jurnal anatola i34080035 2008 (recovered)
Post on 05-Nov-2015
217 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
KAITAN PERBEDAAN REZIM SUMBER DAYA ALAM DENGAN
STRUKTUR SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Studi Kasus: Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat)
Anatola Essya Angesti1, Heru Purwandari
2
anatolaangesti@gmail.com
ABSTRACT
Nowadays, mining becomes one of common topics in society. Many problems dealing with mining management
frequently appear on TV. In the process, mining is conducted by several regimes, some of them are privatitation
regimes, deconcentration, and PETI. Some mining regimes give different impact to society. Among these impacts
involve the changing of social structure and local economy. The purposes of this research are to compare some
management regimes of mining that are able to influance the value of actors in Sijantang Koto district, and analyzes
some impacts of management regime of mining that are able to give positive impacts to the development of society
economy. The result of this research that was conducted through a questionnaire and a detailed interview shows that
the value of actors is not determined by economy capital gained from mining. On the other hand, the level of honor of a
leader is determined by social capital and social cultural. Besides, the influence of strong minangkabau tradition is also
used as an indicator to determine the value of actors. In addition, in the economy side, those three regimes have given
job opportunities and the improvement of social economy.
Keyword: management regimes, mining, privatitation, deconcentration, peti, value of actors, economy
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan Indonesia melalui sektor pertambangan memberi masukan yang tinggi pada perekonomian.
Pertambangan dipandang lebih mudah mendatangkan uang tunai tanpa membebani pemerintah dengan pengadaan
infrastruktur. Dibanyak kasus, masuknya sektor pertambangan membawa keuntungan yang besar bagi pemerintah,
seperti yang terjadi di tambang batubara Ombilin lebih kurang seratus tahun lalu. Pertambangan ini sempat menjadi
pengekspor utama batubara dan memberi input yang besar terhadap negara. Akan tetapi eksploitasi yang berlebihan
membuat pertambangan tersebut untuk saat ini tidak dapat berproduksi maksimal lagi. Menjamurnya pertambangan di Indonesia tidak terlepas dari adanya UU no 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui UU tersebut pertambangan mulai masuk dan menjadi primadona dalam
pembangunan di Indonesia. Sehingga banyak lahan yang tadinya lahan pertanian mulai dialihfungsikan ke sektor
pertambangan. Perbincangan mengenai konversi lahan ini bukanlah hal baru dalam kalangan masyarakat. Setidaknya
menurut data World Bank (2000) laju penyusutan luas hutan (deforestasi) adalah 1,7 juta hektar per tahun. Konversi
lahan dapat berdampak langsung maupun tidak langsung pada tatanan dinamika sosial ekonomi masyarakat lokal.
Perubahan pengelolaan sumber agraria memiliki dampak langsung terhadap penguasaan sumber agraria.
Seperti yang ditemukan oleh Joko Susilo dan Siti Maemunah (2009) di Bangka Belitung. Ketika rezim pengelolaan
timah berada pada privatisasi sumberdaya tambang dimonopoli dan dikuasai oleh pihak-pihak swasta. Keadaan berbeda
ketika pemerintah mengeluarkan quasi devolusi, yang menyerahkan pertambangan timah di Bangka Belitung kepada
masyarakat, masyarakat lokal yang tadinya kurang akses terhadap pertambangan kini dapat mengelola pertambangan
secara mandri. Perubahan rezim pengelolaan di Bangka Belitung membawa dampak positif terhadap peluang penguasaan lahan yang baru.
Luas penguasaan lahan umumnya menjadi sebuah tolak ukur untuk memandang strata seseorang. Makin
banyak jumlah lahan yang dikuasai semakin tinggi masyarakat memandang tokoh tersebut. Namun, hal ini bukan berarti
orang yang dipandang karena kekayaan bisa dihormati oleh masyarakat. Beberapa penelitian menunjukan seorang
individu dapat dipandang oleh masyarakat lain berdasarkan pada banyaknya modal yang mereka miliki. (Casey dalam
Sjaf, 2011)
Kehadiran pertambangan disuatu daerah tentu akan membawa berbagai dampak terhadap kehidupan
masyarakat. Hal ini seperti yang terjadi di Sawahlunto Sumatera Barat, dimana pada 1930, produksi batubara
1 Mahasiswi program S1, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor, Angkatan 2008 2 Dosen Program S1 Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,Institut
Pertanian Bogor.
-
memberikan keuntungan 4,6 juta gulden setahun. Selama 100 tahun lebih batubara telah dieksploitasi mencapai sekitar
30 juta ton, dan masih tersisa cadangan lebih dari 100 juta ton. Pasca kemerdekaan Indonesia, tambang Ombilin diambil
alih oleh pemerintah. Wilayahnya diperluas menjadi 27 ribu hektar lebih. Namun eksploitasi berlebih membuat
tambang tidak lagi bisa diproduksi masal sejak tahun 2000, sehingga dapat dikatakan saat itu perekonomian di
Sawahlunto mengalami kematian, karena cadangan yang tersisa hanya bisa dieksploitasi sebagai tambang dalam. Dapat
tidaknya eksploitasi sangat bergantung kepada penguasaan teknologi serta harga dan permintaan pasar batubara, selain
itu penyelenggaraan pertambangan batubara ini juga sedang mengalami re-orientasi akibat berkembangnya semangat
desentralisasi atau tuntutan otonomi daerah, yang membangkitkan keinginan masyarakat setempat untuk melakukan
penambangan sendiri. Salah satu desa yang mengalami perubahan rezim pengelolaan sumberdaya alam berulang kali
adalah Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, kota Sawahlunto provinsi Sumatera Barat.
1.2 Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan melihat pengaruh berbagai rezim pengelolaan sumber agraria
terhadap struktur sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan spesifik yang dapat diangkat dalam
topik penelitian, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sejauhmana tingkat ketokohan berpengaruh terhadap keterlibatan masyarakat dalam setiap serim pengelolaan sumberdaya alam di Desa Sijantang Koto?
2. Sejauhmana keberadaan rezim pengelolaan sumberdaya alam berpengaruh terhadap tingkat perekonomian masyarakat di Desa Sijantang Koto?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan di atas, tujuan dilaksanakannya penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Membandingkan berbagai rezim pengelolaan sumberdaya alam yang dapat mempengaruhi tingkat ketokohan seorang tokoh dan menganailis pengaruh tokoh dalam membuka peluang kerja untuk masyarakat di Desa
Sijantang Koto.
2. Menganalisis berbagai pengaruh rezim pengelolaan sumberdaya alam yang mampu memberi dampak positif terhadap perkembangan ekonomi masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian
Mengacu kepada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penulisan ini terbagi menjadi kegunaan
penelitian bagi pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi mengenai hubungan agraria dengan pertambangan. Mengingat terbatasnya literatur yang peneliti temukan di lapangan ketika akan memulai
penelitian ini.
2. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat diharapkan sebagai sarana evaluasi untuk melihat rezim yang paling tepat dalam pengelolaan sumberdaya agraria.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk mampu melihat dan memahami rezim yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya agraria tersebut.
2. PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengelolaan Sumber Agraria
Hingga saat ini pemisahan antara sumberdaya alam dan sumber agraria masih dalam perdebatan. Menurut Sihaloho (2004) perbandingan sumberdaya alam dan sumberdaya agraria dipandang dari aspek spasial-keruangan,
substansial-material dan instrumental atau pencapaian tujuan bagi kehidupan. Secara sederhana sebenarnya sumberdaya
agraria adalah bagian dari sumberdaya alam. Sumberdaya alam dilihat sebagai bagian yang lebih luas dan di dalamnya
mencakup sumberdaya agraria. Membicarakan sumberdaya agraria (objek), tidak akan pernah terlepas kaitannya
dengan subjek agraria. Subjek agraria didefinisikan sebagi orang-orang/ pihak-pihak yang terlibat dalam mengelola,
menguasai, dan mengakses objek agraria tersebut. Secara garis besar subjek agraria dapat dipilah menjadi tiga garis
besar yaitu masyarakat (komunitas), swasta, dan pemerintah.
2.1.2 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Hubungan subjek dan objek agraria disebut juga sebagai struktur agraria yang mencakup penguasaan,
pemilikan, pemanfaatan lahan. Menurut Wiradi (1984) kepemilikan tanah merujuk kepada penguasaan formal
sedangkan penguasaan merujuk pada penguasaan efektif. Penanggulangan masalah pengelolaan sumberdaya alam saat
ini dilaksanakan oleh masyarakat setempat terutama dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya yang terbuka perolehannya (open access resources). Sekalipun demikian, masih menjadi pertanyaan besar sejauhmana pemerintah secara sungguh-sungguh memberikan pelimpahan wewenang dan kepercayaan yang besar pada penduduk setempat
untuk mengelola sumberdaya tersebut.
-
Pengelolaan sumberdaya alam terbagi dalam empat rezim yang berbeda yaitu:
1. Dekonsentrasi dimana Bryan C, dkk (1999) mengartikannya sebagai desentralisasi yang paling lemah (Pseudo Decentralisation) dengan beberapa alasan, yaitu istilah dekonsentrasi merujuk kepada proses pemerintahan
dalam menciptakan daerah-daerah administratif untuk tujuan efisiensi manajemen program dan implementasi
dari kekuasaan yang diberikan atau diturunkan dari pemerintah pusat kepada region
2. Desentralisasi Secara khusus Rondinelli (1999) membagi desentralisasi dalam empat aspek, yaitu:
Deconsentration, penyelenggaraan urusan pemerintah pusat kepada daerah melalui wakil perangkat pusat yang ada di daerah.
Delegation to semi-outonomous and parastatal organizations adalah suatu pelimpahan kewenangan dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
Devolution to local government. merupakan penjelmaan dari desentralisasi dalam arti luas, yang berakibat bahwa pemerintah pusat harus membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat, dengan
menyerahkan fungsi dan wewenang untuk dilaksanakan secara sendiri atau disebut dengan desentralisasi
teritorial.
Delegation to Non-government institutions atau penyerahan atau transfer fungsi dari pemerintah kepada organisasi /institusi non pemerintah.
3. Devolusi yang diartikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab kepada kelompok pengguna atau masyarakat lokal menyangkut pengambilan keputusan, menangani keuangan dan mengelola manajemen
masalah-masalah yang berkaitan dengan layanan umum.
4. Privatisasi, dimana quasi/kuasa pengelolaan diserahkan kepada pihak swasta melalui pemberian Hak Guna Usaha (HGU).
Selain rezim pengelolaan pertambaangan yang dikemukaan oleh Rondinelli masih terdapat beberapa rezim
pengelolaan sumberdaya alam, seperti pertambangan tanpa ijin atau pertambangan ilegal (PETI). Pertambangan tanpa
ijin merupakan pertambangan ilegal yang dikelola oleh masyarakat, pada umumnya mengunakan teknologi sederhana
sehingga memiliki tingkat keamanan yang rendah. Sebenarnya, hukum negara mengakui keberadaan pertambangan
rakyat, namun batasannya dirumuskan terlalu sempit dan perizinannya dibuat terlalu berbelit (Wiriosudarmo, 2001).
Tidak mengherankan jika hampir 90% dari kegiatan penambangan masyarakat, atau penambang informal digolongkan
sebagai penambangan liar (Aspinall, 2001). Menurut Forqan (2005) munculnya PETI Batubara tidak terlepas dari
warisan kebijakan pertambangan dari jaman orde baru dimana konsesi-konsesi pertambangan dihampir seluruh wilayah
Indonesia telah dikantongi ijinnya oleh corporate-corporate besar (multinasional corporasi) yang mempunyai ijin
langsung dengan Pemerintah Pusat dengan konsesi lahan yang sangat luas. Dilain pihak, adanya perpindahan kebijakan dari pusat ke daerah melalui UU Otonomi Daerah memberikan akses kepada pengusaha-pengusaha lokal untuk ikut
berperan dalam pemanfaatan sumber daya alam Batubara.
