9. supriatna-pattiroy
Post on 22-Oct-2015
25 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PARADIGMA INTEGRATIF-INTERKONEKIF Alternatif Metodologi dalam Penelitian Hukum Islam
Supriatna Ahmad Pattiroy*
ABSTRACT
The scientific orientation of syari’ah faculty, for the time being, focused more on normative than empirical perspective. In accordance with the need to the integrative-interconnective research based university, certainly it is not more relevant. Therefore, the crucial problem must be anticipated is an effort to unify both normative and empirical perspective on the level of methodology. Methodology is meant by the methodology applied in the development of the related science. Usually, it consists of methode, theoritical frame, and form of approach. On the level of this methodology, any number of Islamic Law and sociological theory could be integrated and interconnected. For example, implementing theory of maslahah in ushulfiqh and fungsionalism in socilogy to study on the problem of heritage.
Keywords: paradigma, integratif-interkonektif, penelitian, dan hukum Islam A. Pendahuluan
Paradigma integratif-interkonektif keilmuan UIN telah menjadi ajang diskusi dalam
sejumlah seminar dan lokakarya yang diselenggarakan berkali-kali oleh baik tingkat Universitas
maupun fakultas1. Sebagai trade-mark keilmuan pasca konversi, paradigma integratif-
interkonektif dapat dipandang sebagai cultural identity yang membedakan UIN dengan perguruan
tinggi lainnya. Dalam pengertian ini, UIN bukan sebagai perguruan tinggi umum yang terlepas
*Kedua penulis adalah dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program
Studi Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Asy-Syakhsyiah). 1Di tingkat Universitas, forum seminar yang pernah diadakan adalah Seminar dan
Lokakarya “Reintegrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan di IAIN” pada tanggal 18-19 September 2002; Diskusi Panel “Integrasi Ilmu dan Agama di Perguruan Tinggi” tanggal 20 Desember 2003; Roundtable Discussion dengan tema “Desain Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga : Dari Pola Dikotomik ke Arah Integratif Interdisiplin”, tanggal 28 Juni 2004; dan Seminar “The Idea (L) of an Indonesian Islamic University: Contemporary Perspective” tanggal 9-11 Desember 2004. Sementara di tingkat Fakultas, antaran lain, Fakultas Syari’ah juga
pernah menyelenggarakan seminar sehari “ Mengagas Format Baru Fakultaas Syari’ah dalam Bingkai UIN” tanggal 19 Maret 2005.
2
dari ilmu-ilmu keislaman, seperti UGM, UPN dan semacamnya; juga bukan sebagai perguruan
tinggi agama yang tidak mengakomodir ilmu-ilmu umum, seperti IAIN sebelumnya. Demikian
pula, UIN bukan perguruan tinggi yang sekedar menginterkoneksikan atau mengintegrasikan
ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman melalui pembentukan program studi/fakultas agama
dan program/fakultas umum, seperti UII, UAD dan semacamnya. UIN, sebagaimana dapat
dipahami dalam grand design UIN, adalah perguruan tinggi Islam yang mengintegrasikan atau
menginterkoneksikan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum pada tataran keilmuan,
bukan sekedar menghadirkan program studi/fakultas umum atau mata kuliah umum
berdampingan dengan program studi/fakultas agama. Pola pengintegrasian atau
penginterkoneksian semacam ini justeru sebaliknya bersifat dikotomis.
Pada tataran konsep, paradigma keilmuan integratif-interkonektif –sebagaimana dapat
dipahami dari penjelasan Amin Abdullah2- merupakan bangunan keilmuan universal yang tidak
memisahkan antara wilayah agama dan ilmu. Dalam bangunan keilmuan ini, ilmu pengetahuan
agama (Islam) tidak lagi terpisah secara dikotomis dengan ilmu pengetahuan umum sebagaimana
yang terjadi selama ini. Dalam format keilmuan UIN yang baru, orientasi ilmu pengetahuan
yang ingin ditekankan merupakan perpaduan antara ilmu-ilmu qauliyah/hadharah an-nash (ilmu
yang bekaitan dengan teks kegamaan) dengan ilmu-ilmu kauniyah ijtima’iyah/hadharah al-‘ilm (ilmu
kelaman dan kemasyarakatan) dan ilmu hadaharah al-falsafah (ilmu etika kefilsafatan).
Sedangkan batasan implementasinya menyangkut metodologi dan sistem pembelajaran
di UIN, paling tidak ada tiga buku yang bisa disebutkan, yaitu Universitas Islam Negeri Sunan
2Lihat Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan
Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif-interdisiplinery”. Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panel Refleksi 21 Tahun Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 16 Maret 2004. Juga Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Kerangka Dasar
Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 5
3
Kalijaga, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2004); Kompetensi Program Studi: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005; dan Tim CTSD UIN
Sunan Kalijaga, Sukses di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2005). Namun,
ketiga buku ini –walaupun dipandang cukup representatif- tidak lebih dari sekedar petunjuk
teknis bagaimana menginterkoneksikan dan mengintegrasikan satuan mata kuliah ke dalam
suatu bentuk silabi dan kurikulum. Petunjuk teknis ini pun masih mungkin diperdebatkan,
karena modus interkoneksi yang ditekankan lebih mengarah pada aspek materi pembelajaran,
sementara aspek metodologi sebagai suatu perspektif studi, yang merupakan sifat dasar
terpenting sebuah ilmu, cenderung belum menunjukkan kejelasan.
Sifat dasar dari ilmu pengetahuan adalah kepastian obyeknya, baik obyek formal (obiectum
matriale, formal obyect) maupun obyek material (obiectum materiale,, material obyect) (Young, 1960: 18;
juga Pudjawiyatna, 1967: 29). Obyek formal adalah perangkat metodologi yang digunakan
sebagai perspektif kajian; sedangkan obyek material adalah persoalan dari sasaran obyek kajian.
Sehubungan dengan sifat dasar ilmu pengetahuan ini, permasalahan epistemologis yang patut
dicermati dalam kerangka paradigma interkoneksitas keilmuan UIN di atas adalah pada aspek
apa dari kedua ilmu pengetahuan (Agama dan umum) dapat dinterkoneksikan dan
diintegrasikan?, aspek metodologi sebagai perspektif studi (obyek formal) atau aspek materi
sebagai obyek studi (obyek material)? Pertanyaan ini patut menjadi catatan dalam kerangka
penekanan batasan paradigma interkoneksitas yang terkait dengan implementasi
metodologisnya.
Barangkali pemaknaan yang lebih tepat bagi integrasi-interkoneksi keilmuan di atas
adalah perpaduan antara ilmu keislaman dengan ilmu umum pada aspek metodologi, yakni
4
obyek formanya. Sebab, jika interkoneksi atau integrasi dimaksudkan pada aspek materinya,
dalam pengertian bahwa materi keislaman dilihat sebagai fenomena umum yang dapat dikaji
sebagaimana perspektif ilmu-ilmu umum memperlakukan obyek kajiannya, maka yang tampak
kemudian adalah bangunan ilmu-ilmu umum yang mengkaji masalah keislaman tetapi diklaim
sebagai ilmu pengetahuan Islam. Kasus ekonomi Islam, sosiologi Islam dan sebagainya,
misalnya, terlampau dini untuk menyebutnya sebagai ilmu pengetahuan Islam kalau ukurannya
sebatas materi yang hanya karena menguraikan hal-hal menyangkut kehidupan dan perilaku
sosial-ekonomi masyarakat Islam, tapi alat analisisnya tetap menggunakan sudut pandang
sosiologi atau ilmu ekonomi. Kedua ilmu ini, lebih tepat untuk disebut sebagai sosiologi atau
ilmu ekonomi saja, tidak perlu dengan “embel-embel” Islam. Pola integrasi-interkoneksi
semacam ini menempatkan perspektif ilmu-ilmu keislaman sebagai subordinat dari perspektif
ilmu-ilmu umum. Dengan kata lain, Islam sekedar hanya sebagai objek bukan sebagai ilmu.
Dalam pengertian ini, ilmu-ilmu keislaman yang mengandung nilai normatif-formalistik-
doktrinal dapat disenyawakan dengan ilmu umum yang berkecenderungan sosiologis-historis-
empiris untuk menghasilkan suatu bangunan keilmuan baru. Melalui gabungan kedua perspektif
ilmu ini, baik ilmu Islam maupun ilmu umum tidak saling mensubordinasi tetapi berada dalam
suatu kesatuan atau kesejajaran yang seimbang.
Sehubungan dengan implementasi metodologi berbasis paradigma integrasi-interkoneksi
ini, salah satu permasalahan yang patut dicermati dalam tulisan ini adalah bagaimana mendisain
suatu model perspektif yang applicable untuk dijadikan sebagai alternatif pedoman dalam
penelitian hukum Islam? Permasalahan ini diajukan, oleh karena riset atau kajian hukum Islam,
yang paling tidak dapat dicermati dari pedoman skripsi mahasiswa, hingga saat ini belum
mengalami perubahan dan penyesuaian menurut format metodologi paradigma integratif-
5
intekonektif. Secara garis besar, format metodologi yang terdapat dalam pedoman skripsi
mahasiswa ini masih kental menggunakan perspektif ilmu-ilmu keislaman (Syari’ah), sedangkan
perspektif ilmu-ilmu umum, semacam sosiologi dan humaniora, hampir tidak tersentuh sama
sekali. Kenyataan ini, tentu saja, merupakan hambatan serius bagi perwujudan paradigma
keilmuan UIN tersebut. Atas dasar pemikiran di atas, tulisan ini merupakan upaya eksploratif
untuk meredisain sebuah model metodologi penelitian hukum Islam dalam bingkai paradigma
integratif-interkonektif, yang dapat dijadikan sebagai alternatif pedoman skripsi, khususnya,
mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Gagasan tentang integrasi dan interkoneksi ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum bukan merupakan fenomena baru dalam khazanah epistemologi keilmuan
Islam. Pada asasnya, Islam memang tidak mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.
