tinjauan kriminologi terhadap pelaku tindak …
TRANSCRIPT
TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAPPIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According
to the Law of the Republic of Indonesia
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
i
T E S I S
KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According
to the Law of the Republic of Indonesia Number 35 Year 2009
on Narcotics
Oleh:
RAHMI DWI ASTUTI
P0902208006
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
PELAKU TINDAK UNDANG
35 TAHUN 2009
Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According
Number 35 Year 2009
i
T E S I S
TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According
to the Law of the Republic of Indonesia Number 35 Year 2009
on Narcotics
Oleh:
RAHMI DWI ASTUTI
P0902208006
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
i
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt, raja semesta alam yang atas rahmat
dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tesis ini.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, tentu merupakan kebahagian dan
kenikmatan tersendiri bagi penulis, oleh karena selama menempuh studi
penulis tidak luput dari berbagai hambatan. Namun berkat kesabaran,
keikhlasan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat
menghadirkan karya penulisan yang sederhana ini.
Penulis menyadari kekurangan dan ketidaksempurnaan menjadi
bagian dari karya tesis ini, maka penulis berharap adanya saran dan
masukan yang ilmiah dan konstruktif demi pengembangan karya tesis ini.
Penulis menyadari selama studi hingga penulisan tesis ini merupakan
wujud dari pengorbanan yang tak terhingga batasnya dari kedua orang tua
penulis. Maka dengan ini, karya tesis ini penulis persembahkan kepada
Ayahanda H. M. DARWIS MAS’UD, SH., dan Ibunda HJ. KALMAWATI
DARWIS, S.SIT., serta suami tercinta MUH. GAZALI ARIEF, SH, dan
ananda tersayang HUSNUL ATHIYYAH GAZALI, yang selalu
memberikan dorongan dan doa kepada penulis.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya pula,
penulis haturkan kepada :
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Aswanto,
SH., MH., DFM beserta seluruh jajarannya, Prof. Dr. Marthen Arie,
SH.,MH., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum;
i
2. Prof. Dr. Andi Seri Alam, selaku ketua Komisi Penasihat, dan Prof. Dr.
Muhadar, SH.,M.Si, selaku anggota Komisi penasihat, yang telah
banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan
petunjuk-petunjuk serta bimbingan kepada peneliti dengan penuh
keikhlasan dan kearifan selama proses penelitian;
3. Prof. Dr. M. Syukri Akub, SH., MH., Prof. Dr. Andi Sofyan, SH., MH,
dan Prof. Dr. Aswanto, SH., M.Si., DFM, selaku Tim Penguji yang
memberikan masukan dan penilaian demi kesempurnaan penyusunan
hasil penelitian ini;
4. Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Makassar beserta jajarannya;
5. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Sungguminasa
beserta jajarannya ;
6. Para dosen dan segenap civitas akademik Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin yang telah berjasa mendidik penulis ;
7. Seluruh rekan kerjaku Cakim Angkatan V dan cakim Angkatan IV pada
Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Maros, terima
kasih atas dukungan serta pengetahuan yang kalian berikan ;
8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu ;
Akhirnya penulis berharap, tesis ini dapat bermanfaat betapapun
kecilnya, baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan, maupun untuk
kepentingan praktisi. Amin.
Makassar, Januari 2012
RAHMI DWI ASTUTI
i
ABSTRAK
RAHMI DWI ASTUTI. Tinjauan Kriminologi terhadap Pelaku Tindak
Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika (dibimbing oleh Andi Seri Alam dan
Muhadar).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Perbedaan setiap
golongan pelaku tindak pidana narkotika dan untuk mengetahui (2) Faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penyalahgunaan
narkotika dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar.
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar dan
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Makassar. Tipe penelitian ini adalah
penelitian empiris dengan pendekatan sosiologi hukum. Penarikan sample
dilakukan dengan teknik non probability sampling dengan metode
purposive sampling. Jenis data yang terdiri atas data primer dan data
sekunder yang diperoleh melalui wawancara dan kuesioner, dianalisis
dengan menggunakan analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif
yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Perbedaan setiap
golongan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 secara garis besar meliputi
perbuatan menggunakan narkotika tanpa izin dan pengawasan, atau
dikenal sebagai Pengguna, yang meliputi perbuatan
pecandu/penyalahguna bagi diri sendiri; mengedarkan narkotika atau
dikenal sebagai pengedar, yang meliputi perbuatan tanpa hak dan
melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan/menerima
narkotika, membawa, menguasai, mengirim, mengangkut, mengekspor,
mengimpor, menyalurkan atau mentransito narkotika, memberikan
narkotika untuk digunakan oleh orang lain; serta sebagai produsen, yang
meliputi perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi,
menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, atau menyediakan
Narkotika atau Prekursor Narkotika. (2) Faktor yang menyebabkan
terjadinya penyalahgunaan narkotika, terdiri atas faktor internal, yaitu hal-
hal yang dari dalam diri pelaku berupa aspek individu, seperti kepribadian
yang ingin tahu, mudah kecewa, jiwa yang tergoncang, rasa putus asa,
dan lain-lain yang menyebabkan pelaku memerlukan rasa ketenangan,
kenyamanan, dan keberanian dengan menggunakan narkotika; serta
faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang dari luar diri pelaku, seperti
sosial budaya, ekonomi, pengaruh lingkungan, dan lain-lain.
i
ABSTRACT
RAHMI DWI ASTUTI. Criminology Review on Narcotics Crime
Perpetrators According to the Law of the Republic of Indonesia Number 35
Year 2009 on Narcotics (Supervised by ANDI SERI ALAM and
MUHADAR).
This study aims to determine (1) The differences of each class of
narcotics criminals and to find out (2) The factors that cause the
occurrence of drug abuse and criminal acts in Makassar District Court
jurisdiction.
The research was conducted in the District Court of Makassar and
Makassar Narcotics Correctional Institution. This type of research is
empirical research with sociological approach to law. The withdrawal
sample is done by non-probability sampling technique with the purposive
sampling method. The type of data consists of primary data and secondary
data obtained through interviews and questionnaire, were analyzed using
qualitative data analysis and analysis of quantitative data which is then
presented in descriptive form.
The results showed that (1) The differences of each class of drugs based
on the criminal law of the Republic of Indonesia Number 35 Year 2009 as a
line of action includes the use of narcotics without the permission and
supervision, otherwise known as the User, which includes deed
addicts/abusers for yourself; distribute narcotics, or known as a dealer,
which includes works without rights and unlawfully offering for sale, selling,
buying, receiving, mediating in the sale and purchase, exchange, deliver /
receive narcotics, carry, control, transmit, transport, export , import,
distribute or mentransito narcotics, giving narcotics to others to be used;
as well as manufacturers, which include deeds without rights and
unlawfully manufacture, planting, maintaining, owning, storing, or providing
or Precursor Narcotics. (2) Factors that cause the occurrence of abuse of
narcotics, composed of internal factors, namely the things from the inside
of the perpetrators of the individual aspects, such as personality who
wanted to know, easily upset, shaken soul, despair, and others who cause
the offender requires a sense of tranquility, comfort, and courage to use
narcotics; as well as external factors, namely the things that come from
outside actors, such as socio-cultural, economic, environmental
influences, and others.
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................................... v
ABSTRACK ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Kriminologi ..................................................... 11
B. Ruang Lingkup dan Objek Kriminologi ....................................... 13
C. Teori-teori Kriminologi ................................................................ 18
D. Tinjauan tentang Pelaku Tindak Pidana Narkotika ..................... 42
E. Jenis dan Penggolongan Narkotika ……………… ...................... 45
F. Kerangka Pikir ............................................................................ 57
G. Definisi operasional .................................................................... 63
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian ........................................................................... 65
i
B. Lokasi Penelitian ........................................................................ 65
C. Populasi dan Sampel .................................................................. 66
D. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 67
E. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 67
F. Analisis Data … .......................................................................... 68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Narkotika ........................ 69
1. Regulasi ........................................................................ 70
2. Peran Pelaku ................................................................ 74
3. Pengetahuan/Pemahaman hukum aparat .................... 83
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Tindak
Pidana Narkotika ....................................................................... 97
1. Faktor Internal ............................................................. 105
2. Faktor Eksternal .......................................................... 109
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 122
B. Saran ............................................................................... 123
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 124
LAMPIRAN ..................................................................................................... 126
i
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel Halaman
1. Peran pelaku tindak pidana Narkotika dalam wilayah hukum
Pengadilan Negeri Makassar ....................................................... 76
2. Jumlah Perkara Tindak pidana Narkotika dalam wilayah hukum
Pengadilan Negeri Makassar ..................................................... 101
3. Umur Pelaku Penyalahguna Narkotika ....................................... 106
4. Ketaatan beragama pelaku penyalahguna Narkotika ................. 107
5. Pendidikan pelaku penyalahguna narkotika ............................... 108
6. Pekerjaan Pelaku tindak pidana Narkotika ................................. 111
7. Keadaan sosial ekonomi keluarga penyalahguna narkotika ....... 112
8. Penghasilan perbulan pelaku penyalahguna narkotika .............. 113
9. Ruang lingkup pergaulan dalam masyarakat ............................. 114
10. Waktu luang pelaku pada hari kerja ........................................... 115
11. Kegiatan pengisi waktu luang pelaku ......................................... 116
12. Sumber pertama kali pelaku memperoleh narkotika .................. 117
13. Tempat pertama kali pelaku memperoleh narkotika ................... 118
14. Alasan pelaku menyalahgunakan Narkotika .............................. 119
i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selalu
membawa dampak yang positif bagi masyarakat. Apabila kita
perhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut
seringkali melahirkan polemik yang baru dalam masyarakat, sebagai
contoh adalah narkotika. Narkotika disatu sisi sangat dibutuhkan dalam
bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, namun disisi lain justru dapat
memberi peluang terjadinya penyalahgunakan narkotika.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Di satu sisi narkotika merupakan obat
atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain
dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat
dan seksama.
Masalah penyalahgunaan Narkotika atau istilah yang populer
dikenal masyarakat sebagai Narkoba (Narkotika dan Bahan / Obat
Berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang
memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan
i
melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta
masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan,
konsekuen dan konsisten.
Maraknya penyalahgunaan narkotika tidak hanya di kota-kota
besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah
Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah
bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas.
Dari berbagai informasi maupun data yang berhasil di
Inventarisir terjadi peningkatan pengguna maupun kasus narkotika
diberbagai daerah di Indonesia pada umumnya dan Makassar pada
Khususnya. Bahkan dalam pengamatan tidak ditemukan pemberitaan
akan keberhasilan sebuah daerah tertentu yang berhasil menekan
angka pengguna maupun kasus Narkotika. Jika dikonversikan dengan
beberapa keberhasilan penegak hukum dalam mengungkap peredaran
dan penyalahgunaan narkotika yang pantas diapreasiasi, justru
mengherankan mengapa tidak terjadi penurunan kasus, bahkan
dengan temuan-temuan tersebut justru menambahkan angka tingginya
kasus penyalahgunaan narkotika.
Pengesahan Konvensi Wina Tahun 1971 yang mengatur
kerjasama internasional dalam pengendalian, pengawasan produksi,
peredaran dan penggunaan narkotika dan psikotropika serta
mencegah dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika
dan psikotropika, dengan membatasi penggunaannya hanya bagi
kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan
i
upaya pemerintah dengan penyelenggaraan kerjasama antara negara-
negara lain dalam rangka suatu usaha pengawasan, peredaran dan
penyalahgunaan narkotika yang memberikan arahan tentang prinsip-
prinsip yuridis kriminal dan aturan-aturan tentang ekstradisi.
Ditinjau dari aspek kepentingan nasional, konvensi ini dapat
menjamin kepastian dan keadilan hukum dalam upaya penegakan
hukum peredaran gelap narkotika yang melibatkan para pelaku
kejahatan lintas batas teritorial Indonesia. Di samping itu untuk
kepentingan nasional, khususnya untuk kepentingan didalam negeri,
akan diperoleh suatu kepastian dan kemanfaatan dalam rangka
pengaturan peredaran narkotika untuk kepentingan pengobatan dan
ilmu pengetahuan.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 2009, pemerintah
Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang menggantikan undang-undang
sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika dan Lampiran mengenai Jenis Psikotropika Golongan I dan
Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang telah dipindahkan
menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, sudah
dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut melalui Pasal 153 dan
155 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
i
tertanggal 12 Oktober 2009. Tentu saja terhadap seorang pelaku
tindak pidana Narkotika dan Psikotropika mulai dari penangkapan
sampai dengan penjatuhan sanksi, tidak lagi berpedoman kepada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika, melainkan sebagai dasar hukum
yang dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa adalah Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Salah satu perbedaan yang disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut dinyatakan bahwa
shabu-shabu bukan lagi disebut psikotropika. Shabu-shabu sudah
dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai
Narkotika golongan I. Selain itu, golongan I dan golongan II pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika semuanya
sudah dimasukkan ke dalam daftar golongan I dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009.
Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin diperketatnya hukum
dalam pengaturan sanksi terhadap bagi siapa saja yang
menyalahgunakan Narkotika maupun Psikotropika baik sanksi pidana
maupun sanksi denda.
Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau
dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya, Undang-undang
Narkotika hanya melarang terhadap penggunaan narkotika tanpa izin
oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini
dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering
i
disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu
pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada itu, dijadikan ajang bisnis
yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini
berimbas pada rusaknya mental baik fisik maupun psikis pemakai
narkoba khususnya generasi muda.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah
banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak
mendapat putusan hakim. Dengan demikian, penegakan hukum ini
diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya
perdagangan gelap serta peredaran narkotika, Namun demikian,
dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan
hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap
narkotika tersebut.
Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah
narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan
yang menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan. Dalam kasus-
kasus terakhir telah banyak bandar-bandar dan pengedar serta
pemakai narkotika yang tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun
pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung
untuk memperluas daerah operasinya.
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya
dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma
hukum yang bersifat membina penjahat dengan cara melakukan
pembinaan di lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat
i
memberpaiki terpidana di lembaga pemasyarakatan tersebut.
Seharusnya hal ini mampu memberikan wacana kepada para hakim
dalam merumuskan vonis penjatuhan pidana kepada para pelaku
kejahatan agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat.
Sementara itu, dalam kenyataan empiris di bidang pemidanaan secara
umum masih menganut konsep hanya menghukum terpidana di
lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberikan
gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan
muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakat.
Tindak pidana narkotika yang dimaksud dalam Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana yang
cukup berat, namun demikian dalam kenyataannya para pelaku
kejahatan justru semakin meningkat, dan bagi para terpidana dalam
kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan untuk
mengulanginya lagi. Hal ini dapat tidak terlepas oleh adanya faktor
penjatuhan pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent
effect terhadap para pelakunya.
Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat
dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem
penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari
criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam
penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni
menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana
i
non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana
(penal).
Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan suatu upaya
politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak
pidana narkotika. Dengan demikian, diharapkan dengan
dirumuskannya undang-undang tersebut dapat menanggulangi
peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, serta menjadi acuan
dan pedoman kepada pengadilan dan para penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang,
khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap
kejahatan yang terjadi.
Sebagai bentuk komitmen Pemerintah terhadap
penyalahgunaan Narkotika maka adapun beberapa program Nasional
yang telah dilaksanakan diantaranya:
1. Mengesahkan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan
menetapkan batas hukuman minimal dan juga mempertegas
ancaman hukuman mati.
2. Menempatkan penguna/pecandu Narkoba sebagai korban
didukung juga dengan Surat Edaran MA terkait penerapan vonis
rehabilitasi.
3. Pemberantasan jaringan Narkoba dan penggerebekan beberapa
Pabrik Narkoba.
4. Terus mengupayakan peningkatan lembaga-lembaga Rehabilitasi
bagi korban Narkoba.
i
Dari berbagai upaya Pemerintah yang telah diuraikan diatas,
kini menjadi pertanyaan bagi penulis apakah program-program
tersebut telah efektif karena melihat data empiris, statistik kasus
penyalahgunaan narkotika terus meningkat, bahkan para penegak
hukum sendiri ikut memprediksi bahwa akan terjadi peningkatan
jumlah kasus pada tahun 2011 ini. Tentunya hal tersebut membawa
kekhawatiran yang cukup mendasar dimana BNN yang terbentuk
melalui Kepres pada tahun 2002 tersebut belum menunjukan
keberhasilannya (www.hukumonline.com).
Terdapat beragam alasan mengapa terjadi penyalahgunaan
narkotika. Untuk itu penanganannya juga harus multi sektoral karena
telah terbukti bahwa hukum saja yang mengedepankan penal dan
hanya fokus pada repsesi saja tidak dapat membuahkan hasil, kita
ketahui mulai dari UU Narkotika Tahun 1976 kemudian UU Narkotika
22/1997 dan terakhir UU Narkotika 35/2009 hukumannya terus
meningkat secara drastis dan begitu pula dengan kasus narkotika yang
seolah terus meningkat secara beriiringan dengan ancaman
pidananya, fenomena tersebut telah membuktikan bahwa hukum saja
tidak cukup.
Masalah ini cukup aktual mengingat dampak penyalahgunaan
narkotika yang sangat besar yang dapat menimbulkan akibat yang
sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya
generasi muda, yang pada akhirnya akan dapat melemahkan
ketahanan nasional, maka perlu dilakukan upaya penanggulangan
i
yang efektif dan tepat sasaran dengan memperhatikan posisi pelaku
dan korban dari penyalahgunaan narkotika tersebut;
Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan, yang secara
kriminologis dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime
without victim), kejahatan ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang
tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna bahwa korban
dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pelaku
sekaligus sebagai korban kejahatan (Made Darma Weda, 1999 : 80).
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk meneliti
salah satu objek pengkajian dari kriminologi tindak pidana Narkotika,
yaitu perbedaan tiap golongan pelaku tindak pidana narkotika serta
faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana narkotika
khususnya dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar dan
mengetengahkan dalam bentuk tesis dengan judul: “Tinjauan
Kriminologi terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas,
maka yang menjadi inti permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah perbedaan setiap golongan pelaku tindak pidana
narkotika ?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
narkotika dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar ?
i
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perbedaan setiap golongan pelaku tindak pidana
narkotika.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
tindak pidana narkotika dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri
Makassar.
