua di kemudian hari. Jadi tidak semua
masyarakat akan menambah tabungan walaupun ada kenaikan tingkat suku
bunga.
28
Keynes mengatakan bahwa kecenderungan konsumsi marginal
(Marginal Propensity to Consume/MPC) kelompok masyarakat kaya lebih
rendah daripada masyarakat miskin sebaliknya kecenderungan menabung
marginal (Marginal Propensity to saving/MPS) kelompok masyarakat miskin
lebih kecil daripada masyarakat kaya. Pengeluaran konsumsi akan meningkat
jika dilakukan distribusi pendapatan dari kelompok masyarakat kaya ke
kelompok masyarakat miskin sebanyak selisih kecenderungan konsumsi
marginal dikalikan dengan nilai distribusi pendapatan.
Menurut Keynes, terdapat hubungan antara pengeluaran konsumsi dan
pendapatan nasional dimana pengeluaran konsumsi dan pendapatan nasional
dinyatakan dalam tingkat harga konstan. Pendapatan nasional yang terjadi
saat ini, bukan pendapatan nasional yang lalu ataupun yang diramalkan
(Mankiw, 2007). Dalam bentuk grafis, fungsi konsumsi Keynes, seperti pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Kurve Teori Konsumsi Keynes Sumber: Mankiw, 2007
Y=Y
Pendapatan (Y)
C
O
Co
Konsumsi (C)
29
Berdasarkan Gambar 2.1 kurve konsumsi berbentuk garis lengkung
dan memotong sumbu vertikal. Apabila menggambarkan kurve konsumsi
berbentuk garis lurus, hal ini hanyalah untuk menyederhanakan saja.
Berpotongan dengan sumbu vertikal berarti bahwa nilainya pasti positif dan
dalam bentuk persamaan perpotongan ini disimbolkan dengan Co. Konsep ini
memperkuat hasil penelitian (Sigit, 1985; Hermanto, 1986; Syukur, 2002;
Malucio et al.,1999; Sukarsa, 2005; dan Wijaya, 2012) bahwa pengeluaran
konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan.
2) Hipotesis Pendapatan Permanen (Permanent Income Hypothesis)
Teori konsumsi hipotesis pendapatan permanen yang dikembangkan
oleh Milton Friedman (1957) dalam bukunya A Theory of Consumption
Function, mengatakan pendapatan dibagi dua jenis, yaitu: pendapatan
permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory
income). Pendapatan permanen merupakan bentuk pendapatan yang diterima
secara periodik dan jumlahnya dapat diperkirakan sebelumnya, misalnya
pendapatan gaji. Pendapatan sementara merupakan bentuk pendapatan yang
tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Pendapatan sementara ini dapat
berbentuk tambahan (bonus dan menang lotre) ataupun berbentuk
pengurangan, misalnya biaya pengobatan sakit yang tiba-tiba pada
pendapatan permanen. Pengeluaran konsumsi seseorang dipengaruhi oleh
pendapatan permanen secara proporsional. Apabila terjadi kenaikan
pendapatan sementara yang positif (positive transitory income), maka
pengeluaran konsumsinya juga akan mengalami kenaikan, begitu pula
sebaliknya.
30
Friedman menjelaskan teori hipotesis pendapatan permanen tadi
memulai dari anggapan bahwa konsumen bersikap ekspektasi rasional sesuai
pendapat Hall dalam mengalokasikan pendapatan yang diperoleh semasa
hidupnya diantara kurun waktu yang dihadapinya serta menghendaki pola
konsumsi yang kurang lebih merata dari waktu ke waktu. Menurut teori ini,
konsumsi permanen konsumen mempunyai hubungan yang positif dan
proporsional dengan pendapatannya. Dalam bentuk persamaan dapat
dituliskan:
Cp = k Yp
dimana, Cp adalah konsumsi permanen; Yp adalah pendapatan permanen;
k adalah angka konstan. k atau angka konstan menunjukkan bagian atau
proporsi pendapatan permanen yang dikonsumsi yang nilainya antara nol
sampai satu (0 < k < 1). Nilai k ini relatif stabil dan merupakan fungsi dari
suku bunga (r), selera konsumen (u), dan rasio antara kekayaan menusiawi
dan kekayaan non manusiawi (w), hubungan ini dapat dituliskan berikut: k =
f (r, u, w) fungsi utilitasnya homothetic sehingga rumah tangga akan memilih
konsumsi optimal yang sebanding dengan umur teknis dan sumber-sumber
yang dimiliki.
Konsep ini memperkuat hasil penelitian Yan Wang (1995)
masyarakat China menunjukkan pendapatan permanen sangat tergantung
pada (gaji dan bonus), pendapatan tidak rutin (hadiah dan tunjangan), dan
faktor-faktor lain seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pengalaman pekerjaan
diukur umur, status pekerjaan, dan domisili kepala keluarga. Kesimpulan Yan
Wang bahwa masyarakat China pendapatan permanen dibentuk oleh variabel
diatas sehingga kemakmuran yang dicapai melalui pendapatan permanen.
31
Selanjutnya, memperkuat hasil penelitisan Hatzinikolaou (1999)
melakukan estimasi pengeluaran agregat konsumen dari pendapatan sekarang
sesuai dengan permanent-income di Yunani. Hatzinikolaou berkesimpulan
bahwa pajak yang semakin rendah dikenakan kepada konsumen, akan lebih
banyak menstimulasi konsumen dibandingkan jika dikenakan pajak lebih
tinggi. Permanent-income hypothesis sering dipakai dalam membuat
kebijakan ekonomi makro. Konsep ini juga menguatkan hasil penelitian
Davies et al. (2000) yang mengatakan pajak konsumsi lebih baik dikenakan
dibandingkan dengan pajak pendapatan para pekerja terutama untuk
konsumsi barang-barang publik, seperti pendidikan. Sebagaimana juga hasil
penelitian (Pecarino, 1993; Lukas, 1990) mempunyai kesimpulan yang sama
walaupun memakai modelnya sendiri, yaitu pajak konsumsi lebih baik
daripada pajak-pajak pendapatan atas modal.
3) Hipotesis Pendapatan Relatif (The Relative Income)
Teori hipotesis pendapatan relatif dikemukakan pertama kali oleh
Duesenberry (1949) seorang ekonom Amerika dalam bukunya Income,
Saving and Theory of consumer Behavior. Menurut teori ini, pola konsumsi
seseorang ditentukan terutama oleh pendapatan tertinggi yang pernah
dicapainya. Apabila pendapatan berkurang pada periode tertentu, konsumen
tidak akan banyak mengurangi pengeluaran konsumsi, untuk menutupnya,
mereka mengurangi tabungannya.
Dalam jangka panjang konsumsi berubah secara proporsional dengan
pendapatan, akan tetapi dalam jangka pendek konsumsi berubah dalam
proporsi yang lebih kecil dari perubahan pendapatan. Selain tingkat
pendapatan, kondisi lingkungan disekitar tempat tinggal konsumen juga
32
mempengaruhi pola konsumsi seorang konsumen. Seseorang akan selalu
berusaha hidup seperti tetangganya, maka ketika pendapatan turun, maka
tidak akan menurunkan konsumsinya seperti apabila pendapatannya naik,
tetapi akan mempertahankan tingkat konsumsinya tidak terlalu jauh dengan
tingkat konsumsi tertinggi yang pernah dicapainya.
Pola konsumsi jangka pendek akan menunjukkan hubungan tingkat
konsumsi dan pendapatan, tetapi dalam jangka panjang konsumsi akan
berubah secara proporsional dengan perubahan pendapatan. Bila kurve
konsumsi jangka pendek digambarkan bersamaan dengan kurve konsumsi
jangka panjang, bentuknya akan menyerupai gergaji. Teori Duesenberry
tentang efek lingkungan tempat tinggal konsumen terhadap pola konsumsi ini
disebut dengan Ratchet Effect atau efek gergaji dan hipotesisinya disebut
dengan hipotesisi pendapatan relatif. Bentuk kurve Duesenberry ini adalah
sebagai pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif Sumber: Mankiw, 2007
C = f (Y)
YB
C
O
YC YA Y
C
B
A
33
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan awal adalah
sebesar OYA kemudian mengalami peningkatan sehingga konsumsi akan
meningkat pula pada proporsi yang sama dari A ke B di sepanjang kurve
konsumsi jangka panjang. Apabila pendapatan turun, konsumen tidak akan
menurunkan konsumsinya melalui fungsi konsumsi jangka panjang ke A,
tetapi penurunannya melalui titik B bila pendapatannya naik lagi, konsumen
tidak akan meningkatkan konsumsinya secara proporsional, tetapi justru
bergerak dari C ke B untuk mengembalikan tabungannya yang diambil
selama pendapatannya turun. Jika pendapatannya masih meningkat, barulah
konsumen akan meningkatkan konsumsinya sebanding dengan meningkatnya
pendapatan. Dengan demikian terjadilah efek gergaji seperti Gambar 2.2
diatas.
Hasil studi Duesenberry, konsumsi tergantung dari penghasilan saat
ini dan penghasilan tertinggi tahun sebelumnya. Perilaku konsumsi seseorang
akan tergantung pula dengan perilaku konsumsi lingkungannya. Pandangan
ini diperkuat oleh J.Tobin melalui pendekatan kebiasaan menabung, yaitu dua
keluarga yang memiliki pendapatan sama akan menabung dalam jumlah yang
berbeda. Keluarga yang merasa kesehatan lebih baik dan kehidupan lebih
terjamin akan cenderung menabung lebih sedikit dibandingkan dengan
keluarga yang tidak memiliki kedua jaminan tersebut (Sukarsa, 2005).
4) Konsep pendapatan siklus hidup (Life Cycle).
Teori konsumsi dengan memperhatikan pola pengeluaran individu selama
hidupnya oleh Albert Ando, Richard Brumberg dan Franco Modligiani (Branson,
34
1979). Teori ini mencoba menjelaskan tentang perilaku konsumsi berdasarkan
pada umur dalam siklus hidupnya. Secara umum, siklus hidup dibagi menjadi tiga
tahapan, yaitu usia 0 – 15 tahun sebagai usia belum produktif, usia 16 – 60 tahun
sebagai usia produktif, dan usia diatas 60 tahun sebagai usia tidak produktif. Pada
usia produktif, pendapatannya akan naik diikuti dengan tabungan untuk
mengantisipasi masa pensiun. Menurut Modligiani (1963), perubahan pendapatan
sepanjang hidup mengikuti perubahan harapan penghasilan di masa depan. Bentuk
kurve siklus hidup sebagaimana terlihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Daur Hidup Sumber: Mankiw, 2007
Berdasarkan Gambar 2.3 terdapat sumbu vertikal menunjukkan
pengeluaran konsumsi (C) dan besarnya pendapatan (Y), sedangkan sumbu
horizontal menunjukkan fungsi dari waktu ke waktu. Y merupakan kurve
pendapatan dan C merupakan kurve konsumsi. Pada siklus I, dimulai dari
C
T O
P B Waktu (t)
M
t
C,Y
II
III I
P
Y b
35
usia nol tahun. Setelah dilahirkan, membutuhkan pengeluaran untuk
konsumsi, seperti untuk susu, pakaian, biaya dokter, dan lain sebagainya.
Disisi lain, ketika pendapatan nol maka pengeluaran lebih besar
daripada pendapatan sehingga terjadi dissaving. Setelah melalui tahap B
dimana orang tersebut sudah memasuki usia produktif dan memasuki fase
angkatan kerja (labour force) sehingga dapat menghasilkan pendapatan. Pada
tahap II, dapat membiayai konsumsinya dan dapat menabung (saving) apabila
pendapatan lebih besar daripada konsumsinya. Seiring dengan waktu, tingkat
pendapatan meningkat sampai dengan puncaknya di titik t dan setelah itu
mengalami penurunan sampai akhirnya mencapai tahap III. Pada tahap III ini,
kembali mengalami dissaving karena memasuki usia nonproduktif.
Dalam analisisnya, teori ini menggunakan asumsi bahwa konsumen
bersikap rasional. Artinya, konsumen berusaha memaksimalkan kepuasan
dari aliran pendapatan yang diterimanya selama fase tertentu dengan batasan
anggaran (budget constraint). Sumber pendapatan menurut Ando-Brumberg
dan Modligiani dibedakan menjadi dua sumber pendapatan, yaitu tenaga kerja
sebagai sumber labour income, dan kekayaan sebagai sumber property
income. Dari dua sumber pendapatan tersebut, dapat dibuat suatu fungsi
konsumsi dalam persamaan.
Ct = c YLt + c At
dimana, C adalah jumlah pengeluaran konsumsi; YL adalah labour income
atau pendapatan dari tenaga kerja; A adalah kekayaan bersih konsumen; c
adalah marginal propensity to consume; t adalah waktu.
36
Konsep ini memperkuat hasil penelitian Pemberton (1997) menemukan
ketidak pastian pendapatan pada masa depan sangat mempengaruhi pilihan
konsumsi. Temuan lain juga ditemukan Pemberton bahwa properties sangat
mempengaruhi pola konsumsi, terutama pada masyarakat miskin. Engel (1957)
dalam Boediono dan McCawley (1984), mengenai pengaruh penghasilan terhadap
konsumsi rumah tangga. Namun konsumsi rumah tangga juga dipengaruhi oleh
beberapa indikator seperti jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin,
domisili, asal usul dan agama dari anggota keluarga, jumlah aktiva lancar yang
dipegang dan harga dari barang-barang (asset). Hasil penelitian Engel di Belgia
temuannya bahwa penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan
berkurang dengan naiknya penghasilan. Penelitian empiris yaitu hubungan
fungsional, bukan antara penghasilan dengan konsumsi (makanan), tetapi juga
untuk barang-barang lain keperluan rumah tangga selain makanan.
Selanjutnya, memperkuat hasil penelitian Malucio et al. (1999)
mengatakan pengaruh modal sosial terhadap pengeluaran rumah tangga di Afrika
Selatan. Menggunakan data panel tahun 1993 dan 1998 untuk instrumen modal
sosial menggunakan beberapa variabel lag modal sosial tahun 1993, rata-rata
pendidikan, umur kepala rumah tangga di kuadratkan dengan jumlah total
kelompok dalam masyarakat. Hasil analisis dengan menggunakan metode OLS
(Ordinary Least Square) dari data tahun terpisah (1993 dan 1998) mereka
menemukan bahwa tahun 1993 modal sosial rumah tangga dan modal sosial
masyarakat tidak berpengaruh positif terhadap pengeluaran rumah tangga.
37
Sebaliknya tahun 1998 bahwa modal sosial rumah tangga meningkat 10 persen
dan masyarakat mampu meningkatkan pengeluaran rumah tangga sebesar 1,2
persen.
Pengeluaran untuk konsumsi barang bertujuan untuk menyediakan
kebutuhan rumah tangga saat ini, sedangkan pengeluaran untuk barang-barang
investasi bertujuan meningkatkan standar hidup untuk tahun-tahun mendatang.
Investasi adalah komponen pendapatan nasional yang mengkaitkan masa kini dan
masa depan. Pengeluaran investasi memainkan peranan penting tidak hanya pada
pertumbuhan jangka panjang namun juga siklus bisnis jangka pendek karena
investasi merupakan unsur pendapatan nasional yang paling sering berubah
(Mankiw, 2007).
Pendapatan keluarga masyarakat umat Hindu dipergunakan untuk
pengeluaran konsumsi umum dan pengeluaran konsumsi untuk yadnya. Yadnya
diartikan sebagai persembahan suci yang tulus iklas. Yadnya yang ditujukan pada
panca yadnya (Puwita, 1992; Pudja, 1999). Dalam penelitian ini, pola
pengeluaran konsumsi ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal
merupakan pengembangan teori konsumsi dapat dirumuskan berikut: C = C1 + C2
dimana C1 merupakan konsumsi umum terdiri atas makanan, minuman, pakaian
dan lain-lain dan C2 adalah pengeluaran konsumsi ritual panca yadnya. Di
samping itu, pola pengeluaran konsumsi ritual dipengaruhi oleh Desa-Kala-Patra,
struktur, dan peraturan berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat umat Hindu
di Desa Adat masing-masing di Bali. Dalam masyarakat Hindu juga dikenal
adanya prinsip perbuatan manusia mengumpulkan kekayaan (artha) hendaknya
38
dikendalikan oleh nafsu (kama) yang berlandaskan kebaikan dan kebenaran
(dharma) untuk mencapai tujan hidup (artha) yaitu menyatu dengan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa (moksha).
2.1.1 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Konsumsi
Adanya anggapan bahwa pengeluaran konsumsi ditentukan oleh
pendapatan hanyalah bersifat untuk menyederhanakan analisis. Dalam
kenyataannya, pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh faktor yang bersifat
ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor yang ikut menentukan besar kecilnya
pengeluaran konsumsi suatu masyarakat berikut.
1) Distribusi pendapatan nasional. Apabila besarnya MPC seluruh
masyarakat sama, maka bagaimanapun distribusi pendapatan tidak akan
berpengaruh terhadap fungsi konsumsi masyarakat tersebut. Dalam
kenyataannya tidak ada satu negarapun di dunia yang distribusi
pendapatannya sama dan marata antar penduduk. Biasanya penduduk
yang berpendapatan tinggi MPC-nya lebih rendah daripada penduduk
yang berpendapatan rendah. Dengan demikian kebijakan pemerintah yang
bertujuan memeratakan distribusi pendapatan akan mengakibatkan
naiknya MPC masyarakat. Bentuk kurve pengaruh pendapatan terhadap
konsumsi, sebagaimana terlihat pada gambar 2.4.
39
Gambar 2.4 Kurve Pengaruh Pendapatan Terhadap Konsumsi Sumber: Suparmono, 2004
Gambar 2.4, C merupakan kurve konsumsi sebelum adanya
kebijakan distribusi pendapatan dan C’ adalah kurve konsumsi setelah
kebijakan distribusi pendapatan. Dengan tingkat pendapatan nasional
sebesar y pengeluaran konsumsi masyarakat sebelum kebijakan distribusi
pendapatan adalah Oc dan setelah kebijakan distribusi pendapatan adalah
Oc’. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memerankan
distribusi pendapatan, dapat dicapai dengan menggunakan sistem pajak
progresif.
2) Jumlah kekayaan masyarakat dalam bentuk alat likuid. Dengan asumsi
tingkat pendapatan sama, semakin banyak alat likuid yang ada dalam
masyarakat, maka semakin besar pengeluaran konsumsi masyarakat
tersebut dibandingkan dengan keadaan masyarakat yang memiliki alat
likuid lebih sedikit.
C’
O
C’
y Y/tahun
C’
c
C
C
C/tahun
40
3) Banyak barang konsumsi tahan lama. Kepemilikan barang-barang tahan
lama (consumers durables) akan mempengaruhi pengeluaran masyarakat
untuk konsumsi. Pengaruh kepemilikan barang tahan lama terhadap
pengeluaran konsumsi adalah mengurangi pengeluaran masyarakat,
menambah pengeluaran masyarakat, dan barang tahan lama biasanya
harganya relatif mahal.
4) Kebijakan finansial perusahaan.
5) Ramalan masyarakat akan perubahan harga di masa datang. Harapan
konsumen mengenai perubahan harga di masa akan datang sangat
berpengaruh dalam pola pengeluaran konsumsi. Apabila konsumen
memperkirakan akan terjadi kenaikan harga di masa yang akan datang,
maka konsumen tersebut akan meningkatkan permintannya atas barang
dan jasa tersebut melebihi yang dibutuhkan walaupun pendapatannya
tetap. Sebaliknya apabila konsumen memperkirakan akan terjadi
penurunan harga di masa datang, maka konsumen tersebut akan menunda
untuk membeli barang dan jasa yang dibutuhkan.
2.1.2 Investasi
Investasi pada dasarnya merupakan pengeluaran perusahaan untuk
penyelenggaraan kegiatannya, yaitu menghasilkan barang dan jasa. Pengeluaran
tersebut dapat berupa pengeluaran untuk pembelian tanah, pembangunan pabrik,
pembelian mesin untuk produksi, dan bentuk pengeluaran lainnya. Secara umum,
investasi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu investasi tetap perusahaan,
perubahan persediaan, dan investasi perumahan. Dalam makro ekonomi yang
41
menentukan tingkat investasi, yaitu tingkat keuntungan yang diramalkan akan
diperoleh suku bunga, ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan,
kemajuan teknologi, tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya,
dan keuntungan yang akan diperoleh perusahaan (Sukirno, 2008).
Teori Pertumbuhan Harrord-Domar dikembangkan oleh dua ekonom
sesudah Keynes yaitu Harrord (1939) dan Domar (1947) dalam Arsyad (2010).
Model ini merupakan konsep tingkat pertumbuhan jangka panjang, yaitu jumlah
jam kerja yang tersedia tumbuh secara mantap dan efisiensi pekerja naik, ini
menunjukkan konsep laju pertumbuhan natural dalam sistem Harrord sebagai
kondisi pertumbuhan seimbang maka output dan kapital harus juga tumbuh
dengan laju pertumbuhan natural yang sama. Salah satu pendorong pertumbuhan
ekonomi adalah adanya iklim investasi yang baik yang ditunjang oleh
produktivitas yang tinggi. Dengan adanya investasi berarti akan menambah
kapasitas input dalam proses produksi hingga pada akhirnya akan menambah
output dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Mengingat pentingnya
investasi maka pemerintah dituntut untuk memiliki daya saing investasi yang
tinggi. Masih rendahnya iklim investasi di Indonesia dibanding negara-negara
tetangga mengharuskan adanya perbaikan iklim investasi. Kewajiban ini bukan
saja menjadi tugas atau tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan
tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat dan pemerintahan secara umum
(Todaro, 2006).
Investasi merupakan komponen kedua dari pembelanjaan agregat,
sifatnya tidak stabil dan menjadi salah satu konjungtur dalam perekonomian. Dari
42
sudut pandang ekonomi makro (dari sisi pengusaha) menurut Samuelson (2004)
apabila suku bunga rendah akan lebih banyak investasi yang dilakukan tetapi
sebaliknya pada tingkat suku bunga tinggi, terjadi pengurangan jumlah investasi.
Investasi adalah pengeluaran-pengeluaran untuk barang-barang modal dalam
perekonomian atau investasi dalam teori ekonomi adalah pengeluaran untuk
meningkatkan kapasitas produksi dalam perekonomian, fluktuasi perekonomian
sering disebabkan oleh fluktuasi investasi.
Fungsi investasi dalam model pertumbuhan adalah kaitannya dengan
konsep multiplier effect dan konsep acceleration. Multiplier effect dalam
kaitannya dengan fungsi investasi bahwa tambahan investasi menghasilkan
tambahan yang lebih besar lagi (tambahan berganda) pada hasil produksi dan
pendapatan. Konsep percepatan (acceleration) pada pokoknya didasarkan stok
modal (tambahan investasi) dikehendaki oleh pengusaha, tergantung tingkat
permintaan terhadap hasil produksinya. Tingkat permintaan agregatif itu
ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional. Investasi neto (tambahan stok
modal) berkaitan dengan kenaikan tingkat pendapatan nasional. Fungsi investasi
dalam perekonomian Arsyad (2010) komponen pengeluaran agregat,
meningkatkan kapasitas berproduksi dimasa yang akan datang dan perkembangan
teknologi untuk meningkatkan produktivitas (Sukirno, 2007). Pengeluaran
investasi tetap bisnis mencakup investasi peralatan produksi dan investasi
residensial (investasi tanah atau rumah dan investasi persediaan). Model investasi
tetap bisnis atau model neoklasik mengkaji manfaat dan biaya investasi, faktor
43
utama yang menentukan investasi secara umum adalah tingkat keuntungan, suku
bunga, ekonomi, teknologi, dan pendapatan nasional.
Pendekatan Harrod Domar, investasi mempunyai peranan penting
dalam proses pertumbuhan ekonomi karena investasi menentukan tingkat
pendapatan secara aktual melalui multiplier effect dan investasi juga menambah
persediaan stok modal di masa datang untuk mencapai tingkat pendapatan secara
maksimal. Menurut Sukirno (2007), Harrod-Domar mengarahkan perhatiannya
pada pertumbuhan produksi dan pendapatan yang dapat mendorong para
investor untuk melakukan investasi yang diperlukan guna menjaga tingkat
ekuilibrium pendapatan pada pekerjaan penuh (full employment), maka
pendapatan maupun output keduanya harus meningkat pada laju pertumbuhan
yang sama pada saat kapasitas produksi meningkat. Tingkat investasi yang
diperlukan tergantung dari ekspektasi para investor tentang laju pertumbuhan
pendapatan di masa datang, yaitu sejauh mana laju pertumbuhan itu dianggap
memadai investasi yang hendak dilaksanakan. Domar memandang pada
pertumbuhan investasi yang lajunya melalui asas multiplier dapat meningkatkan
pendapatan guna mencapai keadaan yang seimbang (Boediono, 1982; Todaro,
2006; Subandi, 2011).
Todaro (2006) pertumbuhan ekonomi Harrod Domar bahwa tingkat
pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) ditentukan secara bersama-sama
oleh ratio saving serta ratio modal-output nasional (k). Dengan persamaan: tingkat
pertumbuhan pendapatan nasional secara ’positif’ berbanding lurus dengan ratio
saving (yakni semakin banyak GDP yang di tabung dan di investasikan, maka
44
pertumbuhan GDP yang dihasilkan lebih besar) dan secara ’negatif’ berbanding
terbalik terhadap ratio modal-output dari suatu perekonomian (yakni semakin
besar ratio modal-output nasional/k, maka tingkat pertumbuhan GDP akan
semakin rendah).
Selanjutnya, semakin banyak yang di tabung (S) dan di investasikan (I),
maka laju pertumbuhan perekonomian akan semakin cepat. Tingkat pertumbuhan
aktual yang dapat dijangkau pada setiap tingkat tabungan dan investasi,
banyaknya tambahan output yang didapat dari tambahan satu unit investasi dapat
diukur dengan kebalikan ratio modal-output k, karena ratio yang sebaliknya yakni
1/k adalah ratio output-modal (ratio output-investasi). Selanjutnya, dengan
mengalikan tingkat investasi baru S = I / Y dengan tingkat produktivitasnya, 1/k
maka akan didapat tingkat pertumbuhan dimana pendapatan nasional atau GDP
akan naik (Todaro, 2006).
Dalam penelitian ini, pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di
Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, menyebabkan adanya transaksional bahan-
bahan ritual. Pelaksanaan ritual menghasilkan multiplier effect melalui
peningkatan konsumsi, peningkatan output, kesempatan kerja, pendapatan tenaga
kerja, dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi regional Bali umumnya dan
Abiansemal khususnya.
2.1.3 Multiplier Effect
Keynes menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah
mendorong adanya kenaikan pendapatan yang lebih besar, yaitu ΔY lebih besar
dari ΔG. Multiplier effect pada pengeluaran pemerintah sebagai rasio antara
45
kenaikan pendapatan dengan kenaikan pengeluaran pemerintah. Keynes
mengatakan bahwa multiplier effect lebih tinggi pada saat masyarakat lebih
banyak mengkonsumsi. Besarnya angka multiplier effect menggambarkan
perbandingan jumlah pertambahan atau pengurangan pendapatan nasional dengan
jumlah pertambahan atau pengurangan pengeluaran agregat yang telah
menimbulkan perubahan pendapatan nasional (Mankiw, 2007; Samuelson, 2004;
Sukirno, 2008).
Proses ini berlangsung terus menerus hingga tidak terjadi kelebihan
pengeluaran agregat, keadaan ini menciptakan tingkat keseimbangan
perekonomian. Untuk mengetahui besarnya pertambahan pendapatan nasional
yang diakibatkan oleh pertambahan sejumlah pengeluaran tertentu. (Samuelson,
2004; Mankiw, 2007) model multiplier effect digunakan persamaan:
ΔY= (ΔC+ΔI+ΔG +ΔX)................................................................................. (2.4)
dimana, ΔY adalah pertambahan pendapatan nasional dari proses multiplier, MPC
(marginal propensity to consume) adalah kecenderungan konsumsi marjinal dan
ΔC, ΔI, ΔG, ΔX (tambahan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan
tambahan ekspor).
Angka multiplier effect (kc) konsumsi adalah perubahan pendapatan
terhadap perubahan konsumsi yang diproksikan dengan perubahan autonomons
consumption/konsumsi ketika pendapatan nol, yang besarnya dengan formula:
kc = =
..............................................................................................(2.5)
(Samuelson, 2004; Mankiw, 2007; Sukirno, 2008)
46
Pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi juga lebih tinggi. Ketika
pengeluaran meningkat maka ada tambahan pendapatan, itu juga meningkatkan
konsumsi, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan kemudian meningkatkan
konsumsi, dan seterusnya. Mankiw dalam model ini kenaikan pengeluaran
menyebabkan kenaikan pendapatan yang lebih besar. Menurut Arsyad (2010)
adalah: k = ( . )
..................................................................... (2.6)
dimana: k adalah kenaikan pendapatan dari suatu kegiatan ekonomi yang baru
didalam masyarakat, MPC1 adalah proporsi pendapatan daerah yang dibelanjakan
di daerah dan PSY adalah bagian dari pengeluaran daerah yang menghasilkan
pendapatan bagi daerah.
Pola Hubungan pengeluaran konsumsi dengan pendapatan atau fungsi
konsumsi Keynes, menunjukkan fungsi konsumsi dengan tiga alasan yang diduga
Keynes. Pertama, kecenderungan mengkonsumsi marjinal (MPC), c adalah antara
nol dan satu, ketika pendapatan naik menyebabkan konsumsi dan tabungan
meningkat. Dengan kata lain MPC sebagai perbandingan diantara pertambahan
konsumsi (ΔC) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan disposibel (ΔY).
Menurut Mankiw (2007) dan Sukirno (2008), dihitung dengan formula:
MPC = ..................................................................................................... (2.7)
Kedua, kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (Average Propensity to
Consume/APC) turun ketika pendapatan naik. Dengan kata lain APC sebagai
perbandingan di antara tingkat konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan
disposebel (Yd). Menurut Mankiw (2007) dan Sukirno (2008), dihitung dengan
formula:
47
APC = .................................................................................................... (2.8)
Ketiga, konsumsi ditentukan oleh pendapatan sekarang (Mankiw, 2007 dan
Sukirno, 2008).
Menurut Keynes adalah fungsi konsumsi jangka pendek, digambarkan
sebagai garis lurus, C menunjukkan perpotongan garis vertikal dan b merupakan
kemiringan fungsi konsumsi. Bahwa fungsi konsumsi ini menunjukkan tiga alasan
Keynes, yaitu pertama, karena MPC, b adalah antara nol dan satu, sehingga
pendapatan tinggi menyebabkan konsumsi dan tabungan tinggi juga. Kedua, APC
adalah AC = = " + b, ketika Y meningkat, " turun dan begitu pula APC =
turun. Ketiga, tingkat bunga tidak dimasukkan dalam persamaan sebagai
determinan konsumsi. Jadi fungsi Konsumsi Keynes (Sukirno, 2008).
C = a + b Yd ............................................................................................... (2.9)
dimana, a adalah konstanta atau autonomous consumption (pengeluaran konsumsi
ketika pendapatan nol atau Yd=0). b adalah MPC (perbandingan atau rasio di
antara pertambahan konsumsi/ΔC dan pertambahan pendapatan disposebel/ΔY),
dan Yd adalah pendapatan dispossable atau pendapatan yang siap dikonsumsi.
Analisis Input-Output (I-O) adalah teknik pengukuran ekonomi daerah
(regional). Teknik ini dikenalkan oleh Leontief (1951) digunakan untuk melihat
keterkaitan (linkages) antar industri untuk permintaan dan penawaran. Multiplier
effect yang mampu dihasilkan oleh suatu sektor terhadap sektor lainnya. Secara
sederhana total output yang dihasilkan oleh setiap sektor produksi merupakan
penjumlahan antara total permintaan (final demand) dan proporsinya untuk
memenuhi kebutuhan sektor produksi lainnya.
48
Konsep ini memperkuat hasil penelitian Horváth et al. (1999) pariwisata
dalam ekonomi regional memiliki multiplier effect melalui peningkatan output,
kesempatan kerja, pendapatan tenaga kerja, dan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi. Begitu pula Leontief (1985) menunjukkan di tingkat nasional, regional
dan metropolitan pariwisata memiliki multiplier effect terhadap peningkatan
output, pendapatan dan kesempatan kerja. Selanjutnya, memperkuat hasil
penelitian Syahza (2004) menunjukkan perkebunan kelapa sawit memiliki
multiplier effect dan meningkatkan kesejahteraan petani. Begitu pula hasil
penelitian Wijaya (1991) pengeluaran pemerintah mempunyai angka pengganda
dan mendorong kenaikan pendapatan dan produksi secara berganda sepanjang
perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh (full
employment).
Dalam penelitian ini, multiplier effect pengeluaran konsumsi ritual dapat
dinyatakan berikut.
1) Perubahan pengeluaran konsumsi ritual (ΔC) dapat menciptakan
kesempatan kerja yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan
pendapatan pemasok bahan ritual (ΔYo) menghasilkan Angka Pengganda
Konsumsi (Consumption multiplier effect). Perubahan pendapatan
pemasok bahan ritual (ΔYo) mengakibatkan perubahan pengeluaran
konsumsi dan saving (ΔCo dan ΔSo). Acceleration terjadi ketika ada
perubahan pengeluaran konsumsi (ΔCo) mengakibatkan perubahan
pengeluaran konsumsi (ΔCl). Lefried effect adalah ΔC hingga ΔCl.
Perubahan pengeluaran konsumsi (ΔCl) dapat menciptakan kesempatan
49
kerja yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan pendapatan (ΔY1)
maka menghasilkan multiplier effect dan seterusnya. Perubahan
pendapatan (ΔY1) mengakibatkan perubahan pengeluaran konsumsi dan
saving (ΔC1 dan ΔS1). Perubahan pendapatan (ΔY1) mengakibatkan
perubahan pengeluaran konsumsi (ΔC1) yang menyebabkan acceleration
dan seterusnya.
2) Konsep multiplier effect pengeluaran ritual adalah:
Pendapatan keseimbangan : Y = − 푏 (푎 + 퐼)
(a) Jika terdapat tambahan pengeluaran ritual sebesar Δa, maka
Y + ΔY = − 푏 (푎 + Δ 푎 + I)
= − 푏 (푎 +I) + − 푏 (Δ 푎)
ΔY = − 푏. Δ 푎
multiplier effect pengeluaran ritual : kc = = − 푏 =
(b) C pengeluaran ritual = yang dalam hal ini =
ΔC pengeluaran ritual = Δ 푎
C = 푎 + bYd Yd = 0 , C = 푎
dimana: 푎 adalah konstanta atau autonomous consumption
(pengeluaran ketika Yd=0), b adalah MPC ( ), dan Yd adalah
pendapatan dispossable atau pendapatan yang siap dikonsumsi,
walaupun masyarakat pengempon pura tidak memiliki pendapatan
namun tetap dapat melaksanakan ritual karena C adalah pengeluaran
ritual yang dilakukan masyarakat pengempon pura secara tulus iklas
50
berdasarkan kepercayaan dan keyakinan (srada bhakti dan
lascarya).
3) Y = C + S
Y = f (C)
ΔY = f (Δa)
dimana: Y adalah pendapatan pemasok bahan-bahan ritual; C adalah
pengeluaran ritual masyarakat pengempon pura; ΔY adalah tambahan
pendapatan pemasok; dan Δa adalah tambahan pengeluaran ritual.
Berdasarkan pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih
maka terjadi perubahan pengeluaran masyarakat pengempon pura (ΔCo)
mengakibatkan perubahan konsumsi (ΔCl) terjadi acceleration untuk
mendorong tumbuhnya kesempatan kerja bagi pemasok bahan ritual
sehingga menghasilkan multiplier effect sebagai akibat adanya
pengeluaran ritual yang lebih besar dapat meningkatnya pendapatan
pemasok bahan ritual, meningkatnya tambahan pendapatan pemasok
dapat mengakibatkan meningkatnya pengeluaran konsumsi pemasok
(ΔC1) dan perubahan saving (ΔS1). Selanjutnya, pengeluaran ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih mengakibatkan meningkatnya pendapatan
pemasok, meningkatnya pendapatan pemasok dapat mengakibatkan
meningkatnya pengeluaran konsumsi pemasok dan sisanya
diinvestasikan atau ditabung.
2.1.4 Harapan dan Persepsi
Teori harapan (expectancy theory), Nelson mengatakan bahwa teori
harapan pada dasarnya memiliki tiga karakteristik, yaitu: persepsi mengarah pada
suatu kinerja; persepsi dihargai berupa gaji atau pujian; nilai diberikan berupa
51
imbalan. Harapan variabel seperti tingkat harga, tingkat bunga, tingkat
pendapatan dan sebagainya. Harapan bisa memainkan peranan penting misalnya
jika pendapatan aktual naik menyebabkan harapan pengeluaran konsumsi
pendapatan naik pula (Setiawina, 2003).
Perilaku yang diharapkan dalam pekerjaan akan meningkat jika
seseorang merasakan adanya hubungan yang positif antara usaha-usaha yang
dilakukannya dengan kinerja. Perilaku-perilaku tersebut selanjutnya meningkat
jika ada hubungan positif antara kinerja yang baik dengan imbalan yang mereka
terima, terutama imbalan yang bernilai bagi dirinya. Harapan-harapan memainkan
peranan ganda yang sangat penting sebagai dasar analisis Keynes yaitu
berubahnya harapan keuntungan investasi pada masa datang.
Motivasi merupakan hasil dari seberapa besar seseorang menginginkan
imbalan. Perkiraan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi yang
diharapkan, perkiraan ketika berprestasi menghasilkan perolehan imbalan atau
instrumentalis. Menurut Hall, kombinasi hipotesis pendapatan permanen dan
ekspektasi rasional menunjukkan bahwa konsumsi mengikuti jalan acak. Artinya
jika hipotesis pendapatan permanen benar dan konsumen mempunyai ekspektasi
rasional maka perubahan pada konsumsi sepanjang waktu yang tidak dapat
diprediksi, ini dikatakan mengikuti jalan acak (Mankiw, 2007).
Terbentuknya persepsi dimulai dengan pengamatan yang melalui proses
hubungan melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, dan menerima sesuatu hal
yang kemudian seseorang menyeleksi, mengorganisasi, dan menginterpretasikan
52
informasi yang diterimanya menjadi suatu gambaran yang berarti. Terjadinya
pengamatan ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lampau dan sikap seseorang
dari individu. Persepsi dapat berubah sesuai dengan perkembangan pengalaman,
perubahan kebutuhan, dan sikap dari seseorang. Vincent mengatakan pengalaman
masa lalu dapat mempengaruhi persepsi seseorang karena manusia biasanya akan
menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan.
Keinginan dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam hal membuat keputusan
Vincent (1997). Manusia cenderung menolak tawaran yang tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Pada umumnya yang mempengaruhi persepsi, Rakhmat et al.
(1999) faktor fungsional diantaranya kebutuhan, pengalaman, motivasi, perhatian,
emosi dan suasana hati, faktor struktural diantaranya intensitas rangsangan,
ukuran rangsangan, perubahan rangsangan dan pertentangan rangsangan, dan
faktor kultural yaitu norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh individu.
Cara pengukuran persepsi, pada dasarnya persepsi dapat diasosiasikan
dengan pendapat, opini atau sikap (attitude). Mar’at (1982) menyatakan persepsi
merupakan aspek kognitif dari sikap, maka untuk mengukur persepsi dapat
digunakan instrumen pengungkapan sikap. Pendekatan untuk mengungkap sikap
yaitu melalui wawancara langsung, observasi dan pernyataan sikap. Persepsi
terhadap suatu objek ada tiga metode, yaitu skala Likert, metode Thurstone dan
skala Guttman. Skala Likert menyajikan alternatif jawaban kepada responden
dalam lima alternatif. Kendati demikian, dalam kenyataannya dapat dimodifikasi
menjadi dua atau tiga pilihan. Masing-masing jawaban memiliki bobot nilai
tertentu sesuai arah penyataan sikap atau persepsi. Sementara itu dalam bentuk
53
Thurstone, responden dituntut untuk memiliki dua atau tiga pernyataan
pendiriannya terhadap butir-butir pernyataan persepsi yang telah disusun menurut
intensitas dari yang paling kuat sampai yang paling rendah atau lemah (Sugiyono,
2010). Konsep ini memperkuat hasil penelitian Guritno et al. (2005) bahwa
persepsi karyawan mengenai perilaku kepemimpinan, kepuasan kerja dan
motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Begitu pula hasil penelitian Zin
et al. (2004) mengatakan persepsi positif terhadap kualitas kerja dan komitmen
organisasi.
2.2 Perkembangan Agama Hindu di Bali
Pencetus pertama agama sebagai ilmu atau science, dalam suatu orasi
ilmiah Max Muller di Royal London Institute pada bulan Februari 1870. Max
Muller (1870) mendapat inspirasi bahwa agama harus dijelaskan tanpa bantuan
wahyu supernatural. Artinya bersifat terbuka seperti aktivitas manusia dan secara
teori dapat menjelaskan mengapa ada, apa tujuannya, dan bagaimana muncul
(Pals, 2001). Kemudian pada pertengahan dasawarsa tahun 1800-an para ahli
mulai memikirkan bahwa metode dan materi tentang agama siap untuk
meninggalkan ketentuan-ketentuan tanpa dasar dan asal mula agama dan
sebaliknya merumuskan secara sistematis yang berdasarkan otoritas ilmu
(science). Semenjak itu mulai diadakan penelusuran agama dari banyak segi,
seperti arkeologi, sejarah, mitologi, etnologi, antropologi, ekonomi. Metodologi
diperlukan guna memaknai hidup beragama suatu masyarakat merupakan hal
penting, bukan saja karena fungsi agama penting bagi kehidupan agama sebagai
sumber daya spiritual, juga karena alasan kognitif dan praktis yaitu pemahaman,
54
penjelasan, memprediksi gejala, dan pemecahan permasalahan sosial (Atmaja,
2002).
Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) dalam Pals (2001) lebih tertarik
mengkaji budaya non barat di Asia Tenggara khususnya di Indonesia (Jawa dan
Bali). Untuk itulah, Geertz bersama istrinya Hildred mengadakan penelitian
lapangan. Salah satu teori Geertz yang dijadikan landasan dalam penelitian ini
adalah teori tentang agama. Religious artinya yang berhubungan dengan agama.
Geertz mengatakan agama dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem simbol yang
berperan; membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan
lama di dalam diri manusia dengan cara; merumuskan konsepsi-konsepsi tatanan
kehidupan yang umum; membungkus konsepsi-konsepsi dengan suatu faktualitas
sehingga; suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik. Berdasarkan
teori Geertz, bahwa agama adalah sebuah sistem budaya dengan segala macam
simbolisme di dalamnya dan dapat membangun suasana hati dan motivasi yang
kuat, pervasif, juga tahan lama. Elemen-elemen agama menurut Geertz adalah
pandangan dunia dan etos terpadukan dalam ritual-ritual agama (Santosa, 2010).
Menurut Triguna (2000) menyatakan simbol adalah merupakan
pemahaman terhadap obyek. Tujuan dan isi dari simbolisme adalah untuk
menyampaikan hakekat dalam bentuk mental kultural dan spiritualisme seperti
misalnya: Arca, gambar, rupa, dan sikap adalah simbol. Bali sebagai pulau tempat
berkembangnya Agama Hindu berdasarkan sejarah Hindu juga berkembangnya
suatu tatanan sosial budaya baru dalam kehidupan beragama di Bali, yang
semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas, perlu diimbangi
55
dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman agama yang dilaksanakan
sesuai adat istiadat, budaya, dan Desa-Kala-Patra atau tempat–waktu–keadaan
(Mantra, 1992). Pandangan Triguna dan Mantra didukung oleh teori Geertz yaitu
terjalinnya tradisi keagamaan muslim, hindia dan animistic penduduk asli
(abangan) melalui simbol, ide, ritual, adat istiadat, kebiasaannya, adanya
pengaruh agama dalam setiap pojok dan celah kehidupan jawa (Pals, 2001).
Perkembangan Agama Hindu di Bali dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi
arkeologi dan sisi sejarah agama. Perbedaan kedua pendekatan ini pada skala
waktu pengamatan obyek perkembangan agama serta pemeluknya. Kedua
pengamatan ini diharapkan diperoleh gambaran terhadap perkembangan Agama
Hindu di Bali. Sisi arkeologi banyak ditemukan pada penggalian di Desa
Sembiran, Bali Utara yaitu terbukti bahwa Bali pada abad satu sesudah Masehi
telah berhubungan dengan pedagang India. Jenis barang yang diperdagangkan
ketika itu berupa tembikar dan tekstil (Ardika, 1997).
Dari sisi sejarah masuknya masyarakat Hindu ke Bali dapat diartikan ke
dalam dua kelompok yaitu kelompok penganut kepercayaan (sekte) dan kasta.
Sekte-sekte di Bali terutama abad sembilan dan sepuluh banyak sekte muncul di
Bali. Secara garis besar semua sekte tersebut dikelompokkan ke dalam penganut
Ciwa dan Budha (Goris, 1986). Jika diteliti lebih dalam, sekte-sekte yang
berkembang di Bali dapat dikelompokkan menjadi sembilan yaitu sekte ciwa-
sidhanta, sekte pacupata, sekte bhairawa, sekte wesnawa, sekte bodha atau
sogata, sekte brahmana, sekte sri, sekte sora atau penyembah surya, dan sekte
56
ganapatya atau penyembah ganeca. Dari sembilan sekte ini yang terbanyak
pengikutnya adalah sekte ciwa-sidhanta.
Sebaliknya menurut Goris (1986) sekte yang ada di Bali hanya delapan
sekte yaitu pasupatya, budha, bairawa, waisnawa, budha sogatha, Brahma, sora,
dan ciwa sidhanta (Sudharta, 1993). Tidak terdapat indikasi adanya perbedaan
tingkatan lebih rendah atau lebih tinggi di antara sekte-sekte ini. Sekte
menunjukkan penekanan pada kepercayaan yang dipuja atau disembah seperti
sekte ciwa-sidhanta pemuja dewa Ciwa, sekte bhairawa pemuja Durga (Dewa
kematian), sekte wesnawa pemuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri, sekte bodha atau
sogata penganut Budha Mahayana yang tantris, sekte brahmana penganut tradisi
(smrti), sekte Rsi kelompok masyarakat yang telah menyucikan diri agar dapat
memimpin upacara, sekte sora pemuja Dewa Surya, sekte ganeca pemuja Dewa
gana (Dewa pembasmi gangguan). Sebagian dari sekte-sekte ini sekarang banyak
yang tidak diketahui keberadaannya.
Kehidupan beragama di Bali terjadi perubahan, datangnya ahli agama
dari Jawa Timur, di antaranya Mpu Kuturan melebur delapan atau sembilan sekte
menjadi hanya tiga sekte atau aliran, yaitu Siwa, Budha dan waisnawa. Hal ini
merupakan keputusan musyawarah diadakan di Samuhan Tiga Desa Bedulu
dalam Sarad. Ketiga aliran inipun dinyatakan tidak ada yang mempunyai
kedudukan di atas atau di bawah satu sama lain. Pendeta ketiga aliran masing-
masing mempunyai fungsi sesuai dengan yang telah diputuskan oleh hasil
musyawarah. Berdasarkan teori struktural fungsional dari Talcott Parsons. Teori
ini mempunyai warna yang jelas tentang keragaman yang ada dalam kehidupan
57
sosial. Parsons mengembangkan teori ini dengan konsep AGIL yaitu Adaptation
(mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan), Goal attainment (mencapai
tujuan-tujuan yang telah dirumuskan), Intergration (mengatur hubungan di antara
komponen-komponen secara maksimal) dan Latency pattern maintenance
(pemeliharaan pola-pola yang sudah ada).
Pada dasarnya perkembangan Agama Hindu cukup pesat, dimana umat
Hindu semakin menyadari eksistensinya sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa,
dengan jalan selalu mendekatkan diri kepada-Nya melalui jalan bhakti yaitu
melakukan ritual. Di balik semua itu persembahyangan serta ritual yang begitu
semaraknya dan taatnya dilaksanakan oleh umat Hindu, telah terbukti dapat
meningkatkan rasa kebersamaan, kesetaraan (gender), toleransi atau solidaritas
sosial sesama umat manusia, dan dapat menciptakan kesempatan kerja sebagai
penyedia bahan-bahan ritual, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lahir bathin. Pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali mempunyai nilai
multiplier, kegiatan ritual setahun terdapat 108 rangkaian ritual kecil dan besar
kendatipun bukan itu yang menjadi tujuannya (Purwita, 1992).
2.2.1 Stratifikasi Sosial Masyarakat Hindu
Stratifikasi sosial merupakan salah satu konsep sosiologi yang dikenal
pada setiap struktur masyarakat, baik dalam struktur masyarakat tradisional
maupun masyarakat yang sudah modern (Budiana, 2004). Stratifikasi sosial
didefinisikan adanya dua kelompok atau lebih bertingkat (ranked group) dalam
satu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hak-
hak istimewa, dan prestise yang tidak sama pula (Sanderson, 2000).
58
Menurut Sanderson munculnya stratifikasi sosial ini karena adanya latar
belakang masyarakat yang mempunyai perbedaan derajat dalam pengaruh sosial
antar kelompok dalam suatu masyarakat tertentu bukan individu. Ketidaksamaan
terjadi dalam masyarakat tanpa membedakan kekayaan kelompok. Namun,
ketidaksamaan sosial mengimplikasikan ketidaksamaan antar individu, bukan
antar suatu kelompok yang berlainan. Ketergantungan pada keanggotaan akan
mempengaruhi tingkat stratifikasi seperti tingkat kekuasaan, hak istimewa prestise
individu. Mendefinisikan stratifikasi dalam masyarakat pertama kali muncul pada
tipe masyarakat hortikultural intensif, pemburu dan tipe masyarakat sederhana.
Umumnya masyarakat terbagi dalam tiga strata sosial, yaitu pengusaha,
subpengusaha dan massa. Pada masyarakat agraris kaum petani merupakan
bagian terbesar dari populasi dan kelas tereksploitasi, kelas pengusaha dan
pemerintah memiliki kekayaan dan kekuasaan, dan kelas budak, pengolah tanah,
dan pelayan.
Stratifikasi masyarakat Hindu di Bali sekarang berasal dari ajaran Catur
Warna bersumber pada wahyu Tuhan yang terhimpun dalam kitab suci weda.
Dalam penerapan terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem kasta di India
dan sistem wangsa di Bali (Sukarsa, 2005). Dalam beberapa bidang seperti
pemerintahan, politik, ekonomi, dan hukum makin tampak adanya kesetaraan.
Namun, dalam bidang sosial budaya dan keagamaan seperti pergaulan sehari-hari
sangat tampak adanya penggunaan sistem yang salah dipakai oleh umat Hindu,
yaitu bidang keagamaan dan adat istiadat pengkotakan atau membeda-bedakan
golongan menurut Titib (2007), hal ini menjadi sumber konflik yang tidak putus-
59
putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di
Bali). Sistem kasta, menurut Arimbawa (Bali Post, 2004) di Bali dikenal dengan
nama Catur Wangsa merupakan produk budaya. Klasifikasi kasta menurut Korn
(1932) dalam Sukarsa (2005), meliputi Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.
Begitu pula dengan hasil studi Suacana (2005) dampak negatif globalisasi
terhadap Agama Hindu dan Budaya Bali antara lain di bidang moralitas dan
solidaritas cenderung bermanifes menjadi potensi konflik seperti misalnya konflik
antaretnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali, konflik antarkelas yang berlatar
belakanng ekonomi, konflik antarkelompok/kasta, konflik antar Hindu tradisional
dan Hindu modern, dan konflik antar Kabupaten/Kota (Titib, 2007).
2.2.2 Hubungan Agama dengan Ekonomi
Keterkaitan dan keterhubungan agama dengan ekonomi, akan sangat
tergantung pada aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat, seperti yang
dikemukakan Bourdieu (1977) konsep Social Capital, Max Weber (1930) buku
terkenal The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, dan Teori Religiusitas
Clifford Geertz (1973) dalam penelitian ini. Hubungan agama dengan ekonomi
dilihat dari aktivitas agama dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas
lainnya (Giddens, 1985; Guiso et al., 2002; Skousen, 2006; Barro et al, 2002,
Field, 2011).
Bourdieu (1977), konsep modal sosial (social capital) merupakan
kasanah ilmu ekonomi yang dipakai karena teori ini memiliki beberapa ciri yang
mampu menjelaskan hubungan kekuasaan terakumulasi melalui investasi,
warisan, dan dapat memberikan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang
60
dimiliki disebut sebagai modal (modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan
modal simbolisme). Hubungan agama dengan ekonomi (ekonomi spiritual),
bahwa aktivitas sosial atau agama mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas
lainnya (Coleman, 1992; Putnam, 1995; Field, 2011).
Max Weber (1930), mengatakan perkembangan ekonomi dipengaruhi
oleh agama. Pandangan Weber lebih menekankan peran agama (spiritual) yaitu
nilai-nilai, norma-norma ketimbang aspek material sehingga aktivitas agama
mampu menciptakan kondisi kondusif pertumbuhan ekonomi dan kesempatan
kerja. Perubahan sosial yang diakibatkan revolusi politik, industri, dan urbanisasi
membawa perubahan religiusitas masyarakat dalam kaitan antara agama dan
ekonomi. Weber mengatakan aktivitas agama mempunyai pengaruh terhadap
aktivitas ekonomi dan aktivitas lain. (Barro et al., 2002; Uppal, 1986; Knack,
2001; Skousen, 2006; Blum et al., 2001; Guiso et al., 2002).
Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) artinya yang berhubungan
dengan agama, bahwa agama adalah sebuah sistem budaya dengan segala macam
makna simbolisme didalamnya, dan dapat membangun motivasi yang kuat dan
tahan lama serta hubungan struktur masyarakat. Dalam interprestasi budaya dan
agama, aktivitas agama berimplikasi terhadap ekonomi dan non ekonomi. Hal ini
sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) bahwa upacara-upacara ritual dan
ibadah berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat serta memperkokoh
kehidupan beragama (Pals, 2001).
Karl Marx (1818-1883) menyatakan bahwa Agama telah menjadi bagian
integral dari kebudayaan manusia selama beribu-ribu tahun, tetapi baru dalam dua
61
abad terakhir agama dapat dijelaskan melalui analisis kritis dan ilmiah. Kapan
agama mulai muncul, apa motifnya, apa rasional irasional, apa agama mampu
memenuhi kebutuhan individu atau kebutuhan sosial, agama begitu universal dan
kuat pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Pemikir-pemikir terkemuka di abad
modern, dari Karl Marx yang lebih banyak mengkritisi kapitalisme daripada
mengembangkan sosialisme. Dalam hubungan agama dan ekonomi, apapun yang
dinilai tentang reduksionisme Marx, satu hal yang tak dapat diperdebatkan
keterkaitan kehidupan agama dan realitas sosial dan ekonomi (Skousen, 2006).
Konsep gotong royong (ngayah), didasari atas semangat spiritual akan
keyakinan dan kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi, sehingga mereka
meninggalkan aktivitas kesehariannya. Ritual dapat mendekatkan dinamika umat
dalam hubungan sosial yang semakin produktif, dinamis dan terciptanya kondisi
sosial yang kondusif untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran, wacana dan
perilaku sosial yang memberi rasa aman, damai, dan kebersamaan. Di tengah
persaingan global, fenomena pergulatan penerapan teori ekonomi sebagai satu
pemecahan tarik menarik antara satu aliran dengan aliran lain. Mulai abad
pertengahan ketika prinsip-prinsip etika yang mewarnai ilmu ekonomi mulai
ditinggalkan, nilai ekonomi yang sekuler mendapat tempat dihati masyarakat dan
sangat populer (Spiegel, 1996).
Sukarsa (2009), seperti siang berganti malam, The Moral Sentiment-nya
Adam Smith (1759) memberi semangat spritual yang tinggi pada ilmu ekonomi.
Pesan tersebut seperti: selflove, moralitas, justice, equality, equity, humanity,
religious values, social welfare, public needs, public interests, solidarity. Hal ini
62
memiliki makna sebagai modal sosial untuk memberi semangat spiritual di dalam
ilmu ekonomi. Sistem ekonomi yang diwarisi sekarang sangat kental peninggalan
pemikir klasik dan neoklasik. Semua aliran dalam sistem ekonomi diatas hanya
menekankan pada ekonomi material yaitu menerapkan prinsip perilaku produsen
dalam ilmu ekonomi liberal, bahwa tujuan produksi adalah untuk memaksimalkan
profit (profit maximizing).
Dalam teori ekonomi, profit maximizing secara sederhana dilakukan
melalui dua cara, yaitu mengurangi biaya (cost reducing) di satu sisi dan
menaikkan pendapatan (revenue increasing). Banyak hal yang tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat yang agraris-religius. Kegagalan dari konsep ekonomi
material seperti pasar yang dibentuk berdasarkan permintaan dan penawaran yang
diatur oleh kekuatan daya beli; homoeconomicus yaitu manusia dalam
tindakannya adalah rasional artinya jika memperoleh keuntungan dibuat maksimal
dan ketika rugi diusahakan rugi sekecil-kecilnya; efisiensi dalam persaingan bebas
ketika tidak efisien akan bangkrut lalu keluar pasar atau free exit and free entry
(Sukarsa (2010).
Sebagian besar umat Hindu meyakini bahwa ritual agama memberikan
manfaat, baik secara nyata maupun tidak nyata seperti pelestarian nilai budaya,
peningkatan kesadaran beragama, dan memberikan implikasi pada kehidupan
sosial ekonomi masyarakat Bali umumnya dan umat Hindu khususnya. Secara
teoritis nilai-nilai agama yang diyakini akan mewarnai keputusan apapun dalam
kehidupan termasuk perilaku ekonominya. Dalam kehidupan masyarakat, agama
(religius) dengan ekonomi memiliki hubungan saling berkaitan (integral) dari
63
beberapa pendapat keduanya saling mempengaruhi disebut ekonomi spiritual
(Hindu). Sukarsa (2009) mengatakan tujuan hidup secara ekonomi adalah
memaksimumkan kepuasan, keuntungan dengan sarana faktor alam, modal,
tenaga kerja dan keahlian atau skill. Tujuan hidup menurut Agama Hindu yaitu
mencapai moksha melalui Dharma, Artha dan Kama. Konsep ini mendukung
hasil penelitian Wijaya, 2012.
2.2.3 Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih
Pelaksanaan Ritual merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan daripada upakara di dalam salah satu yadnya (Mas, 2001; Surayin,
2002). Selain itu, upacara juga berarti perlakuan, pelayanan atau pengamatan
(Pals, 2001).
Kitab Bhagavadgita IX.27, yaitu: ”apapun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau makan, yang engkau persembahkan dan engkau amalkan, tanpa apapun yang engkau laksanakan, wahai putra Kunti (Arjuna) lakukan itu sebagai persembahan kepada-Ku”.
Ritual dilakukan untuk membangun semangat umat senantiasa
mendekatkan diri antara sesama diwujudkan dengan saling hormat menghormati
dan yang paling utama adalah mendekatkan diri kepada Tuhan (Wiana, 2004).
Melaksanakan ritual adalah tindakan agama yang berupa tindakan simbolis
sebagai perwujudan dari makna religius dan cara mengungkapkan sikap-sikap
religius seperti keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan dalam diri
mengakibatkan perubahan ontologis pada manusia dan mentranformasikannya
kepada situasi yang baru (Pals, 2001).
Makna ritual merupakan aktivitas bhakti dengan mendekatkan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa (Wijayananda, 2005). Upacara merupakan ritual
64
yang berdemensi sosial religius, juga sarat dengan makna sosial-budaya. Karena
secara tidak langsung menjadi ajang pertemuan warga masyarakat Desa Adat dari
berbagai status sosial, budaya dan ekonomi datang bersama-sama ikut berperan
atas kelangsungan ritual dan menghaturkan sembah bhakti berupa sarana banten
kehadapan Sang Hyang Widhi. Yadnya merupakan pengorbanan suci yang tulus
iklas dan tanpa pabrih (srada bakthi dan lascarya), melaksanakan yadnya adalah
suatu kewajiban.
Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, menyebutkan ”Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmana”. Artinya, siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima (Pradnya, 2010). Untuk itu, beragama Hindu sangat sederhana cukup dengan daun, bunga, buah
dan air saja sudah diterima oleh Tuhan, terlebih lagi dengan hati yang tulus iklas.
Agama Hindu berorientasi pada kultur Bali kemudian memberi argument bahwa
Hindu adalah agama yang universal dan fleksibel sehingga Hindu tetap Ajeg dan
terus berkembang tanpa meninggalkan makna kehinduan.
Sradha bhakti merupakan salah satu aspek keimanan yang perlu
ditanamkan kepada generasi muda hindu, dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini perlu dilakukan agar kehidupan
yang damai dan harmonis dapat dicapai, sesuai dengan tujuan Agama Hindu yaitu
Mokshartam Jagadhita Ia Ca Iti Dharma. Artinya untuk mencapai kebahagiaan
lahir bathin baik di dunia maupun di akhirat atau sekala niskala (Titib, 2001;
Wiana, 2004).
65
Triguna (1994) menyatakan bahwa ritual dapat dipandang secara
horizontal (stages along the life circles), jika upacara dilakukan ditempat kecil
maupun besar seperti di panti, dadia, merajan, sekehe, subak, banjar, desa. Di
pihak lain jika ritual dipandang secara vertikal selalu dikaitkan dengan ritual alam
bawah (bhuta), alam tengah (manusia), dan alam atas (dewa). Proses ritual bisa
dilakukan melalui salah satu jalan yaitu yadnya atau korban. Korban itu ditujukan
kepada, Tuhan, orang suci, manusia, binatang, dan alam (Drucker, 1996).
Pelaksanaan ritual Panca Yadnya berarti lima pengorbanan suci yang
tulus iklas, menurut Suhardana (2010), yaitu meliputi: Dewa Yadnya adalah
korban suci yang tulus iklas yang dipersembahkan kehadapan Tuhan Yanga Maha
Esa dan segala Dewa perwujudannya; Rsi Yadnya adalah korban suci kepada para
rsi atau orang suci menurunkan ajaran-ajaran agama kepada umatnya sehingga
rukun, aman, tenteram, dan damai lahir bathin; Pitra Yadnya adalah korban suci
secara tulus iklas kepada orang tua (ibu dan bapak) serta para leluhur; Manusia
Yadnya merupakan korban suci yang tulus iklas demi untuk keselamatan dan
kesejahteraan umat manusia; dan Bhuta Yadnya adalah pengorbanan suci yang
tulus iklas kepada para Bhuta dan Kala atau untuk semua mahluk hidup (Mas
Putra, 1988; Surayin, 2002).
Yadnya sesungguhnya bukanlah kegiatan sebatas upacara upakara saja.
Upacara dan upakara hanyalah merupakan bagian dari yadnya itu sendiri,
sedangkan kerja dan ketulus-iklasan yang melandasi upacara dan upakara itu
sebagai wujud persembahan kepada Tuhan itulah yang sesungguhnya merupakan
yadnya. Beryadnya tentulah memiliki tujuan yang pasti, yakni dalam rangka
66
menuju kelepasan. Menurut Wijayananda (2004), dalam Manawa Dharmasastra
VI.35, disebutkan bahwa pikiran baru dapat ditujukan kepada kelepasan setelah
tiga hutang (Tri Rna) terbayar. Begitu pula dalam Kitab Suci Bhagavadgita
III.10.12.13 disebutkan Rna (hutang) itu ada karena Tuhan telah melakukan
Yadnya. Sabda Agung itu berbunyi:
”saha-yajnah prajah srstva purovaca prajapatih, anena prasavisyadhvam esa vo’stv ista-kama-dhuk”. Artinya pada zaman dahulu kala prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: Dengan ini engkau akan berkembang biak dan akan menjadi kamandhuk dari keinginanmu (Bhagavadgita III.10). ”istan bhogan hi vo deva dasyante yajna-bhavitah, tair dattan apradayaibhyo yo bhunkte stena eva sah”. Artinya sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa-dewa karena yadnyamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri (Bhagavadgita III.12). ”yadnya-sistasinah santo mucyante sarva-kilbisaih, bunjate te tv agham papa ye pacanty atma –karanat”. Artinya ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang hanya memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya mereka itu memakan dosanya sendiri (Bhagavadgita III.13). Seloka 13 di atas menyatakan bahwa yadnya berupa persembahan makanan setiap
hari perlu dilakukan. Menyantap makanan sisa dari yang telah disajikan itu
dianggap bebas dari dosa dan kesalahan (Pudja, 1999). Untuk membayar ketiga
jenis hutang tersebut kemudian melaksanakan Panca Yadnya dengan tujuan
membayar hutang (Tri Rna) kepada tiga komponen tersebut.
