tugas akhir pengaruh lebar sabuk terhadap …
TRANSCRIPT
TUGAS AKHIR
PENGARUH LEBAR SABUK TERHADAP KAPASITAS LENTUR
BALOK BETON BERTULANG YANG DIPERKUAT DENGAN
LEMBAR CARBON FIBER REINFORCED POLYMER PASCA
TULANGAN MELELEH
DISUSUN OLEH :
FRANSISCA J. FIOLA
D 111 12 253
JURUSAN SIPIL
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
EFFECT OF WIDTH OF THE BELT ON FLEXURAL CAPACITY OF THE
STRENGTHENED YIELDED REINFORCED CONCRETE BEAMS
USING CARBON FIBER REINFORCED POLYMER SHEET
ABSTRACT
Strengthening of structures is usually done as a preventive measure before the structure
is destroyed. While structural improvements applied to buildings that have been
damaged, which is an attempt to restore the function of the structure as before after
experiencing a decrease in strength. Carbon Fiber Reinforced Polymer (CFRP) is one of
the most widely used solutions at present. The advantages of CFRP are corrosion
resistant, has high tensile strength, high ductality, and light weight so it does not require
heavy equipment to carry it to the location, otherwise in the implementation does not
interfere with the existing activity in the area of improvement of the structure. This study
used a test object in the form of reinforced concrete beams with dimensions of 15 cm x
20 cm x 3300 cm, with the quality of concrete used 25 MPa. Test specimens made in 2
variations, the first is a reinforced concrete beam with CFRP reinforcement with 30 cm
belt width as much as 3 pieces of beam. The second variation is reinforced concrete beam
with CFRP reinforcement with 60 cm belt width as much as 3 pieces of beam. Both of
these variations are post-yield reinforced. The observed data were bending capacity,
deflection and collapse modes that occurred on reinforced concrete beams reinforced
with CFRP post-yield reinforcement. The results showed the addition of belt width is not
effective in increasing the load capacity.
Keywords: CFRP, Post-Yield, Bending Capacity, Beams
Dr. Eng. Rudi Djamaluddin, S.T. M.Eng.
Pembimbing I
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Poros Malino Km. 6
Bontomarannu
Gowa 92172, Sulawesi Selatan
Fransisca J. Fiola
D111 12 253
Mahasiswa S1 Jurusan Sipil
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Poros Malino Km. 6
Bontomarannu, Gowa 92172, Sulawesi Selatan
Email: [email protected]
Dr.Eng. Hj. Rita Irmawaty, S.T., M.T.
Pembimbing II
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Poros Malino Km. 6
Bontomarannu
Gowa 92172, Sulawesi Selatan
iii
PENGARUH LEBAR SABUK TERHADAP KAPASITAS LENTUR BALOK
BETON BERTULANG YANG DIPERKUAT DENGAN LEMBAR CARBON
FIBER REINFORCED POLYMER PASCA TULANGAN MELELEH
ABSTRAK
Perkuatan struktur biasanya dilakukan sebagai upaya pencegahan sebelum struktur
mengalami kehancuran. Sedangkan perbaikan struktur diterapkan pada bangunan yang
telah rusak, yaitu merupakan upaya untuk mengembalikan fungsi struktur seperti semula
setelah mengalami penurunan kekuatan. Carbon Fiber Reinforced Polymer (CFRP)
merupakan salah satu solusi yang banyak digunakan pada saat ini. Kelebihan CFRP yaitu
tahan korosi, mempunyai kuat tarik yang tinggi, daktalitas tinggi, dan ringan sehingga
tidak memerlukan peralatan yang berat untuk membawanya ke lokasi, selain itu dalam
pelaksanaan tidak mengganggu aktifitas yang ada pada daerah perbaikan struktur
tersebut. Pada penelitian ini digunakan benda uji berupa balok beton bertulang dengan
dimensi 15 cm x 20 cm x 3300 cm, dengan mutu beton yang digunakan 25 MPa. Benda
uji yang dibuat dalam 2 variasi yaitu yang pertama adalah balok beton bertulang dengan
perkuatan CFRP dengan lebar sabuk 30 cm sebanyak 3 buah balok. Variasi kedua yaitu
balok beton bertulang dengan perkuatan CFRP dengan lebar sabuk 60 cm sebanyak 3
buah balok. Kedua variasi ini diperkuat setelah tulangan tarik meleleh. Data yang diamati
adalah kapasitas lentur, lendutan dan moda keruntuhan yang terjadi pada balok beton
bertulang yang diperkuat dengan CFRP pasca tulangan leleh. Hasil penelitian
menunjukkan penambahan lebar sabuk tidak efektif dalam meningkatkan kapasitas
beban.
Kata Kunci : CFRP, Pasca Tulangan Meleleh, Kapasitas Lentur, Balok
Dr. Eng. Rudi Djamaluddin, S.T. M.Eng.
Pembimbing I
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Poros Malino Km. 6
Bontomarannu
Gowa 92172, Sulawesi Selatan
Fransisca J. Fiola
D111 12 253
Mahasiswa S1 Jurusan Sipil
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Poros Malino Km. 6
Bontomarannu, Gowa 92172, Sulawesi Selatan
Email: [email protected]
Dr.Eng. Hj. Rita Irmawaty, S.T., M.T.
Pembimbing II
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Jl. Poros Malino Km. 6
Bontomarannu
Gowa 92172, Sulawesi Selatan
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
segala berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang
berjudul “Pengaruh Lebar Sabuk Terhadap Kapasitas Lentur Balok Beton
Bertulang Yang Diperkuat Dengan Lembar Carbon Fiber Reinforced Polymer Pasca
Tulangan Meleleh”, sebagai salah satu syarat yang diajukan untuk menyelesaikan studi
pada Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Hasanuddin. Tugas akhir ini disusun
berdasarkan hasil penelitian di Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan Sipil Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin.
Penyusunan Tugas Akhir ini tidak lepas dari bimbingan, petunjuk dan perhatian
dari dosen pembimbing. Maka dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
Pembimbing I : Dr. Eng. Rudy Djamaluddin, S.T., M. Eng
Pembimbing II : Dr. Eng. Rita Irmawaty, S.T., M.T.
Sehingga Tugas Akhir ini dapat terselesaikan. Terima kasih atas segala bantuan
berupa sumbangan pemikiran, arahan dan saran yang dosen pembimbing berikan.
Dengan segala kerendahan hati, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
serta penghargaan yang setinggi – tingginya kepada:
1 Kedua orang tua tercinta Yansi Alfian dan Joice Parera atas kasih sayang,
pengorbanan, dukungan dan doanya.
2 Bapak Dr. Ing. Ir. Wahyu H. Piarah, MS, ME., selaku Dekan Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin.
3 Bapak Dr. Ir. Arsyad Thaha, M.T., selaku ketua Jurusan Sipil Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin.
4 Bapak Dr. Eng. Rudy Djamaluddin, S.T., M.Eng. selaku Kepala Laboratorium
Struktur dan Bahan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
5 Ibu Dr. Eng. Rita Irmawaty, S.T., M.T. yang telah banyak meluangkan waktu dan
tenaga untuk bimbingan dan pengarahan dalam penelitian ini.
6 Kak Dr. Eng. Fakhruddin, ST, M.Eng. Selaku Koordinator Laboratorium Riset
Perkuatan atas bimbingan dan pengarahan selama pembuatan Tugas Akhir.
7 Kak Hasmanullah Sudirman, S.T. dan Alm. Bapak Sudirman Sitang, S.T. selaku staf
Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin atas segala bimbingan dan pengarahan selama pelaksanaan penelitian di
laboratorium.
vi
8 Seluruh dosen, staf dan karyawan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin.
9 Saudara Kresna selaku rekan TA dan rekan-rekan Lab Riset Rekayasa dan Perkuatan
Struktur, khususnya untuk Christy, Ray, Ismu, Nandar, Peri, dan Erik yang
senantiasa memberi masukan, semangat dan doa dalam menyelesaikan tugas akhir
ini.
10 Rekan mahasiswa S2 dan S3 khususnya untuk Pak Hidayat, Bu Hijriah, Pak Pieter
dan Pak Datnur yang senantiasa memberi masukan menyelesaikan tugas akhir ini.
11 Rekan–rekan mahasiswa angkatan 2012 Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin khususnya untuk Rima, Inayah, Auliyah, Puspa, Ismi, Cici, Mega,
Firah, dan Ainun serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
senantiasa memberikan semangat, bantuan dan dukungan dalam penyelesaian tugas
akhir ini.
12 Jeremia Caesar, yang senantiasa memberikan dukungan dan doa dalam penyelesaian
tugas akhir ini.
Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan sumbangsi
kritik dan saran untuk memperbaiki penulisan ini agar dapat bermanfaat bagi penelitian
ataupun penulisan di masa mendatang.
Akhir kata, kiranya hasil penulisan ini dapat bermanfaat untuk peradaban
kehidupan manusia di masa sekarang dan akan masa depan.
Makassar, 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 2
1.4 Batasan Masalah ........................................................................... 2
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................... 3
1.6 Sistematika Penulisan ................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
2.1 Tinjauan Umum ........................................................................... 5
2.2 Beton Bertulang ........................................................................... 6
2.3 Momen Inersia Penampang Retak ............................................... 13
2.4 Retak Pada Balok ......................................................................... 15
2.5 Hubungan Beban dan Lendutan ................................................... 16
2.6 Fiber Reinforced Polymer ............................................................ 17
2.6.1 Fiber Reinforced Polimer (FRP) ..................................... 17
2.6.2 Epoxy Resin ..................................................................... 19
2.6.3 Mode Kegagalan ............................................................. 21
2.6.4 Debonding FRP ............................................................... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 25
3.1 Jenis Dan Desain Penelitian ........................................................ 25
3.1.1 Jenis Penelitian ................................................................ 25
3.1.2 Desain Penelitian ............................................................. 28
3.2 Kerangka Prosedur Penelitian ..................................................... 32
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 33
3.4 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................... 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 37
viii
4.1 Karakteristik Bahan ...................................................................... 37
4.1.1 Pengujian Tarik Baja Tulangan ........................................... 37
4.1.2 Pengujian Karakteristik Beton ............................................ 37
4.2 Kapasitas Lentur Maksimm Balok Beton Bertulang ................... 38
4.3 Hubungan Beban Dan Lendutan ................................................. 40
4.7 Hubungan Beban Dan Regangan Beton ...................................... 40
4.9 Pola Retak .................................................................................... 41
4.10 Mode Keruntuhan Balok CFRP ................................................... 44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 50
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 50
5.2 Saran ............................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 51
LAMPIRAN .................................................................................................... 52
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Spesifikasi CFRP type SCH-41 dalam bentuk dry sheet ............ 19
Tabel 2.2 Spesifikasi CFRP type SCH-41 dalam bentuk komposit ............ 19
Tabel 2.3 Sifat Material Epoxy .................................................................. 20
Tabel 3.1 Variasi Benda Uji 15 cm x 20 cm x 330 cm .............................. 29
Tabel 4.1 Hasil pengujian tarik baja tulangan............................................. 37
Tabel 4.2 Hasil pengujian Kuat Tekan Beton ............................................ 38
Tabel 4.3 Kapasitas Beban dan Momen Balok Benda Uji .......................... 39
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Distribusi regangan penampang balok ultimit ............................ 9
Gambar 2.2 Perilaku lentur pada beban sebelum retak .................................. 10
Gambar 2.3 Perilaku lentur beton setelah retak .............................................. 11
Gambar 2.4 Perilaku lentur pada beban ultimit .............................................. 11
Gambar 2.5 Blok tegangan ekuivalen ............................................................. 12
Gambar 2.6 Regangan untuk metode ACI 440-2R-08 ................................... 14
Gambar 2.7 Jenis retakan pada beton ............................................................. 16
Gambar 2.8 Hubungan antara beban dan lendutan ......................................... 17
Gambar 2.9 CFRP Tyfo SCH-41 dan Epoxy Resin Tyfo S ............................. 20
Gambar 2.10 Putusnya FRP dan hancurnya beton pada sisi tekan .................. 21
Gambar 2.12 (a) Cover debonding ................................................................... 23
Gambar 2.12 (b) FRP debonding from laminate end........................................ 23
Gambar 2.12 (c) CDC (Critical Diagonal Crack) debonding .......................... 23
Gambar 2.12 (d) IC (Intermediate Crack) debonding ...................................... 23
Gambar 3.1 (a) Pencampuran epoxy resin ...................................................... 26
Gambar 3.1 (b) Pengolesan epoxy resin pada permukaan lembar CFRP........ 26
Gambar 3.1 (c) Penempelan lembar CFRP pada permukaan balok ................ 26
Gambar 3.1 (d) Pengolesan epoxy resin tahap kedua pada permukaan lembar
CFRP ........................................................................................... 26
Gambar 3.2 Balok beton bertulang yang telah dilapisi lembar CFRP dan sabuk
Lembar CFRP ............................................................................. 27
Gambar 3.3 (a) Desain set-up benda ji. ........................................................... 28
Gambar 3.3 (b) Set-up benda uji di laboratorium ........................................... 28
Gambar 3.4 Desain benda uji balok beton bertulang dengan CFRP ............... 29
Gambar 3.5 Posisi strain gauge beton ............................................................ 29
Gambar 3.6 Posisi strain gauge baja pada tulangan ....................................... 30
Gambar 3.7 Posisi strain gauge FRP pada balok ........................................... 30
Gambar 3.8 Bagan Alir Penelitian .................................................................. 32
Gambar 3.9 (a) Strain gauge baja tipe FLK-6-11-5L ..................................... 34
Gambar 3.9 (b) Strain gauge beton tipe PL 60-11-5L .................................... 34
Gambar 3.9 (c) Strain gauge FRP tipe FLA-6-11-5L .................................... 34
Gambar 3.9 (d) Perbandingan ukuran strain gauge yang digunakan pada baja,
FRP dan beton ............................................................................. 34
xi
Gambar 3.8 (e) CN Adhesive .......................................................................... 34
Gambar 3.9 (e) CN-E Adhesive ...................................................................... 34
Gambar 3.10 LVDT .......................................................................................... 35
Gambar 3.11 Data logger TDS-530 ................................................................. 35
Gambar 4.1 Hasil slump test ........................................................................... 38
Gambar 4.2 Grafik hubungan beban-lendutan ................................................ 40
Gambar 4.3 Grafik hubungan beban-regangan beton ..................................... 41
Gambar 4.4 Pola retak beton BCS2-1 ............................................................ 42
Gambar 4.5 Pola retak beton BCS2-3 ............................................................ 42
Gambar 4.6 Pola retak beton BCS2-3 ............................................................ 42
Gambar 4.7 Pola retak beton BCS4-1 ............................................................ 43
Gambar 4.8 Pola retak beton BCS4-2 ............................................................ 43
Gambar 4.9 Pola retak beton BCS4-3 ............................................................ 44
Gambar 4.10 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS2-1 ................. 44
Gambar 4.10 (b) Hubungan beban-lendutan dan bunyi balok BCS2-1 ........... 44
Gambar 4.11 (b) Mode keruntuhan balok BCS2-1 ........................................... 44
Gambar 4.10 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS2-2 ................. 45
Gambar 4.10 (b) Hubungan beban-lendutan dan bunyi balok BCS2-2 ........... 45
Gambar 4.11 (b) Mode keruntuhan balok BCS2-2 ........................................... 45
Gambar 4.10 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS2-3 ................. 46
Gambar 4.10 (b) Hubungan beban-lendutan dan bunyi balok BCS2-3 ........... 46
Gambar 4.11 (b) Mode keruntuhan balok BCS2-3 ........................................... 46
Gambar 4.10 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS4-1 ................. 47
Gambar 4.10 (b) Hubungan beban-lendutan dan bunyi balok BCS4-1 ........... 47
Gambar 4.11 (b) Mode keruntuhan balok BCS4-1 ........................................... 47
Gambar 4.10 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS4-2 ................. 48
Gambar 4.10 (b) Hubungan beban-lendutan dan bunyi balok BCS4-2 ........... 48
Gambar 4.11 (b) Mode keruntuhan balok BCS4-2 ........................................... 48
Gambar 4.10 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS4-3 ................. 49
Gambar 4.10 (b) Hubungan beban-lendutan dan bunyi balok BCS4-3 ........... 49
Gambar 4.11 (b) Mode keruntuhan balok BCS4-3 ........................................... 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan mengenai konstruksi beton telah menghasilkan banyak teori dan
eksperimen dalam beberapa dekade terakhir, termasuk salah satunya adalah tentang
perbaikan struktur pada beton bertulang. Beton bertulang terdiri dari kombinasi beton
dan baja tulangan, dimana beton berfungsi untuk menahan gaya tekan yang diakibatkan
oleh beban-beban yang diberikan dan baja tulangan yang berfungsi untuk menahan gaya
tarik yang terjadi.