Sedangkan manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Secara Teoretis
Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu
hukum pada khususnya, serta sebagai bahan referensi dan
perbandingan bagi peneliti lain yang berminat meneliti lebih lanjut
mengenai tindak pidana narkotika;
2. Secara Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
masukan bagi penegak hukum untuk lebih mengoptimalkan
penanggulangan tindak pidana narkotika.
i
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari dan
mendalami secara ilmiah mengenai perbuatan yang disebut sebagai
kejahatan, mereka yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan
(pelaku kejahatan), sebab-sebab terjadinya kejahatan, akibat-akibat
yang di timbulkan dari kejahatan untuk menjawab mengapa seseorang
melakukan kejahatan serta reaksi masyarakat yang ditujukan baik
terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya.
Kriminologi merupakan disiplin yang ideografis, artinya
menggambarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat,
akan tetapi disamping itu ia merupakan pula disiplin yang nomothetis,
yang berusaha memperoleh kenyataan-kenyataan (dalil) umum
(Sudarto, 1986:149).
Kejahatan bukanlah fenomena alamiah, melainkan fenomena
sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal,
diberi cap, dan ditanggapi sebagai kejahatan, disana harus ada
masyarakat yang normanya, aturannya dan hukumnya dilanggar,
disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma
dan menghukum pelanggarnya.
Sutherland (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:10)
merumuskan kriminologi sebagai:
i
“keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (the body of knowledge regarding crimes as a social phenomenon).” Jika dikaji secara keseluruhan, perkembangan kriminologi untuk
menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, Prof. Romli Atmasasmita
menyimpulkan bahwa (Romli Atmasasmita, 2007:13) :
1. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku manusia tidaklah
berbeda dengan studi tentang tingkah laku lainnya yang bersifat
nonkriminil.
2. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin,
bukan ilmu yang bersifat monodisiplin.
3. Kriminologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan lainnya.
4. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara
kejahatan sebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai
subjek perlakuan sarana peradilan pidana.
5. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu
pengetahuan lainnya, tidak lagi merupakan bagian daripadanya.
Istilah kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911)
seorang ahli antropologi Prancis, secara harfiah berasal dari kata
crimen yang berarti kejahatan atau penjahat dan logos yang berarti
ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang
kejahatan atau penjahat (H.A.S. Alam, 2005:1).
Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-
i
luasnya (kriminologi teoretis dan murni). Kriminologi teoretis adalah
ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman yang seperti ilmu
pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan
mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala tersebut (aetiologi)
dengan cara-cara yang ada padanya (Topo Santoso dan Eva Achjani
Zulfa, 2001:9).
Menurut Paul Moedigdo Moeliono, kriminologi bahwa pelaku
kejahatan mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena
terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang
oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk
melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat (Abdussalam,
2007:5).
Tegasnya, kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui
sebab kejahatan dan akibatnya, mempelajari cara-cara memperbaiki
penjahat, dan cara-cara mencegah timbulnya kejahatan (H.A.S. Alam,
2005:2).
B. Ruang Lingkup dan Objek Kriminologi
Menurut Bonger, ruang lingkup studi kriminologi dibedakan atas
kriminologi murni dan kriminologi terapan. Kriminologi murni
mencakup:
1. Antropologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang manusia
yang jahat (somatis);
2. Sosiologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan
sebagai suatu gejala masyarakat;
i
3. Psikologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang
dilihat dari sudut jiwanya;
4. Psikopatologi dan neuropatologi kriminil ialah ilmu tentang
penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf;
5. Penologi ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya
hukuman.
Disamping itu terdapat kriminologi terapan yang meliputi :
1. Higiene kriminil
Tujuannya untuk mencegah terjadinya kejahatan, maka usaha-
usaha pemerintah yaitu menerapkan undang-undang secara
konsisten, menerapkan sistem jaminan hidup dan kesejahteraan
yang dilakukan semata-mata untuk mencegah timbulnya
kejahatan;
2. Politik kriminil ialah usaha penanggulangan kejahatan di mana
suatu kejahatan telah terjadi. Disini dilihat sebab-sebab
seseorang melakukan kejahatan. Jika disebabkan oleh faktor
ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan
keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi, tidak semata-
mata dengan penjatuhan sanksi;
3. Kriminalistik (police scientific) ialah ilmu tentang pelaksanaan
penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan secara
scientific. Dalam mengungkap kejahatan dengan menggunakan
scientific criminalistic antara lain yaitu identifikasi, laboratorium
kriminal, alat mengetes golongan darah (DNA), alat mengetes
i
kebohongan, alat penentu keracunan kedokteran kehakiman,
dan lain-lain scientific criminalistic lainnya sesuai dengan
perkembangan teknologi.
Menurut Sutherland, kriminologi mencakup proses-proses
pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelangaran
hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama
yaitu:
1. Sosiologi hukum, kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh
hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi;
2. Etiologi kejahatan, merupakan cabang ilmu kriminologi yang
mencari sebab musabab dari kejahatan;
3. Penology, ilmu tentang hukuman dan hak-hak yang
berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik
represif maupun preventif.
Pengertian dari Sudarto, bahwa politik kriminil adalah suatu
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.
Politik kriminil merupakan kebijakan rasional yang mempelajari,
meneliti, membahas cara-cara pemberantasan kejahata, meliputi :
a. Pencegahan kejahatan dalam pelaksanaan pencegahan
ditujukan terhadap kecenderungan jahat dan perbuatan jahat.
b. Diagnosa kejahatan, yaitu untuk menentukan apakah suatu
kejahatan telah terjadi dan mengusut siapa pelakunya. Untuk
pelaksanaannya agar berpedoman pada ketentuan serta
peraturan yang berlaku (KUHAP dan KUHP).
i
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa objek studi
kriminologi meliputi perbuatan yang disebut kejahatan, pelaku
kejahatan atau penjahat, dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan
dan pelakunya.
1. Kejahatan
Untuk mempelajari dan meneliti tentang kejahatan dibagi atas dua
aliran yaitu aliran hukum (yuridis) dan aliran non yuridis atau aliran
sosiologis.
a. Kejahatan menurut aliran hukum (yuridis).
Sutherland menekankan bahwa dalam pengertian yuridis
membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan
oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan
diancam dengan suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan
para pelaku pelanggar hukum pidana tersebut dan telah diputus
oleh pengadilan atas perbuatannya tersebut (Abdussalam,
2007:16).
Bonger menyatakan bahwa kejahatan merupakan
perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari
negara berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi
terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai
kejahatan (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:14).
b. Kejahatan menurut aliran Non yuridis atau aliran sosiologis
Secara sosiologis, kejahatan merupakan suatu perilaku
manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat
i
memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan
tetapi memiliki pola yang sama.
Gejala kejahatan terjadi dalam proses interaksi antara
bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan
kelompok-kelompok masyarakat mana yang memang melakukan
kejahatan. Kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata
dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang ditimbulkannya
atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga
perbuatan-perbuatan tersebut merugikan kepentingan
masyarakat luas, baik kerugian materi maupun kerugian/ bahaya
terhadap jiwa dan kesehatan manusia, walaupun tidak diatur
dalam undang-undang (Abdussalam, 2007:17).
2. Pelaku Kejahatan
Penjahat atau pelaku kejahatan merupakan para pelaku
pelanggar hukum pidana dan telah diputus oleh pengadilan atas
pelanggarannnya dan dalam hukum pidana dikenal dengan istilah
narapidana. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, kriminologi
positif, dengan asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan
penjahat, perbedaan mana ada pada aspek biologis, psikologis,
maupun sosio-kultural. Oleh karena itu dalam mencari sebab-sebab
kejahatan dilakukan terhadap narapidana atau bekas narapidana,
i
dengan cara mencarinya pada ciri-ciri biologiknya (determinis
biologik) dan aspek kultural (determinis kultural).
3. Reaksi Masyarakat
Dalam hal ini perlu mempelajari dan meneliti serta membahas
pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-
perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang
sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas.
Reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan terhadap
semua jenis kejahatan. Reaksi masyarakat terhadap korban
kejahatan baik pada pengamanan diri korban, lingkungan yang
memberikan kesempatan atau peluang pada setiap orang yang
semula tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan, berhubung
adanya kesempatan atau peluang yang diberikan oleh korban
kejahatan, maka kepada orang yang semula tidak ada niat untuk
melakukan kejahatan, akhirnya orang tersebut melakukan kejahatan
karena adanya kesempatan atau peluang dari korban kejahatan.
C. Teori-Teori Kriminologi
Pendekatan yang menjadi landasan lahirnya teori-teori
kriminologi adalah spiritualisme dan naturalisme.
1. Spritualisme
Spiritualisme memfokuskan perhatiannya pada perbedaan
antara kebaikan yang datang dari Tuhan atau Dewa, dan
keburukan yang datang dari setan. Seseorang yang telah
i
melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena
bujukan setan (evil/demon).
Landasan pemikiran yang paling rasional dari perkembangan
ini adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap
sebagai permasalahan antara korban dan keluarga korban dengan
pelaku dan keluarganya. Akibatnya adalah konflik yang
berkepanjangan antar keluarga yang dapat mengakibatkan
musnahnya keluarga tersebut. Juga menjadi masalah adalah
bahwa pelaku kejahatan yang berasal dari keluarga yang memiliki
posisi kuat dalam masyarakat yang tidak akan dapat dihukum
(H.A.S. Alam, 2005:23).
2. Naturalisme
Lahirnya paham rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini
mendominasi pemikiran tentang penyebab kejahatan. Dalam
perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan dapat dibagi
beberapa aliran/mazhab :
a. Mashab klasik
Yang ditekankan oleh mazhab ini yaitu manusia
berkehendak bebas dan karena itu melakukan suatu pilihan
yang rasional. Kejahatan dipandang sebagai pelanggaran
terhadap kontrak sosial; jadi suatu pelanggaran moral.
Pemidanaan ditujukan untuk mencegah pelanggaran di
kemudian hari; jadi perlu unsur menakutkan (J.E. Sahetapy,
2005:62).
i
Dengan kata lain, bahwa pada Mashab ini melihat manusia
sebagai mampunyai kebebasan memilih prilaku (free will) dan
selalu bersikap rasional dan hedonistic (cenderung menghindari
segala sesuatu yang menyakitinya). Menurut pandangan ini
pemidanaan adalah cara untuk menaggulangi kejahatan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu kejahatan dapat di
kurangi/ditiadakan dengan hukuman atau dengan sanksi yang
keras. Contoh: hukuman mati, hukuman seumur hidup,
hukuman gantung dll.
b. Mazhab Positivis dengan pelopornya adalah Cesare Lombroso
(1835-1909) dianggap sebagai awal pemikiran ilmiah
Kriminologi tentang sebab musabab kejahatan.
Mazhab Positivis ini tidak saja menghadirkan teori-teori
biologis yang menyangkut kausalitas kejahatan, ia juga
memperlihatkan teori-teori psikologis, bahkan juga secara
sosiologis (J.E. Sahetapy, 2005:62).
Mazhab ini berkeyakinan bahwa prilaku manusia di
sebabkan/di tentukan sebagian oleh faktor-faktor biologis,
sebagian besar merupakan pencerminan karakteristik dunia
sosial cultural dimana manusia hidup. Dalam teori ini bahwa
kejahatan yang dilakukan oleh seseorang bisa di sebabkan oleh
pengaruh-pengaruh baik dari dalam maupun dari luar sehingga
para pelaku kejahatan tidak dapat hanya di pidana saja, akan
tetapi harus dilakukan dengan menyelesaikan penyebab
i
(kausa)nya terlebih dahulu. Jadi dalam teori ini kita harus bisa
mencari mengapa seseorang melakukan kejahatan.
Secara garis besar, aliran positivis membagi dirinya menjadi
dua pandangan, yaitu :
1) Determinasi biologis
Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran
bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada
pengaruh biologis yang ada dalam dirinya.
2) Determinasi Cultural
Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran
mereka pada pengaruh sosial, budaya, dan lingkungan
dimana seseorang itu hidup.
c. Mashab Kritikal. Menurut mashab ini tidak penting apakah
manusia itu bebas memilih perilakunya (mashab Klasik) atau
manusia itu terikat biologis (fisik) sosial dan cultural. Menurut
mereka jumlah perbuatan pidana/kejahatan yang terjadi maupun
karakteristik para pelakunya ditentukan terutama oleh
bagaimana hukum pidana itu di rumuskan dan di laksanakan.
Dalam mashab ini yang menentukan baik atau buruk adalah
siapa yang berkuasa pada saat itu. Segala peraturan adalah
dari orang yang berkuasa pada saat itu.
d. Mazhab School Defense
Mazhab yang dipelopori oleh Judge Marc Angel telah
mengembangkan suatu teori yang berlainan dengan aliran
i
terdahulu. Munculnya aliran ini disebabkan teori aliran positif
klasik dianggap terlalu statis dan kaku dalam menganalisa
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Menurut angel,
defense sosial timbul karena adanya revolusi di kalangan
penganut aliran positif. Meskipun demikian, arti sosial defense
berbeda dengan yang dimaksud oleh tokoh aliran positif, yaitu :
1) Social defense tidak bersifat deterministik,
2) Social defense menolak tipologi yang bersifat kaku tentang
penjahat dan menitikberatkan pada keunikan kepribadian
manusia,
3) Social defense meyakini sepenuhnya nilai-nilai moral,
4) Social defense menghargai sepenuhnya kewajiban-
kewajiban masyarakat terhadap penjahat, dan mencoba
menciptakan keseimbangan antara masyarakat dan penjahat
serta menolak mempergunakan pendekatan yang bersifat
security sebagau suatu alat administratif.
5) Sekalipun mempergunakan penemuan-penemuan ilmu
pengetahuan namun social defense menolak dikuasai
olehnya, dan menggantikannya dengan sistem yang modern.
Secara umum motivasi seseorang untuk melakukan kejahatan
sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan dinamika
kehidupan manusia. Sesuai dengan hasil penelitian di bidang
kriminologi telah terungkap beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya kejahatan. Untuk mengungkap faktor-faktor
i
yang menyebabkan seseorang untuk melakukan tindak
pidana narkotika, maka dipilih beberapa teori kriminologi yang
mempunyai relevansi untuk dijadikan dasar pijakan dalam
penulisan yaitu :
1. Teori Penyebab Kejahatan Dari Perspektif Sosiologis
Berbeda dengan teori-teori sebelumnya, teori-teori sosiologis
mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di
dalam limgkungan sosial. Toeri-teori ini dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori umum, yaitu:
1. Strain (Anomi).
2. Differential association
3. Sosial Kontrol.
a. Teori-Teori Anomie
Untuk pertama kalinya, istilah Anomie diperkenalkan
Emile Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan tanpa
norma (the concept of anomie referred to on absence of social
regulation normlessness). Kemudian dalam buku The Divison of
Labor in Society (1893) Durkheim mempergunakan istilah
anomie untuk mendeskripsikan keadaan “Deregulation” di dalam
masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-
aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak
tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini
menyebabkan deviasi (Lilik Mulyadi, 2007:92).
i
Menurut Durkheim, teori anomie terdiri dari tiga
perspektif, yaitu :
1. Manusia adalah makhluk sosial (man is social animal)
2. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial (human being
is a social animal)
3. Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan
keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat tersebut
sebagai koloni (tending to live in colonies, and his/her
survival dependent upon moral conextions).
Kemudian istilah Anomie dikemukakan Durkheim dalam
bukunya Suicide (1897) yang mengemukakan asumsi bunuh diri
dalam masyarakat merupakan akhir puncak dari anomie karena
dua keadaan sosial berupa social itegration dan social
regulation.
Lebih lanjut, skema Hipotesis Durkheim terlihat sebagai berikut :
Social Conditions High Low
Social Integration Altruism Egoism
Social Regulation Fatalism Anomie
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicide
berasal dari tiga kondisi sosial yang menekankan (stress), yaitu:
1. Deregulasi kebutuhan atau anomie.
2. Regulasi yang keterlaluan atau fatalism.
3. Kurangnya integrasi structural atau egoisme.
i
Hipotesis keempat dari suicide menunjuk kepada proses
sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya altruistic
mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh diri.
Hipotesis keempat ini bukan termasuk teori stress.
Pada tahun 1938, Robert K.Merton mengadopsi konsep
anomie Durkheim untuk menjelaskan deviasi di Amerika. Menurut
Merton, konsep anomalie diredefenisi sebagai ketidaksesuaian atau
timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan
institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur
masyarakat) karena adanya pembagian kelas.
Teori Anomie Merton pada mulanya mendeskripsikan
korelasi antara perilaku delinquent dengan tahapan tertentu pada
struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan, dan menumbuhkan
suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang
merupakan reaksi normal. Untuk itu, ada dua unsur prilaku
delinquent yaitu unsur dari struktur sosial dan cultural.
Konkretnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur
structural melahirkan means. Secara sederhana, goals diartikan
sebagai tujuan-tujuan dan kepentingan membudaya meliputi
kerangka aspirasi.dasar manusia. Sedangkan means diartikan
aturan dan cara control yang melembaga dan diterima sebagai
sarana mencapai tujuan (Lilik Mulyadi, 2007:93).
b. Differential association.
i
Untuk pertama kalinya, seorang ahli sosiologi AS bernama
Edwin H.Sutherland tahun 1934, dalam bukunya Principle of
criminology mengemukakan teori Differential Association. Pada
tahun 1947, Edwin H.Sutherland menyajikan teori differential
association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu
dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang
tua. Tegasnya, pola perilaku tidak diwariskan tapi dipelajari melalui
suatu pergaulan yang akrab.
Untuk itu, Edwin H.Sutherland kemudian menjelaskan proses
terjadinya kejahatan melalui 9 (Sembilan) proposisi sebagai berikut:
1. Criminal behavior is learned. Negatively, this means that
criminal behavior is not inherited. (perilaku kejahatan adalah
prilaku yang dipelajari. Secara negative berarti prilaku itu tidak
diwariskan).
2. Criminal behavior is learnedin interection with other person in a
process of communication. This communication is verbal in
many respects but includes also “the communication of gesture”.
(perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain
dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama
dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh).
