vol. xvii, no. 1, januari - juni 2020 issn: 1693-9867 (p

35
Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p); 2527-5119 (e)

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p); 2527-5119 (e)

Page 2: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p); 2527-5119 (e)

Editorial Team:

Editor in-ChiefIslah Gusmian, IAIN Surakarta

Editorial BoardMahrus eL-Mawa, Kementerian Agama Republik Indonesia Jakarta

Media Zainul Bahri, UIN Syarif Hidayatullah JakartaMuhammad Irfan Helmy, IAIN Salatiga

M. Endy Saputro, IAIN SurakartaNashruddin Baidan, IAIN Surakarta

Managing EditorNur Kafid, IAIN Surakarta

EditorSubkhani Kusuma Dewi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Yuyun Sunesti, UNS Solo

Editorial AssistantNur Rohman, IAIN SurakartaSiti Fathonah, IAIN Surakarta

ReviewerM. Faisol Fatawai, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang

Muzayyin Ahyar, IAIN SamarindaFadhli Lukman, Universität Freiburg, Germany

Ahmad Fawaid Sjadzili, IAIN MaduraAhmad Fuad Fanani, University of Toronto, Canada

Jajang A Rohmana, UIN Sunan Gunung DjatiKamaruzzaman Bustamam Ahmad, UIN Ar-Raniry-Banda Aceh

Alamat Redaksi:Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Surakarta.

Jl. Pandawa No. 1, Pucangan, Kartasura, Jawa Tengah, 57168Phone: +62271-781516, Fax: +62271-782774.

e-mail: [email protected]: http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-araf

Page 3: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p); 2527-5119 (e)

Tabel of Content

From Formalization of Sharia to Islamic Conservatism: The Post Reform of Islamic Movement Phenomena in West SumateraZulfadli, Dewi Anggraini, Mhd. fajri ............................................... 1

The Politics of Halal Label: Between Economic Piety and Religious AmbiguityM. Zainal Anwar, Yuyun Sunesti, Ihsan .......................................... 25

Perpetuation of Radical Ideology: Depersonalization and Agency of Women After the Banning of Hizbut Tahrir IndonesiaInayah Rohmaniyah .............................................................................. 45

Immortalitas Orang Saleh dan Ekspresi Keyakinan atas Konsep BerkahAbdul Najib ............................................................................................ 67

Tinjauan Semiotika Atas Pemahaman Hadith dalam Kitab Fath Albari Karya Ibn Hajar Al‘asqalaniBenny Afwadzi ........................................................................................ 97

Landasan Qur’ani dalam Hubungan Antar Agama:Titik Temu Hermeneutika Gerak Ganda dan Tafsir FilosofisThabathabaiAmrizal ...................................................................................................... 139

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah dalam Naskah AmbulungDi Kalimantan SelatanNur Kolis .................................................................................................. 169

Author Guideline .......................................................................................... 201

Page 4: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

KONSTRUKSI PEMIKIRAN TASAWUF WUJUDIYAH DALAM NASKAH AMBULUNG DI KALIMANTAN SELATAN

Nur KolisInstitut Agama Islam Negeri Ponorogo

Abstrak

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk membantah anggapan yang menyatakan bahwa tasawuf merupakan konstruksi pemikiran ortodoks yang statis. Caranya, dengan melihat secara mendalam dimensi dinamis dari tasawuf dan memotret sisi transformasi yang terjadi, sebagaimana tampak dalam naskah Ambulung di Kalimantan Selatan. Berangkat dari tiga permasalahan pokok terkait; pemetaan dimensi kontekstual (transformatif) pemahaman tasawuf dalam naskah Ambulung; berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya peralihan konstruksi pemahaman tasawuf dalam naskah Ambulung; dan proses konstruksi faham ajaran tasawuf dalam naskah Ambulung, hasil studi menunjukkan bahwa ajaran tasawuf dalam naskah Ambulung adalah faham wujudiyyah yang penuh kontroversi dalam sejarah Islam. Naskah ini dikaji oleh komunitas sir, yang para pesertanya terbatas hanya untuk para guru tasawuf. Bukan untuk khalayak umum, karena ajarannya dianggap berpotensi untuk disalahpahami. Ajaran yang terkandung dalam naskah ini, secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk secara dinamis berpikir moderat, melalui pemahaman tauhid wujudiyyah yang toleran dan terbuka terhadap perbedaan.

This article aims to refute the opinion that states, Sufism as a static construction of orthodox thought. It is done by looking deeply into the dynamic dimensions of Sufism and capturing the side of transformation that occurs, as seen in the Ambulung manuscript in South Kalimantan. Starting from three main issues, related to; mapping the contextual (transformative) dimensions of Sufism in the Ambulung manuscript; various factors influencing the transition

Keywords:

Thought Construction, Ambulung Manuscript, Wujudiyyah, Moderate

Alamat korespondensi: © 2020 IAIN Surakartae-mail: [email protected]

http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-arafISSN: 1693-9867 (p); 2527-5119 (e)

DOI: 10.22515/ajpif.v17i1.1956

Page 5: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

170 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

of Sufism understanding construction in the Ambulung manuscript; and the construction process of Sufism’s teaching concept in the Ambulung manuscript, the results of the study show that the Sufism’s teaching in the Ambulung manuscript is a wujudiyyah concept which is full of controversy in the Islamic history. This manuscript is only studied by the sir (special or limited) community, whose participants are limited for Sufism teachers. Not for the public audience, because of its teachings are considered potentially being misunderstood. The teachings contained in this manuscript, indirectly persuade people to dynamically think moderately, through understanding tauhid wujudiyyah whichare tolerant and openness to the diversity.

Pendahuluan

Persepsi tentang tasawuf sebagai konstruksi pemikiran ortodoks tidak selalu tepat. Pemikiran tasawuf kini telah bertransformasi menjadi semakin kontekstual dan membumi. Pada abad XVIII terjadi peralihan model pemikiran tasawuf di Indonesia, dari pemikiran ortodoks ke arah rasional-filosofis. Bukti riilnya adalah kemunculan naskah ambulung.1 Konsep ketuhanan misalnya, dari yang semula dianggap berjarak dengan manusia selanjutnya dinilai menjadi bagian dari manusia.2,3 Sebelumnya, pemikiran tasawuf selalu menempatkan manusia dengan tuhan secara berjarak.

Sejauh ini studi tasawuf cenderung melihat tasawuf dalam tiga hal. Pertama, tasawuf dilihat sebagai sumber pembelajaran agama yang statis

1 Nur Kolis, “Nur Muhammad Dalam Pemikiran Sufistik Datu Abulung Di Kalimantan Selatan,” Al-Banjari : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 11, no. 2 (2012): 173–198.

2 Syamsun Ni’am, “Tasawufdi Tengah Perubahan Sosial: Studi Tentang Peran Tarekat Dalam Dinamika Sosial-Politik di Indonesia,” Harmoni15, no. 2 (2016): 123-137; Mustaffa Mohamed Zain et al., “Corporate Ibadah : An Islamic Perspective of Corporate Social Responsibility,” Middle-East Journal22, no. 2 (2014): 225-232; Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality, (London: Roudtledge, 2013); Said Aqiel Siradj, “Tauhid Dalam Perspektif Tasawuf,” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman5, no. 1 (2014): 152-160.

3 Samee-Ullah Bhat, “Concept of Tawhid (Unity of God) in Islam: A Study of Relevant Qur’anic Text,” International Journal of Historical Insight and Research 4, no. 2 (2018): 20–27.

Page 6: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 171

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

dan orthodox.456 Kedua, tasawuf dilihat sebagai gerakan politik keagamaan.7 Ketiga, tasawuf dilihat sebagai solusi atas problematika umat pada masa kini.8 Dari ketiga review singkat tersebut, tasawuf tampak jarang dilihat sebagai sumber bagi pemahaman yang kontekstual serta memiliki relevansi dengan persoalan umat. Studi ini ingin melihat secara mendalam tentang transformasi yang terjadi dalam dalam diskusi tasawuf, khususnya pada naskah Ambulung.

4 Muhammad Djakfar, “Business Behavior of Tariqa Followers in Indonesia: The Relation of Religion, Sufism, and Work Ethic,” Ulul Albab: Jurnal Studi Islam 19, no. 2 (2018): 253–271, http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ululalbab/article/view/5571; Danial Hilmi, “Potret Nilai Kesufian Dalam Kehidupan Bermasyarakat,”El-Harakah 13, no. 1 (2012): 1-18; Ali Mas’ud, “Ortodoksi Sufisme K.H. Shalih Darat,”ISLAMICA: Jurnal Studi Islam 7, no. 1 (2014): 24-43; Ahmad Muttaqin, “From Occultism to Hybrid Sufism: The Transformation of An Islamic-Hybrid Spiritual Group in Contemporary Indonesia,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 4, no. 1 (2014): 81–104; Llyod Ridgeon, “Mysticism in Medieval Sufism,”in The Cambridge Companion to Sufism, ed. Lloyd Ridgeon (London: Cambridge University, 2014), 125-149.

5 Ali Masrur, “Pemikiran Tasawuf Ortodoks Di Asia Tenggara (Telaah Atas Kontribusi Alraniri, Alsingkili, Dan Almakasari),” Syifa Alqulub 1, no. 2 (2017): 152–159.

