vol iv no 22 ii p3di november 2012

20
Putusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi Undang-Undang Migas Shanti Dwi Kartika *) Abstrak Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 menyatakan, BP Migas bertentangan dengan UUD N RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan didasarkan pada pertimbangan, BP Migas sebagai representasi dari negara telah mendegradasi makna hak menguasai negara. Keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Putusan tersebut menimbulkan berbagai kontroversi, namun demikian, putusan itu tetap dihormati dan dijalankan oleh stakeholders. Pemerintah untuk mengatasi kekosongan regulasi dan dalam rangka menjalankan putusan MK telah menerbitkan Perpres Nomor 95 Tahun 2012 dan mengalihkan tugas dan fungsi BP Migas kepada Kementerian ESDM. H U K U M A. Pendahuluan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK dalam putusan judicial review atas UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Putusan MK tersebut bermula dari pengajual judicial review UU Migas oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Pengujian UU Migas diajukan oleh 30 (tiga puluh) orang tokoh dan 12 (dua belas) organisasi kemasyarakatan. Para pemohon menilai, UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. BP Migas tidak memberi manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia dan lebih banyak menguntungkan kontraktor asing. Judicial review terhadap UU Migas telah diputuskan oleh MK pada tanggal 13 November 2012, dengan putusan Nomor 36/PUU-X/2012. Putusan MK mengabulkan sebagian dari permohonan uji materiil UU Migas. Salah satu dari putusan MK tersebut menyatakan, BP Migas bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara RepubIik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI 1945). Putusan tersebut sekaligus mengalihkan fungsi serta regulasinya kepada kementerian terkait. Putusan MK yang membubarkan BP Migas mengundang beberapa sikap dan membawa dampak bagi stakeholders yang berhubungan dengan minyak dan gas bumi pada umumnya dan BP Migas pada khususnya. *) Peneliti bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected] - 1 - Vol. IV, No. 22/II/P3DI/November/2012

Upload: yulia-indahri

Post on 05-Aug-2015

76 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Putusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi Undang-Undang Migas (Shanti Dwi Kartika) Alur Laut Kepulauan Indonesia dan Kepentingan Nasional (Simela Victor Muhamad) Efektivitas Pendidikan Agama untuk Mengantisipasi Tawuran (Herlina Astri) Pengelolaan Migas setelah Pembubaran BP Migas (Ariesy Tri Mauleny) Pembahasan Tiga RUU yang Terkait dengan Pemerintahan Daerah (Indra Pahlevi)

TRANSCRIPT

Page 1: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

Putusan Mahkamah Konstitusi atas Uji Materi Undang-Undang Migas

Shanti Dwi Kartika*)

Abstrak

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 menyatakan, BP Migas bertentangan dengan UUD N RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan didasarkan pada pertimbangan, BP Migas sebagai representasi dari negara telah mendegradasi makna hak menguasai negara. Keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Putusan tersebut menimbulkan berbagai kontroversi, namun demikian, putusan itu tetap dihormati dan dijalankan oleh stakeholders. Pemerintah untuk mengatasi kekosongan regulasi dan dalam rangka menjalankan putusan MK telah menerbitkan Perpres Nomor 95 Tahun 2012 dan mengalihkan tugas dan fungsi BP Migas kepada Kementerian ESDM.

H U K U M

A. Pendahuluan

Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK dalam putusan judicial review atas UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Putusan MK tersebut bermula dari pengajual judicial review UU Migas oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Pengujian UU Migas diajukan oleh 30 (tiga puluh) orang tokoh dan 12 (dua belas) organisasi kemasyarakatan. Para pemohon menilai, UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. BP Migas tidak memberi manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia dan lebih banyak menguntungkan kontraktor asing.

Judicial review terhadap UU Migas telah diputuskan oleh MK pada tanggal 13 November 2012, dengan putusan Nomor 36/PUU-X/2012. Putusan MK mengabulkan sebagian dari permohonan uji materiil UU Migas. Salah satu dari putusan MK tersebut menyatakan, BP Migas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RepubIik Indonesia Tahun 1945 (UUD N RI 1945). Putusan tersebut sekaligus mengalihkan fungsi serta regulasinya kepada kementerian terkait. Putusan MK yang membubarkan BP Migas mengundang beberapa sikap dan membawa dampak bagi stakeholders yang berhubungan dengan minyak dan gas bumi pada umumnya dan BP Migas pada khususnya.

*) Peneliti bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 1 -

Vol. IV, No. 22/II/P3DI/November/2012

Page 2: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

B. Putusan MK

Amar putusan Mahmakah Konstitusi dalam konklusinya menyatakan, pokok permohonan para pemohon beralasan hukum untuk sebagian. MK dalam salah satu amar putusannya mengadili dan menyatakan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, yaitu:a. Pasal 1, angka 23, Pasal 4 ayat 3, Pasal

41 ayat 2, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat 1, Pasal 59 huruf A, Pasal 61, dan Pasal 63 UU No. 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD N RI 1945;

b. Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat 3, Pasal 41 ayat 2, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat 1, Pasal 59 huruf A, Pasal 61 dan Pasal 63 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

c. Frasa dengan Badan Pelaksana dalam Pasal 11 ayat 1, frasa melalui Badan Pelaksana dalam Pasal 20 ayat 3, frasa berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat 1, frasa Badan Pelaksana dan dalam Pasal 49 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD N RI 1945;

d. Frasa dengan Badan Pelaksana dalam Pasal 11 Ayat 1, frasa melalui Badan Pelaksana dalam Pasal 20 ayat 2, frasa berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan dalam Pasal 21 ayat 1, frasa Badan Pelaksana dan dalam Pasal 49 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

e. Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam penjelasan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD N RI 1945;

f. Seluruh hal yang berkaitan dengan Badan Pelaksana dalam penjelasan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan

g. Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh pemerintah Cq kementerian terkait sampai diundangkannya undang undang yang baru yang mengatur hal tersebut.

C. Dasar Pertimbangan MK

Kedudukan dan wewenang BP Migas merupakan salah isu konstitusionalitas dalam pengujian UU Migas oleh MK. Pengujian isu konstitusionalitas tentang BP Migas dilakukan dengan berdasarkan pada hak menguasai negara yang terdapat dalam Pasal 33 UUD N RI 1945 serta merujuk pada Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 tertanggal 21 Desember 2004, Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 tertanggal 16 Juni 2011, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 tertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 tertanggal 20 September 2007.

BP Migas dibentuk untuk memisahkan antara badan regulasi dengan badan yang melakukan bisnis, yang kedua fungsi tersebut sebelumnya dilaksanakan oleh Pertamina. Keberadaan BP Migas bagi Pemerintah dimaksudkan agar Pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha migas. Konstruksi hubungan ini tidak sesuai dengan UUD N RI 1945 yang menentukan bahwa negara mempunyai hak menguasai atas (1) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan (2) bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD N RI 1945). Hak menguasai negara tersebut melahirkan kewenangan negara sebagai mandat dari Konstitusi untuk membuat kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan negara tersebut bersifat konstitusional apabila digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ini didasarkan pada Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 tertanggal 21 Desember 2004 dan Putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010.

Berdasarkan Konstitusi bentuk penguasaan tingkat pertama dan utama terletak pada negara dengan melakukan pengelolaan secara langsung terhadap

- 2 -

Page 3: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 3 -

migas, penguasaan negara tingkat kedua yaitu negara membuat kebijakan dan pengurusan, penguasaan negara tingkat ketiga yaitu negara melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan. Namun, UU Migas mengkonstrusikan BP Migas sebagai organ pemerintah hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan migas sedangkan pengelolaan migas secara langsung pada sektor hulu dilakukan oleh badan usaha milik negara maupun badan usaha bukan milik negara berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, efisien, dan transparan. Ini berarti bahwa hubungan BP Migas sebagai representasi negara dengan badan usaha-badan usaha tersebut dalam pengelolaan migas telah mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam migas, sehingga negara tidak dapat menjalankan kewenangannya dalam fungsi pengelolaan pengelolaan migas untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hubungan tersebut bertentangan dengan amanat konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD N RI 1945.

Selain itu menurut MK, penguasaan negara terhadap migas akan efektif apabila Pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy) tanpa ditambahi dengan pembentukan BP Migas sehingga seluruh aspek penguasaan negara yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD N RI 1945 terlaksana. Pengelolaan sumber daya alam migas harus dalam bentuk pengorganisasian negara yang disusun berdasarkan rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Ini dikaitkan dengan keberadaan BP Migas dan pola hubungan di dalamnya maka BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sehingga keberadaan BP Migas tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan. Selama ini belum ada bukti penyalahgunaan kekuasaan di dalam BP Migas, tetapi keberadaan BP Migas tersebut inkonstitusional karena

berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 tertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 tertanggal 20 September 2007, sesuatu yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh MK sebagai perkara konstitusionalitas.

