usahatani jeruk plg - bptp kalimantan tengah · 2016-11-24 · jl. g. obos km. 5 kotak pos 122,...
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI KOMODITAS (PADI - JERUK) BERBASISAGRIBISNIS DI LAHAN PASANG SURUT PLG SEJUTA HEKTAR
Development of Farming System Commodities (Paddy-Citrus) Base on Agribusiness in Tidal Swam Land Mega Rice Project
Dedy Irwandi, Susilawati dan Masganti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan TengahJl. G. Obos Km. 5 Kotak Pos 122, Palangkaraya 73001, e-mail:[email protected]
ABSTRACT
Potential of tidal swam land in Mega Rice Project (PLG) to develop field cropexpansion, vegetables and fruits reachs 623,000 hectares or around 60% of PLG area.However farmer income still low because (a) the farmers was not arranged to farmingsystem model, (b) lack of institution support from farming system. Farmer income can beimproved through introduction pre-eminent commodities, the existing potential of land,and institutional plant and improvement knowledge farmer. Project conducted in PetakBatuah Village (Dadahup A-2), Kapuas Murung Distric, Kapuas Regency, CentralKalimantan province. Study executed in two step, that is from 2005 to 2007. The firstyear (a) collects information bio-phisic and social economic, (b) land suitability studyand commodities area, (c) administration study of pattern farming system paddy-citruswith surjan system (d) exploiting area of guludan with citrus crop, (e) increases paddyindek, (f) adoption innovation of technology farming sytem bases on commodities to noncooperating farmers. The second years through (a) membership extension of cooperatorand exploits farm between citrus crop which has not yielded, (b) institution expansion ofgroup of farmer through improvement of knowledge, attitude and practise. Researchmethod applied are, survey and desk study. This study was using PRA method,observation, indepth interview and participation observation. Managed by 52cooperating farmers during activity. The result showed that introduction model farmingsystem base on agribusiness commodities (paddy local-introduction) citrus with surjansystem had level of concordance if it is developed in PLG area. This model can increaseindek cropping of paddy from once a year become twice a years of business area(guludan and tabukan). Exploiting land can be easy diversification of commoditiestowards farming system agribusiness, towards rural agribusiness unit.
Key word : farming system, agribusiness, paddy-citrus, surjan system, swamp land
ABSTRAK
Potensi lahan pasang surut kawasan PLG untuk pengembangan tanaman pangan,sayuran dan buah-buahan mencapai 623.000 ha atau sekitar 60% luas wilayah kawasanPLG. Akan tetapi pendapatan petani di wilayah ini masih tergolong rendah antaranyadikarenakan (a) belum maksimalnya model sistim usahatani yang diterapkan petani, dan(b) kurangnya dukungan kelembagaan usahatani. Pendapatan petani dapat ditingkatkanmelalui introduksi komoditas unggulan, optimalisasi pemanfaatan lahan, dan
2
penumbuhan kelembagaan serta peningkatan kualitas SDM petani. Pengembangan sistemusahatani komoditas (padi-jeruk) berbasis agribisnis di lahan pasang surut PLGdilaksanakan di Desa Petak Batuah (Dadahup A-2), Kecamatan Kapuas Murung,Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kegiatan pengkajian dilaksanakan dalam 2(dua) tahapan, yaitu dari tahun 2005-2007. Tahun pertama kegiatan (a) pengumpulaninformasi biofisik dan sosial ekonomi kawasan eks. PLG Dadahup A-2, (b) kajiankesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas, (c) kajian pengaturan pola usahatani padi-jeruk dengan sistem surjan, (d) pemanfaatan lahan guludan dengan tanaman jeruk, (e)peningkatan indek pertanaman padi, (f) adopsi inovasi teknologi sistem usahataniberbasis komoditas ke petani non-koperator. Tahun kedua dilakukan melalui (1)perluasan keanggotaan kooperator dan pemanfaatan lahan di antara tanaman jeruk yangbelum menghasilkan, (2) pengembangan kelembagaan kelompok tani melaluipeningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani. Metode pengkajian yangdigunakan adalah on farm research, survei dan desk study. Pengumpulan data dilakukanmelalui metoda PRA (Partcipatory Rural Apprasial) observasi, wawancara mendalam(in-depth interview) dan pengamatan pelibatan (participation observasi). Petanikooperator yang terlibat selama kegiatan pengkajian berjumlah 52 orang. Hasilpengkajian menunjukkan bahwa introduksi model usahatani berbasis komoditasagribisnis padi (lokal-unggul) - jeruk dengan sistem surjan memiliki tingkat kesesuaianjika dikembangkan di lahan pasang surut PLG Dadahup A-2. Model ini mampumeningkatkan indek pertanaman padi dari satu kali menjadi dua kali setahun danmengoptimalkan fungsi lahan usaha (guludan dan tabukan). Pemanfaatan semua bagianlahan usahatani dapat mempermudah diversifikasi komoditas menuju usahataniagribisnis.
Kata kunci : sistem usahatani, agribisnis, padi-jeruk, sistem surjan, pasang surut
I. PENDAHULUAN
Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk.
Sementara itu produksi pangan sendiri cenderung stagnan. Dengan keadaan seperti itu
maka produksi pangan terutama beras yang sebagian besar masih bertumpu di pulau Jawa
tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan konsumsi akibat telah beralihnya fungsi lahan-
lahan pertanian produktif ke lahan non pertanian, sehingga peluang untuk
mengembangkan lahan pertanian ke luar pulau Jawa tampaknya harus menjadi pilihan,
yaitu dengan memanfaatkan lahan-lahan marginal seperti lahan pasang surut. Pilihan
lahan pasang surut sebagai sumber pertumbuhan baru produksi pertanian, melalui
Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah merupakan
upaya pemerintah untuk melestarikan swasembada beras, meningkatan pendapatan
petani, membuka lapangan kerja baru dan pemerataan penduduk.
3
Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah didukung oleh ketersediaan
lahan pasang surut seluas 5,5 juta hektar, dimana 1.696.071 hektar terdapat di Kabupaten
Kapuas dan yang termasuk ke dalam wilayah PLG adalah 1.034.312 hektar (Puslitanak,
1998). Sekitar 623.000 hektar lahan tersebut berpotensi untuk pengembangan tanaman
pangan, sayuran, buah-buahan dan ternak.
Desa Petak Batuah Dadahup A-2 berada pada wilayah pasang surut dengan lahan
bertipologi potensial dan tipe luapan air B, berpotensi untuk ditanami padi pada lahan
tabukan, sayuran, buah-buahan dan palawija pada lahan surjan (SWAMPS–II, 1993).
Luas wilayahnya 1.640 hektar, dan sekitar 300 hektar telah diusahakan untuk tanaman
padi, sedangkan sisanya masih memiliki potensi dengan tingkat kesesuaian tinggi untuk
dikembangkan sebagai wilayah pengembangan (budidaya). Namun kondisi
masyarakatnya menunjukkan bahwa pendapatan petani di wilayah ini masih tergolong
rendah dan usahatani masih sering menghadapi berbagai kendala, hal ini disebabkan oleh
(1) belum maksimalnya model sistem usahatani yang diterapkan petani, berkaitan erat
dengan kondisi lahan yang tergolong marginal seperti: pH tanah rendah, kesuburan
rendah, terdapat lapisan pirit, sistem tata air belum berfungsi dengan baik, pola usahatani
masih tradisional hanya menanam padi lokal sekali dalam setahun, penggunaan varietas
unggul masih kurang, keragaman komoditas yang diusahakan petani sangat terbatas,
terjadi serangan hama penyakit tanaman akibat masih banyaknya lahan yang belum
dimanfaatkan secara optimal, dan terbatasnya tenaga kerja yang mampu mengelola lahan
pasang surut, dan (2) kurangnya dukungan kelembagaan usahatani. Pengembangan
usahatani di lahan pasang surut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani,
melalui penerapan teknologi komoditas unggulan dengan pola usahatani padi-jeruk,
optimalisasi pemanfaatan lahan, penumbuhan kelembagaan agribisnis dan peningkatan
pengetahuan, sikap dan keterampilan petani.