6 Christopher Melchert, “Origins and Early Sufism,” in The Cambridge Companion to Sufism (London: Cambridge University Press, 2014).

7 Muzaffar Alam, “The Mughals, the Sufi Shaikhs and The Formation of The Akbari Dispensation,”Modern Asian Studies 43, no. 1 (2009): 135-174; Robert Rozehnal, Islamic Sufism Unbound: Politics and Piety in Twenty-First Century Pakistan (New York: Palgrave Macmillan, 2016); Peter J. Bertocci, “A Sufi Movement in Bangladesh: The Maijbhandari Tariqa and Its Followers,” Contributions to Indian Sociology40, no. 1, (2006): 1-28; Isabelle Werenfels, “Beyond Authoritarian Upgrading: The Re-Emergence of Sufi Orders in Maghrebi Politics,” Journal of North African Studies19, no. 3 (2014): 275-295.

8 Luthfi Makhasin, “Urban Sufism, Media and Religious Change in Indonesia,” Ijtima’iyya: Journal of Muslim Society Research1, no. 1 (2016): 23-36; Arif Zamhari, “Socio-Structural Innovations in Indonesia’s Urban Sufism: The Case Study of the Majelis Dzikir and Shalawat Nurul Mustafa,” Journal of Indonesian Islam7, no. 1 (2013): 119-144; Lilis Andarwati, “Sufisme Perkotaandan Pedesaandi Era Modernisasidan Sekularisasi,” Universum10, no. 1 (2016): 41-48; Rubaidi, “Reorientasi Ideologi Urban Sufism di Indonesia Terhadap Relasi Guru dan Murid dalam Tradisi Generik Sufisme pada Majelis Shalawat Muhammad Di Surabaya,” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam5, no. 2 (2015): 194-320; Howell, Julia Day, “Modernity and Islamic Spirituality in Indonesia’s New Sufi Networks,” in Sufism and the Modern in Islam, ed. Martin Van Bruinessen and Julia Day Howell (London: IB Tauris, 2007); Muhammad Anis, “Spiritualitas Di Tengah Modernitas Perkotaan,” Jurnal Bayan2, no. 4 (2013): 1-15.

Page 7: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

172 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Studi ini memiliki agenda yang salah satunya ingin melengkapi kekurangan dari studi sebelumnya tentang bagaimana cara memperlakukan tasawuf, seperti Naskah Ambulung, tidak hanya sebagai teks. Ada tiga pertanyaan yang ingin dijawab dalam studi ini. Pertama, peneliti ingin mengetahui bagaimana dimensi kontekstual (transformative) terjadi dalam pemahaman tasawuf, khususnya naskah Ambulung. Kedua, apa faktor yang mempengaruhi terjadinya (lahirnya) peralihan konstruksi pemahaman tasawuf dalam naskah (Naskah Ambulung) di masyarakat Kalimantan Selatan. Ketiga, bagaimana naskah Ambulung mengkonstruksi ajaran tauhid.

Naskah Ambulung merupakan manuskrip yang hidup dalam budaya Banjar pada abad ke-18. Di dalamnya tersimpan informasi penting tentang dinamika pemikiran keagamaan masyarakat Banjar, khususnya tentang ketauhidan. Tulisan ini digagas berdasarkan tiga argument dasar. Pertama, dimensi kontekstual (transformative) dalam pemahaman tasawuf Naskah

Ambulung yang tampak pada konsep, metode, dan pengalaman spiritual dalam ajaran tasawuf. Kedua, lahirnya konstruksi pemahaman tasawuf dalam naskah (Naskah Ambulung) yang sangat dipengaruhi oleh profil sang pencetus selanjutnya berdampak pada perkembangan tasawuf global yang semakin kontekstual, dan doktrin tasawuf falsafi yang mengajak manusia untuk berfikir dinamis. Ketiga, Naskah Ambulung mengkonstruksi paham agama melalui ajaran yang paling dasar dalam Islam, yaitu tauhid. Dari ketiga landasan tersebut Naskah Ambulung tampak menyajikan pemikiran yang aktual, dan berpotensi mengubah sikap manusia menjadi egaliter.

Konstruksi Agama dalam Naskah Ambulung

Religiusitas seringkali muncul sebagai usaha dalam memenuhi eksistensi untuk menilai keimanan dan pendekatan diri kepada Tuhan. Chan menyatakan bahwa religiusitas merupakan usaha mendeklarasikan tingkatan kesalehan dan ketaatan individu terhadap kepercayaan agama

Page 8: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 173

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

sehingga secara tidak langsung memperlihatkan eksistensi pengabdian secara penuh pada pemahaman dan nilai agama.9 Menurut Berger, religiusitas dikonstruksikan atas realitas sosial yang diuraikan dalam proses internalisasi, objektifikasi dan ekternalisasi perilaku yang menjadikan agama sebagai kebutuhan.10 Oleh sebab itu, religiusitas sangat mungkin dapat direpresentasikan dalam praktik, kepercayaan dan kepentingan yang dinamis dan berkelanjutan.11 Konstruksi tentang religiusitas bisa dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan yang taat agama.12 Pets menyatakan bahwa remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang religius memiliki kecenderungan menjadi religius karena sering mendapatkan pemahaman agama dari keluarga, terutama melalui hadirnya peran ayah dan ibu yang saling melengkapi.13 Hal ini disebabkan oleh sosialisasi orang tua yang dilakukan kepada individu sejak dini bisa mempengaruhi individu untuk takut dan patuh pada aturan yang telah dikonstruksikan oleh agama.14 Dalam skala yang lebih umum Van Der Noll melihat konstruksi religiusitas bisa mengakibatkan terbentuknya kelas sosial sebagai hasil dari

9 Esther Chan, “Are The Religious Suspicious of Science? Investigating Religiosity, Religious Context, and Orientations Towards Science,” Public Understanding of Science 27, no. 8 (2018): 967–984.

10 Jochen Dreher, “The Social Construction of Power: Reflections Beyond Berger/Luckmann and Bourdieu,” Cultural Sociology 10, no. 1 (2016): 53–68.

11 Michael D. Barnett, Kylie B. Sligar, and Chiachih D.C. Wang, “Religious Affiliation, Religiosity, Gender, and Rape Myth Acceptance: Feminist Theory and Rape Culture,” Journal of Interpersonal Violence 33, no. 8 (2018): 1219–1235.

12 Richard J. Petts, “Parental Religiosity and Youth Religiosity: Variations by Family Structure,” Sociology of Religion: A Quarterly Review 76, no. 1 (2015): 95–120; Steven Eric Krauss et al., “Religious Socialization among Malaysian Muslim Adolescents: A Family Structure Comparison,” Review of Religious Research54, no. 4 (2012): 499-518; Steven Eric Krauss et al., “Parenting and Community Engagement Factors as Predictors of Religiosity Among Muslim Adolescents From Malaysia,” International Journal for the Psychology of Religion23, no. 2 (2013).

13 Richard J. Petts, “Parental Religiosity and Youth Religiosity: Variations by Family Structure.”

14 Richard J. Petts, “Parental Religiosity and Youth Religiosity: Variations by Family Structure.”

Page 9: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

174 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

pengakuan religius sebagai identitas dan budaya. 15 Oleh sebab itu, diskusi keagamaan yang terus berkembang sangat membutuhkan pemahaman akan harmonisasi agama.

Sebagai identitas sosial yang berbasis sistem kepercayaan dan simbol, konstruksi agama harus memuat fungsi unik yang bisa membantu terbentuknya proses psikologis dan sosial. Identitas agama biasanya menawarkan pandangan tentang sesuatu yang “suci” dan keanggotaan kelompok yang “abadi”, yang tidak tertandingi dengan identitas kelompok lain. Pertimbangan fungsi ganda agama sebagai identitas sosial dan sistem kepercayaan selanjutnya dituntut untuk dapat memfasilitasi pemahaman yang lebih besar tentang variabilitas dalam kepentingan individu dan kelompok.16 Penilaian umum dalam konstruksi religius biasanya mengacu pada intensitas, arti penting, kepentingan atau sentralitas dalam individu. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu “seberapa penting agama bagi individu” dan “bagaimana individu tersebut menganggap agama sebagai bagian dari diri individu itu sendiri”.17 Konstruksi agama cenderung terjadi sebab adanya motivasi keagamaan yang digunakan sebagai alat ukur atas sejauh mana tingkat religiusitas seseorang. Pemahaman yang demikian memunculkan konsekuensi logis terhadap beragam motivasi keagamaan seseorang. Sejauh ini, ada 5 komponen utama yang menjadi motivasi keagamaan seseorang: (1)agama sebagai nilai akhir; (2)agama sebagai sarana pemenuhan harapan; (3)agama sebagai sumber kesejahteraan emosional; (4)cita-cita dan moralitas; (5)agama sebagai bagian dari tradisi; dan (6)kecenderungan untuk memenuhi harapan sosial tentang agama 18.

15 Jolanda Van Der Noll, Anette Rohmann, and Vassilis Saroglou, “Societal Level of Religiosity and Religious Identity Expression in Europe,” Journal of Cross-Cultural Psychology 49, no. 6 (2018): 959–975.