3. The principle part of the learning of criminal behavior occurs
within intimate personal groups. Negatively this means that the
interpersonal agencies of communication., such as movie and
newspaper, plays a relatively unimportant part in the genesis of
i
criminal behavior. (bagian terpenting dalam proses mempelajari
prilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim.
Secara negative ini berarti bahwa komunikasi interpersonal
seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relative tidak
mempunyai peranan penting dalam terjadinya kejahatan).
4. When criminal behavior is learned, the learning includes (a)
techniques of commiting the crime, which are sometimes very
complicated, sometimes very simple. (b) the specific direction of
movies, drives, rationalization and attitudes. (ketika prilaku
kejahatan dipelajari, maka yang dipelajarai termasuk: (a) teknik
melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan,
alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu).
5. The specific direction of motives and drives is learned from
definitions of the legal codes as favorable on unfavorable. In
some societies and individual is surrounded by persons who
invariably define the legal codes as rules to be observed while in
other he is surrounded by person whose definition are favorable
to the violation of legal codes. (arah dan motif dorongan itu
dipelajarai melalui defenisi-defenisi dari peraturan hukum.
Dalam suatu masyarakat kadang seseorang dikelilingi orang-
orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam
peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan
dipatuhi, namun kadang ia dekelilingi orang-orang yang melihat
i
aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang
dilakukannya kejahatan).
6. A person becomes delinquent because of an excess of definition
favorable to violation of law over definitions unfavorable to
violation of law. (seseorang menjadi delinkuen karena ekses
pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai
pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum
sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipenuhi).
7. Differention association may vary in frequency, duration, priority
and intensity. (Asosiasi diferensial bervariasi dalam frekuensi,
durasi, prioritas serta intensitasnya).
8. The process of learning criminal behavior by association with
criminal and anticriminal patterns incloves all of the mechanism
that are involved an any other learning. (proses mempelajari
prilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola
kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap
proses belajar secara umum).
9. While criminal is an expressions of general need and values, it
is not explained by those general needs and values since non
criminal behavior is an expression of the same needs and
values. (sementara prilaku jahat merupakan ekspresi dari
kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku
yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan
nilai-nilai umum yang sama).
i
Sutherland seorang sosiolog dan kriminolog Amerika
Serikat yang merupakan tokoh pertama teori ini, menolak teori
yang menyatakan bahwa pengaruh faktor biologis atau cacat
mental sebagai penjelasan tentang kejahatan. Ia tidak
membedakan bagaimana seseorang melakukan kejahatan
dengan seseorang yang melakukan aktifitas atau kegiatan yang
non kriminal. Ia berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari
dengan cara yang sebagian besar sama, sehingga yang
membedakan antara tingkah laku kriminal dan non kriminal
menurut Sutherland adalah terletak pada apa yang dipelajari
seseorang dan bukan pada bagaimana tingkah laku itu dipelajari.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
penekanan teori asosiasi diferensial berkenaan dengan
timbulnya suatu kejahatan itu dipelajari oleh pelaku melalui
pergaulan yang intim yang bervariasi tergantung frekuensi,
durasi, prioritas dan intensitas. Perlu dijelaskan pula bahwa
meskipun teori Sutherland tentang asosiasi diferensial ini
telah menerima dukungan empiris dari para pakar
kriminologi. tetapi juga bukan tanpa problem yang dihadapi,
yakni masih tetap ada kelemahan-kelemahannya.
c. Teori Kontrol Sosial
Teori Kontrol sosial pada asasnya menjelaskan bahwa
manusia adalah makhluk amoral atau setidak-tidaknya beberapa
pertanyaan moral untuk beberapa orang adalah lebih penting
i
daripada untuk orang lain. Moralitas dan nilai-nilai susila
merupakan variable yang terbesar secara tidak merata di antara
manusia.
Pemunculan teori Kontrol sosial ini diakibatkan tiga ragam
perkembangan dalam kriminologi. Ketiga ragam perkembangan
dimaksud adalah (H.A.S. Alam, 2005:65) :
1. Adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik dan
kembali kepada penyelidikan tentang tingkah laku criminal.
Kriminologi konservatif sebagaiman teori ini berpijak kurang
menyukai kriminologi baru atau new criminology dan hendak
kembali kepada subyek semula yaitu: penjahat.
2. Munculnya studi tentang criminal justice sebagai suatu ilmu
baru telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjadi
lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem.
3. Teori control sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik riset
baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni self
report survey.
Versi control sosial yang paling handal dan sangat
popular telah dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969). Hirschi
dengan keahliannya merevisi teori-teori sebelumnya mengenai
control ssosial bonds. Hirschi sependapat dengan Durkheim dan
yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan berbagai
ragam pandangan tentang kesusilaan. Hirschi berpendapat
bahwa seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau
i
penyimpangan-penyimpangan tingkah lakunya. Selain
menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku
dimaksud, Hirschi menegaskan bahwa penyimpangan tingkah
laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau
kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat.
Hirschi kemudian menjelaskan bahwa sosial bonds meliputi
empat unsur, yaitu (J.E. Sahetapy, 2005:4) :
1. Attachment, adalah keterikatan seseorang pada orang lain
(orang tua) atau lembaga (sekolah) yang dapat mencegah atau
menghambat yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan.
2. Commitment, element ini, menurut Hirschi adalah komponen
rasional dari perilaku konformistis. Ini berarti bahwa seseorang
dengan “akal sehat” mempertimbangkan untuk rugi dari prilaku
delinkuen. Sekali dikaitkan dalam subsistem konvensioanal
seperti dunia sekolah, pekerjaan, dan organisai di waktu
senggang, maka orang akan memperoleh macam-macam
hadiah dalam bentuk uang, pengakuan, penghargaan, dan
status bila (semua) berfungsi baik, hal mana tidak akan
diperoleh dengan perilaku devian. Juga, nafsu ingin dihormati
dan aspirasi, dalam arti bahwa di masa depan akan
memperoleh lebih banyak hadaih, mengutakan orang dalan
perilaku konformistis dan melakukan kriminalitas selalu lebih
riskan (berbahaya).
i
3. Involvement, apabila orang makin aktif dalam berbagai
organisasi konvensional dan makin baik berfungsi di dalam
organisasi-organisasi itu, makin sedikit cenderung untuk
berprilaku devian. Idenya yaitu apabila orang terlibat dalam
aktivitas-aktivitas konformistis dan menghabiskan banyak waktu
dan energy (tenaga), orang begitu disibukkan sehingga hamper
tidak ada waktu untuk mempertimbangkan perilaku devian.
4. Beliefs, Hirschi berpendapat bahwa sistem norma dari
pergaulan hidup dianut oleh semua orang dalam pergaulan
hidup itu. Mendukung norma-norma itu adalah variabel, apabila
orang berpendapat bahwa ia tidak perlu menaati norma-norma
itu, orang itu cenderung akan melanggar norma-norma itu.
2. Teori Penyebab Kejahatan Dari Perspektif Lain
1. Teori Lingkungan
Tokoh terkemukanya ialah A. Lacassagne (1843-1924)
guru besar dalam ilmu kedokteran kehakiman. Lacassagne,
sebagaimana dikutip oleh Bonger, merumuskan ajarannya
sebagai berikut ”Yang terpenting adalah keadaan sosial
sekeliling kita.... Keadaan sosial sekeliling kita adalah suatu
pembenihan untuk kejahatan; kuman adalah si penjahat, suatu
unsur yang baru mempunyai arti apabila menemukan
pembenihan yang membuatnya berkembang.
Tokoh penting lainnya dari mashab Perancis adalah G.
Tarde (1843-1904), seorang ahli hukum dan sosiologi. Menurut
i
pendapatnya kejahatan bukan suatu gejala yang antropologis
tapi sosiologis, yang seperti kejadian-kejadian masyarakat
lainnya dikuasai oleh peniruan.
Peniruan dalam masyarakat memang mempunyai
pengaruh yang besar sekali. Biarpun setiap kehidupan manusia
bersifat khas sekali, banyak orang dalam kebiasaan hidupnya
dan pendapatnya sangat mengikuti keadaan lingkungannya,
dimana mereka hidup.
2. Teori Labeling
Pada permulaan tahun enam puluhan, teori labeling mulai
mempersoalkan kejahatan dan penjahat dari suatu perspektif
yang lain, yang berbeda. Jika teori-teori sebelumnya terlalu
menekankan pada soal watak dan perilaku, maka yang ingin
dipersoalkan sekarang ialah bagaimana masyarakat bereaksi
terhadap devian. Tidaklah mengherankan kalau teori labeling ini
lalu dikenal dengan nama “societal reaction school”. Oleh
karena teori labeling ini tidak terlalu menekankan pada penjahat
“an sich”, maka teori ini menjadi dekat dengan mazhab klasik.
Dapatlah dikatakan juga, oleh karena teori labeling ini
merupakan semacam anak (offshot) dari “symbolic
interactionism”, maka apa yang dikemukakan pada dasarnya
bukanlah sesuatu yang baru. Meskipun ada perbedaan nuansa,
acapkali orang seakan-akan sulit membedakan teori labeling dari
teori interaksionis (J.E. Sahetapy, 2005:32).
i
Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori
labeling menekankan kepada dua aspek, yaitu :
1. Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang
memperoleh cap atau label,
2. Pengaruh/efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku
berikutnya.
Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu
perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat. Kemudian Lemert,
terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan
tiga bentuk penyimpangan, yaitu:
a. Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan
diakibatkan tekanan psikis dari dalam;
b. Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari
keadaan ;
c. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan
terorganisir dalam sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.
Persoalan labeling ini memperlakukan labeling sebagai
dependent variable atau variabel tidak bebas dan keberadaannya
memerlukan penjelasan. Labeling dalam arti ini adalah labeling
sebagai akibat dari reaksi masyarakat. Persoalan labeling kedua
(efek labeling) adalah bagaimana labeling mempengaruhi
seseorang yang terkena cap/label. Persoalan ini memperlakukan
labeling sebagai variabel yang independen atau variabel bebas
mempengaruhi. Dalam kaitan ini terdapat dua proses bagaimana
i
labeling mempengaruhi seseorang yang terkena label/cap untuk
melakukan penyimpangan tingkah lakunya, yakni :
1. Cap/label tersebut menarik perhatian pengamat dan
mengakibatkan pengamat selalu memperhatikannya dan
kemudian seterusnya cap/label itu diberikan padanya oleh si
pengamat.
2. Label atau cap tersebut sudah diadopsi oleh seseorang dan
mempengaruhi dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya
sebagaimana cap/label itu diberikan padanya oleh si pengamat.
Salah satu dari kedua proses diatas dapat memperbesar
penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan membentuk karir
kriminal seseorang. Seorang yang telah memperoleh cap/label
dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di
sekitarnya. Selanjutnya, kewaspadaan atau perhatian orang-orang
di sekitarnya akan mempengaruhi orang dimaksud sehingga
kejahatan kedua dan selanjutnya akan mungkin terjadi lagi.
Dua konsep penting dalam teori labeling adalah Primary
deviance (penyimpangan primer) dan secondary deviance
(penyimpangan sekunder). Primary deviance ditujukan kepada
perbuatan penyimpangan tingkah laku awal, sedangkan secondary
deviance adalah berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari
pengalaman seseorang sebagai akibat dari penangkapan dan cap
sebagai penjahat. Sekali cap atau status ini dilekatkan pada
seseorang, maka sangat sulit orang yang bersangkutan untuk
i
selanjutnya melepaskan diri dari cap dimaksud dan kemudian akan
mengidentifikasikan dirinya dengan cap yang telah diberikan
masyarakat terhadap dirinya.
Menurut Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum
dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku,
sedangkan kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap
perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu
ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya
serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya (Lilik
Mulyadi, 2007:103).
Apabila dijabarkan, scara umum asumsi dasar labeling
adalah sebagai berikut :
a. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat
kriminal.
b. Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok nyang bersifat
dominan atau kelompok berkuasa.
c. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk
kepentingan pihak yang berkuasa.
d. Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi
karena ditetapkan demikian oleh penguasa.
e. Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan,
sehingga tidak patut jika dibuat dua kategori yaitu kelompok
kriminal dan nonkriminal.
f. Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling.
i
g. Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem
peradilan pidana adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai
lawan dari karakteristik pelanggarannya.
h. Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif
kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan
penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan
identifikasi dengan citra sebagai deviant dan subkultur serta
menghasilkan rejection of the rejector.
3. Teori Konflik (Conflict Theory)
Teori konflik lebih jauh mempertanyakan proses pembuatan
hukum itu sendiri. Pertarungan (struggle) untuk kekuasaan
merupakan suatu gambaran dasar eksistensi manusia. Dalam arti
pertarungan kekuasaan bahwa berbagai kelompok kepentingan
berusaha mengontrol pembuatan dan penegakan hukum.
Conflict theory, sebagaimana labeling theory memiliki akarnya
dalam memberontak dan mempertanyakan tentang nilai-nilai. Tetapi
berbeda dengan pendekatan labeling maupun tardisional yang
terfokus pada kejahatan dan penjahat (termasuk labeling terhadap
pelaku oleh sistem), teori konflik ini mempertanyakan tradisional dan
labeling di satu sisi dengan teoretisi konflik pada sisi lain menjadi
bersifat ideologis. Para penganut teori konflik menentang pandangan
konsensus tentang asal lahirnya hukum pidana dan penegakannya
(Topo santoso, 2005:105).
i
Pada hakikatnya, asumsi dasar teori konflik berorientasi pada
aspek-aspek sebagai berikut (Lilik Mulyadi, 2007:105) :
a. Konflik merupakan hal yang bersifat alamiah dalam masyarakat;
b. Pada tiap tingkat, masyarakat cenderung mengalami perubahan
sehingga di setiap perubahab peranan kekuasaan terhadap
kelompok masyarakat lain terus terjadi;
c. Kompetisi untuk terjadinya perubahan selalu eksis;
d. Dalam kompetisi, penggunaan kekuasaan hukum dan
penegakan hukum selalu menjadi alat dan mempunyai peranan
penting dalam masyarakat.
Berdasarkan asumsi diatas, maka bentuk teori konflik dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Konflik Konservatif
Bahwa konsep dasar dari Teori Konflik adalah kekuasaan
dan penggunaannya. Teori ini beranggapan bahwa konflik
terjadi diantara kelompok-kelompok yang mencoba
menggunakan kontrol atas suatu situasi. Teori konflik
mempunyai asumsi bahwa siapa yang memiliki kekuasaan lebih
tinggi dalam kelas sosial akan memiliki powerful members pada
masyarakat. Dengan kekuasaannya tersebut mereka dapat
mempengaruhi pembuatan keputusan, juga dapat memaksakan
nilai-nilai terhadap kelas sosial yang lebih rendah (Lilik Mulyadi,
2007:105).
i
b. Konflik Radikal
Teori ini memposisikan diri dari anarki politik menyambung
Marxisme, dan materialisme ekonomis menuju perbedaan nilai.
Sangat sulit untuk menentukan pendekatan apa yang
digunakan. Para tokoh taeori ini adalah Camblis, Quinney,
Gordon Bohm, dan K. Mark. Marx melihat konflik dalam
masyarakat disebabkan adanya hak manusia atas sumber-
sumber tersebut, khususnya mengenai kekuasaan.
Ketidaksamaan ini tercipta karena konflik kepentingan antara
yang memiliki dan yang tidak memiliki kekuasaan. Menurut
kaum radikal, konflik dalam masyarakat ditentukan oleh
kelompok-kelompok, didasarkan atas kepentingan-kepentingan
mereka dan persepsi terhadap konflik, dan biasanya konflik
kepentingan tercipta dalam proses pembuatan hukum (Lilik
Mulyadi, 2007:109).
4. Konsep Sobural
Istilah sobural adalah akronim dari nilai-nilai sosial, aspek
budaya, dan faktor struktural dari suatu masyarakat tertentu. Untuk
memahami cara pendekatan Sobural perlu diketahui ada tiga
proposisi yang melandasi kerangka dan perspektif berpikir dari
Konsep Sobural. Ketiga proposisi ini tidak bertumpu secara terpisah
pada nilai-nilai sosial atau pada aspek budaya atau pada struktur
sosial suatu masyarakat tertentu. Lagipula ketiga komponen pada
akronim “sobural” tidak berada dalam keadaan kemandirian, tetapi
i
mereka saling terkait, saling berinteraksi, sehingga seolah-olah
merupakan suatu keterpaduan secara holistik (J.E. Sahetapy,
2005:82).
Dari pemikiran teoritik kriminologi mengandung pemahaman
kita bahwa kejahatan adalah perilaku manusia dan bahwa norma
yang dilanggar dapat dilihat secara berbeda oleh orang (kelompok
orang) yang berbeda. Atau dapat dikatakan bahwa kejahatan adalah
perilaku penyimpangan sosial. Lalu bagaimana harus kita pahami
perilaku penyimpangan sosial ini. Salah satu faktor yang patut di
perhatikan dalam hal ini adalah masalah urbanisasi yang
perkembanganya banyak di pengaruhi oleh perkembangan industri
dan perdangangan. Kehidupan baru yang terjadi di daerah perkotaan
di bandingkan dengan daerah pedesaan di tandai antara lain dengan
adanya ketegangan dan benturan norma dan nilai yang lebih luas,
perobahan sosial yang cepat, mobilitas penduduk yang meningkat,
adanya penekanan yang lebih besar kepada kepentingan individu
dan penghargaan yang lebih tinggi kapada hal-hal yang bersifat
materi.
Dalam kehidupan sehari-hari memang sering menyatakan
celaan terhadap suatu perbuatan yang dianggap menyimpang dengan
menyatakan bahwa perilaku tersebut melanggar kebiasaan atau
melanggar adat atau malah melanggar peraturan namun apabila dikaji
kembali jarang ada kesepakatan yang jelas tentang norma apa yang
dilanggar, hal ini di sebabkan oleh dua hal yaitu:
i
1. Harus disadari bahwa terdapat norma dan aturan yang berbeda
yang mengatur antar manusia dalam berbagai kelompok
masyarakat;
2. Hubungan antara penilai dengan pelanggar menentukan pula
apakah perilaku tersebut dipandang sebagai penyimpangan.