2.1.3 Ketokohan Dalam Konteks Struktur Sosial
Struktur sosial dalam sosiologi umum (2003) diartikan sebagai hubungan antar status dan peran yang relatif
bersifat mantap. Struktur sosial tersebut menunjuk pada fakta bahwa tindakan individu-individu yang berinteraksi
dipolakan dalam kaitannya dengan posisi masing-masing dalam interaksi tersebut. Struktur sosial yang mencakup status, peran, hubungan interpersonal, dan institusi sosial secara keseluruhan umumnya digunakan juga untuk mengukur
aktor atau tokoh pada suatu kondisi. Tokoh identik dengan agen, dimana menurut Sjaf (2012) Aktor (baik individu
maupun kelompok) tidak dapat menghindar dari tekanan struktur di atasnya, akan tetapi mampu mengkonstruksi
kondisi yang ada sesuai dengan konteks kepentingan. Secara sederhana tokoh dapat dikategorikan sebagai agen,
sedangkan agen belum tentu dapat dikategorikan sebagai tokoh.
Casey pada tahun 2008 mencoba untuk menghitung indikator secara kuantitatif. Casey dalam Sjaf (2011)
memandang bahwa melakukan pengukuran pengaruh aktor memerlukan pengkategorian modal rinci. Mengukur
pengaruh aktor tidak cukup ditinjau dari tujuh modal. Pertama, modal manusia merupakan kombinasi dari kemampuan
dan keterampilan, pengalaman serta pendidikan. Modal manusia biasanya dilihat dari dua hal yaitu pengalaman dan
pendidikan. Kedua, modal institusi yang umumnya untuk melihat derajat modal institusi yang dimiliki oleh aktor dapat
dilihat dari tiga hal yaitu: dukungan institusi terhadap aktor, ideologi institusi, dan pengaruh institusi kepada aktor/agen.
Ketiga modal sosial yang akan dilihat dari tiga hal, yaitu dukungan grup kolektif, jaringan, dan reputasi. Keempat, modal simbolik menjadi simbol yang melegitimasi/membuktikan dominasi melalui status sosial atau pembeda terhadap
orang lain. Modal simbolik dapat dilihat dari dua hal, yaitu prestise yang dibawa dan gelar. Kelima, modal ekonomi
yaitu produksi material dan petukaran atau perdagangan, uang, atau materi yang dihasilkan seseorang, baik dagang dan
produksi sendiri. Keenam, modal budaya diukur dari sisi pemilikan agen atas benda-benda materiil yang dianggap
memiliki prestise tinggi, pengetahuan dan keterampilan yang diakui otoritas resmi, dan kebiasaan (gaya pakaian, cara
berbicara, selera makan, gerak-gerik tubuh yang khas, dan sebagainya) yang merupakan wujud dari posisi obyektif
aktor/agen. Ketujuh modal moral, umumnya modal moral dapat dilihat dari opini publik terhadap aktor/agen yang
memiliki tujuan yang jelas dan bermanfaat untuk masyarakat.
-
2.1.4 Hubungan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam dengan Perekonomian Masyarakat
Perubahan rezim pengelolaan sumberdaya agraria secara langsung telah merubah pola penguasaan sumber
agraria tersebut. Dalam ulasan sebelumnya telah dinyatakan bahwa masuknya rezim pengelolaan yang baru tentu akan
menimbulkan berbagai dampak terhadap masyarakat lokal. Salah satunya akan merubah pekerjaan masyarakat lokal. Menurut Widyanto (2008) pengaruh perubahan rezim pengelolaan sumberdaya agraria yang secara nyata berdampak
terhadap perekonomian masyarakat lokal mencakup kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Daya rusak tambang
terhadap ekonomi setempat merupakan suatu bentuk penghancuran terhadap tata produksi, distribusi, dan konsumsi
lokal.
2.2 Kerangka Pemikiran Berbagai rezim pengelolaan agraria akan berpengaruh kepada penguasaan objek agraria, dimana di dalamnya
juga akan menyangkut bagaimana seseorang dapat mengakses sumberdaya agraria tersebut. Rezim pengelolaan
pertambangan batubara yang mencakup privatisasi, dekonsentrasi, dan PETI berpengaruh terhadap struktur sosial-
ekonomi masyarakat. Setiap rezim akan akan memberikan dampak yang berbeda pada sosial ekonomi masyarakat.
Struktur sosial dilihat dari adanya tingkat ketokohan yang dimiliki seorang tokoh. Sedangkan tingkat perekonomian
akan dilihat dari peluang kerja, jaminan penghasilan, jaminan pendapatan dan tingkat pendapatan. Keberadaan
pertambangan memberi dampak terhadap perekonomian masyarakat baik itu terhadap pribadi responden (kepemilikan aset, tingkat kepemilikan benda berharga, kemampuan menyekolahkan anak, dan pemanfaatan waktu luang), sedangkan
pengaruh pertambangan untuk perekonomian desa akan dianalisis melalui sumbangan rezim pertambangan terhadap
ketersediaan fasislitas umum dan fasiltas khusus.
Gambar 1. Kerangka Analisis
2.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh tingkat ketokohan terhadap keterlibatan masyarakat dalam setiap rezim pengelolaan sumberdaya alam di Desa Sijantang Koto.
2. Terdapat pengaruh rezim pengelolaan pertambangan terhadap perekonomian masyarakat.
3. PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survei yang menggunakan
Struktur sosial-Ekonomi Rezim pengelolaan sumberdaya:
- Privatisasi
- Dekonsentrasi
- PETI
Tingkat Ketokohan/ aktor
Tingkat Perekonomian warga:
Peluang kerja
Jaminan Penghasilan
Tingkat kesehatan
Tingkat pendapatan
Kepemilikan Aset:
Tingkat kepemilikan lahan
Tingkat kepemilikan benda berharga
Kemampuan menyekolahkan anak
Tingkat pemanfaatan waktu luang
Keterangan:
: mempengaruhi secara langsung
: mempengaruhi secara tidak langsung
Struktur ekonomi Masyarakat
Pribadi responden
Fasilitas umum
Fasilitas khusus
Desa
-
kuesioner sebagai instrumen penelitian. Sedangkan pendekatan kualitatif dilaksanakan dengan metode wawancara
mendalam untuk memperkuat hasil yang didapatkan melalui pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan
untuk menganalisis pengaruh rezim pengelolaan sumberdaya alam terhadap tingkat ketokohan dan ekonomi masyarakat
Desa Sijantang Koto. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam mengenai
pengaruh rezim pengelolaan sumberdaya pertambangan terhadap sosial ekonomi masyarakat.
3.2 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sijantang Koto kecamatan Talawi kota Sawahlunto provinsi Sumatera
Barat. Penelitian berlangsung dari bulan Februari Juli 2012. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbanganbeberapa hal. Pertama, Desa Sijantang Koto merupakan desa yang terletak di
lingkungan pertambangan batubara. Kedua, Di Desa Sijantang Koto terdapat tiga rezim pengelolaan sumberdaya
pertambangan seperti swasta, pemerintah, dan PETI. Ketiga, Tersedianya data pendukung yang dapat membantu
peneliti dalam melakukan penelitian. Dan Keempat,Mendapat rekomendasi dari Dinas Penanggulangan Bencana
setempat.
3.3 Teknik Pengumpulan Data, Pemilihan Informan, dan Pemilihan Responden
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
pengisian kuesioner dan wawancara mendalam. Kuesioner dibagikan kepada responden yang telah terpilih. Sedangkan
wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan kepada informan maupun responden. Data
sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang terkait dengan data-data bentuk sejarah perkembangan pertambangan
batubara di Sawahlunto mulai dari pertambangan hingga menjadi wisata tambang yang didapatkan dari literatur.
Terdapat dua subyek penelitian dalam penelitian ini yaitu responden dan informan. Responden didefinisikan
sebagai pihak yang memberi keterangan tentang dirinya sendiri. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat
Desa Sijantang Koto yang bekerja pada pertambangan swasta, bekerja pada pertambangan rakyat tanpa ijin (PETI), dan bekerja di sektor pariwisata pertambangan. Sedangkan informan adalah individu yang memberikan informasi mengenai
diri sendiri dan orang lain yang ada di lingkungan yang sama. Informan akan dipilih secara purpose dan tidak
ditentukan jumlahnya. Adapun informan yang dipilih adalah aparat desa, tokoh masyarakat, dan beberpa responden
yang banyak mengetahui tentang warga Desa Sijantang Koto
Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumah tangga. Hal pertama yang dilakukan sebelum
memilih sampel adalah membuat kerangka sampling. Kerangka sampling dibuat setelah melakukan sensus berdasarkan
jenis pekerjaan 325 kepala keluarga. Pertanyaan yang diberikan saat sensus mencakup nama KK, Jumlah anggota
keluarga, dan jenis pekerjaan KK. Hasil sensus dikelompokkan menjadi tiga kerangka sampling yang terbagi kedalam
ketiga rezim. Hasil yang didapatkan bahwa dari 325 KK terdapat 34 KK terlibat dalam Privatisasi, 11 KK terlibat
dalam dekonsentrasi, dan 36 KK terlibat dalam rezim PETI, lainnya tersebar dalam berbagai jenis pekerjaan. Apabila
dilihat dalam unit analisis individu jumlah penduduk yang terlibat dalam setiap rezim jauh lebih banyak. Namun, karena
unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga maka hanya sedikit yang terlibat dalam rezim pertambangan. Responden dari rezim dekonsentrasi diambil sebanyak 10 KK karena 1 KK lain menolak untuk menjadi responden.
Mengacu pada jumlah responden pada rezim dekonsentrasi maka dipilih lah responden dari rezim Privatisasi dan Peti
sebanyak dua kali jumlah responden pada rezim dekonsentrasi, yakni masing-masing 20 responden. Penelitian ini
mengambil 10 responden diluar rezim pertambangan sebagai pembanding. Responden dari rezim privatisasi, PETI, dan
rezim lain diambil dengan metode Simple Random Sampling karena seluruh responden diasusmsikan homogen.
Teknik snowball digunakan untuk mengetahui beberapa tokoh yang berperan dalam masing-masing rezim.
Dengan menggunakan teknik snowball maka didapatkan tiga tokoh yang dihormati di Desa Sijantang Koto yaitu Bapak
Eri (Tokoh 1), Bapak Yan (Tokoh 2), dan Bapak Mul (Tokoh 3). Selanjutnya penentuan tingkat ketokohan dilanjutkan
melalui pemberian kuesioner dan wawancara mendalam kepada responden.
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil kuesioner terhadap responden akan diolah secara statistik deskriptif dengan menggunakan software
SPSS for Windows versi 16.0 dan Microsoft Excel 2007. Prosesnya akan dimulai dari proses editing, coding, scoring,
entry dan analisis data. Statistik deskriptif merupakan statistik yang menggambarkan sekumpulan data secara visual
dimana dapat dilakukan dalam dua bagian yaitu dalam bentuk gambar dan tulisan. Sistem skoring dibuat secara
konsisten, jadi semakin tinggi skor maka semakin tinggi kategorinya. Setelah itu data dikategorikan dengan
menggunakan teknik scoring normatif yang dikategorikan berdasarkan interval kelas (Sarwono, 2006)
Keterangan: N = batas Selang
Max = nilai maksimum yang diperoleh dari jumlah skor
Min = nilai minimum yang diperoleh dari skor
k = jumlah kategori Berikutnya hasil pengolahan dengan menggunakan statistik deskriptif ditampilkan dalam bentuk tabulasi silang
(crosstab).Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data secara kualitatif sebagai pendukung dengan
N = Max Min
k
-
mengutip hasil wawancara mendalam dengan responden atau informan dan disampaikan secara deskriptif guna
mempertajam hasil penelitian.
