173-177-1-pb
TRANSCRIPT
![Page 1: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/1.jpg)
ABSTRACT
Lung oedema is a high frequent case in ICU, includ-
ing cardiogenic or non cardiogenic (ARDS). Invasive hemo-
dinamic monitoring is needed to dis! nguish both of those
types, it is also needed to treat this case. This case report
shows a woman, 26 years old, post sec! o caesarea, admit-
ted with lung oedema on VSD disorder. Along the inpa! ent
period, she got VAP sepsis. It is important to dis! nguish lung
oedema cause of cardiogenic or ARDS (VAP), and how to
treat her in ICU that has no invasive hemodynamic monitor-
ing device.
Keywords: Oedema, VSD, VAP, sepsis
ABSTRAK
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-
diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan peman-
tauan hemodinamik invasif. Begitu pula dalam penatalak-
sanaannya sangat diperlukan pemantauan parameter he-
modinamik. Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita,
26 tahun, paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan se-
lama perawatan mengalami sepsis VAP. Yang menjadi ma-
salah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membeda-
kan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat
VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang ! dak
dilengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif.
Kata kunci: Edema, VSD, VAP, sepsis
PENDAHULUAN
Pemantauan hemodinamik merupakan faktor yang
sangat pen! ng di ICU dan merupakan salah satu faktor
pen! ng yang menentukan keberhasilan dalam mengelola
kasus-kasus kriris di ICU. Seper! diketahui, ! dak semua ICU
di Indonesia diperlengkapi dengan pemantauan hemodin-
amik invasif. Banyak ICU hanya memiliki CVP sebagai sarana
pemantauannya. Untuk beberapa kasus, CVP dikombinasi
dengan manuver lain (PLR) cukup memadai, tetapi untuk
kasus-kasus tertentu khususnya yang berhubungan dengan
jantung (gagal jantung, edema paru kardiogenik, tampon-
ade, dan lain-lain) maka keterbatasan tersebut cukup me-
nyulitkan.
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-
I LAPORAN KASUS I
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP
Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis
Maria Irawaty
Maria IrawatyAlumnus Program Pendidikan Intensive Care
Universitas Indonesia RSCM
diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Kedua jenis ede-
ma paru ini berbeda secara patogenesis dan patofi siologi
meskipun secara klinis sulit dibedakan. Bahkan sering ked-
ua jenis edema paru ini terjadi bersamaan. Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan peman-
tauan hemodinamik invasif, seper! diketahui secara defi -
nisi ARDS harus memenuhu syarat PAOP < 18. Begitu pula
dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan
parameter hemodinamik.
Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita, 26
tahun paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan se-
lama perawatan mengalami sepsis VAP. Kondisi sepsis pada
kasus ini sulit teratasi meskipun sudah mendapatkan terapi
an! bio! ka sesuai hasil kultur, mengalami rekurensi dan su-
perinfeksi lalu kemudian meninggal.
Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan ka-
sus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardio-
genik atau ARDS ( akibat VAP ) dan bagaimana penatalaksa-
naannya di ICU yang ! dak dilengkapi dengan pemantauan
hemodinamik invasif.
ILUSTRASI KASUS
Pasien adalah Ny. M, 26 tahun, masuk RS (IGD)
pada tanggal 31/1/10 jam 02.00 dan masuk ICU pada tang-
gal 31/ 1/10 jam 05.00 dengan keluhan utama sesak napas.
Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (MRS),
pasien sering merasa sesak terutama bila melakukan peker-
jaan rumah sehari-hari. Sejak 1 hari sebelum MRS pasien
merasa sesak yang semakin bertambah berat. Sesak ! dak
disertai batuk, demam dan ! dak berbunyi. Beberapa jam
sebelum MRS OS merasa sesak semakin bertambah hebat.
Pasien hamil cukup bulan, ANC teratur ke bidan. Sejak usia
kehamilan 4 bulan pasien dikatakan darah ! nggi. Riwayat
kaki bengkak, air kencing berbuih disangkal. Gerak janin ma-
sih dirasakan, pandangan kabur disangkal. Riwayat penyakit
dahulu pasien sebagai berikut. Sejak kecil dikatakan denyut
jantung OS tampak keras. Sejak 3 tahun ini os sering merasa
sesak bila malam hari sehingga harus ! dur dengan 2 bantal.
Pemeriksaan Fisik dan penunjang (masuk ICU):
Pasien dari Kamar Operasi pasca-SC. Tampak sakit
berat, kesadaran DPO, TD 150/87, Nadi 150x/menit/ RR
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 52•
![Page 2: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/2.jpg)
16x/m dengan bagging 02 10 l/menit, SO2 100%. Suhu
36,8C.CVP 16. Paru, sonor seluruh paru, auskultasi ditemu-
kan ronki basah diseluruh paru. Jantung , tampak pulsasi di
parasternal, epigastrium dan ictus cordis. Ictus melebar, tak
kuat angkat,thrill +, Pulsasi di PS kiri , thrill +, konfi gurasi jan-
tung membesar ke kiri dan kanan, pinggang jantung menda-
tar. BJ I-II, murmur sistolik ejeksi di SIC ¾ grade 4/6.Pung-
tum maksimum di PS Kiri. Abdomen, Rata, supel , hepar dan
lien tak teraba, pekak sisi normal dan pekak alih ! dak ada,
bising usus (-). Ekstremitas tak sianosis, clubbing (-), hangat.
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium
Hb/Ht/L/Tr 13,6/41/22700/186000
SGOT/SGPT/GDS 100/30/161
Ur/cr/Na/K/Cl/ 31/1,5/135/5,4/102
AGD
PaO2/FiO2
7,14/62,2/125/-11,1/19,1/96,3
200
Assesment
Pasca SC, edema Paru ec curiga Penyakit Jantung Katup,
Dd/ PEB
Rencana
KAEN 3B, puasa CF (CF = clear fl uid) 60 cc, MC (MC = makan-
an cair) 30 cc/jam, morfi n bolus 2 mg dilanjutkan 1 mg/jam,
dormicum 1 mg/jam, elevasi 30-45�, rani! din 2x 50 mg IV,
respirasi : PC 16/14x/+8/60%, Amoxyclav 3x1 gram.
Catatan Kemajuan
H 1
Hemodinamik ! dak stabil, cenderung turun ( MAP
50-60mmHg). Pasien diberi loading koloid 500cc/1jam
yang diulang , tetapi CVP dan tekanan darah cenderung tu-
run, Kemudian OS diberi vasopresor noradrenalin sampai
0,8ucg/kg/min dan dobutamin 10ucg/kg/menit sehingga
MAP dapat dipertahankan 65-70 mmHg. Respirasi ditopang
dengan mode PC18/50%/16x/menit/+10/50%. Saturasi sta-
bil 90-100%. Ra! o PaO2/FiO2 200 . Mode ven! lator kemu-
dian menjadi PSIMV 15/10x/50%/+5 /PS 14.
H 2-3
Hemodinamik membaik, vasopresor dan inotropik
di! trasi turun dan kemudian di hen! kan hari ke! ga. Respi-
rasi ditopang dengan ven! lasi mekanik dengan mode SIMV
12/10x/50%/+5/PS 12 dan di weaning sampai PS 6/+5/40%.
Ra! o PaO2/FiO2 288.SvcO2 72,2% Pasien mendapatkan fu-
rosemid 3x20mg untuk mempertahankan balans nega! ve.