Introduksi komoditas jeruk di lahan pasang surut PLG Dadahup A-2, khususnya di
lahan guludan merupakan upaya mengoptimalkan fungsi lahan usahatani yang telah
tertata dengan sistem surjan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hampir 78%
lahan usaha yang telah tertata dengan sistem surjan baru dimanfaatkan pada bagian
tabukannya saja, sedangkan pada bagian guludan hanya dibiarkan menjadi semak belukar
dan berpeluang sebagai sumber perkembangan organisme pengganggu tanaman
4
(Susilawati et al., 2003). Jeruk memiliki peluang keberhasilan yang cukup tinggi jika
diusahakan di lahan pasang surut, karena jeruk termasuk tanaman yang relatif tahan
terhadap pH rendah dan kadar salin tinggi. Salah satu tanaman jeruk yang banyak
diusahakan petani di Kalimanatan Selatan dan Kalimantan Tengah adalah tanaman jeruk
“Siam Banjar”, yang diambil dari nama daerah penghasilnya yaitu Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan.
Pengkajian ini bertujuan untuk membangun model usahatani berbasis agribisnis di
lahan pasang surut tipe luapan B, yaitu dengan (a) mengembangkan pola usahatani padi-
jeruk melalui penerapan inovasi teknologi dan melakukan diversifikasi komoditas di
antara tanaman jeruk belum menghasilkan, dengan tanaman palawija ataupun sayuran,(b)
mengembangkan kelembagaan usahatani, dan (c) memberdayakan kelompok tani sebagai
pendukung agribisnis.
II. METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di lahan pasang surut potensial tipe luapan air B,
kawasan eks PLG, yaitu di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Dadahup A-2, desa
Petak Batuah Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas.
Kegiatan pengkajian dilaksanakan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu dari tahun 2005-
2007. Tahun pertama kegiatan (a) pengumpulan informasi biofisik dan sosial ekonomi
kawasan PLG Dadahup A-2, (b) kajian kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas (c)
kajian pengaturan pola usahatani padi-jeruk dengan sistem surjan, (d) pemanfaatan lahan
guludan dengan tanaman jeruk, (e) peningkatan indek pertanaman padi, (f) adopsi inovasi
teknologi sistem usahatani berbasis komoditas ke petani non koperator. Tahun kedua
dilakukan melalui (a) perluasan keanggotaan petani kooperator dan memanfaatkan lahan
diantara tanaman jeruk yang belum menghasilkan, (b) pengembangan kelembagaan
kelompok tani melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani.
Metode pengkajian yang digunakan adalah on farm research, survei dan desk
study. Pengumpulan data melalui metoda PRA (Participatory Rural Apprasial),
observasi, wawancara mendalam (in-depth interview) dan pengamatan pelibatan
(participation observasi). Petani kooperator yang terlibat selama pengkajian berjumlah
52 orang.
5
Data yang dikumpulkan meliputi: lingkungan biofisik dan geografik wilayah,
karakteristik petani, jenis komoditas usahatani, pola usahatani, data input-ouput,
komoditas yang telah dikembangkan, tingkat penerapan inovasi teknologi, sejarah
kecenderungan desa, kelembagaan usahatani, data sosial, ekonomi, dan budaya. Data
yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Karakteristik Lokasi Pengkajian
Desa Petak Batuah (Dadahup A-2) merupakan salah satu desa di Kec. Kapuas
Murung, Kab. Kapuas. Luas wilayahnya 1.640 hektar dengan potensi lahan pertanian
800 hektar dan sekitar 300 hektar telah diusahakan untuk tanaman padi pada lahan
sawahnya, sedangkan pada lahan guludannya sebagian ditanami tanaman buah-buahan
seperti pisang, mangga, rambutan, serta bermacam sayuran.
Lahan usahatani berkembang dari bahan endapan sungai yang diusahakan sebagai
sawah pasang surut dengan tipe luapan air B. Berada pada ketinggian 0 - 6 meter dpl,
topografi datar dengan jumlah curah hujan tahunan > 2.000 mm. Terletak pada
perpotongan sungai Kapuas Murung dan sungai Barito. Pada bagian barat berbatasan
dengan hutan rawa pasang surut, bagian timur dengan UPT Dadahup A-1, bagian selatan
dengan UPT Dadahup A-4, dan bagian utara dengan Desa Dadahup. Jarak desa dengan
ibu kota kecamatan 25 km, dan 50 km ke ibukota kabupaten.
Penduduk transmigran di daerah ini berasal dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Nusa
Tenggara Barat. serta penduduk lokal (Banjar dan Dayak) dengan perbandingan 40:60
persen. Latar belakang sebagian besar transmigran dari luar adalah petani di lahan sawah
irigasi dan lahan kering. Pengalaman bertani pada agroekosistem pasang surut hanya
pada saat penempatan, namun umumnya sudah dapat beradaptasi dengan baik. Jumlah
penduduk di Desa Dadahup A-2 terdiri dari 317 kepala keluarga (KK) dengan 623 jiwa,
terdiri dari 16 Rukun Tetangga (RT) dan setiap RT memiliki satu kelompok tani. Rata-
rata jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang. Rasio laki-laki dan perempuan hampir
seimbang. Berdasarkan struktur umur anggota rumah tangga petani sekitar 16% keluarga
petani tergolong berusia non produktif (<13 tahun) dan sekitar 5% berusia lanjut (>60
6
tahun), berarti sekitar 79% berusia produktif. Mata pencaharian penduduk desa pada
umumnya dari sektor pertanian, baik dari petani maupun buruh tani.
3.2. Identifikasi dan Karakterisasi Biofisik dan Sosial Ekonomi Usahatani di LahanPasang Surut eks PLG
3.2.1 Kondisi Biofisik dan Sumberdaya Lahan
Wilayah pengkajian termasuk agroekosistem pasang surut tipe B dan sebagian
mendekati tipe C. Lahan usahatani berkembang dari bahan endapan marine (aluvio
marine) yang diusahakan sebagai sawah pasang surut. Bentuk landform pada kawasan
yaitu landform group alluvial, yang terbentuk dari hasil proses fluviasi oleh sungai yang
umumnya berupa pengendapan baru (risen), dicirikan adanya bahan yang berlapis-lapis.
Bahan halus umumnya diendapkan di atas bahan kasar karena gravitasi, sedang bahan
yang berdekatan sungai lebih kasar dibanding dengan bahan yang diendapkan pada
daerah yang lebih jauh dari sungai (Puslittanak, 2000).
Ketersediaan air sangat tergantung dari gerakan pasang surut di permukaan sungai
dan curah hujan. Perbedaan tinggi air pada saat pasang besar dengan pasang kecil sekitar
2,0 m. Pada saat pasang besar, air terluapi ke permukaan sawah, sedang pada saat pasang
kecil, air tidak sampai ke persawahan. Jumlah curah hujan tahunan > 2.000 mm.
Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman termasuk zona agroklimat C2 dengan jumlah
bulan basah (>200 mm/bulan) berkisar antara 5-6 bulan dan jumlah bulan keringnya
(<100 mm/bulan) berkisar antara 2-3 bulan.
Jenis tanah didominasi ordo Histosols terbentuk dari bahan organik yang jenuh air.
Tanah dalam (> 1,5 meter) dan pada umumnya telah mengalami penghancuran lebih
lanjut, drainase tanah sangat terhambat, berwarna kelabu tua sampai hitam.
Faktor penghambat utama dalam pemanfatan sumberdaya lahan adalah air
genangan dan pirit (Karama, 1998). Air genangan dapat ditanggulangi dengan pembuatan
dan penataan saluran-saluran air baik primer, sekunder, tertier maupun kuarter.
Penghambat lainnya yaitu pirit, sangat langsung berpengaruh terhadap tanaman terutama
bila mencuat di permukaan tanah atau dekat dengan permukaan tanah. Pengaruh pirit
terhadap tanah adalah terjadinya kemasaman tanah yang tinggi dengan kriteria masam
sampai sangat masam. Kedalaman lapisan pirit di lokasi pengkajian adalah di atas 80 cm.
