anna r g4a014015 morbus hansen bangsal
Post on 07-Jul-2016
218 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
MORBUS HANSEN
Penbimbing
dr. Thianti Sylviningrum M.Pd.Ked., MSc., Sp.KK
Disusun oleh :
Anna Rumaisyah A
G4A014015
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINRSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2016
PRESENTASI KASUS
MORBUS HANSEN
Disusun Oleh:
Anna Rumaisyah A G4A014015
Untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti
tugas stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RS Margono Soekarjo
Purwokerto
Disetujui dan disahkan
Pada tanggal Juni 2016
Pembimbing
dr. Thianti Sylviningrum M.Pd.Ked., MSc., Sp.KK
I. PENDAHULUAN
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. E
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : TayemTimur RT 001/004 Karangpucung
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Tanggal masuk : 23 Juni 2016
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Luka di kedua tangan dan kaki
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Onset
6 hari yang lalu
Lokasi
kedua tangan dan kaki
Faktor Memperberat :-
Faktor Memperingan : -
Kronologi
Pasien rujukan dari RSUD Majenang datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Margono dengan keluhan jari – jari pada kedua tangan menghitam disertai
dengan luka sejak 6 hari yang lalu dan semakin berat. Keluhan kehitaman pada jari-
jari tangan hingga sebatar pergelangan tangan sedangkan pada jari-jari kaki hingga
sebatas tungkai bawah. Keluhan lain yang dirasakan adalah, anggota gerak makin
lama makin terasa berat dan terasa menebal serta nyeri pada bagian kedua tungkai.
Pengobatan sudah dilakukan di RSUD Majenang namun belum ada perubahan.
6 tahun lalu pasien mengakui demam tinggi dan timbul lenting – lenting pada
keduakaki hingga tungkai dan menyebar ke tangan dan wajah. Lenting – lenting tidak
terasa gatal maupun nyeri. Pasien juga mengalami kerontokan pada alis. Pasien
mengakui bahwa terdapat benjolan di hidungnya, awalnya benjolan tersebut kecil dan
lama-lama membesar sebesar jambu air. Hal lain yang dikeluh kan juga telinga pasien
juga sempat membesar namun tidak sakit serta wajahnya yang membengkak. Sejak 6
tahun lalu, pasien belum merasakan adanya rasa menebal dan kesemutan pada anggota
gerak.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat menderita keluhan yang sama : -
Riwayat batuk pilek dalam 1 bulan terakhir : -
Riwayat hipertensi : -
Riwayat diabetes : -
Riwayat penyakit jantung : -
Riwayat penyakit g injal : -
Riwayat alergi makanan : -
Riwayat alergi obat : -
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat menderita keluhan yang sama : -
Riwayat hipertensi : -
Riwayat diabetes : -
Riwayat penyakit jantung :-
Riwayat alergi : -
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal hanya bersama anak - anaknya. Pasien merupakan seorang ibu rumah
tangga. Pendidikan akhir pasien adalah SD. Status ekonomi pasien menengah ke
bawah.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaram : compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 84x/menit
Respiration rate : 20x/menit
Suhu :36,4 C
Status Generalis
Kepala :Simetris, mesochepal, venektasi temporal (-/-)
Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung :Discharge (-), deviasi septum (-)
Mulut : Lidah sianosis (-), atrofi papil lidah (-)
Telinga :Discharge (-)
Lehe r : Deviasi trakhea (-)
Status Lokalis
Thorax : tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : tidak dilakukan pemeriksaan
Status Dermatologikus
regio facialis : nodul eritematosa berbatas tidak tegas (Facies
Leonina), madarosis pada alis
region antebrachii dex et sin : makula hiperpigmentasi polimorfik diatas kulit eritem
dengan erosi, ekskoriasi.