Pasien dilakukan ekhokardiografi dengan hasil kesan LVH,
AS mild, PE mild EF 80%, LV fungsi baik . Hasil tersebut ! dak
sesuai dengan penampilan klinis pasien.
Direncanakan untuk melakukan TEE. Pada hari ke-
! ga suhu tubuh cenderung naik ( 38,5), sputum berubah
menjadi purulen, tetapi leukosit cenderung turun diban-
dingkan saat masuk( 11700). Pasien dicurigai sebagai VAP,
direncanakan untuk memeriksa procalcitonin dan rontgen
thoraks ulang.
H 4
Pasien dilaporkan sputumnya berbercak darah me-
rah muda, dengan gambar rontgen edema paru kesan ber-
kurang ,infi ltrat bertambah. Direncanakan untuk dilakukan
pemeriksaan ulang lekosit dan procalcitonin.
H 5
Hemodinamik stabil tanpa topangan, suhu > 38,
sputum purulen tetapi lekosit menurun dibandingkan hari
pertama ( 11000), dengan procalcitonin meningkat ( 1,99).
Pasien didiagnosis mengalami VAP dengan faktor risiko
MDR dan diberi an! bio! k meropenem dan gentamicin se-
bagai empiris untuk VAP, tetapi an! bio! ka belum terbeli.
Indeks oksigenisasi rela! f baik ( stabil > 250) dan topangan
ven! lator dapat diweaning menjadi CPAP +5/40%.
H 6-9
Suhu semakin meningkat ( 38-39) dengan WOB
yang meningkat, ven! lasi mekanik kembali dengan mode
PS 10/+8/40%. An! bio! ka empiris sudah terbeli.
H 10
TEE dengan hasil VSD perimembranosa+AR mild
L to R shunt. Direncanakan untuk melakukaan AMVO.Hari
ini juga keluar hasil kultur sputum yaitu acinetobacter bau-
manii An! bio! ka kemudian dideekskalasi sesuai hasil kultur
resistensi test yaitu ampicilin sulbactam.
H 12
Rontgen thorax tampak perburukan, kesan infi ltrat
bertambah , suhu masih di atas 38, tetapi jumlah lekosit
cenderung turun ( 10460 ). Dipikirkan apakah VAP yang
memburuk atau edema parunya yang bertambah. Dilaku-
kan pemeriksaan pro BNP, procalcitonin dan kultur ulang.
An! bio! ka rencana digan! dengan piperacilin tazobactam
4x4,5gram,dan dosis NTG dinaikkan menjadi 10ucg/menit
dengan terlebih dahulu mengambil bahan kultur ulang.
Direncanakan untuk trakeostomi.
H 13
Hasil ProBNP 707 sedangkan Procalcitonin <0,5.
Dosis NTG di! trasi naik sampai 10ug/min. An! bio! ka ma-
sih dilanjutkan karena suhu badan cenderung turun setelah
an! bio! ka digan! .
H 14
Hb 8,5, dan SVcO2 65, dilakukan transfusi PRC
500cc. Suhu sudah ! dak febris ( stabil < 37,5 C)
H-16
SVcO2 71 ,ProBNP 445. NTG di! trasi turun sampai
5mcg/min. Pewarnaan gram dan kultur sputum ! dak dite-
mukan pertumbuhan kuman. Rontgen Thorax ulang infi ltrat
bertambah dibandingkan rontgent hari keduabelas.
H 17
PCT 0.779, an! bio! ka tetap dilanjutkan. Topangan
ven! lasi mekanik dapat diweaning menjadi PS 10/PEEP 5/
fi o2 40%.
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 53•
![Page 3: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/3.jpg)
Kausa : infark miokard, hipertensi, penyakit
jantung katup,eksaserbasi gagal jantung sisto-
lik /diastolik dan lainnya.
- Nonkardiogenik/edema paru permeabilitas
meningkat.
Kausa : ALI dan ARDS
Walaupun penyebab kedua jenis edema paru ter-
sebut berbeda, namun membedakannya terkadang sulit
karena manifestasi klinisnya yang mirip. Kemampuan mem-
bedakan penyebab edema paru sangat pen! ng karena be-
rimplikasi pada penanganannya yang berbeda 1
Patofi siologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari
mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel en-
dotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
ruang alveolar inter! sial pada keadaan normal ! dak dapat
masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus
terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ke! ka cairan
memasuki ruang inter! sial, cairan tersebut akan dialirkan
ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan
oleh sistem limfa! k ke sirkulasi. Perpindahan protein plas-
ma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrosta! k
yang diperlukan untuk fi ltrasi cairan keluar dari mikrosirku-
lasi paru sama dengan tekanan hidrosta! k kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onko! k protein.
Gambar 1. Patofi siologi edema Paru ( diku! p dari Loraine et
al. NEJM 2005 : 353: 2791)
H 18
Dilakukan trakeostomi. Pasca trakeostomi dilaku-
kan pengkajian kesiapan weaning dan didapatkan hasil SBI
24/0,24= 100, dengan PS6 PEEP 5, maka diputuskan un-
tuk melanjutkan weaning dengan T-Test. Hari Ke 19 pasien
dapat bernafas dengan nasal kanul 4l/menit, suhu tubuh
cenderung turun, nilai procalcitonin menjadi 0,646. Kesan
VAP mengalami perbaikan tetapi an! bio! ka piperacilin –
tazobactam tetap diteruskan karena Procalcitonin masih >
0,1.
H 20
Rontgen thorak ulang dan didapatkan kesan in-
fi ltrat bertambah,, diberikan terapi an! jamur preemp! f
dengan memberikan fl ukonazol 400 mg dilanjutkan 200mg/
hari.
H 23 -27
Pasien tampak lebih sesak, ra! o PaO2/Fio2 288,
suhu kembali 39C ,lekosit 12000, procalcitonin meningkat
menjadi 0,85, rontgen thorax perburukan ( nilai CPIS 6),
tetapi nilai pro BNP semakin turun ( 343pg/ml). Hasil kuk-
tur ulang didapatkan A.baumanii sensi! f dengan an! bio! ka
golongan aminoglycoside dan levofl oksacin. Cefoperazone/
sulbactam intermediate.
An! bio! ka digan! menjadi amikasin 750 mg dan
sulperazon 2x2gram. Hari ke 26 suhu turun ( 36,7-37,4 C) ,
procalcitonin turun menjadi 0,685 .Topangan ven! lasi me-
kanik dapat dikurangi menjadi PS 6/PEEP 5/FIO2 40%. Di-
ambil kultur ulang untuk evaluasi.
H 28-31
Mulai H-28 suhu kembali naik sampai 39C, procal-
citonin dan lekosit kembali meningkat ( 1,217 dan 16890)
direncanakan menggan! an! bio! ka dengan tygaciclin teta-
pi ! dak terbeli. Ra! o PaO2/FIO2 150, topangan ven! lator
di! ngkatkan menjadi SIMV 12/12/PEEP 6/FIO2 60% PS 10.