7
Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah tergolong sedang,
yang dicirikan oleh kemasaman yang cukup tinggi (pH 3,25–4,27), kandungan C organik
sedang, N total rendah – sedang, P tersedia rendah, dan kation-kation basa rendah.
3.2.2. Pewilayan Komoditas Pertanian
Arahan pewilayahan komoditas yang disusun oleh Balai Besar Sumberdaya
Lahan Pertanian (BBSDLP, 2006), didasarkan hasil evaluasi lahan, prioritas komoditas
unggulan dan penggunaan lahan. Komoditas-komoditas pertanian yang menjadi unggulan
di Desa Dadahup A-2 adalah padi sawah, sawi, lombok, pisang dan jeruk. Komoditas lain
yang potensial dikembangkan adalah terong dan paria.
Berdasarkan hasil analisis, Desa Dadahup A2 termasuk dalam Zone VI yaitu
lahan sulfat masam dan terbagi dalam 3 (tiga) subzone agroekosistem (Tabel 1) :
Tabel 1. Luasan Pewilayahan Komoditas Pertanian di desa Petak Batuah Dadahup A2
Simbol Sistem Pertanian/Alternatif komoditas Luas (ha)Pertanian lahan basah, tanaman pangan
VI/Wr PadiPertanian lahan basah, tanaman pangan/hortikultura/tahunan
VI/Wrh1 Padi, sawi lombok, kacang panjang, terongVI/Wrh2 Padi, sawi, lombok, pisang, jeruk
Lain-lainX Jalan dan saluran air
153,86
1.482,955.022,63
196,56JUMLAH 6.856,00Sumber : BBSDLP, 2006
VI/Wr. Pertanian lahan basah dengan komoditas utama padi sawah, seluas 153 ha.Lahan-lahan ini mempunyai tipologi lahan Sulfat Masam Potensial (SMP-G/G1),dengan kedalaman bahan sulfidik <50 cm dan ketebalan gambut 20 – 100 cm. Daerahini merupakan bekas aliran sungai yang kondisinya lebih cekung dari daerahsekitarnya. Pada musim kemarau kondisi lahan basah dan macak-macak.
VI/Wrh1. Pertanian lahan basah dengan komoditas utama padi sawah, sawi lombok, terong dan paria, seluas 1.483 ha. Lahan-lahan ini mempunyai tipologi lahan SMP dan SMP-Gdengan kedalaman bahan sulfidik < 50 cm. Penataan lahan yang cocok diterapkanadalah sawah/surjan bertahap atau melakukan rotasi tanaman padi dan sayuran.
VI/Wrh2. Pertanian lahan basah dengan komoditas padi sawah, sawi, lombok, jeruk dan pisangseluas 197 ha. Lahan-lahan ini mempunyai tipologi lahan P1, dengan kedalamanbahan sulfidik > 50 cm. Penataan lahan yang cocokpada lahan ini adalah sawah/surjan, atau melakukan rotasi tanaman pangan, yaitu padi- sayuran/palawija.Sedangkan tanaman tahunan dapat ditempatkan pada bagian guludan surjan, atau padabedengan-bedengan sawah.
8
3.3.3. Kesesuaian lahan
Berdasarkan evaluasi lahan yang dilakukan BBSDLP lahan-lahan di Desa Petak
Batuah Dadahup A2 cukup sesuai untuk dikembangkan sebagai daerah persawahan untuk
tanaman padi dengan asumsi bahwa telah dilakukan pengaturan tata air, pemupukan dan
penggunaan traktor tangan. Hal yang menjadi kendala dalam penanaman padi sawah
adalah potensi keracunan pirit akibat adanya bahan sulfidik dan reaksi tanah masam.
Disamping itu kendala banjir yang kadang-kadang datang pada saat musim penghujan
menjadi permasalahan tersendiri. Jika terendam terlalu lama, tanaman akan mati. Dengan
perbaikan tanggul-tanggul penahan diharapkan air bisa dicegah masuk ke lahan bila
terjadi kelebihan air di musim hujan, sehingga bahaya banjir tidak menjadi masalah bagi
pengembangan padi sawah.
3.3. Karakteristik Usahatani dan Sosial Ekonomi
3.3.1 Luas garapan.
Mengingat usahatani padi merupakan usahatani yang utama, maka yang menjadi
ukuran kemampuan adalah luas lahan garapan. Dari luas lahan yang diberikan pemerintah
(2 ha), umumnya petani hanya mampu menggarap maksimal seluas 1,82 ha untuk padi
lokal dan 1,25 ha untuk padi unggul. Kendalanya disebabkan petani tidak mampu
menyediakan saprodi dan tenaga kerja bila menggarap lahan yang lebih luas. Oleh sebab
itu upaya memaksimalkan luas lahan yang bisa dikelola harus didukung penguatan
kemampuan dalam membeli saprodi serta membayar upah tenaga kerja luar keluarga.
3. 3.2. Penerapan teknologi.
Secara umum petani telah menerapkan teknologi, khususnya pada usahatani padi
unggul, yaitu sejak persiapan bibit, pengolahan tanah, pemeliharaan sampai panen. Pada
pembibitan, penerapan teknologi dalam hal waktu dan pemeliharaan bibit. Pengolahan
tanah telah banyak yang melakukan dengan traktor tangan, terutama untuk tanaman padi
unggul. Teknologi pemupukan juga telah diterapkan, walaupun dosis sedikit dibawah dari
dosis yang dianjurkan petugas, hal ini lebih disebabkan terbatasnya modal. Pada masa
pemeliharaan tanaman umumnya petani telah menerapkan pemberantasan gulma maupun
hama dan penyakit.
9
3.3.3. Pola Usahatani.
Kawasan eks. PLG lebih banyak dijadikan sebagai lahan sawah sehingga usahatani
dominan adalah padi. Dibeberapa lokasi dimana tipe luapan air pasang surutnya tipe B,
lahan sawahnya banyak ditata dengan sistem surjan. Pola tanam padi unggul dilakukan
pada musim April-September dan padi lokal pada musim Oktober-Maret. Tidak semua
petani di lokasi ini menanam padi unggul, namun pada umumnya mereka menanam padi
lokal. Padi unggul yang banyak ditanam adalah IR-66 dan padi lokal yang umum adalah
Siam.
Pertimbangan yang masih mengemuka mengapa petani lebih mengutamakan
menanam padi lokal adalah karena dua hal, pertama padi lokal tidak memerlukan
penanganan yang terlalu intensif sehingga tenaga kerja bisa dimanfaatkan untuk kegiatan
lain. Kedua harga jual padi lokal lebih mahal, bila harga padi unggul Rp.22.000,-/kaleng
(11 kg/kaleng), sedangkan harga padi lokal Rp.25.000,-
Usahatani yang memberikan penerimaan relatif merata sepanjang waktu adalah
pisang, yaitu pisang kepok. Panen pisang dapat dilakukan setiap setengah bulan dengan
hasil kurang lebih 8-10 tandan. Harga komoditas pisang kepok sangat bervariasi,
tergantung pada situasi dan kualitas produknya. Pisang dengan jumlah sisir 10-12 dibeli
oleh pedagang pengumpul dengan harga Rp 10.000-Rp 12.000/tandan. Daya tawar petani
dapat diperbaiki dengan teknik budidaya intensif seperti pengurangan jumlah anakan dan
pemupukan sehingga diperoleh produksi pisang dengan mutu baik dan seragam.
Dengan input rendah dan pemeliharaan yang tidak terlalu intensif, budidaya pisang
masih menguntungkan dengan nilai benefit cost ratio 1,09.