Pemahaman agama seseorang, misalnya penguasaan tentang filosofi
agama akan mempengaruhi besar kecilnya penyelenggaraan upacara ritual agama.
Wikarman (1999) mengatakan pelaksanaan ritual yaitu: tingkat nista, yang
tergolong kecil, tingkat madya yang tergolong menengah dan tingkat utama yang
tergolong besar. Masing-masing tingkat terdiri dari tiga, yaitu tingkat nista
67
(nistaning nista, madyaning nista, utamaning nista); tingkat madya (nistaning
madya, madyaning madya, utamaning madya), tingkat utama (nistaning utama,
madyaning utama, utmaning utama) (Surayin, 2002; Suhardana, 2008).
Makna Mlaspas merupakan upacara pembersihan bangunan dengan
memberikan unsur-unsur kekuatan secara spritual. Ngenteg Linggih pada
bangunan suci (pelinggih) merupakan pensthanaan beliau yang dipuja agar
secara abadi (enteg) pada tempat (linggih). Makna Ngenteg Linggih merupakan
proses pembelajaran diri dalam perwujudan sikap, moral dan prilaku dalam
menata kehidupan, menuju kualitas hidup yang lebih sempurna lahir bathin
Wikarman (1999). Ritual Mlaspas bertujuan untuk membersihkan semua
pelinggih dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewata
atau Bhatara-Bhatari berkenan melinggih di Pura.
Ritual Ngenteg Linggih menurut Rigveda X.121.10 yaitu: ”Om Hyang Prajapati, Pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha kuasa mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita-cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada kami”. Artinya makna ritual menyucikan dan mensakralkan niyasa tempat memuja Hyang Widhi. Tujuan ritual Ngenteg Linggih adalah untuk menyucikan atau mensakralkannya sthanakan Hyang Widhi dan manifestasi-manifestasinya sehingga bangunan itu memenuhi syarat simbol (Titib, 2012).
Berdasarkan tahapan-tahapan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih yang
dilaksanakan, yaitu: Makna Ngenteg Linggih (tujuan dan harapan) berarti kokoh
berpegang pada tata susila atau etika yang berlandaskan ajaran-ajaran Agama
Hindu. Ngenteg Linggih dengan Bagia Pulakerti maknanya semoga dapat
menumbuhkan atau mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan bersama dan semua
mahluk hidup; Makna Ngingkup (kebersamaan dan kesetaraan) berarti mampu
68
mewujudkan satunya Trikaya Parisuda (pikiran, perkatan, perilaku); Makna
Mangun Hayu (tujuan atau harapan) yaitu membangun, menumbuhkan,
menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan keselamatan; Makna Ngremekin
(pembelajaran diri) berarti menata kehidupan atau meningkatkan kualitas hidup;
Makna Makebat Daun (meresapi) artinya ilmu pengetahuan yang pelajari dapat
bermanfaat; Makna Ngebekin (menghayati) artinya ilmu pengetahuan yang
dimiliki dibarengi dengan penghayatan yang benar; Makna Nyenduk
(pengamalan) berarti menjabarkan dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita
miliki dilandasi cinta kasih yang tulus demi kemajuan dan kesejahteraan bersama;
Makna Nyegara Gunung (keseimbangan dan kebijakan) artinya hendaknya dalam
diri lahir suatu kehidupan yang baru, sikap mental dan prilaku menuju kebajikan
dilandasi kaidah-kaidah ajaran Agama Hindu (Wijayananda, 2005; Titib, 2012;
Wiyana, 2012).
Sejalan dengan hasil studi sumini, keyakinan dan kepercayaan untuk
melaksanakan yadnya sebagai kewajiban untuk membayar hutang (Rna) yang
mengandung nilai-nilai filosofi ajaran agama dan budaya. Makna yang terkandung
dari Banten Sarad dalam upacara Ngenteg Linggih adalah makna religius, makna
pendidikan etika, etos kerja adanya dorongan untuk bekerja dengan tekun untuk
suksesnya upacara yadnya di Desa Bona, Kabupaten Gianyar sumini (2008).
Mantra (1992), kebiasaan adat istiadat setempat juga mempengaruhi
besar kecilnya ritual yang dilaksanakan masyarakat. Jadi ada unsur kebiasaan
atau budaya masyarakat setempat yang lebih populer dikenal dengan istilah Desa-
Kala-Patra (tempat–waktu–keadaan). Desa bermakna sesuai dengan kebiasaan
69
atau budaya Desa Pakraman atau Desa Adat tertentu. Kala adalah waktu artinya
kapan upacara itu dilaksanakan harus sesuai dengan waktu yang tepat, ditinjau
dari segi agama dan adat istiadat. Patra berarti upacara yang dilakukan layak
secara sosial budaya dan agama. Pelaksanaan ritual merupakan persembahan
sesuai dengan tattwa adalah hulu atau paling atas, susila adalah madya atau
tengah, dan upacara merupakan hilir (Sudibya, 1997; Triguna, 1994; Kuiper,
1996).
Dalam Kitab Suci Bhagawadgita, IV. 28 dikatakan:
’dravya-yajnas tapo-yajna yoga-yajna tathapare, svadhyaya-jnana-yajnas ca yatayah samsita-vratah’. Artinya: ada yang beryadnya harta, beryadnya tapa, beryadnya yoga dan yang lain ada pula yang beryadnya dengan pengekangan diri, svadhaya dan yadnya dalam ilmu pengetahuan, demikianlah orang yang taat dalam tapanya dan terkendali (Pudja, 1999).
Yadnya harta (kekayaan) merupakan salah satu persembahan untuk berhubungan
dengan Tuhan di samping tapa, yoga, swadyaya (pengekangan diri) dan yadnya
ilmu pengetahuan (jnana). Yadnya harta terlihat persembahan masyarakat berupa
persembahan sesajen dalam upacara-upacara di Bali.
Konsep lain seperti yang ada dalam Regveda X, 90 mengatakan bahwa
yadnya yang berbentuk upacara atau persembahan para dewa akan memelihara
manusia dan dengan yadnya pula manusia memelihara para dewa. Jadi dengan
saling memelihara satu sama lain maka manusia akan mencapai kebahagiaan
(Mantra, 1996; Sura 2000). Di samping itu, yadnya dilakukan manusia karena
keyakinannya bahwa setiap manusia lahir ke dunia mempunyai tiga jenis utang
(Tri-Rna), yaitu utang pada Dewa (Dewa-Rna), leluhur (Pitra-Rna), dan pendeta
guru (Rsi-Rna). Ketiga utang manusia tersebut harus dibayar dengan yadnya. Jadi
70
dengan yadnya ini berarti manusia telah mengatakan rasa terima kasih kepada
Tuhan atas kemurahan dan anugrah-Nya terhadap umat manusia. Melakukan
yadnya dapat diartikan memohon kepada Tuhan agar manusia dijauhkan dari
segala mara bahaya serta pengaruh-pengaruh jahat yang sering mengganggu
ketentraman hidup manusia juga agar diberikan kebahagiaan secara universal.
Tujuan hidup manusia untuk Dharma, Artha, Kama, Moksa (Sonvir,
2001). Pada dasarnya manusia berusaha mencapai keseimbangan antara sekala
dan niskala. Sukerti (1989), mengatakan bahwa yadnya yang berarti
mempersembahkan yang disimbolkan dalam bentuk ritual. Ritual memberi makna
sosial religius apabila dilaksanakan dengan konsep yadnya yang sesuai dengan
petunjuk sastra Agama Hindu (Drucker, 1996; Purwita, 1992; Pudja, 1999).
Masyarakat Bali tidak akan lepas dari kegiatan sosial budaya, Bali yang
penduduknya mayoritas beragama Hindu memiliki etos kerja yang berlandaskan
pada ajaran Agama Hindu terlihat pada serangkaian kegiatan ritual masyarakat
Hindu dalam melaksanakan pemujaan dengan jalan membuat sesajen sebagai
bahan persembahan untuk tercipta keselarasan, keharmonisan, etika, dan estitika
sesuai konsep Tri Hita Karana dan menunjukkan rasa bakti yang mendalam
kepada yang disembah maka pengeluaran ritual berpengaruh terhadap
kesejahteraan lahir bathin maka masyarakat Bali disebut sebagai masyarakat yang
religius.
Mirca Eliade dalam Dhavamony, (1995 )menyatakan ritual merupakan
agama tindakan. Tindakan agama ini merupakan tindakan simbolis sebagai
perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap
71
religius. Lebih jauh Eliade mengatakan pula, bahwa ritual mengakibatkan
perubahan ontologis pada manusia dan mentranformasikannya kepada situasi
keberadaan yang baru. Max Weber melihat fakta ini dalam ekonomi dan agama
yang di kenal seluruh dunia (Schumacher, 1973). Selanjutnya dalam Islam
dikatakan akal dan kalbu tadi merupakan dua unsur penting sebagai sumber insani
dalam Allah menciptakan manusia di antara enam unsur yaitu cahaya Tuhan (nur
lal-Ilahi/sirrullah=sinar Ida Sang Hyang Widhi Wasa), ruh (atman), kalbu nurani
(pengrasa), otak (penglokika), nafsu (kama) dan rogo (raga) (Surozo, 1992;
Zoetmulder, 2000; Dhavamony, 1995).
2.2.4 Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi Pelaksanaan Ritual
Putnam (1933), modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti
kepercayaan, norma-norma dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi
masyarakat bertalian dengan akar budaya, etika dan moral yang diwujudnyatakan
dalam perilaku saling bantu dan kerjasama (Fukuyama, 1995). Lebih lanjut
Coleman (1990) berpendapat bahwa modal sosial adalah atribut struktur dimana
kekerabatan umumnya dan keluarga khususnya merepresentasikan inti dari
masyarakat. Menurut Coleman modal sosial melekat dalam struktur sosial dan
memiliki karakteristik publik good dan memiliki kedudukan setara dengan
financial capital, physical capital, dan human capital.Lebih jauh oleh Bank Dunia
(1998) dinyatakan modal sosial adalah norma-norma dan hubungan sosial yang
melekat dalam struktur sosial masyarakat dan memungkinkan orang-orang untuk
mengkoordinasikan kegiatan serta mencapai tujuan yang diinginkan. Sejalan
dengan hasil penelitian Narayan et al. (1999) menyatakan bahwa modal sosial
72
merupakan norma-norma, kepercayaan, dan jaringan kerja komunitas dan
masyarakat secara bersama-sama mencapai tujuan bersama. Dalam penelitian ini,
manfaat sosial pelaksanaan ritual bagi masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka
di Desa Abiansemal adanya kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun,
kewajiban membayar hutang Dewa Rna kepada Ida sang hyang Widhi (Tuhan
Yang Maha Esa) dan adanya pula interaksi sosial diantara pengempon pura
dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama.
Manfaat budaya menurut Bourdieu yang dinyatakan memiliki dimensi
pengetahuan, cita rasa, kemampuan praktis dan membedakan hal yang baik dan
buruk maka modal budaya akan sangat terikat dengan sejarah dan konstruksi
sosial masyarakat di suatu wilayah. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Koentjaraningrat (1997) kebudayaan merupakan sistem religi dan kesenian, maka
akan sangat sesuai dengan posisi budaya, agama, adat dan seni dalam masyarakat
Hindu di Bali seperti yang dikemukakan oleh Geertz (1973). Dalam penelitian ini,
manfaat budaya pelaksanaan ritual bagi masyarakat pengempon Pura Pasek
Preteka di Desa Abiansemal mampu memelihara tradisi gotong royong (ngayah,
menyamabraya, ngoopin, metetulung, salulung sabayantaka, parasparos
sarpanaya, adhiluhung).
Manfaat ekonomi menurut konsep Max Weber (1930) dan konsep
Bourdieu (1977) dan Ritzer (2003) sesungguhnya aktivitas sosial yang dilakukan
masyarakat memberi implikasi bagi penggunaan sumber-sumber ekonomi yang
juga sebagai modal capital. Selanjutnya, hasil penelitian (Wijaya, 1991; Wijaya,
2012) telah terjadi perubahan-perubahan sosial budaya akibat pertumbuhan
73
ekonomi masyarakat yaitu perubahan sikap berusaha secara ekonomi. Dalam
penelitian ini, manfaat ekonomi pelaksanaan ritual bagi masyarakat pengempon
Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal adanya perubahan sikap berusaha untuk
penguatan struktur perekonomian masyarakat Abiansemal khususnya dan
masyarakat Bali umumnya.
Manajemen modern yang terjadi di sebuah organisasi adalah mencari
keuntungan (profit) seperti sebuah perusahaan memiliki ciri organisasinya
berstruktur secara formal dengan kaedah-kaedah yang jelas, kepemimpinan
menggunakan power sebagai sebuah kekuasaan, tujuannya terukur seperti profit,
efektif dan efisien. Sementara model manajemen tradisional berbeda ciri yang
dimiliki, seperti dilaksanakan pada organisasi sosial, yang tidak semata mata
profit oriented, namun lebih mementingkan kebersamaan, tidak formal,
kaedahnya abstrak, pembagian tugas tidak tegas, sifat kepemimpinannya
partisipatif. Kelebihannya adalah mengandalkan kebersamaan dan solidaritas
dalam mencapai tujuan, tidak ada batasan tegas individu dan kelompok, hal ini
dapat menjadikan modal yang tidak ternilai adanya. Dalam penelitian ini, manfaat
sosial, budaya, dan ekonomi dalam manajemen ritual maka diperlukan cara atau
sinergi antara manajemen tradisional dengan manajemen modern menjadi lebih
tepat diterapkan dalam aktivitas yang sifatnya sosial yang melibatkan masyarakat
masal seperti pelaksanaan ritual agama (Hindu) di Bali.
2.3 Kesempatan Kerja
2.3.1 Pengertian Kesempatan Kerja
Kesempatan Kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan atau
ketersediaan pekerjaan (lapangan kerja untuk diisi oleh para pencari kerja).
74
Rahardja (2008) permintaan tenaga kerja dalam teori ekonomi mikro, dapat
diartikan sebagai kesempatan kerja. Jika upah tenaga kerja naik, perusahaan lebih
selektif dalam menggunakan tenaga kerja, akibatnya kesempatan kerja berkurang
dan sebaliknya jika upah tenaga kerja turun, akibatnya kesempatan kerja
meningkat. Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai
permintaan tenaga kerja. Secara umum kesempatan kerja adalah sebagai suatu
keadaan yang mencerminkan jumlah dari total angkatan kerja yang dapat diserap
dan ikut secara aktif dalam kegiatan perekonomian. Pekerja adalah penduduk usia
15 tahun keatas yang bekerja. Esmara (1986) kesempatan kerja merupakan jumlah
penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan, artinya
semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja. Kesempatan
kerja merupakan tenaga kerja yang mampu diserap dan berpartisipasi dalam
pembangunan. Kesempatan kerja yang memungkinkan orang bekerja secara terus-
menerus sampai mereka pensiun disebut kesempatan kerja permanen dan
kesempatan kerja temporer adalah bekerja dalam waktu yang relatif singkat
(Sagir, 1994; Sukirno, 2007; Swasono et al., 1993).
Kegiatan ekonomi di masyarakat membutuhkan beberapa faktor-fakor
produksi, salah satunya adalah tenaga kerja. Kebutuhan akan tenaga kerja itu
dapat juga disebut sebagai kesempatan kerja atau peluang kerja. Kesempatan
kerja itu sendiri adalah suatu keadaan yang menggambarkan terjadinya lapangan
usaha (pekerjaan) untuk diisi pencari kerja. Kesempatan kerja di Indonesia
dijamin dalam UUD 1945 pada pasal 27 ayat 2 yang berbunyi: Tiap-tiap warga
Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dari bunyi UUD 1945
75
pasal 27 ayat 2 bahwa pemerintah Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja
bagi anggota masyarakat karena hal ini berhubungan dengan usaha masyarakat
untuk mendapat penghasilan.
Kesempatan kerja dapat diartikan dengan banyaknya orang yang dapat
ditampung untuk bekerja pada suatu perusahan atau instansi dan sejumlah
lapangan pekerjaan lainnya. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 104 tahun 1993
tentang Tugas Pokok dari Departemen Tenaga Kerja adalah menciptakan
lapangan kerja dan mengurangi pengangguran serta mengembangkan sumberdaya
manusia dan meningkatkan kesadaran akan produktivitas, efektivitas, efisiensi dan
kewirausahaan serta etos kerja yang produktif. Pada dasarnya pembangunan
daerah pada bidang ekonomi dititikberatkan untuk mengurangi tingkat
kemiskinan, meningkatkan penyediaan lapangan kerja, memperbaiki
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan mengurangi ketimpangan antar
daerah. Yang paling utama bagi daerah adalah penciptaan lapangan kerja
(Syaukani et al., 2002). Keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat
dari seberapa jauh pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja
bagi masyarakatnya. Penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada
peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan
masyarakat akan meningkat (Sulistyaningsih, 1997).
Pertumbuhan ekonomi daerah sangat dipengaruhi oleh kuantitas maupun
kualitas sumberdaya yang dimilikinya, baik sumberdaya fisik (kekayaan alam)
maupun sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia tidak hanya jumlah
pendudukdan tingkat pendidikannya, namun juga pandangan hidup mereka,
76
tingkat kebudayaan, sikap atau penilaian mereka terhadap pekerjaan dan besar
kecilnya keinginan untuk memperbaiki diri secara kreatif dan otonom (Todaro,
2006). Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional
dianggap sebagai faktor yang positif dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti menambah jumlah tenaga produktif
dan pertumbhan penduduk yang lebih besar berarti makin besar ukuran pasar
domistiknya. Namun demikian, pertumbuhan penduduk baik positif maupun
negative bagi pembangunan ekonomi tergantung pada kemampuan system
perekonomian yang bersangkutan untuk menyerap dan secara produktif
memanfaatkan tambahan tenaga kerja tersebut. Oleh karena itu, informasi
mengenai kesempatan kerja secara sektoral sangat diperlukan dalam menyusun
perencanaan pembangunan ekonomi daerah. Kegiatan atau sektor basis/ekspor
yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah (wilayah) yaitu kegiatan
baik penghasil produk maupun jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah
(Taringan, 2005).
2.3.2 Penyerapan Tenaga Kerja
Penyerapan angkatan kerja menjadi salah satu indikator penting
keberhasilan pembangunan baik tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota.
Tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir bathin.
Salah satu tujuan pembangunan adalah menciptakan kesempatan kerja sebanyak-
banyaknya agar angkatan kerja dapat terserap dalam pembangunan untuk
menekan angka pengangguran. Kesempatan kerja yang tersedia di Bali tidak
cukup memadai untuk peningkatan produktivitas pekerja, hal itu berdasarkan hasil
77
analisis terhadap data jumlah penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam per
minggu yang meningkat dalam kurun dua tahun terakhir Murjana (2012).
Kesempatan kerja dimaknai sebagai lapangan pekerjaan atau kesempatan yang
tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi atau produksi. Dengan
demikian pengertian kesempatan kerja nyata mencakup lapangan pekerjaan yang
masih lowong. Kesempatan kerja nyata bisa juga dilihat dari jumlah lapangan
pekerjaan yang tersedia, yang tercermin dari jumlah penduduk usia kerja (15
tahun) ke atas yang bekerja. Kesempatan kerja merupakan partisipasi seseorang
dalam pembangunan baik dalam arti memikul beban pembangunan maupun dalam
menerima kembali hasil pembangunan. Angkatan kerja dalam berbagai
pembangunan ekonomi berimplikasi luas terhadap aktivitas perekonomian secara
keseluruhan. Semakin banyak angkatan kerja yang bekerja berpengaruh pada
meningkatnya daya beli masyarakat kemudian mendorong perusahaan-perusahaan
untuk meningkatkan produksi dan melakukan ekspansi usaha baru sesuai
kebutuhan masyarakat. Penambahan produksi dan penambahan usaha baru identik
dengan perluasan kesempatan kerja (Esmara, 1986, Swasono et al., 1993).
Pandangan Lewis (1954) teori pembangunan terutama pada transformasi
struktural (structural transformation) suatu perekonomian subsisten. Model dua
sektor pertama kali dikembangkan Lewis teori Kelebihan Pekerja, pembangunan
di negara-negara dunia ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja,
yaitu sektor tradisional yang subsisten dengan produktivitas tenaga kerja yang
sangat rendah atau bahkan nol. Transformasi tenaga kerja dari sektor tradisional
ke sektor modern karena pertumbuhan kesempatan kerja dengan tingkat upah di
78
kota lebih tinggi 30 persen dari tingkat pendapatan rata-rata. Jadi pengalihan
tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor industri merupakan inti dari teori
Kelebihan Pekerja (Todaro, 2006 ; Subandi, 2011).
Model Lewis pada kenyataannya mengandung beberapa kelemahan,
yaitu: Pertama, transformasi tenaga kerja dan kesempatan kerja di sektor modern
sebanding dengan tingkat akumulasi modal dan reinvestasi di sektor modern.
Namun kenyataannya, menunjukkan bahwa sebagian besar reinvestasi justru
dilakukan untuk mengembangkan industri dengan teknologi, sehingga penyerapan
tenaga kerja sektor pertanian akan berjalan lamban. Kedua, terjadi kelebihan
tenaga kerja di perdesaan sedangkan di perkotaan terjadi penyerapan faktor-faktor
produksi secara optimal (full employment). Ketiga, pasar tenaga kerja yang
kompetitif di sektor modern dapat menjamin kelangsungan upah riil,
kenyataannya upah tenaga kerja sektor industri cenderung meningkat dari waktu
ke waktu baik secara absolut maupun secara riil.
Lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh John Fei Gustav Ranis untuk
memperbaiki kelemahan model Lewis dengan penekanan pada masalah surplus
tenaga kerja yang tidak terbatas. Teori ekonomi dualistik Fei-Ranis, mengkaitkan
penyerapan pekerja di sektor industri dengan titik balik (turning point) dalam
pembangunan ekonomi. Model Fei-Ranis membagi tahap perubahan transfer
tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri berdasarkan pada
produktivitas marjinal tenaga kerja dengan tingkat upah dianggap konstan. Tenaga
kerja diasumsikan melimpah sehingga tenaga kerja sektor pertanian yang
79
mempunyai produktivitas marjinal (Marginal Physical Productivity = MPP)
mendekati atau sama dengan nol (Todaro, 2006).
Berdasarkan konsep yang digunakan oleh International Labour
Organization (ILO) sebagai Organisasi Buruh Internasional, penduduk usia kerja
15 tahun keatas juga menurut BPS. Tenaga kerja sebagai angkatan kerja
(economically active) adalah penduduk yang bekerja dan menganggur, sedangkan
tenaga kerja bukan angkatan kerja (non economically active) yaitu penduduk yang
sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Di negara-negara yang sedang
berkembang daya serap tenaga kerja tidak memadai, artinya pertambahan jumlah
tenaga kerja yang mampu mendapatkan pekerjaan di sektor industri kecil,
sedangkan sisanya dengan terpaksa akan menerima pekerjaan dengan
produktivitas yang rendah, terutama di sektor pertanian dan jasa. Namun
kenyataannya, dewasa ini dari berbagai hasil survei yang dilakukan
memperlihatkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang, kesempatan
kerja di bidang industri telah mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Bahkan dengan laju penyerapan yang sama dengan negara-negara maju karena
pertumbuhan industri kecil yang cepat terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang.
Keberadaan usaha berskala kecil dan menengah merupakan tumpuan
sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, terbukti mampu memberikan sumbangan
nyata dalam penyerapan tenaga kerja. Dalam ekonomi kewilayahan,
keseimbangan umum perekonomian suatu daerah sebenarnya akan tercapai
apabila penyerapan tenaga kerja sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia
80
dalam masyarakat (labor demand=labor supply). Berdasarkan IPM pembangunan
tenaga kerja memiliki dua makna, yaitu makna subyek pembangunan tenaga kerja
artinya tenaga kerja sebagai pelaku dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi
(input faktor produksi) dan makna obyek pembangunan tenaga kerja artinya
tenaga kerja sebagai unsur yang diprioritaskan untuk peningkatan kualitas hidup
(quality of life) yang mencakup peningkatan pendapatan, kesehatan dan
pendidikan (Todaro, 2006; BPS, 2011).
Tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menyediakan kesempatan
kerja (employment rate). Tingkat kesempatan kerja merupakan suatu ukuran yang
menunjukkan proporsi orang yang bekerja dalam angkatan kerja. Program-
program pembangunan bidang ketenagakerjaan diarahkan: (1) Perluasan dan
pengembangan kesempatan kerja seperti program mengurangi pengangguran dan
bekerja sesuai jam kerja normal (minimal 35 jam seminggu), sasarannya adalah
memperluas kesempatan kerja dalam berbagai bidang usaha dan menciptakan
tenaga kerja mandiri melalui pengembangan kewirausahaan dan informasi pasar
kerja. (2) Peningkatan kualitas dan produtivitas tenaga kerja. (3) Perlindungan dan
pengembangan lembaga tenaga kerja (Subandi, 2011; BPS, 2011).
Kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang menunjukkan
tersedianya lapangan pekerjaan sehingga semua orang yang bersedia dan sanggup
bekerja dalam proses produksi sesuai dengan keahlian dan keterampilan.
Kesempatan kerja (emplyoment) adalah suatu keadaan yang menggambarkan
ketersediaan lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari kerja. Dengan
81
demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas tenaga kerja
(RPJMN Bali, 2004-2009).
Lapangan kerja di sektor basis adalah fungsi permintaan yang bersifat
exogenous (tidak tergantung pada kekuatan internal/permintaan lokal). Kegiatan
non basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan lokal sehingga permintaan
sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat.
Banyak variabel untuk menentukan sektor basis atau bukan, diantaranya
pendapatan, output total, nilai tambah, lapangan kerja atau kesempatan kerja dan
sebagainya. Soepono (1993) di Provinsi Yogyakarta yaitu kesempatan kerja nyata
lebih disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional dan komponen bauran
industri. Masih menggunakan variabel kesempatan kerja, hasil studi Soepono
(2001) di Kabupaten Badung, hasilnya semakin besarnya kesempatan kerja total
yang ditimbulkan oleh perubahan (kenaikan) pada pertumbuhan sektor basis.
Penentuan kesempatan kerja juga dilakukan oleh Zam (2003) di Kota
Pekanbaru, Riau hasilnya kesempatan kerja dipengaruhi oleh rasio pertumbuhan
ekonomi. Udjianto (2007), kesempatan kerja total yang dipengaruhi oleh
pertumbuhan sektor basis dan non basis di wilayah Provinsi Yogyakarta.
Mendukung hasil studi Soepono, Zam dan Udjianto, hasil studi Purwanti (2009)
kesempatan kerja di Kabupaten Bangli dipengaruhi secara positif oleh
pertumbuhan kesempatan kerja di Provinsi Bali dan keunggulan kompetitif.
Sedangkan komponen bauran industri mempengaruhi secara negatif yang berarti
komponen ini menyebabkan laju kesempatan kerja mengalami penurunan.
Dalam penelitian ini, kesempatan kerja mengacu pada konsep BPS
menunjukkan tingkat kesempatan kerja merupakan suatu ukuran yang
82
menunjukkan proporsi orang yang bekerja dalam angkatan kerja meliputi
lapangan usaha atau perluasan dan pengembangan kesempatan kerja, kualitas
kesempatan kerja, kuantitas kesempatan kerja, dan sifat kesempatan kerja (BPS,
2011).
2.4. Kesejahteraan
2.4.1 Pengertian Kesejahteraan
Keberhasilan pembangunan suatu negara ditunjukkan oleh meningkatnya
kesejahteraan masyarakat (welfare society). Secara makro kesejahteraan rumah
tangga dapat didekati dengan hukum Engel, menyatakan pengeluaran makanan
terhadap pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang dengan pendapatan
yang meningkat. Nicholson (2002), dalam kondisi harga barang dan selera
masyarakat tetap maka peningkatan pendapatan menunjukkan kesejahteraan
masyarakat meningkat. Lebih lanjut bentuk kepuasan obyektif dan kebahagiaan
subyektif maka peningkatan kualitas hidup manusia menunjukkan peningkatan
kesejahteraan (Bronsteen et al., 2009).
Hidup sejahtera merupakan keinginan setiap orang, suatu kondisi dimana
orang dalam keadaan makmur, sehat, aman sentosa dan harmonis. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 menyebutkan bahwa keadaan sejahtera
adalah terpenuhinya kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun
spiritual seperti rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir bathin.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Keluarga sejahtera tidak
hanya tercukupi kebutuhan material tetapi juga harus didasarkan pada perkawinan
83
yang sah, tercukupi kebutuhan spiritual, memiliki hubungan yang harmonis antar
anggota keluarga dan antar masyarakat sekitar lingkungan.
Pandangan Spicker, Midgley, Tracy dan Livermore, Thompson yang
dipergunakan Suharto (2006) bahwa kesejahteraan sosial yang memberi peran
lebih besar kepada pemerintah untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi
menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Kesejahteraan sosial
mengandung empat makna, yaitu: (1) Kesejahteraan sosial (social welfare)
sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan nonmaterial. Kondisi
sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena
kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan
dapat dipenuhi. (2) Pelayanan sosial dalam bentuk jaminan sosial (social
security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial
personal. (3) Tunjangan sosial khusus diberikan kepada orang miskin, cacat,
pengangguran, kemalasan dan ketergantungan. (4 Proses yang dilakukan oleh
perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (makna pertama) melalui
pemberian pelayanan sosial (makna kedua) dan tunjangan sosial (makna ketiga).
Stiglitz et al. (2011), menyatakan kesejahteraan memiliki rumusan yang
multidimensi, dimensi-dimensi tersebut meliputi stándar hidup material
(pendapatan, konsumsi dan kekayaan), kesehatan, pendidikan, aktivitas individu
termasuk bekerja, suara politik dan tata pemerintahan, hubungan dan kekerabatan
sosial, lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan), ketidakamanan baik
84
yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi ini menunjukkan kualitas
hidup masyarakat dan mengukurnya diperlukan data obyektif dan subyektif.
Nordhaus et al., Beckerman, Gilbert et al., Colin Clark, dan Bennet juga
dipergunakan dalam Arsyad (2010) bahwa indikator kesejahteraan masyarakat
yaitu tingkat pendapatan nasional, konsep NEW (Net Economic Welfare) tingkat
penyesuaian pendapatan masyarakat dengan tingkat harga di setiap negara dan
tingkat kesejahteraan setiap negara berdasarkan pada data yang tidak bersifat
moneter (non-monetary indicators) yaitu pendidikan dan kesehatan.
Amartya Sen, dalam Inequality Reexamined (1992), pemenang Nobel
Ekonomi 1998, menegaskan kunci utama dalam pencapaian derajat kesejahteraan
ditentukan oleh ketersediaan akses dan aspek kebebasan. Misalnya, askes
terhadap kebutuhan pokok seperti makanan, pekerjaan, kesehatan, dan
pendidikan. Lebih lanjut Sen menyebutkan bahwa kapabilitas seseorang harus
merefleksikan kemampuannya melakukan aktivitas hidup. Melek huruf, misalnya,
memungkinkan orang untuk membaca. Temuan Sen, tidak ada jaminan bahwa
masalah kurang pangan otomatis terhindari walau makanan berlimpah. Sebab,
masalah kelaparan terkait dengan soal apakah harganya terjangkau atau barang
terkait bisa diperoleh karena distribusinya yang baik. Dalam kasus beras misalnya,
walaupun pemerintah menyatakan bahwa pasokan beras berlebihan, banyak warga
masyarakat masih mengeluh tentang mahalnya harga beras. Di sinilah pentingnya
masalah aksesibilitas. Sen menunjukkan, dalam kasus India, kurang pangan terjadi
justru ketika jumlah produksi pangan per kapita meningkat, seperti halnya yang
85
terjadi di Cina. Dengan demikian, persoalannya bukanlah pada jumlah produksi
pangan per kapita, tetapi lebih pada soal akses terhadap makanan itu sendiri.
Teori neo-liberal berakar pada karya klasik yang ditulis oleh Thomas
Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa
komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam
bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith (1776) The Wealth of Nation,
dan Frederick Hayek (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang
mengedepankan azas laissez faire yang disebutkan sebagai ide yang
mengunggulkan mekanisme pasar bebas. Teori yang berporos pada prinsip-prinsip
ekonomi campuran dan manajemen ekonomi. Sistem negara kesejahteraan yang
menekankan pentingnya manjemen dan pendanaan negara dalam pemberian
pelayanan sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan
sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi manajemen-permintaan
(demand-management economics).
Konsep kesejahteraan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bahwa keluarga dapat
dikatakan sejahtera: keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan pokok sandang,
pangan, perumahan, sosial dan agama; keluarga yang mempunyai keseimbangan
antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarga; keluarga yang
dapat memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan agama keluarga,
kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk disamping
terpenuhi kebutuhan pokoknya. Sri-Edi Swasono (2001) peningkatan
kesejahteraan sosial berdasarkan pasal 33 UUD 1945 merupakan keberhasilan
86
pembangunan bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan
pembangunan fisikal dalam Eriyatno (2011).
Kesejahteraan Masyarakat salah satu adalah tercapainya tingkat
pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah). Kualitas sumber daya
manusia diukur menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara
konseptual IPM meliputi angka harapan hidup, angka melek hurup dan rata-rata
lama sekolah dan standar hidup layak atau pendapatan. Kesejahteraan ekonomi
masyarakat meningkat jika dalam periode yang sama pertumbuhan ekonominya
lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduknya. Secara umum indikator
kesejahteraan masyarakat yaitu pendapatan, pendidikan dan kesehatan (BPS Bali,
2011).
Pandangan Pareto dalam Miller (2000), bahwa dalam pertukaran yang
menguntungkan salah satu pihak tanpa merugikan pihak lain sudah merupakan
peningkatan kesejahteraan. Pandangan Pareto berbeda dengan pandangan
Matthew (1998) sebaliknya pertukaran yang tidak menguntungkan salah satu
pihak bahkan ada yang rugi, akan mengakibatkan kemerosotan kesejahteraan
sosial. Kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh besarnya pendapatan per kapita
masyarakat tersebut. Pendapatan per kapita digunakan sebagai indikator
pembangunan dan tingkat kemajuan ekonomi atau tingkat kesejahteraan
masyarakat antara negara maju dengan negara sedang berkembang (Arsyad,
2010).
Mankiw (2007) bahwa kesejahteraan merupakan terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia sesuai dengan standar kualitas hidup manusia seperti sandang,
87
kesehatan, rumah, pendidikan, pendapatan, manfaat sosial atau spiritual. Teori
optimum solution dari Karim (2002) pengalihan kekayaan dari orang kaya kepada
fakir miskin melalui Zakat, Infak, Shadaqah (ZIS) ternyata menggeser fungsi
kesejahteraan sosial ke kanan artinya terjadi peningkatan kesejahteraan secara
total baik bagi orang miskin maupun orang kaya yang dipergunakan Multifiah,
(2011).
2.4.2 Kriteria Kesejahteraan
Kesejahteraan penting untuk dipahami karena berhubungan dengan
tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat yakni meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Berbagai kriteria ekonomi kesejahteraan berguna dalam
mempertimbangkan suatu kebijakan, pihak mana menjadi lebih baik (better-off)
dan mana yang menjadi lebih buruk (worse-off) atau dengan kata lain, siapa yang
menerima keuntungan (gainers) dan siapa yang menderita (lossers). Kriteria-
kriteria kesejahteraan selanjutnya dijelaskan dengan mengutip dari berbagai
sumber, seperti Miller dan Meiners (2000), Jehle dan Reny (2001), Rintuh dan
Miar (2005), Pindyck dan Rubinfeld (2008) yaitu sebagai berikut.
6) Kriteria Pareto Optimal, para ekonom kurang menyukai perbandingan
kepuasan antar pribadi. Untuk analisis kesejahteraan menggunakan konsep
efisiensi ekonomi (Economic efficiency) yaitu efisiensi teknis (perbandingan
output fisik dengan input fisik), dan efisiensi ekonomi (perbandingan nilai
output terhadap input). Menurut Pareto Efficient, kesejahteraan sosial adalah
situasi dapat menjadi lebih baik tanpa mengakibatkan orang lain menjadi
lebih buruk.
88
Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat kriteria dipenuhi,
yaitu: Pertama, rata-rata tingkat subtitusi marjinal dalam konsumsi harus
sama untuk semua konsumen (tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik
tanpa membuat konsumen yang lain buruk). Kedua, rata-rata tingkat
transformasi marjinal di dalam produksi harus sama untuk semua produk.
Ketiga, biaya sumber daya marjinal harus sama dengan produk pendapatan
marjinal untuk semua proses produksi. Keempat, rata-rata subtitusi marjinal
konsumsi harus sama dengan rata-rata transformasi marjinal dalam produksi.
Mencapai suatu keadaan yang disebut Pareto-Optimal atau Preto-Efficient,
harus dipenuhi tiga kondisi marjinal, yaitu efisien dalam pertukaran, efisien
dalam pengalokasian faktor produksi, dan efisien dalam memproduksi
barang-barang. Setiap persaingan ekonomi haruslah Pareto Efficient di mana
alokasi sumber daya dapat dicapai melalui mekanisme persaingan pasar bebas
dengan redistribusi awal yang memadai. Inilah yang kemudian menjadi pesan
moral dari Neoliberalisme (Eriyatno, 2011).
7) Kriteria Cardinal, pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap utility.
Berlaku hukum law of diminishing utility artinya masyarakat yang
berpendapatan tinggi akan memperoleh marginal utility yang lebih kecil
dibandingkan dengan masyarakat yang berpendapatan rendah. Jadi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus dilakukan redistribusi
pendapatan diantara anggota masyarakat. Kesejahteraan maksimum
masyarakat akan tercapai apabila distribusi pendapatan merata di antara
89
masyarakat, kriteria ini mengasumsikan bahwa marginal utility daripada uang
adalah sama bagi setiap masyarakat.
8) Kriteri Bentham, bahwa perbaikan welfare akan terjadi apabila tersedia
barang-barang dalam jumlah yang semakin banyak. Ini berarti welfare total
adalah penjumlahan utility dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut
kriteria ini, bila terdapat perubahan positif welfare total berarti terdapat
perbaikan kesejahteraan walaupun sebenarnya dalam perubahan itu terdapat
anggota masyarakat yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Implikasi
kriteria ini mengasumsikan adanya komparasi antar individual di antara
masyarakat yang menikmati manfaat dengan masyarakat yang menderita
kerugian (loss) karena adanya perubahan dalam masyarakat yang
bersangkutan.
9) Kriteria Kaldor-Hicks, perubahan merupakan perbaikan jika pelaku ekonomi
(agen ekonomi) yang beruntung dari adanya perubahan dapat membayar ganti
rugi kepada ekonomi yang menderita kerugian dan besarnya keuntungan yang
diperoleh adalah lebih besar dari ganti rugi yang dibayarkan.
10) Kriteria Ganda Scitovsky, bahwa peran kebijakan ekonomi adalah
mempertahankan pekerja (employment) dan stabilitas harga (price stability).
11) Kriteria Bergson fungsi kesejahteraan sosial (Social walfare function),
Bergson mengungkapkan perubahan hanya dapat dilakukan jika masyarakat
mempunyai fungsi kesejahteraan sosial. Tujuan fungsi kesejahteraan sosial
merupakan pertimbangan nilai yang diperlukan untuk merevisi kondisi
90
kesejahteraan ekonomi maksimal, fungsi ini bernilai riil dan
terdeferensialkan.
2.4.3 Pengukuran Kesejahteraan
Pengukuran kesejahteraan dapat dilihat dari dimensi materi dan non
materi. Kesejahteraan materi dapat diukur dengan pendekatan konsumsi. Mayer et
al. (2003) mengungkapkan secara konseptual bahwa konsumsi lebih tepat
digunakan untuk mengukur kesejahteraan dibandingkan dengan pendapatan,
karena konsumsi merupakan pengukuran yang lebih langsung dari kesejahteraan.
Kesejahteraan nonmateri seperti pendidikan dan kesehatan. Pengukuran status
kesehatan dapat diukur seperti pengukuran kesehatan secara umum, penyakit
secara medis, pengobatan yang dijalani, aktivitas fisik, hubungan sosial dan
kesehatan psikologi, mental, emosional tentang sulit tidur, perasaan takut, gelisah
dan tentang kebahagiaan (Easterlin, 2001). Semakin besar pengeluaran rumah
tangga dapat mengindikasikan semakin sejahtera masyarakatnya, masyarakat
cenderung memiliki pengeluaran non makanan lebih besar dari konsumsi
makanan (Engel, 1957). Selanjutnya dari lembaga CIFOR (Center for
International Forestry Research) Cahyat et al. (2007) melakukan pemantauan
kesejahteraan dengan mengambil kasus di Kutai Barat, Kalimantan Timur
mengemukakan bahwa kesejahteraan diukur dengan kriteria, yaitu kesejahteraan
subyektif, kesejahteraan dasar (kesehatan, kekayaan, pengetahuan), dan
lingkungan pendukungnya (lingkungan alam, ekonomi, sosial, politik, dan
infrastruktur).
91
Menurut Stiglitz, et al. (2011), mengukur kesejahteraan yang harus
diperhitungkan adalah standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan
kekayaan); tingkat kesehatan; tingkat pedidikan; aktivitas termasuk bekerja; hak
politik dan keadilan serta kebebasan; hubungan sosial; lingkungan hidup; dan
ketidakamanan baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Lebih lanjut Stiglitz, et
al. (2011), mengatakan bahwa kesejahteraan subyektif mencakup berbagai aspek
berbeda (atas hidupnya, kebahagiannya, kepuasannya, emosi positif ). Pengukuran
kuantitatif atas aspek-aspek subyektif berpeluang menghasilkan bukan hanya
ukuran kualitas hidup yang baik, melainkan juga pemahaman yang lebih baik atas
determinan-determinannya jauh melampaui persoalan pendapatan masyarakat dan
kondisi materialnya. Semua dimensi tersebut menunjukkan kualitas hidup
manusia dan untuk mengukurnya diperlukan data obyektif sebagai indikator
kesejahteraan seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selanjutnya, Grinols
(1994) mengukur kesejahteraan bukan saja dari dimensi materi namun juga
dilihat dari dimensi nonmateri yaitu kebutuhan ketentraman, kedamaian,
hubungan kekeluargaan harmonis, berperilaku mulia, bertaqwa berdasarkan nilai-
nilai spritual dan moral (Chapra, 2001).
Secara umum indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu tingkat
pendapatan, tingkat kesehatan, dan tingkat pendidikan sehingga mampu
meningkatkan IPM masyarakat. Hubungan ketiga dimensi ini saling
mempengaruhi yaitu dengan peningkatan pendapatan dapat meningkatkan tingkat
pendidikan keluarga dan meningkatkan tingkat kesehatan keluarga. IPM telah
92
menjadi sebuah indikator yang diadopsi oleh negara-negara di dunia sebagai salah
satu pencapaian pembangunan manusia (BPS Bali,2011).
Berdasarkan berbagai kriteria untuk mengukur derajat kesejahteraan,
maka dalam penelitian ini pengukuran terhadap kesejahteraan masyarakat
digunakan indikator kesejahteraan berdasarkan indikator Badan Pusat Statistik
dengan memodifikasi sebagaimana kriteria yang dikemukakan oleh Amartya Sen,
Stiglitz, et al. Walaupun sulit diberikan pengertian, namun kesejahteraan
memiliki beberapa kata kunci, yaitu terpenuhi kebutuhan dasar, sehat, damai dan
selamat, beriman dan bertaqwa. Untuk mencapai kesejahteraan itu manusia
melakukan berbagai macam usaha di bidang pertanian, perdagangan, pendidikan,
kesehatan, dan keagamaan. Manusia juga melakukan upaya-upaya secara individu
serta berkelompok. Sebagaimana yang akan diteliti, bahwa pada dasarnya tujuan
yang hendap dicapai dengan adanya pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa abiansemal, Kabupaten Badung adalah untuk
meningkatkan kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang meningkat diharapkan
dapat meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat lahir bathin.
2.5 Originalitas Penelitian
Penelitian dengan tentang Kontribusi Pelaksanaan Ritual Terhadap
Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas Dan
Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kecamatan
Abiansemal, Kabupaten Badung. Justifikasi penelitian ini cukup penting sebagai
berikut.
93
12) Penelitian tentang pelaksanaan ritual belum banyak dilakukan di Indonesia,
sedangkan di luar negeri penelitian consumption culture behavior banyak
dilakukan namun spesifikasi kontribusi pelaksanaan ritual terhadap
kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat belum pernah dilakukan.
13) Secara teoritis penelitian tentang pengeluaran pelaksanaan ritual memiliki
angka pengganda (multiplier effect) baik secara religius maupun secara sosial,
budaya dan ekonomi, selanjutnya model penelitian ini, belum banyak
dilakukan di Indonesia terutama di Bali sedangkan di luar negeri penelitian
Estimating the Multiplier Effects of Tourism Expenditures cukup banyak.
14) Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian yakni pendekatan
kuantitatif dan pendekatan kualitatif, sebagai penelitian populasi dengan studi
kasus tentang kearifan lokal/local genius hal yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian terdahulu. Penelitian ini. menggunakan analisis model
SEM untuk menguji hipotesis penelitian ,juga merupakan ciri orisinalitas
penelitian ini dan sekaligus membedakaan penelitian ini dibanding dengan
penelitian terdahulu.
15) Intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu mendorong pertumbuhan ekonomi
akan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya akan bermuara
pada peningkatan pendapatan masyarakat, walaupun sektor pariwisata tetap
mendominasi kesempatan kerja lebih banyak ketimbang sektor lainnya di
Bali.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dipergunakan sebagai rujukan
penelitian sebelumnya, diantaranya.
94
16) Subyek penelitian adalah kesejahteraan masyarakat. Obyek penelitian adalah
kepala keluarga yang melaksanakan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di
Pura pasek Preteka Desa Abiansemal dan pemasok bahan-bahan ritual.
17) Bahan-bahan ritual yang dipergunakan sekitar 90,91 persen diperoleh
disekitar Abiansemal dan sisanya 9,09 persen dari luar daerah seperti kain
kasa, dan minyak goreng.
18) Pelaksanaan ritual ini memiliki angka pengganda (multiplier effect) melalui
peningkatan output, pendapatan, kesempatan kerja, dan melalui percepetan
pertumbuhan ekonomi. Di samping itu bahwa aktivitas Agama Hindu
mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya.
19) Penelitian ini menggunakan tiga variabel laten yang terdiri atas satu variabel
exogenous ( pelaksanaan ritual), satu variabel antara ( kesempatan kerja), dan
satu variabel endogenous (kesejahteraan masyarakat). Pelaksanaan ritual
direfleksikan dengan lima indikator yaitu labda karya, manggala karya,
keharmonisan, tenaga kerja, dan bahan ritual. Kesempatan kerja direfleksikan
dengan empat indikator yaitu lapangan usaha, kualitas kesempatan kerja,
kuantitas kesempatan kerja, dan sifat kesempatan kerja. Kesejahteraan
masyarakat direfleksikan dengan empat indikator, yaitu tingkat pendapatan,
derajat pendidikan, derajat kesehatan, dan kondisi kehidupan sosial.
20) Penelitian ini menggunakan beberapa indikator yang berasal dari kearifan
lokal/local genius atau local wisdom masyarakat umat Hindu di Bali yaitu
labda karya dan manggala karya.
95
2.6 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu
1) Hasil penelitian terkait dengan pengeluaran konsumsi yang pernah dilakukan
Tabel 2.1 berikut hasil-hasil studi terdahulu menggunakan satu atau lebih
variabel pengeluaran konsumsi dari sepuluh variabel yang dipetakan berikut.
Friedman (1957), pengeluaran konsumsi tidak akan berubah pada pendapatan
sementara (temporer) kalaupun terjadi perubahan pendapatan permanen.
Pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan permanen rumah tangga.
Engel (1957) di Malaysia Barat terhadap 200 keluarga pekerja menunjukkan
bahwa konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, asset, jumlah
anggota keluarga, umur, jenis kelamin, letak geografis, agama. Modligiani
(1963), konsumsi seseorang dipengaruhi oleh pendapatan, kekayaan
(tabungan), jenis pekerjaan. Duesenberry (1949), pengeluaran konsumsi
dipengaruhi oleh pendapatan dan kekayaan. Deacon dan Firebaugh (1981),
pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan, jumlah anggota
keluarga, umur, pendidikan. Sigit H. (1985), pengeluaran konsumsi
dipengaruhi oleh pendapatan, kekayaan, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan. Hermanto et al. (1986) di Jawa bahwa konsumsi rumah tangga
dipengaruhi oleh pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, umur, jenis
kelamin, pendidikan, domisili. Sutomo (1989) di Indonesia kenaikan
pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan baik secara
persentase maupun secara absolud.
Purwita (1992) di Bali menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang
beragama Hindu dikeluarkan dalam bentuk pengeluaran konsumsi dan
pengeluaran yadnya, maka pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh
pendapatan, kekayaan, jumlah anggota keluarga, sosial. Yan Wang (1995) di
96
China menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh
pendapatan permanen, umur, pendidikan, jenis pekerjaan, pengalaman
pekerjaan, domisili. Pemberton (1997), pengeluaran konsumsi dipengaruhi
oleh pendapatan dan kekayaan. Pudja (1999) di Bali menunjukkan bahwa
pendapatan keluarga yang beragama Hindu dikeluarkan dalam bentuk
pengeluaran konsumsi dan pengeluaran yadnya, maka pengeluaran konsumsi
dipengaruhi oleh pendapatan, kekayaan, jumlah anggota keluarga, umur, letak
geografis, sosial.
Malucio, et al. (1999) di Afrika Selatan bahwa pengeluaran
konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, umur, pendidikan,
sosial. Syukur (2002) bahwa pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh
pendapatan, kekayan, umur, pendidikan, status sosial. Sukarsa (2005)
menunjukkan bahwa besar kecilnya pengeluaran ritual di Bali secara
signifikan dipengaruhi oleh pendapatan sementara (transitory) yang
diperoleh keluarga, kekayaan, jumlah anggota keluarga, umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, letak geografis, sosial. Suriastini (2010)
bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan,
umur, pendidikan, pekerjaan, domisili. Wijaya (2012 bahwa pengeluaran
konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, domisili, sosial.
Tabel 2.1 menunjukkan posisi penelitian yang terkait dengan
pengeluaran konsumsi berdasarkan beberapa penelitian terdahulu. Hampir
semua pengeluaran konsumsi mempunyai hubungan kausalitas dengan variabel
lainnya.
97
Tabel 2.1 Posisi Penelitian Terdahulu yang Berhubungan dengan Pengeluaran Konsumsi
Studi Konsumsi Tahun Pendpt
Keka yaan
Jumlah anggota
klrg Umur Jenis
klmn Pdd kan
Domi sili
Peker jaan Pajak Sosial
Peneliti 1 2 3 4 5 6 8 7 9 10 Friedman 1957 x Engel 1957 x x x x x x x Desenberry 1949 x x Modigliani 1963 x x x Deacon & Firebaugh 1981 x x x x Sigit H 1985 x x x x x x
Hermanto et al. 1986 x x x x x x Sutomo 1989 x Purwita 1992 x x x x Yan Wang 1995 x x x x x Pemberton 1997 x x Pudja 1999 x x x x x x
Malucio et al. 1999 x x x x Syukur 2002 x x x x x Sukarsa 2005 x x x x x x x x x Suriastini 2010 x x x x x Wijaya 2012 x x x x x x
Sumber: Sukarsa ( 2005: 67) Keterangan: tanda silang (X) menunjukkan posisi obyek studi yang dilakukan. 2) Penelitian terdahulu yang terkait dengan kesempatan kerja, yaitu: Syaukani et
al. (2002), keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat dari
seberapa jauh pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja
bagi masyarakatnya. Penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berpengaruh
terhadap peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya
kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Soepono (1993) bahwa
kesempatan kerja yang ada di Provinsi Yogyakarta dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonomi nasional dan bauran industri. Keunggulan kompetitif
tidak memiliki peranan yang penting karenan selama periode penelitian
(1980-1990) kesempatan kerja justru menunjukkan ketidakunggulan
kompetitifnya. Soepono (2001) kesempatan kerja yang ada di Kabupaten
Badung dipengaruhi oleh aktivitas pariwisata maka berbagai fasilitas
pariwisata disediakan agar wisatawan merasa nyaman berada di Bali.
98
Purwanti (2009) melakukan penelitian analisis kesempatan kerja sektor di
Kabupaten Bangli, hasil yang diperoleh bahwa kesempatan kerja di
Kabupaten Bangli dipengaruhi oleh sektor pertanian secara positif dan
keunggulan kompetitif di Provinsi Bali.
Udjianto (2007) penelitian kesempatan kerja menggunakan variabel
pendapatan untuk melihat sektor basis dan non basis dengan wilayah studi di
Yogyakarta. Zam (2002) di Kota Pekanbaru Riau hasil yang diperoleh bahwa
penentuan sektor basis dan non basis dapat menggunakan beberapa variabel
makro mempengaruhi kesempatan kerja. Ferlini (2011) di Sumatera Barat
bahwa strategi peningkatan kesempatan kerja yang perlu dilakukan adalah
pengendalian jumlah penduduk dan angkatan kerja melalui peningkatan
pendidikan baik kuantitas ataupun kualitas, kebijakan umum regional
khususnya sektoral dan memberikan kemudahan investasi bagi
pengembangan usaha. Sulistyaningsih (1997), keberhasilan sebuah
pemerintahan salah satunya dilihat dari seberapa jauh pemerintahan tersebut
berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Penciptaan
lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada peningkatan daya beli
masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan
meningkat.
3) Penelitian terdahulu mengenai kesejahteraan masyarakat yang pernah
dilakukan yaitu: Bronsteen et al. (2009: 1641) mengatakan salah satu
tanggungjawab utama pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat atau warganya. Kesejahteraan dalam bentuk kepuasan obyektif
dan kebahagiaan subyektif untuk mengukur kualitas hidup manusia. Stiglitz,
99
et al. (2011), mengukur kesejahteraan yang harus diperhitungkan adalah
standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan), tingkat
kesehatan, tingkat pedidikan, aktivitas termasuk bekerja, hak politik dan
keadilan serta kebebasan, hubungan sosial, lingkungan hidup, dan
keidakamanan baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Grinols (1994) dan
Chapra (2001) mengukur kesejahteraan bukan saja dari dimensi materi namun
juga dilihat dari dimensi nonmateri yaitu kebutuhan ketentraman, kedamaian,
hubungan kekeluargaan harmonis, berperilaku mulia, bertaqwa berdasarkan
nilai-nilai spritual dan moral.
Amartya Sen (1992), menegaskan kunci utama dalam pencapaian
derajat kesejahteraan ditentukan oleh ketersediaan akses dan aspek
kebebasan. Misalnya, askes terhadap kebutuhan pokok seperti makanan,
pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Kendrick dalam Simanjuntak (1985)
bahwa derajat kesejahteraan ditentukan oleh produktivitas sumberdaya
dimana produktivitas tersebut sangat tergantung kepada kondisi kesehatan,
tingkat pendidikan dan besarnya modal. Semakin tinggi tingkat kesehatan,
tingkat pendidikan dan besarnya modal, semakin produktif faktor produksi
untuk meningkatkan produktivitas atau pendapatan (kesejahteraan) suatu
perekonomian. Karena itu bagi rumah tangga miskin bantuan berupa modal
usaha, beasiswa dan fasilitas kesehatan akan sangat menentukan perubahan
ekonomi atau kesejahteraan.
4) Penelitian terdahulu mengenai angka pengganda (multiplier effect) yang
pernah dilakukan, yaitu Horváth et al. (1999) di Washington DC bahwa
pariwisata memiliki multiplier effect dalam ekonomi regional melalui
peningkatan output, kesempatan kerja, pendapatan tenaga kerja, dan
100
meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Leontief (1985) untuk 80 negara di
tingkat nasional, regional dan metropolitan mengatakan pariwisata memiliki
multiplier effect terhadap peningkatan output, pendapatan dan kesempatan
kerja. Syahza (2004) menunjukkan pembangunan perkebunan kelapa sawit di
Daerah Riau tahun 2003 memiliki multiplier effect sebesar 2,48 sehingga
kesejahteraan petani kelapa sawit meningkat sebesar 1,74 persen. Wijaya
(1991) bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai multiplier effect dan
mendorong kenaikan pendapatan dan produksi secara berganda sepanjang
perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh (full
employment).
101
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir pada penelitian ini dibangun berdasarkan latar
belakang masalah, kajian teori, dan beberapa penelitian terdahulu. Landasan
teoritis penelitian ini mengacu pada Teori Konsumsi Keynes (1936) sebagai
Grand Theory. Konsep Max Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), dan Teori
Religiusitas Geertz (1973) sebagai Middle Range Ttheory serta beberapa teori
sebagai Application Theory, seperti konsep Multiplier Effect, konsep Kesempatan
Kerja, dan konsep Kesejahteraan Masyarakat.
Teori Konsumsi Keynes (1936) sebagai teori utama (Grand Theory)
dalam The General Theory menggambarkan bahwa análisis pengeluaran konsumsi
selalu dihubungkan dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat
ketika pendapatan naik. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun
akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan pendapatan yang
dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan pendapatan yang dibelanjakan
untuk bukan makanan (Mankiw,2007; Gordon,2000; Samuelson, 2004).
Menurut Keynes dalam Denburg (1976), pengeluaran konsumsi riil yang
dilakukan oleh sektor rumah tangga ditentukan terutama oleh besarnya
pendapatan riil keluarga tersebut. Sisa pendapatan keluarga yang tidak dikonsumsi
merupakan tabungan atau investasi. Konsep ini memperkuat hasil penelitian
(Engel, 1957 di Belgia; Sigit, 1985 di Indonesia; Hermanto et al., 1986 di
Indonesia; Tridimas, 1988 di Yunani; Narayan et al.,1999 di Tanzania; Syukur,
102
2002 di Indonesia; Malucio et al.,1999 di Afrika Selatan; Yan Wang, 1995 di
China; Hatzinikolaou, 1999 di Yunani; Pemberton, 1997; Suriastini, 2010; dan
Sukarsa, 2005 di Bali; Wijaya, 2012 di Bali) pengeluaran konsumsi dipengaruhi
oleh pendapatan.
Konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977). Pandangan
Weber tentang buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism lebih
menekankan peran agama (spiritual) yaitu nilai-nilai, norma-norma ketimbang
aspek material sehingga aktivitas agama mampu menciptakan kondisi kondusif
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Selanjutnya, pandangan Bourdieu
konsep social capital merupakan kasanah ilmu ekonomi yang dipakai karena
konsep ini memiliki beberapa ciri yang mampu menjelaskan hubungan kekuasaan
terakumulasi melalui investasi yang disebut sebagai modal (modal ekonomi,
modal budaya, modal sosial, dan modal simbolisme). Berkaitan dengan hal ini,
hubungan agama dan ekonomi (ekonomi spiritual) maka aktivitas agama
mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya (Giddens, 1985). Teori
Rilegiusitas Clifford Geertz (1973) bahwa agama menganalisis makna dalam
simbol-simbol agama dan membangun motivasi yang kuat dan tahan lama serta
hubungannya dengan struktur masyarakat (Pals, 2001). Selanjutnya untuk
memperkuat hasil penelitian (Goody, 1961; Guiso at al., 2009; Triguna, 2000;
Sukarsa, 2005; Wijaya, 2012; Sumini, 2008; Gunadha, 2009; Putrawan, 2011,
dan Puspa, 2010).
Esensi pelaksanaan ritual menurut Wijayananda (2004) merupakan
persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan turun
temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna. Setiap kali pelaksanaan ritual
menimbulkan pengeluaran konsumsi ritual baik secara kuantitas maupun kualitas.
103
Untuk memperkuat pandangan ini, Desa Pakraman sebagai ujung tombak yang
strategis dalam menjaga ketahanan adat, budaya, dan Agama Hindu (Gunadha,
2009). Diduga pengeluaran konsumsi ritual ini telah bergeser menjadi konsumsi
sekunder dan ada kecenderungan bergeser ke arah primer untuk masyarakat Hindu
di Bali sebagai dampak perubahan aspek-aspek kehidupan masyarakat umat
Hindu. Beberapa hasil studi telah terbukti bahwa pengeluaran konsumsi
mempunyai gerak yang searah (slope yang positif) dengan pendapatan.
Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi yang menjadi salah
satu tujuan percepatan (acceleration) pembangunan ekonomi yang dilaksanakan
di tingkat nasional dan regional. Terjadinya pertumbuhan ekonomi seiring dengan
adanya perubahan investasi, distribusi output, struktur ekonomi, peningkatan
kontribusi sektor industri dan jasa. Harrod (1939) dan Domar (1947) mengatakan
pertumbuhan ekonomi bersumber dari peningkatan modal melalui investasi dan
tabungan. Tingginya pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh perluasan
kesempatan kerja yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan pendapatan atau
peningkatan kesejahteraan masyarakat (Todaro, 2006; Arsyad, 2010).
Konsep kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang
menggambarkan ketersediaan lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari
kerja. Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas
tenaga kerja. Rahardja (2008) permintaan tenaga kerja dalam teori ekonomi
mikro, dapat diartikan sebagai kesempatan kerja. Jika upah tenaga kerja naik,
perusahaan lebih selektif dalam menggunakan tenaga kerja, akibatnya kesempatan
kerja berkurang dan sebaliknya jika upah tenaga kerja turun, akibatnya
kesempatan kerja meningkat. Esmara (1986) kesempatan kerja merupakan jumlah
penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan, artinya
104
semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja. Penciptaan
lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada peningkatan daya beli
masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Kriteria konsep Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat
kesempatan kerja merupakan suatu ukuran yang menunjukkan proporsi orang
yang bekerja dalam angkatan kerja (BPS, 2011). Selanjutnya untuk memperkuat
hasil penelitian (Choi, 2004 di Los Angeles Amerika; Ellison et al., 1994 di
Amerika; Sulistyaningsih, 1997 di Indonesia; Lochart, 2005; Ferlini, 2011 di
Sumatera Barat ; Purwanti, 2009; Puspa, 2010; Wijaya, 2012; dan BPS Provinsi
Bali , 2011).
Konsep kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari dimensi materi dan
non materi seperti pendapatan, pendidikan dan kesehatan (Mayer et al., 2003)
Namun kesulitan untuk mengukur pendapatan membuat tingkat kesejahteraan
secara moneter didekati dengan besarnya pengeluaran. Meskipun laju
pertumbuhan ekonomi tidak secara otomatis dapat memberi jawaban atas berbagai
macam persoalan kesejahteraan, hal ini tetap merupakan unsur penting setiap
program pembangunan yang dirancang untuk mengentaskan kemiskinan.
Kesejahteraan masyarakat meningkat jika dalam periode yang sama pertumbuhan
ekonominya lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduknya (Todaro,
2006).
Stiglitz, et al. (2011), mengukur kesejahteraan yang harus diperhitungkan
adalah standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan); tingkat
kesehatan; tingkat pedidikan; aktivitas termasuk bekerja; hak politik dan
keadilan serta kebebasan; hubungan sosial; lingkungan hidup; dan ketidakamanan
baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Grinols (1994) mengukur kesejahteraan
105
bukan saja dari dimensi materi namun juga dilihat dari dimensi nonmateri yaitu
kebutuhan ketentraman, kedamaian, hubungan kekeluargaan harmonis,
berperilaku mulia, bertaqwa berdasarkan nilai-nilai spritual dan moral (Chapra,
2001).
Mengacu kriteria konsep Badan Pusat Statistik (BPS) indikator
kesejahteraan masyarakat meliputi yaitu tingkat pendapatan (daya beli
masyarakat), tingkat kesehatan (angka harapa hidup), dan tingkat pendidikan
(angka melek huruf) dan rata-rata lama sekolah (BPS Provinsi Bali, 2011).
Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Amartya Sen, 1992 di India;
Engel, 1957 di Malaysia Barat; Stiglitz et al., 2011; Grootaert, 1998; Bronsteen
et al., 2009; dan Qomariah, 2009 di Jawa Timur).
Konsep multiplier effects Samuelson (2004) merupakan kenaikan
pendapatan lebih besar dari kenaikan pengeluaran dari suatu kegiatan ekonomi.
Keynes mengatakan bahwa multiplier effects lebih tinggi pada saat masyarakat
lebih banyak mengkonsumsi. Besarnya nilai multiplier menggambarkan
perbandingan jumlah pertambahan atau pengurangan pendapatan nasional dengan
jumlah pertambahan atau pengurangan pengeluaran agregat yang telah
menimbulkan perubahan pendapatan nasional (Sukirno, 2008; Skousen, 2006)
Peranan investasi dalam perekonomian adalah sangat penting untuk
akselerasi pertumbuhan ekonomi maka investasi harus ditingkatkan baik
pemerintah maupun pihak swasta. Meningkatnya investasi dapat menumbuhkan
kesempatan kerja yang lebih luas juga memiliki angka pengganda (multiplier
effect). Dengan adanya Multiplier effect pendapatan masyarakat meningkat,
meningkatnya pendapatan atau daya beli berarti kesejahteraan masyarakat
meningkat. Intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali, mempunyai
106
multiplier effect, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekonomi
spiritual, menciptakan kesempatan kerja sebagai pemasok bahan ritual pada
akhirnya dapat meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat
pemasok. Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian multiplier effect
(Syahza, 2004 di Riau; Wijaya, 1991 di Indonesia; Horvath et al., 1999 di
Washingto DC; Leontief, 1985; dan Wijaya, 2012 di Bali).
Sekema kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan dalam
kerangka pikir penelitian sebagaimana Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir
Kajian Teoritis Kajian Empiris
Analisis 1. Kualitatif
2. Kuantitatif
Hipotesis
1. Teori Konsumsi Keynes (1936)
2. Konsep Konsep Max Weber (1930) buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism
3. Konsep Bourdieu (1977) social capital
4. Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973)
5. Konsep Multiplier Effect 6. Konsep Kesempatan Kerja
(BPS, 2011) 7. KonsepKesejahteraan
Masyarakat (BPS, 2011)
Masalah
1. Pengeluaran konsumsi: Yan Wang ,1995; Engel 1957; Hermanto,1986; Malucio et al.,1999; Narayan et al., 1999; Sukarsa, 2005; Wijaya,2012,
2. Pelaksanaan Ritual: Purwita,1992; Sumini,2008;Gunadha, 2009; Triguna, 2000; Sukarsa,2005; Putrawan, 2011; Wijaya, 2012.
3.Kesempatan Kerja: Sulistyaningsih 1997; Soepono,1993,2001;Ellison et al.,1994;Zam,2002;Choi,2004; Lochart,2005;Udjianto,2007; Purwanti,2009;Ferlin,2011; Wijaya,2012; BPS,2011
4.Kesejahteraan: Amartya Sen,1992; Stiglitz,et.al.,2011; Cahyat et al. 2007; Wijaya,2012; BPS, 2011.
5.Multiplier Effect: Wijaya,1991; Horvath et al.,1999; Syahza,2004; Wijaya,2012.
Temuan Disertasi
107
3.2 Kerangka Konsep Penelitian
3.2.1 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif
Berdasarkan kajian konsep multiplier effect Keynes adalah apabila
pengeluaran konsumsi masyarakat semakin besar maka dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat sebesar multiplier effect kali jumlah pengeluaran
konsumsi masyarakat. Kajian empiris yang tertuang dalam kerangka pikir, maka
dapat dikatakan bahwa pelaksanaan ritual merupakan aktivitas agama yang dapat
mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya. Pengeluaran konsumsi
ritual merupakan salah satu pengeluaran konsumsi non makanan. Pengeluaran
ritual mengakibatkan adanya transaksional bahan-bahan ritual dapat menyebabkan
perubahan investasi. Perubahan investasi menyebabkan tumbuhnya kesempatan
kerja dan mempercepatan pertumbuhan ekonomi maka mengakibatkan perubahan
pendapatan pemasok dan mengahasilkan multiplier effect. Konsep multiplier
effect ini didukung hasil penelitian (Wijaya, 1991; Horvath et al., 1999; Syahza,
2004).
Selanjutnya, setiap kali pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali terjadi
pergerakan ekonomi perdesaan dan perkotaan sebagai akibat adanya transaksional
bahan-bahan ritual yang cukup besar. Semakin banyak permintaan bahan-bahan
ritual semakin besar kesempatan kerja sebagai pemasok bahan-bahan ritual.
Berarti intensitas pelaksanaan ritual umat (Hindu) memiliki multiplier effect.
Kesempatan ini, telah dimanfaatkan bukan saja oleh masyarakat Bali juga
108
masyarakat luar, untuk memasok berbagai jenis bahan ritual, yaitu buah-buahan,
pisang, janur, kelapa, dan bebek, merupakan barang impor dari luar daerah
bahkan dari luar negeri. Apabila hal ini, terjadi terus menerus maka multiplier
effect lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar daripada masyarakat Bali
sendiri.
Mekanisme Multiplier effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal berikut. Pengeluaran
pelaksanaan ritual untuk membeli 13 jenis bahan ritual merupakan tambahan
pendapatan bagi pemasok (Tahap I), pendapatan pemasok dipergunakan untuk
pengeluaran konsumsi dan sisanya ditabung atau diinvestasikan. Pengeluaran
konsumsi pemasok merupakan pendapatan bagi penyalur (Tahap II), pendapatan
penyalur dipergunakan untuk pengeluaran konsumsi dan sisanya ditabung atau
diinvestasikan. Pengeluaran konsumsi penyalur merupakan pendapatan bagi
petani atau produsen (Tahap III), pendapatan petani atau produsen dipergunakan
untuk pengeluaran konsumsi dan sisanya ditabung atau diinvestasikan. Sementara
ini, sebagian besar atau 90,91 persen bahan-bahan ritual tersedia di sekitar daerah
Abiansemal dan hanya 9,09 persen bahan ritual dipasok dari luar. Berarti
Multiplier effect pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek
Preteka Desa Abiansemal sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat lokal.
Hal ini, mengindikasikan mampu mengerakkan perekonomian perdesaan
bersandarkan kesetaraan, solidaritas dan kebersamaan dalam perbedaan (apang
pada payu). Berkaitan dengan peran masyarakat Abiansemal khususnya dan
109
masyarakat Bali umumnya, antisipasi kebutuhan bahan-bahan ritual secara
berkelanjutan.
Selanjutnya, pengelompokan bahan-bahan ritual menjdi 13 jenis bahan
berdasarkan besarnya nilai rupiah dari bahan-bahan ritual, yaitu: bambu, babi,
uang kepeng, kelapa, bebek-ayam, beras, kain kasa, telor, pajeng, janur, pisang-
buah-buahan, minyak goreng dan bunga. Besarnya pengeluaran untuk bahan-
bahan ritual adalah sebesar Rp 135,220 juta atau 72,06 persen sedangkan untuk
bahan-bahan non ritual adalah sebesar Rp 53,348 juta atau 27,94 persen (terdiri
atas biaya konsumsi, biaya bensin, biaya gas, dan biaya baju kaos).
Berkaitan dengan perhitungan Multiplier effect, semestinya dilakukan
sampai tahap akhir transaksi namun dalam penelitian ini, perhitungan Multiplier
effect dilakukan pada Tahap I, Tahap II dan Tahap III dengan alasan, yaitu
pertama, Tahap I (Pemasok/penjual ) dari 13 jenis bahan ritual yang dipasok, 5
jenis bahan transaksi berakhir di tahap ini, yaitu (bambu, babi, kelapa, bebek-
ayam, dan telor). Tahap II (Penyalur) dari 8 jenis bahan ritual yang disalurkan, 4
bahan transaksi berakhir di tahap ini, yaitu (pajeng, janur, pisang-buah, bunga).
Tahap III (Petani/Produsen) dari 4 jenis bahan ritual masih ada dua jenis bahan
yaitu kain kasa dan minyak goreng yang tidak dihitung multiplier effects karena
keterbatasan waktu dan dana.
Skema kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan dalam
kerangka konsep penelitian deskriptif, sebagaimana Gambar 3.2.
110
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif Analisis Multiplier Effect. Keterangan: Garis Analisis multiplier effect.
3.2.2 Kerangka Konsep Penelitian Asosiatif
Berdasarkan kajian teori dan kajian-kjian empiris yang tertuang dalam
kerangka pikir, maka dapat dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat dan
kesempatan kerja dapat dipengaruhi oleh intensitas pelaksanaan ritual Mlaspas
dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal.
Esensi pelaksanaan ritual merupakan pengorbanan suci yang tulus iklas
berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban
membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, Pitra Rna). Pelaksanaan ritual
diukur berdasarkan indikator labda karya, yaitu pelaksanaan ritual berjalan
sukses dan lancar sesuai jadwal ritual secara skala niskala; manggala karya, yaitu
ketulusiklasan masyarakat pengempon pura menjadi panitia karya sesuai tugas
dan tanggungjawabnya masing-masing; keharmonisan, yaitu hubungan yang
sangat baik, serasi, harmonis antar pengempon pura; tenaga kerja, yaitu dengan
Bahan-bahan Ritual 1. Bambu dan kelabang 2. Babi 3. Uang Kepeng, dll 4. Kelapa, 5. Bebekdan Ayam 6. Beras 7. Kain Kasa 8. Telor bebek 9. Pajeng 10. Janur 11. Minyak goreng 12. Pisang dan buah 13. Bunga
Pengeluaran konsumsi,
dan sisanya di tabung/ investasi
Pengeluaran konsumsi,
dan sisanya di tabung/ investasi
Pengeluaran konsumsi,
dan sisanya di tabung/ investasi
Pendapatan
Penjual/Pemasok
Pendapatan Penyalur
Pendapatan Petani/
Produsen
Pengeluaran Bahan-Bahan Ritual (Konsumen) Tahap I Tahap II Tahap III
111
ketulusiklasan waktu yang dicurahkan pengempon pura untuk gotong royong
selama ritual berlangsung; dan bahan ritual yang dibutuhkan sebagian besar
tersedia di sekitar daerah Abiansemal. Konsep ini didukung Teori Konsumsi
Keynes (1936); Teori Religiusitas Geertz (1973), Kitab Suci Bhagavadgita, IX:
26; Konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977) serta hasil
penelitian (Triguna, 2000; Gunadha, 2009; Putrawan, 2011; Puspa, 2010;
Sukarsa, 2005; Sumini, 2008; Wijaya, 2012).
Kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan
tersedianya lapangan kerja yang siap diisi oleh para penawar tenaga kerja atau
pencari pekerjaan. Kedudukan atau status pekerjaan dari yang mengerjakan
sendiri tanpa dibantu orang lain sampai mempekerjakan karyawan dengan
memberi gaji/upah. Kesempatan kerja diukur berdasarkan berdasarkan kriteria
BPS dan indikator lapangan usaha, yaitu bidang usaha pada kesempatan kerja;
kualitas kesempatan kerja, yaitu kualitas pekerjaan hubungannya dengan
pendapatan; kuantitas kesempatan kerja, yaitu curahan jam kerja terhadap
kesempatan kerja; dan sifat kesempatan kerja, yaitu kontinuitas dari pemanfaatan
tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai permanen. Konsep ini didukung
konsep BPS, 2011; Esmara, 1986; dan Rahardja, 2008 serta hasil penelitian (Choi,
2004; Ellison et al., 1994; Sulistyaningsih, 1997; Lochart, 2005; Ferlini, 2011;
Purwanti, 2009; dan Wijaya, 2012).
Kesejahteraan Masyarakat dapat terpenuhinya kebutuhan dasar baik
bersifat material maupun nonmaterial yang mencakup aspek pendapatan,
pendidikan, kesehatan. keamanan, dan kehidupan sosial atau tercapainya tingkat
kesejahteraan masyarakat lahir bathin. Kesejahteraan masyarakat diukur
berdasarkan kriteria BPS dan indikator tingkat pendapatan, yaitu pendapatan riil
keluarga responden yang siap dikonsumsi atau dibelanjakan; derajat pendidikan,
112
yaitu pendidikan yang dicapai secara formal (melek huruf dan ratarata lama
sekolah); derajat kesehatan, yaitu rata-rata frekuwensi berobat ke rumah sakit per
bulan; kondisi kehidupan sosial, yaitu keharmonisan, ketentraman, dan saling
menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluaraga, antar
banjar dan antar masyarakat sekitarnya. Konsep ini didukung konsep BPS, 2011;
Stiglitz, et al., 2011; dan Grinols, 1994 serta hasil penelitian (Amartya Sen, 1992;
Engel, 1957; Grootaert, 1998; Bronsteen et al., 2009; dan Qomariah, 2009).
Sekema kerangka konsep penelitian Asosiatif pelaksanaan ritual terhadap
kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Kerangka Konsep Penelitian Assosiatif (Hubungan) Keterangan:
: Variabel Laten/bentukan. : Indikator/terukur
Garis : Hubungan Dimensional. Garis : Hubungan Langsung (Regresi)
Tingkat Pendapatan
(km 1)
Derajat Pendidikan
(km 2)
Derajat Kesehatan
(km 3)
Kondisi kehidupan
Sosial km 4)
Keharmonisan (pr 3)
Tenaga Kerja (pr 4)
Bahan Ritual (pr 5)
Kuantitas Kesempatan Kerja (kk 3)
Lapangan Usaha (kk 1)
Labda Karya
(pr 1)
Manggala karya (pr 2)
Sifat Kesempatan Kerja (kk 4)
Kualitas Kesempatan Kerja (kk 2)
Pelaksanaan Ritual (PR)
Kesempatan Kerja (KK)
Kesejahteraan Masyarakat
(KM)
113
3.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep Assosiatif sebagaimana disajikan pada
Gambar 3.3 dan tujuan studi, maka ada tiga hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah seperti di bawah ini:
1) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan
kerja.
2) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat.
3) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja.
114
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini berusaha mempelajari hubungan antar variabel sehingga
merupakan penelitian relasional, seperti yang dijelaskan pada Bab 3, penelitian ini
berusaha mencari hubungan antara variabel-variabel pelaksanaan ritual dan
kesempatan kerja dengan variabel kesejahteraan masyarakat. Di pihak lain karena
penelitian ini berusaha untuk mengumpulkan data primer dengan menggunakan
kuesioner dari seluruh populasi, maka penelitian termasuk penelitian survei
(Singarimbun, 1989).
Unit analisis terletak pada unit kepala keluarga masyarakat pengempon
pura dan pemasok bahan-bahan ritual dengan tujuan untuk menjelaskan
hubungan kausal antarvariabel di samping hubungan relasi melalui pengujian
hipotesis. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan pendekatan kuantitatif
dengan format deskriptif. Format deskriptif bertujuan untuk menjelaskan,
meringankan berbagai kondisi, situasi yang timbul dalam masyarakat yang
menjadi obyek penelitian. Penelitian dimulai dengan metode kuantitatif
berlandaskan pada filsafat positivism yaitu bertujuan menguji teori yang bersifat
umum untuk menghasilkan temuan yang bersifat khusus melalui pendalaman
makna dan uji hipotesis, proses pengumpulan data menggunakan instrumen
penelitian, analisis data bersifat kuantitatif (Sugiyono, 2010) yang terakhir dengan
generalisasi. Diduga pendekatan kuantitatif terdapat hasil verifikasi tidak sesuai
dengan konsep laten sehingga dianalisis dengan menggunakan studi kualitatif.
115
Alasan dalam penggunaan metode ini adalah melalui kuantitatif dengan
prinsip normalitas, distribusinya dengan menggunakan metode statistik sehingga
sangat andal dalam hal generalisasi namun lemah pada unsur kedalam analisis,
tidak mampu mengungkap penyebab permasalahan secara mendalam terutama
fenomena spesifik yang tidak sejalan dengan teori. Desain kualitatif memiliki
keunggulan kedalaman analisis, karena mampu menggali berbagai informasi
secara mendalam melalui informan tetapi memiliki kelemahan dalam generalisasi.
Karena itu penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk menutupi kelemahan kedua metode tersebut (Creswell et al.,
2007).
Penelitian ini termasuk penelitian studi kasus pelaksanaan ritual Mlaspas
dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan
Abiansemal Kabupaten Badung, data yang dikumpulkan adalah jenis data
kualitatif dan kuantitatif bersumber dari data internal, cara memperoleh data
primer dan waktu pengumpulan data secara cross saction yaitu pengambilan data
waktu sama dan obyek yang berbeda. Jenis data kualitatif dan kuantitatif agar
terungkap data deskriptif dari nara sumber atau partisipan atau responden, baik
lisan maupun tulisan tentang apa yang mereka lakukan seperti yang dikemukakan
oleh Spradley (1980), berangkat dari kasus namun yang ada situasi sosial (social
situation) yaitu ada tempat (place), ada pelaku (actors), dan ada aktivitas
(activity) dalam Sugiyono (2010).
Pengumpulan data yaitu peneliti berusaha mencari fakta dan interaksi
biasa dalam situasi tertentu. Sarojo (1993) memberikan pandangan bahwa
berdasarkan sudut pandang fenomologis, segala sesuatu akan bergantung kepada
116
kedudukan para peneliti misalnya bagaimana terjadi peristiwa-peristiwa dan
penampakan fenomena ditentukan oleh posisi para peneliti dalam Moleong
(2003). Metode penelitian melalui kualitatif berangkat dari pengamatan yang
mendetail konkrit pada empirical social reality sehingga terbangun grounded
theory, selanjutnya berkembang menjadi subtantive theory, middle-range theory,
formal theory dan akhirnya menjadi theoretical frame work (also call paradigm
or theoritical system) Sugiyono (2010).
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Kabupaten Badung Provinsi Bali, terdiri atas enam kecamatan yaitu
Kecamatan Kuta Selatan, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan
Mengwi, Kecamatan Abiansemal, dan Kecamatan Petang. Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal, dengan luas wilayah
69,01 km2, jumlah penduduk sebanyak 78.951 jiwa tahun 2007. Perkembangan
masyarakat Desa Abiansemal dibidang adatistiadat, budaya dan agama berjalan
sebagaimana mestinya, dominan lapangan usaha di sektor pertanian dengan
kontribusi sektor pertanian pada PDRB hanya 9 persen. Kesempatan kerja dan
tingkat kesejahteraan penduduk Kabupaten Badung Utara lebih rendah
dibandingkan Kabupaten Badung Selatan, karena perbedaan letak geografis.
Lebih jelasnya, lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Peta Administrasi Peta
Administrasi Wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten
Badung Provinsi Bali (Gambar 4.1).
Penelitian ini, berlokasi di Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal
Kabupaten Badung, studi kasus pelaksanakan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih
di Pura Pasek Preteka. Pelaksanaan ritual ini yang kedua dan yang pertama
117
dilakukan 20 tahun yang lalu yaitu tahun 1982. Jumlah masyarakat pengempon
pura 108 kepala keluarga. Aktivitas ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih mulai
persiapan, pelaksanaan, hingga penutupan (penyineban) semua rangkaian ini
dibuat secara gotong royong (ngayah) masyarakat pengempon pura. Di dukung
tradisi adat istiadat dan budaya gotong royong yang kuat dalam kehidupan sosial,
budaya, dan beragama. Di samping itu, dapat meningkatkan rasa kebersamaan,
solidaritas atau mempererat rasa kekeluargaan diantara pengempon pura serta
meningkatkan sistem kekerabatan antar Banjar di Desa Abiansemal.
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih, 20 April 2012 sarana ritual dibuat secara bersama-
sama gotong royong (ngayah) masyarakat pengempon pura mulai 26 Pebruari
hingga 27 April 2012 atau mulai H-55 sampai H+7 (selama 63 hari).
Selanjutnya, untuk terselenggaranya ritual secara baik dan lancar (labda karya)
maka perlu menerapkan manajemen karya yaitu mensinergikan antara manajemen
tradisional dengan manajemen modern dalam pelaksanaan ritual sehingga
tahapan-tahapan acara dapat tercapai secara sekala dan niskala (Wijaya, 2012).
Tahapan aktivitas ritual mulai newasain karya skala niskala, puncak karya (hari
H), nganyarin sampai dengan nyegara gunung dan masineb. Proses ritual ini
dipimpin oleh enam Sulinggih (Pandita) dan satu orang Tapini. Penanggungjawab
karya (pangrajeg karya) adalah Ida Pedanda Geriya Agung Desa Abiansemal,
Tapini, dan Pemangku Pura Pasek Preteka.
Penelitian dilakukan oleh peneliti, mulai aktivitas ritual dilakuakan
adalah 26 Pebruari hingga 27 April 2012 dan ritual lanjutannya adalah bulan
Oktober 2012. Selama penelitian, peneliti berpartisipasi aktif dalam aktivitas
118
ritual untuk memperoleh informasi lebih mendalam dari informan kunci dan ahli
serta masyarakat pengempon pura yang lainnya.
Gambar 4.1 Lokasi Penelitian, Peta Administrasi Wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan
Abiansemal, Kabupaten Badung Provinsi Bali.
Sumber: BPS, 2012 Kabupaten Badung
4.3 Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian pihak-pihak yang dijadikan responden dalam
penelitian ini adalah kepala keluarga pengempon pura dan pemasok bahan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal.
Obyek penelitian merupakan apa yang hendak dikaji dalam penelitian
adalah aktivitas pelaksanaan ritual, kesempatan kerja dan kesejahteraan
masyarakat serta Multiplier Effect pengeluaran ritual.
119
4.4 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel
4.4.1 Identifikasi Variabel
Variabel adalah suatu sifat yang dapat memiliki bermacam nilai yang
bervariasi (Kerlinger, 2006). Berdasarkan kerangka pemikiran dan tujuan studi
yang hendak dicapai, maka variabel dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu
variabel laten dan indikator. Variabel laten adalah variabel yang tidak dapat
diukur secara langsung. Indikator merupakan pembentuk variabel laten yang
terukur (Widarjono, 2010).
Variabel yang diidentifikasi dalam penelitian ini sebagai berikut.
1) Variabel eksogen (exogenous variable) Pelaksanaan Ritual (PR) terdiri atas
indikator labda karya (pr1), manggala karya (pr2), keharmonisan (pr3),
tenaga kerja (pr4) dan bahan ritual (pr5).
2) Variabel Antara (Intervening variable) Kesempatan Kerja (KK) terdiri atas
indikator lapangan usaha (kk1), kualitas kesempatan kerja (kk2), kuantitas
kesempatan kerja (kk3), dan sifat kesempatan kerja (kk4).
3) Variabel endogen (endogenous variable) Kesejahteraan Masyarakat (KM)
terdiri atas indikator tingkat pendapatan (km1), derajat pendidikan (km2),
derajat kesehatan (km3), dan kondisi kehidupan sosial (km4).
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
Berdasarkan kerangka konsep penelitian serta model struktur yang
disusun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini, terdapat
variabel eksogen yaitu pelaksanaan ritual, variabel antara adalah kesempatan
kerja, dan variabel endogen adalah kesejahteraan masyarakat. Untuk memperoleh
120
data yang valid dan reliabel, maka perlu dilakukan pendefinisian terhadap setiap
variabel tersebut.
Pengukuran variabel-variabel dijabarkan dalam bentuk indikator-
indikator sebagai pengukurnya. Selanjutnya diukur dengan menggunakan skala
yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Setiap item pertanyaan berisi pernyataan
atau pernyataan mengenai indikator-indikator tersebut. Menurut Johnson dan
Christensen (2008), kuesioner adalah sebuah laporan instrumen pengumpulan data
diri yang diisi oleh peserta penelitian. Instrumen dalam penelitian ini berupa
kuesioner dalam bentuk pernyataan, pertanyaan tertutup, dan pertanyaan terbuka.
Instrumen yang berupa kuesioner dikembangkan dalam skala likert (Sugiyono,
2010; Usman et al., 2009). Setiap variabel dikembangkan ke dalam bentuk
pernyataan yang mencerminkan sikap persepsi responden menurut Wijaya (2012),
yakni (1) sangat setuju/sangat baik/sangat tinggi/sangat berpengalaman/sangat
meningkat diberi skor 5, (2) setuju/baik/tinggi/berpengalaman/meningkat diberi
skor 4, (3) cukup setuju/baik//tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 3, (4)
kurang setuju/baik/tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 2, (5) tidak setuju/
baik/tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 1.
Pengukuran bertujuan agar diperoleh informasi kualitas dari variabel-
variabel dalam bentuk kontinum nilai total terendah (sama dengan jumlah
indikator) dan nilai total tertinggi (sama dengan jumlah skor maksimal). Seluruh
data yang dianalisis merupakan data ordinal yang diukur berdasarkan persepsi dari
responden, variabel yang diidentifikasi selanjutnya didefinisikan secara
operasional sebagai berikut.
121
1) Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih merupakan persembahan
suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun
temurun kewajiban membayar hutang Dewa Rna kepada Tuhan Yang Maha
Esa atau Ida Sanghyang Widi sesuai ajaran Agama Hindu. Variabel
pelaksanaan ritual direfleksikan dengan indikator terdiri atas:
a) Labda karya adalah pelaksanaan ritual berjalan sukses dan lancar sesuai
jadwal ritual (dudonan karya) secara sekala niskala.
b) Manggala karya adalah ketulusiklasan masyarakat pengempon pura
menjadi panitia karya sesuai tugas dan tanggungjawabnya masing-
masing.
c) Keharmonisan adalah hubungan yang sangat baik, serasi, harmonis antar
pengempon pura.
d) Tenaga kerja, yaitu dengan ketulusiklasan waktu yang dicurahkan
pengempon pura untuk gotong royong selama ritual berlangsung.
e) Bahan ritual yang dibutuhkan sebagian besar (90,91 persen) tersedia di
sekitar daerah Abiansemal dan hanya (9,09 persen) berasal dari luar Bali.
Didukung beberapa teori dan konsep, yaitu Teori Konsumsi Keynes
(1936) pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik. Konsep
Max Weber (1930) dan Konsep Bourdieu (1977), bahwa aktivitas agama
mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya. Teori Religiusitas
Geertz (1973), agama menganalis makna dari simbol-simbol membangun
motivasi yang kuat dan tahan lama serta hubungannya dengan struktur
masyarakat. Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, yaitu:
122
’Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmanah’. Artinya siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima. Penjelasan selengkapnya sebagaimana disajikan Tabel 4.1
Tabel 4.1 Definisi Operasional Indikator Variabel Pelaksanaan ritual (PR)
Indikator Variabel
Terukur Definisi Pengukuran Labda Karya
(pr1) Kesuksesan, kelancaran dalam pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih.
Skala likert 1-5
Manggala Karya (pr2)
Ketulusiklasan masyarakat pengempon pura sebagai panitia/prawartaka karya dalam pelaksanaan ritual
Skala likert 1-5
Keharmonisan
(pr3) Hubungan yang sangat baik, harmonis, dan ketentraman sesama pengempon pura gotong royong dalam pelaksanaan ritual
Skala likert 1-5
Tenaga kerja
(pr4) Ketulusiklasan waktu yang dicurahkan oleh pengempon pura untuk gotong royong dalam pelaksanaan ritual
Skala likert 1-5
Bahan Ritual
(pr5) Kemudahan atau tersedia bahan-bahan ritual di sekitar lokasi ritual Abiansemal.
Skala likert 1-5
Sumber: Kitab Suci Hindu Bhagavadgita, IX: 26, Teori Religiusitas Geertz (1973), Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977) dan Kriteria Lampiran 12
2) Kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan
tersedianya lapangan kerja yang siap diisi oleh para penawar tenaga kerja atau
pencari pekerjaan. Kedudukan atau status pekerjaan dari yang mengerjakan
sendiri tanpa dibantu orang lain sampai mempekerjakan karyawan dengan
memberi gaji atau upah. Pengukuran kriteria kesempatan kerja menurut BPS
Provinsi Bali, (2011). Variabel kesempatan kerja direfleksikan dengan
indikator terdiri atas:
a) Lapangan usaha adalah bidang usaha pada kesempatan kerja seperti
bidang usaha dagang bahan-bahan ritual dan bidang usaha jasa kesenian
yang berbasis budaya religius.
123
b) Kualitas kesempatan kerja adalah kualitas pekerjaan hubungannya dengan
pendapatan
c) Kuantitas kesempatan kerja adalah curahan jam kerja terhadap
kesempatan kerja
d) Sifat kesempatan kerja adalah kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja
yang sifatnya temporer sampai permanen.
Penjelasan selengkapnya sebagaimana disajikan Tabel 4.2
Tabel 4.2 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesempatan Kerja (KK)
Indikator Variabel
Terukur Definisi Pengukuran
Lapangan usaha
(kk1)
Keterkaitan bidang pekerjaan responden dalam pelaksanaan ritual, misalnya usaha dagang bahan-bahan ritual
Skala likert 1-5
Kualitas kesempatan kerja
(kk2)
Status pekerjaan responden dalam melakukan pekerjaan dari berusaha sendiri sampai memperkerjakan karyawan dengan memberikan upah/gaji
Skala likert 1-5
Kuantitas kesempatan kerja
(kk3)
Curahan jam kerja responden dalam melaksanakan pekerjaan, misalnya semakin lama jumlah jam kerja maka semakin baik pendapatan
Skala likert 1-5
Sifat kesempatan kerja (kk4)
Kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai permanen/ berkelanjutan
Skala likert 1-5
Sumber: Kriteria BPS Provinsi Bali, 2011. dan Kriteria Lampiran 12 3) Kesejahteraan Masyarakat adalah dapat terpenuhinya kebutuhan dasar baik
yang bersifat material maupun nonmaterial yang mencakup aspek
pendapatan, pendidikan, kesehatan. keamanan, dan kehidupan sosial atau
tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat lahir bathin. Variabel
kesejahteraan masyarakat direfleksikan dengan indikator terdiri atas:
124
a) Tingkat pendapatan adalah pendapatan riil keluarga yang siap dikonsumsi
atau dibelanjakan
b) Derajat pendidikan adalah pendidikan yang dicapai secara formal (melek
huruf dan ratarata lama sekolah)
c) Derajat kesehatan adalah rata-rata frekuwensi berobat ke rumah sakit per
bulan
d) Kondisi kehidupan sosial adalah keharmonisan, ketentraman, dan saling
menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluarga,
antar banjar dan antar masyarakat sekitarnya.
Pengukuran kriteria kesejahteraan masyarakat menurut BPS Provinsi
Bali, (2011). Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Amartya Sen,
1992; Stiglitz et al., 2011; Grootaert, 1998; Bronsteen et al., 2009; dan
Qomariah, 2009), penjelasan selengkapnya sebagaimana Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Indikator Variabel
Terukur Definisi Pengukuran
Tingkat Pendapatan (km1)
Peningkatan pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi atau dibelanjakan
Skala likert 1-5
Derajat Pendidikan (km2)
Peningkatan pendidikan keluarga responden terakhir yang dicapai
Skala likert 1-5
Derajat Kesehatan (km3)
Peningkatan derajat kesehatan keluarga responden, misalnya semakin sehat maka semakin kecil frekuensi berobat per bulan
Skala likert 1-5
Kondisi kehidupan
Sosial (km4)
Keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar pengempon pura, antar banjar, antar masyarakat lingkungan, dan antar desa.
Skala likert 1-5
Sumber: Kriteria BPS Provinsi Bali, 2011 dan Kriteria Lampiran 12
125
4.5 Jenis dan Sumber Data
4.5.1 Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer
kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dengan melakukan survei lapangan serta
data sekunder sebagai supporting data berupa existing statistic data.
1) Data Primer. Pengumpulan data primer dengan kuesioner dan in-depth
interview melalui informan kunci dan ahli.
2) Data Sekunder. Pengumpulan data yang berupa existing statistic data
dilakukan dengan mengumpulkan data-data statistik Provinsi Bali dan
Kabupaten Badung.
4.5.2 Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dari semua populasi dengan
membagikan kuesioner yang dirumuskan secara terstruktur, sistematis dan expert
pada permasalahan, sehingga memungkinkan data yang diperoleh merupakan data
yang mempunyai nilai obyektivitas yang tinggi sesuai dengan pengetahuan atau
persepsi individu tentang obyek sikap (kognitif) karena pengetahuan atau
pemahaman, keterampilan (skill) dalam menghadapi persoalan yang diteliti.
Pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya
dengan melakukan wawancara mendalam (In-depth Interview) dengan responden
dan mengumpulkan data melalui informan kunci dan ahli. Sebagai informan kunci
dan ahli adalah orang yang dianggap memiliki kompetensi pada bidang yang
terkait dengan pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih.
126
4.6 Populasi, Sampel Penelitian dan Informan
4.6.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah kepala keluarga pengempon Pura Pasek
Preteka dan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek
Preteka Desa Abiansemal. Jumlah Kepala keluarga masyarakat pengempon pura
yang tinggal di wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal Kabupaten
Badung adalah sebanyak 108 kepala keluarga dan 22 pemasok bahan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka. Jumlah populasi penelitian
ini adalah 130 responden. Untuk memenuhi persyaratan analisis kuantitatif yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model Structural Equation Model (SEM)
pengolahan data menggunakan program Analysis of Moment Structural (AMOS)
versi 20,0. Semua masyarakat pengempon pura duduk dalam struktur panitia
(manggalaning karya), sebagaimana disajikan Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Jumlah Responden Rumah Tangga Pengempon Pura Yang Melaksanakan Ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung Tahun 2012
No Seksi Jumlah Responden
(Orang) 1 Upakara 40 2 Sarana Prasarana (Bangunan) 23 3 Pengadaan Bahan-Bahan Ritual 10 4 Konsumsi 14 5 Kesenian/hiburan (Wewalian) 10 6 Transportasi dan Perlengkapan 4 7 Kesehatan dan Dokumentasi 2 8 Penasehat, Ketua Panitia, Sekretaris,
Bendahara karya, dan Wakil Bendahara 5
Jumlah 108 Sumber: Panitia Karya (data diolah Peneliti), 2012
127
Responden pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura
Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung
sebanyak 22 pemasok, sebagaimana disajikan Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Jumlah Responden Pemasok Bahan- Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Tahun 2012
Sumber: Panitia Karya (data diolah Peneliti), 2012
Responden penelitian 130 responden terdiri dari 108 responden kepala
keluarga pengempon pura dan 22 responden pemasok bahan ritual, sebagaimana
disajikan Tabel 4.6
Tabel 4.6 Kriteria Responden Penelitian Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2012
No Kriteria Jumlah Responden (orang)
1 Pengempon Pura 108 2 Pemasok bahan-bahan ritual 22
Jumlah 130
Sumber: Panitia Karya (data diolah Peneliti), 2012
No Bahan Jumlah Responden Pemasok (Orang)
1 Bambu 5 2 Babi 2 3 Uang Kepeng, tiker dll 2 4 Kelapa 2 5 Bebek dan Ayam 1 6 Beras 2 7 Kain Kasa 2 8 Telor bebek 1 9 Pajeng 1
10 Janur 1 11 Minyak Goreng 1 12 Pisang dan buah-buahan 1 13 Bunga 1
Jumlah 22
128
4.6.2 Penentuan Informan Kunci dan Ahli
Penelitian ini, menggunakan sampel jenuh atau penelitian sensus atau
populasi, semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2010).
Dalam pengumpulan data pada studi kasus Haymon et al.(2008), maka proses
yang harus dilakukan, di antaranya: 1) analisis mendetail dan mendalam kasus
yang dipilih, 2) berusaha memahaminya dari sudut pandang komunitas penelitian,
3) membangun komunikasi secara harmonis, 4) memahami aspek komunikasi dan
pengalaman-pengalaman yang terjadi, dan 5) menjaga keharmonisan antara
peneliti dengan obyek sekaligus melakukan pencatatan.
Pemilihan informan dengan menggunakan kouta sampling sebagai
informan dipilih 12 orang yang dianggap memiliki kompetensi pada bidang yang
terkait dengan pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih terdiri atas
sepuluh informan kunci dan dua informan ahli. Informan yang terpilih adalah
orang yang memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan penelitian secara
mendalam dan jelas, memahami secara mendalam tentang ritual. Penentuan
jumlah informan tidak menggunakan metode tertentu karena sampai saat ini
belum ada panduan dalam studi kualitatif untuk menentukan berapa banyak data
dan analisis apa yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan atau teori.
Menurut Stainback dalam Sugiyono (2010) syarat-syarat informan berdasarkan
metode spradley yaitu: responden yang memiliki pemahaman pelaksanaan ritual,
sehingga mampu memberikan informasi; responden yang terlibat secara aktif
dalam pelaksanaan ritual; responden yang dianggap mempunyai waktu cukup
129
memberikan informasi; responden yang mampu memberikan jawaban apa adanya;
dan informan yang ditetapkan telah terdaftar sebagai responden kuantitatif.
4.6.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan denga cara sebagai berikut.
1) Wawancara Terstruktur
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan yang
telah disiapkan sebelumnya terkait dengan variabel-variabel yang diteliti
(Sugiyono, 2010). Variabel-variabel yang diteliti meliputi pelaksanaan
ritual, kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi masyarakat untuk
mendukung studi kuantitatif. Wawancara dilakukan terhadap seluruh
masyarakat yang melaksanakan ritual dan para pemasok.
2) Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara dilakukan terhadap informan kunci untuk mendukung analisis
studi kualitatif. Wawancara mendalam dilakukan secara tidak terstruktur,
fleksibel dalam suasana informal dan dapat dilakukan secara berulang-
ulang. Wawancara informal bertujuan menggali informasi lebih lengkap,
lebih mendalam dan lebih jelas terutama terkait dengan persepsi mengenai
manfaat yang dipetik secara sosial, budaya dan ekonomi berkenaan dengan
pelaksanaan ritual. Untuk mendukung validitas informasi dalam wawancara
dibantu dengan alat perekam tape recorder dan kamera untuk merekam
gambar ketika wawancara sedang berlangsung.
3) Observasi Aktif Secara Tak Terstruktur
Tujuannya untuk mengembangkan fokus observasi, tidak menggunakan
instrumen yang baku tetapi hanya rambu-rambu pengamatan dalam studi
130
kualitatif (Sugiyono, 2010). Observasi berpartisipasi aktif dilakukan untuk
melihat dan meneliti profil masyarakat pengempon pura dan pemasok
meliputi: tempat dimana kegiatan dilaksanakan, pelaku yang melakukan
kegiatan (ngayah) berkenaan dengan pelaksanaan ritual ini. Dalam hal ini
fokus wawancara adalah konstruk yang tidak sejalan dengan landasan teori.
4) Triangulasi
Tujuan metode triangulasi bukan untuk mencari kebenaran fenomena tetapi
lebih pada pemahaman peneliti terhadap apa yang ditemukan (Stainback,
1988). Triangulasi merupakan pengumpulan data sekaligus menguji
kredibilitas data dengan menggunakan metode triangulasi teknik dan
triangulasi sumber (Miles dan Huberman, 1984 dalam Moleong, 2002).
Triangulasi teknik adalah metode pengumpulan data dengan teknik yang
berbeda untuk informan kunci yang sama, yakni dengan mencatat hasil
wawancara, merekam menggunakan tape recorder dan memotret dengan
kamera. Triangulasi sumber adalah metode pengumpulan data dari informan
(nara sumber) yang berbeda-beda dalam hal ini terhadap 12 informan kunci
(Sugiyono, 2010). Triangulasi juga dilakukan dengan membandingkan data
yang diperoleh dari responden melalui questioner dengan data yang
diperoleh dari informan melalui in-depth interview, sedangkan data in-depth
interview dibandingkan dengan observasi aktif secara langsung, metode
triangulasi ini bertujuan untuk meningkatkan reliabilitas data penelitian.
Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan secara terus menerus sampai
datanya jenuh.
131
4.7 Instrumen Penelitian
Pada metode kualitatif instrumen penelitian yang digunakan adalah
dengan cara wawancara mendalam dengan membawa pedoman wawancara yang
dilengkapi dengan buku catatan, kamera, recorder, dan lain sebagainya
(Sugiyono,2010). Manfaat sosial, budaya dan ekonomi yang diperoleh masyarakat
pengemppon pura dengan terlaksana ritual ini, Menurut Asch (1946), bahwa
persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, apa yang ada
dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi yang dikemukakan karena
perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama,
adanya stimulus hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan
individu lain.
Metode kuantitatif instrumen penelitian yang digunakan adalah berupa
kuesioner yang diisi oleh responden (Sugiyono, 2010). Variabel-variabel
penelitian didasarkan atas indikator pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan
kesejahteraan masyarakat dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan sehingga
menjadi suatu instrumen penelitian. Instrumen yang disusun peneliti berdasarkan
kajian literatur dan kuesioner tersebut belum pernah digunakan atau diuji
kesahihannya, baik oleh peneliti sendiri mapun orang lain. Oleh sebab itu,
sebelum digunakan untuk pengumpulan data di lapangan, maka perlu diuji tentang
kesahihan (validity) dan keandalan (reliable).
4.7.1 Pengujian Validitas Kuesioner
Uji Validitas kuesioner (daftar pertanyaan) dilakukan untuk mengetahui
kemampuan suatu daftar pertanyaan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
132
Daftar pertanyaan yang digunakan dalam penelitian belum diketahui tingkat
validitas dan reliabilitasnya. Untuk itu dilakukan uji validitas setiap item
pertanyaan dan reliabilitas dari daftar pertanyaan yang digunakan pada penelitian
ini. Suatu instrumen ukur yang tidak reliabel atau tidak valid akan memberikan
informasi yang tidak akurat mengenai keadaan subyek atau individu yang dikenai
tes itu. Apabila informasi yang keliru itu dengan sadar atau tidak sadar digunakan
sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan suatu kesimpulan dan keputusan
maka tentulah kesimpulan dan keputusan itu tidak akan merupakan kesimpulan
dan keputusan yang tepat (Saifuddin Azwar, 2006 ) .
Kriteria pengujian validitas adalah dengan membandingkan rhitung dengan
rtabel, pada taraf signifikan 95 persen atau = 5 persen. Menurut Sugiyono
(2010), item pertanyaan disebut valid jika butir pertanyaan memiliki rhitung > rstandar
= 0,30. Dalam hal ini, yang dimaksudkan rhitung untuk setiap item pertanyaan
adalah koefisien korelasi product moment antara skor masing-masing item
tersebut dengan total skor seluruh item yang dinotasikan dengan Corrected Item
Total Correlatian pada hasil perhitungan program SPSS untuk setiap item
pertanyaan dari sebuah variable (Singgih Santoso, 2005).
4.7.2 Pengujian Reliabilitas Kuesioner
Untuk menguji reliabilitas sebuah daftar pertanyaan dari sebuah variabel
penelitian digunakan Koefisien Cronbach’s Alpha. Besarnya Koefisien
Cronbach’s Alpha menunjukkan tingkat Reliabilitas daftar pertanyaan tersebut.
Suatu konstruk variabel dikatakan reliabel jika memiliki nilai Cronbach’s > dari
0,60. Perhitungan korelasi product moment dan Koefisien Cronbach’s Alpha
133
dilakukan dengan SPSS versi 21.0. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang
meliputi tiga variabel, yaitu pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan
kesejahteraan masyarakat, maka uji validitas dan reliabilitas dilakukan masing-
masing tiga kali.
4.7.3 Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Hasil pengolahan atau perhitungan koefisien korelasi Corrected Item-
Total Correlation dan Koefisien Cronbach’s Alpha mempergunakan program
SPSS versi 21.0 untuk disajikan (Lampiran 4, 5 dan 6).
1) Analisis Validitas Variabel Pelaksanaan Ritual.
Pada analisis validitas variabel pelaksanaan ritual diperlukan koefisien rhitung,
nilai kritis dan kesimpulan sebagai berikut.
a) Koefisien rhitung, variabel pelaksanaan ritual diukur dengan lima item
pertanyaan sebagaimana tercantum pada kuesioner (Lampiran 1).
Berdasarkan hasil pengolahan SPSS versi 21.0 (Lampiran 4) didapat
koefisien rhitung (Corrected Item-Total Correlation) dari ke-5 item
pertanyaan variabel pelaksanaan ritual (Lampiran 4).
b) Pada analisis validitas ini digunakan besaran nilai kritis (batas penerimaan
dan penolakan) validitas yaitu 0,30.
c) Untuk menarik kesimpulan maka dibuat Tabel 4.7 dengan mengacu data
(Lampiran 4).
134
Tabel 4.7 Corrected Item Total Correlation dan rtabel
Variabel Pelaksanaan Ritual (PR)
No
Item
rhitung (Corrected Item-Total
Correlation)
Nilai kritis
Keterangan
1 2 3 4 5
pr1 pr2 pr3 pr4 pr5
0,356 0,524 0,733 0,790 0,306
0,30 0,30 0,30 0,30 0,30
rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid
Keterangan: pr1=labda karya, pr2=manggala karya, pr3=keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5=bahan ritual Sumber: Lampiran 4
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa semua item pertanyaan variabel
pelaksanaan ritual adalah valid. Dengan demikian, maka semua item
pertanyaan variabel pelaksanaan ritual tersebut adalah valid untuk mengukur
variabel pelaksanaan ritual, sehingga semuanya diikut sertakan pada analisis
lanjut.
2) Analisis Reliabilitas Variabel Pelaksanaan Ritual
Dalam analisis ini dilakukan perbandingan Cronbach’s Alpha (koefisien
hitung reliabilitas alpha) seluruh item pertanyaan pelaksanaan ritual. Dari
pengolahan SPSS versi 21.0 (Lampiran 4) untuk daftar pertanyaan variabel
pelaksanaan menunjukkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha = 0,758.
Sedangkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha minimum ditentukan 0,60.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa Cronbach’s Alpha =
0,758> 0,60. Hal ini berarti bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) pelaksanaan
ritual adalah reliabel. Dengan demikian, maka daftar pertanyaan variabel
pelaksanaan ritual yang terdiri dari 5 item pertanyaan adalah reliabel untuk
mengukur variabel pelaksanaan ritual.
135
3) Analisis Validitas Variabel Kesempatan Kerja
Pada analisis validitas variabel kesempatan kerja diperlukan koefisien rhitung,
nilai kritis dan kesimpulan.
a) Koefisien rhitung variabel kesempatan kerja diukur dengan empat item
pertanyaan sebagaimana tercantum pada kuesioner (Lampiran 1).
Berdasarkan hasil pengolahan SPSS versi 21.0 didapat koefisien rhitung
(Corrected Item-Total Correlation) dari ke-4 item pertanyaan variabel
kesempatan kerja, seperti (Lampiran 5).
b) Pada analisis validitas ini digunakan besaran nilai kritis (batas penerimaan
dan penolakan) validitas yaitu 0,30.
c) Untuk menarik kesimpulan maka dibuat Tabel 4.8 dengan mengacu data
(Lampiran 5).
Tabel 4.8 Corrected Item Total Correlation dan rtabel
Variabel Kesempatan Kerja (KK)
No
Item rhitung
(Corrected Item-Total
Correlation)
Nilai kritis Keterangan
1 2 3 4
kk1 kk2 kk3 kk4
0,501 0,323 0,486 0,515
0,30 0,30 0,30 0,30
rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid
Keterangan: kk1=lapangan usaha, kk2=kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4= sifat kesempatan kerja
Sumber: Lampiran 5
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa semua item pertanyaan variabel
kesempatan kerja adalah valid. Dengan demikian, maka semua item
pertanyaan variabel kesempatan kerja tersebut adalah valid untuk mengukur
136
variabel kesempatan kerja, sehingga semuanya diikut sertakan pada analisis
lanjut.
4) Analisis Reliabilitas Variabel Kesempatan Kerja
Dalam analisis ini dilakukan perbandingan Cronbach’s Alpha
(koefisien hitung reliabilitas alpha) seluruh item pertanyaan kesempatan kerja
hasil pengolahan dengan nilai 0,60. Dari pengolahan SPSS versi 21.0
(Lampiran 5) menunjukkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha = 0,660.
Sedangkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha minimum ditentukan 0,60.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa Cronbach’s Alpha =
0,660> 0,60. Hal ini berarti bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) Kesempatan
Kerja adalah reliabel. Dengan demikian, maka daftar pertanyaan variabel
kesempatan kerja yang terdiri dari 4 item pertanyaan adalah reliabel untuk
mengukur variabel kesempatan kerja.
5) Analisis Validitas Variabel Kesejahteraan Masyarakat.
Pada analisis validitas variabel kesejahteraan masyarakat diperlukan koefisien
rhitung, nilai kritis dan kesimpulan.
a) Koefisien rhitung variabel kesejahteraan masyarakat diukur dengan empat
item pertanyaan sebagaimana tercantum pada kuesioner (Lampiran 1).
Berdasarkan hasil pengolahan SPSS versi 21.0 didapat koefisien rhitung
(Corrected Item-Total Correlation) dari ke 4 item pertanyaan variabel
kesejahteraan masyarakat seperti (Lampiran 6).
b) Pada analisis validitas ini digunakan besaran nilai kritis (batas
penerimaan dan penolakan) validitas yaitu 0,30.
137
c) Untuk menarik kesimpulan maka dibuat tabel 4.9 dengan mengacu data
(Lampiran 6).
Tabel 4.9 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)
No
Item rhitung
(Corrected Item-Total Correlation)
Nilai kritis
Keterangan
1 2 3 4
km1 km2 km3 km4
0,633 0,423 0,513 0,653
0,30 0,30 0,30 0,30
rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid
Keterangan: km1=tingkat pendapatan, km2=derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4= kondisi kehidupan sosial Sumber: Lampiran 6
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa semua item pertanyaan variabel
kesejahteraan masyarakat adalah valid. Dengan demikian, maka semua item
pertanyaan variabel kesejahteraan masyarakat tersebut adalah valid untuk
mengukur variabel kesejahteraan masyarakat, sehingga semuanya diikut
sertakan pada analisis lanjut.
6) Analisis Reliabilitas Variabel Kesejahteraan Masyarakat
Dalam analisis ini dilakukan perbandingan Cronbach’s Alpha
(koefisien hitung reliabilitas alpha) seluruh item pertanyaan Kesejahteraan
Masyarakat. Dari pengolahan SPSS versi 21.0 pada Lampiran 6 menunjukkan
besarnya koefisien Cronbach’s Alpha = 0,752. Sedangkan besarnya koefisien
Cronbach’s Alpha minimum ditentukan 0,60. Berdasarkan ketentuan tersebut
dapat dinyatakan bahwa Cronbach’s Alpha = 0,752>0,60. Hal ini berarti
bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) kesejahteraan masyarakat adalah reliabel.
Dengan demikian, maka daftar pertanyaan variabel kesejahteraan masyarakat
yang terdiri dari 4 item pertanyaan adalah reliabel untuk mengukur variabel
kesejahteraan masyarakat.
138
4.8 Teknik Analisis Data
4.8.1 Analisis Deskriptif
Setelah data diperoleh dalam rangka mencapai tujuan penelitian
selanjutnya dianalisis berdasarkan teknik analisis deskriptif. Analisis deskriptif
digunakan dalam penelitian ini, untuk menjawab rumusan masalah poin 1, 2, 3.
Tujuan penelitian yaitu: pertama, untuk mengetahui manfaat sosial, budaya dan
ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih; kedua, untuk mengetahui besarnya multipier
effect pengeluaran ritual; dan ketiga, untuk mengetahui besarnya tambahan
pendapatan pemasok bahan-bahan ritual. Menghitung besarnya multipier effect
pengeluaran ritual seperti bambu, babi, uang kepeng, kepala, bebek-ayam, kain
kasa, telor, pajeng, janur, pisang dan buah-buahan, minyak goreng, dan bunga
(Tahap I, II, dan Tahap III). Besarnya tambahan pendapatan bagi pemasok bahan-
bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih untuk 13 jenis katagori bahan-bahan
ritual.
4.8.2 Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif merupakan suatu teknik analisis yang menggunakan
statistik inferensial dengan uji statistik. Analisis kuantitatif digunakan untuk
menjawab hipotesis dan rumusan masalah 4 dan 5. Untuk kepentingan pengujian
secara statisik, hasil pengukuran variabel menggunakan indikator-indikator yang
menghasilkan skala nominal atau ordinal ditransformasi supaya berbentuk nilai
skala interval bahkan skala ratio.
139
Pengolahan data menggunakan program AMOS versi 20,0 model SEM
digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. SEM adalah teknik statistik
multivariate yang merupakan kombinasi antara analisis faktor dan analisis
(korelasi), bertujuan untuk menguji hubungan-hubungan antar variabel yang ada
pada sebuah model, baik itu antar indikator dengan konstruknya. Adapun
penggunaan SEM dalam penelitian ini didasari atas pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut. SEM memiliki fleksibelitas yang lebih tinggi bagi peneliti untuk
menghubungkan antara teori dan data (Ghozali, 2010). Fenomena yang diteliti
bersifat multidemensi (multi indikator) sehingga dibutuhkan suatu model
komprehensif yang sekaligus dapat menjadi teknik yang mampu mengakomodasi
penelitian multidimensi (Widarjono,2010). Regresi umumnya hanya dapat
menganalisis satu hubungan pada suatu waktu. Sementara SEM sebagai perluasan
dan kombinasi beberapa teknik multivariat memungkinkan melakukan pengujian
serangkaian hubungan yang rumit secara simultan.
SEM memungkinkan peneliti menjawab pertanyaan penelitian yang
bersifat regresif atau dimensional. Melalui SEM, peneliti dapat mengidentifikasi
beberapa demensi sebuah konstruk sekaligus mengukur pengaruh antar faktor
yang telah diidentifikasi. Analisis jalur (Path Analysis) merupakan bentuk khusus
dari SEM, untuk itu didalam membuat model analisis jalur, seharusnya dilakukan
berdasarkan landasan teori yang ada (Widarjono, 2010). Dukungan teoritik atau
hasil penelitian atau pendapat menunjukkan adanya kontribusi pelaksanaan ritual
dengan kesejahteraan masyarakat melalui kesempatan kerja.
140
Membuat sebuah model SEM (Model Specification) berbasis teori.
Tahapan ini merupakan pengabsahan model artinya teori yang digunakan
berfungsi sebagai justifikasi atas model yang digunakan oleh peneliti. Bahwa
adanya hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih. Justifikasi teoritis
pada penelitian ini dapat dilihat pada kerangka pikir. Selanjutnya Ferdinand,
2006; Solimun, 2004; Widarjono, 2010; dan Santoso, 2005) menyatakan adapun
tahapan pokok yang dilakukan untuk menggunakan SEM dalam penelitian ini
sebagai berikut.
1) Mengkonstruksi Diagram Jalur
Pengembangan diagram jalur bermanfaat untuk menunjukkan alur hubungan
kausal antara variabel eksogen dan endogen. Menggunakan diagram jalur
lebih mudah bagi peneliti untuk melihat antar variabel yang diteliti. Menurut
Widarjono (2010) ada beberapa konversi yang digunakan dalam menganalisis
SEM ketika menggunakan metode grafik. Variabel laten digambarkan oleh
lingkaran atau elips. Variabel indikator digambarkan oleh bujursangkar atau
persegi panjang. Variabel error digambarkan oleh lingkaran atau elips yang
lebih kecil dari variabel laten. Sedangkan hubungan antara variabel dijelaskan
dengan menggunakan baik tanda panah satu arah maupun tanda panah dua
arah. Berdasarkan model persamaan struktural karena setiap persamaan
menjelaskan hubungan kausal yaitu variabel eksogen pelaksanaan ritual
terhadap variabel endogen kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Lebih jelasnya, digambarkan diagram jalur (Path diagram), seperti Gambar
4.2
141
Gambar 4.2 Diagram Jalur Kontribusi Pelaksanaan Ritual terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat.
Keterangan: PR =Pelaksanaan Ritual, pr1=Labda Karya, pr2=Manggala Karya, pr3=Keharmonisan, pr4=Tenaga Kerja, pr5=Bahan ritual. KK=Kesempatan Kerja, kk1=Lapangan usaha, kk2=Kualitas Kesempatan Kerja, kk3=Kuantitas Kesempatan Kerja, kk4=Sifat Kesempatan Kerja. KM=Kesejahteraan Masyarakat, km1=Tingkat Pendapatan, km2=Derajat Pendidikan, km3= Derajat Kesehatan, km4= Kondisi kehidupan Sosial. e = Kesalahan struktural (structural error), β = Koefisien jalur PR ke KK dan KM, = Gamma.
2) Mengkonversi Diagram jalur ke dalam Persamaan Struktural dan Spesifikasi
Model Pengukuran
a) Persamaan Struktural, tahap pertama yang dilakukan adalah
mengkonversi diagram jalur menjadi persamaan struktural. Konversi
diagram jalur kedalam persamaan struktural diformulasikan sebagai
media untuk menjelaskan terjadinya hubungan sebab akibat antar
KKPR
KK
KM
km1
km2
km3
km4
pr3 PR
pr4
pr5
kk3
kk1
β KMKK
pr1
pr2
kk4
kk2
e14
e15
e5
e2
e3
e4
e1 e7
e8
e9
e10
e11
e12
e13
KMPR
e6
142
konstruk. Dalam penelitian ini diagram jalur diterjemahkan menjadi
persamaan struktural sebagai berikut.
KK = KKPR PR+ e14 ..........................................................................................................(4.1)
KM = KMPR PR + e15............................................................................................................(4.2)
KM = KMKK KK + e15........................................................................................................(4.3)
Dimana, PR= Pelaksanaan Ritual, KK= Kesempatan Kerja,
KM= Kesejahteraan Masyarakat, β= Koefisien jalur PR ke KK dan KM,
e = Kesalahan struktural (structural error).
b) Model Pengukuran, tahap kedua adalah pengembangan model
pengukuran (measurement model) untuk mendapatkan model pengukuran
yang sesuai. Measurement model adalah bagian dari model SEM yang
terdiri atas sebuah variable laten (konstruk) dan beberapa variable
manifest (indicator) yang menjelaskan variable tersebut (Santoso, 2011).
Lebih lanjut dikatakan tujuan pengujian adalah untuk mengetahui
seberapa tepat variable-variabel manifest tersebut dapat menjelaskan
variable laten yang ada. Pada penelitian ini dikembangkan 3 (tiga) model
pengukuran untuk tiga variabel laten atau konstruk yang berbeda, yaitu
sebagai berikut.
1. Model pengukuran variabel Pelaksanaan Ritual (PR)
2. Model pengukuran variabel Kesempatan Kerja (KK)
3. Model pengukuran variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)
143
(1) Model pengukuran variabel Pelaksanaan Ritual (PR)
Model pengukuran variabel pelaksanaan ritual, didukung Teori
Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep
Bourdieu (1977), Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, Teori Religiusitas
Geertz (1973). Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian
(Goody, 1961; Guiso at al., 2009; Triguna, 1994; Geriya, 2000;
Sumini, 2008; Sukarsa, 2005; dan Wijaya, 2012), dengan indikator
seperti disajikan Gambar 4.3
Gambar 4.3 Model Pengukuran Variabel Pelaksanaan Ritual
Keterangan: PR=Pelaksanaan Ritual, pr1=Labda Karya, pr2=Manggala Karya, pr3= Keharmonisan, pr4= Tenaga Kerja, pr5= Bahan ritual
Persamaan spesifikasi model pengukuran untuk variabel (konstruk)
Pelaksanaan Ritual (PR) adalah:
pr1 = λ1 PR + e1 .................................................................................(4.4)
pr2 = λ2 PR + e2 ............................................................................... (4.5)
pr3 = λ3 PR + e3 .................................................................................(4.6)
PR
pr1
pr2
pr3
pr4
pr5
e 1
e2
e3
e4
e5
λ1
λ2
λ3
λ4
λ5
144
pr4 = λ4 PR + e4 .................................................................................(4.7)
pr5 = λ5 PR + e5 .................................................................................(4.8)
dimana: PR = Pelaksanaan Ritual, pr1 = Labda Karya, pr2 = Manggala
Karya pr3 = Keharmonisan, pr4 = Tenaga Kerja, pr5 = Bahan Ritual, e
= Kesalahan pengukuran (measurement error).
(2) Model pengukuran variabel Kesempatan Kerja (KK)
Model pengukuran variable kesempatan kerja, didukung
kriteria BPS, 2011 selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian
(Choi, 2004; Ellison et al., 1994; Sulistyaningsih, 1997; Lochart,
2005; Ferlini, 2011; Purwanti, 2009; Puspa, 2010; Wijaya, 2012; BPS
Provinsi Bali , 2011), indikator seperti disajikan Gambar 4.4
Gambar 4.4 Model Pengukuran Variabel Kesempatan Kerja Keterangan: KK = Kesempatan Kerja , kk1 = Lapangan usaha
kk2 = Kualitas Kesempatan Kerja, kk3 = Kuantitas Kesempatan Kerja kk4 = Sifat Kesempatan Kerja
Persamaan spesifikasi model pengukuran untuk variabel (konstruk)
Kesempatan Kerja (KK) adalah:
kk1 = λ1 KK + e6 . ..........................................................................(4.9)
kk2 = λ2 KK + e7 ..........................................................................(4.10)
KK
kk1
kk2
kk3
kk4
e7
e8
e9
λ 1
λ 2
λ 3
λ 4
e6
145
kk3 = λ3 KK + e8 ..........................................................................(4.11)
kk4 = λ4 KK + e9 ..........................................................................(4.12)
dimana: KK = Kesempatan Kerja, kk1 = Indikator lapangan usaha, kk2 =
Indikator Kualitas Kesempatan Kerja, kk3 = Indikator Kuantitas
Kesempatan Kerja, kk4= Indikator Sifat Kesempatan Kerja, e =
Kesalahan pengukuran (measurement error)
(3) Model pengukuran variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Model pengukuran variable kesempatan kerja, didukung kriteria
BPS, 2011 selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Amartya Sen,
1992; Chapra, 2001; Grinols, 1994; Stiglitz, et.al., 2011; Wijaya, 2012;
dan BPS Bali, 2011), indikator seperti disajikan Gambar 4.5
Gambar 4.5 Model Pengukuran Variabel Kesejahteraan Masyarakat Keterangan: KM = Kesejahteraan Masyarakat, km1=Tingkat Pendapatan, km2 = Derajat Pendidikan, km3 = Derajat Kesehatan,
km4 = Kondisi kehidupan Sosial
Persamaan spesifikasi model pengukuran untuk variabel
(konstruk) kesejahteraan masyarakat adalah:
km1 = λ KM + e10 ..........................................................................(4.13)
km2 = λ KM + e11 .............................................................................(4.14)
KM
km1
km2
km3
km4
e10
e11
e12
e13
λ 5
λ 6
λ 7
λ 8
146
km3 = λ KM + e12 ............................................................................(4.15)
km4 = λ KM + e13 ..............................................................................(4.16)
Dimana: KM = Kesejahteraan Masyarakat, km1= Indikator Tingkat
Pendapatan, km2= Indikator Derajat Pendidikan, km3= Indikator Derajat
Kesehatan, km4= Indikator Kondisi kehidupan Sosial, e= Kesalahan
pengukuran (measurement error)
3) Pemilihan Matriks Input dan Pendugaan Model
Penggunaan data input untuk SEM dapat berupa matriks korelasi atau matriks
kovarians. Input data berupa matriks kovarian, bilamana tujuan dari analisis
adalah pengujian suatu model yang telah mendapat justifikasi teori.
Sedangkan matriks korelasi digunakan untuk melihat pola hubungan tetapi
tidak melihat penjelasan total. Sebelum dilakukan estimasi, terlebih dahulu
dilakukan perubahan data individu dari hasil observasi kedalam bentuk
matriks kovarian atau matriks korelasi.
4) Pengujian Identifikasi Model Struktural
Identifikasi berkaitan dengan apakah tersedia cukup informasi untuk
mengidentifikasi adanya solusi dari persamaan struktural. Permasalahan yang
muncul bisa unidentified atau under identified dan bisa over identified yang
mengakibatkan proses pendugaan tidak menghasilkan penduga yang unik,
dan model tidak bisa dipercaya. Gejala yang muncul akibat adanya masalah
identifikasi antara lain terdapat standard error satu atau beberapa koefisien
terlalu besar, ketidakmampuan program menyajikan matriks informasi yang
147
seharusnya disajikan seperti varians error yang negatif dan terjadi korelasi
yang tinggi (>0,9) antar koefisien hasil dugaan.
