analisis keandalan scantling support …xa.yimg.com/kq/groups/21706671/129317091/name/laporan tugas...
TRANSCRIPT
TUGAS AKHIR – MO 091336
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING
SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS
PROCESSING MODULE FPSO BELANAK
TERHADAP BEBAN EKSTREM
FAHMY ARDHIANSYAH
NRP. 4306 100 037
Dosen Pembimbing
Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
JURUSAN TEKNIK KELAUTAN
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya 2010
ii
iii
FINAL PROJECT – MO 091336
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING
SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS
PROCESSING MODULE BELANAK FPSO DUE
TO EXTREM LOAD
FAHMY ARDHIANSYAH
NRP. 4306 100 037
Supervisors
Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
OCEAN ENGINEERING DEPARTMENT
Faculty of Marine Technology
Sepuluh Nopember Institute of Technology
Surabaya 2010
iv
v
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT
STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO
BELANAK TERHADAP BEBAN EKSTREM
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh G elar Sarjana Teknik
pada
Progran Studi S-1 Jurusan Teknik Kelautan
Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh :
FAHMY ARDHIANSYAH
NRP. 4306 100 037
Disetujui oleh Pembimbing Tugas Akhir :
1. Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. (Pembimbing 1)
2. Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D. (Pembimbing 2)
SURABAYA, AGUSTUS 2010
vi
vii
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT
STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO
BELANAK TERHADAP BEBAN EKSTREM
Nama Mahasiswa : Fahmy Ardhiansyah
NRP : 4306 100 037
Jurusan : Teknik Kelautan FTK – ITS
Dosen Pembimbing : Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
ABSTRAK
FPSO (Floating Production Storage and Offloading) dalam operasinya
mendapatkan pengaruh signifikan dari beban lingkungan dan operasionalnya. Hal
demikian juga akan mempengaruhi komponen-komponen struktur yang ada di
atasnya, termasuk struktur module dan supportnya yang berfungsi sebagai
pemrosesan minyak dan gas. Konstruksi support module beserta scantlingnya
yang tersambung ke geladak FPSO haruslah kuat menahan beban-beban yang
terjadi sampai dengan pada kondisi ekstrem. Sehubungan dengan ini kita harus
dapat menentukan kekuatan puncak atau ultimate strength dari scantling support
module sehingga dapat memprediksi kegagalan akhirnya atau ultimate failure.
Dalam penelitian ini kekuatan puncak scantling support module telah dikaji
dengan metode deterministik dan metode probabilistik atau keandalan. Pada
pengkajian dengan metode deterministik digunakan perangkat lunak ANSYS,
sedangkan pengkajian keandalan menggunakan simulasi Monte Carlo. Pemodelan
beban dinamis FPSO akibat gelombang diselesaikan dengan perangkat lunak
MOSES. Penelitian dilakukan pada scantling support structure system gas
processing module pada FPSO Belanak yang mempunyai massa 2361 ton, dan
terbuat dari baja berkekuatan puncak UTS=400 MPa. Beban ekstrem yang
dikenakan adalah merupakan efek dari gelombang Hs=5.3 m, angin Vavg=2.51
m/s, dan beban operasional 2361 ton. Dari hasil analisa deterministik didapat nilai
tegangan maksimum yang timbul akibat kombinasi ketiga beban ekstrem tersebut
adalah 96 MPa. Dengan simulasi Monte Carlo pada kondisi ini ternyata diperoleh
keandalan struktur sebesar K=1.0. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
struktur akan tetap aman dalam kondisi ekstrem di lokasi operasinya. Untuk
memperoleh indikasi kegagalan akhir beban ekstrem dinaikkan secara gradual
sampai dengan batas kriteria basic utilization factor dari ABS sebesar 0.8UTS
(=320 MPa) serta sampai dengan 1.0UTS (=400 MPa). Hasil masing-masing
menunjukkan keandalan scantling pada daerah kritis K=0.3057 dengan peluang
kegagalan Pf=0.6943, dan K=0.0064 dengan Pf=0.9936. Khusus pada daerah
global, mengacu pada kriteria ABS, keandalan sebesar K=1.0.
Kata kunci: scantling support module, FPSO, kekuatan puncak, keandalan
viii
ix
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING SUPPORT
STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE
BELANAK FPSO DUE TO EXTREM LOAD
Nama Mahasiswa : Fahmy Ardhiansyah
NRP : 4306 100 037
Jurusan : Teknik Kelautan FTK – ITS
Dosen Pembimbing : Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
ABSTRACT
FPSO (Floating Production Storage and Offloading) in its operation is signi¬fi-
cantly affected by the environmental as well as operational loads. Similarly this
would also affect the structural components onboard of the FPSO, including the
module and its aupoorts structures which are preserved as oil and gas processing.
The support structure module together with the scantlings that extend to the FPSO
hulls should be sufficiently strong to endure the loads up onto the extreme
conditions. In this regards one should be able to determine the ultimate strength of
the scantling support module and in turn to predict the level of its ulti-mate
failure. In this investigation the ultimate strength of scantling support module has
been evaluated through the implementation of deterministic and probablistic or
reliability methods. The deterministic evaluation is performed by utilizing
ANSYS software, whereas the reliability evaluation is accomplished by means of
Monte Carlo simulation. The modelling of dynamic loads due to waves on the
FPSO was accomplished by using the MOSES software. Investigation has been
carried out on the scantling support structure system gas processing module
attached to the Belanak FPSO having a total mass of 2361 tons, and fabricated out
of a high strength steel of UTS=400 MPa. The extreme loads are considered due
to the wave of Hs=5.3 m, wind of Vavg=2.51 m/s, and operational load 2361 tons.
From the deterministic analysis it is found that the combination of those extreme
loads yield a peculiar maximum stress of 96 MPa on the structure. By way of
Monte Carlo simulation this condition eventually exhibits the reliability level of
K=1.0. Therefore it could be concluded that the structure would be safe under any
predicted extreme condition in its operational site. In order to obtain a specific
indication of the ultimate failure the load has been gradually increased up to the
ABS criteria of basic utilization factor in the order of 0.8UTS (=320 MPa) and
further as high as 1.0UTS (=400 MPa). Respectively, the simulation shows the
critical structure reliability decreases to K=0.3057 or the corresponding
probability of failure Pf=0.6943, and K=0.0064 or Pf=0.9936. In particular to the
global area, referring to the ABS criteria, the reliability can only be attained as
much as K=1.0.
Keywords: scantling support module, FPSO, ultimate strength, reliability
x
xi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan dengan baik dan lancar. Tugas Akhir ini
berjudul “Analisis Keandalan Scantling Support Structure System Gas
Processing Module FPSO Belanak Terhadap Beban Ekstrem”.
Tugas Akhir ini disusun guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Studi
Kesarjanaan (S-1) di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan
(FTK), Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Tugas Akhir ini
menitikberatkan pada keandalan scantling support structure module terhadap
beban ekstrem.
Kami menyadari dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan sebagai bahan penyempurnaan
laporan selanjutnya. Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi
perkembangan teknologi di bidang rekayasa kelautan, bagi pembaca umumnya
dan penulis pada khususnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surabaya, Juli 2010
Fahmy Ardhiansyah
xii
xiii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdullilah, dalam pengerjaan Tugas Akhir ini kami tidak terlepas dari bantuan
serta dorongan moral maupun material dari banyak pihak baik yang secara
langsung maupun tidak langsung. Kami sangat bersyukur dan berterima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu. Perbuatan baik pasti akan menuai
kebaikan pula, semoga Allah membalas segala kebaikan setiap hamba-Nya.
Sehingga pada kesempatan kali ini kami ingin mengucapkan terima kasih serta
penghormatan kepada :
1. Keluarga terindah; bapak, ibuk, serta adik yang selalu mendoakan dan
memberikan dukungan. Terima kasih atas segala kasih dan sayang yang
engkau curahkan. Terima kasih untuk segalanya.
2. Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. dan Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
selaku dosen pembimbing Tugas Akhir. Terima kasih atas ilmu dan
bimbingan yang Bapak berikan.
3. Bpk. Murdjito dan Bpk Mustain selaku kajur dan sekjur T. Kelautan serta
keluarga besar dosen dan karyawan T.Kelautan. Terima kasih atas bimbingan
selama masa perkuliahan.
4. Bpk. Sujantoko selaku dosen wali. Terima kasih atas bimbingan serta nasehat-
nasehat yang telah diberikan.
5. Rekan-rekan seperjuangan TA di flum, opres, dinstruk, hidro, labkom. Terima
kasih telah berbagi cerita, pengalaman, dan keceriaan.
6. Teman-teman sak topik TA, yang membuat TA tersasa lebih dimudahkan
karena kalian; andri, adit, similikiti.
7. Keluarga besar D’Admiral 2006, kakak senior yang telah rela berbagi ilmu,
pengalaman, dan banyak hal lainnya.
8. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebut satu per satu.
Semoga seluruh bimbingan, arahan, bantuan dan dukungan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Amiin.
-Penulis-
xiv
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
COVER .................................................................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ........................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ........................................................................................... xi
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ xiii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
1.2. PERUMUSAN MASALAH ................................................................... 7
1.3. TUJUAN ................................................................................................. 7
1.4. MANFAAT ............................................................................................. 7
1.5. BATASAN MASALAH ......................................................................... 8
1.6. SISTEMATIKA PENULISAN ............................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI ...................................... 11
2.1. UMUM .................................................................................................. 11
2.2. FPSO ..................................................................................................... 12
2.3. SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM ............................ 13
2.4. PEMBEBANAN ................................................................................... 15
2.4.1. Beban Gelombang ......................................................................... 17
2.4.2. Beban Angin.................................................................................. 21
2.4.3. Beban Operasional ........................................................................ 24
2.5. RESPONS STRUKTUR (FPSO) .......................................................... 25
2.6. ULTIMATE STRENGTH .................................................................... 26
2.6.1. Local Plastic Deformation............................................................. 30
2.6.2. Bifurcation Buckling ..................................................................... 30
2.6.3. Fracture Statis................................................................................ 30
xvi
2.6.4. Analisa Ultimate Strength (ABS, 2004) ........................................ 30
2.7. KEANDALAN STRUKTUR ................................................................ 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 37
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ......................................................... 43
4.1. DATA .................................................................................................... 43
4.1.1. Data Struktur.................................................................................. 43
4.1.2. Data Mooring ................................................................................. 45
4.1.3. Data Lingkungan ........................................................................... 46
4.1.4. Data Gerakan FPSO....................................................................... 47
4.1.5. Data Material ................................................................................. 48
4.2. PEMODELAN....................................................................................... 48
4.2.1. Pemodelan Menggunakan CAD .................................................... 48
4.2.2. Pemodelan Menggunakan Maxsurf ............................................... 49
4.2.3. Pemodelan Menggunakan MOSES ............................................... 49
4.2.4. Pemodelan Menggunakan ANSYS ............................................... 50
4.3. PERHITUNGAN ................................................................................... 53
4.3.1. Perhitungan Beban Gelombang (LTWA) ...................................... 53
4.3.2. Perhitungan Motion FPSO............................................................. 57
4.3.3. Perhitungan Gaya Inersia............................................................... 62
4.3.4. Perhitungan Beban Angin .............................................................. 68
Untuk mengetahui beban angin yang bekerja pada struktur penyangga
module, maka dilakukan perhitungan kecepatan angin, gaya angin, dan
momen angin. ................................................................................................ 68
4.3.5. Perhitungan Beban Operasional .................................................... 80
4.3.6. Perhitungan Ultimate Strength ...................................................... 81
4.3.7. Perhitungan Keandalan .................................................................. 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 89
5.1. KESIMPULAN ..................................................................................... 89
5.2. SARAN .................................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 91
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Ukuran Utama FPSO Belanak .............................................................. 13
Tabel 2.2 Periode Ulang Gelombang Perairan Natuna (Conoco Phlips, 2002) .... 17
Tabel 2.3 Nilai Koefisien Bentuk Efektif (DnV,2007) ......................................... 23
Tabel 2.4 Shielding Factor (DnV,2007) ................................................................ 23
Tabel 2.5 Height Coefficient (ABS, 2001) ........................................................... 24
Tabel 2.6 Shape Coefficient (ABS,2001) ............................................................. 24
Tabel 4.1 Data Module FPSO Belanak (PT. McDermott, 2002) .......................... 44
Tabel 4.2 Data Gelombang Return Period (Conoco, 2002).................................. 46
Tabel 4.3 Intensitas Kejadian Angin Tahun 2006 & 2007 (Wahyudi, 2009) ....... 46
Tabel 4.4 Data Gelombang Metocean (Wahyudi, 2009) ...................................... 47
Tabel 4.5 Data Percepatan Gerakan FPSO pada Kondisi Badai (Conoco, 2002) . 47
Tabel 4.6 Data Material Properties (Conoco, 2002) ............................................. 48
Tabel 4.7 MSA ...................................................................................................... 52
Tabel 4.8 Distribusi Gelombang ........................................................................... 54
Tabel 4.9 Perhitungan Periode Ulang ................................................................... 55
Tabel 4.10 Periode Ulang (Conoco, 2002)............................................................ 56
Tabel 4.11 Periode Ulang (Wahyudi, 2009) ......................................................... 56
Tabel 4.12 Validasi ............................................................................................... 57
Tabel 4.13 Output Maximum Single Amplitude Accelerations w/ mooring ........ 58
Tabel 4.14 Perbandingan Percepatan FPSO.......................................................... 58
Tabel 4.15 Gaya Inersia Akibat Gerakan Translasi .............................................. 63
Tabel 4.16 Gaya Inersia Akibat Gerakan Rotasional ............................................ 65
Tabel 4.17 Perbandingan Perhitungan COG FPSO dan COG module ................. 65
Tabel 4.18 Beban Pada Sturktur Penyangga ......................................................... 66
Tabel 4.19 Intensitas Kejadian Angin 2 Tahun ..................................................... 68
Tabel 4.20 Kecepatan Angin pada Tiap Elevasi ................................................... 70
Tabel 4.21 Nilai q Pada Tiap Elevasi .................................................................... 72
Tabel 4.22 Nilai Re pada Tiap Elevasi.................................................................. 72
Tabel 4.23 Nilai Koefisien Bentuk Untuk Efektif Tiap Elevasi ........................... 73
Tabel 4.24 Luas Area Terkena Beban Angin ........................................................ 73
xviii
Tabel 4.25 Besarnya Gaya Angin Untuk Tiap Elevasi .......................................... 74
Tabel 4.26 Nilai Ch pada Tiap Elevasi .................................................................. 77
Tabel 4.27 Nilai Cs pada Tiap Elevasi .................................................................. 77
Tabel 4.28 Luasan pada Tiap Elevasi .................................................................... 78
Tabel 4.29 Beban Angin pada Tiap Elevasi .......................................................... 78
Tabel 4.30 Basic Utilization Factors (ABS, 2005) ............................................... 81
Tabel 4.31 Load Factor ......................................................................................... 82
Tabel 4.32 Parameter Ketidakpastian Pemodelan FEM ........................................ 87
Tabel 4.33 Nilai Keandalan ................................................................................... 87
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 FPSO .................................................................................................... 1
Gambar I.2 Topside Module .................................................................................... 2
Gambar I.3. Module Support ................................................................................... 3
Gambar I.4 Collapse Akibat Badai pada Topside Bangunan Lepas Pantai ............ 4
Gambar I.5. Lokasi Operasi FPSO Belanak............................................................ 5
Gambar I.6. FPSO Belanak dan Penempatan Topside Module ............................... 6
Gambar 2.1 FPSO Belanak ................................................................................... 12
Gambar 2.2 Topside Hull Interface FPSO Belanak .............................................. 14
Gambar 2.3 Kecepatan dan Koordinat Sistem ...................................................... 19
Gambar 2.4 Ilustrasi Beban Module Pada FPSO .................................................. 20
Gambar 2.5 Six Degree Of Freedom (SDOF) pada FPSO .................................... 21
Gambar 2.6 Beban Operasional ............................................................................ 25
Gambar 2.7 Struktur Dikenai Beban Aksial ......................................................... 27
Gambar 2.8 Struktur Terkena Torsi ...................................................................... 28
Gambar 2.9 Beban Merata Pada Balok Tumpuan Sederhana ............................... 28
Gambar 2.10 Kurva Strees-Strain Untuk Spesimen Tarik dari Structural Steel ... 28
Gambar 2.11 Necking Pada Spesimen Uji Tarik .................................................. 29
Gambar 2.12 Moda Kegagalan Stiffened Pada Geladak ....................................... 32
Gambar 2.13 Fungsi Kerapatan Peluang (fkp) dari Kapasitas X dan Tuntutan Y 35
Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian ................................................. 38
Gambar 3.2 Pemodelan ACAD ............................................................................. 39
Gambar 3.3 Pemodelan Maxurf ............................................................................ 40
Gambar 3.4 Pemodelan Moses .............................................................................. 40
Gambar 3.5 Pemodelan ANSYS ........................................................................... 41
Gambar 4.1 Drawing FPSO Belanak .................................................................... 43
Gambar 4.2 Detail Drawing Scantling Module Support ....................................... 45
Gambar 4.3 Pemodelan Lines Plan FPSO Belanak dengan AutoCAD ................ 48
Gambar 4.4 Pemodelan FPSO Belanak dengan Maxsurf ..................................... 49
Gambar 4.5 Pemodelan FPSO dengan MOSES Tampak Depan, Samping, dan
Atas ............................................................................................................... 50
xx
Gambar 4.6 Pemodelan FPSO dengan MOSES dengan Mooring......................... 50
Gambar 4.7 Model Module Support dengan Geladak FPSO ................................ 51
Gambar 4.8 Grafik MSA ....................................................................................... 52
Gambar 4.9 Penentuan Syarat Batas...................................................................... 53
Gambar 4.10 Weibull Distribution ........................................................................ 54
Gambar 4.11 Perbandingan Peridoe Ulang ........................................................... 56
Gambar 4.12 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Surge ...................................... 59
Gambar 4.13 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Sway ...................................... 60
Gambar 4.14 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Heave ..................................... 60
Gambar 4.15 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Roll ........................................ 61
Gambar 4.16 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Pitch ....................................... 61
Gambar 4.17 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Yaw ....................................... 62
Gambar 4.18 Posisi Module dari COG FPSO ....................................................... 64
Gambar 4.19 Konfigurasi Struktur Penyangga...................................................... 66
Gambar 4.20 Beban Pada Sturktur Penyangga ...................................................... 67
Gambar 4.21 Wind Rose Perairan Natuna............................................................. 69
Gambar 4.22 Posisi FPSO Belanak Terhadap Mata Angin ................................... 69
Gambar 4.23 Beban Operasional ........................................................................... 80
Gambar 4.24 Grafik Pushover ............................................................................... 82
Gambar 4.25 Hasil Running ANSYS11 ................................................................ 83
Gambar 4.26 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ultimate ........................ 84
Gambar 4.27 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ekstrem ......................... 84
Gambar 4.28 Deformasi Plastis ............................................................................. 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Floating Production Storage and Offloading (FPSO) pada dasarnya adalah kapal
dengan lambung tunggal yang difungsikan sebagai wahana untuk mengakomodasi
fasilitas di atas geladak guna memproses produk migas dan sekaligus
menyimpannya di dalam tangki-tangki pada lambungnya sebelum produk tersebut
ditransfer ke kapal-kapal tangki pengangkut untuk didistribusikan ke pasaran.
Gambar 1.1 FPSO (Murdjito, 2009)
Pada Gambar 1.1 ditunjukkan beberapa jenis FPSO yang sudah beroperasi di
lepas pantai maupun FPSO dalam masa docking di tempat fabrikasi. FPSO dipilih
karena memiliki kapasitas penyimpanan dengan jumlah besar dan juga
mempunyai area bangunan atas yang cukup luas.
Di atas geladak FPSO terdapat berbagai jenis bangunan atas sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2, terdapat topside
module berada di yard untuk difabrikasi dan selanjutnya akan dipasang di atas
2
FPSO. Beberapa contoh bagunan atas untuk mendukung proses produksi misalnya
gas processing module dan flare boom digunakan untuk pembungan gas-gas yang
berbahaya. Berat dari topside module tersebut sangat mempengaruhi dari kekuatan
geladak yang menyangga pada FPSO. Sehingga topside module tersebut harus
disangga dengan support yang kuat sehingga dapat mencegah terjadinya failure
pada geladak FPSO.
Gambar 1.2 Topside Module (McDermott, 2004)
Dalam suatu module bisa terdapat peralatan yang meletak pada module tersebut.
Ketika FPSO beroperasi dan proses produksi minyak dan gas juga berlangsung,
maka beban yang diterima module sangatlah besar. Pada fasilitas produksi
biasanya terletak pada production deck dan pada umumnya diposisikan 2,5 m di
atas main deck. (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan untuk meminimalisir efek dari
green water dan meminimalisir terjadi ledakan atau api yang mengenai module
tidak banyak mempengaruhi lambung.
FPSO sebagai salah satu bangunan apung yang memiliki ukuran besar,
mendapatkan pengaruh signifikan dari beban gelombang dan beban angin. Seperti
penelitian Barltrop dan Okan (2000) yang menggunakan struktur FPSO
Schiehallion sebagai objek, pada haluan FPSO rentan kerusakan akibat oleh
gelombang curam.
3
Gambar 1.3. Module Support (McDermott, 2004)
Struktur penyangga topside module, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.3. Pada
struktur penyangga terdapat komponen-komponen yang disebut scantling.
Scantling antara lain meliputi plat, gading-gading, penegar, bracket, dan lain-lain.
Scantling harus mampu menahan beban akibat module dan beban lingkunagan
selama FPSO beroperasi.
Pada bangunan lepas pantai baik yang terpancang maupun terapung analisa
ultimate strength penting untuk dipertimbangkan. Ha et al (1991) menyebutkan
desain tubular joint pada bangunan lepas pantai, fatigue strength dan ultimate
strength capacity telah lama dikenal. Sementara itu, Ueda (1995) menyatakan
pengembangan hugungan interaksi dari buckling dan ultimate strength dalam
bentuk persamaan atau grafik untuk plat dan penguat plat sangat menarik
perhatian internasional dalam waktu lama.
