analisis efisiensi pengeluaran pemerintah sektor...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS EFISIENSI PENGELUARAN
PEMERINTAH SEKTOR KESEHATAN DI PROVINSI
JAWA TENGAH TAHUN 2012-2014
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Eka Dian Puspitasari
NIM 7111412076
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
ii
iii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Semarang pada :
Hari : Jum’at
Tanggal : 19 Agustus 2016
Penguji I
Prof. Dr. Etty Soesilowati, M.Si.
NIP. 196304181989012001
Penguji II
Dr. Eko Prasetyo, M.Si.
NIP. 196801022002121003
Penguji III
Dr. Amin Pujiati, M.Si.
NIP. 196908212006042001
iv
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Eka Dian Puspitasari
NIM : 7111412076
Tempat, Tanggal Lahir : Demak, 01 Januari 1994
Alamat : Ds. Jatirejo Rt. 02 Rw. 01 Kec. Karanganyar Kab.
Demak
menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau
dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila di kemudian hari terbukti skripsi ini
adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi dengan ketentuan yang berlaku.
Semarang, Juni 2016
Eka Dian Puspitasari
NIM 7111412076
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
“Learn From Yesterday, Live From Today, And Hope For Tomorrow” (Albert
Eistein).
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Q.S Al Insyirah : 56).
Persembahan
Dengan penuh rasa syukur pada Allah
SWT atas segala karunia-Nya, skripsi ini
kupersembahkan untuk :
1. Kedua orang tuaku, Ibu Sulastri dan
Bapak Naseran yang senantiasa
memberikan dukungan, doa, dan
semangat.
2. Adik-adik ku tercinta Eva Ria Safitri,
Adi Prayogo, dan Indra Kusuma.
3. Almamater Universitas Negeri
Semarang.
vi
PRAKATA
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Efisiensi
Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-
2014”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Penyusun menyadari bahwa
penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, saran, dan kerjasama
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan rasa
hormat, penyusun menyampaikan terima kasih atas segala bantuan yang telah
diberikan kepada :
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang.
2. Dr. Wahyono, M. M., Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
3. Lesta Karolina Br Sebayang, S.E., M.Si, Ketua Jurusan Ekonomi
Pembangunan Universitas Negeri Semarang.
4. Dosen Pembimbing Dr. Amin Pujiati, S.E., M.Si, yang senantiasa dengan
sabar memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dan kritik yang bersifat
membangun selama penyusunan skripsi.
5. Dosen Wali Dr. Y. Titik Haryati,. M.Si, yang selalu memberikan saran dan
motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Negeri
Semarang.
6. Prof. Dr. Etty Soesilowati, M.Si., selaku dosen Penguji I yang telah menguji
dan memberikan arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
vii
7. Dr. P. Eko Prasetyo, M.Si., selaku dosen Penguji II yang telah menguji dan
memberikan arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
8. Seluruh dosen yang telah menyalurkan ilmunya selama penulis menuntut ilmu
di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
9. Keluarga tercinta untuk kedua orang tua dan adik-adik saya yang telah
senantiasa mendoakan dan memotivasi sehingga tersusunnya skripsi ini.
10. Teman-teman seperjuanganku Ekonomi Pembangunan B angkatan 2012 yang
telah memberikan masukan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi.
11. Sahabat-sahabatku tercinta keluarga besar Kos Tiara Putri serta teman-teman
KKN Jelly Nongkosawit yang telah mengukir kisah baru persahabatan.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan bantuan dan dukungan dalam rangka penyusunan skripsi ini.
Penulis hanya dapat mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Esa
memberikan balasan yang lebih baik kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis serta
bagi pembaca.
Semarang, Juni 2016
Penulis
viii
SARI
Puspitasari, Eka Dian. 2016. “Analisis Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Sektor
Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014”. Skripsi. Jurusan Ekonomi
Pembangunan. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing.
Dr. Amin Pujiati, S.E., M.Si.
Kata Kunci: Efisiensi, Belanja Kesehatan, Data Envelopment Analysis.
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan
pembangunan ekonomi suatu negara. Pemerintah telah mengatur anggaran
kesehatan minimal 10 persen dari total anggaran belanja daerah yang tersedia.
Namun, besarnya belanja kesehatan ini belum bisa diimbangi dengan pencapaian
derajat kesehatan yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis tingkat
efisiensi teknis biaya belanja dan teknis sistem pelayanan kesehatan serta target
perbaikan agar mencapai efisien di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
Penelitian ini menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA)
dengan bantuan software Banxia Frontier Analysis versi 3.2.2. Pengukuran ini
akan menghasilkan nilai efisiensi secara relatif. Penelitian ini menggunakan
belanja kesehatan sebagai variabel input, fasilitas dan layanan kesehatan sebagai
variabel output intermediate serta variabel derajat kesehatan sebagai variabel
output. Penggunaan variabel output intermediate dimaksudkan untuk
mengakomodir hubungan tidak langsung antara variabel input dan output. Asumsi
yang digunakan adalah Variable Return to Scale (VRS) dan model orientasi
output (output oriented).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara efisiensi teknis biaya, hanya
sebanyak 5 kabupaten/kota (14,3%) telah mencapai efisiensi 100 persen.
Sementara secara teknis sistem hanya 11 kabupaten/kota (31,4%) yang telah
mencapai kondisi efisien. Artinya sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah masih belum efisien dalam penggunaan belanja sektor kesehatan.
Saran yang bisa diberikan adalah bagi kabupaten/kota yang telah efisien
sebaiknya tetap mengawasi dan mengevaluasi belanjanya sehingga pemborosan
dapat dinimalisir. Sedangkan untuk kabupaten/kota yang belum efisien dapat
melakukan target perbaikan (potential improvement) pada input dan outputnya
serta melakukan benchmarking ke daerah-daerah yang telah mencapai kondisi
efisien.
ix
ABSTRACT
Puspitasari, Eka Dian. 2016. “Government Spending Efficiency Analysis Health
Sector in Central Java province Years 2012-2014". Final Project. Department of
Economic Development. Economics Faculty. Semarang State University.
Advisor. Dr. Amin Pujiati, S.E., M.Sc.
Keywords : Efficiency, Budget Spending on Health, Data Envelopment
Analysis.
Health is one of important factor in the success of the economic
development of a country. The Government has set the health budgets of at least
10 percent of the total budget available area. However, the amount of health
budget could not be offset by the achievement of optimal health status. This study
aims to analyze the level of technical efficiency costs in the health and care
system and to know improvement target in order to achieve the efficiency in
Central Java province in 2012-2014.
This study uses Data Envelopment Analysis (DEA) method with Banxia
Frontier Analysis version 3.2.2 software. These measurements will yield a value
relative efficiency. The study using health budget as input variables, facilities and
health services as intermediate output variable, as well as degree of health
variables as outcomes variable. The use of intermediate output variable is
intended to accommodate an indirect relationship between the input and outcomes
variable. The assumption used is: Variable Return to Scale (VRS) and the
orientation of the model output (output oriented).
The results shows that the cost of technical efficiency, just a much as 5
districts (14,3%) had achieved an efficiency of 100 percent. While technically the
system only 11 districts (31,4%) who have achieved an efficient condition. This
means the most districts in Central Java province still not efficient in the use of
health sector budget.
Advice that can be given is to districts that have efficient is they should
continue monitoring and evaluating their budget so that waste can be minimalized.
As for the districts that have not been efficient is they can make improvement
target (potential improvement) to the input and output as well as benchmarking to
the regions which have achieved efficient condition.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iii
PERNYATAAN ............................................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
PRAKATA ....................................................................................................... vi
SARI ................................................................................................................. viii
ABSTRACT ..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1. 1 Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
1. 2 Rumusan Masalah ....................................................................... 13
1. 3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 13
1. 4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 14
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................... 15
2.1 Pengeluaran Pemerintah ............................................................. 15
2.1.1 Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran
Pemerintah ......................................................................... 17
2.1.2 Hukum Wagner Tentang Perkembangan Pengeluaran
Pemerintah ......................................................................... 18
2.1.3 Teori Peacock dan Wiseman ............................................. 19
2.2 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah ........................................... 21
2.3 Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan ................................ 24
2.4 Aspek Kesehatan dalam Kajian Ilmu Ekonomi .......................... 27
xi
2.5 Pengukuran Kinerja, Hasil, dan Indikator dalam Kesehatan ...... 28
2.6 Konsep Efisiensi ......................................................................... 30
2.7 Pengukuran Efisiensi dengan Metode Data Envelopment Analysis
(DEA) .......................................................................................... 34
2.8 Penelitian Terdahulu ................................................................... 38
2.9 Kerangka Berpikir ....................................................................... 42
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 45
3.1 Jenis dan Desain Penelitian ......................................................... 45
3.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................ 45
3.3 Definis Operasional Variabel Penelitian ..................................... 46
3.4 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 51
3.5 Metode Analisis Data .................................................................. 51
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 56
4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah ................................... 56
4.1.1 Letak Geografis dan Pemerintahan ................................... 56
4.1.2 Kepadatan Penduduk ......................................................... 56
4.2 Belanja Sektor Kesehatan ........................................................... 58
4.3 Fasilitas dan Layanan Kesehatan ................................................ 60
4.4 Kondisi Derajat Kesehatan Masyarakat ...................................... 66
4.4.1 Angka Kematian (Mortalitas) ............................................ 66
4.4.1.1 Angka Kematian Bayi (AKB) ............................... 67
4.4.1.2 Angka Kematian Ibu (AKI) ................................... 68
4.4.2 Angka Harapan Hidup ....................................................... 70
4.5 Hasil Penelitian ........................................................................... 71
4.5.1 Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan ........................ 72
4.5.2 Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan .................. 77
4.5.3 Target Perbaikan Input dan Output untuk mencapai kondisi
Efisien ................................................................................ 81
4.6 Pembahasan ................................................................................ 101
xii
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 108
5.1 Simpulan ..................................................................................... 108
5.2 Saran ........................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 110
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 113
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2012-2014 (dalam juta rupiah) .......................................... 5
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ..................................................................... 38
Tabel 3.1 Kriteria Ukuran Tingkat Efisiensi Teknis Belanja
Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah. ............................................. 54
Tabel 4.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Per kapita Berdasarkan
Kabupaten /Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 ...... 59
Tabel 4.2 Rasio Puskesmas dan Rasio Tempat Tidur yang tersedia di
Rumah Sakit di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 ............ 63
Tabel 4.3 Rasio Jumlah Bidan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012-2014 ............................................................. 65
Tabel 4.4 Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Biaya belanja sektor kesehatan
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. .................................. 74
Tabel 4.5 Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan sektor
kesehatan pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun
2012-2014...................................................................................... 78
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Diagram Proporsi APBD Menurut Fungsi Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2014 ........................................................... 7
Gambar 1.2 Grafik perkembangan belanja sektor kesehatan dalam APBD
menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun
2012-2014 ................................................................................... 8
Gambar 1.3 Diagram Angka Kematian Bayi Rata-rata di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012-2014 ........................................................... 10
Gambar 1.4 Diagram Angka Kematian Ibu Rata-rata di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2012-2014 ......................................................................... 11
Gambar 1.5 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................................... 12
Gambar 2.1 Kurva Hukum Aktivitas Pemerintah yang Selalu Meningkat .... 19
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir ....................................................................... 43
Gambar 4.1 Jumlah Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2) berdasarkan
kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 ................ 57
Gambar 4.2 Diagram Angka Kematian Bayi rata-rata di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2012-2014 ......................................................................... 68
Gambar 4.3 Diagram Angka Kematian Ibu rata-rata di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2012-2014 ......................................................................... 69
Gambar 4.4 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................................... 71
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 113
Lampiran 2 Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................................... 114
Lampiran 3 Data Jumlah Puskesmas dan Tempat Tidur Menurut Kabupaten/
Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ........................ 115
Lampiran 4 Data Jumlah Tenaga Bidan Tersedia Menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 116
Lampiran 5 Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut
Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 .............. 117
Lampiran 6 Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut
Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 .............. 118
Lampiran 7 Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut
Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 .............. 119
Lampiran 8 Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/
Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 ................................. 120
Lampiran 9 Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/
Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 ................................. 121
Lampiran 10 Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/
Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 ................................. 122
Lampiran 11 Data Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/ Kota di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ..................................... 123
Lampiran 12 Data Rasio Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten/ Kota
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 124
Lampiran 13 Data Rasio Angka Kematian Ibu Menurut Kabupaten/ Kota
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 125
Lampiran 14 Rasio Angka Bayi Hidup (ABH) Menurut Kabupaten/ Kota
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ................................. 126
Lampiran 15 Rasio Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS) Menurut
xvi
Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 ..... 127
Lampiran 16 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan
tahun 2012 ................................................................................... 128
Lampiran 17 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan
tahun 2013 ................................................................................... 129
Lampiran 18 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan
tahun 2014 ................................................................................... 130
Lampiran 19 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan
tahun 2012 ................................................................................... 131
Lampiran 20 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan
tahun 2013 ................................................................................... 132
Lampiran 21 Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan
tahun 2014 ................................................................................... 133
Lampiran 22 Hasil Perhitungan Perbaikan Variabel Input Output dalam
Mencapai Efisiensi Teknis Biaya dan Efisiensi Teknis
Sistem Belanja Sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2014 ................................................................................... 134
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi selalu ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Pembangunan ekonomi
yang terus meningkat, tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas saja, melainkan
yang jauh lebih penting adalah aspek kualitas. Sumber daya yang berkualitas
berperan penting dalam proses peningkatan pembangunan ekonomi. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia akan ditentukan oleh status kesehatan, pendidikan,
dan tingkat pendapatan perkapita (Mulyadi, 2003:2-3). Kesehatan ini menjadi
salah satu investasi penting dalam pembangunan ekonomi.
Masalah kesehatan merupakan salah satu faktor yang berperan penting
dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut UU No. 36
tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis. Melalui pembangunan di bidang kesehatan diharapkan akan
semakin meningkatkan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan yang
dirasakan oleh semua lapisan masyarakat secara memadai (Dinas Kesehatan,
2016).
Kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) yang telah disepakati
oleh hampir 200 pemimpin dunia pada akhir tahun 2000 di New York,
menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari negara-negara yang menyetujui
2
kesepakatan tersebut. MDGs berisi delapan butir tujuan yang harus diupayakan
dan dapat dicapai pada tahun 2015. Adapun delapan butir tujuan tersebut
diantaranya:
1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan;
2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua;
3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
4. Menurunkan angka kematian anak;
5. Meningkatkan kesehatan ibu;
6. Memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya;
7. Kelestarian lingkungan hidup;
8. Membangun kemitraan global dalam pembangunan.
Sasaran strategis Kementrian Kesehatan yang juga menjadi prioritas
dalam pembangunan kesehatan tahun 2010-2014 yaitu meningkatnya status
kesehatan dan gizi masyarakat. Pembangunan kesehatan yang diarahkan pada
tersedianya akses dasar yang murah dan terjangkau terutama pada kelompok
menengah ke bawah guna mendukung pencapaian Millennium Development
Goals (MDGs). Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, pencapaian
tujuan-tujuan MDGs bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan oleh
terbatasnya sumberdaya, jumlah penduduk miskin yang cukup besar, angka
kematian bayi dan balita masih tinggi, degradasi lingkungan hidup, serta
rendahnya rata-rata kesehatan ibu, terutama di daerah pedesaan masih relatif
rendah (Supiati, 2014).
3
Kondisi pembangunan kesehatan secara umum dapat dilihat dari
pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang meliputi angka kematian bayi,
kematian ibu melahirkan, prevalensi gizi kurang dan angka harapan hidup.
Pencapaian derajat kesehatan masyarakat ini berhubungan langsung dengan
beberapa tujuan MDGs khususnya pada butir keempat, lima dan enam. Menteri
Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi (15/02/14) mengatakan bahwa:
Angka kematian ibu melahirkan dan kematian bayi yang dilahirkan masih
tinggi. Hal itu disebabkan karena persalinan masih banyak dilakukan di
rumah. Tingginya tingkat kematian bayi dan ibu saat melahirkan di
Indonesia menjadi perhatian yang serius. Angka kematian ibu melahirkan
dan kematian bayi sudah mulai turun perlahan, namun masih terbilang
tinggi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya pencapaian
derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor
kesehatan (Atmawikarta, 2005). Semakin besar belanja sektor kesehatan, maka
semakin baik derajat kesehatan masyarakat. Adapun pembiayaan untuk sektor
kesehatan di Indonesia diperoleh dari 3 (tiga) sumber utama. Sekitar 65% berasal
dari swasta dan 75% berupa biaya yang dikeluarkan dari kantong sendiri (out of
pocket). Kurang dari 2% berasal dari bantuan asing, dan sisanya dibiayai dari
pendapatan pemerintah (Supiati, 2014).
Diberlakukannya Undang-Undang tentang otonomi daerah tahun 1999
telah berdampak pada kebijakan kesehatan yang diatur oleh daerah masing-
masing. Hal ini menyebabkan munculnya otonomi yang lebih luas dari
pemerintah daerah sehingga diberikan kewenangan yang cukup besar untuk
mengatur dan mengelola daerahnya sendiri. Wujud nyata adanya otonomi daerah
adalah dalam hal pembiayaan kesehatan terlihat dari besarnya anggaran belanja
4
yang dialokasikan pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan daerahnya
masing-masing. Salah satunya adalah alokasi anggaran belanja pemerintah sektor
kesehatan.
Belanja kesehatan (WHO, 2002) merupakan sekumpulan dana yang
penggunaannya untuk membiayai kegiatan kesehatan yang dilakukan secara
langsung serta memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
baik dalam lingkungan kabupaten, provinsi maupun negara. Pemerintah telah
mengatur anggaran kesehatan dalam UU No 36 tahun 2009 yang menyebutkan
bahwa besar anggaran kesehatan pemerintah pusat dialokasikan minimal 5 persen
dari APBN di luar gaji, sementara besar anggaran kesehatan pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan minimal 10 persen dari APBD di luar
gaji.
Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi ketiga dengan rata-rata jumlah
penduduk terbanyak sebesar 33,35 juta jiwa atau sekitar 13,58 persen dari jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2012-2014. Jumlah penduduk ini tersebar di 29
Kabupaten dan 6 Kota di Provinsi Jawa Tengah. Besarnya jumlah penduduk ini
secara tidak langsung akan mempengaruhi pengeluaran pemerintah daerah, salah
satunya adalah belanja sektor kesehatan. Berikut disajikan besarnya anggaran
belanja kesehatan menurut provinsi yang ada di Indonesia yang terangkum dalam
Rekap APBD tahun 2012-2014 :
5
Tabel 1.1
Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2012-2014 (dalam juta rupiah)
No Provinsi Anggaran Kesehatan
2012 2013 2014
1 Prov Aceh 895.106 886.579 1.090.269
2 Prov. Sumatera Utara 263.492 297.944 401.700
3 Prov. Sumatera Barat 3 12.823 354.437 439.149
4 Prov. Riau 418.376 540.024 560.999
5 Prov. Jambi 188.793 252.248 352.748
6 Prov. Sumatera Selatan 266.016 176.955 269.582
7 Prov. Bengkulu 194.108 219.206 226.135
8 Prov. Lampung 330.626 391.229 393.870
9 Prov. DKI Jakarta 3.344.062 4.634.051 -
10 Prov. Jawa Barat 532.646 443.864 572.856
11 Prov. Jawa Tengah 973.038 1.248.836 1.625.098
12 Prov. DI Yogyakarta 127.525 169.184 160.131
13 Prov. Jawa Timur 1.838.068 2.070.310 2.256.644
14 Prov. Kalimantan Barat 231.218 298.337 323.899
15 Prov. Kalimantan Tengah 151.268 189.191 210.003
16 Prov. Kalimantan Selatan 485.830 689.024 1.021.096
17 Prov. Kalimantan Timur 808.380 1.155.524 965.769
18 Prov. Sulawesi Utara 96.126 122.589 176.891
19 Prov. Sulawesi Tengah 166.022 179.235 203.524
20 Prov. Sulawesi Selatan 329.489 340.656 395.938
21 Prov. Sulawesi Tenggara 136.643 135.946 -
22 Prov. Bali 449.107 677.394 -
23 Prov. Nusa Tenggara Barat 196.945 227.398 393.320
24 Prov. Nusa Tenggara Timur 165.695 177.060 198.570
25 Prov. Maluku 117.980 159.331 200.768
26 Prov. Papua 575.941 672.966 649.772
27 Prov. Maluku Utara 70.851 94.442 117.990
28 Prov. Banten 228.645 382.842 395.491
29 Prov. Bangka Belitung 62.167 86.154 132.090
30 Prov. Gorontalo 30.156 54.612 129.556
31 Prov. Kepulauan Riau 89.851 125.661 237.984
32 Prov. Papua Barat 87.962 82.906 172.643
33 Prov. Sulawesi Barat 39.970 50.404 77.636
Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa realisasi belanja kesehatan Sumber : Rekap APBD klasifikasi fungsi menurut provinsi tahun 2012-
2014, diolah.
6
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa belanja kesehatan Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2012-2014 mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2012
besarnya belanja kesehatan sebesar Rp.937 milyar rupiah, kemudian secara
berturut-turut mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2014 besarnya belanja
kesehatan mampu mencapai sebesar Rp.1.625 milyar rupiah. Provinsi dengan
belanja kesehatan tertinggi dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp.4.634
milyar rupiah. Sedangkan provinsi dengan belanja kesehatan terkecil dimiliki oleh
Provinsi Sulawesi Barat sebasar Rp.77 milyar rupiah.
Secara umum belanja kesehatan di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan
kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya selama periode penelitian.
Bahkan pada tahun 2014 Provinsi Jawa Tengah menempati posisi ke tiga (3)
besaran belanja kesehatan tertinggi dari 33 provinsi di Indonesia. Peringkat ini
berada di bawah Provinsi DKI Jakarta dengan besarnya belanja kesehatan sebesar
Rp.4.634 milyar rupiah dan Provinsi Jawa Timur sebesar Rp.2.256 milyar rupiah.
(Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2015).
Berdasarkan Gambar 1.1 jika dilihat dari total APBD Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2014 sebesar Rp.13.997 milyar rupiah. Belanja kesehatan
menempati porsi kedua sebesar Rp.1.625 milyar rupiah, atau 12% di bawah
belanja pelayanan umum sebesar Rp.9.234 milyar rupiah atau 66% dari total
APBD Provinsi Jawa Tengah. Ini membuktikan bahwa belanja kesehatan menjadi
salah satu prioritas Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, karena telah
mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 12% dari APBD di luar gaji. Dan
telah sesuai dengan ketentuan bahwa besar alokasi anggaran kesehatan untuk
7
pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota minimal 10% dari total APBD diluar
gaji.
Berikut disajikan diagram proporsi APBD menurut fungsi Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014.
Gambar 1.1 Diagram Proporsi APBD Menurut Fungsi Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2014.
Sumber: APBD Kabupaten/Kota Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015,
diolah.
Implementasi otonomi daerah dan sistem desentralisasi telah memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan diluar urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Harapannya adalah pemerintah daerah lebih tau kondisi dan kebutuhan daerahnya
masing-masing. Sejak diterapkannya sistem desentralisasi fiskal, pemerintah
daerah lebih terkonsentasi pada daerah dalam mengatur urusan pengeluaran per
sektor.
Besarnya komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan layanan
publik melalui pengeluaran belanja tampak dari alokasi pengeluaran belanja
Pelayanan Umum
66% Kesehatan 12%
Ketertiban dan Ketentraman
1%
Ekonomi 8%
Lingkungan Hidup
0% Perumahan dan Fasilitas Umum
9%
Pariwisata dan Budaya
1%
Pendidikan 2%
Perlindungan Sosial
2%
8
pemerintah daerah. Efisiensi dalam pengeluaran belanja pemerintah daerah
didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika tidak mungkin lagi realokasi sumber
daya yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan
kata lain, efisiensi pengeluaran belanja pemerintah daerah diartikan setiap rupiah
yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah menghasilkan kesejahteraan
masyarakat yang optimal (dalam Kurnia, 2006).
Data dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, dalam rekap APBD
menunjukkan bahwa secara umum kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
memiliki trend belanja kesehatan yang cenderung meningkat pada tahun 2012-
2014.
Gambar 1.2 Grafik perkembangan belanja sektor kesehatan dalam APBD
menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 Sumber: APBD Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014,
diolah.
Terlihat pada Gambar 1.2. menunjukkan bahwa belanja kesehatan
pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama periode
penelitian cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sebanyak 14
0100,000200,000300,000400,000500,000600,000700,000800,000900,000
Kab
. Ban
jarn
egar
aK
ab. B
anyu
mas
Kab
. Bat
ang
Kab
. Blo
raK
ab. B
oyo
lali
Kab
. Bre
bes
Kab
. Cila
cap
Kab
. De
mak
Kab
. Gro
bo
gan
Kab
. Je
par
aK
ab. K
aran
gan
yar
Kab
. Ke
bu
men
Kab
. Ke
nd
alK
ab. K
late
nK
ab. K
ud
us
Kab
. Mag
ela
ng
Kab
. Pat
iK
ab. P
ekal
on
gan
Kab
. Pem
alan
gK
ab. P
urb
alin
gga
Kab
. Pu
rwo
rejo
Kab
. Re
mb
ang
Kab
. Se
mar
ang
Kab
. Sra
gen
Kab
. Su
koh
arjo
Kab
. Teg
alK
ab. T
eman
ggu
ng
Kab
. Wo
no
giri
Kab
. Wo
no
sob
oK
ota
Mag
ela
ng
Ko
ta P
ekal
on
gan
Ko
ta S
alat
iga
Ko
ta S
em
aran
gK
ota
Su
raka
rta
Ko
ta T
egal
2012 2013 2014
9
daerah mengalami pertumbuhan belanja kesehatan dengan rata-rata pertumbuhan
di atas rata-rata provinsi. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki rata-rata
pertumbuhan paling kecil adalah Kota Pekalongan. Asumsinya dengan tren
belanja kesehatan yang cenderung meningkat setiap tahunnya, harusnya dapat
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi
Jawa Tengah dan ketentuan WHO, ditinjau dari aspek derajat kesehatan
masyarakat. Indikator yang dinilai paling peka dan telah disepakati secara
nasional sebagai ukuran derajat kesehatan suatu wilayah adalah Angka Harapan
Hidup (AHH), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Ibu (AKI).
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa
AKB rata-rata pada 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012-
2014 sebesar 10,78 per 1000 kelahiran bayi hidup. Berdasarkan Gambar 1.3 diatas
dapat diketahui sebanyak 15 kabupaten/kota masih memiliki AKB lebih tinggi
daripada AKB rata-rata provinsi. AKB rata-rata tertinggi terdapat di Kabupaten
Rembang sebanyak 15,87 per 1000 kelahiran bayi hidup, diikuti Kabupaten
Banjarnegara dengan 15,79 per 1000 kelahiran bayi hidup. Adapun AKB rata-rata
terendah berhasil dicapai oleh Kota Surakarta dengan capaian AKB sebesar 4,11
per 1000 kelahiran bayi hidup. Ini menunjukkan sebagian daerah kabupaten/kota
di Jawa Tengah masih mengalami masalah angka kematian (Mortalitas).
10
Gambar 1.3 Diagram Angka Kematian Bayi Rata-rata di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012-2014
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015, diolah.
Indikator mortalitas yang selanjutnya adalah Angka Kematian Ibu (AKI).
Ditinjau dari penjelasan Gambar 1.4. diatas dapat diketahui bahwa jumlah kasus
AKI rata-rata selama tahun 2012-2014 di Provinsi Jawa Tengah tercatat sebanyak
14 daerah kabupaten/kota masih melebihi AKI rata-rata Provinsi sebesar 119,16
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI rata-rata tertinggi dicapai oleh
Kabupaten Pekalongan yang besarnya mencapai 202,22 kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup, diikuti oleh Kabupaten Brebes dengan 184,22 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup. Adapun AKI rata-rata terendah berhasil dicapai oleh
Kota Surakarta dengan AKI sebesar 53,31 kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup. Beberapa daerah yang mengalami peningkatan AKI selama tahun 2012-
2014 yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus,
Kabupaten Semarang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kabupaten
Brebes, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan. Hal ini juga menunjukkan bahwa
10,78
0.002.004.006.008.00
10.0012.0014.0016.0018.00
Re
mb
ang
Ban
jarn
egar
aB
lora
Tem
angg
un
gK
ota
Mag
ela
ng
Gro
bo
gan
Bat
ang
Pu
rwo
rejo
Ko
ta s
alat
iga
Ko
ta t
egal
Bre
bes
Wo
no
sob
oKota…
Sem
aran
gP
urb
alin
gga
Pro
vin
siC
ilaca
pP
ati
Suko
har
joB
anyu
mas
Ke
bu
men
Kar
anga
nya
rK
late
nK
ota
sem
aran
gB
oyo
lali
Ke
nd
alP
eka
lon
gan
Pe
mal
ang
Jep
ara
Srag
en
Tega
lM
age
lan
gK
ud
us
Wo
no
giri
De
mak
Ko
ta s
ura
kart
a
11
sebagian daerah di Provinsi Jawa Tengah masih mengalami masalah angka
kematian ibu.