16 Renate Ysseldyk, Kimberly Matheson, and Hymie Anisman, “Religiosity as Identity: Toward an Understanding of Religion from a Social Identity Perspective,” Personality and Social Psychology Review14, no. 1 (2010): 60-71

17 Stefan Huber and Odilo W. Huber, “The Centrality of Religiosity Scale (CRS),” Religions3, no. 3 (2012): 710-724.

18 Irena Stojković and Jovan Mirić, “Construction of a Religious Motivation Questionnaire,” Psihologija45, no. 2(2012): 155-170.

Page 10: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 175

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Model Tasawuf dalam Naskah Ambulung

Ajaran Islam memiliki ruang lingkup yang sangat luas dalam menuntun perilaku manusia di dunia. Salah satu bentuk ajaran Islam yang digunakan sebagai pedoman berakhlak oleh manusia adalah Tasawuf. Tasawuf mengajarkan bagaimana cara manusia berkomunikasi dengan Tuhan.19 Pengikut tasawuf umumnya memilih lebih mengutamakan kehidupannya pada proses pemurnian jiwa dan akhlaq dalam menyembah Tuhan.20 Teorisasi tersebut sejalan dengan pendapat Kosasih yang menyebutkan bahwa salah satu sudut pandang yang ada dalam tasawuf adalah keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas sehingga mereka diciptakan untuk menyembah dan percaya Tuhan. Tasawuf dimaknai sebagai ajaran yang menuntut manusia pada pencarian diri untuk mengenal Tuhan melalui ritual, kesabaran dan disiplin aturan.21 Dalam perkembangannya, tasawuf selanjutnya melahirkan tradisi Islam yang direpresentasikan melalui aliran-aliran.22

Berbeda dengan pengamalan tasawuf dalam konteks praktis,23 pengamalan tasawuf dalam konteks teoritis lalu menuliskannya kembali bukan hanya sebuah aktifitas dalam memahami Islam secara spiritual melainkan mempengaruhi cara manusia memahami berbagai aspek kehidupan secara mental- intelektual antara manusia, alam dan Tuhan.

19 Elmansyah Al-Haramain, “Shifting Orientation in Sufism: Its Development and Doctrine Adjustment in History,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 1, no. 2 (2011): 273–296.

20 Elmansyah Al-Haramain, “Shifting Orientation in Sufism: Its Development and Doctrine Adjustment in History.”

21 Karim Mitha, “Sufism and Healing,” Journal of Spirituality in Mental Health 21, no. 3 (2019): 194–205.

22 Muzaffar Alam, “The Debate Within: A Sufi Critique of Religious Law, Tasawwuf and Politics in Mughal India,” South Asian History and Culture 2, no. 2 (2011): 138–159; Abu Bakr Sirajuddin Cook, “Tasawwuf ‘Usturaliya Prolegomena to a History of Sufism in Australia,” Australian Journal of Islamic Studies3, no. 3 (2018): 60-75.

23 Mizrap Polat, “Tasawwuf-Oriented Educational Philosophy and Its Relevance to the Formation of Religion and Ethics Course Curriculum,” Universal Journal of Educational Research 5, no. 5 (2017): 806–814.

Page 11: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

176 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Secara konseptual ajaran tasawuf lebih mengarah pada pendekatan terhadap nilai-nilai kesalehan dan kebaikan yang bersumber dari Al-Quran untuk menjauhkan diri dari kefanaan dunia, seperti gaya hidup mewah dan orientasi hedonis serta materialis. 24.

Tasawuf sebagai ajaran yang mengedepankan nilai ketuhanan diwujudkan dalam tiga bentuk. Bentuk pertama yakni tasawuf sunni (akhlaqi) adalah bentuk tasawuf yang mengajarkan cara-cara berbuat baik dan menghindari keburukan sehingga tujuannya mengarah pada perbaikan akhlak dan budi pekerti. Tasawuf sunni terbagi dalam tiga tingkatan yaitu takhalli, tahali dan tajalli. Kedua, tasawuf falsafi yang merupakan bentuk tasawuf uang mengajarkan tentang landasan hidup (filosofi) yang diarahkan pada penyucian batin dan ketaatan manusia kepada Allah Swt.25 Ketiga, tasawuf syi’i yang memiliki pemikiran bahwa manusia mempunyai kesamaan esensi dengan Allah Swt., sehingga menimbulkan pemahaman bahwa manusia yang telah meninggal akan bersama kembali dengan Tuhan. Tasawuf Syi’i dikembangkan oleh aliran sufi dari golongan Syi’ah yang memiliki kecenderungan bersifat liberal. Secara konseptual perwujudan tasawuf mengarah pada perbaikan keimanan dan perilaku manusia agar semakin dekat dan percaya terhadap adanya Tuhan dalam agama. Ajaran tasawuf adalah cerminan dari budi pekerti yang luhur dan jujur atau “ummatan wasatha”.26

24 Al-Haramain, “Shifting Orientation in Sufism: Its Development and Doctrine Adjustment in History.”

25 Amal Fathullah Zarkasyi, “Aqidah Altauhid Baina Altasawwuf Alsunni Wa Altasawwuf Alfalsafi,” TSAQAFAH6, no. 2 (2010): 378-400.

26 Ahmad Shaharuddin Tahar Mohd Faiz Hakimi Mat Idris, Ahmad Fauzi Hasan, Zaidin Mohamad, “Wasathiyah and Its Implementation Among Tasawwuf Scholars in Aceh,” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 9, no. 11 (2019): 842–850.

Page 12: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 177

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Faham Tauhid

Tauhid telah menjadi kesatuan konsep dalam ajaran Islam yang melihat secara mendalam keesaan Tuhan. Menurut Beaumont, pemahaman terhadap tauhid didasarkan pada kaidah Islam yang melihat realitas Tuhan sebagai satu kesatuan dan integrasi ajaran agama yang menuntun kehidupan manusia.27 Allah adalah satu-satunya sumber realitas dalam Islam sehingga ia harus disembah. Ketertundukan manusia di hadapan Allah tidak hanya dilakukan secara teologis melainkan juga dalam kerangka analisis manusia dimana konteks realitas hadir sebagai kesatuan yang saling berhubungan antara pencipta dan ciptaan-Nya.28 Ajaran dan kepercayaan kepada Allah adalah kebenaran dan motivasi yang menandakan manusia memiliki hubungan timbal balik yang baik kepada Penciptanya. Oleh sebab itulah tauhid menjadi prioritas dalam Islam karena di dalamnya mencakup aspek kepercayaan, moralitas, dan ibadah. Aspek-aspek tersebut membantu manusia memahami keberadaan mereka di dunia.29 Tidak hanya itu, ketauhidan seseorang sangat berpengaruh dalam sikap dan perilaku mereka dalam memahami aqidah, fiqh, dan pembentukan akhlaq yang sesuai dengan konsep keesaan Allah.30 Dalam perkembangannya, tauhid kemudian dijadikan standarisasi intelektual dalam mengidentiifikasi keimanan dan kepercayaan pemeluk Islam.31

27 Mark Beaumont, “Speaking of The Triune God: Christian Defence of The Trinity in The Early Islamic Period,” Transformation: An International Journal of Holistic Mission Studies 29, no. 2 (2012): 111–127.

28 Ibrahim Kalin, “Religion, Unity and Diversity,” Philosophy and Social Criticism 37, no. 4 (2011): 471–478.

29 Miftachul Huda et al., “Alzarnuji’s Concept of Knowledge,” SAGE Open 6, no. 3 (2016): 1–13.the issue of what category of knowledge is permitted for Muslims, the method for imparting this knowledge, and what to impart (content

30 Miftachul Huda et al., “Alzarnuji’s Concept of Knowledge.”the issue of what category of knowledge is permitted for Muslims, the method for imparting this knowledge, and what to impart (content

31 Ömer Behram Özdemir and Recep Tayyip Gürler, “Path to Become a State: From Jama’at Altawhid Wa Aljihad to the Islamic State,” in Non-State Armed Actors in the Middle East: Geopolitics, Ideology, and Strategy, 2017.

Page 13: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

178 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Pemahaman tauhid secara tegas dengan memposisikan Allah sebagai entitas yang Maha Tunggal dan universal. Istilah tauhid berasal dari bahasa Arab “Wahada” yang memiliki arti menyatukan/satu sehingga secara tidak langsung Islam mengakui hanya ada satu Tuhan yang menjadi penguasa kehidupan duniawi.32 Ada lima karakter ketauhidan yang berkembang dalam Islam. 33 Pertama, dalam tauhid Allah Swt. merupakan realitas tertinggi, sang pencipta dan penyedia segala sesuatu yang diharapkan semua orang. Kedua, penegasan terhadap kesatuan makna Tuhan mengakibatkan konsep monolatry/henotheistik (kepercayaan banyak Tuhan) tidak diterima dalam tauhid Islam. Ketiga, dalam tauhid, konsep tanzih menjadi intisari tentang tidak adanya makhluk/sesuatu yang menyerupai Allah baik secara visual, atribut, atau tindakan. Keempat, pelaksanaan ibadah hanya untuk memuliakan Allah Swt., bukan yang lain. Kelima, kepercayaan terhadap unity in god hanya dapat diturunkan melalui wahyu Ilahi (al-wahy). Oleh sebab itu konsep tauhid tidak hanya membahas pada dimensi pencipta (alkhaliqiyyah) tetapi penyatuan keseluruhan aspek (uluhiyyah).34 Melalui bentuk pemahaman ini, tauhid memberitakan perihal kedudukan manusia sebagai khalifah/wakil Tuhan untuk tunduk dan menyejahterakan alam dan manusia.35 Namun pemahaman tentang keesaan Tuhan yang berbeda antar manusia sering memicu polemik karena dianggap bertentangan dan tidak rasional 36

32 Abdurezak A Hashi, “Between Monotheism and Tawhid: A Comparative Analysis,” Revelation and Science 3, no. 2 (2013): 23–29.