Struktur akan mengalami platis collapse jika mendapatkan beban ekstrem, seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.4. Salah satu penyebab terjadinya ultimate strength
failure pada suatu struktur kapal umumnya adalah disebabkan oleh beban ekstrem
dan/atau kurangnya daya tahan struktur terhadap degradasi material. misalnya,
korosi yang terjadi secara menerus akan mengurangi dimensi scantling, sehingga
girder penopang pada lambung kapal akan rawan mengalami buckling ataupun
retak ketika ditimpa beban ekstrem. Untuk itu, perlu suatu pertimbangan jangka
4
panjang untuk mengantisipasi adanya degradasi material ketika mendesain sebuah
struktur. (Ayyub, 2001). Untuk menghindari terjadinya ultimate strength failure
maka desain stiffener haruslah mampu menahan ultimate load yang bekerja pada
sturktur. Bonello (1993) menyebutkan bahwa dibutuhkan syarat yang lebih pada
stiffener agar tegangan yang terjadi tidak melebihi tegangan yield, mungkin
mengakibatkan failure akibat ultimate load pada stiffener.
Gambar 1.4 Collapse Akibat Badai pada Topside Bangunan Lepas Pantai
(http://noladishu.blogspot.com/2007/06/mars-oil-and-engineering.html)
FPSO sebagai salah satu bangunan apung yang memiliki ukuran besar,
mendapatkan pengaruh yang sangat signifikan dari beban gelombang dan angin
(Djatmiko, 2003). Beban signifikan dari angin dan gelombang yang bekerja pada
struktur dapat menyebabkan kegagalan pada struktur tersebut. Pada analisis beban
ekstrem, beban lingkungan yang ditinjau adalah beban kondisi ekstrem 100
tahunan. Berat topside module itu sendiri juga harus diperhitungkan dalam
melakukan analisis tersebut.
Keandalan dari struktur scantling penyangga bangunan atas dapat dipengaruhi
beberapa variabel ketidakpastian, di antaranya beban dari bangunan atas itu
sendiri dan beban lingkungan selama struktur tersebut beroperasi. Rosyid (2007)
menyatakan bahwa dalam suatu sistem rekayasa, sesungguhnya tidak ada
parameter perancangan dan kinerja operasi yang dapat diketahui secara pasti. Hal
5
ini karena tidak seorangpun mampu memprediksi kepastian atau ketidakpastian
atas suatu kejadian tertentu. Secara garis besar, ketidakpastian dapat
dikelompokkan menjadi tiga: a) variabilitas fisik, yaitu fenomena alami yang
sifatnya acak atau bervariasi, b) ketidakpastian statistik dalam perkiraan nilai
suatu parameter atau pemilihan distribusi, dan c) ketidakpastian dalam pemodelan
didasarkan pada idealisasi atau pengambilan asumsi (Ang dan Tang, 1975). Oleh
karena itu, perancangan atau analisis atas suatu sistem rekayasa selalu
mengandung ketidakpastian, yang pada gilirannya, menyebabkan ketidakandalan
dalam tingkat tertentu.
Ketidakpastian – ketidakpastian tersebut menyebabkan adanya peluang kegagalan
(disamping itu, tentu saja, peluang keberhasilan). Persoalan ketidakpastian telah
diakomodasi melalui konsep Angka Keamanan (Safety Factor) yang secara
prinsip biasanya hanya memperhatikan harga rata-rata besaran desain. Pendekatan
Angka Keamanan, walaupun sejauh ini cukup memadai, tidak secara eksplisit
memperhitungkan faktor ketidakpastian atau variabilitas pada besaran-besaran
desain. Pertimbangan-pertimbangan dalam kerangka rekayasa keandalan
memberikan basis yang lebih rasional untuk mengakomodasi ketidakpastian ini
(Rosyid, 2007)
Gambar 1.5. Lokasi Operasi FPSO Belanak (McDermott, 2004)
Tugas akhir ini mengambil studi kasus FPSO Belanak yang beroperasi di perairan
Natuna Indonesia tepatnya berada di Eastern Area of Conoco Blok B seperti
106°E 108°E 104°E 110°E
Natuna Sea
4°N
6°N
50 Miles0
LOCATION MAP
MALAYSIA
S I NGAP ORE
GULF KAKAPBLOCK
Anambas
NatunaSelatan
Natuna
DAlpha
Bintan
KALIMANT AN
28 INCH PIPELINETO SINGAPORE
IH-13/OCT/98/IHZ-1
CONOCOBLOCK B
(EAST)
CONOCOSOUTH
SOKANG
Sembilang
Belida
Buntal
Tembang
Bawal
Belanak
Kerisi
Hiu
Belut
Kakap Field
Anoa Field
CONOCOBLOCK B(WEST)
UNASSIGNEDANAMBAS
BLOCK
UNASSIGNEDTAREMPA
BLOCK
CONOCOTOBONGBLOCK
PREMIERBLOCK A
TOTALWEST NATUNA
BLOCK
LASMOCUMI CUMI
BLOCK
CONOCO NWNATUNA II
BLOCK
PREMIER NWNATUNA I
BLOCK
6
ditunjukkan pada Gambar 1.5. Floating Production Storage and Offloading
(FPSO) Belanak merupakan FPSO milik Conoco Philips. FPSO Belanak dibangun
di Dalian, Republik Rakyat China (RRC), sedangkan topside-nya dibangun di
galangan PT. McDermott Indonesia di Batam. Berat dari FPSO tersebut yaitu
255.000 ton dengan panjang 285 m. memilki kapasitas penyimpanan minyak
sebesar 1,0 juta barrel. Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double
side. Konfigurasi single bottom tanpa self propulsion. FPSO Belanak didesain 30
tahun tanpa dry docking.
Gambar 1.6. FPSO Belanak dan Penempatan Topside Module (McDermott, 2004)
Pada Gambar 1.6 ditunjukkan gambaran umum dari FPSO Belanak berserta
perletakan dari tiap topside module-nya. McDermott (2004) menyatakan total
jumlah topside module FPSO Belanak adalah 23 dengan berat total 26801 MT.
Dari 23 topside module tersebut Gas Processing Train “A” memiliki berat paling
besar yaitu 2361. Oleh karena itu dalam tugas akhir ini sistem struktur penyangga
yang dianalisa keandalannya adalah sistem struktur penyangga pada topside
module Gas Processing Train “A”. Analisa keandalan berdasarkan beban ekstrem
yang bekerja pada sistem penyangga topside module di Gas Processing Train “A”.
Keandalan struktur secara umum dapat dihitung dengan metode Monte Carlo.
Pada metode tersebut, keandalan struktur dinilai berdasarkan indeks keandalan
yang didapatkan dari peluang terjadinya kegagalan. Peluang kegagalan dianggap
7
sebagai ukuran yang rasional untuk menentukan keamanan struktur. Berdasarkan
analisis keandalan, perhitungan ultimate strength dapat dianalisis untuk hasil
penelitian yang lebih akurat.
Berdasarkan uraian di atas, tugas akhir ini akan dilakukan analisis ultimate
strength dengan metode pushover dengan memperhatikan acuan pada ABS 2005
Buckling and Ultimste Strength Assessemnt for Offshore Structure. Sedangkan
analisis keandalan struktur menggunakan metode Monte Carlo.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan dibahas dalam tugas akhir ini adalah :
1. Bagaimana respon dan keandalan pada scantling support structure system gas
processing module FPSO Belanak akibat kondisi ekstrem?
2. Berapakah keandalan scantling support structure system gas processing
module FPSO Belanak terhadap ultimate load?
3. Bagaimana mekanisme dan moda keruntuhan scantling support structure
system gas processing module FPSO Belanak?
4. Berapakah ultimate failure akibat respon ekstrem pada scantling support
structure system gas processing module FPSO Belanak?
1.3. TUJUAN
Tujuan dari tugas akhir ini adalah :
1. Mengetahui respon scantling support structure system gas processing module
FPSO Belanak terhadap beban kondisi ekstrem.
2. Mengetahui keandalan scantling support structure system gas processing
module FPSO Belanak terhadap ultimate load.
3. Memahami mekanisme dan moda kegagalan puncak/keruntuhan scantling
support structure system gas processing module FPSO Belanak.
4. Mengetahui ultimate failure akibat respon ekstrem pada pada scantling
support structure system gas processing module FPSO Belanak.
1.4. MANFAAT
Manfaat yang ingin dicapai pada tugas akhir ini antara lain:
8
1. Memahami mekanisme dan mode keruntuhan, khususnya pada scantling
support structure system gas processing module.
2. Memberikan pemahaman tentang prosedur perhitungan beban ultimate
strength untuk bisa dijadikan kegiatan preinspection.
3. Memberikan pemahaman prosedur dan analisis perhitungan untuk dijadikan
dasar dalam merancang support structure system gas processing module
dengan pertimbangan beban-beban ekstrem yang berpengaruh.
4. Memberikan pemahaman tentang pengkajian keandalan struktur berdasarkan
ultimate strength.
1.5. BATASAN MASALAH
1. Scantling support structure system gas processing module yang ditinjau
dalam tugas akhir ini adalah scantling support structure system gas
processing module Train ”A” pada FPSO Belanak yang dioperasikan di
perairan Natuna.
2. Pemodelan lokal dilakukan sebatas scantling support structure system gas
processing module serta geladak yang menyangga.
3. Analisis struktur global menggunakan software MOSES untuk mendapatkan
beban lingkungan, sedangkan analisis struktur lokal menggunakan software
ANSYS 11 untuk mendapatkan respon struktur.
4. Riser dan bangunan atas pada FPSO Belanak tidak ikut dimodelkan pada
MOSES.
5. Pada pemodelan FEM, jenis pengelasan sambungan diabaikan dan
diasumsikan tidak terjadi cacat las.
6. Beban lingkungan yang ditinjau adalah beban ekstrem 100 tahunan yang
meliputi beban angin dan beban gelombang.
7. Tidak dilakukan analisa pada beban akibat kecelakaan.
8. Perhitungan ultimate strength dilakukan dengan metode pushover dengan
memperimbangkan rules Buckling and Ultimste Strength Assessemnt for
Offshore Structure pada ABS tahun 2005.
9. Analisis keandalan struktur menggunakan metode Monte Carlo Simmulation.
9
1.6. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
Pada bab pendahuluan, diterangkan berbagai hal mengenai penelitian yang
dilakukan dalam tugas akhir. Antara lain; latar belakang sehingga penelitian ini
penting untuk dilakukan, masalah dan perlu diselesaikan, tujuan yang digunakan
untuk menjawab permasalahan yang diangkat, manfaat yang didapat dari
dilakukannya penelitian tugas akhir, batasan dari penelitian tugas akhir, dan
penjelasan dari sistematika laporan yang digunakan dalam tugas akhir.
Bab tinjauan pustaka berisi tinjauan pustaka apa saja yang menjadi acuan dari
penelitian tugas akhir ini. Sehingga dasar-dasar teori, rumus-rumus, codes yang
digunakan dalam penelitian tugas akhir ini dicantumkan dalam bab ini.
Bab metodologi penelitian menerangkan tentang metodologi yang digunakan
untuk mengerjakan tugas akhir.
Analisis dan pembahasan berisi data yang digunakan dalam tugas akhir,
penjelasan pemodelan yang dilakukan dalam penelitian tugas akhir, analisis,
pengolahan, dan pembahasan data hasil dari output pemodelan harus dilakukan
pada bab ini.
Bab kesimpulan dan saran berisi kesimpulan dari tugas akhir, hasil dari analisis,
pembahasan yang dilakukan serta saran-saran yang perlu diberikan untuk
penelitian lebih lanjut.
10
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1. UMUM
Konsep FPSO (Floating Production Storage and Offloading) pada dasarnya
diperkenalkan untuk menggantikan sistem kombinasi anjungan produksi dengan
fasilitas penyimpanan terapung atau Floating Storage Offloading (FSO). Perlu
dicatat, untuk perairan dangkal anjungan produksi dapat berupa jacket atau
jackup, sedangkan di perairan dalam dapat berupa Semisubmersible atau TLP.
FSO sendiri adalah wahana yang berfungsi sebagai terminal, didekasikan untuk
melayani penyimpanan migas hasil olahan dari anjungan produksi di ladang
operasinya, dan mentransfernya ke kapal-kapal tanki pengangkut yang secara
periodik mendatanginya.
Berikut adalah sejumlah persyaratan fungsional yang harus dipenuhi FPSO dalam
melakukan operasinya, yaitu :
1. Sistem harus tetap mampu berproduksi dan beroperasi normal pada kondisi
operasional 1tahunan.
2. Mampu menahan efek beban maksimum akibat badai 100tahunan.
3. Harus mempunyai fleksibilitas untuk operasi pemuatan dan pengeluaran
produk migas, inpeksi dan perawatan dari tanki-tanki tanpa mengganggu
proses produksi.
4. Setiap saat harus mampu menjaga kondisi mengapung rata (even keel) baik
untuk mode trim ataupun oleng, dengan toleransi tidak lebih dari ±0,25°.
5. Gerakan roll dan pitch maksimum tidak lebih dari 1,75° untuk selama 99%
periode operasi.
6. Sistem penambatan harus mampu menjaga FPSO tetap di posisinya pada
saat badai 100tahunan dengan satu tali penambat putus dan perubahan posisi
maksimum tidak melebihi 20% kedalaman perairan.
12
Dalam ISOSC 2006, disebutkan bahwa Yanagihara et al (2002) mengembangkan
sebuah metode sederhana untuk menghitung ultimate strength dari stiffened plates
berdasarkan perilaku kolaps struktur dengan menggunakan finite element method.
2.2. FPSO
Dalam tugas akhir ini, obyek yang digunakan adalah Floating Production Storage
and Offloading (FPSO) milik Conoco Philips yang bernama Belanak seperti
ditunjukkan Gambar 2.1. FPSO Belanak dibangun di Dalian, Republik Rakyat
China (RRC), sedangkan topside-nya dibangun di galangan PT. McDermott
Indonesia di Batam. FPSO Belanak ditempatkan di blok Natuna. Berat dari FPSO
tersebut yaitu 255.000ton dengan panjang 285m. memilki kapasitas penyimpanan
minyak sebesar 1,0juta barrel.
Gambar 2.1 FPSO Belanak (http://www.jrayMcDermott.com/projects/Belanak-
FPSO__90.asp)
Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double side. Konfigurasi single
bottom tanpa self propulsion. FPSO Belanak didesain 30tahun tanpa dry docking.
Ukuran utama FPSO terdapat pada Tabel 2.1.
13
Tabel 2.1 Ukuran Utama FPSO Belanak
1. LOA 285 m
2. Depth 26 m
3. Beam 58 m
4. Vessel Draft Full 16.2 m
5. Vessel Draft Medium 14.6 m
6. Vessel Draft Light 13.9 m
7. Displacement 255,000 ton
8. Service Life 30 years
2.3. SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM
Di atas geladak FPSO terdapat topside facilities yang disangga oleh support.
Bunce (1977) menyatakan satu atau dua perusahaan akan mempertimbangkan
desain deck, perusahaan lain mungkin mendesain struktur bawah laut dan
mungkin juga perusahaan ke empat menghadapi dengan fasilitas topside dan
module. Pada umumnya topside tidak hanya terpadat di atas FPSO, namun juga
pada bangunan lepas pantai lainnya seperti jacket maupun jack up. O'Brein (1993)
menyebutkan topside pada drilling rig, tidak banyak menghabiskan area.
Dikarenakan layout dari struktur dan peralatan pengeboran, penempatan pada
deck sedikit membingungkan meskipun di bawah kondisi terbaik.
Keberadaan module di atas geladak FPSO akan menimbulkan resiko kecelakaan
yang diakibatkan oleh kemungkinan – kemungkinan yang bias terjadi. Resiko
kecelakaan terbesar bergantung pada jumlah dari keutamaan platform seperti tipe
proses, volume dari inventaris, layout topside, jumlah personel, dll. Dan ini sangat
sulit untuk memberikan standar sistem keselamatan dan prosedur dari setiap
instalasi. (Shetty, 1998).
Untuk mengurangi resiko kecelakaan yang mungkin terjadi, penempatan module
harus diperhatikan sebisa mungkin. Palmer (1997) menyebutkan topside pada
platform antara level 87 ft dan 107 mempunyai empat module. Penelitian yang
dilakuakan oleh Windergen (1994) pada offshore module dengan peralatan proses,
14
lidah api yang timbul akibat ledakan mungkin memiliki kecepatan hingga ratusan
meter per detik.
Al Obaid (1994) juga menjelaskan beban kejut akibat objek jatuh dapat
mengakibatkan pengaruh buruk pada integritas dari offshore platforms. Beberapa
bagian struktur seperti striger, girder, dan kolom utama dapat terjadi kerusakan.
Pemilihan desain beban kejut didasarkan pada hasil survei dari peralatan
pengeboran yang disangga pada platform dan seperti peralatan yang kemungkinan
terjatuh di pada topside platform. Dalam suatu module bisa terdapat peralatan
yang meletak pada module tersebut. Ketika FPSO beroperasi dan proses produksi
minyak dan gas juga berlangsung, maka beban yang diterima module sangatlah
besar. Pada fasilitas produksi biasanya terletak pada production deck dan pada
umumnya terletak 2,5m di atas main deck. (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan
untuk meminimalisir efek dari green water dan meminimalisir terjadi ledakan atau
api yang mengenai module.
Scantling pada kapal merupakan masalah utama bagi pendesain. Bangunan apung
sungguh komplek, umumnya terdiri dari plat penguat, plat dek, plat dasar, dan
kadang-kadang dek intermediate, frame, bulkhead, dan lain-lain. (Nguyen, 2009).
Beban-beban yang bekerja di atas geladak FPSO berupa peralatan dan berat
struktur meliputi module supports, perpipaan, elektrik, kontrol, dan instrumentasi..
Sedangkan posisi setiap module ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Topside Hull Interface FPSO Belanak (McDermott, 2004)
Stiffeners memanjang memperkuat plat, menjaga agar tetap stabil sehingga dapat
menerima beban in-plane. Pada stiffeners memanjang juga terdapat supports
sesuai keperluan sehingga mampu menerima beban lateral. (Cameron et all, 1997)
15
ABS (2004) menyatakan perencanaan suatu kapal haruslah menunjukkan
scantling, rencana awal dan detail daripada geladak suatu kapal sebelum
perencanaan tersebut disetujui untuk dikerjakan. Perencanaan tersebut harus
menunjukkan scantlings, sambungan, dan las-lasan dengan jelas, atau metode
penyambungan lainnya.
2.4. PEMBEBANAN
Dalam proses perancangan struktur lepas pantai (offshore structure), penentuan
kemampuan kerja struktur dipengaruhi oleh beban yang bekerja pada struktur
tersebut. Perancang harus menentukan akurasi beban yang akan dipakai dalam
perancangan offshore structure terlebih dahulu. Beban-beban yang harus
dipertimbangkan oleh perancang dalam perancangan offshore structure adalah
sebagai berikut:
a. Beban mati (dead load).
Beban mati adalah beban dari semua komponen kering serta peralatan,
perlengkapan dan permesinan yang tidak berubah dari mode operasi pada suatu
struktur, meliputi : berat struktur, berat peralatan dan berat permesinan yang
digunakan dalam proses pengeboran ketika sedang tidak dioperasikan. Pada gas
processing module, yang termasuk beban mati adalah beban struktur topside itu
sendiri, beban-beban equipment pada topside.
b. Beban hidup (live load).
Beban hidup adalah beban yang terjadi pada struktur selama dipakai/berfungsi dan
berubah dari mode operasi satu ke mode operasi yang lain. Contoh beban yang
termasuk kedalam beban hidup ini adalah beban yang diakibatkan oleh
pengoperasian mesin atau peralatan lainnya pada suatu struktur. Contoh beban
hidup pada gas processing module adalah beban perpipaan yang berubah setiap
mode operasi.
c. Beban akibat kecelakaan (accidental load).
Beban kecelakaan merupakan beban yang tidak dapat diduga sebelumnya yang
terjadi pada struktur, misalnya tabrakan dengan kapal pemandu operasi, putusnya
tali tambat (mooring) dan kebakaran. Pada gas processing module, yang termasuk
16
beban kecelakaan yang mungkin terjadi adalah kebakaran pada module, module
tertimpa benda dari atas (misalnya dari crane atau struktur lain yang menimpa
modul). Namun pada kajian tugas akhir ini, tidak dilakukan analisa terhadap
beban kecelakaan.
d. Beban lingkungan (environmental load).
Beban lingkungan adalah beban yang terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan
dimana suatu struktur lepas pantai dioperasikan atau bekerja. Beban lingkungan
yang digunakan dalam perancangan adalah beban angin, arus dan gelombang.
Gregersen (1989) menyebutkan bangunan lepas pantai dipengaruhi oleh beban
lingkungan berkelanjutan yang diakibatkan oleh angin, gelombang dan arus. Pada
Zachharya (1998) juga menyebutkan pembebanan pada struktur diperkirakan
fungsi dari beberapa variabel, misalnya tinggi gelombang, periode gelombang,
kecepatan angin, arah angin dan arus. Akibat dari beban yang bekerja pada
struktur, maka struktur menghasilkan respon terhadap beban tersebut. Apabila
beban yang bekerja bersifat ekstrem, struktur juga mengalami respon ekstrem.
Hegenmeijer (1990) menyatakan respon ekstrem pada bangunan lepas pantai
didominasi oleh ketidaklinearan proses gaya fluida.
Beban lingkungan yang bekerja pada FPSO akan mempengaruhi pola gerakan
yang terjadi. Dalam hal ini beban gelombang merupakan beban yang paling
mempengaruhi pola gerakan FPSO. Model gelombang laut, ditetapkan pertama
pada tahun 1950-an, di mana permukaan air laut dideskripsikan dengan
superposisi dari jumlah yang sangat banyak dari gelombang sinusoidal, setiap
komponen mempunyai frekuensi, ampitudo, arah, dan phase tertentu. Model ini
telah digunakan oleh ahli bangunan kapal dalam menghadapi respon kapal dan
beban pada gelombang irregular. (Ewing, 1990). Selanjutnya pada Brynjoifsson
(1987) dikarenakan beban gelombang bersifat acak, lebih tepat untuk
menggunakan analisa frekuensi-domain untuk menentukan respon dari struktur
lepas pantai.