Balok beton bertulang menahan beban aksial. Balok digunakan dalam berbagai
infrastruktur seperti bangunan dan jembatan. Beton bertulang umumnya digunakan
sebagai struktur konstruksi hampir semua jenis bangunan seperti jembatan, bendungan,
tunnel, pengerasan jalan, viaduct, drainase, pengairan, dan sebagainya. Penggunaan
balok yang terus menerus akan mengurangi kemampuan balok dalam memikul beban,
sehingga dapat mengalami keruntuhan. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka perlu
membangun infrastruktur yang baru atau memperbaiki infrastruktur yang ada. Dengan
memperbaiki infrastruktur, maka biaya pembongkaran dan pembuatan infrastruktur
menjadi lebih sedikit dibandingkan apabila harus membongkar dan membuat
infrastruktur yang baru.
Perkuatan struktur menurut Triwiyono (2004) dilakukan untuk bangunan yang
riskan terhadap beban baru yang akan dipikul, sehingga perlu meningkatkan kemampuan
bangunan tersebut atau menambahkan elemen struktur baru yang tidak tersedia atau
dianggap tidak ada pada saat struktur dibangun. Perkuatan struktur biasanya dilakukan
sebagai upaya pencegahan sebelum struktur mengalami kehancuran. Sedangkan
perbaikan struktur diterapkan pada bangunan yang telah rusak, yaitu merupakan upaya
untuk mengembalikan fungsi struktur seperti semula setelah mengalami penurunan
kekuatan. Jika bangunan tidak segera ditangani perbaikan atau perkuatannya, kerusakan
dapat berlanjut lebih parah lagi. Perkuatan atau retrofit dapat dilakukan dengan cara
penambahan tulangan dengan sistem jacketing, penambahan pelat baja, penambahan
rangka batang, dan dengan penambahan FRP (Fiber Reinforced Polymer). FRP sendiri
mempunyai banyak jenis, antara lain adalah CFRP (Carbon Fiber Reinforced Polymer),
GFRP (Glass Fiber Reinforced Polymer) dan AFRP (Aramyd Fiber Reinforced
Polymer).
2
Dewasa ini telah mulai banyak digunakan material jenis baru yaitu Carbon Fiber
Reinforced Polymer (CFRP) yang merupakan bahan non logam dari serat karbon. CFRP
adalah material ringan dengan berat 1,5 g/cm3 yang mempunyai kekuatan tarik jauh lebih
tinggi dibanding kekuatan baja yaitu sebesar 2800 MPa, sehingga apabila digabungkan
secara komposit pada struktur beton, CFRP akan berperan dalam menyumbangkan
kekuatan tarik yang besar.
Perilaku keruntuhan yang dominan pada struktur balok pada umumnya adalah
keruntuhan lentur. Perilaku keruntuhan dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu: elastis
penuh (belum retak), tahapan mulai terjadi retak, dan tahapan plastis (leleh pada baja
atau beton hancur). Pada balok dengan penambahan lembar FRP terjadi keruntuhan
lentur yang disertai dengan peningkatan kapasitas beban sampai terjadi pelepasan lekatan
antara lapis FRP dengan beton (debonding) yang terjadi secara tiba-tiba. Setelah terjadi
retak pada balok dilanjutkan dengan pelelehan baja tulangan sampai balok mengalami
kehancuran pada serat tekan balok. Salah satu metode untuk menghindari debonding
pada balok beton dengan perkuatan lembar FRP yakni dengan memasang sabuk pada
ujung FRP yang telah diaplikasikan pada permukaan bawah balok beton.
Berdasarkan latar belakang di atas, judul penelitian yang diangkat oleh penulis
yaitu Pengaruh Lebar Sabuk Terhadap Kapasitas Lentur Balok Beton Bertulang
Yang Diperkuat Dengan Lembar Carbon Fiber Reinforced Polymer Pasca Tulangan
Meleleh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yakni
bagaimana pengaruh lebar sabuk terhadap kapastitas lentur dan mode keruntuhan balok
yang diperkuat dengan CFRP pasca tulangan meleleh.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi variasi lebar sabuk terhadap kapasitas lentur dan mode keruntuhan balok
yang diperkuat dengan CFRP pasca tulangan meleleh.
1.4 Batasan Masalah
Untuk mencapai tujuan penelitian dan menghindari pembahasan diluar dari konsep
penelitian, maka pada penelitian ini dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:
1. Bentuk penampang yang digunakan adalah persegi empat. Ukuran balok yang
digunakan 15 cm x 20 cm dengan panjang 330 cm.
3
2. Balok diperkuat dengan CFRP satu lapis di sepanjang sisi tarik balok dalam kondisi
tulangan tarik telah meleleh
3. Sabuk yang digunakan adalah lembar GFRP
4. Lebar sabuk 30 cm dan 60 cm berbentuk U (U-Shape) vertikal (90)
5. Tidak membahas pengaruh CFRP terhadap geser
6. CFRP dapat digunakan pada kondisi tertentu, misalnya untuk beton di laut yang
memiliki mutu beton yang sangat tinggi karena adanya keharusan penggunaan
kadar semen yang tinggi pula, yang mampu menahan kondisi ekstrim air laut
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi sehubungan dengan kapasitas lentur dan mode keruntuhan
pada balok dengan perkuatan CFRP pasca tulangan meleleh.
2. Sebagai referensi untuk penelitian lanjutan mengenai perkuatan balok beton yang
diperkuat dengan menggunakan CFRP.
3. Sebagai referensi dan alternatif perbaikan perkuatan struktur yang mengalami
kerusakan dan kegagalan dalam pelaksanaan.
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan tugas akhir ini, diuraikan dalam sistematika
penulisan yang dibagi dalam 5 (Lima) pokok bahasan berturut-turut sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum mengenai latar belakang mengenai
pemilihan judul tugas akhir, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah,
manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang menguraikan secara singkat
komposisi bab yang ada pada penulisan tugas akhir.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menyajikan teori secara singkat dan gambaran umum mengenai
karakteristik beton bertulang, CFRP, dan pola keruntuhan.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menyajikan mengenai tahapan penelitian, bahan uji yang digunakan,
metode penelitian serta alat – alat yang digunakan dalam pengujian.
BAB IV. ANALISA DATA
Bab ini menyajikan hasil analisis perhitungan data-data yang diperoleh dari hasil
pengujian serta pembahasan dari hasil pengujian yang diperoleh.
4
BAB V. PENUTUP
Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil analisis masalah dan
disertai dengan saran-saran.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Antonius dan Endah
K. Pangestu (2007), pada benda uji balok beton bertulang yang diperkuat dengan Carbon
Fiber Reinforced Polymer didapat beberapa kesimpulan berikut:
1. Penambahan pelat CFRP secara eksternal pada serat tarik balok dapat menghambat
munculnya retak awal. Retak awal tersebut ditandai dengan adanya retak-retak
rambut pada serat tarik balok sebagai indikasi telah terlampauinya regangan tarik
beton.
2. Penambahan pelat CFRP secara eksternal pada balok dibandingkan dengan balok
normal dapat meningkatkan kuat lentur sebesar sebesar 49 %.
3. Penambahan pelat CFRP secara eksternal pada balok tanpa tulangan kurang efektif,
karena kuat lentur yang terjadi turun sebesar 52,9 % dan lendutannya turun 89 %
terhadap balok normal. Hal itu disebabkan debonding failure CFRP pada salah satu
ujungnya terlebih dahulu sehingga balok beton tersebut tidak mampu menahan
gaya tarik yang terjadi, akibatnya balok runtuh (patah) secara brittle.
4. Pola keruntuhan yang terjadi pada semua balok uji dengan penambahan CFRP
adalah terjadinya debonding failure yaitu lepasnya ikatan antara beton dengan
CFRP, sehingga dapat dikatakan bahwa material komposit tersebut belum bisa
bekerja secara optimal. Hal itu bisa diakibatkan karena epoxy yang kurang kuat
atau bidang kontak yang kurang luas.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rudy Djamaluddin
dan Shinichi Hino (2011), pada benda uji balok beton bertulang yang telah meleleh
dan diperkuat dengan lembaran GFRP (Glass Fiber Reinforced Polymer) didapat
beberapa kesimpulan berikut:
1. Kekakuan balok yang diperkuat dengan lembaran GFRP tidak terlalu dipengaruhi
oleh kondisi awal dimana tulangan baja telah meleleh dan adanya retakan akibat
pembebanan awal sebelum perkuatan. Hubungan beban-lendutan balok yang
diperkuat memperlihatkan perilaku cukup baik walaupun memiliki karakteristik
yang lebih getas dibanding balok beton bertulang biasa.
2. Perkuatan menggunakan lembaran GFRP pada balok beton bertulang yang telah
mengalami leleh tulangan memiliki beban ultimit yang lebih tinggi dari balok beton
6
bertulang biasa. Namun jika dibandingkan dengan beban ultimit teoritis, beban
ultimit hasil pengujian masih lebih rendah.
3. Pengaruh melelehnya tulangan dan adanya retakan pada saat perkuatan dengan
lembaran GFRP memberi pengaruh pada turunnya beban ultimit balok
dibandingkan dengan estimasi beban ultimit dengan menggunakan teori balok
beton bertulang. Sehingga perlu untuk dilakukan studi lebih lanjut terkait pengaruh
leleh tulangan dan keberadaan retak terhadap kapasitas lentur balok beton
bertulang yang diperkuat dengan lembaran GFRP.