4........ KELEMAHAN STUDI Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kesalahan, diantaranya adalah fokus
penelitiaan. Pada awalnya penulis ingin melihat berbagai rezim pengelolaan sumberdaya pertambangan dan
pengaruhnya terhadap struktur sosial ekonomi masyarakat, tetapi ketika penelitian penulis mengalami kesalahan dalam
penginterprestasian rezim. Ketika perencanaan penelitian penulis menggunakan beberapa teori Rondinelli untuk melihat
rezim pengelolaan sumberdaya. Salah satunya adalah rezim dekonsentrasi. Rezim dekonsentrasi yang penulis pilih
adalah pengembangan pariwisata tambang yang dikelolala oleh pemerintah. Asumsi awal penulis wisata tambang yang
dimaksudkan adalah wisata tambang dimana pengunjung bisa melihat secara langsung proses penambangan. Namun,
ternyata pariwisata yang dimaksudkan adalah pariwisata alam yang berada di daerah bekas penambangan batubara.
Kesalahan disebakan karena penulis salah mendefiniskan visi Kota Sawahlunto yaitu Menjadi Kota Wisata Tambang Yang Berbudaya, sehinga menyebabkan penulis salah dalam mengkategorikan istilah tambang. Lokasi penelitian yang jauh tidak memungkinkan penulis untuk kembali ke lokasi penelitian akhirnya fokus awal pada rezim pengelolaan
sumberdaya pertambangan diganti menjadi rezim pengelolaan sumberdaya alam. Rezim pengelolaan sumberdaya alam
seharusnya melipatkan seluruh sektor mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, dan sektor lainnya. Namun, hal ini
luput dari penelitian penulis.
Selain itu, terdapat kelemahan dalam melakukan pengukuran tingkat ketokohan. Sebenarnya akan menarik
bila penelitian ini melihat persepsi masyarakat tentang indikator apa saja yang digunakan masyarakat untuk menilai
tokoh ketika pertambangan dikelola oleh PTBA. UPO dan saat ini ketika pertambangan dikelola oleh perusahaan kecil
pemilik KP. Hanya saja penelitian ini tidak mungkinkan karena tokoh-tokoh pada masa penambangan PTBA. UPO
sudah tidak mentap di desa lagi.
5........ GAMBARAN UMUM
5.1 Pertambangan Dari Masa ke Masa
5.1.1 Pertambangan di Era Kolonial
Sejarah Kota Sawahlunto dimulai ketika ahli Geologi Belanda W.H. De Greve menemukan cadangan batubara
dalam jumlah besar pada akhir abad 193 atau tepatnya pada tahun 1858. Menurut penemuan De Greve diketahui bahwa
cadangan batubara yang tersedia tidak akan habis ditambang selama 200 tahun ke depan. Melalui berbagai upaya
pemerintah Kolonial Hindia Belanda berhasil membujuk masyarakat setempat untuk mengizinkan lahan tersebut dieksploitasi. Pada tanggal 27 Juli 1886 ditandatanganilah akta notaris penyerahan sebagian tanah ulayat Nagari
Kubang kepada Perusahaan Tambang Batubara Ombilin. Hingga pada 10 Januari 1891, melalui surat Gubernur Jendral
no 186 dilakukan pengambilalihan tanah ulayat tiga nagari Kolok, Sijantang, dan sebagian di Kubang. Sejak itu,
batubara resmi ditambang di kawasan ini (Amri, 2009). Salah satu upaya yang dilakukan Belanda untuk memperlancar
pengiriman batubara keluar Sumatera Barat adalah membangun pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang dan
membangun jalur kereta api yang dapat menghubungkan Sawahlunto dengan Teluk Bayur. Akhirnya pembangunan ini
berpengaruh pada perkembangan pesat Kota Sawahlunto. Tambang batubara di Kota Sawahlunto mengalami puncak
kejayaan pada tahun 1930an.
5.1.2 Dari Kolonial Belanda ke Pemerintah Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, tambang batubara Sawahlunto atau yang dikenal dengan tambang batubara
Ombilin pun tetap berjalan sebagaimana mestinya. Pada tahun 1985, tambang batubara ombilin berada di bawah kuasa
Badan Perusahaan umum Batubara. Menurut Soebadi, dkk (1988) tahun 1968 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
23, tambang batubara Ombilin disatukan dalam satu unit produksi dengan dua pertambangan yang masih bekerja di
daerah lain yaitu Tambang Bukit Asam di Muara Enim (Sumatera Selatan), dan tambang Mahakam di Kalimantan.
Tahun 1990, perusahaan dilebur ke dalam PT Tambang Batubara Bukit Asam Unit Penambangan Ombilin (PTBA.
UPO).
Keberadaan pertambangan batubara telah membawa Kota Sawahlunto maju dalam kurun waktu yang singkat. Semua sektor perekonomian mengalami perkembangan yang luar biasa. Banyak orang dari luar Kota Sawahlunto
datang untuk bekerja di kawasan ini, termasuk orang-orang dari pulau Jawa. Mereka berdondong-bodong datang
sebagai pekerja tambang atau juga menjadi pedagang. Pada tahun 1997 negaranegara kawasan Asia mengalami guncangan besar yaitu krisis moneter dan merebaknya KKN. Puncak semua permasalahan yang melanda Asia Tenggara
dan berpengaruh terhadap Indonesia terjadi pada tanggal 21 Mei 1998 dimana orde baru yang telah berkuasa lama
dipaksa mundur oleh mahasiswa, rakyat, dan kaum reformasi. Kondisi ini ternyata mempengaruhi PTBA. UPO untuk
3 W.H. De Greve seorang geolog muda Belanda ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1867
untuk melakukan ekspedisi di pedalaman Minangkabau. Penelitian tersebut mengindikasikan adanya
deposit batubara sebesar ca. 205 juta ton di kawasan Sungai Durian, Sigakut, Lapangan Sugar, Tanah Hitam
dan Perambahan serta daerah sekitar Sawahlunto yang dapat ditambang selama 200 tahun (Miko, 2006)
-
menuju era penurunan jumlah produksi karena faktor makro ekonomi dan menipisnya persediaan batubara setelah
penambangan 110 tahun. Kemunduran pertambangan diawali dengan suatu perampingan perusahaan demi penghematan
anggaran PTBA. UPO.
5.1.3 Perpindahan Penguasaan Swasta, Rakyat dan Kembali ke Swasta
Seiring dengan pengurangan jumlah karyawan, jumlah produksi dari PTBA. UPO pun semakin menurun, hingga mencapai puncaknya pada tahun 2002. Pada akhirnya puncak kematian dari PTBA. UPO terjadi pada tahun
2002. Sementara PTBA. UPO mulai mengalami penurunan produksi, masyarakat mulai berinisiatif untuk mengambil
batubara di lubang sisa galian perusahaan. Proses eksploitasi ini dilaksanakan dengan teknologi dan kemampuan yang
masih sederhana. Kegiatan ini disebut masyarakat lokal sebagai kegiatan mulung atau pertambangan Tanpa Ijin (PETI) dalam istilah umum.
Tahun 2000 - 2004 menjadi masa-masa tersulit bagi Kota Sawahlunto karena berhentinya tambang terbuka
PTBA. UPO. Hal ini kemudian disusul dengan penurunan jumlah penduduk Sawahlunto secara drastis. Maraknya
kegiatan penambangan tanpa ijin secara tidak langsung berdampak kepada peningkatan angka kriminalitas, penurunan
ketertiban, serta kerusakan sarana umum dan lingkungan. Menurut Walikota Sawahlunto Amran Nur, pertumbuhan
ekonomi Kota Sawahlunto pada periode 2000-2003 negatif, yang terlihat dari berkurangnya aktivitas ekonomi diseluruh
sektor seperti perdagangan, industri, usaha kecil menengah (UKM), pariwisata, jasa dan lain-lain,4
Keberadaan PETI yang sejauh ini dianggap mengganggu akhirnya membuat pemerintah mengeluarkan Kuasa Pertambangan (KP) untuk pengusaha-pengusaha kecil. Namun, secara tidak langsung sebenarnya kegiatan PETI masih
tetap berjalan. Hanya saja ada perbedaan mekanisme penjualan, dari yang awalnya hasil mulung dijual ke KUD berubah ke perusahaan-perusahaan kecil yang telah memiliki KP. Secara tidak langsung hal ini pun berpengaruh
terhadap sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Contohnya pada sektor ekonomi, mulai muncul kesenjangan ekonomi
antara golongan kaya dan golongan miskin. Kesenjangan ini berbeda dengan tingkat kesenjangan sosial ketika PTBA
UPO berkuasa, karena pada umumnya petinggi-petinggi PTBA. UPO adalah orang-orang yang bukan berasal dari
daerah Sawahlunto. Pengelolaan pertambangan yang di bawah kuasa perusahaan-perusahaan kecil pemilik KP hingga
saat ini masih tetap berjalan. Namun, mulai bulan September 2012 pemerintah pusat menetapkan aturan baru yakni
setiap perusahaan yang telah memiliki KP tidak akan bisa menambah atau pun memperpanjang KP yang telah mereka
miliki. Izin ini akan digantikan oleh suatu sistem baru yang disebut Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal ini sesuai
dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyebutkan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus melakukan kegiatan penambangan
sendiri. Sedangkan untuk kegiatan overburden dan pengangkutan (hauling) masih boleh diserahkan pada jasa
(kontraktor) pertambangan.
5.1.4 Pertambangan Menjadi Wisata Tambang
Sejak tahun 2002 Kota Sawahlunto terus mencoba melakukan terobosanterobosan untuk tetap bertahan dari romantismeromantisme sosial budaya, kerusakan ekologi, hambatan, dan konflik ekonomi. Suatu upaya dan gagasan muncul yaitu dengan memutar haluan kebijakan. Awalnya kebijakan yang ditetapkan di Kota Sawahlunto mengarah
pada ekonomi pertambangan. Namun keadaan yang tidak memungkinkan membuat pemerintah memutar haluan pada
ekonomi pariwisata. Upaya tersebut secara institusional dilakukan dengan cara pengalihan visi Kota Sawahlunto pada
24 Desember 2002 yang dituangkan dalam Perda 6 tahun 2003 yaitu menjadikan Sawahlunto tahun 2020 menjadi kota tambang wisata yang berbudaya.
5.2 Status Lahan Sebagai Efek Perubahan Hak Pengelolaan Tambang
Perkembangan status lahan yang ada di Desa Sijantang Koto tidak jauh berbeda dengan perkembangan
pertambangan yang terjadi di desa ini. Tanah di Desa Salak, Desa Sijantang Koto, dan sebagian Desa Kolok Nan Tuo
awalnya adalah tanah ulayat milik masyarakat adat Minangkabau. Namun dengan upaya pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda tanah tersebut telah berubah menjadi milik Kolonial pada tahun 1891. Setelah pengambilalihan tersebut tanah
resmi dieksploitasi oleh Belanda dengan mempekerjakan penduduk Indonesia. Ketika Indonesia merdeka tanah
sepenuhnya menjadi hak milik pemerintah Indonesia. Pertambangan yang berada di wilayah ini diserahkan kepada
perusahaan pengelola batubara dengan memberikan Hak Guna Usaha (HGU). Proses pengelolaan ini berlangsung
sampai tahun 1998. Hingga pada akhirnya PTBA. UPO yang mengelola batubara di kawasan ini mengalami
kemunduran. Status Tanah berada dalam keadaan yang tidak jelas. HGU untuk PTBA. UPO masih ada namun pihak
perusahaan sudah tidak mampu lagi berproduksi. Melihat tanah yang tidak dimanfaatkan, masyarakat berinisiatif untuk
mengelolaanya dengan mengambil batubara di sekitar lubang sisa galian PTBA. UPO. Pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara individu dipandang pemerintah daerah sebagai sebuah kegiatan pertambangan rakyat yang ilegal.