regio cruris dekstra sinistra : macula hiperpigmentasi diatas kulit eritema disertai
ulkus dan erosi serta ekskoriasi
Pemeriksaan fisik lainnya
Pemeriksaan sensitivitas : rangsang taktil (-), rangsang nyeri (-) pada bercak
hiperpigmentasi
Gambar 2. Makula hiperpigmentasi diatas kulit eritemaGambar 1. Facies Leonina
Gambar 3. Makula Hiperpigmentasi dengan erosi
Pembesaran saraf perifer :
Nervus nyeri tebal konsistensi
N. Auricularis magnus -/- -/- lunak
N. Ulnaris -/- +/+ lunak
N. Peroneus lateral +/+ +/+ lunak
D. RESUME
Pasien rujukan dari RSUD Majenang datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD
Margono dengan keluhan jari – jari pada kedua tangan menghitam disertai dengan luka
sejak 6 hari yang lalu dan semakin berat.. Keluhan lain yang dirasakan adalah, anggota
gerak makin lama makin terasa berat dan terasa menebal serta nyeri pada bagian kedua
tungkai. 6 tahun lalu pasien mengakui demam tinggi dan timbul lenting – lenting pada
keduakaki hingga tungkai dan menyebar ke tangan dan wajah. Lenting – lenting tidak
terasa gatal maupun nyeri. Pasien juga mengalami kerontokan pada alis. Pasien
mengakui bahwa terdapat benjolan di hidungnya, awalnya benjolan tersebut kecil dan
lama-lama membesar sebesar jambu air. Hal lain yang dikeluh kan juga telinga pasien
juga sempat membesar namun tidak sakit serta wajahnya yang membengkak. Sejak 6
tahun lalu, pasien belum merasakan adanya rasa menebal dan kesemutan pada anggota
gerak
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan BTA telinga kanan, telinga kiri, kedua tangan
BTA (+)
F. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja :Morbus Hansen Multi Basiler
G. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi:
MDT MH Multibasiler WHO selama 1 tahun yang terdiri dari:
- Rifampisin 600 mg pada hari ke-1 saja
- Dapsone 100 mg (hari ke 1-28)
- Clofazimine 300 mg pada hari 1 / 50 mg pada hari ke 2-28
2. Non Farmakologi:
- Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan
akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin
mengambil kontrol dan tidak boleh putus obat.
- Penyakit ini mengganggu saraf, sehingga pasien akan merasakan mati rasa, oleh
karena itu disarankan agar pasien menghindari trauma agar tidak memungkinkan
terjadinya infeksi lain, misalnya dengan cara menggunakan sepatu atau pelindung
kaki yang berbahan aman dari trauma
-
H. PROGNOSIS
Pada umumnya baik, jika pasien mampu mengikuti pengobatan secara teratur.
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Morbus Hansen yang disebut juga Lepra adalah infeksi kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae.Lepra merupakan salah satu penyebab paling sering neuropati
perifer di seluruh dunia. Mycobacterium leprae ditemukan oleh G.H Armauer Hansen di
Norway pada tahun 1873 (Girao et al, 2013).
B. Etiologi
Mycobacterium leprae belum berhasil dibiakan secara in vitro. Mycobacterium
leprae berkembang biak pada suhu 30 - 33°C dalam waktu 12 hari. Mikroorganisme ini
merupakan mikroorganisme yang kuat yang dapat bertahan hidup di lingkungan selama
10 hari (Lockwood, 2010). M. leprae merupakan kuman gram positif yang berbentuk
basil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, yang mempunyai komponen antigenik kompleks
yang terdiri dari lipid, karohidrat dan protein, sehingga kuman ini tahan asam dan alkohol
(Kosasih et al, 2010).
C. Epidemiologi
Lepra ditemukan di beberapa negera, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin
rendah sosial ekonomi rendah makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi
tinggi sangat membantu penyembuhan (Kosasih et al, 2010).
Peyakit ini masih tetap menjadi endemik di Negara seperti Afrika dan Negara-
negara Asia Tenggara.Variasi geografi pada tahun 2009 menunjukkan dari 141 negara
yang melaporkan, hanya 7 negara yang terdeteksi 85 % kasusnya dalah kasus baru.
Contohnya pada tahun 2009 di India terdapat 94 % kasus lepra baru dari 79 % populasi
saat itu. Pada tahun 2005 – 2007 di Brasil 17 % dari populasi berkontribusi pada 53 %
kasus baru. Untuk Indonesia sendiri pada tahun 2007, 14 dari 33 provinsi terdapat 83 %
kasus baru. Sedangkan China pada tahun 2009, 3 dari 31 provinsi mempunyai 54, 5 %
kasus baru (Al-Qubati et al, 2012).
D. Patomekanisme
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama
terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwan di jaringan saraf. Bila Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, akan
menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe IV oleh sel TH1, sel pembunuh dan makrofag.
Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah, dan dipresentasikan pada sel TH. Sensitisasi
ini berlangsung lebih dari 5 hari. Pada kontak kedua, sejumlah sel T teraktivasi menjadi
sel TH1. Sel ini akan merangsang pembentukan monosit di sumsum tulang melalui IL-3
dan faktor yang merangsang koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) sehingga menarik
monosit dan makrofag melalui kemokin, seperti MCPs (monocyte chemoattractant
proteins) dan MIPs (monocyte inflammatory proteins), dan mengaktifkannya melalui
interfeuron γ (IFN-γ). MCPs dan MIPs bersama dengan TNF-β meyebabkan reaksi
peradangan yang hebat (Silbernagl, 2007).
Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit dalam darah yang mempunyai nama
khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel aveolar dari paru, sel glia dari otak, dan dari
kulit disebut histiosit. Dengan adanya proses imunologik, histiosit datang ke tempat
kuman. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag
akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan
berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi
limfosit disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat.
Pada penderita dengan Sistem Imun Seluler (SIS) rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M. Lepra yang sudah ada didalamnya, bahkan ijdikan tempt
berkembang iak dan disebut sel Virchow atausel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan (Djuanda, 2007).
E. GAMBARAN KLINIS
Sebelum membahas mengenai gambaran klinis akan dibahas mengenai klasifikasi
terlebih dahulu. Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
IL : Indeterminate leprosy
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
BL : Borderline lepromatous bentuk yang labil
LLs : Lepromatous subpolar
LLp : lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LLp adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara BT dan LLs disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe
campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT lebih banyak tuberkuloidnya,
sedang BL dan LLs lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe
yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LLp. Indeterminate leprosy
tidak termasuk dalam spectrum (Lee et al, 2012).
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar
(PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks biposi (IB),
ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LLp, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-
Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT,
BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping. Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987
telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan lepra PB adalah lepra dengan BTA
negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi
Ridley-Jopling. Sedangkan lepra MB adalah semua penderita lepra tipe BB, BL, LL atau
apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB
(Kosasih et al, 2010). Zona spectrum lepra menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat
dibawah:
Klasifikasi Zona spectrum lepra
Ridley&Joplin
g
TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB
Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset terjadinya perlahan-lahan
dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer dengan parestesi dan
baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini
mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang bersifat sementara.
Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang
berat, dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak
dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90% pasien biasanya mengalami keluhan
pada pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat
membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami
pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi komplikasi ulkus atau terbakar pada
ekstremitas yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena lepra adalah daerah
yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut.2
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) Pembesaran saraf tepi yang asimetris
pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi
kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan
sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) Kerusakan sensorik dengan pola Stocking-
glove (4) Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta
nyeri dan raba) (Lockwood, 2010)
Tabel 1. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Multibasiler (MB)
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline
Lepromatosa (BL)
Mid Borderline
(BB)
Lesi
Bentuk Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Makula
Plakat
Papul
Plakat
Dome-shape (kubah)
Punched-out
Jumlah Tidak terhitung, praktis
tidak ada kulit sehat
Sukar dihitung,
masih ada kulit sehat
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Sekret
hidung
Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif
Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)
Karakteristik Tuberkuloid (TT)Borderline Tuberculoid
(BT)Indeterminate (I)
Lesi
Tipe Makula ; makula
dibatasi infiltrat
Makula dibatasi infiltrat
saja; infiltrat saja
Hanya Infiltrat
Jumlah Satu atau dapat
beberapa
Beberapa atau satu dengan
lesi satelit
Satu atau beberapa
Distribusi Terlokalisasi &
asimetris
Asimetris Bervariasi
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
lesi kulit Hampir selalu
negatif
Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negatif
Tabel 3. Bagan diagnosis klinis menurut WHO
PB MB
1. Lesi kulit (makula yang
datar, papul yang
meninggi,infiltrat, plak
eritem, nodus)
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas
> 5 lesi
Distribusi lebih simetris
Hilangnya sensasi kurang jelas
2. kerusakan
saraf(menyebabkan
hilangnya
senasasi/kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
terkena)
Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan BTA Ziehl Neelsen. Pertama harus ditentukan lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat
yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang
paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae(Kosasih et al, 2010).