4. Penurunan beban ultimit dibanding dengan estimasi teoritis juga dipicu oleh
terjadinya kehilangan rekatan lebih awal antara GFRP dengan beton terjadi
sebelum beton mencapai tegangan hancurnya.
5. Pola retak pada balok yang diperkuat dengan lembaran GFRP menggambarkan
mekanisme lentur beton bertulang yang berperilaku seperti asumsi beton bertulang
dengan rekatan penuh.
6. Rekatan antara lembaran GFRP dengan permukaan beton merupakan faktor
penentu beban ultimit balok. Terlepasnya rekatan menyebakan penampang
kehilangan kapasitas momennya lebih awal sebelum beton mencapai tegangan
hancurnya.
2.2 Beton Bertulang
Beton adalah campuran antara semen Portland atau semen hidraulik yang lain,
agregat halus, agregat kasar dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan yang membentuk
massa padat. Terkadang, satu atau lebih bahan aditif ditambahkan untuk menghasilkan
beton dengan karakteristik tertentu, seperti kemudahan pengerjaan (workability),
durabilitas, dan waktu pengerasan.
Seperti substansi-substansi mirip batuan lainnya, beton memiliki kuat tekan yang
tinggi dan kuat tarik yang sangat rendah. Beton bertulang adalah suatu kombinasi antara
beton dan baja dimana tulangan baja berfungsi menyediakan kuat tarik yang tidak
dimiliki beton.
Beton kuat terhadap tekan, tetapi lemah terhadap tarik. Oleh karena itu, perlu
tulangan untuk memikul beban-beban yang bekerja beton. Adanya tulangan ini sering
kali digunakan untuk memperkuat daerah tekan pada penampang balok. Tulangan baja
tersebut perlu untuk beban-beban berat dalam hal untuk mengurangi lendutan jangka
panjang (Nawy, Edward G. 1990).
7
Balok beton bertulang akan melentur pada saat beban bekerja. Lentur pada balok
adalah akibat regangan deformasi yang disebabkan oleh beban eksternal. Pada saat beban
ditingkatkan, balok tersebut menahan regangan dan defleksi tambahan, mengakibatkan
retak-retak lentur sepanjang bentang dari balok tersebut. Penambahan yang terus-
menerus terhadap tingkat beban mengakibatkan kegagalan elemen struktural ketika
beban eksternal mencapai kapasitas elemen tersebut.
Sukses besar beton bertulang sebagai bahan konstruksi yang universal cukup
mudah dipahami jika dilihat dari banyaknya kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan
tersebut antara lain (McCormac, Jack C. 2001):
1. Beton memiliki kuat tekan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kebanyakan bahan yang lain.
2. Beton bertulang mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap api dan air, bahkan
merupakan bahan struktur terbaik untuk bangunan yang banyak bersentuhan
dengan air.
3. Struktur beton bertulang sangat kokoh.
4. Beton bertulang tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi (serviceability).
5. Dibandingkan dengan bahan lain, beton memiliki usia layan yang sangat panjang.
Dalam kondisi-kondisi normal, struktur beton bertulang dapat digunakan sampai
kapan pun tanpa kehilangan kemampuannya untuk menahan beban.
6. Beton biasanya merupakan satu-satunya bahan yang ekonomis untuk pondasi
tapak, dinding, basement, tiang tumpuan jembatan, dan bangunan-bangunan lain
semacam itu.
7. Salah satu ciri khas beton adalah kemampuannya untuk dicetak menjadi bentuk
sangat beragam, mulai dari pelat, balok dan kolom yang sederhana sampai atap
kubah dan cangkang besar.
8. Di sebagian besar daerah, beton terbuat dari bahan-bahan lokal yang murah (pasir,
kerikil, air) dan relatif hanya membutuhkan sedikit semen dan tulangan baja, yang
mungkin saja harus didatangkan dari daerah lain.
9. Keahlian buruh untuk membangun konstruksi beton bertulang lebih rendah bila
dibandingkan dengan bahan lain seperti baja struktur.
Di samping kelebihan-kelebihan beton bertulang sebagai suatu bahan struktur
seperti yang telah disebutkan di atas, beton bertulang juga mempunyai berbagai
kekurangan dan kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain adalah:
8
1. Beton mempunyai kuat tarik yang sangat rendah, sehingga memerlukan tulangan
tarik.
2. Beton bertulang memerlukan bekisting untuk menahan beton tetap di tempatnya
sampai beton tersebut mengeras. Selain itu, penopang atau penyangga sementara
mungkin diperlukan untuk menjaga agar bekisting tetap berada pada tempatnya,
misalnya pada kolom, dinding, atap, dan struktur-struktur sejenis, sampai bagian-
bagian beton ini cukup kuat untuk menahan beratnya sendiri.
3. Rendahnya kekuatan persatuan berat dari beton mengakibatkan beton bertulang
menjadi berat. Ini akan sangat berpengaruh pada struktur-struktur bentang panjang
di mana berat beban mati beton yang besar akan sangat mempengaruhi momen
lentur.
4. Akibat rendahnya kekuatan persatuan berat, rendahnya kekuatan persatuan volume
akan mengakibatkan beton akan berukuran relatif lebih besar.
Kegagalan pada balok beton bertulang pada dasarnya dipengaruhi oleh melelehnya
tulangan baja dan hancurnya beton bertulang. Ada 3 kemungkinan yang bisa terjadi yang
menyebabkan kegagalan balok beton bertulang, yaitu (Nawy, Edward G. 2008):
a. Kondisi balanced reinforced
Tulangan tarik mulai leleh tepat pada saat beton mencapai regangan batasnya
dan akan hancur karena tekan.
Kondisi regangan : 𝜀𝑐 = 0,003 𝑑𝑎𝑛 𝜀𝑠 = 𝑓𝑦
𝐸𝑠
Pada kondisi ini berlaku : 𝜌 = 𝜌𝑏𝑎𝑙𝑎𝑛𝑐𝑒𝑑 dan 𝜀𝑠 = 𝜀𝑦
b. Kondisi Over-Reinforced
Kondisi ini terjadi apabila tulangan yang digunakan lebih banyak dari yang
diperlukan dalam keadaan balanced. Keruntuhan ditandai dengan hancurnya
penampang beton terlebih dahulu sebelum tulangan baja meleleh.
Pada kondisi ini berlaku: 𝜌 > 𝜌𝑏𝑎𝑙𝑎𝑛𝑐𝑒𝑑 dan 𝜀𝑠 < 𝜀𝑦
c. Kondisi Under-Reinforced
Kondisi ini terjadi apabila tulangan tarik yang dipakai pada balok kurang dari
yang diperlukan untuk kondisi balanced. Keruntuhan ditandai dengan
lelehnya tulangan baja terlebih dahulu dari betonnya.
Pada kondisi ini berlaku : 𝜌 < 75% 𝜌𝑏𝑎𝑙𝑎𝑛𝑐𝑒𝑑 dan 𝜀𝑠 < 𝜀𝑦
9
Dalam perencanaan elemen struktur, suatu elemen struktur harus
direncanakan berada pada kondisi under-reinforced.
Gambar 2.1. Distribusi regangan penampang balok ultimit
Beton dan baja dapat bekerja sama dengan beberapa alasan yaitu:
1. Lekatan (bond) atau interaksi antara batangan baja dengan beton keras
disekelilingnya) berguna untuk mencegah slip relatif antara baja dengan beton.
2. Campuran beton yang memadai memberikan sifat anti resap yang cukup dari beton
untuk mencegah karat terhadap baja tulangan.
3. Angka kecepatan muai yang hampir serupa yaitu 0,0000055 sampai dengan
0,000075.
Adapun gambar distribusi regangan sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dilihat
pada Gambar 2.1. Balok beton bertulang merupakan elemen struktur yang dominan
menahan gaya lentur pada saat beban diberikan. Pada saat beban ditingkatkan maka nilai
regangan dan defleksi balok akan semakin meningkat yang diiringi dengan timbulnya
retak-retak lentur sepanjang bentang balok tersebut. Penambahan beban secara terus-
menerus akan mengakibatkan kegagalan elemen struktural ketika beban eksternal telah
melebihi kapasitas elemen balok tersebut.
Untuk lebih memahami kondisi tegangan dan regangan beton pada saat dibebani
maka akan diuraikan secara lebih terperinci mengenai hal tersebut. Nilai tegangan pada
sumbu
netral
(kondisi
balanced)
c=0,003
𝑠 > 𝑦
=𝑓𝑦
𝐸𝑠
𝑠 < 𝑦
=𝑓𝑦
𝐸𝑠
𝑠 = 𝑦
=𝑓𝑦
𝐸𝑠
10
daerah tekan beton bersifat linear atau kira-kira sebanding dengan regangannya hanya
sampai pada tingkat pembebanan tertentu pada kondisi 0.45 f’c. Pada tingkat pembebanan
ini, apabila beban ditambah terus-menerus maka keadaan sebanding akan lenyap dan
diagram tegangan tekan pada penampang balok beton akan berbentuk seperti kurva
tegangan-regangan beton.
Gambar 2.2 Perilaku lentur pada beban sebelum retak
Secara jelasnya dapat diuraikan pada Gambar 2.2 Pada kondisi pembebanan
sebelum terjadinya retak pada beton, beton dan baja tulangan secara bersama-sama
bekerja dalam menahan gaya tarik yang bekerja sementara beton pada sisi tekan hanya
menahan gaya tekan saja. Distribusi tegangan pada kondisi ini masih bersifat linear,
bernilai nol pada garis netral dan sebanding dengan nilai regangan yang terjadi. Hal ini
hanya dijumpai apabila tegangan maksimum yang timbul pada sisi tarik masih cukup
rendah di mana nilainya masih berada di bawah nilai modulus keruntuhan (rupture
modulus).
Pada kondisi pembebanan setelah retak di mana nilai pembebanan yang diberikan
telah melebihi nilai pembebanan sebelum terjadinya retak pada beton, nilai kuat tarik
beton telah dilampaui sehingga beton mulai mengalami retak rambut seperti tampak pada
Gambar 2.3. Pada kondisi ini beton tidak dapat meneruskan gaya tarik melintasi daerah
retak yang disebabkan karena kondisi lebar retak yang menyebabkan terputusnya aliran
distribusi tegangan sepanjang sisi tarik beton.
Akibatnya maka distribusi tegangan tarik pada daerah beton yang retak akan
terhenti dan kemudian selanjutnya diambil alih sepenuhnya oleh baja tulangan. Tulangan
akan mulai meregang dan apabila nilai beban semakin ditingkatkan maka tulangan akan
mencapai kondisi lelehnya. Distribusi tegangan tarik pada tulangan ini terjadi hingga
kondisi 0.5 f’c. Pada keadaan ini nilai tegangan beton tekan masih dianggap bernilai
11
sebanding dengan nilai regangannya dimana model tegangan yang terjadi masih
berbentuk blok segitiga seperti terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Perilaku lentur beton setelah retak
Apabila nilai beban diberikan lebih besar lagi maka nilai regangan serta tegangan
tekan akan meningkat dan cenderung untuk tidak sebanding lagi antara keduanya, di
mana tegangan tekan pada beton akan mulai membentuk kurva nonlinear.
Gambar 2.4. Perilaku lentur pada beban ultimit
Kurva tegangan di atas garis netral penampang balok atau pada daerah tekan balok
akan berbentuk sama dengan kurva tegangan-regangan beton seperti yang terlihat pada
Gambar 2.4. Bentuk distribusi tegangan ini berupa garis lengkung dengan nilai nol pada
garis netral.
12
Pada Gambar 2.4 dapat dilihat model distribusi tegangan dan regangan yang timbul
pada kondisi pembebanan mendekati pembebanan ultimit. Bentuk distribusi tegangan
aktual yang melengkung ini tentunya menimbulkan kesulitan tersendiri dalam
menghitung volume blok tegangan tekan.
Model persegi Whitney yang diusulkan tahun 1937 mengusulkan agar digunakan
blok tegangan segiempat ekuivalen yang dapat digunakan untuk menghitung gaya tekan
tanpa harus kehilangan ketelitiannya. Blok tegangan ekuivalen ini mempunyai tinggi a
dan tegangan tekan rata-rata sebesar 0.85 f’c. Nilai ini diperoleh berdasarkan hasil
percobaan pada beton yang berumur lebih dari 28 hari.
Dengan menggunakan semua asumsi di atas maka perhitungan volume blok
tegangan tekan dapat lebih mudah dilakukan dengan hanya menggunakan rumus volume
balok sederhana. Bentuk blok tegangan ekuivalen ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Apabila kapasitas batas kekuatan beton pada daerah tekan telah terlampaui maka balok
akan mengalami kehancuran. Sampai dengan tahap ini tampak bahwa tercapainya
kapasitas ultimit merupakan proses yang tidak dapat berulang karena beton telah
melewati kondisi elastisnya.