Sehingga pada awal tahun 2002 pemerintah memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan kecil yang mampu
untuk membuat KP. Di tengah gencarnya penguasaan oleh perusahaan-perusahaan kecil, masih ada sebagian lahan
pertambangan di ketiga desa ini yang tidak termasuk kedalam KP. Sehingga masyarakat dapat mengambil batubara
4 Pernyataan walikota Sawahlunto Amran Nur ketika menceritakan kembali pengalamannya dalam membangun Kota
Sawahlunto
-
secara ilegal dan menjualnya ke beberapa perusahaan di atas. Disamping itu, masyarakat juga dapat mengembangkan
aktivitas lain. Selain lahan pertambangan di Desa Sijantang Koto masih terdapat lahan yang dapat digunakan untuk
pertanian dan kegiatan lainnya. Data pemanfaatan lahan disajikan dalam Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Persentase Pemanfaatan Lahan di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat,
tahun 2011
No Pemanfaatan Lahan Luas
n (ha/m2) %
1 Luas Pemukiman 36 5,63
2 Luas Persawahan 40 6,25
3 Luas Perkebunan 15 2,34
4 Luas Pekarangan 33 5,16
5 Luas Lokasi Pariwisata 6 0,94
Merujuk pada Tabel 1 di atas tergambar bahwa pemanfaatan lahan di Desa Sijantang Koto lebih banyak
kepada non pertanian yaitu luas pemukiman dan pekarangan sebanyak 10,8%. Sedangkan, untuk lahan pertanian hanya
8,9%. Hal ini menunjukan tidak banyak masyarakat yang bekerja sebagai petani melainkan bekerja dibidang lain
terutama pertambangan.
5.3 Posisi Desa Dalam Kerangka Sosial Ekonomi
5.3.1 Keadaan Geografis dan Demografi
Desa Sijantang Koto merupakan satu dari sebelas desa yang terletak di Kecamatan Talawi, Sawahlunto
Sumatera Barat. Desa Sijantang Koto berada cukup jauh dari ibukota Provinsi Sumatera Barat yakni kurang lebih 114
km yang memakan waktu tempuh lebih kurang lima jam perjalanan. Desa yang berada di lokasi pertambangan batubara
ini dapat ditempuh hanya melalui jalur darat yaitu dengan menggunakan kendaraan bermotor. Namun, karena letaknya
yang agak jauh jumlah kendaraan umum yang melintas pun relatif sedikit. Masyarakat hanya bisa mengakses kendaraan menuju ibukota dipagi hari dengan kendaraan berupa mini bus dan kembali ke desa dengan mini bus yang sama disore
hari. Kendaraan antar desa juga relatif sedikit.
Desa Sijantang Koto akrab dengan polusi udara yang tinggi. Hal ini dikarenakan keberadaan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan dasar batubara. Polusi udara lebih disebabkan karena kendaraan besar (truk
dan tronton) yang selalu melintas membawa batubara keluar dan masuk PLTU. Desa Sijantang Koto memiliki luas 640
ha dan terbagi kedalam tiga dusun, antara lain Dusun Parigi, Dusun Sawahliat, dan Dusun Muaro. Ketiga dusun ini
memiliki keadaan topografi yang berbeda yang pada akhirnya berpengaruh kepada mata pencarian masyarakat dusun
tersebut. Dusun Sawahliat berada di kawasan yang lebih tinggi dari pada Dusun Muaro, dan Dusun Parigi. Posisi Dusun
Sawahliat yang berada di daerah perbukitan ini memberi keuntungan bagi masyarakat dalam mengembangkan
perkebunan coklat dan karet sekaligus sebagai industri batubata.
Secara administratif Desa Sijantang Koto berbatasan dengan beberapa desa yaitu di sebelah utara berbatasan
dengan Desa Talawi Hilir, di selatan berbatasan dengan Desa Salak, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Batu Tanjung, dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Kolok Nan Tuo. Luas desa Sijantang Koto yang sempit membuat
desa ini hanya memiliki sedikit penduduk. Desa Sijantang Koto memiliki 325 kepala keluarga dengan jumlah
keseluruhan warga sebanyak 1183 jiwa, terdiri dari 595 jiwa warga laki-laki dan 591 jiwa warga perempuan5.
Penyebaran penduduk dapat dikatakan tidak merata. Hal ini dikarenakan penduduk banyak hidup berkelompok. Dusun
Parigi merupakan dusun yang paling banyak dihuni oleh warga karena daerahnya yang luas dan posisinya yang berada
di dekat jalan utama. Sedangkan Dusun Muaro merupakan dusun dengan jumlah penduduk yang paling sedikit karena
luas administratifnya yang sempit.
Jumlah penduduk usia produktif di Desa Sijantang Koto lebih banyak dari pada jumlah penduduk usia non
produktif. Jumlah penduduk usia produktif (15->60 tahun) sebanyak 835 jiwa dan penduduk usia non produktif (0-14
tahun) 348 jiwa. Berdasarkan penelusuran melalui pengamatan dan wawancara mendalam maka diketahui mayoritas
penduduk usia muda banyak yang bekerja atau terlibat dalam pertambangan.
5.3.2 Kondisi Sosial Ekonomi
5.3.2.1 Sosial
Desa Sijantang Koto masih kental dengan adat asli Minangkabau. Meskipun di desa ini banyak terdapat warga
pendatang, namun mayoritas seluruh pendatang dapat menyesuaikan dengan adat di desa ini. Begitu juga dalam hal
agama, penduduk Minangkabau terkenal dengan agama islam yang sangat kental. Hal ini pun sangat tergambar di Desa
Sijantang Koto. Seluruh warga desa memeluk agama islam. Pendatang yang masuk ke desa ini pun memeluk agama
islam. Peran alim ulama (pandito) dalam masyarakat ini sangat butuhkan. Pemuka agama sejauh ini lebih dihormati dari
pada aparatur desa. Banyak kegiatan keagamaan yang berjalan di Desa Sijantang Koto, diantaranya pengajian yasinan
5 Sumber: Data Penduduk Desa Sijantang Koto tahun 2012
-
ibu-ibu, pengajian rutin di mesjid, peringatan hari besar agama islam, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya.
Keadaan nilai-nilai budaya masyarakat sangatlah baik. Hal ini sesuai dengan adat Minangkabau dimana setiap orang
harus saling menghormati. Peran Niniak Mamak (orang yang dituakan dalam kaum) dalam lingkungan ini pun masih
sangat terasa. Apabila ada kegiatan desa seperti pembangunan dan hal lainnya, pendapat dari niniak mamak masih
sangat diperhitungkan.
5.3.2.2 Ekonomi
Tingkat pendidikan di Desa Sijantang Koto hingga sejauh ini masih dapat dikategorikan dalam pendidikan
rendah. Hal umum yang menyebabkan kejadian ini adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
pendidikan. Selain itu, banyak kepala keluarga yang merasa kurang mampu untuk menyekolahkan anak-anak mereka
kejenjang yang lebih tinggi. Keberadaan fasilitas gedung sekolah juga menjadi masalah yang menyebabkan rendahnya
tingkat pendidikan. Di desa ini hanya terdapat satu gedung Taman Kanak-Kanak dan satu unit gedung Sekolah Dasar.
Sedangkan, untuk pendidikan SMP dan SMA masyarakat Desa Sijantang Koto harus ke ibukota kecamatan yang
berjarak 3 km. Berikut disajikan data tingkat pendidikan Desa Sijantang Koto dalam Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Tingkat Pendidikan Warga Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera
Barat, tahun 2011
No Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan
n % n %
1 Usia 3-6 tahun yang belum sekolah 18 2,5 18 2,5
2 Usia 3-6 tahun yang sedang sekolah 32 4,4 24 3,3
3 Usia 7-18 tahun yang belum sekolah 0 0 0 0
4 Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 112 15,4 125 17,2
5 Usia 18-56 tahun yang tidak sekolah 0 0 2 0,3
6 Usia 18-56 tahun yang pernah SD tetapi tidak tamat SD 17 2,3 26 3,6
7 Tamat SD/sederajat 107 14,7 102 14
8 Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SMP 63 8,7 57 7,8
9 Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SMA 67 9,2 55 7,6
10 Tamat SMP/Sederajat 102 14 90 12,4
11 Tamat SMA/ Sederajat 163 22,4 168 23,1
12 Tamat D-1/Sedarajat 3 0,4 9 1,2
13 Tamat D-2/ Sederajat 4 0,5 9 1,2
14 Tamat D-3/ Sederajat 23 3,2 19 2,6
15 Tamat S-1/ Sederajat 15 2,1 22 3
16 Tamat S-2/ Sederajat 2 0,3 1 0,1
Jumlah 728 100 727 100
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa penduduk Desa Sijantang Koto yang belum atau tidak tamat sekolah
sebanyak 616 orang. Penduduk yang hanya tamat SD berjumlah 209 orang, SMP 192 orang, dan SMA 331 orang.
Sementara itu penduduk yang lulus akademi dan sarjana sebanyak 107 orang. Keadaan ini membuat banyak dari
masyarakat desa sijantang Koto yang ingin bekerja di pertambangan hanya dapat mengakses pekerjaan kasar saja.
Mereka tidak bisa bekerja dilevel yang lebih tinggi karena pendidikan yang rendah. Pendidikan akan berdampak kepada
pekerjaan yang dapat diakses oleh masyarakat Desa Sijantang Koto.
Apabila dikelompok tingkat pendidikan responden yang terlibat dalam setiap rezim terlihat bahwa pendidikan
tidak berpengaruh terhadap keterlibatan responden pada rezim tertentu. Responden yang lulus SMA maupun responden
yang tidak tamat SD umumnya mereka bekerja sebagai kuli kasar, sopir, atau satpam. Karyawan yang berpendidikan
SMP SMA juga banyak yang bekerja sebagai kuli kasar, sopir, atau menjadi operator mesin. Responden yang terlibat pada rezim dekonsentrasi lebih banyak berasal dari SMP SMA dengan mayoritas berjenis kelamin perempuan.
Letak Desa Sijantang Koto yang berada di kawasan pertambangan, mengakibatkan banyak masyarakat yang
terlibat dalam kegiatan ini. Kawasan desa yang terbagi kedalam tiga dusun memiliki kontur lahan yang berbeda dan hal
ini mengakibatkan mata pencaharian yang berbeda juga. Dusun Sawahliat berada di daerah dengan kontur yang cukup
tinggi atau di atas bukit sehingga sangat memungkinkan warganya untuk akses dalam pertanian dan perkebunan.
Sedangkan Dusun Muaro dan Dusun Parigi berada di daerah yang cukup dekat dengan pertambangan memiliki tanah
yang kurang subur. Hal ini mendorong masyarakat untuk lebih terlibat dalam pekerjaan di sektor pertambangan dan
lainnya. Namun, pekerjaan dalam hal pertambangan cukup banyak digeluti masyarakat desa. Adapun masyarakat yang
bekerja sebagai sopir, sebahagian besar adalah sopir truk pengangkut batubara yang bekerja secara harian (tanpa
kontrak) membantu jalannya perusahaan-perusahaan batubara. Selain itu usaha rumah makan dan restoran juga
-
dikerjakan warga, hal ini dikarenakan desa berada sangat dekat dengan kawasan wisata Kandi yang merupakan hasil
reklamasi lahan pertambangan.
