pelestarian tradisi uang asap dalam adat pernikahan …
Post on 16-Oct-2021
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Siti Humairah
PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADATPERNIKAHAN MELAYU PERSPEKTIF MAQĀSID SYARĪ’AH
Siti Humairah1
Email : Siti_Humairah@gmail.com
Abstract
This article is the result of a qualitative field research. This research is a legal sociologyresearch. This article discusses determination of “Uang Asap” in the Malay weddingtradition. The researcher analyzed the research data using the maqasid shariah theory. Thelocation of this research is in Nusapati Village, Sungai Pinyuh District, MempawahRegency, West Kalimantan. The findings of this study are that in the view of maqasidsharia, the determination of smoked money is included in the category of tahsiniyat(tertiary) benefit. Field data shows that the giving of smoked money is a general tradition,in the sense that it applies to everyone of the Malay ethnicity, especially in NusapatiVillage, Sungai Pinyuh District, Mempawah Regency, West Kalimantan. Although thegiving of smoked money is not explicitly regulated in maqasid sharia, the giving of smokedmoney is already a tradition that must be carried out in the community and as long as thisdoes not conflict with aqidah and shari'ah then it is allowed by Islamic law
Keywords: “uang asap” tradition, wedding traditions, maqasid shariah theory
Abstrak
Artikel ini adalah hasil penelitian kualitatif lapangan. Penelitian ini merupakan penelitiansosiologi hukum. Artikel ini mendiskusikan penetapan uang asap dalam tradisi pernikahanadat Melayu. Peneliti menganalisis data penelitian menggunakan teori maqasid shariah.Lokasi penelitian ini berada di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh KabupatenMempawah Kalimantan Barat. Temuan penelitian ini adalah bahwa Dalam pandanganmaqasid syariah penetapan uang asap masuk dalam kategori kemaslahatan tahsiniyat(tersier). Data lapangan menunjukkan bahwa pemberian uang asap merupakan tradisi yangbersifat umum, dalam artian berlaku pada setiap orang yang bersuku Melayu khususnya diDesa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat.Walaupun pemberian uang asap ini tidak secara gamblang diatur dalam maqasid syariah,namun pemberian uang asap sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan padamasyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at makahal itu diperbolehkan oleh hukum islam.
Kata Kunci: tradisi uang asap, adat pernikahan, teori maqasid shariah
1 Mahasiswa PPs Unhasy tahun masuk 2016
52 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
Pendahuluan
Hukum adat perkawinan merupakan aturan-aturan hukum adat yang mengatur
tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara perkawinan, serta upacara perkawinan di
Indonesia. Aturan-aturan perkawinan ini di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda.
Dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang
berbeda-beda. Di samping itu dikarenakan kemajuan zaman.2 Budaya perkawinan tiap
daerah di Indonesia memiliki perbedaan dan keunikan yang khas. Perkawinan secara adat di
Indonesia bukan hanya tentang menyatukan dua orang saling mencintai, tetapi lebih dari itu
ada nilai-nilai yang patut dipertimbangkan dalam perkawinan seperti status sosial, ekonomi,
serta nilai budaya. Salah satu budaya perkwainan secara adat adalah pemberian uang asap
dalam tradisi melayu.
Uang Asap merupakan suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan untuk biayah acara pernikahan. Dalam istilah lain juaga dapat disebut uang
hantaran atau uang jujur. penetapan uang asap tersebut di lakukan disaat pelamaran serta
besar dan kecilnya uang asap tersebut ditetapkan oleh keluarga pihak wanita.3 Pada
dasarnya uang asap merupakan tradisi masyarakat yang telah dibangun pada zaman nenek
moyang dahulu. Di desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah
Kalimantan Barat uang asap tersebut diartikan sebagai pemberian dari pihak laki-laki
kepada pihak perempuan untuk acara resepsi pernikahan. Pemberian tersebut dapat
diberikan sebelum acara resepsi pernikahan. Dan mengenai jumlah uang asap tersebut
ditetapkan oleh pihak keluarga perempuan.4
2 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet II, (Bandung: PT Mandar Maju,2003), 182.
3Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,2008), 1766.
4 Mahdi Ismail, (Tokoh Agama), Wawancara Desa Nusapati: Juni 25-2017.
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 53
Siti Humairah
Dalam adat perkawinan di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten
Mempawah Kalimantan Barat selain Uang Asap ada barang-barang yang harus diberikan
kepada calon mempelai wanita disaat sebelum dan setelah akad nikah. Untuk barang-
barang yang harus diberikan sebelum akad nikah yakni berupa lemari baju, lemari hias dan
tempat tidur, sedangkan barang- barang yang akan diberikan ketika acara resepsi yaitu
pakaian, perhiasan,alat-alat rias dan lain-lain.5 Uang asap atau uang antaran/belanja dalam
suku melayu, Jujuran suku banjar, Tukon suku Jawa, Mappendre Duii/ Duii Balanca suku
Bugis merupakan simbol pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak wanita. Jumlahnya
pun beragam sesuai permintaan pihak wanita.
Produk fiqih sebagai bagian dari ajaran Islam sama sekali tidak bertentangan
dengan lokalitas yang dimiliki oleh masing-masing kelompok masyarakat. Keselarasan ini
tidak berarti semua adat-tradisi selalu berjalan seiring dengan syariat Islam. Hal ini
merupakan konsekuensi dari wajah universalitas Islam. Mustahil Islam dikatakan sebagai
agama yang universal apabila ajarannya hanya bisa dilakukan atau diterapkan oleh sebuah
masyarakat tertentu tanpa bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat lain. Ajaran Islam
tidak terbatas untuk masyarakat Arab sehingga kelompok masyarakat lain tidak dapat
dipaksa untuk mengikuti pemahaman serta praktek keberislaman yang dilakukan oleh
bangsa Arab. Sebab, setiap kelompok masyarakat atau bangsa pasti memiliki tradisi (‘urf)
yang berbeda-beda. Sehingga, pemaksaan pemahaman serta praktek keberislaman dapat
mencoreng maqashid syari’ah atau universalitas Islam itu sendiri.
Tradisi menjadi bagian penting pembentukan syariat islam. Hampir semua sisi
syariat Islam merupakan tongkat estafet yang melanjutkan tradisi nabi-nabi sebelumnya.
Dalam literatur-literatur tarikh tashri’ para ahli membincangkan pengaruh kuat tradisi
kenabian sebelum Islam datang. Tentu, tradisi kenabian sebelumnya mengalami adaptasi-
adaptasi yang dilakukan nabi Muhammad selaku shari’ berdasarkan wahyu yang
diterimanya. Pertanyaan mendasar adalah apakah semua tradisi dapat diadopsi menjadi
bagian syariat. Diskursus tradisi dalam bingkai syariat menjadi penting dilakukan.