Gambar 2.5. Blok tegangan ekuivalen
Komponen struktur balok yang telah retak disertai dengan kondisi baja tulangan
yang telah meleleh tentunya ditandai dengan nilai lendutan yang besar. Lendutan besar
yang terjadi pada balok tidak akan kembali ke kondisinya yang semula dipengaruhi oleh
kondisi baja tulangan yang telah meleleh. Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah
diuraikan sebelumnya maka dalam memperhitungkan kapasitas momen ultimit suatu
komponen struktur, kuat tarik beton biasanya diabaikan (tidak diperhitungkan). Seluruh
gaya tarik yang terjadi hanya dilimpahkan pada baja tulangan di daerah tarik.
13
Dengan demikian maka bentuk penampang beton pada daerah tarik tidaklah
mempengaruhi kekuatan lentur. Tinggi penampang yang menentukan adalah tinggi
efektif d, yaitu jarak dari serat tekan terluar terhadap titik berat tulangan tarik. Nilai
regangan beton tekan maksimum pada serat tekan terluar ditetapkan sebesar 0.003.
Penetapan nilai tersebut didasarkan atas hasil-hasil pengujian yang menunjukkan bahwa
umumnya regangan beton hancur berada di antara nilai 0.003 dan 0.004.
2.3 Momen Inersia Penampang Retak
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kondisi beton bertulang sebelum
beton retak (praretak) maka tulangan dan beton bekerja bersama-sama pada daerah tarik.
Dengan demikian maka untuk menentukan nilai lendutan yang terjadi tentunya juga
menggunakan nilai momen inersia penampang utuh dengan asumsi bahwa beton belum
mengalami keretakan sehingga momen inersia penampang masih utuh sepenuhnya.
Rumus perhitungan momen inersia penampang utuh dapat dilihat pada Persamaan (2.1).
𝐼𝑔 =1
12𝑏ℎ3 (2.1)
Setelah beton mengalami retak maka beton akan memasuki daerah pascaretak di
mana kondisi ini dimulai dengan munculnya retak pertama. Apabila telah terjadi retak
lentur maka kontribusi kekuatan tarik beton dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. Hal ini
berarti pula bahwa kekakuan lentur penampangnya telah berkurang sehingga kurva
hubungan beban-defleksi akan semakin landai dibandingkan dengan taraf praretak. Pada
tahap ini digunakan nilai momen inersia penampang retak Icr. Nilai Icr ini dapat dihitung
menggunakan Persamaan (2.2).
𝐼𝑐𝑟 =1
3𝑏𝑐3 +
𝐸𝑠
𝐸𝑐𝐴𝑠(𝑑 − 𝑐)2 (2.2)
𝐼𝑐𝑟 =1
3𝑏𝑐3 +
𝐸𝑠
𝐸𝑐𝐴𝑠(𝑑 − 𝑐)2 +
𝐸𝑓
𝐸𝑐𝐴𝑓(ℎ − 𝑐)2 (2.3)
Bila dalam perhitungan balok beton menggunakan FRP maka Persamaan (2.2)
dapat diperluas menjadi Persamaan (2.3) dengan memperhitungkan pengaruh kontribusi
FRP.
Pedoman perencanaan untuk FRP dapat mengacu pada standard ACI yaitu “ACI
440.2R-08, Guide for the Design and Construction of Externally Bonded FRP System
for Strengthening Concrete Structures”.
14
Untuk perkuatan lentur dengan FRP, perhitungan desain mengacu pada ACI
committee 440.2R-08 . Dalam mendesain balok dengan perkuatan FRP, digunakan nilai
regangan di bawah dari regangan putus FRP, hal ini dimaksudkan agar nantinya tipe
kegagalan yang terjadi pada balok adalah kegagalan debonding. Perhitungan tersebut
disajikan pada Gambar 2.6 dan dalam rumus-rumus berikut.
Gambar 2.6. Regangan untuk metode ACI 440-2R-08
Dalam mendesain kekuatan lentur diperlukan faktor reduksi terhadap momen yang
terjadi.
∅𝑀𝑛 ≥ 𝑀𝑢 (2.4)
Untuk melindungi kemampuan lekatan FRP diberikan persamaan untuk
menghitung koefisien lekatan yaitu :
𝑘𝑚 = 1
60 𝜀𝑓𝑢 (1 −
𝑛 𝐸𝑓 𝑡𝑓
360.000) ≤ 0,90 untuk n Ef tt ≤ 180.000 (2.5)
Dengan memberikan asumsi bahwa nilai regangan maksimum pada beton sebesar
0,003, maka regangan yang terjadi pada FRP dapat dihitung dengan Persamaan (2.6).
𝜀𝑓𝑒 = 𝜀 𝑐𝑢(
ℎ−𝑐
𝑐) − 𝜀𝑏𝑖 ≤ 𝑘𝑚𝜀𝑓𝑢 (2.6)
Setelah mendapatkan nilai regangan pada FRP, Nilai tegangan pada FRP dapat
dihitung dengan Persamaan (2.7).
𝑓𝑓𝑒 = 𝐸𝑓𝜀𝑓𝑒 (2.7)
Dengan menggunakan Persamaan (2.7) dan (2.8) nilai regangan dan nilai tegangan
pada tulangan dapat dihitung. Setelah diketahui nilai regangan dan tegangan pada
15
tulangan dan FRP, posisi garis netral dapat dicek berdasarkan gaya dalam yang terjadi
dengan menggunakan Persamaan (2.8).
𝜀𝑠 = 𝜀𝑓𝑒 + 𝜀𝑏𝑖 (𝑑−𝑐
ℎ−𝑐) (2.8)
𝑓𝑠 = 𝐸𝑠𝜀𝑠 ≤ 𝑓𝑦 (2.9)
𝑐 =𝐴𝑠 𝑓𝑠+𝐴𝑓𝑓𝑓𝑒
𝛾 𝑓′𝑐 𝛽1 𝑏 (2.10)
Kapasitas momen nominal perkuatan lentur dengan menggunakan FRP dapat
dihitung dengan Persamaan (2.11). Untuk perkuatan lentur ACI committee 440
merekomendasikan nilai faktor reduksi untuk FRP (𝜓f ) sebesar 0,85.
𝑀𝑛 = 𝐴𝑠𝑓𝑠 (𝑑 −𝛽1 𝑐
2) + 𝜓𝑓𝐴𝑓𝑓𝑓𝑒 (ℎ −
𝛽1𝑐
2) (2.11)
2.4 Retak pada balok
Retak terjadi pada umumnya menunjukkan bahwa lebar celah retak sebanding
dengan besarnya tegangan yang terjadi pada batang tulangan baja tarik dan beton pada
ketebalan tertentu yang menyelimuti batang baja tersebut. Meskipun retak tidak dapat
dicegah, namun ukurannya dapat dibatasi dengan cara menyebar atau mendistribusikan
tulangan.
Apabila struktur dibebani dengan suatu beban yang menimbulkan momen lentur
masih lebih kecil dari momen retak maka tegangan yang timbul masih lebih kecil dari
modulus of rupture beton fr = 0,70 √f’c . Apabila beban ditambah sehingga tegangan
tarik mencapai fr, maka retak kecil akan terjadi. Apabila tegangan tarik sudah lebih besar
dari fr, maka penampang akan retak.
Ada tiga kasus yang dipertimbangkan dalam masalah retak yaitu:
1. Ketika tegangan tarik ft < fr, maka penampang dipertimbangkan untuk tidak terjadi
retak. Untuk kasus ini Ig = 1/12 b.h3.
2. Ketika tengangan tarik ft = fr, maka retak mulai timbul. Momen yang timbul
disebut momen retak dan dihitung sebagai berikut:
𝑀𝑐𝑟 = 𝑓𝑟𝐼𝑔
𝑐, dimana c = h/2 (2.12)
3. Apabila momen yang bekerja sudah lebih besar dari momen retak, maka retak
penampang sudah meluas. Untuk perhitungan digunakan momen inersia retak (Icr),
tranformasi balok beton yang tertekan dan tranformasi dari tulangan n.As. Pada
dasarnya ada tiga jenis keretakan pada balok (Gilbert, 1990):
16
a. Retak lentur (flexural crack), terjadi di daerah yang mempunyai harga
momen lentur lebih besar dan gaya geser kecil. Arah retak terjadi hampir
tegak lurus pada sumbu balok (lihat Gambar 2.7.(a)).
b. Retak geser pada bagian balok (web shear crack), yaitu keretakan miring
yang terjadi pada daerah garis netral penampang dimana gaya geser
maksimum dan tegangan aksial sangat kecil (lihat Gambar 2.7.(b)).
c. Retak geser-lentur (flexural shear crack), terjadi pada bagian balok yang
sebelumnya telah terjadi keretakan lentur. Retak geser lentur merupakan
perambatan retak miring dari retak lentur yang sudah terjadi sebelumnya
(lihat Gambar 2.7 (c)).
Gambar 2.7. Jenis retakan pada beton
2.5 Hubungan Beban dan Lendutan
Hubungan beban-defleksi balok beton bertulang pada dasarnya dapat
diidealisasikan menjadi bentuk trilinear sebelum terjadi rupture seperti pada diagram
Gambar 2.9 (Nawy, 2003):
1. Daerah I : Taraf praretak, dimana batang-batangnya strukturalnya bebas retak.
Segmen praretak dari kurva beban-defleksi berupa garis lurus yang
memperlihatkan perilaku elastis penuh. Tegangan tarik maksimum pada balok
lebih kecil dari kekuatan tariknya akibat lentur atau lebih kecil dari modulus
rupture ( fr) beton.
2. Daerah II : Taraf beban pascaretak, dimana batang-batang struktural mengalami
retak-retak terkontrol yang masih dapat diterima, baik distribusinya maupun
lebarnya. Pada balok tumpuan sederhana retak akan terjadi semakin lebar pada
daerah lapanga, sedangkan pada tumpuan hanya terjadi retak minor yang tidak
lebar. Apabila sudah terjadi retak lentur maka kontribusi kekuatan tarik beton
sudah dapat dikatakan tidak ada lagi. Ini berarti pula kekakuan lentur
penampangnya telah berkurang sehingga kurva beban-defleksi didaerah ini akan
semakin landai dibanding pada taraf praretak. Momen inersia retak disebut Icr.
(a) Retak geser
17
3. Daerah III : Taraf retak pasca-serviceability, dimana tegangan pada tulangan tarik
sudah mencapai tegangan lelehnya. Diagram beban defleksi daerah III jauh lebih
datar dibanding daerah sebelumnya. Ini diakibatkan oleh hilangnya kekuatan
penampang karena retak yang cukup banyak dan lebar sepanjang bentang. Jika
beban terus ditambah, maka regangan εs pada tulangan sisi yang tertarik akan terus
bertambah melebihi regangan lelehnya εy tanpa adanya tegangan tambahan. Balok
yang tulangan tariknya telah leleh dikatakan telah runtuh secara struktural. Balok
ini akan terus mengalami defleksi tanpa adanya penambahan beban dan retaknya
semakin terbuka sehingga garis netral terus mendekati tepi yang tertekan. Pada
akhirnya terjadi keruntuhan tekan sekunder yang mengakibatkan kehancuran total
pada beton daerah momen maksimum dan segera diikuti dengan terjadinya rupture.
Gambar 2.8. Hubungan antara Beban dan Lendutan (Nawy, 2003)
2.6 Fiber Reinforced Polymer
2.6.1 Fiber Reinforced Polimer (FRP)
FRP adalah material yang terbuat dari fiber (serat) material sintetis seperti glass,
aramid atau carbon yang disatukan oleh zat matriks, seperti epoksi atau polyester.
Pengembangan penggunaan FRP pada rekayasa sipil terdiri dari dua bagian, pertama
untuk rehabilitasi dan perbaikan struktur dan kedua untuk pembuatan konstruksi baru
yang sepenuhnya menggunakan FRP ataupun komposit dengan beton. Penggunaan FRP
dalam perkuatan struktur antara lain pada balok, pelat, jembatan, dan kolom. Terdapat
beberapa keuntungan menggunakan FRP sebagai bahan perkuatan struktur.
