abstrak - sinta.unud.ac.id · ‖revolusi hijau‖ (green revolution) ... program industrialisasi...
TRANSCRIPT
x
ABSTRAK
Petani Subak Susuan Karangasem dalam awal sejarahnya dikenal sebagai petani
subsisten. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan sebatas untuk memenuhi
kebutuhan keluarga sehari-hari. Untuk tujuan itu ditanam berbagai jenis biji-bijian, padi,
jagung serta macam tanaman sayur-sayuran. Masyarakat petani semacam ini belum
membentuk struktur masyarakat yang ketat. Keadaan menjadi berubah ketika jumlah
penduduk semakin bertambah, kebutuhan keluarga petani sedikit demi sedikit mengalami
pergeseran. Selama dua dekade terakhir ini telah terjadi perubahan-perubahan besar di
lingkungan petani, baik perubahan struktur maupun kultural. Perubahan-perubahan besar itu
terjadi sebagai akibat dari proses pembangunan atau modernisasi yang dilancarkan oleh
pemerintah di pedesaan Indonesia termasuk di Subak Susuan Karangasem. ‖Revolusi hijau‖
(Green Revolution) yang mengawali proses pembangunan pedesaan tahun 1960-an,
merupakan salah satu faktor penting yang telah membawa percepatan proses transformasi
struktural di pedesaan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini adalah: (1) bagaimana dinamika bentuk perlawanan petani terhadap revolusi hijau di
Subak Susuan Karangasem Bali?; (2) ideologi apa yang ada di balik dinamika perlawanan
petani terhadap revolusi hijau? (3) apa implikasi dinamika perlawanan petani itu bagi
kehidupan petani di Subak Susuan Karangasem khususnya, dan pemerintah Karangasem
umumnya.?
Sebagai peneliti dengan sumber data berupa data lapangan, maka penelitian ini
menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data melalui wawancara dilengkapi dengan
dokumen. Tehnik analisis data bersifat deskriptif analisis. Teori yang digunakan adalah teori
hegemoni, teori diskursus kuasa/ pengetahuan, dan teori tindakan komunikatif
Teori hegemoni digunakan untuk membedah seluruh analisis yang dibantu oleh teori
diskursus kuasa/pengetahuan. Teori tindakan komunikatif dipergunakan untuk membedah
permasalahan implikasi dinamika perlawanan yang ada di tengah masyarakat berdasarkan
tanggapan/ respons pembaca.
Hasil pembahasan mengenai dinamika bentuk perlawanan petani Subak Susuan jika
dikaji dari aspek cultural studies memperlihatkan bentuk (1) kepura-puraan, (2) terbuka
(unjuk rasa/menentang) sebagai wujud counter hegemony petani kepada kebijakan
pemerintah. Terbuka merupakan sikap perlawanan yang frontal terhadap ketidakadilan,
kekerasan dan kesewenang-wenangan. Makna perlawanan petani Subak Susuan sebagai
kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah yang cenderung merugikan petani, sehingga
bisa tercipta masyarakat sipil (civil society), sebagai pengontrol dan pembela masyarakat
yang terpinggirkan
Kata Kunci: dinamika, masyarakat sipil, petani subsisten, perlawanan, revolusi hijau,
degradasi.
xi
ABSTRACT
Farmers of Subak Susuan Karangasem in their early history are known as subsistence
farmers. They cultivated various types of food crops in order to meet their everyday needs,
such as grains, rice, corn as well as kinds of vegetable crops. They have not yet established a
strict community structure. Things change as the population grows and the needs of the
families gradually shift. Over the last two decades there have been major changes in farming
environment, both structural and cultural changes. Major changes occurred as a result of the
development process or modernization launched by the government in rural Indonesia
including in Subak Susuan Karangasem. The "Green Revolution" that started the rural
development process of the 1960s, is one of the important factors that has led to the
acceleration of the process of structural transformation in the countryside
Based on the above background, the problems discussed in this research are: (1) how
is the dynamics of famer resistance to the green revolution in Subak Susuan, Karangasem,
Bali?; (2) what ideology is behind the dynamics of farmerresistance to the green revolution,
(3) what are the implications of the dynamics of the farmer resistance to the life of the
farmers in Subak Susuan Karangasem in particular, and Karangasem government in general?
It is a field research conducted in qualitative method of which the data were collected
through the techniques of documentation and interviews. Data were descriptively analyzed.
Theories employed are the theory of hegemony, theories of discourse of power / knowledge,
and the theory of communicative action
The theory of hegemony is used to investigate all aspects supported with the theory of
power discourse / Knowledge. The theory of communicative action is used to analyze the
problem of the dynamics of resistance implications that exist in the community based on the
responses / responses of the reader.
The results of the analysis showed that the dynamics of farmer Resistance of Subak
Susuan farmers when examined from the aspects of cultural studies might be in the forms of
(1) pretense (2) open (demonstration / opposition) as a form of counter hegemony of farmers
to government policy. Open is a frontal attitude of resistance to the unfairness violence, and
arbitrariness. The meaning of the resistance of subak Susuan farmers is a social control of
government policies that tend to harm the farmers, so that it can create civil society (civil
society), as a controller and advocate of marginalized society
Keywords: dynamics, civil society, subsistence farmers, resistance, green
revolution, degradation
xii
RINGKASAN
DINAMIKA PERLAWANAN PETANI
TERHADAP REVOLUSI HIJAU DI SUBAK SUSUAN
KARANGASEM, BALI
Petani Subak Susuan Karangasem dalam awal sejarahnya dikenal sebagai petani
subsisten. Mereka menanam berbagai tanaman pangan sebatas untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sehari-hari. Untuk tujuan itu ditanamlah berbagai biji-bijian, padi, jagung serta
sayur-sayuran. Masyarakat petani semacam ini belum membentuk struktur masyarakat yang
ketat.
Keadaan menjadi berubah ketika jumlah penduduk semakin bertambah, kebutuhan
keluarga petani sedikit demi sedikit mengalami pergeseran. Selama dua dekade terakhir ini
telah terjadi perubahan besar di lingkungan petani, baik perubahan struktur maupun kultural.
Perubahan besar itu terjadi sebagai akibat dari proses pembangunan atau modernisasi yang
dilancarkan oleh pemerintah di daerah pedesaan Indonesia termasuk di Subak Susuan
Karangasem. ‖Revolusi hijau‖ (Green Revolution) yang mengawali proses pembangunan
pedesaan tahun 1960-an, merupakan salah satu faktor penting yang telah membawa
percepatan proses transformasi struktural di pedesaan. Proses transformasi struktural yang
ditimbulkan dapat dipandang sebagai perwujudan respons dinamis dari masyarakat pedesaan
terhadap inovasi dan perubahan yang dibawa oleh proses modernisasi atau pembangunan
yang berlangsung selama beberapa dekade terakhir ini.