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP) (Kosasih et al, 2010).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk so lid dibandingkan dengan jumlah
solid dan non solid.
IM= Jumlah solid x 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kum an tiap lesi 100 BTA, I.B
1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 s ampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum haru s dicari 100 lapangan
(Kosasih et al, 2010).
2. Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran histopatologi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel
virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur
tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan (Kosasih et al, 2010).
3. Pemeriksaan Serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR (Kosasih et al, 2010).
4. Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2 hari (reaksi Fernandez)
atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi
dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu
respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberculosis (Kosasih et
al, 2010).
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2 Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulsera
G. Penatalaksanaan
Regimen pengobatan Multi Drug Resistance (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih
obat antikusta, adalah satunya rifampisin sebagai antikusta yang berifat bakterisidal kuat
sedangkan obat antikusta lainnya bersifat bakteriostatik. Regimen pengobatan MDT di
Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah
sebagai berikut (Kemenkes, 2012) :
Pasien Pausibasiler (PB) Pasien Multibasiler (MB)
Hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
2 kapsul rifampisin @300mg (600
mg)
1 tablet dapson/DDS 100 mg
Hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
2 kapsul rifampisin @300mg (600
mg)
1 tablet dapsorn/DDS 100 mg
3 tablet Lampren @100mg (300mg)
Hari ke 2 – 28
1 tablet dapson/DDS 100mg
Hari ke 2 – 28
1 tablet Lampren 50mg
1 tablet dapson/DDS 100mg
Monitoring dan evaluasi pengobatan
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat
2. Apabila pasien terlambat mengambil obat, paling lama dalam 1 bulan harus
dilakukan pelacakan
3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa pemeriksaan laboratorium.
Setelah RFT pasien dikeluarkan dari register kohort.
4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktir risiko : cacat tingkat 1 atau 2,
pernah mengalami reaksi, BTA pada awal pengobatan positif >3 ( ada nodul dan
infiltrate) dilakukan pengamatan secara semi aktif
5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan
dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis dalam waktu 12-18
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
7. Default, jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan dan
pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya untuk
menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan) maka yang
bersangkutan dinyatakan default.
8. Relaps/kambuh, pasien dinyatakan relaps bila setelah RFT timbul lesi baru pada
kulit. Untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan kepada wasor atau dokter.
Untuk relaps MB. Jika pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan
indeks bakteri 2+ atau lebih bila dibandingkan dengan saat diagnosis. Pasien
tersangka relaps sebaiknya adalah dikonsultasikan/dirujuk untuk mendapat
kepastian diagnosis sebelum diobati.
9. Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort adalah: RFT, meninggal, pindah,
salah diagnosis, ganti klasifikasi, default.
10. Pada keadaan –keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai
penyuluhan lengkap mengenai efek samping, tanda-tanda reaksi, agar secepatnya
kembali k epelayanan kesehatan.
H. PROGNOSIS
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun (Kosasih
et al, 2010).
KESIMPULAN
1. Lepra adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya Mycobacterium leprae,
yang bersifat intraselular obligats.
2. Berdasarkan Ridley and Jopling lepra dibagai menjadi TT,BT,BB,BL,LL, dan menurut
WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler.
3. Diagnosis Lepra dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan
histopatologis.
4. Penatalaksanaan Lepra dengan terapi Multi Drug Resistant, serta perlu dilakukannya
monitoring dan evalusi dalam pelakasanaan mengkonsumsi obat MDT tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qubati YA, de Oliveira MLW, Caldas MDP, et al. 2012. WHO Expert Committee on
Leprosy. Geneva : World Health Organization. p. 1-3, 17-28.
Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Girao RJS, Soares NLR, Pinheiro JV, et al. 2013.Leprosy Treatment Dropout : a Systematic
Review. Brazil : International Archives of Medicine.
Kemenkes, 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Panyakit Kusta. KEMENTRIAN KESEHATAN RI DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN. Jakarta : Baki Husada
Kosasih A, Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. 2010. Kusta. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisah
S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p.73-88.
Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. 2012. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8 thed.
New York: McGraw-Hill Companies. p. 2253-62.
Lockwood DNJ. Leprosy. 2010. In : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors.
Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. UK : Wiley-Blackwell. p. 32.1 – 32. 20.
Silbernagl, Stefan. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiolgi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG.
top related