D. Tindak Lanjut Putusan MK (Sikap Pemerintah)

Pemerintah menerima putusan MK dalam putusan Nomor 36/PUU-X/2012 yang menyatakan BP Migas bertentangan dengan UUD dan mengamanatkan, fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan pemerintah cq. kementerian terkait, sampai ada undang-undang baru yang mengatur hal tersebut. Ini menimbulkan kecemasan dari berbagai kalangan yang mempertanyakan kepastian hukum (legal certainty) terkait prediksi dari kebijakan dan regulasi (predictability over policy and regulation) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan dan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas. Perpres ini dimaksudkan untuk mencegah kevakuman aturan serta memberikan regulasi usaha hulu migas setelah BP Migas dibubarkan oleh MK. Pembentukan Perpres ini dilakukan untuk mentaati dan menjalankan putusan MK, agar pelaksanaan fungsi-fungsi pengawasan dalam industri perminyakan harus tetap berjalan dan mengembalikan seluruh fungsi BP Migas ke Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

E. Sikap DPR terhadap Putusan MK

Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 mengamanatkan dibentuknya undang-undang baru yang mengatur mengenai tugas dan fungsi BP Migas. Putusan tersebut mempunyai semangat untuk mengembalikan pengelolaan migas sesuai dengan UUD N RI 1945 yang mengamanatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat tersebut bisa

Page 4: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

ditafsirkan dengan pembentukan undang-undang baru ataupun dengan merevisi UU Migas. Sebelum ada Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012, revisi UU Migas telah berjalan proses pembentukan perubahan UU Migas termasuk BP Migas di DPR selaku lembaga legislasi. Pemerintah bersama-sama dengan DPR melakukan pengkajian ulang untuk membuat undang-undang baru di bidang migas. Untuk sementara tugas dan fungsi BP Migas dilaksanakan oleh Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP Migas) sebagai pengganti BP Migas sampai ada undang-undang mengenai Perubahan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Materi muatan undang-undang yang baru nanti (revisi UU Migas) selain mengenai fungsi pengawasan juga harus mengatur kewenangan negara yang lahir dari hak menguasai negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD N RI 1945. Selain itu, DPR dalam merevisi UU Migas harus memperhatikan konstitusi dan memberikan solusi komprehensif dan bisa mengantisipasi persoalan migas di masa mendatang.

F. Penutup

MK telah menyatakan, BP Migas bertentangan dengan UUD N RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta menyerahkan fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh kementerian terkait sampai dengan terbentuknya undang-undang yang baru. Putusan tersebut tertuang dalam putusan nomor 36/PUU-X/2012 sebagai putusan atas pengajuan judicial review UU Migas. Pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 95 Tahun 2012 sebagai upaya untuk menjalankan putusan tersebut, meskipun timbul kontroversi mengenai putusan MK berikut implikasinya. Untuk memberikan dasar hukum bagi industri migas dan menjamin kepastian hukum, pemerintah bersama-sama dengan DPR harus segara melaksana kan putusan MK tersebut dengan melakukan perubahan atau penggantian terhadap UU Migas dengan

menyelesaikan proses pembentukan rancangan undang-undang tentang perubahan UU Migas.

Rujukan:1. UUD N RI Tahun 1945.2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara Nomor 136 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152.

3. Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tertanggal 13 November 2012.

4. “Fungsi BP Migas ke ESDM, MK Bubarkan BP Migas,” Kompas, 14 November 2012.

5. “Inilah Amar Putusan MK Terkait BPMIGAS Bertentangan dengan UUD 1945,” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ index.php?page=web.Beri ta&id=7765, diakses 14 November 2012.

6. “Pemerintah siapkan perpres pascapembubaran BP Migas,” http://www.antaranews.com/berita/343428/p e m e r i n t a h - s i a p k a n - p e r p r e s -pascapembubaran-bp-migas, diakses 14 November 2012.

7. “Pemerintah Terima Pembubaran BP Migas,” http://www.tempo.co/read/news/2012/11/13/090441598/Pemerintah-Terima-Pembubaran-BP-Migas, diakses 14 November 2012.

8. “Perpres 95/2012 Agar Industri Migas Tidak Vakum,” http://www.komhukum.com/komhukum-detail-edukasi-744-perpres-952012-agar-industri-migas-tidak-vakum.html#.UKcQe2c_LMo, diakses 17 November 2012.

9. “Putusan MK Bubarkan BP Migas buat Situasi Darurat,” http://w w w . m e d i a i n d o n e s i a . c o m /read/2012/11/11/363453/284/1/Putusan_MK_Bubarkan_BP_Migas_buat_Situasi_Darurat, diakses 17 November 2012.

10. “Pro dan Kontra Pembubaran BP Migas,” http://m.detik.com/finance/read/2012/11/17/115546/2093178/1034/pro-dan-kontra-pembubaran-bp-migas, diakses 17 November 2012.

- 4 -

Page 5: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

Alur Laut Kepulauan Indonesia dan Kepentingan Nasional

Simela Victor Muhamad*)

Abstrak

Isu seputar Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) belakangan ini sempat menjadi pembahasan menarik di kalangan pemerhati kelautan, terlebih ada keinginan dari negara-negara tertentu yang menginginkan dibukanya ALKI barat-timur selain ALKI yang sudah ada selama ini. Bagi Indonesia keberadaan ALKI yang sudah ada saja, meskipun hal itu merupakan konsekuensi dari adanya pengakuan sebagai negara kepulauan setelah diakui oleh UNCLOS 1982, merupakan beban tersendiri karena harus menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran di jalur laut tersebut. Jika ada keinginan dari pihak-pihak tertentu untuk dibukanya ALKI baru (barat-timur), maka hal itu harus dikaji terlebih dahulu dari sisi kepentingan nasional.

HUBUNGAN INTERNASIONAL

A. Pendahuluan

Alur Laut Kepulauan (ALK) adalah konsekuensi yang harus diberikan negara-negara kepulauan setelah diakui The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) III pada 1982. Indonesia adalah negara kepulauan pertama yang mengusulkan penetapan alur-alur laut di kepulauannya. Negara yang terdiri dari gugusan pulau bisa disebut negara kepulauan dengan keuntungan dapat menarik garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari gugus kepulauan sebagai base line-nya. Adapun penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pertahanan keamanan negara dan kondisi hidro-oseanografi agar alur pelayaran aman dilalui setiap kapal. Hal ini merupakan

hasil bargaining diplomasi antar bangsa. Rezim negara kepulauan diwajibkan tetap memberikan akses lewat (navigasi) bagi kapal-kapal asing yang melintasi perairan kepulauannya (archipelagic waters), karena dulunya alur tersebut merupakan jalur tradisional yang biasa digunakan pelayaran internasional.

Penentuan ALK sendiri sebenarnya tidak diharuskan. Negara kepulauan boleh tidak menentukan ALK-nya, sehingga yang berlaku adalah semua kapal diperbolehkan melewati jalur-jalur navigasi normal yang biasa digunakan dalam pelayaran dunia (routes normally used for international navigation). Apabila negara menentukan ALK, maka kapal-kapal yang akan melewati rute tersebut harus mengikuti rute atau alur yang sudah ditentukan. Tidak boleh lagi bercabang-cabang dalam bernavigasi atau melipir

*) Peneliti Madya Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

Vol. IV, No. 22/II/P3DI/November/2012

- 5 -

Page 6: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 6 -

ke daratan seperti rute-rute terdahulu. Belakangan, seperti terungkap dalam Forum Maritim ASEAN di Filipina akhir Oktober 2012 dan juga sempat menjadi pembicaraan dalam pertemuan kelautan di Singapura awal November 2012, ada keinginan dari sejumlah negara terutama Amerika Serikat agar Indonesia membuka ALKI barat-timur, sebagai salah satu rute alternatif pelayaran mereka di samping tiga ALKI yang sudah ada. Terkait dengan adanya keinginan tersebut, Indonesia seyogianya mengkaji terlebih dahulu dari sisi kepentingan nasional.

B. Sejarah Penetapan ALKI

Sejarah penetapan ALKI dimulai di lingkungan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal) sekitar Februari-Maret 1991, khususnya di Direktorat Pengkajian (Ditjian), setelah mempelajari hasil UNCLOS 1982. Pada kesempatan itu dibicarakan tentang keharusan Indonesia menetapkan Sea Lane Passage melalui perairan yurisdiksinya untuk mewadahi pelayaran transit dari satu perairan ke perairan lain. Karena itu, Seskoal mengusulkan adanya pengkajian melalui Forum Strategi. Forum Strategi TNI AL ini dicanangkan untuk membicarakan hasil usulan ALKI pasca diterimanya UNCLOS 1982. Sebelum Forum Strategi dimulai, Ditjian menyiapkan segala sesuatu untuk Forum Strategi. Salah satu yang terpenting adalah Makalah Ajakan.