5.3.3 Ketersediaan Fasilitas Umum
Desa Sijantang Koto yang berada di tengah lokasi pertambangan kerap mendapat bantuan dalam berbagai
pembangun desa. Di desa ini telah tersedia berbagai fasilitas umum seperti sarana telekomunikasi, listrik, sarana angkutan, sarana ibadah. Namun, untuk beberapa fasilitas seperti fasilitas perekonomian, fasilitas pendidikan, dan
fasilitas kesehatan masih sangat terbatas, sehingga masyarakat desa harus mengaksesnya ke pusat kecamatan. Akses ke
Desa Sijantang Koto dapat diakses dengan memanfaatkan kendaraan bermotor seperti angkot, ojek, dan berbagai
kendaraan pribadi. Jalan menuju desa juga sudah diaspal. Hingga tahun 2011 dapat dikatakan 99% masyarakat Desa
Sijantang Koto telah memiliki fasilitas listrik di rumah mereka. Menurut data desa 2012 hanya ada 4 rumah yng belum
menggunakan listrik. Hal ini dikarenakan posisi rumah yang terlalu jauh. Walaupun masih sangat minim tetapi tetap ada
beberapa sarana perekonomian, seperti warung, kios kecil, atau toko serba ada yang memenuhi kebutuhan rumah tangga
dalam hal produk-produk instan, sedangkan untuk berbelanja lauk pauk masyarakat masih harus membelinya di pasar
kecamatan setiap hari selasa dan jumat. Desa Sijantang Koto hanya memiliki satu mesjid utama dan 4 mushalla (surau).
Sarana kesehatan hanya tersedia posyandu setiap bulan dan satu tempat praktek dokter. Dipandang dari segi pendidikan
di Desa Sijantang Koto hanya memiliki satu gedung Sekolah Dasar dan satu gedung Taman Kanak-Kanak. Prasarana
komunikasi yang tersedia di Desa Sijantang Koto masih sangat minim. Akses telepon rumah sudah dapat dimiliki di rumah warga. Namun, karena dipandang terlalu merepotkan warga lebih memilih menggunakan telepon genggam,
meskipun jaringan komukasinya masih sering terputus. Desa ini juga belum memiliki akses internet (warnet). Biasanya
masyarakat akan menuju pusat kecamatan untuk dapat mengakses internet.
6. PENGARUH TINGKAT KETOKOHAN TERHADAP KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM SETIAP REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
6.1 Dinamika Perubahan Status Sosial Masyarakat Lokal
Bab gambaran umum menggambarkan keadaan ketika pengelolaan pertambangan batubara dikelola oleh
PTBA. UPO, strata teratas diduduki oleh orang asing yang notabene menduduki posisi puncak di perusahaan. Disisi
lain, masyarakat asli Kota Sawahlunto hanya menjadi menjadi satpam, operator mesin, atau pun kuli angkut. Gambaran
kontradiktif ini berakibat pada perekonomian masyarakat asli berada pada strata yang rendah. Kondisi ini cukup
berbeda bila dibandingkan dengan kondisi saat ini. Lepasnya kuasa PTBA. UPO memberi dampak positif pada
peningkatan status masyarakat. Setidaknya ada beberapa masyarakat lokal yang mampu berada pada strata atas sebagai
pemilik KP. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Bapak SY (49 tahun)
...dulu banyak urang barat di siko. Inyo yang nampak balabiah. Untuak urang yang karajo di baro urang barat tu yang dikantua-kantua. Kalau urang daerah ko paliang sekitar supir atau tukang angkek se
nyo. Untuak kini ko kalaupun ndak sado masyarakat asli bisa dikantua-kantua nyo satidaknyo ado juo lah yang bisa jadi bos-bos baro.
[...dulu banyak warga asing di sini. Beliaulah orang-orang yang tampak berlebih. Bekerja di PTBA. UPO,
warga asing lah yang menjadi pimpinan. Sedangkan, masyarakat daerah umumnya hanya menjadi sopir
atau kuli kasar. Untuk saat ini,kalaupun tidak semua masyarakat bisa menjadi pimpinan di perusahaan
tambang masih ada beberapa masyarakat yang menjadi pemimpin-pemimpin di perusahaan batubara.]
6.2 Biografi Tokoh
Sebelum melihat bagaimana tingkat ketokohan memberi pengaruh terhadap keterlibatan masyarakat dalam
setiap rezim, peneliti akan menjelaskan bagaimana cara penemuan tokoh. Tokoh didapatkan setelah dilakukan snowball
dari satu individu ke individu lain. Pertanyaan yang diberikan beragam, menyangkut 5W dan 1H. Mulai dari siapa
tokoh yang memberi pengaruh bagi masyarakat desa? Kenapa tokoh dapat dikatakan memberi pengaruh? Apa latar
belakang tokoh sehingga mampu memberi pengaruh? Pada sektor apa saja tokoh mampu memberi pengaruh? Dan
bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pengaruh yang tokoh berikan?
Berdasarkan pertanyaan di atas maka didapatkan tiga tokoh yang mampu memberi pengaruh. Pertama adalah
Bapak Eri, tokoh merupakan warga asli Desa Sijantang Koto. Mulai bergerak di bidang pertambangan batubara
semenjak ada kebebasan masyarakat untuk membuat KP. Setelah itu beliau juga mendaftarkan diri sebagai anggota
dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD kota Sawahlunto). meskipun pendidikan tokoh hanya hingga SLTA, namun posisi tokoh telah membantu tokoh untuk lebih baik dalam perekonomian. Keunggulan inilah yang membuat tokoh
mulai membuka peluang pekerjaan untuk masyarakat Desa Sijantang Koto.
Tokoh kedua adalah Bapak Mul, beliau merupakan niniak mamak di masyarakat Desa Sijantang Koto. Gelar
tokoh sebagai niniak mamak merupakan gelar yang diturunkan dari orang tua beliau sebelumnya. Pendidikan tokoh
yang hanya sebatas SLTA membuat tokoh tidak bisa bekerja sebagai pegawai negeri. Sehingga, ketika pemerintah
-
mengizinkan masyarakat untuk membuat KP, tokoh mulai berinisiatif untuk membuat KP agar dapat mengelola
pertambangan batubara.
Tokoh ketiga adalah Bapak Yan, tokoh merupakan pendatang Desa Sijantang Koto tetapi tokoh menjadi warga
semenjak tokoh menikah dengan warga Desa Sijantang Koto. Tokoh juga bukanlah orang yang memiliki latar belakang
pendidikan yang tinggi, karena tokoh hanya bersekolah hingga tamat SLTA. Saat ini tokoh memiliki usaha
pertambangan batubara dan juga usaha toko bangunan.
6.3 Indikator-Indikator Ketokohan
Ketokohan akan dinilai berdasarkan empat aspek yang dimiliki seorang tokoh, yaitu informasi umum
mengenai tokoh, modal ekonomi, modal sosial, dan modal budaya. Dengan menggunakan keempat indikator di atas
masyarakat dapat menyadari siapakah tokoh yang sebenarnya mereka impikan, serta atas dasar apakah tokoh dihormati.
Adapun ketiga tokoh yang dinilai adalah Bapak ERI (Tokoh 1), Bapak MUL (Tokoh 2), dan Bapak YAN (Tokoh 3)
Indikator pertama adalah informasi umum. Informasi umum didefinisikan sebagai bagian penting pembuka
pengetahuan untuk dapat mempertanyakan ketiga modal lainnya. Tabel 3 menunjukan perbandingan ketiga tokoh
dipandang dari sisi informasi umum.
Tabel 3. Persentase Perbandingan Penilaian Masyarakat Terhadap Tokoh Ditinjau Dari Informasi Umum dan Modal
Ekonomi di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, tahun 2012
Tingkat
Ketokohan
Informasi Umum Modal Ekonomi
Tokoh 1 Tokoh 2 Tokoh 3 Tokoh 1 Tokoh 2 Tokoh 3
n % n % n % n % n % n %
Rendah 54 90 25 42 52 87 39 65 38 63 46 77
Tinggi 6 10 35 58 8 13 21 35 22 37 14 23
Variabel informasi umum dalam kuesioner yang diberikan kepada responden menyangkut aspek kedekatan
tokoh dengan masyarakat, kedermawanan tokoh, dan lama tokoh menetap di Desa Sijantang Koto. Berdasarkan Tabel 3
di atas terlihat bahwa berdasarkan informasi umum tokoh kedua memiliki tingkat ketokohan yang lebih tinggi
dibandingkan kedua tokoh lainnya yaitu mendapat 58,3 persen penilaian positif dari responden. Sedangkan tokoh yang
memiliki tingkat ketokohan yang paling rendah adalah tokoh pertama hanya sejumlah 90 persen. Pernyataan ini
diperkuat oleh Bapak DM (26 tahun)
Pak MUL labiah dakek samo masyarakat disiko. Baliau indak mambeda-bedaan urang ko. Dek baliau sado urang ko samo sajo, kayo urang tu atau miskin urang tu tetap disaponyo kalau basuo. Balaiu elok lo
samo urang-urang disiko, pamurah hati. Kalau ado pembangunan baliau pasti mambantu. Dicaliak dari
yang lamo tingga di siko, apak yang batigo ko samo-samo lah lamo tigga di Sijantang ko. Walaupun pak
YAN ndak asli urang siko tapi baliau lah jadi sumando urang Sijantang...
[Bapak MUL lebih dekat dengan masyarakat. Beliau tidak membeda-bedakan orang. Bagi beliau semua
orang itu sama yang miskin ataupun yang kaya bila beliau bertemu pasti ditegur. Kalau dari lama tinggal
di desa, Bapak ERI, Bapak MUL, dan Bapak YAN sama-sama sudah lama tinggal di desa ini. Walaupun
bapak YAN bukan orang asli desa ini tapi beliau adalah sumando salah satu warga di desa ini.]
Pernyataan ini juga diperkuat oleh ibu NS (47 tahun). Ibu NS menceritakan bahwa bapak MUL lebih mudah
bergaul dengan semua kalangan. Beliau juga tidak segan-segan membantu apabila ada warga yang benar-benar
membutuhkan. Dari ketiga tokoh yang ditanyakan menurut ibu NS bapak MUL juga yang sering datang ke surau untuk
beribadah dan bersosialisasi dengan masyarakat Desa Sijantang Koto.
Indikator kedua yang digunakan untuk menganalisis ketokohan adalah modal ekonomi, dimana dalam kuisioner mencakup aset yang dimiliki oleh tokoh, alasan memandang tokoh dari sudut kepemilikan harta benda, tanah/
lahan, serta memandang tokoh dari sisi kemurahan hati dalam mengajak warga bekerja menggarap tanah yang dimiliki
tokoh. Pada Tabel 3 di atas juga terlihat bahwa rata-rata masyarakat memandang ketiga tokoh dalam tingkat ekonomi
yang sama. Hasil ini sedikit bertentangan dengan pernyataan beberapa warga Desa Sijantang Koto.
...Baliau batigo buliah dikatokan urang yang balabiah di Desa ko. Rumah rancak, kendaraan rancak, lahan banyak. Baliau banyak mambaok warga untuak karajo tapi yang banyak mambaok warga Desa
Sijatang cuma Pak MUL. pak ERI baliau dulu banyak mambaok warga tapi warga ndak betah disitu
karano baliau acok talambek mambayia gaji kadang-kadang baliau mambayia gaji per tigo bulan.
Dicaliak dari pak YAN, baliau labiah banyak mambaok urang kampuang asli baliau karajo di lahan
baliau tapi masih mambaok warga Sijantang saketek banyakno...(AP, 30 tahun)
-
[...Ketiga tokoh dapat dikatakan memiliki harta yang berlebih di desa ini. Rumah bagus, kendaraan bagus,
dan memiliki lahan yang banyak. Ketiga tokoh juga mengajak warga bekerja dengan beliau. Akan tetapi
yang paling banyak membawa masyarakat bekerja sama adalah bapak MUL. dulu banyak yang bekerja di
perusahaan bapak ERI tapi kebanyakan warga tidak betah bekerja di sana karena beliau sering telambat
membayarkan gaji bahkan kadang-kadang beliau membayarkan gaji per tiga bulan sekali. Kalau bapak
YAN beliau lebih sering mengajak orang dari daerah asal beliau untuk bekerja di lahan beliau...]