33 Abdurezak A Hashi, “Between Monotheism and Tawhid: A Comparative Analysis,” 25.

34 Muhammad Syukri Salleh, “Philosophical Foundations of Islamic Development: Khurshid Ahmad’s Conception Revisited,” International Journal of Education and Research 1, no. 7 (2013): 1–16.

35 Maszlee Malik, “Constructing an Alternative Concept of Islamic Governance: A Maqasidic Approach,” Kemanusiaan the Asian Journal of Humanities 26, no. Supplement 1 (2019): 89–108.

36 Michael Kuhn, “Allah: Internalized Relationality: Awwad Simʽan on the Trinitarian Nature of God,” Transformation 36, no. 3 (2019): 173–183.

Page 14: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 179

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Transformasi Kontekstual Tasawuf dalam Naskah Ambulung

Tabel 1. Konstruksi Konsep Tasawuf Ortodoks dan Naskah Ambulung

No Konsep Ortodoks

Konsep Naskah Ambulung

Konstruksi

1 Tekstual Kontektual Ajaran tasawuf dalam Naskah Ambulung dikembangkan dari dalil-dalil yang terdapat dalam nas al-Qur’an dan hadis ditambah pemikiran akal intuitif secara fleksibel

2 Bersifat praktis

Teoritis Praktik zuhud dikembangkan bukan hanya dilakukan dengan mengasingkan diri dari keramaian, tetapi bagaimana hati ini tetap fokus kepada Allah walau secara fisik terlibat dalam kegiatan-kegiatan soial, politik, ekonomi, dan sebagainya

3 Bersifat etis Filosofis Naskah Ambulung mengembangkan ajarannya secara sistematis dan argumentatif yang dalam hal ini memproduksi teori Perhimpunan Martabat yang mirip dengan teori emanasi

Tasawuf ortodoks mengajarkan ilmu yang bersifat etis dan praktis, sesuai dengan teks agama agar manusia meninggalkan kesenangan dunia dan menghiasi diri dengan akhlak mulia sehingga bisa dekat dengan Tuhan yang Maha Mulia. Naskah Ambulung mengenalkan tasawuf sebagai cara untuk mengenal Tuhan terlebih dahulu dan hidup menjadi manusia mulia adalah akibatnya. Menurut naskah Ambulung, mengenal Tuhan hanya dapat direalisasikan dengan cara memahami hakikat dari diri manusia sendiri, dari mana asalnya, dan akan ke mana arah tujuannya (Ambulung; 1). Ajaran tentang mengenal diri dalam naskah Ambulung merujuk kepada ungkapan yang populer di kalangan sufi, yaitu:

Page 15: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

180 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

“Barangsiapa mengenal akan dirinya maka ia mengenal akan Tuhannya dan barang siapa mengenal akan Tuhannya maka binasalah wujud dirinya” (Ambulung; 2).

Corak filosofis dalam naskah Ambulung terlihat dalam teori Nur Muhammad yang mengajarkan cara untuk merasionalkan hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia. Teori Nur Muhammad dalam Naskah Ambulung dibahas pada bab Perhimpunan Martabat. Teori tersebut dibangun untuk mengantarkan pemahaman tentang hakikat diri manusia dan bagaimana hubungannya dengan Tuhan (Ambulung; 19-26). Teori ini mirip dengan teori emanasi Ibnu Sina.

Peralihan metode tasawuf dalam Naskah Ambulung

Tabel 2. Perbandingan Metode Tasawuf Ortodoks dengan Tasawuf dalam Naskah Ambulung

No Metode Tasawuf Ortodok

Metode Tasawuf dalam Naskah

Ambulung

Perubahan

1 Zikir khafi Zikir khafi -2 Zikir jali Zikir jail -3 - Zikir musyahadah Metode zikir musyahadah

merupakan pengembangan dari metode zikir lainnya di mana zikir ini dilakukan setelah berhasil melakukan zikir dengan metode khafi dan jali.

4 - Zikir tawajjuh Tawajjuh artinya berhadapan. Metode zikir dipakai untuk menghadirkan Tuhan secara lebih dekat di hadapan pezikir. Tentu semua ini dilakukan melalui olah rasa dalam hati

Metode tasawuf di sini maksudnya adalah kegiatan ritual sebagai implikasi dari adanya sebuah ajaran. Riyadlah dan mujahadah adalah bagian

Page 16: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 181

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

yang tak terpisahkan dari tasawuf. Dua aktifitas tersebut umumnya berupa zikir baik dengan salat maupun dengan membaca kalimat-kalimat tayyibah. Metode zikir dalam naskah Ambulung ditulis sebanyak 3 halaman, yaitu di 29, 30, dan 31. Naskah Ambulung menyebutkan ada 4 (empat) macam zikir, yaitu zikir jali, yaitu la ilaha illa Allah; zikir khafi, yaitu tiada dikata dengan lidah hanya ingat Allah, Allah; zikir musyahadah, yaitu umpama kucing yang fokus mengintai tikus hingga didapatnya, maka ia lenyap pada zikir hatinya; dan zikir tawajjuh yaitu seperti zikir musyahadah sebab ia mengenal dan senantiasa berzikir, seperti firman Allah yang artinya ”di

mana hadap kamu di sanalah Dzat Allah Ta’ala. (Ambulung: 29). Jadi apapun yang dilihat hanya Allah saja yang tampak.

Zikir ketiga dan keempat merupakan pengembangan dari zikir pertama dan kedua. Musyahadah menunjukkan adanya daya kekuatan fokus dan konsentrasi, sementara tawajjuh ada di klaster yang lebih tinggi lagi, yaitu menghadirkan Tuhan, sehingga antara yang berzikir dengan tuhan seperti saling berhadapan. Metode zikir jali dan khafi merupakan bentuk zikir yang lazim dilakukan oleh para penganut tasawuf ortodoks. Di sinilah kemudian terlihat letak perbedaan antara tasawuf ortodoks dengan model tasawuf sebagaimana ditunjukkan dalam naskah Ambulung. Selain 4 metode zikir sebagaimana disebutkan di atas, dalam Naskah Ambulung juga diajarkan zikir taubat, yaitu zikir dengan kalimah tayyibah dalam hati yang dilakukan secara terus-menerus sambil menghadirkan Allah pada setiap tarikan dan hembusan nafas tanpa suara. Sebagian ‘Arif billah berkata, taubat sekalian manusia itu sabar daripada segala dosa. Dan ia tiada putus dari segala zikir dan tiada lagi menghendaki huruf dan suara adanya. Jadi orang yang ingin taubatnya diterima maka ia harus selalu berzikir secara khafi yakni dalam hatinya mengucapkan kalimah thayyibah La Ilaha Illa Allah sambil berusaha menghadirkan Allah.

Page 17: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

182 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Transformasi pengalaman spiritual versi Naskah Ambulung

Tabel 3. Pengalaman spiritual sufi ortodoks dengan spiritual versi naskah Ambulung

No Pengalaman Spiritual Tasawuf Ortodok

Pengalaman Spritiual Versi

Naskah Ambulung

Perbedaan

1 Makrifat Tauhid Wujudiyah Tasawuf ortodoks mengajarkan cara agar sufi dapat melihat Tuhan dengan mata hati (makrifat). Naskah Ambulung mengembangkan konsep makrifat hingga taraf hanya Tuhan saja yang tampak dalam pandangan hati, sehingga sufi sendiri tidak sadar akan keberadaan dirinya.

2 Taqwa Taqwa Taqwa dalam perspektif Naskah Ambulung bukan hanya takut kepada Allah, tetapi lebih pada keadaan hati yang tidak lagi merasa takut dan susah karena sudah merasa berada bersama-sama Tuhan kapanpun dan di manapun.

Pada umumnya, tujuan akhir ajaran tasawuf adalah bisa mengalami makrifat. Di dalam Naskah Ambulung dijelaskan bahwa pengalaman makrifat bukan menjadi tujuan akhir dari tasawuf. Makrifat justru sebagai pintu gerbang yang harus dimasuki sejak awal dalam perjalanan panjang menjumpai Allah. Pengalaman spiritual yang dimaksud dalam tasawuf naskah Ambulung adalah bersatu dengan Tuhan (wahdatul wujud). Di dalam Naskah Ambulung dinyatakan: “asal agama itu ialah awwal aldin ma’rifat

Allah Artinya asal agama itu ialah mengenal Allah” (Ambulung: 2).Adapun makrifat kita kepada Dhat Allah ialah sebagaimana dikatakan

oleh Syekh Ahmad Wali Sembilan: ”Tiada buih melainkan ombak dan tiada ombak melainkan laut dan tiada laut melainkan air jua”. Maka dengan

Page 18: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 183

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

majas ini kita pandang tiada buih tiada ombak tiada laut melainkan wujud air semuanya. Inilah ibarat zikir (la ilah illa Allah) maksudnya tiada yang maujud di dunia akhirat hanya Allah. (Ambulung: 16-17)

Berbagai pemikiran tasawuf tentang konsep, metode amaliyah, dan pengalaman kerohanian sebagaimana disebutkan di atas menjadi indikasi kuat akan adanya arah baru yang dituju dalam ajaran tasawuf Naskah Ambulung. Berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki berupa konsep yang teoritis, metodologi, dan implikasinya, maka dapat dipahami bahwa tauhid wujudiyah dalam Naskah Ambulung berwujud pegalaman spiritual. Oleh sebab itu, arah transformasi ilmu tasawuf dalam Naskah Ambulung terlihat mengarah pada model tasawuf falsafi yang coraknya menyerupai tasawuf syi’i.