5) Model Uji Kelayakan (Goodness of Fit) dan Uji Signifikasi
a). Uji Kelayakan Model
Langkah pertama yang ditempuh adalah memeriksa kesesuaian data input
dan asumsi yang diperlukan SEM, seperti kriteria goodness-of-Fit meliputi
absolute fit indices, incremental fit indices, parsimony fit indeces
(Ferdinan, 2006; Widarjono, 2010). Kriteria goodness-of-Fit, yang umum
dipergunakan dalam analisis SEM, juga digunakan dalam penelitian ini
disajikan sebagai berikut.
(1) Uji Chi Squares (X2). Tujuan pengujian Chi Squares adalah untuk
mengetahui apakah matriks kovarians sampel berbeda secara
signifikan dengan matrik kovarians estimasi. Suatu model dipandang
baik atau layak apabila Chi Squares-nya memiliki nilai yang rendah.
Semakin kecil nilai (X2) maka akan semakin baik model tersebut dan
menghasilkan tingkat probability yang mempunyai p > 0,05.
(2) Goodness of Fit Index (GFI). Indeks ini menghitung proporsi
tertimbang antara jumlah varians dalam estimated covariance matrix
dengan jumlah varians dalam sample covarians matrix. GFI memiliki
rentang nilai antara 0 sampai dengan 1 (0 ≤ GFI ≤ 1). Semakin tinggi
nilai GFI atau mendekati 1 maka semakin layak model. Model
dianggap layak bila nilai GFI ≥ 0,09 (Widarjono, 2010).
148
(3) Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI). Uji AGFI merupakan uji GFI
yang disesuaikan. AGFI mempunyai rentang nilai antara 0 dan 1 (0 ≤
AGFI ≤ 1). Semakin mendekati 1 nilai AGFI maka semakin baik
model. Namun tidak ada nilai yang pasti untuk menentukan apakah
model layak. Sebagai Cut off Value adalah bila AGFI ≥ 0,80 sebagai
model yang layak (goodness of fit) (Widarjono, 2010).
(4) Root Mean Squares Residual (RMSR). RMSR merupakan indeks
untuk mengkompensasi chi-square statistic dalam sampel besar. Jika
nilai RMSR lebih kecil atau sama dengan 0,08 maka model adalah
baik (fit).
(5) Comparative Fit Index (CFI). Indeks ini pada dasarnya
membandingkan angka Non Centrality Parameter pada berbagai
model. CFI memiliki rentang nilai antara 0 sampai 1, dengan
ketentuan jika nilai mendekati 1 maka model yang dibuat dianggap
sesuai (fit). Pada umumnya nilai di atas 0,9 menunjukkan model sudah
fit (Santoso, 2011).
(6) Tucker Lewis Index (TLI). TLI merupakan suatu incremental fit index
yang membandingkan model yang diuji dengan baseline model. Nilai
TLI yang diperlukan untuk sebuah model yan dianggap sesuai (model
dapat dianggap fit) adalah yang mendekati angka 1 (Santoso, 2011)
Berdasarkan uraian di atas, maka kelayakan hasil pengujian
Goodness of Fit model pada SEM harus memiliki ketentuan sebagaimana
yang tertera Tabel 4.8 (Ferdinnd, 2006).
149
Tabel 4.10 Indeks Pengujian Kelayakan (Goodness of Fit Index) SEM
Goodness of Fit Index Cut-Off Value X2 –chi square Diharapkan kecil Significan Probability ≥ 0,05 RMSEA ≤ 0,08 CFI ≥ 0,90 AGFI ≥ 0,90 CMIN/DF ≤ 2,0 TLI ≥ 0,95 CFI ≥ 0,95
Sumber: Ferdinnd, 2006
b). Uji Signifikansi
Hubungan antar variable di dalam model SEM adalah hubungan kausl
sebagaimana hubungan dalam analisis regresi. Ada tidaknya hubungan
kausal diuji dengan menggunakan uji statistika t. Melalui uji statistika t
diketahui apakah variable laten signifikan atau tidak terhadap variable laten
lainnya. Dalam penelitian nilai e yang digunakan adalah 0,05 dengan
demikian jika nilai t hitung lebih besar nilai table (e = 0,05) maka variable
laten dikatakan signifikan, dan jika tidak maka tidak signifikan (Widarjono,
2010).
Selanjutnya asumsi yang harus dipenuhi saat menggunakan metode
SEM diantaranya, yaitu: Penggunaan SEM membutuhkan jumlah sampel
yang besar; Uji normalitas yang dilakukan pada SEM ada dua tahapan
(menguji normalitas untuk setiap variable dan pengujian normalitas secara
bersama-sama yang disebut multivariate normality); Mendeteksi adanya
outlier diukur dengan metode mahalanobis, sebuah data termasuk outlier
jika mempunyai angka p1 dan p2 kurang dari 0,05. Jika terdapat data outlier
maka data tersebut haruslah dihapus langkah berikutnya dilaksanakan uji
normalitas dan deteksi outlier dapat diulang kembali (Widarjono, 2010).
150
4.8.3 Analisis Interaksi Secara Interpretif untuk Desain Kualitatif
Analisis kualitatif adalah untuk menganalisis data dengan cara
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpulkan
sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum
atau generalisasi. Termasuk dalam statistik deskriptif antara lain adalah penyajian
data melalui tabel, grafik, diagram, pengukuran tendensi sentral (Modus, median,
mean), perhitungan penyebaran data (perhitungan rata-rata dan standard deviasi)
dan perhitungan persentase (Sugiyono, 2010).
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis
transkrip wawacara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang telah terhimpun
untuk memperoleh jalan pengetahuan mengenai data tersebut dan
mengkomunikasikan apa yang telah ditemukan. Oleh karena data dalam penelitian
ini berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam
bentuk narasi yang bersifat deskriptif sebagai ciri khas dari penelitian kualitatif,
maka teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif dengan
menggunakan kalimat walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat data yang
berupa angka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman dalam
Moleong (2002) bahwa analisis deskriptif dilakukan melalui tiga jalur kegiatan
yang merupakan satu kesatuan, yaitu: reduksi data; penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi dalam waktu bersamaan. Analisis ini bertujuan untuk
menjelaskan hubungan variabel laten yang tidak sesuai dengan landasan teoritis
sebagai variabel yang mempengaruhi. Tahapan analisis meliputi berikut ini.
1) Analisis sebelum di lapangan yaitu analisis dilakukan terhadap hasil studi
pendahuluan dipergunakan sebagai fokus penelitian sementara. Fokus
151
penelitian dapat mengalami perubahan tergantung fenomena yang ditemukan
dilapangan.
2) Analisis data lapangan yaitu analisis secara langsung terhadap jawaban yang
diberikan informan bila jawaban kurang memuaskan maka peneliti akan
memberikan pertanyaan lanjutan sampai diperoleh data yang dianggap
kredibel. Proses wawancara dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus
menerus sampai tuntas dengan menggunakan metode Miles dan Huberman
(Sugiyono, 2010) seperti terlihat Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Hubungan Interaktif Alur Data Penelitian Kualitatif (Miles dan
Huberman, 1984) Sumber: Sugiyono (2010)
Setelah data terkumpul, tindakan peneliti selanjutnya reduksi data,
yaitu poses merangkum data dengan memilah hal-hal pokok dan
memfokuskan pada hal-hal penting sesuai dengan fokus studi untuk
memudahkan mencari data dan melengkapi data berikutnya yang diperlukan
dalam analisis. Tahap berikutnya adalah data display, yaitu penyajian data
dalam bentuk uraian singkat hubungan antar katagori secara naratif. Tujuan
dari tahapan ini adalah untuk memudahkan pemahaman terhadap kejadian
dilapangan serta memudahkan proses berikutnya. Tahap terakhir
Pengumpulan Data
Reduksi
Kesimpulan-kesimpulan Penarikan/ Verifikasi
Penyajian Data
152
verification atau kesimpulan sekaligus merupakan temuan dalam penelitian
dengan menggunakan desain kualitatif.
3) Analisis Pasca Lapangan yaitu analisis tema kultural (discovering cultural
thema). Mencari hubungan diantara domain, dan bagaimana hubungan
dengan keseluruhan sesuai fokus analisis atau obyek studi (Sugiyono, 2010).
Keseluruhan tahapan analisis dengan pendekatan kualitatif bertujuan
untuk menemukan kebaharuan atas permasalahan penelitian yang belum mampu
diverifikasi melalui pendekatan kuantitatif, yaitu konstruk yang memiliki
kontribusi yang tidak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat sehingga hasil
analisis kualitatif memberikan penguatan argumentasi guna memvalidasi dan
mereliabilitasi kesimpulan penelitian yaitu kontribusi pelaksanaan ritual terhadap
kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat di Desa Abiansemal Kecamatan
Abiansemal Kabupaten Badung. Seluruh proses studi juga bertujuan menemukan
faktor-faktor penyebab secara pasti analisis yang tidak positif terhadap
kesejahteraan masyarakat menjadi temuan dalam studi desertasi ini dan
selanjutnya merupakan informasi sangat penting dalam pertimbangan
pengambilan keputusan untuk pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Badung.
153
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Deskripsi Karakteristik Desa Adat Abiansemal
Bentuk Desa di Bali terutama didasarkan atas kesatuan tempat.
Disamping kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu kesatuan
keagamaan yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut
Kahyangan Tiga, yaitu Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Dalem. Ada
kalanya Pura Puseh dan Pura Bale Agung dijadikan satu dan disebut Pura Desa.
Adat istiadat daerah Bali adalah tata kehidupan tradisional masyarakat Bali yang
bersumber pada Agama Hindu. Salah satu adat istiadat yang sampai saat ini masih
terlihat adalah mengenai pola perkampungan masyarakat Bali seperti halnya
masyarakat Desa Adat Abiansemal kebiasaan-kebiasaan masyarakat Desa
Abiansemal melakukan kegiatan adat dengan sistem gotong royong masih kuat ini
tercermin setiap aktivitas adat selalu melibatkan krama Desa Adat Abiansemal.
Perkampungan adalah disamakan dengan desa yang merupakan satu kesatuan
wilayah desa pada masyarakat Bali dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun
1979 Desa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Desa Dinas merupakan kesatuan
administratif yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa berada di bawah Camat,
Desa Adat yang dikepalai oleh seorang Bendesa Adat (Rivai Abu, 1996). Dasar
pembentukan Desa Adat dan Desa Dinas memiliki persyaratan yang berbeda,
154
sehingga wilayah dan jumlah penduduk pendukung sebuah Desa Dinas tidak
selalu sama dengan Desa Adat.
Eksistensi Desa Adat di Bali berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Bali
No. 6 Tahun 1986, yang mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa
Adat sebagai kesatuan masyarakat Adat di Propinsi Daerah Bali. Kelembagaan
Desa Adat bersifat permanen dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu Desa Adatnya
sendiri sebagai suatu wadah, dan adat istiadatnya sebagai isi dari wadah tersebut.
Desa Adat Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung merupakan
suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan
masyarakat umat Hindu di Bali. Desa Adat dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu:
Parahyangan (mewujudkan hubungan manusia dengan pencipta-Nya yaitu Hyang
Widhi), Pelemahan (mewujudkan hubungan manusia dengan alam lingkungan
tempat tinggalnya), dan Pawongan (mewujudkan hubungan antara sesama
manusia, sebagai makhluk ciptaan-Nya).
Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, dikepalai
oleh seorang Kepala Desa bernama IB. Bisma Wirawan, SH dan Banjar Adat
dipimpin oleh seorang Bendesa Adat yaitu Made Kandra Suraga. Desa Adat
Abiansemal Kabupaten Badung merupakan kesatuan masyarakat dimana
warganya mengkonsepkan dan mengkolektifkan secara bersama upacara-upacara
keagamaan yakni upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta
Yadnya, dan Pitra Yadnya dalam Panca Yadnya dengan dasar ikatan adat istiadat
dan sistem gotong royong (ngayah) dan terikat oleh adanya tiga pura utama
155
(Kahyangan Tiga) yaitu pura Puseh, pura Desa, dan pura Dalem dan memiliki
sembilan Banjar adat.
Luas wilayah Desa Abiansemal adalah 3,96 Km2 dengan batas-batas
wilayah yaitu: Utara berbatasan dengan Setra Kembengan, Selatan berbatasan
dengan Sungai Campuan Gerih, Barat berbatasan dengan Sungai Yeh Cani, dan
Timur berbatasan Sungai Ayung. Desa Abiansemal meliputi wilayah administrasi
terdiri dari 9 (sembilan) dusun atau banjar adat yaitu: Banjar Juwet, Banjar Pande,
Banjar Kedampal, Banjar Batan Buah, Banjar Belawan, Banjar Banjaran, Banjar
Aseman, Banjar Keraman, dan Banjar Sempidi.
Kondisi geografi Desa Abiansemal dengan ketinggian tanah dari
permukaan laut 80-100 meter termasuk dataran rendah dengan curah hujan
rendah. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan adalah 2,5 km, jarak dari ibu
kota kabupaten 17 km, sedangkan jarak dari ibu kota provinsi 17 km. Luas
pertanahan di wilayah ini adalah 1.995.470 Ha, dari keseluruhan luas wilayah
Desa Abiansemal diperuntukan untuk jalan 23.070 Km2, sawah dan ladang adalah
seluas 237,275 Ha, pemukiman atau perumahan seluas 193,375 Ha, jalur hijau
seluas 830 Ha, perkuburan seluas 3,740Ha. Untuk Pasar Desa seluas 0,200 Ha,
perkantoran seluas 0,200 Ha, tanah pekarangan 193,375 Ha, tanah tegalan
259,160 Ha, tanah perkebunan rakyat 11,250 Ha, tanah Desa lain-lain seluas
0,200 Ha, penggunaan tanah sawah untuk irigasi teknis adalah 243,625 Ha.
Penduduk Desa Abiansemal dapat dibedakan berdasarkan: Jumlah
penduduk sebanyak 6.168 orang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 3.158
orang dan penduduk perempuan sebanyak 3.010 orang; Kewarganegaraan WNI
156
yaitu 6.168 orang; Jumlah Kepala Keluarga adalah 1645 KK; dan jumlah
penduduk berdasarkan Agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
yang terbanyak adalah Agama Hindu 6.088 orang, Agama Islam sebanyak 75
orang dan Agama Kristen hanya 5 orang.
Kelompok umur yang terbanyak adalah 25 tahun ke bawah sebesar 2.805
orang atau 40,48 persen dan kelompok umur terkecil adalah 55 tahun keatas
hanya berjumlah 494 orang atau 8,01 persen. Menurut tingkat pendidikan
terbanyak adalah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat adalah
2.887 orang atau 48,18 persen sedangkan tamat pendidikan yang terkecil
Sekolah Dasar (SD) ke bawah sebanyak 96 orang atau 1,62 persen. Kelompok
tenaga kerja terbanyak adalah 57 tahun keatas sebesar 36,75 persen sebagai
katagori tenaga kerja usia lanjut sedangkan persentase terkecil kelompok umur 19
tahun kebawah hanya sebanyak 10,98 persen. Mata pencaharian terbanyak
sebagai pedagang dan kerajinan bambu adalah 33,10 persen sedangkan persentase
mata pencaharian terkecil sebagai pegawai negeri hanya 18,64 persen.
Sebagaimana umumnya masyarakat Hindu Di Bali, Desa Adat Abiansemal
memiliki Pura Kahyangan Tiga yaitu Pura Dalem tidak bisa dipisahkan dari Pura
Puseh dan Pura Desa dan satu Pura Subak (Monografi Desa Abiansemal, 2011).
5.2 Deskripsi Tentang Profil Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah 130, yaitu 108 responden
pengempon pura dan 22 responden pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan
157
Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka yang diteliti di Desa Abiansemal. Dari
hasil kuesioner yang telah diisi oleh 130 responden, menunjukkan bahwa jumlah
responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 123 orang atau 94,6 persen
dan responden perempuan sebanyak 7 orang atau 5,4 persen, profil responden
sebagai berikut.
1) Dilihat dari umur responden rata-rata 46,81 tahun atau 47 tahun, umur termuda
23 tahun dan tertua 70 tahun. Kelompok umur pengempon pura dan pemasok
menunjukkan umur yang dominan adalah 55 tahun ke atas sebanyak 33,08
persen artinya usia responden terutama pengempon pura Pasek sebagian besar
sudah berusia lanjut, memudahkan dalam pelaksanaan ritual. Walaupun umur
responden 55 tahun keatas, bagi masyarakat pengempon pura dan pemasok
tidak menjadi hambatan. Pada umumnya, kegiatan ritual bagi masyarakat
Hindu di Bali cenderung dilaksanakan oleh masyarakat usia tua seperti tukang
banten (perempuan) dan tukang sate banten (laki-laki). Masyarakat umat
Hindu yang berumur 55 tahun ke atas dianggap memahami mekanisme
pelaksanaan ritual sesuai ajaran agama.
2) Dari segi pendidikan, dominan responden tamatan Sekolah Dasar sebanyak 56
orang atau 43,08 persen, tingkat pendidikan terendah adalah Sekolah Dasar 44
orang atau 33,85 persen. Keberadaan masyarakat pengempon pura dan
pemasok tidak terpengaruh tingkat pendidikan formal, tamatan SD sudah
mampu untuk mengatur pelaksanaan ritual karena diperlukan adalah
keterampilan dan lingkungan kehidupan masyarakat Bali yang religius. Artinya
eksistensi masyarakat Hindu di Desa Adat Abiansemal terutama beberapa
158
masyarakat pengempon pura memiliki pemahaman pelaksanaan ritual Mlaspas
dan Ngenteg Linggih.
3) Mata pencaharian responden, dominan sebagai petani dan usaha kerajinan
bambu adalah 46 orang atau 35,38 persen, pedaganng sebanyak 29 orang atau
22,31 persen dan mata pencaharian paling sedikit adalah sebagai pegawai
negeri 14 orang atau 10,76 persen. Keberadaan rumah tangga pengempon pura
sebagai petani penggarap milik Geriya, pengerajin bambu, dan pegawai swasta
di perusahaan Aqua Mambal.
4) Rata-rata usia usahanya 3,6 tahun, usia terendah 1 tahun dan tertua 10 tahun.
Usia usaha dominan adalah antara 2 sampai 5 tahun atau 45,45 persen, usia
usaha pemasok bahan ritual sangat terkait dengan semakin meningkatnya
intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali. Hal ini, mendorong baik
masyarakat Bali maupun masyarakat luar memanfaatkan kesempatan berusaha
sebagai pemasok, penyalur ataupun sebagai produsen/petani bahan-bahan
ritual. Langkah strategi yang dilakukan oleh masyarakat pemasok
mengembangkan usaha yang telah ada atau mengembangkan usaha baru
ditempat lain. Dari 22 responden pemasok bahan ritual yang diteliti, rata-rata
tenaga kerja yang mampu diserap 3 orang dengan rata-rata jumlah jam kerja
adalah 8 jam per hari (Lampiran 9).
5) Rata-rata pendapatan rumah tangga responden pengempon pura pada bulan
penelitian adalah sebesar Rp 4,56 juta, pendapatan terendah adalah Rp 1,90
juta dan pendapatan tertinggi adalah Rp 7,60 juta per bulan (Lampiran 7). Rata-
rata pendapatan pemasok pada bulan penelitian adalah sebesar Rp 4,70 juta.
159
Responden pemasok dengan pendapatan terendah adalah Rp 2,50 juta dan
tertinggi adalah Rp 9,50 juta (Lampiran 8). Pendapatan tertinggi pedagang
beras sebesar Rp 9,50 juta, tinggi rendah pendapatan pedagang beras
dipengaruhi oleh permintaan bukan tingkat harga. Artinya berapapun harga
beras pasti akan dibeli oleh konsumen karena beras merupakan salah satu
kebutuhan pokok. Untuk permintaan bahan-bahan ritual, sebagaimana
umumnya di Bali sangat dipengaruhi oleh musim dan hari raya Agama Hindu
(dewasa ayu atau musim rerahinan) yaitu dewasa ngaben, upacara Panca
Balikrama, Purnama Tilem, Kajeng keliwon dan hari raya besar Galungan-
Kuningan, berapapun harga bahan-bahan ritual pasti akan dibeli.
6) Rata-rata pengeluaran konsumsi ritual rumah tangga pengempon pura pada
bulan penelitian adalah sebesar Rp 2,20 juta. Responden dengan pengeluaran
terendah adalah Rp1,90 juta dan tertinggi adalah Rp 4,70 juta (Lampiran 7).
Pengeluaran ritual umat Hindu di Bali sepertiga dari pendapatan untuk
beryadnya, sepertiga kedua untuk artha dan sepertiga terakhir untuk kama
dalam mencapai tujuan hidup. Rata-rata pengeluaran konsumsi pemasok per
bulan adalah sebesar Rp 4,10 juta. Responden dengan pengeluaran terendah
adalah Rp 2,20 juta dan tertinggi adalah Rp 8,50 juta per bulan (Lampiran 8).
7) Penggunaan tenaga kerja dalam pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal menunjukkan tingkat
mobilisasi tenaga kerja perempuan yang cukup tinggi dibanding tenaga kerja
laki-laki. Pembagian tenaga kerja dalam pelaksanaan ritual ini berdasarkan
panitia atau seksi karya (Tabel 4.1) telah terspesialisasi antara tenaga
160
perempuan dan laki-laki (berdasarkan pembagian gender). Biasanya pekerjaan
seperti membuat taring, bale panggung dan warung atau sesalon, mebat
dilakukan oleh laki-laki. Sedangkan pekerjaan seperti mejejahitan, metanding
dan prosesi upacara dilakukan oleh tenaga perempuan.
Alokasi Waktu dan Tenaga kerja mulai H-6 sampai hari H Ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Desa Abiansemal Kabupaten
Badung 20 April 2012 , sebagaimana disajikan Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Alokasi Waktu dan Tenaga kerja Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012
(Orang/Mandays)
Hari
Tenaga Kerja Laki- Laki
(orang)
Manday Laki- Laki
Tenaga Kerja
Peremp (orang)
Manday Perempuan
Jumlah Laki-laki dan Perempuan
(orang)
Total Manday
Laki-laki dan Perempuan
H-6 22 77 25 131,25 47 208,25 H-5 86 301 85 446,25 171 747,25 H-4 65 227,5 90 472,5 155 700 H-3 70 245 95 498,75 165 743,75 H-2 115 402,5 120 630 235 1032,5 H-1 120 420 115 603,75 235 1023,75 “H” 222 777 232 1218 454 1995
Jumlah 700 2450 992 4000,5 1462 6450,5
Sumber: Data Primer (diolah oleh Peneliti), 2012
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa alokasi tenaga kerja terlihat mulai
H–6 sampai hari H diperlukan total tenaga kerja laki-laki dan tenaga
perempuan sebanyak 1462 rang. Jika total semua orang yang datang ngayah
dan dikonversi dengan mandays (laki-laki dewasa 8 mandays dan
perempuan dewasa 0,8 mandays) adalah 6450,5 mandays tepatnya 6450
mandays.
161
Alokasi penggunaan tenaga kerja laki-laki dan perempuan
(berdasarkan gender) serta waktu pelaksanaan ritual, sebagaimana
ditunjukkan Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Alokasi Waktu dan Tenaga Kerja Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012
(selama 63 hari/orang/mandays)
Pengempon Pura
Jumlah Tenaga Kerja
(orang)
Jumlah Rata-rata Tenaga
Kerja/ hari (orang)
Jumlah Rata-rata
Jam Kerja/hari
(jam)
Rata-rata Upah Tenaga Kerja/ hari pada bulan Penelitian (Rp)
Manday Laki-laki
dan Perempuan
Laki-Laki 5669 90 4 80.000 2835 Perempuan 6174 98 8 60.000 4630,5
Total 11843 188 12 140.000 7465,5 Sumber: Data Primer (diolah oleh Peneliti), 2012
Tabel 5.2 menunjukkan, alokasi waktu dan total tenaga kerja laki-
laki dan tenaga perempuan selama 63 hari (H-55 sampai H+7) mulai
persiapan ritual sampai ritual berakhir sebanyak 11.843 orang, rata-rata
jumlah tenaga kerja laki-laki 90 orang /hari dan perempuan 98 orang /hari
dengan rata-rata jumlah jam kerja per hari perempuan 8 jam lebih besar dari
laki-laki 4 jam per hari, tenaga perempuan memiliki peranan lebih besar dari
tenaga laki-laki dalam pelaksanaan ritual Agama Hindu. Jika total semua
orang yang datang ngayah dan dikonversi dengan mandays adalah 7465,5
mandays tepatnya 7466 mandays.
Berdasarkan pendekatan Hari Orang Kerja (HOK) dikonversi dengan
upah tenaga kerja yang berlaku di Desa Abiansemal selama bulan penelitian
bahwa biaya swadaya tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan selama
63 hari adalah sebesar = Rp 597,240 juta ditambahkan dengan biaya
162
pengeluaran ritual yang telah dikeluarkan sebesar = Rp 188,568 juta maka
total biaya pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek
Preteka Desa Abiansemal menjadi sebesar =.Rp785,808 juta. Namun selama
ini biaya swadaya tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan dalam
aktivitas adat, budaya, dan agama terutama pengorbanan waktu dan
mandays tenaga kerja laki-laki dan perempuan tidak pernah diperhitungkan
secara ekonomi, hal ini berdasarkan pengorbanan yang tulus iklas,
kepercayaan dan keyakinan umat (Hindu) di Bali.
Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa ketika pengorbanan waktu
tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan dihitung dengan pendekatan
ekonomi, andaikan menggunakan tenaga kerja yang dibayar maka ada
pendapatan tenaga kerja laki-laki sebesar Rp 226,800 juta (28,86 persen)
dan tenaga kerja perempuan sebesar Rp 370,440 juta (47,14 persen). Ini
dapat juga diartikan bahwa dalam kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh
masyarakat umat (Hindu) di Bali nilai pengorbanan tenaga perempuan lebih
besar dari nilai pengorbanan tenaga laki-laki.
Temuan penelitian ini, menunjukkan bahwa aktivitas ritual lebih
banyak dikerjakan oleh tenaga perempuan sehingga perempuan Hindu
memiliki peranan lebih penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan ritual
yang baik dan lancar (labda karya).
5.3 Deskripsi Informan Kunci dan Ahli
Informasi kunci untuk mendukung desain penelitian kualitatif berjumlah
12 orang dengan identitas sebagaimana terlihat pada Tabel 5.4. Informan kunci
163
sebanyak 12 orang berasal dari pengempon pura sebanyak 7 orang, pemasok
bahan-bahan ritual 3 orang, dan 2 orang merupakan informan ahli (sulinggih dan
tapini). Responden yang menjadi informan kunci diwawancarai sebelumnya
sesuai kriteria yang telah ditetapkan ditambah dua informan ahli dengan metode
spradley menentukan informan yang akan diwawancarai, tujuannya adalah untuk
menggali informasi yang lebih mendalam dan komprehensif terkait fokus obyek
penelitian. Peranan informan ahli dalam penelitian indepth interview ini adalah
sumber informasi penting tentang makna, fungsi dan tujuan pelaksanaan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Jumlah informan sebanyak 12 orang dianggap
mencukupi dalam penelitian dengan menggunakan desain kualitatif, sebagaimana
ditunjukkan Tabel 5.3
Tabel 5.3 menunjukkan informan kunci dari pengempon pura yaitu
pemangku pura dan tokoh pengempon pura adalah Wayan Parek, I Nyoman
Subur, dan Ni Wayan Suji dianggap memahami makna dan fungsi pelaksanaan
ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih sesuai filosofi Agama Hindu.
Tabel 5.3 Identitas Informan Kunci dan Ahli Dalam Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal,Kabupaten Badung Tahun 2012
No Nama Informan
Umur (Th) Pendidikan Pekerjaan Keterangan
1 Nyoman Griya 60 SMP Petani Penggarap Pemangku Pura 2 Wayan Parek 63 SD Petani Penggarap Koord.Karya 3 I Nyoman Subur 55 SD Buruh Ketua Panita Karya 4 Wayan Gendra 4 SMA Peg. Swasta Koord. Acara 5 Wayan Murya 49 SMA PNS Bendahara Karya 6 Ni Wayan Suji 55 SMP Tukang banten Koord upakara 7 Ni Made Rotini 45 SMA Peg.Swasta Sekret.Panitia Karya 8 Wyn Sarka 55 SMA Peternak/Gianyar Pemasok bebek-ayam 9 LuhGdeRusmini 61 SMP Dagang Beras Pemasok beras 10 Ibu Prasetiawati 40 SMA Pedag.Ps Blahkiu Pemasok kain kasa 11 IdaPedandaGeriya Agung 77 SMA Pandita/Sulinggih Koord Pandita (ahli) 12 Ida Dayu Anggreni 51 S1 Guru Tapini (ahli)
Sumber: Hasil Penelitian di Desa Abiansemal, 2012
164
Menurut Ida Pedanda Geriya Agung sebagai informan ahli pada upacara
Ngingsah Beras tentang makna Ngenteg Linggih adalah proses pembelajaran diri
dalam mewujudkan sikap, moral dan perilaku dalam menata kehidupan yang lebih
sempurna lahir bathin. Makna Mepada Wewalungan artinya melakukan ritual
terhadap semua hewan (satwa) yang akan dipersembahkan sebagai korban suci
dalam ritual ini, yaitu kucit butuhan, anjing belangbungkem (bahasa Bali),
kambing, angsa dan lain-lainnya. Makna beras sebagain bija beras yang dimakan
berarti menanam benih-benih kebajikan dalam tubuh manusia itu sendiri
(Wawancara, 7 April 2012).
5.4 Deskripsi Hasil Penelitian Kualitatif
5.4.1 Deskripsi Manfaat Sosial, Budaya dan Ekonomi yang Diperoleh Masyarakat Pengempon Pura
Desain kualitatif dipergunakan untuk meneliti secara mendalam
mengenai rumusan masalah pertama, untuk mengetahui manfaat sosial, budaya
dan ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual
Mlaspas dan Ngeteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten
Badung. Hasil penelitian lapangan mengenai manfaat sosial, budaya, dan ekonomi
yang diperoleh dari 108 responden masyarakat pengempon pura adalah positif.
Ritual ini dilaksanakan berdasarkan kepercayaan dan keyakinan turun temurun
dari masyarakat pengempon pura dalam membayar kewajiban hutang pada Dewa
Rna, yaitu hutang kepada Tuhan yang Maha Esa (Ida Sang Hyang widhi).
Informasi kunci dan ahli untuk mendukung desain kualitatif berjumlah
12 orang dengan identitas sebagaimana terlihat pada Tabel 5.3. Wawancara
165
mendalam dilakukan di rumah dan di pura setelah pengempon pura gotong
royong (ngayah), sedangkan wawancara dengan Sulinggih di rumah. Wawancara
terhadap pemasok dilakukan langsung di masing-masing tempat usaha. Hasil
wawancara dicatat dengan seksama dalam buku catatan khusus, diabadikan
dengan camera photo. Wawancara dan kuesioner tentang manfaat sosial, budaya,
dan ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual
Mlaspas dan Ngeteg Linggih.
Desa Abiansemal dalam kehidupan sehari-hari, terjadi interaksi sosial
antar warga dalam aktivitas adat istiadat, budaya, dan agama. Makna pelaksanaan
ritual sesuai ajaran agama, di samping mempererat sistem kekerabatan,
kebersamaan dan solidaritas ketimbang komersialisasi. Pada dasarnya, manfaat
sosial, budaya, dan ekonomi yang diperoleh pengempon pura dengan terlaksana
ritual Mlaspas dan Ngeteg Linggih di Pura pasek Preteka yang mencerminkan
makna meliputi: 1) Kepercayaan dan Keyakinan, 2) Mlaspas dan Ngenteg
Linggih, 3) Mecaru, 4) Melasti, 5) Nyegara Gunung, 6) Banten, 7) Labda
Karya,8) Kondisi Kehidupan Sosial, 9) Gotong Royong, 10) Iuran Pura, 11)
Bahan-Bahan Ritual, 12) Pengeluaran Ritual, 13) Kesempatan Berusaha, 14)
Multiplier Effect, dan 15) Perubahan Sikap Perilaku.
Dijelaskan dengan melakukan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan
hasil penelitian dan jawaban responden sebagaimana disajikan (Lampiran 11) dari
beberapa makna aktivitas ritual selanjutnya diuraikan berikut ini.
166
1) Makna Kepercayaan dan Keyakinan dengan terlaksana ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.1
Gambar 5.1 Persentase makna kepercayaan dan keyakinan dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal
Sumber: Lampiran 11 Gambar 5.1 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
baik pertama manfaat sosial sebesar 98,15 persen, artinya masyarakat
pengempon pura memiliki kepercayaan dan keyakinan turun temurun
kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi) dan kewajiban
membayar hutang Tri Rna sesuai ajaran agama. Manfaat budaya sebesar
96,30 persen, artinya masyarakat pengempon pura melaksanakan tradisi
ritual setiap hari (ngejot), hari-hari suci 15 hari (purnama-tilem, kajeng-
kliwon), enam bulan (tumpek, galungan, kuningan, saraswati), dan satu
tahun (nyepi), dan manfaat ekonomi sebesar 91,67 persen, artinya modal
kepercayaan dan keyakinan memiliki peranan penting dalam aspek
ekonomi.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 Maret 2012 dengan I
Nyoman Geriya (Pemangku Pura Pasek Preteka) bersama tokoh pura, yaitu
STB TB CB B SB
Sosial 1,85% 98,15%
Budaya 3,70% 96,30%
Ekonomi 8,33% 91,67%
00,20,40,60,8
11,2
STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik
167
I Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni Made Suji. Ungkapan tersebut
diperoleh dari beberapa masyarakat pengempon pura bahwa:
”Melaksanakan upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka merupakan bentuk pengorbanan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Dewa Rna. Berdasarkan hasil keputusan bersama oleh masyarakat pengepon pura, seyogyanya dilakukan mengingat upacara seperti ini pertama kali dilakukan 20 tahun yang lalu tepatnya tahun 1982 dan kedua tahun 2012, karena pembangunan pelinggih Bale Pelik, renovasi pada Pelinggih Kawitan Tumpang Tiga dan Pelinggih Ratu Nyoman. Apabila upacara ini tidak dilaksanakan masyarakat meyakini dan percaya bahwa merasa tidak tenang, adanya yang sakit-sakitan dan hidup tidak rukun/harmonis antar pengempon pura. Konsep meyadnya yang dipahami masyarakat umat Hindu di Desa Abiansemal adalah upacara dilakukan dengan tulus iklas, yadnya mempunyai makna dari yadnyalah semua ini ada”.
2) Makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti
ditunjukkan Gambar 5.2
Gambar 5.2 Persentase makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.2 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
baik pertama manfaat sosial sebesar 96,30 persen, artinya masyarakat
pengempon pura mampu mewujudkan sikap dan perilaku yang lebih baik
dalam menata kehidupan sosial. Manfaat budaya sebesar 95,37 persen,
STB TB CB B SB
Sosial 3,70%96,30
Budaya 4,63%95,37
Ekonomi 6,48%93,52
00,20,40,60,8
11,2
STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik
168
artinya setiap pelinggih pura yang baru di bangun dan diperbaiki biasanya
umat Hindu di Bali melakukan ritual penyucian atau pembersihan
(sakralisasi) secara skala niskala sesuai ajaran Agama Hindu dan manfaat
ekonomi sebesar 93,52 persen, artinya besar kecilnya biaya ritual
dipengaruhi oleh Desa-kala-patra dan tingkatan upacara yang dipergunakan.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 2 April 2012 dengan Ida
Pedanda Griya Agung Desa Abiansemal tentang makna Mlaspas dan
Ngenteg Linggih. Informasi salah seorang informan ahli mengatakan:
”Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, Mlaspas artinya penyucian (sakralisasi) dan Ngenteg Linggih berarti mensthanakan beliau pada pelinggih. Makna Ngenteg Linggih sebagai pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap dan perilaku dalam menata kehidupan menuju kualitas hidup yang lebih baik lahir bathin. Tingkat upacara ini adalah madyaning utama artinya ritual yang dipergunakan tergolong menengah dan utama sesuai ajaran Agama”.
3) Makna Mecaru dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di
Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.3
Gambar 5.3 Persentase makna Mecaru dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.3 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
baik pertama secara sosial adalah sebesar 95,37 persen, artinya menciptakan
STB TB CB B SB
Sosial 4,63% 95,37
Budaya 6,48% 93,52
Ekonomi 7,41% 92,59
00,20,40,60,8
11,2
STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik
169
keseimbangan dan keharmonisan kekuatan alam semesta secara sekala
niskala, manfaat budaya sebesar 93,52 persen, artinya biasanya upacara
pecaruan dilakukan sebelum puncak karya (hari H) sesuai tingkatan
upakara dan manfaat ekonomi adalah sebesar 92,59 persen, artinya besar
kecilnya biaya pecaruan berdasarkan jenis dan tingkatan upakara sesuai
Desa-Kala-Patra.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida
Pedanda Griya Agung Desa Abiansemal bersama Pemangku dan tokoh
masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka, seperti dikatakan informan ahli:
”Mecaru merupakan ritual untuk menciptakan keseimbangan alam atau keharmonisan antara yang menumbuhkan kebaikan dan ketidakbaikan (antara yang positif dan negatif). Jenis caru yang dilaksanakan di Pura Pasek Preteka adalah Caru Tawur (Mecaru Gede) dengan caru hewan beraki empat, yaitu kambing”.
4) Makna melasti dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di
Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.4
Gambar 5.4 Persentase makna melasti dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.4 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
setuju pertama secara sosial adalah sebesar 97,22 persen, artinya membangun
STS TS CS S SS
Sosial 2,78% 97,22
Budaya 4,63% 95,37
Ekonomi 6,48% 93,52
00,20,40,60,8
11,2
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
170
persahabatan, melestarikan alam melalui semangat kebersamaan diantara
pengempon pura, manfaat budaya adalah sebesar 95,37 persen, artinya tradisi
melasti menyucikan Ida Bhatara dengan pratima-pratimanya ke laut terkait
upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya dan manfaat ekonomi
adalah sebesar 93,52 persen, artinya upacara melasti memiliki nilai ekonomi,
yaitu pantai yang dijadikan tempat upacara melasti dimanfaatkan pedagang
makanan dan minuman.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida
Pedanda Griya Agung. Berikut informasi dari salah seorang informan:
”Melasti artinya menyucikan simbol-simbol Tuhan (Ida Batara) di Pura Pasek Preteka ke laut (Segara) Seseh Badung. Makna melasti membangun persahabatan dengan sesama dan alam lingkungan serta melestarikannya, bertujuan memotivasi umat secara spiritual”.
5) Makna Nyegara Gunung dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.5
Gambar 5.5 Persentase makna Nyegara Gunung dengan terlaksana ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.5 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
setuju manfaat sosial sebesar 95,37 persen, artinya menghaturkan puji syukur
STS TS CS S SS
Sosial 4,63% 95,37%
Budaya 5,56% 94,44%
Ekonomi 7,41% 92,59%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
171
dan terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala
manifestasi-Nya, manfaat budaya sebesar 94,44 persen, artinya laut dan
gunung sebagai sumber kehidupan manusia dan manfaat ekonomi adalah
sebesar 92,44 persen, artinya berbagai kehidupan laut dan gunung mampu
memberikan segala kebutuhan hidup manusia materi nonmateri dan lahir
bathin secara berkelanjutan.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida
Pedanda Griya Agung dan pemangku Pura Pasek Preteka, seperti dikatakan
informan:
”Nyegara Gunung bermakna menghaturkan puji syukur dan rasa terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Purusa-Predhana. Makna Nyegara Gunung yaitu laut dan gunung merupakan sumber kehidupan, lahirnya suatu kehidupan yang baru, hidup penuh dengan kebajikan dan rasa cinta kasih diwujudkan dalam Tri-kaya-parisudda (pikiran, perkataan dan berprilaku yang baik dan benar), menerima dan mensyukuri dua dimensi (Rwa-Bhineda). Tempat Nyegara Gunung, Nyegara/laut adalah Pura Mumbul Blahkiuh dan Gunung Pura Bukit Sari Sangeh”.
6) Makna Banten dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa
Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.6
Gambar 5.6 Persentase makna Banten dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11
Gambar 5.6 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju
pertama manfaat sosial sebesar 97,22 persen, artinya banten merupakan sarana
STS TS CS S SS
Sosial 2,78% 97,22
Budaya 4,63% 95,37
Ekonomi 6,48% 93,52
00,20,40,60,8
11,2
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
172
sembahyang dan simbol-simbol berdasarkan tattwa, susila dan upacara,
manfaat budaya adalah sebesar 95,37 persen, artinya banten perpaduan buah-
buahan, bunga dan janur dengan sentuhan seni budaya, adat dan agama secara
artistik, dan manfaat ekonomi adalah sebesar 93,52 persen, artinya
mengakibatkan permintaaan (transaksional) bahan-bahan ritual seperti buah-
buahan, jajan, janur dan bunga.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida Dayu
Anggareni sebagai tapini Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten dari Geriya
Agung, seperti misalnya informasi berikut:
”Banten sebagai sarana upakara pada dasarnya adalah sebagai nyasa atau simbol-simbol dari Siwa-Linga. Dari sekian banyak keberadaan atau wujud bebanten, yaitu Ngenteg Linggih dengan banten Bagia Pulakertti bermakna dengan kokoh (pageh) berpegang pada tata susila atau prilaku yang selalu berlandaskan ajaran Agama Hindu, semoga dapat mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan bersama dan semua mahluk hidup”. ”Banten di Bali merupakan ciri khas yang unik, daya cipta yang relegius dan mengandung budaya, seni, adat dan Agama berdasarkan Desa-Kala-Patra. Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal antara lain banten sarad/Pregembal, banten Pengenteg, sate tungguh/sate tegeh/gayah dan lain-lainnya”.
7) Makna Labda karya dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di
Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.7
Gambar 5.7 Persentase makna labda karya dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal
Sumber: Lampiran 11
STB TB CB B SB
Sosial 4,63%95,37
Budaya 6,48%93,52
Ekonomi 7,41%92,59
00,20,40,60,8
11,2
STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik
173
Gambar 5.7 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
baik pertama manfaat sosial sebesar 95,37 persen, artinya pelakasanaan
ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih berjalan lancar, sukses sesuai jadwal
karya, manfaat budaya sebesar 93,52 persen, artinya tradisi gotong royong,
kebersamaan, solidaritas, semangat spiritual dan etos kerja sebagai modal
suksesnya ritual, dan manfaat ekonomi adalah sebesar 92,59 persen, artinya
adanya efisiensi biaya ketika sarana ritual dibuat secara gotong royong,
yaitu berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan
Pemangku Pura Pasek Preteka I Nyoman Geriya dan Wayan Parek dan Ni
Made Suji sebagai koordinator upakara, seperti dikatakan informan kunci:
”Labda Karya pada hakekatnya ritual yang dilaksanakan berjalan sukses dan lancar sesuai dodunan karya, dilandasi dengan sraddha bhakti, lascarya dan sastra Agama Hindu”.
8) Makna kehidupan sosial dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.8
Gambar 5.8 Persentase makna kehidupan sosial dengan terlaksana ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11
STS TS CS S SS
Sosial 2,78% 97,22%
Budaya 4,63% 95,37%
Ekonomi 6,48% 93,52%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
174
Gambar 5.8 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
setuju, pertama manfaat manfaat sosial sebesar 97,22 persen, artinya dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat pengempon pura saling menghormati,
menghargai antar pengempon pura, antar banjar dan antar masyarakat, manfaat
budaya adalah sebesar 95,37 persen, artinya berdasarkan tradisi adat dan
agama kegiatan ritual dilakukan dengan gotong royong, kebersamaan,
solidaritas, semangat spiritual dan etos kerja dan manfaat ekonomi adalah
sebesar 93,52 persen, artinya adanya efisiensi biaya ketika sarana ritual dibuat
secara gotong royong, yaitu berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan I
Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur
dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Ungkapan tersebut
diperoleh dari beberapa masyarakat pengempon pura bahwa:
”Kondisi kehidupan sosial masyarakat pengempon pura adalah harmonis dengan kekeluargaan, kebersamaan, dan solidaritas yang tinggi (paras paros sarpanaya, sagilik saguluk salulung sabayantaka) antar anggota keluarga, antar keluarga pengempon pura, antar banjar, antar masyarakat lingkungan, dan antar desa”.
9) Makna gotong royong dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.9
. Gambar 5.9 Persentase makna gotong royong dengan terlaksana ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Desa Abiansema Sumber: Lampiran 11
STB TB CB B SB
Sosial 3,70% 96,30%
Budaya 1,85% 98,15%
Ekonomi 6,48% 93,52%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik
175
Gambar 5.9 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
baik pertama manfaat budaya adalah sebesar 98,15 persen, artinya tradisi
gotong royong masih kuat dan berkembang dalam kehidupan masyarakat
adat Desa Abiansemal, manfaat sosial adalah sebesar 96,30 persen, artinya
menunjukkan kebersamaan, solidaritas, toleransi kehidupan beragama dan
bermasyarakat, dan manfaat ekonomi adalah sebesar 93,52 persen, artinya
adanya efisiensi ketika kegiatan ritual dikerjakan secara gotong royong
dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 Maret 2012 dengan I
Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur
dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Informasi dari
masyarakat pengempon pura mengatakan:
”Pada hakekatnya konsep gotong royong (ngayah) dalam pelaksanaan upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih yang didasari semangat spiritual dan etos kerja yang dimiliki oleh seluruh pengempon pura dalam bentuk kebersamaan dan kekeluargaan. Aktivitas ngayah dilakukan selama 63 hari sesuai jadwal karya (dodunan karya)”.
10) Makna iuran pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di
Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.10
Gambar 5.10 Persentase makna iuran pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal.
Sumber: Lampiran 11
STS TS CS S SS
Sosial 3,70% 96,30%
Budaya 4,63% 95,37%
Ekonomi 8,33% 91,67%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
176
Gambar 5.10 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
setuju pertama manfaat sosial sebesar 96,30 persen, artinya pembayaran iuran
pura sebagai bentuk tanggungjawab bersama masyarakat pengempon pura,
manfaat budaya sebesar 95,37 persen, artinya tradisi membayar iuran pura
menunjukkan rasa memiliki, kebersamaan, solidaritas dalam kegiatan adat dan
agama, manfaat ekonomi sebesar 91,67 persen, artinya besar kecil biaya ritual
ditanggung bersama dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 Maret 2012 dengan I Nyoman
Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni
Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Informasi dari masyarakat
pengempon pura mengatakan:
”Penentuan besarnya iuran pura yang dikenakan kepada masing-masing KK adalah sebesar Rp 2 juta berdasarkan kesepakatan masyarakat pengempon pura, berdasarkan semangat relegius, rasa memiliki dan tanggungjawab bersama untuk keselamatan, ketentraman, kerukunan, dan kebersamaan sebagai generasi yang akan datang sesama pengempon pura pasek preteka di Desa Abiansemal”.
11) Makna bahan-bahan ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.11
Gambar 5.11 Persentase makna bahan-bahan ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber : Lampiran 11
STS TS CS S SS
Sosial 5,56% 94,44%
Budaya 7,41% 92,59%
Ekonomi 3,70% 96,30%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
177
Gambar 5.11 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
setuju pertama secara ekonomi adalah sebesar 96,30 persen, artinya bahan
ritual sebagian besar tersedia di daerah sekitar Abiansemal dan harga lebih
murah, manfaat secara sosial adalah sebesar 94,44 persen, artinya
masyarakat pengempon pura lebih mudah memperoleh bahan ritual, dan
manfaat secara budaya adalah sebesar 92,59 persen, artinya masyarakat
umat Hindu mampu melestarikan dan mengembangkan bahan-bahan ritual
secara berkesinambungan.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 23 April 2012 dengan I
Nyoman Subur, Ni Made Suji, Wayan Murya, dan Wayan Gendera
masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka, seperti dikatakan informan
kunci:
“Mengingat begitu banyaknya jenis dan bahan-bahan ritual yang diperlukan dalam pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali, seperti bambu, kelapa, beras, pisang buah-buahan, janur, bebek-ayam, telor, babi, bunga dan lain-lain. Bahan ritual yang dibutuhkan dalam ritual ini 90,91 persen tersedia sekitar Abiansemal dan hanya 9,09 persen dari luar”.
12) Makna pengeluaran ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.12
Gambar 5.12 Persentase makna pengeluaran ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan
Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11
STS TS CS S SS
Sosial 4,63% 30,56 64,81
Budaya 3,70% 32,41 63,89
Ekonomi 4,63% 35,19 60,18
00,10,20,30,40,50,60,7
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
178
Gambar 5.12 menunjukkan responden memberikan jawaban persepsi
sangat setuju, maanfaat sosial sebesar 64,81 persen, artinya konsep meyadnya
dalam Agama Hindu dengan tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan
keyakinan, manfaat budaya sebesar 63,89 persen, merupakan tradisi umat
Hindu melaksanakan ritual secara turun temurun nak mule keto (gugon tuwon),
dan manfaat ekonomi adalah sebesar 60,18 persen, artinya konsep meyadnya
dalam Agama Hindu tidak memperhitungkan besar kecilnya pengeluaran ritual
karena berdasarkan tulus iklas (srada bhakti).
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan I Nyoman
Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni
Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Informasi dari koordinator
upakara mengatakan bahwa:
”Pengeluaran ritual ini untuk membuat banten (pajegan/gebogan) sudah ditetapkan oleh panitia pura sesuai jadwal tentang jumlah dan KK yang seharusnya membuat. Yadnya dalam bentuk persembahan dan korban suci yang tulus iklas dalam beryadnya diyakini dari yadnyalah semua ini ada seperti lahir, hidup, sehat, rukun, damai sentosa, saling menghargai dan menghormati antar individu di masyarakat Desa Abiansemal”.
13) Makna kesempatan berusaha dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.13
Gambar 5.13 Persentase makna kesempatan berusaha dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal.
Sumber: Lampiran 11
STS TS CS S SS
Sosial 8,33%91,67%
Budaya 9,26%90,74%
Ekonomi 2,78%97,22%
00,20,40,60,8
11,2
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
179
Gambar 5.13 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
setuju pertama manfaat ekonomi sebesar 97,22 persen, artinya dapat
menciptakan kesempatan kerja dibidang ritual, manfaat sosial sebesar 91,67
persen, artinya mampu membuat jaringan (net working), saling percaya (trust),
saling membagi dan saling memberi, dan manfaat budaya adalah sebesar 90,74
persen, artinya mampu menjaga, melestarikan dan menumbuhkembangkan
nilai-nilai kearifan lokal yang unik.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 20 Oktober 2012 dengan Ida
Dayu Anggareni sebagai tapini dan Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten,
seperti dikatakan informan ahli:
”Bahwa Yadnya di Bali merupakan momentum untuk berbagi dengan sesama. Setiap kali pelaksanaan ritual memerlukan banyak bahan-bahan ritual. Memotivasi tumbuhnya jiwa kreativitas dan kesempatan berusaha. Ibu-ibu rumah tangga pengempon pura, sebelumnya bekerja sebagai buruh bangunan dan usaha pengerajin bambu,dan sekarang membuat alat-alat upakara, bekerjasama dengan Geriya sebagai produsen banten”. ”Menurut Ida Ayu Mirah dari Geriya Agung bahwa bekerja di Geriya Agung sebagai pengayah dan tukang banten dengan upah seorang pengayah antara Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu per hari sedangkan sebagai tukang banten adalah dibayar sebesar Rp 65 ribu hingga Rp 70 ribu per hari, ditambah makan, jajan dan kopi gratis serta tetap diberi bonus seperti satu stel baju, hal ini memberi kesempatan warga pengempon pura pasek preteka untuk menambah penghasilan keluarga”.
14) Makna multiplier effect dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih
di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.14
Gambar 5.14 Persentase makna multiplier effect dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal.
Sumber: Lampiran 11
STS TS CS S SS
Sosial 7,41% 92,59%
Budaya 8,33% 91,67%
Ekonomi 1,85% 98,15%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju
180
Gambar 5.14 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
setuju pertama secara ekonomi adalah sebesar 98,15 persen, artinya dapat
meningkatkan pendapatan dan daya beli, manfaat kedua secara sosial adalah
sebesar 92,59 persen, artinya masyarakat penghasil bahan-bahan upacara
yang tadinya memproduksi saat dibutuhkan, sekarang produknya lebih
kontinyu dengan menitipkan pada masyarakat pedagang di lingkunganya
dan manfaat ketiga secara budaya adalah sebesar 91,67 persen, artinya
tradisi mekemit awalnya hanya dilakukan oleh pengempon pura laki-laki
yang tua, sekarang seluruh komponen masyarakat (generasi muda) ikut
berpartisipasi.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 April 2012 dengan Ida
Dayu Anggareni sebagai tapini dan Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten,
seperti misalnya informasi berikut:
“Intensitas pelaksanaan upacara Agama Hindu, mengakibatkan tingginya permintaan bahan-bahan ritual sehingga pengeluaran ritual memiliki multiplier effect bagi masyarakat Bali ataupun masyarakat luar. Kenyataannya aktivitas ritual menyebabkan adanya pergerakan ekonomi secara regional di Bali”.
15) Makna perubahan sikap dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.15
Gambar 5.15 Persentase makna perubahan sikap dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal.
Sumber: Lampiran 11
STS TS CS S SS
Sosial 1,85% 98,15%
Budaya 5,56% 94,44%
Ekonomi 6,48% 93,52%
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setujuS=Setuju SS=Sangat setuju
181
Gambar 5.15 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat
setuju, manfaat sosial adalah sebesar 98,15 persen, artinya pada hakekatnya
mampu meningkatkan sikap dan perilaku hidup sehari-hari lebih baik sesuai
Tri- kaya- parisudda, manfaat budaya adalah sebesar 94,44 persen, artinya
menunjukkan sikap toleransi, saling menghargai, menghormati
persaudaraan, dan perduli lingkungan dan manfaat ketiga secara ekonomi
adalah sebesar 93,52 persen, artinya perubahan sikap pelaksanaan ritual
kearah lebih efisien atau tidak boros.
Selanjutnya didukung hasil wawancara, 26 April 2012 dengan I
Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur
dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Ungkapan tersebut
diperoleh dari beberapa masyarakat pengempon pura bahwa:
“Aktivitas pelaksanakan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pengempon pura, perubahan sikap hidup sehari-hari seperti adanya sikap kekeluargaan, kebersamaan, keharmonisan, perduli terhadap lingkungan, saling menghargai dan menghormati antar pengempon pura dan antar banjar di Desa Abiansemal”. Ringkasan Gambar 5.1 sampai Gambar 5.15, tentang manfaat sosial,
budaya dan ekonomi bagi masyarakat pengempon pura berkenaan dengan
pelaksanaan ritual, sebagaimana disajikan Tabel 5.4
182
Tabel 5.4 Ringkasan Manfaat Secara Sosial, Budaya dan Ekonomi Berkenaan dengan
Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012
No Makna SOSIAL BUDAYA EKONOMI 1
Kepercayaan dan Keyakinan
Kewajiban membayar hutang Tri Rna berdasarkan ajaran Agama Hindu
Kebiasaan melaksanakan ritual setiap hari, 15 hari, 6 bulan, dan satu tahun (nyepi)
Modal kepercayaan dan keyakinan penting dalam ekonomi
2
Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih
Proses pembelajaran diri dalam menata kehidupan untuk mewujudkan sikap dan perilaku solidaritas, kebersamaan melalui gotong royong
Ritual penyucian/ pembersihan (sakralisasi) pelinggih/pura baru yang dibangun /diperbaiki secara sekala niskala sesuai Agama Hindu
Besar kecilnya biaya ritual dipengaruhi oleh tingkatan upacara dan Desa-Kala-Patra.
3 Mecaru Menciptakan keseimbangan dan harmonisasi agar kekuatan alam menumbuhkan kebaikan secara sekala niskala
Sebagai tradisi sebelum upacara utama dilaksanakan/diawali upacara pecaruan sesuai tingkat upacara.
Besar kecilnya biaya pecaruan tergantung jenis caru dan tingkat upacara sesuai Desa-Kala-Patra.
4
Melasti Membangun persahabatan dan melestarikan alam melalui semangat berjuang, dan semangat kebersamaan diantara pengempon pura
Tradisi melasti menyucikan Ida Bhatara dengan simbol-simbol (pratima-pratimanya) ke laut
Pantai tempat melasti dimanfaatkan sebagai tempat berdagang makanan dan minuman.
5 Nyegara Gunung
Menghaturkan puji syukur dan terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifestasi-Nya
Tradisi Adat dan Agama sebelum nyineb karya dilakukan upacara nyegara gunung, laut dan gunung sebagai sumber dan akar kehidupan manusia
Berbagai kehidupan laut dan gunung mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan.
6 Banten Banten merupakan sarana sembahyang sebagai simbol-simbol berdasarkan tattwa, susila dan upacara
Tradisi banten yang dibuat secara artistik perpaduan buah-buahan, bunga dan janur dengan sentuhan seni budaya, adat dan agama
Terjadi permintaaan (transaksional) bahan-bahan ritual setiap kali pelaksanaan ritual.
7 Labda karya
Pelakasanaan ritual berjalan lancar dan sukses sesuai jadwal karya
Adanya tradisi gotong royong, kebersamaan , solidaritas, semangat spiritual dan etos kerja balam umat Hindu.
Adanya efisiensi biaya pengeluaran ritual dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
8 Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari pengempon pura saling menghormati, menghargai antar pengempon pura, antar
Tradisi Adat dan Agama kegiatan ritual dilakukan dengan gotong royong/ kebersamaa, solidaritas, semangat spiritual dan etos
Adanya efisiensi biaya pengeluaran ritual dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
183
No Makna SOSIAL BUDAYA EKONOMI banjar, dan antar masyarakat Abiansemal.
kerja
9 Gotong royong
Menunjukkan kebersamaan, solidaritas, toleransi kehidupan beragama dan bermasyarakat di Desa Abiansemal
Tradisi ngayah, ngoopin, metetulung, menyamebraya yang berkembang dalam masyarakat Desa Abiansemal
Adanya efisiensi ketika kegiatan ritual dikerjakan secara gotong royong dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
10 Iuran pura Pembayaran iuran pura sebagai bentuk tanggungjawab bersama masyarakat pengempon pura
Tradisi membayar iuran pura menunjukkan rasa memiliki, solidaritas dalam kegiatan adat dan agama
Besar kecil biaya ritual ditanggung bersama dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
11 Bahan-bahan ritual
Sebagian besar bahan-bahan ritual tersedia dan dipasok dari di sekitar Abiansemal
masyarakat umat Hindu mampu mengembangkan bahan-bahan ritual secara berkelanjutan.
Setiap kali pelaksanaan ritual terjadi permintaan (transaksional) bahan-bahan ritual dalam jumlah yang cukup banyak di sekitar Abiansemal
12 Pengeluaran ritual
Ritual dilakukan dengan tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan
Sudah merupakan tradisi umat Hindu cenderung melaksanakan ritual lebih semarak menunjukkan status
Pengeluaran ritual pengaruhi oleh pendapatan
13 Kesempatan berusaha
Mampu membuat jaringan, saling percaya (trust), saling membagi dan saling memberi
Mampu menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya spiritual yang unik (local genius).
Mampu menciptakan kesempatan kerja, menumbuhkembangkan jiwa wirausahaan, meningkatkan pendapatan
14 Multiplier effect
Masyarakat penghasil bahan-bahan upacara yang tadinya memproduksi saat dibutuhkan, sekarang produknya lebih kontinyu dengan menitipkan pada masyarakat pedagang di lingkunganya
Tradisi mekemit secara bergilir tradisi mekemit awalnya hanya dilakukan oleh pengempon pura laki-laki yang tua, sekarang seluruh komponen asyarakat (generasi muda) ikut berpartisipasi sambil membuat katik sate dan hiasan pelinggih.
Meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat
15 Perubahan sikap
Pada hakekatnya mampu meningkatkan sikap dan perilaku hidup sehari-hari lebih baik sesuai tri kaya parisuda
Menunjukkan sikap toleransi, saling menghargai, menghormati persaudaraan, dan perduli lingkungan
Perubahan sikap kearah lebih efisiensi dan tidak boros seperti beralih profesi dari pengerajin bambu menjadi tukang banten dan pengayah tukang banten.
Sumber: Gambar 5.1 sampai dengan Gambar 5.15
184
5.4.2 Besarnya Multiplier Effect Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal
Informasi yang diperoleh melalui In-deft Interview, menjawab rumusan
masalah dua untuk mengetahui besarnya multiplier effect pengeluaran ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal.
Menghitung multiplier effect pengeluaran ritual untuk 13 jenis bahan-bahan ritual
meliputi: bambu, babi, uang kepeng, kelapa, bebek dan ayam, beras, kain kasa,
telor, pajeng, janur, pisang dan buah-buahan, minyak goreng dan bunga.
Pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka
merupakan pendapatan bagi pemasok (Tahap I), sebagian pendapatan pemasok
digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan.
Pengeluaran konsumsi Tahap I merupakan pendapatan bagi penyalur (Tahap II),
sebagian pendapatan penyalur digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung
atau di investasikan. Pengeluaran konsumsi Tahap II merupakan pendapatan bagi
produsen atau petani (Tahap III), sebagian pendapatan digunakan untuk konsumsi
dan sisanya di tabung atau di investasikan. Selanjutnya analisis Multiplier effect
pelaksanaan ritual Tahap I, Tahap II dan Tahap III berikut.
a) Untuk Tahap I
Multiplier effect Tahap I pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, untuk 13 jenis bahan-bahan
ritual, yaitu meliputi: bambu, babi, uang kepeng, kelapa, bebek-ayam, beras,
kain kasa, telor, pajeng, janur, pisang-buah-buahan, minyak goreng, dan bunga.
Selanjutnya dari 13 jenis bahan ritual yang dipasok, 5 bahan ritual berakhir di
tahap ini, yaitu bambu, babi, kelapa, bebek-ayam, dan telor, sebagaimana
disajikan Tabel 5.5
185
Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Multiplier effect Pemasok Tahap I Komponen Bahan-Bahan
ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, 2012
No Bahan-Bahan Ritual
Y1 (Juta Rp)
Y2 (Juta Rp)
ΔY (Juta Rp)
C1 (Juta Rp)
C2 (Juta Rp)
ΔC (Juta Rp) MPC=ΔC/ΔY MPS Multiplier
Bahan Ritual Tahap
II 1 Bambu 21,8 66,6 44,83 15,5 52,5 37,0 0,83 0,17 5,88 -
2 Babi 8,5 29,76 21,26 7,5 24,0 16,5 0,78 0,22 4,55 -
3 Uang Kep 8,2 29,09 20,89 8,0 22,5 14,5 0,69 0,31 3,23
4 Kelapa 7,3 15,19 7,89 7,1 12,6 5,5 0,70 0,30 3,33 -
5 Bebek-Ayam 9,5 16,75 7,25 8,5 13,5 5,0 0,69 0,31 3,23 -
6 Beras 13,5 20,62 7,12 12,5 17,6 5,1 0,72 0,28 3,57
7 Kain kasa 9,5 15,38 5,88 7,5 10,2 2,7 0,46 0,54 1,85 8 Telor 2,8 8,48 5,68 2,5 6,5 4,0 0,70 0,30 3,33 -
9 Pajeng 5,2 10,81 5,61 3,9 7,5 3,6 0,64 0,36 2,78
10 Janur 4,6 8,28 3,68 4,2 6,7 2,5 0,68 0,32 3,13
11 Pisang, Bh 4,5 7,25 2,75 3,5 5,4 1,9 0,69 0,31 3,23 12 M.Goreng 3,5 6,03 2,53 2,5 3,5 1,0 0,40 0,60 1,67
13 Bunga 3,65 4,22 0,57 2,3 2,65 0,35 0,61 0,39 2,56
Rata-Rata 7,89 18,34 10,46 6,58 14,24 7,67 0,66 0,34 3,26 8
Keterangan: Y1= pendapatan awal, Y2 = pendapatan total, ΔY = perubahan pendapatan Y1 dan Y2, C1 pengeluaran awal, C2 = pengeluaran total, ΔC = perubahan pengeluaran C1 dan C2, MPC = marginal propensity to consume, MPS = marginal propensity to saving.
