diskursus, kekuasaan dan praktik kemiskinan di … · through the power of solidarity point of...
Post on 13-Mar-2019
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DISKURSUS, KEKUASAAN DAN PRAKTIK KEMISKINAN DI PEDESAAN
IVANOVICH AGUSTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA DISERTASI YANG
BERJUDUL DISKURSUS, KEKUASAAN DAN PRAKTIK KEMISKINAN DI
PEDESAAN BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI, DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN BAIK OLEH PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN
YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI
SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA
BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERNYATAAN INI.
Bogor, Januari 2012
IvanovichAgusta
A 162050071
ABSTRACT
IVANOVICH AGUSTA. Discourse, Power, and Practice on Rural Poverty. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P. LUBIS, IRWAN ABDULLAH
Poverty is analyzed together with complexity of mutual relations and influences between discourses. As power is integrated in every social interaction, the relationships among and between level of discourses and practices should be seen as power relations as well. Power operates in enabling surface of emergence discourse and practice of poverty reduction. In line with the emergence of a particular discourse, it also emerges the certain poor. The will to overcome poverty further directs power to operate, manage or eliminate the poor that has emerged. Efforts to reduce poverty in Indonesia has been shaped by a variety of discourse and practice of poverty, namely surplus sharing, poverty of race and ethnicity, desiring modesty, socialist poverty, potential of the poor, and poverty of production. This study also examines power to dominate others. War discourse and practice is always shaped relationship of actions and reactions that are difficult to stop. The victory of the discourse to actively interpret poverty is dynamic, because at the same time also emerged a reaction from other discourses and practices in the form of manipulation of interpretation.Thus the victory of the discourse and practice in this war is always delayed, not total and complete victory. In accordance with the nature of discourse that builds space for power, the stronger the poverty discourse develops, then the bodies of the poor more and more emerges. Consequently, expansion poverty domain –from individual domains to families, groups, small businessmen, and local government—will also grow number of poor to more and more parties. The next operation of power seeks will manage, reduce or eliminate the poor body. The body of the poor just keeps emerging and active in the discourse and practice of socialist poverty and potential of the poor. Through the power of solidarity point of view, only within the potential of the poor power operates to emerge the poor, developing habitus to believe the poor, and create fields for emergence and activity or movement of the poor body.
Keywords: discourse analysis, habitus, field
RINGKASAN
IVANOVICH AGUSTA. Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan. Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P. LUBIS, IRWAN ABDULLAH
Penelitian ini hendak menjawab pertanyaan penelitian, yaitu, pertama,
mengapa kekuasaan yang beroperasi belum mampu menanggulangi kemiskinan di
pedesaan. Kedua, bagaimana kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan
mengelola beragam diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Ketiga,
mengapa perang antar diskursus dan praktik kemiskinan berlangsung secara terus
menerus.
Penelitian ini juga memiliki tujuan yang ingin dicapai, yaitu, pertama,
menginterpretasi kemunculan keragaman diskursus, strategi penggunaan
kekuasaan, dan praktik pengelolaan kemiskinan di pedesaan. Kedua,
menginterpretasi hubungan kekuasaan dalam perang antar diskursus dan praktik
kemiskinan di pedesaan. Ketiga, memunculkan golongan miskin untuk
menanggulangi kemiskinannya sendiri.
Penelitian dilakukan dengan metode diskursus praktik, yang terdiri atas
metode diskursus, metode praktik, dan metode perang diskursus. Metode
diskursus meliputi arkeologi dan genealogi. Metode praktis meliputi refleksif dan
obyektivisasinya. Metode perang diskursus mengarah pada interaksi yang
berisikan kekuasaan di dalam sekelompok diskursus praktik tertentu, maupun
interaksi antar sekelompok lainnya.
Pengambilan data lapangan pada level nasional terutama dilaksanakan di
Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa di Pasar Minggu, Jakarta. Di sini dikaji
diskursus kemiskinan produksi dan potensi golongan miskin. Penelitian terhadap
diskursus berbagi kelebihan, menginginkan kesederhanaan, kemiskinan ras dan
etnis dilakukan di Dusun Kalioso, Desa Karangrowo, Kabupaten Kudus, Provinsi
Jawa Tengah. Diskursus kemiskinan sosialis dipelajari dari analisis dokumen.
Kemiskinan dianalisis bersamaan dengan kompleksitas saling hubung dan
pengaruh antar diskursus. Oleh karena kekuasaan terintegrasi dalam setiap
interaksi, maka hubungan antar diskursus maupun antara tataran diskursif dan
praktik juga berupa hubungan kekuasaan. Kekuasaan beroperasi sesuai dengan
kehendak untuk memunculkan landasan bagi berlangsungnya diskursus dan
praktik (enabling surface of emergence) penanggulangan kemiskinan. Sejalan
dengan kemunculan diskursus tertentu mula-mula golongan miskin tertentu
memang muncul. Kehendak untuk menanggulangi kemiskinan selanjutnya
mengarahkan kekuasaan untuk beroperasi mengelola atau menghilangkan
kemiskinan yang telah muncul tersebut. Upaya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia telah dibentuk oleh beragam diskursus dan praktik kemiskinan, yaitu
berbagi kelebihan, kemiskinan ras dan etnis, menginginkan kesederhanaan,
kemiskinan sosialis, potensi golongan miskin, dan kemiskinan produksi.
Di samping kekuasaan untuk memunculkan diskursus dan praktik tersebut,
dalam penelitian ini kekuasaan juga dikaji dalam mendominasi pihak lain. Perang
diskursus dan praktik selalu berbentuk hubungan aksi dan reaksi yang sulit
berhenti. Kemenangan satu diskursus untuk aktif menafsir kemiskinan bersifat
dinamis, karena pada saat yang sama juga muncul reaksi dari diskursus dan
praktik lain dalam bentuk manipulasi tafsir.
Hubungan kekuasaan antara satu diskursus dan praktik kemiskinan dengan
lainnya tidak hanya mendominasi, melainkan sekaligus membuka permukaan bagi
manipulasi tafsir baru yang menguntungkan diskursus dan praktik lainnya.
Dengan demikian kemenangan satu diskursus dan praktik dalam perang ini selalu
bersifat tertunda, bukan kemenangan total dan selesai.
Sesuai dengan sifat diskursus yang membangun ruang untuk berkuasa,
semakin kuat diskursus kemiskinan berkembang, maka tubuh-tubuh miskin
semakin banyak muncul. Konsekuensinya, perluasan domain kemiskinan –dari
individu bertambah keluarga, kelompok, usahawan kecil, hingga pemerintah
daerah—kian banyak memberikan identitas miskin kepada semakin banyak pihak.
Penguatan diskursus kemiskinan sekaligus menunjukkan peningkatan kebutuhan
akan tubuh-tubuh miskin.
Operasi kekuasaan berikutnya berupaya pengelolaan, pengurangan atau
penghilangan jumlah tubuh miskin. Tubuh orang miskin hanya terus muncul dan
aktif dalam diskursus serta praktik kemiskinan sosialis dan potensi golongan
miskin. Melalui sudut pandang kekuasaan untuk bersolidaritas, hanya potensi
golongan miskin yang dapat mengoperasikan kekuasaan untuk memunculkan
golongan miskin, mengembangkan habitus untuk mempercayai golongan miskin,
serta menciptakan arena bagi kemunculan dan aktivitas atau gerakan tubuh-tubuh
miskin.
DISKURSUS, KEKUASAAN DAN PRAKTIK KEMISKINAN DI PEDESAAN
IVANOVICH AGUSTA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Didin S. Damanhuri, MS, DEA
(Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor)
Dr. Rilus A. Kinseng
(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor)
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA
(Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor)
Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D
(Kepala Sub-Direktorat Analisa Sosial dan
Ekonomi Regional Bappenas Jakarta)
Judul Disertasi : Diskursus, Kekuasaan, dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan Nama : Ivanovich Agusta NIM : A 162050071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Ketua
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Drs. Irwan Abdullah, Ph.D
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 11 Januari 2012 Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Hanya atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa disertasi berjudul
Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan dapat diselesaikan.
Karya ilmiah ini dimaksudkan sebagai landasan untuk mengatasi permasalahan
sosial bersama golongan yang kekurangan di pedesaan.
Kemiskinan di pedesaan telah menjadi kajian peneliti sejak tahun 1997
hingga kini. Sejak krisis moneter pada tahun 1998, penelitian perihal kemiskinan
dan pemberdayaan masyarakat berkembang secara luas. Peneliti hampir setiap
tahun turut serta dalam penelitian kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat –
sebagian besar menjadi ketua tim— di Bappenas, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, di samping di dalam
Institut Pertanian Bogor sendiri.
Suatu ketika, pada tahun 2005 peneliti mendapatkan tugas dari Bappenas
untuk menyelidiki paradigma pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan di
Indonesia. Hasil kajian tersebut memberikan pengetahuan awal tentang
keragaman cara pandang dan praktik penanggulangan kemiskinan.
Hasil kajian tersebut terus diperdalam selama peneliti menjalani
perkuliahan program doktoral di Institut Pertanian Bogor. Pilihan analisis
diskursus dan praktik didasarkan pada jenis analisis mutakhir dalam sosiologi
pedesaan. Harapannya dapat menempatkan sosiologi pedesaan pada posisi
termaju dalam kancah ilmu-ilmu sosial. Sebenarnya analisis diskursus dan praktik
hanya digunakan untuk mengkritik teori dan konsep dari Barat, dan selanjutnya
peneliti mengembangkan konsep dan teori dari pedesaan Indonesia sendiri.
Kami menyadari bahwa karya ini masih mengandung beragam retakan
kekurangan. Kritik dan saran dari Pembaca budiman sangat kami hargai.
Bogor, Januari 2012
Ivanovich Agusta
A 162050071
RIWAYAT HIDUP
Ivanovich Agusta dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah, pada tanggal 16
Agustus 1970. Anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Alex Achlish
dan Hartati. Riwayat pendidikan yang ditempuh adalah Program Sarjana pada
Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1993; Program Magister pada Program
Studi Sosiologi Pedesaan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor dan
lulus pada tahun 1997. Pada saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada
Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Tulisan-tulisan penulis disajikan dalam berbagai seminar nasional dan
internasional. Makalah dari berbagai bagian disertasi ini telah disertakan dalam
seminar kajian strategis di IPB Bogor tahun 2007, International Conference of
Asian Scholar tahun 2009, seminar penanggulangan kemiskinan di Kementerian
Dalam Negeri tahun 2010 dan 2011. Bagian dari disertasi ini juga telah dimuat
dalam Journal of Asia Pacific Studies, Jurnal Sodality IPB Bogor, Jurnal Wacana
Universitas Indonesia, Jurnal Studi Ekonomi Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Jurnal Jantra Yogyakarta, serta akan dimuat dalam Jurnal Fajar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Sebagian disertasi dalam versi ringkas telah dimuat
beberapa kali dalam koran Kompas.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada
1. Berbagai pihak yang bersedia melakukan rembugan di lapangan, yaitu Fuji
Artanto, Anom Surya Putra, Indra Kwarnas, Aries, Hery, Wahono, Tino,
Irwan, Suntono, Nurhadi, Safwan, Wargono, Gunretno, Gunondo, Sugiri,
Leginah, Sarpan.
2. Promotor yang telah memberikan berbagai saran perbaikan disertasi, yaitu
Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA, Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, dan Prof.
Drs. Irwan Abdullah, Ph.D.
3. Para penguji pada ujian tertutup, yaitu Prof. Dr. Ir. Didin S. Damanhuri, MS,
DEA, dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.
4. Para penguji pada ujian terbuka, yaitu Prof. Dr. Ir. Didin S. Damanhuri, MS,
DEA, dan Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D.
5. Pejabat Sekolah Pascasarjana IPB, yaitu Prof. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr,
Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc
6. Pejabat dan mantan pejabat Program Studi Sosiologi Pedesaan, yaitu Dr. Ir.
Arya H. Dharmawan, MSc, Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA, Dr. Ir. M.T. Felix
Sitorus, MS, dan Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA.
7. Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS yang telah memberikan kesempatan untuk
bersekolah di Program Studi Sosiologi Pedesaan.
8. Prof. Dr. Ir. Sajogyo, Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro, Prof. Dr. Amri
Marzali, yang telah memberikan rekomendasi untuk bersekolah di Sekolah
Pasca Sarjana IPB Bogor
9. Dosen-dosen di Program Studi Sosiologi Pedesaan, yaitu Dr. Ir. M.T. Felix
Sitorus, MS, Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS, Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA,
Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA, Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, Dr.
Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA, Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS, Dr. Ir.
Titik Sumarti, MS, Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc.
10. Para pejabat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
IPB Bogor, yaitu Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Ir. Fredian Tonny
Nasdian, MS.
11. Kepala Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan IPB Bogor, Dr. Ir.
Lala M. Kolopaking, MS.
12. Teman-teman seangkatan yaitu Dr. Tyas Retno Wulan, Dr. Abdul Malik, Dr.
Pulanggono Setyo Lenggono, Bob Alfiandi, Dr. Maihasni, Dr. Hartoyo.
13. Istri dan anak-anak, yaitu Ir. Ani Tetiani, MSi, Madania Tetiani Agusta,
Karyssa Tetiani Agusta, dan Muhammad Aliansya Agusta.
14. Kedua orang tua, yaitu Alex Achlish, Hartati, Oman Sukmara, Imas Sukaya
15. Adik dan bulik di Kudus, yaitu Helida Heirani, Heri Prasetya, Paramita
Savitri, Arif Purnomo, Durroh.
16. Kerabat di Bandung, yaitu A. Samsi Sahirin, Lilis Tarliani, Yiyi Sri Gustini,
Wawan Somantri, Ida Muliani, Dasep Hilman, Cucu Suryati.
DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 1
Latar Belakang ......................................................................... 1
Perumusan Masalah .................................................................. 6
Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
BAB 2 PENDEKATAN TEORETIS ...................................................... 9
Tinjauan Pustaka ...................................................................... 9
Filsafat Kuasa/Pengetahuan ...……………….... 9
Pemandangan Baru Sosiologi …………………... 12
Memadukan Teori Diskursus dan Praktik Sosial 15
Diskursus menurut Foucault ................................. 17
Pembentukan Diskursus …………… 19
Pengelolaan Diskursus …………….. 21
Diskontinuitas Diskursus …...……... 22
Praktik Sosial menurut Bourdieu .......................... 23
Habitus …………………………...... 24
Arena …………………………….... 25
Kemunculan Kekuasaan melalui Interaksi Sosial 26
Kajian Diskursus Kemiskinan secara Dikotomis 28
Kerangka Penelitian ................................................................. 29
Konsep Kerja ............................................................................ 32
BAB 3 PENDEKATAN LAPANGAN .................................................. 35
Metode Diskursus Praktik ........................................................ 35
Lokasi Pengumpulan Data ....................................................... 38
Metode Pengumpulan Data ...................................................... 47
Metode Analisis Dokumen dan Penemuan Diskursus Kemiskinan ..........................................
47
Metode "Rembugan" ............................................. 51
Metode Pengamatan Berpartisipasi ....................... 56
Metode Analisis Data ............................................................... 57
Bias dan Kebaruan Penelitian ................................................... 61
BAB 4 DISKURSUS DAN PRAKTIK BERBAGI KELEBIHAN …… 65
Penyamaran Hierarki/Diferensiasi …………………............... 66
Dinamika Mekanisme Mengutangi/Menabung, Mengakumulasi/Berbagi, Berbagi/Mengakumulasi …………
70
Ikhtisar ……………………………………………………...... 81
BAB 5 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN RAS DAN ETNIS ………………………………………………………….....
83
"Mem-primitif-kan" ………………………………………….. 84
Pemberontakan Tubuh Primitif …………………………… 94
Ikhtisar ……………………………………………………… 98
BAB 6 DISKURSUS DAN PRAKTIK MENGINGINKAN KESEDERHANAAN ………………………………………………….
99
Disiplin Pelemahan Daging ………………………………….. 100
"Ngrame" Mengabarkan Kebenaran …………………………. 106
Ikhtisar …………………………...………………………… 110
BAB 7 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN SOSIALIS …. 113
Menghisap Tubuh ……………………………………………. 115
Merebut Hak Tubuh Miskin …...…………………………….. 122
Ikhtisar ……………………...……………………………… 125
BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI ORANG MISKIN 127
Mempercayai Tubuh Miskin ………………………………… 128
Berkelompok Menghadirkan Kekuasaan ……………………. 135
Ikhtisar …………………...………………………………… 138
BAB 9 DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN PRODUKSI 141
Mengorganisasikan Kemiskinan ………………….................. 142
Kehendak Menguasai Pengetahuan Kemiskinan ……………. 147
Mendisiplinkan Efisiensi Tubuh Miskin …………………….. 151
Ikhtisar ………………...…………………………………… 157
BAB 10 PERANG DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN …. 159
Penghilangan dan Perluasan Domain Kemiskinan ………… 160
Kekuasaan Memanipulasi Tafsir Kemiskinan ……………….. 165
Panoptisme Orang Miskin Sedunia …………………………. 180
Ikhtisar ……………………………………………………….. 191
BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 ……................... 193
Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian …………….. 193
Epilog: Tubuh Miskin dan Konstitusi ……………………….. 197
DAFTAR PUSTAKA ……..................................................................... 201
LAMPIRAN …………………………………………………………… 211
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Kesetaraan Analisis antara Foucault dan Bourdieu ................. 16
2 Teori Diskursus Foucault, Laclau dan Moffe, serta Habermas 18
3 Kesejajaran Level Analisis Umum dan Formasi Diskursus Foucault ................................................................................... 19
4 Responden dan Informan ........................................................ 53
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Perpaduan Teori Diskursus dan Teori Praktik Sosial ……….. 16
2 Bentuk Diskursif ..................................................................... 20
3 Sirkulasi Diskursus .................................................................. 22
4 Arkeologi Diskursus ................................................................ 23
5 Kerangka Penelitian ................................................................ 30
6 Stratifikasi dan Mobilitas Sosial di Dusun Kalioso ………… 68
7 Dikotomi Diskursus Berbagai Kelebihan …………………… 69
8 Dikotomi Diskursus Kemiskinan Rasial dan Etnis..………… 89
9 Dikotomi Diskursus Menginginkan Kesederhanaan………… 101
10 Dikotomi Diskursus Kemiskinan Sosialis…………………… 116
11 Dikotomi Diskursus Potensi Golongan Miskin ….....……….. 129
12 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1975-2008 ……………………………………………………
144
13 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Tahun 1975-2008 ……………………………………………
145
14 Dikotomi Diskursus Kemiskinan Produksi....……………….. 146
15 Evaluasi Kemiskinan Hipotetis …………………………… 148
16 Adaptasi Ekonomi Formal dan Psikologi dalam CDD …… 153
17 Genealogi Diskursus Kemiskinan di Pedesaan Indonesia …... 159
18 Hubungan Terbalik antara Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial …………………………………………………
188
19 Kejadian Sejarah, Gini Pedesaan, Perkotaan dan Indonesia 1880-2009 …………………………………………………..
189
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Makalah Enam Diskursus Kemiskinan di Indonesia ……….. 211
DAFTAR ISTILAH
Arena : struktur yang bersifat obyektif, berisikan syarat-syarat obyektif,
yang bisa digunakan individu untuk berinteraksi dengan pihak
lain
Arkeologi diskursus : pembentukan diskursus, pengelolaannya, penormalan pada
saat menemui keretakan epistemologis.
Diskursus : jenis pernyataan yang memungkinkan sesuatu menjadi muncul,
baik berupa habitus, arena, maupun benda-benda tertentu.
Episteme : kegiatan untuk menelusuri sejarah timbulnya, berkembangnya,
hingga berubahnya suatu pengetahuan atau disiplin formal dan
bukan-formal tentang kemiskinan.
Genealogi diskursus : operasi kekuasaan untuk menghasilkan diskursus atau
menimbulkan krisis bagi terbentuknya diskursus baru
Habitus : predisposisi, pengalaman, pemikiran sebelum melakukan
tindakan
Kekuasaan : kemampuan untuk mendominasi, namun juga untuk
memunculkan solidaritas, dan kekuasaan hanya muncul melalui
interaksi antara habitus, arena, dan diskursus
Modal : benda dan jasa yang memberi kekuatan habitus atau individu
untuk bertindak
Panoptisme : operasi kekuasaan untuk mengawasi individu atau kelompok
miskin, juga habitus dan arena
Parrhesia : kehendak untuk membatasi ketergantungan kepada kebendaan
agar tubuh menjadi suci, serta memunculkan kehendak untuk
mengabarkan kebenaran kepada pihak lain
Perang diskursus : operasi kekuasaan untuk mendominasi diskursus lain, sekaligus
membuka permukaan bagi reaksi diskursus lainnya.
Praktik : habitus dan arena yang selalu diuji pada setiap kesempatan dan
lokasi yang berbeda.
Tubuh : jejak dan perwujudan operasi kekuasaan berupa penyusunan
identitas material maupun kultural
Strategi : kegiatan berinteraksi untuk menyalurkan kekuasaan, baik antar
individu atau kelompok, habitus, arena, dan diskursus
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyatakan, bahwa negara
Indonesia dibentuk guna memajukan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan hal
tersebut, pembangunan telah dijadikan pilihan mekanisme untuk mengisi
kemerdekaan bangsa (Soeharto 2008: 238).1 Untuk memajukan kesejahteraan
umum, secara khusus pemerintah diwajibkan memelihara fakir miskin,
mengembangkan sistem jaminan sosial, dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu2 (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil
Perubahan UUD 1945 2010: 766).
Akan tetapi ditemukan berbagai kejanggalan pengelolaan kemiskinan –
yang mencakup pula pengelolaan golongan fakir, lemah dan tidak mampu.
Mungkin karena dipandang bersifat relatif, namun muncul kehendak untuk
mengobyektifikasi ukurannya, kemiskinan telah lama menjadi medan pertarungan
kekuasaan. Operasi kekuasaan telah memunculkan atau menghilangkan topik
kemiskinan, mengurangi atau menambahi jumlah golongan miskin, menentukan
pengelola orang miskin, dan sebagainya. Sajogyo (2006: 257) menjelaskan
sebagai berikut.
Untuk menentukan miskin tidaknya seseorang bukanlah hal yang mudah, hal ini relatif. Ukuran kemiskinan di tiap daerah berbeda.
Presiden Soeharto (2008: 415) menyatakan hal serupa.
1 Pembangunan juga menjadi orientasi Presiden Soekarno untuk mengisi kemerdekaan, sebagaimana tulisannya untuk Pembangunan Semesta Berentjana, Bagian jang Diucapkan pada rapat pleno Depernas, 28 Agustus 1959, halaman 29. 2 UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dan 2.
2
… kita jadi berpikir mengenai ukuran adil dan makmur itu, dan jawabannya bergantung pada orangnya. Ukuran adil dan makmur tidak terlepas dari penilaian kita masing-masing. Dan hal itu harus dilihat juga dari segi kemampuan masing-masing.
Ada batas minimal untuk menyebut bahwa secara lahiriah seorang itu mestinya sudah harus bisa mengatakan cukup dan terjamin ketentraman hidupnya. Tetapi inipun menyangkut lagi soal sikap seseorang.
Dalam dekade terakhir penjajahan Belanda, Soekarno juga pernah
menolak ukuran kecukupan makan senilai sebenggol (f 2,5) sehari yang
dinyatakan direktur Binnenlands Bestuur (BB) dalam sidang legislatif.
… adalah perbedaan besar antara apa yang dikatakan oleh direktur BB dengan apa yang saya katakan; adalah perbedaan besar antara perkataan CUKUP dengan perkataan TERPAKSA. Terpaksa hidup dengan sebenggol, dan cukup hidup dengan sebenggol –di antara dua ini adalah perbedaan yang sama lebarnya dengan perbedaan antara sana dan sini, antara kaum penjajah dan kaum terjajah, antara kaum kolonisator dan kaum gekoloniseerde!
… Pemerintah dengan enormiteit-nya direktur BB itu bermaksud menunjukkan, bahwa dus kaum Marhaen1 masih gampang hidup, bahwa dus pemerintah punya krisis-politik adalah tak merugikan Marhaen (Soekarno 1965: 178).
Dengan dorongan kekuasaan, kemiskinan menjadi topik bermasyarakat
dan bernegara yang berkali-kali dimunculkan atau dihilangkan. Di tengah-tengah
masyarakat sendiri, kemiskinan –atau dengan konsep yang serupa seperti
kekurangan—telah muncul dan diatasi bersama-sama sejak lama (Soedjatmoko
1984: 46). Pemerintah Hindia Belanda membesarkan kemunculannya hingga
meliputi wilayah nusantara untuk menangani kemiskinan khusus pada tubuh kreol
Indo Eropa pada awal abad ke 20 (Gouda 2007: 196). Bersamaan dengan
pernyataan kemerdekaan Indonesia, tubuh orang miskin yang sakit muncul dalam
aturan pemeliharaan Departemen Kesehatan di rumah-rumah sakit pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno.2 Hingga dua pertiga masa pemerintahan
1 Dalam penelitian ini digolongan sebagai kelas miskin. 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1953 tentang penunjukan rumah-sakit rumah-sakit partikulir yang merawat orang-orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1953 tentang penunjukan rumah-rumah sakit partikulir yang merawat orang-orang yang miskin dan orang-orang yang kurang mampu; Undang-Undang Darurat Nomor 6
3
Presiden Soeharto, fakir miskin secara normatif ditangani oleh Departemen
Sosial.1 Bersama-sama dengan program pemerintah yang didukung utang luar
negeri, sejak tahun 1993 tubuh orang miskin muncul dalam kelompok masyarakat
atau disingkat pokmas (Mubyarto 2000, 1-6). Organisasi yang mengawasi dan
mengorganisasikan program penanggulangan kemiskinan kemudian resmi
dibentuk pemerintah secara beruntun sejak tahun 2000 hingga kini.2
Dalam sifat kemiskinan yang relatif, peperangan terjadi untuk menentukan
jenis dan jumlah orang miskin. Kekuasaan yang lebih dominan memunculkan
makna kemiskinan yang lebih dominan, sekaligus melemahkan atau
menghilangkan tafsir kemiskinan lainnya. Pada waktu tubuh Indo Eropa
digolongkan miskin, tubuh pribumi dengan tingkat pengeluaran ekonomi lebih
rendah dilepaskan dari taksonomi ini (Gouda 2007: 196). Meskipun akademisi
menegaskan kemiskinan di pedesaan (Geertz 1983: 102; Singarimbun dan Penny,
1976: 50-61), namun semasa pemerintahan Soekarno dan pada awal pemerintah
Soeharto justru kegotongroyongan warga desa dipandang sebagai modal
pembangunan untuk mengimbangi persoalan ketimpangan sosial di perkotaan.3
Saat kemiskinan di pedesaan yang ditangani kelompok masyarakat dimunculkan
lebih kuat pada dekade 1990-an, peran pemerintah daerah diminimalkan (Sajogyo,
ed. 1997: 116-136). Berlawanan dari itu, sejak dekade berikutnya peran
pemerintah, pemerintah daerah dan swasta meninggalkan peran kelompok
masyarakat.4
Tahun 1955 tentang pengubahan dan tambahan pasal 4 undang-undang nomor 18 tahun 1953 (lembaran negara nomor 48 tahun 1953) tentang penunjukan rumah-sakit rumah-sakit partikulir yang merawat orang-orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu. 1 Mandat normatif untuk menangani fakir miskin tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) periode 1973-1978, 1978-1983, 1983-1988, 1988-1993, pada arah kebijakan bidang Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan, pada sektor Kesejahteraan Sosial. 2 Melalui pembentukan Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) pada tahun 2001, Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) pada tahun 2001, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) pada tahun 2005, dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2010. 3 Untuk pandangan Presiden Soekarno lihat Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berentjana, Bagian Tertulis jang Disampaikan kepada Depernas, 28 Agustus 1959, halaman 45; untuk pandangan pemerintahan Presiden Soeharto lihat Pola Dasar Program Umum Nasional dan Pola Dasar Rentjana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), 29 Pebruari 1968, halaman 34. 4 Seluruh perencanaan penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat disalurkan bersama-sama perencanaan pemerintah dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Lihat Panduan Pelaksanaan PNPM PISEW Tahun 2010, halaman 52-53.
4
Peperangan tidak hanya muncul pada tataran tafsir atau diskursus,
melainkan juga dalam praktik. Setiap diskursus yang kuat dikembangkan lebih
lanjut dengan pembentukan lembaga dan organisasi tersendiri. Kelembagaan ini
mendisiplinkan tingkah laku agar berpola sesuai diskursusnya sendiri.
Perkembangan kelompok masyarakat miskin selama tahun 1993-1998 mengarah
untuk membentuk gerakan masyarakat, mengikuti arahan dari pemerintah yang
kuat menuju masyarakat yang kuat (Mubyarto 1996: 27-28, 59-60).
Diskontinuitas terjadi ketika muncul arah yang berkebalikan dari Program IDT
tersebut, untuk menguatkan pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Telah
disebutkan di muka, bahwa sejak tahun 2008 penanganan kemiskinan diarahkan
untuk masuk dalam struktur perencanaan pembangunan dari tingkat desa,
kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
Dengan meletakkan kumulasi maupun diskontinuitas penanganan
kemiskinan di pedesaan Indonesia seperti di atas, analisis yang pernah dilakukan
selama ini terlihat mengandung berbagai kelemahan. Analisis budaya sejak awal
sulit memutuskan budaya kemiskinan sebagai faktor penyebab munculnya
masalah sosial lain (Lewis 1993: 6), ataukah kemiskinan menjadi akibat dari
kemunculan masalah sosial yang berbeda (Geertz 1983: 150). Analisis kemiskinan
struktural (Soemardjan 1984: 5-11) sulit mempertimbangkan penciptaan berulang
kali organisasi penanggulangan kemiskinan di tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota sejak tahun 2001 berikut penciptaan puluhan ribu kelompok orang
miskin, namun diikuti dengan peningkatan kemiskinan relatif, sebagaimana
ditunjukkan oleh peningkatan koefisien Gini sebesar 0,33 pada tahun 2001
menjadi 0,37 pada tahun 2009.1 Analisis berbasis agensi sulit mempertimbangkan
persaingan pendefinisian kemiskinan yang terbentuk justru dalam agensi yang
sama. Dalam pemerintahan telah berkembang perbedaan definisi dan jumlah
golongan miskin, seperti perbedaan antara Badan Pusat Statistik, Kementerian
Sosial, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan Bappenas. Analisis
ekonomi dalam kaitannya dengan pembangunan sulit menjelaskan jumlah (lebih
dari 17 juta) dan persentase (56 persen) orang miskin jauh lebih tinggi di Jawa
dibandingkan wilayah lain (BPS 2011: 40), padahal industrialisasi dimulai dari 1 Data koefisien Gini menurut pengeluaran rumahtangga yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik tahun 2003 hingga tahun 2011.
5
Jawa sejak masa penjajahan dan pembangunan tetap terkonsentrasi di sana hingga
kini.
Dengan menyadari kelemahan analisis selama ini, diperlukan pola analisis
baru yang mampu memperhitungkan beragam makna kemiskinan, hubungan antar
agensi yang melintasi pelapisan sosial, dan diskontinuitas perang antar beragam
makna kemiskinan. Penelitian mengajukan alternatif analisis diskursus
kemiskinan. Dalam membentuk pengetahuan yang kuat, diskursus kemiskinan
secara timbal balik membentuk praktik-praktik khusus. Perang antar diskursus
kemiskinan sekaligus terwujud dalam upaya dominasi antar agensi maupun
struktur sosial.
Analisis diskursus terhadap kemiskinan pada level global sudah dimulai
sejak awal 1990-an. Analisis tersebut telah mampu menunjukkan kekuasaan
pemaknaan kemiskinan oleh donor dan negara maju, yang digunakan untuk
melangsungkan pembangunan di negara-negara miskin (Rahnema 1992: 167-
169). Telah ditemukan dikotomi antara makna kemiskinan menurut donor dan
negara maju yang berbeda dari makna yang berkembang di negara miskin atau di
tengah masyarakat miskin.
Sayangnya beragam analisis diskursus kemiskinan selama ini masih belum
menggali aneka diskursus kemiskinan lokal, kecuali hanya sebagai satu kutub dari
dikotomi dengan negara maju.1 Masih diperlukan kajian lebih mendalam untuk
mendapatkan beragam diskursus kemiskinan, khususnya yang tercipta di pedesaan
Indonesia. Tertuju pada kritik terhadap dominasi diskursus kemiskinan donor dan
negara maju, jaringan peperangan antar beragam diskursus kemiskinan bahkan
belum digali secara mendalam.
Secara khusus kajian di wilayah pedesaan penting, karena persentase
penduduk miskin di pedesaan mendadak melampaui perkotaan serentak dengan
penerbitan Inpres Nomor 5 Tahun 1993 (Inpres Desa Tertinggal), diikuti dominasi
program pengurangan kemiskinan di pedesaan hingga kini. Akan tetapi undang-
undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin hendak
memusatkan penanganan kemiskinan perkotaan sebagaimana terbaca dari
1 Lihat contoh pada hasil kajian Levinsohn (2003: 6-9), Mohan (2001: 153-167), Mosse (2001: 16-35), Rahnema (1992:169-174).
6
alternatif penanganan melalui rumah singgah, panti, dan sebangsanya, yang biasa
terdapat di perkotaan.
Perumusan Masalah
Meskipun terdapat beragam diskursus dan praktik penanggulangan
kemiskinan, tampaknya kewajiban negara untuk memajukan kesejahteraan umum
dalam Pembukaan UUD 1945 belum terwujud, terutama di pedesaan. Pertanyaan
pokok dan pertama yang diajukan dalam penelitian ini ialah, mengapa kekuasaan
yang beroperasi belum mampu menanggulangi kemiskinan di pedesaan.
Dengan menyadari keberadaan berbagai diskursus kemiskinan yang
memiliki kekuatan untuk mendominasi tafsir kemiskinan, perlu dipelajari proses
pembentukan masing-masing diskursus tersebut. Meskipun muncul beragam
diskursus, namun hal tersebut belum mampu menanggulangi kemiskinan di
pedesaan. Berkaitan dengan itu, rumusan masalah kedua ialah, bagaimana
kekuasaan beroperasi dalam membentuk dan mengelola beragam diskursus dan
praktik kemiskinan di pedesaan.
Dibutuhkan pula pengetahuan perihal perang antara diskursus dan praktik
sosial yang satu dengan lainnya, karena dalam peperangan tersebut upaya
penanggulangan kemiskinan yang satu dapat ditenggelamkan oleh upaya
kemiskinan lainnya. Seluruh pola hubungan tersebut mengikutsertakan kekuasaan,
atau kekuasaan terbangun dari hubungan tersebut. Dalam kaitan ini diajukan
permasalahan ketiga, mengapa perang antar diskursus dan praktik kemiskinan
berlangsung secara terus menerus.
Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan beragam permasalahan di atas, penelitian ini memiliki
tujuan yang ingin dicapai, yaitu, pertama, menginterpretasi kemunculan
keragaman diskursus, strategi penggunaan kekuasaan, dan praktik pengelolaan
kemiskinan di pedesaan. Kedua, menginterpretasi hubungan kekuasaan dalam
7
perang antar diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan. Ketiga, memunculkan
golongan miskin untuk menanggulangi kemiskinannya sendiri.
8
BAB 2
PENDEKATAN TEORETIS
Tinjauan Pustaka
Filsafat Kuasa/Pengetahuan
Di tengah kritik lemahnya landasan filosofis karya ilmiah di Indonesia
(Sajogyo, 2006: 65), satu bagian khusus perihal landasan filosofis penelitian ini
perlu disertakan, pertama, untuk mengetengahkan posisi filosofis penelitian,
dengan menunjukkan ide-ide filosofis tertentu yang digunakan dalam penyusunan
teori dan metode. Posisi penelitian ini berada dalam ranah episteme. Kedua, untuk
mengajukan kritik dan membuka peluang penelitian baru dalam ilmu-ilmu sosial.
Kajian beragam diskursus kemiskinan dalam suatu waktu yang sama
dimungkinkan, dengan terlebih dahulu mengetengahkan domainnya yang
berbeda-beda. Adapun interaksi antar beragam diskursus –sebagai konsekuensi
dari kemunculannya dalam waktu yang bersamaan—berpeluang dikaji melalui
konsep kekuasaan dan praktik sosial.
Konsep episteme, yang mula-mula berkembang dalam filsafat Perancis,
digunakan sebagai pangkal tolak pembahasan. Sementara konsep epistemologi –
yang lebih dikenal—menggali berbagai cara yang digunakan manusia untuk
mendapatkan pengetahuan, episteme secara khusus merujuk pada kegiatan untuk
menelusuri sejarah timbulnya, berkembangnya, hingga berubahnya suatu
pengetahuan atau disiplin.1 Dalam penelitian ini episteme diarahkan pada
perkembangan pengetahuan perihal kemiskinan.
Georges Canguilhem menyajikan kekhususan kajian terhadap sejarah
pengetahuan tersebut. Filsuf lainnya membedakan atau menyusun demarkasi
pengetahuan ilmiah dari pengetahuan masyarakat umumnya, dan secara sengaja
hanya mengkaji ilmu pengetahuan yang ilmiah (Popper 2008: viii), namun
episteme sengaja tidak membedakan kedua jenis pengetahuan tersebut. Golongan 1 Pembedaan pengertian ini diambil dari K. Bertens (2006: 178).
10
filsuf yang meninggikan derajat ilmu pengetahuan mendasarkan argumennya pada
pandangan bahwa susunan jenis pengetahuan ini sistematis. Sebaliknya dalam
episteme berkembang pandangan bahwa dalam tiap jenis pengetahuan, termasuk
pengetahuan umum dalam masyarakat, terdapat susunan yang terstruktur dan
sistemik. Struktur tersebut telah ditemukan baik pada masyarakat Barat1 maupun
dalam komunitas tribal.2 Canguilhem (2005: 79) menjelaskannya sebagai berikut.
A culture is a code that orders human experience in three
respects – linguistic, perceptual, practical; a science or a philosophy is a theory or an interpretation of that ordering. But the theories and interpretations in question do not apply directly to human experience. Science and philosophy presuppose the existence of a network or configuration of forms through which cultural productions are perceived. These forms already constitute, with respect to that culture, knowledge different from the knowledge constituted by sciences and philosophies. This network is invariant and unique to a given epoch, and thus identifiable through reference to it.
Diskontinuitas sejarah pengetahuan berkaitan dengan pandangan, bahwa
perkembangan tiap jenis pengetahuan terbatas menurut ruang dan waktu, tidak
bersifat universal baik dalam arti teorinya berguna untuk masyarakat sedunia, atau
teorinya berlaku sepanjang waktu. Konsekuensinya metode untuk menilai atau
mengontrol pengetahuan juga tidak universal, melainkan hanya sesuai dengan
ruang dan waktu perkembangan jenis pengetahuan tersebut.
Konsekuensi yang lebih mendasar muncul dalam perumusan sejarah
pengetahuan. Perkembangan pengetahuan tidak bersifat kumulatif, melainkan
bersifat diskontinu.
Adapun hubungan antar diskursus yang telah memiliki domainnya sendiri-
sendiri dapat dilakukan melalui filsafat kekuasaan. Pengetahuan tidak disusun atas
fakta-fakta obyektif atau realis, melainkan terbatas pada tafsir atas metafora
(Nietzsche 2002: 45-47). Dengan kata lain, pengetahuan menjadi bersifat
imajiner, yang menyembunyikan perspektif dan hasrat penyusunnya. Kesadaran
1 Canguilhem (2005: 90) menunjukkan dikotomi "yang normal" dan "yang abnormal" (atau pernah disebutnya "yang patologis" (Foucault 2002: 394)) dalam struktur pengetahuan Barat masa kini. 2 Levi Strauss menemukan struktur majemuk dikotomis dalam masyarakat tribal (lihat Levi Strauss 2005: 375-433).
11
pengetahuan seseorang selalu berupa kesadaran-atas-hierarki antara penafsir yang
lebih kuat dan yang lebih lemah.
Tafsir tidaklah netral atau sekedar sesuai dengan kepentingan pelakunya
sebagaimana pandangan konstruktivisme, namun di sini tafsir terkuat muncul
sebagai tanda bekerjanya kekuasaan tertinggi yang melingkupinya. Tafsir atas
sesuatu diketahui melalui kekuasaan yang dimilikinya atau diekspresikan olehnya.
Dengan demikian kekuasaan mendominasi realitas, sehingga suatu hubungan
antara diskursus dan praktik yang satu dengan lainnya selalu menunjukkan
kekuasaan penafsiran terkuat. Persepsi yang disusun peneliti terhadap realitas
tersebut juga merupakan ekspresi atas kekuasaan-kekuasaan yang membentuk
realitas tersebut. Peneliti dapat menangkap makna dari perang diskursus pada saat
mengetahui kekuasaan utama yang menyusun tafsir tersebut. Suatu kekuasaan
yang ditemukan, sebaliknya, dapat menjadi petunjuk tafsir utama yang mungkin
diambil dari hasil perang diskursus tersebut. Namun demikian, hierarki penafsiran
tidak membuat pemaknaan homogen, namun pemaknaan atas sesuatu senantiasa
bersifat plural. Obyek tidak pasif, namun ia sendiri merupakan kekuasaan, atau
yang mengekspresikan kekuasaan untuk memaknai. Oleh sebab itu terdapat
kekuatan tarik menarik antara obyek dengan kekuatan yang menguasainya
(Nietzsche 2000: 81-83).
Dalam bentuk saling berkaitan atau berinteraksi dengan kekuasaan lain,
kekuatan ini dinamakan sebagai kehendak untuk berkuasa (Nietzsche 2002: 45-
47). Yang diinginkan oleh kehendak untuk berkuasa ialah menegaskan
perbedaannya, distingsinya, atau diskontinuitasnya dari kekuatan lain. Kelahiran
pembedaan menunjukkan kehendak untuk berkuasa sebagai elemen genealogis,
dengan cara tidak menghapuskan kesempatan (misalnya praktik untuk melarang),
sebaliknya mengimplikasikan peluang berpraktik atau bersifat produktif. Suatu
kesempatan akhirnya membawa kekuasaan dalam suatu hubungan praktis atau
hubungan sosial, dan kehendak untuk berkuasa merupakan prinsip yang
menentukan praktik ini.
12
Pemandangan Baru Sosiologi
Gerakan akademis berupa putaran linguistik (linguistic turn) yang bermula
di Perancis pada dekade 1960-an dan 1970-an telah mengubah karakteristik ilmu-
ilmu sosial masa kini, yang benar-benar berbeda dari era sebelumnya (Ritzer
2006: 1-3; Sutherland 2008: 46-66). Tantangan tidak hanya berlaku pada teori-
teori umum, namun juga pada teori-teori yang dikembangkan dari wilayah khusus,
misalnya dari Indonesia (Dhakidae 2002: 60-66; Philpott 2003: 56-67). Pengaruh
putaran linguistik tidak sekedar berupa pengembangan strukturalisme sebagai
konsekuensi dari teori linguistik dari Saussure (1993: 85-101), melainkan hingga
kritiknya dalam bentuk pascastrukturalisme dan pascamodernisme (Hoed 2008:
55-73). Kritik terhadap strukturalisme inilah yang digunakan dalam penelitian ini.
Salah satu konsep dasar Saussure (1993: 85-87) tentang hierarki antara
langue yang lebih umum dan parole yang spesifik diadaptasi dalam menganalisis
hubungan hierarkis antara struktur sosial yang lebih abstrak, lebih umum serta
tahan lama, dan interaksi sosial yang lebih kongkrit, spesifik lokasi dan waktu.1
Selain itu, hubungan antara petanda yang lebih konseptual dan penanda yang lebih
operasional (Saussure 1993: 145-151) mengantarkan pemikiran untuk
menganalisis hubungan sosial secara lebih mendalam. Hubungan antara petanda
dan penanda sejajar dengan representasi sosial yang bersifat lebih abstrak dalam
hubungannya dengan referen secara fisik, hubungan antara struktur dan agensi,
serta antara habitus dan arena. Analisis tidak hanya diterapkan pada interaksi antar
individu sebagai hubungan sosial primer, melainkan lebih difokuskan pada
hubungan refleksif (Bourdieu 2011: 173-174; Giddens 2003: 49-53) yang mampu
mempertanyakan konsep-konsep dasar dalam kehidupan sosial (Habermas 1996:
94-99) maupun menjelaskan hubungan yang lebih abstrak antar institusi (2002a:
64).
Pengaruh strukturalisme telah melemahkan posisi subyek,
menghilangkannya, atau meletakkannya sebagai anonimitas (Habermas 1996: 28-
41; Bourdieu 2010a: 3-25). Subyek tidak bisa muncul dan bertindak secara bebas
sebagaimana diteorikan oleh tindakan sosial weberian (Weber 1978: 4-26), 1 Tampaknya Saussure menggunakan ide dualisme struktur dan interaksi sosial dari Durkheim (Kridalaksana 1993: 5)
13
melainkan dimunculkan oleh atau mengambil posisi terbatas dalam institusi atau
arena yang sudah ditentukan (Bourdieu 2010a: 3-25; Foucault 2007: 62-69) atau
berperan sebagai agensi yang dipengaruhi struktur (Giddens 2003: 6-34).
Menggunakan hasil analisis Freud (2003: 140-158) tentang keberadaan id
(ketidakrasionalan) yang mempengaruhi ego, serta hipotesis Darwin (2003: 434-
461) tentang evolusi manusia dari makhluk yang sederhana, hadir penyangkalan
terhadap dominasi subyek yang rasional sekaligus mempertanyakan rasionalitas,
bahkan meletakkannya di bawah posisi ketidakrasionalan. Sebagai gantinya
dikemukakan kehendak dan kekuasaan sebagai pengarah penting tingkah laku
manusia1 (Foucault 2002d: 65-66, 2008: 120-126). Sebagian teoretisi
mengemukakan konsep kesempatan (chance) untuk menjelaskan “ruang kosong”
yang mempengaruhi pilihan dan tindakan individu dan kelompok tersebut (Sibeon
2004: 34-45). Pembalikan posisi subyek rasional di bawah ketidakrasionalan
memungkinkan kajian mendalam terhadap suara lapisan terbawah, seperti sastra
pascakolonial (Said 2001: 3-20), kemiskinan radikal (Rahnema 1992: 158-172),
orang gila (Foucault 2002b: 323-334), homoseksual (Foucault 2008: 56-74), dan
sebagainya.
Pengaruh linguistik saussurean juga menguatkan relasi atau jaringan baik
antar orang atau antar institusi. Satu pihak saja tidak dapat mendefinisikan sesuatu
tanpa berinteraksi dengan pihak lain (Levi-Strauss 2005: 43-73), dan hanya dalam
interaksi itulah dapat dimunculkan pengetahuan, konsensus untuk bersikap atau
bertindak. Konsekuensinya bagi sosiologi mendalam, karena pandangan tersebut
menghancurkan konsep struktur yang kaku dalam bentuk pembagian kerja
(Durkheim 1933: 70-132) atau kelas (Marx dan Engels 1960: 49-67), sebagai
pola-pola yang dapat digunakan untuk memprediksi sikap, tindakan, dan
pemikiran. Pada saat ini paling-paling yang dapat dimunculkan berupa proses
menuju penciptaan struktur namun relatif cair atau mudah berubah, misalnya
berupa strukturasi (Giddens 2003: 19-34) atau arena (Bourdieu 2010a: 5).
Konsekuensi berikutnya berupa semakin pentingnya interaksi sebagai
penghasil konsep kunci sosiologis lainnya. Kekuasaan tidak bisa lagi dialamatkan
pada suatu status, posisi, atau institusi sosial apa adanya (Weber 1958: 180-195;
1 Salah satu pendapat awal tersebut dikemukakan oleh Lacan (Bracher 2009: 29-73)
14
Parsons, 1977: 204-228; Marx dan Engels 1960: 49-67), melainkan kekuasaan
hanya muncul dalam suatu interaksi antar individu atau antar institusi (Foucault,
2002a: 62-65, 2002d: 120-128).
Kekuasaan menjadi muncul di mana-mana, sejauh interaksi sosial
berlangsung. Hal itu mengantarkan pada pemikiran, bahwa kekuasaan melandasi
interaksi sosial. Dalam kaitan dengan tanda-tanda yang dianalisis linguistik
saussurean, kekuasaan ditunjukkan oleh kemampuannya dalam mendominasi
tafsir terhadap tanda tersebut. Sebuah tanda dapat memiliki tafsir yang beragam
dan bertingkat-tingkat, namun pada akhirnya suatu definisi atau makna atas tanda
dalam suatu masyarakat tergantung kepada pemilik kekuatan dominan (Nietzsche
2000: 81-83).
Konsekuensi lebih jauh lagi pada pascastrukturalisme berupa upaya untuk
menunda hubungan langsung antara penanda dan petanda.1 Ruang kosong antara
penanda dan petanda diisi dengan kekuasaan (Foucault 2002d: 120-128), sehingga
pemikiran Nietzsche mendapatkan landasan empirisnya.
Selain menggugat hubungan langsung antara petanda dan penanda, para
penganut pascamodernisme menghilangkan penanda. Ketika suatu petanda
mengemukakan referennya, yang yang dimaksud bukan lagi suatu penanda yang
esensial atau riil, melainkan berupa petanda lainnya. Jaringan hubungan antar
petanda akhirnya membentuk simulakra yang tidak berakhir (Baudrillard 2001:
181-194), sehingga mewujudkan pemikiran antiesensialisme.
Perkembangan sosiologi masa kini memiliki konsekuensi dalam kajian
kemiskinan. Pertama, konsep kemiskinan dapat dianalisis recara refleksif atau
sebagai diskursus. Kedua, refleksi dan diskursus kemiskinan dihasilkan melalui
interaksi sosial. Ketiga, interaksi sosial mengandung kekuasaan untuk
mendominasi pemaknaan dan penciptaan diskursus kemiskinan, serta memerangi
diskursus lainnya. Keempat, golongan miskin, simpatisan atau pengelolanya
dalam suatu kondisi dan waktu tertentu dipandang memiliki diskursus kemiskinan
tersendiri yang sistematis, sehingga salah satu tugas peneliti ialah menemukan
sistem pengetahuan khas tersebut. Kelima, dimungkinkan munculnya beragam
diskursus kemiskinan dari golongan sosial yang berbeda-beda.
1 Sebagaimana diuraikan oleh Derrida (Spivak 2003: 133-156).
15
Memadukan Teori Diskursus dan Praktik Sosial
Analisis sosiologis dapat dilakukan dalam tataran diskursus, refleksif,
struktur sosial, dan pengelolaan benda-benda (Foucault 2002a: 62-65). Saat ini
belum ditemui teori sosiologi yang membicaraan sekaligus keempat tataran
tersebut, sehingga dalam penelitian ini dipadukan teori diskursus dari Foucault
dan teori sosiologi dari Bourdieu. Meskipun Foucault telah menunjukkan keempat
tataran analisis ilmu sosial tersebut, namun ia hanya mengembangkan secara
mendalam teori diskursus. Adapun Bourdieu (2010aa: 9-10) menyetujui analisis
diskursus Foucault, namun lebih banyak mengembangkan tataran refleksif dan
interaksi sosial. Keduanya sama-sama mengkaji susunan benda-benda, dalam
kaitannya dengan tataran analisis di atas. Keduanya juga bersepakat dalam paham
filosofis diskontinuitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan, mengembangkan
orientasi teori pada praktik sehari-hari, menyepakati konsep predisposisi sebagai
refleksi individu sebelum bertindak, dan munculnya kekuasaan secara inheren
dalam interaksi sosial.
Teori diskursus sendiri telah dikembangkan oleh banyak ahli, diantaranya
Foucault, Habermas, Laclau dan Moffe. Dibandingkan teori diskursus lainnya,
karya Foucault memiliki metode yang lengkap, dan telah dipraktikkan pada
berbagai bidang, termasuk dalam kritik pembangunan dan kemiskinan.
Pada tataran refleksif, Bourdieu (2010a: 5-58) menyatakan bahwa dalam
diri agensi terwujud predisposisi sikap untuk melakukan tindakan, yang
dinamakannya habitus. Interaksi sosial antar agensi terstrukturkan dalam suatu
arena. Konsep agensi digunakan untuk menunjukkan kemampuannya membentuk
struktur, sekaligus kenyataan bahwa dirinya turut dipengaruhi oleh struktur
sekelilingnya. Dalam arena tersebut, hubungan antar agensi secara empiris
didorong oleh habitus dan berbagai modal yang dimilikinya. Modal tersebut dapat
dirumuskan sebagai modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal
simbolik. Sebenarnya Foucault (2003: 12-17) sempat menuliskan hubungan antara
diskursus dan lembaga sosial. Dengan membandingkan kesamaan tataran analisis,
konsep lembaga menurut Foucault setara dengan arena menurut Bourdieu (Tabel
1).
16
Tabel 1. Kesetaraan Analisis antara Foucault dan Bourdieu Tataran Analisis Sosiologi Konsep Foucault Konsep Bourdieu
Diskursus Diskursus Diskursus Refleksif Refleksif Habitus Struktur sosial Lembaga Arena Susunan benda-benda Susunan benda-benda Modal ekonomi
Suatu interaksi, baik berupa interaksi sosial dalam arena atau lembaga,
maupun interaksi antar diskursus, dijelaskan sebagai suatu strategi (Bourdieu
2010a: 5; Foucault 2002a: 89-98). Konsep ini digunakan karena persis pada saat
interaksi berlangsung, maka turut serta kekuasaan yang dilimpahkan dari satu
agensi, struktur atau diskursus kepada pihak lainnya. Di sini kekuasaan tidak
didefinisikan sebagai semacam entitas tersendiri atau terstruktur hanya pada
lembaga politik, namun lebur dalam setiap interaksi.
Gambar 1. Paduan Teori Diskursus dan Teori Praktik Sosial
Perpaduan teori diskursus Foucault dan teori sosiologi Bourdieu dapat
disusun dengan menempatkan diskursus sebagai konteks yang mendasari
keseluruhan refleksi dan tindakan sosial (Gambar 1). Hubungan antara diskursus
dan arena atau habitus tidak terjadi secara langsung, namun hanya saat diskursus
secara efektif mendukung eksistensi arena atau habitus tersebut.
Diskursus
modalHabitus 1
Habitus 2modal
stra
tegi
arena
17
Interaksi sosial antar agensi dapat digambarkan sebagai hubungan antar
habitus dalam suatu arena. Sementara habitus bersifat subyektif, arena memiliki
sifat obyektif dan terstruktur secara lebih ketat. Hubungan antara habitus dan
arena hanya dapat berlangsung ketika prasyarat untuk memasuki arena sesuai
dengan predisposisi habitus. Predisposisi tersebut diperoleh melalui sejarah dan
pemikiran refleksif.
Berbagai jenis modal turut mendorong interaksi antar habitus. Hubungan
interaktif tersebut berlangsung sebagai suatu jaringan sosial, meskipun melewati
struktur yang hierarkis. Interaksi berlangsung sebagai suatu strategi yang
melibatkan kekuasaan antar agensi.
Diskursus menurut Foucault
Di antara beragam teori diskursus, terdapat tiga teori diskursus yang lebih
kuat sebagai landasan bagi munculnya analisis hingga teori sosial baru. Pertama,
teori diskursus dari Foucault (2002a: 28-188; 2003: 9-62), sebagai basis
pengembangan teori poskolonial, kekuasaan yang produktif untuk memampukan
atau memberdayakan, teori gay, teori pasca pembangunan, kritik modernitas
(Sachs 1992: 1-5; Said 2001: 3-20). Kedua, teori diskursus dari Laclau dan Moffe
(2008: 1-63), sebagai basis analisis hegemoni masa kini, post-Marxis,
konstruktivisme marxian dalam antropologi dan psikologi. Ketiga, teori diskursus
dari Habermas (1996: 118-132), dikembangkan dalam teori demokrasi deliberatif
dan analisis terhadap konflik (Dryzek 2002: 20-30).
Perbandingan antar teori diskursus tersebut tersaji pada Tabel 2.
Keseluruhan teori diskursus tidak memandang realitas sosial sebagai fakta,
melainkan sebagai metafora atau makna sesuai pandangan agensi. Manusia
sebagai subyek yang bebas dalam merekayasa dan meramalkan kejadian sosial
tidak lagi dipercaya.
Secara khusus penelitian kali ini menggunakan teori diskursus dari
Foucault, karena selama ini juga digunakan dalam menganalisis pihak-pihak yang
di-Lain-kan (Othered) atau tersisih, yaitu orang gila, orang sakit, narapidana, gay.
Dalam penelitian ini, upaya untuk menampilkan golongan miskin di tingkat lokal
18
pedesaan sebagai pihak yang di-Lain-kan dilandasi penolakan penggunaan tipe
ideal dari narasi besar modernisasi, kesediaan menggali beragam diskursus dan
praktik yang rasional (modernisasi) maupun bukan rasional (dari orang miskin
sendiri), serta pandangan kekuasaan yang menyebar dalam seluruh interaksi sosial
(sehingga orang miskin dipandang turut memiliki kekuasaan pula).
Tabel 2. Teori Diskursus Foucault, Laclau dan Moffe, serta Habermas
Keterangan Teori Diskursus Foucault Teori Diskursus Laclau dan Moffe
Teori Diskursus Habermas
Realitas Antiesensialisme Antiesensialisme Antiesensialisme Filsafat subyek
Ditolak Ditolak Ditolak
Universalisme Ditolak, dikembangkan narasi lokal
Ditolak, tergantung konstruksi masing-masing masyarakat
Klaim-klaim kebenaran bersifat universal
Diskontinuitas Diterima Diterima Ditolak, karena terdapat konsensus
Rasio Bawah sadar mendahului rasio
Sistematis Rasio prosedural
Tipe ideal Tidak mempercayai tipe ideal
Tidak mempercayai tipe ideal, realitas sesuai konstruksi masyarakat
Tindakan komunikatif merujuk tipe ideal
Kekuasaan Kekuasaan inheren dalam interaksi
Kekuasaan diskursif dalam bentuk hegemoni atau resistensi
Muncul dalam filsafat subyek
Peran diskursus
Memungkinkan munculnya refleksi, pemikiran dan susunan benda-benda
Memahami realitas sesuai konstruksi kepentingan tiap masyarakat
Memungkinkan komunikasi yang bersifat reflektif (bukan komunikasi naif)
Wilayah diskursus
Hanya pada tataran diskursus, bukan pada tataran refleksif/institusional, interaksi sosial, dan pengorganisasi benda
Pada seluruh tataran, baik diskursus, organisasi dan institusi, interaksi sosial, dan susunan benda-benda
Hanya pada praksis tindakan komunikatif
Tindakan manusia
Didisiplinkan oleh diskursus dan institusi
Dipengaruhi hegemoni Bersifat rasional, untuk mencapai konsensus
Susunan benda-benda
Diperhatikan, tidak bersifat diskursif
Tidak diperhatikan, bersifat diskursif
Tidak diperhatikan, tidak bersifat diskursif
Analisis diskursus sebagai kesatuan dapat dilakukan karena menerima
pandangan diskontinuitas untuk memperoleh pengetahuan yang benar-benar
berbeda (distinctif). Analisis diskursus menurut Foucault dibatasi pada tataran
diskursus, sedangkan tataran tindakan manusia dan susunan benda-benda tidak
memiliki hubungan langsung dengan diskursus. Hubungan yang tidak langsung
19
ini memungkinkan interaksi antar diskursus, dan memungkinkan analisis
perubahan sosial yang bersumber dari tataran diskursus maupun praktik.
Pembentukan Diskursus
Diskursus didefinisikan sebagai pernyataan yang memungkinkan
sekelompok tanda-tanda sebagai obyek suatu diskursus menjadi eksis (Foucault
2002a: 152-153), serta memungkinkan hadirnya bentuk dan aturan-aturan
kehadiran tanda-tanda kemiskinan tersebut. Sebuah pernyataan dikaitkan dengan
kemungkinan aturan-aturan bagi eksistensi obyek-obyek kemiskinan yang
dinamai, ditunjuk dan ditandai dalam pernyataan tersebut, dan bagi relasi antar
agensi yang diakui atau dibentuk di dalamnya.
Tabel 3. Kesejajaran Level Analisis Umum dan Pembentukan Diskursus Foucault
Level Analisis Umum Level Formasi Diskursus Teori Strategi Proposisi Modalitas penyampaian Konsep Konsep Fakta Pernyataan
Kajian pembentukan diskursus terdiri atas level strategi, modalitas
penyampaian, konsep, positivitas, dan pernyataan (Tabel 3). Mengadaptasi
pemikiran Foucault (2002a: 56-77), bentuk diskursif kemiskinan ialah
sekelompok pernyataan yang menunjukkan: (1) seperangkat aturan umum yang
membentuk sendiri obyek kemiskinan (pemikiran, tindakan, susunan benda-
benda), (2) secara teratur memilah-milah hal yang boleh disampaikan, dan (3)
referensi dari suatu domain tindakan dan pemikiran. Bentuk diskursif terdiri atas
analisis pernyataan kemiskinan (pembentukan obyek, pembentukan posisi subyek,
pembentukan konsep, pembentukan pilihan strategi), yang berkorespondensi
dengan analisis domain tempat fungsi penyampaian informasi kemiskinan bekerja
(wilayah peristiwa diskursif dan modalitas penyampaian). Hal ini tersaji pada
Gambar 2.
Obyek diskursus kemiskinan dibentuk mula-mula dengan dipetakannya
kemunculan obyek pikiran, tindakan dan benda-benda pertama kali (surface of
20
emergence). Bagi penganutnya, obyek diskursus baru dipandang lebih rasional
daripada diskursus lama. Analisis diarahkan kepada cara untuk menentukan dan
membatasi domain suatu diskursus kemiskinan, hal-hal yang boleh dibahas di
antara penganutnya, status suatu obyek dihubungkan dengan obyek kemiskinan
lainnya, penamaannya, dan pengelompokan yang dimungkinkan.
Wilayah peristiwa diskursif
Pembentukan obyek
Modalitas penyampaian
Pembentukan konsep
Pembentukan strategi
Pembentukan subyek
Analisis Pernyataan
Domain diskursus
Gambar 2. Bentuk Diskursif
Pembentukan subyek dikembangkan melalui situasi yang memungkinkan
golongan miskin dan pihak lain bertindak dalam kaitannya dengan berbagai
peluang tindakan yang diperbolehkan, yang disebut domain diskursus. Situasi
tersebut dikondisikan oleh jangkauan pemikiran, tindakan dan penyusunan benda
yang paling optimal, penggunaan perantara untuk memodifikasi informasi, dan
posisi di mana subyek bisa masuk ke dalam jaringan informasi.
Pengembangan diskursus kemiskinan secara khusus menciptakan
kebutuhan analisis modalitas penyampaian. Analisis mencakup, pertama, subyek
yang berbicara: yang memiliki hak, yang berkompeten, sumber untuk
mendapatkan kemampuan khusus itu, dan status subyek tersebut. Kedua, institusi
atau arena tempat subyek menyusun suatu diskursus kemiskinan, menerima
sumber diskursus, atau mengaplikasikannya. Ketiga, posisi subyek dalam
hubungannya dengan situasi untuk saling berhubungan dalam suatu diskursus
kemiskinan, serta kondisi tentang batas diskursus, instrumen yang digunakan, dan
posisinya dalam jaringan informasi kemiskinan. Analisis wilayah diskursif
21
diarahkan untuk menentukan syarat eksistensi golongan miskin, menjelaskan
batas-batas eksistensinya, menentukan korelasinya dengan pernyataan-pernyataan
lain yang mungkin tidak termasuk ke dalam wilayah diskursif tersebut.
Pengelolaan Diskursus
Lembaga sosial dan susunan benda-benda tidak bersifat diskursif.
Sementara diskursus bisa menemukan diskontinuitas dan berkembang lebih jauh,
lembaga sosial memainkan peranan utama untuk mengurangi efek revolutif
diskursus dalam melakukan perubahan sosial (Foucault 2003: 9-62). Penataan
diarahkan pada pengurangan atau pendisiplinan interaksi sosial yang secara
inheren menyebarkan kekuasaan.
Lembaga sosial menyusutkan kekuatan diskursus melalui aturan
penyisihan, yang mengontrolnya secara eksterior (Gambar 3). Aturan penyisihan
meliputi, pertama, aturan pengecualian (exclusion), yang berisi larangan
(prohibition) untuk membahas aspek-aspek tertentu dari kemiskinan. Kedua,
aturan pembagian (division) dan penolakan (rejection) dari suatu konsep
kemiskinan. Ketiga, oposisi salah dan benar atas suatu pernyataan tentang
kemiskinan yang disampaikan.
Aturan internal suatu diskursus kemiskinan mempertanyakan kontrol yang
dilakukannya sendiri. Pertama, pengaturan klasifikasi penataan dan distribusi
berbagai pernyataan tentang kemiskinan. Kedua, perhatian terhadap komentar
tentang kemiskinan karena memainkan dua peranan, yaitu berpeluang
menciptakan diskursus kemiskinan yang baru, atau sebaliknya dengan
mengatakan hal-hal biasa tanpa munculnya pernyataan baru. Ketiga, pengarang
(author) bukan sebagai subyek, melainkan sebagai kesatuan prinsip dalam satu
kelompok tulisan atau pernyataan-pernyataan tertentu, sebagai dudukan bagi
keterpaduan sistem pemikiran dalam suatu diskursus kemiskinan. Keempat,
keberadaan disiplin kemiskinan tertentu (bukan sains), yang dibentuk oleh
kelompok obyek, metode, sekelompok proposisi yang diandaikan benar, aneka
ragam aturan dan definisi, teknik dan peralatan sehingga membentuk tata aturan
yang anonim.
22
Gambar 3. Sirkulasi Diskursus
Aturan pengelolaan kekuasaan dalam diskursus kemiskinan meliputi,
pertama, ritual, berupa tindakan berulang dalam suatu diskursus kemiskinan.
Kedua, persahabatan diskursus (fellowship of discourse), berupa interaksi
solidaritas suatu diskursus kemiskinan dengan diskursus kemiskinan lainnya.
Ketiga, kelompok doktrinal dalam suatu diskursus kemiskinan. Keempat,
penyisihan sosial (social exclusion) bagi pihak lain yang dipandang sebagai orang
luar dari suatu diskursus kemiskinan.
Diskontinuitas Diskursus
Pembentukan diskursus kemiskinan tidak hanya membuka peluang
munculnya diskursus yang sudah dikenal, namun sekaligus dapat menemukan
Institusi sosial
Aturan penyisihan
Aturan pengecualian
Obyek yang ditutupi
Ritual dan keadaan ritual
Hak bicara istimewa dan
eksklusif
Aturan pembagian dan penolakan
Oposisi salah dan benar
Aturan internal
Prinsip klasifikasi, penataan, distribusi
Komentar
Aspek pengarang
Disiplin
Aturan pengelolaan kekuasaan
Ritual
Fellowship of discourse
Kelompok doktrinal
Penyisihan sosial
23
domain bagi munculnya calon diskursus kemiskinan lainnya. Domain bagi suksesi
suatu diskursus tersebut berupa suatu kejanggalan (Gambar 4).
Formasi dan
Sirkulasi diskursus
Arkeologi Diskursus
Kesatuan diskursus
Kejanggalan
Kontradiksi
Transformasi
Gambar 4. Arkeologi Diskursus
Kejanggalan yang menguat menghasilkan kontradiksi kemiskinan.
Terdapat dua level kontradiksi (Foucault 2002a: 150-179), pertama, kontradiksi
penampakan, yang telah didamaikan dalam kesatuan diskursus kemiskinan yang
lama. Kedua, kontradiksi fondasi, yang melahirkan diskursus kemiskinan yang
baru. Analisis diarahkan kepada tipe-tipe kontradiksi kemiskinan, perbedaan level
sesuai dengan kemampuan kontradiksi tersebut dipetakan, dan perbedaan peran
terhadap diskursus kemiskinan yang bisa dikaji.
Kontradiksi yang memuncak menghasilkan transformasi atau
diskontinuitas diskursus. Diskontinuitas merupakan praktik untuk menghasilkan
perbedaan, diferensiasi atau distingsi dari diskursus kemiskinan sebelumnya.
Praktik Sosial menurut Bourdieu
Hubungan antara diskursus dan praktik sosial berkaitan dengan efektivitas
diskursus untuk dijalankan dalam tindakan-tindakan sosial (Bourdieu 2011: 110-
112). Diskursus dan praktik dilaksanakan dalam ruang sosial (bukan ruang
24
geografis) di mana ketika agensi, kelompok atau institusi semakin dekat satu sama
lain, maka makin banyak sifat umum yang mereka miliki.
Bourdieu (2011: 31-32, 88) mengetengahkan teori tentang praktik untuk
menganalisis kejadian-kejadian sosial. Sementara lazimnya teori sosiologi
mencari struktur atau makna dalam jangka panjang, teori tentang praktik sosial
memperdalam tindakan yang diambil agensi dalam suatu ruang dan waktu yang
terbatas. Analisis diarahkan terhadap struktur sosial atau arena yang membatasi,
namun juga kemampuan agensi untuk menggunakan pengalaman dan
pemikirannya dalam memutuskan sesuatu perihal kemiskinan pada saat itu (saat
habitus bersesuaian dengan arena kemiskinan tertentu).
Habitus
Habitus merupakan sistem disposisi dari agensi (orang miskin, pengelola
praogram dan sebagainya), yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan melalui
sosialisasi atau pendidikan (Bourdieu 2010a: 5-58). Disposisi tersebut diperoleh
sepanjang pengalaman hidupnya, menciptakan prinsip-prinsip tindakan sehingga
dapat berfungsi untuk menyusun struktur pengelolaan kemiskinan. Dalam
merumuskan habitus, Bourdieu menggunakan berbagai sudut pandang.
Habitus yakni disposisi berdasarkan peraturan yang akan
melahirkan perilaku-perilaku berdasarkan aturan dan teratur (Bourdieu 2011: 85).
(Habitus adalah) asal-usul berupa skema persepsi, pikiran dan tindakan (Bourdieu 2011: 164).
Habitus…yaitu struktur-struktur mental yang mereka pakai untuk memahami dunia sosial, sebenarnya merupakan internalisasi struktur dunia tersebut (Bourdieu 2011: 173).
Habitus adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas praktik… Konsekuensinya habitus memproduksi praktik dan representasi yang dapat diklasifikasi, yang dapat dipilah-pilah secara obyektif (Bourdieu 2011: 174).
Dalam kaitan pedesaan dan orang miskin, Bourdieu mengemukakan
kekhasan habitus sebagai berikut.
25
Dalam masyarakat di mana kodifikasi hukum belum terlalu canggih, habitus adalah prinsip cara-cara praktik yang paling utama (Bourdieu 2011: 85).
Karena disposisi perseptif cenderung disesuaikan dengan posisi, maka para agen, bahkan yang tidak beruntung sekalipun, cenderung memahami dunia sebagai sesuatu yang alamiah dan memang begitu adanya serta menerimanya dengan enteng melebihi apa yang bisa dibayangkan orang (Bourdieu 2011: 173).
Sistem dalam habitus dibentuk melalui oposisi-oposisi pemikiran untuk
memahami lingkungan kemiskinan. Oposisi disusun menjadi beragam kode-kode
biner, sehingga bisa dipraktikkan melalui permainan homologi, yaitu
menggunakan kode-kode yang setara untuk memahami diskursus kemiskinan
yang lain (Bourdieu 2010a: 25-28). Permainan homologi antar oposisi terpenting
dapat membentuk struktur atau arena, dan menstrukturkan hubungan kekuasaan
serta antar lapisan sosial atas dan bawah. Homologi-homologi yang bersifat
oposisional tersebut juga membentuk aliansi di antara posisi-posisi yang serupa
(homolog).
Hubungan antara habitus dan arena dimulai dari pandangan, bahwa arena
merupakan serangkaian kesempatan atau prasyarat sosial yang obyektif,
sebagaimana halnya persyaratan untuk mendapatkan proyek pengurangan
kemiskinan. Agensi perlu menyesuaikan disposisinya yang subyektif dengan
ruang kesempatan obyektif yang sesuai, misalnya melalui pelatihan bagi golongan
miskin. Biasanya agensi memilih di antara kesempatan tersebut yang paling
mudah dimasuki, atau bersifat kontinum. Habitus yang bersifat diskontinu
terhadap persyaratan arena menyulitkan agen untuk memasuk arena tersebut.
Arena
Arena dapat dipandang sebagai struktur sosial yang hierarkis, yang
didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidahnya sendiri, dan
dengan relasi kekuasannya sendiri. Strukturnya dibentuk oleh hubungan antar
posisi dalam arena, misalnya mekanisme hubungan kewajiban dan hak antara
pengelola proyek pengurangan kemiskinan di pusat, provinsi, kabupaten, hingga
desa. Bourdieu (2010a: 5) sendiri mendefinisikan arena sebagai berikut.
26
Dan struktur arena, yaitu ruang posisi-posisi, tak lain
adalah struktur distribusi modal properti-properti spesifik yang mengatur keberhasilan di dalam arena dan memenangkan laba eksternal atau laba spesifik (seperti prestise sastra) yang dipertaruhkan di dalamnya
Pengalaman keragaman posisi yang pernah ditempati agensi dinamakan
lintasan (Bourdieu 2010a: 5-58), sebagaimana seringkali dimiliki pendamping
berbagai proyek pengurangan kemiskinan. Adapun hubungan antar agensi yang
melibatkan kekuasaan yang inheren disebut sebagai strategi. Strategi lazimnya
dilaksanakan secara tidak sadar dan bersifat jaringan.
Strategi dilakukan antar agensi dengan mempertimbangkan modal yang
dimiliki, baik berupa modal ekonomi dan sarana benda-benda, modal sosial,
modal budaya, dan modal simbolik. Distribusi agensi dalam arena tergantung dari
jumlah modal sosial mereka secara keseluruhan maupun jumlah relatif menurut
jenis modal yang spesifik. Modal lazimnya bersifat spesifik dalam suatu arena
tertentu, dan dengan modal tersebut agensi dapat bertahan dengan cara
menegaskan perbedaannya, membuat diri mereka diketahui dan diakui.
Perubahan dalam ruang kemungkinan atau kesempatan dalam arena
merupakan hasil dari hubungan kekuasaan yang membentuk ruang posisi-posisi
baru. Agensi yang baru yang lebih kuat dapat memodifikasi ruang posisi tersebut,
dan dapat terbentuk diskontinuitas arena baru.