SVcO2 < 70 ( 55 à 49) . Hemodinamik menurun menjadi < 65
mmHg, CVP 7-14, takikardi ( 120-140) Pada AGD didapat-
kan SID -9 . Pasien dikaji mengalami perburukan ( severe
sepsis, dengan hipotensi kemungkinan syok sepsis). Ront-
gen Thoraks hari ke 30 menunjukkan siluet jantung yang
bertambah besar ( pembesaran biventrikuler bertambah)
dan pertambahan infi ltrat. Pasien dicurigai mengalami dis-
fungsi miokard yang bertambah karena sepsis berat. Pasien
mendapatkan norepinefrin dan dobutamin,NTG dan furose-
mid dihen! kan. Hemodinamik semakin turun dan akhirnya
meninggal pada hari ke 31. Hasil kultur terakhir (specimen
tanggal): Chryseomonas luteola , dengan an! bio! k yang
sensi! f amikacin dan tygaciclin.
TINJAUAN PUSTAKA
Edema Paru
Edema paru didefi nisikan sebagai terakumulasi-
nysa cairan di inter! sial dan alveolus. Penyebab Edema Paru 1,2 :
- Kardiogenik atau edema paru hidrosta! k atau
edema hemodinamik
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 54•
![Page 4: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/4.jpg)
Edema paru kardiogenik atau edema volume over-
load terjadi karena peningkatan tekanan hidrosta! k yang
cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan fi l-
trasi cairan transvascular.(Gambar 1B). Peningkatan teka-
nan hidrosta! k di kapiler pulmonal biasanya berhubungan
dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat pening-
katan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan teka-
nan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (
18 – 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler
dan ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan
atrium kiri meningkat lebih ! nggi (>25) maka cairan edema
akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus.(gambar
1b) Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan
yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut :
• Meningkatnya konges! paru akan menyebabkan de-
saturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan
akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
• Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menim-
bulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan
tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventri-
kel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel
akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
• Insufi siensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis se-
hingga memperburuk fungsi jantung.
Edema paru kardiogenik ini merupakan bagian dari
spectrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS
didefi nisikan sebagai : munculnya gejala dan tanda secara
akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang ! -
dak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi
AHFS menjadi 6 klasifi kasi yaitu :
ESC 1 : Acute Decompensated Heart Failure
ESC 2 : Hypertensive Acute Heart Failure
ESC 3 : Pulmonary oedema
ESC 4 : Cardiogenic Shock
ESC 5 : High output Failure :AHF pada sepsis
ESC 6 : Right Heart Failure
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh pen-
ingkatan tekanan hidrosta! k maka sebaliknya, edema paru
nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabili-
tas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkat-
nya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan
alveolus.(1C) Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki
kadar protein ! nggi karena membran pembuluh darah
lebih permeable untuk dilewa! oleh protein plasma. Aku-
mulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara
kecepatan fi ltrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cai-
ran tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.
Diagnosis
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan non-
kardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. Edema inter-
sisial menyebabkan sesak dan takipne. Alveolus yang penuh
cairan menyebabkan hipoksemia arteri dan dapat disertai
batuk dan sputum kemerahan ( frothy).
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk kearah
kausa edema paru, misalnya adanya riwayat
sakit jantung, riwayat adanya gejala yang ses-
uai dengan CHF.
- Pemeriksaan fi sik
Terdapat takipnu, ortopnu (manifestasi la-
njutan). Takikardia, hipotensi, akral dingin
dengan sianosis, menggunakan otot bantu na-
fas, frophy sputum, ronki basah dan terdapat
wheezing. Khususnya pada edema paru kar-
diogenik terdapat JVP meningkat, gallop, bunyi
jantung 3 dan 4 dan terdapat edema perifer.
- Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevant di-
perlukan untuk mengkaji e! ologi edema paru.
Pemeriksaan tersebut melipu! diantaranya
pemeriksaan hematologi (complete blood
count), fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein,
urinalisa, analisa gas darah, troponin I dan
Brain Natriure! c pep! de (BNP).
Brain Natriu! c Pep! de (BNP) dan prekur-
sornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rap-
id test untuk menilai edema paru kardiogenik
pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma
berhubungan dengan PAOP, LEVEDP dan LVEF .
Khususnya pada pasien gagal jantung menggu-
nakan pro BNP dengan nilai 100pg/ml akurat
sebagai prediktor gagal jantung pada pasien
dengan efusi pleura dengan sensi! fi tas 91%
dan spesifi sitas 93%.1.Richard dkk melaporkan
bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi den-
gan LV fi lling Pressure. 2 Pemeriksaan BNP ini
menjadi salah satu test diagnosis ru! n untuk
menegakkan CHF berdasarkan pedoman diag-
nosis dan terapi CHF Eropa dan Amerika ( AHA
Guidelines).3
Buk! peneli! an menunjukkan bahwa Pro BNP/
BNP memiliki nilai prediksi nega! f dalam me-
nyingkirkan gagal jantung dari penyakit lain-
nya.
- Rontgent Paru
Gambaran rontgent paru dapat dipakai untuk
membedakan edema paru kardiogenik dari
edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap
ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa ede-
ma ! dak akan tampak secara radiologi sampai
jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa
masalah tehnik juga dapat mengurangi sensi-
! vitas dan spesifi sitas rontgent paru, seper!
rotasi, inspirasi, ven! lator, posisi pasien dan
posisi fi lm.1.
Tabel 2. Beda Gambaran Radiologi edema Paru Kardiogenik
dan Non Kardiogenik
Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik Edema Non Kardiogenik
Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal
Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar Biasanya normal
Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
Efusi pleura Ada Biasanya ! dak ada
Peribronchial Cuffi ng Ada Biasanya ! dak ada
Garis septal Ada Biasanya ! dak ada
Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada
diku! p dari Loraine et al. NEJM 2005 : 353: 2793
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 55•
![Page 5: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/5.jpg)
- Ekhokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk
mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekhokardiografi dapat mengevalusi fungsi mio-
kard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai
dalam mendiagnosis penyebab edema paru.
- Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal ( Pulmo-
nary artery occlusion pressure/PAOP) diang-
gap sebagai pemeriksaan baku emas untuk
menentuksn penyebab edema paru akut.
Lorraine dkk mangusulkan suatu algoritma
pendekatan klinis untuk membedakan kedua
jenis edema tersebut ( gambar 2). Disamp-
ing itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema
paru akut dengan penyebab mul! ple. Sebagai
contoh, pasien syok sepsis dengan ALI , dapat
mengalami kelebihan cairan karena resusi-
tasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya,
pasien dengan gagal jantung konges! dapat
mengalami ALI karena pneumonia.1
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Edema Paru Non Kardiogenik (ARDS)
a. Supor! f
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan
adalah :
o Suport Kardiovaskular
o Terapi Cairan
o Renal Suport
o Pengelolaan Sepsis
b. Ven! lasi
Menggunakan Ven! lasi protec! ve lung atau protocol ven-
! lasi ARDS net.
Penatalaksanaan Edema Paru kardiogenik
Sasarannya adalah :
• Mencapai oksigenisasi adekwat.
• Memelihara stabilitas hemodinamik
• Mengurangi stress miokard dengan menurunkan pre-
load dan a% erload.
Penatalaksanaan :
§ Posisi setengah duduk
§ Oksigen terapi
§ Morphin IV 2,5mg
§ Diure! k
§ Nitroglycerine
§ inotropik
Buk! peneli! an menunjukkan bahwa pilihan terapi
yang terbaik adalah : Vasodilator intravena sedini mungkin
(Nitroglycerine , nesiri! de, nitropruside ) dan diure! ka do-
sis rendah.