Dalam makalah itu diajukan tiga ALK, yaitu alur laut di kawasan barat, tengah, dan timur. Karena ALK berada di perairan Indonesia, maka diusulkan agar dinamakan ALK Indonesia, disingkat ALKI. Ketiga ALKI yang diusulkan tersebut ternyata diterima forum. Kemudian, pada 19 Mei 1998, Sidang Pleno Maritime Safety Committee (MSC) ke 69 secara resmi menerima tiga ALKI yang diusulkan Indonesia (41 tahun setelah Deklarasi Konsepsi Negara Kepulauan/Wawasan Nusantara pada 1957).

Sebelumnya, Konvensi Hukum Laut III yang diselenggarakan PBB di Chicago pada 1982, telah menghasilkan dua buah keputusan fenomenal. Yaitu

dengan diakuinya rezim zona ekonomi ekslusif (ZEE) dan rezim negara kepulauan (Archipelagic State). Lahirnya kedua rezim itu merupakan hasil dari negosiasi dan tawar menawar yang alot antara negara pantai dengan negara maritim yang selama ini menguasai lautan, baik untuk eksplorasi perikanan, pertambangan, pelayaran, perdagangan maupun jalur militer. Atas disahkannya rezim ZEE maka laut bebas (high sea) yang semula terbuka lebar untuk jalur pelayaran dan eksploitasi laut menjadi berkurang 200 mil laut dari tiap-tiap pulau yang ada. Kondisi ini jelas merugikan negara-negara maritim, seperti Amerika, Inggris, Jepang, Kanada dan lainnya.

Alasan mereka menerima konsep ZEE ini, dikarenakan salah satunya adalah mereka diberikan garansi tetap mendapatkan akses masuk ke wilayah laut tersebut baik untuk navigasi maupun eksploitasi. Di Bab V Artikel 58 dari Konvensi Hukum Laut Chicago ditegaskan dengan menyebut negara lain memiliki kebebasan bernavigasi di ZEE dan penerbangan di wilayah udara di atasnya dengan memperhatikan hak dan tugas negara pantai di ZEE, serta hukum dan peraturan lain yang berlaku secara internasional.

Tidak jauh beda dengan rezim ZEE, pengakuan konsep negara kepulauan juga hasil dari tarik ulur kesepakatan antara negara pengguna dengan negara pantai. Indonesia beserta beberapa negara yang memiliki karakter kepulauan, seperti Filipina, Solomon Island, Papua New Guinea dan negara lainnya baik dari Afrika maupun Amerika Latin, berusaha menggolkan konsep ini dengan segala cara. Termasuk salah satunya menerima syarat tetap memberikan akses navigasi kepada negara lain yang akan melewati negara kepulauan tersebut. Atas dicapainya kesepakatan tersebut negara-negara kepulauan di satu pihak mendapatkan keuntungan dengan bertambahnya luas wilayah laut, namun di sisi lain mempunyai tanggung jawab memberikan akses, baik laut maupun udara terhadap negara lain yang akan melintas di perairan kepulauan (archipelagic waters).

Page 7: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 7 -

Di antara negara-negara yang diakui dunia sebagai negara kepulauan, baru Indonesia yang sudah menentukan ALK dan sudah diserahkan ke pertemuan tahunan MSC ke-69. Sementara negara-negara kepulauan lainnya masih belum menetapkan ALK. Beban untuk menentukan ALK sepertinya mudah. Namun dalam pelaksanaannya berbenturan dengan kepentingan nasional yang lebih tinggi. Pelaksanaannya “bagai buah simalakama.” Dibuat jalur akan merugikan keamanan negara, tidak dibuat negara lain akan menuntut. Hal ini yang terjadi dengan Indonesia.

Dibukanya jalur ALKI membuat Indonesia menjadi negara terbuka. Karena itu, perairan dan ruang udara di jalur ALKI harus terjamin keamanannya dari segala bentuk gangguan dan ancaman. Meskipun demikian, ada juga manfaat yang didapatkan Indonesia dari ALKI, yaitu 1) Indonesia menjadi bagian penting dari terwujudnya sebuah ‘peradaban’ yang berhubungan dengan lautan; 2) Indonesia menjadi bagian penghubung penting dari Eurasian Blue Belt; 3) Indonesia mengambil peranan sangat besar dalam Global Logistic Support System dan khususnya terkait erat dengan SLOCS (Sea Lanes of Communications) dan COWOC (Consolidated Ocean Web of Communications); 4) Wilayah lautan dan ALKI Indonesia menjadi penghubung penting dalam HASA (Highly Accesed Sea Areas) dimana ketiga lautan yaitu Samudra Hindia, Laut China Selatan dan Pasifik bertemu didalamnya; 5) Terkait dengan World Shipping yang melintasi ALKI dengan muatan Dry Cargo maupun Liquid Cargo.

Mengenai manfaat ALKI bagi negara dan masyarakat Indonesia, Selat Malaka bisa menjadi acuan. Selat Malaka merupakan jalur terpendek lalu lintas barang dan suplai energi dari Timur Tengah, Eropa dan Afrika ke negara Asia Timur, seperti Jepang, China dan Korea Selatan, yang mampu memendekkan jarak tempuh hingga 2.000 km, dibandingkan alternatif jalur perjalanan laut melalui Selat Sunda. Jika terjadi suatu ‘gangguan’ di selat Malaka, maka dilihat dari lamanya pelayaran dari Malaka ke Selat Sunda

atau Lombok memerlukan tambahan 3 hari, ke Laut China Selatan lewat Lombok dan bagian Timur Filipina atau ke bagian Selatan Australia dari Indonesia ke Jepang memerlukan tambahan waktu sekitar 2 minggu.

C. ALKI Barat-Timur

Atas keputusan menyerahkan 3 jalur utara-selatan ALKI ke MSC, maka Indonesia sudah bersiap dituntut negara lain, seperti Amerika, Inggris, Australia, Kanada dan Jepang. Mereka menganggap penentuan ALKI tidak sesuai dengan ketentuan umum penentuan ALK. Yakni harus meliputi seluruh rute normally used for international navigation dari satu laut lepas/ZEE ke laut lepas lain. Mereka menyebutnya partial designation, karena Indonesia tidak memasukkan alur laut barat-timur dari Selat Karimata, Laut Jawa hingga ke Laut Arafuru. Jika Indonesia tidak menentukan rute ini maka sesuai Artikel 53-12 mereka bisa melintas dengan hak lintas ALK di seluruh rute pelayaran/penerbangan normally used for international navigation. Akhirnya, pada 1998 saat pertemuan MSC ke-72, delegasi Indonesia menjanjikan bahwa Indonesia akan memenuhi penentuan ALKI secara lengkap dengan memasukkan alur laut barat-timur.

Mengingat keputusan untuk memasukkan ALKI barat-timur ini sangat berisiko, maka Indonesia harus mengkaji secara sungguh-sungguh rencana itu karena hal itu sesungguhnya juga menyangkut kepentingan nasional. Melihat posisi strategis Jakarta, ibukota negara yang berada tepat di pesisir utara Laut Jawa, jika ALKI barat-timur jadi dibuka akan sangat rawan terhadap aksi infiltrasi udara maupun laut. Padahal untuk mengantisipasi hal tersebut sejak dulu Indonesia telah menerapkan ADIZ (Air Defense Identification Zone) di Pulau Jawa ke selatan agar setiap penerbangan yang menuju Jakarta (Jawa) termonitor. Faktor lain yang juga perlu diperhitungkan adalah kepadatan lalu-lintas baik laut maupun udara di atas laut Jawa yang memiliki banyak sekali bandara

Page 8: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

internasional, mulai dari Cengkareng, Yogyakarta, Solo, Surabaya sampai Denpasar. Selain itu, terdapat pelabuhan-pelabuhan besar, seperti Tanjung Priuk, Semarang, Gresik, Tuban dan Surabaya.

Beberapa titik Laut Jawa juga merupakan laut dangkal dengan kedalaman hanya 20-45 meter. Sehingga kurang aman digunakan untuk rute pelayaran besar. Tidak hanya itu, beberapa bagian laut di alur tersebut juga digunakan sebagai taman nasional dan cagar alam. Oleh karena itu, rencana pembukaan ALKI barat-timur juga perlu mempertimbangkan hal ini. Meskipun pernah ada suatu kejadian yang menggemparkan pada 2003, saat Armada ke-7 US Navy melintas di sepanjang Laut Jawa dan menerbangkan pesawat tempur Hornet-nya di perairan seputar pulau Bawean; sehingga memunculkan insiden Bawean yang sangat terkenal itu. Padahal, Armada US Navy juga sering berlayar menyusuri pulau-pulau kecil di sekitar perairan Natuna dan berlabuh di Singapura.

Pemerintah tampaknya mengalami kendala dalam memutuskan polemik ini. Di satu pihak Indonesia sudah berjanji ke dunia internasional untuk membuka jalur ALKI barat-timur. Di pihak lain, di dalam negeri masih terdapat pro dan kontra terhadap isu pembukaan jalur ALKI tersebut. Bagi sebagian kalangan, termasuk militer pembukaan jalur ini akan menambah beban pengamanan nasional sehingga menghendaki upaya diplomasi lanjutan untuk tidak membuka jalur ALKI barat-timur. Namun bagi kalangan akademisi, dengan berlandaskan pada hukum internasional, umumnya mereka berpendapat jalur tersebut sebaiknya dibuka.