Gambar 1.4 Diagram Angka Kematian Ibu Rata-rata di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2012-2014.
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015, diolah.
Salah satu indikator yang mempresentasikan aspek kesehatan yaitu
Angka Harapan Hidup (AHH). AHH merupakan salah satu tolok ukur derajat
kesehatan masyarakat. AHH yang semakin meningkat mengindikasikan bahwa
derajat kesehatan masyarakat yang semakin membaik. Pencapaian AHH di
Provinsi Jawa Tengah selama periode penelitian (2012-2014) mengalami
peningkatan. Meskipun terjadi peningkatan setiap tahunnya, namun sebanyak 18
daerah nilai rata-rata AHH kabupaten/kota masih berada di bawah rata-rata AHH
provinsi Jawa Tengah sebesar 72,1 tahun. Angka AHH tertinggi dicapai oleh
Kabupaten Karanganyar dengan angka harapan hidup penduduknya mencapai usia
73,9 tahun, sedangkan angka harapan hidup terendah dicapai oleh Kabupaten
Brebes dengan angka harapan hidup penduduknya mencapai usia 68,2 tahun.
117,93
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
Pe
kalo
nga
nB
reb
esK
ota
teg
alR
em
ban
gB
atan
gTe
gal
Gro
bo
gan
Ko
ta s
alat
iga
Pe
mal
ang
Pu
rbal
ingg
aK
ud
us
Ke
nd
alB
anja
rneg
ara
Pat
iP
rovi
nsi
Ban
yum
asC
ilaca
pK
late
nSe
mar
ang
Ko
ta M
age
lan
gB
lora
Pu
rwo
rejo
Kar
anga
nya
rSr
age
nJe
par
aK
ota
sem
aran
gW
on
oso
bo
Tem
angg
un
gW
on
ogi
riB
oyo
lali
Kota…
De
mak
Suko
har
joM
age
lan
gK
eb
um
enK
ota
su
raka
rta
12
Gambar 1.5 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
Sumber : BPS Jawa Tengah, 2015, diolah.
Secara umum, derajat kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh AKB, AKI
dan AHH. Angka kematian (Mortalitas) di sebagian besar kabupaten/kota masih
banyak yang di atas rata-rata provinsi. Hal ini membuktikan bahwa masih terjadi
peningkatan angka kematian ibu dan bayi di Provinsi Jawa Tengah selama periode
penelitian. Adapun indikator AHH yang seharusnya meningkat seiring
meningkatnya belanja kesehatan, namun yang terjadi AHH sebagian besar
kabupaten/kota masih di bawah rata-rata provinsi.
Secara keseluruhan tingkat pencapaian indikator derajat kesehatan
masyarakat yang dilihat dari AKB, AKI, dan AHH daerah di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2012-2014 masih harus ditingkatkan. Hal ini mengindikasikan
bahwa tingkat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang terjadi di Provinsi
Jawa Tengah pada tahun 2012-2014 tidak sebanding dengan kenaikan anggaran
kesehatan di daerah Provinsi Jawa Tengah. Sebagaimana yang di kemukakan oleh
72.0
71.0
71.5 70.8
70.6
72.1
70.6
71.4
72.3
73.5
72.8
73.7
73.9
73.8
71.5
72.4
71.7
73.8
72.0
72.7
73.0
73.7
73.7
70.9
72.0
71.0
69.8
69.9
68.2
72.6
74.0
73.1
74.0
71.9
70.9
72.1
65.066.067.068.069.070.071.072.073.074.075.0
Cila
cap
Ban
yum
asP
urb
alin
gga
Ban
jarn
egar
aK
eb
um
enP
urw
ore
joW
on
oso
bo
Mag
ela
ng
Bo
yola
liK
late
nSu
koh
arjo
Wo
no
giri
Kar
anga
nya
rSr
age
nG
rob
oga
nB
lora
Re
mb
ang
Pat
iK
ud
us
Jep
ara
De
mak
Sem
aran
gTe
man
ggu
ng
Ke
nd
alB
atan
gP
eka
lon
gan
Pe
mal
ang
Tega
lB
reb
esK
ota
Mag
ela
ng
Ko
ta s
ura
kart
aK
ota
sal
atig
aK
ota
sem
aran
gKota…
Ko
ta t
egal
Pro
vin
si
13
(Atmawikarta, 2005) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa
besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan. Meskipun terjadi peningkatan
belanja kesehatan setiap tahunnya selama periode penelitian, namun derajat
kesehatan yang ditunjukkan masih rendah.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penting dilakukan
penelitian tentang analisis efisiensi pengeluaran pemerintah sektor kesehatan di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat efisiensi teknis biaya belanja kesehatan di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2012-2014?
2. Bagaimana tingkat efisiensi teknis sistem pelayanan kesehatan di Provinisi
Jawa Tengah tahun 2012-2014?
3. Bagaimana target perbaikan penggunaan biaya belanja kabupaten/kota
yang belum efisien agar mencapai efisien?
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rumusan masalah yang
dikemukakan adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis biaya belanja kesehatan di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
14
2. Untuk mengetahui tingkat efisiensi teknis sistem pelayanan kesehatan di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
3. Untuk mengetahui target perbaikan penggunaan biaya belanja
kabupaten/kota yang dilakukan agar mencapai efisien.
1. 4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan yang positif terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi kesehatan.
b. Digunakan sebagai bahan acuan dan bahan pertimbangan bagi
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Masukan bagi Pemerintah Daerah dalam menetapkan kebijakan
pembangunan sektor kesehatan di daerah kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah.
b. Bahan pertimbangan dan evaluasi dalam mencapai sasaran
pembangunan khususnya sektor kesehatan.
c. Bahan masukan dan evaluasi bagi instansi-instansi terkait untuk
lebih meningkatkan kinerja sektor publik.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan hal yang sangat penting karena
menyangkut output yang dihasilkan untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.
Apabila pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk membeli barang dan jasa,
pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto, 1995:144). Perekonomian
memerlukan regulasi atau campur tangan pemerintah untuk mengatur kegiatan
ekonomi. Sejalan teori Keynes yang menyatakan bahwa sektor publik sebaiknya
turut berperan dalam proses peningkatan perekonomian secara umum. Menurut
Keynes, dalam sistem perekonomian, pihak swasta tidak boleh sepenuhnya diberi
kewenangan untuk mengelola perekonomian. Secara umum peran pemerintah
dalam perekonomian dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
(Mangkoesoebroto, 1999:2), yaitu :
a. Fungsi alokasi, yaitu mengalokasikan sumber daya yang digunakan dalam
memproduksi barang yang berasal dari barang swasta atau barang publik.
b. Fungsi distribusi, yaitu peran pemerintah dalam melakukan distribusi sumber
daya bagi masyarakat.
c. Fungsi stabilisasi, yaitu peran pemerintah dalam menjaga kestabilan
penyerapan tenaga kerja, stabilitas harga, serta tingkat pertumbuhan ekonomi
16
yang tepat yang berdampak pada neraca perdagangan dan neraca
pembayaran.
Pengeluaran pemerintah merupakan alokasi anggaran yang disusun
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya dengan
tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Kebijakan pengeluaran pemerintah
merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang mencerminkan salah satu wujud
intervensi pemerintah untuk mengatasi market failure dalam suatu perekonomian
(Kemenkeu, 2011). Pengeluaran pemerintah tercermin dalam anggaran belanja
yang tertuang dalam APBD setiap tahunnya.
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Amandemen
Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, serta Permendagri Nomor 21 Tahun 2011,
belanja pemerintah daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui
sebagai pengurangan kekayaan bersih bersih dalam periode tahun anggaran
bersangkutan. Pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja secara adil dan
merata agar dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang
maksimal bagi masyarakat. Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan
pemerintah daerah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang
terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan
undang-undang Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya
memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan
pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang
layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
17
Pengklasifikasian belanja daerah menurut fungsi yang digunakan untuk
tujuan tujuan nasional terdiri dari : (a) pelayanan umum; (b) ketertiban dan
ketentraman; (c) ekonomi; (d) lingkungan hidup; (e) perumahan dan fasilitas
umum; (f) kesehatan; (g) pariwisata dan budaya; (h) pendidikan; dan (i)
perlindungan sosial.
Dalam mengalokasikan pengeluaran, pemerintah harus melakukan
banyak pertimbangan, karena pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir
dari setiap kebijaksanaan pengeluarannya. Tetapi harus mempertimbangkan
sasaran antara yang akan menikmati kebijaksanaan tersebut. Banyaknya pos-pos
anggaran, sehingga pemerintah harus memprioritaskan alokasi anggaran untuk
sektor-sektor yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas.
Menurut Mangkoesoebroto (1999:169), perkembangan teori makro
mengenai pengeluaran pemerintah dapat dikelompokkan menjadi :
2.1.1 Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran
Pemerintah
Mangkoesoebroto (1999:169), model ini dikembangkan oleh Rostow dan
Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan
tahapan pembangunan ekonomi. Pada tahap awal dari perkembangan ekonomi,
persentase investasi yang dikeluarkan pemerintah dari total investasi sangat besar,
hal ini disebabkan pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana,
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan
ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin
18
membesar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap ini, untuk mengatasi
kegagalan pasar yang ditimbulkan peran swasta. Sehingga pemerintah harus
menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih besar. Selain itu,
pada tahap ini pembangunan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar
sektor yang semakin rumit (complicated). Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut,
Rostow menjelaskan bahwa dalam pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah
beralih dari penyediaan sarana dan prasarana menjadi pengeluaran-pengeluaran
yang bersifat sosial seperti halnya, kesejahteraan hari tua program pelayanan
masyarakat dan program bantuan yang bersifat sosial lainnya.
Teori Rostow dan Musgrave merupakan suatu pandangan yang muncul
dari pengamatan berdasarkan pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak
negara, tetapi tidak didasarkan oleh suatu teori tertentu. Selain itu tidak jelas
apakah tahap pertumbuhan ekonomi terjadi dalam tahap demi tahap, ataukah
beberapa tahap dapat terjadi secara stimulan.
2.1.2 Hukum Wagner Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan
pengeluaran pemerintah yang semakin besar proporsinya terhadap GNP yang
didasarkan pada pengamatan di negara maju. Hukum Wagner menyatakan bahwa
dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif
pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Dalam hal ini Wagner menerangkan
mengapa peranan pemerintah semakin besar, yang terutama disebabkan karena
pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum
pendidikan, rekreasi, kebudayaan, dan sebagainya.
19
Hukum Wagner menjelaskan tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah ditunjukkan dalam gambar berikut, dimana kenaikan pengeluaran
pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva 1, dan
bukan seperti yang ditunjukkin oleh kurva 2. Proses eksponensial menunjukkan
bahwa pengeluaran pemerintah akan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Gambar 2.1 Kurva Hukum Aktivitas Pemerintah yang Selalu
Meningkat
Sumber : Mangkoesoebroto (1999:172)
2.1.3 Teori Peacock dan Wiseman
Teori Peacock dan Wiseman didasarkan pada suatu analisa bahwa
pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran dan sebaliknya,
Masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai
pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Oleh karena itu, teori
Peacock dan Wiseman merupakan dasar dari teori pemungutan suara. Peacock dan
Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat
jsPengeluaran Pemerintah/GDP Kurve 1
Kurve 2
Z = Kurve perkembangan pengeluaran
pemerintah
Waktu
0 1 2 3 4 5
20
mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat
dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah
untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Perkembangan ekonomi menyebabkan
pemungutan pajak yang semakin meningkat, meskipun tarif pajak tidak berubah,
dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga
semakin meningkat.
Perkembangan pengeluaran pemerintah tidak hanya dari teori makro,
tetapi ada juga teori mikro. Tujuan teori mikro mengenai perkembangan
pengeluaran pemerintah adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang
menimbulkan permintaan akan barang publik dan faktor-faktor yang
menimbulkan tersedianya barang publik. Interaksi antara permintaan dan
penawaran untuk barang publik menentukan jumlah barang publik yang akan
disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik tersebut selanjutnya
akan menimbulkan permintaan akan barang lain. Sebagai contoh, pemerintah
menetapkan akan membuat sebuah kapal, maka ini akan menimbulkan permintaan
akan barang lain yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti semen, baja, alat-alat
pengangkutan dan seagainya. Teori mikro mengenai pengeluaran pemerintah
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Penentuan Permintaan;
Keterangan :
G = Vektor dari barang publik
X = Vektor barang swasta
21
I = individu; i = 1, …, m
U = fungsi utilitas.
Permintaan akan barang-barang publik dan barang-barang swasta
tergantung pada kendala anggaran (bugjet constraints). Perkembangan
pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan dengan faktor-faktor di bawah ini :
1. Perubahan permintaan akan barang publik;
2. Perubahan dari aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik,
dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam
proses produksi;
3. Perubahan kualitas barang publik;
4. Perubahan harga-harga faktor-faktor produksi.
2.2 Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah
Menurut Suparmoko (1996), Pengeluaran pemerintah dapat dinilai dari
berbagai segi sehingga dapat dibedakan menjadi empat klasifikasi sebagai berikut:
a. Pengeluaran pemerintah merupakan investasi untuk menambah kekuatan dan
ketahanan ekonomi di masa yang akan datang.
b. Pengeluaran pemerintah langsung memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat.
c. Pengeluaran pemerintah merupakan pengeluaran yang akan datang.
d. Pengeluaran pemerintah merupakan sarana penyedia kesempatan kerja lebih
banyak dan penyebaran daya beli yang lebih luas.
Berdasarkan penilaian tersebut, pengeluaran pemerintah dapat dibedakan
menjadi sebagai sebagai berikut :
22
a. Pengeluaran yang self liquiditing atau seluruhnya, artinya pengeluaran
pemerintah mendapatkan pembayaran kembali dari masyarakat yang
menerima jasa atau barang yang bersangkutan. Contohnya, pengeluaran untuk
jasa negara, atau untuk proyek-proyek produktif barang ekspor.
b. Pengeluaran yang reproduktif, artinya mewujudkan keuntungan-keuntungan
ekonomi bagi masyarakat, dimana dengan naiknya tingkat penghasilan dan
sasaran pajak yang lain pada akhirnya akan menaikkan penerimaan
pemerintah. Misalnya, pengeluaran untuk bidang pengairan, pertanian,
pendidikan, dan kesehatan masyarakat (publik health).
c. Pengeluaran yang tidak self liquiditing maupun yang tidak produktif, yaitu
pengeluaran yang langsung menambah kegembiraan dan kesejahteraan
masyarakat. Misalnya, untuk bidang rekreasi, pendirian monument, objek-
objek pariwisata dan sebagainya. Hal ini dapat juga menaikkan penghasilan
dalam kaitannya jasa-jasa tadi.
d. Pengeluaran yang secara langsung tidak produktif dan merupakan
pemborosan, misalnya untuk pembiayaan pertahanan atau perang meskipun
pada saat pengeluaran terjadi penghasilan yang menerimanya akan naik.
e. Pengeluaran yang merupakan penghematan di masa yang akan datang.
Misalnya pengeluaran untuk anak-anak yatim piatu. Jika hal ini tidak
dijalankan sekarang, kebutuhan-kebutuhan pemeliharaan bagi mereka dimasa
yang akan datang pasti akan lebih besar.
Berdasarkan tujuannya pengeluaran pemerintah dibedakan dalam dua
klasifikasi, yaitu :
23
a. Pengeluaran rutin adalah anggaran yang disediakan untuk menyelenggarakan
tugas umum pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Pengeluaran ini
meliputi belanja pegawai, belanja barang, berbagai macam subsidi (subsidi
daerah dan subsidi harga barang), angsuran dan bunga utang pemerintah,
serta jumlah pengeluaran lain. Anggaran pengeluaran rutin memegang peran
penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta
upaya peningkatan efisiensi dan produktifitas, yang pada gilirannya akan
menunjang tercapainya sasaran dan tugas setiap tahap pembangunan.
Penghematan dan efisiensi tersebut antara lain diupayakan malalui pinjaman
alokasi pengeluaran rutin, pengendalian dan koordinasi pelaksanaan
pembelian barang dan jasa kebutuhan departemen/non lembaga/non
departemen, dan pengurangan berbagai macam subsidi secara bertahap.
b. Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang betujuan untuk
pembiayaan proses perubahan, yang merupakan kemajuan dan perbaikan
menuju arah yang ingin dicapai. Pengeluaran pembangunan bersifat
menambah modal masyarakat baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun
non fisik. Di samping itu, pengeluaran pembangunan juga ditujukan untuk
membiayai program-program pembangunan sehingga anggarannya selalu
disesuaikan dengan dana yang berhasil dimobilisasi. Dana tersebut kemudian
dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang telah
direncanakan.
Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan di atas yang dimaksud
pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah
24
sektor kesehatan. Pemerintah memegang peranan penting dalam menetapkan
alokasi pengeluaran sektor kesehatan melalui penyediaan sarana dan prasarana
kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan
pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
melalui penyediaan sarana dan prasarana serta kualitas dan pelayanan kesehatan
yang optimal. Selain itu di dukung dari teori Peacock dan Wiseman yang serupa
dengan teori Wagner yaitu pemerintah senantiasa berusaha memperbesar
pengeluarannya atau sebaliknya. Berdasarkan data periode penelitian tahun 2012-
2014, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan menunjukkan peningkatan setiap
tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor kesehatan menjadi prioritas
utama dalam pembangunan ekonomi.
2.3 Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi masyarakat, oleh
karena itu kesehatan adalah hak bagi setiap warga masyarakat yang dilindungi
Undang-Undang Dasar. Menurut UU No. 36 Tahun 2006, kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik mental, spiritual, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Perbaikan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu investasi sumber
daya manusia untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Dengan demikian,
kesehatan menjadi perhatian utama pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan
publik.
Pengeluaran sektor kesehatan termasuk dalam klasifikasi belanja menurut
fungsi. Belanja kesehatan adalah belanja daerah yang dikeluarkan untuk
25
meningkatkan kualitas kesehatan dan pelayanan seperti pembelian obat, fasilitas
kesehatan, dan gedung kesehatan. Mill dan Gilson (1990:125), membatasi ruang
lingkup sektor kesehatan ke dalam lima aspek, yaitu :
a. Pelayanan kesehatan, jasa-jasa sanitasi lingkungan (air, sanitasi, pengawasan
polusi, keselamatan kerja, dan lain-lain);
b. Rumah sakit, institusi kesejahteraan sosial;
c. Pendidikan, pelatihan-pelatihan, penelitian medis murni;
d. Pekerjaan medis-sosial, kerja sosial;
e. Praktis medis yang mendapat pendidikan formal, penyedia pelayanan
kesehatan tradisional;
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, menyebutkan bahwa anggaran kesehatan pemerintah
dialokasikan minimal 5% (lima persen) dari APBN di luar gaji. Adapun untuk
anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan
minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di
luar gaji. Anggaran kesehatan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik
yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
Pada dasarnya tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk mencapai
derajat kesehatan masyarakat yang baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat
pembiayaan untuk sektor kesehatan (Atmawikarta, 2005). Semakin besar belanja
26
sektor kesehatan, maka semakin baik derajat kesehatan masyarakat. Indikator
yang dapat digunakan untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat pada
umumnya tercermin dalam kondisi angka kematian, angka kesakitan dan status
gizi (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2016).
Hasil dari pembiayaan untuk sektor kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan derajat dan status kesehatan masyarakat melalui ketersediaan dan
keterjangkauan fasilitas dan layanan kesehatan. Penyediaan fasilitas kesehatan
yang terjangkau dan memadai menjadi salah satu tugas pemerintah dalam rangka
menciptakan pembangunan menusia. Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan ini
dianggarkan setiap tahunnya dalam APBD dan digunakan untuk meningkatkan
kualitas dan pelayanan kesehatan seperti pembelian obat, fasilitas dan gedung
kesehatan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah).
Anggaran belanja fungsi kesehatan diklasifikasikan menjadi subfungsi:
(1) obat dan peralatan kesehatan; (2) pelayanan kesehatan perorangan; (3)
pelayanan kesehatan masyarakat; (4) keluarga berencana; (5) penelitian dan
pengembangan kesehatan.
Menurut Tjiptoherijanto dan Soesetyo (1994:101), menyebutkan bahwa
secara umum sumber pembiayaan untuk upaya kesehatan dapat digolongkan
sebagai sumber pemerintah dan sumber non-pemerintah (masyarakat dan swasta).
Sumber pemerintah dapat berasal dari pemerintah dalam negeri dan luar negeri.
Sumber pembiayaan bisa berasal dari perpajakan, pembiayaan dari defisit
anggaran pemerintah, pembebanan cukai, serta asuransi kesehatan. Adapun
sumber biaya masyarakat atau swasta dapat berasal dari pengeluaran rumah
27
tangga atau perorangan (out of pocket), perusahaan swasta/BUMN, badan
penyelenggara beberapa jenis jaminan pembiayaan kesehatan termasuk asuransi
kesehatan untuk membiayai pesertanya, dan lembaga non-pemerintah yang
umumnya digunakan untuk kegiatan kesehatan yang bersifat sosial dan
kemasyarakatan.
2.4 Aspek Kesehatan dalam Kajian Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi pada dasarnya adalah mengkaji tentang alternatif
penggunaan sumberdaya yang langka dan terbatas secara efisien. Pertimbangan
ekonomi memegang peran penting hampir di semua aspek kehidupan manausia,
seperti di sektor pertanian, perumahan, perindustrian, perdagangan, dan juga
kesehatan. Menurut Mills dan Gilson (1990:2) mendefinisikan ekonomi kesehatan
sebagai penerapan teori, konsep dan teknik ilmu ekonomi pada sektor kesehatan,
sehingga dengan demikian ekonomi kesehatan berkaitan erat dengan hal-hal
sebagai berikut:
a. Alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan;
b. Jumlah sumber daya yang digunakan dalam pelayanan kesehatan;
c. Pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan;
d. Efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya;
e. Dampak upaya pencegahan, pengobatan, dan pemulihan kesehatan pada
individu dan masyarakat.
Beberapa ekonom menganggap bahwa kesehatan merupakan fenomena
ekonomi baik jika dinilai dari stok maupun sebagai investasi. Sehingga fenomena
kesehatan menjadi variabel yang nantinya dapat dianggap sebagai faktor produksi
28
untuk meningkatkan nilai tambah barang dan jasa, atau sebagai suatu sasaran dari
tujuan-tujuan yang ingin dicapai baik oleh indinvidu, rumah tangga maupun
masyarakat, yang dikenal sebagai tujuan kesejahteraan “welfare objective”. Oleh
karena itu kesehatan dianggap sebagai modal dan memiliki tingkat pengembalian
yang positif baik untuk individu maupun untuk masayarakat.
2.5 Pengukuran Kinerja, Hasil, dan Indikator dalam Kesehatan
Mardiasmo (2002:121) menyatakan pengukuran kinerja sangat penting
untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manager dalam menghasilkan
pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas bukan sekedar kemampuan
menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan tetapi meliputi
kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan secara ekonomis,
efisien, dan efektif. Pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang
bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi
melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Pengukuran kinerja sektor publik
dilakukan untuk memenuhi tiga tujuan, yaitu:
1. Pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu
memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja ini berfokus pada tujuan dan
sasaran program unit kerja. Sehingga akan meningkatkan efisiensi dan
efektifitas organisasi sektor publik dalam pemberian pelayanan publik.
2. Pengukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber
daya dan pembuatan keputusan.
3. Pengukuran kinerja sektor publik digunakan untuk mewujudkan
pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
29
Pengukuran kinerja pada organisasi pemerintah tidak dapat dinilai dari
sisi output yang dihasilkan saja, akan tetapi harus mempertimbangkan input,
output, dan outcome secara bersama-sama. Bahkan, untuk beberapa hal perlu
ditambahkan pengukuran distribusi dan cakupan layanan (equity and service
coverage). Permasalahan yang sering dihadapi oleh pemerintah dalam melakukan
pengukuran kinerja adalah sulitnya mengukur output, karena output yang
dihasilkan tidak selalu berupa output yang berwujud, akan tetapi lebih banyak
berupa intangible output.
Permasalahan teknis yang dihadapi pada saat pengukuran ekonomi,
efisiensi, dan efektifitas (value for money) organisasi adalah bagaimana
membandingkan input dengan output untuk menghasilkan ukuran efisiensi yang
memuaskan jika output yang dihasilkan tidak dapat dinilai dengan harga pasar.
Solusi praktis atas masalah tersebut adalah dengan cara membandingkan input
finansial (biaya) dengan output nonfinansial, misalnya biaya unit (unit cost
statistics).
Berdasarkan kajian teori diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
kegaiatan operasional dikatakan ekonomis bila dapat mengurangi biaya yang tidak
perlu (efisiensi). Dalam hal ini, peningkatan pengeluaran pemerintah sektor
kesehatan mestinya dapat memberikan peningkatan manfaat yang lebih besar
untuk output dan outcome nya. Sama halnya ilmu ekonomi, sektor kesehatan
berkaitan erat dengan pengalokasian, pembiayaan, dan penggunaan sumber daya
yang sering disebut ekonomi kesehatan. Oleh karena itu sektor kesehatan perlu
adanya pengukuran hasil kesehatan untuk membandingkan nilai masukan dan
30
keluaran guna mengevaluasi efisiensi ekonominya. Hasil dari pengukuran
kesehatan ini diwujudkan dalam status kesehatan yang akan dicapai.
Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-
2018, telah menetapkan indikator-indikator yang mengacu pada Indonesia Sehat,
yaitu:
1. Indikator proses dan masukan (input), indikator ini terdiri dari pelayanan
kesehatan, sumber daya kesehatan, manajemen kesehatan, dan indikator-
indikator kontribusi terkait sektor tersebut.
2. Indikator hasil antara (intermediate output), indikator ini yang akan
mempengaruhi hasil akhir, seperti keadaan lingkungan, perilaku hidup
masyarakat, serta indikator-indikator akses dan mutu pelayanan kesehatan.
3. Indikator hasil akhir (outcomes), yaitu derajat kesehatan. Indikator ini terdiri
dari indikator mortalitas (kematian), yang dipengaruhi oleh indikator-
indikator mordibitas (kesakitan) dan status gizi.
2.6 Konsep Efisiensi
Kawedar et al. (2008:133) menyatakan mengukur efisiensi dapat dilihat
dari dua sisi yaitu biaya yang dikeluarkan per satuan produk (input ke output) atau
produk yang dihasilkan per satuan sumber daya (output ke input).
Efisiensi merupakan perbandingan output dibagi input sehingga
diperoleh formula sebagai berikut :
Menurut Mardiasmo (2002:132-134), pengukuran efisiensi dilakukan
dengan menggunakan perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input
31
yang digunakan. Semakin besar output dibanding input, maka semakin tinggi
tingkat efisiensi. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu
produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya
dan dana yang serendah-rendahnya (spending well). Rasio efisiensi tidak
dinyatakan dalam bentuk absolut tetapi dalam bentuk relatif. Unit A adalah lebih
efisien dibanding unit B, unit A lebih efisien tahun ini dibanding tahun lalu, dan
seterusnya. Karena efisiensi diukur dengan membandingkan keluaran dan
masukan maka perbaikan efisiensi dapat dilakukan dengan cara :
a. Meningkatnya output pada tingkat input yang sama;
b. Meningkatkan output dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi
peningkatan input;
c. Menurunkan input pada tingkatan output yang sama;
d. Menurunkan input dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi
penurunan output.
Efisiensi dapat dibagi menjadi dua yaitu efisiensi alokasi dan efisiensi
teknis (manajerial). Efisiensi alokasi terkait dengan kemampuan untuk
mendayagunakan sumber daya input pada tingkat kapasitas optimal. Efisiensi
teknis (manajerial) terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya
input pada tingkat ouput tertentu (Mardiasmo, 2002:134).
Nicholson (dalam Supiati, 2014), menyatakan bahwa efisiensi dibagi
menjadi dua, yaitu efisiensi teknis (fechnical efficiency) dan efisiensi ekonomi
(cost efficiency). Efisiensi teknis adalah pilihan proses produksi yang
menghasilkan output tertentu dengan meminimalisasi sumber daya. Kondisi
32
efisiensi teknis ini digambarkan oleh titik-titik di sepanjang kurva isoquan.
Efisien ekonomi adalah bahwa pilihan apapun teknik yang digunakan dalam
kegiatan produksi haruslah yang meminimumkan biaya. Pada efisiensi ekonomis,
kegiatan perusahaan akan dibatasi oleh garis anggaran yang dimiliki oleh
perusahaan tersebut (isocost).
Jafarov dan Gunnarson (2008) menyatakan bahwa pada dasarnya kinerja
suatu perusahaan diukur dengan menggunakan efisiensi ekonomi. Efisiensi
ekonomi terdiri atas efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi alokasi
(allocative efficiency). Efisiensi teknis adalah kombinasi antara kapasitas dan
kemampuan unit ekonomi untuk memproduksi sampai tingkat output maksimum
dari sejumlah input yang digunakan. Sedangkan efisiensi alokasi adalah
kemampuan dan kesediaan unit ekonomi yang digunakan dalam proses produksi
pada tingkat harga relatif.
