the contribution of ritual performance to employment opportunities

368
DISERTASI KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG NI NYOMAN SUNARIANI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Upload: dinhtuyen

Post on 30-Dec-2016

385 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

i

DISERTASI

KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT:

STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL

KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

NI NYOMAN SUNARIANI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014

i

DISERTASI

KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP

KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL

KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

NI NYOMAN SUNARIANI NIM 1090671012

PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014

ii

KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH

DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL

KABUPATEN BADUNG

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Ekonomi

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI NYOMAN SUNARIANI NIM 1090671012

PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2014

iii

iv

Disertasi ini telah Diuji pada Ujian Terbuka

Pada Tanggal 28 Mei 2014

Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan

SK Rektor Universitas Udayana

Nomor: 1386/UN 14.4/HK/2014 Tanggal 14 Mei 2014

Penanggung Jawab : Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K)

Ketua : Prof. Dr. Made Budiarsa, MA

Promotor : Prof. Dr. Made Sukarsa, SE., MS

Ko Promotor I : Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP

Ko Promotor II : Dr. A.A.I.N Marhaeni, SE., MS

Anggota :

1. Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS

2. Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS

3. Prof. Dr. I Wayan Gede Supartha, SE., SU

4. Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi

5. Dr. I. G.W. Murjana Yasa, SE., M.Si

6. Dr. Drs. I Ketut Djayastra, SU

7. Dr. I. B. Putu Purbhadharmaja, SE., ME

8. Dr. I. A. Nyoman Saskara, SE., Msi

9. Dr. I Gede Sudjana Budiasa, SE., M.Si

10. Dr. I Putu Gde Sukaatmadja, SE., MP

v

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis, haturkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/karunia-Nya, sehingga disertasi dengan judul: Kontribusi Pelaksanaan ritual Terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Dalam proses penyelesaian studi doktoral ini tidak lepas dari bimbingan, arahan dan dukungan penuh semangat dari Promotor, Ko Promotor, Penguji, para dosen pengampu mata kuliah dan bersama pihak terkait lainnya. Karenanya pada kesempatan ini dengan rasa syukur yang mendalam dari penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada:

Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD.KEMD beserta Pembantu-pembantu Rektor atas kesepakatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana.

Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa, MA., Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D, selaku Asisten Direktur II beserta seluruh staf di Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti kuliah hingga selesai.

Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS Guru Besar Fakultas Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar atas berkenannya sebagai Promotor. Pengalaman dan kearifan beliau sebagai ilmuan ekonomi senior serta telah membimbing, mengarahkan, mendorong dan tidak henti-hentinya selalu memberi semangat penulis. Kesan ketulusan beliau sangat dirasakan penulis selalu siap membimbing dan diskusi kapan dan dimana saja serta mengirimkan jurnal-jurnal untuk menambah referensi agar disertasi lebih bermakna bagi penulis, masyarakat umat Hindu, dan peneliti lainnya, untuk senantiasa dapat menyelesaikan disertasi ini sesuai tujuan studi.

Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP Guru Besar Fakultas Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar sebagai Ko Promotor I dengan kecerdasan, keluasan wawasan dan ketegasan beliau sebagai ilmuan senior, telah memberikan bimbingan, mengarahkan dan makna tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan studi dan disertai ini dengan penuh ketekunan.

vii

Dr. AAIN. Marhaeni, SE., MS Dosen Senior Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Denpasar sebagai Ko Promotor II, ditengah-tengah kesibukan dan aktivitas beliau yang padat selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Ekonomi (MIE) Universitas Udayana dengan kecerdasan, ketekunan dan kearifan beliau sebagai ilmuan tetap meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memberi motivasi serta makna tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan studi dan disertai ini dengan penuh semangat.

Ketua Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana Denpasar Prof . Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP dan Sekretaris Program Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS yang memberi kesempatan menempuh Program Doktor dan tidak segan-segannya selalu memberi semangat dan mengawasi secara kontinyu sebelum dan sesudah kuliah serta memacu penyelesaian disertasi dengan lancar dan baik.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, SE., MS., Pembantu Dekan I Dr. I G W. Murjana Yasa, SE., MSi, Pembantu Dekan II Prof. Dr. Made Wardana, SE., MSi, Pembantu Dekan III Dr. Gerianta Wirawan Yasa, SE., MSi, beserta Staf yang memberi kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti kuliah di Program Doktor hingga selesai.

Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS Sekretaris Jurusan Dr.I.B Purbadharmaja, SE., ME beserta staf yang telah memberi kesempatan kuliah di Jurusan Ekonomi Pembangunan pada Program Doktor Ilmu Ekonomi hingga selesai.

Kepada para penguji disertasi: Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS, Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP, Dr. AAIN. Marhaeni, SE., MS, Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS, Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi, Dr. I Wayan Bagia, MSi, Prof. Dr. I Wayan Gede Supartha, SE., SU telah bersedia menguji dengan memberikan masukan, sanggahan, koreksi dan saran hingga disertasi ini dapat terwujud.

Para dosen pengampu mata kuliah selama menempuh kuliah Prof. Ketut Nehen, M.Ec Ph.D, Prof. Dr. Ketut Sudibia, SE., SU, Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS, Prof. Dr. I Wayan Sudirman, SE., SU, Prof. Dr. Ketut Rahyuda, MSIE, Prof. I Wayan Tjatera, SE., MSc,Ph.D (almarhum), Prof. Dr. IKG Bendesa, MADE, Prof. Lincolin Arsyad, Ph.D, Prof Dr. Dewa Ngurah Suprapta, MSc, Prof. Dr. Ketut Ardana, MA, Dr. Ketut Putra Erawan, Prof. Dr. Made Kembar Sri Budhi, Drs., MP, Prof. Dr. Nyoman Djinar Setiawina, SE., MS,

viii

Prof. Dr. Made Suyana Utama, SE., MS, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., MSi, Dr. I G W. Murjana Yasa, SE., MSi telah meletakkan dasar-dasar teori, memperkaya wawasan dan cara berpikir ilmiah yang kritis, dengan keahlian masing-masing untuk dapat menyelesaikan disertasi ini.

Dosen pengampu mata kuliah penunjang disertasi (MKPD) Prof. Dr. Made Sukarsa, SE.,MS dan Dr. I G W. Murjana Yasa, SE., MSi dengan kecerdasan dan keahlian sebagai ilmuan telah memberikan dasar-dasar teoritis menjadi bekal yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian disertasi ini.

Pada kesempatan ini terimakasih disampaikan penulis kepada Bupati Badung, Kepala Perpustakaan BPS Provinsi Bali, Kepala Perpustakaan BPS Kabupaten Badung, Kepala Perpustakaan Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Kepala Desa dan Bendesa Adat Desa Abiansemal, dengan kerendahan hati Ida Pedanda Geriya Agung (sebagai Yajamana karya/penanggungjawab karya) Desa Abiansemal, Ida Pedanda Geriya Kajeng dan Ida Pedanda Geriya Samping Desa Abiansemal serta Ida Pedanda Geriya Jumpayah Mengwi telah memberi wawasan, saran terkait dengan proses ritual. Bapak I Nyoman Geriya sebagai Pemangku Pura, masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal serta para pemasok bahan ritual sebagai responden, yang telah memberi ijin, kesempatan untuk mencari data selama penelitian dilaksanakan.

Dr. Putu Ngurah Suyatna Yasa,SE., MSi. dari Universitas Warmadewa telah memberi motivasi, semangat dan kesediaannya menjadi moderator, Dr. I.B Purbadharmaja, SE., ME, Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP., Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. telah bersedia menjadi tim pembahas dalam seminar kolokium, Dr. Ir. Made Sudarma, MS. dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Dr. I Wayan Kandi Wijaya, SE., MM. dari Universitas Ngurah Rai, Dr. I.B. Made Agung Dwijatenaya, M.Si., Dr. Paulus Kurniawan, MBA., Drs. I Nyoman Rasmen Adi, MSi dan I Wayan Suriana,ST., MT dari Universitas Pendidikan Nasional, membantu dan memotivasi dalam penyelesaian disertasi ini.

Tidak lupa pula penulis sampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. I Gusti Gorda, M.S, (almarhum) beserta keluarga telah memberi inspirasi dan semangat kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3.

Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Drs. Ketut Sambereg, MM beserta keluarga yang telah memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk menjadi seorang dosen dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Ketua Perkumpulan Pendidikan Nasional Dr. A.A.A. Tini Rusmini Gorda, SH, MH, Sekretaris Perkumpulan Pendidikan Nasional Denpasar Dr. A.A.A. Sri

ix

Rahayu Gorda, SH, MH telah memberi ijin, dukungan semangat, teladan dalam penyelesaian disertasi ini.

Rektor Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Prof. Dr. Gede Sri Dharma, D.B.A., Dr. A.A.N. Eddy Supriyadinata Gorda, S.Sos.,MM sebagai Direktur Sumber Daya Manusia, Prof. Dr. I.B. Raka Suardana, SE., MM sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Ni Ketut Elly Sutrisni, SH., MM sebagai Direktur Lembaga Penjamin Mutu, teman-teman dosen, karyawan dan karyawati di lingkungan Universitas Pendidikan Nasional dan Kopertis Wilayah VIII Denpasar telah memberikan ijin, kesempatan dan dukungan baik moral maupun material dalam menyelesaikan disertasi dan studi ini.

Penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada seluruh guru yang telah membimbing dan mendidik penulis sejak di Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

Dengan rasa hormat dan bakti serta terimakasih disampaikan kepada Ayah kandung I Ketut Rauh dan Ayah mertua I Wayan Kebek (almarhum) dan untuk Ibu kandung Ni Ketut Dalem dan Ibu mertua Ni Made Lanus tercinta yang kini beliau berdua sedang sakit namun tetap memberikan semangat kerjanya, rasa kasih sayang telah mendoakan beserta seluruh keluarga besar di Singaraja dan di Ubud, dengan penuh memberikan semangat sehingga penulis dapat melampaui masa-masa sulit dalam penyelesaian disertasi ini.

Terimakasih penulis sampaikan secara khusus kepada suami tercinta Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS telah mendampingi selama 28 tahun atas pengertian, keikhlasan serta dukungannya dalam menyelesaikan studi ini baik moral maupun spiritual sehingga penulis merasa ringan dalam penyelesaian disertasi ini, anak-anak tersayang dr. Ni Putu Yuni Anggreni Pande, sekarang sedang menempuh Spesialis Penyakit Dalam, Ni Made Dewi Wijayanti Pande, SE.,MM dan Ni Nyoman Utami Wijayaswari Pande mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan saudara kandung satu-satunya Ni Luh Suci Anawati, kakak dan adik ipar, keponakan dan cucu semua yang telah memberikan dukungan, motivasi dan semangat pada penulis untuk menyelesaikan studi ini.

Seluruh teman-teman dan sahabat angkatan ke-2 periode September 2010 program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Udayana yang telah memberi dukungan penuh kepada penulis dalam kehadirannya selama sidang-sidang berlangsung, kesediaannya dalam berdiskusi, kebersamaannya dalam suka dan duka selama menempuh studi dan penyelesaian disertasi ini, untuk itu penulis ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.

x

Kepada staf Program Doktor Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Universitas Udayana Ni Komang Sri Mariatini dan Eka Putrawan terimakasih dan atas jasa-jasa dalam menfasilitasi masa perkuliahan, sidang-sidang ujian hingga terselesaikannya disertasi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan mulia kepada semua pihak yang telah memberi bantuan yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala bantuan dan amal perbuatan Bapak, Ibu dan Saudara sekalian mendapatkan balasan dari Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pada akhirnya penulis bersyukur dapat menyelesaikan disertasi ini dengan kesadaran penuh bahwasannya disertasi ini belum sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Semoga karya ilmiah ini dapat memberi secercah manfaat dan harapan kepada para pembaca dalam perkembangan ilmu.

Denpasar, Mei 2014 Penulis

Ni Nyoman Sunariani

xi

ABSTRAK KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP

KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH

DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL

KABUPATEN BADUNG

Pembangunan daerah Bali adalah pembangunan yang berwawasan budaya dan adat istiadat dan bertumpu pada konsep Tri Hita Karana yang dijiwai oleh Agama Hindu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Esensi pelaksanaan ritual merupakan persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, Pitra Rna). Kehidupan masyarakat Bali merupakan masyarakat yang religius karena intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu. Intensitas pelaksanaan ritual mengkibatkan transaksional bahan-bahan ritual. Fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa pelaksanaan ritual di satu sisi cenderung menghabiskan biaya besar dan waktu yang tidak sedikit (komersialisasi). Melalui penelitian studi kasus pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung untuk mengkanter fenomena tersebut. Bagaimana manfaat pelaksanaan ritual Agama Hindu dari perspektif sosial, budaya dan ekonomi, berapa besar Multiplier effect pengeluaran ritual dan berapa besar tambahan pendapatan pemasok bahan ritual serta bagaimana pengaruh ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja. Tujuan penelitian untuk mengetahui manfaat ritual dari perspektif sosial, budaya dan ekonomi, besarnya Multiplier effect dan besarnya tambahan pendapatan pemasok serta pengaruh ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Metode penelitian kuantitatif, mempelajari hubungan antarvariabel, metode pengumpulan data primer berdasarkan cross saction, dengan kuesioner, In-depth Interview melalui informan kunci dan ahli dan triangulasi. Jumlah populasi 130 responden merupakan data jenuh atau sensus. Alat analisis Structural Equation Model diolah menggunakan Analysis of Moment Structural versi 20,0. Hasil penelitian, pelaksanaan ritual selain berfungsi religious juga berimplikasi positif terhadap sosial yaitu perubahaan sikap perilaku beragama, budaya yaitu mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal, dan ekonomi yaitu adanya perubahan sikap berusaha. Pelaksanaan ritual Agama Hindu memiliki multiplier effect sebesar 2,37 dapat meningkatkan pendapatan pemasok bahan ritual sebesar 72,06 persen. Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja sebesar 0,79. Hal ini mengindikasikan meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya. Kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja sebesar 35,4 persen, yang artinya variasi kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Kontribusi kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen, yang artinya variasi kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi kesempatan kerja.

Kata Kunci: Pelaksanaan ritual, multiplier effect, kesempatan kerja, kesejahteraan

masyarakat

xii

ABSTRACT

THE CONTRIBUTION OF RITUAL PERFORMANCE TO EMPLOYMENT OPPORTUNITIES AND COMMUNITY WELFARE: A CASE STUDY OF

MLASPAS AND NGENTEG LINGGIH AT THE PASEK PRETEKA TEMPLE ABIANSEMAL VILLAGE, ABIANSEMAL SUB-DISTRICT

BADUNG REGENCY

Development of Bali based on culture and custom activities and the concept of Tri Hita Karana which is inspired by the of Hinduism religion to enhance the welfare of society. Ritual performance is essentially a holy offering based on trust and a genuine and sincere belief which has been passed on from generation to generation which is likened to obligations or debts that need to be paid off and is framed within the concept of Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, and Pitra Rna). Balinese society is a religious society because of the intensity of the ritual performances. The intensity of the ritualistic performances brings about transactions of ritual materials. Growing phenomenon in the society is that ritual performances on the one hand tend to take substantial time and cost a lot of money (commercialization). Through the case study of the ritual performance of Mlaspas and Ngenteg Linggih in Abiansemal Village Badung Regency is phenomenon counter, the research questions are: What are the advantages of the ritual performance of Hinduism from the social, cultural and economic perspective, How big is the multiplier effects of ritual expenditure and what is the influence of the rituals on the welfare either directly or indirectly through employment opportunities. The purpose of the study is to know the benefits of rituals from the social, cultural, and economic perspective; the magnitude of multiplier effects; and the influence of rituals on the community welfare either directly or indirectly through employment opportunities. The methods employed in this study were quantitative research methods, the explanation of qualitative analysis, the method of collecting cross-sectional primary data through questioner, in-depth interviews with key and expert informants and triangulation, a population of 130 heads of households were saturated data/census. Structural Equation Model Analysis tool was processed using Analysis of Moment Structural vertion 20,0. The results of this study show that ritual performances, besides having religious functions, also have a positive impact on social behaviour, the change in attitude of religion, which is able to preserve the cultural values of local genius and the economy, that is, a change in the attitude of making businesses. Ritualistic Hinduism has a multiplier effect of 2.37, thus increasing the additional revenue of suppliers amounting to 72.06 percent. And Implementation of rituals had positive and significant impact on the welfare of the people, either directly or indirectly through employment opportunities of 0,79 around Abiansemal sub-district in particular, and Bali in general. Contribution of ritual performance to employment opportunities was 35.4 percent, which means that the variation of employment is determined by variations in the implementation of the ritual. The contribution of employment opportunities to the community welfare was 90.2 percent, which means that variations in the welfare of society were determined by variations in employment opportunities.

Keywords: Implementation of the ritual the multiplier effect, employment

opportunities, community welfare

xiii

RINGKASAN

KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT:

STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL

KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

Ni Nyoman Sunariani

Pembangunan daerah Bali adalah pembangunan yang berwawasan budaya

dan adat istiadat dan bertumpu pada konsep Tri Hita Karana yang dijiwai oleh

Agama Hindu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Esensi pelaksanaan

ritual merupakan persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan

keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna,

Rsi Rna, dan Pitra Rna). Kehidupan masyarakat Bali mengalami perubahaan dari

masyarakat tradisional ke masyarakat modern dan postmodern. Perubahan

tersebut berpengaruh pada pola produksi, pola distribusi, dan pola konsumsi

rumah tangga antara lain pengeluaran upacara (ritual) Agama Hindu. Pola

konsumsi rumah tangga mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai

salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Kehidupan masyarakat Bali

merupakan masyarakat yang religius karena intensitas pelaksanaan ritual Agama

Hindu. Intensitas pelaksanaan ritual mengkibatkan transaksional bahan-bahan

ritual. Fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa pelaksanaan ritual

Agama Hindu di satu sisi cenderung menghabiskan biaya besar dan waktu yang

tidak sedikit (komersialisasi). Melalui penelitian studi kasus pelaksanaan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung layak

dilakukan untuk mengkanter fenomena tersebut. Makna pelaksanaan ritual Mlaspas

dan Ngenteg Linggih dalam Agama Hindu merupakan proses pembelajaran diri

dalam mewujudkan sikap, moral dan perilaku dalam menata kehidupan menuju

kualitas hidup yang lebih sempurna lahir bathin.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana manfaat

Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan

xiv

terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa

Abiansemal Kabupaten Badung? 2) Berapa besar Multiplier Effect pengeluaran

ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih? 3) Berapa besar tambahan pendapatan

pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih? 4) Bagaimana pengaruh

pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg

Linggih? 5) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan

masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada

Mlaspas dan Ngenteg Linggih? Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui

manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon

pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka

Desa Abiansemal Kabupaten Badung, (2) Mengetahui besarnya Multiplier Effect

pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, (3) Mengetahui tambahan

pendapatan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, (4) Menganalisis

pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada Mlaspas dan

Ngenteg Linggih, dan (5) Menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap

kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui

kesempatan kerja pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Hipotesis dalam penelitian

ini ada tiga, yaitu (1) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kesempatan kerja, (2) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, dan (3) Pelaksanaan ritual

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat baik

langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada Mlaspas dan

Ngenteg Linggih.

Landasan teori penelitian ini mengacu pada Teori Konsumsi

Keynes (1936) menggambarkan análisis pengeluaran konsumsi berbanding lurus

dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan

naik sebagai grand theory. Konsep Max Weber (1930) bukunya The Protestant

Ethic and the Spirit of Capitalism, konsep Bourdieu (1977) Social Capital,

dimana aktivitas agama mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan

aktivitas sosial. Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) bahwa agama adalah

sebuah sistem budaya dengan segala macam makna dan simbolisme di dalamnya

xv

membangun motivasi yang kuat dan tahan lama hubungannya dengan struktur

masyarakat. Apabila pengeluaran konsumsi masyarakat semakin besar maka dapat

meningkatkan Multiplier Effect, konsep kesempatan kerja dan konsep

kesejahteraan mengacu pada kriteria BPS, 2011.

Penelitian ini mempelajari hubungan antarvariabel, metode pengumpulan

data primer berdasarkan cross saction dengan kuesioner In-depth Interview pada

informan kunci dan ahli dan triangulasi. Jumlah populasi 130 responden

merupakan data jenuh atau sensus. Alat analisis Structural Equation Model

(SEM) diolah menggunakan Analysis of Moment Structura (AMOS) versi 20,0.

Simpulan penelitian ini, pelaksanaan ritual selain berfungsi religious juga

berimplikasi positif terhadap manfaat sosial yaitu perubahaan sikap perilaku

beragama, manfaat budaya yaitu mampu melestarikan nilai-nilai kearifan

lokal/local genius, dan manfaat ekonomi adanya perubahan sikap berusaha.

Pelaksanaan ritual Agama Hindu memiliki multiplier effect sebesar 2,37 yang

artinya semakin besar pengeluaran ritual maka dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat sebanyak 2,37 kali jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat.

Tambahan pendapatan pemasok sebesar 72,06 persen dari total pengeluaran ritual.

Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan

masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja

sebesar 0,79 yang artinya meningkatnya perekonomian regional Badung

khususnya, dan Bali umumnya. Kontribusi pelaksanaan ritual terhadap

kesempatan kerja sebesar 35,4 persen, yang berarti variasi kesempatan kerja

ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual selanjutnya kontribusi kesempatan kerja

terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen, yang berarti variasi

kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi kesempatan kerja.

Temuan dalam penelitian ini adalah: (1) Kesadaran yang tinggi masyarakat

pengempon pura walaupun relatif terbatas secara ekonomi tetapi berdasarkan

srada bhakti dan lascarya kepada Sang Pencipta, (2) Kecenderungan angka

pengganda konsumsi dari tahap I ke tahap II dan III semakin kecil, sedangkan

angka pengganda untuk tahap III relatif kecil yang disebabkan marginal

propensity to saving lebih besar marginal propensity to consume (MPS > MPC).

xvi

Hal ini tidak sejalan dengan konsep Keynes bahwa kecenderungan negara-negara

kaya, pendapatannya lebih banyak ditabung daripada dikonsumsi (MPS > MPC).

Sebaliknya kecenderungan negara-negara miskin pendapatannya lebih banyak

untuk konsumsi daripada ditabung (MPC > MPS). (3) Sementara ini banyak opini

yang mengatakan bahwa pengeluaran ritual kurang di rasakan oleh masyarakat,

namun secara empiris dalam penelitian ini angka pengganda yang dihasilkan dari

pelaksanaan ritual relatif cukup besar, sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi

Bali pada umumnya, dan Badung pada khususnya. (4) Aktivitas ritual umat Hindu

di Bali, lebih banyak dikerjakan oleh tenaga perempuan, sehingga perempuan

Hindu memiliki peranan lebih penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan

ritual yang baik dan lancar (labda karya). (5) Pelaksanaan ritual Agama Hindu

mempunyai pengaruh terhadap pendapatan, aktivitas ekonomi, dan aktivitas

kehidupan sosial masyarakat umat Hindu di Bali. Pendapat ini sesuai dengan

Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep Bourdieu

(1977), dan Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973).

Saran yang disampaikan dalam penelitian ini berikut. (1) Mengingat

pelaksanaan ritual memiliki multiplier effect, masyarakat sekitarnya disarankan

perlu melestarikan bahan-bahan utama yang dibutuhkan dalam ritual secara

berkelanjutan/sustainable serta upaya mengurangi impor barang kebutuhan ritual

Agama Hindu di Bali. (2) Mengingat fenomena yang berkembang di masyarakat

bahwa Agama Hindu identik dengan biaya besar, disarankan meningkatkan

pemahaman agama dengan membaca buku-buku agama dan menanyakan makna-

makna ritual kepada yang berkompeten maka biaya ritual diharapkan berkurang.

(3) Mengingat intensitas tenaga kerja perempuan dalam ritual memiliki peran

sangat tinggi, disarankan perempuan Hindu mampu menerapkan manajemen

waktu. (4) Disarankan untuk penelitian berikutnya, agar menghitung multiplier

effect pelaksanaan ritual Agama Hindu sampai tahap terakhir dan variabel lain

yang mendukung pelaksanaan ritual, yaitu kesenian (wewalian) yang berbasis

budaya religius.

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ........................................................................................................... i

PRASYARAT GELAR .................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii

PANITIA PENGUJI UJIAN TERBUKA ....................................................... iv

SURAT PERNYATAAN PLAGIAT ............................................................. v

UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... vi

ABSTRAK .................................................................................................... xi

ABSTARCT .................................................................................................. xii

RINGKASAN ................................................................................................ xiii

DAFTAR ISI ................................................................................................. xvii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xxi

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xxiv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxvi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................. 21

1.3. Tujuan Penelitian .................................................................. 22

1.4. Manfaat Penelitian ............................................................... 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 24

2.1. Teori Konsumsi Keynes ......................................................... 24

2.1.1 Faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi ................ 38

2.1.2 Investasi ....................................................................... 40

2.1.3 Multiplier Effect .......................................................... 44

2.1.4 Harapan dan Persepsi ................................................... 50

2.2.Perkembangan Agama Hindu di Bali ...................................... 53

2.2.1 Stratifikasi Sosial Masyarakat Hindu ............................ 57

2.2.2 Hubungan Agama dan Ekonomi .................................. 59

2.2.3 Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih ....... 63

xviii

2.2.4 Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi Pelaksanaan Ritual ........................................................................... 71

2.3.Kesempatan Kerja ................................................................... 73

2.3.1 Pengertian kesempatan kerja ........................................ 73

2.3.2 Penyerapan tenaga kerja ................................................ 76

2.4.Kesejahteraan ......................................................................... 82

2.4.1 Pengertian kesejahteraan ............................................... 82

2.4.2 Kriteria kesejahteraan .................................................... 87

2.4.3 Pengukuran kesejahteraan ............................................. 90

2.5.Originalitas Penelitian ............................................................ 92

2.6.Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu .................................... 95

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .............. 101

3.1 Kerangka Berpikir .................................................................. 101

3.2 Kerangka Konsep Penelitian .................................................... 107

3.2.1 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif ........................... 107

3.2.2 Kerangka Konsep Penelitian Asosiatif ............................ 110

3.3 Hipotesis ................................................................................ 113

BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................. 114

4.1. Rancangan Penelitian ............................................................ 114

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 116

4.3. Subyek dan Obyek Penelitian ................................................ 118

4.4. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ......... 119

4.4.1 Identifikasi ................................................................... 119

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ....................................... 119

4.5. Jenis dan Sumber Data .......................................................... 125

4.5.1 Jenis Data .................................................................... 125

4.5.2 Sumber Data ................................................................ 125

4.6. Populasi, Sampel Penelitian dan Informan ............................ 126

4.6.1 Populasi Penelitian ....................................................... 126

4.6.2 Penentuan Informan Kunci dan Ahli .............................. 128

xix

4.6.3 Metode Pengumpulan Data .......................................... 129

4.7. Instrumen Penelitian .............................................................. 131

4.7.1 Pengujian Validitas Kuesioner ...................................... 131

4.7.2 Pengujian Reliabilitas Kuesioner................................... 132

4.7.3 Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ......................... 133

4.8.Teknik Analisa Data ............................................................... 138

4.8.1 Analisis Deskriptif ....................................................... 138

4.8.2 Analisis Kuantitatif ....................................................... 138

4.8.3 Analisis Interaksi Secara Interpretif untuk Desain

Kualitatif ..................................................................... 150

BAB V HASIL PENELITIAN .................................................................. 153

5.1 Deskripsi Karakteristik Desa Adat Abiansemal .................... 153

5.2 Deskripsi Tentang Profil Responden ..................................... 156

5.3 Deskripsi Informan Kunci dan Ahli ....................................... 162

5.4 Deskripsi Hasil Penelitian Kualitatif ..................................... 164

5.4.1 Deskripsi Manfaat Sosial, Budaya dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura ......................... 164

5.4.2 Besarnya Multiplier Effect pengeluaran ritual Mlaspas

dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal ................................................................... 184

5.4.3 Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan

ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal .............................................. 190

5.5 Hasil Penelitian Kuantitatif .................................................... 193

5.5.1 Evaluasi asumsi SEM ................................................... 194

5.5.2 Hasil pengujian analisis faktor konfirmatori (CFA) ....... 197

5.5.3 Analisis pengaruh dengan SEM .................................... 202

5.5.4 Modifikasi model .......................................................... 212

BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................... 220

6.1 Manfaat yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan

terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih ...................... 220

xx

6.2 Besarnya Multiplier effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal ..... 231

6.3 Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih ............................................... 235 6.4. Pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka ............ 238

6.4.1 Pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka ............................................................... 240

6.4.2 Pengaruh kesempatan kerja terhadap kesejahteraan

masyarakat ................................................................... 241

6.5 Pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja ................................................................... 243

6.6 Temuan penelitian .................................................................. 244

6.7 Keterbatasan penelitian .......................................................... 245

6.8 Implikasi hasil penelitian ....................................................... 246

BAB VII PENUTUP .................................................................................... 248

7.1 Simpulan ............................................................................... 248

7.2 Saran ..................................................................................... 249

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 251

LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................. 289

DAFTAR ISTILAH ........................................................................... 325

PHOTO-PHOTO ................................................................................ 332

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2000 Tahun 2006-2010 (juta rupiah) ................................................................ 6

Tabel 1.2 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Penggunaan Tahun 2006 – 2010 (juta rupiah) .................................................................................. 7

Tabel 2.1 Posisi Penelitian Terdahulu yang Berhubungan dengan Pengeluaran Konsumsi.................................................................. 97

Tabel 4.1 Definisi Operasional Indikator Variabel Pelaksanaan ritual (PR) ... 122

Tabel 4.2 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesempatan Kerja (KK) . 123 Tabel 4.3 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesejahteraan

Masyarakat (KM) ......................................................................... 124 Tabel 4.4. Jumlah Responden Rumah Tangga Pengempon Pura Yang

Melaksanakan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung Tahun 2012 ................................ 126

Tabel 4.5 Jumlah Responden Pemasok Bahan- Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Tahun 2012 ............................................................................................. 127

Tabel 4.6 Kriteria Responden Penelitian Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2012 ............................................................................................. 127

Tabel 4.7 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Pelaksanaan Ritual (PR) ................................................................................... 134

Tabel 4.8 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesempatan Kerja (KK) ................................................................................... 135

Tabel 4.9 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM) ......................................................................... 137

Tabel 4.10 Indeks Pengujian Kelayakan (Goodness of Fit Index) SEM ........... 149 Tabel 5.1 Alokasi Waktu dan Tenaga kerja Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Pura Pasek Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (Orang/Mandays) ..................................... 160

Tabel 5.2 Alokasi Waktu dan Tenaga Kerja Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (selama 63 hari/orang/mandays) .............. 161

xxii

Tabel 5.3 Identitas Informan Kunci dan Ahli Dalam Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal,Kabupaten Badung Tahun 2012 ................................. 163

Tabel 5.4 Ringkasan Manfaat Secara Sosial, Budaya dan Ekonomi Berkenaan dengan Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 ................................................................. 182

Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Multiplier effect Pemasok Tahap I Komponen Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, 2012 .................................................. 185

Tabel 5.6 Hasil Perhitungan Multiplier effect Penyalur Tahap II Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 ................................................................. 186

Tabel 5.7 Hasil Perhitungan Multiplier effect Produsen Tahap III Bahan-Bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 ................................................................. 187

Tabel 5.8 Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan-Bahan Ritual dan Non Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung .................................................. 191

Tabel 5.9 Assessment of normality (Group number 1) variabel Pelaksanaan Ritual ............................................................................................ 195

Tabel 5.10 Assessment of normality (Group number 1) variabel Kesempatan Kerja............................................................................................. 196

Tabel 5.11 Assessment of normality (Group number 1) variabel Kesejahteraan Masyarakat ............................................................ 197

Tabel 5.12 Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual ........................................................ 199

Tabel 5.13 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual ............................................. 199

Tabel 5.14 Regression Weights:(Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja ........................................................................ 200

Tabel 5.15 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja ............................................ 200

Tabel 5.16 Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesejahteraan Masyarakat ............................................................ 202

Tabel 5.17 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model) Indikator Kesejahteraan Masyarakat ................................. 202

Tabel 5.18 Regression Weight (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ....................... 206

xxiii

Tabel 5.19 Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) ................................. 207

Tabel 5.20 Standarized Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) .... 207

Tabel 5.21 Evaluasi Goodness of Fit ............................................................. 210

Tabel 5.22 Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) .......................................................................................... 211

Tabel 5.23 Modification Indices (Group number 1 - Default model) Covariances: (Group number 1 - Default model) ........................... 212

Tabel 5.24 Standarized Regression Weight Direct Effects Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) ............................................................................................ 214

Tabel 5.25 Standardized Regression Weight Indirect Effects Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) .................................................. 214

Tabel 5.26 Evaluasi Kriteria Kesesuaian (Goodness of Fit Index) Full Model Perbandingan Model Sebelum Modifikasi dengan Setelah Modifikasi .................................................................................... 217

Tabel 5.27 Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model) Sebelum dan Setelah adanya Modifikasi model ................. 218

Tabel 6.1 Rata-rata Multiplier effect Tahap I, II, III Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 ......................................................................... 232

xxiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Kurve Teori Konsumsi Keynes ................................................ 28 Gambar 2.2 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif ............... 32

Gambar 2.3 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Daur Hidup .......................... 34 Gambar 2.4 Kurve Pengaruh Pendapatan Terhadap Konsumsi .................... 39

Gambar 3.1 Kerangka Berpikir .................................................................... 106 Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif Analisis Multiplier

Effect ....................................................................................... 110 Gambar 3.3 Kerangka Konsep Penelitian Assosiatif (Hubungan) ................. 112

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian, Peta Administrasi Wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung Provinsi Bali ............................................................................ 118

Gambar 4.2 Diagram Jalur Kontribusi Pelaksanaan Ritual terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat .................... 141

Gambar 4.3 Model Pengukuran Variabel Pelaksanaan Ritual ....................... 143

Gambar 4.4 Model Pengukuran Variabel Kesempatan Kerja ....................... 144 Gambar 4.5 Model Pengukuran Variabel Kesejahteraan Masyarakat ........... 145

Gambar 4.6 Hubungan Interaktif Alur Data Penelitian Kualitatif (Miles dan Huberman, 1984) ..................................................................... 151

Gambar 5.1 Persentase makna kepercayaan dan keyakinan dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ............................................................................. 166

Gambar 5.2 Persentase makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .............................................................................. 167

Gambar 5.3 Persentase makna Mecaru dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ............................... 168

Gambar 5.4 Persentase makna melasti dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................................ 169

Gambar 5.5 Persentase makna Nyegara Gunung dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................. 170

Gambar 5.6 Persentase makna Banten dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................................ 171

Gambar 5.7 Persentase makna labda karya dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................. 172

xxv

Gambar 5.8 Persentase makna kehidupan sosial dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 173

Gambar 5.9 Persentase makna gotong royong dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansema .................. 174

Gambar 5.10 Persentase makna iuran pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ................................ 175

Gambar 5.11 Persentase makna bahan-bahan ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 176

Gambar 5.12 Persentase makna pengeluaran ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 177

Gambar 5.13 Persentase makna kesempatan berusaha dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal ......... 178

Gambar 5.14 Persentase makna multiplier effect dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. ................. 179

Gambar 5.15 Persentase makna perubahan sikap dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal .................. 180

Gambar 5.16 Persentase Tambahan Pendapatan atau Pengeluaran Bahan-Bahan Ritual (Juta Rp dan %) Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung........ 192

Gambar 5.17 Confirmatory Factor Analysis Variabel Pelaksanaan Ritual ...... 198 Gambar 5.18 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesempatan Kerja ....... 200

Gambar 5.19 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesejahteraan Masyarakat ............................................................................... 201

Gambar 5.20 Model Hubungan Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ...................................... 203

Gambar 5.21 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat ................................................ 204

Gambar 5.22 Koefisien Regresi Model Variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM) ........................................................................................ 205

Gambar 5.23 Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ...................................... 213

Gambar 5.24 Koefisien Regresi Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat ........ 216

Gambar 6.1 Tambahan pendapatan Pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 2012 ......................................................... 236

xxvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Questioner ........................................................................... 289

Lampiran 2 Dudonan Karya Mlaspas dan Ngentig Linggih Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung ............................................................... 299

Lampiran 3 Data Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pra Riset ........ 302 Lampiran 4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pelaksanaan

Ritual (X)............................................................................. 303 Lampiran 5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesempatan

Kerja (Y1) ........................................................................... 304 Lampiran 6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Kesejahteraan Masyarakat (Y2) ........................................... 305 Lampiran 7 Identitas Responden Pengemon Pura Pasek Preteka di Desa

Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian) ............................................................................ 306

Lampiran 8 Identitas Responden Pemasok Bahan-Bahan Ritual di Pura

Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian) ..................................... 308

Lampiran 9 Identitas Responden Pemasok Tahap I Bahan-Bahan Ritual

di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian) ............................................................................ 309

Lampiran 10 Identifikasi Tahap II Penyalur Bahan-Bahan Ritual di Pura

Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian) ............................................................................ 310

Lampiran 11 Persentase Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang

diperoleh Pengempon Pura dengan terlaksana Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (pada bulan penelitian). ........................................................................... 311

Lampiran 12 Tabulasi Skor Jawaban 130 Responden ............................... 312 Lampiran 13 CFA untuk Pelaksanaan Ritual ............................................ 316 Lampiran 14 CFA untuk Kesempatan Kerja ............................................. 317

xxvii

Lampiran 15 CFA untuk Kesejahteraan Masyarakat ............................... 318 Lampiran 16 Regression Weights (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual,

Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 319 Lampiran 17 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja

dan Kesejahteraan Masyarakat ............................................ 320 Lampiran 18 Analisis Model Pengukuran dengan Determinasi ................. 321 Lampiran 19 Regression Weights (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual,

Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 322 Lampiran 20 Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual,

Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 323 Lampiran 21 Regression Weights (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual,

Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat .............. 324

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi

dapat menimbulkan berbagai kesenjangan salah satunya adalah kesenjangan

pendapatan dan kesenjangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja.

Pembangunan dikatakan berhasil apabila mampu membangkitkan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan. Perluasan pembangunan ekonomi Indonesia,

membutuhkan percepatan (acceleration) transformasi ekonomi agar kesejahteraan

bagi seluruh masyarakat dapat diwujudkan lebih dini melalui perubahan pola pikir

bahwa keberhasilan pembangunan membutuhkan kolaborasi bersama tiga pilar

yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta. Partisipasi tiga pilar tersebut melalui

model kerjasama pemerintah dan swasta. Pemerintah Pusat dan Daerah harus

membangun linkage semaksimal mungkin untuk mendorong pembangunan daerah

sekitar pusat pertumbuhan ekonomi dengan tiga strategi yaitu strategi peningkatan

potensi wilayah melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di dalam

koridor ekonomi, strategi memperkuat konektivitas nasional, serta strategi

meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MP3EI

2011-2025).

Pembangunan Provinsi Bali adalah pembangunan berwawasan budaya,

adat istiadat dan Agama Hindu, artinya pembangunan direncanakan,

2

dilaksanakan, dan dievaluasi dengan berorientasi pada kebudayaan guna

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terwujudnya manusia dan masyarakat

Bali sebagai kesatuan sosial yang utuh, berkeadilan, damai, sehat, sejahtera lahir

bathin, humanis, ekologis dan bertumpu pada konsep Tri Hita Karana yang

dijiwai oleh Agama Hindu dan didukung oleh sumber daya manusia yang handal

untuk melaksanakan pembangunan. Landasan pembangunan Daerah Bali adalah

Kebudayaan Bali yang dijiwai Agama Hindu dan konsep Tri Hita Karana untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyeimbangkan tujuan

pembangunan ekonomi, pelestarian kebudayaan, dan lingkungan hidup (Sukardja,

2012).

Selama tiga dasawarsa belakangan ini masyarakat Bali mengalami

perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern dan postmodern

atau globalisasi. Globalisasi membawa perubahan ekonomi, sosial-budaya,

komunikasi, transportasi, dan politik global. Pandangan ini didukung oleh Teori

Ritzer (2003), globalisasi cenderung mengekspor bentuk-bentuk kosong (nothing)

ke seluruh dunia ketimbang mengekspor bentuk-bentuk yang penuh dengan isi

(something). Yang disebut belakangan ini lebih besar kemungkinannya untuk

ditolak oleh setidaknya beberapa kultur dan masyarakat karena isinya

bertentangan dengan budaya lokal.

Agama Hindu sebagai identitas religius manusia Bali, Abdullah (2008)

menegaskan bahwa globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam

kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan

memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan

3

mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan

sifat relatif suatu praktik sosial. Malahan cara-cara orang mempraktikkan agama

juga mengalami perubahan, bukan karena agama mengalami proses

kontekstualisasi sehingga agama melekat di dalam masyarakat, tetapi juga karena

budaya yang mengkontekstualisasikan agama itu merupakan budaya global

dengan tata nilai yang berbeda. Dalam konteks ini khususnya dalam fenomena

keberagaman ditandai dengan adanya transformasi sistem pengetahuan, sistem

nilai, sistem tindakan keagamaan.

Perubahan tersebut berpengaruh pada pola produksi, pola distribusi, dan

pola konsumsi masyarakat terutama pada unit rumah tangga antara lain

pengeluaran upacara (ritual) Agama Hindu. Variabel pengeluaran tersebut Geriya

(2000), dipengaruhi oleh dimensi ruang, waktu, dan tempat. Ketiga dimensi ini

dapat mempengaruhi perubahan ekonomi, sosial, dan kebudayaan Bali.

Komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga makanan dan non makanan,

konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor-impor.

Struktur perekonomian Bali dengan melihat keunggulan kompetitif pada

sektor pariwisata (dengan keindahan alam, seni, budaya, dan adat istiadat) sebagai

leading sector memiliki karakteristik yang unik, mengakibatkan kelompok

perekonomian sektor tersier menjadi lebih dominan dibandingkan dengan sektor

primer dan sekunder.Terjadinya transformasi struktur ekonomi dari perekonomian

primer ke sektor tersier ini telah membawa dampak terhadap penyerapan tenaga

kerja. Sektor pertanian semakin ditinggalkan dan mengalir ke sektor industri dan

4

jasa. Bila dilihat dari peran sektor sekunder dan tersier dari segi pendapatan terus

mengalami peningkatan sebaliknya sektor primer terus mengalami penurunan.

Kontribusi per sektor terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Provinsi Bali tahun 2006-2010 atas dasar harga konstan 2000, rata-rata

perkembangan dari tahun 2006-2010 per sektor sebesar 2,22 persen. Rata-rata

perkembangan sektor tertinggi adalah sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran

(PHR) 6,35 persen sektor tertinggi kedua adalah sektor pertanian 4,06 persen.

Sedangkan rata-rata terendah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0,12

persen. Dilihat dari share per sektor tahun 2010 ternyata didominasi oleh sektor

PHR sebesar 32,51 persen meningkat jika dibandingkan tahun 2009 sebesar 32,33

persen disusul sektor pertanian sebesar 19,09 persen dan kemudian sektor jasa-

jasa sebesar 14,03 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB terus

mengalami penurunan pada pendapatan sebesar 59,3 persen tahun 1971 turun

menjadi 19,86 persen tahun 2009 turun lagi menjadi 19,09 persen tahun 2010

(BPS Provinsi Bali, 2011).

Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, mengakibatkan

kesempatan kerja pada sektor pertanian turun dari 67,5 persen tahun 1971 menjadi

34,2 persen tahun 2009, namun tingkat kesempatan kerja diluar sektor pertanian

cukup tinggi dari 96,87 persen tahun 2009 meningkat menjadi 96,94 persen tahun

2010 dengan begitu tingkat pengangguran terbuka turun dari 3,13 persen tahun

2009 menjadi 3,06 persen tahun 2010. Peningkatan kontribusi di sektor pariwisata

yaitu 31,8 persen tahun 1971 meningkat menjadi 65,6 persen tahun 2009,

kontribusi sektor ini terhadap kesempatan kerja tetap mendominasi dibandingkan

5

dengan sektor lainnya. Perkembangan penyerapan tenaga kerja pada sektor

pariwisata dari 22,2 persen tahun 1971 meningkat menjadi 43,8 persen tahun

2009. Demikian juga sektor manufaktur tahun 1971 sebesar 8,9 persen meningkat

menjadi 16,2 persen tahun 2009. Hal ini dapat memperluas kesempatan kerja

maka penyerapan tenaga kerja sebesar 10,3 persen tahun 1971 meningkat menjadi

21,9 persen tahun 2009. (BPS Provinsi Bali, 2010; Bendesa, 2012).

Membaiknya perekonomian Bali, ditandai dengan kenaikan pendapatan

per kapita masyarakat yang cukup tinggi dari Rp 35.791,00 tahun 1971 meningkat

menjadi Rp 6,14 juta tahun 2005 meningkat lagi sebesar Rp 16,21 juta tahun

2009, kenaikan pendapatan per kapita mempengaruhi pola konsumsi rumah

tangga. Pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2009 mencapai 5,33 persen lebih tinggi

dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,5 persen.

Sedangkan pertumbuhan ekonomi Badung tahun 2008- 2010 mengalami fluktuasi,

tahun 2008 tumbuh sebesar 6,91 persen, tahun 2009 tumbuh 6,39 persen dan

tahun 2010 tumbuh sebesar 6,48 persen. Pertumbuhan tahun 2010 diukur dari

peningkatan nilai PDRB Badung atas dasar harga konstan 2000 yaitu dari Rp 5,20

triliyun tahun 2008 menjadi Rp 5,89 triliyun tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi

yang tinggi akan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya akan

bermuara pada peningkatan pendapatan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan

ekonomi masyarakat meningkat jika dalam periode yang sama pertumbuhan

ekonomi lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduknya (BPS Provinsi

Bali, 2011; BPS Kabupaten Badung, 2011).

6

Perubahan struktur ekonomi wilayah Bali akan mempengaruhi kontribusi

per sektor PDRB Kabupaten Badung tahun 2006-2010 atas dasar harga konstan

2000 dapat dilihat Tabel 1.1

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga

Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2000 Tahun 2006-2010 (juta rupiah)

Sektor

2006

2007

2008

2009

2010

Rata-rata perkemban

gan (%)

Share 2010 (%)

1. Pertanian 430.924,17 437.752,93 441.420,28 454.730,00 487.777,86 3,19 7,32

2. Pertambangan & Penggalian 8.420,73 5.357,25 5.547,53 5.762,93 5.943,97 -6,45 0,12

3. Industri Pengolahan 131.865,12 138.748,48 145.449,18 154.496,64 169.686,79 -2,02 2,39

4. Listrik, gas &air

bersih 71.320,02 77.004,26 53.441,39 57.429,90 61.489,21 -3,43 2,10

5. Konstruksi 214.699,14 224.869,28 235.989,79 244.570,08 253.702,89 4,27 5,26

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) 2.062.508,63 2.196.234,96 2.339.908,62 2.507.451,41 2.689.069,79 6,86 36,63

7. Pengangkut dan Komunikasi 1.091.037,32 1.223.330,40 1.368.719,75 1.470.624,33 1.554.512,01 9,29 36,50

8. Keuangan,

perseroan dan jasa perusahaan

134.586,06 137.864,79 141.307,44 144.597,37 148.971,87 2,57 2,21

9. Jasa-jasa 403.194,44 418.969,34 434.764,02 457.587,49 482.259,01 4,58 7,49

PDRB 4.548.555,63 4.860.131,70 5.196.125,34 5.528.320,09 5.886.369,03 2,10

100,00

Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2011

Berdasarkan Tabel 1.1 rata-rata perkembangan tahun 2006-2010 per

sektor sebesar 2,10 persen. Rata-rata perkembangan sektor tertinggi adalah sektor

pengangkutan dan komunikasi sebesar 9,29 persen dan tertinggi kedua sektor

PHR 6,86 persen, sedangkan rata-rata terendah adalah perkembangan dari sektor

pertambangan dan penggalian negatif 6,45 persen. Dilihat dari share per sektor

tahun 2010 ternyata didominasi oleh sektor PHR sebesar 36,63 persen turun dari

tahun 2009 sebesar 38,05 persen. Disusul sektor pengangkutan dan komunikasi

turun 36,50 persen tahun 2010 menjadi 33,78 persen tahun 2009 dan juga sektor

pertanian turun dari 7,65 persen tahun 2009 menjadi 7,32 persen tahun 2010.

7

PDRB Kabupaten Badung per kapita atas dasar harga konstan meningkat

dari tahun 2008 sebesar Rp 10,41 juta menjadi Rp 10,59 juta tahun 2009 dan

meningkat lagi tahun 2010 menjadi Rp 10,83 juta. Kenaikan pendapatan per

kapita ini lebih mendekati kenaikan daya beli. Sebagai salah satu indikator

keberhasilan pembangunan dari satu sisi, bahwa pembangunan daerah Badung

telah mampu meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Kenaikan pendapatan per

kapita Kabupaten Badung mempengaruhi pola pengeluaran konsumsi rumah

tangga. Pengelompokan pengeluaran menjadi pengeluaran makanan dan

pengeluaran non makanan digunakan untuk melihat kecenderungan konsumsi

rumah tangga dari waktu ke waktu. Kecenderungan tersebut biasanya dipengaruhi

oleh tingkat pendapatan, selera dan lingkungan. Perkembangan PDRB Kabupaten

Badung atas dasar harga konstan menurut penggunaan tahun 2006-2010, seperti

ditunjukkan Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Badung atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Penggunaan Tahun 2006 – 2010 (juta rupiah)

Komponen Penggunaan

2006

% 2007 % 2008 % 2009 %

2010

%

1. Konsum RT 2.910.858,10 45,99 2.296.339,04 47,25 2.374.631,72 45,70 2.510.810,16 45,42 2.733.153,03 46,43 2. Konsum Lembaga Nirlaba

17.792,38 0,39 19.678,77 0,40 20.997,37 0,40 23.688,88 0,43 25.239,80 0.43

3. Konsum Pemerintah 240.894,00 5,30 254.018,85 5,23 277.388,29 5,34 287.412,57 5,20 309.979,58 5,27

4. Pembentukan Modal Dom Bruto

696.279,09 15,31 1.078.620,19 22,19 1.308.633,58 25,18 1.460.369,85 26,42 1.642.728,51 27.91

5. Perubahan Stok 12.426,75 0,27 13.743,72 0,28 16.046,64 0,31 19.440,82 0,35 20.848,92 0.35

6. Ekspor 6.414.101,31 141,01 6.781.053,95 139,52 8.204.318,14 157,89 8.822.993,24

159,60

9.672.025,16 164,31

7. Impor 5.725.058,99 125,87 6.090.269,34 125,31 7.027.439,58 135,24 8.033.683,19

145,32

9.076.336,29 154,19

PDRB 4.548.555,63 100,00 4.860.131,70 100,00 5.196.125,34 100,00 5.528.320,09 100,00

5.886.369,03

100.00

Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2011.

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan per kapita

Kabupaten Badung tahun 2010 atas dasar harga konstan diikuti dengan

8

meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah tangga tahun 2006 sebesar 45,99

persen meningkat sebesar 46,43 persen tahun 2010. Peningkatan konsumsi rumah

tangga dalam lima tahun terakhir, perubahan perilaku konsumsi secara signifikan

dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan perkapita, kesempatan kerja meningkat

dari sebesar 95,42 persen tahun 2007 menjadi 98,75 persen tahun 2010.

Pertumbuhan ekonomi tumbuh dari sebesar 6,39 persen tahun 2009 menjadi

sebesar 6,48 persen tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan diikuti

oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya berpengaruh secara signifikan

terhadap pendapatan. Engel mengemukakan bahwa semakin tinggi pengeluaran

rumah tangga dapat mengindikasikan semakin sejahtera masyarakatnya.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010 Kabupaten

Badung, antara lain pola konsumsi makanan rata-rata sekitar 40,22 persen dari

total pengeluaran untuk makanan. Selama lima tahun terakhir pola konsumsi

makanan penduduk Kabupaten Badung relatif tidak banyak mengalami

perubahan. Pola konsumsi non makanan antara lain untuk keperluan upacara adat

dan agama tahun 2010 sebesar 5,41 persen turun dari tahun 2006 mencapai 10,61

persen (BPS Kabupaten Badung, 2011). Hasil Susenas 2010 Provinsi Bali,

pengeluaran upacara adat dan agama tahun 2010 sebesar 8,38 persen lebih kecil

jika dibandingkan tahun 2009 sebesar 9,78 persen karena tahun 2009

dilaksanakan Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih Kabupaten

Karangasem (BPS Provinsi Bali, 2010).

Pengeluaran upacara adat dan agama dari tahun 1993-2001 berkisar 4,99

persen sampai 6,18 persen pada waktu yang sama. Pengeluaran ritual termasuk

9

pengeluaran konsumsi masyarakat Hindu di Bali tahun 2002 dengan rasio 10,42

persen dari pendapatan rumah tangga. Jumlah pengeluaran untuk ritual sebanyak

Rp 437,150 ribu per rumah tangga per bulan atau Rp 5,246 juta per tahun, terdiri

atas pengeluaran untuk dewa yadnya dan butha yadnya, namun pengeluaran untuk

rsi yadnya, pitra yadnya, dan manusa yadnya dalam penelitian ini tidak diperoleh

sehingga kecilnya rasio pengeluaran ritual terhadap pendapatan di atas sangat

wajar (Sukarsa, 2005).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kebahagian Rumah

Tangga Indonesia menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan

pembangunan dan kinerja pemerintah. Pengukuran keberhasilan IPM adalah dapat

mengakses hasil pembangunan dalam meningkatkan pendapatan atau daya beli,

kesehatan yaitu angka harapan hidup (AHH), dan pendidikan yaitu angka melek

huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah. Perkembangan IPM di Provinsi Bali

terus mengalami peningkatan mencapai peringkat 16 Nasional tahun 2010,

capaian IPM seiring dengan membaiknya perekonomian Bali. Peringkat IPM

Kabupaten Badung menurut Kabupaten/Kota di Bali periode tahun 2006-2010

terus mengalami peningkatan. IPM Kabupaten Badung tahun 2010 pencapaian

pembangunan manusia yaitu angka harapan hidup adalah 71,8 Tahun, angka

melek huruf sebesar 92,92 persen dan rata-rata lama sekolah adalah 9,38 tahun

serta kemampuan daya beli sebesar Rp 638,13 ribu (BPS Kabupaten Badung,

2011).

IPM Kabupaten Badung tahun 2010 mencapai 75,02 peringkat 2 setelah

Kota Denpasar peringkat 1 mencapai 77,94 untuk tingkat provinsi sedangkan di

10

tingkat nasional IPM Kabupaten Badung berada peringkat 84. Secara sederhana,

IPM dapat menggambarkan keberhasilan pembangunan pada suatu wilayah secara

spesifik sehingga digunakan sebagai alat ukur kinerja dari pemerintah suatu

wilayah. Kesejahteraan masyarakat penduduk Kabupaten Badung semakin

membaik karena meningkatnya PDRB perkapita dan distribusi pendapatan

semakin baik atau semakin merata dengan keberhasilan IPM Kabupaten Badung

(BPS Kabupaten Badung, 2011).

Upacara (ritual) yadnya adalah pengorbanan suci yang tulus iklas

berdasarkan kepercayaan dan keyakinan, dimana spirit yadnya melandasi setiap

pikiran, perkataan dan perbuatan masyarakat umat Hindu di Bali. Yadnya

merupakan aktivitas bersama, bukan aktivitas personal secara material, sehingga

yadnya menjadi sumber kehidupan sosial yang harmonis. Jadi pada tatanan sosial,

yadnya merupakan sebuah ritualisasi kehidupan masyarakat. Manusia beryadnya

sebagai upaya untuk membayar hutang kepada Hyang Widhi dan sekaligus untuk

mengungkapkan rasa syukur kepada Hyang Widhi. Kitab Bhagavadgita, IX: 22

bahwa Yadnya yaitu:

”Mereka yang memuja aku sendiri, merenungkan aku senantiasa, kepada mereka aku bawakan apa yang mereka perlukan dan aku lindungi apa yang mereka miliki”. Ketika melaksanakan sesuatu ritual kepada Hyang Widhi maka Hyang Widhi akan memberikan segala apa yang diinginkan oleh manusia dan sekaligus melindungi apa yang dimilikinya. Hubungan timbal balik dalam bentuk ”take and give” antara Hyang Widhi dengan

umat-Nya menyatunya lingga dan yoni (Wiyana, 2012).

Titib (2001) kepercayaan umat Hindu di Bali, melaksanakan ritual

menunjukkan rasa bhakti (syukur) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

11

(Tuhan yang Maha Esa). Sesuai perkembangan sosio-kultural yang terjadi pada

masyarakat sekitarnya, maka ritual dilakukan dengan membuat banten yang

terdiri atas buah-buahan, kue, janur, dan bunga. Bahan-bahan tersebut

ditempatkan pada sebuah tempat yang khusus, dan harus terjaga kesuciannya.

Kearifan lokal dalam organisasi adat istiadat merupakan keunikan lokal berbasis

konsepsi Tri Hita Karana dan mendapat apresiasi universal. Esensi kearifan lokal

adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa relegiusitas,

subyektivitas manusia dan konstruksi penalaran yang berempati pada

persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagadhita

berkelanjutan.

Sementara, Sukarsa (2005) menyatakan pendapatan untuk pemenuhan

dharma termasuk pengeluaran ritual sepertiga atau 33,3 persen, karena

pendapatan untuk tujuan hidup (moksha) melalui dharma, artha, dan kama.

Sisanya sepertiga kedua dikeluarkan untuk artha dan sepertiga yang terakhir

untuk kama seperti makan, pakaian atau kebutuhan lain. Selanjutnya, Kiriana

(2008) mengatakan yadnya merupakan kewajiban bagi umat Hindu untuk

melaksanakannya, didasari keyakinan alam semesta beserta isinya diciptakan

melalui yadnya.

Esensi pelaksanaan ritual adalah persembahan suci yang tulus iklas

berdasarkan kepercayaan dan keyakinan turun temurun kewajiban membayar

hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, Pitra Rna) (Wijayananda, 2004).

Persembahan suci yang tulus iklas yang dilakukan dalam kehidupan ini bukan saja

dilihat sebagai kewajiban membayar hutang Tri Rna, namun memiliki makna dari

12

hukum Karmaphala. Agama Hindu mengajarkan bahwa perbuatan yang baik akan

membuahkan hasil yang baik, sedang perbuatan yang buruk akan menghasilkan

keburukan. Suhardana (2010), Hukum Karmaphala terdiri atas Sancita

Karmaphala yaitu perbuatan masa lalu hasil dinikmati sekarang; Prarabda

Karmaphala yaitu perbuatan hidup sekarang hasil dinikmati sekarang; dan

Kryamana Karmaphala yaitu hasil perbuatan sekarang dinikmati setelah lahir

kembali. Sejalan dengan hasil studi Sumadi (2008), keyakinan merupakan wujud

pengamalan ajaran hukum karma phala bahwa setiap perbuatan akan

membuahkan hasil.

Nilai dasar yang dapat menuntun perjalanan hidup manusia di dunia ini

menurut Suhardana (2010) bahwa konsep Tri Kaya Parisuda meliputi manacika

yaitu berpikir yang baik dan suci; wacika yaitu berkata yang baik dan benar; dan

kayika yaitu berbuat yang baik dan jujur. Selanjutnya, konsep Tri Guna meliputi

satwam adalah kebaikan; rajas adalah keangkuhan atau rakus; dan tamas adalah

malas. Menurut Setiawina (2011) ketika konsep Tri Kaya Parisuda dan Tri Guna

dihubungkan menghasilkan sembilan pilar pedoman kehidupan manusia.

Manusia memiliki pemahaman yaitu berpikir yang baik dan suci, berkata yang

baik dan benar, dan berbuat yang baik dan jujur. Selanjutnya sadar atau tidak

sadar manusia cenderung berpikir rakus, berkata angkuh, berbuat angkuh dan

malas berpikir, malas berkata, dan malas berbuat.

Sembilan pilar pedoman kehidupan manusia, Setiawina mengkaitkan

dengan makna hukum Karmaphala yaitu Sancita Karmaphala artinya setiap

manusia menikmati hasil perbuatan masa lalu dengan penuh kesadaran; Prarabda

13

Karmaphala artinya tanpa disadari manusia menikmati hasil perbuatan hidup

sekarang; dan Kryamana Karmaphala artinya setiap manusia tidak akan tahu

kenikmatan yang akan dirasakannya nanti setelah lahir kembali, kecuali

mempunyai keyakinan. Dalam penelitian ini, pelaksanaan ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih yang dilakukan masyarakat Abiansemal ketika dihubungkan

dengan konsep Tri Kaya Parisuda, Tri Guna, dan Karmaphala berarti

pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih mempunyai hubungan terhadap

hukum Karmaphala dari perspektif mana melihatnya.

Ritual Ngenteg Linggih Titib (2012) merupakan ritual mensthanakan

Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada pelinggih bangunan suci

yang dibangun. Ngenteg Linggih mupuk padagingan adalah ritual ngenteg linggih

yang dilaksanakan setiap sepuluh atau tiga puluh tahun sekali, dengan melaksana

ritual menanam padagingan baru untuk merevitalisasi pura yang telah berdiri

puluhan tahun sebelumnya. Setiap bangunan yang baru selesai dibangun oleh

umat Hindu, bangunan pelinggih atau pura selalu dilaksanakan ritual Mlaspas,

bahkan untuk pelinggih atau pura tidak cukup hanya diplaspas saja, masih ada

ritual lanjutan disebut ritual Ngenteg Linggih.

Makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih dalam Agama Hindu

merupakan proses pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap, moral dan perilaku

dalam menata kehidupan menuju kualitas hidup yang lebih sempurna lahir bathin

(Wijayananda, 2005 dan Wikarma, 1999). Terlahirkan suatu kehidupan yang baru,

hidup penuh dengan kebajikan dan rasa cinta kasih diwujudkan dalam Tri-kaya-

parisudda yaitu Manasika, Wacika, dan Kayika merupakan perbuatan yang baik

14

dan suci, benar, dan jujur lebih lanjut menerima dan mensyukuri (Rwa-Bhineda)

dalam kehidupan ini (Ardhana, 2002).

Pada awalnya ritual merupakan salah satu bentuk dari religiositas yang

diidentifikasi, Dhavamony (1995) ada empat macam yaitu: tindakan magis dalam

pelaksanaannya menggunakan bahan-bahan yang diyakini memiliki kekuatan

mistis; tindakan religius kultus para leluhur; ritual konstitutif yang

mengungkapkan hubungan sosial dengan melaksanakan upacara-upacara yang

berkaitan dengan siklus kehidupan; dan ritual faktitif yang bertujuan untuk

mendapatkan perlindungan dan kekuatan salah satunya adalah kesejahteraan

materi. Ritual yang dilaksanakan oleh umat Hindu tentu saja tidak dapat secara

tegas digolongkan ke dalam pembagian-pembagian yang tersebut di atas, karena

ritual Hindu merupakan salah satu dari tiga cara untuk mengekspresikan

kesujudan umat terhadap Tuhan-Nya.

Selama setahun ada 420 hari terdapat 108 hari untuk ritual dewa yadnya

secara rutin yaitu purnama-tilem, kajeng-klion, tumpek, galungan kuningan, nyepi

kalau ditambah dengan ritual tidak rutin seperti mlaspas dan ngenteg linggih,

peringatan hari lahir (piodalan), manusa yadnya, rsi yadnya, dan pitra yadnya

maka waktu dan biaya yang diperlukan akan bertambah banyak (Sudharta, 2003;

Purwita,1992; Rawi, 2010).

Pengeluaran pelaksanaan ritual bagi masyarakat merupakan salah satu

pencerminan pemahaman agama. Pemahaman Agama Hindu dapat dilakukan

melalui tiga pendekatan Triguna (1994) dengan memahami filosofi agama

(tattwa), cara melakukan upacara ritual dalam bentuk yadnya (upakara), dan

15

melalui pelaksanaan beretika dalam kehidupan masyarakat (susila).

Sesungguhnya pelaksanaan ritual hendaknya dilandasi dengan tulus iklas dan hati

yang suci atau sraddha bakthi, lascarya dan sastra agama. Kualitas yadnya dalam

pelaksanaan ritual bukanlah diukur dari besar, lama dan megahnya ritual itu

sendiri Wijayananda (2005) mengatakan Satwika Yadnya merupakan ritual yang

dilaksanakan berdasarkan kepercayaan, keyakinan, dan pemahaman tattwa, susila

dan upacara maka kewajiban membayar hutang Tri Rna dilandasi korban suci

tulusikhlas (lascaryaning manah) berpedoman pada sastra agama. Menurut Kitab

Suci Bhagavadgita, IX: 26, menyebutkan:

”Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmana”. Artinya siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima (Pradnya, 2010).

Tujuan agama adalah moksartham jagadhita ya ca hiti dharma. Triguna

(1994) yang artinya mencapai moksa dengan terwujudnya kesejahteraan lahir

bathin, kebahagian dan keharmonisan di dunia yang diperoleh melalui jalan

dharma, terakhir ritual yang dilaksanakan dapat menimbulkan ikatan emosional

religius. Smith (1759) The Theory of Moral Sentiments bahwa agama memberi

semangat spiritual yang tinggi pada ilmu ekonomi dan pesan yang terkandung

(moralitas, religious value, sosial walfare, public needs dan solidarity), budaya

religi yaitu pengejawantahan nilai-nilai ajaran agama dipedomani sebagai suluh

dan jalan duniawi (Skousen, 2006).

Setiap kali pelaksanaan ritual menimbulkan pengeluaran konsumsi ritual

baik secara kuantitas maupun kualitas. Diduga pengeluaran konsumsi ritual ini

16

telah bergeser menjadi konsumsi sekunder dan ada kecenderungan bergeser ke

arah primer untuk masyarakat Hindu di Bali sebagai dampak perubahan aspek-

aspek kehidupan masyarakat umat Hindu. Beberapa hasil studi telah terbukti

bahwa pengeluaran konsumsi mempunyai gerak yang searah (slope yang positif)

dengan pendapatan. Konsep Keynes, kecenderungan di negara-negara kaya

pendapatan lebih banyak di tabung daripada dikonsumsi sebaliknya

kecenderungan di negara-negara miskin pendapatan lebih banyak dikonsumsi

daripada ditabung maka semakin kaya suatu keluarga nilai dan arah tersebut

semakin kecil. Bedanya pola pengeluaran konsumsi dalam penelitian ini

mengikuti teori klasik dan neoklasik.

Teori Klasik Keynes (1936) mengatakan bahwa pengeluaran konsumsi

selalu dihubungkan dengan pendapatan artinya pengeluaran konsumsi meningkat

ketika pendapatan naik. Perilaku konsumsi masyarakat dapat dilihat dari pola

pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dari waktu ke

waktu, biasanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, selera, dan lingkungan.

(Mankiw, 2007). Pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik, telah

dibuktikan hasil penelitian (Yan Wang, 1995 di China; Engel, 1957 di Malaysia

Barat; Narayan et al., 1999 di Tanzania; Malucio et al.,1999 di Afrika Selatan;

Tridimas, 1988 di Yunani; Hermanto et al. ,1986 di Indonesia; Sigit, 1985 di

Indonesia; Sutomo, 1989 di Indonesia; Van de Walle ,1988 di Indonesia; Syukur,

2000 di Indonesia; Pemberton, 1997; Suriastini, 2010 di Bali; dan Sukarsa, 2005

di Bali).

17

Pemahaman agama seseorang, seperti misalnya penguasaan tentang

filsafat agama akan mempengaruhi besar kecilnya tingkatan ritual yang

diselenggarakan. Tingkatan ritual dalam Agama Hindu ada tiga tingkat Surayin

(2002), tingkat besar (utama), tingkat menengah (madya), dan tingkat kecil (nista

masing-masing tingkat dibagi tiga tingkat menjadi sembilan tingkat. Di samping

itu, besar kecil ritual yang dilaksanakan masyarakat berdasarkan prinsip Desa,

Kala, Patra. Desa bermakna tempat sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada

daerah tertentu. Kala berarti waktu, artinya kapan ritual itu dilaksanakan pada

waktu yang tepat atau hari baik secara sekala niskala. Patra berarti ritual yang

dilaksanakan tersebut layak/patut atau tidak layak bagi seseorang terutama dari

segi kedudukan sosialnya (Zoetmulder, 2000).

Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973), studi tentang agama

menganalisis makna dalam simbol-simbol agama dan hubungannya dengan

struktur masyarakat dan psikologi individu (Pals, 2001). Pelaksanaan ritual dan

kesempatan kerja mendukung konsep Max Weber (1930), bukunya The

Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Bourdieu (1977) konsep Social

Capital, aktivitas agama mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lain.

Fenomena tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Durkheim (2003)

dan Turner et al. (1966) bahwa dalam kehidupan beragama terjadi integritas

sosial. Kehidupan sosial beragama masyarakat pengempon pura di Desa

Abiansemal dalam melakukan aktivitas ritual dapat saling berinteraksi maka

menimbulkan integritas sosial.

18

Aktivitas agama dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas

lainnya yaitu kesempatan kerja mendukung hasil penelitian (Choi, 2004 di Los

Angeles Amerika; Ellison et al., 1994 di Amerika; Lochart, 2005; Wijaya, 2012

di Bali; Puspa, 2010 di Bali). Hubungan aktivitas agama dengan kesejahteraan

masyarakat hasil penelitian (Goody, 1961; Wijaya, 2012 di Bali; Grootaert, 1998;

Bronsteen et al., 2009; Qomariah, 2009 di Jawa Timur).

Kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan

ketersedianya pekerjaan atau lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari

kerja. Rahardja (2008) permintaan tenaga kerja dalam teori ekonomi mikro dapat

diartikan sebagai kesempatan kerja, hasil penelitian (Sulistyaningsih, 1997 di

Indonesia; Syaukani et al., 2002; Soepono, 1993, 2001 di Provinsi Yogyakarta

dan di Kabupaten Badung; Purwanti, 2009 di Kabupaten Bangli; Udjianto, 2007

di Yogyakarta; Zam, 2002 di Kota Pekanbaru Riau; Ferlini, 2011 di Sumatera

Barat). Terjadinya multiplier effect adalah apabila pengeluaran konsumsi semakin

besar mengakibatkan tambahan pendapatan masyarakat yang lebih besar dalam

kegiatan ekonomi, hasil penelitian (Horváth et al., 1999 di Washington DC;

Syahza, 2004 di Kota Pekanbaru Riau; Wijaya, 1991 di Indonesia).

Intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali mengakibatkan terjadi

transaksional bahan-bahan ritual dan mampu memperluas kesempatan kerja

sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi Bali yang berbasis ekonomi spiritual.

Perkembangan sektor industri pariwisata di Bali sangat dirasakan dampak positif

dengan pendapatan masyarakat yang meningkat, kecenderungan umat Hindu

melaksanakan ritual lebih semarak dan jor-joran.

19

Fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat umat Hindu

bahwa pelaksanaan ritual Agama Hindu di satu sisi cenderung menghabiskan

biaya besar dan waktu yang tidak sedikit (komersialisasi). Agama Hindu identik

dengan beban, rumit, susah dan memberatkan umat (Yupardhi, 2012). Secara

empiris umat Hindu banyak waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan dalam

melaksanakan upacara adat dan agama yang kadang-kadang tidak dimengerti

(Suardika, 2006). Kehidupan masyarakat umat Hindu di Bali sekarang, ini bukan

bentuk dari tradisi nak mula keto (gugon tuwon). Ini adalah mitos baru dalam

kehidupan Hindu Bali modern, di sisi lain kekawatiran umat Hindu akan

lunturnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pengaruh modernisasi di tengah-tengah

gerusan globalisasi.

Untuk memberikan jawaban yang mengkanter fenomena yang

berkembang di masyarakat saat ini, maka layak dilakukan penelitian studi kasus

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan

Abiansemal Kabupaten Badung, dengan pertimbangan kuatnya tradisi gotong

royong yaitu konsep ngayah, menyamabraya, ngoopin, metetulung dalam

aktivitas adat istiadat dan Agama Hindu. Dalam rangka pelaksanaan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, tanggal 20 April 2012.

berdasarkan hasil musyawarah seluruh pengempon pura bahwa tingkatan ritual

yang digunakan adalah Madyaning Utama artinya tingkatan ritual menengah

tetapi yang besar sesuai kerangka dasar Agama Hindu (tattwa, susila, upacara,

sebagai Yajamana karya Ida Pedanda Geriya Agung Desa Abiansemal dan

Prawartaka karya atau manggalaning karya.

20

Sarana prasaran upakara dibuat secara gotong royong oleh 108 kepala

keluarga (KK) sebagai pengempon pura, hal ini dianggap lebih efisien ketimbang

membeli karena bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih sebagian besar

tersedia di sekitar Abiansemal dan hanya sebagian kecil dipasok dari luar daerah

Bali. Tingginya permintaan bahan-bahan ritual dapat menciptakan kesempatan

kerja dan menghasilkan multiplier effect serta dapat meningkatkan tambahan

pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pemasok bahan ritual maka dapat

meningkatkan perekonomian regional Abiansemal khususnya, dan Bali umumnya.

Proses pembuatan sarana ritual memerlukan curahan waktu kerja yang

tinggi dan tenaga kerja cukup banyak baik tenaga kerja laki-laki maupun

perempuan dengan tingkat mobilitas tenaga kerja cukup tinggi perlu

mensinergikan sistem manajemen tradisional dengan manajemen modern untuk

efektif dan efisiennya pekerjaan. Manajemen modern Terry (1986) yaitu

perencanaan (planning), organisasi (organizing), pelaksanaan (actuating), dan

pengawasan (controlling) (Saragih, 1982; Mannulang, 2001). Dalam penelitian

ini, masyarakat pengempon pura mensinergikan manajemen tradisional dengan

manajemen modern, dalam menyusun panitia (manggalaning karya atau

prawartaka karya) dan jadwal acara (dodunan karya) secara sekala niskala, mulai

persiapan, pelaksanaan, pengawasan dan melakukan evaluasi terhadap

pelaksanaan ritual. Seluruh rangkaian ritual ini mulai 25 Pebruari hingga 27 April

2012 (selama 63 hari). Total biaya pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal adalah sebesar Rp188,568 juta.

Sumber dana dari iuran pura (ayah-ayahan) masing-masing KK pengempon pura

21

sebesar Rp 2 juta rupiah dan sumbangan (punia) baik dalam bentuk uang maupun

material (Bendahara Karya, 2012).

Setelah dipahami uraian latar belakang masalah tersebut dan selama ini

belum ada penelitian tentang “Kontribusi Pelaksanaan Ritual Terhadap

Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal

Kabupaten Badung”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan judul penelitian, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut.

1) Bagaimana manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh masyarakat

pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di

Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung?

2) Berapa besar Multiplier Effect pengeluaran pelaksanaan ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung?

3) Berapa besar tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung?

4) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja pada

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal?

5) Bagaimana pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat

baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja pada

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal?

22

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini dapat dijelaskan dalam

uraian sebagai berikut.

1) Untuk mengetahui manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh

masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung.

2) Untuk mengetahui besarnya Multiplier Effect pengeluaran pelaksanaan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal

Kabupaten Badung.

3) Untuk mengetahui tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal

Kabupaten Badung.

4) Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja

pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal.

5) Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan

masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja

pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini meliputi manfaat secara

teoritis dan secara praktis sebagai berikut.

1) Secara Teoritis, yaitu untuk membuktikan Teori Konsumsi Keynes (1936),

konsep Max Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), Teori Religiusitas

Clifford Geertz (1973) dan konsep Multiplier Effect, dengan demikian dapat

23

memperkuat hasil penelitian terdahulu tentang hubungan pengeluaran

konsumsi dengan pendapatan, hubungan aktivitas agama dengan ekonomi,

dan besarnya pengeluaran konsumsi mempengaruhi Multiplier Effect.