Suatu perbuatan hanya dapat dikatakan menyimpang apabila
dilakukan oleh seorang anggota kelompok melawan aturan dalam
kelompok bersangkutan. Atau dapat dikatakan bahwa hanya ada
penyimpangan bilamana ada norma atau aturan yang menguasai
perbuatan tersebut. Polisi harus mempunyai pengertian yang benar
dalam menghadapi pelanggaran hukum. Perlu disadari adakalanya
perilaku menyimpang mempunyai fungsi untuk perbaikan/
memperbaharui tatanan masyarakat:
a. Sebagai lampu peringatan untuk menunjukan bahwa suatu
kumpulan aturan sudah tidak efektif lagi sekarang.
b. Sebagai katup pengaman untuk mencegah akumulasi yang
berlebih dan perasaan tidak puas dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Karena itu perlu kita perhatikan penyimpangan sosial
mempunyai fungsi dalam masyarakat. Bilamana dasar berfikir tentang
ini akan kita temukan bahwa perilaku menyimpang merupakan
perwujudan dari:
i
a. Kepatutan dari aturan yang bersangkutan apakah baik (adil) cukup
baik atau tidak baik artinya penilaian terhadap bagaimana
seharusnya aturan yang mengatur perilaku yang bersangkutan.
b. Penilaian terhadap sah atau tidak sahnya aturan itu, artinya apakah
dikeluarakannya aturan yang bersangkutan dilakukan berdasarkan
kewenangan yang ada pada pembuat aturan.
Perkembangan kriminologi modern telah memperhatikan juga
korban kejahatan di samping fokusnya yang pertama adalah pelaku
kejahatan. Perhatian penegak hukum (Polisi dan penuntut umum) di
Indonesia juga mulai diarahkan pada Viktimologi.
D. Tinjauan Tentang Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Pada UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sulit untuk untuk
menemukan apa yang dimaksud dengan “pengguna narkotika”
sebagai subyek (orang), yang banyak ditemukan adalah penggunaan
(kata kerja). Menurut kamus bahasa Indonesia istilah “Pengguna”
adalah orang yang menggunakan, bila dikaitkan dengan pengertian
narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 35 tahun
2009 tentang Narkotika, maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna
Narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal
dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-
i
golongan sebagaimana terlampir dalam UU No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk
memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan
narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen,
penyalur, kurir dan pengedar narkotika. Walaupun penanam,
produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika kadang juga
menggunakan narkotika, pengguna narkotika adalah orang yang
menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri, bukan penanam,
produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika.
Bila dikaitkan dengan orang yang menggunakan narkotika,
dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dapat ditemukan
berbagai istilah antara lain:
a. Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan
pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13
UU No. 35 tahun 2009 Narkotika);
b. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa
hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 UU No. 35 tahun 2009
Narkotika);
c. Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja
menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,
dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal
54 UU No. 35 tahun 2009 Narkotika) ;
i
d. Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat
menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan membawa
narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah terbatas dan
sediaan tertentu;
e. Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari
ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis
(Penjelasan Pasal 58 UU Narkotika).
Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut
berpotensi membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan
baik dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam UU Narkotika
maupun pada pelaksanaannya. Salah satu permasalahan akibat
banyaknya istilah adalah kerancuan pengaturan dimana Pasal 4 huruf
d UU Narkotika yang menyatakan “UU tentang Narkotika bertujuan :
Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalahguna dan pecandu narkotika”, namun dalam Pasal 54 UU
Narkotika menyebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahguna Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial” dimana berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna
untuk mendapat rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang
awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi, pada Pasal 127 UU
Narkotika penyalah guna narkotika kemudian juga menjadi subyek
yang dapat dipidana dan kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban narkotika.
i
Pembuktiaan penyalahguna narkotika merupakan korban
narkotika sebagaimana diatur dalam UU narkotika, merupakan suatu
hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika
menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktiaan bahwa
penggunaan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk
menggunakan narkotika.
E. Jenis dan Penggolongan Narkotika
Dari kata penyalahgunaan narkoba menandakan bahwa
narkoba tidak selalu bermakna negatif. Dengan begitu, narkotika dan
psokitropika yang digunakan dengan baik dan benar oleh dokter untuk
mengobati pasiennya tidak termasuk narkoba karena kata narkoba
hanya yang disalahgunakan. Di dalam dunia medis, narkoba diberi
nama NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif Lainnya).
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan”.
Istilah Narkotika yang dipergunakan disini bukanlah “narcotics”
pada Farmasi, melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat
yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-
i
pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu (Taufik Makaro,
2005:17) :
a. Mempengaruhi kesadaran;
b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap
perilaku manusia;
c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa :
1) Penenang;
2) Perangsang (bukan rangsangan sex);
3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu
membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan
kesadaran akan waktu dan tempat).
Narkotika merupakan bagian dari Narkoba. Menurut batasan
WHO tahun 1969 bahwa, yang dimaksud dengan Narkoba adalah zat
kimia yang mampu mengubah pikiran, perasaan, fungsi mental, dan
perilaku seseorang menjadi tidak normal. Sedangkan yang dimaksud
dengan obat (drugs) adalah zat-zat yang apabila dimasukkan ke dalam
tubuh organisme yang hidup, maka akan mengadakan perubahan
pada satu atau lebih fungsi-fungsi organ tubuh.
Awalnya pada waktu dulu, telah disepakati bahwa narkoba
merupakan kependekan dari Narkotika dan Obat-Obat Berbahaya
(dalam penelitian ini, selanjutnya disebut Narkotika dan Psikotropika).
Kemudian disadari bahwa kepanjangan narkoba yang demikian itu
keliru, sebab istilah obat berbahaya dalam ilmu kedokteran adalah
obat-obatan yang tidak boleh diperjual-belikan secara bebas karena
i
pemberiannya dapat membahayakan bila tidak melalui pertimbangan
medis, misalnya antibiotik, obat jantung, obat darah tinggi, dan
sebagainya. Semua obat tersebut adalah obat berbahaya tetapi bukan
termasuk narkoba. Jadi, kepanjangan narkoba yang tepat saat ini
adalah Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif Lainnya (Subagyo
Partodiharjol, 2003 : 10).
Secara etimologis narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose
atau narcosis yang berarti menidurkan (John M. Echols dan Hassan
Sadily., 1996 : 390). Sedangkan narkotika dalam bahasa Yunani yaitu
narke atau narkam artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa
(Sudarto, 2006:36).
Narkotika berasal dari kata narcotic artinya sesuatu yang dapat
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stufor
(bingung), bahan-bahan pembius dan obat bius (Jhon M. Echols dan
Hassan Sadily., 1996 : 390). Pengertian narkotika menurut Mardani
adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syaraf, mengakibatkan
ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit dan nyeri,
menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan
efek stufor, serta dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.
i
Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat.
Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual
(kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika ini yang
menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari
cengkeramannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, jenis-jenis narkotika dibagi ke dalam 3 (tiga)
kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.
Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya,
karena daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh
digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk tujuan penelitian
atau ilmu pengetahuan. Contohnya adalah ganja, heroin, kokain,
morfin, opium, dan lain-lain. Narkotika golongan II adalah narkotika
yang memiliki daya adiktif tinggi, berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Contohnya adalah
petidin, dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.
Sedangkan narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya
adiktif ringan, berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.
Contohnya adalah kodein, dan turunannya.
Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan ke
dalam 3 (tiga) golongan juga, yaitu narkotika alami, narkotika
semisintesis, dan narkotika sintesis. Dijelaskan sebagai berikut :
1. Narkotika alami
i
Narkotika alami adalah narkotika yang zat aditifnya diambil dari
tumbuh-tumbuhan (alam). Contohnya:
a. Candu
Berasal dari jenis tumbuh-tumbuhan yang dinamakan
Papaver Somniferum, nama lain dari candu selain opium adalah
madat, di Jepang disebut “ikkanshu”, di Cina dinamakan
“Japien”. Banyak ditemukan di negara-negara seperti Turki, Irak,
Iran, India, Mesir, Cina, Thailand, dan beberapa tempat lain.
Bagian yang dapat dipergunakan dari tanaman ini adalah
getahnya yang diambil dari buahnya, narkotika jenis candu atau
opium termasuk jenis depressants yang mempunyai pengaruh
hypnotics dan Tranglizers. Depressants yaitu merangsang
sistem saraf parasimpatis, dalam dunia kedokteran dipakai
sebagai pembunuh rasa sakit yang kuat.
b. Opium
Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang
indah. Dari getah bunga opium dihasilkan candu (opiat). Di
Mesir dan daratan Cina, opium dahulu digunakan untuk
mengobati beberapa penyakit, memberi kekuatan atau
menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu
berperang atau berburu. Opium banyak tumbuh di ”segitiga
emas” antara Burma, Komboja dan Thailand, atau di daratan
Cina dan ”segitiga emas” Asia Tengah, yaitu daerah antara
Afganistan, Iran, dan Pakistan.
i
Dalam kalangan perdagangan Internasional, ada
kebiasaan (keliru) menamai daerah tempat penanaman opium
sebagai daerah ”emas”. Diberi nama demikian karena
perdagangan opiat sangat menguntungkan. Karena bahayanya
yang besar, daerah seperti itu keliru jika diberi nama predikat
emas. Daerah sumber produksi opiat sepantasnya disebut
”segitiga setan” atau ”segitiga iblis”.
Opium masak terdiri dari :
1) candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan,
pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan
bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi
suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
2) Jicing, sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa
memperhatikan pakah candu itu dicampur dengan daun atau
bahan lain.
3) Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
c. Ganja
Ganja adalah tanaman perdu dengan daun menyerupai
daun singkong yang tepinya bergerigi dan berbulu halus.
Jumlah jari daunnya selalu ganjil yakni 5, 7, 9. Ganja berasal
dari bunga dan daun-daun sejenis tumbuhan rumput bernama
cannabis Sativa. Sebutan lain dari ganja yaitu mariyuana,
sejenis dengan mariyuana adalah hasis yang dibuat dari damar
i
daun cannabis sativa. Efek dari hasis lebih kuat daripada ganja.
Tumbuhan ini banyak tumbuh di beberapa daerah di Indonesia
seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Pulau Jawa
dan lain-lain. Daun ganja ini sering digunakan sebagai bumbu
penyedap masakan. Bila digunakan sebagai bumbu masak,
daya adiktifnya rendah. Namun, tidak demikian apabila dibakar
dan asapnya dihirup. Cara penyalahgunaannya adalah
dikeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok atau
dijadikan rokok lalu dibakar serta dihisap.
d. Koka
Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Tumbuh
sangat tinggi kira-kira 2 (dua) meter, buahnya berbentuk lonjong
berwarna kuning-merah atau merah saja apabila sudah
dimasak. Tanaman ini di Indonesia tumbuh di daerah Malang
atau Besuki Jawa Timur. Dalam komunitas masyarakat Indian
Kuno, biji koka sering digunakan untuk menambah kekuatan
orang yang berperang atau berburu binatang. Koka kemudian
bisa diolah menjadi kokain.
e. Hashis
Hashis adalah tanaman serupa ganja yang tumbuh di
Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, hasis, dan mariyuana
juga dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair,
harganya sangat mahal. Gunanya adalah untuk disalahgunakan
oleh pemadat-pemadat kelas tinggi.
i
2. Narkotika semisintesis
Narkotika semisintesis adalah narkotika alami yang diolah
dan diambil zat aktifnya (intisarinya) agar memiliki khasiat yang
lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
kedokteran. Contohnya:
a. Morphine:
Dipakai dalam dunia kedokteran untuk menghilangkan rasa
sakit atau pembiusan pada operasi (pembedahan);
b. codein:
Dipakai untuk obat penghilang batuk;
c. Heroin:
Tidak dipakai dalam pengobatan karena daya aditifnya
sangat besar dan manfaatnya secara medis belum ditemukan.
Dalam perdagangan gelap, heroin diberi nama putaw atau pete
atau pt. Bentuknya seperti tepung terigu yang halus putih, dan
agak kotor.
d. Kokain:
Hasil olahan dari biji koka.
3. Narkotika sintesis
Narkotika sintesis adalah narkotika palsu yang dibuat dari
bahan kimia. Narkotika ini digunakan untuk pembiusan dan
pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan.
Contohnya:
i
a. Petidin: untuk obat bius lokal, operasi kecil, sunat dan
sebagainya;
b. Methadon: untuk pengobatan pecandu narkoba; dan
c. Naltrexon: untuk pengobatan pecandu narkoba.
Selain untuk pembiusan, narkotika sintesis biasanya
diberikan oleh dokter kepada penyalahguna narkoba untuk
menghentikan kebiasaannya yang tidak kuat melawan sugesti
(relaps) atau sakaw. Narkotika sintesis berfungsi sebagai
”pengganti sementara”. Bila sudah benar-benar bebas, asupan
narkoba sintesis ini dikurangi sedikit demi sedikit sampai akhirnya
berhenti total.
Pengertian Psikotropika di dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak ditemukan. Hal tersebut
sehubungan dengan ketentuan di dalam Pasal 153 huruf b, yaitu,
”Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi
Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku”. Oleh karenanya dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tidak ada lagi di dalam pasal-pasalnya yang
mengatur mengenai Psikotropika karena sudah dimasukkan ke
dalam golongan Narkotika.
i
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
menentukan bahwa Psikotropika adalah zat atau obat bukan
narkotika, baik alamiah maupun sintesis, yang memiliki khasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Psikotropika ini merupakan obat yang digunakan oleh
dokter untuk mengobati gangguan jiwa. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, psikotropika
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) golongan. Golongan I yaitu
psikotropika dengan daya aditif yang sangat kuat, belum diketahui
manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya saat
ini. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP. Golongan II
yakni psikotropika dengan daya aditif kuat serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin,
metamfetamin, metakualon, dan sebagainya. Golongan III yakni
psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal,
buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya. Golongan IV yakni
psikotropika yang memiliki daya aditif ringan serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah netrazepam (BK,
Mogadon, Dumolid), diazepam, dan lain-lain.
Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai
berikut:
i
1. Psikotropika golongan I yaitu psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya ekstasi,
shabu, LSD;
2. Psikotropika golongan II yakni psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan
ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya
amfetamin, metilfenidat atau ritalin;
3. Psikotropika golongan III yaitu psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya
pentobarbital, Flunitrazepam; dan
4. Psikotropika golongan IV yaitu psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contohnya diazepam,
bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide,
nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG.
Berdasarkan ilmu farmakologi, psikotropika dikelompokkan ke
dalam 3 (tiga) golongan yakni depresan, stimulan, dan halusinogen
sebagai berikut:
i
1. Kelompok depresan/penekan syaraf pusat/penenang/obat tidur.
Contohnya adalah valium, BK, rohipnol, mogadon, dan lain-lain.
Jika diminum, obat ini dapat memberikan rasa tenang, mengantuk,
rasa tenteram, dan damai. Obat ini juga menghilangkan rasa takut
dan gelisah.
2. Kelompok stimulan/perangsang syaraf pusat/anti tidur. Contohnya
adalah amfetamin, ekstasi, dan shabu. Ekstasi berbentuk tablet
beraneka bentuk dan warna. Amfetamin berbentuk tablet berwarna
putih. Bila diminum obat ini mendatangkan rasa gembira, hilangnya
rasa permusuhan, hilangnya rasa marah, ingin selalu aktif, badan
terasa fit, dan tidak merasa lapar. Daya kerja otak menjadi serba
cepat, namun kurang terkendali. Shabu berbentuk tepung kristal
kasar berwarna putih bersih seperti garam.
3. Kelompok halusinogen. Halusinogen adalah obat zat, tanaman,
makanan, yang dapat menimbulkan khayalan contohnya yaitu LSD
(Lysergic Acid Diethyltamide), getah tanaman kaktus, kecubung,
jamur tertentu (misceline), dan ganja. Bila diminum spikotropika
jenis ini dapat menimbulkan khayalan tentang peristiwa-peristiwa
yang mengerikan, khayalan tentang kenikmatan seks, dan
sebagainya. Kenikmatan didapat oleh pemakai setelah pemakai
sadar bahwa peristiwa mengerikan itu bukan kenyataan, atau
karena kenikmatan-kenikmatan yang dialami, walaupun hanya
khayalan.
i
F. Kerangka Pikir
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah
memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap pelaku tidak
pidana narkotika. Namun demikian dalam kenyataannya para pelaku
kejahatan justru semakin meningkat, dan bagi para terpidana dalam
kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan untuk
mengulanginya lagi. Hal ini dapat tidak terlepas oleh adanya faktor
penjatuhan pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent
effect terhadap para pelakunya.
Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat
dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem
penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari
criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam
penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni
menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana
non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana
(penal).
Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat
kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga
hal yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak
penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3)
takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana
non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan
internalisasi.
i
Keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia
terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika. Dengan demikian,
diharapkan dengan dirumuskanya undang-undang tersebut dapat
menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, serta
menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan
undang-undang, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana
terhadap kejahatan yang terjadi.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menggunakan sarana penal (hukum Pidana) untuk menanggulangi
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dengan demikian,
diharapkan dengan digunakannya sarana penal (hukum pidana) untuk
menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan tindak pidana
narkotika mampu mencegah kejahatan yang terjadi khususnya di
Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar.
Kelemahan atau kesalahan dalam penerapan kebijakan pidana
dapat dipandang sebagai kesalahan yang sangat strategis, karena hal
ini dapat menghambat penaggulangan kejahatan narkotika. Di
samping itu, kebijakan pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian
integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan
usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Salah satu hal yang diharapkan dapat tercapai dalam kebijakan
pidana penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana narkotika
i
adalah adanya efek jera dari para pelaku sehingga penanggulangan
tindak pidana narkotika dapat berjalan secara optimal. Oleh karena itu,
dalam menganalisis permasalahan tersebut calon peneliti
menggunakan teori criminal policy yang mengabungkan sarana penal
dan non penal dalam penangulangan tindak pidana narkotika, karena
dalam pandangan teori tersebut, bahwa penanggulangan suatu tindak
pidana hanya dapat berjalan secara optimal apabila dilakukan
pendekatan integral dengan menggabungkan antara sarana penal dan
non penal. Kedua sarana ini (penal dan non penal) merupakan suatu
pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat
dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan
kejahatan di masyarakat. Penegakan hukum dengan sarana penal
merupakan salah satu aspek saja dari usaha masyarakat
menanggulangi kejahatan. Disamping itu masih dikenal usaha
masyarakat menanggulangi kejahatan melalui sarana non penal yang
akan sangat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam
mencapai tujuannya.