Pada era golden age (masa keemasan) Islam periode Abbasyiah, kedua ilmu pengetahuan ini tetap
terintegrasi hingga kemudian dibuyarkan oleh redupnya dinamika peradaban Islam menyusul
terjadinya spesialisasi ilmu pengetahuan modern yang bersembunyi di balik politik kolonialisasi
dan imperialisasi dunia Islam (Lihat Nasr, 1987: 20-21; juga Rahman, 1982: 68-70). Pada era
modern Islam pasca kolonial hingga sekarang, gagasan ilmu pengetahuan yang integratif
bergaung kembali dalam berbagai konsep, semisal islamisasi ilmu pengetahuan (science)
(Mulyanto, 1991: 19; juga Priyono, dkk., 1985), saintifikasi al-Qur’an, obyektifikasi ajaran Islam
(Koentowijoyo, 1984: 338), dan sebagainya. Keseluruhan konsep ini, grand theme sebenarnya
menghendaki atau mengidealkan ilmu pengetahuan Islam tidak sekedar menjadi media dakwah,
tapi dikembalikan kepada keotentikannya sebagai sistem ilmu pengetahuan yang memiliki fungsi
transfomatif dan responsif terhadap isu-isu modern sejalan dengan tuntutan kebutuhan aktual
6
masyarakat (Meuleman, 2000: 43).3 Realitas historis-sosiologis ini pula yang mengilhami
tuntutan pelaksanaan konversi IAIN menjadi UIN dengan orientasi keilmuan yang terpadu
antara ilmu agama dengan ilmu umum.
Perpaduan itu berlangsung, baik pada tataran obyek formal maupun obyek material.
Pada tataran obyek formal, unsur perpaduannya terkait dengan perihal metodologi (perspektif,
landasan teori dan metode); sementara pada tataran obyek material, unsur perpaduannya
menyangkut obyek kajian (materi atau sasaran pembahasan). Integrasi antara kedua obyek ini
dalam ilmu pengetahuan harus dilakukan secara seimbang. Apabila aspek material lebih
dominan, ada kemungkinan permasalahan keislaman hanya akan menjadi obyek yang dikaji
dengan ilmu umum, sebagaimana terjadi di perguruan tinggi umum; sebaliknya jika aspek formal
lebih dominan, kemungkinan yang terjadi adalah pembahasan fenomena sosial-budaya dari
perspektif ilmu-ilmu keislaman sebagaimana terjadi dalam perguruan tinggi agama (IAIN pra
konversi).
Atas dasar kerangka berpikir tersebut, tulisan ini merupakan upaya untuk melihat
integrasi atau interkoneksi ilmu Syari’ah (Hukum Islam) dengan ilmu umum, khususnya rumpun
ilmu sosial (Ilmu Hukum, Sosiologi, Antropologi dan sebagainya) pada tataran obyek formal,
3Sebagaimana Meuleman, Atho Mudzhar menyoroti tentang orientasi keilmuan IAIN/UIN yang
berada di antara dua kebutuhan paradoksal, yaitu tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan Islam dan kepentingan dakwah. Dalam prakteknya, menurutnya, kebutuhan terhadap kepentingan dakwah justeru lebih mengemuka. Konsekuensinya, para akademisi/dosen yang lahir dari format keilmuan semacam itu tampak lebih menampilkan sosok seorang da’i ketimbang seorang ilmuwan. Fenomena ini dapat dilihat dari metode dan kerangka epistemologi yang diterapkan oleh sebagian besar akademisi/dosen IAIN/UIN dalam menyampaikan materi kuliah atau menyusun karya ilmiah. Paradoks antara dua kepentingan ini harus ditempatkan pada posisi yang proporsional dalam pengembangan IAIN/UIN ke depan sebagai lembaga ilmu pengetahuan Islam. Tapi di sisi lain, lanjut Mudzhar, dengan perkembangan keilmuan yang tampak semakin saintifik saat ini, harapan IAIN/UIN akan berkiprah sebagai lembaga pendidikan tinggi ketimbang lembaga dakwah akan menjadi kenyataan. Lihat Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam DEPAG RI, 2000) hlm.71
7
yaitu pada aspek metodologi. Penekanan pada aspek metodologi ini dilakukan untuk membatasi
keruwetan definisi konsep integrasi-interkoneksi ilmu itu sendiri, berikut pola penerapannya
yang hingga saat ini perdebatannya masih alot4. Tanpa harus melibatkan diri dalam perdebatan
itu, barangkali model integrasi-interkoneksi yang diacu dalam tulsan ini adalah integrasi-
interkoneksi antara ilmu agama dan umum pada aspek metodologi sebagaimana digambarkan
sebelumnya. Integrasi-interkoneksi itu dimaknai sebagai suatu bentuk pemaduan yang tidak
harus berarti penyatuan atau bahkan pencampuradukan (Lihat Baqir, 2005 : 19).
B. Penelitian Berbasis Paradigma Integratif-Interkonektif
1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian (research) adalah cara yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk memperoleh
penjelasan mengenai suatu masalah dengan menggunakan metode atau teori ilmiah. Dengan
kata lain, penelitian ilmiah adalah suatu kegiatan sistematik dan obyektif untuk mengkaji suatu
masalah dalam upaya menemukan pemahaman tentang prinsip-prinsip mendasar dan berlaku
umum bagi masalah tersebut (Suparlan, 1997). Penelitian tidak sistematik dan bersifat subyektif
(sarat dengan muatan emosi dan perasaan peneliti sebagaimana dilakukan kalangan awam) tidak
dapat dikatakan penelitian ilmiah meskipun menggunakan metode tertentu.
Upaya mengkaji suatu masalah secara umum dikenal dua model paradigma berpikir,
yaitu positivisme dan fenomenologi. Positivisme, pada dasarnya, cenderung menganggap suatu
masalah yang diamati, dalam hal ini, fenomena sosial hanya bisa dijelaskn dari sisi fakta semata.
Fenomena sosial tersebut mempengaruhi tingkah laku manusia. Bertolak dari suatu asumsi,
4Barbour (2000) memetakan empat tipologi hubungan ilmu (science) dan agama, yaitu
konflik, interdependensi, dialog, dan integrasi. Lihat Baqir, ed., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi ( Jakarta : Mizan Pustaka, 2004).
8
aliran positivis menyusun hipotesis tentang gejala sosial tertentu lalu mengujinya dengan
mencari fakta. Melalui survei fakta-fakta yang ada, biasanya direduksi dalam sistem nilai atau
angka-angka dengan bantuan analisis statistik. Fakta-fakta yang diperoleh dihubungkan dengan
gejala sosial yang diasumsikan kecenderungannya. Adapun fenomenologi cenderung
memandang suatu masalah, dalam hal ini, tingkah laku manusia (apa yang dipikirkan, diucapkan
dan diperbuat) sebagai produk bagaimana seseorang mengartikan dan menginterpretasikan
dunianya. Cara pandang ini merupakan upaya untuk memahami tingkah laku manusia dari sisi
orang yang melakukannya. Fenomenologi mempelajari tingkah laku manusia dengan melihat
dunia yang dialami subyek sebagai fenomena. Aliran ini berusaha mendalami bagaimana dan
mengapa seseorang atau sekelompok orang pada setting tertentu berperilaku tertentu melaui
pendekatan holistik. Informasi dikumpulkan selengkap mungkin dalam bentuk deskriptif-
kualitatif.
Singkatnya, perbedaan mendasar dari kedua aliran ini bertumpu pada pertanyaan apakah
persoalan yang diamati itu, dalam pengertian tingkah laku manusia, dianggap obyek atau subyek.
Kalangan positivis menegaskannya sebagai obyek oleh karena faktual, sementara kalangan
fenomenologi menjawabnya sebagai subyek karena manusia adalah subyek berpikir, berperasaan
dan berperilaku yang berbeda dengan benda mati. Bantahan keras yang pernah dilakukan oleh
pendukung fenomenologi menyatakan bahwa teori sosial yang ditarik dari metode positivis tidak
merefleksikan kerja ilmiah sebenarnya, terlebih karena tidak menjaring pengetahuan sebenarnya
tentang hakekat aktivitas manusia. Meskipun kritik keras itu dilontarkan, metode ilmiah positivis
hingga kini masih tetap berperan dengan catatan munculnya kesangsian dari sejumlah ilmuan
belakangan ini. Konflik internal kedua aliran ini dapat dicermati lebih spesifik terhadap konflik
wacana modernisme dan posmodernisme.
9
Atas dasar perbedaan cara pandang terhadap sasaran pengamatan di atas, melahirkan
dua tipologi pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Pendekatan kuantitatif direpresentasikan oleh cara pandang positivis sementara pendekatan
kualitatif direpresentasikan oleh aliran fenomenologis. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif
atau yang lazim disebut dengan penelitian survei mengandalkan penggalian data atau informasi
dari responden di lapangan melalui instrumen yang disebut kuesioner secara sampling
(Singarimbun dan Sofyan Efendi (ed.), 1985, Dove. Michel R., 1982). Responden diminta untuk
memberi respon terhadap stimulus yang diajukan peneliti dalam kuesioner. Data-data yang telah
dikumpulkan, diubah dalam bentuk angka-angka melalui analisis statistik untuk kemudian ditarik
generalisasi empiris. Keunggulan penelitian survei telah dibuktikan oleh para peneliti yang
menggunakan pendekatan tersebut. Survei diminati karena relatif lebih mudah dikerjakan dan
tidak memakan waktu lama. Untuk penelitian tim, proses penelitian dapat didistribusikan
dengan tegas kepada masing-masing anggota. Olehkarena informasi diperoleh dari responden,
peneliti tidak perlu meluangkan waktu yang banyak hidup bersama masyarakat di lokasi
penelitian. Biasanya survei digunakan untuk studi makro yang relevan untuk kepentingan praktis
dan sasaran luas seperti kebijakan-kebijakan pembangunan semacam jajak pendapat mengenai
keikutsertaan dalam program Keluarga Berencana (KB).