Kemunculan Kekuasaan melalui Interaksi Sosial
Menurut Foucault (2008: 120-126) dan Bourdieu (2011: 195), kekuasaan
belum muncul ketika relasi sosial tidak terjadi, dan baru muncul sejalan dengan
relasi tersebut. Pemahaman kekuasaan semacam ini menggeser pemikiran
sebelumnya, misalnya pemikiran Weber (1958: 180-195) serta Marx dan Engels
(1960: 49-67), yang memandang kekuasaan sebagai kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi pihak lain. Di sini kekuasaan berdiam atau menempati seseorang
atau kelompok, atau kekuasaan sudah ada dalam diri seseorang atau kelompok.
Berbeda dari itu, dalam memandang kaitan diskursus, refleksi dan
interaksi sosial, kekuasaan tidak bersifat untuk dimiliki atau selalu represif,
27
melainkan bersifat praktis atau untuk dipraktikkan. Melalui hubungan antar
diskursus, habitus dan arena, operasi kekuasaan dapat bersifat produktif untuk
mengembangkan kesempatan agar individu bisa menggunakan kemampuannya
setinggi mungkin. Pada saat ini, misalnya, konsep pemberdayaan digunakan
pendamping untuk membuka peluang orang miskin agar mampu menjalankan
usaha ekonomi mikro.
Sewaktu memproduksi diskursus kemiskinan, kekuasaan menghasilkan
subyek atau agensi, seperti orang orang, keluarga miskin, pengusaha miskin, dan
sebagainya. Subyek aktif atau agensi memproduksi golongannya sendiri,
meskipun terikat hanya pada aturan-aturan diskursif yang sudah terbentuk. Agensi
tidak sepenuhnya muncul secara alamiah, melainkan diciptakan, misalnya melalui
ilmu pengetahuan sosial (Foucault 2007: 394-407). Kekuasaan masuk ke dalam
subyektivitas melalui diskursus dan habitus. Di sini subyek membentuk kondisi-
kondisi obyektif agar suatu pengetahuan dapat muncul ke permukaan arena sosial
(Bourdieu 2010a: 5-58).
Secara material maupun kultural, kekuasaan menampakkan jejaknya dalam
tubuh orang miskin. Agensi juga menampakkan diri dalam tubuh, dan kekuasaan
ditempelkan menjadi konstruksi identitas tubuh miskin (Bourdieu 2010b: 10-31).
Menurut Foucault (2002d: 71) tubuh sosial bukanlah merupakan konsensus,
namun lebih tepat dipandang sebagai perwujudan operasi kekuasaan.
Kebenaran suatu pengetahuan menginduksi efek-efek kekuasaan secara
teratur. Sesuai kaidah diskontinuitas, setiap masyarakat memiliki rezim kebenaran
sendiri. Rezim kebenaran ialah tipe diskursus tertentu yang diterima dan
difungsikan sebagai sesuatu yang benar (Foucault 2002d: 164-165). Suatu rezim
kebenaran kemiskinan tertentu mencakup berbagai mekanisme dan instansi yang
memampukan orang membedakan pernyataan yang benar dan salah atas suatu
tafsir kemiskinan, di mana setiap penilaian tersebut memiliki sanksi-sanksinya
sendiri. Rezim kebenaran juga beroperasi dalam bentuk teknik dan prosedur untuk
mencapai tafsir kemiskinan yang diharapkan. Rezim kebenaran selanjutnya
memberikan status sosial bagi subyek yang berani mengatakan aspek kemiskinan
yang dianggap benar.
28
Kajian Diskursus Kemiskinan secara Dikotomis
Di luar Indonesia, pembahasan kemiskinan sebagai diskursus telah dimulai
Rahnema (1992: 158-172), dengan informasi yang dapat ditelusuri dari abad ke
10, sebagaimana tercantum dalam tulisan sosiologis Ibn Khaldun dan kisah sufi
perempuan Rabiah Al-Adawiyah. Rahnema selanjutnya mendikotomikan
diskursus kemiskinan alternatif atau partisipatoris, dengan penguatan World Bank
dalam mengelola kemiskinan dari tingkat nasional hingga global melalui proyek-
proyek pengurangan kemiskinan. Pembentukan diskursus kemiskinan global ini
dimulai dari pidato Truman pada tahun 19471 (Esteva 1992: 6-25). Kemiskinan
dibentuk sebagai obyek diskursus yang terkoordinasi hingga tingkat nasional dan
internasional. Kemiskinan pun tidak lagi dipandang sebagai masalah individu atau
kerabat, melainkan turut membesar sebagai masalah suatu negara, bahkan ke
tingkat dunia.
Modalitas untuk mengembangkan diskursus ini disampaikan melalui teks
yang menstandarisasi pengurangan kemiskinan di seluruh dunia, yaitu dokumen
Millennium Development Goals. Modalitas kepada negara penerima donasi World
Bank juga dikembangkan secara seragam melalui disiplin perencanaan program
dan anggaran yang tercantum dalam Poverty Reduction Strategy Paper
(Levinsohn 2003: 9-13). Konsep kemiskinan distandardisasi sebagai penduduk
yang memiliki pendapatan minimal 1 dolar AS per hari untuk negara miskin –
yang di-Lain-kan dari negara maju dengan garis lebih tinggi yaitu 2 dolar AS per
hari. Adapun strategi untuk mengurangi kemiskinan tercantum dalam teori CDD
(community-driven development), yang dimaknai sebagai pengambilan keputusan
oleh komunitas (Dongier dkk. 2003: 3-4). Pengambilan keputusan dilakukan
menurut kaidah rasionalitas ekonomi, yaitu mengambil peluang yang paling
efisien di antara hierarki tujuan dan sumberdaya proyek. Upaya efisiensi proyek
pada akhirnya meninggalkan lapisan termiskin, dan memilih golongan pengusaha
kecil yang masih mampu mengembalikan pinjaman proyek.
1Presiden Truman mengatakan, “We must embark on a bold new program for making the benefit of our scientific advances and industrial progress available for the improvement and growth of underdeveloped areas. The old imperialisme –exploitation for foreign profit—has no place in our plan. What we envisage is a program of development based on the concepts of democratic fair dealing”. Dikutip dari Esteva (1992: 6).
29
Rahnema (1992: 158-172) mengemukakan pula diskursus kemiskinan
alternatif atau partisipatoris berupa upaya pengembangan kapasitas penduduk
miskin. Akan tetapi, sejak istilah pembangunan partisipatoris menjadi populer
untuk kegiatan penanggulangan kemiskinan, sebagian organisasi menggunakan
konsep ini hanya untuk mendapatkan legitimasi dalam perolehan dana (Cooke dan
Kothari 2001: 1-15). Kegiatan pemberdayaan biasanya melewati birokratisme
pemerintah, namun dengan menyalurkan bantuan melalui elite komunitas
sebenarnya kegiatan itu juga sedang memarjinalisasi golongan miskin (Mosse
2001: 16-35). Oleh karena donor biasanya juga menyalurkan sumberdaya melalui
kelompok yang memiliki organisasi lebih baik, maka pembangunan partisipatoris
justru melemahkan kelompok lokal dari golongan miskin yang belum
berpengalaman dalam proyek pengurangan kemiskinan (Mohan 2001: 153-167).
Terlihat di sini, bahwa meskipun telah diperoleh indikasi beragam
diskursus kemiskinan (yang dikembangkan sufi, World Bank, dan pengamat
pembangunan partisipatoris), namun selama ini yang dikembangkan sekedar
dikotomi antara diskursus kemiskinan ciptaan donor dan diskursus kemiskinan
alternatif. Mekanisme hubungan keduanya juga dikaji secara sederhana sebagai
dominasi pihak pertama kepada pihak kedua. Kajian yang berpusat pada sifat
dikotomi tersebut menghilangkan peluang munculnya kemajemukan diskursus
kemiskinan dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Analisis kekuasaan yang
diterapkan dalam kajian-kajian selama ini juga tertuju pada sifat dominasi, yang
menutupi kekuatan untuk memunculkan subyek miskin itu sendiri.
Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian disusun dengan mempertimbangkan kemajuan
kajian diskursus kemiskinan yang masih bersifat dikotomis, serta
mempertimbangkan masalah dan tujuan penelitian ini. Berkaitan dengan itu,
kerangka penelitian ini disusun sebagai pembentukan diskursus, praktik
pelembagaan diskursus, dan mekanisme kekuasaan dalam interaksi antar
diskursus maupun praktik kemiskinan di pedesaan.
30
Mula-mula dikaji pembedaan (distinctiveness) dari beragam teori dan
konsep formal kemiskinan (Gambar 5), seperti kemiskinan absolut dan relatif.
Pembedaan tersebut dikembangkan lebih lanjut dengan membandingkan
pembedaan statistika dan data-data sekunder tentang kemiskinan, sehingga
menghasilkan lebih banyak lagi pembedaan sesuai dengan data pendukungnya.
Contohnya pembedaan jumlah orang miskin dan sumber kemiskinan dari sumber
statistika atau dokumen yang sama maupun berbeda. Oleh karena berada dalam
ranah studi pembangunan, dikaji pula pembedaan isi beragam kebijakan yang
berkaitan dengan kemiskinan, seperti kebijakan untuk subyek kemiskinan yang
berbeda-beda. Sebagaimana hasil pembedaan data sekunder, pembedaan yang
muncul dalam kebijakan tersebut juga digunakan untuk mengembangkan
kemajemukan tafsir kemiskinan.
Pembedaan beragam teori dan
konsep kemiskinan
Pembedaan beragam data
statistika dan data sekunder
Pembedaan beragam kebijakan
tentang kemiskinan
Pembedaan diskursus
kemiskinan
Pembedaan konsekuensi
habitus tentang kemiskinan
Pembedaan konsekuensi
beragam arena
Perang antar diskursus, habitus,
dan arena yang berbeda
Modal spesifik pendukung habitus
Analisis kemunculan
golongan miskin
Gambar 5. Kerangka Penelitian
31
Pada tahap selanjutnya, diinterpretasi berbagai pernyataan yang
memungkinkan munculnya temuan kemajemukan pembedaan teori, konsep,
statistika, data sekunder lainnya, serta kebijakan. Kelompok pernyataan yang
mampu menjelaskan kemunculan masing-masing golongan teori, data dan
kebijakan tersebut dinyatakan sebagai diskursus kemiskinan.
Tahap berikutnya berupa penggalian argumentasi alasan dan sejarah atas
munculnya berbagai dokumen kebijakan, tindakan-tindakan yang berpola, hingga
pengelompokan benda-benda tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak
responden dan informan untuk berefleksi atas pengalamannya pribadi, lalu
membandingkan dengan refleksi agensi lainnya. Argumentasi alasan dan sejarah
tersebut distrukturkan dalam keragaman oposisi biner, yang bisa diuji dalam
menjelaskan praktik yang berlangsung. Hal ini dinyatakan sebagai habitus.
Adapun kekuatan yang mendukung habitus suatu agensi dalam berhubungan
dengan agensi lainnya dinyatakan sebagai modal spesifik. Modal dapat berupa
benda atau harta yang bersifat ekonomis, keeratan hubungan sosial, hingga
penguasaan simbol-simbol yang berprestise tinggi.
Analisis berikutnya diarahkan pada hubungan antara keragaman
diskursus yang telah tersusun, dengan keragaman susunan habitus ini. Digali
sampaimana diskursus yang spesifik memunculkan habitus tertentu.
Pada tahap selanjutnya analisis diarahkan pada beragam aturan atau
lembaga dan organisasi yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Di
sinipun digali pembedaan antar prasyarat untuk masuk, modal yang dinilai lebih
tinggi, aturan-aturan yang dikembangkan lebih lanjut, serta posisi-posisi sosial
pada kelompok-kelompok lembaga dan organisasi. Dengan kata lain,
dikembangkan susunan arena yang beragam.
Pengembangan arena tertentu juga dianalisis dalam kaitannya dengan
diskursus yang spesifik. Digali kemampuan diskursus tersebut dalam
memunculkan arena tertentu. Digali pula hubungan antara arena dan habitus
tertentu, berupa kecocokan antara prasyarat dan aturan dalam suatu arena dengan
penguasaan modal dan refleksi pemikiran dalam habitus tertentu.
Sampai di sini analisis sudah mulai memperluas cakrawala kajian
diskursus kemiskinan. Analisis, lebih jauh lagi, dapat membawa penelitian untuk
32
mencapai tujuan menginterpretasi kemunculan keragaman diskursus, strategi
penggunaan kekuasaan, dan praktik pengelolaan kemiskinan di pedesaan. Analisis
juga mampu menjawab pertanyaan penelitian perihal alasan kekuasaan beroperasi
dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan praktik kemiskinan di
pedesaan.
Setelah melakukan analisis di dalam diskursus dan praktik (analisis
habitus dan arena) tersebut, berikutnya analisis diarahkan pada hubungan
peperangan antar kelompok diskursus dan praktik kemiskinan yang berbeda-beda.
Analisis dilakukan pada masing-masing level diskursus, habitus, dan arena.
Perang tersebut dapat saling menggunakan dan memanipulasi beragam aspek
diskursus dan praktik yang berbeda-beda, maupun berupa upaya dominasi antar
kelompok diskursus dan praktik.
Analisis perang diskursus dapat mengarahkan penelitian ini pada tujuan
untuk menginterpretasi hubungan kekuasaan dalam perang antar diskursus dan
praktik kemiskinan di pedesaan. Analisis ini juga dapat menjawab pertanyaan
penelitian tentang alasan perang antar diskursus dan praktik kemiskinan
berlangsung secara terus menerus.
Interpretasi lebih lanjut dipusatkan pada peluang dan kenyataan
munculnya orang miskin di antara beragam diskursus dan praktik kemiskinan di
pedesaan, serta selama perang berlangsung. Dianalisis operasi kekuasaan untuk
memunculkan atau menenggelamkan golongan miskin, serta hubungan golongan
miskin dengan agensi lainnya.
Analisis perihal kemunculan golongan miskin diharapkan dapat
menjawab tujuan untuk memunculkan golongan miskin dalam rangka
menanggulangi kemiskinannya sendiri. Analisis ini juga hendak menjawab
pertanyaan pokok berupa alasan operasi kekuasaan dalam diskursus dan praktik
belum mampu menanggulangi kemiskinan di pedesaan.
Konsep Kerja
Dalam penelitian ini telah disusun konsep-konsep kerja untuk
mempermudah pencarian data di lapangan dan data sekunder, serta penyusunan
33
analisisnya. Diskursus kemiskinan dipahami sebagai pemikiran, pengetahuan,
kebijakan, peraturan perundangan untuk mengelola kemiskinan dan golongan
miskin di tingkat desa, kabupaten, provinsi, nasional dan global.
Praktik kemiskinan meliputi pengembangan habitus, penyusunan arena,
institusi sosial, interaksi sosial, strategi, lintasan, penggunaan modal dan susunan
benda-benda yang dikembangkan untuk mengelola suatu diskursus kemiskinan
tertentu. Praktik kemiskinan mencakup, pertama, arena, meliputi lembaga atau
aturan lokal, kelompok, organisasi, proyek dan program penanggulangan
kemiskinan. Kedua, strategi, merupakan interaksi sosial obyektif yang terjadi
antar agensi dengan melibatkan kekuasaan. Ketiga, habitus, meliputi sejarah, pola
pemikiran, dan harapan terhadap suatu tindakan. Keempat, modal, merupakan
benda dan jasa yang dimiliki agensi untuk mendukung interaksi dengan agensi
lainnya, baik berupa modal ekonomi atau susunan benda-benda, tubuh orang
miskin, wilayah tempat kemiskinan muncul, simbol kemiskinan, pemikiran yang
ditumbuhkan, dan jaringan sosial yang dimiliki.
Kemiskinan dipahami sebagai diskursus tentang lapisan sosial terbawah
atau kondisi keterbatasan, di mana penempatan posisi sosial pada tingkat terbawah
dan kondisi keterbatasan diperoleh melalui susunan obyektif arena yang
dikembangkan dari subyektivitas pengetahuan lokal. Kekuasaan dipandang
sebagai pola tindakan dalam hubungan sosial yang diarahkan secara strategis
untuk mengidentifikasi, memelihara dan menghilangkan kehadiran orang miskin
atau kemiskinan, mengatur aspek-aspek kemiskinan yang-bisa-dikatakan dan
yang-bisa-dilihat, serta berupaya menghasilkan makna terkuat atau pandangan
yang dinilai paling benar tentang kemiskinan.
Pengetahuan didefinisikan sebagai kehendak terhadap kekuasaan yang
diterapkan dalam bentuk pengembangan rezim kebenaran tertentu tentang
kemiskinan. Kehendak pengetahuan dioperasionalkan dalam penyusunan
predisposisi sosial dalam bentuk pola pemikiran yang argumentatif untuk
mendukung klaim kebenaran atas suatu metafora kemiskinan agar bisa diterima
masyarakat.
Pembangunan dilihat sebagai diskursus tentang transformasi sosial yang
terutama disusun oleh negara atau lembaga internasional, dengan dukungan ilmu
34
pengetahuan formal. Pembangunan sekaligus mengandung kehendak untuk
mengambil kekuatan dari pengetahuan informal, seperti hasil-hasil perencanaan
partisipatoris.
BAB 3
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Diskursus Praktik
Ada kalanya dikritik sebagai tanpa metode, ternyata metode diskursus,
terutama yang dikembangkan oleh Foucault, telah dikaji secara khusus,
sebagaimana ditunjukkan pula oleh bangunan identitasnya sendiri sebagai metode
Foucault. Artikel maupun buku berjudul metode Foucault telah diterbitkan
(Kendall dan Wickham 2000: 1-29; Scheurich dan McKenzie 2011: 217-247),
dijelaskan dalam wawancara dengannya (Foucault 2002c: 29-408), serta dalam
buku karyanya sendiri sendiri perihal tahapan-tahapan pelaksanaan metodenya
(Foucault 2002a: 28-188; 2003: 12-108).
Metode ini tergolong dalam ranah ontologi pragmatisme dan epistemologi
koherensi. Ontologi pragmatisme mencurigai realitas sosial yang dipandang riil
saat ini, dan berkehendak mengubahnya dalam rangka meningkatkan
kegunaannya bagi semua pihak yang terkait realitas tersebut. Aspek kegunaan ini
penting, bahkan nanti juga menjadi kriteria pendefinisian teori maupun kekuatan
teori tersebut. Adapun epistemologi koherensi merujuk kepada analisis kekuasaan
serta upaya membongkar operasi kekuasaan, yang menentukan susunan
pernyataan dimunculkan atau ditenggelamkan dalam dokumen maupun tafsiran
berbagai pihak yang ditemui di lapangan.
Metode diskursus praktik dikembangkan dari penggabungan metode
diskursus, metode praktik, dan metode perang diskursus. Metode diskursus
meliputi arkeologi dan genealogi. Metode arkeologis (Foucault 2003: 70-89)
menerapkan kaidah pembalikan. Kaidah ini dibedakan menurut bentuk-bentuk
pengecualian, pembatasan dan penyisihan. Analisis arkeologis hendak
memperlihatkan proses bentuk-bentuk pengecualian dalam pembicaraan
kemiskinan terbangun, bagaimana berbagai aspek kemiskinan dimodifikasi dan
diganti untuk menghadapi segala bentuk halangan yang dihadapinya, dan
sejauhmana bentuk-bentuk baru ini dapat bekerja di lapangan.
36
Metode genealogis menerapkan prinsip diskontinuitas, penetapan dan
eksterioritas (Foucault 2002c: 270-308; 2003: 89-90). Analisis genealogis
mengacu pada pembentukan diskursus kemiskinan yang sesungguhnya, apakah
berada dalam jangkauan kontrol atau di luar kontrol orang miskin sendiri, atau
kadang-kadang di dalam dan kadang-kadang di luar jangkauan kontrol mereka.
Genealogi mempertanyakan fungsi kehendak akan kebenaran, mempertunjukkan
karakter "kekuasaan untuk membenarkan tersebut" dalam diskursus menjadi
bentuk-bentuk peristiwa sosial. Kehendak akan kebenaran biasanya muncul dalam
bentuk kehendak untuk menambah pengetahuan tentang kemiskinan, menghitung
dan mengkategorikan tubuh miskin, dan sebagainya. Kekuatan untuk mencari
pengetahuan kemiskinan ini diperoleh dari institusi pengelolanya.
Konstruksi makna kemiskinan memang termasuk ke dalam kajian, namun
tekanannya justru pada kehancuran atau penghancuran makna. Tindakan ini
didasari pemikiran, bahwa perkembangan pengetahuan terjadi saat memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya (Foucault 2002c: 385-394;
2011: 123-124). Dituntun oleh pemahaman tersebut, kajian akademis diarahkan
untuk mencari kesalahan, dalam kerangka pencarian diskursus atau cakrawala
pengetahuan baru. Upaya semacam ini tidak cukup dilakukan dengan falsifikasi,
karena di sana kajian diarahkan untuk menjaga ketegaran atau koroborasi teori
ilmiah dari uji-uji kesalahan (Popper 2008: 72-93, 335-347). Bergerak pada arah
yang berkebalikan, metode ini justru mencari kesalahan hingga batas kritis,
sehingga cara pandang lama tidak bisa digunakan lagi untuk menjelaskan gejala
sosial yang diamati.
Untuk mendapatkan retakan epistemologi (krisis) dan mewujudkan
diskontinuitas, analisis diskursus berusaha memahami dan menerangi tindakan
dari kejanggalan yang terjadi (Foucault 2002a: 168-253). Analisis diarahkan pada
penggunaan kekuatan untuk menegaskan yang bersifat lokal namun dipandang
paling kuat (bukan analisis menuju universalitas makna). Tepat pada kehancuran
makna terjadilah diskontinuitas dari pengetahuan yang sebelumnya tumbuh
terakumulasi, dan membuka peluang munculnya cakrawala pengetahuan baru.
Melalui diskontinuitas tersebut makna lama dihancurkan, selanjutnya makna baru
yang berbeda diupayakan untuk dikembangkan. Suatu kekuatan atau kekuasaan
37
(power) ilmu pengetahuan ditunjukkan melalui penciptaan makna baru atau
distingsi (distinction) dari rasa praktis sebelumnya.
Aspek praktis dalam metode praktis ialah untuk menemukan sebanyak
mungkin konteks atau kejadian sosial bagi penyusunan aspek-aspek subyektif dan
obyektif agensi (Bourdieu 2011: 31-32). Metode praktis meliputi refleksi dan
obyektivisasinya. Dalam metode refleksif digali konteks sejarah dari agensi, serta
pembentukan habitusnya, atau proses subyektivisasi dari konteks obyektif.
Kodifikasi menurut berbagai konteks dikembangkan menjadi dikotomi-dikotomi
penting (Bourdieu 2011: 99-112).
Aspek obyektif mengumpulkan berbagai konteks sosial sebagai arena
praktik bagi habitus. Yang digali ialah obyektivikasi habitus dalam bentuk
tindakan dan susunan benda-benda (Bourdieu 2011: 121-126).
Dalam perkembangannya kekuasaan dan ilmu pengetahuan tidak hanya
ditunjukkan dari penciptaan makna baru (ilmu pengetahuan aktif), namun ada juga
yang diarahkan untuk mengambil makna dari pengetahuan lain atau mematikan
makna pengetahuan lain (ilmu pengetahuan reaktif). Dalam interaksi inilah
kekuasaan terlihat diimplementasikan secara jelas. Metode perang diskursus
mengarah pada interaksi yang berisikan kekuasaan di dalam sekelompok
diskursus dan praktik tertentu, maupun interaksi dengan sekelompok lainnya
(Foucault 2002d: 141-153). Metode ini bukanlah studi komparasi, karena antar
diskursus tidak dapat dibandingkan. Mereka memiliki mekanisme berbeda,
sehingga perlu dievaluasi secara berbeda pula. Yang dapat dikaji ialah interaksi
antar diskursus tersebut. Dengan demikian terdapat dua kelompok analisis,
pertama, analisis di dalam kelompok diskursus dan praktik. Kedua, analisis
interaksi antara kelompok ini dengan kelompok-kelompok lainnya.
Dengan menggabungkan pemikiran Foucault (Kendall dan Wickham
2000: 25-52) dan Bourdieu (2011: 77-126), maka kekhasan metode diskursus
praktis ialah, pertama, analisis diskursus dilakukan dengan mendeskripsikan
pernyataan yang ditemukan dalam struktur sosial, refleksi yang diceritakan dan
dalam dokumen, serta konsekuensinya dalam menyusun benda-benda dan struktur
sosial yang berkaitan dengan kemiskian. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi
analisis kekuasaan, terutama kekuasaan untuk menafsirkan, menyusun interaksi
38
sosial lebih lanjut, atau menentukan benda-benda yang berkaitan dengan
kemiskinan.
Kedua, analisis praktik sosial dilakukan dengan mendeskripsikan
pernyataan, predisposisi, dan tindakan sosial lebih sebagai proses yang terus
berjalan menurut konteks-konteks sosial yang berbeda-beda, daripada sebagai
suatu pola yang tetap dalam struktur sosial. Pernyataan, habitus, dan arena
mempunyai makna produktif, karena digunakan sebagai landasan bertingkah laku
dan menyusun benda-benda pada masa dan lokasi tertentu.
Ketiga, analisis kekuasaan dilakukan dengan mengenalkan kekuasaan
dalam interaksi sosial, sehingga dapat memunculkan diskursus, habitus dan arena-
arena lokal yang sebelumnya tidak diakui secara formal. Salah satu metode untuk
menemukan hal ini ialah meneliti aspek-aspek yang sebelumnya dipandang tidak
rasional namun dilaksanakan oleh orang miskin.
Lokasi Pengumpulan Data
Mungkin dengan karikatural, namun juga secara serius, sebuah buku teks
mempersilakan pembaca ke perpustakaan untuk mendapati ilmuwan pasca
struktural (Aitken dan Valentine 2006: 166). Tentu perpustakan itu sendiri bukan
lokasi pengambilan data, namun jelas penentuan lokasi pengambilan data primer
untuk penelitian ini tidak mudah ditentukan. Penelitian ini secara intensif
menggabungkan analisis dokumen atau pustaka, rembugan dengan responden dan
informan, dan pengamatan berpartisipasi.
Secara garis besar lokasi penelitian mencakup level nasional dan level
lokal. Semula pembedaan level lokasi digunakan untuk memusatkan pengambilan
data diskursus pada level nasional dan data praktik pada level lokal. Ternyata data
seluruh level analisis (diskursus, habitus, arena) diperoleh pada level lokasi
nasional dan lokal, dan pengalaman ini memudahkan pencarian hubungan analisis
data antara kedua level lokasi. Perbedaannya berupa perolehan lebih banyak data
habitus dan arena pengelola program penanggulangan kemiskinan pada level
nasional, sementara pada level lokal lebih banyak diperoleh data habitus dan arena
di antara golongan-golongan miskin sendiri.
39
Pengambilan data lapangan pada level nasional terutama berpusat di
kantor Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kementerian
Dalam Negeri. Pada akhir tahun 2010, saat mendapat undangan untuk
mempresentasikan kemiskinan di Indonesia, peneliti sengaja menyajikan prasaran
berbagai diskursus kemiskinan beserta lokasi, jumlah, dan program
penanggulangan yang pernah diberikan. Makalah tersebut merupakan hasil
analisis dokumen dan pustaka yang telah dilakukan sejak lima tahun sebelumnya.
Setelah menyajikan makalah dan dipandang memahami kemiskinan di
pedesaan Indonesia, peneliti diajak untuk menjadi anggota tim teknis Sub
Direktorat Ekonomi Perdesaan dan Masyarakat Tertinggal. Kantor ini
mendapatkan mandat pengelolaan penanggulangan kemiskinan tingkat nasional
dalam bentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Tim teknis
menyediakan bahan akademis untuk kajian kebijakan dan pengambilan keputusan.
Anggota tim teknis dapat turut serta dalam pertemuan perumusan kebijakan atau
evaluasi ke provinsi-provinsi di Indonesia.
Peneliti tidak mendatangi kantor tersebut setiap hari, kecuali pada saat
mengikuti pertemuan untuk menambah data penelitian, yang sekaligus
membutuhkan keahlian peneliti. Peneliti tidak turut serta ke provinsi-provinsi,
melainkan mendapatkan laporan dan bahan dari pemerintah daerah. Komunikasi
dengan anggota tim teknis lain serta pejabat pemerintahan dilakukan secara
interpersonal dan lewat internet. Melalui proses kerja tim teknis tersebut peneliti
mengembangkan kajian diskursus kemiskinan produksi dan diskursus potensi
golongan miskin, terutama pada level nasional.
Pada level lokal, penelitian dilaksanakan di Dusun Kalitani, Desa
Sawahan, Kecamatan Banyu, Kabupaten Makmur, Provinsi Jawa Tengah.1 Pilihan
kajian pada tingkat dusun memiliki kelebihan, karena dusun merupakan desa asli
di Jawa sehingga warganya memiliki ikatan sejarah yang kuat, serta telah
mengembangkan beragam lembaga bentukan masyarakat secara sukarela (Sajogyo
2006: 217). Di Dusun Kalitani juga ditemukan beragam ruang sosial tempat
masing-masing diskursus kemiskinan berkembang, terutama diskursus berbagi
kelebihan, diskursus kemiskinan rasial dan etnis, dan diskursus menginginkan 1 Untuk menjaga privasi responden dan informan di desa, dalam penelitian ini hanya disajikan nama tempat dan nama orang yang tidak sebenarnya.
40
kesederhanaan. Praktik diskursus potensi kemiskinan dan diskursus kemiskinan
produksi juga tergali menurut sudut pandang warga dusun sendiri.
Desa Sawahan terbagi atas tiga dusun, yaitu Dusun Kito, Dusun Godhong,
dan Dusun Kalitani. Desa ini terletak sejauh 18 km dari pusat kota Makmur –
tempat peneliti bermukim—dan dapat ditempuh dengan sepeda motor selama
sekitar 30 menit. Luas desa ini ialah 1.303 Ha. Sebanyak 645 Ha berupa sawah
beririgasi setengah teknis, sementara 280 Ha berupa sawah beririgasi teknis.
Menurut data profil desa 2009, terdapat 7.027 penduduk yang terdiri atas 3.553
laki-laki dan 3.474 perempuan. Adapun jumlah kepala keluarga ialah 1.825.
Kemiskinan terekam pada 350 keluarga pra-sejahtera 350 (Pra-KS) dan 1.258
keluarga sejahtera I (KS-I). Mata pencaharian pokok penduduk yang terbanyak
adalah petani (1.602 orang) dan buruh tani (1.874 orang). Sebanyak 6.875 jiwa
beragama Islam dan 152 jiwa beragama Kristen.
Desa ini telah lama dikenal karena memiliki wilayah sungai dan rawa yang
luas. Hingga pertengahan dekade 1980-an lebih mudah mendatangi desa ini
melalui aliran sungai daripada melalui daratan. Tidak mengherankan desa selalu
dilanda banjir pada puncak musim hujan dan kekeringan pada puncak musim
kemarau. Air bersih yang diambil dari tanah kurang bagus untuk air minum.
Muslim, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Sawahan, menjelaskan hal ini.
Dulu untuk ke sini naik perahu. Untuk mempelajari riwayat Kalitani dan Sawahan, sebaiknya kita melihat jauh ke belakang. Dulu Banyu, Demak, sampai Tanjung Mas, Semarang, itu wilayah laut. Sampai Kecamatan Seneng, Pati. Bukti dahulu wilayah laut, tanah di sini semakin ke dalam menjadi tanah gambut. Semakin ke dalam dibor antara 125 m sampai 135 m airnya masih asin. Semakin dibor ke dalam malah asin. Bahwa di sini merupakan wilayah laut juga dikaitkan dengan sejarah lama dan peninggalan Belanda. Biasanya ada trip atau alat ukur air. Dulu di sini ada, seperti sumur tapi ada angka-angka, untuk mengukur ketinggian air. Biasanya yang memiliki trip itu daerah rawa atau aliran sungai. Sebelum zaman Belanda, yaitu zaman Kerajaan Demak ke sana, kita ketahui Demak itu daerah rawa, sehingga di sana disebut alas Glagah Wangi. Berarti hutan, namun glagah atau rawa. Rawa dari Demak sampai ke Seneng.
41
Kepala desa memegang peranan paling penting dalam pengambilan
keputusan di tingkat desa. Legitimasinya meningkat pada saat keputusannya
menyejahterakan warga desa. Akan tetapi pengambilan keputusan untuk
kepentingan pribadi menurunkan legitimasi tersebut. Projo, Kepala Dusun
Kalitani, menjelaskan sejarah wewenang kepala desa di Sawahan.
Setahu saya dari silsilah kepala desa di Sawahan, kalau dia bijaksana dan adil maka nanti akan ada imbalan. Nyatanya itu dari cerita orang tua. Petinggi pertama saya lupa, lalu petinggi Tondo, lalu orang tua Mbah Sumarni.
Petinggi desa yang pertama juga tidak dihargai masyarakat dan anaknya, hartanya juga habis. Kepala desa yang kedua namanya Tondo, tanahnya ratusan hektar lebih. Tanahnya kemudian diberikan kepada anak-anaknya, lalu kena retool (reforma agraria awal tahun 1960-an). Lalu setelah tidak menjadi kepada desa ia tidak dihargai anak-anaknya dan masyarakatnya.
Kepala desa yang ketiga bernama Pak Kusmanto, tanahnya juga banyak. Setelah tanahnya diberikan kepada anak-anaknya, ia juga tidak dihargai mereka. Pak Kusmanto menjabat kepada desa selama 24 tahun, mungkin lebih. Selama menjabat kepala desa pengabdiannya kepada masyarakat kurang, sehingga dia kurang dihormati masyarakat.
Lalu kepala desa bernama Pak Subiyarto, selama 8 tahun. Selama menjabat kepada desa dia berjaya. Namun pengabdiannya kepada masyarakat kurang, juga kurang mengelola pembangunan. Pada waktu mencalonkan diri menjadi kepada desa, dia tidak memiliki tanah. Masyarakat memilihnya, agar ia bisa mengubah Sawahan. Tapi setelah menjadi kepala desa dia tidak mengabdi kepada rakyat. Saat ini Pak Subiyarto tergolong miskin, tinggal di Godhong, tidak punya tanah apa-apa, kecuali rumahnya. Bahkan saat berobat ke rumah sakit menggunakan surat miskin. Setelah tidak menjadi kepala desa dia tidak memiliki pekerjaan sampingan yang lain, keluarganya juga tidak menghargai.
Setelah itu Pak Rumadi. Mohon maaf, waktu menjabat periode pertama dia baik di mata masyarakat, namun waktu periode kedua, dia juga masih baik di mata masyarakat, tetapi dia menggunakan keuangan desa dari pelelangan petak sawah. Ada penyelewengan, tidak ditempatkan pada jobnya. Di bidang pembangunan desa, menurut pengamatan saya dan masyarakat, itu ada ketidakadilan, banyak pembangunan di Godhong dan Kito. Bahkan selama menjadi perangkat pernah saya sampaikan, bahwa kepala-kepala desa yang saya kenal dari Pak Kusmanto sampai sekarang, saya sindir seperti itu, ada rapat di balai desa dan di BPD (Badan Perwakilan Desa), saya sampaikan bahwa
42
pembangunan di Kalitani kurang dibandingkan yang lain. Sampai sekarangpun masih begitu.
Program-program pembangunan di desa, termasuk berbagai program
penanggulangan kemiskinan, selama ini membutuhkan tambahan swadaya dari
pemerintah desa. Selain diminta dari warga, dana swadaya juga diambil dari kas
pemerintah desa. Pendapatan asli desa –pengisi terbanyak kas desa—diperoleh
dari penyewaan lahan milik pemerintah desa (bondho deso). Projo menjelaskan
bondho deso tersebut.
Bondho desa yang di Dusun Kito dilelang 1 bau (5 kotak) seluas 7.000 m2 hanya Rp 2 juta dalam satu tahun. Di Dusun Kalitani nilainya Rp 11 juta dalam satu tahun. Namun dahulu di Dusun Kito sama sekali tidak ada tanah bondho desa. Saat saya menjabat anggota BPD pada tahun 2001-2002, pada masa kepala desa sebelum Pak Rumadi akan selesai, ada program mengikuti Perda (peraturan daerah) menjadi Perdes (peraturan desa), merencanakan agar di Desa Sawahan ada bondho desa. Perangkat desa yang sudah purna, sudah tidak menjabat lagi, tanah bengkoknya dirampingkan untuk menjadi bondho desa.
Karyo, kader pemberdayaan masyarakat (KPM) menambahkan jenis
bondho deso lainnya.
PAD (Pendapatan Asli Desa) dari lelang pohon kapuk randu kecil, hanya Rp 1,6 juta per tahun, lelang tanah bengkok perangkat desa yang kosong Rp 60 juta per tahun, tapi belum dipotong iuran P3A (kelompok persatuan petani pemakai air) dan dana kesejahteraan RT (Rukun Tetangga). Ini turun karena Dusun Kito kebanjiran. Dalam 5 tahun terakhir PAD meningkat, terutama dari pelelangan bondho desa. Lelangan blok pertanian meningkat. Reorganisasi kelompok P3A kemarin mendapatkan Rp 1,084 M.
Berbagai program pembangunan telah masuk ke Desa Sawahan, di
antaranya pembangunan daerah aliran sungai Jratunseluna pada dekade 1980-an,
program IDT pada awal dekade 1990-an, program-program pemberdayaan,
Bantuan Langsung Tunai (BLT), perbaikan rumah, program Tentara Nasional
Indonesia (TNI) masuk desa sejak akhir dekade 2000-an.
43
Selama ini Kecamatan Banyu menjadi sumber pengadaan padi bagi
Kabupaten Makmur dan sekitarnya. Akan tetapi pada puncak musim hujan
wilayah ini kebanjiran.
Desa Sawahan juga didominasi sawah. Sebagian sawah di wilayah
Tenggara mendapatkan irigasi dari Jratunseluna, yang mendapatkan air dari
Waduk Kedungombo. Blok sawah Bangunsari, Srimulyo, dan Sidodadi tersebut
menggunakan saluran irigasi teknis. Blok sawah lainnya mendapatkan air melalui
pompa dari sungai ke sawah-sawah. Proyek Jratunseluna pada pertengahan 1980-
an telah mengubah pola aliran sungai. Sungai-sungai di Dusun Kito tidak lagi
berair. Akan tetapi posisinya yang lebih rendah mengakibatkan banjir terpusat di
dusun ini setiap tahun. Air juga biasa merendam sekitar seper tiga luas sawah di
Dusun Godhong. Hanya Dusun Kalitani yang tidak kebanjiran, kecuali pada saat
banjir besar yang disebabkan curah hujan lebih tinggi atau bobolnya jaringan
irigasi di Babalan di tepi jalan raya antar kabupaten.
Terdapat dua musim tanam (MT) di Desa Sawahan. Musim tanam pertama
(MT 1) dimulai pada bulan September hingga Oktober. Musim tanam kedua
dimulai pada bulan Pebruari hingga Maret. Musim tanam pertama menghasilkan
gabah lebih tinggi daripada musim tanam kedua.
Organisasi petani yang penting ialah Perkumpulan Petani Pemakai Air
(P3A) dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Gapoktan beranggotakan
berbagai P3A. Satu kelompok P3A menguasai satu blok sawah, tidak hanya dalam
hal pengairan, melainkan juga pembangunan fisik, pemeliharaan bangunan,
hingga pemungutan sebagian hasil panen. Pengurus P3A dapat memiliki
keuntungan yang tinggi jika keseluruhan pungutan dari petani lebih tinggi
daripada keseluruhan pengeluaran untuk mengelola blok sawah. Pungutan tersebut
sebesar seper sepuluh dari hasil panen di blok persawahan. Pengurus P3A
biasanya mendapatkan untung lebih besar, sehingga selalu terjadi perebutan untuk
menjadi pengurus P3A dalam upacara pelelangan blok-blok pertanian.
Prosedur pelelangan dimulai dari penawaran harga oleh para calon ketua
pengurus P3A. Atas dasar penawaran tersebut, perangkat desa dan anggota Badan
Perwakilan Desa (BPD) menetapkan harga dasar atau standard menurut luas
sawah dan lokasinya. Harga dasar ditetapkan dalam musyawarah di balai desa.
44
Dalam pertemuan tersebut diundang para penawar pengurus P3A. Harga dasar
kemudian ditawarkan kepada petani di blok yang bersangkutan. Dari harga
standard dapat diperkirakan pembangunan prasarana pendukung blok persawahan
yang harus dilakukan pengurus P3A. Setelah petani menyetujuinya, selanjutnya
mereka memilih ketua P3A. Nilai dari hasil pelelangan digunakan untuk
pembangunan dusun sebesar sepuluh persen, fasilitasi oleh perangkat desa dan
pembangunan desa sebesar lima persen, dan sisanya untuk pembangunan di blok
persawahan yang bersangkutan. Karyo menjelaskan prosedur pelelangan blok
persawahan sebagai berikut.
Di sini ada pompanisasi. Pompa tersebut milik P3A, ada juga yang disewa. Pengurus P3A dipilih untuk setiap 3 tahun. Pemerintah desa hanya memfasilitasi. Lelangan Blok Dani dan Blok Bangunsari seluas 150 Ha pada tahun 2010 bernilai sebesar Rp 250 juta. Lelangan tersebut untuk mengelola P3A, meliputi mengurus pompa air. Hasil pelelangan itu 10 persen untuk dusun, 5 persen untuk operasional pemerintah desa, sisanya untuk pembangunan fasilitas pertanian di blok tersebut, untuk pembangunan gorong-gorong, jalan usahatani. Tahun lalu pernah mendatangkan backhoe atau excavator untuk pembangunan tanggul dan jalan. Pemilik sawah tidak terkena potongan. Yang dipotong ialah panitia pengurus air. Untungnya untuk pengurus ialah, pas panen, misalnya 1 hektar dibagi 10, yang 1/10 untuk panitia, yang 9/10 untuk petani. Untungnya dari situ. Panitia Bangunsari 20 orang. Uang Rp 250 juta merupakan hasil iuran 20 orang tersebut. Kemarin di Blok Wangunrejo hanya terjual Rp 90 juta, sehingga panitia hanya 8 orang. Pada saat reorganisasi mereka menawar, terus ditentukan, lalu membayar 10 persen. Pada akhir musim tanam harus lunas semua. Ketua panitia harus punya sawah di blok tersebut, tetapi anggotanya boleh hanya menggarap tanpa punya sawah.
Pelelangan blok yang berbeda berlangsung pada hari yang berbeda, karena kita juga mengundang dari pihak kecamatan, dari mantri pengairan, dinas pengairan, polsek, koramil. Pada saat pertemuan tersebut biasanya bolo-bolonan (mencari massa). Dikuatirkan kalau ada yang tidak cocok, bisa timbul pertengkaran. Pemilihan untuk Blok Kudu Manis dan Loistijab (85 Ha) sampai malam, karena panas, sama-sama ingin menjadi ketua. Panas dalam penentuan harga-harga standard. Ketuanya juga dipilih oleh petani. Di Kito juga ada seperti itu, tapi tidak sampai malam, karena lokasinya kadang-kadang terkena banjir.
45
Sumber kredit usahatani diperoleh dari tetangga dan toko pertanian di
dalam desa. Sumber kredit usahatani lainnya dari Gapoktan, namun jumlah yang
disediakan terlalu kecil dan pemberitahuannya tidak terbuka. Rentenir tidak
berkembang di sini.
Banjir selalu melanda Dusun Kito setiap tahun mendorong warga dusun
ini kini lebih banyak menjadi buruh pabrik. Kerja ke luar desa juga dilakukan
untuk berburuh bangunan, hingga ke luar Jawa. Migrasi ke luar negeri lebih
banyak dilakukan di Dusun Kalitani. Hal ini disampaikan oleh Karyo.
Mayoritas penduduk Sawahan petani, tapi di Kito sebagian besar buruh pabrik, yang Godhong sebagian, di Kalitani hampir tidak ada. Sebagian besar di Kalitani lebih suka menjadi TKW (tenaga kerja wanita). Di Kito juga ada TKW, di Godhong juga ada, tapi yang paling besar dari Kalitani. Persentasenya, Kalitani 60%, Godhong 30%, Kito hampir tidak ada. Namun demikian, jarak pabrik dengan rumah lebih dekat di Kito. Pabriknya berupa pabrik rokok Djarum, Gentong. Biasanya warga berangkat jam 5 pagi. Dulu mereka pulang sore, namun sekarang pulang siang. Dalam berkendara ada yang menggunakan motor, ada yang mencarter carry, ada yang mencarter colt brondol (pick up). Di Kito sebagian besar buruh menggunakan carry dan colt brondol, yang menggunakan motor sedikit. Yang di Godhong lebih banyak menggunakan sepeda motor. Itu juga tergantung lokasi pabriknya. Kebanyakan di Djarum Tanjung, tapi menggunakan mobil Djarum. Rata-rata sudah berkeluarga. Perempuan saja. Laki-laki ke sawah dan buruh bangunan. Pemuda juga menjadi buruh bangunan dan bekerja di pabrik kertas Pusaka Raya. Tapi kalau sudah tua kembali ke sawah. Yang muda lebih suka merantau. Kemarin ada angkatan ke Riau, dua gelombang. Tahun kemarin ke Batam, Palembang. Mereka berombongan dengan pemborong. Ada yang orang asli sini, ada yang berdomisili di Kajen, Pati. Dia pemborong di Batam dan Jakartanan, dan mengajak pemuda di sini untuk bekerja. Untuk masuk ke pabrik rokok minimal lulusan SLTP, tapi lowongannya kini tidak ada. Karena rokok semakin ketat, aturannya semakin ketat, produksinya juga dibatasi. Kemarin pulang sore, sekarang pulang siang. Kemarin pulang sampai Sabtu, tapi sekarang pulang sampai Jumat, Sabtu libur. Pabrik rokok kecil biasanya malah shift-shiftan, seminggu hanya masuk 3 hari. Nanti yang lain 3 hari.
Walaupun pertanian memberikan jaminan kerja, namun warga di Dusun
Kalitani lebih menyukai bekerja sebagai migran di luar negeri. Pada satu sisi,
46
pekerjaan ini telah menghasilkan modal golongan kekurangan untuk membeli
sawah atau memperbaiki rumah. Akan tetapi di sisi lain permasalahan buruh
migran tetap muncul. Saat permasalahan terungkap di luar negeri, mereka sulit
ditangani secara formal ketika berbagai dokumen kerja dipalsukan. Muslim
menjelaskan proses pemalsuan dokumen di tingkat desa.
Banyak TKW yang berasal dari Kalitani dibandingkan dari Godhong dan Sawahan. Ini dipengaruhi sejarah. Pertama kali orang merantau itu di Kalitani. Jasa pengantar tenaga kerja juga hanya ada di Kalitani. Jasa ke Korea, Taiwan, itu ada di Kalitani. Mereka biasanya yang membujuk, ayo ke luar negeri, mau ke Saudi gampang, tidak usah menggunakan ijazah. Umurnya belum cukup, tidak apa-apa, nanti tak dengkulno (saya urus). Kalau berumur 18 tahun, dahulu bisa didengkul karena aturannya minimal berumur 21-22 tahun. PT (perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia) bisa melakukan seperti itu, dokumen dipalsukan, di sini sudah banyak terjadi demikian. Kurang umur dituakan, namanya dipalsukan. Kalau ingin terbang cepat, padahal membutuhkan paspor, maka menggunakan paspor orang lain. Oleh sebab itu menggunakan nama orang lain. PT itu nakal. Hal semacam itu adalah hal-hal yang biasa. Itu sudah lama terjadi. Umur dituakan, status juga bisa dipalsukan, dari kawin menjadi belum kawin. Ini memang permainan calo-calo TKW, pengantar tenaga kerja, sponsor.
Dokumen palsu merugikan warga desa pada saat mengalami kesulitan di
luar desa. Muslim menunjukkan contohnya.
Kemarin ada kasus tenaga kerja dari sini dianiaya orang Arab sampai meninggal. Kasusnya sampai di TV, namanya Ernawati. Rumahnya di dekat Balai Desa. Mayatnya sampai berbulan-bulan, lima bulan atau enam bulan, tidak bisa sampai ke desa. Ini karena terkendala dokumen yang dipalsukan, umurnya dipalsukan, namanya dipalsukan, sehingga sulit dikirim ke desa yang tepat. Pada waktu pergi usianya 16 tahun. Seharusnya umurnya 21 tahun, sehingga ia di-tua-kan, tanggal lahirnya diganti, tahun kelahirannya diganti.
Dalam kehidupan sehari-hari di desa, warga biasa saling membantu
melalui lembaga sinoman. Sinoman dilakukan untuk pembangunan rumah,
47
penyelenggaraan hajat kelahiran, khitanan, perkawinan, hingga kematian. Gotong
royong juga dilakukan untuk pembangunan jalan dan masjid.
Metode Pengumpulan Data
Setelah di atas disampaikan kondisi lokasi pengumpulan data, kini
dijelaskan jenis data yang dikumpulkan, pertama, pernyataan yang
memungkinkan analisis diskursus tentang orang miskin, mobilitas sosial, dan
penggunaan benda-benda fisik di lingkungan tersebut. Data pernyataan diperoleh
dari dokumen yang berisikan pemikiran, ilmu pengetahuan, kebijakan, dan
peraturan perundangan tentang kemiskinan. Kedua, refleksi pelaku. Data yang
diperoleh meliputi riwayat hidup, tindakan yang diharapkan (predisposisi),
kejadian penting dalam dalam kehidupan. Ketiga, aturan, interaksi sosial,
organisasi yang membatasi atau menguatkan orang miskin. Data diperoleh dari
substansi program dan proyek penanggulangan kemiskinan, organisasi atau aturan
lokal yang diciptakan, serta pengembangan kelompok dan organisasi. Keempat,
benda-benda yang dipandang penting bagi orang miskin. Data yang diambil
meliputi informasi benda berharga dan tidak berharga, serta informasi wilayah
yang menjadi tempat tinggal orang miskin
Metode Analisis Dokumen dan Penemuan Diskursus Kemiskinan
Meskipun mengambil sumber antara lain dari teori linguistik Saussure
yang menekankan ujaran, teori diskursus lebih mengedepankan tulisan, dan
praktik (Bourdieu 2010: 9-10; Foucault 2002a: 62-65). Kajian terhadap tulisan
dilakukan melalui analisis dokumen.
Metode analisis dokumen sangat penting dilaksanakan, karena menjadi
awal penemuan diskursus kemiskinan yang berkembang di Indonesia (Lampiran
1). Setelah rumusan ragam diskursus kemiskinan diperoleh, pemilihan lokasi
pengambilan data lapangan dapat ditentukan, serta metode pengambilan data
lainnya dapat dilaksanakan.
48
Kajian diskursus kemiskinan dimungkinkan setelah teori diskursus
sebagaimana dikemukakan oleh Foucault (2002a: 28-188; 2003: 12-108)
dioperasionalkan untuk mengkaji pembangunan (Sachs 1992: 1-5) dan
pascakolonial (Said 2001: 3-20; King 2001: 15-60). Orang miskin dapat ada
secara riil, namun tubuh dan pengelompokan mereka telah disusun atau disusun
berulang kali melalui beragam mekanisme kekuasaan. Tanpa mempelajari
diskursus –sebagaimana terbaca pada beragam analisis sebelum tahun 2000-an—
maka masalah kemiskinan maupun penanggulangannya melalui pemerataan
pembangunan dimaknai secara seragam. Jasa analisis diskursus ialah menyingkap
kekuasaan yang menyeragamkan makna kemiskinan tersebut.
Seluruh tulisan yang penting, banyak dikutip, dan diperbincangkan
berkaitan dengan kemiskinan di Indonesia dipelajari. Isi dokumen-dokumen
tersebut menjadi awal bagi penyusunan suatu diskursus kemiskinan. Tulisan-
tulisan yang koheren dijadikan bahan pembentuk satu diskursus. Dokumen
dikelompokkan menurut tipe diskursus kemiskinan.
Di samping tulisan-tulisan yang koheren, juga dikaji tulisan-tulisan lain
yang menunjukkan anomali atau hingga perbedaan dari kelompok tulisan lainnya.
Tulisan-tulisan semacam ini dijadikan bahan kajian kejanggalan, kontradiksi, dan
pembentukan diskursus kemiskinan lainnya.
Dalam penelitian ini, sesuai saran Foucault (2002: 36-37), penggalian
diskursus kemiskinan dimulai dari taksonomi ilmu pengetahuan yang sudah
dilakukan, untuk selanjutnya dikembangkan sendiri. Taksonomi awal terbagi atas
kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural, yang sejajar dengan taksonomi
kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut (Gaiha 1993: 8-22). Kemiskinan
struktural mengembangkan pemahaman hambatan struktur dan organisasi untuk
menanggulangi kemajemukan dimensi atau relativitas kemiskinan. Kemiskinan
kultural memandang permasalahan dalam diri orang-orang yang secara absolut
tidak memiliki barang-barang dasar.
Dalam konteks Indonesia setelah kemerdekaan, taksonomi kemiskinan
tersebut sejajar pula dengan taksonomi pembangunan. Paradigma pembangunan
struktural, ketergantungan, keterbelakangan, sistem dunia, dan konflik sejajar
dengan kemiskinan struktural dan kemiskinan relatif. Permasalahan
49
pembangunan—dalam hal ini kemiskinan—muncul sebagai konsekuensi
pengambilan surplus golongan miskin oleh golongan kaya (Elguea 1985: 213-
230). Paradigma modernisasi, neoliberal dan elitis sejajar dengan kemiskinan
kultural dan kemiskinan absolut. Di sini kemiskinan dipandang sebagai masalah
internal orang miskin.
Dalam perkembangannya, taksonomi pembangunan tidak sekedar bersifat
dikotomis namun kian majemuk, dengan kemunculan pembangunan alternatif,
people-centered development, atau partisipasi (Thomas 2002: 23-48). Meskipun
gugus pembangunan telah ditemukan, identitas kemiskinan belum dimunculkan.
Hanya saja dapat diketahui kesamaan cara memandang golongan bawah sebagai
pihak yang memiliki potensi untuk mandiri, namun terhalang oleh berbagai akses
berproduksi. Homologi cara pandang tersebut mengantar penelitian ini untuk
menemukan diskursus potensi golongan miskin.
Suatu ujian terhadap diskursus muncul dari temuan keragaman paradigma
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat pada akhir 1990-an. Paradigma
partisipasi dapat dipisahkan menurut orientasi efisiensi, hak orang miskin, dan
proses. Sejajar dengan itu, ragam paradigma pemberdayaan dibedakan atas
nominalisme, struktural, dan potensi orang miskin (Ife 2002: 48-69). Diletakkan
sejajar dengan diskursus kemiskinan di atas, maka dapat disusun homologi
kemiskinan kultural, modernisasi, partisipasi berorientasi efisiensi, pemberdayaan
nominal; lalu kemiskinan struktural, keterbelakangan, partisipasi berorientasi hak
orang miskin, pemberdayaan struktural; serta potensi orang miskin, people-
centered development, partisipasi berorientasi proses, dan pemberdayaan
berorientasi potensi orang miskin (Agusta 2009: 178).
Kajian arkeologi pengetahuan atas kemunculan orang miskin pada masa
Revolusi Industri menyebutkan mereka tersisih karena tidak mampu untuk turut
serta dalam produksi pabrik. Bangsal atau panti didirikan untuk melatih
berproduksi, dan mereka dinyatakan lulus setelah mampu bekerja kembali
(Foucault 2002d: 210). Pengorganisasian orang miskin oleh negara tersebut
berkembang hingga lintas negara melalui donor internasional saat ini (Rahnema
1992: 161-167). Hasil arkeologi pengetahuan tersebut melandasi penamaan
diskursus kemiskinan produksi.
50
Kajian sejarah pengetahuan kemiskinan sendiri telah ditelusuri hingga laku
sufistik, seperti oleh Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah (Rahnema 1992:
174). Golongan sufi –setidaknya sebagian dari mereka—menginginkan
kesederhanaan dan kemiskinan sebagai jalan hidup (Al-Hujwiri 1993: 30-39).
Pernyataan tersebut tidak hanya dikeluarkan oleh sufi Islam, melainkan juga tokoh
agama Kristen (Rubianto 1996: 83-88), serta mistikus atau aliran kebatinan di
Indonesia (Santosa 2011: 95). Cara pandang yang khas ini melandasi penamaan
diskursus menginginkan kesederhanaan.
Kajian kemiskinan kadang kala menuliskan pola pelapisan di pedesaan,
namun dinilai sebagai kejanggalan (Geertz 1983: 102; Sajogyo 1989:54).
Kejanggalan dinyatakan pada ketiadaan konsep miskin, namun sekedar
kekurangan, sebagai lawan cukupan. Dari hasil kajian lapangan di banyak desa di
Indonesia, khususnya pada dusun kasus untuk penelitian ini, dapat ditolak cara
memandangnya sebagai kejanggalan. Garis kekurangan tersebut muncul pada
desa-desa di berbagai pulau di Indonesia, artinya bukan sebagai kejanggalan atau
perkecualian. Membagi sesuatu menjadi konsep yang sering dikemukakan untuk
membantu golongan kekurangan, sehingga diskursus ini dinamakan berbagi
kelebihan.
Dari hasil evaluasi pelaksanaan beragam program penanggulangan
maupun pengurangan kemiskinan, tercatat penolakan bantuan tersebut oleh
berbagai masyarakat adat. Mereka menolak identitas miskin, dan tidak
memandang kehidupannya sebagai masalah. Program dari pihak luar justru
senantiasa menyusun identitas-identitas palsu guna menggolongkan mereka ke
dalam kemiskinan. Pengembangan identitas kultural kemiskinan dapat ditelusuri
hingga masa kolonial, berupa pembedaan antara etnis dan ras yang berbeda
(Gouda 2007: 196). Hal inilah yang melandasi penamaan diskursus ras dan etnis.
Diskursus yang telah tersusun selalu diuji dalam beragam praktik
pengelolaan kemiskinan. Pengujian diarahkan pada kemampuan diskursus
tersebut dalam menjelaskan kemunculan data statistika, data sekunder dan
kebijakan tertentu.
Ada kalanya dokumen yang telah ada dapat dipecah-pecah bagiannya
untuk mendapatkan informasi pasca struktural. Sebuah hasil publikasi dari Geertz
51
(1983: 85-150), misalnya, dapat dipecah pada bagian yang menunjukkan
hubungan ketetanggaan untuk menjelaskan diskursus berbagi kelebihan, pengaruh
besarnya jumlah penduduk guna memahami diskursus potensi golongan miskin,
analisis fungsionalitas anggota ketetanggaan dalam diskursus kemiskinan
produksi, hipotesis kolonialisme sebagai penyebab kemalasan pribumi sebagai
kritik diskursus ras dan etnis. Pemecahan sebuah publikasi dapat dilakukan,
karena, pertama, kajian diskursus terhadap kemiskinan di Indonesia tergolong
baru dan belum memiliki publikasi khas yang memadai. Sumber informasi masih
perlu dipinjam dari analisis atas publikasi-publikasi yang sudah ada, termasuk
yang menerapkan kajian di luar pasca struktural. Kedua, sumber informasi
memang dapat diperoleh dari hasil publikasi tersebut. Kajian atas teks dokumen
justru menjadi aspek penting dalam penelitian pasca struktural.
Data-data sekunder juga dikumpulkan, karena berguna untuk mendapatkan
gambaran awal diskursus kemiskinan yang diteliti, luasnya wilayah diskursif
sesuai dengan jumlah dan lokasi orang atau organisasi yang berkaitan dengan
diskursus tersebut, menggali habitus dari pengalaman tertulis dari orang miskin
atau pihak yang solider kepadanya, serta untuk merumuskan struktur dalam arena
kemiskinan dalam diskursus tersebut. Data sekunder meliputi data statistika,
kebijakan dan peraturan perundangan, literatur pemikiran atau evaluasi
kemiskinan, literatur berisikan pengakuran-pengakuan orang miskin, dan aturan-
aturan kelembagaan.
Statistika di desa, terutama yang berkaitan dengan kemiskinan, dikuasai
oleh modin atau kepala urusan kesejahteraan rakyat. Modin pula yang biasa
menjalankan sensus di desa. Adapun statistika profil dan potensi desa serta pajak
dipegang oleh kepala urusan pemerintahan atau kabayan.
Metode "Rembugan"
Untuk mendapatkan pernyataan yang mampu menjelaskan kehadiran
(emergence) diskursus kemiskinan tertentu, semula hendak dilakukan wawancara
mendalam. Akan tetapi wawancara segera beralih menjadi rembugan dalam
bentuk dialog yang setara antara peneliti dengan responden dan informan –konsep
52
responden dan informan juga akhirnya digugat di lapangan karena membedakan
diri peneliti dari mereka. Dibandingkan dengan diskusi, dialog, atau wawancara
berkelompok, metode rembugan lebih menekankan pada hasil praktis dari dialog
bagi peneliti maupun responden dan informan. Hasil praktis tersebut mencakup
perubahan pengetahuan, refleksi, hingga tindakan. Rembugan dilaksanakan untuk
mendapatkan data pernyataan, predisposisi agensi sebagai suatu habitus, proses
interaksi dalam bentuk lintasan dan strategi dengan agensi lain dalam arena-arena
kemiskinan. Sesuai dengan pengalaman Bourdieu (2011: 1-4), pertanyaan pokok
why (mengapa) diterapkan untuk menggali berbagai alasan atau pemikiran
reflektif atas pengalaman pribadi, serta penilaiannya atas ciri-ciri kemiskinan
lokal, garis kemiskinan lokal, jumlah rumahtangga miskin, dan mobilitas sosial.
Alasan atau pemikiran reflektif dari satu responden atau informan dengan yang
lain dalam diskursus yang sama dikelompokkan menurut persamaannya, dan
perbedaannya dalam waktu dan tempat yang berbeda. Data-data kesamaan dan
perbedaan refleksi menurut konteks yang berbeda dijadikan bahan penyusunan
habitus agensi dalam diskursus tersebut, yang melampaui refleksi individual.
Pengubahan metode wawancara menjadi rembugan yang lebih setara, dan
saling mempengaruhi, disebabkan sejak awal konsep penelitian dimaknai secara
negatif di Kantor PMD, Jakarta, dan di Dusun Kalitani, Kabupaten Makmur.
Penelitian ditafsir sebagai upaya pihak yang berposisi lebih tinggi untuk
menjadikan responden dan informan sebagai bahan eksperimen. Sebagai
perbandingan, pandangan penelitian sebagai mekanisme penjajahan diskursus
peneliti juga muncul pada masyarakat desa di Maori (Smith 2005: 45-110). Untuk
merespons hal tersebut secara positif, pengambilan data lapangan dinyatakan
sebagai upaya untuk menggali pengetahuan bersama. Projo memberi peringatan
sebelum ke dusun, sebagai berikut.
Nanti kalau ke rumah Mbah Kasrino (Orang Samin), jangan menyatakan hendak melakukan penelitian. Wong orang kok diteliti. Kalau seperti itu, nanti dia tidak mau menjawab pertanyaan. Nanti disampaikan saja ingin tukar kawruh (bertukar pengetahuan).
53
Dalam laporan ini responden dan informan digunakan hanya untuk
kepentingan pemahaman teknis penelitian. Responden meliputi seluruh agensi
atau posisi sosial yang mendukung suatu diskursus kemiskinan, di antaranya
orang-orang yang mengalami sendiri kemiskinan, dan orang lain yang memiliki
solidaritas dan berkepentingan dengan diskursus tersebut (pengelola organisasi
penanggulangan kemiskinan, pengamat kemiskinan). Data yang diambil dari
responden meliputi refleksi terhadap pemikiran dan sikapnya, serta interaksinya
dengan agensi lainnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama berkaitan dengan
penanggulangan kemiskinan. Informan ialah pihak lain yang mengetahui
perkembangan arena (organisasi, kelembagaan) atau diskursus kemiskinan yang
diteliti. Informan meliputi pengamat ilmu sosial tentang kemiskinan, dan tokoh
Dusun Kalitani (Tabel 4).
Tabel 4. Responden dan Informan
Diskursus Responden Informan Berbagi kelebihan Sukoyo, Paing, Sarman Karyo Menginginkan kesederhanaan Muslim Projo Kemiskinan rasial dan etnis Kasrino, Kuntirto Projo, Wahono Kemiskinan sosialis*) - - Kemiskinan produksi Tino, Irwan Hery Potensi golongan miskin Fuji, Indra, Anom, Aries Hery Keterangan: *) tidak diteliti di lapangan
Informan penting untuk dikenal secara akrab, agar bersedia memberikan
penjelasan yang valid bagi peneliti. Untuk mendekati informan, peneliti
menyatakan sebanyak mungkin kesamaan dengannya, di antaranya mengingatkan
kebersamaan dalam mengkaji pedesaan, berasal dari suku bangsa Jawa, dapat
berbahasa Jawa, berasal dari kabupaten yang sama, mengenal sebagian tokoh
yang mereka akrabi, memiliki kenalan yang dahulu tinggal di desa yang sama.
Tanda-tanda penerimaan peneliti muncul setelah ditawari untuk masuk ke dalam
kelompoknya (dalam petikan diskusi ini sebagai bagian sedulur sikep atau Orang
Samin), atau tidur di rumahnya. Kasrino, yang ditokohkan sedulur sikep,
menyampaikan pernyataannya.
54
(Saya katakan, waktu temu tani di IPB sempat bertemu Kasrino).
Dulu memang saya bertemu dengan Pak Harmawan di IPB. Hidup itu seperti urap, padahal dulu di sana juga bertemu. Pada saat pertemuan sering dibagikan buku dan pen. Teman-teman saya yang lain pada menulis, tapi saya membiarkannya saja. Kalau Anda menjadi panitia pada Sarasehan Petani, berarti yang mengatur saya di sana juga.
Orang memiliki rasa kepedulian yang berbeda-beda. Peduli terhadap sedulur adat itu berbeda-beda. Kebetulan saat ingin bertemu sedulur tani, malah bertemu sedulur sikep, akhirnya telanjur menjadi sedulur sampai saat ini. Padahal menurut pelajaranku dari bapakku dan ibuku, orang itu bersaudara dengan orang lain, sehingga di mana saja saat bertemu orang maka itu berarti bertemu saudaranya. Itu dijadikan saudara, kalau mereka mau. Ini Anda datang sendiri ke sini, kalau saya akui sebagai sedulur mestinya mau, bukan?
(Saya jawab, malah saya yang ingin. Jadi nanti di Bogor tambah satu sedulur).
Kuntirto, tokoh muda sedulur sikep yang saat ini memimpin perlawanan
terhadap pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Pati –sekaligus anak Kasrino—
mengajak peneliti tidur di rumahnya.
Menginap di sini saja. Kalau ke Makmur, dekat juga lewat Kalitani. Atau bisa lewat jalan besar, nanti tembus Bareng.
Pikirku, nanti rembugan itu banyak orang. Kalau tidak terburu-buru, nanti ikut saja sampai malam. Kalau perlu tidur, maka tidur di sini tidak apa-apa.
Keikutsertaan tokoh lokal dalam diskusi pertama kali dapat memberikan
keuntungan bagi peneliti. Pada satu sisi warga desa segera menjadi akrab, dan di
sisi lain sulit bagi mereka untuk mengelabui peneliti. Pada saat berdiskusi dengan
Kuswani, buruh migran ke Arab Saudi, Projo menyela sebagai berikut.
Ada juga yang suaminya menjadi TKI lalu istrinya selingkuh dan menikah lagi. Aku paham, kalian tidak bisa mungkir. Dalam pandangan orang desa, itu dinilai seimbang.
Adapun Kasrino sempat menjelaskan sebagai berikut.
55
Bukti bahwa sedulur sikep di Makmur akrab dengan pemerintah di antaranya kamituwo (kepala dusun) bersedia ikut mengantar diskusi pertama. Sewaktu dia akan menjadi kamituwo, saya juga ikut berkoar-koar untuk memilihnya. Bukan tim sukses, tapi simpatisan untuk ikut berkoar-koar.
Ke sini bersama kamituwo menurut saya berarti memiliki argumen yang kuat. Saya berbicara juga jadi ada saksinya. Saya juga berpikir, kalau nanti ada pertanyaan, lalu saya jawab yang baik, nanti jangan-jangan dikira ini pura-pura dijawab dengan baik. Umpama saya minta untuk bertanya kepada yang lain, tapi wong yang disenangi bertanya kepada saya.
Setelah diskusi berlangsung lama dan beberapa kali, warga desa turut
memilih pertanyaan yang perlu dijawabnya. Pertanyaan yang dipandang tidak
penting tidak dijawabnya secara serius. Kasrino menjawab salah satu pertanyaan
peneliti tentang kesamaan sebagian nama anak-anaknya.
Kebetulan anak-anak saya namanya serupa, Kuntirto, Kuntarti, Kuntaran, Kuntarto. Kalau hendak dipikir-pikir, boleh saja maknanya diada-adakan. Tapi kalau tidak dipikir ya tidak ada maknanya. Disebut Kuntarto, artinya ya Kuntarto. Tapi kalau tidak dinamai, maka maknanya bukan Kuntarto.
Pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya, karena bukan pengalamannya
sendiri, ditolaknya untuk dikomentari. Kasrino menjelaskan hal ini.
(Saya bertanya, sewaktu di Taman Mini, apakah masyarakat adat yang lain juga berpandangan sama, ada mligi dan lugu?)
Untuk pertanyaan itu, saya kira, alangkah lebih baik jika Anda menanyakan langsung kepada mereka yang melakukannya. Saya hanya bisa menjawab yang saya lakukan. Daripada saya mengira-ngira pasti sama. Kok berani amat mengira-ngira orang lain.
Berkaitan dengan itu, warga desa sendiri telah menyadari bahwa hasil
diskusi dengan dirinya bisa berbeda dari hasil diskusi dengan warga desa lainnya.
Kuntaran, anak Kasrino, sempat berkata sebagai berikut.
Kebetulan Anda menemui Mbah Kasrino dan keluarganya, sehingga pemahaman tentang sikep seperti ini. Tapi kalau
56
bertemu dengan sikep yang lain, mungkin tidak seperti Mbah Kasrino ini.
Rembugan itu sendiri berlangsung timbal balik. Warga desa juga turut
mengharapkan tindakan peneliti untuk mereka. Kasrino menyatakan sebagai
berikut.
Nanti saat bertemu Kang Kuntirto tentu berbeda dengan saat bertemu saya. Memang harus begitu, karena di sana orang muda, di sini saya sudah tua. Maksud saya menyampaikan ini, agar saat diajak rembugan itu yang tepat. Apa-apa saja, diterima saja. Apakagi kalau bisa membuat Kang Kuntirto lancar. Bantuan tidak harus mengeluarkan modal, namun bisa membantu lewat pikiran. Kira-kira Anda nanti juga mendapat tugas dari Kang Kuntirto. Karena yang diangkat Kang Kuntirto sangat berat (memimpin konflik dengan pabrik semen sejak tahun 2008), tidak bisa hanya diangkat orang-orang satu atau dua desa. Orang tiga kecamatan itu saja tidak cukup.
Kuntirto sendiri akhirnya menugasi peneliti untuk menuliskan
kegiatannya.
Ini kalau bisa Anda turut serta untuk membicarakannya. Sebenarnya aku memiliki keterbatasan, kekurangannya ialah tidak ada yang menulis dan mengabarkan kepada Pak Bagas, dan teman-teman lainnya. Teman-temanku petani-petani sederhana. Aktivis yang gemar menulis juga jarang. Dekat dengan saya memang rekasa (sulit).
Metode Pengamatan Berpartisipasi
Arti praktik sebagai metode menekankan pengamatan berpartisipasi.
Metode ini penting untuk mendapatkan data aspek-aspek obyektif dari arena serta
modal pendukung habitus. Dalam penelitan lapangan minimal terdapat dua
amatan, yaitu pengamatan terhadap tempat atau lokasi, dan pengamatan terhadap
tingkah laku. Dipahami bahwa tempat atau penempatan suatu benda atau orang
tidak dilakukan secara tanpa sengaja, melainkan mengikuti aturan dalam diskursus
kemiskinan tertentu. Dorongan untuk memilih tempat dan untuk menyeleksi
57
penempatan barang perlu digali untuk menemukan pemikiran, predisposisi atau
strategi dalam memanipulasi tempat.
Dipandang penting pula kaitan antara tempat (penempatan) dan waktu.
Penempatan barang dalam suatu periode tertentu, dan tidak demikian pada periode
lainnya, menunjukkan pola hubungan tempat dan waktu ini. Dorongan untuk
melakukan tindakan semacam ini menjadi penting diketahui.
Tingkah laku orang miskin lazimnya diatur. Aturan semacam ini memang
penting untuk menghemat waktu, tenaga, hingga goncangan psikis. Aturan formal
mudah ditemui dalam dokumen-dokumen formal. Aturan juga ditemui dalam tata
krama atau aturan yang tidak tertulis lainnya.
Di samping itu penting diamati tindakan-tindakan yang menyimpang dari
aturan formal maupun yang tidak tertulis di atas. Pengamatan ini penting,
barangkali suatu penyimpangan aturan ternyata berupa jalan baru menuju aturan
lain, meskipun tidak terdapat dalam lingkup aturan-aturan yang telah ada pada
masyarakat atau kelompok yang diamati.
Obyek pengamatan dalam penelitian ini meliputi rumah, perabot,
lingkungan di sekitar rumah. Diamati pula lokasi kerja dan lingkungannya,
kegiatan kerja, dan kegiatan di dalam rumahtangga.
Sementara itu, kejadian-kejadian sosial yang terjadi selama di desa turut
diikuti peneliti. Di antara ialah ibadah berjamaah, bergotong royong, pertemuan
persiapan demonstrasi petani. Dalam pertemuan persiapan demonstrasi tersebut,
Kuntirto mengenalkan peneliti sebagai berikut.
Karena tidak banyak waktu pada saya, maka sebaiknya sambil ikut serta kegiatan-kegiatan di sini. Tidak apa-apa untuk sekedar menjadi pendengar setia atau turut serta memikirkannya. Yang bisa dilakukan ialah menyerap informasi wilayah Kendeng, Pati, kemudian disampaikan ke IPB, agar sedulur-sedulur IPB kian jelas kondisi sekarang.