Program industrialisasi pertanian yang dikenal sebagai revolusi hijau (green
revolution) akhirnya diberlakukan secara paksa di seluruh dunia. Rezim-rezim pemerintah
nasional, badan-badan dunia , dan rezim-rezim internasional, seperti industri pangan,
perdagangan, menjadi proponen atas kesuksesan program tersebut. Revolusi hijau jilid I—
intensifikasi pertanian dengan bibit hibrida dan asupan kimia—yang berlanjut dengan
revolusi hijau jilid II—intensifikasi pertanian dengan bibit transgenik dan asupan kimia—
berjalan sukses hingga kini. Program penyeragaman yang secara struktural dan sistematis
terasa sangat meminggirkan peran para petani subsisten itu, ternyata berhasil juga
menyeragamkan pola pikir banyak orang. Praktik-praktik pertanian tradisional yang
dijalankan oleh petani subsisten yang masih berlaku di Subak Susuan Karangasem, tidak
lebih dari sekadar kisah periferal. Praktik pertanian intensif kimiawi yang dilakukan oleh para
pemujanya diyakini sebagai obat mujarab yang dapat mewujudkan ketahanan pangan dunia.
Revolusi hijau (pertanian konvensional) semakin tidak terbendung bahkan kultur bertani di
kalangan petani pun mulai memudar.
Jika orang ingin hidup sehat, ketahanan pangan harus terjaga, dan hegemoni di balik
wujud bahan-bahan kimia inilah yang penting untuk dikritisi. Hegemoni ini telah mengebiri
dan memperbudak kaum tani sehingga ideologi yang mereka anut adalah ideologi perlawanan
demi tercapainya pembebasan kaum tani dari ketergantungan dan ketakberdayaan akibat
hegemoni struktural global yang tersistematisasi. Prinsip pertanian alami bukanlah perkara
anti bahan kimia semata, melainkan mencita-citakan terwujudnya otonomi, kemandirian, dan
kedaulatan kaum tani yang ramah lingkungan.
Pertanian alami memungkinkan kaum tani lebih merdeka dalam memilih berbagai
pilihan atau peluang menuju kemandirian sehingga kedaulatan kaum tani pun berpeluang
lebih besar untuk bisa dicapai. Melalui pertanian alami, benih harapan disemai dalam spirit
xiii
dan kerja keras, bukanlah sebuah romantisme belaka. Totalitas dan kerjakeras merupakan
bukti bahwa mereka telah berandil besar dalam gerakan perlawanan terhadap rezim revolusi
hijau dan gerakan pemulihan kembali kultur bertani serta nilai-nilai kearifan kaun tani yang
telah terabaikan dan terpinggirkan, bahkan revolusi hijau telah mendegradasi varietas-
varietas lokal yang semestinya tetap dipelihara.
Selama masyarakat menjadi ―objek penjualan‖, maka ketahanan dan kedaulatan
pangan akan lenyap. Kerja keras, ketekunan, kesabaran, kesederhanaan akan luntur. Kearifan
lokal dan budaya bertani pun akan hilang. Petani sebagai pahlawan pangan tidak lagi
bermartabat. Sejatinya petani adalah raja di tanahnya sendiri, nemun kehidupan kaum tani
terpuruk di lapis terbawah stratifikasi sosial masyarakat, Sejak revolusi hijau mulai
diperkenalkan tahun 1970-an di Indonesia termasuk di Subak Susuan Karangasem, sejak saat
itu pangan pokok penduduk hanya berupa beras, mengalahkan berbagai jenis pangan lainnya
yang tumbuh di bumi Nusantara ini. Pangan yang semula diproduksi dengan mengandalkan
kemampuan berbagai sumber daya pangan hayati untuk saling menghidupi sebagai ekosistem
yang kompleks dipaksa untuk menghasilkan satu jenis pangan (beras) saja. Budaya petani
yang menyatu dengan alam bergeser menjadi hubungan yang eksploitatif antara manusia
dengan alam dan peminggiran jenis kelamin manusia yang satu (laki-laki) atas jenis kelamiin
manusia lainnya (perempuan).
Pertumbuhan benih dan pengembangan keanekaragaman hayati diciptakan oleh
laboratorium melalui rekayasa genetika, bukan sebagai proses regenerasi alamiah. Revolusi
hijau menjadikan alam hanya sebagai objek yang tidak berdaya untuk mengejar keuntungan.
Pengetahuan bertani dan nilai-nilai spiritual dalam bertani yang menghargai sesuatu yang ada
di alam semesta, memeliharanya agar generasi yang akan datang masih bisa menikmatinya
dari alam, tergeser oleh ekonomi pasar yang memanfaatkan seluruh sumber daya alam
sebagai komoditas dagang.
Atas dasar pemikiran di atas, masyarakat petani Subak Susuan Karangasem secara
sadar melakukan perlawanan (konter hegemoni) terhadap program yang dilancarkan oleh
pemerintah pusat melalui perpanjangan tangannya di daerah. Para pelaksana tugas lapangan
kurang melakukan sosialisasi kepada masyarakat Subak susuan secara partisipatif, dan
kurang memahami kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Tindakan pencabutan terhadap bibit yang ditanam oleh masyarakat petani di Subak
Susuan oleh aparat pemerintah, merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya konflik sosial
antara pemerintah dengan massa petani subak Susuan Karangasem. Adanya perlakuan kurang
adil dari pemerintah, telah memperkeruh situasi yang dapat mengakibatkan munculnya
perlawanan petani Subak Susuan Karangasem terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap
kurang adil dan dapat menyengsarakan petani, sebagaimana yang dilansir oleh pemerintah
melalui program revolusi hijaunya.
Perlawanan petani Subak Susuan Karangasem merupakan reaksi defensif akibat tidak
terjaminnya kehidupan petani. Dengan tidak terjaminnya kehidupan petani, maka perlawanan
tersebut dipakai sebagai survival stategy dalam menghadapi ketidakpastian. Perilaku ini
bukan saja menggambarkan tindakan pengingkaran petani terhadap pemegang kebijakan
yaitu negara, melainkan juga menjadi pertanda aksi yang berperinsip dahulukan selamat di
tengah tidak terjaminnya kehidupan terus mengalami kebijakan negara yang hegemonik dan
tidak pernah menguntungkan petani kecil sebagaimana yang dialami oleh petani Subak
Susuan Karangasem sebagai bentuk counter hegemoni.