Di tengah maraknya penelitian survei yang mengandalkan data kuantitatif, muncul
keraguan dari beberapa kalangan terhadap kemampuannya menganalisis setiap gejala sosial-
budaya dalam masyarakat. Para kritikus melihat bahwa survei hanya tepat digunakan untuk studi
tentang tingkah laku yang observable, sementara gejala yang hidup di alam pikiran manusia yang
tidak dapat diamati jauh lebih kompleks. Contoh klasik adalah kelemahan penelitian Durkheim
tentang hubungan antara gejala bunuh diri dengan integritas sosial. Durkheim melihat bahwa
10
orang Protestan mempunyai tingkat bunuh diri yang lebih tinggi dibanding dengan orang
Katolik karena tingkat integritas sosial kalangan Protestan yang rendah. Namun Durkheim tidak
menyadari bahwa di kalangan orang Katolik terdapat norma (entitas yang tidak dapat diamati)
atau etika untuk tidak memberitahu kepada khalayak bahwa seorang kerabat telah meninggal
karena bunuh diri. Sikap normatif tersebut memang menjelaskan angka bunuh diri di kalangan
orang Katolik lebih rendah. Survei Durkheim ini telah memaksakan konsep untuk memahami
gejala bunuh diri.
Selain kelemahan di atas, survei ternyata tidak banyak menghasilkan teori tetapi lebih
banyak dilakukan untuk mengevaluasi implikasi teori terhadap penelitian sebelumnya dalam
menerangkan gejala sosial. Tampaknya hanya tepat untuk penelitian eksplanasi yang bertujuan
menjelaskan, bukan eksploratif yang bertujuan menjajagi, padahal ilmu pengetahuan dapat
berkembang melalui penelitian penjajagan dan kemudian diadakan penelitian penjelasan.
Penelitian terhadap gejala obyek yang masih baru lebih tepat dilakukan melalui penelitian
eksploratif dan tentunya menggunakan pendekatan kualitatif (Hudayana, 1998).
Idealnya, kelemahan metode kuantitatif dilengkapi oleh metode kualitatif. Penelitian
dengan pendekatan kualitatif menekankan perolehan data/informasi dari informan di lapangan
melalui wawancara dan pengamatan langsung tanpa kuesioner sebagaimana dilakukan dalam
pendekatam kuantitatif. Data yang diperoleh tidak diolah dengan statistik, grafik atau tabel tetapi
dideskripsikan secara kualitatif untuk menemukan makna di balik peristiwa. Data atau informasi
tersebut, berisi rincian hal-hal tentang pandangan hidup dan kehidupan masyarakat secara
umum yang diperoleh dari subyek penelitian itu sendiri. Hal ini membedakannya dengan
metode kuantitatif di mana informasi data diperoleh atas dasar pertanyaan yang telah disusun
oleh peneliti. Responden tidak diberi kebebasan mengekpresikan pengalamannya kecuali hanya
11
terbatas pada plot wawancara yang tertuang dalam kuesioner. Keseluruhan informasi kualitatif
di atas, dijaring dan dianalisis agar peneliti memperoleh verstehen (pengertian sebenarnya) tentang
masalah yang diteliti.
Pemilihan metode pendekatan dalam penelitian sosial, kualitatif atau kuantitatif, tidak
ditentukan oleh persoalan like and dislike, unggul atau tidak unggul, reliable atau unreliable, tapi
lebih ditentukan oleh kebutuhan. Pilihan, sebenarnya, tidak ditentukan oleh si peneliti melainkan
oleh permasalahn penelitian. Dalam konteks kebutuhan tertentu, metode kualitatif bisa memiliki
validitas lebih rendah dibanding dengan metode kuantitatif; dan sebaliknya dalam konteks
kebutuhan lain, metode kuantitatif justeru lebih unggul dibanding dengan metode kualitatif. Jika
penelitian dimaksud untuk memahami persoalan wawasan keagamaan, orientasi politik, world-
view, termasuk tradisi, norma, hukum, nilai dan sebagainya, barangkali tidak tepat menempatkan
pilihan pada pendekatan kuantitatif; tetapi jika persoalan menyangkut persepsi tentang KB,
respon terhadap efektivitas menabung di BMT, prestasi belajar anak didik dan sebagainya,
mungkin lebih tepat menjatuhkan pilihan pada kemampuan mengukur metode kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif atau kualitatif masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan yang
tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi justeru dipadukan.
Selain model paradigma dan tipologi di atas, penelitian juga dibedakan menurut orientasi
pemikiran yang ditekankan. Orientasi penelitian ilmiah seringkali dikontraskan antara penelitian
normatif-deduktif dengan empiris-induktif. Penelitian berorientasi normatif-deduktif adalah
penelitian yang menekankan pada kecenderungan untuk melihat sebuah obyek penelitian dalam
tataran kesimpulan yang bersifat dassein, yaitu “bagaimana seharusnya”. Sebaliknya, penelitian
yang berorientasi empiris-induktif adalah penelitian yang menekankan pada kecenderungan
untuk melihat fenomena dalam kesimpulan yang bersifat dassollen, yaitu “apa adanya”. Orientasi
12
penelitian pertama, umumnya dilakukan dalam suatu penelitian yang berkecenderungan
doktrinal, sementara yang kedua lazim dilakukan dalam suatu penelitian berkecenderungan
sosiologis-antropologis. Dari kedua orientasi penelitian ini, kemudian melahirkan dua jenis
penelitian, yaitu penelitian murni atau dasar (theoritical resarch) dan penelitian terapan (applaid
research). Penelitian murni atau dasar diselenggarakan dalam rangka menemukan, memperluas,
atau mengembangkan teori-tori atau prinsip-prinsip dasar dan umum dalam suatu bidang ilmu.
Teori-teori atau prinsip-prinsip dasar dan umum yang telah ditemukan itu, selanjutnya dapat
menjadi bahan baku dalam penelitian terapan. Adapun penelitian terapan diselenggarakan dalam
rangka pemecahan masalah aktual (nyata) dalam kehidupan berdasarkan teori atau prinsip dasar
yang terdapat dalam suatu bidang ilmu (Haidar, 2001).
Dalam penelitian hukum, kecenderungan teoritis dan normatif dapat disebut sebagai
jenis penelitian yang melihat hukum dalam konteks law-in-books, yaitu suatu penelitian yang
melihat hukum sebagai fenomena normatif dalam rangka pencarian atau penemuan asas dan
doktrin hukum; sementara kecenderungan terapan yang bersifat sosiologis dapat dipahami
sebagai model penelitian yang melihat hukum dalam kerangka law-in-action, yaitu suatu penelitian
yang melihat hukum sebagai fenomena sosial. Studi hukum dalam tataran normatif disebut
sebagai penelitian hukum normatif, sementara dalam tataran sosial disebut sebagai penelitian
hukum sosiologis dalam rangka pemahaman dan pemecahan berbagai masalah hukum dan
norma dalam kaitannya dengan faktor sosial yang mempengaruhi (Soemitro, 1983). Kedua jenis
penelitian, yaitu penelitian murni atau dasar (theoritical research) yang berorientasi normatif dan
penelitian terapan (applaid research) yang berorientasi empiris, seyogyanya tidak terpisah dan
dipertentangkan, tapi berada dalam suatu bangunan metodologi yang integratif dan
interkonektif.
13
Dari ketiga pembedaan di atas, persoalan terpenting dari sebuah penelitian adalah
penggunaan teori atau paradigma, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam menganalisis
suatu masalah. Baik penelitian kuantitatif maupun kualitatif, berorientasi normatif atau
sosiologis, kredibilitasnya sangat ditunjang oleh ketepatan teori atau perspektif teoritis yang
digunakan. Teori atau perspektif teoritis menentukan arah analisis yang ingin ditekankan. Dalam
khazanah penelitian sosial dikenal berbagai macam paradigma, seperti fungsionalisme,
strukturalisme, strukturalisme-fungsional, interaksionisme simbolik, fenomenologi, hermenetik,
posmodernisme, dan sebagainya. Pilihan terhadap berbagai paradigma atau perspektif teoritis ini
menjelaskan sifat penelitian yang ingin dikedepankan. Sifat penelitian itu bisa berbentuk
deskriptif, eksplanatif, evaluatif, prediktif, atau berupa eksploratif (Lihat Singarimbun dan
Effendi, ed., 1989).
Bertolak dari uraian di atas, ada empat hal penting yang patut dicermati dalam
memahami sebuah bagunan metodologi yang integratif dan interkonektif. Keempat hal tersebut
adalah klasifikasi dikotomis yang selama ini diintrodusir dalam penelitian ilmiah menyangkut
orientasi, paradigma, tipologi penelitian dan jenis penelitian. Orientasi penelitian ilmiah,
sebagaimana digambarkan, seringkali didikotomikan antara penelitian normatif-deduktif dengan
empiris-induktif, kontras antara paradigma penelitian positivistik dengan fenomenologi,
pembedaan antara tipologi penelitian kuantitatif dan kualitatif, serta pemilahan antara penelitian
dasar dan terapan. Pendikotomian keempat hal dalam penelitian ini telah menjadi ketentuan
baku sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat dewasa ini, yang
sebenarnya tidak dikenal dalam struktur keilmuan Islam (Lihat Nasr, 1987). Upaya membangun
sebuah kerangka metodologi yang integratif-interkonektif, sebagaimana diidealkan dalam model
14
keilmuan UIN Sunan Kalijga, pendikotomian keempat aspek di atas seharusnya diakhiri untuk
tidak mengunggulkan antara satu dengan lainnya.