Pengukuran efisiensi sektor publik khususnya dalam pengeluaran belanja
pemerintah didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika tidak mungkin lagi
realokasi sumber daya yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dengan kata lain, efisiensi pengeluaran belanja pemerintah daerah
diartikan ketika setiap rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah
menghasilkan kesejahteraan mesyarakat yang paling optimal. Ketika kondisi
tersebut terpenuhi, maka dikatakan belanja pemerintah telah mencapai tingkat
yang efisien (Kurnia, 2006).
Berkaitan dengan efisiensi pengeluaran pemerintah menurut Guritno
dalam Balitbangda dan Trimitra (2008: 178), peranan pemerintah untuk
33
mengalokasikan anggaran dan sekaligus menjamin tercapainya penggunaan
anggaran (sumber daya) secara efisien. Pada suatu sisi pengeluaran pemerintah
bersifat included, dan pada sisi lain terdapat kendala kemampuan finansial (budget
constraint) karena itu efisiensi diukur dari apakah pengeluaran pemerintah telah
sesuai dengan kenaikan anggaran yang tersedia.
Penelitian serupa yang dilakukan oleh Jafarov dan Gunnarsson (2008)
mengukur efisiensi sektor publik maka digunakan pengukuran efisiensi teknis
dimana nilai efisiensi diukur dengan menggunakan sejumlah input yang
digunakan untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Lebih lanjut dalam
pengukuran efisiensi sektor publik, efisiensi teknis dapat dibagi ke dalam tiga
jenis, yaitu efisiensi teknis biaya (technical cost efficiency), efisiensi teknis sistem
(technical system efficiency), dan efisiensi keseluruhan (over all efficiency).
Efisiensi teknis biaya merupakan pengukuran tingkat penggunaan sarana
ekonomi/ sejumlah input berupa besarnya nilai nominal belanja kesehatan yang
dikeluarkan oleh pemerintah untuk menghasilkan sejumlah output berupa
indikator output hasil antara (ouput intermediate) yang terdiri dari fasilitas dan
layanan kesehatan. Kondisi efisien akan tercapai ketika sejumlah nominal belanja
kesehatan yang dikeluarkan dalam jumlah tertentu dapat menghasilkan output
berupa fasilitas dan layanan kesehatan yang maksimum.
Efisiensi teknis sistem merupakan pengukuran tingkat penggunaan
sejumlah input berupa indikator ouput intermediate untuk menghasilkan sejumlah
output berupa indikator hasil akhir (outcomes) yaitu derajat kesehatan masyarakat.
Kondisi efisien akan tercapai jika penggunaan sejumlah input berupa fasilitas dan
34
layanan kesehatan dalam jumlah tertentu akan menghasilkan output berupa derajat
kesehatan yang maksimum.
Pengukuran efisiensi keseluruhan dilakukan dengan cara
menghubungkan secara langsung penggunaan indikator input berupa belanja
kesehatan dengan hasil outcome kesehatan berupa derajat kesehatan masyarakat
sebagai ouputnya. Kondisi yang efisien akan terjadi jika dengan besarnya belanja
kesehatan sejumlah tertentu dapat menghasilkan derajat kesehatan masyarakat
yang optimum.
2.7 Pengukuran Efisiensi dengan Metode Data Envelopment Analysis
(DEA)
Menurut Prajanti (2013:12), dalam mengukur efisiensi produksi dapat
dilakukan dengan pendekatan non-parametrik dengan Data Envelopment Analysis
(DEA). Data Envelopment Analysis (DEA) adalah suatu metode yang digunakan
untuk mengevaluasi tingkat efisiensi suatu unit kerja dengan variabel multiple
output dan multiple input melalui pendekatan linear programming. DEA bekerja
dengan langkah mengidentifikasi unit-unit yang akan dievaluasi, input serta
output unit tertentu. Kemudian dihitung nilai produktivitas dan mengidentifikasi
unit mana yang tidak menggunakan input secara efisien atau tidak menghasilkan
output secara efektif. Produktivitas yang diukur bersifat relatif, karena hanya
membandingkan antar unit pengukuran dari 1 set data yang sama. DEA adalah
model analisis faktor produksi untuk mengukur tingkat efisiensi relatif dari set
unit kegiatan ekonomi (UKE). Skor efisiensi dari banyak faktor input dan output
dirumuskan sebagai berikut :
35
Efficiency =
Selain itu, unit-unit yang melibatkan dalam perhitungan dari gabungan
UKE dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan UKE yang tidak efisien.
DEA juga mempertimbangkan menghitung perbaikan yang diperlukan di dalam
masukan (input) yang tidak efisien agar menjadi efisien (Prajanti, 2013:24).
DEA merupakan sebuah metode optimasi matematika yang mengukur
efisiensi teknik suatu unit kegiatan ekonomi (UKE), dan membandingkan secara
relatif terhadap UKE yang lain (Rusydiana, 2013:26). Efisiensi relatif UKE dalam
DEA, adalah rasio dari total output tertimbang dibagi total input tertimbang (total
weighted output/total weighted input). Inti dari DEA adalah menentukan bobot
(weighted) atau timbangan untuk setiap variabel-variabel input maupun output
yang ada, asalkan mampu memenuhi dua kondisi yang disyaratkan. Adapun kedua
kondisi yang disyaratkan yaitu:
a. Bobot tidak boleh negatif;
b. Bobot harus bersifat universal. Hal ini berarti setiap UKE dalam sampel harus
dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama untuk mengevaluasi
rasionya (total weighted output/total weighted input) dan rasio tersevut tidak
lebih dari 1 total weighted output/total weighted input ≤ 1).
Unit kegiatan ekonomi (UKE) dikatakan efisien secara relatif apabila
nilai dualnya sama dengan 1 (nilai efisiensi 100 persen), sebaliknya apabila nilai
dualnya kurang dari 1 maka UKE bersangkutan dianggap tidak efisien secara
relatif (Rusydiana, 2013:28).
36
Efisiensi yang diukur oleh analisis DEA memiliki karakter berbeda
dengan konsep efisiensi umumnya :
1. Efisiensi yang diukur adalah bersifat teknis, bukan ekonomis. Artinya analisis
DEA hanya memperhitungkan nilai absolute dari suatu variabel. Satuan dasar
pengukuran yang mencerminkan nilai ekonomis dari tiap-tiap variabel seperti
harga, berat, panjang, isi, dan lainnya tidak dipertimbangkan. Oleh karenanya
dimungkinkan suatu pola perhitungan kombinasi berbagai variabel dengan
satuan yang berbeda-beda.
2. Nilai efisiensi yang dihasilkan bersifat relatif atau hanya berlaku dalam
sekumpulan Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang diperbandingkan (Nugroho,
2003).
Analisis DEA memiliki dua model orientasi yaitu berorientasi input
(Input-Oriented Measures) dan berorientasi output (Output-Oriented Measures)
(Rusydiana, 2013:16). Pengukuran berorientasi input (Input-Oriented Measures)
menunjukkan untuk penekanan sejumlah input dapat dikurangi secara
proporsional tanpa mengubah jumlah output yang dihasilkan. Selanjutnya,
pengukuran berorientsi output (Output-Oriented Measures) mengukur bilamana
sejumlah output dapat ditingkatkan secara proporsional tanpa mengubah jumlah
input yang digunakan. Kedua oreintasi ini dapat berasumsi constant return to
scale (CRS) dan variable return scale (VRS).
Menurut Rusdydiana (2013:22), dalam perkembangannya pendekatan
DEA ada dua model yang digunakan yaitu model constant return to scale (CRS)
yang dikembangkan oleh Charness, Cooper dan Rhodes (Model CCR) dan model
37
variable return scale (VRS) yang dikembangkan oleh Banker, Charnes, dan
Cooper (Model BCC).
Bentuk dasar DEA berasumsi adanya Constan Return to Scale (CRS),
model ini mengasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output
adalah sama. Artinya jika ada tambahan input sebesar x kali, maka output akan
meningkat sebesar x kali juga. Asumsi yang lain yang digunakan dalam model ini
adalah bahwa setiap perusahaan atau unit kegiatan ekonomi (UKE) beroperasi
pada skala optimal. Nilai efisiensi selalu kurang atau sama dengan 1, UKE yang
nilai efisiensinya kurang dari 1 berarti inefisiensi sedangkan UKE yang nilai
efisiensinya sama dengan 1 berarti UKE tersebut efisien.
Model Variable Return to Scale (VRS) merupakan pengembangan dari
model CCR. Model ini beranggapan bahwa perusahaan tidak atau belum
beroperasi pada skala yang optimal. Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio
antara penambahan input dan output tidak sama. Artinya, penambahan input
sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x kali, bisa lebih
kecil atau lebih besar dari x kali.
Secara singkat, pada umumnya metode DEA memiliki keunggulan dan
kelemahan sebagai berikut :
1. Keunggulan DEA
a. Dapat menangani banyak input dan output;
b. Tidak perlu asumsi hubungan fungsional antara variabel input dan output;
c. Unit kegiatan ekonomi (UKE) dibandingkan secara langsung dengan
sesamanya;
38
d. Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda. Sebagai
contoh X1 dapat dalam unit dan X2 dapat dalam dollar tanpa apriori
keduanya.
2. Keterbatasan DEA
a. Bersifat simple spesifik;
b. Merupakan extreme point technique, kesalahan pengukuran dapat bersifat
fatal;
c. DEA sangat bagus untuk estimasi efisiensi relatif UKE (unit kegiatan
ekonomi) tetapi sangat lambat untuk mengukur efisiensi absolut, dengan
kata lain bisa membandingkan sesama UKE tetapi bukan membandingkan
maksimisasi secara teori;
d. Uji hipotesis secara statistik atas hasil DEA sulit dilakukan;
e. Menggunakan perumusan linear programming terpisah untuk tiap UKE;
f. Bobot dan input yang dihasilkan oleh DEA tidak dapat ditafsirkan dalam
nilai ekonomi.
g. Hanya mengukur produktivitas relatif dari unit kegiatan ekonomi bukan
produktivitas absolut.
2.8 Penelitian Terdahulu
Penelitian terhadap efisiensi pengeluaran pemerintah ini bersifat
universal. Terdapat beberapa literatur yang telah membahas efisiensi belanja
publik di berbagai negara. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang menunjang
serta menjadi acuan dalam penelitian ini.
39
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Judul dan
Nama Peneliti
Variabel dan Teknik
Alat Analisis Hasil Penelitian
1. Analisis
Efisiensi
Belanja
Daerah di
Kabupaten
Sumbawa
(Studi Kasus
Bidang
Pendidikan
dan
Kesehatan)
(Indriati,
Neneng
Erlina,2014)
Variabel input: belanja
pendidikan dan belanja
kesehatan.
Variabel Output intermediate:
Fasilitas dan layanan pendidikan
berupa rasio guru per murid dan
rasio kelas per murid
Fasilitas dan layanan kesehatan
berupa rasio jumlah dokter per
1000 penduduk, rasio tenaga
kesehatan per 1000 orang dan
imunisasi campak.
Variabel outcome:
Pendidikan rata-rata nilai UN
dan angka kelulusan (AL)
Kesehatan AKB dan AKB
Metode Data Envelopment
Analysis (DEA) dengan
menggunakan software DEA
online software (DEAOS).
1. Secara rata-rata
terjadi inefisiensi
2. Efisiensi teknis
biaya bidang
pendidikan :
Kecamatan Batu
Lanteh,
sedangkan
efisiensi teknis
sistem :
Kecamatan
Sumbawa,
Kecamatan Rhee,
Kecamatan
Maronge.
3. Efisiensi teknis
biaya bidang
kesehatan :
Kecamatan
Lantung.
Sedangkan
efisiensi teknis
sistem :
Kecamatan
Maronge,
Kecamatan
Sumbawa,
Kecamatan Utan,
dan Kecamatan
Alas Barat.
2. Efisiensi
Pengeluaran
Pemerintah
Daerah di
Provinsi Jawa
Tengah (Lela
Dina Pertiwi,
2007)
Variabel Input: pengeluaran
pemerintah sektor pendidikan
dan kesehatan.
Variabel Output: Sektor
pendidikan berupa angka melek
huruf dan rata-rata lama sekolah
penduduk 15 tahun ke atas.
Sektor kesehatan berupa AHH.
Metode penelitian menggunakan
Hasil penelitian:
1. Tahun 1999,
pengeluaran
pendidikan belum
efisien.
2. Tahun 2002,
pengeluaran
pendidikan
meningkat, namun
masih kategori
40
No Judul dan
Nama Peneliti
Variabel dan Teknik
Alat Analisis Hasil Penelitian
analisis Data Envelopment
Analysis (DEA)
belum efisien.
3. Tahun 1999,
pengeluaran sektor
kesehatan
mayoritas belum
efisien.
4. Tahun 2002,
pengeluaran sektor
kesehatan terjadi
peningkatan dan
membaik.
5. Peningkatan
tingkat efisiensi
tahun 2002.
3. Model
Pengukuran
Kinerja dan
Efisiensi
Sektor Publik
Metode Free
Disposable
Hull (FDH)
Akhmad
Syakir Kurnia,
2006.
Untuk menaksir PSP, penelitian
ini menggunakan 5 sub indikator
kinerja yang terdiri dari
indikator sosioekonomi dan
Musgravia indicators, yaitu
kesehatan, pendidikan,
distribusi, stabilitas, dan kinerja
ekonomi.
Analisis Free Disposible Hull
(FDH)
Metode: publik sector
performance (PSP) dan Publik
sektor efficiency.
Hasil penelitian
menunjukkan 2
daerah kabupaten/
kota yang relatif lebih
efisisen dibandingkan
lainnya pada tahun
2002, yaitu
Kabupaten Cilacap
dan Kabupaten
Grobogan. Dari PSP
Indikator, terlihat
bahwa kabupaten/
kota yang proporsi
pengeluaran
pemerintah terhadap
PDRBnya tinggi tidak
serta merta memiliki
indikator yang tinggi.
4. Government
Spending on
Health Care
and Education
in Crotia :
Efficiency and
Reform
Option.
(Jafarov dan
Victoria
Gunnarson,
Variabel Input : Kesehatan
berupa besaran anggaran
kesehatan yang dikeluarkan
pemerintah Kroasia. Variabel
Output : Angka Harapan Hidup,
Angka Kematian Kasar per
100.000 penduduk, Angka
Kematian Bayi per 1000
kelahiran, Angka Kematian
Balita per 1000 kelahiran,
Angka Kematian Ibu Maternal
Hasil penelitian
menunjukkan telah
terjadi inefisiensi
yang signifikan
dalam teknis biaya
pengeluaran
kesehatan di Negara
Kroasia pada
tahun 2007. Hal
tersebut berkaitan
dengan adanya
41
No Judul dan
Nama Peneliti
Variabel dan Teknik
Alat Analisis Hasil Penelitian
IMF Working
Paper 2008).
per 100.000 kelahiran dan kasus
tuberkolosis per 100.000
penduduk.
Mengkaji tingkat efisiensi relatif
dari pengeluaran pemerintah di
Negara Kroasia dengan metode
analisis Data Envelopment
Analysis (DEA).
ketidak cukupan
dalam me-recovery
biaya,
mekanisme
pembiayaan dan
penyelenggaraan
institusi yang
buruk, serta
kelemahan dalam
penetapan sasaran
subsidi
kesehatan.
5. Education and
Health in G7
Countries:
Achieving
Better
Outcomes with
Less Spending.
(Marijn
Verhoeven,
dkk. IMF
Working
Paper, 2007).
Variabel input : pengeluaran
pemerintah sektor kesehatan.
Variabel Intermediate: jumlah
tempat tidur di rumah sakit,
jumlah dokter per kapita, jumlah
imunisasi, dan jumlah konsultasi
dokter.
Variabel Outcome : Angka
Harapan Hidup, Angka
Kematian Kasar, Angka
Kematian bayi per 1000
penduduk, Angka Kematian
Anak per 1000 penduduk, dan
Angka Kematian Maternal per
1000 penduduk.
Dalam mengukur tingkat
efisiensipengeluaran
pemerintah, penelitian ini
menggunakan metode analisis
statistic non parametrik berupa
Data
Envelopment Analysis(DEA).
Inefisiensi
pengeluaran
pemerintah
untuk sektor publik
yang terjadi
pada negara-negara
G7 disebabkan
karena kurangnya
efektifitas dalam
memperoleh
sumberdaya, seperti
guru dan tenaga
medis (dokter)
Penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dan persamaan dengan
beberapa penelitian terdahulu yang sudah dijelaskan diatas. Persamaan dalam
penelitian ini adalah penggunaan metode Data Envelopment Analysis (DEA)
42
untuk mengukur efisiensi teknis. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian terdahulu adalah terletak pada variabel output intermediate yang
digunakan berupa rasio jumlah puskesmas per 100.000 penduduk dan rasio
jumlah tenaga bidan per 100.000 penduduk. Selain itu perbedaan juga terdapat
pada lokasi, tahun, dan variabel penelitian yang digunakan.
2.9 Kerangka Berpikir
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan
ekonomi suatu negara. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah telah mengatur
anggaran kesehatan minimal 10 persen dari seluruh anggaran belanja daerah yang
tersedia. Anggaran ini terdiri dari anggaran kesehatan pemerintah pusat yang
dialokasikan minimal 5% dari APBN diluar gaji, sementara besar anggaran
kesehatan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan minimal
10 persen dari APBD di luar gaji. Besarnya belanja kesehatan ini akan
berhubungan positif dengan pencapaian derajat kesehatan masyarakat. Namun
kenyataannya belanja kesehatan yang meningkat belum mampu diimbangi dengan
pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menjelaskan hubungan
penggunaan biaya dalam mencapai output melalui efisiensi teknis biaya dan
efisiensi teknis sistem. Dalam perhitungan nilai efisiensi teknis dilakukan dengan
tiga variabel yaitu variabel input, variabel output intermediate, dan variabel
output. Variabel input dibandingkan dengan variabel output intermediate sehingga
akan menghasilkan nilai efisiensi teknis biaya. Efisiensi teknis biaya merupakan
efisiensi dalam penggunaaan input berupa belanja kesehatan untuk menghasilkan
43
output berupa fasilitas dan layanan kesehatan. Selanjutnya, variabel output
intermediate akan dibandingkan dengan variabel output sehingga menghasilkan
nilai efisiensi teknis sistem.
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran dari analisis
efisiensi pengeluaran pemerintah sektor kesehatan dapat digambarkan sebagai
berikut :
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Pengeluaran Pemerintah Sektor Kesehatan
tidak diimbangi dengan Peningkatan Derajat
Kesehatan Masyarakat di Jawa Tengah
Analisis Efisiensi
Efisiensi Teknis Biaya Efisiensi Teknis Sistem
Variabel Input
Pengeluaran
Pemerintah
untuk sektor
kesehatan
Variabel Output Intermediate
Rasio jumlah puskesmas
per 100.000 penduduk
Rasio jumlah tenaga bidan
per 100.000 penduduk
Rasio jumlah tempat tidur
tersedia di rumah sakit per
100.00 penduduk
Variabel Output
Angka
Kematian Bayi
Angka
Kematian Ibu
Angka Harapan
Hidup
Efisien/ Inefisien
Target Perbaikan
44
Efisiensi teknis sistem adalah efisiensi dalam penggunaan input berupa
fasilitas dan layanan kesehatan untuk menghasilkan output berupa derajat
kesehatan. Kedua nilai efisiensi tersebut akan terbagi ke dalam dua kondisi, yaitu
efisien dan tidak efisien (inefisien). Pada kondisi yang tidak efisien akan
dilakukan analisis lebih lanjut mengenai besarnya target perbaikan untuk menjadi
efisien.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis
Data Envelopment Analysis (DEA). DEA merupakan metode analisis yang
didesain khusus untuk mengukur efisiensi relatif masing-masing unit sampel
penelitian. Dalam perkembangannya, DEA merupakan alat analisis yang
digunakan untuk mengukur efisiensi relatif salah satunya dalam penelitian dalam
bidang kesehatan. Penelitian ini akan menganalisis efisiensi pengeluaran
pemerintah sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh melalui studi kepustakaan dari sumber-sumber yang terkait. Data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa data belanja APBD sektor kesehatan
Provinsi Jawa Tengah, jumlah puskesmas, jumlah tenaga bidan, dan jumlah
tempat tidur di rumah sakit pemerintah, serta data yang menunjukkan derajat
kesehatan masyarakat (Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Ibu, dan Angka
Harapan Hidup).
Sumber data berasal dari instansi-instansi terkait diantaranya Direktorat
Jendral Perimbangan Keuangan, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, dan
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
46
3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan untuk menganalisis efisiensi dalam penelitian
ini adalah dengan mengunakan variabel input dan output. Variabel input
didefinisikan sebagai sumber daya yang dimanfaatkan oleh UKE atau kondisi
yang mempengaruhi kinerja dari UKE, sedangkan variabel output adalah
keuntungan (benefit) yang dihasilkan sebagai hasil dari kegiatan operasi UKE.
Variabel output intermediate dimaksudkan untuk mengakomodir hubungan tidak
langsung antara variabel input dan variabel output. Penelitian ini menggunakan 2
(dua) analisis efisiensi teknis, yaitu efisiensi teknis biaya dengan membandingkan
variabel input dengan variabel output intermediate, sedangkan untuk efisiensi
teknis sistem yaitu dengan membandingkan antara variable output intermediate
dengan variabel output. Penelitian ini menggunakan tiga jenis variabel
diantaranya:
a. Variabel Input,
Variabel input ini meliputi pengeluaran pemerintah sektor kesehatan.
Penggunaan pengeluaran sektor kesehatan ini meliputi pelayanan dasar, pelayanan
rujukan, pelayanan kefarmasian, dan keluarga berencana. Pengeluaran pemerintah
sektor kesehatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah belanja kesehatan
per kapita Provinsi Jawa Tengah yang dinyatakan dalam juta rupiah.
b. Variabel Output Intermediate
1. Rasio jumlah puskesmas per 100.000 penduduk;
Jumlah puskesmas per 100.000 penduduk merupakan salah satu indikator
yang digunakan untuk mengetahui keterjangkauan penduduk terhadap fasilitas
47
dan layanan kesehatan berupa puskesmas di suatu wilayah (Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah, 2014). Puskesmas merupakan lembaga yang paling dekat
dengan masyarakat, karena puskesmas menjalankan fungsi kuratif, selain itu
puskesmas juga mempunyai peran dalam preventif dan promotif. Puskesmas
menjadi institusi jenjang pertama yang terlibat langsung dengan masyarakat.
Variabel jumlah puskesmas yang digunakan meliputi jumlah puskesmas,
puskesmas rawat inap, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling.
Penghitungan indikator ini diperoleh melalui formula:
2. Rasio jumlah tenaga bidan per 100.000 penduduk;
Jumlah bidan per 100.000 penduduk merupakan jumlah bidan yang
bertugas di rumah sakit pemerintah, puskesmas, puskesmas pembantu atau
fasilitas kesehatan publik milik pemerintah lainnya di suatu wilayah tertentu
(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Upaya penting dalam
peningkatan kesehatan masyarakat adalah peningkatan penolong kelahiran oleh
tenaga medis. Penolong kelahiran secara langsung sangat mempengaruhi derajat
kesehatan ibu dan anak pada tahun-tahun selanjutnya pasca kelahiran.
Berdasarkan data Susenas, selama periode penelitian tahun 2012-2014, rata-rata
persentase balita menurut penolong kelahiran di Provinsi Jawa Tengah adalah
tenaga bidan dengan 71,03 persen. Ini menunjukkan bahwa tenaga bidan memliki
peran besar dalam penolong kelahiran di Jawa Tengah. Variabel jumlah bidan
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jumlah bidan yang bertugas di
48
rumah sakit pemerintah, puskesmas, puskesmas pembantu atau fasilitas kesehatan
publik milik pemerintah lainnya di suatu wilayah tertentu. Perhitungan indikator
diperoleh melalui formula:
3. Rasio jumlah tempat tidur yang tersedia Rumah Sakit per 100.000
penduduk.
Merupakan indikator yang menggambarkan fasilitas layanan kesehatan
yang disediakan pemerintah di rumah sakit milik pemerintah dalam satu tahun
tertentu (Djafarov dan Gunnarson, 2008). Variabel jumlah tempat tidur yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi jumlah tempat tidur milik pemerintah
yaitu departemen kesehatan, provinsi, kabupaten/kota, ABRI, departemen lain dan
swasta. Perhitungan indikator diperoleh melalui formula:
c. Variabel Output
1. Angka Kematian Bayi per 1.000 jumlah kelahiran;
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan jumlah kematian bayi (1-11
bulan) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun (Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah, 2014). Angka ini merupakan indikator sensitif terhadap
ketersediaan, pemanfaatan, dan kualitas pelayanan kesehatan terutama pelayanan
perinatal. Sedangkan kelahiran hidup adalah suatu kelahiran seorang bayi tanpa
49
memperhitungkan lamanya di dalam kandungan, dimana bayi menunjukkan
tanda-tanda kehidupan. Adapun perhitungan indikator formulanya:
Indikator angka kematian (mortalitas) memiliki karakteristik negatif,
artinya semakin rendah nilai mortalitas, maka semakin baik kondisi derajat
kesehatan. Karena AKB merupakan salah satu indikator mortalitias. Hal ini tidak
sesuai dengan perhitungan efisiensi DEA yaitu bobot harus berkarakteristik
positif. Sehingga indikator AKB di proksi dengan Angka Bayi Lahir Hidup
(ABH) dengan formula:
Angka bayi hidup merupakan angka berketerbalikan dengan angka
kematian bayi, sehingga jumlah bayi hidup yang meningkat mencerminkan
jumlah kematian bayi yang berkurang.
2. Angka Kematian Ibu Maternal per 100.000 kelahiran hidup;
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah kematian perempuan pada saat hamil
atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa
memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni yang disebabkan
karena kehamilannya/pengelolaanya, bukan karena sebab-sebab lain seperti
kecelakaan, terjatuh dan lain-lain (BPS, 2014). Adapun perhitungan indikator
formulanya:
50
Sama halnya dengan AKI, indikator AKI juga merupakan salah satu
indikator mortalitas yang memiliki karakteristik negatif, sehingga dalam
penelitian ini indikator AKI diproksi dengan indikator Angka Ibu Melahirkan
Selamat (AIMS) dengan perhitungan indikator formulanya:
AIMS merupakan angka yang berkerbalikan dengan AKI, sehingga
jumlah AIMS yang meningkat akan mencerminkan jumlah AKI yang menurun.
3. Angka Harapan Hidup saat lahir
Angka Harapan Hidup adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan
dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur tertentu, pada tahun
tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.
Angka ini mencerminkan lamanya seorang bayi baru lahir diharapkan hidup dan
memberikan gambaran salah satu penyebabnya adalah meningkatnya kualitas
hidup dan kesehatan masyarakat. Sedangkan Angka Harapan Hidup saat lahir
adalah rata-rata lamanya hidup (dalam tahun) sejak lahir yang akan dicapai oleh
penduduk dalam suatu wilayah dan waktu tertentu yang dihitung berdasarkan
angka kematian menurut kelompok umur. Perhitungan Angka Harapan Hidup
dihitung dengan menggunakan paket program Mortpak berdasarkan data rata-rata
kelompok umur ibu 15-49 tahun, dan dengan memperhatikan trend hasil Sensus
51
penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus. Dalam penelitian ini yang
digunakan adalah Angka Harapan hidup saat lahir.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi atau studi pustaka. Arikunto (2013:274) mendefiniskan metode
dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal tau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger,
agenda dan sebagainya.
Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi atau studi pustaka
berupa Rekap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Jawa Tengah, Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Juknis Penyusunan Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah, Jawa Tengah dalam Angka, Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
dalam Angka, serta berbagai buku dan literatur berupa jurnal penelitian dan
laporan kinerja pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data
Envelopment Analysis (DEA). Pemilihan penggunaan analisis DEA berdasarkan
pertimbangan bahwa analisis DEA mampu mengukur efisiensi relatif suatu unit
kegiatan ekonomi (UKE) dalam kondisi banyak input maupun output (multi-input
and multi-output). Selain itu DEA mampu mengakomodasi satuan-satuan dari
variabel-variabel input dan output yang saling berbeda. Pemilihan analisis DEA
dalam penelitian ini mampu mengukur tingkat efisiensi relatif pengeluaran
pemerintah sektor kesehatan di 35 kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah.
52
Dengan mengukur efisiensi pengeluran pemerintah sektor kesehatan tersebut,
maka akan dapat dilihat kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang sudah
efisien dan yang belum efisien dalam penggunaan belanja kesehatannya.
Penelitian ini menjelaskan hubungan penggunaan biaya kesehatan dalam
mencapai output akhir meliputi variabel input dan variabel output intermediate
akan menghasilkan efisiensi teknis biaya, lebih lanjut variabel output intermediate
dan variabel output akan menghasilkan efisiensi teknis sistemnya. Efisiensi yang
diukur adalah bersifat teknis, bukan ekonomis. Artinya analisis DEA hanya
memperhitungkan nilai absolut dari suatu variabel. Satuan dasar pengukuran yang
mencerminkan nilai ekonomis dari tiap-tiap variabel seperti harga, berat, panjang,
isi dan lainnya tidak dipertimbangkan. Oleh karena itu dimungkinkan suatu pola
perhitungan kombinasi berbagai variabel dengan satuan yang berbeda-beda.