Tabel 2. Hasil Analisis Usaha Tani Beberapa Tanaman Tahunan di Desa Petak Batuah
KomoditasKomponen
Pisang Jeruk Mangga
GM (Gross Margin)BCR (Benefit Cost Ratio)IRR (Internal Rate of Return)NPV (Net Present Value)
556.8001.262.91
27.126,08
349.6001.09
15.04168.866,94
179.166,671.324.98
15415.56
Sumber : BBSDLP 2006, Karakterisasi Sosial ekonomi mendukung Prima Tani Dadahup-A2
Hewan ternak di Desa Petak Batuah adalah sapi dan kambing. Di samping itu,
hampir seluruh rumah tangga mempunyai ayam buras skala kepemilikan kecil (2-10
10
ekor). Ayam buras dipelihara dengan sistem ektensif dan semi intensif. Perkembangan
populasi cenderung stabil. Penjualan ternak ayam buras sangat mudah dengan harga Rp
20.000 - Rp 30.000/ekor. Peranan ayam buras tersebut sangat penting dalam upaya
mendapatkan uang tunai dengan mudah dan cepat.
Ternak sapi merupakan komoditas rintisan bantuan Presiden pada tahun 2006 yaitu,
jenis sapi Bali untuk penggemukan berjumlah 20 ekor yang dibagikan kepada 20
kelompok. Dalam perkembangannya terjadi kematian sebanyak 4 ekor, kematian diduga
oleh pengaruh pakan (rumput lokal) yang diberikan. Rumput lokal pertanaman di lahan
pasang surut memiliki kandungan mineral Ca rendah, sehingga apabila dikonsumsi sapi
akan menyebabkan defisiensi mineral, sehingga untuk mendukung pengembangan ternak
sapi dan kambing di Desa Dadahup A-2 diintroduksikan hijauan makanan ternak jenis:
legum (gliricideaae, gamal, turi) dan rumput unggul Brachiaria humidicola var Tully,
Brachiaria sp molato, Taiwan gross, Glisirida, dan Setaria spacelata dipinggir galangan.
Berdasarkan hasil analisis usaha sapi (Tabel.3), pemeliharaan sapi dalam satu
tahun masih menguntungkan walaupun kecil (B/C ratio 1,014). Sedangkan kepemilikan
kambing hanya terdapat 25 ekor. Dengan skala pemeliharaan kambing 10 ekor, dalam
satu tahun usaha ternak ini masih cukup menguntungkan dengan nilai B/C ratio 1,26.
Tabel 3. Analiasi Usaha Ternak Sapi dan Kambing di Desa Petak Batuah
Sapi KambingUraian Jumh Harga (Rp) Nilai (Rp) Jumlah Harga (Rp) Nilai Rp)
A. Biaya-Hewan bakalan-Mencari rumput (HOK)
- Biaya modal (13%)- Penyusutan kandang- Biaya tdk terduga
173
2.000.00025.000
2.000.0001.825.000
260.00029.16775.000
1095
200.00025.000
2.000.000237.500234.000
37.500100.000
Jumlah biaya 4.189.167 4.746.500
B. Penerimaan- Biaya kotor- Pendapatan
B/C
1 4.250.000 4.250.00060.833
1.014
10 600.000 600.0001.253.500
1,260
3.3.4. Penggunaan tenaga kerja.
Petani mengandalkan tenaga kerja keluarga dalam melakukan usahataninya. Secara
umum tenaga kerja utama terdiri dari satu kepala keluarga dan ibu taninya. Ketersediaan
11
tenaga kerja keluarga inilah yang membatasi kemampuan untuk memperluas
usahataninya. Bila harus membayar tenaga kerja upahan, harga upah harian cukup mahal
Rp 20.000,- - Rp 25.000,-/orang/hari. Pada kegiatan tanam dan panen, karena selang
waktunya relatif singkat, sebagian harus menggunakan tenaga kerja upahan, baik dengan
cara pembayaran tunai maupun bagi hasil. Upah bagi hasil umumnya dengan
perbandingan antara pemilik dengan pemanen adalah 4 : 1.
Berdasarkan kenyataan ini, upaya yang harus dilakukan adalah mengoptimalkan
pemanfaatan tenaga kerja keluarga dengan mengatur sistem usahatani yang memiliki
keterpaduan kuat, sehingga saling berkomplementer satu sama lainnya yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi.
Lapangan menunjukkan bahwa ada masa-masa dimana kegiatan usahatani kurang
memerlukan tenaga kerja yaitu pada menunggu saat panen pada bulan Agustus. Sebagian
masyarakat pergi keluar desa, mengambil upah panen di daerah lain yang lebih dulu
panen padi. Perluasan lahan garapan akan menimbulkan konsekuensi kebutuhan tenaga
kerja yang besar. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa untuk memanfaatkan lahan-lahan
yang terlantar perlu mendatangkan tenaga kerja dari luar disamping usaha meningkatkan
kemampuan daya garap lahan dengan introduksi alsintan.
3.3.5. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani.
Perimbangan antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani dapat
menggambarkan bagaimana kemampuan petani menyediakan modal untuk menjalankan
usahataninya. Pendapatan rumah tangga petani di daerah ini bersumber dari pendapatan
usahatani sendiri, buruh tani dan usaha lainnyan (Tabel 4). Pendapatan usahatani utama
bersumber dari usahatani padi yang dilakukan dua kali setahun yaitu padi unggul dan
padi lokal serta tanaman palawija, sayuran dan buah-buahan.
Dengan pendapatan sebesar Rp 787.291,25 per bulan, jumlah ini relatif cukup untuk
sebuah keluarga di pedesaan. Pengeluaran meliputi keperluan bahan makanan, kesehatan,
pakaian, pendidikan berjumlah Rp 7.012.000. atau sekitar Rp 584.333,33 per bulan. Bila
dibandingkan dengan pendapatan per bulan Rp 787.291,25 sehingga ada kelebihan
pendapatan sebesar Rp.202.957,92.
Tabel 4 mengindikasikan bahwa kontribusi terbesar pendapatan petani adalah dari
usahatani padi dan buruh tani, sedangkan usahatani lainya kontribusinya masih kecil.
12
Kondisi ini dapat ditingkatkan dengan pemanfaatan lahan optimal dan perbaikan teknik
budidaya komoditas yang bernilai ekonomis.
Tabel 4. Pendapatan rumah tangga petani di daerah pengkajian (per-tahun)
Sumber Pendapatan (Rp) % petani Kontribusi terhadappendapatan (%)
1.Usahatani : Padi unggul Padi lokal
2.Usahatani palawija Jagung
Kacang tanah Ubi jalar Ubi kayu
3.Sayuran
4.Buah-buahan Pisang Mangga
3.Mencari ikan
4.Buruh tani
5.Lainnya
Jumlah
2.257.1142.565.381
120.000300.000
25.00020.000
200.000
600.000 100.000
100.000
1.600.000
1.500.000
9.447.495
73,3100
301030
86,7
23,3
100
63,3
23,3
87,7
10,0
23,927,2
1,33,20,30,2
2,1
6,4
1,0
1,0
16,9
15,9
3.3.6. Kelembagaan Pendukung Usahatani
Kelembagaan pendukung yang ada di desa ini terdiri dari kelompok tani, P3A, dan
tenaga penyuluh. Kinerja dari kelompok tani belum maksimal. Kelembagaan permodalan
belum tersedia, sehingga berdampak pada terbatasnya kemampuan menerapkan teknologi
anjuran seperti pemupukan, sedangkan kelompok wanita tani belum terbentuk, walaupun
aktivitas usahatani sangat banyak dilakukan wanita tani. Kegiatan produksi maupun
pemasaran hasil dapat berhasil bila faktor pendukung kelembagaan berfungsi yaitu
adanya kelembagaan keuangan dan permodalan serta informasi dan penyuluhan.
Keterbatasan modal menjadi salah satu kendala utama petani dalam mengembangkan
usahatani intensif dan ekstensif, sedangkan peran lembaga informasi dan penyuluhan
penting dalam penyediaan dan penyebaran informasi terkini dari berbagai aspek terkait
dengan pengembangan pertanian atau agribisnis di kawasan eks PLG.