Material FRP yang sangat laku dipasaran adalah dalam bentuk lembaran, dimana
keuntungan yang diperoleh dari FRP lembaran adalah kemudahan dalam aplikasi yaitu
I II III
Beban
Lendutanban
18
lembaran FRP ini dapat ditempelkan dengan mudah pada bagian permukaan anggota
struktur yang rusak dengan bantuan perekat (resin), biaya yang relatif murah
dibandingkan FRP dengan bahan yang lain, kekuatan tarik yang tinggi, ketahanan yang
tinggi terhadap kimia, memiliki sifat isolasi yang baik. Adapun kekurangannya : berat
jenis yang tinggi, memiliki sifat kekerasan yang tinggi, ketahanan kelelahan yang relatif
rendah. Sebagai penguatan eksternal, FRP tipe lembaran digunakan untuk:
a. Perbaikan balok dan slab beton yang rusak, dengan asumsi bahwa debonding antara
FRP dan beton tidak menyebabkan kegagalan elemen struktur
b. Mengatasi penambahan lebar retakan akibat beban layanan
c. Meningkatkan kekuatan lentur akibat peningkatan beban seperti beban gempa dan
beban lalu lintas
d. Merencanakan beton baru yang memiliki daktalitas tinggi
e. Perbaikan struktur akibat kesalahan desain atau konstruksi
f. Meningkatkan kemampuan geser beton
g. Meningkatkan kemampuan pengekangan kolom beton
h. Perbaikan struktur lama dan bersejarah
i. Teknik yang digunakan dalam pemasangan tidak mengganggu penggunaan struktur
oleh pihak lain
Ada beberapa keuntungan penggunaan FRP sebagai perkuatan struktur, antara lain:
a. Kuat tarik sangat tinggi (± 7-10 kali lebih tinggi dari U39)
b. Sangat ringan (density 1.4-2.6 gr/cm3, 4-6 kali lebih ringan dari Baja)
c. Pelaksanaan sangat mudah dan cepat
d. Memungkinkan untuk tidak menutup lalu lintas (misalnya jembatan)
e. Tidak memerlukan area kerja yang luas
f. Tidak memerlukan joint, meskipun bentang yang harus diperkuat cukup panjang
g. Tidak berkarat (non logam)
Terdapat juga beberapa kekurangan dari FRP, yaitu:
a. Ketahanan terhadap kebakaran (harus diberikan lapisan tahan kebakaran)
b. Pengrusakan dari luar (umumnya untuk fasilitas umum harus diberikan lapisan
penutup dari mortar).
Dalam penggunaannya, FRP digabungkan dengan suatu bahan perekat (Epoxy
Resin) yang akan merekatkan lembaran fiber pada balok beton. Bahan perekat yang akan
digunakan pada penelitian ini berupa epoxy dengan nama Tyfo S yang merupakan produk
dari Fyfe Co terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu komponen A dan komponen B.
Perbandingan campuran antara bagian A : bagian B = 2 : 1. Untuk CFRP, yang
19
dipergunakan adalah Tyfo SCH-41. Adapun spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 2.1
dan Tabel 2.2.
Tabel 2.1. Spesifikasi CFRP tyfo SCH-41 dalam bentuk dry sheet
Sumber: Fyfo.Co LLC
Tabel 2.2. Spesifikasi CFRP tyfo SCH-41 dalam bentuk komposit
Sumber: Fyfo.Co LLC
2.5.2 Epoxy Resin
Epoxy Resin adalah larutan yang digunakan untuk merekatkan serat fiber pada
beton atau objek yang ingin diperkuat. Campuran Epoxy resin terdiri dari bahan padat
dan cair yang saling larut. Campuran dengan Epoxy resin yang lain dapat digunakan
untuk mencapai kinerja tertentu dengan sifat yang diinginkan. Epoxy resin yang paling
banyak digunakan adalah Bisphenol A Eter Diglisidil.
Sifat- Sifat Material Fiber Lepas
Sifat Nilai Test
Tegangan Tarik 4.0 GPa
Modulus Tarik 230 GPa
Regangan Maksimum 1.7%
Kerapatan 1.74 g/cm3
Berat per luasan 644 g/cm2
Sifat Lapisan Komposit (CFRP + EPOXY)
Uraian Metode ASTM Nilai Test Nilai Desain
Tegangan tarik
Ultimit dalam arah
utama fiber
D-3039 986 MPa 834 MPa
Regangan D-3039 1,0 % 0,85 %
Modulus Tarik D-3039 123.4 GPa 104.8 GPa
Kuat Lentur D-790 25,8 MPa 20,7 MPa
Tebal Lapisan 1,0 mm 1,0 mm
20
Resin biasanya terdiri dari dua komponen, yaitu vinil atau epoxy dan pengeras
(hardener), kemudian diterapkan ke permukaan balok. Lembar CFRP diletakkan ke
permukaan yang rata, kemudian campuran epoxy resin ditambahkan dengan
menggunakan kuas atau roller. Ketika lembar CFRP diaplikasikan ke atas permukaan
balok, udara tidak boleh terjebak antara CFRP dan cetakan. Tekanan tangan atau rol
digunakan untuk memastikan resin jenuh dan penuh membasahi semua lapisan.
Pekerjaan harus dilakukan cukup cepat sebelum resin mulai bereaksi. Dalam beberapa
kasus, lapisan ditutupi dengan plastik lembaran dan vakum untuk menghilangkan
gelembung udara.
Tabel 2.3. Sifat material epoxy
Sumber: Fyfo.Co LLC
Tyfo SCH41 Tyfo S Component A Tyfo S Component B
Gambar 2.9. CFRP Tyfo SCH-41 dan Epoxy Resin Tyfo S
SIFAT MATERIAL EPOXI
Waktu Pengeringan : 72 Jam (Suhu ruang 60˚C)
KekuatanTarik ASTM D-638 72.4 MPa
Modulus Tarik - 3,18 GPa
PersenRegangan ASTM D-638 5%
KekuatanLentur ASTM D-790 123,4 MPa
Modulus Lentur ASTM D-790 3,12 GPa
21
Epoxy Resin dikeringkan dengan menambahkan anhidrida atau pengeras amina.
Setiap pengeras menghasilan profil larutan yang berbeda dan sifat yang diinginkan untuk
produk jadinya. Kecepatan pengeringan dapat dikendalikan melalui seleksi yang tepat
dari pengeras atau katalis untuk memenuhi persyaratan proses. Beberapa keuntungan
epoxy resin sebagai berikut:
a. Berbagai sifat mekanis memungkinkan pilihan yang lebih banyak
b. Tidak ada penguapan selama proses pengeringan
c. Rendahnya penyusutan selama proses pengeringan
d. Ketahanan yang baik terhadap bahan kimia
e. Memiliki sifat adhesi yang baik terhadap berbagai macam pengisi, serat dan substrat
lainnya
Kelemahan epoxy resin adalah biaya yang relatif mahal dan proses pengeringan
yang relatif lama. Bahan perekat yang digunakan dalam penelitian ini juga merupakan
produk dari Fyfo Co dengan nama Tyfo SCH-41 yang terdiri dari 2 komponen yaitu
komponen A (resin) dan komponen B (hardener) seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.10. Untuk proses pencampuran antara komponen A dan komponen B digunakan
perbandingan 2: 1.
2.6.3 Mode Kegagalan
Beberapa mode kegagalan yang sering terjadi pada balok yang diperkuat dengan
FRP yaitu:
a. Rusaknya FRP setelah tulangan tarik meleleh
b. Hancurnya beton sekunder setelah tulangan tarik meleleh
c. Inti beton rusak karena tekanan sebelum tulangan tarik meleleh
d. Lepasnya ikatan antara FRP dan beton (debonding)
Gambar 2.10. Putusnya FRP dan hancurnya beton pada sisi tekan
Gambar 2.10 secara berurutan menunjukkan mode kegagalan berupa putusnya
lapisan FRP yang terjadi setelah melelehnya tulangan dan hancurnya beton pada sisi
22
tekan. Hancurnya beton pada sisi tekan terjadi sebelum tulangan tarik meleleh sehingga
kondisi ini identik dengan kondisi over-reinforced.
Selain itu, terdapat pula kondisi di mana tulangan tarik telah meleleh namun
disertai dengan hancurnya beton pada sisi tekan tanpa disertai putusnya FRP. Mode
kegagalan selanjutnya merupakan mode kegagalan debonding.
Mode kegagalan debonding ini merupakan model kegagalan yang paling sering
dijumpai pada balok yang diperkuat FRP. Debonding merupakan lepasnya ikatan antara
beton dengan FRP. Mode kegagalan debonding sendiri dapat dibedakan atas empat jenis
di mana hal ini akan diuraikan lebih rinci pada subbab debonding FRP.
2.6.4 Debonding FRP
Perkuatan eksternal dengan menggunakan lembaran FRP merupakan cara dan
metode perkuatan yang efektif dan populer yang digunakan untuk konstruksi beton
bertulang saat ini. Kinerja FRP ini biasanya ditentukan dan dipengaruhi oleh masalah
rekatan antara FRP dengan beton. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya dijumpai kasus
kegagalan debonding pada struktur yang diperkuat dengan FRP.
Oleh karena itu masalah debonding atau lepasnya ikatan antara FRP dengan beton
ini merupakan masalah yang kritis dan sangat penting dari penggunaan material FRP
dalam hal perbaikan dan perkuatan struktur. Bidang rekatan, dalam hal ini merupakan
bidang antara FRP dengan beton, biasanya merupakan bagian terlemah di mana
debonding paling sering terjadi.
Hal ini disebabkan karena adanya konsentrasi tegangan yang tinggi pada daerah
tersebut saat terjadi transfer gaya dari beton ke FRP. Daerah-daerah kritis terjadinya
debonding terletak pada ujung lapisan FRP dan juga area sekitar adanya retak geser
maupun lentur.
Kegagalan akibat debonding dapat dibedakan atas empat jenis yaitu lepasnya
selimut beton pada ujung lapisan FRP (cover debonding), lepasnya lapisan FRP tanpa
ikut terlepasnya beton (FRP debonding from laminate end), lepasnya FRP akibat retak
geser-lentur (FRP debonding from flexure-shear crack) dan lepasnya FRP akibat retak
lentur murni (FRP debonding from flexural crack).
Gambar 2.11(a) menunjukkan kegagalan cover debonding. Fenomena cover
debonding atau disebut juga concrete cover separation diakibatkan karena adanya
rambatan retak yang terjadi pada sepanjang sisi tulangan tarik. Kegagalan ini dimulai
dengan munculnya retak di sekitar ujung lapisan FRP. Retak ini kemudian semakin
merambat dan membentuk pola retakan yang hampir sejajar dengan daerah pemasangan
23
tulangan sehingga pada akhirnya menyebabkan terlepasnya selimut beton. Pada Gambar
2.11(b) menunjukkan kegagalan debonding akibat lepasnya lapisan FRP tanpa ikut
terlepasnya beton. Pada fenomena lepasnya lapisan FRP tanpa ikut terlepasnya beton
(FRP debonding from laminate end), kegagalan debonding diawali dengan terjadinya
tegangan geser permukaan yang tinggi pada ujung lapisan FRP.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2.11. (a) Cover debonding. (b) FRP debonding from laminate end. (c) CDC
(Critical Diagonal Crack) debonding. (d) IC (Intermediate Crack)
debonding
Terjadinya debonding pada kondisi ini dimulai pada sisi ujung lapisan FRP
kemudian merambat ke tengah balok. Kegagalan ini biasanya diakibatkan karena lebar
pemasangan lapisan FRP yang lebih kecil daripada lebar penampang balok, bahan
perekat yang kurang baik maupun pelaksanaan penempelan lapisan FRP yang kurang
sempurna.
Gambar 2.11(c) menunjukkan kegagalan debonding akibat retak geser-lentur.
Lepasnya FRP akibat retak geser-lentur (FRP debonding from flexure-shear crack) biasa
disebut juga CDC (Critical Diagonal Crack) debonding. Kegagalan CDC debonding
semacam ini terjadi pada balok dengan penempatan lapisan FRP yang berada pada zona
geser yang tinggi tetapi momennya rendah, misalnya pada lokasi dekat tumpuan balok
sederhana. Pada lokasi tersebut tulangan geser yang diberikan hanya terbatas dan tidak
mampu memikul gaya geser yang terjadi sehingga akan menyebabkan terjadinya retak
geser-lentur yang besar di mana pola keruntuhan geser yang terjadi lebih dominan
dibandingkan dengan pola keruntuhan lentur.
Hal ini ditunjukkan dengan retakan diagonal yang cukup besar membentuk sudut
mendekati 450. Seiring dengan peningkatan lebar retak yang terjadi maka tegangan
permukaan yang tinggi akan terjadi antara beton dengan lapisan FRP dan merambat ke
ujung lapisan FRP yang didahului dengan terjadinya rambatan retak geser-lentur yang
cukup besar dan hampir mencapai permukaan balok.
24
Pada balok dengan jumlah tulangan geser yang memenuhi, retak geser-lentur hanya
akan berupa retakan-retakan kecil dalam jumlah yang banyak dan panjang retak yang
pendek tanpa adanya dominasi retak geser-lentur yang besar. Salah satu langkah yang
dapat dilakukan untuk mencegah kegagalan semacam ini yaitu dengan menambahkan
sabuk FRP pada daerah geser yang besar untuk memastikan kuat geser pada lokasi
tersebut lebih besar daripada kuat lenturnya.
Gambar 2.11(d) menunjukkan kegagalan FRP debonding from flexural crack.
Fenomena ini dimulai saat retak lentur terjadi pada beton, di mana terjadi konsentrasi
tegangan terjadi pada daerah retakan.
Lokasi konsentrasi tegangan berada pada sisi tengah di mana zona momen
maksimum berada. Tegangan tarik yang terjadi hanya berpusat pada sisi tengah dan
belum merambat ke ujung lapisan FRP. Tegangan tarik yang terjadi pada daerah beton
yang telah retak kemudian ditransfer atau dipindahkan ke lapisan FRP sehingga tegangan
lokal permukaan antara lapisan FRP dengan beton akan semakin meningkat dan berpusat
pada daerah retakan dan sekitarnya.