Dalam pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio antara
output dan input, disajikan sebagai berikut:
Efisiensi =
………………. ………………….…..(1)
Selanjutnya, pengukuran efisiensi yang menyangkut input dan output
dengan pengukuran efisiensi relatif yang dibobot sebagaimana sebagai berikut:
Efisiensi dari unit j =
…………........................................... (2)
Namun demikian, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan
berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Maka
dari itu, DEA berasumsi bahwa setiap UKE akan memilih bobot yang
memaksimumkan rasio efisiensinya (maximize total weighted output/ total
53
weighted input). Untuk mengkalkulasi efisiensi relatif dari pengeluaran
pemerintah sektor kesehatan di Provinsi Jawa Tengah digunakan pemrograman
linear sebagai berikut.
Maksimumkan ∑ …………………………………… (3)
Dengan batasan kendala :
∑ ∑
…………………………… (4)
∑ .…………………………….....……..........................................(5)
……………………………………………………… (6)
…………………………………………………….. (7)
Keterangan dari persamaan di atas dijelaskan sebagai berikut:
Zk = Kabupaten/kota yang diamati
K = Kabupaten/kota yang dinilai dalam analisis yaitu 35 kabupaten/kota
= Jumlah output r yang dihasilkan oleh UKE k
= Jumlah input I yang digunakan UKE k
s = Jumlah output yang dihasilkan (layanan, fasilitas kesehatan dan derajat
kesehatan).
m = Jumlah input yang digunakan (belanja kesehatan kabupaten/kota)
= Bobot tertimbang dari output r yang dihasilkan tiap UKE k
= Bobot tertimbang dari input i yang dihasilkan tiap UKE k
Pengukuran dalam analisis DEA memiliki dua model orientasi yaitu
orientasi input (Input-Oriented Measures) dan orientasi output (Output-Oriented
Measures). Dalam penelitian ini menggunakan orientasi output untuk variabel
input dan variabel output intermediate, serta variabel output intermediate dan
54
variabel outcome. Artinya sejumlah output dapat ditingkatkan secara proporsional
tanpa mengubah jumlah input yang digunakan. Sehingga dari analisis efisiensi ini
akan dihasilkan efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistem.
Aam Rusydiana (2013:21) menyatakan bahwa dalam pendekatan DEA
dikenal dua asumsi berdasarkan hubungan variabel input dengan outputnya, yaitu
Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to Scale (VRS). Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Variable Return to Scale (VRS),
dengan asumsi bahwa rasio penambahan input dan output adalah tidak sama.
Karena dalam sektor kesehatan penambahan proporsi input belum tentu dapat
meningkatkan proporsi output dengan nilai yang sama. Hal ini dikarenakan ada
faktor lain yang juga mempengaruhi seperti tingkat pendidikan, kesadaran
masyarakat, kondisi lingkungan dan lain sebagainya.
Tabel 3.1 Kriteria Ukuran Tingkat Efisiensi Teknis Belanja Kesehatan di
Provinsi Jawa Tengah.
Kriteria Efisiensi Nilai Efisiensi (persen)
Sempurna/Optimum 100
Tinggi 81-99
Sedang 60-80
Rendah 41-59
Tidak Efisien ≤ 40
Sumber : Hidayat dalam Fathoni, 2016.
Agar dapat dipastikan tingkat capaian efisiensi teknis pada belanja sektor
kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014, maka perlu adanya
pembagian kriteria ukuran tingkat efisiensi, yaitu efisiensi sempurna, efisiensi
tinggi, efisiensi sedang, efisiensi rendah, serta tidak efisien. Kriteria ukuran
tingkat efisiensi dapat terlihat pada Tabel 3.1 di atas.
Salah satu keunggulan analisis perhitungan efisiensi dengan metode DEA
adalah selain mampu menemukan nilai efisiensi relatif dari masing-masing UKE,
55
metode DEA juga dapat membuat skenario perbaikan input dan output, bagi input
dan output yang belum efisien melalui langkah-langkah indentifikasi input yang
terlalu banyak atau output yang terlalu rendah. Hasil analisis data dengan metode
DEA, akan terlihat UKE yang memiliki input/ output yang belum efisien. Maka
dari hal tersebut akan ditentukan langkah selanjutnya untuk tahap perbaikan.
56
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah
4.1.1 Letak geografis dan Pemerintahan
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
letaknya cukup strategis karena berada diantara dua provinsi besar yaitu Jawa
Barat dan Jawa Timur serta Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya antara 5°40'
dan8°30' Lintang Selatan dan antara 108°30' dan111°30' Bujur Timur.
Luas wilayah Provinsi Jawa Tengah sebesar 32.544,12 km2. Secara
administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota yang
tersebar menjadi 573 kecamatan dan 8.578 desa/ kelurahan. Wilayah terluas
terdapat di Kabupaten Cilacap sebesar 2.138,51 km2, atau sekitar 6,75% dari luas
total Provinsi Jawa Tengah, sedangkan Kota Magelang merupakan wilayah yang
luasnya paling kecil yaitu sebesar 18,12 km2.
4.1.2 Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 33.522.663 jiwa atau
sekitar 13,29 persen dari jumlah penduduk Indonesia (Sensus Penduduk, 2014).
Ini menempatkan Provinsi Jawa Tengah sebagai provinsi ketiga di Indonesia
dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Rata-rata
kepadatan penduduk Jawa Tengah tahun 2014 sebesar 1.030 jiwa untuk setiap
km2. Wilayah terpadat adalah Kota Surakarta, dengan tingkat kepadatan penduduk
sekitar 11.584 jiwa per km2
persegi. Wilayah terlapang adalah Kabupaten Blora,
57
dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 472 jiwa per km2, dengan demikian
persebaran penduduk di Jawa Tengah belum merata.
Gambar 4.1 Jumlah Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2) berdasarkan
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
Sumber : BPS, 2015.
Berdasarkan Gambar 4.1 diatas menunjukkan bahwa tingkat persebaran
penduduk di Provinsi Jawa Tengah masih belum merata. Jumlah penduduk
perkotaan lebih besar jika dibandingkan dengan di daerah kabupaten (pedesaan).
Rerata kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2014 sekitar
2000,57 jiwa per km2 dengan kepadatan tertinggi di Kota Surakarta sebesar
11.585 jiwa per km2 dan kepadatan terendah di Kabupaten Blora sebesar 473 jiwa
per km2. Jika dilihat dari segi kesehatan, tingkat kepadatan dan mobilitas
penduduk yang tinggi akan berpengaruh terhadap penyebaran beberapa penyakit
menular dan penyebab munculnya masalah kesehatan lainnya. Karena pada
umumnya penduduk yang berada di daerah yang kepadatan penduduknya tinggi
akan sulit untuk mengatur kebersihan pada lingkungannya. Sebagai contoh di kota
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000K
ota
Su
raka
rta
Ko
ta T
egal
Ko
ta M
age
lan
gK
ota
Pek
alo
nga
nK
ota
Se
mar
ang
Ko
ta S
alat
iga
Kab
. Ku
du
sK
ab. S
uko
har
joK
ab. K
late
nK
ab. T
egal
Kab
. Pem
alan
gK
ab. D
em
akK
ab. B
anyu
mas
Kab
. Je
par
aK
ab. P
urb
alin
gga
Kab
. Mag
ela
ng
Kab
. Kar
anga
nya
rK
ab. B
reb
esK
ab. S
em
aran
gK
ab. P
ekal
on
gan
Kab
. Bo
yola
liK
ab. K
en
dal
Kab
. Bat
ang
Kab
. Sra
gen
Kab
. Ke
bu
men
Kab
. Tem
angg
un
gK
ab. B
anja
rneg
ara
Kab
. Pat
iK
ab. C
ilaca
pK
ab. W
on
oso
bo
Kab
. Pu
rwo
rejo
Kab
. Gro
bo
gan
Kab
. Re
mb
ang
Kab
. Wo
no
giri
Kab
. Blo
ra
58
dengan mayoritas penduduk yang tinggi, mengalami masalah sampah yang
menumpuk dan sulit untuk ditangani. Sehingga masyarakat lebih memilih
membuang ke sungai, karena terbatasnya tempat pembuangan akhir. Akibat hal
tersebut, aliran sungai menjadi mampet, bila musim hujan akan terjadi banjir.
Akibat dari banjir ini menimbulkan berbagai macam penyakit seperti DBD, diare,
muntaber dan lain sebagainya.
Padat dan/ tidaknya suatu penduduk di daerah tidak bisa dijadikan tolok
ukur untuk menentukan kesehatan penduduk suatu daerah, karena hal ini kembali
lagi kepada kesadaran penduduk akan pentingya lingkungan yang sehat sehingga
terhidar dari berbagai macam penyakit.
4.2 Belanja Sektor Kesehatan
Berdasarkan rekap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tahun 2015,
diketahui bahwa belanja kesehatan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah selama tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 secara umum mengalami
kecenderungan yang selalu meningkat. Peningkatan belanja kesehatan dibeberapa
daerah terjadi sangat signifikan, hampir semua kabupaten/kota mengalami
peningkatan belanja kesehatan selama periode penelitian (2012-2014), kecuali
Kota Salatiga yang mengalami penurunan pada tahun 2013, namun meningkat
kembali pada tahun 2014.
Bertikut disajikan tabel anggaran belanja kesehatan perkapita
berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 :
59
Tabel 4.1
Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Per kapita Berdasarkan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014
No Kabupaten/Kota 2012 2013 2014 Rata-Rata
1 Kab. Cilacap 98778,67 117144,56 137530,70 117817,98
2 Kab. Banyumas 145089,18 162279,40 209047,64 172138,74
3 Kab. Purbalingga 145104,16 158531,27 208052,41 170562,61
4 Kab. Banjarnegara 133564,63 156835,92 174103,31 154834,62
5 Kab. Kebumen 110936,13 175019,87 214329,50 166761,83
6 Kab. Purworejo 167049,10 208501,66 229676,16 201742,31
7 Kab. Wonosobo 132320,07 149754,32 209994,33 164022,91
8 Kab. Magelang 103719,13 116507,10 123901,17 114709,13
9 Kab. Boyolali 174851,54 195281,09 232436,47 200856,36
10 Kab. Klaten 70502,85 76801,71 148106,47 98470,35
11 Kab. Sukoharjo 125979,54 155138,30 195828,05 158981,96
12 Kab. Wonogiri 127272,70 143354,68 200649,97 157092,45
13 Kab. Karanganyar 117423,32 151755,40 189712,35 152963,69
14 Kab. Sragen 170714,48 176546,67 240383,85 195881,66
15 Kab. Grobogan 108961,35 112005,74 165829,53 128932,21
16 Kab. Blora 146923,19 163170,35 225458,06 178517,20
17 Kab. Rembang 223759,71 257573,01 288041,95 256458,22
18 Kab. Pati 174904,29 188628,45 207407,59 190313,44
19 Kab. Kudus 197003,14 226610,17 236674,95 220096,09
20 Kab. Jepara 127264,99 146859,33 152513,34 142212,55
21 Kab. Demak 97612,86 105582,64 148772,85 117322,78
22 Kab. Semarang 151128,75 193358,40 231977,02 192154,73
23 Kab. Temanggung 122100,11 150372,72 183743,59 152072,14
24 Kab. Kendal 129856,78 158382,82 192972,20 160403,94
25 Kab. Batang 140605,53 184983,35 211284,67 178957,85
26 Kab. Pekalongan 177909,65 221319,01 255372,28 218200,31
27 Kab. Pemalang 100471,13 117834,28 122410,89 113572,10
28 Kab. Tegal 107106,35 127328,65 181188,78 138541,26
29 Kab. Brebes 84378,51 117171,02 130658,98 110736,17
30 Kota Magelang 807452,78 941477,78 1109567,81 952832,79
31 Kota Surakarta 232707,10 239829,58 243347,07 238627,92
32 Kota Salatiga 625517,61 537303,24 702831,99 621884,28
33 Kota Semarang 43517,21 152395,58 159519,95 118477,58
34 Kota Pekalongan 230219,00 286871,90 374232,65 297107,85
35 Kota Tegal 546336,68 645245,69 733875,17 641819,18
Rata-rata 217030,78
Sumber : Rekap APBD klasifikasi fungsi menurut kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2012-2014, diolah.
60
Berdasarkan Tabel 4.1 diatas, menunjukkan bahwa pada tahun 2012,
anggaran belanja kesehatan terbesar dicapai oleh Kota Magelang sebesar Rp.807
juta. Adapun belanja kesehatan terendah dikeluarkan oleh Kota Semarang sebesar
Rp.43 juta. Pada tahun 2013, belanja kesehatan di Kota Magelang meningkat
menjadi Rp.941 juta dan menjadi belanja kesehatan terbesar pada tahun itu, dan
belanja terendah dimiliki oleh Kabupaten Klaten sebesar Rp.76 juta. Sedangkan
pada tahun 2014, belanja kesehatan tertinggi kembali dimiliki oleh Kota
Magelang dengan Rp.1.109 juta dan yang terendah yaitu Kabupaten Pemalang
dengan Rp.122 juta.
Perkembangan rata-rata belanja kesehatan di Provinsi Jawa Tengah pada
tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 menunjukkan bahwa Kota Magelang
memiliki angka rata-rata belanja kesehatan terbesar mencapai angka Rp.952 juta.
Sedangkan angka rata-rata belanja kesehatan terkecil dimiliki oleh Kabupaten
Klaten sebesar Rp.98 juta. Besarnya kecilnya anggaran belanja sektor kesehatan
dalam APBD yang diupayakan oleh masing-masing pemerintah daerah salah
satunya sangat dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan masing-masing daerah
terhadap penyediaan fasilitas dan layanan kesehatan. Fasilitas dan layanan
kesehatan yang diupayakan oleh pemerintah daerah ini pada akhirnya akan
digunakan untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
4.3 Fasilitas dan Layanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,
61
pemerintah daerah, dan/ atau masyarakat (Undang-Undang Nomor 36 tahun
2009). Indikator yang digunakan dalam menggambarkan fasilitas dan pelayanan
kesehatan diantaranya rasio jumlah puskesmas per jumlah penduduk, rasio jumlah
bidan per jumlah penduduk, dan rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah
sakit per jumlah penduduk (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015).
Indikator fasilitas kesehatan berupa rasio jumlah puskesmas dan rasio
jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit. Ditinjau dari indikator rasio
jumlah puskesmas masih mengalami ketimpangan yang cukup besar. Hal ini
terlihat pada tahun 2012, rasio jumlah puskesmas tertinggi terdapat di Kabupaten
Wonogiri dengan 22,82 unit per 100.000 penduduk, adapun rasio jumlah
puskesmas terendah dimiliki oleh Kota Semarang sebesar 7,36 unit per 100.000
penduduk. Sama halnya dengan tahun 2013, rasio jumlah puskesmas tertinggi
masih dimiliki Kabupaten Wonogiri (22,92 unit per 100.000 penduduk), terendah
dimiliki Kota Semarang (7,30 unit per 100.000 penduduk). Kondisi ini tidak
berubah sampai tahun 2014. Bahkan untuk Kabupaten Wonogiri ini memiliki
rasio dokter yang hamper 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan
kabupaten yang memiliki rasio jumlah puskesmas terendah.
Perkembangan rasio jumlah puskesmas selama tahun 2012-2014
menunjukkan bahwa sebanyak 18 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah masih
memiliki fasilitas jumlah puskesmas dibawah rata-rata provinsi (12,74 unit per
100.000 penduduk). Daerah yang memiliki fasilitas puskesmas tertinggi yaitu
Kabupaten Wonogiri dengan 22,68 unit per 100.000 penduduk. Sedangkan daerah
dengan fasilitas puskesmas terendah dimiliki oleh Kota Semarang sebesar 7,02
62
unit per 100.000 penduduk. Ini menandakan bahwa fasilitas kesehatan yang
tercermin dari indikator jumlah puskesmas di Provinsi Jawa Tengah sebagian
besar daerah kabupaten/kota masih mengalami ketimpangan dalam pemerataan
jumlah puskesmas yang tersebar di beberapa wilayah.
Ketersediaan fasilitas kesehatan yang ditinjau dari indikator rasio jumlah
tempat tidur yang tersedia di rumah sakit selama periode penelitian juga masih
mengalami ketimpangan. Pada tahun 2012, Kota Magelang memiliki rasio jumlah
tempat tidur yang tersedia tertinggi dengan 586,98 unit per 100.000 penduduk
sedangkan Kabupaten Magelang memiliki rasio jumlah tempat tidur yang tersedia
terendah dengan 27,31 unit per 100.000 penduduk. Pada tahun 2013 rasio jumlah
tempat tidur di Kota Magelang naik menjadi 589,49 unit per 100.000 penduduk,
lain halnya dengan Kabupaten Magelang turun menjadi 25,21 unit per 100.000
penduduk. Adapun tahun 2014, kedua daerah tersebut mengalami peningkatan
kembali Kota Magelang (691,18 unit per 100.000 penduduk) dan Kabupaten
Magelang (33,88 unit per 100.000 penduduk).
Perkembangan rasio jumlah tempat tidur selama tahun 2012-2014
menunjukkan bahwa sebanyak 27 daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
yang masih berada di bawah rata-rata provinsi (112,28 unit per 100.000
penduduk). Secara umum yang terlihat pada rasio jumlah tempat tidur yang
tersedia di rumah sakit antara daerah kota dan kabupaten memiliki angka yang
jauh berbeda. Rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit, daerah kota
jauh lebih tinggi diatas 100, sedangkan untuk daerah kabupaten memiliki rasio
jumlah tempat tidur dibawah 100.
63
Tabel 4.2 Rasio Puskesmas dan Rasio Tempat Tidur yang Tersedia di
Rumah Sakit di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014 (per 100.000
penduduk)
Kab/Kota Rasio Puskesmas Rasio Tempat Tidur
2012 2013 2014 Rata-rata 2012 2013 2014 Rata-rata
Kab. Cilacap 9,82 9,84 8,96 9,54 43,81 46,60 47,28 46,24
Kab. Banyumas 8,17 8,16 7,22 7,85 111,16 115,35 145,90 124,14
Kab. Purbalingga 10,48 10,46 9,11 10,02 48,32 48,19 47,12 47,88
Kab. Banjarnegara 13,92 13,93 12,50 13,45 54,21 54,27 50,34 52,94
Kab. Kebumen 13,37 13,51 12,62 13,17 73,45 73,76 87,30 78,17
Kab. Purworejo 18,07 18,14 16,38 17,53 72,83 73,14 76,97 74,32
Kab. Wonosobo 14,00 14,04 12,93 13,66 56,52 56,67 63,11 58,77
Kab. Magelang 10,50 10,48 10,13 10,37 27,31 25,21 33,88 28,80
Kab. Boyolali 12,59 12,61 11,07 12,09 80,67 91,30 96,05 89,34
Kab. Klaten 14,40 14,45 13,00 13,95 69,55 69,80 88,21 75,86
Kab. Sukoharjo 17,44 17,42 16,10 16,99 80,12 80,05 87,87 82,68
Kab. Wonogiri 22,82 22,92 22,31 22,68 67,42 73,01 78,13 72,85
Kab. Karanganyar 14,55 14,52 12,85 13,97 60,45 60,34 67,55 62,78
Kab. Sragen 15,54 15,60 14,39 15,17 82,49 85,90 98,56 88,98
Kab. Grobogan 10,60 10,70 9,67 10,33 70,12 68,62 73,07 70,60
Kab. Blora 13,34 13,38 12,14 12,95 55,48 55,66 63,53 58,22
Kab. Rembang 18,57 18,56 16,77 17,97 42,56 42,54 53,41 46,17
Kab. Pati 9,34 9,36 8,81 9,17 71,64 75,86 76,45 74,65
Kab. Kudus 10,28 10,24 9,38 9,97 127,01 134,06 145,16 135,41
Kab. Jepara 8,65 8,58 7,26 8,16 59,83 59,40 65,25 61,49
Kab. Demak 9,62 9,59 8,41 9,21 38,30 38,19 42,84 39,78
Kab. Semarang 13,84 13,76 12,45 13,35 61,75 61,39 35,74 52,96
Kab. Temanggung 17,24 17,49 16,24 16,99 77,59 77,47 70,91 75,33
Kab. Kendal 12,85 12,84 11,56 12,41 32,60 32,58 49,54 38,24
Kab. Batang 12,63 12,78 11,81 12,41 44,74 45,30 46,85 45,63
Kab. Pekalongan 13,00 13,01 12,10 12,70 66,99 67,01 66,97 66,99
Kab. Pemalang 7,94 7,97 7,63 7,85 52,61 55,17 59,88 55,89
Kab. Tegal 8,87 9,05 8,45 8,79 51,79 52,01 61,33 55,05
Kab. Brebes 8,47 8,50 7,44 8,14 34,17 39,95 46,30 40,14
Kota Magelang 18,27 18,34 18,28 18,30 586,98 589,49 691,18 622,55
Kota Surakarta 12,17 12,21 12,16 12,18 396,80 394,23 446,40 412,48
Kota salatiga 15,78 15,68 14,90 15,45 263,13 261,49 322,31 282,31
Kota semarang 7,36 7,30 6,40 7,02 238,29 233,10 250,93 240,77
Kota pekalongan 16,88 16,85 16,68 16,80 181,51 181,18 212,12 191,60
Kota tegal 15,53 15,58 15,10 15,41 249,76 236,61 352,66 279,68
Rata-rata Provinsi 13,05 13,08 12,09 12,74 106,63 107,28 122,89 112,28
Sumber : Jawa Tengah dalam Angka 2012-2014, diolah.
64
Kota Magelang memiliki rasio jumlah tempat tidur tertinggi sebesar
622,55 unit per 100.000 penduduk, sedangkan rasio jumlah tempat tidur terendah
yaitu Kabupaten Magelang dengan 28,80 unit per 100.000 penduduk. Ini
menandakan bahwa rasio jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit dan
fasilitas kesehatan lainnya yang tersebar di Provinsi Jawa Tengah selama periode
penelitian masih belum merata hal ini dapat dilihat dari rasio jumlah tempat tidur
terendah dan terbesar di masing-masing daerah.
Ditinjau dari indikator ketersediaan layanan kesehatan berupa rasio
jumlah bidan di rumah sakit pemerintah, puskesmas, puskesmas pembantu atau
fasilitas kesehatan publik milik pemerintah lainnya per 100.000 penduduk masih
belum merata. Pada tahun 2012, rasio jumlah bidan tertinggi terdapat di Kota
Magelang sebesar 74,72 bidan per 100.000 penduduk, rasio jumlah bidan terendah
dimiliki oleh Kota Semarang dengan 29,20 bidan per 100.000 penduduk.
Sedangkan pada tahun 2013, rasio jumlah bidan tertinggi terdapat di Kabupaten
Banjarnegara dengan 85,51 bidan per 100.000 penduduk, sedangkan terendah
masih dimiliki Kota Semarang dengan 29,06 bidan per 100.000 penduduk.
Adapun tahun 2014, Kota Magelang memiliki rasio jumlah bidan tertinggi sebesar
76,43 bidan per 100.000 penduduk, dan Kabupaten Brebes dengan rasio jumlah
bidan terendah sebesar 27,01 bidan per penduduk.
Berikut disajikan data rasio jumlah bidan per 100.000 penduduk di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
65
Tabel 4.3
Rasio Jumlah Bidan per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah Tahun
2012-2014
Kabupaten/Kota Rasio Jumlah Bidan
2012 2013 2014 Rata-rata
Kab. Cilacap 42,86 69,63 68,23 60,24
Kab. Banyumas 40,67 45,34 39,11 41,71
Kab. Purbalingga 40,91 42,28 32,95 38,71
Kab. Banjarnegara 74,64 85,51 47,77 69,31
Kab. Kebumen 64,65 65,61 68,25 66,17
Kab. Purworejo 44,46 46,49 66,10 52,35
Kab. Wonosobo 44,59 44,71 44,23 44,51
Kab. Magelang 38,38 42,81 42,88 41,36
Kab. Boyolali 46,57 45,07 45,94 45,86
Kab. Klaten 49,35 47,95 51,04 49,45
Kab. Sukoharjo 55,97 55,68 54,61 55,42
Kab. Wonogiri 50,61 51,15 33,83 45,20
Kab. Karanganyar 48,76 51,30 51,75 50,60
Kab. Sragen 73,58 74,89 75,72 74,73
Kab. Grobogan 46,00 52,31 54,69 51,00
Kab. Blora 46,04 48,43 51,98 48,82
Kab. Rembang 65,40 59,94 42,66 56,00
Kab. Pati 52,62 58,78 57,93 56,45
Kab. Kudus 54,52 57,60 57,48 56,53
Kab. Jepara 55,03 54,54 36,47 48,68
Kab. Demak 34,54 35,63 37,24 35,81
Kab. Semarang 38,41 37,88 37,47 37,92
Kab. Temanggung 48,86 52,60 53,32 51,59
Kab. Kendal 63,91 64,63 37,98 55,51
Kab. Batang 66,29 65,31 61,11 64,24
Kab. Pekalongan 61,53 61,55 48,87 57,32
Kab. Pemalang 52,06 55,02 36,05 47,71
Kab. Tegal 42,93 43,25 42,53 42,90
Kab. Brebes 38,69 38,82 27,01 34,84
Kota Magelang 74,72 74,21 76,43 75,12
Kota Surakarta 53,97 55,14 56,07 55,06
Kota salatiga 59,16 59,91 58,50 59,19
Kota semarang 29,20 29,06 28,51 28,93
Kota pekalongan 32,38 33,35 60,26 42,00
Kota tegal 45,37 47,57 47,35 46,76
Rata-rata Provinsi 50,79 52,97 49,50 51,09
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014, diolah.
Perkembangan rasio jumlah bidan selama kurun waktu 2012-2014
menunjukkan bahwa sebanyak 19 kabupaten/kota yang memiliki jumlah bidan di
bawah jumlah bidan rata-rata di provinsi (51,09 bidan per 100.000 penduduk).
66
Daerah dengan jumlah bidan terbesar yaitu Kota Magelang dengan 75,12 bidan
per 100.000 penduduk. Adapun daerah dengan jumlah bidan terendah dimiliki
oleh Kota Semarang dengan 28,93 bidan per 100.000 penduduk. Secara umum
jumlah bidan yang tersebar di Provinsi Jawa Tengah masih belum merata, hal ini
terlihat dari rasio jumlah bidan di kabupaten/kota yang masih rendah dibeberapa
daerah.
Berdasarkan indikator fasilitas dan layanan kesehatan tersebut, secara
umum dapat diketahui bahwa di Provinsi Jawa Tengah masih membutuhkan
perhatian dari pemerintah daerah terkait penyediaan serta pemerataan fasilitas dan
layanan kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan kesehatan yang baik.
4.4 Kondisi Derajat Kesehatan Masyarakat
Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur derajat kesehatan
masyarakat pada umumnya tercermin dalam kondisi angka kematian, angka
kesakitan dan status gizi (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2016).
Menurut Rencana Strategis Pemerintah Jawa Tengah dalam publikasi Badan
Perencanaan dan Pembangunan (BAPPEDA) Provinsi Jawa Tengah menyatakan
bahwa indikator utama yang digunakan sebagai ukuran derajat kesehatan
masyarakat suatu wilayah adalah Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Ibu,
dan Angka Harapan Hidup.
4.4.1 Angka Kematian (Mortalitas)
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa kejadian
kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu menggambarkan status
kesehatan masyarakat secara kasar, kondisi atau tingkat permasalahan kesehatan,
67
kondisi lingkungan fisik dan biologis secara tidak langsung. Angka kematian
(mortalitas) biasanya digunakan sebagai penilaian keberhasilan pelayanan
kesehatan dan program pembangunan kesehatan. Ini terbukti dengan indikator ini
masuk dalam tujuan MDGs tahun 2015.
Indikator kematian yang digunakan untuk mengukur keberhasilan upaya
kesehatan adalah Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI).
4.4.1.1 Angka Kematian Bayi
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, rata-rata angka AKB
pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 mencapai 10,34 bayi
per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini terus menurun jika dibandingkan pada tahun
2013 sebesar 10,98 dan tahun 2012 sebesar 11,01 bayi per kelahiran hidup. Pada
tahun 2014, sebanyak 15 kabupaten/kota yang memiliki AKB diatas rata-rata
AKB Provinsi di Jawa Tengah (10,34 bayi per kelahiran hidup). Hal ini
menandakan bahwa di sebagian besar kabupaten/kota pada tahun 2014 masih
terjadi angka kematian bayi yang cukup tinggi, karena jumlahnya yang melebihi
rata-rata AKB provinsi. AKB tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Grobogan dengan
17,82 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Adapun AKB terendah berhasil dicapai
Kota Surakarta dengan 3,78 bayi per 1.000 kelahiran hidup.