Sumber: Lampiran 9
Tabel 5.5 menunjukkan pengeluaran ritual Tahap I dari 13 jenis bahan-
bahan ritual memiliki rata-rata Multiplier effect sebesar 3,26 yang artinya
apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok
juga bertambah sebesar 3,26 kali jumlah pengeluaran konsumsi. Besarnya
Multiplier effect Tahap I terbesar pertama adalah bahan bambu sebesar 5,88,
artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan
pemasok juga bertambah sebesar 5,88 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan
seterusnya.
b) Untuk Tahap II
Multiplier effect Tahap II pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, untuk 8 jenis bahan-bahan
ritual, yaitu meliputi: uang kepeng, beras, kain kasa, pajeng, janur, pisang-
186
buah-buahan, minyak goreng, dan bunga. Selanjutnya dari 8 jenis bahan ritual
yang dipasok, 4 bahan ritual berakhir di tahap ini, yaitu pajeng, janur, pisang-
buah-buahan, dan bunga. Pada Tahap II analisis Multiplier Effect untuk 8 jenis
bahan-bahan ritual, sebagaimana disajikan Tabel 5.6
Tabel 5.6 Hasil Perhitungan Multiplier effect Penyalur Tahap II Bahan-Bahan ritual Mlaspas
dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012
No Bahan-Bahan Ritual
Y1 (Juta Rp)
Y2 (Juta Rp)
ΔY (Juta Rp)
C1 (Juta Rp)
C2 (Juta Rp)
ΔC (Juta Rp)
MPC=ΔC/ΔY MPS Multiplier
Bahan Ritual Tahap
III 1 Uang Kep 5,45 9,50 4,05 4,25 6,60 2,35 0,58 0,42 2,38
2 Beras 6,50 7,65 1,15 4,50 5,20 0,70 0,61 0,39 2,56
3 Kain Kasa 4,82 5,50 0,68 4,20 4,40 0,20 0,29 0,71 1,42
4 Pajeng 4,10 4,70 0,60 3,60 3,95 0,35 0,58 0,42 2,38 -
5 Janur 3,50 3,70 0,20 3,40 3,55 0,15 0,75 0,25 4,00 -
6 Pisang,Bh 2,50 3,50 1,00 2,20 2,50 0,30 0,30 0,70 1,43 -
7 M.Goreng 3,50 3,75 0,25 3,40 3,50 0,10 0,40 0,60 1,67
8 Bunga 1,25 1,55 0,30 1,10 1,26 0,16 0,53 0,47 2,14 -
Rata-rata 3,95 4,98 1,03 3,33 3,87 0,54 0,51 0,49 2,25 4 Sumber: Lampiran 10
Tabel 5.6 menunjukkan pengeluaran ritual Tahap II dari 8 jenis bahan-
bahan ritual memiliki rata-rata Multiplier effect sebesar 2,25 yang artinya
apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok
juga bertambah sebesar 2,25 kali jumlah pengeluaran konsumsi. Besarnya
Multiplier effect Tahap II terbesar pertama adalah bahan janur sebesar 4,00,
artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan
pemasok juga bertambah sebesar 4,00 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan
seterusnya.
c) Untuk Tahap III
Multiplier effect Tahap III pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, untuk 4 jenis bahan-bahan
ritual, yaitu meliputi: uang kepeng, kain kasa, beras, dan minyak goreng.
187
Selanjutnya dari 4 jenis bahan ritual yang dipasok, 2 bahan ritual berakhir di
tahap ini, yaitu beras dan uang kepeng. Pada Tahap III analisis Multiplier
Effect untuk 4 jenis bahan-bahan ritual, masih ada dua jenis bahan ritual yaitu
kain kasa dan minyak goreng yang tidak dihitung multiplier effect karena
pabrik atau produsen kain kasa dan minyak goreng ada di luar Bali,
sebagaimana disajikan Tabel 5.7
Tabel 5.7 Hasil Perhitungan Multiplier effect Produsen Tahap III Bahan-Bahan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012
No Bahan-Bahan
Ritual Y1
(Juta Rp) Y2
(Juta Rp)
ΔY (Juta Rp)
C1 (Juta Rp)
C2 (Juta Rp)
ΔC (Juta Rp)
MPC=ΔC/ΔY MPS Multiplier
1 Uang Kepeng 4,50 7,80 3,30 3,50 4,60 1,10 0,33 0,67 1,50
2 Beras 2,50 3,90 1,40 2,40 3,20 0,80 0,57 0,43 2,33
3 Kain Kasa 2,50 3,50 1,00 2,20 2,40 0,20 0,20 0,80 1,25
4 M.Goreng 1,10 3,30 2,20 1,05 1,55 0,50 0,23 0,77 1,30
Rata-rata 3,8 3,48 0,33 2,66 2,56 0,1 0,33 0,67 1,59
Sumber: Lampiran 10
Tabel 5.7 menunjukkan pengeluaran ritual Tahap III dari 4 jenis bahan-
bahan ritual memiliki rata-rata Multiplier effect sebesar 1,59 yang artinya apabila
pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga
bertambah sebesar 1,59 kali jumlah pengeluaran konsumsi. Besarnya Multiplier
effect Tahap III terbesar pertama adalah beras sebesar 2,33 artinya apabila
pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga
bertambah sebesar 2,33 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan seterusnya.
Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal menggunakan beras sebesar 3,78
persen dari total pengeluaran ritual. Pada dasarnya beras sebagai bahan membuata
jajan dan memiliki makna mendalam yaitu ketika beras digunakan sebagai bija
188
saat sembayang dan di makan memiliki makna menanam benih-benih kebijakan,
beras merupakan lambang Amertha, sementara menurut Sudarsan (2000) beras
adalah sebagai lambang atau simbol dari udara sebagai cerminan Sang Hyang
Bayu. Beras (tepung) sebagai bahan utama dipergunakan untuk membuat jajan
perlengkapan banten sarad dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih.
Dari informan kunci diperoleh informasi yang simetris dengan hasil
deskriptif multiplier effect Tahap I, II, dan III bahwa pelaksanaan ritual memiliki
multiplier effect dan tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual. Intensitas
kegiatan upacara Panca Yadnya di Bali dapat menciptakan peluang usaha atau
kesempatan kerja di sektor nonformal, untuk menyediakan bahan-bahan ritual.
Informasi tersebut diperoleh dari beberapa pemasok bahan-bahan ritual meliputi
berikut ini:
1) Nyoman Arka sebagai peternak telor bebek di Banjar Pande Desa Abiansemal
wawancara 29 April 2012, seperti informasi berikut ini:
”Semakin sering ada kegiatan ritual permintaan telor semakin meningkat, hal ini mendorong semangat memelihara bebek petelor. Harga telor yang semakin mahal, namun resiko besar, yaitu bebek banyak mati ketika ada virus flu burun. Sulitnya mencari lahan yang habis panen dan harga kontrak lahan semakin hari semakin tinggi untuk tempat melepas bebek-bebek peliharaannya. Dengan adanya ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, dapat meningkatkan penjualan telor. Biasanya telor dijual setiap tiga hari sekali kepasar Blahkiuh, selama 2 bulan (Maret-April 2012) telor sudah dibeli oleh pengempon pura sehingga ada penghematan biaya tranportasi dan berkurangnya resiko telor pecah. Hasil penjualan telor bebek sebesar Rp 5,7 juta selama dua bulan dengan keuntungan bersih sebesar 30 persen”.
2) Bapak Nyoman Raka sebagai pengusaha bebek dan ayam di Singakerta Kaje
Kabupaten Gianyar wawancara 29 April 2012, seperti dikatakan salah
seorang pemasok:
189
”Selain sebagai pengusaha dan pengepul bebek, ayam dan telor juga bekerjasama dengan beberapa kelompok peternak bebek dan ayam sekitar Badung Utara, Tabanan dan Gianyar. Resiko usaha seperti ini besar ketika ada virus flu burung. Tingginya intensitas pelaksanaan ritual umat Hindu di Bali sangat menguntungkan usahanya karena permintaan semakin hari semakin banyak terutama telor,bebek, dan ayam untuk keperluan ritual ditambah menjamurnya usaha rumah makan atau kuliner makanan”.
3) Lain halnya dengan penuturan Ibu Mangku Eka, sebagai pemasok bahan-
bahan ritual seperti uang kepeng, tiker, ngiyu, besek, benang, jejahitan,
kacang-kacangan dan lain-lain wawancara 29 April 2012, mengatakan bahwa:
”Pada awalnya tidak menjual bahan-bahan ritual seperti sekarang ini, seiring dengan pelaksanaan ritual di Bali semakin hari semakin meningkat maka permintaaan bahan-bahan ritualpun meningkat. Berdasarkan pertimbangan dan melihat peluang usaha menjual bahan-bahan ritual prospeknya cukup menguntungkan sehingga membuka usaha kedua di Banjar Banjaran Desa Abiansemal mulai pertengahan tahun 2011 dan usaha pertama ada di pasar Blahkiuh sehingga saat ini memiliki dua usaha. Pelaksanaa ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka sangat menguntungkan karena lokasi ritual dekat dengan lokasi usahanya, harga sama dengan di pasar maka pihak pura cenderung membeli bahan-bahan disini daripada ke pasar Blahkiuh”.
4) Pengakuan pedagang janur Wayan Sugita (47 Tahun) sedurungne tiang
ngadep busung miwah selepaan manten kedik (sebelumnya dia berjualan janur
dan selepaan sedikit) wawancara 22 April 2012, mengatakan berikut ini:.
”Mulai usaha janur dilakukan dirumah, yaitu Banjar Banjaran Desa Abiansemal, melihat permintaan janur semakin hari semakin banyak karena aktivitas upacara Agama Hindu semakin hari semakin meningkat dari tingkatan upacara kecil sampai upacara besar seperti upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih, Piodalan di Pura-Pura dan lain-lainnya. Berarti prospek bisnis janur sangat menguntungkan maka mulai mengembangkan usaha dengan mencari tempat/lokasi yang lebih strategis yaitu di daerah Penarungan Desa Abiansemal, mengembangkan usaha sebagai suplier janur wilayah Abiansemal baik janur lokal maupun janur dari Jawa. Setiap hari minimal penjualan janur 16 sampai 25 gabung per hari, harga rata-rata Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu rupiah per gabung”.
5) Seperti penuturan Ibu Luh Gde Rusmini pedagang beras UD.Dharma Sari Di
Desa Abiansemal, sebagai pemasok beras pada pelaksanaan upacara Mlaspas
190
dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal wawancara 22
April 2012, seperti berikut ini:
”Mengatakan hasil penjualan beras selama dua bulan upacara di Pura Pasek Preteka mengalami kenaikan sebesar 15 persen per bulan dari biasanya sebesar Rp10 juta hingga Rp15 juta per bulan. Kondisi yang sama juga dirasakan oleh Nyoman Sudama pedagang beras UD.Dharma Yasa Di Desa Abiansemal juga menuturkan bahwa penjualan berasnya meningkat selama dua bulan upacara berlangsung sebesar 14 persen per bulan dari biasanya sebesar Rp 8 juta hingga Rp 10 juta per bulan”.
6) Menurut informasi yang disampaikan Ibu Prasetiawati (45 tahun) dan Ibu
Arini (50 tahun) pedagang kain kasa dan alat-alat ritual di Pasar Blahkiuh
Wawancara 29 April 2012, seperti berikut:
”Menurut Ibu Prasetiawati pedagang kain kasa dan alat-alat ritual di Pasar Blahkiuh dapat tambahan berjualan sebesar Rp 3,75 juta per dua bulan, sama juga yang disampaikan oleh Ibu Arini, pedagang kain kasa dan alat-alat ritual di Pasar Blahkiuh rata-rata memperoleh tambahan penjualan sebesar Rp 2,5 juta per dua bulan selama ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal”.
5.4.3 Besarnya Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal
Tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual. Pengeluaran
ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih merupakan tambahan pendapatan bagi
pemasok. Pengeluaran bahan-bahan yang dipergunakan dalam pelaksanaan
ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal
adalah sebesar Rp 188,568 juta, untuk bahan-bahan ritual sebesar Rp 135,220
juta (72,06 persen) terdiri atas 13 jenis bahan ritual, yaitu: bahan bambu, babi,
uang kepeng (pis bolong), kelapa, bebek-ayam, beras, kain kasa, telor, pajeng
(tedung), janur, pisang-buah-buahan, miyak goreng, dan bunga. Sedangkan
bahan-bahan non ritual sebesar Rp 53,348 juta (27,94 persen) berupa biaya
191
konsumsi, bensin, gas, dan baju kaos. Bahan-bahan ritual yang dibutuhkan
tersedia di sekitar Abiansemal sebesar 90,91 persen dan hanya 9,09 persen
luar daerah seperti kain kasa dan minyak goreng.
Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal
mengakibatkankan adanya permintaan (transaksional) bahan-bahan ritual dan
non ritual, sebagaimana disajikan Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan-Bahan Ritual dan Non Ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung
No Bahan-Bahan Tambahan Pendapatan
Pemasok (Rp) Presentase
(%) I Bahan-Bahan Ritual 1. Bambu 44.829.000 23,77 2. Babi 21.264.000 11,27 3. Uang kepeng, Tikar 20.898.000 11,08 4. Kelapa 7.899.000 4,18 5. Bebek-Ayam 7.253.000 3,84 6. Beras 7.129.000 3,78 7. Kain Kasa 5.888.000 3,12 8. Telor 5.680.500 3,01 9. Pajeng 5.618.500 2,97 10. Janur 3.677.000 1,94 11. Pisang- Buah-buahan 2.745.000 1,52 12. Minyak Goreng 2.534.000 1,34 13. Bunga 575.000 0,30 Jumlah 135.220.000 72,06
II Bahan-bahan Non Ritual (biaya konsumsi. Gas, Bensin dan Baju Kaos)
53.348.000 27,94
Total Pengeluaran Ritual 188.568.000 100,00 Sumber: Data Primer (diolah oleh Peneliti), 2012
Berdasarkan Tabel 5.8 besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan
ritual sebesar Rp 135,220 juta (72,06 persen) dari total pengeluaran bahan ritual.
Pengelompokan beberapa jenis bahan-bahan ritual berdasarkan besarnya nilai
192
rupiah pengeluaran bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura
Pasek Preteka Desa Abiansemal terbesar pertama adalah bahan bambu sebesar Rp
44,829 juta (23,77 persen), kedua babi sebesar Rp 21,264 juta (11,27 persen),
ketiga uang kepeng (pis bolong) sebesar Rp 20,898 juta (11,08 persen) dan
seterusnya dari total pengeluaran ritual, sebagaimana disajikan Gambar 5.16
Gambar 5.16 Persentase Tambahan Pendapatan atau Pengeluaran Bahan-Bahan Ritual
(Juta Rp dan %) Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung
Sumber: Tabel 5.8
Gambar 5.16 menunjukkan tambahan pendapatan pemasok bahan ritual
bambu sebesar Rp 44,829 juta (23,77 persen) hampir seperempat dari total
penggunaan bahan-bahan ritual. Ini menunjukkan betapa besarnya peranan
1Bambu 44,829
(23.77%)
2Babi
21,264 (11.27%)
3Uang kepeng
20,898 (11.08%)
4Kelapa 7,899
(4.18%)
5Bebek-Ayam
7,253 (3.84%)
6Beras 7,129
(3.78%)7Kain Kase
5,888 (3.12%)
8Telor5,680
(3.01%)9Pajeng 5,618
(2.97%)
10Janur 3,677
(1,94%)
11Pisang- Buah2,745(1,52%)
12Minyak Goreng 2,534
(1,34%)
13Bunga0,575
(0.30%)
Non Ritual53,348 (27.94%)
TAMBAHAN PENDAPATAN PEMASOK (Juta Rp dan %)
193
bambu dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa
Abiansemal dibandingkan dengan bahan-bahan ritual yang lainnya. Dalam
kegiatan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, fungsi bambu cukup dominan,
dipergunakan membuat sarana upakara seperti sanggah surya, taring tempat
melakukan aktivitas persiapan ritual dan aktivitas wewalian dan bale panggung
tempat para Sulinggih memimpin ritual. Sebagaimana dominan bahan bambu
dalam kegiatan ritual Hindu namun tidak kalah pentingnya daging babi. Pada
umumnya, umat Hindu di Bali setiap kegiatan ritual selalu ada aktivitas mengolah
daging babi maka tambahan pendapatan pemasok babi sebesar Rp 21,264 juta
(11,27 persen) baik untuk kelengkapan ritual maupun untuk adat sebagai budaya
kebersamaan, solidaritas (menyamabraya, metetulung, ngoopin, ngayah)
mencerminkan interaksi sosial antar Krama Banjar Desa Adat di Bali. Tambahan
pendapatan pemasok uang kepeng sebesar Rp 20,898 juta (11,08 persen) dan
seterusnya.
5.5 Hasil Penelitian Kuantitatif
Analisis kuantitatif dilakukan bukan untuk menghasilkan sebuah model,
tetapi ditujukan untuk mengkonfirmasi model hipotesis melalui data empirik.
Model hipotesis sebagaimana paparan dalam Bab III tentang kerangka pemikiran.
Data empirik didapat dari 130 responden, setiap responden diminta untuk
menjawab kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas berkaitan dengan
variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.
194
Dengan demikian diperoleh jawaban responden yang ditabulasi dengan Microsoft
Excel sebagaimana ditampilkan Lampiran 12.
Data Lampiran 12 selanjutnya diproses dengan program statistik Amos
versi 20.0 untuk uji Normalitas, CFA dan uji pengaruh dengan SEM berdasarkan
asumsi-asumsi dalam Structural Equation Modeling (SEM) untuk menguji
kelayakan model.
5.5.1. Evaluasi Asumsi SEM
Evaluasi atas asumsi-asumsi SEM didahului dengan evaluasi normalitas
untuk mengetahui kenormalan data. Analisis normalitas data digunakan untuk
mengetahui apakah data yang diperoleh dan dikumpulkan memiliki distribusi
normal atau tidak. Untuk analisis normalitas data digunakan nilai kritis skweness
dan nilai kurtosis. Analisis distribusi normalitas sangat diperlukan jika jumlah
datanya (n) < 100 buah (Nunnally dan Sujana dalam Husaini Usman, 2009:109),
namun demikian untuk ukuran sampel >100 masih dipandang perlu uji normalitas.
Jika data yang diperoleh berdistribusi normal, maka memungkinkan dilaksanakan
analisis parametrik.
Untuk evaluasi normalitas dilakukan uji skweness dan uji kurtosis. Uji
skweness digunakan untuk melihat kemencengan/kecondongan penyebaran data,
sedangkan kurtosis untuk melihat keruncingan penyebaran data. Menurut
Suharyadi (2003), data memiliki penyebaran yang menceng atau condong bila
nilai kritis (c.r.) untuk skweness besar dari ± 3,00. Data disebut memiliki
penyebaran yang runcing bila nilai kritis (c.r.) untuk kurtosis > 3,00. Data dapat
dinyatakan menyebar normal jika nilai kritis (c.r) untuk skweness maupun kurtosis
195
tidak lebih besar dari ± 2,58. Pada penelitian ini digunakan kriteria menurut
Ferdinand (2006).
Uji normalitas dilakukan pada data setiap indikator variabel laten, yaitu
data variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan hasil proses Confirmatory Factor Analysis (CFA) program Amos
Versi 20.0 terhadap data penelitian untuk setiap variabel laten pada Lampiran 12
diperoleh hasil pengolahan assessment of normality pada Amos Versi 20.0 seperti
terlihat pada Lampiran 13 sampai dengan Lampiran 15.
a. Uji Normalitas Data Variabel Pelaksanaan Ritual
Berdasarkan Lampiran 13 dapat dibuat Tabel 5.9 di bawah ini.
Tabel 5.9 Assessment of normality (Group number 1)
variabel Pelaksanaan Ritual
Variable min max skwe c.r. kurtosis c.r. pr5 3,000 5,000 -,077 -,358 ,302 ,703 pr4 3,000 5,000 -,025 -,118 ,164 ,381 pr3 3,000 5,000 -,049 -,227 -,863 -2,009 pr2 3,000 5,000 -,013 -,059 -,172 -,400 pr1 3,000 5,000 -,120 -,560 -,634 -1,476 Multivariate 4,052 2,761
Sumber : Lampiran 13
Tabel 5.9 menunjukkan dari 5 indikator variabel pelaksanaan ritual tidak
ada yang memiliki c.r untuk skweness > ± 2,58. Ini berarti sebaran data
untuk semua indikator adalah normal ditinjau dari kecondongan. Dilihat dari
kurtosis (keruncingan), tidak ada indikator variabel pelaksanaan ritual yang
memiliki nilai c.r. > 2,58. Ini berarti, bila dilihat dari kurtosis (keruncingan)
dapat dikatakan bahwa penyebaran data untuk semua indikator variabel
pelaksanaan ritual adalah menyebar normal (tidak runcing). Dengan demikian
196
ditinjau dari normalitas data (kecondongan dan keruncingan), dapat
dinyatakan data untuk 5 indikator variabel pelaksanaan ritual adalah menyebar
normal. Artinya, untuk analisis selanjutnya, variabel laten pelaksanaan ritual
diwakili oleh 5 indikator tersebut.
b. Uji Normalitas Data Variabel Kesempatan Kerja
Berdasarkan Lampiran 14 dapat dibuat Tabel 5.10 di bawah ini.
Tabel 5.10 Assessment of normality (Group number 1)
variabel Kesempatan Kerja
Variable min max skwe c.r. kurtosis c.r. kk4 3,000 5,000 ,020 ,092 -,546 -1,270 kk3 3,000 5,000 ,025 ,116 ,822 1,913 kk2 3,000 5,000 ,057 ,266 ,058 ,135 kk1 3,000 5,000 ,010 ,046 -,400 -,930 Multivariate 1,819 1,496
Sumber : Lampiran 14
Tabel 5.10 menunjukkan tidak ada indikator variabel kesempatan kerja
yang memiliki c.r untuk skweness > ± 2,58. Ini berarti sebaran data untuk
semua indikator kesempatan kerja adalah normal ditinjau dari kecondongan.
Dilihat dari kurtosis (keruncingan), tidak ada indikator kesempatan kerja yang
memiliki nilai c.r. > 2,58. Ini berarti, bila dilihat dari kurtosis (keruncingan)
dapat dikatakan bahwa penyebaran data untuk semua indikator kesempatan
kerja adalah menyebar normal (tidak runcing). Dengan demikian ditinjau dari
normalitas data, dapat dinyatakan data untuk 4 indikator variabel kesempatan
kerja adalah menyebar normal. Artinya, untuk analisis selanjutnya, variabel
laten kesempatan kerja diwakili oleh 4 indikator tersebut.
197
c. Uji Normalitas Data Variabel Kesejahteraan Masyarakat
Berdasarkan Lampiran 15 dapat dibuat Tabel 5.11 di bawah ini.
Tabel 5.11 Assessment of normality (Group number 1) variabel Kesejahteraan Masyarakat
Variable min max skwe c.r. kurtosis c.r. km4 3,000 5,000 -,175 -,816 -1,060 -2,468 km3 3,000 5,000 -,222 -1,033 ,974 2,268 km2 3,000 5,000 ,018 ,086 ,167 ,389 km1 3,000 5,000 -,025 -,117 -,718 -1,670 Multivariate 3,405 2,801
Sumber : Lampiran 15
Tabel 5.11 menunjukkan tidak ada indikator variabel kesejahteraan
masyarakat yang memiliki c.r untuk skweness > ± 2,58. Ini berarti sebaran
data untuk semua indikator adalah normal ditinjau dari kecondongan.
Dilihat dari kurtosis (keruncingan), tidak ada indikator kesejahteraan
masyarakat yang memiliki nilai c.r. > 2,58. Ini berarti, bila dilihat dari
kurtosis (keruncingan) dapat dikatakan bahwa penyebaran data untuk semua
indikator kesejahteraan masyarakat adalah menyebar normal (tidak
runcing). Dengan demikian ditinjau dari normalitas data, dapat dinyatakan
data untuk 4 indikator variabel kesejahteraan masyarakat adalah menyebar
normal. Artinya, untuk analisis selanjutnya, variabel laten kesejahteraan
masyarakat diwakili oleh 4 indikator tersebut.
Dengan terpenuhinya normalitas semua sebaran data untuk setiap
variabel laten, maka uji parametrik dapat dilanjutkan.
5.5.2. Hasil Pengujian Analisis Faktor Konfirmatori (CFA)
Analisis faktor konfirmatori digunakan untuk menguji unidimensionalitas
dari dimensi-dimensi yang menjelaskan variabel laten dari model tersebut, apakah
198
seluruh indikator yang dipakai dalam penelitian merupakan pembentuk variabel
laten pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.
Analisis faktor konfirmatori ini juga dimaksudkan untuk menganalisis tingkat
validitas dari data yang ada dalam penelitian. Artinya, apakah indikator yang
digunakan memiliki kebermaknaan yang cukup untuk mendefinisikan variabel
laten yang dibentuk. Ferdinand (2006) sebuah indikator signifikan
mengkonvirmasi variabel laten jika memiliki koefisien lamda () ≥ 0,50 dan nilai
kritis (C.R) ≥ 2,00 serta nilai probabilitas < 0,05.
Berdasarkan model penelitian dari model persamaan struktural seperti
paparan dalam Bab III tentang kerangka pemikiran, maka dilakukan analisis
faktor konfirmatori menggunakan komputer dengan menggunakan program Amos
versi 20.0, yaitu sebagai berikut.
a) Analisis faktor konfirmatori terhadap variabel Pelaksanaan Ritual
Untuk analisis faktor konfirmatori (CFA) variabel Pelaksanaan Ritual
digunakan hasil pengolahan data pada Lampiran 13. Berdasarkan Lampiran
13 dapatlah ditampilkan Gambar 5.17 dan Tabel 5.12 dan Tabel 5.13 berikut.
Gambar 5.17 Confirmatory Factor Analysis Variabel Pelaksanaan Ritual
Keterangan: pr1 = labda karya, pr2 = manggala karya, pr3 = keharmonisan, pr4 = tenaga kerja, pr5 = bahan ritual
Sumber : Lampiran 13
199
Tabel 5.12 Regression Weights:
(Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual
Estimate S.E. C.R. P Label
pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,280 ,181 7,091 *** par_1
pr3 <--- PR 1,334 ,200 6,671 *** par_2 pr4 <--- PR 1,239 ,172 7,189 *** par_3
pr5 <--- PR ,771 ,145 5,314 *** par_4 Sumber : Lampiran 13
Tabel 5.13 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Indikator Pelaksanaan Ritual
Estimate pr1 <--- PR ,603 pr2 <--- PR ,839 pr3 <--- PR ,758 pr4 <--- PR ,865 pr5 <--- PR ,557
Sumber : Lampiran 13
Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori terhadap indikator
variabel pelaksanaan ritual, baik dalam bentuk diagram maupun dalam bentuk
tabel, diketahui bahwa Standardized Regression Weight () untuk ke-5
indikator lebih besar dari 0,50 serta koefisien C.R. lebih besar dari 2,00 dan
nilai probabilitas ke-5 indikator lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berarti <
0,001). Dengan demikian dapat dikatakan ditinjau dari CFA, bahwa ke-5
indikator adalah kuat untuk mengkonfirmasi variabel laten Pelaksanaan
Ritual. Untuk itu ke-5 indikator tersebut dapat diikut sertakan pada analisis
lebih lanjut.
200
b) Analisis faktor konfirmatori terhadap variabel Kesempatan Kerja
Untuk analisis faktor konfirmatori (CFA) variabel kesempatan kerja
digunakan hasil pengolahan data pada Lampiran 14. Berdasarkan Lampiran
14 dapatlah ditampilkan Gambar 5.18 dan Tabel 5.14 dan Tabel 5.15 berikut.
Gambar 5.18 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesempatan Kerja Keterangan : kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja Sumber : Lampiran 14
Tabel 5.14
Regression Weights:(Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja
Estimate S.E. C.R. P Label kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,136 ,252 4,507 *** par_1 kk3 <--- KK ,943 ,218 4,323 *** par_2 kk4 <--- KK 1,329 ,294 4,518 *** par_3
Sumber : Lampiran 14 Tabel 5.15
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Indikator Kesempatan Kerja
Estimate
kk1 <--- KK ,527
kk2 <--- KK ,673 kk3 <--- KK ,603 kk4 <--- KK ,680
Sumber : Lampiran 14
Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori terhadap indikator
variabel Kesempatan Kerja, baik dalam bentuk diagram maupun dalam
201
bentuk tabel, Diketahui bahwa Standardized Regression Weight () untuk
ke-4 indikator lebih besar dari 0,50 serta koefisien C.R. lebih besar dari 2,00
dan nilai probabilitas ke-4 indikator lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berarti
< 0,001). Dengan demikian dapat dikatakan ditinjau dari CFA, bahwa ke-
4 indikator adalah kuat untuk mengkonfirmasi variabel laten Kesempatan
Kerja. Untuk itu ke-4 indikator tersebut dapat diikut sertakan pada analisis
lebih lanjut.
c) Analisis faktor konfirmatori terhadap variabel Kesejahteraan Masyarakat
Untuk analisis faktor konfirmatori (CFA) variabel Kesejahteraan
Masyarakat digunakan hasil pengolahan data pada Lampiran 15.
Berdasarkan Lampiran 15 dapatlah ditampilkan Gambar 5.19 dan Tabel
5.16 dan Tabel 5.17 berikut.
Gambar 5.19 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesejahteraan
Masyarakat Keterangan : km1= tingkat pendapatan, km2 = derajat pendidikan,
km3 = derajat kesehatan, km4 = kondisi kehidupan sosial
Sumber : Lampiran 15
202
Tabel 5.16 Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Indikator Kesejahteraan Masyarakat
Estimate S.E. C.R. P Label km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,784 ,120 6,536 *** par_1 km3 <--- KM ,735 ,108 6,810 *** par_2 km4 <--- KM ,868 ,150 5,777 *** par_3
Sumber : Lampiran 15
Tabel 5.17 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Indikator Kesejahteraan Masyarakat
Estimate km1 <--- KM ,742 km2 <--- KM ,688 km3 <--- KM ,740 km4 <--- KM ,592
Sumber : Lampiran 15
Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori terhadap indikator
variabel kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk diagram maupun
dalam bentuk tabel. Diketahui bahwa Standardized Regression Weight ()
untuk ke-4 indikator lebih besar dari 0,50 serta koefisien C.R. lebih besar
dari 2,00 dan nilai probabilitas ke-4 indikator lebih kecil dari 0,05 (tanda
*** berarti < 0,001). Dengan demikian dapat dikatakan ditinjau dari CFA,
bahwa ke-4 indikator adalah kuat untuk mendefinisikan variabel laten
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu ke-4 indikator tersebut dapat diikut
sertakan pada analisis lebih lanjut. Setelah terpenuhinya uji CFA untuk
semua variabel laten maka dapat dilanjutkan dengan Uji pengaruh dengan
SEM.
5.5.3. Analisis Pengaruh dengan SEM
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan
ritual terhadap kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat, ditambah lagi
203
dengan hipotesis yang dirumuskan pada Bab III, maka analisis data dilakukan
dengan menggunakan Model Persamaan Struktural (SEM) yang merupakan
sekumpulan teknik statistik yang memungkinkan dilakukannya pengujian
serangkaian hubungan yang relatif rumit secara simultan (Ferdinand, 2002;
Solimun, 2004).
Adapun hipotesis yang diuji adalah:
H1 : Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kesempatan kerja
H2 : Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat
H3 : Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung
melalui kesempatan kerja
Mengacu pada hipotesis tersebut, maka dikembangkan model hubungan
antar variabel seperti Gambar 5.20.
Gambar 5.20 Model Hubungan Variabel Pelaksanaan Ritual,
Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat
Dari Gambar 5.20, dapat dibuat model persamaan struktural Pelaksanaan
Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), Kesejahteraan Masyarakat (KM) sebagai
berikut.
204
H1 : KK = KKPR PR + e14, berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KK,
H2 : KM = KMPR PR + e15, berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KM,
H3 : KM = KMKK KK + e15, berpengaruh langsung (Direct Effect) KK terhadap KM
dan pengaruh tidak langsung (Indirect Effect) PR terhadap KM melalui KK
Besarnya pengaruh setiap variable konstruk di dalam model dianalisis
dengan membandingkan pengaruh langsung (direct effect), pengaruh tidak
langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total effect) antar variable dalam
model. Menurut Ferdinand (2006), efek langsung (direct effect) adalah koefisien
dari semua garis koefisien dengan anak panah satu ujung. Efek total adalah
penjumlahan dari variable langsung dan tidak langsung atau adanya pengaruh dari
berbagai hubungan.
Model pada Gambar 5.21 selanjutnya dilengkapi dengan hubungan setiap
variabel laten dengan indikatornya atau item pertanyaan masing-masing, hingga
dapat ditampilkan model diagram jalur yang semakin lengkap seperti ditampilkan
pada Gambar 5.21.
Gambar 5.21 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat
Sumber : Lampiran 17
205
Mengacu pada Gambar 5.21 terlihat jumlah indikator masing-masing
variabel laten pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.
Skor jawaban responden terhadap setiap indikator tersebut disajikan pada
Lampiran 12. Skor jawaban responden pada Lampiran 12 diolah dengan statistik
Full Model SEM menggunakan software AMOS for windows versi 20.0 hingga
diperoleh tampilan grafik seperti dan hasil Regression Weights seperti Lampiran
16.
Dari hasil pengolahan data pada Lampiran 18 dilakukan analisis Full
Model SEM. Untuk keperluan analisis pertama-tama ditampilkan gambar hasil
pengolahan SEM, sebagaimana Gambar 5.22.
Gambar 5.22 Koefisien Regresi Model Variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5= bahan-bahan ritual, kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial.
Sumber : Lampiran 17
206
Berdasarkan Gambar 5.22 dilakukan analisis model pengukuran dengan
parameter lamda, analisis model struktural, analisis determinasi, Goodness of fit
untuk kontribusi pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan
masyarakat.
1) Analisis Pengujian Model Pengukuran dengan Parameter Lamda (i)
Pengujian parameter yang dilakukan adalah pengujian parameter lamda (i).
Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui validitas setiap indikator
penelitian. Untuk pengujian parameter lamda (i) digunakan nilai
standardized estimate (regression weight) berupa loading factor. Apabila
nilai standardized estimate (regression weight) (i) > 0,50, nilai C.R > ttabel =
2,000, dan Probabiliy < = 0,05, maka loading factor parameter lamda (i)
indikator tersebut dinyatakan signifikan (Ferdinand, 2002). Hal ini berarti,
indikator tersebut valid. Untuk keperluan pengujian parameter lamda
(Lampiran 16) berikut yang memuat loading factor/lamda (i), C.R,
Probability (P), seperti disajikan Tabel 5.18.
Tabel 5.18 Regression Weight (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual,
Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat
Estimate S.E. C.R. P Label pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,132 ,149 7,585 *** par_4 pr3 <--- PR 1,288 ,172 7,507 *** par_5 pr4 <--- PR 1,102 ,142 7,775 *** par_6 pr5 <--- PR ,761 ,128 5,928 *** par_7 kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,018 ,205 4,976 *** par_8 kk3 <--- KK 1,012 ,196 5,171 *** par_9 kk4 <--- KK 1,155 ,235 4,918 *** par_10 km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,866 ,132 6,549 *** par_11 km3 <--- KM ,846 ,118 7,173 *** par_12 km4 <--- KM 1,105 ,170 6,503 *** par_13
Sumber : Lampiran 16
207
Berdasarkan Tabel 5.18 dapat dilihat bahwa semua indikator
variabel laten memiliki standardized estimate (regression weight) berupa
loading factor atau lamda (i) > 0,50, nilai kritis C.R. > 2,000 serta memiliki
probabilitas lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berari < 0,001). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa semua indikator variabel laten tersebut adalah valid
atau signifikan untuk merefleksikan variabel laten.
2) Analisis Model Persamaan Struktural
Persamaan struktural Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK),
terhadap Kesejahteraan Masyarakat (KM ), yaitu berpengaruh langsung (Direct
Effect) PR terhadap KK; berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KM;
dan berpengaruh langsung (Direct–Indirect Effect) PR terhadap KM melalui KK.
Pengujian model dilakukan menggunakan koefisien regresi untuk variabel
pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat melalui tabel
output dari sub menu view atau set sebagaimana Lampiran 21. Berdasarkan hasil
perhitungan koefisien regresi (regression weight) yang dapat dilihat pada
Lampiran 18 dapat dibuat Tabel output seperti disajikan dalam Tabel 5.19
Tabel 5.19 Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR),
Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Estimate S.E. C.R. P Label KK <--- PR ,464 ,115 4,038 *** H1 KM <--- PR ,517 ,124 4,171 *** H2 KM <--- KK ,704 ,182 3,860 *** H3
Sumber : Lampiran 16 Tabel 5.20
Standarized Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Estimate KK <--- PR ,571 KM <--- PR ,499 KM <--- KK ,552
Sumber : Lampiran 18 Tabel 5.19 dan Tabel 5.20 menunjukkan sebagai berikut.
208
Pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja memiliki
standardized estimate (regression weight) sebesar 0,571 dengan C.r
(Critical ratio) = identik dengan nilai t-hitung) sebesar 4,038 pada
probability = ***. Nilai C.R (Correlation Regression) 4,038 > 2,000 dan
Probability = *** < 0,05 menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap
kesempatan kerja adalah positif.
Pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat memiliki
standardized estimate (regression weight) sebesar 0,499 dengan Cr
(Critical ratio = identik dengan nilai t-hitung) sebesar 4,171 pada
probability = ***. Nilai CR (Correlation Regression) 4,171 > 2,000 dan
Probability = *** < 0,05 menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah positif.
Kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat memiliki
standardized estimate (regression weight) sebesar 0,552 dengan Cr
(Critical ratio = identik dengan nilai t-hitung) sebesar 3,860 pada
probability = ***. Nilai CR (Correlation Regression) 3,860 > 2,000 dan
Probability = *** < 0,05 menunjukkan bahwa kesempatan kerja terhadap
kesejahteraan kasyarakat adalah positif.
Pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat
menunjukkan positif baik langsung maupun tidak langsung melalui
kesempatan kerja sebesar 0,315
209
Memperhatikan standardized estimate untuk variabel Pelaksanaan Ritual
(PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM), maka dapat
dibuat model persamaan struktural sebagai berikut.
(1) KK= KKPR PR + e14= 0,571 PR + e14: berarti pelaksanaan ritual berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja teruji kebenarannya.
(2) KM= KMPR PR + e15 = 0,499 PR + e15 berarti pelaksanaan ritual berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat teruji
kebenarannya.
(3) KM= KMKK KK + e15 = 0,552 KK + e15: berarti kesempatan kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat teruji
kebenarannya. Pengaruh tidak langsung pelaksanaan ritual terhadap
kesejahteraan masyarakat melalui kesempatan kerja sebesar 0,315. Pengaruh
total pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung
maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja sebesar 0,814.
Dinyatakan ketiga hubungan menunjukkan pengaruh positip terhadap
variabel endogen. Tabel 5.21
3) Analisis Goodness of Fit
Berdasarkan kriteria uji, Chi-square (2), Relatif Chi-square (2/df),
RMSEA, GFI, AGFI, TLI, dan CFI di atas dan nilai Goodness of Fit hasil
pengolahan Amos for windows versi 20.0 sebagaimana ditampilkan pada Gambar
5.22 maka dapat dibuat Tabel 5.21.
210
Tabel 5.21 Evaluasi Goodness of Fit
Goodness of Fit Index Cut-of Value Hasil Model
Utama Keterangan
Chi-square (2 ) Diharapkan kecil
138,539 Kurang baik
Relatitive Chi-square (2/df) 3,00 2,235*) Baik Probability > 0,05 0,000 Kurang baik RMSEA 0,08 0,098+) Marginal GFI 0,90 0,857+) Marginal AGFI 0,90 0,790 Kurang Baik TLI 0,94 0,862+) Marginal CFI > 0,94 0,891+) Marginal
Keterangan: *) Memenuhi Goodness of fit +) Marginal Sumber : Gambar 5.23 Tabel 5.21 menunjukkan nilai cut-of-value dan goodness of fit hasil
model satu kriteria yang terpenuhi serta ada empat marginal dari delapan
kriteria yang dipakai. Kriteria yang terpenuhi adalah Relatif Chi-square
(CMIN/DF) dan yang marginal adalah RMSEA, GFI, TLI dan CFI.
Berhubung baru satu kriteria yang memenuhi syarat dan empat yang
marginal dari delapan kriteria yang disyaratkan, maka model di atas dapat
dinyatakan sebagai model yang belum baik (Solimun, 2004 ).
4) Analisis Model Pengukuran dengan Determinasi
Berikut ini dilakukan analisis Model Pengukuran dengan koefisien
Determinasi kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Analisis
model pengukuran dengan determinasi digunakan untuk mengetahui
besarnya sumbangan variabel eksogen terhadap variable endogen. Untuk
analisis ini digunakan Square Multiple Correlation. Besarnya Square
Multiple Correlation dapat dilihat pada Tabel 5.22 berikut.
211
Tabel 5.22 Squared Multiple Correlations:
(Group number 1 - Default model)
Estimate KK ,326 KM ,869
Sumber : Lampiran 18
Square Multiple Correlation yang nilainya masing-masing untuk
kesempatan kerja = 0,326 dan kesejahteraan masyarakat = 0,869
sebagaimana terlihat pada Tabel 5.22. Menurut Ferdinand (2002), nilai
Square Multiple Correlation untuk variabel kesempatan kerja R2 = 0,326
maka besarnya Determinasinya = 0,326 x 100 persen = 32,6 persen.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perubahan kesempatan kerja
ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Untuk variabel kesejahtaraan
masyarakat R2 = 0,869 maka besarnya Determinasinya = 0,869 x 100
persen = 86,9 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perubahan
kesejateraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual melalui
kesempatan kerja.
Dari keseluruhan analisis di atas dapat disimpulkan semua
indikator untuk pelaksanaan ritual, kesempatan kerja dan kesejahteraan
masyarakat adalah valid. Bila dilihat dari Model persamaan struktural di
atas menunjukkan Regression Weight (), terdapat dua variabel eksogen
pengaruhnya positip terhadap variable endogen. Dari hasil Evaluasi
Goodness of Fit menunjukkan baru satu kriteria yang terpenuhi (Chi-
square/df) dan empat kriteria yang marginal (RMSEA, GFI, TLI dan CFI)
dari delapan kriteria yang ada. Dengan demikian maka model tersebut
belum dapat dinyatakan sebagai model yang baik (belum memenuhi
212
Goodness of fit) dan dipandang perlu diadakan modifikasi model untuk
dapat meningkatkan kecocokan model (Goodness of fit) (Solimun, 2004).
Secara teori, Ferdinand (2006) mengatakan ada dua cara memodifikasi
untuk meningkatkan nilai Goodness of fit, yaitu pertama dapat dilakukan
dengan tidak mengikut sertakan indikator yang memiliki koefisien
Standarized Regression Weight antara indikator λ (loading factor) kecil;
kedua dengan mengkorelasikan beberapa indikator yang memiliki nilai
Modifikasi Indeks (M.I.) yang besar.
5.5.4 Modifikasi Model
Pada Modifikasi ini dilakukan dengan mengkorelasikan beberapa error
yang memiliki koefesien Modifikasi Indeks (M.I) besar. Untuk keperluan tersebut
maka berikut ini ditampilkan Tabel 5.23 yang memuat koefisien Modifikasi Indek
> 8,00 yang didapat dari Lampiran 18.
Tabel 5.23 Modification Indices (Group number 1 - Default model)
Covariances: (Group number 1 - Default model)
M.I. Par Change e13 <--> e14 11,629 -,059 e3 <--> e13 14,785 ,089 e2 <--> e4 14,081 ,045 e1 <--> e14 9,544 ,048
Sumber : Lampiran 18
Dari koefisien Modifikation Indeks (M.I.) Tabel 5.23, modifikasi model
dilakukan dengan mengkorelasikan antar error yang memiliki Modifikation Indek
(M.I.) > 8,000 dalam rangka memperbaiki Goodness of fit maka e13 yang
dikorelasikan dengan e14; e3 yang dikorelasikan dengan e13; e2 yang
dikorelasikan dengan e4; dan e1 yang dikorelasikan dengan e14
213
Dengan menghubungkan beberapa error di atas maka dapat dihasilkan
model modifikasi, seperti Gambar 5.23
Gambar 5.23 Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat.
Keterangan: pr1=labda karya, pr2=manggala karya, pr3=keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5=bahan-bahan ritual, kk=lapangan usaha, kk2=kualitas kesempatan kerja, kk3=kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km=tingkat pendapatan, km2=derajat pendidikan, km3=derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial
Sumber : Lampiran 20
Setelah model modifikasi Gambar 5.23 dilakukan pengolahan, maka
didapat hasil pengolahan SEM sebagai berikut.
1) Standarized Regression Weight (Lamda:i). Indikator pelaksanaan ritual,
kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat hasil yang lebih baik dari
hasil model utama (Lampiran 15). Berdasarkan Lampiran 19 semua indikator
variabel laten memiliki standardized estimate (regression weight) berupa
loading factor atau lamda (i) > 0,50, nilai kritis C.R. > 2,000 serta memiliki
probabilitas lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berari < 0,001). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa semua indikator variabel laten tersebut adalah valid
atau signifikan untuk merefleksikan variabel laten.
214
2) Analisis Model Persamaan Struktural
Pengujian model modifikasi dilakukan menggunakan koefisien regresi
untuk variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan
masyarakat melalui tabel output dari sub menu view/set sebagaimana
Lampiran 21. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien regresi (regression
weight) yang dapat dilihat pada Lampiran 21 dapat dibuat hubungan antar
variabel di dalam model SEM dibagi menjadi tiga kategori yaitu pengaruh
langsung, pengaruh tidak langsung dan pengaruh total, seperti disajikan
dalam Tabel 5.24 dan Tabel 5.25.
Tabel 5.24 Standarized Regression Weight Direct Effects
Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Estimate KK <--- PR ,595 KM <--- PR ,399 KM <--- KK ,657
Sumber : Lampiran 21
Tabel 5.25 Standardized Regression Weight Indirect Effects
Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)
PR KK KM KK ,000 ,000 ,000 KM ,391 ,000 ,000
Sumber : Lampiran 21 Berdasarkan analisis jalur (path analysis), Tabel 5.24 dan Tabel 5.25,
dinyatakan ketiga pengaruh menunjukkan positif terhadap variabel endogen
berikut.
1) Koefisien jalur pelaksanaan ritual berpengaruh langsung terhadap kesempatan
kerja sebesar 0,595 dengan nilai CR sebesar 4,343 > 2,00 menunjukkan bahwa
pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja adalah positif. Dengan demikian,
215
hipotesis kerja pertama yang menyatakan pelaksanaan ritual berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja dapat diterima.
2) Koefisien jalur pelaksanaan ritual berpengaruh langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat sebesar 0,399 dengan nilai CR sebesar 3,309 > 2,00
menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat
adalah positif. Dengan demikian, hipotesis kerja kedua yang menyatakan
pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat dapat diterima.
3) Koefisien jalur kesempatan kerja berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan
masyarakat sebesar 0,657 dengan nilai CR sebesar 4,159 > 2,00 menunjukkan
bahwa kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat adalah positif.
Dengan demikian, hipotesis kerja ketiga yang menyatakan kesempatan kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat
diterima.
4) Pengaruh tidak langsung pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat
melalui kesempatan kerja sebesar 0,391. Pengaruh total pelaksanaan ritual
terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung
melalui kesempatan kerja sebesar 0,79.
Memperhatikan standardized estimate untuk variabel pelaksanaan ritual
kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat maka dapat dibuat model
persamaan struktural sebagai berikut.
KK = KKPR PR + e14= 0,595 PR + e14: berarti pengaruh pelaksanaan ritual
terhadap kesempatan kerja adalah positif yang teruji kebenarannya.
216
KM = KMPR PR + e15 = 0,399 PR + e15 berarti pengaruh pelaksanaan ritual
terhadap kesejahteraan masyarakat adalah positif yang teruji
kebenarannya.
KM = KMKK KK + e15= 0,657 KK + e15 berarti kesempatan kerja terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah positif yang teruji kebenarannya.
Berdasarkan hasil perhitungan koefisien regresi yang dapat dilihat pada
Lampiran 19 dan 21 dapat dibuat Tabel output seperti disajikan Gambar 5.24.
Gambar 5.24 Koefisien Regresi Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan
Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat Sumber : Lampiran 20
3) Analisis Goodness of Fit
Hasil modifikasi model dengan mengkorelasikan beberapa error
indikator yang memiliki Modification Index (M.I.) > 8,000 maka dapat
dilakukan perbandingan Goodness of Fit antara model modifikasi utama
dengan model hasil modifikasi. Perbandingan yang dilakukan meliputi:
217
besarnya koefisien Goodness of Fit, koefisien Regression Weight antar
variabel endogen dengan eksogen, dan Square Multiple Correlation,
sebagaimana disajikan koefisien determinasi Tabel 5.26.
Tabel 5.26 Evaluasi Kriteria Kesesuaian (Goodness of Fit Index) Full Model
Perbandingan Model Sebelum Modifikasi dengan Setelah Modifikasi
Goodness of Fit Index Cut-of Value
Model Sebelum
Modifikasi
Model Setelah
Modifikasi
Keterangan
Chi-square (2 ) Diharap kan kecil
138,539 88,218 Lebih baik
Relatitive Chi-square (2/df) 3,00 2,235*) 1,521*) Lebih baik Probability > 0,05 0,000 0,006 Lebih baik
RMSEA 0,08 0,098+) 0,064*) Lebih baik GFI 0,90 0,857+) 0,912*) Lebih baik
AGFI 0,90 0,790 0,861+) Lebih baik TLI 0,95 0,862+) 0,942*) Lebih baik CFI 0,95 0,891+) 0,957*) Lebih baik
KK PR (y1x) 0,571 0,595 Lebih baik KM PR (y2x) 0,499 0,399 Lebih jelek KM KK (βy2y1) 0,552 0,657 Lebih baik Square Multiple Correlation KK 0,326 0,354 Lebih baik Square Multiple Correlation KM 0,869 0,902 Lebih baik
Keterangan: *) Memenuhi Goodness of fit +) Marginal ++) Signifikan --) Tidak Signifikan
Sumber: Gambar 5.25
Bila dilihat dari Goodness of fit, terlihat model hasil modifikasi
menunjukkan perbaikan pada seluruh indikator dari delapan indikator yang
ada. Model sebelum yang semula ada satu buah yang memenuhi syarat dan
empat buah marginal, menjadi lima buah indikator yang memenuhi syarat
yaitu Relatitive Chi-square (2/df), RMSEA, GFI, TLI dan CFI. Bila dilihat
dari Regresion Weight variabel eksogen terhadap variabel endogen ternyata
218
pada modifikasi model, terdapat peningkatan pada dua koefisen regresi
(Standarized Regresion Weight) dan satu lainnya mengalami penurunan.
Dari analisis di atas, dapat dinyatakan bahwa melakukan model
modifikasi telah dapat meningkatkan kesesuaian model (Goodness of fit).
Berhubung telah ada empat buah indikator yang memenuhi syarat goodness
of fit, maka model telah dipandang bagus (good of fit). Hal ini sesuai dengan
Solimun (2004) kriteria hasil modifikasi lebih dari dua memenuhi syarat tegas
dinyatakan apabila lebih dari dua kriteria maka model dipandang baik.
Dengan demikian dipandang tidak perlu mengadakan modifikasi lebih lanjut.
4) Analisis Model Pengukuran dengan Determinasi
Hasil analisis Model Pengukuran dengan koefisien Determinasi
kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Analisis model pengukuran
dengan determinasi digunakan untuk mengetahui besarnya sumbangan
variabel eksogen terhadap variable endogen setelah adanya modifikasi model.
Untuk analisis ini digunakan Square Multiple Correlation. Besarnya Square
Multiple Correlation Sebelum adanya Modifikasi model (Tabel 5.22) dan
besarnya Square Multiple Correlation setelah adanya modifikasi model,
terlihat kedua buah mengalami peningkatan, seperti ditunjukkan Tabel 5.27.
Tabel 5.27 Squared Multiple Correlations:
(Group number 1 - Default model) Sebelum dan Setelah adanya Modifikasi model
Sebelum Modifikasi
model Estimate Setelah Modifikasi
model Estimate KK ,326 ,354 KM ,869 ,902
Sumber : Lampiran 18 dan 21
219
Square Multiple Correlation menurut Ferdinand (2002) yang nilai
masing-masing untuk kesempatan kerja = 0,354 dan kesejahteraan masyarakat =
0,902 sebagaimana terlihat pada Tabel 5.27. Nilai Square Multiple Correlation
untuk variabel kesempatan kerja R2 = 0,354 maka besarnya Determinasinya =
0,354 x 100 persen = 35,4 persen dan untuk variabel kesejahtaraan masyarakat R2
= 0,902 maka besarnya Determinasinya = 0,902 x 100 persen = 90,2 persen.
Dengan demikian dapat dinyatakan sebagai berikut.
1) Variabel kesempatan kerja R2 = 35,4 persen dapat dinyatakan bahwa
perubahan kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual.
2) Variabel kesejahtaraan masyarakat R2 = 90,2 dapat dinyatakan bahwa
perubahan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan
rritual melalui kesempatan kerja.
Dalam penelitian ini, kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja
adalah sebesar 35,4 persen artinya perubahan kesempatan kerja ditentukan oleh
variasi pelaksanaan ritual. Sedangkan kontribusi kesempatan kerja terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah sebesar 90,2 persen artinya perubahan
kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual dan variabel
lain melalui kesempatan kerja.
220
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Manfaat yang Diperoleh Masyarakat Pengempon Pura Dengan Terlaksana Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih
Berdasarkan hasil penelitian dan jawaban responden sebagaimana
disajikan pada Bab V dan (Lampiran 11) dari beberapa makna pelaksanaan
ritual, maka manfaat sosial, budaya, dan ekonomi yang diperoleh masyarakat
pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura
Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, dapat diuraikan berikut.
1) Makna Kepercayaan dan Keyakinan. Manfaat sosial yaitu sikap saling
percaya dan yakin dengan melaksanakan ritual ini masyarakat pengempon
pura merasa tenang dan tentram. Manfaat budaya yaitu dengan melaksanakan
ritual ini masyarakat pengempon pura percaya dan yakin mampu melestarikan
tradisi gotong royong dalam adat istiadat dan agama. Manfaat ekonomi bagi
masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual ini percaya dan yakin
tumbuh rasa memiliki dan bertanggungjawab secar ekonomi.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Geertz (1973) agama
menganalisis makna dalam simbol-simbol agama dan membangun motivasi
yang kuat dan tahan lama serta hubungannya dengan struktur masyarakat
(Pals, 2001). Sejalan dengan konsep Bourdieu (1977) tentang Social Capital
bahwa sikap saling percaya (mutual trust) adalah kunci bagi kerjasama,
modal sosial merupakan alat untuk menciptakan kepercayaan karena modal
sosial memiliki pengaruh terhadap budaya dan ekonomi serta dapat
221
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan
Durkheim (2003) bahwa upacara-upacara ritual dan ibadah berfungsi
meningkatkan solidaritas sosial masyarakat serta memperkokoh kehidupan
beragama.
Menurut Kitab Suci Bhagawad Gita Bab III pasal 13 yang berbunyi berikut.‘yajna-sistasinah santo mucyante sarvakilbisaih, bhunjate te tagham papa ye pacanty atma-karanat’. Artinya ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa. Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, menyebutkan ”Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmana”. Artinya, siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima (Pradnya, 2010). Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, II: 47, menyebutkan” Karmany Eva Dhikaraste Ma phalesu Kadacana Ma Karma Phala Heturbur Mate sango stua Akarmany” Artinya Hanya bekerja untuk kewajibanmu, Bukan hasil pekerjaan itu kuharapkan, Bukan hasil perbuatan itu yang menjadi motif dalam bekerja, Dan jangan pula hanya berdiam diri.
Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Fukuyama
(1995) tingkat kepercayaan dan keyakinan bertalian dengan akar budaya,
etika, dan moral yang diwujudnyatakan dalam perilaku saling bantu dan
kerjasama. Hasil penelitian Sumadi (2008) keyakinan merupakan wujud
pengamalan ajaran hukum karma phala artinya, setiap perbuatan akan
membuahkan hasil selanjutnya hasil penelitian Kiriana (2008) mengatakan
yadnya merupakan kewajiban bagi umat Hindu untuk melaksanakannya, hal
ini didasari keyakinan alam semesta beserta isinya diciptakan melalui yadnya.
Berbeda halnya dengan hasil penelitian Putnam (1993) terjadi kemerosotan
partisipasi akibat turunnya kepercayaan.
222
2) Makna Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Manfaat sosial merupakan
proses pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap dan perilaku hidup yang
lebih baik lahir bathin. Manfaat budaya adalah tradisi dalam Agama Hindu
untuk melakukan penyucian (sakralisasi) secara sekala niskala setiap
pelinggih pura yang baru di bangun dan diperbaiki sesuai ajaran Agama
Hindu. Manfaat ekonomi yaitu dengan terlaksana ritual ini menyebabkan
adanya transaksional bahan-bahan ritual.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz
(1973) dan Rigveda X.121.10, Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih yaitu
“Om Hyang Prajapati,Pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha kuasa mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita-cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada kami’. Artinya, makna ritual menyucikan dan mensakralkan niyasa tempat memuja Hyang Widhi”. Kitab Bhagavadgita, IX: 22 bahwa Yadnya yaitu:
”Mereka yang memuja aku sendiri, merenungkan aku senantiasa, kepada mereka aku bawakan apa yang mereka perlukan dan aku lindungi apa yang mereka miliki”. Ketika melaksanakan sesuatu ritual kepada Hyang Widhi maka Hyang Widhi akan memberikan segala apa yang diinginkan oleh manusia dan sekaligus melindungi apa yang dimilikinya”.
Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pendapat (Wijayananda,
2004; Sudarsana, 2008; danWiana, 2004) upacara hendaknya harus dibarengi
dengan pemahaman akan makna dan tujuan dari suatu upacara yang
dilaksanakan. Menurut Titib (2012), tujuan ritual Ngenteg Linggih adalah
untuk menyucikan atau mensakralkannya mensthanakan Hyang Widhi dan
manifestasi-manifestasinya sehingga bangunan itu memenuhi syarat simbol.
223
3) Makna Mecaru. Manfaat sosial yaitu menciptakan keseimbangan dan
keharmonisan kekuatan alam semesta secara sekala niskala. Manfaat budaya
merupakan salah satu tradisi dalam ritual tertentu umat Hindu, sebelum hari
H dlaksanakan proses pencaruan untuk kelancaran ritual berikutnya. Manfaat
ekonomi yaitu menyebabkan adanya transaksional bahan-bahan ritual.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973),
hal ini sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) bahwa upacara-upacara
ritual dan ibadah berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat serta
memperkokoh kehidupan beragama. Selanjutnya, hasil penelitian ini
memperkuat pendapat Wikarman (1999), Wiyana (2012), dan Titib (2012)
mecaru pada hakekatnya menciptakan keseimbang dan keharmonisan agar
kekuatan alam yang ada menjadi seimbang antara yang positif dan negatif.
4) Makna Melasti. Manfaat sosial adalah agar ingat dalam memuja Ida Bhatara
dan membangun persahabatan dengan sesama serta melestarikan alam
selanjutnya bertujuan memotivasi umat secara spiritual. Manfaat budaya
merupakan tradisi umat Hindu dalam ritual tertentu melakukan pembersihan
kembali simbol-simbol. Manfaat ekonomi adalah dapat menumbuhkan
aktivitas ekonomi ditempat ritual tersebut.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973),
konsep Max Weber (1930), dan konsep Bourdieu (1977) yaitu aktivitas agama
mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi. Hal ini sejalan dengan
pandangan Durkheim (2003). Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat
224
pendapat (Wikarman, 1999; Wiyana, 2012; Titib, 2012, Wiana, 2004; dan
Suardika, 2006).
5) Makna Nyegara Gunung. Manfaat sosial yaitu hendaknya dalam diri kita
dapat terlahirkan suatu kehidupan yang baru, sikap mental, dan perilaku yang
baik. Manfaat budaya merupakan tradisi rangkaian ritual sebelum berakhir
dan membangun persahabatan dengan sesama umat serta alam. Manfaat
ekonomi bahwa laut dan gunung merupakan sumber kehidupan, mampu
memberi segala kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973)
dan sejalan dengan pandangan Durkheim (2003). Selanjutnya, hasil
penelitian ini memperkuat pendapat Wijayananda (2006), Wiyana (2012),
Titib (2012), Wiana (2004) dan Suardika (2006) makna upacara Nyegara
Gunung hendaknya dalam kehidupan yang baru, hidup penuh dengan
kebajikan dan rasa cinta kasih diwujudkan dalam Tri-kaya-parisudda
(pikiran, perkataan dan berprilaku yang baik dan benar), menerima dan
mensyukuri dua dimensi baik buruk (Rwa-Bhineda).
6) Makna Banten. Manfaat sosial bahwa banten sebagai sarana upakara pada
dasarnya adalah nyasa atau simbol-simbol. Manfaat budaya yaitu banten
Bagia Pulakertti bermakna dengan kokoh (pageh) berpegang pada tata susila
atau prilaku yang selalu berlandaskan ajaran Agama Hindu. Manfaat ekonomi
adalah mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan bersama dan semua mahluk
hidup.
225
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973)
dan Kitab Bhagavadgita IX.27, yaitu:
”apapun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau makan, yang engkau persembahkan dan engkau amalkan, tanpa apapun yang engkau laksanakan, wahai putra Kunti (Arjuna) lakukan itu sebagai persembahan kepada-Ku.
Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pendapat Wijayananda,
2004; Triguna, 2000; dan Titib, 2001, baahwa banten sebagai sarana upakara
pada dasarnya adalah sebagai nyasa atau perwujudan atau simbol dari Siwa-
Linga, dari sekian banyak wujud banten dan jejahitan pada intinya ada tiga
bentuk yaitu berbentuk segitiga (Tri-kona seperti penyeneng dan lain-
lainnya), bundar atau bulat (seperti sesayut, tamas) dan berbentuk segiempat
(seperti taledan dan ceper). Banten salah satu sarana dari wujud bhakti
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala Ista-Dewata-Nya. Surayin
(2005) dan Sumini (2008) banten sarad mengandung simbol buana agung
dan buana alit bagi umat Hindu di Bali dan ciri khas yang unik mengkaitkan
daya cipta yang religius mengandung budaya, seni, adat dan agama bercirikan
Desa-Kala-Patra.
7) Makna Labda Karya. Manfaat sosial adalah ritual yang dilaksanakan berjalan
sukses dan lancar sesuai dodunan karya. Manfaat budaya dilandasi semangat
spritual dan etos kerja melalui kerjasama gotong royong. Manfaat ekonomi
konsep berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973).
Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil studi Wijaya (2012)
pelaksanaan karya Panca Balikrama di Besakih berjalan labda karya karena
226
semangat spritual, etos kerja melalui kerjasama antara masyarakat Besakih
dengan panitia Provinsi Bali, Kabupaten/Kota, dan seluruh umat Hindu serta
berimplikasi positif terhadap kehidupan sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat Besakih khususnya, dan Bali umumnya.
8) Makna Kehidupan Sosial. Manfaat sosial yaitu dengan solidaritas yang tinggi
bersama-sama dalam kegiatan baik suka maupun kedukaan. Manfaat budaya
adalah keharmonisan, kekeluargaan, kebersamaan, dan solidaritas yang tinggi
antar anggota masyarakat. Manfaat ekonomi konsep berat sama dipikul
ringan sama dijinjing.
Hasil penelitian ini, terbukti konsep Bourdieu (1977) tentang Social
Capital dan sejalan dengan pandangan Durkheim (2003). Selanjutnya, hasil
penelitian ini memperkuat pandangan Wiyana (2012) dan hasil penelitian
Wijaya (2012) seluruh umat Hindu di Bali dan masyarakat ikut terlibat dalam
mensukseskan pelaksanaan upacara Panca Balikrama di Besakih dan Nyepi.