Metode Analisis Data
Analisis diskursus berusaha memahami dan menerangi tindakan dari
kejanggalan yang terjadi dengan mempergunakan kekuasaan untuk menegaskan
58
makna yang dominan (Foucault 2002d: 143). Unit analisis dalam penelitian ini
berupa, pertama, pernyataan, yang digunakan untuk analisis pada tataran
diskursus kemiskinan. Kedua, pengalaman hidup dan sejarah, yang digunakan
untuk analisis pada tataran refleksif yang subyektif. Ketiga, relasi sosial, yang
digunakan untuk analisis pada tataran struktur sosial obyektif.
Menggunakan tahapan analisis diskursus dari Foucault (2002a: 28-188;
2003: 9-62), analisis data dalam penelitian ini mencakup, pertama, menganalisis
pembentukan masing-masing diskursus kemiskinan. Kegiatan yang dilakukan
ialah mendefinisikan obyek diskursus, yaitu menentukan dan membatasi hal-hal
yang bisa dinyatakan dalam diskursus kemiskinan tersebut, mencakup pernyataan
pemikiran, tindakan sosial, dan susunan benda-benda yang khas dalam diskursus
tersebut. Perkembangan diskursus dan praktik dilakukan melalui penyaringan
mana sajakah pernyataan dan tindakan yang dianggap penting, diulang-ulang, atau
sebaliknya berupaya ditentang. Digali pula kejanggalan antara pernyataan dan
tindakan yang muncul.
Analisis juga dilakukan untuk menggali bagaimana suatu subyek
kemiskinan dimunculkan, dengan kekuasaan dan pengetahuan apakah subyek
tersebut bisa dimunculkan. Subyek kemiskinan dapat berupa individu miskin,
keluarga atau rumahtangga miskin, kelompok miskin, pengusaha lemah, hingga
etnis yang dinilai primitif. Digali pula organisasi atau pengelolaan yang khas
menurut diskursus kemiskinan yang berbeda-beda. Modalitas penyampaian
diskursus kemiskinan tertentu diperoleh melalui analisis terhadap subyek yang
berbicara, institusi tempat subyek menyusun diskursus kemiskinan, habitus, dan
tindakan sosial tertentu.
Peneliti menggali relasi antar pernyataan dan transformasi antar
pernyataan yang berkaitan dengan suatu diskursus kemiskinan tertentu, seperti
penggunaan homologi, pengembangan hubungan kausal dan historis. Secara
khusus dituliskan pernyataan dalam konsep-konsep kemiskinan yang permanen
dan koheren, karena memungkinkan pernyataan dan tindakan berulang. Pada titik
inilah suatu diskursus kemiskinan benar-benar ditemukan.
Kedua, menganalisis pengelolaan diskursus di dalam habitus dan arena.
Digali organisasi, kelompok, kejadian sosial atau tindakan yang berulang yang
59
digunakan dalam diskursus tertentu. Peneliti menggali agensi yang turut serta
dalam arena tersebut, berupa posisi sosial seperti julukan orang-orang menurut
pekerjaan, jenis kelamin, atau julukan lainnya. Peneliti mengamati struktur
obyektif dalam arena, yaitu berbagai tindakan yang terpola dalam arena seperti
kerjasama, konflik atau akomodasi. Habitus, lintasan, dan strategi sosial digali
dengan cara merumuskan riwayat hidup responden, menggali titik-titik dalam
riwayat hidupnya yang dipandang penting, posisi-posisi penting dalam hidupnya,
pemikiran reflektif berupa responsnya terhadap riwayat hidupnya serta alasan
untuk menunjukkan respons tindakan tersebut.
Ketiga, menganalisis anomali atau kejanggalan diskursus. Mula-mula
disusun pernyataan dan tindakan yang khas dalam tiap diskursus, lalu digali
pengecualian (exclusion) seperti ketiadaan hak untuk menyampaikan pernyataan,
ketiadaan hak untuk berinteraksi dengan pihak lain, dan ketiadaan hak untuk
memanfaatkan benda-benda tertentu. Untuk setiap pengecualian tersebut,
disusunlah deskripsi karakteristik tempat munculnya, yang berisikan sumber
aturan, sanksi, kemampuannya untuk beredar, bertukar, serta bertransformasi
melintasi waktu dan melintasi tempat.
Keempat, menganalisis kontradiksi dengan menggali kemampuan
diskursus kemiskinan tertentu untuk mengelola atau menormalisasi kejanggalan,
anomali dan kritik dalam bentuk pernyataan, protes tindakan sosial, maupun
perubahan susunan benda-benda. Menggali proses konflik dalam diskursus yang
bersangkutan, kemudian memilah kontradiksi yang tidak bisa dijelaskan oleh
pernyataan dan habitus diskursus kemiskinan yang lama.
Dalam berbagai rembugan, terutama dengan aparat pemerintah, namun
juga dengan akademisi, berkembang ketidakpercayaan atas pembagian ragam
kemiskinan pada level diskursus. Memandang keragaman diskursus sekedar
sebagai multidimensi kemiskinan, rumusan program penanggulangan kemiskinan
berupaya memasukkan seluruh dimensi tersebut. Akan tetapi, ketika ditelusuri
rumusan-rumusannya, terkuaklah kekuasaan untuk menafsir ulang atau
memanipulasi berbagai konsep diskursus yang berbeda tersebut ke dalam
diskursus mereka sendiri. Dominasi tafsir konsep tersebut ada kalanya ditentang
60
penganut diskursus yang berbeda, atau justru mereka manipulasi kembali tafsir
tersebut pada tataran-tataran diskursus dan praktik yang berbeda.
Kegiatan saling mendominasi tafsir antar diskursus dan praktik ini dapat
dinyatakan sebagai perang diskursus dan praktik kemiskinan. Dengan demikian
perang antar diskursus dan praktik ditandai dua hal. Pertama, kemampuan suatu
diskursus dan praktik untuk menyatakan dirinya dengan menunjukkan
perbedaannya atau distingsinya dari diskursus dan praktik lainnya. Kedua,
kemampuan suatu diskursus untuk mendominasi tafsir atas habitus dan arena
tertentu, atau menafsirkan habitus dan arena dari lawan sehingga secara homolog
mampu diserap oleh diskursus tersebut.
Proses penyimpulan keseluruhan analisis (Alvesson dan Skőldberg 2000:
259-271) dipandu oleh fokus penelitian, dengan menganalisis manakah di antara
kelompok, kategori atau individu yang berbeda yang mampu mengeluarkan
suaranya, dan sebaliknya kehilangan suaranya dalam masing-masing diskursus
dan arena. Interpretasi lanjut dari hasil interpretasi fakta oleh responden dan
informan ini dilakukan untuk menilai operasi kekuasaan dalam tiap diskursus dan
praktik untuk memunculkan tubuh-tubuh miskin.
Pada langkah selanjutnya, proses penulisan laporan dapat pula dipandang
sebagai proses penyusunan diskursus baru, yaitu diskursus pasca pembangunan
menurut pandangan peneliti. Meskipun telah mendiskusikan hasilnya dengan
berbagai pihak, proses penulisan laporan dilaksanakan secara mandiri dan menjadi
tanggung jawab peneliti.
Sesuai dengan pola analisis di atas, secara umum penulisan terbagi
menurut latar belakang penelitian berikut perumusan masalah dan tujuannya,
pengembangan landasan teoretis dan metode penelitian. Bab-bab berikutnya
berisikan penjabaran masing-masing diskursus dan praktik kemiskinan. Setelah
seluruh diskursus dijabarkan, kemudian ditarik analisis perang antar diskursus,
dan diakhiri dengan kesimpulan. Dalam lampiran juga didokumentasikan makalah
untuk menyajikan penemuan enam diskursus kemiskinan.
61
Bias dan Kebaruan Penelitian
Menggunakan pemikiran Eropa pada masa modern –sejak 1960-an—
menghasilkan bias ketika pasca strukturalisme dipraktikkan dalam penelitian di
Indonesia. Pertama, language (bahasa) dalam pengertian modern yang dikenalkan
oleh Islam klasik dan Barat baru dikenal segelintir masyarakat Indonesia pada
bagian-bagian akhir abad ke 19 (Heryanto 1990: 2-23). Berbeda dari kondisi
linguistic turn sebagai salah satu pembentuk utama teori sosiologi di Eropa masa
kini, sebelum abad ke 19 dan mungkin untuk kebanyakan penduduk desa di
Indonesia hingga saat ini bahasa (bhasa) selalu terikat dengan tingkah laku,
sebagaimana terekam dalam konsep budi bahasa. Lebih khusus lagi, bahasa
(bhasa) sekaligus berarti tingkah laku yang unggul, misalnya orang Jawa
mengharuskan bhasa kepada lapisan yang lebih tinggi. Di sini bahasa tidak
terpisah sehingga dianalisis secara rinci dan disintesiskan secara berbeda –seperti
penghilangan hubungan langsung antara bahasa dan tindakan, pembalikan logika
dan kehendak, penBanyu petanda dan penanda dalam difference—namun hampir
selalu terkait dengan tindakan, bahkan suatu tindakan yang bersifat hierarkis.
Pelaporan ini menggunakan bahasa Indonesia yang kurang mengindikasikan
hierarki kebahasaan, sehingga mungkin kurang menguatkan kerendahan posisi
sosial orang miskin di pedesaan.
Kedua,Sumpah Pemuda 1928 telah meluaskan pemakaian bahasa
Indonesia sebagai salah satu pemersatu kemajemukan bangsa Indonesia. Pada satu
sisi, penggunaan bahasa yang seragam di seluruh wilayah negara menjadikan
bahasa Indonesia sebagai mekanisme strategis bagi penguatan diskursus
kemiskinan yang beroperasi dalam proyek-proyek pembangunan pedesaan.
Berlawanan dengan itu, diskursus kemiskinan yang tidak berkonsekuensi pada
arena proyek pembangunan memiliki keterbatasan penyebaran dan perlu
menggunakan alternatif media komunikasi lainnya, seperti jaringan kelompok dan
media massa.
Ketiga, teori diskursus dan praktik sosial diciptakan untuk mengkritik
modernisme dan kolonialisme (termasuk orientalisme dan indologi), sehingga
dapat membantu melepaskan diri dari hegemoni Barat sendiri (Heryanto 1996: 94-
62
103). Akan tetapi posisi demikian juga berbias pada kritik yang lebih tajam
kepada diskursus kemiskinan yang berkaitan dengan modernisme dan
kolonialisme. Bias kritik lebih tajam dapat muncul dalam pembahasan diskursus
kemiskinan produksi, diskursus potensi golongan miskin, serta diskursus
kemiskinan ras dan etnis.
Keempat, di pihak lain, analisis dengan menggunakan operasionalisasi
teori diskursus ke dalam habitus dan arena dapat menurunkan kekritisannya. Hal
ini muncul dalam teori diskursus yang dioperasionalkan Habermas dalam
komunikasi mendalam serta demokrasi deliberatif (Hardiman 2009: 144-146),
yang berkompromi terhadap kehadiran lembaga-lembaga kapitalisme dan
modernisme melalui kajian konsensus –terutama saat warga berkonsensus
menyetujui kapitalisme. Untuk mengatasi bias tersebut, penelitian ini
mengemukakan perang antar diskursus (tidak hanya relasi konsensual) agar tetap
mampu mengangkat pernyataan dan praktik perlawanan.
Kelima, meskipun sempat membicarakan seksualitas dan golongan gay,
analisis diskursus lalai dari amatan gender. Penelitian inipun tidak secara khusus
membicarakan gender atau pembagian kerja secara seksual. Analisis pembedaan
jenis kelamin dilakukan dalam kerangka pe-Lain-an perempuan miskin dengan
mendudukkannya pada posisi yang rendah dan melemahkannya, atau sebaliknya
mengembangkan prasangka efisiensi ekonomis pada kelompok perempuan
dibandingkan laki-laki.
Dikurangi berbagai bias tersebut, penelitian ini masih menyajikan
kebaruan-kebaruan sebagai berikut. Pertama, penelitian menjawab kebutuhan
untuk mendudukan pemikiran orang miskin dan warga desa sejajar dengan
pemikiran lapisan yang lebih tinggi maupun pemikiran akademis. Upaya ini
memiliki dasar filosofis episteme, teori diskursus dan praktik sosial yang
menghadirkan pandangan bahwa pemikiran dan tindakan mereka juga memiliki
sistem yang argumentatif.
Kedua, penelitian ini menggali mekanisme kekuasaan yang
menghubungkan tataran diskursus, refleksif, dan struktur sosial. Sebagai
perbandingan, karya Foucault (2002a: 28-188; 2003: 9-62) terfokus pada tataran
diskursus, sedangkan karya Bourdieu (2011: 31-32, 88) mengoperasikan diskursus
63
ke tataran refleksif dan struktur sosial, sementara penelitian ini lebih jauh lagi
menggali hubungan lintas tataran tersebut.
Ketiga, pengembangan metode penelitian diskursus praktik memberikan
sumbangan terhadap metode kualitatif untuk mengoperasikan teori diskursus dan
teori praktik. Lebih khusus lagi, pengembangan metode dalam penelitian ini dapat
menunjukkan strategi penelitian diskursus ke dalam praktik masyarakat pedesaan.
Keempat, melalui analisis strategi perang antar diskursus dan antar agensi
diharapkan muncul kejernihan dalam menganalisis mekanisme kekuasaan dalam
kemiskinan. Temuan ini dapat digunakan untuk membuka kompleksitas saling
hubung diskursus dan praktik kemiskinan yang berbeda, yaitu dengan membuka
arena hierarkis, mekanisme operasi kekuasaan, dan manipulasi beragam modal
masing-masing dan antar diskursus serta praktik kemiskinan.
Kelima, penelitian ini menemukan diskursus kemiskinan baru atau
menyusunnya secara baru. Taksonomi universal kemiskinan struktural dan
kultural, misalnya, telah dimajemukkan menjadi enam diskursus kemiskinan
untuk Indonesia. Di samping untuk mengkritik Barat, pascastrukturalisme yang
digunakan dalam penelitian ini mulai dipraktikkan untuk mengembangkan teori
mandiri di Asia.1 Dalam konteks akademis, penelitian ini diarahkan untuk
mengembangkan diskursus alternatif dalam ilmu sosial Asia (Alatas 2010: 211-
217). Dengan menemukan beragam diskursus dan praktik kemiskinan sesuai
lokalitas pada masa kini, taksonomi tersebut dapat lebih mampu menanggulangi
kemiskinan di Indonesia menurut keragaman jenis yang ada. Temuan keragaman
diskursus kemiskinan dapat mengelakkan pengambilan keputusan yang bersifat
simpel atau monolitik dalam menanggulangi kemiskinan.
1 Lihat juga artikel A.Heryanto, "Indonesia dalam Kajian tentang Indonesia", Tempo Edisi Khusus Indonesianis, 20 November 2011, halaman 128-129.
64
BAB 4 DISKURSUS DAN PRAKTIK BERBAGI KELEBIHAN
Diskursus dan praktik berbagi kelebihan dikembangkan oleh warga desa
sendiri. Menurut Sensus Penduduk 2010,1 jumlah penduduk yang tinggal di
daerah pedesaan sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21 persen dari penduduk
Indonesia). Meskipun tidak dapat dipastikan jumlahnya dalam penelitian ini,
dapat diduga bahwa subyek diskursus dan praktik berbagi kelebihan berjumlah
sangat banyak di pedesaan Indonesia.
Dibesarkan melalui komunikasi lisan, diskursus berbagi kelebihan
dipraktikkan dalam hubungan ketetanggaan. Tetangga yang kekurangan dibantu
dengan memberikan kepadanya sebagian harta pribadi, kesempatan untuk bekerja,
hingga membuka peluang mengambil hasil panen. Golongan cukupan membantu
tetangga yang kekurangan dengan memberikan kelebihan hartanya.
Dalam kaitan dengan diskursus berbagi kelebihan, homologi konsep yang
penting berasal dari Geertz (1983: 101-103), yaitu kemiskinan bersama (shared
poverty). Menurut Geertz, gejala ini muncul sebagai konsekuensi involusi
pertanian, berupa peningkatan tekanan penduduk secara terus menerus dalam
budidaya padi sawah yang memiliki luasan tetap. Hasilnya pendapatan tiap
anggota masyarakat semakin menurun, dan mewujudkan kemiskinan yang dibagi
rata atau kemiskinan bersama tersebut.
Pandangan kemiskinan bersama, serta pemikiran Geertz lainnya tentang
pedesaan, memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan pelapisan sosial
(Sajogyo 1983: xxvii). Sajogyo mengkritik sambil menjelaskan, bahwa
kemiskinan bersama hanya terjadi pada lapisan bawah. Adapun relasi antara
lapisan bawah dan lapisan atas berupa hubungan patron klien, di mana patron
membantu dengan memberikan kelebihan hartanya kepada klien.
Di Dusun Kalitani lebih terlihat mekanisme berbagi kelebihan kekayaan
atau harta benda dibandingkan berbagi kemiskinan secara merata. Akan tetapi
1 Diunduh dari http://sp2010.bps.go.id/index.php pada tanggal 29 Desember 2011 pukul 08.09 WIB.
66
strukturnya tidak seketat hubungan patron yang membantu klien, melainkan
bersifat situasional. Lapisan atas dan lapisan bawah saling membantu pada
kejadian-kejadian sosial bersama, seperti sinoman perkawinan hingga pendirian
rumah. Khusus dalam sinoman, diskursus berbagi kelebihan bahkan bisa
dipraktikkan lapisan bawah dengan mengutangi lapisan atas.
Penyamaran Hierarki/Diferensiasi
Diskursus berbagi kelebihan menyembunyikan tubuh-tubuh miskin di
pedesaan, melalui serangkaian tugas dan kewajiban yang sama dengan warga desa
lainnya. Orang miskin turut serta dalam gotong royong dan iuran sebagaimana
warga desa lainnya. Warga desa juga menyamarkan tubuh orang miskin melalui
keikutsertaannya dalam kerja maupun pembagian barang yang sama kualitasnya
dengan milik warga lainnya. Gabah hasil ngasak (mengumpulkan sisa gabah di
sawah usai dipanen) bisa dijual orang miskin kepada penebas (pedagang padi)
dengan harga yang sama dengan gabah hasil panen.
Secara khusus peletakan tubuh orang miskin dalam posisi kekurangan –
yang berlawanan dari posisi cukupan—telah ditemukan sejak lama (Geertz 1983:
102; Singarimbun dan Penny 1976: 25, 64). Menurut Singarimbun dan Penny,
cukupan merujuk terpenuhinya kebutuhan tubuh secara wajar sesuai keperluan
tubuh petani biasa. Kekurangan merujuk pada ketidakcukupan pemenuhan
kebutuhan pokok tubuh hari ini, atau jarang mempunyai persediaan untuk esok.
Masyarakat desa itu tidak terbagi atas golongan have dan have nots melainkan dengan istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan petani (Jawa) golongan cukupan dan kekurangan (Geertz 1983: 102)
Upaya untuk melihat masa depan golongan kekurangan di pedesaan
melalui perkembangan peluang polarisasi atau diferensiasi –yang dikembangkan
Hayami dan Kikuchi (1987: 151-167)—sulit dipertahankan dalam praktik.
Sepintas dikotomi cukupan-kekurangan mendukung arah polarisasi sosial
(Sajogyo 1989:54), namun muncul pula diferensiasi sosial terus menerus dengan
menciptakan status dan posisi baru (Husken 1998: 180-210).
67
Kasus Dusun Kalitani dapat digunakan untuk memahami kekhasan
pandangan pelapisan sosial tersebut. Diferensiasi sosial ditunjukkan oleh rincian
pada golongan cukupan serta rincian pada golongan kekurangan, biasanya sebagai
konsekuensi pengaruh konsep-konsep dari luar desa, seperti fakir dan miskin.
Namun demikian tafsir hierarki sosial yang paling kuat untuk menyusun
taksonomi warga desa masih tetap berdasarkan garis kecukupan.
Suatu garis kecukupan telah membagi golongan kekurangan yang meliputi
fakir, miskin, dan agak cukup, dan golongan cukupan mencakup cukup dan kaya
(Gambar 6). Terdapat berbagai pemilikan maupun penguasaan benda (sawah,
rumah) serta status sosial (anak berkuliah) untuk menandai tubuh-tubuh sosial,
namun pokok taksonomi tetap terbatas pada sejauhmana melalui harta benda dan
jasa tersebut dapat tercukupi kehidupan tubuh-tubuh miskin dalam rumahtangga
selama setahun.
Setelah garis maya kecukupan memisahkan tubuh kekurangan dari lapisan
yang lebih tinggi, pengelolaan (governmentality) kerukunan segera menyamarkan
garis maya tersebut (Gambar 7). Pengelolaan kerukunan antar tetangga
mendisiplinkan hubungan berbagai posisi sosial di desa menuju keadaan harmonis
(Geertz 1985: 151). Konsekuensi harmonis dari usaha menjaga kerukunan dapat
disalahpahami sebagai komunalisasi, kesatupaduan atau egalitarianisme
masyarakat desa (Husken 1997: 16-55), dengan melupakan pelapisan sosial dan
diferensiasi sosial yang sudah tercipta di atas. Hildred Geertz (1985: 151)
menyatakan rukun sebagai:
… determinasi untuk "memelihara pernyataan sosial yang harmonis" dengan memperkecil sebanyak-banyaknya pernyataan konflik sosial dan pribadi secara terbuka dalam bentuk apapun.
Rukun dikelola warga desa untuk membantu tubuh-tubuh yang
kekurangan. Kerukunan diwujudkan pada pembagian barang dan jasa yang
berkualitas sama, bukan barang rusak, recehan, atau yang bernilai lebih rendah.
Tidak dinyatakan pencarian keuntungan dari tetangganya. Di desa-desa di
Sulawesi Tengah, misalnya, kelapa yang jatuh sendiri ke tanah boleh dimiliki oleh
tubuh yang kekurangan (Agusta 2010a: 4). Kelapa tersebut berkualitas bagus,
68
GARIS KEMISKINAN
LOKAL
MerantauSuami dan istri
sama-sama bekerja ·∙ Jumlah 350 rumahtangga
·∙ Memiliki sawah 7.500 m2 hingga 14.000 m2
·∙ Merantau, berdagang eceran, berdagang padi
·∙ Berbudidaya selain padi·∙ Menjadi perangkat dusun·∙ Pendapatan sekitar Rp 20
juta per rumahtangga per tahun
·∙ Melalui sinoman dapat memiliki rumah tembok hingga bertingkat
·∙ Menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi
·∙ Dapat turut serta dalam kelompok simpan pinjam
HAMPIR CUKUP
MerantauSuami dan istri
sama-sama bekerja
FAKIR
MISKIN
CUKUP
KAYA
·∙ Jumlah 20 rumahtangga ·∙ Dipandang malas, tidak
mau berpikir untuk maju, dan tidak kuat bekerja
·∙ Memandang diri telah bekerja kerasBerusia lanjut.
·∙ Masih muda namun tidak kuat bekerja di sawah.
·∙ Bekerja berburuhtani, makelaran
·∙ Pendapatan sekitar Rp 300 ribu per rumahtangga per bulan
·∙ Tidak memiliki sawah. ·∙ Memiliki rumah, atau
tinggal di tanah milik orang lain.
·∙ Tanah untuk rumah yang dimiliki hanya di satu tempat.
·∙ Jumlah 50 rumahtangga·∙ Dipandang memiliki
pendidikan formal rendah·∙ Memandang diri bekerja
keras dan sehat·∙ Memiliki sawah 3.000-
5.000 m2·∙ Berburuh tani, maro,
merantau·∙ Pendapatan sekitar Rp 10
juta per rumahtangga per tahun
·∙ Melalui sinoman dapat memiliki rumah tembok
·∙ Jumlah 100 rumahtangga·∙ Kebutuhan pangan
terpenuhi·∙ Dipandang berkemauan
kuat, bekerja keras, mematuhi atasan, terampil, dan berkelakuan baik
·∙ Memiliki sawah setidaknya 5.000 m2
·∙ Masih berburuh, maro, bekerja ke luar pertanian, merantau
·∙ Pendapatan sekitar Rp 15 juta per rumahtangga tahun
·∙ Menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi
·∙ Melalui sinoman dapat memiliki rumah tembok
·∙ Jumlah 50 rumahtangga·∙ Memiliki sawah 3,5 Ha
hingga 7 Ha·∙ Pendapatan dari sawah
sekitar Rp 85 juta sampai Rp 170 juta per rumahtangga per tahun
·∙ Menjadi tokoh masyarakat, tokoh agama, atau perangkat desa
·∙ Mndapatkan warisan pemilikan sawah sangat luas
·∙ Melalui sinoman dapat memiliki ruamh tembok
·∙ Dapat turut serta dalam kelompok simpan pinjam
·∙ Pembuka awal lahan desa
Bekerja keras di sawah
Tidak biasa bekerja keras
JompoGila setelah merantau
Menjadi kepala desaBerdagang
Pemecahan sawah melalui pewarisan
Pemecahan sawah melalui pewarisan
Anggota rumahtangga tidak mengelola remitan TKI
Anggota rumahtangga
tidak mengelola remitan TKI
Gambar 6. Stratifikasi dan Mobilitas Sosial di Dusun Kalitani
69
Cukupan
Kekurangan
Bertengkar Rukun
Gambar 7. Dikotomi Berbagi Kelebihan
dapat dijual di pasar, sehingga mereka tetap mendapatkan uang dan makanan
melalui pengumpulan kepala jatuh. Di Dusun Kalitani –sebagaimana disampaikan
di muka—fakir juga dapat ngasak dan menjual padi tersebut kepada penebas
dengan harga yang sama dengan hasil pemilik sawah itu sendiri.
Kekuasaan dalam pengelolaan rukun ini ditunjukkan oleh warga yang
membantu orang miskin meskipun sekaligus mencurigainya (Geertz 1985: 151-
156). Bantuan diberikan disertai kecurigaan tubuh miskin tidak mampu
mengelolanya untuk keluar dari lapisan kekurangan. Subyektivikasi tersebut
disusun dari pengalaman obyektif, bahwa selama ini banyak program pemerintah
yang telah diberikan kepada golongan fakir, namun tidak bisa meningkatkan
pendapatan keluarga mereka. Muslim, kepala urusan pemerintahan di Desa
Sawahan, menyatakan sebagai berikut.
Pak Sukoyo memang istimewa. Meskipun sering mendapatkan bantuan namun tidak ada perubahan. Ini karena orangnya tidak rajin bekerja. Diberi uang ya habis, diberi uang habis lagi. Pada tahun 2011 ini mertuanya juga mendapatkan bantuan untuk perbaikan rumah sebesar Rp 4,5 juta. Entah uangnya dipakai untuk apa, saya tidak tahu. Dulu dari "BPS"
70
(maksudnya bantuan langsung tunai atau BLT) kan mendapat Rp 300 ribu setiap bulan.
Golongan fakir sendiri mengembangkan subyektivitas yang berbeda dari
identitas yang diciptakan golongan lain. Mereka meyakini telah bekerja keras,
namun kerja keras tersebut tidak mempengaruhi posisi sosialnya. Dalam hal ini
Sukoyo, si fakir, menyatakan sebagai berikut.
Yang sangat dekat dengan saya, kami berteman tiga orang, hidup bertiga, mati bertiga. Malah mereka sudah meninggal semua. Yang satu Wak Min, ia sudah lama meninggal. Ia berhasil. Saya bekerja lebih banyak, tapi kok dia lebih berhasil. Dia berhasil karena orang tuanya mampu, punya sawah. Pak Towo juga mampu, dia anaknya Mbah Sukar, dia mampu tapi ada masalah dengan perempuan.
Tidak hanya dirinya yang bekerja, namun juga istrinya turut bekerja.
Istri saya ikut ngedos, ngarit, ngasak. Biasanya ia nggeblog (memukulkan segenggam padi untuk melepas bulirnya).
Predisposisi kerukunan mendorong lapisan cukupan dan lapisan
kekurangan saling membantu pada kejadian-kejadian sosial bersama, seperti
sinoman perkawinan hingga pendirian rumah. Konsep sinoman merujuk pada
saling berganti untuk tolong menolong. Pola saling membantu sekaligus bermakna
sebagai saling berutang uang, benda dan jasa. Dalam satu periode penanaman atau
pemanenan padi, kumulasi upah orang miskin juga dapat diutangkan kepada orang
cukup.
Dinamika Mekanisme Mengutangi/Menabung,
Mengakumulasi/Berbagi, Berbagi/ Mengakumulasi
Selama ini mekanisme atau prosedur untuk mengelola kemiskinan atau
keluar dari kemiskinan di pedesaan seringkali dilihat secara terpisah-pisah
menurut dimensi produksi dan konsumsi ekonomis. Menggunakan pemikiran
Geertz, involusi pertanian dinilai sebagai aspek produksi ekonomi atas munculnya
71
kemiskinan, sementara berbagi dalam kemiskinan (shared poverty) dipandang
sebagai akomodasi lembaga sosial untuk mengelola kemiskinan (Wahono 2004:
224-232).
Berbeda dari pandangan tersebut, di Dusun Kalitani mekanisme
pengelolaan kemiskinan mengandung dinamika dari aspek-aspek yang semula
ditafsir dikotomis. Arena ekonomi digunakan untuk mengakumulasi kekayaan,
namun sekaligus juga sebagai mekanisme berbagi kelebihan kepada tubuh fakir
dan miskin. Dinamika mekanisme mengakumulasi/berbagi membuka tindakan
menebaskan atau menjual padi di sawah langsung kepada tengkulak, sekaligus
membuka peluang kerja bagi golongan kekurangan dan mengasak padi usai
pemanenan. Demikian pula arena bantu-membantu, seperti sinoman, digunakan
untuk berbagi kelebihan, juga sekaligus untuk mengakumulasi modal. Dalam
sinoman terdapat mekanisme bolak-balik, yang menyumbang akan disumbang di
lain waktu, yang disumbang harus menyumbang di masa depan. Dinamika
mekanisme berbagi/mengakumulasi memunculkan kehendak untuk rukun dan
membantu golongan kekurangan, sekaligus dengan tafsir tidak kehilangan benda-
benda yang dibagikan tersebut. Ketika benda-benda diganti dengan uang,
berlangsung kehendak untuk membantu dengan memberi utangan uang kepada
warga sedesa, sekaligus sebagai wahana untuk menabung uang –inilah dinamika
mekanisme mengutangi/menabung.
Arena ekonomis paling penting di Dusun Kalitani ialah budidaya padi
sawah. Padi dominan ditanam di sawah, terutama setelah digunakan pompa air,
yang mengalihkan air Sungai Juana ke petak-petak sawah secara teratur.
Pengorganisasian pompa air dilaksanakan oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air
(P3A) menurut petak-petak sawah, sebagaimana disampaikan pada bab
sebelumnya. Penanaman di sawah dapat dilakukan hingga tiga kali, yaitu padi
pada musim tanam 1 (MT 1), padi pada MT 2, dan palawija atau hortikultura di
antara panen MT 2 dan penanaman MT 1. MT 1 berlangsung antara September
hingga Pebruari. MT 2 berlangsung antara Pebruari hingga Juli. Penanaman pada
MT 1 berlangsung selama bulan September dan Oktober, dan dipanen pada bulan
Januari hingga Pebruari. Penanaman pada MT 2 pada bulan Pebruari dan Maret,
dan panen pada bulan Juni hingga Juli. Selain padi sepanjang bulan September
72
hingga Juli, pada bulan Juni hingga September di sawah juga ditanami kacang
tanah, semangka buah dan biji, melon, cabai, bawang merah.
Tebasan lazim digunakan sebagai mekanisme untuk memanen padi di
sawah. Penebas memperkirakan produksi padi dalam luasan sawah yang dipanen,
lalu menawarkan harganya kepada pemilik sawah. Di samping penebas, yang
biasanya berasal dari dalam dusun atau dalam desa, terdapat pula bakul (tengkulak
lebih besar) yang berasal dari luar daerah. Mereka mendatangi petani sekitar satu
hingga dua minggu sebelum panen, atau sebelum ditawar oleh penebas, lalu
menawarnya. Bakul juga membeli gabah dari penebas.
Selama periode tanam padi sekitar empat bulan dalam setahun, dan
periode panen padi juga sekitar empat bulan dalam setahun, tubuh-tubuh
kekurangan mendapatkan upah yang mencukupi untuk menghidupi bulan-bulan
pengelolaan budidaya sawah yang tidak menyediakan upah harian. Tubuh
kekurangan yang sudah jompo atau masih anak-anak dapat turut serta dalam kerja
tanam dan panen ini. Pada saat inilah mekanisme mengakumulasi/berbagi bekerja
di sawah. Projo menjelaskan sebagai berikut.
Bulan September ini sudah mulai membuat bibit padi. Setelah berumur 20 hari sampai 25 hari bibit tersebut ditanam ke sawah. Untuk menanam padi satu bau sawah dibutuhkan 30 orang. Buruhnya tidak dipilih-pilih, siapa saja yang mau datang ke sawah itu. Ada juga buruh yang sudah tua yang datang, tidak apa-apa.
Tubuh kekurangan antara lain diidentifikasi sebagai buruh tani, dan
taksonomi tubuh buruh tani dibedakan menurut kecepatannya dalam bekerja.
Tubuh yang sudah dikenal atau beridentitas cepat menanam dan memanen
mendapatkan peluang kerja di sawah lebih luas. Tubuh-tubuh buruh tani
mengelompok menurut taksonomi kecepatan kerja tersebut. Untuk memastikan
tingkat kecepatan kerja yang diinginkan dalam penanaman dan panen padi,
pemilik sawah atau pembeli gabah memesan tanggal kerja kepada kelompok
buruh tani beberapa hari sebelumnya. Satu kelompok buruh tani dicirikan oleh
kecepatan kerja tubuh yang serupa. Melalui kelompok tersebut buruh-buruh tani
cekatan membentuk identitas kerjanya, sekaligus membatasi dan mengusir tubuh
73
buruh tani yang lebih lemah. Kuswani dari golongan miskin menjelaskan
penyisihan ini.
Yang tidak kuat tidak akan ikut rombongan tandur (menanam padi). Ia dikeluarkan dari rombongan. Kalau rombongannya yang (bekerja) keras, maka dipilih yang (bekerja) keras semua. Saya jarang ikut rombongan, hanya tandur biasa.
Kelompok buruh tani tersebut dapat melakukan serangkaian kerja di sawah
secara seirama, dengan kecepatan yang tetap dan sama. Kerja panen, misalnya,
terdiri atas mengarit padi, membawakannya ke tempat perontokan, makani
(memberi umpan) segenggam padi kepada buruh perontok dengan alat pengayuh
maupun dengan gebyokan (memukulkan segenggam padi ke batu). Kerja lainnya
ialah memasukkan gabah ke karung dan membawanya ke pinggir jalan, tempat
kendaraan pengangkut sudah menungguinya. Berkelompok menjadi mekanisme
kekuasaan untuk menguasai luas dan waktu panen lebih tinggi, dan lebih
memudahkan buruh tani untuk lepas dari kemiskinan. Projo menjelaskan
mekanisme berburuh tani.
Upah sebedug dari jam tujuh hingga jam dua belas sebesar Rp 25.000,00. Kalau dimulai dari jam enam hingga jam satu siang upahnya sampai Rp 30.000,00. Kalau dikerjakan hingga Maghrib atau jam 6 diupah Rp 60.000,00.
Kadang-kadang Bu Paing (buruh tani golongan miskin) tidak harus menunggu panen untuk membayar utang (pupuk). Dia memiliki organisasi buruh tani untuk menanam padi, ada yang 10 orang ada yang 12 orang. Mereka menanam padi dari pagi sampai sore. Nanti mereka nimbal (beralih) ke sawah yang lain. Setelah tanam selesai, mereka dibayar oleh yang punya sawah. Upah tersebut digunakan untuk membayar yang punya toko. Pada masa tanam dia bekerja tiap hari.
Adapun penggarapan sawah dilakukan dengan maro atau dikerjakan
sendiri. Lembaga maro menyalurkan kekuasaan untuk membagi dua hasil panen
padi. Dalam maro muncul aturan, bahwa bibit padi disediakan oleh pemilik
sawah. Pada saat pemilik tidak menyediakan bibit, maka nilai penyediaan bibit
tersebut diperhitungkan pengurangannya dari hasil panen. Pupuk disediakan oleh
penggarap. Tubuh golongan kekurangan sendiri diidentifikasi sebagai tubuh
74
penggarap sawah tersebut. Dalam pengelolaan maro, pemilik sawah menyeleksi
tubuh-tubuh penggarap menurut ketekunannya. Pemilik sawah lebih menyukai
tubuh yang lebih tekun. Ketekunan sendiri merupakan hasil pelatihan tubuh untuk
terus bekerja dalam pertanian. Paing dari golongan miskin menceritakan
pengalamannya.
Saya mulai besar setelah mendapatkan garapan sawah dari orang lain. Katanya, kamu rajin, sawah ini kamu kerjakan.
Tubuh yang tekun tidak bisa diwariskan, sebagaimana ditunjukkan oleh
kemunculan tubuh fakir setelah orang tuanya meninggal dan tubuh fakir tidak
diijinkan meneruskan maro dengan pemilik asal. Projo menceritakan salah satu
sisi kejatuhan Sukoyo ke golongan fakir, yaitu saat tanah garapannya diminta
kembali oleh pemiliknya karena Sukoyo dinilai malas.
Sebelum memiliki anak, selama 3 tahun ia juga mengerjakan sawah orang sini yang kini menikah lalu tinggal di Seneng. Dia menggarap tanah seluas 2.500 m2. Dulu sama bapak mertuanya menggarap sekitar 6 kotak. Bapak mertuanya menggarap sekitar 3,5 kotak, dia menggarap 2,5 kotak. Tapi setelah bapak mertuanya meninggal, tanah itu diminta oleh yang punya tanah, untuk digarap sendiri.
Dibandingkan dengan berburuh tanam dan panen, maro menciptakan
modal ekonomis pendukung posisi sosial lebih tinggi, lebih terjamin perolehan
pendapatannya, serta dapat memperoleh dana lebih tinggi saat panen. Selain itu,
tubuh penggarap dapat sekaligus berganti identitas menjadi tubuh buruh tani
selama periode tanam dan panen padi. Projo menjelaskan mekanisme maro.
Saya memiliki tanah yang diparo warga sikep (Orang Samin) seluas 3.500 m2, saya menyediakan bibitnya. Kalau tidak menyediakan bibit, nanti diganti pada waktu panen, dengan cara dikurangi bagian saya. Pupuk juga diperhitungkan. Satu kotak, kalau memang baik, bisa mendapat 1 ton 1 kuintal atau 1 ton 2 kuintal pada MT 1, itupun sudah kena IPA Air (iuran penggunaan air irigasi) sebesar 1/14. Pada MT 2 paling mendapat 8-9 kuintal, sedangkan kalau pengelolaannya bagus bisa mendapatkan 1 ton. Lahan seluas 3.500 m2 atau 1,5 kotak akan mendapat 2 ton 7
75
kuintal. Ini diparo 50 persen yang punya, 50 persen yang menggarap. Kemarin 1 kuintal gabah senilai Rp 270 ribu sampai Rp 300 ribu. Bahkan kemarin pas panen di sebelah Timur Dusun Kalitani mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 350 ribu. Tapi panen-panen yang sudah berjalan paling-paling Rp 270 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti satu kotak mendapatkan Rp 2,7 juta hingga Rp 3 juta, bahkan dipotong yang mengambil atau kerja berburuh. Misalnya 1 ton 1 kuintal, dengan harga Rp 3.000/kg, diambil 25 ribu kali 1 ton 1 kuintal, menjadi 275, berarti dalam satu kotak diambil tenaga kerja Rp 275 ribu. Ini penghasilan kalau berhasil panen. Gagal panen juga pernah.
Arena ekonomis penting lainnya ialah migrasi beremitan. Migrasi
menyeleksi tubuh-tubuh warga desa yang lebih berani. Migran lebih
individualistik dalam menghadapi lingkungan baru –pengalaman tubuh migran
dengan lingkungan baruya dipastikan berbeda dari cerita-cerita tubuh migran lain
yang sudah kembali ke desa. Ada migran yang menetap di lokasi migrasinya –
tanda kesuksesan luar biasa—namun lebih banyak yang kembali ke desa.
Kesuksesan lalu disusun di dalam desanya sendiri. Mekanisme
mengakumulasi/berbagi muncul ketika migran mengajak warga sedesa untuk turut
bermigrasi dan sukses bersama. Projo menjelaskan kondisi tersebut.
Yang keluar negeri di Sawahan sekitar 20 persen penduduk dewasa, di Godhong 25 persen. Di Kalitani yang ke luar negeri lebih banyak, karena imbas dari dusun lain di desa lain, yaitu Galiran. Semula Kutuk, lalu Galiran, Tanggelan, lalu di antara Kalitani dan Sawahan. Selain karena berdekatan, juga ada keluarga yang menceritakan hasil di sana, akhirnya ikut berangkat.
Mekanisme migrasi beremitan mengeluarkan tubuh dari desa untuk
sementara waktu, lalu dari luar desa secara subversif menyodorkan modal ke
dalam desa, atau membawa modal bersama-sama tubuh migran saat kembali lagi
ke desa. Tubuh-tubuh yang bermigrasi ke arah kota Makmur, ke luar kota, ke luar
pulau, hingga ke luar negeri, telah menjadi pengubah penting Desa Sawahan.
Modal ekonomi yang dimasukkannya menjadi pendorong peningkatan ke arah
posisi sosial agak cukup, cukup, bahkan kaya. Identitas tubuh migran beremitan
yang sukses diperoleh setelah memperbaiki rumah dan membeli sawah.
76
Bersamaan dengan itu harga sawah di Dusun Kalitani turut meningkat, yang
bermakna pula sebagai peningkatan derajat kesulitan untuk naik ke posisi sosial
lebih tinggi lagi. Adapun tubuh migran yang gagal terjatuh ke posisi fakir dan
miskin. Projo menjelaskan perubahan dusun sebagai konsekuensi masuknya
modal ekonomi dari tubuh beremitan.
Ada yang semula fakir kemudian masuk golongan cukup. Mas Saiful, contohnya, karena merantau ke luar negeri.
Kenyataannya setelah merantau 2-4 tahun dapat berhasil membeli tanah. Saat ini yang membeli tanah ialah orang yang merantau. Orang kaya tidak lagi membeli tanah karena yang meninggikan harga tanah ialah orang yang merantau. Awalnya orang merantau ini dari fakir, tidak memiliki tanah.
Merantau lebih merujuk di luar migrasi harian atau komuter. Tubuh ke
luar desa selama beberapa hari hingga berbulan-bulan ke luar kota Makmur, atau
bertahun-tahun ke luar pulau Jawa dan ke luar negeri. Di Dusun Kalitani lebih
banyak warga yang merantau ke luar negeri.
Untuk berangkat ke luar negeri, mereka membutuhkan izin atau restu, dari
suami, orang tua, bahkan kiai. Izin menjadi mekanisme evaluasi tubuh. Begitu
tubuh diidentifikasi sebagai pemberani, maka izin migrasi diberikan.
Pada saat ini prosedur keberangkatan ke luar negeri dipandang lebih
mudah. Arab Saudi menjadi pilihan utama migran perempuan, karena prosedur
untuk ke sana lebih mudah daripada ke negara lain. Periode tinggal di perusahaan
jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) hanya seminggu atau beberapa minggu. Tidak
ada kursus bahasa tertentu, dibandingkan kursus bahasa Mandarin untuk ke
Taiwan. Pada saat ini bahkan pembiayaan ke sana gratis, dibandingkan keharusan
membayar dana Rp 3 jutaan rupiah ke Taiwan. Arab Saudi juga memberikan
kelebihan simbolik, di mana migran yang beruntung dapat menunaikan ibadah
umroh atau haji. Salah satu migran pertama ke Arab Saudi justru muncul dari
golongan kaya, dan ia sekaligus berhaji saat bekerja di sana.
Di Arab Saudi sendiri, tubuh migran sebagai pembantu disejajarkan mesin
harian rumahtangga. Bekerja sejak bangun tidur –bangun lebih dahulu daripada
majikan—lalu bekerja seharian hingga malam, seringkali kaki migran kaku dan
sakit untuk sekedar berselonjor menjelang tidur. Makian dari majikan sering
77
dialami seluruh migran, selebihnya ada yang disiksa, diperkosa, hingga dibunuh
majikan. Jejak-jejaknya masih bisa diikuti dari tumbuhnya anak-anak kreol Jawa-
Arab, orang gila seusai migrasi, hingga kuburan migran di Dusun Kalitani.
Walaupun demikian, Arab Saudi tetap menjadi rangsangan kerja.
Seringkali keberangkatan pertama menghasilkan kesuksesan. Satu kali masa
kontrak berlangsung selama dua tahun. Dalam setahun pembantu di Arab Saudi
mendapatkan gaji bersih sekitar Rp 14 juta, sehingga dalam satu masa kontrak
mendapatkan Rp 28 juta.
Migrasi beremitan merupakan mekanisme kerjasama akumulasi modal
ekonomi dan peningkatan posisi sosial antara tubuh migran dan tubuh
keluarganya atau tubuh kerabatnya di desa. Tubuh migran berperan mencipta
modal ekonomi, sementara tubuh keluarga dan kerabat di desa bertugas
mengakumulasi modal melalui pembangunan rumah, pembelian sawah, ternak,
perhiasan, dan barang lainnya. Kerjasama pernah terjadi antara anak yang menjadi
migran dan orang tuanya, suami yang menjadi migran dengan istri dan
kerabatnya, atau istri dengan suami dan kerabatnya. Projo menjelaskan sebagai
berikut.
Ada yang anaknya pergi ke Saudi dan berhasil. Di rumah oleh orang tuanya didirikan rumah untuk anak yang berkerja tersebut. Si anak juga dibelikan sawah. Pada saat memiliki pacar dan menikah, maka dari suami maharnya juga lumayan. Maharnya ada yang membawa sepeda motor, kerbau. Itu karena anak perempuan itu berhasil.
Kerjasama antara istri yang bermigrasi dengan suami di desa lebih sulit
dipraktikkan. Tubuh istri dan tubuh suami berpisah untuk waktu yang lama.
Selama perpisahan tersebut, kesulitan utama adalah peralihan identitas istri ke
tubuh suami. Kegiatan di dalam rumah dan pengasuhan anak beralih menjadi
tugas tubuh suami. Tubuh suami sebenarnya semula diidentifikasi sebagai tubuh
pencari nafkah. Akan tetapi tambahan identitas istri hampir menutup waktu-waktu
untuk mencari nafkah saat anak-anak belum dewasa. Kekuasaan yang mengalir
dari tubuh buruh migran telah menghilangkan identitas suami, dan menggantinya
dengan identitas istri. Konsekuensinya, perpisahan tubuh istri dari suami sering
78
diikuti dengan perceraian, setelah terlebih dahulu suami melakukan
perselingkuhan dengan tetangganya. Pada kasus yang baru diselesaikan di Dusun
Kalitani, migran bahkan mengirimkan remitan khusus bagi suami untuk
membayar pelacur. Akan tetapi tidak ada pelacuran di Dusun Kalitani, dan
remitan dialihkan untuk merangsang istri tetangganya. Konflik terjadi saat tubuh
migran kembali ke desa dan menolak perselingkuhan tersebut. Kuswani
menceritakannya sendiri sebagai berikut.
Kakak saya juga menjadi TKW, dia sukses. Setelah ke sana yang pertama, dapat membeli sawah dan tanah. Terus ke sana lagi, ternyata suaminya selingkuh. Kakah saya bertengkar, perempuan dengan perempuan, lalu suaminya dibawa ke penjara. Untuk menebusnya diberi uang Rp 10 juta ke polisi. Sampai sekarang mereka tidak bercerai.
Suami saya sendiri dulu berkata, uang untuk ini, untuk itu. Tapi namanya laki-laki, di rumah kesepian, saat saya ke luar negeri, dia mengatakan ingin kawin lagi. Saya belum cerai tapi dia sudah kawin. Dia tidak menunggu, oh istri saya sedang bekerja, capai. Kalau sedang marah-marah kepada suami wajar, karena sudah capai bekerja di luar negeri, tapi uangnya habis ke mana-mana. Tapi dia tidak sabar. Di mana-mana sama, perempuan ingin disanjung suami, apalagi sudah capai-capai merantau. Tapi maunya cerai terus. Ya sudah, punya suami juga kerja, tidak punya suami juga kerja.
Sejak dekade 1980-an migrasi beremitan terus bereproduksi. Kegagalan
kumulasi modal ekonomi dan posisi sosial pada satu generasi –padahal remitan
dinilai besar—justru menjadi salah satu pendorong migrasi bagi anaknya dan
tetangga.
Kumulasi kekayaan di dalam dusun tidak langsung dilakukan melalui
kumulasi uang. Arena ekonomi uang tidak dikenal secara mendalam. Tanpa
pengalaman yang memadai, mengelola uang dipandang sulit. Di dusun ini tidak
ada lembaga perbankan atau lembaga penyimpanan uang lainnya. Uang tunai
yang diperoleh dari kerja lalu diwujudkan dalam bentuk pembelian barang, emas,
ternak, dan sinoman di antara tetangga. Mekanisme ini mempraktekkan
menabung, bukan konsumtif. Kuswani menyampaikan pengalamannya.
79
Orang Jawa biasa nyimpen-nyimpen (menyimpan), berjaga-jaga kalau sakit, kalau ada yang membutuhkan. Hasil panen selain untuk sinoman biasanya disimpan dalam bentuk emas, ternak.
Seorang warga desa dapat meminjam uang dari teman atau tetangganya,
lalu mengembalikannya tanpa bunga. Setelah waktu tanam dan panen, buruh tani
dengan ringan hati meminjamkan uang kepada para tetangga dan temannya.
Setelah upahnya dibelikan gabah untuk satu atau dua periode musim tanah,
kelebihan upahnya bisa digunakan untuk meminjami orang lain. Kehendak untuk
meminjami kuat, serta sekaligus bersatu dengan kehendak untuk menabung uang.
Pinjaman tersebut dapat dimintanya pada saat ia membutuhkan uang, atau setelah
waktu tanam dan panen berikutnya. Mekanisme mengutangi/menabung mengubah
tubuh tetangga dan temannya sebagai celengan atau wadah tabungan uang. Paing
menyatakan pengalamannya sebagai berikut.
Saya mengalami peningkatan hidup sejak anak saya keluar dari SMP. Sebelum itu makanan juga diirit-irit agar bisa makan. Setelah anak saya keluar SMP, tidak ada lagi iuran untuk sekolah. Sejak itu sudah mulai menempelkan barang ke orang lain, meminjami uang ke orang lain.
Saya bisa menabung setelah anak saya tidak bersekolah lagi. Saya bisa menabung Rp 25 ribu, Rp 15 ribu, Rp 20 ribu. Di dusun memang seperti itu, dikumpul-kumpulkan sedikit demi sedikit, kalau ada yang membutuhkan juga dibantu, nanti kalau saya kekurangan nanti juga dibantu. Sekarang ini saya belum bisa membayar hutang. Nanti kalau saya bekerja lagi saat panen baru saya bisa membayar hutang. Kalau badan saya sehat.
Sinoman sekaligus mempraktekkan kerukunan dalam rangka tolong
menolong, beserta akumulasi tabungan dalam rangka mencapai kecukupan. Bantu
membantu dengan warga desa lain dilakukan dengan menolong orang yang sakit,
atau menyumbang kepada tetangga yang mengadakan hajat.
Sinoman rumah menjadi salah satu mekanisme yang populer untuk
mendirikan rumah permanen dan bertembok –benda yang ditandai sebagai
kumulasi kekayaan. Dalam sinoman rumah, tetangga, teman, atau saudara
menabung dengan cara menitipkan material yang dibutuhkan oleh warga yang
sedang membangun rumah. Identitas seluruh titipan warga ditempelkan pada
80
tubuh yang sedang membangun rumah tersebut. Identitas titipan tersebut baru
berkurang sejalan dengan pengembalian barang dalam bentuk dan jumlah yang
sama kepada para penitipnya, saat mereka ganti membangun rumah di kemudian
hari. Jika telah memiliki rumah, maka nilai yang kira-kira setara diberikan pada
saat penitip memiliki keperluan lainnya, seperti hajatan. Variasi aturan ini
menguatkan sinoman rumah tetap menjadi rangsangan bagi mekanisme
berbagi/mengakumulasi. Paing menceritakan pengalamannya.
Saya tidak punya rumah, hanya menumpang di sini. Saya
membuat rumah ini, tapi menumpang. Ada duit orang lain, ada sinoman, sambatan. Ada 20 orang sambatan. Material seperti batu bata, pasir, semen, besi juga gantian. Bata 15 ribu, semen 100 sak. Ada 5 orang yang membantu semen. Saya tidak mencatat tapi ingat mereka semua. Ada Tarti, Sulis yang membantu semen. Yang menyumbang batu bata 3 orang, Murasih, Wagiman, Winarsih. Saya dulu telah meletakkan barang ke rumah Mul, Wagiman, Lik Darto. Dulu memberikan semen 10 sak ke Lik Darto, untuk Wagiman telah diberi bata 3.000, ke Murasih 7.000 bata. Bata 15 ribu dari Mur, Wagiman, dan yang saya beli sendiri.
Kalau langsung membuat rumah sendiri tidak kuat, makanya perlu sinoman. Kalau ada barang dititip-titipkan kepada orang yang sedang membangun rumah. Misalnya pada tahun 2012, yang meminjami ini ada yang mau membangun rumah, maka saya harus mengembalikan. Untuk mempersiapkan maka menaruh barang.
Anomali yang bersifat subversif ialah memanipulasi homologi dengan cara
memindahkan arena sinoman ke dalam arena ekonomis, yaitu perdagangan padi
sawah. Sinoman tanam dan panen padi yang sepenuhnya terbuka bagi warga desa
hingga dekade 1980-an, telah digantikan oleh pembentukan kelompok-kelompok
buruh tani, mekanisme tebasan dan mekanisme bakul perdagangan padi.
Kelompok buruh tani telah menyisihkan anak, jompo, dan tubuh kekurangan yang
lebih lambat bekerja. Bakul dan penebas telah mengganti sinoman sawah menjadi
penugasan kepada kelompok buruh tani. Penggarap sawah pun cenderung
menggunakan penebas untuk memanen seluruh lahan. Setelah panen selesai,
sebagian uang hasil maro atau upah buruh digunakan untuk membeli gabah dari
penebas atau bakul. Mekanisme perdagangan padi ini memanipulasi disiplin untuk
berbagi padi kepada tubuh kekurangan melalui panen secara terbuka. Tubuh
81
kekurangan akhirnya hanya memiliki kesempatan mengasak padi sisa di sawah
pasca panen. Hal ini dilakukan Paing terhadap hasil panennya.
Kalau pas panen kemudian diambil sendiri, nanti bisa habis untuk orang ngasak. Kalau tidak memberi orang ngasak itu malu. Kadang-kadang ada yang berkata, "Orang panen tapi tidak memberi yang ngasak". Makanya dijual semua kepada penebas.
Ikhtisar
Untuk mengelola tubuh-tubuh miskin, warga desa mengembangkan
diskursus dan praktik berbagi kelebihan. Warga desa mengembangkan garis
kecukupan lokal menurut kepemilikan benda untuk menutupi kebutuhan keluarga
dalam setahun, namun segera mendetilkan lapisan kekurangan dan cukupan atas
beberapa sub lapisan kembali. Segera setelah garis kecukupan terbentuk dan tubuh
kekurangan muncul, kekuasaan beroperasi melalui mekanisme kerukunan antar
tetangga. Untuk menciptakan kerukunan, tetangga berbagi kelebihan harta
kepadanya. Tubuh kekurangan sendiri juga turut serta berbagi kelebihan dalam
kelembagaan sinoman antar tetangga. Selain melalui sinoman, tubuh miskin
melakukan migrasi beremitan guna menciptakan kejanggalan kumulasi kekayaan,
lalu memutus pengalaman kemiskinannya.
Bab ini menunjukkan kecurigaan yang sempat tumbuh terhadap tubuh
kekurangan di antara tetangga di desa. Warga desa curiga tubuh miskin salah
mengelola harta dan benda yang dibagikan kepada mereka, sehingga gagal keluar
dari kemiskinan. Kecurigaan kepada tubuh miskin kian besar dalam bab berikut,
yaitu tentang diskursus dan praktik kemiskinan ras dan etnis. Lingkup kecurigaan
juga turut membesar hingga ke tingkat nasional.
82
BAB 5
DISKURSUS SERTA PRAKTIK
KEMISKINAN RAS DAN ETNIS
Ketika budaya kemiskinan berwujud pengelompokan atas sejumlah
disposisi yang berlainan dari kegiatan produksi atau kapitalisme, kekuasaan
beroperasi melalui pengembangan prasangka kultural yang dikembangkan oleh
orang luar. Penekanan terhadap aspek kebudayaan bersifat holistik, dan kekuasaan
beroperasi untuk menghilangkan atau melupakan sudut pandang hierarki sosial.
Budaya kemiskinan, dengan demikian, dikenakan kepada seluruh anggota
masyarakat tersebut.
Dalam diskursus kemiskinan ras dan etnis diciptakan obyek berupa
prasangka sikap dan tingkah laku masyarakat miskin berupa keliaran (Breman
1997: 209-215), tradisionalitas, ketertinggalan, keterpencilan, udik atau gunung
(Li 2002: 4-7), berpindah-pindah, jauh dari Tuhan (Gouda, 2007: 197-200).
Masyarakat miskin dipandang bersifat tradisional untuk meraih hasil sekedarnya,
bukan mengakumulasi hasil. Kapasitas masyarakat tersebut tertinggal dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Mereka juga sulit berorganisasi atau sulit menunjang
organisasi produksi, sebaliknya cenderung liar, tidak berkomitmen, atau
berperilaku seenaknya. Untuk menjaga kelangsungan hidup yang sesuai dengan
keliarannya, mereka tinggal di wilayah terpencil, pegunungan, di dekat atau di
dalam hutan.
Identitas budaya kemiskinan yang dikenakan kepada budaya lain sekaligus
menjadikan masyarakat tersebut sebagai Si Lain (Other), terutama Si Lain dari
budaya produksi dan kapitalis. Besaran diskursus ini dapat ditunjukkan oleh
populasi komunitas adat terpencil (KAT) yang dikelola Kementerian Sosial. Pada
tahun 2009 jumlahnya mencapai 213.080 keluarga yang berdiam di 27 provinsi,
263 kabupaten, 1.044 kecamatan, dan 2.971 lokasi.1 Budaya kemiskinan juga
1 Diambil dari bahan presentasi Rusli Wahid, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Sosial RI, pada Semiloka Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Desa Tertinggal, Tanggal 2 Desember 2010 Di Hotel Merlynn Park, Jakarta
84
dipandang masih berkembang dalam keluarga pra-sejahtera dan sejahtera I, yang
dikelola oleh Badan Koordinasi Keluarga Nasional (BKKBN). Jumlahnya
mencapai 17.764.735 keluarga menurut data Potensi Desa 2005.
Pembesaran diskursus kemiskinan ras dan etnis lebih ditentukan oleh
pihak luar, dibandingkan Si Lain sendiri. Akademisi, terutama etnolog, di masa
lalu telah mengembangkan pe-Lain-an (Othering) ini melalui perbandingan dari
masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Sebagian tulisan etnolog ditulis dalam
genre perbandingan budaya tersebut (Geertz 2002: 113-141). Pemerintah
menegaskan pe-Lain-an dalam program-program pembangunan, kategorisasi
pemukiman, hingga perendahan target penurunan kemiskinan KAT (Li 2002: 31-
32). Swasta sempat menggunakannya untuk menciptakan dualisme struktur dalam
industri perkebunan, kehutanan, dan pertambangan (Breman 1997: 81-103).
Dengan mengurung orang miskin pada budayanya yang Lain, yang dinilai
lebih rendah daripada budaya orang beradab, sulit untuk membayangkan mereka
lepas dari kemiskinan dengan sendirinya. Kekuasaan untuk mengentaskan
kemiskinan dioperasikan melalui pendisiplinan mereka menuju peradaban
modern, berupa pemukiman menetap maupun penciptaan keluarga inti atau batih.
"Mem-primitif-kan"
Di masa lalu, kekuasaan kolonialisme beroperasi dengan menyusun
taksonomi tubuh menurut asal ras. Selama penjajahan Belanda, tubuh terdikotomi
menurut ras berkulit putih dan berkulit berwarna. Akan tetapi konstruksi arena
rasial tersebut tersubversi oleh munculnya tubuh-tubuh Indo Eropa. Dalam tubuh
kreol ini identifikasi rasial mustahil diterapkan. Tubuh kreol akhirnya dimusuhi
karena menyabotase dualisme rasial dalam penjajahan (Baay 2010: 176-177).
Walau bagaimanapun, di tanah jajahan Indonesia, istilah kemelaratan menjadi lebih jelas terkait dengan kemelut seksual keturunan Eurasia daripada dengan ancaman revolusi kaum proletar. Kemelaratan mengandung kecemasan menyangkut reproduksi antar ras lebih lanjut dan kebejatan seks –dan mengaburkan pemilahan sosial yang kelak dapat terjadi—daripada kecemasan yang timbul karena keprihatinan akan terjadinya pemberontakan anti kapitalis (Gouda 2007: 199).
85
Kesalahan kreol dialamatkan kepada darah pribumi yang turut mengaliri
tubuhnya. Ditelusuri lebih lanjut, darah tersebut muncul dari kesalahan
perkawinan yang dimusuhi, yaitu antara pegawai berkulit putih dengan
perempuan pribumi. Nyai –perempuan berkulit pribumi tersebut—dinilai tidak
bermoral karena mempersembahkan tubuhnya kepada lelaki tanpa perkawinan sah
–padahal memang tumbuh hambatan bagi perkawinan sah mereka. Moralitas
perkawinan yang rendah menurunkan kualitas tubuh-tubuh kreol, menurunkan
kemampuan berbahasa dan bekerja. Tubuh-tubuh inipun akhirnya jatuh miskin
atau berlindung pada kriminalitas dan pelacuran (Gouda 2007: 196). Pada titik ini
fakta obyektif dan pandangan subyektif perihal negatif tubuh kreol telah menyatu.
Hanya satu abad setelah kedatangannya, penjajah Belanda telah
disibukkan dengan kemiskinan yang menimpa tubuh-tubuh kreol. Panti asuhan di
Jakarta didirikan sejak tahun 1624 untuk menampung tubuh-tubuh kreol yang
masih muda, yang telah ditolak orang tuanya yang bertubuh pribumi dan bertubuh
kulit putih (Taylor 2009: 10). Di tangan penjajah, panti asuhan digunakan sebagai
salah satu mekanisme pendisiplinan tubuh kreol.
Dalam mendirikan panti asuhan, pemerintah bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang teratur "di republik yang terus berkembang secara pesat setiap hari ini" (Taylor 2009: 10).
Namun demikian, perluasan administrasi penjajahan masih saja tertutup
bagi tubuh-tubuh kreol hingga awal abad ke 20, sejalan dengan peningkatan
kemiskinan mereka –yang saat itu hanya terasakan lewat peningkatan kriminalitas
dan pelacuran. Obyektifikasi dari prasangka ini kemudian dilakukan melalui
penyelidikan kemiskinan di antara tubuh kreol.
Sensus tersebut membesarkan diskursus ras dan etnis dengan
memunculkan serentak tubuh-tubuh kreol yang miskin. Dalam laporan
penyelidikan pemerintah jajahan tahun 1902 yang hanya mencakup Jawa dan
Madura tersebut, diketahui terdapat 53.584 orang Eropa di Jakarta, namun
sebanyak 9.381 tergolong kekurangan (Baay 2010: 176-177). Dari jumlah
tersebut, sebanyak 5.933 tergolong miskin, termasuk 3.234 anak-anak. Dihitung
86
dalam persentase, golongan Indo Eropa yang miskin serta golongan Eropa miskin
mencapai 11 persen di Jakarta, 13,3 persen di Semarang, 12,6 persen di
Banyumas, 14 persen di Pasuruan, 15,4 persen di Surakarta, 16,7 persen di
Madiun, 18,8 persen di Kedu, dan 17,3 persen di Madura. Sebagian besar
merupakan mantan serdadu Eropa yang menjadi miskin.
Penelitian H. van Kol memberikan petunjuk berbeda, bahwa pada tahun
1902 keseluruhan penduduk Eropa di Jawa dan Madura mencapai 75.833 jiwa, di
antaranya 51.379 jiwa Indo Eropa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17.000 jiwa
Indo Eropa hidup dalam kemiskinan. Golongan Indo Eropa yang miskin mencapai
22 persen di Jawa dan Madura, atau 33 persen di seluruh Indonesia.
Setelah melakukan penelitian dan pendataan kreol miskin, akhirnya hal ini
dipandang sebagai masalah serius. Pemerintah jajahan menetapkan kebijakan
penanggulangan kemiskinan, khusus bagi tubuh-tubuh kreol. Selaras dengan
runtutan argumen moral di atas, operasi kekuasaan diarahkan untuk memperbaiki
moral tubuh kreol.
Surat penggalangan dana yang diedarkan di kalangan donatur potensial pada 1919 oleh suatu perkumpulan di Semarang yang diberi tugas untuk membangun sekolah berasrama untuk perempuan muda Indo, mengetengahkan persoalan itu secara langsung. Imbauan tertulis untuk permohonan dukungan keuangan –atau circulaire (edaran)—menegaskan bahwa para gadis sering jadi korban tak berdaya, yang tidak punya pilihan lain kecuali menyerah kepada "kekuatan jahat di daerah kumuh yang merusak mereka secara fisik dan mental". Tujuan sekolah yang ditetapkan bergantung pada pemberian "cap kebelandaan" yang istimewa, yang dapat mengangkat jiwa mereka dan menjadikan mereka sama terhormatnya seperti gadis-gadis Eropa. Dalam rangka membebaskan remaja putri Indo dari pengaruh buruh lingkungan ibu pribumi mereka, yang sering mengubah mereka menjadi pelacur tentara bayaran atau menjadi "jiwa-jiwa berpandangan picik dan murahan", maka mereka harus berinteraksi dengan guru Belanda dari kalangan baik-baik (Gouda 2007: 195).
Kekuasaan untuk menetapkan kemiskinan pada tubuh kreol sekaligus
menutupi identitas miskin pada tubuh pribumi. Penjajah mengidentifikasi tubuh
pribumi masih mampu menerima makanan senilai sebenggol (f 2,5) sehari
(Soekarno 1965: 177-180). Kekuasaan diskursif juga mengalihkan permasalahan
87
tubuh pribumi pada keliarannya (Breman 1997: 209-215). Sejak lama tubuh
pribumi terlihat sebagai missing link evolusi kera menjadi manusia (Gouda 2007:
213). Nyai sendiri dinilai sebagai wujud keliaran tubuh pribumi, yang menggoda
tubuh-tubuh kulit putih (Gouda, 2007: 197-200). Keliaran tubuh juga terindikasi
dari perpindahan pemukiman mereka (Li 2002: 4-7). Tubuh yang liar juga saling
berkanibal antar sesamanya (Marsden 2008: 355-359).
Dibandingkan dengan industri atau kota yang tertata, maka tugas penjajah
terutama mendisiplinkan tubuh-tubuh yang liar ini. Kekuasaan untuk
mendisiplinkan tubuh yang liar dimulai dari upaya memukimkan pribumi.
Keliaran fisik juga didisiplinkan melalui hukuman-hukuman fisik pula (Breman
1997: 81-103). Didasari pandangan tubuh yang mampu mengkonsumsi sekedar
sebenggol sehari, sekaligus untuk mengekangnya dalam perkebunan, maka upah
bagi tubuh-tubuh pribumipun sangat rendah. Tidak ada jalan lain bagi tubuh
miskin kecuali berutang. Semakin tinggi utang membentuk identitas tubuh buruh,
maka semakin erat disiplin yang bisa diterapkan penjajah.
Jejak pemahaman tentang abnormalitas keluarga kreol semasa penjajahan
ditemukan kembali dalam perumusan keluarga sejahtera masa kini. Berorientasi
Barat, keluarga normal berisikan tubuh-tubuh inti ayah, ibu dan anak, serta
mandiri tanpa kerabat.1 Sebagai refleksi negatif dari keluarga kreol, keluarga
normal juga haruslah dibentuk melalui perkawinan yang sah. Melalui ketentuan
ini, kuasa pemerintah langsung memiskinkan tubuh-tubuh masyarakat adat yang
perkawinannya tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama maupun Kantor Catatan
Sipil.
Normalitas keluarga ditandai oleh kemampuan tubuh-tubuh di dalamnya
untuk berdisiplin menjalankan fungsi-fungsi yang ditentukan, yaitu fungsi
keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan atau proteksi, reproduksi,
sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan (berhubungan
serasi dengan lingkungannya).2 Kian berdisiplin untuk menjalankan lebih banyak
ragam fungsi tersebut maka kian normal posisi keluarga. Cukup dengan
1 Undang-undang nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Bab 1 Pasal 1 tentang ketentuan umum. 2 Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera.
88
memperhatikan fungsi-fungsi puncak yang diharapkan dilaksanakan tubuh setelah
terbebas dari kemiskinan (di luar tingkatan Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga
Sejahtera I), terpampang homologinya dengan rasisme keluarga di masa kolonial.
Fungsi moral dalam keagamaan beroperasi melalui keikutsertaan pada organisasi
keagamaan (Achir 1994: 8-9). Tanda lepas dari kemiskinan juga terekam pada
tubuh yang mampu berkontribusi dalam kegiatan kemasyarakatan. Tahapan
pembangunan keluarga sejahtera tersebut disampaikan Achir (1994: 8) sebagai
berikut.
1. Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), yaitu yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, yaitu sandang, pangan, papan, dan kesehatan.
2. Keluarga Sejahtera Tahap I (KS-I), yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial.
3. Keluarga Sejahtera Tahap II (KS-II), yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan sosial tetapi belum mampu mengembangkan keluarga itu seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.
4. Keluarga Sejahtera Tahap III (KS-III), yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat, seperti secara teratur memberikan sumbangan dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan serta berperanserta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan-yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan, dan sebagainya.
5. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus (KS-III Plus), yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun yang bersifat pengembangan serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.
Cara pandang terhadap kemiskinan ras, etnis, atau sub etnis yang berbeda
mula-mula mengembangkan perbedaan budaya tersebut, terutama berupa
dikotomi modern-primitif (Gambar 8). Cara pandang berikutnya berkaitan
dengan upaya menarik masyarakat primitif ke dalam masyarakat modern. Di sini
dikembangkan dikotomi menurun-tetap terhadap tradisi primitif mereka.
89
Kasus pendisiplinan terhadap keluarga dalam masyarakat adat yang dinilai
miskin –yaitu Orang Samin—dapat memperjelas operasi diskursus kemiskinan ras
dan etnis ini. Dinilai sebagai kelompok termiskin di antara warga Desa Sawahan,
bantuan pemerintah Kabupaten Makmur langsung disampaikan kepada pemimpin
Samin di Dusun Kalitani, Kasrino. Ia menceritakan kejadian tersebut.
Pada awal Pak Mustofa menjabat bupati, pernah kepala dinas pertanian men-drop benih padi. Mobil sudah di halaman, benih itu langsung diturunkan. Tujuannya untuk diberikan kepada sedulur sikep (Orang Samin), khusus untuk warga sedulur sikep. Karena sudah telanjur, ya sudah. Setelah itu saya bagi-bagi, satu KK (kepala keluarga) mendapatkan, kalau tidak salah, 4 bundel. Satu sak besar berisi 12 bundel, cukup untuk 3 KK. Setelah selesai, saya berbicara kepada kamituwo (kepala dusun), “Pak, kejadian seperti ini cukup sekali ini saja. Kalau ada lagi, jangan diletakkan di rumah saya”. Setelah berbicara dengan kamituwo, lalu saya berbicara dengan pak lurah, “Kalau ada kejadian seperti itu lagi, diletakkan di sini saja, di kantor kepala desa”. Lalu saya berbicara dengan pak camat. Terus saya juga berbicara dengan pak bupati, “Jangan sekali-kali saya diperlakukan seperti ini lagi”.
NormalRasional
Kerjasama pemerintahModern
Beragama
AbnormalMistik
Musuh pemerintahPrimitifKafir
Menurun Tetap
Gambar 8. Dikotomi Kemiskinan Rasial-Etnis
90
Orang Samin sering digolongkan sebagai sub etnis Jawa. Sejalan dengan
penolakan kesahihan perkawinan Orang Samin, karena tidak tercatat di Kantor
Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, tubuh-tubuh mereka di-primitif-kan—
sekaligus dimiskinkan menurut peringkat keluarga pra sejahtera di atas. Dalam
sejarah keluarga masa purba dikenal promiskuitas (Hutter 1981: 21), di mana
perkawinan berlangsung secara bebas berkali-kali, sehingga hanya dikenal garis
keturunan dari ibu. Pada tubuh anak hanya ditemui jejak ibunya, sementara jejak
ayahnya samar-samar. Pandangan serupa diterapkan dalam menyusun kartu
keluarga (KK) bagi Orang Samin. Dengan mem-primitif-kan, manusia modern
menempatkan mereka pada domain Yang Lain (Othered). Tanpa surat nikah yang
sah dari negara, keluarga Samin dimasukkan sebagai bentuk promiskuitas dari
ibu. Tubuh ibu terangkat ke permukaan sebagai kepala keluarga, dan
meninggalkan jejak pada anak-anaknya. Sebaliknya tubuh ayah tenggelam, di-
Lain-kan, dan benar-benar ditulis sebagai lain-lain dalam keluarga tersebut.
Muslim menjelaskan praktik program pemerintah ini.