Manifestasi ketidakpuasan terhadap kebijakan negara inilah yang melatari
perlawanan ratusan petani subak Susuan Karangasem. Mereka menganggap penolakan
terhadap pelaksanaan program revolusi hijau sebagai satu-satunya aksi politik yang tepat,
efektif, konkrit, dan memiliki bargaining position bagi perbaikan ekonomi dan penghidupan
xiv
mereka di kemudian hari. Secara politik, perlawanan tersebut sebenarnya muncul karena
ingin menolak kebijakan negara dalam masalah pertanian yang cenderung ekploitatif yang
menganakemaskan kaum kapitalis. Kesan semacam inilah mewarnai setiap aksi perlawanan
petani dari masa ke masa. Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika ideologi
developmentalis menjadi pilihan paradigma pembangunan rezim Orde Baru. Ironisnya,
konsep ini bukan sepenuhnya sebagai produk elite negara, melainkan hasil konstruksi
kekuatan kapitalis global yang problematik bagi petani. Untuk menopang investasi modal
asing secara besar-besaran melalui industrialisasi dan untuk kepentingan operasionalnya
diperlukan ketersediaan tanah. Akibatnya, tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar
tanah sehingga investor lebih tertarik mennamkan modalnya dalam bentuk tanah karena
menguntungkan. Proses ini secara tidak disadari telah mengintegrasikan petani dengan
tanahnya ke dalam sistem kapitalisme melalui ekspansi pasar dengan fasilitas intervensi
kebijakan negara.
Perlawanan petani Subak Susuan Karangasem, menarik untuk diteliti karena
gerakan ini merupakan satu-satunya gerakan petani yang berani menghadapi hegemoni
pemerintah melaui praktek imperialisme kultural yang direproduksi melalui program
‖Revolusi Hijau‖ secara sentralistik dan koersif. Dengan adanya kondisi seperti di atas,
petani Subak Susuan Karangasem mengkonstruksi perlawanan kolektif melalui lembaga
tradisional subak di tengah-tengah komunitas yang didominasi oleh hegemoni pemerintah
melalui perpanjangan birokrasi di daerah yaitu Pemerintah Karangasem dengan
mengeluarkan instruksi yang mengacu kepada Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 10
Tahun 1976 Tentang Usaha-Usaha Khusus Dalam Meningkatkan Produksi Pangan Tahun
1976.
Melalui Instruksi Bupati Karangasem 9 Februari 1976 No. EK/I.a/195/ 1976 dan 21
Juni 1976 No. EK/I.a/812/1976, tanpa mengindahkan kearifan lokal dan budaya lokal petani
melakukan penyeragaman, mewajibkan menanam padi varietas baru yaitu PB-26, PB-28, dan
PB-30. Berangkat dari pengalaman yang telah dilakukan oleh petani subak Susuan
Karangasem dengan menanam varietas padi unggul yang diinstruksikan pemerintah
sebelumnya ternyata rentan terhadap serangan hama (wereng) bahkan menggagalkan panen.
Di samping rentan terhadap hama penyakit, harga bibit padi varietas baru jauh lebih mahal
dari bibit padi lokal. Petani Subak Susuan Karangasem merasa enggan mengganti atau
mencabutnya, karena bibit padi yang telah ditanam cukup baik serta tahan terhadap serangan
hama. Berdasarkan pengalam tersebut, petani subak Susuan Karangasem tidak melaksanakan
instruksi pemerintah, mereka lebih senang menanam padi jenis lokal yang telah membudaya
dalam komunitasnya. Penggunaan bibit varietas unggul itu telah membuat para petani di
Subak Susuan menjadi tergantung kepada pengusaha bibit unggul tersebut, dan ini
merupakan praktik ideologi kapitalis yang halus di subak Susuan Karangasem.
Kebijakan pemerintah Kabupaten Karangasem yang bersifat sentralistik, mengintervensi dan mengsubordinasi petani dengan keluarnya instruksi Bupati Karangasem untuk mengganti varietas padi lokal dengan varietas padi baru telah menimbulkan disilusi dan ketidakpuasan petani. Kebijakan itu diikuti oleh sikap arogan petugas pemerintah dengan menginjak dan mencabut bibit padi lokal yang ditanam petani. Peristiwa tersebut direspon oleh petani dengan melakukan unjuk rasa menuntut pertanggungjawaban dan keadilan pemerintah. Kondisi tersebut akan diangkat menjadi topik penelitian dengan fokus pada; (1) bagaimanakah dinamika bentuk perlawanan petani terhadap revolusi hijau di Subak Susuan Karangasem?; (2) ideologi apa yang ada di balik dinamika perlawanan petani terhadap revolusi hijau?; (3) Bagaimanakah implikasi dinamika perlawanan petani terhadap revolusi hijau di Subak Susuan Karangasem?
xv
Ketiga permasalahan tersebut masing-masing dibahas dengan: (1) teori hegemoni,
(2) teori diskursus kuasa/ pengetahuan, dan (3) teori tindakan komunikatif. Penentuan
informan dilakukan secara selektif dan purposif dengan mempertimbangkan informan
memiliki pengetahuan memadai terkait dengan peristiwa. Informan yang dipilih mengalami
sekaligus pelaku kejadian. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi,
wawancara mendalam, dan penggunaan dokumen, kemudian dianalisis secara kualitatif
dengan pendekatan verstehen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Karangsem
yang mengeluarkan instruksi untuk mewajibkan petani melakukan pola tanam padi baru tidak
memperoleh respon positif dari petani Subak Susuan Karangasem. Mereka tetap menanam
padi jenis lokal. Akibatnya, pemerintah melalui petugas di lapangan melakukan tindakan
represif dengan menginjak dan mencabut sejumlah bibit padi milik petani. Tindakan petugas
pemerintah menjadi faktor pemicu terjadinya perlawanan petani. Para petani Subak Susuan
Karangasem menggunakan wahana subak sebagai sarana untuk memobilisasi massa petani
dalam upaya melakukan counter hegemoni dalam bentuk pembangkangan terselubung yaitu
dengan cara berpura-pura mengikuti anjuran pemerintah untuk menanam varietas padi unggul
tapi dalam pelaksanaannya petani tetap menanam padi lokal. Perlawanan petani subak Susuan
Karangasem jika dikaji dari aspek cultural studies memperlihatkan bentuk : kepura-puraan
dan terbuka (unjuk rasa / menentang). Terbuka merupakan sikap perlawanan yang frontal
terhadap ketidakadilan, kekerasan dan kesewenang-wenangan. Implikasi dinamika
perlawanan petani Subak Susuan Karangasem dapat dianggap sebagai kontrol sosial terhadap
kebijakan pemerintah yang cenderung merugikan petani, sehingga bisa tercipta masyarakat
sipil (civil society) sebagai pengontrol dan pembela masyarakat yang terpinggirkan.