2) Secara Praktis

a) Pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali memiliki Multiplier Effect dalam

ekonomi regional melalui peningkatan kesempatan kerja dan sebagai

stimulus pertumbuhan ekonomi Abiansemal khususnya, dan Bali

umumnya.

b) Masyarakat sekitar Abiansemal perlu mengembangkan bahan-bahan ritual

utama yang dibutuhkan secara berkelanjutan dalam upaya mengurangi

impor bahan ritual.

c) Masyarakat umat Hindu mampu melestarikan nilai-nilai kearifan lokal di

tengah-tengah gempuran modernisasi dan aktivitas Agama Hindu bisa

dijadwalkan sesuai manajemen modern agar semua terakomodasi secara

baik atau menerapkan manajemen waktu.

d) Sebagai referensi dan pedoman bagi umat Hindu untuk mampu

memprediksi pengeluaran ritual dengan model yang sama.

24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Penelitian ini menggunakan acuan Teori Konsumsi The General Theory

dari John Maynard Keynes (1936) sebagai teori utama (Grand Theory) dan di

dukung oleh konsep Max Weber (1930) bukunya The Protestant Ethic and the

Spirit of Capitalism, Pierre Bourdieu (1977) konsep Social Capital, dan Teori

Religiusitas Clifford Geertz (1973) sebagai Middle Range Theory serta beberapa

teori sebagai application theory, yaitu konsep Multiplier Effect Keynes, konsep

kesempatan kerja dan konsep kesejahteraan, teori tersebut selanjutnya diuraikan

sebagai berikut.

2.1 Teori Konsumsi Keynes

Teori Konsumsi Keynes (1936) sebagai teori utama (Grand Theory)

dalam The General Theory menggambarkan bahwa análisis pengeluaran konsumsi

selalu dihubungkan dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat

ketika pendapatan naik. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun

akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan pendapatan yang

dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan pendapatan yang dibelanjakan

untuk bukan makanan. Hubungan pengeluaran konsumsi dengan berbagai

pendapatan digambarkan dalam ekonomi makro adalah fungsi konsumsi. Fungsi

konsumsi menunjukkan hubungan antara tingkat pengeluaran konsumsi dengan

tingkat pendapatan pribadi yang siap dibelanjakan. Konsep Keynes ini didasarkan

hipotesis bahwa ada hubungan empiris yang stabil antara konsumsi dengan

25

pendapatan. Secara nasional konsumsi merupakan komponen dari pendapatan

nasional. Rumusan pendapatan nasional menurut Samuelson (2004):

GNP = C + I + G + NX.............................................................................. (2.1)

dimana, GNP (Gross National Product) adalah pendapatan, C adalah konsumsi, I

adalah investasi, G adalah pengeluaran pemerintah, dan NX menunjukkan ekspor

netto (Mankiw, 2007; Gordon, 2000; Sukirno, 2008).

Perhitungan pendapatan nasional menurut Lindauer (1971) terdapat

beberapa perkiraan yang tidak termasuk di dalamnya antara lain nilai pekerjaan

rumah tangga yang dikerjakan sendiri, pembayaran tunjangan bagi penganggur,

pensiunan, orang jompo, kegiatan ilegal atau perjudian, dan pembayaran retribusi

pada negara. Bagi masyarakat (Hindu) di Bali yang taat melaksanakan ajaran

agama mempunyai hubungan negatif terhadap kegiatan yang bersifat negatif

sesuai dengan pendapat Lindauer bahwa hasil kegiatan ilegal tidak dimasukkan ke

dalam pendapatan keluarga. Namun kecendrungan dewasa ini banyak negara yang

telah mengubahnya menjadi kegiatan yang legal menurut Suroso (1992)

sebagaimana dikutip oleh Karim (2002).

Dari aspek pendapatan nasional dapat dirumuskan (Gordon, 2000):

GNP = C + S + T + (X – M) .............................................................................(2.2)

dimana, GNP (Gross National Product) adalah pendapatan, C adalah konsumsi, S

adalah tabungan, T adalah pajak, dan X-M menunjukkan ekspor dikurangi impor.

Khusus pengeluaran konsumsi dibedakan menjadi pengeluaran konsumsi rumah

tangga (C) dan pengeluaran pemerintah (G). Keynes menggambarkan hubungan

26

pola pengeluaran konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan. Hal ini

dinyatakan dengan persamaan:

Fungsi konsumsi: C = Ca + b. Y....................................................................... (2.3)

dimana, C adalah konsumsi masyarakat riil, Ca adalah konsumsi rumah tangga

ketika pendapatan keluarga nol (Y = 0), b adalah hasrat konsumsi marginal, dan Y

adalah pendapatan nasional riil. Keseimbangan makroekonomi secara tidak

langsung memberikan gambaran mengenai kesempatan kerja dan pengangguran

yang terwujud dalam perekonomian. Teori klasik berkeyakinan perekonomian

selalu mencapai kesempatan kerja penuh (Lindauer, 1971; Mangkusubroto, 1998;

Sukirno, 2008).

Hipotesis yang mempengaruhi konsumsi dikemukakan oleh beberapa

peneliti seperti, James Duesenberry (1949), Milton Friedman (1957), Franco

Modligiani (1963) dalam (Denburg, 1976). Menurut Keynes, pengeluaran

konsumsi riil yang dilakukan oleh sektor rumah tangga ditentukan terutama oleh

besarnya pendapatan riil keluarga tersebut. Sisa pendapatan keluarga yang tidak

dikonsumsi merupakan tabungan. Selain faktor utama tadi, ada juga faktor

demografis, jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin, kekayaan, status

sosial, dan faktor lainnya yang menentukan komposisi dan perilaku pengeluaran

konsumsi.

Keadaan ekonomi keluarga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor antara

lain pertama, jumlah kekayaan yang dimiliki, keluarga yang mempunyai

kekayaan lebih banyak cenderung melakukan konsumsi lebih banyak

dibandingkan dengan keluarga yang tidak mempunyai kekayaan walaupun

27

mempunyai pendapatan yang sama. Jumlah kekayaan ini termasuk juga jaminan

hari tua seperti asuransi, tabungan atau bunga deposito, dan pendapatan dari

saham. Kedua, seseorang akan mengeluarkan pendapatan untuk konsumsi dari

pendapatan rata-rata yang akan diperoleh pada masa datang dibandingkan dengan

pendapatan yang diterima saat ini (Denburg, 1976).

Berdasarkan konsep pendapatan yang berkembang saat ini untuk tujuan

pengeluaran konsumsi dengan berbagai hipotesis berikut.

1). Hipotesis pendapatan absolut (Absolut Income).

Konsep ini pertama kali diciptakan oleh John Maynard Keynes (1936)

mengatakan jumlah pengeluaran konsumsi perlu memperhatikan variabel

kemakmuran, tingkat bunga, dan distribusi pendapatannya (Denburg, 1976).

Pengeluaran konsumsi lebih banyak dikeluarkan oleh seseorang yang

mempunyai kekayaan bersih lebih banyak walaupun jumlah pendapatannya

sama. Kekayaan bersih adalah selisih antara semua kekayaan yang dimiliki

dikurangi utang atau kewajiban yang harus dibayar. Peranan suku bunga

terhadap pengeluaran konsumsi secara teori menunjukkan bahwa naiknya

suku bunga akan mendorong konsumen untuk menambah pengeluaran

konsumsi yang ada sekarang sampai pada tingkat pendapatan yang lebih baik

untuk menambah tabungannya. Hal ini bertujuan untuk persiapan setelah

pensiun atau membiayai orang tua di kemudian hari. Jadi tidak semua

masyarakat akan menambah tabungan walaupun ada kenaikan tingkat suku

bunga.

28

Keynes mengatakan bahwa kecenderungan konsumsi marginal

(Marginal Propensity to Consume/MPC) kelompok masyarakat kaya lebih

rendah daripada masyarakat miskin sebaliknya kecenderungan menabung

marginal (Marginal Propensity to saving/MPS) kelompok masyarakat miskin

lebih kecil daripada masyarakat kaya. Pengeluaran konsumsi akan meningkat

jika dilakukan distribusi pendapatan dari kelompok masyarakat kaya ke

kelompok masyarakat miskin sebanyak selisih kecenderungan konsumsi

marginal dikalikan dengan nilai distribusi pendapatan.

Menurut Keynes, terdapat hubungan antara pengeluaran konsumsi dan

pendapatan nasional dimana pengeluaran konsumsi dan pendapatan nasional

dinyatakan dalam tingkat harga konstan. Pendapatan nasional yang terjadi

saat ini, bukan pendapatan nasional yang lalu ataupun yang diramalkan

(Mankiw, 2007). Dalam bentuk grafis, fungsi konsumsi Keynes, seperti pada

Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kurve Teori Konsumsi Keynes Sumber: Mankiw, 2007

Y=Y

Pendapatan (Y)

C

O

Co

Konsumsi (C)

29

Berdasarkan Gambar 2.1 kurve konsumsi berbentuk garis lengkung

dan memotong sumbu vertikal. Apabila menggambarkan kurve konsumsi

berbentuk garis lurus, hal ini hanyalah untuk menyederhanakan saja.

Berpotongan dengan sumbu vertikal berarti bahwa nilainya pasti positif dan

dalam bentuk persamaan perpotongan ini disimbolkan dengan Co. Konsep ini

memperkuat hasil penelitian (Sigit, 1985; Hermanto, 1986; Syukur, 2002;

Malucio et al.,1999; Sukarsa, 2005; dan Wijaya, 2012) bahwa pengeluaran

konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan.

2) Hipotesis Pendapatan Permanen (Permanent Income Hypothesis)

Teori konsumsi hipotesis pendapatan permanen yang dikembangkan

oleh Milton Friedman (1957) dalam bukunya A Theory of Consumption

Function, mengatakan pendapatan dibagi dua jenis, yaitu: pendapatan

permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory

income). Pendapatan permanen merupakan bentuk pendapatan yang diterima

secara periodik dan jumlahnya dapat diperkirakan sebelumnya, misalnya

pendapatan gaji. Pendapatan sementara merupakan bentuk pendapatan yang

tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Pendapatan sementara ini dapat

berbentuk tambahan (bonus dan menang lotre) ataupun berbentuk

pengurangan, misalnya biaya pengobatan sakit yang tiba-tiba pada

pendapatan permanen. Pengeluaran konsumsi seseorang dipengaruhi oleh

pendapatan permanen secara proporsional. Apabila terjadi kenaikan

pendapatan sementara yang positif (positive transitory income), maka

pengeluaran konsumsinya juga akan mengalami kenaikan, begitu pula

sebaliknya.

30

Friedman menjelaskan teori hipotesis pendapatan permanen tadi

memulai dari anggapan bahwa konsumen bersikap ekspektasi rasional sesuai

pendapat Hall dalam mengalokasikan pendapatan yang diperoleh semasa

hidupnya diantara kurun waktu yang dihadapinya serta menghendaki pola

konsumsi yang kurang lebih merata dari waktu ke waktu. Menurut teori ini,

konsumsi permanen konsumen mempunyai hubungan yang positif dan

proporsional dengan pendapatannya. Dalam bentuk persamaan dapat

dituliskan:

Cp = k Yp

dimana, Cp adalah konsumsi permanen; Yp adalah pendapatan permanen;

k adalah angka konstan. k atau angka konstan menunjukkan bagian atau

proporsi pendapatan permanen yang dikonsumsi yang nilainya antara nol

sampai satu (0 < k < 1). Nilai k ini relatif stabil dan merupakan fungsi dari

suku bunga (r), selera konsumen (u), dan rasio antara kekayaan menusiawi

dan kekayaan non manusiawi (w), hubungan ini dapat dituliskan berikut: k =

f (r, u, w) fungsi utilitasnya homothetic sehingga rumah tangga akan memilih

konsumsi optimal yang sebanding dengan umur teknis dan sumber-sumber

yang dimiliki.

Konsep ini memperkuat hasil penelitian Yan Wang (1995)

masyarakat China menunjukkan pendapatan permanen sangat tergantung

pada (gaji dan bonus), pendapatan tidak rutin (hadiah dan tunjangan), dan

faktor-faktor lain seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pengalaman pekerjaan

diukur umur, status pekerjaan, dan domisili kepala keluarga. Kesimpulan Yan

Wang bahwa masyarakat China pendapatan permanen dibentuk oleh variabel

diatas sehingga kemakmuran yang dicapai melalui pendapatan permanen.

31

Selanjutnya, memperkuat hasil penelitisan Hatzinikolaou (1999)

melakukan estimasi pengeluaran agregat konsumen dari pendapatan sekarang

sesuai dengan permanent-income di Yunani. Hatzinikolaou berkesimpulan

bahwa pajak yang semakin rendah dikenakan kepada konsumen, akan lebih

banyak menstimulasi konsumen dibandingkan jika dikenakan pajak lebih

tinggi. Permanent-income hypothesis sering dipakai dalam membuat

kebijakan ekonomi makro. Konsep ini juga menguatkan hasil penelitian

Davies et al. (2000) yang mengatakan pajak konsumsi lebih baik dikenakan

dibandingkan dengan pajak pendapatan para pekerja terutama untuk

konsumsi barang-barang publik, seperti pendidikan. Sebagaimana juga hasil

penelitian (Pecarino, 1993; Lukas, 1990) mempunyai kesimpulan yang sama

walaupun memakai modelnya sendiri, yaitu pajak konsumsi lebih baik

daripada pajak-pajak pendapatan atas modal.

3) Hipotesis Pendapatan Relatif (The Relative Income)

Teori hipotesis pendapatan relatif dikemukakan pertama kali oleh

Duesenberry (1949) seorang ekonom Amerika dalam bukunya Income,

Saving and Theory of consumer Behavior. Menurut teori ini, pola konsumsi

seseorang ditentukan terutama oleh pendapatan tertinggi yang pernah

dicapainya. Apabila pendapatan berkurang pada periode tertentu, konsumen

tidak akan banyak mengurangi pengeluaran konsumsi, untuk menutupnya,

mereka mengurangi tabungannya.

Dalam jangka panjang konsumsi berubah secara proporsional dengan

pendapatan, akan tetapi dalam jangka pendek konsumsi berubah dalam

proporsi yang lebih kecil dari perubahan pendapatan. Selain tingkat

pendapatan, kondisi lingkungan disekitar tempat tinggal konsumen juga

32

mempengaruhi pola konsumsi seorang konsumen. Seseorang akan selalu

berusaha hidup seperti tetangganya, maka ketika pendapatan turun, maka

tidak akan menurunkan konsumsinya seperti apabila pendapatannya naik,

tetapi akan mempertahankan tingkat konsumsinya tidak terlalu jauh dengan

tingkat konsumsi tertinggi yang pernah dicapainya.

Pola konsumsi jangka pendek akan menunjukkan hubungan tingkat

konsumsi dan pendapatan, tetapi dalam jangka panjang konsumsi akan

berubah secara proporsional dengan perubahan pendapatan. Bila kurve

konsumsi jangka pendek digambarkan bersamaan dengan kurve konsumsi

jangka panjang, bentuknya akan menyerupai gergaji. Teori Duesenberry

tentang efek lingkungan tempat tinggal konsumen terhadap pola konsumsi ini

disebut dengan Ratchet Effect atau efek gergaji dan hipotesisinya disebut

dengan hipotesisi pendapatan relatif. Bentuk kurve Duesenberry ini adalah

sebagai pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif Sumber: Mankiw, 2007

C = f (Y)

YB

C

O

YC YA Y

C

B

A

33

Gambar 2.2 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan awal adalah

sebesar OYA kemudian mengalami peningkatan sehingga konsumsi akan

meningkat pula pada proporsi yang sama dari A ke B di sepanjang kurve

konsumsi jangka panjang. Apabila pendapatan turun, konsumen tidak akan

menurunkan konsumsinya melalui fungsi konsumsi jangka panjang ke A,

tetapi penurunannya melalui titik B bila pendapatannya naik lagi, konsumen

tidak akan meningkatkan konsumsinya secara proporsional, tetapi justru

bergerak dari C ke B untuk mengembalikan tabungannya yang diambil

selama pendapatannya turun. Jika pendapatannya masih meningkat, barulah

konsumen akan meningkatkan konsumsinya sebanding dengan meningkatnya

pendapatan. Dengan demikian terjadilah efek gergaji seperti Gambar 2.2

diatas.

Hasil studi Duesenberry, konsumsi tergantung dari penghasilan saat

ini dan penghasilan tertinggi tahun sebelumnya. Perilaku konsumsi seseorang

akan tergantung pula dengan perilaku konsumsi lingkungannya. Pandangan

ini diperkuat oleh J.Tobin melalui pendekatan kebiasaan menabung, yaitu dua

keluarga yang memiliki pendapatan sama akan menabung dalam jumlah yang

berbeda. Keluarga yang merasa kesehatan lebih baik dan kehidupan lebih

terjamin akan cenderung menabung lebih sedikit dibandingkan dengan

keluarga yang tidak memiliki kedua jaminan tersebut (Sukarsa, 2005).

4) Konsep pendapatan siklus hidup (Life Cycle).

Teori konsumsi dengan memperhatikan pola pengeluaran individu selama

hidupnya oleh Albert Ando, Richard Brumberg dan Franco Modligiani (Branson,

34

1979). Teori ini mencoba menjelaskan tentang perilaku konsumsi berdasarkan

pada umur dalam siklus hidupnya. Secara umum, siklus hidup dibagi menjadi tiga

tahapan, yaitu usia 0 – 15 tahun sebagai usia belum produktif, usia 16 – 60 tahun

sebagai usia produktif, dan usia diatas 60 tahun sebagai usia tidak produktif. Pada

usia produktif, pendapatannya akan naik diikuti dengan tabungan untuk

mengantisipasi masa pensiun. Menurut Modligiani (1963), perubahan pendapatan

sepanjang hidup mengikuti perubahan harapan penghasilan di masa depan. Bentuk

kurve siklus hidup sebagaimana terlihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Kurve Teori Konsumsi Hipotesis Daur Hidup Sumber: Mankiw, 2007

Berdasarkan Gambar 2.3 terdapat sumbu vertikal menunjukkan

pengeluaran konsumsi (C) dan besarnya pendapatan (Y), sedangkan sumbu

horizontal menunjukkan fungsi dari waktu ke waktu. Y merupakan kurve

pendapatan dan C merupakan kurve konsumsi. Pada siklus I, dimulai dari

C

T O

P B Waktu (t)

M

t

C,Y

II

III I

P

Y b

35

usia nol tahun. Setelah dilahirkan, membutuhkan pengeluaran untuk

konsumsi, seperti untuk susu, pakaian, biaya dokter, dan lain sebagainya.

Disisi lain, ketika pendapatan nol maka pengeluaran lebih besar

daripada pendapatan sehingga terjadi dissaving. Setelah melalui tahap B

dimana orang tersebut sudah memasuki usia produktif dan memasuki fase

angkatan kerja (labour force) sehingga dapat menghasilkan pendapatan. Pada

tahap II, dapat membiayai konsumsinya dan dapat menabung (saving) apabila

pendapatan lebih besar daripada konsumsinya. Seiring dengan waktu, tingkat

pendapatan meningkat sampai dengan puncaknya di titik t dan setelah itu

mengalami penurunan sampai akhirnya mencapai tahap III. Pada tahap III ini,

kembali mengalami dissaving karena memasuki usia nonproduktif.

Dalam analisisnya, teori ini menggunakan asumsi bahwa konsumen

bersikap rasional. Artinya, konsumen berusaha memaksimalkan kepuasan

dari aliran pendapatan yang diterimanya selama fase tertentu dengan batasan

anggaran (budget constraint). Sumber pendapatan menurut Ando-Brumberg

dan Modligiani dibedakan menjadi dua sumber pendapatan, yaitu tenaga kerja

sebagai sumber labour income, dan kekayaan sebagai sumber property

income. Dari dua sumber pendapatan tersebut, dapat dibuat suatu fungsi

konsumsi dalam persamaan.

Ct = c YLt + c At

dimana, C adalah jumlah pengeluaran konsumsi; YL adalah labour income

atau pendapatan dari tenaga kerja; A adalah kekayaan bersih konsumen; c

adalah marginal propensity to consume; t adalah waktu.

36

Konsep ini memperkuat hasil penelitian Pemberton (1997) menemukan

ketidak pastian pendapatan pada masa depan sangat mempengaruhi pilihan

konsumsi. Temuan lain juga ditemukan Pemberton bahwa properties sangat

mempengaruhi pola konsumsi, terutama pada masyarakat miskin. Engel (1957)

dalam Boediono dan McCawley (1984), mengenai pengaruh penghasilan terhadap

konsumsi rumah tangga. Namun konsumsi rumah tangga juga dipengaruhi oleh

beberapa indikator seperti jumlah anggota keluarga, umur, jenis kelamin,

domisili, asal usul dan agama dari anggota keluarga, jumlah aktiva lancar yang

dipegang dan harga dari barang-barang (asset). Hasil penelitian Engel di Belgia

temuannya bahwa penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan

berkurang dengan naiknya penghasilan. Penelitian empiris yaitu hubungan

fungsional, bukan antara penghasilan dengan konsumsi (makanan), tetapi juga

untuk barang-barang lain keperluan rumah tangga selain makanan.

Selanjutnya, memperkuat hasil penelitian Malucio et al. (1999)

mengatakan pengaruh modal sosial terhadap pengeluaran rumah tangga di Afrika

Selatan. Menggunakan data panel tahun 1993 dan 1998 untuk instrumen modal

sosial menggunakan beberapa variabel lag modal sosial tahun 1993, rata-rata

pendidikan, umur kepala rumah tangga di kuadratkan dengan jumlah total

kelompok dalam masyarakat. Hasil analisis dengan menggunakan metode OLS

(Ordinary Least Square) dari data tahun terpisah (1993 dan 1998) mereka

menemukan bahwa tahun 1993 modal sosial rumah tangga dan modal sosial

masyarakat tidak berpengaruh positif terhadap pengeluaran rumah tangga.

37

Sebaliknya tahun 1998 bahwa modal sosial rumah tangga meningkat 10 persen

dan masyarakat mampu meningkatkan pengeluaran rumah tangga sebesar 1,2

persen.

Pengeluaran untuk konsumsi barang bertujuan untuk menyediakan

kebutuhan rumah tangga saat ini, sedangkan pengeluaran untuk barang-barang

investasi bertujuan meningkatkan standar hidup untuk tahun-tahun mendatang.

Investasi adalah komponen pendapatan nasional yang mengkaitkan masa kini dan

masa depan. Pengeluaran investasi memainkan peranan penting tidak hanya pada

pertumbuhan jangka panjang namun juga siklus bisnis jangka pendek karena

investasi merupakan unsur pendapatan nasional yang paling sering berubah

(Mankiw, 2007).

Pendapatan keluarga masyarakat umat Hindu dipergunakan untuk

pengeluaran konsumsi umum dan pengeluaran konsumsi untuk yadnya. Yadnya

diartikan sebagai persembahan suci yang tulus iklas. Yadnya yang ditujukan pada

panca yadnya (Puwita, 1992; Pudja, 1999). Dalam penelitian ini, pola

pengeluaran konsumsi ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal

merupakan pengembangan teori konsumsi dapat dirumuskan berikut: C = C1 + C2

dimana C1 merupakan konsumsi umum terdiri atas makanan, minuman, pakaian

dan lain-lain dan C2 adalah pengeluaran konsumsi ritual panca yadnya. Di

samping itu, pola pengeluaran konsumsi ritual dipengaruhi oleh Desa-Kala-Patra,

struktur, dan peraturan berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat umat Hindu

di Desa Adat masing-masing di Bali. Dalam masyarakat Hindu juga dikenal

adanya prinsip perbuatan manusia mengumpulkan kekayaan (artha) hendaknya

38

dikendalikan oleh nafsu (kama) yang berlandaskan kebaikan dan kebenaran

(dharma) untuk mencapai tujan hidup (artha) yaitu menyatu dengan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa (moksha).

2.1.1 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Konsumsi

Adanya anggapan bahwa pengeluaran konsumsi ditentukan oleh

pendapatan hanyalah bersifat untuk menyederhanakan analisis. Dalam

kenyataannya, pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh faktor yang bersifat

ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor yang ikut menentukan besar kecilnya

pengeluaran konsumsi suatu masyarakat berikut.

1) Distribusi pendapatan nasional. Apabila besarnya MPC seluruh

masyarakat sama, maka bagaimanapun distribusi pendapatan tidak akan

berpengaruh terhadap fungsi konsumsi masyarakat tersebut. Dalam

kenyataannya tidak ada satu negarapun di dunia yang distribusi

pendapatannya sama dan marata antar penduduk. Biasanya penduduk

yang berpendapatan tinggi MPC-nya lebih rendah daripada penduduk

yang berpendapatan rendah. Dengan demikian kebijakan pemerintah yang

bertujuan memeratakan distribusi pendapatan akan mengakibatkan

naiknya MPC masyarakat. Bentuk kurve pengaruh pendapatan terhadap

konsumsi, sebagaimana terlihat pada gambar 2.4.

39

Gambar 2.4 Kurve Pengaruh Pendapatan Terhadap Konsumsi Sumber: Suparmono, 2004

Gambar 2.4, C merupakan kurve konsumsi sebelum adanya

kebijakan distribusi pendapatan dan C’ adalah kurve konsumsi setelah

kebijakan distribusi pendapatan. Dengan tingkat pendapatan nasional

sebesar y pengeluaran konsumsi masyarakat sebelum kebijakan distribusi

pendapatan adalah Oc dan setelah kebijakan distribusi pendapatan adalah

Oc’. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memerankan

distribusi pendapatan, dapat dicapai dengan menggunakan sistem pajak

progresif.

2) Jumlah kekayaan masyarakat dalam bentuk alat likuid. Dengan asumsi

tingkat pendapatan sama, semakin banyak alat likuid yang ada dalam

masyarakat, maka semakin besar pengeluaran konsumsi masyarakat

tersebut dibandingkan dengan keadaan masyarakat yang memiliki alat

likuid lebih sedikit.

C’

O

C’

y Y/tahun

C’

c

C

C

C/tahun

40

3) Banyak barang konsumsi tahan lama. Kepemilikan barang-barang tahan

lama (consumers durables) akan mempengaruhi pengeluaran masyarakat

untuk konsumsi. Pengaruh kepemilikan barang tahan lama terhadap

pengeluaran konsumsi adalah mengurangi pengeluaran masyarakat,

menambah pengeluaran masyarakat, dan barang tahan lama biasanya

harganya relatif mahal.

4) Kebijakan finansial perusahaan.

5) Ramalan masyarakat akan perubahan harga di masa datang. Harapan

konsumen mengenai perubahan harga di masa akan datang sangat

berpengaruh dalam pola pengeluaran konsumsi. Apabila konsumen

memperkirakan akan terjadi kenaikan harga di masa yang akan datang,

maka konsumen tersebut akan meningkatkan permintannya atas barang

dan jasa tersebut melebihi yang dibutuhkan walaupun pendapatannya

tetap. Sebaliknya apabila konsumen memperkirakan akan terjadi

penurunan harga di masa datang, maka konsumen tersebut akan menunda

untuk membeli barang dan jasa yang dibutuhkan.

2.1.2 Investasi

Investasi pada dasarnya merupakan pengeluaran perusahaan untuk

penyelenggaraan kegiatannya, yaitu menghasilkan barang dan jasa. Pengeluaran

tersebut dapat berupa pengeluaran untuk pembelian tanah, pembangunan pabrik,

pembelian mesin untuk produksi, dan bentuk pengeluaran lainnya. Secara umum,

investasi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu investasi tetap perusahaan,

perubahan persediaan, dan investasi perumahan. Dalam makro ekonomi yang

41

menentukan tingkat investasi, yaitu tingkat keuntungan yang diramalkan akan

diperoleh suku bunga, ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan,

kemajuan teknologi, tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya,

dan keuntungan yang akan diperoleh perusahaan (Sukirno, 2008).

Teori Pertumbuhan Harrord-Domar dikembangkan oleh dua ekonom

sesudah Keynes yaitu Harrord (1939) dan Domar (1947) dalam Arsyad (2010).

Model ini merupakan konsep tingkat pertumbuhan jangka panjang, yaitu jumlah

jam kerja yang tersedia tumbuh secara mantap dan efisiensi pekerja naik, ini

menunjukkan konsep laju pertumbuhan natural dalam sistem Harrord sebagai

kondisi pertumbuhan seimbang maka output dan kapital harus juga tumbuh

dengan laju pertumbuhan natural yang sama. Salah satu pendorong pertumbuhan

ekonomi adalah adanya iklim investasi yang baik yang ditunjang oleh

produktivitas yang tinggi. Dengan adanya investasi berarti akan menambah

kapasitas input dalam proses produksi hingga pada akhirnya akan menambah

output dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Mengingat pentingnya

investasi maka pemerintah dituntut untuk memiliki daya saing investasi yang

tinggi. Masih rendahnya iklim investasi di Indonesia dibanding negara-negara

tetangga mengharuskan adanya perbaikan iklim investasi. Kewajiban ini bukan

saja menjadi tugas atau tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan

tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat dan pemerintahan secara umum

(Todaro, 2006).

Investasi merupakan komponen kedua dari pembelanjaan agregat,

sifatnya tidak stabil dan menjadi salah satu konjungtur dalam perekonomian. Dari

42

sudut pandang ekonomi makro (dari sisi pengusaha) menurut Samuelson (2004)

apabila suku bunga rendah akan lebih banyak investasi yang dilakukan tetapi

sebaliknya pada tingkat suku bunga tinggi, terjadi pengurangan jumlah investasi.

Investasi adalah pengeluaran-pengeluaran untuk barang-barang modal dalam

perekonomian atau investasi dalam teori ekonomi adalah pengeluaran untuk

meningkatkan kapasitas produksi dalam perekonomian, fluktuasi perekonomian

sering disebabkan oleh fluktuasi investasi.

Fungsi investasi dalam model pertumbuhan adalah kaitannya dengan

konsep multiplier effect dan konsep acceleration. Multiplier effect dalam

kaitannya dengan fungsi investasi bahwa tambahan investasi menghasilkan

tambahan yang lebih besar lagi (tambahan berganda) pada hasil produksi dan

pendapatan. Konsep percepatan (acceleration) pada pokoknya didasarkan stok

modal (tambahan investasi) dikehendaki oleh pengusaha, tergantung tingkat

permintaan terhadap hasil produksinya. Tingkat permintaan agregatif itu

ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional. Investasi neto (tambahan stok

modal) berkaitan dengan kenaikan tingkat pendapatan nasional. Fungsi investasi

dalam perekonomian Arsyad (2010) komponen pengeluaran agregat,

meningkatkan kapasitas berproduksi dimasa yang akan datang dan perkembangan

teknologi untuk meningkatkan produktivitas (Sukirno, 2007). Pengeluaran

investasi tetap bisnis mencakup investasi peralatan produksi dan investasi

residensial (investasi tanah atau rumah dan investasi persediaan). Model investasi

tetap bisnis atau model neoklasik mengkaji manfaat dan biaya investasi, faktor

43

utama yang menentukan investasi secara umum adalah tingkat keuntungan, suku

bunga, ekonomi, teknologi, dan pendapatan nasional.

Pendekatan Harrod Domar, investasi mempunyai peranan penting

dalam proses pertumbuhan ekonomi karena investasi menentukan tingkat

pendapatan secara aktual melalui multiplier effect dan investasi juga menambah

persediaan stok modal di masa datang untuk mencapai tingkat pendapatan secara

maksimal. Menurut Sukirno (2007), Harrod-Domar mengarahkan perhatiannya

pada pertumbuhan produksi dan pendapatan yang dapat mendorong para

investor untuk melakukan investasi yang diperlukan guna menjaga tingkat

ekuilibrium pendapatan pada pekerjaan penuh (full employment), maka

pendapatan maupun output keduanya harus meningkat pada laju pertumbuhan

yang sama pada saat kapasitas produksi meningkat. Tingkat investasi yang

diperlukan tergantung dari ekspektasi para investor tentang laju pertumbuhan

pendapatan di masa datang, yaitu sejauh mana laju pertumbuhan itu dianggap

memadai investasi yang hendak dilaksanakan. Domar memandang pada

pertumbuhan investasi yang lajunya melalui asas multiplier dapat meningkatkan

pendapatan guna mencapai keadaan yang seimbang (Boediono, 1982; Todaro,

2006; Subandi, 2011).

Todaro (2006) pertumbuhan ekonomi Harrod Domar bahwa tingkat

pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) ditentukan secara bersama-sama

oleh ratio saving serta ratio modal-output nasional (k). Dengan persamaan: tingkat

pertumbuhan pendapatan nasional secara ’positif’ berbanding lurus dengan ratio

saving (yakni semakin banyak GDP yang di tabung dan di investasikan, maka

44

pertumbuhan GDP yang dihasilkan lebih besar) dan secara ’negatif’ berbanding

terbalik terhadap ratio modal-output dari suatu perekonomian (yakni semakin

besar ratio modal-output nasional/k, maka tingkat pertumbuhan GDP akan

semakin rendah).

Selanjutnya, semakin banyak yang di tabung (S) dan di investasikan (I),

maka laju pertumbuhan perekonomian akan semakin cepat. Tingkat pertumbuhan

aktual yang dapat dijangkau pada setiap tingkat tabungan dan investasi,

banyaknya tambahan output yang didapat dari tambahan satu unit investasi dapat

diukur dengan kebalikan ratio modal-output k, karena ratio yang sebaliknya yakni

1/k adalah ratio output-modal (ratio output-investasi). Selanjutnya, dengan

mengalikan tingkat investasi baru S = I / Y dengan tingkat produktivitasnya, 1/k

maka akan didapat tingkat pertumbuhan dimana pendapatan nasional atau GDP

akan naik (Todaro, 2006).

Dalam penelitian ini, pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di

Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, menyebabkan adanya transaksional bahan-

bahan ritual. Pelaksanaan ritual menghasilkan multiplier effect melalui

peningkatan konsumsi, peningkatan output, kesempatan kerja, pendapatan tenaga

kerja, dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi regional Bali umumnya dan

Abiansemal khususnya.

2.1.3 Multiplier Effect

Keynes menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah

mendorong adanya kenaikan pendapatan yang lebih besar, yaitu ΔY lebih besar

dari ΔG. Multiplier effect pada pengeluaran pemerintah sebagai rasio antara

45

kenaikan pendapatan dengan kenaikan pengeluaran pemerintah. Keynes

mengatakan bahwa multiplier effect lebih tinggi pada saat masyarakat lebih

banyak mengkonsumsi. Besarnya angka multiplier effect menggambarkan

perbandingan jumlah pertambahan atau pengurangan pendapatan nasional dengan

jumlah pertambahan atau pengurangan pengeluaran agregat yang telah

menimbulkan perubahan pendapatan nasional (Mankiw, 2007; Samuelson, 2004;

Sukirno, 2008).

Proses ini berlangsung terus menerus hingga tidak terjadi kelebihan

pengeluaran agregat, keadaan ini menciptakan tingkat keseimbangan

perekonomian. Untuk mengetahui besarnya pertambahan pendapatan nasional

yang diakibatkan oleh pertambahan sejumlah pengeluaran tertentu. (Samuelson,

2004; Mankiw, 2007) model multiplier effect digunakan persamaan:

ΔY= (ΔC+ΔI+ΔG +ΔX)................................................................................. (2.4)

dimana, ΔY adalah pertambahan pendapatan nasional dari proses multiplier, MPC

(marginal propensity to consume) adalah kecenderungan konsumsi marjinal dan

ΔC, ΔI, ΔG, ΔX (tambahan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan

tambahan ekspor).

Angka multiplier effect (kc) konsumsi adalah perubahan pendapatan

terhadap perubahan konsumsi yang diproksikan dengan perubahan autonomons

consumption/konsumsi ketika pendapatan nol, yang besarnya dengan formula:

kc = =

..............................................................................................(2.5)

(Samuelson, 2004; Mankiw, 2007; Sukirno, 2008)

46

Pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi juga lebih tinggi. Ketika

pengeluaran meningkat maka ada tambahan pendapatan, itu juga meningkatkan

konsumsi, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan kemudian meningkatkan

konsumsi, dan seterusnya. Mankiw dalam model ini kenaikan pengeluaran

menyebabkan kenaikan pendapatan yang lebih besar. Menurut Arsyad (2010)

adalah: k = ( . )

..................................................................... (2.6)

dimana: k adalah kenaikan pendapatan dari suatu kegiatan ekonomi yang baru

didalam masyarakat, MPC1 adalah proporsi pendapatan daerah yang dibelanjakan

di daerah dan PSY adalah bagian dari pengeluaran daerah yang menghasilkan

pendapatan bagi daerah.

Pola Hubungan pengeluaran konsumsi dengan pendapatan atau fungsi

konsumsi Keynes, menunjukkan fungsi konsumsi dengan tiga alasan yang diduga

Keynes. Pertama, kecenderungan mengkonsumsi marjinal (MPC), c adalah antara

nol dan satu, ketika pendapatan naik menyebabkan konsumsi dan tabungan

meningkat. Dengan kata lain MPC sebagai perbandingan diantara pertambahan

konsumsi (ΔC) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan disposibel (ΔY).

Menurut Mankiw (2007) dan Sukirno (2008), dihitung dengan formula:

MPC = ..................................................................................................... (2.7)

Kedua, kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (Average Propensity to

Consume/APC) turun ketika pendapatan naik. Dengan kata lain APC sebagai

perbandingan di antara tingkat konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan

disposebel (Yd). Menurut Mankiw (2007) dan Sukirno (2008), dihitung dengan

formula:

47

APC = .................................................................................................... (2.8)

Ketiga, konsumsi ditentukan oleh pendapatan sekarang (Mankiw, 2007 dan

Sukirno, 2008).

Menurut Keynes adalah fungsi konsumsi jangka pendek, digambarkan

sebagai garis lurus, C menunjukkan perpotongan garis vertikal dan b merupakan

kemiringan fungsi konsumsi. Bahwa fungsi konsumsi ini menunjukkan tiga alasan

Keynes, yaitu pertama, karena MPC, b adalah antara nol dan satu, sehingga

pendapatan tinggi menyebabkan konsumsi dan tabungan tinggi juga. Kedua, APC

adalah AC = = " + b, ketika Y meningkat, " turun dan begitu pula APC =

turun. Ketiga, tingkat bunga tidak dimasukkan dalam persamaan sebagai

determinan konsumsi. Jadi fungsi Konsumsi Keynes (Sukirno, 2008).

C = a + b Yd ............................................................................................... (2.9)

dimana, a adalah konstanta atau autonomous consumption (pengeluaran konsumsi

ketika pendapatan nol atau Yd=0). b adalah MPC (perbandingan atau rasio di

antara pertambahan konsumsi/ΔC dan pertambahan pendapatan disposebel/ΔY),

dan Yd adalah pendapatan dispossable atau pendapatan yang siap dikonsumsi.

Analisis Input-Output (I-O) adalah teknik pengukuran ekonomi daerah

(regional). Teknik ini dikenalkan oleh Leontief (1951) digunakan untuk melihat

keterkaitan (linkages) antar industri untuk permintaan dan penawaran. Multiplier

effect yang mampu dihasilkan oleh suatu sektor terhadap sektor lainnya. Secara

sederhana total output yang dihasilkan oleh setiap sektor produksi merupakan

penjumlahan antara total permintaan (final demand) dan proporsinya untuk

memenuhi kebutuhan sektor produksi lainnya.

48

Konsep ini memperkuat hasil penelitian Horváth et al. (1999) pariwisata

dalam ekonomi regional memiliki multiplier effect melalui peningkatan output,

kesempatan kerja, pendapatan tenaga kerja, dan meningkatnya pertumbuhan

ekonomi. Begitu pula Leontief (1985) menunjukkan di tingkat nasional, regional

dan metropolitan pariwisata memiliki multiplier effect terhadap peningkatan

output, pendapatan dan kesempatan kerja. Selanjutnya, memperkuat hasil

penelitian Syahza (2004) menunjukkan perkebunan kelapa sawit memiliki

multiplier effect dan meningkatkan kesejahteraan petani. Begitu pula hasil

penelitian Wijaya (1991) pengeluaran pemerintah mempunyai angka pengganda

dan mendorong kenaikan pendapatan dan produksi secara berganda sepanjang

perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh (full

employment).

Dalam penelitian ini, multiplier effect pengeluaran konsumsi ritual dapat

dinyatakan berikut.

1) Perubahan pengeluaran konsumsi ritual (ΔC) dapat menciptakan

kesempatan kerja yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan

pendapatan pemasok bahan ritual (ΔYo) menghasilkan Angka Pengganda

Konsumsi (Consumption multiplier effect). Perubahan pendapatan

pemasok bahan ritual (ΔYo) mengakibatkan perubahan pengeluaran

konsumsi dan saving (ΔCo dan ΔSo). Acceleration terjadi ketika ada

perubahan pengeluaran konsumsi (ΔCo) mengakibatkan perubahan

pengeluaran konsumsi (ΔCl). Lefried effect adalah ΔC hingga ΔCl.

Perubahan pengeluaran konsumsi (ΔCl) dapat menciptakan kesempatan

49

kerja yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan pendapatan (ΔY1)

maka menghasilkan multiplier effect dan seterusnya. Perubahan

pendapatan (ΔY1) mengakibatkan perubahan pengeluaran konsumsi dan

saving (ΔC1 dan ΔS1). Perubahan pendapatan (ΔY1) mengakibatkan

perubahan pengeluaran konsumsi (ΔC1) yang menyebabkan acceleration

dan seterusnya.

2) Konsep multiplier effect pengeluaran ritual adalah:

Pendapatan keseimbangan : Y = − 푏 (푎 + 퐼)

(a) Jika terdapat tambahan pengeluaran ritual sebesar Δa, maka

Y + ΔY = − 푏 (푎 + Δ 푎 + I)

= − 푏 (푎 +I) + − 푏 (Δ 푎)

ΔY = − 푏. Δ 푎

multiplier effect pengeluaran ritual : kc = = − 푏 =

(b) C pengeluaran ritual = yang dalam hal ini =

ΔC pengeluaran ritual = Δ 푎

C = 푎 + bYd Yd = 0 , C = 푎

dimana: 푎 adalah konstanta atau autonomous consumption

(pengeluaran ketika Yd=0), b adalah MPC ( ), dan Yd adalah

pendapatan dispossable atau pendapatan yang siap dikonsumsi,

walaupun masyarakat pengempon pura tidak memiliki pendapatan

namun tetap dapat melaksanakan ritual karena C adalah pengeluaran

ritual yang dilakukan masyarakat pengempon pura secara tulus iklas

50

berdasarkan kepercayaan dan keyakinan (srada bhakti dan

lascarya).

3) Y = C + S

Y = f (C)

ΔY = f (Δa)

dimana: Y adalah pendapatan pemasok bahan-bahan ritual; C adalah

pengeluaran ritual masyarakat pengempon pura; ΔY adalah tambahan

pendapatan pemasok; dan Δa adalah tambahan pengeluaran ritual.

Berdasarkan pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih

maka terjadi perubahan pengeluaran masyarakat pengempon pura (ΔCo)

mengakibatkan perubahan konsumsi (ΔCl) terjadi acceleration untuk

mendorong tumbuhnya kesempatan kerja bagi pemasok bahan ritual

sehingga menghasilkan multiplier effect sebagai akibat adanya

pengeluaran ritual yang lebih besar dapat meningkatnya pendapatan

pemasok bahan ritual, meningkatnya tambahan pendapatan pemasok

dapat mengakibatkan meningkatnya pengeluaran konsumsi pemasok

(ΔC1) dan perubahan saving (ΔS1). Selanjutnya, pengeluaran ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih mengakibatkan meningkatnya pendapatan

pemasok, meningkatnya pendapatan pemasok dapat mengakibatkan

meningkatnya pengeluaran konsumsi pemasok dan sisanya

diinvestasikan atau ditabung.

2.1.4 Harapan dan Persepsi

Teori harapan (expectancy theory), Nelson mengatakan bahwa teori

harapan pada dasarnya memiliki tiga karakteristik, yaitu: persepsi mengarah pada

suatu kinerja; persepsi dihargai berupa gaji atau pujian; nilai diberikan berupa

51

imbalan. Harapan variabel seperti tingkat harga, tingkat bunga, tingkat

pendapatan dan sebagainya. Harapan bisa memainkan peranan penting misalnya

jika pendapatan aktual naik menyebabkan harapan pengeluaran konsumsi

pendapatan naik pula (Setiawina, 2003).

Perilaku yang diharapkan dalam pekerjaan akan meningkat jika

seseorang merasakan adanya hubungan yang positif antara usaha-usaha yang

dilakukannya dengan kinerja. Perilaku-perilaku tersebut selanjutnya meningkat

jika ada hubungan positif antara kinerja yang baik dengan imbalan yang mereka

terima, terutama imbalan yang bernilai bagi dirinya. Harapan-harapan memainkan

peranan ganda yang sangat penting sebagai dasar analisis Keynes yaitu

berubahnya harapan keuntungan investasi pada masa datang.

Motivasi merupakan hasil dari seberapa besar seseorang menginginkan

imbalan. Perkiraan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi yang

diharapkan, perkiraan ketika berprestasi menghasilkan perolehan imbalan atau

instrumentalis. Menurut Hall, kombinasi hipotesis pendapatan permanen dan

ekspektasi rasional menunjukkan bahwa konsumsi mengikuti jalan acak. Artinya

jika hipotesis pendapatan permanen benar dan konsumen mempunyai ekspektasi

rasional maka perubahan pada konsumsi sepanjang waktu yang tidak dapat

diprediksi, ini dikatakan mengikuti jalan acak (Mankiw, 2007).

Terbentuknya persepsi dimulai dengan pengamatan yang melalui proses

hubungan melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, dan menerima sesuatu hal

yang kemudian seseorang menyeleksi, mengorganisasi, dan menginterpretasikan

52

informasi yang diterimanya menjadi suatu gambaran yang berarti. Terjadinya

pengamatan ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lampau dan sikap seseorang

dari individu. Persepsi dapat berubah sesuai dengan perkembangan pengalaman,

perubahan kebutuhan, dan sikap dari seseorang. Vincent mengatakan pengalaman

masa lalu dapat mempengaruhi persepsi seseorang karena manusia biasanya akan

menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan.

Keinginan dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam hal membuat keputusan

Vincent (1997). Manusia cenderung menolak tawaran yang tidak sesuai dengan

yang diharapkan. Pada umumnya yang mempengaruhi persepsi, Rakhmat et al.

(1999) faktor fungsional diantaranya kebutuhan, pengalaman, motivasi, perhatian,

emosi dan suasana hati, faktor struktural diantaranya intensitas rangsangan,

ukuran rangsangan, perubahan rangsangan dan pertentangan rangsangan, dan

faktor kultural yaitu norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh individu.

Cara pengukuran persepsi, pada dasarnya persepsi dapat diasosiasikan

dengan pendapat, opini atau sikap (attitude). Mar’at (1982) menyatakan persepsi

merupakan aspek kognitif dari sikap, maka untuk mengukur persepsi dapat

digunakan instrumen pengungkapan sikap. Pendekatan untuk mengungkap sikap

yaitu melalui wawancara langsung, observasi dan pernyataan sikap. Persepsi

terhadap suatu objek ada tiga metode, yaitu skala Likert, metode Thurstone dan

skala Guttman. Skala Likert menyajikan alternatif jawaban kepada responden

dalam lima alternatif. Kendati demikian, dalam kenyataannya dapat dimodifikasi

menjadi dua atau tiga pilihan. Masing-masing jawaban memiliki bobot nilai

tertentu sesuai arah penyataan sikap atau persepsi. Sementara itu dalam bentuk

53

Thurstone, responden dituntut untuk memiliki dua atau tiga pernyataan

pendiriannya terhadap butir-butir pernyataan persepsi yang telah disusun menurut

intensitas dari yang paling kuat sampai yang paling rendah atau lemah (Sugiyono,

2010). Konsep ini memperkuat hasil penelitian Guritno et al. (2005) bahwa

persepsi karyawan mengenai perilaku kepemimpinan, kepuasan kerja dan

motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Begitu pula hasil penelitian Zin

et al. (2004) mengatakan persepsi positif terhadap kualitas kerja dan komitmen

organisasi.

2.2 Perkembangan Agama Hindu di Bali

Pencetus pertama agama sebagai ilmu atau science, dalam suatu orasi

ilmiah Max Muller di Royal London Institute pada bulan Februari 1870. Max

Muller (1870) mendapat inspirasi bahwa agama harus dijelaskan tanpa bantuan

wahyu supernatural. Artinya bersifat terbuka seperti aktivitas manusia dan secara

teori dapat menjelaskan mengapa ada, apa tujuannya, dan bagaimana muncul

(Pals, 2001). Kemudian pada pertengahan dasawarsa tahun 1800-an para ahli

mulai memikirkan bahwa metode dan materi tentang agama siap untuk

meninggalkan ketentuan-ketentuan tanpa dasar dan asal mula agama dan

sebaliknya merumuskan secara sistematis yang berdasarkan otoritas ilmu

(science). Semenjak itu mulai diadakan penelusuran agama dari banyak segi,

seperti arkeologi, sejarah, mitologi, etnologi, antropologi, ekonomi. Metodologi

diperlukan guna memaknai hidup beragama suatu masyarakat merupakan hal

penting, bukan saja karena fungsi agama penting bagi kehidupan agama sebagai

sumber daya spiritual, juga karena alasan kognitif dan praktis yaitu pemahaman,

54

penjelasan, memprediksi gejala, dan pemecahan permasalahan sosial (Atmaja,

2002).

Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) dalam Pals (2001) lebih tertarik

mengkaji budaya non barat di Asia Tenggara khususnya di Indonesia (Jawa dan

Bali). Untuk itulah, Geertz bersama istrinya Hildred mengadakan penelitian

lapangan. Salah satu teori Geertz yang dijadikan landasan dalam penelitian ini

adalah teori tentang agama. Religious artinya yang berhubungan dengan agama.

Geertz mengatakan agama dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem simbol yang

berperan; membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan

lama di dalam diri manusia dengan cara; merumuskan konsepsi-konsepsi tatanan

kehidupan yang umum; membungkus konsepsi-konsepsi dengan suatu faktualitas

sehingga; suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik. Berdasarkan

teori Geertz, bahwa agama adalah sebuah sistem budaya dengan segala macam

simbolisme di dalamnya dan dapat membangun suasana hati dan motivasi yang

kuat, pervasif, juga tahan lama. Elemen-elemen agama menurut Geertz adalah

pandangan dunia dan etos terpadukan dalam ritual-ritual agama (Santosa, 2010).

Menurut Triguna (2000) menyatakan simbol adalah merupakan

pemahaman terhadap obyek. Tujuan dan isi dari simbolisme adalah untuk

menyampaikan hakekat dalam bentuk mental kultural dan spiritualisme seperti

misalnya: Arca, gambar, rupa, dan sikap adalah simbol. Bali sebagai pulau tempat

berkembangnya Agama Hindu berdasarkan sejarah Hindu juga berkembangnya

suatu tatanan sosial budaya baru dalam kehidupan beragama di Bali, yang

semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas, perlu diimbangi

55

dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman agama yang dilaksanakan

sesuai adat istiadat, budaya, dan Desa-Kala-Patra atau tempat–waktu–keadaan

(Mantra, 1992). Pandangan Triguna dan Mantra didukung oleh teori Geertz yaitu

terjalinnya tradisi keagamaan muslim, hindia dan animistic penduduk asli

(abangan) melalui simbol, ide, ritual, adat istiadat, kebiasaannya, adanya

pengaruh agama dalam setiap pojok dan celah kehidupan jawa (Pals, 2001).

Perkembangan Agama Hindu di Bali dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi

arkeologi dan sisi sejarah agama. Perbedaan kedua pendekatan ini pada skala

waktu pengamatan obyek perkembangan agama serta pemeluknya. Kedua

pengamatan ini diharapkan diperoleh gambaran terhadap perkembangan Agama

Hindu di Bali. Sisi arkeologi banyak ditemukan pada penggalian di Desa

Sembiran, Bali Utara yaitu terbukti bahwa Bali pada abad satu sesudah Masehi

telah berhubungan dengan pedagang India. Jenis barang yang diperdagangkan

ketika itu berupa tembikar dan tekstil (Ardika, 1997).

Dari sisi sejarah masuknya masyarakat Hindu ke Bali dapat diartikan ke

dalam dua kelompok yaitu kelompok penganut kepercayaan (sekte) dan kasta.

Sekte-sekte di Bali terutama abad sembilan dan sepuluh banyak sekte muncul di

Bali. Secara garis besar semua sekte tersebut dikelompokkan ke dalam penganut

Ciwa dan Budha (Goris, 1986). Jika diteliti lebih dalam, sekte-sekte yang

berkembang di Bali dapat dikelompokkan menjadi sembilan yaitu sekte ciwa-

sidhanta, sekte pacupata, sekte bhairawa, sekte wesnawa, sekte bodha atau

sogata, sekte brahmana, sekte sri, sekte sora atau penyembah surya, dan sekte

56

ganapatya atau penyembah ganeca. Dari sembilan sekte ini yang terbanyak

pengikutnya adalah sekte ciwa-sidhanta.

Sebaliknya menurut Goris (1986) sekte yang ada di Bali hanya delapan

sekte yaitu pasupatya, budha, bairawa, waisnawa, budha sogatha, Brahma, sora,

dan ciwa sidhanta (Sudharta, 1993). Tidak terdapat indikasi adanya perbedaan

tingkatan lebih rendah atau lebih tinggi di antara sekte-sekte ini. Sekte

menunjukkan penekanan pada kepercayaan yang dipuja atau disembah seperti

sekte ciwa-sidhanta pemuja dewa Ciwa, sekte bhairawa pemuja Durga (Dewa

kematian), sekte wesnawa pemuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri, sekte bodha atau

sogata penganut Budha Mahayana yang tantris, sekte brahmana penganut tradisi

(smrti), sekte Rsi kelompok masyarakat yang telah menyucikan diri agar dapat

memimpin upacara, sekte sora pemuja Dewa Surya, sekte ganeca pemuja Dewa

gana (Dewa pembasmi gangguan). Sebagian dari sekte-sekte ini sekarang banyak

yang tidak diketahui keberadaannya.

Kehidupan beragama di Bali terjadi perubahan, datangnya ahli agama

dari Jawa Timur, di antaranya Mpu Kuturan melebur delapan atau sembilan sekte

menjadi hanya tiga sekte atau aliran, yaitu Siwa, Budha dan waisnawa. Hal ini

merupakan keputusan musyawarah diadakan di Samuhan Tiga Desa Bedulu

dalam Sarad. Ketiga aliran inipun dinyatakan tidak ada yang mempunyai

kedudukan di atas atau di bawah satu sama lain. Pendeta ketiga aliran masing-

masing mempunyai fungsi sesuai dengan yang telah diputuskan oleh hasil

musyawarah. Berdasarkan teori struktural fungsional dari Talcott Parsons. Teori

ini mempunyai warna yang jelas tentang keragaman yang ada dalam kehidupan

57

sosial. Parsons mengembangkan teori ini dengan konsep AGIL yaitu Adaptation

(mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan), Goal attainment (mencapai

tujuan-tujuan yang telah dirumuskan), Intergration (mengatur hubungan di antara

komponen-komponen secara maksimal) dan Latency pattern maintenance

(pemeliharaan pola-pola yang sudah ada).

Pada dasarnya perkembangan Agama Hindu cukup pesat, dimana umat

Hindu semakin menyadari eksistensinya sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa,

dengan jalan selalu mendekatkan diri kepada-Nya melalui jalan bhakti yaitu

melakukan ritual. Di balik semua itu persembahyangan serta ritual yang begitu

semaraknya dan taatnya dilaksanakan oleh umat Hindu, telah terbukti dapat

meningkatkan rasa kebersamaan, kesetaraan (gender), toleransi atau solidaritas

sosial sesama umat manusia, dan dapat menciptakan kesempatan kerja sebagai

penyedia bahan-bahan ritual, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat lahir bathin. Pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali mempunyai nilai

multiplier, kegiatan ritual setahun terdapat 108 rangkaian ritual kecil dan besar

kendatipun bukan itu yang menjadi tujuannya (Purwita, 1992).

2.2.1 Stratifikasi Sosial Masyarakat Hindu

Stratifikasi sosial merupakan salah satu konsep sosiologi yang dikenal

pada setiap struktur masyarakat, baik dalam struktur masyarakat tradisional

maupun masyarakat yang sudah modern (Budiana, 2004). Stratifikasi sosial

didefinisikan adanya dua kelompok atau lebih bertingkat (ranked group) dalam

satu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hak-

hak istimewa, dan prestise yang tidak sama pula (Sanderson, 2000).

58

Menurut Sanderson munculnya stratifikasi sosial ini karena adanya latar

belakang masyarakat yang mempunyai perbedaan derajat dalam pengaruh sosial

antar kelompok dalam suatu masyarakat tertentu bukan individu. Ketidaksamaan

terjadi dalam masyarakat tanpa membedakan kekayaan kelompok. Namun,

ketidaksamaan sosial mengimplikasikan ketidaksamaan antar individu, bukan

antar suatu kelompok yang berlainan. Ketergantungan pada keanggotaan akan

mempengaruhi tingkat stratifikasi seperti tingkat kekuasaan, hak istimewa prestise

individu. Mendefinisikan stratifikasi dalam masyarakat pertama kali muncul pada

tipe masyarakat hortikultural intensif, pemburu dan tipe masyarakat sederhana.

Umumnya masyarakat terbagi dalam tiga strata sosial, yaitu pengusaha,

subpengusaha dan massa. Pada masyarakat agraris kaum petani merupakan

bagian terbesar dari populasi dan kelas tereksploitasi, kelas pengusaha dan

pemerintah memiliki kekayaan dan kekuasaan, dan kelas budak, pengolah tanah,

dan pelayan.

Stratifikasi masyarakat Hindu di Bali sekarang berasal dari ajaran Catur

Warna bersumber pada wahyu Tuhan yang terhimpun dalam kitab suci weda.

Dalam penerapan terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem kasta di India

dan sistem wangsa di Bali (Sukarsa, 2005). Dalam beberapa bidang seperti

pemerintahan, politik, ekonomi, dan hukum makin tampak adanya kesetaraan.

Namun, dalam bidang sosial budaya dan keagamaan seperti pergaulan sehari-hari

sangat tampak adanya penggunaan sistem yang salah dipakai oleh umat Hindu,

yaitu bidang keagamaan dan adat istiadat pengkotakan atau membeda-bedakan

golongan menurut Titib (2007), hal ini menjadi sumber konflik yang tidak putus-

59

putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di

Bali). Sistem kasta, menurut Arimbawa (Bali Post, 2004) di Bali dikenal dengan

nama Catur Wangsa merupakan produk budaya. Klasifikasi kasta menurut Korn

(1932) dalam Sukarsa (2005), meliputi Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.

Begitu pula dengan hasil studi Suacana (2005) dampak negatif globalisasi

terhadap Agama Hindu dan Budaya Bali antara lain di bidang moralitas dan

solidaritas cenderung bermanifes menjadi potensi konflik seperti misalnya konflik

antaretnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali, konflik antarkelas yang berlatar

belakanng ekonomi, konflik antarkelompok/kasta, konflik antar Hindu tradisional

dan Hindu modern, dan konflik antar Kabupaten/Kota (Titib, 2007).

2.2.2 Hubungan Agama dengan Ekonomi

Keterkaitan dan keterhubungan agama dengan ekonomi, akan sangat

tergantung pada aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat, seperti yang

dikemukakan Bourdieu (1977) konsep Social Capital, Max Weber (1930) buku

terkenal The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, dan Teori Religiusitas

Clifford Geertz (1973) dalam penelitian ini. Hubungan agama dengan ekonomi

dilihat dari aktivitas agama dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas

lainnya (Giddens, 1985; Guiso et al., 2002; Skousen, 2006; Barro et al, 2002,

Field, 2011).

Bourdieu (1977), konsep modal sosial (social capital) merupakan

kasanah ilmu ekonomi yang dipakai karena teori ini memiliki beberapa ciri yang

mampu menjelaskan hubungan kekuasaan terakumulasi melalui investasi,

warisan, dan dapat memberikan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang

60

dimiliki disebut sebagai modal (modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan

modal simbolisme). Hubungan agama dengan ekonomi (ekonomi spiritual),

bahwa aktivitas sosial atau agama mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas

lainnya (Coleman, 1992; Putnam, 1995; Field, 2011).

Max Weber (1930), mengatakan perkembangan ekonomi dipengaruhi

oleh agama. Pandangan Weber lebih menekankan peran agama (spiritual) yaitu

nilai-nilai, norma-norma ketimbang aspek material sehingga aktivitas agama

mampu menciptakan kondisi kondusif pertumbuhan ekonomi dan kesempatan

kerja. Perubahan sosial yang diakibatkan revolusi politik, industri, dan urbanisasi

membawa perubahan religiusitas masyarakat dalam kaitan antara agama dan

ekonomi. Weber mengatakan aktivitas agama mempunyai pengaruh terhadap

aktivitas ekonomi dan aktivitas lain. (Barro et al., 2002; Uppal, 1986; Knack,

2001; Skousen, 2006; Blum et al., 2001; Guiso et al., 2002).

Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973) artinya yang berhubungan

dengan agama, bahwa agama adalah sebuah sistem budaya dengan segala macam

makna simbolisme didalamnya, dan dapat membangun motivasi yang kuat dan

tahan lama serta hubungan struktur masyarakat. Dalam interprestasi budaya dan

agama, aktivitas agama berimplikasi terhadap ekonomi dan non ekonomi. Hal ini

sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) bahwa upacara-upacara ritual dan

ibadah berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat serta memperkokoh

kehidupan beragama (Pals, 2001).

Karl Marx (1818-1883) menyatakan bahwa Agama telah menjadi bagian

integral dari kebudayaan manusia selama beribu-ribu tahun, tetapi baru dalam dua

61

abad terakhir agama dapat dijelaskan melalui analisis kritis dan ilmiah. Kapan

agama mulai muncul, apa motifnya, apa rasional irasional, apa agama mampu

memenuhi kebutuhan individu atau kebutuhan sosial, agama begitu universal dan

kuat pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Pemikir-pemikir terkemuka di abad

modern, dari Karl Marx yang lebih banyak mengkritisi kapitalisme daripada

mengembangkan sosialisme. Dalam hubungan agama dan ekonomi, apapun yang

dinilai tentang reduksionisme Marx, satu hal yang tak dapat diperdebatkan

keterkaitan kehidupan agama dan realitas sosial dan ekonomi (Skousen, 2006).

Konsep gotong royong (ngayah), didasari atas semangat spiritual akan

keyakinan dan kepercayaan kepada Sang Hyang Widhi, sehingga mereka

meninggalkan aktivitas kesehariannya. Ritual dapat mendekatkan dinamika umat

dalam hubungan sosial yang semakin produktif, dinamis dan terciptanya kondisi

sosial yang kondusif untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran, wacana dan

perilaku sosial yang memberi rasa aman, damai, dan kebersamaan. Di tengah

persaingan global, fenomena pergulatan penerapan teori ekonomi sebagai satu

pemecahan tarik menarik antara satu aliran dengan aliran lain. Mulai abad

pertengahan ketika prinsip-prinsip etika yang mewarnai ilmu ekonomi mulai

ditinggalkan, nilai ekonomi yang sekuler mendapat tempat dihati masyarakat dan

sangat populer (Spiegel, 1996).

Sukarsa (2009), seperti siang berganti malam, The Moral Sentiment-nya

Adam Smith (1759) memberi semangat spritual yang tinggi pada ilmu ekonomi.

Pesan tersebut seperti: selflove, moralitas, justice, equality, equity, humanity,

religious values, social welfare, public needs, public interests, solidarity. Hal ini

62

memiliki makna sebagai modal sosial untuk memberi semangat spiritual di dalam

ilmu ekonomi. Sistem ekonomi yang diwarisi sekarang sangat kental peninggalan

pemikir klasik dan neoklasik. Semua aliran dalam sistem ekonomi diatas hanya

menekankan pada ekonomi material yaitu menerapkan prinsip perilaku produsen

dalam ilmu ekonomi liberal, bahwa tujuan produksi adalah untuk memaksimalkan

profit (profit maximizing).

Dalam teori ekonomi, profit maximizing secara sederhana dilakukan

melalui dua cara, yaitu mengurangi biaya (cost reducing) di satu sisi dan

menaikkan pendapatan (revenue increasing). Banyak hal yang tidak sesuai dengan

kondisi masyarakat yang agraris-religius. Kegagalan dari konsep ekonomi

material seperti pasar yang dibentuk berdasarkan permintaan dan penawaran yang

diatur oleh kekuatan daya beli; homoeconomicus yaitu manusia dalam

tindakannya adalah rasional artinya jika memperoleh keuntungan dibuat maksimal

dan ketika rugi diusahakan rugi sekecil-kecilnya; efisiensi dalam persaingan bebas

ketika tidak efisien akan bangkrut lalu keluar pasar atau free exit and free entry

(Sukarsa (2010).

Sebagian besar umat Hindu meyakini bahwa ritual agama memberikan

manfaat, baik secara nyata maupun tidak nyata seperti pelestarian nilai budaya,

peningkatan kesadaran beragama, dan memberikan implikasi pada kehidupan

sosial ekonomi masyarakat Bali umumnya dan umat Hindu khususnya. Secara

teoritis nilai-nilai agama yang diyakini akan mewarnai keputusan apapun dalam

kehidupan termasuk perilaku ekonominya. Dalam kehidupan masyarakat, agama

(religius) dengan ekonomi memiliki hubungan saling berkaitan (integral) dari

63

beberapa pendapat keduanya saling mempengaruhi disebut ekonomi spiritual

(Hindu). Sukarsa (2009) mengatakan tujuan hidup secara ekonomi adalah

memaksimumkan kepuasan, keuntungan dengan sarana faktor alam, modal,

tenaga kerja dan keahlian atau skill. Tujuan hidup menurut Agama Hindu yaitu

mencapai moksha melalui Dharma, Artha dan Kama. Konsep ini mendukung

hasil penelitian Wijaya, 2012.

2.2.3 Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih

Pelaksanaan Ritual merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan

pelaksanaan daripada upakara di dalam salah satu yadnya (Mas, 2001; Surayin,

2002). Selain itu, upacara juga berarti perlakuan, pelayanan atau pengamatan

(Pals, 2001).

Kitab Bhagavadgita IX.27, yaitu: ”apapun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau makan, yang engkau persembahkan dan engkau amalkan, tanpa apapun yang engkau laksanakan, wahai putra Kunti (Arjuna) lakukan itu sebagai persembahan kepada-Ku”.

Ritual dilakukan untuk membangun semangat umat senantiasa

mendekatkan diri antara sesama diwujudkan dengan saling hormat menghormati

dan yang paling utama adalah mendekatkan diri kepada Tuhan (Wiana, 2004).

Melaksanakan ritual adalah tindakan agama yang berupa tindakan simbolis

sebagai perwujudan dari makna religius dan cara mengungkapkan sikap-sikap

religius seperti keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan dalam diri

mengakibatkan perubahan ontologis pada manusia dan mentranformasikannya

kepada situasi yang baru (Pals, 2001).

Makna ritual merupakan aktivitas bhakti dengan mendekatkan diri

kepada Tuhan Yang Maha Esa (Wijayananda, 2005). Upacara merupakan ritual

64

yang berdemensi sosial religius, juga sarat dengan makna sosial-budaya. Karena

secara tidak langsung menjadi ajang pertemuan warga masyarakat Desa Adat dari

berbagai status sosial, budaya dan ekonomi datang bersama-sama ikut berperan

atas kelangsungan ritual dan menghaturkan sembah bhakti berupa sarana banten

kehadapan Sang Hyang Widhi. Yadnya merupakan pengorbanan suci yang tulus

iklas dan tanpa pabrih (srada bakthi dan lascarya), melaksanakan yadnya adalah

suatu kewajiban.

Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, menyebutkan ”Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmana”. Artinya, siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima (Pradnya, 2010). Untuk itu, beragama Hindu sangat sederhana cukup dengan daun, bunga, buah

dan air saja sudah diterima oleh Tuhan, terlebih lagi dengan hati yang tulus iklas.

Agama Hindu berorientasi pada kultur Bali kemudian memberi argument bahwa

Hindu adalah agama yang universal dan fleksibel sehingga Hindu tetap Ajeg dan

terus berkembang tanpa meninggalkan makna kehinduan.

Sradha bhakti merupakan salah satu aspek keimanan yang perlu

ditanamkan kepada generasi muda hindu, dalam kehidupan beragama,

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini perlu dilakukan agar kehidupan

yang damai dan harmonis dapat dicapai, sesuai dengan tujuan Agama Hindu yaitu

Mokshartam Jagadhita Ia Ca Iti Dharma. Artinya untuk mencapai kebahagiaan

lahir bathin baik di dunia maupun di akhirat atau sekala niskala (Titib, 2001;

Wiana, 2004).

65

Triguna (1994) menyatakan bahwa ritual dapat dipandang secara

horizontal (stages along the life circles), jika upacara dilakukan ditempat kecil

maupun besar seperti di panti, dadia, merajan, sekehe, subak, banjar, desa. Di

pihak lain jika ritual dipandang secara vertikal selalu dikaitkan dengan ritual alam

bawah (bhuta), alam tengah (manusia), dan alam atas (dewa). Proses ritual bisa

dilakukan melalui salah satu jalan yaitu yadnya atau korban. Korban itu ditujukan

kepada, Tuhan, orang suci, manusia, binatang, dan alam (Drucker, 1996).

Pelaksanaan ritual Panca Yadnya berarti lima pengorbanan suci yang

tulus iklas, menurut Suhardana (2010), yaitu meliputi: Dewa Yadnya adalah

korban suci yang tulus iklas yang dipersembahkan kehadapan Tuhan Yanga Maha

Esa dan segala Dewa perwujudannya; Rsi Yadnya adalah korban suci kepada para

rsi atau orang suci menurunkan ajaran-ajaran agama kepada umatnya sehingga

rukun, aman, tenteram, dan damai lahir bathin; Pitra Yadnya adalah korban suci

secara tulus iklas kepada orang tua (ibu dan bapak) serta para leluhur; Manusia

Yadnya merupakan korban suci yang tulus iklas demi untuk keselamatan dan

kesejahteraan umat manusia; dan Bhuta Yadnya adalah pengorbanan suci yang

tulus iklas kepada para Bhuta dan Kala atau untuk semua mahluk hidup (Mas

Putra, 1988; Surayin, 2002).

Yadnya sesungguhnya bukanlah kegiatan sebatas upacara upakara saja.

Upacara dan upakara hanyalah merupakan bagian dari yadnya itu sendiri,

sedangkan kerja dan ketulus-iklasan yang melandasi upacara dan upakara itu

sebagai wujud persembahan kepada Tuhan itulah yang sesungguhnya merupakan

yadnya. Beryadnya tentulah memiliki tujuan yang pasti, yakni dalam rangka

66

menuju kelepasan. Menurut Wijayananda (2004), dalam Manawa Dharmasastra

VI.35, disebutkan bahwa pikiran baru dapat ditujukan kepada kelepasan setelah

tiga hutang (Tri Rna) terbayar. Begitu pula dalam Kitab Suci Bhagavadgita

III.10.12.13 disebutkan Rna (hutang) itu ada karena Tuhan telah melakukan

Yadnya. Sabda Agung itu berbunyi:

”saha-yajnah prajah srstva purovaca prajapatih, anena prasavisyadhvam esa vo’stv ista-kama-dhuk”. Artinya pada zaman dahulu kala prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: Dengan ini engkau akan berkembang biak dan akan menjadi kamandhuk dari keinginanmu (Bhagavadgita III.10). ”istan bhogan hi vo deva dasyante yajna-bhavitah, tair dattan apradayaibhyo yo bhunkte stena eva sah”. Artinya sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa-dewa karena yadnyamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri (Bhagavadgita III.12). ”yadnya-sistasinah santo mucyante sarva-kilbisaih, bunjate te tv agham papa ye pacanty atma –karanat”. Artinya ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang hanya memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya mereka itu memakan dosanya sendiri (Bhagavadgita III.13). Seloka 13 di atas menyatakan bahwa yadnya berupa persembahan makanan setiap

hari perlu dilakukan. Menyantap makanan sisa dari yang telah disajikan itu

dianggap bebas dari dosa dan kesalahan (Pudja, 1999). Untuk membayar ketiga

jenis hutang tersebut kemudian melaksanakan Panca Yadnya dengan tujuan

membayar hutang (Tri Rna) kepada tiga komponen tersebut.

Pemahaman agama seseorang, misalnya penguasaan tentang filosofi

agama akan mempengaruhi besar kecilnya penyelenggaraan upacara ritual agama.

Wikarman (1999) mengatakan pelaksanaan ritual yaitu: tingkat nista, yang

tergolong kecil, tingkat madya yang tergolong menengah dan tingkat utama yang

tergolong besar. Masing-masing tingkat terdiri dari tiga, yaitu tingkat nista

67

(nistaning nista, madyaning nista, utamaning nista); tingkat madya (nistaning

madya, madyaning madya, utamaning madya), tingkat utama (nistaning utama,

madyaning utama, utmaning utama) (Surayin, 2002; Suhardana, 2008).

Makna Mlaspas merupakan upacara pembersihan bangunan dengan

memberikan unsur-unsur kekuatan secara spritual. Ngenteg Linggih pada

bangunan suci (pelinggih) merupakan pensthanaan beliau yang dipuja agar

secara abadi (enteg) pada tempat (linggih). Makna Ngenteg Linggih merupakan

proses pembelajaran diri dalam perwujudan sikap, moral dan prilaku dalam

menata kehidupan, menuju kualitas hidup yang lebih sempurna lahir bathin

Wikarman (1999). Ritual Mlaspas bertujuan untuk membersihkan semua

pelinggih dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewata

atau Bhatara-Bhatari berkenan melinggih di Pura.

Ritual Ngenteg Linggih menurut Rigveda X.121.10 yaitu: ”Om Hyang Prajapati, Pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha kuasa mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita-cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada kami”. Artinya makna ritual menyucikan dan mensakralkan niyasa tempat memuja Hyang Widhi. Tujuan ritual Ngenteg Linggih adalah untuk menyucikan atau mensakralkannya sthanakan Hyang Widhi dan manifestasi-manifestasinya sehingga bangunan itu memenuhi syarat simbol (Titib, 2012).

Berdasarkan tahapan-tahapan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih yang

dilaksanakan, yaitu: Makna Ngenteg Linggih (tujuan dan harapan) berarti kokoh

berpegang pada tata susila atau etika yang berlandaskan ajaran-ajaran Agama

Hindu. Ngenteg Linggih dengan Bagia Pulakerti maknanya semoga dapat

menumbuhkan atau mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan bersama dan semua

mahluk hidup; Makna Ngingkup (kebersamaan dan kesetaraan) berarti mampu

68

mewujudkan satunya Trikaya Parisuda (pikiran, perkatan, perilaku); Makna

Mangun Hayu (tujuan atau harapan) yaitu membangun, menumbuhkan,

menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan keselamatan; Makna Ngremekin

(pembelajaran diri) berarti menata kehidupan atau meningkatkan kualitas hidup;

Makna Makebat Daun (meresapi) artinya ilmu pengetahuan yang pelajari dapat

bermanfaat; Makna Ngebekin (menghayati) artinya ilmu pengetahuan yang

dimiliki dibarengi dengan penghayatan yang benar; Makna Nyenduk

(pengamalan) berarti menjabarkan dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita

miliki dilandasi cinta kasih yang tulus demi kemajuan dan kesejahteraan bersama;

Makna Nyegara Gunung (keseimbangan dan kebijakan) artinya hendaknya dalam

diri lahir suatu kehidupan yang baru, sikap mental dan prilaku menuju kebajikan

dilandasi kaidah-kaidah ajaran Agama Hindu (Wijayananda, 2005; Titib, 2012;

Wiyana, 2012).