Saat pengisian kuesioner masyarakat desa cenderung tidak mau menilai tokoh dari sudut ekonomi. Mereka lebih
cenderung ingin menilai tokoh dari sifat tokoh, kedekatan tokoh dengan masyarakat, dan sifat-sifat positif lainnya.
Ketika wawancara kuesioner masyarakat belum mau menceritakan penilaian terhadap tokoh secara jelas. Namun, ketika
wawancara mendalam baru diketahui penilaian yang lebih jelas. Indikator ketiga yang digunakan untuk melihat tingkat ketokohan adalah dari aspek modal sosial. Indikator ini
akan melihat bagaimana tokoh membuka peluang masyarakat untuk dapat bekerja ke dalam salah satu rezim yang ada.
Selain itu dalam modal sosial akan dilihat banyaknya jaringan yang dimiliki oleh tokoh dan kebutuhan masyarakat
terhadap tokoh ketika ada kegiatan di desa. Berikut ditampilkan Tabel 4 hasil penilaian masyarakat terhadap tokoh
ditinjau dari aspek modal sosial.
Tabel 4. Persentase Perbandingan Penilaian Masyarakat Terhadap Tokoh Ditinjau Dari Modal Sosial dan Modal
Budaya di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, tahun 2012
Tingkat
ketokohan
Modal Sosial Modal Budaya
Tokoh 1 Tokoh 2 Tokoh 3 Tokoh 1 Tokoh 2 Tokoh 3
n (%) n (%) n (%) n % n % n %
Rendah 55 92 36 60 55 92 58 97 43 72 58 97
Tinggi 5 8,3 24 40 5 8,3 2 3,3 17 28 2 3,3
Berdasarkan Tabel 4 telihat bahwa tokoh kedua atau bapak MUL dipandang lebih tinggi oleh masyarakat Desa
Sijantang Koto yaitu sebesar 40 persen. Sedangkan Bapak ERI dan Bapak YAN dipandang sama oleh masyarakat
dengan perolehan masing-masing 8,3 persen. Hal ini disebabkan karena posisi tokoh dalam masyarakat. Setiap tokoh
yang dianalisis dalam penilaian ketokohan ini memiliki dua posisi/ status yang berbeda-beda. Posisi pertama seluruh
tokoh adalah sebagai pengusaha pertambangan. Namun, posisi kedua sangat berbeda. Bapak ERI selain sebagai
pengusaha pertambangan beliau adalah anggota DPRD Sawahlunto (politisi). Bapak MUL selain sebagai pengusaha
pertambangan beliau memiliki posisi sebagai niniak mamak dalam lingkungan masyarakat Sijantang Koto. Sedangkan
Bapak YAN selain sebagai pengusaha pertambangan beliau juga bekerja sebagai pengusaha bahan-bahan bangunan.
Meskipun seluruh tokoh memiliki dua posisi/ status yang berbeda-beda, tidak semua tokoh diakui pada kedua
kedudukannya.
Indikator keempat yang digunakan untuk menganalisis tingkat ketokohan adalah aspek modal budaya.
Umumnya bagi masyarakat Minang nilai budaya adalah hal yang penting. Pada aspek modal budaya akan diulas lebih dalam mengenai penghormatan tokoh dari sudut pendidikan, garis keturunan, sumbangan pemikiran dalam musyawarah
desa, dan banyaknya sumbangan pemikiran tokoh yang diterima serta dijalankan sebagai keputusan bersama di Desa
Sijantang Koto. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa tokoh yang memiliki tingkat ketokohan tinggi dalam aspek modal
budaya adalah tokoh kedua yaitu 28,3 persen. Sedangkan tokoh pertama dan ketiga mendapatkan penilaian yang sama
sebesar 3,3 persen. Tokoh kedua dihormati karena beliau sering hadir dalam musyawarah desa. Tokoh juga sering
memberikan pendapat dan pada akhirnya menjadi keputusan bersama. Selain itu, hampir seluruh pendapat tokoh yang
dijadikan keputusan bersama dapat dijalankan dengan baik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak SY (49
tahun)
....yang rajin hadir dalam musyawarah warga Desa Sijantang ko cuma pak MUL. Ado rapek, acara hiburan, baralek, atau ado yang maningga baliau acok hadir. Pandapek dari baliau banyak jadi kaputusan basamo warga di siko dan bisa bajalan sasuai rencana. Baliau dipandang lo karano urang
gaek baliau dulu urang tapandang pulo. Dari sisi pendidikan, bapak yang batigo ko ndak ado yang
sakolah tinggi do, jadi ndak ado masyarakat mamandang baliau karano pendidikan do...
[...yang paling sering hadir dalam musyawarah warga di Desa sijantang ini hanya Bapak MUL. Ketika
ada rapat, acara hiburan, pesta, atau pun ada yang meninggal. Pendapat Bapak MUL sering dijadikan
keputusan bersama dan pendapat tersebut dapat dijalankan. Mungkin faktor keturunan beliau turut
mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap beliau. Apabila dilihat dari sisi pendidikan, ketiga tokoh
bukan lah orang yang berasal dari perguruan tinggi, jadi tidak ada masyarakat yang memandang tokoh
hanya dikarenakan pendidikan mereka.]
-
Berbeda dengan indikator ketokohan menurut Casey, masyarakat Minangkabau memiliki indikator ketokohan
tersendiri. Posisi seorang masyarakat dalam kaum menjadi salah satu faktor dalam ketokohan itu sendiri. Salah satunya
posisi masyarakat sebagai pemangku adat atau yang sering disebut niniak mamak Secara fungsional niniak mamak
merupakan salah satu unsur dari tungku tigo sajarangan. Keberadaannya sangat mempengaruhi pelaksanaan kontrol
sosial terhadap masyarakat. Pernyataan ini belum mewakili pendapat masyarakat secara keseluruhan, namun hal ini
telanjur menjadi opini yang berkembang di tengah masyarakat. Setidaknya untuk menambah kenyataan empirik, dalam
bahasa pergaulan sehari-hari muncul istilah niniak mamak dan niniak ngangak. Pemangku adat yang benar-benar mampu mengemban tugas dan menjadi panutan bagi masyarakat akan disebut niniak mamak. Sedangkan pemangku
adat yang tidak mampu mengemban tugasnya dengan baik sering disebut niniak ngagak.
6.4 Posisi Tokoh dalam kaitannya dengan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam
Tokoh yang diamati dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh yang berasal dari rezim Privatisasi. Pada awalnya
akan dilaksanakan perbandingan tentang tingkat ketokohan dari masing-masing rezim. Namun, setelah dilakukan
snowball tidak ditemukan tokoh yang memiliki tingkat penghormatan tinggi dari dekonsentrasi dan PETI. sehingga
hanya tokoh dari rezim privatisasi yang mendominasi. Berikut akan ditampilkan jumlah responden berdasarkan rezim
pengelolaan pertambangan.
Tabel 5. Persentase Responden Berdasarkan Rezim Pengelolaan Sumber Agraria di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, tahun 2012
No Rezim Pengelolaan n %
1 Privatisasi 20 33.3
2 Dekonsentrasi 10 16.7
3 PETI 20 33.3
4 Lainnya 10 16.7
Berdasarkan Tabel 5 terlihat perbandingan jumlah responden dari masing-masing rezim pengelolaan
pertambangan. Jumlah responden diambil secara seimbang untuk mewakili masing-masing rezim. Seluruh responden
pada masing-masing rezim memberi penilaian tentang ketiga tokoh. Berikut disajikan Tabel 6 yaitu perbandingan
hubungan rezim dengan tingkat ketokohan.
Tabel 6. Persentase Perbandingan Penilaian Masyarakat Mengenai Tingkat Ketokohan Ketiga Tokoh di Desa Sijantang
Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, tahun 2012
Rezim
Pengelolaan
Tokoh 1 Tokoh 2 Tokoh 3
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi
n % n % n % n % n % n %
Privatisasi 19 33,9 1 25 15 32,6 5 35,7 20 35,1 0 0
Dekonsentrasi 8 14,3 2 50 8 17,4 2 14,3 7 12,3 3 100
PETI 20 35,7 0 0 16 34,8 4 26,6 20 35,1 0 0
Lainnya 9 16,1 1 25 7 15,2 3 21,6 10 17,5 0 0
Mengacu pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan responden memandang tokoh pertama pada
tingkat ketokohan yang rendah. Hanya beberapa responden dari rezim dekonsentrasi yang memandang tokoh dalam
tingkat ketokohan yang tinggi. Terdapat 10 persen responden dari rezim kontrol yang memandang tingkat ketokohan
tokoh satu tinggi dan 5 persen dari rezim privatisasi. Rendahnya tingkat penghormatan tokoh dari rezim yang tokoh duduki yaitu privatisasi disebabkan oleh banyaknya permasalahan yang dirasakan pekerja, diantaranya tokoh sering
terlambat membayarkan upah pekerja. Sehingga, banyak pekerja yang mengundurkan diri. Hal lain yang menyebabkan
rendahnya penghormatan terhadap tokoh adalah karena tokoh yang dinilai hanya mendekatkan diri dengan masyarakat
pada periode-periode tertentu. Hal ini diperkuat dengan pernyataan aparat desa Sijantang Koto.
...bapak ERI itu memang tokoh yang dipandang di desa ko, tapi balaiau dipandang Cuma karano kalabiahan harato. Kalau dari dakek samo masyarakat sangek kurang. Baliau jarang bana hadir di
forum-forum masyarakat... (Ibu DV, SMK, 37 tahun)
[...Bapak ERI itu memang tokoh yang dipandang oleh masyarakat desa, akan tetapi beliau dipandang
hanya karena harta benda, kalau dilihat dar kedekatan dengan masyarakat belaiau bisa dikatakan sangat kurang dekat. Beliau jarang hadir dalam kegiatan-kegiatan masyarakat...]
Pandangan masyarakat terhadap tokoh satu berlawanan dengan pandangan masyarakat terhadap tokoh kedua.
Berdasarkan akumulatif penilaian terhadap tokoh kedua dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden juga tidak
menempatkan penilaian terhadap tokoh cukup tinggi. Namun, setidaknya penilaian terhadap tokoh kedua lebih merata,
dimana hampir seluruh responden pada masing rezim ada yang menempatkan tokoh dalam tingkat penghormatan yang
-
tinggi. Setelah dilaksanakan wawancara mendalam maka diketahui hal utama yang menyebabkan tidak seluruh
responden meletaknnan tokoh pada tingkat ketokohan tinggi adalah karena responden kurang terbuka dalam menilai
tokoh. Menurut responden mereka merasa tidak enak untuk menilai tokoh. Akan tetapi, setelah wawancara mendalam
barulah responden dan informan menyatakan tingkat ketokohan yang tinggi terhadap tokoh. Hal yang mendasari cukup
tingginya tingkat ketokohan ini karena tokoh cukup menguasai modal ekonomi, sosial, dan budaya. Hasil ini sesuai
dengan pernyataan Bapak PG (SD, 28 tahun)
... bapak MUL bisa dikatokan tapandang. Selain baliau banyak usaho di baro baliau pun mamak dek warga desa ko. Baliau mambuka banyak peluang karajo untuak warga desa ko, tamasuak ambo pun
diajak karajo samo baliau. Kalau ado pembangunan surau atau ado acara MTQ di desa ko biasonyo
baliau manyumbang. Tapi baliau indak namuah manyabuikan bara yang baliau sumbangan. Kalau ado acara yang baralek atau ado yang maningga biasonyo baliau salalu datang. Jadi warga ko kenal se samo
baliau kasadonyo...
[...Bapak MUL adalah orang terpandang. selain terkenal dengan usaha beliau di pertambangan bantubara,
beliau juga tetua adat di desa ini. Beliau banyak membuka peluang kerja untuk warga desa, saya dapat
bekerja juga karena di ajak oleh beliau. Ketika akan ada pembangunan surau atau kegiatan MTQ biasanya
beliau akan menjadi donatur. Namun, jumlah yang beliau sumbangkan tidak pernah disebutkan. Ketika
ada pesta atau warga yang meninggal pun beliau selalu datang. Jadi dapat dikatakan seluruh warga kenal
dengan beliau...]