Kedua pendapat itu memiliki kekuatan argumentasi yang sama. Satu pihak berpikir untuk kepentingan bangsa; sementara pihak lain memikirkan bangsa ini dari latar belakang pengetahuannya, bahwa jika Indonesia tidak membuka maka permasalahan yang akan dihadapi Indonesia akan lebih rumit. Sebagai jalan keluar, untuk sementara yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia terhadap

dunia internasional adalah menggelar survei kelautan untuk keamanan pelayaran di laut Jawa dan meyerahkan hasil-hasilnya ke lembaga internasional untuk meminta saran dan masukan. Melalui langkah ini diharapkan akan membuka mata dunia bahwa dengan alasan safety dan pelestarian taman laut serta cagar alam di Laut Jawa, keputusan akhir dari permasalahan ini akan lebih menguntungkan Indonesia, yaitu dibatalkannya pembukaan jalur ALKI barat-timur.

D. Penutup

Penetapan ALKI memang tidak dapat dihindarkan sebagai konsekuensi yang harus diberikan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan pasca UNCLOS 1982. Namun demikian, jangan sampai penetapan ALKI tersebut mengorbankan kepentingan nasional dan membawa implikasi luas bagi kelangsungan hidup bangsa terutama yang terkait dengan dunia kemaritiman. DPR, sebagai lembaga wakil rakyat yang memiliki fungsi pengawasan, sudah seharusnya juga mengawal berbagai rencana kebijakan yang akan diambil pemerintah, termasuk jika ada rencana yang berkaitan dengan penetapan ALKI. Jika penetapan ALKI tersebut dapat mengancam kepentingan nasional sebaiknya dipertimbangkan untuk ditolak.

Rujukan:1. “ASEAN Maritime Forum,” The Jakarta

Post, 29 Oktober 2012.2. “ALKI, Sebuah Peluang dan Ancaman,”

Media Indonesia, 12 November 2012.3. Robert Keohane, “U.S. Navy in Southeast

Asia Waters,” The International Herald Tribune, 12 November 2012.

4. “Indonesian Waters as international route,” The Jakarta Post, 12 November 2012.

5. “Perairan Indonesia Dipadati Pelayaran Asing,” Kompas, 13 November 2012.

6. “ALKI Barat-Timur akan Dibuka?,” Suara Pembaruan, 14 November 2012.

- 8 -

Page 9: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

Efektivitas Pendidikan Agama untuk Mengantisipasi Tawuran

Herlina Astri*)

Abstrak

Sejauh ini pihak sekolah didaulat sebagai pihak yang bertugas mengantisipasi tawuran mulai dari penegasan peraturan sekolah, penambahan ekstrakurikuler, kompetisi olahraga antarsekolah, hingga saran penghapusan seragam sekolah. Isu utama yang banyak dikemukakan untuk mengatasi tawuran antarpelajar adalah dengan menambah jam pelajaran agama. Namun, dikhawatirkan penambahan jam pelajaran agama hanya bersifat normatif dan tidak dapat menjadi solusi efektif untuk mengurangi adanya tawuran. Tiap sekolah seharusnya memberikan ruang bimbingan dan pembinaan akhlak bagi para siswa yang dilakukan secara khusus, rutin, bertahap, dan berkesinambungan.

K E S E J A H T E R A A N S O S I A L

A. Pendahuluan

Akhirnya pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memfasilitasi SMA 6 dan SMA 70 untuk melakukan mediasi terkait aksi tawuran antara kedua siswa di sekolah tersebut yang menelan satu korban jiwa beberapa waktu lalu. Beberapa solusi, diantaranya:1. Penanganan jangka pendek (sampai 1

bulan ke depan):(1) Menciptakan ketenangan dan

kedamaian siswa dengan cara mengawal kegiatan siswa baik internal maupun eksternal sekolah dengan melibatkan aparat keamanan, alumni, dinas pendidikan, dan Kemendikbud, sebagai bentuk kepedulian agar siswa-siswa tidak ragu saat masuk sekolah;

(2) Kegiatan yang sifatnya massal mohon dipikirkan kembali, dan direkomendasikan untuk diundur sampai kondisi kondusif;

(3) Mengaktifkan pos terpadu, menyiapkan CCTV, piket, dan ikut patroli;

(4) Melakukan kegiatan pembinaan untuk siswa-siswa yang berpotensi masalah, dengan kegiatan pembinaan seperti: ESQ, kegiatan khusus kerjasama yang melibatkan semua pihak, program pembela negara, perkuatan solidaritas;

(5) Sekolah harus menerapkan disiplin internal masing-masing; dan

(6) Meningkatkan peran POTK/WOTK kedua sekolah.

b. Penanganan jangka menengah:

(1) Penguatan kualitas pendidikan

*) Peneliti bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected]

- 9 -

Vol. IV, No. 22/II/P3DI/November/2012

Page 10: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

agama, agar dapat terimplementasi secara riil;

(2) Kepala sekolah beserta jajaran melakukan penguatan pendidikan karakter yang ditugaskan kepada semua guru;

(3) Perlu dilakukan pembinaan secara berjenjang mulai dari guru mata pelajaran, wali kelas, guru BK, wakil kepala sekolah, sehingga tidak ada pembiaran;

(4) Penguatan kegiatan ekstrakurikuler sebagai sarana untuk mengekspresikan diri;

(5) Program bersama, agar dilanjutkan dan diperkuat karena merupakan cara untuk menghilangkan sekat-sekat yang ada;

(6) Walikota Jakarta Selatan diminta melakukan penataan lingkungan sekitar sekolah SMA 6 dan SMA 70;

(7) Konsolidasi alumni, diharapkan ada komunikasi antara alumni senior dengan alumni junior, agar tidak terjadi intervensi kepada siswa-siswa yang lain; serta

(8) Menciptakan budaya sekolah yang sehat, aman, nyaman, dan damai.

Sesuai kesepatakan konsolidasi, wacana peningkatan efektivitas pelajaran agama menjadi isu yang dianggap penting sebagai solusi masalah tawuran. Di satu sisi, nilai-nilai afeksi yang ada dalam pelajaran agama dapat digunakan untuk meredam perilaku-perilaku menyimpang remaja, tapi di sisi lain, muncul pertanyaan, apakah cukup hanya dengan menambah pelajaran agama saja dalam penanganan masalah tawuran?

B. Pendidikan Agama Sebagai Solusi Tawuran

Pendidikan agama adalah suatu usaha penanaman nilai-nilai pada anak yang sedang tumbuh agar muncul sikap dan budi pekerti yang baik, agar dapat memelihara perkembangan jasmani dan rohani secara seimbang saat ini dan masa mendatang. Agama dalam hal ini lebih dimaksudkan pada moral, akhlak, etika, kesantunan, dan sebagainya.

Menurut Paulo Freire, seharusnya pendidikan agama berorientasi pada proses pembelajaran secara critical thinking. Pembelajaran agama secara critical thinking memungkinkan peserta didik untuk menguak substansi agama, membedakan nilai partikular dan universal agama, dan tidak terjebak pada fanatisme semata. Critical thinking tidak hanya kritis terhadap teks dan pendapat orang lain, tapi juga kritis terhadap diri sendiri. Seringkali sikap kritis hanya terhadap pendapat orang atau agama lain, tapi tidak kepada diri sendiri atau agama sendiri. Hal tersebut menyebabkan banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya.

Materi pendidikan agama seharusnya masuk dalam seluruh mata pelajaran dan dicontohkan oleh orang dewasa. Materi agama bukan sebatas pengetahuan untuk menurunkan kekerasan dan tawuran pada anak. Kekuatan cinta dan ketulusan hati yang diajarkan dalam pendidikan agama jika dapat diaplikasikan akan menciptakan anak yang lembut, penyayang dan bertanggung jawab, sehingga tidak ada niat untuk menyakiti orang lain, apalagi terlibat dalam tawuran.

Pendidikan Agama merupakan bagian dari pendidikan karakter. Berbicara tentang tawuran antarpelajar tidak lepas dari peran keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Beberapa kasus tawuran yang terjadi ditenggarai berasal dari motif balas dendam, rasa setia kawan, yang kemudian berujung pada penempatan rasa solidaritas yang keliru dalam diri remaja. Meskipun saat ini telah banyak dilakukan penanganan terhadap perilaku tawuran, namun belum terlihat dampak yang optimal dalam dunia pendidikan.

C. Penanganan Tawuran yang Tidak Tepat Sasaran

Pada umumnya pelaku tawuran berusia muda dan dikuasai emosi. Dalam pemahaman mereka, sebuah masalah yang dibicarakan secara baik-baik tidak akan memberikan jalan keluar apapun. Hal ini dikarenakan masing-masing pihak merasa pasti benar, lebih benar,

- 10 -

Page 11: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 11 -

atau paling benar. Oleh karena itu, bagi mereka tawuran merupakan satu-satunya solusi terbaik dalam pemecahan masalah. Muncul sebuah kesalahan penempatan rasa solidaritas di kalangan remaja bahwa jika salah satu anggota mereka “disakiti,” maka komunitasnya juga merasa “disakiti.”