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PRASYARAT GELAR....................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................. iv
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI.................................................. v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................... vii
ABSTRAK.......................................................................................................... xi
ABSTRACT........................................................................................................ xii
RINGKASAN..................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI....................................................................................................... xviii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xxi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xxii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiii
GLOSARIUM ……………………………………………………………….. xxiv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 11
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 11
1.3.1 Tujuan Umum..................................................................... 11
1.3.2 Tujuan Khusus.................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................... 12
1.4.1 Manfaat Teoretis................................................................. 12
1.4.2 Manfaat Praktis................................................................... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN.....................................................................
13
2.1 Kajian Pustaka................................................................................ 13
2.2 Konsep............................................................................................ 26
2.2.1 Dinamika………................................................................ 26
2.2.2 Perlawanan Petani............................................................. 26
2.2.3 Revolusi Hijau................................................................... 30
2.2.4 Subak Susuan Karangasem............................................... 31
2.3 Landasan Teori................................................................................ 33
2.3.1 Teori Hegemoni ................................................................. 33
2.3.2 Teori Diskursus Kuasa/Pengetahuan .................................. 49
2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif............................................... 48
2.4 Model Penelitian............................................................................. 54
BAB III METODE PENELITIAN..................................................................... 57
3.1 Rancangan Penelitian...................................................................... 57
3.2 Lokasi Penelitian............................................................................. 57
3.3 Jenis dan Sumber Data.................................................................... 58 3.4 Penentuan Informan....................................................................... 58
3.5 Instrumen Penelitian....................................................................... 60
xvii
3.6 Teknik Pengumpulan Data.............................................................. 60
3.6.1 Observasi............................................................................. 61
3.6.2 Wawancara Mendalam ...................................................... 62
3.6.3 Studi Dokumen.................................................................... 62
3.7 Teknik Analisis Data....................................................................... 63
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data............................................ 64
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN........................... 66
4.1 Kelurahan Karangasem................................................................... 66
4.1.1 Lokasi Dan Lingkungan Alam ........................................... 66
4.1.2 Tata Guna Tanah................................................................. 70
4.1.3 Kondisi Demografi............................................................ 75
4.1.4 Mata Pencaharian................................................................ 78
4.1.5 Stratifikasi Sosial Masyarakat............................................. 88
4.2 Profil Subak Susuan ....................................................................... 97
4.2.1 Wilayah Subak Susuan Karangasem ................................. 99
4.2.2 Anggota Subak Susuan Karangasem.................................. 101
4.2.3 Ritual Subak Susuan Karangasem...................................... 105
BAB V DINAMIKA BENTUK PERLAWANAN PETANI SUBAK
SUSUAN TERHADAP GERAKAN REVOLUSI HIJAU
111
5.1 Pelaksanaan Program Revolusi Hijau di Subak Susuan
Karangasem……………………………………………………….
111
5.2 Latar Belakang Perlawanan Petani Subak Susuan
Karangasem………………………………………………………
121
5.3 Bentuk Gerakan Berorientasi Subsistensi Petani Subak Susuan
Karangasem………………………………………………………
135
5.4 Bentuk Relasi Kuasa Hegomonik di Balik Perlawanan Petani
Subak Susuan Karangasem……………………………………….
145
5.5 Bentuk Mobilitas Massa dalam Perlawanan Petani Subak Susuan
Karangasem……………………………………………………..
166
5.6 Bentuk Keterlibatan Media Massa dalam Melakukan Kekerasan
Simbolik pada Gerakan Petani Subak Susuan Karangasem……..
173
5.7 Dinamika Pergerakan Petani Subak Susuan Karangasem……….
192
BAB VI IDEOLOGI DI BALIK PERLAWANAN PETANI TERHADAP
REVOLUSI HIJAU DI SUBAK SUSUAN....................................
211
6.1 Idiologi Tradisionalitas dalam Merespons Revolusi Hijau………. 211
6.2 Ideologi Pasar Menghegomoni Petani di Subak Susuan
Karangasem……………………………………………………..
217
6.3 Hegemoni Ideologi Kuasa Terhadap Gerakan Subak Susuan
Karangasem……………………………………………………..
231
6.4 Hegemoni Ideologi Pembangunan Pemerintah pada Petani Subak
Susuan Karangasem………………………………………………
235
6.5 Ideologi Kuasa Pengetahuan dalam Gerakan Petani Subak
Susuan Karangasem………………………………………………
238
6.6 Resistensi Ideologi Feodalisme Versus Ideologi Kuasa dan Pasar
xviii
pada Gerakan Petani Subak Susuan Karangasem……………….. 245
BAB VII IMPLIKASI PERLAWANAN PETANI SUBAK SUSUAN
TERHADAP REVOLUSI HIJAU DI KARANGASEM
250
7.1 Implikasi Dinamika Perlawanan Petani Terhadap Pemerintah 250
7.2 Implikasi Dinamika Perlawanan Petani Terhadap Revolusi
Hijau………………………………………………………………
264
7.3 Implikasi Dinamika Perlawanan Petani Terhadap Pola Tanam di
Subak Susuan Karangasem .........................................................
268
7.4 Implikasi Dinamika Perlawanan Petani Terhadap Perubahan
Kultural Petani di Subak Susuan Karangasem
274
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN......................................................... 278
8.1 Simpulan..................................................................................... 278
8.2 Temuan Penelitian …………………………………………… 285
8.3 Saran............................................................................................... 288
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 292
LAMPIRAN ………………………………………………………………… 302
1. Daftar Informan …………………………………………………… 302
2. Pedoman Wawancara …………………………………………….. 305
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Rincian Tata Guna Tanah di Kelurahan Karangasem Tahun 2015 70
Tabel 4.2 Luas Areal Subak dan Anggotanya di Kelurahan Karangasem ….. 71
Tabel 4.3 Penggolongan Penduduk Berdasarkan Umur, Tahun 2015 ……… 76
Tabel 4.4 Penggolongan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun
2015 ………………………………………………………………
77
Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Kelurahan Karangasem Berdasarkan
Mata Pencaharian Tahun 2015……………………………………
78
Tabel 6.1
Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Varietas Padi Lokal
dengan Padi Baru………………………………………………….
241
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Penelitian …………………………………………… 55
Gambar 4.1 Sketsa Wilayah Kabupaten Karangasem …………………. 68
Gambar 4.2 Upacara Ngusaba Nini di Pura Bedugul Subak Susuan
Karangasem………………………………………………….