Seiring dengan peningkatan beban yang diberikan maka terjadi pula peningkatan
tegangan lokal permukaan antara lapisan FRP dengan beton. Ketika tegangan ini telah
mencapai nilai kritisnya maka tegangan ini akan mulai disalurkan atau mulai merambat
ke salah satu ujung FRP dan menjadi penyebab terlepasnya ikatan antara FRP dengan
beton atau biasa disebut dengan istilah debonding.
Pelepasan lapisan FRP ini kemudian mulai merambat dari tengah ke ujung lapisan
FRP hingga akhirnya menyebabkan terlepasnya sebagian lapisan FRP pada setengah
bentang balok. Peristiwa debonding seperti ini biasa disebut dengan FRP debonding from
flexural crack atau juga dapat disebut IC (intermediate crack) debonding.
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Desain Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah uji eksperimental dan kajian pustaka tentang
perilaku lentur balok beton bertulang yang diperkuat dengan menggunakan CFRP.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Pengujian material baja tulangan
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tegangan leleh dan modulus elastisitas
baja. Pengujian ini dilakukan dengan melihat kuat tarik tulangan ∅6 yang akan
digunakan sebagai tulangan memanjang pada serat tekan dan diameter D12 untuk
serat tarik. Tulangan geser menggunakan tulangan ∅8.
2. Pembuatan benda uji
Benda uji yang digunakan berbentuk balok persegi dengan ukuran 15 cm x 20 cm x
330 cm. Pengecoran benda uji menggunakan ready mix dengan kuat tekan ƒ’c
sebesar 25 MPa atau K300.
3. Pengujian material beton normal
Pengujian material beton yang akan dilakukan meliputi; pengujian kuat tekan, uji
lentur, dan modulus elastisitas. Setiap jenis pengujian dilakukan terhadap tiga
spesimen. Untuk pengujian kuat tekan, kuat lentur serta modulus elastisitas
digunakan alat Concrete Compression Testing Machine kapasitas 100 ton dengan
beberapa alat tambahan.
4. Prosedur Pemasangan CFRP
Pada sampel balok yang akan diperkuat, bagian permukaan balok dibersihkan, dan
dipersiapkan sebelum pemasangan CFRP, dengan urutan sebagai berikut:
a. Menyediakan segala bahan dan peralatan yang diperlukan;
b. Menegakkan posisi balok yang melendut ke posisi nol defleksi;
c. Meratakan permukaan balok yang akan diperkuat dengan CFRP serta
membersihkannya dari segala kotoran yang mungkin mengurangi lekatan beton
dan CFRP;
d. Memastikan permukaan beton dalam keadaan kering agar epoxy resin dapat
melekat dengan baik;
e. Memotong lembaran Tyfo SCH-41 sesuai ukuran permukaan dasar balok;
26
f. Mempersiapkan campuran bahan perekat epoxy resin komponen A dan
komponen B dengan perbandingan berat 2: 1. Proses pengadukan tidak boleh
berlebihan hingga menghasilkan busa dan gelembung yang bisa terperangkap
sebagai rongga udara dalam perekat seperti yang ditunjukkan pada Gambar
3.1(a);
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3.1 (a) Pencampuran epoxy resin. (b) Pengolesan epoxy resin pada
permukaan lembar CFRP. (c) Penempelan lembar CFRP pada
permukaan balok. (d) Pengolesan epoxy resin tahap kedua pada
permukaan lembar CFRP
g. Mengoleskan bahan perekat pada permukaan balok dan lembaran CFRP Tyfo
SCH-41 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1(b);
h. Menempelkan bahan perkuatan yang telah dipotong dan diberi perekat dengan
arah longitudinal balok dan ditekan perlahan terhadap perekat yang masih basah
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1(c). Rongga udara yang terjebak antara
lapisan perkuatan dengan permukaan beton akan dilepas dengan tekanan roller
searah serat perkuatan agar perekat menyatu dengan serat dan permukaan beton.
27
Penekanan roller tegak lurus arah serat tidak diperbolehkan karena dapat
mengubah arah serat atau merusak serat;
i. Mengoleskan perekat tahap kedua diatas permukaan CFRP Tyfo SCH-41 yang
telah dilekatkan seluruhnya untuk menjamin lekatan serat ke permukaan beton
seperti yang ditunjukan pada Gambar 3.1(d). Beton ditekan dengan roller agar
bahan perekat dapat melapisi permukaan CFRP Tyfo SCH-41 secara merata;
j. Mendiamkan benda uji minimal selama 72 jam sebelum dilakukan pengujian
Gambar 3.2 Balok beton bertulang yang telah dilapisi lembar CFRP dan sabuk GFRP
5. Pengujian Lentur Balok Beton bertulang
a. Pengujian dilakukan diatas frame yang terbuat dari profil baja yang didesain
dengan perletakan sederhana (sendi-rol) untuk menguji kekuatan lentur balok
dengan panjang bentang 330 cm dan penampang berbentuk persegi empat
berdimensi 15 cm x 20 cm.
b. Pengujian lentur pada balok beton bertulang dilaksanakan pada sampel yang
telah berumur diatas 28 hari. Benda uji ini terdiri dari enam buah balok beton
bertulang yang akan diperkuat dengan CFRP.
c. Balok akan dibebani terlebih dahulu hingga tulangan tarik meleleh dan terjadi
retak lentur. Kemudian balok tersebut akan diperkuat dengan CFRP dan
kemudian dibebani kembali hingga balok tersebut mengalami kegagalan lentur.
d. Pengujian balok beton bertulang ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan
balok dalam memikul beban. Pembacaan load cell untuk pengujian balok
dilaksanakan setiap pembebanan 1 kN. Untuk mencatat lendutan yang terjadi
Sabuk GFRP
CFRP
28
pada balok dipasang tiga buah LVDT (Linear Variable Displacement
Transducer) yang ditempatkan pada bagian bawah balok.
Ket : Satuan dalam mm
(a)
(b)
Gambar 3.3. (a) Desain set-up benda uji. (b) Set-up benda uji di laboratorium
6. Pengujian ini membahas hubungan antara beban dan lendutan dan hubungan antara
beban dan regangan.
7. Dari hasil penelitian dibagi menjadi 2 daerah yaitu:
a. Daerah I, yaitu pada saat mulai retak sampai tulangan meleleh.
b. Daerah II, yaitu pada saat berakhirnya Daerah I sampai beban maksimum.
3.1.2. Desain Penelitian
Dimensi dan tulangan balok dianalisa dengan metode kekuatan batas (ultimate
strength design) dan pengujian balok dilakukan dengan instrumen standar umum
pengujian balok. Adapun variasi benda uji balok bertulang yang digunakan dapat dilihat
sebagai berikut:
29
Tabel 3.1 Variasi benda uji 15 cm x 20 cm x 330 cm
Kode Benda
Uji Lebar Sabuk
Variasi Jumlah
Pemasangan FRP
Jumlah
(buah)
BCS2 2b (300 mm) 1 lapis CFRP 3
BCS4 4b (600 mm) 1 lapis CFRP 3
Ket : Satuan dalam mm
Gambar 3.4. Desain benda uji balok beton bertulang dengan perkuatan CFRP
(a) Tampak atas posisi strain gauge pada beton
(b) Posisi strain gauge pada beton untuk balok BCS2-1 dan BCS4-1
(c) Posisi strain gauge pada beton untuk balok BCS2-2, BCS2-3, BCS4-2 dan BCS4-3
Ket : Satuan dalam mm
Gambar 3.5. Posisi strain gauge beton
30
(a) Tampak depan posisi strain gauge baja pada balok BCS2-1 dan BCS4-1
(b) Tampak depan posisi strain gauge baja pada balok BCS2-2, BCS2-3, BCS4-2 dan
BCS4-3
Ket : Satuan dalam mm
Gambar 3.6. Posisi strain gauge baja pada tulangan
(a) Tampak depan posisi strain gauge FRP pada balok BCS2-1
(b) Tampak bawah posisi strain gauge FRP pada balok BCS2-1
(c) Tampak depan posisi strain gauge FRP pada balok BCS2-2 dan BCS2-3
31
(d) Tampak bawah posisi strain gauge FRP pada balok BCS2-2 dan BCS2-3
(e) Tampak depan posisi strain gauge FRP pada balok BCS4-1
(f) Tampak bawah posisi strain gauge FRP pada balok BCS4-1
(g) Tampak depan posisi strain gauge FRP pada balok BCS4-2 dan BCS4-3
(h) Tampak bawah posisi strain gauge FRP pada balok BCS4-2 dan BCS4-3
Ket : Satuan dalam mm
Gambar 3.7. Posisi strain gauge FRP pada balok
32
3.2 Kerangka Prosedur Penelitian
Untuk memperjelas tahapan dan pelaksanaan penelitian, dapat dilihat pada
bagan alir seperti ditunjukkan pada Gambar 3.8.
f’c ≥ 25
Mpa
Mulai
Kajian Pustaka
Penelitian sebelumnya
dan Teori Pendukung
Persiapan
Desain, Bahan, dan Alat
Pengujian
Beton Normal f’c= 25 MPa
Uji karakteristik material, mix
design/buat sampel
Uji tekan benda
uji
Baja Tulangan
Menentukan: fy, Es
Pembuatan Balok Beton
Bertulang dan Perawatan
A
tidak
ya
Pengujian Lentur Balok
-Setting Up Instrumen
-Pengukuran Lendutan dan Retakan
Uji balok hingga mendekati
ambang plastis
33
Gambar 3.8. Bagan Alir Penelitian
3.3 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan waktu kurang lebih tiga bulan, dimulai dengan
persiapan, pencampuran, pengujian karakteristik, perendaman, pengetesan, dan
pengelohan data. Proses dan pelaksanaan pengujian akan dilaksanakan pada
Laboratorium Bahan dan Struktur Program Studi Teknik Sipil Universitas Hasanuddin
Gowa.
3.4 Alat dan Bahan Penelitian
Instrumen yang digunakan pada pengujian balok adalah sebagai berikut :
1. Alat Ukur Regangan Baja Tulangan
Pada tulangan longitudinal bawah dipasang strain gauge tipe FLK-6-11-5L (gauge
factor 2,12±1%), ditempatkan pada tengah bentang (momen maksimum). Perekat
yang digunakan untuk merekatkan strain gauge pada permukaan tulangan adalah
CN Adhesive.
2. Alat Ukur Regangan CFRP
Alat ukur regangan CFRP adalah strain gauge tipe FLA-6-11-5L (gauge factor
2,12±1%), yang dilekatkan pada permukaan CFRP di tengah bentang. Perekat yang
digunakan untuk merekatkan strain gauge pada permukaan FRP adalah CN
Adhesive.
Penguatan dengan FRP
Pengujian Lentur Balok dengan
FRP
Hasil dan Pengolahan Data
Kesimpulan dan saran
Selesai
A
34
3. Alat Ukur Regangan Beton
Alat ukur regangan beton adalah strain gauge tipe PL-60-11-5L (gauge factor
2,13±1%), yang dilekatkan pada permukaan atas balok, daerah ½ tinggi balok, serta
pada daerah ¼ tinggi balok. Perekat yang digunakan untuk merekatkan strain gauge
pada permukaan beton adalah CN-E Adhesive.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 3.9. (a) Strain gauge baja tipe FLK-6-11-5L. (b) Strain gauge beton tipe PL
60-11-5L. (c) Strain gauge FRP tipe FLA-6-11-5L. (d) Perbandingan
ukuran strain gauge yang digunakan pada baja, FRP dan beton. (e) CN
Adhesive. (f) CN-E Adhesive.
Strain gauge baja
Strain gauge beton
Strain gauge FRP
35
4. Alat Ukur Lendutan
Alat yang digunakan untuk mengukur besar dan arah lendutan yang terjadi pada
balok uji selama pembebanan adalah LVDT (Linear Variable Displacement
Tranducer) kapasitas 50 mm, dengan ketelitian 0,01mm.
Gambar 3.10. LVDT
5. Alat Uji Pembebanan
Balok uji yang akan dibebani diletakkan pada loading frame. Di atas balok uji di
tengah bentang diletakkan seperangkat alat pembebanan balok, yaitu:
a) Actuator, untuk memberi beban dengan kapasitas 1500 kN
b) Load cell kapasitas 200 kN untuk mengetahui besar beban yang diberikan
Actuator
c) Data logger TDS-530, untuk merekam secara otomatis data yang diukur oleh
strain gauge, LVDT, dan load cell
Gambar 3.11 Data logger TDS-530
36
6. Bahan
a) Semen potland komposit
b) Agregat halus dan kasar (pasir dan batu pecah)
c) Kawat dan tulangan produksi PT. Barawaja
d) CFRP tipe Tyfo SCH-41 produksi Fyfe.Co.LLC
e) Bahan perekat CFRP tipe Tyfo S Epoxy produksi Fyfe.Co.LLC
f) Air yang digunakan untuk campuran adalah air bersih
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan
4.1.1 Pengujian Tarik Baja Tulangan
Tabel 4.1 menunjukkan hasil pengujian kuat tarik baja tulangan. Pengujian baja
tulangan ini dilakukan sebelum pembuatan benda uji. Hal ini dimaksudkan agar kita
dapat mengetahui mutu baja tulangan yang akan digunakan. Mutu baja yang digunakan
harus sesuai dengan desain awal rencana benda uji. Pengujian dilakukan dengan menguji
masing-masing 3 sampel baja tulangan untuk masing-masing diameter tulangan yang
akan digunakan, yaitu baja tulangan ø6 sebagai tulangan tekan, baja tulangan ø8 sebagai
tulangan geser, dan baja tulangan D12 sebagai tulangan tarik. Pengujian baja tulangan
ini dilakukan di Laboratorium Struktur dan Bahan Fakultas Teknik Gowa, Universitas
Hasanuddin.