5 Jasman Ayub ( Tokoh Masyarakat), wawancara Desa Nusapati: April 30-2018
54 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim mempunya ragam tradisi. Disinilah
pentingnya mendudukkan tradisi penetapan uang asap dalam konteks fiqih.
Konsep Maqasid Syariah
Secara etimologis (lughawy), maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu
maqashid dan syari’ah. Maqashid sebagai bentuk flural (jama’) yang berarti kesengajaan,
atau tujuan.6 Syari’ah berarti jalan menuju sumber air (al-mawadhi’ tahdar ila al-maa’).7
Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok
kehidupan.8 Jadi maqashid alsyari’ah secara etimologis berarti sesuatu tujuan untuk datang
menuju tempat sumber air sebagai sarana kebutuhan kehidupan pokok manusia, dan dengan
air seseorang akan hidup tenang, merasa nikmat dan menyegarkan tubuh. Penyimbolan
syari’ah (cara, atau jalan) dikaitkan dengan air, karena air secara umum merupakan unsur
yang penting dalam kehidupan, dalam arti bahwa tujuan disyariatkannya aturan hukum
(syariat) tidak lain adalah untuk mengatur kehidupan manusia. Sedangkan maqashid al-
syariah secara terminologis (ishthilahy) seperti dikemukakan oleh al-Syatibi yaitu aturan
hukum yang disyariatkan Allah dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-
Nya (manusia) di dunia dan kelak di akhirat.9 Dari definisi ini jelaslah bahwa semua aturan
hukum Allah yang disyariatkannya mesti mempunyai tujuan, dan mustahil tidak
mempunyai tujuan yang dimaksudkan Tujuan Allah dalam menetapkan hukum itu adalah
mashlahah atau maslahah yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada umat manusia
dalam kehidupan di dunia, maupun dalam persiapan menghadapi kehidupan akhirat.
Dengan demikian Maqasid Syari’ah itu Mashlahah itu sendiri. Al-Mashlahah secara
etimologi berati sesuatu yang baik, oleh karenanya menimbulkan kesenangan dan kepuasan
serta diterima oleh akal yang sehat. 10
Secara istilah arti dari maqasid al-syari’ah bermacam-macam sebelum masa Al-
Shatibi, maka maqasid al-syari’ah cendrung mengikuti makna bahasanya. Al-Bannani
6 Han Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cown (ed), London: Mac Donald danEvan Ltd, 1980, 767.
7 Ibn Manzur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Jld. ke 8, Bairut: Dar al-Sadr, tt.,1758 Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (Penrj.), Bandung: Pustaka, 1984, 140.9 Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Juz ke 2, Kairo: Dar al-Fikr, tt., 2.10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Cet 7, (Jakarta: Kencana, 2014), 232.
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 55
Siti Humairah
memaknai dengan tujuan-tujuan hukum, al-samarqandi, al-’Amidi dan ibn al-Hajib
mendefinisikannya dengan menggapai manfaat dan menolak mafsadat.11 Imam al-shatibi
menyatakan bahwa pembebanan syari’at dikembalikan pada penjagaan tujuan-tujuannya p
ada makhluk. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa Allah SWT sebagai shari’
memiliki tujuan untuk menentukan hukum, yakni kemaslahatan dunia dan akhirat.12
Sepeninggalan al-Shatibiy, salah satu ulama yang mendefinisikan pengertian
maqasid al-shari’ah adalah ’Ibn ’Ashur. Beliau mengatakan bahwa semua hukum syari’at
mengandung maksud dari shari’, yakni hikmah, kemaslahatan, dan manfaat. Selain itu
tujuan umum syari’at adalah menjaga keteraturan ummat dan kelangsungan kemaslahatan
hidup mereka.13 Pengertian maqasid syari’ah menurut Ibn Ashur adalah makna-makna dan
hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh shari’ dalam setiap bentuk penentuan
hukumnya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hukum tertentu sehingga masuklah
dalam cangkupannya segala sifat tujuan umum dan makna syari’at yang terkandung dalam
hukum serta masuk pula didalamnya makna-makna hukum yang tidak dapat diperhatikan
secara keseluruhan tetapi dijaga dalam bentuk hukum. 14
Dari definisi diatas ulama ushul sepakat bahwa maqasid al-shari’ah adal tujuan-
tujuan akhir yang harus teralisasi dengan diaplikasikan ke syari’at. Tujuan ini meliputi
keseluruhan aspek syari’at (maqasid al-syari’at al-ammah), aspek perbab dari syari’at
(maqasid al-syari’ah al-khassah) serta aspek-aspek masing-masing hukum syari’at (maqasid
al-shari’ah al juziyyah) yang meliputi kewajiban solat, keharaman zina, dan sebagainya.
Mensyari’atkan hukum-Nya adalah dalam rangka memelihara kemaslahatan umat
manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan
tersebut bisa dicapai dengan taklif, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada
pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadis. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur
pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa,
11 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas: Fiqih al-Aqalliyat dan Evolusi Maqasid al- shari’ah dariKonsep Kependekatan (Yogyakarta: LKIS Printing Cemerlang, 2012), 180.
12 Abi ‘Ishaq al-Shatibiy, Al-Muwafaqat fi u sul al Shari’ah, (al-Qahirat: Dar al-Hadith,2006) 220.13 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 18214 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 183.