Sekarang jumlah KK sikep 53, jumlah warga sikep 168 jiwa, laki-laki 90 jiwa, perempuan 78 jiwa. Jumlah wajib KTP (Kartu Tanda Penduduk) warga sikep 119 orang. Ini pada saat saya membuatkan KK massal. Orang tua bukan dicatat. Nama KK perempuan. Pada saat pembuatan KK tersebut ada Perda, isinya apabila warga masyarakat membuat KK tetapi tidak dilampiri oleh surat nikah, maka yang menjadi kepala rumahtangga adalah istri. Nama suaminya masuk, tetapi tidak masuk menjadi kepala keluarga, namun masuk ke "lain-lain". Aturan itu tidak hanya berlaku bagi orang sikep, namun bagi semua warga masyarakat yang tidak mempunyai surat nikah, yaitu kepala rumahtangganya perempuan dan suami masuk ke "lainnya". KK SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) tahun 2009. KK dicap jempol oleh mereka, kecuali yang bersekolah membubuhkan tanda tangan.
Program pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) secara massal
menunjukkan operasi kekuasaan melalui statistika. Program KTP sebagai
penulisan identitas mula-mula menempatkan Orang Samin pada domain pra
sejarah yang belum mengenal tulisan, lalu diperadabkan (civilized) dalam budaya
tulis identitas diri. Konsep massal dalam program ini terbaca dari penyamarataan
91
identitas Orang Samin. Melalui konsep massal tersebut jumlah Si Lain diketahui,
namun sekaligus identitasnya disangkal. Tanggal lahir dan bulan lahir mereka
terkelompok secara seragam, yang berarti pencacah menolak identitas kelahiran
secara individual dari tiap-tiap Orang Samin. Agama Adam yang dianut Orang
Samin berada di luar enam agama resmi negara, sehingga identitas keagamaan
mereka dikosongkan dalam KTP. 1 Pengosongan tersebut sekaligus menempatkan
Orang Samin sebagai kafir dari seluruh agama resmi negara. Sejalan dengan
penolakan keabsahannya, identitas perkawinan mereka diselewengkan menjadi
tidak kawin. Muslim mengungkapkannya dalam proses penyusunan KTP untuk
Orang Samin sebagai berikut.
Terus masalah kependudukan, KTP, KK. Pemerintah sudah menggembar-gemborkan agar memilikinya, sampai didatangi ke rumahnya untuk membuat KK. Mereka tidak mau. Katanya, "Saya tidak membutuhkan KK, tidak membutuhkan KTP. Kalau Anda ingin membuatkan, ya silakan Anda buat sendiri". Lalu mereka ditanya, "Kapan lahirnya, Mbah?". Jawabnya, "Kelahiran saya silakan dikarang. Kalau umur saya hanya satu". Hal-hal semacam itu semakin mempersulit mereka sendiri.
Program ini tujuannya agar mereka memiliki identitas, walaupun identitasnya itu setengah kenyataan. Sebetulnya salah pernyataan bahwa pemerintah mengucilkan, sebab mereka sendirilah yang tidak mau diurusi, tidak mau membayar pajak, dibuatkan KTP tidak mau, lalu mau diapakan. Dulu pajak tanah murah, pekarangan nol persen. Pajak tanah sedulur sikep (Orang Samin) sebenarnya kecil, itu dibayari oleh pemerintah desa. Mereka ditarik, tetapi sulit. Sekarang tidak sesulit dulu, karena ketika anak-anak sikep merantau ke Jakarta, mereka membutuhkan KTP.
Pe-Lain-an (Othering) Orang Samin dari rasionalitas Barat dilakukan
dengan meletakkan pemikiran mereka dalam arena kebatinan atau mistik (Benda
dan Castles 1969: 227; Mulder 1984: 21-38). Setelah filsafat kesadaran dan
pencerahan ditemukan, berkembang dikotomi antara rasional dan mistis di Barat
(King 2001: 15-60). Bersamaan dengan itu, tubuh-tubuh yang dilekati mistis
bernilai lebih rendah. Pandangan ini telah memistiskan wilayah di luar Eropa
1 Dapat KTP, Kolom Agama Dikosongkan. In: Monthly Report on Religious Issues, Th. 15, Oktober 2008, halaman 12.
92
Barat dan Amerika Serikat. Di Jawa sendiri, Orang Samin seringkali digolongkan
dalam aliran kebatinan atau mistik. Sepanjang dekade 1960-an hingga 1970-an
negara memperkuat aliran kebatinan untuk mendukung kedudukannya melawan
kekuatan politik Islam (Mulder 1984: 21-38). Akan tetapi saat ini, sementara
tubuh yang beragama bernilai lebih tinggi akibat menerima firman Tuhan, tubuh
yang berkebatinan bernilai lebih rendah karena mengolah kebudayaan manusia.
Muslim bahkan menyampaikan pernyataan, bahwa peringkat mistik Orang Samin
belum sempurna.
Sedulur sikep (Orang Samin) sebenarnya termasuk Islam hakikat. Mereka tidak menggunakan syariat, tetapi keyakinan. Shalatnya itu shalat batin. Hanya sedulur sikep tidak mengetahui sejarah di atasnya.
Orang sikep juga meyakini syahadat penatas (mistik). Tapi bolak balik kembali kepada gurunya. Kadang-kadang guru menjelaskan tidak sampai tuntas. Hanya simpul-simpulnya, bukan keseluruhan. Anda tanyakan kepada sedulur sikep apa itu syahadat penatas, mereka tahu. Tapi mereka tidak tahu cara mengucapkannya. Karena memang tidak diajarkan. Inilah permasalahan yang sebenarnya.
Pe-Lain-an Si Lain (othering the Other) dilakukan dengan menarik tubuh
berkebatinan menuju tubuh beragama (Rosyid 2008: 190-230). Tubuh
berkebatinan dirangsang melalui pengajian dengan substansi mistik Islam,
pelajaran agama formal di sekolah, serta perkawinan perempuan Samin dengan
tubuh lelaki beragama Islam. Projo menjelaskan sebagai berikut.
Yang sudah tua memang agak sulit berubah, namun saya
dan Pak Kebayan (Kepala Urusan Pemerintahan) mendekati yang masih muda-muda. Sekarang yang masih muda sudah mulai menikah, anaknya sudah mulai bersekolah, bahkan sudah mulai masuk pesantren. Ini ada keluarga yang jelas orang sikep, umur orang tuanya setara dengan Mbah Kasrino, namun ia ke pesantren, bahkan sekarang sudah sampai Madrasah Tsanawiyah, bahkan ada yang berkuliah sampai Musawirin di pesantren di Gresik. Ini anaknya orang sikep. Bapak dan ibunya dulu juga tidak menikah, bahkan keluarganya sikep semua, namun ia punya minat untuk bersekolah. Katanya dulu ia dekat dengan guru agama di desa ini, lalu bertanya-tanya kepada temannya, yang menjadi santri di Gresik. Akhirnya ia jadi ikut ke pesantren. Tidak ada pertengkaran dalam keluarga karena anaknya keluar dari
93
sikep, ia tidak dikucilkan, bahkan hubungannya dengan keluarganya tetap baik-baik saja.
Wahono, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang dekat dengan Orang
Samin, memberikan penjelasan sebagai berikut.
Mereka memahami bahwa sekolah itu islamisasi. Mereka tidak suka bersekolah, karena bisa meninggalkan sikep. Mereka akhirnya memutuskan untuk tidak masuk sekolah tersebut.
Di tempat lain, keliaran masyarakat adat diidentifikasi pula dari pola
pemukimannya yang berpindah-pindah (Li 2002: 4-7). Dalam pandangan evolutif,
tubuh-tubuh primitif yang berburu dan meramu tidak bermukim secara menetap
(Geertz 1981: 1-7, 88-94). Tubuh berpindah sesuai pergerakan lokasi-lokasi
kemasakan buah di hutan atau pergerakan hewan buruan. Dengan mengontraskan
domestikasi tanaman dan hewan piaraan pada masyarakat desa, maka masyarakat
adat yang berpindah-pindah tersebut kian di-primitif-kan. Orientasi pemusatan
wilayah ialah desa tempat menetap masyarakat modern, dan operasi pemilahan
lokasi tersebut menjadikan areal peramuan dan perburuan di hutan dipandang
sebagai wilayah terpencil atau terasing (Syuroh 2011: 229-248). Masyarakat
modern mengoperasikan kekuasaan untuk menyusun taksonomi tersebut sekaligus
meng-asing-kan masyarakat adat. Program pemberadaban masyarakat adat
kemudian diarahkan untuk memukimkan mereka. Gerakan pemukiman
mengharuskan masyarakat adat untuk membudidayakan tanaman dan
menternakkan hewan. Pada saat masyarakat adat mendomestikasi hewan dan
tumbuhan, program Komunitas Adat Terpencil (KAT) juga mendomestikasi
masyarakat adat dalam desa-desa bentukan proyek. Unit kerabat masyarakat adat
dipotong menjadi unit-unit keluarga inti, dan secara obyektif ditempatkan pada
rumah-rumah beruangan terbatas untuk keluarga kecil. Perenggangan solidaritas
kerabat menjadi basis lain bagi pemberadaban, yaitu kesiapan keluarga inti atau
batih untuk melakukan kerja produktif dan menghasilkan uang (Morgan 1975: 87-
99). Syuroh (2011: 238) menunjukkan upaya pemukiman Suku Kubu justru
menguatkan identitas ke-Lain-an mereka.
94
Departemen Sosial ternyata hanya menyediakan lahan seadanya yang berlokasi dekat perkebunan kelapa sawit, padahal Orang Kubu ini terasa risi dan minder bila bertemu dengan orang luar yang mereka sebut ”orang terang”. Pemukiman yang baru ini mempengaruhi efek psikologis bagi Suku Kubu yang membuat mereka tidak betah bermukim di tempat yang baru tersebut
Domestikasi mungkin tetap menjadi mekanisme penanggulangan
kemiskinan dalam diskursus ini di masa datang. Undang-undang Fakir Miskin
(UU 13/2011) dan Undang-undang Kesejahteraan Sosial (UU 11/2009)
mendiagnosis orang miskin sebagai tubuh yang berpenyakit sosial. Diskursus ini
telah mengembangkan akademisi kesejahteraan sosial pada tataran sarjana, master
hingga doktor, yang berperan sebagai pendiagnosa kemiskinan. Agar mudah
diobati maka tubuh fakir dan miskin didomestikasi. Bangsal pengobatan tubuh
berpenyakit sosial dilakukan dalam panti dan rumah singgah –seakan mengulangi
operasi kekuasaan pengobatan sosial dalam panti asuhan di Jakarta sejak tahun
1624 di atas (Taylor 2009: 10) atau bangsal penganggur selama Revolusi Industri
di Perancis pada abad ke 19 (Foucault 2002d: 208-211).
Pemberontakan Tubuh Primitif
Dari bahasan di atas terlihat bahwa operasi kekuasaan dalam diskursus
kemiskinan ras dan etnis berlangsung dengan mengidentifikasi dan
menggolongkan etnis, sub etnis, ras, hingga golongan keluarga yang tidak absah.
Anomali dalam diskursus ini muncul ketika, pertama, tubuh-tubuh rasis
memberontak pelekatan identitas tersebut. Kedua, simpati dari golongan normal
memunculkan dan menguatkan tubuh rasis.
Tubuh-tubuh Samin memberontak hampir setiap identitas negatif yang
dilekatkan oleh pihak luar. Pertama, identitas kepercayaan ditolak, dan sekaligus
Orang Samin menyerang secara simbolik dengan menamakan religi mereka
sebagai agama Adam. Konsep agama di sini digunakan untuk menolak identitas
aliran kepercayaan, sedangkan konsep Adam digunakan sebagai senjata untuk
melampaui kemurnian seluruh agama resmi negara (King 1973: 460). Melalui
penolakan demikian, Orang Samin membalik posisinya menjadi berkedudukan di
95
muka serta sumber bagi munculnya seluruh agama negara dan aliran mistik yang
muncul kemudian –setelah Adam sebagai orang pertama di bumi.
Kedua, identitas mistik dibalik menjadi kepercayaan hanya kepada empiri
yang terindria. Premis-premis dalam pemikiran Orang Samin hanya disusun dari
empiri. Bentuk-bentuk mistik seperti malaikat, setan, hantu, surga, neraka telah
dimustahilkan (King 1973: 470). Begitu pula mistik yang berorientasi lokasi dan
waktu juga ditinggalkan, seperti rencana masa depan, dan menghilangkan
pembicaraan atas lokasi yang belum pernah dikunjungi. Kasrino menjelaskan hal
ini.
Sedulur sikep (Orang Samin) tidak menerima konsep katanya (hare). Konsep ini jelas tapi tidak jelas. Sedulur sikep saat menyatakan sesuatu harus jelas, kalau ya dikatakan ya, kalau tidak dikatakan tidak. Kalau ya itu ya yang seperti apa, kalau tidak itu tidak yang seperti apa? Yang dimaksud ya itu jelas, kalau mengatakan sesuatu itu yang benar-benar ada wujudnya. Wujud itu bisa dilihat semua orang, atau bisa saja yang dilakukan oleh semua orang, tidak hanya Mbah Kasrino sendiri.
Meskipun dinamakan pemerintah, namun orangnya sama saja seperti saya ini. Sama-sama sebagai manusia. Disebut pemerintah tinggal di Jakarta, tapi nanti hanya ada orang juga di sana.
Ketiga, pusat kegiatan tubuh pada sikep atau hubungan suami-istri. Orang
Samin sendiri lebih menyukai penamaan identitasnya ialah sedulur sikep, di mana
semua manusia bersaudara (sedulur) karena melakukan kegiatan dasar yang sama
yaitu hubungan suami-istri (sikep). Pengelolaan tubuh sebagai sikep
membebaskan dirinya dari represi seksualitas melalui perkawinan resmi negara
maupun perkawinan agama resmi (Foucault 2008: 33-56). Kasrino menjelaskan
pemikirannya.
Meskipun tidak ditanyakan, tetapi saya ingin menjelaskannya sendiri. Menurut paham sedulur sikep (Orang Samin) atau tata cara sedulur sikep, selagi punya tatanan maka yang terbaik ialah ditata sendiri. Misalnya ada pasuwitan (pernikahan). Ini ditata oleh bapak dan ibunya sendiri. Segala sesuatu harus memiliki barang bukti. Perilaku itu menjadi barang bukti. Misalnya perilaku pasuwitan atau perjodohan. Tidak ada perlunya disaksikan oleh aparat pemerintah. Ini masih dilakukan
96
sedulur sikep di Makmur dan Pati, entah kalau di Blora. Sebenarnya itu ada aturannya. Misalnya saya yang nyuwito (menikah), sudah selayaknya saya nembung (menyatakan), contohnya saat saya mendapatkan Mbah Niti. Karena saya yang memiliki karep (kehendak) maka saya yang nembung. Menyatakan itu minimal kepada yang memiliki. Yang memiliki Mbah Niti itu ayah dan ibunya. Sehingga kalau dirunut, ini sama-sama tatanan, yang dimodali dengan perilaku, sehingga sedulur sikep bisa melakukan hal itu, dan orang pemerintahan bisa menerimanya. Pertama, ini sesuai dengan adat dan tata cara yang sudah dilaksanakan nenek moyang sejak dahulu. Kedua, menyatakan kepada yang memiliki, yang berarti menata sesuatu dengan cara menata sendiri.
Manakah yang lebih Jawa dibandingkan yang tidak bisa menata dirinya sendiri? Inilah menunjukkan bagaimana Jawa bisa dilakukan, dan yang lain-lain bisa disesuaikan dengan kejawaan itu. Jangan menekankan pernikahan di tengah sawah atau di tempat lainnya, yang pasti di rumah. Sedulur sikep memiliki tatanan dan kebutuhan apapun cukup di rumahnya sendiri. Kalau orang memiliki kebutuhan dan dijalankan di rumahnya sendiri, masak masih salah? Yang ditata juga miliknya sendiri.
Keempat, identitas miskin ditolak melalui demonstrasi tubuh yang tidak
kekurangan pangan, pakaian dan tempat tinggal (Benda dan Castles 1969: 228;
King 1973: 460; Shiraishi 1990: 113-114). Budidaya padi dan penolakan
perdagangan menyokong ketahanan dan kemandirian logistik tersebut bagi tubuh.
Kemandirian tersebut ditunjukkan dengan penolakannya terhadap berbagai
program kemiskinan dari pemerintah. Kasrino menjelaskan sebagai berikut.
Tindakan-tindakan ini (menolak program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah) dilakukan agar tidak dekat dengan tangkalan (pemerintah). Ini sebagai tindakan lugu untuk berhati-hati. Saya juga tahu bahwa dalam kehidupan menjadi genap bahwa ada orang memberi dan orang menerima. Namun kan dilihat juga bagaimana cara memberinya. Masak memberi begitu banyak. Banyak atau sedikit, kalau diserahkan kepada pamong desa kan bisa dibagi rata. Warganya kan bukan hanya sedulur sikep.
Dukungan terhadap kemunculan tubuh Samin diperoleh dari simpatisan
kalangan seniman, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Dukungan tersebut telah menjaga domain diskursus ciptaan Orang Samin dengan
97
melawan dominasi pemerintah dan swasta. Domain tersebut, selanjutnya,
diperluas secara mandiri oleh tubuh-tubuh Samin, sehingga diskursus ciptaan
mereka –seperti gerakan tolak semen—mampu menjadi landasan penolakan
petani, LSM, akademisi dan seniman terhadap rencana ekplorasi Pegunungan
Kendeng untuk pabrik semen (Husaini, Widianto, Kristanto 2011: 1-120).
Wahono menjelaskan hal ini.
Saya bilang sedulur sikep (Orang Samin) di Pati dan Makmur lebih kuat dibandingkan lainnya. Sebelum kita ramai berkunjung di sana, Mbak Yeni, seorang antropolog UGM (Universitas Gajah Mada) di sana, lama di sana, membuat rumah di sana, lalu membuat Lembaga Sikep. Saat Temu Tani itu Lembaga Sikep masih ada. Sebagaimana banyak lembaga lainnya, lembaga inipun tidak aktif lagi. Namun awalnya melalui Lembaga Sikep tersebut jaringan Mas Kuntirto (tokoh muda Samin) meluas. Saat ini jaringan Mas Kuntirto sudah lebih luas daripada saya. Ada Desantara, dan sebagainya. Jaringan tersebut memberikan keteguhan baginya. Diundang Amman (organisasi masyarakat adat nasional), dia mengatakan, “Ternyata aku diakui sebagai masyarakat adat. Saya pikir masyarakat adat memiliki simbol pakaian, tarian, sementara sedulur sikep tidak memiliki hal itu”. Saya jawab, “Simbol sampeyan ada pada tingkah perilaku, namanya juga sikap, kan”. Jaringan ini memperkuat kesikepannya. Dukungan ini kian memperkuatnya. Mas Kuntirto mungkin berpikir, kalau saya tidak menjalankan sikep, ngapain orang berteman dengan saya.
Selama ini tubuh-tubuh anggota masyarakat adat yang menolak tinggal di
pemukiman, atau tubuh yang meninggalkan pemukiman lalu memasuki hutan
kembali, diidentifikasi sebagai penolak peradaban. Identitas serupa juga diarahkan
kepada tubuh yang meninggalkan panti dan kembali menggelandang ke jalanan.
Akan tetapi upaya kembali tinggal berpindah-pindah tersebut membalikkan tafsir
ke arah keberanian tubuh untuk menolak pendisiplinan dalam diskursus
kemiskinan rasial dan etnis. Syuroh (2011: 243) menyampaikan pernyataan
Kepala Suku Kubu.
Kami memang terisolir dari masyarakat biasa, karena memang itulah cara hidup kami….. Di tempat yang baru, kami mau saja sebenarnya, tapi luas lahannya terbatas dan jauh dari
98
hutan tempat kami untuk berburu dan mencari makanan (wawancara dengan Temenggung Tarib, 20/10/2009)
Ikhtisar
Dalam diskursus kemiskinan ras dan etnis kekuasaan beroperasi melalui
pengembangan prasangka budaya oleh orang luar kepada sekelompok warga yang
berbudaya lain. Seluruh tubuh warga masyarakat dalam budaya lain dilabeli sifat
liar, tradisional, tertinggal, terpencil, udik atau gunung, berpindah-pindah, atau
jauh dari Tuhan. Kekuasaan untuk mengoperasikan pengentasan kemiskinan
mengambil patokan peradaban modern. Normalisasi dikembangkan untuk
menciptakan panduan menuju adab lebih modern, yaitu keluarga batih yang
bertempat tinggal secara menetap dan menjalankan berbagai fungsi domestik
maupun kemasyarakatan.
Berlawanan dari bab ini yang menegaskan golongan modern dalam
melabeli masyarakat adat dan golongan miskin, bab berikutnya justru berisikan
pengelolaan diri sendiri. Dalam diskursus menginginkan keterbatasan tersebut
muncul kehendak untuk menyucikan tubuh dengan membatasi ketergantungan
kepada harta benda. Tubuh yang suci memiliki kekuatan untuk mengabarkan
kebenaran.
BAB 6
DISKURSUS DAN PRAKTIK
MENGINGINKAN KESEDERHANAAN
Diskursus dan praktik menginginkan kesederhanaan dijalankan melalui
pengelolaan tubuh sendiri, dan kadang-kadang diikuti penyebaran kabar
kebenaran dari tubuh suci kepada pihak lain. Pengelolaan tubuh berupa
pembatasan pemilikan harta atau tindakan secara berlebihan. Latihan kemiskinan
bagi tubuh dijalankan sebagai homologi pembatasan hasrat, kehendak, atau naluri.
Hasrat mengandung kekuatan, namun menganggu dan menyesatkan dengan
menuntun bertingkah laku negatif laksana hewan –bukan tindakan manusiawi.
Dunia, tubuh dan iblis pada dasarnya tidaklah dipandang sebagai keburukan atau imoral, melainkan lebih sebagai mengganggu atau menyesatkan, dan dengan demikian membawa pada hilangnya Kuasa atau kesaktian (Anderson 2000: 52).
Pembatasan diri dijalankan dalam laku prihatin, hidup sederhana, mencari
ngelmu (ilmu dan mistik). Perilaku menginginkan kesederhanaan ini sejak abad ke
15 telah diajarkan dalam ashrama (Riana 2009: 169-177) atau pesantren yang
menjauh dari pusat kerajaan. Pesantren sufi atau mistik yang terkenal di sekitar
dusun Kalitani terletak di Mranggen, Demak (Hadi 2010: 197-242). Subyek
diskursus dan praktik menginginkan kesederhanaan kini dapat dicari pada kiai,
ustadz, santri, pendeta, dan tubuh-tubuh yang berupaya suci lainnya, yang
berlokasi dalam pesantren yang tersebar di 14.632 desa, serta seminari dan
sejenisnya yang tersebar di 393 desa, menurut data Potensi Desa 2011. Mereka
juga berdiam dalam organisasi kebatinan hingga tingkat nasional, di antaranya
Sumarah, Subud, Pangestu. Perilaku Pangeran Diponegoro pada awal abad ke 19,
misalnya, menunjukkan pengelolaan pembatasan tubuh, dan tubuh yang terlatih
tersebut dapat menyampaikan kritik maupun saran yang bermakna bagi orang lain.
100
Pengritik utama kelompok kecil istana ini adalah Pangeran Diponegoro…..
Pada masa mudanya, berbeda dengan kebiasaan para bangsawan muda Yogyakarta, Diponegoro jarang sekali muncul di keraton dan kalau ia akhirnya juga datang, maka itu hanya dilakukannya pada saat perayaan garebeg, upacara perayaan Islam yang diselenggarakan sebanyak dua kali setahun. Sebaliknya, ia menghabiskan banyak waktunya untuk mempelajari agama serta bersemadi; juga mengunjungi tempat-tempat pemujaan dan tempat-tempat suci yang terkemuka….. (Carey 2009: 17)
Disiplin Pelemahan Daging
Kajian diskursus kemiskinan sejak awal telah memunculkan tubuh-tubuh
yang menginginkan kesederhanaan, bahkan menginginkan kemiskinan (Al-
Hujwiri 1993: 30-39; Rahnema 1992: 174). Tubuh-tubuh tersebut tersebar di
kalangan sufi Islam, penganut Hindu, agamawan Kristen (Rubianto 1996: 83-88),
juga penganut kebatinan atau mistik di Jawa –disebut kejawen. Diskursus ini juga
telah lama diikuti tubuh-tubuh elitis seperti raja dan pejabat yang menjalankan
laku prihatin, di antaranya Airlangga (Susanti 2010: 85-122), dan Diponegoro
(Carey 2009: 15-16). Pemikiran Aloysius Pieris (Rubianto 1996: 88), agamawan
Kristen yang mempraktikkan pembatasan harta benda, dapat disampaikan berikut
ini.
Di lain pihak, kemiskinan dapat berwajah membebaskan
bila tampil sebagai kemiskinan sukarela (voluntary poverty). Yang merupakan usaha pembebasan diri dari keserakahan dan ketamakan. Kemiskinan sukarela semacam itu, kata Pieris, menjadi semacam penanggulangan spiritual terhadap ketamakan. Sementara itu, secara sosiologis kemiskinan dalam wajahnya yang memperbudak terjadi melalui proses hubungan-hubungan yang tidak adil, seperti nampak dalam kolonialisme dan neokolonialisme. Namun, di lain pihak kemiskinan sukarela dalam dimensi sosio-politisnya yang membebaskan melahirkan gerakan-gerakan solidaritas dengan orang miskin.
Seni menginginkan kesederhanaan diorientasikan pada penyucian dan
kemurnian diri (Foucault 2011: 170-174). Kekuasaan beroperasi terhadap tubuh
melalui pendisiplinan pengurangan ketergantungan kepada beragam benda dan
jasa dari luar. Kekuasaan diarahkan untuk melemahkan daging (body). Benda dan
101
jasa keduniawian diidentifikasi sebagai kotoran, sehingga penyucian diri perlu
dilakukan dalam latihan-latihan kemiskinan. Hal ini menciptakan pembatasan
untuk memiliki sesuatu di dunia. Tubuh kian ditinggal benda-benda, dan
bersamaan dengan itu kebutuhan tubuh kian menurun sementara kemandiriannya
terus meningkat.
Konsepsi konsentrasi yang melandasi praktik-praktik tapa juga berkaitan erat dengan gagasan tentang kemurnian; sebaliknya, gagasan tentang keternodaan juga berkaitan dengan disfungsi dan disintegrasi (Anderson 2000: 52).
Makrifat
Syariat
Ngrame Nyepi
Gambar 9. Dikotomi Diskursus Menginginkan kesederhanaan
Dikotomi yang berkembang dalam diskursus menginginkan kesederhanaan
ialah makrifat-syariat dan ngrame-nyepi (Gambar 9). Makrifat merujuk pada
hierarki pengendalian diri, sedangkan syariat merujuk pada hukum-hukum fisik
peribadatan. Ngrame menunjukkan pelaksanaan (terutama) makrifat bersama
warga masyarakat lain, sedangkan nyepi menandai upaya menyendiri atau bertapa
untuk berkonsentrasi. Muslim menjelaskan pendiriannya.
Prihatin itu riyadhah. Menurut orang Jawa itu bertapa. Untuk menghindari larangan Tuhan, orang Jawa melakukan tapa. Laku prihatin ada dua macam, yaitu ngrame dan nyepi. Ngrame dapat berkumpul dengan masyarakat, sedangkan nyepi harus
102
tinggal di tempat-tempat yang sepi, seperti di hutan-hutan. Mbah Salikun sampai saya termasuk prihatin yang ngrame. Tiap keyakinan memiliki laku tersendiri. Orang Jawa tidak lepas dari spiritual. Kalau tidak mengerti spiritual maka tidak mengetahui hakikat. Sebab kekuatan Jawa bukan di budayanya, tetapi pada spiritualnya. Begitu pula dengan orang Islam, bukan pada syariatnya, tetapi pada tauhidnya, makrifatnya. Laku spiritual atau laku batin berguna untuk memperkuat keyakinan.
Muncul metode loro lopo, yang berarti sakit serta miskin. Sakit ditambah
miskin diharapkan menutup ruang untuk menghibur diri. Loro lopo menunjukkan
jalan penderitaan daging sebagai penciptaan kondisi agar kebenaran muncul ke
permukaan. Metode lain yang serupa, yang biasa dilakukan ialah lelono-broto,
yaitu berkelana dalam suasana kesedihan. Perjalanan diarahkan untuk
mendapatkan tempat yang bisa menenteramkan batin. Ritual ini tidak hanya
dilakukan satu kali, melainkan rutin setiap tengah malam. Ritual bertujuan untuk
menenangkan dan introspeksi diri, serta menghayati kenyataan pengalaman
empiris di tengah masyarakat (Santosa 2011: 95).
Di tempat yang sesuai, dapat pula dilakukan topo broto, atau bertapa
dalam kesedihan. Bertapa dapat berupa puasa, berdoa, melawan hawa nafsu,
meditasi, berjaga sepanjang malam, kungkum (selama berjam-jam pada malam
hari berendam di sungai yang dipandang keramat), atau menyepi ke puncak
gunung (Mulder 1984: 25). Bertapa diarahkan untuk mendapatkan samadi, yaitu
saat ketika konsentrasi diri mampu melepaskan pikiran dari dunia dan menerima
ilham dari Tuhan, berupa rahasia kehidupan, asal usul, atau tujuan hidup.
Pelemahan daging menjadi landasan bagi tubuh untuk mendapatkan
kebenaran hidup, yang langsung disampaikan oleh Tuhan atau melalui arwah
leluhur. Pelemahan daging yang sekaligus berisikan pengendalian diri ditujukan
untuk menguasai kebenaran itu sendiri. Karamah atau kesaktian yang muncul dari
tubuh yang menyukai kesederhanaan bahkan dipandang sebagai wujud riil
kekuasaan dan kebenaran.
Dipengaruhi oleh mistik Islam, pendisiplinan tubuh diarahkan untuk
menjadikan dirinya sebagai cermin, yang mampu menyerap cahaya Tuhan
(Zoetmulder 1990: 321). Diciptakan konsep hati dalam tubuh untuk menyerap
ngelmu, dan hati tersebut homolog dengan cermin penerima sinar Tuhan.
103
Kemiskinan dipandang sebagai kekangan agar tidak melakukan perbuatan tercela.
Jika hati diibaratkan cermin, maka perbuatan tercela mengotorinya. Jika kotoran
tersebut hilang, sebaliknya, maka cermin lebih mudah menyerap dan
memancarkan cahaya Tuhan. Penciptaan cermin pada hati menjadi mekanisme
mencapai kebenaran Tuhan meski di dalam dirinya sendiri. Pandangan ini antara
lain dinyatakan dalam Serat Centhini teks Dandhanggula syair 8-9 (Zoetmulder
1990: 321).
Gunung-gemunung dan ladang-ladang dapat dilihat, tetapi sukarlah melihat yang lahir dan yang batin, bila kita tidak mempergunakan sebuah cermin. Adapun cermin itu ialah ilmu (ngelmu). Seseorang yang ingin becermin, hendaknya mencari sebuah cermin yang jernih. Bila cermin itu berdusta, maka orang yang memakai cermin itu memperoleh rupa yang lain. Perubahan itu disebabkan oleh cermin.
Oleh karena itu perlu kita tekuni ngelmu. Keempat ngelmu itu yang mewujudkan cermin ialah sarengat, tarekat, kakekat, dan makripat. Hendaknya ngelmu itu dibersihkan (hening). Tetapi bila kita mempunyai pengertian keliru mengenai ngelmu, itu disebut cermin yang berdusta. Yang lahir dan yang batin kelihatan dalam cermin, entah menurut sifatnya yang tepat atau keliru.
Berkaitan dengan tafsir hati sebagai cermin, sinar atau cahaya menjadi
salah satu tanda kekuasaan yang penting. Hal ini diterangkan oleh Anderson
(2000: 65-66).
Jika kemampuan untuk menampung hal-hal yang berlawanan dan menyerap lawan adalah elemen penting dalam klaim seorang pemimpin bahwa ia memiliki Kuasa, maka satu tanda penting kemampuan tersebut adalah apa yang secara tradisional disebut sebagai wahyu, cahaya ilahiah. Tentang pancaran tersebut, Moertono menulis: "(wahyu) digambarkan dalam wujud dan bentuk yang berbeda –pendar yang terang, suatu 'bintang' tapi yang paling sering dilihat adalah bola cahaya [andaru, pulung] yang berwarna biru, hijau, atau putih mengkilat, melintas cepat menembus langit malam". (Gambaran ini menampilkan kesamaan antara Kuasa dan cahaya dalam pemikiran Jawa).
Penilaian yang tinggi terhadap pelemahan daging terletak secara asimetris
dengan kemandiriannya dari benda dan jasa luar. Bukan pihak luar, melainkan diri
104
si pemilik tubuh yang menguasai dagingnya. Penguasaan diri inilah yang dinilai
tinggi. Islamisasi laku prihatin di Jawa disebut malaikatan. Berbeda dari mistik
Islam yang berorientasi pada Tuhan, dalam kejawen tubuh sendiri menjadi pusat
orientasi untuk mendapatkan kebenaran. Telah lebih dahulu dikenal wujud-wujud
mistik sedulur papat (empat kerabat mistik) yang mengawal diri (pancer, pusat)
sepanjang waktu, agar terlindungi dari hasrat duniawi. Keempat kerabat mistik
mengawal di depan, belakang, samping kanan, dan samping kiri. Homologi dalam
proses islamisasi dilakukan dengan mengganti sedulur papat menjadi empat nama
malaikat –bentuk-bentuk mistis menurut Islam (Chodjim 2011: 118-147).
Homologi lebih lanjut ialah menyerupakan empat jenis kehendak atau nafsu
dengan empat jatidiri serta empat malaikat. Nafsu dapat dimaknai sebagai angkara
murka di luar suksma (Simuh 1988: 316). Dengan demikian penguasaan nafsu
homolog dengan penguasaan kebaikan malaikat, dan akhirnya homolog dengan
penguasaan keempat jatidiri –konsep awal mistis kejawen. Konsep Jawa yang
digunakan secara mendalam adalah mengembalikan kepada asal muasal manusia.
Muslim menjelaskan pengalamannya.
Manfaat prihatin terbanyak untuk pribadi, memang untuk meningkatkan keimanan. Kembali ke sangkan paraning dumadi, yang mengetahui dirinya sendiri hakikatnya mengetahui Tuhannya. Ini dalam sekali maknanya. Ini berkaitan dengan kejadian manusia, asal usul manusia.
Manusia diciptakan dari 4 unsur. Itu disebut sedulur papat limo pancer, kakang kawah dulur ari-ari. Badan papat maksudnya malaikat empat. Maka disebut ilmu malaikatan, jadi mengimani malaikat. Malaikat itu bernama malaikat Kutubin, Katibin, Haruman, Haeruman. Dalam syariat disebut malaikat Rakib dan Atit, dan malaikat Rahmat. Malaikat Rahmat ada dua, yang di depan dan di belakang. Di samping kanan dan kiri itu malaikat Rakib dan Atit. Dalam bahasa malaikatan lebih jelas. Kutubin dan Katibin itu malaikat yang mencatat hal-hal baik dan buruk. Haruman dan Haeruman itu yang menjaga di depan dan di belakang manusia. Jadi manusia siang dan malam dijaga oleh empat malaikat. Baik saat bangun maupun saat tidur. Itu disebut sedulur, karena lahirnya malaikat di dunia ini bersamaan dengan lahirnya manusia. Limo pancer, di sini pusat itu ruh diri kita sendiri. Kadang-kadang ini disebut ingsun, yaitu ruh itu sendiri.
105
Melalui nyepi (menyendiri), seni hidup malaikatan memberikan manfaat
terutama terhadap diri sendiri, yaitu merangsang manusia untuk mengendalikan
kekuasaan mengabarkan kebenaran hidup. Pada masa kini, bahkan, kebatinan
tidak hanya untuk mengendalikan nafsu, namun konsentrasi batin juga diarahkan
untuk mengembangkan kesadaran atau pemikiran tentang kehidupan (Stange
2009a: 319-321).
Baik karena kebenaran Tuhan yang sampai kepada tubuh, maupun karena
kemampuan mengendalikan berbagai komponen diri, tubuh yang terus berlatih
kesederhanaan dapat memperoleh karamah atau kesaktian. Tubuh berkaramah
atau tubuh yang sakti dinilai berderajat lebih tinggi, lebih suci, lebih dekat kepada
kebenaran, dan lebih berkuasa. Kesaktian menjadikan kekuasaan terwujud secara
obyektif pada tubuh (Anderson 2000: 47-71), sekaligus mengabarkan kebenaran
hidup. Tubuh penguasa –berarti yang paling sakti—sekaligus berisikan jejak-jejak
keluasan wilayah yang dikuasainya. Muslim menjelaskannya kesaktian ini.
Ilmu malaikatan itu thoriqoh Jawa. Umumnya tidak ada bukunya, karena tidak boleh ditulis. Jadi harus hafal. Istilahnya guru spiritual, bukan guru thoriqoh. Ini kalau ditekuni akan menjadi orang Islam yang baik, namun kalau hanya setengah-setengah akan menjadi jadug, sakti. Karena ini mengandung ilmu kesaktian pada tingkat yang awal-awal. Tapi nanti kalau sudah naik, naik, ke tingkat yang lebih tinggi, nanti cuma satu (bertemu Tuhan).
Anderson (2000: 51) juga memunculkan kesaktian sebagai wujud
kekuasaan.
Nilai penting ke dalam dari tapa yang seperti itu sama sekali bukan upaya membunuh nafsu diri dengan tujuan etis di benar, melainkan semata demi mendapat Kuasa/kesaktian.
Hidup menginginkan kesederhanaan dapat dilatih terus menerus dan
dipraktikkan dalam keseharian. Pelatihan ini menghasilkan hierarki tubuh menurut
kemurniannya atau kemampuannya menerima kebenaran. Tubuh nabi berisikan
kekuatan tertinggi, diikuti tubuh wali, guru kebatinan, dan seterusnya. Hierarki
tubuh memungkinkan peran sebagai guru dan sebagai murid kebatinan. Tubuh
106
murid dapat didisiplinkan oleh guru untuk mencapai peringkat mistis atau
kesucian lebih tinggi lagi. Dalam kejawen yang berorientasi pada diri sendiri, guru
baru dapat berperan pada saat-saat murid mengalami kesulitan untuk naik ke
derajat lebih tinggi (Stange 2009: 10-19). Adapun kesuksesan seni hidup dalam
bentuk pelatihan kemiskinan sehari-hari sepenuhnya tergantung kepada murid itu
sendiri.
"Ngrame" Mengabarkan Kebenaran
Selain dikembangkan secara internal antara guru dan murid sebagai seni
untuk hidup asketis, tubuh yang menginginkan kesederhanaan juga memiliki
keberanian untuk menyampaikan kebenaran, yang dikonsepkan sebagai parrhesia
(Foucault 2011: 339). Secara obyektif pula, penolakan tubuh terhadap kebendaan
menciptakan modal simbolik. Ekonomi modal simbolik ditunjukkan dari
pembalikan ekonomi formal, di mana nilai simbol meningkat justru berlawanan
dari pelekatan kebendaan pada tubuh (Bourdieu 2010: 137-183). Kian sederhana
tubuh maka modal simbolik yang dimilikinya membesar, sebaliknya ketika tubuh
mulai meninggalkan kesederhanaannya maka modal simboliknya menurun. Tubuh
yang telah terkendali dan mandiri dari kebendaan bernilai tinggi, karena sulit
untuk menghisap benda milik warga lain. Kelompok musik Slank menerbitkan
lagu berjudul Seperti Para Koruptor, yang syairnya menggambarkan kaitan
ngrame dari hidup sederhana dengan berjaga dari berkorupsi.
Hidup sederhana Gak punya apa-apa tapi banyak cinta Hidup bermewah-mewahan Punya segalanya tapi sengsara Seperti para koruptor, seperti para koruptor
Setelah tubuh terkendali, penjagaan kualitasnya dilakukan melalui
mekanisme pelarangan. Larangan berisikan predisposisi dan interaksi sosial yang
merugikan masyarakat, seperti maling, mempermainkan wanita, bermabuk-
mabukan. Muslim menjelaskan pengalamannya.
107
Dalam ajaran (mistik) ini ada pantangan-pantangan yang harus dilaksanakan. Orang Jawa menyebutnya medang atau dibaiat. Kalau sudah dibaiat tidak boleh melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah. Menurut orang Jawa tidak boleh mo limo, yaitu maling, madat atau minum-minuman keras, madon, termasuk perbuatan-perbuatan lain yang dilarang. Kalau hanya syariat, nanti kalau maling itu berdosa, nanti kalau berzina itu berdosa, orang cenderung bisa lupa, dan cenderung menyepelekan. Tetapi kalau sudah diwenang seperti ini, sebab ada pantangannya, kalau kamu minum bakal seperti ini, kalau maling bakal seperti ini, kalau kamu berzina bakal begini. Yang dimaksud "begini" itu tidak di akhirat, namun di dunia. Langsung di dunia. Kadang-kadang berbentuk sakit yang tidak disembuhkan, mati tanpa sakit seperti kecelakaan, kena petir. Itu benar-benar terjadi, bukan sekedar menakut-nakuti. Memang hakikat seperti itu. Ilmu hakikat itu ilmu thoriqoh yang sudah menginjak tingkat tinggi, sehingga pantangannya itu "harus", tidak bisa ditawar. Dengan jalan itu, orang-orang yang suka minum minuman keras dengan sendirinya tidak berani minum lagi. Orang biasa main perempuan secara tidak langsung dilarang, untuk berhenti. Sedikit demi sedikit yang ikut semakin banyak. Dan yang ikut ini akan menjadi pengikut yang kuat, karena sudah disumpah sehingga tidak bisa lari. Itu gunanya baiat. Orang-orang ini memiliki anak, dan diajari hal serupa, akhirnya ada kelompok muslim di Kalitani.
Substansi pelatihan mistis dan kebenaran yang diserap oleh tubuh yang
menginginkan kesederhanaan sulit diedarkan dalam bahasa yang absolut. Untuk
memenuhi kebutuhan pengetahuan absolut, simbol-simbol kebenaran tersebut
dapat saja dijelaskan secara panjang lebar. Namun demikian, kebenaran tersebut
lebih banyak disebarluaskan sebagai simbol-simbol dan bersifat fiksius atau
metaforis. Karena bersifat simbolik, kebenaran lebih banyak –karena lebih
mudah—diedarkan dalam arena-arena simbolis seperti ashrama (Riana 2009:
169-177), pesantren (Carey 2009: 15-16; Hadi 2010: 197-242) atau sekolah, juga
melalui kesenian, serta upacara-upacara simbolis semacam selamatan, perayaan,
dan sebagainya. Sunan Bonang memberi contoh mencipta instrumen bonang,
kenong, kempul, serta wayang. Sunan Drajat mencipta tembang pangkur. Sunan
Kalijaga mencipta berbagai gamelan, wayang kulit, baju takwa, tembang
dhandhanggula. Sunan Giri mencipta permainan jetungan, jamuran, gula ganti,
cublak-cublak suweng, tembang asmarandana, tembang pocung. Sunan Makmur
108
mencipta tembang maskumambang, tembang mijil. Sunan Muria mencipta
tembang sinom, tembang kinanthi (Purwadi 2005: 49-62).
Melalui ngrame (hidup bersama warga masyarakat) tubuh yang
menginginkan kesederhanaan berupaya mendekati keadaan tubuh warga miskin.
Solidaritas antar tubuh miskin ini memungkinkan pemberian bantuan hingga
pengembangan gerakan pembebasan bagi tubuh orang miskin. Di negara lain
diskursus kesederhanaan yang diinginkan diobyektifkan dalam bentuk hidup
bersama golongan miskin (Rubianto 1996: 83-88) dan mengembangkan
perbankan di bersama mereka (Yunus 1999: 59-130). Responden penelitian ini
yang menginginkan kesederhanaan sekaligus menjabat perangkat desa. Muslim,
tokoh agama dan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Sawahan, mengabarkan
kebenaran dengan menyalurkan program pembangunan kepada golongan
kekurangan, mengurangi penerbitan dokumen palsu dan mengurangi pungutan liar
dalam layanan publik.
Saya pulang dari pesantren tahun 1997, lalu aktif di
organisasi. Namun saya nyleneh, saya berorganisasi di karang taruna. Saat itu di sini belum ada karang taruna. Saya lalu mendekati teman-teman, "Ayo mendirikan organisasi". Tanya mereka, "Organisasi apa?". Saya jawab, "Karang taruna". Tanya mereka, "Kalau karang taruna berbau umum, mengapa tidak menjurus ke agama". Saya jawab, "Melalui karang taruna saya bisa merangkul pemuda yang bisa mengaji, saya juga bisa merangkul pemuda yang tida bisa mengaji. Kalau sudah menjadi satu, nanti mudah menyusun acara apa-apa saja".
Akhirnya karang taruna berdiri, anggotanya banyak, sampai ratusan. Kegiatan saya sesuaikan dengan keadaan. Untuk yang senang mengaji, saya buatkan kegiatan mengaji. Untuk yang senang berolah raga, saya buatkan kegiatan olah raga. Untuk yang senang musik, saya buatkan kegiatan musik. Kegiatannya bermacam-macam. Kegiatan mengaji meliputi selapanan, yasinan, tahlilan, albarzanji. Yang tidak bisa mengaji wajib ikut, meskipun hanya mendengarkan. Kegiatan olah raga berupa voli, tenis meja, badminton. Kegiatan musik mencakup terbangan biasa, terbangan rozak, dangdutan.
Selanjutnya kebetulan ada kekosongan jabatan di desa. Pada perangkat desa hanya ada kepala desa dan dua kaur (kepala urusan), yaitu kaur keuangan dan pembantu kaur kesra (kesejahteraan rakyat). Kekosongan di desa ini mulai tahun 1997. Saya menjadi perangkat desa sejak tahun 2003.
109
Alhamdulillah ada perubahan. Untuk membangun masjid, mushalla, madrasah, saya bisa bersuara lantang. Saya tidak menjadi modin atau kaur kesra, karena kebetulan saat itu yang dibuka lowongannya kaur pemerintahan. Dan kebetulan saya menyukai pemerintahan. Karena di sini ada sedikit ilmu diskusi. Pemerintahan di desa ini kan berkaitan dengan hukum, seperti hukum tanah, hukum waris, banyak hukum-hukum itu. Sejak di pesantren saya juga suka hal-hal seperti itu. Ini seperti melengkapi hakikat. Istilahnya kalau ilmunya berangkap-rangkap itu lebih lengkap, sehingga lebih mengetahui ujud dunia. Karena ujud dunia beragam juga.
Kemiskinan dipandang sebagai salah satu ujian dalam kehidupan. Tujuan
dari ujian tersebut agar tubuh lulus dan naik ke taraf spiritualitas yang lebih tinggi.
Ujian dalam hidup dalam rangka membentuk sesuatu yang baru. Salin (berganti pakaian). Dengan ujian maka orang bekerja keras, berusaha. Misalnya ujian sekolah. Kalau orang mau ujian, mestinya belajar sungguh-sungguh, dan melakukan dengan sungguh-sungguh. Nanti tinggal hasilnya seperti apa. Begitu pula dengan hidup. Hidup itu ujian. Kita juga diuji oleh Allah. Ujian kesabaran kita. Ujian ketakwaan kita. Ujian nrimo ing pandum. Itu semuanya ujian.
Dipandang lebih suci karena sinar Tuhan terpancar langsung ke dalam
hatinya, tubuh-tubuh yang lulus ujian kesederhanaan ini bersifat subversif bagi
penguasa. Tubuh tidak tunduk atau berada di bawah penguasa, melainkan dapat
mengabarkan kebenaran dengan mengkritik penguasa.
Anomali atau kejanggalan bagi penanggulangan kemiskinan muncul dari
ketergantungan tubuh kepada Tuhan. Dipercaya bahwa kekuasaan yang
dipancarkan oleh tubuh prihatin semata-mata berasal dari Tuhan. Melalui laku
prihatin, tubuh kian mandiri dari kebendaan namun sekaligus kian terikat pada
Tuhan. Ketergantungan tubuh kepada Tuhan telah menghilangkan tafsir masalah
bagi kemiskinan. Kemiskinan sekedar ditafsirkan sebagai instrumen pengelolaan
tubuh. Menjadi kaya atau menjadi miskin tidak dimasalahkan. Tubuh dapat
dikelola agar bekerja keras untuk mendapatkan kebenaran takdir tersebut. Muslim
menjelaskan sebagai berikut.
110
Di dunia ini ada tiga pokok yang tidak bisa kita ubah, yaitu rezeki, jodoh dan kematian. Ini sulit kita ubah, karena sudah ditentukan Tuhan. Begitu pula dengan rezeki, itu sudah ditentukan akan menerima sedikit atau banyak. Kita harus rela. Kita diberi banyak alhamdulillah (berterima kasih), diberi sedikit juga alhamdulillah. Kadang-kadang kita kan tidak tahu di balik itu semua ada rahasia terbesar, yang disembunyikan oleh Allah. Kadang kita diberi rezeki yang banyak, tetapi tidak bisa bersyukur. Kawan kita sibuk bekerja. Berarti kalau kita diberi rezeki yang banyak, mudharatnya (keburukannya) bagi kita banyak. Tapi kalau kita diberi rezeki sedikit, membuat kita rajin.
Kekuasaan tubuh berprihatin antara lain berwujud kesaktian atau karomah.
Akan tetapi kekuasaan tersebut dapat hilang saat tubuh bersifat sombong. Di
samping itu, kesaktian tubuh sendiri tidak pernah tak terbatas. Tubuh yang lebih
suci lagi senantiasa mendapatkan kebenaran dari Tuhan perihal peluruhan
kesaktian tubuh-tubuh sombong. Kesaktian, misalnya, dapat dikalahkan melalui
benda-benda tertentu, di antaranya bambu runcing. Muslim menyampaikan
sebagai berikut.
Banyak orang thoriqoh yang tersesat. Sebab orang thoriqoh, yang ahli zikir, kalau zikir cepat-cepatan, nanti akan timbul karamah. Karamah itu suatu keistimewaan yang dilahirkan melalui zikir.
Biasanya kalau sudah timbul karamah lalu dimintai tolong oleh orang lain. Akhirnya tamunya banyak, kalau dia memang ingin menerima tamu. Dalam hati, yang namanya manusia, ini kadang timbul sombong. Walaupun sombong tidak dilahirkan di mulut, tetapi hanya dalam hati, ini juga berpengaruh pada orang-orang yang memperdalam ilmu hakikat.
Pengaruhnya besar. Oleh sebab itu umumnya orang ahli hakikat yang sudah mendapatkan karamah, lalu sombong, maka cenderung mengalami kesulitan untuk kembali ke jalan yang benar.
Ikhtisar
Dalam bab ini diketengahkan pengelolaan kesucian tubuh sendiri dan
membatasi ketergantungan terhadap harta benda. Dengan mendekati kondisi
tubuh-tubuh miskin, modal simbolik tubuh kian terakumulasi. Modal simbolik
111
memberikan kekuatan tubuh suci saat menyampaikan kebenaran, sehingga bersifat
subversif terhadap masyarakat dan pemimpin setempat.
Sementara bab ini berisikan pengelolaan diri sendiri agar homolog dengan
tubuh miskin, bab berikutnya berupaya mengajak tubuh-tubuh miskin untuk
membebaskan diri dari kelas kapitalis. Dalam kemiskinan sosialis diciptakan
arena obyektif agar memungkinkan tubuh miskin merebut alat produksi kelas
kapitalis.
112
BAB 7
DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN SOSIALIS
Diskursus dan praktik kemiskinan sosialis menampung kelompok marxis,
neo marxis, sosialis demokrat, dan pihak lain yang memandang hubungan dengan
pemegang kapital sebagai penyebab kemiskinan. Kemiskinan muncul sebagai
konsekuensi interaksi kelas bawah (marhaen, kromo, petani kecil, buruh tani, dan
sebagainya) dengan kelas atas dari masyarakat kapitalis dan feudal. Sebagai
indikasi kelas bawah, menurut Sensus Penduduk 2010 terdapat 34.746.979 buruh,
karyawan dan pegawai.1 Sebagian lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga
mengadvokasi tubuh miskin untuk merebut hak-hak pembangunan (Wahono
2005: 4-9). Deskripsi diskursus ini dapat diambil dari pemahaman sosiologis Aidit
tentang pedesaan (Edman 2007: 127-128).
Indonesia adalah sebuah bangsa yang dikendalikan oleh baik sistem kapitalis maupun sistem feudalisme, meskipun tentu saja feudalisme yang murni 100% sudah tak lagi di sini. Akan tetapi sisa-sisa feudalisme yang terpenting dan paling serius masih ada di Indonesia sampai dengan saat ini. Hal ini dapat kita buktikan dengan fakta: Pertama, masih tetap berlangsungnya hak-hak monopoli pada tuan-tuan tanah besar atas tanah-tanah mereka dikerjakan oleh para petani –yang merupakan sebagian besar orang yang tidak mungkin dapat memiliki tanah dan karenanya terpaksa harus menyewa tanah dari tuan tanah dengan berbagai macam persyaratan; Kedua, adanya sistem pembayaran sewa tanah dalam bentuk hasil-hasil panenan kepada para tuan tanah, di mana akibat-akibatnya menimbulkan sejumlah besar daripada sebagian besar kaum petani yang harus hidup dalam kemiskinan; Ketiga, adanya sistem sewa tanah dalam bentuk melakukan pekerjaan pada tanah-tanah milik tuan tanah yang telah menempatkan sebagian terbesar daripada kaum petani pada kedudukan seperti para budak. Terakhir, adanya penumpukan hutang yang demikian membebani sebagian besar kaum petani dan telah menempatkan mereka sebagai para budak milik para tuan tanah.
1 Diunduh dari http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=291&wid=0 pada tanggal 29 Desember 2011 pukul 13.33 WIB.
114
Wilayah pascakolonial memang bukan termasuk pembicaraan Karl Marx –
sumber pemikiran utama dalam diskursus dan praktik ini. Marx dan Engels (1960:
82-95) sekedar menunjukkan perkembangan perjuangan kelas, dimulai dari masa
komunisme primitif, masa feodalisme, masa kapitalisme, dan diakhiri dengan
masa sosialisme. Dengan struktur perekonomian utama masih dalam bidang
pertanian, Indonesia masuk dalam masa feodalisme. Akan tetapi kolonialisme
telah mengenalkan kapitalisme dalam industri dan jasa. Bergabungnya kedua
masa tersebut menunjukkan musuh bersama kelas bawah ialah kelas feodal dan
kelas kolonialis atau neokolonialis.
Kapitalisme yang berujud kolonialisme atau globalisme berasal dari luar
negeri, sedangkan feudalisme berkembang dari sejarah Indonesia sendiri. Hal ini
diindikasikan dari munculnya wong cilik sebagai homologi tubuh miskin yang
sudah ada sebelum penjajahan (Margana 2004: 45, 810).
Bab kaping 14 Kepala ora kena amundhut sakliyane pepundhutan utawa luwih seka pamundhute kang duwe bumi, atawa luwih sakkelare uwong cilik, kelar anyangga papundhutane mau, saupama oleh parentahe kang duwe bumi dikon jaluk luwih seka bobote, atawa papundhutan kang ora pantes, iya enggal awehya weruh marang kepala dhistrik. Terjemahan: Bab 14 Kepala desa tidak berhak meminta pungutan lebih dari pungutan orang yang mempunyai tanah atau lebih dari kemampuan rakyat kecil dalam membayar pungutan tadi, apabila memperoleh perintah dari orang yang mempunyai tanah untuk meminta lebih dari aturannya atau pungutan yang tidak pantas, harus memberitahukan kepala distrik. (Kutipan naskah nomor 84.3 tentang gambaran tugas para kepala desa, seperti bekel, panglawe, paneket, dan penatus di seluruh wilayah Keraton Yogyakarta)
Pemikiran sosialisme diperoleh dari Eropa, namun sejak awal
pertumbuhannya selalu diupayakan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Dalam
upaya penyelarasan tersebut, sosialisme dipandang telah ada di desa sebagaimana
muncul pada musyawarah untuk memecahkan permasalahan (Tjokroaminoto
115
2008: 47-114). Gotong royong di antara anggota masyarakat juga telah
dikembangkan untuk membangun desa.
Sosialisme juga dikaitkan dengan Islam. Nabi Muhammad dipandang
menerapkan sosialisme dalam kehidupan rumahtangga hingga bernegara
(Tjokroaminoto 2008: 47-114). Dalam arena rumahtangga posisi istri setara
suami, dan iapun dapat berbeda pendapat dari suami, bahkan menceraikannya.
Dalam bernegara, sosialisme dioperasikan melalui pewarisan harta agar tidak
terakumulasi pada anak saja, pelarangan rente, monopoli, perdagangan spekulasi,
hingga judi. Sosialisme dinilai dilaksanakan sahabat nabi hingga imperium Islam.
Dalam penyesuaian tersebut teori kelas dari Karl Marx digunakan, namun
dimanipulasi sesuai praktik di Indonesia. Negara, misalnya, dapat terpisah dari
kapital –sebagaimana ditunjukkan oleh perlawanan Soekarno terhadap Amerika
Serikat, Inggris, dan Belanda—karenanya bersama kelas miskin menghadapi
musuh bersama berupa neo-kolonialisme. Hanya ketika negara berhomologi
dengan kelas kapital –ini yang dicontohkan Marx dan Engels (1960: 79-81)—
barulah keduanya sama-sama menjadi musuh kelas miskin.
Menghisap Tubuh
Dikotomi pemikiran untuk mengembangkan diskursus kemiskinan sosialis
berupa marhaen-kapitalis dan sadar-hegemonis. Dikotomi marhaen-kapitalis
mampu menjelaskan hierarki kelas sosial, sementara dikotomi sadar-hegemonis
mengembangkan dinamika untuk menyusun solidaritas di dalam kelas sosial itu
sendiri (Gambar 10).
Tubuh-tubuh masyarakat dipisahkan sebagai kelas atas dan kelas bawah.
Tubuh kelas bawah turut berproduksi, namun operasi kekuasaan dalam produksi
telah menghisap surplus tersebut ke arah kelas atas. Mekanisme kekuasaan untuk
menghisap tersebut beroperasi melalui pemilikan benda-benda yang berfungsi
sebagai alat produksi, dan benda-benda tersebut melekat pada tubuh kelas atas.
Kekuasaan melalui alat produksi berjalan dalam arena produksi.
Dalam feudalisme, tubuh raja memancarkan kekuasaan yang ditangkap
oleh priyayi. Wujud dari kekuasaan priyayi ialah seperangkat tubuh-tubuh yang
116
dinamakan cacah, yang bertugas menghasilkan surplus dari sebidang tanah
pemberian raja (Onghokham 1984: 3-27; Agusta 2010a: 897-915). Peringkat
kekuasaan priyayi terekam dari jumlah cacah yang dikelolanya. Surplus yang
dimiliki priyayi berasal dari hasil produksi tubuh cacah dikurangi upeti untuk raja
(Margana 2004: 68-69, 503-504).
KapitalisNeokolonial/Neoimperialisme
Feodal
MarhaenTerjajah
Wong cilik
Sadar Hegemonik
Gambar 10. Dikotomi Kemiskinan Sosialis
Bab 3 Para priyayi wenang angerehake gawene bekel lan wong cilik, kang dadhi lungguhe mau kaya dhudhuk lumpur, kesrek cecek, tuk tunguk, pondhong pikul karepe priyayi dhewe, utawa priyayi mau nglakoni gawene negara… Bab 5 Para priyayi wenang mundhut pawulu-wetune bumi gadhhuhane lungguhe mau kaparokake, iyo para bekel ora kena mopo, tamtu nyumanggakna ing blabage, ananging para priyayi wajib ambayara alif apa ing lumrahe desa kono … Terjemahan: Bab 3 Para priyayi berwenang menggunakan tenaga bekel dan rakyat kecil yang menjadi bawahannya, seperti untuk pekerjaan dhudhuk lumpur, kesrek cecek, tuk tunguk, pondhong pikul yang sudah jelas merupakan kewajiban priyayi sendiri atau priyayi tadi melaksanakan tugas kerajaan… Bab 5
117
Para priyayi berhak mengambil hasil bumi dari tanah lungguhnya dengan cara maro atau mengambil pajak terserah sesuai yang disenangi, jika sawah tadi dibagi, para bekel harus menurut, dan harus menyerahkan kepadanya blabagnya. Akan tetapi para priyayi wajib membayar alip sesuai adat yang berlaku di desa tersebut… (Kutipan dokumen 14.a berupa peraturan priyayi yang mendapatkan lungguh (patuh), biasa dikenal sebagai Pranatan Patuh. Peraturan dikeluarkan Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 23 Juni 1862).
Selama masa kolonial, kapitalisme menyatu dalam tubuh penjajah. Dalam
kolonialisme, mekanisme penghisapan surplus berlangsung melalui segmentasi
posisi dalam proses produksi (Boeke1953: 32-38 ). Segmentasi telah menguatkan
batas-batas kelas, sehingga memustahilkan peningkatan posisi dari pribumi ke
kelas atas. Bersamaan dengan hal tersebut, surplus pribumi semakin lancar
mengalir kepada kelas atas di negara jajahan hingga melintasi samudera ke negara
induk.
Penyesuaian kelas bawah ala Marx dengan kondisi di Indonesia
berlangsung dalam konsep kromo, marhaen, petani kecil, buruh tani, nelayan
kecil, orang miskin. Konsep-konsep ini merupakan tubuh kelas bawah yang dapat
dilekati sedikit alat produksi atau proletar yang hampa dari peralatan tersebut.
Konsep kromo dikenal setidaknya sejak kerajaan Mataram Islam pada abad ke 16
(Agusta 2010a: 897-915), sedangkan konsep marhaen diciptakan Soekarno pada
akhir 1920-an (Soekarno 1965: 167-170, 245-248). Konsep petani kecil, buruh
tani, nelayan kecil dan orang miskin sebagai kelas bawah digunakan akhir-akhir
ini (Wahono 2004: 1-19). Bagaimanapun, beragam tubuh kelas bawah tersebut
tidak mampu menghasilkan surplus yang mencukupi untuk hidup keluarganya.
Percakapan Soekarno kepada petani kecil bernama Marhaen menjelaskan hal ini
(Saksono 2008: 48-49).
"Siapa yang punya semua (dari) yang engkau kerjakan
sekarang ini?". Jawab dia kepada Soekarno, "Saya Juragan". Kemudian Soekarno bertanya lagi, "Apakah Engkau
memiliki tanah ini bersama-sama yang lain?". "O, tidak Gan. Saya sendiri yang punya". "Tanah ini Kau beli?". "Tidak. Warisan Bapak kepada anak turun temurun".
118
"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tetapi apakah kepunyaanmu juga?".
"Ya, Gan". "Dan cangkul". "Ya, Gan". "Bapak?". "Saya punya, Gan". "Untuk siapa hasil yang Kau kerjakan?". "Untuk saya, Gan". "Apakah cukup untuk kebutuhanmu?". Jawab petani itu dengan kalimat tanya, "Bagaimana
(mungkin) sawah yang begitu kecil ini dapat cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?".
Soekarno melanjutkan pertanyaan, "Apakah ada yang dijual dari hasilmu?".
"Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual".
"Kau mempekerjakan orang lain?". "Tidak, Juragan, saya tidak bisa membayarnya". "Apakah Engkau pernah memburuh?". "Tidak, Gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi
jerih payah saya semua untuk saya". Bung Karno kemudian menunjuk ke pondok kecil, "Siapa
yang punya rumah itu?". "Itu gubuk saya, Gan. Hanya gubuk kecil saja, tetapi
kepunyaan saya sendiri".
Haji Misbach mencatat, bahwa kekuasaan menyamarkan operasinya pada
tubuh kelas bawah melalui penciptaan serangkaian kesadaran palsu (Hiqmah
2008:41). Penghilangan perbudakan pada akhir abad ke 19, misalnya, diikuti
dengan pembentukan buruh-bebas (free-labour). Perubahan status sosial tersebut
tidak memperbaiki keadaan kelas bawah, melainkan mempermudah penghisapan
surplus buruh melalui upah yang sangat rendah dan ketiadaan perlindungan antara
individu buruh dan kelompok pengusaha penjajah. Tubuh kelas bawah juga
diidentifikasi dengan kemalasan, dan bisa dicukupi dengan konsumsi uang
sebenggol (f 2,5) sehari (Soekarno 1965: 177-180).
Tubuh marhaen tidak hanya beridentitas buruh industri, melainkan juga
petani kecil dan buruh tani. Meskipun telah merujuk petani dan buruh tani di
pedesaan, namun perhatian yang kuat terhadap mereka baru muncul sejak dekade
1950-an. Walaupun menjadi salah satu partai pemenang Pemilu 1955, pengaruh
Partai Komunis Indonesia (PKI) di industri dan perkotaan kian terdesak oleh
119
Angkatan Darat. Partai kemudian mengalihkan perhatian kepada petani dan buruh
tani di pedesaan. Tidak sepenuhnya menganut teori Marx, peralihan subyek partai
ini diikuti dengan penguatan pengaruh pemikiran Lenin dalam menggerakkan
petani untuk revolusi Bolshevik di Rusia.
PKI membuka hubungan yang erat dengan organisasi petani bernama
Barisan Tani Indonesia (BTI) sejak 1950-an. Rancangan undang-undang agraria
sempat diusulkan PKI pada Desember 19581, diterima berbagai partai lain dan
dicanangkan sebagai Undang-undang Agraria pada November 1959. Undang-
undang ini segera direvisi kembali oleh akademisi, partai-partai dan pemerintah,
lalu diresmikan sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. Salah satu
aspek penting dari undang-undang pokok tersebut ialah pembatasan luas lahan
yang bisa dimiliki petani. Kelebihan luas lahan harus diambil oleh pemerintah
dengan kompensasi tertentu, lalu dibagikan kepada penggarap dan buruh tani.
BTI dan PKI bergerak lebih lanjut, dengan menyelenggarakan penelitian
partisipatoris pada awal dekade 1960-an. Penelitian tentang jumlah, identitas dan
lingkungan tubuh-tubuh marhaen dikerjakan sekaligus untuk menyadarkannya
dari penghisapan kelas atas. Selain untuk memahami situasi obyektif dinamika
UU Pokok Agraria (Mortimer 2011: 390), penelitian juga membantu
pengintegrasian kader partai ke kalangan petani, serta melatih kader partai dalam
penelitian sosial yang cermat. Mereka menggunakan metode tiga bersama agar
kader partai berintegrasi dengan kelas marhaen, yaitu tinggal bersama kaum tani,
sudah bersantap semeja dengan mereka, sudah bekerja bersama mereka (White
2005: 116-118). Aidit mencatat kehendak meneliti berikut ini (Edman 2007: 141).
Hal ini dimaksudkan untuk mempelajari bentuk-bentuk khusus mengenai kelas-kelas di pedesaan dan hubungan-hubungan yang terjadi antara kelas-kelas tersebut dan terutama mengenai bentuk dan cara-cara eksploitasi yang dilakukan oleh para tuan tanah dan para lintah darat terhadap para petani atau berbagai bentuk eksploitasi yang dialami oleh para buruh, para petani miskin dan para petani menengah.
1 Walaupun demikian, diketahui adanya klaim kebenaran lainnya –yang sebaliknya sepenuhnya menghilangkan peran PKI. Klaim tersebut mengetengahkan peran BTI namun sebelum bergabung dengan PKI, peran akademisi, serta berbagai panitia bentukan pemerintah untuk menyusun rancangan undang-undang agraria tersebut. Setelah diusulkan pemerintah dalam sidang parlemen, disetujui bentuknya adalah UU Pokok Agraria (Wiradi 2000: 132-139).
120
Penelitian yang berorientasi praktik ini telah menghilangkan tubuh-tubuh
tuan tanah dalam kelompok petani di desa. Agitasi selama penelitian berlangsung
juga telah menyadarkan kelas marhaen akan penghisapan surplus ekonomi di
sawah, melatihnya untuk berorganisasi secara rasional, serta menguatkan
keberanian untuk melawan kelas kapitalis. Bagi kader partai yang sebelumnya
terbiasa mengelola buruh industri di kota, pengiriman ke desa kian menguatkan
pengetahuan obyektif tentang desa serta menguatkan kebersamaan antara kelas
atas dan kelas marhaen. Penelitian ini menghasilkan rincian lawan bersama yang
berasal dari dalam negeri, yaitu tuan tanah, rentenir, tukang ijon (membeli harga
pertanian sangat murah sebelum panen), kelas menengah sebagai penghubung
kota dan desa, kapitalis birokratik, serta agen perusahaan negara yang memaksa
petani untuk menjual tanamannya kepada perusahaan tersebut. Hasil penelitian
memberi konsekuensi agar petani kelas bawah memutuskan hubungan dengan
kelas feudal di pedesaan, sebagaimana dituliskan Aidit berikut ini (Edman 2007:
144).
… dalam semua bentuk aktivitas, partai akan mendasarkan diri pada buruh pertanian, para petani miskin, ikatan-ikatan dengan para petani menengah dan upaya netralisasi terhadap para petani kaya dan sebagainya sebagai upaya untuk mengucilkan para tuan tanah dan secara bertahap melakukan serangan terhadap mereka.
Hal ini … menuntut seluruh kader petani agar menjauhkan diri mereka dari para tuan tanah dan para lintah darat dalam kehidupan mereka sehari-hari dan juga secara bertahap memutuskan hubungan-hubungan mereka dengan kelas-kelas penghisap (exploiting classes) di desa-desa.
Hasil penelitian dikembangkan menjadi petunjuk dan pedoman untuk
melaksanakan aksi sepihak selangkah demi selangkah. Memilih titik moderat, BTI
dan PKI mengharapkan aksi-aksi tersebut belangsung adil, menguntungkan, dan
bergerak di batas-batas yang sudah ditetapkan pemerintah, berfokus pada hasil
kecil namun efektif, disertai dengan agitasi terus menerus.
Aksi-aksi sepihak tidak bisa sepenuhnya sesuai dengan peraturan
perundangan, justru di lapangan aksi dilakukan karena peraturan perundangan
tidak berjalan. Tuan tanah dan pemerintah daerah menghalang-halangi
121
pembentukan panitia reforma agraria di kecamatan, atau panitia tidak
menyelesaikan pekerjaan untuk mendata tanah yang melebihi ketentuan luas
pemilikan dalam UU Pokok Agraria. Dalam kondisi sulit tersebut, aksi sepihak
telah efektif dalam mengambil alih kepemilikan lahan tuan tanah, dan
membagikannya kepada petani miskin dan buruh tani. Pada pertengahan dekade
1960-an di wilayah Bandung, Cirebon, Indramayu, dan Karawang, aksi sepihak
sudah menghasilkan 52 ribu kesepakatan, dan 21.750 di antaranya sudah tercapai
dalam bentuk tertulis. Setelah aksi sepihak dilancarkan, di Jawa Barat diperoleh
kesepakatan bagi-hasil sebesar 51.750. Menurut kantor pemerintah, sebanyak 21
ribu Ha telah dibagikan kepada 33.573 penggarap. Aidit menulis perihal aksi
sepihak berikut ini (Edman 2007: 137)
Terdapat beberapa langkah yang harus kita tempuh dalam rangka menjalankan tanggung jawab partai kita yang paling penting; tanggung jawab untuk melakukan penghancuran terhadap sisa-sisa feodalisme, mengobarkan revolusi agraria yang anti feudal, dan merebut tanah-tanah milik para tuan tanah dan membagi-bagikannya secara cuma-cuma kepada pada petani sebagai hak milik pribadi mereka. Revolusi agraria ini adalah esensi daripada revolusi rakyat yang demokratis di Indonesia.
Aksi sepihak dan pemilikan tanah pribadi merupakan transisi menuju
kolektivitas lahan yang dikelola negara untuk para petani. Aidit menulis sebagai
berikut (Edman 2007: 132)
Apakah dengan memberikan tanah kepada para petani untuk dijadikan sebagai hak milik pribadi mereka akan berarti bahwa sistem kepemilikan pribadi adalah sistem kepemilikan yang terbaik dan tidak akan diubah? Tentu saja tidak! Kita tahu bahwa sebagian besar buruh tani dengan berdasarkan berbagai pengalaman mereka, setelah kemenangan revolusi agraria, akan sampai pada kesimpulan bahwa menggabungkan tanah sempit dan segala perlengkapan yang mereka miliki ke dalam sebuah pertanian kolektif besar yang lebih luas yang mencakup wilayah yang luas dan mendapatkan bantuan dari negara dari negara dalam bentuk traktor-traktor, mesin-mesin pemanen dan alat-alat pertanian lainnya. Dengan kata lain, para buruh tani kita akan mengikuti pola pertanian kolektif tersebut yang merupakan jalan menuju pembangunan masyarakat sosialis. Berbagai pengalaman para petani, yang didukung oleh kepemimpinan dan berbagai pelatihan
122
yang dilakukan oleh partai akan menyadari akan hal tersebut sehingga mereka secara sukarela akan meninggalkan prinsip-prinsip kepemilikan tanah secara perorangan.
Hanya di Jawa Timur pada awal tahun 1965 aksi sepihak kelas marhaen
mengalami hambatan dan tindakan balasan dari kaum santri, terutama anggota
Nahdlatul Ulama (NU). Sejak awal 1960-an, pesantren seringkali menerima
sumbangan lahan yang sangat besar dari tuan tanah, terutama untuk meloloskan
diri dari ketentuan pembatasan lahan dalam undang-undang agraria. Wilayah
konflik meliputi Banyuwangi, Jember, Jombang, Kediri, Sidoarjo, Bangil. Aksi-
aksi kekerasan meliputi penikaman, pembacokan, penculikan, membakar rumah,
merusak sawah. Kelas marhaen sendiri masih mengalami hambatan psikologis
untuk melawan kiai di desanya sendiri, sehingga mereka bergerak ke desa-desa
lain (Kuntowijoyo 1994: 11-27). Argumen keagamaan menjadi landasan tindakan
santri, seperti PKI menyerang pesantren sehingga umat Islam perlu
menghilangkan golongan "ateis" ini (Sulistyo 2011: 194-219). Pembunuhan
kepada anggota BTI berlangsung lebih hebat menjelang pergantian pemerintahan
dari Soekarno kepada Soeharto, terutama sepanjang akhir tahun 1965 dan awal
tahun 1966.