Titib (2007) konsep kearifan lokal Salulung Sabhayantaka, Paras
Parosarpanaya, Adiluhung.
9) Makna Gotong Royong. Manfaat sosial yaitu didasari semangat relegius dan
etos kerja yang tinggi. Manfaat budaya dalam wujud rasa memiliki,
kebersamaan, kekeluargaan, solidaritas dan tanggungjawab. Manfaat ekonomi
adalah prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Hasil penelitian ini, terbukti konsep Bourdieu (1977) tentang Social
Capital, sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) dan Titib (2007).
Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pandangan Koentjaraningrat
227
(1997) budaya merupakan sistem gagasan, tindakan, dan tradisi kehidupan
masyarakat. Wijaya (1991) mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan-
perubahan sosial budaya akibat pertumbuhan ekonomi. Titib (2007) konsep
Salulung Sabhayantaka, Paras Parosarpanaya, Adiluhung dengan solidaritas
dan kebersamaan yang tinggi dan bersama-sama dalam kegiatan baik suka
maupun kedukaan.
10) Makna Iuran Pura (Ayah-ayahan). Manfaat sosial yaitu didasari semangat
srada dan lascarya. Manfaat budaya yaitu rasa memiliki, kekeluargaan,
kebersamaan dan tanggungjawab bersama untuk kesuksesan, kelancaran.
Manfaat ekonomi adalah prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Hasil penelitian ini, terbukti konsep Bourdieu (1977) Social Capital
dan teori Coleman (1988) dalam social capital dengan menggunakan teori
pilihan rasional yang syarat dengan prinsip ekonomi. Selanjutnya, hasil
penelitian ini memperkuat hasil penelitian Wijaya (2012) sumber dana karya
Panca Balikrama di Besakih tahun 2009 adalah dari Pemerintah Provinsi
Bali, Kabupaten/Kota, masyarakat Besakih dan punia seluruh umat Hindu.
Sejalan pandangan terhadap konsep kebersamaan (Titib, 2007).
11) Makna Bahan Ritual. Manfaat sosial adalah bahan-bahan ritual sebagian
besar tersedia sekitar Abiansemal. Manfaat budaya bahwa bahan ritual dibuat
sesuai sesuai budaya (Desa-Kala-Ptra). Manfaat ekonomi yaitu menyebabkan
tumbuhnya kesempatan kerja dapat meningkatkan pendapatan.
228
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Geertz (1973),
konsep Max Weber (1930) dan Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26. .
Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Wijaya (2012)
karya Panca Balikrama di Besakih memberi implikasi secara sosial ekonomi
berupa terciptanya peluang usaha atau kesempatan kerja bagi masyarakat
sekitarnya. Menurut Surayin (2002) bahan-bahan banten terdiri dari tumbuh-
tumbuhan, buah-buahan, hewan dan lain-lainnya.
12) Makna Pengeluaran Ritual. Manfaat sosial adalah ritual dilakukan dengan
tulus iklas (srada bhakti dan lascarya). Manfaat budaya yaitu pengeluaran
ritual bagi umat Hindu merupakan pengeluaran rutin. Manfaat ekonomi
bahwa pengeluaran pitual tidak merupakan beban.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936) bahwa
menggambarkan pengeluaran konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan
artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapata naik. Selanjutnya,
untuk memperkuat hasil penelitian dan hipotesis (M.Friedmen: pendapatan
permanen, 1967; Deusenberry: pendapatan relatif, 1949; F. Modligiani:
pendapatan siklus hidup, 1963; dan Sukarsa, 2005; Yan Wang,1995;
Pemberto, 1997; Malucio et al., 1999; Wijaya, 2012). Pengeluaran ritual
menurut konsep Hindu seharusnya dikeluarkan untuk ber-yadnya sebanyak
sepertiga atau 33,3 persen dari pendapatan, sedangkan sepertiga yang lain
untuk pemupukan artha dan sisanya untuk pemenuhan kama. Siklus hidup
masyarakat umat Hindu untuk hak dan kewajiban dalam Desa Adat diatur
berdasarkan prinsip Desa – Kala – Patra (tempat-waktu-layak atau pakem
yang berlaku), tingkatan upakara yaitu Nista, Madya, Utama masing-masing
229
dibagi tiga menjadi sembilan tingkat serta kemampuan masyarakat di masing-
masing Desa Adat Pakraman.
13) Makna Kesempatan Berusaha. Manfaat sosial adalah menciptakan
kesempatan kerja. Manfaat budaya adalah mengakibatkan adanya
transaksional bahan-bahan ritual. Manfaat ekonomi yaitu berkembangnya
produsen atau dagang banten dan alat-alat upakara pada akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan atau daya beli masyarakat pemasok bahan ritual.
Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep
Bourdieu (1977). Selanjutnya, dan Wijaya (2012) sesungguhnya aktivitas
sosial yang dilakukan masyarakat memberi implikasi bagi penggunaan
sumber-sumber ekonomi sebagai modal sosial ekonomi.
14) Makna Multiplier Effect. Manfaat sosial yaitu pemasok bahan-bahan ritual
bukan saja masyarakat Bali namun juga masyarakat luar. Manfaat budaya
yaitu manfaat multiplier effect lebih besar manfaatnya pada pemasok.
Manfaat ekonomi bahwa pelaksanaan ritual agama (Hindu) di Bali memiliki
angka penggada. Apabila pengeluaran konsumsi masyarakat semakin besar
menyebabkan pendapatan masyarakat juga bertambahn sebanyak multiplier
effect kali jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat, kesejahteraan
masyarakat meningkat secara ekonomi namun secara spritual masyarakat
umat Hindu dalam melaksanakan ritual untuk mencapai konsep efisiensi
tanpa mengurangi makna ritual berdasarkan tattwa, susila, dan upacara
dengan prinsip Desa-Kala-Patra dan kemampuan dan terpenting didasari
srada bakthi dan lascarya.
230
Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep
Bourdieu (1977) dan konsep Multiplier Effect Keynes bahwa semakin besar
pengeluaran maka semakin besar angka Multiplier effect. Selanjutnya, untuk
memperkuat hasil penelitian Wijaya, 2012); Horváth et al., 1999; Syahza,
2004; Wijaya, 1991 pengeluaran pemerintah mempunyai multiplier effect
dan mendorong kenaikan pendapatan nasional.
15) Makna Perubahan Sikap. Manfaat sosial yaitu mampu meningkatkan sikap
dan perilaku hidup sehari-hari lebih baik. Manfaat budaya yaitu mampu
meningkat pemahaman agama melalui membaca buku-buku agama dan
informasi dari yang berkompeten. Manfaat ekonomi yaitu dengan
pemahaman agama yang baik diharapkan pengeluaran ritual lebih efisien.
Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu
(1977) dan Teori Religiusitas Geertz (1973). Hal ini sejalan dengan
pandangan Durkheim (2003) selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian
Wijaya, 2012 dan Titib, 2007.
Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa
Abiansemal selain memiliki manfaat religius juga memiliki manfaat sosial,
budaya, dan ekonomi. Manfaat sosial yaitu perubahan sikap perilaku
beragama masyarakat pengempon pura dengan katagori sangat baik 93,77
persen artinya peningkatan pemahaman Agama Hindu dengan membaca
buku-buku agama dan menanyakan makna-makna ritual kepada yang
berkompeten. Manfaat budaya yaitu masyarakat pengempon pura mampu
melestarikan nilai-nilai kearifan lokal/local genius dengan katagori sangat
231
baik 92,41 persen artinya dalam aktivitas adat istiadat dan agama dilakukan
secara gotong royong, kekeluargaan, dan solidaritas (ngayah, ngoopin,
metetulung, menyamabraya). Manfaat ekonomi dengan katagori sangat baik
91,60 persen artinya ada perubahan sikap berusaha masyarakat pengempon
pura sebelum dan setelah ritual, bekerja sebagai tukang banten/pangayah
tukang banten dan membuat serta menjual alat-alat ritual.
Temuan penelitian ini, Kesadaran yang tinggi masyarakat pengempon
pura walaupun relatif terbatas secara ekonomi tetapi berdasarkan srada bhakti
dan lascarya kepada Sang Pencipta maka masyarakat pengempon pura dapat
meningkatkan kesejahteraan bathin.
6.2 Besarnya Multiplier Effect Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal
Mekanisme multiplier effect bahwa pengeluaran ritual untuk 13 jenis bahan
ritual merupakan tambahan pendapatan pemasok (Tahap I) sebagian pendapatan
pemasok digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan.
Pengeluaran konsumsi Tahap I merupakan tambahan pendapatan bagi penyalur
(Tahap II) sebagian pendapatan penyalur digunakan untuk konsumsi dan sisanya
di tabung atau di investasikan. Pengeluaran konsumsi Tahap II merupakan
tambahan pendapatan bagi produsen atau petani (Tahap III), sebagian pendapatan
digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan.
Rata-rata Multiplier effect Tahap I, II, dan III pelaksanaan ritual Mlaspas
dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung,
sebagaimana disajikan Tabel 6.5.
232
Tabel 6.1 Rata-rata Multiplier effect Tahap I, II, III Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012
Sumber: Tabel 5.5, 5.6, dan 5.7
d) Untuk Tahap I
Angka Multiplier effect terbesar pertama adalah bahan bambu sebesar
5,88 artinya apabila pengeluaran bahan bambu semakin besar menyebabkan
pendapatan pemasok bambu bertambah sebanyak 5,88 kali jumlah
pengeluaran konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa
penggunaan bahan bambu dalam ritual ini adalah cukup besar 23,77 persen
dari total pengeluaran bahan ritual. Bambu memiliki peranan penting dalam
ritual Agama Hindu di Bali (terutama dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih) sebagai bahan membuat perlengakapan sarana prasarana ritual. Rata-
rata multiplier effect Tahap I sebesar 3,26 berarti tambahan pendapatan
pemasok lebih banyak di konsumsi daripada di tabung (MPC > MPS). Hal
ini mengindikasikan bahwa meningkatnya perekonomian sekitar Abiansemal
khususnya, dan Bali umumnya.
e) Untuk Tahap II
Angka Multiplier effect terbesar pertama adalah bahan janur sebesar
4,00 artinya apabila pengeluaran bahan janur semakin besar menyebabkan
pendapatan pemasok janur bertambah sebanyak 4,00 kali jumlah
Tahap Bahan-BahanRitual
Rata-Rata Multiplier Effect
Rang Multiplier Effect Masing-Masing Tahap Terbesar –Terkecil
(Bahan)I (Penjual/Pemasok) 13 3,26 5,88 (Bambu) -1,67 (M.Goreng)
II (Penyalur) 8 2,25 4.00 (Janur)-1,42 (Kain Kasa)III (Petani/Produsen) 4 1,59 2,33 (Beras)-1,25 (Kain Kasa)
Rata-Rata 2,37
233
pengeluaran konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa
penggunaan janur dalam ritual ini adalah 1,94 persen dari total pengeluaran
bahan ritual. Pada dasarnya janur identik dengan aktivitas ritual karena janur
dipergunakan sebagai bahan utama dalam membuat banten dan simbol-simol
perlengkapan sarana prasarana ritual. Rata-rata multiplier effect Tahap II
sebesar 2,25 berarti tambahan pendapatan pemasok lebih banyak di konsumsi
daripada di tabung (MPC > MPS). Hal ini mengindikasikan bahwa
berkembangnya perekonomian sekitar Abiansemal khususnya, dan Bali
umumnya.
f) Untuk Tahap III
Angka Multiplier effect terbesar pertama adalah beras sebesar 2.33
artinya apabila pengeluaran bahan beras semakin besar menyebabkan
pendapatan pemasok beras bertambah sebanyak 2,33 kali jumlah pengeluaran
konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan beras
dalam ritual sebesar 3,78 persen dari total pengeluaran bahan ritual. Pada
dasarnya beras sebagai bahan membuat jajan dan memiliki makna mendalam
ketika beras digunakan sebagai bija saat sembayang dan beras merupakan
lambang Amertha. Menurut Sudarsana (2000) beras adalah sebagai lambang
atau simbol dari udara sebagai cerminan Sang Hyang Bayu. Beras (tepung)
sebagai bahan utama dipergunakan untuk membuat jajan perlengkapan
banten sarad dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih.
Rata-rata multiplier effect Tahap III sebesar 1,59 dimana (MPS >
MPC) berarti pendapatan pemasok lebih banyak di tabung (saving) daripada
di konsumsi (MPS > MPC). Hal ini mengindikasikan bahwa MPC kecil
berarti pendapatan masyarakat di tahap III juga kecil maka tidak sejalan
234
dengan konsep Keynes kecenderungan di negara kaya pendapatan lebih
banyak ditabung daripada di konsumsi (MPS > MPC). Sebaliknya di negara-
negara miskin pendapatan lebih banyak dikonsumsi daripada di tabung(MPC
> MPS). Untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat di tingkat petani
(Tahap III) diperoleh dari sektor pertanian atau tidak membeli apabila
dikonversi secara ekonomi maka sejalan dengan konsep Keynes.
Hasil penelitian ini, pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih
memiliki rata-rata multiplier effect sebesar 2,37 yang artinya apabila pengeluaran
ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga bertambah sebanyak
2,37 kali jumlah pengeluaran ritual. Berarti semakin besar pengeluaran ritual
maka semakin tinggi angka Multiplier effect. Rata-rata Multiplier effect Tahap I
dan Tahap II secara ekonomi cukup besar mengindikasikan pelaksanaan ritual
Agama Hindu (Panca Yadnya) di Bali berimplikasi penguatan daya tahan
ekonomi lokal bersandarkan kesetaraan solidaritas dan sebagai stimulus
pertumbuhan ekonomi Bali umumnya dan Abiansemal khususnya. Rata-rata
Multiplier effect Tahap III secara spritual dapat mencerminkan konsep efisiensi,
dalam pelaksanaan ritual dengan pilihan nista, madya, dan utama, prinsip Desa-
Kala-Patra, sesuai kemampuan tanpa mengurangi makna dan menerapkan
manajemen waktu untuk mengkanter fenomena bahwa pelaksanaan ritual Agama
Hindu biaya besar dan curahan waktu kerja tinggi.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936), konsep Max
Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), dan konsep multiplier effect Keynes
semakin besar pengeluaran maka semakin tinggi angka Multiplier effect.
Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian (Horvath et al., 1999; Syahza,
2004 ; Wijaya, 1991; dan Wijaya, 2012).
235
Temuan penelitian ini, Kecenderungan angka pengganda konsumsi dari
tahap I ke tahap II dan III semakin kecil, sedangkan angka pengganda untuk tahap
III relatif kecil yang disebabkan MPS > MPC. Kondisi ini diakibatkan oleh
alokasi tambahan konsumsi karena tambahan pendapatan relatif kecil, mengingat
sebagian besar tambahan konsumsi masih bersifat primer yang dapat dipenuhi dari
usaha sendiri khususnya dari sektor pertanian. Hal ini tidak sejalan dengan konsep
Keynes, apabila itu dikonversi secara ekonomi maka sejalan dengan konsep
Keynes.
Sementara ini, banyak opini yang mengatakan bahwa pengeluaran ritual
kurang dirasakan oleh masyarakat, namun secara empiris dalam penelitian ini
angka pengganda yang dihasilkan pelaksanaan ritual relatif cukup besar, sebagai
stimulus pertumbuhan ekonomi Bali pada umumnya dan Badung pada khususnya.
Artinya ketika pengeluaran konsumsi ritual semakin besar, menyebabkan juga
pendapatan masyarakat pemasok bertambah sebanyak multiplier effect kali jumlah
pengeluaran konsumsi masyarakat.
6.3 Besarnya Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih
Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek preteka
Desa Abiansemal dapat meningkatkan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual
sebesar Rp 135,220 juta (72,06 persen) dari total pengeluaran ritual sebesar Rp
188,568 juta. Berarti pengeluaran ritual jangan dilihat dari sisi negatif dengan
biaya besar juga memiliki sisi positif yaitu memiliki multiplier effect maka dapat
meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat. Hal ini
mengindikasikan dapat meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan pemasok
bahan ritual sekitar Abiansemal pada khususnya, dan Bali pada umumnya.
236
Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual,
sebagaimana disajikan Gambar 6.1
Gambar 6.1 Tambahan pendapatan Pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di
Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung,2012 Sumber: Tabel 5.8
Gambar 6.1 menunjukkan tambahan pendapatan pemasok bahan ritual
terbesar pertama adalah bambu sebesar Rp 44.829 juta (23,77 persen) hampir
seperempat dari total penggunaan bahan-bahan ritual. Ini menunjukkan betapa
besarnya peranan bambu dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek
Preteka Desa Abiansemal dibandingkan dengan bahan-bahan ritual yang lainnya.
Dalam kegiatan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, fungsi bambu cukup
dominan, dipergunakan membuat sanggah surya, taring tempat melakukan
aktivitas persiapan ritual dan aktivitas wewalian dan bale panggung tempat para
Sulinggih memimpin ritual. Namun tidak kalah pentingnya akan daging babi
Tambahan Pendapatan Pemasok (%)
237
terbesar kedua sebesar Rp 21.264 juta (11,27 persen), sebagai tradisi kegiatan
ritual di Bali selalu ada aktivitas mengolah daging babi baik untuk kelengkapan
upakara maupun untuk adat sebagai budaya kebersamaan, solidaritas
(menyamabraya, metetulung, ngoopin, ngayah) mencerminkan interaksi sosial
antar Krama Banjar Desa Adat di Bali. Berarti semakin besar pengeluaran untuk
membeli babi maka semakin besar pula tambahan pendapatan pemasok babi dan
seterusnya. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936), Teori
Ehrenberg et al. (1989) bahwa pendapatan dipengaruhi oleh jam kerja, dan konsep
multiplier effect Keynes.
Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian (Horvath et al., 1999;
Syahza, 2004 ; Wijaya, 1991; Wijaya, 2012; Arini, 1996) rata-rata jumlah jam
kerja ibu rumah tangga di Tohpati Kesiman Kota Denpasar sebagai pekerja di
sektor publik adalah 57 jam per minggu dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp
66.500 per minggu. Begitu pula hasil penelitian Sumartana (1997) rata-rata
jumlah jam kerja wanita di Desa Adat Siangan Kabupaten Gianyar untuk mencari
nafkah sebesar 49 jam per minggu dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp
178.225 per minggu. Hasil penelitian ini, berbeda dengan hasil penelitian
Marhaeni (1991) bahwa rata-rata waktu yang dicurahkan para istri di daerah Sanur
Kecamatan Denpasar Selatan adalah 85 jam per minggu jauh lebih tinggi dari
suami hanya 62 jam per minggu baik bekerja di sektor domestik maupun sektor
publik.
238
6.4. Pengaruh Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesempatan Kerja Pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka
Hasil analisis menjelaskan bahwa besarnya koefisien jalur pelaksanaan
ritual mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja
sebesar 0,595. Artinya apabila intensitas pelaksanaan ritual semakin tinggi maka
akan mengakibatkan kesempatan kerja bagi pemasok semakin tinggi. Intensitas
pelaksanaan ritual yang tinggi dan berkesinambungan dapat meningkatkan
kesempatan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan output
untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil studi Ritzer (2003) dan
Choi (2004) sesungguhnya aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat memberi
implikasi bagi penggunaan sumber-sumber ekonomi sebagai modal sosial
ekonomi, sesuai dengan pandangan Wiana (2004) bahwa konsep Panca Yadnya di
Bali berimplikasi penguatan daya tahan ekonomi lokal bersandarkan kesetaraan
solidaritas yang luar biasa. Selain itu, pelaksanaan ritual juga membantu
masyarakat di dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan.
Hasil ini memang simetris dengan data lapangan dari informan ahli hasil wawancara mendalam 20 Oktober 2012, yaitu menurut Ida Dayu Anggareni sebagai Tapini bahwa pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat pengempon pura terutama ibu-ibu rumah tangga dalam hal ritual cukup baik, awalnya tidak mengetahui dan tidak terampil sekarang menjadi mengetahui dan trampil dan mampu bekerja di Geriya sebagai tukang banten dengan upah sebesar Rp 65 ribu hingga Rp 70 ribu per hari dan pengayah tukang banten dengan upah sebesar Rp 40 ribu hingga Rp 45 ribu per hari ditambah makan, dan kopi, hal ini memberi kesempatan warga pengempon pura pasek preteka untuk menambah penghasilan keluarga.
Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan
kerja sebagaimana dikemukakan hasil penelitian oleh Ellison et al. (1994)
239
mengatakan rumah tangga yang aktif dalam kegiatan sosial (agama) berpengaruh
signifikan dalam membangun jaringan network usaha. Begitu pula sesuai hasil
penelitian Lochart (2005) bahwa modal sosial (program keagamaan) berpengaruh
nyata terhadap masyarakat miskin dalam meningkatkan kesempatan kerja. Juga
memperkuat hasil penelitian Raharja (2008) dan Wijaya (2012) bahwa
pelaksanaan karya Agung Panca Balikrama berpengaruh positif terhadap
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat dilihat dari indikator
perubahan pengelolaan usaha, pendapatan, dan kondisi kepemilikan aset,
sebagaimana hasil wawancara mendalam 29 April 2012, yaitu
Menurut Ibu Mangku Eka (49 Tahun) pada awalnya tidak menjual bahan-bahan ritual seperti sekarang ini, seiring dengan pelaksanaan ritual di Bali semakin hari semakin meningkat maka permintaaan bahan-bahan ritualpun meningkat. Berdasarkan pertimbangan bahwa usaha menjual bahan-bahan ritual prospeknya cukup menguntungkan sehingga membuka usaha kedua di Banjar Banjaran Desa Abiansemal mulai pertengahan tahun 2011 dan usaha pertama ada di pasar blahkiuh sehingga saat ini memiliki dua usaha.
Sejalan dengan pandangan Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten dari Geriya Agung Abiansemal mengatakan bahwa jiwa kreativitas dan semangat berusaha dengan keterampilan yang dimiliki terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga pengempon pura, sekarang tumbuh semangat berusaha membuat alat-alat upakara dan bekerja di Geriya Agung sebagai produsen banten di daerah Abiansemal, hal ini memberi kesempatan masyarakat pengempon pura untuk menambah penghasilan keluarga (wawancara, 20 Oktober 2012).
Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep
Bourdieu (1977) bahwa aktivitas pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih
di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap aktivitas ekonomi (transaksional) bahan-bahan ritual dan
aktivitas kehidupan sosial masyarakat Abiansemal khususnya dan masyarakat Bali
umumnya.
240
6.4.1 Pengaruh Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesejateraan Masyarakat Pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka
Hasil analisis menjelaskan besarnya koefisien jalur pelaksanaan ritual
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat
sebesar 0,399. Artinya apabila intensitas pelaksanaan ritual meningkat maka
kesejahteraan masyarakat pemasok meningkat secara ekonomi sedangkan
kesejahteraan bathin masyarakat pengempon pura meningkat.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936) dan
mengacu kriteria BPS Provinsi Bali, 2011. Pelaksanaan ritual menimbulkan
pengeluaran konsumsi ritual yang berbanding lurus dengan pendapatan artinya
pengeluaran konsumsi ritual meningkat ketika pendapatan naik, baik secara
kuantitas maupun kualitas diduga pengeluaran konsumsi ritual ini telah bergeser
dari konsumsi sekunder dan ada kecenderungan bergeser ke arah primer untuk
masyarakat Hindu di Bali sebagai dampak perubahan aspek-aspek kehidupan
masyarakat, sedangkan pengeluaran ritual ini masih mengikuti teori klasik dan
neoklasik.
Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian dan hipotesis (Friedman,
1957; Duesenberry,1949; Modligiani, 1963; Yan Wang, 1995; Pemberto, 1997;
Malucio et al., 1999; Sukarsa, 2005). Begitu pula halnya dengan hasil penelitian
Wijaya (2012) bahwa konsumsi masyarakat mengalami peningkatan yang
signifikan terhadap pendapatan masyarakat selama karya Panca Balikrama,
khususnya konsumsi ritual. Sesuai hasil studi Engel (1957) di Malaysia Barat,
mengatakan semakin tinggi pengeluaran rumah tangga dapat mengindikasikan
241
semakin sejahtera masyarakatnya. Berbeda hasil penelitian Sukarsa (2005)
terdapat pengaruh tetapi tidak signifikan pendapatan keluarga terhadap susila dan
upacara dan pengeluaran menurut konsep Hindu bahwa seharusnya pendapatan
yang dikeluarkan untuk ber-yadnya sebanyak sepertiga (33,3 persen) dari
pendapatan, sedangkan sepertiga yang lain untuk pemupukan artha dan sisanya
untuk pemenuhan kama.
6.4.2 Pengaruh Kesempatan Kerja Terhadap Kesejateraan Masyarakat
Hasil analisis menjelaskan bahwa besarnya koefisien jalur kesempatan
kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejateraan
masyarakat sebesar 0,657. Artinya apabila kesempatan kerja meningkat, maka
akan mengakibatkan kesejahteraan masyarakat meningkat secara ekonomi.
Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian Syaukani et al. (2002)
bahwa keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat dari seberapa jauh
pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya.
Sulistyaningsih (1997), penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berpengaruh
terhadap peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan
masyarakat akan meningkat. Begitu pula halnya dengan hasil penelitian Kendrick
dalam Simanjuntak (1985) bahwa derajat kesejahteraan ditentukan oleh
produktivitas sumberdaya dimana produktivitas tersebut sangat tergantung kepada
kondisi kesehatan, tingkat pendidikan dan besarnya modal. Semakin tinggi tingkat
kesehatan, tingkat pendidikan dan besarnya modal, semakin produktif faktor
produksi untuk meningkatkan pendapatan (kesejahteraan) suatu perekonomian.
Soepono (1993) bahwa kesempatan kerja yang ada di dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonomi nasional dan bauran industri.
242
Berbeda dengan hasil studi Ferlini (2011) bahwa strategi peningkatan
kesempatan kerja yang perlu dilakukan adalah pengendalian jumlah penduduk dan
angkatan kerja melalui peningkatan pendidikan baik kuantitas ataupun kualitas,
kebijakan umum regional khususnya sektoral dan memberikan kemudahan
investasi bagi pengembangan usaha. Esmara (1986) kesempatan kerja merupakan
jumlah penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan
artinya semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja.
Berbeda dengan pendapat Murjana (2012) bahwa kesempatan kerja yang tersedia
di Bali tidak cukup memadai untuk peningkatan produktivitas pekerja, hal ini
berdasarkan hasil analisis terhadap data jumlah penduduk yang bekerja kurang
dari 35 jam per minggu yang meningkat dalam kurun dua tahun terakhir.
Kesempatan kerja dimaknai sebagai lapangan pekerjaan atau kesempatan yang
tersedia dan siap diisi oleh pencari kerja. Sesuai hasil penelitian Wijaya (2012)
bahwa karya Agung Panca Balikrama berpengaruh positif terhadap kesejahteraan
masyarakat dilihat dari indikator perubahan pengelolaan usaha, pendapatan, dan
kondisi kepemilikan aset.
Penjelasan secara deskriptif sebagaimana hasil wawancara mendalam 22 April 2012, yaitu Menurut Wayan Sugita (47 tahun) sebagai pedagang janur, seiring dengan permintaan janur semakin hari semakin banyak karena aktivitas upacara Agama Hindu semakin hari juga semakin meningkat mulai upacara kecil hingga upacara besar (upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih, Piodalan di Pura-Pura). Berarti prospek bisnis janur sangat menguntungkan sehingga mengembangkan usaha sebagai supplyer janur wilayah Abiansemal baik janur lokal maupun janur dari Jawa. Hasil penelitian ini, terbukti konsep konsep Max Weber (1930), konsep
Bourdieu (1977), dan konsep multiplier effect Keynes. Selanjutnya, untuk
memperkuat hasil penelitian (Bronsteen et al., 2009; Amartya Sen , 1992 ; Stiglitz
243
et al., 2011) mengukur derajat kesejahteraan terpenuhinya kebutuhan secara pisik
nonpisik atau lahir bathin yaitu peningkatan pendapatan, kesehatan dan
pendidikan sesuai kriteria BPS Provinsi Bali, 2011.
6.5 Pengaruh Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesejateraan Masyarakat Baik Langsung Maupun Tidak Langsung Melalui Kesempatan kerja
Hasil analisis pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kesejateraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui
kesempatan kerja (Lampiran 21). Pengaruh tidak langsung (indirect effect)
sebesar 0,391 ditambah pengaruh langsung (direct effect) sebesar 0,399 sehingga
pengaruh total sebesar 0,790. Artinya intensitas pelaksanaan ritual meningkat
maka akan mengakibatkan kesejahteraan masyarakat pemasok meningkat baik
langsung maupun tidak langsung melalui peningkatan kesempatan kerja.
Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936), konsep
Max Weber (1930), dan konsep Bourdieu (1977), aktivitas pelaksanaan ritual
Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal
mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi (transaksional) bahan-bahan
ritual dan aktivitas kehidupan sosial masyarakat Abiansemal khususnya dan
umumnya masyarakat Bali, juga penelitian ini mengacu pada kriteria BPS
Provinsi Bali, 2011.
Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian Bronsteen et al. (2009)
bahwa salah satu tanggungjawab pemerintah adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan dalam bentuk kepuasan obyektif dan
kebahagiaan subyektif untuk mengukur kualitas hidup manusia. Stiglitz et al.
(2011) dan Amartya Sen (1992) mengukur derajat kesejahteraan terpenuhinya
244
kebutuhan secara pisik nonpisik atau lahir bathin yang mencakup peningkatan
pendapatan, kesehatan dan pendidikan masyarakat.
Dalam penelitian ini, kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan
kerja adalah sebesar 35,4 persen artinya perubahan kesempatan kerja ditentukan
oleh variasi pelaksanaan ritual. Sedangkan kontribusi kesempatan kerja terhadap
kesejahteraan masyarakat adalah sebesar 90,2 persen artinya perubahan
kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual dan faktor
lainnya melalui kesempatan kerja.
6.6 Temuan Penelitian
Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan, maka temuan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Kesadaran yang tinggi masyarakat pengempon pura walaupun relatif terbatas
secara ekonomi dengan berdasarkan srada bhakti dan lascarya kepada Sang
Pencipta maka masyarakat pengempon pura merasa sejahtera secara bathin.
2) Kecenderungan angka pengganda konsumsi dari tahap I ke tahap II dan III
semakin kecil, sedangkan angka pengganda untuk tahap III relatif kecil yang
disebabkan MPS > MPC. Kondisi ini diakibatkan oleh alokasi tambahan
konsumsi kecil karena tambahan pendapatan juga relatif kecil, mengingat
sebagian besar tambahan konsumsi masih bersifat primer yang dapat dipenuhi
dari usaha sendiri khususnya dari sektor pertanian. Hal ini tidak sejalan
dengan konsep Keynes yang mengatakan bahwa kecenderungan negara kaya
pendapatannya lebih banyak ditabung daripada dikonsumsi (MPS > MPC).
Sebaliknya kecenderungan negara miskin pendapatannya lebih banyak
245
dikonsumsi daripada ditabung (MPC > MPS). Ketika hal ini dikonversi
secara ekonomi maka sejalan dengan konsep Keynes.
3) Sementara ini, banyak opini yang mengatakan bahwa pengeluaran ritual
kurang dirasakan oleh masyarakat, namun secara empiris dalam penelitian ini
angka pengganda yang dihasilkan dari pelaksanaan ritual relatif cukup besar,
untuk penguatan ekonomi lokal dan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi
Bali pada umumnya dan Badung pada khususnya. Artinya apabila
pengeluaran konsumsi ritual semakin besar menyebabkan pendapatan
masyarakat juga bertambah sebanyak multiplier effect kali jumlah
pengeluaran konsumsi masyarakat.
4) Dalam kegiatan ritual umat Hindu di Bali, bahwa aktivitas ritual lebih banyak
dikerjakan oleh tenaga perempuan, sehingga perempuan Hindu memiliki
peranan lebih penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan ritual yang baik
dan lancar (labda karya).
5) Pelaksanaan ritual Agama Hindu mempunyai pengaruh terhadap aktivitas
ekonomi dan aktivitas kehidupan sosial masyarakat umat Hindu di Bali.
Pendapat ini sesuai dengan Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max
Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977), dan Teori Religiusitas Clifford
Geertz (1973).
6.7 Keterbatasan Penelitian
Setelah melakukan analisis hasil penelitian, diketahui bahwa penelitian
ini memiliki keterbatasan sebagai berikut.
1) Terbatasnya dukungan teori dan hasil penelitian dari luar ataupun dalam
negeri tentang pengaruh pengeluaran konsumsi ritual terhadap kesempatan
kerja dan kesejahteraan masyarakat.
246
2) Dalam perhitungan multiplier effect hingga tahap III, karena untuk kain kasa
dan minyak goreng produsen atau pabrik ada di luar daerah Bali.
3) Indikator yang digunakan setiap variabel masih terbatas. Untuk itu terdapat
beberapa hal yang belum tercakup dalam pembahasan dan masih perlu
dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut, seperti kesempatan kerja di
bidang jasa budaya berbasis religius yang disebut wewalian.
6.8 Implikasi Hasil Penelitian
1) Implikasi Teori
a) Hasil temuan ini secara teoritis menghasilkan suatu pembuktian yang
lebih bermakna terhadap Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max
Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977), dan Teori Religiusitas Clifford
Geertz (1973).
b) Hasil penelitian ini merupakan pengembangan Teori Konsumsi Keynes
(1936) dan konsep Multiplier Effect Keynes dalam pengeluaran ritual.
Penelitian multiplier effect sektor pariwisata dan perkebunan sudah
banyak dilakukan (Horvath et al., 1999; Syahza, 2004). Ketika konsep
multiplier effect dilanjutkan pada pengeluaran pelaksanaan ritual maka
penelitian ini merupakan hal yang baru.
c) Penelitian spiritual terutama penelitian studi kasus Mlaspas dan Ngenteg
Linggih ini merupakan jawaban yang mengkanter fenomena yang
berkembang di masyarakat saat ini bahwa pelaksanaan Agama Hindu
tidak efektif dan tidak efisien. Penelitian sebelumnya lebih menekankan
pada filsafat, makna dan fungsi agama, pengaruh pendapatan terhadap
pengeluaran ritual masyarakat Hindu di Bali serta manajemen karya
(Triguna, 1994, Titib, 2007, Sumini, 2008, Sukarsa, 2005, dan Wijaya,
2012).
247
d) Hal baru bagi peneliti adalah membahas multiplier effect pengeluaran
pelaksanaan ritual yang menyangkut aspek ekonomi dan aspek spiritual.
Sementara itu, setiap kali pelaksanaan ritual dilihat sebagai pengeluaran
atau biaya yang cukup besar yang dapat dikatakan sebagai sisi negatif.
Pengeluaran pelaksanaan ritual juga memiliki sisi positif yaitu multiplier
effect dan fungsi religiusitas.
2) Implikasi praktis dari temuan penelitian ini adalah
a) Kebijakan dalam mengantisipasi pengaruh negatif kehidupan beragama
umat Hindu di Bali dengan peningkatan pemahaman Agama Hindu yaitu
membaca buku-buku agama dan bertanya pada yang berkompeten.
b) Tersedianya bahan-bahan ritual pada saat berlangsungnya proses ritual
Agama Hindu secara berkelanjutan di Bali.
c) Perubahan sikap berusaha masyarakat dalam memanfatkan multiplier
effect yang lebih besar untuk penguatan ekonomi lokal dan sebagai
stimulus atau percepatan pertumbuhan ekonomi di Bali.
248
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembuktian yang telah dilakukan pendekatan
baik melalui kualitatif maupun kuantitatif. Secara terperinci simpulan penelitian
dikemukakan sebagai berikut.
7 Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal selain
memiliki manfaat religius juga memiliki manfaat sosial, budaya, dan ekonomi.
Manfaat sosial yaitu perubahan sikap perilaku beragama masyarakat
pengempon pura peningkatan pemahaman Agama Hindu dengan membaca
buku-buku agama dan menanyakan makna-makna ritual kepada yang
berkompeten. Manfaat budaya yaitu masyarakat pengempon pura mampu
melestarikan nilai-nilai kearifan lokal (local genius) dengan sistem gotong
royong, kebersamaan, dan solidaritas dalam konsep (ngayah, ngoopin,
metetulung, menyamabraya,salulung sabayantaka, parasparos sarpanaya,
adhiluhung). Manfaat ekonomi yaitu adanya perubahan sikap berusaha
masyarakat pengempon pura lebih kreatif dan inovatif sebelum dan setelah
ritual seperti bekerja sebagai tukang banten atau pangayah tukang banten dan
membuat serta menjual alat-alat ritual.
8 Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih memiliki rata-rata multiplier
effect sebesar 2,37 yang artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar
menyebabkan pendapatan masyarakat pemasok juga bertambah sebanyak
multiplier effect kali jumlah pengeluaran ritual. Hal ini mengindikasikan
249
pelaksanaan ritual Agama Hindu sebagai penguatan ekonomi lokal dan
stimulus pertumbuhan ekonomi, peningkatan output, dan kesempatan kerja
dapat meningkatkan pendapatan ekonomi regional Abiansemal khususnya,
dan Bali umumnya.
9 Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg
Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal adalah sebesar 72,06 persen
dari total pengeluaran bahan ritual. Artinya pelaksanaan ritual dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemasok bahan ritual.
10 Pelaksanaan ritual mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
kesempatan kerja. Artinya intensitas pelaksanaan ritual dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat pemasok bahan ritual di Bali.
11 Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja.
Artinya intensitas pelaksanaan ritual menyebabkan kesejahteraan masyarakat
pemasok meningkat baik langsung maupun tidak langsung melalui
peningkatan kesempatan kerja. Tingkat kesejahteraan berpengaruh terhadap
kehidupan sosial umat (Hindu) di Bali. Kontribusi pelaksanaan ritual terhadap
kesempatan kerja sebesar 35,4 persen, yang berarti variasi kesempatan kerja
ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Kontribusi kesempatan kerja
terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen, yang berarti variasi
kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi kesempatan kerja.
250
7.2 Saran
Berdasarkan analisis hasil penelitian, temuan, dan keterbatasan dari
penelitian ini, dirumuskan beberapa rekomendasi yang ditunjukan, baik kepada
peneliti lanjutan, para praktisi maupun pemerintah.
1) Mengingat pelaksanaan ritual memiliki multiplier effect, masyarakat
sekitarnya disarankan perlu melestarikan bahan-bahan utama yang dibutuhkan
dalam ritual secara berkelanjutan/sustainable dalam upaya mengurangi impor
barang kebutuhan ritual Agama Hindu di Bali.
2) Mengingat fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa Agama Hindu
identik dengan biaya besar (komersialisasi), disarankan meningkatkan
pemahaman agama dengan membaca buku-buku agama dan menanyakan
makna ritual kepada yang berkompeten sehingga biaya ritual diharapkan
berkurang.
3) Mengingat mobilitas tenaga kerja perempuan dalam ritual memiliki peran
sangat tinggi, disarankan pada perempuan Hindu mampu berusaha
mengalokasikan waktunya secara tepat agar tidak berbenturan dengan
kegiatan produktif atau menerapkan manajemen waktu.
4) Disaran untuk penelitian berikutnya, agar menghitung multiplier effect
pelaksanaan ritual Agama Hindu sampai tahap terakhir dan variabel lain yang
mendukung pelaksanaan ritual, yaitu kesenian (wewalian) yang berbasis
budaya religius.
251
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. 2008. Teori dan Metodelogi Studi Agama dalam Pustaka. Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
Ackley, Gardner. 1961. Macro Economic Theory. The Mcmillan Company. New York.
Adams, A.M., Cekan, J. Dan Sauerborn. 1998. Towards a Conceptual Framework of Household Coping: Reflection from Rural West Africa. Africa: Journal of the International African Institute. 68(2):263-283.
Ahrens, J. 1974. Consumer Expenditure Patterns: Padang 1971/1972. Bulletin of Indonesia Economic Studies (X) 3,p. 123-134.
Adhikari, Krishna Prasad. 2009. Social Capital and its Downside. The Impact on Sustainability of Induced Community-Based Organization Nepal. World Development Volume 38 No (2), pp. 184-194.
Aliasuddin. 2002. Zakat atas Tabungan. Mon Mata. Jurnal Ilmu-Ilmu sosial Bidang Ekonomi. Vol.4 No.2 Desember 2002. Penerbit Lembaga penelitian Universitas Syiah Kuala Darussalam. Banda Aceh, Indonesia. hal. 89-100.
Allen, R.G.D. 1967. Macro Economic Theory. London: Mcmillan and Co. Ltd.
Amaludin, Moch. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Studi Kasus di Desa Bulugede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ambrosino, Rosalie, Joseph heffernan, Guy Shuttlesworth and Robert Ambrosino. 2005. Social Rork and Social Welfare an Introduction, USA: Thomson/Brooks/Cole.
Anand,S. And Harris, C. 1994. Choosing a Welfare Indicator. The American Economic Review, 84(2): 226-231.
Anderson, S. Dan M.Devereux. 1989. Profit sharing and Optimal Labor Contract. Canadian Journal of Economics.Vol.22: 425-33.
Anderson G.Kumenaung. 2008. Mengkaji Konsep Pemikiran pembangunan Berkelanjutan (Substained development).Jurnal Pembangunan Ekonomi dan keuangan daerah (PEKD) Vol. 1.No.2. Edisi Agustus 2008.
252
Angeletos, M.G., Laibson D., Andrea R., Tobacman J., dan Weinberg S. 2001. The Hyperbolic Buffer Stock Model: Calibration, Stimulation, and Empirical Evidence. Journal of Economic Perspectives. 15 (3),pp. 47-68.
Ardika, I Wayan and Peter Bellwood. 1997. Sembiran: The Beginings of Indian Contact With Bali. Antiquity.65,247,pp. 221-232.
___________. 1994. Early Evidence of Indian Contact With Bali. University of Hull. Centre for South Asian Studies. Proceeding of the 5th Internasional Conference of the European Association of Southeast Asian Archaeologists in Paris. October 1994. Vol.1,pp. 139-145.
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Penerbit STIE YKPN Yogyakarta.
Arini, Ida Ayu, 1996. “Kegiatan Ekonomi Wanita Bali di Banjar Tohpati, Desa Kesiman Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar” (tesis). Studi Kependudukan. Pasca Sarjana UGM, tidak dipublikasikan.
Armelly. 1995. “Dampak Kenaikan Upah Minimum Terhadap harga dan Kesempatan Kerja Study Kasus Industri Tekstil di Indonesia: Pendekatan Analisis Input-Output” (tesis) S-2 Program Pasca Sarjana fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta.
Asch, S. E. 1946. Forming Impressions of Personality, Journal of Abnormal and Social Psychology. Juli 1946. pp. 258-290.
Atmaja, I N. Bawa. 2002. Metodologi Penelitian Agama Hindu. Makalah disampaikan pada Penataran Dosen Agama Hindu di Denpasar. 6 s.d.11 Oktober 2000.
Atmaja Jiwa. 2013. Kearifan Lokal Dalam Pemujaan Cendekiawan Diktat, Wahana, Edisi No.83 TH.xxix.Agustus 2013.ISSN:0853-4588
Atkinson, A. B. 1982. Ur Employment Wages and Government Policy. The Economics Journal, Vo. 92. Hal. 42-50.
Avis,J. 2002. Social Capital Collective Intelligence and expansive Learning: Thinking Through the Connections. Bretish journal of Educational Studies,50,30,pp. 308-26.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kerjasama dengan Universitas
Udayana. 2008. Bersama Menata Perubahan. Evaluasi Tiga Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di Provinsi Bali. Denpasar.
253
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I Bali. 1996. Profil Kependudukan dan Peranan Wanita di Bali. Denpasar.
Badan Pusat Statistik. 2000. Sensus Penduduk Indonesia.Jakarta.:Penerbit BPS Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2010. Data Bali Membangun. Provinsi Bali: Penerbit BPS Bali
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali: Penerbit BPS Bali
___________. 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali: Penerbit BPS Bali
___________. 2010. Bali Dalam Angka Propinsi Bali: Penerbit BPS Bali
___________. 2009. Tinjauan Kinerja Perekonomian Indonesia. Triwulan II 2009: Penerbit BPS Bali
___________. 2009. Statistik Sosial Budaya Propinsi Bali: Penerbit BPS Bali
Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2010. Distribusi Pendapatan dan Ketenagakerjaan Kabupaten Badung: Penerbit BPS Kabupaten Badung.
___________. 2011. Bali Dalam Angka Kabupaten Badung. Penerbit BPS Kabupaten Badung.
___________.2011. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Badung. Penerbit BPS Kabupaten Badung.
___________. 2008. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Badung Tahun 2008 (Kajian Data Susenas 2007). Penerbit:BPS Kabupaten Badung.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2011. Laporan Hasil Penyusunan PDRB dan Indikator Makro Ekonomi Bali Tahun 2011. Penerbit: BPS Bali.
Barro, Robert J. and Rachel M. McCleary, 2002, Religion and Political Economy in an International Panel, manuscript, Harvard University.
Bali Post. 2002. “Konflik Agama” Bali Post, 30 Oktober 2002. No.74 Tahun ke 50.
____________. 2004. “Catur Warga” Bali Post, 27 Oktober 2004. No.73 Tahun ke 57.
254
Baron, J.N., Hannan, M.T. dan Burton, M.D. 2001. Labor Pains: Change in Organisational Models and Employee Turover in Young, high-tech Firms. American Journal of Sociology, 106,4,pp. 960-1012.
Barro, Robert, J. 1998. Human Capital and Growth in Cross Cuntry Regression. Journal of Economics. Harvard University No.214.
Baier, Scott,L.,Gerald P. Dwyer JR.,and Robert Tamura. 2006. How Important are Capital and Total Factor Productivity for Economic Growth. Journal of Economic Inquiry. Vol.44 No.1 Januari, 006.pp.23-49.
Baiquni, M. 2006. “Pengelolaan Sumberdaya Pedesaan dan Strategi Menghidupkan Rumah Tangga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Masa Krisis (1998-2003) “(disertasi). Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Basri, F. 2003. Profil dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Becker, Gary S. 1975. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis. National Bureau of economic research. New York.
Bendesa, Komang Gde. 2008. Ekonomi Bali dalam Perspektif Pariwisata dan Lingkungan. Makalah disampaikan pada Konggres Kebudayaan Bali Denpasar: tanggal 14-16 Juni 2008.
___________. 2012. Kebijakan dan Dampak Sektoral dalam Pembangunan Bali. Makalah disampaikan dalam seminar Analisis Kritis Pembangunan Bali, 15 Agustus 2012. Denpasar: Universitas Udayana.
Berg, A. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Rajawali.
Besley, Timothy. 1995. Non Market Institutions for credit and risk sharing in Low-Income Countries. The Journal of Economic Perspectives, 9(3): 115-12.
Berger, S.; Harasty, C. 2002. World and Regional Employment Prospects: Halving the World’s Working Poor by 2010 (Jenewa: ILO, 2002)
Budiana, I Nyoman. 2004. “Rekontruksi Sosial Perkawinan Eksogami di Tengah Perubahan Sosial di Bali” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
Boediono. 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE-UGM. Yogyakarta.
255
Boediono dan McCawley. 1984. Bunga Rampai Ekonomi Mikro. Kumpulan-Kumpulan Karangan Mengenai Penerapan Teori Ekonomi Mikro. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Bungin Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodelogis Kearah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
___________. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Boeke, J.H. 1953. Economic and Economic Policy in Dual Societies.New York
Boisjoly, J. Duncan, G. dan Hofferth, S. 1995. Access to Social Capital. Journal of Family Issues, 16, 5,pp. 609-31.
Bonner, H. 1953. Social Psychology. New York: Marican Book Company.
Bourdieu, P. 1977. Cultural reproduction and Social Reproduction. Hal.487-511 dalam J. Karabel dan A.H. Halsel (eds) Power and Ideology in Education, oxford university Press. New York
Bourdieu, Piere and Loic J.D. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflektive Sociology. Chicago: Univercity of Chicago Press (6/13/2009, 06:30 am).
___________. 2008. (George Ritzer – Doglas J.Goodman). Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Bjorklund, D.V. 2000. Children's Thinking: Developmental Function and individual Differences. 3rd Ed. Belmont, CA: Wadsworth, hal. 2-13
Butler, E. 2007. Adam Smith-a Primer, The Institute of Economic Affairs 2 Lord North Street Westminster, London.
Brannen, Julia. 2004. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Bhaktivedanta Swami P.S.S.A.C. 1971. Bhagavad Gita Menurut Aslinya. Edisi pertama (edisi saku). 2006.Tim Penerjemah. Indonesia: Penebit Hanuman Sakti di bawah lisensi. The Bhaktivedanta Book Trust International. Inc. Srila Prabhupada.
Bhide, Sheela. 2000. Economic and Political. Weekly Journal, Vol. 35. No.50.http://www.JSTOR.org/stable/4410053.
256
Blegen, H., Nylehn, B. 1968. Organishing the Maintenance Function: An Analytical Approach. International Journal of Production Research 7.pp. 3-32.
Blum, Ulrich and Leonard Dudley, 2001, Religion and economic growth: was Weber right?, Journal of Evolutionary Economics, 11(2): 207-230.
Brady, D.S. and Friedman, R.D. 1947. Saving and the Income Distribution: Studies York. International Bureau of Economic Research. pp. 247-265
Branson, William, H. 1979. Macroeconomic theory and Policy. Second Edition. New York: Harper and Row Publisher.
Brigaitis. 2005. Religius Engagement and Social Capital in The Islamic Context. (Thesis) Submitted to University of North Texas.
Bronfenbrener, Urie. 1986. Ecology of The Family as A Context for Human Development Research Perspectives. Journal of Development psychology, Vol 22 No.6. pp. 1-20 (10/08/2011; 12: 10 pm).
Bronsteen, J. Christopher B. and Jonathan S. M. 2009. Welfare As Happiness. The Georetown Law Journal. Vol. 98,pp.1583. Electronic Copy Available at: http://ssrn.com/abstract=1397843.
Brooks, Benjamin. 2008. The Natural Seletion of Organizational and Safety Culture Within a Small to Medium SizedE (SME). Journal of Safety Research 39,pp. 73-85
Bryan & Turne, 2006. Relegion And Sosial Theory, (Agama & Teori Sosial, Terj.Inyiak Ridwan Muzir), Yogyakarta: IRCiSoD
Brymann, Alan. 2001. Social Research Methods. Oxford University Press Inc. NY.
Browning, M. And A. Lusardi. 1996. Household Saving : Micro Theories and Micro Facts. Journal of Economic Literature, 34(4): 1797-1855.
Brown, Charler, Curtis Gilray and Andrew Kohen. 1982. The Effects of Minimum Wage on Employment and Unemployment. Journal of Economics Literature. Vol.20, Juni 1982.
Conway, G.R. and E. B. Barbier. 1990. After the Green Revolution: Sustainable Agriculture for Development. London. Earthscan Publication Ltd.
Callinicos, Alex. 2008. The Against Third Way, Kritik Anti-Kapitalis atas Keruntuhan Ekonomi Global, Yogyakarta: Eduka.
257
Carrol, D.D., and Kimball M.S. 1996. Notes and Coments on the Concavity of the Consumption Function. Econometrica, 64.4: Hal. 981-992
Coleman, James S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The American Journal of Sociology, Supplement: Organizations and Institution: Sociological and Economic Approaches to the Analysis of Social Structure 94,pp. 95-120.
___________. 1990. Equality and Achievement in Education. Westriew Press, Boulder.
___________.1992. Foundation of Social Theory. Cambridge MA: Harvard University Press.
Cohran, W.G. 1977. Sampling Techniques. John Wiley & Son. Inc.
Cohen, D. dan Prusak, L. 2001. In Good Company: How Social Capital Makes Organizations Work. Harvard Business Press.
Campbell J.Y., dan Mankiw N.G., 1989. Consumption, Income, and Interest Rates. Reinterpreting the Time-Series Envidence. NBER Macroeconimics Annual: pp. 185-216.
Cameron, Lisa A. Dan Worswick, Christopher. 2003. The Labor Market as a Smoothing Device: Labor Spply Responses to Crop Loss, Review of Development Eonomics, 7 (2),pp. 327-341.
Corbin, Juliet. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Covarrubias. 1972. Island of Bali. Kualalumpur: University Press Oxfford.
Chapra, M. Umer. 2001. The Future of Economics: An Islamic Perspective. The Islamic Foundation, UK. Amdiar Amir, dkk (penterjemah). 2001. Shari’ah economics and Banking Institute. Jakarta.
Chellius, J. Dan R.S. Smith. 1995. Profit Sharing and Employment Stability. Industrial and Labor Realtion Review.Vol.43.February: 256S-273S.
Christensen, L. Dan Johnson, B. 2008. Educational Research Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches. Sage Publications. The United States of America.
Choi, Hyunsun. 2004. “Social Capital and Community Economics Development in Los Angeles Koreatown: Faith-Based Organization in Transitional Etnic Community” (dissertation). Sudmitted to University of Southerm California.
258
Choi J. J., Laibson D. Brigitte M. dan Andrew M. 2002. Defined Countribution Pensions: Plan Rules, Participant Decisions, and the Path of Least Resistance. Poterba J.,ed., Tax Policy and the Economy (Cambrindge, MA: MIT Press), 16,pp. 67-113.
Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern dari Parson sampai Herbamas. (Terj. Paul S.), Jakarta: CV. Rajawali.
Creswell J.W. and Clark V.L.P. 2007. Mixed Methods Research. Desiging and Conduction. The United States of America.
Daly, V. And Hadjimantheou, G. 1981. Stochastic Implications of the Life Cycle Permanent Income Hypothesis: Evidence for the UK Economy. Journal of Political Economy, 89,pp. 596-599.
Dally, H. 1994. Operationalizing Sustainable Development by Investing in Natural Capital. In Goodland, R. And V. Edmunson (Eds).Environmental Assesment and Development World Bank,Washington DC.
Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Denison, EF. 1962. United State Economic Growth. The Journal of Business, April, pp. 1-10
Dean, J., Snell, S. 1991. Integrated Manufacturing and Job Desighn: Moderating Effect of Organizational. Imertia Academy of Management Journal 34.pp. 776-804.
Deacon, Ruth E. And Francille M. Firebaugh. 1981. Family Resource Management Frinciples and Aplications. Atlantic Avebue. Boston.
Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Denburg, T.E. and McDougl, D.M. 1976. Macroeconomics. The Measurement, Analysis and Control of Aggregate Economic Activity 5 th. Edition Tokyo The Mcmillan Company.
Derrida, Jaques. 2002. Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual. (Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra.
Diener, E., dan Suh, E.M. 1999. National Differences in Subjective Well-Being. In E. Kahneman, E. Diener, & N. Schwarz (Eds.), Well-being: The Foundations of Hedonic Psychology (pp.434-450). New York: Russell Sage Foundation.
259
Donder, I Ketut. 2009. Teologi (Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah tentang Tuhan). Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita.
___________. 2010. Tata Cara, Ritual dan Tradisi Hindu. Surabaya: Paramita.
Duesenberry, J.S. 1967. Income, Saving and the Theory of Consumen Behaviour. New York. Oxford University Press. Chapter IV dan V.
Durkheim, Emile. 1933. The Division of Labor in Society. Terjemahan oleh George Simpson. The Free Press. New York.
___________. 2003. Sejarah Agama (The Elementary Forms of the Religious Life). Yogyakarta: IRC.So.D.
Downing R.I. 1969. National Income and Social account An Australian Study. Melbourne University Press.
Dutta, Shantanu, Om Warassimhan, and Suredra Rajiv. 1999. Marketing Capability Gritical. Journal Marketing Science Vol 18 No. 4,pp. 547-568.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Terj.Kelompok studi Agama Driyarkara. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Djarwanto, 1991, Statistik Nonparametrik, Yogyakarta. BPFE
Djajadingrat, S.T. 1992. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Membangun Tanpa merusak Lingkungan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Djojohadikusumo S. 1993. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Drakos, K. And Kutan, A.M. 2003. Regional Effects of terrorism on Tourism in Three Mediterranean Countries. Journal of Conflict Resolution, 47,5, October 2003, 621-641.
Drucker, A. 1996. Bhagavan Sri Sathya Sai Baba. Terj. Wayan Sadia. Surabaya: UD. Paramita.
Dwija, I Nengah. 2006. Revitalisasi Modal Sosial Masyarakat Bali Berbasis Kearifan Lokal dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Depbudpar RI dengan Unud.
Easterlin, Richard A. 2001. Income and Happiness: Toward a Unified Theory. The Economic Journal. 111(July),pp. 465-484. Available from: http://www.blackwellpublishing.com/specialarticles/ecoj644.pdf
260
Ehrenberg, R.G. and Smith, R.S. 1989. Modern Labour Ekonomics, Theory and Public Policy, London: Scott, Foresman and Company.
Einsentad. 1988. Revolusi dan Transformasi Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali.
Eisenstadt, Shmuel Noah, 1968, The Protestant Ethic and Modernization: A Comparative View. New York, Basic Books.
Eisevan, Jr. Fred B. 1994. Bali Sekala & Niskala (Essays on Religion, Ritual, and Art) Singapore: Periplus Edition (HK) Ltd.
Ellison, Christopher G., 1991, Religious Involvement and Subjective Well-being, Journal of Health & Social Behavior, 32(1): 80-99.
Ellison, C. And Linda K. George. 1994. Religious Involvement Social Ties and Social Support in a Southeatem Community. Journal for Scientific Study of Religious. 33,pp. 46-61.
Eric Schliesser. 2006. Philosophy and a Scientific of the History of Economics, Deprtment of Philosophy, Syracuse University, 541 Hallof Languages, Syracuse, NY ,pp. 1324-1170; [email protected]
Eriyatno. 2011. Membangun Ekonomi Komparatif. Strategi Meningkatkan Kemakmuran Nusa dan Resiliensi Bangsa. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo.
Erwidodo. 1999. Modernisasi dan Penguatan ekonomi masyarakat pedesaan.
Dalam Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan Sebagai Penangulangan Kemiskinan (Penyunting Hasan Basri) Cetakan Pertama hal. 3-40. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Esmara, H. 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia. Esterly, W. dan R. Levine. 1997. Afrion’s Growth Tragedy: Policies and Ethnic
Division. Quartely Journal of Economics. 112 (4),pp. 1203-1250. Fallon, Peter R. dan Lucas, Robert E.B. 2002. The Impact of Financial Crises on
Labor Markets, Household Incomes, and Poverty: A Review of Evidence, World Bank Research Observer, Oxford University Press,17 (l),pp. 21-45.
Fairclough, Norman. 1995. Discursus and Sosial Change. Cambridge: Polity
Press. Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
261
Ferdinand, Augusty, 2006, Structural Equation Modeling, Edisi 4, BP UNDIP, Semarang.
Ferdinand, Augusty. 2006. Structural Equation Modeling dalam Penelitian
Manajemen Aplikasi Model-Model Rumit dalam Penelitian untuk (tesis) Magister dan (disertasi) Doktor. Fak Ekonomi UNDIP Semarang.
Fehr, E. Kirchstein, G. and Riedl, A. 1996. Involuntary Unemployment and Non-
Compensating Wage Differentials in An Experimental Labour Market. The Economics Journal. 106 (Januari), 106-121.
Fergusson, D.M.L.J.,Horwood, A.L. Beautrais. 1981. The Measurement of Family
Material Well Being. Journal of Marriage and the family, 43(3): 715-725.
Ferlini. 2011. Analisis Ketenagakerjaan dan Strategi Peningkatan kesempatan
Kerja di Provinsi Sumatera Barat. http://www.google.com/jurnal kesempatan kerja.
Field, J. 2011. Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana. Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of
Prosperity. Hamisld Hamilton, London. ___________. 1998. The End of History and The Last Man (Introduction
Reproduced 2005) Penguin.
___________. 1999. Social Capital and Civil Society. Institute of Public Policy. George Mason University.
___________. 2001. Social Capital, Civil Society and Development. Third World Quarterly, 22 (1),pp. 7-200.
Flavin, M. 1981. The Adjustment of Consumption to Changging Expectations About Future Income. Journal of Political Economy. Oxford University Press.
Frankenberg, E.J.P. Smith and D. Thomas. 2003. Economic Shocks, wealth and Wefare. Journal of Human Resources. 38(2): 280-321.
Friedman, M. 1957. A Theory of The Consumption Fuction. Princeton N.J.: Princeton University Press for National Bereau of Economic Research, Princeton.
262
Friedman, H.H. and Linda W. Friedman,(t.t), Can’Homo Spiritualis’ replace Homo Economicus in the Business Curriculum? Department of Economics Brooklyn College of the City University of New York Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1160468.
Freeman,R. dan M.Wietzman. 1995. Bonuses and Employment in Japan. Journal of the Jananese and International Economics. Vol.1: 168-94
Gati Nurani, Indah. 2008. Kontribusi Industri Kecil Emping Mlinjo Terhadap Pendapatan Tenaga Kerja di Desa Pungangan, Kecamatan Lampung Kabupaten Batang. (Skripsi) UNNES.
Geriya, I W. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Denpasar.
Geertz, Clifford, 1973. The Interpretion Of Culture. Basic Books, New York: Inc. Publisher.
________.1995. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Gibb, J R., Platt, G. N. And Miller. 1951. Dynamics of Participate Group. Boulder: Univercity of Colorado.
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern Suatu Analisis Karya-Karya Marx, Durkheim, Max Weber. Jakarta: UI Press (Terjemahan: Soeheba Kramadibrata). Jakarta: UI Press.
Goeltom, Miranda S. 2007. Essays in Macroeconomi Policy: The Indonesia Exprience. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gorda. 1996. Manajemen Dalam Perspektif Hindu, dalam Suaspanya (2005), (tesis) (tidak dipublikasi)
Gordon, Robert J., 2000. Macroeconomic. Addison Wesley Longman, Inc.
Goody. 1961. Tentang Religion and Ritual: The Definitional Problem, The British Journal of Sociology.pp. 159.
Gorris, R. 1986. Sekte-Sekte di Bali. Jakarta: Penerbit BharataKary Aksara.
Gottfries,N. Dan T.Sjostorm. 1987. Profit Sharing, Employment Efficiency and Wage Stability. Scandinavian Journal of Economics.Vol.97: 281-94.
Gujarati, D. N. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
263
Gunadha, Ida Bagus. 2009. Pemberdayaan Desa Pakraman, Sebagai Strategi Kebertahanan Adat, Budaya, dan Agama Hindu Bali, Denpasar; UNHI dan Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali.
Guritno, B. Dan Waridin. 2005. Pengaruh Persepsi Karyawan mengenai Perilaku kepemimpinan, kepuasan kerja dan Motivasi Terhadap Kinerja. Jurnal Riset Bisnis Indonesia. Vol.1.No.1.Januari 2005:63-74.
Guiso.L, Sapienza P., Zingales L. Religion And Economic Attitudes. People’s Opium. University of Sassari, Ente “Luigi PR. University of Chicago, NBER,&CEPR
Ghozali, Imam dan Fuad. 2005. Structural Equation Modeling, Teori Konsep dan Aplikasi dengan Program LISREL. Semarang: BP.UNDIP.
___________. 2010. Structural Equation Modeling, Metode Alternatif dengan Partial Leas Square (PLS). Semarang: BP.UNDIP.
Glacser, edward L., David Laibson and Bruce Sacerdote. 2002. An economic Approach to Social Capital. Economic Journal. 112 (483),pp. F437-F458.
Glewwe, Paul. 1999. Why does mother”s Schooling Raise Child Health in Developing Countries? Evidence from Morroco. Journal of Human Resources 34,pp. 124-159.
Granato, J. Inglehart, R. Dan Leblang, D. 1996. Culture Values, Stabe Democracy and Economics Development: A Reply American Journal of Political Science 43(3).
Grinols, Earl L. 1994. Microeconomics. Houghton Mifflin Company. Boston. Toronto. Genewa, Illinois Palo Alto Princeton, New Jersey.
Grootaert, C., 1998. Social Capital Housrhold Welfare and Proverty in Indonesia, Local Level Institutions.Working Paper, The World Bank: Social Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development Network.
__________. 1999. Social Capita, Housrhold Welfare and Proverty in Indonesia. Local Level Institutions. Working Paper No.6. World Bank.
Griliches, Zvi. 1963. The Sourches of Mesured productivity Growth: United Stated of Agricultural, 1940-1960. Journal of Political Economy, August. pp. 333-346.