56 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
akal, keturunan, dan harta. Seorang akan memperoleh kemaslahatan manakala ia dapat
memelihara kelima aspek pokok tersebut. Sebaliknya, ia akan mendapatkan mafsadat
apabila ia tidak dapat memeliharanya dengan baik.15 Hampir setiap ulama dan penulis ushul
fiqh pada waktu membicarakan maqashid syariah membicarakan pula tujuan mengetahui
maqashid syari’ah itu. Dalam memberikan uraian di antaranya agak berlebihan, termasuk
yang tidak jelas tujuannya. Namun tujuan awalnya adalah menemukan sifat-sifat yang sahih
yang terdapat dalam hukum yang ditetapkan dalam nash syara’ untuk disaring menjadi illat
hukum melalui petunjuk masalikul illah, sedangkan tujuan akhir yang merupakan tujuan
utamanya adalah ta’lil al-ahkam yang artinya mencari dan mengetahui illat hukum. Adapun
tujuan mengetahui illat hukum itu dapat dipisahkan menjadi tiga kemungkinan yaitu :
Pertama, untuk menetapkan hukum pada suatu kasus yang padanya terdapat illat
hukum, namun belum ada hukum padanya dengan cara menyamakannya dengan kasus
yang sama yang padanya terdapat illat hukum tersebut dalam arti yang sederhana untuk
kepentingan qiyas. Inilah tujuan yang terbanyak dalam penemuan illat tersebut dan
disetujui oleh mayoritas ulama. Ini pun tentunya berlaku dalam illat yang punya daya
jangkau atau illat muta’addiyah. Kedua, untuk memantapkan diri dalam beramal. Hal ini
berlaku dalam illat yang tidak punya daya rentang yang disebut illat al-qashirah. Seseorang
akan mantap dalam melakukan perintah shalat sewaktu dia tahu bahwa shalat itu adalah
zikir, sedangkan zikir itu adalahh menenangkan jiwa. (Al Qur’an 13/28) bentuk seperti ini
dapat diterima oleh ulama. Ketiga, untuk menghindari hukum. Artinya menetapkan illat
untuk suatu hukum dengan tujuan menetapkan hukum kebalikannya sewaktu illat itu tidak
terdapat dalam kasus itu. Umpamanya aurat perempuan adalah selain muka dan telapak
tangan yang ditetapkan melalui Hadis Nabi. Dalam hadis Nabi ini tidak disebutkan alasan
atau illat-nya. Ada ulama yang mencari-cari illat-nya, yaitu “untuk membedakan
perempuan merdeka dari perempuan sahaya. Kalau itu illat-nya tentu waktu ini yang sudah
tidak ada perbudakan tidak relevan lagi batas aurat yang tersebut dalam Hadis Nabi itu.
Contoh lain seorang ulama kontemporer menetapkan waktu ini tidak perlu lagi melihat
bulan untuk mengetahui awal puasa atau hari raya fitri, meskipun ada perintah yang jelas
15 Suyanto, Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Aruzzmedia,2013), 159
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 57
Siti Humairah
oleh Nabi untuk melakukan rukyat. Alasan yang dikemukakan adalah umat pada waktu
Nabi itu tidak mampu melakukan hisab, sedangkan waktu ini keadaan begitu sudah tidak
ada lagi. Tujuan mencari illat akal-akalan seperti ini tampaknya belum berkenan di hati
mayoritas ulama.16
Syariah adalah sebuah jalan yang ditetapkan oleh Allah dimana manusia harus
mengarahkan hidupnya untuk merealisasi kehendak Allah sebagai syari’ (pembuatan
syari’ah) yang menyangkut seluruh tingkah laku manusia, baik secara fisik, mental maupun
spritual.17 Kehendak Allah yang dimaksud adalah maqasid asy-syari’ah (tujuan
hukum)berupa dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah Rasul. Untuk mencapai maqhasid asy-
syariah diperlukan perangkat untuk menganalisis setiap perbuatan hukum yang dilakukan
oleh mukallaf dalam kehidupan pribadi sosialnya. Dengan demikian, apa yang dikehendaki
syari’ah dalam mengatur hubungan secara vertikal maupun hubungan secara horizontal bisa
tercapai dalam rangka kemaslahatan umum. Itulah sebabnya, maqashid asy-syari’ah
dipandang penting untuk dikaji secara intens oleh para pengkaji dan pemerhati maslahah
fiqih dan ushul fiqih. 18
Pada prinsipnya, syariat datang dalam rangka membawa kemaslahatan bagi
seluruh manusia. Dengan prinsip semacam ini, ajaran-ajaran Islam mudah diterima dan
selalu relevan dengan perkembangan zaman (shalih li kulli zaman). Akseptabilitas syariat
Islam serta relevansinya dengan perkembangan zaman ini mengungkap aspek universalitas
(‘alamiyyah) Islam sendiri.19 Dalam pandangan Ibnu ‘Asyur, oleh karena ajaran Islam
bersifat universal, maka ketentuan-ketentuan hukumnya adalah setara bagi seluruh umat.
Artinya, hukum-hukum Islam dapat dilaksanakan oleh seluruh masyarakat.20
Universalitas ajaran Islam untuk menebar kemaslahatan bagi seluruh umat ini
merupakan maqashid as-syari’ah. ‘Allal al-Fasi mendefinisikan maqashid as-
syari’ah dengan tujuan akhir dan rahasia-rahasia yang dicanangkan syari’at di balik setiap
16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid II, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), 247.17Suyanto, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, (Depok: Ar-ruz Media, 2014), 153.18Suyanto, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, (Depok: Ar-ruz Media, 2014), 154.19 Jasser Auda, Maqashid as-Syari’ah Dalil li al-Mubtadi’in, h. 101-102, Virginia: IIIT, 201120 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, h. 98-99, Tunisia: Dar as-
Salam, 2006
58 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
ketentuan hukumnya.21 Senada dengan definisi Allal al-Fasi, Ibnu ‘Asyur
menyatakan, maqashid as-syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang
senantiasa menjadi perhatian syari’at dalam seluruh atau sebagian besar ketentuan
hukum.22Lebih lengkap, Wahbah az-Zuhaily menyatakan bahwa maqashid as-
syari’ah adalah makna-makna atau sasaran yang ingin dicapai oleh syariat dalam seluruh
atau sebagian besar hukumnya, atau ia adalah rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh syariat
dalam setiap ketetapan hukumnya.23 Makna, rahasia, alasan, sasaran, atau hikmah yang
dimaksud oleh syariat adalah menebar kemasalahatan.24
Dalam konteks hukum Islam, ‘urf adalah “Sesuatu yang terbiasa (berulang-ulang)
dilakukan dan berlaku di antara manusia menyangkut urusan-urusan hidup serta interaksi
sosial baik berupa perkataan, tindakan melakukan sesuatu atau meninggalkannya.25 Urf yang
menjadi pertimbangan hakim, mujtahid, atau mufti dalam memutuskan hukum adalah
‘Urf yang tidak bertentangan dengan prinsip, nilai, dan ajaran syariat. Berangkat dari
pemahaman ini, ulama membagi ‘urf menjadi dua: ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf
shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan prinsip, nilai, dan ajaran syariat. Tradisi
macam inilah yang mendapat legalitas untuk dipertimbangkan dalam memutuskan hukum.
Apa yang menjadi dasar ditetapkannya ‘urf shahih ini pada hakikatnya demi memperoleh
kemaslahatan. Bukanlah hal mengherankan jika syariat di masa awal kemunculannya tidak
mempersoalkan tradisi masyarakat jahiliyah yang baik dan tidak bertentangan dengan
prinsip, nilai, dan ajaran Islam. Seperti kebiasaan bertransaksi mudlarabah, syirkah, dan
seperti persyaratan kafa’ah dalam pernikahan.
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluk Nya yang akan
memasuki jenjang perkawinan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah swt.
Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain.
Namun kenyatannya di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Bahkan
mereka memiliki cara tersendiri yang telah turun temurun dilaksanakan.