Selanjutnya, jika dilihat dari rata-rata AKB selama periode penelitian
(2012-2014), menunjukkan bahwa sebanyak 15 kabupaten/kota memiliki AKB di
atas rata-rata AKB di Provinsi Jawa Tengah sebesar 10,78 bayi per 1.000
kelahiran hidup. Kabupaten Rembang memiliki tingkat AKB paling tinggi
mencapai 15,87 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB terendah masih
68
dimiliki Kota Surakarta dengan 4,11 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Kondisi lain
terjadi di 4 (empat) daerah kabupaten/kota yang terus mengalami peningkatan
AKB selama 2012-2014, yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Kudus. Ini membuktikan bahwa masih
terdapat peningkatan angka kematian bayi yang terjadi di beberapa daerah.
Berikut disajikan perkembangan AKB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2012-2014:
Gambar 4.2 Diagram Angka Kematian Bayi rata-rata di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2012-2014
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, di olah.
4.4.1.2 Angka Kematian Ibu
Angka Kematian Ibu (AKI) pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah selama kurun tahun 2012-2013 cenderung mengalami peningkatan.
Sebanyak 14 daerah kabupaten/kota masih memiliki AKI rata-rata di atas AKI
rata-rata provinsi (119,16 per 100.000 kelahiran hidup). Daerah dengan AKI
tertinggi terjadi di Kabupaten Pekalongan dengan 202 per 100.000 kelahiran
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
Kab
. Re
mb
ang
Kab
. Ban
jarn
egar
aK
ab. B
lora
Kab
. Tem
angg
un
gK
ota
Mag
ela
ng
Kab
. Gro
bo
gan
Kab
. Bat
ang
Kab
. Pu
rwo
rejo
Ko
ta s
alat
iga
Ko
ta t
egal
Kab
. Bre
bes
Kab
. Wo
no
sob
oK
ota
pek
alo
nga
nK
ab. S
em
aran
gK
ab. P
urb
alin
gga
Rat
a-ra
ta P
rovi
nsi
Kab
. Cila
cap
Kab
. Pat
iK
ab. S
uko
har
joK
ab. B
anyu
mas
Kab
. Ke
bu
men
Kab
. Kar
anga
nya
rK
ab. K
late
nK
ota
sem
aran
gK
ab. B
oyo
lali
Kab
. Ke
nd
alK
ab. P
ekal
on
gan
Kab
. Pem
alan
gK
ab. J
ep
ara
Kab
. Sra
gen
Kab
. Teg
alK
ab. M
age
lan
gK
ab. K
ud
us
Kab
. Wo
no
giri
Kab
. De
mak
Ko
ta s
ura
kart
a
10,78
69
hidup. Adapun AKI terendah berhasil dicapai Kota Surakarta dengan 53,31 per
100.000 kelahiran hidup. Selain itu terdapat 9 daerah kabupaten/kota yang selam
periode penelitian secara konsisten mengalami peningkatan AKI di Provinsi Jawa
Tengah, yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus,
Kabupaten Semarang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kabupaten
Brebes, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan.
Tren positif nilai AKI yang semakin meningkat ini, menandakan adanya
penurunan derajat kesehatan masyarakat yang terjadi sehingga membutuhkan
perhatian serius bagi pemerintah daerah agar lebih diprioritaskan pada kesehatan
ibu dan anak. Berikut disajikan perkembangan AKI kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah tahun 2012-2014:
Gambar 4.3 Diagram Angka Kematian Ibu rata-rata di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2012-2014.
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, diolah.
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
Kab
. Pek
alo
nga
nK
ab. B
reb
esK
ota
teg
alK
ab. R
em
ban
gK
ab. B
atan
gK
ab. T
egal
Kab
. Gro
bo
gan
Ko
ta s
alat
iga
Kab
. Pem
alan
gK
ab. P
urb
alin
gga
Kab
. Ku
du
sK
ab. K
en
dal
Kab
. Ban
jarn
egar
aK
ab. P
ati
Rat
a-ra
ta P
rovi
nsi
Kab
. Ban
yum
asK
ab. C
ilaca
pK
ab. K
late
nK
ab. S
em
aran
gK
ota
Mag
ela
ng
Kab
. Blo
raK
ab. P
urw
ore
joK
ab. K
aran
gan
yar
Kab
. Sra
gen
Kab
. Je
par
aK
ota
sem
aran
gK
ab. W
on
oso
bo
Kab
. Tem
angg
un
gK
ab. W
on
ogi
riK
ab. B
oyo
lali
Ko
ta p
ekal
on
gan
Kab
. De
mak
Kab
. Su
koh
arjo
Kab
. Mag
ela
ng
Kab
. Ke
bu
men
Ko
ta s
ura
kart
a
119,16
70
4.4.2 Angka Harapan Hidup
Angka Harapan Hidup (AHH) kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
dalam kurun waktu 2012-2014 memiliki kecenderungan yang selalu meningkat
setiap tahunnya. Nilai AHH selalu meningkat dari tahun ke tahun. AHH tertinggi
pada tahun 2014 didimiliki Kabupaten Sukoharjo dengan 77,45, sedangkan AHH
terendah di tahun 2014 dimiliki Kabupaten Brebes dengan 67,9. Jika dilihat rata-
rata AHH pada tahun 2014 lebih tinggi yaitu 72,07 dibandingkan tahun
sebelumnya 71,03.
AHH merupakan salah satu tolok ukur derajat kesehatan masyarakat.
AHH yang semakin meningkat mengindikasikan bahwa derajat kesehatan
masyarakat yang semakin membaik. Transisi demografi yang ditunjukkan dengan
peningkatan jumlah usia lanjut ini juga membawa konsekuensi meningkatnya
penyakit-penyajit degenerative di Provinsi Jawa Tengah. Untuk itu diperlukan
penanganan melalui pengembangan pelayanan jangka panjang.
Selama kurun waktu 2012-2014, AHH kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah juga mengalami peningkatan. Meskipun terjadi peningkatan setiap
tahunnya, namun sebanyak 18 daerah nilai rata-rata AHH kabupaten/kota masih
berada di bawah rata-rata AHH provinsi Jawa Tengah sebesar 72,1 tahun. Angka
AHH tertinggi dicapai oleh Kabupaten Karanganyar dengan angka harapan hidup
penduduknya mencapai usia 73,9 tahun, sedangkan angka harapan hidup terendah
dicapai oleh Kabupaten Brebes dengan angka harapan hidup penduduknya
mencapai usia 68,2 tahun. Berikut disajikan perkembangan AHH kabupaten/kota
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014:
71
Gambar 4.4 Diagram Pencapaian Angka Harapan Hidup Rata-rata di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014. Sumber : BPS, 2016, diolah.
4.5 Hasil Penelitian
Perhitungan nilai efisiensi dengan metode Data Envelopment Analysis
(DEA) pada penelitian ini menggunakan program Banxia Frontier Analysis (BFA)
versi 3.2.2. Hasil perhitungan efisiensi teknis ini akan menghasilkan nilai efisiensi
teknis relatif antar unit kegiatan ekonomi (UKE). Adapun UKE yang diteliti
dalam penelitian ini adalah 35 kabupaten/kota yang tersebar di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2012-2014. Dalam perhitungan nilai efisiensi relatif yang
dihitung dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu efisiensi secara teknis
biaya dan teknis sistem.
Perhitungan nilai efisiensi teknis dengan metode DEA akan
menghasilkan nilai efisiensi teknis untuk masing-masing UKE. Selain itu DEA
juga mampu menentukan bobot untuk masing-masing variabel input dan output,
72.0
71.0
71.5 70.8
70.6
72.1
70.6
71.4
72.3
73.5
72.8
73.7
73.9
73.8
71.5
72.4
71.7
73.8
72.0
72.7
73.0
73.7
73.7
70.9
72.0
71.0
69.8
69.9
68.2
72.6
74.0
73.1
74.0
71.9
70.9
72.1
65.066.067.068.069.070.071.072.073.074.075.0
Cila
cap
Ban
yum
asP
urb
alin
gga
Ban
jarn
egar
aK
eb
um
enP
urw
ore
joW
on
oso
bo
Mag
ela
ng
Bo
yola
liK
late
nSu
koh
arjo
Wo
no
giri
Kar
anga
nya
rSr
age
nG
rob
oga
nB
lora
Re
mb
ang
Pat
iK
ud
us
Jep
ara
De
mak
Sem
aran
gTe
man
ggu
ng
Ke
nd
alB
atan
gP
eka
lon
gan
Pe
mal
ang
Tega
lB
reb
esK
ota
Mag
ela
ng
Ko
ta s
ura
kart
aK
ota
sal
atig
aK
ota
sem
aran
gK
ota
pek
alo
nga
nK
ota
teg
alP
rovi
nsi
72
sehingga diperoleh perhitungan yang lebih lanjut dalam menentukan target-target
perbaikan bagi UKE yang belum mencapai kondisi efisien. Perhitungan terkait
target perbaikan bagi UKE yang belum efisien ini akan memerikan keuntungan
bagi pembuat kebijakan dalam menentukan kebijakan mengenai besarnya jumlah
input yang seharusnya digunakan, serta output yang ditargetkan agar mencapai
kondisi yang efisien.
4.5.1 Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan
Perhitungan nilai efisiensi teknis biaya kesehatan pemerintah daerah
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah diperoleh dengan menggunakan variabel
input berupa besarnya anggaran belanja kesehatan masing-masing pemerintah
daerah kabupaten/kota. Sedangkan untuk variabel ouput yang digunakan adalah
variabel output intermediate berupa indikator fasilitas dan layanan kesehatan yang
tersedia atas belanja kesehatan tersebut. Adapun indikator fasilitas dan layanan
kesehatan yang digunakan adalah rasio jumlah puskesmas per 100.000 penduduk,
rasio jumlah tenaga bidan per 100.000 penduduk, dan rasio jumlah tempat tidur
yang tersedia di rumah sakit per 100.000 penduduk.
Indikator fasilitas dan layanan kesehatan ini mencerminkan seberapa
besar upaya pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah dalam menyediakan
sarana kesehatan yang memadai bagi masyarakatnya. Nilai efisiensi teknis biaya
digunakan untuk melihat sejauh mana tingkat efisien penggunaan input berupa
anggaran belanja kesehatan yang dikeluarkan masing-masing pemerintah daerah
di Provinsi Jawa Tengah untuk menghasilkan fasilitas dan layanan kesehatan
dasar dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik.
73
Penelitian ini menggunakan asumsi bahwa besarnya input anggaran
belanja kesehatan yang dikeluarkan pemerintah daerah mampu menghasilkan
jumlah output berupa fasilitas dan layanan kesehatan dengan besaran yang tidak
sama. Perhitungan nilai efisiensi teknis biaya ini menggunakan asumsi Variabel
Return to Scale (VRS) dan model orientasi ouput (output oriented) serta cateris
paribus. Dikatakan efisien bila nilai efisiensi sebesar 100 persen.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan DEA menunjukkan hasil
empiris tentang efisiensi teknis biaya kesehatan pemerintah daerah di Provinsi
Jawa Tengah. Tahun 2012, hasil perhitungan nilai efisiensi teknis biaya sektor
kesehatan di kabupaten/kota menunjukkan bahwa hanya terdapat 8 (delapan)
kabupaten/kota yang mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen. Ini
menandakan bahwa secara teknis biaya daerah tersebut telah efisien, yaitu
Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten
Sragen, Kabupaten Rembang, Kota Magelang, Kota Surakarta, dan Kota
Semarang. Sedangkan 27 kabupaten/kota memiliki nilai efisiensi teknis biaya
kurang dari 100 persen yang berarti secara teknis belum efisien. Ini menandakan
bahwa dalam pengelolaan belanja sektor kesehatan daerah tersebut masih kurang
optimal.
Tahun 2013, menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang telah mampu
mencapai efisiensi sempurna 100 persen berkurang menjadi 7 (tujuh)
kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten
Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kota Magelang, Kota Surakarta dan Kota
Semarang.
74
Tabel 4.4
Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Biaya belanja sektor kesehatan
di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014.
Kabupaten/Kota Efisiensi Teknis Biaya Rata-Rata
Efisiensi 2012 2013 2014
Kab. Cilacap 70,62 100,00 100,00 90,21
Kab. Banyumas 65,32 68,88 61,14 65,11
Kab. Purbalingga 61,70 60,05 55,69 59,15
Kab. Banjarnegara 100,00 100,00 84,79 94,93
Kab. Kebumen 99,82 85,54 94,68 93,35
Kab. Purworejo 82,40 83,21 100,00 88,54
Kab. Wonosobo 74,53 71,98 76,53 74,35
Kab. Magelang 65,84 68,13 100,00 77,99
Kab. Boyolali 71,66 69,56 70,64 70,62
Kab. Klaten 100,00 100,00 100,00 100,00
Kab. Sukoharjo 96,38 89,69 98,79 94,95
Kab. Wonogiri 100,00 100,00 100,00 100,00
Kab. Karanganyar 83,49 78,05 86,52 82,69
Kab. Sragen 100,00 98,12 100,00 99,37
Kab. Grobogan 76,31 85,58 84,68 82,19
Kab. Blora 72,55 72,01 77,36 73,97
Kab. Rembang 100,00 93,81 85,32 93,04
Kab. Pati 71,49 71,70 79,86 74,35
Kab. Kudus 77,84 75,17 81,24 78,08
Kab. Jepara 78,33 72,03 63,19 71,18
Kab. Demak 61,15 61,89 67,59 63,54
Kab. Semarang 67,57 65,05 67,66 66,76
Kab. Temanggung 90,28 88,22 100,00 92,83
Kab. Kendal 88,87 81,93 69,63 80,14
Kab. Batang 89,02 82,15 86,36 85,84
Kab. Pekalongan 83,59 79,92 73,61 79,04
Kab. Pemalang 84,83 82,98 100,00 89,27
Kab. Tegal 68,00 64,16 66,45 66,20
Kab. Brebes 70,45 59,34 73,50 67,76
Kota Magelang 100,00 100,00 100,00 100,00
Kota Surakarta 100,00 100,00 100,00 100,00
Kota Salatiga 83,96 84,71 83,89 84,19
Kota Semarang 100,00 100,00 100,00 100,00
Kota Pekalongan 86,29 83,76 97,08 89,04
Kota Tegal 75,68 75,66 78,07 76,47
Sumber : Lampiran 16-18, diolah.
75
Dua kabupaten/kota yang mengalami penurunan nilai efisiensi yaitu
Kabupaten Sragen dari efisiensi sempurna 100 persen pada tahun 2012 menjadi
efisiensi tinggi sebesar 98,12 persen, dan Kabupaten Rembang dari efisiensi
sempurna 100 persen pada tahun 2012 menjadi efisiensi tinggi 93,81 persen.
Adapun kabupaten/kota yang bertambah nilai efisien teknis biaya yaitu Kabupaten
Cilacap dari efisiensi sedang 70,62 pada tahun 2012 menjadi efisiensi sempurna
100 persen atau telah efisien.
Tahun 2014, pencapaian efisiensi teknis biaya belanja sektor kesehatan
yang mencapai tingkat efisien sempurna 100 persen bertambah menjadi 11
(sebelas) kabupaten/kota. Yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purworejo,
Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten
Sragen, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Pemalang, Kota Magelang, Kota
Surakarta, dan Kota Semarang. Hal ini menunjukkan bahwa secara teknis biaya
telah ada upaya yang secara signifikan telah dilakukan pemerintah kabupaten/kota
di Provinsi Jawa Tengah selama tiga tahun penelitian.
Berdasarkan hasil perhitungan selama tahun 2012-2014 menunjukkan
bahwa pencapaian nilai efisiensi sempurna 100 persen teknis biaya secara rata-
rata di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah hanya sebanyak 5 (lima)
kabupaten/kota (14,3 persen) dari seluruh kabupaten/kota. Adapun kabupaten/kota
tersebut adalah Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kota Magelang, Kota
Surakarta, dan Kota Semarang. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut telah
efisien dalam menggunakan anggaran belanja kesehatan pemerintah daerahnya
secara konsisten selama periode penelitian. Sedangkan 30 (tiga puluh)
76
kabupaten/kota lainnya masih belum efisien dalam menggunakan anggaran
belanja sektor kesehatan.
Daerah kabupaten/kota yang memiliki pencapaian nilai efisiensi teknis
biaya sebesar 100 persen mengindikasikan bahwa daerah tersebut telah efisien
dalam menggunakan sejumlah input biaya yang dibelanjakan pemerintah
daerahnya di sektor kesehatan terutama yang dialokasikan untuk penyediaan
output fasilitas dan layanan kesehatan dasar yang terdiri dari penyediaan jumlah
puskesmas, jumlah bidan yang bertugas di rumah sakit pemerintah, puskesmas,
dan fasililitas kesehatan lainnya, serta penambahan kapasitas tempat tidur yang
tersedia di rumah sakit.
Lebih lanjut, daerah kabupaten/kota yang pencapaian nilai efisiensi
teknis biaya nya kurang dari 100 persen (< 100), menandakan bahwa daerah-
daerah tersebut belum efisien dalam hal teknis biaya kesehatan. Dengan asumsi
semakin kecil pencapaian nilai efisiensinya, maka semakin tidak efisien
penggunaan biaya kesehatannya. Dimana setiap tambahan input biaya yang
digunakan akan menghasilkan sejumlah tambahan ouput yang lebih kecil,
sehingga kebijakan untuk tetap menambah jumlah belanja kesehatan akan
membuat pertambahan output kesehatan berupa fasilitas dan layanan kesehatan
dasar bertambah dengan jumlah yang lebih kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa
secara teknis biaya, daerah-daerah tersebut masih kurang optimal dalam
pengelolaan anggaran belanja kesehatannya, yang tidak diikuti dengan penyediaan
fasilitas dan layanan kesehatan dasar bagi masyarakatnya.
77
4.5.2 Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan
Perhitungan nilai efisiensi sistem dihasilkan dengan memasukkan input
berupa indikator fasilitas dan layanan kesehatan dasar yaitu rasio jumlah
puskesmas, rasio jumlah tenaga bidan, dan rasio jumlah tempat tidur yang tersedia
di rumah sakit per 100.000 penduduk. Untuk menghasilkan nilai efisiensi teknis
sistem ini output yang dibandingkan adalah indikator derajat kesehatan
masyarakat berupa jumlah Angka Kematian Bayi (AKB) yang diproksi dengan
Angka Bayi Hidup (ABH) per 1000 penduduk, jumlah Angka Kematian Ibu
(AKI) yang di proksi dengan Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS) per 100.000
penduduk, serta Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk.
Nilai efisiensi teknis sistem ini menggambarkan sejauh mana efisiensi
pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah dalam mengupayakan fasilitas dan
layanan kesehatan dasar berupa fasilitas rasio jumlah puskesmas dan jumlah
tempat tidur yang tersedia di rumah sakit serta layanan kesehatan berupa jumlah
bidan yang bertugas di puskesmas, rumah sakit, dan pusat kesehatan lainnya.
Dengan asumsi bahwa besarnya input fasilitas dan layanan kesehatan yang
diupayakan pemerintah daerah mampu menghasilkan jumlah derajat kesehatan
masyarakat dengan besaran yang tidak sama (tidak konstan).
Perhitungan efisiensi teknis sistem ini menggunakan asumsi Variabel
Return to Scale (VRS). Selain itu dengan asumsi kondisi efisien yang terbaik
adalah dengan meningkatkan jumlah output maka model yang digunakan berupa
orientasi output (output oriented) serta cateris paribus.
78
Tabel 4.5
Hasil perhitungan Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan sektor kesehatan pada
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014
Kabupaten/Kota Efisiensi Teknis Sistem Rata-Rata
Efisiensi 2012 2013 2014
Kab. Cilacap 99,62 99,64 99,57 99,61
Kab. Banyumas 99,98 100,00 100,00 99,99
Kab. Purbalingga 99,64 99,50 100,00 99,71
Kab. Banjarnegara 99,15 99,47 99,87 99,50
Kab. Kebumen 99,78 99,85 99,62 99,75
Kab. Purworejo 99,43 99,62 99,59 99,55
Kab. Wonosobo 99,37 99,76 99,72 99,62
Kab. Magelang 100,00 100,00 100,00 100,00
Kab. Boyolali 99,47 99,90 99,75 99,71
Kab. Klaten 99,70 99,69 99,98 99,79
Kab. Sukoharjo 99,59 99,39 100,00 99,66
Kab. Wonogiri 99,15 99,92 100,00 99,69
Kab. Karanganyar 99,83 100,00 100,00 99,94
Kab. Sragen 100,00 100,00 99,81 99,94
Kab. Grobogan 99,41 99,45 98,55 99,14
Kab. Blora 99,75 99,72 99,36 99,61
Kab. Rembang 99,58 99,53 100,00 99,70
Kab. Pati 100,00 100,00 100,00 100,00
Kab. Kudus 99,86 99,94 100,00 99,93
Kab. Jepara 100,00 100,00 100,00 100,00
Kab. Demak 100,00 100,00 100,00 100,00
Kab. Semarang 100,00 100,00 100,00 100,00
Kab. Temanggung 100,00 100,00 99,43 99,81
Kab. Kendal 99,50 99,44 100,00 99,65
Kab. Batang 99,60 99,45 99,56 99,54
Kab. Pekalongan 99,66 99,91 99,92 99,83
Kab. Pemalang 100,00 100,00 100,00 100,00
Kab. Tegal 100,00 100,00 100,00 100,00
Kab. Brebes 100,00 100,00 100,00 100,00
Kota Magelang 99,49 100,00 99,43 99,64
Kota Surakarta 99,77 100,00 100,00 99,92
Kota Salatiga 100,00 100,00 100,00 100,00
Kota Semarang 100,00 100,00 100,00 100,00
Kota Pekalongan 100,00 100,00 99,99 100,00
Kota Tegal 99,73 99,64 100,00 99,79
Sumber : Lampiran 19-21, diolah.
79
Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 4.5, terlihat bahwa pada tahun 2012,
hasil perhitungan nilai efisiensi teknis sistem pelayanan sektor kesehatan di 35
kabupaten/kota menunjukkan hanya terdapat 13 (tiga belas) daerah
kabupaten/kota yang telah mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen. Adapun
daerah tersebut yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Sragen, Kabupaten Pati,
Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Temanggung, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota
Salatiga, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan.
Tahun 2013, menunjukkan bahwa jumlah kabupaten/kota yang telah
mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen bertambah menjadi 17 (tujuh belas)
daerah kabupaten/kota. Sebanyak 4 daerah yang mengalami peningkatan nilai
efisiensi tinggi diantaranya adalah Kabupaten Banyumas (99,98 persen),
Kabupaten Karanganyar (99,83 persen), Kota Magelang (99,49 persen), dan Kota
Surakarta (99,77).
Tahun 2014, pencapaian nilai efisiensi teknis sistem pelayanan sektor
kesehatan mengalami peningkatan kembali. Jumlah kabupaten/kota yang mampu
mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen bertambah dari 17 kabupaten/kota
pada tahun 2013 menjadi 20 kabupaten/kota pada tahun 2014. Hal ini
menunjukkan bahwa secara umum telah ada upaya perbaikan efisiensi teknis
sistem pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan hasil perhitungan selama tahun 2012-2014, menunjukkan
bahwa pencapaian nilai efisiensi teknis sistem secara rata-rata di seluruh
kabupaten/kota terdapat 11 kabupaten/kota (31,4 persen) yang memiliki nilai
80
efisiensi teknis sistem sempurna 100 persen dan kondisi ini secara konsisten
selama periode penelitian.
Kondisi pencapaian efisiesi teknis sistem ini jauh lebih baik dari pada
pencapaian efisiensi teknis biaya. Hal ini dibuktikan dengan hasil pencapaian rata-
rata selama tiga tahun penelitian dan tingkat keparahan inefisiensi teknis sistem
yang terjadi tidak separah dengan inefisiensi teknis biaya. Tingkat keparahan
ditunjukkan pada efisiensi teknis biaya pada daerah yang tidak efisien dengan
nilai efisiensinya masih jauh dari 100 persen. Sebagian besar efisiensi teknis biaya
masih berada dalam kriterian efisiensi sedang dengan nilai efisiensi 60-80 persen.
Berbeda dengan efisiensi teknis sistem, yang nilai efisiensinya berada dalam
kriteria efisiensi tinggi dari 81-99 persen,
Serupa dengan efisiensi teknis biaya, daerah kabupaten/kota yang
memiliki pencapaian efisiensi teknis sistem sebesar 100 persen mengindikasikan
bahwa secara empiris daerah tersebut telah efisien dalam menggunakan fasilitas
dan layanan kesehatan dasar yang dimilikinya untuk mencapai tingkat derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Lebih lanjut efisien teknis sistem dalam
sektor kesehatan dapat diartikan bahwa setiap pertambahan fasilitas kesehatan dan
layanan kesehatan yang dilakukan daerah-daerah yang efisien akan menghasilkan
tambahan sejumlah output berupa derajat kesehatan yang sama.
Daerah kabupaten/kota yang pencapaian nilai efisiensi teknis sistemnya
tidak mencapai angka 100 persen (< 100%), maka secara empiris daerah-daerah
tersebut belum efisien dalam teknis sistem pelayanan kesehatan. Semakin kecil
pencapaian nilai efisiensinya maka semakin tidak efisien daerah tersebut. Dengan
81
kata lain kebijakan menambah jumlah fasilitas dan layanan kesehatan pada
daerah-daerah yang inefisien jika tidak diikuti dengan adanya perbaikan sistem
kesehatan justru akan berdampak negatif pada pencapaian tingkat derajat
kesehatan masyarakat.
Perbaikan sistem kesehatan ini dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan jumlah puskesmas yang sudah ada, agar masyarakat akan lebih
mudah menjangkau fasilitas tersebut. Selain itu pemerataan layanan kesehatan
berupa jumlah bidan yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Tengah dengan koordinasi lintas sektor ke daerah-daerah yang masih kekurangan
tenaga bidan. Selanjutnya yaitu pemerataan jumlah fasilitas kesehatan berupa
tempat tidur yang tersedia di rumah sakit, sehingga masyarakat akan lebih mudah
mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Hal ini dilakukan dalam rangka
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
4.5.3 Target Perbaikan Input dan Output untuk mencapai kondisi Efisien
Metode DEA ini akan menghasilkan efisiensi relatif. Untuk
meningkatkan efisiensi sempurna yang ditunjukkan dengan angka 100 persen,
maka dapat diketahui input mana saja yang belum efisien penggunaannya dan
output mana saja yang harus tingkatkan. Salah satu keunggulan analisis
perhitungan efisiensi dengan menggunakan metode DEA adalah selain mampu
menemukan nilai efisiensi relatif dari masing-masing UKE, DEA juga mampu
membuat skenario perbaikan input dan output yang sebaiknya digunakan bagi
UKE yang belum efisien melalui langkah identifikasi input yang terlalu banyak
atau output yang rendah. Skenario perbaikan yang dihasilkan DEA dapat
82
digunakan untuk memperbaiki tingkat efisiensi daerah atau UKE yang belum
efisien.
Ada tiga faktor yang menyebabkan efisiensi, yaitu apabila dengan input
yang sama menghasilkan output yang lebih besar, dan dengan input yang lebih
kecil menghasilkan output yang sama, dan dengan input yang lebih kecil
menghasilkan menghasilkan output yang lebih besar. Meskipun dengan orientasi
maksimasi output, hasil metode analisis efisiensi dengan DEA juga dipengaruhi
oleh tingkat input.
Salah satu keunggulan metode DEA dalam menganalisis tingkat efisiensi
adalah kemampuannya dalam membuat perhitungan lebih lanjut tentang nilai
target secara relatif yang harus dicapai oleh UKE yang belum mencapai kondisi
efisien agar mampu mencapai tingkat efisiensi yang sempurna.
Daerah yang telah mencapai kondisi efisiensi sempurna dalam anggaran
belanja kesehatan adalah daerah yang baik secara teknis biaya maupun secara
teknis sistem telah berhasil mencapai nilai efisiensi sempurna sebesar 100 persen,
sebagaimana yang telah dicapai oleh Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonogiri,
Kabupaten Pemalang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Berdasarkan Hasil
perhitungan efisiensi relatif diketahui bahwa daerah-daerah tersebut berhasil
mencapai kondisi efisiensi sempurna baik secara teknis biaya maupun teknis
sistem. Dengan demikian di dalam perhitungan target perbaikan input dan output
untuk daerah-daerah tersebut tidak ditemukan adanya nilai target dan potential
improvement yang harus diubah oleh Pemerintah kabupaten/kota yang
bersangkutan. Daerah-daerah yang telah efisien secara teknis biaya dan teknis
83
sistem dapat dijadikan daerah tujuan kegiatan benchmarking pemerintah daerah
kabupaten/kota yang belum efisien secara teknis biaya maupun yang belum
efisien teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan perhitungan lebih lanjut mengenai target
perbaikan yang harus dicapai oleh daerah kabupaten/kota yang belum efisien baik
secara teknis biaya maupun teknis sistem dalam belanja kesehatan. Berikut hasil
perhitungan target perbaikan untuk beberapa kabupaten/kota yang belum
mencapai nilai efisiensi teknis biaya maupun efisiensi teknis sistem.