Merebut Hak Tubuh Miskin
Tenggelam selama satu dekade, diskursus kemiskinan sosialis muncul
kembali dalam tulisan akademisi dan aktivitas mahasiswa serta lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Substansi diskursus berkembang menuju arah, pertama,
penghisapan surplus petani dan golongan miskin oleh perusahaan multinasional
atau dalam arena globalisasi. Kedua, penyadaraan hak-hak asasi petani dan orang
miskin yang diperluas, serta advokasi untuk mendapatkan hak-hak tersebut.
Terlihat identitas kromo dan marhaen melemah, dan berganti menjadi petani
(kecil) dan orang miskin.
Teori-teori keterbelakangan neomarxis dipraktekkan dalam analisis
ketergantungan elite Indonesia terhadap perusahaan multinasional (Arif 2001: 7-
36). Donor internasional juga turut menghisap surplus orang miskin melalui
123
mekanisme penagihan utang luar negeri untuk pembiayaan pembangunan di
Indonesia. Dalam konteks hubungan tersebut, elite di dalam negeri turut
menghisap surplus ciptaan petani dan orang miskin, terutama melalui korupsi dan
pungutan liar (Arif 2006: 157-220).
Bank Dunia ternyata lebih mengutamakan pengurangan permintaan agregat melalui pengurangan pengeluaran pemerintah daripada peringanan beban hutang luar negeri Indonesia. Pembayaran beban hutan luar negeri setiap tahun telah sangat banyak mengurangi permintaan agregat di dalam negeri (Arif 2001: 36).
Berkaitan dengan donor internasional, berkembang pandangan bahwa
kemiskinan semakin dibesarkan hingga ke tingkat global. Pemberdayaan orang
miskin dinilai sebagai pembukaan pasar bagi mereka atau neoliberal, sekaligus
langsung mengaitkan tubuh-tubuh miskin dengan perusahaan multinasional dari
negara maju (Carrol 2010: 84-101; Cavanagh, Retallack, Welch 2004: 81-90;
Pontoh dkk. 2000: 40-128; Rich 2004: 105-120). Program pemberdayaan
dipandang sebagai mekanisme kekuasaan untuk membuka jalan negara maju
masuk langsung ke tubuh-tubuh miskin. Sebagaimana pernah dinilai Haji Misbach
pada awal dekade 1920-an di atas, globalisasi mengulang pembentukan identitas
buruh bebas –atau kini manusia bebas—yang terpencar-pencar (tidak ada
kelompok tubuh miskin di tingkat kecamatan hingga nasional) sehingga posisinya
sangat rendah ketika berhadapan dengan donor internasional.
Organisasi global seperti serangkaian putaran General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) dan pembentukan World Trade Organization (WTO)
dipandang sebagai pembuka pintu pemasaran produk pedesaan negara maju ke
negara miskin, sekaligus upaya mematikan usaha ekonomi warga desa di
Indonesia (Bello 2004: 95-104; Setiawan 2003: 86-106; Shiva 2004: 137-148;
Wiryono 2003: 187-204). Untuk membendung perdagangan bebas yang
merugikan tersebut, LSM melaksanakan advokasi kepada pemerintah dalam
merumuskan kebijakan perdagangan yang menguntungkan petani.
Adapun advokasi kepada petani dan orang miskin diarahkan pada
perluasan makna hak asasi manusia (Wahono 2004: 1-19). Hak asasi bagi tubuh
124
petani dan orang miskin berupa berbagai program pembangunan desa dan layanan
usahatani. Penyadaran dilakukan kepada tubuh tani dan orang miskin, bukan
sekedar guna menumbuhkan kebutuhan akan program pembangunan dan layanan
usahatani, namun secara mendalam memandang hal-hal tersebut sebagai hak yang
harus direbut. Di lingkungan yang berlawanan serta tanpa organisasi terstruktur
hingga ke tingkat nasional, advokasi tersebut sulit berhasil, atau berhasil dalam
jangka waktu yang lama –lebih dari 5 tahun (Wahono 2005: 4-9). Tahapan kritis
menuju pemahaman hak orang miskin disampaikan Wahono (2005: 9).
Begitulah masyarakat Lo-Rejo, bermula dengan pendidikan penyadaran partisipatif lewat CO-PAR yang dilanjutkan dengan pengorganisasian diri mulai dari 12 petani pemberani, telah berhasil mentransformasikan "kebutuhan" menjadi "hak yang diperjuangkan" (bukan sekedar sebagai hak yang diimpikan, alias "keinginan").
Usaha pentransformasian "keinginan" menjadi "kebutuhan" melalui pendidikan penyadaran partisipatif, yang kemudian disambung dengan usaha pentransformasian "kebutuhan" menjadi "hak yang diperjuangkan" melalui pengorganisasian masyarakat, mengangkat harkat dan martabat masyarakat akar rumput. Bukan suntikan dana atau modal, bukan mobilisasi massa, bukan pula instruksi dari atas, tetapi pendidikan penyadaran dan pengorganisasian. Dalam kerangka aksi dan refleksi, pendidikan penyadaran dan pengorganisasian tidak mungkin kalau tidak bertolak dari aksi dan diarahkan oleh refleksi. Aksi itu adalah kenyataan sehari-hari yang dihadapi masyarakat, yang kemudian direfleksikan dalam bentuk analisis sosial, sehingga masyarakat mentransformasikan apa yang menjadi "keinginannya" menjadi apa yang sesungguhnya mereka "butuhkan". Akhirnya berhadapan dengan berbagai macam halangan dari luar dirinya, masyarakat haruslah kembali ke aksi, yakni mentransformasikan "kebutuhan" menjadi "hak yang harus diperjuangkan". Dari proses itu, biasanya inisiatif-inisiatif baru akan muncul dan yang lama akan diberi relevansi barunya, keduanya ditangkap oleh masyarakat sebagai usaha-usaha yang harus diperjuangkan. Apalagi baik pemerintah daerah maupun perusahaan swasta tidak pernah memberikan hak masyarakat, kendati pun mereka menuntutnya. Hak adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, diperebutkan, maka tidak hanya "kebutuhan" bertemu "hak", tetapi "kebutuhan" harus ditransformasikan masyarakat setelah mereka mengalami pendidikan penyadaran dan mengorganisasikan dirinya, sehingga "kebutuhan" diyakini sebagai "hak yang harus diperjuangkan".
125
Diskursus kemiskinan sosialis dikembangkan dari perbedaan kelas atas
dan bawah, di mana kekuatan hubungan berlangsung secara horizontal dalam
kelas yang sama. Akan tetapi di pedesaan hubungan dapat berlangsung secara
vertikal, terutama menurut tradisi keagamaan. Ikatan santri dan kiainya dapat
sangat kuat, sehingga mampu melawan reforma agraria dari aktivis Barisan Tani
Indonesia (BTI). Selain itu, kemunculan petani dari kelas menengah dan atas
dalam organisasi petani menyulitkan tindakan revolusioner, seperti aksi sepihak
pendudukan lahan mereka sendiri (Mortimer 2011: 357, 394, 407-414).
Terlalu banyak kelompok kepemimpinan partai di tingkat
kecamatan dan desa dibentuk dari orang-orang yang akar sosialnya petani kaya ... yang awalnya mengambil perlindungan dari api gerakan petani revolusioner, tetapi yang, karena tingkat budaya mereka lebih tinggi, sanggup menempati posisi-posisi terkemuka dalam waktu singkat di tubuh PKI dan BTI sehingga berhasil meraih kepercayaan para petani untuk beberapa waktu tapi kemudian terbukti mengkhianati perjuangan revolusioner pada akhirnya
Ikhtisar
Diskursus dan praktik kemiskinan sosialis menemukan tubuh-tubuh
miskin setelah surplus produksi yang dihasilkannya dihisap oleh kelas kapitalis.
Berkali-kali konsep sosialisme dari Barat diadaptasikan untuk masyarakat
Indonesia, hingga menemukan kelas miskin terdiri atas marhaen, kromo, petani
kecil, buruh tani, nelayan kecil, buruh nelayan, di samping proletar. Adapun kelas
kapitalis terdiri atas kolonialis, golongan feudal, dan pendukung perdagangan
bebas dalam globalisasi.
Melalui penelitian partisipatoris, ditemukanlah tubuh-tubuh miskin. Oleh
karena tubuh miskin sendiri awalnya tidak menyadari penghisapan surplus
dirinya, maka arena penanggulangan kemiskinan mula-mula dipenuhi tindakan-
tindakan agitasi untuk menyadarkan penghisapan tersebut. Berpandangan surplus
sebagai hak milik tubuh miskin, maka setelah tubuh miskin menyadari mekanisme
penghisapan dalam proses produksi, selanjutnya tubuh-tubuh tersebut diajak
untuk merebut alat produksi. Penguasaan alat produksi, seperti tanah, perahu,
126
peralatan mekanisasi, dan sebagainya, dipandang sebagai jalan untuk keluar dari
kemiskinan.
Sementara dalam bab ini diskursus kemiskinan sosialis mengajak tubuh
miskin untuk merebut alat produksi dari kelas kapitalis, bab berikutnya tubuh
miskin diajak untuk mandiri. Dalam diskursus dan praktik potensi golongan
miskin tersebut, tubuh-tubuh miskin diajak oleh pendamping untuk bersatu dalam
kelompok miskin sendiri.
BAB 8
DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI GOLONGAN MISKIN
Diskursus dan praktik potensi golongan miskin mengoperasikan kekuasaan
untuk membuka berbagai akses guna memunculkan tubuh-tubuh miskin. Akses-
akses tersebut menjadi modal bagi tubuh miskin untuk menunjukkan potensinya.
Mekanisme pembalikan pemikiran dilakukan akademisi dan aktivis
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam diskursus dan praktik ini. Pertama,
tubuh-tubuh miskin tidak ditenggelamkan dalam penghitungan statistika maupun
persangkaan budaya, melainkan justru diajak untuk muncul bersama pendamping.
Dalam arena proyek penanggulangan kemiskinan, golongan miskin muncul dalam
menentukan subyek kemiskinan sendiri. Kedua, tubuh-tubuh miskin tidak
dicurigai, sebaliknya dipercaya untuk memecahkan persoalannya sendiri. Interaksi
dalam kelompok mengarahkan munculnya kekuasaan yang menguatkan
solidaritas sosial, dan diarahkan untuk mencapai kemandirian golongan miskin itu
sendiri. Ketiga, golongan miskin tidak dipandang sebagai Si Lain (Other)
melainkan menjadi subyek kemiskinan sendiri, yang biasa disebut sebagai orang
dalam. Pe-Lain-an justru diterapkan kepada pihak-pihak di luar golongan miskin,
sehingga berkonsekuensi pada tugas orang luar untuk mendekati golongan miskin
tersebut –bukan tugas golongan miskin untuk beradaptasi dengan orang luar.
Orang luar menjadi diperlukan (penyuluh, pendamping) agar bersama-
sama mewujudkan potensi golongan miskin menjadi kekuatan/kekuasaan nyata.
Potensi hendak dikembangkan setinggi-tingginya, baik dari level individual,
kelompok, hingga gabungan kelompok (pada pemikiran peningkatan kapasitas
petani, nelayan dan koperasinya), pada level lokal, regional, nasional dan
internasional (dalam kegiatan kredit mikro). Diskursus ini memang berkembang
melalui seminar dan penerbitan ilmiah, serta jaringan ilmuwan dan aktivis lokal
hingga global.
Kekuasaan lebih utama dioperasikan sebagai kekuatan untuk
meningkatkan solidaritas antar pihak dan antar lapisan sosial –bukan terutama
untuk mendominasi pihak lain. Masyarakat sendiri dipandang terstruktur secara
128
hierarkis. Golongan miskin ditentukan pada lapisan terbawah dari masyarakat
tersebut. Kekuasaan untuk meningkatkan solidaritas beroperasi ketika agensi
dalam struktur tersebut memiliki kemampuan untuk bergerak antar lapisan sosial.
Dibandingkan dengan konsep orang miskin, lebih dikenal konsep
golongan miskin, golongan lemah, golongan terbawah dari masyarakat. Subyek
kemiskinan mencakup lapisan terbawah dari masyarakat, yang dapat berupa
petani berlahan sempit, buruh tani, buruh industri kecil, pengangguran. Namun
demikian, karena seringkali menggunakan data individu miskin, dapat
diperkirakan bahwa diskursus dan praktik potensi golongan miskin diterapkan
pada 13 persen atau 31 juta penduduk miskin di Indonesia.
Penyebab jatuhnya mereka pada posisi terbawah ialah ketidaksamaan
sosial (social inequality) yang bersumber dari ketidaksamaan akses terhadap
berbagai aspek pola nafkah. Tubuh-tubuh tersebut bukanlah miskin dalam makna
tidak memiliki barang dan jasa (the have nots), namun disebabkan oleh akses
kepada penghidupan yang tidak merata dalam masyarakatnya.
Mempercayai Tubuh Miskin
Sejarah pemikiran tentang potensi orang miskin menempati posisi penting,
karena selama lebih dari dua dekade dikembangkan (1970-an hingga 1980-an)
sebelum dioperasikan dalam arena program pemberdayaan masyarakat pada
waktu berikutnya (melalui Program IDT/Inpres Desa Tertinggal yang dimulai
tahun 1993). Adapun predisposisi yang dikembangkan berupa pemikiran
dikotomis berakses-nirakses, dan solidaritas-persaingan (Gambar 11).
Diskursus potensi golongan miskin mendeteksi tubuh miskin pada
golongan terlemah dalam masyarakat (Sajogyo 1977: 10-17). Tubuh golongan
miskin bukan menunjukkan ketiadaan, melainkan masih meninggalkan jejak
kepemilikan potensi untuk mandiri. Kemiskinan mereka dimaknai sebagai
ketidaksamaan atau kesenjangan (inequality) dari golongan di atasnya (Sajogyo
2006: 261-282). Kesenjangan sosial tersebut menghambat potensi mereka, karena
ketiadaan akses untuk berkembang. Oleh sebab itu, upaya penanggulangan
129
kemiskinan diarahkan untuk memeratakan akses bagi tubuh-tubuh golongan
miskin (Supriatna 1997: 24-25).
Berakses
Nirakses
SolidaritasKelompok
PersainganIndividualistik
Gambar 11. Dikotomi Diskursus Potensi Golongan Miskin
Potensi kemandirian muncul karena dalam tubuh golongan miskin
terkandung struktur pengetahuan tersendiri, mampu mengakumulasi pengetahuan,
terutama perihal mekanisme menjadi miskin dan untuk lepas dari kemiskinan.
Konsekuensinya, tubuh golongan miskin dapat dipercaya untuk mengkaji dan
memahami kemiskinan di sekelilingnya serta memahami mekanisme untuk lepas
dari kemiskinan. Mubyarto (1997: 3) mempraktikkannya dalam Program IDT.
Filsafat yang mendasari pendekatan Program IDT adalah mempercayai penduduk miskin, bahwa apabila dibantu secara tepat mereka akan dapat "mengentaskan diri" dari kemiskinan yang mereka alami. Maka Program IDT ditekankan sebagai program pemberdayaan yang diarahkan pada upaya-upaya memperkuat dan memampukan usaha-usaha ekonomi rakyat dalam mencapai kemandirian. Kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan adalah kegiatan produksi dan sekaligus pemasaran, terutama yang sumberdayanya tersedia setempat dan dikerjakan oleh rakyat secara swadaya.
Kepercayaan kepada tubuh golongan miskin diwujudkan dengan
membuka akses partisipasi mereka dalam kegiatan dan program penanggulangan
kemiskinan. Dalam proses partisipasi tersebut, berbagai posisi sosial yang berbeda
130
hierarkinya diharapkan saling bekerjasama. Tindakan kerjasama ini mencipta
solidaritas antar posisi sosial.
Bagaimanapun kunci keberhasilan program-program penanggulangan kemiskinan adalah pada sikap keberpihakan aparat pemerintah atau birokrasi pada ekonomi rakyat dan penduduk miskin yang terlibat di dalamnya. Meningkatkan kepedulian, keberpihakan, dan komitmen warga yang tidak miskin terhadap warga yang masih hidup serba kekurangan hendaknya terus menerus kita dorong (Mubyarto 1997: 20).
Berkaitan dengan hubungan antar pihak, dalam diskursus ini dioperasikan
praktik metode partisipatoris, atau kadang-kadang dinyatakan sebagai metode
partisipatif. Metode ini menyalurkan kekuasaan untuk menghubungkan berbagai
pihak yang berbeda posisi sosial, sehingga sekaligus mengembangkan solidaritas
antar pihak. Dalam metode partisipatoris berbagai pihak yang memiliki
kepentingan berbeda saling berinteraksi sampai menghasilkan keputusan bersama.
Warga desa turut berpartisipasi dalam menganalisis kondisi lingkungan mereka
sendiri, dengan cara menyumbang gagasan dan kritik (Mubyarto 1996: 8).
Metode lainnya ialah belajar dan bertindak bersama (Participatory
Learning and Action). Dalam metode ini warga miskin dipandang kreatif dan
mampu menganalisis serta merencanakan hidupnya sendiri (Mubyarto 1996: 7).
Orang luar hanyalah berperan sebagai penyelenggara, katalis, atau pemelancar.
Metode kajian bersama (co-operative inquiry) juga bersesuaian dengan
diskursus ini, karena memandang setiap pribadi memiliki kemampuan untuk
bertingkah laku mandiri (Mubyarto 1996: 7). Oleh sebab itu setiap pihak yang
terlibat dalam kajian bersama dipandang sama-sama sebagai peneliti. Sumber
pengetahuan dan instrumennya ialah semua pihak yang terlibat langsung. Secara
spesifik, pengetahuan tersebut diperoleh dari tatap muka, hasil praktik,
pengalaman, dan yang dipresentasikan. Secara rinci metode partisipatoris sebagai
proses pengembangan solidaritas antar pihak dilaporkan Sajogyo (1997: 114-116).
… kajian bersama … telah menghasilkan kesadaran bersama yang semakin kuat akan pentingnya kebersamaan dalam mencari cara dan pendekatan yang lebih sesuai maksud pemberdayaan penduduk dalam menanggulangi kemiskinan.
131
… kajian bersama … mencairkan kekakuan komunikasi dan hubungan antarunsur penggerak pembangunan. … metode ini memiliki dayaguna praktis dalam proses pengembagan program-program yang melibatkan banyak pihak… kajian terbuka semacam ini jarang atau belum pernah dilaksanakan dalam pengembangan suatu program. Metode kajian bersama dianggap mampu untuk membangun suatu jembatan yang kukuh bagi tiga pihak, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan lembaga sukarela (LSM) yang masing-masing mempunyai pijakan berbeda dalam memecahkan persoalan pengembangan masyarakat. … komunikasi yang lebih intensif antartiga pihak menjadi suatu tuntutan di masa depan untuk menemukan pola-pola hubungan yang lebih efektif dan lebih efisien dalam mencapai tujuan bersama, suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Agensi dari lapisan atas yang telah mengembangkan diskursus potensi
orang miskin terutama akademisi, yang memiliki pemikiran alternatif untuk
pembangunan, seperti pembangunan alternatif, pembangunan partisipatoris, model
kebutuhan manusia. Di samping percaya kepada orang miskin dan mengakui
solidaritas lintas lapisan sosial, penganut diskursus ini mendeteksi kekuasaan
dalam memeratakan hasil pembangunan sebagai mekanisme penting untuk
menanggulangi kemiskinan. Pemerataan sempat terumuskan dalam kerangka
delapan jalur pemerataan plus empat jalur tambahan. Dua jalur pembuka
pemerataan ialah peluang berusaha dan peluang bekerja. Keduanya menentukan
tingkat pendapatan (pengusaha, buruh beserta rumahtangga tanggungan), tingkat
pangan, sandang, perumahan, serta tingkat pendidikan dan kesehatan yang
pelayanannya terjangkau. Tiga jalur pemerataan lainnya dimatrikskan dengan
kelima jalur terdahulu, yaitu meliputi jalur peranserta, jalur pemerataan
antardaerah kota dan desa, serta kesamaan dalam hukum. Empat jalur tambahan
yang perlu diwujudkan terlebih dahulu berupa pemerataan pola penguasaan tanah,
pola penyediaan modal usaha bagi masyarakat, pola komunikasi pengetahuan baru
bagi pengusaha dan buruh, serta pola penyediaan input baru untuk usaha yang
makin banyak berasal dari luar desa. (Sajogyo 2006: 203-206),
Telah dikembangkan pula pemikiran moral ekonomi Pancasila (Mubyarto
1987: 53). Sistem ekonomi ini bercirikan penggerak perekonomian berupa
rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Penggerak lainnya ialah kehendak untuk
132
pemerataan sosial sesuai asas kemanusiaan. Kebijakan ekonomi diprioritaskan
kepada penciptaan perekonomian nasional yang tangguh atau nasionalisme
ekonomi. Dalam kaitan ini, koperasi dipandang sebagai soko guru perekonomian
yang kongkrit. Untuk mengembangkan keadilan sosial, diperlukan pula imbangan
yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dan daerah.
Setelah krisis moneter, Mubyarto juga mengembangkan konsep ekonomi
kerakyatan. Konsep ini mencakup sistem perekonomian tradisional yang telah
dikerjakan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun (Mubyarto 1996:
46). Sistem ini bercirikan penggunakan teknologi sederhana dengan pemanfaatan
tenaga kerja dari dalam keluarga. Segala aspek di dalamnya tidak dilihat sebagai
keterbelakangan, melainkan sebagai strategi lokal untuk mengatasi masalah
setempat.
Agensi lain dari lapisan atas yang berperan penting dalam diskursus ini
ialah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Identitas swadaya dalam organisasi ini
lebih menunjukkan kemandirian, sambil menurunkan identitas sebagai organisasi
kontra pemerintah (Ismawan 1996: 49-53). Sebagian akademisi sekaligus menjadi
aktivis LSM, yang berarti sekaligus memerankan penyusunan pengetahuan formal
kemiskinan dan praktik penanggulangannya. Predisposisi pemerataan akses dapat
menjadi dorongan bagi praktik pemberdayaan, seperti pemberian fasilitas,
pelatihan penggunaannya, dan penyusunan pengetahuan bersama-sama antara
pihak luar dan golongan miskin.
Pemberdayaan menjadi saluran untuk meningkatkan akses berbagai aspek
produktif bagi golongan miskin. Dalam pemberdayaan, tubuh miskin diakui
rasionalitasnya, kebijakan lokalnya, apresiasinya terhadap alam, dan perilaku
mereka lainnya (Mubyarto 1996: 7-8). Orang luar justru belajar untuk
menghargai hal itu, sehingga diharapkan untuk berdialog serta tidak bertindak
tergesa-gesa dan menggurui.
Meskipun diyakini munculnya peluang solidaritas untuk menghubungkan
berbagai posisi sosial, disadari pula persoalan interaksional antara orang luar dan
orang dalam (Siregar 2001: 366-397). Berorientasi pada golongan miskin,
identitas mereka didefinisikan sebagai orang dalam. Kerjasama dari orang luar
bertujuan memunculkan penyadaran dan rasa kepemilikan orang dalam terhadap
133
masukan kegiatan dan program dari luar (Mubyarto 1995: 18-22). Dengan kata
lain, interaksi sosial tersebut diarahkan pada proses sosial berupa kerjasama, dan
pelembagaan (institutionalization) sampai masukan dari luar dirasakan sebagai
milik tubuh golongan miskin. Siregar (2001: 370-372) menuliskan
pengalamannya.
… pendampingan merupakan ruang dialog antara dua ranah budaya yang saling membuka diri untuk berubah, saling berbagi, dan saling mempengaruhi, yaitu antara OL (Orang Luar) dan OD (Orang Dalam). Pengertian saling-berubah di situ tidaklah terbatas pada perubahan gagasan (teori dan kebijakan), melainkan juga cara pandang dan watak kami sebagai OL terhadap beragam gejala dan fakta…..
Akhirnya, kami menyadari bahwa lebih dari apapun, kesuksesan menjalin pertemanan dengan OD lebih banyak ditentukan oleh kesediaan kami belajar mempraktikkan, melakoni, menghayati, dan menikmati proses belajar dan bertindak bersama masyarakat. Kami lebih banyak menerima ketimbang memberi.
Pada golongan miskin sendiri dikembangkan proses kerjasama atau
solidaritas, dalam bentuk pembentukan kelompok. Melalui proses sosial tersebut
anggota yang lebih mampu dapat membantu anggota yang lebih kekurangan
(Mubyarto 1995: 11). Kelompok menjadi atribut penting bagi tubuh golongan
miskin. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak hanya diarahkan untuk
memandirikan tubuh golongan miskin, namun juga pada kelompok golongan
miskin (Sajogyo 1997: 109-110).
Dalam berinteraksi dengan kelompok tubuh miskin sehari-hari, orang luar
berperan sebagai pendamping kelompok. Pada saat interaksi dalam kelompok
lemah atau tanpa kegiatan, pendamping merangsang tubuh-tubuh miskin untuk
menciptakan kegiatan sendiri. Pada saat anggota kelompok telah aktif
menjalankan kegiatannya, pendamping menyediakan akses kepada peningkatan
kemampuan modal ekonomi, pengetahuan, ketrampilan. Pendamping menjadi
mitra kerja kelompok tersebut, sehingga pendampingan dinilai sebagai profesi
yang berlangsung secara berkelanjutan, dan dapat diarahkan menjadi
pendampingan yang mandiri. Pendamping tidak dipandang sebagai unsur yang
terpisah dari program penanggulangan kemiskinan, melainkan integral yang hidup
134
dari mekanisme hubungan dengan kelompok masyarakat yang didampinginya
(Sajogyo 1997: 13). Dengan melekatnya pendamping, maka kelompok tidak harus
mulai dikembagkan dari anggota yang sudah mampu. Pendamping justru berperan
menyesuaikan persyaratan arena kelompok dengan habitus anggota, atau melatih
anggota sehingga habitusnya sesuai dengan arena kelompok. Peran minimal dari
pendamping ialah memastikan komponen program (pengembangan kelompok
masyarakat, penyaluran dana) tetap lestari dan, bila memungkinkan, berkembang
lebih lanjut. Keberlanjutan tersebut mencakup kelembagaan dan administrasi
kelompok yang meningkat, serta peningkatan jumlah dana yang dikelola. Hal ini
disampaikan Sajogyo (1997: 134-136).
Dalam rangka Microcredit Summit di Washington pada tanggal 2 s.d. 4 Februari 1997, yang hendak mengentaskan 100 juta keluarga dari kemiskinan pada tahun 2005, Indonesia mentargetkan untuk mengentaskan tujuh juta keluarga atau sekitar 28 juta orang miskin. Melalui pendekatan kelompok dan pengembangan kelembagaan pendampingan, program penanggulangan kemiskinan tujuh juta keluarga miskin itu berarti akan membentuk sekitar 280.000 pokmas, melibatkan 11.200 tenaga pendamping, 2.240 koordinator kecamatan dan 2.240 tenaga administrasi dan tergabung dalam Lembaga Pendamping Kelompok (LPK). Untuk mengoperasikan 2.240 LPK itu dibutuhkan dana Rp 138 miliar per tahun (2.240 x Rp 61.875.000)… Jumlah tersebut masih perlu ditambah dengan biaya-biaya penyiapan bagi pembentukan atau pengembangan LPK di seluruh Indonesia sebesar kurang lebih Rp 12 miliar. Sementara itu, dana yang harus dimobilisasi untuk kepentingan pengembangan usaha adalah Rp 1,225 triliun per tahun atau kurang lebih Rp 6 triliun selama lima tahun. Dari jumlah biaya sebesar Rp 138 miliar rupiah, diasumsikan akan memerlukan 5 tahun untuk mencapai tingkat keuntungan, dengan rincian kemampuan pembiayaan (cost recovery) sebagai berikut: - Tahun I mampu membiayai : 10% - Tahun II mampu membiayai : 20% - Tahun III mampu membiayai : 40% - Tahun IV mampu membiayai : 60% - Tahun V mampu membiayai : 80% - Tahun VI mampu membiayai : 120% (untung)
135
Berkelompok Menghadirkan Kekuasaan
Setelah melalui kajian akademis sejak tahun 1970-an, dan pendampingan
melalui LSM sejak 1980-an, mulai tahun 1993 diselenggarakan Program Inpres
Desa Tertinggal (IDT). Mubyarto, akademisi penganut diskursus potensi golongan
miskin mengembangkan desain program IDT tersebut. Berkompromi dengan
aparat pemerintah, konsep kelompok swadaya masyarakat (KSM) diputuskan
menjadi kelompok masyarakat (pokmas). Penghilangan konsep swadaya
dipandang sebagai pelarangan pembangunan yang sepenuhnya bottom-up
(Sajogyo 1997: 13, 122-123).
Sampai mana upaya sejumlah LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang tahun 1993 itu menunjukkan kepedulian berhasil "menjual" konsep dana bergulir dalam kelompok pada pemerintah dalam rangka "peningkatan penanggulangan kemiskinan" (istilah di buku Repelita waktu itu)? Singkat saja: LPSM secara resmi tak pernah dimintai bantuannya, dari mulai awal penggodokan konsep program maupun dalam pelaksanaannya di daerah. Di dalam program IDT yang dimulai tahun 1994 pemerintah pusat memberi kepercayaan kepada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sesuai undang-undang berlaku maupun kebijakan sentralistik sama sekali tanpa menyebut peranan LPSM. Di pusat pemeran utama adalah Bappenas dan Departemen Dalam Negeri, Dirjen PMD khususnya. Bahkan pemerintah menunjukkan kelainannya dalam hal penamaan kelompok dibentuk keluarga miskin yang menerima dana bergulir itu. Nama yang diacu LPSM adalah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), tapi yang dipakai oleh Program IDT adalah pokmas, yaitu Kelompok Masyarakat, tanpa kata "swadaya": gambaran sikap "jangan pakai nama dari kamus LPSM"? (Sajogyo 2006: 179).
Program ini melakukan berbagai pembalikan pemikiran utama pada
masanya. Tubuh miskin yang sebelumnya dimaknai secara negatif kini diberi
kepercayaan penuh, sejak penentuan siapa sajakah orang miskin di wilayahnya,
turut serta dalam perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan secara mandiri,
hingga mengevaluasi hasil kegiatan (Bappenas Tt: ii). Dibandingkan dengan nilai
dana bantuan desa tahunan saat itu sebesar sekitar Rp 6 juta, nilai program IDT
136
sebesar Rp 20 juta per desa berarti bernilai tiga kali lipat. Dana yang dinilai sangat
besar itu sepenuhnya dikelola pokmas yang berisikan tubuh-tubuh miskin.
Setiap pokmas mendapatkan sejumlah dana, biasanya senilai Rp 500 ribu
hingga Rp 5 juta per anggota, dan satu kelompok beranggotakan maksimal 20
orang. Dalam satu desa dapat terbentuk banyak pokmas. Setelah tahun pertama,
dana pengembalian dari anggota digulirkan kepada anggota lainnya, atau
digulirkan kepada pokmas lainnya. Untuk menciptakan solidaritas di antara
anggotanya, diciptakan aturan tanggung renteng, di mana kesulitan pengembalian
oleh satu anggota turut ditanggung bersama anggota lainnya.
Di samping partisipasi tubuh miskin untuk menentukan warga desa lain
yang setara dengannya, di tingkat nasional kemiskinan dipatok menurut garis
kemiskinan. Di Indonesia, Sajogyo (1988: 1-14; 2006: 247-259) mula-mula
mengembangkan garis kemiskinan untuk menentukan jumlah individu miskin
sejak tahun 1977, sebelum akhirnya pemerintah secara resmi menggunakan garis
kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) mulai tahun 1984.
Garis kemiskinan Sajogyo dan BPS sama-sama disusun menurut nilai gizi
minimal setara 2.100 Kkal per orang dalam sehari, namun demikian terdapat
perbedaan rincian dalam penyusunannya. Menurut Sajogyo (1988: 1-14), pada
saat diterapkan pada masyarakat simpangan datanya menurun hingga dua deviasi
standard, sehingga masih bisa ditoleransi hingga 1.900 Kkal per orang-hari.
Adapun proses pengumpulan data gizi dengan menggunakan pendekatan ingatan
(recall) seringkali terlapor lebih rendah (under reporting) hingga 20 persen. Atas
dasar pengalaman ini, maka garis kemiskinan terbawah dapat ditoleransi hingga
1.700 Kkal per orang-hari.
Untuk menghasilkan pengukuran yang lebih realistis, sesuai peluang
keragaman kemiskinan antar daerah, Sajogyo menyusun garis kemiskinan lebih
dari satu agar kian tajam mengukur kemajuan golongan bawah. Dirumuskannya
garis melarat (destitute), miskin sekali (very poor), dan miskin (poor).
Berdasarkan nilai tukar beras, dibedakan pula garis kemiskinan pedesaan dan
perkotaan. Di desa dipancang garis 180 kg, 240 kg, dan 320 kg setara beras per
orang-tahun. Untuk kota nilainya 270 kg, 360 kg, dan 480 kg setara beras per
orang-tahun. Demi kepraktisan, nilai rupiah bagi kalori lalu dipertukarkan dengan
137
nilai beras. Beras mudah dipahami sebagai sumber kalori dan harganya tidak
fluktuatif.
Sejak awal penentuan desa tertinggal untuk menjaring tubuh-tubuh
golongan miskin dipertanyakan. Tidak terdapat korelasi yang kuat antara lokasi
tertinggal dan permukiman golongan miskin (Sarman 1997: 33-42). Sesuai
dengan data kemiskinan dari BPS, jumlah tubuh orang miskin dalam satu provinsi
atau satu kabupaten diprediksi melalui Survai Sosial dan Ekonomi Nasional
(Susenas), bukan berupa sensus. Desa tertinggal, sementara itu, ditentukan dari
susunan variabel sensus Potensi Desa (Podes). Sebagai ganti kesulitan
menentukan jumlah orang miskin dalam satu desa melalui Susenas–dan sesuai
dengan orientasi kepercayaan kepada golongan miskin—tubuh-tubuh miskin di
tiap desa akhirnya ditentukan oleh warga desa sendiri (Mubyarto 1997: 3). Tubuh
miskin juga dipercaya untuk membentuk kelompok masyarakat (pokmas) sendiri.
Dalam salah satu survai untuk mengevaluasi pokmas IDT, diketahui
bahwa hanya seper tiga pokmas tersebut mandiri (Sajogyo 1997: 13, 122-123).
Yang menarik, selain ditemukan pokmas yang telah mandiri, juga ditemukan
tubuh anggota pokmas yang telah melepaskan identitas miskin dan sedang
berkembang lebih lanjut. Sayangnya, Program IDT tidak mengantisipasi tubuh
usahawan baru hasil berkelompok, namun me-Lain-kannya dengan sekedar
mengeluarkannya dari pokmas asal. Tidak tersusun rencana pendampingan lebih
lanjut untuk anggota pokmas yang telah mandiri, atau pengembangan jaringan
permodalannya dengan perbankan. Berbeda dari tataran diskursus yang berminat
mengembangkan potensi golongan miskin setinggi-tingginya, ternyata tataran
arena program penanggulangan kemiskinan telah membatasi diri pada
pengembangan potensi sekedar sampai keluar dari kemiskinan.
Kejanggalan muncul saat metode penanggulangan kemiskinan yang
memerlukan kemitraan dari seluruh pihak di lokasi tertentu ternyata tidak
sepenuhnya dilaksanakan. Pendamping dalam program IDT mampu bermitra
dengan tubuh miskin. Akan tetapi kemitraan sulit dijalin bersama pemerintah
daerah, swasta dan LSM. Hal ini tecermin dalam kajian bersama Program IDT
(Mubyarto 1996: 26).
138
Di sebagian pertemuan sarasehan keterpaduan PPK (Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan) yang diadakan atas usulan Tim Jisam (Kajian Bersama) P3R-YAE, di tingkat I maupun di tingkat II, diperoleh sejumlah apresiasi atas pendekatan (metode) diskusi kajian bersama yang terarah (terfokus), dalam situasi duduk sama rendah berdiri sama tinggi itu di antara peserta diskusi. Disayangkan, tidak seluruh peserta pada diskusi awal (arus turun) dapat berperan serta pada diskusi kedua (arus naik) ketika Tim Jisam Pusat P3R-YAE membawakan hasil jisam dari desa dan kecamatan kasus, sehingga dampak kumulatif tak sepenuhnya tercapai. Begitu pula ketidakhadiran unsur swasta (pengusaha) dan unsur LSM/Ormas sebagai peserta diskusi jisam dirasakan sebagai suatu kekurangan dalam proses menyertakan seluas mungkin unsur-unsur yang kepeduliannya sangat diharapkan, baik di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan maupun tingkat desa kasus.
Pemrograman menuju pendamping mandiri juga praktis berhenti. Hingga
saat ini dapat dijumpai tubuh-tubuh pendamping di tingkat kecamatan hingga
provinsi yang semula dilekati label pendamping IDT. Akan tetapi upaya
pengembangan profesi berlangsung secara individual, tidak terencana dalam suatu
program penanggulangan kemiskinan. Menurunnya diskursus potensi golongan
miskin dalam program nasional penanggulangan kemiskinan masa kini telah
menenggelamkan pernyataan-pernyataan kemandirian pendamping.
Ikhtisar
Dengan mempercayai potensi tubuh miskin untuk berkembang menuju
kemandiriannya, diskursus potensi golongan miskin memunculkan mereka, lallu
pendamping mengajaknya mengembangkan kekuasaan melalui kelompok dan
usaha ekonomis. Kekuasaan beroperasi melalui aktivitas pemerataan akses modal
usaha, akses prasarana ekonomis dan pendampingan. Dalam konteks demikian,
tubuh miskin menjadi orang dalam sementara pendamping dan pihak lain
berposisi sebagai orang luar. Hubungan keduanya mengoperasikan kekuasaan
untuk menciptakan permukaan solidaritas antar pihak dan antar lapisan sosial.
Pada bab berikutnya hendak dikemukakan diskursus dan praktik
kemiskinan produksi. Menggunakan arena yang serupa dengan praktik potensi
golongan miskin–meskipun saling dimanipulasi—ada baiknya dikemukakan
139
pembedaan, di mana diskursus potensi golongan miskin mengoperasikan
kekuasaan dalam upaya memunculkan tubuh miskin terus menerus, sementara
diskursus kemiskinan produksi menenggelamkan kembali tubuh miskin dalam
mekanisme arena birokrasi ciptaan lapisan atas.
140
BAB 9
DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN PRODUKSI
Diskursus dan praktik kemiskinan produksi memiliki homologi dengan
arena produksi industrial. Pertama, tubuh miskin dilekati identitas tidak mampu
bekerja di industri (Gronemeyer 1992: 53-69), baik karena menganggur,
terlampau tua atau jompo, atau masih kanak-kanak. Domain kemiskinan juga
mencakup tubuh-tubuh yang berupaya secara mandiri namun masih tidak mampu
mencukupi kebutuhannya sendiri.
Kedua, upaya tubuh miskin dikelola agar mampu berproduksi secara
minimal, baik untuk bekerja ke perusahaan atau menjadi pengusaha kecil (Gaiha
1993: 126-129). Segmentasi pasar tenaga kerja miskin digunakan sebagai
homologi untuk membatasi jenis kegiatan penanggulangan kemiskinan tersebut.
Diperuntukkan bagi penganggur, misalnya, upah kerja padat karya ditetapkan
untuk ada (bukan gotong royong yang gratis, upah sebagai perangsang kerja),
namun upah tersebut tidak setinggi upah bekerja normal (agar pekerja normal
tidak tertarik memasuki kegiatan padat karya yang diperuntukkan bagi
penganggur).
Ketiga, pengelolaan diarahkan pada efisiensi atau peningkatan
produktivitas, baik bagi tubuh miskin maupun untuk kegiatan pengurangan
kemiskinan. Pola pengelolaan ini mendasari kegiatan persaingan proposal
kegiatan (guna mendapatkan nilai produktivitas kerja tertinggi atau harga kegiatan
termurah), dan keswadayaan masyarakat (untuk mengurangi biaya pembangunan).
Meskipun menggunakan berbagai pengukuran untuk segmen golongan
miskin yang berbeda-beda (individu, rumahtangga, kelompok), selama ini ukuran
kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) digunakan sebagai patokan. Dengan
demikian saat ini tubuh miskin dapat ditentukan sebesar 13 persen atau sekitar 31
juta jiwa di Indonesia. Penanggulangan kemiskinan diorganisasikan secara
birokratis dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK)
kabupaten/kota, provinsi, pusat, juga melalui Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Selain itu, penanganan dilakukan melalui
142
proyek-proyek dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Menurut data Potensi Desa 2011, lokasi PNPM untuk kegiatan transportasi berada
di 47.746 desa, pendidikan 15.129 desa, permukiman dan kesehatan 22.277 desa,
perekonomian 10.083 desa, simpan pinjam usaha pertanian 15.282 desa, simpan
pinjam usaha nonpertanian 33.398 desa, dana hibah usaha produktif 2.206 desa,
ketrampilan produksi 5.083 desa, ketrampilan pemasaran 1.497 desa,
kelembagaan sosial kemasyarakatan 3.082 desa
Mengorganisasikan Kemiskinan
Diskursus kemiskinan produksi merupakan konsekuensi teori modernisasi,
dan diskursus inilah yang senantiasa diacu dalam pernyataan-pernyataan
pemerintah, donor dan swasta sejak tahun 1969. Dirunut lebih jauh, diskursus ini
muncul bersamaan dengan laju Revolusi Industri di Eropa pada tahun 1750-1850.
Tubuh-tubuh buruh yang muncul mula-mula dipandang sebagai masalah
kemiskinan, dan hendak diatasi dengan tindakan-tindakan karitatif (Gronemeyer
1992: 53-69). Dari masa inilah pertama kali muncul pemahamanan untuk
memberikan recehan atau charity kepada pengemis dan orang miskin. Bantuan
karitatif kemudian diorganisasikan, dan setelah Perang Dunia II terutama dalam
bentuk lembaga-lembaga Bretton Woods (World Bank dan International
Monetary Fund/IMF). Tentu saja kemiskinan diupayakan diturunkan, terutama
ketika berjumlah sangat besar, karena dikhawatirkan biaya penanganannya
mampu menurunkan kemampuan negara untuk menyelenggarakan bidang-bidang
pembangunan lain (World Bank 1990: 1-6). Kemiskinan juga menjadi masalah
ketika mulai berkembang migrasi orang miskin ke negara maju. Perdana Menteri
Denmark, Poul Nyrup Rasmussen, usai Perang Dingin pada awal 1990-an
menyatakan sebagai berikut.
We have a good argument now, a very concrete one, for ordinary people, which is, if you don’t help northern Africa, if you don’t help eastern and central Europe with a little part of your welfare, then you will have these poor people in your society” (McMichael 2003: 295).
143
Hingga kini pola bantuan dan program penanggulangan kemiskinan tetap
serupa dengan masa Revolusi Industri, yaitu jangan sampai tubuh-tubuh miskin
jatuh sakit dan meninggal –karena menjadi persoalan tersendiri—namun dibantu
sampai pada batas bisa berproduksi, atau tepatnya menunjang sistem produksi
industrial –kini batasan itu dijabarkan dalam bentuk garis kemiskinan atau upah
minimum buruh.
Globalitas kemiskinan juga membuka peluang kebijakan pengurangan
kemiskinan untuk dikelola secara organisatoris dari tingkat global sampai ke
tingkat nasional, tidak lagi atau tidak sekedar dilakukan secara individual maupun
dalam kelompok kecil. Pengorganisasian di tingkat global dimungkinkan melalui
proyek dan utang luar negeri. World Bank secara sendirian atau ketika
mengorganisir lembaga dan negara kreditur lain menetapkan tema kemiskinan
dalam perolehan utang luar negeri sejak dekade 1990-an (World Bank 1990: 121-
137, 2000: 189-204).
This raises the question of why the (World) Bank and (International Monetary) Fund have elected to highlight the link between their lending programmes and poverty in the late 1990s. Some of the answer is probably what a for profit business would call marketing. A quick read of issues of the World Development Report of around 20 years ago turns up consistent references to poverty reduction, most usually in the context of rural development. While the World Bank did not have a website with the lead banner proclaiming “Our Dream is a World Free of Poverty” in 1982, at some level the Bank has been working on helping the poor in developing countries for decades. The advent of the inclusive PRSP (Poverty Reduction Strategy Paper) process coincides with a heightened awareness of the Bank in civil (and sometimes not-so-civil) society. Recent anti-globalization demonstrations have put the Bank in the position of having to re-state and better market its mission. This is probably a good thing, especially if it can be done relatively costlessly. (Alas, the PRSP process is not costless, nor do the Bank and Fund incur all the costs.) (Levinsohn 2003: 9)
Kekuatan diskursus kemiskinan produksi di Indonesia dapat dibayangkan.
Pada saat perekonomian Indonesia dinilai kuat, diindikasikan oleh pergeseran
struktur ekonomi dari dominasi kontribusi pertanian menjadi manufaktur dalam
GNP (gross national product) pada tahun 1991, dan menjelang rencana tahap
144
tinggal landas dalam Repelita V periode 1989/1990-1994/1995, justru pada tahun
1991 Presiden Soeharto meminta konglomerat dan badan usaha milik negara
(BUMN) untuk menyisihkan satu hingga tiga persen keuntungan bagi orang
miskin. Dikenalkan usaha pengentasan kemiskinan, diikuti program
penanggulangan kemiskinan pada tahun 1993. Lebih jauh lagi, diskursus ini telah
menjadi landasan kemunculan orang-orang miskin, sebagaimana tercatat dalam
jumlah dan persentase orang miskin sejak tahun 1993 (Gambar 12). Diskursus ini
juga telah mengalihkan konsentrasi dari persentase kemiskinan di perkotaan
menjadi di pedesaan (Gambar 13) –suatu kondisi kemiskinan yang telah didalami
World Bank satu dekade sebelumnya sebagaimana disampaikan dalam kutipan di
atas.
Gambar 12. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1975-
2008
Obyektivasi dari diskursus produksi dapat dinyatakan dalam dikotomi-
dikotomi yang dikembangkan (Gambar 14). Dikotomi penanganan individu/
kelompok-penanganan negara/global mengarah pada pembagian kerja untuk
pengurangan kemiskinan. Dikotomi kaya-miskin memungkinkan penciptaan dan
pemunculan beragam golongan miskin. Dikotomi berproduksi-menganggur dan
manajemen-buruh mengarahkan isi kebijakan pengurangan kemiskinan untuk
menguatkan kemampuan berproduksi, terutama agar mampu bekerja kepada pihak
145
lain. Dikotomi rasional-tidak rasional dan perencanaan teknokratis-perencanaan
partisipatif menempatkan tubuh miskin dalam domain tidak rasional, sehingga
metode untuk mendekatinya juga berupa perencanaan partisipatif yang lebih
berbasiskan tawar menawar dibandingkan debat logis. Dikotomi usaha besar-
usaha mikro/kecil dan pemberdayaan-karitatif merujuk pada segmentasi tubuh
miskin, yaitu yang mampu berproduksi akan berkembang dalam usaha
mikro/kecil, sementara yang tidak mampu berproduksi dilayani dalam program
karitatif.
Gambar 13. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun
1975-2008
Agar dapat dikelola hingga tingkat global, kekuasaan beroperasi melalui
standardisasi diikuti dengan mekanisme pendisiplinan kegiatan pengurangan
kemiskinan. Teks Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP) menjadi patokan
perumusan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di banyak negara.
Tujuan pencapaian sasaran-sasaran dalam Millennium Development Goals
(MDGs) dijadikan landasan pengambilan keputusan-keputusan yang berhubungan
dengan pembangunan regional, nasional maupun global. Dalam MDGs
diharapkan persentase kemiskinan menurun 50 persen pada tahun 2015
dibandingkan tahun 1995. Tanpa menggunakan dokumen-dokumen pembangunan
146
standard tersebut sebagai dasar pijakan, maka keputusan pemerintah tidak
memiliki legitimasi dalam pandangan donor internasional. Pelanggaran disiplin
tersebut berkonsekuensi pada penurunan atau pembatalan utang luar negeri.
In 1999, the World Bank and the International Monetary Fund (IMF) adopted a new set of processes to guide lending to some of the world’s poorest countries. Amid the blizzard of acronyms explaining the new process, the Bank and the Fund laid out a process that very poor countries would need to follow if they wished to make use of various concessionary lending facilities (Levinsohn 2003: 1).
Gambar 14. Dikotomi Kemiskinan Produksi
Untuk Indonesia, target MDGs pada tahun 2015 di antaranya penduduk
miskin diharapkan tidak lebih dari 8 persen. Di Indonesia disusun dokumen
strategi penanggulangan kemiskinan (PRSP diindonesiakan menjadi dokumen
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan/SNPK) serta lembaga
pengurangan kemiskinan (di Indonesia berupa Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan/TKPK di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Dokumen
KayaBerproduksiManajemen
RasionalPerencanaan teknokratis
Usaha besarPemberdayaan
MiskinMenganggur
BuruhTidak rasional
Perencanaan partisipatifUsaha kecil, mikro
Karitatif
Penanganan individu, kelompok Penanganan negara, global
147
serupa sama-sama terdapat di banyak negara penerima utang dari donor
internasional (Levinsohn 2003: 9-13).
Standardisasi juga diikuti dengan reproduksi suatu kegiatan
penanggulangan kemiskinan dari daerah tertentu ke banyak daerah lainnya,
maupun dalam waktu-waktu yang lebih kemudian. Konsep yang dikembangkan
untuk mewadahi tindakan-tindakan ini meliputi replikasi (kini jarang digunakan
karena ditafsirkan negatif sebagai membendakan masyarakat) dan scaling up
(Dongier dkk. 2003: 327). Pembesaran skala ini sekaligus memperbesar diskursus
kemiskinan produksi.
Kehendak Menguasai Pengetahuan Kemiskinan
Tubuh miskin diidentifikasi berpendapatan rendah. Pada beberapa
program penanggulangan kemiskinan, selain pendapatan rendah sebagai indikator
utama, pada tubuh miskin juga terdapat jejak informasi pemilikan sarana
pendidikan dan kesehatan yang rendah. Tubuh miskin menyelinap ke dalam
golongan umur produktif, golongan umur anak-anak yang tidak bekerja, golongan
umur tua, kemiskinan pada level rumah tangga, serta pengusaha kecil dan mikro.
Kehendak donor internasional dan pemerintah untuk menguasai
kemiskinan menumbuhkan beragam teknik penghitungan jumlah tubuh miskin,
dan masing-masing teknik terarah untuk bersaing menjadi pengukuran yang
universal. Meskipun sama-sama berangkat dari pendekatan modernisasi
pembangunan, jumlah orang dan keluarga miskin tidak pernah seragam di antara
departemen (di antaranya di Departemen Sosial,1 Departemen Pekerjaan Umum,2
Departemen Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat,
Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal3) dan badan pemerintah
(di antaranya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),4 Badan
1 Dikenalkan garis miskin dan fakir miskin 2 Dikenalkan desa tertinggal dalam infrastruktur perdesaan 3 Dikenalkan garis daerah tertinggal dan daerah khusus 4 Dikenalkan rumahtangga miskin (RTM) dan rumahtangga sangat miskin (RTSM)
148
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),1 Komite Penanggulangan
Kemiskinan2).
Melalui garis kemiskinan, tubuh miskin disusun dari angka-angka
pengeluaran makanan dan barang atau jasa nonmakanan. Oleh BPS, tubuh dipilah
menurut garis 2.100 kalori. Perbedaan kumulasi angka pembentuk tubuh orang
miskin satu dengan lainnya diukur dalam keparahan kemiskinan. Adapun totalitas
angka pembentuk seluruh tubuh orang miskin diidentifikasi sebagai kedalaman
kemiskinan.
Gambar 15. Evaluasi Kemiskinan Hipotetis
Garis kemiskinan dan sejenisnya digunakan sebagai pemisah penduduk
menurut golongan miskin atau lepas dari kemiskinan. Dengan menggunakan
kaidah statistika untuk jumlah sampel atau populasi yang sangat besar –di atas
200 juta untuk penduduk Indonesia—maka secara umum bentuknya seperti kurva
normal (Gambar 15). Secara hipotetis dapat disusun beberapa garis batas untuk
menggolongkan hierarki masyarakat, yaitu golongan rata-rata yang dihitung
menurut nilai tengah hingga 1 SD (standard deviation) (biasanya 34 persen
penduduk di sebelah kiri atau kanan dari nilai tengah), golongan kaya atau miskin 1 Dikenalkan keluarga pra sejahtera (Pra-KS) dan keluarga sejahtera I (KS-I) 2 Kemiskinan menurut kelompok, rumahtangga, umur
149
yang dihitung antara nilai 1 SD dan 2 SD (biasanya 13,5 persen lebih jauh ke
kanan atau ke kiri), dan paling kaya atau paling miskin yang dihitung di atas 2 SD
(biasanya 2,5 persen paling kanan atau paling kiri).
Berdasarkan kaidah statistika kurva normal tersebut, kebijakan
penanggulangan kemiskinan semestinya mencantumkan target penduduk miskin
tidak lebih dari 2,5 persen. Akan tetapi dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional II (2010-2014), pembangunan diharapkan mampu
menurunkan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen pada akhir tahun 2014.1
Berdasarkan rancangan pembangunan tersebut, terlihat bahwa target-target yang
dicatat tergolong konservatif, artinya tidak sampai 0-2,5 persen sebagai indikasi
hilangnya kemiskinan.
Kritik lain yang dilancarkan terhadap garis kemiskinan BPS ialah
kealpaannya atas alamat orang miskin. Olahan Survai Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) samar-samar memperkirakan jumlah tubuh-tubuh orang miskin di
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, namun tidak mencantumkan lokasi
tubuh tersebut tinggal. Kelemahan ini bersumber dari jenis data survai –bukan
sensus.
Hanya mengetahui jumlahnya, akhirnya di daerah tokoh masyarakat dan
perangkat desa mewakili tubuh-tubuh orang miskin. Tubuh orang miskin
sekaligus dibungkam, sementara kesaksian atas kemiskinannya dilakukan oleh
tokoh masyarakat atau perangkat desa. Representasi orang miskin melalui tokoh
masyarakat justru memunculkan kehadiran para tokoh tersebut (Bourdieu 2011:
210-211). Kehadiran mereka, antara lain, tercatat sebagai penerima dana jaring
pengaman sosial (JPS), dan beras miskin (raskin).
Untuk menanggulangi kejanggalan tersebut, dikembangkan sensus
rumahtangga miskin (RTM). Sensus RTM ternyata mencari, dan menemukan,
rumah yang buruk sebagai belenggu tubuh orang miskin. Tubuh orang miskin
sendiri masih luput dari pencarian. Tubuh direkatkan dengan susunan benda-
benda yang bernilai rendah, seperti rumah yang berlantai tanah, tidak bertembok,
tanpa atap dari genteng. Kalau dalam panoptikon sebuah bangunan disusun untuk
mengendalikan tubuh terpenjara (Foucault 2002d: 182-183), sensus RTM
1 Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 Buku I, Halaman I-46.
150
memaksa lokasi persembunyian tubuh miskin terlihat. Hanya saja, secara
paradoks, sejak penjajahan Belanda perbaikan batas-batas bangunan digunakan
untuk memperdaya penglihatan seakan penghuninya sejahtera, namun kini ketika
rumahnya bertembok maka tubuh miskin sekaligus dikeluarkan dari taksonomi
kemiskinan. Projo menjelaskan kasus Dusun Kalitani sebagai berikut.
Rumahtangga golongan miskin memiliki tanah 3.500 m2 sampai 5.000 m2. Menurut aparat Pemda, dengan pemilikan tanah seluas itu tidak lagi tergolong miskin, tetapi saya meminta untuk memasukkannya ke dalam golongan miskin. Karena saya yakin dengan sawah 3.500 m2 dalam satu tahun tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak.
Dalam sinoman (tolong menolong) membangun rumah bertembok, pada akhirnya meskipun dia dianggap miskin, pas yang membantu sedang membangun nanti dia juga bisa membantu, entah bagaimana cara menutupinya. Biasanya dia kerja, lalu hasilnya dititipkan kepada orang-orang yang membangun, akar suatu ketika dapat membantu mereka. Kalau tetangga sudah membuat rumah, bantuannya tidak untuk mereka. Dia akan mencari yang belum memiliki rumah. Oleh sebab itu saat ada pendataan sosial untuk rumahtangga miskin, petugas bertanya, mengapa memiliki rumah bertembok disebut miskin. Dia tidak mengetahui membangun rumah dengan cara bergantian di sini. Saya jelaskan rumahnya tembok, tapi penghuninya tidak punya, karena tidak memiliki sawah. Itu bisa terjadi.
Pada saat ini berkembang pandangan mengenai agregat permasalahan
orang miskin (Rahnema 1992: 158-172). Kemiskinan bukan lagi masalah
individual, melainkan menjadi permasalahan kelompok kecil, warga desa,
kabupaten, provinsi, nasional, bahkan global. Melalui perubahan pandangan ini,
kemiskinan menjadi sah untuk dikelola oleh negara, bahkan melalui organisasi
internasional.
Dianggap bersifat universal, pengukuran kemiskinan berlangsung dalam
metode kuantitatif (garis kemiskinan) maupun melalui manipulasi teknik-teknik
kualitatif agar bisa dikuantifikasi –misalnya menyelenggarakan diskusi kelompok
terarah (focus group discussion/FGD) di mana hasilnya bisa dibandingkan lintas
negara dan bisa diakumulasikan sebagaimana dilakukan oleh Mukherjee (2006: 1-
3). Jejak metode kuantitatif dalam FGD terbaca dari partisipan diskusi yang
bersifat homogen dan diskusi diakhiri kesepakatan bersama (sehingga dapat
151
dinilai sebagai satu responden atau satu pernyataan, lalu 30 FGD memadai untuk
dianalisis secara statistik), dan pertanyaan digilir secara sistematis atau berurutan
(bukan diskusi tak-terstruktur) (Kruger dan Casey 2000: 10-11). Sistematisasi
demikian memang memungkinkan perbandingan antar kelompok miskin, namun
perbandingan tersebut sekaligus mereduksi kekayaan informasi dan hanya
menyajikan informasi yang seragam atau anekdotal (Levinsohn 2003: 10).
Penyusunan kotak informasi dan perbandingan yang menyatukan sifat orang
miskin juga mengesankan hubungan di antara mereka. Sulit menerima pandangan
bahwa orang-orang miskin lazim saling berhubungan lintas pulau, apalagi lintas
benua secara global. Melalui universalisme narasi kemiskinan berkembang dari
tingkat lokal menjadi global. Universalitas pengukuran menghasilkan
perbandingan kemiskinan lintas negara, dan akhirnya menghasilkan ruang-ruang
negara miskin dan kaya (World Bank 1990: 24-38, 2000: 15-30).
Mendisiplinkan Efisiensi Tubuh Miskin
Sejak tahun 1999 World Bank melansir teori pemberdayaan masyarakat
yang dinamakan Community-driven Development (CDD). Teori ini menjadi basis
proyek pemberdayaan yang didanai World Bank maupun donor internasional lain
(Operations Evaluation Department 2003: 11-13). Di Indonesia, teori ini
digunakan pada seluruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Secara nasional, beberapa program sejenis lainnya yang juga ditujukan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan tingkat pengangguran, telah diintegrasikan dalam satu kerangka kebijakan nasional yang dikenal dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program PISEW (Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah) dengan intervensi berupa bantuan teknis dan investasi infrastruktur dasar pedesaan, dibangun dengan berorientasi pada konsep “Community Driven Development (CDD)”1
CDD merupakan konsekuensi dari teori pilihan rasional atau rational
choice (Narayan dan Pritchett 2000: 269-295). Menurut ilmuwan dari World
1 Panduan Pelaksanaan PNPM PISEW Tahun 2010, halaman 2.
152
Bank, konsep modal sosial dari Coleman memiliki implikasi bagi pemerintah dan
donor internasional. Salah satu implikasi terpenting ialah pendisiplinan proyek
dalam konsep community-driven development (CDD).
One of the most important applications of social capital is in the delivery of sustainable basic services to the poor, and local infrastructure and natural resources management.
The last two decades have seen a resurgence of interest in community-driven development, with community group in charge and the focus shifting to local initiative, self help, local organizational capacity, and demand orientation. Community-driven development is defined as a process in which community groups initiate, organize, and take action to further common interests or achieve common goals (Narayan dan Pritchett 2000: 284).
Teori pilihan rasional berorientasi positivistik, dengan prinsip dasar
berasal dari ekonomi neoklasik (Coleman 1994: 1-44). Teori ini memusatkan
perhatian pada aktor, yaitu manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai
maksud. Aktor bertindak untuk mencapai tujuan, serta dipandang mempunyai
pilihan –atau nilai dan keperluan. Teori pilihan rasional tak menghiraukan
substansi dan sumber pilihan aktor, namun mementingkan kenyataan bahwa
tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan peringkat pilihan
aktor.
Teori ini memperhatikan sekurang-kurangnya dua pemaksa utama
tindakan. Pertama, keterbatasan sumber daya. Berkaitan dengan keterbatasan
sumber daya ini adalah pemikiran tentang biaya kesempatan (opportunity cost)
atau biaya yang berkaitan dengan rentetan tindakan berikutnya yang sangat
menarik, namun tak jadi dilakukan. Aktor dipandang berupaya mencapai
keuntungan maksimal, dan tujuan mungkin meliputi penilaian gabungan antara
peluang untuk mencapai tujuan utama dan apa yang telah dicapai pada peluang
yang tersedia untuk mencapai tujuan kedua yang paling bernilai. Kedua, sumber
pemaksa atas tindakan aktor individual adalah lembaga sosial. Hambatan
kelembagaan ini menyediakan baik sanksi positif maupun sanksi negatif yang
membantu, mendorong aktor untuk melakukan tindakan tertentu dan
menghindarkan tindakan yang lain.
153
CDD menjelaskan "pangsa pasar" program penanggulangan kemiskinan,
yaitu khusus untuk keluarga miskin dan keuangan mikro (Dongier dkk. 2003:
303-304). Setelah lepas dari level itu maka tubuh miskin keluar dari program-
program CDD. Menggunakan idiom dari ilmu ekonomi, pola penyaluran proyek
diarahkan pada kesetimbangan antara aspek penawaran proyek dan permintaan
masyarakat (Gambar 16). Untuk memperoleh titik yang optimal, maka
dilangsungkan persaingan antar warga dalam memperebutkan proyek. Berkaitan
dengan itu, menurut teori motivasi dari Atkinson, motivasi tertinggi dalam
melakukan tindakan diperoleh ketika peluang keberhasilan untuk mendapatkan
barang atau jasa yang diinginkan senilai 50 persen. Artinya hanya jika menulis
proposal maka muncul peluang untuk mendapatkan proyek, jika proposal tidak
dikerjakan maka pasti tidak mendapatkan proyek (peluang 0 persen), dan
sebaliknya penulisan proposal tidak sekaligus memastikan (peluang 100 persen)
akan memperoleh proyek.
Gambar 16. Adaptasi Ekonomi Formal dan Psikologi dalam CDD
Ada pula program CDD yang telah menetapkan proyek per desa dalam
nilai tertentu, misalnya PNPM Infrastruktur Perdesaan (IP) menyampaikan dana
154
pembangunan infrastruktur seragam senilai Rp 250 juta per desa. Nilai proyek
PNPM IP ini lebih besar daripada program PNPM lainnya. Sesuai teori
punishment and reward, nilai yang jauh lebih besar ini diciptakan guna
membesarkan kehendak warga desa untuk mendapatkannya.
Sekalipun telah jelas bahwa CDD didasarkan pada teori pilihan rasional,
namun masih ditemui simpangannya dalam proyek-proyek CDD itu sendiri.
Dalam teori ini sempat dirumuskan collective action dihindari karena
memungkinkan munculnya penumpang gelap (free rider). Implikasi dari hal ini
ialah pengambilan sumberdaya secara selektif, sehingga menghindari sumberdaya
komunal (common goods). Akan tetapi proyek-proyek CDD justru menggarap
infrastruktur common goods seperti jalan dan jembatan, bahkan dalam jumlah
dominan dalam PNPM. Infrastruktur memungkinkan penumpang gelap di antara
warga desa sendiri (merugikan warga desa sendiri), namun lebih mudah diukur
tingkat efisiensinya dan selama ini menjadi keunggulan manajemen donor
internasional (menguntungkan donor). Sebagai perbandingan, evaluasi terhadap
pengembangan kelompok oleh donor seringkali menunjukkan kegagalan (Israel
1992: 2)
Pada kenyataannya, tujuan umum Bank (Dunia) pada kegiatan-kegiatan yang lalu telah sampai pada kesimpulan yang konsisten, bahwa komponen fisik suatu program, dua kali lebih berhasil dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh komponen pengembangan kelembagaan.
Meskipun digunakan dalam program partisipatoris, CDD telah
memberikan ide bahwa tingkah laku manusia dapat diramalkan. Tujuan tindakan
sosial terutama memaksimalkan manfaat atau keuntungan. Motivasi tindakan
pemanfaat proyek terutama didasarkan pada kepentingan-kepentingannya sendiri.
Diskursus kemiskinan produksi juga menghasilkan pandangan efisiensi-
biaya dalam pembangunan partisipatif. Pandangan efisiensi-biaya ini
menginginkan keikutsertaan orang miskin dalam pembangunan untuk
meningkatkan rasa kepemilikan, namun keikutsertaannya sekaligus sebagai upaya
memobilisasi sumberdaya lokal. PNPM berupaya membatasi biaya input atau
materi program, sambil menggali kontribusi dari tubuh miskin sendiri. Pada kasus
155
di Dusun Kalitani, sebelum program fisik diusulkan, warga desa perlu
mempersiapkan modal awal, berupa swadaya masyarakat, kas dusun, dan kas
desa. Nilai swadaya menjadi bobot penting dalam persaingan proposal antar desa
di tingkat kecamatan.
Dalam aturan program, seluruh pekerja dalam kegiatan PNPM dibayar,
meskipun boleh lebih rendah daripada harga tukang dan buruh lokal. Akan tetapi
kebutuhan nilai swadaya yang tinggi membuat penyelenggara proyek mengubah
upah kerja rendah tersebut menjadi gotong royong antar warga desa. Nilai gotong
royong kemudian dicatatkan sebagai swadaya masyarakat. Karyo, Kader
Pemberdayaan Masyarakat, menjelaskannya sebagai berikut.
Untuk mengejar maka swadaya dikejar. Ada sendiri swadaya dari desa, lalu dari masyarakat juga ditarik, plus tenaga kerja. Tenaga kerja itu dibayar namun langsung diberikan kembali ke proyek. Misalnya per hari dibayar Rp 27.000 per HOK tukang (HOK= hari orang kerja), dan Rp 20.000 per HOK tenaga kerja. Kalau sehari, tenaga kerja mendapat Rp 30.000, sementara tukang Rp 40.000. Masyarakat bekerja bakti, dibayar, namun nanti dikembalikan kepada masyarakat secara swadaya. Sebab aturannya harus seperti itu.
Swadaya juga ditarik di antara rumahtangga miskin –bentuk subsidi tubuh
miskin terhadap proyek pemberdayaan. Projo menjelaskannya sebagai berikut.
Saya hitung penarikannya lewat tanah, yang lebar membayar lebih banyak, yang sedikit membayar juga. Itu tanah darat, tanah untuk rumah. Tidak termasuk tanah sawah. Masyarakat di sini kalau dibutuhkan swadaya dan pembangunan langsung dilaksanakan, itu tidak ada protes. Kalau itu diadakan swadaya tapi lama baru dilaksanakan, sampai satu tahun hingga dua tahun, barulah masyarakat protes.
Untuk PNPM, swadaya juga ditarik dari fakir dan miskin. Yang cukup memberikan iuran Rp 100 ribu. Yang fakir dan miskin Rp 50 ribu. Memang menurut luas tanah. Yang lebar membayar lebih banyak, termasuk yang tidak di pinggir jalan. Kemarin semua bisa membayar.
Swasta kini masuk sebagai salah satu penyalur dana bagi orang miskin,
yaitu sebagai konsultan pendamping program. Ciri pencarian untung yang
156
mengikat secara inheren pada konsultan swasta turut terbawa dalam
pendampingan masyarakat (Agusta 2007: 27-38). Merekalah yang memiliki peran
dan kekuasaan lebih tinggi daripada pihak lain di lapangan. Dari sisi gaji yang
berlipat ganda dibandingkan pegawai negeri –antara empat kali lipat pada
pendamping tingkat kecamatan, hingga lebih dari lima puluh kali lipat bagi
konsultan pendamping nasional yang sengaja direkrut dari negara donor—tugas-
tugas yang lebih besar dan purna waktu dalam program, posisi pendamping ini
jauh lebih tinggi daripada lainnya. Dalam posisi yang paling penting, yaitu
menandatangani persetujuan pencairan proyek dan dana kegiatan, kekuasaan
konsultan pendamping bahkan hampir mutlak.
Dalam periode pasca krisis moneter, kegiatan pembangunan yang terfokus
pada pengurangan kemiskinan justru mereproduksi kemiskinan itu sendiri.
Program penanggulangan kemiskinan bahkan menggerakkan sebagian warga
maupun aparat pemerintah agar turut dimasukkan ke dalam kategori miskin
tersebut. Proyek beras untuk orang miskin dan pemberian uang tunai kepada
orang miskin dilaporkan diterima pula oleh golongan di luar rumahtangga miskin
(Mawardi dkk. 2008: 12-13). Ditemukan 10,4 juta rumahtangga baru yang
mendaftarkan diri sebagai rumahtangga miskin untuk mendapatkan dana Bantuan
Langsung Tunai (BLT).1
Berbeda dari perencanaan teknokratis yang menggunakan metode ilmiah
dan terarah kepada sifat positivistik, perencanaan partisipatif disifatkan pada
kesepakatan bersama antar pihak di tingkat desa. Perencanaan teknokratis
terhadap desa, misalnya dalam menentukan lokasi program, dilakukan secara
kuantitatif dan menggunakan statistika deskriptif atau parametrik.2 Akan tetapi di
tingkat desa usulan kegiatan tidak ditekankan pada statistika, melainkan melalui
keputusan bersama atau kolaboratif antar pihak –lazimnya warga biasa, tokoh
masyarakat, aparat pemerintah desa, dan sesekali aparat pemerintah kecamatan
dan kabupaten/kota—sampai petugas donor internasional (Mosse 2004: 16-35).
1 Sinar Harapan (19 November 2005) mengutip Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat kala itu, Alwi Shihab, menunjukkan sampai saat itu jumlah penerima BLT sebanyak 12,5 juta rumahtangga, namun sekitar 247.000 penerima BLT dihentikan karena tidak tergolong rumahtangga miskin. 2 Misalnya dalam penentuan desa, kabupaten dan provinsi penerima Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
157
Metode partisipatif yang dipraktekkan dipandang tidak memiliki ciri-ciri ilmiah
berupa universalitas (Mohan 2004: 153-167), termasuk tidak bisa dipraktekkan
lintas wilayah dalam Indonesia. Metode ini juga sulit menentukan ukuran
keberhasilan sejak dari tahapan perencanaan hingga pasca pelaksanaan
pembangunan. Setelah tidak masuk ke dalam mekanisme perencanaan rasional
terutama dalam kemampuan peramalan, pelaksanaan keputusan partisipatif
akhirnya didanai oleh bantuan sosial.1 Jenis mata anggaran ini tidak
memperhitungkan kembalinya dan akumulasi investasi negara dalam
pembangunan sebagaimana mata anggaran modal, yang berarti juga tidak
dipandang sebagai pembangunan yang rasional. Dengan mengasosiasikan negara
sebagai perusahaan,2 perencana menekan jumlah mata anggaran bantuan sosial
sambil menguatkan mata anggaran belanja modal.
Usaha untuk menguasai pendekatan partisipasi sebagai wilayah di luar
rasionalitas ini dilakukan melalui mekanisme pendisiplinan tahapan partisipasi –
dalam program penanggulangan kemiskinan tahapan kegiatan disamakan dengan
konsep proses (Francis 2004: 72-87). Formulir-formulir isian tiap tahapan
diberlakukan menyeluruh ke semua lokasi pembangunan, dengan formulir isian
yang serupa pada tahapan musyawarah tingkat dusun dan desa, penyusunan
proposal, pelaporan kegiatan, hingga serah terima hasil kegiatan
Ikhtisar
Memiliki homologi dengan produksi industrial, diskursus kemiskinan
produksi mula-mula memunculkan tubuh miskin sebagai pihak yang tidak mampu
berproduksi. Setelah ditemukan, tubuh-tubuh tersebut kemudian didisiplinkan
melalui homologi manajemen produksi, berupa disiplin dalam kegiatan-kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan program-program
1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.02/2006 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga Tahun 2007 2 Asosiasi negara dengan perusahaan ditunjukkan dalam penjelasan UU 17/2003 tentang keuangan negara, di mana, “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara... Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan”.
158
penanggulangan kemiskinan. Pendisiplinan juga diorganisasikan secara birokratis.
Disusun Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Kabupaten/Kota,
Provinsi, pusat, juga melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K).
Penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk melatih ketrampilan tubuh
miskin agar sesuai dengan arena produksi, serta menyediakan modal untuk turut
serta dalam persaingan usaha dalam arena produksi tersebut. Prasarana pendukung
yang disediakan program bersifat ambigu, karena tidak hanya menjadi modal bagi
orang miskin, namun juga diperebutkan oleh lapisan atas untuk memperlancar
usaha dan mengakumulasi modal mereka lebih lanjut.
Sampai bab ini telah disajikan satu per satu proses operasi kekuasaan
dalam memunculkan enam diskursus kemiskinan serta upaya pengelolaannya
dalam habitus dan arena kemiskinan. Pada bab berikutnya disajikan interaksi antar
diskursus dan praktis penanggulangan kemiskinan secara bersama-sama. Operasi
kekuasaan untuk mendominasi atau memunculkan hal-hal baru ini dikembangkan
sebagai perang diskursus dan praktik kemiskinan.