21 Allal al-Fasi, Maqashid as-Syari’ah wa Makarimuha, h. 111, Kairo: Dar as-Salam, 2011.22 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, h. 39, Tunisia: Dar as-Salam, 2006.23 Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, j. 2, h. 1045.24 Jasser Auda, Maqashid as-Syari’ah Dalil li al-Mubtadi’in, h. 101-102, Virginia: IIIT, 2011.25 Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasat as-Syari’ah al-Islamiyyah, 172.
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 59
Siti Humairah
Klasifikasi Maqasid Syari’ah
Menurut al-Shatibi, Allah dalam shari’ memiliki tujuan dan menentukan hukum
yakni untuk kemaslahatan hambanya di dunia dan di akhirat. Lebih lanjutnya al-Shatibi
mengungkapkan bahwa bahwa maqasid al-Syari’ah tidak lebih dari 3 macam. Kategori
pertama maqasid adalah al-maqasid al-Dharuriah (Tujuan Primer). Di dalam tingkatan ini
pembebanan (taklif) syari’at diarahkan untuk menjamin tegaknya kemaslahatan manusia.
Apabila tidak terjamin, maka akan terjadi kerusakan. Penjagaan terhadap tujuan ini
dilakukan dari 2 sisi yakni : 1) sisi wujud (janib al wujud), yakni menegakkan rukun-rukun
dan menetapkan kaidah-kaidah yang menopang terjaminnya maqasid al-daruriyah, dan 2)
sisi tiada (janib al-‘adam yaitu menghadirkan cacat yang mengakibatkan maqasid al-
daruriyah tidak terjadi. Tujuan syari’at dalam tingkatan ini terbagi lima; hifz al-din
pembebanan syari’at dalam rangka menjamin terjaganya agama dan keyakinan; hifz al-
Nasl, pembebanan syari’at dalam rangka menjamin keselamatan jiwa dan raga; hifz al-Nasi,
pembebanan syari’at dalam rangka menjamin keturunan manusia tetap lestari; hifz al-Mal,
pembebanan syari’at dalam rangka menjamin kepemilikan harta benda; hifz al-Aql, pemb
ebanan syari’at dalam rangka menjamin akal sehat manusia.
Setiap manusia tanpa memandang agamanya apa, bahkan ateispun pasti
mempunyai norma menghargai keberagaman orang lain, menghormati jiwa, menghargai
kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai
kepemilikan harta setiap orang. Al-Shatibi menegaskan bahwa kemaslahatan bersifat
primer tersebut merupakan inti semua agama dan ajaran, karena hampir menjadi kebutuhan
manusia. Jika nilai-nilai terus dilanggar, maka bisa dipastikan hak-haknya akan hilang dan
identitas kemanusiaannya akan sirna. Karenanya, nilai-nilai tersebut sejatinya menjadi
pijakan keberagaman sehingga pandangan keagamaan tidak berseberangan dengan isu-isu
kemanusiaan.26
Kategori maqasid kedua adalah al-maqasid l-hajiah (tujuan sekuder). tujuan dari
pembebanan syari’at diarahkan untuk menjamin kemaslahatan manusia dalam menjalankan
aktivitasnya sehari-hari. Apabila tidak terjamin, meskipun tidak mengalami kerusakan atau
26 Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), 12
60 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
kekacauan, manusia akan mengalami kesulitan-kesulitan yang memberatkan.27
Kemaslahatan yang dijamin disini tidak menyebabkan rusaknya tatanan sosial dan
hukum.28 Seperti contoh adanya rukhsah (keringanan) dalam melaksanakan puasa bagi
orang yang sedang dalam perjalanan jauh, orang sakit, atau orang sudah tua renta
sebagaimana yang di atur di dalam fiqih, menunjukkan bahwa di dalam melaksanakan
ibadah dalam kondisi tertentu diberikan keringanan supaya pelaksanaannya tidak merasa
keberatan dan keterpaksaan. Hal ini tentu menimbulkan adanya kemaslahatan.
Kategori maqasid ketiga adalah al-Maqasid At-Tahsiniyah (tujuan suplamenter. al-
maqasid al-tahsiniyah berfungsi sebagai penyempurnaan dari kedua tujuan syari’at
sebelumnya. Tujuan pembebanan syari’at tingkat ini diarahkan pada etika atau nilai-nilai
kebaikan dan budi kehidupan manusia. Dalam kadar sekiranya manusia dapat bersikap dan
berbudi pekerti yang sesuai dengan akal sehat.29 Misalnya ajaran tentang kebersihan,
berhias, sedekah dan sebagainya.
Al-Maqasid al-Dharuriyyat merupakan pokok dari 2 maqasid yang lain. Artinya
apabila keberadaannya tidak ada maka kedua tingkatan maqasid yang lain tidak berlaku lagi
di dalam hal ini al-Shatibi menjelaskan bahwa al-Maqasid al-Dharruriyah merupakan
pokok dari 2 maqasid lainnya sehingga rusak atau terganggunya, memastikan rusaknya
yang lain. Menurut al-Shatibi terganggunya dua maqasid yang lain akan menyebabkan al-
maqasid al-dharuriyyah menjadi rusak. Oleh karena itu, sangat dianjurkan menjaga al-
maqasid al-hajiyyat dan al-maqasid al-Tahsiniyyat untuk menopang al-maqasid al-
darurriyat.30 Menurut al-Shatibi syari’at yang berlaku bersifat menyeluruh, sehingga
pemberlakuan syari’at tersebut dalam rangka menjamin kemaslahatan umat manusia secara
umum.31 Maka dari itu, pemberlakuan syari’at harus memperhatikan tradisi dan adat
masyarakat setempat, sehingga kemaslahatan bisa tercipta, karena pada hakikatnya antara
kemaslahatan dunia dan akhirat tidak bertentangan dan saling menyempurnakan.32
Dasar hukum yang digunakan adalah firman Allah Swt
27 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 22228 Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama, 1129 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 22330 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 22631 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 36432 Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama, 12
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 61
Siti Humairah
33للناس وماأرسلناك الا كافة
Dan tidak aku (Allah) perintahkan kepadamu (Muhammad) melainkan bagi
manusia secara menyeluruh.