17
2.4.1. Beban Gelombang
Battacharyya (1978) menyatakan gelombang laut terbentuk karena permukaan
laut terkena hembusan angin terus menerus. Besarnya gelombang tergantung dari
intensitas, jangka waktu, dan jarak angin berhembus (fetch length). Gelombang
menyerap energi dari angin, dan sebaliknya mengeluarkan energi untuk
penyebaran. Nilai tinggi gelombang signifikan Hs dan periode gelombang
signifikan Ts ditunjukkan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Periode Ulang Gelombang Perairan Natuna (Conoco Phlips, 2002)
Deskripsi
Gelombang
Hs ( m) Tp (s)
1tahunan 2.9 9.1
10tahunan 4.1 10.3
100tahunan 5.3 11.1
Dalam perhitungan beban gelombang, gelombang yang digunakan adalah
gelombang return period untuk 1tahunan, 10tahunan, dan 100tahunan. Periode
ulang gelombang atau gelombang return period dapat dicari dengan analisis
gelombang kurun waktu panjang [LTWA (long-term wave analysis)]. LTWA
adalah analisis yang dilakukan terhadap kumpulan data-data gelombang yang
telah diperoleh dalam kurun waktu tahunan (minimal 1tahun).
Distribusi gelombang dalam kurun waktu panjang dapat didekati dengan distribusi
kontinyu dari Weibull. Persamaan linier dari fungsi kepadatan peluang [PDF
(probability density function)] diberikan dalam bentuk sebagai berikut:
(2.1)
dengan:
P(H) = peluang terjadinya gelombang
= parameter bentuk dengan harga umum antara 0,75 s.d. 2,0;
sedangkan untuk gelombang laut umumnya berkisar antara 0,9 s.d.
1,1 (Naess: 0,7 s.d. 1,3)
18
= parameter skala yang harganya tergantung dari harga ekstrim
variabel x;
atau untuk gelombang laut adalah harga tinggi ekstremnya, yakni
yang terjadi sekali dalam kurun waktu panjang (m)
x = intensitas obyek/parameter yang ditinjau;
misalnya tinggi gelombang, sehingga x = H
Distribusi Weibull dapat diaproksimasi dengan kurva berbentuk garis lurus bila
variabel x pada ruas kanan persamaan di atas diganti dengan (H – a). Variabel a
disini adalah ukuran ambang tinggi gelombang (threshold wave height), yaitu
tinggi gelombang terkecil yang terjadi di suatu perairan. Untuk perairan tertutup a
dapat mempunyai harga sangat kecil (0), sedangkan untuk perairan terbuka dapat
mempunyai harga antara 0,5 s.d. 2,0m. Kurva distribusi Weibull akan mempunyai
bentuk garis lurus jika digambarkan pada grafik yang mengkorelasikan ln{ln[1/1-
P(H)]} sebagai ordinat dan ln(H –a) sebagai sebagai absisnya.
Tinggi gelombang yang digunakan adalah tinggi gelombang signifikan (HS), jika
gelombang yang diketahui adalah tinggi gelombang maksimum (Hmax), maka HS
dapat dicari dengan:
(2.2)
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kekuatan scantling module support system
pada FPSO adalah gerakan dari FPSO. Gerakan FPSO mempengaruhi scantling
dalam bentuk beban inersia. Gerakan FPSO perlu ditransformasikan terhadap
gerakan dari scantling module. Dari transformasi gerakan maka akan didapatkan
percepatan yang terjadi, mengingat beban inersia diakibatkan oleh benda yang
mengalami percepatan.
Dikarenakan bangunan FPSO mengalami gerak kopel, maka peralatan-peralatan
di atas FPSO juga mengalami hal yang sama. Struktur module di atas FPSO juga
mengalami gaya inersia yang diakibatkan beban gelombang. Martins (2007)
menyatakan bahwa dengan menggunakan hukum Newton kedua, gaya luar yang
bekerja pada pusat gravitasi didapatkan persamaan:
(2.3)
19
Seperti tampak pada ilustrasi Gambar 2.4, jika FPSO bergerak translasi searah “a”
maka terjadi gaya inersia pada sambungan geladak dengan kaki modul akibat
beban gelombang. Bhattacharyya (1978) menyebutkan pada gerakan heaving,
gerakan dari kapal adalah linear oleh karena itu beban inersia dapat diberikan
pada persamaan berikut:
(2.4)
Gambar 2.3 Kecepatan dan Koordinat Sistem (Martins, 2007)
Beban inersia dipengaruhi oleh arah percepatan, bekerja pada arah vertikal ke atas
dan kebawah. Gambar 2.3 menunjukkan arah gerakan kecepatan yang bekerja
pada kapal. Pada gerakan rotasional, percepatan linear atau tangensial didapatkan
dengan persamaan:
(2.5)
(2.6)
Dengan r adalah jarak antara komponen ditinjau dengan COG bangunan apung.
Jari-jari girasi r ini digunakan sebagai tranformasi percepatan bangunan atas
terhadap percepatan bangunan apung.
Pada Gambar 2.4 dapat diketahui module yang berada di atas FPSO. Saat terjadi
gerakan translasi, baik surge, sway, maupun heave pada FPSO, module juga ikut
20
bergerak searah gerakan FPSO. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi kekuatan
dari struktur penyangga module tersebut.
Mengingat pentingnya faktor pengaruh gerak FPSO terhadap timbulnya beban
inersia pada scantling, maka perlu dipahami terlebih dahulu karakteristik gerakan
FPSO.
Pada dasarnya benda yang mengapung mempunyai enam mode gerakan bebas
[SDOF (Six Degree Of Freedom)] yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu tiga mode
gerakan translasional dan tiga mode gerakan rotasional (Battacharyya, 1978).
Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Berikut adalah keenam mode gerakan
tersebut:
i. Mode gerak translasional
- Surge, gerakan transversal arah sumbu x.
- Sway, gerakan transversal arah sumbu y.
- Heave, gerakan transversal arah sumbu z.
ii. Mode gerak rotasional.
- Roll, gerakan rotasional arah sumbu x.
- Pitch, gerakan rotasional arah sumbu y.
- Yaw, gerakan rotasional arah sumbu z.
Wmodule
a translasi a translasi
Deck
CL Gambar 2.4 Ilustrasi Beban Module Pada FPSO
21
Gambar II.5 Six Degree Of Freedom (SDOF) pada FPSO (Wahyudi, 2009)
2.4.2. Beban Angin
Untuk mendapatkan nilai ekstrem dilakukan perhitungan beban angin mengacu
pada DnV-RP-C205 dan ABS MODU. Kemudian dibandingkan hasil perhitungan
dari kedua acuan tersebut.
Pada DNV RP-C-205 (2007) gaya angin pada yang mengenai struktur dapat
dihitung dengan persamaan:
(2.7)
dengan:
Fw = gaya angin (N)
C = koefisien bentuk
q = tekanan angin
S = area yang terkena gaya angin
α = sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member.
Jika beberapa bagian struktur terletak searah normal arah angin, seagai contoh
plane truss atau beberapa rangkaian kolom, maka solidification effect harus
dipertimbangkan. Maka beban angin dapat dihitung dengan persamaan:
(2.8)
dengan:
Ce = Koefisien bentuk efektif
q = tekanan angin
22
S = area yang terkena gaya angin
Φ = solidity ratio
α = sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member.
Solidity ratio Φ adalah perbandingan antara luasan area solid yang terkena beban
angin dengan luasan frame searah dengan arah datangnya angin.
Dimana untuk tekanan angin q didapatkan dengan persamaan:
(2.9)
dengan:
ρa = massa jenis udara (1.226 kg/m3)
UT,Z = kecepatan angin pada ketinggian Z meter dari MWL (m/s)
Kecepatan angin tiap elevasi dapat dihitung dengan persamaan berikut:
(2.10)
dengan:
Vh = kecepatan angin pada elevasi (m/s)
V10 = kecepatan angin pada elevasi 10m (m/s)
h10 = ketinggian referensi (10 m)
Nilai Reynolds Number Re didapatkan dengan persamaan:
(2.11)
dengan:
D = diameter (m)
UT,z = kecepatan angin pada elevasi z (m/s)
va = viskositas kinematis udara
23
Nilai koefisien bentuk efektif didapatkan dengan mengacu pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Nilai Koefisien Bentuk Efektif (DnV,2007)
Solidity
Ratio
Φ
Efficient shape coefficient Ce
Flat-side
members
Circular sections
Re < 4.2 x 105
Re ≥ 4.2 x 105
0.10 1.9 1.2 0.7
0.20 1.8 1.2 0.8
0.30 1.7 1.2 0.8
0.40 1.7 1.1 0.8
0.50 1.6 1.1 0.8
0.75 1.6 1.5 1.4
1.00 2.0 2.0 2.0
Jika dua atau lebih frame paralel satu sama lain berada dibelakang arah angin,
maka perlu diperhatikan nilai shielding effect. Beban angin pada shield frame
dapat dihitung dengan persamaan:
(2.12)
Nilai shielding factor η didapatkan dari Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Shielding Factor (DnV,2007)
Β
α
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8
< 1.0 1.0 0.96 0.90 0.80 0.68 0.54 0.44 0.37
2.0 1.0 0.97 0.91 0.82 0.71 0.58 0.49 0.43
3.0 1.0 0.97 0.92 0.84 0.74 0.63 0.54 0.48
4.0 1.0 0.98 0.93 0.86 0.77 0.67 0.59 0.54
5.0 1.0 0.98 0.94 0.88 0.80 0.71 0.64 0.60
> 6.0 1.0 0.99 0.95 0.90 0.83 0.75 0.69 0.66
dengan,
α = spacing ratio, perbandingan antara jarak frame ke frame dengan
dimensi keseluruhan dari frame terakhir searah dengan arah angin.
β = aerodynamic solidity ratio, β = Φ x a
a = konstanta (1.6 untuk flat-sided member , 1.2 untuk circular
subcritical range, 0.6 untuk circular supercritical range)
Pada ABS MODU (2001) gaya angin pada yang mengenai struktur dapat dihitung
dengan persamaan:
24
F = 0.5 ρ Vk2 Ch Cs A (2.13)
dengan,
ρ = berat jenis udara (1.22 kg/m3)
Vk = kecepatan angin (m/s)
Ch = height coefficient
Cs = shape coefficient
A = Luas permukaan yang terkena beban angin
Nilai Ch untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.5
Tabel 2.5 Height Coefficient (ABS, 2001)
Height (m) Height (ft) Ch
0-15.3 0-50 1.0
15.3-30.5 50-100 1.1
30.5-46.0 100-150 1.2
46.0-61.0 150-200 1.3
61.0-76.0 200-250 1.37
76.0-91.5 250-300 1.43
91.5-106.5 300-350 1.48
Nilai Cs untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.6
Tabel 2.6 Shape Coefficient (ABS,2001)
Shape of Structure Cs
Spherical 0.4
Cylindrical Shapes (all sizes) used for crane pedestals, booms, helidecks, etc 0.5
Hull, based on block projected area 1.0
Deck houses 1.0
Clusters of deck houses and other structures, based on block projected area 1.1
Isolated structural shapes (e.g. cranes, angle chanel beams, etc) 1.5
Under deck areas (smooth) 1.0
Under deck surface (exposed beams and girders) 1.3
Rig derrick, each face, assuming fabricated from angle 1.25
2.4.3. Beban Operasional
Pada module terdapat equipment yang memiliki berat sendiri. Selain berat sendiri
dari tiap equipment serta berat konstruksi module, pada equipment terdapat berat
dari fluida-fluida yang mengalir di dalamnya. Pada Gambar 2.6 ditunjukkan
massa module beserta equipment di atasnya yang dipengaruhi oleh gravitasi
sehingga menyebabkan struktur penyangga module menerima beban dari atas.
25
Gambar 2.6 Beban Operasional
Dari data yang ada diketahui bahwa massa total dari gas processing module
adalah 2361MT. Untuk mendapatkan berat operasional digunakan persamaan
berikut:
W = m x g (2.14)
dengan,
m = massa module (MT)
g = gravitasi (m/s2)
2.5. RESPONS STRUKTUR (FPSO)
Respon pada struktur akibat gelombang reguler dalam setiap frekuensi, dapat
diketahui dengan menggunakan metode spectra. Nilai amplitudo pada suatu
response secara umum hampir sama dengan amplitudo gelombang. Bentuk
normal suatu response dari sistem linier tidak berbeda dengan bentuk amplitudo
gelombang dalam fungsi frekuensi.
Response amplitude operator (RAO) atau sering disebut sebagai transfer function
adalah fungsi response yang terjadi akibat gelombang dalam rentang frekuensi
yang mengenai struktur offshore. RAO disebut sebagai transfer function karena
RAO merupakan alat untuk mentransfer beban luar (gelombang) dalam bentuk
response pada suatu struktur. Bentuk umum dari persamaan RAO dalam fungsi
frekuensi (Chakrabarti, 2005) adalah sebagai berikut:
Response (w) = (RAO) h(w) (2.15)
dengan:
h = amplitudo gelombang (m)
W = m x g
26
RAO merupakan fungsi respon gerakan dinamis struktur yang disebabkan akibat
gelombang dengan rentang frekuensi tertentu. RAO merupakan alat untuk
mentransfer gaya gelombang menjadi respon gerakan dinamis struktur. Menurut
Chakrabarti (2005), persamaan RAO dapat dicari dengan rumus sebagai berikut:
ωη
ωXωRAO
p
(2.16)
dengan:
pX
= amplitudo struktur
= amplitudo gelombang
2.6. ULTIMATE STRENGTH
Hughes(1983) menyatakan kondisi limit state adalah di mana struktur atau bagian
dari struktur mengalami ketidaktepatan dalam menjalankan fungsinya akibat
beban atau efek beban. Ada dua jenis limit state, yaitu ultimate limit states dan
serviceability limit states. Ultimate limit states sering dijadikan acuan sebagai
eltimate strength dari struktur. Pada dasarnya ada tiga tipe kegagalan struktur;
plastic deformation, instability, dan fracture. Untuk struktur baja tiga tipe dasar
kegagalan struktur adalah:
1. Large local plasticity
2. Instability
a. Bifurcation
b. Nonbifurfaction
3. Fracture
a. Direct
b. Fatigue
c. Brittle
Pada prakteknya kegagalan struktur individu, dipengaruhi oleh kombinasi
kegagalan pertama dan kedua yaitu large local plasticity dan instability. Salah
satu penyebab terjadinya ultimate strength failure pada suatu struktur kapal
umumnya adalah disebabkan oleh beban ekstrem dan/atau kurangnya daya tahan
struktur terhadap degradasi material. misalnya, korosi yang terjadi secara menerus
akan mengurangi dimensi scantling, sehingga girder penopang pada lambung
27
kapal akan rawan mengalami buckling ataupun retak ketika ditimpa beban
ekstrem. Untuk itu, perlu suatu pertimbangan jangka panjang untuk
mengantisipasi adanya degradasi material ketika mendesain sebuah struktur.
(Ayyub, 2001)
Pada beberapa dekade terakhir desain ultimate strength merupakan pendekatan
yang dapat diandalkan untuk analisa struktur baru maupun dugaan untuk struktur
yang telah ada. (Rosati et all, 2007). Faktor keamanan merupakan hal yang sangat
penting pada suatu bangunan apung dalam melakukan operasi. Chakrabarti (2005)
menyatakan bahwa keamanan merupakan ketidakanaan dari kegagalan dan
kerusakan serta menjamin dalam memenuhi ketentuan untuk stabilitas
keseluruhan dan ultimate strength serta kegagalan fatigue akibat beban yang
berulang untuk menghindari kegagalan puncak seperti fatalitas, kerusakan
lingkungan atau kerusakan properti.
Pada dasar mekanika bahan, dipelajari struktur yang dikenai pembebanan aksial,
momen bending, dan gaya torsi. Formula sederhana untuk tegangan dan defleksi
dari struktur telah dikembangkan (Gere, 2001).
Gambar 2.7 Struktur Dikenai Beban Aksial (Boresi&Schmidt, 2003)
Pada pembebanan aksial seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7 memiliki batasan –
batasan sebagai berikut:
1. Struktur harus bersifat prismatik.
2. Material struktur harus homogen.
3. Beban P harus searah arah aksial pada pusat aksis dari struktur.
4. Tegangan dan regangan pada daerah elastis.
28
Gambar 2.8 Struktur Terkena Torsi (Boresi&Schmidt, 2003)
Pada pembebanan torsi seperti Gambar 2.8 juga memiliki beberapa batasan:
1. Struktur harus bersifat prismatik.
2. Material struktur harus homogen.
3. Torsi terjadi pada ujung batang dan tidak ada torsi tambahan pada titik A
dan B.
4. Sudut puntir pada penampang melintang adalah kecil.
Brockenbrough&Merritt (1999) menyatakan bahwa balok yang diberi beban
lateral (Gambar 2.9 )akan meneyebabkan bending. Balok yang terbebani tersebut
menghasilkan gaya internal dan momen serta menyebabkan deformasi.
Gambar 2.9 Beban Merata Pada Balok Tumpuan Sederhana
(Brockenbrough&Merritt,1999)
Gambar 2.10 Kurva Strees-Strain Untuk Spesimen Tarik dari Structural Steel
(Boresi&Schmidt, 2003)
Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.10, hubungan antara tegangan dan regangan
dari sebuah spesimen tarik. Jika material diberi beban sampai batas plastis maka
material baja tersebut akan kembali ke bentuk semula. Akan tetapi jika material
29
baja diberi beban melebihi batas elastis maka tidak bisa kembali ke bentuknya
semula, dengan kata lain material baja mengalami deformasi plastis.
Gambar 2.11 Necking Pada Spesimen Uji Tarik (Boresi&Schmidt, 2003)
Secara fisik, setelah mencapai tegangan ultimate, muncul necking pada spesimen
Gambar 2.11. Hal ini mengakibatkan pengurangan luas penampang melintang dari
specimen secara drastis di mana timbul kegagalan puncak.
Saat sebuah struktur dikenai beban, struktur tersebut memiliki respon yang tidak
hanya bergantung pada tipe material akan tetapi juga kondisi lingkungan dan
pembebanan pada struktur. (Boresi&Schmidt, 2003).
Secara terperinci moda kegagalan dari sebuah struktur adalah:
1. Kegagalan akibat defleksi berlebih
a. Defleksi elastis
b. Defleksi akibat rayapan
2. Kegagalan akibat tegangan yield (deformasi plastis)
3. Kegagalan akibat kepecahan
a. Kepecahan tiba-tiba dari material bersifat getas
b. Kepecahan dari crack atau cacat
c. Kepecahan progresip (fatigue)
4. Kegagalan akibat ketidakstabilan (buckling)
30
2.6.1. Local Plastic Deformation
Pertama kita memperhatikan struktur yang mudah terkena ketidakstabilan, salah
satunya semua beban kompresi aksial dianggap kecil serta struktur sangat kokoh
lengkap dengan brace dan penyangga. Deformasi plastis muncul secara progresif
pada daerah kurva elasto-plastis, kemudian menurun secara perlahan pada kurva
plastis. Beban kegagalan (atau beban collapse atau ultimate strength) diambil
pada beban saat permulaan dari kurva plastis.
2.6.2. Bifurcation Buckling
Ketidakstabilan atau buckling, dapat muncul pada member atau bagian dari
member yang dikenai beban aksial atau beban in-plane compressive. Ada dua
jenis buckling; bifurcation dan nonbifurcation. Contoh bifurcation buckling
adalah buckling pada kolom sederhana. Sebuah kolom diberi beban aksial secara
menerus maka akan mengakibatkan kolom mengalami defleksi lateral. Pada
pembebanan low level, efek beban diabaikan. Akan tetapi saat beban dinaikkan,
defleksi lateral meningkat dengan signifikan mengakibatkan terjadinya bending.
Hasilnya kekakuan kolom hilang secara cepat. Jika beban tidak turun, kekakuan
kolom menjadi nol. Defleksi meningkat ke nilai yang sangat besar,
mengakibatkan kolom mengalami collapse.
2.6.3. Fracture Statis
Istilah brile fracture mengacu pada fakta bahwa dibawah kondisi temperature
tertentu nilai ultimate tensile strength dari baja menurun drastis. Nilai transisi dari
temperature ini dipengaruhi oleh kandungan komposisi kimia baja dan proses
metalurgi saat baja dibuat. Untuk bangunan kapal baja kualitas terbaik sangat
dibutuhkan untuk menghindari brittle fracture. Pada kajian tugas akhir ini tidak
dilakukan analisa kegagalan struktur pada akibat fracture.
2.6.4. Analisa Ultimate Strength (ABS, 2004)
ABS Buckling and Ultimate Strength Assesment for Offshore Structure (2004)
menyediakan beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk menghitung ultimate
strength, kriteria tersebut adalah:
31
a. Individual structural member.
b. Plates, stiffened panels and corrugated panels.
c. Stiffened cylindrical shells.
d. Tubular joints
Pada ABS juga terdapat tambahan pertimbangan untuk meninjau ulang analisa
menggunakan metode elemen hingga untuk menetapkan kapasitas buckling.
Pada tugas akhir ini digunakan kriteria individual structural member untuk
menganalisa ultimate strength pada module support. Sedangkan analisa ultimate
strength pada geladak yang menyangga serta penguat di bawah geladak digunakan
kriteria plates, stiffened panels and corrugated panels.
Moda kegagalan pada kriteria structural member menurut ABS (2004) adalah:
1. Flexural buckling. Bending pada daerah aksis pada resistan akhir.
2. Torsional buckling. Puntir pada lugitudinal aksis
3. Lateral-torsional buckling. Bersamaan bending dan puntir (twisting)
4. Local buckling. Buckling pada plat atau elemen shell pada daerah lokal
struktur.
Kriteria kekuatan buckling untuk plat dan stiffened berdasarkan pada asumsi dan
batas yang diijinkan dari desain stiffened, dimana ABS (2004) memberikan
ketetapan:
1. Kekuatan buckling setiap stiffeners umumnya lebih besar dari plat pada
supports.
2. Stiffeners dengan plat yang efektif harus mempunyai momen inersia tidak
kurang dari io
3. Plat dan flange dari girders dan stiffeners yang berpotongan sebaiknya
dihindari.