Memahami Naskah Ambulung: Basis Ketokohan Sosok Abdul

Hamid

Abdul Hamid Ambulung, seorang tokoh sufi Kalimantan Selatan hidup semasa dengan Datu Kelampayan atau Syeikh Muhammad Arsyad Albanjariy (1710-1812 M.). Syeikh Abdul Hamid dilahirkan di Negeri Yaman pada tahun 1148 H./1735 M. dan wafat pada 12 Dhulhijjah 1203 H./1788 M.37 Masyarakat Banjar memberi gelar Datu dan Syeikh kepada Abdul Hamid. Selain itu, mereka juga memanggil Abdul Hamid dengan nama Ambulung yang dinisbatkan pada kampung “Ambulung” di mana Abdul Hamid mengembangkan ajarannya.38 Abdul Hamid adalah ulama Kalimantan yang terlibat di dalam jaringan ulama Nusantara dan Haramayn abad XVIII.39 Masyarakat Banjar mengenal Ambulung sebagai wali. Di

37 Mujiburrahman, “Tasawuf Di Masyarakat Banjar : Kesinambungan Dan Perubahan Tradisi Keagamaan,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 3, no. 2 (2013): 153.

38 Nur Kholish, Ajaran Tauhid Wujudiyah di Kalimantan Selatan (Kajian Filologi Manuskrip Ambulung), (Ponorogo: Nata Karya, 2019).

39 Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Nusantara,” in Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (Bandung: Mizan, 2016). Zarkasyi, “Aqidah Altauhid Baina

Page 19: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

184 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

antara kekeramatan yang dapat disaksikan hingga sekarang ialah keadaan makamnya yang ramai peziarah meskipun tanah sekitarnya tergerus oleh aliran sungai Martapura.

Gambar 1. Halaman muka Naskah Ambulung versi Muhammad Daman

Ada dua versi mengenai asal usul naskah Ambulung ini. Pertama, naskah Ambulung ditulis secara barzakhy (melalui mimpi, dalam keadaan setengah sadar) dengan didiktekan kepada Zaini Muhdhar, salah seorang tokoh yang disegani dan merupakan penjaga makam Syaikh Hamid. Klaim bahwa naskah ini disalin langsung dari syaikh Abdul Hamid membuat masyarakat percaya. ini maka kemudian naskah Ambulung ini disematkan

Altasawwuf Alsunni Wa Altasawwuf Alfalsafi.”

Page 20: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 185

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

kepada Syaikh Abdul Hamid, bukan Zaini Muhdhar. Kedua, selain Zaini Muhdhar terdapat satu nama lagi yang disebut-sebut sebagai penulis naskah Ambulung. Beliau bernama Bahrunsyah bin Muhammad Daman. Namun penulis yang disebut terakhir ini tidak sepopuler yang pertama, karena beliau hanya menulis satu juz saja. Sedangkan Zaini Muhdhar menulisnya secara lengkap, terdiri dari 2 juz (Wawancara, Ahmadi, 2019). Namun isi kedua naskah ini sama hanya saja jumlah halamannya berbeda karena adanya iluminasi di naskah Muhammad bin Daman.

Antara Difusi dan Globalisasi: Rumusan Baru dalam Mengenal

Tuhan

Pengaruh dari perkembangan tasawuf global yang kontekstual nampak pada naskah Ambulung yang hidup dalam budaya Banjar. Selain itu, Naskah Ambulung ditulis dalam aksara Jawi dengan bahasa Melayu. Istilah yang banyak digunakan dalam Naskah Ambulung berasal dari peristilahan yang banyak digunakan dalam tradisi Islam kejawen dan sufisme Aceh. Contohnya bisa kita lihat dalam terma tentang madi, mazi, mani, manikam, dan empat unsur kejadian anak Adam, yaitu camariyah, tubaniyah, tambuniah, dan uriah (Ambulung; 25) yang juga terdapat dalam naskah Jawa. Adapun masuknya kebudayaan Aceh dalam naskah Ambulung tampak pada pemikiran Abu Hamid tentang “Perhimpunan Martabat”. Terma-terma tersebut adalah topik baru dalam ilmu tasawuf yang menjelaskan tentang imanensi Tuhan. Dalam Perhimpunan Martabat disebutkan bahwa Tuhan selalu bersama-sama dengan manusia di manapun tempatnya, memberinya kehidupan dan kesejahteraan, bahkan ketika anak manusia masih berada di alam rahim.

Doktrin tasawuf falsafi dalam Naskah Ambulung secara tidak langsung mengajak pembacanya untuk berfikir dinamis. Hal ini tercermin pada penjelasan tentang Tuhan sebagai entitas tertinggi yang tak tergambarkan. Dia, sesungguhnya tidak bernama. Eksistensi Dia Yang

Page 21: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

186 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Maha Tinggi tidak mungkin dapat direduksi oleh apapun, apalagi hanya oleh sebuah nama. Dia yang Maha Rahman dan Rahim mengenalkan diri-Nya dengan nama “Allah” yang dapat dimengerti oleh manusia. Dalam Naskah Ambulung persoalan ini diuraikan melalui simbol dalam alif, lam,

lam, ha’.(Ambulung; 61)

Gambar 2. Nama Allah dalam jari manusia dan penjelasannya

Simbol alif lam lam ha’ sebagai media berfikir dinamis menarik pembacanya mengamati simbol tersebut lalu memahami interpretasi yang diberikan. Empat unsur huruf dari lafaz Allah diberi makna yang relevan dengan tauhid, sehingga apabila disebut nama Allah dengan lisan maka ruang dalam hati langsung terpenuhi oleh sifat-sifat Allah dan tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk selain-Nya. Di sini Tuhan hadir dalam keesaannya yang la wujud illa Allah, tidak ada yang wujud selain Allah. Ketika dalam hati tidak ada yang lain selain Allah, maka setiap gerak tubuh mengarah kepada amal perbuatan yang diridlai Allah, tidak melanggar perintah Allah. Individu yang sudah sampai pada peringkat tauhidul wujud seperti ini akan menjadi manusia mulia sebab kemuliaan akhlaknya.

Page 22: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 187

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Jika berhimpun yang empat huruf itu maka berbunyi: Allah alladhi

khalaqa alsamawat wa alard. Jika dibuang huruf alif-nya maka berbunyi: Lillah

alwahid alqahhar. Jika dibuang lam awwal-nya maka berbunyi: Laha almulk wa

lahu alhamd. Dan jika dibuang huruf lam akhir-nya maka berbunyi: huwa

alawwal wa alakhir wa alzahir wa albatin. Jika dibuang huruf hu-nya maka apa bunyinya dan apa artinya? Hanya orang-orang yang ‘arif bi Allah. Ilmu ini lebih tajam dari pedang dan lebih halus dari rambut. Itulah kesudahan ilmuahli Allah. Katanya betapa lagi rupa itu melihat akan dirinya, karena telah dikembalikannya jawhari yang diterimanya sebanyak tujuh biji kepadanya telah dikembalikan, maka betapa ia melihat Allah, maka hasil tiada melihat akan dirinya dan tiada melihat akan Allah, jadi keduanya ’adam. Maka tiadalah yang lebih dari ilmu orang ahli sufi (Ambulung; 55-57).

Pada bagian ini penulis melihat tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya peralihan konstruksi pemahaman tasawuf dalam naskah Ambulung yang hidup dalam budaya Banjar di Kalimantan Selatan. Pertama, figur pengarang yang alim di bidang tasawuf falsafi sekaligus menjadi bagian dari ulama Banjar yang terlibat dalam jaringan ulama Nusantara abad-18. Kedua, perkembangan akademik dalam pemikiran tasawuf global saat itu mengarah pada doktrin tasawuf falsafi. Ketiga, Naskah Ambulung secara tidak langsung mengajak pembacanya berfikir dinamis. Hal ini tercermin pada penjelasan tentang Tuhan sebagai entitas tertinggi yang tak tergambarkan, di mana diskusi tentang wujud Tuhan dan alam sudah biasa menjadi topik dalam filsafat.

Paradigma Baru Katauhidan dalam Naskah Ambulung

Naskah Ambulung mendorong pemahaman tauhid yang baru. Informasi dalam Naskah Ambulung menegaskan bahwa Naskah tersebut menyajikan ilmu dari ahli sufi (falsafi) kelas tinggi. Di dalam naskah juga dijelaskan bahwa ilmu tasawuf tingkat tinggi harus dipelajari dari guru yang

Page 23: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

188 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

sesuai. Bahkan, dalam naskah Ambulung disampaikan bahwa pelajaran singkat yang disajikannya memiliki manfaat yang lebih berharga dari pada dunia beserta isinya. Namun demikian, isi kajian tersebut sangat berbahaya apabila disalahgunakan.