Keumuman ini juga berarti bahwa syari’at yang berlaku di sesuaika dengan adat
dan kondisi masyarakat. Karenanya al-Shatibi membagi adat atau kondisi masyarakat
menjadi dua, adat atau kondisi sosial masyarakat yang jelas diakui atau ditolak oleh dalil
syara’; dan Adat atau kondisi sosial masyarakat yang tidak ada dalil syara’ secara jelas
diakui atau ditolak.34
Maqasid-Usul Fiqih-Kaidah Fiqih; Relasi Dialektis
Ijtihad dalam kajian hukum Islam tidak bisa terlepas dari ushul al-fiqh dan teori-
teori hukum Islam yang ada. Namun, untuk mengupayakan agar suatu produk hukum dapat
berorientasi pada kemaslahatan umat, terlebih untuk menghadapi masalah-masalah kekinian
yang belum ditentukan ketetapan hukumnya, diperlukan adanya reformasi. Teori ushul al-
fiqh ”Ibnu ’Ashar menyatakan bahwa dalam memecahkan masalah yang bersifat
kontemporer, diperlukan adanya pendekatann sosiologi atau budaya, dan metodologi
epistimologis. Hal ini dimaksudkan supaya tercipta adanya kesatuan pandangan untuk
mencapai kemaslahatan.35
Menurut pandangan kajian ijtihad yang berlandaskan maqasid, penetapan al-
Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam utama merupakan suatu yang pasti, yang
berbeda dengan ushul fiqh klasik adalah penetapan hukumnya berdasarkan penekanan pada
nilai-nilai dan prinsip universal al-Qur’an. Apabila ketentuan spesifik dan parsial di dalam
al-Qur’an dan hadis tidak sesuai dengan nilai dan prinsip universaltas maqasid al-syari’ah
yang didasarkan dari Al-Qur’an, maka harus reinterpretasi sejalan dengan prinsip dan nilai
universal tersebut. Begitu juga dengan ijma’ yang tetap digunakan selama di anggap sesuai
dengan maqasid al-Shari’ah36 dan sadd al-dhara’i37 tetap digunakan, hanya saja penentuan
33 Al Qur’an 5 :6734 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 38635 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 22136 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 22637 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos, 1996), 63
62 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
hukumnya lebih di dasarkan pada kemaslahatan dibandingkan dengan teks, yang
menjadikan maqasid al-Shari’ah dan qias menjadi berhubungan karena keduanya sama-
sama menggunakan illat.38
Di dalam maqasid al-Shari’ah, illat merupakan bagian inti untuk menentukan
suatu hukum, sebagaimana qias yang menjadi illat sebagai salah satu syarat dari
penerapannya. Karena itu sebelum masa al-Shatibi, ulama memasukkan diskusi maqasid al-
Shari’ah dalam kajian qias.39 Berbeda dengan hubungan antara maqasid al-Shari’ah
dengan ushul al-fiqh yang terkesan berlawanan, hubungan maqasid al-Shari’ah dengan
kaidah-kaidah fiqih terutama lima kaidah universalnya terkesan harmonis dan saling
melengkapi. Terciptanya kemaslahatan, terpeliharanya keteraturan hidup, terealisasinya
kedamaian, keadilan dan nilai-nilai universal Islam lain sebagai konsep yang dibawa
maqasid al-Shari’ah bergantung pada 5 prinsip dasar kaidah-kaidah fiqih.40 Kelima prinsip
dasar kaidah-kaidah tersebut juga bermuara pada satu kaidah besar, yakni memperoleh
kemanfaatan dan menolak kerusakan (Jaib al-Masalih wa dar’ al-mafasid). Tetapi banyak
kaidah-kaidah fiqih sangat memungkinkan terjadinya perbedaan di kalangan ulama. Oleh
karena itu, apabila dalam tatanan praktisnya menjadi perbedaan antara maqasid al-Shari’ah
dengan kaidah-kaidah fiqh yang berujung pada perbedaan hukum, maka yang diambil
adalah yang paling mendekati kemaslahatan.
Maqāsid (Tujuan) Syariat NikahDalam diskursus hukum Islam, tiap-tiap syariat mempunyai tujuan diperintahnnya
amar syariat tersebut. Tujuan diperintahkannya sebuah syariat disebut dengan istilah
maqasid. Tujuan perkawinan adalah untuk menegakkan agama, untuk memperoleh
keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina rumah tangga yang damai dan
teratur6. Menurut hukum Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan
rohani manusia, pernikahan juga bertujuan untuk membentuk keluarga dan memelihara
serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia ini, juga mencegah
38 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, 6539 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 22640 Imam Ahmad Mawardi, Fiqih Minorita, 266
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 63
Siti Humairah
perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan,
ketentraman keluarga dan masyarakat41.
Maksud dari pernikahan yang sejatinya dalam Islam adalah untuk kemaslahatan
dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu
syari’at Islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan itu42
sebelum melakukan pernikahan, ada rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan yang harus
dipenuhi. Secara maqasidī rukun nikah muncul karena tujuan pernikahan adalah menjaga
keselamatan pernikahan. Untuk mewujudkan kelanggengan pernikahan maka, diharapkan
banyak pihak yang ikut andil dalam proses pernikahan. Pernikahan secara maqasidi (tujuan
syariat) harus memenuhi unsur syarat dan rukun nikah. Syarat nikah yang pertama adalah
adanya sepasang calon suami istri yang bebas dari berbagai hal yang menghalangi sahnya
pernikahan. Misalnya, calon istri bukan dari wanita-wanita yang haram untuk dinikahi oleh
calon suaminya, baik adanya hubungan nasab, susuan, sedang menjalani iddah atau
penghalang lainnya. Syarat nikah kedua, tercapainya ijab, yakni lafad yang dimunculkan
oleh wali calon istri atau orang yang mewakilinya dengan mengatakan kepada calon istri,
”Aku kawinkah si Fulan atau aku nikahkan dia”. Syarat ketiga tercapainya qabul yakni
lafad yang dimunculkan oleh calon suami atau yang mewakilinya.43 Selain syarat
pernikahan tersebut, para ulama menetapkan ketentuan lain tentang syarat pernikahan untuk
mencapai maqasid pernikahan. Ketentuan itu antara lain; calon suami istri itu harus
mu’ayyan (jelas orangnya) dengan jelas; kerelaan masing-masing calon pasangan terhadap
pasangannya dan hendaknya menyelenggarakan pernikahan atas nama calon istri itu adalah
walinya.