__________. 1963. The Sources of Mesured productivity Growth: United Stated of Agricultural, 1940-80. Journal of Political Economy, August. pp. 333-348.
264
Gronau, R. 1976. Allocation of Time of Israeli Women. Journal of Political Economy,84 (4),pp. 201-220.
Habib, Adnan. 1999. Agama Masyarakat dan Reformasi Kehidupan. Denpasar: BP.
Hadi, Y Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Penerbit Buku Pustaka.
Hall R.E. 1978. Stochastic Implications Of The Life-Permanent Income Hypothesis: Theory and Evidence. Journal Of Political Economy 86 (April 1978),pp. 971-987.
Hansen, Lee W. Ed. 1970. Education, Income and Human Capital. Columbia University Press. New York.
Hayashi, F.1982. The Permanent Income Hypothesis: Esimation and testing by Instrumental Variables. Journal of Political Economy.90,pp. 895-816.
Harry, Hikmat. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.
Hastuti, dkk. 2004. Laporan Penelitian. Evaluasi Dampak Sosial-Ekonomi Proyek Pengembangan Wilayah Berbasis Pertanian Sulawesi (SAADP): Pelajaran dari Program Kredit Mikro di Indonesia, Lembaga Peneliti. SMERU.
Hermanto dan Andriati. 1995. Pola Konsumsi di Daerah Pedesaan Jawa Timur. Posiding Hasil Seminar Patanas Ke II Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hal. 40-67.
Hermanto, Supena Friyatno dan Abunawan Mintoro. 1995. Pokok-Pokok Pemikiran tentang Model Penangulangan Kemiskinan Nelayan. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Hal. 463-480.
Henderson, James M and Richard, E. Quant. 1980. Micro Economics Theory A Matematical Approach. Tokyo: Mc Graw-Hill International Book Company.
Hicks, J.R. 1939. The Foundations of Welfare. Economic Journal. Vol 49. Desember 1939, pp. 696-712.
Hill, R. 2000. Real Income, Unemployment and subjective Well-Bieng: Revisiting the Costs and Benefits of Inflation Reduction in Canada. Canadian Public Policy, 26 (4),pp. 399-414.
265
Hughes, Mathew and Robert K. Perron. 2010. Shaping and Re-Shaping Social Capital in Buyer-Supplier Relationships. Journal of Business Research:pp.2-8.
Hulme, David & M. Turner. 1990. Sociology of Development Theories, Policies, and Practices. Hertfordshire : Harvester Wheatsheaf.
Horvath, Endre dan Frechtling Douglas. 1999. Estimating the Multiplier Effects of Tourism Expenditures on a local Economy through a Regional Input-output Model. Jurnal of Traveo Penelitian vol.37, No.4 (Mei 199), hlm. 324-332.
Hooykaas, Jacoba, Van Leeuwen Boomkamp 1961. Ritual Parification of A Balinese Tample. Amesterdam: NV. Noord Hollmasche Ungevers Maatschappij.
Hooykaas, C. 1964. Agama Tirta, Five Studies In Hindu-Balinese Religion Amesterdam: NV. Noord Hollmasche Ungevers Maatschappij.
Ife, Jim. 2002. Communy, 1976. City Development : Community Based Activities in an Age of Globalization. Australistera : Cath Godfrey Publisher.
Illich, I. 2001. Menggugat Kaum Kapitalis. Penerjemah Loly Nuryafitri.
Yogyakarta:Melibas.
Ismail, Munawar. 2003. Emansipasi Nilai Lokal, Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan. Malang: Banyumedia Publishing.
Jameson, Frederick. 1991. Posmodernisme on the Cultural Logic of Late Capitalisme. London:Verso.
Jene, K. Kwon. 1986. Capital Utilization, Economics of Scale and Technical Change in The Growth of Total Factor Pruductivity : An Explanation of South Korean Manufacturing Growth. Journal of Development Ecnomics, April,pp. 75-89 (6/13/2009,07:10 am).
Jhingan M.L., 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Jorgenson, D.W. 1961. The Development of Dual Economy. Economic Journal, Juni 1961, pp. 309-334.
Jordan, Y. G. 1993. Economic Impact Assessment of the travel and tourism indusry visitor expenditures, tourism multipliers, input-output analysis, and case studies : a selected bibbliogrphy, intelligence cPacific Asia Travel Association, San Francisco.
266
Jonathan S., 2007. Analisis Jalur untuk Riset Bisnis dengan SPSS. Yogyakarta :Andi.
Johnson, Buerke dan Larry Christensen. 2008. Educational Research Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches. Third Edition. California, Sage Publication, Inc.
Johnson, Harry G. 1973. The Theory of Income Distribution, Gray-Mills Publishing Ltd, 10 juer street London S.W.11.
Julissar, A. N. 2005. Pembangunan Berkelanjutan Dan Relevansinya Untuk Indonesia. Jurnal Madani. Edisi II/Nopember 2005
Kaldor, Nicholas. 1939. Welfare Propositions in Economics and Interpersonal Comparisons of Utility. Economic Journal.Vol. 49, September 1939,pp. 549-552.
Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Mikro Islami. The International Institute of Islamic Thought. Indonesia. Jakarta.
Kaelan. 2005. Metode penelitian Kualitatif Bidang Filsafat: Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni. Yogyakarta: Paradigma.
Kayam, Umar. 1993. Perubahan Sosial Budaya Menuju Masyarakat Industri dalam Agama Demokrasi dan Perubahan Sosial (Amine d.). Yogyakarta: LKPSM. Najib.
Kasryo F., h. Nataatmadja, C.A. Rasahan, Yusdja. 1986. Profil Pendapatan dan Konsumsi Pedesaan Jawa Timur. Departemen Pertanian Bogor.
Kellner, Douglas (ed). 1994. Baudrillard: A Critical Reader. Cambridge USA: Blackwell.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011- 2025. Jakarta.
Kerlinger, F.N. 2004. Azas-asaz Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kim, C. 1996. Measuring Deviation From the Permanent Income Hypothesis. International Economic Review. Vol.37, No.1,pp. 205-224.
Kirk, Jand M.L., Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research. Bevrly Hills: Sage Publication.
267
Kirdt–Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr. 1993. Understanding Generalist Practice. Nelson-Hall Publishers: USA Chicago.
Kiriana I N. 2008. Yadnya Sebagai Praktik Pendidikan Humaniora Dalam Persepktif Metode Refleksitas Epistemik Pierre Bourdieu. Jurnal Agama Hindu, Pangkaje. Vol.VIII, No.2, Agustus 2008 Hal.150
Kochar, Anjini. 1999. Smoothing Consumption by Smoothing Income: Hours of Work Responses to Idiosyncratic Agricultural Shocks in Rural India. Review of Economics and statistics. 81 (91),pp. 50-61
Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambata.
___________. 2004. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koslowski P. 2006. The Economy of Happiness. International Centre for Economic Research. Working Paper Series No 15.May 2006. University Amsterdam, Belanda dan ICER.
Kuncoro, H. 1999. Dimensi Kualitatif Keberhasilan Perluasan Kesempatan Kerja. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 14. No. 1: 9-17.
___________. 2002. Upah Sistem Bagi Hasil Dan Penyerapan Tenaga Kerja. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.7.No.1. Hal:45-56.
Kuiper, F.B.J. 1996. Varuna and Vidusaka. Dalam Natalia Metha. Drama and Ritual of Early Hinduism. Kumpulan Artikel. Performing Arts Series oleh Richmod F.P.(editor). Notiol Banarsidass Pub. Ltd. Delhi.
Khairudin. 1990. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta : Nur Cahaya
Khan, Nisar A. And Saghir Ahmad Ansari. 2008. Application of new Institutional Economics to the problems of Develoment: A Survey, Abstracts Journal of Social and Economic Development 10 (1),pp. 1-32.
Khan, Habibullah, Chou Fee Seng and Wong Kwei Cheong. 1990. Tourism Multiplier Effects on Singapore, Annals of Tourism Research, Vol 17., pp.408-418.
Knack, Stephen and Paul J. Zak, 2001, Trust and Growth, Economic Journal 111(470): 295-321.
Krueger, Jr.N.F., From Keynes: Animal Spirits to Human Spirits?: Passion as The Missing Link in Entrepreneurial Intentions, Boise State University, http://ssrn.com/akbstract=1162337 download tgl 2 Juni 2010.
268
Knack, S. 2002. Social Capital, Growth and poverty: a Survey of Gross-Country Evidence in. The Role of Social Capital an Development. Cambridge University Press. Edited by Groat acet,C, and T.Van Bastelaer.
Knack, S. And Keefer, P. 1997. Does Social Capital Have Economic Poy off? A Cross-Country Investigation. Quartely Journal of Economics. 112(4),pp. 141-163.
Kraybill, David and Bruce Weber. 1995. Institutional Change and Economic Development in Rutal America. America Journal of Agricultural Economics. 77,pp. 1265-1270.
Layard, P.R.G. and A.A. Walter. 1978. Microeconomic Theory. New York: Mc Graw-Hill Book Co.
Laibson D.1997. Golden Eggs and Hyperbolic Discounting. Quarterly Journal of Economics. 62 (Mei 1997),pp. 443-477.
Leiderman, L. 1980. Macroeconometric Testing of the Rational Expectations and Structural Neutrality Hypothesis for tne United States. Journal of Monetary Economics.6,pp. 69-82.
Lewis,W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labour. Dalam A.N. Agarwala dan S.P. Singh (Ed.).The Economics of Underdevelopment. Oxford University Press. New York. Pp. 400-449.
Leontief, Wassily. 1985. Input-Output Economics, Oxford University Press, New York, 2nd ed. (1 st ed.:1966).
Lee, Martyn J. 2006. Budaya Konsumen Terlahir Kembali Arah Baru Modernitas dalam Kajian Modal Konsumen dan Kebudayaan (Terjemahan: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Lochart, W. 2005. Building Bringes and Bonds: Generating Social Capital in Secular and Faith-Based Poverty-to-Work Programs, Sociology of Religion, Vol. 66,No.1.pp.45-60.
Lindauer, John. 1971. Macroeconimics. Second Edition. Johwiley & Son Inc.N.Y.
Magetsari, Noerhadi. 1986. Local Genius dalam Kehidupan Beragama dalam Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Mangkoesubroto,dkk. 1998. Teori Ekonomi makro. Yogyakarta:STIE YKPN.
Mankiw Gregory.N. 2007. Makroekonomi. (Fitria Liza dan Imam Nurmawan, Pentj). Jakarta: PT. Penerbit Erlangga.
269
Mantra, I B. 1992. Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar:PT. Upada Sastra.
__________. 1995. Penentuan Sampel. Dalam: Singarimbun, M dan Effendi,S., Editor. Metode Penelitian Survei. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
___________. 1996. Landasan kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
___________. 2003. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Relajar.
Multifiah. 2011. ZIS untuk Kesejahteraan. UB Press. Malang.
Mahendra, A.A. Oka. 1992. Kepemimpinan dalam Ajaran Hindu, dalam Cendekiawan Hindu Bicara. (Editor Putu Setia). Jakarta: Yayasan Dharma Naradha.
Maluccio, J., L. Haddad dan J. May. 1999. Social Capital and Income generating in South Africa 1993-1998. IFPRi: FCND Discussion paper. No.71.
Mak, James. 1989. The Economic Countribution of Travel to State Economies. Journal of Travel Research, 28 (fall): pp. 2-5.
Maman Kh, U. 2006. Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Mannulang, M. 2001. Organisasi dan Manajemen. Yogyakarta: Liberty.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Cetakan Pertama 2011. Republik Indonesia.
Mas, Putra. 1988. Panca Yadnya. Jakarta: Yayasan Dharma saranti.
Mas’ud M. Dan Mahmud, M. 2004. Kewirausahaan. Penerbit Yogyakarta: AMP. YPKN.
Marhaeni, Anak Agung Ayu Istri. 1991. Alokasi Waktu Pekerja Wanita Pada Industri Garmen di Daerah Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan. (tesis) S-2, Studi Kependudukan Pasca Sarjana UGM, Tidak Diterbitkan.
Matthew Rabin. 1998. Psychology and Economics. Journal of Economic Literature, Univercity of California at Berkeley Vol.36 No.1(Mar 1998), pp. 11- 46. http://www.jstor.org/journals/aca.html.
270
Menard, Claudia. 2000. Editor. Institutional, Contracts and Organizations. Perspectives from New institutional Economics. Edward Eigar Publishing Limited.
Menard, Claudia and Mary M. Shirly. 2005. Editor. Handbook of New Institutional Economics. Springer the Netherlands.
Midgley, James. 2004. Pembangunan Sosial: Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Meyer, B. dan Sullivan, J. 2003. Measuring the well-being o the poor using Income and Cosumption, The journal of Human Resources. 38 (Special Issue on Income Volatility and Implications for food assistance Programs 1180-1220
Miller, Roger Le Roy. 2000. Teori Mikroekonomi Intermediate. (Haris Munandar, pentj). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Monografi Desa Abiansemal Kabupaten Badung. 1997. Monografi Desa Abiansemal Kabupaten Badung Tahun 2011.
McGee, R.W., Burke, E. And Adam Smith. 1992. Pioneers in the Field of Law & Economics Published in Liverpool Law Review, Vol.14, No.2 (1992),pp. 159-171. Barry University.
Mc.Callum, B.T. 1980. Rational Expectation and Macroeconomic Stabilisation Policy. Journal of Political Economy,12.pp. 716-746.
McLaughlin, Kenneth J. Dan Mark Bils. 2001. Interindustry Mobility and the Cyclical Uppgrading of Labor. Journal of Labor Economics, 9(1): 94-135.
Merton, Robert K. 1967. On Theoretical Sociology, Five Essays, Old And New, Including part One of Social Theory And Social Structure. New York: Collier-Macmillan Limited, London.
Modigliani,F. 1986. Life Cycle. Individual Thrift and the Wealth of Nations. American Economic Review. 76 (Juni 1986),pp. 297-313.
Moelyono Mauled. 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif antara Tuntutan dan Kebutuhan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Moore, K.A., L. Lippman, B. Brown. 2004. Indicator of Child Well-Bieng: The Promise for Positive Youth Development. Anuals of the American Academy of Political and Social Science, 591,pp. 125-145.
271
Morduch, Jonathan. 1995. Income smoothing and Consumption Smoothing. The Journal of Economic Perspective, 9(3): 103-114.
Morgan Kenneth. 1953. The Relegion of The Hindus. Reprint, 1996, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers private Limited.
Moleong, Lexy. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muellbauer, J. and Portes, R. 1978. Macroeconomic Model Eith Wuantity Rationing. Economic Journal.88,pp. 788-821.
Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Murphy, K. R. 1992. Is Halo a Property of a Rater, the Ratees, or the Specific Behaviors Observed? Journal of Applied Psychology. Juni 1992, pp. 494-500.
Murjana Y, I G.W. 2003. Strategi Pembangunan Ekonomi Provinsi Bali (Aspek Makro Kependudukan dan Ketenagakerjaan). Kerjasama Dewan Harian Daerah 45 Provinsi Bali, ISEI Cabang Denpasar-Bali, FE Unud, dan Ikayana Alumni Universitas Udayana. Denpasar: PT. Bali Post.
___________. 2006. Kepekaan Bisnis Orang Bali (Kasus Pengusaha Pandak Gede, Kabupaten Tabanan) dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Depbudpar RI dan Unud.
Murjana Yasa, IGW., A. A.A.I. Marhaeni, dan Bagus Ketut Wijaya. 1994. Pertumbuhan Penduduk, Angkatan Kerja dan Kegiatan Ekonomi Penduduk. Paper disampaikan pada Pelatihan Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Tik II Kerjasama Bappenas dengan Universitas Udayana di Denpasar. 11 Januari 1994 s/d 9 Pebruari 1994.
Murjana Yasa, IGW. 2009. Penangulangan kemiskinan Berbasis Partisipasi Masyarakat di Provinsi Bali. Journal Ekonomi dan Sosial (INPUT) FE Unud: hal.86-91.
Mustika, Made. 2011. Kenapa Orang Bali Kalah Telak dari Pendatang. Majalah Hindu Raditya. Juli 2011. No. 168.
Nasir, Moh. 1998. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nasution, S. 1993. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta : Bumi Aksara.
272
Narayan, D., dan Pritchett, L. 1999. Cent and Socialibility. Houschold Income and Social Capital in Tanzania. Economics Development and Culture Change 47 (4 Juli),pp. 871-79.
Nawawi, H. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Neary, J.P. and Stiglitz, J.E. 1983. Toward a Reconstruction of Keynesian Economics: Expectations and Constrained Equilibria. Quaterly Journal of Economics.98, Supplement, pp. 199-228.
Netra, Oka I Gusti Agung. 1994. Tuntutan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
North, Douglass. C. 1998. Understanding Institutions. Editor by Menard, Claudia. 2000. Edward Eigar Publishing Limited.
___________. 2004. Understanding the process of economic Change. Princeton, NJ. Princeton University Press.
Nicholson Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya (IGN. Bayu Mahendra dan Abdul Aziz, pentj). Jakarta: PT.Penerbit Erlangga.
Nicholas S.S. 1999. The Response of Household Consumption to Income Tax Refunds. American Economic Review 89 (September 1999),pp. 947-958.
Oppong, Christine and Katie Church. 1998. Population and Labour Policies Programe. A Field Guide to Research On seven Rules Of Women: Focussed Biographies, UNFPA.
Papagapitos, Agapitos, Robert Riley. 2009. Social Trust and Human Capital Formation. Journal of Economics. Letters 102,pp. 158-160.
Parimartha, I Gede. 2003. Memahami Desa Adat. Desa Dinas dan Desa Pakraman (suatu tinjauan Historis, Kritis) Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Udayana. tanggal 6 Desember 2003. Universitas Udayana. Tidak diterbitkan. Hal. 3-7
___________. 2006. Sistem Pemerintahan Desa di Daerah Bali dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Depbudpar RI dengan Unud.
Pramitha, P.A. P. 2009. Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor.Universitas Udayana Denpasar. Piramida Vol.5 No.1 Juli 2009 . ISSN1907-3275.
273
Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. dari Animisme EB Taylor Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C Geertz (alih bahasa Ali Noer Zaman). Yogyakarta: Qalam.
Parisada Hindu Dharma. 1972. Upadesa tentang Ajaran Agama Hindu. Denpasar.
Parker J. 1999. The Response of Household Consumption to Predictable Changes in Social Security Taxes. American Economic Review. 89 (September 1999),pp. 959-973.
Pearce, D.W. and J.J. Wardford. 1993. World Without End Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press.
Pemberton, James. 1997. Modelling and Measuring Income Uncertaninty in Life Cycle Models. Economic modelling. 14 (1997),pp. 81-98.
Pecpno, p. 1993. Tax Structure and Growth in a Model with Human Capital. Journal of public economics. 52,pp. 251-271.
Pendit, Nyoman S. 1993. Hindu dalam Tafsir Modern. Jakarta: Yayasan Dharma Sastra.
____________. 1994. Bhagavadgita. Jakarta: Dharma Nusantara..
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.
____________. 2003. Posrealitas: Realitas kebudayan dalam era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.
Piche, E. 1999. “Religious and Social Capital in Canada”. (Thesis) Submitted to Queen’s University Canada.
Pincus, Allen and Anne Minahan. 1973. Sosial Work Practice : Model and Methode. Illinois: Peacock Publisher Inc.
Pohjola M. 1987. Profit Sharing, Collective Bargaining and Employment. Journal of Institutional and Theoretical Economics. Vol.143: 334-42.
Portes, Alejandro. 1998. Social capital: Its Origins and Applications in modern Sociology. Annu. Rev. Social. 1998. 24:1.24. Departement of Sociology. Princeton university. Princeton, New Jersey.
Portes, A., dan Landolt, P. 2000. Social Capital: Promise and Pirfalls of its Role in Development. Journal of Latin American Studies. 32, 3,pp. 529-47.
Pitana, dkk. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: BP.
274
Pitana I Gede (editor). 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Penerbit BP.
Pudja, G.I Gede (editor). 1999. Bhagawad Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita.
Prabhupada, Sri Simad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2000. Bhagawad Gita Menurut Aslinya. Jakarta: Hanuman Sakti.
Pradnya,A.S.I Made, 2003.PHDI Mesti Bersinergi Sebagai Lembaga Tafsir Weda, http://hinduresearchcenter.blogspot. Com/2013 Diunduh tanggal 22 Januari 2012
Purwita, B. 1992. Upacara potong Gigi. Denpasar: Upada Sastra. Hal 5-10.
Purwanti P.A.P. 2009. Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekpor. Jurnal Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unud. Vol V No.1 Juli 2009. ISSN: 1907-3273
Putrawan, N. 2011. Komersialisasi Banten sebagai sebuah Kebutuhan Zaman. Dalam Majalah Raditya. No.166, Mei 2011, hal. 14-15. Denpasar: Yayasan Manikgeni Dharma.
Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. Princeton university Press. Princeton.
___________. 1995. The Prosperons Community: Social Capital and Public Life The American prospect.4, 13,pp. 11-18.
Puspa, Ida Ayu Putu Tary. 2010. Komodifikasi Upacara Ngaben Dalam Era Globalisasi di Desa Pakraman Sanur Denpasar (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Qomariah, A. 2009. “Pengaruh Modal Sosial Terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah Sidogiri Pasuruan Jawa Timur)” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
Quddus, Munir, Michel Goldsby, Mahmud Farooque. 2000. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. A Review Article. Eastem Economic Journal. 26, (1),pp. 87-98.
Quigley, Kevin F.F. 1996. Human Bonds and Social Capital. Review Essays. Trust: The Social Virtues and the Creation of prosperity. By Francis Fukuyama. Free Press, 1995,457, New York:pp. 333-341
275
Radhakrishnan, S. 2003. Relegion And Society. (Ed,Yuda Triguna), Denpasar: Widya Dharma.
Rahardja, P.M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro Ekonomi & Makro Ekonomi), Edisi Ketiga. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.
Ratna,K. Nyoman. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Masyarakat.Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Cetakan 1.
Raffo, C. Dan Ree Ves, M. 2000. Youth Transitions and Social Exclusion: Developments in Social Capital Theory. Journal of Youth Studies. 3,2,pp. 147-66.
Rawi, Ketut Gde Bambang. 2011. Kalender Bali 2011. Penerbit Bali Post. Denpasar. hal 1-10.
Rica, I Ketut. 2005. “Perubahan Pola Hubungan Pasisyan pada masyarakat Hindu Etnis Bali-Lombok” (tesis). Program Magister Brahma Widya Program Pascasarjana IHDN Denpasar.
Ranis.G. dan Fei,J.C.H., 1964. A Theory of Economic Development. American Economic Review. Vol.51. September 1961. hlm.533-565. dan Fei,J.C.H. dan Ranis.G. Development of Labour Surplus Economiy: Theory and Poicy. Irwin, Homewood.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern (Terjemahan Muhamad Taufik). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Reynolds, Loydg. 1993. Labour Economic and Labour Relation. New Delhi : Preatice-Hall of Idia. Private Limited.
Rivai, Abu (ed). 1996. Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Bali. Denpasar : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Robbins, D. 2000. Bourdien and Culture. Sage. London.
Robbins, Stephen P. 2007. Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat, hal. 174-184.
Roebyantho, H. & E. Padmiati. 2007. Pemberdayaan Jaringan Pranata Sosial dalam Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat di provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Panelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial 12 (03),pp. 33-44. http://www.google.com.
276
Sagir, Soeharsono. 1994. Kesempatan Kerja, Ketahanan Nasional Dan Pembangunan Manusia Seutuhnya. Alumni Bandung.
Saifuddin A. 2006. Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Salim, Emil. 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan. Jakarta: Intidaya Press.
Salemba Infotek. 2005. Pengembangan Analisis Multivariate Dengan SPSS 12. Jakarta: Jakarta.
Sallatang, MA. 1986. Kemiskinan dan Mobilitas Pembangunan (Makalah), Lembaga Penerbitan UNHAS, Ujung Pandang.
Samuelson dan Nordhaus. 2004. Ilmu Makroekonomi. (Gretta, Theresa Tanoto, Bosco Carvallo, Anna Elly, Penterj.) Jakarta: PT. Media Global Edukasi.
Samuelson P.A.dan W.D.Nordhaus. 1985. Macroeconomics McGraw-Hii Inc (Haris munandar.Pentj). Jakarta: Penerbi Erlangga.
Samuelson P.A., W.D. Nordhaus and Gary W.Yohe. 1985. Instructors Mannual to A Company. McGraw-Hill Inc. Terjemahan oleh Dany Hutabarat. 1987. Latihan/ Tanya Jawab Ekonomi.Jakarta: Penerbit Erlangga.
Samuelsson, Kurt, 1993, Religion ad Economic Action: The Protestant Ethic, the Rise of Capitalism, and the Abuses of Scholarship. Toronto: U. Toronto Press.
Sampson, R. J. Dan Pandenbush, S. W. 1999. Systematik Social Observation of Public Spaces: A New Look at Disorder in Urban Neryhb Our Hoods. American Journal of Socialogy, 105,3,pp. 603-51.
Sanderson, S.K.M. 2000. Sosiologi Makro Sebuah pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Farid wijidi dan S. Menno Penterj.) Jakarta. PT. Raja Grafindo Ed.2.
Santosa B. P. 2010. Kegagalan Aliran Ekonomi Neoklasikdan Relevansi Aliran Ekonomi Kelembagaan dalam Ranah Kajian Ilmu Ekonomi. Pengukuhan Guru Besar FE. Dalam Ilmu Ekonomi Universitas Diponogoro Semarang, 11 Marert 2010.
Santoso Thomas. 2007. Modal Sosial dan Kinerja Organisasi. Makalah Diadaptasikan dari Pidato Pengukuhan Guru Besar FE.Universitas Kristen Petra, Surabaya, 29 Mei 2004, dan Makalah Seminar
277
Nasional di Program Pascasarjana Undiknas Denpasar. 18 Agustus 2007.
Santoso, S. Budhi. 1994. Ketahanan Keluarga sebagai Basis Bagi Pembinaan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jurnal 40 Tahun 1994, Badan Litbang Kesejahteraan Sosial.
Santoso, Singgih. 2007. Structural Equation Modeling Konsep dan Aplikasi dengan AMOS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
____________. 2011. Structural Equation Modeling Konsep dan Aplikasi dengan AMOS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Saragih, M.H. 1982. Azas-Azas Organisasi dan management. Bandung: Tarsito.
Sardi Martin. 1983. Agama Multidimensional. Bandung: Alumni
Sajogno, Pudjiwati. 1997. The Impact of New Farming Technology on Women's Employment. Dalam IRRI (ed.), Women in Rice Farming. Aldershot: Gower Publishing Company Lemited.
Sarwono, Jonathan. 1980. Memadu Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif: Mungkinkah? http://www.jonathansarwono.info/memadu.pdf. Diunduh tanggal 11 Juni 2012.
Sen, Amartya. 1992. Development As Freedom. The New York: A Division of Random House Inc.
Sekaran, Uma. 1992. Research Methods for Business; A Skill Building Approach, second edition. New York: John Wiley dan Sons,Inc
Setiawina. Nyoman Djinar. 2003. Harapan Rasional dalam Ekonomi Makro. Denpasar: Panakom.
____________. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi (Jangkauan dan Metode), Denpasar: Panakom.
____________.2011. Sembilan Pilar Pedoman Hidup
http://djinar.wordpress.com/2011 Diunduh 22 Januari 2014
Sevilla. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan Amiludin Tuwu. Jakarta Pen. Univ. Indonesia (UI Press).
Sigit, H, 1985. Income Distribution and Household Characteristics. Bulletin of Indonesian Economic Studies 21: Hal. 51-67
Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT.Refika Aditama
278
Simanjuntak, Payaman J. 1985. ”The Market For Educated Labor in Indonesia Some Policy Approach. P. Hd” (dissertation) Boston University.
___________.1992. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Sippola, Aulikki. 2007. Developing Culturally Diverse organizations- a Participative and Empowerment-Based Method. Journal of Women in Management Review 22 (4),pp. 253-273.
Suacana, I Wayan Gede. 2005. Diferensiasi Sosial dan Penguatan Toleransi Dalam Masyarakat Multikulture, dalam Jurnal Kajian Budaya Indonesia. Jurnal of Culture Studies. Nomor 3.Volume 2. 2 Januari 2005
Suardika Pasek. 2006. Memahami Bali. Kebanggaan di Balik Kegundahan. Denpasar: Bali Age.
Subagiasta, I Ketut. 2006. Teologi, Filsafat dan Ritual Dalam Susastra Hindu, Surabaya: Paramita.
____________.2007. Susastra Hindu. Surabaya: Paramita
Subandi. 2011. Ekonomi Pembangunan. Bandung. Alfabeta
Sudarsono. 1989. Penetapan Sasaran Kesempatan Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol.4. No.1: 1-20.
Sudharta, Tjok Rai. 1993. Manusia Hindu dari Kandungan Sampai Perkawinan. Denpasar. Yayasan dharma Naradha. Hal.24.
Sudarma, I Wayan, 2010. Pengertian, Pengelompokan dan Tata upacara Membangun Pura. http://wwwhindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html Diunduk 22 Januari 2013
Sudibya, I Gede. 1997. Hindu dan Budaya Bali. Bunga Rampai Pemikiran. Denpasar: Penerbit BP.
Suharyadi dan Purwanto. S.K, 2003, Statistika Untuk Ekonomi & Keuangan
Modern, Buku 1, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Sudharsana, I.B. Putu. 2008. Ajaran Agama Hindu Filsafat Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.
279
___________.2004. Ajaran Agama Hindu, Makna Upacara Bhuta Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.
Suhardana, Komang. 2010. Kerangka Dasar Agama Hindu Tattwa-Susila-Upacara. Surabaya: Paramita.
Suharto, Edi. 2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Cetakan kedua. Bandung: Aditama.
Suhartini, S. dan S. Mardianto. 2001. Transfromasi Struktur Kesempatan Kerja Sektor Pertanian ke Non Pertanian di Indonesia. Majalah Agro-Ekonomika No.2 Oktober 2001. Jakarta: PERHEPI.
Suhartini, S. Hastuti dan Pantjar Simatupang. 1995. Review Program Penangulangan Kemiskinan. Proseding Pengembangan Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor. Hal 436-448.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sujipto, Nyoman. 1990. Peranan Wanita pada Desa di Bali. Studi Kasus di Banjar Puseh Kangin Desa Sanur. Kertas Kerja pada Lokakarya Nasional Peranan Wanita dalam Pembangunan Pedesaan. Cipayung.
Sumartana, I Made. 1997. Analisis Korelasi Jam Kerja Wanita Terhadap Pendapatan (Studi Kasus Pada Desa Siangan Kabupaten Gianyar). Majalah Ilmiah Ekonomi Profitika. Universitas Ngurah Rai Denpasar. Vol.2 No.2 Oktober 2010, ISSN 2085-4528.
Sumadi, Ketut. 2003. Ritual Agama Hindu Sebagai Daya Tarik Pariwisata Budaya Bali (Kasus Pelaksanaan Ritual di Desa Adat Kuta) Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
___________,2008. Memaknai 100 Tahun Kebangkitan nasional: Agama dan kearifan Lokal Dalam Membangun Keharmonisan Berbangsa dan Bernegara. Jurnal Agama Hindu, Pangkaja.Vol.VIII.No.2,Agustus 2008.Hal.125
Sunarto. 2008. Analisis Peningkatan Kesempatan Kerja Di Indonesia. Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing BPPT, Jakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol.10.1 April 2008. Hlm.48-53.
280
Sukarsa, I Made. 2002. Pengeluaran Keluarga Menurut Konsep Hindu. Fak.Ekonomi. Universitas Udayana.
___________,2003. Aliran Ekonomi Yadnya. http://www.sarad-bali.com.
___________,2004. Sisi Ekonomi Sebuah Upacara. Kumpulan Abstrak Makalah Utama pada Seminar Nasional Konservasi Tanaman Upakara Adat Bali. LIPI. Kebun Raya Bedugul Bali.
____________,2004. Tingkat Partisipasi Wanita pada Persiapan dan Pelaksanaan Upacara Ritual di Bali Selatan. Hasil Penelitian Universitas Udayana, tidak diterbitkan.
___________,2005. ”Pengaruh Pendapatan keluarga dan pemahaman agama terhadap pengeluaran Konsumsi ritual Masyarakat hindu di Bali ditinjau dari Berbagai Dimensi waktu” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
___________,2005b. Sisi Ekonomi Sebuah Upacara. Bulletin Studi Ekonomi.
Vol.10 No.2 Tahun 2005. ISSN 1410-4628.
___________,2005b. Ilmu Ekonomi dalam Perspektif Agama Hindu. Makalah disampaikan pada Seminar Ilmiah di Universitas Dwijendra Denpasar.
___________,2008. Efisiensi Dalam Pelaksanaan Upacara. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Upacara di Bali: Dilihat dari Dimensi Spiritual Ekonomi dan Budaya. tanggal 30 april 2008 di Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
___________,2009. Ekonomi Spritual (Makalah). Denpasar: FE. Universitas Udayana.
___________,2010. Spiritual Economi Dalam Era Globalisasi Ekonomi. Makalah disampaikan pada Seminar Regional:Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal. Tanggal 11 Juni 2010 di Universitas Udayana Denpasar.
Sukerti, Ni Nengah. 1989. ”Peranan Upacara Rajaswala dalam Manusia Yadnya di Kabupaten Klungkung” (skripsi). Institut Hindu Dharma. Denpasar.
Sukirno, S. 2002. Pengantar Teori makroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
___________,2004. Makro Ekonomi. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
281
___________,2008. Makro Ekonomi Modern. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafika Persada.
___________,2007. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar kebijakan. Jakarta: Prenada Media Group.
Sulistyaningsih, E. 1997. ” Dampak Perubahan Struktur Ekonomi pada Struktur Kebutuhan Kualitas Tenaga Kerja di Indonesia 1980-1990. Pendekatan Input- Output” (disertasi). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sundrum, R. M. 1973. Consumer Expenditure Patterns: An Analysis of the Socioeconomics Surveys. Bulletin of Indonesia Economic Studies (IX) 1,pp. 86-106.
Suparta. 2002. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia. Denpasar: Paramita.
Suriastini, Ni Wayan. 2010. ”Bertahan Hidup di Tengah Krisis, Studi dampak Jangka pendek dan menengah Tragedi Bom Bali I 2002-2005” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas GajahMada Yogjakarta.
Suyana Utama, Made. 2009. Statistika Ekonomi & Bisnis. Denpasar: Udayana University Press.
Surayin Ida Ayu Putu. 2002. Dewa Yadnya. Denpasar: Upada Sastra.
___________,2002. Melangkah ke Arah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya. Surabaya: Paramita.
Sutomo,S.1989. Income, Food Consumption and Estimation of Energy and Protein Intake of Households: A Study Based on The 1975 and 1980. Indonesia Sosial Accounting Matrices 25: Hal. 57-72
Soetrisno. 1982. Welfare State dan Welfare Society Dalam Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Solimun. 2004. Multivariate Analysis Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos. Fakultas MIPA Universitas Brawijaya. Malang.
Sovir. 2001. 108 Mutiara Weda. Surabaya: Paramita.
Soebandi, Ketut. 1981. Pura Kawitan/Pedharmaan Kahyangan Jagat. Denpasar: Guna Agung.
282
Sura, I Gde. 2000. Tata Susila Hindu. Makalah disampaikan pada Penataran Dosen Agama Hindu. Denpasar. 6 s.d. 11 Oktober 2000.
Suradi et. Al. 2003. Kehidupan Sosial Budaya Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Puslitbang Kesos.
Suwindia, I Gede. 2008. Relasi Antar Agama dan Kekerasan Sosial Di Indonesia. Jurnal Agama Hindu Pangkaja. IHDNVol.VIII.No.2. IHDN Denpasar.
Singgih S. 2005. Statistik Parametrik dengan SPSS, Jakarta: Elex Kompitindo.
Syukur, M. 2000. “Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumah Tangga Miskin” (disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Syahza, A. 2004. Dampak Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Multiplier Effect Ekonomi Pedesaan di Daerah Riau.Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru.
Skousen M, Sang Maestro. 2006. Teori-Teori Ekonomi Modern. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Prenada Media.
Spiegel, H.W. 1996. The Growth of Economic Thought. Duke University Press. London, pp. 465-466.
Schuller, T., Baron, S. Dan Field, J. 2000. Social Capital: A Review and Critique. Hal 1-138 dalam Barron, S., Field, J. Dan Schuller T. (eds), Social Capital: Critical Perspectives, Oxford University Press. Oxford.
Schumacher, E.F. 1973. Small is Beautiful. London: Penguin.
Smith, David dan Phill Evans. 2004. Das Kapital Pemula. Yogyakarta: Resist Book.
Smith, J.P., D. Thomas, K.Beegle, E. Frankenberg and G. Teruel. 2002. Wages Employment and Economic Shocks: Evidence from Indonesia. Journal of Population Economics, 15: 161-93.
Soegiri, H. 2011. Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Timur Kondusif, Dorong Penciptaan Peluang Kerja. Disnakertransduk Provinsi Jawa Timur. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis Vol 3. No.1. April 2012: 113-122. ISSN2087-1090.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta: CV Rajawali.
283
Soepono, P. 1993. Analisis Shift-Share: Perkembangan dan Penerapan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.8 No.1. Yogyakarta. Fakultas Ekonomi UGM.
___________,2001. Teori Pertumbuhan Berbasis Ekonomi (Ekspor): Posisi dan
Sumbangannya bagi Perbendaharaan Alat-alat Analisis Regional. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.16 No.1 Yogyakarta. Fakultas Ekonomi UGM
Soroso, Imam Zadjuli. 1992. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam. Pen.P3EI. FE. UII. dan Pen. Tiara Wacana
Yogya.
Sousa-Poza, A. Dan Henneberger, F. 2004. Analyzing Job Mobility with Job Turover Intentions: An International Comparative Study. Journal of Economic Sigue, 38(1): 113-137.
Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. 2006. Bhagavadgita. Alih bahasa penerjemah The Bhaktivedanta Book Trust International, Inc.
Stuart-Fox, David, J. 1987. “Pura Besakih A Sudy of Balinese Relegion and Society” (tesis), Australia: The Australian National University.
___________,987. Pura Besakih, Pura, Agama Dan Masyarakat Bali, (Terj.IB. Yadnya,2010), Denpasar: Pustaka Larasan.
Steuart, Ian, 1998, An Investigation into the Relationship between Religion and Economic Development, manuscript.
Stiglitz, Joseph E., Amartya Sen, an Jean-Paul Fitoussi. 2011. Mengukur Kesejahteraan Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur Yang Tepat Untuk Menilai Kemajuan. (Mutiara Arumsari dan Fitri Bintang Timur, Pentj). Bintaro: Marjin Kiri.
Swasono dan Sulistyaningsih. 1993. Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan di Indonesia. Jakarta: Izufa Gempita.
Taryoto, Andin H. 1995. Kemiskinan dan Program Penangulangan Lingkup Departeman Pertanian. Suatu Upaya Intropeksi. Proseding Pengembangan Hasil Pertanian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hal 481-489.
Tawney, Richard H., 1926, Religion and the Rise of Capitalism. New York: Harper andRow.
284
Terry, George R. 1986. Guide to Management (Prinsip-Prinsip Manajemen). Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Turner, Bryn S. 1966. Relegion and Social Theory. London: SAGE Publication Ltd.
Turner, Jonathan H. 1979. Functionalism. California: The Benjamin/Cumming Publishing Company.
Titib, I Made. 2001. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya Badan Litbang Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Kerjasama dengan Paramita.
___________,2009. (1) Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
___________,2007. Sinergi Agama Hindu dan Budaya Bali. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Internasional Sehari IHDN, Denpasar, 27 Maret 2007
___________,2012. Makna Upacara Ngenteg Linggih. Materi dharma Wecana dalam Upacara Ngenteg Linggih di Pura Trihita Karana. Berlin Jerman. 5 Mei 2012
Todaro, M.P. dan Stephen, C.S. 2006. Pembangunan Ekonomi. Alih Bahasa.Drs.Haris Munandar,Ma; Puji,A.I.Penerbit:Erlangga. Jakarta.
Thaler R.H., and Benartzi. 2004. Save More Tomorrow Using Behavioral Economic to Increace Employee Saving. Journal of Political Economy 112,pp. S164-S187.
Triguna, Yuda Ida Bagus. 1994. Pergeseran dalam Pelaksanaan Agama: Menuju Tattwa. Dalam Dinamika Masyarakat dan kebudayaan Bali. I Gede Pitana (Ed.). Denpasar: Bali Post. hal.8.
___________,2000. Perubahan Sosial dan Respon Kultural Masyarakat Hindu Bali. Widya Satya Dharma. Jurnal Kajian Hindu Budaya dan Pembangunan. Singaraja: STIE Satya Dharma.
___________,2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali. (Dibia. Nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali). Denpasar: Widya Dharma.
___________,2011a. Strategi Hindu. Jakarta: Pustaka Jurnal Keluarga.
___________,2011b. Mengapa Bali Unik. Jakarta: Pustaka Jurnal Keluarga.
285
Tridimas,G. 2000. The Analysis of Consumer Demand in Greece Model Selection and Dynamic Specification. Economic Modelling 17: Hal. 455-471
Udjianto, D.W. 2007. Sektor basis dan Pertumbuhan Ekonomi di Sleman Yogyakarta. Ekonomi dan Bisnis, Vol.9 No.2. Surabaya. Progran Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE.Universitas Surabaya.
Unwin, L. 1996. Employer-led Realities: Apprenticeship Past and Present. Journal of Vocational Education and Training,48,1,pp. 57-68.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Edisi Kedua. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Uppal, J.S., 1986, “Hinduism and Economic Development in South Asia,” International Journal of Social Economics, 13(3):20-33.
Van de Walles, Dominiqui, 1988. On the Use of the Susenas for Modelling Consumer Behaviour. Bulletin of Indonesian Economic Studies 24: Hal 107-121
Vincent, Gaspersz. 1997. Manajemen Bisnis Total dalam Era Globalisasi. Jakarta:PT.Gramedia. http://www.kajianpustaka.com/2012/10/ teori-pengertian-proses-faktor-persepsi.html.
Wadhwani, S. B. 1987. Some Macroeconomic Implications of profit Sharing: Some Empirical Evidence. Economic Journal.Vol.97: 171-83.
Wallis, J. dan Dolery, B. 2002. Social Capital and Local Government Capacity. Australian Journal of Public Administration,61,3,pp. 76-85.
Warde, A. Martens, L. Dan Oben, W. 1999. Consumption and the problem of variety: cultural comnivorousness, social distinction and dining out. Sociology,33,1,pp. 105-27.
Warde, A. dan Tampubolon, G. 2002. Social Capital. Networks and leisure Consumption. Sociological review,50,2,pp. 155-80.
Weber, Max, 1930, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. London, Unwin.
Worrall, Heather. 1992. Comparison of Tourism Multiplier in Scotland and Tayside, Dundee Discussion Papers in Economics. Number 35, Departement of Economics and Management, University of Dundee, Dundee. United Nations Departement for Economic and Social Information and Policy.
286
Waspodo,T.S., Suhanadji. 2004. Modernisasi dan Globalisasi: Studi Pembangunan Dalam Perspektif Global. Malang: Insan Cendekia.
Weale, M. 1990. Wealth Constraints and Consumer Behaviour Economic Modelling, April 1990:165-178.
Wiana I Ketut. 1994. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta: Manik Geni.
___________,1994. Yajna dan Bhakti dari Sudut Pandang Hindu. Denpasar: PT. Pustaka Manik Geni.
___________,2002. Menegakkan Makna Upacara Yajna dalam Memelihara Tradisi Veda. Denpasar:Bali Post.
___________,2000. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu I. Surabaya: Paramita.
___________,2004. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu II. Surabaya: Paramita.
Wietzman, M. L. 1983. Some Macroeconomic Implications of Alternative Compensation Systems. Economic Journal, Vol.93: 763-783.
Widarjono, Agus. 2010. Analisis Statistik Multivariat Terapan. UPP STIM YKPN
Wijanto, S.H. 2008. Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8.Konsep & Tutorial. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Wijaya, I Nyoman. 1991. Pembangunan dan Sosial Budaya Hindu. Perilaku Keagamaan Umat Hindu di Denpasar 1980-1991. Denpasar: Pustaka Sidhanta.
Wijaya, K. 2012. ”Manajemen Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Besakih Kabupaten Karangasem Provinsi Bali”(disertasi). Program Pasca Sarjana Denpasar, Universitas Hindu Indonesia.
Wijayananda, Ida Pinandita Mpu Jaya. 2005. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya: Paramita.
___________. 2006. Tatanan Upacara Ngenteg Linggih. Surabaya: Paramita.
Wikarman S. I Nyoman. 1999. Melaspas dan Ngenteg Linggih. Surabaya: Paramita.
287
Windia,W. 2007. Analisis Bisnis Yang Berlandaskan Tri Hita Karana, Wahana Edisi 55 tahun XXII, Agustus, Bukit Jimbaran IKAYANA.
Wirawan B. Dan Sukardja P. 2012. Pemanfaatan Potensi Sosial Budaya dalam Pembangunan Derah Bali: Pokok-Pokok Perdesaan. Makalah disampaikan dalam rangka Seminar Analisis Kritis Pembangunan Bali, 15 Agustus 2012 di Universitas Udayana. Denpasar.
Wiyana, I.B.Gede. 2012.Indik Karya Agung Mungkah dan Ngenteg Linggih http://ibgwiyasa.wordpress.com Diunduh 18 September 2012
Wiyasa, Putra, Ida Bagus. 1998. Bali dalam Perspektif Global. Denpasar: Upada Sastra.
Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward A Theoretical Synthesis and Policy Framework. Journal of Theory and Society,27,pp. 151-208 (6/13/2009,6:23)
White, M. D. 2007. Does Homo Economicus Have a Will. Mark D. In Barbara Montero and Mark D. White, Economics and the Mind, London: Routledge, 2007,pp. 143-158.
Wyatt, Thomas, and Chay Yue Wah. 2001. Perseption of QWL.: a Study of Singaporean Employees Development. Management Memo.p.8-17.
Yan Wang. 1995. Permanent Income and Wealth Accumulation A Cross-Sectional Study of Chinese Urban and Rural Households. Economic Development and Cultural Change.12:523-550.
Yuliarmi, N. N. 2011. ”Peran Pemerintah, Lembaga Adat dan Modal Sosial dalam Pemberdayaan IKM (Studi pada Industri Kerajinan di Provinsi Bali)” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas. Malang.
Yang, Shu-Cen and Cheng-Kiang Farn. 2009. Social Capital, Behavioral Control, andTacit knowledge sharing-A Multi-Informant Design. International Journal of Information Management 29,PP. 210-218.
Yuga, Surgana Ibed. 2008. Bali Tanpa Bali. Denpasar: Panakom Publishing.
Yu, Tony Fu-Lai. 2000. A New Perspective on the Role of the Government in Economic Development Coordination Under uncertainty. School of Economics and Management, University College, The University of New South wales, Canberra, Australia. International Journal of Economics 27,PP. 994-1012.
288
Yupardhi S.2013. Upakara Umat Hindu Bali Tradisi Yang Kaku, Hura-Hura dan Tidak Mendidik. Wahana. Edisi No.83.TH.XXIX Agustus 2013. ISSN:0853-4588
Zam, S. 2002. Penentuan Subsektor Unggulan untuk Pembangunan Ekonomi Kota Pekanbaru. (tesis) Tidak dipublikasikan. Yogyakarta
Zin, Razali Mat. 2004. Perception of Professional Engineers Toward Quality of Work Life and Organizational Commitment. Gadjahmada International Journal of Business. Vol.6.No.3.p.323-334.
Zoetmulder, P.J. 2000. Kamus Jawa Kuno. Pen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
289
Lampiran 1
Questioner Penelitian disertasi dengan judul
KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP
KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH
DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL
KABUPATEN BADUNG
NI NYOMAN SUNARIANI NIM:1090671012
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2012
290
Pengempon Pura Petunjuk Pengisian: 1. Pada kolom isian: Isilah dengan benar dan jujur 2. Pada kolom pilihan: coret yang tidak sesuai dengan kenyataan
BLOK I KETERANGAN PETUGAS Uraian Pencacahan
1. Nama Petugas
2. No. Responden
3. Tanggal Wawancara
4. Tanda Tangan
BLOK II PROFIL RESPONDEN PENGEMPON PURA
I. Identitas Pengempon Pura 1. Nama Kepala Rumah Tangga (KRT) : ................................................ ........... 2. Jenis Kelamin : laki-laki (1) perempuan (2) 3. Umur : .................tahun (dibulatkan kebawah) 4. Pendidikan : Tamat SD/SLTP/SLTA/Deploma/ 5. S1atau lebih 5. Pekerjaan : .............................................................. 6. Kabupaten/ Provinsi : Badung/ Bali 7. Desa/Kecamatan : Desa Abiansemal /Abiansemal 8. Banjar/Dusun/Lingkungan : Keraman / Aseman / Banjaran 9. Banyak Anggota Rumah Tangga (ART): .............................................Orang 10. Luas lahan yang dimiliki :............................................................................are
291
II. Karakteristik Rumah Tangga Pengempon Pura Untuk Pewawancara: 1. Tanyakanlah terlebih dahulu nama-nama Anggota Rumah Tangga
(ART). 2. Kedudukan dan hubungannya dengan Kepala Rumah Tangga (KRT)
setelah semua ART tercatat pada kolom 2 dan tulis nomer pilihan hubungannya dengan kolom-kolom seterusnya.
No (1)
Nama ART (2)
Hub dg KRT (3)
Jenis Kel L/P (4)
Umur (Th) (5)
Status (6)
Pendi dikan (7)
Pekerjaan (8)
Total Pendpt Rp/ bln (11)
Total Pengelur/Rp/ bln (12)
1 2 3 4 5 6 7
Keterangan Kolom (3): 1. Kepala RT, 2. Istri/Suami, 3. Anak kandung, 4. Anak Angkat,
5. Ibu/Bapak Kandung, 6. Menantu, 7. Cucu, 8. Saudara Kandung, 9. Keluarga lain, 10. Pembantu RT, 11. Orang lain
Kolom (6): 1. Kawin. 2. Belum Kawin. 3. Janda/Duda Kolom (7): 1. Belum/sedang sekolah 5. Tamat D-1 s.d. D-3c 2. Tamat SD/sederajat 6. Tamat S-1/sederajat 3. Tamat SLTP/sederajat 4. Tamat SLTAsederajat Kolom(8): 1.Petani, 2. Buruh/Tukang, 3. Peternak, 4.Pengerajin bambu/industri
rumah tangga/Dagang, 5. PNS, 6. Peg.Swasta, 7. Dokter, 8.Bidan, 9.Perawat, 10.Montir, 11.Pembantu RT, 12. Peg.BUMN, 13.TNI, 14. POLRI, 15. Seniman, 16.Pengacara, 17.Notaris, 18.Dosen, 19. Arsitektur, 20.Pensiunan.
292
BLOK III. INFORMASI DATA ORDINAL Jawablah berdasarkan manfaat Sosial-Budaya-Ekonomi dengan terlaksana ritual Mlaspas
dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, 20 April 2012, Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung (pada bulan penelitian).
No Pertanyaan
Tingkat Penilaian Jawaban Responden
1 STS/B
2 TS/B
3 CS/B
4 S/B
5 SS/B
Manfaat Sosial 1 Saya memahami makna kepercayaan dan keyakinan berkenaan
dengan pelaksanaan ritual. 2 Saya memahami manfaat makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih
berkenaan dengan pelaksanaan ritual. 3 Saya memahami makna mecaru berkenaan dengan pelaksanaan
ritual. 4 Saya memahami makna melis berkenaan dengan pelaksanaan
ritual. 5 Saya memahami makna nyegara gunung berkenaan dengan
pelaksanaan ritual. 6 Saya memahami makna banten berkenaan dengan pelaksanaan
ritual. 7 Saya memahami makna labda karya berkenaan dengan
pelaksanaan ritual. 8 Saya memahami makna kehidupan sosial berkenaan dengan
pelaksanaan ritual.
9 Saya memahami makna gotong royong berkenaan dengan pelaksanaan ritual
10 Saya memahami makna iuran pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual
11 Saya memahami makna bahan-bahan ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual
12 Saya memahami makna pengeluaran ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual
13 Saya memahami makna perubahan sikap berusaha berkenaandengan pelaksanaan ritual
14 Saya memahami makna multiplier effect berkenaan denganpelaksanaan ritual
15 Saya memahami makna perubahan sikap berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
Manfaat Budaya
16 Saya memahami makna kepercayaan dan keyakinan berkenaandengan pelaksanaan ritual.
17 Saya memahami manfaat makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
18 Saya memahami makna mecaru berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
19 Saya memahami makna melis berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
20 Saya memahami makna nyegara gunung berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
21 Saya memahami makna banten berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
Petunjuk Pengisian: 1. Responden pada kolom isian: Isilah jawaban dengan benar dan jujur 2. Responden dapat mengisikan tanda ( ) pada blok yang tersedia sesuai dengan
jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr pilih. 3)
293
22 Saya memahami makna labda karya berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
23 Saya memahami makna kehidupan sosial berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
24 Saya memahami makna gotong royong berkenaan dengan pelaksanaan ritual
25 Saya memahami makna iuran pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual
26 Saya memahami makna bahan-bahan ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual
27 Saya memahami makna pengeluaran ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual
28 Saya memahami makna perubahan sikap berusaha berkenaandengan pelaksanaan ritual
29 Saya memahami makna multiplier effect berkenaan denganpelaksanaan ritual
30 Saya memahami makna perubahan sikap berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
Manfaat Ekonomi 31 Saya memahami makna kepercayaan dan keyakinan berkenaan
dengan pelaksanaan ritual.
32 Saya memahami manfaat makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
33 Saya memahami makna mecaru berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
34 Saya memahami makna melis berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
35 Saya memahami makna nyegara gunung berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
36 Saya memahami makna banten berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
37 Saya memahami makna labda karya berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
38 Saya memahami makna kehidupan sosial berkenaan dengan pelaksanaan ritual.
39 Saya memahami makna gotong royong berkenaan dengan pelaksanaan ritual
40 Saya memahami makna iuran pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual
41 Saya memahami makna bahan-bahan ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual
42 Saya memahami makna pengeluaran ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual
43 Saya memahami makna perubahan sikap berusaha berkenaandengan pelaksanaan ritual
44 Saya memahami makna multiplier effect berkenaan denganpelaksanaan ritual
45 Saya memahami makna perubahan sikap berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Keterangan: Skor 1 = Sangat Tidak Baik/Setuju (STB/S) Skor 2 = Tidak Baik/Setuju (TB/S)
Skor 3 = Cukup Baik/Setuju (CB/S) Skor 4 = Baik/Setuju (B/S)
Skor 5 = Sangat Baik/Setuju (SB/S)
294
BLOK IV. INFORMASI DATA ORDINAL RESPONDEN PENGEMPON PURA
Pelaksanaan Ritual (X), Kesempatan Kerja (Y1), dan Kesejahteraan Masyarakat (Y2)
No Pertanyaan Tingkat Penilaian Jawaban
Responden 1
STB/S 2
TB/S 3
CB/S 4 B/S
5 SB/S
A. Pelaksanaan Ritual (X)
1 Saya memahami makna labda karya artinya kesuksesan, kelancaran dalam pelaksanaan ritual
2 Saya memahami ketulusiklasan masyarakat pengempon pura sebagai panitia/prawartaka karya dalam pelaksanaan ritual
3 Saya memahami keharmonisan/ketentraman sesama pengempon pura untuk bergotongroyong dalam pelaksanaan ritual
4 Saya memahami waktu yang dicurahkan oleh pengempon pura dalam pelaksanaan ritual
5 Saya memahami kemudahan untuk mendapatkan bahan-bahan ritual di sekitar lokasi ritual Abiansemal
B. Kesempatan Kerja (Y1)
6 Saya memahami keterkaitan bidang pekerjaan responden pelaksanaan ritual, misalnya usaha dagang bahan-bahan ritual
7 Saya memahami status pekerjaan responden dalam melakukan pekerjaan dari berusaha sendiri sampai dengan dibantu/memperkerjakan orang lain
8 Saya memahami curahan jam responden dalam mengerjakan pekerjaan, misalnya semakin lama jumlah jam kerja maka semakin baik pendapatan
9 Saya memahami kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai dengan permanen, misalnya dalam usaha dagang bahan ritual.
C Kesejahteraan Masyarakat (Y2)
10 Saya memahami peningkatan pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi/dibelanjakan
11 Saya memahami peningkatan pendidikan keluarga responden terakhir yang ditamatkan
12 Saya memahami peningkatan derajat kesehatan keluarga responden, misalnya semakin sehat maka semakin rendah frekuensi berobat
13 Saya memahami keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluarga pengempon pura, dan antar banjar/masyarakat desa.
Keterangan: Skor 1 = Sangat Tidak Baik/Setuju (STB/S), Skor 2 = Tidak Baik/Setuju (TB/S) Skor 3 = Cukup Baik/Setuju (CB/S), Skor 4 = Baik/Setuju (B/S), Skor 5 = Sangat Baik/Setuju (SB/S)
Petunjuk Pengisian esponden: 1. Untuk pertanyaan yang sudah disediakan pilihan jawabannya, berikan tanda
() sesuai dengan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr yakini. 2. Jawablah pertanyaan berikut ini dengan cara mengisi pada titik-titik yang
tersedia. 6)
295
No Petanyaan Jawaban 1 Berapa jam lama waktu ngayah per
hari laki-laki dan perempuan berkenaan dengan pelaksanaan ritual?
Laki-laki .................................................... jam Perempuan............................................ ........jam
2 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan pekerjaa sebagai pegawai/karyawan?
...........................................................................
3 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan pekerjaan rumah tangga?
...............................................................................
4 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan usaha? ............................................................................
5 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan pekerjaan sebagai petani?
................................................................................
6 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan kegiatan adat istiadat ?
...........................................................................
7 Dari mana saja sumber bahan-bahan ritual yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan ritual?
.........................................................................
8 Bagaimana perkembangan harga bahan-bahan ritual? ..............................................................................
9 Dari sekian banyak bahan –bahan yang diperlukan dalam ritual ini, mana bahan yang dianggap sulit diperoleh dalam ritual ini?
.............................................................................
10 Berapa pendapatan rumah tangga akibat pelaksanaan ritual? Rp....................................................................
11 Berapa pengeluaran umum dan pengeluaran ritual tingkat rumah tangga selama pelaksanaan ritual?
Rp ............................Rp.......................................
12 Bagaimana system kekerabatan/ kekeluargaan diantara pengempon pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual?
.........................................................................
13 Bagaimana interaksi sosial-budaya antara pengempon pura dengan masyarakat ?
...........................................................................
14 Bagaimana implikasi kehidupan sehari-hari masyarakat pengempon pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual?
............................................................................
SEKIAN TERIMAKASIH
296
BLOK I KETERANGAN PETUGAS Uraian Pencacahan
3. Nama Petugas
4. No. Responden
3.Tanggal Wawancara
5. Tanda Tangan
BLOK II PROFIL RESPONDEN PEMASOK
Identitas Pemasok Bahan Ritual:.......................................................................... a. Nama : ................................................ b. Jenis Kelamin : laki-laki (1) perempuan (2) c. Umur : .................tahun (dibulatkan kebawah)
d. Pendidikan : Tamat SD/SLTP/SLTA/Deploma/S1atau lebih
e. Usia Usaha Pemasok : .................tahun
f. Alamat Usaha : .....................................................................
g. Pekerjaan : ...........................
h. Kabupaten/ Provinsi : ........................./ Bali
i. Desa/Kecamatan : Desa............................. / .......................
j. Banyak Anggota Rumah Tangga : .............................................Orang
297
BLOK V. INFORMASI DATA ORDINAL RESPONDEN PEMASOK BAHAN RITUAL
Pelaksanaan Ritual (X), Kesempatan Kerja (Y1), dan Kesejahteraan Masyarakat (Y2) dalam bulan penelitian.
No Pertanyaan
Tingkat Penilaian Jawaban Responden
1 STB/
S
2 TB/S
3 CB/
S
4 B/S
5 SB/S
A. Pelaksanaan Ritual (X) 1 Saya memahami makna labda karya artinya kesuksesan,
kelancaran dalam pelaksanaan ritual
2 Saya memahami ketulusiklasan masyarakat pengempon pura sebagai panitia/prawartaka karya dalam pelaksanaan ritual
3 Saya memahami keharmonisan/ketentraman sesama pengempon pura untuk bergotongroyong dalam pelaksanaan ritual
4 Saya memahami waktu yang dicurahkan oleh pengempon pura dalam pelaksanaan ritual
5 Saya memahami kemudahan untuk mendapatkan bahan-bahan ritual di sekitar lokasi ritual Abiansemal
B. Kesempatan Kerja (Y1)
6 Saya memahami keterkaitan bidang pekerjaan responden pelaksanaan ritual, misalnya usaha dagang bahan-bahan ritual
7 Saya memahami status pekerjaan responden dalam melakukan pekerjaan dari berusaha sendiri sampai dengan dibantu/memperkerjakan orang lain
8 Saya memahami curahan jam responden dalam mengerjakan pekerjaan, misalnya semakin lama jumlah jam kerja maka semakin baik pendapatan
9 Saya memahami kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai dengan permanen, misalnya dalam usaha dagang bahan ritual.
C Kesejahteraan Masyarakat (Y2)
10 Saya memahami peningkatan pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi/dibelanjakan
11 Saya memahami peningkatan pendidikan keluarga responden terakhir yang ditamatkan
12 Saya memahami peningkatan derajat kesehatan keluarga responden, misalnya semakin sehat maka semakin rendah frekuensi berobat
13 Saya memahami keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluarga pengempon pura, dan antar banjar/masyarakat desa.
Petunjuk Pengisian Bagi Responden: 1. Untuk pertanyaan yang sudah disediakan pilihan jawabannya, berikan tanda () sesuai
dengan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr yakini. 2. Jawablah pertanyaan berikut ini dengan cara mengisi pada titik-titik yang tersedia.
298
Keterangan: Skor 1 = Sangat Tidak Baik/Setuju (STB/S) Skor 2 = Tidak Baik/Setuju (TB/S)
Skor 3 = Cukup Baik/Setuju (CB/S) Skor 4 = Baik/Setuju (B/S) Skor 5 = Sangat Baik/Setuju (SB/S)
No Petanyaan Jawaban 1 Berapa jam bekerja setiap hari
sebagai pemasok bahan-bahan ritual?
.................................................................... ........jam
2 Dalam sebulan berapa hari bekerja?
............................................................................hari
3 Berapa jumlah tenaga kerja yang ikut membantu sebagai pemasok?
............................................................................orang
4 Bagaimana cara mengatur waktu antara rumah tangga dengan usaha?
.................................................................................
5 Bagaimana cara mengatur waktu antara adat dengan usaha? ...................................................................................
6 Bagaimana cara/sistem memperoleh bahan-bahan ritual? .......................................................................................
7 Dari mana saja sumber-sumber bahan ritual yang dijual selama ini?
.................................................................................
8 Bagaimana perkembangan harga bahan-bahan ritual? .................................................................................
9 Dari sekian banyak bahan –bahan ritual yang dijual, mana bahan yang dianggap sulit diperoleh sebagai pemasok?
.................................................................................
10 Berapa rata-rata omset penjualan per bulan? Rp..................................................................................
11 Berapa rata-rata pendapatan per bulan?
Rp.................................................................................
12 Berapa rata-rata pengeluaran per bulan?
Rp.............................................................................
13 Bagaimana interaksi sosial-ekonomi antara pemasok dengan pengempon pura?
.................................................................................
14 Bagaimana implikasi kehidupan sehari-hari pemasok ? ...............................................................................