Bab ini adalah menyatakan ilmu orang tahqīq tiada diperoleh lebih daripada itu walau anbiya’ sekalipun. Maka pikirkanlah olehmu dan cari akan guru yang boleh menghuraikannya. Adapun perkataan yang sedikit ini terlebih besar faidahnya dari dunia dan segala isinya. Terlebih keras daripada batu dan terlebih tajam dari pedang. Maka inilah Ilmu Shuhūd yakni ilmu orang ahli sufi r.a. (Ambulung; 1)

Salah satu materi dalam Naskah Ambulung adalah teori tentang Martabat. Teori Martabat yang ditawarkan dalam Naskah Ambulung berbeda dengan Martabat Tujuh dalam Tuhfat Almursalah karya Alburhanfuri. Dalam Naskah Ambulung dijelaskan bahwa ada dua martabat yang bisa digunakan untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya. Pertama adalah Martabat Ketuhanan dan kedua adalah Martabat hamba. Martabat Ketuhanan terdiri dari Ahadiyah, Wahdah, dan Wahdiyah. Martabat Hamba terdiri dari Alam Arwah, Alam Misal, Alam Ajsam dan Alam Insan. Terkait dengan model pemahaman tersebut, Naskah Ambulung memang menawarkan teori baru yang bisa dirujuk dalam diskusi tasawuf di masa sekarang.

Menurut Nur Kolis, Naskah Ambulung merupakan naskah otoritatif di bidang tasawuf wujudiyah abad ke-18. Dari segi teksnya, naskah tersebut ditulis dengan huruf (Jawi) yang sesuai dengan standar penulisan, menggunakan struktur bahasa (Melayu) yang dapat dipahami, dan tidak banyak menampilkan variasi teks yang berpotensi menimbulkan perbedaan pemahaman terhadap isi teks. Dari segi isi, naskah Ambulung menyajikan topik bahasan yang cukup tinggi, mencakup ajaran tauhid wujudiyah yang dikonstruksi berdasarkan pemahaman terhadap Nur Muhammad. Sumber ajarannya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, yaitu Alqur’an, hadith, dan pendapat salafus solih yang diijazahkan secara langsung maupun secara

Page 24: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 189

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

barzakhi. Pembahasan Naskah disusun secara sistematis dalam fasal-fasal yang dijelaskan secara naratif, dan sebagian menggunakan symbol untuk memudahkan pemahaman. Dari segi konteksnya, naskah Ambulung membawa pesan keagamaan yang relevan pada masa naskah tersebut ditulis, yaitu ajaran tauhid dengan pendekatan tasawuf falsafi.

Naskah Ambulung memuat ajaran bahwa seluruh makhluk yang diciptakan oleh Tuhan memiliki asal yang sama, yaitu Nur Muhammad, sehingga makhluk ciptaan Tuhan berkedudukan sama. Maksud dari makhluk ciptaan Tuhan di sini bukan saja yang bernyawa seperti manusia dan binatang, tetapi juga yang tidak bernyawa seperti pemikiran, keyakinan, dan agama. Dalam perspektif ini Naskah Ambulung mengajarkan satu doktrin tentang kesatuan agama-agama, yaitu wahdatul adyan. Penjelasan tentang teori Nur Muhammad dapat dirujuk pada hampir di seluruh isi naskah.

Naskah Ambulung mengkonstruksi paham tentang ajaran agama dalam tiga hal. Pertama, motivasi positif kepada pengkaji, yaitu dengan menginformasikan berbagai keuntungan yang dapat diperoleh pengkaji yang bersedia membangun pemahaman tasawufnya sebagaimana dijelaskan dalam Naskah Ambulung. Kedua, otentisitas naskah Ambulung sangat memungkinkannya dijadikan sumber pengetahuan tentang ajaran tasawuf sesudahnya. Ketiga, naskah Ambulung memuat teori Perhimpunan Martabat sebagai solusi praktis bagi manusia untuk menuntun mereka dalam berperilaku kepada Tuhan dan sesama makhluk. Pemahaman secara mendalam terhadap teori tersebut dapat melahirkan sikap egaliter.

Mendiskusikan Arah Tasawuf Ortodoks dan Non Ortodoks

Konsep tasawuf dalam naskah Ambulung memiliki perbedaan yang signifikan dengan tasawuf ortodoks yang berkembang saat itu. Naskah Ambulung mengajak para pengkajinya ke arah pemahaman tasawuf filosofis. Konteks filosofis dalam Naskah Ambulung dipengaruhi oleh

Page 25: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

190 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

para sufi yang controversial saat itu, seperti Al-Hallaj (866 M), Ibnu Sina (980 M), dan Ibnu Arabi. Sulit memastikan bagaimana sebenarnya hubungan naskah Ambulung dengan para pemikir kontroversial tersebut. Dalam sebuah penelitian, Rozi menunjukkan bukti bahwa ajaran tasawuf falsafi yang masuk ke Nusantara dibawa oleh para sufi Persia dan India. Berbeda dengan Rozi, Azra memperlihatkan data bahwa Abdul Hamid termasuk dalam kelompok jaringan ulama nusantara Kalimantan abad 18 meskipun ia tidak mengungkap biografinya seacara mendetail.40 Jaringan ini tampaknya bertemu dan terhubung dengan jaringan ulama yang dikenal sebagai Ashabul Jawiyyin lainnya. Ulama yang sezaman dengan Abdul Hamid adalah Syekh Arsyad Albanjari. Namun, dalam perjalanan kehidupan mereka, Syekh Arsyad menentang konsep tasawuf Abdul Hamid tentang paham wujudiyah.

Selain di Banjar, polemik ajaran wujudiyah juga terjadi di Aceh, antara Nuruddin Ar-Raniry dan Hamzah Fansuri.41 Keduanya terlibat diskusi panjang mengenai konsep wahdatul wujud. Diskusi ini juga melibatkan guru Assingkili, Ibrahim al-Kurani dari Mesir. Kehadiran guru Assingkili adalah untuk memberikan risalah mengenai berbagai kontroversi yang terjadi dalam diskursus pemikiran tasawuf di Indonesia. Anshari menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang menjadi pemantik pertikaian ideologis tersebut, pertama aspek teologis, kedua, kepentingan politis, dan ketiga kesamaan genealogis.42

Pertikaian ini juga mendatangkan pengaruh di Kalimantan Selatan. Pertikaian yang pada waktu itu terjadi antara Abdul Hamid dan Syeikh Arsyad Albanjari menunjukkan bahwa Syeikh Arsyad telah memberi fatwa

40 Syafwan Rozi, “Wacana Sufistik: Tasawuf Falsafi Di Nusantara Abad XVII M: Analisis Historis Dan Filosofis,” Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies 3, no. 2 (2017): 163–175.

41 Rusdiyanto Rusdiyanto and Musafar Musafar, “Ajaran Wujudiyah Menurut Nuruddin Arraniri,” Potret Pemikiran 22, no. 1 (2018).

42 Muhammad Afif Anshori, “Kontestasi Tasawuf Sunni Dan Tasawuf Falsafi Di Nusantara,” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 4, no. 2 (2015): 309–327.

Page 26: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 191

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

hukuman mati kepada Abdul Hamid. Fatwa tersebut lahir karena anggapan bahwa ajaran Abu Hamid melenceng. Meskipun demikian, Naskah Ambulung hingga saat ini tetap menarik bagi masyarakat dan dikaji oleh masyarakat Banjar. Aspek amaliyah dalam Naskah Ambulung yang berupa zikir musyahadah dan tawajjuh adalah pengembangan dari metode zikir khafi dan jali. Metode tersebut memungkinkan sufi untuk menjalin komunikasi langsung dengan Tuhan, bahkan menyatu dengan wujud Tuhan dalam bentuk hulul seperti yang dialami oleh Alhallaj, atau wahdatul wujud seperti pengalaman Ibn Arabi.

Syeikh Abdul Hamid: Guru Para Sufi Banjar

Abdul Hamid sebagai pengarang Naskah memainkan peranan penting dalam mengkonstruksi pemikiran tasawuf. Beliau adalah seorang ulama Melayu Banjar yang kharismatik. Sebutan Syeikh pada Abdul Hamid merupakan gelar yang dilekatkan kepada orang yang pernah menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah. Pernyataan Azyumardi Azra yang menyebut Abdul Hamid sebagai ulama Kalimantan yang terlibat di dalam jaringan ulama Nusantara dan Haramayn abad XVIII memperkuat argumen ketokohan Abdul Hamid sebagai ulama Banjar yang layak bergelar Syeikh sebagaimana ulama Nusantara alumni Haramain lainnya. Keterlibatan Abdul Hamid dalam jaringan ulama memudahkannya bergelut dengan perkembangan akademik global, khususnya bidang tasawuf yang pada saat itu sedang menjadi trending topic di Nusantara.