BAB 10
PERANG DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN
Narasi diskursus dan praktik dapat disusun menurut kaitan berbagai
konsekuensi vertikal dari tataran diskursus, habitus, dan arena, maupun peran
secara horizontal antara diskursus dan praktik yang berbeda-beda (Foucault
2002c: 85). Pada bab-bab sebelumnya disampaikan narasi vertikal dari enam
diskursus kemiskinan di pedesaan Indonesia. Pada bab ini narasi dilanjutkan
dengan perang diskursus dan praktik kemiskinan. Sudut pandang sejarah
diskursus dapat digunakan untuk mendeskripsikan perang tersebut, karena
menurut Foucault (2002d: 143) sejarah yang menguasai dan membatasi manusia
lebih memiliki bentuk peperangan daripada bahasa, tentang relasi kekuasaan
daripada relasi makna. Dengan memperhitungkan perkembangan di Indonesia,
diskursus berbagi kelebihan dan diskursus menginginkan kesederhanaan telah
dikenal setidaknya sejak 1500-an (Gambar 17). Diskursus kemiskinan ras dan
etnis dikembangkan pada dekade 1920-an, bersamaan dengan perkembangan
diskursus kemiskinan sosialis. Pada dekade 1970-an berkembang diskursus
potensi golongan miskin. Sejak akhir 1990-an berkembang diskursus kemiskinan
produksi, dan tafsirnya kini sedang menguat.
Gambar 17. Genealogi Diskursus Kemiskinan di Pedesaan Indonesia
160
Penghilangan dan Perluasan Domain Kemiskinan
Dalam diskursus dan praktik berbagi kelebihan, tetangga di dalam desa
telah menyamarkan lokus tubuh miskin dalam lapisan-lapisan kekurangan, yang
mampu menghasilkan garis kemiskinan lokal berbeda-beda antar wilayah dan
waktu yang berlainan. Relativitas garis kemiskinan lokal menjadi strategi
penyamaran penting untuk menolak jangkauan mekanisme kekuasaan yang bisa
saja merepresi golongan kekurangan. Dalam kondisi tersamar, prosedur menuju
tubuh miskin baru terbuka melalui praktik kerukunan antar tetangga. Prosedur
tersebut sekaligus membatasi penanggulangan kemiskinan hanya pada tataran
antar tetangga sedesa.
Mekanisme parrhesia (Foucault 2011: 339) dalam pengelolaan tubuh
untuk mencapai kesucian dan mengabarkan kebenaran tersusun dalam diskursus
menginginkan kesederhanaan. Latihan keterbatasan harta benda secara terus
menerus oleh penganut mistik, agamawan, dan tubuh prihatin lainnya berguna
untuk menyucikan tubuh dan menyiapkannya menerima kebenaran dari Tuhan.
Keyakinan tentang hubungan langsung dengan Tuhan memberikan tubuh
sederhana tersebut keberanian untuk menyampaikan kebenaran –menurut
pandangannya—kepada pihak lain, termasuk penguasa. Tidak mengherankan
keprihatinan atau kesederhanaan ini bersifat subversif bagi masyarakat dan
penguasa. Penguasa sendiri mendapatkan rangsangan kesederhanaan untuk
mengolah tubuhnya agar memancarkan sinar kesaktian –juga disebut karamah
Tuhan—yang dipandang sebagai bentuk riil kekuasaan dirinya (Anderson 2000:
47-71).
Kemiskinan dinilai sebagai masalah sosial selama penjajahan Belanda, dan
domainnya meluas hingga nusantara. Untuk pertama kalinya pula penelitian
kemiskinan dilaksanakan pada tahun 1872. Tubuh orang miskin dari kalangan
Indo Eropa diidentifikasi, dan konsep yang diperoleh sebagai hasil identifikasi
lalu digunakan untuk memburu tubuh-tubuh serupa. Melalui penelitian ini tubuh-
tubuh miskin dimunculkan lewat pencatatan sensus. Dalam konstruksi pelapisan
sosial berbasis ras, kemiskinan dipandang sebagai permasalahan ras campuran
atau kreol antara orang Eropa dan pribumi.
161
Penelitian menemukan beragam penyebab kemiskinan kreol (Baay 2010:
15-16), namun pemerintah jajahan pada tahun 1920-an hanya mengedepankan
sebab berhubungan dengan tubuh pribumi secara tidak bermoral –berupa
pergundikan (Gouda 2007: 196-200). Oleh sebab itu program penanggulangan
kemiskinan diarahkan untuk memperbaiki moral tubuh-tubuh kreol.
Komisi (penyelidikan kemiskinan orang Eropa di Hindia Belanda) juga menganjurkan untuk meningkatkan mutu moral di dalam tangsi. Jumlah anggota militer Eropa yang hidup dalam pergundikan akan berkurang sehingga akan berkurang pula jumlah anak miskin yang dilahirkan. Berkaitan dengan masalah ini komisi juga menganjurkan agar anggota militer Eropa yang telah meninggalkan ketentaraan kolonial segera dikirim kembali ke Belanda (Baay 2010: 178).
Kekuasaan dioperasikan melalui basis budaya yang holistik –artinya tanpa
mempertimbangkan pelapisan masyarakat dalam budaya tersebut—dan diskursus
kemiskinan ras dan etnis secara bersama-sama memunculkan orang miskin dari
kreol, sekaligus menahan kemunculan kemiskinan dari etnis-etnis pribumi. Etnis
tersebut di-Lain-kan secara budaya, dengan cara menempeli atribut-atribut
persangkaan budaya yang dinilai primitif atau persangkaan moral negatif. Dengan
memandang pribumi sebagai separuh kera, kemiskinan tidak dipandang sebagai
masalah mereka, melainkan keliaran tingkah lakunya (Gouda 2007: 213).
Sebagian penduduk kolonial Belanda di abad ke-20, misalnya, secara aneh masih terobsesi dengan gagasan "mata rantai yang hilang" dan menduga-duga kemiripan antara orang pribumi dengan kera-kera besar cerdas yang mirip manusia. Sebagian lain menggunakan gagasan Spencer dalam bentuk yang menyimpang, penjelasan baru tentang evolusi biologi dan metafora-metafora artifisial tentang sifat kekanak-kanakan atau "lambatnya perkembangan" orang-orang Indonesia.
Dalam periode yang sama, berkembang pula diskursus kemiskinan
sosialis. Membalik konstruksi diskursus kemiskinan ras dan etnis yang
menyalahkan hubungan dengan tubuh pribumi, dalam diskursus ini justru
hubungan dengan tubuh penjajah diyakini sebagai mekanisme kemiskinan
pribumi. Hubungan yang bercirikan feudal dengan kelas priyayi dalam kerajaan-
162
kerajaan nusantara juga dipandang sebagai operasi kekuasaan untuk menghisap
surplus kelas bawah (Soekarno 1965: 1-24; Sirait, Hindrayati, Rheinhardt 2011:
125-126).
Menerapkan teori-teori dari komunisme internasional, lokus proletar
sebagai pengisi kelas miskin diidentifikasi di antara tubuh buruh industri, seperti
buruh kereta api (McVey 2010: 29). Mekanisme penanggulangan kemiskinan
ditempuh melalui boikot atau pemogokan dan pemberontakan golongan sosialis,
dalam rangka menghambat dan menghancurkan struktur sosial penjajahan.
Identitas tubuh proletar seharusnya hanya membatasi pada tubuh buruh industri,
namun terbuka bagi tubuh pribumi, kreol dan ras berkulit putih. Akan tetapi
organisasi buruh sosialis lebih banyak diisi buruh pribumi dan sebagian kecil
buruh kreol, sebaliknya buruh dengan ras murni Eropa justru sering menyabotase
pemogokan mereka.
Identifikasi proletar sebagai tubuh miskin sekaligus membungkam
golongan miskin lainnya, yang saat itu sudah mulai diketahui pada tubuh
pengusaha kecil dan petani kecil (Hiqmah 2008: 49; Tjokroaminoto 2008: 47-
114). Konsekuensinya gerakan sabotase atau pemberontakan buruh sosialis tetap
meninggalkan pengusaha kecil dan petani kecil yang dipandang tidak mengenal
rasionalitas masyarakat industrial.
Di samping kelemahan identifikasi kelas miskin tersebut, teori-teori
komunis internasional juga dipandang sulit diterapkan langsung di Indonesia
setelah kerjasama komunis internasional tidak terwujud untuk mendukung
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) melawan penjajah Belanda pada
tahun 1926 (McVey 2010: 569-630). Untuk menyesuaikan lebih dalam dengan
keindonesiaan, nasionalisme dikembangkan sebagai revisi internasionalisme.
Adapun tubuh miskin ditangkap sebagai tubuh marhaen atau kromo (Agusta 2010:
897-915; Soekarno 1965: 167-170, 245-248). Di samping buruh industri sebagai
proletar, tubuh-tubuh miskin juga diidentifikasi pada petani kecil dan buruh tani.
Pada titik ini identifikasi golongan kekurangan dalam diskursus berbagi
kelebihan –yang berisikan petani kecil dan buruh tani—dipinjam sekaligus
ditafsirkan kembali. Tubuh-tubuh tersebut muncul sebagai dikotomi dari kapitalis
dan golongan feudal. Sebelum kemerdekaan peminjaman golongan kekurangan
163
sekaligus dimanipulasi dengan komunisme, sehingga tubuh proletar dipandang
lebih superior. Soekarno (1965: 254) menjelaskan hal ini.
Ini, ini paham "proletar mengambil bagian yang besar sekali", inilah yang saya sebutkan modern, inilah yang bernama rasionil. Sebab kaum proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi-modern, kaum proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkena oleh kapitalisme, kaum proletarlah yang lebih "mengerti" akan segala-galanya kemodernan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Mereka lebih "selaras zaman", mereka lebih "nyata pikirannya", mereka lebih "konkrit", dan … mereka lebih besar harga-perlawanannya, lebih besar gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain. Kaum tani adalah umumnya masih hidup dalam satu kaki di dalam ideologi feudalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang di atas awang-awang, tidak begitu "selaras zaman" dan "nyata pikiran" sebagai kaum proletar yang hidup di dala kegemparan percampur-gaulan abad ke dua puluh. Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang "Ratu Adil" atau "Heru Cokro" yang nanti akan menjelma dari kayangan membawa kenikmatan surga-dunia yang penuh dengan rezeki dan keadilan, ngandel akan "kekuatan-kekuatan rahasia" yang bisa "memujakan" datangnya pergaulan-hidup-baru dengan termenung di dalam gua.
Pandangan ini telah berubah setelah Indonesia merdeka. Diskursus berbagi
kelebihan membatasi hubungan tubuh miskin sebatas dengan tetangganya, namun
diskursus kemiskinan sosialis mendatangkan kelas atas untuk menyadarkan
esploitasi atas mereka, lalu mengorganisasikannya hingga ke tingkat nasional.
Orientasi kepada marhaen di pedesaan antara lain ditunjukkan oleh inisiatif PKI
(Mortimer 2011: 365-373) untuk melatih marhaen dan mengorganisasikannya
dalam kelompok di desa hingga organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) di
tingkat nasional. Perubahan subyek kemiskinan sosialis dari buruh industri di
perkotaan menjadi petani di pedesaan tidak terlepas dari kesulitan kedudukan PKI
dalam kabinet dan penguatan angkatan darat dalam industri-industri di perkotaan.
Perubahan tersebut membutuhkan pengetahuan tentang struktur
masyarakat desa, sehingga PKI segera melakukan penelitian. Untuk pertama
kalinya penelitian partisipatoris dilaksanakan, pada awal 1960-an antara kader
PKI sebagai peneliti bersama-sama tubuh marhaen di pedesaan. Penelitian
partisipatoris yang penuh interaksi sosial tersebut menjadi operasi kekuasaan
164
dalam memunculkan tubuh marhaen, mengidentifikasi tubuh-tubuh penghisap
marhaen, sekaligus menyadarkan tubuh marhaen tentang penghisapan surplus
ekonomi tersebut.
Hasil penelitian kemudian digunakan sebagai informasi untuk mengubah
syarat-syarat masuk BTI, dan dengan demikian marhaen dapat diorganisasikan
sebagaimana layaknya proletar dalam industri. Di tingkat lokal, hasil penelitian
menjadi kuasa pengetahuan bagi gerakan sosial perebutan lahan tuan tanah yang
berlebihan –dikenal sebagai aksi sepihak. Sesuai pandangan sosialisme, lahan
dipandang sebagai alat produksi utama bagi tubuh marhaen untuk menghasilkan
surplus secara mandiri. Aidit meringkas upaya pengorganisasian, pelatihan, dan
aksi bagi tubuh marhaen sebagai berikut (Mortimer 2011: 382).
Aksi-aksi sepihak akan sukses jika minimal tiga prasyarat berikut dipenuhi. Pertama, diorganisasikan secara rapi, khususnya sudut pandang dan cara kepemimpinan menyelesaikan masalah dalam aksi-aksi mereka di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa; … kedua, pendidikan mestinya diberikan dengan cepat, artinya kuliah-kuliah darurat dan pelatihan-pelatihan singkat segera diberikan bagi kader-kader desa yang secara khusus menangani sisi praktis aksi-aksi; dan ketiga, aksi-aksi yang mestinya melangkah di bawah kepemimpinan yang terlatih, artinya, kita harus menghindari "aksi pemimpin" tanpa massa atau "aksi massa" tanpa pemimpin, karena bagaimanapun aksi-aksi mesti konsisten berpijak pada kaum buruh dan petani miskin … Aksi-aksi ini, kalau begitu, harus mampu memenangkan simpati dan dukungan lebih dari 90 persen penduduk desa dan para pejabat negara yang bukan reaksioner.
Episode pengembangan kelas marhaen ditutup oleh pergantian politik
nasional secara berdarah. Dimulai dari perlawanan berdarah kiai dan santri kepada
kelas marhaen di Jawa Timur pada awal tahun 1965 (Sulistyo 2011: 194-219),
pergantian kepemimpinan nasional oleh Angkatan Darat diikuti dengan
pembunuhan para marhaen –yang menandai pembunuhan tubuh-tubuh miskin.
165
Kekuasaan Memanipulasi Tafsir Kemiskinan
Beberapa tahun kemudian, di awal tahun 1970-an diskursus potensi
golongan miskin dikembangkan di antara akademisi dan aktivis lembaga swadaya
masyarakat (LSM). Komunikasi berlangsung melalui diskusi dan penerbitan, serta
dipraktikkan dalam kelompok-kelompok simpan pinjam dan usaha kecil lokal.
Bertautan dengan pembangunan alternatif yang mengedepankan kelebihan
lokalitas, diskursus ini mengarahkan penanggulangan kemiskinan untuk
menghasilkan kemandirian dari tubuh-tubuh miskin tersebut. Kemandirian tubuh
yang semula merupakan hasil dari latihan kemiskinan lapisan atas atau penganut
kebatinan (dalam diskursus menginginkan kesederhanaan) kini digeser kepada
posisi tubuh-tubuh miskin sendiri.
Ekonomi Rakyat merupakan fokus perhatian karena setelah program IDT menjadi gerakan masyarakat sendiri, gerakan roda ekonomi rakyat ini harus berputar secara swadaya dan mandiri. Demikian apabila roda ekonomi rakyat sudah bergerak secara swadaya dan mandiri, maka pembangunan ekonomi dan sosial akan makin merata (Mubyarto 1996: vi)
Konsep golongan kekurangan pada diskursus berbagi kelebihan, yang
ditafsir ulang ke dalam kelas marhaen, pada diskursus ini digunakan kembali
sembari ditafsir ulang sebagai golongan lemah. Menurut Sajogyo (1977: 10-17),
tubuh-tubuh lemah meliputi buruh tani dan petani gurem –manipulasi tafsir atas
kelas marhaen.
Tahun 1973, 57% petani di Jawa mengusahakan kurang dari 0,5 hektar tanah (rata-rata 0,25 hektar). Ini golongan petani gurem…..
Data tahun 1963 tak banyak berbeda: golongan "petani gurem" tercatat 61% (termasuk luas kurang dari 01 hektar, yang sebenarnya tak terhitung petani) yang menguasai 22% luas tanah pertanian di desa…..
Jika 2 daftar "rumahtangga" tahun 1970 (dalam persiapan sensus penduduk 1971) dapat dipakai sebagai patokan tentang berapa persen rumahtangga yang petani dan bukan petani, maka golongan petani gurem pada tahun 1973
166
meliputi 33% dari rumahtangga di Jawa, jika dari 33% golongan miskin, yang 16% tergolong petani gurem (2,8 juta), maka 19% sisanya (13,0 juta) dapat dikatakan sebagian besar tergolong "buruhtani yang tidak bertanah" atau memiliki kurang dari 750 m2. Mereka meliputi hampir separuh dari golongan bukan-petani yang tercatat sebanyak 42%, dan mencakup 26% yang tak bertanah (Sajogyo 1977: 12).
Ketiadaan alat produksi sebagai sumber kemiskinan sosialis juga
ditafsirkan ulang sebagai ketiadaan akses ekonomis pada diskursus potensi orang
miskin (Sajogyo 2006: 261-282), padahal substansinya sama yaitu lahan di
pedesaan. Penggantian tafsir alat produksi menjadi akses sesuai dengan aliran
pembangunan berbasis kebutuhan dasar manusia, yang lebih mengedepankan
konsep akses daripada kepemilikan –salah satu konsekuensinya ialah pembedaan
pemilik dan penguasa (pengakses) lahan.
Perbedaan lainnya muncul dalam penggunaan kelompok sebagai
mekanisme kumulasi kekuasaan golongan lemah. Pengelompokan kekuatan-
kekuatan tubuh lemah dapat menghasilkan satu kekuasaan yang lebih kuat melalui
interaksi di antara mereka sendiri. Kelompok tidak diarahkan untuk mengambil
alih kepemilikan lahan tuan tanah di luar, sebaliknya Sajogyo (2006: 243-246)
mengarahkan reforma agraria ke dalam anggota kelompok petani gurem.
Kolektivitas di antara petani gurem yang mengerjakan lahan bersama dipandang
menyatukan kekuatan dalam berhubungan dengan posisi yang lebih tinggi.
Landreform itu justru dikenakan pada golongan yang paling gurem, misalnya menguasai kurang dari 0,2 hektar: tanah mereka dibeli pemerintah, kemudian dititipkan sebagai "tanah negara" yang diurus oleh Badan Usaha Buruh Tani (BUBT) di desa. Uang pembelian tanah itu sebagian dijadikan modal Badan Usaha Buruh Tani, baik modal untuk usaha bersama maupun modal yang dipinjamkan pada anggota untuk usaha perorangan.
Kelompok lebih dibutuhkan golongan lemah, bukan lapisan sosial atas.
Golongan yang telah lepas dari kemiskinan tidak membutuhkan kelompok lagi
(Sajogyo 1997: 89-110). Peran penting lapisan atas ialah bersolidaritas dan
memihak golongan lemah. Praktik pemihakan ditunjukkan melalui
167
pendampingan. Oleh sebab itu pendampingan menjadi penting selama masih ada
kelompok berisikan tubuh-tubuh orang miskin.
Hampir semua program penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan kelompok. Peran minimal pendamping kelompok adalah memastikan komponen program (pokmas, dana) tetap lestari dan bila mungkin berkembang. Artinya, kelembagaan (aturan main/AD-ART, administrasi) pokmas menjadi semakin baik, dana yang merupakan modal usaha semakin berkembang. Pendamping mestinya bukan unsur yang terpisah dari program, tetapi faktor integral yang "hidup" dari mekanisme hubungan dengan pokmas yang didampinginya.
Perubahan struktural tidak dilakukan melalui mekanisme konflik kelas
marhaen dengan kelas kapitalis dan kelas feudal, melainkan melalui mekanisme
pemerataan pembangunan. Dibandingkan dengan delapan jalur pemerintah, masih
dibutuhkan kondisi awal yang berisikan berbagai alat produksi petani di desa
(Sajogyo 2006: 261-282). Meskipun mengetengahkan dualitas penurunan
kemiskinan dan peningkatan pemerataan, namun aspek pemerataan tidak selalu
muncul bersamaan. Indikator indeks Gini untuk menunjukkan tingkat
ketimpangan wilayah kurang populer.
Diskursus potensi orang miskin lebih berorientasi pada upaya kemandirian
kelompok miskin, dan tidak memperhitungkan aspek bantuan luar negeri dari
negara maju dan donor internasional. Pada awal dekade 1980-an muncul
pemikiran tentang kemiskinan struktural. Bukannya memperhitungkan
penghisapan surplus antar negara, pemikiran ini diisi Soemardjan (1984: 3-11)
dengan identifikasi organisasi pemerintah penyebab kemiskinan dan rekomendasi
organisasi pembaru penanggulangan kemiskinan di dalam negeri.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Golongan demikian itu biasanya terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin adalah kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, atau yang dengan kata asing
168
dinamakan unskilled laborers. Golongan miskin itu meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari Pemerintah, yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi sangat lemah…..
Dalam rangka pemikiran ini menarik juga anjuran Wakil Presiden Adam Malik dalam pidato yang diucapkan olehnya sendiri di muka seminar agar diusahakan perubahan struktur masyarakat Indonesia sedemikian rupa sehingga kemiskinan struktural tidak banyak lagi artinya (Soemardjan 1984: 5, 11).
Pada dekade yang sama sebenarnya Arif (2001: 7-36) dari diskursus
kemiskinan sosialis menulis perihal ketergantungan Indonesia terhadap negara
maju dan donor, serta konsekuensinya pada pemiskinan sebagian warganegara.
Akan tetapi, pendekatan ketergantungan antar negara tidak pernah muncul sebagai
pemikiran dominan.
Berorientasi pada model pendekatan kebutuhan dasar, dan berdasarkan
hasil penelitian gizi masyarakat, upaya menghitung golongan miskin dilakukan
Sajogyo (1988: 1-14) dengan garis kemiskinan berbasis gizi minimal untuk
bekerja. Bila dihitung secara individual, gizi yang dibutuhkan 2.100 Kkal/hari.
Akan tetapi dengan memperhitungkan simpangan pada tingkat masyarakat, maka
nilainya menjadi 1.900 Kkal/hari. Untuk mempermudah penghitungan –tanpa
memperhitungkan perbedaan inflasi antar tempat dan waktu—maka
penghitungannya diukur dari nilai beras. Bila dikaitkan dengan orientasi lokalitas
yang seharusnya menghasilkan garis kemiskinan lokal yang berbeda-beda, serta
pemikiran struktural kemiskinan yang tidak mempercayai garis kemiskinan
absolut, maka upaya perumusan garis kemiskinan nasional atau makro tergolong
anomali dalam diskursus ini. Hasil kajian kemiskinan mikro hampir selalu
berakhir pada kemiskinan lokal yang lebih parah dibandingkan hasil ukuran garis
kemiskinan makro (White 1996: 29-45). Argumen penyusunan garis kemiskinan
yang dimunculkan ialah untuk menduga ketidakmerataan sosial (Luthfi 2011:
165), padahal indikator yang lebih tajam dan telah mulai digunakan saat itu ialah
indeks Gini.
Diskursus kemiskinan produksi muncul untuk merespons ketimpangan
sosial –yang diindikasikan oleh ketimpangan wilayah—pada akhir tahun 1970-an.
Dekade 1970-an ditandai oleh peningkatan indeks Gini, dan kesenjangan sosial
169
tersebut tampaknya dirasakan banyak pihak, sehingga pemerintah mengeluarkan
Paket Kebijaksanaan Moneter 15 November 1978 yang antara lain ditujukan pada
penciptaan kondisi bagi pola hidup yang lebih wajar –dikenal sebagai pola hidup
sederhana (Dahlan 1978: 22-32). Konsep dari diskursus menginginkan
kesederhanaan ini dimanipulasi untuk mengurangi konsumsi ekonomis seluruh
penduduk, sehingga diharapkan mengurangi ketimpangan ekonomi. Akan tetapi
diselipkan anomali, bahwa ukuran sederhana itu tergantung pada penilaian
penduduk terhadap pendapatannya. Konsekuensinya kian miskin penduduk maka
mekanisme pendisiplinan konsumsi kian merepresinya, sebaiknya kian kaya
penduduk maka kian terbuka untuk berkonsumsi lebih tinggi. Kontradiksi tersebut
sudah menghapus efektivitas kebijakan pemerintah.
Istilah sederhana atau mewah sangat relatif dan tergantung keadaan masing-masing orang pada suatu waktu tertentu. Orang cenderung menganggap mewah hal-hal yang tidak tercapai oleh kemampuannya sendiri atau yang dianggapnya berlebih-lebihan bagi dirinya pada suatu ketika. Pada saat yang lain, hal-hal yang sama mungkin dianggapnya bukan mewah lagi atau dapat bertambah mewah. Golongan menengah –yang memang lebih banyak mengeluarkan suara—dengan sendirinya cenderung menganggap pola hidup kalangan atas sebagai kemewahan; sedangkan bagi golongan yang berada itu sendiri gaya itu dirasakan wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan mereka (Dahlan 1978: 23).
Garis kemiskinan untuk kebutuhan standardisasi lebih terbuka untuk
disusun dalam diskursus kemiskinan produksi. Pada tahun 1984 BPS
mengembangkan garis kemiskinan negara. Sama-sama menggunakan basis
kebutuhan energi 2.100 Kkal per hari, orientasi kepada metode individualistik
menghalangi penggunaan batas simpangan 1.900 Kkal pada tingkat komunitas
dan negara –ini batas bawah yang digunakan Sajogyo (1988: 1-14).
Konsekuensinya, garis kemiskinan BPS senantiasa lebih tinggi daripada garis
kemiskinan Sajogyo. BPS hanya memunculkan satu garis kemiskinan, sementara
Sajogyo selalu memunculkan lehih dari satu garis kemiskinan. Nilai uang
distandardisasi antar wilayah (memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan
inflasi), lalu digunakan sebagai hasil penghitungan. Sama seperti Sajogyo yang
170
menggunakan data Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diproduksi
tahunan, seharusnya garis kemiskinan ini dapat dipublikasikan setiap tahun.
Bahwa hal tersebut tidak dilakukan hingga tahun 1993, menunjukkan
pembungkaman diskursus kemiskinan hingga awal 1990-an. Hal ini terutama
berkaitan dengan kemunculan pandangan proses pemiskinan selama dekade 1970-
an dan 1980-an, yang ditentang oleh Presiden Soeharto (2008: 413-414). Dalam
pernyataannya identitas pencipta garis kemiskinan diberikan kepada Mubyarto,
padahal diciptakan oleh Sajogyo. Nama Sajogyo juga dihilangkan sebagai "orang
itu" yang sebelumnya menyatakan pemiskinan dalam proses pembangunan.
Pada permulaan tahun 1985 saya menyebutkan, bahwa garis kemiskinan di negeri kita, di mana kebanyakan adalah kaum petani, ialah 320 kg beras per tahun per orang.
Yang menetapkan batas itu adalah ahli-ahli ekonomi kita, seperti Mubyarto dan yang lainnya. Saya pun pernah menghitungnya sekian tahun ke belakang. Dan perhitungan saya itu kira-kira cocok dengan perhitungan para ahli ekonomi kita itu.
Alhasil, batas 320 kg beras per tahun per orang itu harus bisa dilampaui oleh seorang petani kita, supaya tidak hidup dalam kemiskinan…..
Ada yang mengatakan seolah-olah proses pembangunan kita selama 15 tahun ini, bahkan 18 tahun, merupakan proses pemiskinan terhadap rakyat kita.
Pendapat yang demikian itu maksudnya tentu baik, yakni untuk memperingatkan agar pembangunan yang kita lakukan benar-benar sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk memperbaiki taraf hidup rakyat.
Kalau benar begitu halnya di Indonesia selama ini, maka saya berdosa.
Tetapi apa yang saya lihat, kebalikan dari pendapat sementara orang itu.
Membawa proses kemiskinan berarti rakyat makin lama makin miskin.
Nyatanya, mereka yang tadinya makan hanya sekali sehari. Sekarang saya tahu bisa makan dua kali sehari, bahkan bisa tiga kali sehari. Dengan demikian, maka tentu rakyat tidak menjadi lebih miskin.
Ungkapan di atas mungkin lebih tepat menunjukkan maksud Presiden
Soeharto, dibandingkan saat secara resmi memunculkan garis kemiskinan negara
171
pada tahun 1984. Dalam pidato resmi tersebut yang diacu justru garis kemiskinan
BPS –bukan garis kemiskinan Sajogyo.
Salah satu indikator penting pemerataan kesejahteraan rakyat dalam jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Apabila garis kemiskinan dipakai sebagai tingkat pengeluaran keluarga minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan setara dengan 2.100 kalori per anggota keluarga per hari serta kebutuhan pokok bukan-pangan tertentu, maka diperoleh jumlah sebagai berikut ….. berkurang dari 54,2 juta orang atau 40,1% dari seluruh penduduk dalam tahun 1976 menjadi 47,2 juta atau 33,3% dari seluruh penduduk dalam tahun 1978 ….. menjadi 40,6 juta atau 26,9% dalam tahun 1981 (Luthfi 2011: 165).
Sempat muncul pandangan bahwa pengukuran dengan menggunakan garis
kemiskinan memiliki kelemahan mendasar karena bersifat dugaan dari data
survai. Pertanyaan dalam survai juga tidak memperhitungkan utang, padahal kelas
bawah biasa mengkonsumsi barang dengan berutang (Arif 2006: 200-201).
Pandangan dari diskursus kemiskinan sosialis ini tidak berkembang lebih lanjut.
Sejak pertengahan 1980-an World Bank mengubah tema pembangunan
dari structural adjustment program (SAP) atau dikenal juga sebagai Washington
Consensus, menjadi tema pengurangan kemiskinan. Tema kemiskinan
dikembangkan dalam laporan World Development Report (WDR) 1980 dan 1990
–selanjutnya juga muncul pada tahun 1999. Dokumen ini menyebarkan kekuasaan
untuk mengarahkan pembangunan di negara-negara miskin.
…..the importance of successive WDRs in shaping the boundaries and the nature of ‘mainstream’ development debates. Their relationship with the World Bank (WB) means that they have a huge research and production budget, and the Bank can afford to disseminate them widely – a minimum of 50 000 English copies are now printed, and another 50 000 summaries are produced in seven other languages. The WDRs are usually the most ‘accessible’ of the WB’s annual publications, and in many ways act as its ‘public face’. Their association with the WB also lends them (in many circles) considerable weight and legitimacy. Thus, the WDRs have been a significant vehicle for promoting visions of development that have been broadly congruent with the views of various hegemonic institutions, including the WB, the
172
International Monetary Fund (IMF) and the US government (Mawdley dan Rigg 2002: 93).
Tema kemiskinan diterima pemerintah pada awal 1990-an. Untuk pertama
kalinya –dan merupakan perubahan yang cepat—pemerintahan Presiden Soeharto
menerima pandangan munculnya kemiskinan di Indonesia. Dibandingkan dengan
laju kemiskinan yang menurun sejak dekade 1970-an (dari sekitar 40,1 persen
atau 54,2 juta pada tahun 1976 menjadi 13,7 persen atau 25,9 jiwa pada tahun
1993), sejak tahun 1993 jumlah dan persentase orang miskin meningkat.
Bersamaan dengan skandal kalkulasi BPS yang dijelaskan di bawah, jutaan orang
miskin telah dimunculkan melalui keputusan pemerintah ini (sebelum krisis
moneter, pada tahun 1996 mencapai 17,5 persen atau 34,5 juta, atau meningkat
8,6 persen dan 3,8 juta orang miskin).
Dengan konsep akademis penanggulangan kemiskinan yang jauh lebih
siap, serta praktik-praktik kelompok dampingan LSM, diskursus potensi golongan
miskin segera mengelola program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan
hingga akhir 1990-an. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) sejak tahun 1994
mempraktikkan pandangan diskursus potensi golongan miskin pada sekitar 20
ribu desa di Indonesia. Tidak mendapatkan data sensus penduduk miskin, maka
data sensus potensi desa diolah menjadi data 22 ribu desa tertinggal. Sesuai
dengan orientasi lokalitas, warga desa tertinggal menentukan sendiri golongan
miskin di antara tetangganya. Mubyarto (1996: 7-8) mempraktekkan diskursus
potensi golongan miskin dengan mempercayai warga desa untuk menentukan
sendiri golongan miskin di desanya, membentuk kelompok berisikan tubuh-tubuh
miskin, merancang kegiatan kelompok sendiri, mempercayakan dana yang relatif
besar untuk dikelola mereka, kemudian digulirkan di antara golongan miskin
sendiri. Solidaritas lapisan atas diwujudkan dalam bentuk pendampingan untuk
memandirikan kelompok dan anggotanya. Dalam Program IDT berbagai ragam
proses pemberdayaan orang miskin kreasi pendamping dihargai sebagai lokalitas
yang paling tepat untuk melembagakan komponen proyek.
II. SIFAT DAN RUANG LINGKUP 1. Program IDT adalah bagian dari gerakan nasional penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan secara bertahap
173
dan berkelanjutan dengan mengikutsertakan berbagai instansi dan lembaga, baik Pemerintah maupun swasta, termasuk perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan dan lembaga kemasyarakatan lainnya; 2. Program IDT juga merupakan strategi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan yang menyeluruh dan terpadu untuk mempercepat perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat/desa tertinggal menuju kondisi ketangguhan, ketahanan dan kemandirian; 3. Program IDT menyediakan bantuan khusus berupa modal kerja bagi kelompok penduduk miskin disertai bimbingan dan pendampingan khusus.1
Berorientasi kepada kemandirian, pada tahun 1996 dikembangkan gerakan
masyarakat dan pendamping untuk mandiri dari program penanggulangan
kemiskinan. Golongan miskin yang mandiri dirancang dicirikan oleh
kemampuannya dalam berusaha serta mencari tambahan modal sendiri.
Pendamping mandiri mendapatkan nafkah dari kegiatan pendampingan
kelompok-kelompok golongan miskin, dapat beralih dari gugus kelompok yang
satu ke gugus kelompok lainnya (Sajogyo 1997: 13, 134-136).
Pertarungan gerakan kemiskinan terjadi antara proyek yang diarahkan
pada kemandirian masyarakat, dan instruksi presiden untuk melembagakan
gerakan tersebut dalam struktur pemerintahan. Menteri Negara Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan bertugas
mengkoordinasikan departemen, instansi dan kelompok masyarakat yang
memiliki program berhubungan dengan pengentasan kemiskinan, menyusun
panduan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, mengkoordinasikan
pelaksanaan program, dan melaporkan kepada presiden. Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional bertugas dalam perencanaan program dan penyediaan dana. Menteri
Keuangan bertugas mengatur dana yang diperlukan. Menteri Dalam Negeri
bertugas menyusun petunjuk teknis pelaksanaan di provinsi dan kabupaten/kota.
Menteri lainnya dan pimpinan lembaga pemeirntah non-departemen wajib
memberikan prioritas dan dukungan terhadap pelaksanaan program Gerakan
Terpadu Pengentasan Kemiskinan. Gubernur bertugas mengkoordinasi 1 Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1993 tanggal 27 Desember 1993.
174
pelaksanaan program ini. Bupati/Walikotamadya memastikan prioritas program
ini di daerah masing- masing.
… dalam rangka mendorong, mengefektifkan dan mengoptimalkan upaya pengentasan kemiskinan secara terpadu dan terkoordinasi antar lintas sektor/instansi terkait dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan sebagai bagian dari upaya nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.1
Sebenarnya sejak tahun 1994 muncul pula inpres yang melandasi praktik
dari diskursus kemiskinan ras dan etnis. Melanjutkan pembicaraan Presiden
Soeharto dengan konglomerat pada tahun 1991, dana karitatif dikumpulkan dan
selanjutnya dikelola dalam Yayasan Damandiri. Berkaitan dengan itu, Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengelola sensus keluarga
sejahtera oleh petugas keluarga berencana (KB) di tingkat kecamatan dan desa
(Achir 1994: 8-9). Dua kategori terbawah –keluarga pra sejahtera dan keluarga
sejahtera I—digolongkan sebagai keluarga miskin. Melalui kelompok Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) Bantuan dana kepada
keluarga miskin dilakukan dalam program tabungan kesejahteraan keluarga
(Takesra) dan kredit usaha kesejahteraan keluarga (Kukesra).
Namun, karena jumlah desa di Indonesia ada sekitar 65.000 desa, maka, jelas sekali bahwa program yang dirancang itu (Program IDT) tidak akan bisa membantu keluarga miskin di 43.000 desa lainnya. Sementara itu para konglomerat, yang juga prihatin atas makin melambatnya penurunan tingkat kemiskinan tersebut merasa terketuk hatinya untuk ikut bersama pemerintah memikirkan jalan keluar yang terbaik. Dalam kesempatan yang sama mulai diadakan pula program-program pemberdayaan keluarga dalam rangka pengembangan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, para pengusaha yang peduli mengusulkan kepada Presiden untuk ikut serta menangani keluarga dan penduduk di desa yang tidak tertinggal…..
Kemudian disusun program atau gerakan keluarga sadar menabung agar supaya para keluarga yang sekarang masih miskin bisa belajar menabung. Dalam rancangan awal dana yang ditabung itu akan dijadikan modal bersama untuk dipergunakan secara
1 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1998 tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, bagian Menimbang huruf c.
175
bergulir oleh para penabungnya. Dengan memberi kesempatan para peserta KB yang telah bergabung dalam kelompok-kelompok untuk menabung akan diperoleh dana yang cukup untuk bisa dipergunakan secara bergulir. Namun karena keluarga-keluarga itu pada umumnya miskin, atas petunjuk Bapak Presiden modal awal tabungan itu disumbang oleh para pengusaha. Gerakan Keluarga Sadar Menabung itu kemudian dicanangkan oleh Bapak Presiden pada tanggal 2 Oktober 1995 dan tabungan para keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I itu kemudian terkenal sebagai Tabungan Keluarga Sejahtera atau Takesra.1
Diskursus ini juga mengembangkan program Komunitas Adat Terpencil
(KAT), dengan kegiatan yang terpola berupa pendisiplinan suku bangsa yang
terpencil dan hidup berpindah-pindah ke dalam permukiman yang mengumpul
dan lebih dekat ke wilayah perkotaan (Syuroh 2011: 229-248). Dalam
permukiman bentukan tersebut dibangun rumah-rumah kecil untuk keluarga batih.
Penghuninya dilatih budidaya dan usaha kerajinan.
Diskursus kemiskinan produksi juga menyelinap dengan program
Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Dengan jangkauan
dan nilai program yang lebih terbatas –tidak mencakup seluruh desa tertinggal—
program ini sekedar menjadi pendamping Program IDT. Hanya di kawasan Timur
Indonesia infrastruktur muncul sebagai bahan diskusi (Sarman dan Sajogyo 2000:
179).
Pandangan diskursus kemiskinan produksi sempat pula masuk ke dalam
publikasi kelompok masyarakat IDT terbaik . Dalam dokumen tersebut (Mubyarto
1995: 5-6) tertulis taksonomi tubuh miskin atas penduduk miskin produktif dan
penduduk miskin tidak produktif. Sulit untuk berkembang dalam diskursus
potensi golongan miskin, pandangan ini tidak berkembang lebih lanjut.
Tidak terwujud hubungan metodologis antara program IDT dari program
lainnya –tanda berada pada diskursus yang berbeda. Data keluarga sejahtera tidak
digunakan untuk menentukan anggota kelompok masyarakat dalam Program IDT.
Pemilihan sendiri oleh warga desa dipandang lebih sesuai dengan diskursus
potensi golongan miskin. Bantuan dana langsung –artinya tanpa pembentukan
kelompok orang miskin serta pemberdayaan kelompok melalui pendamping—
1 Diunduh dari http://www.damandiri.or.id/index.php/main/sejarah pada tanggal 31 Desember 2011 pukul 6.27 WIB.
176
juga dinilai tidak sesuai dengan diskursus ini. Begitu pula menimpakan kesalahan
pada komunitas adat terasing berkebalikan dari kepercayaan potensi pada diri
golongan miskin. Infrastruktur tidak dipandang sebagai bagian diskursus
kemiskinan, sehingga Program P3DT ditafsir sebagai pendamping Program IDT.
Berkaitan dengan hal ini, Sajogyo (2006: 257-258) menyatakan pemikirannya
sebagai berikut.
Jika memakai ukuran orang Barat yang digambarkan dalam Keluarga Berencana, yang termasuk miskin adalah keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera I. Jadi kurang lebih setengah penduduk Indonesia masih miskin.
Krisis moneter tahun 1998 yang diikuti turunnya pemerintahan Presiden
Soeharto mulai menguatkan diskursus kemiskinan produksi, sementara diskursus
potensi orang miskin mulai tenggelam. Program IDT dihentikan bersamaan
dengan pergantian Presiden Soeharto kemudian Presiden B.J. Habibie. Hanya
beberapa bulan sejak krisis moneter, program penanggulangan kemiskinan yang
bernilai besar muncul dalam bentuk pemberian bantuan tunai Program Jaring
Pengaman Sosial (JPS), dan pemberian beras Program Beras untuk Rakyat Miskin
(Raskin). Bantuan langsung dipandang lebih simpel tanpa perlu perencanaan
partisipatif, serta tidak mempercayai potensi golongan miskin (Mubyarto 2000:
4).
Sangat disayangkan bahwa suasana gotong royong mengatasi kemiskinan yang sudah berkembang baik ini menjadi buyar berantakan karena terjadinya krismon (krisis moneter) menjelang akhir 1997. Dalam suasana panik mengatasi dampak krismon yang cenderung dibesar-besarkan itu lahir berbagai program/proyek JPS yang juga kebablasan, yang tidak menganggap perlu "belajar" dari program-program PPK (Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan) yang sudah berjalan seperti program IDT, Takesra, Kukesra, P4K, Kube, dll. Program PDM-DKE yang menyatakan diri "berpola IDT" dalam praktik pelaksanaannya terang-terangan bertentangan dengan program IDT dalam hal tidak mempercayai warga desa untuk menentukan siapa yang berhak menerima bantuan dana JPS/PDM-DKE. Kini nasi telah menjadi bubur, "sesal dulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna"!
177
Untuk menguatkan arti krisis moneter, BPS telah memanipulasi metode
pengukuran garis kemiskinan, dengan menambahkan komponen pengeluaran
barang-barang baru. Metode baru ini telah menjaring tubuh-tubuh miskin lebih
banyak, sehingga persentase tubuh miskin sebelum dan sesudah krisis moneter
meningkat tajam. Melalui kalkulasi lama, kemiskinan pada tahun 1996 sebesar
11,34 persen atau 22,5 juta jiwa, dan kalkulasi baru sebesar 17,5 persen dan 34,5
juta jiwa. Sementara itu, melalui kalkulasi baru kemiskinan pada tahun 1998
sebesar 24,23 persen dan 49,5 juta jiwa. Jika kalkulasi lama 1996 dibandingkan
dengan kalkulasi baru 1998, muncullah pandangan bahwa krisis moneter memiliki
pengaruh mendalam bagi tubuh miskin di Indonesia, dengan menambah 27 juta
tubuh miskin –sementara kalau konsisten menggunakan seluruh kalkulasi terakhir
hanya meningkatkan 15 juta tubuh miskin. Pernyataan baru ini memunculkan
basis legitimasi praktik program-program pengurangan kemiskinan.
It is interesting to see how BPS has changed the measurement of poverty , to adjust the dynamic of the society and to attempt to improve the coverage of the poor. These changes are all made to make the statictics on poverty more relevant. Yet, those reading such statictics might not be aware of these changes and mightbe inclined to make wrong conclusion…..
… In a certain BPS publication, it was stated that the calculation of the non-food poverty line had been changed in December 1998 to bring it in line with development in society with regard to non-food need. The definition of "needs" was expanded because BPS realized that the needs of society had expanded. Hence, BPS raised the poverty line. With these changes, it is no surprise that poverty figures also increased. Of the increase of 27 million, some of this represented a genuine increase and the rest was simply a result of adjustment of method of calculation (Ananta 2005: 99).
Penguatan diskursus kemiskinan produksi kian berkembang setelah tahun
1998 dikembangkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dengan donor
World Bank untuk sekitar 5.000 kecamatan. Hingga kini program tersebut tidak
berhenti, bahkan sejak tahun 2008 program ini berganti nama menjadi Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Perdesaan) yang
mencakup seluruh kecamatan pedesaan di Indonesia.
178
Berbagai arena di dalam Program PPK atau PNPM Perdesaan menyerupai
Program IDT, namun telah ditafsir ulang dalam diskursus kemiskinan produksi.
Program tersebut menggabungkan komponen kredit kelompok dan infrastruktur.
Telah lama donor internasional dikenal lebih mampu mengelola proyek
infrastruktur dibandingkan pengembangan kelembagaan (Israel 1992: 2).
Pembangunan komponen infrastruktur selesai setelah bangunan diserahkan
kepada pemerintah desa, sedangkan pengembangan kredit kelompok seharusnya
berkelanjutan hingga durasi proyek selesai. Dalam Program PPK komponen
infrastruktur segera mendominasi nilai kegiatan dibandingkan kredit kelompok.
Pendamping di tingkat kecamatan dan desa lebih menekankan komponen
infrastruktur. Data Potensi Desa tahun 2011 menunjukkan infrastruktur
transportasi yang dibangun dengan PNPM mencapai lokasi 46.746 desa, jauh
melebihi kegiatan ekonomi yang hanya mencakup belasan ribu desa.
Kekuasaan disalurkan melalui mekanisme standardisasi. Mulai Program
PPK tahapan perencanaan partisipatif, hingga pelaksanaan, dan kontrol
didisiplinkan dalam panduan-panduan teknis operasional. Kreativitas dari
lapangan yang dipandang selaras dengan diskursus kemiskinan produksi
dikembangkan sebagai disiplin baru pada pedoman tahun berikutnya. Pada tahun
1998 hanya ditemukan pedoman-pedoman kecil dan tipis (tidak lebih dari 30
halaman) untuk program dan kegiatan, jumlahnya tidak lebih dari 5 buku. Pada
saat ini setiap desa mendapatkan 14 buku panduan, masing-masing di atas 50
halaman, yang diperbaiki setiap tahun.
Pandangan efisiensi dipraktikkan dalam arena persaingan proposal antar
kelompok dalam desa maupun antar desa dalam satu kecamatan. Penilaian
proposal diunggulkan pada efisiensi perencanaan kegiatan. Dalam persaingan di
tingkat kecamatan, proposal desa dengan persentase dana swadaya masyarakat
tertinggi hampir pasti terpilih untuk menerima dana program. Swadaya
masyarakat yang diidentifikasi sebagai kemandirian dalam diskursus potensi
golongan miskin, kini ditafsir ulang sebagai modal ekonomi desa untuk
mendapatkan proyek. Melalui persaingan, program ini ingin memilih desa yang
lebih maju dan mampu menyediakan swadaya lebih tinggi, daripada desa yang
lebih tertinggal dan hanya menyediakan swadaya rendah. Pada saat ini konsep
179
persaingan telah diubah menjadi prioritas, namun pelaksanaannya tetap sesuai
teori pengambilan keputusan rasional, yaitu mengurutkan (memprioritaskan)
kegiatan sesuai dengan urutan yang paling sesuai dari tujuan pembangunan desa.
4.2.2. Perencanaan Partisipatif di Kecamatan Perencanaan partisipatif di kecamatan bertujuan untuk
menyusun prioritas kegiatan antar desa/kelurahan berdasarkan hasil perencanaan partisipatif di desa/kelurahan, sekaligus mensinergikannya dengan rencana pembangunan kabupaten/kota.
Prioritas hasil perencanaan pembangunan partisipatif PNPM Mandiri dan musrenbang desa/kelurahan menjadi prioritas untuk dibiayai dengan sumber pendanaan kecamatan.1
Formalisasi kegiatan dengan menekankan proposal tertulis ke kecamatan
hanya memperhitungkan nilai uang dari swadaya desa. Di dalam desa sendiri
konsep kerukunan dari diskursus berbagi kelebihan dimanipulasi warga desa
sendiri. Arena kerukunan berupa gotong royong digunakan untuk meningkatkan
nilai swadaya desa. Untuk mengoptimalkan kerja warga desa dalam kegiatan
program ini, mereka diupah dengan nilai sama atau sedikit di bawah upah buruh
bangunan. Upah tersebut benar-benar diberikan kepada warga yang mengerjakan
kegiatan, namun segera dikembalikan kepada pemerintah desa untuk dituliskan
sebagai swadaya masyarakat.
Persaingan untuk mendapatkan kredit kelompok juga telah menyisihkan
tubuh-tubuh miskin. Untuk menunjukkan efisiensi penggunaan kredit –sehingga
memenangkan persaingan perebutan kredit kelompok di kecamatan—maka warga
desa menyeleksi sendiri tubuh-tubuh yang telah memiliki modal berupa
penghasilan tetap. Buruh tani, petani kecil, dan golongan miskin lainnya tidak
mendapatkan kesempatan mengusulkan kelompok masyarakat ini. Agar lebih
memastikan efisiensi pengembalian kredit kelompok, dalam PNPM Perdesaan
bahkan warga yang tidak miskin diperbolehkan mengisi maksimal 25 persen
keanggotaan kelompok –padahal dalam diskursus potensi orang miskin kelompok
masyarakat hanya beranggotakan golongan miskin tanpa memperhatikan modal
awal mereka.
1 Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2007/2008, halaman 23.
180
Dalam diskursus potensi golongan miskin, mekanisme tanggung renteng
dikembangkan untuk menguatkan solidaritas antar anggota kelompok masyarakat.
Mekanisme ini tetap diberlakukan, namun dimanipulasi sebagai pendisiplinan
kelompok. Unit Pengelola Kegiatan (sebelum tahun 2008 disebut Unit Pengelola
Keuangan, sama-sama disingkat UPK) terus menagih kelompok saat salah satu
anggotanya menunggak angsuran, dan menyarankan anggota lainnya untuk
menalangi sesuai perjanjian kredit.
Diskursus kemiskinan ras dan etnis menyelinap melalui prasangka
efisiensi pengembalian kredit kelompok yang rendah saat dikelola laki-laki,
sebaliknya efisiensi pengembalian yang tinggi saat dikelola perempuan.
Prasangka seksualitas ini diformalkan dalam pedoman operasional, dengan
menghilangkan kelompok laki-laki, dan memunculkan hanya kelompok simpan
pinjam oleh perempuan (SPP).
Tugas pendamping ditekankan pada disiplin pemenuhan panduan.
Kemunculan pendisiplinan ini telah menurunkan nilai kreativitas mantan
pendamping IDT yang berasal dari LSM dan lulusan baru perguruan tinggi.
Formalisasi organisasi melalui mekanisme pendisiplinan pelaporan pendampingan
yang kian melimpah, juga menyulitkan pendamping asal LSM yang lebih terbiasa
praktik daripada mendokumentasikannya. Disiplin baru bagi pendamping telah
memunculkan peran konsultan pendamping yang bersumber dari perusahaan-
perusahaan swasta konsultansi pemberdayaan, serta menenggelamkan peran LSM.
Panoptisme Orang Miskin Sedunia
Sejak tahun 2000 dibentuk organisasi untuk menyatukan program dan
kegiatan pengurangan kemiskinan. Dalam kaitan ini Foucault (2002d: 90-91).
menggunakan konsep panoptisme untuk merujuk pengawasan aparat penjara
kepada para tahanan. Organisasi menjadi panoptisme secara sosial, yang berupaya
mengawasi setiap program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan. panoptisme
berlangsung sejak dari World Bank kepada Indonesia, karena kinerja pengawasan
dan pengorganisasian Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK)
menjadi prasyarat pencairan utang luar negeri. Selanjutnya BKPK menjadi
181
panoptisme bagi kementerian dan lembaga di tingkat nasional, dengan cara
mengumpulkan, mengkategorikan, dan mengusulkan pembuangan program dan
kegiatan mereka.
Selaku Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan, HS Dillon menilai, tugas pihaknya sangat berat. Setidaknya memiliki 'point' menentukan bagi segera teralisirnya kucuran dana bantuan dari Bank Dunia. Yang bakal dilakukan pihaknya ke depan adalah satu proses yang betul-betul melibatkan semua pihak.
"Artinya, melibatkan LSM, pengusaha, perguruan tinggi, pemerintah daerah termasuk legislatifnya," ujar anak seorang 'Kepala Suku' kelahiran Medan, Sumatera Utara tahun 1945, yang meraih gelar doktor dari Cornell University, Ithaca, New York, AS, pada tahun 1983.
….. Menurut pemilik moto "warisan" dari orang tuanya
"Knowledge is power", dan mempraktekkannya kepada masyarakat kalangan bawah, bahwa melihat persoalan kemiskinan yang terjadi saat ini tidak dapat ditanggulangi sambil jalan. Departemen-departemen yang berkompeten akan hal kemiskinan tersebut menjalankan tugas pokok-tugas pokok. Sedangkan badan ini memberikan fokus supaya tugas berat ini dapat betul-betul dilakukan secara integrated.
Pada saat yang sama, World Bank menegaskan keterkaitan antara
tingkatan global dan nasional dalam pengurangan kemiskinan. Luasnya peran
yang dirumuskan untuk donor internasional berkonsekuensi pada luasnya peluang
kegiatan berbasis utang luar negeri (World Bank 2000: 12).
The way to deal with this complexity (of poverty) is through empowerment and participation—local, national, and international. National governments should be fully accountable to their citizenry for the development path they pursue… And international institutions should listen to—and promote— the interests of poor people…..
There is an important role in this for rich countries and international organizations. If a developing country has a coherent and effective homegrown program of poverty reduction, it should receive strong support—to bring health and education to its people, to remove want and vulnerability. At the same time global forces need to be harnessed for poor people and poor countries, so that they are not left behind by scientific and med- ical advances. Promoting global financial and environmental
182
stability—and lowering market barriers to the products and services of poor countries—should be a core part of the strategy.
Setahun berikutnya dibentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK)
dengan peran serupa. Peran tambahannya ialah formalisasi panoptisme sebagai
mekanisme kekuasaan yang strategis, dengan menciptakan dokumen perencanaan
pengurangan kemiskinan untuk jangka menengah (5 tahun). Dokumen hendak
dijadikan panduan bagi donor dari luar negeri untuk memberikan utang bagi
pemerintah Indonesia. Dokumen serupa juga sudah dipersyaratkan bagi negara-
negara miskin lainnya untuk mendapatkan utang dari donor internasional. Rezim
kebenaran dikembangkan melalui sasaran mainstreaming (pengarusutamaan)
kemiskinan, yaitu "terwujudnya cara pandang dan persepsi yang sama mengenai
penduduk miskin sebagai kelompok sasaran dan pelaku penanggulangan
kemiskinan".1
Mainstreaming (pengarusutamaan): upaya untuk
meletakkan perspektif yang benar tentang konsistensi antara kebijakan dan program, antara program dan penganggaran, antara penentuan sasaran dan sistem penyampaiannya, dan pembagian peran antar pelaku pembangunan dalam penanggulangan kemiskinan.2
Diskursus kemiskinan produksi meninggalkan jejaknya dengan
memasukkan pemikiran efisiensi dalam dokumen Interim Poverty Reduction
Strategic Paper (I-PRSP) pada tahun 2003. Dua pendekatan utama
penanggulangan kemiskinan ialah meningkatkan pendapatan dan mengurangi
pengeluaran. Adapun taksonomi kebijakan diarahkan kepada orang miskin
produktif, dan orang miskin yang tidak mampu lagi berproduksi. Kebijakan untuk
orang miskin produktif meliputi penciptaan kesempatan kerja, pemberdayaan
masyarakat, dan peningkatan kapasitas. Kebijakan untuk orang miskin yang tidak
lagi produktif ialah proteksi sosial.
Sebagaimana disebutkan dalam langkah-langkah penanggulangan kemiskinan di muka, penanggulangan kemiskinan didekati dari dua sisi, yaitu:
1 Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan, halaman 64. 2 Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan, halaman 68.
183
(a) Meningkatkan pendapatan melalui peningkatan produktivitas, di mana masyarakat miskin memiliki kemampuan pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial budaya, maupun politik;
(b) Mengurangi pengeluaran melalui pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses ke pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi.
Ada baiknya membandingkan dua pendekatan dalam SNPK dengan dua
pendekatan yang sejak lama dimunculkan World Bank (1990: 138). Pendekatan
pertama bersifat peningkatan efisiensi bagi orang miskin yang masih bisa bekerja,
sedangkan strategi berikutnya diarahkan untuk mengurangi pengeluaran orang
miskin.
This Report has emphasized a dual approach to reducing
poverty. The elements of this twofold strategy are: • Efficient labor-intensive growth based on appropriate
market incentives, physical infrastructure, institutions, and technological innovation
• Adequate provision of social services, including primary education, basic health care, and family planning services,
Dokumen I-PRSP menjadi kerangka dalam mengembangkan dokumen
PRSP atau SNPK (Poverty Reduction Strategic Paper atau Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan). Pendekatan penanggulangan kemiskinan yang
dipilih masih sama dengan dokumen I-PRSP. Pandangan diskursus potensi orang
miskin tentang pemberdayaan masyarakat untuk kemandirian telah diambil dan
dimanipulasi dalam diskursus kemiskinan produksi untuk efisiensi pembangunan,
sebagaimana manipulasi tafsir dari arena yang sama antara Program IDT ke dalam
Program PPK.
Usulan dari diskursus kemiskinan sosialis juga diterima sekaligus
dimanipulasi. Pemikiran baru tentang hak kelas miskin sebagai basis
pengambilalihan alat produksi dari kelas atas, dimanipulasi menjadi hak untuk
mendapatkan kebutuhan dasar.
Penanggulangan kemiskinan tidak dapat dilakukan secara
singkat dan sekaligus karena kompleksitas permasalahan yang
184
dihadapi masyarakat miskin dan keterbatasan sumberdaya untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar. Oleh sebab itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan dipusatkan pada prioritas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan sumberdaya alam, rasa aman, dan berpartisipasi dengan memperhitungkan kemajuan secara bertahap.
Usulan program reforma agraria juga diterima, namun sekaligus
dinormalkan sebagai proyek sertifikasi lahan. Kegunaan lahan besertifikat ialah
menjadi agunan untuk meminjam modal dari perbankan. Ekonomisasi modal
orang miskin membuka pertautannya dengan ekonomi nasional hingga global
(Soto 2000: 209-292). Tanpa pengorganisasian orang miskin –tidak ada program
pengorganisasian tersebut—pertautan ekonomi dapat menjadi arena baru
penghisapan surplus modal kepada kelas atas.
Target: meningkatnya status kepemilikan tanah masyarakat miskin. Indikator: persentase rumahtangga yang memiliki tanah besertifikat. Kebijakan: meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat miskin tanpa diskriminasi gender. Langkah kebijakan: sertifikasi massal dan murah bagi masyarakat miskin.1
….. Pada tataran implementasi, UUPA sebagai dasar
pelaksanaan politik pertanahan dan penegakan hukum masih sangat lemah. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai masalah pertanahan. Kebijakan pertanahan hanya dilaksanakan melalui konsolidasi tanah dan reformasi agraria berupa penyediaan tanah dan sertifikasi. Di satu sisi, kebijakan tersebut mendukung penyediaan tanah untuk investasi baru, dan meningkatnya jaminan tanah bagi kredit perbankan. Di sisi lain, kebijakan tersebut mendorong percepatan transaksi tanah yang berdampak akumulasi kepemilikan tanah, konversi lahan pertanian secara massal dan meningkatnya jumlah petani gurem dan tunakisma (buruh tani).2
Dokumen SNPK telah melebarkan subyek orang miskin. Semula subyek
tersebut individu, sebagaimaan terekam pada penghitungan jumlah orang miskin
menurut garis kemiskinan Sajogyo maupun garis kemiskinan BPS. Dalam 1 Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2004, halaman 141 2 Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2004, halaman 64
185
dokumen SNPK, subyek miskin tidak hanya individu, melainkan mencakup
keluarga atau rumahtangga, kelompok, serta pengusaha. Pelebaran subyek
kemiskinan menjadi anomali metode, yang menyulitkan perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi program pengurangan kemiskinan. Gambaran umum
kemiskinan dalam SNPK dideskripsikan melalui data individu miskin, sementara
program-program dikembangkan menurut basis data yang berbeda. Upaya
penormalan dilakukan dengan membagi data kesenjangan pendidikan, kesehatan
dan ekonomi dengan kelompok berpendapatan rendah. Pengelompokan program
ke dalam SNPK lebih tertuju pada rencana program pemerintah untuk didanai
anggaran dalam negeri dan utang luar negeri.
Sejak tahun 2005 panoptisme telah menjangkau provinsi dan
kabupaten/kota. Organisasi pengelola dan pengawas program dan kegiatan
pengurangan kemiskinan di tingkat nasional kini diganti menjadi Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Di tingkat provinsi dibentuk Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Provinsi (TKPKD Provinsi), dan
di tingkat kabupaten/kota didirikan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah Kabupaten/Kota (TKPKD Kabupaten/Kota). Dokumen SNPK menjadi
pegangan untuk menyusun dokumen serupa di daerah, berupa Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah Provinsi (SPKD Provinsi) dan Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten/Kota (SPKD Kabupaten/Kota).
Pada tingkat program dan kegiatan akhirnya sejak tahun 2008 disatukan
dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Program ini memasuki
seluruh kecamatan di Indonesia. Program terbagi-bagi menurut kendali donor
internasional. Setelah World Bank mendapatkan lokasi-lokasi untuk PNPM
Perdesaan, PNPM Perkotaan, dan PNPM Daerah Tertinggal, selanjutnya Japan
Bank for International Cooperation (JBIC) menetapkan wilayah di luar kendali
World Bank untuk melancarkan PNPM Pembangunan Infrastruktur Sosial
Ekonomi Wilayah (PISEW). Demikian pula Asian Development Bank
menetapkan wilayah PNPM Infrastruktur Perdesaan (IP) di luar kendali donor
lain. Pada saat ini seluruh kecamatan di Indonesia telah terbagi-bagi menurut
donor pengelola PNPM.
186
Seluruh PNPM menggunakan pendekatan pemberdayaan usulan World
Bank dalam community-driven development (CDD). Diskursus lain yang turut
serta dalam PNPM ialah Program Keluarga Harapan yang berasal dari diskursus
kemiskinan ras dan etnis. Dalam program ini tubuh-tubuh miskin dicari di antara
warga desa dan kota yang memiliki masalah sosial. Pendamping mereka ialah
profesional lulusan sekolah kesejahteraan sosial. Hanya saja arena perencanaan
dan pelaksanaan program sepenuhnya sama dengan CDD, berupa penggalian
gagasan penyandang masalah sosial, dan pelaksanaan program.
Berbeda dari exit strategy Program IDT dalam diskursus potensi orang
miskin yang diarahkan pada gerakan masyarakat mandiri, seluruh program dalam
PNPM diarahkan untuk dikelola pemerintah. Hasil akhir program diidentifikasi
sebagai perencanaan partisipatif dari rakyat. Dokumen perencanaan mereka
dimasukkan ke dalam perencanaan birokrasi reguler melalui musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang) dari tingkat desa, kecamatan,
kabupaten/kota, hingga nasional.
Lampiran 1. Tahapan Strategi Operasional PNPM Mandiri Strategi operasional PNPM Mandiri terdiri dari tahapan sebagai berikut: 1. PEMBELAJARAN Tahap pembelajaran merupakan tahap pengenalan bagi masyarakat, pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya….. Hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai kesuksesan pada tahap ini adalah:….. f. Proses perencanaan partisipatif belum terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan reguler….. 2. KEMANDIRIAN Tahap kemandirian adalah proses pendalaman atau intensifikasi dari tahap internalisasi…. Hal yang perlu diperhatikan dalam tahapan ini adalah:….. e. Proses perencanaan partisipatif telah terintegrasi ke dalam sistem perencanaan pembangunan regular….. 3. KEBERLANJUTAN Tahap keberlanjutan dimulai dengan proses penyiapan masyarakat agar mampu melanjutkan pengelolaan program pembangunan secara mandiri…..
187
c. Kapasitas pemerintahan daerah meningkat sehingga lebih tanggap dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dengan menyediakan dana dan pendampingan.1
Sejak tahun 2010, di samping TKPK terdapat pula Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).2 Tim diketuai wakil presiden,
dengan wakil ketua ialah menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat dan
perekonomian. Anggotanya terdiri atas 9 menteri. Tidak ada perwakilan golongan
miskin.Tim ini didukung oleh kelompok kerja dan tim pembiayaan.
Tim Nasional –demikian anggota tim ini memperkenalkan
organisasinya—merancang perencanaan strategis penanggulangan kemiskinan.3
Taksonomi program-program penanggulangan kemiskinan terbagi atas klaster I
untuk kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga (contohnya
PNPM Harapan), klaster II untuk kelompok program penanggulangan kemiskinan
berbasis pemberdayaan masyarakat (contohnya PNPM Perdesaan), klaster III
untuk kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
usaha ekonomi mikro dan kecil (contohnya Kredit Usaha Rakyat), dan klaster IV
untuk kelompok program pengurangan pengeluaran (contohnya penyediaan
rumah murah). Tim Nasional juga melatih anggota TKPKD untuk menganalisis
kemiskinan di daerahnya, menyusun program penanggulangan kemiskinan, serta
menyusun anggaran untuk penanggulangan kemiskinan. Ada baiknya
membandingkan klaster penanggulangan kemiskinan nomor 1 dan 3 dengan
usulan World Bank (2000: 6-7) nomor 1 di bawah ini, serta klaster 2 dengan
usulan nomor 2. Usulan nomor 3 mungkin berkembang menjadi klaster tersendiri,
berkaitan dengan perubahan iklim, konflik, dan resiko pembangunan lainnya.
It proposes a strategy for attacking poverty in three ways:
promoting opportunity, facilitating empowerment, and enhancing security.
• Promoting opportunity. Poor people consistently em- phasize the centrality of material opportunities. This means
1 Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2007/2008, halaman 43-45. 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 15 tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan, pasal 10-14. 3 Panduan Penanggulangan Kemiskinan, Buku Pegangan Resmi TKPK Daerah, edisi Mei 2011, halaman 72.
188
jobs, credit, roads, electricity, markets for their produce, and the schools, water, sanitation, and health services that underpin the health and skills essential for work…..
• Facilitating empowerment. The choice and implementation of public actions that are responsive to the needs of poor people depend on the interaction of political, social, and other institutional processes…..
• Enhancing security. Reducing vulnerability—to economic shocks, natural disasters, ill health, disability, and personal violence—is an intrinsic part of enhancing well-being and encourages investment in human capital and in higher-risk, higher-return activities….. (Bank Dunia 2000: 6-7)
Hingga saat ini diskursus kemiskinan produksi mengembangkan
pandangan bahwa persentase kemiskinan cenderung menurun dalam satu dekade.
Penguatan pandangan tersebut sekaligus menghambat kemunculan informasi
peningkatan ketimpangan sosial, sebagaimana terekam pada peningkatan indeks
Gini. Meskipun tingkat kemiskinan menurun, namun ketimpangan sosial terus
meningkat (Gambar 18). Data tersebut mengindikasikan persoalan kemiskinan
ditangani secara terpisah dari keadilan. Persoalan kemiskinan semakin
terakumulasi, karena di samping kemiskinan absolut masih besar secara statistika
di atas, ternyata kemiskinan relatif di antara warga negara bahkan menunjukkan
peningkatan secara terus menerus.
Gambar 18. Hubungan Terbalik antara Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial
189
Dalam rekomendasinya untuk Indonesia, disarankan ketimpangan sosial
tidak dipandang sebagai krisis keadilan, sebaliknya dipandang sebagai pencetus
perbedaan harga barang untuk memperlancar perdagangan barang dan jasa
sehingga pertumbuhan ekonomi terwujud (World Bank 2009: 230-281).
Permisivitas ketimpangan sosial dilandasi pandangan kurva U terbalik dari
Kuznets, bahwa selama mencapai puncak kemajuan konsekuensinya ketimpangan
sosial meningkat, dan setelah sampai di puncak baru kemudian menurun.
Argumen tersebut kontradiktif dengan sejarah ketimpangan sosial Indonesia sejak
1880 yang menunjukkan kurva Kuznets telah tercapai pada dekade 1940-an
(Agusta, 2008: 27-38), sehingga seharusnya hingga kini ketimpangan sosial tidak
meningkat kembali (Gambar 19).
Keterangan: Penghitungan berbasis pengeluaran rumahtangga
Gambar 19. Kejadian Sejarah, Gini Pedesaan, Perkotaan, dan Indonesia 1880-
2009
Dalam perkembangan terakhir, pada tahun 2011 diskursus kemiskinan ras
dan etnis menggunakan kuasa undang-undang untuk mendisiplinkan
penanggulangan kemiskinan di masa depan. Berisikan prosedur utama, UU
13/2011 tentang penanganan fakir miskin mengharuskan beragam kementerian
190
dan lembaga pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan dengan Kementerian
Sosial yang diresmikan sebagai agensi pemerintah.
Makna kemiskinan dibangun di atas pembedaan yang-normal dan yang-
abnormal. Subyek yang-abnormal juga meliputi orang miskin (gelandangan dan
pengemis). Yang-abnormal dipahami secara khas sebagai disfungsi.1 Konsep ini
menubuh pada kelompok devian atau penyimpang dan menjadi penyakit sosial.
Seseorang yang mengalami disfungsi sosial antara lain penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, tuna susila, gelandangan, pengemis, eks penderita penyakit kronis, eks narapidana, eks pecandu narkotika, pengguna psikotropika sindroma ketergantungan, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), korban tindak kekerasan, korban bencana, korban perdagangan orang, anak terlantar, dan anak dengan kebutuhan khusus.2
Obat bagi tubuh miskin yang sakit secara sosial ialah penormalan yang
disebut pemfungsian sosial. Klinik bagi tubuh miskin yang sakit sosial ialah panti
asuhan, rumah singgah, dan sebagainya.
Bagian Ketiga Sarana dan Prasarana Pasal 35 (1) Sarana dan prasarana penyelenggaraan penanganan fakir miskin meliputi: a. panti sosial; b. pusat rehabilitasi sosial; c. pusat pendidikan dan pelatihan; d. pusatkesejahteraansosial; e. rumah singgah; dan f. rumah perlindungan sosial.3
Selain itu, perlu dokter berijazah untuk menentukan siapa yang sakit dan
siapa yang sehat, dan yang paling terlegitimasi ialah pekerja sosial profesional.
Nilai profesional tertinggi diraih sebagai lulusan pascasarjana kesejahteraan
sosial, yang memiliki profesi pekerjaan sosial klinis (penawar penyakit abnormal
1 Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial. Undang-undang ini mendasari Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 15 tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan. Kedua undang-undang ini memiliki berbagai definisi dan konsep kemiskinan yang sama. 2 Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, penjelasan pasal 7 ayat 1. 3 Undang-undang nomor 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin pasal 35
191
individu) dan pekerjaan sosial komunitas (penawar abnormalitas masyarakat).
Posisi profesional ini menjadi lebih tinggi daripada relawan sosial, penyuluh
sosial, dan tenaga pendamping yang selama ini hanya memperoleh sertifikat
pelatihan, bukan ijazah magister atau doktor profesional pekerjaan sosial.
Pasal 34 (1) Tenaga penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a dan huruf b minimal memiliki kualifikasi: a. pendidikan di bidang kesejahteraan sosial; b. pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial; dan/atau c. pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.1
Ikhtisar
Bab ini mengetengahkan interaksi kekuasaan antar diskursus dan praktik
kemiskinan, yang sekaligus berujud hubungan kekuasaan. Kekuasaan beroperasi
dalam interaksi-interaksi untuk mendominasi pihak lain, sehingga dikemukakan
konsep perang diskursus dan praktik. Tataran yang dianalisis meliputi perang
antar diskursus, perang antar habitus atau pemikiran, dan perang antar arena atau
struktur sosial. Dalam semua tataran tersebut berbagai benda disusun kembali
untuk diikutsertakan dalam penguatan diskursus dan penguatan praktik.
Pada tataran perang diskursus terlihat manipulasi yang dilakukan terhadap
pelapisan sosial di pedesaan atas golongan kekurangan dan cukupan. Pemunculan
konsep miskin, marhaen, proletar, petani gurem, nelayan kecil, pedagang kecil,
dan sebagainya, menunjukkan kehendak untuk menemukan golongan kekurangan.
Tidak hanya itu, kuasa pengetahuan juga diwujudkan dalam upaya mengukur
jumlah golongan kekurangan berikut atribut harta benda penting. Selanjutnya
kekuasaan dioperasikan dalam pemunculan beragam akses guna mengalirkan
program penanggulangan kemiskinan kepada tubuh-tubuh kekurangan.
Pada tataran perang habitus terdapat perebutan pemikiran-pemikiran
tentang dikotomi hierarkis masyarakat desa berikut identitas tiap posisi, serta
pemikiran-pemikiran tentang dikotomi cakupan penanggulangan kemiskinan.
Pelabelan sifat dan harta benda posisi sosial terbawah menjadi wahana untuk
1 Undang-undang nomor 13 tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin pasal 34.
192
menyusun komponen dan atuan-aturan dalam program penanggulangan
kemiskinan. Perang cakupan penanggulangan kemiskinan meliputi perebutan
lingkup ketetanggaan, kabupaten, provinsi, nasional, hingga internasional.
Pada tataran perang arena, diciptakan syarat-syarat untuk memasuki
kelompok atau organisasi proyek penanggulangan kemiskinan. Ada pula upaya
sebaliknya, yaitu mengadaptasi syarat organisasi petani agar lebih sesuai dengan
habitus marhaen atau petani gurem. Di dalam kelompok dan organisasi tersebut
kekuasaan beroperasi melalui pendisiplinan anggota. Di luar kelompok miskin,
pemerintah dan donor internasional mengembangkan panoptisme dalam bentuk
organisasi pengelola kemiskinan yang terstruktur dari tingkat global (didisplinkan
oleh mekanisme utang luar negeri), nasional, provinsi dan kabupaten (dengan
mekanisme pendisiplinan pelaporan dan pendanaan).
BAB 11
KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945
Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Permasalahan penelitian kedua ialah, bagaimana kekuasaan beroperasi
dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan praktik kemiskinan di
pedesaan. Untuk memahami kompleksitas kemiskinan pada ranah praktik,
pengetahuan tentang beragam diskursus kemiskinan tidak diperlakukan sebagai
tipe-tipe ideal. Kemiskinan justru dianalisis bersamaan dengan kompleksitas
saling hubung dan pengaruh antar diskursus. Oleh karena kekuasaan terintegrasi
dalam setiap interaksi, maka hubungan antar diskursus maupun antara tataran
diskursif dan praktik juga berupa hubungan kekuasaan (Foucault 2002d: 143).