Sejalan dengan hasil studi sumini, keyakinan dan kepercayaan untuk

melaksanakan yadnya sebagai kewajiban untuk membayar hutang (Rna) yang

mengandung nilai-nilai filosofi ajaran agama dan budaya. Makna yang terkandung

dari Banten Sarad dalam upacara Ngenteg Linggih adalah makna religius, makna

pendidikan etika, etos kerja adanya dorongan untuk bekerja dengan tekun untuk

suksesnya upacara yadnya di Desa Bona, Kabupaten Gianyar sumini (2008).

Mantra (1992), kebiasaan adat istiadat setempat juga mempengaruhi

besar kecilnya ritual yang dilaksanakan masyarakat. Jadi ada unsur kebiasaan

atau budaya masyarakat setempat yang lebih populer dikenal dengan istilah Desa-

Kala-Patra (tempat–waktu–keadaan). Desa bermakna sesuai dengan kebiasaan

69

atau budaya Desa Pakraman atau Desa Adat tertentu. Kala adalah waktu artinya

kapan upacara itu dilaksanakan harus sesuai dengan waktu yang tepat, ditinjau

dari segi agama dan adat istiadat. Patra berarti upacara yang dilakukan layak

secara sosial budaya dan agama. Pelaksanaan ritual merupakan persembahan

sesuai dengan tattwa adalah hulu atau paling atas, susila adalah madya atau

tengah, dan upacara merupakan hilir (Sudibya, 1997; Triguna, 1994; Kuiper,

1996).

Dalam Kitab Suci Bhagawadgita, IV. 28 dikatakan:

’dravya-yajnas tapo-yajna yoga-yajna tathapare, svadhyaya-jnana-yajnas ca yatayah samsita-vratah’. Artinya: ada yang beryadnya harta, beryadnya tapa, beryadnya yoga dan yang lain ada pula yang beryadnya dengan pengekangan diri, svadhaya dan yadnya dalam ilmu pengetahuan, demikianlah orang yang taat dalam tapanya dan terkendali (Pudja, 1999).

Yadnya harta (kekayaan) merupakan salah satu persembahan untuk berhubungan

dengan Tuhan di samping tapa, yoga, swadyaya (pengekangan diri) dan yadnya

ilmu pengetahuan (jnana). Yadnya harta terlihat persembahan masyarakat berupa

persembahan sesajen dalam upacara-upacara di Bali.

Konsep lain seperti yang ada dalam Regveda X, 90 mengatakan bahwa

yadnya yang berbentuk upacara atau persembahan para dewa akan memelihara

manusia dan dengan yadnya pula manusia memelihara para dewa. Jadi dengan

saling memelihara satu sama lain maka manusia akan mencapai kebahagiaan

(Mantra, 1996; Sura 2000). Di samping itu, yadnya dilakukan manusia karena

keyakinannya bahwa setiap manusia lahir ke dunia mempunyai tiga jenis utang

(Tri-Rna), yaitu utang pada Dewa (Dewa-Rna), leluhur (Pitra-Rna), dan pendeta

guru (Rsi-Rna). Ketiga utang manusia tersebut harus dibayar dengan yadnya. Jadi

70

dengan yadnya ini berarti manusia telah mengatakan rasa terima kasih kepada

Tuhan atas kemurahan dan anugrah-Nya terhadap umat manusia. Melakukan

yadnya dapat diartikan memohon kepada Tuhan agar manusia dijauhkan dari

segala mara bahaya serta pengaruh-pengaruh jahat yang sering mengganggu

ketentraman hidup manusia juga agar diberikan kebahagiaan secara universal.

Tujuan hidup manusia untuk Dharma, Artha, Kama, Moksa (Sonvir,

2001). Pada dasarnya manusia berusaha mencapai keseimbangan antara sekala

dan niskala. Sukerti (1989), mengatakan bahwa yadnya yang berarti

mempersembahkan yang disimbolkan dalam bentuk ritual. Ritual memberi makna

sosial religius apabila dilaksanakan dengan konsep yadnya yang sesuai dengan

petunjuk sastra Agama Hindu (Drucker, 1996; Purwita, 1992; Pudja, 1999).

Masyarakat Bali tidak akan lepas dari kegiatan sosial budaya, Bali yang

penduduknya mayoritas beragama Hindu memiliki etos kerja yang berlandaskan

pada ajaran Agama Hindu terlihat pada serangkaian kegiatan ritual masyarakat

Hindu dalam melaksanakan pemujaan dengan jalan membuat sesajen sebagai

bahan persembahan untuk tercipta keselarasan, keharmonisan, etika, dan estitika

sesuai konsep Tri Hita Karana dan menunjukkan rasa bakti yang mendalam

kepada yang disembah maka pengeluaran ritual berpengaruh terhadap

kesejahteraan lahir bathin maka masyarakat Bali disebut sebagai masyarakat yang

religius.

Mirca Eliade dalam Dhavamony, (1995 )menyatakan ritual merupakan

agama tindakan. Tindakan agama ini merupakan tindakan simbolis sebagai

perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap

71

religius. Lebih jauh Eliade mengatakan pula, bahwa ritual mengakibatkan

perubahan ontologis pada manusia dan mentranformasikannya kepada situasi

keberadaan yang baru. Max Weber melihat fakta ini dalam ekonomi dan agama

yang di kenal seluruh dunia (Schumacher, 1973). Selanjutnya dalam Islam

dikatakan akal dan kalbu tadi merupakan dua unsur penting sebagai sumber insani

dalam Allah menciptakan manusia di antara enam unsur yaitu cahaya Tuhan (nur

lal-Ilahi/sirrullah=sinar Ida Sang Hyang Widhi Wasa), ruh (atman), kalbu nurani

(pengrasa), otak (penglokika), nafsu (kama) dan rogo (raga) (Surozo, 1992;

Zoetmulder, 2000; Dhavamony, 1995).

2.2.4 Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi Pelaksanaan Ritual

Putnam (1933), modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti

kepercayaan, norma-norma dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi

masyarakat bertalian dengan akar budaya, etika dan moral yang diwujudnyatakan

dalam perilaku saling bantu dan kerjasama (Fukuyama, 1995). Lebih lanjut

Coleman (1990) berpendapat bahwa modal sosial adalah atribut struktur dimana

kekerabatan umumnya dan keluarga khususnya merepresentasikan inti dari

masyarakat. Menurut Coleman modal sosial melekat dalam struktur sosial dan

memiliki karakteristik publik good dan memiliki kedudukan setara dengan

financial capital, physical capital, dan human capital.Lebih jauh oleh Bank Dunia

(1998) dinyatakan modal sosial adalah norma-norma dan hubungan sosial yang

melekat dalam struktur sosial masyarakat dan memungkinkan orang-orang untuk

mengkoordinasikan kegiatan serta mencapai tujuan yang diinginkan. Sejalan

dengan hasil penelitian Narayan et al. (1999) menyatakan bahwa modal sosial

72

merupakan norma-norma, kepercayaan, dan jaringan kerja komunitas dan

masyarakat secara bersama-sama mencapai tujuan bersama. Dalam penelitian ini,

manfaat sosial pelaksanaan ritual bagi masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka

di Desa Abiansemal adanya kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun,

kewajiban membayar hutang Dewa Rna kepada Ida sang hyang Widhi (Tuhan

Yang Maha Esa) dan adanya pula interaksi sosial diantara pengempon pura

dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama.

Manfaat budaya menurut Bourdieu yang dinyatakan memiliki dimensi

pengetahuan, cita rasa, kemampuan praktis dan membedakan hal yang baik dan

buruk maka modal budaya akan sangat terikat dengan sejarah dan konstruksi

sosial masyarakat di suatu wilayah. Hal ini juga sesuai dengan pendapat

Koentjaraningrat (1997) kebudayaan merupakan sistem religi dan kesenian, maka

akan sangat sesuai dengan posisi budaya, agama, adat dan seni dalam masyarakat

Hindu di Bali seperti yang dikemukakan oleh Geertz (1973). Dalam penelitian ini,

manfaat budaya pelaksanaan ritual bagi masyarakat pengempon Pura Pasek

Preteka di Desa Abiansemal mampu memelihara tradisi gotong royong (ngayah,

menyamabraya, ngoopin, metetulung, salulung sabayantaka, parasparos

sarpanaya, adhiluhung).

Manfaat ekonomi menurut konsep Max Weber (1930) dan konsep

Bourdieu (1977) dan Ritzer (2003) sesungguhnya aktivitas sosial yang dilakukan

masyarakat memberi implikasi bagi penggunaan sumber-sumber ekonomi yang

juga sebagai modal capital. Selanjutnya, hasil penelitian (Wijaya, 1991; Wijaya,

2012) telah terjadi perubahan-perubahan sosial budaya akibat pertumbuhan

73

ekonomi masyarakat yaitu perubahan sikap berusaha secara ekonomi. Dalam

penelitian ini, manfaat ekonomi pelaksanaan ritual bagi masyarakat pengempon

Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal adanya perubahan sikap berusaha untuk

penguatan struktur perekonomian masyarakat Abiansemal khususnya dan

masyarakat Bali umumnya.

Manajemen modern yang terjadi di sebuah organisasi adalah mencari

keuntungan (profit) seperti sebuah perusahaan memiliki ciri organisasinya

berstruktur secara formal dengan kaedah-kaedah yang jelas, kepemimpinan

menggunakan power sebagai sebuah kekuasaan, tujuannya terukur seperti profit,

efektif dan efisien. Sementara model manajemen tradisional berbeda ciri yang

dimiliki, seperti dilaksanakan pada organisasi sosial, yang tidak semata mata

profit oriented, namun lebih mementingkan kebersamaan, tidak formal,

kaedahnya abstrak, pembagian tugas tidak tegas, sifat kepemimpinannya

partisipatif. Kelebihannya adalah mengandalkan kebersamaan dan solidaritas

dalam mencapai tujuan, tidak ada batasan tegas individu dan kelompok, hal ini

dapat menjadikan modal yang tidak ternilai adanya. Dalam penelitian ini, manfaat

sosial, budaya, dan ekonomi dalam manajemen ritual maka diperlukan cara atau

sinergi antara manajemen tradisional dengan manajemen modern menjadi lebih

tepat diterapkan dalam aktivitas yang sifatnya sosial yang melibatkan masyarakat

masal seperti pelaksanaan ritual agama (Hindu) di Bali.

2.3 Kesempatan Kerja

2.3.1 Pengertian Kesempatan Kerja

Kesempatan Kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan atau

ketersediaan pekerjaan (lapangan kerja untuk diisi oleh para pencari kerja).

74

Rahardja (2008) permintaan tenaga kerja dalam teori ekonomi mikro, dapat

diartikan sebagai kesempatan kerja. Jika upah tenaga kerja naik, perusahaan lebih

selektif dalam menggunakan tenaga kerja, akibatnya kesempatan kerja berkurang

dan sebaliknya jika upah tenaga kerja turun, akibatnya kesempatan kerja

meningkat. Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai

permintaan tenaga kerja. Secara umum kesempatan kerja adalah sebagai suatu

keadaan yang mencerminkan jumlah dari total angkatan kerja yang dapat diserap

dan ikut secara aktif dalam kegiatan perekonomian. Pekerja adalah penduduk usia

15 tahun keatas yang bekerja. Esmara (1986) kesempatan kerja merupakan jumlah

penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan, artinya

semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja. Kesempatan

kerja merupakan tenaga kerja yang mampu diserap dan berpartisipasi dalam

pembangunan. Kesempatan kerja yang memungkinkan orang bekerja secara terus-

menerus sampai mereka pensiun disebut kesempatan kerja permanen dan

kesempatan kerja temporer adalah bekerja dalam waktu yang relatif singkat

(Sagir, 1994; Sukirno, 2007; Swasono et al., 1993).

Kegiatan ekonomi di masyarakat membutuhkan beberapa faktor-fakor

produksi, salah satunya adalah tenaga kerja. Kebutuhan akan tenaga kerja itu

dapat juga disebut sebagai kesempatan kerja atau peluang kerja. Kesempatan

kerja itu sendiri adalah suatu keadaan yang menggambarkan terjadinya lapangan

usaha (pekerjaan) untuk diisi pencari kerja. Kesempatan kerja di Indonesia

dijamin dalam UUD 1945 pada pasal 27 ayat 2 yang berbunyi: Tiap-tiap warga

Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dari bunyi UUD 1945

75

pasal 27 ayat 2 bahwa pemerintah Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja

bagi anggota masyarakat karena hal ini berhubungan dengan usaha masyarakat

untuk mendapat penghasilan.

Kesempatan kerja dapat diartikan dengan banyaknya orang yang dapat

ditampung untuk bekerja pada suatu perusahan atau instansi dan sejumlah

lapangan pekerjaan lainnya. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 104 tahun 1993

tentang Tugas Pokok dari Departemen Tenaga Kerja adalah menciptakan

lapangan kerja dan mengurangi pengangguran serta mengembangkan sumberdaya

manusia dan meningkatkan kesadaran akan produktivitas, efektivitas, efisiensi dan

kewirausahaan serta etos kerja yang produktif. Pada dasarnya pembangunan

daerah pada bidang ekonomi dititikberatkan untuk mengurangi tingkat

kemiskinan, meningkatkan penyediaan lapangan kerja, memperbaiki

kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan mengurangi ketimpangan antar

daerah. Yang paling utama bagi daerah adalah penciptaan lapangan kerja

(Syaukani et al., 2002). Keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat

dari seberapa jauh pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja

bagi masyarakatnya. Penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada

peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan

masyarakat akan meningkat (Sulistyaningsih, 1997).

Pertumbuhan ekonomi daerah sangat dipengaruhi oleh kuantitas maupun

kualitas sumberdaya yang dimilikinya, baik sumberdaya fisik (kekayaan alam)

maupun sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia tidak hanya jumlah

pendudukdan tingkat pendidikannya, namun juga pandangan hidup mereka,

76

tingkat kebudayaan, sikap atau penilaian mereka terhadap pekerjaan dan besar

kecilnya keinginan untuk memperbaiki diri secara kreatif dan otonom (Todaro,

2006). Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional

dianggap sebagai faktor yang positif dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti menambah jumlah tenaga produktif

dan pertumbhan penduduk yang lebih besar berarti makin besar ukuran pasar

domistiknya. Namun demikian, pertumbuhan penduduk baik positif maupun

negative bagi pembangunan ekonomi tergantung pada kemampuan system

perekonomian yang bersangkutan untuk menyerap dan secara produktif

memanfaatkan tambahan tenaga kerja tersebut. Oleh karena itu, informasi

mengenai kesempatan kerja secara sektoral sangat diperlukan dalam menyusun

perencanaan pembangunan ekonomi daerah. Kegiatan atau sektor basis/ekspor

yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah (wilayah) yaitu kegiatan

baik penghasil produk maupun jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah

(Taringan, 2005).

2.3.2 Penyerapan Tenaga Kerja

Penyerapan angkatan kerja menjadi salah satu indikator penting

keberhasilan pembangunan baik tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota.

Tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir bathin.

Salah satu tujuan pembangunan adalah menciptakan kesempatan kerja sebanyak-

banyaknya agar angkatan kerja dapat terserap dalam pembangunan untuk

menekan angka pengangguran. Kesempatan kerja yang tersedia di Bali tidak

cukup memadai untuk peningkatan produktivitas pekerja, hal itu berdasarkan hasil

77

analisis terhadap data jumlah penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam per

minggu yang meningkat dalam kurun dua tahun terakhir Murjana (2012).

Kesempatan kerja dimaknai sebagai lapangan pekerjaan atau kesempatan yang

tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi atau produksi. Dengan

demikian pengertian kesempatan kerja nyata mencakup lapangan pekerjaan yang

masih lowong. Kesempatan kerja nyata bisa juga dilihat dari jumlah lapangan

pekerjaan yang tersedia, yang tercermin dari jumlah penduduk usia kerja (15

tahun) ke atas yang bekerja. Kesempatan kerja merupakan partisipasi seseorang

dalam pembangunan baik dalam arti memikul beban pembangunan maupun dalam

menerima kembali hasil pembangunan. Angkatan kerja dalam berbagai

pembangunan ekonomi berimplikasi luas terhadap aktivitas perekonomian secara

keseluruhan. Semakin banyak angkatan kerja yang bekerja berpengaruh pada

meningkatnya daya beli masyarakat kemudian mendorong perusahaan-perusahaan

untuk meningkatkan produksi dan melakukan ekspansi usaha baru sesuai

kebutuhan masyarakat. Penambahan produksi dan penambahan usaha baru identik

dengan perluasan kesempatan kerja (Esmara, 1986, Swasono et al., 1993).

Pandangan Lewis (1954) teori pembangunan terutama pada transformasi

struktural (structural transformation) suatu perekonomian subsisten. Model dua

sektor pertama kali dikembangkan Lewis teori Kelebihan Pekerja, pembangunan

di negara-negara dunia ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja,

yaitu sektor tradisional yang subsisten dengan produktivitas tenaga kerja yang

sangat rendah atau bahkan nol. Transformasi tenaga kerja dari sektor tradisional

ke sektor modern karena pertumbuhan kesempatan kerja dengan tingkat upah di

78

kota lebih tinggi 30 persen dari tingkat pendapatan rata-rata. Jadi pengalihan

tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor industri merupakan inti dari teori

Kelebihan Pekerja (Todaro, 2006 ; Subandi, 2011).

Model Lewis pada kenyataannya mengandung beberapa kelemahan,

yaitu: Pertama, transformasi tenaga kerja dan kesempatan kerja di sektor modern

sebanding dengan tingkat akumulasi modal dan reinvestasi di sektor modern.

Namun kenyataannya, menunjukkan bahwa sebagian besar reinvestasi justru

dilakukan untuk mengembangkan industri dengan teknologi, sehingga penyerapan

tenaga kerja sektor pertanian akan berjalan lamban. Kedua, terjadi kelebihan

tenaga kerja di perdesaan sedangkan di perkotaan terjadi penyerapan faktor-faktor

produksi secara optimal (full employment). Ketiga, pasar tenaga kerja yang

kompetitif di sektor modern dapat menjamin kelangsungan upah riil,

kenyataannya upah tenaga kerja sektor industri cenderung meningkat dari waktu

ke waktu baik secara absolut maupun secara riil.

Lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh John Fei Gustav Ranis untuk

memperbaiki kelemahan model Lewis dengan penekanan pada masalah surplus

tenaga kerja yang tidak terbatas. Teori ekonomi dualistik Fei-Ranis, mengkaitkan

penyerapan pekerja di sektor industri dengan titik balik (turning point) dalam

pembangunan ekonomi. Model Fei-Ranis membagi tahap perubahan transfer

tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri berdasarkan pada

produktivitas marjinal tenaga kerja dengan tingkat upah dianggap konstan. Tenaga

kerja diasumsikan melimpah sehingga tenaga kerja sektor pertanian yang

79

mempunyai produktivitas marjinal (Marginal Physical Productivity = MPP)

mendekati atau sama dengan nol (Todaro, 2006).

Berdasarkan konsep yang digunakan oleh International Labour

Organization (ILO) sebagai Organisasi Buruh Internasional, penduduk usia kerja

15 tahun keatas juga menurut BPS. Tenaga kerja sebagai angkatan kerja

(economically active) adalah penduduk yang bekerja dan menganggur, sedangkan

tenaga kerja bukan angkatan kerja (non economically active) yaitu penduduk yang

sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Di negara-negara yang sedang

berkembang daya serap tenaga kerja tidak memadai, artinya pertambahan jumlah

tenaga kerja yang mampu mendapatkan pekerjaan di sektor industri kecil,

sedangkan sisanya dengan terpaksa akan menerima pekerjaan dengan

produktivitas yang rendah, terutama di sektor pertanian dan jasa. Namun

kenyataannya, dewasa ini dari berbagai hasil survei yang dilakukan

memperlihatkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang, kesempatan

kerja di bidang industri telah mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Bahkan dengan laju penyerapan yang sama dengan negara-negara maju karena

pertumbuhan industri kecil yang cepat terjadi di negara-negara yang sedang

berkembang.

Keberadaan usaha berskala kecil dan menengah merupakan tumpuan

sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, terbukti mampu memberikan sumbangan

nyata dalam penyerapan tenaga kerja. Dalam ekonomi kewilayahan,

keseimbangan umum perekonomian suatu daerah sebenarnya akan tercapai

apabila penyerapan tenaga kerja sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia

80

dalam masyarakat (labor demand=labor supply). Berdasarkan IPM pembangunan

tenaga kerja memiliki dua makna, yaitu makna subyek pembangunan tenaga kerja

artinya tenaga kerja sebagai pelaku dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi

(input faktor produksi) dan makna obyek pembangunan tenaga kerja artinya

tenaga kerja sebagai unsur yang diprioritaskan untuk peningkatan kualitas hidup

(quality of life) yang mencakup peningkatan pendapatan, kesehatan dan

pendidikan (Todaro, 2006; BPS, 2011).

Tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menyediakan kesempatan

kerja (employment rate). Tingkat kesempatan kerja merupakan suatu ukuran yang

menunjukkan proporsi orang yang bekerja dalam angkatan kerja. Program-

program pembangunan bidang ketenagakerjaan diarahkan: (1) Perluasan dan

pengembangan kesempatan kerja seperti program mengurangi pengangguran dan

bekerja sesuai jam kerja normal (minimal 35 jam seminggu), sasarannya adalah

memperluas kesempatan kerja dalam berbagai bidang usaha dan menciptakan

tenaga kerja mandiri melalui pengembangan kewirausahaan dan informasi pasar

kerja. (2) Peningkatan kualitas dan produtivitas tenaga kerja. (3) Perlindungan dan

pengembangan lembaga tenaga kerja (Subandi, 2011; BPS, 2011).

Kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang menunjukkan

tersedianya lapangan pekerjaan sehingga semua orang yang bersedia dan sanggup

bekerja dalam proses produksi sesuai dengan keahlian dan keterampilan.

Kesempatan kerja (emplyoment) adalah suatu keadaan yang menggambarkan

ketersediaan lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari kerja. Dengan

81

demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas tenaga kerja

(RPJMN Bali, 2004-2009).

Lapangan kerja di sektor basis adalah fungsi permintaan yang bersifat

exogenous (tidak tergantung pada kekuatan internal/permintaan lokal). Kegiatan

non basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan lokal sehingga permintaan

sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat.

Banyak variabel untuk menentukan sektor basis atau bukan, diantaranya

pendapatan, output total, nilai tambah, lapangan kerja atau kesempatan kerja dan

sebagainya. Soepono (1993) di Provinsi Yogyakarta yaitu kesempatan kerja nyata

lebih disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional dan komponen bauran

industri. Masih menggunakan variabel kesempatan kerja, hasil studi Soepono

(2001) di Kabupaten Badung, hasilnya semakin besarnya kesempatan kerja total

yang ditimbulkan oleh perubahan (kenaikan) pada pertumbuhan sektor basis.

Penentuan kesempatan kerja juga dilakukan oleh Zam (2003) di Kota

Pekanbaru, Riau hasilnya kesempatan kerja dipengaruhi oleh rasio pertumbuhan

ekonomi. Udjianto (2007), kesempatan kerja total yang dipengaruhi oleh

pertumbuhan sektor basis dan non basis di wilayah Provinsi Yogyakarta.

Mendukung hasil studi Soepono, Zam dan Udjianto, hasil studi Purwanti (2009)

kesempatan kerja di Kabupaten Bangli dipengaruhi secara positif oleh

pertumbuhan kesempatan kerja di Provinsi Bali dan keunggulan kompetitif.

Sedangkan komponen bauran industri mempengaruhi secara negatif yang berarti

komponen ini menyebabkan laju kesempatan kerja mengalami penurunan.

Dalam penelitian ini, kesempatan kerja mengacu pada konsep BPS

menunjukkan tingkat kesempatan kerja merupakan suatu ukuran yang

82

menunjukkan proporsi orang yang bekerja dalam angkatan kerja meliputi

lapangan usaha atau perluasan dan pengembangan kesempatan kerja, kualitas

kesempatan kerja, kuantitas kesempatan kerja, dan sifat kesempatan kerja (BPS,

2011).

2.4. Kesejahteraan

2.4.1 Pengertian Kesejahteraan

Keberhasilan pembangunan suatu negara ditunjukkan oleh meningkatnya

kesejahteraan masyarakat (welfare society). Secara makro kesejahteraan rumah

tangga dapat didekati dengan hukum Engel, menyatakan pengeluaran makanan

terhadap pengeluaran rumah tangga akan semakin berkurang dengan pendapatan

yang meningkat. Nicholson (2002), dalam kondisi harga barang dan selera

masyarakat tetap maka peningkatan pendapatan menunjukkan kesejahteraan

masyarakat meningkat. Lebih lanjut bentuk kepuasan obyektif dan kebahagiaan

subyektif maka peningkatan kualitas hidup manusia menunjukkan peningkatan

kesejahteraan (Bronsteen et al., 2009).

Hidup sejahtera merupakan keinginan setiap orang, suatu kondisi dimana

orang dalam keadaan makmur, sehat, aman sentosa dan harmonis. Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 menyebutkan bahwa keadaan sejahtera

adalah terpenuhinya kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun

spiritual seperti rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir bathin.

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan

kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Keluarga sejahtera tidak

hanya tercukupi kebutuhan material tetapi juga harus didasarkan pada perkawinan

83

yang sah, tercukupi kebutuhan spiritual, memiliki hubungan yang harmonis antar

anggota keluarga dan antar masyarakat sekitar lingkungan.

Pandangan Spicker, Midgley, Tracy dan Livermore, Thompson yang

dipergunakan Suharto (2006) bahwa kesejahteraan sosial yang memberi peran

lebih besar kepada pemerintah untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi

menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Kesejahteraan sosial

mengandung empat makna, yaitu: (1) Kesejahteraan sosial (social welfare)

sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan nonmaterial. Kondisi

sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena

kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan

dapat dipenuhi. (2) Pelayanan sosial dalam bentuk jaminan sosial (social

security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial

personal. (3) Tunjangan sosial khusus diberikan kepada orang miskin, cacat,

pengangguran, kemalasan dan ketergantungan. (4 Proses yang dilakukan oleh

perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan

pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (makna pertama) melalui

pemberian pelayanan sosial (makna kedua) dan tunjangan sosial (makna ketiga).

Stiglitz et al. (2011), menyatakan kesejahteraan memiliki rumusan yang

multidimensi, dimensi-dimensi tersebut meliputi stándar hidup material

(pendapatan, konsumsi dan kekayaan), kesehatan, pendidikan, aktivitas individu

termasuk bekerja, suara politik dan tata pemerintahan, hubungan dan kekerabatan

sosial, lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan), ketidakamanan baik

84

yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi ini menunjukkan kualitas

hidup masyarakat dan mengukurnya diperlukan data obyektif dan subyektif.

Nordhaus et al., Beckerman, Gilbert et al., Colin Clark, dan Bennet juga

dipergunakan dalam Arsyad (2010) bahwa indikator kesejahteraan masyarakat

yaitu tingkat pendapatan nasional, konsep NEW (Net Economic Welfare) tingkat

penyesuaian pendapatan masyarakat dengan tingkat harga di setiap negara dan

tingkat kesejahteraan setiap negara berdasarkan pada data yang tidak bersifat

moneter (non-monetary indicators) yaitu pendidikan dan kesehatan.

Amartya Sen, dalam Inequality Reexamined (1992), pemenang Nobel

Ekonomi 1998, menegaskan kunci utama dalam pencapaian derajat kesejahteraan

ditentukan oleh ketersediaan akses dan aspek kebebasan. Misalnya, askes

terhadap kebutuhan pokok seperti makanan, pekerjaan, kesehatan, dan

pendidikan. Lebih lanjut Sen menyebutkan bahwa kapabilitas seseorang harus

merefleksikan kemampuannya melakukan aktivitas hidup. Melek huruf, misalnya,

memungkinkan orang untuk membaca. Temuan Sen, tidak ada jaminan bahwa

masalah kurang pangan otomatis terhindari walau makanan berlimpah. Sebab,

masalah kelaparan terkait dengan soal apakah harganya terjangkau atau barang

terkait bisa diperoleh karena distribusinya yang baik. Dalam kasus beras misalnya,

walaupun pemerintah menyatakan bahwa pasokan beras berlebihan, banyak warga

masyarakat masih mengeluh tentang mahalnya harga beras. Di sinilah pentingnya

masalah aksesibilitas. Sen menunjukkan, dalam kasus India, kurang pangan terjadi

justru ketika jumlah produksi pangan per kapita meningkat, seperti halnya yang

85

terjadi di Cina. Dengan demikian, persoalannya bukanlah pada jumlah produksi

pangan per kapita, tetapi lebih pada soal akses terhadap makanan itu sendiri.

Teori neo-liberal berakar pada karya klasik yang ditulis oleh Thomas

Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa

komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam

bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith (1776) The Wealth of Nation,

dan Frederick Hayek (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang

mengedepankan azas laissez faire yang disebutkan sebagai ide yang

mengunggulkan mekanisme pasar bebas. Teori yang berporos pada prinsip-prinsip

ekonomi campuran dan manajemen ekonomi. Sistem negara kesejahteraan yang

menekankan pentingnya manjemen dan pendanaan negara dalam pemberian

pelayanan sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan

sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi manajemen-permintaan

(demand-management economics).

Konsep kesejahteraan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bahwa keluarga dapat

dikatakan sejahtera: keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan pokok sandang,

pangan, perumahan, sosial dan agama; keluarga yang mempunyai keseimbangan

antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarga; keluarga yang

dapat memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan agama keluarga,

kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk disamping

terpenuhi kebutuhan pokoknya. Sri-Edi Swasono (2001) peningkatan

kesejahteraan sosial berdasarkan pasal 33 UUD 1945 merupakan keberhasilan

86

pembangunan bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan

pembangunan fisikal dalam Eriyatno (2011).

Kesejahteraan Masyarakat salah satu adalah tercapainya tingkat

pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah). Kualitas sumber daya

manusia diukur menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara

konseptual IPM meliputi angka harapan hidup, angka melek hurup dan rata-rata

lama sekolah dan standar hidup layak atau pendapatan. Kesejahteraan ekonomi

masyarakat meningkat jika dalam periode yang sama pertumbuhan ekonominya

lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduknya. Secara umum indikator

kesejahteraan masyarakat yaitu pendapatan, pendidikan dan kesehatan (BPS Bali,

2011).

Pandangan Pareto dalam Miller (2000), bahwa dalam pertukaran yang

menguntungkan salah satu pihak tanpa merugikan pihak lain sudah merupakan

peningkatan kesejahteraan. Pandangan Pareto berbeda dengan pandangan

Matthew (1998) sebaliknya pertukaran yang tidak menguntungkan salah satu

pihak bahkan ada yang rugi, akan mengakibatkan kemerosotan kesejahteraan

sosial. Kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh besarnya pendapatan per kapita

masyarakat tersebut. Pendapatan per kapita digunakan sebagai indikator

pembangunan dan tingkat kemajuan ekonomi atau tingkat kesejahteraan

masyarakat antara negara maju dengan negara sedang berkembang (Arsyad,

2010).

Mankiw (2007) bahwa kesejahteraan merupakan terpenuhinya kebutuhan

dasar manusia sesuai dengan standar kualitas hidup manusia seperti sandang,

87

kesehatan, rumah, pendidikan, pendapatan, manfaat sosial atau spiritual. Teori

optimum solution dari Karim (2002) pengalihan kekayaan dari orang kaya kepada

fakir miskin melalui Zakat, Infak, Shadaqah (ZIS) ternyata menggeser fungsi

kesejahteraan sosial ke kanan artinya terjadi peningkatan kesejahteraan secara

total baik bagi orang miskin maupun orang kaya yang dipergunakan Multifiah,

(2011).

2.4.2 Kriteria Kesejahteraan

Kesejahteraan penting untuk dipahami karena berhubungan dengan

tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat yakni meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Berbagai kriteria ekonomi kesejahteraan berguna dalam

mempertimbangkan suatu kebijakan, pihak mana menjadi lebih baik (better-off)

dan mana yang menjadi lebih buruk (worse-off) atau dengan kata lain, siapa yang

menerima keuntungan (gainers) dan siapa yang menderita (lossers). Kriteria-

kriteria kesejahteraan selanjutnya dijelaskan dengan mengutip dari berbagai

sumber, seperti Miller dan Meiners (2000), Jehle dan Reny (2001), Rintuh dan

Miar (2005), Pindyck dan Rubinfeld (2008) yaitu sebagai berikut.

6) Kriteria Pareto Optimal, para ekonom kurang menyukai perbandingan

kepuasan antar pribadi. Untuk analisis kesejahteraan menggunakan konsep

efisiensi ekonomi (Economic efficiency) yaitu efisiensi teknis (perbandingan

output fisik dengan input fisik), dan efisiensi ekonomi (perbandingan nilai

output terhadap input). Menurut Pareto Efficient, kesejahteraan sosial adalah

situasi dapat menjadi lebih baik tanpa mengakibatkan orang lain menjadi

lebih buruk.

88

Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat kriteria dipenuhi,

yaitu: Pertama, rata-rata tingkat subtitusi marjinal dalam konsumsi harus

sama untuk semua konsumen (tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik

tanpa membuat konsumen yang lain buruk). Kedua, rata-rata tingkat

transformasi marjinal di dalam produksi harus sama untuk semua produk.

Ketiga, biaya sumber daya marjinal harus sama dengan produk pendapatan

marjinal untuk semua proses produksi. Keempat, rata-rata subtitusi marjinal

konsumsi harus sama dengan rata-rata transformasi marjinal dalam produksi.

Mencapai suatu keadaan yang disebut Pareto-Optimal atau Preto-Efficient,

harus dipenuhi tiga kondisi marjinal, yaitu efisien dalam pertukaran, efisien

dalam pengalokasian faktor produksi, dan efisien dalam memproduksi

barang-barang. Setiap persaingan ekonomi haruslah Pareto Efficient di mana

alokasi sumber daya dapat dicapai melalui mekanisme persaingan pasar bebas

dengan redistribusi awal yang memadai. Inilah yang kemudian menjadi pesan

moral dari Neoliberalisme (Eriyatno, 2011).

7) Kriteria Cardinal, pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap utility.

Berlaku hukum law of diminishing utility artinya masyarakat yang

berpendapatan tinggi akan memperoleh marginal utility yang lebih kecil

dibandingkan dengan masyarakat yang berpendapatan rendah. Jadi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus dilakukan redistribusi

pendapatan diantara anggota masyarakat. Kesejahteraan maksimum

masyarakat akan tercapai apabila distribusi pendapatan merata di antara

89

masyarakat, kriteria ini mengasumsikan bahwa marginal utility daripada uang

adalah sama bagi setiap masyarakat.

8) Kriteri Bentham, bahwa perbaikan welfare akan terjadi apabila tersedia

barang-barang dalam jumlah yang semakin banyak. Ini berarti welfare total

adalah penjumlahan utility dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut

kriteria ini, bila terdapat perubahan positif welfare total berarti terdapat

perbaikan kesejahteraan walaupun sebenarnya dalam perubahan itu terdapat

anggota masyarakat yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Implikasi

kriteria ini mengasumsikan adanya komparasi antar individual di antara

masyarakat yang menikmati manfaat dengan masyarakat yang menderita

kerugian (loss) karena adanya perubahan dalam masyarakat yang

bersangkutan.

9) Kriteria Kaldor-Hicks, perubahan merupakan perbaikan jika pelaku ekonomi

(agen ekonomi) yang beruntung dari adanya perubahan dapat membayar ganti

rugi kepada ekonomi yang menderita kerugian dan besarnya keuntungan yang

diperoleh adalah lebih besar dari ganti rugi yang dibayarkan.

10) Kriteria Ganda Scitovsky, bahwa peran kebijakan ekonomi adalah

mempertahankan pekerja (employment) dan stabilitas harga (price stability).

11) Kriteria Bergson fungsi kesejahteraan sosial (Social walfare function),

Bergson mengungkapkan perubahan hanya dapat dilakukan jika masyarakat

mempunyai fungsi kesejahteraan sosial. Tujuan fungsi kesejahteraan sosial

merupakan pertimbangan nilai yang diperlukan untuk merevisi kondisi

90

kesejahteraan ekonomi maksimal, fungsi ini bernilai riil dan

terdeferensialkan.

2.4.3 Pengukuran Kesejahteraan

Pengukuran kesejahteraan dapat dilihat dari dimensi materi dan non

materi. Kesejahteraan materi dapat diukur dengan pendekatan konsumsi. Mayer et

al. (2003) mengungkapkan secara konseptual bahwa konsumsi lebih tepat

digunakan untuk mengukur kesejahteraan dibandingkan dengan pendapatan,

karena konsumsi merupakan pengukuran yang lebih langsung dari kesejahteraan.

Kesejahteraan nonmateri seperti pendidikan dan kesehatan. Pengukuran status

kesehatan dapat diukur seperti pengukuran kesehatan secara umum, penyakit

secara medis, pengobatan yang dijalani, aktivitas fisik, hubungan sosial dan

kesehatan psikologi, mental, emosional tentang sulit tidur, perasaan takut, gelisah

dan tentang kebahagiaan (Easterlin, 2001). Semakin besar pengeluaran rumah

tangga dapat mengindikasikan semakin sejahtera masyarakatnya, masyarakat

cenderung memiliki pengeluaran non makanan lebih besar dari konsumsi

makanan (Engel, 1957). Selanjutnya dari lembaga CIFOR (Center for

International Forestry Research) Cahyat et al. (2007) melakukan pemantauan

kesejahteraan dengan mengambil kasus di Kutai Barat, Kalimantan Timur

mengemukakan bahwa kesejahteraan diukur dengan kriteria, yaitu kesejahteraan

subyektif, kesejahteraan dasar (kesehatan, kekayaan, pengetahuan), dan

lingkungan pendukungnya (lingkungan alam, ekonomi, sosial, politik, dan

infrastruktur).

91

Menurut Stiglitz, et al. (2011), mengukur kesejahteraan yang harus

diperhitungkan adalah standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan

kekayaan); tingkat kesehatan; tingkat pedidikan; aktivitas termasuk bekerja; hak

politik dan keadilan serta kebebasan; hubungan sosial; lingkungan hidup; dan

ketidakamanan baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Lebih lanjut Stiglitz, et

al. (2011), mengatakan bahwa kesejahteraan subyektif mencakup berbagai aspek

berbeda (atas hidupnya, kebahagiannya, kepuasannya, emosi positif ). Pengukuran

kuantitatif atas aspek-aspek subyektif berpeluang menghasilkan bukan hanya

ukuran kualitas hidup yang baik, melainkan juga pemahaman yang lebih baik atas

determinan-determinannya jauh melampaui persoalan pendapatan masyarakat dan

kondisi materialnya. Semua dimensi tersebut menunjukkan kualitas hidup

manusia dan untuk mengukurnya diperlukan data obyektif sebagai indikator

kesejahteraan seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selanjutnya, Grinols

(1994) mengukur kesejahteraan bukan saja dari dimensi materi namun juga

dilihat dari dimensi nonmateri yaitu kebutuhan ketentraman, kedamaian,

hubungan kekeluargaan harmonis, berperilaku mulia, bertaqwa berdasarkan nilai-

nilai spritual dan moral (Chapra, 2001).

Secara umum indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat

kesejahteraan menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu tingkat

pendapatan, tingkat kesehatan, dan tingkat pendidikan sehingga mampu

meningkatkan IPM masyarakat. Hubungan ketiga dimensi ini saling

mempengaruhi yaitu dengan peningkatan pendapatan dapat meningkatkan tingkat

pendidikan keluarga dan meningkatkan tingkat kesehatan keluarga. IPM telah

92

menjadi sebuah indikator yang diadopsi oleh negara-negara di dunia sebagai salah

satu pencapaian pembangunan manusia (BPS Bali,2011).

Berdasarkan berbagai kriteria untuk mengukur derajat kesejahteraan,

maka dalam penelitian ini pengukuran terhadap kesejahteraan masyarakat

digunakan indikator kesejahteraan berdasarkan indikator Badan Pusat Statistik

dengan memodifikasi sebagaimana kriteria yang dikemukakan oleh Amartya Sen,

Stiglitz, et al. Walaupun sulit diberikan pengertian, namun kesejahteraan

memiliki beberapa kata kunci, yaitu terpenuhi kebutuhan dasar, sehat, damai dan

selamat, beriman dan bertaqwa. Untuk mencapai kesejahteraan itu manusia

melakukan berbagai macam usaha di bidang pertanian, perdagangan, pendidikan,

kesehatan, dan keagamaan. Manusia juga melakukan upaya-upaya secara individu

serta berkelompok. Sebagaimana yang akan diteliti, bahwa pada dasarnya tujuan

yang hendap dicapai dengan adanya pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa abiansemal, Kabupaten Badung adalah untuk

meningkatkan kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang meningkat diharapkan

dapat meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat lahir bathin.

2.5 Originalitas Penelitian

Penelitian dengan tentang Kontribusi Pelaksanaan Ritual Terhadap

Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas Dan

Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kecamatan

Abiansemal, Kabupaten Badung. Justifikasi penelitian ini cukup penting sebagai

berikut.

93

12) Penelitian tentang pelaksanaan ritual belum banyak dilakukan di Indonesia,

sedangkan di luar negeri penelitian consumption culture behavior banyak

dilakukan namun spesifikasi kontribusi pelaksanaan ritual terhadap

kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat belum pernah dilakukan.

13) Secara teoritis penelitian tentang pengeluaran pelaksanaan ritual memiliki

angka pengganda (multiplier effect) baik secara religius maupun secara sosial,

budaya dan ekonomi, selanjutnya model penelitian ini, belum banyak

dilakukan di Indonesia terutama di Bali sedangkan di luar negeri penelitian

Estimating the Multiplier Effects of Tourism Expenditures cukup banyak.

14) Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian yakni pendekatan

kuantitatif dan pendekatan kualitatif, sebagai penelitian populasi dengan studi

kasus tentang kearifan lokal/local genius hal yang membedakan penelitian ini

dengan penelitian terdahulu. Penelitian ini. menggunakan analisis model

SEM untuk menguji hipotesis penelitian ,juga merupakan ciri orisinalitas

penelitian ini dan sekaligus membedakaan penelitian ini dibanding dengan

penelitian terdahulu.

15) Intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu mendorong pertumbuhan ekonomi

akan diikuti oleh perluasan kesempatan kerja yang akhirnya akan bermuara

pada peningkatan pendapatan masyarakat, walaupun sektor pariwisata tetap

mendominasi kesempatan kerja lebih banyak ketimbang sektor lainnya di

Bali.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dipergunakan sebagai rujukan

penelitian sebelumnya, diantaranya.

94

16) Subyek penelitian adalah kesejahteraan masyarakat. Obyek penelitian adalah

kepala keluarga yang melaksanakan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di

Pura pasek Preteka Desa Abiansemal dan pemasok bahan-bahan ritual.

17) Bahan-bahan ritual yang dipergunakan sekitar 90,91 persen diperoleh

disekitar Abiansemal dan sisanya 9,09 persen dari luar daerah seperti kain

kasa, dan minyak goreng.

18) Pelaksanaan ritual ini memiliki angka pengganda (multiplier effect) melalui

peningkatan output, pendapatan, kesempatan kerja, dan melalui percepetan

pertumbuhan ekonomi. Di samping itu bahwa aktivitas Agama Hindu

mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya.

19) Penelitian ini menggunakan tiga variabel laten yang terdiri atas satu variabel

exogenous ( pelaksanaan ritual), satu variabel antara ( kesempatan kerja), dan

satu variabel endogenous (kesejahteraan masyarakat). Pelaksanaan ritual

direfleksikan dengan lima indikator yaitu labda karya, manggala karya,

keharmonisan, tenaga kerja, dan bahan ritual. Kesempatan kerja direfleksikan

dengan empat indikator yaitu lapangan usaha, kualitas kesempatan kerja,

kuantitas kesempatan kerja, dan sifat kesempatan kerja. Kesejahteraan

masyarakat direfleksikan dengan empat indikator, yaitu tingkat pendapatan,

derajat pendidikan, derajat kesehatan, dan kondisi kehidupan sosial.

20) Penelitian ini menggunakan beberapa indikator yang berasal dari kearifan

lokal/local genius atau local wisdom masyarakat umat Hindu di Bali yaitu

labda karya dan manggala karya.

95

2.6 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu

1) Hasil penelitian terkait dengan pengeluaran konsumsi yang pernah dilakukan

Tabel 2.1 berikut hasil-hasil studi terdahulu menggunakan satu atau lebih

variabel pengeluaran konsumsi dari sepuluh variabel yang dipetakan berikut.

Friedman (1957), pengeluaran konsumsi tidak akan berubah pada pendapatan

sementara (temporer) kalaupun terjadi perubahan pendapatan permanen.

Pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan permanen rumah tangga.

Engel (1957) di Malaysia Barat terhadap 200 keluarga pekerja menunjukkan

bahwa konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, asset, jumlah

anggota keluarga, umur, jenis kelamin, letak geografis, agama. Modligiani

(1963), konsumsi seseorang dipengaruhi oleh pendapatan, kekayaan

(tabungan), jenis pekerjaan. Duesenberry (1949), pengeluaran konsumsi

dipengaruhi oleh pendapatan dan kekayaan. Deacon dan Firebaugh (1981),

pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan, jumlah anggota

keluarga, umur, pendidikan. Sigit H. (1985), pengeluaran konsumsi

dipengaruhi oleh pendapatan, kekayaan, umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan. Hermanto et al. (1986) di Jawa bahwa konsumsi rumah tangga

dipengaruhi oleh pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, umur, jenis

kelamin, pendidikan, domisili. Sutomo (1989) di Indonesia kenaikan

pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan baik secara

persentase maupun secara absolud.

Purwita (1992) di Bali menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang

beragama Hindu dikeluarkan dalam bentuk pengeluaran konsumsi dan

pengeluaran yadnya, maka pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh

pendapatan, kekayaan, jumlah anggota keluarga, sosial. Yan Wang (1995) di

96

China menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh

pendapatan permanen, umur, pendidikan, jenis pekerjaan, pengalaman

pekerjaan, domisili. Pemberton (1997), pengeluaran konsumsi dipengaruhi

oleh pendapatan dan kekayaan. Pudja (1999) di Bali menunjukkan bahwa

pendapatan keluarga yang beragama Hindu dikeluarkan dalam bentuk

pengeluaran konsumsi dan pengeluaran yadnya, maka pengeluaran konsumsi

dipengaruhi oleh pendapatan, kekayaan, jumlah anggota keluarga, umur, letak

geografis, sosial.

Malucio, et al. (1999) di Afrika Selatan bahwa pengeluaran

konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, umur, pendidikan,

sosial. Syukur (2002) bahwa pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh

pendapatan, kekayan, umur, pendidikan, status sosial. Sukarsa (2005)

menunjukkan bahwa besar kecilnya pengeluaran ritual di Bali secara

signifikan dipengaruhi oleh pendapatan sementara (transitory) yang

diperoleh keluarga, kekayaan, jumlah anggota keluarga, umur, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan, letak geografis, sosial. Suriastini (2010)

bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan,

umur, pendidikan, pekerjaan, domisili. Wijaya (2012 bahwa pengeluaran

konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan, umur, jenis kelamin,

pekerjaan, domisili, sosial.

Tabel 2.1 menunjukkan posisi penelitian yang terkait dengan

pengeluaran konsumsi berdasarkan beberapa penelitian terdahulu. Hampir

semua pengeluaran konsumsi mempunyai hubungan kausalitas dengan variabel

lainnya.

97

Tabel 2.1 Posisi Penelitian Terdahulu yang Berhubungan dengan Pengeluaran Konsumsi

Studi Konsumsi Tahun Pendpt

Keka yaan

Jumlah anggota

klrg Umur Jenis

klmn Pdd kan

Domi sili

Peker jaan Pajak Sosial

Peneliti 1 2 3 4 5 6 8 7 9 10 Friedman 1957 x Engel 1957 x x x x x x x Desenberry 1949 x x Modigliani 1963 x x x Deacon & Firebaugh 1981 x x x x Sigit H 1985 x x x x x x

Hermanto et al. 1986 x x x x x x Sutomo 1989 x Purwita 1992 x x x x Yan Wang 1995 x x x x x Pemberton 1997 x x Pudja 1999 x x x x x x

Malucio et al. 1999 x x x x Syukur 2002 x x x x x Sukarsa 2005 x x x x x x x x x Suriastini 2010 x x x x x Wijaya 2012 x x x x x x

Sumber: Sukarsa ( 2005: 67) Keterangan: tanda silang (X) menunjukkan posisi obyek studi yang dilakukan. 2) Penelitian terdahulu yang terkait dengan kesempatan kerja, yaitu: Syaukani et

al. (2002), keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat dari

seberapa jauh pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja

bagi masyarakatnya. Penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berpengaruh

terhadap peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya

kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Soepono (1993) bahwa

kesempatan kerja yang ada di Provinsi Yogyakarta dipengaruhi oleh

pertumbuhan ekonomi nasional dan bauran industri. Keunggulan kompetitif

tidak memiliki peranan yang penting karenan selama periode penelitian

(1980-1990) kesempatan kerja justru menunjukkan ketidakunggulan

kompetitifnya. Soepono (2001) kesempatan kerja yang ada di Kabupaten

Badung dipengaruhi oleh aktivitas pariwisata maka berbagai fasilitas

pariwisata disediakan agar wisatawan merasa nyaman berada di Bali.

98

Purwanti (2009) melakukan penelitian analisis kesempatan kerja sektor di

Kabupaten Bangli, hasil yang diperoleh bahwa kesempatan kerja di

Kabupaten Bangli dipengaruhi oleh sektor pertanian secara positif dan

keunggulan kompetitif di Provinsi Bali.

Udjianto (2007) penelitian kesempatan kerja menggunakan variabel

pendapatan untuk melihat sektor basis dan non basis dengan wilayah studi di

Yogyakarta. Zam (2002) di Kota Pekanbaru Riau hasil yang diperoleh bahwa

penentuan sektor basis dan non basis dapat menggunakan beberapa variabel

makro mempengaruhi kesempatan kerja. Ferlini (2011) di Sumatera Barat

bahwa strategi peningkatan kesempatan kerja yang perlu dilakukan adalah

pengendalian jumlah penduduk dan angkatan kerja melalui peningkatan

pendidikan baik kuantitas ataupun kualitas, kebijakan umum regional

khususnya sektoral dan memberikan kemudahan investasi bagi

pengembangan usaha. Sulistyaningsih (1997), keberhasilan sebuah

pemerintahan salah satunya dilihat dari seberapa jauh pemerintahan tersebut

berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya. Penciptaan

lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada peningkatan daya beli

masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan

meningkat.

3) Penelitian terdahulu mengenai kesejahteraan masyarakat yang pernah

dilakukan yaitu: Bronsteen et al. (2009: 1641) mengatakan salah satu

tanggungjawab utama pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat atau warganya. Kesejahteraan dalam bentuk kepuasan obyektif

dan kebahagiaan subyektif untuk mengukur kualitas hidup manusia. Stiglitz,

99

et al. (2011), mengukur kesejahteraan yang harus diperhitungkan adalah

standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan), tingkat

kesehatan, tingkat pedidikan, aktivitas termasuk bekerja, hak politik dan

keadilan serta kebebasan, hubungan sosial, lingkungan hidup, dan

keidakamanan baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Grinols (1994) dan

Chapra (2001) mengukur kesejahteraan bukan saja dari dimensi materi namun

juga dilihat dari dimensi nonmateri yaitu kebutuhan ketentraman, kedamaian,

hubungan kekeluargaan harmonis, berperilaku mulia, bertaqwa berdasarkan

nilai-nilai spritual dan moral.

Amartya Sen (1992), menegaskan kunci utama dalam pencapaian

derajat kesejahteraan ditentukan oleh ketersediaan akses dan aspek

kebebasan. Misalnya, askes terhadap kebutuhan pokok seperti makanan,

pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Kendrick dalam Simanjuntak (1985)

bahwa derajat kesejahteraan ditentukan oleh produktivitas sumberdaya

dimana produktivitas tersebut sangat tergantung kepada kondisi kesehatan,

tingkat pendidikan dan besarnya modal. Semakin tinggi tingkat kesehatan,

tingkat pendidikan dan besarnya modal, semakin produktif faktor produksi

untuk meningkatkan produktivitas atau pendapatan (kesejahteraan) suatu

perekonomian. Karena itu bagi rumah tangga miskin bantuan berupa modal

usaha, beasiswa dan fasilitas kesehatan akan sangat menentukan perubahan

ekonomi atau kesejahteraan.

4) Penelitian terdahulu mengenai angka pengganda (multiplier effect) yang

pernah dilakukan, yaitu Horváth et al. (1999) di Washington DC bahwa

pariwisata memiliki multiplier effect dalam ekonomi regional melalui

peningkatan output, kesempatan kerja, pendapatan tenaga kerja, dan

100

meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Leontief (1985) untuk 80 negara di

tingkat nasional, regional dan metropolitan mengatakan pariwisata memiliki

multiplier effect terhadap peningkatan output, pendapatan dan kesempatan

kerja. Syahza (2004) menunjukkan pembangunan perkebunan kelapa sawit di

Daerah Riau tahun 2003 memiliki multiplier effect sebesar 2,48 sehingga

kesejahteraan petani kelapa sawit meningkat sebesar 1,74 persen. Wijaya

(1991) bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai multiplier effect dan

mendorong kenaikan pendapatan dan produksi secara berganda sepanjang

perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh (full

employment).

101

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir pada penelitian ini dibangun berdasarkan latar

belakang masalah, kajian teori, dan beberapa penelitian terdahulu. Landasan

teoritis penelitian ini mengacu pada Teori Konsumsi Keynes (1936) sebagai

Grand Theory. Konsep Max Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), dan Teori

Religiusitas Geertz (1973) sebagai Middle Range Ttheory serta beberapa teori

sebagai Application Theory, seperti konsep Multiplier Effect, konsep Kesempatan

Kerja, dan konsep Kesejahteraan Masyarakat.

Teori Konsumsi Keynes (1936) sebagai teori utama (Grand Theory)

dalam The General Theory menggambarkan bahwa análisis pengeluaran konsumsi

selalu dihubungkan dengan pendapatan, artinya pengeluaran konsumsi meningkat

ketika pendapatan naik. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun

akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan pendapatan yang

dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan pendapatan yang dibelanjakan

untuk bukan makanan (Mankiw,2007; Gordon,2000; Samuelson, 2004).

Menurut Keynes dalam Denburg (1976), pengeluaran konsumsi riil yang

dilakukan oleh sektor rumah tangga ditentukan terutama oleh besarnya

pendapatan riil keluarga tersebut. Sisa pendapatan keluarga yang tidak dikonsumsi

merupakan tabungan atau investasi. Konsep ini memperkuat hasil penelitian

(Engel, 1957 di Belgia; Sigit, 1985 di Indonesia; Hermanto et al., 1986 di

Indonesia; Tridimas, 1988 di Yunani; Narayan et al.,1999 di Tanzania; Syukur,

102

2002 di Indonesia; Malucio et al.,1999 di Afrika Selatan; Yan Wang, 1995 di

China; Hatzinikolaou, 1999 di Yunani; Pemberton, 1997; Suriastini, 2010; dan

Sukarsa, 2005 di Bali; Wijaya, 2012 di Bali) pengeluaran konsumsi dipengaruhi

oleh pendapatan.

Konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977). Pandangan

Weber tentang buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism lebih

menekankan peran agama (spiritual) yaitu nilai-nilai, norma-norma ketimbang

aspek material sehingga aktivitas agama mampu menciptakan kondisi kondusif

pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Selanjutnya, pandangan Bourdieu

konsep social capital merupakan kasanah ilmu ekonomi yang dipakai karena

konsep ini memiliki beberapa ciri yang mampu menjelaskan hubungan kekuasaan

terakumulasi melalui investasi yang disebut sebagai modal (modal ekonomi,

modal budaya, modal sosial, dan modal simbolisme). Berkaitan dengan hal ini,

hubungan agama dan ekonomi (ekonomi spiritual) maka aktivitas agama

mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya (Giddens, 1985). Teori

Rilegiusitas Clifford Geertz (1973) bahwa agama menganalisis makna dalam

simbol-simbol agama dan membangun motivasi yang kuat dan tahan lama serta

hubungannya dengan struktur masyarakat (Pals, 2001). Selanjutnya untuk

memperkuat hasil penelitian (Goody, 1961; Guiso at al., 2009; Triguna, 2000;

Sukarsa, 2005; Wijaya, 2012; Sumini, 2008; Gunadha, 2009; Putrawan, 2011,

dan Puspa, 2010).

Esensi pelaksanaan ritual menurut Wijayananda (2004) merupakan

persembahan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan turun

temurun kewajiban membayar hutang Tri Rna. Setiap kali pelaksanaan ritual

menimbulkan pengeluaran konsumsi ritual baik secara kuantitas maupun kualitas.

103

Untuk memperkuat pandangan ini, Desa Pakraman sebagai ujung tombak yang

strategis dalam menjaga ketahanan adat, budaya, dan Agama Hindu (Gunadha,

2009). Diduga pengeluaran konsumsi ritual ini telah bergeser menjadi konsumsi

sekunder dan ada kecenderungan bergeser ke arah primer untuk masyarakat Hindu

di Bali sebagai dampak perubahan aspek-aspek kehidupan masyarakat umat

Hindu. Beberapa hasil studi telah terbukti bahwa pengeluaran konsumsi

mempunyai gerak yang searah (slope yang positif) dengan pendapatan.

Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi yang menjadi salah

satu tujuan percepatan (acceleration) pembangunan ekonomi yang dilaksanakan

di tingkat nasional dan regional. Terjadinya pertumbuhan ekonomi seiring dengan

adanya perubahan investasi, distribusi output, struktur ekonomi, peningkatan

kontribusi sektor industri dan jasa. Harrod (1939) dan Domar (1947) mengatakan

pertumbuhan ekonomi bersumber dari peningkatan modal melalui investasi dan

tabungan. Tingginya pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh perluasan

kesempatan kerja yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan pendapatan atau

peningkatan kesejahteraan masyarakat (Todaro, 2006; Arsyad, 2010).

Konsep kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang

menggambarkan ketersediaan lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari

kerja. Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas

tenaga kerja. Rahardja (2008) permintaan tenaga kerja dalam teori ekonomi

mikro, dapat diartikan sebagai kesempatan kerja. Jika upah tenaga kerja naik,

perusahaan lebih selektif dalam menggunakan tenaga kerja, akibatnya kesempatan

kerja berkurang dan sebaliknya jika upah tenaga kerja turun, akibatnya

kesempatan kerja meningkat. Esmara (1986) kesempatan kerja merupakan jumlah

penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan, artinya

104

semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja. Penciptaan

lapangan kerja yang tinggi akan berdampak pada peningkatan daya beli

masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.

Kriteria konsep Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat

kesempatan kerja merupakan suatu ukuran yang menunjukkan proporsi orang

yang bekerja dalam angkatan kerja (BPS, 2011). Selanjutnya untuk memperkuat

hasil penelitian (Choi, 2004 di Los Angeles Amerika; Ellison et al., 1994 di

Amerika; Sulistyaningsih, 1997 di Indonesia; Lochart, 2005; Ferlini, 2011 di

Sumatera Barat ; Purwanti, 2009; Puspa, 2010; Wijaya, 2012; dan BPS Provinsi

Bali , 2011).

Konsep kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari dimensi materi dan

non materi seperti pendapatan, pendidikan dan kesehatan (Mayer et al., 2003)

Namun kesulitan untuk mengukur pendapatan membuat tingkat kesejahteraan

secara moneter didekati dengan besarnya pengeluaran. Meskipun laju

pertumbuhan ekonomi tidak secara otomatis dapat memberi jawaban atas berbagai

macam persoalan kesejahteraan, hal ini tetap merupakan unsur penting setiap

program pembangunan yang dirancang untuk mengentaskan kemiskinan.

Kesejahteraan masyarakat meningkat jika dalam periode yang sama pertumbuhan

ekonominya lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penduduknya (Todaro,

2006).

Stiglitz, et al. (2011), mengukur kesejahteraan yang harus diperhitungkan

adalah standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan); tingkat

kesehatan; tingkat pedidikan; aktivitas termasuk bekerja; hak politik dan

keadilan serta kebebasan; hubungan sosial; lingkungan hidup; dan ketidakamanan

baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Grinols (1994) mengukur kesejahteraan

105

bukan saja dari dimensi materi namun juga dilihat dari dimensi nonmateri yaitu

kebutuhan ketentraman, kedamaian, hubungan kekeluargaan harmonis,

berperilaku mulia, bertaqwa berdasarkan nilai-nilai spritual dan moral (Chapra,

2001).

Mengacu kriteria konsep Badan Pusat Statistik (BPS) indikator

kesejahteraan masyarakat meliputi yaitu tingkat pendapatan (daya beli

masyarakat), tingkat kesehatan (angka harapa hidup), dan tingkat pendidikan

(angka melek huruf) dan rata-rata lama sekolah (BPS Provinsi Bali, 2011).

Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Amartya Sen, 1992 di India;

Engel, 1957 di Malaysia Barat; Stiglitz et al., 2011; Grootaert, 1998; Bronsteen

et al., 2009; dan Qomariah, 2009 di Jawa Timur).

Konsep multiplier effects Samuelson (2004) merupakan kenaikan

pendapatan lebih besar dari kenaikan pengeluaran dari suatu kegiatan ekonomi.

Keynes mengatakan bahwa multiplier effects lebih tinggi pada saat masyarakat

lebih banyak mengkonsumsi. Besarnya nilai multiplier menggambarkan

perbandingan jumlah pertambahan atau pengurangan pendapatan nasional dengan

jumlah pertambahan atau pengurangan pengeluaran agregat yang telah

menimbulkan perubahan pendapatan nasional (Sukirno, 2008; Skousen, 2006)

Peranan investasi dalam perekonomian adalah sangat penting untuk

akselerasi pertumbuhan ekonomi maka investasi harus ditingkatkan baik

pemerintah maupun pihak swasta. Meningkatnya investasi dapat menumbuhkan

kesempatan kerja yang lebih luas juga memiliki angka pengganda (multiplier

effect). Dengan adanya Multiplier effect pendapatan masyarakat meningkat,

meningkatnya pendapatan atau daya beli berarti kesejahteraan masyarakat

meningkat. Intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali, mempunyai

106

multiplier effect, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekonomi

spiritual, menciptakan kesempatan kerja sebagai pemasok bahan ritual pada

akhirnya dapat meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat

pemasok. Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian multiplier effect

(Syahza, 2004 di Riau; Wijaya, 1991 di Indonesia; Horvath et al., 1999 di

Washingto DC; Leontief, 1985; dan Wijaya, 2012 di Bali).

Sekema kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan dalam

kerangka pikir penelitian sebagaimana Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Kerangka Berpikir

Kajian Teoritis Kajian Empiris

Analisis 1. Kualitatif

2. Kuantitatif

Hipotesis

1. Teori Konsumsi Keynes (1936)

2. Konsep Konsep Max Weber (1930) buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism

3. Konsep Bourdieu (1977) social capital

4. Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973)

5. Konsep Multiplier Effect 6. Konsep Kesempatan Kerja

(BPS, 2011) 7. KonsepKesejahteraan

Masyarakat (BPS, 2011)

Masalah

1. Pengeluaran konsumsi: Yan Wang ,1995; Engel 1957; Hermanto,1986; Malucio et al.,1999; Narayan et al., 1999; Sukarsa, 2005; Wijaya,2012,

2. Pelaksanaan Ritual: Purwita,1992; Sumini,2008;Gunadha, 2009; Triguna, 2000; Sukarsa,2005; Putrawan, 2011; Wijaya, 2012.

3.Kesempatan Kerja: Sulistyaningsih 1997; Soepono,1993,2001;Ellison et al.,1994;Zam,2002;Choi,2004; Lochart,2005;Udjianto,2007; Purwanti,2009;Ferlin,2011; Wijaya,2012; BPS,2011

4.Kesejahteraan: Amartya Sen,1992; Stiglitz,et.al.,2011; Cahyat et al. 2007; Wijaya,2012; BPS, 2011.

5.Multiplier Effect: Wijaya,1991; Horvath et al.,1999; Syahza,2004; Wijaya,2012.

Temuan Disertasi

107

3.2 Kerangka Konsep Penelitian

3.2.1 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif

Berdasarkan kajian konsep multiplier effect Keynes adalah apabila

pengeluaran konsumsi masyarakat semakin besar maka dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat sebesar multiplier effect kali jumlah pengeluaran

konsumsi masyarakat. Kajian empiris yang tertuang dalam kerangka pikir, maka

dapat dikatakan bahwa pelaksanaan ritual merupakan aktivitas agama yang dapat

mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya. Pengeluaran konsumsi

ritual merupakan salah satu pengeluaran konsumsi non makanan. Pengeluaran

ritual mengakibatkan adanya transaksional bahan-bahan ritual dapat menyebabkan

perubahan investasi. Perubahan investasi menyebabkan tumbuhnya kesempatan

kerja dan mempercepatan pertumbuhan ekonomi maka mengakibatkan perubahan

pendapatan pemasok dan mengahasilkan multiplier effect. Konsep multiplier

effect ini didukung hasil penelitian (Wijaya, 1991; Horvath et al., 1999; Syahza,

2004).

Selanjutnya, setiap kali pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali terjadi

pergerakan ekonomi perdesaan dan perkotaan sebagai akibat adanya transaksional

bahan-bahan ritual yang cukup besar. Semakin banyak permintaan bahan-bahan

ritual semakin besar kesempatan kerja sebagai pemasok bahan-bahan ritual.

Berarti intensitas pelaksanaan ritual umat (Hindu) memiliki multiplier effect.

Kesempatan ini, telah dimanfaatkan bukan saja oleh masyarakat Bali juga

108

masyarakat luar, untuk memasok berbagai jenis bahan ritual, yaitu buah-buahan,

pisang, janur, kelapa, dan bebek, merupakan barang impor dari luar daerah

bahkan dari luar negeri. Apabila hal ini, terjadi terus menerus maka multiplier

effect lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar daripada masyarakat Bali

sendiri.

Mekanisme Multiplier effect pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal berikut. Pengeluaran

pelaksanaan ritual untuk membeli 13 jenis bahan ritual merupakan tambahan

pendapatan bagi pemasok (Tahap I), pendapatan pemasok dipergunakan untuk

pengeluaran konsumsi dan sisanya ditabung atau diinvestasikan. Pengeluaran

konsumsi pemasok merupakan pendapatan bagi penyalur (Tahap II), pendapatan

penyalur dipergunakan untuk pengeluaran konsumsi dan sisanya ditabung atau

diinvestasikan. Pengeluaran konsumsi penyalur merupakan pendapatan bagi

petani atau produsen (Tahap III), pendapatan petani atau produsen dipergunakan

untuk pengeluaran konsumsi dan sisanya ditabung atau diinvestasikan. Sementara

ini, sebagian besar atau 90,91 persen bahan-bahan ritual tersedia di sekitar daerah

Abiansemal dan hanya 9,09 persen bahan ritual dipasok dari luar. Berarti

Multiplier effect pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek

Preteka Desa Abiansemal sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat lokal.

Hal ini, mengindikasikan mampu mengerakkan perekonomian perdesaan

bersandarkan kesetaraan, solidaritas dan kebersamaan dalam perbedaan (apang

pada payu). Berkaitan dengan peran masyarakat Abiansemal khususnya dan

109

masyarakat Bali umumnya, antisipasi kebutuhan bahan-bahan ritual secara

berkelanjutan.

Selanjutnya, pengelompokan bahan-bahan ritual menjdi 13 jenis bahan

berdasarkan besarnya nilai rupiah dari bahan-bahan ritual, yaitu: bambu, babi,

uang kepeng, kelapa, bebek-ayam, beras, kain kasa, telor, pajeng, janur, pisang-

buah-buahan, minyak goreng dan bunga. Besarnya pengeluaran untuk bahan-

bahan ritual adalah sebesar Rp 135,220 juta atau 72,06 persen sedangkan untuk

bahan-bahan non ritual adalah sebesar Rp 53,348 juta atau 27,94 persen (terdiri

atas biaya konsumsi, biaya bensin, biaya gas, dan biaya baju kaos).

Berkaitan dengan perhitungan Multiplier effect, semestinya dilakukan

sampai tahap akhir transaksi namun dalam penelitian ini, perhitungan Multiplier

effect dilakukan pada Tahap I, Tahap II dan Tahap III dengan alasan, yaitu

pertama, Tahap I (Pemasok/penjual ) dari 13 jenis bahan ritual yang dipasok, 5

jenis bahan transaksi berakhir di tahap ini, yaitu (bambu, babi, kelapa, bebek-

ayam, dan telor). Tahap II (Penyalur) dari 8 jenis bahan ritual yang disalurkan, 4

bahan transaksi berakhir di tahap ini, yaitu (pajeng, janur, pisang-buah, bunga).

Tahap III (Petani/Produsen) dari 4 jenis bahan ritual masih ada dua jenis bahan

yaitu kain kasa dan minyak goreng yang tidak dihitung multiplier effects karena

keterbatasan waktu dan dana.

Skema kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan dalam

kerangka konsep penelitian deskriptif, sebagaimana Gambar 3.2.

110

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Deskriptif Analisis Multiplier Effect. Keterangan: Garis Analisis multiplier effect.

3.2.2 Kerangka Konsep Penelitian Asosiatif

Berdasarkan kajian teori dan kajian-kjian empiris yang tertuang dalam

kerangka pikir, maka dapat dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat dan

kesempatan kerja dapat dipengaruhi oleh intensitas pelaksanaan ritual Mlaspas

dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal.

Esensi pelaksanaan ritual merupakan pengorbanan suci yang tulus iklas

berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban

membayar hutang Tri Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, Pitra Rna). Pelaksanaan ritual

diukur berdasarkan indikator labda karya, yaitu pelaksanaan ritual berjalan

sukses dan lancar sesuai jadwal ritual secara skala niskala; manggala karya, yaitu

ketulusiklasan masyarakat pengempon pura menjadi panitia karya sesuai tugas

dan tanggungjawabnya masing-masing; keharmonisan, yaitu hubungan yang

sangat baik, serasi, harmonis antar pengempon pura; tenaga kerja, yaitu dengan

Bahan-bahan Ritual 1. Bambu dan kelabang 2. Babi 3. Uang Kepeng, dll 4. Kelapa, 5. Bebekdan Ayam 6. Beras 7. Kain Kasa 8. Telor bebek 9. Pajeng 10. Janur 11. Minyak goreng 12. Pisang dan buah 13. Bunga

Pengeluaran konsumsi,

dan sisanya di tabung/ investasi

Pengeluaran konsumsi,

dan sisanya di tabung/ investasi

Pengeluaran konsumsi,

dan sisanya di tabung/ investasi

Pendapatan

Penjual/Pemasok

Pendapatan Penyalur

Pendapatan Petani/

Produsen

Pengeluaran Bahan-Bahan Ritual (Konsumen) Tahap I Tahap II Tahap III

111

ketulusiklasan waktu yang dicurahkan pengempon pura untuk gotong royong

selama ritual berlangsung; dan bahan ritual yang dibutuhkan sebagian besar

tersedia di sekitar daerah Abiansemal. Konsep ini didukung Teori Konsumsi

Keynes (1936); Teori Religiusitas Geertz (1973), Kitab Suci Bhagavadgita, IX:

26; Konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu (1977) serta hasil

penelitian (Triguna, 2000; Gunadha, 2009; Putrawan, 2011; Puspa, 2010;

Sukarsa, 2005; Sumini, 2008; Wijaya, 2012).

Kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan

tersedianya lapangan kerja yang siap diisi oleh para penawar tenaga kerja atau

pencari pekerjaan. Kedudukan atau status pekerjaan dari yang mengerjakan

sendiri tanpa dibantu orang lain sampai mempekerjakan karyawan dengan

memberi gaji/upah. Kesempatan kerja diukur berdasarkan berdasarkan kriteria

BPS dan indikator lapangan usaha, yaitu bidang usaha pada kesempatan kerja;

kualitas kesempatan kerja, yaitu kualitas pekerjaan hubungannya dengan

pendapatan; kuantitas kesempatan kerja, yaitu curahan jam kerja terhadap

kesempatan kerja; dan sifat kesempatan kerja, yaitu kontinuitas dari pemanfaatan

tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai permanen. Konsep ini didukung

konsep BPS, 2011; Esmara, 1986; dan Rahardja, 2008 serta hasil penelitian (Choi,

2004; Ellison et al., 1994; Sulistyaningsih, 1997; Lochart, 2005; Ferlini, 2011;

Purwanti, 2009; dan Wijaya, 2012).

Kesejahteraan Masyarakat dapat terpenuhinya kebutuhan dasar baik

bersifat material maupun nonmaterial yang mencakup aspek pendapatan,

pendidikan, kesehatan. keamanan, dan kehidupan sosial atau tercapainya tingkat

kesejahteraan masyarakat lahir bathin. Kesejahteraan masyarakat diukur

berdasarkan kriteria BPS dan indikator tingkat pendapatan, yaitu pendapatan riil

keluarga responden yang siap dikonsumsi atau dibelanjakan; derajat pendidikan,

112

yaitu pendidikan yang dicapai secara formal (melek huruf dan ratarata lama

sekolah); derajat kesehatan, yaitu rata-rata frekuwensi berobat ke rumah sakit per

bulan; kondisi kehidupan sosial, yaitu keharmonisan, ketentraman, dan saling

menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluaraga, antar

banjar dan antar masyarakat sekitarnya. Konsep ini didukung konsep BPS, 2011;

Stiglitz, et al., 2011; dan Grinols, 1994 serta hasil penelitian (Amartya Sen, 1992;

Engel, 1957; Grootaert, 1998; Bronsteen et al., 2009; dan Qomariah, 2009).

Sekema kerangka konsep penelitian Asosiatif pelaksanaan ritual terhadap

kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Kerangka Konsep Penelitian Assosiatif (Hubungan) Keterangan:

: Variabel Laten/bentukan. : Indikator/terukur

Garis : Hubungan Dimensional. Garis : Hubungan Langsung (Regresi)

Tingkat Pendapatan

(km 1)

Derajat Pendidikan

(km 2)

Derajat Kesehatan

(km 3)

Kondisi kehidupan

Sosial km 4)

Keharmonisan (pr 3)

Tenaga Kerja (pr 4)

Bahan Ritual (pr 5)

Kuantitas Kesempatan Kerja (kk 3)

Lapangan Usaha (kk 1)

Labda Karya

(pr 1)

Manggala karya (pr 2)

Sifat Kesempatan Kerja (kk 4)

Kualitas Kesempatan Kerja (kk 2)

Pelaksanaan Ritual (PR)

Kesempatan Kerja (KK)

Kesejahteraan Masyarakat

(KM)

113

3.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep Assosiatif sebagaimana disajikan pada

Gambar 3.3 dan tujuan studi, maka ada tiga hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah seperti di bawah ini:

1) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan

kerja.

2) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan

masyarakat.

3) Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan

masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja.

114

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini berusaha mempelajari hubungan antar variabel sehingga

merupakan penelitian relasional, seperti yang dijelaskan pada Bab 3, penelitian ini

berusaha mencari hubungan antara variabel-variabel pelaksanaan ritual dan

kesempatan kerja dengan variabel kesejahteraan masyarakat. Di pihak lain karena

penelitian ini berusaha untuk mengumpulkan data primer dengan menggunakan

kuesioner dari seluruh populasi, maka penelitian termasuk penelitian survei

(Singarimbun, 1989).