15
2. Pola Penelitian Integratif-Interkonektif
Dalam sejumlah terbitan yang dikeluarkan oleh pihak manajemen pengembangan UIN,
paradigma integratif-interkonektif merupakan sebuah gagasan konseptual yang
mengidealisasikan hubungan terpadu antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum.
Paradigma ini lahir dari sebuah keprihatinan terhadap kesenjangan keilmuan IAIN/UIN selama
ini yang bersifat dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum. Kedua wilayah ilmu pengetahuan
itu tidak saling berkait dan “saling menyapa” satu sama lain; bahkan ilmu umum cenderung
dipandang “barang asing” yang tidak memiliki relevansi dengan disiplin ilmu keagamaan di
IAIN/UIN. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, gagasan tentang integrasi dan interkoneksi
antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum bukan merupakan fenomena baru
dalam khazanah epistemologi keilmuan Islam. Karena, Pada dasarnya, Islam memang tidak
mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.
Jika ditelususri lebih jauh, gagasan tentang integrasi-interkoneksi antara ilmu agama
dengan ilmu umum ini sebenarnya tidak lepas dari rangkaian panjang pergulatan aktualiasasi diri
umat Islam terhadap proses modernisasi dunia yang tengah berlangsung dalam skala global.
Islam dan tantangan modernitas merupakan tema paling menonjol dalam agenda pembaharuan
pemikiran Islam yang didengungkan oleh para mujaddid Islam sepanjang sejarah. Kekuatan tema
ini terutama berkaitan erat dengan realitas kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dalam
berbagai aspek kehidupan vis a vis kemajuan dunia Barat. Salah satu fokus garapan para
pembaharu dalam proses modernisasi Islam adalah bidang pendidikan. Dalam segala aspek,
bidang pendidikan ini dipandang sebagai sektor paling terbelakang yang menghambat laju
percepatan modernisasi di dunia Islam, akibat pola pikir umat yang terkondisikan oleh anggapan
bahwa antara agama yang bersumber dari wahyu dan sains yang bersumber dari hasil pikiran
16
manusia merupakan dua entitas berbeda yang tidak berkaitan satu sama lain. Akibat pemahaman
terbelah ini, karakter pendidikan Islam yang semula tidak memisahkan antara kebutuhan
terhadap agama dan ilmu, iman dan amal, serta dunia dan akhirat lalu kemudian mengalami
kejumudan yang berdampak pada penjajahan dunia Islam atas supremasi Barat. Dalam
keyakinan para pembaharu sepanjang abad, reformasi dunia Islam harus dimulai dari ranah
pendidikan ini, baik sistem dan orientasi metodologi maupun format kelembagaan. Realitas
historis-sosiologis ini pulalah yang mengilhami tuntutan pelaksanaan konversi IAIN menjadi
UIN dengan orientasi keilmuan yang integratif-interkonektif antara ilmu agama dengan ilmu
umum.
Pada prinsipnya, sifat dasar dari ilmu pengetahuan adalah kepastian obyeknya, baik
obyek formal (obiectum matriale, formal obyect) maupun obyek material (obiectum materiale,, material
obyect) (Young, 1960: 18; juga Pujawiyatna, 1967: 29). Obyek formal adalah perangkat
metodologi yang digunakan sebagai perspektif kajian; sedangkan obyek material adalah
persoalan dari sasaran obyek kajian. Sehubungan dengan sifat dasar ilmu pengetahuan ini,
permasalahan epistemologis yang patut dicermati dalam kerangka paradigma integratif-
interkonektif keilmuan UIN di atas adalah perpaduan antara ilmu keislaman dengan ilmu umum
pada aspek metodologi, yakni obyek formanya. Sebab, jika integrasi-interkoneksi dimaksudkan
pada aspek materinya, dalam pengertian bahwa materi keislaman dilihat sebagai fenomena
umum yang dapat dikaji sebagaimana perspektif ilmu-ilmu umum memperlakukan obyek
kajiannya, maka yang tampak kemudian adalah bangunan ilmu-ilmu umum yang mengkaji
masalah keislaman tetapi diklaim sebagai ilmu pengetahuan Islam.
Pemahaman integrasi-interkoneksi ilmu agama dan ilmu umum pada tataran obyek
forma di atas, ilmu-ilmu keislaman yang mengandung nilai normatif-formalistik-doktrinal dapat
17
disenyawakan dengan ilmu umum yang berkecenderungan sosiologis-historis-empiris untuk
menghasilkan suatu bangunan keilmuan baru. Melalui gabungan kedua perspektif ilmu ini, baik
ilmu Islam maupun ilmu umum, tidak saling mensubordinasi tetapi berada dalam suatu
kesatuan yang seimbang. Dari sinilah kemudian dapat dipahami menyangkut paradigma
integratif-interkonektif sebagaimana akan dipaparkan dalam tulisan ini. Dengan demikian,
paradigma integratif-interkonektif yang dimaksud adalah sebuah hubungan keilmuan yang
terpadu antara ilmu agama dan ilmu umum pada tataran obyek formal di mana antara kedua
ilmu yang substansinya berbeda ditempatkan pada posisi tidak saling mensubordinasi.
Sejalan dengan pemahaman terhadap paradigma integratif-interkonektif, sebagaimana
disebutkan sebelumnya, metodologi penelitian yang patut didesain oleh fakultas Syari’ah dengan
disiplin ilmu hukum Islam yang dimiliki adalah rumusan metodologi penelitian yang terpadu
antara ilmu syari’ah dan ilmu umum (sains, ilmu sosial, dan humaniora) pada level obyek formal.
Pada level ini, kedua ilmu yang substansinya berbeda ini dapat diintegrasikan atau
diinterkoneksikan dalam suatu kerangka metodologi yang komprehensif. Pada level obyek
material, gabungan kedua ilmu ini melalui metodologi integratif-interkonektif yang dimiliki bisa
saja memilih obyek bahasannya secara bebas tanpa memunculkan saling klaim.
Pada level obyek material, selama ini fakultas Syari’ah yang menspesialisasikan studinya
pada Ilmu Hukum Islam telah memperlakukan obyek kajiannya secara tepat terhadap berbagai
fenomena kehidupan nyata yang tidak hanya terbatas dalam masalah keagamaan, tetapi juga
masalah sosial lainya yang menjadi obyek bahasan ilmu lain, seperti transplantasi organ tubuh,
bayi tabung, dan sebagainya yang menjadi obyek bahasan ilmu kedokteran; demikian pula
masalah perbankan dan sistem moneter yang menjadi obyek kajian ilmu ekonomi. Namun pada
level obyek formal, sehubungan dengan tuntutan transformasi keilmuan UIN yang berbasis
18
paradigma integratif-interkonektif, kajian fakultas Syari’ah tersebut masih bertumpu pada
perspektif metodologi Ilmu Hukum Islam ansich yang belum diintegrasikan dengan perspektif
teori ilmu-ilmu umum lainya, sehingga karenanya bersifat dikotomis. Pola kajian fakultas
Syari’ah semacam ini hanya dimungkinkan ketika orientasi keilmuan dan sistem pembelajaran
masih mengikuti format kelembagaan IAIN sebelumnya. Tetapi dengan konversi IAIN ke UIN
saat ini, pola kajian fakultas Syari’ah yang hanya berlandaskan atas perspektif metodologi Ilmu
Hukum Islam tanpa melibatkan perspektif teori ilmu-ilmu umum lainya menjadi tidak relevan.
Pola dikotomis, khususnya pada aspek orientasi, paradigma, dan tipologi penelitian,
tampak masih sangat kental. Pada aspek orientasi, misalnya, kecenderungan normatif-deduktif
tampak lebih mendominasi keseluruhan studi ketimbang analisis yang bersifat empiris-induktif.
Alasan yang seringkali dikemukakan bahwa hukum Islam adalah ilmu normatif yang steril dari
berbagai persoalan empiris-sosiologis. Padahal eksistensi hukum Islam juga tidak terlepas dari
ruang waktu di mana dan kapan produk hukumnya dilahirkan (Tagayyur al-Ahkam bi Tagayyur al-
Azminah wa al-Amkinah).
Pola dikotomis di atas terjadi karena selama ini kecenderungan keilmuan fakultas
Syari’ah menganut sistem klasifikasi metode penelitian hukum berkecenderungan teoritis dan
berkecenderungan terapan, sebagaimana diakomodir dalam metode penelitian hukum positif.
Metode penelitian hukum berkecenderungan teoritis dapat disebut sebagai jenis penelitian yang
melihat hukum dalam konteks law-in-books, yaitu suatu gejala normatif berupa kumpulan norma
yang mengatur hubungan antara individu dalam masyarakat. Sementara studi hukum yang
berkecenderungan terapan atau aplikatif dapat dipahami sebagai model penelitian yang melihat
hukum dalam kerangka law-in-action, yaitu suatu fenomena sosial berupa interaksi antara norma-
norma dalam masyarakat dengan faktor sosial yang mempengaruhi (Soemitro, 1983: 14).
19
Dengan kata lain, studi hukum sebagai law-in-books disebut penelitian hukum normatif,
sementara sebagai law-in-action disebut penelitian hukum sosiologis (Marzuki, 2005: 24).
Sejatinya, kedua kecenderungan metode penelitian ini tidak dipisahkan atau dikonfrontasikan
meskipun memang bisa dibedakan. Kedua kecenderungan metode penelitian ini dapat
dipadukan dalam suatu analisis masalah hukum. Perbedaannya hanya tergantung pada
penekanan paradigma yang ingin dikedepankan, sehingga tidak tepat untuk dikatakan penelitian
ini bersifat teoritis atau terapan. Sedapat mungkin, keduanya harus saling melengkapi dalam
membangun suatu metode yang integrated. Tidak ada aturan, kaidah atau rumusan hukum tanpa
materi atau bahan sosial-budaya yang membentuknya.