4. Webs dari girders dan stiffeners yang berpotongan sebaiknya didindari.
Gambar 2.12 menunjukkan moda kegagalan pada kriteria plates, stiffened panels
and corrugated panels yaitu:
32
1. Plate level.
2. Stiffened panel level.
3. Deep supporting member level.
Gambar 2.12 Moda Kegagalan Stiffened Pada Geladak (ABS, 2004)
Das dan Parmentier (2006) menyatakan bahwa pada papan stiffened plat,
stiffeners memanjang mempunyai fungsi utama untuk mendukung plat geladak
agar mampu menahan sesuai kekuatannya. Untuk mencapai tujuan ini, stiffeners
harus cukup kuat dan jarak antar stiffeners harus dipilih sesuai dengan
karakteristik dari plat geladak, ketebalan dan tegangan yield-nya. Kerampingan
dari plat harus di desain sesuai tegangan ultimate mendekati tegangan yield sebisa
mungkin.
2.7. KEANDALAN STRUKTUR
Menurut Karamchandan (1991) secara tradisional, fokus analisa keandalan telah
ditaksirkan pada keandalan akibat beban kelelahan maupun beban lingkungan
ekstrem. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Olufsen (1989) yang menyatakan
keandalan struktur dari sebagian besar bangunan lepas pantai dikontrol dengan
ketidakpastian yang berhubungan dengan beban lingkungan. Pada kondisi ekstrem
Harland (1998) menyatakan dengan tujuan untuk melakukan analisa keandalan,
perkiraan dari ketidakpastian fisik pada beban gelombang ekstrem juga
diperlukan. Oleh karena itu dalam mendesain sebuah struktur perlu juga
dipertimbangkan keandalannya, menurut Sigbjornsson(1980) masalah utama pada
33
perhatian desain struktur yang pertama adalah kegagalan penyimpangan dan
syarat tradisional yaitu informasi yang memperhatikan karakteristik respon
ekstrem dan dalam pendekatan modern nilai distribusi ekstrem.
Keandalan sebuah komponen atau sistem adalah peluang komponen atau sistem
tersebut untuk memenuhi tugas yang telah ditetapkan tanpa mengalami kegagalan
selama kurun waktu tertentu apabila dioperasikan dengan benar dalam lingkungan
tertentu. Rosyid, D.M, (2007). Dalam konsep keandalan, suatu masalah akan
didefinisikan dalam hubungan permintaan dan penyediaan, yang keduanya
merupakan variabel-variabel acak. Peluang terjadinya kegagalan suatu
rancangan, dimana penyediaan (ketahanan atau kekuatan sistem) tidak dapat
memenuhi permintaan (beban yang bekerja pada sistem). Ang, H.S dan Tang,
W.H (1985).
Pemakaian konsep analisis keandalan yang didasarkan pada metode probabilistik
telah berkembang dan semakin penting peranannya terutama untuk memecahkan
masalah- masalah dalam perancangan praktis Baker dan Wyatt (1979).
Kecenderungan ini salah satunya dikarenakan adanya kerusakan yang terjadi pada
sistem rekayasa yang disebabkan oleh intraksi panas, beban statis maupun beban
dinamis dapat dijelaskan secara lebih baik dengan konsep ini.
Dalam konsep ini perancang dapat menggambarkan suatu sistem dengan segala
hal yang mempengaruhi atau mengakibatkan kerusakan pada sistem tersebut
misalnya kondisi pembebanan, ketahanan struktur, kondisi lingkungan yang lebih
mendekati keadaan yang sebenarnya karena melibatkan aspek ketidakpastian
dalam analisisnya. Dalam analisis keandalan sistem struktural maka perlu untuk
mendefinisikan ketidakpastian yang diterima oleh struktur. Ketidakpastian dalam
3 kelompok yaitu :
1. Ketidakpastian fisik, adalah ketidakpastian yang berhubungan dengan
keragaman (variability) fisik seperti : beban, sifat material, dan ukuran
material. Keragaman fisik ini hanya bisa dinyatakan dalam data sampel,
dengan pertimbangan praktis dan ekonomis.
34
2. Ketidakpastian statistical, adalah ketidakpastian yang berhubungan dengan
data yang dibuat untuk membuat model secara probabilistik dari berbagai
macam keragaman fisik diatas.
3. Ketidakpastian model, yaitu ketidakpastian yang berhubungan dengan
tanggapan dari jenis struktur yang dimodelkan secara matematis dalam bentuk
deterministik atau probabilistik. Ketidakpastian yang terjadi disini
merupakan hasil dari penyederhanaan dengan memakai bermacam-macam
asumsi, kondisi batas yang tidak diketahui, dan sebagai hasil dari pengaruh
interaksi ketidakpastian yang tidak tercakup dalam model.
Sistem dari keandalan pada dasarnya dapat ditunjukkan sebagai problematika
antara Demand (tuntutan atau beban) dan Capacity (kapasitas atau kekuatan).
Secara tradisional didasarkan atas safety factor (angka keamanan) yang
diperkenankan. Ukuran konvensional untuk angka keamanan adalah perbandingan
antara asumsi nilai nominal kapasitas, X*, dan beban, Y*, yang dirumuskan
sebagai berikut:
(2.17)
Mengingat nilai nominal dari kapasitas, x* dan beban, y* tidak dapat ditentukan
dengan pasti, fungsi-fungsi kapasitas dan beban perlu dinyatakan sebagai peluang
sebagimana ditunjukkan pada gambar di bawah. Dengan demikian, angka
keamanan dinyatakan dengan perbandingan Z = X / Y dari dua variabel acak X
dan Y.
Indeks keandalan β, didefinisikan sebagai perbandingan antara nilai rata-rata dan
nilai simpangan baku dari margin keselamatan, S, yaitu :
(2.18)
Jika menggunakan nilai kristis margin keselamatan, S = 0, dan jaraknya dengan
nilai rata-rata margin keamanan μs , maka indeks keandalan ini dapat
diinterprestasikan sebagai jumlah kelipatan simpangan baku σs pada jarak ini.
Artinya, jarak antara S = 0 dengan μs ini dapat dibagi menjadi beberapa
simpangan baku. Semakin panjangnya, relatif terhadap simpangan baku, maka
35
semakin besar indeks keandalannya. Selanjutnya, indeks keandalan juga
berbanding terbalik dengan koefisien variasi margin keselamatan, atau dapat
dituliskan β = 1/Vs .
Gambar 2.13 Fungsi Kerapatan Peluang (fkp) dari Kapasitas X dan Tuntutan Y
Menurut Rosyid (2007) keandalan sebuah komponen atau sistem adalah peluang
komponen atau sistem tersebut untuk memenuhi tugas yang telah ditetapkan
tanpa mengalami kegagalan selama kurun waktu tertentu apabila dioperasikan
dengan benar dalam kurun waktu tertentu. Sistem dari keandalan pada dasarnya
dapat ditunjukkan sebagai hubungan antara Demand (tuntutan atau beban) dan
Capacity (kapasitas atau kekuatan). Hubungan tersebut dapat digambarkan
melalui diagram inteferensi. Peluang kegagalan terdapat pada daerah perpotongan
antara Demand (x) dan Capacity (y). Metode Monte Carlo merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk medapatka nilai keandalan suatu struktur.
Perhitungan keandalan berdasarkan ultimate strength juga bisa dilakukan dengan
mengguanakan metode tersebut. Nilai keandalan didapatkan dengan cara sebagai
berikut:
K = 1- Pf (2.19)
dengan:
K : keandalan
Pf : peluang kegagalan
36
Halaman Kosong
37
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi yang digunakan dalam tugas akhir ini dalam bentuk diagram alir
(flowchart) sebagai berikut:
Mulai
Studi literatur dan
pengumpulan data
Pemodelan geometri dengan
software AutoCAD
Mengkonversi model CAD
ke software Maxurf
Mengkonversi model
Maxurf ke software MOSES
Input data lingkungan
pada MOSES
Running MOSES untuk
mendapatkan respon FPSO
akibat beban lingkungan
Validasi
A
Tidak
Ya
Perhitungan gaya -gaya yang bekerja
pada module support
Validasi
Ya
Tidak
38
A
Menghitung keandalan
struktur
Selesai
Pemodelan scantling module support
system dengan software ANSYS11
Analisis ultimate strength
Kesimpulan
Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian
39
Tugas akhir ini berupa penelitian keandalan scantling support structure system
gas processing module terhadap beban ekstrem. Dilakukan ultimate strength
analysis untuk mendapatkan nilai ultimate strength. Nilai ultimate strength yang
didapatkan dianalisis berdasarkan nilai keandalannya. Adapun langkah-langkah
untuk pengerjaan tugas akhir ini sebagai berikut:
Studi literatur dan pengumpulan data meliputi mencari serta mempelajari
buku, diktat, jurnal, ataupun laporan tugas akhir terdahulu yang membahas
pokok permasalahan yang sama atau mirip dengan tugas akhir ini. Literatur
tersebut digunakan sebagai acuan ataupun referensi tugas akhir ini. Selain itu,
juga dilakukan pencarian mengenai data-data FPSO Belanak sebagai objek
tugas akhir.
Pemodelan FPSO dengan AutoCAD, berupa lines plan seperti ditunjukkan
pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Pemodelan ACAD
Untuk FPSO, yang dimodelkan adalah lines plan. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah dalam penentuan koordinat, pengukuran dimensi dan lain-lain.
Pemodelan FPSO dengan Maxsurf untuk mendapatkan koordinat-koordinat
dari struktur FPSO seperti ditunjukkan pada Gambar 3.3.
40
Gambar 3.3 Pemodelan Maxurf
Pemodelan dengan Maxsurf, memodelkan struktur FPSO secara lebih detail
dan spesifik.
Mengkonversi pemodelan yang dilakukan di Maxurf ke MOSES (Multi
Operational Structural Engineering Simulator) seperti pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Pemodelan Moses
Selanjutnya FPSO Belanak dimodelkan dengan software MOSES (Multi
Operational Structural Engineering Simulator). Koordinat struktur dari FPSO
Belanak diambil dari Maxsurf
Validasi parameter hidorstatis pada MOSES dan Maxurf dengan data
hidrostatis dari Conoco Philips.
Running MOSES untuk mendapatkan beban inersia pada FPSO Belanak.
Validasi hasil running dengan data penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya.
41
Perhtiungan gaya-gaya yang bekerja akibat beban lingkungan dan beban
module itu sendiri pada module support.
Memodelkan secara lokal scantling module support system dengan ANSYS 11
untuk mendapatkan respon scantling module support system akibat beban
ekstrem seperti ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5 Pemodelan ANSYS
Pemodelan dengan menggunakan ANSYS 11.0 seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.5 pada struktur penyangga module, geladak FPSO serta struktur
penguat di bawah geladak yaitu stiffener dan bracket. Jenis pemodelan dan
perhitungan yang akan dilakukan adalah jenis structural.
Setelah mendapatkan beban keruntuhan scantling module support system
FPSO, maka dilakukan perhitungan capacity check (ultimate strength) dengan
metode pushover dengan memperhatikan rules pada ABS Buckling and
Ultimate Strength Assesent for Offshore Structure.
Perhitungan keandalan scantling support structure system gas processing
module terhadap beban ekstrem dengan metode simulasi Monte Carlo.
1
X
Y
Z
MODULE_SUPPORT
JUL 4 2010
03:42:56
ELEMENTS
42
Halaman Kosong
43
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1. DATA
Data digunakan untuk mendukung analisa yang akan dilakukan dalam menghitung
nilai keandalan scantling gas processing module FPSO Belanak terhadap beban
ekstrem. Data yang dibutuhkkan antara lain data struktur, mooring, lingkungan,
gerakan FPSO, dan data material.
4.1.1. Data Struktur
Data struktur meliputi struktur FPSO, topside module, dan scantling gas
processing module.
4.1.1.1. Struktur FPSO
Dalam tugas akhir ini, obyek yang digunakan adalah Floating Production Storage
and Offloading (FPSO) milik Conoco Philips yang bernama Belanak. Berat dari
FPSO tersebut yaitu 255.000ton dengan panjang 285m seperti pada Gambar 4.1.
memilki kapasitas penyimpanan minyak sebesar 1,0juta barrel. Badan FPSO
Belanak dibangun dengan bentuk double side. Konfigurasi single bottom tanpa
self propulsion. FPSO Belanak didesain 30tahun tanpa dry docking.
Gambar 4.1 Drawing FPSO Belanak (Conoco, 2002)
44
4.1.1.2. Topside Module
Pada FPSO Belanak terdapat beberapa fasilitas topside structure yang biasanya
disebut module untuk membantu proses produksi hidrokarbon. Module yang
terdapat pada FPSO Belanak seperti ditunjukkan pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Data Module FPSO Belanak (PT. McDermott, 2002)
Dari data tiap module yang terdapat pada FPSO Belanak, dari berat terkecil yaitu
module R1 sebesar 181MT sampai module terberat yaitu module S4 sebesar
2361MT.
4.1.1.3. Scantling Gas Processing Module
Gas processing module FPSO Belanak terletak pada train P4 dan S4. Berat
module pada train P4 adalah 2285 MT, sedangkan pada train S4 adalah 2361 MT.
Oleh karena itu pada tugas akhir ini dilakukan analisa terhadap module terberat
yaitu 2361 MT.
MT
P1 Chemical Injection 773
S1 Gas Injection & Metering 942
P2 Export Compressors Train “B” 1515
S2 Export Compressors Train “A” 1448
P3 Gas Cooling & Treating 1913
S3 Gas Regeneration 1671
P4 Gas Processing Train ‘A’ 2285
S4 Gas Processing Train ‘B’ 2361
P5 Oil Separation 1690
S5 Oil Import/Export 1686
S6 Utility & Sea Water Lift 1403
P7 Main Power Gen. Train ‘A’ 1340
S7 Main Power Gen. Train ‘B’ 1964
C1 Piperack 832
C2 Piperack 892
C3 Piperack 697
C09 Power Control Bldg 951
CFR Flare Boom 268
R1 FWD Riser Porch 181
C08 Workshop 340
R2 Mid-ship Riser Porch 241
T6 Temporary 447
Mis-Misc. Items on Hull 964
TOTAL (including misc. modules): 26,801
Module
45
- Scantling
Scantling pada gas processing module terdiri dari support, stiffener, bracket, dan
geladak FPSO seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Detail Drawing Scantling Module Support (Conoco, 2002)
- Gas Processing Module
Gas processing module disangga oleh delapan struktur penyangga dengan
konfigurasi 2x4 pada bagian dasar module seperti ditunjukkan Gambar 4.2.
Module ini juga memiliki cerobong yang berbentuk silinder untuk membantu
proses produksi dengan elevasi yang cukup tinggi. Ada tiga buah cerobong
dengan masing-masing ketinggian adalah 38m, 50m, 53m. Cerobong berbentuk
silinder dengan diameter luar OD 7.5m.
4.1.2. Data Mooring
Sistem tambat FPSO Belanak digunakan sistem tambat spread mooring dengan
jumlah mooring line sebanyak 14. Masing – masing 4-4 at stern dan 3-3 at bow.
Dengan spesifikasi mooring sebagai berikut:
Type : 14 Suction Piled Anchor Chains
Size : 132 mm (5”) VGW R3 Chain
Total Installed Length : 10,750 m
Max Chain Line pull : 358 Te (398 Te 2 stall)
46
Fairlead to Chain Burial : 639 to 755 m
4.1.3. Data Lingkungan
FPSO Belanak ditempatkan di blok Natuna dengan kedalaman perairan sebesar
90m. Adapun data gelombang return period untuk 1tahun, 10tahun, dan 100tahun
seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Data Gelombang Return Period (Conoco, 2002)
Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa besarnya Hs dan Tp cenderung naik dari
kondisi 1tahunan sampai 100tahunan.
Data intensitas kejadian angin pada daerah Natuna selama kurun waktu sepuluh
tahun, yaitu tahun 2006-2007 seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Intensitas Kejadian Angin Tahun 2006 & 2007 (Wahyudi, 2009)
Kecepatan angin paling dominan adalah adalah dengan kecepatan calm atau
tenang sebesar 55.62%. Dari 8 arah mata angin, intensitas paling besar adalah dari
arah utara sebesar 13.70%. Sedangkan intensitas terkecil adalah arah angin dari
barat laut sebesar 0.96%.
Data gelombang metocean untuk wilayah Natuna adalah seperti ditunjukkan pada
Tabel 4.4.
Deskripsi
GelombangHs ( m) Tp (s)
1tahunan 2.9 9.1
10tahunan 4.1 10.3
100tahunan 5.3 11.1
CALM 1 - 3 4 - 6 7 - 9 10 - 12 13 - 15 >16
406 0 0 0 0 0 0 406 55.62%
N 0 0 8 30 37 20 5 100 13.70%
NW 0 0 1 5 1 0 0 7 0.96%
W 0 1 7 15 5 0 0 28 3.84%
SW 0 3 2 13 7 2 0 27 3.70%
S 0 0 7 26 19 3 1 56 7.67%
SE 0 0 3 10 3 0 0 16 2.19%
E 0 1 13 14 1 0 0 29 3.97%
NE 0 0 20 31 6 4 0 61 8.36%
406 5 61 144 79 29 6 730 100%
JumlahKECEPATAN ANGIN (knots) (nominal)
ARAH Persntase
47
Tabel 4.4 Data Gelombang Metocean (Wahyudi, 2009)
Dari data gelombang metocean dapat diketahui bahwa gelombang dengan Hmax
kecil mempunyai jumlah kejadian yang lebih sering dibandingkan dengan
gelombang dengan Hmax besar.
4.1.4. Data Gerakan FPSO
Data gerakan FPSO yang diketahui adalah data percepatan FPSO tanpa mooring
(free floating) pada kondisi badai. Pada kondisi badai, FPSO akan mendapatkan
pengaruh beban yang paling besar (maximum):
Tabel 4.5 Data Percepatan Gerakan FPSO pada Kondisi Badai (Conoco, 2002)
Percepatan gerakan FPSO pada kondisi badai yang terbesar adalah moda gerakan
roll sebesar 3.023 m/s2. Moda gerakan paling kecil terdapat pada gerakan yaw
sebesar 0.913 rad/s2.
Wave
ClassH max Th max
Surface
Current
Mid-Depth
Current
Near Bottom
Current
Number of
Cycles
(m) (s) (m/s) (m/s) (m/s)
1 0.50 5.25 0.5 0.3 0.3 93,350,538
2 1.00 6.25 0.5 0.3 0.3 71,519,354
3 1.50 7.37 0.5 0.3 0.3 31,774,805
4 2.00 8.64 0.5 0.3 0.3 13,717,908
5 2.50 9.57 0.6 0.4 0.4 6,707,238
6 3.00 10.18 0.6 0.4 0.4 3,461,658
7 4.00 10.79 0.6 0.4 0.4 2,802,540
8 5.00 11.31 0.6 0.4 0.4 772,997
9 6.00 11.69 0.7 0.5 0.5 197,245
10 7.00 11.97 0.7 0.5 0.5 45,165
11 8.00 12.23 0.7 0.5 0.5 9,160
12 9.00 12.47 0.7 0.5 0.5 1,643
13 10.25 12.67 0.8 0.6 0.6 281
Derajad Kebebasan
Max. Surge Acc 0.656 m/s2
Max. Sway Acc 2.180 m/s2
Max. Heave Acc 1.054 m/s2
Roll Acc 3.023 rad/s2
Pitch Acc 0.679 rad/s2
Yaw Acc 0.193 rad/s2
Percepatan
48
4.1.5. Data Material
Material yang digunakan adalah material rolled profile dengan properti seperti
ditunjukkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Data Material Properties (Conoco, 2002)
Material Type 4
Steel Grade A36
Thickness Range (mm) <51
Minimum Yield Stress (N/mm2) 250
Minimum UTS (N/mm2) 400
Modulus Young (E) (N/mm2) 210,000
Shear Modulus (G) (N/mm2) 80,000
Poison’s Ratio (υ) 0.3
Density (ρ) (kg/m3) 7,850
Coef of Thermal Expansion (α) (/Co) 12 x 10-6
Material properties yang digunakan pada pemodelan lokal, diperlukan untuk
mengetahui perilaku material terhadap beban yang bekerja.
4.2. PEMODELAN
Pemodelan dilakukan dengan bantuan beberapa software, diantaranya adalah
AutoCAD, Maxurf, MOSES, dan ANSYS.
4.2.1. Pemodelan Menggunakan CAD
Untuk memudahkan pemodelan FPSO digambarkan dengan bantuan software
ACAD seperti disajikan pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Pemodelan Lines Plan FPSO Belanak dengan AutoCAD
49
Untuk FPSO, yang dimodelkan adalah lines plan. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah dalam penentuan koordinat, pengukuran dimensi dan lain-lain.
Pemodelan dengan AutoCAD juga mempermudah untuk memahami bentuk dari
struktur secara visual.
4.2.2. Pemodelan Menggunakan Maxsurf
Pemodelan dengan Maxsurf, memodelkan struktur FPSO secara lebih detail dan
spesifik. Dimensi-dimensi utama yang didapat dari gambar lines plan pada
AutoCAD di-generate ke dalam Maxsurf. Kemudian pada Maxsurf, didetailkan
section, buttock, serta waterline dari FPSO Belanak. Serta, dimensi FPSO Belanak
untuk tiap section di masukkan, karena dimensi-dimensi per-section tersebut yang
akan dikonversi ke software MOSES seperti disajikan pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Pemodelan FPSO Belanak dengan Maxsurf
Pada Gambar 4.4 FPSO dimodelkan tampak depan, samping, atas, dan tampak
isometric.
4.2.3. Pemodelan Menggunakan MOSES
Selanjutnya FPSO Belanak dimodelkan dengan software MOSES (Multi
Operational Structural Engineering Simulator). Koordinat struktur dari FPSO
Belanak diambil dari Maxsurf. Untuk pemodelan dan perhitungan hidrostatis,
dilakukan dengan MOSES 7.0 seperti pada Gambar 4.5, sedangkan untuk
perhitungan hidrodinamis, digunakan MOSES 6.0. Hasil pemodelan dari MOSES
7.0 ditunjukkan pada Gambar 4.6.
50
Gambar 4.5 Pemodelan FPSO dengan MOSES Tampak Depan, Samping, dan Atas
Pemodelan FPSO dilakukan pada MOSES dengan memasukkan dimensi utama
dari data yang ada, dengan memasukkan koordinat yang telah didapatkan
sebelumnya dari Maxurf. Selanjutnya pemodelan hidrodinamis FPSO, dilakukan
pemodelan dengan mooring line agar mendekati keadaan sebenarnya yaitu pada
saat FPSO mengalami kondisi ekstrem (badai).