13
4. Model Introduksi Komoditas Jeruk dalam Pola Usahatani Padi – Jeruk diLahan Pasang Surut eks PLG
4.1. Pola Penataan Lahan di Desa Petak Batuah Dadahup A-2
Pola penataan lahan adalah dengan sistem surjan. Sistem surjan merupakan model
penataan lahan di lahan pasang surut dengan membagi lahan menjadi dua bagian yaitu
bagian yang disebut guludan (bagian yang ditinggikan) dan tabukan (bagian bawah).
Surjan dibuat dengan ukuran lebar 3 m dengan tinggi berkisar antara 50 - 60 cm
(tergantung tipe lahan), sedang jarak surjan (tabukan) 15 – 20 m. Keadaan ini sesuai
dengan hasil karakterisasi, dimana lokasi ini memiliki tipe luapan air B dan tergolong
lahan sulfat masam potensial, maka anjuran penataan lahannya adalah penataan lahan
dengan sistem surjan. Kondisi ini telah sesuai dengan sistem penataan lahan pasang surut
yang didasarkan atas tipologi lahan dan tipe luapan air, seperti dalam Tabel 5.
Tabel 5. Pola pemanfaatan lahan berdasar tipologi lahan dan tipe luapan air
Tipe Luapan Air
Tipologi Lahan A B C D
Potensial
Sulfat Masam
Bergambut
Gambut dangkal (0,5-1,0 m)
Gambut tengahan (1,0-2,0 m)
Gambut dalam (>2,0-3,0 m)
Gambut sangat dalam (>3,0 m)
Sawah
Sawah
Sawah
Sawah
-
-
-
Sawah/Surjan
Sawah/surjan
Sawah/surjan
Sawah
Konservasi
Konservasi
Konservasi
Sawah/surjan/tegalan
Sawah/surjan/tegalan
Sawah /tegalan
Tegalan/kebun
Tegalan/perkebunan
Tegalan/perkebunan
Konservasi
Sawah/tegalan/kebun
Sawah/tegalan/kebun
Sawah/tegalan/kebun
Tegalan/kebun
Perkebunan
Perkebunan
Konservasi
Sumber : (1) Alihamsyah, et al. (1998) dan (2) Widjaja-Adhi (1992)
Pengguna sistem surjan memungkinkan petani mempunyai akses yang lebih luas
dalam menentukan komoditas yang akan dikembangkan khususnya pada surjan, baik
untuk tanaman palawija (jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau) tanaman
sayuran, tanaman buah-buahan (jeruk), maupun tanaman perkebunan (kopi, dan kelapa).
Pada bagian tabukan karena kondisinya selalu berair, maka sesuai untuk pertanaman
padi. Terkait dengan hal ini, maka lahan yang telah ditata dengan sistem surjan harusnya
dapat ditanami dengan berbagai pilihan komoditas tersebut (SWAMPS–II, 1993).
Namun baru lahan tabukan yang secara terus menerus diusahakan untuk tanaman padi
lokal, sedangkan lahan guludan hanya sebagian yang memanfaatkan, terutama untuk
14
tanaman buah-buahan seperti pisang kepok, mangga dan kelapa. Selain lahan belum
optimal dimanfaatkan, komoditas yang ditanampun terkesan seadanya, tanpa dipelihara.
Upaya perbaikan yang dilakukan terhadap usahatani pisang yang telah ada di lahan usaha
(guludan) diarahkan kepada upaya pembersihan tanaman dan membersihkan dari semak
yang berpeluang sebagai sumber perkembangan OPT.
4.2. Introduksi Komoditas Jeruk dan Optimalisasi Penggunaan Lahan
Lahan pasang surut mempunyai sifat yang sangat heterogen. Pengembangan jeruk
dapat dilakukan pada lahan yang memang sesuai untuk jeruk maupun lahan bermasalah
seperti lahan gambut, dan pasang surut. Tanaman jeruk memiliki peluang keberhasilan
yang cukup tinggi jika diusahakan di lahan pasang surut, karena jeruk termasuk tanaman
yang relatif tahan terhadap pH rendah dan kadar salin tinggi. Pengembangan jeruk pada
lahan berair tanah dangkal membutuhkan bibit dengan sistem perakaran yang tidak
terlalu dalam.
Jeruk yang banyak diusahakan petani adalah jeruk “Siam Banjar”. Bibit jeruk Siam
yang ditanam dalam pengkajian ini berasal dari dua jenis sistem perbanyakan tanaman
yaitu dari okulasi dan cangkok. Beberapa kelebihan dari kedua cara perbanyakan ini
antara lain: (a) bibit okulasi, jenis batang bawah yang digunakan tahan terhadap
genangan, salinitas tinggi, penyakit busuk akar dan mampu mendukung pertumbuhan dan
produksi yang optimal, sehingga prospektif dikembangkan di lahan pasang surut eks
PLG. Bibit okulasi ini memiliki batang bawah Japaniss Citroen (JC) yang diketahui
relatif tahan terhadap salinitas tinggi dan memberikan keragaan yang cukup memuaskan
di lahan pasang surut.
Berdasarkan hasil penelitian untuk daerah pasang surut yang air tanahnya dangkal,
dianjurkan menggunakan bahan tanaman yang mempunyai perakaran dangkal yang
umumnya dimiliki oleh bibit jeruk yang diperbanyak dengan sistem okulasi, (b) bibit
cangkok, penggunaan bibit yang berasal dari cangkok dipilih agar kualitas buah yang
dihasilkan serupa dengan induknya, karena bibit cangkok dibuat dengan cara memilih
bagian tanaman dari pohon induk yang berdaun rimbun dan tidak menguning, berbuah
lebat dan berkualitas baik.
15
Pada lahan pasang surut bibit cangkok memiliki prospek yang baik untuk ditanam
terutama pada lahan dengan tingkat kedalaman piritnya > 50 cm. Hal ini disebabkan
sistem perakaran bibit cangkok memanjang ke bawah menyerupai akar tunjang sehingga
dikhawatirkan akan mengenai lapisan pirit yang kedalamannya < 50 cm. Penggunaan
bibit cangkok mempertimbangkan hasil survei tanah di Desa Dadahup A-2 yang
menunjukkan bahwa tingkat kedalaman lapisan pirit > 80 cm dan lahan tergolong
potensial, sehingga penggunaan bibit asal cangkokan tidak menjadi masalah.
Tabel 6. Komponen Teknologi Usahatani Jeruk di Lahan Pasang Surut, Dadahup A-2
Uraian JerukVarietas Siam MadangJenis Bibit Okulasi dengan jenis batang bawah JC dan CangkokKapur 5 kg/tan, diberikan 1-2 minggu sebelum tanamPupuk Kandang 5 kg/tan, diberikan 1-2 minggu sebelum tanamFuradan 15 g/tan, diberikan menjelang tanamUrea 50 g/tan/bln, diberikan selama 5 bulanSP-36 25 g/tan/bln, diberikan selama 5 bulanKCL 45 g/tan/bln, diberikan selama 5 bulan
Hasil pengkajian yang diperoleh pada tahun pertama menunjukkan bahwa
introduksi komoditas jeruk yang ditanam di lahan guludan telah meningkatkan jumlah
(luasan) lahan usaha yang telah dimanfaatkan. Data saat awal kegiatan/karakterisasi
terlihat bahwa dalam kawasan 38 ha, lahan guludan yang telah ditanami petani dengan
berbagai komoditas seperti pisang, mangga, kelapa, hanya terdapat 4 guludan saja atau
1,0 ha. Melalui introduksi komoditas jeruk, maka guludan yang sudah termanfaatkan
mencapai 19 guludan atau sekitar 4,75 ha, dengan populasi 3.000 tanaman jeruk dari
jenis okulasi dan cangkok.