Nitroglycerine merupakan terapi lini pertama pada
semua pasien AHF dengan tekanan darah sistolik > 95-
100mmHg dengan dosis 20µg/min sampai 200µg /menit
(Rekomensi ESC IA). Bahkan dosis yang sangat rendah ( <
0,5µg/kg/min) dari nitroglycerin akan menurunkan LVED
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 56•
![Page 6: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/6.jpg)
dan LVES tanpa turunnya tekanan darah dn perfusi perifer.4
Bila dibandingkan dengan diure! k maka nitroglycerin me-
miliki beberapa keuntungan yaitu lebih efek! f dalam men-
gontrol edema paru berat dengan profi l hemodinamik yang
lebih stabil, penurunan wall stress dan LVEDP yang lebih
cepat tanpa menurunkan CO.4
VAP
Kema! an pasien yang dirawat di ICU ! dak hanya
disebabkan oleh penyakit dasarnya tetapi juga oleh infek-
si nosokomial. Pneumonia merupakan salah satu infeksi
nosokomial yang tersering, yang terjadi pada lebih dari 27%
pasien penyakit kri! s. Sebagian besar nosokomial pneumo-
nia berhubungan dengan pemakaian ven! lator mekanik
(VAP).
VAP didefi nisikan sebagai pneumonia yang terjadi
48 jam setelah intubasi endotrakeal dan penggunaan alat
ven! lasi mekanik.5
Diagnosis
Diagnosis Klinis
Melakukan diagnosis VAP memerlukan kecurigaan
klinis yang ! nggi ditambah dengan pemeriksaan klinis, ra-
diologi dan mikrobiologi dari sekresi jalan napas.Biasanya
kecurigaan akan adanya VAP ! mbul jika pada pasien dite-
mukan infi ltrat paru yang progresif, leukositosis, demam
dan sekresi trakeobronkial yang purulen. Sayangnya, ! dak
seper! CAP, kriteria klinis pneumonia di atas memiliki nilai
diagnosis yang terbatas pada kasus VAP yang sudah tegak.
Fabregas dkk melalukan peneli! an yang membandingkan
kriteria klinis tersebut di atas dengan hasil histologi dan
kultur jaringan paru post mortem. Peneli! an tersebut mel-
aporkan bahwa kriteria diagnosis tersebut memiliki sensi-
! fi tas 69% dan spesifi sitas 75%. Jika ke! ga variable klinis
tersebut dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis maka
sensi! fi tasnya turun menjadi 23% dan sebaliknya jika han-
ya satu kriteria yang digunakan maka spesifi tasnya turun
menjadi 33%. Ke! dakakuratan kriteria klinis tersebut dapat
dimenger! karena sekresi trakeobronkial purulen sering
terjadi pada pasien yang menggunakan ven! lasi mekanik
tanpa disertai pneumonia. Demikian pula halnya dengan
tanda sistemik dari pneumonia, seper! demam dan lekosi-
tosis, dapat merupakan akibat sitokin proinfl amasi yang
sering terjadi pada trauma, pembedahan, ARDS, DVT dan
infark paru.
Pada pasien ARDS, sensi! fi tas kriteria klinis terse-
but labih rendah lagi. Bell et al melaporkan bahwa terdapat
sekitar 46% false nega! ve VAP pada pasien-pasien dengan
ARDS. Konsekuensinya, kecurigaan VAP pada pasien ARDS
harus lebih ! nggi. Bahkan satu kriteria klinis VAP, hemo-
dinamik yang tak stabil tanpa penyebab yang jelas, dan
perburukan analisa gas darah sudah seharusnya melakukan
pemeriksaan lebih lanjut kearah VAP.6
Untuk menambah spesifi sitas diagnosis VAP maka
Pugin dkk mengusulkan sistem skoring terhadap kriteria kli-
nis tersebut ( Clinical pulmonary infec! on score/CPIS). Jika
CPIS > 6 maka berkorelasi baik terhadap adanya VAP.Tapi
sayang, data dari beberapa peneli! an lain menunjukkan
ternyata spesifi sitas sistem skoring ini pun rendah.
Sing dkk mengusulkan modifi kasi CPIS yang ! dak
berdasarkan kultur tetapi dengan menggunakan pewarna-
naan gram dari spesimen BAL. Dengan demikian , spesifi si-
tasnya meningkat. 7
Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan Radiografi paru juga memiliki
masalah dalam hal nilai sensi! fi tas dan spesifi sitasnya.
Kwalitas fi lm yang kurang baik membuat hasil Chest X Ray
semakin ! dak akurat. Peneli! an yang dilakukan terhadap
26 pasien bedah menemukan bahwa 26% pasien dengan
rontgen thoraks normal ditemukan infi ltrat pada hasil pe-
meriksaan CT scan. Secara keseluruhan spesifi sitas gamba-
ran radioopaq pada C Xray hanya 27%-35%.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi berupa pewarnaan
gram, kultur sekresi trakea nonkwan! ta! f dan semikwan! -
ta! f merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan.
Tetapi pemeriksaan ini hanya menambah sedikit saja nillai
sensi! fi tas dan spesifi sitas diagnosis klinis.( 82% dan 27%).
Pedoman penatalaksanaan VAP yang dikeluarkan oleh ATS
merekomendasikan kultur kwan! ta! f dari sekresi aspirasi
endotrakeal atau sampel dari bronkoskopi maupun bu-
kan.5,6
Tabel 2. Kriteria klinik CPIS untuk Diagnosis Pneumonia
Variabel 0 1 2
Suhu 0 C ≥36,1 - ≤
38,4
≥ 38,5 - ≤
38,9
≥ 39 - ≤ 36
Lekosit ≥ 4000 - ≤
11000
< 4000 - >
11000
<4000- >
11000 + band
> 500
Sekresi Tidak ada Ada, non
purulen
Ada purulen
PaO2/FIO2 >240 atau
ARDS
< 240 , bukan
ARDS
Foto toraks Tidak ada
infi ltrate
I n f i l t r a t e
d i f u s /
patchy
Terlokalisir
M i k r o b i -
ologi
Tidak ada,
t u m b u h
lambat
Tumbuh se-
dang atau
cepat : tam-
bah 1 poin
jika sama
d e n g a n
gram
Diku! p dari PorzecanskinI,Bowton DL. Chest 2006; 130:
597-604
Terapi
Prinsip pemilihan an! bio! k pada HAP didasarkan
pada ada ! daknya faktor risiko resisten mul! obat (MDR)
yaitu :
• Terapi an! mikroba dalam 90 ha! terakhir.
• Telah dirawat 5 hari atau lebih
• Frekwensi resistensi an! bio! k di komunitas/unit
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 57•
![Page 7: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/7.jpg)
rawat rumah sakit ! nggi..
• Adanya faktor risiko HCAP
• Immnunosupresi
Gambar 3. Algoritme Penatalaksanaan HAP/VAP/HCAP (ATS
IDSA 2005)
Pemberian an! bio! k empiris spektrum luas harus
diiku! dengan deekskalasi berdasarkan data klinis dan mik-
robiologi serial untuk mencegah munculnya resistensi an! -
bio! ka di rumah sakit.