83
Gambar 4.3 Degradasi Sawah Akibat Pembangunanisme ………………. 100
Gambar 6.1 Petani Memanen Padi Memakai Ani-Ani ………………….. 220
Gambar 6.2 Sistem Pengolahan Tanah Tradisional ……………………... 222
Gambar 6.3 Pemupukan Padi Menggunakan Pupuk Anorganik ……….. 223
Gambar 6.4 Upacara Ngusaba Nini di Subak Susuan …………………… 228
Gambar 6.5 Upacara Biukukung ………………………………………… 231
Gambar 7.1 Petani Memanen Padi Dengan Sabit ………………………... 270
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Informan..................................................................................... 302
2. Pedoman Wawancara ……………………………………………….. 305
xxii
GLOSARIUM
aci : upacara persembahan (ritual).
adat : aturan-aturan atau kebiasaan yang dianggap telah
patut disepakati bersama sebagai tata tertib
kehidupan masyarakat.
aungan : trowongan untuk saluran air irigasi.
awig-awig : aturan tertulis.
ayahan : unit tenaga kerja yang harus disumbangkan dalam
kegiatan subak sebagai bentuk kewajiban karena
mendapat ha katas air.
bale timbang : bangunan kecil di tingkat subak sebagai tempat
bertemu dan istirahat para petani saat melepas lelah
ketika bekerja di sawah.
banten : sesajen atau sarana untuk persembahan berupa bunga,
buah-buahan, kue dan lain-lain yang umumnya
dipakai dalam ritual keagamaan oleh pemeluk agama
Hindu di Bali.
bedugul : pura yang ada pada setiap kawasan subak untuk
memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku
Dewi Kesuburan.
biyukukung : ritual yang dilakukan oleh petani pada saat padi
bunting (berumur sekitar 70 hari). Di beberapa subak
ada juga yang menyebut dengan istilah miseh,
ngeduabulanin, melupusan.
dewasa ayu : hari yang dianggap baik untuk memulai suatu
pekerjaan tertentu.
dewi Sri : manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan
empelan : bendungan yang tidak permanen yang dibuat oleh
karma subak.
juru arah : orang yang diberi tugas oleh pimpinan organisasi
tradisional semisal subak untuk menyampaikan
undangan atau pengumuman/informasi kepada para
anggota. Istilah lain ada juga yang menyebut dengan
sebutan kesinoman/saya
juru raksa/petengen : bendahara
xxiii
kelian/kelihan/keliang : orang yang lebih tua atau dituakan atau kepala (ketua
dari suatu organisasi tradisional) seperti kelian
munduk, kelian subak, kelian tempek.
kertamasa : sistem tanam padi secara serempak, atau hampir
bersamaan.
krama subak : anggota subak
kulkul : kentongan
leluputan : anggota subak yang dibebaskan dari kegiatan-
kegiatan gotong royong dan bentuk kontribusi
lainnya.
magpag/mendak toya : ritual untuk menjemput air irigasi di bendungan
(empelan) yang dilakukan oleh subak saat menjelang
musim tanam.
mantenin : ritual subak yang dilakukan oleh keluarga petani
masing-masing pada saat padi sudah disimpan di
lumbung atau pada tempat penyimpanan lainnya.
mebanten manyi : upacara yang dilaksanakan pada saat panen
berlangsung atau disebut juga dengan istilah nuduk
dewa.
munduk/tempek : sub-subak, yang memiliki otonomi ke dalam, tetapi
tidak memiliki otonomi ke luar.
nangluk merana : upacara yang dilakukan oleh subak dengan tujuan
untuk memberantas hama/penyakit tanaman.
natak tiyis : sistem irigasi yang mengandalkan air dari tirisan
sawah-sawah di hulu.
neduh : upacara diadakan pada saat padi berumur satu bulan
(ngebulanin).
ngendagin : upacara yang diadakan saat umur padi mencapai 35
hari dan 70 hari.
ngusaba nini : upacara yang dilakukan saat menjelang panen atau
ada juga yang menyelenggarakan setelah panen
sebagai ungkapan rasa syukur di Pura Bedugul
dengan membuat simbul Dewi Sri.
nuasen/nandur/mabuli : ritual yang dilakukan oleh petani perorangan pada
xxiv
han/nuasen nandur saat menjelang selesai mengolah tanah atau pada saat
akan menanam padi.
pekaseh/kelian subak : ketua subak.
pengampel/pengoot : anggota subak pasif atau tidak aktif dalam kegiatan
subak, tetapisebagai gantinya diwajibkan membayar
sejumlah uang berdasarkan bagian air yang diperoleh.
perarem : aturan yang tidak tertulis yang disepakati dalam
rapat-rapat subak.
petelik : seorang anggota subak yang ditugaskan untuk
mengontrol saluran irigasi atau matelik/metelik
magebagan.
sarin
tahun/suwinih/sawinih
: satu bentuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh
anggota untuk memberikan kontribusi berupa sejmlah
hasil panenkepada subak yang akan digunakan dalam
pelaksanaan ritual di pura subak.
sedahan : seorang petugas yang merupakan aparat pemerintah
daerah kabupaten/kota yang bertugas untuk
mengkoordinasikan pimpinan subak di wilayah
tertentu (membantu tugas sedahan-agung dalam
lingkungan suatu pasedahan), umumnya di tingkat
kecamatan.
sekehe manyi : kumpulan pemanen padi yang merupakan suatu
arganisasi profesi.
sekehe yeh : anggota subak yang berstatus aktif.
sekehe mejukut : kelompok mencabut gulma/rumput pengganggu
tanaman padi di sawah.
sekehe numbeg : kelompok mencangkul di sawah.
tektekan : ukuran pembagian air irigasi.
tri Hita Karana : tri (tiga), hita (kesejahtraan), karana (penyebab).
Mencakup parhyangan (hubungan manusia dengan
Tuhan, palemahan (hubungan manusia dengan alam),
dan pawongan hubungan antar manusia). Merupakan
filosofi orang Hindu di Bali yang meyakini bahwa
kedamaian dan kesejahtraan akan tercapai bila
terdapat hubungan harmoni, seimbang, dan serasi
antar ketiganya (parhyangan, palemahan, dan
pawongan).
xxv
tulak sumur : tertib tanam yang tidak dilakukan secara serempak di
areal subak.
tebasan : memanen padi dengan menggunakan sabit, tidak
menggunakan ani-ani lagi.
ulun carik : suatu ―altar‖ yang diletakkan dekat sawah
pengalapan yakni yang paling di hulu milik petani
individual untuk persembahan-persembahan setiap
ada upacara yang terkait dengan umur tanaman padi,
yang disebut sanggah catu.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Revolusi hijau di Indonesia dirintis oleh Institut Pertanian Bogor (IPB)
dengan pelayanan penyuluhan pertanian tahun 1963/1964. Bibit unggul dari
International Rice Research Institute (IRRI) Filipina dikirim ke Bogor tahun
1966. Bibit ini merupakan kesatuan antara revolusi biologi berupa bibit padi
varietas unggul dan revolusi kimiawi berupa bermacam-macam pupuk buatan
serta obat-obatan antihama. Kemudian pemerintah Orde Baru mencanangkan
program bimbingan massa (Bimas) tahun 1968. Program ini mempromosikan
penanaman bibit unggul, penggunaan pupuk buatan, pestisida, insektisida, diikuti
oleh penyediaan kredit, tenaga kerja petani yang murah, serta lahan sawah
beririgasi. Pemerintah melakukan homogenisasi atas hetrogenitas pengetahuan
pertanian, dengan direduksi menjadi satu pola pertanian. Paket kebijakan
pemerintah Orde Baru ini dikenal dengan revolusi hijau, yaitu perubahan secara
cepat pada berbagai sistem terkait dengan pertanian. Kondisi ini sulit diikuti
perkembangannya oleh pemikiran petani yang serba lamban dan penuh
perhitungan, karena posisi ekonomi petani bagaikan tubuh yang sudah sampai
dilehernya terendam lumpur (Scott, 1994: 24).