1. Kabupaten Cilacap
Kabupaten Cilacap telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam
kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 99,57 persen. Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Cilacap dari sisi input
perlu mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -40,45% dari jumlah aktual 68,23
menjadi 40,63 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari sisi output,
Kabupaten Cilacap perlu meningkatkan ABH dari 995,10 menjadi 999,38 per
100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 107750,72 menjadi 108344,69 per 100.000
kelahiran hidup, dan AHH dari 72,80 menjadi 73,11.
2. Kabupaten Banyumas
Kabupaten Banyumas telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam
84
kriteria efisiensi sedang dengan capaian 61,14 persen. Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Banyumas dari sisi
input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Banyumas perlu meningkatkan variabel
output sebesar 63,55% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 7,22
menjadi 11,81 unit, rasio jumlah bidan dari 39,11 menjadi 63,96 bidan, dan rasio
jumlah tempat tidur dari 145,90 menjadi 238,61 unit per 100.000 penduduk.
3. Kabupaten Purbalingga
Kabupaten Purbalingga telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam
kriteria efisiensi rendah dengan capaian 55,69 persen. Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Purbalingga dari sisi
input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Purbalingga perlu meningkatkan variabel
output sebesar 79,56% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 9,11
menjadi 16,36 unit, rasio jumlah bidan dari 32,95 menjadi 59,16 bidan, dan rasio
jumlah tempat tidur dari 47,12 menjadi 84,61 unit per 100.000 penduduk.
85
4. Kabupaten Banjarnegara
Kabupaten Banjarnegara pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem
dengan capaian kriteria efisiensi tinggi yaitu (84,79%) dan (99,87%). Maka
langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian
efisiensi teknis biaya dan teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Banjarnegara ditinjau
dari segi teknis biaya perlu meningkatkan rasio jumlah puskesmas sebesar 17,94%
dari jumlah aktual 12,50 menjadi 14,74 unit, rasio jumlah bidan dari 47,77
menjadi 56,34 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur sebesar 31,05% dari jumlah
aktual dari 50,34 menjadi 65,97 unit per 100.000 penduduk.
Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah bidan sebesar -09,29% dari 47,77 menjadi 43,33 bidan per 100.000
penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 997,47
menjadi 998,77 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 112477,61 menjadi
112624,51 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 73,39 menjadi 73,66.
5. Kabupaten Kebumen
Kabupaten Kebumen pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem
dengan capaian kriteria efisiensi tinggi yaitu (94,68%) dan (99,62%). Maka
langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian
efisiensi teknis biaya dan teknis sistem.
86
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Kebumen ditinjau dari
segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 05,62% berupa rasio
jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,62 menjadi 13,33 unit, rasio jumlah
bidan dari 68,25 menjadi 72,09 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 87,30
menjadi 92,21 unit per 100.000 penduduk.
Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah bidan sebesar -35,36% dari 68,25 menjadi 44,11 bidan per 100.000
penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 996,98
menjadi menjadi 1000,78 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 105652,30
menjadi 110152,98 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 72,67 menjadi
72,95.
6. Kabupaten Purworejo
Kabupaten Purworejo telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam
kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 99,59 persen. Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Purworejo dari sisi
input perlu mengurangi rasio jumlah bidan sebesar -34,69% dari jumlah aktual
66,10 menjadi 43,17 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari sisi output,
Kabupaten Purworejo perlu meningkatkan ABH dari 996,13 menjadi 1000,21 per
100.000 kelahiran hidup, AIMS sebesar 2,63% dari 108146,16 menjadi 110994,70
per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 73,83 menjadi 74,13.
87
7. Kabupaten Wonosobo
Kabupaten Wonosobo pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem
dengan capaian kriteria efisiensi sedang dan tinggi yaitu (76,53%) dan (99,72%).
Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada
pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Wonosobo ditinjau
dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 30,67% berupa
rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,93 menjadi 16,90 unit, rasio jumlah
bidan dari 44,23 menjadi 57,79 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 63,11
menjadi 82,46 unit per 100.000 penduduk.
Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah puskesmas sebesar -30,56% dari 12,93 menjadi 8,98 dan rasio jumlah
bidan sebesar -3,74% dari 44,23 menjadi 42,57 bidan per 100.000 penduduk.
Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 998,91 menjadi 1001,73
per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 108700,71 menjadi 109464,32 per
100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 70,82 menjadi 71,02.
8. Kabupaten Boyolali
Kabupaten Boyolali pencapaian secara teknis biaya maupun teknis sistem
belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan
capaian kriteria efisiensi sedang (70,64%) dan efisiensi tinggi (99,75%). Maka
langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian
efisiensi teknis biaya dan teknis sistem.
88
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Boyolali ditinjau dari
segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 41,56% berupa rasio
jumlah puskesmas dari jumlah aktual 11,07 menjadi 15,67 unit, rasio jumlah
bidan dari 45,94 menjadi 65,03 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 96,05
menjadi 135,97 unit per 100.000 penduduk.
Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah puskesmas sebesar -4,30% dari 11,07 menjadi 10,59 per 100.000
penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 995,35
menjadi 997,89 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 108102,90 menjadi
108379,15 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 75,61 menjadi 75,80.
9. Kabupaten Klaten
Kabupaten Klaten telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam kriteria
efisiensi tinggi dengan capaian 99,98 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Klaten dari sisi input
perlu mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -5,01% dari jumlah aktual
13,00 menjadi 12,35 unit, serta rasio jumlah bidan sebesar -1,44% dari 51,04
menjadi 50,30 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari sisi output,
Kabupaten Klaten perlu meningkatkan AIMS sebesar 1,23% dari 107237,07
menjadi 108558,46 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 76,54 menjadi
76,56.
89
10. Kabupaten Sukoharjo
Kabupaten Sukoharjo telah mencapai kondisi efisiens sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam
kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 98,79 persen. Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Sukoharjo dari sisi
input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Sukoharjo perlu meningkatkan variabel
output sebesar 1,23% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 16,10
menjadi 16,30 unit, rasio jumlah bidan dari 54,61 menjadi 55,28 bidan, dan rasio
jumlah tempat tidur dari 87,87 menjadi 88,95 unit per 100.000 penduduk.
11. Kabupaten Karanganyar
Kabupaten Karanganyar telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam
kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 86,52 persen. Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Karanganyar dari sisi
input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Karanganyar perlu meningkatkan variabel
output sebesar 15,59% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,85
90
menjadi 14,85 unit, rasio jumlah bidan dari 51,75 menjadi 59,82 bidan, dan rasio
jumlah tempat tidur dari 67,55 menjadi 78,08 unit per 100.000 penduduk.
12. Kabupaten Sragen
Kabupaten Sragen telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam kriteria
efisiensi tinggi dengan capaian 99,81 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Sragen dari sisi input
perlu mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -17,72% dari jumlah aktual
14,39 menjadi 11,84 unit, dan rasio jumlah bidan sebesar -34,72% dari jumlah
aktual 75,72 menjadi 49,43 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari sisi
output, Kabupaten Sragen perlu meningkatkan ABH dari 997,08 menjadi 998,96
per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 107910,13 menjadi 109736,03 per
100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 75,31 menjadi 75,45.
13. Kabupaten Grobogan
Kabupaten Grobogan pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem
dengan capaian kriteria efisiensi tinggi (84,68%) dan (98,55%). Maka langkah
perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi
teknis biaya dan teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Grobogan ditinjau
dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 18,09% berupa
rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 9,67 menjadi 11,42 unit, rasio jumlah
91
bidan dari 54,69 menjadi 64,58 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 73,07
menjadi 86,29 unit per 100.000 penduduk.
Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah bidan sebesar -24,02% dari 54,69 menjadi 41,55 bidan per 100.000
penduduk. Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 983,02
menjadi 997,45 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 109451,93 menjadi
111058,39 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 74,07 menjadi 75,16.
14. Kabupaten Blora
Kabupaten Blora pencapaian secara teknis biaya maupun teknis sistem
belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan
capaian kriteria efisiensi sedang (77,36%) dan efisiensi tinggi (99,36%). Maka
langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian
efisiensi teknis biaya dan teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Blora ditinjau dari
segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 29,26% berupa rasio
jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,14 menjadi 15,69 unit, rasio jumlah
bidan dari 51,98 menjadi 67,19 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 63,53
menjadi 82,12 unit per 100.000 penduduk.
Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah bidan sebesar -16,35% dari 51,98 menjadi 43,48 per 100.000 penduduk.
Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 991,99 menjadi 998,38
per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 111819,08 menjadi 112539,26 per
100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 73,84 menjadi 74,32.
92
15. Kabupaten Rembang
Kabupaten Rembang telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam
kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 85,32 persen. Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Karanganyar dari sisi
input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Karanganyar perlu meningkatkan variabel
output sebesar 17,21% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 16,77
menjadi 19,66 unit, rasio jumlah bidan dari 42,66 menjadi 50,00 bidan, dan
meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 141,48% dari jumlah aktual 53,41
menjadi 128,97 unit per 100.000 penduduk.
16. Kabupaten Pati
Kabupaten Pati telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria
efisiensi tinggi dengan capaian 85,32 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Pati ditinjau dari segi
teknis biaya perlu meningkatkan rasio jumlah puskesmas sebesar 42,51% dari
jumlah aktual 8,81 menjadi 12,56 unit serta meningkatkan variabel output sebesar
25,22% berupa rasio jumlah rasio bidan dari jumlah aktual 57,93 menjadi 72,54
bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 76,45 menjadi 95,73 unit per 100.000
93
penduduk. Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah bidan sebesar -23,62% dari 57,93 menjadi 44,25 per 100.000 penduduk.
17. Kabupaten Kudus
Kabupaten Kudus telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria
efisiensi tinggi dengan capaian 81,24 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Kudus dari sisi input
telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Kudus perlu meningkatkan rasio jumlah
puskesmas sebesar 45,30% dari jumlah aktual 9,38 menjadi 13,63 unit, rasio
jumlah bidan sebesar 23,08% dari 57,48 menjadi 70,75 bidan, dan rasio jumlah
tempat tidur sebesar 23,08% dari jumlah aktual 145 menjadi 178,67 unit per
100.000 penduduk.
18. Kabupaten Jepara
Kabupaten Jepara telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria
efisiensi sedang dengan capaian 63,19 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Jepara dari sisi input
telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Jepara perlu meningkatkan variabel output
sebesar 58,25% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 7,26 menjadi
94
11,49 unit, rasio jumlah bidan dari 36,47 menjadi 57,71 bidan, dan rasio jumlah
tempat tidur dari 65,25 menjadi 103,26 unit per 100.000 penduduk.
19. Kabupaten Demak
Kabupaten Demak telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria
efisiensi sedang dengan capaian 67,59 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Demak dari sisi input
telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Demak perlu meningkatkan variabel output
sebesar 47,96% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 8,41 menjadi
12,44 unit, dan rasio jumlah bidan dari 37,24 menjadi 55,10 bidan, serta
meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 74,36% dari jumlah aktual 42,84
menjadi 74,70 unit per 100.000 penduduk.
20. Kabupaten Semarang
Kabupaten Semarang telah mencapai kondisi efisien secara sempurna
teknis sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam
kriteria efisiensi sedang dengan capaian 67,66 persen. Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Semarang dari sisi
input telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Semarang perlu meningkatkan variabel
95
output sebesar 47,80% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,45
menjadi 18,40 unit, dan rasio jumlah bidan dari 37,47 menjadi 55,38 bidan, serta
meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 140,03% dari jumlah aktual 35,74
menjadi 85,78 unit per 100.000 penduduk.
21. Kabupaten Temanggung
Kabupaten Temanggung telah mencapai kondisi efisien sempurna secara
teknis biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam
kriteria efisiensi tinggi dengan capaian 99,43 persen. Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Temanggung dari sisi
input perlu mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -40,00% dari jumlah
aktual 16,24 menjadi 9,74 unit, dan rasio jumlah bidan sebesar -17,41% dari
jumlah aktual 53,32 menjadi 44,04 bidan per 100.000 penduduk. Sedangkan dari
sisi output, Kabupaten Temanggung perlu meningkatkan ABH dari 991,81
menjadi 997,46 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 104640,19 menjadi
106373,31 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 75,34 menjadi 75,77.
22. Kabupaten Kendal
Kabupaten Kendal telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria
efisiensi sedang dengan capaian 69,63 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
96
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Kendal dari sisi input
telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Kendal perlu meningkatkan variabel output
sebesar 43,62% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 11,56 menjadi
16,60 unit, dan rasio jumlah bidan dari 37,98 menjadi 54,55 bidan, serta
meningkatkan rasio jumlah tempat tidur sebesar 46,15% dari jumlah aktual 49,54
menjadi 72,40 unit per 100.000 penduduk.
23. Kabupaten Batang
Kabupaten Batang pencapaian secara teknis biaya maupun teknis sistem
belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan
capaian kriteria efisiensi tinggi (86,36%) dan (99,56%). Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya
dan teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Batang ditinjau dari
segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 15,79% berupa rasio
jumlah puskesmas dari jumlah aktual 11,81 menjadi 13,67 unit, rasio jumlah
bidan dari 61,11 menjadi 70,76 bidan, dan meningkatkan rasio jumlah tempat
tidur sebesar 68,26% dari 46,85 menjadi 78,83 unit per 100.000 penduduk.
Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah bidan sebesar -35,24% dari 61,11 menjadi 39,57 per 100.000 penduduk.
Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 994,40 menjadi 998,76
per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 104203,64 menjadi 107298,42 per
100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 74,40 menjadi 74,73.
97
24. Kabupaten Pekalongan
Kabupaten Pekalongan pencapaian secara teknis biaya maupun teknis
sistem belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem
dengan capaian kriteria efisiensi sedang (73,61%) dan efisiensi tinggi (99,92%).
Maka langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada
pencapaian efisiensi teknis biaya dan teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Pekalongan ditinjau
dari segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 35,85% berupa
rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 12,10 menjadi 16,44 unit, rasio jumlah
bidan dari 48,87 menjadi 66,39 bidan, dan meningkatkan rasio jumlah tempat
tidur sebesar 41,73% dari 66,97 menjadi 94,92 unit per 100.000 penduduk.
Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah bidan sebesar -9,97% dari 48,87 menjadi 44,00 per 100.000 penduduk.
Selain itu dari segi output perlu meningkatkan ABH dari 999,44 menjadi 1000,28
per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 102712,50 menjadi 109784,33 per
100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 73,33 menjadi 73,39.
25. Kabupaten Tegal
Kabupaten Tegal telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria
efisiensi sedang dengan capaian 66,45 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Tegal dari sisi input
telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
98
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Tegal perlu meningkatkan variabel output
sebesar 50,49% berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 8,45 menjadi
12,72 unit, dan rasio jumlah bidan dari 42,53 menjadi 64,01 bidan, dan rasio
jumlah tempat tidur dari 61,33 menjadi 92,30 unit per 100.000 penduduk.
26. Kabupaten Brebes
Kabupaten Brebes telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria
efisiensi sedang dengan capaian 73,50 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kabupaten Brebes dari sisi input
telah efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia.
Sedangkan dari sisi output, Kabupaten Brebes perlu meningkatkan rasio jumlah
puskesmas sebesar 36,05% dari jumlah aktual 7,44 menjadi 10,12 unit, rasio
jumlah bidan sebesar 57,26% dari 27,01 menjadi 42,48 bidan, dan rasio jumlah
tempat tidur sebesar 36,05% dari 46,30 menjadi 62,99 unit per 100.000 penduduk.
27. Kota Magelang
Kota Magelang telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
biaya sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis sistem masih dalam kriteria
efisiensi tinggi dengan capaian 99,43 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis sistem.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kota Magelang dari sisi input
perlu mengurangi rasio jumlah puskesmas sebesar -26,62% dari jumlah aktual
18,24 menjadi 13,41 unit, rasio jumlah bidan sebesar -26,49% dari jumlah aktual
99
76,43 menjadi 56,18 bidan per 100.000 penduduk, dan rasio jumlah tempat tidur
sebesar -48,90% dari 691,18 menjadi 353,23 unit per 100.000 penduduk. Selain
itu, Kota Magelang perlu meningkatkan variabel output berupa ABH dari 991,17
menjadi 996,81 per 100.000 kelahiran hidup, AIMS dari 111041,01 menjadi
111672,89 per 100.000 kelahiran hidup, dan AHH dari 76,57 menjadi 77,01.
28. Kota Salatiga
Kota Salatiga telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis
sistem sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria
efisiensi tinggi dengan capaian 83,89 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kota Salatiga dari sisi input telah
efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan
dari sisi output, Kota Salatiga perlu meningkatkan variabel output sebesar 19,21%
berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 14,90 menjadi 17,76 unit, dan
rasio jumlah bidan dari 58,50 menjadi 69,74 bidan, dan meningkatkan rasio
jumlah tempat tidur sebesar 26,76% dari jumlah aktual 322,31 menjadi 408,54
unit per 100.000 penduduk.
29. Kota Pekalongan
Kota Pekalongan pencapaian secara teknis biaya maupun teknis sistem
belum mencapai kondisi efisien yaitu baik teknis biaya dan teknis sistem dengan
capaian kriteria efisiensi tinggi (97,08%) dan (99,99%). Maka langkah perbaikan
yang perlu dilakukan adalah berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya
dan teknis sistem.
100
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kota Pekalongan ditinjau dari
segi teknis biaya perlu meningkatkan variabel output sebesar 03,01% berupa rasio
jumlah puskesmas dari jumlah aktual 16,68 menjadi 7,18 unit, rasio jumlah bidan
dari 60,26 menjadi 62,08 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari 212,12 menjadi
218,51 unit per 100.000 penduduk.
Adapun dari segi teknis sistem, dari sisi input dengan mengurangi rasio
jumlah puskesmas sebesar -2,05% dari jumlah aktual 16,68 menjadi 16,34 unit,
rasio jumlah bidan sebesar -28,09% dari 60,26 menjadi 43,33 bidan, dan rasio
jumlah tempat tidur sebesar -54,37% dari 212,12 menjadi 96,79 unit per 100.000
penduduk.
30. Kota Tegal
Kota Tegal telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis sistem
sebesar 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya masih dalam kriteria efisiensi
sedang dengan capaian 78,07 persen. Maka langkah perbaikan yang perlu
dilakukan adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis biaya.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kota Tegal dari sisi input telah
efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan yang tersedia. Sedangkan
dari sisi output, Kota Tegal perlu meningkatkan variabel output sebesar 28,09%
berupa rasio jumlah puskesmas dari jumlah aktual 15,10 menjadi 19,34 unit, rasio
jumlah bidan dari 47,35 menjadi 60,65 bidan, dan rasio jumlah tempat tidur dari
jumlah aktual 352,66 menjadi 451,71 unit per 100.000 penduduk.
Berdasarkan hasil perhitungan kedua hasil efisiensi tersebut, berikut
disajikan rekapitulasi efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistemnya.
101
Tabel 4.6 Rekapitulasi Efisiensi Teknis Biaya dan Efisiensi Teknis
Sistem di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2012-2014
Kriteria Efisiensi Nilai
efisiensi
Efisiensi Teknis
Biaya
Efisiensi Teknis
Sistem
Total
Efisiensi sempurna 100 5 11 16
Efisiensi Tinggi 81-99 15 24 39
Efisiensi Sedang 60-80 14 - 14
Efisiensi Rendah 41-59 1 - 1
Tidak Efisien ≤40 - - -
Total 35 35 70
Berdasarkan Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa secara umum
efisiensi teknis biaya dan efisiensi teknis sistem di 35 kabupaten/kota Provinsi
Jawa Tengah termasuk ke dalam capaian efisiensi tinggi (81-99 persen). Hal ini
ditunjukkan dengan capaian efisiensi teknis biaya yang mencapai efisiensi tinggi
sebanyak 15 kabupaten/kota. Sementara capaian efisiensi teknis sistem, yang
mencapai efisiensi tinggi sebanyak 24 kabupaten/kota. Meskipun tingkat efisiensi
yang dihasilkan termasuk dalam kriteria efisiensi tinggi, namun diharapkan
pemerintah daerah akan tetap meningkatkan tingkat efisiensi menjadi 100 persen
(efisiensi sempurna/optimum).
4.6 Pembahasan
Efisiensi dalam pengeluaran belanja pemerintah daerah didefinisikan
sebagai kondisi ketika tidak mungkin lagi realokasi sumber daya yang dilakukan
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Efisiensi pengeluaran belanja
sektor kesehatan diartikan setiap rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah
menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Daerah dikatakan
efisien dalam penggunaan anggaran belanja kesehatan jika dengan input tertentu
102
dapat menghasilkan jumlah output lebih banyak atau pada jumlah output tertentu
bisa menggunakan input lebih sedikit.
Efisien dalam penggunaan pengeluaran belanja kesehatan sering
dikaitkan dengan indikator berupa fasilitas dan pelayanan kesehatan yang tersedia
atas belanja kesehatan tersebut. Fasilitas dan layanan kesehatan ini mencerminkan
seberapa besar upaya pemerintah dalam menyediakan sarana kesehatan yang
memadai bagi masyarakatnya. Selanjutnya dari indikator fasilitas dan layanan
kesehatan dapat dilihat seberapa besar yang telah diupayakan pemerintah daerah
melalui penyediaan indikator tersebut untuk mampu mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang optimal.
Hasil perhitungan pencapaian nilai efisiensi teknis yang diperoleh
melalui metode DEA, diketahui bahwa dari keseluruhan 35 kabupaten/kota yang
diamati selama kurun waktu tiga tahun masih belum mencapai nilai efisiensi
sempurna 100% baik secara teknis biaya maupun teknis sistem. Ini menandakan
bahwa masih terjadinya inefisiensi dan kurang optimal dalam pengelolaan
anggaran belanja pemerintah sektor kesehatan. Capaian efisiensi masih dalam
kategori efisiensi tinggi. Pencapaian nilai efisiensi pada masing-masing daerah
berbeda satu sama lain. Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan
oleh Gunarson (2008) dan Verhoeven (2007) menunjukkan bahwa pada daerah
yang diteliti belanja sektor kesehatan yang digunakan juga masih belum efisien
artinya belanja pemerintah dinilai belum dialokasikan dengan optimal. Penelitian
lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah yaitu penelitian Indriati (2011) yang
meneliti tentang efisiensi belanja daerah sektor kesehatan di Kabupaten Sumbawa,
103
hasilnya menunjukkan bahwa secara teknis biaya dan teknis sistem, efisiensi yang
terjadi pada beberapa kecamatan yang diteliti juga bervariasi dan secara umum
masih terdapat banyak daerah yang belum efisien.
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan bahwa suatu belanja dikatakan
efisien apabila input yang tersedia mampu menghasilkan output berupa barang
atau jasa pada tingkat yang paling optimal bagi kepentingan masyarakat, pada
kenyataannya ada daerah yang mempunyai input yang besar tetapi output yang
dihasilkan tidak sebesar input yang digunakan, salah satunya yang terjadi pada
Kota Tegal.
Nilai rata-rata pencapaian efisiensi teknis biaya Kota Tegal selama tahun
2012-2014 menunjukkan pencapaian yang belum efisien sebesar 76,47 persen.
Jika dilihat dari sisi input, Kota Tegal merupakan daerah dengan input lebih besar
setelah Kota Magelang dan jika dibandingkan kabupaten/kota yang lain, akan
tetapi output yang dihasilkan tidak sebanding dengan input yang digunakan. Ini
mengindikasikan bahwa dari sisi efisiensi teknis biaya, Kota Tegal mempunyai
input berupa anggaran belanja kesehatan yang tinggi, namun besarnya belanja
kesehatan ini tidak diimbangi dengan penyediaan sarana kesehatan berupa fasilitas
dan layanan kesehatan yang tersedia bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Kabupaten Klaten merupakan daerah dengan anggaran
belanja kesehatan paling rendah dengan rata-rata Rp.98470,35 juta jauh di
dibawah rata-rata keseluruhan yang mencapai Rp.217030,78 juta, namun
pencapaian nilai efisiensi teknis biaya mampu mencapai 100 persen. Ini
membuktikan bahwa meskipun Kabupaten Klaten mempunyai input berupa
104
anggaran belanja kesehatan yang rendah, akan tetapi daerah ini mampu
mengupayakan indikator outputnya berupa variabel rasio jumlah puskesmas, rasio
jumlah bidan, maupun rasio jumlah tempat tidur yang secara rata-rata lebih besar
dibandingkan daerah dengan belanja kesehatan yang lebih tinggi.
Berdasarkan Tabel 4.1 dalam hal ini input berupa belanja kesehatan yang
tinggi akan menentukan tingkat efisiensi. Daerah dengan belanja kesehatan yang
besar cenderung mengalami inefisiensi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan Indriati (2014) yang menyatakan bahwa daerah dengan
pengeluaran belanja kesehatan yang jauh lebih kecil cenderung untuk menjadi
paling efisien dibanding daerah yang pengeluaran belanja kesehatannya lebih
besar. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Atmawikarta
(2005) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya pencapaian derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat
pembiayaan untuk sektor kesehatan. Semakin besar belanja sektor kesehatan,
maka semakin baik derajat kesehatan masyarakat.
Pencapaian efisiensi teknis biaya selama tahun 2012-2014, secara rata-
rata hanya sebanyak 5 daerah kabupaten/kota (14,3 persen) yang telah mencapai
efisiensi sempurna 100 persen. Daerah tersebut diantaranya Kabupaten Klaten,
Kabupaten Wonogiri, Kota Magelang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Hal
ini menunjukkan bahwa secara teknis biaya, daerah-daerah tersebut telah efisien
dalam menggunakan anggaran belanja kesehatan pemerintah daerahnya secara
konsisten selama periode penelitian. Sebanyak 30 kabupaten/kota belum efisien
dalam penggunaan anggaran belanja sektor kesehatan.
105
Sedangkan capaian efisiensi teknis sistem layanan kesehatan di Provinsi
Jawa Tengah selama tahun 2012-2014 menunjukkan bahwa sebanyak 11
kabupaten/kota (31,4 persen) telah mencapai nilai efisiensi sempurna 100 persen.
Daerah-daerah tersebut diantaranya Kabupaten Magelang, Kabupaten Pati,
Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Salatiga, Kota Semarang,
dan Kota Pekalongan. Ini menandakan bahwa daerah-daerah tersebut dengan
input rasio jumlah puskesmas, rasio jumlah bidan, dan rasio jumlah tempat tidur
yang ada telah mampu menghasilkan output yang tinggi yaitu Angka Bayi Hidup
(ABH), Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS), dan Angka Harapan Hidup
(AHH). Dengan kata lain indikator input sumber daya dan fasilitas yang ada telah
mampu menekan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKB), dan
meningkatkan Angka Harapan Hidup (AHH).
Daerah yang belum efisien teknis sistem seperti Kabupaten Grobogan
dengan capaian rata-rata nilai efisiensi terendah masuk dalam kriteria efisiensi
tinggi sebesar 99,14 persen. Hal ini terjadi ketika dengan input jumlah puskesmas,
jumlah bidan, dan jumlah tempat tidur yang ada hanya mampu menghasilkan
output berupa ABH, AIMS, dan AHH yang masih rendah. Sama halnya dengan
efisiensi teknis biaya, daerah kabupaten/kota yang mampu mencapai efisiensi
sempurna teknis sistem sebesar 100 persen mengindikasikan bahwa daerah
tersebut telah efisien dalam menggunakan fasilitas dan layanan kesehatan dasar
yang dimilikinya untuk mencapai tingkat derajat kesehatan yang optimal.
Sedangkan daerah yang belum mencapai angka efisien sempurna 100 persen
106
(<100 %), menandakan bahwa kebijakan menambah jumlah fasilitas dan layanan
kesehatan pada daerah-daerah yang inefisien jika tidak diikuti dengan adanya
perbaikan sistem kesehatan justru akan berdampak negatif pada pencapaian
tingkat derajat kesehatan masyarakat.
Keunggulan perhitungan metode DEA adalah mampu membuat skenario
perbaikan input dan output bagi UKE yang belum efisien melalui identifikasi
input yang telalu banyak atau output yang rendah. Daerah yang telah mencapai
efisiensi sempurna dalam belanja kesehatan adalah daerah yang baik secara teknis
biaya maupun teknis sistem telah berhasil mencapai nilai efisiensi sebesar 100
persen. Dengan demikian di dalam perhitungan target perbaikan input dan output
untuk daerah-daerah tersebut tidak ditemukan adanya nilai target dan potential
improvement yang harus diubah oleh pemerintah kabupaten/kota yang
bersangkutan. Daerah tersebut diantaranya Kabupaten Magelang, Kabupaten
Wonogiri, Kabupaten Pemalang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang.
Kabupaten/kota yang telah efisien teknis biaya belum tentu efisien secara
teknis sistem, begitu sebaliknya. Kabupaten Purbalingga telah mencapai kondisi
efisien sempurna secara teknis sistem 100 persen, akan tetapi secara teknis biaya
Kabupaten Purbalingga memiliki nilai capaian efisiensi rendah yaitu sebesar
59,15 persen. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah Kabupaten Purbalingga
yang perlu ditempuh adalah lebih berorientasi pada pencapaian efisiensi teknis
biaya. Maka target perbaikan yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan
target output faslitas dan layanan kesehatan berupa rasio jumlah puskesmas dari
jumlah aktual 9,11 menjadi 16,36 unit per 100.000 penduduk, rasio jumlah bidan
107
dari jumlah aktual 32,95 menjadi 59,16 bidan per 100.000 penduduk, serta rasio
jumlah tempat tidur dari 47,12 menjadi 84,61 unit per 100.000 penduduk.