Kekuasaan beroperasi sesuai dengan kehendak untuk memunculkan landasan bagi
berlangsungnya diskursus dan praktik (enabling surface of emergence)
penanggulangan kemiskinan. Sejalan dengan kemunculan diskursus tertentu mula-
mula golongan miskin dalam diskursus tersebut memang muncul. Kehendak
untuk menanggulangi kemiskinan selanjutnya mengarahkan kekuasaan untuk
beroperasi mengelola atau menghilangkan kemiskinan yang telah muncul tersebut.
Permasalahan penelitian ini berkaitan dengan tujuan pertama, yaitu
menginterpretasi kemunculan keragaman diskursus, strategi penggunaan
kekuasaan, dan praktik pengelolaan kemiskinan di pedesaan. Upaya
penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah dibentuk oleh beragam diskursus
dan praktik kemiskinan, sehingga interpretasi dapat dilakukan terhadap beragam
upaya tersebut.
Dalam waktu yang sangat panjang telah terbentuk diskursus berbagi
kelebihan, yang berguna untuk mengelola warga yang kekurangan di dalam desa.
Kekuasaan menyembunyikan golongan kekurangan dengan cara membantunya,
sehingga mampu menghindari perbedaan yang mencolok antar tetangga. Arena
pola nafkah penting untuk membantu, mengelola dan menyembunyikan golongan
194
miskin berupa budidaya di dalam desa atau migrasi sambil memberikan remitan
ke dalam desa.
Warga desa yang mengikuti aliran mistik atau hakikat justru sengaja hidup
menyerupai golongan miskin. Diskursus menginginkan kesederhanaan ini berguna
untuk mengelola tubuh pribadi agar semakin suci, sekaligus mengajak warga
sedesa atau lain desa untuk menjalankan laku menuju kebenaran. Dalam
kehidupan sehari-hari mereka mempraktikkan laku prihatin untuk menjaga jarak
dari kebendaan, menjauhkan diri dari mencuri dan korupsi.
Diskursus kemiskinan rasial dan etnis berkembang bersamaan dengan
kemunculan permasalahan golongan Indo, hasil perkawinan (sering kali tidak
resmi) antara pejabat Belanda dan wanita pribumi. Kekuasaan beroperasi melalui
pengembangan prasangka abnormalitas etnis dan ras bagi tubuh-tubuh miskin.
Normalisasi mengoperasikan kekuasaan untuk menciptakan panduan menuju
golongan normal, yaitu keluarga batih yang bertempat tinggal secara menetap dan
menjalankan berbagai fungsi domestik maupun kemasyarakatan.
Dalam periode yang hampir sama, berkembang pula diskursus kemiskinan
sosialis. Kemiskinan muncul sebagai masalah konsekuensi hubungan kelas miskin
dengan feudal, kolonial dan kapitalis lain. Upaya penanggulangan kemiskinan
mengarahkan kekuasaan untuk mengambil alat produksi dari kaum feudal dan
kaum kapitalis (termasuk kapitalis global). Meskipun simpatisan dari kelas atas
memandangnya sebagai persoalan, pada saat yang sama kelas miskin tidak
melihat kemunculan eksploitasi tersebut. Oleh sebab itu kekuasaan dioperasikan
dalam kegiatan penyadaran dan agitasi guna mendapatkan kepercayaan kelas
miskin, serta mengorganisasikan kelas miskin dalam aksi perebutan alat produksi.
Sejak dekade 1970-an berkembang diskursus potensi golongan miskin.
Kekuasaan dioperasikan untuk mempercayai orang miskin dan menggali potensi
mereka untuk mandiri. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) menggunakan
diskursus ini untuk mengoperasikan pembukaan beragam akses modal usaha,
akses prasarana ekonomis dan pendampingan. Kekuasaan diarahkan untuk
memunculkan dan bekerjasama dengan golongan miskin dalam kelompok.
Interaksi dalam kelompok menghasilkan kekuasaan untuk mengembangkan usaha
sambil tetap menjaga solidaritas.
195
Sejak dekade 2000 kian menguat diskursus kemiskinan produksi.
Pengetahuan tentang kemiskinan mengoperasikan kekuasaan untuk
mengidentifikasi tubuh-tubuh miskin sebagai ketidakmampuan berproduksi.
Upaya pengelolaan tubuh miskin selanjutnya mengarahkan kekuasaan untuk
menyediakan prasarana produksi, dan sebagian pada permodalan mikro dan kecil.
Golongan miskin dilatih agar memenuhi syarat untuk memasuki dan bersaing
dalam produksi dan pemasaran. Modal usaha diberikan dalam program
pemerintah untuk tubuh-tubuh yang telah memiliki usaha.
Tujuan kedua dalam penelitian ini ialah menginterpretasi hubungan
kekuasaan dalam perang antar diskursus dan praktik kemiskinan di pedesaan.
Pencapaian tujuan berguna untuk menjawab pertanyaan ketiga, yaitu mengapa
perang antar diskursus dan praktik kemiskinan berlangsung secara terus menerus.
Di samping kekuasaan untuk memunculkan diskursus dan praktik tersebut,
dalam penelitian ini kekuasaan juga dikaji dalam mendominasi pihak lain,
sebagaimana tersaji pada bab sepuluh. Perang diskursus dan praktik selalu
berbentuk hubungan aksi dan reaksi yang sulit berhenti. Kemenangan satu
diskursus untuk aktif menafsir kemiskinan bersifat dinamis, karena pada saat yang
sama juga muncul reaksi dari diskursus dan praktik lain dalam bentuk manipulasi
tafsir.
Hubungan kekuasaan antara satu diskursus dan praktik kemiskinan dengan
lainnya tidak hanya mendominasi, melainkan sekaligus membuka permukaan bagi
manipulasi tafsir baru yang menguntungkan diskursus dan praktik lainnya.
Penelitian ini menunjukkan pengambilalihan tafsir bisa berlangsung pada tataran
diskursus (dari partisipasi marhaen untuk aksi sepihak, menjadi partisipasi warga
desa untuk menyerahkan upah kepada Program PNPM Perdesaan), tataran habitus
(alasan bersolidaritas melalui mekanisme tanggung renteng dalam kelompok,
diubah menjadi mekanisme pendisiplinan angsuran anggota kelompok), dan
tataran arena (perencanaan partisipatoris untuk melatih kemandirian warga desa
diubah tafsirnya menjadi wahana masukan program dalam perencanaan birokrasi
daerah).
Dengan demikian kemenangan satu diskursus dan praktik dalam perang ini
selalu bersifat tertunda, bukan kemenangan total dan selesai. Selalu terdapat
196
reaksi dari diskursus dan praktik lainnya untuk turut serta menggunakan
kemenangan tersebut. Sebagai contoh, meskipun seluruh kecamatan telah
dimasuki diskursus kemiskinan produksi melalui PNPM sejak tahun 2008,
pendisiplinan melalui UU Fakir Miskin pada tahun 2011 mengharuskan
penerimaan panoptisme oleh Kementerian Sosial yang mendapatkan satu-satunya
mandat pengelolaan kemiskinan di dalam negeri.
Akhirnya, pertanyaan pertama dan pokok dalam penelitian ini ialah,
mengapa kekuasaan yang beroperasi belum mampu menanggulangi kemiskinan di
pedesaan. Sesuai dengan sifat diskursus yang membangun ruang untuk berkuasa,
semakin kuat diskursus kemiskinan berkembang, maka tubuh-tubuh miskin
semakin banyak muncul. Konsekuensinya, perluasan domain kemiskinan –dari
individu bertambah keluarga, kelompok, usahawan kecil, hingga pemerintah
daerah—kian banyak memberikan identitas miskin kepada semakin banyak pihak.
Penguatan diskursus kemiskinan sekaligus menunjukkan peningkatan kebutuhan
akan tubuh-tubuh miskin. Dalam episteme produksi saat ini, tubuh-tubuh miskin
di negara miskin justru dibutuhkan untuk mengefisienkan produksi barang dan
jasa. Untuk menjaga agar harga buruh tetap rendah, di masa lalu dikembangkan
nilai-nilai negatif terhadap buruh yang juga miskin tersebut, seperti pemalas,
bodoh, dan dijauhi Tuhan.
Mekanisme kekuasaan yang digunakan dalam perang antar diskursus dan
praktik diterapkan untuk mengelola perluasan domain kemiskinan dan
penanganannya. Subyek yang miskin tidak hanya menubuh pada individu,
melainkan meluas dalam keluarga atau kelompok, hingga etnis. Identitas miskin
juga meliputi buruh tani, petani kecil, hingga pedagang kecil.
Penanganan kemiskinan tidak hanya dikelola antar tetangga, tetapi telah
berbentuk panoptisme di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi,
nasional, dan global. Panoptisme menghubungkan pengelolaan dari tingkat lokal
hingga global, sekaligus memudahkan pendisiplinan terhadap berbagai pihak yang
mengelola kemiskinan melalui prosedur-prosedur penanganan yang kian formal
dan kian rinci. Pada saat ini pendisiplinan program partisipatoris telah membuat
tubuh-tubuh lain yang berbicara, merepresentasikan tubuh-tubuh miskin itu
sendiri. Disiplin partisipatoris kembali menyembunyikan tubuh miskin.
197
Berkaitan dengan itu muncullah tujuan penelitian ketiga, yaitu
memunculkan golongan miskin untuk menanggulangi kemiskinannya sendiri.
Evaluasi terhadap diskursus dan praktik berbagi kelebihan menunjukkan operasi
kekuasaan untuk menyembunyikan tubuh miskin dalam hubungan ketetanggaan.
Diskursus dan praktik menginginkan kesederhanaan menyembunyikan tubuh
miskin dalam laku nyepi, namun secara individual memunculkan tubuh miskin
yang suci dalam laku ngrame. Diskursus serta praktik kemiskinan ras dan etnis
menyembunyikan bahkan mengalihkan tubuh miskin dalam operasi prasangka-
prasangka budaya. Berorientasi pada formalitas, diskursus kemiskinan produksi
justru tidak pernah memunculkan tubuh miskin dalam arena-arena formal
penanggulangan kemiskinan. Arena yang dibangun hendak memunculkan
pemerintah daerah dan pusat.
Tubuh orang miskin baru muncul dan aktif dalam diskursus serta praktik
kemiskinan sosialis dan potensi golongan miskin. Perbedaan keduanya terletak
pada penguatan salah satu sisi sifat kekuasaan. Diskursus dan praktik kemiskinan
sosialis menguatkan kekuasaan untuk mendominasi, sementara diskursus potensi
golongan miskin menguatkan kekuasaan untuk bersolidaritas. Melalui sudut
pandang kekuasaan untuk bersolidaritas, potensi golongan miskin dapat
mengoperasikan kekuasaan untuk memunculkan golongan miskin,
mengembangkan habitus untuk mempercayai golongan miskin, serta menciptakan
arena bagi kemunculan dan aktivitas atau gerakan tubuh-tubuh miskin.
Epilog: Tubuh Miskin dan Konstitusi
Peneliti telah menyajikan narasi beragam diskursus, habitus, dan arena
kemiskinan, baik dalam dinamika kelompoknya sendiri, maupun dalam peran
dengan kelompok lainnya. Distingsi satu kelompok ditunjukkan terutama oleh
operasi kekuasaan untuk menciptakan metode pemunculan dan pengelolaan
golongan miskin yang berbeda dari kelompok lainnya. Diskursus potensi
golongan miskin, misalnya, meminta warga desa aktif menghitung sendiri tubuh
miskin di wilayahnya, sementara diskursus kemiskinan produksi menyediakan
tenaga pencacah untuk mengukur tubuh miskin yang dipasifkan.
198
Sementara itu, perang yang tak kunjung usai antar kelompok diskursus dan
praktik1 dapat menunjukkan kelonggaran atau cairnya mekanisme untuk
mendominasi sekaligus memanipulasi penggunaan tafsir, pemikiran, dan
pengorganisasian kemiskinan. Sikap yang dianjurkan peneliti ialah terus menerus
menggali pemikiran dan praktik kemiskinan yang sesuai atau bertentangan dengan
diskursus yang diikuti.
Dalam konteks ini telah diketahui cairnya makna kemiskinan telah
menjadi arena perang rezim kebenaran diskursus dan praktik. Khusus untuk
diterapkan di bumi Indonesia, selayaknya diskursus dan praktik tersebut mampu
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan
Undang-undang Dasar 1945.
Dalam batang tubuh konstitusi telah dinyatakan bahwa Pemerintah Negara
Indonesia memiliki mandat untuk memunculkan dan mengelola tubuh fakir
miskin, tubuh peserta sistem jaminan sosial, tubuh lemah dan tubuh yang tidak
mampu. Pengelolaan tubuh miskin sekaligus mengarahkan ekonomi nasional
menuju keadilan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh amandemen menjadi Bab
XIV: Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Adi Sasono mewakili
CIDES dalam rapat MPR 28 Pebruari 2002 menyatakan hubungan ekonomi dan
kesejahteraan sosial tersebut (Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan
Hasil Perubahan UUD 1945 2010: 737).
Dalam kajian yang dilakukan oleh CIDES, saya menyimpulkan bahwa pasal-pasal ekonomi seperti juga paham lain, itu tidak bisa diletakkan dalam semangat yang netral dan bebas milih. Cara para pendiri republik kita ini merumuskan adalah refleksi dari keyakinan milih yang dianut. Jadi kita tidak bisa mempertimbangkan dalam semangat yang sifatnya bebas milih. Sistem yang dirumuskan berorientasi kepada pasal-pasal yang terkait. Jadi pendidikan Pasal 23 tentu terkait dengan Pasal 33. Penjudulan dari Bab XIV Kesejahteraan Sosial, itu menunjukkan bahwa ekonomi haruslah diletakkan dalam fungsi untuk membangun kesejahteraan sosial, bukan suatu yang berdiri sendiri…..
Oleh karena itu, saya memahami bahwa pembahasan pasal ekonomi itu selalu berkaitan dengan pendidikan dan itu berkaitan
1 Ivanovich Agusta, Persilangan Diskursus Kemiskinan, Kompas, 15 Juli 2010 halaman 6.
199
dengan Pasal 34 yang di bawah judul kesejahteraan sosial sebagai fungsi dari usaha ekonomi.
Walaupun merupakan mandat konstitusi, namun pengelolaan golongan
miskin oleh negara disesuaikan dengan kemampuan pemerintah. Hal ini
dimungkinkan oleh terciptanya Pasal 34 Ayat 4, bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Afandi dari Fraksi
TNI/Polri memberikan penjelasan dalam pengusulan ayat tambahan ini (Tim
Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945 2010:
743).
Kemudian untuk Pasal 34, "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara". Kami sarankan perlu dipertimbangkan Ayat (1) ini untuk ditambahkan kata-kata, "dan diatur dengan undang-undang". Tanpa ada tambahan kata-kata tersebut, seolah-olah ketentuan itu bersifat mutlak dan pasti dapat diberlakukan dan negara mempunyai kemampuan. Padahal pada kenyataannya tidak demikian. Dalam arti bahwa negara belum mempunyai kemampuan yang penuh sehingga ketentuan tersebut berlaku relatif sesuai dengan perkembangan kemampuan negara dan pengaturan yang berlaku. Dengan tambahan kata-kata, "dan diatur dengan undang-undang", maka akan bermakna bahwa semangatnya atau tujuan puncaknya memang demikian, yaitu semua fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, namun dalam pelaksanaannya diatur sesuai kondisi kemampuan negara.
Dalam perkembangan mutakhir, program penanggulangan kemiskinan
diarahkan untuk dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah melalui mekanisme
musyawarah perencanaan pembangunan dari tingkat desa hingga nasional.
Sayangnya, tidak diwajibkan hadirnya tubuh miskin –atau tokoh di antara
golongan miskin—selama perjalanan mekanisme perencanaan pembangunan
tersebut. Menurut UU 13/2011 tentang fakir miskin, tubuh miskin didisiplinkan
dalam permukiman dan rumah panti.
Akan tetapi, berlawanan dari penenggelaman tubuh miskin itu, diskursus
potensi golongan miskin pernah memunculkan tubuh miskin dalam kerjasamanya
dengan berbagai orang luar. Pengalaman ini dapat digunakan untuk menguatkan
200
posisi tubuh miskin dari dalam golongan mereka sendiri, agar bersambut dengan
upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan.
Perkembangan mutakhir tersebut memberikan pelajaran untuk
memanfaatkan konsep kekuasaan dalam penelitian ini guna menjalin solidaritas
antar berbagai pihak –bukan kekuasaan untuk mendominasi pihak lain. Solidaritas
diarahkan untuk memunculkan tubuh miskin,1 dan mendampinginya membuka
sendiri potensi kemandirian, serta bersama-sama menuju kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.2
1 Ivanovich Agusta, Personifikasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Kompas, 13 Juli 2011 halaman 7. 2 Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Yusuf Kalla. Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera: Visi, Misi dan Program. Jakarta, 20 Mei 2004.
DAFTAR PUSTAKA
Achir, Y.C.A. 1994. Pembangunan Keluarga Sejahtera, Sebagai Wahana
Pembangunan Bangsa. In: Prisma Th. 23 No. 6. Agusta, I. 2007. Kritik Atas Komunikasi Pembangunan dan Program
Pengembangan Kecamatan. In: Sodality Th. 3 No. 1. Agusta, I. 2008. Puncak Kurva Kuznets Terlewati pada Masa Penjajahan:
Sejarah Ketimpangan Wilayah Indonesia. In: Jurnal Studi Ekonomi, Th. 3, No. 1, Juni 2008.
Agusta, I. 2009. Percobaan Pembangunan Partisipatif dalam Otonomi Daerah. In: Sodality Th. 3 No. 2.
Agusta, I. 2010a. Diskursus Cacah Dalam Pengelolaan Agraria Keraton Yogyakarta Abad Ke 18 – 19. In: Jantra Th. 5 No 10, Desember
Agusta, I. 2010b. Enam Diskursus Kemiskinan di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Rapat Koordinasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan Kabupaten, tanggal 4-6 Agustus 2010, di Hotel Puri Avia Resort, Cipayung, Bogor.
Agusta, I., A.M. Soleh. 2004. Jejak-jejak Kesejahteraan: Evaluasi Benefit Program Pembangunan PrasaranaPendukungDesaTertinggal. Jakarta. Binasiamindo Aneka.
Aitken, S., G. Valentine. 2006. Editors' Passnotes. In: S. Aitken, G. Valentine, eds. Approaches to Human Geography. London: SAGE.
Alatas, S.F. 2010. Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia Tanggapan terhadap Eurosentrisme. Mizan Media Utama
Alvesson, M, K Skőldberg. 2000. Reflexive Methodology: New Vistas for Qualitative Research. London: SAGE.
Ananta, A. 2005. The Negative and Positive Uses of Socio-economic Statistics, In:V.R. Hadiz, D. Dhakidae, eds. Social Science and Power in Indonesia. Singapore: Equinox dan ISEAS.
Anderson, BRO,G. 2000. Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Terjemahan Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia oleh R.B. Santosa. Yogyakarta: Mata Bangsa
Arif, S. 2001. IMF/Bank Dunia & Indonesia. Surakarta: Univ. Muhammadiyah Surakarta.
Arif, S. 2006. Negeri Terjajah, Menyingkap Ilusi Kemerdekaan. Yogyakarta: Resist Book.
Baay, R. 2010. Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda. Depok: Komunitas Bambu.
Baudrillard, J. 2001. Galaksi Simulakra. Yogyakarta: LKIS. Bello, W. 2004. WTO: Menghamba pada Negara Kaya. In: International Forum
on Globalization. Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan. Yogyakarta: Cindelaras.
Benda, H, L. Castles. 1969. The Samin Movement. In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Th. 125 No. 2.
202
Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer: Perancis. Jakarta: Gramedia. Boeke, J.H. 1953. Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda. In: Sajogyo, ed.
Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: YOI. Bourdieu, P. 2010a. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya.
Terjemahan The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bourdieu, P. 2010b. Dominasi Maskulin. Terjemahan La Domination Masculine. Yogyakarta: Jalasutra.
Bourdieu, P. 2011. Choses Dites, Uraian & Pemikiran. Terjemahan Choses Dites. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, Mei 2011. BPS: Jakarta
Bracher, M. 2009. Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: Penganar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Terjemahan Lacan, Discourse, and Social Change: A Psychoanalytic Cultural Criticism. Yogyakarta: Jalasutra.
Breman, J. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad Ke-20. Terjemahan Koelis, Planter en Koloniale Politiek. Jakarta: Grafiti.
Breman, J., G. Wiradi. 2004. Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa, Studi Kasus Dinamika Sosio-Ekonomi di Dua Desa Menjelang Akhir Abad Ke-20. Terjemahan Good Times and Bad Times in Rural Java. Jakarta: LP3ES.
Canguilhem, G. 2005. The Death of Man, or Exhaustion of Cogito? In: G. Gutting, ed. The Cambridge Companion to Foucault, Second Edition. New York: Cambridge University Press.
Carey, P. 2009. Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh. Depok: Komunitas Bambu.
Carrol, T. 2010. Pembangunan Sosial sebagai "Kuda Troya" Neoliberal, Bank Dunia &Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia. In: Prisma Th. 29 No. 3.
Cavanagh, J., S. Retallack, C. Welch. 2004. Rumusan IMF: Produksi Kemiskinan. In: International Forum on Globalization. Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan. Yogyakarta: Cindelaras.
Chodjim, A. 2011. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi. Coleman, J.S. 1994. Foundations of Social Theory. Cambridge: Harvard
University Press. Cooke, B., U. Kothari. 2001. The Case for Participation as Tyranny, In: B.
Cooke, U. Kothari, eds. Participation: The New Tyranny? London: Zed Books.
Dahlan, M.A. 1978. Sosialisasi Pola Hidup Sederhana. In: Prisma Th. 7 No. 10. Darwin, C. 2003. The Origin od Species, Asal Usul Spesies. Terjemahan The
Origin od Species, b Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle of Lilfe. Jakarta: YOI.
Dhakidae, D. 2002. Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-komunitas Terbayang. Kata pengantar untuk buku B. Anderson. Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar.
203
Dongier, P, JV Domelen, E Ostrom, A Ryan, W Wakeman, A Bebbington, S Alkire, T Esmail, M Polski. 2003. Community-Driven Development. Washington DC: World Bank.
Dryzek, J.S. 2002. Deliberative Democracy and Beyond: Liberals, Critics, Contestation. New York: Oxford Univ. Pr.
Durkheim, E. 1933. The Division of Labor in Society. New York: Free Press. Edman, P. 2007. Komunisme Ala Aidit, Kisah Partai Komunis Indonesia Di
Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965. Center for Information Analysis
Elguea, J. 1985. Paradigms and Scientific Revolutions in Development Theories. In: Development and Change Th. 16 No. 2, April.
Esteva, G. 1992. Development, In:W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
Foucault, M. 2002a. Menggugat Sejarah Ide. Terjemahan The Archaeology of Knowledge oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Foucault, M. 2002b. Kegilaan dan Peradaban. Terjemahan Madness and Civilization: A History of Insanity in Age of Reason oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Foucault, M. 2002c. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Terjemahan dari P Rabinow, ed. Aesthetics, Method and Epistemology: Essential Works of Foucault 1954-1984. Yogyakarta: Jalasutra
Foucault, M. 2002d. Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. Terjemahan. Yogyakarta: Bentang.
Foucault, M. 2003. Kritik Wacana Bahasa. Terjemahan The Discourse of Language oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Foucault, M. 2007. Order of Thing:Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Terjemahan The Order of Thing:An Archaeology of Human Sciences oleh B. Priambodo, P. Boy. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foucault, M. 2008. Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas. Terjemahan La Volonte de Savoir: Histoirie de la Sexualite. Jakarta: YOI.
Foucault, M. 2011. The Courage of the Truth (The Government of Self and Others II) Lectures at the College de France 1983-1984. New York: Palgrave Macmillan.
Francis, P. 2004. Participatory Development at the World Bank: the Primacy of Process. In: B. Cooke, U. Kothari, eds. Participation: The New Tyranny? London: Zed Books.
Freud, S. 2003. Teori Seks. Terjemahan Three Contributions to the Theory of Sex oleh A. Danarto. Yogyakarta: Jendela. Gaiha, R. 1993. Design of Poverty Alleviation Strategy in Rural Areas. Rome:
FAO Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.
Terjemahan Agriculture Involution. Jakarta: Bhratara Geertz, C. 2002. Hayat dan Karya: Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang.
Terjemahan Works and Lives: The Anthropology as Author oleh L. Simatupang. Yogyakarta: LkiS.
Geertz, H. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Terjemahan Indonesian Cultures and Communities. Pulsar: Jakarta
204
Geertz, H. 1985. Keluarga Jawa. Terjemahan The Javanese Family. Jakarta: Grafiti Pers.
Giddens, A. 2003. The Constitution of Society, Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Terjemahan The Constitution of Society, The Outline of the Theory of Structuration. Pasuruan: Pedati
Gouda, F. 2007. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Terjemahan Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherland Indies 1900-1942. Jakarta: Serambi.
Gronemeyer. 1992. Help. In: W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
Habermas, J. 1996. Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. Terjemahan Faktizität und Geltung: Beiträge zur Diskurstheori desa Reacht und des demokratischen Rechtsstaats. Cambridge, Mass: MIT Press.
Hadi, M. 2011. Tiga Guru Sufi Tanah Jawa Wejangan Wejangan Ruhani. LkiS Printing Cemerlang.
Hardiman, F.B. 2009. Demokrasi Deliberatif, Menimbang 'Negara Hukum' dan 'Ruang Publik' dan Teori Diskursus Juergen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Hayami, Y. M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Terjemahan Village Economy at the Crossroads. Jakarta: YOI.
Heryanto, A. 1990. The Making of Language: Developmentalism in Indonesia, In: Prisma The Indonesian Indicator No. 50.
Heryanto, A. 1996. Bahasa dan Kuasa: Tatapan Posmodernisme, In:Y. Latif, I.S. Ibrahim, eds. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.
Hiqmah, N. 2008. H.M. Misbach, Kisah Haji Merah. Depok: Komunitas Bambu. Hoed, B.H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas
Bambu. Al-Hujwiri, A.i.U. 1993. Kasyful Mahjud, Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf.
Terjemahan The Kasy Al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism. Bandung: Mizan.
Husaini, E.W. Widianto, E.D. Kristanto. 2011. Aksi Melawan Imperium Modal, Gerakan Rakyat Melawan Pabrik Semen. Yogyakarta: Resist Book.
Husken, F. 1997. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Terjemahan Een Dorp op Java, Sociale Differentiatie in een Boerengemeenschap, 1830-1980. Jakarta: Grasindo.
Hutter, M. 1981. The Changing Family, Comparative Perspectives. New York: John Wiley & Sons
Ife, J. 2002. Community Development, Commnunity-based Alternatives in an Age of Globalisation, 2nd Edition. New South Wales: Pearson.
Ismawan, B. 1996. Belajar dan Bekerja Bersama Prof. Sajogyo. In: Mubyarto, eds. Sajogyo, Bapak, Guru dan Sahabat. Jakarta: YAE.
Israel, A. 1992. Pengembangan Kelembagaan Pengalaman Proyek Proyek Bank Dunia. LP3ES
Kendall, G., G. Wickham. 2000. Using Foucault’s Methods. London: SAGE.
205
King, R. 2001. Agama, Orientalisme, dan Poskoloniaisme, Sebuah Kajian Tentang Pertelingkahan Antara Rasionalitas dan Mistik. Terjemahan Orientalism and Religion, Postcolonial Theory, India and 'the Mystic East'. Yogyakarta: Qalam.
King, V.T. 1973. Some Observation on the Samin Movement on North-Central Java, Suggestion for the Theoretical Analysis of the Dynamics of Rural Unrest. In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Th. 125 No. 2.
King, V.T. 1977. Status, Economic Determinism and Monocausality: More on the Samin. In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Th. 133 No. 2/3.
Kridalaksana. 1993. Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913) Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme. In: Saussure, F.d. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale. Yogyakarta: UGM Press.
Kruger, R.A., M.A. Casey. 2000. Focus Groups 3rd Editon A Practical Guide for Applied Research.Sage Publications, Inc.
Kuntowijoyo. 1994. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Laclau, E., C. Mouffe. 1994. Hegemony & Socialist Strategy: Towards a Radical
Democratic Politics. London: Verso. Laksono, P.M. 2009. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan
Pedesaan, Alih Ubah Model Berfikir Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Levinsohn, J. 2003. The World Bank’s Poverty Reduction Strategy Paper
Approach: Good Marketing or Good Policy? G-24 Discussion Paper Series No. 21, April 2003. New York: United Nations.
Levi-Strauss, C. 2005. Antropologi Struktural. Terjemahan Antropologie Structurale. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Lewis, O. 1993. Kebudayaan Kemiskinan. In: P. Suparlan. Kemiskinan di Perkotaan, Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: YOI.
Li, T.M. 2002. Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis terhadap Transformasi Daerah Pedalaman. In: T. M. Li, ed. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: YOI.
Luthfi, A.N. 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor. Yogyakarta: STPN Press.
Margana, S. 2004. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: PustakaPelajar.
Marsden, W. 2008.Sejarah Sumatera. Terjemahan History of Sumatera. Jakarta: KomunitasBambu.
Marx, K. F. Engels. 1960. Manifesto Partai Komunis. Terjemahan Manifesto of the Communist Party. Jakarta: Jajasan Pembaruan Parti Komunis Indonesia.
Mawardi, S, B. Sulaksono, Akhmadi, S. Devina, R.M. Artha. 2008. Efektivitas Pelaksanaan Raskin. Jakarta: Smeru.
Mawdsley, E., J. Rigg. 2002. A Survey of World Development Report I: Discursive Strategies, In: Progress in Development Studies Th. 2 No. 2.
McMichael, P. 2003. Development and Social Change : A Global Perspective. Thousand Oaks: Pine Forge.
206
Mohan, G. 2001. Beyond Participation: Strategies for Deeper Empwoerment. In: B. Cooke, U. Kothari, eds. Participation: The New Tyranny? London: Zed Books.
Morgan, D.H.J. 1975. Social Theory and the Family. London: Routledge % Kegan Paul.
Mortimer, R. 2011. Indonesian Communist under Sukarno, Ideologi dalam Politik 1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mosse, D. 2001. “People Knowledge”, Participation and Patronage: Operations and Representations in Rural Development. In: B. Cooke, U. Kothari, eds. Participation: The New Tyranny? London: Zed Books.
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinkan. Jakarta: LP3ES.
Mubyarto. 1995. Iki Duwit Tangkarno, Profil Pokmas IDT Terbaik Penghargaan Presiden dalam Rangka Usia Kencana Republik Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Mubyarto. 1996. Menuju Gerakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Yogyakarta: Aditya Media.
Mubyarto. 1997. IDT dan Program Menghapus Kemiskinan. Yogyakarta: Aditya Media.
Mubyarto. 2000. Sambutan Ketua YAE. In: Mubyarto, ed. Pemulihan Ekonomi Rakyat menuju Kemandirian Masyarakat Desa. Yogyakarta: Aditya Media.
Mukherjee, N. 2006. Voices of the Poor: Making Services Work for the Poor in Indonesia. Washington DC: World Bank.
Mulder, N. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Kelangsungan da Perubahan Kulturil. Jakarta: Gramedia.
Narayan, D., L. Pritchett. 2000. Social Capital: Evidence and Implications. In: P. Dasgupta, I. Serageldin, eds. Social Capital: A Multifaceted Perspective. Washington DC: World Bank.
Nietzsche, F. 2000. Sabda Zarathustra. Terjemahan Thus Spake Zarathustra oleh Sudarmaji dan Ahmad Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nietzsche, F. 2002. Beyond Good and Evil: Prelude Menuju Filsafat Masa Depan. Terjemahan oleh B.H. Winarno. Yogyakarta: Ikon.
Onghokham. 1984. PerubahanSosial di MadiunSelama Abad XIX: PajakdanPengaruhnyaterhadapPenguasaan Tanah, dalamSediono M.P. TjondronegorodanGunawanWiradi, eds. Dua Abad Penguasaan Tanah, PolaPenguasaan Tanah Pertanian di JawadariMasakeMasa. Jakarta: Gramedia.
Operations Evaluation Department. 2003. Community-Driven Development: A Study Methodology. Washington DC: World Bank.
Parsons, T. 1977. Social Systems and the Evolution of Action Theory. New York: The Free Press
Philpott, S. 2003. Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme. Terjemahan Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. Yogyakarta: LkiS.
Pontoh, C.H., dkk. 2000. Utang yang Memiskinkan. Jakarta: ICW. Popper, K.R. 2008. Logika Penemuan Ilmiah. Terjemahan The Logic of Scientific
Discovery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
207
Purwadi. 2005. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang. Rahnema, M. 1992. Poverty, In: W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A
Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books. Riana, I.K. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama Masa
Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas. Rich, B. 2004. Tipu Daya Bank Dunia terhadap Kaum Miskin. In: International
Forum on Globalization. Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan. Yogyakarta: Cindelaras.
Ritzer, G. 2006. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Rosyid, M. 2008. Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rubianto,V. 1996. Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan
dalam Teologi Aloysius Pieris. Yogyakarta: Kanisius Sachs, W. 1992. Introduction, In: W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A
Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books. Said, EW. 2001. Orientalisme. Terjemahan Orientalism. Bandung: Pustaka. Sajogyo. 1977. Golongan Miskin dan Partisipasinya dalam Pembangunan Desa.
In: Prisma Th. 6 No. 3. Sajogyo. 1983. Kata Pengantar. In: Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian, Proses
Perubahan Ekologi di Indonesia. Terjemahan Agriculture Involution. Jakarta: Bhratara
Sajogyo. 1988. Masalah Kemiskinan di Indonesia: Antara Teori dan Praktek. In: Mimbar Sosek No. 2, September 1988.
Sajogyo. 1989. Peluang Berusaha dan Bekerja pada Masyarakat Petani. In: Prisma No. 2 Th. 18.
Sajogyo. 1997. Menciptakan Visi Mendukung Pengembangan Kelompok Swadaya Mandiri dalam Gerakan Nasional PPK. Jakarta: Puspa Swara.
Sajogyo. 2006. Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras.
Saksono, G. 2008. Marhaenisme Bung Karno Marxisme Ala Indonesia. Ardhana Media.
Santosa, I.B. 2011. Laku Prihatin: Investasi menuju Sukses ala Manusia Jawa. Yogyakarta: Memayu
Sarman, M., Sajogyo. 1997. Masalah Penanggulangan Kemiskinan, Refleksi dari Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Puspa Swara
Saussure, F.d. 1993. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale. Yogyakarta: UGM Press.
Scheurich, J.J., K.B. McKenzie. 2011. Metodologi Foucault, Arkeologi dan Genealogi. In: N.K. Denzin, Y.S. Lincoln, eds. The Sage Handbook of Qualitative Research, terjemahan The Sage Handbook of Qualitative Research, Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiawan, B. 2003. Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman Neoliberal pada Tubuh WTO. In: I. Wibowo, F. Wahono, eds. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras.
Shiraishi, T. Dangir's Testimony: Saminism Reconsidered. In: Indonesia. Shiva, V. 2004. Peraturan Pertanian WTO: Ancaman bagi Para Petani Dunia
Ketiga. In: International Forum on Globalization. Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan. Yogyakarta: Cindelaras.
208
Sibeon, R. 2004. Rethinking Social Theory. London: SAGE. Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi
terhadp Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI Press. Singarimbun, M., D.H. Penny. 1976. Penduduk & Kemiskinan: Kasus Sriharjo di
Pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara. Sirait, P.H., R. Hindrayati, Rheinhardt. 2011. Pram Melawan. Jakarta: Nalar. Siregar, B.B. 2001. Menelusuri Jejak Ketertinggalan, Merajut Kerukunan
Melintasi Krisis. Bogor: Pusat P3R-YAE. Smith, L.T. 2005. Dekolonisasi Metodologi. Terjemahan Decolonising
Methodologies, Research and Indigenous People. Yogyakarta: Insist Soedjatmoko. 1984. Dimensi-dimensi Struktural Kemiskinan. In: S. Soemardjan,
Alfian, M.G. Tan, eds. Kemiskinan Struktural, Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Sangkala Pulsar.
Soeharto. 2008. Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Otobiografi seperti Dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: Citra Kharisma Bunda.
Soekarno. 1965. Dibawah Bendera Revolusi, Djilid I. Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi
Soemardjan, S. 1984. Kemiskinan Struktural dan Pembangunan. In: S. Soemardjan, Alfian, M.G. Tan, eds. Kemiskinan Struktural, Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Sangkala Pulsar.
Soto, H.d.2000. The Mystery of Capital, Rahasia Kejayaan Kapitalisme Barat. Terjemahan The Mystery of Capital, Why Capitalism Triumphs the West and Fails Everywhere Else. Yogyakarta: Qalam
Spivak, G.C. 2003. Membaca Pemikiran Jacques Derrida Sebuah Pengantar. Khazanah Pustaka Indonesa
Stange, P. 2009a. Kejawen Modern, Hakikat dalam Penghayatan Sumarah. Yogyakarta: LKiS.
Stange, P. 2009b. Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKiS.
Sulistyo, H. 2011. Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966). Jakarta: Pensil-324.
Supriatna, T. 1997. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung: HumanioraUtama Press.
Susanti, N. 2010. Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta: Komunitas Bambu.
Sutherland, H. 2008. Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah, In: H.S. Nordholt, B. Purwanto, R. Saptari, eds. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: YOI dan KITLV-Jakarta.
Syuroh, M. 2011. Evaluasi Pelaksanaan Program Pembinaan Masyarakat Terasing di Indonesia. In: Sosiohumanika Th. 4 No. 2
Taylor, J.G. Kehidupan Sosial di Batavia. 2009. Masup Jakarta Thomas, A. 2002. Meanings and Views of Development. In: T. Allen, A. Thomas,
eds. Poverty and Development: Into the 21st Century. Oxford: Oxford Univ. Pr.
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945. 2010. Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
209
Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VII: Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, Edisi Revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Tjokroaminoto, HOS. 2008. Islam dan Sosialisme. Bandung: Sega Arsy McVey, R.T. 2010. Kemunculan Komunisme Indonesia. Terjemahan The Rise of
Indonesian Communism. Depok: Komunitas Bambu. Wahono, F. 2004. Revolusi Hijau: dari Perangkap Involusi ke Perangkap
Globalisasi. In: I. Wibowo, F. Wahono, eds. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras.
Wahono, F. 2005. Pendahuluan: Petani dan Nelayan dalam Pusaran Kekerasan. In: N. Hafsah. Potret Pelanggaran Hak Asasi Petani dan Nelayan. Yogyakarta: Cindelaras.
Weber, M. 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Galaxy Book.
Weber, M. 1978. Economy and Society, An Outline of Inrepretive Sociology. Berkeley: Univ. of California Press.
White, B. 1996. Optimisme Makro, Pesimisme Mikro? Penaksiran Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia, 1967-1987. In: M.T.F. Sitorus, A. Supriono, T. Sumarti, Gunardi, eds. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia, Prof. Dr. Sajogyo 70 Tahun. Jakarta: Gramedia.
White, B. 2005. Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia, In: V.R. Hadiz, D. Dhakidae, eds. Social Science and Power in Indonesia. Singapore: Equinox dan ISEAS.
Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Pustaka Pelajar Offset.
Wiryono, P. 2003. Neoliberalisme dalam Sektor Industri Pangan. In: I. Wibowo, F. Wahono, eds. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras.
World Bank. 1990. World Development Report 1990: Poverty. Oxford: Oxford University Press.
World Bank. 2000. World Development Report 2000/2001: Attacking Poverty. Washington DC: World Bank.
World Bank. 2009. World Development Report 2009: Reshaping Economic Geography. Washington, DC: World Bank.
Yunus, M. 1999. Banker to the Poor, Micro-Lending and the Battle Against World Poverty. New York: PublicAffair.
Zoetmulder, P.J. 1990. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Suatu Studi Filsafat. Terjemahan Pantheisme en Monisme. Jakarta: Gramedia.
210
Lampiran 1. Makalah Enam Diskursus Kemiskinan di Indonesia
Enam Diskursus Kemiskinan di Indonesia1
Oleh Ivanovich Agusta2
Abstrak
Ditemukan enam diskursus kemiskinan yang berbeda-beda di Indonesia, mencakup diskursus kemiskinan komunal, kemiskinan yang diinginkan, kemiskinan rasial, kemiskinan sosialis, kemiskinan produksi, dan potensi orang miskin. Sebagai konsekuensi pertandingan kekuasaan, dalam proses pelembagaan terjadi perang dan persilangan antar diskursus kemiskinan. Perang saat ini dimenangkan oleh diskursus kemiskinan produksi, yang secara konseptual tidak memberikan peluang bagi orang miskin untuk menjadi kaya. Kata kunci: metodologi, analisis diskursus
Abstract I found six discourses on poverty in Indonesia such as
communality poverty, wishes poverty, racial poverty, socialist poverty, production poverty, and potencialities of the poor. As a consequent of competing power, during institutionalization process the discourses are competed and crossed each other. Unfortunately, the production poverty discourse has championed the war, which conceptually blocks the poors to move out of poverty. Keywords: methodology, discourse analysis
Pendahuluan: Indikasi Diskursus Kemiskinan Majemuk
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, pembentukan Pemerintah Negara
Indonesia dilakukan untuk memajukan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan hal tersebut,
pembangunan telah dijadikan pilihan untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Secara khusus
Negara harus memelihara fakir miskin, mengembangkan sistem jaminan sosial, dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu.3 Akan tetapi persoalan
sejauhmana pembangunan mampu menghilangkan kemiskinan masih saja dijawab secara
negatif hingga beberapa tahun ke depan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 1 Makalah disampaikan dalam Rapat Koordinasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan Kabupaten, tanggal 4-6 Agustus 2010, di Hotel Puri Avia Resort, Cipayung, Bogor. 2 Sosiolog pedesaan dan dosen Sosiologi Kemiskinan dan Pemberdayaan Sosial IPB Bogor. Email iagusta70@gmail.com 3 UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dan 2. Lihat Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (2004: 1, 26)
212
Nasional II (2010-2014), pembangunan diharapkan mampu menurunkan tingkat kemiskinan
hingga 8-10 persen pada akhir tahun 2014 (Bappenas, 2010: I-46) ,4 artinya tidak sampai 0-
2,5 persen sebagai indikasi hilangnya kemiskinan.
Lebih dari itu, program penanggulangan kemiskinan tampaknya kurang efektif dalam
menurunkan jumlah penduduk miskin. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS),5 dalam setahun
terakhir penduduk miskin hanya berkurang 0,82 persen (1,51 juta jiwa), menjadi total 13,33
persen (32,53 juta jiwa). Jika nilai pengurangan tersebut konstan, maka target RPJMN-II
2010-2014 di atas sulit tercapai.
Penguasaan pengetahuan kemiskinan semakin kuat, sebagaimana ditandai oleh
peningkatan kompleksitas persoalan kemiskinan. Dibandingkan saat pertama kali garis
kemiskinan Sajogyo dikeluarkan pada tahun 1976 untuk mengukur individu miskin, sejak
publikasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2004 golongan miskin
tidak sekedar mencakup individu miskin namun meliputi pula keluarga miskin, kelompok
miskin, pengusaha mikro dan kecil. Untuk mendapatkan pengetahuan yang luas, studi-studi
kemiskinan dilaksanakan secara multidisipliner dan dengan jenis keilmuan yang semakin
banyak, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, kependudukan, politik. Sejalan dengan
perkembangan akademis, agar mampu mengatasi berbagai aspek kemiskinan, kebijakan
sektoral berkembang menjadi pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan, dan
dilaksanakan secara lintas sektoral atau kementerian. Hal ini ditunjukkan oleh
penyelenggaraan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, serta
pembentukan
Meskipun kajian dan kebijakan penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara
kompleks, namun kemiskinan sendiri dimaknai secara tunggal. Kajian diarahkan kepada
individu, kelompok dan organisasi yang tidak mampu berproduksi, sehingga menghasilkan
kebijakan penanggulangan kemiskinan agar orang miskin mampu bekerja dan berusaha
dalam ekonomi uang. Kemampuan tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan penghasilan
finansial. Pola penanggulangan kemiskinan tersebut paling tepat dilaksanakan pada
masyarakat yang menggunakan ekonomi uang sepenuhnya.
Namun demikian, muncul anomali dari pengetahuan ketunggalan diskursus
kemiskinan tersebut, sebagaimana ditandai, antara lain, oleh ketidaksamaan identitas orang
miskin menurut pemerintah dan rakyat. Masyarakat adat menolak identitas miskin berikut
program penanggulangan kemiskinan di wilayahnya. Sebaliknya terdapat kasus penolakan 4 Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 Buku I, Halaman I-46. 5 Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010, halaman 1.
213
petugas program bantuan tunai terhadap warga desa yang memasukkan dirinya ke dalam
golongan miskin.
Tulisan ini menunjukkan diskursus kemiskinan yang berbeda-beda, dan saling
berperang satu sama lain. Ada diskursus yang kini menang dan mendominasi tafsir
kemiskinan, mengalahkan diskursus lain yang sempat jaya di masa lalu. Terlihat bahwa tafsir
tidaklah netral atau sekedar sesuai dengan kepentingan pelakunya, namun tafsir terkuat akan
selalu muncul sebagai tanda bekerjanya kekuatan tertinggi yang melingkupinya. Makna dari
sesuatu diketahui melalui kekuatan yang dimilikinya atau diekspresikan olehnya (Nietzsche,
1887). Kekuatan mendominasi realitas. Sesuatu itu sendiri tidak netral dan cenderung dekat
dengan kekuatan yang saat itu menguasainya. Perdebatan tentang esensi atau hakekat
kemiskinan kini dapat dipandang sebagai satu di antara semua makna kemiskinan yang paling
dekat dengan kekuasaan yang dimiliki oleh penyusun diskursusnya.
Analisis kemiskinan pada tataran diskursus menjadi penting, karena, pertama,
membuka peluang penemuan ragam pemikiran kemiskinan di Indonesia. Kedua, analisis
perang diskursus mampu membuka “belitan” saling hubung diskursus kemiskinan yang
berbeda, yang selama ini menyulitkan analisis kemiskinan. Pencarian teknik-teknik berperang
membuka dominasi suatu diskursus kemiskinan terhadap diskursus lain. Ketiga, pengetahuan
baru ini memungkinkan rekomendasi penanggulangan kemiskinan yang lebih kontekstual.
Teori dan Perang Diskursus
Kenyataannya kemiskinan selalu muncul sebagai hasil bentukan atau kerangka
pemikiran masyarakat tertentu. Kemiskinan sebagai bentukan sosial atau kerangka pemikiran
tertentu memiliki sifat diskursif. Kerangka kemiskinan tersebut senantiasa dibangun melalui
dialog antar pihak-pihak yang bersetuju atau menolaknya. Proses komunikasi atau dialog
tersebut senantiasa menyebarkan kekuatan (power), baik digunakan untuk menguasai maupun
untuk menguatkan solidaritas sosial (Gambar 1). Tulisan ini menemukan enam diskursus
kemiskinan yang berkembang di Indonesia masa kini.
Hubungan antar diskursus juga menggunakan kekuatan, baik kekuatan untuk
menguasai maupun untuk menguatkan solidaritas. Perang diskursus berupa pertarungan untuk
merebut atau menguatkan rezim kebenaran tertentu (Foucault, 2002d, 2008), dalam hal ini
tentang penanggulangan kemiskinan. Seandainya terdapat dua diskursus kemiskinan yang
sedang berperang, diskursus pemenang (A) akan mengalami penguatan diskursus tersebut.
Diskursus kemiskinan yang kalah akan menghilang pada masa berikutnya.
214
Gambar 1. Diskursus Pascastruktural dan Kekuasaan
Akan tetapi perang antar diskursus kemiskinan juga dapat mengarah kepada krisis
atas diskursus-diskursus kemiskinan yang lama, sehingga mendorong pembentukan diskursus
kemiskinan yang baru. Proses penciptaan diskursus kemiskinan baru muncul dalam proses
formasi diskursif (Foucault, 2002a, 2002c). Mula-mula perhatian diarahkan kepada
kejanggalan yang muncul dalam pernyataan, tingkah laku dan susunan benda-benda di
masyarakat. Ketika kritik dalam wujud kejanggalan tersebut mengarah kepada kontradiksi
yang mendasar, maka diskursus kemiskinan lama tersebut mengalami transformasi. Hasilnya
berupa diskursus kemiskinan baru yang berbeda dari diskursus sebelumnya. Hasil lain dari
formasi diskursif ialah pemenuhan hasrat untuk mengetahui lebih dalam perihal kemiskinan.
Melalui kekuasaan yang muncul dalam relasi sosial, hasrat untuk mengetahui kemiskinan
tersebut membesar menjadi suatu rezim kebenaran tentang kemiskinan dalam tempat dan
waktu tertentu.
Enam Diskursus Kemiskinan
Diskursus Berbagi Kelebihan
Salah satu sumber sosialisme Indonesia ialah kegiatan gotong royong dan tolong di
pedesaan (Hatta, 2000; Soeharto, 2008; Soekarno, 1965). Komunalisme di pedesaan dijaga
melalui pembagian kelebihan kekayaan –berbagi kekayaan lebih tepat daripada konsep
berbagi kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Geertz (1983). Dalam suatu kelompok
atau komunitas, orang yang berkelebihan membaginya kepada sesamanya yang kekurangan.
Diskursus ini muncul berusia paling lama, dan muncul dalam banyak komunitas di Indonesia
(Tabel 1).
215
Tabel 1. Diskursus Berbagi Kelebihan
Obyek Benda pribadi yang berubah menjadi milik umum Subyek Orang renta, anak-anak, orang miskin sedesa Konsep Gotong royong, kecukupan Strategi Komunalisme dijaga melalui pembagian kelebihan kekayaan Wilayah Desa dengan tradisi kuat (5.000 desa) Komunikasi Lisan, sedesa Kelembagaan Bekerja bersama, menyisakan hasil kerja di tempat yang dipandang umum Alternatif kebijakan Penguatan komunalitas desa dengan pekerjaan gotong royong
Berlainan dari orientasi produksi dan efisiensi, dalam diskursus kemiskinan komunal
barang dan jasa yang dibagi relatif berkualitas sama, bukan barang rusak, recehan, atau yang
bernilai lebih rendah. Di desa-desa di Sulawesi Tengah, misalnya, kelapa yang jatuh sendiri
ke tanah boleh dimiliki oleh siapa saja yang hendak mengambilnya. Orang miskin dapat
mengambil kelapa-kelapa yang telah ada di atas tanah. Kelapa tersebut berkualitas bagus,
dapat dijual di pasar, sehingga orang-orang miskin tetap mendapatkan uang dan makanan
melalui pengumpulan kepala jatuh.Dapat diperkirakan komunitas yang menganut diskursus
berbagi kelebihan mencapai sekitar 5.000 desa (Tabel 2), yaitu yang terbiasa melakukan
pekerjaan di luar ekonomi uang (moneter).
Tabel 2. Monetisasi Desa-desa di Indonesia, 2006
Pulau Besar Subsisten (Diskonsumsi Sendiri)
Komersial (Dijual)
Campuran (Dikonsumsi dan Dijual)
Jawa Bali Jumlah 1098 2018 17520 20636 % 5 10 85 100
Kalimantan Jumlah 818 1330 2965 5113 % 16 26 58 100
Maluku Jumlah 76 281 1070 1427 % 5 20 75 100
Nusa Tenggara
Jumlah 592 333 2327 3252 % 18 10 72 100
Papua Jumlah 703 327 1646 2676 % 26 12 62 100
Sulawesi Jumlah 288 1977 4591 6856 % 4 29 67 100
Sumatera Jumlah 1377 5960 10993 18330 % 8 33 60 100
Jumlah Indonesia 4952 12226 41112 58290 % 8 21 71 100
Salah satu komunitas di Jawa Tengah yang mempertahankan mekanisme berbagi
kelebihan ini ialah Orang Samin. Hubungan di antara kelompok mereka diidentikkan sebagai
216
sedulur sikep. Sedulur sikep hidup secara tersebar di pantai Utara Jawa Tengah, seperti
Kudus, Pati, Blora, Rembang, Bojonegoro bahkan sampai ke Ngawi. Mereka hidup
berdampingan dengan warga masyarakat lain (non-Sikep). Mata pencaharian mereka
umumnya bertani.
Pengertian ekonomi bagi masyarakat Sikep adalah kecukupan sandang dan pangan
(Wahono, Warno dan Farhan, 2002). Mereka tidak membutuhkan sekolah, berpakaian dan
makan secara sederhana. Pemilikan akan sesuatu dipandang harus dijaga, dan milik orang
lain harus dihormati.
Diskursus Kemiskinan yang Diharapkan
Salah satu strategi untuk mengakumulasi kekuasaan (kasekten/kesaktian) ialah dengan
bertingkah laku sebagaimana orang miskin (Anderson, 2000). Kemiskinan menandai
ketiadaan (moksa, nir), sehingga manusia bisa berkonsentrasi lebih kuat. Konsentrasi tersebut
mencakup pemusatan atau akumulasi kekuasaan. Tidak mengherankan diskursus ini muncul
justru pada penguasa atau lapisan atas (Tabel 3).
Tabel 3. Diskursus Kemiskinan yang Diharapkan
Obyek Sebagian besar benda pribadi yang dibagikan Subyek Pelaku tapa (agamawan, ilmuwan), raja. Ada 1.254 pesantren dan seminari Konsep Prihatin, menahan diri, zuhud, asketis, sederhana Strategi Kemiskinan meningkatkan sensitivitas Wilayah Lembaga pendidikan, penelitian dan keagamaan Komunikasi Kelompok kecil sesama guru, peneliti, agamawan Kelembagaan Lembaga pendidikan keagamaan Kebijakan Penyediaan akses dan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup atau hidup sederhana
Pada bangsa Jawa muncul konsep loro lopo (Karsodihardjo, 1998), yang secara
harfiah berarti sakit serta miskin. Sudah sakit, ditambah lagi miskin, sehingga tidak ada ruang
untuk menghibur diri. Loro lopo menunjukkan jalan penderitaan sebagai kondisi agar
kekuasaan muncul ke permukaan.
Untuk melakukan loro lopo orang perlu berpegang pada nilai wader wungkuk. Ikan
yang bungkuk ini merupakan metafora urang (udang). Metafora tersebut menunjukkan
mekanisme loro lopo berupa ngurang-ngurangi, atau menurunkan konsumsi. Makanan
dikurangi agar manusia bisa hidup di masa depan. Pemborosan dikurangi agar tabungan tidak
217
cepat habis. Hasrat dikurangi (ditekan) agar orang tidak mudah kalap. Tidur dikurangi untuk
memperbanyak berhubungan dengan Tuhan, berdoa memohon pertolongan dalam kehidupan.
Metode lain yang serupa, yang biasa dilakukan bangsawan ialah lelono-broto, yaitu
berkelana dalam suasana kesedihan. Perjalanan diarahkan untuk mendapatkan tempat yang
bisa menenteramkan batin. Di tempat yang sesuai, penguasa melakukan topo broto, atau
bertapa dalam kesedihan. Di atas tempat yang sesuai inilah wahyu kekuasaan dipandang bisa
diturunkan oleh Tuhan. Inilah kekuasaan yang diperoleh melalui serangkaian loro lopo,
lelono broto dan topo broto.
Diskursus Kemiskinan Rasial-Etnis
Mungkin istilah kemiskinan dalam arti modern (poverty, bukan misalnya tidak
kecukupan) muncul pertama kali di Indonesia pada awal abad ke 20. Di kota-kota di Eropa
pada abad ke 19 kemiskinan sudah tergolong sebagai konsep sosial yang dahsyat (Gouda,
2007). Kemiskinan mengundang ketakutan akan timbulnya revolusi sosial, mengingat jumlah
proletar dan buruh upahan meningkat di perkotaan.
Ketika konsep kemiskinan tersebut masuk ke dalam Hindia Belanda, penerapannya
hanya secara eksklusif diletakkan pada golongan Eurasia, bukan pada pribumi. Jumlah
penduduk Eurasia terpelajar tergolong besar, sekitar 95.000 pada tahun 1905 dan meningkat
menjadi sekitar 190.000 pada tahun 1930.
Kelompok indo (campuran Barat dan pribumi), terutama perempuan Indo, banyak
digolongkan ke dalam kelompok miskin. Secara resmi mereka dipandang malas, karena
memandang ras mereka lebih tinggi daripada pribumi, sehingga tidak bersedia bekerja. Selain
itu, golongan indo dipandang sebagai hasil perbuatan dosa. Yang dimaksud ialah golongan
indo merupakan hasil hubungan seksual antara ras Eropa dan pribumi. Lokasi di khatulistiwa
yang panas dipandang sebagai alasan perbuatan zina. Hasil dari tindakan salah ini berupa
keturunan yang melarat (Tabel 4).
Sebenarnya tidak hanya demikian. Posisi rasial Indo yang tidak jelas (bukan Eropa
atau pribumi murni), sementara posisi-posisi pekerjaan formal terbagi menurut ras,
menjadikan mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang memadai. Kreol menjadikan mereka
tidak mendapatkan akses ekonomi yang memadai. Ketika mereka jatuh miskin, pemerintah
Hindia Belanda untuk pertama kalinya memandangnya sebagai masalah kemiskinan.
Bukan berarti tidak ada kemiskinan di kalangan pribumi, namun kepada mereka
hanya diidentifikasi sebagai kurang sejahtera. Pribumi dipandang bukan manusia utuh, atau
218
dipandang sebagai manusia kera (Gouda, 2007), sehingga persoalan utamanya bukanlah
kemiskinan, melainkan upaya penjinakan agar mereka tidak liar (minimal tidak sopan)
(Breman, 1997).
Tabel 4. Diskursus Kemiskinan Rasial-Etnis
Obyek Sikap dan tingkah laku Subyek Etnis terjajah, etnis terpencil, golongan indo. Ada 2.031 lokasi, 225.477 KK, 919.570 jiwa Konsep Budaya, sikap/psikologis, pelanggaran norma Strategi Sikap dan tingkah laku tercela atau pendosa mengakibatkan kemiskinan
Kemiskinan menyebabkan terorisme Wilayah Suku pedalaman, Maluku, Papua Komunikasi Tradisi, kelompok lokal Kelembagaan Pemukiman kembali, pemukiman kelompok kecil Kebijakan Perbaikan norma, target yang rendah, menjadikan lebih beradab
Diskursus Kemiskinan Sosialis
Sampai akhir penjajahan, orang miskin di Indonesia tidak hanya proletar, yang hanya
memiliki tenaga untuk bekerja kepada orang lain. Di sini sebagian orang miskin masih
memiliki alat produksi, namun dalam jumlah minimal. Sebagian besar mereka hidup dalam
bidang pertanian. Kepada orang miskin semacam itu muncul konsep marhaen (Soekarno,
1965), yaitu buruh tani, buruh industri, dan petani kecil.
Tabel 5. Diskursus Kemiskinan Sosialis
Obyek Kekayaan kelas kaya Subyek Proletar, marhaen (buruh industri, buruh tani, petani kecil). Ada 13,5 juta KK buruh tani Konsep Kontradiksi , eksploitasi Strategi Kemiskinan disebabkan hubungan penduduk lokal dengan kapitalis lokal dan global Wilayah Pedesaan, perumahan kumuh di perkotaan Komunikasi Advokasi, demonstrasi, tindakan perebutan kekayaan Kelembagaan Organisasi khusus orang miskin, organisasi buruh-buruh Kebijakan Mengurangi eksploitasi oleh industri, memenuhi kebutuhan hidup minimal
Kemiskinan merupakan akibat logis hubungan marhaen dengan kapitalis (Tabel 5).
Pada tahun 1950-an Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berorientasi sosialis pernah
menyatakan (White, 2005), bahwa kemiskinan di desa merupakan hasil relasi penghisapan
orang miskin oleh tujuh setan desa. Meskipun diskursus pembangunan sosialis tidak
sepenuhnya menindaklanjuti hasil kegiatan suatu community development (CD), namun
setidaknya pemerintah tidak mengambil tindakan atas pendudukan petani miskin terhadap
219
lahan perkebunan dan lahan milik petani kaya. Dalam perencanaan pembangunan sosial
sendiri muncul kebutuhan reforma agraria di mana lahan yang tersedia hendak dibagi secara
lebih merata kepada golongan marhaen (Departemen Penerangan RI, 1961).
Diskursus Kemiskinan Produksi
Diskursus kemiskinan produksi merupakan produk dari diskursus pembangunan
modernis. Diskursus inilah yang senantiasa diacu dalam pernyataan-pernyataan pemerintah,
donor dan swasta sejak tahun 1969.
Dirunut lebih jauh, diskursus ini muncul bersamaan dengan laju Revolusi Industri.
Proletariat yang muncul mula-mula dipandang sebagai masalah kemiskinan, dan hendak
diatasi dengan tindakan-tindakan karitatif (Gronemeyer, 1992). Dari masa ini pertama kali
muncul pemahamanan untuk memberikan recehan kepada pengemis dan orang miskin.
Bantuan karitatif kemudian diorganisasikan, dan setelah Perang Dunia II terutama dalam
bentuk lembaga-lembaga Bretton Woods (Bank Dunia dan IMF). Pola bantuan dan program
penanggulangan kemiskinan tetap serupa dengan masa Revolusi Industri, yaitu jangan sampai
lapisan terbawah ini jatuh sakit dan meninggal (karena menjadi persoalan tersendiri), namun
dibantu sampai pada batas bisa berproduksi, atau tepatnya menunjang sistem produksi
industrial (kini batasan itu dijabarkan dalam bentuk garis kemiskinan atau upah minimum
buruh) (Tabel 6).
Tabel 6. Diskursus Kemiskinan Produksi
Obyek Pemberian/karitas orang kaya kepada orang miskin Subyek Buruh industri, buruh tani, pengusaha mikro/kecil. Ada 13,5 juta KK buruh tani Konsep Produksi Strategi Ketidakmampuan berproduksi dan sakit menghasilkan kemiskinan.
Kemiskinan sebagai persoalan publik, bukan persoalan privat/pribadi à perlu campur tangan pemerintah dan pengorganisasian hingga tingkat internasional.
Wilayah Perumahan kumuh di perkotaan, perumahan buruh di perkebunan, pertambangan, peternakan, pertanian
Komunikasi Persaingan, karitas Kelembagaan Lembaga karitatif, Lembaga rehabilitasi (pendidikan, kesehatan) Kebijakan Pendapatan/pengeluaran di atas garis kemiskinan/KFM, karitas (BLT, zakat), penguasaan
hirarki kebutuhan, pelatihan untuk kerja dan usaha, kontrak atau hubungan kerja tertulis, Pengelompokan rumah tinggal kelompok miskin, Jaminan sosial kelompok miskin
Golongan miskin mencakup penduduk berpendapatan rendah. Pada beberapa program
pembangunan, selain pendapatan rendah sebagai indikator utama, juga dikaitkan dengan
220
pemilikan sarana pendidikan dan kesehatan yang rendah. Golongan lainnya terletak pada
kelompok umur produktif, kelompok umur anak-anak yang tidak bekerja, kelompok umur
tua, kemiskinan pada level rumah tangga, serta pengusaha kecil dan mikro.
Pembentukan kelompok miskin baru ini mengandung kritik, karena pengurangan
kemiskinan menjadi sekedar penyaluran dana/kredit orang (rumah tangga) yang perlu modal
(tambahan) untuk usahanya. Walaupun pada pilihan lokasi program bisa tercantum
pembedaan antara pedesaan dan perkotaan, namun tak dijelaskan dalam hal-hal apa saja akan
sama dan hal-hal apa akan berbeda. Kemiskinan di desa dapat pula terkait dengan kemiskinan
di kota, begitu pula dalam hal upaya mencapai perbaikan tingkat mutu hidup penduduk.
Gambar 2. Korespondensi CDD dan Teori Pasar
Teori kemiskinan terbaru Bank Dunia yang digunakan di Indonesia, yaitu
CDD/Community-Driven Development menjelaskan "pangsa pasar" program penanggulangan
kemiskinan tersebut: khusus untuk keluarga miskin dan keuangan mikro (Operations
Evaluation Department, 2003). Setelah lepas dari level itu maka orang miskin keluar dari
program-program CDD. Menggunakan idiom dari ilmu ekonomi, pola penyaluran proyek
diarahkan pada kesetimbangan antara aspek penawaran proyek dan permintaan masyarakat
(Gambar 2). Untuk memperoleh titik yang optimal, maka dilangsungkan persaingan antar
warga dalam memperebutkan proyek. Berkaitan dengan itu, menurut teori motivasi dari
Atkinson, motivasi tertinggi dalam melakukan tindakan diperoleh ketika peluang
221
keberhasilan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan senilai 50 persen. Artinya
hanya jika menulis proposal maka muncul peluang untuk mendapatkan proyek, jika proposal
tidak dikerjakan maka pasti tidak mendapatkan proyek (peluang 0 persen), dan sebaliknya
penulisan proposal tidak sekaligus memastikan (peluang 100 persen) akan memperoleh
proyek.
Gambar 3. Hipotesis Statistika Penanggulangan Kemiskinan
Garis kemiskinan dan sejenisnya digunakan sebagai passing grade seseorang atau
kelompok digolongan miskin atau lepas dari kemiskinan (moving out of poverty).
Menggunakan kaidah statistika untuk jumlah sampel atau populasi yang sangat besar (di atas
200 juta penduduk Indonesia), maka secara umum bentuknya seperti kurva normal (Gambar
3). Secara hipotetis terdapat beberapa garis batas tertentu untuk menggolongkan hierarki
masyarakat, yaitu golongan rata-rata yang dihitung menurut nilai tengah hingga 1 SD
(standard deviation) (biasanya 34% penduduk di sebelah kiri atau kanan nilai tengah),
golongan kaya atau miskin yang dihitung antara nilai 1 SD dan 2 SD (biasanya 13,5% lebih
jauh ke kanan atau ke kiri), dan paling kaya atau paling miskin yang dihitung di atas 2 SD
(biasanya 2,5% paling kanan atau paling kiri).
Berdasarkan kaidah statistika tersebut, kebijakan penanggulangan kemiskinan
semestinya mencantumkan target penduduk miskin tidak lebih dari 2,5%. Berdasarkan
gambar di atas, terlihat bahwa target-target yang dicatat selama ini tergolong konservatif.
Pada saat ini muncul pandangan mengenai agregat orang miskin (Rahnema, 1992).
Kemiskinan bukan lagi masalah individual, melainkan menjadi permasalahan kelompok
kecil, warga desa, kabupaten, porvinsi, nasional, bahkan global. Melalui perubahan
222
pandangan ini, kemiskinan menjadi sah untuk dikelola oleh negara, bahkan melalui
organisasi internasional.
Dianggap bersifat universal, pengukuran kemiskinan berlangsung dalam metode
kuantitatif (garis kemiskinan) maupun melalui manipulasi teknik-teknik kualitatif agar bisa
dikuantifikasi –misalnya menyelenggarakan diskusi kelompok terarah (focus group
discussion/FGD) di mana hasilnya bisa dibandingkan lintas negara dan bisa diakumulasikan
sebagaimana dilakukan oleh Mukherjee (2006). Melalui universalisme narasi kemiskinan
berkembang dari tingkat lokal menjadi global. Universalitas pengukuran menghasilkan
perbandingan kemiskinan lintas negara, dan akhirnya menghasilkan ruang-ruang negara
miskin dan kaya (World Bank, 1990, 2000).
Globalitas kemiskinan juga membuka peluang kebijakan pengurangan kemiskinan
untuk dikelola secara organisatoris dari tingkat global sampai ke tingkat nasional, tidak lagi
atau tidak sekedar dilakukan secara individual maupun dalam kelompok kecil.
Pengorganisasian di tingkat global dimungkinkan melalui proyek dan utang luar negeri. Bank
Dunia secara sendirian atau ketika mengorganisir lembaga dan negara kreditur menetapkan
tema kemiskinan dalam perolehan utang luar negeri sejak dekade 1990-an (World Bank,
1990, 2000). Dokumen strategi penanggulangan kemiskinan (Poverty Reduction Strategy
Paper/PRSP atau diindonesiakan menjadi dokumen Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan/SNPK) serta lembaga pengurangan kemiskinan (di Indonesia berupa Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan/TKPK di tingkat pusat dan daerah)6 sama-sama
terdapat di banyak negara penerima utangan tersebut (Komite Penanggulangan Kemiskinan,
2004; Levinsohn, 2003; Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, 2006). Dengan kata
lain, pandangan akan sifat universalitas mutlak dari metode kemiskinan membuka peluang
penerapan pembangunan di seluruh negara-negara Selatan, meskipun metode-metode tersebut
dikembangkan di negara-negara Utara.
Selain itu, swasta kini masuk sebagai salah satu penyalur dana bagi orang miskin,
yaitu sebagai konsultan pendamping program. Ciri pencarian untung yang mengikat secara
inheren pada konsultan swasta turut terbawa dalam pendampingan masyarakat (Agusta,
2007). Merekalah yang memiliki peran dan kekuasaan lebih tinggi daripada pihak lain. Dari
sisi gaji yang berlipat ganda dibandingkan pegawai negeri (antara empat kali lipat pada
pendamping tingkat kecamatan, hingga lebih dari lima puluh kali lipat bagi “konsultan
pendamping” nasional yang sengaja direkrut dari negara donor), tugas-tugas yang lebih besar
6 Peraturan Presiden No. 54/2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
223
dan purna waktu dalam program, posisi pendamping ini jauh lebih tinggi daripada lainnya.
Dalam posisi yang paling penting, yaitu menandatangani persetujuan pencairan proyek dan
dana kegiatan, kekuasaan konsultan pendamping bahkan hampir mutlak.
Diskursus Potensi Orang Miskin
Pernyataan-pernyataan diskursus potensi orang miskin baru muncul sejak dekade
1970-an. Kelembagaannya mudah dikenali, karena mengutamakan kelompok dan tindakan-
tindakan peningkatan potensi (peningkatan kapasitas). Pembangunan alternatif, people
centered development, basic needs approach, dan konsep serupa mempercayai bahwa orang
miskin tidak tepat didefinisikan sebagai “orang yang tidak memiliki” (the have not), tetapi
paling tepat sebagai “orang yang memiliki potensi” (Gambar 7).
Tabel 7. Diskursus Potensi Orang Miskin
Obyek Ilmu pengetahuan terapan, sumberdaya lokal Subyek Penduduk desa, kelompok buruh, pengusaha kecil/mikro Konsep Potensi, kelompok, akses Strategi Ketiadaan akses membuat orang menjadi miskin Wilayah Terpencil, tertinggal, pedesaan Komunikasi Komunikasi dua-langkah, komunikasi kelompok Kelembagaan Kelompok swadaya masyarakat, kelompok bertingkat Kebijakan Peningkatan akses, pendampingan, pelatihan
Pada pernyataan ekstrim, petani dan orang miskin merupakan pihak yang mengetahui
masalah dan peluang jalan keluarnya sendiri (Sajogyo, 2006). Pihak luar menjadi diperlukan
(penyuluh, pendamping), terutama untuk mewujudkan potensi tersebut menjadi
kekuatan/kekuasaan nyata. Kalau CDD membatasi upaya pada tataran sampai bisa
berproduksi, diskursus potensi orang miskin berupaya mengembangkan potensi mereka
setinggi-tingginya, baik dari level individual, kelompok, hingga gabungan kelompok (pada
pemikiran peningkatan kapasitas petani, nelayan dan koperasinya), maupun baik lokal,
regional, nasional dan internasional (pada kredit mikro).
Diskursus potensi orang miskin bersesuaian dengan diskursus pembangunan alternatif
(Thomas, 2002a, 2002b). Diskursus ini merumuskan kondisi akhir pembangunan pada saat
seluruh anggota masyarakat maupun kelompok mampu merealisasikan potensi-potensi
mereka. Perubahan sosial akan dilakukan melalui praktek pemberdayaan (Friedmann, 1992).
Oleh karena itu pembangunan berperan sebagai proses pemberdayaan individu dan
224
kelompok. Pembangunan akan dijalankan melalui individu-individu maupun gerakan
masyarakat.
Diskursus pemberdayaan alternatif bersesuaian dengan diskursus pembangunan yang
berpusat pada manusia (Ife, 1995). Di sinipun masyarakat dipandang sebagai kelompok-
kelompok yang tersusun secara hierarkis. Berbeda dari diskursus struktural yang
mengandaikan solidaritas dan pertentangan kelas, pemberdayaan alternatif mengandaikan
solidaritas antar lapisan, sehingga memungkinkan pola kerjasama seluruh pihak dalam
masyarakat (Stewart, 2001). Kekuasaan juga tidak dimaknai sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi atau mengarahkan pihak lain, melainkan sebagai kemampuan untuk
meningkatkan dan menjaga solidaritas sosial di antara lapisan masyarakat tersebut. Dengan
demikian pemberdayaan diarahkan kepada pengejawantahan potensi atau kemandirian
kelompok dan anggota masyarakat, disertai pengembangan jaringan antar kelompok tersebut.
Diskursus potensi orang miskin juga menghasilkan diskursus proses dalam
pembangunan partisipatif. Dalam diskursus proses, partisipasi yang lazim digunakan dalam
program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menyusun kelompok (Thomas,
2002a). Kelompok menjadi instrumen untuk meningkatkan ketrampilan, kapasitas dan
jaringan sosial. Diskursus proses hendak mewujudkan pembangunan yang pro-poor, berbasis
civil society dan pemberdayaan. Program yang tipikal dalam diskursus proses ialah Program
Inpres Desa Teringgal (IDT).
Perang di Antara Diskursus Kemiskinan
Sejarah Diskursus Kemiskinan dan Pembangunan
Pembahasan berbagai diskursus kemiskinan menjadi penting, karena kemiskinan telah
dijadikan tema sentral pembangunan global. Dengan membandingkan antara sejarah
munculnya diskursus-diskursus kemiskinan dan sejarah munculnya berbagai diskursus
pembangunan (Gambar 4), terlihat ketidaksejajaran di antara keduanya.
Hanya diskursus potensi orang miskin yang muncul bersamaan dengan diskursus
people-centered development. Keduanya memandang subyek pembangunan lebih mengetahui
kebutuhan dan jalan keluar dari masalah pembangunan yang menimpa dirinya. Diskursus
kemiskinan lainnya muncul lebih dahulu daripada diskursus pembangunan. Konsekuensinya
kebijakan pembangunan perlu memperhatikan lokasi diskursus kemiskinan dalam
menjalankan pola penanggulangan kemiskinan.