Revolusi hijau juga menyebabkan terjadinya perubahan berupa
tergesernya sistem derep ke melembaganya sistem tebasan. Penggunaan sabit
(munculnya ”budaya sabit”) dalam panen padi menggeser fungsi ani-ani,
penggunaan alat perontok padi yang langsung dapat dipakai di sawah; varietas
2
padi unggul mempunyai umur pendek sehingga menuntut penyiapan lahan yang
segera untuk tanam padi berikutnya, masuknya traktor sebagai mekanisasi tenaga
kerja. Semuanya ini menjadi menarik dikaitkan dengan dinamika perlawanan
petani dalam merespons perubahan yang cepat (revolusi hijau). Dalam revolusi
hijau tampak terjadi dominasi ideologi kapitalis yang dilakukan oleh pemerintah
dengan agen-agennya. Revolusi hijau bukan hanya berdimensi ekonomi, tetapi
juga erat kaitannya dengan revolusi kultural petani, terutama subak dalam
pertanian lahan basah di Subak Susuan Karangasem.
Latar belakang impor beras yang mengalami peningkatan berkelanjutan
secara signifikan dan adanya kelangkaan pangan pada masa Orde Lama juga
merupakan andil besar dalam pelaksanaan revolusi hijau yang memicu
pergolakan politik di pedesaan. Pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya
ketersediaan bahan pangan, khususnya beras. Untuk itu, jalan yang ditempuh
adalah melalui revolusi hijau. Revolusi hijau merupakan suatu istilah yang mulai
dikenal di Indonesia sejak tahun 1960-an. Langkah utama yang diambil adalah
melaksanakan program intensifikasi pertanian tanaman pangan, khususnya beras.
Program ini memperkenalkan penggunaan teknologi baru dalam teknik bertani,
sehingga dapat melipatgandakan hasil pertanian dalam kurun waktu yang
singkat. Sejak awal, tujuan program ini adalah meningkatkan produksi beras,
tanpa mengubah kultur pedesaan, yang berbeda dengan land reform yang
berusaha mengubah bangunan sosial pedesaan, melalui pemerataan penguasaan
tanah. Namun, dalam perjalanannya banyak memperkosa kearifan lokal yang
sudah berkembang sebelumnya, sehingga terjadi perlawanan petani di pedesaan
(Wiradi, 2000: 84-86).
3
Revolusi hijau memperoleh dukungan besar dari anggaran pembangunan.
Sumber pembiayaan negara ada dua unsur pokok, yaitu: (1) pinjaman dan hibah
internasional; dan (2) pendapatan dari minyak bumi. Pinjaman dan hibah
internasional untuk Indonesia disalurkan melalui Inter-Govermental Group on
Indonesia (IGGI) yang sejak 1968 IGGI setiap tahun memberikan pinjaman dana
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penerimaan pemerintahan Soekarno.
Pendapatan dari minyak bumi yang disebut ”bonansa minyak” memberikan
dukungan devisa yang besar karena lonjakan harga minyak dari US$ 3 per barrel
menjadi US$ 12 per barrel tahun 1974 dan terus melonjak sampai US$ 36 per
barrel tahun 1982 (Fauzi,1999:164). Devisa luar negeri yang besar itu merupakan
berkah bagi Orde Baru untuk melakukan revolusi hijau di bidang pertanian
setelah tahun 1974. Anggaran pembangunan pertanian dijatah 20% dari
penerimaan-penerimaan tersebut, sehingga dimungkinkan untuk merealisasikan
program intensifikasi pertanian di pedesaan.
Program intensifikasi pertanian pada awalnya dikenal dengan nama
”Bimas Gotong Royong”. Pelaksanaan program intensifikasi pertanian dilakukan
oleh pemerintahan Orde Baru dengan mengontrak sejumlah perusahaan
multinasional untuk menyediakan bahan-bahan yang diperlukan petani, seperti:
pupuk, obat-obatan, penyuluhan pertanian, manajemen, serta pasokan bibit
unggul. Para petani dituntut untuk membayar kembali bahan-bahan itu dengan
menyerahkan seperenam dari hasil panen mereka pada Badan Urusan Logistik
(BULOG).
Revolusi hijau berhasil meningkatkan produksi beras karena petani
menghasilkan padi dua kali lipat dibandingkan pada masa akhir tahun 1960-an.
4
Perubahan terjadi secara statistik, Indonesia yang mulanya menjadi pengimpor
beras (zaman Orde Lama), tahun 1985 menjadi negara yang mampu swasembada
beras. Keberhasilan ini mengakibatkan munculnya arogansi pemerintah dan
pendukung rezim Orde Baru, sehingga menjadi pemerintahan yang sentralistik
dan berbuat semaunya dengan mengatasnamakan pembangunan dan swasembada
pangan.
Di balik keberhasilan Orde Baru dengan prestasi swasembada berasnya,
terdapat proses diferensiasi agraria di pedesaan. Diferensiasi agraria adalah
pergeseran kelompok-kelompok sosial sebagai akibat dari masuknya unsur baru
di sektor agraria. Sekitar 20 hingga 30% rumah tangga di pedesaan diuntungkan
dengan revolusi hijau, yaitu tumbuh petani yang berhasil menjadi petani yang
berkecukupan, tetapi tidak independen atau bergantung pada subsidi dan
perlindungan negara.
Munculnya mekanisasi pertanian dan pelipatgandaan hasil panen
menjadikan petani mengkonsentrasikan sejumlah tanah dan menggunakan
sejumlah teknologi baru dalam proses produksinya. Konsekuensinya, lambat
laun petani menjadi kemasukan ideologi-ideologi pasar (kapitalistik),
mempekerjakan buruh tani pada tanah-tanahnya yang luas. Di bawah ideologi
kapitalis buruh tani semakin tertekan, kondisi pedesaan didominasi oleh
kelompok elite pemerintahan lokal yang memonopoli dengan investasi dan
mengambil keuntungan dari program pemerintah dan sumberdaya di lingkungan
lokal. Petani kaya bekerja sama dengan elit-elit lokal ”menguasai tanah” petani
dengan sistem kapitalis. Mayoritas petani gurem dan buruh tani semakin miskin
atau subsisten, bahkan semakin terpinggirkan. Kondisi ini menjadi pemicu
5
munculnya dinamika perlawanan petani terhadap revolusi hijau di Subak Susuan
Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem-Bali.