Unit analisis terletak pada unit kepala keluarga masyarakat pengempon

pura dan pemasok bahan-bahan ritual dengan tujuan untuk menjelaskan

hubungan kausal antarvariabel di samping hubungan relasi melalui pengujian

hipotesis. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan pendekatan kuantitatif

dengan format deskriptif. Format deskriptif bertujuan untuk menjelaskan,

meringankan berbagai kondisi, situasi yang timbul dalam masyarakat yang

menjadi obyek penelitian. Penelitian dimulai dengan metode kuantitatif

berlandaskan pada filsafat positivism yaitu bertujuan menguji teori yang bersifat

umum untuk menghasilkan temuan yang bersifat khusus melalui pendalaman

makna dan uji hipotesis, proses pengumpulan data menggunakan instrumen

penelitian, analisis data bersifat kuantitatif (Sugiyono, 2010) yang terakhir dengan

generalisasi. Diduga pendekatan kuantitatif terdapat hasil verifikasi tidak sesuai

dengan konsep laten sehingga dianalisis dengan menggunakan studi kualitatif.

115

Alasan dalam penggunaan metode ini adalah melalui kuantitatif dengan

prinsip normalitas, distribusinya dengan menggunakan metode statistik sehingga

sangat andal dalam hal generalisasi namun lemah pada unsur kedalam analisis,

tidak mampu mengungkap penyebab permasalahan secara mendalam terutama

fenomena spesifik yang tidak sejalan dengan teori. Desain kualitatif memiliki

keunggulan kedalaman analisis, karena mampu menggali berbagai informasi

secara mendalam melalui informan tetapi memiliki kelemahan dalam generalisasi.

Karena itu penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian ini

dimaksudkan untuk menutupi kelemahan kedua metode tersebut (Creswell et al.,

2007).

Penelitian ini termasuk penelitian studi kasus pelaksanaan ritual Mlaspas

dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan

Abiansemal Kabupaten Badung, data yang dikumpulkan adalah jenis data

kualitatif dan kuantitatif bersumber dari data internal, cara memperoleh data

primer dan waktu pengumpulan data secara cross saction yaitu pengambilan data

waktu sama dan obyek yang berbeda. Jenis data kualitatif dan kuantitatif agar

terungkap data deskriptif dari nara sumber atau partisipan atau responden, baik

lisan maupun tulisan tentang apa yang mereka lakukan seperti yang dikemukakan

oleh Spradley (1980), berangkat dari kasus namun yang ada situasi sosial (social

situation) yaitu ada tempat (place), ada pelaku (actors), dan ada aktivitas

(activity) dalam Sugiyono (2010).

Pengumpulan data yaitu peneliti berusaha mencari fakta dan interaksi

biasa dalam situasi tertentu. Sarojo (1993) memberikan pandangan bahwa

berdasarkan sudut pandang fenomologis, segala sesuatu akan bergantung kepada

116

kedudukan para peneliti misalnya bagaimana terjadi peristiwa-peristiwa dan

penampakan fenomena ditentukan oleh posisi para peneliti dalam Moleong

(2003). Metode penelitian melalui kualitatif berangkat dari pengamatan yang

mendetail konkrit pada empirical social reality sehingga terbangun grounded

theory, selanjutnya berkembang menjadi subtantive theory, middle-range theory,

formal theory dan akhirnya menjadi theoretical frame work (also call paradigm

or theoritical system) Sugiyono (2010).

4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian

Kabupaten Badung Provinsi Bali, terdiri atas enam kecamatan yaitu

Kecamatan Kuta Selatan, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan

Mengwi, Kecamatan Abiansemal, dan Kecamatan Petang. Penelitian ini

dilaksanakan di Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal, dengan luas wilayah

69,01 km2, jumlah penduduk sebanyak 78.951 jiwa tahun 2007. Perkembangan

masyarakat Desa Abiansemal dibidang adatistiadat, budaya dan agama berjalan

sebagaimana mestinya, dominan lapangan usaha di sektor pertanian dengan

kontribusi sektor pertanian pada PDRB hanya 9 persen. Kesempatan kerja dan

tingkat kesejahteraan penduduk Kabupaten Badung Utara lebih rendah

dibandingkan Kabupaten Badung Selatan, karena perbedaan letak geografis.

Lebih jelasnya, lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Peta Administrasi Peta

Administrasi Wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten

Badung Provinsi Bali (Gambar 4.1).

Penelitian ini, berlokasi di Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal

Kabupaten Badung, studi kasus pelaksanakan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih

di Pura Pasek Preteka. Pelaksanaan ritual ini yang kedua dan yang pertama

117

dilakukan 20 tahun yang lalu yaitu tahun 1982. Jumlah masyarakat pengempon

pura 108 kepala keluarga. Aktivitas ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih mulai

persiapan, pelaksanaan, hingga penutupan (penyineban) semua rangkaian ini

dibuat secara gotong royong (ngayah) masyarakat pengempon pura. Di dukung

tradisi adat istiadat dan budaya gotong royong yang kuat dalam kehidupan sosial,

budaya, dan beragama. Di samping itu, dapat meningkatkan rasa kebersamaan,

solidaritas atau mempererat rasa kekeluargaan diantara pengempon pura serta

meningkatkan sistem kekerabatan antar Banjar di Desa Abiansemal.

Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih, 20 April 2012 sarana ritual dibuat secara bersama-

sama gotong royong (ngayah) masyarakat pengempon pura mulai 26 Pebruari

hingga 27 April 2012 atau mulai H-55 sampai H+7 (selama 63 hari).

Selanjutnya, untuk terselenggaranya ritual secara baik dan lancar (labda karya)

maka perlu menerapkan manajemen karya yaitu mensinergikan antara manajemen

tradisional dengan manajemen modern dalam pelaksanaan ritual sehingga

tahapan-tahapan acara dapat tercapai secara sekala dan niskala (Wijaya, 2012).

Tahapan aktivitas ritual mulai newasain karya skala niskala, puncak karya (hari

H), nganyarin sampai dengan nyegara gunung dan masineb. Proses ritual ini

dipimpin oleh enam Sulinggih (Pandita) dan satu orang Tapini. Penanggungjawab

karya (pangrajeg karya) adalah Ida Pedanda Geriya Agung Desa Abiansemal,

Tapini, dan Pemangku Pura Pasek Preteka.

Penelitian dilakukan oleh peneliti, mulai aktivitas ritual dilakuakan

adalah 26 Pebruari hingga 27 April 2012 dan ritual lanjutannya adalah bulan

Oktober 2012. Selama penelitian, peneliti berpartisipasi aktif dalam aktivitas

118

ritual untuk memperoleh informasi lebih mendalam dari informan kunci dan ahli

serta masyarakat pengempon pura yang lainnya.

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian, Peta Administrasi Wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan

Abiansemal, Kabupaten Badung Provinsi Bali.

Sumber: BPS, 2012 Kabupaten Badung

4.3 Subyek dan Obyek Penelitian

Subyek penelitian pihak-pihak yang dijadikan responden dalam

penelitian ini adalah kepala keluarga pengempon pura dan pemasok bahan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal.

Obyek penelitian merupakan apa yang hendak dikaji dalam penelitian

adalah aktivitas pelaksanaan ritual, kesempatan kerja dan kesejahteraan

masyarakat serta Multiplier Effect pengeluaran ritual.

119

4.4 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

4.4.1 Identifikasi Variabel

Variabel adalah suatu sifat yang dapat memiliki bermacam nilai yang

bervariasi (Kerlinger, 2006). Berdasarkan kerangka pemikiran dan tujuan studi

yang hendak dicapai, maka variabel dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu

variabel laten dan indikator. Variabel laten adalah variabel yang tidak dapat

diukur secara langsung. Indikator merupakan pembentuk variabel laten yang

terukur (Widarjono, 2010).

Variabel yang diidentifikasi dalam penelitian ini sebagai berikut.

1) Variabel eksogen (exogenous variable) Pelaksanaan Ritual (PR) terdiri atas

indikator labda karya (pr1), manggala karya (pr2), keharmonisan (pr3),

tenaga kerja (pr4) dan bahan ritual (pr5).

2) Variabel Antara (Intervening variable) Kesempatan Kerja (KK) terdiri atas

indikator lapangan usaha (kk1), kualitas kesempatan kerja (kk2), kuantitas

kesempatan kerja (kk3), dan sifat kesempatan kerja (kk4).

3) Variabel endogen (endogenous variable) Kesejahteraan Masyarakat (KM)

terdiri atas indikator tingkat pendapatan (km1), derajat pendidikan (km2),

derajat kesehatan (km3), dan kondisi kehidupan sosial (km4).

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

Berdasarkan kerangka konsep penelitian serta model struktur yang

disusun untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini, terdapat

variabel eksogen yaitu pelaksanaan ritual, variabel antara adalah kesempatan

kerja, dan variabel endogen adalah kesejahteraan masyarakat. Untuk memperoleh

120

data yang valid dan reliabel, maka perlu dilakukan pendefinisian terhadap setiap

variabel tersebut.

Pengukuran variabel-variabel dijabarkan dalam bentuk indikator-

indikator sebagai pengukurnya. Selanjutnya diukur dengan menggunakan skala

yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Setiap item pertanyaan berisi pernyataan

atau pernyataan mengenai indikator-indikator tersebut. Menurut Johnson dan

Christensen (2008), kuesioner adalah sebuah laporan instrumen pengumpulan data

diri yang diisi oleh peserta penelitian. Instrumen dalam penelitian ini berupa

kuesioner dalam bentuk pernyataan, pertanyaan tertutup, dan pertanyaan terbuka.

Instrumen yang berupa kuesioner dikembangkan dalam skala likert (Sugiyono,

2010; Usman et al., 2009). Setiap variabel dikembangkan ke dalam bentuk

pernyataan yang mencerminkan sikap persepsi responden menurut Wijaya (2012),

yakni (1) sangat setuju/sangat baik/sangat tinggi/sangat berpengalaman/sangat

meningkat diberi skor 5, (2) setuju/baik/tinggi/berpengalaman/meningkat diberi

skor 4, (3) cukup setuju/baik//tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 3, (4)

kurang setuju/baik/tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 2, (5) tidak setuju/

baik/tinggi/berpengalaman/meningkat diberi skor 1.

Pengukuran bertujuan agar diperoleh informasi kualitas dari variabel-

variabel dalam bentuk kontinum nilai total terendah (sama dengan jumlah

indikator) dan nilai total tertinggi (sama dengan jumlah skor maksimal). Seluruh

data yang dianalisis merupakan data ordinal yang diukur berdasarkan persepsi dari

responden, variabel yang diidentifikasi selanjutnya didefinisikan secara

operasional sebagai berikut.

121

1) Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih merupakan persembahan

suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun

temurun kewajiban membayar hutang Dewa Rna kepada Tuhan Yang Maha

Esa atau Ida Sanghyang Widi sesuai ajaran Agama Hindu. Variabel

pelaksanaan ritual direfleksikan dengan indikator terdiri atas:

a) Labda karya adalah pelaksanaan ritual berjalan sukses dan lancar sesuai

jadwal ritual (dudonan karya) secara sekala niskala.

b) Manggala karya adalah ketulusiklasan masyarakat pengempon pura

menjadi panitia karya sesuai tugas dan tanggungjawabnya masing-

masing.

c) Keharmonisan adalah hubungan yang sangat baik, serasi, harmonis antar

pengempon pura.

d) Tenaga kerja, yaitu dengan ketulusiklasan waktu yang dicurahkan

pengempon pura untuk gotong royong selama ritual berlangsung.

e) Bahan ritual yang dibutuhkan sebagian besar (90,91 persen) tersedia di

sekitar daerah Abiansemal dan hanya (9,09 persen) berasal dari luar Bali.

Didukung beberapa teori dan konsep, yaitu Teori Konsumsi Keynes

(1936) pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapatan naik. Konsep

Max Weber (1930) dan Konsep Bourdieu (1977), bahwa aktivitas agama

mempengaruhi aktivitas ekonomi dan aktivitas lainnya. Teori Religiusitas

Geertz (1973), agama menganalis makna dari simbol-simbol membangun

motivasi yang kuat dan tahan lama serta hubungannya dengan struktur

masyarakat. Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, yaitu:

122

’Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmanah’. Artinya siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima. Penjelasan selengkapnya sebagaimana disajikan Tabel 4.1

Tabel 4.1 Definisi Operasional Indikator Variabel Pelaksanaan ritual (PR)

Indikator Variabel

Terukur Definisi Pengukuran Labda Karya

(pr1) Kesuksesan, kelancaran dalam pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih.

Skala likert 1-5

Manggala Karya (pr2)

Ketulusiklasan masyarakat pengempon pura sebagai panitia/prawartaka karya dalam pelaksanaan ritual

Skala likert 1-5

Keharmonisan

(pr3) Hubungan yang sangat baik, harmonis, dan ketentraman sesama pengempon pura gotong royong dalam pelaksanaan ritual

Skala likert 1-5

Tenaga kerja

(pr4) Ketulusiklasan waktu yang dicurahkan oleh pengempon pura untuk gotong royong dalam pelaksanaan ritual

Skala likert 1-5

Bahan Ritual

(pr5) Kemudahan atau tersedia bahan-bahan ritual di sekitar lokasi ritual Abiansemal.

Skala likert 1-5

Sumber: Kitab Suci Hindu Bhagavadgita, IX: 26, Teori Religiusitas Geertz (1973), Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977) dan Kriteria Lampiran 12

2) Kesempatan kerja merupakan suatu keadaan yang menggambarkan

tersedianya lapangan kerja yang siap diisi oleh para penawar tenaga kerja atau

pencari pekerjaan. Kedudukan atau status pekerjaan dari yang mengerjakan

sendiri tanpa dibantu orang lain sampai mempekerjakan karyawan dengan

memberi gaji atau upah. Pengukuran kriteria kesempatan kerja menurut BPS

Provinsi Bali, (2011). Variabel kesempatan kerja direfleksikan dengan

indikator terdiri atas:

a) Lapangan usaha adalah bidang usaha pada kesempatan kerja seperti

bidang usaha dagang bahan-bahan ritual dan bidang usaha jasa kesenian

yang berbasis budaya religius.

123

b) Kualitas kesempatan kerja adalah kualitas pekerjaan hubungannya dengan

pendapatan

c) Kuantitas kesempatan kerja adalah curahan jam kerja terhadap

kesempatan kerja

d) Sifat kesempatan kerja adalah kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja

yang sifatnya temporer sampai permanen.

Penjelasan selengkapnya sebagaimana disajikan Tabel 4.2

Tabel 4.2 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesempatan Kerja (KK)

Indikator Variabel

Terukur Definisi Pengukuran

Lapangan usaha

(kk1)

Keterkaitan bidang pekerjaan responden dalam pelaksanaan ritual, misalnya usaha dagang bahan-bahan ritual

Skala likert 1-5

Kualitas kesempatan kerja

(kk2)

Status pekerjaan responden dalam melakukan pekerjaan dari berusaha sendiri sampai memperkerjakan karyawan dengan memberikan upah/gaji

Skala likert 1-5

Kuantitas kesempatan kerja

(kk3)

Curahan jam kerja responden dalam melaksanakan pekerjaan, misalnya semakin lama jumlah jam kerja maka semakin baik pendapatan

Skala likert 1-5

Sifat kesempatan kerja (kk4)

Kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai permanen/ berkelanjutan

Skala likert 1-5

Sumber: Kriteria BPS Provinsi Bali, 2011. dan Kriteria Lampiran 12 3) Kesejahteraan Masyarakat adalah dapat terpenuhinya kebutuhan dasar baik

yang bersifat material maupun nonmaterial yang mencakup aspek

pendapatan, pendidikan, kesehatan. keamanan, dan kehidupan sosial atau

tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat lahir bathin. Variabel

kesejahteraan masyarakat direfleksikan dengan indikator terdiri atas:

124

a) Tingkat pendapatan adalah pendapatan riil keluarga yang siap dikonsumsi

atau dibelanjakan

b) Derajat pendidikan adalah pendidikan yang dicapai secara formal (melek

huruf dan ratarata lama sekolah)

c) Derajat kesehatan adalah rata-rata frekuwensi berobat ke rumah sakit per

bulan

d) Kondisi kehidupan sosial adalah keharmonisan, ketentraman, dan saling

menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluarga,

antar banjar dan antar masyarakat sekitarnya.

Pengukuran kriteria kesejahteraan masyarakat menurut BPS Provinsi

Bali, (2011). Selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Amartya Sen,

1992; Stiglitz et al., 2011; Grootaert, 1998; Bronsteen et al., 2009; dan

Qomariah, 2009), penjelasan selengkapnya sebagaimana Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Definisi Operasional Indikator Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)

Indikator Variabel

Terukur Definisi Pengukuran

Tingkat Pendapatan (km1)

Peningkatan pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi atau dibelanjakan

Skala likert 1-5

Derajat Pendidikan (km2)

Peningkatan pendidikan keluarga responden terakhir yang dicapai

Skala likert 1-5

Derajat Kesehatan (km3)

Peningkatan derajat kesehatan keluarga responden, misalnya semakin sehat maka semakin kecil frekuensi berobat per bulan

Skala likert 1-5

Kondisi kehidupan

Sosial (km4)

Keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar pengempon pura, antar banjar, antar masyarakat lingkungan, dan antar desa.

Skala likert 1-5

Sumber: Kriteria BPS Provinsi Bali, 2011 dan Kriteria Lampiran 12

125

4.5 Jenis dan Sumber Data

4.5.1 Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer

kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dengan melakukan survei lapangan serta

data sekunder sebagai supporting data berupa existing statistic data.

1) Data Primer. Pengumpulan data primer dengan kuesioner dan in-depth

interview melalui informan kunci dan ahli.

2) Data Sekunder. Pengumpulan data yang berupa existing statistic data

dilakukan dengan mengumpulkan data-data statistik Provinsi Bali dan

Kabupaten Badung.

4.5.2 Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dari semua populasi dengan

membagikan kuesioner yang dirumuskan secara terstruktur, sistematis dan expert

pada permasalahan, sehingga memungkinkan data yang diperoleh merupakan data

yang mempunyai nilai obyektivitas yang tinggi sesuai dengan pengetahuan atau

persepsi individu tentang obyek sikap (kognitif) karena pengetahuan atau

pemahaman, keterampilan (skill) dalam menghadapi persoalan yang diteliti.

Pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya

dengan melakukan wawancara mendalam (In-depth Interview) dengan responden

dan mengumpulkan data melalui informan kunci dan ahli. Sebagai informan kunci

dan ahli adalah orang yang dianggap memiliki kompetensi pada bidang yang

terkait dengan pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih.

126

4.6 Populasi, Sampel Penelitian dan Informan

4.6.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah kepala keluarga pengempon Pura Pasek

Preteka dan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek

Preteka Desa Abiansemal. Jumlah Kepala keluarga masyarakat pengempon pura

yang tinggal di wilayah Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal Kabupaten

Badung adalah sebanyak 108 kepala keluarga dan 22 pemasok bahan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka. Jumlah populasi penelitian

ini adalah 130 responden. Untuk memenuhi persyaratan analisis kuantitatif yang

digunakan dalam penelitian ini adalah model Structural Equation Model (SEM)

pengolahan data menggunakan program Analysis of Moment Structural (AMOS)

versi 20,0. Semua masyarakat pengempon pura duduk dalam struktur panitia

(manggalaning karya), sebagaimana disajikan Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Jumlah Responden Rumah Tangga Pengempon Pura Yang Melaksanakan Ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung Tahun 2012

No Seksi Jumlah Responden

(Orang) 1 Upakara 40 2 Sarana Prasarana (Bangunan) 23 3 Pengadaan Bahan-Bahan Ritual 10 4 Konsumsi 14 5 Kesenian/hiburan (Wewalian) 10 6 Transportasi dan Perlengkapan 4 7 Kesehatan dan Dokumentasi 2 8 Penasehat, Ketua Panitia, Sekretaris,

Bendahara karya, dan Wakil Bendahara 5

Jumlah 108 Sumber: Panitia Karya (data diolah Peneliti), 2012

127

Responden pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura

Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung

sebanyak 22 pemasok, sebagaimana disajikan Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Jumlah Responden Pemasok Bahan- Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Tahun 2012

Sumber: Panitia Karya (data diolah Peneliti), 2012

Responden penelitian 130 responden terdiri dari 108 responden kepala

keluarga pengempon pura dan 22 responden pemasok bahan ritual, sebagaimana

disajikan Tabel 4.6

Tabel 4.6 Kriteria Responden Penelitian Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2012

No Kriteria Jumlah Responden (orang)

1 Pengempon Pura 108 2 Pemasok bahan-bahan ritual 22

Jumlah 130

Sumber: Panitia Karya (data diolah Peneliti), 2012

No Bahan Jumlah Responden Pemasok (Orang)

1 Bambu 5 2 Babi 2 3 Uang Kepeng, tiker dll 2 4 Kelapa 2 5 Bebek dan Ayam 1 6 Beras 2 7 Kain Kasa 2 8 Telor bebek 1 9 Pajeng 1

10 Janur 1 11 Minyak Goreng 1 12 Pisang dan buah-buahan 1 13 Bunga 1

Jumlah 22

128

4.6.2 Penentuan Informan Kunci dan Ahli

Penelitian ini, menggunakan sampel jenuh atau penelitian sensus atau

populasi, semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2010).

Dalam pengumpulan data pada studi kasus Haymon et al.(2008), maka proses

yang harus dilakukan, di antaranya: 1) analisis mendetail dan mendalam kasus

yang dipilih, 2) berusaha memahaminya dari sudut pandang komunitas penelitian,

3) membangun komunikasi secara harmonis, 4) memahami aspek komunikasi dan

pengalaman-pengalaman yang terjadi, dan 5) menjaga keharmonisan antara

peneliti dengan obyek sekaligus melakukan pencatatan.

Pemilihan informan dengan menggunakan kouta sampling sebagai

informan dipilih 12 orang yang dianggap memiliki kompetensi pada bidang yang

terkait dengan pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih terdiri atas

sepuluh informan kunci dan dua informan ahli. Informan yang terpilih adalah

orang yang memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan penelitian secara

mendalam dan jelas, memahami secara mendalam tentang ritual. Penentuan

jumlah informan tidak menggunakan metode tertentu karena sampai saat ini

belum ada panduan dalam studi kualitatif untuk menentukan berapa banyak data

dan analisis apa yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan atau teori.

Menurut Stainback dalam Sugiyono (2010) syarat-syarat informan berdasarkan

metode spradley yaitu: responden yang memiliki pemahaman pelaksanaan ritual,

sehingga mampu memberikan informasi; responden yang terlibat secara aktif

dalam pelaksanaan ritual; responden yang dianggap mempunyai waktu cukup

129

memberikan informasi; responden yang mampu memberikan jawaban apa adanya;

dan informan yang ditetapkan telah terdaftar sebagai responden kuantitatif.

4.6.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan denga cara sebagai berikut.

1) Wawancara Terstruktur

Teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan yang

telah disiapkan sebelumnya terkait dengan variabel-variabel yang diteliti

(Sugiyono, 2010). Variabel-variabel yang diteliti meliputi pelaksanaan

ritual, kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi masyarakat untuk

mendukung studi kuantitatif. Wawancara dilakukan terhadap seluruh

masyarakat yang melaksanakan ritual dan para pemasok.

2) Wawancara Mendalam (In-depth Interview)

Wawancara dilakukan terhadap informan kunci untuk mendukung analisis

studi kualitatif. Wawancara mendalam dilakukan secara tidak terstruktur,

fleksibel dalam suasana informal dan dapat dilakukan secara berulang-

ulang. Wawancara informal bertujuan menggali informasi lebih lengkap,

lebih mendalam dan lebih jelas terutama terkait dengan persepsi mengenai

manfaat yang dipetik secara sosial, budaya dan ekonomi berkenaan dengan

pelaksanaan ritual. Untuk mendukung validitas informasi dalam wawancara

dibantu dengan alat perekam tape recorder dan kamera untuk merekam

gambar ketika wawancara sedang berlangsung.

3) Observasi Aktif Secara Tak Terstruktur

Tujuannya untuk mengembangkan fokus observasi, tidak menggunakan

instrumen yang baku tetapi hanya rambu-rambu pengamatan dalam studi

130

kualitatif (Sugiyono, 2010). Observasi berpartisipasi aktif dilakukan untuk

melihat dan meneliti profil masyarakat pengempon pura dan pemasok

meliputi: tempat dimana kegiatan dilaksanakan, pelaku yang melakukan

kegiatan (ngayah) berkenaan dengan pelaksanaan ritual ini. Dalam hal ini

fokus wawancara adalah konstruk yang tidak sejalan dengan landasan teori.

4) Triangulasi

Tujuan metode triangulasi bukan untuk mencari kebenaran fenomena tetapi

lebih pada pemahaman peneliti terhadap apa yang ditemukan (Stainback,

1988). Triangulasi merupakan pengumpulan data sekaligus menguji

kredibilitas data dengan menggunakan metode triangulasi teknik dan

triangulasi sumber (Miles dan Huberman, 1984 dalam Moleong, 2002).

Triangulasi teknik adalah metode pengumpulan data dengan teknik yang

berbeda untuk informan kunci yang sama, yakni dengan mencatat hasil

wawancara, merekam menggunakan tape recorder dan memotret dengan

kamera. Triangulasi sumber adalah metode pengumpulan data dari informan

(nara sumber) yang berbeda-beda dalam hal ini terhadap 12 informan kunci

(Sugiyono, 2010). Triangulasi juga dilakukan dengan membandingkan data

yang diperoleh dari responden melalui questioner dengan data yang

diperoleh dari informan melalui in-depth interview, sedangkan data in-depth

interview dibandingkan dengan observasi aktif secara langsung, metode

triangulasi ini bertujuan untuk meningkatkan reliabilitas data penelitian.

Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan secara terus menerus sampai

datanya jenuh.

131

4.7 Instrumen Penelitian

Pada metode kualitatif instrumen penelitian yang digunakan adalah

dengan cara wawancara mendalam dengan membawa pedoman wawancara yang

dilengkapi dengan buku catatan, kamera, recorder, dan lain sebagainya

(Sugiyono,2010). Manfaat sosial, budaya dan ekonomi yang diperoleh masyarakat

pengemppon pura dengan terlaksana ritual ini, Menurut Asch (1946), bahwa

persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, apa yang ada

dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi yang dikemukakan karena

perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama,

adanya stimulus hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan

individu lain.

Metode kuantitatif instrumen penelitian yang digunakan adalah berupa

kuesioner yang diisi oleh responden (Sugiyono, 2010). Variabel-variabel

penelitian didasarkan atas indikator pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan

kesejahteraan masyarakat dalam bentuk pertanyaan dan pernyataan sehingga

menjadi suatu instrumen penelitian. Instrumen yang disusun peneliti berdasarkan

kajian literatur dan kuesioner tersebut belum pernah digunakan atau diuji

kesahihannya, baik oleh peneliti sendiri mapun orang lain. Oleh sebab itu,

sebelum digunakan untuk pengumpulan data di lapangan, maka perlu diuji tentang

kesahihan (validity) dan keandalan (reliable).

4.7.1 Pengujian Validitas Kuesioner

Uji Validitas kuesioner (daftar pertanyaan) dilakukan untuk mengetahui

kemampuan suatu daftar pertanyaan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.

132

Daftar pertanyaan yang digunakan dalam penelitian belum diketahui tingkat

validitas dan reliabilitasnya. Untuk itu dilakukan uji validitas setiap item

pertanyaan dan reliabilitas dari daftar pertanyaan yang digunakan pada penelitian

ini. Suatu instrumen ukur yang tidak reliabel atau tidak valid akan memberikan

informasi yang tidak akurat mengenai keadaan subyek atau individu yang dikenai

tes itu. Apabila informasi yang keliru itu dengan sadar atau tidak sadar digunakan

sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan suatu kesimpulan dan keputusan

maka tentulah kesimpulan dan keputusan itu tidak akan merupakan kesimpulan

dan keputusan yang tepat (Saifuddin Azwar, 2006 ) .

Kriteria pengujian validitas adalah dengan membandingkan rhitung dengan

rtabel, pada taraf signifikan 95 persen atau = 5 persen. Menurut Sugiyono

(2010), item pertanyaan disebut valid jika butir pertanyaan memiliki rhitung > rstandar

= 0,30. Dalam hal ini, yang dimaksudkan rhitung untuk setiap item pertanyaan

adalah koefisien korelasi product moment antara skor masing-masing item

tersebut dengan total skor seluruh item yang dinotasikan dengan Corrected Item

Total Correlatian pada hasil perhitungan program SPSS untuk setiap item

pertanyaan dari sebuah variable (Singgih Santoso, 2005).

4.7.2 Pengujian Reliabilitas Kuesioner

Untuk menguji reliabilitas sebuah daftar pertanyaan dari sebuah variabel

penelitian digunakan Koefisien Cronbach’s Alpha. Besarnya Koefisien

Cronbach’s Alpha menunjukkan tingkat Reliabilitas daftar pertanyaan tersebut.

Suatu konstruk variabel dikatakan reliabel jika memiliki nilai Cronbach’s > dari

0,60. Perhitungan korelasi product moment dan Koefisien Cronbach’s Alpha

133

dilakukan dengan SPSS versi 21.0. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang

meliputi tiga variabel, yaitu pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan

kesejahteraan masyarakat, maka uji validitas dan reliabilitas dilakukan masing-

masing tiga kali.

4.7.3 Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Hasil pengolahan atau perhitungan koefisien korelasi Corrected Item-

Total Correlation dan Koefisien Cronbach’s Alpha mempergunakan program

SPSS versi 21.0 untuk disajikan (Lampiran 4, 5 dan 6).

1) Analisis Validitas Variabel Pelaksanaan Ritual.

Pada analisis validitas variabel pelaksanaan ritual diperlukan koefisien rhitung,

nilai kritis dan kesimpulan sebagai berikut.

a) Koefisien rhitung, variabel pelaksanaan ritual diukur dengan lima item

pertanyaan sebagaimana tercantum pada kuesioner (Lampiran 1).

Berdasarkan hasil pengolahan SPSS versi 21.0 (Lampiran 4) didapat

koefisien rhitung (Corrected Item-Total Correlation) dari ke-5 item

pertanyaan variabel pelaksanaan ritual (Lampiran 4).

b) Pada analisis validitas ini digunakan besaran nilai kritis (batas penerimaan

dan penolakan) validitas yaitu 0,30.

c) Untuk menarik kesimpulan maka dibuat Tabel 4.7 dengan mengacu data

(Lampiran 4).

134

Tabel 4.7 Corrected Item Total Correlation dan rtabel

Variabel Pelaksanaan Ritual (PR)

No

Item

rhitung (Corrected Item-Total

Correlation)

Nilai kritis

Keterangan

1 2 3 4 5

pr1 pr2 pr3 pr4 pr5

0,356 0,524 0,733 0,790 0,306

0,30 0,30 0,30 0,30 0,30

rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid

Keterangan: pr1=labda karya, pr2=manggala karya, pr3=keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5=bahan ritual Sumber: Lampiran 4

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa semua item pertanyaan variabel

pelaksanaan ritual adalah valid. Dengan demikian, maka semua item

pertanyaan variabel pelaksanaan ritual tersebut adalah valid untuk mengukur

variabel pelaksanaan ritual, sehingga semuanya diikut sertakan pada analisis

lanjut.

2) Analisis Reliabilitas Variabel Pelaksanaan Ritual

Dalam analisis ini dilakukan perbandingan Cronbach’s Alpha (koefisien

hitung reliabilitas alpha) seluruh item pertanyaan pelaksanaan ritual. Dari

pengolahan SPSS versi 21.0 (Lampiran 4) untuk daftar pertanyaan variabel

pelaksanaan menunjukkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha = 0,758.

Sedangkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha minimum ditentukan 0,60.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa Cronbach’s Alpha =

0,758> 0,60. Hal ini berarti bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) pelaksanaan

ritual adalah reliabel. Dengan demikian, maka daftar pertanyaan variabel

pelaksanaan ritual yang terdiri dari 5 item pertanyaan adalah reliabel untuk

mengukur variabel pelaksanaan ritual.

135

3) Analisis Validitas Variabel Kesempatan Kerja

Pada analisis validitas variabel kesempatan kerja diperlukan koefisien rhitung,

nilai kritis dan kesimpulan.

a) Koefisien rhitung variabel kesempatan kerja diukur dengan empat item

pertanyaan sebagaimana tercantum pada kuesioner (Lampiran 1).

Berdasarkan hasil pengolahan SPSS versi 21.0 didapat koefisien rhitung

(Corrected Item-Total Correlation) dari ke-4 item pertanyaan variabel

kesempatan kerja, seperti (Lampiran 5).

b) Pada analisis validitas ini digunakan besaran nilai kritis (batas penerimaan

dan penolakan) validitas yaitu 0,30.

c) Untuk menarik kesimpulan maka dibuat Tabel 4.8 dengan mengacu data

(Lampiran 5).

Tabel 4.8 Corrected Item Total Correlation dan rtabel

Variabel Kesempatan Kerja (KK)

No

Item rhitung

(Corrected Item-Total

Correlation)

Nilai kritis Keterangan

1 2 3 4

kk1 kk2 kk3 kk4

0,501 0,323 0,486 0,515

0,30 0,30 0,30 0,30

rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid

Keterangan: kk1=lapangan usaha, kk2=kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4= sifat kesempatan kerja

Sumber: Lampiran 5

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa semua item pertanyaan variabel

kesempatan kerja adalah valid. Dengan demikian, maka semua item

pertanyaan variabel kesempatan kerja tersebut adalah valid untuk mengukur

136

variabel kesempatan kerja, sehingga semuanya diikut sertakan pada analisis

lanjut.

4) Analisis Reliabilitas Variabel Kesempatan Kerja

Dalam analisis ini dilakukan perbandingan Cronbach’s Alpha

(koefisien hitung reliabilitas alpha) seluruh item pertanyaan kesempatan kerja

hasil pengolahan dengan nilai 0,60. Dari pengolahan SPSS versi 21.0

(Lampiran 5) menunjukkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha = 0,660.

Sedangkan besarnya koefisien Cronbach’s Alpha minimum ditentukan 0,60.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa Cronbach’s Alpha =

0,660> 0,60. Hal ini berarti bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) Kesempatan

Kerja adalah reliabel. Dengan demikian, maka daftar pertanyaan variabel

kesempatan kerja yang terdiri dari 4 item pertanyaan adalah reliabel untuk

mengukur variabel kesempatan kerja.

5) Analisis Validitas Variabel Kesejahteraan Masyarakat.

Pada analisis validitas variabel kesejahteraan masyarakat diperlukan koefisien

rhitung, nilai kritis dan kesimpulan.

a) Koefisien rhitung variabel kesejahteraan masyarakat diukur dengan empat

item pertanyaan sebagaimana tercantum pada kuesioner (Lampiran 1).

Berdasarkan hasil pengolahan SPSS versi 21.0 didapat koefisien rhitung

(Corrected Item-Total Correlation) dari ke 4 item pertanyaan variabel

kesejahteraan masyarakat seperti (Lampiran 6).

b) Pada analisis validitas ini digunakan besaran nilai kritis (batas

penerimaan dan penolakan) validitas yaitu 0,30.

137

c) Untuk menarik kesimpulan maka dibuat tabel 4.9 dengan mengacu data

(Lampiran 6).

Tabel 4.9 Corrected Item Total Correlation dan rtabel Variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)

No

Item rhitung

(Corrected Item-Total Correlation)

Nilai kritis

Keterangan

1 2 3 4

km1 km2 km3 km4

0,633 0,423 0,513 0,653

0,30 0,30 0,30 0,30

rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid rhitung > rtabel; Valid

Keterangan: km1=tingkat pendapatan, km2=derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4= kondisi kehidupan sosial Sumber: Lampiran 6

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa semua item pertanyaan variabel

kesejahteraan masyarakat adalah valid. Dengan demikian, maka semua item

pertanyaan variabel kesejahteraan masyarakat tersebut adalah valid untuk

mengukur variabel kesejahteraan masyarakat, sehingga semuanya diikut

sertakan pada analisis lanjut.

6) Analisis Reliabilitas Variabel Kesejahteraan Masyarakat

Dalam analisis ini dilakukan perbandingan Cronbach’s Alpha

(koefisien hitung reliabilitas alpha) seluruh item pertanyaan Kesejahteraan

Masyarakat. Dari pengolahan SPSS versi 21.0 pada Lampiran 6 menunjukkan

besarnya koefisien Cronbach’s Alpha = 0,752. Sedangkan besarnya koefisien

Cronbach’s Alpha minimum ditentukan 0,60. Berdasarkan ketentuan tersebut

dapat dinyatakan bahwa Cronbach’s Alpha = 0,752>0,60. Hal ini berarti

bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) kesejahteraan masyarakat adalah reliabel.

Dengan demikian, maka daftar pertanyaan variabel kesejahteraan masyarakat

yang terdiri dari 4 item pertanyaan adalah reliabel untuk mengukur variabel

kesejahteraan masyarakat.

138

4.8 Teknik Analisis Data

4.8.1 Analisis Deskriptif

Setelah data diperoleh dalam rangka mencapai tujuan penelitian

selanjutnya dianalisis berdasarkan teknik analisis deskriptif. Analisis deskriptif

digunakan dalam penelitian ini, untuk menjawab rumusan masalah poin 1, 2, 3.

Tujuan penelitian yaitu: pertama, untuk mengetahui manfaat sosial, budaya dan

ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih; kedua, untuk mengetahui besarnya multipier

effect pengeluaran ritual; dan ketiga, untuk mengetahui besarnya tambahan

pendapatan pemasok bahan-bahan ritual. Menghitung besarnya multipier effect

pengeluaran ritual seperti bambu, babi, uang kepeng, kepala, bebek-ayam, kain

kasa, telor, pajeng, janur, pisang dan buah-buahan, minyak goreng, dan bunga

(Tahap I, II, dan Tahap III). Besarnya tambahan pendapatan bagi pemasok bahan-

bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih untuk 13 jenis katagori bahan-bahan

ritual.

4.8.2 Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif merupakan suatu teknik analisis yang menggunakan

statistik inferensial dengan uji statistik. Analisis kuantitatif digunakan untuk

menjawab hipotesis dan rumusan masalah 4 dan 5. Untuk kepentingan pengujian

secara statisik, hasil pengukuran variabel menggunakan indikator-indikator yang

menghasilkan skala nominal atau ordinal ditransformasi supaya berbentuk nilai

skala interval bahkan skala ratio.

139

Pengolahan data menggunakan program AMOS versi 20,0 model SEM

digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. SEM adalah teknik statistik

multivariate yang merupakan kombinasi antara analisis faktor dan analisis

(korelasi), bertujuan untuk menguji hubungan-hubungan antar variabel yang ada

pada sebuah model, baik itu antar indikator dengan konstruknya. Adapun

penggunaan SEM dalam penelitian ini didasari atas pertimbangan-pertimbangan

sebagai berikut. SEM memiliki fleksibelitas yang lebih tinggi bagi peneliti untuk

menghubungkan antara teori dan data (Ghozali, 2010). Fenomena yang diteliti

bersifat multidemensi (multi indikator) sehingga dibutuhkan suatu model

komprehensif yang sekaligus dapat menjadi teknik yang mampu mengakomodasi

penelitian multidimensi (Widarjono,2010). Regresi umumnya hanya dapat

menganalisis satu hubungan pada suatu waktu. Sementara SEM sebagai perluasan

dan kombinasi beberapa teknik multivariat memungkinkan melakukan pengujian

serangkaian hubungan yang rumit secara simultan.

SEM memungkinkan peneliti menjawab pertanyaan penelitian yang

bersifat regresif atau dimensional. Melalui SEM, peneliti dapat mengidentifikasi

beberapa demensi sebuah konstruk sekaligus mengukur pengaruh antar faktor

yang telah diidentifikasi. Analisis jalur (Path Analysis) merupakan bentuk khusus

dari SEM, untuk itu didalam membuat model analisis jalur, seharusnya dilakukan

berdasarkan landasan teori yang ada (Widarjono, 2010). Dukungan teoritik atau

hasil penelitian atau pendapat menunjukkan adanya kontribusi pelaksanaan ritual

dengan kesejahteraan masyarakat melalui kesempatan kerja.

140

Membuat sebuah model SEM (Model Specification) berbasis teori.

Tahapan ini merupakan pengabsahan model artinya teori yang digunakan

berfungsi sebagai justifikasi atas model yang digunakan oleh peneliti. Bahwa

adanya hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih. Justifikasi teoritis

pada penelitian ini dapat dilihat pada kerangka pikir. Selanjutnya Ferdinand,

2006; Solimun, 2004; Widarjono, 2010; dan Santoso, 2005) menyatakan adapun

tahapan pokok yang dilakukan untuk menggunakan SEM dalam penelitian ini

sebagai berikut.

1) Mengkonstruksi Diagram Jalur

Pengembangan diagram jalur bermanfaat untuk menunjukkan alur hubungan

kausal antara variabel eksogen dan endogen. Menggunakan diagram jalur

lebih mudah bagi peneliti untuk melihat antar variabel yang diteliti. Menurut

Widarjono (2010) ada beberapa konversi yang digunakan dalam menganalisis

SEM ketika menggunakan metode grafik. Variabel laten digambarkan oleh

lingkaran atau elips. Variabel indikator digambarkan oleh bujursangkar atau

persegi panjang. Variabel error digambarkan oleh lingkaran atau elips yang

lebih kecil dari variabel laten. Sedangkan hubungan antara variabel dijelaskan

dengan menggunakan baik tanda panah satu arah maupun tanda panah dua

arah. Berdasarkan model persamaan struktural karena setiap persamaan

menjelaskan hubungan kausal yaitu variabel eksogen pelaksanaan ritual

terhadap variabel endogen kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat.

Lebih jelasnya, digambarkan diagram jalur (Path diagram), seperti Gambar

4.2

141

Gambar 4.2 Diagram Jalur Kontribusi Pelaksanaan Ritual terhadap Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat.

Keterangan: PR =Pelaksanaan Ritual, pr1=Labda Karya, pr2=Manggala Karya, pr3=Keharmonisan, pr4=Tenaga Kerja, pr5=Bahan ritual. KK=Kesempatan Kerja, kk1=Lapangan usaha, kk2=Kualitas Kesempatan Kerja, kk3=Kuantitas Kesempatan Kerja, kk4=Sifat Kesempatan Kerja. KM=Kesejahteraan Masyarakat, km1=Tingkat Pendapatan, km2=Derajat Pendidikan, km3= Derajat Kesehatan, km4= Kondisi kehidupan Sosial. e = Kesalahan struktural (structural error), β = Koefisien jalur PR ke KK dan KM, = Gamma.

2) Mengkonversi Diagram jalur ke dalam Persamaan Struktural dan Spesifikasi

Model Pengukuran

a) Persamaan Struktural, tahap pertama yang dilakukan adalah

mengkonversi diagram jalur menjadi persamaan struktural. Konversi

diagram jalur kedalam persamaan struktural diformulasikan sebagai

media untuk menjelaskan terjadinya hubungan sebab akibat antar

KKPR

KK

KM

km1

km2

km3

km4

pr3 PR

pr4

pr5

kk3

kk1

β KMKK

pr1

pr2

kk4

kk2

e14

e15

e5

e2

e3

e4

e1 e7

e8

e9

e10

e11

e12

e13

KMPR

e6

142

konstruk. Dalam penelitian ini diagram jalur diterjemahkan menjadi

persamaan struktural sebagai berikut.

KK = KKPR PR+ e14 ..........................................................................................................(4.1)

KM = KMPR PR + e15............................................................................................................(4.2)

KM = KMKK KK + e15........................................................................................................(4.3)

Dimana, PR= Pelaksanaan Ritual, KK= Kesempatan Kerja,

KM= Kesejahteraan Masyarakat, β= Koefisien jalur PR ke KK dan KM,

e = Kesalahan struktural (structural error).

b) Model Pengukuran, tahap kedua adalah pengembangan model

pengukuran (measurement model) untuk mendapatkan model pengukuran

yang sesuai. Measurement model adalah bagian dari model SEM yang

terdiri atas sebuah variable laten (konstruk) dan beberapa variable

manifest (indicator) yang menjelaskan variable tersebut (Santoso, 2011).

Lebih lanjut dikatakan tujuan pengujian adalah untuk mengetahui

seberapa tepat variable-variabel manifest tersebut dapat menjelaskan

variable laten yang ada. Pada penelitian ini dikembangkan 3 (tiga) model

pengukuran untuk tiga variabel laten atau konstruk yang berbeda, yaitu

sebagai berikut.

1. Model pengukuran variabel Pelaksanaan Ritual (PR)

2. Model pengukuran variabel Kesempatan Kerja (KK)

3. Model pengukuran variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)

143

(1) Model pengukuran variabel Pelaksanaan Ritual (PR)

Model pengukuran variabel pelaksanaan ritual, didukung Teori

Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max Weber (1930), Konsep

Bourdieu (1977), Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, Teori Religiusitas

Geertz (1973). Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian

(Goody, 1961; Guiso at al., 2009; Triguna, 1994; Geriya, 2000;

Sumini, 2008; Sukarsa, 2005; dan Wijaya, 2012), dengan indikator

seperti disajikan Gambar 4.3

Gambar 4.3 Model Pengukuran Variabel Pelaksanaan Ritual

Keterangan: PR=Pelaksanaan Ritual, pr1=Labda Karya, pr2=Manggala Karya, pr3= Keharmonisan, pr4= Tenaga Kerja, pr5= Bahan ritual

Persamaan spesifikasi model pengukuran untuk variabel (konstruk)

Pelaksanaan Ritual (PR) adalah:

pr1 = λ1 PR + e1 .................................................................................(4.4)

pr2 = λ2 PR + e2 ............................................................................... (4.5)

pr3 = λ3 PR + e3 .................................................................................(4.6)

PR

pr1

pr2

pr3

pr4

pr5

e 1

e2

e3

e4

e5

λ1

λ2

λ3

λ4

λ5

144

pr4 = λ4 PR + e4 .................................................................................(4.7)

pr5 = λ5 PR + e5 .................................................................................(4.8)

dimana: PR = Pelaksanaan Ritual, pr1 = Labda Karya, pr2 = Manggala

Karya pr3 = Keharmonisan, pr4 = Tenaga Kerja, pr5 = Bahan Ritual, e

= Kesalahan pengukuran (measurement error).

(2) Model pengukuran variabel Kesempatan Kerja (KK)

Model pengukuran variable kesempatan kerja, didukung

kriteria BPS, 2011 selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian

(Choi, 2004; Ellison et al., 1994; Sulistyaningsih, 1997; Lochart,

2005; Ferlini, 2011; Purwanti, 2009; Puspa, 2010; Wijaya, 2012; BPS

Provinsi Bali , 2011), indikator seperti disajikan Gambar 4.4

Gambar 4.4 Model Pengukuran Variabel Kesempatan Kerja Keterangan: KK = Kesempatan Kerja , kk1 = Lapangan usaha

kk2 = Kualitas Kesempatan Kerja, kk3 = Kuantitas Kesempatan Kerja kk4 = Sifat Kesempatan Kerja

Persamaan spesifikasi model pengukuran untuk variabel (konstruk)

Kesempatan Kerja (KK) adalah:

kk1 = λ1 KK + e6 . ..........................................................................(4.9)

kk2 = λ2 KK + e7 ..........................................................................(4.10)

KK

kk1

kk2

kk3

kk4

e7

e8

e9

λ 1

λ 2

λ 3

λ 4

e6

145

kk3 = λ3 KK + e8 ..........................................................................(4.11)

kk4 = λ4 KK + e9 ..........................................................................(4.12)

dimana: KK = Kesempatan Kerja, kk1 = Indikator lapangan usaha, kk2 =

Indikator Kualitas Kesempatan Kerja, kk3 = Indikator Kuantitas

Kesempatan Kerja, kk4= Indikator Sifat Kesempatan Kerja, e =

Kesalahan pengukuran (measurement error)

(3) Model pengukuran variabel Kesejahteraan Masyarakat (KM)

Model pengukuran variable kesempatan kerja, didukung kriteria

BPS, 2011 selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian (Amartya Sen,

1992; Chapra, 2001; Grinols, 1994; Stiglitz, et.al., 2011; Wijaya, 2012;

dan BPS Bali, 2011), indikator seperti disajikan Gambar 4.5

Gambar 4.5 Model Pengukuran Variabel Kesejahteraan Masyarakat Keterangan: KM = Kesejahteraan Masyarakat, km1=Tingkat Pendapatan, km2 = Derajat Pendidikan, km3 = Derajat Kesehatan,

km4 = Kondisi kehidupan Sosial

Persamaan spesifikasi model pengukuran untuk variabel

(konstruk) kesejahteraan masyarakat adalah:

km1 = λ KM + e10 ..........................................................................(4.13)

km2 = λ KM + e11 .............................................................................(4.14)

KM

km1

km2

km3

km4

e10

e11

e12

e13

λ 5

λ 6

λ 7

λ 8

146

km3 = λ KM + e12 ............................................................................(4.15)

km4 = λ KM + e13 ..............................................................................(4.16)

Dimana: KM = Kesejahteraan Masyarakat, km1= Indikator Tingkat

Pendapatan, km2= Indikator Derajat Pendidikan, km3= Indikator Derajat

Kesehatan, km4= Indikator Kondisi kehidupan Sosial, e= Kesalahan

pengukuran (measurement error)

3) Pemilihan Matriks Input dan Pendugaan Model

Penggunaan data input untuk SEM dapat berupa matriks korelasi atau matriks

kovarians. Input data berupa matriks kovarian, bilamana tujuan dari analisis

adalah pengujian suatu model yang telah mendapat justifikasi teori.

Sedangkan matriks korelasi digunakan untuk melihat pola hubungan tetapi

tidak melihat penjelasan total. Sebelum dilakukan estimasi, terlebih dahulu

dilakukan perubahan data individu dari hasil observasi kedalam bentuk

matriks kovarian atau matriks korelasi.

4) Pengujian Identifikasi Model Struktural

Identifikasi berkaitan dengan apakah tersedia cukup informasi untuk

mengidentifikasi adanya solusi dari persamaan struktural. Permasalahan yang

muncul bisa unidentified atau under identified dan bisa over identified yang

mengakibatkan proses pendugaan tidak menghasilkan penduga yang unik,

dan model tidak bisa dipercaya. Gejala yang muncul akibat adanya masalah

identifikasi antara lain terdapat standard error satu atau beberapa koefisien

terlalu besar, ketidakmampuan program menyajikan matriks informasi yang

147

seharusnya disajikan seperti varians error yang negatif dan terjadi korelasi

yang tinggi (>0,9) antar koefisien hasil dugaan.

5) Model Uji Kelayakan (Goodness of Fit) dan Uji Signifikasi

a). Uji Kelayakan Model

Langkah pertama yang ditempuh adalah memeriksa kesesuaian data input

dan asumsi yang diperlukan SEM, seperti kriteria goodness-of-Fit meliputi

absolute fit indices, incremental fit indices, parsimony fit indeces

(Ferdinan, 2006; Widarjono, 2010). Kriteria goodness-of-Fit, yang umum

dipergunakan dalam analisis SEM, juga digunakan dalam penelitian ini

disajikan sebagai berikut.

(1) Uji Chi Squares (X2). Tujuan pengujian Chi Squares adalah untuk

mengetahui apakah matriks kovarians sampel berbeda secara

signifikan dengan matrik kovarians estimasi. Suatu model dipandang

baik atau layak apabila Chi Squares-nya memiliki nilai yang rendah.

Semakin kecil nilai (X2) maka akan semakin baik model tersebut dan

menghasilkan tingkat probability yang mempunyai p > 0,05.

(2) Goodness of Fit Index (GFI). Indeks ini menghitung proporsi

tertimbang antara jumlah varians dalam estimated covariance matrix

dengan jumlah varians dalam sample covarians matrix. GFI memiliki

rentang nilai antara 0 sampai dengan 1 (0 ≤ GFI ≤ 1). Semakin tinggi

nilai GFI atau mendekati 1 maka semakin layak model. Model

dianggap layak bila nilai GFI ≥ 0,09 (Widarjono, 2010).

148

(3) Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI). Uji AGFI merupakan uji GFI

yang disesuaikan. AGFI mempunyai rentang nilai antara 0 dan 1 (0 ≤

AGFI ≤ 1). Semakin mendekati 1 nilai AGFI maka semakin baik

model. Namun tidak ada nilai yang pasti untuk menentukan apakah

model layak. Sebagai Cut off Value adalah bila AGFI ≥ 0,80 sebagai

model yang layak (goodness of fit) (Widarjono, 2010).

(4) Root Mean Squares Residual (RMSR). RMSR merupakan indeks

untuk mengkompensasi chi-square statistic dalam sampel besar. Jika

nilai RMSR lebih kecil atau sama dengan 0,08 maka model adalah

baik (fit).

(5) Comparative Fit Index (CFI). Indeks ini pada dasarnya

membandingkan angka Non Centrality Parameter pada berbagai

model. CFI memiliki rentang nilai antara 0 sampai 1, dengan

ketentuan jika nilai mendekati 1 maka model yang dibuat dianggap

sesuai (fit). Pada umumnya nilai di atas 0,9 menunjukkan model sudah

fit (Santoso, 2011).

(6) Tucker Lewis Index (TLI). TLI merupakan suatu incremental fit index

yang membandingkan model yang diuji dengan baseline model. Nilai

TLI yang diperlukan untuk sebuah model yan dianggap sesuai (model

dapat dianggap fit) adalah yang mendekati angka 1 (Santoso, 2011)

Berdasarkan uraian di atas, maka kelayakan hasil pengujian

Goodness of Fit model pada SEM harus memiliki ketentuan sebagaimana

yang tertera Tabel 4.8 (Ferdinnd, 2006).

149

Tabel 4.10 Indeks Pengujian Kelayakan (Goodness of Fit Index) SEM

Goodness of Fit Index Cut-Off Value X2 –chi square Diharapkan kecil Significan Probability ≥ 0,05 RMSEA ≤ 0,08 CFI ≥ 0,90 AGFI ≥ 0,90 CMIN/DF ≤ 2,0 TLI ≥ 0,95 CFI ≥ 0,95

Sumber: Ferdinnd, 2006

b). Uji Signifikansi

Hubungan antar variable di dalam model SEM adalah hubungan kausl

sebagaimana hubungan dalam analisis regresi. Ada tidaknya hubungan

kausal diuji dengan menggunakan uji statistika t. Melalui uji statistika t

diketahui apakah variable laten signifikan atau tidak terhadap variable laten

lainnya. Dalam penelitian nilai e yang digunakan adalah 0,05 dengan

demikian jika nilai t hitung lebih besar nilai table (e = 0,05) maka variable

laten dikatakan signifikan, dan jika tidak maka tidak signifikan (Widarjono,

2010).

Selanjutnya asumsi yang harus dipenuhi saat menggunakan metode

SEM diantaranya, yaitu: Penggunaan SEM membutuhkan jumlah sampel

yang besar; Uji normalitas yang dilakukan pada SEM ada dua tahapan

(menguji normalitas untuk setiap variable dan pengujian normalitas secara

bersama-sama yang disebut multivariate normality); Mendeteksi adanya

outlier diukur dengan metode mahalanobis, sebuah data termasuk outlier

jika mempunyai angka p1 dan p2 kurang dari 0,05. Jika terdapat data outlier

maka data tersebut haruslah dihapus langkah berikutnya dilaksanakan uji

normalitas dan deteksi outlier dapat diulang kembali (Widarjono, 2010).

150

4.8.3 Analisis Interaksi Secara Interpretif untuk Desain Kualitatif

Analisis kualitatif adalah untuk menganalisis data dengan cara

mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpulkan

sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum

atau generalisasi. Termasuk dalam statistik deskriptif antara lain adalah penyajian

data melalui tabel, grafik, diagram, pengukuran tendensi sentral (Modus, median,

mean), perhitungan penyebaran data (perhitungan rata-rata dan standard deviasi)

dan perhitungan persentase (Sugiyono, 2010).

Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis

transkrip wawacara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang telah terhimpun

untuk memperoleh jalan pengetahuan mengenai data tersebut dan

mengkomunikasikan apa yang telah ditemukan. Oleh karena data dalam penelitian

ini berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam

bentuk narasi yang bersifat deskriptif sebagai ciri khas dari penelitian kualitatif,

maka teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif dengan

menggunakan kalimat walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat data yang

berupa angka. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman dalam

Moleong (2002) bahwa analisis deskriptif dilakukan melalui tiga jalur kegiatan

yang merupakan satu kesatuan, yaitu: reduksi data; penyajian data, dan penarikan

kesimpulan atau verifikasi dalam waktu bersamaan. Analisis ini bertujuan untuk

menjelaskan hubungan variabel laten yang tidak sesuai dengan landasan teoritis

sebagai variabel yang mempengaruhi. Tahapan analisis meliputi berikut ini.

1) Analisis sebelum di lapangan yaitu analisis dilakukan terhadap hasil studi

pendahuluan dipergunakan sebagai fokus penelitian sementara. Fokus

151

penelitian dapat mengalami perubahan tergantung fenomena yang ditemukan

dilapangan.

2) Analisis data lapangan yaitu analisis secara langsung terhadap jawaban yang

diberikan informan bila jawaban kurang memuaskan maka peneliti akan

memberikan pertanyaan lanjutan sampai diperoleh data yang dianggap

kredibel. Proses wawancara dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus

menerus sampai tuntas dengan menggunakan metode Miles dan Huberman

(Sugiyono, 2010) seperti terlihat Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Hubungan Interaktif Alur Data Penelitian Kualitatif (Miles dan

Huberman, 1984) Sumber: Sugiyono (2010)

Setelah data terkumpul, tindakan peneliti selanjutnya reduksi data,

yaitu poses merangkum data dengan memilah hal-hal pokok dan

memfokuskan pada hal-hal penting sesuai dengan fokus studi untuk

memudahkan mencari data dan melengkapi data berikutnya yang diperlukan

dalam analisis. Tahap berikutnya adalah data display, yaitu penyajian data

dalam bentuk uraian singkat hubungan antar katagori secara naratif. Tujuan

dari tahapan ini adalah untuk memudahkan pemahaman terhadap kejadian

dilapangan serta memudahkan proses berikutnya. Tahap terakhir

Pengumpulan Data

Reduksi

Kesimpulan-kesimpulan Penarikan/ Verifikasi

Penyajian Data

152

verification atau kesimpulan sekaligus merupakan temuan dalam penelitian

dengan menggunakan desain kualitatif.

3) Analisis Pasca Lapangan yaitu analisis tema kultural (discovering cultural

thema). Mencari hubungan diantara domain, dan bagaimana hubungan

dengan keseluruhan sesuai fokus analisis atau obyek studi (Sugiyono, 2010).

Keseluruhan tahapan analisis dengan pendekatan kualitatif bertujuan

untuk menemukan kebaharuan atas permasalahan penelitian yang belum mampu

diverifikasi melalui pendekatan kuantitatif, yaitu konstruk yang memiliki

kontribusi yang tidak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat sehingga hasil

analisis kualitatif memberikan penguatan argumentasi guna memvalidasi dan

mereliabilitasi kesimpulan penelitian yaitu kontribusi pelaksanaan ritual terhadap

kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat di Desa Abiansemal Kecamatan

Abiansemal Kabupaten Badung. Seluruh proses studi juga bertujuan menemukan

faktor-faktor penyebab secara pasti analisis yang tidak positif terhadap

kesejahteraan masyarakat menjadi temuan dalam studi desertasi ini dan

selanjutnya merupakan informasi sangat penting dalam pertimbangan

pengambilan keputusan untuk pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Badung.

153

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Deskripsi Karakteristik Desa Adat Abiansemal

Bentuk Desa di Bali terutama didasarkan atas kesatuan tempat.

Disamping kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu kesatuan

keagamaan yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut

Kahyangan Tiga, yaitu Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Dalem. Ada

kalanya Pura Puseh dan Pura Bale Agung dijadikan satu dan disebut Pura Desa.

Adat istiadat daerah Bali adalah tata kehidupan tradisional masyarakat Bali yang

bersumber pada Agama Hindu. Salah satu adat istiadat yang sampai saat ini masih

terlihat adalah mengenai pola perkampungan masyarakat Bali seperti halnya

masyarakat Desa Adat Abiansemal kebiasaan-kebiasaan masyarakat Desa

Abiansemal melakukan kegiatan adat dengan sistem gotong royong masih kuat ini

tercermin setiap aktivitas adat selalu melibatkan krama Desa Adat Abiansemal.

Perkampungan adalah disamakan dengan desa yang merupakan satu kesatuan

wilayah desa pada masyarakat Bali dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun

1979 Desa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Desa Dinas merupakan kesatuan

administratif yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa berada di bawah Camat,

Desa Adat yang dikepalai oleh seorang Bendesa Adat (Rivai Abu, 1996). Dasar

pembentukan Desa Adat dan Desa Dinas memiliki persyaratan yang berbeda,

154

sehingga wilayah dan jumlah penduduk pendukung sebuah Desa Dinas tidak

selalu sama dengan Desa Adat.

Eksistensi Desa Adat di Bali berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Bali

No. 6 Tahun 1986, yang mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa

Adat sebagai kesatuan masyarakat Adat di Propinsi Daerah Bali. Kelembagaan

Desa Adat bersifat permanen dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu Desa Adatnya

sendiri sebagai suatu wadah, dan adat istiadatnya sebagai isi dari wadah tersebut.

Desa Adat Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung merupakan

suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan

masyarakat umat Hindu di Bali. Desa Adat dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu:

Parahyangan (mewujudkan hubungan manusia dengan pencipta-Nya yaitu Hyang

Widhi), Pelemahan (mewujudkan hubungan manusia dengan alam lingkungan

tempat tinggalnya), dan Pawongan (mewujudkan hubungan antara sesama

manusia, sebagai makhluk ciptaan-Nya).

Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, dikepalai

oleh seorang Kepala Desa bernama IB. Bisma Wirawan, SH dan Banjar Adat

dipimpin oleh seorang Bendesa Adat yaitu Made Kandra Suraga. Desa Adat

Abiansemal Kabupaten Badung merupakan kesatuan masyarakat dimana

warganya mengkonsepkan dan mengkolektifkan secara bersama upacara-upacara

keagamaan yakni upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta

Yadnya, dan Pitra Yadnya dalam Panca Yadnya dengan dasar ikatan adat istiadat

dan sistem gotong royong (ngayah) dan terikat oleh adanya tiga pura utama

155

(Kahyangan Tiga) yaitu pura Puseh, pura Desa, dan pura Dalem dan memiliki

sembilan Banjar adat.

Luas wilayah Desa Abiansemal adalah 3,96 Km2 dengan batas-batas

wilayah yaitu: Utara berbatasan dengan Setra Kembengan, Selatan berbatasan

dengan Sungai Campuan Gerih, Barat berbatasan dengan Sungai Yeh Cani, dan

Timur berbatasan Sungai Ayung. Desa Abiansemal meliputi wilayah administrasi

terdiri dari 9 (sembilan) dusun atau banjar adat yaitu: Banjar Juwet, Banjar Pande,

Banjar Kedampal, Banjar Batan Buah, Banjar Belawan, Banjar Banjaran, Banjar

Aseman, Banjar Keraman, dan Banjar Sempidi.

Kondisi geografi Desa Abiansemal dengan ketinggian tanah dari

permukaan laut 80-100 meter termasuk dataran rendah dengan curah hujan

rendah. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan adalah 2,5 km, jarak dari ibu

kota kabupaten 17 km, sedangkan jarak dari ibu kota provinsi 17 km. Luas

pertanahan di wilayah ini adalah 1.995.470 Ha, dari keseluruhan luas wilayah

Desa Abiansemal diperuntukan untuk jalan 23.070 Km2, sawah dan ladang adalah

seluas 237,275 Ha, pemukiman atau perumahan seluas 193,375 Ha, jalur hijau

seluas 830 Ha, perkuburan seluas 3,740Ha. Untuk Pasar Desa seluas 0,200 Ha,

perkantoran seluas 0,200 Ha, tanah pekarangan 193,375 Ha, tanah tegalan

259,160 Ha, tanah perkebunan rakyat 11,250 Ha, tanah Desa lain-lain seluas

0,200 Ha, penggunaan tanah sawah untuk irigasi teknis adalah 243,625 Ha.

Penduduk Desa Abiansemal dapat dibedakan berdasarkan: Jumlah

penduduk sebanyak 6.168 orang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 3.158

orang dan penduduk perempuan sebanyak 3.010 orang; Kewarganegaraan WNI

156

yaitu 6.168 orang; Jumlah Kepala Keluarga adalah 1645 KK; dan jumlah

penduduk berdasarkan Agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

yang terbanyak adalah Agama Hindu 6.088 orang, Agama Islam sebanyak 75

orang dan Agama Kristen hanya 5 orang.

Kelompok umur yang terbanyak adalah 25 tahun ke bawah sebesar 2.805

orang atau 40,48 persen dan kelompok umur terkecil adalah 55 tahun keatas

hanya berjumlah 494 orang atau 8,01 persen. Menurut tingkat pendidikan

terbanyak adalah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat adalah

2.887 orang atau 48,18 persen sedangkan tamat pendidikan yang terkecil

Sekolah Dasar (SD) ke bawah sebanyak 96 orang atau 1,62 persen. Kelompok

tenaga kerja terbanyak adalah 57 tahun keatas sebesar 36,75 persen sebagai

katagori tenaga kerja usia lanjut sedangkan persentase terkecil kelompok umur 19

tahun kebawah hanya sebanyak 10,98 persen. Mata pencaharian terbanyak

sebagai pedagang dan kerajinan bambu adalah 33,10 persen sedangkan persentase

mata pencaharian terkecil sebagai pegawai negeri hanya 18,64 persen.

Sebagaimana umumnya masyarakat Hindu Di Bali, Desa Adat Abiansemal

memiliki Pura Kahyangan Tiga yaitu Pura Dalem tidak bisa dipisahkan dari Pura

Puseh dan Pura Desa dan satu Pura Subak (Monografi Desa Abiansemal, 2011).

5.2 Deskripsi Tentang Profil Responden

Responden dalam penelitian ini berjumlah 130, yaitu 108 responden

pengempon pura dan 22 responden pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan

157

Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka yang diteliti di Desa Abiansemal. Dari

hasil kuesioner yang telah diisi oleh 130 responden, menunjukkan bahwa jumlah

responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 123 orang atau 94,6 persen

dan responden perempuan sebanyak 7 orang atau 5,4 persen, profil responden

sebagai berikut.

1) Dilihat dari umur responden rata-rata 46,81 tahun atau 47 tahun, umur termuda

23 tahun dan tertua 70 tahun. Kelompok umur pengempon pura dan pemasok

menunjukkan umur yang dominan adalah 55 tahun ke atas sebanyak 33,08

persen artinya usia responden terutama pengempon pura Pasek sebagian besar

sudah berusia lanjut, memudahkan dalam pelaksanaan ritual. Walaupun umur

responden 55 tahun keatas, bagi masyarakat pengempon pura dan pemasok

tidak menjadi hambatan. Pada umumnya, kegiatan ritual bagi masyarakat

Hindu di Bali cenderung dilaksanakan oleh masyarakat usia tua seperti tukang

banten (perempuan) dan tukang sate banten (laki-laki). Masyarakat umat

Hindu yang berumur 55 tahun ke atas dianggap memahami mekanisme

pelaksanaan ritual sesuai ajaran agama.

2) Dari segi pendidikan, dominan responden tamatan Sekolah Dasar sebanyak 56

orang atau 43,08 persen, tingkat pendidikan terendah adalah Sekolah Dasar 44

orang atau 33,85 persen. Keberadaan masyarakat pengempon pura dan

pemasok tidak terpengaruh tingkat pendidikan formal, tamatan SD sudah

mampu untuk mengatur pelaksanaan ritual karena diperlukan adalah

keterampilan dan lingkungan kehidupan masyarakat Bali yang religius. Artinya

eksistensi masyarakat Hindu di Desa Adat Abiansemal terutama beberapa

158

masyarakat pengempon pura memiliki pemahaman pelaksanaan ritual Mlaspas

dan Ngenteg Linggih.

3) Mata pencaharian responden, dominan sebagai petani dan usaha kerajinan

bambu adalah 46 orang atau 35,38 persen, pedaganng sebanyak 29 orang atau

22,31 persen dan mata pencaharian paling sedikit adalah sebagai pegawai

negeri 14 orang atau 10,76 persen. Keberadaan rumah tangga pengempon pura

sebagai petani penggarap milik Geriya, pengerajin bambu, dan pegawai swasta

di perusahaan Aqua Mambal.

4) Rata-rata usia usahanya 3,6 tahun, usia terendah 1 tahun dan tertua 10 tahun.

Usia usaha dominan adalah antara 2 sampai 5 tahun atau 45,45 persen, usia

usaha pemasok bahan ritual sangat terkait dengan semakin meningkatnya

intensitas pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali. Hal ini, mendorong baik

masyarakat Bali maupun masyarakat luar memanfaatkan kesempatan berusaha

sebagai pemasok, penyalur ataupun sebagai produsen/petani bahan-bahan

ritual. Langkah strategi yang dilakukan oleh masyarakat pemasok

mengembangkan usaha yang telah ada atau mengembangkan usaha baru

ditempat lain. Dari 22 responden pemasok bahan ritual yang diteliti, rata-rata

tenaga kerja yang mampu diserap 3 orang dengan rata-rata jumlah jam kerja

adalah 8 jam per hari (Lampiran 9).

5) Rata-rata pendapatan rumah tangga responden pengempon pura pada bulan

penelitian adalah sebesar Rp 4,56 juta, pendapatan terendah adalah Rp 1,90

juta dan pendapatan tertinggi adalah Rp 7,60 juta per bulan (Lampiran 7). Rata-

rata pendapatan pemasok pada bulan penelitian adalah sebesar Rp 4,70 juta.

159

Responden pemasok dengan pendapatan terendah adalah Rp 2,50 juta dan

tertinggi adalah Rp 9,50 juta (Lampiran 8). Pendapatan tertinggi pedagang

beras sebesar Rp 9,50 juta, tinggi rendah pendapatan pedagang beras

dipengaruhi oleh permintaan bukan tingkat harga. Artinya berapapun harga

beras pasti akan dibeli oleh konsumen karena beras merupakan salah satu

kebutuhan pokok. Untuk permintaan bahan-bahan ritual, sebagaimana

umumnya di Bali sangat dipengaruhi oleh musim dan hari raya Agama Hindu

(dewasa ayu atau musim rerahinan) yaitu dewasa ngaben, upacara Panca

Balikrama, Purnama Tilem, Kajeng keliwon dan hari raya besar Galungan-

Kuningan, berapapun harga bahan-bahan ritual pasti akan dibeli.

6) Rata-rata pengeluaran konsumsi ritual rumah tangga pengempon pura pada

bulan penelitian adalah sebesar Rp 2,20 juta. Responden dengan pengeluaran

terendah adalah Rp1,90 juta dan tertinggi adalah Rp 4,70 juta (Lampiran 7).

Pengeluaran ritual umat Hindu di Bali sepertiga dari pendapatan untuk

beryadnya, sepertiga kedua untuk artha dan sepertiga terakhir untuk kama

dalam mencapai tujuan hidup. Rata-rata pengeluaran konsumsi pemasok per

bulan adalah sebesar Rp 4,10 juta. Responden dengan pengeluaran terendah

adalah Rp 2,20 juta dan tertinggi adalah Rp 8,50 juta per bulan (Lampiran 8).

7) Penggunaan tenaga kerja dalam pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal menunjukkan tingkat

mobilisasi tenaga kerja perempuan yang cukup tinggi dibanding tenaga kerja

laki-laki. Pembagian tenaga kerja dalam pelaksanaan ritual ini berdasarkan

panitia atau seksi karya (Tabel 4.1) telah terspesialisasi antara tenaga

160

perempuan dan laki-laki (berdasarkan pembagian gender). Biasanya pekerjaan

seperti membuat taring, bale panggung dan warung atau sesalon, mebat

dilakukan oleh laki-laki. Sedangkan pekerjaan seperti mejejahitan, metanding

dan prosesi upacara dilakukan oleh tenaga perempuan.

Alokasi Waktu dan Tenaga kerja mulai H-6 sampai hari H Ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Desa Abiansemal Kabupaten

Badung 20 April 2012 , sebagaimana disajikan Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Alokasi Waktu dan Tenaga kerja Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012

(Orang/Mandays)

Hari

Tenaga Kerja Laki- Laki

(orang)

Manday Laki- Laki

Tenaga Kerja

Peremp (orang)

Manday Perempuan

Jumlah Laki-laki dan Perempuan

(orang)

Total Manday

Laki-laki dan Perempuan

H-6 22 77 25 131,25 47 208,25 H-5 86 301 85 446,25 171 747,25 H-4 65 227,5 90 472,5 155 700 H-3 70 245 95 498,75 165 743,75 H-2 115 402,5 120 630 235 1032,5 H-1 120 420 115 603,75 235 1023,75 “H” 222 777 232 1218 454 1995

Jumlah 700 2450 992 4000,5 1462 6450,5

Sumber: Data Primer (diolah oleh Peneliti), 2012

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa alokasi tenaga kerja terlihat mulai

H–6 sampai hari H diperlukan total tenaga kerja laki-laki dan tenaga

perempuan sebanyak 1462 rang. Jika total semua orang yang datang ngayah

dan dikonversi dengan mandays (laki-laki dewasa 8 mandays dan

perempuan dewasa 0,8 mandays) adalah 6450,5 mandays tepatnya 6450

mandays.

161

Alokasi penggunaan tenaga kerja laki-laki dan perempuan

(berdasarkan gender) serta waktu pelaksanaan ritual, sebagaimana

ditunjukkan Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Alokasi Waktu dan Tenaga Kerja Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012

(selama 63 hari/orang/mandays)

Pengempon Pura

Jumlah Tenaga Kerja

(orang)

Jumlah Rata-rata Tenaga

Kerja/ hari (orang)

Jumlah Rata-rata

Jam Kerja/hari

(jam)

Rata-rata Upah Tenaga Kerja/ hari pada bulan Penelitian (Rp)

Manday Laki-laki

dan Perempuan

Laki-Laki 5669 90 4 80.000 2835 Perempuan 6174 98 8 60.000 4630,5

Total 11843 188 12 140.000 7465,5 Sumber: Data Primer (diolah oleh Peneliti), 2012

Tabel 5.2 menunjukkan, alokasi waktu dan total tenaga kerja laki-

laki dan tenaga perempuan selama 63 hari (H-55 sampai H+7) mulai

persiapan ritual sampai ritual berakhir sebanyak 11.843 orang, rata-rata

jumlah tenaga kerja laki-laki 90 orang /hari dan perempuan 98 orang /hari

dengan rata-rata jumlah jam kerja per hari perempuan 8 jam lebih besar dari

laki-laki 4 jam per hari, tenaga perempuan memiliki peranan lebih besar dari

tenaga laki-laki dalam pelaksanaan ritual Agama Hindu. Jika total semua

orang yang datang ngayah dan dikonversi dengan mandays adalah 7465,5

mandays tepatnya 7466 mandays.

Berdasarkan pendekatan Hari Orang Kerja (HOK) dikonversi dengan

upah tenaga kerja yang berlaku di Desa Abiansemal selama bulan penelitian

bahwa biaya swadaya tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan selama

63 hari adalah sebesar = Rp 597,240 juta ditambahkan dengan biaya

162

pengeluaran ritual yang telah dikeluarkan sebesar = Rp 188,568 juta maka

total biaya pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek

Preteka Desa Abiansemal menjadi sebesar =.Rp785,808 juta. Namun selama

ini biaya swadaya tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan dalam

aktivitas adat, budaya, dan agama terutama pengorbanan waktu dan

mandays tenaga kerja laki-laki dan perempuan tidak pernah diperhitungkan

secara ekonomi, hal ini berdasarkan pengorbanan yang tulus iklas,

kepercayaan dan keyakinan umat (Hindu) di Bali.

Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa ketika pengorbanan waktu

tenaga kerja laki-laki dan tenaga perempuan dihitung dengan pendekatan

ekonomi, andaikan menggunakan tenaga kerja yang dibayar maka ada

pendapatan tenaga kerja laki-laki sebesar Rp 226,800 juta (28,86 persen)

dan tenaga kerja perempuan sebesar Rp 370,440 juta (47,14 persen). Ini

dapat juga diartikan bahwa dalam kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh

masyarakat umat (Hindu) di Bali nilai pengorbanan tenaga perempuan lebih

besar dari nilai pengorbanan tenaga laki-laki.

Temuan penelitian ini, menunjukkan bahwa aktivitas ritual lebih

banyak dikerjakan oleh tenaga perempuan sehingga perempuan Hindu

memiliki peranan lebih penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan ritual

yang baik dan lancar (labda karya).

5.3 Deskripsi Informan Kunci dan Ahli

Informasi kunci untuk mendukung desain penelitian kualitatif berjumlah

12 orang dengan identitas sebagaimana terlihat pada Tabel 5.4. Informan kunci

163

sebanyak 12 orang berasal dari pengempon pura sebanyak 7 orang, pemasok

bahan-bahan ritual 3 orang, dan 2 orang merupakan informan ahli (sulinggih dan

tapini). Responden yang menjadi informan kunci diwawancarai sebelumnya

sesuai kriteria yang telah ditetapkan ditambah dua informan ahli dengan metode

spradley menentukan informan yang akan diwawancarai, tujuannya adalah untuk

menggali informasi yang lebih mendalam dan komprehensif terkait fokus obyek

penelitian. Peranan informan ahli dalam penelitian indepth interview ini adalah

sumber informasi penting tentang makna, fungsi dan tujuan pelaksanaan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Jumlah informan sebanyak 12 orang dianggap

mencukupi dalam penelitian dengan menggunakan desain kualitatif, sebagaimana

ditunjukkan Tabel 5.3

Tabel 5.3 menunjukkan informan kunci dari pengempon pura yaitu

pemangku pura dan tokoh pengempon pura adalah Wayan Parek, I Nyoman

Subur, dan Ni Wayan Suji dianggap memahami makna dan fungsi pelaksanaan

ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih sesuai filosofi Agama Hindu.

Tabel 5.3 Identitas Informan Kunci dan Ahli Dalam Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal,Kabupaten Badung Tahun 2012

No Nama Informan

Umur (Th) Pendidikan Pekerjaan Keterangan

1 Nyoman Griya 60 SMP Petani Penggarap Pemangku Pura 2 Wayan Parek 63 SD Petani Penggarap Koord.Karya 3 I Nyoman Subur 55 SD Buruh Ketua Panita Karya 4 Wayan Gendra 4 SMA Peg. Swasta Koord. Acara 5 Wayan Murya 49 SMA PNS Bendahara Karya 6 Ni Wayan Suji 55 SMP Tukang banten Koord upakara 7 Ni Made Rotini 45 SMA Peg.Swasta Sekret.Panitia Karya 8 Wyn Sarka 55 SMA Peternak/Gianyar Pemasok bebek-ayam 9 LuhGdeRusmini 61 SMP Dagang Beras Pemasok beras 10 Ibu Prasetiawati 40 SMA Pedag.Ps Blahkiu Pemasok kain kasa 11 IdaPedandaGeriya Agung 77 SMA Pandita/Sulinggih Koord Pandita (ahli) 12 Ida Dayu Anggreni 51 S1 Guru Tapini (ahli)

Sumber: Hasil Penelitian di Desa Abiansemal, 2012

164

Menurut Ida Pedanda Geriya Agung sebagai informan ahli pada upacara

Ngingsah Beras tentang makna Ngenteg Linggih adalah proses pembelajaran diri

dalam mewujudkan sikap, moral dan perilaku dalam menata kehidupan yang lebih

sempurna lahir bathin. Makna Mepada Wewalungan artinya melakukan ritual

terhadap semua hewan (satwa) yang akan dipersembahkan sebagai korban suci

dalam ritual ini, yaitu kucit butuhan, anjing belangbungkem (bahasa Bali),

kambing, angsa dan lain-lainnya. Makna beras sebagain bija beras yang dimakan

berarti menanam benih-benih kebajikan dalam tubuh manusia itu sendiri

(Wawancara, 7 April 2012).

5.4 Deskripsi Hasil Penelitian Kualitatif

5.4.1 Deskripsi Manfaat Sosial, Budaya dan Ekonomi yang Diperoleh Masyarakat Pengempon Pura

Desain kualitatif dipergunakan untuk meneliti secara mendalam

mengenai rumusan masalah pertama, untuk mengetahui manfaat sosial, budaya

dan ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual

Mlaspas dan Ngeteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten

Badung. Hasil penelitian lapangan mengenai manfaat sosial, budaya, dan ekonomi

yang diperoleh dari 108 responden masyarakat pengempon pura adalah positif.

Ritual ini dilaksanakan berdasarkan kepercayaan dan keyakinan turun temurun

dari masyarakat pengempon pura dalam membayar kewajiban hutang pada Dewa

Rna, yaitu hutang kepada Tuhan yang Maha Esa (Ida Sang Hyang widhi).

Informasi kunci dan ahli untuk mendukung desain kualitatif berjumlah

12 orang dengan identitas sebagaimana terlihat pada Tabel 5.3. Wawancara

165

mendalam dilakukan di rumah dan di pura setelah pengempon pura gotong

royong (ngayah), sedangkan wawancara dengan Sulinggih di rumah. Wawancara

terhadap pemasok dilakukan langsung di masing-masing tempat usaha. Hasil

wawancara dicatat dengan seksama dalam buku catatan khusus, diabadikan

dengan camera photo. Wawancara dan kuesioner tentang manfaat sosial, budaya,

dan ekonomi yang diperoleh masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual

Mlaspas dan Ngeteg Linggih.

Desa Abiansemal dalam kehidupan sehari-hari, terjadi interaksi sosial

antar warga dalam aktivitas adat istiadat, budaya, dan agama. Makna pelaksanaan

ritual sesuai ajaran agama, di samping mempererat sistem kekerabatan,

kebersamaan dan solidaritas ketimbang komersialisasi. Pada dasarnya, manfaat

sosial, budaya, dan ekonomi yang diperoleh pengempon pura dengan terlaksana

ritual Mlaspas dan Ngeteg Linggih di Pura pasek Preteka yang mencerminkan

makna meliputi: 1) Kepercayaan dan Keyakinan, 2) Mlaspas dan Ngenteg

Linggih, 3) Mecaru, 4) Melasti, 5) Nyegara Gunung, 6) Banten, 7) Labda

Karya,8) Kondisi Kehidupan Sosial, 9) Gotong Royong, 10) Iuran Pura, 11)

Bahan-Bahan Ritual, 12) Pengeluaran Ritual, 13) Kesempatan Berusaha, 14)

Multiplier Effect, dan 15) Perubahan Sikap Perilaku.

Dijelaskan dengan melakukan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan

hasil penelitian dan jawaban responden sebagaimana disajikan (Lampiran 11) dari

beberapa makna aktivitas ritual selanjutnya diuraikan berikut ini.

166

1) Makna Kepercayaan dan Keyakinan dengan terlaksana ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.1

Gambar 5.1 Persentase makna kepercayaan dan keyakinan dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal

Sumber: Lampiran 11 Gambar 5.1 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

baik pertama manfaat sosial sebesar 98,15 persen, artinya masyarakat

pengempon pura memiliki kepercayaan dan keyakinan turun temurun

kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi) dan kewajiban

membayar hutang Tri Rna sesuai ajaran agama. Manfaat budaya sebesar

96,30 persen, artinya masyarakat pengempon pura melaksanakan tradisi

ritual setiap hari (ngejot), hari-hari suci 15 hari (purnama-tilem, kajeng-

kliwon), enam bulan (tumpek, galungan, kuningan, saraswati), dan satu

tahun (nyepi), dan manfaat ekonomi sebesar 91,67 persen, artinya modal

kepercayaan dan keyakinan memiliki peranan penting dalam aspek

ekonomi.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 Maret 2012 dengan I

Nyoman Geriya (Pemangku Pura Pasek Preteka) bersama tokoh pura, yaitu

STB TB CB B SB

Sosial 1,85% 98,15%

Budaya 3,70% 96,30%

Ekonomi 8,33% 91,67%

00,20,40,60,8

11,2

STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik

167

I Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni Made Suji. Ungkapan tersebut

diperoleh dari beberapa masyarakat pengempon pura bahwa:

”Melaksanakan upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka merupakan bentuk pengorbanan suci yang tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan secara turun temurun kewajiban membayar hutang Dewa Rna. Berdasarkan hasil keputusan bersama oleh masyarakat pengepon pura, seyogyanya dilakukan mengingat upacara seperti ini pertama kali dilakukan 20 tahun yang lalu tepatnya tahun 1982 dan kedua tahun 2012, karena pembangunan pelinggih Bale Pelik, renovasi pada Pelinggih Kawitan Tumpang Tiga dan Pelinggih Ratu Nyoman. Apabila upacara ini tidak dilaksanakan masyarakat meyakini dan percaya bahwa merasa tidak tenang, adanya yang sakit-sakitan dan hidup tidak rukun/harmonis antar pengempon pura. Konsep meyadnya yang dipahami masyarakat umat Hindu di Desa Abiansemal adalah upacara dilakukan dengan tulus iklas, yadnya mempunyai makna dari yadnyalah semua ini ada”.

2) Makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti

ditunjukkan Gambar 5.2

Gambar 5.2 Persentase makna ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11

Gambar 5.2 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

baik pertama manfaat sosial sebesar 96,30 persen, artinya masyarakat

pengempon pura mampu mewujudkan sikap dan perilaku yang lebih baik

dalam menata kehidupan sosial. Manfaat budaya sebesar 95,37 persen,

STB TB CB B SB

Sosial 3,70%96,30

Budaya 4,63%95,37

Ekonomi 6,48%93,52

00,20,40,60,8

11,2

STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik

168

artinya setiap pelinggih pura yang baru di bangun dan diperbaiki biasanya

umat Hindu di Bali melakukan ritual penyucian atau pembersihan

(sakralisasi) secara skala niskala sesuai ajaran Agama Hindu dan manfaat

ekonomi sebesar 93,52 persen, artinya besar kecilnya biaya ritual

dipengaruhi oleh Desa-kala-patra dan tingkatan upacara yang dipergunakan.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 2 April 2012 dengan Ida

Pedanda Griya Agung Desa Abiansemal tentang makna Mlaspas dan

Ngenteg Linggih. Informasi salah seorang informan ahli mengatakan:

”Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, Mlaspas artinya penyucian (sakralisasi) dan Ngenteg Linggih berarti mensthanakan beliau pada pelinggih. Makna Ngenteg Linggih sebagai pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap dan perilaku dalam menata kehidupan menuju kualitas hidup yang lebih baik lahir bathin. Tingkat upacara ini adalah madyaning utama artinya ritual yang dipergunakan tergolong menengah dan utama sesuai ajaran Agama”.

3) Makna Mecaru dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di

Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.3

Gambar 5.3 Persentase makna Mecaru dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11

Gambar 5.3 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

baik pertama secara sosial adalah sebesar 95,37 persen, artinya menciptakan

STB TB CB B SB

Sosial 4,63% 95,37

Budaya 6,48% 93,52

Ekonomi 7,41% 92,59

00,20,40,60,8

11,2

STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik

169

keseimbangan dan keharmonisan kekuatan alam semesta secara sekala

niskala, manfaat budaya sebesar 93,52 persen, artinya biasanya upacara

pecaruan dilakukan sebelum puncak karya (hari H) sesuai tingkatan

upakara dan manfaat ekonomi adalah sebesar 92,59 persen, artinya besar

kecilnya biaya pecaruan berdasarkan jenis dan tingkatan upakara sesuai

Desa-Kala-Patra.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida

Pedanda Griya Agung Desa Abiansemal bersama Pemangku dan tokoh

masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka, seperti dikatakan informan ahli:

”Mecaru merupakan ritual untuk menciptakan keseimbangan alam atau keharmonisan antara yang menumbuhkan kebaikan dan ketidakbaikan (antara yang positif dan negatif). Jenis caru yang dilaksanakan di Pura Pasek Preteka adalah Caru Tawur (Mecaru Gede) dengan caru hewan beraki empat, yaitu kambing”.

4) Makna melasti dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di

Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.4

Gambar 5.4 Persentase makna melasti dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11

Gambar 5.4 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

setuju pertama secara sosial adalah sebesar 97,22 persen, artinya membangun

STS TS CS S SS

Sosial 2,78% 97,22

Budaya 4,63% 95,37

Ekonomi 6,48% 93,52

00,20,40,60,8

11,2

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju

170

persahabatan, melestarikan alam melalui semangat kebersamaan diantara

pengempon pura, manfaat budaya adalah sebesar 95,37 persen, artinya tradisi

melasti menyucikan Ida Bhatara dengan pratima-pratimanya ke laut terkait

upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya dan manfaat ekonomi

adalah sebesar 93,52 persen, artinya upacara melasti memiliki nilai ekonomi,

yaitu pantai yang dijadikan tempat upacara melasti dimanfaatkan pedagang

makanan dan minuman.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida

Pedanda Griya Agung. Berikut informasi dari salah seorang informan:

”Melasti artinya menyucikan simbol-simbol Tuhan (Ida Batara) di Pura Pasek Preteka ke laut (Segara) Seseh Badung. Makna melasti membangun persahabatan dengan sesama dan alam lingkungan serta melestarikannya, bertujuan memotivasi umat secara spiritual”.

5) Makna Nyegara Gunung dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.5

Gambar 5.5 Persentase makna Nyegara Gunung dengan terlaksana ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11

Gambar 5.5 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

setuju manfaat sosial sebesar 95,37 persen, artinya menghaturkan puji syukur

STS TS CS S SS

Sosial 4,63% 95,37%

Budaya 5,56% 94,44%

Ekonomi 7,41% 92,59%

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju

171

dan terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala

manifestasi-Nya, manfaat budaya sebesar 94,44 persen, artinya laut dan

gunung sebagai sumber kehidupan manusia dan manfaat ekonomi adalah

sebesar 92,44 persen, artinya berbagai kehidupan laut dan gunung mampu

memberikan segala kebutuhan hidup manusia materi nonmateri dan lahir

bathin secara berkelanjutan.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida

Pedanda Griya Agung dan pemangku Pura Pasek Preteka, seperti dikatakan

informan:

”Nyegara Gunung bermakna menghaturkan puji syukur dan rasa terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Purusa-Predhana. Makna Nyegara Gunung yaitu laut dan gunung merupakan sumber kehidupan, lahirnya suatu kehidupan yang baru, hidup penuh dengan kebajikan dan rasa cinta kasih diwujudkan dalam Tri-kaya-parisudda (pikiran, perkataan dan berprilaku yang baik dan benar), menerima dan mensyukuri dua dimensi (Rwa-Bhineda). Tempat Nyegara Gunung, Nyegara/laut adalah Pura Mumbul Blahkiuh dan Gunung Pura Bukit Sari Sangeh”.

6) Makna Banten dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa

Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.6

Gambar 5.6 Persentase makna Banten dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11

Gambar 5.6 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat setuju

pertama manfaat sosial sebesar 97,22 persen, artinya banten merupakan sarana

STS TS CS S SS

Sosial 2,78% 97,22

Budaya 4,63% 95,37

Ekonomi 6,48% 93,52

00,20,40,60,8

11,2

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju

172

sembahyang dan simbol-simbol berdasarkan tattwa, susila dan upacara,

manfaat budaya adalah sebesar 95,37 persen, artinya banten perpaduan buah-

buahan, bunga dan janur dengan sentuhan seni budaya, adat dan agama secara

artistik, dan manfaat ekonomi adalah sebesar 93,52 persen, artinya

mengakibatkan permintaaan (transaksional) bahan-bahan ritual seperti buah-

buahan, jajan, janur dan bunga.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan Ida Dayu

Anggareni sebagai tapini Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten dari Geriya

Agung, seperti misalnya informasi berikut:

”Banten sebagai sarana upakara pada dasarnya adalah sebagai nyasa atau simbol-simbol dari Siwa-Linga. Dari sekian banyak keberadaan atau wujud bebanten, yaitu Ngenteg Linggih dengan banten Bagia Pulakertti bermakna dengan kokoh (pageh) berpegang pada tata susila atau prilaku yang selalu berlandaskan ajaran Agama Hindu, semoga dapat mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan bersama dan semua mahluk hidup”. ”Banten di Bali merupakan ciri khas yang unik, daya cipta yang relegius dan mengandung budaya, seni, adat dan Agama berdasarkan Desa-Kala-Patra. Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal antara lain banten sarad/Pregembal, banten Pengenteg, sate tungguh/sate tegeh/gayah dan lain-lainnya”.

7) Makna Labda karya dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di

Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.7

Gambar 5.7 Persentase makna labda karya dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal

Sumber: Lampiran 11

STB TB CB B SB

Sosial 4,63%95,37

Budaya 6,48%93,52

Ekonomi 7,41%92,59

00,20,40,60,8

11,2

STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik

173

Gambar 5.7 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

baik pertama manfaat sosial sebesar 95,37 persen, artinya pelakasanaan

ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih berjalan lancar, sukses sesuai jadwal

karya, manfaat budaya sebesar 93,52 persen, artinya tradisi gotong royong,

kebersamaan, solidaritas, semangat spiritual dan etos kerja sebagai modal

suksesnya ritual, dan manfaat ekonomi adalah sebesar 92,59 persen, artinya

adanya efisiensi biaya ketika sarana ritual dibuat secara gotong royong,

yaitu berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan

Pemangku Pura Pasek Preteka I Nyoman Geriya dan Wayan Parek dan Ni

Made Suji sebagai koordinator upakara, seperti dikatakan informan kunci:

”Labda Karya pada hakekatnya ritual yang dilaksanakan berjalan sukses dan lancar sesuai dodunan karya, dilandasi dengan sraddha bhakti, lascarya dan sastra Agama Hindu”.

8) Makna kehidupan sosial dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.8

Gambar 5.8 Persentase makna kehidupan sosial dengan terlaksana ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal Sumber: Lampiran 11

STS TS CS S SS

Sosial 2,78% 97,22%

Budaya 4,63% 95,37%

Ekonomi 6,48% 93,52%

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju

174

Gambar 5.8 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

setuju, pertama manfaat manfaat sosial sebesar 97,22 persen, artinya dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat pengempon pura saling menghormati,

menghargai antar pengempon pura, antar banjar dan antar masyarakat, manfaat

budaya adalah sebesar 95,37 persen, artinya berdasarkan tradisi adat dan

agama kegiatan ritual dilakukan dengan gotong royong, kebersamaan,

solidaritas, semangat spiritual dan etos kerja dan manfaat ekonomi adalah

sebesar 93,52 persen, artinya adanya efisiensi biaya ketika sarana ritual dibuat

secara gotong royong, yaitu berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan I

Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur

dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Ungkapan tersebut

diperoleh dari beberapa masyarakat pengempon pura bahwa:

”Kondisi kehidupan sosial masyarakat pengempon pura adalah harmonis dengan kekeluargaan, kebersamaan, dan solidaritas yang tinggi (paras paros sarpanaya, sagilik saguluk salulung sabayantaka) antar anggota keluarga, antar keluarga pengempon pura, antar banjar, antar masyarakat lingkungan, dan antar desa”.

9) Makna gotong royong dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.9

. Gambar 5.9 Persentase makna gotong royong dengan terlaksana ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Desa Abiansema Sumber: Lampiran 11

STB TB CB B SB

Sosial 3,70% 96,30%

Budaya 1,85% 98,15%

Ekonomi 6,48% 93,52%

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

STB=Sangat tidak baik TB=Tidak baik CB=Cukup baik B=Baik SB=Sangat baik

175

Gambar 5.9 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

baik pertama manfaat budaya adalah sebesar 98,15 persen, artinya tradisi

gotong royong masih kuat dan berkembang dalam kehidupan masyarakat

adat Desa Abiansemal, manfaat sosial adalah sebesar 96,30 persen, artinya

menunjukkan kebersamaan, solidaritas, toleransi kehidupan beragama dan

bermasyarakat, dan manfaat ekonomi adalah sebesar 93,52 persen, artinya

adanya efisiensi ketika kegiatan ritual dikerjakan secara gotong royong

dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 Maret 2012 dengan I

Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur

dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Informasi dari

masyarakat pengempon pura mengatakan:

”Pada hakekatnya konsep gotong royong (ngayah) dalam pelaksanaan upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih yang didasari semangat spiritual dan etos kerja yang dimiliki oleh seluruh pengempon pura dalam bentuk kebersamaan dan kekeluargaan. Aktivitas ngayah dilakukan selama 63 hari sesuai jadwal karya (dodunan karya)”.

10) Makna iuran pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di

Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.10

Gambar 5.10 Persentase makna iuran pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal.

Sumber: Lampiran 11

STS TS CS S SS

Sosial 3,70% 96,30%

Budaya 4,63% 95,37%

Ekonomi 8,33% 91,67%

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju

176

Gambar 5.10 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

setuju pertama manfaat sosial sebesar 96,30 persen, artinya pembayaran iuran

pura sebagai bentuk tanggungjawab bersama masyarakat pengempon pura,

manfaat budaya sebesar 95,37 persen, artinya tradisi membayar iuran pura

menunjukkan rasa memiliki, kebersamaan, solidaritas dalam kegiatan adat dan

agama, manfaat ekonomi sebesar 91,67 persen, artinya besar kecil biaya ritual

ditanggung bersama dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 Maret 2012 dengan I Nyoman

Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni

Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Informasi dari masyarakat

pengempon pura mengatakan:

”Penentuan besarnya iuran pura yang dikenakan kepada masing-masing KK adalah sebesar Rp 2 juta berdasarkan kesepakatan masyarakat pengempon pura, berdasarkan semangat relegius, rasa memiliki dan tanggungjawab bersama untuk keselamatan, ketentraman, kerukunan, dan kebersamaan sebagai generasi yang akan datang sesama pengempon pura pasek preteka di Desa Abiansemal”.

11) Makna bahan-bahan ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.11

Gambar 5.11 Persentase makna bahan-bahan ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber : Lampiran 11

STS TS CS S SS

Sosial 5,56% 94,44%

Budaya 7,41% 92,59%

Ekonomi 3,70% 96,30%

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju

177

Gambar 5.11 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

setuju pertama secara ekonomi adalah sebesar 96,30 persen, artinya bahan

ritual sebagian besar tersedia di daerah sekitar Abiansemal dan harga lebih

murah, manfaat secara sosial adalah sebesar 94,44 persen, artinya

masyarakat pengempon pura lebih mudah memperoleh bahan ritual, dan

manfaat secara budaya adalah sebesar 92,59 persen, artinya masyarakat

umat Hindu mampu melestarikan dan mengembangkan bahan-bahan ritual

secara berkesinambungan.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 23 April 2012 dengan I

Nyoman Subur, Ni Made Suji, Wayan Murya, dan Wayan Gendera

masyarakat pengempon Pura Pasek Preteka, seperti dikatakan informan

kunci:

“Mengingat begitu banyaknya jenis dan bahan-bahan ritual yang diperlukan dalam pelaksanaan ritual Agama Hindu di Bali, seperti bambu, kelapa, beras, pisang buah-buahan, janur, bebek-ayam, telor, babi, bunga dan lain-lain. Bahan ritual yang dibutuhkan dalam ritual ini 90,91 persen tersedia sekitar Abiansemal dan hanya 9,09 persen dari luar”.

12) Makna pengeluaran ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.12

Gambar 5.12 Persentase makna pengeluaran ritual dengan terlaksana ritual Mlaspas dan

Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal. Sumber: Lampiran 11

STS TS CS S SS

Sosial 4,63% 30,56 64,81

Budaya 3,70% 32,41 63,89

Ekonomi 4,63% 35,19 60,18

00,10,20,30,40,50,60,7

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju

178

Gambar 5.12 menunjukkan responden memberikan jawaban persepsi

sangat setuju, maanfaat sosial sebesar 64,81 persen, artinya konsep meyadnya

dalam Agama Hindu dengan tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan

keyakinan, manfaat budaya sebesar 63,89 persen, merupakan tradisi umat

Hindu melaksanakan ritual secara turun temurun nak mule keto (gugon tuwon),

dan manfaat ekonomi adalah sebesar 60,18 persen, artinya konsep meyadnya

dalam Agama Hindu tidak memperhitungkan besar kecilnya pengeluaran ritual

karena berdasarkan tulus iklas (srada bhakti).

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 6 April 2012 dengan I Nyoman

Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur dan Ni

Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Informasi dari koordinator

upakara mengatakan bahwa:

”Pengeluaran ritual ini untuk membuat banten (pajegan/gebogan) sudah ditetapkan oleh panitia pura sesuai jadwal tentang jumlah dan KK yang seharusnya membuat. Yadnya dalam bentuk persembahan dan korban suci yang tulus iklas dalam beryadnya diyakini dari yadnyalah semua ini ada seperti lahir, hidup, sehat, rukun, damai sentosa, saling menghargai dan menghormati antar individu di masyarakat Desa Abiansemal”.

13) Makna kesempatan berusaha dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.13

Gambar 5.13 Persentase makna kesempatan berusaha dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal.

Sumber: Lampiran 11

STS TS CS S SS

Sosial 8,33%91,67%

Budaya 9,26%90,74%

Ekonomi 2,78%97,22%

00,20,40,60,8

11,2

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju

179

Gambar 5.13 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

setuju pertama manfaat ekonomi sebesar 97,22 persen, artinya dapat

menciptakan kesempatan kerja dibidang ritual, manfaat sosial sebesar 91,67

persen, artinya mampu membuat jaringan (net working), saling percaya (trust),

saling membagi dan saling memberi, dan manfaat budaya adalah sebesar 90,74

persen, artinya mampu menjaga, melestarikan dan menumbuhkembangkan

nilai-nilai kearifan lokal yang unik.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 20 Oktober 2012 dengan Ida

Dayu Anggareni sebagai tapini dan Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten,

seperti dikatakan informan ahli:

”Bahwa Yadnya di Bali merupakan momentum untuk berbagi dengan sesama. Setiap kali pelaksanaan ritual memerlukan banyak bahan-bahan ritual. Memotivasi tumbuhnya jiwa kreativitas dan kesempatan berusaha. Ibu-ibu rumah tangga pengempon pura, sebelumnya bekerja sebagai buruh bangunan dan usaha pengerajin bambu,dan sekarang membuat alat-alat upakara, bekerjasama dengan Geriya sebagai produsen banten”. ”Menurut Ida Ayu Mirah dari Geriya Agung bahwa bekerja di Geriya Agung sebagai pengayah dan tukang banten dengan upah seorang pengayah antara Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu per hari sedangkan sebagai tukang banten adalah dibayar sebesar Rp 65 ribu hingga Rp 70 ribu per hari, ditambah makan, jajan dan kopi gratis serta tetap diberi bonus seperti satu stel baju, hal ini memberi kesempatan warga pengempon pura pasek preteka untuk menambah penghasilan keluarga”.

14) Makna multiplier effect dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih

di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.14

Gambar 5.14 Persentase makna multiplier effect dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal.

Sumber: Lampiran 11

STS TS CS S SS

Sosial 7,41% 92,59%

Budaya 8,33% 91,67%

Ekonomi 1,85% 98,15%

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setuju S=Setuju SS=Sangat setuju

180

Gambar 5.14 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

setuju pertama secara ekonomi adalah sebesar 98,15 persen, artinya dapat

meningkatkan pendapatan dan daya beli, manfaat kedua secara sosial adalah

sebesar 92,59 persen, artinya masyarakat penghasil bahan-bahan upacara

yang tadinya memproduksi saat dibutuhkan, sekarang produknya lebih

kontinyu dengan menitipkan pada masyarakat pedagang di lingkunganya

dan manfaat ketiga secara budaya adalah sebesar 91,67 persen, artinya

tradisi mekemit awalnya hanya dilakukan oleh pengempon pura laki-laki

yang tua, sekarang seluruh komponen masyarakat (generasi muda) ikut

berpartisipasi.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 7 April 2012 dengan Ida

Dayu Anggareni sebagai tapini dan Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten,

seperti misalnya informasi berikut:

“Intensitas pelaksanaan upacara Agama Hindu, mengakibatkan tingginya permintaan bahan-bahan ritual sehingga pengeluaran ritual memiliki multiplier effect bagi masyarakat Bali ataupun masyarakat luar. Kenyataannya aktivitas ritual menyebabkan adanya pergerakan ekonomi secara regional di Bali”.

15) Makna perubahan sikap dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Desa Abiansemal, seperti ditunjukkan Gambar 5.15

Gambar 5.15 Persentase makna perubahan sikap dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal.

Sumber: Lampiran 11

STS TS CS S SS

Sosial 1,85% 98,15%

Budaya 5,56% 94,44%

Ekonomi 6,48% 93,52%

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

STS=Sangat tidak setuju TS=Tidak setuju CS=Cukup setujuS=Setuju SS=Sangat setuju

181

Gambar 5.15 menunjukkan responden memberikan jawaban sangat

setuju, manfaat sosial adalah sebesar 98,15 persen, artinya pada hakekatnya

mampu meningkatkan sikap dan perilaku hidup sehari-hari lebih baik sesuai

Tri- kaya- parisudda, manfaat budaya adalah sebesar 94,44 persen, artinya

menunjukkan sikap toleransi, saling menghargai, menghormati

persaudaraan, dan perduli lingkungan dan manfaat ketiga secara ekonomi

adalah sebesar 93,52 persen, artinya perubahan sikap pelaksanaan ritual

kearah lebih efisien atau tidak boros.

Selanjutnya didukung hasil wawancara, 26 April 2012 dengan I

Nyoman Geriya sebagai pemangku bersama Wayan Parek, I Nyoman Subur

dan Ni Made Suji sebagai tokoh Pura Pasek Preteka. Ungkapan tersebut

diperoleh dari beberapa masyarakat pengempon pura bahwa:

“Aktivitas pelaksanakan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pengempon pura, perubahan sikap hidup sehari-hari seperti adanya sikap kekeluargaan, kebersamaan, keharmonisan, perduli terhadap lingkungan, saling menghargai dan menghormati antar pengempon pura dan antar banjar di Desa Abiansemal”. Ringkasan Gambar 5.1 sampai Gambar 5.15, tentang manfaat sosial,

budaya dan ekonomi bagi masyarakat pengempon pura berkenaan dengan

pelaksanaan ritual, sebagaimana disajikan Tabel 5.4

182

Tabel 5.4 Ringkasan Manfaat Secara Sosial, Budaya dan Ekonomi Berkenaan dengan

Pelaksanaan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012

No Makna SOSIAL BUDAYA EKONOMI 1

Kepercayaan dan Keyakinan

Kewajiban membayar hutang Tri Rna berdasarkan ajaran Agama Hindu

Kebiasaan melaksanakan ritual setiap hari, 15 hari, 6 bulan, dan satu tahun (nyepi)

Modal kepercayaan dan keyakinan penting dalam ekonomi

2

Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih

Proses pembelajaran diri dalam menata kehidupan untuk mewujudkan sikap dan perilaku solidaritas, kebersamaan melalui gotong royong

Ritual penyucian/ pembersihan (sakralisasi) pelinggih/pura baru yang dibangun /diperbaiki secara sekala niskala sesuai Agama Hindu

Besar kecilnya biaya ritual dipengaruhi oleh tingkatan upacara dan Desa-Kala-Patra.

3 Mecaru Menciptakan keseimbangan dan harmonisasi agar kekuatan alam menumbuhkan kebaikan secara sekala niskala

Sebagai tradisi sebelum upacara utama dilaksanakan/diawali upacara pecaruan sesuai tingkat upacara.

Besar kecilnya biaya pecaruan tergantung jenis caru dan tingkat upacara sesuai Desa-Kala-Patra.

4

Melasti Membangun persahabatan dan melestarikan alam melalui semangat berjuang, dan semangat kebersamaan diantara pengempon pura

Tradisi melasti menyucikan Ida Bhatara dengan simbol-simbol (pratima-pratimanya) ke laut

Pantai tempat melasti dimanfaatkan sebagai tempat berdagang makanan dan minuman.

5 Nyegara Gunung

Menghaturkan puji syukur dan terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifestasi-Nya

Tradisi Adat dan Agama sebelum nyineb karya dilakukan upacara nyegara gunung, laut dan gunung sebagai sumber dan akar kehidupan manusia

Berbagai kehidupan laut dan gunung mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan.

6 Banten Banten merupakan sarana sembahyang sebagai simbol-simbol berdasarkan tattwa, susila dan upacara

Tradisi banten yang dibuat secara artistik perpaduan buah-buahan, bunga dan janur dengan sentuhan seni budaya, adat dan agama

Terjadi permintaaan (transaksional) bahan-bahan ritual setiap kali pelaksanaan ritual.

7 Labda karya

Pelakasanaan ritual berjalan lancar dan sukses sesuai jadwal karya

Adanya tradisi gotong royong, kebersamaan , solidaritas, semangat spiritual dan etos kerja balam umat Hindu.

Adanya efisiensi biaya pengeluaran ritual dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

8 Kehidupan Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari pengempon pura saling menghormati, menghargai antar pengempon pura, antar

Tradisi Adat dan Agama kegiatan ritual dilakukan dengan gotong royong/ kebersamaa, solidaritas, semangat spiritual dan etos

Adanya efisiensi biaya pengeluaran ritual dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

183

No Makna SOSIAL BUDAYA EKONOMI banjar, dan antar masyarakat Abiansemal.

kerja

9 Gotong royong

Menunjukkan kebersamaan, solidaritas, toleransi kehidupan beragama dan bermasyarakat di Desa Abiansemal

Tradisi ngayah, ngoopin, metetulung, menyamebraya yang berkembang dalam masyarakat Desa Abiansemal

Adanya efisiensi ketika kegiatan ritual dikerjakan secara gotong royong dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

10 Iuran pura Pembayaran iuran pura sebagai bentuk tanggungjawab bersama masyarakat pengempon pura

Tradisi membayar iuran pura menunjukkan rasa memiliki, solidaritas dalam kegiatan adat dan agama

Besar kecil biaya ritual ditanggung bersama dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

11 Bahan-bahan ritual

Sebagian besar bahan-bahan ritual tersedia dan dipasok dari di sekitar Abiansemal

masyarakat umat Hindu mampu mengembangkan bahan-bahan ritual secara berkelanjutan.

Setiap kali pelaksanaan ritual terjadi permintaan (transaksional) bahan-bahan ritual dalam jumlah yang cukup banyak di sekitar Abiansemal

12 Pengeluaran ritual

Ritual dilakukan dengan tulus iklas berdasarkan kepercayaan dan keyakinan

Sudah merupakan tradisi umat Hindu cenderung melaksanakan ritual lebih semarak menunjukkan status

Pengeluaran ritual pengaruhi oleh pendapatan

13 Kesempatan berusaha

Mampu membuat jaringan, saling percaya (trust), saling membagi dan saling memberi

Mampu menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya spiritual yang unik (local genius).

Mampu menciptakan kesempatan kerja, menumbuhkembangkan jiwa wirausahaan, meningkatkan pendapatan

14 Multiplier effect

Masyarakat penghasil bahan-bahan upacara yang tadinya memproduksi saat dibutuhkan, sekarang produknya lebih kontinyu dengan menitipkan pada masyarakat pedagang di lingkunganya

Tradisi mekemit secara bergilir tradisi mekemit awalnya hanya dilakukan oleh pengempon pura laki-laki yang tua, sekarang seluruh komponen asyarakat (generasi muda) ikut berpartisipasi sambil membuat katik sate dan hiasan pelinggih.

Meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat

15 Perubahan sikap

Pada hakekatnya mampu meningkatkan sikap dan perilaku hidup sehari-hari lebih baik sesuai tri kaya parisuda

Menunjukkan sikap toleransi, saling menghargai, menghormati persaudaraan, dan perduli lingkungan

Perubahan sikap kearah lebih efisiensi dan tidak boros seperti beralih profesi dari pengerajin bambu menjadi tukang banten dan pengayah tukang banten.

Sumber: Gambar 5.1 sampai dengan Gambar 5.15

184

5.4.2 Besarnya Multiplier Effect Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal

Informasi yang diperoleh melalui In-deft Interview, menjawab rumusan

masalah dua untuk mengetahui besarnya multiplier effect pengeluaran ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal.

Menghitung multiplier effect pengeluaran ritual untuk 13 jenis bahan-bahan ritual

meliputi: bambu, babi, uang kepeng, kelapa, bebek dan ayam, beras, kain kasa,

telor, pajeng, janur, pisang dan buah-buahan, minyak goreng dan bunga.

Pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka

merupakan pendapatan bagi pemasok (Tahap I), sebagian pendapatan pemasok

digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan.

Pengeluaran konsumsi Tahap I merupakan pendapatan bagi penyalur (Tahap II),

sebagian pendapatan penyalur digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung

atau di investasikan. Pengeluaran konsumsi Tahap II merupakan pendapatan bagi

produsen atau petani (Tahap III), sebagian pendapatan digunakan untuk konsumsi

dan sisanya di tabung atau di investasikan. Selanjutnya analisis Multiplier effect

pelaksanaan ritual Tahap I, Tahap II dan Tahap III berikut.

a) Untuk Tahap I

Multiplier effect Tahap I pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, untuk 13 jenis bahan-bahan

ritual, yaitu meliputi: bambu, babi, uang kepeng, kelapa, bebek-ayam, beras,

kain kasa, telor, pajeng, janur, pisang-buah-buahan, minyak goreng, dan bunga.

Selanjutnya dari 13 jenis bahan ritual yang dipasok, 5 bahan ritual berakhir di

tahap ini, yaitu bambu, babi, kelapa, bebek-ayam, dan telor, sebagaimana

disajikan Tabel 5.5

185

Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Multiplier effect Pemasok Tahap I Komponen Bahan-Bahan

ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, 2012

No Bahan-Bahan Ritual

Y1 (Juta Rp)

Y2 (Juta Rp)

ΔY (Juta Rp)

C1 (Juta Rp)

C2 (Juta Rp)

ΔC (Juta Rp) MPC=ΔC/ΔY MPS Multiplier

Bahan Ritual Tahap

II 1 Bambu 21,8 66,6 44,83 15,5 52,5 37,0 0,83 0,17 5,88 -

2 Babi 8,5 29,76 21,26 7,5 24,0 16,5 0,78 0,22 4,55 -

3 Uang Kep 8,2 29,09 20,89 8,0 22,5 14,5 0,69 0,31 3,23

4 Kelapa 7,3 15,19 7,89 7,1 12,6 5,5 0,70 0,30 3,33 -

5 Bebek-Ayam 9,5 16,75 7,25 8,5 13,5 5,0 0,69 0,31 3,23 -

6 Beras 13,5 20,62 7,12 12,5 17,6 5,1 0,72 0,28 3,57

7 Kain kasa 9,5 15,38 5,88 7,5 10,2 2,7 0,46 0,54 1,85 8 Telor 2,8 8,48 5,68 2,5 6,5 4,0 0,70 0,30 3,33 -

9 Pajeng 5,2 10,81 5,61 3,9 7,5 3,6 0,64 0,36 2,78

10 Janur 4,6 8,28 3,68 4,2 6,7 2,5 0,68 0,32 3,13

11 Pisang, Bh 4,5 7,25 2,75 3,5 5,4 1,9 0,69 0,31 3,23 12 M.Goreng 3,5 6,03 2,53 2,5 3,5 1,0 0,40 0,60 1,67

13 Bunga 3,65 4,22 0,57 2,3 2,65 0,35 0,61 0,39 2,56

Rata-Rata 7,89 18,34 10,46 6,58 14,24 7,67 0,66 0,34 3,26 8

Keterangan: Y1= pendapatan awal, Y2 = pendapatan total, ΔY = perubahan pendapatan Y1 dan Y2, C1 pengeluaran awal, C2 = pengeluaran total, ΔC = perubahan pengeluaran C1 dan C2, MPC = marginal propensity to consume, MPS = marginal propensity to saving.

Sumber: Lampiran 9

Tabel 5.5 menunjukkan pengeluaran ritual Tahap I dari 13 jenis bahan-

bahan ritual memiliki rata-rata Multiplier effect sebesar 3,26 yang artinya

apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok

juga bertambah sebesar 3,26 kali jumlah pengeluaran konsumsi. Besarnya

Multiplier effect Tahap I terbesar pertama adalah bahan bambu sebesar 5,88,

artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan

pemasok juga bertambah sebesar 5,88 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan

seterusnya.

b) Untuk Tahap II

Multiplier effect Tahap II pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, untuk 8 jenis bahan-bahan

ritual, yaitu meliputi: uang kepeng, beras, kain kasa, pajeng, janur, pisang-

186

buah-buahan, minyak goreng, dan bunga. Selanjutnya dari 8 jenis bahan ritual

yang dipasok, 4 bahan ritual berakhir di tahap ini, yaitu pajeng, janur, pisang-

buah-buahan, dan bunga. Pada Tahap II analisis Multiplier Effect untuk 8 jenis

bahan-bahan ritual, sebagaimana disajikan Tabel 5.6

Tabel 5.6 Hasil Perhitungan Multiplier effect Penyalur Tahap II Bahan-Bahan ritual Mlaspas

dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012

No Bahan-Bahan Ritual

Y1 (Juta Rp)

Y2 (Juta Rp)

ΔY (Juta Rp)

C1 (Juta Rp)

C2 (Juta Rp)

ΔC (Juta Rp)

MPC=ΔC/ΔY MPS Multiplier

Bahan Ritual Tahap

III 1 Uang Kep 5,45 9,50 4,05 4,25 6,60 2,35 0,58 0,42 2,38

2 Beras 6,50 7,65 1,15 4,50 5,20 0,70 0,61 0,39 2,56

3 Kain Kasa 4,82 5,50 0,68 4,20 4,40 0,20 0,29 0,71 1,42

4 Pajeng 4,10 4,70 0,60 3,60 3,95 0,35 0,58 0,42 2,38 -

5 Janur 3,50 3,70 0,20 3,40 3,55 0,15 0,75 0,25 4,00 -

6 Pisang,Bh 2,50 3,50 1,00 2,20 2,50 0,30 0,30 0,70 1,43 -

7 M.Goreng 3,50 3,75 0,25 3,40 3,50 0,10 0,40 0,60 1,67

8 Bunga 1,25 1,55 0,30 1,10 1,26 0,16 0,53 0,47 2,14 -

Rata-rata 3,95 4,98 1,03 3,33 3,87 0,54 0,51 0,49 2,25 4 Sumber: Lampiran 10

Tabel 5.6 menunjukkan pengeluaran ritual Tahap II dari 8 jenis bahan-

bahan ritual memiliki rata-rata Multiplier effect sebesar 2,25 yang artinya

apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok

juga bertambah sebesar 2,25 kali jumlah pengeluaran konsumsi. Besarnya

Multiplier effect Tahap II terbesar pertama adalah bahan janur sebesar 4,00,

artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan

pemasok juga bertambah sebesar 4,00 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan

seterusnya.

c) Untuk Tahap III

Multiplier effect Tahap III pengeluaran ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, untuk 4 jenis bahan-bahan

ritual, yaitu meliputi: uang kepeng, kain kasa, beras, dan minyak goreng.

187

Selanjutnya dari 4 jenis bahan ritual yang dipasok, 2 bahan ritual berakhir di

tahap ini, yaitu beras dan uang kepeng. Pada Tahap III analisis Multiplier

Effect untuk 4 jenis bahan-bahan ritual, masih ada dua jenis bahan ritual yaitu

kain kasa dan minyak goreng yang tidak dihitung multiplier effect karena

pabrik atau produsen kain kasa dan minyak goreng ada di luar Bali,

sebagaimana disajikan Tabel 5.7

Tabel 5.7 Hasil Perhitungan Multiplier effect Produsen Tahap III Bahan-Bahan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012

No Bahan-Bahan

Ritual Y1

(Juta Rp) Y2

(Juta Rp)

ΔY (Juta Rp)

C1 (Juta Rp)

C2 (Juta Rp)

ΔC (Juta Rp)

MPC=ΔC/ΔY MPS Multiplier

1 Uang Kepeng 4,50 7,80 3,30 3,50 4,60 1,10 0,33 0,67 1,50

2 Beras 2,50 3,90 1,40 2,40 3,20 0,80 0,57 0,43 2,33

3 Kain Kasa 2,50 3,50 1,00 2,20 2,40 0,20 0,20 0,80 1,25

4 M.Goreng 1,10 3,30 2,20 1,05 1,55 0,50 0,23 0,77 1,30

Rata-rata 3,8 3,48 0,33 2,66 2,56 0,1 0,33 0,67 1,59

Sumber: Lampiran 10

Tabel 5.7 menunjukkan pengeluaran ritual Tahap III dari 4 jenis bahan-

bahan ritual memiliki rata-rata Multiplier effect sebesar 1,59 yang artinya apabila

pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga

bertambah sebesar 1,59 kali jumlah pengeluaran konsumsi. Besarnya Multiplier

effect Tahap III terbesar pertama adalah beras sebesar 2,33 artinya apabila

pengeluaran ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga

bertambah sebesar 2,33 kali jumlah pengeluaran konsumsi dan seterusnya.

Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal menggunakan beras sebesar 3,78

persen dari total pengeluaran ritual. Pada dasarnya beras sebagai bahan membuata

jajan dan memiliki makna mendalam yaitu ketika beras digunakan sebagai bija

188

saat sembayang dan di makan memiliki makna menanam benih-benih kebijakan,

beras merupakan lambang Amertha, sementara menurut Sudarsan (2000) beras

adalah sebagai lambang atau simbol dari udara sebagai cerminan Sang Hyang

Bayu. Beras (tepung) sebagai bahan utama dipergunakan untuk membuat jajan

perlengkapan banten sarad dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih.

Dari informan kunci diperoleh informasi yang simetris dengan hasil

deskriptif multiplier effect Tahap I, II, dan III bahwa pelaksanaan ritual memiliki

multiplier effect dan tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual. Intensitas

kegiatan upacara Panca Yadnya di Bali dapat menciptakan peluang usaha atau

kesempatan kerja di sektor nonformal, untuk menyediakan bahan-bahan ritual.

Informasi tersebut diperoleh dari beberapa pemasok bahan-bahan ritual meliputi

berikut ini:

1) Nyoman Arka sebagai peternak telor bebek di Banjar Pande Desa Abiansemal

wawancara 29 April 2012, seperti informasi berikut ini:

”Semakin sering ada kegiatan ritual permintaan telor semakin meningkat, hal ini mendorong semangat memelihara bebek petelor. Harga telor yang semakin mahal, namun resiko besar, yaitu bebek banyak mati ketika ada virus flu burun. Sulitnya mencari lahan yang habis panen dan harga kontrak lahan semakin hari semakin tinggi untuk tempat melepas bebek-bebek peliharaannya. Dengan adanya ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, dapat meningkatkan penjualan telor. Biasanya telor dijual setiap tiga hari sekali kepasar Blahkiuh, selama 2 bulan (Maret-April 2012) telor sudah dibeli oleh pengempon pura sehingga ada penghematan biaya tranportasi dan berkurangnya resiko telor pecah. Hasil penjualan telor bebek sebesar Rp 5,7 juta selama dua bulan dengan keuntungan bersih sebesar 30 persen”.

2) Bapak Nyoman Raka sebagai pengusaha bebek dan ayam di Singakerta Kaje

Kabupaten Gianyar wawancara 29 April 2012, seperti dikatakan salah

seorang pemasok:

189

”Selain sebagai pengusaha dan pengepul bebek, ayam dan telor juga bekerjasama dengan beberapa kelompok peternak bebek dan ayam sekitar Badung Utara, Tabanan dan Gianyar. Resiko usaha seperti ini besar ketika ada virus flu burung. Tingginya intensitas pelaksanaan ritual umat Hindu di Bali sangat menguntungkan usahanya karena permintaan semakin hari semakin banyak terutama telor,bebek, dan ayam untuk keperluan ritual ditambah menjamurnya usaha rumah makan atau kuliner makanan”.

3) Lain halnya dengan penuturan Ibu Mangku Eka, sebagai pemasok bahan-

bahan ritual seperti uang kepeng, tiker, ngiyu, besek, benang, jejahitan,

kacang-kacangan dan lain-lain wawancara 29 April 2012, mengatakan bahwa:

”Pada awalnya tidak menjual bahan-bahan ritual seperti sekarang ini, seiring dengan pelaksanaan ritual di Bali semakin hari semakin meningkat maka permintaaan bahan-bahan ritualpun meningkat. Berdasarkan pertimbangan dan melihat peluang usaha menjual bahan-bahan ritual prospeknya cukup menguntungkan sehingga membuka usaha kedua di Banjar Banjaran Desa Abiansemal mulai pertengahan tahun 2011 dan usaha pertama ada di pasar Blahkiuh sehingga saat ini memiliki dua usaha. Pelaksanaa ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka sangat menguntungkan karena lokasi ritual dekat dengan lokasi usahanya, harga sama dengan di pasar maka pihak pura cenderung membeli bahan-bahan disini daripada ke pasar Blahkiuh”.

4) Pengakuan pedagang janur Wayan Sugita (47 Tahun) sedurungne tiang

ngadep busung miwah selepaan manten kedik (sebelumnya dia berjualan janur

dan selepaan sedikit) wawancara 22 April 2012, mengatakan berikut ini:.

”Mulai usaha janur dilakukan dirumah, yaitu Banjar Banjaran Desa Abiansemal, melihat permintaan janur semakin hari semakin banyak karena aktivitas upacara Agama Hindu semakin hari semakin meningkat dari tingkatan upacara kecil sampai upacara besar seperti upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih, Piodalan di Pura-Pura dan lain-lainnya. Berarti prospek bisnis janur sangat menguntungkan maka mulai mengembangkan usaha dengan mencari tempat/lokasi yang lebih strategis yaitu di daerah Penarungan Desa Abiansemal, mengembangkan usaha sebagai suplier janur wilayah Abiansemal baik janur lokal maupun janur dari Jawa. Setiap hari minimal penjualan janur 16 sampai 25 gabung per hari, harga rata-rata Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu rupiah per gabung”.

5) Seperti penuturan Ibu Luh Gde Rusmini pedagang beras UD.Dharma Sari Di

Desa Abiansemal, sebagai pemasok beras pada pelaksanaan upacara Mlaspas

190

dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal wawancara 22

April 2012, seperti berikut ini:

”Mengatakan hasil penjualan beras selama dua bulan upacara di Pura Pasek Preteka mengalami kenaikan sebesar 15 persen per bulan dari biasanya sebesar Rp10 juta hingga Rp15 juta per bulan. Kondisi yang sama juga dirasakan oleh Nyoman Sudama pedagang beras UD.Dharma Yasa Di Desa Abiansemal juga menuturkan bahwa penjualan berasnya meningkat selama dua bulan upacara berlangsung sebesar 14 persen per bulan dari biasanya sebesar Rp 8 juta hingga Rp 10 juta per bulan”.

6) Menurut informasi yang disampaikan Ibu Prasetiawati (45 tahun) dan Ibu

Arini (50 tahun) pedagang kain kasa dan alat-alat ritual di Pasar Blahkiuh

Wawancara 29 April 2012, seperti berikut:

”Menurut Ibu Prasetiawati pedagang kain kasa dan alat-alat ritual di Pasar Blahkiuh dapat tambahan berjualan sebesar Rp 3,75 juta per dua bulan, sama juga yang disampaikan oleh Ibu Arini, pedagang kain kasa dan alat-alat ritual di Pasar Blahkiuh rata-rata memperoleh tambahan penjualan sebesar Rp 2,5 juta per dua bulan selama ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal”.

5.4.3 Besarnya Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek Preteka Desa Abiansemal

Tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual. Pengeluaran

ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih merupakan tambahan pendapatan bagi

pemasok. Pengeluaran bahan-bahan yang dipergunakan dalam pelaksanaan

ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal

adalah sebesar Rp 188,568 juta, untuk bahan-bahan ritual sebesar Rp 135,220

juta (72,06 persen) terdiri atas 13 jenis bahan ritual, yaitu: bahan bambu, babi,

uang kepeng (pis bolong), kelapa, bebek-ayam, beras, kain kasa, telor, pajeng

(tedung), janur, pisang-buah-buahan, miyak goreng, dan bunga. Sedangkan

bahan-bahan non ritual sebesar Rp 53,348 juta (27,94 persen) berupa biaya

191

konsumsi, bensin, gas, dan baju kaos. Bahan-bahan ritual yang dibutuhkan

tersedia di sekitar Abiansemal sebesar 90,91 persen dan hanya 9,09 persen

luar daerah seperti kain kasa dan minyak goreng.

Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal

mengakibatkankan adanya permintaan (transaksional) bahan-bahan ritual dan

non ritual, sebagaimana disajikan Tabel 5.8.

Tabel 5.8 Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan-Bahan Ritual dan Non Ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung

No Bahan-Bahan Tambahan Pendapatan

Pemasok (Rp) Presentase

(%) I Bahan-Bahan Ritual 1. Bambu 44.829.000 23,77 2. Babi 21.264.000 11,27 3. Uang kepeng, Tikar 20.898.000 11,08 4. Kelapa 7.899.000 4,18 5. Bebek-Ayam 7.253.000 3,84 6. Beras 7.129.000 3,78 7. Kain Kasa 5.888.000 3,12 8. Telor 5.680.500 3,01 9. Pajeng 5.618.500 2,97 10. Janur 3.677.000 1,94 11. Pisang- Buah-buahan 2.745.000 1,52 12. Minyak Goreng 2.534.000 1,34 13. Bunga 575.000 0,30 Jumlah 135.220.000 72,06

II Bahan-bahan Non Ritual (biaya konsumsi. Gas, Bensin dan Baju Kaos)

53.348.000 27,94

Total Pengeluaran Ritual 188.568.000 100,00 Sumber: Data Primer (diolah oleh Peneliti), 2012

Berdasarkan Tabel 5.8 besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan

ritual sebesar Rp 135,220 juta (72,06 persen) dari total pengeluaran bahan ritual.

Pengelompokan beberapa jenis bahan-bahan ritual berdasarkan besarnya nilai

192

rupiah pengeluaran bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura

Pasek Preteka Desa Abiansemal terbesar pertama adalah bahan bambu sebesar Rp

44,829 juta (23,77 persen), kedua babi sebesar Rp 21,264 juta (11,27 persen),

ketiga uang kepeng (pis bolong) sebesar Rp 20,898 juta (11,08 persen) dan

seterusnya dari total pengeluaran ritual, sebagaimana disajikan Gambar 5.16

Gambar 5.16 Persentase Tambahan Pendapatan atau Pengeluaran Bahan-Bahan Ritual

(Juta Rp dan %) Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal, Kabupaten Badung

Sumber: Tabel 5.8

Gambar 5.16 menunjukkan tambahan pendapatan pemasok bahan ritual

bambu sebesar Rp 44,829 juta (23,77 persen) hampir seperempat dari total

penggunaan bahan-bahan ritual. Ini menunjukkan betapa besarnya peranan

1Bambu 44,829

(23.77%)

2Babi

21,264 (11.27%)

3Uang kepeng

20,898 (11.08%)

4Kelapa 7,899

(4.18%)

5Bebek-Ayam

7,253 (3.84%)

6Beras 7,129

(3.78%)7Kain Kase

5,888 (3.12%)

8Telor5,680

(3.01%)9Pajeng 5,618

(2.97%)

10Janur 3,677

(1,94%)

11Pisang- Buah2,745(1,52%)

12Minyak Goreng 2,534

(1,34%)

13Bunga0,575

(0.30%)

Non Ritual53,348 (27.94%)

TAMBAHAN PENDAPATAN PEMASOK (Juta Rp dan %)

193

bambu dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa

Abiansemal dibandingkan dengan bahan-bahan ritual yang lainnya. Dalam

kegiatan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, fungsi bambu cukup dominan,

dipergunakan membuat sarana upakara seperti sanggah surya, taring tempat

melakukan aktivitas persiapan ritual dan aktivitas wewalian dan bale panggung

tempat para Sulinggih memimpin ritual. Sebagaimana dominan bahan bambu

dalam kegiatan ritual Hindu namun tidak kalah pentingnya daging babi. Pada

umumnya, umat Hindu di Bali setiap kegiatan ritual selalu ada aktivitas mengolah

daging babi maka tambahan pendapatan pemasok babi sebesar Rp 21,264 juta

(11,27 persen) baik untuk kelengkapan ritual maupun untuk adat sebagai budaya

kebersamaan, solidaritas (menyamabraya, metetulung, ngoopin, ngayah)

mencerminkan interaksi sosial antar Krama Banjar Desa Adat di Bali. Tambahan

pendapatan pemasok uang kepeng sebesar Rp 20,898 juta (11,08 persen) dan

seterusnya.

5.5 Hasil Penelitian Kuantitatif

Analisis kuantitatif dilakukan bukan untuk menghasilkan sebuah model,

tetapi ditujukan untuk mengkonfirmasi model hipotesis melalui data empirik.

Model hipotesis sebagaimana paparan dalam Bab III tentang kerangka pemikiran.

Data empirik didapat dari 130 responden, setiap responden diminta untuk

menjawab kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas berkaitan dengan

variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.

194

Dengan demikian diperoleh jawaban responden yang ditabulasi dengan Microsoft

Excel sebagaimana ditampilkan Lampiran 12.

Data Lampiran 12 selanjutnya diproses dengan program statistik Amos

versi 20.0 untuk uji Normalitas, CFA dan uji pengaruh dengan SEM berdasarkan

asumsi-asumsi dalam Structural Equation Modeling (SEM) untuk menguji

kelayakan model.

5.5.1. Evaluasi Asumsi SEM

Evaluasi atas asumsi-asumsi SEM didahului dengan evaluasi normalitas

untuk mengetahui kenormalan data. Analisis normalitas data digunakan untuk

mengetahui apakah data yang diperoleh dan dikumpulkan memiliki distribusi

normal atau tidak. Untuk analisis normalitas data digunakan nilai kritis skweness

dan nilai kurtosis. Analisis distribusi normalitas sangat diperlukan jika jumlah

datanya (n) < 100 buah (Nunnally dan Sujana dalam Husaini Usman, 2009:109),

namun demikian untuk ukuran sampel >100 masih dipandang perlu uji normalitas.

Jika data yang diperoleh berdistribusi normal, maka memungkinkan dilaksanakan

analisis parametrik.

Untuk evaluasi normalitas dilakukan uji skweness dan uji kurtosis. Uji

skweness digunakan untuk melihat kemencengan/kecondongan penyebaran data,

sedangkan kurtosis untuk melihat keruncingan penyebaran data. Menurut

Suharyadi (2003), data memiliki penyebaran yang menceng atau condong bila

nilai kritis (c.r.) untuk skweness besar dari ± 3,00. Data disebut memiliki

penyebaran yang runcing bila nilai kritis (c.r.) untuk kurtosis > 3,00. Data dapat

dinyatakan menyebar normal jika nilai kritis (c.r) untuk skweness maupun kurtosis

195

tidak lebih besar dari ± 2,58. Pada penelitian ini digunakan kriteria menurut

Ferdinand (2006).

Uji normalitas dilakukan pada data setiap indikator variabel laten, yaitu

data variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan hasil proses Confirmatory Factor Analysis (CFA) program Amos

Versi 20.0 terhadap data penelitian untuk setiap variabel laten pada Lampiran 12

diperoleh hasil pengolahan assessment of normality pada Amos Versi 20.0 seperti

terlihat pada Lampiran 13 sampai dengan Lampiran 15.

a. Uji Normalitas Data Variabel Pelaksanaan Ritual

Berdasarkan Lampiran 13 dapat dibuat Tabel 5.9 di bawah ini.

Tabel 5.9 Assessment of normality (Group number 1)

variabel Pelaksanaan Ritual

Variable min max skwe c.r. kurtosis c.r. pr5 3,000 5,000 -,077 -,358 ,302 ,703 pr4 3,000 5,000 -,025 -,118 ,164 ,381 pr3 3,000 5,000 -,049 -,227 -,863 -2,009 pr2 3,000 5,000 -,013 -,059 -,172 -,400 pr1 3,000 5,000 -,120 -,560 -,634 -1,476 Multivariate 4,052 2,761

Sumber : Lampiran 13

Tabel 5.9 menunjukkan dari 5 indikator variabel pelaksanaan ritual tidak

ada yang memiliki c.r untuk skweness > ± 2,58. Ini berarti sebaran data

untuk semua indikator adalah normal ditinjau dari kecondongan. Dilihat dari

kurtosis (keruncingan), tidak ada indikator variabel pelaksanaan ritual yang

memiliki nilai c.r. > 2,58. Ini berarti, bila dilihat dari kurtosis (keruncingan)

dapat dikatakan bahwa penyebaran data untuk semua indikator variabel

pelaksanaan ritual adalah menyebar normal (tidak runcing). Dengan demikian

196

ditinjau dari normalitas data (kecondongan dan keruncingan), dapat

dinyatakan data untuk 5 indikator variabel pelaksanaan ritual adalah menyebar

normal. Artinya, untuk analisis selanjutnya, variabel laten pelaksanaan ritual

diwakili oleh 5 indikator tersebut.

b. Uji Normalitas Data Variabel Kesempatan Kerja

Berdasarkan Lampiran 14 dapat dibuat Tabel 5.10 di bawah ini.

Tabel 5.10 Assessment of normality (Group number 1)

variabel Kesempatan Kerja

Variable min max skwe c.r. kurtosis c.r. kk4 3,000 5,000 ,020 ,092 -,546 -1,270 kk3 3,000 5,000 ,025 ,116 ,822 1,913 kk2 3,000 5,000 ,057 ,266 ,058 ,135 kk1 3,000 5,000 ,010 ,046 -,400 -,930 Multivariate 1,819 1,496

Sumber : Lampiran 14

Tabel 5.10 menunjukkan tidak ada indikator variabel kesempatan kerja

yang memiliki c.r untuk skweness > ± 2,58. Ini berarti sebaran data untuk

semua indikator kesempatan kerja adalah normal ditinjau dari kecondongan.

Dilihat dari kurtosis (keruncingan), tidak ada indikator kesempatan kerja yang

memiliki nilai c.r. > 2,58. Ini berarti, bila dilihat dari kurtosis (keruncingan)

dapat dikatakan bahwa penyebaran data untuk semua indikator kesempatan

kerja adalah menyebar normal (tidak runcing). Dengan demikian ditinjau dari

normalitas data, dapat dinyatakan data untuk 4 indikator variabel kesempatan

kerja adalah menyebar normal. Artinya, untuk analisis selanjutnya, variabel

laten kesempatan kerja diwakili oleh 4 indikator tersebut.

197

c. Uji Normalitas Data Variabel Kesejahteraan Masyarakat

Berdasarkan Lampiran 15 dapat dibuat Tabel 5.11 di bawah ini.

Tabel 5.11 Assessment of normality (Group number 1) variabel Kesejahteraan Masyarakat

Variable min max skwe c.r. kurtosis c.r. km4 3,000 5,000 -,175 -,816 -1,060 -2,468 km3 3,000 5,000 -,222 -1,033 ,974 2,268 km2 3,000 5,000 ,018 ,086 ,167 ,389 km1 3,000 5,000 -,025 -,117 -,718 -1,670 Multivariate 3,405 2,801

Sumber : Lampiran 15

Tabel 5.11 menunjukkan tidak ada indikator variabel kesejahteraan

masyarakat yang memiliki c.r untuk skweness > ± 2,58. Ini berarti sebaran

data untuk semua indikator adalah normal ditinjau dari kecondongan.

Dilihat dari kurtosis (keruncingan), tidak ada indikator kesejahteraan

masyarakat yang memiliki nilai c.r. > 2,58. Ini berarti, bila dilihat dari

kurtosis (keruncingan) dapat dikatakan bahwa penyebaran data untuk semua

indikator kesejahteraan masyarakat adalah menyebar normal (tidak

runcing). Dengan demikian ditinjau dari normalitas data, dapat dinyatakan

data untuk 4 indikator variabel kesejahteraan masyarakat adalah menyebar

normal. Artinya, untuk analisis selanjutnya, variabel laten kesejahteraan

masyarakat diwakili oleh 4 indikator tersebut.

Dengan terpenuhinya normalitas semua sebaran data untuk setiap

variabel laten, maka uji parametrik dapat dilanjutkan.

5.5.2. Hasil Pengujian Analisis Faktor Konfirmatori (CFA)

Analisis faktor konfirmatori digunakan untuk menguji unidimensionalitas

dari dimensi-dimensi yang menjelaskan variabel laten dari model tersebut, apakah

198

seluruh indikator yang dipakai dalam penelitian merupakan pembentuk variabel

laten pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.

Analisis faktor konfirmatori ini juga dimaksudkan untuk menganalisis tingkat

validitas dari data yang ada dalam penelitian. Artinya, apakah indikator yang

digunakan memiliki kebermaknaan yang cukup untuk mendefinisikan variabel

laten yang dibentuk. Ferdinand (2006) sebuah indikator signifikan

mengkonvirmasi variabel laten jika memiliki koefisien lamda () ≥ 0,50 dan nilai

kritis (C.R) ≥ 2,00 serta nilai probabilitas < 0,05.

Berdasarkan model penelitian dari model persamaan struktural seperti

paparan dalam Bab III tentang kerangka pemikiran, maka dilakukan analisis

faktor konfirmatori menggunakan komputer dengan menggunakan program Amos

versi 20.0, yaitu sebagai berikut.

a) Analisis faktor konfirmatori terhadap variabel Pelaksanaan Ritual

Untuk analisis faktor konfirmatori (CFA) variabel Pelaksanaan Ritual

digunakan hasil pengolahan data pada Lampiran 13. Berdasarkan Lampiran

13 dapatlah ditampilkan Gambar 5.17 dan Tabel 5.12 dan Tabel 5.13 berikut.

Gambar 5.17 Confirmatory Factor Analysis Variabel Pelaksanaan Ritual

Keterangan: pr1 = labda karya, pr2 = manggala karya, pr3 = keharmonisan, pr4 = tenaga kerja, pr5 = bahan ritual

Sumber : Lampiran 13

199

Tabel 5.12 Regression Weights:

(Group number 1 - Default model) Indikator Pelaksanaan Ritual

Estimate S.E. C.R. P Label

pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,280 ,181 7,091 *** par_1

pr3 <--- PR 1,334 ,200 6,671 *** par_2 pr4 <--- PR 1,239 ,172 7,189 *** par_3

pr5 <--- PR ,771 ,145 5,314 *** par_4 Sumber : Lampiran 13

Tabel 5.13 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Indikator Pelaksanaan Ritual

Estimate pr1 <--- PR ,603 pr2 <--- PR ,839 pr3 <--- PR ,758 pr4 <--- PR ,865 pr5 <--- PR ,557

Sumber : Lampiran 13

Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori terhadap indikator

variabel pelaksanaan ritual, baik dalam bentuk diagram maupun dalam bentuk

tabel, diketahui bahwa Standardized Regression Weight () untuk ke-5

indikator lebih besar dari 0,50 serta koefisien C.R. lebih besar dari 2,00 dan

nilai probabilitas ke-5 indikator lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berarti <

0,001). Dengan demikian dapat dikatakan ditinjau dari CFA, bahwa ke-5

indikator adalah kuat untuk mengkonfirmasi variabel laten Pelaksanaan

Ritual. Untuk itu ke-5 indikator tersebut dapat diikut sertakan pada analisis

lebih lanjut.

200

b) Analisis faktor konfirmatori terhadap variabel Kesempatan Kerja

Untuk analisis faktor konfirmatori (CFA) variabel kesempatan kerja

digunakan hasil pengolahan data pada Lampiran 14. Berdasarkan Lampiran

14 dapatlah ditampilkan Gambar 5.18 dan Tabel 5.14 dan Tabel 5.15 berikut.

Gambar 5.18 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesempatan Kerja Keterangan : kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja Sumber : Lampiran 14

Tabel 5.14

Regression Weights:(Group number 1 - Default model) Indikator Kesempatan Kerja

Estimate S.E. C.R. P Label kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,136 ,252 4,507 *** par_1 kk3 <--- KK ,943 ,218 4,323 *** par_2 kk4 <--- KK 1,329 ,294 4,518 *** par_3

Sumber : Lampiran 14 Tabel 5.15

Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Indikator Kesempatan Kerja

Estimate

kk1 <--- KK ,527

kk2 <--- KK ,673 kk3 <--- KK ,603 kk4 <--- KK ,680

Sumber : Lampiran 14

Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori terhadap indikator

variabel Kesempatan Kerja, baik dalam bentuk diagram maupun dalam

201

bentuk tabel, Diketahui bahwa Standardized Regression Weight () untuk

ke-4 indikator lebih besar dari 0,50 serta koefisien C.R. lebih besar dari 2,00

dan nilai probabilitas ke-4 indikator lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berarti

< 0,001). Dengan demikian dapat dikatakan ditinjau dari CFA, bahwa ke-

4 indikator adalah kuat untuk mengkonfirmasi variabel laten Kesempatan

Kerja. Untuk itu ke-4 indikator tersebut dapat diikut sertakan pada analisis

lebih lanjut.

c) Analisis faktor konfirmatori terhadap variabel Kesejahteraan Masyarakat

Untuk analisis faktor konfirmatori (CFA) variabel Kesejahteraan

Masyarakat digunakan hasil pengolahan data pada Lampiran 15.

Berdasarkan Lampiran 15 dapatlah ditampilkan Gambar 5.19 dan Tabel

5.16 dan Tabel 5.17 berikut.

Gambar 5.19 Confirmatory Factor Analysis Variabel Kesejahteraan

Masyarakat Keterangan : km1= tingkat pendapatan, km2 = derajat pendidikan,

km3 = derajat kesehatan, km4 = kondisi kehidupan sosial

Sumber : Lampiran 15

202

Tabel 5.16 Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Indikator Kesejahteraan Masyarakat

Estimate S.E. C.R. P Label km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,784 ,120 6,536 *** par_1 km3 <--- KM ,735 ,108 6,810 *** par_2 km4 <--- KM ,868 ,150 5,777 *** par_3

Sumber : Lampiran 15

Tabel 5.17 Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Indikator Kesejahteraan Masyarakat

Estimate km1 <--- KM ,742 km2 <--- KM ,688 km3 <--- KM ,740 km4 <--- KM ,592

Sumber : Lampiran 15

Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori terhadap indikator

variabel kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk diagram maupun

dalam bentuk tabel. Diketahui bahwa Standardized Regression Weight ()

untuk ke-4 indikator lebih besar dari 0,50 serta koefisien C.R. lebih besar

dari 2,00 dan nilai probabilitas ke-4 indikator lebih kecil dari 0,05 (tanda

*** berarti < 0,001). Dengan demikian dapat dikatakan ditinjau dari CFA,

bahwa ke-4 indikator adalah kuat untuk mendefinisikan variabel laten

kesejahteraan masyarakat. Untuk itu ke-4 indikator tersebut dapat diikut

sertakan pada analisis lebih lanjut. Setelah terpenuhinya uji CFA untuk

semua variabel laten maka dapat dilanjutkan dengan Uji pengaruh dengan

SEM.

5.5.3. Analisis Pengaruh dengan SEM

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan

ritual terhadap kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat, ditambah lagi

203

dengan hipotesis yang dirumuskan pada Bab III, maka analisis data dilakukan

dengan menggunakan Model Persamaan Struktural (SEM) yang merupakan

sekumpulan teknik statistik yang memungkinkan dilakukannya pengujian

serangkaian hubungan yang relatif rumit secara simultan (Ferdinand, 2002;

Solimun, 2004).

Adapun hipotesis yang diuji adalah:

H1 : Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kesempatan kerja

H2 : Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kesejahteraan masyarakat

H3 : Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung

melalui kesempatan kerja

Mengacu pada hipotesis tersebut, maka dikembangkan model hubungan

antar variabel seperti Gambar 5.20.

Gambar 5.20 Model Hubungan Variabel Pelaksanaan Ritual,

Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat

Dari Gambar 5.20, dapat dibuat model persamaan struktural Pelaksanaan

Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), Kesejahteraan Masyarakat (KM) sebagai

berikut.

204

H1 : KK = KKPR PR + e14, berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KK,

H2 : KM = KMPR PR + e15, berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KM,

H3 : KM = KMKK KK + e15, berpengaruh langsung (Direct Effect) KK terhadap KM

dan pengaruh tidak langsung (Indirect Effect) PR terhadap KM melalui KK

Besarnya pengaruh setiap variable konstruk di dalam model dianalisis

dengan membandingkan pengaruh langsung (direct effect), pengaruh tidak

langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total effect) antar variable dalam

model. Menurut Ferdinand (2006), efek langsung (direct effect) adalah koefisien

dari semua garis koefisien dengan anak panah satu ujung. Efek total adalah

penjumlahan dari variable langsung dan tidak langsung atau adanya pengaruh dari

berbagai hubungan.

Model pada Gambar 5.21 selanjutnya dilengkapi dengan hubungan setiap

variabel laten dengan indikatornya atau item pertanyaan masing-masing, hingga

dapat ditampilkan model diagram jalur yang semakin lengkap seperti ditampilkan

pada Gambar 5.21.

Gambar 5.21 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat

Sumber : Lampiran 17

205

Mengacu pada Gambar 5.21 terlihat jumlah indikator masing-masing

variabel laten pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.

Skor jawaban responden terhadap setiap indikator tersebut disajikan pada

Lampiran 12. Skor jawaban responden pada Lampiran 12 diolah dengan statistik

Full Model SEM menggunakan software AMOS for windows versi 20.0 hingga

diperoleh tampilan grafik seperti dan hasil Regression Weights seperti Lampiran

16.

Dari hasil pengolahan data pada Lampiran 18 dilakukan analisis Full

Model SEM. Untuk keperluan analisis pertama-tama ditampilkan gambar hasil

pengolahan SEM, sebagaimana Gambar 5.22.

Gambar 5.22 Koefisien Regresi Model Variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)

Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5= bahan-bahan ritual, kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial.

Sumber : Lampiran 17

206

Berdasarkan Gambar 5.22 dilakukan analisis model pengukuran dengan

parameter lamda, analisis model struktural, analisis determinasi, Goodness of fit

untuk kontribusi pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan

masyarakat.

1) Analisis Pengujian Model Pengukuran dengan Parameter Lamda (i)

Pengujian parameter yang dilakukan adalah pengujian parameter lamda (i).

Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui validitas setiap indikator

penelitian. Untuk pengujian parameter lamda (i) digunakan nilai

standardized estimate (regression weight) berupa loading factor. Apabila

nilai standardized estimate (regression weight) (i) > 0,50, nilai C.R > ttabel =

2,000, dan Probabiliy < = 0,05, maka loading factor parameter lamda (i)

indikator tersebut dinyatakan signifikan (Ferdinand, 2002). Hal ini berarti,

indikator tersebut valid. Untuk keperluan pengujian parameter lamda

(Lampiran 16) berikut yang memuat loading factor/lamda (i), C.R,

Probability (P), seperti disajikan Tabel 5.18.

Tabel 5.18 Regression Weight (Lamda) Indikator Pelaksanaan Ritual,

Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat

Estimate S.E. C.R. P Label pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,132 ,149 7,585 *** par_4 pr3 <--- PR 1,288 ,172 7,507 *** par_5 pr4 <--- PR 1,102 ,142 7,775 *** par_6 pr5 <--- PR ,761 ,128 5,928 *** par_7 kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,018 ,205 4,976 *** par_8 kk3 <--- KK 1,012 ,196 5,171 *** par_9 kk4 <--- KK 1,155 ,235 4,918 *** par_10 km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,866 ,132 6,549 *** par_11 km3 <--- KM ,846 ,118 7,173 *** par_12 km4 <--- KM 1,105 ,170 6,503 *** par_13

Sumber : Lampiran 16

207

Berdasarkan Tabel 5.18 dapat dilihat bahwa semua indikator

variabel laten memiliki standardized estimate (regression weight) berupa

loading factor atau lamda (i) > 0,50, nilai kritis C.R. > 2,000 serta memiliki

probabilitas lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berari < 0,001). Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa semua indikator variabel laten tersebut adalah valid

atau signifikan untuk merefleksikan variabel laten.