SEKIAN TERIMAKASIH
299
Lampiran 2
DUDONAN KARYA MLASPAS, MUPUK PEDAGINGAN, NGENTEG LINGGIH, MAPEDUDUSAN ALIT, WARASPATI KALPA RING PURA PASEK PRETEKA BR. KERAMAN, DESA ABIANSEMAL, KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN
BADUNG, TGL: 20 APRIL 2012 NO RAHINA DAUH GENAH UPACARA UPAKARA PEMUPUT WALI
1 Buda Kliwon,
7 Maret 2012
19.00 Pura Nunas Ica Munggah: Pras daksina
Pemangku Pura Pasek
-
2 Redite Wage 11 Maret 2012
15.00 Pura Ngawit nanceb salon Pengulapan cenik, Prasista
Pemangku Pura Pasek
-
3 SomaUmanis, 2 April 2012
14.00
Pura Netegang/ Melaspas Wewangunan
Surya, Ring Ajeng: Pregembal, Bebangkit grombong
Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman, Abiansemal
Blaganjur
4 Sukra Kliwon, 6 April 2012
08.00
Pura Nunas Tirta: Pura Tirta Empul Tampaksiring, Pura Sidekarya Denpasar, Pura Puncak Lempuyang Karangasem, Pura Blatung Ds Rendang Karangasem, Pura Besakih, Pura Dasar Buana , Pura Gegel Klungkung, Pura Silayuti Padang Bay, Pura Kahyangan Tiga, Pura Taman Sari Ds Abiansemal.
Daksina gede, Pengulapan pengambean
Pemangku Pura Pasek
-
5 Saniscara Umanis, 7 April 2012
08.00 17.0
0
Pura 1.Ngingsah 2.Mendak Pengenteg
Surya, Ring Ajeng: pregembal 2 soroh, ayaban, pengulapan 2 soroh
Ida Pedanda Griya Agung, Br. Aseman, Abiansemal
Blaganjur
6 Redite Paing, 8
April 2012
08.00
Pura 1.Mecaru Rsi Gana, 2.Nyimpen/ Mulang Pedagingan 3.Mendak Siwi
Surya, Ring Ajeng: Bebangkit grombong, Caru siap lima, caru Rsi Gana
Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman, Abiansemal
Gong negak Br Keraman,Blaganjur,Tari Rejang Dewa, Tari Sutri
7 Soma Pon,
9 April 2012
07.00
Pura 1.Melasti ring segara Seseh, 2.Mendak Agung, 3.Mecaru siap Lima
Surya, Ring Ajeng: Bebangkit grombong, Caru siap lima, Daksina gede, bebek selem,Catur,Pis Satakan
Ida Pedanda Griya Samping, Br Keraman, Abiansemal
Ida Pedanda Griya Lebah
Gong negak Br Keraman Blaganjur, Tari Rejang Dewa
300
8 Buda Kliwon, 11 April
2012
15.00 Pura Mepada Wewalungan Surya, Ring Ajeng: pregembal
Ida Pedanda Griya Jumpayah, Mengwitani, Badung
Gong Alit Br.Aseman Abiansemal
9 Waraspati Umanis, 12 April 2012
15.00 Pura 1.Mebat, Caru 2.Memben Caru
Surya, Ring Ajeng: pregembal
Ida Pedanda Griya Kajeng, Br Keraman, Abiansemal
Blaganjur
10 Sukra Paing,
13 April 2012
07.00 Pura Mecaru Gede (Tawur)
Dasar: siap lima-Kangin, Angsa-Kauh, Kambing- Kaje, Celeng Selem- Kelod bebek bulu gula-Tengah, banyak-Kelod kangin, bebek bulu sikep-kelod kauh, cicing-Pemali 5 di Tawur. Panggung ring jabe: bebangkit cagak 1, catur 1, Sor Surya: bebangkit grombong, caru siap lima, bebek putih. Ring Pedudusan: caru,bebangkit cagak, bebangkit grombong. Ring Ajeng Ratu: bebangkit grombong.
1. Ida Pedanda Griya Agung (SIWA), Br Aseman. 2. Ida Pedanda Griya BUDA Tegal Jadi, Tabanan 3. Sri Bujangga Griya Sembung,Mengwi
1.Wayang Lemah, Griya Meranggi Br.Beten Buah. 2.Tari Baris Gede, Br.Beten Buah. 3.Tari Topeng,Griya Dalang Br.Banjaran. 4.Tari Sutri Br.Keraman Pura Pasek. 5.Tari Rejang Dewa: anak Pura Pasek. 6. Gong Gede Br Banjaran, Gong negak Br.Aseman. 7.Tukang Kidung Br. Aseman 8.Tabuh Rah tiga seet.
11 Anggara Umanis, 17 April
2012
08.00-17.00
Pura Ngayah - Pengempon Pura Lanang-Istri.
-
12 Buda Paing, 18 April 2012
07.00 16.0
0
Pura 1.Mebat 2.Mepada Karya
Surya ajeng, pregembal
Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman.
Blaganjur Br. Keraman
13 Warespati Pon,
19 April 2012
07.00 16.0
0
Pura 1.Mebat 2.Memben Karya
- Surya ajeng, pregembal
- Ida Pedanda Griya Kajeng, Br Keraman
Gong Negak Alit, Br Aseman Abiansemal
14 Sukra Wage
20 April 2012
07.00
Pura Puncak Karya -Di panggung pura: bebangkit cagak 1, bebangkit grombong1. -Di Padma: Pregembal 3. -Di Ratu Nyoman: pregembal. -Di Bale Pelik: munggah catur. -Di Bale Kulkul: pregembal. -Di Sor Piodalan: bebangkit grombong, caru
1. Ida Pedanda Griya Agung (SIWA), Br Aseman. 2. Ida Pedanda Griya BUDA Tegal Jadi, Tabanan. 3. Ida Pedanda Griya Jumpayah, Mengwitani, Badung.
1.Wayang Lemah, Griya Meranggi Br.Beten Buah. 2.Tari Topeng,Griya Dalang Br.Banjaran. 3.Tari Sutri Br.Keraman Pura Pasek. 4.Tari Rejang Dewa: anak Pura Pasek. 5. Gong Gede Br Banjaran. 6.Tukang
301
siap lima, bebek blang kalung.
Kidung Br. Aseman 7.Pendet Lanang-Istri, 8.Megoya
15 Saniscara Kliwon, 21 April 2012
19.00 Pura Nganyarin - Pemangku Pura Pasek
1.Tari Panyebrama 2.Tari Sekar Jagat 3.Tari Cilinaya 4.Tari Blibis 5.Tari Condong 6.Oleg Temblilingan. 7.Gong Negak Br.Aseman
16 Redite Umanis, 22 April 2012
19.00 Pura Nganyarin - Pemangku Pura Pasek
Prembon Gong Kokar (Tari Topeng Jauk, Barong, Tari Sisiye, Galuh, Ratna mengali, tari penasar).
17 Soma Paing,
23 April 2012
14.00 Pura 1. Nyeduk 2. Mekebat daun 3. Ngebek 4. Bangun Ayu
-Bebangkit grombong 3 -Ayaban Tumpeng 7.
Ida Pedanda Griya Jumpayah, Mengwitani, Badung.
Blaganjur Br.Perang.
18 Anggara Pon,
24 April 2012
19.00 Pura Nganyarin - Pemangku Pura Pasek
Wayang
19 Buda Wage,
25 April 2012
19.00 Pura Nganyarin - Pemangku Pura Pasek
Joged
20 Warespati Kliwon, 26 April
2012
07.00
Pura Nyegara Gunung 1.Ring Mumbul, Blahkiuh: daksine gede 3, daksine cenik 10. 2.Ring Bukit Sari,Sangeh: pregembal 2, Ayaban, Prasdaksine, pengulapan.
1.Pemangku Pura Mumbul Blahkiuh. 3. Pemangku Pura Pasek.
Blaganjur Br. Keraman Blaganjur Br. Keraman
21 Sukra Umanis, 27 April
2012
14.00 Pura Nyineb -Di panggung pura: bebangkit grombong1. -Di Ajeng: bebangkit grombong1
Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman.
Gong Istri Br,Keraman.
Abiansemal, 1 Pebruari 2012
Ketua, Sekretaris I NYOMAN SUBUR NI MADE ROTINI
302
Lampiran 3
Data Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pra Riset No. Pelaksan Ritual (PR)
Kesempatan Kerja (KK) Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Resp pr1 pr2 pr3 pr4 pr5 kk.1 kk.2 kk.3 kk.4 km.1 km.2 km.3 km.4
1 4 5 5 4 4 3 4 4 3 4 4 5 5
2 5 4 5 4 3 3 4 4 3 2 4 3 4
3 4 4 5 4 3 3 4 5 4 2 4 4 5
4 5 4 5 4 4 3 4 4 4 3 4 4 5
5 4 4 5 5 3 3 4 4 3 2 4 4 5
6 5 4 5 4 4 4 4 4 3 3 4 4 5
7 5 4 5 4 3 4 4 4 3 2 4 4 4
8 5 4 5 5 3 4 4 3 3 2 4 4 5
9 4 4 5 4 3 3 4 4 4 3 4 4 5
10 5 4 5 4 4 4 4 3 4 4 4 3 5
11 5 4 5 4 4 3 4 4 4 2 4 4 5
12 4 5 5 5 4 4 4 5 4 3 5 4 5
13 5 4 5 4 4 3 4 4 3 2 4 4 5
14 4 4 5 4 4 3 4 4 3 2 4 4 5
15 5 4 4 4 3 3 5 4 3 3 5 3 4
16 5 4 5 4 3 4 4 4 4 2 4 4 5
17 4 4 5 4 3 3 5 4 3 3 4 5 5
18 4 5 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 5
19 4 4 5 4 3 3 4 5 4 2 4 4 4
20 5 4 5 4 4 3 4 4 4 3 5 4 5
21 4 4 5 4 4 4 4 4 3 3 5 4 4
22 5 4 5 4 3 3 4 5 4 2 4 4 5
23 5 4 4 4 3 3 4 4 3 3 4 5 4
24 4 5 5 4 3 3 4 4 4 3 4 4 4
25 5 4 4 4 4 3 5 4 3 3 5 4 5
26 4 3 3 3 5 4 4 4 5 5 4 4 3
27 3 3 3 3 4 4 5 4 4 4 4 4 4
28 4 3 3 3 5 5 5 5 4 4 5 4 4
29 4 3 3 3 4 4 5 4 4 5 5 4 3
30 4 4 3 3 4 5 4 5 5 4 4 5 3
Sumber: Data Primer Hasil Pnelitian, 2012
303
Lampiran 4
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pelaksanaan Ritual (X) Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100,0 Excludeda 0 ,0 Total 30 100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's
Alpha N of Items
,758 5
Item-Total Statistics Scale Mean
if Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if
Item Deleted
pr1 16,80 3,269 ,356 ,771 pr2 17,23 3,082 ,524 ,716 pr3 16,70 2,079 ,733 ,628 pr4 17,30 2,700 ,790 ,627 pr5 16,90 3,541 ,306 ,779
304
Lampiran 5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesempatan Kerja (Y1)
Case Processing Summary N %
Cases Valid 30 100,0 Excludeda 0 ,0 Total 30 100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's
Alpha N of Items
,660 4
Item-Total Statistics Scale Mean
if Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if
Item Deleted
kk1 11,97 1,275 ,501 ,560 kk2 11,53 2,051 ,323 ,664 kk3 11,47 1,775 ,486 ,577 kk4 11,93 1,375 ,515 ,539
305
Lampiran 6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesejahteraan Masyarakat (Y2)
Case Processing Summary N %
Cases Valid 30 100,0 Excludeda 0 ,0 Total 30 100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics Cronbach's
Alpha N of Items
,752 4
Item-Total Statistics Scale Mean
if Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if
Item Deleted
km1 12,80 1,890 ,633 ,648 km2 12,83 2,764 ,423 ,756 km3 12,87 2,533 ,513 ,715 km4 12,50 2,052 ,653 ,632
306
Lampiran 7 Identitas Responden Pengemon Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten
Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian)
No Pengempon Pura Jenis Klm Umur (Th)
Pddk Pekerjaan
Pendpt RT/Y (Rp juta)
Pengeluar Umum/C1 (Rp juta)
Pengeluar Ritual/C1
(Rp juta)
1 Nyoman Griya laki-laki 60 SMP Petani Pengg 4,20 1,90 2,30 2 Made Sujana laki-laki 35 SMA Peg.Swasta 4,60 2,30 2,20 3 Wayan Parek laki-laki 63 SD Petani Pengg 4,50 2,10 2,20 4 Wayan Wiyana laki-laki 35 SMA Wiras/Dag 5,20 2,20 2,50 5 Nyoman Wirayana laki-laki 29 SMA PNS 5,60 2,20 3,20 6 Wayan Bagiastra laki-laki 43 SMA Wiras/Dag 5,50 2,60 2,50 7 I Nyoman Subur laki-laki 55 SD Buruh 4,40 2,10 2,20 8 Made Jiopani laki-laki 28 SMA Peg.Swasta 4,50 2,10 2,20 9 Wayan Gendra laki-laki 44 SMA Peg.Swasta 6,40 2,60 3,50 10 Wayan Purna laki-laki 43 SMP Peg.Swasta 5,20 2,50 2,50 11 Wayan Murya laki-laki 49 SMA PNS 6,50 3,10 3,20 12 Nyoman Bagia laki-laki 48 SMA PNS 5,20 2,50 2,50 13 Pt.Herman Suryadi laki-laki 28 D3 Peg.Swasta 4,60 2,30 2,20 14 Wayan Sumadi laki-laki 45 SD Buruh 4,20 2,00 2,20 15 Nengah Tantera laki-laki 43 SD Buruh 4,10 2,00 2,10 16 Wayan Marayasa laki-laki 29 SMP Buruh 4,20 2,10 2,10 17 Made Saskara laki-laki 30 SMP Peg.Swasta 4,50 2,10 2,10 18 Wayan Loka laki-laki 70 SD Petani Pengg 4,10 2,00 2,10 19 Ketut Marya laki-laki 66 SD Wiras/Dag 4,50 2,20 2,20 20 Nyoman Suarta laki-laki 55 SD Wira/Dag 4,40 2,10 2,20 21 Ketut Sikajaya laki-laki 38 SMP Wiras/Dag 4,50 2,10 2,30 22 Made Kartu laki-laki 64 SD Petani Pengg 4,20 2,00 2,10 23 Wayan Sudana laki-laki 41 SMP Wiras/Dag 4,50 2,20 2,20 24 Made Pania laki-laki 68 SD Wiras/Dag 4,30 2,00 2,20 25 Wyn Latera laki-laki 35 SMP Wiras/Dag 4,60 2,20 2,20 26 Nyoman Todjan laki-laki 57 SMA PNS 4,90 2,50 2,30 27 Ketut Windra laki-laki 50 SMP Peg.Swasta 4,50 2,20 2,20 28 Made Arianta laki-laki 32 SD Wiras/Dag 4,30 2,20 2,10 29 Ketut Budastra laki-laki 41 SMA Peg.Swasta 4,50 2,20 2,20 30 Nyoman Dana laki-laki 65 SD Wira/Dag 4,50 2,30 2,20 31 Nyoman Jingga laki-laki 60 SD Buruh 4,50 2,20 2,20 32 Wyn Suartawan laki-laki 31 SMP Wiras/Dag 4,60 2,30 2,20 33 Made Arka laki-laki 51 SD Peg.Swasta 4,50 2,20 2,20 34 Wayan Suardana laki-laki 38 SMA Buruh 4,20 2,00 2,10 35 Ktut Jabra laki-laki 60 SD Buruh 4,30 2,10 2,10 36 Wyn Wirawan laki-laki 37 SMA Wiras/Dag 7,60 3,50 3,50 37 Made Sukera laki-laki 37 SMP Peg.Swasta 4,40 2,10 2,20 38 Ketut Gede Arianta laki-laki 23 SMP Peg.Swasta 4,50 2,30 2,20 39 Ketut Nike laki-laki 55 SD Petani Pengg 4,30 2,20 2,10 40 Made Winata laki-laki 33 SMA Peg.Swasta 4,50 2,20 2,20 41 Wayan Mustika laki-laki 55 SD Petani Pengg 4,50 2,20 2,20 42 Pt Mujana laki-laki 35 SMA Peg.Swasta 4,40 2,10 2,20 43 Made Sura laki-laki 60 SD Petani Pengg 4,20 2,10 2,10 44 Pt Suratmaja laki-laki 27 SMA Peg.Swasta 4,40 2,20 2,10 45 Wayan Suka laki-laki 43 SMA PNS 5,80 3,20 2,50 46 I Md Sukarta laki-laki 57 SD Wiras/Dag 4,20 2,10 2,10 47 Gd Widya Santana laki-laki 35 SMA Peg Swasta 4,40 2,30 2,10 48 Wayan Krisna laki-laki 45 D3 PNS 5,60 3,20 2,20 49 Made Suarjana laki-laki 44 SD Buruh 4,20 2,10 2,10 50 Wayan Lodra laki-laki 48 SD Buruh 4,10 2,00 2,10 51 Wayan Gryawan laki-laki 60 SD Buruh 4,30 2,20 2,10 52 Ketut Patra laki-laki 60 SD Petani Pengg 4,10 2,00 2,10 53 Nym Suyana laki-laki 34 SMA Peg.Swasta 4,60 2,50 2,20 54 Made Wartana laki-laki 38 SMA Peg.Swasta 5,20 2,90 2,30 55 Wayan Arsana laki-laki 35 SMP Wiras/Dag 4,50 2,20 2,20 56 Ketut Ngakan Yasa laki-laki 30 SMA Peg,Swasta 4,80 2,60 2,20 57 I Wayan Suarta laki-laki 46 SMA PNS 5,40 2,90 2,40 58 Made Sudarsana laki-laki 33 SMA Peg.Swasta 5,20 2,90 2,20 59 Wayan Jawi laki-laki 50 SMP Wiras/Dag 4,50 2,30 2,20 60 Made Dwijaya laki-laki 25 SMA Wira/Dag 5,40 3,10 2,30 61 Made Sukadana laki-laki 38 SMA Peg swasta 4,60 2,40 2,20 62 Ketut Sada laki-laki 60 SD Petani Pengg 4,20 2,10 2,10 63 Made Sudirta laki-laki 37 SMA PNS 4,50 2,.30 2,20
307
64 Nyoman Gurya laki-laki 42 SMP Wiras/Dag 4,40 2,30 2,10 65 Wayan Seneng laki-laki 36 SMP Wiras/Dag. 5,50 3,10 2,40 66 Md D.Wiarta laki-laki 48 S1 PNS/guru 6,50 3,20 2,50 67 Kt Tapayasa laki-laki 52 S1 PNS/guru 6,60 3,40 2,50 68 Md Adi Gegel S. laki-laki 47 S1 PNS 6,50 3,50 2,50 69 Md Yuwana laki-laki 47 SMA Peg Swasta 5,50 3,00 2,50 70 Md Suadnyana laki-laki 36 S1 Peg.Swasta 5,50 2,60 2,50 71 Wyn Sumantera laki-laki 70 SD Wiras/Dag 5,60 3,10 2,50 72 Putu Nata laki-laki 40 SMA Peg.Swasta 5,40 3,10 2,20 73 Wyn Sutrisna laki-laki 46 SMA Wiras/Dag 4,80 2,40 2,20 74 Wyn Lanus laki-laki 55 SD Petani 4,60 2,30 2,20 75 Wyn Darma laki-laki 46 SMA Peg.Swasta 4,70 2,50 2,20 76 Nym Suarka laki-laki 39 SMK Peg.Swasta 4,60 2,40 2,20 77 Md Suana laki-laki 46 SMP Buruh 4,80 2,50 2,20 78 Nym Medra Tenaya laki-laki 46 SMA Peg.Swasta 4,80 2,60 2,20 79 Wyn Puger laki-laki 50 D3 Peg.Swasta 5,10 2,80 2,20 80 Wyn Suteja laki-laki 48 SD Wira/Dag 5,20 2,90 2,20 81 Wyn Surata laki-laki 48 SD Petani 4,60 2,20 2,10 82 Md Sunarya laki-laki 30 SMP Petani 4,50 2,30 2,20 83 WynTumbuh laki-laki 50 SMP Petani 4.40 2,30 2,10 84 Wyn Pasek laki-laki 49 SMP Petani 4,60 2,40 2,10 85 Wyn Sriadi laki-laki 56 SD Petani 4,50 2,30 2,20 86 Md Sulasih laki-laki 45 SMP Petani 4,00 1,90 2,10 87 WynLeseg laki-laki 58 SD Petani 4,20 2,10 2,10 88 Md Jabri laki-laki 55 SD Petani 4,10 2,00 2,10 89 Wyn Kerta laki-laki 46 SD Petani 4,40 2,20 2,20 90 Wyn Widiana laki-laki 50 SMP Wiras/Dag 4,40 2,30 2,10 91 Md Darma laki-laki 58 SD Wiras/Dag 4,80 2,60 2,20 92 Nym Werna laki-laki 46 SMP Wiras/Dag 5,00 2,90 2,10 93 Wyn Lasmana laki-laki 59 SD Petani 4,10 2,00 2,10 94 Wyn Lama laki-laki 55 SD Petani 4,60 2,50 2,10 95 MD Menuh laki-laki 61 SD Petani 4,30 2,20 2,10 96 dr. Pt Purna Dinata laki-laki 51 S1 PNS 7,50 4,50 3,00 97 Md Rawi laki-laki 56 SMP Wiras/Dag 4,70 2,50 2,20 98 Wyn Manik laki-laki 58 SD Wiras/Dag 4,50 2,40 2,10 99 Md Mega laki-laki 50 SD Petani 4,30 2,20 2,10
100 Md Winata laki-laki 39 SMP Petani 4,40 2,30 2,10 101 Nym Dwipayana laki-laki 35 SMA PNS 4,60 2,50 2,10 102 Md Suwinda laki-laki 56 SD Petani 6,70 3,20 3,50 103 Nym Suwarna laki-laki 55 SD Petani 6,20 2,70 3,50 104 Wyn Rebug laki-laki 53 SD Petani 4,70 2,60 2,10 105 Wyn Ariada laki-laki 42 SMP Wiras/Dag 4,50 2,30 2,20 106 Nym Wartara laki-laki 60 SD Petani 4,40 2,30 2,10 107 Wyn Muliada laki-laki 40 D2 Wiras/Dag 5,20 2,90 2,30 108 Nym Sumudi laki-laki 50 SD Petani 4,50 2,40 2,10
Rata-Rata 46,42 4,56 2,60 2,20 Sumber: Data Primer Hasi Penelitian, 2012
308
Lampiran 8 Identitas Responden Pemasok Bahan-Bahan Ritual di Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian)
No Nama Pemasok Jenis Klm Umur (Th) Pddk Pekerjaan
Pendapata
(Rp) Pengeluar
(Rp) Keterangan
1 Wayan Murya laki-laki 49 SMA PNS 5,50 3,60
2 I Nyoman Subur laki-laki 55 SMP Petani 2,50 2,20
3 Wayan Gendera laki-laki 44 SMA Peg.Swasta 4,40 4,50
4 Ida Bgs Pt Weda laki-laki 55 S1 Wiras/Dag 6,50 7,50
5 Wyn Sukarta laki-laki 57 SMP Pedagang 2,90 2,00
6 Md Suwinda laki-laki 56 SMA Petani 3,80 3,70
7 Nym Suwarna laki-laki 55 SMA Petani 3,40 2,80
8 Luh Gde Rusmini Perempuan 61 SMP Pedang 7,30 7,20
9 Nyoman Sudama laki-laki 46 S1 Pedang 6,20 5,30
10 Wyn Wirawan laki-laki 37 SMA Pedang 5,10 4,70
11 Wyn Dani Perempuan 43 SMA Pedang 4,40 3,50
12 Pan Nym Raka laki-laki 57 SD Pedang 2,80 2,50
13 Wyn Sarka laki-laki 55 SMA Pedang 9,50 8,50
14 Ibu Prasetiawati Perempuan 40 SMA Pedang 6,10 4,20
15 Ibu Arini Perempuan 50 SMA Pedang 3,40 3,30
16 Ida Bgs Rai laki-laki 57 SMP Pedang 5,20 3,90
17 Ibu Agung Perempuan 50 SMA Pedang 5,00 4,90
18 Ibu Mangku Eka Perempuan 49 SMP Pedang 3,20 3,10
19 I Wayan Sugita laki-laki 47 SMA Pedang 4,60 4,20
20 I Md Brata laki-laki 45 SMA Pedang 3,50 2,50
21 Wayan Suartini Perempuan 48 SMP Pedang 4,50 3,50
22 Ni Wyn Kerti Perempuan 40 SMP Pedang 3,70 2,30
Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012
309
Lampiran 9 Identitas Responden Pemasok Tahap I Bahan-Bahan Ritual di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian)
No Nama Responden Pemasok
Umur
(Th)
Usia
Usaha (Th
)
Bahan Alamat Pemasok
TenagaKerja
Jam Kerja
Penjual pd Pura Pasek ΔY
(Rp jt)
Pendpt (Y1)
(Rp jt)
Total Pendpt (Y2)
(Rp /jt)
Pengeluaran/ C1 (Rp jt)
Pengeluaran/C2 (Rp jt)
1 Wayan Murya 49 1 Bambu Desa Abians 2 7 8,60 5,50 14,00 3,60 12,50
2 I Nyoman Subur 55 1 Bambu Desa Abians 2 7 6,50 2,50 9,00 2,10 7,50
3 Wayan Gendera 44 2 Bambu Desa Abians 3 4 11,60 4,40 16,00 3,30 9,50
4 Ida Bgs Pt Weda 55 3 Bambu Desa Abians 5 7 14,50 6,50 21,00 4,50 16,50
5 Wyn Sukarta 57 4 Bambu Desa Abians 2 9 3,60 2,90 6,50 2,00 6,50
Jumlah Bambu 44,80 21,80 66,60 15,50 52,50 6 Md Suwinda 56 4 Kelapa Desa
Abians 5 8 4,50 3,80 8,50 3,70 7,40
7 Nym Suwarna 55 5 Kelapa Desa Abians 3 8 3,40 3,50 6,69 3,40 5,20
Jumlah Kelapa 7,90 7,30 15,19 7,10 12,60 8 Luh Gde Rusmini 61 10 Beras Desa
Abians 8 8 4,12 7,30 11,32 7,20 9,70
9 Nyoman Sudama 46 5 Beras Desa Abians 5 8 3,00 6,20 9,30 5,30 7,90
Jumlah Beras 7,12 13,50 20,62 12,50 17,60 10 Wyn Wirawan 37 5 Babi Desa
Abians 5 8 15,56 5,10 20,00 4,70 14,20
11 Wyn Dani 43 2 Babi Desa Abians 3 8 5,70 3,40 9,09 2,80 9,80
Jumlah Babi 21,26 8,50 29,09 7,50 24,00 12 Pan Nym Raka 57 6 Telor Desa
Abians 2 6 5,68 2,80 8,50 2,50 6,50
13 Wyn Sarka 55 8 Bebek,Ayam
Gianya 8 8 7,25 9,50 16,75 8,50 13,50
14 Ibu Prasetiawati 40 3 Kasa Ps Blahk 2 7 3,50 6,10 9,48 4,20 6,00
15 Ibu Arini 50 3 Kasa Ps Blahk 2 7 2,38 3,40 5,90 3,30 4,20
Jumlah Kain Kase 5,88 9,50 15,38 7,50 10,20
16 Ida Bgs Rai 57 2 Pajeng Ps Blahk 2 7 5,61 5,20 10,81 3,90 7,50
17 Ibu Agung 50 2 UangKepen
PsBlahk 3 7 8,39 5,00 14,06 4,90 9,90
18 Ibu Mangku Eka 49 4 UangKep&
Desa Abians 3 8 12,50 3,20 15,70 3,10 12,60
Jumlah 20,89 8,20 29,76 8,00 22,50 19 I Wayan Sugita 47 2 Janur Desa
Abians 3 8 3,68 4,60 8,28 4,20 6,70
20 I Md Brata 45 4 M.Goreng
Ps Blahk 2 7 2,53 3,50 6,03 2,50 3,50
21 Wayan Suartini 48 2 Pisang,Bh
Ps Blahk 2 7 2,75 4,50 7,25 3,50 5,40
22 Ni Wyn Kerti 40 2 Bunga PsBlahk 2 7 0.57 3,65 4,22 2,30 2,65
Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012
310
Lampiran 10 Identifikasi Tahap II Penyalur Bahan-Bahan Ritual di Pura Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian)
No Nama Responden Pemasok
Umur (Th)
Usia Usah
(Th)
Bahan Alamat Pemasok
TenagaKerja
Jam Kerja
Penjual ΔY
(Rp jt)
Pendapa Y1(Rp jt)
Pendapt Y2(Rp
/jt)
Pengeluaran/ C1
(Rp jt)
Pengeluaran/ C2
(Rp jt) 1 Ibu Eka 51 5 Uang
Kepeng Psr Badung 2 8 2,00 2,45 4,50 2,20 3,40
2 Ibu Luh Rai
50 5 Uang Kepeng
Psr Badung 2 8 2,05 3,00 5,00 2,05 3,20
Jumlah Uang Kep
4,05 5,45 9,50 4,25 6,60
3 Wayan Mangku
55 3 Beras Pengepul Bongkase
6 8 1,15 6,50 7,65
4,50 5,20
4 Ibu Luh Rai
51 5 Kain Kase
Psr Badung 2 8 0,68 4,82 5,50 4,20 4,40
5 Ibu Luh Rai
51 5 Pajeng Psr Badung 2 8 0,60 4,10 4,70 3,60 3,95
6 Pan Suwete 54 4 Janur Petani Ds Petang
2 8 0,20 3,50 3,70 3,40 3,55
7 Men Nengah Diana
52 5 Pisang Petani DsPetang
2 8 1,00 2,50 3,50 2,20 2,50
8 Ibu Nonik 46 4 Minyak goreng
Psr Badun 3 8 0,25 3,50 3,75 3,40 3,50
9 Man Serining 53 3 Bunga Petani bunga Ds.Mambal
3 8 0,30 1,25 1,55 1,10 1,26
Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012 Identifikasi Tahap III Produsen atau Petani Bahan-Bahan Ritual di Pura Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian)
No Nama Responden Pemasok
Umur (Th)
Usia Usaha (Th)
Barang Alamat Pemasok
TenagaKerja
Jam Kerja
Penjual ΔY
(Rp jt)
Pendapt Y1(Rp
jt)
Pendapata
Y2 (Rp /jt)
Pengeluaran/ C1
(Rp jt)
Pengeluaran/ C2
(Rp jt) 1 Pak Putu
50 6 Uang
Kep &Pajeng
Psr Klungkng 3 8 3,30 4,50 7,80 3,50 4,60
2 Pan Kuace 55 20 Gabah Petani Ds.Blakh 4 8 1,40 2,50 3,90 2,40 3,20
3 Dari Jawa - 5 M.Goreng
Jawa 3 8 2,20 1,10 3,30 1,05 1,55
4 Toko Murah
- 15 Kain Kase
Jl.Sulawesi Denpasar 5 8 1,00 2,50 3,50 2,20 2,40
Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012
311
Lampiran 11
Persentase Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh Pengempon Pura dengan terlaksana Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (pada bulan penelitian).
No Makna
Sosial Budaya Ekonomi
1 STS/ B 1
1 TS/ B 2
CS/B3
S/
B 4
SS/
B 5
STS/ B 1
TS/ B2
CS/ B 3
S/B 4
SS/ B 5
STS/ B 1
TS/ B 2
CS/ B 3
S/B 4
SS/ B 5
1 Kepercayaan dan Keyakinan
1,85 98,15 -- - 3,70 96,30 - - - 8,33 91,67
2 Mlaspas dan Ngenteg Linggih
- 3,70 96,30 - - - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,52
3 Mecaru - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,52 - - - 7,41 92,59
4 Melasti
- 2,78 97,22 - - - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,5
5 Nyegara Gunung - 4,63 95,37 - - - 5,56 94,44 - - - 7,41 92,59
6 Banten
- 2,78 97,22 - - - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,5
7 Labda Karya
- 4,63 95,37 - - - 6,48 93,52 - - - 7,41 92,59
8 Kehidupan sosial - 2,78 97,22 - - - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,52
9 Gotong Royong
- 3,70 96,30 - - - 1,85 98,15 - - - 6,48 93,52
10 Iuran Pura
- 3,70 96,30 - - - 4,63 95,37 - - - 8,33 91,67
11 Bahan-bahan ritual
- 5,56 94,44 - - - 7,41 92,59 - - - 3,70 96,30
12 Pengeluaran ritual
4,63
30,56 64,81 - - 3,70
32,41 63,89 - - 4,63
35,19 60,18
13 Kesempatan berusaha
- 8,33 91,67 - - - 9,26 90,74 - - - 2,78 97,22
14 Multiplier effect - 7,41 92,59 - - - 8,33 91,67 - - - 1,85 98,15
15
Perubahan sikap - 1,85 98,15 - - - 5,56 94,44 - - - 6,48 93,52
Rata-rata Jumlah
0,31
5,93 93,77 0,25
7,35 92,41 0,31
11,90 91,60
Sumber: Hasil penelitian (data diolah peneliti), 2012 Keterangan:
Skor 1.STS/B=Sangat tidak setuju/Baik, Skor 2.TS/B =Tidak setuju/Baik, Skor 3.CS/B =Cukup setuju/Baik Skor 4.S/B =Setuju/Baik, Skor 5.SS/B =Sangat setuju/Baik
312
Lampiran 12
TABULASI SKOR JAWABAN 130 RESPONDEN
No pr1 pr2 pr3 pr4 pr5 kk1 kk2 kk3 kk4 km1 km2 km3 km4 1 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 4 2 4 4 4 4 4 4 3 5 4 4 4 4 4 3 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 6 4 4 4 4 4 4 5 4 5 5 4 4 5 7 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 8 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 9 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 10 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 11 4 5 5 4 4 5 4 4 3 4 4 5 5 12 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 13 4 4 3 4 3 5 4 3 4 3 4 4 3 14 5 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 5 15 4 4 5 5 4 3 4 4 3 5 4 4 5 16 5 4 5 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 17 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 18 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 19 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 20 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 21 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 22 4 5 5 5 5 4 4 5 4 5 5 4 5 23 5 4 5 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 24 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 25 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 26 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 27 4 4 5 4 4 4 5 4 3 4 4 5 5 28 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 29 4 4 3 4 3 4 4 3 4 3 3 3 3 30 5 4 5 4 4 3 4 4 4 4 5 4 5 31 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 5 4 4 32 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 33 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 34 4 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 35 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 36 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 37 5 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 38 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 39 4 4 5 4 4 3 4 4 4 5 5 4 5 40 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 41 4 5 5 5 5 4 5 5 4 5 4 4 5 42 4 4 4 5 4 5 4 4 4 4 5 4 4 43 5 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 44 3 4 4 4 3 4 4 3 4 3 4 4 3 45 4 5 4 5 4 3 5 4 5 5 5 4 4 46 4 5 5 4 5 4 4 4 5 4 4 4 4 47 5 4 4 4 4 5 4 5 4 4 4 4 4 48 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 49 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 50 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 4 4 5 51 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 52 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4 53 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 54 5 5 4 4 4 3 4 5 4 4 4 4 4 55 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56 4 5 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 5 57 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 58 4 4 5 4 4 4 5 4 4 4 5 4 5 59 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 5 60 4 4 4 5 4 4 4 4 5 5 4 5 5 61 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 62 4 4 4 4 5 5 4 5 4 5 4 4 5 63 5 5 5 5 5 5 4 4 4 5 4 4 5 64 4 4 5 4 4 3 4 4 3 5 4 4 5 65 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
313
66 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 67 4 5 5 5 4 4 4 3 3 4 4 4 5 68 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 69 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 3 3 3 70 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 71 4 5 5 4 4 4 4 5 4 3 4 4 5 72 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 73 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 74 3 4 3 4 4 3 4 4 3 3 4 3 4 75 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 76 3 4 3 4 3 3 4 4 3 3 4 3 4 77 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 5 78 4 5 5 4 3 5 4 5 4 4 4 4 4 79 5 4 4 4 4 3 4 5 4 4 4 4 5 80 5 4 4 4 4 4 4 4 3 5 4 5 4 81 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 82 5 4 5 4 3 5 5 4 5 4 4 4 5 83 4 4 4 4 3 3 5 4 3 3 4 3 4 84 4 5 5 4 4 4 4 4 3 5 4 4 5 85 4 5 4 5 4 3 4 5 4 3 4 4 4 86 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 87 5 4 5 4 4 5 4 4 4 3 3 4 4 88 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 89 4 5 4 5 4 4 4 4 5 4 5 4 5 90 4 5 4 4 5 3 4 4 4 3 4 4 4 91 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 92 5 4 4 4 5 4 5 4 5 3 5 4 4 93 5 4 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 4 94 5 4 5 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 95 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 96 4 4 4 4 4 4 5 4 5 5 4 4 5 97 5 5 5 4 3 4 4 4 4 5 4 5 4 98 5 5 5 4 4 4 5 4 4 5 4 4 4 99 5 4 5 4 4 3 5 5 5 3 4 4 3 100 4 5 4 4 4 4 5 4 4 3 4 3 4 101 5 4 4 4 3 3 5 4 4 4 4 4 5 102 4 4 4 4 3 5 4 4 5 4 4 4 5 103 5 4 5 4 4 4 4 4 5 5 5 4 5 104 4 4 4 5 3 3 4 5 4 3 3 4 4 105 5 4 5 4 4 4 4 4 4 5 4 4 5 106 5 4 5 4 3 4 4 4 5 5 5 4 4 107 5 4 4 4 5 5 4 5 4 4 5 4 5 108 4 4 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 4 109 5 4 5 4 4 5 4 4 4 4 5 4 4 110 5 4 4 4 4 4 5 4 4 4 5 4 4 111 4 5 4 5 4 5 5 4 4 4 4 4 5 112 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 113 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 114 3 3 4 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 115 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 116 4 3 3 3 4 4 4 4 5 5 4 4 3 117 4 3 3 3 4 4 5 5 5 5 4 3 3 118 3 4 3 3 3 5 5 4 5 4 4 4 3 119 4 3 3 3 4 4 5 4 4 3 3 3 3 120 3 3 3 3 4 4 5 4 4 4 4 4 4 121 4 3 3 3 4 5 5 5 4 4 5 4 4 122 4 3 3 3 4 4 5 4 4 5 5 4 3 123 4 4 3 3 3 4 5 4 4 4 4 3 3 124 3 3 4 3 4 5 4 4 5 5 5 4 4 125 3 3 3 3 3 4 5 4 4 4 4 3 3 126 3 3 4 3 3 5 5 4 4 4 4 3 3 127 4 4 3 3 4 5 4 5 5 4 4 5 3 128 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 5 5 3 129 4 3 3 3 4 4 5 4 4 5 5 4 3 130 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Keterangan: Skor 1 (sangat tidak baik/setuju), Skor 2 (tidak baik/setuju), Skor 3 (cukup baik/setuju), Skor 4 (baik/setuju), Skor 5 (sangat baik/setuju)
314
Kriteria dari masing-masing indikator variabel sebagai berikut. 1. Variabel Pelaksanaan Ritual terdiri dari indikator, yaitu (1) Labda karya
(kelancaran/kesuksesan) yang diukur berdasarkan jadwal acara (dodunan
karya) ada 21 acara, apabila acara tercapai < 4 skor 1, apabila acara tercapai
4-8 skor 2, apabila acara tercapai 8-12 skor 3, apabila acara tercapai 12-16
skor 4, apabila acara tercapai 16-21 skor 5; (2) Manggala karya yang diukur
kehadiran panitia dari 108 orang dalam 8 seksi acara, apabila panitia hadir <
14 orang skor 1, apabila panitia hadir 14-28 orang skor 2, apabila panitia
hadir 28-42 orang skor 3, apabila panitia hadir 22,8-30,4 orang skor 4, apabila
panitia hadir 42-108 orang skor 5; (3) Keharmonisan yang diukur kerukunan/
ketentraman selama gotong royong/ngayah 63 hari, apabila ngayah < 13 hari
skor 1, apabila ngayah 13-26 hari skor 2, apabila ngayah 26-39 hari skor 3,
apabila ngayah 39-52 hari skor 4, apabila ngayah 52-63 hari skor 5; (4)
Tenaga kerja yang diukur waktu yang dicurahkan rata-rata setiap hari 8 jam,
apabila waktu yang dicurahkan < 1 jam skor 1, apabila waktu yang dicurahkan
1-2 jam skor 2, apabila waktu yang dicurahkan 2-3 jam skor 3, apabila waktu
yang dicurahkan 3-4 jam skor 4, apabila waktu yang dicurahkan 4-8 jam skor
5; (5) Bahan ritual yang diukur persentase kemudahan/tersedianya bahan
ritual, apabila bahan ritual tersedia < 16,36 persen skor 1, apabila bahan ritual
tersedia 16,36-32,72 persen skor 2, apabila bahan ritual tersedia 32,72-49,08
persen skor 3, apabila bahan ritual tersedia 49,08-65,44 persen skor 4, apabila
bahan ritual tersedia 65,44-90,91 persen skor 5
2. Variabel Kesempatan Kerja terdiri dari indikator, yaitu (1) Lapangan
usaha yang diukur jumlah usaha, apabila keberlanjutan < 4 usaha skor 1,
apabila keberlanjutan 4-8-usaha skor 2, apabila keberlanjutan 8-12 usaha
skor 3, apabila keberlanjutan 12-16 usaha skor 4, apabila keberlanjutan 16-22
usaha skor 5.
; (2) Kualitas kesempatan kerja yang diukur jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakan, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan < 1 orang skor 1, apabila
tenaga kerja yang dipekerjakan 1-2 orang skor 2, apabila tenaga kerja yang
dipekerjakan 2-3 orang skor 3, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan 3-4
315
orang skor 4, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan 4-8 orang skor 5; (3)
Kuantitas kesempatan kerja yang diukur curahan jam kerja, apabila curahan
jam kerja < 1 jam skor 1, apabila curahan jam kerja 1-2 jam skor 2, apabila
curahan jam kerja 2-3 jam skor 3, apabila curahan jam kerja 3-4 jam skor 4,
apabila curahan jam kerja 4-8 jam skor 5; (4) Sifat kesempatan kerja yang
diukur sifat keberlanjutan usaha, apabila usia usaha < 1 tahun skor 1, apabila
usia usaha 1-3,6 tahun skor 2, apabila usia usaha 3,6-5,4 tahun skor 3, apabila
usia usaha 5,4-7,2 tahun skor 4, apabila usia usaha 7,2-10 tahun skor 5;
keberlanjutan < 4 usaha skor 1, apabila keberlanjutan 4-8-usaha skor 2,
apabila keberlanjutan 8-12 usaha skor 3, apabila keberlanjutan 12-16 usaha
skor 4, apabila keberlanjutan 16-22 usaha skor 5.
3. Variabel Kesejahteraan Masyarakat terdiri dari indikator, yaitu (1) Tingkat
pendapatan yang diukur total pendapatan rata-rata per bulan selama ritual,
apabila total pendapatan rata-rata per bulan < Rp 3,35 juta skor 1, apabila
total pendapatan rata-rata per bulan Rp 3,35 –Rp6,72 juta skor 2, apabila total
pendapatan rata-rata per bulan Rp 6,72-Rp10,07 juta skor 3, apabila total
pendapatan rata-rata per bulan Rp 10,07-Rp13,42 juta skor 4, apabila total
pendapatan rata-rata per bulan Rp 13,42-Rp21,00 juta skor 5; (2) Derajat
Pendidikan yang diukur tamat pendidikan formal, apabila tidak tamat SD skor
1, apabila tamat SD skor 2, apabila tamat SMP skor 3, apabila tamat SMA
skor 4, apabila tamat SMA keatas skor 5; (3) Derajat Kesehatan yang diukur
frekuensi berobat, apabila frekuensi berobat 8 kali keatas skor 1, apabila
frekuensi berobat 8 -6 kali keatas skor 2, apabila frekuensi berobat 6-4 kali
keatas skor 3, apabila frekuensi berobat 4-2 kali keatas skor 4, apabila
frekuensi berobat kurang dari 2 kali skor 5; (4) Kondisi kehidupan sosial yang
diukur adalah hubungan yang harmonis/baik, apabila hubungan antar anggota
keluarga skor 1, apabila hubungan antar pengempon pura skor 2, apabila
hubungan antar banjar skor 3, apabila hubungan antar masyarakat skor 4,
apabila hubungan antar masyarakat dan lingkungan Desa skor 5.
316
Lampiran 13
Assessment of normality (Group number 1) Variable min max skew c.r. kurtosis c.r. pr5 3,000 5,000 -,077 -,358 ,302 ,703 pr4 3,000 5,000 -,025 -,118 ,164 ,381 pr3 3,000 5,000 -,049 -,227 -,863 -2,009 pr2 3,000 5,000 -,013 -,059 -,172 -,400 pr1 3,000 5,000 -,120 -,560 -,634 -1,476 Multivariate 4,052 2,761
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,280 ,181 7,091 *** par_1 pr3 <--- PR 1,334 ,200 6,671 *** par_2 pr4 <--- PR 1,239 ,172 7,189 *** par_3 pr5 <--- PR ,771 ,145 5,314 *** par_4
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate pr1 <--- PR ,603 pr2 <--- PR ,839 pr3 <--- PR ,758 pr4 <--- PR ,865 pr5 <--- PR ,557 Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3=
keharmonisan, pr4= tenaga kerja, pr5= bahan-bahan ritual
317
Lampiran 14
Assessment of normality (Group number 1) Variable min max skew c.r. kurtosis c.r. kk4 3,000 5,000 ,020 ,092 -,546 -1,270 kk3 3,000 5,000 ,025 ,116 ,822 1,913 kk2 3,000 5,000 ,057 ,266 ,058 ,135 kk1 3,000 5,000 ,010 ,046 -,400 -,930 Multivariate 1,819 1,496
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,136 ,252 4,507 *** par_1 kk3 <--- KK ,943 ,218 4,323 *** par_2 kk4 <--- KK 1,329 ,294 4,518 *** par_3
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate kk1 <--- KK ,527 kk2 <--- KK ,673 kk3 <--- KK ,603 kk4 <--- KK ,680
Keterangan: kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4= sifat kesempatan kerja
318
Lampiran 15
Assessment of normality (Group number 1) Variable min max skew c.r. kurtosis c.r. km4 3,000 5,000 -,175 -,816 -1,060 -2,468 km3 3,000 5,000 -,222 -1,033 ,974 2,268 km2 3,000 5,000 ,018 ,086 ,167 ,389 km1 3,000 5,000 -,025 -,117 -,718 -1,670 Multivariate 3,405 2,801
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,784 ,120 6,536 *** par_1 km3 <--- KM ,735 ,108 6,810 *** par_2 km4 <--- KM ,868 ,150 5,777 *** par_3
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate km1 <--- KM ,742 km2 <--- KM ,688 km3 <--- KM ,740 km4 <--- KM ,592
Keterangan: km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4= kondisi kehidupan sosial
319
Lampiran 16
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label KK <--- PR ,464 ,115 4,038 *** H1 KM <--- PR ,517 ,124 4,171 *** H2 KM <--- KK ,704 ,182 3,860 *** H3 pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,132 ,149 7,585 *** par_4 pr3 <--- PR 1,288 ,172 7,507 *** par_5 pr4 <--- PR 1,102 ,142 7,775 *** par_6 pr5 <--- PR ,761 ,128 5,928 *** par_7 kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,018 ,205 4,976 *** par_8 kk3 <--- KK 1,012 ,196 5,171 *** par_9 kk4 <--- KK 1,155 ,235 4,918 *** par_10 km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,866 ,132 6,549 *** par_11 km3 <--- KM ,846 ,118 7,173 *** par_12 km4 <--- KM 1,105 ,170 6,503 *** par_13
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate KK <--- PR ,571 KM <--- PR ,499 KM <--- KK ,552 pr1 <--- PR ,651 pr2 <--- PR ,802 pr3 <--- PR ,791 pr4 <--- PR ,830 pr5 <--- PR ,593 kk1 <--- KK ,551 kk2 <--- KK ,630 kk3 <--- KK ,676 kk4 <--- KK ,618 km1 <--- KM ,657 km2 <--- KM ,674 km3 <--- KM ,755 km4 <--- KM ,668
320
Lampiran 17 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 6.22 Koefisien Regresi Model Variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)
Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5= bahan ritual, kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial.
321
Lampiran 18
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
Estimate KK ,326 KM ,869
Standardized Total Effects (Group number 1 - Default model)
PR KK KM KK ,571 ,000 ,000 KM ,815 ,552 ,000
Standardized Direct Effects (Group number 1 - Default model)
PR KK KM KK ,571 ,000 ,000 KM ,499 ,552 ,000
Standardized Indirect Effects (Group number 1 - Default model)
PR KK KM KK ,000 ,000 ,000 KM ,315 ,000 ,000
Modification Indices (Group number 1 - Default model)
Covariances: (Group number 1 - Default model)
M.I. Par Change e13 <--> e14 11,629 -,059 e3 <--> e13 14,785 ,089 e2 <--> e4 14,081 ,045 e1 <--> e14 9,544 ,048
322
Lampiran 19
Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate S.E. C.R. P Label KK <--- PR ,466 ,107 4,343 *** H1 KM <--- PR ,407 ,123 3,309 *** H2 KM <--- KK ,856 ,206 4,159 *** H3 pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR ,977 ,142 6,891 *** par_4 pr3 <--- PR 1,244 ,166 7,515 *** par_5 pr4 <--- PR ,963 ,134 7,177 *** par_6 pr5 <--- PR ,741 ,124 5,999 *** par_7 kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK ,989 ,197 5,027 *** par_8 kk3 <--- KK ,983 ,188 5,236 *** par_9 kk4 <--- KK 1,173 ,230 5,102 *** par_10 km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,874 ,126 6,943 *** par_11 km3 <--- KM ,817 ,111 7,361 *** par_12 km4 <--- KM 1,310 ,211 6,221 *** par_13
Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)
Estimate KK <--- PR ,595 KM <--- PR ,399 KM <--- KK ,657 pr1 <--- PR ,682 pr2 <--- PR ,725 pr3 <--- PR ,804 pr4 <--- PR ,760 pr5 <--- PR ,605 kk1 <--- KK ,556 kk2 <--- KK ,618 kk3 <--- KK ,662 kk4 <--- KK ,633 km1 <--- KM ,677 km2 <--- KM ,701 km3 <--- KM ,751 km4 <--- KM ,817
323
Lampiran 20
Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 6.24 Koefisien Regresi Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat
Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5= bahan ritual, kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial.
324
Lampiran 21
Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)
Estimate KK ,354 KM ,902
Standardized Total Effects (Group number 1 - Default model)
PR KK KM KK ,595 ,000 ,000 KM ,789 ,657 ,000
Standardized Direct Effects (Group number 1 - Default model)
PR KK KM KK ,595 ,000 ,000 KM ,399 ,657 ,000
Standardized Indirect Effects (Group number 1 - Default model)
PR KK KM KK ,000 ,000 ,000 KM ,391 ,000 ,000
325
GLOSARIUM A adat istiadat : kebiasaan umum adiluhung : sangat baik altruism : sifat toleransi animistic : penganut paham animisme angayubagia : kebahagian apang pada payu : adanya keadilan artha : tujuan attitude : sikap autonomous consumption (Ca) : pengeluaran ketika pendapatan nol (Ca) ayah-ayahan : pembaran biaya ritual B Bagavadgita : kitab suci Agama Hindu Bagia Pulakerti : mewujudkan kebahagiaan Banten peregembal : simbol alam semesta better-off : lebih baik Bendesa adat : orang yang dipercaya oleh masyarakat dalam memimpin
wilayah desa adat dengan adat istiadatnya bija/wija : beras yang sudah disucikan bhakti : rasa sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa C Catur wangsa : empat lapisan/keturunan/soroh terdiri atas (Brahmana,
Ksatrya, Wesya, dan Sudra) Caru Tawur (Mecaru Gede): korban suci dari hewan berkaki empat satu unit apreman. consumption culture behaviour : perilaku budaya konsumsi cost reducing : pengurangan biaya culture : budaya cost reducing : mengurangi biaya consumption culture behaviour :perilaku budaya konsumsi D Desa- Kala-Patra (tempat–waktu/keadaan-orang) : ritual yang dapat disesuaikan dengan
kondisi dan satuan ruang, waktu dan orang dudonan karya : susunan acara dunia akhirat : dunia setelah mati/dunia tidak nyata/abstrak direc Effect : pengaruh langsung Dharma, Artha dan Kama : kebaikan, kekayaan, dan kemauan/keinginan/nafsu
326
E esensi : inti enteg : posisi yang dinamis economically active : aktif secara ekonomi expected income : pendapatan yang diharapkan expectancy theory : teori harapan F filosofi : makna yang benar fit : baik/sesuai full employment : kesempatan kerja penuh free fight, free entry and free exit : strategi mengalahkan pesaing ketika tidak efisien
akan bangkrut lalu keluar G Goodness of Fit : Uji Kelayakan Model Grand Theory : teori utama H habitus : tempat hidup heterogenitas : beraneka ragam kelompok homoeconomicus : jika memperoleh keuntungan dibuat maksimal dan ketika rugi
diusahakan rugi sekecil-kecilnya humanity : kemanusiaan Hukum Karmaphala : Sancita Karmaphala yaitu hasil perbuatan dahulu dinikmati
sekarang, Prarabda Karmaphala yaitu hasil perbuatan sekarang dinikmati sekarang, Kryamana Karmaphala yaitu hasil perbuatan sekarang baru bisa dinikmati setelah kelahiran nanti
I. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) : angka kualitas hidup manusia indepth Interview : wawancara mendalam incremental fit indices : angka bilangan bertahap Inequality Reexamined : memeriksa kembali ketidaksetaraan indirec effect : pengaruh tidak langsung irasional : diluar akal sehat J Justice : keadilan Jnana : ilmu pengetahuan suci K Karya Agung Panca Walikrama : upacara bhuta yadnya yang dilaksanakan setiap
sepuluh tahun sekali pada saat pergantian tahun baru saka
327
berakhir dengan bilangan 0 dengan tujuan memohon keseimbangan unsur Panca Mahabutha yang dilaksanakan di pura Besakih.
Kahyangan Tiga : pura Puseh, pura Desa, dan pura Dalem kajen- keliwon, purnama tilem : purnama adalah bulan penuh dan tilem adalah bulan
mati. Pergantian purnama ke tilem setiap 15 hari kalbu nurani : hati nurani konversi : merubah kucit butuhan : hewan babi hitam jantan yang utuh kuluk belangbungkem : anjing jantan, warna bulunya hitam kemerah-merahan L Labda karya : ritual yang sukses dan berhasil Latency pattern maintenance : pemeliharaan pola-pola yang sudah ada leading sector : sektor utama Linkage : hubungan lingga dan yoni : simbol lingga Shiwa saktinya Yoni adalah ke-Pradhana-an
Shakti. Perwujudan Lingga Yoni adalah batu berdiri di atas batu bulat
local genius/local wisdom : kebiasaan/budaya lascarya : penuh keiklasan tanpa pamerih apapun M Madyaning Utama : tingkatan ritual menengah tetapi yang besar menyamabraya, metetulung, salulung sabhayantaka, paras-parosarpanaya, adiluhung :
kebersamaan yang penuh dengan solidaritas. manifest : indikator makna Ngingkup (kebersamaan dan kesetaraan) : menumbuhkan, menciptakan serta
membangun keselamatan dan kedamaian bagi seluruh dengan dilandasi jalinan rasa kasih yang tulus
makna Mangun Hayu (tujuan atau harapan) : membangun kebaikan makna Ngremekin (pembelajaran diri) :sebagai tanda ritual sudah selesai dan berhasil makna Makebat Daun (meresapi) : salah satu proses ritual makna Ngebekin (menghayati) : dengan memiliki ilmu yang banyak hendaknya
dibarengi dengan penghayatan yang benar dan dapat dijabarkan kepada umat manusia dengan penuh kebersamaan
makna Nyenduk : menyampaikan terima hasih kepada sesama yang berjasa dalam proses ritual
makna Nyegara Gunung : menghaturkan puji syukur dan rasa terima kasih kita kehadapan TYME dalam manifestasinya-Nya sebagai sang Hyang Purusa (gunung) dan Predhana (segara)
moksha : tujuan hidup menyatu dengan Tuhan manggala karya/prawartaka karya : panitia ritual
328
Mlaspas : upacara pembersihan bangunan pelinggih tempat sembahyang umat Hindu di Bali
multiplier effects : angka pengganda/ nilai tambah Middle Range Theory : teori pendukung Mokshartam Jagadhita Ia Ca Iti Dharma : tujuan mencapai kebahagiaan lahir bathin
baik di dunia maupun di akhirat atau sekala niskala measurement model : model pengukuran menyamabraya, metetulung, ngoopin: saling tolong menolong mandays : tenaga kerja laki-laki dan perempuan Mepada Wewalungan : ritual menyucikan hewan yang akan dipersembahkan sebagai
korban suci metanding banten : menata/mengatur alat-alat ritual Mecaru : korban suci untuk keseimbangan alam manusia Mekiis (melasti) : ritual penyucian diri dengan berbhakti pada Tuhan untuk
mendapatkan kekuatan spiritual dalam rangka memperbaiki diri sesame alam
mutual trust : sikap saling percaya N nak mula keto (gugon tuwon) : kebenaran yang harus diikuti newasain karya : memulai kegiatan secara sekala niskala network : jaringan nitya karma : ritual sehari-hari nothing : kosong nonprobability Sampling : teknik pengambilan sample yang tidak memberi peluang
sama bagi setiap anggota populasi Ngenteg Linggih : ritual membersihkan diri agar TYME selalu dirasakan
kehadirnnya ngayah : bekerja dengan tulus iklas tanpa pamberih ngejot : ritual setiap hari selesai masak Nyepi : upacara pergantian tahun saka nganyarin : satu tahapan ritual setelah hari H Ngingsah beras : ritual membersihkan beras yang akan digunakan dalam
ritual nyasa :perwujudan atau simbol-simbol O overproteksi : melindungi over identified : lebih dari diidentifikasi P Panca Yadnya : lima jenis pengorbanan suci yang tulus iklas (Dewa
yadnya pengorbanan kepada para Dewa/Tuhan, Rsi yadnya pengorbanan kepada para rsi, Manusia yadnya
329
pengorbanan kepada umat manusia, pitra yadnya pengorbanan kepada para leluhur, Bhuta yadnya pengorbanan kepada para bhuta -kala / alam semesta beserta isinya
Path Analysis : analisis jalur Pangrajeg Karya : yang bertangung jawab tegaknya ritual agar tetap sesuai
dengan tattwa Puncak karya : hari H dilaksanakan ritual public needs : kebutuhan publik public interests : kepentingan masyarakat piodalan : peringatan hari jadi pendapatan dispossable : pendapatan yang siap dikonsumsi pelinggih : bangunan suci pis bolong : uang kepeng yang dipergunakan dalam ritual Agama
Hindu pemangku pura : seorang pemimpin ritual di pura postmodern : pemikiran modern/terbaru R Ratchet Effect : penghasilan tertinggi tahun sebelumnya Redefinisi : mendefinisikan kembali Rsi Bojana : suguhan yang diberikan oleh panitia karya kepada para
Sulinggih sebagai tanda terima kasih telah menyelesaikan tugas dalam ritual
ritual : upacara religious value :nilai-nilai agama revenue increasing : menaikkan pendapatan ritual Agamis : upacara keagamaan/sakral ruh/roh : jiwa reliabilitas : keandalan rwa-bhineda : baik buruk rumit : kesulitan yang menyusahkan S Sakala-niskala : sekala kehidupan duniawi dan niskala kehidupan spritual sakralisasi : ritual proses penyucian atau proses pembersihan sampel jenuh :semua anggota populasi digunakan sebagai
sampel/penelitian populasi/sensus sattvikam yadnya : yadnya yang berkualitas tinggi atau dilaksanakan karena
kewajiban dan dilandasi dengan ketulusan iklasan, dengan berpedoman pada sastra agama, dan dengan pemahaman dan penghayatan yang betul-betul baik terhadap apa yang dilaksanakan
sekte : sekelompok spiritual tinggi
330
sekte ciwa-sidhanta : pemuja dewa Ciwa sekte pashupata : penyembahan pada lingga/sakthi sekte bhairawa :pemuja Dewa Durga sekte wesnawa : pemuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri sekte bodha atau sogata : penganut Budha Mahayana yang tantris sekte brahmana : sekte brahmana penganut tradisi (smrti) sekte sri : kelompok masyarakat yang telah menyucikan diri agar dapat
memimpin upacara, sekte sora : penyembah surya sekte ganapatya : penyembah ganeca selepaan : daun kelapa yang hijau selflove : sayang pada diri sendiri social capital : modal sosial social welfare : kesejahteraan sosial something : sesuatu suka-duka : baik buruk ditangung bersama suka tan pawali dukha : kesejahteraan lahir bathín sulinggih : orang yang mencapai kedudukan terhormat share : sumbangan/kontribusi sraddha : bhakti penuh keyakinan spillover effect : efek lebih lanjut stages along the life circles : ritual dapat dipandang secara horizontal supply chain : pemasok/penjual spradley :responden yang memiliki pemahaman aktual tetang lokasi
penelitian structural error : kesalahan structural T take and give : hubungan timbal balik tapa, yoga, swadyaya : pengendalian diri tapini/serati : tukang banten taring, bale panggung : tempat banten/tempat para sulinggih melakukan tugas ritual
yang dibuat dari bambu Tattwa-Susila-Upacara : tiga kerangka Agama Hindu Tat twam asi : aku adalah kamu (toleransi) temporer : sementara tumpek, saraswati,galungan, kuningan : nama-nama hari raya hindu di Bali dan ritual
210 hari turning point : titik balik The Theory of Moral Sentiments : Teori Moralitas The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism : Etika Protestan dan semangat
kapitalisme The General Theory : teori besar Thurstone : bentuk
331
theoretical frame work :bangun teori Tri Hita Karana : Parhyangan hubungan manusia dengan Tuhan, Pawongan
hubungan manusia dengan manusia, dan Palemahan hubungan manusia dengan lingkungan alam
Tri Guna : tiga jenis sifat manusia yaitu Satwam (baik), Rajas (angkuh/rakus), Tamas (malas).
Tri Kaya Parisuda : tiga dasar perilaku yang harus disucikan yaitu Manahsika (berpikir yang baik dan suci, Wacika (berkata yang baik dan benar), Kayika (berbuat yang baik dan jujur)
Tri Purusha Artha : tiga hal yang ingin dicapai di dalam hidup Tri-kona : tiga macam bentuk jejahitan alat-alat ritual (segi tiga, bulat,
segi empat) lambang lahir – hidup - mati Tri rna : tiga jenis hutang yaitu Dewa Rna hutang kepada para
Dewa, Rsi Rna hutang kepada para Rsi, Pitra Rna hutang kepada para leluhur/orang tua
U Undagi : para perecana bangunan unidentified atau under identified :teridentifikasi atau di bawah diidentifikasi Uji Signifikasi : ada pengaruh nyata Upakara : sarana upacara Agama Hindu V Validity : kesahihan Vedis : persembahan kepada para dewa W wealth : kekayaan worse-off : lebih buruk Wewalian : hiburan warung atau sesalon : tempat aktivitas penyelenggaraan ritual Sumber: Buku Leksikon Hindu oleh IBM. Dharma Palguna (2008), Wijayananda
(2004) dan Wiana (2004)
332
PHOTO-PHOTO
Tempat / Lokasi Penelitian
Bahan-Bahan Ritual Bambu dan Kelapa
Bahan-Bahan Ritual Kelapa dan Pisang
333
Persiapan tempat ritual
Bahan-Bahan Ritual dan masyarakat pengempon
membuat persiapan ritual
Jenis Bahan ritual yang dibeli dari pemasok
Pasar Blahkiuh dan Pasar Badung
334
Masyarakat wanita dan laki-laki membuat persiapan ritual
Masyarakat laki dan wanita membuat persiapan ritual
Masyarakat wanita membuat persiapan ritual
335
Masyarakat wanita dan laki-laki membuat persiapan ritual
Masyarakat laki-laki dan wanita membuat persiapan ritual
Masyarakat wanita dan laki-laki membuat persiapan ritual
336
Masyarakat wanita membuat persiapan ritual
Masyarakat laki-laki membuat persiapan ritual
Masyarakat wanita membuat persiapan ritual
338
Pengenteg gumi, Banten Sarad dan Pemangku Pura
Sulinggih sedang memimpin ritual pada saat
puncak karya tanggal 20 April 2012
Masyarakat pengempon sedang melaksanakan ritual
339
Kesenian sakral (Wayang Lemah dan Topeng Sidakarya)
Tari Sakral (Topeng Sidakarya dan Baris Gede)
Seni Tabuh mengiringi aktivitas ritual