Ketentuan penetapan rukun nikah merupakan produk fiqih yang bertujuan untuk
mewujudkan maksud inti dari suatu pernikahan ( maqasīd sharī’ah). Rukun nikah yang
pertama adalah sighat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan seperti saya
nikahkan engkau dengan anak saya yang bernama. Rukun nikah yang kedua adalah adanya
41 Mardani, Hukum Perkawinan Islam,(Graha Ilmu,2011), 11.42 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013), 37443 Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Ringkasan Fiqih Lengkap, jilid I-II (Jakarta: PT Darul
Falah), 831
64 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
wali (wali si perempuan), dan rukun yang ketiga adalah adanya dua orang saksi.44 Selain
syarat dan rukun, para ulama menetapkan ketentuan lain untuk mencapai maqasid
pernikahan. Ketentuan itu antara lain aturan Persaksian dalam akad nikah.45
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut
mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan suatu yang harus
diadakan. Dalam suatu perkawinan umpamanya rukun dan syarat tidak boleh tertinggal,
dalam arti perkawinan umpamanya rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam arti
perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung
arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada dan hakikat dan
merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang
berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan
rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Adapun syarat
itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.46
Menurut pandangan para ahli Ushul Fiqh, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah di
samping menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya, juga dengan ruh
tasryi’ atau maqasid syari’ah. Melalui maqasid syari’ah inilah ayat-ayat dan hadist-hadist
hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk
menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung
oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan
metode istinbatseperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga
disebut sebagai dalil.47
Mereka juga membahas terhadap hukum-hukum syar’iyyah yang bersifat umum
yang diambil dari dalil-dalil tersebut, hal-hal yang menjadi sarana untuk memahami
44 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, 38345 Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Ringkasan Fiqih Lengkap, 83246 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet 5 (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2014), 5947Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, (Bandung: PT Sygma Examedia
Arkanleema,2015).
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 65
Siti Humairah
hukum-hukum tersebut dari nashnya dan untuk mengistimbathkanya dari selain nash, baik
dari kaidah-kaidah kebahasaan maupun kaidah tasyri’iyyah.48
Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-
hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan
umat manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok
disyariatkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di
akherat. Lebih lanjut Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.
Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan,
yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.49
Al-Syathibi membuktikan bahwa faktor adat dan praktek sosial ber pengaruh pada
pemahaman norma syariah. Beliau mendeduksi bahwa syariah didasarkan pada
kemaslahatan, yang dibedakan menjadi kemaslahatan yang bersifat dlaruriyat (primer)
hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier).50 Baginya, kemaslahatan dalam lingkaran yang
pertama bersifat universal dan diakui oleh semua bangsa dan agama. Kemaslahatan dalam
lingkaran kedua adalah hukum dan praktek sosial yang diasimiliasikan ke dalam syariah,
dengan memperhatikan kemaslahatan umum, seperti masalah qiradl atau mudlarabah.
Sedangkan lingkaran ketiga dari kemaslahatan adalah hukum yang diisi oleh unsur-unsur
praktek sosial yang lebih halus, seperti kesopanan, kebersihan dan norma-norma budaya
dan adat lainnnya. Menurut Al-Syathibi, Syariah mengadopsi unsur-unsur ini, sebab
semuanya dianggap mencerminkan kepatutan dan pilihanpilihan budaya dalam suatu
masyarakat.51 Ia memberikan illustrasi sebagai berikut. Keluar rumah tanpa menutup
48Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah, ( Darul Ma’rifah, Beirut, 1997)49Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa : Moh. Zuhri dan Ahmad Karib, Dina Utama,
Semarang, 1994, 64.50 Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), Jilid II,h. 7.
51 Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah,h. 216.
66 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
kepala di Timur dianggap sebuah pelanggaran terhadap kesopanan, sementara di barat
tidak demikian, bahkan bisa sebaliknya.52
Begitu besarnya perhatian Al-Syathibi terhadap adat dan budaya masyarakat, ia
menyebut bahkan mengidentikan muamalat dengan adat. Karena itu, menurutnya, adat
dapat menentukan hal yang baik atau buruk. Bahkan syariah, dalam batas tertentu
mengesahkan hasilnya. Lebih lanjut, baginya konsep mashlahat berkait erat dengan norma
baik dan buruk dalam masyarakat. Mana yang lebih dominan diantaranya diterima
syariah.53 Kaitan dengan pendekatan historis yang ditawarkan oleh pemikir kontemporer,
Al-Syathibi mengkaji norma syariah dalam alQuran dengan menempatkannya dalam kontek
sejarah. Dia menemukan relasi antara norma syariah dalam al-Quran dengan praktek lokal.
Dia memberi contoh, norma hukum yang ada di Mekah merepresentasikan norma hukum
yang universal, norma dasar dan merupakan tujuan utama syariat Islam. Sementra norma
hukum yang ada di Madinah merupakan hukum yang nyata dan lebih bersifat operasional,
sekaligus penerapan hukum yang bersifat lokal, merupakan rincian dari dari norma hukum
Makah yang universal. Melalui pendekatan h istoris itu, dia ber kesimpulan bahwa
apabila ahli hukum Islam mengabaikan prinsip-prinsip universal ayat-ayat Makiyah dan
mengabaikan metode induktif, maka mereka akan berhadapan dengan masalah yang serius
berhadapan dengan tradisi dan kebudayaan baru.
Penetapan Uang Asap; dalam Pandangan Maqasid Sharī’ah
Dalam masalah perkawinan sesungguhnya Islam telah mengatur sedemekian rupa.
Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah pesta
perkawinan. Walaupun sederhana tetapi penuh berkah dan tetap terlihat mempesona. Islam
juga menuntun bagaimana memperlukan calon pendamping hidup setelah resmi menjadi
sang penyejuk hati.Perkawinan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan adat
dan kebudayaan mayarakat Melayu. Dalam pelaksanaan perkawinan masyarakat Melayu di
Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan barat
memiliki tradisi tersendiri yang menyangkut tentang perkawinan. Mulai dari menentukan
52 Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. h. 21653 Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah h. 232-235
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 67
Siti Humairah
pasangan hidup sampai dengan terwujudnya satu pesta perkawinan. Dalam pelaksaan
tradisi adat perkawinan Melayu terdapat tahap-tahap yang wajib dilakukan oleh masyarakat
yang ingin melangsungkan perkawinan. Jika salah satu tahap tersebut tidak dilaksanakan
maka perkawinan itu dinilai kurang sempurna bahkan dapat mengakibatkan batalnya
perkawinan. Dan dibalik tahap-tahap tradisi itu semua hal memiliki makna yang terkandung
di dalamnya. Salah satu tradisi dalam masyarakat Melayu tentang adanya pemberian uang
asap. Di dalam ajaran Islam yang diwajibkan adalah mahar sedangkan uang asapdalam
Islam tidak diwajibkan. Dalam adat Melayu, uang asap harus ada akan tetapi tidak diberi
ketentuan dan sesuai kesepakatan yang penting sesuai dan sewajarnya.54
Pelaksanaan pemberian uang asap walaupun didalam hukum Islam tidak
tercantum tentang hal ini, namun hal ini tidak bertentangan dengan Syari’at Islam dan tidak
merusak akidah didalam ajaran Islam karena salah satu fungsi dari pemberian uang asap
adalah sebagai hadiah bagi mempelai perempuan untuk bekal kehidupannya kelak dalam
menghadapi bahtera rumah tangga dan ini merupakan maslahat baik bagi pihak mempelai
laki-laki dan mempelai perempuan. Adat seperti ini sering disebut dengan ‘urf sahih yaitu
adat yang baik, sudah benar dan bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum.55
Mahar dan uang asap dalam perkawinan adat Melayu adalah suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang
sama dalam hal kewajiban dan harus dipenuhi. Akan tetapi uang asap lebih mendapatkan
perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya
proses perkawinan. Sehingga jumlah uang asap yang ditentukan oleh pihak keluarga
perempuan biasanya lebih banyak daripada jumlah mahar yang diminta.56
Idealnya dalam Islam uang asap itu jangan ditentukan jumlahnya apalagi sampai
jumlahnya tinggi. Yang penting ada dan sesuai kemampuan laki-laki. mengenai masalah
tersebut di atas dalam sebuah hadist Rasul bersabda yang maknanya bahwa perkawinan
yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya. melihat dari makna
hadist tersebut maka jelaslah sangat tidak etis jika uang asap yang diberikan oleh calon
54Jasman Ayub, (Wawanncara warga masyarakat, 30-05-2018).55Jasman Ayub, (Wawanncara warga masyarakat, 30-05-2018).56 Bapak Syaukani (Selaku Tokoh Agama), wawancara 05 Juni 2018.