2) Analisis Model Persamaan Struktural

Persamaan struktural Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK),

terhadap Kesejahteraan Masyarakat (KM ), yaitu berpengaruh langsung (Direct

Effect) PR terhadap KK; berpengaruh langsung (Direct Effect) PR terhadap KM;

dan berpengaruh langsung (Direct–Indirect Effect) PR terhadap KM melalui KK.

Pengujian model dilakukan menggunakan koefisien regresi untuk variabel

pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat melalui tabel

output dari sub menu view atau set sebagaimana Lampiran 21. Berdasarkan hasil

perhitungan koefisien regresi (regression weight) yang dapat dilihat pada

Lampiran 18 dapat dibuat Tabel output seperti disajikan dalam Tabel 5.19

Tabel 5.19 Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR),

Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)

Estimate S.E. C.R. P Label KK <--- PR ,464 ,115 4,038 *** H1 KM <--- PR ,517 ,124 4,171 *** H2 KM <--- KK ,704 ,182 3,860 *** H3

Sumber : Lampiran 16 Tabel 5.20

Standarized Regression Weight Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)

Estimate KK <--- PR ,571 KM <--- PR ,499 KM <--- KK ,552

Sumber : Lampiran 18 Tabel 5.19 dan Tabel 5.20 menunjukkan sebagai berikut.

208

Pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja memiliki

standardized estimate (regression weight) sebesar 0,571 dengan C.r

(Critical ratio) = identik dengan nilai t-hitung) sebesar 4,038 pada

probability = ***. Nilai C.R (Correlation Regression) 4,038 > 2,000 dan

Probability = *** < 0,05 menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap

kesempatan kerja adalah positif.

Pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat memiliki

standardized estimate (regression weight) sebesar 0,499 dengan Cr

(Critical ratio = identik dengan nilai t-hitung) sebesar 4,171 pada

probability = ***. Nilai CR (Correlation Regression) 4,171 > 2,000 dan

Probability = *** < 0,05 menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap

kesejahteraan masyarakat adalah positif.

Kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat memiliki

standardized estimate (regression weight) sebesar 0,552 dengan Cr

(Critical ratio = identik dengan nilai t-hitung) sebesar 3,860 pada

probability = ***. Nilai CR (Correlation Regression) 3,860 > 2,000 dan

Probability = *** < 0,05 menunjukkan bahwa kesempatan kerja terhadap

kesejahteraan kasyarakat adalah positif.

Pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat

menunjukkan positif baik langsung maupun tidak langsung melalui

kesempatan kerja sebesar 0,315

209

Memperhatikan standardized estimate untuk variabel Pelaksanaan Ritual

(PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM), maka dapat

dibuat model persamaan struktural sebagai berikut.

(1) KK= KKPR PR + e14= 0,571 PR + e14: berarti pelaksanaan ritual berpengaruh

positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja teruji kebenarannya.

(2) KM= KMPR PR + e15 = 0,499 PR + e15 berarti pelaksanaan ritual berpengaruh

positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat teruji

kebenarannya.

(3) KM= KMKK KK + e15 = 0,552 KK + e15: berarti kesempatan kerja

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat teruji

kebenarannya. Pengaruh tidak langsung pelaksanaan ritual terhadap

kesejahteraan masyarakat melalui kesempatan kerja sebesar 0,315. Pengaruh

total pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung

maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja sebesar 0,814.

Dinyatakan ketiga hubungan menunjukkan pengaruh positip terhadap

variabel endogen. Tabel 5.21

3) Analisis Goodness of Fit

Berdasarkan kriteria uji, Chi-square (2), Relatif Chi-square (2/df),

RMSEA, GFI, AGFI, TLI, dan CFI di atas dan nilai Goodness of Fit hasil

pengolahan Amos for windows versi 20.0 sebagaimana ditampilkan pada Gambar

5.22 maka dapat dibuat Tabel 5.21.

210

Tabel 5.21 Evaluasi Goodness of Fit

Goodness of Fit Index Cut-of Value Hasil Model

Utama Keterangan

Chi-square (2 ) Diharapkan kecil

138,539 Kurang baik

Relatitive Chi-square (2/df) 3,00 2,235*) Baik Probability > 0,05 0,000 Kurang baik RMSEA 0,08 0,098+) Marginal GFI 0,90 0,857+) Marginal AGFI 0,90 0,790 Kurang Baik TLI 0,94 0,862+) Marginal CFI > 0,94 0,891+) Marginal

Keterangan: *) Memenuhi Goodness of fit +) Marginal Sumber : Gambar 5.23 Tabel 5.21 menunjukkan nilai cut-of-value dan goodness of fit hasil

model satu kriteria yang terpenuhi serta ada empat marginal dari delapan

kriteria yang dipakai. Kriteria yang terpenuhi adalah Relatif Chi-square

(CMIN/DF) dan yang marginal adalah RMSEA, GFI, TLI dan CFI.

Berhubung baru satu kriteria yang memenuhi syarat dan empat yang

marginal dari delapan kriteria yang disyaratkan, maka model di atas dapat

dinyatakan sebagai model yang belum baik (Solimun, 2004 ).

4) Analisis Model Pengukuran dengan Determinasi

Berikut ini dilakukan analisis Model Pengukuran dengan koefisien

Determinasi kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Analisis

model pengukuran dengan determinasi digunakan untuk mengetahui

besarnya sumbangan variabel eksogen terhadap variable endogen. Untuk

analisis ini digunakan Square Multiple Correlation. Besarnya Square

Multiple Correlation dapat dilihat pada Tabel 5.22 berikut.

211

Tabel 5.22 Squared Multiple Correlations:

(Group number 1 - Default model)

Estimate KK ,326 KM ,869

Sumber : Lampiran 18

Square Multiple Correlation yang nilainya masing-masing untuk

kesempatan kerja = 0,326 dan kesejahteraan masyarakat = 0,869

sebagaimana terlihat pada Tabel 5.22. Menurut Ferdinand (2002), nilai

Square Multiple Correlation untuk variabel kesempatan kerja R2 = 0,326

maka besarnya Determinasinya = 0,326 x 100 persen = 32,6 persen.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perubahan kesempatan kerja

ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Untuk variabel kesejahtaraan

masyarakat R2 = 0,869 maka besarnya Determinasinya = 0,869 x 100

persen = 86,9 persen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perubahan

kesejateraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual melalui

kesempatan kerja.

Dari keseluruhan analisis di atas dapat disimpulkan semua

indikator untuk pelaksanaan ritual, kesempatan kerja dan kesejahteraan

masyarakat adalah valid. Bila dilihat dari Model persamaan struktural di

atas menunjukkan Regression Weight (), terdapat dua variabel eksogen

pengaruhnya positip terhadap variable endogen. Dari hasil Evaluasi

Goodness of Fit menunjukkan baru satu kriteria yang terpenuhi (Chi-

square/df) dan empat kriteria yang marginal (RMSEA, GFI, TLI dan CFI)

dari delapan kriteria yang ada. Dengan demikian maka model tersebut

belum dapat dinyatakan sebagai model yang baik (belum memenuhi

212

Goodness of fit) dan dipandang perlu diadakan modifikasi model untuk

dapat meningkatkan kecocokan model (Goodness of fit) (Solimun, 2004).

Secara teori, Ferdinand (2006) mengatakan ada dua cara memodifikasi

untuk meningkatkan nilai Goodness of fit, yaitu pertama dapat dilakukan

dengan tidak mengikut sertakan indikator yang memiliki koefisien

Standarized Regression Weight antara indikator λ (loading factor) kecil;

kedua dengan mengkorelasikan beberapa indikator yang memiliki nilai

Modifikasi Indeks (M.I.) yang besar.

5.5.4 Modifikasi Model

Pada Modifikasi ini dilakukan dengan mengkorelasikan beberapa error

yang memiliki koefesien Modifikasi Indeks (M.I) besar. Untuk keperluan tersebut

maka berikut ini ditampilkan Tabel 5.23 yang memuat koefisien Modifikasi Indek

> 8,00 yang didapat dari Lampiran 18.

Tabel 5.23 Modification Indices (Group number 1 - Default model)

Covariances: (Group number 1 - Default model)

M.I. Par Change e13 <--> e14 11,629 -,059 e3 <--> e13 14,785 ,089 e2 <--> e4 14,081 ,045 e1 <--> e14 9,544 ,048

Sumber : Lampiran 18

Dari koefisien Modifikation Indeks (M.I.) Tabel 5.23, modifikasi model

dilakukan dengan mengkorelasikan antar error yang memiliki Modifikation Indek

(M.I.) > 8,000 dalam rangka memperbaiki Goodness of fit maka e13 yang

dikorelasikan dengan e14; e3 yang dikorelasikan dengan e13; e2 yang

dikorelasikan dengan e4; dan e1 yang dikorelasikan dengan e14

213

Dengan menghubungkan beberapa error di atas maka dapat dihasilkan

model modifikasi, seperti Gambar 5.23

Gambar 5.23 Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat.

Keterangan: pr1=labda karya, pr2=manggala karya, pr3=keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5=bahan-bahan ritual, kk=lapangan usaha, kk2=kualitas kesempatan kerja, kk3=kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km=tingkat pendapatan, km2=derajat pendidikan, km3=derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial

Sumber : Lampiran 20

Setelah model modifikasi Gambar 5.23 dilakukan pengolahan, maka

didapat hasil pengolahan SEM sebagai berikut.

1) Standarized Regression Weight (Lamda:i). Indikator pelaksanaan ritual,

kesempatan kerja, dan kesejahteraan masyarakat hasil yang lebih baik dari

hasil model utama (Lampiran 15). Berdasarkan Lampiran 19 semua indikator

variabel laten memiliki standardized estimate (regression weight) berupa

loading factor atau lamda (i) > 0,50, nilai kritis C.R. > 2,000 serta memiliki

probabilitas lebih kecil dari 0,05 (tanda *** berari < 0,001). Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa semua indikator variabel laten tersebut adalah valid

atau signifikan untuk merefleksikan variabel laten.

214

2) Analisis Model Persamaan Struktural

Pengujian model modifikasi dilakukan menggunakan koefisien regresi

untuk variabel pelaksanaan ritual, kesempatan kerja, dan kesejahteraan

masyarakat melalui tabel output dari sub menu view/set sebagaimana

Lampiran 21. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien regresi (regression

weight) yang dapat dilihat pada Lampiran 21 dapat dibuat hubungan antar

variabel di dalam model SEM dibagi menjadi tiga kategori yaitu pengaruh

langsung, pengaruh tidak langsung dan pengaruh total, seperti disajikan

dalam Tabel 5.24 dan Tabel 5.25.

Tabel 5.24 Standarized Regression Weight Direct Effects

Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)

Estimate KK <--- PR ,595 KM <--- PR ,399 KM <--- KK ,657

Sumber : Lampiran 21

Tabel 5.25 Standardized Regression Weight Indirect Effects

Pelaksanaan Ritual (PR),Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)

PR KK KM KK ,000 ,000 ,000 KM ,391 ,000 ,000

Sumber : Lampiran 21 Berdasarkan analisis jalur (path analysis), Tabel 5.24 dan Tabel 5.25,

dinyatakan ketiga pengaruh menunjukkan positif terhadap variabel endogen

berikut.

1) Koefisien jalur pelaksanaan ritual berpengaruh langsung terhadap kesempatan

kerja sebesar 0,595 dengan nilai CR sebesar 4,343 > 2,00 menunjukkan bahwa

pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja adalah positif. Dengan demikian,

215

hipotesis kerja pertama yang menyatakan pelaksanaan ritual berpengaruh

positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja dapat diterima.

2) Koefisien jalur pelaksanaan ritual berpengaruh langsung terhadap

kesejahteraan masyarakat sebesar 0,399 dengan nilai CR sebesar 3,309 > 2,00

menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat

adalah positif. Dengan demikian, hipotesis kerja kedua yang menyatakan

pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan

masyarakat dapat diterima.

3) Koefisien jalur kesempatan kerja berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan

masyarakat sebesar 0,657 dengan nilai CR sebesar 4,159 > 2,00 menunjukkan

bahwa kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat adalah positif.

Dengan demikian, hipotesis kerja ketiga yang menyatakan kesempatan kerja

berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat

diterima.

4) Pengaruh tidak langsung pelaksanaan ritual terhadap kesejahteraan masyarakat

melalui kesempatan kerja sebesar 0,391. Pengaruh total pelaksanaan ritual

terhadap kesejahteraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung

melalui kesempatan kerja sebesar 0,79.

Memperhatikan standardized estimate untuk variabel pelaksanaan ritual

kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat maka dapat dibuat model

persamaan struktural sebagai berikut.

KK = KKPR PR + e14= 0,595 PR + e14: berarti pengaruh pelaksanaan ritual

terhadap kesempatan kerja adalah positif yang teruji kebenarannya.

216

KM = KMPR PR + e15 = 0,399 PR + e15 berarti pengaruh pelaksanaan ritual

terhadap kesejahteraan masyarakat adalah positif yang teruji

kebenarannya.

KM = KMKK KK + e15= 0,657 KK + e15 berarti kesempatan kerja terhadap

kesejahteraan masyarakat adalah positif yang teruji kebenarannya.

Berdasarkan hasil perhitungan koefisien regresi yang dapat dilihat pada

Lampiran 19 dan 21 dapat dibuat Tabel output seperti disajikan Gambar 5.24.

Gambar 5.24 Koefisien Regresi Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan

Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat Sumber : Lampiran 20

3) Analisis Goodness of Fit

Hasil modifikasi model dengan mengkorelasikan beberapa error

indikator yang memiliki Modification Index (M.I.) > 8,000 maka dapat

dilakukan perbandingan Goodness of Fit antara model modifikasi utama

dengan model hasil modifikasi. Perbandingan yang dilakukan meliputi:

217

besarnya koefisien Goodness of Fit, koefisien Regression Weight antar

variabel endogen dengan eksogen, dan Square Multiple Correlation,

sebagaimana disajikan koefisien determinasi Tabel 5.26.

Tabel 5.26 Evaluasi Kriteria Kesesuaian (Goodness of Fit Index) Full Model

Perbandingan Model Sebelum Modifikasi dengan Setelah Modifikasi

Goodness of Fit Index Cut-of Value

Model Sebelum

Modifikasi

Model Setelah

Modifikasi

Keterangan

Chi-square (2 ) Diharap kan kecil

138,539 88,218 Lebih baik

Relatitive Chi-square (2/df) 3,00 2,235*) 1,521*) Lebih baik Probability > 0,05 0,000 0,006 Lebih baik

RMSEA 0,08 0,098+) 0,064*) Lebih baik GFI 0,90 0,857+) 0,912*) Lebih baik

AGFI 0,90 0,790 0,861+) Lebih baik TLI 0,95 0,862+) 0,942*) Lebih baik CFI 0,95 0,891+) 0,957*) Lebih baik

KK PR (y1x) 0,571 0,595 Lebih baik KM PR (y2x) 0,499 0,399 Lebih jelek KM KK (βy2y1) 0,552 0,657 Lebih baik Square Multiple Correlation KK 0,326 0,354 Lebih baik Square Multiple Correlation KM 0,869 0,902 Lebih baik

Keterangan: *) Memenuhi Goodness of fit +) Marginal ++) Signifikan --) Tidak Signifikan

Sumber: Gambar 5.25

Bila dilihat dari Goodness of fit, terlihat model hasil modifikasi

menunjukkan perbaikan pada seluruh indikator dari delapan indikator yang

ada. Model sebelum yang semula ada satu buah yang memenuhi syarat dan

empat buah marginal, menjadi lima buah indikator yang memenuhi syarat

yaitu Relatitive Chi-square (2/df), RMSEA, GFI, TLI dan CFI. Bila dilihat

dari Regresion Weight variabel eksogen terhadap variabel endogen ternyata

218

pada modifikasi model, terdapat peningkatan pada dua koefisen regresi

(Standarized Regresion Weight) dan satu lainnya mengalami penurunan.

Dari analisis di atas, dapat dinyatakan bahwa melakukan model

modifikasi telah dapat meningkatkan kesesuaian model (Goodness of fit).

Berhubung telah ada empat buah indikator yang memenuhi syarat goodness

of fit, maka model telah dipandang bagus (good of fit). Hal ini sesuai dengan

Solimun (2004) kriteria hasil modifikasi lebih dari dua memenuhi syarat tegas

dinyatakan apabila lebih dari dua kriteria maka model dipandang baik.

Dengan demikian dipandang tidak perlu mengadakan modifikasi lebih lanjut.

4) Analisis Model Pengukuran dengan Determinasi

Hasil analisis Model Pengukuran dengan koefisien Determinasi

kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Analisis model pengukuran

dengan determinasi digunakan untuk mengetahui besarnya sumbangan

variabel eksogen terhadap variable endogen setelah adanya modifikasi model.

Untuk analisis ini digunakan Square Multiple Correlation. Besarnya Square

Multiple Correlation Sebelum adanya Modifikasi model (Tabel 5.22) dan

besarnya Square Multiple Correlation setelah adanya modifikasi model,

terlihat kedua buah mengalami peningkatan, seperti ditunjukkan Tabel 5.27.

Tabel 5.27 Squared Multiple Correlations:

(Group number 1 - Default model) Sebelum dan Setelah adanya Modifikasi model

Sebelum Modifikasi

model Estimate Setelah Modifikasi

model Estimate KK ,326 ,354 KM ,869 ,902

Sumber : Lampiran 18 dan 21

219

Square Multiple Correlation menurut Ferdinand (2002) yang nilai

masing-masing untuk kesempatan kerja = 0,354 dan kesejahteraan masyarakat =

0,902 sebagaimana terlihat pada Tabel 5.27. Nilai Square Multiple Correlation

untuk variabel kesempatan kerja R2 = 0,354 maka besarnya Determinasinya =

0,354 x 100 persen = 35,4 persen dan untuk variabel kesejahtaraan masyarakat R2

= 0,902 maka besarnya Determinasinya = 0,902 x 100 persen = 90,2 persen.

Dengan demikian dapat dinyatakan sebagai berikut.

1) Variabel kesempatan kerja R2 = 35,4 persen dapat dinyatakan bahwa

perubahan kesempatan kerja ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual.

2) Variabel kesejahtaraan masyarakat R2 = 90,2 dapat dinyatakan bahwa

perubahan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan

rritual melalui kesempatan kerja.

Dalam penelitian ini, kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja

adalah sebesar 35,4 persen artinya perubahan kesempatan kerja ditentukan oleh

variasi pelaksanaan ritual. Sedangkan kontribusi kesempatan kerja terhadap

kesejahteraan masyarakat adalah sebesar 90,2 persen artinya perubahan

kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual dan variabel

lain melalui kesempatan kerja.

220

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Manfaat yang Diperoleh Masyarakat Pengempon Pura Dengan Terlaksana Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih

Berdasarkan hasil penelitian dan jawaban responden sebagaimana

disajikan pada Bab V dan (Lampiran 11) dari beberapa makna pelaksanaan

ritual, maka manfaat sosial, budaya, dan ekonomi yang diperoleh masyarakat

pengempon pura dengan terlaksana ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura

Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, dapat diuraikan berikut.

1) Makna Kepercayaan dan Keyakinan. Manfaat sosial yaitu sikap saling

percaya dan yakin dengan melaksanakan ritual ini masyarakat pengempon

pura merasa tenang dan tentram. Manfaat budaya yaitu dengan melaksanakan

ritual ini masyarakat pengempon pura percaya dan yakin mampu melestarikan

tradisi gotong royong dalam adat istiadat dan agama. Manfaat ekonomi bagi

masyarakat pengempon pura dengan terlaksana ritual ini percaya dan yakin

tumbuh rasa memiliki dan bertanggungjawab secar ekonomi.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Geertz (1973) agama

menganalisis makna dalam simbol-simbol agama dan membangun motivasi

yang kuat dan tahan lama serta hubungannya dengan struktur masyarakat

(Pals, 2001). Sejalan dengan konsep Bourdieu (1977) tentang Social Capital

bahwa sikap saling percaya (mutual trust) adalah kunci bagi kerjasama,

modal sosial merupakan alat untuk menciptakan kepercayaan karena modal

sosial memiliki pengaruh terhadap budaya dan ekonomi serta dapat

221

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan

Durkheim (2003) bahwa upacara-upacara ritual dan ibadah berfungsi

meningkatkan solidaritas sosial masyarakat serta memperkokoh kehidupan

beragama.

Menurut Kitab Suci Bhagawad Gita Bab III pasal 13 yang berbunyi berikut.‘yajna-sistasinah santo mucyante sarvakilbisaih, bhunjate te tagham papa ye pacanty atma-karanat’. Artinya ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa. Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26, menyebutkan ”Pattram, puspam, phalam toyam yo me bhaktya prayacchati tad aham bhakyupahrtam asnami prayatatmana”. Artinya, siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima (Pradnya, 2010). Menurut Kitab Suci Bhagavadgita, II: 47, menyebutkan” Karmany Eva Dhikaraste Ma phalesu Kadacana Ma Karma Phala Heturbur Mate sango stua Akarmany” Artinya Hanya bekerja untuk kewajibanmu, Bukan hasil pekerjaan itu kuharapkan, Bukan hasil perbuatan itu yang menjadi motif dalam bekerja, Dan jangan pula hanya berdiam diri.

Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Fukuyama

(1995) tingkat kepercayaan dan keyakinan bertalian dengan akar budaya,

etika, dan moral yang diwujudnyatakan dalam perilaku saling bantu dan

kerjasama. Hasil penelitian Sumadi (2008) keyakinan merupakan wujud

pengamalan ajaran hukum karma phala artinya, setiap perbuatan akan

membuahkan hasil selanjutnya hasil penelitian Kiriana (2008) mengatakan

yadnya merupakan kewajiban bagi umat Hindu untuk melaksanakannya, hal

ini didasari keyakinan alam semesta beserta isinya diciptakan melalui yadnya.

Berbeda halnya dengan hasil penelitian Putnam (1993) terjadi kemerosotan

partisipasi akibat turunnya kepercayaan.

222

2) Makna Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih. Manfaat sosial merupakan

proses pembelajaran diri dalam mewujudkan sikap dan perilaku hidup yang

lebih baik lahir bathin. Manfaat budaya adalah tradisi dalam Agama Hindu

untuk melakukan penyucian (sakralisasi) secara sekala niskala setiap

pelinggih pura yang baru di bangun dan diperbaiki sesuai ajaran Agama

Hindu. Manfaat ekonomi yaitu dengan terlaksana ritual ini menyebabkan

adanya transaksional bahan-bahan ritual.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz

(1973) dan Rigveda X.121.10, Upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih yaitu

“Om Hyang Prajapati,Pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha kuasa mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita-cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada kami’. Artinya, makna ritual menyucikan dan mensakralkan niyasa tempat memuja Hyang Widhi”. Kitab Bhagavadgita, IX: 22 bahwa Yadnya yaitu:

”Mereka yang memuja aku sendiri, merenungkan aku senantiasa, kepada mereka aku bawakan apa yang mereka perlukan dan aku lindungi apa yang mereka miliki”. Ketika melaksanakan sesuatu ritual kepada Hyang Widhi maka Hyang Widhi akan memberikan segala apa yang diinginkan oleh manusia dan sekaligus melindungi apa yang dimilikinya”.

Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pendapat (Wijayananda,

2004; Sudarsana, 2008; danWiana, 2004) upacara hendaknya harus dibarengi

dengan pemahaman akan makna dan tujuan dari suatu upacara yang

dilaksanakan. Menurut Titib (2012), tujuan ritual Ngenteg Linggih adalah

untuk menyucikan atau mensakralkannya mensthanakan Hyang Widhi dan

manifestasi-manifestasinya sehingga bangunan itu memenuhi syarat simbol.

223

3) Makna Mecaru. Manfaat sosial yaitu menciptakan keseimbangan dan

keharmonisan kekuatan alam semesta secara sekala niskala. Manfaat budaya

merupakan salah satu tradisi dalam ritual tertentu umat Hindu, sebelum hari

H dlaksanakan proses pencaruan untuk kelancaran ritual berikutnya. Manfaat

ekonomi yaitu menyebabkan adanya transaksional bahan-bahan ritual.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973),

hal ini sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) bahwa upacara-upacara

ritual dan ibadah berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat serta

memperkokoh kehidupan beragama. Selanjutnya, hasil penelitian ini

memperkuat pendapat Wikarman (1999), Wiyana (2012), dan Titib (2012)

mecaru pada hakekatnya menciptakan keseimbang dan keharmonisan agar

kekuatan alam yang ada menjadi seimbang antara yang positif dan negatif.

4) Makna Melasti. Manfaat sosial adalah agar ingat dalam memuja Ida Bhatara

dan membangun persahabatan dengan sesama serta melestarikan alam

selanjutnya bertujuan memotivasi umat secara spiritual. Manfaat budaya

merupakan tradisi umat Hindu dalam ritual tertentu melakukan pembersihan

kembali simbol-simbol. Manfaat ekonomi adalah dapat menumbuhkan

aktivitas ekonomi ditempat ritual tersebut.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973),

konsep Max Weber (1930), dan konsep Bourdieu (1977) yaitu aktivitas agama

mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi. Hal ini sejalan dengan

pandangan Durkheim (2003). Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat

224

pendapat (Wikarman, 1999; Wiyana, 2012; Titib, 2012, Wiana, 2004; dan

Suardika, 2006).

5) Makna Nyegara Gunung. Manfaat sosial yaitu hendaknya dalam diri kita

dapat terlahirkan suatu kehidupan yang baru, sikap mental, dan perilaku yang

baik. Manfaat budaya merupakan tradisi rangkaian ritual sebelum berakhir

dan membangun persahabatan dengan sesama umat serta alam. Manfaat

ekonomi bahwa laut dan gunung merupakan sumber kehidupan, mampu

memberi segala kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973)

dan sejalan dengan pandangan Durkheim (2003). Selanjutnya, hasil

penelitian ini memperkuat pendapat Wijayananda (2006), Wiyana (2012),

Titib (2012), Wiana (2004) dan Suardika (2006) makna upacara Nyegara

Gunung hendaknya dalam kehidupan yang baru, hidup penuh dengan

kebajikan dan rasa cinta kasih diwujudkan dalam Tri-kaya-parisudda

(pikiran, perkataan dan berprilaku yang baik dan benar), menerima dan

mensyukuri dua dimensi baik buruk (Rwa-Bhineda).

6) Makna Banten. Manfaat sosial bahwa banten sebagai sarana upakara pada

dasarnya adalah nyasa atau simbol-simbol. Manfaat budaya yaitu banten

Bagia Pulakertti bermakna dengan kokoh (pageh) berpegang pada tata susila

atau prilaku yang selalu berlandaskan ajaran Agama Hindu. Manfaat ekonomi

adalah mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan bersama dan semua mahluk

hidup.

225

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973)

dan Kitab Bhagavadgita IX.27, yaitu:

”apapun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau makan, yang engkau persembahkan dan engkau amalkan, tanpa apapun yang engkau laksanakan, wahai putra Kunti (Arjuna) lakukan itu sebagai persembahan kepada-Ku.

Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pendapat Wijayananda,

2004; Triguna, 2000; dan Titib, 2001, baahwa banten sebagai sarana upakara

pada dasarnya adalah sebagai nyasa atau perwujudan atau simbol dari Siwa-

Linga, dari sekian banyak wujud banten dan jejahitan pada intinya ada tiga

bentuk yaitu berbentuk segitiga (Tri-kona seperti penyeneng dan lain-

lainnya), bundar atau bulat (seperti sesayut, tamas) dan berbentuk segiempat

(seperti taledan dan ceper). Banten salah satu sarana dari wujud bhakti

kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala Ista-Dewata-Nya. Surayin

(2005) dan Sumini (2008) banten sarad mengandung simbol buana agung

dan buana alit bagi umat Hindu di Bali dan ciri khas yang unik mengkaitkan

daya cipta yang religius mengandung budaya, seni, adat dan agama bercirikan

Desa-Kala-Patra.

7) Makna Labda Karya. Manfaat sosial adalah ritual yang dilaksanakan berjalan

sukses dan lancar sesuai dodunan karya. Manfaat budaya dilandasi semangat

spritual dan etos kerja melalui kerjasama gotong royong. Manfaat ekonomi

konsep berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Clifford Geertz (1973).

Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil studi Wijaya (2012)

pelaksanaan karya Panca Balikrama di Besakih berjalan labda karya karena

226

semangat spritual, etos kerja melalui kerjasama antara masyarakat Besakih

dengan panitia Provinsi Bali, Kabupaten/Kota, dan seluruh umat Hindu serta

berimplikasi positif terhadap kehidupan sosial, budaya dan ekonomi

masyarakat Besakih khususnya, dan Bali umumnya.

8) Makna Kehidupan Sosial. Manfaat sosial yaitu dengan solidaritas yang tinggi

bersama-sama dalam kegiatan baik suka maupun kedukaan. Manfaat budaya

adalah keharmonisan, kekeluargaan, kebersamaan, dan solidaritas yang tinggi

antar anggota masyarakat. Manfaat ekonomi konsep berat sama dipikul

ringan sama dijinjing.

Hasil penelitian ini, terbukti konsep Bourdieu (1977) tentang Social

Capital dan sejalan dengan pandangan Durkheim (2003). Selanjutnya, hasil

penelitian ini memperkuat pandangan Wiyana (2012) dan hasil penelitian

Wijaya (2012) seluruh umat Hindu di Bali dan masyarakat ikut terlibat dalam

mensukseskan pelaksanaan upacara Panca Balikrama di Besakih dan Nyepi.

Titib (2007) konsep kearifan lokal Salulung Sabhayantaka, Paras

Parosarpanaya, Adiluhung.

9) Makna Gotong Royong. Manfaat sosial yaitu didasari semangat relegius dan

etos kerja yang tinggi. Manfaat budaya dalam wujud rasa memiliki,

kebersamaan, kekeluargaan, solidaritas dan tanggungjawab. Manfaat ekonomi

adalah prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Hasil penelitian ini, terbukti konsep Bourdieu (1977) tentang Social

Capital, sejalan dengan pandangan Durkheim (2003) dan Titib (2007).

Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pandangan Koentjaraningrat

227

(1997) budaya merupakan sistem gagasan, tindakan, dan tradisi kehidupan

masyarakat. Wijaya (1991) mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan-

perubahan sosial budaya akibat pertumbuhan ekonomi. Titib (2007) konsep

Salulung Sabhayantaka, Paras Parosarpanaya, Adiluhung dengan solidaritas

dan kebersamaan yang tinggi dan bersama-sama dalam kegiatan baik suka

maupun kedukaan.

10) Makna Iuran Pura (Ayah-ayahan). Manfaat sosial yaitu didasari semangat

srada dan lascarya. Manfaat budaya yaitu rasa memiliki, kekeluargaan,

kebersamaan dan tanggungjawab bersama untuk kesuksesan, kelancaran.

Manfaat ekonomi adalah prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Hasil penelitian ini, terbukti konsep Bourdieu (1977) Social Capital

dan teori Coleman (1988) dalam social capital dengan menggunakan teori

pilihan rasional yang syarat dengan prinsip ekonomi. Selanjutnya, hasil

penelitian ini memperkuat hasil penelitian Wijaya (2012) sumber dana karya

Panca Balikrama di Besakih tahun 2009 adalah dari Pemerintah Provinsi

Bali, Kabupaten/Kota, masyarakat Besakih dan punia seluruh umat Hindu.

Sejalan pandangan terhadap konsep kebersamaan (Titib, 2007).

11) Makna Bahan Ritual. Manfaat sosial adalah bahan-bahan ritual sebagian

besar tersedia sekitar Abiansemal. Manfaat budaya bahwa bahan ritual dibuat

sesuai sesuai budaya (Desa-Kala-Ptra). Manfaat ekonomi yaitu menyebabkan

tumbuhnya kesempatan kerja dapat meningkatkan pendapatan.

228

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Religiusitas Geertz (1973),

konsep Max Weber (1930) dan Kitab Suci Bhagavadgita, IX: 26. .

Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Wijaya (2012)

karya Panca Balikrama di Besakih memberi implikasi secara sosial ekonomi

berupa terciptanya peluang usaha atau kesempatan kerja bagi masyarakat

sekitarnya. Menurut Surayin (2002) bahan-bahan banten terdiri dari tumbuh-

tumbuhan, buah-buahan, hewan dan lain-lainnya.

12) Makna Pengeluaran Ritual. Manfaat sosial adalah ritual dilakukan dengan

tulus iklas (srada bhakti dan lascarya). Manfaat budaya yaitu pengeluaran

ritual bagi umat Hindu merupakan pengeluaran rutin. Manfaat ekonomi

bahwa pengeluaran pitual tidak merupakan beban.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936) bahwa

menggambarkan pengeluaran konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan

artinya pengeluaran konsumsi meningkat ketika pendapata naik. Selanjutnya,

untuk memperkuat hasil penelitian dan hipotesis (M.Friedmen: pendapatan

permanen, 1967; Deusenberry: pendapatan relatif, 1949; F. Modligiani:

pendapatan siklus hidup, 1963; dan Sukarsa, 2005; Yan Wang,1995;

Pemberto, 1997; Malucio et al., 1999; Wijaya, 2012). Pengeluaran ritual

menurut konsep Hindu seharusnya dikeluarkan untuk ber-yadnya sebanyak

sepertiga atau 33,3 persen dari pendapatan, sedangkan sepertiga yang lain

untuk pemupukan artha dan sisanya untuk pemenuhan kama. Siklus hidup

masyarakat umat Hindu untuk hak dan kewajiban dalam Desa Adat diatur

berdasarkan prinsip Desa – Kala – Patra (tempat-waktu-layak atau pakem

yang berlaku), tingkatan upakara yaitu Nista, Madya, Utama masing-masing

229

dibagi tiga menjadi sembilan tingkat serta kemampuan masyarakat di masing-

masing Desa Adat Pakraman.

13) Makna Kesempatan Berusaha. Manfaat sosial adalah menciptakan

kesempatan kerja. Manfaat budaya adalah mengakibatkan adanya

transaksional bahan-bahan ritual. Manfaat ekonomi yaitu berkembangnya

produsen atau dagang banten dan alat-alat upakara pada akhirnya dapat

meningkatkan pendapatan atau daya beli masyarakat pemasok bahan ritual.

Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep

Bourdieu (1977). Selanjutnya, dan Wijaya (2012) sesungguhnya aktivitas

sosial yang dilakukan masyarakat memberi implikasi bagi penggunaan

sumber-sumber ekonomi sebagai modal sosial ekonomi.

14) Makna Multiplier Effect. Manfaat sosial yaitu pemasok bahan-bahan ritual

bukan saja masyarakat Bali namun juga masyarakat luar. Manfaat budaya

yaitu manfaat multiplier effect lebih besar manfaatnya pada pemasok.

Manfaat ekonomi bahwa pelaksanaan ritual agama (Hindu) di Bali memiliki

angka penggada. Apabila pengeluaran konsumsi masyarakat semakin besar

menyebabkan pendapatan masyarakat juga bertambahn sebanyak multiplier

effect kali jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat, kesejahteraan

masyarakat meningkat secara ekonomi namun secara spritual masyarakat

umat Hindu dalam melaksanakan ritual untuk mencapai konsep efisiensi

tanpa mengurangi makna ritual berdasarkan tattwa, susila, dan upacara

dengan prinsip Desa-Kala-Patra dan kemampuan dan terpenting didasari

srada bakthi dan lascarya.

230

Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep

Bourdieu (1977) dan konsep Multiplier Effect Keynes bahwa semakin besar

pengeluaran maka semakin besar angka Multiplier effect. Selanjutnya, untuk

memperkuat hasil penelitian Wijaya, 2012); Horváth et al., 1999; Syahza,

2004; Wijaya, 1991 pengeluaran pemerintah mempunyai multiplier effect

dan mendorong kenaikan pendapatan nasional.

15) Makna Perubahan Sikap. Manfaat sosial yaitu mampu meningkatkan sikap

dan perilaku hidup sehari-hari lebih baik. Manfaat budaya yaitu mampu

meningkat pemahaman agama melalui membaca buku-buku agama dan

informasi dari yang berkompeten. Manfaat ekonomi yaitu dengan

pemahaman agama yang baik diharapkan pengeluaran ritual lebih efisien.

Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep Bourdieu

(1977) dan Teori Religiusitas Geertz (1973). Hal ini sejalan dengan

pandangan Durkheim (2003) selanjutnya untuk memperkuat hasil penelitian

Wijaya, 2012 dan Titib, 2007.

Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa

Abiansemal selain memiliki manfaat religius juga memiliki manfaat sosial,

budaya, dan ekonomi. Manfaat sosial yaitu perubahan sikap perilaku

beragama masyarakat pengempon pura dengan katagori sangat baik 93,77

persen artinya peningkatan pemahaman Agama Hindu dengan membaca

buku-buku agama dan menanyakan makna-makna ritual kepada yang

berkompeten. Manfaat budaya yaitu masyarakat pengempon pura mampu

melestarikan nilai-nilai kearifan lokal/local genius dengan katagori sangat

231

baik 92,41 persen artinya dalam aktivitas adat istiadat dan agama dilakukan

secara gotong royong, kekeluargaan, dan solidaritas (ngayah, ngoopin,

metetulung, menyamabraya). Manfaat ekonomi dengan katagori sangat baik

91,60 persen artinya ada perubahan sikap berusaha masyarakat pengempon

pura sebelum dan setelah ritual, bekerja sebagai tukang banten/pangayah

tukang banten dan membuat serta menjual alat-alat ritual.

Temuan penelitian ini, Kesadaran yang tinggi masyarakat pengempon

pura walaupun relatif terbatas secara ekonomi tetapi berdasarkan srada bhakti

dan lascarya kepada Sang Pencipta maka masyarakat pengempon pura dapat

meningkatkan kesejahteraan bathin.

6.2 Besarnya Multiplier Effect Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal

Mekanisme multiplier effect bahwa pengeluaran ritual untuk 13 jenis bahan

ritual merupakan tambahan pendapatan pemasok (Tahap I) sebagian pendapatan

pemasok digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan.

Pengeluaran konsumsi Tahap I merupakan tambahan pendapatan bagi penyalur

(Tahap II) sebagian pendapatan penyalur digunakan untuk konsumsi dan sisanya

di tabung atau di investasikan. Pengeluaran konsumsi Tahap II merupakan

tambahan pendapatan bagi produsen atau petani (Tahap III), sebagian pendapatan

digunakan untuk konsumsi dan sisanya di tabung atau di investasikan.

Rata-rata Multiplier effect Tahap I, II, dan III pelaksanaan ritual Mlaspas

dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung,

sebagaimana disajikan Tabel 6.5.

232

Tabel 6.1 Rata-rata Multiplier effect Tahap I, II, III Pengeluaran Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012

Sumber: Tabel 5.5, 5.6, dan 5.7

d) Untuk Tahap I

Angka Multiplier effect terbesar pertama adalah bahan bambu sebesar

5,88 artinya apabila pengeluaran bahan bambu semakin besar menyebabkan

pendapatan pemasok bambu bertambah sebanyak 5,88 kali jumlah

pengeluaran konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa

penggunaan bahan bambu dalam ritual ini adalah cukup besar 23,77 persen

dari total pengeluaran bahan ritual. Bambu memiliki peranan penting dalam

ritual Agama Hindu di Bali (terutama dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih) sebagai bahan membuat perlengakapan sarana prasarana ritual. Rata-

rata multiplier effect Tahap I sebesar 3,26 berarti tambahan pendapatan

pemasok lebih banyak di konsumsi daripada di tabung (MPC > MPS). Hal

ini mengindikasikan bahwa meningkatnya perekonomian sekitar Abiansemal

khususnya, dan Bali umumnya.

e) Untuk Tahap II

Angka Multiplier effect terbesar pertama adalah bahan janur sebesar

4,00 artinya apabila pengeluaran bahan janur semakin besar menyebabkan

pendapatan pemasok janur bertambah sebanyak 4,00 kali jumlah

Tahap Bahan-BahanRitual

Rata-Rata Multiplier Effect

Rang Multiplier Effect Masing-Masing Tahap Terbesar –Terkecil

(Bahan)I (Penjual/Pemasok) 13 3,26 5,88 (Bambu) -1,67 (M.Goreng)

II (Penyalur) 8 2,25 4.00 (Janur)-1,42 (Kain Kasa)III (Petani/Produsen) 4 1,59 2,33 (Beras)-1,25 (Kain Kasa)

Rata-Rata 2,37

233

pengeluaran konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa

penggunaan janur dalam ritual ini adalah 1,94 persen dari total pengeluaran

bahan ritual. Pada dasarnya janur identik dengan aktivitas ritual karena janur

dipergunakan sebagai bahan utama dalam membuat banten dan simbol-simol

perlengkapan sarana prasarana ritual. Rata-rata multiplier effect Tahap II

sebesar 2,25 berarti tambahan pendapatan pemasok lebih banyak di konsumsi

daripada di tabung (MPC > MPS). Hal ini mengindikasikan bahwa

berkembangnya perekonomian sekitar Abiansemal khususnya, dan Bali

umumnya.

f) Untuk Tahap III

Angka Multiplier effect terbesar pertama adalah beras sebesar 2.33

artinya apabila pengeluaran bahan beras semakin besar menyebabkan

pendapatan pemasok beras bertambah sebanyak 2,33 kali jumlah pengeluaran

konsumsi dan seterusnya. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan beras

dalam ritual sebesar 3,78 persen dari total pengeluaran bahan ritual. Pada

dasarnya beras sebagai bahan membuat jajan dan memiliki makna mendalam

ketika beras digunakan sebagai bija saat sembayang dan beras merupakan

lambang Amertha. Menurut Sudarsana (2000) beras adalah sebagai lambang

atau simbol dari udara sebagai cerminan Sang Hyang Bayu. Beras (tepung)

sebagai bahan utama dipergunakan untuk membuat jajan perlengkapan

banten sarad dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih.

Rata-rata multiplier effect Tahap III sebesar 1,59 dimana (MPS >

MPC) berarti pendapatan pemasok lebih banyak di tabung (saving) daripada

di konsumsi (MPS > MPC). Hal ini mengindikasikan bahwa MPC kecil

berarti pendapatan masyarakat di tahap III juga kecil maka tidak sejalan

234

dengan konsep Keynes kecenderungan di negara kaya pendapatan lebih

banyak ditabung daripada di konsumsi (MPS > MPC). Sebaliknya di negara-

negara miskin pendapatan lebih banyak dikonsumsi daripada di tabung(MPC

> MPS). Untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat di tingkat petani

(Tahap III) diperoleh dari sektor pertanian atau tidak membeli apabila

dikonversi secara ekonomi maka sejalan dengan konsep Keynes.

Hasil penelitian ini, pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih

memiliki rata-rata multiplier effect sebesar 2,37 yang artinya apabila pengeluaran

ritual semakin besar menyebabkan pendapatan pemasok juga bertambah sebanyak

2,37 kali jumlah pengeluaran ritual. Berarti semakin besar pengeluaran ritual

maka semakin tinggi angka Multiplier effect. Rata-rata Multiplier effect Tahap I

dan Tahap II secara ekonomi cukup besar mengindikasikan pelaksanaan ritual

Agama Hindu (Panca Yadnya) di Bali berimplikasi penguatan daya tahan

ekonomi lokal bersandarkan kesetaraan solidaritas dan sebagai stimulus

pertumbuhan ekonomi Bali umumnya dan Abiansemal khususnya. Rata-rata

Multiplier effect Tahap III secara spritual dapat mencerminkan konsep efisiensi,

dalam pelaksanaan ritual dengan pilihan nista, madya, dan utama, prinsip Desa-

Kala-Patra, sesuai kemampuan tanpa mengurangi makna dan menerapkan

manajemen waktu untuk mengkanter fenomena bahwa pelaksanaan ritual Agama

Hindu biaya besar dan curahan waktu kerja tinggi.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936), konsep Max

Weber (1930), konsep Bourdieu (1977), dan konsep multiplier effect Keynes

semakin besar pengeluaran maka semakin tinggi angka Multiplier effect.

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian (Horvath et al., 1999; Syahza,

2004 ; Wijaya, 1991; dan Wijaya, 2012).

235

Temuan penelitian ini, Kecenderungan angka pengganda konsumsi dari

tahap I ke tahap II dan III semakin kecil, sedangkan angka pengganda untuk tahap

III relatif kecil yang disebabkan MPS > MPC. Kondisi ini diakibatkan oleh

alokasi tambahan konsumsi karena tambahan pendapatan relatif kecil, mengingat

sebagian besar tambahan konsumsi masih bersifat primer yang dapat dipenuhi dari

usaha sendiri khususnya dari sektor pertanian. Hal ini tidak sejalan dengan konsep

Keynes, apabila itu dikonversi secara ekonomi maka sejalan dengan konsep

Keynes.

Sementara ini, banyak opini yang mengatakan bahwa pengeluaran ritual

kurang dirasakan oleh masyarakat, namun secara empiris dalam penelitian ini

angka pengganda yang dihasilkan pelaksanaan ritual relatif cukup besar, sebagai

stimulus pertumbuhan ekonomi Bali pada umumnya dan Badung pada khususnya.

Artinya ketika pengeluaran konsumsi ritual semakin besar, menyebabkan juga

pendapatan masyarakat pemasok bertambah sebanyak multiplier effect kali jumlah

pengeluaran konsumsi masyarakat.

6.3 Besarnya Tambahan Pendapatan Pemasok Bahan Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih

Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura pasek preteka

Desa Abiansemal dapat meningkatkan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual

sebesar Rp 135,220 juta (72,06 persen) dari total pengeluaran ritual sebesar Rp

188,568 juta. Berarti pengeluaran ritual jangan dilihat dari sisi negatif dengan

biaya besar juga memiliki sisi positif yaitu memiliki multiplier effect maka dapat

meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat. Hal ini

mengindikasikan dapat meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan pemasok

bahan ritual sekitar Abiansemal pada khususnya, dan Bali pada umumnya.

236

Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan-bahan ritual,

sebagaimana disajikan Gambar 6.1

Gambar 6.1 Tambahan pendapatan Pemasok bahan-bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di

Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung,2012 Sumber: Tabel 5.8

Gambar 6.1 menunjukkan tambahan pendapatan pemasok bahan ritual

terbesar pertama adalah bambu sebesar Rp 44.829 juta (23,77 persen) hampir

seperempat dari total penggunaan bahan-bahan ritual. Ini menunjukkan betapa

besarnya peranan bambu dalam ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek

Preteka Desa Abiansemal dibandingkan dengan bahan-bahan ritual yang lainnya.

Dalam kegiatan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih, fungsi bambu cukup

dominan, dipergunakan membuat sanggah surya, taring tempat melakukan

aktivitas persiapan ritual dan aktivitas wewalian dan bale panggung tempat para

Sulinggih memimpin ritual. Namun tidak kalah pentingnya akan daging babi

Tambahan Pendapatan Pemasok (%)

237

terbesar kedua sebesar Rp 21.264 juta (11,27 persen), sebagai tradisi kegiatan

ritual di Bali selalu ada aktivitas mengolah daging babi baik untuk kelengkapan

upakara maupun untuk adat sebagai budaya kebersamaan, solidaritas

(menyamabraya, metetulung, ngoopin, ngayah) mencerminkan interaksi sosial

antar Krama Banjar Desa Adat di Bali. Berarti semakin besar pengeluaran untuk

membeli babi maka semakin besar pula tambahan pendapatan pemasok babi dan

seterusnya. Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936), Teori

Ehrenberg et al. (1989) bahwa pendapatan dipengaruhi oleh jam kerja, dan konsep

multiplier effect Keynes.

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian (Horvath et al., 1999;

Syahza, 2004 ; Wijaya, 1991; Wijaya, 2012; Arini, 1996) rata-rata jumlah jam

kerja ibu rumah tangga di Tohpati Kesiman Kota Denpasar sebagai pekerja di

sektor publik adalah 57 jam per minggu dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp

66.500 per minggu. Begitu pula hasil penelitian Sumartana (1997) rata-rata

jumlah jam kerja wanita di Desa Adat Siangan Kabupaten Gianyar untuk mencari

nafkah sebesar 49 jam per minggu dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp

178.225 per minggu. Hasil penelitian ini, berbeda dengan hasil penelitian

Marhaeni (1991) bahwa rata-rata waktu yang dicurahkan para istri di daerah Sanur

Kecamatan Denpasar Selatan adalah 85 jam per minggu jauh lebih tinggi dari

suami hanya 62 jam per minggu baik bekerja di sektor domestik maupun sektor

publik.

238

6.4. Pengaruh Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesempatan Kerja Pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka

Hasil analisis menjelaskan bahwa besarnya koefisien jalur pelaksanaan

ritual mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan kerja

sebesar 0,595. Artinya apabila intensitas pelaksanaan ritual semakin tinggi maka

akan mengakibatkan kesempatan kerja bagi pemasok semakin tinggi. Intensitas

pelaksanaan ritual yang tinggi dan berkesinambungan dapat meningkatkan

kesempatan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan output

untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat hasil studi Ritzer (2003) dan

Choi (2004) sesungguhnya aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat memberi

implikasi bagi penggunaan sumber-sumber ekonomi sebagai modal sosial

ekonomi, sesuai dengan pandangan Wiana (2004) bahwa konsep Panca Yadnya di

Bali berimplikasi penguatan daya tahan ekonomi lokal bersandarkan kesetaraan

solidaritas yang luar biasa. Selain itu, pelaksanaan ritual juga membantu

masyarakat di dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan.

Hasil ini memang simetris dengan data lapangan dari informan ahli hasil wawancara mendalam 20 Oktober 2012, yaitu menurut Ida Dayu Anggareni sebagai Tapini bahwa pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat pengempon pura terutama ibu-ibu rumah tangga dalam hal ritual cukup baik, awalnya tidak mengetahui dan tidak terampil sekarang menjadi mengetahui dan trampil dan mampu bekerja di Geriya sebagai tukang banten dengan upah sebesar Rp 65 ribu hingga Rp 70 ribu per hari dan pengayah tukang banten dengan upah sebesar Rp 40 ribu hingga Rp 45 ribu per hari ditambah makan, dan kopi, hal ini memberi kesempatan warga pengempon pura pasek preteka untuk menambah penghasilan keluarga.

Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesempatan

kerja sebagaimana dikemukakan hasil penelitian oleh Ellison et al. (1994)

239

mengatakan rumah tangga yang aktif dalam kegiatan sosial (agama) berpengaruh

signifikan dalam membangun jaringan network usaha. Begitu pula sesuai hasil

penelitian Lochart (2005) bahwa modal sosial (program keagamaan) berpengaruh

nyata terhadap masyarakat miskin dalam meningkatkan kesempatan kerja. Juga

memperkuat hasil penelitian Raharja (2008) dan Wijaya (2012) bahwa

pelaksanaan karya Agung Panca Balikrama berpengaruh positif terhadap

kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat dilihat dari indikator

perubahan pengelolaan usaha, pendapatan, dan kondisi kepemilikan aset,

sebagaimana hasil wawancara mendalam 29 April 2012, yaitu

Menurut Ibu Mangku Eka (49 Tahun) pada awalnya tidak menjual bahan-bahan ritual seperti sekarang ini, seiring dengan pelaksanaan ritual di Bali semakin hari semakin meningkat maka permintaaan bahan-bahan ritualpun meningkat. Berdasarkan pertimbangan bahwa usaha menjual bahan-bahan ritual prospeknya cukup menguntungkan sehingga membuka usaha kedua di Banjar Banjaran Desa Abiansemal mulai pertengahan tahun 2011 dan usaha pertama ada di pasar blahkiuh sehingga saat ini memiliki dua usaha.

Sejalan dengan pandangan Ida Dayu Mirah sebagai tukang banten dari Geriya Agung Abiansemal mengatakan bahwa jiwa kreativitas dan semangat berusaha dengan keterampilan yang dimiliki terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga pengempon pura, sekarang tumbuh semangat berusaha membuat alat-alat upakara dan bekerja di Geriya Agung sebagai produsen banten di daerah Abiansemal, hal ini memberi kesempatan masyarakat pengempon pura untuk menambah penghasilan keluarga (wawancara, 20 Oktober 2012).

Hasil penelitian ini, terbukti konsep Max Weber (1930) dan konsep

Bourdieu (1977) bahwa aktivitas pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih

di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal mempunyai pengaruh positif dan

signifikan terhadap aktivitas ekonomi (transaksional) bahan-bahan ritual dan

aktivitas kehidupan sosial masyarakat Abiansemal khususnya dan masyarakat Bali

umumnya.

240

6.4.1 Pengaruh Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesejateraan Masyarakat Pada Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka

Hasil analisis menjelaskan besarnya koefisien jalur pelaksanaan ritual

mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat

sebesar 0,399. Artinya apabila intensitas pelaksanaan ritual meningkat maka

kesejahteraan masyarakat pemasok meningkat secara ekonomi sedangkan

kesejahteraan bathin masyarakat pengempon pura meningkat.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936) dan

mengacu kriteria BPS Provinsi Bali, 2011. Pelaksanaan ritual menimbulkan

pengeluaran konsumsi ritual yang berbanding lurus dengan pendapatan artinya

pengeluaran konsumsi ritual meningkat ketika pendapatan naik, baik secara

kuantitas maupun kualitas diduga pengeluaran konsumsi ritual ini telah bergeser

dari konsumsi sekunder dan ada kecenderungan bergeser ke arah primer untuk

masyarakat Hindu di Bali sebagai dampak perubahan aspek-aspek kehidupan

masyarakat, sedangkan pengeluaran ritual ini masih mengikuti teori klasik dan

neoklasik.

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian dan hipotesis (Friedman,

1957; Duesenberry,1949; Modligiani, 1963; Yan Wang, 1995; Pemberto, 1997;

Malucio et al., 1999; Sukarsa, 2005). Begitu pula halnya dengan hasil penelitian

Wijaya (2012) bahwa konsumsi masyarakat mengalami peningkatan yang

signifikan terhadap pendapatan masyarakat selama karya Panca Balikrama,

khususnya konsumsi ritual. Sesuai hasil studi Engel (1957) di Malaysia Barat,

mengatakan semakin tinggi pengeluaran rumah tangga dapat mengindikasikan

241

semakin sejahtera masyarakatnya. Berbeda hasil penelitian Sukarsa (2005)

terdapat pengaruh tetapi tidak signifikan pendapatan keluarga terhadap susila dan

upacara dan pengeluaran menurut konsep Hindu bahwa seharusnya pendapatan

yang dikeluarkan untuk ber-yadnya sebanyak sepertiga (33,3 persen) dari

pendapatan, sedangkan sepertiga yang lain untuk pemupukan artha dan sisanya

untuk pemenuhan kama.

6.4.2 Pengaruh Kesempatan Kerja Terhadap Kesejateraan Masyarakat

Hasil analisis menjelaskan bahwa besarnya koefisien jalur kesempatan

kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejateraan

masyarakat sebesar 0,657. Artinya apabila kesempatan kerja meningkat, maka

akan mengakibatkan kesejahteraan masyarakat meningkat secara ekonomi.

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian Syaukani et al. (2002)

bahwa keberhasilan sebuah pemerintahan salah satunya dilihat dari seberapa jauh

pemerintahan tersebut berhasil menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya.

Sulistyaningsih (1997), penciptaan lapangan kerja yang tinggi akan berpengaruh

terhadap peningkatan daya beli masyarakat sehingga pada akhirnya kesejahteraan

masyarakat akan meningkat. Begitu pula halnya dengan hasil penelitian Kendrick

dalam Simanjuntak (1985) bahwa derajat kesejahteraan ditentukan oleh

produktivitas sumberdaya dimana produktivitas tersebut sangat tergantung kepada

kondisi kesehatan, tingkat pendidikan dan besarnya modal. Semakin tinggi tingkat

kesehatan, tingkat pendidikan dan besarnya modal, semakin produktif faktor

produksi untuk meningkatkan pendapatan (kesejahteraan) suatu perekonomian.

Soepono (1993) bahwa kesempatan kerja yang ada di dipengaruhi oleh

pertumbuhan ekonomi nasional dan bauran industri.

242

Berbeda dengan hasil studi Ferlini (2011) bahwa strategi peningkatan

kesempatan kerja yang perlu dilakukan adalah pengendalian jumlah penduduk dan

angkatan kerja melalui peningkatan pendidikan baik kuantitas ataupun kualitas,

kebijakan umum regional khususnya sektoral dan memberikan kemudahan

investasi bagi pengembangan usaha. Esmara (1986) kesempatan kerja merupakan

jumlah penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan

artinya semakin banyak orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja.

Berbeda dengan pendapat Murjana (2012) bahwa kesempatan kerja yang tersedia

di Bali tidak cukup memadai untuk peningkatan produktivitas pekerja, hal ini

berdasarkan hasil analisis terhadap data jumlah penduduk yang bekerja kurang

dari 35 jam per minggu yang meningkat dalam kurun dua tahun terakhir.

Kesempatan kerja dimaknai sebagai lapangan pekerjaan atau kesempatan yang

tersedia dan siap diisi oleh pencari kerja. Sesuai hasil penelitian Wijaya (2012)

bahwa karya Agung Panca Balikrama berpengaruh positif terhadap kesejahteraan

masyarakat dilihat dari indikator perubahan pengelolaan usaha, pendapatan, dan

kondisi kepemilikan aset.

Penjelasan secara deskriptif sebagaimana hasil wawancara mendalam 22 April 2012, yaitu Menurut Wayan Sugita (47 tahun) sebagai pedagang janur, seiring dengan permintaan janur semakin hari semakin banyak karena aktivitas upacara Agama Hindu semakin hari juga semakin meningkat mulai upacara kecil hingga upacara besar (upacara Mlaspas dan Ngenteg Linggih, Piodalan di Pura-Pura). Berarti prospek bisnis janur sangat menguntungkan sehingga mengembangkan usaha sebagai supplyer janur wilayah Abiansemal baik janur lokal maupun janur dari Jawa. Hasil penelitian ini, terbukti konsep konsep Max Weber (1930), konsep

Bourdieu (1977), dan konsep multiplier effect Keynes. Selanjutnya, untuk

memperkuat hasil penelitian (Bronsteen et al., 2009; Amartya Sen , 1992 ; Stiglitz

243

et al., 2011) mengukur derajat kesejahteraan terpenuhinya kebutuhan secara pisik

nonpisik atau lahir bathin yaitu peningkatan pendapatan, kesehatan dan

pendidikan sesuai kriteria BPS Provinsi Bali, 2011.

6.5 Pengaruh Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesejateraan Masyarakat Baik Langsung Maupun Tidak Langsung Melalui Kesempatan kerja

Hasil analisis pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kesejateraan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui

kesempatan kerja (Lampiran 21). Pengaruh tidak langsung (indirect effect)

sebesar 0,391 ditambah pengaruh langsung (direct effect) sebesar 0,399 sehingga

pengaruh total sebesar 0,790. Artinya intensitas pelaksanaan ritual meningkat

maka akan mengakibatkan kesejahteraan masyarakat pemasok meningkat baik

langsung maupun tidak langsung melalui peningkatan kesempatan kerja.

Hasil penelitian ini, terbukti Teori Konsumsi Keynes (1936), konsep

Max Weber (1930), dan konsep Bourdieu (1977), aktivitas pelaksanaan ritual

Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal

mempunyai pengaruh terhadap aktivitas ekonomi (transaksional) bahan-bahan

ritual dan aktivitas kehidupan sosial masyarakat Abiansemal khususnya dan

umumnya masyarakat Bali, juga penelitian ini mengacu pada kriteria BPS

Provinsi Bali, 2011.

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil penelitian Bronsteen et al. (2009)

bahwa salah satu tanggungjawab pemerintah adalah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan dalam bentuk kepuasan obyektif dan

kebahagiaan subyektif untuk mengukur kualitas hidup manusia. Stiglitz et al.

(2011) dan Amartya Sen (1992) mengukur derajat kesejahteraan terpenuhinya

244

kebutuhan secara pisik nonpisik atau lahir bathin yang mencakup peningkatan

pendapatan, kesehatan dan pendidikan masyarakat.

Dalam penelitian ini, kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan

kerja adalah sebesar 35,4 persen artinya perubahan kesempatan kerja ditentukan

oleh variasi pelaksanaan ritual. Sedangkan kontribusi kesempatan kerja terhadap

kesejahteraan masyarakat adalah sebesar 90,2 persen artinya perubahan

kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual dan faktor

lainnya melalui kesempatan kerja.

6.6 Temuan Penelitian

Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan, maka temuan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Kesadaran yang tinggi masyarakat pengempon pura walaupun relatif terbatas

secara ekonomi dengan berdasarkan srada bhakti dan lascarya kepada Sang

Pencipta maka masyarakat pengempon pura merasa sejahtera secara bathin.

2) Kecenderungan angka pengganda konsumsi dari tahap I ke tahap II dan III

semakin kecil, sedangkan angka pengganda untuk tahap III relatif kecil yang

disebabkan MPS > MPC. Kondisi ini diakibatkan oleh alokasi tambahan

konsumsi kecil karena tambahan pendapatan juga relatif kecil, mengingat

sebagian besar tambahan konsumsi masih bersifat primer yang dapat dipenuhi

dari usaha sendiri khususnya dari sektor pertanian. Hal ini tidak sejalan

dengan konsep Keynes yang mengatakan bahwa kecenderungan negara kaya

pendapatannya lebih banyak ditabung daripada dikonsumsi (MPS > MPC).

Sebaliknya kecenderungan negara miskin pendapatannya lebih banyak

245

dikonsumsi daripada ditabung (MPC > MPS). Ketika hal ini dikonversi

secara ekonomi maka sejalan dengan konsep Keynes.

3) Sementara ini, banyak opini yang mengatakan bahwa pengeluaran ritual

kurang dirasakan oleh masyarakat, namun secara empiris dalam penelitian ini

angka pengganda yang dihasilkan dari pelaksanaan ritual relatif cukup besar,

untuk penguatan ekonomi lokal dan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi

Bali pada umumnya dan Badung pada khususnya. Artinya apabila

pengeluaran konsumsi ritual semakin besar menyebabkan pendapatan

masyarakat juga bertambah sebanyak multiplier effect kali jumlah

pengeluaran konsumsi masyarakat.

4) Dalam kegiatan ritual umat Hindu di Bali, bahwa aktivitas ritual lebih banyak

dikerjakan oleh tenaga perempuan, sehingga perempuan Hindu memiliki

peranan lebih penting untuk dapat terselenggaranya kegiatan ritual yang baik

dan lancar (labda karya).

5) Pelaksanaan ritual Agama Hindu mempunyai pengaruh terhadap aktivitas

ekonomi dan aktivitas kehidupan sosial masyarakat umat Hindu di Bali.

Pendapat ini sesuai dengan Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max

Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977), dan Teori Religiusitas Clifford

Geertz (1973).

6.7 Keterbatasan Penelitian

Setelah melakukan analisis hasil penelitian, diketahui bahwa penelitian

ini memiliki keterbatasan sebagai berikut.

1) Terbatasnya dukungan teori dan hasil penelitian dari luar ataupun dalam

negeri tentang pengaruh pengeluaran konsumsi ritual terhadap kesempatan

kerja dan kesejahteraan masyarakat.

246

2) Dalam perhitungan multiplier effect hingga tahap III, karena untuk kain kasa

dan minyak goreng produsen atau pabrik ada di luar daerah Bali.

3) Indikator yang digunakan setiap variabel masih terbatas. Untuk itu terdapat

beberapa hal yang belum tercakup dalam pembahasan dan masih perlu

dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut, seperti kesempatan kerja di

bidang jasa budaya berbasis religius yang disebut wewalian.

6.8 Implikasi Hasil Penelitian

1) Implikasi Teori

a) Hasil temuan ini secara teoritis menghasilkan suatu pembuktian yang

lebih bermakna terhadap Teori Konsumsi Keynes (1936), Konsep Max

Weber (1930), Konsep Bourdieu (1977), dan Teori Religiusitas Clifford

Geertz (1973).

b) Hasil penelitian ini merupakan pengembangan Teori Konsumsi Keynes

(1936) dan konsep Multiplier Effect Keynes dalam pengeluaran ritual.

Penelitian multiplier effect sektor pariwisata dan perkebunan sudah

banyak dilakukan (Horvath et al., 1999; Syahza, 2004). Ketika konsep

multiplier effect dilanjutkan pada pengeluaran pelaksanaan ritual maka

penelitian ini merupakan hal yang baru.

c) Penelitian spiritual terutama penelitian studi kasus Mlaspas dan Ngenteg

Linggih ini merupakan jawaban yang mengkanter fenomena yang

berkembang di masyarakat saat ini bahwa pelaksanaan Agama Hindu

tidak efektif dan tidak efisien. Penelitian sebelumnya lebih menekankan

pada filsafat, makna dan fungsi agama, pengaruh pendapatan terhadap

pengeluaran ritual masyarakat Hindu di Bali serta manajemen karya

(Triguna, 1994, Titib, 2007, Sumini, 2008, Sukarsa, 2005, dan Wijaya,

2012).

247

d) Hal baru bagi peneliti adalah membahas multiplier effect pengeluaran

pelaksanaan ritual yang menyangkut aspek ekonomi dan aspek spiritual.

Sementara itu, setiap kali pelaksanaan ritual dilihat sebagai pengeluaran

atau biaya yang cukup besar yang dapat dikatakan sebagai sisi negatif.

Pengeluaran pelaksanaan ritual juga memiliki sisi positif yaitu multiplier

effect dan fungsi religiusitas.

2) Implikasi praktis dari temuan penelitian ini adalah

a) Kebijakan dalam mengantisipasi pengaruh negatif kehidupan beragama

umat Hindu di Bali dengan peningkatan pemahaman Agama Hindu yaitu

membaca buku-buku agama dan bertanya pada yang berkompeten.

b) Tersedianya bahan-bahan ritual pada saat berlangsungnya proses ritual

Agama Hindu secara berkelanjutan di Bali.

c) Perubahan sikap berusaha masyarakat dalam memanfatkan multiplier

effect yang lebih besar untuk penguatan ekonomi lokal dan sebagai

stimulus atau percepatan pertumbuhan ekonomi di Bali.

248

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembuktian yang telah dilakukan pendekatan

baik melalui kualitatif maupun kuantitatif. Secara terperinci simpulan penelitian

dikemukakan sebagai berikut.

7 Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Desa Abiansemal selain

memiliki manfaat religius juga memiliki manfaat sosial, budaya, dan ekonomi.

Manfaat sosial yaitu perubahan sikap perilaku beragama masyarakat

pengempon pura peningkatan pemahaman Agama Hindu dengan membaca

buku-buku agama dan menanyakan makna-makna ritual kepada yang

berkompeten. Manfaat budaya yaitu masyarakat pengempon pura mampu

melestarikan nilai-nilai kearifan lokal (local genius) dengan sistem gotong

royong, kebersamaan, dan solidaritas dalam konsep (ngayah, ngoopin,

metetulung, menyamabraya,salulung sabayantaka, parasparos sarpanaya,

adhiluhung). Manfaat ekonomi yaitu adanya perubahan sikap berusaha

masyarakat pengempon pura lebih kreatif dan inovatif sebelum dan setelah

ritual seperti bekerja sebagai tukang banten atau pangayah tukang banten dan

membuat serta menjual alat-alat ritual.

8 Pelaksanaan ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih memiliki rata-rata multiplier

effect sebesar 2,37 yang artinya apabila pengeluaran ritual semakin besar

menyebabkan pendapatan masyarakat pemasok juga bertambah sebanyak

multiplier effect kali jumlah pengeluaran ritual. Hal ini mengindikasikan

249

pelaksanaan ritual Agama Hindu sebagai penguatan ekonomi lokal dan

stimulus pertumbuhan ekonomi, peningkatan output, dan kesempatan kerja

dapat meningkatkan pendapatan ekonomi regional Abiansemal khususnya,

dan Bali umumnya.

9 Besarnya tambahan pendapatan pemasok bahan ritual Mlaspas dan Ngenteg

Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal adalah sebesar 72,06 persen

dari total pengeluaran bahan ritual. Artinya pelaksanaan ritual dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemasok bahan ritual.

10 Pelaksanaan ritual mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap

kesempatan kerja. Artinya intensitas pelaksanaan ritual dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat pemasok bahan ritual di Bali.

11 Pelaksanaan ritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan

masyarakat baik langsung maupun tidak langsung melalui kesempatan kerja.

Artinya intensitas pelaksanaan ritual menyebabkan kesejahteraan masyarakat

pemasok meningkat baik langsung maupun tidak langsung melalui

peningkatan kesempatan kerja. Tingkat kesejahteraan berpengaruh terhadap

kehidupan sosial umat (Hindu) di Bali. Kontribusi pelaksanaan ritual terhadap

kesempatan kerja sebesar 35,4 persen, yang berarti variasi kesempatan kerja

ditentukan oleh variasi pelaksanaan ritual. Kontribusi kesempatan kerja

terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen, yang berarti variasi

kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh variasi kesempatan kerja.

250

7.2 Saran

Berdasarkan analisis hasil penelitian, temuan, dan keterbatasan dari

penelitian ini, dirumuskan beberapa rekomendasi yang ditunjukan, baik kepada

peneliti lanjutan, para praktisi maupun pemerintah.

1) Mengingat pelaksanaan ritual memiliki multiplier effect, masyarakat

sekitarnya disarankan perlu melestarikan bahan-bahan utama yang dibutuhkan

dalam ritual secara berkelanjutan/sustainable dalam upaya mengurangi impor

barang kebutuhan ritual Agama Hindu di Bali.

2) Mengingat fenomena yang berkembang di masyarakat bahwa Agama Hindu

identik dengan biaya besar (komersialisasi), disarankan meningkatkan

pemahaman agama dengan membaca buku-buku agama dan menanyakan

makna ritual kepada yang berkompeten sehingga biaya ritual diharapkan

berkurang.

3) Mengingat mobilitas tenaga kerja perempuan dalam ritual memiliki peran

sangat tinggi, disarankan pada perempuan Hindu mampu berusaha

mengalokasikan waktunya secara tepat agar tidak berbenturan dengan

kegiatan produktif atau menerapkan manajemen waktu.

4) Disaran untuk penelitian berikutnya, agar menghitung multiplier effect

pelaksanaan ritual Agama Hindu sampai tahap terakhir dan variabel lain yang

mendukung pelaksanaan ritual, yaitu kesenian (wewalian) yang berbasis

budaya religius.

251

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I. 2008. Teori dan Metodelogi Studi Agama dalam Pustaka. Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.

Ackley, Gardner. 1961. Macro Economic Theory. The Mcmillan Company. New York.

Adams, A.M., Cekan, J. Dan Sauerborn. 1998. Towards a Conceptual Framework of Household Coping: Reflection from Rural West Africa. Africa: Journal of the International African Institute. 68(2):263-283.

Ahrens, J. 1974. Consumer Expenditure Patterns: Padang 1971/1972. Bulletin of Indonesia Economic Studies (X) 3,p. 123-134.

Adhikari, Krishna Prasad. 2009. Social Capital and its Downside. The Impact on Sustainability of Induced Community-Based Organization Nepal. World Development Volume 38 No (2), pp. 184-194.

Aliasuddin. 2002. Zakat atas Tabungan. Mon Mata. Jurnal Ilmu-Ilmu sosial Bidang Ekonomi. Vol.4 No.2 Desember 2002. Penerbit Lembaga penelitian Universitas Syiah Kuala Darussalam. Banda Aceh, Indonesia. hal. 89-100.

Allen, R.G.D. 1967. Macro Economic Theory. London: Mcmillan and Co. Ltd.

Amaludin, Moch. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Studi Kasus di Desa Bulugede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ambrosino, Rosalie, Joseph heffernan, Guy Shuttlesworth and Robert Ambrosino. 2005. Social Rork and Social Welfare an Introduction, USA: Thomson/Brooks/Cole.

Anand,S. And Harris, C. 1994. Choosing a Welfare Indicator. The American Economic Review, 84(2): 226-231.

Anderson, S. Dan M.Devereux. 1989. Profit sharing and Optimal Labor Contract. Canadian Journal of Economics.Vol.22: 425-33.

Anderson G.Kumenaung. 2008. Mengkaji Konsep Pemikiran pembangunan Berkelanjutan (Substained development).Jurnal Pembangunan Ekonomi dan keuangan daerah (PEKD) Vol. 1.No.2. Edisi Agustus 2008.

252

Angeletos, M.G., Laibson D., Andrea R., Tobacman J., dan Weinberg S. 2001. The Hyperbolic Buffer Stock Model: Calibration, Stimulation, and Empirical Evidence. Journal of Economic Perspectives. 15 (3),pp. 47-68.

Ardika, I Wayan and Peter Bellwood. 1997. Sembiran: The Beginings of Indian Contact With Bali. Antiquity.65,247,pp. 221-232.

___________. 1994. Early Evidence of Indian Contact With Bali. University of Hull. Centre for South Asian Studies. Proceeding of the 5th Internasional Conference of the European Association of Southeast Asian Archaeologists in Paris. October 1994. Vol.1,pp. 139-145.

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Penerbit STIE YKPN Yogyakarta.

Arini, Ida Ayu, 1996. “Kegiatan Ekonomi Wanita Bali di Banjar Tohpati, Desa Kesiman Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar” (tesis). Studi Kependudukan. Pasca Sarjana UGM, tidak dipublikasikan.

Armelly. 1995. “Dampak Kenaikan Upah Minimum Terhadap harga dan Kesempatan Kerja Study Kasus Industri Tekstil di Indonesia: Pendekatan Analisis Input-Output” (tesis) S-2 Program Pasca Sarjana fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta.

Asch, S. E. 1946. Forming Impressions of Personality, Journal of Abnormal and Social Psychology. Juli 1946. pp. 258-290.

Atmaja, I N. Bawa. 2002. Metodologi Penelitian Agama Hindu. Makalah disampaikan pada Penataran Dosen Agama Hindu di Denpasar. 6 s.d.11 Oktober 2000.

Atmaja Jiwa. 2013. Kearifan Lokal Dalam Pemujaan Cendekiawan Diktat, Wahana, Edisi No.83 TH.xxix.Agustus 2013.ISSN:0853-4588

Atkinson, A. B. 1982. Ur Employment Wages and Government Policy. The Economics Journal, Vo. 92. Hal. 42-50.

Avis,J. 2002. Social Capital Collective Intelligence and expansive Learning: Thinking Through the Connections. Bretish journal of Educational Studies,50,30,pp. 308-26.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kerjasama dengan Universitas

Udayana. 2008. Bersama Menata Perubahan. Evaluasi Tiga Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di Provinsi Bali. Denpasar.

253

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I Bali. 1996. Profil Kependudukan dan Peranan Wanita di Bali. Denpasar.

Badan Pusat Statistik. 2000. Sensus Penduduk Indonesia.Jakarta.:Penerbit BPS Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2010. Data Bali Membangun. Provinsi Bali: Penerbit BPS Bali

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali: Penerbit BPS Bali

___________. 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali: Penerbit BPS Bali

___________. 2010. Bali Dalam Angka Propinsi Bali: Penerbit BPS Bali

___________. 2009. Tinjauan Kinerja Perekonomian Indonesia. Triwulan II 2009: Penerbit BPS Bali

___________. 2009. Statistik Sosial Budaya Propinsi Bali: Penerbit BPS Bali

Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2010. Distribusi Pendapatan dan Ketenagakerjaan Kabupaten Badung: Penerbit BPS Kabupaten Badung.