Mutu baja yang digunakan pada penelitian ini sebesar 323.19 MPa, jauh berbeda
dengan desain awal benda uji, yaitu 400 MPa.
Tabel 4.1. Hasil pengujian tarik baja tulangan
4.1.2 Pengujian Kuat Tekan Beton
Setelah beton dicor dan dilakukan perawatan (curing) pada beton, selanjutnya
dilakukan pengujian kuat tekan beton. Pengujian kuat tekan beton dilakukan setelah
umur 28 hari sesaat sebelum melakukan pengujian lentur beton. Hal ini dimaksudkan
agar kita dapat mengetahui kuat tekan beton yang lebih aktual. Sampel beton berbentuk
silinder dengan dimensi 10 cm x 20 cm berjumlah 6 buah. Pengujian ini menggunakan
alat Tokyo Testing Machine (TTM) di Laboratorium Struktur dan Bahan Fakultas
Teknik, Universitas Hasanuddin, Gowa.
Diameter Sampel fy fsmax Es
(MPa) (MPa) (GPa)
ø 6 240.5 417.2 20.0
ø 8 384.82 538.75 20.9
D12 323.19 454.71 21.5
38
Berdasarkan hasil slump test saat pengecoran, nilai slump yang diperoleh sebesar
14 cm. Mutu beton yang digunakan pada penelitian ini sebesar 26.3 MPa. Mutu beton
lebih tinggi dari desain awal benda uji yaitu sebesar 25 Mpa.
Tabel 4.2. Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton
Gambar 4.1. Hasil slump test
4.2 Kapasitas Lentur Maksimum Balok Beton Bertulang
Pengujian balok beton bertulang ini adalah untuk mengetahui kemampuan balok
dalam memikul beban. Tabel 4.3 menunjukkan hasil pengamatan pengujian kapasitas
momen dan beban pada kondisi awal retak, leleh, dan ultimit pada balok beton bertulang.
Pengujian balok dengan perkuatan CFRP dengan lebar sabuk 2b pada Tabel 4.3
terlihat bahwa, pada balok BCS2-1, kondisi retak awal tejadi pada beban 5.34 kN dengan
Mcr sebesar 4.00 kNm, dan pada kondisi tulangan meleleh pada beban sebesar 26.84 kN
Sampel Beban Kuat Tekan
kN MPa
1 197.5 25.137
2 210.0 26.733
3 249.5 31.797
4 206.5 26.313
5 166.5 21.190
6 209.0 26.614
Rata-Rata 206.5 26.297
Standar Deviasi 3.410
39
dengan My sebesar 16.904 kNm sehingga balok memiliki beban maksimum 50.00 kN
dengan Mu sebesar 30.08 kNm. Pada balok BCS2-2, kondisi retak awal tejadi pada
beban 6.54 kN dengan Mcr sebesar 4.73 kNm, dan pada kondisi tulangan meleleh pada
beban sebesar 25.10 kN dengan My sebesar 15.86 kNm sehingga balok memiliki beban
maksimum 51.27 kN dengan Mu sebesar 30.84 kNm. Pada balok BCS2-3, kondisi retak
awal tejadi pada beban 2.34 kN dengan Mcr sebesar 2.20 kNm dan pada kondisi tulangan
meleleh pada beban sebesar 25.77 kN dengan My sebesar 16.26 kNm sehingga balok
memiliki beban maksimum 49.94 kN dengan Mu sebesar 30.04 kN.
Tabel 4.3 Kapasitas Beban dan Momen Balok Benda Uji
Pengujian balok dengan perkuatan CFRP dengan lebar sabuk 4b pada Tabel 4.3
terlihat bahwa, pada balok BCS4-1, kondisi retak awal tejadi pada beban 2.8 kN dengan
Mcr sebesar 2.48 kNm, dan pada kondisi tulangan meleleh pada beban sebesar 26.30 kN
dengan My sebesar 16.58 kNm sehingga balok memiliki beban maksimum 48.8 kN
dengan Mu sebesar 29.36 kNm. Pada balok BCS4-2, kondisi retak awal tejadi pada
beban 6.21 kN dengan Mcr sebesar 4.53 kNm, dan pada kondisi tulangan meleleh pada
beban sebesar 25.30 kN dengan My sebesar 15.94 kNm sehingga balok memiliki beban
Uraian
Sat.
Tipe Rata-
rata
Tipe Rata -
rata BCS2-
1
BCS2-
2
BCS2-
3
BCS4-
1
BCS4-
2
BCS4-
3
Analisa
Pcrack kN 5.51 5.51 5.51 5.51 5.51 5.51 5.51 5.51
Mcrack kNm 4.11 4.11 4.11 4.11 4.11 4.11 4.11 4.11
Pyield kN 30.98 30.98 30.98 30.98 30.98 30.98 30.98 30.98
Myield kNm 19.39 19.39 19.39 19.39 19.39 19.39 19.39 19.39
Pultimate kN 43.55 43.55 43.55 43.55 43.55 43.55 43.55 43.55
Multimate kNm 26.21 26.21 26.21 26.21 26.21 26.21 26.21 26.21
Hasil
Pengujian
Pcrack kN 5.34 6.54 2.34 4.74 2.80 6.21 2.54 3.85
Mcrack kNm 4.00 4.73 2.20 3.64 2.48 4.53 2.32 3.11
Pyield kN 26.84 25.10 25.77 25.9 26.30 25.30 26.57 26.05
Myield kNm 16.90 15.86 16.26 16.34 16.58 15.94 16.74 16.42
Pultimate kN 50.00 51.27 49.93 50.4 48.80 48.74 46.87 48.14
Multimate kNm 30.08 30.84 30.04 30.32 29.36 29.32 29.20 29.29
Mueksp /
Muanls % 114.76 117.67 114.61 115.68 112.02 111.87 111.41 111.77
40
maksimum 48.74 kN dengan Mu sebesar 29.32 kNm. Pada balok BCS4-3, kondisi retak
awal tejadi pada beban 2.54 kN dengan Mcr sebesar 2.32 kNm dan pada kondisi tulangan
meleleh pada beban sebesar 26.57 kN dengan My sebesar 16.74 kNm sehingga balok
memiliki beban maksimum 46.87 kN dengan Mu sebesar 29.2 kN.
4.3 Hubungan Beban dan Lendutan
Gambar 4.2(a) menunjukkan hubungan beban – lendutan yang terjadi untuk balok
dengan perkuatan lembar CFRP dengan lebar sabuk 2b. Pada balok BCS2-1 lendutan
yang terjadi sebesar 36.47 mm saat beban maksimum sebesar 50.00 kN. Pada balok
BCS2-2 lendutan yang terjadi sebesar 37.85 mm saat beban maksimum sebesar 51.27
kN. Pada balok BCS2-3 lendutan yang terjadi sebesar 39.27 mm saat beban maksimal
sebesar 49.93 kN. Akibat lebar retak yang bertambah, maka kekakuan lentur berkurang
dimana inersia efektif berada di antara nilai inersia gross (Ig) dan inersia crack (Icr).
Gambar 4.2(b) menunjukkan hubungan beban – lendutan yang terjadi untuk balok
dengan perkuatan lembar CFRP dengan lebar sabuk 4b. Pada balok BCS4-1 lendutan
yang terjadi sebesar 31.93 mm saat beban maksimum sebesar 48.80 kN. Pada balok
BCS4-2 lendutan yang terjadi sebesar 34.41 mm saat beban maksimal sebesar 48.74 kN.
Pada balok BCS4-3 lendutan yang terjadi sebesar 23.79 mm saat beban maksimal sebesar
46.87 kN.
(a) Balok CFRP dengan sabuk 2b (BCS2) (b) Balok CFRP dengan sabuk 4b (BCS4)
Gambar 4.2 Grafik hubungan beban-lendutan
4.4 Hubungan Beban dan Regangan Beton
Besar regangan beton pada eksperimen ini diukur dengan menggunakan alat strain
gauge tipe PL-60-11-5L (gauge factor 2,13 ± 1%). Kenaikan regangan direkam melalui
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Be
ban
(kN
)
Lendutan (mm)
BCS2-1
BCS2-2
BCS2-3
Icr
ig
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Be
ban
(kN
)
Lendutan (mm)
BCS4-1
BCS4-3
BCS4-2
Ig
Icr
LVDT
BEBAN
LVDT
BEBAN
41
data logger TDS 530. Pencatatan data regangan beton pada benda uji dilakukan setiap
perubahan beban oleh hydraulic pump yang direkam oleh load cell yang ditransfer ke
benda uji.
Pada Gambar 4.3(a) menunjukkan hubungan beban-regangan beton untuk balok
dengan perkuatan lembar CFRP dengan lebar sabuk 2b. Pada balok BCS2-1 kondisi leleh
beban berada pada 43.13 kN dengan regangan sebesar 1964 µε hingga balok mengalami
kegagalan pada beban 50.00 kN dengan regangan sebesar 2577 µε. Pada balok BCS2-2
kondisi leleh beban berada pada 40.19 kN dengan regangan sebesar 2004 µε hingga balok
mengalami kegagalan pada beban 51.27 kN dengan regangan sebesar 3076 µε. Pada
balok BCS2-3 kondisi leleh beban berada pada 41.12 kN dengan regangan sebesar 2026
με hingga balok mengalami kegagalan pada beban 49.93 kN dengan regangan sebesar
2302 με.
Pada Gambar 4.3(b) menunjukkan hubungan beban-regangan beton untuk balok
dengan perkuatan lembar CFRP dengan lebar sabuk 4b. Pada balok BCS4-1 kondisi leleh
beban berada pada 48.00 kN dengan regangan sebesar 1974 με hingga balok mengalamis
kegagalan pada beban 48.80 kN dengan regangan sebesar 2028 με.. Pada balok BCS4-3
kondisi leleh beban berada pada 43.99 kN dengan regangan sebesar 2044 με hingga balok
mengalami kegagalan pada beban 46.87 kN dengan regangan sebesar 2376 με.
(a) Balok CFRP dengan sabuk 2b (BCS2) (b) Balok CFRP dengan sabuk 4b (BCS4)
Gambar 4.3 Grafik hubungan beban-regangan beton
4.5 Pola Retak
Dari hasil pengujian menunjukan bahwa semua balok mengalami kegagalan lentur,
kegagalan ini berawal dari ketidakmampuan balok menerima beban yang melampaui
kekuatannya. Retak awal terjadi pada 1/4 bentang tengah balok yang terus mengalami
0
10
20
30
40
50
60
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
Be
ban
(kN
)
Regangan
BCS2-1
BCS2-2
BCS2-3
0
10
20
30
40
50
60
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
Be
ban
(kN
)
Regangan (µ)
BCS4-1
BCS4-3
CU BEBAN
CU BEBAN
42
perambatan retak bergerak secara intensif dari sisi tarik menuju ke sisi tekan benda uji
dan tipe retak yang terjadi adalah jenis retak lentur (flexural crack). Proses ini berlanjut
sampai tercapainya beban puncak, di mana beban tidak lagi bertambah tetapi lendutan
terus bertambah terutama pada bagian retak yang cukup lebar dan selanjutnya secara tiba-
tiba menurun drastis.
Gambar 4.4 Pola retak beton BCS2-1
Berdasarkan pengamatan pola retak Gambar 4.4 diatas memperlihatkan benda uji
BCS2-1 mengalami retak pertama pada saat beban sebesar 5.34 kN. Setelah itu benda uji
dalam kondisi leleh pada beban sebesar 26.84 kN hingga gagal pada beban maksimum
sebesar 50.00 kN dengan panjang retakan yang merambat melebihi 3/4 bentang balok.
Gambar 4.5 Pola retak beton BCS2-2
Berdasarkan pengamatan pola retak Gambar 4.5 di atas memperlihatkan bahwa
benda uji BCS2-2 mengalami retak pertama pada saat beban sebesar 6.54 kN. Setelah itu
benda uji dalam kondisi leleh pada beban sebesar 25.10 kN hingga gagal pada beban
maksimum sebesar 51.27 kN dengan panjang retakan yang merambat melebihi 3/4
bentang balok.