Pada prinsipnya, kedua kecenderungan tipologi penelitian hukum ini memang cara
kerjanya berbeda5. Namun jika tidak diupayakan penyatuannya maka selama itu pula penelitian
hukum teoritis tetap saja bersifat normatif yang terlepas dari konteks sosial-empiris. Demikian
pula, penelitian hukum sosiologis akan tetap berkecenderungan terapan tanpa memperhatikan
aspek normatif yang menjadi karakter sebuah ilmu hukum. Pada ujungnya, keduanya berjalan
sendiri-sendiri dalam pola konfrontatif yang berkepanjangan menurut keunggulan masing-
masing. Mungkin atas dasar ini pula, Coulson (1969: 58) kemudian pernah menyatakan bahwa
“konflik dan ketegangan antara teori dan praktek dalam sejarah hukum Islam masih sulit
diakhiri”. Tak lain karena kajian hukum Islam selama ini lebih terfokus pada ranah law in book
daripada law in action. Padahal kedua model penelitian hukum ini –baik normatif maupun
5Penelitian hukum teoritis-normatif dilakukan dengan tahapan metode inventarisasi
hukum, pencarian atau penemuan asas dan doktrin hukum, serta penentuan hukum klinis atau konkrit (inconcreto). Adapun penelitian hukum terapan-sosiologis dilakukan dengan cara memandang hukum itu sebagai independent variable yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai aspek kehidupan, atau sebagai dependent variable yang timbul akibat resultante dari sejumlah kekuatan dalam masyarakat. Pada model penelitian hukum sosiologis ini, metode yang dapat
diterapkan adalah metode dokumentasi, observasi, ekperimen, atau survei. Lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 14-15
20
sosiologis- sama memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga meniscayakan untuk dipadukan.
Jembatan integrasi dan interkoneksinya terletak pada ketepatan paradigma, teori, perspektif atau
kerangka pikir yang digunakan. Dengan kata lain, integrasi-interkoneksi kedua kecenderungan
metode penelitian yang berbeda di atas berada pada level obyek formal, bukan obyek material.
Kesulitan pemaduan antara studi hukum sebagai law-in-books yang berorientasi normatif-
doktrinal dengan studi hukum sebagai law-in-action yang berkecenderungan sosiologis-empiris
dalam pengembangan kajian keilmuan hukum Islam, menurut analisis al-Jabiri (1991), tak lain
karena “secara umum struktur berpikir umat Islam selama ini bercorak dikotomis-atomistik”.
Model berpikir ini lahir dari ketimpangan aplikasi epistemologi antara aspek bayani, irfani, dan
burhani sebagai unsur fundamental dari struktur epistemologi keilmuan Islam. Epistemologi
bayani merupakan pola pikir yang berkembang dalam fiqh dan kalam dengan penekanan sumber
pengetahuan pada teks (nash), sedangkan epistemologi irfani merupakan pola pikir yang
berkembang dalam tasawuf dengan penekanan sumber pengetahuan pada pengalaman langsung
(direct experience). Adapun epistemologi burhani merupakan pola pikir yang berkembang dalam
falsafah dengan penekanan sumber pengetahuan pada realitas (alam, soaial, ataupun keagamaan).
Dalam berbagai tataran kehidupan, sejak pasca era keemasan Islam yang diikuti dengan era
closing the gate of ijtihad, pola pikir bayani demikian mendominasi dan menghegemoni tradisi
berpikir umat Islam. Bahkan hingga dewasa ini, menurut Abdullah (2001), corak berpikir bayani
masih kukuh mencengkeram sistem pemikiran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan,
termasuk bidang pendidikan seperti di STAIN/IAIN/UIN. Corak berpikir bayani yang
hegemonik cenderung bersifat rigid, kaku, dan tekstual serta sulit memberi ruang dialog kepada
epistemologi irfani, dan burhani. Bahkan, keberadaan kedua epitemologi seringkali dicurigai
sebagai infiltrasi unsur asing yang menyuburkan praktek bid’ah di kalangan umat Islam.
21
Sebenarnya, ketiga cluster sistem epistemologi ini berda dalam satu rumpun teori, tetapi dalam
prakteknya hampir-hampir tidak pernah mau akur, bahkan tidak jarang saling mendiskreditkan,
kafir mengkafirkan, murtad-memurtadkan, dan sekuler mensekulerkan antar kalangan
pendukung (Abdullah, 2005). Akibat dari ketimpangan epistemologi ini, otoritas teks yang
dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi fiqh dan usul fiqh klasik lebih diunggulkan daripada
sumber otoritas keilmuan lain, seperti ilmu-ilmu kealaman (kauniyah), akal (aqliyah) dan intuisi
(wijdaniyah). Dominasi pola pikir tekstual-bayani ini telah menyebabkan sistem epistemologi
keilmuan Islam kurang begitu peduli dan terlepas dari isu-isu sosial-keagamaan yang bersifat
kontekstual. Kelemahan paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayani yang tekstual-
skriptualistik tersebut adalah frigiditas paradigma yang ditampilkan ketika harus berhadapan
dengan teks-teks keagamaan komunitas kultur atau bangsa lain yang beragama lain (Esack,
2001). Demikian pula, kelemahannya dalam menjawab persoalan-persoalan global kontemporer
menyangkut pluralisme, HAM dan sebagainya. Dalam berhadapan dengan komunitas agama lain
dan menjawab problem kemanusiaan kontemporer itu, menurut Abdullah (2005), corak
argumen keagamaan model tekstual-bayani biasanya mengambil sikap mental yang bersifat
dogmatik, defensif, apologis, dan polemis. Atas dasar pola pikir tekstual-hegemonik
epistemologi bayani yang diaksentuasikan dalam fiqh dan usul fiqh, kajian hukum Islam mengalami
penyempitan cakupan metodologi yang lebih menfokuskan atau mengunggulkan ranah
penelitian hukum law in book daripada law in action sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Kecenderungan untuk melihat keunggulan kajian hukum Islam sebagai law-in-books yang
berorientasi normatif-doktrinal sebagaimana teraksentuasikan dalam fiqh, daripada studi hukum
sebagai law-in-action yang berkecenderungan sosiologis-empiris, oleh pemikir hukum Islam
kontemporer dipandang sebagai “ketersesatan metodologi” yang harus segera diatasi dengan
22
temuan bangunan metodologi pengkajian hukum Islam yang baru. Fiqh dalam format law-in-
books dinilai sebagai salah satu faktor penyebab kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.
Dalam konteks ini, fiqh misalnya bersikap diskriminatif terhadap non-muslim6, demikian pula
mensubordinassi posisi perempuan7. Sikap diskriminatif fiqh ini sebenarnya bukan karena
karakter ajaran Islam atau al-Qur’an tetapi tafsiran bias dari penafsir.
Oleh karenanya, teks harus dikaji dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap
konteks, demikian slogan reformasi hukum Islam yang senantiasa dikumandangkan oleh para
pemikir kontemporer Islam itu di berbagai belahan dunia Islam. Melalui slogan pembaharuan
hukum Islam itu, upaya reformulasi, rekoseptualisasi, dan reinterpretasi keseluruhan ajaran
Islam, khususnya hukum Islam merupakan tuntutan proyeksi peradaban dunia yang niscaya
untuk tidak ditawar-tawar lagi. Dari proses reformulasi, rekoseptualisasi, dan reinterpretasi itu,
kemudian melahirkan ragam kerangka konsep dan konstruksi metodologi yang dapat
diaplikasikan dalam rangka menjawab berbagai persoalan aktual yang dihadapi umat Islam
dewasa ini dalam lingkup pergaulannya dengan bangsa-bangsa di dunia.
Kecenderungan untuk melihat kajian hukum Islam sebagai law-in-books yang
berorientasi normatif-doktrinal lebih absah dibanding sebagai law-in-action yang
berkecenderungan sosiologis-empiris harus diakhiri dengan menempatkan keduanya dalam
posisi seimbang. Dengan menempatkan kedua orentasi kajian ini pada posisi seimbang
memungkinkan untuk diformulasikan suatu kerangka metodologi hukum Islam yang sui generis
kum empiris (Lihat Safi, 1996). Di antara pemikir muslim yang santer menyuarakan perlunya
6Banyak konsep fiqh yang menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang
umat Islam, sehingga berimplikasi mengexclude atau mendiskreditkan mereka. Lihat Mun’im A. Sirry, ed., Fiqh Lintas Agama (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2004) hlm. ix
7Lihat misalnya Aminah Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman
Perspective (New York: Oxford University Press, 1997); Juga Nasarudin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000).
23
reformasi terhadap Hukum Islam (fiqh dan Usul Fiqh) adalah Hasan Turabi, Fazlur Rahman, dan
Muhammad Shahrur. Langkah awal dari sasaran pembaharuan mereka adalah reformasi
terhadap sumber-sumber hukum Islam, seperti al-Qur’an, Hadis, dan Ushul Fiqh. Turabi (1984)
menilai produk Usul Fiqh tidak lagi relevan untuk kondisi saat ini, dan hanya sesuai untuk
kebutuhan masyarakat ketika ia dirumuskan. Di antara kelemahannya tampak pada orientasinya
yang bersifat tekstual dan lingustic oriented, sehingga cenderung mengabaikan aspek historisitas
teks, dimensi waktu dan tempat (Lihat juga Abu Sulayman, 1994). Senada dengan Turabi,
Shahrur (1990) melalui “teori batas”nya mengkritik rigiditas pemahaman umat Islam terhadap
universalisme al-Qur’an (at-Tanzil al-hakim) yang telah menyebabkan kevakuman hukum Islam
dalam merespon perubahan. Ia kemudian mengusulkan agar hukum Islam hendaknya dibaca
dalam kerangka teori batas tersebut. Menurut Shahrur, universalisme al-Qur’an (at-Tanzil al-
hakim) tidak berarti bahwa seseorang harus menerapkan hukum-hukum yang tertera di dalamnya
secara apa adanya di semua tempat dan segala waktu, tetapi kesesuaian at-Tanzil al-hakim hanya
mungkin jika aturan hukumnya merupakan hududiyah hanifiyah, yaitu terdiri dari batas hukum
fleksibel yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan waktu dan tempat. Dengan demikian,
hukum at-Tanzil al-hakim adalah ladang untuk melakukan ijtihad dan disesuaikan dengan
kondisi-kondisi obyektif yang terdapat dalam komunitas manusia.