Menurut Imadha, dalam diri manusia ada dua hal utama yang harus dikuasai agar tidak terlibat dalam peristiwa tawuran. Pertama, penguasaan harus dilakukan terhadap emosi yang berlebih. Sangat sulit seseorang berpikir (maupun belajar) dengan rasio ketika emosinya sedang berlebih. Dalam hal tawuran, ketika emosi menyebabkan tindakan irasional, maka maksud dari itikad menjadi rancu. Mungkin saja maksud sebenarnya adalah baik dan belum tentu buruk (sekadar ikut-ikutan). Jika meminjam istilah men sana in corpore sano, maka di dalam tubuh yang sehat akan terdapat jiwa yang kuat.

Kedua, buruknya itikad yang dapat dipicu dari emosi berlebih dan mengacaukan pikiran rasional (kalap). Itikad buruk juga dapat disebabkan oleh rasio dan ketenangan emosi. Contoh, koruptor kelas kakap yang bermain cantik. Semua memerlukan ketenangan emosi dalam berpikir dan juga rasio untuk berstrategi. Diperkirakan hal tersebut bukan hanya mengenai emosi tetapi lebih ke masalah ego.

Pemahaman tersebut dapat dipelajari sejak dini, dalam proses kehidupan, sampai dengan titik di mana seseorang berhenti untuk menerima pengetahuan. Pendidikan agama dan budi pekerti menjadi penting jika penyebab tawuran adalah karena emosi, itikad, dan ego. Belum dipahaminya akar masalah tawuran menyebabkan beberapa gagasan yang dimunculkan untuk menangani masalah tersebut menjadi keliru dan berjalan tidak efektif. Kedua gagasan tersebut perlu dievaluasi dengan mempertimbangkan efektivitasnya dalam menangani tawuran. Perlu dipertimbangkan juga kondisi selama ini di mana perumusan kebijakan dan langkah-langkah penanganan tawuran tidak melibatkan pelaku tawuran sehingga gagasan pencegahan dan penanggulangan menjadi tidak tepat sasaran.

Tawuran merupakan manifestasi perilaku (motorik) dan pikiran (kognisi). Oleh karena itu yang diperlukan adalah pencerahan-pencerahan psikologis tentang cara mengendalikan emosi yang baik dan cara berpikir tentang segi negatifnya tawuran. Mereka yang terlibat dalam sebuah tawuran cenderung memiliki pengendalian emosi yang lemah. Hal ini membutuhkan perhatian dari semua pihak terutama untuk memberikan bimbingan psikologis agar mereka memahami psikologi pribadi maupun psikologi sosial yang memadai. Sangat dibutuhkan perubahan pola pikir yang keliru ke arah pola pikir yang benar.

D. Penyelesaian Tawuran Tidak Hanya Orientasi Afeksi

Jika penambahan jam pelajaran agama menjadi pilihan penyelesaian masalah tawuran, maka sebaik pelajaran tersebut menekankan pada pembentukan karakter pribadi serta membuat sistem mentoring agama. Dalam hal ini diperlukan sistem pelajaran agama dengan bimbingan dari kakak-kakak kelas maupun alumni yang akan menyibukkan siswa dengan hal-hal positif, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Tiap sekolah seharusnya memberikan ruang bimbingan dan pembinaan akhlak secara khusus untuk para siswa yang dilakukan secara rutin, bertahap dan berkesinambungan. Jadi untuk mengatasi tawuran bukan hanya masalah penambahan jam, tapi lebih kepada bagaimana peraturan ditegakkan untuk memberikan efek jera pada setiap siswa.

Sebelum menambah jam pelajaran pada sistem pendidikan sekarang, ada baiknya lebih fokus memikirkan bagaimana para pelajar tersebut dapat mengendalikan emosinya. Jika dikaitkan dengan mata pelajaran lain di sekolah sebenarnya dapat dilakukan kegiatan lain misalnya melakukan yoga saat pelajaran olahraga untuk menenangkan batin seseorang dibanding menyalurkan emosi, atau bermain catur yang lebih mengandalkan rasio dibanding emosi untuk memenangkan pertandingan.

Page 12: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 12 -

Mayoritas orang berpendapat pada penguatan afeksi peserta didik melalui pendalaman agamanya masing-masing. Padahal peserta didik juga perlu memperkuat kognitif dan kemampuannya untuk berperilaku sesuai dengan aturan yang ada. Peserta didik harus dibekali dengan pengetahuan, pemahaman, dan pola perilaku yang benar-benar menyadarkan mereka bahwa tawuran hanya akan memberikan kerugian pada dirinya dan orang lain.

E. Penutup

Perlu evalusi terhadap kebijakan-kebijakan terkait jalannya pendidikan di Indonesia saat ini. Kurikulum yang berat cenderung memicu tingkat stres. Stres tinggi kemudian dikurangi dengan melakukan tindakan-tindakan destruktif. Jika diberikan penambahan pada jam pelajaran agama, dimungkinkan stres peserta didik akan semakin meningkat.

Pendidikan agama yang sarat dengan nilai-nilai luhur belum tentu dalam praksisnya menghasilkan manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebab pendidikan agama masih diajarkan secara eksklusif, doktriner, single-sided, dan tanpa membuka ruang dialog, yang akhirnya mungkin menghasilkan pribadi-pribadi yang eksklusif dan kurang/tidak toleran. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang materi muatan dan cara penyampaikan pendidikan agama selama ini.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi tawuran:1. Menghapuskan budaya perpeloncoan

di sekolah yang banyak berisi kegiatan-kegiatan menghukum, memberikan contoh tindak kekerasan, dan lain-lain yang ditujukan untuk menekan peserta didik yang baru masuk. Orientasi siswa baru seharusnya benar-benar berisi kegiatan untuk membantu peserta didik beradaptasi dengan lingkungan belajar yang baru.

2. Menghidupkan kembali muatan P4 dalam kegiatan orientasi, karena sarat dengan nilai-nilai menghargai, mengasihi, dan menghormati sesama manusia.

3. Meningkatkan kembali program pertukaran pelajar agar setiap peserta didik belajar mengenali dan memahami budaya yang dimiliki orang lain. Hal ini akan sangat membantu mengurangi kesalahpahaman yang terjadi antarpelajar sehingga mereka menganggap peserta didik lain sebagai saudaranya sendiri, bukan sebagai musuh.

4. Jika tawuran terlanjur terjadi, maka pelaku tawuran dapat dikenai sanksi berupa pemberian pelayanan pada masyarakat atau lebih dikenal dengan istilah pengabdian masyarakat. Selain memberikan kesempatan pada mereka untuk memperbaiki diri, pelaku tawuran juga akan belajar tentang nilai-nilai hidup dari masyarakat sekitar.

DPR RI perlu memberi perhatian yang lebih besar pada perkembangan dunia pendidikan. Tidak hanya pada porsi legislasi dan pengawasan anggaran saja, tetapi juga melakukan evaluasi terhadap detail pelaksanaan proses belajar mengajar melalui kerja sama dengan pihak-pihak terkait.

Rujukan:1. “Berikut Poin Kesepakatan antara SMA 70

& SMA 6 Jakarta,” http://jakarta.okezone.com/read/2012/09/28/500/696629/redirect, diakses 18 November 2012.

2. “Peran Orang Tua dalam Mengatasi Tawuran Pelajar,” http://mjeducation.co/peran-orang-tua-dalam-mengatasi-tawuran-pelajar/, diakses 12 November 2012.

3. Hariyanto Imadha, “Psikologi: Beberapa Gagasan yang Keliru untuk Mencegah dan Mengatasi Terjadinya Tawuran,” http:/ /kesehatan.kompasiana.com/ke j iwaan /2012 /09 /28 /p s i ko log i -beberapa-gagasan-yang-keliru-untuk-mencegah-dan-mengatasi-terjadinya-tawuran/, diakses 22 Oktober 2012.

4. “Solusi Mengurangi Tawuran Antarpelajar,” http://cariinfo-nesya.blogspot.com/2012/10/5, diakses 12 Oktober 2012.

5. Agus Nuryatno, “Kontribusi Pendidikan Agama Dalam Memperkuat Masyarakat Pluralistik Demokratik (Perspektif Islam),” http://interfidei.or.id/index.php?page=article&id=2, diakses 20 November 2012.

Page 13: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

Pengelolaan Migas setelah Pembubaran BP Migas

Ariesy Tri Mauleny*)

Abstrak

Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang membubarkan BP Migas dan ditindaklanjuti Presiden dengan menerbitkan PP No 95/2012 yang mengalihkan fungsi BP Migas menjadi Unit Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (UPKHM Migas) di bawah Kementerian ESDM. Dalam rangka menjamin keberlanjutan ekonomi di bidang migas maka Pemerintah, DPR, dan pemangku kepentingan lainnya perlu menjamin: Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tetap dapat menjalankan aktivitasnya; Pengalihan asset dan pegawai BP Migas; Penyelesaian amandemen UU Migas; Penyusunan arsitektur industri migas; dan audit BP Migas secara transparan dan akuntabel.