___________. 2011. Bali Dalam Angka Kabupaten Badung. Penerbit BPS Kabupaten Badung.

___________.2011. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Badung. Penerbit BPS Kabupaten Badung.

___________. 2008. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Badung Tahun 2008 (Kajian Data Susenas 2007). Penerbit:BPS Kabupaten Badung.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2011. Laporan Hasil Penyusunan PDRB dan Indikator Makro Ekonomi Bali Tahun 2011. Penerbit: BPS Bali.

Barro, Robert J. and Rachel M. McCleary, 2002, Religion and Political Economy in an International Panel, manuscript, Harvard University.

Bali Post. 2002. “Konflik Agama” Bali Post, 30 Oktober 2002. No.74 Tahun ke 50.

____________. 2004. “Catur Warga” Bali Post, 27 Oktober 2004. No.73 Tahun ke 57.

254

Baron, J.N., Hannan, M.T. dan Burton, M.D. 2001. Labor Pains: Change in Organisational Models and Employee Turover in Young, high-tech Firms. American Journal of Sociology, 106,4,pp. 960-1012.

Barro, Robert, J. 1998. Human Capital and Growth in Cross Cuntry Regression. Journal of Economics. Harvard University No.214.

Baier, Scott,L.,Gerald P. Dwyer JR.,and Robert Tamura. 2006. How Important are Capital and Total Factor Productivity for Economic Growth. Journal of Economic Inquiry. Vol.44 No.1 Januari, 006.pp.23-49.

Baiquni, M. 2006. “Pengelolaan Sumberdaya Pedesaan dan Strategi Menghidupkan Rumah Tangga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Masa Krisis (1998-2003) “(disertasi). Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Basri, F. 2003. Profil dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Becker, Gary S. 1975. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis. National Bureau of economic research. New York.

Bendesa, Komang Gde. 2008. Ekonomi Bali dalam Perspektif Pariwisata dan Lingkungan. Makalah disampaikan pada Konggres Kebudayaan Bali Denpasar: tanggal 14-16 Juni 2008.

___________. 2012. Kebijakan dan Dampak Sektoral dalam Pembangunan Bali. Makalah disampaikan dalam seminar Analisis Kritis Pembangunan Bali, 15 Agustus 2012. Denpasar: Universitas Udayana.

Berg, A. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Rajawali.

Besley, Timothy. 1995. Non Market Institutions for credit and risk sharing in Low-Income Countries. The Journal of Economic Perspectives, 9(3): 115-12.

Berger, S.; Harasty, C. 2002. World and Regional Employment Prospects: Halving the World’s Working Poor by 2010 (Jenewa: ILO, 2002)

Budiana, I Nyoman. 2004. “Rekontruksi Sosial Perkawinan Eksogami di Tengah Perubahan Sosial di Bali” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Boediono. 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE-UGM. Yogyakarta.

255

Boediono dan McCawley. 1984. Bunga Rampai Ekonomi Mikro. Kumpulan-Kumpulan Karangan Mengenai Penerapan Teori Ekonomi Mikro. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Bungin Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodelogis Kearah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

___________. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Boeke, J.H. 1953. Economic and Economic Policy in Dual Societies.New York

Boisjoly, J. Duncan, G. dan Hofferth, S. 1995. Access to Social Capital. Journal of Family Issues, 16, 5,pp. 609-31.

Bonner, H. 1953. Social Psychology. New York: Marican Book Company.

Bourdieu, P. 1977. Cultural reproduction and Social Reproduction. Hal.487-511 dalam J. Karabel dan A.H. Halsel (eds) Power and Ideology in Education, oxford university Press. New York

Bourdieu, Piere and Loic J.D. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflektive Sociology. Chicago: Univercity of Chicago Press (6/13/2009, 06:30 am).

___________. 2008. (George Ritzer – Doglas J.Goodman). Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Bjorklund, D.V. 2000. Children's Thinking: Developmental Function and individual Differences. 3rd Ed. Belmont, CA: Wadsworth, hal. 2-13

Butler, E. 2007. Adam Smith-a Primer, The Institute of Economic Affairs 2 Lord North Street Westminster, London.

Brannen, Julia. 2004. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Bhaktivedanta Swami P.S.S.A.C. 1971. Bhagavad Gita Menurut Aslinya. Edisi pertama (edisi saku). 2006.Tim Penerjemah. Indonesia: Penebit Hanuman Sakti di bawah lisensi. The Bhaktivedanta Book Trust International. Inc. Srila Prabhupada.

Bhide, Sheela. 2000. Economic and Political. Weekly Journal, Vol. 35. No.50.http://www.JSTOR.org/stable/4410053.

256

Blegen, H., Nylehn, B. 1968. Organishing the Maintenance Function: An Analytical Approach. International Journal of Production Research 7.pp. 3-32.

Blum, Ulrich and Leonard Dudley, 2001, Religion and economic growth: was Weber right?, Journal of Evolutionary Economics, 11(2): 207-230.

Brady, D.S. and Friedman, R.D. 1947. Saving and the Income Distribution: Studies York. International Bureau of Economic Research. pp. 247-265

Branson, William, H. 1979. Macroeconomic theory and Policy. Second Edition. New York: Harper and Row Publisher.

Brigaitis. 2005. Religius Engagement and Social Capital in The Islamic Context. (Thesis) Submitted to University of North Texas.

Bronfenbrener, Urie. 1986. Ecology of The Family as A Context for Human Development Research Perspectives. Journal of Development psychology, Vol 22 No.6. pp. 1-20 (10/08/2011; 12: 10 pm).

Bronsteen, J. Christopher B. and Jonathan S. M. 2009. Welfare As Happiness. The Georetown Law Journal. Vol. 98,pp.1583. Electronic Copy Available at: http://ssrn.com/abstract=1397843.

Brooks, Benjamin. 2008. The Natural Seletion of Organizational and Safety Culture Within a Small to Medium SizedE (SME). Journal of Safety Research 39,pp. 73-85

Bryan & Turne, 2006. Relegion And Sosial Theory, (Agama & Teori Sosial, Terj.Inyiak Ridwan Muzir), Yogyakarta: IRCiSoD

Brymann, Alan. 2001. Social Research Methods. Oxford University Press Inc. NY.

Browning, M. And A. Lusardi. 1996. Household Saving : Micro Theories and Micro Facts. Journal of Economic Literature, 34(4): 1797-1855.

Brown, Charler, Curtis Gilray and Andrew Kohen. 1982. The Effects of Minimum Wage on Employment and Unemployment. Journal of Economics Literature. Vol.20, Juni 1982.

Conway, G.R. and E. B. Barbier. 1990. After the Green Revolution: Sustainable Agriculture for Development. London. Earthscan Publication Ltd.

Callinicos, Alex. 2008. The Against Third Way, Kritik Anti-Kapitalis atas Keruntuhan Ekonomi Global, Yogyakarta: Eduka.

257

Carrol, D.D., and Kimball M.S. 1996. Notes and Coments on the Concavity of the Consumption Function. Econometrica, 64.4: Hal. 981-992

Coleman, James S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The American Journal of Sociology, Supplement: Organizations and Institution: Sociological and Economic Approaches to the Analysis of Social Structure 94,pp. 95-120.

___________. 1990. Equality and Achievement in Education. Westriew Press, Boulder.

___________.1992. Foundation of Social Theory. Cambridge MA: Harvard University Press.

Cohran, W.G. 1977. Sampling Techniques. John Wiley & Son. Inc.

Cohen, D. dan Prusak, L. 2001. In Good Company: How Social Capital Makes Organizations Work. Harvard Business Press.

Campbell J.Y., dan Mankiw N.G., 1989. Consumption, Income, and Interest Rates. Reinterpreting the Time-Series Envidence. NBER Macroeconimics Annual: pp. 185-216.

Cameron, Lisa A. Dan Worswick, Christopher. 2003. The Labor Market as a Smoothing Device: Labor Spply Responses to Crop Loss, Review of Development Eonomics, 7 (2),pp. 327-341.

Corbin, Juliet. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Covarrubias. 1972. Island of Bali. Kualalumpur: University Press Oxfford.

Chapra, M. Umer. 2001. The Future of Economics: An Islamic Perspective. The Islamic Foundation, UK. Amdiar Amir, dkk (penterjemah). 2001. Shari’ah economics and Banking Institute. Jakarta.

Chellius, J. Dan R.S. Smith. 1995. Profit Sharing and Employment Stability. Industrial and Labor Realtion Review.Vol.43.February: 256S-273S.

Christensen, L. Dan Johnson, B. 2008. Educational Research Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches. Sage Publications. The United States of America.

Choi, Hyunsun. 2004. “Social Capital and Community Economics Development in Los Angeles Koreatown: Faith-Based Organization in Transitional Etnic Community” (dissertation). Sudmitted to University of Southerm California.

258

Choi J. J., Laibson D. Brigitte M. dan Andrew M. 2002. Defined Countribution Pensions: Plan Rules, Participant Decisions, and the Path of Least Resistance. Poterba J.,ed., Tax Policy and the Economy (Cambrindge, MA: MIT Press), 16,pp. 67-113.

Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern dari Parson sampai Herbamas. (Terj. Paul S.), Jakarta: CV. Rajawali.

Creswell J.W. and Clark V.L.P. 2007. Mixed Methods Research. Desiging and Conduction. The United States of America.

Daly, V. And Hadjimantheou, G. 1981. Stochastic Implications of the Life Cycle Permanent Income Hypothesis: Evidence for the UK Economy. Journal of Political Economy, 89,pp. 596-599.

Dally, H. 1994. Operationalizing Sustainable Development by Investing in Natural Capital. In Goodland, R. And V. Edmunson (Eds).Environmental Assesment and Development World Bank,Washington DC.

Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Denison, EF. 1962. United State Economic Growth. The Journal of Business, April, pp. 1-10

Dean, J., Snell, S. 1991. Integrated Manufacturing and Job Desighn: Moderating Effect of Organizational. Imertia Academy of Management Journal 34.pp. 776-804.

Deacon, Ruth E. And Francille M. Firebaugh. 1981. Family Resource Management Frinciples and Aplications. Atlantic Avebue. Boston.

Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Denburg, T.E. and McDougl, D.M. 1976. Macroeconomics. The Measurement, Analysis and Control of Aggregate Economic Activity 5 th. Edition Tokyo The Mcmillan Company.

Derrida, Jaques. 2002. Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual. (Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra.

Diener, E., dan Suh, E.M. 1999. National Differences in Subjective Well-Being. In E. Kahneman, E. Diener, & N. Schwarz (Eds.), Well-being: The Foundations of Hedonic Psychology (pp.434-450). New York: Russell Sage Foundation.

259

Donder, I Ketut. 2009. Teologi (Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah tentang Tuhan). Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita.

___________. 2010. Tata Cara, Ritual dan Tradisi Hindu. Surabaya: Paramita.

Duesenberry, J.S. 1967. Income, Saving and the Theory of Consumen Behaviour. New York. Oxford University Press. Chapter IV dan V.

Durkheim, Emile. 1933. The Division of Labor in Society. Terjemahan oleh George Simpson. The Free Press. New York.

___________. 2003. Sejarah Agama (The Elementary Forms of the Religious Life). Yogyakarta: IRC.So.D.

Downing R.I. 1969. National Income and Social account An Australian Study. Melbourne University Press.

Dutta, Shantanu, Om Warassimhan, and Suredra Rajiv. 1999. Marketing Capability Gritical. Journal Marketing Science Vol 18 No. 4,pp. 547-568.

Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Terj.Kelompok studi Agama Driyarkara. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

Djarwanto, 1991, Statistik Nonparametrik, Yogyakarta. BPFE

Djajadingrat, S.T. 1992. Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Membangun Tanpa merusak Lingkungan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Djojohadikusumo S. 1993. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Drakos, K. And Kutan, A.M. 2003. Regional Effects of terrorism on Tourism in Three Mediterranean Countries. Journal of Conflict Resolution, 47,5, October 2003, 621-641.

Drucker, A. 1996. Bhagavan Sri Sathya Sai Baba. Terj. Wayan Sadia. Surabaya: UD. Paramita.

Dwija, I Nengah. 2006. Revitalisasi Modal Sosial Masyarakat Bali Berbasis Kearifan Lokal dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Depbudpar RI dengan Unud.

Easterlin, Richard A. 2001. Income and Happiness: Toward a Unified Theory. The Economic Journal. 111(July),pp. 465-484. Available from: http://www.blackwellpublishing.com/specialarticles/ecoj644.pdf

260

Ehrenberg, R.G. and Smith, R.S. 1989. Modern Labour Ekonomics, Theory and Public Policy, London: Scott, Foresman and Company.

Einsentad. 1988. Revolusi dan Transformasi Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali.

Eisenstadt, Shmuel Noah, 1968, The Protestant Ethic and Modernization: A Comparative View. New York, Basic Books.

Eisevan, Jr. Fred B. 1994. Bali Sekala & Niskala (Essays on Religion, Ritual, and Art) Singapore: Periplus Edition (HK) Ltd.

Ellison, Christopher G., 1991, Religious Involvement and Subjective Well-being, Journal of Health & Social Behavior, 32(1): 80-99.

Ellison, C. And Linda K. George. 1994. Religious Involvement Social Ties and Social Support in a Southeatem Community. Journal for Scientific Study of Religious. 33,pp. 46-61.

Eric Schliesser. 2006. Philosophy and a Scientific of the History of Economics, Deprtment of Philosophy, Syracuse University, 541 Hallof Languages, Syracuse, NY ,pp. 1324-1170; [email protected]

Eriyatno. 2011. Membangun Ekonomi Komparatif. Strategi Meningkatkan Kemakmuran Nusa dan Resiliensi Bangsa. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo.

Erwidodo. 1999. Modernisasi dan Penguatan ekonomi masyarakat pedesaan.

Dalam Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan Sebagai Penangulangan Kemiskinan (Penyunting Hasan Basri) Cetakan Pertama hal. 3-40. Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Esmara, H. 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: PT.

Gramedia. Esterly, W. dan R. Levine. 1997. Afrion’s Growth Tragedy: Policies and Ethnic

Division. Quartely Journal of Economics. 112 (4),pp. 1203-1250. Fallon, Peter R. dan Lucas, Robert E.B. 2002. The Impact of Financial Crises on

Labor Markets, Household Incomes, and Poverty: A Review of Evidence, World Bank Research Observer, Oxford University Press,17 (l),pp. 21-45.

Fairclough, Norman. 1995. Discursus and Sosial Change. Cambridge: Polity

Press. Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

261

Ferdinand, Augusty, 2006, Structural Equation Modeling, Edisi 4, BP UNDIP, Semarang.

Ferdinand, Augusty. 2006. Structural Equation Modeling dalam Penelitian

Manajemen Aplikasi Model-Model Rumit dalam Penelitian untuk (tesis) Magister dan (disertasi) Doktor. Fak Ekonomi UNDIP Semarang.

Fehr, E. Kirchstein, G. and Riedl, A. 1996. Involuntary Unemployment and Non-

Compensating Wage Differentials in An Experimental Labour Market. The Economics Journal. 106 (Januari), 106-121.

Fergusson, D.M.L.J.,Horwood, A.L. Beautrais. 1981. The Measurement of Family

Material Well Being. Journal of Marriage and the family, 43(3): 715-725.

Ferlini. 2011. Analisis Ketenagakerjaan dan Strategi Peningkatan kesempatan

Kerja di Provinsi Sumatera Barat. http://www.google.com/jurnal kesempatan kerja.

Field, J. 2011. Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana. Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of

Prosperity. Hamisld Hamilton, London. ___________. 1998. The End of History and The Last Man (Introduction

Reproduced 2005) Penguin.

___________. 1999. Social Capital and Civil Society. Institute of Public Policy. George Mason University.

___________. 2001. Social Capital, Civil Society and Development. Third World Quarterly, 22 (1),pp. 7-200.

Flavin, M. 1981. The Adjustment of Consumption to Changging Expectations About Future Income. Journal of Political Economy. Oxford University Press.

Frankenberg, E.J.P. Smith and D. Thomas. 2003. Economic Shocks, wealth and Wefare. Journal of Human Resources. 38(2): 280-321.

Friedman, M. 1957. A Theory of The Consumption Fuction. Princeton N.J.: Princeton University Press for National Bereau of Economic Research, Princeton.

262

Friedman, H.H. and Linda W. Friedman,(t.t), Can’Homo Spiritualis’ replace Homo Economicus in the Business Curriculum? Department of Economics Brooklyn College of the City University of New York Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1160468.

Freeman,R. dan M.Wietzman. 1995. Bonuses and Employment in Japan. Journal of the Jananese and International Economics. Vol.1: 168-94

Gati Nurani, Indah. 2008. Kontribusi Industri Kecil Emping Mlinjo Terhadap Pendapatan Tenaga Kerja di Desa Pungangan, Kecamatan Lampung Kabupaten Batang. (Skripsi) UNNES.

Geriya, I W. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Denpasar.

Geertz, Clifford, 1973. The Interpretion Of Culture. Basic Books, New York: Inc. Publisher.

________.1995. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Gibb, J R., Platt, G. N. And Miller. 1951. Dynamics of Participate Group. Boulder: Univercity of Colorado.

Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern Suatu Analisis Karya-Karya Marx, Durkheim, Max Weber. Jakarta: UI Press (Terjemahan: Soeheba Kramadibrata). Jakarta: UI Press.

Goeltom, Miranda S. 2007. Essays in Macroeconomi Policy: The Indonesia Exprience. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gorda. 1996. Manajemen Dalam Perspektif Hindu, dalam Suaspanya (2005), (tesis) (tidak dipublikasi)

Gordon, Robert J., 2000. Macroeconomic. Addison Wesley Longman, Inc.

Goody. 1961. Tentang Religion and Ritual: The Definitional Problem, The British Journal of Sociology.pp. 159.

Gorris, R. 1986. Sekte-Sekte di Bali. Jakarta: Penerbit BharataKary Aksara.

Gottfries,N. Dan T.Sjostorm. 1987. Profit Sharing, Employment Efficiency and Wage Stability. Scandinavian Journal of Economics.Vol.97: 281-94.

Gujarati, D. N. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

263

Gunadha, Ida Bagus. 2009. Pemberdayaan Desa Pakraman, Sebagai Strategi Kebertahanan Adat, Budaya, dan Agama Hindu Bali, Denpasar; UNHI dan Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali.

Guritno, B. Dan Waridin. 2005. Pengaruh Persepsi Karyawan mengenai Perilaku kepemimpinan, kepuasan kerja dan Motivasi Terhadap Kinerja. Jurnal Riset Bisnis Indonesia. Vol.1.No.1.Januari 2005:63-74.

Guiso.L, Sapienza P., Zingales L. Religion And Economic Attitudes. People’s Opium. University of Sassari, Ente “Luigi PR. University of Chicago, NBER,&CEPR

Ghozali, Imam dan Fuad. 2005. Structural Equation Modeling, Teori Konsep dan Aplikasi dengan Program LISREL. Semarang: BP.UNDIP.

___________. 2010. Structural Equation Modeling, Metode Alternatif dengan Partial Leas Square (PLS). Semarang: BP.UNDIP.

Glacser, edward L., David Laibson and Bruce Sacerdote. 2002. An economic Approach to Social Capital. Economic Journal. 112 (483),pp. F437-F458.

Glewwe, Paul. 1999. Why does mother”s Schooling Raise Child Health in Developing Countries? Evidence from Morroco. Journal of Human Resources 34,pp. 124-159.

Granato, J. Inglehart, R. Dan Leblang, D. 1996. Culture Values, Stabe Democracy and Economics Development: A Reply American Journal of Political Science 43(3).

Grinols, Earl L. 1994. Microeconomics. Houghton Mifflin Company. Boston. Toronto. Genewa, Illinois Palo Alto Princeton, New Jersey.

Grootaert, C., 1998. Social Capital Housrhold Welfare and Proverty in Indonesia, Local Level Institutions.Working Paper, The World Bank: Social Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development Network.

__________. 1999. Social Capita, Housrhold Welfare and Proverty in Indonesia. Local Level Institutions. Working Paper No.6. World Bank.

Griliches, Zvi. 1963. The Sourches of Mesured productivity Growth: United Stated of Agricultural, 1940-1960. Journal of Political Economy, August. pp. 333-346.

__________. 1963. The Sources of Mesured productivity Growth: United Stated of Agricultural, 1940-80. Journal of Political Economy, August. pp. 333-348.

264

Gronau, R. 1976. Allocation of Time of Israeli Women. Journal of Political Economy,84 (4),pp. 201-220.

Habib, Adnan. 1999. Agama Masyarakat dan Reformasi Kehidupan. Denpasar: BP.

Hadi, Y Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Penerbit Buku Pustaka.

Hall R.E. 1978. Stochastic Implications Of The Life-Permanent Income Hypothesis: Theory and Evidence. Journal Of Political Economy 86 (April 1978),pp. 971-987.

Hansen, Lee W. Ed. 1970. Education, Income and Human Capital. Columbia University Press. New York.

Hayashi, F.1982. The Permanent Income Hypothesis: Esimation and testing by Instrumental Variables. Journal of Political Economy.90,pp. 895-816.

Harry, Hikmat. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Hastuti, dkk. 2004. Laporan Penelitian. Evaluasi Dampak Sosial-Ekonomi Proyek Pengembangan Wilayah Berbasis Pertanian Sulawesi (SAADP): Pelajaran dari Program Kredit Mikro di Indonesia, Lembaga Peneliti. SMERU.

Hermanto dan Andriati. 1995. Pola Konsumsi di Daerah Pedesaan Jawa Timur. Posiding Hasil Seminar Patanas Ke II Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hal. 40-67.

Hermanto, Supena Friyatno dan Abunawan Mintoro. 1995. Pokok-Pokok Pemikiran tentang Model Penangulangan Kemiskinan Nelayan. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Hal. 463-480.

Henderson, James M and Richard, E. Quant. 1980. Micro Economics Theory A Matematical Approach. Tokyo: Mc Graw-Hill International Book Company.

Hicks, J.R. 1939. The Foundations of Welfare. Economic Journal. Vol 49. Desember 1939, pp. 696-712.

Hill, R. 2000. Real Income, Unemployment and subjective Well-Bieng: Revisiting the Costs and Benefits of Inflation Reduction in Canada. Canadian Public Policy, 26 (4),pp. 399-414.

265

Hughes, Mathew and Robert K. Perron. 2010. Shaping and Re-Shaping Social Capital in Buyer-Supplier Relationships. Journal of Business Research:pp.2-8.

Hulme, David & M. Turner. 1990. Sociology of Development Theories, Policies, and Practices. Hertfordshire : Harvester Wheatsheaf.

Horvath, Endre dan Frechtling Douglas. 1999. Estimating the Multiplier Effects of Tourism Expenditures on a local Economy through a Regional Input-output Model. Jurnal of Traveo Penelitian vol.37, No.4 (Mei 199), hlm. 324-332.

Hooykaas, Jacoba, Van Leeuwen Boomkamp 1961. Ritual Parification of A Balinese Tample. Amesterdam: NV. Noord Hollmasche Ungevers Maatschappij.

Hooykaas, C. 1964. Agama Tirta, Five Studies In Hindu-Balinese Religion Amesterdam: NV. Noord Hollmasche Ungevers Maatschappij.

Ife, Jim. 2002. Communy, 1976. City Development : Community Based Activities in an Age of Globalization. Australistera : Cath Godfrey Publisher.

Illich, I. 2001. Menggugat Kaum Kapitalis. Penerjemah Loly Nuryafitri.

Yogyakarta:Melibas.

Ismail, Munawar. 2003. Emansipasi Nilai Lokal, Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan. Malang: Banyumedia Publishing.

Jameson, Frederick. 1991. Posmodernisme on the Cultural Logic of Late Capitalisme. London:Verso.

Jene, K. Kwon. 1986. Capital Utilization, Economics of Scale and Technical Change in The Growth of Total Factor Pruductivity : An Explanation of South Korean Manufacturing Growth. Journal of Development Ecnomics, April,pp. 75-89 (6/13/2009,07:10 am).

Jhingan M.L., 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.

Jorgenson, D.W. 1961. The Development of Dual Economy. Economic Journal, Juni 1961, pp. 309-334.

Jordan, Y. G. 1993. Economic Impact Assessment of the travel and tourism indusry visitor expenditures, tourism multipliers, input-output analysis, and case studies : a selected bibbliogrphy, intelligence cPacific Asia Travel Association, San Francisco.

266

Jonathan S., 2007. Analisis Jalur untuk Riset Bisnis dengan SPSS. Yogyakarta :Andi.

Johnson, Buerke dan Larry Christensen. 2008. Educational Research Quantitative, Qualitative, and Mixed Approaches. Third Edition. California, Sage Publication, Inc.

Johnson, Harry G. 1973. The Theory of Income Distribution, Gray-Mills Publishing Ltd, 10 juer street London S.W.11.

Julissar, A. N. 2005. Pembangunan Berkelanjutan Dan Relevansinya Untuk Indonesia. Jurnal Madani. Edisi II/Nopember 2005

Kaldor, Nicholas. 1939. Welfare Propositions in Economics and Interpersonal Comparisons of Utility. Economic Journal.Vol. 49, September 1939,pp. 549-552.

Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Mikro Islami. The International Institute of Islamic Thought. Indonesia. Jakarta.

Kaelan. 2005. Metode penelitian Kualitatif Bidang Filsafat: Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni. Yogyakarta: Paradigma.

Kayam, Umar. 1993. Perubahan Sosial Budaya Menuju Masyarakat Industri dalam Agama Demokrasi dan Perubahan Sosial (Amine d.). Yogyakarta: LKPSM. Najib.

Kasryo F., h. Nataatmadja, C.A. Rasahan, Yusdja. 1986. Profil Pendapatan dan Konsumsi Pedesaan Jawa Timur. Departemen Pertanian Bogor.

Kellner, Douglas (ed). 1994. Baudrillard: A Critical Reader. Cambridge USA: Blackwell.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011- 2025. Jakarta.

Kerlinger, F.N. 2004. Azas-asaz Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kim, C. 1996. Measuring Deviation From the Permanent Income Hypothesis. International Economic Review. Vol.37, No.1,pp. 205-224.

Kirk, Jand M.L., Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research. Bevrly Hills: Sage Publication.

267

Kirdt–Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr. 1993. Understanding Generalist Practice. Nelson-Hall Publishers: USA Chicago.

Kiriana I N. 2008. Yadnya Sebagai Praktik Pendidikan Humaniora Dalam Persepktif Metode Refleksitas Epistemik Pierre Bourdieu. Jurnal Agama Hindu, Pangkaje. Vol.VIII, No.2, Agustus 2008 Hal.150

Kochar, Anjini. 1999. Smoothing Consumption by Smoothing Income: Hours of Work Responses to Idiosyncratic Agricultural Shocks in Rural India. Review of Economics and statistics. 81 (91),pp. 50-61

Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambata.

___________. 2004. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koslowski P. 2006. The Economy of Happiness. International Centre for Economic Research. Working Paper Series No 15.May 2006. University Amsterdam, Belanda dan ICER.

Kuncoro, H. 1999. Dimensi Kualitatif Keberhasilan Perluasan Kesempatan Kerja. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 14. No. 1: 9-17.

___________. 2002. Upah Sistem Bagi Hasil Dan Penyerapan Tenaga Kerja. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.7.No.1. Hal:45-56.

Kuiper, F.B.J. 1996. Varuna and Vidusaka. Dalam Natalia Metha. Drama and Ritual of Early Hinduism. Kumpulan Artikel. Performing Arts Series oleh Richmod F.P.(editor). Notiol Banarsidass Pub. Ltd. Delhi.

Khairudin. 1990. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta : Nur Cahaya

Khan, Nisar A. And Saghir Ahmad Ansari. 2008. Application of new Institutional Economics to the problems of Develoment: A Survey, Abstracts Journal of Social and Economic Development 10 (1),pp. 1-32.

Khan, Habibullah, Chou Fee Seng and Wong Kwei Cheong. 1990. Tourism Multiplier Effects on Singapore, Annals of Tourism Research, Vol 17., pp.408-418.

Knack, Stephen and Paul J. Zak, 2001, Trust and Growth, Economic Journal 111(470): 295-321.

Krueger, Jr.N.F., From Keynes: Animal Spirits to Human Spirits?: Passion as The Missing Link in Entrepreneurial Intentions, Boise State University, http://ssrn.com/akbstract=1162337 download tgl 2 Juni 2010.

268

Knack, S. 2002. Social Capital, Growth and poverty: a Survey of Gross-Country Evidence in. The Role of Social Capital an Development. Cambridge University Press. Edited by Groat acet,C, and T.Van Bastelaer.

Knack, S. And Keefer, P. 1997. Does Social Capital Have Economic Poy off? A Cross-Country Investigation. Quartely Journal of Economics. 112(4),pp. 141-163.

Kraybill, David and Bruce Weber. 1995. Institutional Change and Economic Development in Rutal America. America Journal of Agricultural Economics. 77,pp. 1265-1270.

Layard, P.R.G. and A.A. Walter. 1978. Microeconomic Theory. New York: Mc Graw-Hill Book Co.

Laibson D.1997. Golden Eggs and Hyperbolic Discounting. Quarterly Journal of Economics. 62 (Mei 1997),pp. 443-477.

Leiderman, L. 1980. Macroeconometric Testing of the Rational Expectations and Structural Neutrality Hypothesis for tne United States. Journal of Monetary Economics.6,pp. 69-82.

Lewis,W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labour. Dalam A.N. Agarwala dan S.P. Singh (Ed.).The Economics of Underdevelopment. Oxford University Press. New York. Pp. 400-449.

Leontief, Wassily. 1985. Input-Output Economics, Oxford University Press, New York, 2nd ed. (1 st ed.:1966).

Lee, Martyn J. 2006. Budaya Konsumen Terlahir Kembali Arah Baru Modernitas dalam Kajian Modal Konsumen dan Kebudayaan (Terjemahan: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Lochart, W. 2005. Building Bringes and Bonds: Generating Social Capital in Secular and Faith-Based Poverty-to-Work Programs, Sociology of Religion, Vol. 66,No.1.pp.45-60.

Lindauer, John. 1971. Macroeconimics. Second Edition. Johwiley & Son Inc.N.Y.

Magetsari, Noerhadi. 1986. Local Genius dalam Kehidupan Beragama dalam Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Mangkoesubroto,dkk. 1998. Teori Ekonomi makro. Yogyakarta:STIE YKPN.

Mankiw Gregory.N. 2007. Makroekonomi. (Fitria Liza dan Imam Nurmawan, Pentj). Jakarta: PT. Penerbit Erlangga.

269

Mantra, I B. 1992. Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar:PT. Upada Sastra.

__________. 1995. Penentuan Sampel. Dalam: Singarimbun, M dan Effendi,S., Editor. Metode Penelitian Survei. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

___________. 1996. Landasan kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 2003. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Relajar.

Multifiah. 2011. ZIS untuk Kesejahteraan. UB Press. Malang.

Mahendra, A.A. Oka. 1992. Kepemimpinan dalam Ajaran Hindu, dalam Cendekiawan Hindu Bicara. (Editor Putu Setia). Jakarta: Yayasan Dharma Naradha.

Maluccio, J., L. Haddad dan J. May. 1999. Social Capital and Income generating in South Africa 1993-1998. IFPRi: FCND Discussion paper. No.71.

Mak, James. 1989. The Economic Countribution of Travel to State Economies. Journal of Travel Research, 28 (fall): pp. 2-5.

Maman Kh, U. 2006. Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Mannulang, M. 2001. Organisasi dan Manajemen. Yogyakarta: Liberty.

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Cetakan Pertama 2011. Republik Indonesia.

Mas, Putra. 1988. Panca Yadnya. Jakarta: Yayasan Dharma saranti.

Mas’ud M. Dan Mahmud, M. 2004. Kewirausahaan. Penerbit Yogyakarta: AMP. YPKN.

Marhaeni, Anak Agung Ayu Istri. 1991. Alokasi Waktu Pekerja Wanita Pada Industri Garmen di Daerah Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan. (tesis) S-2, Studi Kependudukan Pasca Sarjana UGM, Tidak Diterbitkan.

Matthew Rabin. 1998. Psychology and Economics. Journal of Economic Literature, Univercity of California at Berkeley Vol.36 No.1(Mar 1998), pp. 11- 46. http://www.jstor.org/journals/aca.html.

270

Menard, Claudia. 2000. Editor. Institutional, Contracts and Organizations. Perspectives from New institutional Economics. Edward Eigar Publishing Limited.

Menard, Claudia and Mary M. Shirly. 2005. Editor. Handbook of New Institutional Economics. Springer the Netherlands.

Midgley, James. 2004. Pembangunan Sosial: Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Meyer, B. dan Sullivan, J. 2003. Measuring the well-being o the poor using Income and Cosumption, The journal of Human Resources. 38 (Special Issue on Income Volatility and Implications for food assistance Programs 1180-1220

Miller, Roger Le Roy. 2000. Teori Mikroekonomi Intermediate. (Haris Munandar, pentj). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Monografi Desa Abiansemal Kabupaten Badung. 1997. Monografi Desa Abiansemal Kabupaten Badung Tahun 2011.

McGee, R.W., Burke, E. And Adam Smith. 1992. Pioneers in the Field of Law & Economics Published in Liverpool Law Review, Vol.14, No.2 (1992),pp. 159-171. Barry University.

Mc.Callum, B.T. 1980. Rational Expectation and Macroeconomic Stabilisation Policy. Journal of Political Economy,12.pp. 716-746.

McLaughlin, Kenneth J. Dan Mark Bils. 2001. Interindustry Mobility and the Cyclical Uppgrading of Labor. Journal of Labor Economics, 9(1): 94-135.

Merton, Robert K. 1967. On Theoretical Sociology, Five Essays, Old And New, Including part One of Social Theory And Social Structure. New York: Collier-Macmillan Limited, London.

Modigliani,F. 1986. Life Cycle. Individual Thrift and the Wealth of Nations. American Economic Review. 76 (Juni 1986),pp. 297-313.

Moelyono Mauled. 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif antara Tuntutan dan Kebutuhan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Moore, K.A., L. Lippman, B. Brown. 2004. Indicator of Child Well-Bieng: The Promise for Positive Youth Development. Anuals of the American Academy of Political and Social Science, 591,pp. 125-145.

271

Morduch, Jonathan. 1995. Income smoothing and Consumption Smoothing. The Journal of Economic Perspective, 9(3): 103-114.

Morgan Kenneth. 1953. The Relegion of The Hindus. Reprint, 1996, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers private Limited.

Moleong, Lexy. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muellbauer, J. and Portes, R. 1978. Macroeconomic Model Eith Wuantity Rationing. Economic Journal.88,pp. 788-821.

Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Murphy, K. R. 1992. Is Halo a Property of a Rater, the Ratees, or the Specific Behaviors Observed? Journal of Applied Psychology. Juni 1992, pp. 494-500.

Murjana Y, I G.W. 2003. Strategi Pembangunan Ekonomi Provinsi Bali (Aspek Makro Kependudukan dan Ketenagakerjaan). Kerjasama Dewan Harian Daerah 45 Provinsi Bali, ISEI Cabang Denpasar-Bali, FE Unud, dan Ikayana Alumni Universitas Udayana. Denpasar: PT. Bali Post.

___________. 2006. Kepekaan Bisnis Orang Bali (Kasus Pengusaha Pandak Gede, Kabupaten Tabanan) dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Depbudpar RI dan Unud.

Murjana Yasa, IGW., A. A.A.I. Marhaeni, dan Bagus Ketut Wijaya. 1994. Pertumbuhan Penduduk, Angkatan Kerja dan Kegiatan Ekonomi Penduduk. Paper disampaikan pada Pelatihan Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Tik II Kerjasama Bappenas dengan Universitas Udayana di Denpasar. 11 Januari 1994 s/d 9 Pebruari 1994.

Murjana Yasa, IGW. 2009. Penangulangan kemiskinan Berbasis Partisipasi Masyarakat di Provinsi Bali. Journal Ekonomi dan Sosial (INPUT) FE Unud: hal.86-91.

Mustika, Made. 2011. Kenapa Orang Bali Kalah Telak dari Pendatang. Majalah Hindu Raditya. Juli 2011. No. 168.

Nasir, Moh. 1998. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nasution, S. 1993. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta : Bumi Aksara.

272

Narayan, D., dan Pritchett, L. 1999. Cent and Socialibility. Houschold Income and Social Capital in Tanzania. Economics Development and Culture Change 47 (4 Juli),pp. 871-79.

Nawawi, H. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Neary, J.P. and Stiglitz, J.E. 1983. Toward a Reconstruction of Keynesian Economics: Expectations and Constrained Equilibria. Quaterly Journal of Economics.98, Supplement, pp. 199-228.

Netra, Oka I Gusti Agung. 1994. Tuntutan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.

North, Douglass. C. 1998. Understanding Institutions. Editor by Menard, Claudia. 2000. Edward Eigar Publishing Limited.

___________. 2004. Understanding the process of economic Change. Princeton, NJ. Princeton University Press.

Nicholson Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya (IGN. Bayu Mahendra dan Abdul Aziz, pentj). Jakarta: PT.Penerbit Erlangga.

Nicholas S.S. 1999. The Response of Household Consumption to Income Tax Refunds. American Economic Review 89 (September 1999),pp. 947-958.

Oppong, Christine and Katie Church. 1998. Population and Labour Policies Programe. A Field Guide to Research On seven Rules Of Women: Focussed Biographies, UNFPA.

Papagapitos, Agapitos, Robert Riley. 2009. Social Trust and Human Capital Formation. Journal of Economics. Letters 102,pp. 158-160.

Parimartha, I Gede. 2003. Memahami Desa Adat. Desa Dinas dan Desa Pakraman (suatu tinjauan Historis, Kritis) Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar tetap dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Udayana. tanggal 6 Desember 2003. Universitas Udayana. Tidak diterbitkan. Hal. 3-7

___________. 2006. Sistem Pemerintahan Desa di Daerah Bali dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Depbudpar RI dengan Unud.

Pramitha, P.A. P. 2009. Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor.Universitas Udayana Denpasar. Piramida Vol.5 No.1 Juli 2009 . ISSN1907-3275.

273

Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. dari Animisme EB Taylor Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C Geertz (alih bahasa Ali Noer Zaman). Yogyakarta: Qalam.

Parisada Hindu Dharma. 1972. Upadesa tentang Ajaran Agama Hindu. Denpasar.

Parker J. 1999. The Response of Household Consumption to Predictable Changes in Social Security Taxes. American Economic Review. 89 (September 1999),pp. 959-973.

Pearce, D.W. and J.J. Wardford. 1993. World Without End Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press.

Pemberton, James. 1997. Modelling and Measuring Income Uncertaninty in Life Cycle Models. Economic modelling. 14 (1997),pp. 81-98.

Pecpno, p. 1993. Tax Structure and Growth in a Model with Human Capital. Journal of public economics. 52,pp. 251-271.

Pendit, Nyoman S. 1993. Hindu dalam Tafsir Modern. Jakarta: Yayasan Dharma Sastra.

____________. 1994. Bhagavadgita. Jakarta: Dharma Nusantara..

Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.

____________. 2003. Posrealitas: Realitas kebudayan dalam era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.

Piche, E. 1999. “Religious and Social Capital in Canada”. (Thesis) Submitted to Queen’s University Canada.

Pincus, Allen and Anne Minahan. 1973. Sosial Work Practice : Model and Methode. Illinois: Peacock Publisher Inc.

Pohjola M. 1987. Profit Sharing, Collective Bargaining and Employment. Journal of Institutional and Theoretical Economics. Vol.143: 334-42.

Portes, Alejandro. 1998. Social capital: Its Origins and Applications in modern Sociology. Annu. Rev. Social. 1998. 24:1.24. Departement of Sociology. Princeton university. Princeton, New Jersey.

Portes, A., dan Landolt, P. 2000. Social Capital: Promise and Pirfalls of its Role in Development. Journal of Latin American Studies. 32, 3,pp. 529-47.

Pitana, dkk. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: BP.

274

Pitana I Gede (editor). 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Penerbit BP.

Pudja, G.I Gede (editor). 1999. Bhagawad Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita.

Prabhupada, Sri Simad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2000. Bhagawad Gita Menurut Aslinya. Jakarta: Hanuman Sakti.

Pradnya,A.S.I Made, 2003.PHDI Mesti Bersinergi Sebagai Lembaga Tafsir Weda, http://hinduresearchcenter.blogspot. Com/2013 Diunduh tanggal 22 Januari 2012

Purwita, B. 1992. Upacara potong Gigi. Denpasar: Upada Sastra. Hal 5-10.

Purwanti P.A.P. 2009. Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekpor. Jurnal Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Unud. Vol V No.1 Juli 2009. ISSN: 1907-3273

Putrawan, N. 2011. Komersialisasi Banten sebagai sebuah Kebutuhan Zaman. Dalam Majalah Raditya. No.166, Mei 2011, hal. 14-15. Denpasar: Yayasan Manikgeni Dharma.

Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. Princeton university Press. Princeton.

___________. 1995. The Prosperons Community: Social Capital and Public Life The American prospect.4, 13,pp. 11-18.

Puspa, Ida Ayu Putu Tary. 2010. Komodifikasi Upacara Ngaben Dalam Era Globalisasi di Desa Pakraman Sanur Denpasar (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Qomariah, A. 2009. “Pengaruh Modal Sosial Terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah Sidogiri Pasuruan Jawa Timur)” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.

Quddus, Munir, Michel Goldsby, Mahmud Farooque. 2000. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. A Review Article. Eastem Economic Journal. 26, (1),pp. 87-98.

Quigley, Kevin F.F. 1996. Human Bonds and Social Capital. Review Essays. Trust: The Social Virtues and the Creation of prosperity. By Francis Fukuyama. Free Press, 1995,457, New York:pp. 333-341

275

Radhakrishnan, S. 2003. Relegion And Society. (Ed,Yuda Triguna), Denpasar: Widya Dharma.

Rahardja, P.M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro Ekonomi & Makro Ekonomi), Edisi Ketiga. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.

Ratna,K. Nyoman. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Masyarakat.Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar Cetakan 1.

Raffo, C. Dan Ree Ves, M. 2000. Youth Transitions and Social Exclusion: Developments in Social Capital Theory. Journal of Youth Studies. 3,2,pp. 147-66.

Rawi, Ketut Gde Bambang. 2011. Kalender Bali 2011. Penerbit Bali Post. Denpasar. hal 1-10.

Rica, I Ketut. 2005. “Perubahan Pola Hubungan Pasisyan pada masyarakat Hindu Etnis Bali-Lombok” (tesis). Program Magister Brahma Widya Program Pascasarjana IHDN Denpasar.

Ranis.G. dan Fei,J.C.H., 1964. A Theory of Economic Development. American Economic Review. Vol.51. September 1961. hlm.533-565. dan Fei,J.C.H. dan Ranis.G. Development of Labour Surplus Economiy: Theory and Poicy. Irwin, Homewood.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern (Terjemahan Muhamad Taufik). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Reynolds, Loydg. 1993. Labour Economic and Labour Relation. New Delhi : Preatice-Hall of Idia. Private Limited.

Rivai, Abu (ed). 1996. Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Bali. Denpasar : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Robbins, D. 2000. Bourdien and Culture. Sage. London.

Robbins, Stephen P. 2007. Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat, hal. 174-184.

Roebyantho, H. & E. Padmiati. 2007. Pemberdayaan Jaringan Pranata Sosial dalam Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat di provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Panelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial 12 (03),pp. 33-44. http://www.google.com.

276

Sagir, Soeharsono. 1994. Kesempatan Kerja, Ketahanan Nasional Dan Pembangunan Manusia Seutuhnya. Alumni Bandung.

Saifuddin A. 2006. Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Salim, Emil. 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan. Jakarta: Intidaya Press.

Salemba Infotek. 2005. Pengembangan Analisis Multivariate Dengan SPSS 12. Jakarta: Jakarta.

Sallatang, MA. 1986. Kemiskinan dan Mobilitas Pembangunan (Makalah), Lembaga Penerbitan UNHAS, Ujung Pandang.

Samuelson dan Nordhaus. 2004. Ilmu Makroekonomi. (Gretta, Theresa Tanoto, Bosco Carvallo, Anna Elly, Penterj.) Jakarta: PT. Media Global Edukasi.

Samuelson P.A.dan W.D.Nordhaus. 1985. Macroeconomics McGraw-Hii Inc (Haris munandar.Pentj). Jakarta: Penerbi Erlangga.

Samuelson P.A., W.D. Nordhaus and Gary W.Yohe. 1985. Instructors Mannual to A Company. McGraw-Hill Inc. Terjemahan oleh Dany Hutabarat. 1987. Latihan/ Tanya Jawab Ekonomi.Jakarta: Penerbit Erlangga.

Samuelsson, Kurt, 1993, Religion ad Economic Action: The Protestant Ethic, the Rise of Capitalism, and the Abuses of Scholarship. Toronto: U. Toronto Press.

Sampson, R. J. Dan Pandenbush, S. W. 1999. Systematik Social Observation of Public Spaces: A New Look at Disorder in Urban Neryhb Our Hoods. American Journal of Socialogy, 105,3,pp. 603-51.

Sanderson, S.K.M. 2000. Sosiologi Makro Sebuah pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Farid wijidi dan S. Menno Penterj.) Jakarta. PT. Raja Grafindo Ed.2.

Santosa B. P. 2010. Kegagalan Aliran Ekonomi Neoklasikdan Relevansi Aliran Ekonomi Kelembagaan dalam Ranah Kajian Ilmu Ekonomi. Pengukuhan Guru Besar FE. Dalam Ilmu Ekonomi Universitas Diponogoro Semarang, 11 Marert 2010.

Santoso Thomas. 2007. Modal Sosial dan Kinerja Organisasi. Makalah Diadaptasikan dari Pidato Pengukuhan Guru Besar FE.Universitas Kristen Petra, Surabaya, 29 Mei 2004, dan Makalah Seminar

277

Nasional di Program Pascasarjana Undiknas Denpasar. 18 Agustus 2007.

Santoso, S. Budhi. 1994. Ketahanan Keluarga sebagai Basis Bagi Pembinaan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jurnal 40 Tahun 1994, Badan Litbang Kesejahteraan Sosial.

Santoso, Singgih. 2007. Structural Equation Modeling Konsep dan Aplikasi dengan AMOS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

____________. 2011. Structural Equation Modeling Konsep dan Aplikasi dengan AMOS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Saragih, M.H. 1982. Azas-Azas Organisasi dan management. Bandung: Tarsito.

Sardi Martin. 1983. Agama Multidimensional. Bandung: Alumni

Sajogno, Pudjiwati. 1997. The Impact of New Farming Technology on Women's Employment. Dalam IRRI (ed.), Women in Rice Farming. Aldershot: Gower Publishing Company Lemited.

Sarwono, Jonathan. 1980. Memadu Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif: Mungkinkah? http://www.jonathansarwono.info/memadu.pdf. Diunduh tanggal 11 Juni 2012.

Sen, Amartya. 1992. Development As Freedom. The New York: A Division of Random House Inc.

Sekaran, Uma. 1992. Research Methods for Business; A Skill Building Approach, second edition. New York: John Wiley dan Sons,Inc

Setiawina. Nyoman Djinar. 2003. Harapan Rasional dalam Ekonomi Makro. Denpasar: Panakom.

____________. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi (Jangkauan dan Metode), Denpasar: Panakom.

____________.2011. Sembilan Pilar Pedoman Hidup

http://djinar.wordpress.com/2011 Diunduh 22 Januari 2014

Sevilla. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan Amiludin Tuwu. Jakarta Pen. Univ. Indonesia (UI Press).

Sigit, H, 1985. Income Distribution and Household Characteristics. Bulletin of Indonesian Economic Studies 21: Hal. 51-67

Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT.Refika Aditama

278

Simanjuntak, Payaman J. 1985. ”The Market For Educated Labor in Indonesia Some Policy Approach. P. Hd” (dissertation) Boston University.

___________.1992. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Penerbit LP3ES.

Sippola, Aulikki. 2007. Developing Culturally Diverse organizations- a Participative and Empowerment-Based Method. Journal of Women in Management Review 22 (4),pp. 253-273.

Suacana, I Wayan Gede. 2005. Diferensiasi Sosial dan Penguatan Toleransi Dalam Masyarakat Multikulture, dalam Jurnal Kajian Budaya Indonesia. Jurnal of Culture Studies. Nomor 3.Volume 2. 2 Januari 2005

Suardika Pasek. 2006. Memahami Bali. Kebanggaan di Balik Kegundahan. Denpasar: Bali Age.

Subagiasta, I Ketut. 2006. Teologi, Filsafat dan Ritual Dalam Susastra Hindu, Surabaya: Paramita.

____________.2007. Susastra Hindu. Surabaya: Paramita

Subandi. 2011. Ekonomi Pembangunan. Bandung. Alfabeta

Sudarsono. 1989. Penetapan Sasaran Kesempatan Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol.4. No.1: 1-20.

Sudharta, Tjok Rai. 1993. Manusia Hindu dari Kandungan Sampai Perkawinan. Denpasar. Yayasan dharma Naradha. Hal.24.

Sudarma, I Wayan, 2010. Pengertian, Pengelompokan dan Tata upacara Membangun Pura. http://wwwhindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html Diunduk 22 Januari 2013

Sudibya, I Gede. 1997. Hindu dan Budaya Bali. Bunga Rampai Pemikiran. Denpasar: Penerbit BP.

Suharyadi dan Purwanto. S.K, 2003, Statistika Untuk Ekonomi & Keuangan

Modern, Buku 1, Penerbit Salemba Empat, Jakarta

Sudharsana, I.B. Putu. 2008. Ajaran Agama Hindu Filsafat Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.

279

___________.2004. Ajaran Agama Hindu, Makna Upacara Bhuta Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.

Suhardana, Komang. 2010. Kerangka Dasar Agama Hindu Tattwa-Susila-Upacara. Surabaya: Paramita.

Suharto, Edi. 2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Cetakan kedua. Bandung: Aditama.

Suhartini, S. dan S. Mardianto. 2001. Transfromasi Struktur Kesempatan Kerja Sektor Pertanian ke Non Pertanian di Indonesia. Majalah Agro-Ekonomika No.2 Oktober 2001. Jakarta: PERHEPI.

Suhartini, S. Hastuti dan Pantjar Simatupang. 1995. Review Program Penangulangan Kemiskinan. Proseding Pengembangan Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor. Hal 436-448.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sujipto, Nyoman. 1990. Peranan Wanita pada Desa di Bali. Studi Kasus di Banjar Puseh Kangin Desa Sanur. Kertas Kerja pada Lokakarya Nasional Peranan Wanita dalam Pembangunan Pedesaan. Cipayung.

Sumartana, I Made. 1997. Analisis Korelasi Jam Kerja Wanita Terhadap Pendapatan (Studi Kasus Pada Desa Siangan Kabupaten Gianyar). Majalah Ilmiah Ekonomi Profitika. Universitas Ngurah Rai Denpasar. Vol.2 No.2 Oktober 2010, ISSN 2085-4528.

Sumadi, Ketut. 2003. Ritual Agama Hindu Sebagai Daya Tarik Pariwisata Budaya Bali (Kasus Pelaksanaan Ritual di Desa Adat Kuta) Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

___________,2008. Memaknai 100 Tahun Kebangkitan nasional: Agama dan kearifan Lokal Dalam Membangun Keharmonisan Berbangsa dan Bernegara. Jurnal Agama Hindu, Pangkaja.Vol.VIII.No.2,Agustus 2008.Hal.125

Sunarto. 2008. Analisis Peningkatan Kesempatan Kerja Di Indonesia. Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing BPPT, Jakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol.10.1 April 2008. Hlm.48-53.

280

Sukarsa, I Made. 2002. Pengeluaran Keluarga Menurut Konsep Hindu. Fak.Ekonomi. Universitas Udayana.

___________,2003. Aliran Ekonomi Yadnya. http://www.sarad-bali.com.

___________,2004. Sisi Ekonomi Sebuah Upacara. Kumpulan Abstrak Makalah Utama pada Seminar Nasional Konservasi Tanaman Upakara Adat Bali. LIPI. Kebun Raya Bedugul Bali.

____________,2004. Tingkat Partisipasi Wanita pada Persiapan dan Pelaksanaan Upacara Ritual di Bali Selatan. Hasil Penelitian Universitas Udayana, tidak diterbitkan.

___________,2005. ”Pengaruh Pendapatan keluarga dan pemahaman agama terhadap pengeluaran Konsumsi ritual Masyarakat hindu di Bali ditinjau dari Berbagai Dimensi waktu” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

___________,2005b. Sisi Ekonomi Sebuah Upacara. Bulletin Studi Ekonomi.

Vol.10 No.2 Tahun 2005. ISSN 1410-4628.

___________,2005b. Ilmu Ekonomi dalam Perspektif Agama Hindu. Makalah disampaikan pada Seminar Ilmiah di Universitas Dwijendra Denpasar.

___________,2008. Efisiensi Dalam Pelaksanaan Upacara. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Upacara di Bali: Dilihat dari Dimensi Spiritual Ekonomi dan Budaya. tanggal 30 april 2008 di Universitas Hindu Indonesia Denpasar.

___________,2009. Ekonomi Spritual (Makalah). Denpasar: FE. Universitas Udayana.

___________,2010. Spiritual Economi Dalam Era Globalisasi Ekonomi. Makalah disampaikan pada Seminar Regional:Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal. Tanggal 11 Juni 2010 di Universitas Udayana Denpasar.

Sukerti, Ni Nengah. 1989. ”Peranan Upacara Rajaswala dalam Manusia Yadnya di Kabupaten Klungkung” (skripsi). Institut Hindu Dharma. Denpasar.

Sukirno, S. 2002. Pengantar Teori makroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

___________,2004. Makro Ekonomi. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

281

___________,2008. Makro Ekonomi Modern. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafika Persada.

___________,2007. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar kebijakan. Jakarta: Prenada Media Group.

Sulistyaningsih, E. 1997. ” Dampak Perubahan Struktur Ekonomi pada Struktur Kebutuhan Kualitas Tenaga Kerja di Indonesia 1980-1990. Pendekatan Input- Output” (disertasi). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sundrum, R. M. 1973. Consumer Expenditure Patterns: An Analysis of the Socioeconomics Surveys. Bulletin of Indonesia Economic Studies (IX) 1,pp. 86-106.

Suparta. 2002. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia. Denpasar: Paramita.

Suriastini, Ni Wayan. 2010. ”Bertahan Hidup di Tengah Krisis, Studi dampak Jangka pendek dan menengah Tragedi Bom Bali I 2002-2005” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas GajahMada Yogjakarta.

Suyana Utama, Made. 2009. Statistika Ekonomi & Bisnis. Denpasar: Udayana University Press.

Surayin Ida Ayu Putu. 2002. Dewa Yadnya. Denpasar: Upada Sastra.

___________,2002. Melangkah ke Arah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya. Surabaya: Paramita.

Sutomo,S.1989. Income, Food Consumption and Estimation of Energy and Protein Intake of Households: A Study Based on The 1975 and 1980. Indonesia Sosial Accounting Matrices 25: Hal. 57-72

Soetrisno. 1982. Welfare State dan Welfare Society Dalam Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

Solimun. 2004. Multivariate Analysis Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos. Fakultas MIPA Universitas Brawijaya. Malang.

Sovir. 2001. 108 Mutiara Weda. Surabaya: Paramita.

Soebandi, Ketut. 1981. Pura Kawitan/Pedharmaan Kahyangan Jagat. Denpasar: Guna Agung.

282

Sura, I Gde. 2000. Tata Susila Hindu. Makalah disampaikan pada Penataran Dosen Agama Hindu. Denpasar. 6 s.d. 11 Oktober 2000.

Suradi et. Al. 2003. Kehidupan Sosial Budaya Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Puslitbang Kesos.

Suwindia, I Gede. 2008. Relasi Antar Agama dan Kekerasan Sosial Di Indonesia. Jurnal Agama Hindu Pangkaja. IHDNVol.VIII.No.2. IHDN Denpasar.

Singgih S. 2005. Statistik Parametrik dengan SPSS, Jakarta: Elex Kompitindo.

Syukur, M. 2000. “Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumah Tangga Miskin” (disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Syahza, A. 2004. Dampak Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Multiplier Effect Ekonomi Pedesaan di Daerah Riau.Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru.

Skousen M, Sang Maestro. 2006. Teori-Teori Ekonomi Modern. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Prenada Media.

Spiegel, H.W. 1996. The Growth of Economic Thought. Duke University Press. London, pp. 465-466.

Schuller, T., Baron, S. Dan Field, J. 2000. Social Capital: A Review and Critique. Hal 1-138 dalam Barron, S., Field, J. Dan Schuller T. (eds), Social Capital: Critical Perspectives, Oxford University Press. Oxford.

Schumacher, E.F. 1973. Small is Beautiful. London: Penguin.

Smith, David dan Phill Evans. 2004. Das Kapital Pemula. Yogyakarta: Resist Book.

Smith, J.P., D. Thomas, K.Beegle, E. Frankenberg and G. Teruel. 2002. Wages Employment and Economic Shocks: Evidence from Indonesia. Journal of Population Economics, 15: 161-93.

Soegiri, H. 2011. Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Timur Kondusif, Dorong Penciptaan Peluang Kerja. Disnakertransduk Provinsi Jawa Timur. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis Vol 3. No.1. April 2012: 113-122. ISSN2087-1090.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta: CV Rajawali.

283

Soepono, P. 1993. Analisis Shift-Share: Perkembangan dan Penerapan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.8 No.1. Yogyakarta. Fakultas Ekonomi UGM.

___________,2001. Teori Pertumbuhan Berbasis Ekonomi (Ekspor): Posisi dan

Sumbangannya bagi Perbendaharaan Alat-alat Analisis Regional. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.16 No.1 Yogyakarta. Fakultas Ekonomi UGM

Soroso, Imam Zadjuli. 1992. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam. Pen.P3EI. FE. UII. dan Pen. Tiara Wacana

Yogya.

Sousa-Poza, A. Dan Henneberger, F. 2004. Analyzing Job Mobility with Job Turover Intentions: An International Comparative Study. Journal of Economic Sigue, 38(1): 113-137.

Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. 2006. Bhagavadgita. Alih bahasa penerjemah The Bhaktivedanta Book Trust International, Inc.

Stuart-Fox, David, J. 1987. “Pura Besakih A Sudy of Balinese Relegion and Society” (tesis), Australia: The Australian National University.

___________,987. Pura Besakih, Pura, Agama Dan Masyarakat Bali, (Terj.IB. Yadnya,2010), Denpasar: Pustaka Larasan.

Steuart, Ian, 1998, An Investigation into the Relationship between Religion and Economic Development, manuscript.

Stiglitz, Joseph E., Amartya Sen, an Jean-Paul Fitoussi. 2011. Mengukur Kesejahteraan Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur Yang Tepat Untuk Menilai Kemajuan. (Mutiara Arumsari dan Fitri Bintang Timur, Pentj). Bintaro: Marjin Kiri.

Swasono dan Sulistyaningsih. 1993. Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan di Indonesia. Jakarta: Izufa Gempita.

Taryoto, Andin H. 1995. Kemiskinan dan Program Penangulangan Lingkup Departeman Pertanian. Suatu Upaya Intropeksi. Proseding Pengembangan Hasil Pertanian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hal 481-489.

Tawney, Richard H., 1926, Religion and the Rise of Capitalism. New York: Harper andRow.

284

Terry, George R. 1986. Guide to Management (Prinsip-Prinsip Manajemen). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Turner, Bryn S. 1966. Relegion and Social Theory. London: SAGE Publication Ltd.

Turner, Jonathan H. 1979. Functionalism. California: The Benjamin/Cumming Publishing Company.

Titib, I Made. 2001. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya Badan Litbang Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Kerjasama dengan Paramita.

___________,2009. (1) Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

___________,2007. Sinergi Agama Hindu dan Budaya Bali. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Internasional Sehari IHDN, Denpasar, 27 Maret 2007

___________,2012. Makna Upacara Ngenteg Linggih. Materi dharma Wecana dalam Upacara Ngenteg Linggih di Pura Trihita Karana. Berlin Jerman. 5 Mei 2012

Todaro, M.P. dan Stephen, C.S. 2006. Pembangunan Ekonomi. Alih Bahasa.Drs.Haris Munandar,Ma; Puji,A.I.Penerbit:Erlangga. Jakarta.

Thaler R.H., and Benartzi. 2004. Save More Tomorrow Using Behavioral Economic to Increace Employee Saving. Journal of Political Economy 112,pp. S164-S187.

Triguna, Yuda Ida Bagus. 1994. Pergeseran dalam Pelaksanaan Agama: Menuju Tattwa. Dalam Dinamika Masyarakat dan kebudayaan Bali. I Gede Pitana (Ed.). Denpasar: Bali Post. hal.8.

___________,2000. Perubahan Sosial dan Respon Kultural Masyarakat Hindu Bali. Widya Satya Dharma. Jurnal Kajian Hindu Budaya dan Pembangunan. Singaraja: STIE Satya Dharma.

___________,2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali. (Dibia. Nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali). Denpasar: Widya Dharma.

___________,2011a. Strategi Hindu. Jakarta: Pustaka Jurnal Keluarga.

___________,2011b. Mengapa Bali Unik. Jakarta: Pustaka Jurnal Keluarga.

285

Tridimas,G. 2000. The Analysis of Consumer Demand in Greece Model Selection and Dynamic Specification. Economic Modelling 17: Hal. 455-471

Udjianto, D.W. 2007. Sektor basis dan Pertumbuhan Ekonomi di Sleman Yogyakarta. Ekonomi dan Bisnis, Vol.9 No.2. Surabaya. Progran Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE.Universitas Surabaya.

Unwin, L. 1996. Employer-led Realities: Apprenticeship Past and Present. Journal of Vocational Education and Training,48,1,pp. 57-68.

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Edisi Kedua. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Uppal, J.S., 1986, “Hinduism and Economic Development in South Asia,” International Journal of Social Economics, 13(3):20-33.

Van de Walles, Dominiqui, 1988. On the Use of the Susenas for Modelling Consumer Behaviour. Bulletin of Indonesian Economic Studies 24: Hal 107-121

Vincent, Gaspersz. 1997. Manajemen Bisnis Total dalam Era Globalisasi. Jakarta:PT.Gramedia. http://www.kajianpustaka.com/2012/10/ teori-pengertian-proses-faktor-persepsi.html.

Wadhwani, S. B. 1987. Some Macroeconomic Implications of profit Sharing: Some Empirical Evidence. Economic Journal.Vol.97: 171-83.

Wallis, J. dan Dolery, B. 2002. Social Capital and Local Government Capacity. Australian Journal of Public Administration,61,3,pp. 76-85.

Warde, A. Martens, L. Dan Oben, W. 1999. Consumption and the problem of variety: cultural comnivorousness, social distinction and dining out. Sociology,33,1,pp. 105-27.

Warde, A. dan Tampubolon, G. 2002. Social Capital. Networks and leisure Consumption. Sociological review,50,2,pp. 155-80.

Weber, Max, 1930, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. London, Unwin.

Worrall, Heather. 1992. Comparison of Tourism Multiplier in Scotland and Tayside, Dundee Discussion Papers in Economics. Number 35, Departement of Economics and Management, University of Dundee, Dundee. United Nations Departement for Economic and Social Information and Policy.

286

Waspodo,T.S., Suhanadji. 2004. Modernisasi dan Globalisasi: Studi Pembangunan Dalam Perspektif Global. Malang: Insan Cendekia.

Weale, M. 1990. Wealth Constraints and Consumer Behaviour Economic Modelling, April 1990:165-178.

Wiana I Ketut. 1994. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta: Manik Geni.

___________,1994. Yajna dan Bhakti dari Sudut Pandang Hindu. Denpasar: PT. Pustaka Manik Geni.

___________,2002. Menegakkan Makna Upacara Yajna dalam Memelihara Tradisi Veda. Denpasar:Bali Post.

___________,2000. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu I. Surabaya: Paramita.

___________,2004. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu II. Surabaya: Paramita.

Wietzman, M. L. 1983. Some Macroeconomic Implications of Alternative Compensation Systems. Economic Journal, Vol.93: 763-783.

Widarjono, Agus. 2010. Analisis Statistik Multivariat Terapan. UPP STIM YKPN

Wijanto, S.H. 2008. Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8.Konsep & Tutorial. Yogyakarta:Graha Ilmu.

Wijaya, I Nyoman. 1991. Pembangunan dan Sosial Budaya Hindu. Perilaku Keagamaan Umat Hindu di Denpasar 1980-1991. Denpasar: Pustaka Sidhanta.

Wijaya, K. 2012. ”Manajemen Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Besakih Kabupaten Karangasem Provinsi Bali”(disertasi). Program Pasca Sarjana Denpasar, Universitas Hindu Indonesia.

Wijayananda, Ida Pinandita Mpu Jaya. 2005. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya: Paramita.

___________. 2006. Tatanan Upacara Ngenteg Linggih. Surabaya: Paramita.

Wikarman S. I Nyoman. 1999. Melaspas dan Ngenteg Linggih. Surabaya: Paramita.

287

Windia,W. 2007. Analisis Bisnis Yang Berlandaskan Tri Hita Karana, Wahana Edisi 55 tahun XXII, Agustus, Bukit Jimbaran IKAYANA.

Wirawan B. Dan Sukardja P. 2012. Pemanfaatan Potensi Sosial Budaya dalam Pembangunan Derah Bali: Pokok-Pokok Perdesaan. Makalah disampaikan dalam rangka Seminar Analisis Kritis Pembangunan Bali, 15 Agustus 2012 di Universitas Udayana. Denpasar.

Wiyana, I.B.Gede. 2012.Indik Karya Agung Mungkah dan Ngenteg Linggih http://ibgwiyasa.wordpress.com Diunduh 18 September 2012

Wiyasa, Putra, Ida Bagus. 1998. Bali dalam Perspektif Global. Denpasar: Upada Sastra.

Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward A Theoretical Synthesis and Policy Framework. Journal of Theory and Society,27,pp. 151-208 (6/13/2009,6:23)

White, M. D. 2007. Does Homo Economicus Have a Will. Mark D. In Barbara Montero and Mark D. White, Economics and the Mind, London: Routledge, 2007,pp. 143-158.

Wyatt, Thomas, and Chay Yue Wah. 2001. Perseption of QWL.: a Study of Singaporean Employees Development. Management Memo.p.8-17.

Yan Wang. 1995. Permanent Income and Wealth Accumulation A Cross-Sectional Study of Chinese Urban and Rural Households. Economic Development and Cultural Change.12:523-550.

Yuliarmi, N. N. 2011. ”Peran Pemerintah, Lembaga Adat dan Modal Sosial dalam Pemberdayaan IKM (Studi pada Industri Kerajinan di Provinsi Bali)” (disertasi). Program Pascasarjana Universitas. Malang.

Yang, Shu-Cen and Cheng-Kiang Farn. 2009. Social Capital, Behavioral Control, andTacit knowledge sharing-A Multi-Informant Design. International Journal of Information Management 29,PP. 210-218.

Yuga, Surgana Ibed. 2008. Bali Tanpa Bali. Denpasar: Panakom Publishing.

Yu, Tony Fu-Lai. 2000. A New Perspective on the Role of the Government in Economic Development Coordination Under uncertainty. School of Economics and Management, University College, The University of New South wales, Canberra, Australia. International Journal of Economics 27,PP. 994-1012.

288

Yupardhi S.2013. Upakara Umat Hindu Bali Tradisi Yang Kaku, Hura-Hura dan Tidak Mendidik. Wahana. Edisi No.83.TH.XXIX Agustus 2013. ISSN:0853-4588

Zam, S. 2002. Penentuan Subsektor Unggulan untuk Pembangunan Ekonomi Kota Pekanbaru. (tesis) Tidak dipublikasikan. Yogyakarta

Zin, Razali Mat. 2004. Perception of Professional Engineers Toward Quality of Work Life and Organizational Commitment. Gadjahmada International Journal of Business. Vol.6.No.3.p.323-334.

Zoetmulder, P.J. 2000. Kamus Jawa Kuno. Pen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

289

Lampiran 1

Questioner Penelitian disertasi dengan judul

KONTRIBUSI PELAKSANAAN RITUAL TERHADAP

KESEMPATAN KERJA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: STUDI KASUS MLASPAS DAN NGENTEG LINGGIH

DI PURA PASEK PRETEKA DESA ABIANSEMAL KECAMATAN ABIANSEMAL

KABUPATEN BADUNG

NI NYOMAN SUNARIANI NIM:1090671012

PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2012

290

Pengempon Pura Petunjuk Pengisian: 1. Pada kolom isian: Isilah dengan benar dan jujur 2. Pada kolom pilihan: coret yang tidak sesuai dengan kenyataan

BLOK I KETERANGAN PETUGAS Uraian Pencacahan

1. Nama Petugas

2. No. Responden

3. Tanggal Wawancara

4. Tanda Tangan

BLOK II PROFIL RESPONDEN PENGEMPON PURA

I. Identitas Pengempon Pura 1. Nama Kepala Rumah Tangga (KRT) : ................................................ ........... 2. Jenis Kelamin : laki-laki (1) perempuan (2) 3. Umur : .................tahun (dibulatkan kebawah) 4. Pendidikan : Tamat SD/SLTP/SLTA/Deploma/ 5. S1atau lebih 5. Pekerjaan : .............................................................. 6. Kabupaten/ Provinsi : Badung/ Bali 7. Desa/Kecamatan : Desa Abiansemal /Abiansemal 8. Banjar/Dusun/Lingkungan : Keraman / Aseman / Banjaran 9. Banyak Anggota Rumah Tangga (ART): .............................................Orang 10. Luas lahan yang dimiliki :............................................................................are

291

II. Karakteristik Rumah Tangga Pengempon Pura Untuk Pewawancara: 1. Tanyakanlah terlebih dahulu nama-nama Anggota Rumah Tangga

(ART). 2. Kedudukan dan hubungannya dengan Kepala Rumah Tangga (KRT)

setelah semua ART tercatat pada kolom 2 dan tulis nomer pilihan hubungannya dengan kolom-kolom seterusnya.

No (1)

Nama ART (2)

Hub dg KRT (3)

Jenis Kel L/P (4)

Umur (Th) (5)

Status (6)

Pendi dikan (7)

Pekerjaan (8)

Total Pendpt Rp/ bln (11)

Total Pengelur/Rp/ bln (12)

1 2 3 4 5 6 7

Keterangan Kolom (3): 1. Kepala RT, 2. Istri/Suami, 3. Anak kandung, 4. Anak Angkat,

5. Ibu/Bapak Kandung, 6. Menantu, 7. Cucu, 8. Saudara Kandung, 9. Keluarga lain, 10. Pembantu RT, 11. Orang lain

Kolom (6): 1. Kawin. 2. Belum Kawin. 3. Janda/Duda Kolom (7): 1. Belum/sedang sekolah 5. Tamat D-1 s.d. D-3c 2. Tamat SD/sederajat 6. Tamat S-1/sederajat 3. Tamat SLTP/sederajat 4. Tamat SLTAsederajat Kolom(8): 1.Petani, 2. Buruh/Tukang, 3. Peternak, 4.Pengerajin bambu/industri

rumah tangga/Dagang, 5. PNS, 6. Peg.Swasta, 7. Dokter, 8.Bidan, 9.Perawat, 10.Montir, 11.Pembantu RT, 12. Peg.BUMN, 13.TNI, 14. POLRI, 15. Seniman, 16.Pengacara, 17.Notaris, 18.Dosen, 19. Arsitektur, 20.Pensiunan.

292

BLOK III. INFORMASI DATA ORDINAL Jawablah berdasarkan manfaat Sosial-Budaya-Ekonomi dengan terlaksana ritual Mlaspas

dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka, 20 April 2012, Desa Abiansemal Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung (pada bulan penelitian).

No Pertanyaan

Tingkat Penilaian Jawaban Responden

1 STS/B

2 TS/B

3 CS/B

4 S/B

5 SS/B

Manfaat Sosial 1 Saya memahami makna kepercayaan dan keyakinan berkenaan

dengan pelaksanaan ritual. 2 Saya memahami manfaat makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih

berkenaan dengan pelaksanaan ritual. 3 Saya memahami makna mecaru berkenaan dengan pelaksanaan

ritual. 4 Saya memahami makna melis berkenaan dengan pelaksanaan

ritual. 5 Saya memahami makna nyegara gunung berkenaan dengan

pelaksanaan ritual. 6 Saya memahami makna banten berkenaan dengan pelaksanaan

ritual. 7 Saya memahami makna labda karya berkenaan dengan

pelaksanaan ritual. 8 Saya memahami makna kehidupan sosial berkenaan dengan

pelaksanaan ritual.

9 Saya memahami makna gotong royong berkenaan dengan pelaksanaan ritual

10 Saya memahami makna iuran pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual

11 Saya memahami makna bahan-bahan ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual

12 Saya memahami makna pengeluaran ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual

13 Saya memahami makna perubahan sikap berusaha berkenaandengan pelaksanaan ritual

14 Saya memahami makna multiplier effect berkenaan denganpelaksanaan ritual

15 Saya memahami makna perubahan sikap berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

Manfaat Budaya

16 Saya memahami makna kepercayaan dan keyakinan berkenaandengan pelaksanaan ritual.

17 Saya memahami manfaat makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

18 Saya memahami makna mecaru berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

19 Saya memahami makna melis berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

20 Saya memahami makna nyegara gunung berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

21 Saya memahami makna banten berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

Petunjuk Pengisian: 1. Responden pada kolom isian: Isilah jawaban dengan benar dan jujur 2. Responden dapat mengisikan tanda ( ) pada blok yang tersedia sesuai dengan

jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr pilih. 3)

293

22 Saya memahami makna labda karya berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

23 Saya memahami makna kehidupan sosial berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

24 Saya memahami makna gotong royong berkenaan dengan pelaksanaan ritual

25 Saya memahami makna iuran pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual

26 Saya memahami makna bahan-bahan ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual

27 Saya memahami makna pengeluaran ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual

28 Saya memahami makna perubahan sikap berusaha berkenaandengan pelaksanaan ritual

29 Saya memahami makna multiplier effect berkenaan denganpelaksanaan ritual

30 Saya memahami makna perubahan sikap berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

Manfaat Ekonomi 31 Saya memahami makna kepercayaan dan keyakinan berkenaan

dengan pelaksanaan ritual.

32 Saya memahami manfaat makna Mlaspas dan Ngenteg Linggih berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

33 Saya memahami makna mecaru berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

34 Saya memahami makna melis berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

35 Saya memahami makna nyegara gunung berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

36 Saya memahami makna banten berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

37 Saya memahami makna labda karya berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

38 Saya memahami makna kehidupan sosial berkenaan dengan pelaksanaan ritual.

39 Saya memahami makna gotong royong berkenaan dengan pelaksanaan ritual

40 Saya memahami makna iuran pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual

41 Saya memahami makna bahan-bahan ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual

42 Saya memahami makna pengeluaran ritual berkenaan dengan pelaksanaan ritual

43 Saya memahami makna perubahan sikap berusaha berkenaandengan pelaksanaan ritual

44 Saya memahami makna multiplier effect berkenaan denganpelaksanaan ritual

45 Saya memahami makna perubahan sikap berkenaan dengan pelaksanaan ritual. Keterangan: Skor 1 = Sangat Tidak Baik/Setuju (STB/S) Skor 2 = Tidak Baik/Setuju (TB/S)

Skor 3 = Cukup Baik/Setuju (CB/S) Skor 4 = Baik/Setuju (B/S)

Skor 5 = Sangat Baik/Setuju (SB/S)

294

BLOK IV. INFORMASI DATA ORDINAL RESPONDEN PENGEMPON PURA

Pelaksanaan Ritual (X), Kesempatan Kerja (Y1), dan Kesejahteraan Masyarakat (Y2)

No Pertanyaan Tingkat Penilaian Jawaban

Responden 1

STB/S 2

TB/S 3

CB/S 4 B/S

5 SB/S

A. Pelaksanaan Ritual (X)

1 Saya memahami makna labda karya artinya kesuksesan, kelancaran dalam pelaksanaan ritual

2 Saya memahami ketulusiklasan masyarakat pengempon pura sebagai panitia/prawartaka karya dalam pelaksanaan ritual

3 Saya memahami keharmonisan/ketentraman sesama pengempon pura untuk bergotongroyong dalam pelaksanaan ritual

4 Saya memahami waktu yang dicurahkan oleh pengempon pura dalam pelaksanaan ritual

5 Saya memahami kemudahan untuk mendapatkan bahan-bahan ritual di sekitar lokasi ritual Abiansemal

B. Kesempatan Kerja (Y1)

6 Saya memahami keterkaitan bidang pekerjaan responden pelaksanaan ritual, misalnya usaha dagang bahan-bahan ritual

7 Saya memahami status pekerjaan responden dalam melakukan pekerjaan dari berusaha sendiri sampai dengan dibantu/memperkerjakan orang lain

8 Saya memahami curahan jam responden dalam mengerjakan pekerjaan, misalnya semakin lama jumlah jam kerja maka semakin baik pendapatan

9 Saya memahami kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai dengan permanen, misalnya dalam usaha dagang bahan ritual.