Sebagaimana Shahrur, Arkoun (1996) berupaya membongkar bangunan hukum Islam
yang dilihatnya sarat dengan ideologi dominan pada saat itu melalui kerangka analisis
postmodernisme. Ia mengkritik Syafi’i karena telah membakukan sumber hukum Islam sehingga
menjadi sesuatu yang unthinkable. Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam adalah sebuah
teks terbuka, tak staupun penafsiran dapar menutupnya secara tetap dan “ortodoks”. Dengan
kata lain, Arkoun berpendapat bahwa wahyu Ilahi merupakan amanah yang sangat kaya dan luas
24
sehingga dapat diberikan makna konkret dalam sekian keadaan berbeda yang dilalui manusia.
Berbekal kerangka analisis posmodernisme yang di adaptir dari teori episteme-wacana Foucoult
dan teori dekonstruksi Derrida, Arkoun menegaskan perlunya dilakukan pembacaan ulang
terhadap tafsiran teks umat Islam yang terbakukan sepanjang sejarah.
Rahman (1984) juga mendesak agar metode penafsiran al-qur’an yang dibakukan supaya
dirombak. Menurutnya, al-Qur’an harus dipahami dalam konteks masyarakat ketika ia
diturunkan. Dalam penafsiran itu, Rahman menawarkan teori gerak ganda (double-movement).
Teori ini menyatakan bahwa “untuk memahami al-Qur’an, seseorang harus melihat konteks
sejarah dan sosial ketika diturunkan dan kemudian memformulasikan prinsip-prinsip umum dari
tujuan atau sasaran utama yang dimaksudkan oleh suatu ayat. Setelah proses ini selesai, temuan
yang diperoleh dari proses pelacakan sosio-historis itu selanjutnya dikembalikan ke masa
sekarang untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus aktual yang terjadi sekarang”.
Dilatari oleh motivasi intelektual pembaharuan pemikiran Islam, Turabi, Sharur,
Arkoun, atau Rahman melontarkan sinyalemen penting perlunya merekonstruksi perangkat
teoritik hukum Islam yang selama ini dipandang mengandung kelemahan dengan
mengakomodir teori-teori sosial (ilmu umum). Namun gagasan cemerlang ini, sangat
disayangkan, belum memberikan rumusan konkrit menyangkut bagaimana mengaplikasikan dan
menjadikanya sebagai piranti teoritik yang dapat memperkaya perangkat teoritik dalam hukum
Islam secara integratif. Bahkan oleh banyak kalangan, gagasan teoritik mereka itu dinilai sebagai
“benda asing” yang melanggengkan kegagalan paradigma orientalis-Barat dalam mengkaji Islam
(Lihat Syafrin, 2005).
Secara implementatif, barangkali rumusan teoritik yang paling memungkinkan untuk
diakses adalah gagasan Louay Safi (1996). Menurut Safi, dimensi empiris dapat dirumuskan
25
dalam proses kausasi hukum syari’ah dengan memanfaatkan berbagai temuan ilmu pengetahuan
terkait dengan aspek hukum yang dikaji. Langkah-langkah yang harus dilakukan, lanjut Safi,
adalah membuat inferensi tekstual dan historis-empiris terlebih dahulu baru kemudian dianalisis
secara terpadu. Inferensi tekstual dilakukan melalui tahapan prosedur identifikasi pernyataan-
pernyataan, interpretasi pernyataan, eksplanasi pernyataan, derivasi aturan-aturan dan konsep-
konsep umum, serta sistematisasi aturan-aturan dan konsep-konsep yang disimpulkan.
Sedangkan inferensi historis-empiris dilakukan melalui tahapan prosedur identifikasi tujuan-
tujuan dan aturan-aturan tindakan yang dipilih, pengelompokan tindakan sejenis dalam satu
kategori, identifikasi aturan-aturan universal yang menguasai hubungan antar kelompok dan
sistematisasi aturan-aturan universal. Adapun pengintegrasiannya dilakukan dengan tahapan
prosedur analisis terhadap teks dan fenomena hingga pada komponen dasarnya berupa
pernyataan dan perilaku, pengelompokan pernyataan/perilaku serupa dibawah satu kategori,
identifikasi aturan umum dan tujuan-tujuan yang mengendalikan interaksi/interelasi berbagai
kategori, dan sistematisasi himpunan hukum ayang diperoleh melalui prosedur di atas.
Berbagai gagasan teoritik yang ditawarkan oleh sejumlah pemikir hukum Islam
kontemporer di atas, pada prinsipnya dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menyususn
suatu kerangka metodologi yang integratif bagi studi hukum di fakultas Syariah sejalan dengan
paradigma integratif-interkonektif UIN.
26
SKEMA INTEGRATIF-INTERKONEKTIF ANTARA FILSAFAT, ILMU AGAMA, DAN ILMU UMUM
PADA TATARAN OBYEK FORMAL
Obyek Material Obyek Material Obyek Material
Obyek Formal Obyek Formal Obyek Formal
dalam
27
3. Alternatif Metodologi dalam Penelitian Hukum Islam di Fakultas Syari’ah
Sejalan dengan tuntutan kebutuhan terhadap konstruksi metodologi penelitian hukum
Islam yang integratif-interkonektif, problem krusial yang patut menjadi perhatian untuk
diaplikasikan di fakulas Syari’ah adalah aspek paradigma. Dalam metodologi penelitian, istilah
paradigma disebut dalam sejumlah padanan, seperti kerangka teori, landasan pemikiran,
perspektif, kerangka konseptual, atau pendekatan penelitian (research approache) sesuai dengan
pembakuan masing-masing perguruan tinggi. Di fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga,
sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga No. S-22 Tahun 2004
tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Yoygakarta, pembakuannya menggunakan istilah kerangka teoritik. Kerangka teoritik ini
merupakan salah satu komponen metodologi penelitian disamping latarbelakang masalah,
rumusan masalah, studi pustaka, hipotesis dan metode penelitian. Sehubungan dengan sifat
dasar dari ilmu pengetahuan yang memiliki kepastian obyek formal (obiectum matriale, formal
obyect) dan obyek material (obiectum materiale,, material obyect), maka unsur metodologi merupakan
bagian utama dari obyek formal. Sehingga dalam proses integrasi-interkoneksi ilmu pengetahuan
agama dan ilmu pengetahuan umum, sebagaimana diidealisasikan dalam format baru keilmuan
UIN, penekanan terpenting adalah berada dalam ranah metodologi, khususnya komponen
kerangka teoritik.
Gambaran lazim yang berkembang dalam penelitian skripsi mahasiswa fakultas Syari’ah
selama ini, penjabaran kerangka teoritik cenderung lebih diarahkan pada paradigma atau teori
hukum normatif (law in book) dalam mengkaji suatu fenomena hukum daripada perspektif atau
kerangka pikir ilmu sosial-humaniora (law in action). Meskipun tidak diatur secara jelas dalam
pedoman penulisan skripsi mahasiswa, namun konvensi yang berlaku memberikan ketentuan,
28
bahwa kerangka teoritik berisi tentang dalil-dalil atau kaidah-kaidah (al-Qur’an, Hadist. Usul al-
Fiqh, dan Fiqh). Dalil-dalil ini dijadikan sebagai kerangka pikir dalam menganalisis suatu
masalah hukum untuk kemudian ditetapkan status hukumnya. Ketentuan ini tentu saja
membatasi cakupan penelitian hukum Islam pada kawasan ilmu yang bersifat teoritis-normatif.
Sementara, persoalan kenapa status hukum itu perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan
dinamika sosial- budaya dalam kehidupan masyarakat, tampak terlepas dari perhatian. Dalam
upaya membangun suatu model penelitian hukum Islam yang integratif-interkonektif, kedua
kawasan ilmu hukum Islam yang normatif-doktrinal dan historis-sosiologis sepatutnya
dipadukan atau disinergikan. Perpaduannya dilakukan dengan cara mengintegrasikan atau
menginterkoneksikan dalil, kaidah, atau teori hukum Islam dengan berbagai teori ilmu sosial-
humaniora yang adaptable dalam suatu bangunan paradigma atau kerangka teoritik.
Dalam penelitian hukum Islam, peneliti harus mengenal pembedaan dua model
penelitian, yaitu penelitian hukum sebagai law-in-books dan penelitian sebagai law-in-action.
Pembedaan ini diperlukan untuk menghindari ketumpangtindian antara hukum sebagai
fenomena normatif dan hukum sebagai fenomena sosial. Studi hukum dalam tataran normatif
disebut sebagai penelitian hukum normatif, sementara dalam tataran sosial disebut sebagai
penelitian hukum sosiologis. Kedua penelitian ini memiliki obyek kajian yang sama pada wilayah
hukum, tapi cara kerjanya mempunyai metode yang berbeda. Penelitian hukum normatif
dilakukan dengan tahapan metode inventarisasi hukum, pencarian atau penemuan asas dan
doktrin hukum, serta penentuan hukum klinis atau konkrit (inconcreto). Adapun penelitian hukum
sosiologis dilakukan dengan cara memandang hukum itu sebagai independent variable yang
menimbulkan akibat-akibat pada berbagai aspek kehidupan, atau sebagai dependent variable yang
timbul akibat resultante dari sejumlah kekuatan dalam masyarakat. Pada model penelitian hukum
29
sosiologis ini, metode yang dapat diterapkan adalah metode dokumentasi observasi, ekperimen,
atau survei (Lihat Soemitro, 1983).