225
Gambar 4. Sejarah Kemunculan Diskursus Kemiskinan dan Pembangunan
Suatu diskursus pembangunan tertentu memiliki kaitan yang lebih erat pada diskursus
kemiskinan secara khas (Tabel 8). Melalui pengetahuan tentang konsistensi antar konsep-
konsep penting pembangunan dan kemiskinan ini dapat diharapkan menguatnya efektivitas
kebijakan penanggulangan kemiskinan
Diskursus kemiskinan produksi, misalnya, menghasilkan diskursus efisiensi-biaya
dalam pembangunan partisipatif (Cooke dan Kothari, 2001). Diskursus efisiensi-biaya
menginginkan keikutsertaan orang miskin dalam pembangunan untuk meningkatkan rasa
kepemilikan. Namun keikutsertaan sekaligus sebagai upaya memobilisasi sumberdaya lokal.
Komponen program-program yang masuk dalam Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) adalah tipikal diskursus efisiensi-biaya. Program semacam ini berupaya
membatasi biaya input atau materi program, sambil menggali kontribusi dari orang miskin
sendiri. Pada titik ini negara dan donor lebih diuntungkan karena pengeluaran mereka untuk
pembangunan lebih murah. Akan tetapi surplus keuntungan ke atas tersebut mengalir dari
swadaya orang miskin sebagai syarat perolehan program.
Perang Antar Diskursus Kemiskinan
Sejak awal perluasan diskursus kemiskinan produksi berhadapan dengan diskursus
kemiskinan lainnya. Mekanisme kamulfase perang diskursus dilakukan dengan beroperasi di
bawah kategori partisipasi yang digunakan dalam diskursus lain. Konsep pengembangan
masyarakat (community development), partisipasi, pemberdayaan, pembagian tugas sektor
negara, masyarakat sipil dan swasta sama-sama disebut. Akan tetapi, ditambahkan ruang baru
226
Tabel 8. Keterbaikan Diskursus Kemiskinan dengan Pembangunan, Pengembangan Masyarakat, dan Partisipasi
Diskursus Berbagi Kelebihan Rasial-Etnis Kemiskinan Sosialis Kemiskinan Produksi Potensi Orang Miskin
Kemiskinan Diharapkan
Kemiskinan Pembagian kelebihan Rasial dan etnis Relasional, struktural Produksi Potensi orang miskin Diharapkan Pembangunan Sustainable
development (Neo) Kolonialisme Struktural, dependensi Neoliberalisme People-centered
development Sipiritual
Pengembangan masyarakat (CD)
Local wisdom, knowledge
Masyarakat terasing, karitatif
LSM, solidaritas sekelas
Pasar, kompetisi Kapasitas individu dan kelompok
Asketisme
Pemberdayaan Otonomi Pemfungsian sosial Struktural, perubahan struktur
Utilitarian, kompetisi Kapasitas, solidaritas lintas kelas
Penguatan spiritual
Partisipasi Koeksistensi Korporasi Hak Efisiensi Proses Holistik Tabel 9. Perang Diskursus Kemiskinan
Kurang Dominan
Lebih Dominan Berbagi Kelebihan Rasial-Etnis Kemiskinan Produksi Kemiskinan Sosialis Potensi Orang Miskin Kemiskinan
Diharapkan Berbagi Kelebihan
Berbagi kelebihan untuk etnis/golongan yang sama
Lobi pembagian proyek antar calon penerima
Mencurigai pencari untung dari gotong royong
Berbagi akses untuk pengembangan potensi orang miskin
Membagi hampir seluruh pendapatan
Rasial-Etnis Berbagi kelebihan untuk warga dari komunitas yang sama
Metode menjadikan beradab, target rendah
Kesamaan perlakuan antar etnis asalkan dari golongan proletar atau marhaen
Pengembangan potensi khusus bagi etnis terpencil
Kemiskinan Produksi
Jaringan sosial untuk pencari kerja, tempat tinggal
Proposal kemiskinan untuk golongan adat
Menghindari bantuan dari negara Barat
Pengembangan potensi individu untuk mendirikan usaha secara mandiri
Hidup sederhana/ membatasi konsumsi
Kemiskinan Sosialis
Gotong royong Penanggulangan kemiskinan di antara etnis yang tertindas
Pengembangan masyarakat sesuai peringkat kebutuhan
Pengembangan potensi kelompok untuk mendirikan usaha mandiri
Tidak berlebihan
Potensi Orang Miskin
Pemberian akses untuk mendapatkan hasil
Akses diutamakan untuk etnis terpencil
Pengembangan kelompok sekedar mampu berproduksi
Pengembangan potensi Mendampingi untuk mengembangkan potensi orang lain
Kemiskinan Diharapkan
Berbagi informasi antar golongan miskin
Menjaga hubungan dengan pelaku kemiskinan yang diharapkan
Beasiswa minimal Pengembangan potensi nalar dan kehendak setinggi-tingginya
227
sebagai penurunan masing-masing konsep tersebut. Dikembangkan sub kategori partisipasi,
yaitu diskursus partisipasi pasar.7 Penamaan ini untuk merangkum sifat efisiensi dalam
pengambilan keputusan partisipatif. Topik yang diperbincangkan bukanlah pada tataran di
mana pembangunan seharusnya bersifat partisipasi atau sentralisasi –karena sama-sama
menerima konsep partisipasi sebagaimana diskursus pembangunan alternatif maupun
sosialis—namun pada tataran lebih bawah di mana partisipasi seharusnya dijalankan dengan
efisien –bukan terutama untuk pengembangan diri dalam pembangunan alternatif atau
perubahan struktural dalam pembangunan sosialis.
Mekanisme kamuflase menunjukkan perbedaan perang diskursus sejak 1990-an
dibandingkan masa sebelumnya. Pada dekade 1960-an dan 1970-an pembedaan diskursus
berada pada tataran konsep pembangunan, dan diwujudkan dalam konsep-konsep yang
berbeda atau berlawanan satu sama lain. Modernisasi dilawankan dengan ketergantungan,
kemudian memunculkan pembangunan alternatif, konsep pertumbuhan dilawankan dengan
pemerataan, partisipasi, kemiskinan, sedangkan top down berlawanan dari bottom up.
Pada masa kini perang diskursus tidak seterang pembedaan konsep-konsep yang
saling dipertentangkan. Pertama, dikotomi antar konsep-konsep dibaurkan, dengan cara
menurunkan derajat abstraksi dari tataran filosofis atau paradigmatis menjadi sekedar
administratif atau teknis. Contohnya pembauran top down dan bottom up. Pembauran lainnya
di antaranya pertumbuhan dan pemerataan, dari semula dipertentangkan menjadi disatukan
berupa pro poor growth, terutama ketika dipraktekkan dalam pembangunan pertanian dan
pedesaan (Tambunan, 2005; Timmer, 2002).
Kedua, menggunakan nama yang sama dengan konsep yang sebelumnya berada di
luar diskursus pembangunan modernis, namun diisi dengan metode pembangunan modernis.
Metode tersebut diarahkan pada efisiensi, pasarisasi, pengambilan keputusan rasional atau
pertukaran. Di atas telah digambarkan konsep partisipasi, yang semula berasal dari golongan
sosialis, kemudian masuk ke dalam program pembangunan modernis.
Ketiga, mengembangkan konsep-konsep yang diidealkan bernilai “baik”, dan dengan
ini memanipulasi idealisasi moral ke dalam mekanisme pembangunan. Secara terang-
terangan “kebaikan” dilekatkan pada konsep good governance, good village, metode best
practice. Idealisasi “kebaikan” juga dimasukkan ke dalam konsep modal sosial, saling
percaya (trust). Kemodernan tidak menilai moral dari konsekuensi setelah tindakan dilakukan 7 Pernyataan perangkuman dalam konsep pasarisasi untuk menandai pembangunan yang dilaksanakan oleh donor asing dan pemerintah diperoleh peneliti dari Dr. MT Felix Sitorus secara lisan, dan penulis berterimakasih atas ijin untuk menggunakan ide tersebut. Sebelumnya peneliti secara terpisah-pisah menandai pembangunan modernis tersebut sebagai pengambilan keputusan rasional, pertukaran, dan analisis ekonomi formal.
228
–sebagaimana lazim pada masyarakat di waktu lampau—namun dari maksud sebelum
melakukan tindakan tersebut. Pelekatan “kebaikan” pada konsep di atas sudah sejak semula
meletakkan konsep tersebut dalam kelompok “kebaikan” bagi sasaran program pembangunan
(Nietzsche, 2002).
Perang diskursus muncul pada dua level. Pertama, perang diskursus pada level
pembangunan. Kedua, muncul pula perang diskursus pada level kemiskinan. Kemiskinan
rasialis, misalnya, mampu menegakkan kolonialisme, dengan memandang pribumi sebagai
orang malas (mitos ini muncul pada tahun 1920-an, padahal seabad sebelumnya pribumi
dimitoskan garang seiring Perang Diponegoro) (Gouda, 2007). Persilangan diskursus ini
dengan diskursus kemiskinan produksi menghasilkan pe-Lain-an (Othering) kepada orang-
orang yang dipandang liar. Sublimasi perang diskursus ini muncul dalam wujud program
penanggulangan kemiskinan untuk suku terasing. Sejak pemberlakuan UU 5/1979, suku
terasing merupakan Yang Lain, karena tidak tergolong sebagai penduduk dalam kota dan
desa (dua kelompok teritorial yang menandakan Indonesia). Sebagaimana diskursus
kemiskinan rasial, dan hasrat humanisme dalam pembangunan, maka keliaran suku terasing
tersebut hendak diatasi melalui program pengurangan kemiskinan. Program kemiskinan di
Papua juga selalu dipandang memiliki kekhususan, tanpa harapan tinggi untuk berhasil
menanggulanginya. Harapan tinggi dipandang sulit diwujudkan dari orang-orang liar.
Persilangan diskursus pembagian kelebihan dan kemiskinan produksi menghasilkan
mekanisme pemerataan proyek, meskipun dalam kerangka Community-Driven Development
(CDD) diharuskan persaingan untuk mendapatkan proyek. Di Salatiga, Ponorogo, Jombang,
misalnya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang mengharuskan
persaingan antar desa, ternyata disertai dengan upaya lobi di luar ruangan persaingan, saling
membantu desa yang belum pernah mendapatkan.
Tanpa mengetahui persilangan dan peperangan antar diskursus, ilmuwan majupun
aktivis yang bergerak dalam bidang kemiskinan dapat salah mengambil tindakan. LSM bisa
mendukung negara dalam Program IDT, karena memandang penting pengembangan
masyarakat hingga pada sekitar 20.000 desa, sedangkan LSM biasanya hanya mampu
memprogramkan tidak lebih dari 100 desa dampingan.
Ternyata peperangan diskursus muncul antara diskursus potensi orang miskin dengan
diskursus kemiskinan produksi. Ada pengembangan kelompok di sana, walau sesungguhnya
sedang bertarung untuk memperlakukan kelompok sebagai pemercepat kemandirian versus
kelompok konsumen (consumer group) dari donor. Ada pengembangan potensi di sana,
229
walaupun sejatinya bertarung pengembangan potensi tanpa batas, versus pengembangan
potensi terbatas untuk berproduksi.
Peperangan antara kemiskinan produksi dan kemiskinan komunal mengambil bentuk,
seperti meminta rakyat hidup sederhana. Sebagaimana sudah ditunjukkan, loro lopo
seharusnya dilakukan oleh penguasa, bukan oleh rakyat yang sudah miskin. Dominasi ke
dalam kemiskinan komunal juga berupa upaya untuk bekerja secara kelompok dan bergotong
royong dalam rangka meningkatkan efisiensi.
Kesimpulan
Kemajemukan diskursus kemiskinan di Indonesia tumbuh bersama di seluruh
wilayah. Upaya penemuan diskursus-diskursus kemiskinan di Indonesia dapat digunakan
untuk menggali penggunaan kekuasaan dan pengetahuan oleh donor dan negara kepada
masyarakat. Intervensi pembangunan tersaji dengan membandingkan adanya diskursus
kemiskinan yang telah muncul terlebih dahulu daripada pembangunan, dan diskursus
kemiskinan baru sebagai konsekuensi dari pembangunan.
Terdapat persilangan atau perang antar diskursus-diskursus kemiskinan. Analisis
perang diskursus membuka tabir persilangan antar diskursus, saling mempergunakan konsep
untuk ditafsirkan ulang, hingga mematikan diskursus lawan. Hasil pertarungan diskursus
kemiskinan sementara ini sudah jelas. Donor negara maju dan pemerintah unggul dengan
membentuk teori CDD, melembagakan PNPM, KPK (Komite Penanggulangan Kemiskinan),
hingga mengganti pendamping orang miskin dari LSM menjadi konsultan swasta.
Kemenangan diskursus produksi yang berorientasi keuntungan (profit) dapat memunculkan
kecurigaan. Benarkah proyek kemiskinan dapat mengurangi kemiskinan, sebagaimana
digembar-gemborkan donor sebagai kegiatan poverty reduction? Tidakkah kesuksesan
proyek semacam ini –jika memang berhasil—justru dijadikan justifikasi untuk berutang lebih
banyak lagi, dan berarti makin merongrong kedaulatan negara miskin?
Diperlukan kebijakan yang spesifik untuk menanggulangi kemiskinan, sesuai dengan
diskursus kemiskinan yang dialami. Diperlukan enam seri kebijakan penanggulangan
kemiskinan. Penyebab rendahnya efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu
digali dari jenis kemiskinan yang berkembang pada masyarakat tertentu
Rendahnya efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat disebabkan oleh
keterbatasan diskursus kemiskinan yang hendak diatasi. Suatu alternatif kebijakan dapat
dimulai dengan mengolah diskursus berbagi kelebihan. Sambil mengambil pelajaran
230
diskursus potensi orang miskin, perlu disusun pandangan baru bahwa orang miskin bukanlah
warga tidak berpunya (the have not), melainkan warga berpotensi yang belum memperoleh
kesempatan membuktikan kemampuannya. Aktualisasi potensi orang miskin dapat dilakukan
dengan bantuan warga sedusun atau sekompleks, yang bersolidaritas untuk membantu
tetangganya sendiri. Dan hal ini telah memiliki sejarah panjang dari warganegara sendiri.
Daftar Pustaka
Agusta, I. 2005. Data Kemiskinan dan Survei. In: Kompas 29 November 2005. Agusta, I. 2007. Kritik Atas Komunikasi Pembangunan dan Program Pengembangan
Kecamatan. In: Sodality, Th. 1. No. 2 Anderson, BRO,G. 2000. Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia.
Terjemahan Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia oleh R.B. Santosa. Yogyakarta: Mata Bangsa
Breman, J. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad Ke-20. Jakarta: Grafiti.
Cardoso, F.H. 1972. Dependency and Development in Latin America, In:J.T. Roberts, A. Hite, eds. 2000. From Modernization to Globalization: Perspectives on Development and Social Change. Malden, Mass: Blackwell.
Cooke, B., U. Kothari. 2001. The Case for Participation as Tyranny, In: B. Cooke, U. Kothari, eds. Participation: The New Tyranny? London: Zed Books.
Departemen Penerangan RI. 1961. Penjelenggaraan Pembangunan Semesta, Dalam Rangka Mendjalankan Undang-Undang Dasar Pasal 33. Uraian didepan Kongres National SOBSI III pada tanggal 25 Agustus 1960 di Surakarta oleh Menteri/Ketua Depernas Prof. Mr Muhammad Yamin. Jakarta: Departemen Penerangan RI.
Foucault, M. 2002a. Menggugat Sejarah Ide. Terjemahan The Archaeology of Knowledge oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Foucault, M. 2002b. Kegilaan dan Peradaban. Terjemahan Madness and Civilization: A History of Insanity in Age of Reason oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Foucault, M. 2002c. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Terjemahan dari P Rabinow, ed. Aesthetics, Method and Epistemology: Essential Works of Foucault 1954-1984. Yogyakarta: Jalasutra
Foucault, M. 2002d. Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. Terjemahan. Yogyakarta: Bentang.
Foucault, M. 2003. Kritik Wacana Bahasa. Terjemahan The Discourse of Language oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Foucault, M. 2008. Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas. Terjemahan La Volonte de Savoir: Histoirie de la Sexualite. Jakarta: YOI.
Friedmann, J. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell.
Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara. Gouda, F. 2007. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.
Terjemahan Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherland Indies 1900-1942. Jakarta: Serambi.
231
Gronemeyer, M. 1992. Helping, In:W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
Ha-Joon, C., I. Grabel. 2008. Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan. Terjemahan Reclaiming Development: An Alternative Economic Policy Manual oleh M.G. Zainal.Yogyakarta: Insist.
Hatta, M. 2000. Mohammad Hatta Bicara Marxis dan Sosialisme Indonesia. Jakarta: Melibas.
Ife, J. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision, Analysis and Practice. Australia: Longman.
Karsodihardjo, D.S. 1998. Loro-Lopo Topo-Broto, In: Basis Th. 47 No. 5-6. Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2004. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan.
Jakarta: Komite Penanggulangan Kemiskinan. Kuhn, TS. 2002. The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi
Sains. Terjemahan The Structure of Scientific Revolution oleh Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya
Levinsohn, J. 2003. The World Bank’s Poverty Reduction Strategy Paper Approach: Good Marketing or Good Policy? G-24 Discussion Paper Series No. 21, April 2003. New York: United Nations.
Mukherjee, N. 2006. Voices of the Poor: Making Services Work for the Poor in Indonesia. Washington DC: World Bank.
Nietszche, F. 1887. On the Genealogy of Morals: A Polemical Tract. Leipzig Nietzsche, F. 2002. Beyond Good and Evil: Prelude Menuju Filsafat Masa Depan.
Terjemahan oleh B.H. Winarno. Yogyakarta: Ikon. Operations Evaluation Department. 2003. Community-Driven Development: A Study
Methodology. Washington DC: World Bank. Rahnema, M. 1992. Poverty, In: W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A Guide to
Knowledge as Power. London: Zed Books. Sajogyo. 2006. Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan
Perdesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras. Soeharto. 2008. Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Otobiografi seperti Dipaparkan kepada
G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: Citra Kharisma Bunda. Soekarno. 1965. Dibawah Bendera Revolusi, Djilid I. Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah
Bendera Revolusi Stewart, A. 2001. Theories of Power and Domination: The Politics of Empowerment in Late
Modernity.London: SAGE. Sunardi, St. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKIS. Tambunan, T. 2005. Economic Growth, Approriate Policies and Poverty Reduction in a
Developing Country: Some Experience from Indonesia. In: South Asia Economic Journal Vol. 6 No. 1.
Thomas, A. 2002a. Meanings and Views of Development. In: T. Allen, A. Thomas, eds. Poverty and Development: Into the 21st Century. Oxford: Oxford Univ. Pr.
Thomas, A. 2002b. Poverty and the “End of Development”. In: T. Allen, A. Thomas, eds. Poverty and Development: Into the 21st Century. Oxford: Oxford Univ. Pr.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. 2006. Pedoman Umum Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.
Timmer, CP. 2002. An Essay on Economic Growth and Poverty Reduction in Honor of Professor M. Sadli. In: M. Ikhsan, C. Manning, H. Soesastro, eds. 80 Tahun Mohamad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru. Jakarta: Kompas.
232
Wahono, Warno H.S., Y. Farhan. 2002. Sedulur Sikep: Tak Silau oleh Materi, Tak Aus oleh Gesekan, In: B.B. Siregar, Wahono, eds. Kembali ke Akar: Kembali ke Konsep Otonomi Komunitas Adat. Jakarta: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat.
White, B. 2005. Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia, In: V.R. Hadiz, D. Dhakidae, eds. Social Science and Power in Indonesia. Singapore: Equinox dan ISEAS.
World Bank. 1990. World Development Report 1990: Poverty. Oxford: Oxford University Press.
World Bank. 2000. World Development Report 2000/2001: Attacking Poverty. Washington DC: World Bank.
Lampiran 1. Makalah Enam Diskursus Kemiskinan di Indonesia
Enam Diskursus Kemiskinan di Indonesia1
Oleh Ivanovich Agusta2
Abstrak
Ditemukan enam diskursus kemiskinan yang berbeda-beda di Indonesia, mencakup diskursus kemiskinan komunal, kemiskinan yang diinginkan, kemiskinan rasial, kemiskinan sosialis, kemiskinan produksi, dan potensi orang miskin. Sebagai konsekuensi pertandingan kekuasaan, dalam proses pelembagaan terjadi perang dan persilangan antar diskursus kemiskinan. Perang saat ini dimenangkan oleh diskursus kemiskinan produksi, yang secara konseptual tidak memberikan peluang bagi orang miskin untuk menjadi kaya. Kata kunci: metodologi, analisis diskursus
Abstract I found six discourses on poverty in Indonesia such as
communality poverty, wishes poverty, racial poverty, socialist poverty, production poverty, and potencialities of the poor. As a consequent of competing power, during institutionalization process the discourses are competed and crossed each other. Unfortunately, the production poverty discourse has championed the war, which conceptually blocks the poors to move out of poverty. Keywords: methodology, discourse analysis
Pendahuluan: Indikasi Diskursus Kemiskinan Majemuk
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, pembentukan Pemerintah Negara
Indonesia dilakukan untuk memajukan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan hal tersebut,
pembangunan telah dijadikan pilihan untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Secara khusus
Negara harus memelihara fakir miskin, mengembangkan sistem jaminan sosial, dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu.3 Akan tetapi persoalan
sejauhmana pembangunan mampu menghilangkan kemiskinan masih saja dijawab secara
negatif hingga beberapa tahun ke depan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 1 Makalah disampaikan dalam Rapat Koordinasi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan Kabupaten, tanggal 4-6 Agustus 2010, di Hotel Puri Avia Resort, Cipayung, Bogor. 2 Sosiolog pedesaan dan dosen Sosiologi Kemiskinan dan Pemberdayaan Sosial IPB Bogor. Email iagusta70@gmail.com 3 UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dan 2. Lihat Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (2004: 1, 26)
212
Nasional II (2010-2014), pembangunan diharapkan mampu menurunkan tingkat kemiskinan
hingga 8-10 persen pada akhir tahun 2014 (Bappenas, 2010: I-46) ,4 artinya tidak sampai 0-
2,5 persen sebagai indikasi hilangnya kemiskinan.
Lebih dari itu, program penanggulangan kemiskinan tampaknya kurang efektif dalam
menurunkan jumlah penduduk miskin. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS),5 dalam setahun
terakhir penduduk miskin hanya berkurang 0,82 persen (1,51 juta jiwa), menjadi total 13,33
persen (32,53 juta jiwa). Jika nilai pengurangan tersebut konstan, maka target RPJMN-II
2010-2014 di atas sulit tercapai.
Penguasaan pengetahuan kemiskinan semakin kuat, sebagaimana ditandai oleh
peningkatan kompleksitas persoalan kemiskinan. Dibandingkan saat pertama kali garis
kemiskinan Sajogyo dikeluarkan pada tahun 1976 untuk mengukur individu miskin, sejak
publikasi Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2004 golongan miskin
tidak sekedar mencakup individu miskin namun meliputi pula keluarga miskin, kelompok
miskin, pengusaha mikro dan kecil. Untuk mendapatkan pengetahuan yang luas, studi-studi
kemiskinan dilaksanakan secara multidisipliner dan dengan jenis keilmuan yang semakin
banyak, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, kependudukan, politik. Sejalan dengan
perkembangan akademis, agar mampu mengatasi berbagai aspek kemiskinan, kebijakan
sektoral berkembang menjadi pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan, dan
dilaksanakan secara lintas sektoral atau kementerian. Hal ini ditunjukkan oleh
penyelenggaraan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, serta
pembentukan
Meskipun kajian dan kebijakan penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara
kompleks, namun kemiskinan sendiri dimaknai secara tunggal. Kajian diarahkan kepada
individu, kelompok dan organisasi yang tidak mampu berproduksi, sehingga menghasilkan
kebijakan penanggulangan kemiskinan agar orang miskin mampu bekerja dan berusaha
dalam ekonomi uang. Kemampuan tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan penghasilan
finansial. Pola penanggulangan kemiskinan tersebut paling tepat dilaksanakan pada
masyarakat yang menggunakan ekonomi uang sepenuhnya.
Namun demikian, muncul anomali dari pengetahuan ketunggalan diskursus
kemiskinan tersebut, sebagaimana ditandai, antara lain, oleh ketidaksamaan identitas orang
miskin menurut pemerintah dan rakyat. Masyarakat adat menolak identitas miskin berikut
program penanggulangan kemiskinan di wilayahnya. Sebaliknya terdapat kasus penolakan 4 Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 Buku I, Halaman I-46. 5 Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010, halaman 1.
213
petugas program bantuan tunai terhadap warga desa yang memasukkan dirinya ke dalam
golongan miskin.
Tulisan ini menunjukkan diskursus kemiskinan yang berbeda-beda, dan saling
berperang satu sama lain. Ada diskursus yang kini menang dan mendominasi tafsir
kemiskinan, mengalahkan diskursus lain yang sempat jaya di masa lalu. Terlihat bahwa tafsir
tidaklah netral atau sekedar sesuai dengan kepentingan pelakunya, namun tafsir terkuat akan
selalu muncul sebagai tanda bekerjanya kekuatan tertinggi yang melingkupinya. Makna dari
sesuatu diketahui melalui kekuatan yang dimilikinya atau diekspresikan olehnya (Nietzsche,
1887). Kekuatan mendominasi realitas. Sesuatu itu sendiri tidak netral dan cenderung dekat
dengan kekuatan yang saat itu menguasainya. Perdebatan tentang esensi atau hakekat
kemiskinan kini dapat dipandang sebagai satu di antara semua makna kemiskinan yang paling
dekat dengan kekuasaan yang dimiliki oleh penyusun diskursusnya.
Analisis kemiskinan pada tataran diskursus menjadi penting, karena, pertama,
membuka peluang penemuan ragam pemikiran kemiskinan di Indonesia. Kedua, analisis
perang diskursus mampu membuka “belitan” saling hubung diskursus kemiskinan yang
berbeda, yang selama ini menyulitkan analisis kemiskinan. Pencarian teknik-teknik berperang
membuka dominasi suatu diskursus kemiskinan terhadap diskursus lain. Ketiga, pengetahuan
baru ini memungkinkan rekomendasi penanggulangan kemiskinan yang lebih kontekstual.
Teori dan Perang Diskursus
Kenyataannya kemiskinan selalu muncul sebagai hasil bentukan atau kerangka
pemikiran masyarakat tertentu. Kemiskinan sebagai bentukan sosial atau kerangka pemikiran
tertentu memiliki sifat diskursif. Kerangka kemiskinan tersebut senantiasa dibangun melalui
dialog antar pihak-pihak yang bersetuju atau menolaknya. Proses komunikasi atau dialog
tersebut senantiasa menyebarkan kekuatan (power), baik digunakan untuk menguasai maupun
untuk menguatkan solidaritas sosial (Gambar 1). Tulisan ini menemukan enam diskursus
kemiskinan yang berkembang di Indonesia masa kini.
Hubungan antar diskursus juga menggunakan kekuatan, baik kekuatan untuk
menguasai maupun untuk menguatkan solidaritas. Perang diskursus berupa pertarungan untuk
merebut atau menguatkan rezim kebenaran tertentu (Foucault, 2002d, 2008), dalam hal ini
tentang penanggulangan kemiskinan. Seandainya terdapat dua diskursus kemiskinan yang
sedang berperang, diskursus pemenang (A) akan mengalami penguatan diskursus tersebut.
Diskursus kemiskinan yang kalah akan menghilang pada masa berikutnya.
214
Gambar 1. Diskursus Pascastruktural dan Kekuasaan
Akan tetapi perang antar diskursus kemiskinan juga dapat mengarah kepada krisis
atas diskursus-diskursus kemiskinan yang lama, sehingga mendorong pembentukan diskursus
kemiskinan yang baru. Proses penciptaan diskursus kemiskinan baru muncul dalam proses
formasi diskursif (Foucault, 2002a, 2002c). Mula-mula perhatian diarahkan kepada
kejanggalan yang muncul dalam pernyataan, tingkah laku dan susunan benda-benda di
masyarakat. Ketika kritik dalam wujud kejanggalan tersebut mengarah kepada kontradiksi
yang mendasar, maka diskursus kemiskinan lama tersebut mengalami transformasi. Hasilnya
berupa diskursus kemiskinan baru yang berbeda dari diskursus sebelumnya. Hasil lain dari
formasi diskursif ialah pemenuhan hasrat untuk mengetahui lebih dalam perihal kemiskinan.
Melalui kekuasaan yang muncul dalam relasi sosial, hasrat untuk mengetahui kemiskinan
tersebut membesar menjadi suatu rezim kebenaran tentang kemiskinan dalam tempat dan
waktu tertentu.
Enam Diskursus Kemiskinan
Diskursus Berbagi Kelebihan
Salah satu sumber sosialisme Indonesia ialah kegiatan gotong royong dan tolong di
pedesaan (Hatta, 2000; Soeharto, 2008; Soekarno, 1965). Komunalisme di pedesaan dijaga
melalui pembagian kelebihan kekayaan –berbagi kekayaan lebih tepat daripada konsep
berbagi kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Geertz (1983). Dalam suatu kelompok
atau komunitas, orang yang berkelebihan membaginya kepada sesamanya yang kekurangan.
Diskursus ini muncul berusia paling lama, dan muncul dalam banyak komunitas di Indonesia
(Tabel 1).
215
Tabel 1. Diskursus Berbagi Kelebihan
Obyek Benda pribadi yang berubah menjadi milik umum Subyek Orang renta, anak-anak, orang miskin sedesa Konsep Gotong royong, kecukupan Strategi Komunalisme dijaga melalui pembagian kelebihan kekayaan Wilayah Desa dengan tradisi kuat (5.000 desa) Komunikasi Lisan, sedesa Kelembagaan Bekerja bersama, menyisakan hasil kerja di tempat yang dipandang umum Alternatif kebijakan Penguatan komunalitas desa dengan pekerjaan gotong royong
Berlainan dari orientasi produksi dan efisiensi, dalam diskursus kemiskinan komunal
barang dan jasa yang dibagi relatif berkualitas sama, bukan barang rusak, recehan, atau yang
bernilai lebih rendah. Di desa-desa di Sulawesi Tengah, misalnya, kelapa yang jatuh sendiri
ke tanah boleh dimiliki oleh siapa saja yang hendak mengambilnya. Orang miskin dapat
mengambil kelapa-kelapa yang telah ada di atas tanah. Kelapa tersebut berkualitas bagus,
dapat dijual di pasar, sehingga orang-orang miskin tetap mendapatkan uang dan makanan
melalui pengumpulan kepala jatuh.Dapat diperkirakan komunitas yang menganut diskursus
berbagi kelebihan mencapai sekitar 5.000 desa (Tabel 2), yaitu yang terbiasa melakukan
pekerjaan di luar ekonomi uang (moneter).
Tabel 2. Monetisasi Desa-desa di Indonesia, 2006
Pulau Besar Subsisten (Diskonsumsi Sendiri)
Komersial (Dijual)
Campuran (Dikonsumsi dan Dijual)
Jawa Bali Jumlah 1098 2018 17520 20636 % 5 10 85 100
Kalimantan Jumlah 818 1330 2965 5113 % 16 26 58 100
Maluku Jumlah 76 281 1070 1427 % 5 20 75 100
Nusa Tenggara
Jumlah 592 333 2327 3252 % 18 10 72 100
Papua Jumlah 703 327 1646 2676 % 26 12 62 100
Sulawesi Jumlah 288 1977 4591 6856 % 4 29 67 100
Sumatera Jumlah 1377 5960 10993 18330 % 8 33 60 100
Jumlah Indonesia 4952 12226 41112 58290 % 8 21 71 100
Salah satu komunitas di Jawa Tengah yang mempertahankan mekanisme berbagi
kelebihan ini ialah Orang Samin. Hubungan di antara kelompok mereka diidentikkan sebagai
216
sedulur sikep. Sedulur sikep hidup secara tersebar di pantai Utara Jawa Tengah, seperti
Kudus, Pati, Blora, Rembang, Bojonegoro bahkan sampai ke Ngawi. Mereka hidup
berdampingan dengan warga masyarakat lain (non-Sikep). Mata pencaharian mereka
umumnya bertani.
Pengertian ekonomi bagi masyarakat Sikep adalah kecukupan sandang dan pangan
(Wahono, Warno dan Farhan, 2002). Mereka tidak membutuhkan sekolah, berpakaian dan
makan secara sederhana. Pemilikan akan sesuatu dipandang harus dijaga, dan milik orang
lain harus dihormati.
Diskursus Kemiskinan yang Diharapkan
Salah satu strategi untuk mengakumulasi kekuasaan (kasekten/kesaktian) ialah dengan
bertingkah laku sebagaimana orang miskin (Anderson, 2000). Kemiskinan menandai
ketiadaan (moksa, nir), sehingga manusia bisa berkonsentrasi lebih kuat. Konsentrasi tersebut
mencakup pemusatan atau akumulasi kekuasaan. Tidak mengherankan diskursus ini muncul
justru pada penguasa atau lapisan atas (Tabel 3).
Tabel 3. Diskursus Kemiskinan yang Diharapkan
Obyek Sebagian besar benda pribadi yang dibagikan Subyek Pelaku tapa (agamawan, ilmuwan), raja. Ada 1.254 pesantren dan seminari Konsep Prihatin, menahan diri, zuhud, asketis, sederhana Strategi Kemiskinan meningkatkan sensitivitas Wilayah Lembaga pendidikan, penelitian dan keagamaan Komunikasi Kelompok kecil sesama guru, peneliti, agamawan Kelembagaan Lembaga pendidikan keagamaan Kebijakan Penyediaan akses dan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup atau hidup sederhana
Pada bangsa Jawa muncul konsep loro lopo (Karsodihardjo, 1998), yang secara
harfiah berarti sakit serta miskin. Sudah sakit, ditambah lagi miskin, sehingga tidak ada ruang
untuk menghibur diri. Loro lopo menunjukkan jalan penderitaan sebagai kondisi agar
kekuasaan muncul ke permukaan.
Untuk melakukan loro lopo orang perlu berpegang pada nilai wader wungkuk. Ikan
yang bungkuk ini merupakan metafora urang (udang). Metafora tersebut menunjukkan
mekanisme loro lopo berupa ngurang-ngurangi, atau menurunkan konsumsi. Makanan
dikurangi agar manusia bisa hidup di masa depan. Pemborosan dikurangi agar tabungan tidak
217
cepat habis. Hasrat dikurangi (ditekan) agar orang tidak mudah kalap. Tidur dikurangi untuk
memperbanyak berhubungan dengan Tuhan, berdoa memohon pertolongan dalam kehidupan.
Metode lain yang serupa, yang biasa dilakukan bangsawan ialah lelono-broto, yaitu
berkelana dalam suasana kesedihan. Perjalanan diarahkan untuk mendapatkan tempat yang
bisa menenteramkan batin. Di tempat yang sesuai, penguasa melakukan topo broto, atau
bertapa dalam kesedihan. Di atas tempat yang sesuai inilah wahyu kekuasaan dipandang bisa
diturunkan oleh Tuhan. Inilah kekuasaan yang diperoleh melalui serangkaian loro lopo,
lelono broto dan topo broto.
Diskursus Kemiskinan Rasial-Etnis
Mungkin istilah kemiskinan dalam arti modern (poverty, bukan misalnya tidak
kecukupan) muncul pertama kali di Indonesia pada awal abad ke 20. Di kota-kota di Eropa
pada abad ke 19 kemiskinan sudah tergolong sebagai konsep sosial yang dahsyat (Gouda,
2007). Kemiskinan mengundang ketakutan akan timbulnya revolusi sosial, mengingat jumlah
proletar dan buruh upahan meningkat di perkotaan.
Ketika konsep kemiskinan tersebut masuk ke dalam Hindia Belanda, penerapannya
hanya secara eksklusif diletakkan pada golongan Eurasia, bukan pada pribumi. Jumlah
penduduk Eurasia terpelajar tergolong besar, sekitar 95.000 pada tahun 1905 dan meningkat
menjadi sekitar 190.000 pada tahun 1930.
Kelompok indo (campuran Barat dan pribumi), terutama perempuan Indo, banyak
digolongkan ke dalam kelompok miskin. Secara resmi mereka dipandang malas, karena
memandang ras mereka lebih tinggi daripada pribumi, sehingga tidak bersedia bekerja. Selain
itu, golongan indo dipandang sebagai hasil perbuatan dosa. Yang dimaksud ialah golongan
indo merupakan hasil hubungan seksual antara ras Eropa dan pribumi. Lokasi di khatulistiwa
yang panas dipandang sebagai alasan perbuatan zina. Hasil dari tindakan salah ini berupa
keturunan yang melarat (Tabel 4).
Sebenarnya tidak hanya demikian. Posisi rasial Indo yang tidak jelas (bukan Eropa
atau pribumi murni), sementara posisi-posisi pekerjaan formal terbagi menurut ras,
menjadikan mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang memadai. Kreol menjadikan mereka
tidak mendapatkan akses ekonomi yang memadai. Ketika mereka jatuh miskin, pemerintah
Hindia Belanda untuk pertama kalinya memandangnya sebagai masalah kemiskinan.
Bukan berarti tidak ada kemiskinan di kalangan pribumi, namun kepada mereka
hanya diidentifikasi sebagai kurang sejahtera. Pribumi dipandang bukan manusia utuh, atau
218
dipandang sebagai manusia kera (Gouda, 2007), sehingga persoalan utamanya bukanlah
kemiskinan, melainkan upaya penjinakan agar mereka tidak liar (minimal tidak sopan)
(Breman, 1997).
Tabel 4. Diskursus Kemiskinan Rasial-Etnis
Obyek Sikap dan tingkah laku Subyek Etnis terjajah, etnis terpencil, golongan indo. Ada 2.031 lokasi, 225.477 KK, 919.570 jiwa Konsep Budaya, sikap/psikologis, pelanggaran norma Strategi Sikap dan tingkah laku tercela atau pendosa mengakibatkan kemiskinan
Kemiskinan menyebabkan terorisme Wilayah Suku pedalaman, Maluku, Papua Komunikasi Tradisi, kelompok lokal Kelembagaan Pemukiman kembali, pemukiman kelompok kecil Kebijakan Perbaikan norma, target yang rendah, menjadikan lebih beradab
Diskursus Kemiskinan Sosialis
Sampai akhir penjajahan, orang miskin di Indonesia tidak hanya proletar, yang hanya
memiliki tenaga untuk bekerja kepada orang lain. Di sini sebagian orang miskin masih
memiliki alat produksi, namun dalam jumlah minimal. Sebagian besar mereka hidup dalam
bidang pertanian. Kepada orang miskin semacam itu muncul konsep marhaen (Soekarno,
1965), yaitu buruh tani, buruh industri, dan petani kecil.
Tabel 5. Diskursus Kemiskinan Sosialis
Obyek Kekayaan kelas kaya Subyek Proletar, marhaen (buruh industri, buruh tani, petani kecil). Ada 13,5 juta KK buruh tani Konsep Kontradiksi , eksploitasi Strategi Kemiskinan disebabkan hubungan penduduk lokal dengan kapitalis lokal dan global Wilayah Pedesaan, perumahan kumuh di perkotaan Komunikasi Advokasi, demonstrasi, tindakan perebutan kekayaan Kelembagaan Organisasi khusus orang miskin, organisasi buruh-buruh Kebijakan Mengurangi eksploitasi oleh industri, memenuhi kebutuhan hidup minimal
Kemiskinan merupakan akibat logis hubungan marhaen dengan kapitalis (Tabel 5).
Pada tahun 1950-an Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berorientasi sosialis pernah
menyatakan (White, 2005), bahwa kemiskinan di desa merupakan hasil relasi penghisapan
orang miskin oleh tujuh setan desa. Meskipun diskursus pembangunan sosialis tidak
sepenuhnya menindaklanjuti hasil kegiatan suatu community development (CD), namun
setidaknya pemerintah tidak mengambil tindakan atas pendudukan petani miskin terhadap
219
lahan perkebunan dan lahan milik petani kaya. Dalam perencanaan pembangunan sosial
sendiri muncul kebutuhan reforma agraria di mana lahan yang tersedia hendak dibagi secara
lebih merata kepada golongan marhaen (Departemen Penerangan RI, 1961).
Diskursus Kemiskinan Produksi
Diskursus kemiskinan produksi merupakan produk dari diskursus pembangunan
modernis. Diskursus inilah yang senantiasa diacu dalam pernyataan-pernyataan pemerintah,
donor dan swasta sejak tahun 1969.
Dirunut lebih jauh, diskursus ini muncul bersamaan dengan laju Revolusi Industri.
Proletariat yang muncul mula-mula dipandang sebagai masalah kemiskinan, dan hendak
diatasi dengan tindakan-tindakan karitatif (Gronemeyer, 1992). Dari masa ini pertama kali
muncul pemahamanan untuk memberikan recehan kepada pengemis dan orang miskin.
Bantuan karitatif kemudian diorganisasikan, dan setelah Perang Dunia II terutama dalam
bentuk lembaga-lembaga Bretton Woods (Bank Dunia dan IMF). Pola bantuan dan program
penanggulangan kemiskinan tetap serupa dengan masa Revolusi Industri, yaitu jangan sampai
lapisan terbawah ini jatuh sakit dan meninggal (karena menjadi persoalan tersendiri), namun
dibantu sampai pada batas bisa berproduksi, atau tepatnya menunjang sistem produksi
industrial (kini batasan itu dijabarkan dalam bentuk garis kemiskinan atau upah minimum
buruh) (Tabel 6).
Tabel 6. Diskursus Kemiskinan Produksi
Obyek Pemberian/karitas orang kaya kepada orang miskin Subyek Buruh industri, buruh tani, pengusaha mikro/kecil. Ada 13,5 juta KK buruh tani Konsep Produksi Strategi Ketidakmampuan berproduksi dan sakit menghasilkan kemiskinan.
Kemiskinan sebagai persoalan publik, bukan persoalan privat/pribadi à perlu campur tangan pemerintah dan pengorganisasian hingga tingkat internasional.
Wilayah Perumahan kumuh di perkotaan, perumahan buruh di perkebunan, pertambangan, peternakan, pertanian
Komunikasi Persaingan, karitas Kelembagaan Lembaga karitatif, Lembaga rehabilitasi (pendidikan, kesehatan) Kebijakan Pendapatan/pengeluaran di atas garis kemiskinan/KFM, karitas (BLT, zakat), penguasaan
hirarki kebutuhan, pelatihan untuk kerja dan usaha, kontrak atau hubungan kerja tertulis, Pengelompokan rumah tinggal kelompok miskin, Jaminan sosial kelompok miskin
Golongan miskin mencakup penduduk berpendapatan rendah. Pada beberapa program
pembangunan, selain pendapatan rendah sebagai indikator utama, juga dikaitkan dengan
220
pemilikan sarana pendidikan dan kesehatan yang rendah. Golongan lainnya terletak pada
kelompok umur produktif, kelompok umur anak-anak yang tidak bekerja, kelompok umur
tua, kemiskinan pada level rumah tangga, serta pengusaha kecil dan mikro.
Pembentukan kelompok miskin baru ini mengandung kritik, karena pengurangan
kemiskinan menjadi sekedar penyaluran dana/kredit orang (rumah tangga) yang perlu modal
(tambahan) untuk usahanya. Walaupun pada pilihan lokasi program bisa tercantum
pembedaan antara pedesaan dan perkotaan, namun tak dijelaskan dalam hal-hal apa saja akan
sama dan hal-hal apa akan berbeda. Kemiskinan di desa dapat pula terkait dengan kemiskinan
di kota, begitu pula dalam hal upaya mencapai perbaikan tingkat mutu hidup penduduk.
Gambar 2. Korespondensi CDD dan Teori Pasar
Teori kemiskinan terbaru Bank Dunia yang digunakan di Indonesia, yaitu
CDD/Community-Driven Development menjelaskan "pangsa pasar" program penanggulangan
kemiskinan tersebut: khusus untuk keluarga miskin dan keuangan mikro (Operations
Evaluation Department, 2003). Setelah lepas dari level itu maka orang miskin keluar dari
program-program CDD. Menggunakan idiom dari ilmu ekonomi, pola penyaluran proyek
diarahkan pada kesetimbangan antara aspek penawaran proyek dan permintaan masyarakat
(Gambar 2). Untuk memperoleh titik yang optimal, maka dilangsungkan persaingan antar
warga dalam memperebutkan proyek. Berkaitan dengan itu, menurut teori motivasi dari
Atkinson, motivasi tertinggi dalam melakukan tindakan diperoleh ketika peluang
221
keberhasilan untuk mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan senilai 50 persen. Artinya
hanya jika menulis proposal maka muncul peluang untuk mendapatkan proyek, jika proposal
tidak dikerjakan maka pasti tidak mendapatkan proyek (peluang 0 persen), dan sebaliknya
penulisan proposal tidak sekaligus memastikan (peluang 100 persen) akan memperoleh
proyek.
Gambar 3. Hipotesis Statistika Penanggulangan Kemiskinan
Garis kemiskinan dan sejenisnya digunakan sebagai passing grade seseorang atau
kelompok digolongan miskin atau lepas dari kemiskinan (moving out of poverty).
Menggunakan kaidah statistika untuk jumlah sampel atau populasi yang sangat besar (di atas
200 juta penduduk Indonesia), maka secara umum bentuknya seperti kurva normal (Gambar
3). Secara hipotetis terdapat beberapa garis batas tertentu untuk menggolongkan hierarki
masyarakat, yaitu golongan rata-rata yang dihitung menurut nilai tengah hingga 1 SD
(standard deviation) (biasanya 34% penduduk di sebelah kiri atau kanan nilai tengah),
golongan kaya atau miskin yang dihitung antara nilai 1 SD dan 2 SD (biasanya 13,5% lebih
jauh ke kanan atau ke kiri), dan paling kaya atau paling miskin yang dihitung di atas 2 SD
(biasanya 2,5% paling kanan atau paling kiri).
Berdasarkan kaidah statistika tersebut, kebijakan penanggulangan kemiskinan
semestinya mencantumkan target penduduk miskin tidak lebih dari 2,5%. Berdasarkan
gambar di atas, terlihat bahwa target-target yang dicatat selama ini tergolong konservatif.
Pada saat ini muncul pandangan mengenai agregat orang miskin (Rahnema, 1992).
Kemiskinan bukan lagi masalah individual, melainkan menjadi permasalahan kelompok
kecil, warga desa, kabupaten, porvinsi, nasional, bahkan global. Melalui perubahan
222
pandangan ini, kemiskinan menjadi sah untuk dikelola oleh negara, bahkan melalui
organisasi internasional.
Dianggap bersifat universal, pengukuran kemiskinan berlangsung dalam metode
kuantitatif (garis kemiskinan) maupun melalui manipulasi teknik-teknik kualitatif agar bisa
dikuantifikasi –misalnya menyelenggarakan diskusi kelompok terarah (focus group
discussion/FGD) di mana hasilnya bisa dibandingkan lintas negara dan bisa diakumulasikan
sebagaimana dilakukan oleh Mukherjee (2006). Melalui universalisme narasi kemiskinan
berkembang dari tingkat lokal menjadi global. Universalitas pengukuran menghasilkan
perbandingan kemiskinan lintas negara, dan akhirnya menghasilkan ruang-ruang negara
miskin dan kaya (World Bank, 1990, 2000).
Globalitas kemiskinan juga membuka peluang kebijakan pengurangan kemiskinan
untuk dikelola secara organisatoris dari tingkat global sampai ke tingkat nasional, tidak lagi
atau tidak sekedar dilakukan secara individual maupun dalam kelompok kecil.
Pengorganisasian di tingkat global dimungkinkan melalui proyek dan utang luar negeri. Bank
Dunia secara sendirian atau ketika mengorganisir lembaga dan negara kreditur menetapkan
tema kemiskinan dalam perolehan utang luar negeri sejak dekade 1990-an (World Bank,
1990, 2000). Dokumen strategi penanggulangan kemiskinan (Poverty Reduction Strategy
Paper/PRSP atau diindonesiakan menjadi dokumen Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan/SNPK) serta lembaga pengurangan kemiskinan (di Indonesia berupa Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan/TKPK di tingkat pusat dan daerah)6 sama-sama
terdapat di banyak negara penerima utangan tersebut (Komite Penanggulangan Kemiskinan,
2004; Levinsohn, 2003; Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, 2006). Dengan kata
lain, pandangan akan sifat universalitas mutlak dari metode kemiskinan membuka peluang
penerapan pembangunan di seluruh negara-negara Selatan, meskipun metode-metode tersebut
dikembangkan di negara-negara Utara.
Selain itu, swasta kini masuk sebagai salah satu penyalur dana bagi orang miskin,
yaitu sebagai konsultan pendamping program. Ciri pencarian untung yang mengikat secara
inheren pada konsultan swasta turut terbawa dalam pendampingan masyarakat (Agusta,
2007). Merekalah yang memiliki peran dan kekuasaan lebih tinggi daripada pihak lain. Dari
sisi gaji yang berlipat ganda dibandingkan pegawai negeri (antara empat kali lipat pada
pendamping tingkat kecamatan, hingga lebih dari lima puluh kali lipat bagi “konsultan
pendamping” nasional yang sengaja direkrut dari negara donor), tugas-tugas yang lebih besar
6 Peraturan Presiden No. 54/2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
223
dan purna waktu dalam program, posisi pendamping ini jauh lebih tinggi daripada lainnya.
Dalam posisi yang paling penting, yaitu menandatangani persetujuan pencairan proyek dan
dana kegiatan, kekuasaan konsultan pendamping bahkan hampir mutlak.
Diskursus Potensi Orang Miskin
Pernyataan-pernyataan diskursus potensi orang miskin baru muncul sejak dekade
1970-an. Kelembagaannya mudah dikenali, karena mengutamakan kelompok dan tindakan-
tindakan peningkatan potensi (peningkatan kapasitas). Pembangunan alternatif, people
centered development, basic needs approach, dan konsep serupa mempercayai bahwa orang
miskin tidak tepat didefinisikan sebagai “orang yang tidak memiliki” (the have not), tetapi
paling tepat sebagai “orang yang memiliki potensi” (Gambar 7).
Tabel 7. Diskursus Potensi Orang Miskin
Obyek Ilmu pengetahuan terapan, sumberdaya lokal Subyek Penduduk desa, kelompok buruh, pengusaha kecil/mikro Konsep Potensi, kelompok, akses Strategi Ketiadaan akses membuat orang menjadi miskin Wilayah Terpencil, tertinggal, pedesaan Komunikasi Komunikasi dua-langkah, komunikasi kelompok Kelembagaan Kelompok swadaya masyarakat, kelompok bertingkat Kebijakan Peningkatan akses, pendampingan, pelatihan
Pada pernyataan ekstrim, petani dan orang miskin merupakan pihak yang mengetahui
masalah dan peluang jalan keluarnya sendiri (Sajogyo, 2006). Pihak luar menjadi diperlukan
(penyuluh, pendamping), terutama untuk mewujudkan potensi tersebut menjadi
kekuatan/kekuasaan nyata. Kalau CDD membatasi upaya pada tataran sampai bisa
berproduksi, diskursus potensi orang miskin berupaya mengembangkan potensi mereka
setinggi-tingginya, baik dari level individual, kelompok, hingga gabungan kelompok (pada
pemikiran peningkatan kapasitas petani, nelayan dan koperasinya), maupun baik lokal,
regional, nasional dan internasional (pada kredit mikro).
Diskursus potensi orang miskin bersesuaian dengan diskursus pembangunan alternatif
(Thomas, 2002a, 2002b). Diskursus ini merumuskan kondisi akhir pembangunan pada saat
seluruh anggota masyarakat maupun kelompok mampu merealisasikan potensi-potensi
mereka. Perubahan sosial akan dilakukan melalui praktek pemberdayaan (Friedmann, 1992).
Oleh karena itu pembangunan berperan sebagai proses pemberdayaan individu dan
224
kelompok. Pembangunan akan dijalankan melalui individu-individu maupun gerakan
masyarakat.
Diskursus pemberdayaan alternatif bersesuaian dengan diskursus pembangunan yang
berpusat pada manusia (Ife, 1995). Di sinipun masyarakat dipandang sebagai kelompok-
kelompok yang tersusun secara hierarkis. Berbeda dari diskursus struktural yang
mengandaikan solidaritas dan pertentangan kelas, pemberdayaan alternatif mengandaikan
solidaritas antar lapisan, sehingga memungkinkan pola kerjasama seluruh pihak dalam
masyarakat (Stewart, 2001). Kekuasaan juga tidak dimaknai sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi atau mengarahkan pihak lain, melainkan sebagai kemampuan untuk
meningkatkan dan menjaga solidaritas sosial di antara lapisan masyarakat tersebut. Dengan
demikian pemberdayaan diarahkan kepada pengejawantahan potensi atau kemandirian
kelompok dan anggota masyarakat, disertai pengembangan jaringan antar kelompok tersebut.
Diskursus potensi orang miskin juga menghasilkan diskursus proses dalam
pembangunan partisipatif. Dalam diskursus proses, partisipasi yang lazim digunakan dalam
program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menyusun kelompok (Thomas,
2002a). Kelompok menjadi instrumen untuk meningkatkan ketrampilan, kapasitas dan
jaringan sosial. Diskursus proses hendak mewujudkan pembangunan yang pro-poor, berbasis
civil society dan pemberdayaan. Program yang tipikal dalam diskursus proses ialah Program
Inpres Desa Teringgal (IDT).
Perang di Antara Diskursus Kemiskinan
Sejarah Diskursus Kemiskinan dan Pembangunan
Pembahasan berbagai diskursus kemiskinan menjadi penting, karena kemiskinan telah
dijadikan tema sentral pembangunan global. Dengan membandingkan antara sejarah
munculnya diskursus-diskursus kemiskinan dan sejarah munculnya berbagai diskursus
pembangunan (Gambar 4), terlihat ketidaksejajaran di antara keduanya.
Hanya diskursus potensi orang miskin yang muncul bersamaan dengan diskursus
people-centered development. Keduanya memandang subyek pembangunan lebih mengetahui
kebutuhan dan jalan keluar dari masalah pembangunan yang menimpa dirinya. Diskursus
kemiskinan lainnya muncul lebih dahulu daripada diskursus pembangunan. Konsekuensinya
kebijakan pembangunan perlu memperhatikan lokasi diskursus kemiskinan dalam
menjalankan pola penanggulangan kemiskinan.
225
Gambar 4. Sejarah Kemunculan Diskursus Kemiskinan dan Pembangunan
Suatu diskursus pembangunan tertentu memiliki kaitan yang lebih erat pada diskursus
kemiskinan secara khas (Tabel 8). Melalui pengetahuan tentang konsistensi antar konsep-
konsep penting pembangunan dan kemiskinan ini dapat diharapkan menguatnya efektivitas
kebijakan penanggulangan kemiskinan
Diskursus kemiskinan produksi, misalnya, menghasilkan diskursus efisiensi-biaya
dalam pembangunan partisipatif (Cooke dan Kothari, 2001). Diskursus efisiensi-biaya
menginginkan keikutsertaan orang miskin dalam pembangunan untuk meningkatkan rasa
kepemilikan. Namun keikutsertaan sekaligus sebagai upaya memobilisasi sumberdaya lokal.
Komponen program-program yang masuk dalam Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) adalah tipikal diskursus efisiensi-biaya. Program semacam ini berupaya
membatasi biaya input atau materi program, sambil menggali kontribusi dari orang miskin
sendiri. Pada titik ini negara dan donor lebih diuntungkan karena pengeluaran mereka untuk
pembangunan lebih murah. Akan tetapi surplus keuntungan ke atas tersebut mengalir dari
swadaya orang miskin sebagai syarat perolehan program.
Perang Antar Diskursus Kemiskinan
Sejak awal perluasan diskursus kemiskinan produksi berhadapan dengan diskursus
kemiskinan lainnya. Mekanisme kamulfase perang diskursus dilakukan dengan beroperasi di
bawah kategori partisipasi yang digunakan dalam diskursus lain. Konsep pengembangan
masyarakat (community development), partisipasi, pemberdayaan, pembagian tugas sektor
negara, masyarakat sipil dan swasta sama-sama disebut. Akan tetapi, ditambahkan ruang baru
226
Tabel 8. Keterbaikan Diskursus Kemiskinan dengan Pembangunan, Pengembangan Masyarakat, dan Partisipasi
Diskursus Berbagi Kelebihan Rasial-Etnis Kemiskinan Sosialis Kemiskinan Produksi Potensi Orang Miskin
Kemiskinan Diharapkan
Kemiskinan Pembagian kelebihan Rasial dan etnis Relasional, struktural Produksi Potensi orang miskin Diharapkan Pembangunan Sustainable
development (Neo) Kolonialisme Struktural, dependensi Neoliberalisme People-centered
development Sipiritual
Pengembangan masyarakat (CD)
Local wisdom, knowledge
Masyarakat terasing, karitatif
LSM, solidaritas sekelas
Pasar, kompetisi Kapasitas individu dan kelompok
Asketisme
Pemberdayaan Otonomi Pemfungsian sosial Struktural, perubahan struktur
Utilitarian, kompetisi Kapasitas, solidaritas lintas kelas
Penguatan spiritual
Partisipasi Koeksistensi Korporasi Hak Efisiensi Proses Holistik Tabel 9. Perang Diskursus Kemiskinan
Kurang Dominan
Lebih Dominan Berbagi Kelebihan Rasial-Etnis Kemiskinan Produksi Kemiskinan Sosialis Potensi Orang Miskin Kemiskinan
Diharapkan Berbagi Kelebihan
Berbagi kelebihan untuk etnis/golongan yang sama
Lobi pembagian proyek antar calon penerima
Mencurigai pencari untung dari gotong royong
Berbagi akses untuk pengembangan potensi orang miskin
Membagi hampir seluruh pendapatan
Rasial-Etnis Berbagi kelebihan untuk warga dari komunitas yang sama
Metode menjadikan beradab, target rendah
Kesamaan perlakuan antar etnis asalkan dari golongan proletar atau marhaen
Pengembangan potensi khusus bagi etnis terpencil
Kemiskinan Produksi
Jaringan sosial untuk pencari kerja, tempat tinggal
Proposal kemiskinan untuk golongan adat
Menghindari bantuan dari negara Barat
Pengembangan potensi individu untuk mendirikan usaha secara mandiri
Hidup sederhana/ membatasi konsumsi
Kemiskinan Sosialis
Gotong royong Penanggulangan kemiskinan di antara etnis yang tertindas
Pengembangan masyarakat sesuai peringkat kebutuhan
Pengembangan potensi kelompok untuk mendirikan usaha mandiri
Tidak berlebihan
Potensi Orang Miskin
Pemberian akses untuk mendapatkan hasil
Akses diutamakan untuk etnis terpencil
Pengembangan kelompok sekedar mampu berproduksi
Pengembangan potensi Mendampingi untuk mengembangkan potensi orang lain
Kemiskinan Diharapkan
Berbagi informasi antar golongan miskin
Menjaga hubungan dengan pelaku kemiskinan yang diharapkan
Beasiswa minimal Pengembangan potensi nalar dan kehendak setinggi-tingginya
227
sebagai penurunan masing-masing konsep tersebut. Dikembangkan sub kategori partisipasi,
yaitu diskursus partisipasi pasar.7 Penamaan ini untuk merangkum sifat efisiensi dalam
pengambilan keputusan partisipatif. Topik yang diperbincangkan bukanlah pada tataran di
mana pembangunan seharusnya bersifat partisipasi atau sentralisasi –karena sama-sama
menerima konsep partisipasi sebagaimana diskursus pembangunan alternatif maupun
sosialis—namun pada tataran lebih bawah di mana partisipasi seharusnya dijalankan dengan
efisien –bukan terutama untuk pengembangan diri dalam pembangunan alternatif atau
perubahan struktural dalam pembangunan sosialis.
Mekanisme kamuflase menunjukkan perbedaan perang diskursus sejak 1990-an
dibandingkan masa sebelumnya. Pada dekade 1960-an dan 1970-an pembedaan diskursus
berada pada tataran konsep pembangunan, dan diwujudkan dalam konsep-konsep yang
berbeda atau berlawanan satu sama lain. Modernisasi dilawankan dengan ketergantungan,
kemudian memunculkan pembangunan alternatif, konsep pertumbuhan dilawankan dengan
pemerataan, partisipasi, kemiskinan, sedangkan top down berlawanan dari bottom up.
Pada masa kini perang diskursus tidak seterang pembedaan konsep-konsep yang
saling dipertentangkan. Pertama, dikotomi antar konsep-konsep dibaurkan, dengan cara
menurunkan derajat abstraksi dari tataran filosofis atau paradigmatis menjadi sekedar
administratif atau teknis. Contohnya pembauran top down dan bottom up. Pembauran lainnya
di antaranya pertumbuhan dan pemerataan, dari semula dipertentangkan menjadi disatukan
berupa pro poor growth, terutama ketika dipraktekkan dalam pembangunan pertanian dan
pedesaan (Tambunan, 2005; Timmer, 2002).
Kedua, menggunakan nama yang sama dengan konsep yang sebelumnya berada di
luar diskursus pembangunan modernis, namun diisi dengan metode pembangunan modernis.
Metode tersebut diarahkan pada efisiensi, pasarisasi, pengambilan keputusan rasional atau
pertukaran. Di atas telah digambarkan konsep partisipasi, yang semula berasal dari golongan
sosialis, kemudian masuk ke dalam program pembangunan modernis.
Ketiga, mengembangkan konsep-konsep yang diidealkan bernilai “baik”, dan dengan
ini memanipulasi idealisasi moral ke dalam mekanisme pembangunan. Secara terang-
terangan “kebaikan” dilekatkan pada konsep good governance, good village, metode best
practice. Idealisasi “kebaikan” juga dimasukkan ke dalam konsep modal sosial, saling
percaya (trust). Kemodernan tidak menilai moral dari konsekuensi setelah tindakan dilakukan 7 Pernyataan perangkuman dalam konsep pasarisasi untuk menandai pembangunan yang dilaksanakan oleh donor asing dan pemerintah diperoleh peneliti dari Dr. MT Felix Sitorus secara lisan, dan penulis berterimakasih atas ijin untuk menggunakan ide tersebut. Sebelumnya peneliti secara terpisah-pisah menandai pembangunan modernis tersebut sebagai pengambilan keputusan rasional, pertukaran, dan analisis ekonomi formal.
228
–sebagaimana lazim pada masyarakat di waktu lampau—namun dari maksud sebelum
melakukan tindakan tersebut. Pelekatan “kebaikan” pada konsep di atas sudah sejak semula
meletakkan konsep tersebut dalam kelompok “kebaikan” bagi sasaran program pembangunan
(Nietzsche, 2002).
Perang diskursus muncul pada dua level. Pertama, perang diskursus pada level
pembangunan. Kedua, muncul pula perang diskursus pada level kemiskinan. Kemiskinan
rasialis, misalnya, mampu menegakkan kolonialisme, dengan memandang pribumi sebagai
orang malas (mitos ini muncul pada tahun 1920-an, padahal seabad sebelumnya pribumi
dimitoskan garang seiring Perang Diponegoro) (Gouda, 2007). Persilangan diskursus ini
dengan diskursus kemiskinan produksi menghasilkan pe-Lain-an (Othering) kepada orang-
orang yang dipandang liar. Sublimasi perang diskursus ini muncul dalam wujud program
penanggulangan kemiskinan untuk suku terasing. Sejak pemberlakuan UU 5/1979, suku
terasing merupakan Yang Lain, karena tidak tergolong sebagai penduduk dalam kota dan
desa (dua kelompok teritorial yang menandakan Indonesia). Sebagaimana diskursus
kemiskinan rasial, dan hasrat humanisme dalam pembangunan, maka keliaran suku terasing
tersebut hendak diatasi melalui program pengurangan kemiskinan. Program kemiskinan di
Papua juga selalu dipandang memiliki kekhususan, tanpa harapan tinggi untuk berhasil
menanggulanginya. Harapan tinggi dipandang sulit diwujudkan dari orang-orang liar.
Persilangan diskursus pembagian kelebihan dan kemiskinan produksi menghasilkan
mekanisme pemerataan proyek, meskipun dalam kerangka Community-Driven Development
(CDD) diharuskan persaingan untuk mendapatkan proyek. Di Salatiga, Ponorogo, Jombang,
misalnya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang mengharuskan
persaingan antar desa, ternyata disertai dengan upaya lobi di luar ruangan persaingan, saling
membantu desa yang belum pernah mendapatkan.
Tanpa mengetahui persilangan dan peperangan antar diskursus, ilmuwan majupun
aktivis yang bergerak dalam bidang kemiskinan dapat salah mengambil tindakan. LSM bisa
mendukung negara dalam Program IDT, karena memandang penting pengembangan
masyarakat hingga pada sekitar 20.000 desa, sedangkan LSM biasanya hanya mampu
memprogramkan tidak lebih dari 100 desa dampingan.
Ternyata peperangan diskursus muncul antara diskursus potensi orang miskin dengan
diskursus kemiskinan produksi. Ada pengembangan kelompok di sana, walau sesungguhnya
sedang bertarung untuk memperlakukan kelompok sebagai pemercepat kemandirian versus
kelompok konsumen (consumer group) dari donor. Ada pengembangan potensi di sana,
229
walaupun sejatinya bertarung pengembangan potensi tanpa batas, versus pengembangan
potensi terbatas untuk berproduksi.
Peperangan antara kemiskinan produksi dan kemiskinan komunal mengambil bentuk,
seperti meminta rakyat hidup sederhana. Sebagaimana sudah ditunjukkan, loro lopo
seharusnya dilakukan oleh penguasa, bukan oleh rakyat yang sudah miskin. Dominasi ke
dalam kemiskinan komunal juga berupa upaya untuk bekerja secara kelompok dan bergotong
royong dalam rangka meningkatkan efisiensi.
Kesimpulan
Kemajemukan diskursus kemiskinan di Indonesia tumbuh bersama di seluruh
wilayah. Upaya penemuan diskursus-diskursus kemiskinan di Indonesia dapat digunakan
untuk menggali penggunaan kekuasaan dan pengetahuan oleh donor dan negara kepada
masyarakat. Intervensi pembangunan tersaji dengan membandingkan adanya diskursus
kemiskinan yang telah muncul terlebih dahulu daripada pembangunan, dan diskursus
kemiskinan baru sebagai konsekuensi dari pembangunan.
Terdapat persilangan atau perang antar diskursus-diskursus kemiskinan. Analisis
perang diskursus membuka tabir persilangan antar diskursus, saling mempergunakan konsep
untuk ditafsirkan ulang, hingga mematikan diskursus lawan. Hasil pertarungan diskursus
kemiskinan sementara ini sudah jelas. Donor negara maju dan pemerintah unggul dengan
membentuk teori CDD, melembagakan PNPM, KPK (Komite Penanggulangan Kemiskinan),
hingga mengganti pendamping orang miskin dari LSM menjadi konsultan swasta.
Kemenangan diskursus produksi yang berorientasi keuntungan (profit) dapat memunculkan
kecurigaan. Benarkah proyek kemiskinan dapat mengurangi kemiskinan, sebagaimana
digembar-gemborkan donor sebagai kegiatan poverty reduction? Tidakkah kesuksesan
proyek semacam ini –jika memang berhasil—justru dijadikan justifikasi untuk berutang lebih
banyak lagi, dan berarti makin merongrong kedaulatan negara miskin?
Diperlukan kebijakan yang spesifik untuk menanggulangi kemiskinan, sesuai dengan
diskursus kemiskinan yang dialami. Diperlukan enam seri kebijakan penanggulangan
kemiskinan. Penyebab rendahnya efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu
digali dari jenis kemiskinan yang berkembang pada masyarakat tertentu
Rendahnya efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat disebabkan oleh
keterbatasan diskursus kemiskinan yang hendak diatasi. Suatu alternatif kebijakan dapat
dimulai dengan mengolah diskursus berbagi kelebihan. Sambil mengambil pelajaran
230
diskursus potensi orang miskin, perlu disusun pandangan baru bahwa orang miskin bukanlah
warga tidak berpunya (the have not), melainkan warga berpotensi yang belum memperoleh
kesempatan membuktikan kemampuannya. Aktualisasi potensi orang miskin dapat dilakukan
dengan bantuan warga sedusun atau sekompleks, yang bersolidaritas untuk membantu
tetangganya sendiri. Dan hal ini telah memiliki sejarah panjang dari warganegara sendiri.
Daftar Pustaka
Agusta, I. 2005. Data Kemiskinan dan Survei. In: Kompas 29 November 2005. Agusta, I. 2007. Kritik Atas Komunikasi Pembangunan dan Program Pengembangan
Kecamatan. In: Sodality, Th. 1. No. 2 Anderson, BRO,G. 2000. Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia.
Terjemahan Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia oleh R.B. Santosa. Yogyakarta: Mata Bangsa
Breman, J. 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, dan Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad Ke-20. Jakarta: Grafiti.
Cardoso, F.H. 1972. Dependency and Development in Latin America, In:J.T. Roberts, A. Hite, eds. 2000. From Modernization to Globalization: Perspectives on Development and Social Change. Malden, Mass: Blackwell.
Cooke, B., U. Kothari. 2001. The Case for Participation as Tyranny, In: B. Cooke, U. Kothari, eds. Participation: The New Tyranny? London: Zed Books.
Departemen Penerangan RI. 1961. Penjelenggaraan Pembangunan Semesta, Dalam Rangka Mendjalankan Undang-Undang Dasar Pasal 33. Uraian didepan Kongres National SOBSI III pada tanggal 25 Agustus 1960 di Surakarta oleh Menteri/Ketua Depernas Prof. Mr Muhammad Yamin. Jakarta: Departemen Penerangan RI.
Foucault, M. 2002a. Menggugat Sejarah Ide. Terjemahan The Archaeology of Knowledge oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Foucault, M. 2002b. Kegilaan dan Peradaban. Terjemahan Madness and Civilization: A History of Insanity in Age of Reason oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Foucault, M. 2002c. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Terjemahan dari P Rabinow, ed. Aesthetics, Method and Epistemology: Essential Works of Foucault 1954-1984. Yogyakarta: Jalasutra
Foucault, M. 2002d. Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. Terjemahan. Yogyakarta: Bentang.
Foucault, M. 2003. Kritik Wacana Bahasa. Terjemahan The Discourse of Language oleh I.R. Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD.
Foucault, M. 2008. Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas. Terjemahan La Volonte de Savoir: Histoirie de la Sexualite. Jakarta: YOI.
Friedmann, J. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell.
Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara. Gouda, F. 2007. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942.
Terjemahan Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherland Indies 1900-1942. Jakarta: Serambi.
231
Gronemeyer, M. 1992. Helping, In:W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
Ha-Joon, C., I. Grabel. 2008. Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan. Terjemahan Reclaiming Development: An Alternative Economic Policy Manual oleh M.G. Zainal.Yogyakarta: Insist.
Hatta, M. 2000. Mohammad Hatta Bicara Marxis dan Sosialisme Indonesia. Jakarta: Melibas.
Ife, J. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision, Analysis and Practice. Australia: Longman.
Karsodihardjo, D.S. 1998. Loro-Lopo Topo-Broto, In: Basis Th. 47 No. 5-6. Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2004. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan.
Jakarta: Komite Penanggulangan Kemiskinan. Kuhn, TS. 2002. The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi
Sains. Terjemahan The Structure of Scientific Revolution oleh Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya
Levinsohn, J. 2003. The World Bank’s Poverty Reduction Strategy Paper Approach: Good Marketing or Good Policy? G-24 Discussion Paper Series No. 21, April 2003. New York: United Nations.
Mukherjee, N. 2006. Voices of the Poor: Making Services Work for the Poor in Indonesia. Washington DC: World Bank.
Nietszche, F. 1887. On the Genealogy of Morals: A Polemical Tract. Leipzig Nietzsche, F. 2002. Beyond Good and Evil: Prelude Menuju Filsafat Masa Depan.
Terjemahan oleh B.H. Winarno. Yogyakarta: Ikon. Operations Evaluation Department. 2003. Community-Driven Development: A Study
Methodology. Washington DC: World Bank. Rahnema, M. 1992. Poverty, In: W. Sachs, ed. The Development Dictionary: A Guide to
Knowledge as Power. London: Zed Books. Sajogyo. 2006. Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan
Perdesaan sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras. Soeharto. 2008. Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Otobiografi seperti Dipaparkan kepada
G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: Citra Kharisma Bunda. Soekarno. 1965. Dibawah Bendera Revolusi, Djilid I. Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah
Bendera Revolusi Stewart, A. 2001. Theories of Power and Domination: The Politics of Empowerment in Late
Modernity.London: SAGE. Sunardi, St. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKIS. Tambunan, T. 2005. Economic Growth, Approriate Policies and Poverty Reduction in a
Developing Country: Some Experience from Indonesia. In: South Asia Economic Journal Vol. 6 No. 1.
Thomas, A. 2002a. Meanings and Views of Development. In: T. Allen, A. Thomas, eds. Poverty and Development: Into the 21st Century. Oxford: Oxford Univ. Pr.
Thomas, A. 2002b. Poverty and the “End of Development”. In: T. Allen, A. Thomas, eds. Poverty and Development: Into the 21st Century. Oxford: Oxford Univ. Pr.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. 2006. Pedoman Umum Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.
Timmer, CP. 2002. An Essay on Economic Growth and Poverty Reduction in Honor of Professor M. Sadli. In: M. Ikhsan, C. Manning, H. Soesastro, eds. 80 Tahun Mohamad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru. Jakarta: Kompas.
232
Wahono, Warno H.S., Y. Farhan. 2002. Sedulur Sikep: Tak Silau oleh Materi, Tak Aus oleh Gesekan, In: B.B. Siregar, Wahono, eds. Kembali ke Akar: Kembali ke Konsep Otonomi Komunitas Adat. Jakarta: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat.
White, B. 2005. Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia, In: V.R. Hadiz, D. Dhakidae, eds. Social Science and Power in Indonesia. Singapore: Equinox dan ISEAS.
World Bank. 1990. World Development Report 1990: Poverty. Oxford: Oxford University Press.
World Bank. 2000. World Development Report 2000/2001: Attacking Poverty. Washington DC: World Bank.
top related