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

A. Pendahuluan

Tanggal 13 November 2012, MK mengeluarkan putusan yang membubarkan badan strategis BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) sebagai jawaban dari pengujian UU Migas terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK menilai, pemisahan antara badan yang melakukan fungsi regulasi dan pembuatan kebijakan dengan lembaga yang melakukan pengelolaan dan bisnis Migas secara langsung, mengakibatkan terdegradasinya penguasaan negara atas sumber daya alam Migas.

Putusan MK tersebut langsung ditindaklanjuti Presiden dengan PP No 95/2012 tentang pengalihan fungsi BP Migas menjadi Unit Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (UPKHM Migas) di bawah Kementerian ESDM. Namun Putusan MK tersebut menuai beragam pandangan dari para ahli maupun pemangku kepentingan baik yang pro maupun kontra.

- 13 -

B. Beberapa Pertimbangan dalam Pembubaran BP Migas

UU Migas sejak awal telah menuai kontroversi, karena adanya desakan internasional untuk mereformasi sektor energi khususnya Migas menyangkut (1) reformasi harga energi dan (2) reformasi kelembagaan pengelola energi. Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia. Salah satu upaya desakan internasional melalui Memorandum of Economic and Finance Policies (letter of Intent IMF) tertanggal 20 Januari 2000 adalah mengenai monopoli penyelenggaraan Industri Migas yang pada saat itu dituding sebagai penyebab inefesiensi dan korupsi mendorong monopoli pengelolaan Migas melalui BUMN (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU Nomor 8 Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi berpindah ke konsep oligopoli korporasi.

Vol. IV, No. 22/II/P3DI/November/2012

*) Peneliti bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected] atau [email protected]

Page 14: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 14 -

Saat ini pengelolaan Migas menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) yang merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq Menteri ESDM dan menjadi dasar pelaksanaan pengelolaan migas nasional yang di dalamnya terdapat frasa “atau bentuk kontrak kerja sama lain“ telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak lainnya tersebut dan multitafsir maka kontrak kerja sama akan dapat berisikan klausul-klausul yang tidak mencerminkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan didalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

BP Migas lahir atas perintah Pasal 4 ayat (3) UU Migas yang menyatakan menjadikan konsep Kuasa Pertambangan menjadi kabur (obscuur). Hal ini dikarenakan BP Migas yang bertugas mewakili negara untuk menandatangani kontrak, mengontrol dan mengendalikan cadangan dan produksi migas sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 44 UU Migas telah mereduksi makna Negara. Selain itu, BP Migas bukan operator (badan usaha) namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker, truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian Negara sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri menjadikan makna “dikuasai negara“ menjadi kabur dikarenakan tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara yakni mencakup fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara keseluruhan.

Ketiadaan komisaris/pegawas dalam kedudukan BP Migas sebagai BHMN yang mewakili pemerintah dalam kuasa pertambangan berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas dikarenakan secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat dan berdampak kepada cost recovery tidak memiliki ambang batas yang jelas. Berdasarkan data dari hasil audit Badan

Pemeriksa Keuangan, selama 2000-2008 potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tidak tepat mencapai Rp. 345,996 triliun rupiah per tahun atau Rp. 1,7 milliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali menemukan 17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang pasti dapat menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit.

BP Migas dianggap telah mengambil alih seluruh transaksi migas bersamaan dengan semakin menipisnya cadangan minyak dan semakin mahalnya biaya eksplorasi serta eksploitasi untuk menemukan sumur baru. Kewenangan superbesar yang digenggam BP Migas selama ini dianggap berpotensi menjadi abuse of power dan conflict of interest. Sejalan dengan itu, BP Migas dianggap tidak mampu menangkap skala prioritas pemanfaatan migas untuk kepentingan dalam negeri.

BP Migas juga dinilai telah menggerogoti kedaulatan negara. BP Migas mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak migas dengan perusahaan asing dalam pola business to government (B to G) sehingga kedudukan pemerintah dan kontraktor asing jadi setara. Sementara itu, implementasi kepemilikan atas sumber daya migas alam (SDA) migas sengaja dikaburkan dengan tidak adanya pihak yang membukukannya karena BP Migas tidak punya neraca. Keberadaan BP Migas menimbulkan tata kelola migas Indonesia menjadi lemah ditandai dengan produksi anjlok, cost recovery melonjak, karyawan BP Migas meningkat 10 x lipat sehingga membebani negara dan melanggar Konstitusi.

!

Bagan Hubungan Fungsi Pemerintah dan Non-Pemerintah dalam Industri Migas Nasional

Page 15: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 15 -

C. Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi Tahun 2005 s.d 2012

Menurut Data Pokok APBN Tahun 2005 s.d 2012 Kementerian Keuangan, penerimaan Negara yang bersumber dari migas mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun bahkan kontribusi penerimaan sektor migas terhadap APBN cenderung mengalami penurunan. Padahal menurut data BP Migas terdapat perkembangan wilayah kerja dalam tahun 2002 s.d 2012, di mana pada tahun 2002 terdapat kira-kira 107 wilayah kerja dan pada tahun 2012 terdapat sekitar 293 wilayah kerja.

Dalam tahun 2008, benefit yang diperoleh sebesar Rp166,02 triliun padahal targetnya Rp174,48 triliun dalam rentang kondisi membaiknya nilai tukar dan harga ICP. Selain itu, BP Migas juga memasang lima program strategis untuk menggenjot lifting yaitu restrukturisasi organisasi BP Migas, optimalisasi sumur tua, mempercepat pelaksanaan lapangan yang on-stream 2008–2013, program EOR (enhance oil recovery), serta program menghilangkan kendala fiskal, hutan, tanah, otoda, dan keamanan.

Namun, sampai sekarang, evaluasi program itu tak tersebar luas. Lifting malah terus merosot sehingga menambah beban negara dalam mengimpor BBM. Ditambah lagi, ketika penerimaan migas semakin merosot, kewajiban cost recovery justru meningkat.

Pada 1980-an, produksi minyak mentah pernah mencapai 1,6 juta bph dan bertahan di atas 1 juta bph sampai 2002. Justru ketika BP Migas sudah dibentuk, tingkat lifting minyak terus merosot. Pada 2003, lifting masih berkisar 1,1 juta bph dan pada 2004 menjadi 1,09 juta bph. Pada 2005, lifting tinggal 999 ribu bph (target APBN 1,075 juta bph). Pada 2006, lifting 959 ribu bph (target 1 juta bph) dan pada 2007 tinggal 899 bph (target 950 ribu bph). Pada 2008, terealisasi 978 ribu bph (target 1,034 juta bph); pada 2009 dihasilkan 945 ribu bph (target 960 ribu bph); dan pada 2011 mencapai 898 ribu (target 975 ribu bph). Tahun 2012 ini, lifting berkisar 870 ribu bph, padahal target APBN 930 ribu bph. Gap rata-ratanya mencapai 135 ribu bph. Jika rata-rata harga minyak ICP berkisar USD 109 per barel (per Oktober 2012), dapat dihitung berapa potential loss setiap tahun. Ironisnya, BP Migas malah

Tabel Persentase Penerimaan Sektor Migas terhadap Pendapatan Negara (Miliar Rupiah)

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Pendapatan Negara

Penerimaan Perpa-jakan

347,031.1 409,203.0 490,988.7 658,700.8 619,922.2 723,306.7 878,685.2 1,019,332.4

Pajak Penghasilan PPh Migas

35,143.2 43,187.9 44,000.5 77,018.9 50,043.7 58,872.7 65,230.7 58,665.8

Persentasi PPh Migas thd Penerimaan Perpajakan

10.1% 10.6% 9.0% 11.7% 8.1% 8.1% 7.4% 5.8%

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

146,888.5 226,950.2 215,119.7 320,604.6 227,174.4 268,941.9 286,567.3 272,720.2

Penerimaan SDA Migas

103,762.1 158,086.1 124,783.7 211,617.0 125,752.0 152,733.2 173,167.3 156,010.0

Persentase PNBP SDA Migas thd Total PNBP

70.6% 69.7% 58.0% 66.0% 55.4% 56.8% 60.4% 57.2%

Hibah 0.0 1,834.1 1,697.8 2,304.0 1,666.6 3,023.0 4,662.1 825.1

Total Pendapatan Negara

493,919.6 637,987.3 707,806.2 981,609.4 848,763.2 995,271.6 1,169,914.6 1,292,877.7

Pajak Penghasilan Sektor Migas

138,905.3 43,187.9 44,000.5 77,018.9 50,043.7 58,872.7 65,230.7 58,665.8

Persentase Pen-erimaan Migas thd Total

28.1% 6.8% 6.2% 7.8% 5.9% 5.9% 5.6% 4.5%

Sumber: Kementerian Keuangan

Page 16: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 16 -

menjadi pelopor kenaikan cost recovery yang harus dibayarkan negara kepada kontraktor migas sebagai kompensasi saat eksplorasi dan produksi.