Keberhasilan terapi sangat menentukan angka morta-
litas VAP dan ini sangat dipengaruhi oleh:
1. Pemilihan an! bio! k empiris yang ! dak sesuai
2. Pemberian an! bio! k yang terlambat
Ventrikel Septal Defect (VSD)
Pada dasarnya septum ventrikel dibagi menjadi ! ga
yaitu : inlet, trabecular dan outlet. VSD dikelompokkan ber-
dasarkan lokasi dan tepinya menjadi 3 7 :
- Muscular VSD : batasnya adalah miokard dan
lokasinya bisa trabekular, inlet dan outlet.
- Membranous VSD : lokasinya berada di inlet,
outlet dan trabekular dan dibatasi oleh daun
katup AV dan katum arterial.
- Dolby commi& ed subarterial VSD, berada di
outlet dan dibatasi oleh jaringan ikat katup
aorta dan pulmonal
VSD restrik! f ! dak akan menyebabkan gangguan
hemodinamik dan dapat menutup secara spontan, sedan-
gkan VSD besar (non restriksi) biasanya disertai overload
ventrikel kiri, yang progresif menjadi peningkatan tekanan
pulmonal dan selanjutnya shunt kira ke kanan. Selanjutnya
bila resistensi pulmonal meningkat akan menjadi sindrom
Eisenmenger.
Gambaran Klinis VSD Dewasa
Pasien dewasa dengan VSD restrik! f kecil biasanya
asimptoma! k. Pemeriksaann fi sik ditemui adanya murmur
pansistolik frekuensi ! nggi dengan punktum maksimum di
garis parasternal kiri se! nggi interkostal 3-4. Pasien dengan
VSD restrik! f sedang sering merasa sesak setelah dewasa,
yang kemungkinan dicetuskan oleh fi brilasi atrial. Pada
pemeriksaan fi sik akan ditemui apeks jantung yang berge-
ser ke kiri dengan murmur pansistolik, dan diastolic rumble
dan bunyi jantung 3 akibat meningkatnya aliran di mitral.
Pasien dengan nonrestrik! f besar eisenmenger VSD biasan-
ya akan ditemui adanya sianosis sentral, jari tabuh disertai
tanda-tanda hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
Tindakan Penutupan
Penutupan VSD dapat dilakukan dengan dua cara yai-
tu secara pembedahan dan transcatheter. Indikasi ! ndakan
bedah penutupan VSD adalah :
• VSD yang bermakna ( Qp/Qs > 1,5 : 1 )
• Tekanan sistolik pulmonal > 50mmHg
• Adanya pembesaran ventrikel dan atrium kanan.
• Memburuknya fungsi jantung kiri tanpa adanya hiper-
tensi pulmonal.
Indikasi rela! f:
- Adanya VSD perimembran atau VSD outlet dengan aor-
ta regurgitasi yang sedang dan berat.
- Endokardi! s berulang.
- Jika ada hipertensi pulmonal berat justru operasi ! dak
memungkinkan.
Disfungsi Miokard pada Sepsis
Disfungsi miokard pada sepsis didefi nisikan sebagai
keadaan rendahnya cardiac index atau adanya disfungsi
jantung berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi pada
sepsis berat. Disfungsi miokard pada sepsis ini sering tam-
pil dengan CO yang normal karena berkurangnya SVR dan
a# erload dan walaupun disfungsi miokard cukup berat
namun CO dipertahankan rela! f baik oleh dilatasi ventrikel
dan takikardi. Peneli! an menunjukkan hanya sekelompok
kecil yang dengan CO turun. Adanya disfungsi miokard ini
disertai peningkatan angka kema! an menjadi 70-90% bila
dibandingkan kema! an pada sepsis tanpa gangguan fungsi
kardiovaskular 20%.8
Adapun mekanisme terjadinya disfungsi miokard ini
bukan disebabkan oleh kelainan struktur atau hipoperfusi
miokard tetapi mul! faktorial yaitu :
- Toksin bakteri
- Sitokin : TNF ά˙, IL 1β, IL 6
- Mediator
- Cardiodepressant factors
- Oxygen reac! ve species
- Katekolamin
Diagnosis
Secara klinis ditegakkan dengan ditemukannya pe-
rubahan biventrikel dengan penurunan EF pada peme-
riksaan ekokardiografi dan skin! grafi radionuclide. Buk!
secara histopatologi ditemukan adanya miokardi! s inter! -
sial dengan terganggunya compliance ventrikel dan fungsi
diastolik. Yang menjadi kekhasan disfungsi miokard pada
sepsis adalah adanya dilatasi biventritrikel.Fungsi ventrikel
kanan juga terganggu sebagai akibat peningkatan a# erload
ventrikel kanan oleh hipertensi pulmonal sekunder yang
disebabkan oleh lesi akut di paru dan atau adanya ARDS.
Disamping itu, fungsi ventrikel kanan terganggu juga se-
bagai akibat menurunnya kontrak! litas ventrikel kanan. Se-
per! sudah dibahas di atas bahwa CO yang meningkat ! dak
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 58•
![Page 8: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/8.jpg)
dapat menyingkirkan disfungsi miokard pada sepsis.8,9
BNP yang merupakan marker CHF dan troponin I dan T
yang merupakan biomarker iskemi miokard juga telah ban-
yak diteli! perannya pada disfungsi miokard pada sepsis.
Beberapa peneli! an kecil melaporkan adanya hubun-
gan antara peningkatan Troponin dan disfungsi ventrikel
kiri pada sepsis. Troponin jantung juga dilaporkan berkore-
lasi dengan lamanya hipotensi dan intensitas terapi vaso-
presor. Troponin juga dihubungkan gengan peningkatan
derajat beratnya sepsis (berdasarkan SAPS II, APACHE II)
dan peningkatan risiko kema! an . Sehingga, cukup berala-
san jika memasukkan Troponin dalam pemantauan pasien
dengan sepsis berat dan syok sepsis untuk prognosis dan
meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya disfungsi jan-
tung.9
Tidak demikian halnya dengan BNP. Peneli! an-pe-
neli! an yang ada ! dak menunjukkan hasil yang seragam,
sehingga BNP ! dak dapat dipakai dalam mendiagnosis ada-
nya disfungsi ventrikel pada sepsis. Eveluasi menyeluruh
dengan ekokardiografi lebih dianjurkan daripada peme-
riksaan BNP..9
Akhir-akhir ini, beberapa peneli! an menunjukkan ba-
hwa Pro BNP lebih baik daripada BNP/ANP sebagai marker
disfungsi miokard dan sebagai penentu prognosis pada
pasien sepsis. Peneli! an-peneli! an tersebut menunjuk-
kan adanya korelasi antara pro BNP dan LVSWI pada pasien
dengan sepsis. Roch dkk meneli! 39 pasien syok sep! k
dengan ven! lator mekanik. Mereka melaporkan bahwa ka-
dar BNP pada non survivor lebih ! nggi dibanding yang sur-
vivor ( p = 0,002).Angka pro BNP > 13600 pg/ml selama 24
jam dilaporkan merupakan prediktor mortalitas ICU dengan
sensi! fi tas 73% dan spesifi sitas 83% (AUC 0,8).
Walaupun demikian dibutuhkan peneli! an lebih lan-
jut untuk menentukan peran Troponin dan Pro BNP dalam
menentukan derajat beratnya penyakit dan dalam menen-
tukan terapi.
Terapi
Depresi fungsi miokard dengan turunnya curah jan-
tung merupakan penyebab pen! ng dari kema! an pada pa-
sien sepsis. Resusitasi cairan yang tepat merupakan terapi
utama.