Sebenarnya Abdul Hamid bukan satu-satunya ulama sufi Banjar yang secara aktif mengajarkan corak tasawuf baru di Kalimantan. Dalam sejarah Islam Banjar abad ke-17 dan 18 nama ulama lain yang sealiran dengan Abdul Hamid yang juga berpengaruh adalah Syeikh Muhammad Nafis pengarang kitab Aldurr Alnafis, Datu Sanggul dari Tatakan, Rantau. Di antara nama-nama populer yang disebutkan, popularitas Abdul Hamid memang berada di posisi teratas. Hingga saat ini tidak sedikit dari

Page 27: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

192 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

masyarakat Kalimantan Selatan yang mengkaji dan mengamalkan ajaran Abdul Hamid. Bahkan, pengkaji Naskah Ambulung saat ini membentuk komunitas yang dikenal dengan komunitas Ambulung.

Selama lebih dari satu abad popularitas Abdul Hamid Ambulung tersebar melalui tutur kata dari mulut ke mulut, baik tentang kekeramatan beliau yang dianggap sebagai wali, kharisma beliau sebagai seorang Datu, dan kealiman beliau sebagai seorang Syeikh. Abdul Hamid memang tidak memiliki karya tulis. Beliau hanya mewariskan sebuah naskah kecil yang mengajarkan tentang tasawuf falsafi, yaitu Naskah Ambulung. Naskah tersebut selanjutnya menjadi referensi utama dalam pengajian tasawuf sirr di Kalimantan Selatan.

Pengajian tasawuf sirr adalah majelis ilmu yang dilaksanakan secara tertutup, karena materi pelajarannya yang tidak boleh disampaikan secara bebas kepada orang yang belum memiliki kesiapan akademik. Murid majelis ilmu ini terdiri dari para tuan guru dan ahli sufi yang telah khatam mengaji ”sifat duapuluh”, Artinya, hanya orang yang sudah berpengetauan cukup tentang syariat dan dasar-dasar keyakinan Islam yang diperkenankan mengkaji Naskah Ambulung. Model-model seperti tasawuf filosofis intuitif rentan disalahpahami orang yang tidak siap nalar irfaninya.

Tasawuf Sirr dan Resepsi Pemahaman Baru Sufisme di Banjar

Naskah Ambulung membawa tradisi baru tasawuf dalam perspektif filsafat. Harun Nasution menyebutnya tasawuf falsafi.43 Di satu segi ajaran dalam Naskah Ambulung mengarahkan manusia pada sikap berserah diri kepada kehendak Tuhan secara bulat. Di sisi lain justru penyerahan diri secara total kepada Tuhan berimplikasi pada dinamika dalam berfikir dan semangat dalam amal kebajikan tanpa pamrih. Hal ini terbukti pada kehidupan para pengkaji Naskah Ambulung yang secara akademik, sosial dan ekonomi berada di atas rata-rata umumnya masyarakat Banjar.

43 Syafwan Rozi, “Wacana Sufistik: Tasawuf Falsafi Di Nusantara Abad XVII M: Analisis Historis Dan Filosofis.”

Page 28: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 193

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Kajian sirr yang dilakukan oleh komunitas Ambulung telah mengubah aqidah tauhid mengarah pada pemahaman wujudiyah. Mereka memiliki pola pikir moderat yang dapat memahami perbedaan dalam berbagai hal, misalnya, pemikiran, ekonomi, bahkan perbedaan politik. Para pengkaji Naskah Ambulung mengatakan bahwa seseorang dianggap belum belajar tasawuf jika belum belajar Ambulung. Sejarah mengenai polemik dan fatwa serta hukuman mati Syeikh Abdul Hamid telah mereka lupakan dan hal itu tidak membuat masyarakat terpengaruh. Praktik tasawuf wujudiyah sir ini banyak dilakukan di perkotaan Banjarmasin, salah satunya dilakukan oleh Guru Yadi serta pengajian tasawuf lain di Banjarmin.

Istilah tasawuf sir merupakan istilah yang populer. Ahmad menunjukkan motivasi para peserta pengajian dalam tasawuf sirr ini terdiri dari dua faktor, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik datang dari diri peserta yang mengikutii pengajian secara sukarela karena dorongan yang timbul dari dalam diriya. Sementara ekstrinsik adalah pengaruh orang lain atau komunitas sehingga kita mau mengikuti pengajian tasawuf sirr ini.

Secara lebih jauh Mujiburrahman mencoba memetakan perkembangan tasawuf di Kalimantan Selatan, pertama bahwa kajian tasawuf di Banjar adalah perpaduan antara tasawuf etis dan mistis; kedua, tasawuf di Banjar tidak sepenuhnya ada dalam koridor tasawuf ortodoks. 44 Ketiga, kepercayaan akan peristiwa ajaib dapat terjadi pada orang-orang saleh, misal konsep wali; keempat, kondisi sosial politik di masa tertentu sedikit banyak mempengaruhi perkembangan tasawuf di daerah yang bersangkutan. Dari sini kemudian pengaruh beberapa literatur mengenai wujudiyah seperti yang terdapat dalam naskah Ambulung dan Durar

Annafis (karya syaeikh Muhammad Nafis) tampak mewakili sisi mistis dalam perkembangan tasawuf di Kalimantan Selatan.

44 Mujiburrahman, “Tasawuf Di Masyarakat Banjar : Kesinambungan Dan Perubahan Tradisi Keagamaan.”

Page 29: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

194 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Penutup

Tulisan ini menunjukkan bahwa naskah Ambulung merupakan salah satu naskah yang masih dianggap menarik di masyarakat Kalimantan Selatan yang poin ajarannya adalah mengenai faham Wujudiyah. Naskah ini memiliki kemiripan dengan ajaran emanasi Ibnu Arabi dan merupakan kelanjutan dari diskursus panjang dan polemis hingga pada polemik di Nusantara seperti Nuruddin ar-Raniry dan Hamzah Fansuri di Aceh atau bahkan Syekh Siti Jenar dengan Walisongo. Oleh karena itu, di Kalimantan Selatan, kitab ini dikaji oleh komunitas sirr yang para pesertanya adalah para guru tasawuf. Kitab ini tidak diajarkan secara umum karena doktrin-doktrinnnya dapat mengarahkan seseorang untuk meninggalkan syariat dan hanya menekankan pada aspek hakikat. Ajaran yang terkandung dalam naskah ini mengajak masyarakat untuk dinamis berpikir moderat dan tidak kaku dalam memahami suatu perbedaan, baik dalam hal ideologi, agama, politik ataupun ekonomi.

Penggunaan konsep-konsep yang ditunjukkan dalam literatur review ini mampu melihat konstruksi Naskah Ambulung mulai dari sejarah kemunculan hingga penggunaannya pada masa sekarang di masyarakat Kalimantan Selatan. Hal ini yang kemudian membedakan kajian mengenai naskah ini dengan kajian yang telah ada sebelumnya.

Referensi

Afif Anshori, Muhammad. “Kontestasi Tasawuf Sunni Dan Tasawuf Falsafi Di Nusantara.” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 4, no. 2 (2015): 309–327.

Al-Haramain, Elmansyah. “Shifting Orientation in Sufism: Its Development and Doctrine Adjustment in History.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 1, no. 2 (2011): 273–296.

Alam, Muzaffar. “The Debate Within: A Sufi Critique of Religious Law,

Page 30: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 195

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Tasawwuf and Politics in Mughal India.” South Asian History and Culture 2, no. 2 (2011): 138–159.

———. “The Mughals, the Sufi Shaikhs and The Formation of The Akbari Dispensation.” Modern Asian Studies 43, no. 1 (2009): 135–174.

Andarwati, Lilis. “Sufisme Perkotaan Dan Pedesaan Di Era Modernisasi Dan Sekularisasi.” Universum 10, no. 1 (2016): 41–48.

Anis, Muhammad. “Spiritualitas Di Tengah Modernitas Perkotaan.” Jurnal Bayan 2, no. 4 (2013): 1–15.

Azra, Azyumardi. “Jaringan Ulama Nusantara.” In Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan. Bandung: Mizan, 2016.

Barnett, Michael D., Kylie B. Sligar, and Chiachih D.C. Wang. “Religious Affiliation, Religiosity, Gender, and Rape Myth Acceptance: Feminist Theory and Rape Culture.” Journal of Interpersonal Violence 33, no. 8 (2018): 1219–1235.

Beaumont, Mark. “Speaking of The Triune God: Christian Defence of The Trinity in The Early Islamic Period.” Transformation: An International Journal of Holistic Mission Studies 29, no. 2 (2012): 111–127.

Bertocci, Peter J. “A Sufi Movement in Bangladesh: The Maijbhandari Tariqa and Its Followers.” Contributions to Indian Sociology 40, no. 1 (2006): 1–28.

Bhat, Samee-Ullah. “Concept of Tawhid (Unity of God) in Islam: A Study of Relevant Qur’anic Text.” International Journal of Historical Insight and Research 4, no. 2 (2018): 20–27.

Chan, Esther. “Are The Religious Suspicious of Science? Investigating Religiosity, Religious Context, and Orientations Towards Science.” Public Understanding of Science 27, no. 8 (2018): 967–984.

Cook, Abu Bakr Sirajuddin. “Tasawwuf ‘Usturaliya Prolegomena to a History of Sufism in Australia.” Australian Journal of Islamic Studies 3, no. 3 (2018): 60–75.

Dickson, William Rory. Living Sufism in North America: Between Tradition and Transformation. New York: State University of New York Press, 2016.

Page 31: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

196 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Djakfar, Muhammad. “Business Behavior of Tariqa Followers in Indonesia: The Relation of Religion, Sufism, and Work Ethic.” Ulul Albab: Jurnal Studi Islam 19, no. 2 (2018): 253–271.