68 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
mempelai laki-laki lebih banyak daripada jumlah mahar. Hadist tersebut menganjurkan
kepada perempuan agar meringankan pihak laki-laki untuk menunaikan kewajibannya
membayar mahar apalagi uang asap yang sama sekali tidak ada ketentuan wajibnya dalam
hukum Islam. Uang asap boleh tetap ada akan tetapi tidak sampai memberatkan pihak laki-
laki dan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Selama pemberian uang asap tersebut tidak mempersulit terjadinya perkawinan
maka hal tersebut tidak bertentangan dengan maqasid syari’ah dan yang paling penting
adalah jangan sampai ada unsur keterpaksaan memberikan uang asap yang akan memicu
terjadinya perbuatan yang tidak baik karena ingin menghalalkan berbagai cara untuk
mendapatkan uang. Karena sesungguhnya tujuan dari maqasid syariah ialah untuk
merealisasikan kemaslahatan setap manusia. Oleh karena itu tidak ada satu pun syari’at
allah yang diturunkan kepada manusia yang tidak mempunyai tujuan. Sebab syariat yang
tidak mempunyai tujuan sama artinya dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan.57
Ada prinsip dalam masyarakat melayu yang perlu diubah sedikit demi sedikit yaitu
terkadang orang tua pihak perempuan yang ditunggu hanyalah uang asap tersebut yang
akan digunakan untuk pesta. Padahal kewajiban orang tua ada tiga kepada anaknya. Yang
pertama adalah berikanlah nama yang baik, kedua berikanlah pendidikan yang baik, dan
yang ketiga adalah menikahkan anak. Jadi sewajarnya orang tua juga menyediakan uang
untuk perkawinan anaknya kelak. Jadi jangan hanya mengandalkan uang asap. Bahkan
orang tua yang baik adalah orang tua yang tidak menggunkan uang asap yang telah
diberikan oleh pihak laki-laki tapi uang asap tersebut diberikan kepada anaknya untuk
kebutuhannya setelah berkeluarga.58
Agama Islam sebagai agama rahmatan li alamin tidak menyukai penentuan mahar
yang memberatkan pihak laki-laki untuk melangsungkan perkawinan, demikian pula uang
asap dianjurkan agar tidak memberatkan bagi pihak yang mempunyai niat suci untuk
menikah. Perkawinan sebagai sunnah Nabi hendaknya dilakukan dengan penuh
kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan sehingga tidak ada unsur pemborosan di
57Al-syatibi, al-Mufaqat fi Ushul al- Syari’ah (Kairo:Mustafa,t.th), 150.58 Pak Syaukani (Tokoh Agama), Wawancara 28 Mei 2018.
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 69
Siti Humairah
dalamnya karena islam sangat menentang pemborosan. Dalam hukum Islam dikenal prinsip
mengutamakan kemudahan dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam urusan perkawinan
prinsip ini sangat ditekankan.59
Agama Islam tidak membeda-bedakan manusia satu sama lain. Tidak ada
perbedaan status sosial dan kondisi seseorang. Semua sama di mata Allah mempunyai
derajat dan kedudukan yang sama. Yang membedakannya hanyalah ketakwaannya.
Al ‘adatu muhakkamah artinya adat itu bisa diterima dan menjadi hukum jika
sudah menjadi kesepakatan. Hukum Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena
sadar akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah mendapatkan peran penting dalam
mengatur hubungan sosial di kalangan anggota masyarakat. Adat sebagai tatanan yang
disepakati oleh m asyarakat yang tidak tertulis tapi tetap dipatuhi karena dirasakan sesuai
dengan kesadaran hukum sendiri.
Sebelum Nabi Muhammad saw diutus, adat kebiasaan sudah banyak berlaku pada
masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Adat kebiasaan yang dibangun oleh nilai-nilai
yang dianggap baik dari masyarakat itu sendiri, yang kemudian diciptakan, dipahami,
disepakati, dan dijalankan atas dasar kesadaran. Nilai-nilai yang dijalankan terkadang tidak
sejalan dengan ajaran Islam dan ada pula yang sudah sesuai dengan ajaran Islam. Agama
Islam sebagai agama yang penuh rahmat menerima adat dan budaya selama tidak
bertentangan dengan Syari’at islam dan kebiasaan tersebut telah menjadi suatu ketentuan
yang harus dilakukan dan dianggap sebagai aturan yang harus ditaati.
Adat dan kebiasaan selalu berubah-ubah dan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan zaman dan keadaan. Realitas yang ada dalam masyarakat berjalan terus menerus
sesuai dengan kemaslahatan manusia karena berubahnya gejala sosial kemasyarakatan.
Oleh karena itu, kemaslahatan manusia menjadi dasar setiap macam hukum. Maka sudah
menjadi kewajaran apabila terjadi perubahan hukum karena disebabkan perubahan zaman
dan keadaan serta pengaruh dari gejala masyarakat itu sendiri.
Pemberian uang asap dalam perkawinan adat melayu merupakan pemberian
sejumlah uang untuk membiayai pesta perkawinan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
59Beni Ahmad Saebani dkk, Pengantar Ilmu Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2015.
70 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
Islam tentang walimah. Walimah ini adalah salah satu bentuk rasa syukur setelah
diadakannya akad nikah dengan jamuan makan bagi para tamu undangan, kerabat dan
sanak keluarga. Walimah atas perkawinan itu sunnah hukumnya dan wajib hukumnya bagi
yang memenuhi undangan kecuali berhalangan.