Pada 2003, nilai cost recovery masih USD 5,1 miliar, kemudian USD 7,126 miliar (2004); naik ke USD 7,4 miliar (2005); USD 7,8 miliar (2006); dan USD 8,34 miliar (2007). Tahun ini double digit USD 13,34 miliar. Nilai cost recovery per barel adalah USD 11,1 pada 2004, lantas naik ke USD 11,54 (2005); USD 12,13 (2006); dan USD 14 (2007). Sungguh ironis sebab lifting rata-rata turun 3,3 persen per tahun, tapi cost recovery naik rata-rata 6 persen per tahun.Tahun ini, nilai cost recovery per barel sudah sangat luar biasa, USD 42,62 per barel.

Joseph Stiglitz (2007) pernah memberikan indikasi bahwa struktur biaya pada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan kontrak produksi sharing (KPS) Indonesia jauh lebih besar daripada Libya, Venezuela, dan Iran dari cost recovery ini. Rata-rata biaya produksi untuk mendapatkan minyak mentah per barel adalah USD 5,11 dan biaya operasi USD 9,1 per barel. Jika ditambah ongkos cost recovery USD 42,62 per barel, maka biaya per barel total menjadi USD 56,83. Menurut Exxonmobil (2007), misalnya, biaya maksimal eksploitasi minyak adalah USD 10 dan operasi USD 15, sehingga perusahaan asing bisa mendapatkan keuntungan sampai USD 31,83 per barel jika menambang minyak di Indonesia.

D. Penutup

Setelah pembubaran BP Migas maka Pemerintah, DPR, dan segenap pemangku kepentingan lain yang terkait perlu segera melakukan langkah-langkah strategis di antaranya:1. Pemerintah menjamin KKKS yang tercatat

saat ini yang terdiri dari blok produksi sebanyak 73 KKKS dan blok eksplorasi sebanyak 242 KKKS dengan 224 wilayah kerja tetap dapat menjalankan aktivitasnya di bawah koordinasi kementerian ESDM.

2. Pemerintah bersama DPR segera menyelesaikan pembahasan amandemen UU Migas, memperbaiki pasal-pasal tertentu untuk dimaksimalkan sehingga mendorong tata kelola migas yang transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

3. Pemerintah dalam hal ini diwakili Kementerian ESDM sesegera mungkin

menyusun arsitektur atau postur industri migas ke depan yang membuka ruang bagi pengembangan sumber daya energi yang renewable (energi baru terbarukan) dengan mengendepankan pemenuhan kepentingan nasional.

4. Migas harus tetap dikuasai oleh negara yang dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola secara profesional dengan membentuk BUMN yang melakukan sendiri kegiatan hulu migas sebagai amanat Pasal 33 UUD N RI 1945.

5. Regulator dan operator migas harus terpisah di mana kontrak migas dengan swasta/asing dilakukan melalui BUMN dan cadangan migas dapat menjadi cadangan BUMN yang bisa dikapitalisasi untuk kepentingan nasional.

6. Pemasaran dan pengawasan produk dikoordinasikan dari dalam negeri melalui Kementerian ESDM dengan mengutamakan kepentingan domestik.

7. BPK segera mengaudit laporan keuangan dan manajemen pengelolaan migas Satuan Kerja Sementara Pelaksana Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP Migas) untuk menjaga tingkat governance sehingga ada pertanggungjawaban saat terjadi perpindahan otoritas dari BP Migas menjadi unit usaha di bawah Kementerian ESDM.

Rujukan:

1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

2. Putusan MK Nomor: 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Data Pokok APBN Tahun 2005 – 2012, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

4. “Minyak dan Gas Bumi; Kontraktor Diminta Tetap Beroperasi,” Kompas, 17 November 2012.

5. “Fungsi BP migas ke ESDM, MK Bubarkan BP Migas, Kompas, 14 November 2012.

6. “Pasca Bubarnya BP Migas,” Hikmahanto Juwana, Kompas, 17 November 2012.

7. “Ekonomi Pembubaran BP Migas,” Effnu Subiyanto, Forum Pengamat Kebijakan Publik, http://www.sumeks.c o . i d / i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _c o n t e n t & v i e w = a r t i c l e & i d = 1 9 7 5 %3Aekonomi-pembubaran-bp-migas.

Page 17: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

Pembahasan Tiga RUU yang Terkait dengan Pemerintahan Daerah

Indra Pahlevi*)

Abstrak

Saat ini DPR sedang membahas tiga RUU terkait dengan Pemerintahan Daerah yaitu RUU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), RUU tentang Desa, dan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Ketiga RUU tersebut berasal dari Pemerintah dan merupakan upaya perbaikan terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan cara memecahnya menjadi tiga undang-undang. Dalam proses pembahasannya, dua RUU yaitu RUU tentang Pemda dan RUU tentang Desa diserahkan kepada Panitia Khusus (Pansus), sementara RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah diserahkan kepada Komisi II untuk membahasnya. Tiga RUU ini memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga pembahasannya harus paralel. Jika terdapat kendala dalam pembahasannya, maka harus dilakukan harmonisasi antara ketiganya dan harus ada satu kesepakatan prinsip terhadap beberapa hal krusial seperti pembagian kewenangan/urusan antartingkatan pemerintahan yang terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerahnya. Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah harus ada satu RUU yang didorong selesai terlebih dahulu dalam waktu dekat guna memberikan kepastian pengaturan tentang Pemerintahan Daerah.

PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

A. Pengantar

Hampir bersamaan Pemerintah mengirimkan tiga RUU yang terkait dengan Pemerintahan Daerah. diawali masuknya RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah dengan Surat Presiden bernomor R-65/Pres/12/2011 tanggal 15 Desember 2011, lalu RUU tentang Desa dengan Surat Presiden bernomor R-02/Pres/01/2012 tanggal 4 Januari 2012, dan kemudian diakhiri dengan masuknya RUU tentang Pemerintahan Daerah dengan Surat Presiden bernomor R-11/

Pres/01/2012 tanggal 24 Januari 2012.Masuknya tiga RUU ini adalah

amanat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011 yang mengamanatkan perlu diperbaikinya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan dipecah menjadi tiga undang-undang, yaitu yang berkaitan dengan Pemerintahan Daerah secara umum, lalu tentang Desa, dan terakhir tentang Pemilihan Kepala Daerah. Tiga substansi itu sebelumnya berada dalam satu undang-undang (UU No. 32/2004). Atas dasar perlunya perbaikan, maka

- 17 -

Vol. IV, No. 22/II/P3DI/November/2012

*) Peneliti Madya bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected] atau [email protected]

Page 18: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 18 -

dilakukan penyempurnaan sistem pemerintahan daerah yang hingga saat ini masih mencari bentuk terbaiknya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengan pemerintahan daerah secara umum masih terdapat persoalan khususnya terkait dengan sifat otonomi antartingkatan pemerintahan yakni antara provinsi dan kabupaten/kota. Terhadap Desa, fokusnyaa dalah bagaimana menciptakan sebuah system perdesaan yang lebih baik disertai pemberdayaan bagi desa dan masyarakatnya serta mengakui keberagaman yang ada sebagaimana diamanatkan Pasal 18B UUD 1945. Terhadap pemilihan kepala daerah, dilakukan perbaikan sistem yang selama ini dinilai masih kurang optimal dan masih menimbulkan berbagai dampak. Namun demikian, harus diakui bahwa praktek pemilihan sejak tahun 2005 hingga sekarang sudah cukup demokratis dan masyarakat terlibat dalam prosesnya.

Selanjutnya dalam pembahasan di DPR RI, terhadap dua RUU yaitu RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Desa diserahkan kepada Panitia Khusus (Pansus), sementara RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah diserahkan kepada Komisi II. Sebelumnya, RUU Desa-pun akan dibahas olehKomisi II, namun akhirnya dialihkan kepada Pansus.

B. Materi Krusial

Terdapat beberapa materi krusial dari ketiga RUU tersebut yang saling berkaitan, sehingga pembahasannya harus parallel dan perlu dilakukan sinkronisasi serta harmonisasi, yaitu:1. Landasan konstitusional yakni Pasal 18,

Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD Negara RI Tahun 1945.

2. Pemahaman tentang Otonomi yang sangat terkait dengan model pengaturan serta implementasinya di lapangan.

3. Kedudukan dan sifat Daerah Provinsi dan kabupaten/Kota.

4. Pembagian Urusan/Kewenangan antar Tingkatan Pemerintahan.

5. Mekanisme Pemilihan dan Persyaratan Kepala daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.

6. Syarat, Tugas, dan Wewenang Wakil Kepala Daerah.

7. Otonomi Desa.Dari ketujuh materi krusial tersebut

dapat kita lihat elaborasinya satu persatu. Pertama, terhadap landasan

konstitusional meskipun ketiga RUU tersebut menggunakan Bab tentang Pemerintahan Daerah dalam UUD 1945, perlu ditegaskan bahwa pengaturan tentang pemerintahan daerah ini baik RUU tentang Pemerintahan Daerah, RUU tentang Desa, dan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah harus dalam kerangka Negara Kesatuan RI sebagai fundamen atau dasar dari pemahaman tentang otonomi daerah.