Berdasarkan hasil perhitungan target perbaikan efisiensi teknis biaya dan
teknis sistem menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014
dapat diketahui bahwa tingkat keparahan terjadi pada efisiensi teknis biaya masih
berada dalam kriteria efisiensi sedang dengan nilai efisiensi 60-80 persen, berbeda
dengan efisiensi teknis sistem, yang nilai efisiensinya berada dalam kriteria
efisiensi tinggi dari 81-99 persen. Dengan demikian, perhitungan tentang target
perbaikan efisiensi teknis biaya yaitu lebih mengoptimalkan pengelolaan
anggaran. Namun kebijakan yang diambil tidak menurunkan anggaran sektor
kesehatan, tetapi lebih menekankan pada optimalisasi output, yaitu rasio jumlah
puskesmas, rasio jumlah tenaga bidan dan rasio jumlah tempat tidur yang tersedia
di rumah sakit.
Secara umum kondisi efisiensi teknis anggaran belanja sektor kesehatan
di Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari kedua hasil pencapaian efisiensi teknis
biaya dan teknis sistem, sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
masih dalam kategori efisiensi tinggi. Akan tetapi secara efisiensi teknis baiaya
dan teknis sistem belum dikatakan efisien bila capaian nilai efisiensi ≤100 persen.
Ini menandakan bahwa masih terjadi inefisiensi dalam penggunaan belanja sektor
kesehatan. Perbaikan target perbaikan adalah dengan pengoptimalan anggaran
belanja kesehatan bukan dengan pengurangan anggaran belanja kesehatan, akan
tetapi lebih penekanan pada optimalisasi output.
108
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis efisiensi pengeluaran pemerintah daerah sektor
kesehatan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2014 dengan menggunakan
metode Data Envelopment Analysis (DEA), maka dapat diperoleh simpulan
sebagai berikut :
1. Selama kurun waktu 2012-2014, hanya terdapat 5 kabupaten/kota (14,3
persen) yang telah mencapai efisiensi sempurna secara teknis biaya. Daerah
tersebut adalah Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kota Magelang,
Kota Surakarta, dan Kota Semarang. Sebanyak 30 kabupaten/kota masih
belum optimal dalam penggunaan belanja kesehatan. Ini membuktikan secara
teknis biaya, sebagian besar kabupaten/kota dalam penggunaan belanja
kesehatan masih kurang optimal.
2. Secara efisiensi teknis sistem selama periode penelitian menunjukkan bahwa
hanya 11 daerah kabupaten/kota yang telah mencapai kondisi efisien
sempurna. Daerah tersebut adalah Kabupaten Magelang, Pati, Jepara, Demak,
Semarang, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Salatiga, Kota Semarang, dan Kota
Pekalongan. Ini membuktikan bahwa secara teknis sistem, sebagian besar
kabupaten/kota dalam penggunaan input berupa fasilitas dan layanan
kesehatan dalam menghasilkan derajat kesehatan yang baik masih kurang
optimal.
109
3. Tingkat potential improvement tiap kabupaten/kota memiliki perbedaan
dalam variabel yang perlu diperbaiki. Ada beberapa daerah yang hanya perlu
memperbaiki inputnya, ada daerah yang perlu memperbaiki salah satu input
atau semua outputnya dan ada juga daerah yang memerlukan perbaikan pada
variabel input output tergantung kondisi daerah masing-masing.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka
peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi daerah yang telah mencapai kondisi efisien, diharapkan pemerintah
daerah tetap melakukan pengawasan dan pengevaluasian belanja sektor
kesehatannya untuk meminimalisir terjadinya pemborosan.
2. Inefisiensi paling rendah terjadi pada efisiensi teknis biaya, perbaikan
yang dilakukan bukan dengan mengurangi anggaran belanja kesehatan,
akan tetapi lebih ke pengoptimalan belanja kesehatan dengan penekanan
pada optimalisasi output.
3. Dearah yang belum efisien secara teknis biaya dan teknis sistem dapat
melakukan potential improvement dan benchmarking ke daerah yang
telah mencapai kondisi efisien sempurna.
110
DAFTAR PUSTAKA
Amandemen Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Atmawikarta, Arum. 2005. “Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi”.
Makalah disajikan dalam seminar, Bappenas.
Badan Pusat Statistik. 2014. Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2013. Semarang:
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah..
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Data APBD Tahun Berjalan,
http://www.djpk.depkeu.go.id/. (04 Februari 2016).
Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Fathoni, As’ad Asyhar. Analisis Efisiensi Ekonomi Industri Tekstil dan Produk
Tekstil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2011. Dalam Economic
Development Analysis Journal, Hal 73-83. Semarang: Universitas Negeri
Semarang.
Indriati, Neneng Erlina. 2014. Analisis Efisien Belanja Daerah di Kabupaten
Sumbawa (Studi Kasus Bidang Pendidikan dan Kesehatan). Dalam Jurnal
Ekonomi Studi Pembangunan, Vol. 6 No. 2. Hal. 192-205. Malang:
Universitas Brawijaya.
Javarov dan Gunnarson. 2008. Government Spending on Health Care and
Education in Croatia: Efficiency and Reform Options. IMF Working Paper,
WP/08/136.
Joesron, Tati S dan M. Fathorrazi. 2012. Teori Ekonomi Mikro. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Kawedar, W; Abdul, R; dan Sri, H. 2008. Akuntansi Sektor Publik. Semarang :
Universitas Diponegoro.
Kurnia. 2006. Model Pengukuran Kinerja dan Efisiensi Sektor Publik Metode
Free Disposable Hull (FDH). Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan,
Volume 11 No. 2. Hal 1-20. Semarang: Universitas Diponegoro.
Mangkoesoebroto, Guritno. 1995. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE.
111
Mangkoesoebroto, Guritno. 1999. Ekonomi Publik. Yogyakarta : BPFE.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : Andi.
Mills dan Gilson.1990. Ekonomi Kesehatan untuk Negara-Negara sedang
Berkembang. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perpsektif Pembangunan.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaam Keuangan Daerah.
Pertiwi, Lela Dina. 2007. Efisiensi Pengeluaran Pemerintah Daerah di Propinsi
Jawa Tengah. Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.12 No. 2 Hal.
123-139. Semarang : Universitas Diponegoro.
Prajanti, Sucihatiningsih Dian Wisika. 2013. Metode Analisis Efisiensi Produksi
dan Pengambilan Keputusan pada Bidang Ekonomi Pertanian. Semarang:
Unnes Press.
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013. 2014. Semarang: Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Rachmawati, Aulia. 2011. “Analisis Efisiensi Belanja Daerah Sektor Kesehatan
Provinsi Jawa Timur (Studi Kasus: 8 Kabupaten Wilayah Pantai Selatan
Tahun 2007-2009)”. Skripsi. Jawa Timur: Universitas Brawijaya.
Rusydiana, Aam Slamet. 2013. Mengukur Tingkat Efisiensi dengan Data
Envelopment Analysis. Bogor : Smart Publishing.
Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sukirno, Sadono. 2010. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Suparmoko. 1996. Pengantar Ekonomi Makro. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Supiati, Eka Nur. “Analisis Tingkat Efisiensi Puskesmas di Kota Semarang Tahun
2012”. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
112
Tjiptoherijanto dan Soesetyo. 1994. Ekonomi Kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Verhoeven Majin, Victoria Gunnarson, and Stephane Carcillo. 2007.”Education
and Health in G7 Countries: Achieving Better Outcomes with Less
Spending.” IMF Working Paper No. 26. http://www.imf.org/ diakses tanggal
27 Maret 2016.
Lampiran 1
113
Data Anggaran Belanja Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2012-2014
Kabupaten/Kota 2012 2013 2014
Kab. Cilacap 165.934.730.750 196.344.705.800 231.818.032.900
Kab. Banyumas 232.583.325.550 260.552.397.495 338.849.089.180
Kab. Purbalingga 127.327.301.000 139.488.492.000 185.003.117.000
Kab. Banjarnegara 119.001.009.000 139.571.575.000 155.994.124.000
Kab. Kebumen 131.090.782.000 205.949.731.000 253.124.423.000
Kab. Purworejo 118.351.448.000 147.094.377.900 162.619.447.720
Kab. Wonosobo 102.077.919.400 115.208.695.320 162.384.418.931
Kab. Magelang 126.472.094.000 142.334.508.150 152.856.256.166
Kab. Boyolali 166.688.941.100 185.871.860.000 222.640.898.400
Kab. Klaten 81.293.103.000 88.244.705.200 170.920.792.000
Kab. Sukoharjo 106.921.101.000 131.790.918.000 167.812.300.000
Kab. Wonogiri 120.447.449.000 135.094.153.300 189.778.153.100
Kab. Karanganyar 98.490.221.697 127.500.483.000 160.924.451.738
Kab. Sragen 149.423.480.000 153.946.755.000 210.480.095.000
Kab. Grobogan 145.913.092.141 149.673.723.250 222.868.253.818
Kab. Blora 124.462.307.450 137.788.224.000 191.271.631.000
Kab. Rembang 136.168.527.000 156.836.976.000 176.882.819.400
Kab. Pati 213.382.009.000 229.752.466.000 254.197.502.000
Kab. Kudus 158.982.519.000 183.737.793.000 194.342.320.000
Kab. Jepara 145.707.722.000 169.360.092.000 178.562.163.000
Kab. Demak 106.532.627.000 115.557.242.700 164.591.570.845
Kab. Semarang 146.350.517.000 188.348.872.000 229.090.530.000
Kab. Temanggung 89.220.994.400 110.059.445.115 135.770.891.893
Kab. Kendal 120.289.586.272 146.791.097.000 180.360.120.000
Kab. Batang 102.442.093.619 133.116.976.848 155.589.399.241
Kab. Pekalongan 153.245.325.468 190.573.816.000 221.554.093.200
Kab. Pemalang 129.107.809.000 150.780.278.000 157.204.473.000
Kab. Tegal 152.198.234.000 180.171.191.000 257.311.988.000
Kab. Brebes 149.390.464.000 206.765.599.000 231.707.891.000
Kota Magelang 97.255.265.000 112.916.138.000 133.562.006.000
Kota Surakarta 118.581.951.500 121.791.457.540 124.125.745.000
Kota Salatiga 111.016.866.000 95.959.135.000 127.348.236.000
Kota Semarang 70.929.753.000 250.660.245.400 266.876.720.302
Kota Pekalongan 66.843.396.200 83.442.429.000 109.913.626.000
Kota Tegal 133.651.434.000 157.349.615.000 179.797.950.000
Sumber: Rekap APBD Kabupaten/Kota Menurut Fungsi Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012-2014.
Lampiran 2
114
Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun
2012-2014
No. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk
2012 2013 2014
1 Kab. Cilacap 1679864 1676089 1685573
2 Kab. Banyumas 1603037 1605579 1620918
3 Kab. Purbalingga 877489 879880 889214
4 Kab. Banjarnegara 890962 889921 895986
5 Kab. Kebumen 1181678 1176722 1181006
6 Kab. Purworejo 708483 705483 708038
7 Kab. Wonosobo 771447 769318 773280
8 Kab. Magelang 1219371 1221681 1233695
9 Kab. Boyolali 953317 951817 957857
10 Kab. Klaten 1153047 1148994 1154040
11 Kab. Sukoharjo 848718 849506 856937
12 Kab. Wonogiri 946373 942377 945817
13 Kab. Karanganyar 838762 840171 848255
14 Kab. Sragen 875283 871989 875600
15 Kab. Grobogan 1339127 1336304 1343960
16 Kab. Blora 847125 844444 848369
17 Kab. Rembang 608548 608903 614087
18 Kab. Pati 1219993 1218016 1225594
19 Kab. Kudus 807005 810810 821136
20 Kab. Jepara 1144916 1153213 1170797
21 Kab. Demak 1091379 1094472 1106328
22 Kab. Semarang 968383 974092 987557
23 Kab. Temanggung 730720 731911 738915
24 Kab. Kendal 926325 926812 934643
25 Kab. Batang 728578 719616 736397
26 Kab. Pekalongan 861366 861082 867573
27 Kab. Pemalang 1285024 1279596 1284236
28 Kab. Tegal 1421001 1415009 1420132
29 Kab. Brebes 1770480 1764648 1773379
30 Kota Magelang 120447 119935 120373
31 Kota Surakarta 509576 507825 510077
32 Kota Salatiga 177480 178594 181193
33 Kota Semarang 1629924 1644800 1672999
34 Kota Pekalongan 290347 290870 293704
35 Kota Tegal 244632 243860 244998
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, 2013-2015.
Lampiran 3
115
Data Jumlah Puskesmas dan Tempat Tidur Tersedia Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014
No. Kabupaten/kota Jumlah Puskesmas Jumlah Tempat Tidur
2012 2013 2014 2012 2013 2014
1 Kab. Cilacap 165 165 151 736 781 797
2 Kab. Banyumas 131 131 117 1782 1852 2365
3 Kab. Purbalingga 92 92 81 424 424 419
4 Kab. Banjarnegara 124 124 112 483 483 451
5 Kab. Kebumen 158 159 149 868 868 1031
6 Kab. Purworejo 128 128 116 516 516 545
7 Kab. Wonosobo 108 108 100 436 436 488
8 Kab. Magelang 128 128 125 333 308 418
9 Kab. Boyolali 120 120 106 769 869 920
10 Kab. Klaten 166 166 150 802 802 1018
11 Kab. Sukoharjo 148 148 138 680 680 753
12 Kab. Wonogiri 216 216 211 638 688 739
13 Kab. Karanganyar 122 122 109 507 507 573
14 Kab. Sragen 136 136 126 722 749 863
15 Kab. Grobogan 142 143 130 939 917 982
16 Kab. Blora 113 113 103 470 470 539
17 Kab. Rembang 113 113 103 259 259 328
18 Kab. Pati 114 114 108 874 924 937
19 Kab. Kudus 83 83 77 1025 1087 1192
20 Kab. Jepara 99 99 85 685 685 764
21 Kab. Demak 105 105 93 418 418 474
22 Kab. Semarang 134 134 123 598 598 353
23 Kab. Temanggung 126 128 120 567 567 524
24 Kab. Kendal 119 119 108 302 302 463
25 Kab. Batang 92 92 87 326 326 345
26 Kab. Pekalongan 112 112 105 577 577 581
27 Kab. Pemalang 102 102 98 676 706 769
28 Kab. Tegal 126 128 120 736 736 871
29 Kab. Brebes 150 150 132 605 705 821
30 Kota Magelang 22 22 22 707 707 832
31 Kota surakarta 62 62 62 2022 2002 2277
32 Kota salatiga 28 28 27 467 467 584
33 Kota semarang 120 120 107 3884 3834 4198
34 Kota pekalongan 49 49 49 527 527 623
35 Kota tegal 38 38 37 611 577 864
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, 2013-2015.
Lampiran 4
116
Data Jumlah Tenaga Bidan Tersedia Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012-2014.
No. Kabupaten/kota Jumlah Bidan
2012 2013 2014
1 Kab. Cilacap 720 1167 1150
2 Kab. Banyumas 652 728 634
3 Kab. Purbalingga 359 372 293
4 Kab. Banjarnegara 665 761 428
5 Kab. Kebumen 764 772 806
6 Kab. Purworejo 315 328 468
7 Kab. Wonosobo 344 344 342
8 Kab. Magelang 468 523 529
9 Kab. Boyolali 444 429 440
10 Kab. Klaten 569 551 589
11 Kab. Sukoharjo 475 473 468
12 Kab. Wonogiri 479 482 320
13 Kab. Karanganyar 409 431 439
14 Kab. Sragen 644 653 663
15 Kab. Grobogan 616 699 735
16 Kab. Blora 390 409 441
17 Kab. Rembang 398 365 262
18 Kab. Pati 642 716 710
19 Kab. Kudus 440 467 472
20 Kab. Jepara 630 629 427
21 Kab. Demak 377 390 412
22 Kab. Semarang 372 369 370
23 Kab. Temanggung 357 385 394
24 Kab. Kendal 592 599 355
25 Kab. Batang 483 470 450
26 Kab. Pekalongan 530 530 424
27 Kab. Pemalang 669 704 463
28 Kab. Tegal 610 612 604
29 Kab. Brebes 685 685 479
30 Kota Magelang 90 89 92
31 Kota surakarta 275 280 286
32 Kota salatiga 105 107 106
33 Kota semarang 476 478 477
34 Kota pekalongan 94 97 177
35 Kota tegal 111 116 116
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012-2014.
Lampiran 5
117
Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2012
No Kab/Kota Lahir
Hidup
Lahir
Mati
Total
Lahir Bayi Mati Bayi Hidup
1 Cilacap 30564 207 30771 351 30420
2 Banyumas 28558 137 28695 266 28429
3 Purbalingga 15423 125 15548 182 15366
4 Banjarnegara 16358 161 16519 297 16222
5 Kebumen 21210 182 21392 223 21169
6 Purworejo 9899 91 9990 148 9842
7 Wonosobo 13947 93 14040 181 13859
8 Magelang 19857 134 19991 134 19857
9 Boyolali 15311 87 15398 171 15227
10 Klaten 18347 109 18456 190 18266
11 Sukoharjo 13927 82 14009 135 13874
12 Wonogiri 12761 29 12790 84 12706
13 Karanganyar 13324 67 13391 117 13274
14 Sragen 15635 66 15701 146 15555
15 Grobogan 22648 58 22706 240 22466
16 Blora 13066 139 13205 192 13013
17 Rembang 9028 108 9136 150 8986
18 Pati 19533 157 19690 202 19488
19 Kudus 15729 84 15813 109 15704
20 Jepara 21564 165 21729 216 21513
21 Demak 21174 108 21282 119 21163
22 Semarang 14101 135 14236 186 14050
23 Temanggung 10341 92 10433 149 10284
24 Kendal 16682 77 16759 160 16599
25 Batang 13245 120 13365 174 13191
26 Pekalongan 17254 131 17385 185 17200
27 Pemalang 25871 104 25975 264 25711
28 Tegal 27252 184 27436 221 27215
29 Brebes 33997 60 34057 508 33549
30 Kota Magelang 1880 21 1901 31 1870
31 Kota surakarta 10318 17 10335 55 10280
32 Kota salatiga 2802 24 2826 20 2806
33 Kota semarang 27478 106 27584 293 27291
34 Kota pekalongan 6100 43 6143 68 6075
35 Kota tegal 5036 52 5088 68 5020
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012.
Lampiran 6
118
Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2013
No Kab/Kota Lahir
Hidup
Lahir
Mati
Total
Lahir Bayi Mati Bayi Hidup
1 Cilacap 29652 168 29820 325 29495
2 Banyumas 27744 173 27917 348 27569
3 Purbalingga 15202 74 15276 172 15104
4 Banjarnegara 16314 173 16487 271 16216
5 Kebumen 20375 153 20528 199 20329
6 Purworejo 9615 60 9675 111 9564
7 Wonosobo 13056 130 13186 172 13014
8 Magelang 18993 124 19117 138 18979
9 Boyolali 14729 85 14814 111 14703
10 Klaten 17734 60 17794 150 17644
11 Sukoharjo 13152 49 13201 142 13059
12 Wonogiri 12328 49 12377 95 12282
13 Karanganyar 13249 84 13333 131 13202
14 Sragen 15125 61 15186 132 15054
15 Grobogan 21570 169 21739 305 21434
16 Blora 11752 94 11846 162 11684
17 Rembang 8938 103 9041 153 8888
18 Pati 18465 164 18629 202 18427
19 Kudus 15740 88 15828 112 15716
20 Jepara 20912 113 21025 191 20834
21 Demak 20605 73 20678 119 20559
22 Semarang 14141 105 14246 169 14077
23 Temanggung 11203 110 11313 173 11140
24 Kendal 16307 50 16357 153 16204
25 Batang 12478 103 12581 186 12395
26 Pekalongan 15826 131 15957 157 15800
27 Pemalang 24335 130 24465 217 24248
28 Tegal 28643 204 28847 256 28591
29 Brebes 33074 41 33115 350 32765
30 Kota Magelang 1798 13 1811 27 1784
31 Kota surakarta 9927 17 9944 32 9912
32 Kota salatiga 2507 36 2543 40 2503
33 Kota semarang 27065 93 27158 251 26907
34 Kota pekalongan 6061 45 6106 86 6020
35 Kota tegal 4520 36 4556 56 4500
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013.
Lampiran 7
119
Data Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2014
No Kab/Kota Lahir
Hidup
Lahir
Mati
Total
Lahir Bayi Mati Bayi Hidup
1 Cilacap 30023 137 30160 284 29876
2 Banyumas 28765 194 28959 258 28701
3 Purbalingga 14818 90 14908 162 14746
4 Banjarnegara 16189 163 16352 204 16148
5 Kebumen 20558 146 20704 208 20496
6 Purworejo 9305 81 9386 117 9269
7 Wonosobo 12884 109 12993 123 12870
8 Magelang 18663 115 18778 149 18629
9 Boyolali 15044 77 15121 147 14974
10 Klaten 17286 123 17409 191 17218
11 Sukoharjo 12938 62 13000 135 12865
12 Wonogiri 11661 28 11689 80 11609
13 Karanganyar 12895 27 12922 147 12775
14 Sragen 15044 73 15117 117 15000
15 Grobogan 22789 19 22808 406 22402
16 Blora 12116 107 12223 204 12019
17 Rembang 8999 126 9125 125 9000
18 Pati 17937 142 18079 177 17902
19 Kudus 15770 95 15865 119 15746
20 Jepara 20978 72 21050 147 20903
21 Demak 20813 93 20906 138 20768
22 Semarang 13859 88 13947 142 13805
23 Temanggung 11228 73 11301 165 11136
24 Kendal 15837 100 15937 142 15795
25 Batang 12846 113 12959 185 12774
26 Pekalongan 16000 107 16107 116 15991
27 Pemalang 24554 116 24670 210 24460
28 Tegal 27318 213 27531 163 27368
29 Brebes 33456 29 33485 348 33137
30 Kota Magelang 1585 6 1591 20 1571
31 Kota surakarta 9781 16 9797 37 9760
32 Kota salatiga 2411 27 2438 37 2401
33 Kota semarang 26992 125 27117 252 26865
34 Kota pekalongan 6018 62 6080 61 6019
35 Kota tegal 4484 55 4539 50 4489
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014.
Lampiran 8
120
Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012
No Kab/Kota Ibu
Hamil
Ibu Melahirkan
tidak selamat
Ibu Melahirkan
Selamat
Lahir
Hidup
1 Cilacap 32843 34 32809 30564
2 Banyumas 30939 32 30907 28558
3 Purbalingga 16739 21 16718 15423
4 Banjarnegara 17738 23 17715 16358
5 Kebumen 22168 11 22157 21210
6 Purworejo 10522 20 10502 9899
7 Wonosobo 14578 18 14560 13947
8 Magelang 22131 13 22118 19857
9 Boyolali 16918 15 16903 15311
10 Klaten 20406 19 20387 18347
11 Sukoharjo 15224 9 15215 13927
12 Wonogiri 15038 13 15025 12761
13 Karanganyar 14786 17 14769 13324
14 Sragen 17078 19 17059 15635
15 Grobogan 26194 34 26160 22648
16 Blora 14896 15 14881 13066
17 Rembang 10113 13 10100 9028
18 Pati 21231 22 21209 19533
19 Kudus 17408 15 17393 15729
20 Jepara 23958 21 23937 21564
21 Demak 22183 17 22166 21174
22 Semarang 15628 11 15617 14101
23 Temanggung 13878 11 13867 10341
24 Kendal 17793 22 17771 16682
25 Batang 13846 25 13821 13245
26 Pekalongan 16465 31 16434 17254
27 Pemalang 28469 35 28434 25871
28 Tegal 30776 39 30737 27252
29 Brebes 36938 51 36887 33997
30 Kota Magelang 2123 3 2120 1880
31 Kota surakarta 11101 6 11095 10318
32 Kota salatiga 3003 2 3001 2802
33 Kota semarang 28398 22 28376 27478
34 Kota pekalongan 6799 5 6794 6100
35 Kota tegal 5720 11 5709 5036
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012.
Lampiran 9
121
Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2013
No Kab/Kota Ibu
Hamil Ibu Melahirkan
Tidak Selamat
Ibu Melahirkan
Selamat
Lahir
Hidup
1 Cilacap 32647 34 32613 29652
2 Banyumas 31123 35 31088 27744
3 Purbalingga 16431 26 16405 15202
4 Banjarnegara 18471 19 18452 16314
5 Kebumen 22034 15 22019 20375
6 Purworejo 10445 7 10438 9615
7 Wonosobo 14256 11 14245 13056
8 Magelang 21811 11 21800 18993
9 Boyolali 16705 14 16691 14729
10 Klaten 19034 22 19012 17734
11 Sukoharjo 14966 13 14953 13152
12 Wonogiri 13798 13 13785 12328
13 Karanganyar 15428 9 15419 13249
14 Sragen 16691 16 16675 15125
15 Grobogan 24213 22 24191 21570
16 Blora 13506 14 13492 11752
17 Rembang 10128 17 10111 8938
18 Pati 20708 29 20679 18465
19 Kudus 17485 21 17464 15740
20 Jepara 23720 26 23694 20912
21 Demak 22019 24 21995 20605
22 Semarang 15465 17 15448 14141
23 Temanggung 12655 7 12648 11203
24 Kendal 17938 21 17917 16307
25 Batang 13779 14 13765 12478
26 Pekalongan 16541 29 16512 15826
27 Pemalang 27288 27 27261 24335
28 Tegal 30982 42 30940 28643
29 Brebes 37379 61 37318 33074
30 Kota Magelang 2022 1 2021 1798
31 Kota Surakarta 10889 3 10886 9927
32 Kota salatiga 3151 7 3144 2507
33 Kota semarang 29077 29 29048 27065
34 Kota pekalongan 6710 6 6704 6061
35 Kota tegal 5237 8 5229 4520
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013.
Lampiran 10
122
Data Jumlah Kematian Ibu Maternal Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2014
No Kab/Kota Ibu
Hamil Ibu Melahirkan
Tidak Selamat
Ibu Melahirkan
Selamat
Lahir
Hidup
1 Cilacap 32386 36 32350 30023
2 Banyumas 30885 33 30852 28765
3 Purbalingga 16256 14 16242 14818
4 Banjarnegara 18229 20 18209 16189
5 Kebumen 21732 12 21720 20558
6 Purworejo 10068 5 10063 9305
7 Wonosobo 14016 11 14005 12884
8 Magelang 21079 14 21065 18663
9 Boyolali 16277 14 16263 15044
10 Klaten 18557 20 18537 17286
11 Sukoharjo 14290 13 14277 12938
12 Wonogiri 13464 10 13454 11661
13 Karanganyar 14771 17 14754 12895
14 Sragen 16247 13 16234 15044
15 Grobogan 24986 43 24943 22789
16 Blora 13560 12 13548 12116
17 Rembang 10029 14 10015 8999
18 Pati 19204 17 19187 17937
19 Kudus 17402 26 17376 15770
20 Jepara 23003 19 22984 20978
21 Demak 21709 17 21692 20813
22 Semarang 15325 20 15305 13859
23 Temanggung 11763 14 11749 11228
24 Kendal 18082 19 18063 15837
25 Batang 13409 23 13386 12846
26 Pekalongan 16473 39 16434 16000
27 Pemalang 27772 40 27732 24554
28 Tegal 29923 47 29876 27318
29 Brebes 36388 73 36315 33456
30 Kota Magelang 1762 2 1760 1585
31 Kota surakarta 10703 7 10696 9781
32 Kota salatiga 2943 2 2941 2411
33 Kota semarang 29026 33 28993 26992
34 Kota pekalongan 6672 6 6666 6018
35 Kota tegal 4852 6 4846 4484
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014.