Pengamatan terhadap karakteristik agronomis menunjukkan bibit yang berasal dari
bahan okulasi mempunyai perakaran yang sangat banyak, yang diamati pada saat
tanaman berumur satu bulan. Bibit okulasi ini juga mudah beradaptasi di lapangan dan
persentase kematian bibit di tingkat lapang hanya 2%. Kondisi ini sesuai dengan yang
ditulis Supriyanto dan Agus (2004), bahwa risiko kematian bibit yang berasal dari okulasi
lebih rendah dari bibit yang berasal dari cangkok, yaitu berkisar antara 0–5 %. Bibit yang
berasal dari cangkok, sebelum ditanam di lapangan perlu dilakukan domestikasi selama
16
2–4 minggu akibat stress dalam pengangkutan. Risiko kematian bibit yang berasal dari
cangkokan lebih besar yaitu 5 – 10 %. Pada pengkajian ini persentase kematian bibit
yang berasal dari cangkokan mencapai 12%. Dari pengamatan diketahui bahwa sebagian
petani tidak melakukan domestikasi terhadap bibit yang tersedia. Segera setelah bibit
tanaman jeruk mereka terima, secara beramai-ramai mereka membawa bibit ke lahan
usaha untuk ditanam. Alasan yang dikemukakan petani adalah apabila pertanaman jeruk
mereka lakukan setelah masa pemulihan (domestikasi) yang waktunya sekitar 2 minggu,
maka telah datang masa (periode) petani penyiapan lahan untuk menanam padi, tetapi
bagi petani yang benar-benar melakukan domestikasi bahkan dengan menyemai ulang ke
suatu lahan, diperoleh hasil yang baik dengan tingkat kematian 0%. Dari pengamatan ini
dapat dicermati bahwa terbatasnya tenaga kerja rumah tangga dan ketidak mampuan
petani mengatur waktu dalam proses produksi usahatani dapat menyebabkan inovasi
teknologi menjadi lambat diterima dan berkembang, yang pada akhirnya akan diperoleh
hasil yang belum optimal.
Karakter pertumbuhan lain yang diamati adalah sifat pertumbuhan memanjang ke
atas untuk bibit yang berasal dari cangkok, sehingga cenderung lebih tinggi dan jumlah
cabang lebih sedikit. Bibit yang berasal dari okulasi tumbuh lebih rimbun dan banyak
menghasilkan cabang-cabang baru, serta pertumbuhan daun yang seragam.
Pengamatan lain yang juga dilakukan saat pengkajian berlangsung sangat terkait
dengan kemampuan petani dalam berusahatani jeruk di lahan pasang surut, serta
pengalaman-pengalaman petani berusahatani jeruk. Hasil pengamatan ini dapat dijadikan
perbandingan antara teknologi yang ada di tingkat petani dengan yang diintroduksikan.
Petani yang menanam jeruk Siam sebelum kegiatan ini cenderung tidak menggunakan
input produksi. Sumber bibit yang ditanam berasal dari Sulawesi Selatan. Umur tanaman
saat ini mencapai 2 tahun. Dalam kawasan yang sama juga terdapat petani yang memiliki
tanaman jeruk yang umurnya telah mencapai 4,5 tahun dan telah menghasilkan, tetapi
jumlah tanaman tersebut sangat terbatas yaitu 2-5 tanaman. Kondisi inilah yang
selanjutnya dapat dibandingkan terutama dalam hal penerapan teknologi usahatani jeruk
di lahan pasang surut (Tabel 7).
17
Tabel 7. Perbandingan Teknologi Usahatani Jeruk pola Introduksi dan pola Petani
Uraian Pola Introduksi Pola PetaniVarietas Lokal Siam Madang Tidak diketahuiAsal bibit Kalimantan Selatan Sulawesi SelatanJenis bibit Okulasi dan Cangkok OkulasiJarak tanam 5 meter dalam guludan 3 meter dalam guludanPertanaman Dibuat tukungan di atas guludan Dibuat lubang tanamKapur 5 kg/tan -Pupuk kandang 5 kg/tan -Furadan 15 gr/tan -Urea 50 g/tan/bln diberikan 5 bulan 10 g/tan saat awal tanamSP-36 25 g/tan/bln diberikan 5 bulan 10 g/tan saat awal tanamKCL 45 g/tan/bln diberikan 5 bulan -
4.3. Perbaikan Usahatani Padi dan Model Usahatani Padi-Jeruk
Warga transmigrasi yang tinggal di Desa Petak Batuah Dadahup A-2 sebagian besar
berasal dari Jawa Barat dan NTB. Sejak kedatangan, mereka melakukan usahatani padi
unggul seperti di daerah asal mereka. Semua keperluan berusahatani terutama dalam hal
penyediaan sarana produksi seperti benih unggul, pupuk, dan pestisida mereka dapatkan
dalam bentuk bantuan pemerintah selama program PLG berlangsung. Varietas padi
unggul yang dibagikan saat itu kebanyakan IR-66, dengan produksi berkisar antara 3,5-
4,2 t/ha. Tingkat produksi yang cukup tinggi ini tidak berpengaruh banyak terhadap
pendapatan rumah tangga petani. Hal ini terjadi akibat padi varietas unggul sulit
dipasarkan di wilayah Kapuas. Penduduk Kabupaten Kapuas lebih memilih padi lokal,
karena padi lokal memiliki bentuk panjang dan ramping, rasa nasi pera dan berwarna
putih bersih. Karakteristik demikian sangat sesuai dengan selera masyarakat Banjar yang
banyak bermukim di Kapuas. Adapun padi unggul yang bentuknya agak bundar dan
pendek, rasa nasinya pulen, tidak sesuai dengan selera masyarakat sehingga kurang
diminati. Hasil panen padi unggul yang cukup banyak tersebut akhirnya hanya digunakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Setelah bantuan proyek berakhir, maka
berbagai dampak dari masalah tersebut mulai nampak, seperti: (a) petani tidak lagi
mengusahakan lahannya 2 kali dalam setahun, karena hasil semusim dianggap cukup dan
dapat digunakan untuk sepanjang tahun, (b) lahan usahatani menjadi bera pada waktu
tertentu, (c) petani mulai meniru pola usahatani padi lokal yang memiliki prospek pasar
18
dan nilai jual tinggi, (d) petani mulai terbiasa bertanam padi lokal sekali dalam setahun
dengan input rendah, (e) banyak waktu luang yang membuka kesempatan bagi petani
untuk berusaha non pertanian di luar desa, (f) aktivitas di luar desa meningkat bahkan (g)
terdapat warga yang meninggalkan desa.
Hingga saat ini petani sangat tergantung dengan usahatani padi lokal, namun
usahatani padi unggul juga sebagian mereka usahakan. Penggunaan varietas padi unggul
sudah mereka kombinasikan dengan cara-cara lokal, contohnya: varietas unggul yang
dikembangkan dengan cara semai, kebanyakan petani saat ini melakukan dengan cara
ditugal (mereka samakan dengan cara padi lokal).
Penerapan teknologi usahatani padi di lahan pasang surut, khususnya di lokasi
kegiatan diarahkan kepada upaya perbaikan terhadap pola usahatani padi yang dilakukan
petani. Pola yang dikembangkan dalam pengkajian ini adalah pola padi lokal – padi
unggul, yang diusahakan di tabukan dan budidaya jeruk di guludan. Model yang ingin
dihasilkan sejalan dengan optimalisasi pemanfaatan lahan yaitu padi (lokal-unggul) –
jeruk. Padi lokal diusahakan pada MT I (April-September), sedangkan padi unggul pada
MT II (Oktober-Maret). Varietas unggul yang ditanam pada pengkajian ini adalah IR-66,
IR-64 dan Ciherang. Komponen teknologi usahatani padi yang diterapkan di lahan
pasang surut meliputi beberapa komponen seperti dalam Tabel 8.
Hasil yang diperoleh dari renovasi usahatani padi menunjukkan bahwa pola tanam
padi dari sekali dalam setahun meningkat menjadi dua kali, khususnya di lokasi
pengkajian yang luasnya telah mencapai 52 ha (tahun ke tiga). Pola tanam padi dua kali
ini diharapkan dapat berkembang kembali di lahan eks PLG Dadahup A-2, dan jumlah
luasannya juga meningkat. Pola tanam padi lokal–padi unggul dapat meningkatkan
aktivitas dalam berusahatani dan lahan termanfaatkan secara optimal.