Gambar 4.6 Pemodelan FPSO dengan MOSES dengan Mooring
4.2.4. Pemodelan Menggunakan ANSYS
Pemodelan dengan menggunakan ANSYS 11.0 seperti ditunjukkan pada Gambar
4.7 pada struktur penyangga module, geladak FPSO serta struktur penguat di
51
bawah geladak yaitu stiffener dan bracket. Jenis pemodelan dan perhitungan yang
akan dilakukan adalah jenis structural.
Pada pemodelan ANSYS material properties yang digunakan adalah SHELL93
dengan pertimbangan jenis material ini memiliki 6 DoF. Selain itu jenis material
ini juga lebih ringan pada saat dilakukan running model.
Gambar 4.7 Model Module Support dengan Geladak FPSO
Untuk penentuan ukuran meshing dalam pemodelan ANSYS, terlebih dahulu
dilakukan mesh sensitivity analysis. Ukuran meshing divariasikan hingga
didapatkan nilai respon struktur cenderung konstan. Sedangkan nilai beban
sebagai input adalah nilai yang tetap. Hasil dari mesh sensitivity analysis dapat
dilihat pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.8.
Pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.8 dapat diketahui bahwa jumlah node 9704 nilai
tegangan maksimal adalah 1.67 MPa, kemudian jumlah node diperbanyak dari
9722 sampai dengan 9944. Nilai tegangan maksimum yang terjadi masih belum
konstan, sehingga perlu jumlah node ditambahkan kembali. Pada jumlah node
24237, nilai tegangan maksimum yang terjadi cenderung konstan pada nilai 1.8
MPa.
1
X
Y
Z
MODULE_SUPPORT
JUL 4 2010
03:42:56
ELEMENTS
52
Tabel 4.7 MSA
Gambar 4.8 Grafik MSA
Langkah selanjutnya setelah meshing model adalah penentuan syarat batas. Pada
pemodelan ini, syarat batas dipilih on line dengan pertimbangan geladak tidak
mengalami deformasi pada 6 moda gerakan. Penentuan syarat dapat dilihat pada
Gambar 4.9.
Setelah penentuan syarat batas, maka dilakukan input pembebanan pada model.
Nilai input yang dimasukkan adalah dari hasil perhitungan beban gelombang,
angin, dan beban operasional. Input dimasukkan per node, artinya nilai yang kita
dapatkan dari hasil perhitungan dibagi dengan jumlah node di mana beban
tersebut bekerja.
Jumlah node
9704 1.67 MPa
9722 1.65 MPa
9944 1.84 MPa
10056 1.8 MPa
12568 1.72 MPa
13134 1.78 MPa
16282 1.8 MPa
24237 1.81 MPa
σmax
0.5
0.7
0.9
1.1
1.3
1.5
1.7
1.9
2.1
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000
σm
ax (
MP
a)
Jumlah Node
Mesh Sensitivity Analysis
53
Gambar 4.9 Penentuan Syarat Batas
4.3. PERHITUNGAN
Perhitungan yang akan dilakukan adalah perhitungan beban yang akan
mengakibatkan keruntuhan pada scantling support structure gas processing
module. Beban-beban yang ditinjau adalah beban gelombang, beban angin, dan
beban operasional gas processing module.
4.3.1. Perhitungan Beban Gelombang (LTWA)
Dalam perhitungan beban gelombang, gelombang yang digunakan adalah
gelombang return period untuk 1tahunan, 10tahunan dan 100tahunan. Periode
ulang gelombang atau gelombang return period dapat dicari dengan analisis
gelombang kurun waktu panjang [LTWA (long-term wave analysis)]. LTWA
adalah analisis yang dilakukan terhadap kumpulan data-data gelombang yang
telah diperoleh dalam kurun waktu tahunan (minimal 1tahun). Distribusi
gelombang dalam kurun waktu panjang dapat didekati dengan distribusi kontinyu
dari Weibull pada Persamaan 2.1. Sedangkan Hs dari Hmax digunakan Persamaan
2.2.
Untuk perhitungan P(HS), jumlah gelombang total yang terjadi sebesar
224.360.532 kali ditambahkan dengan 0,5kali kejadian gelombang. Nilai 0,5
1
X
Y
Z
MODULE_SUPPORT
JUL 9 2010
13:04:27
AREAS
TYPE NUM
U
ROT
54
jumlah gelombang adalah untuk mengantisipasi ketaktentuan karena kemungkinan
adanya gelombang dengan intensitas di atas Hmax terbesar dari data yang ada. Nilai
P(HS) didapat dari pembagian antara kumulatif dari kejadian gelombang dibagi
dengan jumlah total kejadian gelombang.
Hasil yang didapat dari perhitungan untuk mencari nilai dari semua P(Hs), ln(H-
a), dan ln[ln(1- P(Hs))-1
] seperti ditunjukkan pada Tabel 4.8
Tabel 4.8 Distribusi Gelombang
Dari tabulasi perhitungan jumlah gelombang dapat diketahui bahwa jumlah
kejadian gelombang sebanyak 224,360,532.5 kali. Gelombang dengan nilai Hmax
kecil lebih sering muncul dari pada gelombang dengan Hmax besar.
Dari hasil Tabel 4.8 di atas, didapat grafik distribusi seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.10.
Gambar 4.10 Weibull Distribution
Dari grafik di atas, didapat persamaan trend line yang diperkirakan sesuai dengan
sebaran data, yaitu:
H max HS Number of Cycles Cumulative P(HS) ln(HS-a) ln[ln(1-P(HS))-1]
(m) (m) Σ
1 0.5 0.268817204 93350538 93350538 0.416073794 -1.313723668 -0.61993266
2 1 0.537634409 71519354 164869892 0.734843558 -0.620576488 0.28324872
3 1.5 0.806451613 31774805 196644697 0.87646742 -0.21511138 0.73776214
4 2 1.075268817 13717908 210362605 0.937609671 0.072570693 1.020414682
5 2.5 1.344086022 6707238 217069843 0.967504581 0.295714244 1.231584904
6 3 1.612903226 3461658 220531501 0.982933578 0.478035801 1.40380082
7 4 2.150537634 2802540 223334041 0.995424813 0.765717873 1.684008618
8 5 2.688172043 772997 224107038 0.998870147 0.988861425 1.914812657
9 6 3.225806452 197245 224304283 0.99974929 1.171182982 2.115196208
10 7 3.76344086 45165 224349448 0.999950595 1.325333661 2.294095339
11 8 4.301075269 9160 224358608 0.999991422 1.458865054 2.456708061
12 9 4.838709677 1643 224360251 0.999998745 1.57664809 2.609233589
13 10.25 5.510752688 281 224360532 0.999999998 1.706701218 2.991820231
Σ= 224360532.5
Wave Class
55
8956,0102,1 xy (4.1)
Persamaan trend line tersebut digunakan untuk mencari nilai ln(H-a) pada saat
mencari periode ulang gelombang. Nilai P(Hs) dihitung dengan memasukan
durasi terjadinya badai yang menyebabkan timbulnya gelombang. Durasi
terjadinya badai yang menyebabkan timbulnya gelombang diasumsikan kurang
lebih 3jam. Jadi peluang terjadinya gelombang ekstrem kurun waktu panjang atau
PLT(H) adalah sama artinya dengan menghitung peluang terjadinya semua
gelombang yang mempunyai intensitas lebih kecil dari gelombang ekstrem
tersebut. Hal ini dilakukan dengan mengurangi peluang pasti terjadi, yaitu 1.0,
dengan harga perbandingan antara durasi badai Tbadai dan kurun waktu panjang
TLT terhadap H, seperti dalam Persamaan 4.2.
)(24)(365)(
)(1)(
jamharitahunT
jamTHHPHP
LT
badaiLTLT
(4.2)
Contoh perhitungan untuk mengetahui peluang terjadinya gelombang 100tahunan
P100(H), adalah:
58996999.024365100
31)( 100100
HHPHP
533.299999658.01
1lnln
)(1
1lnln
HP
Jika P(HS) sudah didapat, maka dengan persamaan 4.1, didapat nilai ln(H-a). Nilai
HS diperoleh dengan meng-inverse nilai dari ln(H-a). Hasil perhitungan dapat
dilihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Perhitungan Periode Ulang
Dari hasil perhtiungan periode ulang gelombang didapatkan nilai Hs untuk
1tahunan, 10 tahunan, dan 100 tahunan. Nilai Hs semakin naik dari 1tahunan
sampai 100tahunan.
Return Period P(HS) ln[ln(1-P(Hs))-1] ln(Hs-a) HS
year(s) (m)
1 0.999658 2.076855563 1.074414148 2.93
10 0.999966 2.330387401 1.304897637 3.69
100 0.999997 2.532466620 1.488606018 4.43
56
Hasil perhitungan beban gelombang kemudian dibandingkan dengan nilai periode
ulang yang sudah ada sebelumnya, yaitu dari data Conoco Philips dan kajian
Tugas Akhir sebelumnya. Nilai periode ulang dapat ditunjukkan seperti pada
Tabel 4.10 dan Tabel 4.11.
Tabel 4.10 Periode Ulang (Conoco, 2002)
Tabel 4.11 Periode Ulang (Wahyudi, 2009)
Gambar 4.11 Perbandingan Peridoe Ulang
Hasil perhitungan dan data yang ada sebelumnya kemudian dibandingkan, dan
apabila diplot pada grafik seperti ditunjukkan pada Gambar 4.11 dapat dilihat
bahwa terjadi selisih antara data periode ulang Conoco Philips dengan
perhitungan dan kajian Tugas Akhir sebelumnya. Untuk kajian Tugas Akhir ini,
data periode ulang gelombang yang digunakan untuk analisa selanjutnya
Return Period Hs Tp
year(s) (m) (s)
1 2.9 9.1
10 4.1 10.3
100 5.3 11.1
Return Period Hs
year(s) (m)
1 2.919
10 3.674
100 4.413
57
digunakan data periode ulang dari Conoco Philips. Dengan tujuan kesesuaian data
di mana struktur tersebut dioperasikan.
4.3.2. Perhitungan Motion FPSO
Perhitungan beban gelombang dilakukan untuk mendapatkan, single amplitude
accelerations, wave drift force, dan Response Amplitude Operator (RAO) motion
dari FPSO untuk lima arah heading gelombang, yaitu arah 0o, 45
o, 90
o, 135
o dan
180o dalam gerak surge, heave, sway, roll, pitch dan yaw. Perhitungan dilakukan
pada kondisi Vessel Draft Light yaitu dengan draft 16m, dengan software MOSES
6.0. Kondisi gelombang yang digunakan adalah gelombang 100tahunan.
Untuk meyakinkan bahwa pemodelan yang kita lakukan sudah benar maka
dilakukan validasi beberapa parameter seperti pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12 Validasi
Dari hasil validasi pemodelan dapat diketahui bahwa pemodelan sudah valid, hal
ini dapat dilihat dengan membandingkan nilai tiap parameter dari hasil pemodelan
sofware Maxurf dan MOSES dengan data asli dari Conoco Philips tidak ada
selisih yang besar.
Input data untuk perhitungan dengan MOSES 6.0. adalah:
- KG (keel to gravity)
- Jari-jari girasi
- kedalaman perairan di lokasi FPSO beroperasi
- tipe spektrum gelombang yang digunakan, yaitu spektrum JONSWAP
- arah datang gelombang (heading)
- tinggi gelombang
Parameter unit Conoco Phillips Maxsurf MOSES max-dat mos-dat
T m 16.2 16.2 16.2 0.000 0.000
KG m 12.96 12.96 12.96 0.000 0.000
Displacement ton 247000 246970.64 246247.39 0.012 0.305
VCB m 8.185 8.193 8.22 0.098 0.428
LCB m 142.499 142.585 142.57 0.060 0.050
LCF m 142.53 142.542 142.52 0.008 0.007
KMT m 25.581 25.543 25.63 0.149 0.192
KML m 386.395 385.211 387.89 0.306 0.387
Validasi % error
58
- periode gelombang
- kecepatan arus
Command input file dan output pada MOSES dapat dilihat pada Lampiran B dan
Lampiran C di bagian belakang laporan Tugas Akhir ini.
Hasil dari perhitungan maximum single amplitude accelerations dengan MOSES
6.0. disajikan pada Tabel 4.13
Tabel 4.13 Output Maximum Single Amplitude Accelerations w/ mooring
Percepatan maksimum FPSO dengan mooring terjadi pada gerakan rotasional roll
yaitu sebesar 2.782 rad/s2 dengan arah datang gelombang 90º. Sedangkan pada
gerakan translasi, percepatan terbesar pada gerakan heave sebesar 1.230 m/s2
dengan arah datang gelombang 90º.
Perbandingan data percepatan free floating dari Conoco Philips serta kajian Tugas
Akhir sebelumnya dalam Wahyudi (2009) dengan perhitungan di mana percepatan
pada kondisi mooringed disajikan dalam Tabel 4.14.
Tabel 4.14 Perbandingan Percepatan FPSO
Dapat diketahui nilai percepatan FPSO dengan mooring cenderung lebih kecil dari
pada kondisi FPSO free floating hampir pada setiap moda gerakan.
Surge Sway Heave Roll Pitch Yaw
0 0.216 0.000 0.232 0.000 0.430 0.000
45 0.257 0.250 0.431 0.596 0.572 0.271
90 0.000 0.779 1.230 2.455 0.005 0.002
135 0.257 0.249 0.426 0.597 0.575 0.271
180 0.215 0.000 0.231 0.000 0.430 0.000
Single Amplitude AccelerationHeading
59
Percepatan hasil perhitungan MOSES 6.0. di atas akan dijadikan input pada
ANSYS 11.0. sebagai inertia load.
Response Amplitude Operator (RAO) hasil dari MOSES 6.0. untuk gerakan
surge, sway, heave, roll, pitch dan yaw dapat dilihat pada Gambar 4.12 s/d
Gambar 4.17. Pada software MOSES, output yang dihasilkan sudah dalam bentuk
gerakan couple dari bangunan apung. Jadi RAO output sudah dalam bentuk
gerakan couple.
Gambar 4.12 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Surge
Gerakan surge cenderung besar untuk heading arah head seas (μ = 0°) dan
following seas (μ = 180°).Untuk atau quartering seas (μ = 45° dan 135°) nilai
amplitude respon menurun dibandingkan arah head seas. Sedangkan untuk arah
beam seas (μ = 90°) gerakan surge sangat kecil bahkan tidak terjadi sama sekali.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0 0.5 1 1.5 2 2.5
RA
O
frekwensi (ω)
RAO Surge
0 deg
45 deg
90 deg
135 deg
180 deg
60
Gambar 4.13 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Sway
Gerakan sway besar untuk heading arah beam seas. Sedangkan untuk arah
quartering seas gerakan sway juga terjadi namun tidak sebesar heading arah beam
seas. Dan gerakan sway hampir tidak terjadi untuk arah 0° dan 180°.
Gambar 4.14 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Heave
Gerakan heave cenderung tinggi untuk semua arah heading, pembebanan beam
seas mengakibatkan heave paling tinggi.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 0.5 1 1.5 2 2.5
RA
O
frekwensi (ω)
RAO Sway
0 deg
45 deg
90 deg
135 deg
180 deg
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 0.5 1 1.5 2 2.5
RA
O
frekwensi (ω)
RAO Heave
0 deg
45 deg
90 deg
135 deg
180 deg
61
Gambar 4.15 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Roll
Gerakan roll besar untuk heading arah beam seas 90º. Sedangkan untuk arah
quartering seas gerakan roll juga terjadi namun tidak sebesar heading arah beam
seas. Dan gerakan roll hampir tidak terjadi untuk arah 0° dan 180°.
Gambar 4.16 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Pitch
Gerakan picth cenderung besar untuk heading arah head seas (μ = 0°) dan
following seas (μ = 180°). Untuk atau quartering seas (μ = 45° dan 135°) nilai
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
0 0.5 1 1.5 2 2.5
RA
O
frekwensi (ω)
RAO Roll
0 deg
45 deg
90 deg
135 deg
180 deg
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 0.5 1 1.5 2 2.5
RA
O
frekwensi (ω)
RAO Pitch
0 deg
45 deg
90 deg
135 deg
180 deg
62
amplitude respon menurun dibandingkan arah head seas. Sedangkan untuk arah
beam seas (μ = 90°) gerakan pitch sangat kecil bahkan tidak terjadi sama sekali.
Gambar 4.17 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Yaw
Gerakan yaw besar untuk heading arah quartening seas 45º dan 135º. Dan yaw
sway hampir tidak terjadi untuk arah datang gelombang lainnya.
4.3.3. Perhitungan Gaya Inersia
FPSO yang terkena beban gelombang akan mengalami percepatan pada setiap
gerakannya. Fasilitas module yang terdapat di atas FPSO juga mengalami
percepatan akibat gerakan FPSO, maka sesuai hukum Newton benda yang
mengalami percepatan memiliki gaya. FPSO mengalami gerak translasi dan rotasi
akibat beban gelombang. Untuk gerakan translasi, gaya inersia didapatkan dengan
persamaan 2.3.
F = m x a (2.3)
Dengan m adalah massa module yaitu 2361 MT. Contoh perhitungan untuk
percepatan pada gerakan surge:
F = 2361 MT x 0.254 m/s2
= 599.694 KN
-0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0 0.5 1 1.5 2 2.5
RA
O
frekwensi (ω)
RAO Yaw
0 deg
45 deg
90 deg
135 deg
180 deg
63
Untuk gerakan heave ada pengaruh dari gravitasi, maka gaya pada gerakan ini
didapatkan dengan menambahkan faktor gravitasi tersebut.
F = m (a+g) (4.3)
= 2361 MT (1.23 m/s2 + 9.81 m/s
2)
= 26065.44 KN
Maka didapatkan gaya untuk tiap gerakan translasi seperti ditunjukkan pada Tabel
4.15.
Tabel 4.15 Gaya Inersia Akibat Gerakan Translasi
Gaya inersia terbesar untuk gerakan translasi adalah untuk moda gerak heave
sebesar 26,065.44 KN, sedangkan gaya inersia terkecil terdapat pada moda gerak
surge sebesar 599.69 KN.
Sedangkan untuk gerakan rotasional, gaya inersia didapatkan dengan persamaan:
I = mr2 (4.4)
dengan,
I = Gaya Inersia (MT.m2)
m = Massa Module (MT)
r = Jari-jari girasi (m)
F = Iα (4.5)
dengan,
F = Momen Gaya (KN.m.rad)
I = Gaya Inersia (MT.m2)
r = Jari – jari girasi (m)
Jari-jari girasi r pada momen inersia digunakan untuk mentransformasi gerakan
rotasional FPSO terhadap module, r adalah jarak COG FPSO terhadap titik berat
module.
DoF
Surge 606.78 kN
Sway 1,839.22 kN
Heave 26,065.44 kN
Inertia Force
64
Gambar 4.18 digunakan untuk menentukan harga jari-jari girasi pada tiap moda
gerakan rotasional. Dengan mengetahui posisi COG dari FPSO dan COG module,
maka dapat ditentukan transformasi gaya dari COG FPSO ke COG module.
Dari Gambar 4.18, diketahui:
LCG = 142.5 m
VCG = 12.96 m
massa module = 2361 MT
x = 22.5 m
y = 16 m
z = 18.04 m
r roll = 24.61 m
r pitch = 29.26 m
r yaw = 27.61 m
Gambar 4.18 Posisi Module dari COG FPSO
z
Tampak Depan Tampak Atas
Tampak Samping
y
z r roll
r yaw
x
y
x
r pitch
CL
CL
65
Dengan menggunakan Persamaan 4.6 dan Persamaan 4.7, contoh perhitungan
untuk percepatan pada gerakan roll:
Gaya inersia I = mr2
= (2361/8) MT x 24.612
= 171,597.95 MT.m2
Momen Gaya F = Iα
= 171,597.95 MT.m2 x 2.782 rad/s
2
= 421,272.97 KN.m.rad
Maka nilai beban inersia untuk gerakan rotasional seperti pada Tabel 4.16.
Tabel 4.16 Gaya Inersia Akibat Gerakan Rotasional
Momen gaya terbesar untuk gerakan rotasional adalah untuk moda gerak roll
sebesar 3,979,091.86 KN.m.rad, sedangkan momen gaya terkecil terdapat pada
moda gerak yaw sebesar 601,090.53 KN.m.rad.
Pada pemodelan hidrodinamis dengan bantuan software MOSES selain dapat
dicari percepatan pada COG FPSO juga dapat dicari percepatan relatif dari COG
FPSO tersebut. Apabila dibandingkan antara hasil perhitungan percepatan pada
COG FPSO dan COG module didapatkan hasil dan selisih seperti pada Tabel
4.17.
Tabel 4.17 Perbandingan Perhitungan COG FPSO dan COG module
Dari hasil perhitungan antara COG FPSO dan COG module terdapat selisih antara
1% sampai dengan 9% pada gerakan rotasional.
DoF
Roll 171,597.95 MT.m2421,272.97 kN.m.rad
Pitch 245,452.98 MT.m2141,135.47 kN.m.rad
Yaw 224,959.03 MT.m260,963.90 kN.m.rad
Momen of ForceInertia Force
DoF cog fpso cog module % selisih
surge 606.78 547.75 9.73%
sway 1,839.22 1,690.48 8.09%
heave 26,065.44 26,379.45 1.20%
Inertia Force in Translasional Motion (kN)
66
Gambar 4.19 Konfigurasi Struktur Penyangga
Gas processing module FPSO Belanak memiliki 8 buah struktur penyangga
dengan konfigurasi seperti pada Gambar 4.19. Jarak stuktur penyangga paling
dekat dengan centre line FPSO adalah 5 m. Sedangkan ukuran dari gas processing
module sendiri adalah 22 x 30 m. Struktur penyangga terdapat pada frame 30 dan
33 dari FPSO.
Dengan jarak titik massa antara COG FPSO dengan titik massa tiap struktur
penyangga berbeda satu sama lain. Antara leg 1 sampai dengan leg 8 akan
mempunyai reaksi yang berbeda dalam menerima beban akibat gerakan FPSO itu
sendiri. Oleh karena itu dilakukan perhitungan respon beban pada tiap kaki untuk
mengetahui sturktur penyangga yang menerima beban paling kritis.