Berdasarkan uraian pemikiran tersebut di atas, maka dalam penelitian ini
ditetapkan 2 (dua) variabel bebas (Independen Variabel) berikut indikatornya,
masing-masing sebagai berikut:
1. Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika (X1), dengan indikator variabel:
Regulasi, peran pelaku, pengetahuan/ pemahaman hukum aparat;
Regulasi ditetapkan sebagai indikator variabel dalam mengkaji dan
menganalisis variable penggolongan pelaku, karena peneliti ingin melihat
apakah ketentuan peraturan perundang-undangan sudah memberikan dasar
regulasi yang tegas dan jelas mengenai penggolongan pelaku tindak pidana
narkotika.
i
Selanjutnya peran pelaku ditetapkan sebagai indikator variabel dalam
mengkaji dan menganalisis variable penggolongan pelaku, karena peneliti ingin
melihat bagaimana peran dan kedudukan pelaku dalam terjadinya suatu tindak
pidana narkotika.
Kemudian pengetahuan/pemahaman hukum aparat ditetapkan sebagai
indikator variabel dalam mengkaji dan menganalisis variable penggolongan
pelaku, karena peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengetahuan dan
pemahaman hukum aparat penegak hukum dalam menangani pelaku tindak
pidana narkotika.
2. Faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana narkotika (X2), dengan
indikator variabel sebagai berikut: Aspek individu, Sosial budaya, ekonomi;
Faktor individu, social budaya, serta faktor ekonomi, peneliti jadikan
sebagai indikator variabel dalam mengkaji dan menganalisis variabel faktor yang
menyebabkan terjadinya tindak pidana narkotika, karena peneliti ingin
mengetahui bagaimana pengaruh aspek individu, sosial budaya, serta ekonomi
terhadap terjadinya suatu tindak pidana narkotika.
Apabila kedua variabel bebas tersebut di atas telah berfungsi sebagaimana
mestinya dengan meminimalisir faktor yang menyebabkan, maka akan terwujud
variabel terikat (Dependen Variabel), yaitu: optimalisasi penanggulangan tindak
pidana narkotika.
Untuk memperjelas kerangka pemikiran sebagaimana diuraikan di atas,
maka dapat diperhatikan skema atau bagan kerangka pikir (conceptual framework)
berikut ini:
i
BAGAN KERANGKA PIKIR
Keterangan:
: Garis Hubungan;
: Variabel Bebas (Independen Variabel);
: Indikator Variabel;
: Variabel Terikat (Dependen Variabel).
X
Y
UU No. 35 / 2009 Tentang Narkotika
Tindak Pidana
Narkotika
Penggolongan pelaku Tindak Pidana Narkotika
(X1)
Regulasi
Peran pelaku
Pengetahuan/ pemahaman hukum aparat
Faktor yang menyebabkan Tindak Pidana Narkotika
(X2)
Optimalisasi Penangulangan Tindak Pidana Narkotika
(Y)
Aspek individu
Sosial budaya
Ekonomi
i
G. DEFINISI OPERASIONAL
Pada penelitian ini, penulis menetapkan definisi operasional
adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana narkotika adalah keseluruhan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika;
2. Penggolongan pelaku adalah penggolongan pelaku tindak pidana
narkotika sesuai peran dan perbuatannya yang melanggar
ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang RI
Nomor 35 Tahun 209 tentang Narkotika;
3. Regulasi adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai tindak pidana narkotika;
4. Peran pelaku adalah adalah peran/kedudukan pelaku dalam suatu
tindak pidana narkotika serta dampak yang dapat ditimbulkan dari
peran/kedudukannya tersebut.
5. Pengetahuan/pemahaman hukum aparat adalah kemampuan dan
profesionalitas aparat penegak hukum (polisi, Jaksa, Hakim) dalam
menangani perkara sesuai dengan pengetahuan atau pemahaman
keilmuan yang dimilikinya, sehingga dapat menangani suatu
perkara tindak pidana narkotika secara tepat.
6. Faktor yang menyebabkan adalah faktor-faktor yang dapat
memengaruhi atau menyebabkan terjadinya tindak pidana
narkotika.
i
7. Aspek individu adalah suatu aspek kepribadian dari pelaku
termasuk kondisi kejiwaan dari pelaku sehingga melakukan tindak
pidana narkotika.
8. Faktor sosial budaya adalah adalah kondisi social dan budaya serta
lingkungan dari pelaku tindak pidana narkotika;
9. Faktor ekonomi adalah kondisi ekonomi dan keluarga dari pelaku
tindak pidana narkotika;
10. Optimalisasi adalah upaya yang dilakukan sebagai bagian dari
proses untuk menghasilkan nilai tertinggi atau terbaik atau upaya
untuk menjadikan kondisi yang paling baik dalam penanggulangan
tindak pidana narkotika.
i
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini berbentuk penelitian sosio-yuridis, selain
mengkaji hukum secara teoretik dan normatif yang lazim dikenal
dengan law in books, juga akan mengkaji hukum dalam
pelaksanaannya (law in action). Kesesuaian antara hukum dalam
perspektif normatif dan hukum dalam perspektif empiris merupakan
sebuah tuntutan realitas untuk mengefektifkan hukum dalam
kehidupan.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai Tindak Pidana Narkotika dilaksanakan di
Kota Makassar khususnya pada instansi Kantor Pengadilan Negeri
Makassar dan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa.
Pertimbangan penulis memilih lokasi penelitian tersebut
adalah karena Pengadilan Negeri Makassar merupakan Pengadilan
Negeri klas IA Khusus yang banyak menangani kasus tindak pidana
Narkotika dalam artian bahwa intensitas dan frekuensi penanganan
tindak pidana Narkotika cukup tinggi, dan Kota Makassar sebagai
lokasi penelitian memiliki posisi yang sangat strategis di wilayah
Indonesia Timur.
Sementara Kantor Lembaga Pemasyarakatan narkotika
Sungguminasa dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa narapidana
Narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar ditempatkan
i
di Lembaga Pemasyarakatan tersebut sehingga penulis dapat
memperoleh tanggapan/reaksi dari para narapidana tersebut
mengenai tindak pidana narkotika yang telah dilakukannya.
C. Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh
hakim pada Pengadilan Negeri Makassar dan seluruh narapidana
pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa.
Untuk memudahkan pengambilan sampel dari populasi
tersebut, maka dilakukanlah penarikan sampel dengan tekhnik Non
Probability Sampling dengan menggunakan Purposive sampling yaitu
berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu, sehingga dipilih 113
orang sebagai sampel yang terdiri atas 3 orang hakim pada
Pengadilan Negeri makassar dan 110 orang narapidana pada
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa guna
mendapatkan informasi dan tanggapan mereka dalam penanganan
Tindak pidana narkotika.
Pertimbangan penulis menentukan sampel 3 orang hakim
pada Pengadilan Negeri Makassar dan 110 orang narapidana pada
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa karena penulis
menganggap bahwa sampel tersebut sudah merupakan representasi
dari keseluruhan populasi.
i
D. Jenis dan Sumber data
Jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk
menunjang hasil penelitian ini adalah :
1. Data primer, berupa data yang langsung didapatkan dalam
penelitian dilapangan, yakni data yang diperoleh dari wawancara
dan kuisioner, yang terkait dengan pelaksanaan putusan perkara
tindak pidana narkotika.
2. Data sekunder, data yang diperlukan untuk melengkapi data
primer. Adapun data sekunder tersebut merupakan bahan-bahan
hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas dan juga
mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari putusan-putusan
pengadilan, perundang-undangan, catatan-catatan resmi yang
terkait dengan pokok masalah dalam penelitian ini yaitu mengenai
perkara tindak pidana narkotika.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. wawancara dengan melakukan tanya jawab langsung dengan
informan yaitu Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang
diharapkan dapat memberikan penjelasan dan persepsi mengenai
penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
2. Kuisioner, yaitu pengumpulan data yang dilakukan berdasarkan
daftar pertanyaan secara tertulis yang ditujukan kepada responden
i
yakni narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
Sungguminasa.
3. Studi Dokumentasi yaitu untuk mengumpulkan data-data yang
berkaitan dengan penelitian ini.
F. Analisis Data
Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder
dianalisis dengan menggunakan tehnik analisis data kualitatif dan
tehnik analisis data kuantitatif. Analisis data Kualitatif yaitu
mendeskripsikan data yang diperoleh baik data primer mapun data
sekunder kemudian dianalisis dan diberi kesimpulan atau dengankata
lain disebut syllogisme. Sedangkan analisis data kuantitatif dilakukan
dengan menggunakan analisis statistik deskriptif persentase dengan
rumus :
f P = --------- X 100% N
Keterangan :
P = persentase.
f = frekuensi jawaban responden untuk setiap opsi.
N = jumlah responden.
100% = angka pembulat pengali.
i
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat segala tingkah
lakunya diatur oleh hukum, baik hukum adat di daerahnya maupun
hukum yang telah diciptakan pemerintah. Sebagai patokan hukum
dapat menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat. Tapi pada kenyataannya masih banyak masyarakat
yang berusaha melanggar hukum. Dalam hal hukum, tentunya kita
semua ingin mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang telah
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
maka mutlak diperlukan penegak hukum dan ketertiban secara
konsisten dan berkesinambungan.
Namun demikian, norma dan kaedah yang berlaku di
masyarakat saat ini sudah mulai tidak lagi dipatuhi dan dihormati
sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.
Untuk itu masyarakat memerlukan hukum yang berfungsi sebagai
pengatur segala tindak tanduk manusia dalam masyarakat, oleh
karena itu,dalam menjalankan fungsi hukum itu pemerintah dapat
menggunakan menggunakan alat paksa yang lebih keras yaitu berupa
i
sanksi. Sanksi merupakan suatu akibat yang timbul diberikan dari
reaksi atas suatu perbuatan, contohnya sanksi pidana yang dapat juga
diberikan terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang saat ini
merupakan hal yang perlu sekali mendapat perhatian khusus
mengingat dampak-dampak yang dapat ditimbulkan dari tindak pidana
narkotika tersebut.
Pelaku tindak pidana narkotika memiliki peran, kedudukan, dan
sanksi yang berbeda, baik berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya maupun berdasarkan peran dan
dampak yang dapat ditimbulkan dari perbutannya.
Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika dapat dilihat dari
beberapa aspek, antara lain:
1. Regulasi
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang
dimaksudkan sebagai regulasi adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana
narkotika, yang dalam hal ini adalah Undang-undang RI Nomor 35
Tahun 2009 yang telah diundangkan pada tanggal 12 Oktober
2009 serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan tindak pidana narkotika.
Ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika
dalam undang-undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 147.
i
Berdasarkan ketentuan pidana dalam Pasal-pasal tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Undang-undang RI
Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, pelaku tindak pidana
narkotika secara umum dapat digolongkan atas:
a. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika atau Prekursor Narkotika,
sebagaimana diatur dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 117
dan Pasal 122 serta Pasal 129;
Istilah melawan hukum dalam hukum pidana dikenal
dengan istilah “wederrechtelijk” yang dapat ditafsirkan dalam
dua bentuk yakni “in strijd met het recht” (bertentangan dengan
hukum) dan “niet steuhend op het recht” (tidak berdasarkan
hukum) atau “zonder bevoegdheid” (tanpa hak). Pengertian
melawan hukum adalah juga termasuk di dalamnya pengertian
tanpa hak sehingga mengenai perbuatan tanpa hak dan
melawan hukum dapat ditujukan tidak hanya kepada satu
perbuatan yang bertentangan dengan hukum dalam pengertian
yang umum akan tetapi juga dapat ditujukan kepada adanya
suatu perbuatan yang dilakukan tanpa hak.
Sementara yang dimaksud “memiliki” adalah menguasai
barang dan orang yang menguasai barang tersebut bertindak
seolah-olah sebagai pemilik barang tersebut, kemudian
“menyimpan” maksudnya adalah menempatkan sesuatu
i
ditempat yang aman, sedangkan “menyediakan” adalah
mempersiapkan sesuatu agar dapat berjalan dengan lancar;
b. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika,
sebagaimana diatur dalam Pasal 113, Pasal 118 dan Pasal
123, serta Pasal 129.
Berdasarkan Pasal 1 angka angka (3), (4) da (5),
bahwa yang dimaksud dengan Produksi adalah kegiatan atau
proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan
Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui
ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis
kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau
mengubah bentuk Narkotika. Sedangkan yang dimaksud
dengan Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan
Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean. Sementara
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor
Narkotika dari Daerah Pabean.
c. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam
jual beli, menukar, atau menyerahkan atau menerima
Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 114, Pasal 119 an
Pasal 124, serta Pasal 129;
d. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika,
i
sebagaimana diatur dalam Pasal 115, Pasal 120 dan Pasal
125, serta Pasal 129.
Berdasarkan Pasal 1 angka (9) da angka (12) bahwa
yang dimaksud dengan pengangkutan adalah setiap kegiatan
atau serangkaian kegiatan memindahkan Narkotika dari satu
tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana
angkutan apapun. Sedangkan Transito Narkotika adalah
pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara lain
dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik
Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa
berganti sarana angkutan.
e. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika terhadap orang lain atau memberikan Narkotika
untuk digunakan orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal
116, Pasal 121 dan Pasal 126.
f. Perbuatan penyalahguna narkotika bagi diri sendiri,
sebagaimana diatur dalam Pasal 127, yaitu orang yang
menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum
(Pasal 1 angka (15)). Sedangkan Pecandu Narkotika,
sebagaimana diatur dalam Pasal 128 dan Pasal 134, yaitu
orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik
secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka (13)).
i
g. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dalam Pasal 111,
Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal
117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,
Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129,
sebagaimana diatur dalam Pasal 132.
Berdasarkan Pasal 1 angka (18) bahwa yang dimaksud
dengan Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau
lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan,
melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh,
menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi
anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau
mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.
Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika tersebut di
atas menunjukkan bahwa tiap perbuatan dan kedudukan pelaku
tindak pidana narkotika memiliki sanksi yang berbeda. Hal ini tidak
terlepas dari dampak yang dapat ditimbulkan dari perbuatan
pelaku tindak pidana narkotika tersebut.
2. Peran pelaku
Berdasarkan peran/kedudukan pelaku dalam suatu tindak
pidana narkotika serta dampak yang dapat ditimbulkan dari
peran/kedudukannya tersebut, maka pelaku tindak pidana
narkotika secara garis besar diklasifikasikan sebagai berikut:
i
a. Sebagai pengguna, yaitu orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri ;
b. Sebagai pengedar, yaitu seseorang atau sekelompok orang
yang menyalurkan atau menyerahkan narkotika baik untuk
diperjualbelikan ataupun untuk pemindahtanganan kepada
orang lain ;
c. Sebagai produsen, yaitu orang atau koorporasi yang
menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika
secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau
nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau
gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk
Narkotika.
Walaupun dalam klasifikasi berdasarkan peran/kedudukan
pelaku tersebut di atas hanya terdiri atas tiga bentuk
penggolongan, namun dalam penerapannya dapat mengalami
perkembangan sesuai dengan unsur-unsur pasal yang terpenuhi
sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di
lapangan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2008-
September 2011 pelaku tindak pidana narkotika di wilayah Hukum
Pengadilan Negeri Makassar masih di dominasi oleh pengguna,
sebagaimana diuraikan dalam tabel 1 berikut ini:
i
Tabel 1 Peran Pelaku Tindak Pidana Narkotika dalam wilayah Hukum
Pengadilan Negeri Makassar
Tahun Pengguna Pengedar Produsen Jumlah Kasus
2008 273 76,45% 37 11,94% - - 310
2009 252 76,83% 76 23,17% - - 328
2010 255 65,89% 132 34,11% - - 387
2011 183 50,83% 177 49,17% - - 360
Jumlah 963 69,53% 422 30,47% 0 0 1385
Sumber data : Pengadilan Negeri Makassar, 2011
Tabel 1 tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam kurun
waktu 2008 sampai dengan bulan September 2011 telah terjadi
1385 tindak pidana narkotika yang diproses di Pengadilan Negeri
Makassar, dimana sebanyak 963 atau 69,53 % dalam kedudukan
sebagai pengguna dan 422 atau 30,47 % sebagai
pengedar/perantara.
Pada Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, sulit untuk untuk menemukan apa yang dimaksud
dengan “pengguna narkotika” sebagai subyek (orang), yang banyak
ditemukan adalah penggunaan (kata kerja). Menurut kamus bahasa
Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang menggunakan, bila
dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika maka dapat dikatakan bahwa Pengguna Narkotika
adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari
i
tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar:
Jan Manoppo, SH (wawancara, 18 Oktober 2011) bahwa
Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk
memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan
narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen,
penyalur, kurir dan pengedar narkotika. Walaupun penanam,
produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika kadang juga
menggunakan narkotika, namun dalam hal ini yang penulis maksud
pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika
untuk dirinya sendiri, bukan penanam, produsen, penyalur, kurir
dan pengedar narkotika.
Bila dikaitkan dengan dengan orang yang menggunakan
narkotika, dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dapat ditemukan berbagai istilah antara lain :
- Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis
i
(Pasal 1 angka 13 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika);
- Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika
tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika);
- Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja
menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika
(Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika);
- Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat
menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan
membawa narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah
terbatas dan sediaan tertentu;
- Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh
dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun
psikis (Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang RI Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika)
Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut
berpotensi membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan
baik dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maupun pada
pelaksanaannya.
i
Salah satu permasalahan akibat banyaknya istilah adalah
kerancuaan pengaturan dimana Pasal 4 huruf d Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
bertujuan : Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika”, namun dalam
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna
Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”
dimana berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat
rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang awalanya
mendapatkan jaminan rehabilitasi, pada Pasal 127 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika penyalah guna narkotika
kemudian juga menjadi subyek yang dapat dipidana dan
kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau
terbukti sebagai korban narkotika.