Kondisi struktur kepemilikan tanah yang tidak seimbang di pedesaan,
dapat dipahami karena program revolusi hijau yang menghasilkan swasembada
pangan, belum mampu mengangkat nasib seluruh petani di pedesaan. Secara
politis pemerintah Orde Baru melalui program revolusi hijau dapat
mengendalikan aparat pemerintahan lokal, dari camat dan unsur-unsur sektoral
kecamatan sampai kepada struktur pemerintahan desa.
Program-program pemerintah pusat semakin memperoleh legitimasi
untuk menjalankan sentralisasi kekuasaan, termasuk terhadap penduduk desa di
Subak Susuan Karangasem. Dalam kondisi pemerintahan pusat sedang naik
daun, yang desentralisasi, petani di Subak Susuan Karangasem melakukan
gerakan menentang kebijakan pemerintah (revolusi hijau) yang dominatif dan
hegemonik. Latar belakang dinamika perlawanan petani ini menarik untuk
diteliti.
Revolusi hijau kecuali telah mensubordinasi ratusan jenis padi
tradisional, juga mendegradasi pengetahuan lokal petani, pemasungan kebebasan
yang berimplikasi pada proses pemiskinan budaya petani. Revolusi hijau
mempunyai kekuasaan kultural dan politik dengan menciptakan sistem dan
struktur ideologi baru melalui propaganda dengan menggusur kearifan lokal,
ideologi tradisional, kultur, dan politik kaum tani (Fakih, 2000:7-9; Winarno dan
Darmowiyoto, 1999: 69). Proses marginalisasi, kooptasi, hegemoni dan arogansi
pemerintah pusat melalui perpanjangan tangan birokrasi di daerah pedesaan
dirasakan oleh para petani di seluruh Indonesia, termasuk di Subak Susuan
6
Karangasem yang terkenal dengan sistem subak, keuletan, dan kearifan lokal
dalam pola tanam padi secara kerta masa (serempak dan teratur) dengan
menggunakan sistem giliran menjadi terganggu keseimbangannya (Norken,
1997:61).
Subak terganggu dalam pembagian air membuat pola tanam dengan
sistem kerta masa dan ngagadon juga terganggu, karena terjadi perubahan
mendadak dalam pembagian air, ritual, pola tanam, bibit, pemupukan dan
pengolahan lahan dalam sistem subak di Bali. Pola tanam dengan sistem bergilir
berdasarkan kerta masa dan ngagadon, membuat sistem penggunaan air dari
hulu sampai ke hilir juga bergulir. Ketika air giliran subak bawah untuk padi,
maka subak atas menanam palawija, sehingga keseimbangan hara tanah dan alam
terjaga. Kearifan lokal ini distrukturkan yang diikuti oleh ritual-ritual besar pada
puncak ngusaba nini, yaitu pada bulan purnama kapat dan bulan purnama
kadasa. Sistem ini menjadi kacau karena umur bibit unggul Padi Baru (PB)
dengan berbagai varietasnya membutuhkan waktu rata-rata 3-4 bulan.
Walaupun secara ideologis, struktural, kultural, bertentangan dengan
kearifan lokal dan petani pedesaan ada pada posisi terjepit, pemerintah tidak mau
mengerti dengan kesulitan petani Subak Susuan Karangasem. Keterjepitan ini
menjadi dasar munculnya dinamika perlawanan petani menentang program
revolusi hijau dari pemerintah. Gerakan petani tidaklah selamanya melalui
gerakan frontal, tetapi sering bersifat pasif dan melakukan perlawanan secara
diam-diam dengan meminjam konsep James Scott.
Kebijakan pemerintah melalui program Bimas telah menghegemoni
petani untuk menanam jenis padi serta mengatur sistem pola tanam mulai dari
7
pemilihan bibit, penanaman, penuaian hasil hingga pemasaran telah memasung
kebebasan petani. Sebelumnya, setiap petani pemilik adalah manager di lahannya
sendiri dan mempunyai kebebasan untuk memilih, menentukan serta menilai apa
yang terbaik dan bermanfaat untuk mereka. Para petani sudah terbiasa bekerja
mengolah lahan, memilih bibit, dan mengatur pemberian air pada lahan
garapannya. Petani mengetahui apa yang harus dilakukan pada lahan
pertaniannya. Hal ini berkat pengalaman, pengamatan serta membandingkan
jenis bibit padi, pola tanam, perlakuan terhadap lahan dan pengelolaan hasilnya,
terutama budaya dan ritual terkait dengan kearifan lokal dalam pertanian sawah
dengan sistem subaknya.
Dinamika perlawanan petani Subak Susuan Karangasem, menarik untuk
diteliti karena gerakan petani di subak ini merupakan satu-satunya gerakan
petani yang berani berhadapan dengan pemerintahan yang sentralistik dan
hegemonik melalui praktik imperialisme kultural yang direproduksi melalui
program revolusi hijau secara sentralistik dan koersif. Kondisi ini menyebabkan
petani Subak Susuan Karangasem mengkonstruksi perlawanan kolektif melalui
lembaga tradisional subak di tengah-tengah komunitas yang didominasi oleh
hegemoni pemerintah melalui perpanjangan birokrasi di daerah yaitu Pemerintah
Kabupaten Karangasem pada waktu itu. Sampai pemerintah mengeluarkan
instruksi dengan mengacu pada Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 10
Tahun 1976 Tentang Usaha-Usaha Khusus Dalam Meningkatkan Produksi
Pangan Tahun 1976.
Gerakan petani ini mendapat tanggapan pemerintah pusat melalui
pemerintah daerah di Karangasem. Hal ini terbukti dari Instruksi Bupati
8
Karangasem, tanggal 9 Februari 1976 No. EK/I.a/195/ 1976 dan 21 Juni 1976
No. EK/I.a/812/1976. Instruksi ini tanpa mengindahkan kearifan lokal dan
budaya lokal petani, Pemerintah Daerah Karangasem melakukan penyeragaman,
mewajibkan petani menanam padi varietas baru yaitu PB-26, PB-28, dan PB-30.