C Kesejahteraan Masyarakat (Y2)

10 Saya memahami peningkatan pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi/dibelanjakan

11 Saya memahami peningkatan pendidikan keluarga responden terakhir yang ditamatkan

12 Saya memahami peningkatan derajat kesehatan keluarga responden, misalnya semakin sehat maka semakin rendah frekuensi berobat

13 Saya memahami keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluarga pengempon pura, dan antar banjar/masyarakat desa.

Keterangan: Skor 1 = Sangat Tidak Baik/Setuju (STB/S), Skor 2 = Tidak Baik/Setuju (TB/S) Skor 3 = Cukup Baik/Setuju (CB/S), Skor 4 = Baik/Setuju (B/S), Skor 5 = Sangat Baik/Setuju (SB/S)

Petunjuk Pengisian esponden: 1. Untuk pertanyaan yang sudah disediakan pilihan jawabannya, berikan tanda

() sesuai dengan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr yakini. 2. Jawablah pertanyaan berikut ini dengan cara mengisi pada titik-titik yang

tersedia. 6)

295

No Petanyaan Jawaban 1 Berapa jam lama waktu ngayah per

hari laki-laki dan perempuan berkenaan dengan pelaksanaan ritual?

Laki-laki .................................................... jam Perempuan............................................ ........jam

2 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan pekerjaa sebagai pegawai/karyawan?

...........................................................................

3 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan pekerjaan rumah tangga?

...............................................................................

4 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan usaha? ............................................................................

5 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan pekerjaan sebagai petani?

................................................................................

6 Bagaimana cara mengatur waktu antara ngayah dengan kegiatan adat istiadat ?

...........................................................................

7 Dari mana saja sumber bahan-bahan ritual yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan ritual?

.........................................................................

8 Bagaimana perkembangan harga bahan-bahan ritual? ..............................................................................

9 Dari sekian banyak bahan –bahan yang diperlukan dalam ritual ini, mana bahan yang dianggap sulit diperoleh dalam ritual ini?

.............................................................................

10 Berapa pendapatan rumah tangga akibat pelaksanaan ritual? Rp....................................................................

11 Berapa pengeluaran umum dan pengeluaran ritual tingkat rumah tangga selama pelaksanaan ritual?

Rp ............................Rp.......................................

12 Bagaimana system kekerabatan/ kekeluargaan diantara pengempon pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual?

.........................................................................

13 Bagaimana interaksi sosial-budaya antara pengempon pura dengan masyarakat ?

...........................................................................

14 Bagaimana implikasi kehidupan sehari-hari masyarakat pengempon pura berkenaan dengan pelaksanaan ritual?

............................................................................

SEKIAN TERIMAKASIH

296

BLOK I KETERANGAN PETUGAS Uraian Pencacahan

3. Nama Petugas

4. No. Responden

3.Tanggal Wawancara

5. Tanda Tangan

BLOK II PROFIL RESPONDEN PEMASOK

Identitas Pemasok Bahan Ritual:.......................................................................... a. Nama : ................................................ b. Jenis Kelamin : laki-laki (1) perempuan (2) c. Umur : .................tahun (dibulatkan kebawah)

d. Pendidikan : Tamat SD/SLTP/SLTA/Deploma/S1atau lebih

e. Usia Usaha Pemasok : .................tahun

f. Alamat Usaha : .....................................................................

g. Pekerjaan : ...........................

h. Kabupaten/ Provinsi : ........................./ Bali

i. Desa/Kecamatan : Desa............................. / .......................

j. Banyak Anggota Rumah Tangga : .............................................Orang

297

BLOK V. INFORMASI DATA ORDINAL RESPONDEN PEMASOK BAHAN RITUAL

Pelaksanaan Ritual (X), Kesempatan Kerja (Y1), dan Kesejahteraan Masyarakat (Y2) dalam bulan penelitian.

No Pertanyaan

Tingkat Penilaian Jawaban Responden

1 STB/

S

2 TB/S

3 CB/

S

4 B/S

5 SB/S

A. Pelaksanaan Ritual (X) 1 Saya memahami makna labda karya artinya kesuksesan,

kelancaran dalam pelaksanaan ritual

2 Saya memahami ketulusiklasan masyarakat pengempon pura sebagai panitia/prawartaka karya dalam pelaksanaan ritual

3 Saya memahami keharmonisan/ketentraman sesama pengempon pura untuk bergotongroyong dalam pelaksanaan ritual

4 Saya memahami waktu yang dicurahkan oleh pengempon pura dalam pelaksanaan ritual

5 Saya memahami kemudahan untuk mendapatkan bahan-bahan ritual di sekitar lokasi ritual Abiansemal

B. Kesempatan Kerja (Y1)

6 Saya memahami keterkaitan bidang pekerjaan responden pelaksanaan ritual, misalnya usaha dagang bahan-bahan ritual

7 Saya memahami status pekerjaan responden dalam melakukan pekerjaan dari berusaha sendiri sampai dengan dibantu/memperkerjakan orang lain

8 Saya memahami curahan jam responden dalam mengerjakan pekerjaan, misalnya semakin lama jumlah jam kerja maka semakin baik pendapatan

9 Saya memahami kontinuitas dari pemanfaatan tenaga kerja yang sifatnya temporer sampai dengan permanen, misalnya dalam usaha dagang bahan ritual.

C Kesejahteraan Masyarakat (Y2)

10 Saya memahami peningkatan pendapatan riil keluarga responden yang siap dikonsumsi/dibelanjakan

11 Saya memahami peningkatan pendidikan keluarga responden terakhir yang ditamatkan

12 Saya memahami peningkatan derajat kesehatan keluarga responden, misalnya semakin sehat maka semakin rendah frekuensi berobat

13 Saya memahami keharmonisan, ketentraman, dan saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, antar keluarga pengempon pura, dan antar banjar/masyarakat desa.

Petunjuk Pengisian Bagi Responden: 1. Untuk pertanyaan yang sudah disediakan pilihan jawabannya, berikan tanda () sesuai

dengan jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr yakini. 2. Jawablah pertanyaan berikut ini dengan cara mengisi pada titik-titik yang tersedia.

298

Keterangan: Skor 1 = Sangat Tidak Baik/Setuju (STB/S) Skor 2 = Tidak Baik/Setuju (TB/S)

Skor 3 = Cukup Baik/Setuju (CB/S) Skor 4 = Baik/Setuju (B/S) Skor 5 = Sangat Baik/Setuju (SB/S)

No Petanyaan Jawaban 1 Berapa jam bekerja setiap hari

sebagai pemasok bahan-bahan ritual?

.................................................................... ........jam

2 Dalam sebulan berapa hari bekerja?

............................................................................hari

3 Berapa jumlah tenaga kerja yang ikut membantu sebagai pemasok?

............................................................................orang

4 Bagaimana cara mengatur waktu antara rumah tangga dengan usaha?

.................................................................................

5 Bagaimana cara mengatur waktu antara adat dengan usaha? ...................................................................................

6 Bagaimana cara/sistem memperoleh bahan-bahan ritual? .......................................................................................

7 Dari mana saja sumber-sumber bahan ritual yang dijual selama ini?

.................................................................................

8 Bagaimana perkembangan harga bahan-bahan ritual? .................................................................................

9 Dari sekian banyak bahan –bahan ritual yang dijual, mana bahan yang dianggap sulit diperoleh sebagai pemasok?

.................................................................................

10 Berapa rata-rata omset penjualan per bulan? Rp..................................................................................

11 Berapa rata-rata pendapatan per bulan?

Rp.................................................................................

12 Berapa rata-rata pengeluaran per bulan?

Rp.............................................................................

13 Bagaimana interaksi sosial-ekonomi antara pemasok dengan pengempon pura?

.................................................................................

14 Bagaimana implikasi kehidupan sehari-hari pemasok ? ...............................................................................

SEKIAN TERIMAKASIH

299

Lampiran 2

DUDONAN KARYA MLASPAS, MUPUK PEDAGINGAN, NGENTEG LINGGIH, MAPEDUDUSAN ALIT, WARASPATI KALPA RING PURA PASEK PRETEKA BR. KERAMAN, DESA ABIANSEMAL, KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN

BADUNG, TGL: 20 APRIL 2012 NO RAHINA DAUH GENAH UPACARA UPAKARA PEMUPUT WALI

1 Buda Kliwon,

7 Maret 2012

19.00 Pura Nunas Ica Munggah: Pras daksina

Pemangku Pura Pasek

-

2 Redite Wage 11 Maret 2012

15.00 Pura Ngawit nanceb salon Pengulapan cenik, Prasista

Pemangku Pura Pasek

-

3 SomaUmanis, 2 April 2012

14.00

Pura Netegang/ Melaspas Wewangunan

Surya, Ring Ajeng: Pregembal, Bebangkit grombong

Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman, Abiansemal

Blaganjur

4 Sukra Kliwon, 6 April 2012

08.00

Pura Nunas Tirta: Pura Tirta Empul Tampaksiring, Pura Sidekarya Denpasar, Pura Puncak Lempuyang Karangasem, Pura Blatung Ds Rendang Karangasem, Pura Besakih, Pura Dasar Buana , Pura Gegel Klungkung, Pura Silayuti Padang Bay, Pura Kahyangan Tiga, Pura Taman Sari Ds Abiansemal.

Daksina gede, Pengulapan pengambean

Pemangku Pura Pasek

-

5 Saniscara Umanis, 7 April 2012

08.00 17.0

0

Pura 1.Ngingsah 2.Mendak Pengenteg

Surya, Ring Ajeng: pregembal 2 soroh, ayaban, pengulapan 2 soroh

Ida Pedanda Griya Agung, Br. Aseman, Abiansemal

Blaganjur

6 Redite Paing, 8

April 2012

08.00

Pura 1.Mecaru Rsi Gana, 2.Nyimpen/ Mulang Pedagingan 3.Mendak Siwi

Surya, Ring Ajeng: Bebangkit grombong, Caru siap lima, caru Rsi Gana

Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman, Abiansemal

Gong negak Br Keraman,Blaganjur,Tari Rejang Dewa, Tari Sutri

7 Soma Pon,

9 April 2012

07.00

Pura 1.Melasti ring segara Seseh, 2.Mendak Agung, 3.Mecaru siap Lima

Surya, Ring Ajeng: Bebangkit grombong, Caru siap lima, Daksina gede, bebek selem,Catur,Pis Satakan

Ida Pedanda Griya Samping, Br Keraman, Abiansemal

Ida Pedanda Griya Lebah

Gong negak Br Keraman Blaganjur, Tari Rejang Dewa

300

8 Buda Kliwon, 11 April

2012

15.00 Pura Mepada Wewalungan Surya, Ring Ajeng: pregembal

Ida Pedanda Griya Jumpayah, Mengwitani, Badung

Gong Alit Br.Aseman Abiansemal

9 Waraspati Umanis, 12 April 2012

15.00 Pura 1.Mebat, Caru 2.Memben Caru

Surya, Ring Ajeng: pregembal

Ida Pedanda Griya Kajeng, Br Keraman, Abiansemal

Blaganjur

10 Sukra Paing,

13 April 2012

07.00 Pura Mecaru Gede (Tawur)

Dasar: siap lima-Kangin, Angsa-Kauh, Kambing- Kaje, Celeng Selem- Kelod bebek bulu gula-Tengah, banyak-Kelod kangin, bebek bulu sikep-kelod kauh, cicing-Pemali 5 di Tawur. Panggung ring jabe: bebangkit cagak 1, catur 1, Sor Surya: bebangkit grombong, caru siap lima, bebek putih. Ring Pedudusan: caru,bebangkit cagak, bebangkit grombong. Ring Ajeng Ratu: bebangkit grombong.

1. Ida Pedanda Griya Agung (SIWA), Br Aseman. 2. Ida Pedanda Griya BUDA Tegal Jadi, Tabanan 3. Sri Bujangga Griya Sembung,Mengwi

1.Wayang Lemah, Griya Meranggi Br.Beten Buah. 2.Tari Baris Gede, Br.Beten Buah. 3.Tari Topeng,Griya Dalang Br.Banjaran. 4.Tari Sutri Br.Keraman Pura Pasek. 5.Tari Rejang Dewa: anak Pura Pasek. 6. Gong Gede Br Banjaran, Gong negak Br.Aseman. 7.Tukang Kidung Br. Aseman 8.Tabuh Rah tiga seet.

11 Anggara Umanis, 17 April

2012

08.00-17.00

Pura Ngayah - Pengempon Pura Lanang-Istri.

-

12 Buda Paing, 18 April 2012

07.00 16.0

0

Pura 1.Mebat 2.Mepada Karya

Surya ajeng, pregembal

Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman.

Blaganjur Br. Keraman

13 Warespati Pon,

19 April 2012

07.00 16.0

0

Pura 1.Mebat 2.Memben Karya

- Surya ajeng, pregembal

- Ida Pedanda Griya Kajeng, Br Keraman

Gong Negak Alit, Br Aseman Abiansemal

14 Sukra Wage

20 April 2012

07.00

Pura Puncak Karya -Di panggung pura: bebangkit cagak 1, bebangkit grombong1. -Di Padma: Pregembal 3. -Di Ratu Nyoman: pregembal. -Di Bale Pelik: munggah catur. -Di Bale Kulkul: pregembal. -Di Sor Piodalan: bebangkit grombong, caru

1. Ida Pedanda Griya Agung (SIWA), Br Aseman. 2. Ida Pedanda Griya BUDA Tegal Jadi, Tabanan. 3. Ida Pedanda Griya Jumpayah, Mengwitani, Badung.

1.Wayang Lemah, Griya Meranggi Br.Beten Buah. 2.Tari Topeng,Griya Dalang Br.Banjaran. 3.Tari Sutri Br.Keraman Pura Pasek. 4.Tari Rejang Dewa: anak Pura Pasek. 5. Gong Gede Br Banjaran. 6.Tukang

301

siap lima, bebek blang kalung.

Kidung Br. Aseman 7.Pendet Lanang-Istri, 8.Megoya

15 Saniscara Kliwon, 21 April 2012

19.00 Pura Nganyarin - Pemangku Pura Pasek

1.Tari Panyebrama 2.Tari Sekar Jagat 3.Tari Cilinaya 4.Tari Blibis 5.Tari Condong 6.Oleg Temblilingan. 7.Gong Negak Br.Aseman

16 Redite Umanis, 22 April 2012

19.00 Pura Nganyarin - Pemangku Pura Pasek

Prembon Gong Kokar (Tari Topeng Jauk, Barong, Tari Sisiye, Galuh, Ratna mengali, tari penasar).

17 Soma Paing,

23 April 2012

14.00 Pura 1. Nyeduk 2. Mekebat daun 3. Ngebek 4. Bangun Ayu

-Bebangkit grombong 3 -Ayaban Tumpeng 7.

Ida Pedanda Griya Jumpayah, Mengwitani, Badung.

Blaganjur Br.Perang.

18 Anggara Pon,

24 April 2012

19.00 Pura Nganyarin - Pemangku Pura Pasek

Wayang

19 Buda Wage,

25 April 2012

19.00 Pura Nganyarin - Pemangku Pura Pasek

Joged

20 Warespati Kliwon, 26 April

2012

07.00

Pura Nyegara Gunung 1.Ring Mumbul, Blahkiuh: daksine gede 3, daksine cenik 10. 2.Ring Bukit Sari,Sangeh: pregembal 2, Ayaban, Prasdaksine, pengulapan.

1.Pemangku Pura Mumbul Blahkiuh. 3. Pemangku Pura Pasek.

Blaganjur Br. Keraman Blaganjur Br. Keraman

21 Sukra Umanis, 27 April

2012

14.00 Pura Nyineb -Di panggung pura: bebangkit grombong1. -Di Ajeng: bebangkit grombong1

Ida Pedanda Griya Agung, Br Aseman.

Gong Istri Br,Keraman.

Abiansemal, 1 Pebruari 2012

Ketua, Sekretaris I NYOMAN SUBUR NI MADE ROTINI

302

Lampiran 3

Data Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pra Riset No. Pelaksan Ritual (PR)

Kesempatan Kerja (KK) Kesejahteraan Masyarakat (KM)

Resp pr1 pr2 pr3 pr4 pr5 kk.1 kk.2 kk.3 kk.4 km.1 km.2 km.3 km.4

1 4 5 5 4 4 3 4 4 3 4 4 5 5

2 5 4 5 4 3 3 4 4 3 2 4 3 4

3 4 4 5 4 3 3 4 5 4 2 4 4 5

4 5 4 5 4 4 3 4 4 4 3 4 4 5

5 4 4 5 5 3 3 4 4 3 2 4 4 5

6 5 4 5 4 4 4 4 4 3 3 4 4 5

7 5 4 5 4 3 4 4 4 3 2 4 4 4

8 5 4 5 5 3 4 4 3 3 2 4 4 5

9 4 4 5 4 3 3 4 4 4 3 4 4 5

10 5 4 5 4 4 4 4 3 4 4 4 3 5

11 5 4 5 4 4 3 4 4 4 2 4 4 5

12 4 5 5 5 4 4 4 5 4 3 5 4 5

13 5 4 5 4 4 3 4 4 3 2 4 4 5

14 4 4 5 4 4 3 4 4 3 2 4 4 5

15 5 4 4 4 3 3 5 4 3 3 5 3 4

16 5 4 5 4 3 4 4 4 4 2 4 4 5

17 4 4 5 4 3 3 5 4 3 3 4 5 5

18 4 5 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 5

19 4 4 5 4 3 3 4 5 4 2 4 4 4

20 5 4 5 4 4 3 4 4 4 3 5 4 5

21 4 4 5 4 4 4 4 4 3 3 5 4 4

22 5 4 5 4 3 3 4 5 4 2 4 4 5

23 5 4 4 4 3 3 4 4 3 3 4 5 4

24 4 5 5 4 3 3 4 4 4 3 4 4 4

25 5 4 4 4 4 3 5 4 3 3 5 4 5

26 4 3 3 3 5 4 4 4 5 5 4 4 3

27 3 3 3 3 4 4 5 4 4 4 4 4 4

28 4 3 3 3 5 5 5 5 4 4 5 4 4

29 4 3 3 3 4 4 5 4 4 5 5 4 3

30 4 4 3 3 4 5 4 5 5 4 4 5 3

Sumber: Data Primer Hasil Pnelitian, 2012

303

Lampiran 4

Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pelaksanaan Ritual (X) Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100,0 Excludeda 0 ,0 Total 30 100,0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items

,758 5

Item-Total Statistics Scale Mean

if Item Deleted

Scale Variance if

Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if

Item Deleted

pr1 16,80 3,269 ,356 ,771 pr2 17,23 3,082 ,524 ,716 pr3 16,70 2,079 ,733 ,628 pr4 17,30 2,700 ,790 ,627 pr5 16,90 3,541 ,306 ,779

304

Lampiran 5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesempatan Kerja (Y1)

Case Processing Summary N %

Cases Valid 30 100,0 Excludeda 0 ,0 Total 30 100,0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items

,660 4

Item-Total Statistics Scale Mean

if Item Deleted

Scale Variance if

Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if

Item Deleted

kk1 11,97 1,275 ,501 ,560 kk2 11,53 2,051 ,323 ,664 kk3 11,47 1,775 ,486 ,577 kk4 11,93 1,375 ,515 ,539

305

Lampiran 6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Kesejahteraan Masyarakat (Y2)

Case Processing Summary N %

Cases Valid 30 100,0 Excludeda 0 ,0 Total 30 100,0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items

,752 4

Item-Total Statistics Scale Mean

if Item Deleted

Scale Variance if

Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if

Item Deleted

km1 12,80 1,890 ,633 ,648 km2 12,83 2,764 ,423 ,756 km3 12,87 2,533 ,513 ,715 km4 12,50 2,052 ,653 ,632

306

Lampiran 7 Identitas Responden Pengemon Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten

Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian)

No Pengempon Pura Jenis Klm Umur (Th)

Pddk Pekerjaan

Pendpt RT/Y (Rp juta)

Pengeluar Umum/C1 (Rp juta)

Pengeluar Ritual/C1

(Rp juta)

1 Nyoman Griya laki-laki 60 SMP Petani Pengg 4,20 1,90 2,30 2 Made Sujana laki-laki 35 SMA Peg.Swasta 4,60 2,30 2,20 3 Wayan Parek laki-laki 63 SD Petani Pengg 4,50 2,10 2,20 4 Wayan Wiyana laki-laki 35 SMA Wiras/Dag 5,20 2,20 2,50 5 Nyoman Wirayana laki-laki 29 SMA PNS 5,60 2,20 3,20 6 Wayan Bagiastra laki-laki 43 SMA Wiras/Dag 5,50 2,60 2,50 7 I Nyoman Subur laki-laki 55 SD Buruh 4,40 2,10 2,20 8 Made Jiopani laki-laki 28 SMA Peg.Swasta 4,50 2,10 2,20 9 Wayan Gendra laki-laki 44 SMA Peg.Swasta 6,40 2,60 3,50 10 Wayan Purna laki-laki 43 SMP Peg.Swasta 5,20 2,50 2,50 11 Wayan Murya laki-laki 49 SMA PNS 6,50 3,10 3,20 12 Nyoman Bagia laki-laki 48 SMA PNS 5,20 2,50 2,50 13 Pt.Herman Suryadi laki-laki 28 D3 Peg.Swasta 4,60 2,30 2,20 14 Wayan Sumadi laki-laki 45 SD Buruh 4,20 2,00 2,20 15 Nengah Tantera laki-laki 43 SD Buruh 4,10 2,00 2,10 16 Wayan Marayasa laki-laki 29 SMP Buruh 4,20 2,10 2,10 17 Made Saskara laki-laki 30 SMP Peg.Swasta 4,50 2,10 2,10 18 Wayan Loka laki-laki 70 SD Petani Pengg 4,10 2,00 2,10 19 Ketut Marya laki-laki 66 SD Wiras/Dag 4,50 2,20 2,20 20 Nyoman Suarta laki-laki 55 SD Wira/Dag 4,40 2,10 2,20 21 Ketut Sikajaya laki-laki 38 SMP Wiras/Dag 4,50 2,10 2,30 22 Made Kartu laki-laki 64 SD Petani Pengg 4,20 2,00 2,10 23 Wayan Sudana laki-laki 41 SMP Wiras/Dag 4,50 2,20 2,20 24 Made Pania laki-laki 68 SD Wiras/Dag 4,30 2,00 2,20 25 Wyn Latera laki-laki 35 SMP Wiras/Dag 4,60 2,20 2,20 26 Nyoman Todjan laki-laki 57 SMA PNS 4,90 2,50 2,30 27 Ketut Windra laki-laki 50 SMP Peg.Swasta 4,50 2,20 2,20 28 Made Arianta laki-laki 32 SD Wiras/Dag 4,30 2,20 2,10 29 Ketut Budastra laki-laki 41 SMA Peg.Swasta 4,50 2,20 2,20 30 Nyoman Dana laki-laki 65 SD Wira/Dag 4,50 2,30 2,20 31 Nyoman Jingga laki-laki 60 SD Buruh 4,50 2,20 2,20 32 Wyn Suartawan laki-laki 31 SMP Wiras/Dag 4,60 2,30 2,20 33 Made Arka laki-laki 51 SD Peg.Swasta 4,50 2,20 2,20 34 Wayan Suardana laki-laki 38 SMA Buruh 4,20 2,00 2,10 35 Ktut Jabra laki-laki 60 SD Buruh 4,30 2,10 2,10 36 Wyn Wirawan laki-laki 37 SMA Wiras/Dag 7,60 3,50 3,50 37 Made Sukera laki-laki 37 SMP Peg.Swasta 4,40 2,10 2,20 38 Ketut Gede Arianta laki-laki 23 SMP Peg.Swasta 4,50 2,30 2,20 39 Ketut Nike laki-laki 55 SD Petani Pengg 4,30 2,20 2,10 40 Made Winata laki-laki 33 SMA Peg.Swasta 4,50 2,20 2,20 41 Wayan Mustika laki-laki 55 SD Petani Pengg 4,50 2,20 2,20 42 Pt Mujana laki-laki 35 SMA Peg.Swasta 4,40 2,10 2,20 43 Made Sura laki-laki 60 SD Petani Pengg 4,20 2,10 2,10 44 Pt Suratmaja laki-laki 27 SMA Peg.Swasta 4,40 2,20 2,10 45 Wayan Suka laki-laki 43 SMA PNS 5,80 3,20 2,50 46 I Md Sukarta laki-laki 57 SD Wiras/Dag 4,20 2,10 2,10 47 Gd Widya Santana laki-laki 35 SMA Peg Swasta 4,40 2,30 2,10 48 Wayan Krisna laki-laki 45 D3 PNS 5,60 3,20 2,20 49 Made Suarjana laki-laki 44 SD Buruh 4,20 2,10 2,10 50 Wayan Lodra laki-laki 48 SD Buruh 4,10 2,00 2,10 51 Wayan Gryawan laki-laki 60 SD Buruh 4,30 2,20 2,10 52 Ketut Patra laki-laki 60 SD Petani Pengg 4,10 2,00 2,10 53 Nym Suyana laki-laki 34 SMA Peg.Swasta 4,60 2,50 2,20 54 Made Wartana laki-laki 38 SMA Peg.Swasta 5,20 2,90 2,30 55 Wayan Arsana laki-laki 35 SMP Wiras/Dag 4,50 2,20 2,20 56 Ketut Ngakan Yasa laki-laki 30 SMA Peg,Swasta 4,80 2,60 2,20 57 I Wayan Suarta laki-laki 46 SMA PNS 5,40 2,90 2,40 58 Made Sudarsana laki-laki 33 SMA Peg.Swasta 5,20 2,90 2,20 59 Wayan Jawi laki-laki 50 SMP Wiras/Dag 4,50 2,30 2,20 60 Made Dwijaya laki-laki 25 SMA Wira/Dag 5,40 3,10 2,30 61 Made Sukadana laki-laki 38 SMA Peg swasta 4,60 2,40 2,20 62 Ketut Sada laki-laki 60 SD Petani Pengg 4,20 2,10 2,10 63 Made Sudirta laki-laki 37 SMA PNS 4,50 2,.30 2,20

307

64 Nyoman Gurya laki-laki 42 SMP Wiras/Dag 4,40 2,30 2,10 65 Wayan Seneng laki-laki 36 SMP Wiras/Dag. 5,50 3,10 2,40 66 Md D.Wiarta laki-laki 48 S1 PNS/guru 6,50 3,20 2,50 67 Kt Tapayasa laki-laki 52 S1 PNS/guru 6,60 3,40 2,50 68 Md Adi Gegel S. laki-laki 47 S1 PNS 6,50 3,50 2,50 69 Md Yuwana laki-laki 47 SMA Peg Swasta 5,50 3,00 2,50 70 Md Suadnyana laki-laki 36 S1 Peg.Swasta 5,50 2,60 2,50 71 Wyn Sumantera laki-laki 70 SD Wiras/Dag 5,60 3,10 2,50 72 Putu Nata laki-laki 40 SMA Peg.Swasta 5,40 3,10 2,20 73 Wyn Sutrisna laki-laki 46 SMA Wiras/Dag 4,80 2,40 2,20 74 Wyn Lanus laki-laki 55 SD Petani 4,60 2,30 2,20 75 Wyn Darma laki-laki 46 SMA Peg.Swasta 4,70 2,50 2,20 76 Nym Suarka laki-laki 39 SMK Peg.Swasta 4,60 2,40 2,20 77 Md Suana laki-laki 46 SMP Buruh 4,80 2,50 2,20 78 Nym Medra Tenaya laki-laki 46 SMA Peg.Swasta 4,80 2,60 2,20 79 Wyn Puger laki-laki 50 D3 Peg.Swasta 5,10 2,80 2,20 80 Wyn Suteja laki-laki 48 SD Wira/Dag 5,20 2,90 2,20 81 Wyn Surata laki-laki 48 SD Petani 4,60 2,20 2,10 82 Md Sunarya laki-laki 30 SMP Petani 4,50 2,30 2,20 83 WynTumbuh laki-laki 50 SMP Petani 4.40 2,30 2,10 84 Wyn Pasek laki-laki 49 SMP Petani 4,60 2,40 2,10 85 Wyn Sriadi laki-laki 56 SD Petani 4,50 2,30 2,20 86 Md Sulasih laki-laki 45 SMP Petani 4,00 1,90 2,10 87 WynLeseg laki-laki 58 SD Petani 4,20 2,10 2,10 88 Md Jabri laki-laki 55 SD Petani 4,10 2,00 2,10 89 Wyn Kerta laki-laki 46 SD Petani 4,40 2,20 2,20 90 Wyn Widiana laki-laki 50 SMP Wiras/Dag 4,40 2,30 2,10 91 Md Darma laki-laki 58 SD Wiras/Dag 4,80 2,60 2,20 92 Nym Werna laki-laki 46 SMP Wiras/Dag 5,00 2,90 2,10 93 Wyn Lasmana laki-laki 59 SD Petani 4,10 2,00 2,10 94 Wyn Lama laki-laki 55 SD Petani 4,60 2,50 2,10 95 MD Menuh laki-laki 61 SD Petani 4,30 2,20 2,10 96 dr. Pt Purna Dinata laki-laki 51 S1 PNS 7,50 4,50 3,00 97 Md Rawi laki-laki 56 SMP Wiras/Dag 4,70 2,50 2,20 98 Wyn Manik laki-laki 58 SD Wiras/Dag 4,50 2,40 2,10 99 Md Mega laki-laki 50 SD Petani 4,30 2,20 2,10

100 Md Winata laki-laki 39 SMP Petani 4,40 2,30 2,10 101 Nym Dwipayana laki-laki 35 SMA PNS 4,60 2,50 2,10 102 Md Suwinda laki-laki 56 SD Petani 6,70 3,20 3,50 103 Nym Suwarna laki-laki 55 SD Petani 6,20 2,70 3,50 104 Wyn Rebug laki-laki 53 SD Petani 4,70 2,60 2,10 105 Wyn Ariada laki-laki 42 SMP Wiras/Dag 4,50 2,30 2,20 106 Nym Wartara laki-laki 60 SD Petani 4,40 2,30 2,10 107 Wyn Muliada laki-laki 40 D2 Wiras/Dag 5,20 2,90 2,30 108 Nym Sumudi laki-laki 50 SD Petani 4,50 2,40 2,10

Rata-Rata 46,42 4,56 2,60 2,20 Sumber: Data Primer Hasi Penelitian, 2012

308

Lampiran 8 Identitas Responden Pemasok Bahan-Bahan Ritual di Pura Pasek Preteka di Desa Abiansemal Kabupaten Badung, Tahun 2012 (pada bulan penelitian)

No Nama Pemasok Jenis Klm Umur (Th) Pddk Pekerjaan

Pendapata

(Rp) Pengeluar

(Rp) Keterangan

1 Wayan Murya laki-laki 49 SMA PNS 5,50 3,60

2 I Nyoman Subur laki-laki 55 SMP Petani 2,50 2,20

3 Wayan Gendera laki-laki 44 SMA Peg.Swasta 4,40 4,50

4 Ida Bgs Pt Weda laki-laki 55 S1 Wiras/Dag 6,50 7,50

5 Wyn Sukarta laki-laki 57 SMP Pedagang 2,90 2,00

6 Md Suwinda laki-laki 56 SMA Petani 3,80 3,70

7 Nym Suwarna laki-laki 55 SMA Petani 3,40 2,80

8 Luh Gde Rusmini Perempuan 61 SMP Pedang 7,30 7,20

9 Nyoman Sudama laki-laki 46 S1 Pedang 6,20 5,30

10 Wyn Wirawan laki-laki 37 SMA Pedang 5,10 4,70

11 Wyn Dani Perempuan 43 SMA Pedang 4,40 3,50

12 Pan Nym Raka laki-laki 57 SD Pedang 2,80 2,50

13 Wyn Sarka laki-laki 55 SMA Pedang 9,50 8,50

14 Ibu Prasetiawati Perempuan 40 SMA Pedang 6,10 4,20

15 Ibu Arini Perempuan 50 SMA Pedang 3,40 3,30

16 Ida Bgs Rai laki-laki 57 SMP Pedang 5,20 3,90

17 Ibu Agung Perempuan 50 SMA Pedang 5,00 4,90

18 Ibu Mangku Eka Perempuan 49 SMP Pedang 3,20 3,10

19 I Wayan Sugita laki-laki 47 SMA Pedang 4,60 4,20

20 I Md Brata laki-laki 45 SMA Pedang 3,50 2,50

21 Wayan Suartini Perempuan 48 SMP Pedang 4,50 3,50

22 Ni Wyn Kerti Perempuan 40 SMP Pedang 3,70 2,30

Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012

309

Lampiran 9 Identitas Responden Pemasok Tahap I Bahan-Bahan Ritual di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian)

No Nama Responden Pemasok

Umur

(Th)

Usia

Usaha (Th

)

Bahan Alamat Pemasok

TenagaKerja

Jam Kerja

Penjual pd Pura Pasek ΔY

(Rp jt)

Pendpt (Y1)

(Rp jt)

Total Pendpt (Y2)

(Rp /jt)

Pengeluaran/ C1 (Rp jt)

Pengeluaran/C2 (Rp jt)

1 Wayan Murya 49 1 Bambu Desa Abians 2 7 8,60 5,50 14,00 3,60 12,50

2 I Nyoman Subur 55 1 Bambu Desa Abians 2 7 6,50 2,50 9,00 2,10 7,50

3 Wayan Gendera 44 2 Bambu Desa Abians 3 4 11,60 4,40 16,00 3,30 9,50

4 Ida Bgs Pt Weda 55 3 Bambu Desa Abians 5 7 14,50 6,50 21,00 4,50 16,50

5 Wyn Sukarta 57 4 Bambu Desa Abians 2 9 3,60 2,90 6,50 2,00 6,50

Jumlah Bambu 44,80 21,80 66,60 15,50 52,50 6 Md Suwinda 56 4 Kelapa Desa

Abians 5 8 4,50 3,80 8,50 3,70 7,40

7 Nym Suwarna 55 5 Kelapa Desa Abians 3 8 3,40 3,50 6,69 3,40 5,20

Jumlah Kelapa 7,90 7,30 15,19 7,10 12,60 8 Luh Gde Rusmini 61 10 Beras Desa

Abians 8 8 4,12 7,30 11,32 7,20 9,70

9 Nyoman Sudama 46 5 Beras Desa Abians 5 8 3,00 6,20 9,30 5,30 7,90

Jumlah Beras 7,12 13,50 20,62 12,50 17,60 10 Wyn Wirawan 37 5 Babi Desa

Abians 5 8 15,56 5,10 20,00 4,70 14,20

11 Wyn Dani 43 2 Babi Desa Abians 3 8 5,70 3,40 9,09 2,80 9,80

Jumlah Babi 21,26 8,50 29,09 7,50 24,00 12 Pan Nym Raka 57 6 Telor Desa

Abians 2 6 5,68 2,80 8,50 2,50 6,50

13 Wyn Sarka 55 8 Bebek,Ayam

Gianya 8 8 7,25 9,50 16,75 8,50 13,50

14 Ibu Prasetiawati 40 3 Kasa Ps Blahk 2 7 3,50 6,10 9,48 4,20 6,00

15 Ibu Arini 50 3 Kasa Ps Blahk 2 7 2,38 3,40 5,90 3,30 4,20

Jumlah Kain Kase 5,88 9,50 15,38 7,50 10,20

16 Ida Bgs Rai 57 2 Pajeng Ps Blahk 2 7 5,61 5,20 10,81 3,90 7,50

17 Ibu Agung 50 2 UangKepen

PsBlahk 3 7 8,39 5,00 14,06 4,90 9,90

18 Ibu Mangku Eka 49 4 UangKep&

Desa Abians 3 8 12,50 3,20 15,70 3,10 12,60

Jumlah 20,89 8,20 29,76 8,00 22,50 19 I Wayan Sugita 47 2 Janur Desa

Abians 3 8 3,68 4,60 8,28 4,20 6,70

20 I Md Brata 45 4 M.Goreng

Ps Blahk 2 7 2,53 3,50 6,03 2,50 3,50

21 Wayan Suartini 48 2 Pisang,Bh

Ps Blahk 2 7 2,75 4,50 7,25 3,50 5,40

22 Ni Wyn Kerti 40 2 Bunga PsBlahk 2 7 0.57 3,65 4,22 2,30 2,65

Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012

310

Lampiran 10 Identifikasi Tahap II Penyalur Bahan-Bahan Ritual di Pura Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian)

No Nama Responden Pemasok

Umur (Th)

Usia Usah

(Th)

Bahan Alamat Pemasok

TenagaKerja

Jam Kerja

Penjual ΔY

(Rp jt)

Pendapa Y1(Rp jt)

Pendapt Y2(Rp

/jt)

Pengeluaran/ C1

(Rp jt)

Pengeluaran/ C2

(Rp jt) 1 Ibu Eka 51 5 Uang

Kepeng Psr Badung 2 8 2,00 2,45 4,50 2,20 3,40

2 Ibu Luh Rai

50 5 Uang Kepeng

Psr Badung 2 8 2,05 3,00 5,00 2,05 3,20

Jumlah Uang Kep

4,05 5,45 9,50 4,25 6,60

3 Wayan Mangku

55 3 Beras Pengepul Bongkase

6 8 1,15 6,50 7,65

4,50 5,20

4 Ibu Luh Rai

51 5 Kain Kase

Psr Badung 2 8 0,68 4,82 5,50 4,20 4,40

5 Ibu Luh Rai

51 5 Pajeng Psr Badung 2 8 0,60 4,10 4,70 3,60 3,95

6 Pan Suwete 54 4 Janur Petani Ds Petang

2 8 0,20 3,50 3,70 3,40 3,55

7 Men Nengah Diana

52 5 Pisang Petani DsPetang

2 8 1,00 2,50 3,50 2,20 2,50

8 Ibu Nonik 46 4 Minyak goreng

Psr Badun 3 8 0,25 3,50 3,75 3,40 3,50

9 Man Serining 53 3 Bunga Petani bunga Ds.Mambal

3 8 0,30 1,25 1,55 1,10 1,26

Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012 Identifikasi Tahap III Produsen atau Petani Bahan-Bahan Ritual di Pura Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal 2012 (pada bulan penelitian)

No Nama Responden Pemasok

Umur (Th)

Usia Usaha (Th)

Barang Alamat Pemasok

TenagaKerja

Jam Kerja

Penjual ΔY

(Rp jt)

Pendapt Y1(Rp

jt)

Pendapata

Y2 (Rp /jt)

Pengeluaran/ C1

(Rp jt)

Pengeluaran/ C2

(Rp jt) 1 Pak Putu

50 6 Uang

Kep &Pajeng

Psr Klungkng 3 8 3,30 4,50 7,80 3,50 4,60

2 Pan Kuace 55 20 Gabah Petani Ds.Blakh 4 8 1,40 2,50 3,90 2,40 3,20

3 Dari Jawa - 5 M.Goreng

Jawa 3 8 2,20 1,10 3,30 1,05 1,55

4 Toko Murah

- 15 Kain Kase

Jl.Sulawesi Denpasar 5 8 1,00 2,50 3,50 2,20 2,40

Sumber: Data Primer (diolah oleh peneliti),2012

311

Lampiran 11

Persentase Manfaat Sosial, Budaya, dan Ekonomi yang diperoleh Pengempon Pura dengan terlaksana Ritual Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kabupaten Badung, 20 April 2012 (pada bulan penelitian).

No Makna

Sosial Budaya Ekonomi

1 STS/ B 1

1 TS/ B 2

CS/B3

S/

B 4

SS/

B 5

STS/ B 1

TS/ B2

CS/ B 3

S/B 4

SS/ B 5

STS/ B 1

TS/ B 2

CS/ B 3

S/B 4

SS/ B 5

1 Kepercayaan dan Keyakinan

1,85 98,15 -- - 3,70 96,30 - - - 8,33 91,67

2 Mlaspas dan Ngenteg Linggih

- 3,70 96,30 - - - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,52

3 Mecaru - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,52 - - - 7,41 92,59

4 Melasti

- 2,78 97,22 - - - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,5

5 Nyegara Gunung - 4,63 95,37 - - - 5,56 94,44 - - - 7,41 92,59

6 Banten

- 2,78 97,22 - - - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,5

7 Labda Karya

- 4,63 95,37 - - - 6,48 93,52 - - - 7,41 92,59

8 Kehidupan sosial - 2,78 97,22 - - - 4,63 95,37 - - - 6,48 93,52

9 Gotong Royong

- 3,70 96,30 - - - 1,85 98,15 - - - 6,48 93,52

10 Iuran Pura

- 3,70 96,30 - - - 4,63 95,37 - - - 8,33 91,67

11 Bahan-bahan ritual

- 5,56 94,44 - - - 7,41 92,59 - - - 3,70 96,30

12 Pengeluaran ritual

4,63

30,56 64,81 - - 3,70

32,41 63,89 - - 4,63

35,19 60,18

13 Kesempatan berusaha

- 8,33 91,67 - - - 9,26 90,74 - - - 2,78 97,22

14 Multiplier effect - 7,41 92,59 - - - 8,33 91,67 - - - 1,85 98,15

15

Perubahan sikap - 1,85 98,15 - - - 5,56 94,44 - - - 6,48 93,52

Rata-rata Jumlah

0,31

5,93 93,77 0,25

7,35 92,41 0,31

11,90 91,60

Sumber: Hasil penelitian (data diolah peneliti), 2012 Keterangan:

Skor 1.STS/B=Sangat tidak setuju/Baik, Skor 2.TS/B =Tidak setuju/Baik, Skor 3.CS/B =Cukup setuju/Baik Skor 4.S/B =Setuju/Baik, Skor 5.SS/B =Sangat setuju/Baik

312

Lampiran 12

TABULASI SKOR JAWABAN 130 RESPONDEN

No pr1 pr2 pr3 pr4 pr5 kk1 kk2 kk3 kk4 km1 km2 km3 km4 1 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 4 2 4 4 4 4 4 4 3 5 4 4 4 4 4 3 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 6 4 4 4 4 4 4 5 4 5 5 4 4 5 7 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 8 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 9 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 10 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 11 4 5 5 4 4 5 4 4 3 4 4 5 5 12 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 13 4 4 3 4 3 5 4 3 4 3 4 4 3 14 5 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 5 15 4 4 5 5 4 3 4 4 3 5 4 4 5 16 5 4 5 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 17 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 18 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 19 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 20 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 21 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 22 4 5 5 5 5 4 4 5 4 5 5 4 5 23 5 4 5 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 24 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 25 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 26 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 27 4 4 5 4 4 4 5 4 3 4 4 5 5 28 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 29 4 4 3 4 3 4 4 3 4 3 3 3 3 30 5 4 5 4 4 3 4 4 4 4 5 4 5 31 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 5 4 4 32 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 33 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 34 4 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 35 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 36 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 37 5 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 38 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 39 4 4 5 4 4 3 4 4 4 5 5 4 5 40 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 41 4 5 5 5 5 4 5 5 4 5 4 4 5 42 4 4 4 5 4 5 4 4 4 4 5 4 4 43 5 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 44 3 4 4 4 3 4 4 3 4 3 4 4 3 45 4 5 4 5 4 3 5 4 5 5 5 4 4 46 4 5 5 4 5 4 4 4 5 4 4 4 4 47 5 4 4 4 4 5 4 5 4 4 4 4 4 48 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 49 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 50 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 4 4 5 51 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 52 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4 53 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 54 5 5 4 4 4 3 4 5 4 4 4 4 4 55 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 56 4 5 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 5 57 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 58 4 4 5 4 4 4 5 4 4 4 5 4 5 59 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 5 60 4 4 4 5 4 4 4 4 5 5 4 5 5 61 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 62 4 4 4 4 5 5 4 5 4 5 4 4 5 63 5 5 5 5 5 5 4 4 4 5 4 4 5 64 4 4 5 4 4 3 4 4 3 5 4 4 5 65 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

313

66 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 67 4 5 5 5 4 4 4 3 3 4 4 4 5 68 5 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 69 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 3 3 3 70 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 71 4 5 5 4 4 4 4 5 4 3 4 4 5 72 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 73 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 74 3 4 3 4 4 3 4 4 3 3 4 3 4 75 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 76 3 4 3 4 3 3 4 4 3 3 4 3 4 77 5 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 5 78 4 5 5 4 3 5 4 5 4 4 4 4 4 79 5 4 4 4 4 3 4 5 4 4 4 4 5 80 5 4 4 4 4 4 4 4 3 5 4 5 4 81 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 82 5 4 5 4 3 5 5 4 5 4 4 4 5 83 4 4 4 4 3 3 5 4 3 3 4 3 4 84 4 5 5 4 4 4 4 4 3 5 4 4 5 85 4 5 4 5 4 3 4 5 4 3 4 4 4 86 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 87 5 4 5 4 4 5 4 4 4 3 3 4 4 88 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 89 4 5 4 5 4 4 4 4 5 4 5 4 5 90 4 5 4 4 5 3 4 4 4 3 4 4 4 91 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 92 5 4 4 4 5 4 5 4 5 3 5 4 4 93 5 4 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4 4 94 5 4 5 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 95 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 96 4 4 4 4 4 4 5 4 5 5 4 4 5 97 5 5 5 4 3 4 4 4 4 5 4 5 4 98 5 5 5 4 4 4 5 4 4 5 4 4 4 99 5 4 5 4 4 3 5 5 5 3 4 4 3 100 4 5 4 4 4 4 5 4 4 3 4 3 4 101 5 4 4 4 3 3 5 4 4 4 4 4 5 102 4 4 4 4 3 5 4 4 5 4 4 4 5 103 5 4 5 4 4 4 4 4 5 5 5 4 5 104 4 4 4 5 3 3 4 5 4 3 3 4 4 105 5 4 5 4 4 4 4 4 4 5 4 4 5 106 5 4 5 4 3 4 4 4 5 5 5 4 4 107 5 4 4 4 5 5 4 5 4 4 5 4 5 108 4 4 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 4 109 5 4 5 4 4 5 4 4 4 4 5 4 4 110 5 4 4 4 4 4 5 4 4 4 5 4 4 111 4 5 4 5 4 5 5 4 4 4 4 4 5 112 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 113 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 114 3 3 4 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 115 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 116 4 3 3 3 4 4 4 4 5 5 4 4 3 117 4 3 3 3 4 4 5 5 5 5 4 3 3 118 3 4 3 3 3 5 5 4 5 4 4 4 3 119 4 3 3 3 4 4 5 4 4 3 3 3 3 120 3 3 3 3 4 4 5 4 4 4 4 4 4 121 4 3 3 3 4 5 5 5 4 4 5 4 4 122 4 3 3 3 4 4 5 4 4 5 5 4 3 123 4 4 3 3 3 4 5 4 4 4 4 3 3 124 3 3 4 3 4 5 4 4 5 5 5 4 4 125 3 3 3 3 3 4 5 4 4 4 4 3 3 126 3 3 4 3 3 5 5 4 4 4 4 3 3 127 4 4 3 3 4 5 4 5 5 4 4 5 3 128 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 5 5 3 129 4 3 3 3 4 4 5 4 4 5 5 4 3 130 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

Keterangan: Skor 1 (sangat tidak baik/setuju), Skor 2 (tidak baik/setuju), Skor 3 (cukup baik/setuju), Skor 4 (baik/setuju), Skor 5 (sangat baik/setuju)

314

Kriteria dari masing-masing indikator variabel sebagai berikut. 1. Variabel Pelaksanaan Ritual terdiri dari indikator, yaitu (1) Labda karya

(kelancaran/kesuksesan) yang diukur berdasarkan jadwal acara (dodunan

karya) ada 21 acara, apabila acara tercapai < 4 skor 1, apabila acara tercapai

4-8 skor 2, apabila acara tercapai 8-12 skor 3, apabila acara tercapai 12-16

skor 4, apabila acara tercapai 16-21 skor 5; (2) Manggala karya yang diukur

kehadiran panitia dari 108 orang dalam 8 seksi acara, apabila panitia hadir <

14 orang skor 1, apabila panitia hadir 14-28 orang skor 2, apabila panitia

hadir 28-42 orang skor 3, apabila panitia hadir 22,8-30,4 orang skor 4, apabila

panitia hadir 42-108 orang skor 5; (3) Keharmonisan yang diukur kerukunan/

ketentraman selama gotong royong/ngayah 63 hari, apabila ngayah < 13 hari

skor 1, apabila ngayah 13-26 hari skor 2, apabila ngayah 26-39 hari skor 3,

apabila ngayah 39-52 hari skor 4, apabila ngayah 52-63 hari skor 5; (4)

Tenaga kerja yang diukur waktu yang dicurahkan rata-rata setiap hari 8 jam,

apabila waktu yang dicurahkan < 1 jam skor 1, apabila waktu yang dicurahkan

1-2 jam skor 2, apabila waktu yang dicurahkan 2-3 jam skor 3, apabila waktu

yang dicurahkan 3-4 jam skor 4, apabila waktu yang dicurahkan 4-8 jam skor

5; (5) Bahan ritual yang diukur persentase kemudahan/tersedianya bahan

ritual, apabila bahan ritual tersedia < 16,36 persen skor 1, apabila bahan ritual

tersedia 16,36-32,72 persen skor 2, apabila bahan ritual tersedia 32,72-49,08

persen skor 3, apabila bahan ritual tersedia 49,08-65,44 persen skor 4, apabila

bahan ritual tersedia 65,44-90,91 persen skor 5

2. Variabel Kesempatan Kerja terdiri dari indikator, yaitu (1) Lapangan

usaha yang diukur jumlah usaha, apabila keberlanjutan < 4 usaha skor 1,

apabila keberlanjutan 4-8-usaha skor 2, apabila keberlanjutan 8-12 usaha

skor 3, apabila keberlanjutan 12-16 usaha skor 4, apabila keberlanjutan 16-22

usaha skor 5.

; (2) Kualitas kesempatan kerja yang diukur jumlah tenaga kerja yang

dipekerjakan, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan < 1 orang skor 1, apabila

tenaga kerja yang dipekerjakan 1-2 orang skor 2, apabila tenaga kerja yang

dipekerjakan 2-3 orang skor 3, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan 3-4

315

orang skor 4, apabila tenaga kerja yang dipekerjakan 4-8 orang skor 5; (3)

Kuantitas kesempatan kerja yang diukur curahan jam kerja, apabila curahan

jam kerja < 1 jam skor 1, apabila curahan jam kerja 1-2 jam skor 2, apabila

curahan jam kerja 2-3 jam skor 3, apabila curahan jam kerja 3-4 jam skor 4,

apabila curahan jam kerja 4-8 jam skor 5; (4) Sifat kesempatan kerja yang

diukur sifat keberlanjutan usaha, apabila usia usaha < 1 tahun skor 1, apabila

usia usaha 1-3,6 tahun skor 2, apabila usia usaha 3,6-5,4 tahun skor 3, apabila

usia usaha 5,4-7,2 tahun skor 4, apabila usia usaha 7,2-10 tahun skor 5;

keberlanjutan < 4 usaha skor 1, apabila keberlanjutan 4-8-usaha skor 2,

apabila keberlanjutan 8-12 usaha skor 3, apabila keberlanjutan 12-16 usaha

skor 4, apabila keberlanjutan 16-22 usaha skor 5.

3. Variabel Kesejahteraan Masyarakat terdiri dari indikator, yaitu (1) Tingkat

pendapatan yang diukur total pendapatan rata-rata per bulan selama ritual,

apabila total pendapatan rata-rata per bulan < Rp 3,35 juta skor 1, apabila

total pendapatan rata-rata per bulan Rp 3,35 –Rp6,72 juta skor 2, apabila total

pendapatan rata-rata per bulan Rp 6,72-Rp10,07 juta skor 3, apabila total

pendapatan rata-rata per bulan Rp 10,07-Rp13,42 juta skor 4, apabila total

pendapatan rata-rata per bulan Rp 13,42-Rp21,00 juta skor 5; (2) Derajat

Pendidikan yang diukur tamat pendidikan formal, apabila tidak tamat SD skor

1, apabila tamat SD skor 2, apabila tamat SMP skor 3, apabila tamat SMA

skor 4, apabila tamat SMA keatas skor 5; (3) Derajat Kesehatan yang diukur

frekuensi berobat, apabila frekuensi berobat 8 kali keatas skor 1, apabila

frekuensi berobat 8 -6 kali keatas skor 2, apabila frekuensi berobat 6-4 kali

keatas skor 3, apabila frekuensi berobat 4-2 kali keatas skor 4, apabila

frekuensi berobat kurang dari 2 kali skor 5; (4) Kondisi kehidupan sosial yang

diukur adalah hubungan yang harmonis/baik, apabila hubungan antar anggota

keluarga skor 1, apabila hubungan antar pengempon pura skor 2, apabila

hubungan antar banjar skor 3, apabila hubungan antar masyarakat skor 4,

apabila hubungan antar masyarakat dan lingkungan Desa skor 5.

316

Lampiran 13

Assessment of normality (Group number 1) Variable min max skew c.r. kurtosis c.r. pr5 3,000 5,000 -,077 -,358 ,302 ,703 pr4 3,000 5,000 -,025 -,118 ,164 ,381 pr3 3,000 5,000 -,049 -,227 -,863 -2,009 pr2 3,000 5,000 -,013 -,059 -,172 -,400 pr1 3,000 5,000 -,120 -,560 -,634 -1,476 Multivariate 4,052 2,761

Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate S.E. C.R. P Label pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,280 ,181 7,091 *** par_1 pr3 <--- PR 1,334 ,200 6,671 *** par_2 pr4 <--- PR 1,239 ,172 7,189 *** par_3 pr5 <--- PR ,771 ,145 5,314 *** par_4

Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate pr1 <--- PR ,603 pr2 <--- PR ,839 pr3 <--- PR ,758 pr4 <--- PR ,865 pr5 <--- PR ,557 Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3=

keharmonisan, pr4= tenaga kerja, pr5= bahan-bahan ritual

317

Lampiran 14

Assessment of normality (Group number 1) Variable min max skew c.r. kurtosis c.r. kk4 3,000 5,000 ,020 ,092 -,546 -1,270 kk3 3,000 5,000 ,025 ,116 ,822 1,913 kk2 3,000 5,000 ,057 ,266 ,058 ,135 kk1 3,000 5,000 ,010 ,046 -,400 -,930 Multivariate 1,819 1,496

Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate S.E. C.R. P Label kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,136 ,252 4,507 *** par_1 kk3 <--- KK ,943 ,218 4,323 *** par_2 kk4 <--- KK 1,329 ,294 4,518 *** par_3

Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate kk1 <--- KK ,527 kk2 <--- KK ,673 kk3 <--- KK ,603 kk4 <--- KK ,680

Keterangan: kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4= sifat kesempatan kerja

318

Lampiran 15

Assessment of normality (Group number 1) Variable min max skew c.r. kurtosis c.r. km4 3,000 5,000 -,175 -,816 -1,060 -2,468 km3 3,000 5,000 -,222 -1,033 ,974 2,268 km2 3,000 5,000 ,018 ,086 ,167 ,389 km1 3,000 5,000 -,025 -,117 -,718 -1,670 Multivariate 3,405 2,801

Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate S.E. C.R. P Label km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,784 ,120 6,536 *** par_1 km3 <--- KM ,735 ,108 6,810 *** par_2 km4 <--- KM ,868 ,150 5,777 *** par_3

Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate km1 <--- KM ,742 km2 <--- KM ,688 km3 <--- KM ,740 km4 <--- KM ,592

Keterangan: km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4= kondisi kehidupan sosial

319

Lampiran 16

Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate S.E. C.R. P Label KK <--- PR ,464 ,115 4,038 *** H1 KM <--- PR ,517 ,124 4,171 *** H2 KM <--- KK ,704 ,182 3,860 *** H3 pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR 1,132 ,149 7,585 *** par_4 pr3 <--- PR 1,288 ,172 7,507 *** par_5 pr4 <--- PR 1,102 ,142 7,775 *** par_6 pr5 <--- PR ,761 ,128 5,928 *** par_7 kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK 1,018 ,205 4,976 *** par_8 kk3 <--- KK 1,012 ,196 5,171 *** par_9 kk4 <--- KK 1,155 ,235 4,918 *** par_10 km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,866 ,132 6,549 *** par_11 km3 <--- KM ,846 ,118 7,173 *** par_12 km4 <--- KM 1,105 ,170 6,503 *** par_13

Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate KK <--- PR ,571 KM <--- PR ,499 KM <--- KK ,552 pr1 <--- PR ,651 pr2 <--- PR ,802 pr3 <--- PR ,791 pr4 <--- PR ,830 pr5 <--- PR ,593 kk1 <--- KK ,551 kk2 <--- KK ,630 kk3 <--- KK ,676 kk4 <--- KK ,618 km1 <--- KM ,657 km2 <--- KM ,674 km3 <--- KM ,755 km4 <--- KM ,668

320

Lampiran 17 Full Model Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat

Gambar 6.22 Koefisien Regresi Model Variabel Pelaksanaan Ritual (PR), Kesempatan Kerja (KK), dan Kesejahteraan Masyarakat (KM)

Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5= bahan ritual, kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial.

321

Lampiran 18

Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)

Estimate KK ,326 KM ,869

Standardized Total Effects (Group number 1 - Default model)

PR KK KM KK ,571 ,000 ,000 KM ,815 ,552 ,000

Standardized Direct Effects (Group number 1 - Default model)

PR KK KM KK ,571 ,000 ,000 KM ,499 ,552 ,000

Standardized Indirect Effects (Group number 1 - Default model)

PR KK KM KK ,000 ,000 ,000 KM ,315 ,000 ,000

Modification Indices (Group number 1 - Default model)

Covariances: (Group number 1 - Default model)

M.I. Par Change e13 <--> e14 11,629 -,059 e3 <--> e13 14,785 ,089 e2 <--> e4 14,081 ,045 e1 <--> e14 9,544 ,048

322

Lampiran 19

Estimates (Group number 1 - Default model) Scalar Estimates (Group number 1 - Default model) Maximum Likelihood Estimates Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate S.E. C.R. P Label KK <--- PR ,466 ,107 4,343 *** H1 KM <--- PR ,407 ,123 3,309 *** H2 KM <--- KK ,856 ,206 4,159 *** H3 pr1 <--- PR 1,000 pr2 <--- PR ,977 ,142 6,891 *** par_4 pr3 <--- PR 1,244 ,166 7,515 *** par_5 pr4 <--- PR ,963 ,134 7,177 *** par_6 pr5 <--- PR ,741 ,124 5,999 *** par_7 kk1 <--- KK 1,000 kk2 <--- KK ,989 ,197 5,027 *** par_8 kk3 <--- KK ,983 ,188 5,236 *** par_9 kk4 <--- KK 1,173 ,230 5,102 *** par_10 km1 <--- KM 1,000 km2 <--- KM ,874 ,126 6,943 *** par_11 km3 <--- KM ,817 ,111 7,361 *** par_12 km4 <--- KM 1,310 ,211 6,221 *** par_13

Standardized Regression Weights: (Group number 1 - Default model)

Estimate KK <--- PR ,595 KM <--- PR ,399 KM <--- KK ,657 pr1 <--- PR ,682 pr2 <--- PR ,725 pr3 <--- PR ,804 pr4 <--- PR ,760 pr5 <--- PR ,605 kk1 <--- KK ,556 kk2 <--- KK ,618 kk3 <--- KK ,662 kk4 <--- KK ,633 km1 <--- KM ,677 km2 <--- KM ,701 km3 <--- KM ,751 km4 <--- KM ,817

323

Lampiran 20

Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat

Gambar 6.24 Koefisien Regresi Model Modifikasi Variabel Pelaksanaan Ritual, Kesempatan Kerja, dan Kesejahteraan Masyarakat

Keterangan: pr1= labda karya, pr2= manggala karya, pr3= keharmonisan, pr4=tenaga kerja, pr5= bahan ritual, kk1= lapangan usaha, kk2= kualitas kesempatan kerja, kk3= kuantitas kesempatan kerja, kk4=sifat kesempatan kerja, km1= tingkat pendapatan, km2= derajat pendidikan, km3= derajat kesehatan, km4=kondisi kehidupan sosial.

324

Lampiran 21

Squared Multiple Correlations: (Group number 1 - Default model)

Estimate KK ,354 KM ,902

Standardized Total Effects (Group number 1 - Default model)

PR KK KM KK ,595 ,000 ,000 KM ,789 ,657 ,000

Standardized Direct Effects (Group number 1 - Default model)

PR KK KM KK ,595 ,000 ,000 KM ,399 ,657 ,000

Standardized Indirect Effects (Group number 1 - Default model)

PR KK KM KK ,000 ,000 ,000 KM ,391 ,000 ,000

325

GLOSARIUM A adat istiadat : kebiasaan umum adiluhung : sangat baik altruism : sifat toleransi animistic : penganut paham animisme angayubagia : kebahagian apang pada payu : adanya keadilan artha : tujuan attitude : sikap autonomous consumption (Ca) : pengeluaran ketika pendapatan nol (Ca) ayah-ayahan : pembaran biaya ritual B Bagavadgita : kitab suci Agama Hindu Bagia Pulakerti : mewujudkan kebahagiaan Banten peregembal : simbol alam semesta better-off : lebih baik Bendesa adat : orang yang dipercaya oleh masyarakat dalam memimpin

wilayah desa adat dengan adat istiadatnya bija/wija : beras yang sudah disucikan bhakti : rasa sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa C Catur wangsa : empat lapisan/keturunan/soroh terdiri atas (Brahmana,

Ksatrya, Wesya, dan Sudra) Caru Tawur (Mecaru Gede): korban suci dari hewan berkaki empat satu unit apreman. consumption culture behaviour : perilaku budaya konsumsi cost reducing : pengurangan biaya culture : budaya cost reducing : mengurangi biaya consumption culture behaviour :perilaku budaya konsumsi D Desa- Kala-Patra (tempat–waktu/keadaan-orang) : ritual yang dapat disesuaikan dengan

kondisi dan satuan ruang, waktu dan orang dudonan karya : susunan acara dunia akhirat : dunia setelah mati/dunia tidak nyata/abstrak direc Effect : pengaruh langsung Dharma, Artha dan Kama : kebaikan, kekayaan, dan kemauan/keinginan/nafsu

326

E esensi : inti enteg : posisi yang dinamis economically active : aktif secara ekonomi expected income : pendapatan yang diharapkan expectancy theory : teori harapan F filosofi : makna yang benar fit : baik/sesuai full employment : kesempatan kerja penuh free fight, free entry and free exit : strategi mengalahkan pesaing ketika tidak efisien

akan bangkrut lalu keluar G Goodness of Fit : Uji Kelayakan Model Grand Theory : teori utama H habitus : tempat hidup heterogenitas : beraneka ragam kelompok homoeconomicus : jika memperoleh keuntungan dibuat maksimal dan ketika rugi

diusahakan rugi sekecil-kecilnya humanity : kemanusiaan Hukum Karmaphala : Sancita Karmaphala yaitu hasil perbuatan dahulu dinikmati

sekarang, Prarabda Karmaphala yaitu hasil perbuatan sekarang dinikmati sekarang, Kryamana Karmaphala yaitu hasil perbuatan sekarang baru bisa dinikmati setelah kelahiran nanti

I. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) : angka kualitas hidup manusia indepth Interview : wawancara mendalam incremental fit indices : angka bilangan bertahap Inequality Reexamined : memeriksa kembali ketidaksetaraan indirec effect : pengaruh tidak langsung irasional : diluar akal sehat J Justice : keadilan Jnana : ilmu pengetahuan suci K Karya Agung Panca Walikrama : upacara bhuta yadnya yang dilaksanakan setiap

sepuluh tahun sekali pada saat pergantian tahun baru saka

327

berakhir dengan bilangan 0 dengan tujuan memohon keseimbangan unsur Panca Mahabutha yang dilaksanakan di pura Besakih.

Kahyangan Tiga : pura Puseh, pura Desa, dan pura Dalem kajen- keliwon, purnama tilem : purnama adalah bulan penuh dan tilem adalah bulan

mati. Pergantian purnama ke tilem setiap 15 hari kalbu nurani : hati nurani konversi : merubah kucit butuhan : hewan babi hitam jantan yang utuh kuluk belangbungkem : anjing jantan, warna bulunya hitam kemerah-merahan L Labda karya : ritual yang sukses dan berhasil Latency pattern maintenance : pemeliharaan pola-pola yang sudah ada leading sector : sektor utama Linkage : hubungan lingga dan yoni : simbol lingga Shiwa saktinya Yoni adalah ke-Pradhana-an

Shakti. Perwujudan Lingga Yoni adalah batu berdiri di atas batu bulat

local genius/local wisdom : kebiasaan/budaya lascarya : penuh keiklasan tanpa pamerih apapun M Madyaning Utama : tingkatan ritual menengah tetapi yang besar menyamabraya, metetulung, salulung sabhayantaka, paras-parosarpanaya, adiluhung :

kebersamaan yang penuh dengan solidaritas. manifest : indikator makna Ngingkup (kebersamaan dan kesetaraan) : menumbuhkan, menciptakan serta

membangun keselamatan dan kedamaian bagi seluruh dengan dilandasi jalinan rasa kasih yang tulus

makna Mangun Hayu (tujuan atau harapan) : membangun kebaikan makna Ngremekin (pembelajaran diri) :sebagai tanda ritual sudah selesai dan berhasil makna Makebat Daun (meresapi) : salah satu proses ritual makna Ngebekin (menghayati) : dengan memiliki ilmu yang banyak hendaknya

dibarengi dengan penghayatan yang benar dan dapat dijabarkan kepada umat manusia dengan penuh kebersamaan

makna Nyenduk : menyampaikan terima hasih kepada sesama yang berjasa dalam proses ritual

makna Nyegara Gunung : menghaturkan puji syukur dan rasa terima kasih kita kehadapan TYME dalam manifestasinya-Nya sebagai sang Hyang Purusa (gunung) dan Predhana (segara)

moksha : tujuan hidup menyatu dengan Tuhan manggala karya/prawartaka karya : panitia ritual

328

Mlaspas : upacara pembersihan bangunan pelinggih tempat sembahyang umat Hindu di Bali

multiplier effects : angka pengganda/ nilai tambah Middle Range Theory : teori pendukung Mokshartam Jagadhita Ia Ca Iti Dharma : tujuan mencapai kebahagiaan lahir bathin

baik di dunia maupun di akhirat atau sekala niskala measurement model : model pengukuran menyamabraya, metetulung, ngoopin: saling tolong menolong mandays : tenaga kerja laki-laki dan perempuan Mepada Wewalungan : ritual menyucikan hewan yang akan dipersembahkan sebagai

korban suci metanding banten : menata/mengatur alat-alat ritual Mecaru : korban suci untuk keseimbangan alam manusia Mekiis (melasti) : ritual penyucian diri dengan berbhakti pada Tuhan untuk

mendapatkan kekuatan spiritual dalam rangka memperbaiki diri sesame alam

mutual trust : sikap saling percaya N nak mula keto (gugon tuwon) : kebenaran yang harus diikuti newasain karya : memulai kegiatan secara sekala niskala network : jaringan nitya karma : ritual sehari-hari nothing : kosong nonprobability Sampling : teknik pengambilan sample yang tidak memberi peluang

sama bagi setiap anggota populasi Ngenteg Linggih : ritual membersihkan diri agar TYME selalu dirasakan

kehadirnnya ngayah : bekerja dengan tulus iklas tanpa pamberih ngejot : ritual setiap hari selesai masak Nyepi : upacara pergantian tahun saka nganyarin : satu tahapan ritual setelah hari H Ngingsah beras : ritual membersihkan beras yang akan digunakan dalam

ritual nyasa :perwujudan atau simbol-simbol O overproteksi : melindungi over identified : lebih dari diidentifikasi P Panca Yadnya : lima jenis pengorbanan suci yang tulus iklas (Dewa

yadnya pengorbanan kepada para Dewa/Tuhan, Rsi yadnya pengorbanan kepada para rsi, Manusia yadnya

329

pengorbanan kepada umat manusia, pitra yadnya pengorbanan kepada para leluhur, Bhuta yadnya pengorbanan kepada para bhuta -kala / alam semesta beserta isinya

Path Analysis : analisis jalur Pangrajeg Karya : yang bertangung jawab tegaknya ritual agar tetap sesuai

dengan tattwa Puncak karya : hari H dilaksanakan ritual public needs : kebutuhan publik public interests : kepentingan masyarakat piodalan : peringatan hari jadi pendapatan dispossable : pendapatan yang siap dikonsumsi pelinggih : bangunan suci pis bolong : uang kepeng yang dipergunakan dalam ritual Agama

Hindu pemangku pura : seorang pemimpin ritual di pura postmodern : pemikiran modern/terbaru R Ratchet Effect : penghasilan tertinggi tahun sebelumnya Redefinisi : mendefinisikan kembali Rsi Bojana : suguhan yang diberikan oleh panitia karya kepada para

Sulinggih sebagai tanda terima kasih telah menyelesaikan tugas dalam ritual

ritual : upacara religious value :nilai-nilai agama revenue increasing : menaikkan pendapatan ritual Agamis : upacara keagamaan/sakral ruh/roh : jiwa reliabilitas : keandalan rwa-bhineda : baik buruk rumit : kesulitan yang menyusahkan S Sakala-niskala : sekala kehidupan duniawi dan niskala kehidupan spritual sakralisasi : ritual proses penyucian atau proses pembersihan sampel jenuh :semua anggota populasi digunakan sebagai

sampel/penelitian populasi/sensus sattvikam yadnya : yadnya yang berkualitas tinggi atau dilaksanakan karena

kewajiban dan dilandasi dengan ketulusan iklasan, dengan berpedoman pada sastra agama, dan dengan pemahaman dan penghayatan yang betul-betul baik terhadap apa yang dilaksanakan

sekte : sekelompok spiritual tinggi

330

sekte ciwa-sidhanta : pemuja dewa Ciwa sekte pashupata : penyembahan pada lingga/sakthi sekte bhairawa :pemuja Dewa Durga sekte wesnawa : pemuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri sekte bodha atau sogata : penganut Budha Mahayana yang tantris sekte brahmana : sekte brahmana penganut tradisi (smrti) sekte sri : kelompok masyarakat yang telah menyucikan diri agar dapat

memimpin upacara, sekte sora : penyembah surya sekte ganapatya : penyembah ganeca selepaan : daun kelapa yang hijau selflove : sayang pada diri sendiri social capital : modal sosial social welfare : kesejahteraan sosial something : sesuatu suka-duka : baik buruk ditangung bersama suka tan pawali dukha : kesejahteraan lahir bathín sulinggih : orang yang mencapai kedudukan terhormat share : sumbangan/kontribusi sraddha : bhakti penuh keyakinan spillover effect : efek lebih lanjut stages along the life circles : ritual dapat dipandang secara horizontal supply chain : pemasok/penjual spradley :responden yang memiliki pemahaman aktual tetang lokasi

penelitian structural error : kesalahan structural T take and give : hubungan timbal balik tapa, yoga, swadyaya : pengendalian diri tapini/serati : tukang banten taring, bale panggung : tempat banten/tempat para sulinggih melakukan tugas ritual

yang dibuat dari bambu Tattwa-Susila-Upacara : tiga kerangka Agama Hindu Tat twam asi : aku adalah kamu (toleransi) temporer : sementara tumpek, saraswati,galungan, kuningan : nama-nama hari raya hindu di Bali dan ritual

210 hari turning point : titik balik The Theory of Moral Sentiments : Teori Moralitas The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism : Etika Protestan dan semangat

kapitalisme The General Theory : teori besar Thurstone : bentuk

331

theoretical frame work :bangun teori Tri Hita Karana : Parhyangan hubungan manusia dengan Tuhan, Pawongan

hubungan manusia dengan manusia, dan Palemahan hubungan manusia dengan lingkungan alam

Tri Guna : tiga jenis sifat manusia yaitu Satwam (baik), Rajas (angkuh/rakus), Tamas (malas).

Tri Kaya Parisuda : tiga dasar perilaku yang harus disucikan yaitu Manahsika (berpikir yang baik dan suci, Wacika (berkata yang baik dan benar), Kayika (berbuat yang baik dan jujur)

Tri Purusha Artha : tiga hal yang ingin dicapai di dalam hidup Tri-kona : tiga macam bentuk jejahitan alat-alat ritual (segi tiga, bulat,

segi empat) lambang lahir – hidup - mati Tri rna : tiga jenis hutang yaitu Dewa Rna hutang kepada para

Dewa, Rsi Rna hutang kepada para Rsi, Pitra Rna hutang kepada para leluhur/orang tua

U Undagi : para perecana bangunan unidentified atau under identified :teridentifikasi atau di bawah diidentifikasi Uji Signifikasi : ada pengaruh nyata Upakara : sarana upacara Agama Hindu V Validity : kesahihan Vedis : persembahan kepada para dewa W wealth : kekayaan worse-off : lebih buruk Wewalian : hiburan warung atau sesalon : tempat aktivitas penyelenggaraan ritual Sumber: Buku Leksikon Hindu oleh IBM. Dharma Palguna (2008), Wijayananda

(2004) dan Wiana (2004)

332

PHOTO-PHOTO

Tempat / Lokasi Penelitian

Bahan-Bahan Ritual Bambu dan Kelapa

Bahan-Bahan Ritual Kelapa dan Pisang

333

Persiapan tempat ritual

Bahan-Bahan Ritual dan masyarakat pengempon

membuat persiapan ritual

Jenis Bahan ritual yang dibeli dari pemasok

Pasar Blahkiuh dan Pasar Badung

334

Masyarakat wanita dan laki-laki membuat persiapan ritual

Masyarakat laki dan wanita membuat persiapan ritual

Masyarakat wanita membuat persiapan ritual

335

Masyarakat wanita dan laki-laki membuat persiapan ritual

Masyarakat laki-laki dan wanita membuat persiapan ritual

Masyarakat wanita dan laki-laki membuat persiapan ritual

336

Masyarakat wanita membuat persiapan ritual

Masyarakat laki-laki membuat persiapan ritual

Masyarakat wanita membuat persiapan ritual

337

Pemangku pura menata banten

Banten untuk ritual

338

Pengenteg gumi, Banten Sarad dan Pemangku Pura

Sulinggih sedang memimpin ritual pada saat

puncak karya tanggal 20 April 2012

Masyarakat pengempon sedang melaksanakan ritual

339

Kesenian sakral (Wayang Lemah dan Topeng Sidakarya)

Tari Sakral (Topeng Sidakarya dan Baris Gede)

Seni Tabuh mengiringi aktivitas ritual

340

Puncak Karya Mlaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Pasek Prateka (Tapini, tukang banten dan mahasiswa peneliti)

Upacara / ritual nyenduk di sekitar Abiansemal, 24-4-2012

Acara Nyegara Gunung ring Pura Mumbul Blahkiuh 26-4-2012

Acara Nyegara Gunung ring Pura Bukit Sari Sangeh, 26-4-2012