Lampiran 11
123
Data Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2012-2014
No Kabupaten/Kota AHH
2012 2013 2014
1 Kab. Cilacap 71,43 71,63 72,8
2 Kab. Banyumas 69,83 70,23 72,92
3 Kab. Purbalingga 70,68 71,08 72,8
4 Kab. Banjarnegara 69,36 69,56 73,39
5 Kab. Kebumen 69,43 69,73 72,67
6 Kab. Purworejo 71,04 71,44 73,83
7 Kab. Wonosobo 70,48 70,58 70,82
8 Kab. Magelang 70,23 70,63 73,25
9 Kab. Boyolali 70,49 70,71 75,61
10 Kab. Klaten 71,84 72,16 76,54
11 Kab. Sukoharjo 70,36 70,64 77,45
12 Kab. Wonogiri 72,42 72,82 75,84
13 Kab. Karanganyar 72,36 72,56 76,71
14 Kab. Sragen 72,95 73,05 75,31
15 Kab. Grobogan 70,05 70,45 74,07
16 Kab. Blora 71,48 72,02 73,84
17 Kab. Rembang 70,34 70,64 74,19
18 Kab. Pati 72,95 73,05 75,43
19 Kab. Kudus 69,73 69,83 76,4
20 Kab. Jepara 71,13 71,23 75,64
21 Kab. Demak 71,95 71,95 75,18
22 Kab. Semarang 72,6 72,9 75,5
23 Kab. Temanggung 72,77 72,87 75,34
24 Kab. Kendal 69,1 69,42 74,14
25 Kab. Batang 70,57 70,97 74,4
26 Kab. Pekalongan 69,56 69,96 73,33
27 Kab. Pemalang 68,12 68,52 72,64
28 Kab. Tegal 69,38 69,58 70,8
29 Kab. Brebes 68,26 68,36 67,9
30 Kota Magelang 70,34 70,74 76,57
31 Kota surakarta 72,35 72,75 76,99
32 Kota salatiga 71,25 71,45 76,53
33 Kota semarang 72,24 72,44 77,18
34 Kota pekalongan 70,63 70,83 74,09
35 Kota tegal 69,12 69,42 74,1
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2016.
Lampiran 12
124
Data Rasio Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012-2014
No Kabupaten/Kota AKB
Rata-rata 2012 2013 2014
1 Kab. Cilacap 11,48 10,96 9,46 10,63
2 Kab. Banyumas 9,31 12,54 8,97 10,28
3 Kab. Purbalingga 11,80 11,31 10,93 11,35
4 Kab. Banjarnegara 18,16 16,61 12,60 15,79
5 Kab. Kebumen 10,51 9,77 10,12 10,13
6 Kab. Purworejo 14,95 11,54 12,57 13,02
7 Kab. Wonosobo 12,98 13,17 9,55 11,90
8 Kab. Magelang 6,75 7,27 7,98 7,33
9 Kab. Boyolali 11,17 7,54 9,77 9,49
10 Kab. Klaten 10,36 8,46 11,05 9,95
11 Kab. Sukoharjo 9,69 10,80 10,43 10,31
12 Kab. Wonogiri 6,58 7,71 6,86 7,05
13 Kab. Karanganyar 8,78 9,89 11,40 10,02
14 Kab. Sragen 9,34 8,73 7,78 8,61
15 Kab. Grobogan 10,60 14,14 17,82 14,18
16 Kab. Blora 14,69 13,78 16,84 15,11
17 Kab. Rembang 16,61 17,12 13,89 15,87
18 Kab. Pati 10,34 10,94 9,87 10,38
19 Kab. Kudus 6,93 7,12 7,55 7,20
20 Kab. Jepara 10,02 9,13 7,01 8,72
21 Kab. Demak 5,62 5,78 6,63 6,01
22 Kab. Semarang 13,19 11,95 10,25 11,80
23 Kab. Temanggung 14,41 15,44 14,70 14,85
24 Kab. Kendal 9,59 9,38 8,97 9,31
25 Kab. Batang 13,14 14,91 14,40 14,15
26 Kab. Pekalongan 10,72 9,92 7,25 9,30
27 Kab. Pemalang 10,20 8,92 8,55 9,22
28 Kab. Tegal 8,11 8,94 5,97 7,67
29 Kab. Brebes 14,94 10,58 10,40 11,98
30 Kota Magelang 16,49 15,02 12,62 14,71
31 Kota Surakarta 5,33 3,22 3,78 4,11
32 Kota salatiga 7,14 15,96 15,35 12,81
33 Kota semarang 10,66 9,27 9,34 9,76
34 Kota pekalongan 11,15 14,19 10,14 11,82
35 Kota tegal 13,50 12,39 11,15 12,35
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012-2014, diolah.
Lampiran 13
125
Data Rasio Angka Kematian Ibu Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012-2014
No Kabupaten/Kota AKI
Rata-rata 2012 2013 2014
1 Kab. Cilacap 111,24 114,66 119,91 115,27
2 Kab. Banyumas 112,05 126,15 114,72 117,64
3 Kab. Purbalingga 136,16 171,03 94,48 133,89
4 Kab. Banjarnegara 140,60 116,46 123,54 126,87
5 Kab. Kebumen 51,86 73,62 58,37 61,28
6 Kab. Purworejo 202,04 72,80 53,73 109,53
7 Kab. Wonosobo 129,06 84,25 85,38 99,56
8 Kab. Magelang 65,47 57,92 75,01 66,13
9 Kab. Boyolali 97,97 95,05 93,06 95,36
10 Kab. Klaten 103,56 124,06 115,70 114,44
11 Kab. Sukoharjo 64,62 98,84 100,48 87,98
12 Kab. Wonogiri 101,87 105,45 85,76 97,69
13 Kab. Karanganyar 127,59 67,93 131,83 109,12
14 Kab. Sragen 121,52 105,79 86,41 104,57
15 Kab. Grobogan 150,12 101,99 188,69 146,93
16 Kab. Blora 114,80 119,13 99,04 110,99
17 Kab. Rembang 144,00 190,20 155,57 163,26
18 Kab. Pati 112,63 157,05 94,78 121,49
19 Kab. Kudus 95,37 133,42 164,87 131,22
20 Kab. Jepara 97,38 124,33 90,57 104,10
21 Kab. Demak 80,29 116,48 81,68 92,81
22 Kab. Semarang 78,01 120,22 144,31 114,18
23 Kab. Temanggung 106,37 62,48 124,69 97,85
24 Kab. Kendal 131,88 128,78 119,97 126,88
25 Kab. Batang 188,75 112,20 179,04 160,00
26 Kab. Pekalongan 179,67 183,24 243,75 202,22
27 Kab. Pemalang 135,29 110,95 162,91 136,38
28 Kab. Tegal 143,11 146,63 172,05 153,93
29 Kab. Brebes 150,01 184,43 218,20 184,22
30 Kota Magelang 159,57 55,62 126,18 113,79
31 Kota surakarta 58,15 30,22 71,57 53,31
32 Kota salatiga 71,38 279,22 82,95 144,52
33 Kota semarang 80,06 107,15 122,26 103,16
34 Kota pekalongan 81,97 98,99 99,70 93,55
35 Kota tegal 218,43 176,99 133,81 176,41
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012-2014, diolah.
Lampiran 14
126
Rasio Angka Bayi Hidup (ABH) Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012-2014
No Kabupaten/Kota ABH
2012 2013 2014
1 Kab. Cilacap 995,29 994,71 995,10
2 Kab. Banyumas 995,48 993,69 997,78
3 Kab. Purbalingga 996,30 993,55 995,14
4 Kab. Banjarnegara 991,69 993,99 997,47
5 Kab. Kebumen 998,07 997,74 996,98
6 Kab. Purworejo 994,24 994,70 996,13
7 Kab. Wonosobo 993,69 996,78 998,91
8 Kab. Magelang 1000,00 999,26 998,18
9 Kab. Boyolali 994,51 998,23 995,35
10 Kab. Klaten 995,59 994,93 996,07
11 Kab. Sukoharjo 996,19 992,93 994,36
12 Kab. Wonogiri 995,69 996,27 995,54
13 Kab. Karanganyar 996,25 996,45 990,69
14 Kab. Sragen 994,88 995,31 997,08
15 Kab. Grobogan 991,96 993,69 983,02
16 Kab. Blora 995,94 994,21 991,99
17 Kab. Rembang 995,35 994,41 1000,11
18 Kab. Pati 997,70 997,94 998,05
19 Kab. Kudus 998,41 998,48 998,48
20 Kab. Jepara 997,63 996,27 996,42
21 Kab. Demak 999,48 997,77 997,84
22 Kab. Semarang 996,38 995,47 996,10
23 Kab. Temanggung 994,49 994,38 991,81
24 Kab. Kendal 995,02 993,68 997,35
25 Kab. Batang 995,92 993,35 994,40
26 Kab. Pekalongan 996,87 998,36 999,44
27 Kab. Pemalang 993,82 996,42 996,17
28 Kab. Tegal 998,64 998,18 1001,83
29 Kab. Brebes 986,82 990,66 990,47
30 Kota Magelang 994,68 992,21 991,17
31 Kota surakarta 996,32 998,49 997,85
32 Kota salatiga 1001,43 998,40 995,85
33 Kota semarang 993,19 994,16 995,29
34 Kota pekalongan 995,90 993,24 1000,17
35 Kota tegal 996,82 995,58 1001,12
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012-2014, diolah.
Lampiran 15
127
Rasio Angka Ibu Melahirkan Selamat (AIMS) Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014
No Kabupaten/Kota AIMS
2012 2013 2014
1 Kab. Cilacap 107345,24 109985,84 107750,72
2 Kab. Banyumas 108225,37 112053,06 107255,35
3 Kab. Purbalingga 108396,55 107913,43 109609,93
4 Kab. Banjarnegara 108295,64 113105,31 112477,61
5 Kab. Kebumen 104464,88 108068,71 105652,30
6 Kab. Purworejo 106091,52 108559,54 108146,16
7 Kab. Wonosobo 104395,21 109106,92 108700,71
8 Kab. Magelang 111386,41 114779,13 112870,39
9 Kab. Boyolali 110397,75 113320,66 108102,90
10 Kab. Klaten 111118,98 107206,50 107237,07
11 Kab. Sukoharjo 109248,22 113693,73 110349,36
12 Kab. Wonogiri 117741,56 111818,62 115376,04
13 Kab. Karanganyar 110845,09 116378,59 114416,44
14 Kab. Sragen 109107,77 110247,93 107910,13
15 Kab. Grobogan 115506,89 112151,14 109451,93
16 Kab. Blora 113891,01 114805,99 111819,08
17 Kab. Rembang 111874,17 113123,74 111290,14
18 Kab. Pati 108580,35 111990,25 106968,84
19 Kab. Kudus 110579,18 110952,99 110183,89
20 Kab. Jepara 111004,45 113303,37 109562,40
21 Kab. Demak 104684,99 106745,94 104223,32
22 Kab. Semarang 110751,01 109242,63 110433,65
23 Kab. Temanggung 134097,28 112898,33 104640,19
24 Kab. Kendal 106527,99 109873,06 114055,69
25 Kab. Batang 104348,81 110314,15 104203,64
26 Kab. Pekalongan 95247,48 104334,64 102712,50
27 Kab. Pemalang 109906,85 112023,83 112942,90
28 Kab. Tegal 112788,05 108019,41 109363,79
29 Kab. Brebes 108500,75 112831,83 108545,55
30 Kota Magelang 112765,96 112402,67 111041,01
31 Kota surakarta 107530,53 109660,52 109354,87
32 Kota salatiga 107102,07 125408,86 121982,58
33 Kota semarang 103268,07 107326,81 107413,31
34 Kota pekalongan 111377,05 110608,81 110767,70
35 Kota tegal 113363,78 115685,84 108073,15
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012-2014, diolah.
Lampiran 16
128
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2012
Efficiency Scores Report 100,00% Kota Semarang
100,00% Kab. Klaten
100,00% Kab. Wonogiri
100,00% Kota Magelang
100,00% Kab. Banjarnegara
100,00% Kota Surakarta
100,00% Kab. Sragen
100,00% Kab. Rembang
99,82% Kab. Kebumen
96,38% Kab. Sukoharjo
90,28% Kab. Temanggung
89,02% Kab. Batang
88,87% Kab. Kendal
86,29% Kota Pekalongan
84,83% Kab. Pemalang
83,96% Kota Salatiga
83,59% Kab. Pekalongan
83,49% Kab. Karanganyar
82,40% Kab. Purworejo
78,33% Kab. Jepara
77,84% Kab. Kudus
76,31% Kab. Grobogan
75,68% Kota Tegal
74,53% Kab. Wonosobo
72,55% Kab. Blora
71,66% Kab. Boyolali
71,49% Kab. Pati
70,62% Kab. Cilacap
70,45% Kab. Brebes
68,00% Kab. Tegal
67,57% Kab. Semarang
65,84% Kab. Magelang
65,32% Kab. Banyumas
61,70% Kab. Purbalingga
61,15% Kab. Demak
Lampiran 17
129
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2013
100,00% Kota Semarang
100,00% Kab. Cilacap
100,00% Kab. Klaten
100,00% Kota Surakarta
100,00% Kota Magelang
100,00% Kab. Wonogiri
100,00% Kab. Banjarnegara
98,12% Kab. Sragen
93,81% Kab. Rembang
89,69% Kab. Sukoharjo
88,22% Kab. Temanggung
85,58% Kab. Grobogan
85,54% Kab. Kebumen
84,71% Kota Salatiga
83,76% Kota Pekalongan
83,21% Kab. Purworejo
82,98% Kab. Pemalang
82,15% Kab. Batang
81,93% Kab. Kendal
79,92% Kab. Pekalongan
78,05% Kab. Karanganyar
75,66% Kota Tegal
75,17% Kab. Kudus
72,03% Kab. Jepara
72,01% Kab. Blora
71,98% Kab. Wonosobo
71,70% Kab. Pati
69,56% Kab. Boyolali
68,88% Kab. Banyumas
68,13% Kab. Magelang
65,05% Kab. Semarang
64,16% Kab. Tegal
61,89% Kab. Demak
60,05% Kab. Purbalingga
59,34% Kab. Brebes
Lampiran 18
130
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Biaya Belanja Kesehatan tahun 2014
100,00% Kab. Pemalang
100,00% Kab. Magelang
100,00% Kota Semarang
100,00% Kab. Klaten
100,00% Kota Magelang
100,00% Kota Surakarta
100,00% Kab. Cilacap
100,00% Kab. Temanggung
100,00% Kab. Wonogiri
100,00% Kab. Purworejo
100,00% Kab. Sragen
98,79% Kab. Sukoharjo
97,08% Kota Pekalongan
94,68% Kab. Kebumen
86,52% Kab. Karanganyar
86,36% Kab. Batang
85,32% Kab. Rembang
84,79% Kab. Banjarnegara
84,68% Kab. Grobogan
83,89% Kota Salatiga
81,24% Kab. Kudus
79,86% Kab. Pati
78,07% Kota Tegal
77,36% Kab. Blora
76,53% Kab. Wonosobo
73,61% Kab. Pekalongan
73,50% Kab. Brebes
70,64% Kab. Boyolali
69,63% Kab. Kendal
67,66% Kab. Semarang
67,59% Kab. Demak
66,45% Kab. Tegal
63,19% Kab. Jepara
61,14% Kab. Banyumas
55,69% Kab. Purbalingga
Lampiran 19
131
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan tahun 2012
100,00% Kota Pekalongan
100,00% Kab. Tegal
100,00% Kab. Temanggung
100,00% Kab. Brebes
100,00% Kab. Demak
100,00% Kab. Jepara
100,00% Kota Semarang
100,00% Kab. Semarang
100,00% Kab. Pati
100,00% Kab. Sragen
100,00% Kab. Pemalang
100,00% Kota Salatiga
100,00% Kab. Magelang
99,98% Kab. Banyumas
99,87% Kab. Wonogiri
99,86% Kab. Kudus
99,83% Kab. Karanganyar
99,78% Kab. Kebumen
99,77% Kota Surakarta
99,75% Kab. Blora
99,73% Kota Tegal
99,70% Kab. Klaten
99,66% Kab. Pekalongan
99,64% Kab. Purbalingga
99,62% Kab. Cilacap
99,60% Kab. Batang
99,59% Kab. Sukoharjo
99,58% Kab. Rembang
99,50% Kab. Kendal
99,49% Kota Magelang
99,47% Kab. Boyolali
99,43% Kab. Purworejo
99,41% Kab. Grobogan
99,37% Kab. Wonosobo
99,15% Kab. Banjarnegara
Lampiran 20
132
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan tahun 2013
100,00% Kab. Banyumas
100,00% Kota Salatiga
100,00% Kota Pekalongan
100,00% Kab. Brebes
100,00% Kab. Demak
100,00% Kab. Jepara
100,00% Kota Semarang
100,00% Kab. Semarang
100,00% Kab. Temanggung
100,00% Kab. Pemalang
100,00% Kab. Tegal
100,00% Kab. Karanganyar
100,00% Kota Surakarta
100,00% Kab. Pati
100,00% Kab. Magelang
100,00% Kab. Sragen
99,94% Kab. Kudus
99,92% Kab. Wonogiri
99,91% Kab. Pekalongan
99,90% Kab. Boyolali
99,85% Kab. Kebumen
99,76% Kab. Wonosobo
99,72% Kab. Blora
99,69% Kab. Klaten
99,64% Kota Tegal
99,64% Kab. Cilacap
99,62% Kab. Purworejo
99,53% Kab. Rembang
99,50% Kab. Purbalingga
99,47% Kab. Banjarnegara
99,45% Kab. Grobogan
99,45% Kab. Batang
99,44% Kab. Kendal
99,39% Kab. Sukoharjo
99,32% Kota Magelang
Lampiran 21
133
Hasil Olah DEA Efisiensi Teknis Sistem Pelayanan Kesehatan tahun 2014
100,00% Kab. Purbalingga
100,00% Kab. Kendal
100,00% Kab. Magelang
100,00% Kab. Pemalang
100,00% Kab. Wonogiri
100,00% Kab. Karanganyar
100,00% Kab. Banyumas
100,00% Kab. Brebes
100,00% Kota Salatiga
100,00% Kota Surakarta
100,00% Kab. Semarang
100,00% Kota Semarang
100,00% Kab. Sukoharjo
100,00% Kab. Tegal
100,00% Kab. Demak
100,00% Kab. Jepara
100,00% Kab. Kudus
100,00% Kab. Rembang
100,00% Kota Tegal
100,00% Kab. Pati
99,99% Kota Pekalongan
99,98% Kab. Klaten
99,92% Kab. Pekalongan
99,87% Kab. Banjarnegara
99,81% Kab. Sragen
99,75% Kab. Boyolali
99,72% Kab. Wonosobo
99,62% Kab. Kebumen
99,59% Kab. Purworejo
99,57% Kab. Cilacap
99,56% Kab. Batang
99,43% Kota Magelang
99,43% Kab. Temanggung
99,36% Kab. Blora
98,55% Kab. Grobogan
Lampiran 22
134
Hasil perhitungan
Perbaikan variabel Input Output dalam mencapai efisiensi teknis biaya dan
efisiensi teknis sistem Belanja sektor Kesehatan di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2014
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
Cilacap Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
137530,70
8,96
68,23
47,28
137530,70
8,96
68,23
47,28
-
-
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
8,96
68,23
47,28
995,10
107750,72
72,80
8,96
40,63
47,28
999,38
108344,69
73,11
-
(40,45)
-
00,43
00,55
00,43
Banyumas Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
209047,64
7,22
39,11
145,90
209047,64
11,81
63,96
238,61
-
63,55
63,55
63,55
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
7,22
39,11
145,90
997,78
107255,35
72,92
7,22
39,11
145,90
997,78
107255,35
72,92
-
-
-
-
-
-
Purbalingga Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
208052,41
9,11
32,95
47,12
208052,41
16,36
59,16
84,61
-
79,56
79,56
79,56
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
9,11
32,95
47,12
995,14
109609,93
72,80
9,11
32,95
47,12
995,14
109609,93
72,80
-
-
-
-
-
-
Banjarnegara Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
174103,31
12,50
47,77
50,34
174103,31
14,74
56,34
65,97
-
17,94
17,94
31,05
135
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
12,50
47,77
50,34
997,47
112477,61
73,39
12,50
43,33
50,34
998,77
112624,51
73,66
-
(09,29)
-
00,13
00,13
00,36
Kebumen Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
214329,50
12,62
68,25
87,30
214329,50
13,33
72,09
92,21
-
05,62
05,62
05,62
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
12,62
68,25
87,30
996,98
105652,30
72,67
12,62
44,11
87,30
1000,78
110152,98
72,95
-
(35,36)
-
00,38
04,26
00,38
Purworejo Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
229676,16
16,38
66,10
76,97
229676,16
16,38
66,10
76,97
-
-
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
16,38
66,10
76,97
996,13
108146,16
73,83
16,38
43,17
76,97
1000,21
110994,70
74,13
-
(34,69)
-
00,41
02,63
00,41
Wonosobo Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
209994,33
12,93
44,23
63,11
209994,33
16,90
57,79
82,46
-
30,67
30,67
30,67
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
12,93
44,23
63,11
998,91
108700,71
70,82
8,98
42,57
63,11
1001,73
109464,32
71,02
(30,56)
(03,74)
-
00,28
00,70
00,28
Magelang Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
123901,17
10,13
42,88
123901,17
10,13
42,88
-
-
-
136
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
+ Rasio Tempat Tidur 33,88 33,88 -
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
10,13
42,88
33,88
998,18
112870,39
73,25
10,13
42,88
33,88
998,18
112870,39
73,25
-
-
-
-
-
-
Boyolali Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
232436,47
11,07
45,94
96,05
232436,47
15,67
65,03
135,97
-
41,56
41,56
41,56
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
11,07
45,94
96,05
995,35
108102,90
75,61
10,59
45,94
96,05
997,89
108379,15
75,80
(04,30)
-
-
00,26
00,26
00,26
Klaten Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
148106,47
13,00
51,04
88,21
148106,47
13,00
51,04
88,21
-
-
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
13,00
51,04
88,21
996,07
107237,07
76,54
12,35
50,30
88,21
996,31
108558,46
76,56
(05,01)
(01,44)
-
-
01,23
00,02
Sukoharjo Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
195828,05
16,10
54,61
87,87
195828,05
16,30
55,28
88,95
-
01,23
01,23
01,23
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
16,10
54,61
87,87
994,36
110349,36
77,45
16,10
54,61
87,87
994,36
110349,36
77,45
-
-
-
-
-
-
Wonogiri Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
200649,97
22,31
200649,97
22,31
-
-
137
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
33,83
78,13
33,83
78,13
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
22,31
33,83
78,13
995,54
115376,04
75,84
22,31
33,83
78,13
995,54
115376,04
75,84
-
-
-
-
-
-
Karanganyar Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
189712,35
12,85
51,75
67,55
189712,35
14,85
59,82
78,08
-
15,59
15,59
15,59
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
12,85
51,75
67,55
990,69
114416,44
76,71
12,85
51,75
67,55
990,69
114416,44
76,71
-
-
-
-
-
-
Sragen Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
240383,85
14,39
75,72
98,56
240383,85
14,39
75,72
98,56
-
-
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
14,39
75,72
98,56
997,08
107910,13
75,31
11,84
49,43
98,56
998,96
109736,03
75,45
(17,72)
(34,72)
-
00,19
01,69
00,19
Grobogan Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
165829,53
9,67
54,69
73,07
165829,53
11,42
64,58
86,29
-
18,09
18,09
18,09
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
9,67
54,69
73,07
983,02
109451,93
74,07
9,67
41,55
73,07
997,45
111058,39
75,16
-
(24,02)
-
01,47
01,47
01,47
Blora Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan 225458,06 225458,06 -
138
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
12,14
51,98
63,53
15,69
67,19
82,12
29,26
29,26
29,26
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
12,14
51,98
63,53
991,99
111819,08
73,84
12,14
43,48
63,53
998,38
112539,26
74,32
-
(16,35)
-
00,64
00,64
00,64
Rembang Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
288041,95
16,77
42,66
53,41
288041,95
19,66
50,00
128,97
-
17,21
17,21
141,48
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
16,77
42,66
53,41
1000,11
111290,14
74,19
16,77
42,66
53,41
1000,11
111290,14
74,19
-
-
-
-
-
-
Pati Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
207407,59
8,81
57,93
76,45
207407,59
12,56
72,54
95,73
-
42,51
25,22
25,22
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
8,81
57,93
76,45
998,05
106968,84
75,43
8,81
44,25
76,45
998,05
106969,29
75,43
-
(23,62)
-
-
-
-
Kudus Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
236674,95
9,38
57,48
145,16
236674,95
13,63
70,75
178,67
-
45,30
23,08
23,08
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
9,38
57,48
145,16
998,48
110183,89
76,40
9,38
57,48
145,16
998,48
110183,89
76,40
-
-
-
-
-
-
Jepara Efisiensi Teknis Biaya
139
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
152513,34
7,26
36,47
65,25
152513,34
11,49
57,71
103,26
-
58,25
58,25
58,25
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
7,26
36,47
65,25
996,42
109562,40
75,64
7,26
36,47
65,25
996,42
109562,40
75,64
-
-
-
-
-
-
Demak Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
148772,85
8,41
37,24
42,84
148772,85
12,44
55,10
74,70
-
47,96
47,96
74,36
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
8,41
37,24
42,84
997,84
104223,32
75,18
8,41
37,24
42,84
997,84
104223,32
75,18
-
-
-
-
-
-
Semarang Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
231977,02
12,45
37,47
35,74
231977,02
18,40
55,38
85,78
-
47,80
47,80
140,03
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
12,45
37,47
35,74
996,10
110433,65
75,50
12,45
37,47
35,74
996,10
110433,65
75,50
-
-
-
-
-
-
Temanggung Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
183743,59
16,24
53,32
70,91
183743,59
16,24
53,32
70,91
-
-
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
16,24
53,32
70,91
991,81
104640,19
75,34
9,74
44,04
70,91
997,46
106373,31
75,77
(40,00)
(17,41)
-
00,57
01,66
00,57
140
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
Kendal Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
192972,20
11,56
37,98
49,54
192972,20
16,60
54,55
72,40
-
43,62
43,62
46,15
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
11,56
37,98
49,54
997,35
114055,69
74,14
11,56
37,98
49,54
997,35
114055,69
74,14
-
-
-
-
-
-
Batang Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
211284,67
11,81
61,11
46,85
211284,67
13,67
70,76
78,83
-
15,79
15,79
68,26
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
11,81
61,11
46,85
994,40
104203,64
74,40
11,81
39,57
46,85
998,76
107298,42
74,73
-
(35,24)
-
00,44
02,97
00,44
Pekalongan Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
255372,28
12,10
48,87
66,97
255372,28
16,44
66,39
94,92
-
35,85
35,85
41,73
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
12,10
48,87
66,97
999,44
102712,50
73,33
12,10
44,00
66,97
1000,28
109784,33
73,39
-
(09,97)
-
00,08
06,89
00,08
Pemalang Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
122410,89
7,63
36,05
59,88
122410,89
7,63
36,05
59,88
-
-
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
7,63
36,05
59,88
996,17
112942,90
7,63
36,05
59,88
996,17
112942,90
-
-
-
-
-
141
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
+ AHH 72,64 72,64 -
Tegal Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
181188,78
8,45
42,53
61,33
181188,78
12,72
64,01
92,30
-
50,49
50,49
50,49
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
8,45
42,53
61,33
1001,83
109363,79
70,80
8,45
42,53
61,33
1001,83
109363,79
70,80
-
-
-
-
-
-
Brebes Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
130658,98
7,44
27,01
46,30
130658,98
10,12
42,48
62,99
-
36,05
57,26
36,05
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
7,44
27,01
46,30
990,47
108545,55
67,90
7,44
27,01
46,30
990,47
108545,55
67,90
-
-
-
-
-
-
Kota
Magelang
Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
1109567,81
18,28
76,43
691,18
1109567,81
18,28
76,43
691,18
-
-
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
18,28
76,43
691,18
991,17
111041,01
76,57
13,41
56,18
353,23
996,81
111672,89
77,01
(26,62)
(26,49)
(48,90)
00,57
00,57
00,57
Kota
Surakarta
Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
243347,07
12,16
56,07
446,40
243347,07
12,16
56,07
446,40
-
-
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
12,16
56,07
446,40
997,85
12,16
56,07
446,40
997,85
-
-
-
-
142
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
+ AIMS
+ AHH
109354,87
76,99
109354,87
76,99
-
-
Kota Salatiga Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
702831,99
14,90
58,50
322,31
702831,99
17,76
69,74
408,54
-
19,21
19,21
26,76
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
14,90
58,50
322,31
995,85
121982,58
76,53
14,90
58,50
322,31
995,85
121982,58
76,53
-
-
-
-
-
-
Kota
Semarang
Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
159519,95
6,40
28,51
250,93
159519,95
6,40
28,51
250,93
-
-
-
-
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
6,40
28,51
250,93
995,29
107413,31
77,18
6,40
28,51
250,93
995,29
107413,31
77,18
-
-
-
-
-
-
Kota
Pekalongan
Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
374232,65
16,68
60,26
212,12
374232,65
17,18
62,08
218,51
-
03,01
03,01
03,01
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
16,68
60,26
212,12
1000,17
110767,70
74,09
16,34
43,33
96,79
1000,30
110781,57
74,10
(02,05)
(28,09)
(54,37)
00,01
00,01
00,01
Kota Tegal Efisiensi Teknis Biaya
- Belanja Kesehatan
+ Rasio Puskesmas
+ Rasio Bidan
+ Rasio Tempat Tidur
733875,17
15,10
47,35
352,66
733875,17
19,34
60,65
451,71
-
28,09
28,09
28,09
Efisiensi Teknis Sistem
- Rasio Puskesmas
- Rasio Bidan
- Rasio Tempat Tidur
15,10
47,35
352,66
15,10
47,35
352,66
-
-
-
143
Kabupaten/
Kota Variabel Actual Target
Potential
Improvement
+ ABH
+ AIMS
+ AHH
1001,12
108073,15
74,10
1001,12
108073,15
74,10
-
-
-
Sumber : Hasil olah data, DEA.