Tabel 9 menunjukkan bahwa dengan input penggunaan saprodi sesuai anjuran dapat
meningkatkan produksi padi sebanyak 3 ton/ha dibandingkan dengan teknologi yang
diterapkan petani. Dari data tersebut mengindikasikan ternyata petani tertarik pada
bagian-bagian paket teknologi anjuran tersebut, tetapi tidak secara penuh mengadopsinya.
Ketertarikan akan dilanjutkan dengan uji coba dan jika hasilnya seperti harapan mereka
barulah diadopsi Petani seringkali memodifikasi inovasi anjuran untuk disesuaikan
dengan pengetahuan, keperluan dan keterbatasan mereka yang mereka miliki.
19
Tabel 8. Komponen Teknologi yang Dianjurkan pada Kegiatan Pengkajian
Komponen Teknologi KeteranganVarietas unggul IR-66, IR-64 dan CiherangPengolahan Tanah Dengan cara dirotari dengan traktor tangan hingga siap tanamPemberian furadan Diberikan dipersemaian dan di pertanaman, dosis diberikan 4
kg/haPengapuran Jenis kapur dolomit, diberikan dengan cara disebar di lahan sekitar
1 minggu sebelum tanam. Dosis yang diberikan sebanyak 0,5t/hadisesuaikan dengan hasil analisis tanah setempat
Persemaian Dilakukan dengan cara membuat bedengan seluas 4m2, lahansemaian diolah hingga macak dan diberikan furadan serta kapur.Penyebaran benih padi dilakukan 2-3 hari setelah pegapuran.Jumlah benih yang digunakan adalah 1-2kg per bedengan.
Tanam Dilakukan dengan jarak 20cm x 20cm dan setiap lubang tanamdiisi dua anakan
Pemupukan penggunaan dosis pupuk berdasarkan hasil analisis tanah yaitu 200kg urea, 150 kg SP-36 dan 100 kg KCl per hektar. Pemupukandilakukan sebanyak dua kali, pemupukan pertama dilakukan saatumur tanaman seminggu setelah tanam, dengan memberikan 100kg urea, 75 kg SP-36 dan 100 kg KCl. Pemupukan keduadiberikan saat tanaman berumur tiga minggu setelah tanam denganmemberikan sisa dosis yaitu 100 kg urea dan 75 kg SP-36.
Pengendalian OPT Dilakukan sejak masa persemaian hingga panen. Cara-carapengendalian berdasarkan konsep Pengelolaan Hama secaraTerpadu. Dalam pelaksanaan ini petani juga mengumpulkan danmematikan hama-hama yang langsung ditemukan, penggunaanlampu perangkap, penggunaan jaring perangkap, pengumpananserta pengendalian terakhir dengan pestisida.
Tabel 9. Penerapan Teknologi Usahatani Padi yang Dilakukan dengan Pola Introduksidan Pola Petani di Desa Petak Batuah Dadahup A2
Penerapan PeknologiKomponen TeknologiPola Petani Pola Introduksi
VarietasKeperluan Benih (kg/ha)Pengapuran (kg/ha)Jarak Tanam (cm)Jumlah tanaman (btg/lbg)Pemupukan :Urea (kg/ha)SP-36 (kg/ha)KCl (kg/ha)Furadan (kg/ha)Produksi (t/ha)
IR-6640-
20 x 203
1005050-
2,4
IR-6630
50020 x 20
2
200150100
43,0
Selama penerapan teknologi secara umum tidak terlihat gejala serangan hama,
sehingga belum diperlukan pengendalian yang khusus, tetapi cukup dilakukan dengan
20
upaya pencegahan. Upaya pencegahan terhadap hama-hama yang berpotensi menyerang
pertanaman yang telah dilakukan petani antara lain dengan memagar tanaman padi
dengan menggunakan plastik dan mengumpan tikus dan klerat untuk menghindari tikus.
Hasil analisis finansial usahatani padi unggul yang dikembangkan menunjukkan bahwa
usahatani ini layak dikembangkan dengan R/C ratio 2,21 untuk padi unggul IR-66 ; 2, 38
untuk IR-64 dan 2,62 untuk varietas Ciherang (Tabel 10).
Tabel 10. Analisa usahatani padi varietas IR-66, IR 64 dan Ciherang, Dadahup A-2.
Biaya (Rp)Komponen
Jumlahkeperluan
(kg/ha)
HargaSatuan
(Rp) IR 66 IR 64 Ciherang
Sarana Produksi (kg/ha)Benih padi 30 5.000 150.000 150.000 150.000Furadan 3-G 3 13.000 39.000 39.000 39.000Kapur 500 500 250.000 250.000 250.000Urea 200 1.700 340.000 340.000 340.000SP-36 150 2.500 375.000 375.000 375.000KCl 100 3.000 300.000 300.000 300.000Pestisida 1 paket 200.000 200.000 200.000 200.000
Tenaga Kerja (OH/ha)Pengolahan tanah (ha) 1 450.000 450.000 450.000 450.000Tanam 10 25.000 250.000 250.000 250.000Pemeliharaan 5 15.000 75.000 75.000 75.000Panen & Pasca Panen 10 25.000 250.000 250.000 250.000Total biayaProduksi - - 2.679.000 2.679.000 2.679.000Penerimaan bersih (IR-66,IR 64,Ciherang)
(2,7 ; 2,9 ;3,2)
2.200 5.940.000 6.380.000 7.040.000
Keuntungan - - 3.311.000 3.751.000 4.411.000R/C Ratio - - 2,21 2,38 2,62
5. Peningkatan dan Penguatan Kualitas Sumberdaya Petani
Kelompok tani adalah kumpulan petani yang terikat secara non formal atas dasar
kesamaan lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan sumberdaya, mempunyai kepentingan
dan tujuan yang sama, yaitu ingin hidup lebih sejahtera. Kelompok tani yang ada di Desa
Petak Batuah sebanyak 16 kelompok tani, dan yang aktif hanya 11 kelompok tani atau
69%. Pembentukan kelompok berdasarkan hamparan. Pada bulan Juni 2007 telah
terbentuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Jumlah anggota kelompok tani rata-rata
25 orang. Kelompok tani diharapkan berperan (1) sebagai wahana belajar bagi petani
21
agar terjadi interaksi guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam
berusahatani, (2) sebagai unit produksi, kelompok tani merupakan kesatuan unit usaha
tani untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai usaha berskala ekonomi yang lebih
menguntungkan, dan (3) sebagai wahana kerjasama antar anggota dan antar
kelompoktani dengan pihak lain untuk memperkuat kerjasama dalam menghadapi
berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Menurut Hariadi (2004) faktor-
faktor yang mempengaruhi keberhasilan kelompok tani sebagai unit belajar, kerjasama,
produksi dan usaha adalah interaksi anggota, sikap terhadap propesi petani, kohesivitas,
norma kelompok, dan intensitas penyuluhan. Apabila ketiga fungsi tersebut telah berjalan
baik, kemudian dapat diarahkan menjadi unit kelompok usahatani atau agribisnis.
Kelompok tani yang terlibat dalam pengkajian ini adalah kelompok tani ”Sumber
Rezeki” yang terbentuk sejak tahun 2000. Aktivitas kelompok tani masih terbatas kepada
pelaksanaan usahatani dan pemenuhan syarat untuk penarikan kredit usahatani.
Pembentukan kelompok tani diharapkan bukan sebagai tujuan akhir, tetapi merupakan
sasaran antara untuk mencapai masyarakat tani yang mampu hidup sejahtera, mampu
berswasembada dan mampu menolong dirinya sendiri serta mampu memecahkan setiap
permasalahan yang dihadapi. Kegairahan kelompok tani dalam melakukan pengelolaan
usaha tani secara berkelompok dipengaruhi tokoh acuan seperti pamong desa dan
keberadaan penyuluh pertanian. Guna mengukur kemampuan kelompok tani dalam
mengelola usaha taninya, dapat dilakukan dengan merinci kriterianya (Tabel 11).