Pembuktian penyalahguna narkotika merupakan korban
narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika, merupakan suatu hal yang sulit,
karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan
narkotika dan diperlukan pembuktiaan bahwa penggunaan
narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk,
diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
narkotika. Dalam implementasinya Mahkamah Agung RI
i
mengeluarkan SEMA No. 04 Tahun 2010 Jo. SEMA No. 03 Tahun
2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang
menjadi pegangan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi dalam memutus perkara narkotika.
Banyaknya istilah tersebut juga membingungkan aparat
penegak hukum dan masyarakat, dilapangan aparat penegak
hukum tidak memberikan hak orang yang positif menggunakan
narkotika untuk melaksanakan rehabilitasi, walaupun dalam UU RI
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adanya jaminan rehabilitasi
bagi pecandu narkotika. Pengaturan wajib lapor bagi orang tua atau
wali dari pecandu narkotika, juga berimplikasi membingungkan bagi
orang tua atau wali, karena untuk menentukan apakah anaknya
pecandu atau bukan pecandu haruslah ditentukan oleh ahli dan
sangat sulit bila dilihat dari kacamata awam.
Perdebatan yang sering muncul dalam membahas Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah
kedudukan Pengguna Narkotika apakah sebagai pelaku atau
sebagai korban, dan apa akibat hukumnya? Bila dilihat alasan yang
mengemuka dilakukannya pergantian Undang-Undang RI Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Antara Penyalahgunaan dan peredaran narkotika memang sulit
dipisahkan namun hal tersebut tidak dapat disamakan dan upaya
i
penanggulangannya juga harus dibedakan. Hal tersebut selaras
dengan amanat tujuan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
tentang narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
bertujuan :
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuaan dan
teknologi;
b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia
dari penyalahgunaan narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor
narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalah guna dan pecandu narkotika
Berdasarkan tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika tersebut dan melihat posisi pengguna narkotika
dapat dilihat pemberantasan narkotika ditujukan bagi peredaran
gelap narkotika. Sedangkan upaya pencegahan, perlindungan dan
penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika,
sehingga perlu adanya pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (pengguna
narkotika).
i
Tarik menarik apakah pengguna narkotika merupakan
korban atau pelaku sangat terasa dalam Pasal 127 Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
menyatakan :
(1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana
denganpidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Penyalahguna yang pada awalnya mendapatkan jaminan
rehabilitasi, namun, dengan memandang asas legalitas yang
diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaanya pengguna
narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Bila pengguna narkotika dianggap pelaku
kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa
yang menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pengguna
narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal “tidak ada kejahatan
tanpa korban”, beberapa literature bahwa yang menjadi korban
karena dirinya sendiri (Crime without victims), dari persepektif
tanggung jawab korban, Self-victimizing victims adalah mereka
yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
i
3. Pengetahuan/pemahaman hukum aparat
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang
dimaksudkan dengan pengetahuan/pemahaman hukum aparat
dalam hal ini adalah kemampuan dan profesionalitas aparat
penegak hukum (polisi, Jaksa, Hakim) dalam menangani perkara
sesuai dengan pengetahuan atau pemahaman keilmuan yang
dimilikinya, sehingga dapat menangani suatu perkara tindak pidana
narkotika secara tepat.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di
lapangan menunjukkan bahwa seringkali aparat penegak hukum
(Polisi, Jaksa, Hakim) kurang tepat dalam menerapkan suatu
ketentuan pidana dalam perkara tindak pidana narkotika, dimana
Jaksa Penuntut Umum dalam uraian dakwaannya dan bahkan
tuntutannya kadang menerapkan suatu ketentuan yang tidak sesuai
dengan peran pelaku sebagaimana yang terbukti di persidangan.
Hal ini diperparah lagi dengan tindakan Majelis Hakim yang
mengikuti tuntutan Jaksa penuntut Umum dengan mengabaikan
fakta-fakta yang terbukti di persidangan.
Salah satu perkara tindak pidana narkotika yang menurut
penulis penerapan hukumnya agak melenceng dari fakta hukum
mengenai peran pelaku sebagaimana terungkap di persidangan,
adalah perkara Nomor: 726/Pid.B/2011/PN.Mks, dimana peran
pelaku adalah membawa atau menguasai narkotika golongan I
jenis shabu-shabu, dimana terdakwa pada hari Kamis tanggal 03
i
Maret 2011 sekitar pukul 23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid
Raya Makassar ditangkap oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu
Syamjoyo karena membawa narkotika jenis shabu-shabu, namun
Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menggunakan
Narkotika” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan menjatuhkan putusan berupa pidana penjara selam
1 (satu) tahun.
Adapun posisi kasus perkara tersebut adalah bahwa
terdakwa SUWARDIMAN YANTO Bin MANSYUR Als WARDI, pada
hari kamis tanggal 03 maret 2011 sekitar jam 23.30 wita bertempat
di jalan Mesjid Raya Makassar ditemukan membawa narkotika
golongan I, berupa Kristal bening dengan berat 0,1083 gram yang
mengandung metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I
Nomor urut 61 UU. RI. No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hal
tersebut dilakukan terdakwa dengan cara dan keadaan sebagai
berikut:
- Berawal pada waktu yang disebutkan diatas Lk. ARWIN Bin
PETRUS sedang duduk-duduk dilorong jalan Sembilan sambil
ngobrol-ngobrol bersama teman-temannya.kemudian terdakwa
ditelpon oleh Lk. WARDI dan bertanya ‘lagi dimanako
ini”kemudian di jawab oleh Lk. ARWIN Bin PETRUS “dilorong
jalan Sembilan”, lalu Lk. ARWIN Bin PETRUS disuruh oleh
i
terdakwa keluar ke mesjid jalan raya dan pada saat Lk.ARWIN
Bin PETRUS bertemu dengan terdakwa kemudian terdakwa
bertanya “ada kau tau dimana ada orang menjual shabu-shabu”.
Lalu Lk. ARWIN Bin PETRUS jawab “ya saya tau”kemudian
orang yang ingin membeli shabu-shabu tersebut memberikan
uang kepada terdakwa sebesar Rp. 500.000,-(lima ratus ribu
rupiah) kemudian uang tersebut diserahkan kepada Lk. ARWIN
Bin PETRUS, setelah Lk.ARWIN Bin PETRUS menerima uang
dari terdakwa kemudian Lk. ARWIN Bin PETRUS pergi
sendirian membeli shabu-shabu KEPADA Lk.ACO yang terletak
dijalan kerung-kerung Makassar dengan harga Rp. 500.000,-
(lima ratus ribu rupiah) perpaket, setelah Lk ARWIN Bin
PETRUS membeli shabu-shabu dijalan kerung-kerung
kemudian Lk ARWIN Bin PETRUS kembali ke jalan mesjid raya
dan menemui terdakwa kemudian Lk .ARWIN Bin PETRUS
menyuruh terdakwa untuk mengantar kembali Lk ARWIN Bin
PETRUS ke tempat di sebuah lorong yang terletak dijalan
Sembilan, setelah sampai dijalan Sembilan Lk.ARWIN Bin
PETRUS memberikan shabu-shabu kepada terdakwa, dan tidak
lama kemudian Lk.ARWIN Bin PETRUS mengantar terdakwa
kembali kejalan Mesjid Raya untuk menemui orang yang pesan
shabu-shabu tersebut berselang 5 menit datang polisi
menangkap terdakwa.
i
- Berdasarkan hasil uji laboratorium Forensik Cabang Makassar
yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan Laboratoris
Krisminalistik No. Lab :248/KNF/III/2011 tanggal 10 maret 2011
dengan hasil pemeriksaan disimpulkan bahwa barang bukti
Kristal bening milik terdakwa adalah benar mengandung
metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor urut 61
Lampiran UU. RI. No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, urine
milik terdakwa tidak mengandung metamfetamina yang terdaftar
dalam golongan I nomot urut 61 Lampiran UU. RI. NO. 35 tahun
2009 tentang narkotika.
Perbuatan terdakwa tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum
didakwa berdasarkan dakwaan yang disusun secara alternatif yaitu:
- Dakwaan Kesatu : Melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;
Atau
- Dakwaan Kedua : Melanggar Pasal 112 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;
Atau
- Dakwaan ketiga : melanggar pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;
Atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, Majelis
Hakim menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang
terungkap di persidangan Majelis Hakim akan menilik dakwaan
yang ketiga, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 ayat (1)
i
huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
karena pasal tersebut dipandang oleh Majelis Hakim yang paling
mendekati/paling tepat dengan perbuatan Terdakwa, sehingga
terdakwa dinyatakan terbukti sebagai ”menyalahgunakana
narkotika golongan I bagi diri sendiri”.
Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang
dimaksud sebgai penyalahguna adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak dan melawan hukum. Oleh karena itu
seseorang yang dapat dikategorikan sebagai penyalahguna
narkotika adalah orang yang menggunakan secara tanpa hak atau
melawan hukum, dalam arti bahwa narkotika tersebut berada dalam
kekuasaannya adalah sah tetapi kemudian menggunakannya untk
diri sendiri secara melawan hukum. Misalnya seorang Jaksa yang
menyimpan barang bukti narkotika kemudian menggunakan barang
bukti narkotika tersebut atau seorang dokter yang seharusnya
menggunakan narkotika tersebut untuk pasien, tapi ternyata
disalahgunakan untuk diri sendiri.
Apabila seseorang yang kemudian tertangkap beberapa saat
sebelum menggunakan narkotika tersebut, kemudian karena pelaku
tindak pidana tersebut mengaku akan digunakan sendiri dan
berdasarkan hasil laboratorium forensik ternyata pelaku tersebut
adalah positif pernah menggunakan dan selanjutnya Majelis Hakim
menyatakan bahwa pelaku tersebut adalah penyalahguna
i
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 Undang-Undang RI
Nomor 35 Tahun 2009, menurut penulis adalah tidak tepat, karena
pada saat ditemukan tersebut adalah sementara menguasai atau
memiliki sebagaimana diatur dalam Pasal 111, 112, 117, 122 dan
129, yaitu Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika atau
Prekursor Narkotika.
Bahkan seseorang yang ditangkap setelah atau pada saat
sedang menggunakan narkotika pun dapat dipidana sebagai
perbuatan memiliki atau menguasai, kecuali apabila pelaku tindak
pidana narkotika tersebut sementara terikat dan orang lain yang
memasukkan dalam mulut pelaku, maka pelaku tidak dapat
dikategorikan sebagai menguasai.
Namun dalam perkara Nomor 726/Pid.B/2011/PN.Mks
tersebut diatas, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terbukti di
persidangan yaitu:
- Bahwa pada hari Kamis tanggal 03 Maret 2011 sekitar pukul
23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid Raya, Terdakwa ditangkap
oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu Syamjoyo karena
membawa narkotika jenis shabu-shabu ;
- Bahwa saat Terdakwa turun dari motornya di Jalan Mesjid Raya
Briptu Feri dan Briptu Syamjoyo langsung memeriksa Terdakwa
dan akhirnya Briptu Feri menemukan shabu-shabu sebanyak 1
paket yang Terdakwa simpan di tangan kanannya ;
i
- Bahwa barang berupa 1 (satu) sachet narkotika berjenis shabu-
shabu tersebut didapatkan terdakwa dengan cara memberi
Erwin uang sebanyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan
menyuruh dia membelikan Terdakwa shabu-shabu pada
temannya yang bernama Aco di Jalan Kerung-Kerung, namun
kepemilikan atau penguasaan Terdakwa atas shabu-shabu
tersebut tanpa dilengkapi surat izin dari pihak yang berwenang
dan bukan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan pengobatan;
- Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) sachet shabu tersebut untuk
dikonsumsi sendiri oleh Terdakwa;
- Bahwa berdasarkan hasil laboratories kriminalistik bahwa barang
bukti kristal bening milik Terdakwa adalah benar mengandung
metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor Urut 61
lampiran UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika;
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, kemudian Majelis
Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa oleh
karena dakwaan disusun secara alternatif, maka berdasarkan fakta-
fakta hukum yang terungkap di persidangan Majelis Hakim akan
menilik dakwaan yang ketiga, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika karena pasal tersebut dipandang oleh Majelis
Hakim yang paling mendekati/paling tepat dengan perbuatan
Terdakwa, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
i
1. Unsur “Setiap orang” : Menimbang, bahwa yang dimaksud unsur Setiap orang
dcalam pasal ini adalah sama dengan unsur Barangsiapa yang terkandung dalam KUHP, sehingga mengandung arti bahwa setiap orang atau barangsiapa adalah sebagai subyek hukum/pelaku dari suatu tindak pidana yang mampu bertanggung jawab menurut hukum. Subyek hukum dalam hukum pidana adalah siapa saja pelaku perbuatan pidana yang kepadanya dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatannya menurut hukum yang berlaku ;
Menimbang, bahwa unsur Barang Siapa yang menyangkut posisi selaku subyek hukum yang merupakan pendukung hak dan kewajiban, yaitu siapa saja yang dalam hal ini adalah SUWARDIMAN YANTO BIN MANSYUR ALIAS WARDI, yang identitasnya sebagaimana tersebut dalam Surat Dakwaan, kepadanya Majelis Hakim berpendapat bahwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan/ tindakan serta kesalahannya;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur setiap orang tersebut telah terpenuhi dengan sempurna;
Ad. 2 Unsur “Menyalahgunakan Narkotika golongan I bagi diri sendiri” :
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menyalahgunakan adalah menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Tanpa hak artinya bahwa Narkotika berada dalam penguasaan seseorang atau badan hukum yang tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang. Dimana penguasaan terhadap Narkotika haruslah mendapatkan persetujuan atau seijin dari pihak yang berwenang yakni Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum adalah penguasaan Narkotika tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang;
Menimbang, bahwa hanya badan hukum yang ditunjuk oleh undang-undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang dapat menyimpan dan menggunakan obat-obatan tersebut seperti Industri Farmasi, pedagang besar Farmasi, Sarana Penyimpanan sediaan Farmasi Pemerintah, Apotik, Rumah Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai Pengobatan, Dokter dan lembaga ilmu pengetahuan. Badan hukum ini wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya, dengan kata lain bahwa penguasaan Narkotika tidak dibenarkan atau disimpan oleh seseorang yang bukan merupakan badan hukum atau tanpa izin dari pihak yang berwenang;
Menimbang, bahwa narkotika jenis shabu-shabu merupakan narkotika golongan I yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi dan dalam jumlah terbatas
i
Narkotika golongan I dapat digunakan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan ;
Menimbang, bahwa Narkotika golongan I ini mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan sehingga sering disalahgunakan oleh manusia, maka dari itu peredarannya diatur dalam suatu aturan sehingga tidak disalahgunakan oleh manusia;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan pada hari Kamis tanggal 03 Maret 2011 sekitar pukul 23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid Raya, Terdakwa ditangkap oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu Syamjoyo karena membawa narkotika jenis shabu-shabu ;
Menimbang, bahwa saat Terdakwa turun dari motornya di Jalan Mesjid Raya Angota Kepolisian (Briptu Feri dan Briptu Syamjoyo) langsung memeriksa Terdakwa dan akhirnya Briptu Feri menemukan shabu-shabu sebanyak 1 paket yang Terdakwa simpan di tangan kanannya ;
Menimbang, bahwa barang berupa 1 (satu) sachet narkotika berjenis shabu-shabu tersebut didapatkan terdakwa dengan cara memberi Erwin uang sebanyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan menyuruh dia membelikan Terdakwa shabu-shabu pada temannya yang bernama Aco di Jalan Kerung-Kerung, namun kepemilikan atau penguasaan Terdakwa atas shabu-shabu tersebut tanpa dilengkapi surat izin dari pihak yang berwenang dan bukan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan pengobatan ;
Menimbang, bahwa barang bukti berupa 1 (satu) sachet shabu tersebut dibeli untuk dikonsumsi sendiri oleh Terdakwa ;
Menimbang, bahwa berdasarkan hasil laboratories kriminalistik bahwa barang bukti kristal bening milik Terdakwa adalah benar mengandung metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor Urut 61 lampiran UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “Menyalahgunakan Narkotika golongan I bagi diri sendiri” telah terpenuhi ;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari tindak
pidana yang didakwakan dalam dakwaan alternatif kedua telah dipenuhi, maka Terdakwa SUWARDIMAN YANTO BIN MANSYUR ALIAS WARDI, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana “Menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”;
Menimbang, bahwa dari fakta hukum yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini tidak terdapat hal-hal yang dapat dijadikan alasan sebagai alasan pemaaf dan pembenar, dimana
i
menurut pengamatan Majelis Hakim, Terdakwa sehat jasmani dan rohani, sehingga menurut hukum Terdakwa dinilai cakap atau mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah dinyatakan bersalah, maka Terdakwa tersebut patut dipidana yang setimpal dengan kesalahannya; Menimbang, bahwa pemidanaan bukan merupakan tindakan pembalasan melainkan merupakan pelajaran untuk mendidik agar Terdakwa menyadari kesalahannya dan akhirnya Terdakwa akan merasa jera untuk melakukan tindak pidana; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa ditahan, maka lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa ditahan, maka memerintahkan agar tetap berada dalam tahanan;
Menimbang, bahwa barang bukti yang diajukan di persidangan berupa : 1 (satu) sachet narkotika berjenis shabu-shabu seberat 0,1083 gram, karena dimiliki Terdakwa tidak dilengkapi atau tanpa ijin dari pejabat yang berwenang artinya kepemilikan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang, maka barang bukti tersebut harus dirampas untuk dimusnahkan ;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka berdasar Pasal 222 KUHAP, Terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan disebutkan nanti dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa yang terurai sebagai berikut : Hal-hal yang memberatkan : - Tindak Pidana itu sendiri; - Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah
dalam memberantas Narkoba; Hal-hal yang meringankan : - Bahwa Terdakwa berprilaku sopan di persidangan dan
mengakui perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan ;
- Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum ; - Bahwa Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga ;
Mengingat dan memperhatikan pasal- pasal dari Undang-undang yang bersangkutan khususnya pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009, dan Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang berkaitan dengan perkara ini;
M E N G A D I L I
1. Menyatakan Terdakwa SUWARDIMAN YANTO BIN MANSYUR ALIAS WARDI, dengan identitas sebagaimana tersebut diatas
i
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menggunakan Narkotika” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun ;
3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) sachet narkotika
berjenis shabu-shabu seberat 0,1083 gram, dirampas untuk dimusnahkan ;
6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);
Pertimbangan Hakim tersebut di atas menunjukkan bahwa
pengetahuan dan pemahaman hukum aparat penegak hukum yang
kurang menguasai mengenai ketentuan dalam Undang-Undang
Narkotika, akan sangat mempengaruhi penggolongan pelaku tindak
pidana narkotika sebagaimana tertuang dalam putusan hakim,
yang pada akhirnya akan mengacaukan pendapat masyarakat
mengenai kedudukan dan hukuman seorang pelaku tindak pidana
narkotika.
Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar:
Suprayogi, SH (wawancara, 19 Oktober 2011) bahwa istilah
“penyalahguna” narkotika dalam Pasal 127 adalah dimaksudkan
untuk menjerat “pengguna narkotika” yaitu setiap orang yang
terbukti sebagai pengguna, meskipun pada saat ditangkap tersebut
telah selesai menggunakan atau barang tersebut baru akan
digunakan, asalkan telah terbukti berdasarkan hasil laboratorium
i
kriminalistik/forensik bahwa pelaku adalah positif menggunakan
narkotika.
Lebih lanjut menurut Suprayogi, SH, bahwa pelaku tindak
pidana narkotika yang menggunakan meskipun sebelumnya
menguasai narkotika tersebut, adalah dipidana sebagai
penyalahguna karena penyalahguna yang dimaksudkan dalam
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah
setiap orang pelaku tindak pidana narkotika selain produsen,
penanam, penyalur, kurir dan pengedar narkotika.
Pengguna Narkotika yang masih mendapatkan narkotika
secara melawan hukum, maka terdapat beberapa perbuatan yang
dilakukan pengguna narkotika tersebut yakni membeli, menguasai,
menyimpan, atau memiliki yang akhirnya dipergunakan sendiri.
Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar:
Frangki Tambuwun, SH, MH (wawancara, 19 Oktober 2011)
bahwa Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika tidak memberikan pembedaan / garis yang jelas antara
delik pidana dalam Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dengan delik pidana lain yang terdapat
dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, dimana pengguna narkotika yang mendapatkan
narkotika secara melawan hukum pastilah memenuhi unsur
“menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” narkotika
dimana hal tersebut juga diatur sebagai suatu tindak pidana
i
tersendiri dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Selain itu, dalam prakteknya aparat penegak hukum
mengaitkan antara delik pidana pengguna narkotika dengan delik
pidana penguasaan, pemilikan, penyimpanan atau pembeliaan
narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum dimana ancaman
hukumannya menjadi lebih dari 5 tahun penjara dan dibeberapa
kententuan melebihi 9 tahun penjara, sehingga berdasarkan Pasal
21 ayat (4) huruf a KUHAP Pengguna narkotika dapat ditahan, dan
bila dikenakan ketentuan pidana yang ancamannya melebihi 9
(Sembilan) tahun maka berdasarkan Pasal 29 KUHAP masa
tahanan dapat ditambahkan sampai 60 (enam puluh) hari.
Selain terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika, pengguna narkotika juga dapat dikenakan berbagai
ketentuan pemidanaan lain dalam Undang-Undang RI Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika selama terpenuhinya unsur
“menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” Narkotika
secara tanpa hak dan melawan hukum dimana memiliki sanksi
pidana yang lebih tinggi dan tidak ada pilihan bagi hakim untuk
menjatuhkan putusan rehabilitasi tanpa adanya putusan penjara
karena ada batas minimal pemidanaan dalam delik tersebut.
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika
tidak memberikan batasan/daluwarsa yang jelas atas tindak pidana
i
yang dapat dikenakan bagi pengguna narkotika. Bagi mantan
pengguna narkotika yang kemudian menceritakan pengalamannya
menggunakan narkotika dihadapan orang banyak dan Pengguna
narkotika yang sedang menjalani proses rehabilitasi atas kemauaan
sendiri (bukan berdasarkan putusan hakim) bisa dikenakan pidana
atas pebuatan yang telah lampau (membeli, menggunakan,
menguasai atau menyimpan narkotika tanpa hak dan melawan
hukum) berpeluang sewaktu-waktu dapat dikenakan hukuman.
Permasalahan tersebut karena adanya ketentuan mengenai
batas waktu dalam hukum pidana bagi pelaku tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP yang
menyebutkan :
”Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: Ke-1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan
dengan percetakan, sesudah satu tahun; Ke-2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan denda,
kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
Ke-3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
Ke-4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun;
Tidak diaturnya pengecualian jangka waktu terhadap
pengguna narkotika yang sedang atau sudah dalam tahap mantan
pengguna narkotika mengakibatkan aparat penegak hukum yang
menentukan pengguna sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO)
akan melakukan pengawasan terhadap pengguna narkotika
dimana tidak tertutup dilakukan ditempat-tempat rehabilitasi.
Sehingga menjadi suatu hal yang sangat wajar bila banyak
i
ditemukan tempat-tempat rehabilitasi banyak ditemukan atau
diawasi oleh aparat penegak hukum (penyidik) baik dengan
menggunakan baju dinas maupun tidak menggunakan baju dinas.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak
Pidana Narkotika
Narkotika adalah sejenis zat kimia atau obat yang sangat
dibutuhkan untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan. Namun di
sisi lain narkotika sering digunakan di luar kepentingan medis dan ilmu
pengetahuan, yang pada akhirnya akan menjadi suatu bahaya bagi si
pemakai, yang pada akhirnya juga dapat menjadi pengaruh pada
tatanan kehidupan sosial masyarakat, bangsa dan negara.
Hampir setiap negara di dunia menyatakan perang terhadap
penyalahgunaan narkotika, dan menganggapnya sebagai suatu
kejahatan berat, terutama bagi penanaman bibit, memproduksi,
meracik secara ilegal, dan para pengedar gelap.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia sekarang ini
dirasakan gawat. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai letak
strategis, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, dan politik dalam
dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi menanggulangi
kejahatan tindak pidana narkotika, yaitu dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Undang-
undang ini merupakan undang-undang yang baru menggantikan
undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
i
tentang Psikotropika karena seiring dengan bertambahnya waktu
dirasakan tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan
perkembangan tindak pidana narkotika yang semakin meningkat dan
bervariasi motif tindak pidana dan pelakunya, dilihat dari cara
menanam, memproduksi, menjual, memasok dan mengkonsumsinya
serta dari kalangan mana pelaku tindak pidana narkotika tersebut,
karena tidak sedikit yang melakukannya adalah dari kalangan anak-
anak dan remaja yang merupakan generasi penerus bangsa.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009, setiap
pelaku penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan sanksi pidana,
yang berarti penyalahguna narkotika dapat disebut sebagai pelaku
perbuatan pidana narkotika.
Harus disadari bahwa masalah tindak pidana narkotika adalah
suatu problema yang sangat komplek, oleh karena itu diperlukan
upaya dan dukungan dari semua pihak agar dapat mencapai tujuan
yang diharapkan, karena pelaksanaan undang-undang tersebut,
semuanya sangat tergantung pada partisipasi semua pihak baik
pemerintah, aparat keamanan, keluarga, lingkungan maupun guru di
sekolah, sebab hal tersebut tidak dapat hilang dengan sendirinya
meskipun telah dikeluarkan undang-undang yang disertai dengan
sanksi yang keras.
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan sumber daya
manusia Indonesia perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang
pengobatan dan pelayanan kesehatan, termasuk dengan
i
mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat
dibutuhkan sebagai obat dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu agar
penggunaan narkotika tidak disalahgunakan haruslah dilakukan
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama menurut
undang-undang yang berlaku. Permasalahan narkotika dipandang
sebagai hal yang gawat, dan bersifat internasional yang dilakukan
dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Mengimpor,
mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan dan
menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang
ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku adalah kejahatan dan merupakan bahaya yang sangat
besar bagi kehidupan manusia dan masyarakat, bangsa dan negara
serta Keutuhan Nasional Indonesia.
Hal ini merupakan tindakan subversi yang merupakan
rongrongan yang dilakukan oleh pelaku perbuatan pidana narkotika
terhadap bangsa dan negaranya sendiri tanpa disadari, terutama
generasi muda, akibatnya menjadi bangsa yang lemah baik fisik
maupun psikisnya. Untuk itu dalam hukum Nasional Indonesia telah
mengatur segala yang berhubungan dengan narkotika dalam suatu
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
telah mengatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang dapat
dikenakan pidana beserta denda yang harus ditanggung oleh
penyalahguna narkotika atau dapat disebut sebagai pelaku perbuatan
i
pidana narkotika. Masyarakat awam banyak yang mengira bahwa
hukuman yang dijatuhkan pada pelaku perbuatan pidana narkotika itu
sama. Padahal dalam undang-undang narkotika sendiri telah
membedakan pelaku perbuatan pidana narkotika beserta sanksi yang
berbeda pula. Dalam penyalahgunaan narkotika, tidak hanya pemakai
saja yang dapat dikenakan pidana, tetapi termasuk percobaan atau
pemufakatan jahat serta Setiap orang yang menyuruh, memberi atau
menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa
dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak
yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika.
Pengaturan narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35
tahun 2009 bertujuan untuk menjamin ketersedian guna kepentingan
kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan
narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai
ketingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta dilapangan
menunjukan bahwa telah ada LAPAS (lembaga pemasyarakatan)
yang khusus menampung narapidana terkait tindak pidana narkotika.
Berita kriminal di media masa, baik media cetak maupun elektronik
dipenuhi oleh berita penyalahgunaan narkotika. Korbannya meluas
kesemua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah
tangga, pedagang , supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain
i
sebagainya. Narkoba dengan mudahnya dapat diracik sendiri, bahkan
pabrik narkoba secara ilegalpun sudah didapati di Indonesia.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah
banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak
mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum
ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya
peredaran perdagangan narkoba atau narkotika, tapi dalam kenyataan
justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin
meningkat pula peredaran perdagangan narkotika tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis,
menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika dari tahun ke tahun
semakin berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas tindak
pidananya, sebagaimana diuraikan dalam table 2 berikut ini:
Tabel 2 Jumlah perkara Tindak Pidana Narkotika dalam wilayah Hukum
Pengadilan Negeri Makassar
No
Tahun
Jumlah Perkara Tindak Pidana
Perkara Tindak Pidana Narkotika
Jumlah Persentase
1 2008 1633 310 18,98 %
2 2009 2138 328 15,34 %
3 2010 1892 387 20,45 %
4 2011 1437 360 25,05 %
Jumlah 7100 1385 19,51 %
Sumber : Pengadilan Negeri Makassar, 2011
Tabel 2 tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam kurun
waktu 2008 sampai dengan bulan September 2011 dalam wilayah
i
hukum Pengadilan Negeri Makassar terjadi tindak pidana sebanyak
7100 dan sebanyak 1385 atau 19,51 % perkara tindak pidana
narkotika.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa ternyata dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sejak bulan
Oktober tahun 2009 menggantikan undang-undang yang lama yaitu
UU RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU RI No. 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika, sama sekali tidak mengurangi kualitas dan
kuantitas tindak pidana narkotika. Padahal Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 lebih berat sanksi pidananya dan penguraian pasalnya
tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana
narkotika, sehingga penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan
melawan hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dengan tidak memperdulikan unsur
kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya
tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik
karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.
Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika menganut sistem pidana minimal. Penggunaan
sistem pidana minimal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika memperkuat asumsi bahwa undang-undang
tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang
berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga
akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam
i
prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana
minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Bahkan dalam undang-undang tersebut melakukan kriminalisasi Bagi
orang tua dan masyarakat, dimana undang-undang tersebut
memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi
orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang
menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun
unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih
dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak
mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga
menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika.
Undang-undang ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun
bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika.
Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya
pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul
dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat
dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu
tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang
mendampingi komunitas pecandu narkotika.
Selain itu, persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak
pidana selesai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana
selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana
i
Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki
efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana
tersebut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai,
sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana
percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.
Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi
pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan
juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya tindak pidana
Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang
semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan
korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan
generasi muda pada umumnya.
Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana narkotika dapat
dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan faktor yang bersal dari dalam diri sendiri, sedangkan
faktor eksternal merupakan merupakan faktor yang berasal dari luar
diri pelaku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Hakim
Pengadilan Negeri Makassar: Jan Manoppo (wawancara, 14
November 2011), bahwa faktor- faktor yang menyebabkan seseorang
terlibat dalam tindak pidana narkotika adalah bersifat kasuistis, yaitu
antara satu kasus dengan kasus lainnya berbeda karena perbedaaan
i
latar belakang si pelaku. Namun dari kebanyakan kasus yang pernah
ditangani dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar
menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku terlibat sebagai pelaku
tindak pidana narkotika adalah karena ingin coba-coba.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
kepada narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
Sungguminasa, menunjukkan bahwa terjadinya tindak pidana
narkotika dapat disebabkan oleh beberapa aspek, terutama aspek
individu, sosial bidaya, maupun ekonomi.
Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara lepas dengan
beberapa Narapidana narkotika pada tanggal 10 November 2011 di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa, diperoleh data
bahwa secara umum terjadinya tindak pidana narkotika disebabkan
oleh factor internal dan factor eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal sebagai faktor yang berasal dari dalam
diri si pelaku berupa faktor individu yang terdiri dari aspek
kepribadian dan kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam
aspek kepribadian antara lain kepribadian ingin tahu, mudah
kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang
termasuk dalam kecemasan /depresi adalah karena tidak
mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri
ke dalam penggunaan narkotika.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
i
faktor internal tersebut dipengaruhi oleh umur, pendidikan serta
agama dari pelaku, sebagaimana diuraikan dalam tabel 3
berikut ini:
Tabel 3 Umur Pelaku Penyalahguna Narkotika
Umur (tahun) Frekuensi Persentase
(100 %)
Di bawah 18 7 6,36
19 – 30 54 49,09
31 ke atas 49 44,55
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Berdasarkan data pada tabel 3 tersebut di atas,
menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana Narkotika di Kota
Makassar pada umumnya yang berumur 19-30 tahun yang
mencapai 49,09 %, sedangkan yang berumur di bawah 18
tahun 6,36 % dan 31 tahun ke atas 44,55 %. Hal ini terjadi
karena umur 19 - 30 tahun ini umumnya telah bekerja dan
mempunyai penghasilan tetap sehingga mereka mempunyai
kemampuan secara finansial untuk membeli narkotika berupa
ganja yang harganya tergolong mahal. Sementara yang
berumur di bawah 18 tahun secara finansial masih bergantung
pada orang tua atau walinya, sedangkan yang berumur 31
tahun ke atas pada umumnya telah berfikir secara matang dan
mempunyai tanggungan keluarga yang memerlukan biaya dan
perhatian.
i
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pada
umumnya penyalahguna narkotika bukan lagi usia sekolah
(remaja) melainkan sudah berusia dewasa dalam arti sudah
dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Oleh
karena itu menurut hemat peneliti, keterlibatan seseorang pada
penyalahgunaan narkotika juga dipengaruhi oleh faktor usia
pelaku.
Selain faktor usia, maka faktor agama juga mempengaruhi
aspek individu/kepribadian seseorang sehingga melakukan tindak
pidana narkotika, sebagaimana diuraikan dalam table 4 berikut ini:
Tabel 4 Ketaatan Beragama Pelaku Penyalahguna Narkotika
Ketaatan Frekuensi Persentase
(100 %)
T a a Terdakwa 36 32,73
Kurang taat 33 30
Tidak taat 41 37,27
Jumlah 110 100
Sumber: Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Terjadinya tingkah laku menyimpang atau tingkah laku
yang dapat digolongkan sebagai kejahatan adalah akibat tidak
taatnya seseorang pada norma-norma agama yang dianutnya,
ketaatan para pelaku penyalahguna narkotika hanya 32,73 %,
sedang tidak taat 37,27 % dan kurang taat 30 %.
Seseorang yang menghayati dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya, dapat membentuk karakter yang
i
mendorong seseorang untuk senantiasa bertingkah laku yang
baik atau mencegah untuk tidak melakukan perbuatan yang
menyimpang.
Selain itu ternyata tingkat pendidikan juga memengaruhi
terjadinya tindak pidana narkotika, sebagaimana diuraikan dalam
table 5 berikut ini:
Tabel 5 Pendidikan Pelaku Penyalahguna Narkotika
Pendidikan Frekuensi Persentase
(100 %)
SD 15 13,64
SMP 9 8,18
SMU 61 55,45
Akademi/Universitas 25 22,73
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Pendidikan penyalahguna narkotika lebih banyak yang
tamatan SMU atau 55,45 %, kemudian yang berpendidikan
SMP 8,18 % dan SD 13,64 %, sedangkan yang berpendidikan
perguruan tinggi 22,73 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada
umumnva penyalahguna narkotika di Kota Makassar
berpendidikan SMU. Oleh karena itu menurut peneliti ternyata
tingkat pendidikan berpengaruh bagi penyalahguna narkotika.
Hal ini sesuai dengan teori assosiasi differensial dari
Sutherland (Romli Atmasasmita,1992 : 24-25) bahwa tingkah
laku kriminal itu dipelajari.
i
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari
luar diri responden yang dalam penelitian ini dibagi atas faktor
social bidaya dan faktor ekonomi.
Sesuai dengan pendapat A. Lacassagne bahwa sebab
musabab terjadinya kejahatan yang paling utama ialah
lingkungan sosial. Lingkungan soaial yang buruk merupakan
persemaian yang subur timbulnya suatu kejahatan.
Faktor sosial budaya dapat terdiri atas kondisi keluarga da
pengaruh teman. Kondisi keluarga dalam hal ini merupakan kondisi
yang disharmonis, seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang
sibuk dan jarang di rumah, serta perekonomian keluarga yang
serba berlebihan maupun serba kekurangan. Sedangkan yang
termasuk dalam pengaruh teman, misalnya karena berteman
dengan seseorang yang ternyata pemakai narkotika dan ingin
diterima dalam suatu kelompok.