Kedua, sejalan dengan masalah pertama, maka pemahaman terhadap otonomi daerah harus dalam kerangka mencapai kesejahteraan masyarakat melalui pengaturan yang lebih baik dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi serta adanya peran pemerintah yang efektif efisien dalam menggerakkan masyarakat bertindak positif.

Ketiga, terhadap kedudukan dan sifat daerah provinsi serta kabupaten/kota harus benar-benar jelas tanpa interpretasi yang multitafsir, sehingga hubungan antara dua tingkatan pemerintahan tersebut tidak seperti “kucing“ dan “tikus.” Selama ini kabupaten/kota merasa lebih memiliki otonomi karena memiliki masyarakat dan wilayah, sementara provinsi merasa sebagai wakil pemerintah di daerah. Hal tersebut harus jelas irisannya, sehingga antartingkatan pemerintahan jelas tugas, fungsi, dan wewenangnya. Kedududukan Daerah Provinsi dan Gubernur yang berstatus sebagai daerah otonom juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tercermin dalam sistem pemilihan Gubernur dalam RUU Pilkada dari Pemerintah. Sementara kedudukan Daerah kabupaten/kota berbeda dalam penekanan otonominya

Page 19: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 19 -

atau sifat lokalitasnya di mana kabupaten/kota lebih menjalankan sifat desentralisasi dalam pemerintahannya yang tercermin dalam pengaturan tentang mekanisme pemilihan kepala daerah (baik gubernur maupun bupati/walikota).

Keempat, terhadap pembagian urusan/kewenangan antartingkatan pemerintahan merupakan persoalan yang senantiasa muncul di setiap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Format Pilkada mengandung konsekuensi bahwa fungsi yang diemban oleh pemerintah daerah provinsi berbeda dengan fungsi yang diemban pemerintah daerah kabupaten/ kota. Provinsi cenderung menjalankan dekonsentrasi dengan sifat regionalitasnya, sedangkan kabupaten/ kota cenderung menjalankan desentralisasi dengan sifat lokalitasnya. Urusan yang didesentralisasikan di provinsi lebih kurang 25% dan dekonsentrasi 75%. Sedangkan urusan yang didesentralisasikan di kabupaten/ kota lebih kurang 75% dan dekonsentrasi 25%. Hal itu sangat terkait dengan ketentuan pembagian kewenangan/urusan antartingkatan pemerintah di RUU Pemda (Bab V RUU Pemda).

Kelima, terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah seperti yang tergambar dalam elaborasi nomor 4 di atas, maka akan sangat terkait dengan bagaimana pembagian urusan/kewenangan antartingkatan pemerintahan, sehingga dapat memberikan kejelasan hubungan antara keduanya (provinisi dan kabupaten/kota). Untuk diketahui bahwa dalam draft RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah untuk pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD provinsi, sementara pemilihan bupati/walikota tetap melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Terhadap persyaratan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memang diatur terpisah. Persyaratan wakil kepala daerah diatur dalam RUU tentang Pemerintahan Daerah karena RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah tidak mengatur tentang sistem paket. Posisi wakil kepala daerah diisi oleh pejabat karir, sehingga persyaratannya pun diatur terpisah. Hal itu

berlaku untuk posisi wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota. Persoalan inilah yang harus diselesaikan melalui proses sinkronisasi dan harmonisasi antarRUU.

Keenam, terhadap syarat, tugas, dan wewenang wakil kepala daerah akan sangat terkait dengan persoalan kelima di atas. Tentang syarat wakil kepala daerah, tidak diatur dalam RUU tentang Pilkada karena mekanisme pemilihan dan/atau penetapannya dilakukan melalui mekanisme lain yakni Pemilihan tidak secara paket. RUU Pilkada tidak mencantumkan pemilihan gubernur bersama wakil gubernur serta pemilihan bupati/walikota bersama wakil bupati/walikota secara eksplisit. Penjelasan Pemerintah, posisi wakil kepala daerah tidak sejajar dengan kepala daerah karena dalam sejarah pemda di Indonesia telah lama mengenal adanya wakil kepala daerah yang tugas utamanya membantu kepala daerah. Namun realitanya, tugas tersebut tidak terlalu berjalan ideal mengingat kuatnya dimensi politik karena perbedaan latar belakang politik diantara keduanya. Pengaturan wakil kepala daerah tidak lagi berada dalam ruang lingkup RUU pilkada karena pemilihan kepala daerah tidak satu paket dengan wakil kepala daerah sehingga posisi wakil kepala daerah tidak lagi dilihat sebagai suatu jabatan politik, melainkan jabatan karir yang ditunjuk oleh kepala daerah. Ketika pilihannya wakil kepala daerah adalah pejabat karir, maka akan berkonsekuensi kepada kedudukan wakil kepala daerah tersebut dan berdampak kepada syarat, tugas, dan wewenangnya. Sementara jika kemudian diputuskan dalam kesepakatan bahwa posisi wakil kepala daerah adalah pejabat politik seperti sekarang ini, maka akan berdampak juga kepada tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu syarat, tugas, dan wewenang wakil kepala daerah diatur dalam RUU Pemda (Bab VI Bagian Ketiga Paragraf kedua RUU Pemda). Namun demikian juga akan sangat tergantung pada keputusan politik pembentukan UU ini nantinya.

Page 20: Vol IV No 22 II P3DI November 2012

- 20 -

Ketujuh, terhadap otonomi desa perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan. Sebagaimana amanat Pasal 18B yang menegaskan diakuinya berbagai ragam satuan khusus di masyarakat, maka desa menjadi sebuah entitas yang harus diperhatikan serta diberdayakan melalui pengaturan yang baik. Naskah Akademis (NA) RUU tentang Desa menegaskan bahwa otonomi desa mengandung 3 makna: (a). Hak desa untuk mempunyai, mengelola atau memperoleh sumber daya ekonomi-politik; (b) Kewenangan untuk mengatur atau mengambil keputusan atas pengelolaan barang-barang publikdan kepentingan masyarakat setempat; dan (c) Tanggung jawab Desa utnuk mengurus kepentingan publik (rakyat) desa melalui pelayanan publik.

Guna menyelesaikan berbagai persoalan di atas, maka dilakukan koordinasi antar pimpinan yaitu Pimpinan Pansus RUU tentang pemda, Pimpinan Pansus RUU tentang Desa, dan Pimpinan Komisi II. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat diambil pada pertemuan pertama tanggal 23 Oktober 2012 yaitu perlu adanya pemetaan masalah yang saling terkait antar 3 (tiga) RUU tersebut sehingga dalam proses pembahasannya tidak saling menyandera; perlunya sinkronisasi dan harmonisasi terhadap masalah yang saling terkait tersebut; dan perlunya didorong salah satu RUU untuk segera diselesaikan terlebih dahulu. Dari ketiga RUU tersebut yang paling mungkin adalah RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah untuk segera diselesaikan dengan melihat kompleksitas persolan dari ketiga RUU tersebut. Selanjutnya dilakukan pertemuan kedua tanggal 20 November 2012 yang menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain: Perlunya skenario jadwal dari setiap RUU disertai dengan

skenario pembahasan substansinya; Setiap Pansus atau Komisi melakukan pembahasan berdasarkan sistem kluster dan jika ditemui kendalan substansi dan memiliki keterkaitan dengan RUU lainnya, maka dipending lalu dilakukan komunikasi serta sonkronisasi; dan perlu dilakukan komunikasi dengan Pimpinan DPR terkait dengan skenario pembahasannya.

C. Penutup

Pembahasan terhadap tiga RUU yang terkait dengan Pemerintahan Daerah yaitu RUU tentang Pemerintahan Daerah, RUU tentang Desa, dan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah harus bersinergi satu sama lain, karena materinya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai sebuah sistem pemerintahan daerah yang dibangun dalam kerangka Negara Kesatuan RI. DPR RI baik melalui Pansus maupun Komisi II, perlu segera menyelesaikan tiga RUU tersebut, sehingga pengaturan dan penataan sistem pemerintahan daerah dapat berjalan dengan lebih baik.

Rujukan:1. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.2. Naskah RUU tentang Pemerintahan

Daerah.3. Naskah RUU tentang PemilihanKepala

Daerah.4. Naskah RUU tentang Desa. 5. Naskah Akademis RUU tentang

Pemerintahan Daerah.6. Naskah Akademis RUU tentang

Pemilihan Kepala Daerah.7. Naskah Akademis RUU tentang Desa.8. Hasil Rapat Pimpinan Pansus dan

Komisi II, tidak dipublikasikan.