Selain masyarakat dalam rezim yang sama, masyarakat di luar rezim privatisasi juga memiliki pandangan yang sama mengenai tokoh kedua. Tokoh kedua dipandang lebih memasyarakat. Menurut bapak BD (SLTA, 42 tahun) beliau
tidak bekerja pada tokoh kedua tetapi beliau masih mengenal tokoh kedua dengan begitu baik karena tokoh sangat
mudah bergaul dengan setiap orang.
Penilaan masyarakat terhadap tokoh ketiga tidak jauh berbeda dengan tokoh pertama. Dapat disimpulkan bahwa
rata-rata tingkat ketokohan tokoh ketiga menurut masyarakat berada pada tingkat yang rendah. Tokoh memiliki
penilaian yang rendah dalam hal modal sosial dan modal budaya, akan tetapi cukup menonjol dalam hal modal
ekonomi. Rezim dekonsentrasi memandang tokoh pada tingkat ketokohan yang paling tinggi yakni sebesar 30 persen.
Hal yang paling mempengaruhi keadaan ini adalah karena ada beberapa responden yang tidak mengenal tokoh ini sama
sekali karena tokoh bukanlah warga asli Desa Sijantang Koto. Selain itu, usaha penambangan tokoh berada cukup jauh
dari Desa Sijantang Koto, sehingga tidak banyak warga yang terlibat bekerja bersama tokoh
...awak ndak tau samo sakali samo bapak YAN tu. Mungkin tau namo, tapi ndak tau wajah. Awak pun ndak pernah kajaro samo baliau. Padahal lah cukuik lamo juo awak karajo di pertambangan. Awak
Cuma tahu kalau baliau memang bos baro juo tapi wilayah nyo alah agak jauah ka hilia... (Bapak DN, tidak tamat SD, 31 tahun)
[...Saya tidak mengenal Bapak YAN. Mungkin saya tahu nama beliau tetapi tidak tahu wajah beliau. Saya
juga tidak pernah bekerja sama belaiau. Padahal sudah cukup lama saya bekerja di sektro pertambangan.
Yang saya ketahui hanya sebatas beliau pengusaha pertambangan batubara di daerah hilir...]
Selain bapak DN masih ada beberapa responden yang tidak mengenal tokoh ketiga. Salah satu faktor yang
menyebabkan masih ada warga yang kurang mengenal tokoh antara lain karena tokoh merupakan warga pendatang di
Desa Sijantang Koto (Bapak CP, SMK, 27 tahun)
6.5 Dinamika Status Sosial Tokoh dalam Komunitas dan Pengaruhnya Terhadap Keterlibatan Masyarakat
Dalam Setiap Rezim
Pada subbab sebelumnya telah dibahas mengenai posisi tokoh dalam hubungannya dengan rezim pengelolaan
sumberdaya. Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut bagaimana dinamika status sosial tokoh dalam mempertahankan
kedudukan mereka. Menurut Maiolo,et.al (1991) status dimaknai sebagai suatu posisi dalam masyarakat baik
berdasarkan pemilikan secara individu menurut jenis kelamin, umur, ras, maupun berdasarkan prestasi melalui tindakan individu.
Tokoh yang diamati dalam penelitian ini masing-masing memiliki dua posisi yang berbeda. Tokoh pertama
memiliki posisi sebagai pemilik perusahaan pengelola pertambangan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sawahlunto. Tokoh kedua memiliki status sebagai pemilik perusahaan pengelola pertambangan batubara dan niniak
mamak dalam lingkungan masyarakat desa Sijantang Koto. Sedangkan, tokoh ketiga memiliki status sebagai pemilik
perusahaan pertambangan dan pengusaha bahan bangunan. Setiap status dan posisi memiliki kedudukan yang berbeda.
Pada kasus ini untuk setiap tokoh, status manakah yang mendominasi? Apakah ada kaitan satu status dengan status
sosial lainnya?
-
Tokoh pertama lebih dahulu bekerja disektor pertambangan dan baru beberapa tahun terakhir menduduki
posisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sawahlunto. Status awal tokoh pertama adalah sebagai pemilik
perusahaan batubara dan status ini yang mendukung posisi tokoh sebagai anggota dewan. Sehingga, apabila tokoh
berhenti menjadi anggota dewan beliau tetap memiliki status sebagai pemilik perusahaan batubara. Kedudukan tokoh
pada kedua posisi ini tidak langsung membuat tokoh melibatkan warga sekitar untuk bekerja pada rezim yang tokoh
duduki. Tokoh diketahui kurang membuka lapangan kerja untuk masyarakat. Ketika tokoh membuka lapangan
pekerjaan untuk masyarakat itu hanya untuk orang-orang tertentu saja. Tokoh juga sangat jarang memberi informasi
lowongan pekerjaan untuk masyarakat sekitar. Namun, kedua posisi tokoh sebagai anggota dewan dan pemilik
perusahaan batubara sangat berpengaruh terhadap penambahan insfrastruktur dan sarana prasarana desa. Ketika akan
ada pembangunan masjid, sekolah, atau fasilitas lainnya tokoh akan memberi bantuan dalam jumlah yang tidak sedikit.
Tokoh kedua memiliki dua status yang berbeda juga. Namun dalam hal ini status kedua yang mendukung status pertama. Status pertama tokoh adalah sebagai pemilik perusahaan batubara dan status kedua sebagai niniak
mamak bagi masyarakat Desa Sijantang Koto. Status tokoh sebagai niniak mamak adalah status yang diturunkan dari
garis keturunan tokoh sebelumnya. Ketika tokoh menjadi pemilik perusahaan, status tokoh meningkat. Posisi tokoh
sebagai pemuka adat lebih dihormati oleh masyarakat. Posisi kedua tokoh sebagai pemilik perusahaan pertambangan
telah mendukung kedudukan tokoh sebagai niniak mamak. Posisi tokoh sebagai pemilik perusahaan pertambangan telah
membuat tokoh mapan dalam perekonomian sehingga tokoh dapat membantu masyarakat di desa ketika mengalami
kesulitan. Selain itu dengan adanya perusahaan pertambangan yang tokoh miliki, tokoh telah membuka lapangan kerja
yang baru untuk warga Desa Sijantang Koto. Selain itu tokoh sering membantu dalam pembangunan infrastruktur desa
seperti masjid, sekolah dan sarana lainnya.
Tokoh ketiga memiliki status sebagai pemilik perusahaan pertambangan dan juga sebagai pemilik toko
bangunan di Desa Sijantang Koto. Dalam hal ini bekerja pada sektor pertambangan yang membantu tokoh untuk mencapai posisi sebagai pengusaha. Pekerjaan tokoh di sektor pertambangan berada cukup jauh dari Desa Sijantang
Koto sehingga tokoh tidak banyak mempekerjakan warga desa. Namun, pengelolaan toko bahan bangunan milik tokoh
memberi peluang pekerjaan bagi warga desa. Sesuai dengan usaha beliau sebagai pengusaha toko bahan bangunan
tokoh pun sering membantu pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur di Desa Sijantang Koto.
Tingkat ketokohan yang dimiliki tokoh memberi respon pada keterlibatan masyarakat dalam setiap rezim.
Tokoh kedua yang diketahui memiliki tingkat ketokohan yang tinggi mampu membuka akses yang besar untuk
masyarakat. tokoh membuka peluang kerja yang besar agar masyarakat dapat terlibat dalam rezim privatisasi. Namun,
tokoh juga dapat membuka peluang masyarakat untuk terlibat dalam rezim lain. Apabila tokoh dapat membawa
masyarakat bekerja dalam rezim privatisasi dengan mudah dikarenakan tokoh sebagai pemilik usaha, maka tokoh
membantu masyarakat untuk terlibat dalam rezim dekonsentrasi dengan cara memberi permodalam untuk masyarakat
yang mau membuka usaha.
6.6 Ikhtisar
Berdasarkan ulasan sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa tingkat ketokohan yang dimiliki tokoh mampu
membuka akses masyarakat untuk terlibat dalam rezim. Tingkat ketokohan tokoh kedua yang cukup tinggi berhubungan
dengan peran tokoh dalam membuka akses masyarakat untuk terlibat dalam beberapa rezim. Posisi tokoh sebagai niniak
mamak semakin mendorong tokoh untuk melibatkan masyarakat dalam rezim yang tokoh duduki. Karena salah satu
peran niniak mamak adalah membantu masyarakat (kaum) untuk menjadi lebih baik.
Pada awalnya tokoh pertama cukup banyak membuka akses masyarakat bekerja dalam rezim. Namun,
kelalaian tokoh yang sering terlambat membayarkan upah pekerja membuat masyarakat tidak mau bekerja dengan tokoh lagi. Selain itu, jarak antara masyarakat dengan tokoh ketiga terjadi semenjak tokoh bekerja sebagai anggota
dewan dan tidak mampu memenuhi janji-janji tokoh terhadap masyarakat. Sedangkan, untuk tokoh ketiga, jarak mulai
terbangun semenjak tokoh lebih banyak membuka usaha di daerah hilir dan sedikit melibatkan warga Desa Sijantang
Koto. Secara keseluruhan seluruh tokoh mampu membuka peluang kerja yang cukup menjanjikan untuk masyarakat
Desa Sijantang Koto. Namun, hasil penelitian menunnjukan tingkat kepercayaan masyarakat untuk bekerja pada tokoh
satu sudah semakin berkurang. Hal ini dikarenakan tokoh sering terlambat membayarkan upah pekerja.
7. PENGARUH REZIM PENGELOLAAN TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT
7.1 Rezim Pengelolaan dan Peluang Kerja Masyarakat
Setiap rezim menetapkan aturan yang berbeda-beda bagi calon karyawannya. Bekerja pada setiap rezim memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Ketika masyarakat ingin masuk pada rezim privatisasi, terdapat
serangkaian seleksi yang harus diikuti. Namun, hal ini berbeda dengan rezim dekonsentrasi dan PETI dimana
masyarakat dapat masuk dengan mudah kedalam rezim tersebut. Pada subbab ini akan dibahas bagaimana setiap rezim
pengelolaan sumberdaya pertambangan memberi kemudahan atau peluang kerja untuk rumah tangga di Desa Sijantang
Koto. Hal ini dinilai cukup penting sebagai dampak dari keberadaan sebuah rezim pengelolaan sumberdaya
pertambangan ditengah lingkungan rumah tangga. Tabel 16 berikut menyajikan gambaran hubungan rezim pengelolaan
sumberdaya pertambangan dengan peluang kerja rumah tangga.
-
Tabel 7. Pengaruh Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam Terhadap Peluang Kerja Rumah Tangga di Desa Sijantang
Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, tahun 2012
Rezim Pengelolaan
Peluang Kerja
Rendah Tinggi Jumlah
n % n % n %
Privatisasi 3 15 17 85 20 100
Dekonsentrasi 1 10 9 90 10 100
PETI 1 5 19 95 20 100
Lainnya 1 10 9 90 10 100
Berdasarkan Tabel 7 terlihat hubungan antara rezim pengelolaan sumberdaya dengan peluang kerja rumah
tangga. Dari data di atas dapat dilihat bahwa dari rezim PETI mengkategorikan peluang kerja dalam rezim luas, serta
memiliki kemudahan akses untuk masuk bekerja. Hal ini dikarenakan untuk masuk bekerja pada rezim PETI responden
hanya membutuhkan keinginan dan kemauan. Apabila diperhatikan seluruh rezim dapat dikategorikan memberi peluang
yang tinggi untuk rumah tangga termasuk rezim privatisasi. Bekerja pada rezim privatisasi ada beberapa tahap yang
harus diikuti responden, peluang kerja yang didapatkan responden dari rezim privatisasi dikatakan mudah karena mereka hanya di tempatkan bada pekerjaan lini bawah, yaitu sebagai buruh angkut, sopir, atau operator mesin.