Gambar 4.6 Pola retak beton BCS2-3
43
Berdasarkan pengamatan pola retak Gambar 4.6 di atas memperlihatkan bahwa
benda uji BCS2-3 mengalami retak pertama pada saat beban sebesar 2.34 kN. Setelah itu
benda uji dalam kondisi leleh pada beban sebesar 25.77 kN hingga gagal pada beban
maksimum sebesar 49.93 kN dengan panjang retakan yang merambat melebihi 3/4
bentang balok.
Gambar 4.7 Pola retak beton BCS4-1
Berdasarkan pengamatan pola retak Gambar 4.7 diatas memperlihatkan bahwa
benda uji BCS4-1 mengalami retak pertama pada saat beban sebesar 2.80 kN. Setelah itu
benda uji dalam kondisi leleh pada beban sebesar 26.30 kN hingga gagal pada beban
maksimum sebesar 48.80 kN dengan panjang retakan yang merambat melebihi 3/4
bentang balok.
Gambar 4.8 Pola retak beton BCS4-2
Berdasarkan pengamatan pola retak Gambar 4.8 di atas memperlihatkan bahwa
benda uji BCS4-2 mengalami retak pertama pada saat beban sebesar 6.21 kN. Setelah itu
benda uji dalam kondisi leleh pada beban sebesar 25.30 kN hingga gagal pada beban
maksimum sebesar 48.74 kN dengan panjang retakan yang merambat melebihi 3/4
bentang balok.
Berdasarkan pengamatan pola retak Gambar 4.9 di bawah memperlihatkan bahwa
benda uji BCS4-2 mengalami retak pertama pada saat beban sebesar 2.54 kN. Setelah itu
44
benda uji dalam kondisi leleh pada beban sebesar 26.57 kN hingga gagal pada beban
maksimum sebesar 46.87 kN dengan panjang retakan yang merambat melebihi 3/4
bentang balok.
Gambar 4.9 Pola retak beton BCS4-3
4.6 Mode Keruntuhan Balok CFRP
Gambar 4.10 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS2-1. (b) Hubungan
beban lendutan balok BCS2-1.
Gambar 4.11 Mode keruntuhan balok BCS2-1
0
10
20
30
40
50
60
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Be
ban
Regangan
BCS2-1
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Be
ban
(kN
)
Lendutan (mm)
BCS2-1
BUNYI BESAR
BUNYI KECIL
cover debonding, CFRP
putus
45
Berdasarkan pengamatan grafik hubungan beban regangan CFRP dan hubungan
beban lendutan dan bunyi pada Gambar 4.10 dan mode keruntuhan balok Gambar 4.11
di atas memperlihatkan bahwa pada benda uji BCS2-1 terjadi keruntuhan lentur yang
disertai dengan terjadinya debonding yaitu lepasnya selimut beton pada ujung lapisan
CFRP (cover debonding) setelah balok mencapai beban maksimum pada beban 50.00 kN
dengan regangan CFRP sebesar 4646 με.
Berdasarkan pengamatan grafik hubungan beban regangan CFRP dan hubungan
beban lendutan dan bunyi pada Gambar 4.12 dan mode keruntuhan Gambar 4.13 di
bawah memperlihatkan bahwa pada benda uji BCS2-2 menunjukkan terjadinya
keruntuhan lentur disertai dengan terjadinya debonding yang disebabkan oleh retak
lentur yang terjadi pada beban maksimum sebesar 51.27 kN dengan regangan CFRP
sebesar 5185 με.
Gambar 4.12 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS2-2. (b) Hubungan
beban lendutan balok BCS2-2.
Gambar 4.13 Mode keruntuhan balok BCS2-2
0
10
20
30
40
50
60
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Be
ban
Regangan
BCS2-2
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Be
ban
(kN
)
Lendutan (mm)
BCS2-2
BUNYI BESAR
BUNYI SEDANG
BUNYI KECIL
debonding
46
Berdasarkan pengamatan grafik hubungan beban regangan CFRP dan hubungan
beban lendutan dan bunyi pada Gambar 4.14 dan mode keruntuhan balok Gambar 4.15
di bawah memperlihatkan bahwa pada benda uji BCS2-3, terjadi keruntuhan lentur
disertai dengan kegagalan lekatan antara sabuk dengan sisi samping balok setelah balok
mencapai beban pada beban 49.54 kN. Kegagalan lekatan ini disertai dengan terjadinya
debonding pada sisi tengah bentang balok pada beban 49.94 kN dan diikuti dengan
hancurnya sisi tekan beton.
Gambar 4.14 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS2-3. (b) Hubungan
beban lendutan balok BCS2-3.
Gambar 4.15 Mode keruntuhan balok BCS2-3
Berdasarkan pengamatan grafik hubungan beban regangan CFRP dan hubungan
beban lendutan dan bunyi pada Gambar 4.16 dan mode keruntuhan balok Gambar 4.17
di bawah memperlihatkan bahwa pada benda uji BCS4-1 terjadi keruntuhan lentur yang
disertai dengan terjadi kegagalan lekatan antara sabuk dengan sisi samping balok seperti
0
10
20
30
40
50
60
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Be
ban
Regangan
BCS2-3
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Be
ban
(kN
)
Lendutan (mm)
BCS2-3
BUNYI BESAR
BUNYI SEDANG
BUNYI KECIL
Kegagalan lekatan pada sabuk
Sisi tekan beton hancur
Debonding
47
yang ditunjukkan pada Gambar 4.16 setelah balok mencapai beban maksimum pada
beban 48.80 kN dengan regangan CFRP sebesar 6102 με. Kemudian terjadi penurunan
beban tetapi selanjutnya lendutan terus bertambah dan beban relatif konstan. Ketika
beban mencapai 47.39 kN terjadi debonding pada sisi tengah bentang balok dengan
regangan CFRP sebesar 6084 με.
(a) (b)
Gambar 4.16 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS4-1. (b) Hubungan
beban-lendutan balok BCS4-1.
Gambar 4.17 Mode keruntuhan balok BCS4-1
Berdasarkan pengamatan grafik hubungan beban regangan CFRP dan hubungan
beban lendutan dan bunyi pada Gambar 4.18 dan mode keruntuhan balok Gambar 4.19
di bawah memperlihatkan bahwa pada benda uji BCS4-2, terjadi debonding pada sisi
kanan balok seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.13(b) ketika balok mencapai beban
maksimum sebesar 48.73 kN dengan regangan CFRP sebesar 7122 με. Setelah itu terjadi
penurunan beban sebesar 2.00 kN kemudian lendutan terus bertambah namun beban
0
10
20
30
40
50
60
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Be
ban
Regangan
BCS4-1
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Be
ban
(kN
)
Lendutan (mm)
BCS4-1
BUNYI BESAR
BUNYI KECIL
Sisi tekan beton hancur
Debonding Kegagalan lekatan pada sabuk
48
relatif konstan. Ketika beban mencapai 46.73 kN, CFRP putus seperti yang ditunjukan
pada Gambar 4.19(a) dengan regangan CFRP sebesar 7766 με dan mengakibatkan
terjadinya penurunan beban dan diikuti putusnya sabuk pada beban 40.65 kN dengan
regangan CFRP sebesar 7383 με dan diikuti dengan hancurnya beton pada sisi tekan
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.18(b).
(a) (b)
Gambar 4.18 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS4-2. (b) Hubungan
beban-lendutan dan bunyi balok BCS4-2
.
(a)
(b)
Gambar 4.19 Moda keruntuhan balok BCS4-2
0
10
20
30
40
50
60
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Be
ban
Regangan
BCS4-2
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Be
ban
(kN
)
Lendutan (mm)
BCS4-2
BUNYI KECIL
BUNYI SEDANG
BUNYI BESAR
Sisi tekan beton
hancur
CFRP putus
Debonding
Sabuk putus
49
Berdasarkan pengamatan grafik hubungan beban regangan CFRP dan hubungan
beban lendutan dan bunyi pada Gambar 4.20 dan mode keruntuhan balok Gambar 4.21
di bawah memperlihatkan bahwa pada benda uji BCS4-3, CFRP putus ketika balok
mencapai beban maksimum pada beban 46.86 kN dengan regangan CFRP sebesar 2376
με kemudian diikuti dengan hancurnya beton pada tengah bentang pada beban 46.06 kN
dengan regangan CFRP sebesar 1892 με.
Gambar 4.20 (a) Hubungan beban-regangan CFRP balok BCS4-3. (b) Hubungan
beban-lendutan dan bunyi balok BCS4-3.
Gambar 4.21 Mode keruntuhan balok BCS4-3
0
10
20
30
40
50
60
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Be
ban
(kN
)
Regangan (με)
BCS4-3
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Be
ban
(kN
)
Lendutan (mm)
BUNYI BESAR
BUNYI KECIL
BCS4-3
CFRP putus
Sisi tekan beton
hancur
50
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Beban maksimum yang mampu dipikul oleh balok beton CFRP dengan sabuk dua
kali lebar balok (2b) rata-rata 50.4 kN dengan lendutan yang bervariasi antara
36.47-39.27 mm, sedangkan untuk balok beton CFRP dengan sabuk empat kali
lebar balok (4b) beban rata-rata 48.14 kN dengan lendutan yang bervariasi antara
23.79-31-93. Berdasarkan hasil yang didapatkan, sabuk dengan lebar 4b tidak
efektif dalam meningkatkan kapasitas lentur balok.
2. Pola retak pada seluruh benda uji adalah pola retak lentur (flexural crack). Hal
ini ditunjukkan dengan retakan yang merambat dalam arah vertikal dari sisi tarik
ke arah tekan balok.
3. Penambahan lebar sabuk tidak mempengaruhi mode keruntuhan balok, dimana
mode keruntuhan balok yang terjadi pada semua benda uji adalah keruntuhan
lentur. Pada balok beton CFRP dengan sabuk 2b (BCS2), keruntuhan disertai
dengan terlepasnya rekatan antara balok dan CFRP (Debonding Failure) dan
hancurnya beton pada daerah tekan, sedangkan balok dengan sabuk 4b (BCS4),
keruntuhan balok disertai dengan putusnya CFRP dan hancurnya beton pada
daerah tekan.
5.2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan sebagai pertimbangan dalam penelitian
ini maupun dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam melakukan penelitian lain
adalah sebagai berikut:
1. Oleh karena penelitian ini menggunakan GFRP sebagai sabuk, perlu
dilakukan penelitian dengan penggunaan CFRP sebagai sabuk untuk melihat
pengaruh sabuk terhadap kapasitas lentur.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan lebar CFRP yang lebih kecil untuk
menentukan lebar efektif CFRP pada sisi tarik balok.
51
DAFTAR PUSTAKA
ACI. Committee 440.2R-08, 2008. Guide for the Design and Construction of Externally
Bonded FRP Systems for Strengthening Concrete Structures. American Concrete
Institute. U.S.A.
Alami, Fikri. 2010. Perkuatan Lentur Balok Beton Bertulang dengan Glass Fiber
Reinforced Polymer (GFRP-S). Seminar dan Pameran HAKI.
Antonius dan Endah Pangestu. 2007. Mekanisme Keruntuhan Balok Beton yang
Dipasang Carbon Fiber Reinforced Plate, Konferensi Nasional Teknik Sipil,
Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Djamaluddin, R. and Hino, S. 2011. Kapasitas Lentur Perkuatan Balok Beton Bertulang
yang Telah Meleleh dengan Menggunakan Lembaran GFRP.Dinamika Teknik
Sipil 11(3): 293 - 300.
Gilbert, R. I. dan Mickleborough, N. C. 1990. Design of Prestressed Concrete. Sydney:
Unwin Hyman Ltd.
McCormac, Jack C.2001. Desain Beton Bertulang Edisi Kelima Jilid 1 dan 2. Jakarta:
Erlangga.
Nawy, E. G. 1990. Beton Bertulang; Suatu Pendekatan Dasar. Bandung: PT. Eresco.
Nawy, E. G. 2003. Reinforced Concrete. Pearson Education, Inc.
Nawy, E. G. 2010. Concrete Construction Engineering Handbook. New York: CRC
Press.
Ratu, Nasradil. 2014. Kapasitas Momen Balok Pascaretak yang Diperkuat dengan GFRP
(Glass Fiber Reinforced Polyme) yang diperkuat dengan Sabuk (U-Shape Straps),
Tugas Akhir. Universitas Hasanuddin.
Triwiyono, Andreas. 2004. Perkuatan Lentur Balok Tampang Persegi dengan
Penambahan Tulangan Menggunakan Perekat Epoxy. Univesitas Gadjah Mada
Yogyakarta
LAMPIRAN
DOKUMENTASI
1. Penyiapan Bekisting
2. Penyiapan baja tulangan
3. Pemasangan strain gauge pada baja
4. Pengecoran
5. Curing beton selama 28 hari
6. Uji tarik tulangan
7. Uji tekan beton silinder
8. Pemasangan strain gauge pada beton
9. Set-up benda uji
10. Pengujian balok hingga tulangan meleleh
11. Penempelan CFRP pada balok yang telah diuji hingga tulangan meleleh\
12. Pemasangan strain gauge FRP
13. Pengujian balok dengan perkuatan CFRP hingga balok runtuh