Dalam penelitian hukum normatif, ketiga metode di atas yang mungkin bisa dipilahkan
dapat saja dijadikan dalam suatu rangkaian kesatuan penelitian, karena untuk dapat menetapkan
hukum dari suatu peristiwa konkrit diperlukan temuan asas-asas dan doktrin hukum. Sedangkan
untuk mendapatkan asas dan doktrin tersebut diperlukan inventarisasi berbagai peraturan
hukum. Penelitian hukum normatif dengan metode inventarisasi hukum bukan hanya sekedar
aktivitas kumpul-mengumpul materi hukum secara asal-asalan, tetapi berdasarkan proses
analitis-kritis melalui klasifikasi logis dan sistematis. Norma-norma yang sudah dikumpulkan,
diidentifikasi kemudian diorganisasikan dalam suatu sistem analisis secara komprehensif.
Metode penemuan asas dan doktrin hukum dilakukan dengan proses berpikir induktif, yaitu
bertolak dari norma-norma khusus yang digeneralisasi untuk kemudian ditarik asas dan doktrin
umum. Penentuan hukum klinis dilakukan untuk mencari ketentuan hukum bagi suatu masalah
yang konkrit. Metode ini seringkali disebut dengan legal research. Metode ini melibatkan
penggunaan sillogisme di mana norma-norma hukum in-abstract yang diperoleh dalam tahapan
inventarisasi dijadikan premis mayor, sementara kejadian atau fakta-fakta relevan dijadikan sebagai
premis minor untuk ditarik suatu conclusio.
Sedangkan dalam penelitian hukum sosiologis yang bersifat empiris, metode yang bisa
diterapkan adalah metode dokumentasi-historis yang bertujuan untuk mengetahui
kecenderungan-kecenderungan hukum di masa lampau dalam rangka memberi penafsiran pada
kondisi aktual kehidupan masyarakat. Ada tiga aspek hukum yang dapat dilihat melalui metode
ini, yaitu institusi hukum, sumber hukum, dan peranan pemikiran tokoh dalam penciptaan
hukum di masa lampau. Penelitian hukum dengan menggunakan metode ini lebih populer untuk
30
disebut dengan studi hukum dengan pendekatan historis. Metode lain yang juga bisa digunakan
adalah metode observasi (pengamatan). Dalam metode observasi ini, salah satu bentuk
pengamatan yang umum digunakan adalah pengamatan terlibat (participant observation) yang
digabungkan dengan wawancara (interview). Aspek penting yang disoroti dalam metode
pengamatan ini adalah berbagai pranata hukum yang menjadi pedoman nilai dalam mengatur
kehidupan masyarakat. Penelitian hukum dengan metode ini, populer dikembangkan oleh
kalangan ahli antropologi. Selain kedua metode di atas, penelitian hukum juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode eksperimental. Metode ini merupakan cara untuk menguji adanya
hubungan kausal dalam sebuah penelitian yang, misalnya, dilakukan untuk menemukan
pendapat apakah pelaksanaan prapradilan itu bermanfaat atau hanya buang-buang waktu.
Tehnik pengujian metode ini, biasanya dilakukan dengan membentuk dua atau lebih kelompok
eksperimen. Salah satu kelompok dijadikan sebagai kelompok kontrol sementara kelompok
lainnya dijadikan kelompok variabel eksperimen. Metode eksperimental ini lazim digunakan
dalam penelitian hukum yang menggunakan pendekatan psikologi. Metode yang tidak kalah
pentingnya digunakan adalah metode survei. Penelitian hukum dengan metode survei ini
dimaksudkan untuk menghimpun informasi secara sistematis melalui tehnik sampling. Metode ini
sangat tepat digunakan jika, misalnya, penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
secara cermat tingkat kriminalitas di kota. Metode ini lazim digunakan dalam penelitian hukum
yang menggunakan pendekatan sosiologi disamping tidak menafikan penggunaannya oleh ilmu-
ilmu lain.
Kedua model penelitian hukum di atas –baik normatif maupun sosiologis- sama
memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga meniscayakan untuk dipadukan. Dalam studi
hukum yang komprehensif, perpaduan kedua model penelitian ini mutlak dilakukan dengan
31
tetap memperhatikan perbedaan batasan cara kerja masing-masing untuk menghindari
ketumpangtindihan. Perpaduan di sini tidak berarti pencampuradukan untuk menghindari
ketersesatan metodologi, karena pada prinsipnya sesuatu yang bersifat normatif memang
berbeda dengan sesuatu yang bersifat sosiologis-empiris. Tetapi tidak menutup kemungkinan
untuk saling bersinergi.
Sehubungan dengan pembahasan mengenai aspek metodologi dalam studi hukum Islam,
kedua model penelitian di atas yang lazim digunakan dalam penelitian hukum positif (umum),
juga berlaku dalam penelitian hukum Islam. Dalam hukum Islam, penelitian hukum normatif
berkisar pada kajian mengenai nash, baik al-Qur’an maupun hadist, disamping kaidah-kaidah
umum yang terdapat dalam ushul fiqh dan fiqh. Dalam penelitian hukum Islam normatif ini, juga
berlaku tahapan metode inventarisasi hukum, pencarian atau penemuan asas dan doktrin
hukum, serta penentuan hukum untuk masalah konkrit. Dalam hukum Islam metode ini dikenal
dengan sebutan metode istimbat hukum.
Pada wilayah penelitian hukum Islam normatif ini, ada dua macam metode analisis yang
dapat digunakan, yaitu metode analisis literal (At-Thariqah al-Lafdziyah) dan ekstensifikasi (at-
Tariqah al-Ma’nawiyah). Metode analisis literal ditujukan untuk menganalisis teks-teks syari’ah
berupa al-Qur’an dan Hadist untuk mengetahui bagaimana cara lafadz-lafadz kedua sumber itu
menunjukkan kepada hukum-hukum (fiqh) yang dimaksudkannya. Dasar metode analisis ini
bertolak pada kekuatan kaedah-kaedah kebahasaan (Arab). Metode analisis ini memberi
petunjuk tentang cara suatu lafadz menunjuk makna yang dikehendakinya, menyimpulkan makna
itu dari lafadz tersebut, dan mengkompromikan berbagai makna yang secara sepintas tampak
saling berlawanan. Metode analisis ini membagi lafadz ke dalam empat macam yang dilihat dari
(1) kejelasan (2) dhalalah (3) keluasan makna yang dicakup, dan (4) bentuk-bentuk yang
32
digunakan untuk menyatakan taklif. Dalam metode analisis literal ini, ada dua konsep penting
yang harus diperhatikan, yaitu tafsir dan takwil. Kedua konsep ini diterapkan dalam kebutuhan
dan pengertian yang berbeda. Tafsir menunjuk kepada lafadz yang belum jelas untuk diberi
penjelasan, sementara takwil justeru menunjuk pada lafadz yang sudah jelas maknanya. Adapun
metode analisis ekstensifikasi, pada dasarnya adalah usaha untuk memperoleh suatu hukum
(fiqh) melalui pemekaran dan perluasan makna dari nash yang bersifat eksplisit dengan cara
mencari dan menemukan pengertian implisitnya. Hal ini dilakukan dengan cara menggali causa
legis (illat) suatu nash untuk diterapkan pada kasus-kasus serupa yang tidak secara eksplisit di
dalamnya; atau juga dengan jalan menggali semangat, tujuan, dan prinsip umum yang
terkandung dalam suatu nash untuk diterapkan secara lebih luas pada masalah lain yang
diharapkan mewujudkan kemaslahatan yang sama.
Adapun penelitian hukum empiris berkisar pada pengamatan mengenai konteks historis
lahirnya sebuah produk hukum dan fungsinya sebagai pengendali keteraturan sosial, disamping
sebagai pranata nilai yang menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat. Berbagai metode
yang diintrodusir dalam penelitian hukum umum, seperti metode dokumentasi, pengamatan,
wawancara, survei dan ekspreimental, juga dapat diterapkan dalam hukum Islam sejalan dengan
perspektif ilmu yang digunakan. Dalam penelitian hukum Islam yang konprehensif, kedua
model kecenderungan penelitian tersebut juga harus disinergikan. Penelitian hukum Islam
dengan kecenderungan empiris ini dipandang masih langka dan hampir tidak tersentuh oleh
para ulama fiqh era klasik.
Menurut Abd. Salam (1984), Hukum Islam (Fiqh) yang bersumber dari al-Quran dan
Hadist itu memang bersifat normatif. Namun, bukan berarti tidak lagi bisa dikembangkan dan
diperluas cakupan kajiannya. Persoalan penting dari hukum Islam yang bersifat normatif ini
33
adalah “bagaimana mengimplementasikannya dalam menjawab berbagai permasalahan aktual
yang dihadapi oleh masyarakat”. Hal itu penting dilakukan agar hukum Islam memiliki fungsi
bagi kemaslahatan hidup manusia. Hanya saja yang patut diperhatikan dalam proses
implementasi tersebut adalah ketetentuan hukum yang tidak dibenarkan menyalahi tujuan dan
maksud hukum, asas-asas dan prinsip hukum, serta kepentingan hukum yang diperlukan oleh
baik masyarakat maupun perorangan. Jadi, Pokok permasalahan yang terpenting dari studi
hukum Islam itu adalah penekanannya pada persaoalan aktual ini, karena hukum Islam itu
disamping berorientasi teoritis juga lebih pada implikasinya yang bersifat praktis. Kebutuhan
terhadap implikasi praktis dalam rangka merespon realitas kehidupan masyarakat menyebabkan
keberadaan kajian hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan ilmu-ilmu
lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah, dan filsafat sebagai ilmu bantu.