Berdasarkan panduan Surviving Sepsis Campaign,
dobutamin merupakan pilihan untuk inotropik dan untuk
meningkatkan curah jantung pada pasien sepsis berat dan
syok sep! k, dan jika perlu disertai vasopresor pada pasien
dengan tekanan pengisian yang adekuat dan tekanan arteri
dan CO yang turun.
PEMBAHASAN
1. Edema Paru Kardiogenik
Saat masuk ICU, pasien didiagnosis sebagai edema
paru kardiogenik pada wanita pasca seksio sesarea dan cu-
riga penyakit jantung katup. Diagnosis edema paru kardio-
genik pada kasus ini ditegakkan berdasarkan :
- Anamnesis : Riwayat sesak nafas yang semakin
memberat dengan bertambah beratnya beban
fi sik, dan adanya keluhan ortopneu. Pasien masuk
RS dengan keluhan sesak napas hebat .
- Pemeriksaan Fisik : ditemukan tanda-tanda kelain-
an jantung: konfi gurasi jantung yang membesar,
murmur pansistolik di SIC 3-4 di linea parasternal
kiri. Pada paru ditemukan adanya ronki basah se-
dang bilateral.
- Pemeriksaan penunjang : Rontgent thorax ditemu-
kan adanya kardiomegali, dan tanda tanda edema
paru. Gambaran edema paru yang ditemukan pada
pasien ini adalah infi ltrat yang letaknya di sentral
dan adanya garis Kerley B line. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkam pro BNP yang mening-
kat > 500 pg/ml ( Nilai pro BNP hari ke 12 adalah
700 pg/ml). Coqut dkk melaporkan bahwa nilai Pro
BNP < 500 ng/l memprediksi ! dak adanya disfung-
si jantung dengan sensi! fi tas 89% dan spesifi sitas
43%.. Nilai pro BNP < 500 ini sesuai dengan hasil
yang dilaporkan oleh peneli! lainnya. Kekuatan ni-
lai diagnoss! k Pro BNP ini terletak pada prediksi
nega! fnya terhadap diagnosis CHF dan semakin
bermakna bila dikombinasi dengan variable diag-
nosis lainnya. 10
Pada pasien ini penyakit jantung yang mendasari
kejadian edema paru ini adalah VSD perimembranous. Ber-
dasarkan TEE didapatkan bahwa ! pe dari VSD ini adalah
perimembranous. Jika dilihat dari gambaran klinisnya maka
! pe VSD kasus ini adalah VSD nonrestriksi dengan LV over-
load sehingga menimbulkan shunt kiri ke kanan.
Perubahan fungsi kardiovaskuler pada kehamilan
dan postpartum juga berperan pada kejadian edema paru
kardiogenik kasus ini disamping adanya kelainan jantung
bawaan tersebut. Seper! diketahui pada kehamilan dan
pasca persalinan terjadi beberapa perubahan pada curah
jantung, volume darah, frekwensi denyut jantung, tekanan
darah , resistensi vaskuler, konsumsi oksigen dan massa sel
darah merah.( tabel 3)12
Tabel 3. Perubahan Hemodinamik Selama KehamilanParameter Kehamilan Persalian Postpartum
Curah jantung
Volume darah
Frekuensi jan-
tung
Tekanan darah
SVR
VO2
RBC mass
Meningkat 30-
50%
Meningkat 30-
50%
Meningkat 15-
20x/menit
T u r u n
5-10mmHg
Turun
Meningkat 20%
Meningkat 15-
20
M e n i n g k a t
50%
M e n i n g k a t
3 0 0 - 5 0 0 c c
! ap kontraksi
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Meningkat
M e n i n g -
kat 60-
80% dalam
15-20menit
Turun ke ba-
seline
Turun ke ba-
seline
Turun ke ba-
seline
Turun ke ba-
seline
Turun ke
baseline
Diku! p dari Baldisseri MR.FINK
Pada wanita dengan kelainan jantung yang berat,
perubahan hemodinamik tersebut di atas dapat mengan-
cam nyawa, mengakibatkan meningkatnya mortalitas dan
morbiditas maternal dan janin. Mortalitas wanita hamil
dengan penyakit jantung yang ! dak berat < 1% tetapi akan
menjadi 50% bila disertai hipertensi pulmonal atau pe-
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 59•
![Page 9: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/9.jpg)
nyakit jantung siano! k. Umumnya wanita hamil penderita
kelainan jantung dengan fungsional class NYHA I-II, dapat
mentoleransi perubahan hemodinamik tersebut. Namun
kema! an akibat jantung pada wanita hamil dengan FC
NYHA III-IV adalah 85%.12
Seper! diketahui bahwa prinsip penanganan ede-
ma paru kardiogenik adalah :
- Memelihara oksigenisasi adekuat dan stabilisasi
hemodinamik.
- Mengurangi preload dan a% erload
- Koreksi faktor pemberat dan penyakit dasarnya.
Melihat kompleksnya kasus ini ( wanita postpartum
dangan fc NYHA III-IV, sepsis VAP) maka evaluasi hemodina-
mik ( LVEDP,PAOP, PAP,PVR dll) waktu demi waktu sangatlah
diperlukan. Parameter tersebut di atas diperlukan dalam
penatalaksanaan dan pemantauan terapi pada kasus CHF
terutama di ICU. Pada kasus ini dengan kondisi ICU yang ! -
dak memungkinkan melakukan pemantauan hemodinamik
invasif maka dipakai analisa SVcO2 dan kadar pro BNP se-
rial. Beberapa peneli! an menunjukkan adanya hubungan
nilai BNP/pro BNP dengan PAOP. Sementara peneli! an lain
melaporkan hal sebaliknya. Jadi buk! peneli! an belum kuat
untuk mendukung nilai pro BNP/BNP dalam menggan! kan
pemantauan hemodinamik pada kasus di ICU.10
Pro BNP merupakan pep! da yang dihasilkan oleh
ventrikel. S! mulus fi siologis utama sekresi BNP adalah vo-
lume dan pressure overload. Menurunnya kadar BNP di-
hubungkan dengan perbaikan hemodinamik, menurunnya
preload dan resistensi perifer (SVR).10 Berdasarkan data
tersebut maka semula dipikirkan untuk menggunakan pro
BNP serial sebagai surrogate marker hemodinamik. Sayang-
nya, waktu paruh yang panjang (2 jam) menyebabkan kadar
pro BNP akan bermakna jika diperiksa se! ap 12 jam. Seha-
rusnya lebih tepat jika memeriksa kadar BNP yang memiliki
waktu paruh lebih pendek (20 menit) sebagai pemantauan
terapi. Lagipula adanya variasi intraindividu ( jam ke jam
atau hari ke hari) membatasi kemaknaan kadar proBNP di-
pakai sebagai pemantauan terapi.13
Pasien ini mendapatkan terapi standard CHF yaitu :
- Mencapai oksigenisasi adekwat.
- Memelihara stabilitas hemodynamik
- Mengurangi stress miokard dengan menurunkan
preload dan a% erload dengan diure! c dan NTG.