Faktor lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya tindak
pidana narkotika, misalnya karena adanya perkumpulan
anak/remaja yang menyalahgunakan narkotika, tindakan yang tidak
jelas dari sekolah apabila ada anak yang terlibat dalam tindak
pidana narkotika, sehingga dapat mempengaruhi anak yang lain
serta lingkungan tempat tinggal anak yang tidak memberikan
perilaku yang baik.
i
Berdasarkan hasil wawancara lepas penulis kepada
beberapa narapidana narkotika Makassar, menunjukkan bahwa
mereka melakukan tindak pidana narkotika dengan beberapa
alasan, antara lain:
- Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-
tindakan yang berbahaya seperti ngebut, berkelahi, bergaul
dengan wanita, dan lain-lain;
- Untuk iseng-iseng dan didorong rasa ingin tahu;
- Untuk menunjukkan tindakan menentang otoritas terhadap
orang tua, guru, atau terhadap norma-norma social;
- Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seks;
- Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh
pengalaman sensasional dan emosional;
- Untuk mencari dan menemukan arti dari hidup;
- Untuk mengisi kekosongan dan kesepian/kebosanan;
- Untuk menghilangkan kegelisahan, frustasi, dan kepenatan
hidup;
- Untuk mengikuti kemauan teman-teman dalam rangka
pembinaaan solidaritas;
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan menunjukkan bahwa
lingkungan pekerjaan juga sangat mempengaruhi terjadinya tindak
pidana narkotika, sebagaimana diuraikan dalam tabel 6 berikut ini:
i
Tabel 6 Pekerjaan Pelaku Tindak pidana Narkotika
Pekerjaan Frekuensi Persentase
(100 %)
Pegawai Negeri 21 19,10
Wiraswasta/Karyawan 34 30,91
Pelajar 25 22,72
Tidak bekerja 30 27,27
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Data pada tabel 6 menunjukkan bahwa pada umumnya
pelaku delik penyalahgunaan narkotika (30,91 %) bekerja
sebagai wiraswasta/karyawan, kemudian pelajar 22,72 % dan
yang tidak bekerja 27,27 %. Status pekerjaan responden
ternyata mempunyai hubungan yang erat dengan
penyalahgunaan narkotika. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa 50,01 % (PNS &
Wiraswasta) penyalahguna narkotika telah mempunyai
pekerjaan atau mempunyai penghasilan sendiri, sedangkan
pelajar dan yang tidak berkerja hanya 49,99 % karena mereka
tidak mempunyai penghasilan sendiri atau masih tergantung
pada orang lain.
Keadaan social ekonomi keluarga juga sangat
mempengaruhi terjadinya tindak pidana narkotika sebagaimana
diuraikan dalam tabel 7 berikut ini:
i
Tabel 7 Keadaan Sosial Ekonomi Keluarga
Penyalahguna Narkotika
Keadaan Sosial Ekonomi Frekuensi Persentase
(110 %)
Keluarga mampu/kaya 28 25,46
Keluarga menengah 30 27,27
Keluarga kurang mampu 52 47,27
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Data tersebut menunjukkan bahwa keadaan ekonomi
keluarga penyalahguna narkotika pada umumnya berasal dari
keluarga menengah yang mencapai 27,27 %, keluarga kurang
mampu 47,27 % sedangkan keluarga mampu/kaya hanya 25,46
%. Tingginya jumlah keluarga menengah yang
menyalahgunakan narkotika disebabkan karena harga
narkotika yaitu ganja tergolong mahal antara Rp 25.000.sampai
dengan Rp 40.000.- satu sampel (satu gulungan kecil), begitu
pula heroin harganya mencapai Rp 70.000.- satu paket kecil
sehingga hanya dapat dijangkau oleh kelas menengah ke atas
yang mempunyai daya beli. Sedangkan keterlibatan pelaku
yang kurang mampu disebabkan karena menerima pemberian
atau diajak oleh pelaku yang mampu secara ekonomi.
Untuk lebih jelasnya mengenai pengaruh tingkat
penghasilan terhadap terjadinya tindak pidana narkotika dapat
dilihat dari tabel 8 berikut ini :
i
Tabel 8 Penghasilan Perbulan Pelaku Penyalahguna Narkotika
Penghasilan Perbulan Frekuensi Persentase
(100 %)
Tidak berpenghasilan 23 20,91
Di bawah Rp 500.000,- 22 20
Rp 500.000,- - 1.500.000,-
28 25,45
Di atas Rp 1.500.000,- 37 33,64
Jumlah 110 100
Sumber: Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Penghasilan pelaku delik penyalahgunaan narkotika
berkaitan erat dengan besar kecilnya penghasilan seseorang untuk
mengukur pengaruhnya terhadap kecenderungan untuk
melakukan penyimpangan. Data pada tabel 8 menunjukkan
bahwa pada umumnya pelaku delik penyalahgunaan narkotika
(33,64 %) mempunyai penghasilan di atas Rp 1.500.000.- Hal ini
dapat dipahami bahwa penyalahgunaan narkotika memang
berkaitan erat dengan kemampuan seseorang secara finansial
untuk membeli narkotika yang harganya tergolong mahal.
Sedangkan keterlibatan 23 orang yang tidak mempunyai
penghasilan sesuai data dalam berkas perkara disebabkan
karena mereka hanya diajak teman yang mempunyai narkotika.
Karyawan di lingkungan kerja pelaku adalah komunitas
masyarakat kecil yang mempunyai karakteristik budaya dan
kebiasaan tersendiri. Interaksi antara karyawan di lingkungan
kerja cenderung mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku
i
bagi setiap orang yang bergabung di dalamnya.
Lingkungan masyarakat sebagai unit lingkungan yang lebih
luas setelah lingkungan rumah tangga/keluarga merupakan faktor
eksternal yang mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
karakter dan tingkah laku seseorang.
Lingkungan masyarakat merupakan unit yang lebih luas sebagai
area pergaulan seseorang dengan corak yang beraneka ragam.
Lingkungan masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting
terhadap pembentukan sikap dan perilaku bagi setiap anggota
masyarakat dan merupakan salah satu faktor eksternal yang turut
berpengaruh terhadap terjadinya delik penyalahgunaan narkotika. Hasil
penelitian mengenai lingkungan pergaulan di masyarakat disajikan
dalam bentuk tabel 9 berikut ini:
Tabel 9 Ruang Lingkup Pergaulan dalam Masyarakat
Lingkup Pergaulan Frekuensi Persentase
(100 %)
Bergaul dengan Siapa saja 34 30,90
Selektif memilih teman 24 21,82
Hanya dengan teman kerja 27 24,55
Suka menyendiri 25 22,73
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Data pada tabel 9 menunjukkan bahwa pada
umumnya pelaku delik penyalahgunaan narkotika (30,90%)
senantiasa bergaul dengan siapa saja. hal ini cenderung
i
melakukan perbuatan menyimpang karena dalam pergaulan ia
tidak selektif memilih teman ketika ketemu dengan kelompok
masyarakat yang kerap menyalahgunakan narkotika maka pada
akhirnya ia akan terjerumus juga.
Waktu luang tanpa pemanfaatan yang positif dapat
menimbulkan kerawanan terjadinya kejahatan antara lain
penyalahgunaan narkotika, hal ini merupakan kenyataan bahwa
seseorang melakukan kejahatan karena adanya kesempatan yang
tercipta.
Data tentang dampak waktu luang yang dimiliki oleh
seseorang dihubungkan dengan peluang terjadinya
penyalahgunaan narkotika, sebagaimana diuraikan dalam tabel 10
berikut ini:
Tabel 10 Waktu Luang Pelaku pada Hari Kerja
Waktu Luang Pelaku pada Hari Kerja
Frekuensi Persentase
(100 %)
Sepanjang hari tidak kerja 23 25,56
Cukup waktu luang 26 28,89
Kurang waktu luang 21 23,33
Tidak ada waktu luang 20 22,22
Jumlah 90 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Tersedianya waktu luang tanpa dimanfaatkan secara benar
dapat menimbulkan dampak negatif yaitu melakukan kejahatan
yang salah satunya menyalahgunakan narkotika. Data pada tabel
i
10 menunjukkan bahwa umumnya responden mempunyai waktu
luang yaitu sebanyak 28,89 %, sedangkan sepanjang hari tidak
kerja 25,56 % dan yang mempunyai kurang waktu luang 23,33 %.
Data ini menunjukkan bahwa pada umumnya pelaku
penyalahgunaan narkotika mempunyai cukup waktu luang pada
hari kerja bahkan ada yang sepanjang hari tidak kerja.
Data ini penting dalam upaya pencegahan untuk melakukan
kejahatan yaitu dengan mengisi waktu luang dengan kegiatan
yang bermanfaat, misalnya kegiatan olah raga dan seni, kegiatan
sosial dan berbagai kegiatan pengembangan minat dan bakat. Tujuan
pemanfaatan waktu luang ini ialah untuk menciptakan kesibukan
sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi waktu untuk melakukan
penyalahgunaan narkotika. Seseorang yang tidak mempunyai
kegiatan atau pekerjaan sepanjang hari berpotensi untuk
memanfaatkan waktu luang tersebut pada kegiatan yang
menyimpang, sebagaimana data yang diuraikan dalam tabel 11
berikut ini:
Tabel 11 Kegiatan Pengisi Waktu Luang Pelaku
Kegiatan Pengisi Waktu Luang Frekuansi Persentase (100 %)
Ke diskotik/billiard 29 26,36
Pergi tanpa tujuan 13 11,82
Olah raga/seni/kegiatan sosial 15 13,64
Tinggal di rumah menyendiri 23 20,91
i
Mengikuti kegiatan keagamaan 12 10,91
Kumpul dengan teman-teman 18 16,36
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Kegiatan pengisi waktu luang pelaku pada saat libur atau
tidak bekerja sesuai tabel 11 menunjukkan bahwa pada umumnya
pelaku atau 26,36 % dalam mengisi waktu luangnya pergi ke
diskotik, bar atau main billyar, kemudian 16,36 % kumpul dengan
teman-temannya, sedangkan yang pergi tanpa tujuan 11,82 %
dan tinggal di rumah menyendiri 20,91 %. Dari tabel 18 ini dapat
disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu
luang pelaku umumnya pada kegiatan yang kurang bermanfaat
yaitu pergi ke diskotik, bar atau main billiar.
Adapun sumber para pelaku tindak pidana narkotika
mendapatkan narkotika, diuraikan dalam tabel 12 berikut ini:
Tabel 12 Sumber Pertama Kali Pelaku Memperoleh Narkotika
Sumber Pertama Kali Memperoleh Narkotika
Frekuensi Persentase
(100 %)
Teman Kelompok 51 46,36
Pengedar/Penjual 28 25,45
Apotek/Dokter/Perawat 16 14,55
Anggota Keluarga 15 13,64
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
i
Sesuai tabel 12 di atas menunjukka bahwa pelaku pada
umumnya memperoleh narkotika untuk pertama kalinya dari
teman atau kelompok sepergaulan yang mencapai 46,36 % atau
51 pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh pergaulan
dengan teman-teman yang dipilih secara tidak selektif sangat
berpotensi menjerumuskan seseorang untuk menyalahgunakan
narkotika karena alasan solidaritas atau kebersamaan.
Dengan demikian faktor lingkungan pergaulan masih
menjadi dominan dalam penyalahgunaan narkotika sesuai dengan
teori assosiasi differensial bahwa kejahatan itu terjadi karena
dipelajari melalui komunikasi dalam pergaulan dekat dengan
penjahat.
Adapun tempat pertama kali mepeoleh narkotika, diuraikan
dalam tabel 13 berikut ini:
Tabel 13 Tempat Pertama Kali Pelaku Memperoleh Narkotika
Tempat Pertama Kali Pelaku Memperoleh
Narkotika Frekuensi
Persentase (100 %)
Sekolah - -
Tempat Kerja 18 16,36
Diskotik/Bar/Bilyar 44 40
Tempat Umum 15 13,64
Dalam Perkumpulan 33 30
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
i
Tempat pertama kali pelaku memperoleh narkotika sesuai
dengan tabel 13 adalah bervariasi yaitu, di diskotik/bar/billiar 40
% atau 44 kasus dan tempat kerja mencapai 16,36 % atau 18
kasus kemudian sekolah 0 % dan tempat umum 13,64 % atau 15
kasus. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan orang untuk
memperoleh narkotika dilakukan di tempat pelaku sering bertemu
dengan teman-temannya yaitu di diskotik, bar atau tempat billiar,
termasuk pula tempat kerja.
Sementara alasan para pelaku tindak pidana narkotika
melakukan tindak pidana narkotika diuraikan dalam tabel 14 berikut
ini:
Tabel 14 Alasan Pelaku Menyalahgunakan Narkotika
Alasan Pelaku Frekuensi Persentase
(100 %)
Rasa ingin tahu 36 32,73
Menghilangkan stress/rasa cemas
21 19,09
Mencari penghasilan 27 24,54
Mencari Kepuasan 26 23,64
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Sesuai data pada tabel 14 menunjukkan bahwa pada
umumnya atau 32,37% pelaku menyalahgunakan narkotika
berawal dari rasa ingin tahu yang kemudian meningkat menjadi
ketergantungan. Selanjutnya 24,54 % pelaku terlibat karena
mencari penghasilan dan karena mencari kepuasan atau
i
kenikmatan 23,64 %, selebihnya yaitu 19,09 % untuk
menghilangkan stress.
Berdasarkan urain tersebut di atas menunjukan bahwa
terjadinya tindak pidana narkotika tidak terlepas dari:
- Dasar agama yang lemah
Pendidikan agama sangat dominan untuk melindungi
anak terhadap pengaruh dari luar., karena setiap ajaran agama
apapun melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang
meruak diri sendiri dan juga orang lain. Dasar agama yang
ditanam sejak kecil akan menjadi perisai bagi diri anak untuk
menola sesuatu yang merusak akhlak, tetapi anak yang tidak
pernah mendapatkan pendidikan agama sangat rawan dalam
melakukan perbuatan criminal termasuk sebagai pelaku tindak
pidana narkotika.
- Komunikasi orang tua dan anak yang terbatas
Dalam kehidupan berkeluarga apabila terjadi kevakuman
dalam berkomunikasi, maka anak akan berusaha mencari jalan
keluar dengan menyenangkan diri sendiri. Anak akan
menghabiskan waktunya dengan teman yang menurutnya
dapat memahami dirinya termasuk denga berteman kepada
pengguna narkotika.
- Pengaruh lingkungan
Peranan lingkungan sangat menentukan bagi
pertumbuhan dan pengemabngan kepribadian manusia.
i
Apabila masyarakat dalam lingkungan kepribadian santun dan
komunikatif, maka pada umumnya anak akan baik dan cerdas,
sehingga tidak mudah terpengaruh perbuatan tercela.
- Pengaruh budaya luar negeri
Budaya luar negeri sangat dominan mempengaruhi
generasi muda. Remaja dengan cepat meniru kebudayaan luar
yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa agar tidak
ketinggalan zaman, sehingga apa yang dilihat melalui media
massa elektronik akan cepat diserap tanpa mempertimbangkan
baik buruknya.
i
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perbedaan setiap golongan pelaku tindak pidana narkotika
berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2009 secara garis besar yaitu perbuatan menggunakan narkotika
tanpa izin dan pengawasan, atau dikenal sebagai Pengguna, yang
meliputi perbuatan pecandu/penyalahguna bagi diri sendiri;
mengedarkan narkotika atau dikenal sebagai pengedar, yang
meliputi perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, menyerahkan/menerima narkotika,
membawa, menguasai, mengirim, mengangkut, mengekspor,
mengimpor, menyalurkan atau mentransito narkotika, memberikan
narkotika untuk digunakan oleh orang lain; serta sebagai produsen,
yang meliputi perbuatan tanpa hak dan melawan hukum
memproduksi, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, atau
menyediakan Narkotika atau Prekursor Narkotika;
2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
narkotika, terdiri atas faktor internal, yaitu hal-hal yang dari dalam
diri pelaku berupa aspek individu, seperti kepribadian yang ingin
tahu, mudah kecewa, jiwa yang tergoncang, rasa putus asa, dan
lain-lain yang menyebabkan pelaku memerlukan rasa ketenangan,
kenyamanan, dan keberanian dengan menggunakan narkotika;
i
serta faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang dari luar diri
pelaku, seperti sosial budaya, ekonomi, pengaruh lingkungan, dan
lain-lain.
B. Saran
1. Dalam penanggulangan tindak pidana narkotika pemerintah perlu
memadukan kebijakan penal melalui ketentuan perundang-
undangan dengan kebijakan nonpenal melalui treatment dan
pengobatan, serta perlu peningkatan kualitas penegakan hukum di
bidang narkotika dan peningkatan pendayagunaan potensi serta
kemampuan masyarakat;
2. Perlunya tindakan terkoordinasi antar instani terkait, seperti
instansi penegak hukum, lembaga pendidikan, dan organisasi
kemasyarakatan dengan mengintensifkan penyuluhan-penyuluhan
mengenai bahya narkotika, sehingga setiap masyarakat akan
menyadari begitu besarnya bahaya narkotika dan setiap keluarga
akan membuat upaya-upaya pencegahan internal dalam keluarga;
i
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta, 2007 Alam, Prof. Dr. H.A.S, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi Books,
Makassar, 2010. Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2003. ______________, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan
Penanggulangan Tindak pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
______________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005. ______________, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 ______________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. _______________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Hamzah, Andi dan Sumangelipu, A. Pidana Mati di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983. Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP, Rineka cipta, Jakarta, 2000. Harlina, Martono, Modul Latihan Pemulihan Pecandu Narkoba Berbasis
Masyarakat, Balai Pustaka, Jakarta, 2005. Komariah Emong Sapardjaja, SH, Prof. DR., Ajaran Sifat Melawan Hukum
Materil dalam Hukum Pidana Indonesia, Mahkamah Agung RI , 2008.
Makaro, Taufik, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2005. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
i
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, 1995.
Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni
Bandung, 1984. Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi,
Djambatan, Jakarta, 2007. P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana
kajian kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2006. Prodjodikoro,Wirdjono Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Refika
Aditama, Bandung, 2003. Sahetapy, J.E., Pisau Analisis Kriminologi, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005. Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005. Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double
Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986 _____________, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Weda, Made Darma, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna
Widya, Jakarta, 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Th. 2009 tentang Narkotika,
Fokusmedia, Bandung, 2009. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 03 Tahun 2011
i