Tabel 4.18 Beban Pada Sturktur Penyangga
Gaya Aksial (kN)
Fz Fx Fy Mx My F resultan M resultan
leg1 21200.75 5421.57 21200.75 53001.87 13553.94 31840.33 54707.47
leg2 19045.12 5157.39 19045.12 47612.79 12893.47 28988.62 49327.68
leg3 15734.20 4710.30 15734.20 39335.50 11775.74 24644.24 41060.32
leg4 14810.96 4569.00 14810.96 37027.39 11422.50 23445.76 38749.21
leg5 21736.54 7101.60 21736.54 54341.34 17754.00 33348.01 57168.05
leg6 19649.86 6906.37 19649.86 49124.64 17265.92 30573.69 52070.55
leg7 16496.24 6616.57 16496.24 41240.60 16496.24 26397.88 44417.48
leg8 15636.78 6539.06 15636.78 39091.94 16347.65 25264.58 42372.46
Gaya Geser (kN) Momen Geser (kN.m) Resultan
67
Perhitungan nilai beban yang bekerja pada tiap struktur penyangga terdapat pada
Tabel 4.18. Perhitungan digunakan dengan bantuan software MOSES untuk
mendapatkan percepatan yang terjadi pada tiap struktur penyangga. Dari hasil
perhitungan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa struktur penyangga yang
menerima beban paling besar adalah pada leg 5 seperti pada Gambar 4.20.
Gambar 4.20 Beban Pada Sturktur Penyangga
Pada Gambar 4.20 diketahui nilai beban yang bekerja pada tiap struktur
penyangga akibat rotational motion dari FPSO. Respon akibat gerakan roll
memiliki pengaruh paling besar dari pada respon gerakan rotasional lainnya. Leg
5 memiliki respon paling besar dikarenakan memiliki jarak dari COG FPSO lebih
jauh dari pada leg yang lainnya. Pada respon gerakan translasi pada tiap struktur
penyangga mempunyai percepatan yang sama, sehingga respon beban juga
memiliki nilai yang identik.
Dikarenakan struktur penyangga pada leg 5 mempunyai respon beban paling kritis
diantara struktur penyangga yang lain maka analisa dilakukan pada struktur
penyangga terkritis tersebut. Dengan asumsi apabila struktur penyangga terkritis
sudah aman dari beban yang bekerja, maka struktur penyangga lainnya diangga
aman dari beban.
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
leg1 leg2 leg3 leg4 leg5 leg6 leg7 leg8
Res
po
n B
eban
F resultan
M resultan
68
4.3.4. Perhitungan Beban Angin
Untuk mengetahui beban angin yang bekerja pada struktur penyangga module,
maka dilakukan perhitungan kecepatan angin, gaya angin, dan momen angin.
4.3.4.1. Kecepatan Angin
Data kecepatan angin yang diketahui yaitu data kecepatan angin awal (Vo) dari
16mata angin pada ketinggian 10m di wilayah Natuna untuk kondisi operasi dan
kondisi badai, yaitu kecepatan angin 1 tahunan dan 10 tahunan untuk kondisi
operasi, dan 100 tahunan untuk kondisi badai, serta intensitas kecepatan angin
selama sepuluh tahun untuk 8 mata angin pada elevasi 2 m.
Tabel 4.19 Intensitas Kejadian Angin 2 Tahun
Dari Tabel 4.19 di atas, didapatkan kecepatan angin rata-ratanya yaitu 2.15 m/s.
Angin dominan berhembus dari arah N dengan presentase sebesar 13.70%. Data
angin tersebut dapat digambarkan pada diagram mawar angin atau wind rose
seperti pada Gambar 4.21
Dari wind rose dapat diketahui bahwa arah angin dominan dari arah utara. Dan
apabila kita lihat posisi FPSO sebenarnya seperti ditunjukkan pada Gambar 4.22,
maka arah datangnya angin berada pada arah 45o FPSO.
CALM 1 - 3 4 - 6 7 - 9 10 - 12 13 - 15 >16
406 0 0 0 0 0 0 406 55.62%
N 0 0 8 30 37 20 5 100 13.70%
NW 0 0 1 5 1 0 0 7 0.96%
W 0 1 7 15 5 0 0 28 3.84%
SW 0 3 2 13 7 2 0 27 3.70%
S 0 0 7 26 19 3 1 56 7.67%
SE 0 0 3 10 3 0 0 16 2.19%
E 0 1 13 14 1 0 0 29 3.97%
NE 0 0 20 31 6 4 0 61 8.36%
406 5 61 144 79 29 6 730 100%
JumlahKECEPATAN ANGIN (knots) (nominal)
ARAH Persntase
69
Gambar 4.21 Wind Rose Perairan Natuna
Gambar 4.22 Posisi FPSO Belanak Terhadap Mata Angin
70
Kecepatan angin (V) pada elevasi y dihitung dengan persamaan:
71
1010
yVV
(4.6)
Karena data kecepatan angin awal (Vo) yang diketahui ialah kecepatan angin pada
elevasi 2 m, maka kecepatan angin pada elevasi 10 m dapat diketahui dengan
persamaan:
71
10
10
hh
VV h
(4.7)
Maka untuk menghitung nilsi kecepatan angin pada elevasi 10 m digunakan
Persamaan 4.9.
71
102
15.210V
V10 = 2.70 m/s
Kecepatan angin yang akan dicari adalah, kecepatan angin pada elevasi 38 m, 50
m, dan 53 m dari geladak pada kondisi Vessel Draft Light yaitu dengan draft 16.2
m dan freeboard 9.8 m.
Dengan menggunakan Persamaan 4.8, contoh perhitungan V pada elevasi 28.8 m
dari SWL:
smV
V
14.388.270.2
10
8.2870.2
71
71
Hasil yang didapat dari perhitungan kecepatan angin pada elevasi y seperti pada
Tabel 4.20
Tabel 4.20 Kecepatan Angin pada Tiap Elevasi
Nilai kecepatan angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi
maka kecepatan angin juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan
28.80 34.80 36.30
3.14 3.23 3.25
velocity
Velocity on elevation (m/s)
Height (m)
71
kecepatan angin terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi.
Besarnya kecepatan angin pada elevasi 36.30 m adalah 3.25 m/s.
4.3.4.2. Gaya Angin
Setelah didapat kecepatan angin untuk semua arah untuk ketinggian yang
ditentukan, kemudian dilakukan perhitungan gaya angin. Perhitungan dilakukan
pada cerobong module dengan pertimbangan struktur tersebut memiliki ketinggian
lebih di mana menyebabkan gaya angin menjadi besar. Selain dilakukan
perhitungan pada cerobong, juga dilakukan perhitungan pada frame module yang
terdapat equipment di dalamnya. Perhitungan beban angin mengacu pada DnV-
RP-C205 dan ABS MODU.
1. Beban Angin Pada Cerobong Silinder (DnV, 2007)
Pada gass processing module terdapat tiga buah cerobong dengan ketinggian
masing-masing 38m, 50m, 53m. Perhitungan beban angin menggunakan
Persamaan 2.7
sinSqCFw (2.7)
dengan:
Fw = gaya angin (N)
C = koefisien bentuk
q = tekanan angin (kg/m2.s
2)
S = area yang terkena angin (m2)
α = sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member. (deg)
Untuk mendapatkan tekanan angin q, digunakan Persamaan 2.9:
2
,2
1zTaUq (2.9)
Dengan menggunakan Persamaan 2.9, contoh perhitungan untuk nilai tekanan
angin q pada elevasi 28.8 m:
q = ½ x 1.226 kg/m3 x 3.14
2 m/s
2
= 6.06 kg/m2.s
2
Maka, nilai q pada tiap elevasi disajikan pada Tabel 4.21.
72
Tabel 4.21 Nilai q Pada Tiap Elevasi
Nilai tekanan angin “q” berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi
elevasi maka tekanan angin “q” juga semakin besar. Dari hasil perhitungan
didapatkan tekanan angin “q” terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi
tertinggi. Besarnya tekanan angin pada elevasi 36.30 m adalah 6.47 kg/m2.s
2.
Untuk mendapatkan nilai koefisien bentuk, terlebih daahulu dilakukan
perhitungan nilai Reynold Number Re dengan Persamaan 2.8.
a
zT
e
DUR
,
(2.11)
Dengan:
D = diameter (m)
UTz = kecepatan angin (m/s)
va = viskositas kinematis udara (1.55 x 10-5
pada suhu 25o C)
Dengan menggunakan Persamaan 2.11, contoh perhitungan untuk nilai Reynold
Number Re pada elevasi 36.3 m:
smx
smmRe
/1055.1
/14.35.725
= 1.57 x 106
Maka, nilai Re pada tiap elevasi dengan diameter cerobong 7.5 m seperti pada
Tabel 4.22.
Tabel 4.22 Nilai Re pada Tiap Elevasi
Nilai Re berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi maka Re
juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan kecepatan angin terbesar
didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. Besarnya Re pada elevasi
36.30 m adalah 1.57 x 106.
28.80 34.80 36.30
6.06 6.39 6.47
q
nilai q
Height (m)
28.80 34.80 36.30
1.52E+06 1.56E+06 1.57E+06
Height (m)Re
nilai Re
73
DnV-RP-C205 memberikan nilai koefisien bentuk efektif berdasarkan nilai
Reynold Number seperti Tabel 2.3.
Pada gas processing module, nilai kerapatan (solidity ratio) dipilih 0.75 dengan
pertimbangan pada module tersebut terdapat banyak equipment sehingga angin
masih bisa melewati module.
Setelah didapatkan nilai Re dan solidity ratio, maka didapatkan nilai koefisien
bentuk pada tiap cerobong seperti pada Tabel 4.23.
Tabel 4.23 Nilai Koefisien Bentuk Untuk Efektif Tiap Elevasi
Nilai koefisien bentuk adalah sama yaitu 1.4, karena memiliki bentuk yang sama
dan nilai Re yang sama pula.
Ada 3 buah cerobong dengan elevasi berbeda. Besarnya area yang terkena angin
untuk tiap cerobong dapat digunakan Persamaan 4.10.
S = D x L (4.8)
dengan:
S = Luas area terkena angin (m2)
D = Diameter Silinder (m)
L = Tinggi Silinder (m)
Maka besarnya area tiap silinder seperti pada Tabel 4.24.
Tabel.24 Luas Area Terkena Beban Angin
Besarnya area yang terkena angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin
tinggi elevasi maka besarnya area yang terkena angin juga semakin besar. Dari
hasil perhitungan didapatkan besarnya area yang terkena angin terbesar
didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. besarnya area yang terkena
angin pada elevasi 36.30 m adalah 322.5 m2.
28.80 34.80 36.30
1.4 1.4 1.4
Ce
nilai Ce
Height (m)
28.80 34.80 36.30
210 300 322.5
S
Luasan Terkena Beban Angin (m2)
Height (m)
74
Setelah didapat area dari masing-masing silinder yang terkena angin, dapat
dilakukan perhitungan gaya angin. Dengan sudut datang angin adalah 45o, maka
besarnya gaya angin untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.25.
Tabel 4.25 Besarnya Gaya Angin Untuk Tiap Elevasi
Besarnya gaya angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi
maka besarnya gaya angin juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan
besarnya gaya angin terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi.
Besarnya gaya angin pada elevasi 36.30 m adalah 2065.66 N.
2. Beban Angin Pada Frame Module (DnV, 2007)
Pada module frame dipengaruhi oleh solidification effect Φ, maka untuk mencari
gaya angin digunakan Persamaan 2.8.
dengan,
Fw,sol = Gaya angin (N)
Ce = Koefisien bentuk efektif
q = tekanan angin
S = area yang terkena gaya angin (m2)
Φ = solidity ratio
α = sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member. (deg)
Dimensi gas processing module, diketahui:
L module = 22 m
B module = 30 m
H module = 10 m
Pengertian dari solidification effect Φ adalah perbandingan antara luasan area
solid yang terkena beban angin dengan luasan frame searah dengan arah
datangnya angin. Untuk mendapatkan beban ekstrem maka kerapatan equipment
pada module dianggap flat, sehingga nilai solidification effect Φ adalah:
28.80 34.80 36.30
1259.01 1898.51 2065.66
wind force
wind force on elevation (N)
Height (m)
75
A module = 22 x 10 = 220 m2
A equipment = 22 x 10 = 220 m2
maka,
Φ = 220/220
= 1
Dengan memasukkan nilai Φ pada Tabel 2.3 didapatkan nilai koefisien efektif Ce,
yaitu:
Ce = 2.0
Untuk mendapatkan tekanan angin q, digunakan Persamaan 2.9:
zTaUq ,2
1
(2.9)
Ketinggian module terdapat pada elevasi 14.8 dari SWL, dengan Persamaan 4.8
maka kecepatan angin pada elevasi tersebut adalah:
smV
V
86.248.170.2
10
8.1470.2
71
71
Maka nilai tekanan angin q adalah:
q = ½ x 1.226 kg/m3 x 2.86 m/s
2
= 5.01
Besarnya area yang terkena beban angin (S) adalah:
A = 22 x 10 = 220 m2
Maka besarnya beban angin pada module, dengan Persamaan 2.8 dan sudut datang
angin 45o adalah:
Fw,sol = 2.0 x 5.61 x 220 x 1 x sin 45o
= 2124.34 N
Hembusan angin dominan dari arah NE atau bagian depan FPSO. Gas Processing
Module terletak di dekat bagian tengah FPSO, dengan kata lain angin tidak
langsung mengenai frame module tersebut. Karena frame gas processing module
berada pada dua atau lebih frame paralel satu sama lain berada dibelakang arah
76
angin, maka perlu diperhakikan nilai shielding effect. Untuk mencari beban angin
digunakan Persamaan 2.12.
Nilai shielding factor η didapatkan dari Tabel 2.4
diketahui,
Φ = 0.75
centre-centre of frame = 15 m
frame dimension = 30 m
a = 1.6 (dianggap flat untuk mendapatkan beban ekstrem)
maka,
α = 15/30 = 0.5
β = Φ x β = 0.75 x 1.6 = 1.2
jadi nilai shielding factor η adalah:
η = 0.71
Jadi nilai beban angin yang bekerja pada Gas Processing Module dengan
mempertimbangkan shielding factor adalah:
Fw,SHI = 2124.34 x 0.71
= 1508.28 N
3. Beban Angin Pada Cerobong Silinder (ABS, 2001)
Pada gass processing module terdapat tiga buah cerobong dengan ketinggian
masing-masing 38m, 50m, 53m. Freeboard FPSO adalah 12.1m, maka elevasi tiap
cerobong dari SWL secara berurutan adalah 31.1m, 37.1m, 38.6m.
F = 0.5 ρ Vk2 Ch Cs A
dengan,
ρ = berat jenis udara (1.22 kg/m3)
Vk = kecepatan angin (m/s)
Ch = height coefficient
Cs = shape coefficient
A = Luas permukaan yang terkena beban angin (m2)
77
Nilai Ch untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.5. Maka
didapatkan nilai Ch untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.26.
Tabel 4.26 Nilai Ch pada Tiap Elevasi
Nilai Ch pada elevasi 28.80 adalah 1.3, sedangkan pada elevasi 34.80 dan 36.30
mempunyai nilai Ch yang sama yaitu 1.37 karena terdapat dalam satu range
ketinggian yang telah ditentukan oleh ABS (2001).
Nilai Cs untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.6. Maka
didapatkan nilai Cs untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.26
Tabel 4.27 Nilai Cs pada Tiap Elevasi
Nilai Cs pada tiap elevasi adalah sama karena memiliki bentuk yang sejenis pada
tiap cerobong.
Luasan permukaan terkena beban angin (A) didapatkan dengan:
A = D x L (4.9)
Untuk cerobong pada elevasi 28.8, panjang cerobong silinder yang terkena angin
didapatkan dengan Persamaan 4.12.
L = Hcyl – Hmodule (4.10)
= 38 – 10
= 28 m
Jadi dengan menggunakan Persamaan 4.11 didapatkan luas permukaan terkena
beban angin (A) untuk cerobong silinder elevasi 28.8 adalah:
A = 7.5 x 28
= 210 m2
Luasan untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.28.
28.80 34.80 36.30
1.3 1.37 1.37
Ch
Ch
Height (m)
28.80 34.80 36.30
0.5 0.5 0.5
Cs
Cs
Height (m)
78
Tabel 4.28 Luasan pada Tiap Elevasi
Besarnya area yang terkena angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin
tinggi elevasi maka besarnya area yang terkena angin juga semakin besar. Dari
hasil perhitungan didapatkan besarnya area yang terkena angin terbesar
didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi. besarnya area yang terkena
angin pada elevasi 36.30 m dari SWL adalah 322.5 m2.
Jadi beban angin untuk tiap elevasi seperti pada Tabel 4.29.
Tabel 4.29 Beban Angin pada Tiap Elevasi
Besarnya gaya angin berbanding lurus dengan ketinggian, semakin tinggi elevasi
maka besarnya gaya angin juga semakin besar. Dari hasil perhitungan didapatkan
besarnya gaya angin terbesar didapatkan pada cerobong dengan elevasi tertinggi.
Besarnya gaya angin pada elevasi 36.30 m adalah 1422.30 N.
4. Beban Angin Pada Frame Module (ABS, 2001)
Beban angin didapatkan dengan menggunakan Persamaan (2.13)
F = 0.5 ρ Vk2 Ch Cs A
diketahui,
L module = 22 m
B module = 30 m
H module = 10 m
maka luasan terkena angin (A)
A = 220 m2
Elevasi module = (Hmodule / 2 )+ Freeboard FPSO
= 10/2 + 9.8
28.80 34.80 36.30
210.0 300.0 322.5
A
A
Height (m)
28.80 34.80 36.30
822.6 1307.3 1422.3
F
F
Height (m)
79
= 14.8 m
Kecepatan angin pada elevasi 14.8 m dari SWL adalah
smV
V
86.248.170.2
10
8.1470.2
71
71
Nilai Ch dan Cs dapat diperoleh dengan Tebel 2.5 dan 2.6
Ch = 1
Cs = 1
Jadi nilai beban angin pada module frame adalah:
F = 0.5 x 1.22 x 2.862 x 1 x 1 x 220
= 1494.79 N
5. Perbandingan Beban Angin DnV dan ABS
Dari hasil perhitungan diatas didapatkan hasil sebagai berikut:
DnV
Fw cyl = 2065.66 N
Fw module = 1508.28 N
ABS
F cyl = 1422.30 N
F module = 1494.79 N
Dari hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa dengan menggunakan metode
yang diberikan oleh DnV didapatkan beban lebih besar dari pada ABS. Oleh
karena itu pada kajian Tugas Akhir ini digunakan hasil perhitungan menggunakan
metode DnV.
4.3.4.3. Momen Angin
Dari gaya angin dapat dicari momen yang terjadi pada sambungan module dengan
geladak akibat gaya angin. Momen dicari dengan cara mengalikan gaya dengan
panjang lengan. Panjang lengan adalah jarak antara titik pada elevasi tertentu yang
terkena gaya angin dengan titik pada module didekat sambungan dengan geladak
dimana dilakukan perhitungan.
80
Pada gas processing module gaya angin bekerja pada dua bagian, yaitu cerobong
silinder dan frame module. Maka momen angin diidapatkan dengan menggunakan
Persamaan 4.13.
M = (F x l)cyl + (F x l)mod (4.11)
Untuk silinder panjang lengannya antara lain 38 m, 50 m, dan 53 m. Perhitungan
untuk momen pada lengan terpanjang yaitu 53 m dikarenakan memiliki momen
paling besar.
M = (2440.83 x 53) + (1240.33 x 10)
= 129363.75 + 12403.27
= 141767.02 N.m
Hasil yang didapat kemudian digunakan sebagai input untuk software ANSYS
11.0.
4.3.5. Perhitungan Beban Operasional
Dengan asumsi titik berat module tepat berada di tengah seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.23, maka perhitungan beban operasional dapat dilakukan. Titik berat
diambil tepat ditengah karena keterbatasan data dari Gas Processing Module itu
sendiri.
Gambar 4.23 Beban Operasional
Massa total dari gas processing module adalah 2361MT. Untuk mendapatkan
berat operasional digunakan persamaan 2.14
W = m x g (2.12)
W = 2361 MT x 9.81 m/s2 = 23161.41 kN
W = m x g
81
4.3.6. Perhitungan Ultimate Strength
Untuk mengetahui kekuatan ultimate struktur terhadap beban yang bekerja maka
dilakukan analisa pushover yaitu pembebanan dinaikkan sampai struktur tersebut
mengalami tegangan melewati nilai UTS, yaitu 400 MPa.
ABS (2005) menyatakan nilai basic utilization factor untuk kondisi lingkungan
ekstrem 100 tahunan adalah 0.8. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.30.
Tabel 4.30 Basic Utilization Factors (ABS, 2005)
Load Conditions Enviromental Events Basic Utilization
Factors
Loadout Calm 0.60
Ocean Transit 10-year-return storm for the selected
route condition (Owner specified)
0.8
Field Transit 1-year-return storm for selected route
condition (Owner specified)
0.8
Deck Installation Calm 0.6
In-place Design Operating 1-year-return storm (minimum) 0.60
In-place Design Enviromental 100-year-return storm at specific site 0.8
In-place Damaged 1-year return storm 0.80
Oleh karena itu, struktur dianggap pada kondisi aman apabila tegangan yang
terjadi tidak melebihi 0.8 x UTS = 320 MPa.
Pada pembebanan ekstrem aktual combine load meliputi beban gelombang, angin,
dan operasional, didapatkan nilai tegangan maksimum yang terjadi adalah 96
MPa.
Pada saat beban dinaikkan 2 kali dari nilai ekstrem aktual combine load, tegangan
maksimum yang dialami struktur adalah 192 MPa atau dengan kata lain masih
belum mencapai nilai UTS. Tegangan maksimum baru melewati nilai UTS pada
saat pembebanan dinaikkan 7 kali dari ekstrem aktual combine load , nilai
tegangan maksimum yang terjadi adalah 424 MPa. Nilai peningkatan beban dan
tegangan maksimum yang terjadi dapat kita lihat pada Tabel 4.31.