Inotropik diberikan berdasarkan nilai SPO2 dan
SVcO2. Terapi diure! k dan NTG di! trasi sesuai klinis dan ha-
sil pro BNP yang diulang se! ap kali terjadi perburukan klinis
( mundurnya mode ven! lator, ronki yang bertambah, ra! o
P/F, dan rontgen thoraks). Pasquate dkk meneli! 53 pasien
rawat jalan dengan diagnosis CHF . Mereka melaporkan
bahwa kebutuhan dosis diure! k yang semakin besar ber-
korelasi dengan peningkatan kadar pro BNP yang diperiksa
serial dan menurun pada kasus dengan perbaikan klinis.
Kelemahan serial pro BNP sebagai guidance terapi pada
kasus ini adalah karena pemeriksaannya ! dak dapat dilaku-
kan secara bedsite dan memerlukan waktu sekitar 5-6 jam,
disamping harganya yang mahal. 2,10. Sehingga dosis diure! k
dan NTG lebih dulu di! trasi hanya berdasarkan tampilan
klinis.
Angka serial pro BNP pasien ini cenderung semakin
turun, H-13 707 pg/ml , H-17 445pg/ml , H-21: 468pg/ml
dan H-26: 345pg/ml . Jika melihat ! ter pro BNP semakin tu-
run maka kemungkinan gangguan fungsi jantung pasien ini
rela! f perbaikan. Kemungkinan pasien ini mengalami per-
burukan oksigenisasi dan kemudian meninggal bukan dise-
babkan terutama oleh edema paru kardiogeniknya tetapi
oleh VAP nya yang belum berhasil diatasi. Angka serial BNP/
Pro BNP ini juga dihubungkan dengan angka survival pasien.
BNP/Pro BNP memprediksi prognosis buruk jika meningkat
tajam.10,13
Keadaan sepsis dapat menyebabkan depresi mio-
kard sehingga semakin memperburuk kerja jantung pasien
ini dan disertai semakin meningkatnya mortalitas menjadi
70-90%. Kadar pro BNP ! dak dapat dipakai dalam mendiag-
nosis adanya disfungsi miokard pada sepsis sehingga walau-
pun kadar pro BNP pasien ini semakin turun kemungkinan
terjadinya perburukan fungsi miokard tetap ada. Bila dili-
hat rontgent thorax terakhir siluet jantung tampak sema-
kin membesar.Untuk menegakkannya seharusnya diperiksa
kadar troponin T/I. 9
Hasil AGD pada pasien ini selalu dalam keadaan al-
kalosis metabolik, yang disebabkan hipoalbumin dan hipok-
loremia. Hipokloremia ini terjadi karena pemberian furo-
semid terus menerus. Seper! diketahui, keadaan alkalosis
hipokloremia ini dapat mempersulit proses weaning alat
ven! lasi mekanik. Menyadari hal tersebut kemungkinan
pasien ini defi cit cairan intravaskuler dinilai dengan meng-
gunakan PLR yang ternyata ! dak respon. Disamping itu
juga dilakukan pemeriksaan BJ urin yang ternyata hasilnya
dalam batas normal. Berdasarkan data-data tersebut maka
dosis furosemid diturunkan sampai menjadi 2x20mg po (
hal ini didukung dengan semakin turunnya nilai pro BNP).
Seper! sudah dibahas di ! njauan pustaka, bahwa
nitrogliserin memiliki keunggulan bila dibandingkan den-
gan pemberian diure! k sebagai lini pertama terapi edema
paru kardiogenik.Nitrogliserin lebih cepat dan efek! f dalam
mengontrol edema paru berat tanpa menurunkan CO den-
gan profi l hemodinamik yang stabil. Sementara diure! k
dapat menurunkan GFR, ak! fasi neurohumoral, semakin
bertambahnya vasokonstriksi dan semakin menurunkan isi
sekuncup. Beberapa peneli! an mennunjukkan bahwa do-
sis ! nggi loop diure! c meningkatkan angka rawat inap dan
mortalitas. Disamping itu, yang perlu diingat adalah bahwa
! dak semua edema paru disertai keadaan overload cairan.
Pasien ini mendapatkan diure! k yang lama, den-
gan jumlah yang cukup besar dan pemberian yang sering
dengan cara bolus intravena sehingga menimbulkan gang-
guan hemodinamik, keseimbangan cairan dan alkalosis
hipokloremik.
1. VAP Sepsis
Pasien saat masuk RS ! dak ada riwayat demam
dan gejala adanya infeksi paru ( batuk purulen ), walau-
pun sudah menunjukkan tanda-tanda SIRS ( lekositosis
22700, takikardi 150x/menit dan takipnea).
Memasuki hari ke 3 , suhu tubuh semakin naik (
37,8-38,3), pada pemeriksaan paru ditemukan ronki
bertambah di kedua lapang paru, dengan pemerik-
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 60•
![Page 10: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/10.jpg)
saan laboratorium lekosit 11520 dan procalcitonin
1,92.Pasien didiagnosis dengan VAP. Jika dilihat dari
onset terdiagnosisnya VAP terjadi < 5 hari maka ka-
sus ini termasuk VAP early onset tetapi karena pasien
ini mendapat an! bio! ka selama 4 hari terakhir (An! -
bio! k profi laksis seksio sesarea yang terus diberikan)
maka pasien ini termasuk VAP dengan risiko ! nggi
kuman MDR sehingga pilihan an! bio! ka empirisnya
sesuai dengan VAP late onset adalah meropenem dan
gentamisin,dengan mengambil bahan sputum dari as-
pirasi endotrakeal sebelumnya. Hari perawatan ke 10
keluar hasil kultur sputum, yang hasilnya adalah Aci-
netobacter baumanii. Acinetobacter Baumanii meru-
pakan salah satu an! mikroba yang disebut sebagai
Diffi cult to treat (DTT). Mikroba yang termasuk DTT
adalah P auroginosa, Oxacillin resisten Staphylococcus
aureus dan Acinetobacter baumanii. An! bio! k kemu-
dian dideekskalasi dengan ampicillin sulbactam. Pe-
makaian an! bio! ka profi laksis operasi yang diteruskan
sampai hari keempat, an! bio! k empiris yang diterus-
kan sampai lebih dari 3 hari ( karena hasil kultur jadi
setelah 5 hari) merupakan faktor yang perperan terha-
dap terjadinya infeksi oleh bakteri DTT. Peneli! an mel-
aporkan bahwa separuh dari kasus infeksi oleh mikroba
DTT disebabkan oleh pemakaian an! bio! ka yang ! dak
sesuai dengan pedoman penggunaan an! bio! ka.12 Se-
jumlah peneli! an menunjukkan bahwa adanya infeksi
bakteri DTT ini merupakan penentu survival pasien.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serial pro-
calcitonin, dan lekosit , rontgen thoraks untuk men-
gevaluasi nilai CPIS. Hanya disayangkan bahwa rontgent
thorax ! dak selalu dapat diulang karena keterbatasan
dana.
Pada hari ke 30 pasien jatuh menjadi sepsis berat
( sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi dan hipo-
tensi). Disfungsi organ yang terjadi melipu! hipoksemia (
PaO2/FIO2 < 300). Laktat pada hari ke 30 ini belum sempat
diperiksa, tetapi jika kita melihat AGD maka terdapat unme-
assured anion ( kira-kira -9), yang kemungkinan adalah lak-
tat. Menjelang hari ke 31, MAP turun menjadi < 65. Sangat
disayangkan pasien ini ! dak dilakukan resusitasi cairan ter-
lebih dahulu tetapi hanya menaikkan dosis dobutamin dan
norepinefrin saat SVcO2 turun ( 49%). Se! daknya mungkin
saat itu dapat dilakukan passive leg raising untuk menilai
apakah pasien ini masih respon respon terhadap cairan. Pa-
sien kemudian meninggal pada hari ke 31.