Sedangkan untuk pekerjaan lini atas sudah diberikan pemilik usaha kepada keluarga-keluarga pemilik usaha. seperti
yang dinyatakan oleh Bapak GM (35 tahun) berikut ini.
Ambo masuak karajo di PT tu dulu sulik. Ikuik tes 3-4 kali baru lulus. Kami yang indak kuliah ko paliang karajo yo bagian nan barek-barek ko. Maangkek baro atau ndak manjadi sopir truk atau alat-
alat.karajo di PT ko pakai sistem kontrak, kalau nio kalua harus salaian kontrak dulu. Cuma kalau
untuak libur biasonyo kami libur hari salasa sajo.(GM, SLTA, 35 tahun)
[Waktu saya ingin masuk bekerja di perusahaan cukup sulit. Saya mengikuti tes 3-4 kali baru lah saya
lulus. Bagi kami yang tidak kuliah hanya bisa bekerja menjadi kuli kasar. mengambil batubara atau menjadi supir truk dan alat-alat berat pertambangan. Kami kerja di sini menggunakan sistem kontrak,
seandainya ingin keluar kami harus selesaikan kontrak terlebih dahulu. Biasanya kami libur hanya setiap
hari selasa.]
Rezim dekonsentrasi memberi peluang pekerjaan yang menjanjikan walaupun kesempatan tersebut bergantung
pada musim libur. Sedangkan ketika hari normal rumah tangga belum bisa menggantungkan sepenuhnya perekonomian
pada rezim ini. Rezim lain yang dalam hal ini digunakan sebagai kontrol pun memiliki tingkat kemudahan akses
terhadap peluang kerja yang tinggi. Hal ini dikarenakan responden yang digunakan sebagai kontrol memiliki mata
pencaharian sebagai petani, buruh bangunan, pegawai PLN dan pegawai negri sipil. Sehingga, cukup mudah untuk
akses bekerja di dalamnya kecuali bekerja sebagai pegawai PLN dan pegawai negeri sipil. Responden dapat bekerja
sebagai petani dengan mudah ketika mereka memiliki lahan atau menggarap lahan pertanian milik orang lain yang kebanyakan lahan berada di luar Desa Sijantang Koto.
7.2 Jaminan Penghasilan dan Kaitannya dengan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam
Umumnya jaminan penghasilan menjadi salah satu faktor penentu dalam perekonomian masyarakat. Jaminan
penghasilan berkaitan dengan ada atau tidaknya tunjangan untuk responden yang berkeluarga termasuk di dalamnya
anggota keluarga. Jaminan penghasilan juga akan membahas jaminan hari tua untuk responden ketika pensiun serta
tunjangan ketika responden berhenti atau diberhentikan sebelum pensiun (pesangon). Pada subbab ini akan dibahas jaminan penghasilan yang didapatkan oleh responden yang terlibat dalam keempat rezim.
Tabel 8. Pengaruh Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam dengan Jaminan Penghasilan Rumah Tangga di Desa
Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, tahun 2012
Rezim
Pengelolaan
Jaminan Penghasilan
Rendah Tinggi Jumlah
n % n % N %
Privatisasi 15 75 5 25 20 100
Dekonsentrasi 10 100 0 0 10 100
PETI 18 90 2 10 20 100
Lainnya 4 40 6 60 10 100
-
Tabel 8 menggambarkan rezim yang memberikan jaminan penghasilan terendah adalah rezim dekonsentrasi, PETI, privatisasi, dan rezim lain. Apabila diperhatikan jaminan penghasilan dari rezim kontrol lebih besar dari pada
rezim lainnya yakni sebesar 60 persen. Jaminan penghasilan ini dapat dipengaruhi karena pekerjaan responden terpilih
pada rezim kontrol yang beragam. Responden rezim kontrol bekerja sebagai petani, buruh bangunan, pegawai PLN, dan
pegawai negeri sipil. Jaminan penghasilan yang tinggi hanya dimiliki oleh responden yang bekerja sebagai pegawai
PLN dan pegawai negeri sipil karena responden mendapatkan jaminan yang pasti setiap bulannya.
Responden yang terlibat dalam privatisasi rata-rata mendapatkan tunjangan untuk sebagian atau pun seluruh
anggota keluarga. Namun tidak memiliki pensiun atau jaminan hari tua. Responden hanya mendapat pesangon ketika
akan keluar dari perusahaan tersebut. Pada umumnya besar pesangon yang didapatkan adalah sejumlah 2-3 kali jumlah
gaji pokok responden ketika bekerja di perusahaan tersebut.
Responden yang bekerja pada rezim dekonsentrasi tidak menerima tunjangan untuk anggota keluarga mereka.
Hal ini dikarenakan pekerjaan direzim dekonsentrasi termasuk sebuah usaha mandiri. Ketika pekerja yang terlibat dalam rezim ini ingin berhenti mereka juga tidak menerima pesangon atau pensiun seperti yang diterima oleh rezim
privatisasi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ibu ER (SLTP, 31 tahun)
...penghasilan dihituang perhari, gaji bisa dikecekan ditarimo perhari lo. Gadang gaji yo sabanyak urang yang tibo makan ka siko. Karano iko usaho surang jadi indak ado yang namonyo tunjangan atau
lainnyo. Cuma ambo memang mandapek tunjangan karano uda urang pegawai. Setidaknyo kalau ambo
lah indak talok jualan lai masih ado jaminan dari pensiunan uda ambo. Paliang kalau usahoko tutuik
kemungkinan ambo rugi gadang. Soalnyo modal ndak baputa lai do.
[...penghasilan dihitung setiap hari, gaji pun diterima setiap hari. Jumlah gaji tergantung kepada jumlah
orang yang mengunjungi rumah makan ini. Karena usaha ini adalah usaha sendiri jadi tidak ada yang
namanya tunjangan atau lainnya. Hanya saja saya mendapat tunjangan karena suami saya PNS. Setidaknya ketika saya sudah tidak sanggup berjualan lagi masih ada jaminan dari pensiunan suami saya.
Kalau usaha ini ditutup kemungkinan saya rugi cukup besar karena modal usaha saya tidak berputar lagi.]
Bila dibandingkan dengan responden yang tidak terlibat dalam rezim pertambangan maka akan didapat hasil
yang beragam. Hal ini dikarenakan pada umumnya mereka berasal dari rezim yang berbeda-beda. Responden yang
bekerja sebagai PNS tentu memiliki jaminan penghasilan yang jelas, baik itu dalam hal tunjangan untuk seluruh anggota
keluarga maupun jaminan hari tua atau pensiunan. Namun, responden yang bekerja sebagai petani atau pun bidang
swasta lainnya tentu tidak akan mengalami nasib berbeda dengan responden yang bekerja pada rezim dekonsentrasi dan
PETI yaitu tidak memiliki tunjangan dan pensiunan.
7.3 Jaminan Kesehatan dan Kaitannya dengan rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam
Aspek kesehatan dianggap penting karena berpengaruh besar terhadap perekonomian rumah tangga.
Penghasilan yang tinggi akan habis seketika apabila rumah tangga tersebut perlu mengeluarkan biaya kesehatan sendiri,
terutama untuk pekerjaan yang menyangkut pertambangan dengan resiko kecelakaan yang tinggi. Berikut akan
ditampilkan dalam Tabel 9 gambaran hasil analisa hubungan rezim pengelolaan sumberdaya pertambangan dengan
jaminan kesehatan yang diperoleh masyarakat.
Tabel 9. Pengaruh Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam Terhadap Jaminan Kesehatan Rumah Tangga Di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, tahun 2012
Rezim
Pengelolaan
Jaminan Kesehatan
Rendah Tinggi Jumlah
n % n % n %
Privatisasi 6 30 14 70 20 100
Dekonsentrasi 8 80 2 20 10 100
PETI 5 25 15 75 20 100
Lainnya 2 20 8 80 10 100
Berdasarkan Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa rezim PETI, dekonsentrasi, dan rezim lain memberikan jaminan
kesehatan yang tinggi untuk masyarakat hanya rezim dekonsntrasi tang memberi jaminan kesehatan yang rendah.
Secara keseluruhan seharusnya seluruh masyarakat Desa Sijantang Koto mendapatkan jaminan kesehatan yang tinggi.
Hal ini dikarenakan seluruh warga Desa Sijantang Koto mendapat jaminan kesehatan dari PLTU yang berada di desa
ini. Sehingga setiap warga tidak perlu mengeluarkan biaya pribadi untuk pembiayaan kesehatan. Untuk mendapatkan
jaminan kesehatan ini setiap warga harus mendaftarkan diri ke aparat desa setempat. Namun, hingga waktu penelitian
dilaksanakan masih ada warga yang belum mendaftarkan diri untuk mendapatkan jaminan kesehatan tersebut termasuk
warga yang terlibat dalam rezim dekonsentrasi.
-
Bagi warga yang bekerja di perusahaan pertambangan (privatisasi) akan tetap mendapat jaminan kesehatan dari
perusahaan tempat mereka bekerja. Jaminan kesehatan tersebut berupa Jamsostek. Begitu juga responden rezim kontrol
yang terlibat sebagai pegawai negeri sipil, mereka akan tetap mendapatkan jaminan kesehatan berupa askes. Jaminan
kesehatan yang didapatkan oleh responden yang terlibat dalam rezim privatisasi hanya terbatas untuk individu
responden. Dari hasil di lapangan tidak semua perusahaan memberi jaminan kesehatan terhadap seluruh anggota
keluarga karyawan. Ada beberapa perusahaan yang hanya memberi asuransi kesehatan terhadap individu karyawan saja.
7.4 Tingkat Pendapatan dan Kaitannya dengan Kepemilikan Aset
7.4.1 Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diterima seseorang sebagai imbalan atas pekerjaan yang
telah diusahakan dalam kurun waktu satu bulan. Namun, dalam penelitian ini tingkat pendapatan diukur melalui jumlah
akumulasi pengeluaran responden dalam satu bulan terakhir untuk kegiatan konsumsi dan barang non konsumsi. Dalam
hal ini tingkat pendapatan akan membandingkan penghasilan yang diterima oleh responden dari keempat rezim yang
berbeda. Penetapan ukuran tinggi atau rendahnya pendapatan akan ditetapkan sesuai dengan rata-rata pendapatan
responden setelah dilakukan pendataan. Pendapatan masyarakat dikatakan tinggi bila jumlah pendapatan berada pada
selang Rp.2.600.000,- dan rendah apabila pendapatan
-
Dekonsentrasi 8 80 2 20 10 100
PETI 19 95 1 5 20 100
Lainnya 8 80 2 20 10 100
Berdasarkan Tabel 11 dapat disimpulkan bahwa tingginya angka pendapatan tidak berhubungan dengan
kepemilikan aset masyarakat Desa Sijantang Koto. Seluruh rezim pengelolaan sumberdaya tidak meningkatkan
kepemilikan aset rumah tangga responden. Rezim privatisasi memberi dampak paling rendah karena 100 persen
responden menyatakan tingkat kepemilikan aset rendah. Apabila dibandingkan dengan rezim dekonsentrasi dan PETI,
rezim ini memiliki kepemilikan aset yang lebih baik. Hal ini dikarenakan masih ada sedikit pendapatan yang
diinvestasikan rumah tangga responden. Dibandingkan dengan rezim krontrol, kepemilikan aset yang dimiliki oleh
rezim kontrol sedikit lebih baik yang dikarenakan petani yang menjadi responden adalah petani yang memiliki lahan.
Setelah dilaksanakan wawancara mendalam, diketahui faktor utama yang menyebabkan rendahnya
kepemilikan aset di Desa Sijantang Koto karena banyak dari responden menggunakan penghasilan untuk kegiatan
konsums
top related