82
Tabel 4.31 Load Factor
Gambar 4.24 Grafik Pushover
Dari Gambar 4.24 dapat dilihat pada kenaikan beban sampai 3.5 kali, tegangan
maksimum yang terjadi sudah melewati batas tegangan ijin. Tegangan maksimum
yang terjadi adalah 337 MPa. Jenis kegagalan yang terjadi adalah kegagalan
plastis, hal ini dapat diketahui dari sifat material baja A36 di mana material ini
memiliki σy 250 MPa. Ketidak linearan kurva menunjukkan sifat material yang
tidak linear.
increment σmax
factor (Mpa)
1 96
2 192
3 289
3.5 337
4 326
5 369
6 401
7 424
83
Gambar 4.25 Hasil Running ANSYS11
Hasil pemodelan dengan software ANSYS seperti pada Gambar 4.25, sebaran
tegangan terjadi pada sistem penyangga module. Tegangan terdistribusi pada
masing-masing bagian struktur, mulai dari geladak, stifner, bracket, sampai
struktur penyangga itu sendiri.
Diantara distribusi tegangan yang terjadi pada sistem penyangga module, terdapat
tegangan maksimum yang nilainya paling besar diantara tegangan lainnya. Dari
hasil pemodelan, diketahui bahwa lokasi tegangan maksimum pada saat kondisi
pembebanan ekstrem dan pada saat kondisi kegagalan puncak adalah berbeda
seperti ditunjukkan pada Gambar 4.26 dan Gambar 4.27.
1
MN
MX
X
Y
Z
MODULE_SUPPORT
102916.472E+08
.944E+08.142E+09
.189E+09.236E+09
.283E+09.330E+09
.377E+09.424E+09
JUN 27 2010
22:14:55
NODAL SOLUTION
STEP=1
SUB =9
TIME=1
SEQV (AVG)
DMX =.010707
SMN =102916
SMX =.424E+09
84
Gambar 4.26 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ultimate
Pada saat struktur diberi pembebanan puncak, tegangan maksimum yang terjadi
sebesar 424 MPa. Tegangan maksimum yang terjadi sudah melebihi nilai σult dari
material sebesar 400 MPa, maka struktur tersebut mengalami deformasi plastis.
Gambar 4.27 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ekstrem
Tegangan yang terjadi pada struktur saat terjadi kondisi pembebanan ekstrem
adalah sebesar 96 MPa. Lokasi tegangan maksimum terjadi di tempat yang
1
MX
X
Y
Z
MODULE_SUPPORT
102916.472E+08
.944E+08.142E+09
.189E+09.236E+09
.283E+09.330E+09
.377E+09.424E+09
JUN 30 2010
13:05:00
NODAL SOLUTION
STEP=1
SUB =9
TIME=1
SEQV (AVG)
DMX =.010707
SMN =102916
SMX =.424E+09
1
MX
X
Y
Z
MODULE_SUPPORT
25933.107E+08
.214E+08.321E+08
.427E+08.534E+08
.641E+08.748E+08
.854E+08.961E+08
JUL 5 2010
08:53:23
NODAL SOLUTION
STEP=1
SUB =1
TIME=1
SEQV (AVG)
DMX =.705E-03
SMN =25933
SMX =.961E+08
85
berbeda pada saat terjadinya kegagalan ultimate. Perbedaan lokasi tegangan
maksimum yang terjadi diakibatkan oleh bentuk geometri dari struktur penyangga
serta material properties struktur tersebut.
Dengan mempertimbangkan nilai basic utilization factor yang diberikan oleh
ABS rules, maka dalam kondisi aman karena pada kondisi ekstrem tegangan yang
terjadi adalah 96 MPa. Sementara tegangan ijin adalah 0.8 x UTS = 320 MPa.
Dari hasil analisa pushover dan bantuan software ANSYS11 dapat diketahui
bahwa struktur mengalami kegagalan ultimate jenis plastis deformation akibat
beban ekstrem yang bekerja pada penegar di atas geladak FPSO seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.28.
Gambar 4.28 Deformasi Plastis
Bentuk deformasi platis seperti ditunjukkan pada Gambar 4.28 terjadi deformasi
kearah samping dari FPSO. Apabila dilihat lebih seksama, desain dari sistem
struktur penyangga sudah tepat. Dapat dilihat bahwa struktur penyangga
diletakkan pada bulkhead sehingga dapat menambah kekakuan dari struktur
penyangga tersebut. Kemudian stiffner di atas geladak juaga diberi penguat
tambahan, hal ini dimaksudkan agar mampu menahan beban yang bekerja.
86
4.3.7. Perhitungan Keandalan
Analisa keandalan dilakukan dua kali, pertama dilakukan pada lokasi tegangan
ekstrem (lokal) dan yang kedua pada struktur sistem pondasi (global). Keandalan
pada kondisi ekstrem dihitung pada tiap increment beban pushover, sehingga akan
diketahui keandalan pada kondisi ultimate failure.
Perhitungan keandalan dilakukan dengan menggunakan metode simulasi monte
carlo dengan moda kegagalan:
MK = σult – σext (4.12)
dengan:
MK = Moda Kegagalan
σult = tegangan ultimate
σext = tegangan ekstrem
Struktur akan gagal jika nilai MK < 0, sebaliknya struktur dikatakan sukses
apabila MK > 0. Nilai L (Load) yang bekerja adalah tegangan ekstrem. Sedangkan
nilai R (Resistance) merupakan UTS dikalikan utilization factor yang diberikan
oleh ABS (2005).
Dalam konsep ini perancang dapat menggambarkan suatu sistem dengan segala
hal yang mempengaruhi atau mengakibatkan kerusakan pada sistem tersebut
misalnya kondisi pembebanan, ketahanan struktur, kondisi lingkungan yang lebih
mendekati keadaan yang sebenarnya karena melibatkan aspek ketidakpastian
dalam analisanya. Dalam analisa keandalan sistem struktural maka perlu untuk
mendefinisikan ketidakpastian yang diterima oleh struktur.
Pada analisa keandalan dalam studi kasus ini, ketidakpastian pemodelan perlu
dipertimbangkan. Pemodelan dilakukan dengan metode elemen hingga, oleh
karena itu parameter ketidakpastian yang dipertimbagkan antara lain area meshing
dan panjang meshing, hal ini mempengaruhi jarak node dari sumbu acuan seperti
ditunjukkan pada Tabel 4.32.
87
Tabel 4.32 Parameter Ketidakpastian Pemodelan FEM
Dengan mengetahui parameter ketidakpastian maka kita dapat menentukan
random variable pada persamaan moda kegagalan. Random variable yang
digunakan adalah nilai σmax dari output pemodelan.
Simulasi Monte Carlo dilakukan dengan tabulasi agar lebih mudah seperti
terdapat pada Lampiran E. Untuk memperoleh hasil yang akurat, maka simulasi
delakukan sebanyak 10,000 kali. Untuk menentukan akurasi dari jumlah simulasi,
maka dilakukan pencatatan nilai Pof pada setiap jumlah tertentu sehingga
didapatkan nilai keandalan yang cenderung konstan.
Setelah dilakukan simulasi monte carlo didapatkan nilai keandalan load increment
factor beban seperti pada Tabel 4.33. Pada kenaikan beban 2 kali nilai keandalan
adalah 1.0. Sedangkan pada kenaikan beban 3 kali ke atas, nilai keandalan
menurun, pada kenaikan beban 3 kali nilai keandalan 0.8482. Pada kenaikan
beban 7 kali, nilai keandalan mendekati nilai nol yaitu 0.0074.
Tabel 4.33 Nilai Keandalan
Dengan menggunakan metode yang sama keandalan pada sistem struktur
penyangga, dilakukan perhitungan keandalan. Dari 10,000 kali simulasi
didapatkan hasil sebagai berikut:
Σsucces = 10,000
Σfail = 0
parameter distribusi mean std dev cov
area lognormal 0.33708 0.17051 50.59
lines weibull 0.48144 0.30188 62.7
load σmax Pof K
factor (Mpa)
1 96 0 1
2 192 0 1
3 289 0.151 0.849
3.5 337 0.6943 0.3057
4 326 0.5617 0.4383
5 369 0.9131 0.0869
6 401 0.9795 0.0205
7 424 0.9936 0.0064
88
Pof = 0
K = 1
Jadi keandalan sistem pondasi (global) K = 1.0
89
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Dari hasil analisa yang telah dilakukan terhadap scantling gas processing module
FPSO Belanak dengan berat module 2361 MT didapatkan kesimpulan:
1. Pada kondisi lingkungan ekstrem, yang dipengaruhi oleh beban angin,
gelombang, dan operasional respon maksimum pada struktur yang sebenarnya
terjadi adalah σmax = 96 MPa, artinya struktur tidak mengalami kegagalan.
Harga maksimal ini masih jauh di bawah kekuatan ultimate struktur yang
sebesar 400 MPa.
2. Sehubungan hasil pada butir 1), dan setelah dilakukan analisis keandalan
dengan metode Monte Carlo diperoleh keandalan scantling support structure
system FPSO Belanak terhadap beban ekstrem adalah K=1.0.
3. Untuk memperoleh indikasi tingkat kegagalan maka dilakukan analisis
pushover dengan peningkatan interval beban sampai dengan 0.8 x σult material
(kriteria ABS) yaitu 320 MPa. Kegagalan terjadi pada sekitar 3 kali
pembebanan kondisi ekstrem lingkungan. Dengan demikian kegagalan yang
terjadi adalah kegagalan plastis dengan keandalan K=0.8482. Oleh karena itu,
moda kegagalan yang terjadi pada struktur adalah deformasi plastis.
4. Untuk memperoleh indikasi tingkat kegagalan yang lebih tinggi lagi maka
dilanjutkan analisis pushover dengan peningkatan interval beban sampai
dengan σult material yaitu 400 MPa. Kegagalan terjadi pada sekitar 7 kali
pembebanan kondisi ektrem lingkungan, kegagalan yang terjadi adalah
kegagalan plastis dengan keandalan K=0.0074. Oleh karena itu, moda
kegagalan yang terjadi pada struktur adalah deformasi plastis.
5.2. SARAN
Saran yang dapat diberikan dari kajian Tugas Akhir ini adalah:
1. Daerah paling kritis pada kondisi ekstrem terdapat pada struktur penegar
support structure di atas geladak, sehingga daerah tersebut perlu mendapatkan
perhatian lebih pada saat inspeksi.
90
2. Untuk kajian tugas akhir selanjutnya, struktur module juga perlu dimodelkan
sehingga didapatkan hasil lebih akurat. Sehingga dapat dibandingkan hasil
dari pendekatan pemodelan secara lokal pada dengan pemodelan keseluruhan.
91
DAFTAR PUSTAKA
ABS Rules For Building And Classing Mobile Offshore Drilling Units. 2001.
Part 3 – Hull Construction & Equipment. Houston.
ABS. 2005. Commentary on the Guide – Buckling and Ultinmate Strength
Assessment for Offshore Structures. Houston.
ABS. 2004. Guide For - Buckling and Ultinmate Strength Assessment for Offshore
Structures. Houston
Al-Obaid, Y. F. 1994. Automated Analysis of Topside Platform Hatch Covers
Subject To Drill Collar Impact. PAAET. Kuwait.
Ang, H. S. dan Tang, W. H. 1985. Probability Concepts In Engineering Planning
And Design. New York : John Wiley.
Ayyub, B.M. dan Gilberto F.M.S. 2001. Reliability-Based Methodology for Life
Prediction of Ship Structures.
Baker M.J. dan Wyatt,T.A, 1979. ”Methods of Reliability Analysis for Jacket
Platform”. Journal of Behaviour of Offshore Structures. London.
Battacharyya, R. 1978. Dynamic of Marine Vehicles. John Wiley and Sons Inc.,
New York.
Barltrop, N. dan Okan, N., 200. FPSO Bow Damage in steep waves. John Wiley
and Sons Inc. New York.
Brockenbrough, R. L. dan Merrit, F.S. 1978. Structural Steel Designer’s
Handbook. McGraw-Hill Inc., Pennsylvania.
Brynjoifsson, S and Leonard, J. W. 1987. Response of Guyed Offshore Towers to
Stochastic Loads: Time Domain vs. Frequency Domain. Oregon State
University. USA
Bunce, J. W. 1977. Analysis of The Interaction Between The Module Structures
and The Deck of an Offshore Oil Production Platform.Pergamon Ltd., Great
Britain.
Cameron, J et all. 1997. Ultimate Strength Analysis of Inland Tank Barges. USCG
Marine Safety Center.
Chakrabarti S. K. 2005. Handbook of Offshore Engineering Volume I. Offshore
Structure Analysis Inc. Planfield, Illinois, USA.
92
Das I. A. Khan, P. K. and Parmentier G. 2006, Ultimate Strength and Reliability
Analysis of a VLCC, 3rd
International ASRANet Colloquium, Glasgow.
Djatmiko, E. B., 2003, Fatigue Analysis, Kursus Singkat Offshore Structure
Design And Modelling, Surabaya.
DnV Recommended Practice C205. 2007. Enviromental Loads and Enviromental
Conditions. Norway.
Ewing, J. A. 1990. Wind, Wave and Current Data for the Design of Ships and
Offshore Structures. Elsevier Science Publishers Ltd. England.
Gregersen, E. M and Hagen O. 1989. Uncertain in Data For The Offshore
Environment. A.S Veritas Research. Norway.
Hagemeijer, P.M. 1990. Estimation of Drag/Inertia Parameters Using Time-
Domain Simulations and The Prediction of Extreme Response. Shell
Exploratie en Produktie Labolatorium. Nehterlands.
http://noladishu.blogspot.com/2007/06/mars-oil-and-engineering.html
http://www.jrayMcDermott.com/projects/Belanak-FPSO__90.asp
ISOSC. 2006. Ultimate strength. Nagasaki. Japan.
Martins, M.R. 2007. Inertial and hydrodynamic inertial loads on floating units.
University of Sao Paulo. Sao Paulo
McDermott, J. 2004. Belanak Natuna FPSO Technical Data. Jray McDermott.
Indonesia.
Murdjito, 2009. Presentasi Mata Kuliah Olah Gerak Bangunan Apung. Teknik
Kelautan ITS. Surabaya.
Naess, A., 1985, Fatigue Handbook Offshore Steel Structure, Trondheim.
Nguyen, T. D. 2009. Scantling Optimazition Ropax Ship. University of Liege.
O’Brein, D. P et all. 1993. Recent Developments in Offshore Rig/Platform
Evacuation. Memorial University of Newfoundland. Canada.
Palmer, A. C. 1997. Breakup of Firewall Between The B and C Modules of Piper
Alpha Platform-I. Analysis by Hand Calculation. University of Cambridge.
UK.
Philips, Conoco. 2002. Belanak Special Structures Module Supports Detail of
Support Type 1. Conoco Indonesia Inc. Ltd., Indonesia.
93
Rosati, L et all. 2007. Enchanced Solution Strategis for Ultimate Strength
Analysis of Composite Steel-Concentrate Sections Subject to Axial Force
and Biaxial Bending. University di Napoli Faderico II. Italy.
Rosyid, D.M. 2007. Pengantar Rekayasa Keandalan. Airlangga University Press.
Surabaya.
Shetty, N. K et all. 1998. Fire Safety Assessment and Optimal Design of Passive
Fire Protection for Offshore Structures. Elsevier Science Limited. Northern
Ireland.
UKOOA. 2002. Buckling and Ultinmate Strength Assessment for Offshore
Structures. Glasgow.
Wahyudi, Y. A. N., 2009, Analisis Fatigue dengan Spectral Analysis pada Crane
Pedestal Floating Production Storage and Offloading (FPSO) Belanak.
Jurusan Teknik Kelautan ITS. Surabaya.
Windergen, K V. 1994. Course and Strength of Accidental Explosions on
Offshore Installations. Christian Michelsen Research. Norway.
Zachary, S et all. 1998. Multivariance Extrapolation in the Offshore Environment.
Elsevier Science Ltd. England.
94
95
FPSO BELANAK
96
SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM
97
&dimen -save -dimen meters k-nts
&device -cecho y -mecho n -prim screen -secondary device
&title Belanak
$
&set demo = .false.
&MACRO CETAK NAMES
&SELEC :N -SEL %NAMES
&IF %DEMO &THEN
&DEVICE -PRIMARY SCREEN
&SUBTITLE %SUBT TAMPAK ISOMETRI
&PICT ISO -parent :N
&LOCAL DUM = &GET(YES/NO )
&IF &STRING(MATCH %DUM% YES) &THEN
&ENDIF
&SUBTITLE %SUBT TAMPAK ATAS
&PICT TOP
&LOCAL DUM = &GET(YES/NO )
&IF &STRING(MATCH %DUM% YES) &THEN
&ENDIF
&SUBTITLE %SUBT TAMPAK DEPAN
&PICT BOW
&LOCAL DUM = &GET(YES/NO )
&IF &STRING(MATCH %DUM% YES) &THEN
&ENDIF
&SUBTITLE %SUBT TAMPAK SAMPING
&PICT STARB
&LOCAL DUM = &GET(YES/NO )
&IF &STRING(MATCH %DUM% YES) &THEN
&ENDIF
&ELSE
&DEVICE -PRIMARY DEVICE
&SUBTITLE %SUBT TAMPAK ISOMETRI
&PICT ISO -parent :N
&SUBTITLE %SUBT TAMPAK ATAS
&PICT TOP
&SUBTITLE %SUBT TAMPAK DEPAN
&PICT BOW
&SUBTITLE %SUBT TAMPAK SAMPING
&PICT STARB
&ENDIF
&ENDMACRO
$
&surface
&set lft = 1.
&set bft = 1.
&set hft = 1.
block Belanak -location 0 0 0
PLANE 0.000*%lft% -cart 0.000*%bft% 27.000*%hft% \
4.750*%bft% 27.000*%hft% \
14.000*%bft% 26.619*%hft%
PLANE 4.833*%lft% -cart 0.000*%bft% 18.000*%hft% \
14.000*%bft% 18.000*%hft% \
18.603*%bft% 26.429*%hft%
PLANE 14.500*%lft% -cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \
14.000*%bft% 0.000*%hft% \
28.228*%bft% 26.032*%hft%
PLANE 15.287*%lft% -cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \
14.801*%bft% 0.000*%hft% \
29.000*%bft% 26.000*%hft%
PLANE 29.250*%lft% 75.000*%lft% 142.500*%lft% 210.000*%lft%
255.750*%lft% \
-cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \
26.470*%bft% 0.000*%hft% \
27.125*%bft% 0.086*%hft% \
27.735*%bft% 0.339*%hft% \
28.259*%bft% 0.741*%hft% \
28.661*%bft% 1.265*%hft% \
28.914*%bft% 1.875*%hft% \
29.000*%bft% 2.530*%hft% \
29.000*%bft% 26.000*%hft%
PLANE 269.713*%lft% -cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \
14.801*%bft% 0.000*%hft% \
29.000*%bft% 26.000*%hft%
PLANE 270.500*%lft% -cart 0.000*%bft% 0.000*%hft% \
98
14.000*%bft% 0.000*%hft% \
28.228*%bft% 26.032*%hft%
PLANE 280.167*%lft% -cart 0.000*%bft% 18.000*%hft% \
14.000*%bft% 18.000*%hft% \
18.603*%bft% 26.429*%hft%
PLANE 285.000*%lft% -cart 0.000*%bft% 27.000*%hft% \
4.750*%bft% 27.000*%hft% \
14.000*%bft% 26.619*%hft%
end
&set subt = Belanak
cetak Belanak
rename Belanak
emit Belanak -body Belanak
emit Belanak -piece ' -diftyp 3ddif'
&dimen -remember
end
&finish
$@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
@@@@@@$
$
$
$ Response Amplitude Operators (RAOs)
$
$
$
$@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
@@@@@@$
$*****************************************************************
*** set basic parameter
&DIMEN -DIMEN METERS M-TONS
&DEVICE -OECHO NO -QUERY NO -PRIMARY DEVICE -AUXIN
FPSO.Belanak.dat
&TITLE Response Amplitude Operators and Wave Drift Force
$
$*****************************************************************
*** Read model
$
&set arah = 180
&set iterasi = 1e3
$
INMODEL
$
$*****************************************************************
*** set initial condition
$
&INSTATE -CONDITION 16.2
$
$*****************************************************************
*** plot model
$
&PLTMODEL VESSEL
PIC ISO
PIC SIDE
PIC TOP
END
$
$*****************************************************************
*** compute weight for cond.
$
99
&WEIGHT -COMPUTE FPSO 12.96 0.32*38 0.29*285
0.29*285
$
$
&EQUI -iter_max %iterasi%
&status b_w hard
&status F_connect
&status force
&dcptime Time for Equilibrium
$
$********************************************* DEFINE MOORING
LINES
$
MEDIT
*MLA 270 29 27
*MLB 270 -29 27
*MLC 15 29 27
*MLD 15 -29 27
~CHAIN ALINE 90 -DEP 90 -LEN 770.0 -BUOY 0 -WTPL 0.237 -
B_TENSION 690.00
CONNECTOR 1 -ANC 45 50 ~CHAIN *MLA
CONNECTOR 2 -ANC 60 50 ~CHAIN *MLA
CONNECTOR 3 -ANC 75 50 ~CHAIN *MLA
CONNECTOR 4 -ANC -45 50 ~CHAIN *MLB
CONNECTOR 5 -ANC -60 50 ~CHAIN *MLB
CONNECTOR 6 -ANC -75 50 ~CHAIN *MLB
CONNECTOR 7 -ANC 105 50 ~CHAIN *MLC
CONNECTOR 8 -ANC 120 50 ~CHAIN *MLC
CONNECTOR 9 -ANC 135 50 ~CHAIN *MLC
CONNECTOR 10 -ANC 150 50 ~CHAIN *MLC
CONNECTOR 11 -ANC -105 50 ~CHAIN *MLD
CONNECTOR 12 -ANC -120 50 ~CHAIN *MLD
CONNECTOR 13 -ANC -135 50 ~CHAIN *MLD
CONNECTOR 14 -ANC -150 50 ~CHAIN *MLD
END
$
$********************************************* MOVE ANCHORS
$
&CONNECTOR @ -A_TENSION 690.00
&DCPTIME TIME TO CONNECT
$
$********************************************* MOORING TABLES
$
CONN_DESIGN
TABLE 1
REPORT
END
MOVE TKR -LINE 0.0
REPORT
VLIST
PLOT 1 5 -NO
REPORT
END
END
&DCPTIME TIME TO END MOORING DESIGN
$
$*****************************************************************
*** hydrodynamics menu
100
$
HYDRODYNAMICS
g_pressure FPSO -heading %arah%
V_MDRIFT
REPORT
END
$
&set gma = 2.5 $gamma
$
&env sea_100 -depth 90 -sea jonswap %arah% 5.30 11.10 %gma% \
-current 0.90 %arah% \
-wind 4.15 %arah%
$
end_&data
&set post_env = sea_100
$
$*****************************************************************
**** frequency respons
FREQ_RESP
RAO
$*****************************************************************
*** std post processing
&loop env %post_env
&describe body FPSO
FR_POINT &BODY(CG FPSO)
report
END
st_point %env
REPORT
END
&endloop
END_FREQ_RESP
$
$*****************************************************************
***** all done
$
&FINISH
101
Page 5 Licensee - My Company Rev 6.00.025 Ser562
***************************************************************************************************************
* *** MOSES *** *
* ---------------- June 9, 2010 *
* Response Amplitude Operators and Wave Drift Force *
* *
* Draft = 16.2 Meters Trim Angle = 0.00 Deg. GMT = 12.63 Meters *
* Roll Gy. Radius = 12.2 Meters Pitch Gy. Radius = 82.6 Meters Yaw Gy. Radius = 82.6 Meters *
* Heading = 90.00 Deg. Forward Speed = 0.00 Knots Linearization Based on 1/ 20 *
* *
***************************************************************************************************************
+++ M O T I O N R E S P O N S E O P E R A T O R S +++
=========================================================
Of Point X = 142.5 Y = 0.0 Z = 13.0 on Body FPSO
Process is DEFAULT: Units Are Degrees, Meters, and M-Tons Unless Specified
E N C O U N T E R Surge / Sway / Heave / Roll / Pitch / Yaw /
-------------------- Wave Ampl. Wave Ampl. Wave Ampl. Wave Ampl. Wave Ampl. Wave Ampl.