Salah satu contoh yang dapat diilustrasikan adalah perpaduan antara penggunaan teori
‘urf atau maslahah dalam ushul al-fiqh dengan teori fungsionalisme dalam ilmu sosiologi atau
antropologi. Paduan kedua teori ini dapat dioperasikan, misalnya, ketika ingin meneliti tentang
perilaku waris komunitas muslim di suatu wilayah tertentu. Problem penelitian yang muncul
adalah seharusnya komunitas muslim tersebut menerapkan pola pembagian waris 2:1 antara laki-
laki dan perempuan, tapi kenyataannya justeru menggunakan pola pembagian sebanding
berdasarkan adat istiadat setempat. Menghadapi problem penelitian semacam ini, kesimpulan
penelitian tidak seharusnya tergesa-gesa menetapkan bahwa perilaku waris itu “tidak sesuai
dengan hukum Islam”. Analisis lanjutan perlu dilakukan berdasarkan pengamatan di lapangan
bahwa apakah pola pembagian waris sebanding itu berimplikasi fungsional yang membawa pada
ekuilibrium sosial atau kemaslahatan bagi komunitas muslim tersebut. Jika ternyata positif, maka
“boleh jadi” pola pembagian waris sebanding itu diberi status hukum “boleh”, “mubah”, atau
34
“halal” sekalipun, oleh karena adanya nilai kemaslahatan yang dikandungnya. Paduan teori yang
sama dapat pula dilakukan terhadap teori qiyas dengan teori simbolisme, ta’lil dengan
hermeneutik, teori konflik dengan teori ashabiyah dan lain sebagainya.
Konsekuensi dari paduan paradigma ini membawa implikasi pula pada penyatauan
metode penelitian yang terkait dengan cara pengumpulan data dan analisis data. Pengumpulan
data tidak lagi hanya bertumpu pada nash, kaidah, atau pemikiran ulama yang tersimpan dalam
kitab, tapi autentisitas data juga harus dicross-check atau diperoleh dari lapangan melalu metode
wawancara, pengamatan, atau kuesioner. Setelah itu, analisis data semestinya dilakukan dengan
cara bolak-balik dari deduksi ke induksi dan dari induksi ke deduksi melalui tahapan klasifikasi,
seleksi, dan kategorisasi.
Atas dasar pemaduan kerangka teoritik dan metode penelitian di atas, tuntutan
pengembangan penelitian ilmu Syari’ah berbasis integratif- interkonektif memungkinkan dapat
direalisasikan. Langkah awal menuju realisasi itu adalah pembenahan bertahap terhadap
pedoman Penulisan Skripsi Mahasiswa Fakultas Syari’ah yang saat ini tidak relevan lagi untuk
dijadikan acuan penulisan atau penelitian karya ilmiah mahasiswa.
C. Penutup
Paradigma integratif-interkonektif -yang menyertai perubahan kelembagaan IAIN ke
UIN- telah menjadi pilihan keilmuan baru UIN. Fakultas Syari’ah yang berada dalam mainstream
perubahan itu juga dituntut untuk melakukan taransformasi keilmuan menyangkut orientasi
metodologinya. Selama ini, orientasi keilmuan fakultas Syari’ah dengan fokus studi ilmu hukum
Islam cenderung hanya bersifat normatif-ideologis, dan kurang atau bahkan tidak menyentuh
kajian-kajian bersifat sosiologis-empiris. Dengan tuntutan pengembangan keilmuan berbasis
35
integratif-interkonektif ini, orientasi keilmuan yang dikotomis itu menjadi tidak relevan,
sehingga menuntut untuk dilakukan revisi.
Problem krusial yang patut menjadi perhatian untuk diaplikasikan adalah aspek
paradigma, yang dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Syariah
menggunakan istilah kerangka teoritik. Kerangka teoritik ini merupakan salah satu komponen
metodologi penelitian disamping latarbelakang masalah, rumusan masalah, studi pustaka,
hipotesis dan metode penelitian. Sehubungan dengan sifat dasar dari ilmu pengetahuan yang
memiliki kepastian obyek formal (obiectum matriale, formal obyect) dan obyek material (obiectum
materiale,, material obyect), maka unsur metodologi merupakan bagian utama dari obyek formal.
Sehingga dalam proses integrasi-interkoneksi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan
umum, sebagaimana diidealisasikan dalam format baru keilmuan UIN, penekanan terpenting
adalah berada dalam ranah metodologi, khususnya komponen kerangka teoritik. Dalam
kerangka teoritik ini, berbagai dalil, kaidah, atau teori hukum Islam dapat dipadukan dengan
sejumlah teori ilmu sosial-humaniora yang relevan. Selain kerangka teoritik, perpaduan juga
harus terjadi pada aspek metode yang terkait dengan cara pengumpulan data dan analisis data.
Pengumpulan data tidak lagi hanya bertumpu pada nash, kaidah, atau pemikiran ulama yang
tersimpan dalam kitab semata, tapi autentisitas data juga harus di peroleh di lapangan melalu
metode wawancara, pengamatan, atau kuesioner. Setelah itu, analisis data juga dilakukan dengan
cara bolak-balik dari deduksi ke induksi dan dari induksi ke deduksi melalui tahapan klasifikasi,
seleksi, dan kategorisasi.
36
DAFTAR PUSTAKA Amin Abdullah, dkk., Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan
Epistemologi Islam dan Umum. Yogyakarta: Suka Press, 2003.
“Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif-interdisiplinery”, dalam Zainal Abidin Baqir., dkk., Integrasi Ilmu dan Agama : Interpretasi dan Aksi. Jakarta: Mizan Pustaka, 2005.
Ainurofiq Dawam, ”Emoh Sekola” Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multukultural. Yogyakarta: Impeal Ahimsakarya Press, 2003.
Baidowi, Ahmad dan Jarot Wahyudi, ed., Konversi IAIN ke UIN dalam Rekaman Media Massa.
Yogyakarta: Suka Press, 2005
Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum. Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Baqir, Zainal Abidin., “Bagaimana ‘Mengintegrasikan’ Imu dan Agama?” dalam Zainal Abidin Baqir., dkk., Integrasi Ilmu dan Agama : Interpretasi dan Aksi. Jakarta: Mizan Pustaka, 2005.
Culson, Noel James., Concilct and Tension in Islamic Yurisprudence. Chicago and London: The
University of Chicago Press, 1969. Direktorat Jenderal Kelembagaan agama Islam Departemen Agama, Pedoman Penyelenggaraan
Penelitian Perguruan Tinggi Islam. Jakarta: Dirjen Bagais, 2003. Esack, Farid., Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas. Bandung: Mizan,
2001. Faiz, Fahruddin., “Islamic Studies di IAIN Sunan Kalijaga dan Hubungannya dengan Ilmu-Ilmu
Lain: Sebuah Kajian Menuju UIN”, dalam Jurnal Penelitian Agama, Vol. XIV, No. 1, Januari-April 2005.
Al-Jabiri, Muhamad ‘Abid., Bunyah al-Aql al-Arab: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Ma’rifaj
fi Tsaqafah al-Arabiyah. Beirut : Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, 1990. Jamhari, Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam, dalam Komaruddi Hidayat, ed., Problem dan
Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam Jakarta: Direktorat PTAI, 2000. Kuntowijoyo, “Epistemologi dan Paradigma Ilmu-Ilmu Humaniora dalam Perspektif Pemikiran
Islam”, dalam Amin Abdullahi, dkk.., Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum. Yogyakarta Sunan Kalijaga Press, 2003.
37
Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1984. Lincoln, Denzin., dan Yvonna S. Lincoln ed., Hand Book of Qualitative Research London: Sage
Publication, 1994. Mas’ud, Abdurrahman., Menggagas Format Pendidikan Non-dikotomik. Yogyakarta: Gama Media,
2002. Meuleman, Johan Hendrik., “IAIN di Persimpangan Jalan” dalam Komaruddi Hidayat, ed.,
Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam Jakarta: Direktorat PTAI, 2000.
Mudzhar, Atho., Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998. Mulyanto, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Ulumul Qur’an, Vol. II/1991. Najib, Agus Moh., “Paradigma Keilmuan Non-dikhotomi dan Aplikasinya pada Pembentukan
Fakultas dan Program Studi di UIN Sunan Kalijaga”, dalam Jurnal Penelitian Agama, Vol. XIV, No. 1, Januari-April 2005.
Nasr, Hossen., Science and Civilization in Islam (Cambridge: The Islamic Text Society, 1987). Nasution, Khoiruddin, “Tantangan Pengembangan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”. Laporan
Penelitin pada Pusat Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2004. Nawawi, Haidar., Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2001. Priyono, AE. dkk., Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian
Islam. Yogyakarta: PLP2M, 1985. Pudjawiyatna, I.R.,Tahu dan Pengetahuan: Pengantar Ilmu dan Filsafat. Jakarta: Bina Ilmu, 1967. Rahman, Fazlur., Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual. Bandung: Pustaka, 1982. Safi, Louis., The Foundation of Knowledge: A Comparative Studying Islamic and Western Methods of
Inquiry. Selangor: IIU & IIIT, 1996 Sirry, Mun’im A. ed., Fiqh Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2004. Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Gholia Indonesia, 1983. Sutrisno, “Problem Dikotomi Ilmu dalam Islam (Upaya Integrasi Ilmu di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)”, dalam Jurnal Penelitian Agama, dalam Jurnal Penelitian Agama, Vol. XIV, No. 1, Januari-April 2005. (2005).
38
Syafri, Nirwan., “Konstruk Epitemologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh”, dalam
Islamia, Tahun II No. 5 April-Juni 2005 Umar, Nasarudin., Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci. Jakarta: Fikahati Aneska, 2000. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum.
Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2004. Wadud, Aminah., Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman Perspective. New York:
Oxford University Press, 1997. Widiastoro, Tonny D., Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2004. Young, Pauline V., Scientic Social Survey and Research (Tokyo: Prentice Hall, Inc. And Charles E.
Tittle Co., 1960). Zarkasji Abd. Salam, Teori Penerapan Hukum Islam. Makalah yang dipresentasikan dalam Diskusi
Rutin Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Tanggal 5 Desember 1984
top related