Tabel 11. Kriteria Kemampuan Kelompok Tani
Kriteria Nilai maks1. Kemampuan kelompok dalam merencanakan kegiatan untuk meningkat- kan produktivitas usahatani, termasuk pascapanen dan analisis usahatani dengan penerapan rekomendasi teknologi yang tepat dan s.daya alam 1002. Kemampuan melaksanakan dan mentaati perjanjian dengan pihak lain. 2003. Kemampuan memupuk modal dan memanfaatkan pendapatan secara rasional. 1504. Kemampuan meningkatkan hubungan yang melembaga antara kelompok tani dengan koperasi. 3005. Kemampuan mencari dan memanfaatkan informasi serta menggalang
kerjasama kelompok, yang dicerminkan oleh tingkat produktivitas dankesejahteraan anggota-anggota kelompok.
250
Total 1.000Sumber : Hariadi (2004).
22
Berdasarkan nilai dari setiap kriteria, nilai kelas kelompok tani ditentukan:
a) Kelompok tani kelas pemula, batas nilai antara = 0 - 250
b) Kelompok Tani kelas lanjut, batas nilai antara = 251 - 500
c) Kelompok Tani kelas madya, batas nilai antara = 501 - 700
d) Kelompok Tani kelas utama, batas nilai antara = 701 - 1000
Mengacu pada kriteria tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok tani
”Sumber Rezeki” Desa Dadahup A-2 masih tergolong pada kelas pemula. Secara umum,
semakin tinggi kelas kelompok, maka semakin beragam aktivitas kelompok tani.
Kelompok dengan kelas terendah yakni kelas pemula aktivitasnya dicirikan lebih
banyak menggalang pertemuan seperti: pertemuan rutin, arisan/kegiatan keagamaan dan
simpan pinjam yang lebih banyak sebagai ikatan untuk menimbulkan kesadaran (aware),
menggugah minat (interest) dan membuka wawawasan (understanding) pentingnya
berkelompok. Pada kelompok yang lebih tinggi kelasnya, yaitu kelas lanjut, kegiatannya
meningkat terutama untuk peningkatan produksi pertanian seperti pengadaan sarana
produksi (pupuk, bibit), arisan kerja atau gotong royong bergantian mengerjakan lahan
pertanian anggota-anggota kelompok, pelaksanaan tanam, pembersihan saluran,
pengendalian HPT, panen serta kegiatan menambah modal kelompok, yaitu persewaan
peralatan non pertanian. Pada tahapan ini peran kelompok diarahkan pada usaha untuk
menciptakan ikatan (cohesivitas) dan rasa percaya (trust) antar anggota kelompok.
Kelompok tani yang tingkat kelasnya lebih tinggi lagi yaitu, kelas madya,
kegitannya semakin meningkat mengarah kepada agribisnis, seperti persewaan peralatan
pertanian, warung kelompok yang dikelola kelompok menjual kebutuhan hidup sehari-
hari. Pada tahapan ini peran kelompok sudah menginjak pada fase berprestasi
(rewarding), karena pada tahapan ini kelompok sudah dibekali dengan suasana hubungan
yang harmonis antar anggota, norma kelompok sudah disepakati, tujuan, tugas dan peran
kelompok telah disepakati, keterbukaan dalam berkomunikasi antar anggota serta inovasi
telah berkembang. Sedangkan pada kelompok yang kelasnya paling tinggi, yaitu kelas
utama, kegiatan agribisnis lebih berkembang lagi, yaitu usaha peternakan, atau perikanan
kelompok, bahkan ada kelompok yang bermitra kerja dengan perusahaan peternakan
ataupun perkebunan. Pada tahapan ini peran kelompok diarahkan pada usaha penguatan
(reinforcement) kelompok untuk berprestasi dengan hal-hal yang telah dicapai.
23
Mengacu pada penjelasan indikator kelompok tani tersebut, maka diharapkan
kedepan pengembangan kelembagaan kelompok tani lahan pasang surut Desa Dadahup
A2 ditujukan kepada peningkatan kelas kelompok menuju pada kelompok yang lebih
maju dan mandiri, yaitu sebagai unit wahana belajar, sebagai unit produksi dan sebagai
wahana kerjasama antar anggota kelompok tani.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Potensi lahan pertanian di Desa Petak Batuah yang mencapai 800 ha, dapat
dimanfaatkan melalui penerapan inovasi teknologi yang bernilai ekonomis dan
berwawasan agribisnis. Pengembangan pola usahatani padi (lokal-unggul) di lahan
tabukan yang dipadukan dengan jeruk dan komoditas penunjang lainnya pada lahan
guludan, merupakan salah satu model pengembangan agribisnis industrial pedesaan yang
pendekatannya melalui optimalisasi pemanfaatan lahan dan diversifikasi usahatani.
Introduksi model usahatani berbasis komoditas agribisnis padi (lokal-unggul) -
jeruk dengan sistem surjan memiliki tingkat kesesuaian jika dikembangkan di lahan
pasang surut eks PLG Dadahup A-2. Model ini mampu meningkatkan indek pertanaman
padi dan mengoptimalkan fungsi lahan usaha (guludan dan tabukan). Pemanfaatan semua
bagian lahan usahatani selanjutnya dapat mempermudah diversifikasi komoditas menuju
usahatani agribisnis, sebagai cikal bakal unit agribisnis pedesaan.
Model kegiatan ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk menetapkan program
maupun kegiatan pengembangan usahatani berbasis agribisnis. Keberhasilan penerapan
model inovasi teknologi serta penguatan faktor-faktor pendukungnya diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas, pendapatan serta kesejahteraan masyarakat petani setempat
yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian daerah.
24
DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah, T., A. M. Faggi., I. G. Ismail., E. Ananto. 1998. Pengembanganproduktivitas tanaman pangan berwawasan agribisnis pada lahan rawa sejutahektar. Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian untuk MendukungPengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalteng. BPTP Palangkaraya.
BBSDLP. 2006. Laporan Akhir Identifikasi dan Evaluasi Potensi Lahan untukPewilayahan Komoditas Pertanian dalam Mendukung Prima Tani di Kec. KapuasMurung Kab. Kapuas. Prov. Kalimantan Tengah. Balai Besar Sumberdaya LahanPertanian. Bogor.
Hariadi, S. 2004. Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap KeberhasilanKelompok Tani sebagai Unit Belajar, Kerjasama, Produksi dan Usaha (Disertasi)Program Studi Psikologi Sosial. Sekolah Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
Karama, A. S. 1998. Kesesuaian komoditas pertanian potensial untuk dikembangkanpada lahan rawa sejuta hektar. Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajianuntuk Mendukung Pengembangan Lahan Rawa/Gambut Sejuta Hektar diKalimantan Tengah. BPTP Palangkaraya. (hal:86-99)
Puslittanak. 1998. Prosedur Baku untuk Evaluasi Lahan. Laporan Teknis No. 18 Versi3.0. Maret 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Puslittanak. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eskplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000(Lembar Samarinda MA-50). Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Supriyanto, A. dan S. Agus. 2004. Okucang Teknologi Pembibitan Jeruk Lahan PasangSurut. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. PusatPenelitian dan Pengembangan Hortiultura. Loka Penelitian Tanaman Jeruk &Hortikultura Subtropik. Malang.
Susilawati, Sabran, Ramli, R, Deddy,D, Rukayah, Rustan,M dan Koesrini, 2003.Pengkajian Sistem Usahatani Terpadu Padi-Kedelai/Sayuran-Ternak di LahanPasang Surut. BPTP Kalimantan Tengah. Palangkaraya.
SWAMPS II. 1993. Pengelolaan Sistem Usahatani di Lahan pasang Surut. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian.Petunjuk Teknis.
Widjaja Adhi, IPG., K. Nugroho, D. Ardi, dan A. Syarifuddin. 1992. Sumberdaya LahanRawa: Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Hal. 19-38. Dalam Partohardjono,S. dan M. Syam (eds). Risalah Seminar Pertemuan Nasional Pertanain Lahan RawaPasang Surut.