Frequency Period /--------------/ /--------------/ /--------------/ /--------------/ /--------------/ /--------------/
-(Rad/Sec)- -(Sec)- Ampl. Phase Ampl. Phase Ampl. Phase Ampl. Phase Ampl. Phase Ampl. Phase
0.2513 25.00 0.000 0. 1.178 91. 0.945 1. 0.503 91. 0.002 166. 0.019 -83.
0.3142 20.00 0.000 0. 1.000 91. 0.967 1. 0.649 90. 0.002 159. 0.007 -79.
0.3307 19.00 0.000 0. 0.967 91. 0.977 1. 0.694 90. 0.003 157. 0.006 -77.
0.3491 18.00 0.000 0. 0.932 91. 0.992 1. 0.747 90. 0.003 154. 0.005 -75.
0.3696 17.00 0.000 0. 0.896 92. 1.014 1. 0.810 90. 0.003 150. 0.004 -73.
0.3927 16.00 0.000 0. 0.858 92. 1.046 0. 0.885 90. 0.003 145. 0.003 -71.
0.4189 15.00 0.000 0. 0.815 92. 1.096 -1. 0.977 90. 0.004 138. 0.002 -68.
0.4333 14.50 0.000 0. 0.792 92. 1.130 -2. 1.030 90. 0.004 133. 0.002 -66.
0.4488 14.00 0.000 0. 0.767 93. 1.174 -4. 1.090 90. 0.005 126. 0.002 -65.
0.4654 13.50 0.000 0. 0.740 93. 1.227 -7. 1.159 90. 0.005 117. 0.002 -63.
0.4833 13.00 0.000 0. 0.711 93. 1.290 -11. 1.240 90. 0.006 104. 0.001 -61.
0.5027 12.50 0.000 0. 0.679 94. 1.355 -18. 1.336 90. 0.007 86. 0.001 -59.
0.5236 12.00 0.000 0. 0.645 94. 1.395 -28. 1.455 90. 0.007 63. 0.001 -56.
0.5464 11.50 0.000 0. 0.604 95. 1.355 -41. 1.594 87. 0.007 33. 0.001 -46.
0.5712 11.00 0.000 0. 0.558 95. 1.183 -55. 1.779 84. 0.006 1. 0.000 0.
0.5984 10.50 0.000 0. 0.504 96. 0.923 -68. 2.035 79. 0.004 -27. 0.000 0.
0.6283 10.00 0.000 0. 0.436 98. 0.668 -76. 2.386 70. 0.002 -46. 0.001 50.
0.6614 9.50 0.000 0. 0.349 104. 0.466 -79. 2.749 52. 0.001 -58. 0.001 46.
102
0.6981 9.00 0.000 0. 0.287 120. 0.320 -78. 2.830 22. 0.001 -63. 0.002 25.
0.7392 8.50 0.000 0. 0.308 136. 0.217 -73. 2.213 -17. 0.000 0. 0.001 -4.
0.7854 8.00 0.000 0. 0.299 139. 0.143 -66. 1.150 -37. 0.000 0. 0.001 -18.
0.8378 7.50 0.000 0. 0.256 147. 0.087 -55. 0.576 -33. 0.000 0. 0.001 -15.
0.8976 7.00 0.000 0. 0.211 158. 0.070 -38. 0.289 -23. 0.000 0. 0.000 0.
0.9666 6.50 0.000 0. 0.168 175. 0.039 -23. 0.125 -9. 0.000 0. 0.000 0.
1.0472 6.00 0.000 0. 0.117 -173. 0.022 3. 0.079 -169. 0.000 0. 0.000 0.
1.1424 5.50 0.000 0. 0.098 -127. 0.009 33. 0.037 44. 0.000 0. 0.000 0.
1.2566 5.00 0.000 0. 0.067 -87. 0.021 -119. 0.008 1. 0.000 0. 0.000 0.
1.3963 4.50 0.000 0. 0.040 -36. 0.004 143. 0.018 -16. 0.000 0. 0.000 0.
1.5708 4.00 0.000 0. 0.028 63. 0.001 76. 0.006 112. 0.000 0. 0.000 0.
2.0944 3.00 0.000 0. 0.011 63. 0.000 0. 0.001 52. 0.000 0. 0.000 0.
Page 6 Licensee - My Company Rev 6.00.025 Ser562
***************************************************************************************************************
* *** MOSES *** *
* ---------------- June 9, 2010 *
* Response Amplitude Operators and Wave Drift Force *
* *
* Draft = 16.2 Meters Trim Angle = 0.00 Deg. GMT = 12.63 Meters *
* Roll Gy. Radius = 12.2 Meters Pitch Gy. Radius = 82.6 Meters Yaw Gy. Radius = 82.6 Meters *
* JONSWAP Height = 5.3 Meters Period = 11.1 Sec. M. Heading = 90.0 Deg. *
* S. Coef.=200.0 Gamma = 2.50 *
* *
***************************************************************************************************************
+++ M O T I O N S T A T I S T I C S +++
===========================================
Of Point X = 142.5 Y = 0.0 Z = 13.0 on Body FPSO
Maximum Responses Based on a Multiplier of 3.720
Process is DEFAULT: Units Are Degrees, Meters, and M-Tons Unless Specified
Single Amplitude Motions
------------------------
Surge Sway Heave Roll Pitch Yaw Mag
----- ---- ----- ---- ----- --- ---
Root Mean Square 0.348 0.000 0.358 0.000 0.603 0.000 0.499
Ave of 1/3 Highest 0.695 0.000 0.717 0.000 1.207 0.000 0.999
103
Ave of 1/10 Highest 0.886 0.000 0.914 0.000 1.539 0.000 1.273
Maximum 1.293 0.000 1.333 0.000 2.245 0.000 1.857
Single Amplitude Velocities
---------------------------
Surge Sway Heave Roll Pitch Yaw Mag
----- ---- ----- ---- ----- --- ---
Root Mean Square 0.137 0.000 0.144 0.000 0.261 0.000 0.198
Ave of 1/3 Highest 0.274 0.000 0.287 0.000 0.523 0.000 0.397
Ave of 1/10 Highest 0.349 0.000 0.366 0.000 0.667 0.000 0.506
Maximum 0.509 0.000 0.534 0.000 0.972 0.000 0.738
Single Amplitude Accelerations
------------------------------
Surge Sway Heave Roll Pitch Yaw Mag
----- ---- ----- ---- ----- --- ---
Root Mean Square 0.058 0.000 0.062 0.000 0.116 0.000 0.085
Ave of 1/3 Highest 0.116 0.000 0.124 0.000 0.231 0.000 0.170
Ave of 1/10 Highest 0.148 0.000 0.158 0.000 0.295 0.000 0.217
Maximum 0.215 0.000 0.231 0.000 0.430 0.000 0.316
Page 7 Licensee - My Company Rev 6.00.025 Ser562
***************************************************************************************************************
* *** MOSES *** *
* ---------------- June 9, 2010 *
* Response Amplitude Operators and Wave Drift Force *
* *
* *
***************************************************************************************************************
+++ I N D E X O F O U T P U T +++
=====================================
PROPERTIES OF LINE 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
RESTORING FORCE VS EXCURSION OF FPSO . . . . . . . . . 2
MEAN WAVE DRIFT FORCES FOR FPSO . . . . . . . . . . . 4
MOTION RESPONSE OPERATORS . . . . . . . . . . . . . . 5
MOTION STATISTICS . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
104
INDEX OF OUTPUT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
Page 5 Licensee - Minimal MOSES Rev 7.00.044 Ser501
***************************************************************************************************************
* *** MOSES *** *
* ---------------- 4 June, 2010 *
* Hydrostatics of Belanak Natuna FPSO *
* ENGINEER : fahmy *
* *
***************************************************************************************************************
+++ H Y D R O S T A T I C P R O P E R T I E S +++
===================================================
For Body FPSO
Process is DEFAULT: Units Are Degrees, Meters, and M-Tons Unless Specified
/--- Condition ---//- Displac-/ /-- Center Of Buoyancy --// W.P. / /C. Flotation / /---- Metacentric Heights ----/
Draft Trim Roll ---X--- ---Y--- ---Z--- Area ---X--- ---Y--- -KMT- -KML- -BMT- -BML-
18.20 0.00 0.00 278343.44 142.50 0.00 9.24 15536. 142.50 0.00 24.77 352.69 15.53 343.46
18.30 0.00 0.00 279936.41 142.50 0.00 9.29 15542. 142.50 0.00 24.74 351.21 15.45 341.92
18.40 0.00 0.00 281530.13 142.50 0.00 9.34 15548. 142.50 0.00 24.71 349.74 15.37 340.40
18.50 0.00 0.00 283124.41 142.50 0.00 9.39 15555. 142.50 0.00 24.68 348.28 15.29 338.89
18.60 0.00 0.00 284719.50 142.50 0.00 9.44 15561. 142.50 0.00 24.65 346.85 15.21 337.40
18.70 0.00 0.00 286315.13 142.50 0.00 9.50 15567. 142.50 0.00 24.63 345.43 15.13 335.93
18.80 0.00 0.00 287911.44 142.50 0.00 9.55 15574. 142.50 0.00 24.60 344.02 15.05 334.47
18.90 0.00 0.00 289508.31 142.50 0.00 9.60 15580. 142.50 0.00 24.58 342.63 14.98 333.03
105
OUTPUT ANSYS PADA KONDISI EKSTREM LINGKUNGAN
PRINT S NODAL SOLUTION PER NODE
***** POST1 NODAL STRESS LISTING *****
LOAD STEP= 1 SUBSTEP= 1
TIME= 1.0000 LOAD CASE= 0
SHELL NODAL RESULTS ARE AT TOP
NODE S1 S2 S3 SINT SEQV
1 0.29327E+07-0.70496E+07-0.15805E+08 0.18738E+08 0.16239E+08
2 -0.82664E+06-0.19109E+07-0.14981E+08 0.14154E+08 0.13644E+08
4 0.20596E+07 0.19061E+06-0.90028E+07 0.11062E+08 0.10256E+08
6 0.22974E+07 98063. -0.71881E+07 0.94855E+07 0.85994E+07
8 0.20311E+07 -8250.7 -0.51197E+07 0.71509E+07 0.63805E+07
10 0.22508E+07-0.30713E+06-0.50824E+07 0.73332E+07 0.64468E+07
12 0.21151E+07-0.43690E+06-0.52780E+07 0.73930E+07 0.65041E+07
14 0.14472E+07-0.58584E+06-0.56562E+07 0.71034E+07 0.63364E+07
16 0.15747E+07-0.70469E+06-0.81653E+07 0.97401E+07 0.88240E+07
18 0.45976E+07 37091. -0.26492E+08 0.31089E+08 0.29078E+08
20 0.52961E+07 -6248.7 -0.25249E+08 0.30545E+08 0.28269E+08
22 0.53271E+07 16943. -0.24717E+08 0.30044E+08 0.27773E+08
24 0.54343E+07 6398.5 -0.25581E+08 0.31015E+08 0.28689E+08
26 0.48307E+07 10715. -0.28496E+08 0.33327E+08 0.31197E+08
28 0.34875E+07 2848.2 -0.34790E+08 0.38278E+08 0.36660E+08
30 36350. -0.41758E+06-0.25218E+08 0.25254E+08 0.25030E+08
32 0.37065E+07 16108. -0.26504E+08 0.30211E+08 0.28545E+08
106
34 0.13219E+07-0.12463E+06-0.26540E+08 0.27862E+08 0.27167E+08
36 0.13987E+06-0.18136E+07-0.26576E+08 0.26716E+08 0.25794E+08
38 50987. -0.36634E+07-0.26591E+08 0.26642E+08 0.24993E+08
40 26819. -0.39937E+07-0.26581E+08 0.26608E+08 0.24843E+08
42 25495. -0.29918E+07-0.26556E+08 0.26581E+08 0.25209E+08
44 33353. -0.15465E+07-0.26531E+08 0.26564E+08 0.25811E+08
47 0.28590E+06 -15711. -0.25350E+08 0.25636E+08 0.25487E+08
49 0.62385E+06 7892.6 -0.25725E+08 0.26349E+08 0.26047E+08
51 0.10462E+07 -2012.4 -0.26404E+08 0.27450E+08 0.26941E+08
53 0.10039E+07 2485.8 -0.27598E+08 0.28602E+08 0.28115E+08
55 0.34915E+06 -4687.9 -0.30149E+08 0.30499E+08 0.30323E+08
63 9022.2 -0.21275E+07-0.30656E+08 0.30665E+08 0.29655E+08
***** POST1 NODAL STRESS LISTING *****
LOAD STEP= 1 SUBSTEP= 1
TIME= 1.0000 LOAD CASE= 0
SHELL NODAL RESULTS ARE AT TOP
NODE S1 S2 S3 SINT SEQV
95 -6394.3 -0.35893E+07-0.26785E+08 0.26779E+08 0.25179E+08
97 -1407.5 -0.19506E+07-0.26181E+08 0.26180E+08 0.25261E+08
99 -4005.6 -0.15552E+07-0.25306E+08 0.25302E+08 0.24563E+08
101 5027.1 -0.18028E+07-0.25396E+08 0.25401E+08 0.24547E+08
103 -20005. -0.25021E+07-0.26213E+08 0.26193E+08 0.25044E+08
111 -5677.6 -0.33969E+07-0.26566E+08 0.26560E+08 0.25038E+08
113 -2337.6 -0.19858E+07-0.25845E+08 0.25843E+08 0.24910E+08
115 -4173.6 -0.16169E+07-0.25010E+08 0.25006E+08 0.24240E+08
107
117 6564.9 -0.16834E+07-0.25170E+08 0.25176E+08 0.24375E+08
119 -19470. -0.21710E+07-0.26089E+08 0.26069E+08 0.25063E+08
127 -5997.0 -0.32549E+07-0.27084E+08 0.27078E+08 0.25608E+08
***** POST1 NODAL STRESS LISTING *****
LOAD STEP= 1 SUBSTEP= 1
TIME= 1.0000 LOAD CASE= 0
SHELL NODAL RESULTS ARE AT TOP
NODE 1826 3078 9781 5707 5707
VALUE -0.10624E+08-0.38676E+08-0.98429E+08 35453. 30704.
MAXIMUM VALUES
NODE 9837 849 6216 9781 9781
VALUE 0.39247E+08 0.91478E+07 0.20054E+07 0.98429E+08 0.91362E+08
108
Halaman Kosong
109
Keandalan pada saat kondisi ekstrem lingkungan
Keandalan pada saat 2 kali kondisi ekstrem lingkungan
Σdata Σsucces Σfail Pof K
10 10 0 0.000 1.000
100 100 0 0.000 1.000
500 500 0 0.000 1.000
1000 1000 0 0.000 1.000
2000 2000 0 0.000 1.000
3000 3000 0 0.000 1.000
4000 4000 0 0.000 1.000
5000 5000 0 0.000 1.000
10000 9999 1 0.000 1.000
Σdata Σsucces Σfail Pof K
10 10 0 0.000 1.000
100 100 0 0.000 1.000
500 500 0 0.000 1.000
1000 1000 0 0.000 1.000
2000 2000 0 0.000 1.000
3000 3000 0 0.000 1.000
4000 4000 0 0.000 1.000
5000 5000 0 0.000 1.000
10000 9999 1 0.000 1.000
110
Keandalan pada saat 3 kali kondisi ekstrem lingkungan
Keandalan pada saat 3.5 kali kondisi ekstrem lingkungan
Σdata Σsucces Σfail Pof K
10 8 2 0.200 0.800
100 83 17 0.170 0.830
500 425 75 0.150 0.850
1000 855 145 0.145 0.855
2000 1695 305 0.153 0.848
3000 2543 457 0.152 0.848
4000 3397 603 0.151 0.849
5000 4238 762 0.152 0.848
10000 8489 1511 0.151 0.849
Σdata Σsucces Σfail Pof K
10 4 6 0.600 0.400
100 30 70 0.700 0.300
500 148 352 0.704 0.296
1000 305 695 0.695 0.305
2000 613 1387 0.694 0.307
3000 908 2092 0.697 0.303
4000 1186 2814 0.704 0.297
5000 1518 3482 0.696 0.304
10000 3057 6943 0.694 0.306
111
Keandalan pada saat 4 kali kondisi ekstrem lingkungan
Keandalan pada saat 5 kali kondisi ekstrem lingkungan
Σdata Σsucces Σfail Pof K
10 6 4 0.400 0.600
100 48 52 0.520 0.480
500 230 270 0.540 0.460
1000 447 553 0.553 0.447
2000 861 1139 0.570 0.431
3000 1312 1688 0.563 0.437
4000 1743 2257 0.564 0.436
5000 2207 2793 0.559 0.441
10000 4383 5617 0.562 0.438
Σdata Σsucces Σfail Pof K
10 1 9 0.900 0.100
100 7 93 0.930 0.070
500 41 459 0.918 0.082
1000 80 920 0.920 0.080
2000 157 1843 0.922 0.079
3000 253 2747 0.916 0.084
4000 343 3657 0.914 0.086
5000 438 4562 0.912 0.088
10000 869 9131 0.913 0.087
112
Keandalan pada saat 6 kali kondisi ekstrem lingkungan
Keandalan pada saaAt 7 kali kondisi ekstrem lingkungan
Σdata Σsucces Σfail Pof K
10 1 9 0.900 0.100
100 5 95 0.950 0.050
500 9 491 0.982 0.018
1000 16 984 0.984 0.016
2000 37 1963 0.982 0.019
3000 52 2948 0.983 0.017
4000 76 3924 0.981 0.019
5000 99 4901 0.980 0.020
10000 205 9795 0.980 0.021
Σdata Σsucces Σfail Pof K
10 0 10 1.000 0.000
100 0 100 1.000 0.000
500 4 496 0.992 0.008
1000 6 994 0.994 0.006
2000 14 1986 0.993 0.007
3000 19 2981 0.994 0.006
4000 24 3976 0.994 0.006
5000 30 4970 0.994 0.006
10000 64 9936 0.994 0.006
113
Keandalan tiap kenaikan beban
Keandalan sistem pada saat kondisi ekstrem lingkungan
load σmax Pof K
factor (Mpa)
1 96 0 1
2 192 0 1
3 289 0.151 0.849
3.5 337 0.6943 0.3057
4 326 0.5617 0.4383
5 369 0.9131 0.0869
6 401 0.9795 0.0205
7 424 0.9936 0.0064
Σdata Σsucces Σfail Pof K
10 10 0 0.000 1.000
100 100 0 0.000 1.000
500 500 0 0.000 1.000
1000 1000 0 0.000 1.000
2000 2000 0 0.000 1.000
3000 3000 0 0.000 1.000
4000 4000 0 0.000 1.000
5000 5000 0 0.000 1.000
10000 9999 1 0.000 1.000
115
BIODATA PENULIS
Fahmy Ardhiansyah dilahirkan di kota Ponorogo tepatnya
pada tanggal 22 Juni 1987. Anak pertama dari dua
bersaudara, dari pasangan Munardji dan Nur Aini. Penulis
menempuh pendidikan formal dari TK sampai SMA di
kota Ponorogo. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN
Mangkujayan 1 pada tahun 2000, kemudian melanjuktak
ke SMPN 1 Ponorogo (2000-2003), SMAN 2 Ponorogo
(2003-2006). Setelah lulus sekolah, penulis mendapatkan
kesempatan untuk melanjutkan studi di Jurusan Teknik
Kelautan FTK – ITS melalui jalur PMDK Reguler dan terdaftar dengan NRP.
4306100037. Selema kuliah penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan,
seminar, penelitian bersama dosen. Organisasi kemahasiswaan seperti
HIMATEKLA, KAMMI 1011, BAHRUL ILMI, dan Legislatif Mahasiswa ITS
telah diikuti dalam rangka untuk pengembangan dirinya. Pada masa kuliah penulis
juga menjadi asisten dosen dalam mata kuliah Sistem dan Operasi Kelautan,
selain itu juga melakukan penelitian tentang aplikasi pemecah gelombang
terapung. Saat ini penulis penulis tengah menekuni salah satu bidang keahlian di
Jurusan Teknik Kelautan, yaitu bidang Hidrodinamika dan Struktur Bangunan
Lepas Pantai. Tugas Akhir dengan judul Analisis Keandalan Scantling Support
Structure System Gas Processing Module FPSO Belanak Terhadap Beban
Ekstrem dapat diselesaikan dalam waktu satu semester oleh penulis.
Contact Person:
Email: [email protected]