Pasien ini juga diduga mengalami perburukan
fungsi jantung akibat semakin memburuknya sepsis VAP.
Kecurigaan ini didukung oleh semakin membesarnya siluet
jantung secara bermakna bila dibandingkan rontgent tho-
raks hari ke 27. Turunnya kadar pro BNP ( 468-343) ! dak
dapat menyingkirkan kemungkinan tersebut. Disamping itu
keadaan hipoksemia/desaturasi juga berperan dalam me-
nyebabkan memburuknya fungsi jantung pasien ini.
Infeksi yang ! dak terkontrol walaupun an! bio! k empiris
sudah diberikan sesuai guidelines VAP dan sesuai pola ku-
man di ICU RSCM dan didekskalasi sesuai hasil kultur, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh :
1. Hasil kultur sputum yang ! dak kwan! ta! f , sehing-
ga mikroorganisme yang dihasilkan bukan penye-
bab infeksi sebenarnya. Guidelines VAP ATS me-
rekomendasikan pemeriksaan kultur kwan! ta! f.
Hasil kultur yang nonkwan! ta! f atau semikwan! -
ta! f memiliki spesifi sitas yang rendah ( 27%) , kita
! dak tahu jika mikroorganisme tersebut merupa-
kan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi.5
2. Pasien mengalami paralisis system immune (
CARS), sehingga ! dak mampu mengeliminasi infek-
si primer. Dengan demikian terapi juga seharusnya
diarahkan untuk mens! mulasi sistem imun seper!
interferon γ atau GM CSF yang dalam hal ini ! dak
mungkin dilakukan karena keterbatasan dana dan
sarana. 15
Status nutrisi yang ! dak baik juga berperan pada
keadaan sepsis yang sulit diatasi ini. Pasien masuk RS dalam
keadaan status nutrisi yang kurang, dan selama perawatan
berat-badan dan lingkar lengan atas tampak semakin
berkurang. Seper! diketahui bahwa otot skeletal merupak-
an tempat penyimpanan glutamine. Berkurangnya massa
otot yang sangat bermakna menunjukkan telah terjadinya
defi siensi glutamine yang disebabkan sepsis yang berkepan-
jangan. Roth dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa sep-
sis menyebabkan sangat berkurangnya glutamine otot dan
hal ini berhubungan dengan survival.Oleh karena itu maka
intervensi terapi nutrisi yang mengandung glutamine, se-
lenium, zinc dan coper kemungkinan berperan pada kasus
ini.16
SIMPULAN
1. Penatalaksanaan edema paru berbeda sesuai ! penya:
edema paru kardiogenik atau non kardiogenik.
2. Pro BNP dapat dipakai untuk membantu mendiagnosis
kemungkinan adanya disfungsi jantung sebagai e! olo-
gi keadaan distress pernapasan, karena memiliki nilai
prediksi nega! f yang ! nggi tetapi ! dak dapat dipakai
sebagai penentu terapi.
3. Kadar pro BNP dikombinasi dengan hasil temuan klinis
lainnya (MAP, SPO2, SVcO2, PLR dll) dapat dipakai un-
tuk menentukan terapi pada pengelolaan pasien di ICU
dengan sarana yang terbatas.
4. Nitrogliserin lebih terpilih sebagai terapi edema paru
kardiogenik
5. Jika dibandingkan diure! k karena lebih efek! f dalam
mengontrol edema paru tanpa menurunkan CO dan
hemodinamik lebih stabil.
6. Hasil kultur yang nonkuan! ta! f atau semikuan! ta! f
memilikI spesifi sitas yang rendah ( 27%) , kita ! dak
tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penye-
bab infeksi atau hanya kolonisasi.
7. Pemberian an! bio! ka yang ! dak tepat dan sesuai tera-
pi standar merupakan faktor risiko infeksi oleh bakteri
Diffi cult to treat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lorraine B,Ma+ hay. Acute pulmonary edema. N Eng J
Med 2005: 353 : 2788-96
2. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 61•
![Page 11: 173-177-1-PB](https://reader038.vdocument.in/reader038/viewer/2022100501/55cf9b06550346d033a46c0c/html5/thumbnails/11.jpg)
in Chronic Heart Failure. Circula! on 2004 : 110 : 1091-
1096
3. ACC/AHA 2005 Guideline Update for diagnosis and
managemen CHF in the adult summary ar! cle. Circula-
! on 2005;112;1825-1852
4. Kruger W, Ludwan A. Acute Heart Failure. Birkhaus-
er.2009. Berlin: 48-65
5. ATS IDSA. Guidelines for the Management of adults
with Hospital acquired, Ven! lator associated and
Healthcare associated Pneumonia. Am J Respir Crit
Care Med 2005; 171 : 388-416
6. Koenig SM, Truwit JD. Ven! lator Associated Pneumo-
nia: Diagnosis , treatment and preven! on. Clinical Mi-
crobiology Review. 2006 : 63-57
7. Webb GD et al. Diseases of The Heart, Percardium, and
Pulmonary Vasculature Bed. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP eds. Brawnwald’s Heart Disease. A
textbook of Cardiovascular Medicine. Vol 2.8th ed. Phil-
adelphia: Sanders elsivier.2008 p.1583-1585.
8. Maeder M etal. Sepsis associated Myocardial dysfunc-
! on : diagnos! c and prognos! c impact of cardiac tro-
ponin and natriure! c pep! des. Chest 2006; 129 ; 1349-
1366
9. Morsch RD etal. Sepsis and myocardial dysfunc! on.
Einstein. 2006;4(4): 338-342
10. Collinson PO. Commentary Natriure! c pep! de deter-
mina! on in cri! cal care medicine: part of rou! ne clini-
cal prac! ce of research test only. Cri! cal Care 2009 :
13 : 105
11. Reichlin T, Noveanu M, Mueller C. Use of Natriure! c
pep! des in the emergency department and the ICU. In
Vincent ed. Year Book of Intensive care and emergen-
cy medicine. 2009.Berlin Heidelberg: Springer 2009.p.
523-527
12. Baldisseri MR. Cardiovascular and endocrinologic
changes Associated with Pregnancy. In: Fink MP, Abra-
ham E, Vincent JL etc eds. Textbook of Cri! cal Care 5th
ed.Philadelphia : Sanders elsivier 2005. p. 1535-39
13. Prahash et al. B type Natriure! c pep! de: A diagnos! c,
prognos! c, and therapeu! c tool in heart failure. Ameri-
can Journal of Cri! cal Care. 2004 ; 13 : 46-55
14. Garcin, Leone,Antorini, Charvet et al. Non adherence
to guidelines an avoidable cause of failure of empiri-
cal an! microbial therapy in the presence of diffi cult to
treat bacteria. Intensive Care Med. 2010 :36:75-82
15. Monneret,et al. Monitoring Immune disfunc! ons in
the sep! c pa! ent : A New Skin for the old ceremony.
Mol Med 2008 : 14: 64-78
16. Berger MT, Chlorelo RL. An! oxidant supplementa! on in
sepsis and systemic infl ammatory response syndrome.
Crit Care Med 2007;5,No 9 (suppl): S584-589
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 62•