Berangkat dari pengalaman yang telah dilakukan oleh petani Subak
Susuan Karangasem dengan menanam varietas padi unggul yang diinstruksikan
oleh pemerintah sebelumnya, ternyata rentan terhadap serangan hama wereng,
bahkan menggagalkan panen. Kecuali rentan terhadap hama penyakit, harga bibit
padi varietas baru jauh lebih mahal dari bibit padi lokal. Petani Subak Susuan
Karangasem merasa enggan mengganti atau mencabutnya, karena bibit padi yang
telah ditanam cukup baik serta tahan terhadap serangan hama. Berdasarkan
pengalaman tersebut, petani Subak Susuan Karangasem tidak melaksanakan
instruksi pemerintah, mereka lebih senang menanam padi jenis lokal yang telah
membudaya dalam komunitasnya. Penggunaan bibit varietas unggul itu telah
membuat para petani di Subak Susuan Karangasem menjadi tergantung kepada
pengusaha bibit unggul, dan ini merupakan praktik ideologi kapitalis yang halus
yang dilaksanakan di Subak Susuan Karangasem oleh pemerintah daerah.
Penolakan petani Subak Susuan Karangasem terhadap politik kebijakan
pemerintah dalam bidang pertanian direspons oleh pemerintah dengan sikap
arogan dan tindakan represif yang disertai dengan ancaman oleh pemerintah.
Tindakan represif pemerintah telah mengabaikan kearifan lokal masyarakat
petani Subak Susuan Karangasem. Petani di subak tersebut percaya bahwa pola
tanam sejak pembibitan dimulai hingga panen selalu disertai dengan ritual.
Distorsi terhadap relasi interaksi antarpetani Subak Susuan Karangasem dengan
9
pemerintah pascapencabutan bibit padi berakhir pada 21 Juli 1976. Perlawanan
petani berawal dari berkumpulnya sekitar 100 orang petani anggota subak di Pos
Hansip Banjar Susuan, yang dimobilisir oleh Ida Bagus Anom dan I Gde Pula
untuk melawan tindakan aparat melalui gerakan perlawanan dengan membawa
senjata tajam berupa sabit (arit), tombak, keris dan senjata lainnya, petani
menuntut keadilan kepada pemerintah. Perlawanan petani Subak Susuan
Karangasem dilakukan dengan cara unjuk rasa dengan berbaris rapi bergerak
mulai dari banjar Belong, Tegal, Pekandelan dan Jalan Pucak Sari menuju
Kantor Perbekel Desa Karangasem, selanjutnya menuju Kantor Camat
Karangasem. Masa petani dapat dibubarkan oleh aparat pemerintah, terjadi
negosiasi dan bubar secara damai.
Kendatipun dinamika perlawanan petani Subak Susuan Karangasem itu
dapat dikendalikan dengan cara membubarkan massa petani dan menangkap
pemimpinnya sekaligus mengadili melalui proses peradilan yang panjang,
ternyata perlawanan tersebut menyebabkan sikap pemerintah terhadap kebijakan
yang diambilnya melunak. Pemerintah tampak mulai sadar dan tidak lagi
bersikap represif terhadap konsistensi sikap petani Subak Susuan Karangasem
yang tetap bertahan untuk menanam padi jenis lokal. Representasi dinamika
perlawanan petani Subak Susuan Karangasem terhadap imperialisme kultural itu
dapat dianggap sebagai benih bagi penguatan fenomena civil society dan counter
hegemony terhadap kontrol sosial kekuasaan negara yang besar serta kuat
mengkooptasi warganya. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perlawanan ternyata bukanlah perbedaan ideologi, agama atau suku, melainkan
karena kesulitan, kekurangan, dan frustrasi di bidang ekonomi. Disamping itu,
10
juga karena ketidakpercayaan masyarakat petani terhadap praktik keadilan yang
diatur oleh sistem hukum pemerintah. Konflik kepentingan antara petani dengan
pemerintah ini, tidak dapat diselelsaikan secara musyawarah dan mufakat, tetapi
berhenti karena waktu.
Mengapa petani subak menyelesaikan sendiri persoalan hidup mereka
dengan caranya sendiri. Menurut Lewis Coser, perlawanan bisa menjadi isyarat
atau tanda, betapa masih banyaknya problem dalam sistem sosial yang harus
dikoreksi. Hal-hal yang harus dikoreksi harus dikembalikan pada sistem, struktur
sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang melahirkan situasi negatif yang
kurang manusiawi. Tanda-tanda ini tampak dalam kehidupan masyarakat yang
tidak adil dan hidup terkekang oleh represi pihak yang berkuasa. Tidak
mengherankan jika petani ternyata sangat peka terhadap berbagai masalah seperti
kesenjangan dan ketidakadilan sosial.
Ketidaksiapan sikap mental masyarakat dalam menghadapi dominasi
nilai-nilai budaya progresif, seperti; ideologi kapitalisme, politik, dan ilmu
pengetahuan modern yang dintrodusir pada petani pedesaan, dapat menimbulkan
berbagai tekanan. Misalnya, tekanan psikologis, sosial ekonomi, sosial budaya
yang memungkinkan masyarakat menjadi teralienasi, anomali, bahkan bertindak
beringas, dalam bentuk budaya kekerasan. Dapat dipahami implikasi yang
muncul akibat dari dominasi, hegemoni, dan kekerasan kolektif pemerintah
terhadap kehidupan masyarakat petani di Subak Susuan Karangasem.
11
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat diformulasikan rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Bagaimanakah dinamika bentuk perlawanan petani terhadap gerakan
revolusi hijau di Subak Susuan Karangasem?
2. Ideologi apa yang ada di balik dinamika perlawanan petani di Subak
Susuan Karangasem terhadap revolusi hijau?
3. Bagaimanakah implikasi dinamika perlawanan petani terhadap revolusi
hijau di Subak Susuan Karangasem?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap latar belakang
dinamika perlawanan petani, memahami dinamika bentuk perlawanan petani,
ideologi yang bermain di balik dinamika perlawanan tersebut, dan implikasinya
bagi petani di Subak Susuan Karangasem dalam menghadapi hegemoni
pemerintah yang berkolaborasi dengan pengusaha.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah
secara tuntas.
1. Memahami dinamika bentuk-bentuk perlawanan petani terhadap revolusi
hijau di Subak Susuan Karangasem.
2. Memahami ideologi yang ada di balik dinamika perlawanan petani di
Subak Susuan Karangasem terhadap revolusi hijau.
12
3. Mengetahui implikasi dinamika perlawanan petani terhadap revolusi
hijau di Subak Susuan Karangasem.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara akademis atau teoretis hasil temuan penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi pada khazanah pengetahuan tentang kompleksitas
kehidupan petani dan dapat menyumbang pengembangan ilmu kajian budaya
umumnya dan dalam pengendalian sosial khusunya. Hasil kajian ini juga
diharapkan bermanfaat bagi peneliti lainnya yang tertarik untuk melakukan
penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat
memberikan masukan, sumbangan, dan saran kepada pemerintah sebagai
pengampu kebijakan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Disamping itu,
diharapkan sebagai sumber rujukan alternatif dalam membuat kebijakan publik
dengan mempertimbangkan kearifan lokal pada masyarakat petani pedesaan.