Hal ini sehubungan dengan penyediaan sejumlah uang asap untuk membiayai
jalannya pesta perkawinan. Hanya saja seiring berkembangnya zaman maka jumlah uang
asap dari zaman ke zaman semakin tinggi. Karena disesuaikan dengan tingginya harga
bahan pokok di pasaran pada saat ini sehingga permintaan uang asap yg ditetapkan semakin
tinggi pula. Hal ini lah yang salah satunya melatar belakangi tingginya jumlah uang asap.
Penetapan pemberian uang asap di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh
Kabupaten mempawah Kalimantan barat sudah menjadi suatu tradisi yang tidak bisa
dihilangkan. Karena tradisi tersebut sudah turun temurun dilakukan dimasyarakat melayu di
Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan barat
tersebut. Walaupun tradisi uang asap tidak diatur secara tertulis.
Rata-rata masyarakat melayu di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh
Kabupaten mempawah dalam menjalankan tradisi uang asap tidak merasa terbebani dan
tidak menganggap itu merupakan suatu hal yang buruk, sehingga hal itu dianggap suatu
tradisi yang baik yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki yang akan menikahi seorang
gadis Melayu di Desa Nusapati. Suatu adat yang baik dan dijalankan secara terus-menerus
dan berulang-ulang serta dianggap baik oleh mereka, maka tidak bisa diharamkanbaik oleh
Islam maupun hukum yang berlaku.
Menurut al-Syatibi syari’at yang berlaku bersifat menyeluruh, sehingga
pmberlakuan syari’at tersebut dalam rangka menjamin kemaslahatan umat manusia secara
umum.60maka dari itu, pemberlakuan syari’at harus memperhatikan tradisi dan adat
masyarakat setempat, sehingga kemaslahatan bisa tercipta, karena pada hakikatnya antara
kemaslahatan dunia dan akhirat tidak bertentangan dan saling menyempurnakan.61
Karenanya al-Syatibi membagi adat dengan kondisi masyarakat menjadi dua macam.
Pertama, adat dan kondisi sosial masyarakat yang jelas diakui atau ditolak oleh dalil syara’.
60Al-Shatibi, Al-Muwa faqat, 36561Nurcholis Madid, Fiqih Lintas Agama, 12
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 71
Siti Humairah
Kedua, adat atau kondisi sosial masyarakat yang tidak ada dalil syara’ secara jelas diakui
atau ditolak
Hukum dari pemberian uang asap itu sendiri menurut Islam adalah mubah. Tapi
jika sudah masuk ke dalam adat maka hukumnya adalah wajib. Karena ada kaedah dalam
hukum Islam. Hukum itu berputar sesuai dengan kondisi. Penetapan pemberian uang asap
merupakan tradisi dalam suatu adat melayu yang bersifat umum, dalam artian bahwa setiap
suku melayu yang bertempat tinggal di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh
Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat. Pemberian uang asap memang secara gamlang
tidak diatur dalam hukum Islam, akan tetapi pemberian uang asap sudah merupakan suatu
tradisi
Pemberian uang asap merupakan tradisi yang bersifat umum, dalam artian berlaku
pada setiap orang yang bersuku Melayu khususnya di Desa Nusapati Kecamatan Sungai
Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat. Walaupun pemberian uang asap ini tidak
secara gamblang diatur dalam hukum Islam, namun pemberian uang asap sudah merupakan
suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak
bertentangan dengan akidah dan syari’at maka hal itu diperbolehkan.
Kesimpulan
Dalam pandangan maqasid syariah penetapan uang asap masuk dalam kategori
kemaslahatan tahsiniyat (tersier). Data lapangan menunjukkan bahwa pemberian uang asap
merupakan tradisi yang bersifat umum, dalam artian berlaku pada setiap orang yang
bersuku Melayu khususnya di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten
Mempawah Kalimantan Barat. Walaupun pemberian uang asap ini tidak secara gamblang
diatur dalam maqasid syariah, namun pemberian uang asap sudah merupakan suatu tradisi
yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan
dengan akidah dan syari’at maka hal itu diperbolehkan oleh syariat islam..
72 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020
Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah
Referensi
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Juz ke 2, Kairo: Dar al-Fikr, tt.
Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah, alih bahasa oleh: Khairul AmruHarahap, Faisal Saleh, Ed, Besus Hidayat Amin, Cet II , Jakarta: Pustaka Azzam,2007.
Abu Yasid, Fikih Keluarga, Jakarta: Erlangga, 2005.
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah, ( Darul Ma’rifah, Beirut, 1997)
Ali Qaim, Pernikahan Masalah Dan solusinya, Cet I, Jakarta: Cahya, 2009.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Cet 7, Jakarta: Kencana, 2014.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Cet 7, Jakarta: Kencana, 2014.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo PersadaCet. XIII, 2012.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III Jakarta:Balai Pustaka, 2001.
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia (suatu Pengantar), PT. Refika Aditama, Bandung,2010.
Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (Penrj.), Bandung: Pustaka, 1984.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan UpacaraAdatnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih para Mujtahid, alih bahasa oleh: ImamGhazali Said, Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Jilid 2.
Kajian Ilmiah FKI Ahla, Shuffah, Kamus Fiqih, Kediri: Lirboyo Press, 2016
M. Thahir Maloko. Dinamika Hukum Dalam Perkawinan, Cet. I; Makassar AlauddinUniversity Press, 2012.
Mahdi Ismail (tokoh agama), Wawancara kecamatan sungai pinyuh: juni 25-2017.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2002.
Muliati Amin, Dakwah Jamaah (Disertasi) (Makassar: PPS. UIN Alauddin, 2010.
Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 73
Siti Humairah
Muttafaq Alah dari hadits Sahal- bin Sa’d dalam kish Al- Wahibah, Al- Bukhari (5087)(9/164), Muslim (4374) (5/215).
Puna Siswa III aliyah ponpes liboyo, Esensi Pemikiran Mujtahid, All Rights Reserved,kediri 2003.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:PusatBahasa, 2008.
S. Nasution, Metode Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsinto, 1996.
Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,Yogyakarta, 1892
Soerjo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Agung,Jakarta, 1983.
Sugiyono, Metode penelitian pendidikan, ◌bandung: Alfabeta,2015.
Sukanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk Mempelajari HukumAdat,Cet III Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
Suwardi Endarsawara,Penelitian Kebudayaan:Idiologi, Epistimologi dan Aplikasi,Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab,Cet II, Bandung: Hasyimi Press, 2004.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al- Fauzan, Ringkasan Fiqih Lengkap, Cet I,Jakarta: PT. Darul Falah, 2005.
Tim Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
top related