Dreher, Jochen. “The Social Construction of Power: Reflections Beyond Berger/Luckmann and Bourdieu.” Cultural Sociology 10, no. 1 (2016): 53–68.

Hasan, Ismail. “Tasawuf Jalan Menuju Tuhan.” An-Nuha 1, no. 1 (2014): 45–65.

Hashi, Abdurezak A. “Between Monotheism and Tawhid: A Comparative Analysis.” Revelation and Science 3, no. 2 (2013): 23–29.

Hilmi, Danial. “Potret Nilai Kesufian Dalam Kehidupan Bermasyarakat.” El-HARAKAH 13, no. 1 (2012): 1–18.

Howell, Julia Day. “Modernity and Islamic Spirituality in Indonesia’s New Sufi Networks.” In Sufism and the Modern in Islam, edited by Martin Van Bruinessen and Julia Day Howell. London: IB Tauris, 2007.

Huber, Stefan, and Odilo W. Huber. “The Centrality of Religiosity Scale (CRS).” Religions 3, no. 3 (2012): 710–724.

Huda, Miftachul, Jibrail Bin Yusuf, Kamarul Azmi Jasmi, and Gamal Nasir Zakaria. “Al-Zarnuji’s Concept of Knowledge.” SAGE Open 6, no. 3 (2016): 1–13.

Kalin, Ibrahim. “Religion, Unity and Diversity.” Philosophy and Social Criticism 37, no. 4 (2011): 471–478.

Kholish, Nur. Ajaran Tauhid Wujudiyah di Kalimantan Selatan ( Kajian Filologi Manuskrip Ambulung ). 1st ed. Ponorogo: Cv. Nata Karya, 2019.

Kolis, Nur. “Nur Muhammad Dalam Pemikiran Sufistik Datu Abulung Di Kalimantan Selatan.” Al-Banjari : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 11, no. 2 (2012): 173–198.

Krauss, Steven Eric, Azimi Hamzah, Ismi Arif Ismail, Turiman Suandi, Siti Rabaah Hamzah, Dzuhailmi Dahalan, and Fazilah Idris. “Religious Socialization Among Malaysian Muslim Adolescents: A Family Structure Comparison.” Review of Religious Research 54, no. 4 (2012): 499–518.

Krauss, Steven Eric, Ismi Arif Ismail, Turiman Suandi, Azimi Hamzah, Siti Raba ah Hamzah, Dzuhailmi Dahalan, Nor Farahana Mhd Daud, and Fazilah Idris. “Parenting and Community Engagement

Page 32: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 197

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Factors as Predictors of Religiosity Among Muslim Adolescents From Malaysia.” International Journal for the Psychology of Religion 23, no. 2 (2013).

Kuhn, Michael. “Allāh: Internalized Relationality: Awwaḍ Sim’ān on the Trinitarian Nature of God.” Transformation 36, no. 3 (2019): 173–183.

Mahzumi, Fikri. “Prinsip Dan Ajaran Tasawuf ‘Abdullah Alhaddad.” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 2, no. 1 (2015).

Makhasin, Luthfi. “Urban Sufism, Media and Religious Change in Indonesia.” Ijtima’iyya: Journal of Muslim Society Research 1, no. 1 (2016): 23–36.

Malik, Maszlee. “Constructing an Alternative Concept of Islamic Governance: A Maqāṣidic Approach.” Kemanusiaan the Asian Journal of Humanities 26, no. Supplement 1 (2019): 89–108.

Mas’ud, Ali. “Ortodoksi Sufisme K.H. Shalih Darat.” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 7, no. 1 (2014): 124–143.

Masrur, Ali. “Pemikiran Tasawuf Ortodoks Di Asia Tenggara (Telaah Atas Kontribusi Alraniri, Alsingkili, Dan Almakasari).” Syifa Alqulub 1, no. 2 (2017): 152–159.

Melchert, Christopher. “Origins and Early Sufism.” In The Cambridge Companion to Sufism. London: Cambridge University Press, 2014.

Mitha, Karim. “Sufism and Healing.” Journal of Spirituality in Mental Health 21, no. 3 (2019): 194–205.

Mohamed Zain, Mustaffa, Faizah Darus, Haslinda Yusoff, Azlan Amran, Hasan Fauzi, Yadi Purwanto, and Dayang Milianna Abang Naim. “Corporate Ibadah : An Islamic Perspective of Corporate Social Responsibility.” Middle-East Journal (2014).

Mohd Faiz Hakimi Mat Idris, Ahmad Fauzi Hasan, Zaidin Mohamad, Ahmad Shaharuddin Tahar. “Wasathiyah and Its Implementation Among Tasawwuf Scholars in Aceh.” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 9, no. 11 (2019): 842–850.

Mujiburrahman. “Tasawuf Di Masyarakat Banjar : Kesinambungan Dan Perubahan Tradisi Keagamaan.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 3, no. 2 (2013): 153.

Page 33: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

198 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Muttaqin, Ahmad. “From Occultism to Hybrid Sufism: The Transformation of An Islamic-Hybrid Spiritual Group in Contemporary Indonesia.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 4, no. 1 (2014): 81–104.

Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Spirituality. Islamic Spirituality, 2013.Ni’am, Syamsun. “TASAWUF DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL

(Studi Tentang Peran Tarekat Dalam Dinamika Sosial-Politik Di Indonesia).” Harmoni (2016).

Van Der Noll, Jolanda, Anette Rohmann, and Vassilis Saroglou. “Societal Level of Religiosity and Religious Identity Expression in Europe.” Journal of Cross-Cultural Psychology 49, no. 6 (2018): 959–975.

Özdemir, Ömer Behram, and Recep Tayyip Gürler. “Path to Become a State: From Jama’at Al-Tawhid Wal-Jihad to the Islamic State.” In Non-State Armed Actors in the Middle East: Geopolitics, Ideology, and Strategy, 2017.

Petts, Richard J. “Parental Religiosity and Youth Religiosity: Variations by Family Structure.” Sociology of Religion: A Quarterly Review 76, no. 1 (2015): 95–120.

Polat, Mizrap. “Tasawwuf-Oriented Educational Philosophy and Its Relevance to the Formation of Religion and Ethics Course Curriculum.” Universal Journal of Educational Research 5, no. 5 (2017): 806–814.

Ridgeon, Lloyd. “Mysticism in Medieval Sufism.” In The Cambridge Companion to Sufism, edited by Lloyd Ridgeon, 125–149. London: Cambridge University Press, 2014.

Rozehnal, Robert. Islamic Sufism Unbound: Politics and Piety in Twenty-First Century Pakistan. New York: Palgrave Macmillan, 2007.

Rozi, Syafwan. “Wacana Sufistik: Tasawuf Falsafi Di Nusantara Abad XVII M: Analisis Historis Dan Filosofis.” Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies 3, no. 2 (2017): 163–175.

Rubaidi. “Reorientasi Ideologi Urban Sufism Di Indonesia Terhadap Relasi Guru Dan Murid Dalam Tradisi Generik Sufisme Pada Majelis Shalawat Muhammad Di Surabaya.” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 5, no. 2 (2016): 294–320.

Rusdiyanto, Rusdiyanto, and Musafar Musafar. “Ajaran Wujudiyah Menurut Nuruddin Arraniri.” Potret Pemikiran 22, no. 1 (2018).

Page 34: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

Konstruksi Pemikiran Tasawuf Wujudiyah | 199

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020

Salihin. “Pemikiran Tasawuf Hamka Dan Relevansinya Bagi Kehidupan Modern.” Manthiq 1, no. 2 (2016): 179–190.

Salleh, Muhammad Syukri. “Philosophical Foundations of Islamic Development: Khurshid Ahmad’s Conception Revisited.” International Journal of Education and Research 1, no. 7 (2013): 1–16.

Siradj, Said Aqiel. “Tauhid Dalam Perspektif Tasawuf.” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman (2014).

Stojković, Irena, and Jovan Mirić. “Construction of a Religious Motivation Questionnaire.” Psihologija 45, no. 2 (2012): 155–170.

Sutoyo. “Tasawuf Hamka Dan Rekonstruksi Spiritualitas Manusia Modern.” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 10, no. 1 (2016): 108–136.

Werenfels, Isabelle. “Beyond Authoritarian Upgrading: The Re-Emergence of Sufi Orders in Maghrebi Politics.” Journal of North African Studies 19, no. 3 (2014): 275–295.

Ysseldyk, Renate, Kimberly Matheson, and Hymie Anisman. “Religiosity as Identity: Toward an Understanding of Religion from a Social Identity Perspective.” Personality and Social Psychology Review 14, no. 1 (2010): 60–71.

Zamhari, Arif. “Socio-Structural Innovations in Indonesia’s Urban Sufism: The Case Study of The Majelis Dzikir and Shalawat Nurul Mustafa.” Journal of Indonesian Islam 7, no. 1 (2013): 119–144.

Zarkasyi, Amal Fathullah. “Aqidah Altauhid Baina Altasawwuf Alsunni Wa Altasawwuf Alfalsafi.” TSAQAFAH 6, no. 2 (2010): 378–400.

Page 35: Vol. XVII, NO. 1, Januari - Juni 2020 ISSN: 1693-9867 (p

200 | Nur Kolis

– Vol. XVII, No. 1, Januari – Juni 2020